Panasnya Bunga Mekar 2
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 2
sebabnya, maka Makerti sempat melakukan petuatanganpetualangan
kecil bersama Gemak Werdi. Agaknya ia
merasa kesepian di rumahnya, sehingga timbullah
keinginannya untuk berbuat sesuatu.
Kedatangan Mahisa Bungalan di rumah itu, seolah-olah
telah membantu membangkitkan suasana yang sepi.
Ternyata adik Makerti yang masih muda itu merasa senang
sekali mendapat kunjungan seseorang yang pantas
dihormati. Ia segera mendengar segala sesuatu tentang
Mahisa Bungalan dari kakaknya, sehingga karena itu, maka
adik Makerti itupun menjadi sangat hormat kepada
tamunya. "Jangan berlebih-lebihan" desis Mahisa Bungalan
kepada Makerti "beri tahu adukmu, aku bukan orang
penting di Singasari. Adalah kebetulan bahwa aku sering
datang ke Kota Raja. Rumahku sendiri tidak di Kota. Raja"
Makerti tersenyum, jawabnya "Aku mengajarinya
hormat kepada para tamu siapapun mereka itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Adalah wajar
bahwa seorang kakak mengajar adiknya berbuat baik Tetapi
rasa-rasanya segan juga untuk menerima penghormatan
yang berlebihan. Setelah beristirahat sejenak, maka ketika Ganter mulai
diselubungi oleh kegelapan, Mahisa Bungalan diantar oleh
Makerti pergi ke rumah Gemak Werdi yang masih
bersangkut paut sanak meskipun sudah agak jauh.
Tetapi keduanya ternyata tidak menjumpai Gemak
Werdi di rumah. Ayahnya yang menerima keduanya
mempersilahkan mereka masuk. Namun dengan menyesal
ayah Gemak Werdi itu berkata "Gemak Werdi baru pergi
menghadap gurunya. Sayang kau tidak dapat bertemu
dengan anak itu" Makerti mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Apakah kakang mengetahui, persoalan apakah
yang telah mendorongnya pergi menghadap gurunya?"
"Mana aku tahu Makerti. Seharusnya kaulah yang
memberi-tahukan kepadaku, kenapa anak itu tiba-tiba saja
ingin menghadap gurunya. Apakah ia tidak mengatakannya
kepadamu?" Makerti menjadi berdebar-debar. Namun jawabnya
"Gemak Werdi tidak mengatakan kepadaku kakang, bahwa
ia akan menghadap guru hari ini"
Makerti hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi orang
tua itupun merasa aneh, karena biasanya Gemak Werdi
lebih banyak bergaul dengan Makerti daripada dengan
orang tuanya. Makertipun kemudian mengajak Mahisa Bungalan
meninggalkan rumah Gemak Werdi. Malam itu, Mahisa
Bungalan dipersilahkan bermalam di rumah Makerti.
Terhadap Makerti, Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar
lagi tentang dirinya. Makerti adalah orang yang baik
menurut penilaian Mahisa Bungalan, sehingga terhadapnya
iapun kemudian berterus terang.
"Besok pagi-pagi kita menyusul Gemak Werdi" berkata
Makerti kepada Mahisa Bungalan "Kita akan berkuda, agar
kita tidak kehilangan banyak waktu diperjalanan"
"Apakah padepokannya sangat jauh dari padukuhan
ini?" bertanya Mahjsa Bungalan.
"Tidak terlalu jauh. Jika kita berkuda, kita akan
bermalam satu hari di perjalanan. Tetapi aku tahu tempat
menginap yang paling baik, karena aku dan Gemak Werdi
selalu menginap di padukuhan itu. Aku kenal benar dengan
seorang Buyut yang baik yang selalu memberikan tempat
menginap kepadaku dan Gemak Werdi" jawab Makerti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ternyata
padepokan ku tidak terlalu dekat, sehingga diperlukan
waktu bermalam diperjalanan, meskipun Makerti sudah
terbiasa menginap di tempat tertentu jika ia pergi ke
padepokan itu. Ketika fajar menyingsing, maka adik Makerti telah
menyiapkan dua ekor kuda, yang akan dipergunakan oleh
Makerti dan Mahisa Bungalan pergi ke padepokan tempat
Gemak Werdi berguru. Setelah makan pagi, dan dengan sekedar bekal di
perjalanan maka Makertipun, meninggalkan rumahnya
bersama Mahisa Bungalan untuk suatu perjalanan yang
mendebarkan. "Mudah-mudahan guru tidak salah paham" berkata
Makerti. Mahiisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian
mengetahui bahwa Makerti dan Gemak Werdi adalah dua
orang saudara seperguruan, meskipun Makerti menurut
urutan darah meskipun sudah tidak terlalu dekat, adalah
paman Gemak Werdi. "Aku sudah lama meninggalkan padepokan itu" berkata
Makerti "aku telah mencoba mematangkan ilmuku menurut
kemampuanku, meskipun ternyata sama sekali tidak berarti.
Tetapi bekal yang diberikan kepada Gemak Werdi oleh
guru, agaknya lebih banyak dari yang diberikan kepadaku,
meskipun ia masih belum sempat mengembangkannya.
Tetapi sesuai dengan sifat dan kemudaannya, maka ia telah
berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Ia ingin
menyatakan kepada orang lain, bahwa ia baru saja turun
dari perguruan" "Agaknya itu sudah sewajarnya terjadi" berkata Mahisa
Bungalan. "Apakah kau berbuat serupa pula ketika kau baru saja
menyelesaikan masa berguru?" bertanya Makerti.
"Aku masih belum selesai berguru. Masa ini adalah masa
pemantapan ilmu yang sudah aku terima dari guruku.
Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali lagi untuk
menekuni ilmu yang masih belum dilimpahkan kepadaku
oleh guruku" "Gurumu tentu orang yang luar biasa" desis Makerti.
"Tidak. Guruku bukan orang luar biasa. Jika luar biasa
itu hanyalah dalam hubungan darah. Guruku yang seorang
adalah ayahku sendiri" jawab Mahisa Bungalan.
"O" Makerti mengangguk. Tetapi ia bertanya "Berapa
orang guru yang menuntun kau dalam olah kanuragan?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya kemudian "Aku
menyadap ilmu dari siapapun. Bahkan dari Ki Lambunpun
aku mencoba berguru. Sebenarnyalah bahwa pengalaman
adalah guru yang sangat baik"
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa
Mahisa Bungalan masih belum bersedia menyebut nama
guru-gurunya. Karena itu, maka iapun tidak memaksa.
Perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin
jauh. Matahari yang kemudian memanjat langit, sinarnya
terasa semakin panas membakar kulit. Namun ternyata
bahwa keduanya adalah dua orang yang sudah terbiasa
dipanggang di panasnya matahari dan direndam di
dinginnya embun malam, sehingga panasnya matahari
tidak terasa mengganggu perjalanan mereka.
Bahkan perjalanan itu terasa menarik bagi Mahisa
Bungalan, karena daerah yang dilaluinya itu belum pernah
dilihatnya sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Makerti, bahwa mereka
akan bermalam satu malam diperjalanan. Seperti biasanya,
maka Makerti telah membawa Mahisa Bungalan menuju ke
padukuhan di tempat ia sering singgah.
Ketika matahari menjadi semakin condong, maka
merekapun menjadi semakin dekat dengan tempat Makerti
biasa bermalam. Di perjalanan merekapun terpaksa
beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka
beristirahat pula. Padukuhan yang mereka tuju sebagai tempat untuk
singgah, adalah padukuhan yang tidak begitu besar.
Penduduknya tidak terlalu banyak, tersebar pada beberapa
padukuhan kecil. Yang terbesar dari padukuhan-padukuhan
itu adalah padukuhan induk, yang merupakan pusat dari
padukuhan itu. Di padukuhan induk itu terdapat sebuah
pasar kecil dengan beberapa buah warung di pinggir jalan
yang cukup banyak dilalui orang. Bukan saja orang yang
bepergian dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang
lain di selkitar padukuhan induk itu, tetapi jalan itupun
merupakan jalur jalan yang panjang, yang menghubungkan
banyak padukuhan di deerah yang luas.
Sebelum matahari tenggelam, maka mereka berdua telah
beirada di regol halaman rumah Ki Buyut. Sambil turun
dari punggung kudanya Makerti berkata "Ki Buyut sudah
agak tua. Tetapi ia masih seorang Buyut yang bekerja keras
bagi padukuhan dan rakyatnya"
Kedatangan Makerti disambut dengan gembira oleh Ki
Buyut yang sudah lama tidak bertemu. Merekapun
kemudian diterima dipendapa rumahnya yang cukup besar
dibanding dengan rumah-rumah lain disekitarnya.
Selelah memperkenalkan Mahisa Bungalan dan
menyatakan keselamatan perjalanannya, maka Makertipun
bertanya "Apakah semalam Gemak Werdi singgah disini
pula Ki Buyut?" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertaya "Gemak Werdi tidak singgah sama sekali. Apakah
ia pergi ke padepokan Kenanga?"
Makerti mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk. Jawabnya "Menurut ayahnya, ia
pergi ke padepokan guru. Ia pergi tanpa
memberitahukannya kepadaku"
"Aneh, biasanya Ki Makerti selalu bersama angger
Gemak Werdi" desis Ki Buyut.
"Ada sesuatu yang telah mengganggu perasaannya Ki
Buyut, sehingga ia pergi tanpa aku. Tetapi bahwa ia tidak
singgah dan bermalam disini, rasa-rasanya telah
menggelisahkan sekali. Mudah-mudahanan ia tidak sempat
berisirahat disini karena tergesa-tergesa saja"
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Tetapi bukankah aku tidak melakukan kesalahan terhadap
angger Gemak Werdi?"
"Tentu tidak Ki Buyut. Tentu tidak" jawab Makerti
dengan serta merta "yang terjadi adalah, Gemak Werdi
nampaknya kurang senang atas peristiwa yang terjadi di
Watan, sehingga ia ingin menghadap guru dan mungkin
untuk mendapatkan pertimbangan"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya "Mudahmudahan
ia tidak marah kepadaku karena sesuatu yang
tidak aku sadari" "Ki Buyut selalu berbuat baik kepadaku dan kepada
Gemak Werdi. Nampaknya peristiwa yang terjadi di Watan
itu begitu mencengkam hatinya, sehingga ia tergesa-gesa
sekali untuk segera bertemu dengan guru"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun masih
membayang kekhawatirannya bahwa ia telah melakukan
sesuatu yang tidak disenangi oleh Gemak Werdi.
Dalam itu Makerti dan Mahisa Bungalan telah bermalam
di rumah Ki Buyut dengan mendapat tempat dan pelayanan
sebaik-baiknya seperti biasanya. Bahkan nampaknya Ki
Buyut bersikap terlalu baik karena kekhawatirannya tentang
Gemak Werdi. Setelah makan malam, Makerti dan Mahisa Bungalan
tidak segera pergi ke bilik yang sudah disediakan. Mereka
masih duduk sejenak, bercakap-cakap dengan Ki Buyut
berserta keluarganya. Bahkan demikian asyiknya mereka
berbicara di ruang dalam, sehingga malam pun menjadi
semakin larut. "Ki Makerti" berkata Ki Buyut kemudian "malam sudah
larut. Silahkan Ki Makerti dan angger Mahisa Bungalan
beristirahat. Bukankah besok kalian masih akan
melanjutkan perjalanan"
Ki Makerti tersenyum. Nampaknya Ki Buyut memang
sudah sangat mengantuk. Bahkan matanya kadang-kadang
telah terkatup dan pembicaraannyapun kadang-kadang
telah menjadi kabur. "Terima kasih Ki Buyut" berkata Makerti kemudaan
"kami akan beristirahat agar besok pagi-pagi benar kami
dapat bangun dan berangkat untuk meneruskan perjalanan"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi kadang-kadang
matanya telah terkatub. Demikian Makerti dan Mahisa Bungalan memasuki
biliknya, Ki Buyutpun segera masuk pula ke bilik tidurnya.
Begitu ia merebahkan diri, maka tiba-tiba saja telah
terdengar ia mendengkur. Di dalam biliknya Makertipun rasa-rasanya telah
dicekam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan
kemudlian ia menjadi curiga, apakah yang telah
menyebabkannya. Ketika ia berpaling kepada Mahisa
Bungalan yang masih duduk di dingklik kayu di dalam bilik
itu, ia melihat anak muda itu sedang merenungi scsualu.
"Mahisa Bungalan, apakah kau sedang mean
perhitungkan sesuatu yang asing malam ini?"
"Ya Ki, Makerti. Ada sesuatu yang agaknya telah
mengganggu kesadaranku"
Ki Makerti mengangguk-angguk. Kemudian iapun
beringsut mendekati Mahisa Bungalan sambil berbisik
"Guru ada di sini sekarang"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia menjadi
heran mendengar kata-kata Makerti itu. Tetapi sebelum ia
bertanya Makerti telah berbisik pula "Aku mengenal ilmu
semacam ini. Guru tentu sedang menjajagi, apakah orang
yang diceriterakan oleh Gemak Werdi mampu mengatasi
ilmunya yang langsung menyentuh kesadaran orang lain"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Itulah
agaknya Ki Buyut tidak dapat bertahan lebih lama lagi
untuk duduk dan berbincang.
"Bagaimana perasaanmu Mahisa Bungalan" bertanya
Makerti" "Aku akan mencoba mengatasi. Tetapi bagaimana
dengan kau sendiri?"
"Aku pernah mempelajari juga dari guru. Dan aku telah
berusaha mengembangkannya sendiri, sehingga rnudahmudahan
akupun dapat mengatasinya"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Tetapi aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku
tidak merasa perlu untuk menanggapinya, agar kesalah
pahaman itu tidak menjadi semakin meluas"
Makerti mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa
Gemak Werdi tentu sudah menghadap gurunya dan
mencerkerakan apa yang sudah terjadi. Agaknya
gurunyapun yakin, bahwa Makerti akan menyusui Gemak
Werdi bersama Mahisa Bungalan, sehingga karena itu,
maka gurunya telah datang ke tempat Makerti selalu
menginap untuk menjajagi kemampuan orang yang tentu
sudah diceritakan oleh Gemak Werdi.
Mahisa Bungalan dan Makerti yang masih duduk di
dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Dengan
mengerahkan kemampuan daya tahan mereka, keduanya
berusaha mengatasi ilmu yang meliputi rumah Ki Buyut.
Dengan susah payah Ki Makerti mencoba bertahan.
Tetapi karena lontaran ilmu gurunya terasa menjadi
semakin kuat, maka lambat laun, daya tahannyapun rasarasanya
menjadi semakin menurun. Bahkan matanya
perlahan-lahan mulai terpejam.
Tetapi Makerti mencoba bertahan terus. Dengan segenap
kekuatan lahir dan batinnya, ia justru mencoba berdiri dan
berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
"Luar biasa" desisnya ketika ia berdiri dekat dihadapan
Mahisa Bungalan "aku tidak tahan lagi. Mungkin guru kini
telah berada di pendapa atau di pringgitan. Ilmu ini
semakin mencekik" Mahisa Bungalan memandanginya. Perlahan-lahan ia
berbisik "Apakah Ki Makerti merasa bahwa tidak akan
dapat bertahan lebih lama lagi?"
"Mungkin aku akan terjerembab dan tertidur sebentar
lagi" desisnya "aku tidak tahan lagi"
"Duduklah di sisiku" desis Mahisa Bungalan. Ki Makerti
termangu-mangu sejenak. Tetapi matanya terasa menjadi
semakin berat. Karena Ki Makerti masih bertahan untuk berdiri
meskipun nampaknya keseimbangannya sudah mulai
terganggu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian menarik
tangannya dan mempersilahkannya duduk disisinya.
"Tenanglah" berkata Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa
Bungalan tidak melepaskan tangan Ki Makerti.
Sejenak Ki Makerti masih harus bertahan dengan sekuat
tenaga. Namun kemudian terasa dari tangan Mahisa
Bungalan seolah-olah tersalur arus panas ke urat darahnya
dan perlahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Meskipun Ki Makerti sudah menjadi sangat mengantuk,
tetapi ia masih merasa arus panas di tubuhnya itu. Bahkan
kemudian jantungnyapun serasa menjadi panas pula.
Perlahan-lahan namun pasti, maka perasaan kantuknya
bagaikan terusir dari dirinya.
"Luar biasa" Ki Makerti berdesis. Mahisa Bungalan
memberi isyarat agar Ki Makerti diam sejenak.
Ki Makertipun kemudian terdiam. Seperti Mahisa
Bungalan ia mencoba mendengarkan setiap desir yang
paling lembut sekalipun. Kedua orang di dalam bilik itu rasa-rasanya telah
membeku. Ki Makerti mengerti maksud Mahisa Bungalan,
agar di dalam bilik itu tidak terdengar suara apapun.
Bahkan sejenak kemudian Mahisa Bungalan yang duduk
sambil memegang tangan Ki Makertii itu, telah mengatur
pernafasannya, sehingga suaranya teratur seperti orang
yang sedang tertidur nyenyak.
Sebenarnyalah bahwa Di luar rumah Ki Buyut dua orang
telah berdiri di pringgitan. Mereka berusaha untuk
mengetahui apakah seisi rumah itu sudah tertidur nyenyak.
"Sulit untuk mengerti" desis salah seorang dari mereka
"mereka berada di dalam bilik yang berada di ruang dalam"
Yang seorang dari keduanya adalah Gemak Werdi.
Ternyata ia tidak berhasil menguasai tubuhnya seperti
gurunya. Langkahnya pun masih terdengar berdesir di atas
lantai, sementara suaranyapun bergetar sampai ke telinga
Mahisa Bungalan yang sangat tajam "Tetapi aku tidak,
mendengar suara apapun lagi guru"
Mahisa Bungalan mengangguk kecil, sementara Ki
Makerti yang juga mendengar, meskipun hanya desis
lambat mengangguk pula. "Tetapi tidak seorangpun yang dapat menolak ilmuku"
berkata guru Gemak Werdi.
"Lalu, apakah yang akan kita kerjakan" bertanya Gemak
Werdi. -oo0dw0oo- Jilid 02 "SEBENARNYA aku ingin tahu pasti, apakah anak
muda yang kau sebut sombong itu mampu menahan
ilmuku" "Bagaimana cara yang akan guru tempuh"
"Panggil anak itu. Jika ia masih kuat bertahan, ia tentu
akan keluar dari biliknya"
Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Dipandanginya
pintu rumah Ki Buyut yang tertutup sehingga mereka hanya
dapat berdiri di pringgitan. Sejenak kemudian, maka
Gemak Werdi itupun berdesis "Paman Makerti. Paman
Makerti" "Jangan takut. Berteriaklah. Tetapi kenapa Makerti yang
kau panggil?" "Jika anak itu ada bersama paman Makerti, maka ia
tentu akan keluar juga dari dalam biliknya"
"Sebut namanya"
"Aku ragu-ragu. Apakah namanya itu adalah namanya
sebenarnya" Guru Gemak Werdi termangu-mangu. Namun
kemudian katanya "Berteriaklah. Tidak akan ada orang
yang mendengar" Gemak Werdipun kemudian memanggil semakin keras.
