Pencarian

Kutukan Bintik Merah 3

Lupus Kutukan Bintik Merah Bagian 3


"T-tapi, Oom, kok di Jakarta Adi nggak bilang apa-apa"" tannya Lulu masih penasaran.
Si eksekutif muda menyeringai.
"Yah, mungkin Adi terlalu sibuk. Jadi lupa hal-hal kayak begini...."
"Oke, Oom, saya paham...," tukas Lulu nyerah. "Tapi ATM saya nggak sampai sebanyak itu. Kalau setengahnya sih ada...."
"Oke, hari ini dibayar dulu setengahnya. Proses pelunasan bisa diselesaikan setelah kamu kembali ke Jakarta."
"Lalu ke mana saya harus membayar Oom""
"Bisa melalui saya. Nanti saya serahkan ke bagian keuangan...."
Lulu setuju. Setelah membobol ATM-nya dan ATM Devon, akhirnya terkumpul dana sebanyak dua juta. Uang itu langsung diserah kan ke eksekutif muda yang dikira Lulu adalah Oom Bob, tapi sebetulnya Oom Bob palsu.
*** "Lupus, Boim, dan Gusur lagi nyuci-nyuci mata di Jalan Dago, ketika sebuah Blazer yang tadi melaju kencang, tiba-tiba berhenti tepat di samping mereka. Suara remnya yang mendecit, dicampur dengan suara ban yang beradu dengan aspal, mengagetkan ketiga pengelana itu. Tapi sebelum Boim sempat misuh-misuh, si pengemudi Blazer sudah turun lebih dulu. Lupus, Boim, dan Gusur yang tadi sudah kaget, jadi kaget lagi. Ternyata si pengemudi adalah Adi KLa.
"Kamu kakaknya Lulu, kan"" tanya Adi yang mengenali Lupus karena pe"nah ketemu di kafe.
"I-iya. T-tapi kata Lulu kamu lagi sibuk rekaman""
"Betul. Tapi urusan saya cuma sebentar. Makanya tadi saya langsung ke rumah kamu. Ternyata Lulu sudah berangkat. Yah, akhirnya saya susul ke sini. Sebab tadi Oom Bob nelepon, Lulu belum nemuin dia. Padahal Oom Bob udah nunggu di restoran yang dijanjikan."
"Wah, ngapain aja tu anak. Padahal tadi dia udah ke sana, lho."
Lupus dan Adi KLa terus ngobrol seputar rencana rekaman Lulu. Dan selama mereka ngobrol, perhatian cewek-cewek jadi tersedot ke arah mereka. Maklumlah, yang ngobrol sama Lupus kan Adi KLa. Jadi wajar aja kalo orang-orang jadi pada ngelirik. Tinggal Gusur sama Boim yang jadi salah tingkah karena merasa diperhatiin.
"Jadi sekarang gimana"" tanya Lupus.
"Ya udah, sebaiknya kita cepat jemput Lulu. Soalnya saya nggak enak sama Oom Bob...," putus Adi.
Lupus, Gusur, dan Boim menaiki Blazer Adi. Mereka lalu menjemput Lulu di penginapan.
Sesampai di penginapan, tampak Lulu, "aml, Inka, dan Mila lagi berebut kaca meja rias". Mereka rupanya sedang mencoba baju-baju yang baru dibeli dari BIP. Lulu dapat oleh-oleh satu dari Mami.
Lulu tentu aja belingsatan begitu tau Adi muneul. Dan lebih belingsatan lagi, waktu Adi bilang kalau Oom Bob sudah nunggu.
"Lha, tadi kami kan udah ketemu Oom Bob. Katanya besok kami baru ketemu lagi," tukas Lulu heran. Yang lain juga ikut heran.
"Tapi Oom Bob merasa belum ketemu...," sanggah Adi.
"Ah, masa sih" Malah Oom Bob udah minta duit saya sebanyak dua..."
"Apa"" Adi kaget mendengar informasi Lulu. "Oom Bob minta duit""
"Iya, katanya buat biaya rekaman
...." "Wah, ini pasti ada yang salah...."
"Aduh, jadi gimana dong...." Lulu mulai gelisah. Yang lain juga.
"Kalau gitu saya coba hubungi Oom Bob. Siapa tau. dia mau ke sini...."
Tanpa menunggu jawaban lagi, Adi segera menghubungi Oom Bob. Karena hubungan mereka yang sudah sangat dekat, Oom Bob bersedia ke penginapan. Setengah jam kemudian Oom Bob sampai di penginapan. Lulu langsung pingsan, karena Oom Bob yang datang itu bukan Oom Bob yang ditemuinya di restoran tadi.
"J-jadi"" tukas Lulu terbata begitu sadar dari pingsannya.
"Ya, lo udah kena tipu, Lu...," jawab Lupus tanpa perasaan.
"Yah, sekarang ini memang banyak penipu yang berkedok orang terhormat...," timpal Om Bob.
"Aduh, Lulu jadi malu deh. Mana Lulu udah make duit Devon.... Gimana Lulu mesti ganti""
"Udah, Lu, nggak usah dipikirin. Pelajaran kan mahal. Anggap aja itu biaya buat pelajaran yang kamu dapetin. Devon ikhlas...."
"Duh, Von, kamu tulus banget, sih.... Padahal kamu udah Lulu cemburuin, Lulu cemberutin, Lulu omelin, tapi kamu masih mau berkorban buat Lulu. Kamu memang cowok hebat, Von...," tukas Lulu seraya mengecup pipi Devon.
"Diam-diam Lupus mendekati Oom Bob.
"Oom, saya mau ngomong sejujurnya. Sebetulnya... sebetulnya... bukan cuma Lulu lho yang suaranya bagus. Saya juga...."
"Boleh... boleh... kalau kamu mau ikut rekaman juga boleh. Tapi sediakan duit dua juta rupiah buat persyaratan...," sambut Oom Bob kalem.
Lupus melongo. 6 MERINGIS MENGUNDANG "KRISIS moneter. Nilai rupiah anjlok. Dolar naik terus. Kantor-kantor tutup. Dua juta orang kena PHK. Pengangguran berkeliaran di jalan-jalan.
"Jangan sedih, Sur. Sekarang kan ada proyek padat karya. Lumayan sehari tujuh rebu lima ratus,'" hibur Lupus pada Gusur yang sejak tadi masang muka kusut.
"Tiada sudi! Begini-begini juga daku masih punya gengsi!" tolak Gusur dengan muka tambah kusut.
Boim menepuk pundak Gusur. "Jangan gengsi-gengsian deh, Sur. Zaman lagi susah, nih!"
Zaman lagi susah" Memang. Mereka baru aja kena PHK dari Kafe Mila, tempat mereka bekerja selama ini. Tapi bukan karena krisis moneter Kafe Mila bangkrut. Sebab orang bilang usaha kafe paling tahan banting. Malah omzetnya naik dua kali lipat. Sebab banyak bos yang pusing nggak bisa bayar utang, pada nyari kompensasi ke kafe. Nah, Lupus, Boim, dan Gusur terpaksa di-PHK gara-gara "kafe Mila diambil alih sama Tante Merry, tantenya Mila. Yang modalnya emang jauh lebih kuat.
Ceritanya dulu waktu mau bikin kafe, sebagian besar modalnya Mila pinjem dari Tante Merry. Pas Kafe Mila maju, Tante Merry nggak mau dibayar tunai. Tapi minta piutangnya diubah jadi saham. Saham mayoritas, pula. Nah, karena saham mayoritas, otomatis manajemen Kafe Mila pindah tangan ke Tante Merry. Untuk selanjutnya keputusan Tante Merry sungguh menakjubkan. Dia mem-PHK Lupus, Boim, dan Gusur. Memang udah sejak lama Tante Merry dendam sama ketiga anak itu, yang dianggap kerjanya cuma bercanda doang. Maka jadilah mereka penganggur.
"Dikau sih enak, Pus. Masih bisa nulis di Majalah Wow! Jadi masih dapat penghasilan. Sedang daku penghasilan dari mana" Mana Engkong daku baru saja mencicil radio dua ban. Dan dakulah yang harus membayar cicilannya," sungut Gusur.