Dalam pada itu, Makerti yang berada di dalam bilik
bersama Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia
mendengar Gemak Werdi memanggilnya. Tetapi setiap kali
Mahisa Bungalan selalu menggeleng untuk menahan agar
Makerti tidak bergerak. Akhirnya Makerti mengerti maksud Masisa Bungalan.
Biarlah gurunya dan Gemak Werdi menganggap bahwa
mereka berdua telah tertidur nyenyak.
Gemak Werdi masih mengulangi beberapa kali
memanggil Makerti. Namun sama sekali tak ada
seorangpun yanng menyahut dari dalam.
"Mereka tentu sudah tertidur nyenyak" berkata Gemak
Werdi "apakah kita akan memecah pintu dan masuk ke
dalam?" "Untuk apa?" bertanya gurunya.
"Bukankah guru ingin menjajagi kemampuan anak muda
itu?" "Bukankah aku sudah melakukannya. Ia tidak mampu
melawan ilmuku. Ternyata bahwa pengetahuannya tidak
terlalu tinggi. Mungkin ia memiliki kekuatan jasmaniah
yang besar, tetapi itu tidak akan berarti apa-apa melawan
ilmuku" "Jadi, apakah maksud guru seterusnya?"
"Aku akan kembali ke padepokan"
"Jadi hanya begini?" bertanya Gemak Werdi.
"Lalu apa lagi. Aku sudah mengetahui tingkat ilmunya.
Itu sudah cukup bagiku"
"Tetapi ia sudah menghina aku guru. Menghina
perguruanku. Apakah kita akan membiarkannya
menganggap bahwa perguruan kita tidak berarti apa-apa"
Gurunya termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Seperti perhitunganku, mereka besok akan meneruskan
perjalanan ke padepokan. Aku akan menemuinya dan
melihat sikapnya selanjutnya. Tentu ada sebabnya kenapa
Makerti justru memihak kepada anak muda itu"
Gemak Werdi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat
memaksa gurunya untuk berbuat sesuatu.
"Marilah" ajak gurunya "kita sudah mengetahui
kemampuan anak itu" Gemak Werdi menjadi kecewa. Ia ingin membuat
Mahisa Bungalan menjadi jera. Tetapi gurunya tidak mau
bertindak lebih jauh daripada sekedar menjajagi
kemampuan anak muda itu. Karena itu, dengan wajah yang
buram, ia mengikuti gurunya meninggalkan pendapa rumah
Ki Buyut. Namun ia masih mencoba mengajak gurunya
sekali lagi "Guru, tetapi apakah kita tidak membuktikan
bahwa keduanya memang ada disini. Mungkin kedua ekor
kuda itu bukan milik paman Makerti dan anak muda itu"
"Aku yakin Gemak Werdi" jawab gurunya "tentu
Makerti dan anak muda itulah yang datang dan menginap
disini. Sandainya kau masih ragu-ragu, maka besok jika
mereka sudah berada di padepokan kita akan dapat
bertanya kepada mereka"
"Dan kita membiarkan perguruan kita dihinakannya"
gumam Gemak Werdi. Tetapi gurunya tidak menghiraukannya. Ia pun
kemudian menuju kegelapan dan mengambil kudanya yang
diikat di luar regol halaman rumah Ki Buyut.
Gemak Werdi tidak dapat menahannya lagi. Iapun
kemudian meloncat ke punggung kudanya ketika gurunya
telah melakukannya. Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda itupun telah
berderap dalam kegelapan. Tetapi tidak seorangpun yang
tinggal di sekitar rumah Ki Buyut yang mendengarnya
karena mereka semuanya sedang tertidur nyenyak.
Sepeninggal Gemak Werdi dan gurunya, maka Mahisa
Bungalanpun menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya
tangan Makerti sambil berkata "Pengaruh ilmu itu tentu
akan mengendor" Makerti menarik nafas dalam-dalam. Terasa padanya,
bahwa pengaruh ilmu gurunya itu memang semakin samar,
sehingga perasan kantuknyapun menjadi semakin lenyap
pula meskipun perlahan-lahan.
"Mahisa Bungalan " berkata Ki Makerti kemudian. "kau
memang seorang anak muda yang luar biasa. Bukan saja
karena kau berhasil melawan ilmu guru yang tidak ada
taranya, tetapi kau masih dapat membagi daya tahanmu
untuk membantuku. Bukankah itu berarti bahwa kau
mempunyai kekuatan ganda yang dapat menangkis ilrnu
yang dahsyat itu. Tetapi lebih daripada itu, kau ternyata
dapat menguasai perasaanmu sehingga kau tidak
kehilangan kesabaran dan meloncat keluar di saat kau
mendengar percakapan antara guru dan Gemak Werdi"
Mahiisa Bungalan tersenyum. Katanya "Aku sudah
sering menghadapi persoalan yang lebih menyakiti
perasaan. Dan aku sudah belajar untuk menahan diri agar
aku tidak terjerumus ke dalam keadaan yang tidak aku
kehendaki" Makerti mengangguk-angguk. Katanya "Kita besok akan
meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan gurupun dapat
menahan diri betapapun Gemak Werdi membuat ceritera
apapun tentang kau dan aku"
Mahisa Bungalan tersenyum hambar. Jawabnya
"Mudah-mudahan. Tetapi gurumu tentu bukan anak kecil
lagi yang dengan mudah dapat dibakar perasaannya"
Makerti mengangguk-angguk. Tetapi nampak keraguraguan
membayang di wajahnya, sehingga Mahisa
Bungalan bertanya "Apakah kau meragukan sikap
gurumu?" Sejenak Makerti termenung. Kemudaan perlahan-lahan
ia menyahut "Sifat guru sulit untuk diketahui. Ia kadang
seorang yang sabar dan mengerti perasaan yang keadaan
orang lain. Tetapi kadang-kadang ia seorang pemarah dan
tiba-tiba saja memusuhi seseorang tanpa sebab. Dalam pada
itu guru benar-benar orang yang luar biasa. Ia menguasai
ilmu pedang dengan sempurna. Ia termasuk seorang yang
sulit dicari tandingnya dalam ilmu kajiwan"
"Aku mengerti akan kelebihan gurumu. Baru saja kita
merasakan kedahsyatan ilmunya. Itupun tentu belum
seluruhnya, karena gurumu menganggap bahwa yang
sedikit itu sudah cukup bagi orang lain"
Makerti ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
mengangguk sambil berkata "Kau benar Mahisa Bungalan"
"Tetapi aku datang ke padepokanmu justru untuk
memberikan penjelasan, aku kira, tidak akan terjadi
sesuatu. Gurumu akan mendengarkan penjelasan kita.
Sebab kitapun tidak akan berani berbuat sesuatu
terhadapnya selain memberikan keterangan"
Makerti mengangguk-angguk. Ia sudah melihat, betapa
Mahisa Bungalan dapat menahan hati dalam keadaan yang
panas sekalipun. Karena itu, maka keduanya tanpa
mengganggu Ki Buyut yang masih tertidur nyenyak, segera
membaringkan diri pula di pembaringan. Sejenak mereka
masih dihanyutkan oleh angan-angan masing-masing
tentang Gemak Werdi dan gurunya. Namun sejenak
kemudian keduanyapun telah tertidur pula dengan nyenyak,
meskipun bukan karena pengaruh sirep.
Pagi-pagi benar keduanya telah terbangun dan
mempersiapkan diri. Ki Buyut dan keluarganya telah
menjamu mereka dengan makan pagi pula seperti biasanya.
Kemudian melepaskan mereka berdua pergi deringan
mengantar mereka sampai ke regol.
"Ki Buyut orang yang sangat baik " desis Mahisa
Bungalan. "Ya. Ia orang baik terhadap siapapun juga. Bukan hanya
aku dan Gemak Werdi sajalah yang diperkenankan
menginap di rumahnya atau di banjar padukuhannya.
Tetapi setiap orang yang memerlukan, penginapan, maka
pintu rumahnya atau banjar padukuhannya selalu terbuka.
Bahkan seperti yang kita alami, maka merekapun
mendapatkan jamuan seperlunya"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, sementara
kudanya berpacu semakin lama semakin cepat menuju ke
padepokan Gemak Werdi, yang juga disebut padepokan
Kenanga karena di padepokan itu terdapat banyak pohon
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga kenanga yang jika sedang berbunga, baunya yang
harus memenuhi seluruh padepokan, bahkan kadangkadang
dibawa angin sampai ke pedukuhan terdekat.
"Perjalanan kita tidak lagi sejauh perjalanan di hari
pertama" berkata Makerti "sebelum tengah hari kita sudah
berada di jalan lurus ke padepokan itu"
"Maksudmu dengan jalan lurus?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Dari padukuhan terakhir, telah dibuat sebuah jalan
yang panjang menuju ke padepokan itu yang merupakan
sebuah bulak yang panjang pula"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Tentu
jalan yang terlindung oleh bayangan pepohonan disebelah
menyebelah jalan" "Ya. Apakah kau pernah mengunjungi padepokan itu?"
Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya "Belum. Aku
belum pernah pergi ke padepokan itu. Aku hanya beranganangan
saja" Makerti mengangguk-angguk. Memang banyak terdapat
jalan semacam itu. Jalan yang sejuk dilindungi oleh
bayangan pepepohonan yang rimbun"
Kuda mereka berduapun berpacu menyusuri jalan
panjang. Kadang-kadang ditengah-tengah bulak, namun
kemudian menyusup padukuhan yang tersebar diantara
sawah yang terbentang luas.
Seperti pulau-pulau berwarna hijau diantara kuningnya
bulir padi yang menjadi semakin tua dan semakin runduk.
"Padukuhan itu adalah padukuhan terakhir" berkata
Makerti. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Di luar
sadarnya ia mengangkat wajahnya, memandang matahari
yang hampir mencapai puncak langit. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh Makerti, maka sebelum matahari tegak di
atas kepala, maka mereka telah berada di ujung jalan
menuju ke padukuhan Kenanga.
"Jalan ini panjang sekali" berkata Mahisa Bungalan.
"Sebenarnya juga tidak begitu panjang. Tetapi karena
jarak antara padukuhan ini dengan padepokan Kenanga
hanya diantarai oleh satu bulak saja, maka nampaknya
bulak ini menjadi sangat panjang.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ketika mereka
memasuki jalan yang panjang itu, terasa jantungnya mulai
berdebar-debar. Namun demikian Mahisa Bungalan tetap
berharap bahwa kedatangannya tidak menumbuhkan salah
paham dengan guru Gemak Werdi.
"Makerti adalah saksi yang dapat memberikan
penjelasan tentang apa yang telah terjadi. Meskipun
nampaknya Gemak Werdi adalah muridnya yang terdekat,
tetapi Makerti adalah muridnya pula, yang tentu juga akan
didengar keterangannya" berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Namun demikian, ketika mereka mulai mendekati regol
padepokan itu, maka debar jantung Mahisa Bungalan
memang terasa semakin cepat. Bahkan Makertipun menjadi
berdebar-debar. Tubuhnya berkeringat dan sikapnya
menjadi sangat gelisah. "Kita sudah sampai" desis Makerti ketika mereka sudah
berada beberapa langkah saja dari pintu gerbang yang
terbuka lebar. Dalam pada itu, seseorang telah menyampaikan laporan
kehadiran dua orang memasuki regol padepokan kepada
Gemak Werdi dan gurunya. "Mereka sudah datang guru" berkata Gemak Werdi.
"Bukankah perhitungan kita hampir tepat. Saat beginilah
keduanya akan sampai di padepokan" desis gurunya.
"Dan guru tidak menyambutnya dengan sikap seorang
pimpinan padepokan yang sedang tersinggung karena sikap
anak muda itu?" bertanya Gemak Werdi
"Sudah aku katakan. Aku memang akan memberinya
sedikit pelajaran. Tetapi kesalahan yang dilakukan oleh
anak muda itu bukanlah karena kesengajaannya menghina
padepokan ini. Menurut penilaianku ia justru bermaksud
baik. Tetapi, bahwa ia telah mengecilkan arti kehadiranmu
di hadapan orang banyak itulah kesalahannya yang perlu
mendapat teguran. Dan aku akan meyakinkan anak itu,
bahwa bagi padepokan ini, ia tidak berarti apa-apa. Ia harus
tahu, bahwa ilmunya masih harus mendapat banyak
peningkatan agar ia pantas menegurmu di adapan orang
banyak" "Apa yang akan guru lakukan?"
"Meyakinkan, bahwa ilmunya masih sangat kecil
dibandingkan dengan ilmu dari padepokan ini" jawab
gurunya. "Guru akan turun sendiri?"
Gurunya tertawa. Katanya "Apakah kau rela aku turun
menghadapi anak muda itu?"
Gemak Werdi termangu-mangu.
"Dengan demikian berarti bahwa akulah yang telah
merendahkan diri dan merendahkan harga diri padepokan
ini" "Jadi, maksudi guru?"
"Saudara seperguruanmu. Anak gadisku sendiri yang
akan menunjukkan kepada anak muda yang datang itu,
bahwa bagi perguruan ini, ia bukan apa-apa. Justru anakku
adalah seorang gadis"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Namun
nampak kegelisahan membayang di wajahnya yang basah
oleh keringat. "Kenapa bukan orang lain guru?"^
"Siapa yang kau maksud" Di sini muridku hanya dua
orang. Yang satu adalah kau sendiri. Apakah kau ingin
mencoba mengalahkannya?"
Wajah Gemak Werdi menjadi merah.
"Sudahlah. Jangan cemas. Ilmunya lebih lengkap dari
ilmumu. Ia adalah anakku yang menyadap ilmuku sejak ia
mulai dapay berjalan. Meskipun umurnya lebih muda dari
umurmu, tetapi masa bergurunya jauh lebih panjang dari
waktu yang kau pergunakan"
Gemak Werdi menundukkan kepalanya. Ia mengakui,
bahwa gadis itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dan
ilmunya. Meskipun umurnya masih muda, tetapi karena
sejak kanak-kanak ia sudah mulai menerima tuntunan
dalam olah kanuragan, maka ilmu yang dimilikinya hampir
setingkat dengan kelengkapan ilmu gurunya. Tetapi sudah
barang tentu, gadis itu masih harus mematangkannya.
Namun dengan demikian, bukan saja anak muda yang
sombong itulah yang akan tersinggung karenanya. Tetapi ia
sendiri akan dihadapakan pada suatu kenyataan, bahwa
ilmu seorang gadis padepokan itu jauh lebih baik dari
ilmunya. Jika gadis itu nanti berhasil menundukkan anak
muda yang sombong itu, maka anak muda itupun akan
memandangnya dengan tersenyum, bahwa kekalahannya
dari seorang gadis bukannya ia seorang diri, tetapi anak
padepokan itu sendiri, ternyata tidak dapat menyamainya.
Tetapi Gemak Werdi tidak mempunyai pilihan lain.
lebih senang melihat anak muda yang sombong itu
dikalahkan dan merunduk dengan pucat dan gemetar serta
mengakui kesalahannya daripada kegelisahannya sendiri
karena kemenangan gadis itu.
"Sudahlah" berkata gurunya, tamu itu tentu sudah
duduk di pendapa. Marilah, kita akan menemuinya dan
memikirkan semua rencana"
"Tetapi " Gemak Werdi ragu-ragu.
"Gadis itu. sudah siap. Semuanya sudah diatur sebaikbaiknya.
Mudah-mudahan Makerti dapat memberikan
sedikit peringatan sebelumnya kepada kawannya yang
sombong itu, bahwa ia akan menjumpai seseorang murid
dari padepokan ini yang memang dihormati sebagaimana ia
harus menghormati padepokan ini"
Gemak Werdi tidak menjawab. Meskipun kepalanya
terangguk-anggul kecil. Keduanyapun kemudian bangkit dan melangkah menuju
ke pendapa. Ternyata bahwa Makerti dan Mahisa Bungalan
telah duduk di pendapa seperti yang diduga oleh guru
Gemak Werdi. Ketika keduanya membuka pintu pringgrtan, maka
Makerti dengan tergesa-gesa telah membungkuk dalamdalam
sambil berdesis "Hormatku bagi guru"
Gurunya mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap
berdiri, sedang Gemak Werdi berdiri termangu-mangu di
belakangnya. "Anak muda itukah yang kau sebut Gemak Werdi?"
bertanya gurunya. "Gemak Werdi mengangguk. Jawabnya "Ya guru"
Gurunya memadang Mahisa Bungalan yang tunduk.
Kemudian terdengar ia bertanya "Siapa namamu anak
muda yang perkasa. Yang dengan sadar telah menunjukkan
keperkasaannya" Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Tetapi ia
mengangguk hormat sambil menjawab "Namaku Mahisa
Bungalan, Kiai" "Nama yang bagus. Pantas menilik ujud dan sikapmu"
berkata guru Gemak Werdi "kau seorang anak muda yang
gagah pideksa. Tampan dan sopan. Tetapi sedikit sayang,
bahwa sikapmu itu hanyalah sikap pura-pura"
Mahisa Bungalan terkejut. Ia merasa bahwa Gemak
Werdi tentu sudah sampai kepada keterangan yang
menyakitkan hati gurunya, meskipun hal itu sudah
direkayasa. Namun ia masih mengharap bahwa gurunya
tidak tidak terpengaruh oleh keterangan yang belum
dibuktikannya. Makerti yang sudah mengenal gurunya menjadi
berdebar-debar. Gurunya adalah seseorang yang tidak
mudah terpengaruh, sehingga ia menentukan sikapnya
sesuai dengan tanggapannya atas setiap peristiwa. Dengan
demikian, maka jika gurunya saat itu sudah bersikap, maka
sulitlah baginya untuk dapat merubahnya, meskipun ia
mengetahui bahwa gurunya mempunyai tanggapan yang
keliru karena keterangan yang salah pula atas sesuatu
peristiwa. Meskipun demikian, Makerti berusaha jaga untuk
memberikan penjelasan. Dengan ragu-ragu ia berkata
"Guru, apakah aku diperbolehkan memberikan sedikit
keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi" Kedatangan
kami berdua memang sengaja untuk memberikan
penjelasan tentang sikap kami. Mungkin guru telah
mendengar keterangan dari Gemak Werdi. Supaya bukan
keberangan yang berat sebelah, maka biarlah kita berbicara
tentang peristiwa yang barangkali tidak menyenangkan hati
guru" Orang tua yang berdiri di muka pintu peringgitan itu
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Makerti dengan
tajamnya. Namun kemudian katanya "Makerti, aku kira
aku tidak menerima keterangan yang salah. Bukankan anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu pernah mengaku
bernama lain, dan bersikap seperti seorang perantau yang
tidak berarti" Tetapi tiba-tiba saja ia menunjukkan
kemampuannya yang luar biasa ketika ia melihat Gemak
Werdi dan kau sendiri mengalami kesulitan. Bukankah
begitu?" Sekali lagi Makerti terkejut. Bahkan Mahisa Bungalan
sendiri menjadi semakin tegang mendengar kata-kata guru
Makerti itu. Apalagi ketika kemudian orang tua itu tertawa. Katanya
" Aku kira aku tidak salah menilai peristiwa itu. Bukankah
benar begitu Makerti?"