Lupus tersenyum kecut. Yah, Lupus ngakuin, dibanding kedua konconya, nasibnya memang masih lebih bagus. Lupus masih bisa nyambi nulis di Majalah Wow!, pekerjaan yang selama ini ditinggalkannya gara-gara keasyikan bisnis.
"Pus, gue ikut lo aja, deh. Gini-gini gue juga bisa nulis, Pus," celetuk Boim penuh harap.
Lupus menguap. "Sori deh, Im, bukannya gue nggak solider sama lo. Daripada Majalah Wow! bangkrut gara-gara lo masuk ke sana, dan seluruh wartawannya jadi penganggur, kan mending lo aja yang nganggur. Lagian potongan lo udah pantes banget jadi penganggur...."
Boim ngamuk-ngamuk. *** Ini bukan dipas-pasin. Tapi memang begitulah ceritanya. Begitu sampai rumah, Lupus langsung disambut dengan sulutan meriam oleh Kelik, pembantunya yang asli Gunung Kidul.
"Mas Lupus kusut amat" Lagi sedih, ya""
"Iya, Lik. Gue baru aja kena PHK," jawab Lupus nggak bergairah.
"Wah, bagi-bagi dong, Mas!" Kel
ik kontan kumat begonya. "Bagi-bagi apaan""
"Lha itu, katanya baru kena PHK. PHK itu lotre kan, Mas Lupus""
"Guoblok. PHK itu Pemutusan Hubungan Kerja. Jadi saya baru aja dipecat dari kantor saya. Bukan lotre. Mudeng""
"Ealaaah... jadi Mas Lupus dipecat, to" Syukurlah.. ."
"Apa" Syukur"" bentak Lupus sewot. Matanya mendelik. Kelik menyadari kesalahannya.
""Eh, sori. Maksudnya, saya turut berduka cita gitu, Mas Lupus."
"Iya, Lik, sekarang betul-betul lagi susah. Saya dipecat. Pesanan katering Mami makin lama makin sepi," desah Lupus dengan muka sedih.
Ya, Lupus sebetulnya sedih juga. Tadi di depan Boim sama Gusur, Lupus masih bisa pura-pura. Masih bisa tersenyum. Masih bisa bercanda. Tapi sekarang nggak lagi. Sama kayak Boim dan Gusur, Lupus juga punya persoalan. Ah, siapa sih di dunia ini yang nggak punya persoalan. Bill Clinton aja punya persoalan oleh gugatan cewek-ceweknya. Apalagi Lupus. Lupus yang selalu dimintai modal sama Mami kalau bisnis kateringnya lagi kejepit. Tapi sekarang mana bisa lagi Lupus ngasih duit ke Mami.
"Oya, Mas Lupus, tadi ada telepon...," suara Kelik tiba-tiba membuyarkan lamunan Lupus.
"Telepon dari mana, Lik"" tanya Lupus.
"Dari Majalah Wow!. Ini pesannya," jawab Kelik seraya menyodorkan secarik kertas pada Lupus. Lupus menerima kertas itu dengan penuh tanda tanya, kemudian membacanya.
"Saya disuruh nemuin Mas Sarwendo," desis Lupus begitu selesai membaca pesan itu. "Ada apa, ya" Udah lama gue nggak kontak sama dia. Tau-tau dia ngehubungin gue.... Ah, ini pasti penting. Kalo nggak penting, nggak mungkin dia mau nelepon gue. Itu orang kan cuek banget.... Tadi yang nelepon dia sendiri, Lik""
"Bukan. Dari cewek. Katanya sekretaris...," jawab Kelik.
"O...," komentar Lupus.
*** "Ruang redaksi Majalah Wow! ... masih kayak yang dulu-dulu juga. Majalah-majalah luar negeri, koran, puntung rokok, sendal jepit, kulit pisang, bungkus kacang sukro, berserakan di mana-mana. Dindingnya yang warna-warni kayak MTV penuh skedul dan poster bintang-bintang top. Ada Hanson, Leonardo DiCaprio, Spice Girls, dan Ikke Nurjanah. Pokoknya cukup trendy. Jauh lebih trendy dibanding para karyawannya yang rata-rata kumel-kumel.
Mata mereka seperti orang ngantuk. Mereka lagi pada sibuk ngetik. Internet. Tapi yang main game jauh lebih banyak.
Lupus berjalan ke ruang Redpel. Tapi sebelum sempat masuk, Lupus disapa oleh seorang perempuan yang cukup manis, yang duduk di depan ruang Redpel. Dialah Tamara, sang sekretaris redaksi.
"Hei, Lupus, kita ketemu lagi di sini. Kan gue yang kemarin nelepon ke rumah lo."
Mata Tamara yang lebih banyak putihnya itu berkerjap-kerjap. Persis bola pingpong. Lupus "kaget. Soalnya Lupus pernah ketemu orang itu di Bandung dalam peristiwa yang kurang enak. Sebab Tamara mantan cewek Devon. Sedang Devon sekarang pacar Lulu. Nah, Lulu cemburu setengah mati sama Tamara.
"Kok lo ada di sini, Tam" Lo kerja di sini""
"Iya. Gue baru dua bulan di sini. Gimana kabarnya adek lo, si Lulu" Masih suka cemburuan sama gue""
"Yah, namanya juga Lulu. Nggak boleh kalah saingan.
Kapan-kapan jalan yuk, Tam," ajak Lupus centil.
Tamara memasang muka galak.
"Eh, jangan macem-macem, ya! Ntar honor lo gue potong!"
Lupus langsung minder. "Ufh, sori... sori...!"
Tamara nyengir. "Tuh, Mas Sarendo udah nungguin lo."
"Oke. Gue masuk dulu, ya!"
Lupus siap-siap masuk. Tapi Tamara buru-buru mencegahnya, "Eh, Pus. Tapi bener ya, kapan-kapan kita jalan...."
"Yeee...!" teriak Lupus sebel. Lalu meluncur masuk ke ruangan Mas Sarendo. Tapi di ruang Mas Sarendo, Lupus cuma menemukan sepasang jempol kaki yang bertengger di meja.
Sedang Mas Sarendo-nya sendiri nggak keliatan. Tapi diliat dari bentuknya yang mirip-mirip jahe digepruk, Lupus tau kalo itu jempol kaki Mas Sarendo.
""Siang, Mas Sarendo!" jerit Lupus sambil menggeprak meja.
Mas Sarendo serentak muncul dari kolong meja. Matanya merah. Rambutnya yang gondrong awut-awutan. Sisa-sisa ilernya masih keliatan di ujung bibir.
"Bikin kaget orang aja kamu, Pus!" tukas Mas Sarendo sebel.
"Lagian, siang-siang tidur...." jawab Lupus cuek.
Mas Sarendo duduk sambil menyembunyikan udelnya yang tadi berkeliaran ke mana-mana. Maklumlah Mas Sarendo perutnya gendut abis, sehingga kancing bajunya yang sempit itu suka terbuka dengan sendirinya. Akibatnya si udel suka keluar tanpa permisi.
"Ada apa" Mau ketemu saya""
"Lha, katanya Mas Sarendo manggil saya""
Mas Sarendo menebarkan senyum khasnya. Sinis tapi asem. "Ah, saya kok nyari kamu.... Tapi nggak apa deh. Kamu udah telanjur ke sini. Gini, Pus, sekarang kan lagi krisis moneter. Dolar naik. Harga kertas naik tujuh kali lipat...."
"Lha, lantas apa hubungannya sama saya"" tanya Lupus heran.
"Banyak. Dalam kondisi ekonomi yang kacau-balau ini, banyak usaha penerbitan pers yang gulung tikar...."
"O, jadi Majalah Wow! mau ditutup" Kalau begitu buat apa manggil saya, Mas..."" potong Lupus.
"Denger dulu, guoblok!" Mas Sarendo membentak. Keki.