Makerti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk sambil menjawab, seolah-olah di luar
sadarnya "Ya, ya guru"
Tetapi dalam pada itu Gemak Werdi beringsut sambil
berkata "Bukan itu saja guru. Yang penting adalah sikapnya
yang telah menyinggung perguruan kita"
Gurunya masih tertawa. Katanya "Jangan hiraukan
Gemak Werdi. Bagi kita anak muda itu tidak terlalu
berharga untuk diperhitungkan dari segi olah kanuragan.
Aku melihat kepura-puraannya tetapi yang karena maksud
baiknya, ia telah menyatakan dirinya"
Gemak Werdi menjadi semakin heran mendengar katakata
gurunya. Seolah-olah ia justru telah memuji anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu, meskipun
penilaiannya atas kemampuan kanuragan atas anak muda
itu sangat rendah. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun merasa
sentuhan itu. Ia menjadi semakin ketat menjaga
perasaannya. Ketajaman nalarnya telah mulai melihat, dari
arah mana guru Gemak Werdi itu akan mulai menegurnya.
Mungkin dengan halus, tetapi pada suatu saat, akan dapat
pula terjadi kekerasan. Dalam pada itu, guru Gemak Werdi itupun berkata
selanjutnya "Anak muda, jangan takut. Aku tidak akan
marah" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
semakin berhati-hati agar ia tidak dihanyutkan oleh
perasaannya. Selangkah guru Gemak Werdi itu maju sambil
tersenyum. Katanya "Kemarahan tidak akan ada artinya
apa-apa bagiku selain mendatangkan penyesalan, karena
sentuhan kemarahanku atasmu anak muda, akan membuat
kau pingsan dan bahkan mungkin jantungmu akan berhenti
berdetak" Mahisa Bungalan mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia
memaksa dirinya untuk mengangguk sambil berkata
"Terima kasih Kiai. Sejak aku masuk ke halaman
padepokan, aku memang sudah menjadi gemetar. Sekarang
mendengar bahwa Kiai tidak marah, itu membuatku diriku
menjadi sedikit menjadi tenang"
Guru Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Sementara
Mahisa Bungalan bertanya "Ampun. Kiai. Jika demikian
bukankah berarti bahwa tidak ada perasaan apa-apa lagi
antara aku dan Gemak Werdi?"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia tertegun diam
melihat Sikap Mahisa Bungalan. Ternyata anak itu dapat
menahan perasaannya, sehingga ia dapat menjaga sikap dan
kata-katanya. Namun ia juga mempunyai dugaan lain,
bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang
dungu, yang sama sekali tidak mengetahui maksudnya.
Untuk meyakinkan diri maka guru Gemak Werdi itu
berkata "Ya, ya anak muda. Memang tidak ada perasaan
apa-apa lagi antara kau dan Gemak Werdi, karena Gemak
Werdi mengerti, bahwa kau sama sekali tidak menyadari
apa yang lelah kau lakukan. Bahwa kau dalam hal ini
memang tidak berpura-pura, tetapi benar-benar karena tidak
mengerti bahwa tingkah lakumu itu menimbulkan gelak
tertawa. Untunglah bahwa Gemak Werdi mengerti
sepenuhnya apa yang dihadapinya sehingga ia tidak
mengambil sikap apapun terhadapmu. Ia meninggalkan kau
dalam kebanggaanmu, untuk menjaga agar kau tidak
terjerumus ke dalam kekecewaan"
Perasaan Mahisa Bungalan benar-benar menjadi sakit.
Ketika ia berpaling memandang Makerti, maka nampak
Makerti sedang berpikir. lapun telah menyadari, gurunya
telah menggelitik perasaan Mahisa Bungalan, sehingga
iapun mulai menyadari, arah yang akan dilalui oleh
gurunya. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang muda itu
masih dapat menahan hati. Sekali lagi ia mengangguk
dalami sambil berkata "Aku hanya dapat mengucapkan
terima kasih Kiai bahwa Gemak Werdi tidak mengambil
sikap apapun terhadapku sehingga aku tidak mendapat
malu di hadapan orang banyak"
Gegak Werdi yang mulai mengetahui cara gurunya
mengungkat agar Mahisa Bungalan tergetar mendengar
jawaban itu. Agaknya Mahisa Bungalan tidak terbakar
karenanya. Justru karena, itu, hati guru Gemak Werdilah yang
mulai menjadi hangat justru karena sikap rendah hati
Mahisa Bungalan. Guru Gemak Werdi itupun menjadi
heran. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu
sama sekali tidak merasa tersinggung. Bahkan anak itu
justru mengucapkan terima kasih kepadanya. Namun
dalam pada itu, ternyata sesuatu telah terjadi di luar dugaan
Mahisa Bungalan. Di saat ia berjuang untuk
mempertahankan keseimbangan jiwanya, tiba-tiba saja telah
muncul seorang gadis dalam pakaian yang tidak biasa
dipergunakan oleh gadis-gadis padukuhan.
"Ayah" berkata gadis itu "aku tidak sabar menunggu
lagi. Anak muda itu ternyata sangat dungu, sehingga ia
sama sekali tidak mengetahui maksud ayah. Ia sama sekali
tidak merasa tersinggung kehormatannya. Bahkan ia
sempat mengucapkan pujian atas sikap kakang Gemak
Werdi. Bukankah itu suatu kedunguan yang tidak ada
taranya" Apakah ayah akan membiarkannya berdiri di atas
sikapnya yang dungu itu?"
Guru Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ada dua hal yang menarik hatiku pada anak
muda itu" "Sudahlah ayah. Sebaiknya kita berterus terang. Ayah
merasa tersinggung atas sikapnya yang telah merendahkan
kakang Gemak Werdi Ia sudah menghalang-halangi kakang
Gemak Wardi melakukan tugas kemanusiaan. Lebih
daripada itu, padepokan ini merasa tersinggung, seolah-olah
memerlukan pertolongannya. Karena itu, kita, seisi
padepokan ini akan me-yakinkan kepada anak muda itu,
bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari ilmu
di perguruan manapun juga. Juga tidak kalah dari ilmu
yang dipunyai oleh anak muda yang ternyata bernama
Mahisa Bungalan itu"
Hati Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.
Sementara gadis itu berkata terus "Sekarang, lekas katakan
kepadanya, bahwa akulah yang akan menunjukkan bahwa
padepokan ini tidak dapat direndahkan. Tidak usah kakang
Gemak Werdi. Aku, seorang gadis yang lebih muda dari
kakang Gemak Werdi akan dapat membuktikan bahwa
siapapun harus mengakui kemampuan ilmu dari padepokan
ini" Guru Gemak Werdi menjadi berdebar-debar pula. Ia
tidak mempunyai pilihan lain daripada memenuhi
permintaan anak gadisnya, karena ia memang sudah
mempersiapkannya sebelumnya. Namun demikian, Anak
Muda itu benar-benar telah menarik perhatiannya, sehingga
katanya "Baiklah. Kau berhak meyakinkan tamu kita akan
tingkat kemampuan padepokan ini "Lalu katanya kepada
Mahisa Bungalan " Mahisa Bungalan, seperti yang aku
katakan, anak gadisku akan memberimu keyakinan
kemampuan ilmu yang dimilikinya. Sekedar meyakinkan.
Bukan maksudku untuk menghukummu, karena kau tidak
melakukan kesalahan yang sungguh-sungguh atas muridku
Gemak Werdi. Tetapi sekali lagi orang-orang yang ada di pendapa itu
terkejut. Mahisa Bungalan mengangguk hormat sambil
berkata "Kiai, tanpa perbuatan apapun, aku sudah yakin,
bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari
tingkat ilmu di manapun juga.
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian menggeletakkan giginya. Namun yang menjawab
adalah gadis itu "Keyakinanmu tidak meyakinkan aku. Kau
sudah benar-benar yakin, atau kau telah dihinggapi oleh
perasaan takut melihat kenyataan yang ada di sini sekarang.
Meskipun kau belum melihat sesuatu, suasana di
padepokan ini telah membuatmu gemetar.
Sekali lagi semuanya terkejut mendengar jawaban
Mahisa Bungalan "Aku sudah gemetar sejak aku berada di
perjalanan. Semakin dekat dengan gerbang padepokan ini,
aku menjadi semakin ketakutan. Tetapi aku memaksa
diriku bersama Ki Makerti untuk datang juga ke padepokan
ini karena aku ingin memberikan keterangan agar persoalan
yang terjadi itu tidak berlarut-larut"
Gemak Werdi menjadi tidak sabar lagi. Dengan lantang
ia berkata "Guru. Lihatlah. Bukankah itu bukan lagi suatu
sikap rendah bati. Tetapi itu justru merupakan
kesombongan yang tiada taranya. Ia menganggap
perguruan ini tidak bernilai sama sekali untuk dilayani"
Tetapi gurunya justru tertawa. Katanya "Pendapatmu
ada juga benarnya Gemak Werdi. Karena itu, aku tetap
pada pendirianku, bahwa Mahisa Bungalan harus
mengalami suatu sentuhan peristiwa yang akan
meyakinkannya, bahwa perguruan ini adalah perguruan
yang patut dihormatinya Melawan atau tidak melawan
ketenutan ini akan berlaku. Ukuran batas kesakitan yang
akan dialaminyalah yang akan menentukan, apakah ia
benar-benar sudah yakin tentang kemampuan perguruan
ini" "Kini" desis Mahisa Bungalan.
Tetapi guru Gemak Werdi memotongnya "Tidak ada
perosalan lagi yang akan kita bicarakan. Bersiaplah. Kau
akan menghadapi anak gadisku di arena"
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Namun iapun
menyadari, betapapun penilaian guru Gemak Werdi
atasnya, namun ada juga sikap sombong pada orang itu. Ia
mempercayakan nama perguruannya kepada anak
gadisnya. Namun Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar.
Jika tidak ada kelebihannya, tentu bukan gadis itulah yang
ditunjuk oleh gurunya untuk meyakinkannya, bahwa
perguruan Kenaga itu adalah perguruan yang memiliki
kemampuan tidak kalah dengan perguruan lainnya.
"Bersiaplah anak muda" berkata guru Gemak Werdi itu
"turunlah ke halaman, supaya kau tidak diseret oleh
cantrik-cantril yang akan menonton perkelahian yang akan
berlangsung dengan jujur di halaman"
Mahisa Bungalan memandang Makerti sejenak. Namun
agaknya Makerti tidak mempunyai pilihan apapun juga,
sehingga karena itu, iapun telah mengangguk kecil.
Betapapun segannya, namun Mahisa Bungalan harus turun
pula ke halamam. Sejenak ia memandang Gemak Werdi.
Tetapi anak muda itu memalingkan wajahnya, seolah-olah
ia tidak dapat menahan tatapan mata Mahisa Bungalan
yang mengejeknya, bahwa justru seorang gadis yang harus
meyakinkan kepadanya, bahwa perguruan Kenaga adalah
perguruan pantas dihormati.
Ketika mereka telah berada di halaman, beberapa orang
cantrikpun ikut pula berkerumun. Mereka berdiri dalam
sebuah kelompok di sudut, sementara Gemak Werdi dan
gurunya berdiri di sebelah mereka. Makerti dengan wajah
yang tegang berada disisi yang lain, sementara anak gadis
yang akan bertanding dengan Mahsia Bungalan telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ketika tanpa
di sadari ia memandang wajah gadis itu, tiba-tiba saja
tersirat sesuatu di hatinya. Wajah gadis itu nampak secerah
matahari di langit. Sinar matanya bagaikan berpendar
dalam pelupuknya. Tetapi Mahisa Bungalan menjadi
tersipu-sipu ketika ia menyadari bahwa ia sudah berdiri di
arena yang ditonton oleh beberapa pasang mata.
"Nah, anak muda" berkata guru Gemak Werdi
"bersiaplah. Kau akan mengalami perlakuan yang mungkin
tidak kau senangi. Tetapi seperti yang sudah aku katakan,
aku tidak ingin menghukummu. Aku hanya ingin
meyakinkan, bahwa kau tidak akan dapat menganggap
perguruan ini per-guruan yang tidak masuk dalam
hitungan" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi dengan gerak
naluriah, maka iapun segera mempersiapkan dirinya.
Sepercik keseganan telah menghambatnya untuk melayani
gadis itu di arena. Hampir saja ia mengurungkan niatnya
dan pergi meninggalkan padepokan itu betapapun ia harus
menanggung malu. Namun tiba-tiba terbayang wajah ayahnya dan kedua
adik-adiknya, seolah-olah memberikan kesadaran
kepadanya, bahwa ia tidak berdiri seorang diri. Jika orangorang
padepokan itu dengan harga diri yang tinggi tidak
mau tersnggung oleh sikap yang mereka anggap
merendahkan martabat mereka, maka apakah Mahisa
Bungalan akan mengorbankan nama perguruannya de-ngan
membiarkan dirinya mendapat malu.
"Ayahku adalah Mahendra" geram Mahisa Bungalan
"aku pernah berguru kepada ayah, kepada paman Witantra
yang kebetulan memiliki arus ilmu yang sama dengan ayah,
Tetapi aku juga pernah mendapat banyak petunjuk dari
paman Mahisa Agni. Apakah dengan demikian aku akan
membiarkan nama mereka tercemar disini, bahwa murid
Mahendra yang kebetulan adalah ayahku sendiri, murid
Witantra dan Mahisa Agni, tidak mampu berbuat sesuatu di
sebuah perguruan yang terasing?"
Tiba-tiba saja darah Mahisa Bungalan bagaikan menjadi
hangat Keragu-ragunya tiba-tiba telah lenyap meskipun ia
masih tetap melihat seorang gadis cantik yang berdiri di
arena. Perubahan yang terjadi di dalam diri Mahisa Bungalan,
agaknya telah membayang di wajahnya. Guru Gemak
Werdi yang memperhatikan gerak jiwa Mahisa Bungalan
itu mengerutkan keningnya. Kini ia melihat anak muda itu
yang sebenarnya. Mahisa Bungalan nampaknya tidak lagi
berusaha mengekang, perasaannya, sehingga ia benar-benar
akan berdiri di arena sebagaimana dirinya.
Guru Gemak Werdi itu termangu-mangu sejenak. Anak
muda yang mulai berdiri tegak itu telah mendebarkan
jantungnya. Kaki Mahisa Bungalan yang merenggang, dan
punggungnya yang tidak membungkuk-bungkuk lagi,
tatapan matanya yang pasti dan tangannya yang tidak lagi
tergantung lemas di sisi tubuhnya, membayangkan bahwa
Mahisa Bungalan memang seorang anak muda yang
berilmu tinggi. Meskipun demikian, guru Gemak Werdi itu masih tetap
yakin akan anak gadisnya. Ia tahu pasti, bahwa anak
gadisnya memiliki ilmu melampaui Gemak Werdi dan
Makerti. Seluruh kemampuan yang ada padanya telah
dialirkan ke dalam perbendaharaan ilmu gadis itu.
Meskipun ia sadar, bahwa gadis itu masih harusmematangkannya
di dalam perjalanan hidupnya, tetapi
tidak ada seorang anak mudapun yang menyimpan bekal
sebanyak anak gadisnya menurut perhitungannya.
"Ia adalah aku sendiri" berkata guru Gemak Werdi itu di
dalam hatinya. Dalam pada itu, gadis itupun telah bersiap sepenuhnya.
Setapak ia bergeser. Wajahnya masih tetap cerah.
Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan tatapan matanya
yang tajam. Namun ada sesuatu yang kurang pada gadis itu menurut
Mahisa Bungalan. Dari sikap, tatapan matanya dan senyum
di sudut bibirnya, Mahisa Bungalan dapat membaca, bahwa
gadis itu mendapat petunjuk yang salah dari ayahnya.
Ayahnya tentu memberitahukan kepada gadis itu, bahwa
tidak ada orang lain yang mampu mengimbanginya.
Apalagi anak-anak muda yang sebaya. Itulah sebabnya,
maka nampaknya gadis itu kurang berhati-hati.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak mau
menganggap gadis itu lebih lemah daripadanya. Ia tetap
berhati-hati dan selalu berusaha menguasai diri dan
perasaannya, betapapun ia menyadari nama perguruannya
tidak harus dikorbankan. Sikap gadis itu ternyata kemudian pada langkah-langkah
berikutnya. Dengan kurang berhati-hati ia mengulurkan
tangannya menyerang Mahisa Bungalan, seolah-olah seperti
ingin menyentuh sebarang tonggak mati.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia harus
memperingatkan bahwa sikap itu sama sekali tidak
menguntungkanya. Jika Mahisa Bungalan salah langkah,
maka akan sangat berbahaya bagi gadis itu sendiri. Karena
itu, dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka Mahisa Bungalan sama sekali tidak bergerak. Ia
membiarkan tangan gadis itu menyentuh tubuhnya seperti
yang dikehendaki. Justru karena Mahisa Bungalan tidak berkisar sama
sekali, maka gadis yang menyerangnya itupun terkejut.
Tetapi ia tidak dapat menarik serangannya, Karena
tangannya itupun telah menyentuh tubuh Mahisa Bungalan
yang berdiri tegak seperti patung.
Sentuhan itu benar-benar telah membangunkan gadis itu
dari dugaan yang salah tentang anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu. Ia sama sekali tidak membayangkan,
bahwa Mahisa Bungalan memiliki daya tahan yang luar
biasa. Meskipun gadis itu sudah menduga, bahwa Mahisa
Bungalan memiliki kelebihan dari Gemak Werdi, namun ia
sama sekali tidak mengira, bahwa jarak itu telah
membuatnya menjadi berdebar-debar.
Karena itulah, maka gadis itupun menjadi sangat berhatihati.
Ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan
tertentu menghadapi Mahisa Bungalan.
Guru Gemak Werdi itupun terkejut bukan buatan. Ia
melihat anaknya menyerang. Ia menjadi bingung melihat
sikap Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak
menghiraukan serangan itu. Namun kemudian, iapun
menyadari, bahwa Mahisa Bungalan memiliki kelebihan
yang harus diperhitungkan dengan bersungguh-sungguh.
Sejenak kemudian, maka gadis itupun telah bersiap. Ia
tidak lagi menganggap Mahisa Bungalan anak muda yang
sekedar berbangga karena kelebihan-kelebihan kecil dari
orang lain. Tetapi ia kini menganggap bahwa Mahisa
Bungalan benar-benar lawan yang cukup berat.
Sejenak keduanya masih saling berpandangan, seolaholah
masing-masing masih ingin mengetahui kemampuan
lawannya. Namun sejenak kemudian, gadis padepokan
Kenaga itupun segera meloncat menyerang dengan kakinya
yang terjulur lurus. Mahisa Bungalan menyadari, bahwa serangan yang
berikut ini bukannya sekedar gerakan yang tidak berarti.
Karena itulah maka ia tidak membiarkan dirinya disentuh
lagi oleh serangan itu. Dengan cepat Mahisa Bungalan bergeser sambil
memiringkan tubuhnya Namun ternyata bahwa ia tidak
hanya sekadar ingin menghindar. Ketika kaki lawannya
masih terjulur lurus tanpa menyentuhnya, maka Mahisa
Bungalan dengan cepat pula telah memukul pergelangan
kaki gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa
Bungalan akan menyerang pergelangan kakinya. Karena
itu, gerakan yang sederhana dan tiba-tiba itu kurang
diperhatikannya. Namun tiba-tiba saja terasa pergelangan
kakinya disengat oleh perasaan sakit.
"Gila" ia bergumam. Selangkah ia meloncat mundur.
Tetapi iapun segera bersiap menghadapi serangan Mahisa
Bungalan yang menyusulnya.
Mahisa Bungalan ternyata telah memburunya. Lebih
cepat dari loncatan lawannya. Karena itu, maka demikian
kaki lawannya menyentuh tanah, maka kaki Mahisa
Bungalanpun telah menginjak jari-jarinya.
Ada niat Mahisa Bungaian mendorong lawannya di saat
kakinya sedang terinjak. Dengan demikian, maka
keseimbangan lawannya tentu akan terganggu. Bahkan jika
Mahisa Bungalan menghantamnya dengan serangan
sikunya, maka lawannya tentu akan jatuh terguling di arah
kaki yang terinjak itu. Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berbuat
demikian. Meskipun tangannya telah bergerak, namun ia
mengurungkan niatnya dan bahkan iapun telah meloncat
menjauh. Yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu benar-benar
telah mendebarkan jantung guru Gemak Werdi Ia melihat
anak gadisnya seolah-olah dihadapkan pada suatu ilmu
yang tidak dapat dimengertinya. Demikian cepat, sederhana
tetapi kadang-kadang aneh sekali.
"Anak itu akan dapat bertempur menyabung nyawa
dengan benturan- benturan kekerasan. Tetapi dengan
permainan itu, ia menjadi bingung" berkata guru Gemak
Werdi itu dalam hatinya. Tetapi agaknya bukan saja guru Gemak Werdi itulah
yang berpikir demikian. Gadis itu sendiri menganggap
bahwa gerakan yang aneh dari lawannya itu hanya
mungkin dilakukan, karena ia belum bertempur dengan
kemampuannya yang utuh. Itulah sebabnya, maka gadis itu telah merubah sikapnya.
Jika semula ia hanya ingin meyakinkan Mahisa Bungalan,
bahwa perguruan itupun mempunyai kemampuan yang
cukup untuk menghadapi orang-orang lain dari luar
padepokan, maka kemudian gadis itu di luar sadarnya telah
bertekad untuk bertempur dengan segala kemampuan yang
ada padanya. Sejenak kemudian, maka gadis itupun benar-benar telah
mempersiapkan diri. Ia tidak mau mengekang diri lagi
Karena itulah, maka iapun kemudian memusatkan segenap
kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat sikap
gadis itu. Agaknya ia benar ingin bersungguh-sungguh.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya, gadis itu ingin mengalahkan lawannya.
Selagi Mahisa Bungalan menilai lawannya, maka dengan
serta merta gadis itu telah menyerangnya. Sebuah patukan
jarinya yang lurus mengembang mengarah ke pundak.
Demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahisa Bungalan
terpaksa meloncat surut. Tetapi serangan itu tidak terhenti. Sambil meloncat maka
gadis itu telah menyerang pula dengan tangannya yang lain
dengan cara yang sama, sehingga Mahisa Bungalan
terpaksa undur selangkah lagi. Namun pada saat itulah
gadis itu berputar. Kakinya dengan derasnya telah
menyambar lambung Mahisa Bungalan.
"Bukan main" desis Mahisa Bungalan. Gadis itu mampu
bergerak cepat sekali. Namun Mahisa Bungalan masih
dapat bergerak lebih cepat, sehingga serangan-serangan itu
sama sekali tidak menyentuhnya.
Namun serangan beruntun yang dilakukan demikian
cepatnya, tetapi tanpa menyentuh lawannya itu benar-benar
telah memberikan gambaran, siapakah sebenarnya lawan
gadis itu. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
ada padanya, maka lawannya masih saja beringsut dan
bergeser. Nampaknya Mahisa Bungalan masih belum
bersungguh-sungguh. Pada saat yang demikian itu, barulah ayah gadis itu
menyadari Ia terlalu tergesa-gesa mengambil sikap hanya
sekedar memperhitungkan keterangan muridnya. Kini
setelah ia dihadapkan pada kenyataan itu, maka iapun
menyesal telah melihatkan anak gadisnya ke dalam
persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang
sederhana. Beberapa saat kemudian ia masih mengamati anak
gadisnya yang bertempur. Serangannya benar-benar datang
membadai dengan tingkat tertinggi ilmu padepokan
Kenanga. Kaki gadis itu bagaikan tidak berjejak di atas
tanah, Demikian ringan tubuhnya, seperti kapas yang
dipermainkan angin pusaran.
Tetapi jantungnya bagaikan berdetang semakin cepat
Dalam serangan yang membadai itu, lawan anak gadisnya
masih saja mampu menghindarinya dengan langkahi yang
nampaknya sederhana. "Gila" geram ayah gadis itu "ilmu iblis manakah yang
disadapnya" Jantungnya bagaikan semakin cepat berdentang ketika ia
melihat Mahisa Bungalan mulai membalas dengan
serangan-serangan. Agaknya anak muda itu akhirnya tidak
ingin menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Pada
kesempatan yang terbuka, maka mulailah Mahisa Bungalan
dengan serangannya. Adalah mengejutkan sekali bagi gadis itu, bahwa tibatiba
saja punggungnya telah tersentuh sisi telapak tangan
Mahisa Bungalan, meskipun tidak dengan sepenuh tenaga,
justru pada saat gadis itu meloncat menyerang. Agaknya
dengan kecepatan yang tidak dapat diimbanginya, Mahisa
Bungalan telah menghindar kesamping dan sebuah ayunan
tangannya telah memukul gadis itu dari belakang.
Tetapi daya dorong tangan Mahisa Bungalan tidak
menyebabkan gadis itu jatuh terjerembab. Meskipun sesaat,
keseimbangan gadis itu terganggu. Namun sejenak
kemudian ia berhasil memperbaiki keadaannya.
Pada saat yang demikian Mahisa Bungalan sudah siap
untuk meloncat menyerang pundak gadis itu. Tetapi tibativa
saja terpandang wajahnya yang cantik dan lembut,
sehingga di luar sadarnya ia telah mengurungkan niatnya.
Justru pada saat itu, lawannya telah menyerangnya selagi
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Kaki gadis itu terjulur
lurus mengarah ke lambungnya.
Namun seakan-akan gerak Mahisa Bungalan telah luluh
dengan gerak naluriahnya. Meskipun ia tidak menyadari
sepenuhnya, namun ia telah bergeser mengelak. Bahkan di
luar kehendaknya, Mahisa Bungalanlah menangkap kaki
gadis itu. Mahisa Bungalan telah siap mengangkat kaki gadis itu,
dan kemudian dengan kakinya menebas kaki gadis itu yang
lain, sehingga dengan demikian gadis itu tentu akan jatuh,
sementara dengan putaran pada pergelangan kaki dan
lipatan yang mapan, maka Mahisa Bungalan akan dapat
menguasai lawannya. Hanya dengan gerak yang cepat dan
tidak terduga, serta dilambari dengan kekuatan jasmaniah
yang sangat besar sajalah maka tu akan dapat melepaskan
diri. Namun ternyata tangkapan Mahisa Bungalan pada kaki
gadis itu, telah mengejutkan lawannya, sehingga di luar
sadarnya gadis itu terpekik.
Mahisa Bungalanpun terkejut. Justru karena ia tetap
sadar bahwa lawannya adalah seorang gadis, maka tiba-tiba
saja ia telah melepaskan tangkapannya pada kaki gadis itu
dan dengan serta meloncat surut.
Gadis itu terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian
wajahnya menjadi merah padam. Ada sentuhan pada
perasaannya sebagai seorang gadis. Jika Mahisa Bungalan
benar-benar melontarkan kakinya dan menjatuhkannya
dalam tangkapan kaki, maka tentu jantunya akan berhenti
mengalir. Bukan karena perkelahian itu, tetapi adalah
karena ia seorang gadis, sedangkan lawannya adalah
seorang anak muda. Mereka berdua masih belum dibatasi
oleh dendam dan pandangan yang gelap karena persoalan
yang bersungguh-sungguh, yang benari telah membunuh
perasaan dasar mereka. Melihat sikap gadis itu, maka Mahisa Bungalan menjadi
ragu-ragu. Dengan demikian, maka pertempuran itupun
tiba-tiba saja telah terhenti.
Yang terjadi semuanya itu tidak lepas dari pengawasan
ayah gadis itu. Ia melihat betapa anak gadisnya mengalami
kesulitan, bukan saja di arena perkelahian. Tetapi
nampaknya ia juga mengalami kesulitan perasaan justru
karena sikap Mahisa Bungalan.
Namun hal itu agaknya telah menyinggung perasaannya.
Di samping penyesalannya karena ia telah melibatkan anak
gadisnya yang sedang meningkat dewasa itu, iapun
menyesal, bahwa dengan demikian, maka niatnya untuk
menunjukkan kelebihan dari perguruannya telah menjadi
kabur karena ternyata anaknya tidak mampu mengimbangi
tingkat ilmu anak muda itu.
"Anak muda itu harus mendapat peringatan yang
sungguh-sungguh" berkata ayah gadis itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka agar nama perguruannya tidak menjadi
semakin lemah di mata Mahisa Bungalan, ayah gadis
itupun kemudian melangkah maju sambil berkata "Cukup.
cukup buat kalian. Selanjutnya, biarlah aku sendiri yang
mengurus anak muda itu"
Semua orang terkejut atas keputusan itu. Bahkan Makerti
telah bergeser sambil berdesis "Guru. Guru sendiri yang
akan melakukannya?" Guru Makerti itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Makerti sejenak. Kemudian Mahisa
Bungalan yang termangu-mangu. Katanya kemudian "Ya.
Aku akan menunjukkan bagaimana seharusnya ia
menghormati perguruan ini. Ternyata anak gadisku
mempunyai pertimbangan tersendiri. Ia telah dibebani
perasaan belas kasihan kepada anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu, sehingga ia tidak dapat berbuat
seperti yang aku katakan kepadanya, agar ia meyakinkan
anak muda itu, bahwa perguruan ini bukannya perguruan
yang lemah dan mengharapkan belas kasihannya"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia melihat
sorot mata yang dalam pada orang tua itu. Menilik sikap
dan geraknya, menilik ketajaman ilmu yang dilontarkannya
di tempat ia menginap, dan menilik kata-katanya, maka ia
tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya. Dan
iapun tentu benar-benar memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Tetapi Mahisa Bungalanpun kemudian kembali kepada
kesadarannya, bahwa ia tidak berdiri atas namanya sendiri.
Tetapi ia berdiri atas nama perguruannya pula. Itulah
sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri. Ketika
guru Gemak Werdi itu melangkah ke arena, maka ia sudah
siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi sekali lagi Mahisa Bungalan tertarik kepada sikap
gadis yang baru saja melawannya. Demikian ia bergeser
dan arena, maka tatapan matanya yang tajam menyala
itupun segera menjadi luluh. Wajahnya tidak lagi terangkat
dengan carikan di ujung bibirnya. Tetapi wajah itu menjadi
agak menunduk. "Apakah ia mengalami perubahan perasaan atau
kekecewaan yang mempengaruhi sikapmu?" pertanyaan itu
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tumbuh di hati Mahisa Bungalan " atau barangkali ia
memang hidup di atas dua dunia yang berbeda"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berangan-angan
terus. Tiba-tiba saja guru Gemak Werdi itu berkata
menghentak "Bersiaplah. Aku ingin menunjukkan
kepadamu, bagaimana kau harus menghormati kami disini"
Mahisa Bungalan mengerutkan dahinya. Namun
kemudian iapun bergeser sambil menyilangkan tangannya
di dada. Sejenak kemudian mereka masih saling berdiam diri.
Ketika lawannya bergeser, Mahisa Bungalanpun bergeser
pula. Namun sejenak kemudian, lawannya telah mulai
menyerang. Tangannya terjulur lurus. Seperti sikap anak
gadisnya maka jari-jarinyapun terkembang lurus mengarah
ke dada. Mahisa Bungalan tidak berani membiarkan lawannya
menyentuhnya. Ia bergeser selangkah. Iapun kemudian
menjajagi kesikapan lawannya dengan serangan kaki.
Ternyata lawannya cukup cepat. Sebuah loncatan kecil
telah membebaskannya dari garis serangan Mahisa
Bungalan. Bahkan kemudian iapun mulai meloncat dengan
serangan yang lebih bersungguh-sungguh.
Mahisa Bungalanpun merasakan tekanan yang menjadi
semakin berat. Ia sadar, bahwa lawarnya menjadi semakin
bersungguh-sungguh dalam perkelahian itu. Dengan
demikian, maka itupun telah meningkatkan pula
perlawannya, untuk menyesuaikan diri agar ia tidak segera
terdesak. Sikap Mahisa Bungalan membuat lawannya menjadi
semakin cepat bergerak. Bahkan lawannya mulai
melepaskan unsur-unsur geraknya yang semakin rumit.
Tetapi ia menjadi heran. Ketika ia sudah mulai pada
tingkat ilmu yang lebih tinggi, anak muda itu masih tetap
dapat mengimbanginya. "Anak ini benar-benar anak aneh" gumamnya "aku
sudah berada pada tingkatan yang hampir sampai ke
puncak ilmuku" Sementara itu Mahisa Bungalanpun selalu berusaha
untuk mempertahankan dirinya. Ia tidak mau
mempertaruhkan nama ayahnya, nama pamannya Witantra
dan nama Mahisa Agni. Itulah sebabnya, setiap tingkatan
ilmu lawannya, diimbanginya pula dengan tataran yang
lebih tinggi. Akhirnya, guru Gemak Werdi mencoba untuk
melepaskan beberapa unsur gerak tertinggi yang ada
padanya. Iapun tidak mau mempertaruhkan namanya.
Apalagi ia sudah terlanjur terjun sendiri ke dalam arena
perkelahian itu. Ketika serangan lawannya datang semakin cepat, maka
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Apakah iapun
harus mengimbanginya. Dengan demikian, maka
perkelahian itu semakin lama akan menjadi semakin
bersungguh-sungguh. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapar membiarkan
pundaknya disakiti, atau perutnya menjadi mual.
Selebihnya ia harus tetap mempertahankan nama
perguruannya. Dengan demikian, maka seperti yang diduga
oleh Mahisa Bungalan, perkelahian itupun semakin lama
menjadi semakin seru. Beberapa unsur gerak tertinggi dari
ilmunya, telah dilepaskan oleh guru Gemak Werdi. Namun
ia masih belum dapat menguasai lawannya yang masih
muda itu. Karena itulah, maka hatinya menjadi semakin panas.
Meskipun ia termasuk orang yang sudah cukup usia dan
perasaannyapun cukup mengendap, namun digelitik oleh
kenyataan, hatinyapun menjadi panas.
Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu
menjadi berdebar-debar. Mereka melihat setiap gerak
menjadi semakin cepat dan keras. Bahkan akhirnya, mereka
melihat, keduanya telah benar-benar terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Mahisa Bungalan tidak dapat menghindari kenyataan
itu. Serangan lawannya datang bagaikan badai yang
semakin dahsyat, sehingga iapun telah sampai pula kepada
ilmunya ditataran tertinggi.
"Anak gila" geram guru Gemak Werdi "ternyata ia
benar-benar mampu mengimbangi ilmuku. Ia berada pada
tataran yang jauh lebih tinggi dari dugaanku"
Dengan demikian maka perkelahian itupun semakin
lama menjadi semakin meningkat. Guru Gemak Werdi
itupun kemudian telah dipengaruhi oleh perasaannya,
sehingga pengekangan dirinya menjadi semakin
mengendor. Sementara itu justru Mahisa Bungalanlah yang masih
selalu berusaha menguasai perasaannya. Ia masih dalam
tingkat mengimbangi lawannya. Setiap kali lawannya
meningkatkan tekanannya, maka Mahisa Bungalanpun
meningkatkan pertahanannya pula.
Setelah bertempur untuk waktu yang cukup lama, tetapi
tidak seujung jarinyapun yang sempat menyentuh kulit
Mahisa Bungalan, maka hati lawannyapun menjadi
mendidih pula karenanya. Di hadapan para murid dan
cantrik di padepokan itu, ia harus menunjukkan bahwa ia
adalah seorang guru yang mumpuni. Apalagi atas anak
muda yang namanya masih belum dikenal itu. Karena itu,
maka ketika segala usahanya untuk menguasai Mahisa
Bungalan tidak berhasil, maka guru Gemak Werdi pun
sampai pada puncak kemampuannya. Ia tidak lagi dapat
mengekang diri menghadapi Mahisa Bungalan yang luar
biasa. Makerti, Gemak Werdi dan anak gadis yang telah
menjajagi kemampuan Mahisa Bungalan itupun menjadi
berdebar-debar. Mereka melihat gurunya telah
meningkatkan ilmunya sampai puncak tertinggi
"Apakah Mahisa Bungalan akan dapat bertahan lebih
lama lagi" Berkata Makerti di dalam hatinya.
Namun sementara itu, Gemak Werdi yang. meskipun
juga berdebar-debar, namun ia memang berharap bahwa
Mahisa Bungalan akan melihat kenyataan, bahwa
perguruannya adalah perguruan yang tidak dapat
direndahkan. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah benar-benar
terdesak. Lawannya telah mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Perguruan yang
dinamainya Perguruan Kenanga itu benar-benar harus
mempertahankan harga dirinya.
Mahisa Bungalan yang masih selalu mengekang dirinya,
benar-benar telah terdesak. Bahkan, karena ia hanya
berusaha untuk mengelak dan menghindar, akhirnya ia
kehilangan kesempatannya.
Kecepatan bergerak lawannya telah mendorongnya pada
Suatu keadaan yang tidak tertahankan lagi Ketika serangan
lawannya di puncak ilmunya itu datang membadai, maka
Mahisa Bungalan tidak lagi berhasil mengelakkan setiap
serangannya. Ketika Mahisa Bungalan mulai tersentuh tangan
lawannya, maka terasa kulitnya menjadi pedih. Sentuhansentuhan
yang mula-mula tidak terlalu keras. Tetapi yang
semakin lama semakin terasa sakit. Bukan saja pada
wadagnya, tetapi juga pada hatinya.