Lupus mesem. "Pus, kamu kan tau, saya ini perantauan. Dulu sebelum merantau, saya sempat sesumbar sama ibu saya, bahwa saya akan menaklukkan Jakarta. Saya kan malu kalau sampai perusahaan ini tutup, dan saya jadi pengangguran. Mana kebisaan saya cuma nulis sama ngakalin orang...."
"Saya ikut prihatin, Mas...," tukas Lupus begitu ngeliat Mas Sarendo mulai menitikkan air mata buayanya.
"Tapi untunglah, Pus, sebelum majalah ini betul-betul ditutup, saya berhasil meyakinkan Bos dengan memakai teori ember bocor. Saya bilang ke dia, majalah ini sudah punya pangsa pasar. Sayang kalau pasar itu kita buang cuma karena krisis moneter. Begitu situasi ekonomi pulih, kita nggak akan mampu bangkit lagi. Kita harus mulai dari nol."
"Mas, persetan, sama teori ember bocor itu. Yang pengen saya tau, apa Mas akhirnya bisa meyakinkan bos Mas""
"Bisa, Pus," jawab Mas Sarendo dengan muka cerah. "Bos saya nggak jadi menutup majalah ini. Tapi supaya bertahan hidup, terpaksa harga majalah dinaikkan tiga kali lipat, dan halamannya dipertipis...."
""Waduh, Mas, siapa yang mau beli dong kalau begitu"" tanya Lupus kaget.
"Pus, Mas Sarendo-mu ini kan bukan orang guoblok. Orang baca majalah itu kan bukan liat tebel tipisnya, atau mahal tidaknya. Tapi isinya. Nah, dengan penipisan halaman dan penebalan harga itu, saya menjanjikan peningkatan mutu tulisan. Alasan ini juga yang saya berikan ke Bos.... Bos ternyata percaya, setelah saya tonjok perutnya sebanyak tiga kali. Nah, untuk itulah kamu saya panggil ke sini."
" Alasannya""
"Sederhana saja. Saya merasa kamu punya bakat besar. Kamu bisa bikin tulisan-tulisan yang menarik...."
"Jadi, Mas ingin saya kerja di sini...""
"Yah, magang, begitulah. Mau""
"Mau aja mas, asal..."
"Soal itu beres, Pus. Honor kamu saya turunkan dua kali lipat!" Mas Sarendo menjawab apa yang dipikirkan Lupus.
Lupus termehe-mehe. "Ealah, Mas..."
"Berkorban sedikitlah, Pus. Cuma itulah yang bisa menolong kita dalam situasi sulit ini...," ratap Mas Sarendo.
"Jadi"" "Yah, mulai sekarang kamu nggak bisa seenaknya lagi. Harus sering-sering datang ke sini. Dan tiap saya kasih tugas, deadline-nya harus tepat...."
""Oalah, Mas, Mas, saya disuruh kerja dua kali lebih berat, tapi honornya dua kali lebih rendah..."" jerit Lupus.
"Ingat, Pus, cuma itulah yang bisa menolong kita dalam situasi sulit ini...."
Mas Sarendo lalu menyodorkan tugas pertamanya pada Lupus.
*** ""Sialan Mas Sarendo. Dia yang enak-enakan mempertahankan jabatannya, gue yang disuruh kerja keras!" maki Lupus begitu ketemu Kelik di rumah. "Liat nih, gue disuruh ngewawanearain anak-anak mal! Mana deadline-nye cuman tiga hari. Udah gitu gue diminta ngedatengin semua mal yang ada di Jakarta. Berapa ongkosnya!" kata Lupus lagi tetap antusias.
Kelik menyambutnya dengan muka nggak bergairah sama sekali.
"Lik, kok lu diem aja"" tanya Lupus begitu sadar Kelik cuma bengong aja dari tadi.
"Mas Lupus, kata Mami, kalau katering tetap sepi sampai bulan depan, saya bakal dipecat...," tukas Kelik memulai keluhannya.
"Aduh, Lik, udah deh. Saya mau ngeluh sama kamu, kok jadi kamu yang ngeluh sama saya...," putus Lupus sambil buru-buru minggat keluar.
"Lupus meluncur ke rumah Gusur. Ternyata saat itu Gusur lagi berantem sama engkongny
a. "Kagak bisa. Emangnye lo lupa ape, Sur" Saban ari Rebo, Kamis, ama Sabtu, Engkong kudu bayar kreditan radio."
"Ya, tapi daku sudah di-PHK, Kong. Dari mana daku punya duit, Kong""
"Lha, ntar gimane dong kalo tukang kreditnye dateng""
"Bilang saja kalau Engkong sudah putus hubungan sama tukang kredit itu!"
"Enak aje putus hubungan. Entar ni radio disita, lagi! Engkong kagak rela, Sur. Soalnye antara Engkong ame radio ini udah akrab banget. Apelagi sekarang ade penyiar yang udah kenal ame Engkong. Saban siaran nama Engkong disebut-sebut," oceh Engkong sambil uring-uringan. Lalu Engkong melongok ke luar jendela. Diliatnya ada yang lagi jalan ke arahnya. Mata tua Engkong yang udah kurang awas, langsung mengambil kesimpulan yang salah.
"Gawat, Sur, tukang kreditnya dateng! Pigimane nih!"
"Kita ngumpet aja di kolong meja, Kong!" usul Gusur asal.
Tanpa menjawab lagi, Engkong langsung ngumpet ke kolong meja. Gusur menyusul. Tapi sayang mejanya kecil. Engkong mah gampang aja masuk. Giliran Gusur, cuma kepalanya aja yang bisa masuk. Sedang pantatnya yang gede, berhamburan ke mana-mana.
Tok-tok-tok. Terdengar pintu diketok. Gusur dan Engkong makin ketakutan.
"Mati deh kite, Sur," desah Engkong putus asa. Untung sebelum Engkong mati beneran, terdengar suara Lupus di luar.
"Sur, buka dong pintunya. Ini gue, Lupus!" Gusur dan Engkong lega. Gusur lalu buru-buru membuka pintu. Begitu ngeliat yang di luar betul-betul Lupus, Gusur langsung meluknya erat-erat. Engkong juga nggak mau ketinggalan memeluk Lupus. Setelah itu Lupus menyeret Gusur ke rumah Boim.
Kedatangan Lupus dan Gusur langsung disambut suara ribut-ribut antara Boim dan enyaknya.
"Pokoknya gue kagak terima, Im. Lo pan udah janji pengen ngebeliin Nyak kaen. Tuh, mumpung ada tukang kaennya. Nyak ngambil aja beberapa potong, ntar lo yang bayar."
"Murah kok. Kainnya asli, lagi," timpal tukang kain yang menengadah ngejogrok di situ.
"Asli apanya"" tanya Boim sewot.
"Asli dari benang!" jawab tukang kain sambil mesem. Boim makin sewot.
"Kira-kira Nyak ngambil berapa potong nih, Im""
"Nggak sepotong pun!" jawab Boim singkat sambil merampas kain-kain yang udah dipegang nyak-nya, dan mengembalikannya ke tukang kain. Lalu dia mengusir tukang kain itu mentah-mentah.
Nyak kaget. "Eh, apa-apaan, nih""
"Sekarang Boim udah nggak kerja di kafe lagi. Artinya, nggak ada lagi orang yang mau ngegaji Boim. Jadi Boim nggak bisa ngebeliin Nyak kain."
Nyak langsung meradang. "Nyak kagak percaya. Dasar lonya aja pelit. Janji mau ngebeliin kain, giliran tukang kainnya udah dateng malah lo usir."
Nyak lalu menangis meraung-raung. Nggak mau mendegar alasan Boim lagi.
"Wah, pusing deh...," keluh Boim sambil menggaruk-garuk kepalanya yang udah lama jadi sarang kutu. Untung saat itu Boim ngeliat Gusur sama Lupus yang lagi ngumpet di balik semak. Boim lalu menghampiri. Mereka lantas pergi meninggalkan Nyak yang masih menangis meraung-raung sambil menjerit, "Im, gue kutuk jadi batu lo. Gue kutuk jadi batu lo...."