Ketika selintas Mahisa Bungalan melihat wajah-wajah
yang tegang di pinggir arena, maka hatinyapun tergetar.
Kesadaran dirinyapun menjadi semakin bergelora di dalam
hatinya. Dan suatu tekad telah meledak diliatinya "Aku
tidak mau menjadi tontonan disini"
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
benar-benar telah menempatkan diri sebagai lawan dalam
sebuah perang tanding"
Sikapnya yang terpancar dari tekad yang pasti itu telah
mengejutkan lawannya pula. Nampaknya anak muda itu
menjadi semakin garang dan semakin keras.
Sambil menggeram Mahisa Bungalanpun meloncat
dalam kesiagaan sepenuhnya. Ia tidak lagi sekedar
menghindar dan mengelaki Ia tidak mau disakiti oleh
lawannya, dan ia tidak mau menjadi tontonan karena
pimpinan perguruan itu ingin menunjukkan kelebihannya di
hadapan orang-orangnya. Yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran yang
sangat dahsyat. Betapapun tinggi ilmu guru Gemak Werdi,
namun yang dihadapinya adalah Mahisa Bungalan.
Meskipun masih muda, tetapi Mahisa Bungalan adalah
perasan dari ilmu yang tiada taranya. Ia adalah orang yang
pernah membunuh pimpinan tertinggi di Mahibit yang
menentang pemerintahan Singasari.
Karena itu, maka pertempuran itupun telah menyala
dengan dahsyatnya. Bagaimanapun juga, akhirnya
kemarahan Mahisa Bungalanpun telah digelitik oleh
kedaan, seolah-olah ia telah dihadapkan pada seorang yang
dapat menentukan apa saja atas dirinya.
Guru Gemak Werdi benar-benar terkejut menghadapi
kenyataan itu. Tetapi iapun tidak dapat melangkah surut. Ia
sudah bertekad untuk menunjukkan kelebihan
perguruannya, namun lawannyapun telah bertekad untuk
mempertahankan harga dirinya.
Pertempuran yang semula terjadi dalam batas yang
sempit itupun telah bergeser. Semakin lama semakin luas.
Langkah mereka menjadi semakin panjang, dan kekuatan
yang terlontarpun menjadi semakin besar.
Hempasan serangan Mahisa Bungalan seolah-olah telah
menimbulkan angin pusaran. Setiap sentuhan serangan
lawannya, telah dibalasnya pula. Setiap kali keduanya telah
terlihat dalam putaran yang membingungkan.
Namun ternyata bahwa maksud guru Gemak Werdi
untuk menunjukkan harga diri padepokannya itu semakin
lama justru menjadi semakin kabur. Meskipun orang
terpenting di padepokan itu telah turun ke arena, namun
yang dihadipinya benar-benar seorang yang tiada taranya.
Dalam beberapa benturan yang kemudian terjadi, maka
keduanya mulai dapat mengerti, kekuatan yang sebenarnya
dari kedua belah pihak. Karena itulah, maka guru Gemak
Werdi itupun tidak akan dapat mengelakkan diri dari
kenyataan, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang
berkekuatan raksasa. Tetapi harga diri orang tua itu tidak mau menjadi
semakin parah menghadapi Mahisa Bungalan. Ia benarbenar
telah mengerahkan puncak ilmunya dan bahkan
kemudian segenap tenaga cadangan yang dapat
dihimpunnya. Tenaga yang justru mempunyai kekuatan
berlipat dari kekuatan wajarnya.
Itulah sebabnya kemudian di arena itu bagaikan telah
bertiup badai yang dahsyat mengguncang dedaunan dan
dahan-dahan. Orang-orang yang semula berada di sekitar arena itupun
telah berpencaran. Mereka berloncatan menjauh ketika
langkah-langkah kedua orang yang bertempur itu menjadi
semakin panjang. Bahkan mereka kemudian tidak lagi
menghiraukan tanaman di halaman. Pohon bunga soka dan
ceplok piring telah berserakkan rata dengan tanah. Bahkan
pohon kemuning di pinggir halaman Itupun telah rontok,
bukan saja bunganya, tetapi juga daunnya. Dahandahannyapun
berparahan dan berjatuhan di tanah.
Benturan demi benturan tidak dapat dielakkan. Serangan
yang dahsyat saling berbenturan.
Betapapun juga orang tua itu mengerahkan segenap
kemampuannya, namun ia tidak dapat memaksa anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu menjadi lumpuh.
Bahkan anak muda itupun semakin lama justru menjadi
semakin garang. Mahisa Bungalan yang berjuang bukan saja
membebaskan diri dari serangan lawan, tetapi juga bertahan
untuk tidak hanyut oleh arus perasaannya, lambat laun
menjadi semakin panas pula darahnya, Ia masih jauh lebih
muda dari guru Gemak Werdi itu, sehingga karena itu,
maka jika orang tua itu tidak lagi mampu mengekang diri,
apalagi Mahisa Bungalan yang muda.
Ternyata bahwa guru Gemak Werdi memang memiliki
pengalaman yang luas dalam olah kanuragan, sesuai
dengan umurnya. Namun demikin, Mahisa Bungalan yang
muda itu agaknya tidak pula kalah dalam pengalaman.
Mahisa Bungalan adalah anak muda yang sudah terbiasa
berpetulang. Melihat daerah yang jauh dan menempuh
perjalanan yang gawat. Sudah banyak lawan yang
dihadapinya, sehingga sudah banyak pula ilmu yang
dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ketika ia tidak lagi dapat
menguasai dirinya, maka iapun telah melepaskan segenap
tenaga cadangan yang ada padanya pula.
Benturan ilmu tertinggi itu telah membuat padepokan
kecil itu bagaikan berguncang.
Dengan marah guru Gemak Werdi telah
mempergunakan segenap kekuatan yang ada menyerang
dada Mahisa Bungalan dengan kelima jarinya yang rapat
terbuka. Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak
dengan loncatan kecil. Dengan cepat dan keras Mahisa
Bungalan telah melontarkan serangan dengan kakinya yang
berputar mendatar mengarah lambung. Tetapi
lawannyapun sempat meloncat surut Dengan sekuat tenaga
lawannya memukul pergelangan kaki Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkan kakinya
kesakitan. Ia menarik kakinya dalam setengah putaran.
Kemudian tiba-tiba saja ia melenting seperti seekor bilalang.
Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat
mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah memiringkan
tu-buhnya dan menangkis serangan itu dengan sikunya.
Benturan yang dahsyat tidak dapat dielakkan. Agaknya
Mahisa Bungalan tidak lagi membatasi tenaganya. Karena
itulah, maka lontaran tenaga sepenuh kekuatannya itu telah
mendorong lawannya beberapa langkah.
Guru Gemak Werdi itupun terhuyung-huyung
karenanya. Hampir saja ia tidak berhasil menguasai
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keseimbangannya. Namun ketika Mahisa Bungalan
memburunya, ia berhasil melenting beberapa langkah.
Demikian kedua kakinya menjejaki tanah, maka iapun telah
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan yang memburunya telah melihat
kesiagaan lawannya. Namun sekali lagi Mahisa Bungalan
berusaha membenturkan kekuatannya. Sekali dengan
sepenuh kekuatannya ia meloncat menyerang dengan kaki
lurus mendatar. Lawannya tidak mau membenturkan kekuatannya. Ia
sempat mengelakkan, sehingga Mahisa Bungalan meluncur
sejengkal disisinya. Namun pada saat itulah justru orang tua
itu telah berusaha menyerang Mahisa Bungalan dengan
hentakkan jarinya yang rapat mengembang pada
lambungnya. Mahisa Bungalan menggeliat, sehingga ia berhasil
berkisar dari garis serangan lawannya. Namun lawannya
sempat pula merubah arah tangannya sambil meloncat
memburu. Mahisa Bungalanlah yang kemudian tidak sempat
mengelak. Tetapi ia menyadari serangan yang datang ke
dadanya. Sambil menarik tubuhnya miring kekiri, ia
memukul tangan lawannya. Tetapi ternyata lawannya
sudah memperhitungkannya. Tangannya ditariknya, namun
kemudian sikunyalah yang menyerang, justru kening
Mahisa Bungalan. Dengan sigap Mahisa Bungalan menahan serangan itu
dengan tangan kirinya. Namun ternyata serangan itu sangar
kuatnya, sehingga meskipun sudah dilambari dengan tangat
kirinya, namun serangan itu berhasil menyentuh keningnya.
Serangan itu tidak membuat keningnya menjadi sakit,
meskipun kepalanya terdorong sejengkal. Namun sentuhan
itu membuat hati Mahisa Bungalan menjadi semakin panas.
Itulah agaknya ia sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada lawannya. Sebelum lawannya menarik sikunya,
maka Mahisa Bungalan telah meloncat kesamping
mengambil ancang-ancang. Dengan kecepatan yang luar
biasa, maka iapun kemudian menghantam lawannya
dengan punggung kepalan tangannya mendatar setinggi
punggung. Serangan itu begitu tiba-tiba. Lawannya berusaha untuk
memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu. Tetapi
ia terlambat. Meskipun bukan punggungnya, tetapi
pundaknyalah yang telah terhantam oleh kekuatan Mahisa
Bungalan yang tiada taranya.
Lawannya itupun menyeringai kesakitan. Bahkan sekali
lagi ia terdorong ke samping. Selagi ia masih terhuyunghuyung,
maka kaki Mahisa Bungalan sekali lagi bergeser,
menghantam paha lawannya dari samping.
Orang tua itu tidak lagi mampu mempertahankan
keseimbangannya. la tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia
harus jatuh berguling. Namun dengan sigapnya iapun telah
melenting berdiri dengan kesiagaan sepenuhnya
menghadapi segala kemungkinan.
Namun pada saat itu pulalah datang serangan Mahisa
Bungalan bagaikan badai menghantam gerurnbul perdu di
padang terbuka. Demikian dahsyatnya, sehingga lawannya
yang sudah berada di puncak kemampuannya itu tidak
mampu bertahan lagi. Kekuatan Mahisa Bungalan benarkekuatan
yang tidak terlawan. Meskipun Mahisa Bungalan
belum mempergunakan puncak ilmu pamungkasan yang
diterimanya dari ayahnya dan Mahisa Agni yang telah
luluh dalam dirinya, namun ternyata bahwa lawannya,
meskipun sudah tertahan oleh tangannya yang bersilang itu,
telah melemparkanya beberapa langkah surut. Kemudian
rasa-rasanya keseimbangannyapun telah lenyap sehingga
iapun kemudian berputar sekali dan jatuh terjerembab.
Yang terjadi itu benar-benar mengguncangkan dada
setiap orang yang menyaksikan, terutama murid-murid dari
perguruan Kenanga. Mereka harus melihat kenyataan,
bahwa gurunya terjatuh dan dengan susah payah berusaha
untuk bangkit. Anak gadisnya yang berdiri termangu-mangu, tiba-tiba
saja telah meloncat maju sambil berkata lantang "Kau tidak
dapat dimaafkan lagi"
Mahisa Bungalan tertegun. Apalagi ketika kemudian
Gemak Werdi telah melangkah maju pula diikuti oleh
beberapa orang cantrik. Bahkan yang mengguncangkan
dada Mahisa Bungalan adalah justru Makerti telah berdiri
menghadapinya pula sambil berkata "Yang kau lakukan
adalah sudah keterlaluan Mahisa Bungalan. Aku adalah
muridnya, yang siap untuk menuntut balas"
Mahisa Bungalan berdiri tegak seperti patung. Namun ia
mencoba untuk melihat kenyataan yang mengepungnya.
Murid-murid dari perguruan Kenanga.
"Apaboleh buat" tiba-tiba saja ia menggeram "aku bukan
tontonan di sini Bukan pula sasaran untuk sekedar
melepaskan kekecewaan karena kedunguan Gemak Werdi
yang terjadi di Watan itu. Aku adalah Mahisa Bungalan
yang juga mempunyai harga diri seperti kalian. Jika
semuanya memang tidak dapat dicegah lagi ,maka harga
diriku adalah nyawaku"
Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan setiap
dada. Apalagi ketika nampak oleh mereka sorot mata
Mahisa Bungalan yang bagaikan memancarkan api Namun
merekapun berkata pula di dalam hati masing-masing
"Harga diriku juga bernilai seperti nyawaku"
Sejenak kemudian Mahisa Bungalan telah berdiri di
dalam sebuah lingkaran. Para murid dari padepokan itu
telah mengepung Di tiga penjuru berdiri Gemak Werdi,
Makerti dan anak gadis pimpinan padepokan Kenanga yang
telah dijatuhkan oleh Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu Mahisa Bungalanpun telah
mempersiapkan dirinya. Ia tidak lagi mempunyai
bermacam-macam pertimbangan. Bahkan iapun tidak lagi
berusaha mengekang diri seandainya sentuhan tangannya
akan berakibat maut bagi siapapun juga.
Setiap jantungpun terasa berdegup semakin cepat.
Ketegangan menjadi semakin memuncak pula. Namun
pada saat Mahisa Bungalan siap meloncat menyerang setiap
orang yang mengepungnya, tiba-tiba terdengar suara dalam
nada yang dalam "Tunggu, tunggulah"
Semua orang tertegun. Ketika mereka kemudian
berpaling, dilihatnya guru Gemak Werdi itu berdiri tertatihtatih
mendekati arena. Mahisa Bungalan beringsut setapak. Ia menjadi curiga,
bahwa orang tua itupun akan ikut beramai*ramai
mengeroyoknya pula. Namun orang itupun berkata "Hentikan permusuhan
ini" Semua orang menjadi termangu-mangu, sementara orang
tua itu berkata "Hentikan. Kita sudah kehilangan
pengamatan diri menghadapi anak muda itu. Ternyata
bahwa kita tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa
perguruan kita yang kecil ini bukanlah apa-apa baginya"
Para murid menjadi heran, sementara orang tua itu
meneruskan "Pada saat-saat terakhir dari permainan angger
Mahisa Bungalan. terbukti betapa tinggi ilmu yang
dimilikinya. Meskipun kita penghuni seluruh padepokan ini
bersama-sama melawannya termasuk aku sendiri, namun
kita tidak akan dapat berbuat banyak. Aku yakin, bahwa di
atas kekuatannya yang baru saja kita saksikan, angger
Mahisa Bungalan masih mampu melepaskan ilmu yang
jauh lebih dahsyat lagi. Ilmu yang akan dapat membakar
seluruh pade-pokan ini menjadi hangus"
Murid-muridnya mendengar keterangan gurunya itu
dengan bersungguh-sungguh. Mereka memang sudah
melihat, betapa anak muda itu berhasil merobohkan
gurunya. Namun mereka tidak menyadari kekuatan apakah
yang masih tersimpan pada anak muda itu, yang akan dapat
dilontarkannya setiap saat jika keadaan memaksa.
Kekuatan ilmu yang seolah-olah dapat meruntuhkan
gunung. Selagi para muridnya masih dicengkam oleh ketidakpastian,
maka orang tua itupun kemudian mendekati
Mahisa Bungalan sambil berkata "Angger Mahisa
Bungalan, aku mohon maaf atas sambutanku yang kurang
baik di padepokan ini. Tetapi ketahuilah, bahwa ternyata
kami telah menerima kunjungan seorang anak muda yang
tidak ada duanya" Mahisa Bungalan masih berdiri tegak bagaikan patung,
la masih diliputi oleh kecurigaan menghadapi seluruh
penghuni padepokan itu. Sementara itu, orang tua itu
meneruskan "Semalam, ketika aku menjajagi ketahanan
ilmu angger ternyata aku sudah salah hitung. Aku kira
angger benar-benar tidak mampu mengatasi lontran ilmuku.
Tetapi agaknya karena kebodohanku sajalah, maka aku
tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi"
Mahisa Bungalan masih tetap berdiam diri. Ia masih
belum dapat melepaskan diri dari suasana yang baru saja
mencengkam padepokan itu. Apalagi Mahisa Bungalan
masih melihat murid-murid padepokan itu masih tetap
bersiaga, termasuk Makerti.
Namun sekali lagi guru mereka itu berkata "Kalian tidak
perlu berbuat apa-apa lagi. Cepat, tinggalkan tempat ini,
dan pergilah merebus air dan menanak nasi. Kalian dapat
menangkap dua ekor ayam yang paling gemuk untuk
menjamu tamu kita" Para cantrik masih termangu-mangu .Namun merekapun
kemudian bergeser seorang demi seorang, sehingga
akhirnya yang tinggal hanyalah Gemak Werdi, Makerti dan
gadis yang masih tetap memandang Mahisa Bungalan
dengan curiga. "Kemarilah. Duduklah di pendapa" ajak orang tua itu.
Melihat sikapnya, Mahisa Bungalan lambat laun
ditumbuhi juga kepercayaan kepadanya, bahwa ia tidak
akan berbuat jahat. Sehingga karena itu, maka iapun
kemudian mengikutinya naik ke pendapa.
Makerti yang mengikutinya di belakang berdesis di
telinga Mahisa Bungalan "Aku mohon maaf. Aku tidak
dapat melihat guruku mengalami kesulitan"
Mahisa Bungalan tersenyum Katanya "Aku mengerti.
Kau adalah murid yang baik"
Sejenak kemudian merekapun telah duduk di pendapa
mengelilingi minuman hangat yang dihidangkan. Dengan
nada datar orang tua Itupun kemudian berkata "Angger
Mahisa Bungalan. Ternyata kami salah menilai angger.
Meskipun aku sudah menduga bahwa angger memang
memiliki kemampuan, tetapi ternyata yang ada sangat jauh
dari perhitunganku semula"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
"Perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Aku
adalah seorang tua yang memimpin padepokan ini. Orang
menyebutku Ki Kenanga, namun kadang-kadang juga
disebut Ki Selabajra. Gadis itu adalah anakku yang disebut
Amrik yang juga kadang-kadang dipanggil Ken Padmi.
Sedangkan dua orang muridku yang lain tentu sudah kau
kenal" Mahisa Bungalan mengangguk hormat. Katanya
"Terima kasih Kiai. Aku senang sekali dapat berkenalan
dengan Kiai" "Sekali lagi aku minta maaf atas penerimaan yang tidak
ramah ini" "Aku juga minta maaf Kiai. Mungkin kedatanganku
telah mengguncangkan ketenangan padepokan ini,
meskipun maksudku bukan demikian"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku mengerti. Akupun menyadari bahwa yang
kau lakukan bukannya dengan sengaja menghina perguruan
ini. Tetapi rasa-rasanya adalah terlalu berat untuk
menerima belas kasihan dari seseorang yang belum kami
kenal" "Aku melakukannya tanpa maksud buruk"
"Karena itulah, maka yang ingin kami lakukan
sebenarnya hanyalah sekedar menunjukkan harga diri.
Namun agaknya perasaan ini tidak lagi dapat kami kuasai.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Pengakuan yang jujur itu telah membuat penilaiannya atas
orang-orang padepokan itupun agak berubah.
"Karena itu ngger" berkata Ki Kenanga yang juga sering
disebut Ki Selabajra "anggaplah yang terjadi itu betul-betul
suatu kekhilafan" "Marilah kita lupakan Kiai. Jika maksud kedatanganku
kemari sudah dapat dimengerti, aku sudah mengucapkan
beribu terima kasih"
"Kami mengerti ngger. Bahkan lebih daripada itu.
Ternyata meskipun usia angger masih jauh lebih muda dari
umurku, namun angger adalah seorang yang telah dewasa
lahir dan batin" Mahisa Bungalan mengangkat Wajahnya sejenak.
Namun udiam sambil menundukkan kepalanya ia
bergumam "Jangan memuji Kiai. Aku tidak lebih dari yang ada ini"
"Yang ada itulah yang luar biasa" sahut Ki Selabajra
"aku ingin mohon agar angger bersedia bermalam di sini
untuk satu dua malam"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ketika ia
berpaling kepada Makerti, maka sorot mata Makertipun
seolah-olah telah mempersilahkannya pula. Karena itu
maka katanya "Terima kasih Kiai. Jika Kiai sudi menerima
aku bermalam" "Tentu, tentu ngger. Aku senang sekali menerima angger
bermalam di sini" Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya pula sejenak,
seolah-olah ia ingin tahu, apakah orang tua itu berkata
dengan jujur. Namun nampak pada sorot matanya, maka
yang dikatakannya itu benar-benar terloncat dari hatinya.
Nampaknya ia benar-benar menerima Mahisa Bungalan
bermalam dengan senang. Ketika kemudian beberapa jamuan makan dihidangkan,
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka Mahisa Bungalanpun minta diri untuk mencuci
tangan dan kakinya di sumur, di halaman samping
padepokan itu. Pada saat Mahisa Bungalan turun itulah, Makerti telah
menceriterakan, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan sama
sekali tidak dicengkam oleh ilmu yang dilontarkan Ki
Selabajra semalam. Mahisa Bunglan sama sekali tidak
tertidur nyenyak sehingga tidak menyadari apa yang telah
terjadi. "Dan kau juga mampu melepaskan diri dari pengaruh
ilmuku?" bertanya guru Makerti.
"Sebenarnya aku tidak mampu lagi guru. Tetapi ketika
Mahisa Bungalan memegang tanganku, rasa-rasanya ada
semacam arus yang hangat mengalir ke seluruh tubuhku,
sehingga aku dapat bertahan diri dari pengaruh ilmu guru
yang sebenarnya tidak terlawan itu"
"Jadi kau juga telah dibebaskan dari pengaruh ilmu itu
oleh Mahisa Bungalan?"
"Ya guru" Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Makerti sejenak. Kemudian Gemak Werdi
dan anak gadisnya yang menunduk.
"Jika demikian, ia benar-benar anak muda yang luar
biasa. Ia tentu memiliki ilmu yang belum pernah kita
ketahui dan tidak dapat kita bayangkan tingkat
kemampuannya" berkata orang tua itu.
Pembicaraan itupun segera terputus, karena Mahisa
Bungalan telah datang kembali, dan duduk diantara
mereka. Sejenak kemudian merekapun telah menikmati
hidangan makan bersama. Meskipun sudah tidak ada masalah lagi diantara mereka,
namun rasa-rasanya masih saja ada jarak antara Gemak
Werdi dan Mahisa Bungalan. Anak muda itu masih saja
dibayangi oleh sikap Mahisa Bungalan di Watan Di
hadapan banyak orang, Mahisa Bungalan telah
memperkecil arti kehadirannya.
"Kenapa ia tidak dengan tulus membantuku" pertanyaan
itulah yang selalu mengganggunya "Bahkan ia telah
memperkecil arti kehadiranku di padukuhan itu.
Seharusnya orang-orang Watan merasa bahwa aku telah
membebaskan mereka dari tingkah laku yang jahat dari Ki
Lambun dan orang-orangnya"
Namun Gemak Werdi menahan semuanya itu di dalam
hatinya. Ia sadar, bahwa gurunya sudah mulai terpengaruh
oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.
Apalagi setelah anak muda itu menunjukkan
kemampuannya. Bahkan gurunya menganggap bahwa
Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang tatarannya tidak
dapat dibayangkan. Seperti yang diminta oleh Ki Selabajra, maka Mahisa
Bungalan telah tinggal untuk dua tiga hari di padepokan
kecil itu. Dengan demikian, maka Makertipun tidak segera
pulang ke rumahnya. Iapun tinggal pula di padepokan itu
untuk mengawani Mahisa Bungalan. Demikian pula
Gemak Werdi. Namun dalam pada itu, yang sangat mengherankan
Mahisa Bungalan adalah gadis yang bernama Ken Padmi
itu. Ketika ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya, ia
menganggap bahwa gadis itu adalah gadis yang sombong.
Ia dengan dada tengadah telah menantangnya memasuki
arena perkelahian atas nama perguruannya.
Tetapi yang dilakukan itu agaknya adalah sekedar
perintah ayahnya. Dalam pergaulan sehari-hari, ternyata
gadis itu adalah gadis yang luruh. Hampir setiap saat ia
selalu menundukkan kepalanya. Langkahnya lembut dan
sorot matanya terasa lunak.
Pada malam pertama Mahisa Bungalan berada di
padepokan itu, ia telah melihat, bahwa sebenarnya
padepokan itu termasuk padepokan yang tenang. Namun
agaknya karena Ki Selabajra terlalu yakin akan
perguruannya yang terpencil itu, sehingga beberapa orang
muridnya yang kurang perbendaharaan pengalaman,
menganggap bahwa perguruan itu adalah perguruan yang
terbaik di seluruh muka bumi. Mereka sudah menerima
ilmu cukup dari padepokan ini menganggap bahwa mereka
akan dapat berbuat apa saja terhadap orang lain.
Meskipun Ki Selabajra tidak mengajarkan kejahatan,
tetapi satu dua orang muridnya yang merasa dirinya tidak
terkalahkan itu, kadang-kadang dapat menyulitkan diri
mereka sendiri. Seperti yang telah dilakukan oleh Gemak
Werdi yang hampir saja merenggut nyawanya sendiri,
karena di luar per-hitungannya ia telah bertemu dengan
orang yang bernama Ki Lambun yang memiliki ilmu yang
tinggi pula. Tanpa mengajukan permintaan, Ki Selabajra telah
memberi kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk
menyaksikan latihan-latihan bagi dua orang murid pada
tataran tertinggi dari perguruan Kenanga. Jika mereka
sudah dapat menguasai ilmu pada tataran tertinggi itu,
maka mereka berdua akan dapat dilepas seperti Gemak
Werdi. "Keduanya memiliki dasar yang sangat baik" desis
Mahisa Bungalan ketika Ki Selabajra minta pendapatnya
tentang kedua orang muridnya.
"Mereka akan menjadi seorang anak muda yang
mengagumkan seperti Gemak Werdi" berkata Ki Selabajra
"tetapi mereka tentu tidak banyak berarti bagi angger
Mahisa Bungalan" Mahisa Bungalan tidak menyahut.
Dalam pada itu, kedua murid Ki Selabajra itu
memperlihatkan, bahwa cara yang ditempuh oleh orang tua
itu untuk menurunkan ilmunya, termasuk cara yang baik
menurut penilaian Mahisa Bungalan. Meskipun tidak
seluruh yang ada di dalam perbendaharaan pengetahuan Ki
Selabjra dituangkan, namun keduanya, seperti juga Gemak
Werdi dan Makerti, mendapat kemungkinan untuk
mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya. Seseorang yang
memiliki ketajaman penglihatan dan kecerdasan pikiran,
akan dapat mengembangkan ilmunya setinggi-tingginya.
Adalah di luar dugaannya, bahwa pada saat itu tiba-tiba
saja Ken Padmi masuk ke dalam sanggar. Tetapi gadis itu
terkejut ketika ia melihat Mahisa Bungalan ada di dalam
sanggar itu pula. Dengan tergesa-gesa ia berbalik dan
melangkah keluar. Tetapi ayahnya memanggilnya
"Kemarilah Duduklah di sini"
Gadis itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
mendekati ayahnya dan duduk disebelahnya pula.
"Setelah keduanya selesai, maka akan datang giliranmu"
"Ah" tiba-tiba saja gadis itu berdesah "aku tidak ingin
berlatih malam ini" "Kenapa?" bertanya ayahnya.
Gadis itu menjadi gelisah. Di luar sadarnya, teringat
olehnya saat Mahisa Bungalan menangkap kakinya Jika
saja anak muda itu ingin memperolok-olokkannya, ia tentu
dapat melakukannya saat itu.
Rasa-rasanya tubuh gadis itu meremang dan
wajahnyapun menjadi kemerah-merahan.
Untuk sesaat gadis yang duduk di sebelah ayahnya itu
hanya menundukkan kepalanya saja. la sama sekali tidak
berani berpaling. Apalagi kepada Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu kedua murid yang sudah hampir
menyelesaikan ilmunya itu berlatih semakin cepat.
Akhirnya keduanya sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu
yang pernah dipelajarinya.
"Cukup" berkata Ki Selabajra "kalian dapat beristirahat.
Keduanya mengangguk dalam-dalam. Kemudian
keduanyapun keluar dari sanggar.
Yang ada di dalam sanggar itu kemudian hanyalah Ki
Selabajra, Mahisa Bungalan dan Ken Padmi menunduk.
Sejenak mereka berdiam diri. Namun kemudian Ki
Selabajrapun berkata kepada anak gadisnya "Bagaimana
dengan kau?" Gadis itu menggeleng lemah Suaranya hanya terdengar
seperti berbisik "Aku tidak ingin berlatih sekarang ayah"
"Kenapa tidak anakku. Di padepokan ini, kau adalah
muridku yang memiliki ilmu paling lengkap dan
kemampuan yang paling tinggi. Tidak ada seorangpun,
meskipun ia seorang laki-laki, yang dapat mengimbangimu
dalam kecepatan bergerak dan ketrampilan ilmu pedang.
Karena itu, aku ingin kau menunjukkan kemampuan itu
kepada angger Mahisa Bungalan"
Ken Padmi tetap menggelengkan kepalanya meskipun ia
tidak menjawab. "Anakku" berkata ayahnya "aku mengerti, bahwa kau
menjadi sangat malu setelah kau menyadari, bahwa ilmu
yang paling sempurna di padepokan ini, masih jauh
dibawah kemampuan angger Mahisa Bungalan. Aku, orang
yang dianggap paling mumpuni disini, ternyata sama. sekali
tidak berarti apa-apa. Namun justru karena itu, kau tidak
perlu malu kepadanya"
Ken Padmi masih menunduk.
"Cobalah" Gadis itu masih saja menggelengkan kepalanya.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa anak gadisnya menjadi malu bukan karena
perbandingan ilmunya yang jauh lebih rendah dari Mahisa
Bungalan. Tetapi gadis itu malu justru karena ia seorang
gadis. Karena itu, maka Ki Selabajrapun tidak memaksanya,
Mahisa Bungalan masih akan berada di padepokan itu
untuk satu atau dua hari, sehingga ia masih dapat berharap,
bahwa pada suatu saat, Mahisa Bungalan akan melihat
anak gadisnya menunjukkan puncak kemampuannya.
Bukan untuk me-nyombongkan diri, namun dengan
harapan, bahwa Mahisa Bungalan akan dapat memberikan
beberapa petunjuk bagi kemajuan ilmu anak gadisnya itu.
Maka ketika Ki Selabajra menyadari bahwa pakaian
anak nya sudah basah oleh keringat, berkata "Jika
demikian, kau boleh pula meninggalkan ruangan ini. Tetapi
pada suatu saat, kau akan menunjukkan betapa dungunya
orang terbaik di padepokan ini"
Ken Padrni ragu-ragu untuk bangkit Tegapi akhirnya,
ketika ayahnya mengangguk kepadanya, iapun melangkah
keluar dari ruangan itu. Demikian ia sampai keluar pintu,
maka rasa-rasanya kakinya menjadi ringan, sehingga
langkahnya menjadi semakin cepat.
Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja ia
berpapasan dengan Gemak Werdi. Sejenak keduanya saling
memandang. Namun kemudian Gemak Werdi bertanya "
Darimana kau Padrni?"
Ken Padrni termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian
menjawab "Dari Sanggar kakang Gemak Werdi "
"Siapa yang berada di sanggar?"
"Ayah dan Mahisa Bungalan"
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Gemak Werdi.
"Mahisa Bungalan melihat kawan-kawan kita berlatih"
jawab Ken Padrni "Termasuk kau?"
Ken Padrni menggeleng. Jawabnya "Aku tidak berbuat.
apa-apa. Ketika aku masuk, aku tidak mengerti bahwa
Mahisa. Bungalan ada di dalam bersama ayah"
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun meneruskan langkahnya turun ke halaman.
"Kemana kau?" Ken Padrni masih bertanya.
Gemak Werdi menggeleng. Jawabnya "Tidak kemanamana.
Aku hanya akan berada di halaman saja"
Ken Padrni tidak bertanya lagi. Iapun kemudian masuk
ke ruang dalam langsung ke dalam biliknya. Dengan serta
merta iapun merebahkan dirinya di pembaringannya.
Untuk beberapa saat Ken Padrni masih berangan-angan.
Sekilas ia membayangkan, betapa anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu memiliki kemampuan tiada taranya.
Meskipun umurnya masih sebaya dengan Gemak Werdi,
namun ia sudah dapat mengalahkan ayahnya yang juga
gurunya dalam olah kanuragan.
"Dari mana ia mendapatkan ilmu itu?" pertanyaan itulah
yang mengganggunya, namun kemudian "tetapi tentu dari
sumber yang jernih. Nampaknya ia bukan orang yang
sombong, keras kepala atau orang-orang yang merasa
dirinya paling besar diseluruh dunia ini. Ia nampaknya
seorang yang rendah hati. Jika ayah tidak memaksa, maka
ia sama sekali tidak ingin menunjukkan kemampuannya.
Bahkan ayah dahululah yang telah kehilangan pengamatan
diri di arena" Tetapi yang terjadi adalah jauh dari yang
dimaksudkan. Ken Padrni menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Ia menjadi sangat malu mengenang, bahwa ia
berdiri dengan wajah tengadah, mengumpati anak muda itu
sebagai anak yang dungu. Saat itu iapun yakin, akan dapat
menunaikan tugas yang diberikan oleh ayahnya, mengajari
anak muda yang baru datang itu untuk menghormati
padepokan ini. Beberapa saat lamanya gadis itu berangan-angan.
Penyesalan, malu dan berbagai macam perasaan campur
baur. Bahkan ia pun tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia
mengagumi Mahisa Bungalan sebagai seorang yang
memiliki ilmu yang tiada bandingnya, yang dilakukan itu
belum merupakan puncak dari kemampuannya yang
sebenarnya. Lambat laun, semua bayangan diangan-angannya itu
menjadi kabur. Sehingga akhirnya ketika matanya terpejam,
maka yang nampak adalah sebuah mimpi yang indah.
Dalam pada itu, Ki Selabjra dan Mahisa Bungalan masih
berada di sanggar. Sejenak mereka masih berbicara tentang
berbagai macam persoalan olah kanuragan. Sehingga
dengan demikian maka Ki Selabajra menjadi semakin
yakin, bahwa Mahisa Bungalan memang seorang anak
muda yang luar biasa. Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, dan
padepokan itu menjadi sepi, maka Ki Selabajra telah
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
Digandok sebelah kiri, Mahisa Bungalan dipersilahkan
beristirahat bersama Makerti. Untuk beberapa saat mereka
masih berbicara tentang peristiwa yang pernah mereka
alami. Di Watan dan di padepokan itu.
"Kau adalah murid yang setia" berkata Mahisa
Bungalan" Dalam keadaan yang gawat kau telah
menentukan sikap terpuji. Kau berdiri di pihak
perguruanmu" Makerti tersenyum betapapun kecutnya. Katanya
"Untunglah bahwa guru menyadari keadaannya dan
keadaan murid-muridnya. Jika tidak, mungkin kepalaku
sudah terbelah" "Ah"desis Mahisa Bungalan "apakah kau mempunyai
kesan bahwa aku adalah seorang pembunuh?"
"Memeng tidak Mahisa Bungalan. Tetapi dalam keadaan
terpaksa, dan untuk membela diri, mungkin seseorang yang
bukan seorang pembunuh akan dapat membunuh
lawannya" sahut Makerti.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak
membantah karena hal itu memang dapat terjadi.
Untuk beberapa saat mereka masih berbicara. Namun
akhirnya Mahisa Bungalanpun merebahkan dirinya di
amben bambu sambil berdesis " Di Watan aku tidur di
Banjar padukuhan. Di sini aku mendapat kehormatan tidur
di gandok" namun kemudian sambungnya "itu bukan
berarti bahwa aku tidak mendapat kehormatan di Watan.
Sikap Ki Buyut sangat baik dan mudah-mudahan Watan
akan tetap dalam suasana yang baik setelah Ki Lambun
menyadari keadaannya"
Makertipun kemudian berbaring pula. Namun anganangannya
masih terbang hilir mudik beberapa saat. Namun
kemudian matanyapun terpejam seperti Mahisa Bungalan.
Sehingga beberapa saat kemudian, keduanyapun telah
tertidur nyenyak. Pagi-pagi benar, ketika langit menjadi merah, Mahisa
Bungalan telah terbangun. Ketika ia bangkit, dilihatnya
Makertipun telah membuka matanya pula. Tetapi
nampaknya Makerti masih malas untuk meninggalkan
pembaringannya, sehingga Mahisa Bunglanpun kemudian
meninggalkannya di dalam bilik seorang diri.
Dengan tarikan nafas panjang, Mahisa Bungalan
merasakan sejuknya udara pagi. Meskipun langit masih
suram, namun di halaman beberapa ekor ayam telah turun.
Suara burung liar yang berkicau di dahan pepohonan rasarasanya
bagaikan kidung menyambut datangnya hari baru.
Mahisa Bungalanpun kemudian turun ke halaman pula.
Dilihatnya seorang cantrik sedang menyapu di sudut.
Sementara yang lain sedang sibuk dengan kerja masingmasing.
Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalanpun pergi ke
pakiwan. Untuk menghangatkan badannya, maka iapun
kemudian pergi ke sumur untuk menimba air, mengisi
tempayan di pakiwan. Beberapa saat lamanya ia menarik senggot turun dan
melepaskannya naik. Kemudian menuang air di dalam upih
ke dalam tempayan di pakiwan.
Namun tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia
melihat dalam keremangan dini hari, seorang gadis pergi
mendekatinya. Namun tiba-tiba saja langkah gadis itu
terhenti. Wajahnya menegang sejenak ketika ia menyadari
bahwa yang sedang menimba air itu adalah Mahisa
Bungalan. "O" terdengar gadis itu berdesah "aku kira, aku kira
kakang Gemak Werdi atau paman Makerti atau anak-anak
padepokan ini" Mahisa Bungalanpun menjadi bingung sesaat. Namun
kemudian ia memaksa diri untuk menjawab "Apakah ada
bedanya" Aku terbiasa melakukannya pula di rumahku.