*** "Lupus jadi makin sedih ngeliat kedua sohib deketnya itu. Mereka bukan cuma susah, tapi dua kali susah. Udah kena PHK, eh masih disuruh memenuhi kewajiban bayar utang pula. Lupus akhirnya tergerak mengajak kedua anak itu bantu-bantu kerja di Majalah Wow!.
Gusur disuruh bikin puisi banyak-banyak. Siapa tau puisinya nanti bisa dirnuat. Lumayan, honornya bisa buat beli cendol sepanci. Sedang Boim, yang diam-diam punya bakat terpendam jadi tukang potret, dijadiin fotografer buat tugas wawancaranya.
Sejak itu Gusur jadi makin rajin nulis puisi. Berjam-jam dia nggak keluar kamarnya. Sampai akhirnya dia berhasil menulis puisi yang berbunyi:
""Semalam daku bermimpi. - Bertemu anjing putih berbulu hitam. - Badannya gemuk tinggal tulang. - Lantas aku bangun sambil tiduran. - Ternyata kakiku digigit anjing beneran."
"Adapun Boim, setelah dikasih kesempatan oleh Lupus, langsung bertandang ke rumah abangnya. Sebab dia tau, si abang punya tustel tua yang masih lumayan bisa dipakai. Dan ketika si abang lagi terbuai tidur siangnya, Boim langsung menggondol tustel itu. Ketika bangun
, si abang kaget karena di tempat tustel cuma ada selembar surat. Si abang buru-buru membaca surat itu.
""Saya tau ini tustel kesayangan Abang. Sebab gara-gara tustel ini Abang bisa kawin sama Mpok Ade, tukang gado-gado yang mangkal di kebun binatang. Nah, saya yakin, kalo saya pinjam baik, pasti nggak dikasih. Jadi saya pinjam paksa aja. Makasih ya, Bang. Salam manis buat Abang manis dari saya yang jauh lebih manis.
"Boim" "Abang Boim misuh-misuh. Tapi Boim sudah beraksi di mal-mal. Saat itu Lupus sibuk ngewawancarai respondennya. Sedang Boim sibuk motretin beberapa ABG. Tapi yang gaya bukan yang dipotret, melainkan yang motret. Malah Boim sampe naik ke sandaran balkon segala. Orang-orang se-mal yang ngeliat tingkah Boim, jadi pada cekikikan.
Menjelang malam baru mereka pulang. Itu pun setelah diusir pakai pentungan sama satpam mal. Lupus langsung menulis laporan hasil wawancara di rumahnya. Sedang Boim menuju ke studio foto yang masih buka, buat mencetak hasil potretannya.
Paginya, tepat seperti deadline yang dipatok Mas Sarendo, Lupus muncul dengan senyum sumringah di kantor Majalah Wow!.
Saat Lupus masuk ke ruangan, Mas Sarendo lagi sibuk nyari tisu buat mengelap minyak di mulut dan tangannya, soalnya dia abis makan pisang goreng. Jadi ketika Lupus menyerahkan hasil tulisannya ke Mas Sarendo, bukannya dibaca, tapi langsung diremas-remas buat ngelap tangan. Dikira Mas Sarendo, Lupus ngasih kertas buat ngelap. Lupus tentu aja kelabakan.
"Mas, itu kan...""
Mas Sarendo melihat ke tong sampah. Dia baru ngeh. "Alaah, masih bisa kebaca kok Yang penting, mana foto-fotonya" Ingat, satu gambar bisa berbicara seribu kata. Jadi fotonya harus bagus...."
"Beres, Mas...," jawab Lupus mantap.
"Ya, sekarang mana"" tanya Mas Sarendo sambil menadahkan tangan.
"Sabar, Mas. Saya udah janjian sama Boim di sini. Dia yang motret," jawab Lupus sambil melirik-lirik ke arah luar kalau-kalau Boim udah datang.
Untung nggak lama kemudian Boim muncul sambil tergopoh-gopoh. Mukanya pucat.
"Ada apa, Im"" tanya Lupus waswas. Mas Sarendo juga ikut-ikutan waswas.
"Maaf, Pus, fotonya kebakar semua!" kata Boim dengan suara gemetar.
"Apa"" teriak Lupus dan Mas Sarendo serentak. Lalu keduanya pingsan. Juga serentak.
Di luar Gusur dengan di antar engkongnya hati-hati masuk ke Majalah Wow!.
"Tenang, Kong, cicilan radio engkong pasti terbayar. Puisi sebagus ini pasti dimuat. Dan saya akan minta honornya dibayar duluan...."
*** "Ternyata puisi Gusur boro-boro dimuat. Kata Mas Sarendo, perjalanan Gusur masih jauh untuk jadi penyair. Harus banyak mencoba dulu. Dan kertas puisi Gusur bernasib sama dengan naskah Lupus. Jadi tisu pengelap tangan Mas Sarendo.
Gusur dan Engkong pun pulang dengan lunglai.
Di rumah, Gusur nggak kapok bikin puisi lagi. Gusur terus nyoba, sesuai saran Mas Sarendo. Engkongnya sampai terharu dan mengelus kepala Gusur dengan bangga. "Ooh, Gusur, rupanya lo emang cucu yang berbakti, nggak gampang putus asa. Udah ada kemajuan, Sur""
"Mudah-mudahan, Kong. Doain aja!"
Tiba-tiba terdengar suara salam - dari luar, "Puuunten...."
Engkong dan Gusur serentak kaget.
"Eh, Sur, tu-tukang kredit...."
Dan Engkong kali ini nggak bisa kabur lagi. Tukang kredit sudah muncul di pintu yang terbuka. Tukang kredit langsung aja ngomong ke Engkong yang berdiri ketakukan, "Wah, tadi siang saya ke sini rumahnya dikunci. Tapi untung sekarang ada. Kumaha, Kong, cicilannya" Kapan udah dua kali nggak bayar, nih."
Engkong melirik ke Gusur. " Sur, tolong Engkong, dong. "
Gusur menghela napas, lalu berdiri. Ditepuknya pundak tukang kredit. "Mang,. sekarang daku belum punya duit. Sekarang daku lagi bikin puisi buat majalah. Ntar kalo udah dimuat baru cicilannya daku bayar."
Di luar dugaan, ternyata tukang kredit itu tertarik sama omongan Gusur soal puisi. "Bikin puisi" Kamu bisa bikin puisi, Sur""
Gusur menepuk dada. "Aduh, Mang, ke mana aja" Masa nggak tau kalo si Gusur itu seniman ""
Tukang kredit itu nyengir, lalu berujar malu-malu, "Ng, kalo emang betul, begini... Saya kan lagi naksir Lilies, awewe ti Ciamis tea, yang dagang serabi di dek
et pasar. Bisa nggak Gusur bikinin puisi cinta buat dia" Kalo cinta saya diterima, utang Engkong saya anggap impas, deh!"
Mendengar itu, Gusur bersemangat. " Ah, itu mah keciiil, Mang...."
"Bisa sekarang dibikin" Biar langsung Amang kasih kalo ketemu si Lilies""
Gusur mengangguk mantap, dan mulai menulis puisi cinta.
*** ""Seminggu telah berlalu, dan belum ada kabar dari tukang kredit. Engkong udah waswas aja, takut puisi bikinan Gusur gagal meraih cinta Lilies. Gusur yang semula yakin puisinya pasti maniur, lama-lama jadi ragu juga. Abis tukang kredit itu nggak ngasih-ngasih kabar. Mungkin dia marah. Jadi pas sore itu si tukang kredit datang lagi sambil bawa buku tagihan yang besar, Engkong dan Gusur langsung kebat-kebit. Kegagalan udah membayang di wajah mereka. Walhasil, Engkong tetap kudu ngelunasin kredit radionya.
"Wah, sori, Mang.... B-belum ada d-duit...," tembak Engkong duluan, sebelum dimarahi.
"P-puisinya gagal ya, Mang...""
Tukang kredit bukannya marah sama Engkong, tapi malah berlari memeluk Gusur.
"Lupakan soal kredit.... Gusurrr, nuhun pisan, nya" Gara-gara puisi bikinan kamu, cinta saya diterima Lilies...."