Juga selama aku berada di banjar padukuhan di Watan"
"Tetapi, tetapi disini banyak anak-anak padepokan yang
dapat melakukannya" desis Ken Padrni.
"Ah" sahut Mahisa Bungalan "tidak ada bedanya.
Biarlah aku mengisi jambangan di pakiwan itu. Apakah kau
akan mandi?" Ken Padrni menundukkan kepalanya. Ia merasa
bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan, sehingga
karena itu, maka ia berdiri saja sambil menundukkan
kepalanya. Tetapi gadis itu terkejut ketika Mahisa Bungalan
melepaskan senggot timba sambil berkata "Jambangan telah
penuh. Silabkan kau mandi lebih dahulu .Aku akan
melihat-lihat kebun padepokan ini"
"O" Ken Padrni masih bingung. Ia tidak tahu, apakah
yang akan dikatakannya. Namun iapun kemudian melihat
Mahisa Bungalan meninggalkan sumur dan berjalan
kekebun di belakang padepokan.
Sejenak Ken Padrni masih termangu-mangu. Namun ia
hampir terlonjak ketika ia mendengar suara seseorang
"Apakah yang kau renungkan, Ken Padrni?"
"Tidak, tidak apa-apa" desisnya gagap.
Makerti tersenyum. Sementara Ken Padrni meneruskan
"Kau mengejutkan aku, paman Makerti"
"O, sejak kapan kau menjadi demikian mudah, terkejut
dan menjadi gagap?" bertanya Makerti.
Ken Padmi menundukkan wajahnya yang menjadi
kemerahan. Sementara Makerti berkata "Jika kau akan
mandi, mandilah. Aku akan mengawani Mahisa Bungalan
melihat-lihat kebun belakang"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi ketika Makerti
meninggalkannya, ia memadanginya dari belakang
sehingga hilang di balik sudut rumahnya.
Sejenak gadis itu termangu-mangu. Namun iapun
kemudian masuk ke dalam pakiwan untuk mandi. Betapa
sejuknya air di jambangan, yang rasa-rasanya lebih sejuk
dari pagi sebelumnya. Namun dalam pada itu, percakapannya yang pendek
dengan Mahisa Bungalan itu rasa-rasanya telah
memecahkan batas antara keduanya. Dengan demikian
keduanya merasa telah berkenalan, sehingga keduanya
tidak lagi. merasa canggung untuk menyapa jika mereka
berpapasan. Sikap dan sifat Ken Padmi ternyata telah mengikat
Mahisa Bungalan untuk tidak tergesa-gesa meninggalkan
padepokan itu. Bahkan ketika Makerti dan Gemak Werdi
minta diri untuk kembali ke rumah masing-masing, Mahisa
Bungalan tidak menolak permintaan Ki Selabajra untuk
tinggal barang satu dua hari di padepokan itu.
"Kau ragu-ragu meninggalkan padepokan itu Gemak
Werdi?" bertanya Makerti diperjalanan, beberapa saat
setelah mereka memasuki bulak.
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian ia menjawab "Tidak paman. Aku tidak raguragu"
Makerti mengangguk-angguk. Ia melihat sesuatu dalam
tatapan mata Gemak Werdi. Tetapi ia tidak bertanya
apapun juga. Ia yakin bahwa yang tersangkut itu akan
hilang karena kesadaran diri Gemak Werdi.
Sebagai seorang yang lebih tua Makerti mengerti, bahwa
ada sesuatu perasaan yang menyentuh hati anak muda itu
terhadap Ken Padmi di padepokan Kenanga. Namun
agaknya Gemak Werdipun menyadari keadaannya,
sehingga ia telah memandang kemungkinan yang luas yang
dapat terjadi di padepokan itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah mencoba
menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di padepokan
kecil itu. Semakin lama ia menjadi semakin tidak canggung
lagi. Pagi-pagi ia bangun dan melakukan pekerjaan seperti
murid-murid padepokan yang lain. Bahkan kadang-kadang
iapun telah pergi ke sawah pula bersama para cantrik.
Dalam pada itu, batas antara Mahisa Bungalan dengan
Ken Padmipun menjadi semakin kabur Meskipun mereka
seakan-akan hanya bertemu sekejap dan berbicara sepatah,
tetapi pertemuan itupun menjadi semakin sering.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak akan tetap berada di
padepokan itu. Ia sadar, bahwa ia akan meninggalkan
padepokan itu pada suatu saat. Dan iapun mulai
memikirkan untuk melanjutkan perjalanannya yang tanpa
tujuan, sebelum ia menetap pada waktu ikatan tugas
keprajuritan. Itulah sebabnya, maka betapapun ia kerasan tinggal di
padepokan itu, namun iapun mulai menyatakan niatnya
untuk meneruskan perjalanan kepada Ki Selabajra.
"Jangan tergesa-gesa ngger. Tinggallah barang satu dua
bulan disini" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Maaf Kiai.
Aku tidak dapat mengingkari maksud perjalananku sejak
aku meninggalkan kampung halamanku. Aku ingin pergi
menjelajahi daerah yang luas untuk mengembangkan
pengalamanku sebelum aku mengikat diri pada suatu tugas
tertentu" "Tugas apakah yang angger maksudkan?" bertanya Ki
Selabajra. "Apa saja. Bukankah pada suatu saat aku harus
mempunyai pegangan hidup tertentu" Tetapi rasa-rasanya
bekal hidup ini tidak lengkap tanpa pengenalan lingkungan
yang agak luas" Ki Selabajra mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa
agaknya demikianlah panggilan hidup Mahisa Bungalan.
Sehingga karena itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan
dapat menahannya lebih lama lagi.
Namun dalam pada itu, sebagai orang tua ia melihat
sesuatu yang menyentuh hati Mahisa Bungalan di
padepokan itu. Tetapi Ki Selabajra tidak berani
mengatakannya. Meskipun diam-diam ia memperhatikan
Boulevard Revenge 2 Ayat Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Domba Domba Telah Membisu 3
sebabnya, maka Makerti sempat melakukan petuatanganpetualangan
kecil bersama Gemak Werdi. Agaknya ia
merasa kesepian di rumahnya, sehingga timbullah
keinginannya untuk berbuat sesuatu.
Kedatangan Mahisa Bungalan di rumah itu, seolah-olah
telah membantu membangkitkan suasana yang sepi.
Ternyata adik Makerti yang masih muda itu merasa senang
sekali mendapat kunjungan seseorang yang pantas
dihormati. Ia segera mendengar segala sesuatu tentang
Mahisa Bungalan dari kakaknya, sehingga karena itu, maka
adik Makerti itupun menjadi sangat hormat kepada
tamunya. "Jangan berlebih-lebihan" desis Mahisa Bungalan
kepada Makerti "beri tahu adukmu, aku bukan orang
penting di Singasari. Adalah kebetulan bahwa aku sering
datang ke Kota Raja. Rumahku sendiri tidak di Kota. Raja"
Makerti tersenyum, jawabnya "Aku mengajarinya
hormat kepada para tamu siapapun mereka itu"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Adalah wajar
bahwa seorang kakak mengajar adiknya berbuat baik Tetapi
rasa-rasanya segan juga untuk menerima penghormatan
yang berlebihan. Setelah beristirahat sejenak, maka ketika Ganter mulai
diselubungi oleh kegelapan, Mahisa Bungalan diantar oleh
Makerti pergi ke rumah Gemak Werdi yang masih
bersangkut paut sanak meskipun sudah agak jauh.
Tetapi keduanya ternyata tidak menjumpai Gemak
Werdi di rumah. Ayahnya yang menerima keduanya
mempersilahkan mereka masuk. Namun dengan menyesal
ayah Gemak Werdi itu berkata "Gemak Werdi baru pergi
menghadap gurunya. Sayang kau tidak dapat bertemu
dengan anak itu" Makerti mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia
bertanya "Apakah kakang mengetahui, persoalan apakah
yang telah mendorongnya pergi menghadap gurunya?"
"Mana aku tahu Makerti. Seharusnya kaulah yang
memberi-tahukan kepadaku, kenapa anak itu tiba-tiba saja
ingin menghadap gurunya. Apakah ia tidak mengatakannya
kepadamu?" Makerti menjadi berdebar-debar. Namun jawabnya
"Gemak Werdi tidak mengatakan kepadaku kakang, bahwa
ia akan menghadap guru hari ini"
Makerti hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi orang
tua itupun merasa aneh, karena biasanya Gemak Werdi
lebih banyak bergaul dengan Makerti daripada dengan
orang tuanya. Makertipun kemudian mengajak Mahisa Bungalan
meninggalkan rumah Gemak Werdi. Malam itu, Mahisa
Bungalan dipersilahkan bermalam di rumah Makerti.
Terhadap Makerti, Mahisa Bungalan tidak dapat ingkar
lagi tentang dirinya. Makerti adalah orang yang baik
menurut penilaian Mahisa Bungalan, sehingga terhadapnya
iapun kemudian berterus terang.
"Besok pagi-pagi kita menyusul Gemak Werdi" berkata
Makerti kepada Mahisa Bungalan "Kita akan berkuda, agar
kita tidak kehilangan banyak waktu diperjalanan"
"Apakah padepokannya sangat jauh dari padukuhan
ini?" bertanya Mahjsa Bungalan.
"Tidak terlalu jauh. Jika kita berkuda, kita akan
bermalam satu hari di perjalanan. Tetapi aku tahu tempat
menginap yang paling baik, karena aku dan Gemak Werdi
selalu menginap di padukuhan itu. Aku kenal benar dengan
seorang Buyut yang baik yang selalu memberikan tempat
menginap kepadaku dan Gemak Werdi" jawab Makerti.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ternyata
padepokan ku tidak terlalu dekat, sehingga diperlukan
waktu bermalam diperjalanan, meskipun Makerti sudah
terbiasa menginap di tempat tertentu jika ia pergi ke
padepokan itu. Ketika fajar menyingsing, maka adik Makerti telah
menyiapkan dua ekor kuda, yang akan dipergunakan oleh
Makerti dan Mahisa Bungalan pergi ke padepokan tempat
Gemak Werdi berguru. Setelah makan pagi, dan dengan sekedar bekal di
perjalanan maka Makertipun, meninggalkan rumahnya
bersama Mahisa Bungalan untuk suatu perjalanan yang
mendebarkan. "Mudah-mudahan guru tidak salah paham" berkata
Makerti. Mahiisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun kemudian
mengetahui bahwa Makerti dan Gemak Werdi adalah dua
orang saudara seperguruan, meskipun Makerti menurut
urutan darah meskipun sudah tidak terlalu dekat, adalah
paman Gemak Werdi. "Aku sudah lama meninggalkan padepokan itu" berkata
Makerti "aku telah mencoba mematangkan ilmuku menurut
kemampuanku, meskipun ternyata sama sekali tidak berarti.
Tetapi bekal yang diberikan kepada Gemak Werdi oleh
guru, agaknya lebih banyak dari yang diberikan kepadaku,
meskipun ia masih belum sempat mengembangkannya.
Tetapi sesuai dengan sifat dan kemudaannya, maka ia telah
berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Ia ingin
menyatakan kepada orang lain, bahwa ia baru saja turun
dari perguruan" "Agaknya itu sudah sewajarnya terjadi" berkata Mahisa
Bungalan. "Apakah kau berbuat serupa pula ketika kau baru saja
menyelesaikan masa berguru?" bertanya Makerti.
"Aku masih belum selesai berguru. Masa ini adalah masa
pemantapan ilmu yang sudah aku terima dari guruku.
Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali lagi untuk
menekuni ilmu yang masih belum dilimpahkan kepadaku
oleh guruku" "Gurumu tentu orang yang luar biasa" desis Makerti.
"Tidak. Guruku bukan orang luar biasa. Jika luar biasa
itu hanyalah dalam hubungan darah. Guruku yang seorang
adalah ayahku sendiri" jawab Mahisa Bungalan.
"O" Makerti mengangguk. Tetapi ia bertanya "Berapa
orang guru yang menuntun kau dalam olah kanuragan?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya kemudian "Aku
menyadap ilmu dari siapapun. Bahkan dari Ki Lambunpun
aku mencoba berguru. Sebenarnyalah bahwa pengalaman
adalah guru yang sangat baik"
Makerti menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa
Mahisa Bungalan masih belum bersedia menyebut nama
guru-gurunya. Karena itu, maka iapun tidak memaksa.
Perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin
jauh. Matahari yang kemudian memanjat langit, sinarnya
terasa semakin panas membakar kulit. Namun ternyata
bahwa keduanya adalah dua orang yang sudah terbiasa
dipanggang di panasnya matahari dan direndam di
dinginnya embun malam, sehingga panasnya matahari
tidak terasa mengganggu perjalanan mereka.
Bahkan perjalanan itu terasa menarik bagi Mahisa
Bungalan, karena daerah yang dilaluinya itu belum pernah
dilihatnya sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Makerti, bahwa mereka
akan bermalam satu malam diperjalanan. Seperti biasanya,
maka Makerti telah membawa Mahisa Bungalan menuju ke
padukuhan di tempat ia sering singgah.
Ketika matahari menjadi semakin condong, maka
merekapun menjadi semakin dekat dengan tempat Makerti
biasa bermalam. Di perjalanan merekapun terpaksa
beristirahat untuk memberi kesempatan kuda mereka
beristirahat pula. Padukuhan yang mereka tuju sebagai tempat untuk
singgah, adalah padukuhan yang tidak begitu besar.
Penduduknya tidak terlalu banyak, tersebar pada beberapa
padukuhan kecil. Yang terbesar dari padukuhan-padukuhan
itu adalah padukuhan induk, yang merupakan pusat dari
padukuhan itu. Di padukuhan induk itu terdapat sebuah
pasar kecil dengan beberapa buah warung di pinggir jalan
yang cukup banyak dilalui orang. Bukan saja orang yang
bepergian dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang
lain di selkitar padukuhan induk itu, tetapi jalan itupun
merupakan jalur jalan yang panjang, yang menghubungkan
banyak padukuhan di deerah yang luas.
Sebelum matahari tenggelam, maka mereka berdua telah
beirada di regol halaman rumah Ki Buyut. Sambil turun
dari punggung kudanya Makerti berkata "Ki Buyut sudah
agak tua. Tetapi ia masih seorang Buyut yang bekerja keras
bagi padukuhan dan rakyatnya"
Kedatangan Makerti disambut dengan gembira oleh Ki
Buyut yang sudah lama tidak bertemu. Merekapun
kemudian diterima dipendapa rumahnya yang cukup besar
dibanding dengan rumah-rumah lain disekitarnya.
Selelah memperkenalkan Mahisa Bungalan dan
menyatakan keselamatan perjalanannya, maka Makertipun
bertanya "Apakah semalam Gemak Werdi singgah disini
pula Ki Buyut?" Ki Buyut mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertaya "Gemak Werdi tidak singgah sama sekali. Apakah
ia pergi ke padepokan Kenanga?"
Makerti mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk. Jawabnya "Menurut ayahnya, ia
pergi ke padepokan guru. Ia pergi tanpa
memberitahukannya kepadaku"
"Aneh, biasanya Ki Makerti selalu bersama angger
Gemak Werdi" desis Ki Buyut.
"Ada sesuatu yang telah mengganggu perasaannya Ki
Buyut, sehingga ia pergi tanpa aku. Tetapi bahwa ia tidak
singgah dan bermalam disini, rasa-rasanya telah
menggelisahkan sekali. Mudah-mudahanan ia tidak sempat
berisirahat disini karena tergesa-tergesa saja"
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Tetapi bukankah aku tidak melakukan kesalahan terhadap
angger Gemak Werdi?"
"Tentu tidak Ki Buyut. Tentu tidak" jawab Makerti
dengan serta merta "yang terjadi adalah, Gemak Werdi
nampaknya kurang senang atas peristiwa yang terjadi di
Watan, sehingga ia ingin menghadap guru dan mungkin
untuk mendapatkan pertimbangan"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Gumamnya "Mudahmudahan
ia tidak marah kepadaku karena sesuatu yang
tidak aku sadari" "Ki Buyut selalu berbuat baik kepadaku dan kepada
Gemak Werdi. Nampaknya peristiwa yang terjadi di Watan
itu begitu mencengkam hatinya, sehingga ia tergesa-gesa
sekali untuk segera bertemu dengan guru"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun masih
membayang kekhawatirannya bahwa ia telah melakukan
sesuatu yang tidak disenangi oleh Gemak Werdi.
Dalam itu Makerti dan Mahisa Bungalan telah bermalam
di rumah Ki Buyut dengan mendapat tempat dan pelayanan
sebaik-baiknya seperti biasanya. Bahkan nampaknya Ki
Buyut bersikap terlalu baik karena kekhawatirannya tentang
Gemak Werdi. Setelah makan malam, Makerti dan Mahisa Bungalan
tidak segera pergi ke bilik yang sudah disediakan. Mereka
masih duduk sejenak, bercakap-cakap dengan Ki Buyut
berserta keluarganya. Bahkan demikian asyiknya mereka
berbicara di ruang dalam, sehingga malam pun menjadi
semakin larut. "Ki Makerti" berkata Ki Buyut kemudian "malam sudah
larut. Silahkan Ki Makerti dan angger Mahisa Bungalan
beristirahat. Bukankah besok kalian masih akan
melanjutkan perjalanan"
Ki Makerti tersenyum. Nampaknya Ki Buyut memang
sudah sangat mengantuk. Bahkan matanya kadang-kadang
telah terkatup dan pembicaraannyapun kadang-kadang
telah menjadi kabur. "Terima kasih Ki Buyut" berkata Makerti kemudaan
"kami akan beristirahat agar besok pagi-pagi benar kami
dapat bangun dan berangkat untuk meneruskan perjalanan"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Tetapi kadang-kadang
matanya telah terkatub. Demikian Makerti dan Mahisa Bungalan memasuki
biliknya, Ki Buyutpun segera masuk pula ke bilik tidurnya.
Begitu ia merebahkan diri, maka tiba-tiba saja telah
terdengar ia mendengkur. Di dalam biliknya Makertipun rasa-rasanya telah
dicekam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan
kemudlian ia menjadi curiga, apakah yang telah
menyebabkannya. Ketika ia berpaling kepada Mahisa
Bungalan yang masih duduk di dingklik kayu di dalam bilik
itu, ia melihat anak muda itu sedang merenungi scsualu.
"Mahisa Bungalan, apakah kau sedang mean
perhitungkan sesuatu yang asing malam ini?"
"Ya Ki, Makerti. Ada sesuatu yang agaknya telah
mengganggu kesadaranku"
Ki Makerti mengangguk-angguk. Kemudian iapun
beringsut mendekati Mahisa Bungalan sambil berbisik
"Guru ada di sini sekarang"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia menjadi
heran mendengar kata-kata Makerti itu. Tetapi sebelum ia
bertanya Makerti telah berbisik pula "Aku mengenal ilmu
semacam ini. Guru tentu sedang menjajagi, apakah orang
yang diceriterakan oleh Gemak Werdi mampu mengatasi
ilmunya yang langsung menyentuh kesadaran orang lain"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Itulah
agaknya Ki Buyut tidak dapat bertahan lebih lama lagi
untuk duduk dan berbincang.