Pelukan tukang kredit makin kencang. Gusur sampai meringis. Meringis mengundang.
"Berarti cicilan lunas, dong"" tanya Engkong.
Tukang kredit memandang Engkong, lalu mengangguk. Engkong berteriak girang, langsung berbaur memeluk Gusur dan tukang kredit. Mereka bertiga saling berpelukan. Bahagia.
7 KUTUKAN BINTIK MERAH "GUSUR lagi jalan di sebuah komplek perumahan yang kurang bonafide, waktu diliatnya sebuah plang tulisan yang berbunyi: Hockus Pockus. Peramal nasib. Trust me! Dijamin tokcer. Tulisan itu terdapat di rumah yang penampilannya paling kusam dibanding rumah-rumah lainnya. Padahal rumah yang lainnya juga udah kusam. Letaknya pun terpencil. Tepat di bawah pohon beringin raksasa yang akarnya menjuntai sampai ke genting.
Gusur tertarik, lalu membuka pintu rumah itu. Tapi sebelum dibuka, pintu rumah itu sudah membuka sendiri. Gusur kaget. Bulu kuduknya merinding. Persis lumut bak mandi. Apalagi dari dalam rumah itu tercium bau kemenyan yang santer sekali. Gusur mengawasi sekeliling. Lalu memberanikan diri melongok ke dalam. Saat itulah terdengar suara yang aneh sekali.
"Ada beruk makan karedok. Silakan masuk, goblok!"
"Gusur jelas makin ketakutan. Sebab suara itu cuma terdengar gemanya aja, sedang si pengucapnya sama sekali nggak keliatan.
Gusur pun siap-siap undur diri. Mau minggat dari rumah angker itu. Tapi sebelum sempat dilakukan, suara misterius tadi terdengar lagi.
"Undur-undur minum beras kencur. Kalo mundur berarti hancur!"
Gusur kaget lagi, dan terpaksa masuk sambil meredam rasa takutnya.
Ternyata suasana di dalam rumah itu lebih kaeau lagi. Puluhan lilin dipasang berjajar sebagai ganti neon. Lantainya dilapisi beludru warna merah, dan di tengah ruangan terdapat meja bundar dengan bola kristal. Ada juga dua buah kursi kosong. Tapi Gusur nggak ngeliat seorang pun di situ. Bahkan laler pun nggak.
Selagi Gusur kebingungan diteror suasana mistik yang meneekam, tiba-tiba muncul seorang lelaki dengan pakaian ala gipsi. Rambutnya panjang, batok kepalanya ditutupi bandana, dan eyeliner tebal mengelilingi matanya. Bajunya dari bahan transparan dan longgar. Waktu jalan bunyi krincing-krineing. Sebab tangannya dipenuhi gelang besi. Gusur terperangah.
"Burung perkutut bukan burung jalak. Jangan takut, saya nggak galak!" tukas lelaki itu.
"Gusur sedikit tenang, dan ingin memperkenalkan dirinya.
"Nama daku..." "Lahan gambut ditanami korma. Jangan sebut, saya bisa tau you punya nama...," cegah Hockus Pockus sambil memegang tangan Gusur. Matanya terpejam. Lalu Hockus Pockus meliuk seperti penari ular. Nggak lama kemudian.. .
"Buah korma dibikin bubur. Nama you pasti Gusur."
"Waaah, hebat. Tapi kalau cuma begitu, daku juga bisa...," ujar Gusur.
"O ya"" "Nama Bapak Hockus Pockus, kan"" tukas Gusur.
"Cuci mangkok sampai bersih, kok tau sih"" teriak Hockus Pockus kaget, sekaligus takjub. Gusur tersenyum penuh kemenangan.
"Ya tau saja. Nama Bapak kan ditulis di depan..."
"Hehe he... ternyata kamu pintar juga. Oke, sekarang apa keperluanmu datang ke sini""
Gusur bingung sebentar, lalu cepat-cepat menjawab, "Eh, Kus Kus kan peramal. Bisa tidak meramal jodoh daku""
"Saya bisa meramal apa saja. Rejeki, kesehatan, nasib, apalagi cuma jodoh. Tapi kenapa kamu panggil nama saya Kus Kus""
"Yah, biar lebih akrab saja...."
"Oke, saya nggak keberatan. Sekarang kamu mau diramal pakai apa" Kartu remi, kartu ceki, kartu gaple, atau kartu kredit""
"Ah, yang paling murah saja, Kus...."
"Ah, dasar pelit kamu. Tapi nggak apa. Kemarikan tangan kamu! Yang kiri," putus Hockus Pockus. Gusur menyodorkan tangannya. Lalu Hockus Pockus mulai memeriksa tangan Gusur. Matanya terpejam. Badannya meliuk-liuk seperti tadi. Tak lama kemudian Hockus Pockus kembali membuka matanya. Di bibirnya terukir sesungging senyum.
"Sebentar lagi you bakal dapat rejeki besar, dan you bakal kencan sama cewek yang cantiknya kayak Kate Winslet."
"Kus Kus tiada sedang menghibur daku, kan""
"You nggak percaya sama kemampuan saya" Liat nih!" tukas Hockus Pockus dengan mimik kurang senang. Ia lalu mengusap-usap bola kristalnya. Ajaib! Dari bola kristal itu lalu muncul gambar Gusur yang lagi makan semeja bareng cewek cakep. Gusur kaget, terpesona, dan akhirnya tersenyum bahagia.
*** "Di kedai bakso yang banyak lalernya, Boim dan Lupus lagi asyik ngaduk-aduk sambel sambil ngitungin laler yang menclok di idung tukang bakso, waktu Gusur muncul dengan muka sumringah. Boim dan Lupus langsung mendamprat Gusur saking kesalnya. Soalnya mereka udah lebih dari dua jam menunggu Gusur di situ. Sampai nggak tau mau berbuat apa lagi, kecuali mengaduk-aduk sambel sambil ngitungin laler buat mengusir rasa bosan.
Makanya begitu Gusur muncul, Boim langsung pasang muka angker.
"Hei, truk tanah, emang lo lupa kalo ada janji sama kita-kita"" pekik Boim sambil siap-siap menimpuk muka Gusur pakai kamera bututnya.
"Tau! Kita kan janji wawancara sama penyanyi dangdut itu jam dua. Ini udah jam tiga lebih!" timpal Lupus nggak kalah sengitnya.
"Oh, Boim, Lupus.... Tahan dulu amarah kalian. Daku baru dari tempat seorang peramal yang asyik sekali. Kalian bakal tidak percaya," kilah Gusur berusaha meredam emosi Boim dan Lupus. Tapi emosi Boim nggak gampang surut.
"Tipu! Paling lo kelayapan di mal, Gendut!"
"Betul, Im, masa daku bohong sama dikau!" ratap Gusur
"Oke. Gue percaya. Terus, lo diramal apa aja, Sur"" tanya Lupus dengan nada yang mulai lunak.
"Yah, katanya dalam waktu dekat ini daku akan jadi orang kaya dan dapat pacar cantik."
"Ah, yang begituan aja lo percaya! Siapa sih yang mau sama lo, Sur!" sambut Boim sinis.
"Betul, Sur. Sekarang ini banyak penipu yang ngaku peramal!"


Lupus Kutukan Bintik Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi yang ini tidak, Pus. Beliau betul-betul peramal hebat. Daku sudah liat sendiri kehebatannya."
Boim mencibir, lalu mengajak Lupus meninggalkan Gus"r, "Ayo, Pus, berangkat! Kita tinggalin aja orang gila satu ini!"
Boim menarik tangan Lupus. Lupus menurut. Mereka lalu pergi. Gusur berusaha mencegah.
"Kalau kalian tiada percaya, bagaimana kalau kita ke sana sekarang""
Tapi Lupus maupun Boim sama sekali nggak peduli. Mereka malah terus pergi. Gusur jelas kecewa, lalu duduk setelah memesan bakso sebanyak tiga mangkok. Saat itulah sepasang mata Gusur melihat sebuah handphone tergeletak pasrah di kursi. Gusur menengok sekitarnya. Sepi. Lalu Gusur mengambil handphone itu.
"Wah, ini namanya pucuk dicinta, ulam tiba. Daku, memang sudah lama ingin punya handphone!" desis Gusur bahagia. Gusur lalu mulai memencet-mencet nomor handphone. Tapi pada saat bersamaan, tiba-tiba handphone itu berdering. Gusur kaget.
"Halo, halo!" tukas Gusur dengan takut-takut. Lalu dari handphone itu terdengar suara cewek yang gelisah. Tapi tetap saja nada suaranya terdengar merdu merayu. Menandakan kalau orangnya cakep.
"Halo" Saya bicara dengan siapa"" tanyanya.
"Kok dikau yang tanya. Mestinya daku dong yang bertanya," tukas Gusur.
"Nama gue Rere. Gue pemilik handphone yang kamu pake. Tadi ketinggalan waktu gue abis makan bakso."
"Oh, nama daku Gusur. Kebetulan tadi daku menemukan handponne kamu."
Cewek yang mengaku bernama Rere itu girang sekali. "Oh, Mas Gusur, makasih ya. Rere takut banget. Soalnya itu hadah ultah dari Papa. Baru seminggu Rere pake. Bagaimana kalau nanti malam Rere ambil di rumah Mas Gusur""
"Oh, boleh. Tapi jangan di rumah daku. Di rumah Lupus saja, ya"" jawab Gusur malu, karena takut Rere tau kalau rumahnya jelek. Selain itu Gusur juga takut Engkong bakal rese kalau ngeliat ada cewek datang ke rumah. Makanya Gusur lebih suka pertemuan dilakukan di rumah Lupus. Sekalian mau pamer ke anak-anak yang lain.
"Siapa itu Lupus"" tanya Rere bingung.
"Teman daku. Kebetulan nanti malam daku ada janji sama dia. Tiada keberatan, kan""
"Oh nggak, nggak...."
Setelah Gusur memberikan alamat rumah Lupus, percakapan pun usai. Gusur menutup handphone itu sambil membayangkan wajah Rere yang pasti lebih manis dari enyak Boim.
"*** "Gusur muncul. Lupus, Boim, Kelik, dan Lulu lagi seru-serunya main monopoli. Mereka takjub banget ngeliat Gusur yang datang pakai baju rapi sekali.
"Selamat malam, Indonesia!" salam Gusur sumringah.
"Sur, lo bener-bener mo kencan"" tanya Boim dengan mata nggak berkedip.
"Lo gila kali, Sur"" sindir Lupus.
"Kalian boleh bicara apa saja. Tapi sebentar lagi kalian pasti akan salut denganku!"
Baru juga Gusur rapi ngomong, tiba-tiba dari pintu datang seorang gadis yang cantiknya seperti cover girl. Bodinya singset bak model iklan jamu. Dengan sopan dan halus, gadis itu menyapa, "Selamat malam, bisa saya ketemu Gusur""
Semua melongo tanpa mampu mengucapkan kata sepatah pun. Gusur panas dingin. Lalu dengan gemetar mendekati gadis itu.
"K-kamu Rere"" tanya Gusur dengan perasaan tak menentu.
"Iya. Mas Gusur"" tukas Rere lembut.
Gusur mengangguk. Rere tersenyum manis. Gusur lalu menyerahkan handphone dan bunga mawar yang dibawanya.
"Terima kasih. Kamu baik sekali, Mas Gusur...," Rere berkata sambil bergerak mendekati Gusur. Lalu mengecup pipi Gusur lekat-lekat. Cuuup! Gusur mendelik saking kagetnya. Lebih-lebih lagi Lupus, Boim, Kelik, dan Lulu. Belum habis kekagetan mereka, Rere menarik tangan Gusur supaya duduk di sofa. Lalu Rere mengajak Gusur ngobrol, seolah nggak ada orang lain di situ.
Peristiwa Gusur dicium Rere, kontan tersebar luas keesokan harinya di sekolah. Siapa lagi yang menyebar berita itu kalau bukan Boim.
"Gue sportif, cewek itu lebih dari semua cewek gebetan gue. Terus Gusur dicium, cup, cup...," cerita Boim dengan penuh semangat. Mila, Inka, dan Bule cuma bengong, antara percaya dan nggak.
"Masa sih"" tanya Inka.
"Bener. Gue liat sendiri," jelas Lulu.
"Kok bisa, ya"" tukas Bule masih nggak yakin.
"Kataya sih dia diramal sama gipsi yang namanya Hockus Pockus," Lupus ikut menerangkan.
"Kita ke sana yuk, siapa tau kita diramal bakal dapet cowok keren en kaya," usul Lulu yang kontan disetujui oleh yang lainnya. Cuma Lupus aja yang tampaknya nggak berminat sama sekali.
""Kok kalian masih percaya sama yang gituan, sih" Kan wajar Gusur dicium. Yah, itung-itung sebagai tanda terima kasih dari si cewek...."
"Tapi seterirna kasih-terima kasihnya cewek itu, nggak mungkin dia rela nyium Gusur kalau nggak ada apa-apanya!" sangkal Boim.
"Setujuuu!" dukung yang lain. Lalu anak-anak itu pun pergi. Tinggal Lupus sendirian duduk nyaknun di bangku kantin. Tiba-tiba Lupus berdiri.
"Ah, kenapa gue nggak ikut ke sana. Siapa tau bisa jadi tulisan di Majalah Wow!. Hei, tungguuu...!" teriak Lupus sambil mengejar anak-anak. Thpi anak-anak sudah keburu pergi pakai mobil Bule.
*** "Mobil yang dibawa Bule sampai di halaman rumah Hockus Pockus. Anak-anak berebutan turun. Dan memandang sosok rumah Hockus Pockus dengan perasaan ngeri. Spontan Lulu, Mila, dan Inka saling berpegangan tangan. Sedang Boim dan Bule terpekik gaya Macaulay Culkin di film Home Alone. Maunya biar dibilang imut.
Nggak lama kemudian Lupus sampai. Napasnya ngos-ngosan. Rupanya Lupus t"adi" terus mengejar mobil Bule. Lumayan ngirit 250 rupiah. Daripada naik bis kota. Lupus lalu ikut digelandang masuk. Gusur yang dianggap udah pengalaman, disuruh jadi pemandu.
"Ketuk, Im!" usul Bule begitu sampai di depan p
intu. "Tidak usah!" eegah Gusur. "Pintunya bisa membuka sendiri!"
Betul juga. Belum juga selesai gema kalimat Gusur, pintu itu terbuka seeara otomatis. Boim, Bule, Inka, Lulu, dan Mila menjerit. Cuma Lupus aja yang agak tenang.
"Jambu busuk ketiban golok. Silakan masuk, goblok!" sambut Hockus Pockus. Seperti biasa, cuma suaranya aja yang terdengar. Sedang orangnya raib entah ke mana. Anak-anak kembali saling berpandangan.
" Ayo jangan ragu-ragu, Kus Kus sudah membolehkan kita masuk!" ajak Gusur.
"Tapi, Sur..." ujar Boim ragu.
"Jangan khawatir, Im, memang begitulah cara Hockus menyambut kita," jelas Gusur menenangkan.
Anak-anak lalu masuk. Di dalam ruangan yang gelap-gelap tai ayam, ternyata Hockus Pockus sudah menunggu di meja bundarnya. Tujuh kursi sudah tersedia, lengkap dengan penganan kecil dan kopi di atas meja.
"Nggak usah dijelaskan, Sur, saya sudah tau nama teman-temanmu dan tujuan mereka datang ke sini," cegah Hockus Pockus ketika Gusur akan menjelaskan. "Yang item keriting itu namanya Boim, kan. Dia ke sini mau minta diramal jodoh juga, kan"" tebak Hockus Pockus kemudian. Gusur mengangguk. Anak-anak takjub. Sedang Lupus masih belum terpengaruh.
"Oke, biar cepet, kalian saya ramal sekaligus," putus Hockus Pockus. Lalu Hockus Pockus menyuruh anak-anak bergandengan dan menutup matanya. Anak-anak melakukan apa yang diminta Hockus Pockus. Lupus ikut. Cuma nggak lama kemudian Lupus membuka matanya. Diliatnya Hockus Pockus meliuk-liuk kayak belut sakit perut.
"Kus Kus, interupsi sebentar!" pekik Lupus. Hockus Pockus kaget, dan membuka matanya. Lalu melotot marah ke arah Lupus.
"Kalau saya lagi konsen, jangan banyak ngomongo Paham""
"Sori, Kus. Tapi saya nggak mau diramal. Saya mau numpang ke kamar mandi aja. Udah kebelet, nih!" pinta Lupus.
"Hm, bilang dong dari tadi!" umpat Hockus Pockus. Lalu Lupus disuruh ke belakang. "Belok aja ke kiri. Kalau ketemu pintu yang ada stiker Mickey Mouse-nya, nah di situlah tempatnya. Jangan lupa disiram, ya!" jelas Hockus Pockus kemudian.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Lupus langsung melesat ke belakang. Sedang Hockus Pockus kembali melanjutkan liukannya sambil membaca mantera.
""Bang bang tut, akar gulang galing. Siapa yang kentut, ditembak raja maling...."
Sementara itu Lupus terus menuju ke belakang. Sampai akhirnya ia tiba di ruangan yang gelap dan bau sengak. Lupus meraba-raba. Tanpa sengaja tangannya meraba saklar lampu. Dalam sekejap ruangan pun jadi terang benderang. Kini Lupus bisa melihat jelas keadaan ruangan yang sebenarnya. Ada meja, kursi, vas bunga, dan guci antik. Bahkan ada juga botol-botol selai yang berisi berbagai macam ramuan. Di pojok ada sapu lidi besar yang ada tangkainya, persis sapu lidi nenek sihir. Lupus terus menyelidiki ke sana kemari. Sampai Lupus melihat ada benda yang diselubungi kain putih. Lupus membukanya. Ternyata benda tersebut adalah gitar.
"Betul-betul aneh, masa ada peramal suka main gitar juga...," gumam Lupus sambil membuka kain putih yang menutupi barang-barang lainnya. Ternyata isinya seperangkat VCD, komik Batman, Candy-Candy, dan Dragon Ball. Lupus makin heran. Tapi juga makin penasaran. Makanya Lupus terus ngegeratak. Dan menemukan kabel yang tersembunyi di bawah lantai. Lupus mengikuti ke mana arah kabel tersebut. Ternyata menuju ruang praktek Hockus Pockus. Lupus mengangguk-angguk paham.
"Dasar penipu!" maki Lupus sambil meneabut kabel tersebut dari stop kontaknya.
"Hockus Pockus yang saat itu lagi meramal Boim pakai bola krital, kontan kaget berat. Bola kristalnya mati mendadak. Sebelum anak-anak menyadari situasi ini, tiba-tiba Lupus muncul.
"Ayo kita pulang. Dia bukan peramal. Tapi penipu!" pekik Lupus sambil menuding Hockus Pockus. Hockus Pockus gelagapan. Tapi anak-anak masih belum yakin. Malah Lulu marah-marah sama Lupus.
"Pus, gila lo, ngeganggu acara kita aja!"
"Iya, mana pas Hockus Pockus lagi ngeramal gue!" timpal Boim dengan geram.
"Hm, jadi kalian masih belum yakin" Oke, sekarang gue buktikan!"
Lupus mendekati Hockus Pockus. Tapi sebelum tangan Lupus sempat menyentuh, Hockus Pockus sudah keburu lar
i. Untung Lupus masih sempat meraih rambut Hockus Pockus. Rambut itu pun copot, sehingga terlihatlah kepala Hockus Pockus yang asli. Botak.
Anak-anak kontan menjerit. Mereka baru percaya kalau omongan Lupus benar. Hockus Pockus pun marah. "Awas kamu, Pus. Saya kutuk kamu sial seumur hidup!!!"
Lupus menantang mata Hockus Pockus, nggak takut.
Dengan kecewa anak-anak lalu balik ke mobil Bule. Tapi mereka terkejut, ketika melihat salah satu ban mobil Bule kempes.
"Jangan-jangan ini kerjaan si Hockus Pockus!" celetuk Lulu. Darah anak-anak tersirap. Mereka saling berpandangan, ngeri.
"T-tapi dari tadi dia kan sama kita terus...," Mila berusaha menyangkal.
"Mungkin maksud Lulu, ini kutukannya Hockus Pockus," jelas Boim.
"M-mungkin juga. Soalnya tadi kan Hockus Pockus bilang kalau Lupus bakal sial seumur hidup!" timpal Inka. Semua segera memandang Lupus. Yang dipandang jadi salah tingkah.
"Eh, apa-apaan sih" Masa ban kempes aja dianggap kutukan. Ayo, Le, ganti bannya!" sangkal Lupus. Bule pun sadar, lalu buru-buru mengganti ban rnobilnya yang pecah dengan ban serep. Lupus ikut membantu.
*** "Lupus sedang men-translate kaset hasil rekamannya dengan seorang artis sinetron. Tiba-tiba di tengah pereakapan terdengar lagu dangdut yang menggebu-gebu. Hasil wawanearanya terhapus.
"Keliiik!" pekik Lupus, sadar apa yang terjadi.
"A-ada apa, Mas Lupus"" tanya Kelik pas sampai di depan Lupus sambil membawa kaus. Mukanya ketakutan.
""Lo ngerekam lagu di kaset gue, ya"" kata Lupus berang.
"Oh, yang lagu Evi Tamala itu, toh" I-iya, Mas Lupus. Tapi suer, saya betul-betul nggak tau kalau kaset itu ada isinya."
"Suar-suer, suar-suer. Cara-gara lo gue jadi kerja dua kali, nih. Udah sana pergi...!" usir Lupus dengan kesal. Tapi tampaknya Kelik enggan pergi.
"Ng-nganu, Mas..."
"Ada apa, lagi""
"Boleh nggak kalau kaus ini buat saya"" pinta Kelik sambil menunjukkan kaus yang dibawanya.
"Enak aja, itu kan kaus kesayangan gue...!" tolak Lupus.
Lulu muncul sambil membawa capuccino buat Lupus.
"Pus, nih pesanan lo!" tukas Lulu. Sementara itu Kelik menggelar kaus Lupus. Terlihat noda luntur besar menghiasi kaus.
"Masa kaus udah begini masih nggak boleh diminta sih, Mas""
Lupus kaget setengah mati. "Hah, kok jadi begitu sih, Lik"" -
Refleks Lupus menghampiri Kelik Tapi karena terlalu tergesa-gesa, badannya menyenggol capuccino buatan Lulu dan capuccino itu jatuh berantakan di lantai. Lulu menjerit.
"Lupus, lo pasti udah kena kutuk Hockus Pockus. Masa seharian ini nasib lo sial terus!"
"Gue nggak percaya kutukan. Gue nggak percaya takhayul. Udah, pergi sana!" bentak Lupus.
Lulu dan Kelik buru-buru pergi. Tinggal Lupus sendirian. Ia mau meneruskan tulisannya. Tau-tau pulpennya macet. Tintanya abis.
Lupus merusaha mengocok pulpennya. Tapi akibatnya tintanya malah muncrat keluar, menodai baju Lupus. Lupus menjerit.
Kesialan Lupus nggak cukup sampai di situ. Besoknya waktu Lupus muncul dari kamarnya, Kelik yang lagi nyapu sampai menjerit begitu ngeliat muka Lupus. Lulu yang baru aja keluar dari kamar mandi, juga ikutan menjerit. Soalnya mereka ngeliat muka Lupus penuh dengan bintik-bintik merah, mirip jerawat setengah mateng.
"Kenapa sih"" tanya Lupus yang sama sekali nggak tau kondisi mukanya.
"Pus, muka lo kenapa" Kena cacar""
"Ah, nggak apa-apa kok," jawab Lupus santai.
"Ngaca dong!" ujar Lulu sambil mengusir Lupus balik masuk kamarnya. Kelik juga ikut. Lupus menjerit begitu ngeliat wajahnya di kaca, "Muke gile!!!"
"Mungkin Mas Lupus punya alergi" Atau stres"" terka Kelik.
"Sok tau, lo!" "Jadi bukan lantaran alergi atau stres""
""Gue nggak punya penyakit gituan!" tepis Lupus.
"A-atau barangkali lo emang kena kutuk Hockus Pockus, Pus"" tebak Lulu.
"Iya, Mas Lupus, sebaiknya Mas Lupus ke sana. Minta maaf. Siapa tau Hockus Pockus mau menarik lagi kutukannya!" saran Kelik yang udah tau ceritanya dari Lulu.
Lupus menolak, "Eh, denger, ya. Sebodo amat sama Hockus Pockus. Gue nggak akan ke sana. Apalagi sampe minta maaf. Gue nggak mau dimakan takhayul, tau!" bentak Lupus.
Nah, waktu ngebentak itu tau-tau Lupus terbatuk-batuk.
Keselek permen karet yang sejak tadi dikunyahnya.
Lulu dan Kelik hanya bisa berpandangan.
Dan perihal muka Lupus yang mendadak kena bercak merah itu, tentu aja menyebar ke anak-anak. Anak-anak juga sepakat menduga Lupus kena kutuk Hockus Pockus. Tapi Lupus nggak peduli. Dan hari itu Lupus mau ngetik di komputer di Majalah Wow!. Tapi waktu dinyalakan, tau-tau komputernya meledak. Lengkap dengan bunga api dan asap. Semua yang ada di kantor situ menjerit. Dan Boim sama Gusur yang pada saat itu ikut ke Majalah Wow!, makin mantap menduga Lupus kena kutuk Hockus Pockus. Tapi Lupus tetap pada pendiriannya.
"Ah, ini sih korslet bisa. Mungkin voltasenya mendadak naik, atau komputer ini jarang dipakai, sehingga dingin," tepis Lupus atas dugaan teman-temannya. Lupus lalu mengambil buku telepon, mencari alamat servis komputer. Tapi waktu dia mau duduk, Tamara mendadak menjerit.
"Puuus..., jangan duduk di situuu!"
Terlambat. Lupus udah telanjur duduk. Akibatnya Lupus pun jatuh terjengkang. Rupanya kursi itu rusak berat. Sebetulnya Tamara udah nyuruh office boy membuang kursi itu, tapi mungkin dia lupa. Boim dan Cusur buru-buru menolong Lupus yang nyaris pingsan.
" Pus, sebaiknya dikau minta maaf sama Hockus Pockus!" saran Gusur.
"Sori, Sur, usul lo gue tolak!" tepis Lupus cuek. Ia lalu kembali mencari alamat servis komputer di buku telepon. Tapi sayang, pas ketemu halaman yang dicari-cari Lupus, ternyata halaman itu udah bolong-bolong dimakan tikus. Lupus kesal. Tapi dia tetap nggak percaya kalau itu merupakan bagian kutukan Hockus Pockus seperti dikatakan teman-temannya.
Lupus keluar. Gusur dan Boim mengikuti. Mereka terus membujuk Lupus supaya mau minta maaf sama Hockus Pockus. Tapi Lupus tetap berkeras.
"Jangan paksa gue. Biar disamber geledek, gue tetap nggak mau!" pekik Lupus.
"Jangan sembarang ngomong lo, Pus. Ntar
disember geledek beneran, baru tau...," tukas Boim dengan mimik ketakutan.
"Ah, nggak mungkin. Sekarang kan lagi nggak ujan. Mana mungkin ada geledek!" bantah Lupus sambil meIedek teman-temannya. Baru aja Lupus seIesai ngomong, mendadak langit jadi hitam. Udara dingin bertiup keras. Lalu turun hujan yang cukup deras, dibarengi gemuruh kilat yang menyambar-nyambar. Dan Lupus tak sempat mengelak ketika ada kilat yang menyambamya. Lupus Iangsung mental. Untung dia nggak cedera, sebab kilat itu cuma menyambar tanah tempatnya berpijak.
Tapi setelah itu sikap Lupus berubah lunak. "Iya deh, gue nyerah. Gue mau ke Hockus Pockus."
Boim dan Cusur tersenyum lega.
*** Hari itu juga anak-anak memboyong Lupus ke rumah Hockus Pockus. Tapi begitu sampai mereka bingung. Ternyata rumah Hockus Pockus udah nggak ada. Bukannya lenyap sama sekali. Cuma penampilannya udah berubah total. Udah nggak kusam lagi. Bahkan sangat licin, dan sangat mengilap. Pun kalau dibandingkan dengan salon kecantikan.
Yang bikin anak-anak tambah kaget, penampilan Hockus Pockus juga ikut-ikutan berubah total. Udah nggak kayak gipsi lagi. Melainkan kayak anak-anak punk. Bajunya terbuat dari bahan kulit yang sangat ketat. Warnanya serba hitam, dan penuh rantai dan bros. Kepalanya botak licin. Lebih licin dari yang dulu, waktu lupus melucuti wignya.
"Silahkan masuk!" ajak Hockus Pockus. Anak-anak masuk. Dan tambah heran karena ruang praktek sudah nggak ada lagi. Ruang itu sudah berubah menjadi studio, lengkap dengan alat recording 36 track, mike, gitar listrik, speaker, serta drum.
"Cari siapa ya"" tanya Hockus Pockus pura-pura bego.
"anak-anak jelas sebel.
"Kami mau mencari Kus Kus. Orangnya mirip dikau. Mungkin masih saudara dengan dikau."
Hockus Pockus pura-pura mikir.
"Saya sudah dua puluh tahun tinggal di sini, tapi nggak ada itu yang namanya Kus Kus!"
Lupus jadi nggak bisa menguasai emosinya. "Alaaah, jangan pura-pura deh. Lo pasti dia. Cuma dandanannya aja beda. Tapi dari tompel segede sabak di pipi lo nggak bisa lo umpetin..."
Hockus Pockus tiba-tiba ketawa ngakak. "Oke, oke, saya emang Hockus Pockus. Kalian anak-anak yang tempo hari dateng, kan""
"Tul!" jawab Lupus singkat
"Lantas mau apa kemari""
"Gue minta lo cabut kutukan ,
lo!" tukas Lupus sinis.
Hockus Pockus mengerutkan keningnya. "Wah, sori. Sekarang saya bukan peramal lagi. Sekarang saya sudah jadi pemusik. Sebentar lagi saya mau bikin video klip dan masuk di MTV."
Anak-anak mendelik. "J-jadi gimana dong dengan kakak saya"" tanya Lulu cemas.
Hockus Pockus memeriksa wajah lupus yang penuh bintik merah.
"Bawa ke dokter spesialis kulit!" usul Hockus Pockus kemudian.
"Jadi"" tanya Boim.
"Ya, dia cuma alergi sama jengkol. Inget-inget, kemarin kamu abis makan jengkol, kan""
"I-iya...," jawab Lupus malu-malu.
"Jadi bukan karena kutukan"" tanya Gusur.
"Bukan. Mana bisa sih saya ngutuk. Saya kan manusia biasa. Cuma Tuhan yang bisa ngutuk. Makanya kalian pada insaf sebelum Tuhan murka," jawab Hockus Pockus seraya meraih gitar listriknya. Lalu. "Jreng!" Hockus Pockus main gitas dan nyanyi. Tapi suaranya fals sekali.
Lupus senang mendengar ucapan Hockus Pockus. "Oke, biar gimana juga, gue minta maaf atas sikap gue yang kasar tempo hari. Terima kasih atas sarannya dan selamat masuk MTV!"
Hockus Pockus mengangguk. Lupus lalu ngajak anak-anak pulang. Di depan pintu Lupus berdesis, "Kasian orang itu. Dia insaf jadi dukun palsu, terus jadi penyanyi. Cuma suaranya fals... tapi itu lebih baiklah daripada nipu orang..."
tamat Pendekar Guntur 10 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Munculnya Sinto Gendeng 1
^