"Bagaimana perasaanmu Mahisa Bungalan" bertanya
Makerti" "Aku akan mencoba mengatasi. Tetapi bagaimana
dengan kau sendiri?"
"Aku pernah mempelajari juga dari guru. Dan aku telah
berusaha mengembangkannya sendiri, sehingga rnudahmudahan
akupun dapat mengatasinya"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Tetapi aku tidak akan berbuat sesuatu. Aku
tidak merasa perlu untuk menanggapinya, agar kesalah
pahaman itu tidak menjadi semakin meluas"
Makerti mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa
Gemak Werdi tentu sudah menghadap gurunya dan
mencerkerakan apa yang sudah terjadi. Agaknya
gurunyapun yakin, bahwa Makerti akan menyusui Gemak
Werdi bersama Mahisa Bungalan, sehingga karena itu,
maka gurunya telah datang ke tempat Makerti selalu
menginap untuk menjajagi kemampuan orang yang tentu
sudah diceritakan oleh Gemak Werdi.
Mahisa Bungalan dan Makerti yang masih duduk di
dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Dengan
mengerahkan kemampuan daya tahan mereka, keduanya
berusaha mengatasi ilmu yang meliputi rumah Ki Buyut.
Dengan susah payah Ki Makerti mencoba bertahan.
Tetapi karena lontaran ilmu gurunya terasa menjadi
semakin kuat, maka lambat laun, daya tahannyapun rasarasanya
menjadi semakin menurun. Bahkan matanya
perlahan-lahan mulai terpejam.
Tetapi Makerti mencoba bertahan terus. Dengan segenap
kekuatan lahir dan batinnya, ia justru mencoba berdiri dan
berjalan hilir mudik di dalam bilik itu.
"Luar biasa" desisnya ketika ia berdiri dekat dihadapan
Mahisa Bungalan "aku tidak tahan lagi. Mungkin guru kini
telah berada di pendapa atau di pringgitan. Ilmu ini
semakin mencekik" Mahisa Bungalan memandanginya. Perlahan-lahan ia
berbisik "Apakah Ki Makerti merasa bahwa tidak akan
dapat bertahan lebih lama lagi?"
"Mungkin aku akan terjerembab dan tertidur sebentar
lagi" desisnya "aku tidak tahan lagi"
"Duduklah di sisiku" desis Mahisa Bungalan. Ki Makerti
termangu-mangu sejenak. Tetapi matanya terasa menjadi
semakin berat. Karena Ki Makerti masih bertahan untuk berdiri
meskipun nampaknya keseimbangannya sudah mulai
terganggu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian menarik
tangannya dan mempersilahkannya duduk disisinya.
"Tenanglah" berkata Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa
Bungalan tidak melepaskan tangan Ki Makerti.
Sejenak Ki Makerti masih harus bertahan dengan sekuat
tenaga. Namun kemudian terasa dari tangan Mahisa
Bungalan seolah-olah tersalur arus panas ke urat darahnya
dan perlahan-lahan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Meskipun Ki Makerti sudah menjadi sangat mengantuk,
tetapi ia masih merasa arus panas di tubuhnya itu. Bahkan
kemudian jantungnyapun serasa menjadi panas pula.
Perlahan-lahan namun pasti, maka perasaan kantuknya
bagaikan terusir dari dirinya.
"Luar biasa" Ki Makerti berdesis. Mahisa Bungalan
memberi isyarat agar Ki Makerti diam sejenak.
Ki Makertipun kemudian terdiam. Seperti Mahisa
Bungalan ia mencoba mendengarkan setiap desir yang
paling lembut sekalipun. Kedua orang di dalam bilik itu rasa-rasanya telah
membeku. Ki Makerti mengerti maksud Mahisa Bungalan,
agar di dalam bilik itu tidak terdengar suara apapun.
Bahkan sejenak kemudian Mahisa Bungalan yang duduk
sambil memegang tangan Ki Makertii itu, telah mengatur
pernafasannya, sehingga suaranya teratur seperti orang
yang sedang tertidur nyenyak.
Sebenarnyalah bahwa Di luar rumah Ki Buyut dua orang
telah berdiri di pringgitan. Mereka berusaha untuk
mengetahui apakah seisi rumah itu sudah tertidur nyenyak.
"Sulit untuk mengerti" desis salah seorang dari mereka
"mereka berada di dalam bilik yang berada di ruang dalam"
Yang seorang dari keduanya adalah Gemak Werdi.
Ternyata ia tidak berhasil menguasai tubuhnya seperti
gurunya. Langkahnya pun masih terdengar berdesir di atas
lantai, sementara suaranyapun bergetar sampai ke telinga
Mahisa Bungalan yang sangat tajam "Tetapi aku tidak,
mendengar suara apapun lagi guru"
Mahisa Bungalan mengangguk kecil, sementara Ki
Makerti yang juga mendengar, meskipun hanya desis
lambat mengangguk pula. "Tetapi tidak seorangpun yang dapat menolak ilmuku"
berkata guru Gemak Werdi.
"Lalu, apakah yang akan kita kerjakan" bertanya Gemak
Werdi. -oo0dw0oo- Jilid 02 "SEBENARNYA aku ingin tahu pasti, apakah anak
muda yang kau sebut sombong itu mampu menahan
ilmuku" "Bagaimana cara yang akan guru tempuh"
"Panggil anak itu. Jika ia masih kuat bertahan, ia tentu
akan keluar dari biliknya"
Sejenak Gemak Werdi termangu-mangu. Dipandanginya
pintu rumah Ki Buyut yang tertutup sehingga mereka hanya
dapat berdiri di pringgitan. Sejenak kemudian, maka
Gemak Werdi itupun berdesis "Paman Makerti. Paman
Makerti" "Jangan takut. Berteriaklah. Tetapi kenapa Makerti yang
kau panggil?" "Jika anak itu ada bersama paman Makerti, maka ia
tentu akan keluar juga dari dalam biliknya"
"Sebut namanya"
"Aku ragu-ragu. Apakah namanya itu adalah namanya
sebenarnya" Guru Gemak Werdi termangu-mangu. Namun
kemudian katanya "Berteriaklah. Tidak akan ada orang
yang mendengar" Gemak Werdipun kemudian memanggil semakin keras.
Dalam pada itu, Makerti yang berada di dalam bilik
bersama Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia
mendengar Gemak Werdi memanggilnya. Tetapi setiap kali
Mahisa Bungalan selalu menggeleng untuk menahan agar
Makerti tidak bergerak. Akhirnya Makerti mengerti maksud Masisa Bungalan.
Biarlah gurunya dan Gemak Werdi menganggap bahwa
mereka berdua telah tertidur nyenyak.
Gemak Werdi masih mengulangi beberapa kali
memanggil Makerti. Namun sama sekali tak ada
seorangpun yanng menyahut dari dalam.
"Mereka tentu sudah tertidur nyenyak" berkata Gemak
Werdi "apakah kita akan memecah pintu dan masuk ke
dalam?" "Untuk apa?" bertanya gurunya.
"Bukankah guru ingin menjajagi kemampuan anak muda
itu?" "Bukankah aku sudah melakukannya. Ia tidak mampu
melawan ilmuku. Ternyata bahwa pengetahuannya tidak
terlalu tinggi. Mungkin ia memiliki kekuatan jasmaniah
yang besar, tetapi itu tidak akan berarti apa-apa melawan
ilmuku" "Jadi, apakah maksud guru seterusnya?"
"Aku akan kembali ke padepokan"
"Jadi hanya begini?" bertanya Gemak Werdi.
"Lalu apa lagi. Aku sudah mengetahui tingkat ilmunya.
Itu sudah cukup bagiku"
"Tetapi ia sudah menghina aku guru. Menghina
perguruanku. Apakah kita akan membiarkannya
menganggap bahwa perguruan kita tidak berarti apa-apa"
Gurunya termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya
"Seperti perhitunganku, mereka besok akan meneruskan
perjalanan ke padepokan. Aku akan menemuinya dan
melihat sikapnya selanjutnya. Tentu ada sebabnya kenapa
Makerti justru memihak kepada anak muda itu"
Gemak Werdi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat
memaksa gurunya untuk berbuat sesuatu.
"Marilah" ajak gurunya "kita sudah mengetahui
kemampuan anak itu" Gemak Werdi menjadi kecewa. Ia ingin membuat
Mahisa Bungalan menjadi jera. Tetapi gurunya tidak mau
bertindak lebih jauh daripada sekedar menjajagi
kemampuan anak muda itu. Karena itu, dengan wajah yang
buram, ia mengikuti gurunya meninggalkan pendapa rumah
Ki Buyut. Namun ia masih mencoba mengajak gurunya
sekali lagi "Guru, tetapi apakah kita tidak membuktikan
bahwa keduanya memang ada disini. Mungkin kedua ekor
kuda itu bukan milik paman Makerti dan anak muda itu"
"Aku yakin Gemak Werdi" jawab gurunya "tentu
Makerti dan anak muda itulah yang datang dan menginap
disini. Sandainya kau masih ragu-ragu, maka besok jika
mereka sudah berada di padepokan kita akan dapat
bertanya kepada mereka"
"Dan kita membiarkan perguruan kita dihinakannya"
gumam Gemak Werdi. Tetapi gurunya tidak menghiraukannya. Ia pun
kemudian menuju kegelapan dan mengambil kudanya yang
diikat di luar regol halaman rumah Ki Buyut.
Gemak Werdi tidak dapat menahannya lagi. Iapun
kemudian meloncat ke punggung kudanya ketika gurunya
telah melakukannya. Sejenak kemudian, maka kedua ekor kuda itupun telah
berderap dalam kegelapan. Tetapi tidak seorangpun yang
tinggal di sekitar rumah Ki Buyut yang mendengarnya
karena mereka semuanya sedang tertidur nyenyak.
Sepeninggal Gemak Werdi dan gurunya, maka Mahisa
Bungalanpun menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya
tangan Makerti sambil berkata "Pengaruh ilmu itu tentu
akan mengendor" Makerti menarik nafas dalam-dalam. Terasa padanya,
bahwa pengaruh ilmu gurunya itu memang semakin samar,
sehingga perasan kantuknyapun menjadi semakin lenyap
pula meskipun perlahan-lahan.
"Mahisa Bungalan " berkata Ki Makerti kemudian. "kau
memang seorang anak muda yang luar biasa. Bukan saja
karena kau berhasil melawan ilmu guru yang tidak ada
taranya, tetapi kau masih dapat membagi daya tahanmu
untuk membantuku. Bukankah itu berarti bahwa kau
mempunyai kekuatan ganda yang dapat menangkis ilrnu
yang dahsyat itu. Tetapi lebih daripada itu, kau ternyata
dapat menguasai perasaanmu sehingga kau tidak
kehilangan kesabaran dan meloncat keluar di saat kau
mendengar percakapan antara guru dan Gemak Werdi"
Mahiisa Bungalan tersenyum. Katanya "Aku sudah
sering menghadapi persoalan yang lebih menyakiti
perasaan. Dan aku sudah belajar untuk menahan diri agar
aku tidak terjerumus ke dalam keadaan yang tidak aku
kehendaki" Makerti mengangguk-angguk. Katanya "Kita besok akan
meneruskan perjalanan. Mudah-mudahan gurupun dapat
menahan diri betapapun Gemak Werdi membuat ceritera
apapun tentang kau dan aku"
Mahisa Bungalan tersenyum hambar. Jawabnya
"Mudah-mudahan. Tetapi gurumu tentu bukan anak kecil
lagi yang dengan mudah dapat dibakar perasaannya"
Makerti mengangguk-angguk. Tetapi nampak keraguraguan
membayang di wajahnya, sehingga Mahisa
Bungalan bertanya "Apakah kau meragukan sikap
gurumu?" Sejenak Makerti termenung. Kemudaan perlahan-lahan
ia menyahut "Sifat guru sulit untuk diketahui. Ia kadang
seorang yang sabar dan mengerti perasaan yang keadaan
orang lain. Tetapi kadang-kadang ia seorang pemarah dan
tiba-tiba saja memusuhi seseorang tanpa sebab. Dalam pada
itu guru benar-benar orang yang luar biasa. Ia menguasai
ilmu pedang dengan sempurna. Ia termasuk seorang yang
sulit dicari tandingnya dalam ilmu kajiwan"
"Aku mengerti akan kelebihan gurumu. Baru saja kita
merasakan kedahsyatan ilmunya. Itupun tentu belum
seluruhnya, karena gurumu menganggap bahwa yang
sedikit itu sudah cukup bagi orang lain"
Makerti ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
mengangguk sambil berkata "Kau benar Mahisa Bungalan"
"Tetapi aku datang ke padepokanmu justru untuk
memberikan penjelasan, aku kira, tidak akan terjadi
sesuatu. Gurumu akan mendengarkan penjelasan kita.
Sebab kitapun tidak akan berani berbuat sesuatu
terhadapnya selain memberikan keterangan"
Makerti mengangguk-angguk. Ia sudah melihat, betapa
Mahisa Bungalan dapat menahan hati dalam keadaan yang
panas sekalipun. Karena itu, maka keduanya tanpa
mengganggu Ki Buyut yang masih tertidur nyenyak, segera
membaringkan diri pula di pembaringan. Sejenak mereka
masih dihanyutkan oleh angan-angan masing-masing
tentang Gemak Werdi dan gurunya. Namun sejenak
kemudian keduanyapun telah tertidur pula dengan nyenyak,
meskipun bukan karena pengaruh sirep.
Pagi-pagi benar keduanya telah terbangun dan
mempersiapkan diri. Ki Buyut dan keluarganya telah
menjamu mereka dengan makan pagi pula seperti biasanya.
Kemudian melepaskan mereka berdua pergi deringan
mengantar mereka sampai ke regol.
"Ki Buyut orang yang sangat baik " desis Mahisa
Bungalan. "Ya. Ia orang baik terhadap siapapun juga. Bukan hanya
aku dan Gemak Werdi sajalah yang diperkenankan
menginap di rumahnya atau di banjar padukuhannya.
Tetapi setiap orang yang memerlukan, penginapan, maka
pintu rumahnya atau banjar padukuhannya selalu terbuka.
Bahkan seperti yang kita alami, maka merekapun
mendapatkan jamuan seperlunya"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk, sementara
kudanya berpacu semakin lama semakin cepat menuju ke
padepokan Gemak Werdi, yang juga disebut padepokan
Kenanga karena di padepokan itu terdapat banyak pohon
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga kenanga yang jika sedang berbunga, baunya yang
harus memenuhi seluruh padepokan, bahkan kadangkadang
dibawa angin sampai ke pedukuhan terdekat.
"Perjalanan kita tidak lagi sejauh perjalanan di hari
pertama" berkata Makerti "sebelum tengah hari kita sudah
berada di jalan lurus ke padepokan itu"
"Maksudmu dengan jalan lurus?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Dari padukuhan terakhir, telah dibuat sebuah jalan
yang panjang menuju ke padepokan itu yang merupakan
sebuah bulak yang panjang pula"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya "Tentu
jalan yang terlindung oleh bayangan pepohonan disebelah
menyebelah jalan" "Ya. Apakah kau pernah mengunjungi padepokan itu?"
Mahisa Bungalan menggeleng. Jawabnya "Belum. Aku
belum pernah pergi ke padepokan itu. Aku hanya beranganangan
saja" Makerti mengangguk-angguk. Memang banyak terdapat
jalan semacam itu. Jalan yang sejuk dilindungi oleh
bayangan pepepohonan yang rimbun"
Kuda mereka berduapun berpacu menyusuri jalan
panjang. Kadang-kadang ditengah-tengah bulak, namun
kemudian menyusup padukuhan yang tersebar diantara
sawah yang terbentang luas.
Seperti pulau-pulau berwarna hijau diantara kuningnya
bulir padi yang menjadi semakin tua dan semakin runduk.
"Padukuhan itu adalah padukuhan terakhir" berkata
Makerti. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Di luar
sadarnya ia mengangkat wajahnya, memandang matahari
yang hampir mencapai puncak langit. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh Makerti, maka sebelum matahari tegak di
atas kepala, maka mereka telah berada di ujung jalan
menuju ke padukuhan Kenanga.
"Jalan ini panjang sekali" berkata Mahisa Bungalan.
"Sebenarnya juga tidak begitu panjang. Tetapi karena
jarak antara padukuhan ini dengan padepokan Kenanga
hanya diantarai oleh satu bulak saja, maka nampaknya
bulak ini menjadi sangat panjang.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ketika mereka
memasuki jalan yang panjang itu, terasa jantungnya mulai
berdebar-debar. Namun demikian Mahisa Bungalan tetap
berharap bahwa kedatangannya tidak menumbuhkan salah
paham dengan guru Gemak Werdi.
"Makerti adalah saksi yang dapat memberikan
penjelasan tentang apa yang telah terjadi. Meskipun
nampaknya Gemak Werdi adalah muridnya yang terdekat,
tetapi Makerti adalah muridnya pula, yang tentu juga akan
didengar keterangannya" berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Namun demikian, ketika mereka mulai mendekati regol
padepokan itu, maka debar jantung Mahisa Bungalan
memang terasa semakin cepat. Bahkan Makertipun menjadi
berdebar-debar. Tubuhnya berkeringat dan sikapnya
menjadi sangat gelisah. "Kita sudah sampai" desis Makerti ketika mereka sudah
berada beberapa langkah saja dari pintu gerbang yang
terbuka lebar. Dalam pada itu, seseorang telah menyampaikan laporan
kehadiran dua orang memasuki regol padepokan kepada
Gemak Werdi dan gurunya. "Mereka sudah datang guru" berkata Gemak Werdi.
"Bukankah perhitungan kita hampir tepat. Saat beginilah
keduanya akan sampai di padepokan" desis gurunya.
"Dan guru tidak menyambutnya dengan sikap seorang
pimpinan padepokan yang sedang tersinggung karena sikap
anak muda itu?" bertanya Gemak Werdi
"Sudah aku katakan. Aku memang akan memberinya
sedikit pelajaran. Tetapi kesalahan yang dilakukan oleh
anak muda itu bukanlah karena kesengajaannya menghina
padepokan ini. Menurut penilaianku ia justru bermaksud
baik. Tetapi, bahwa ia telah mengecilkan arti kehadiranmu
di hadapan orang banyak itulah kesalahannya yang perlu
mendapat teguran. Dan aku akan meyakinkan anak itu,
bahwa bagi padepokan ini, ia tidak berarti apa-apa. Ia harus
tahu, bahwa ilmunya masih harus mendapat banyak
peningkatan agar ia pantas menegurmu di adapan orang
banyak" "Apa yang akan guru lakukan?"
"Meyakinkan, bahwa ilmunya masih sangat kecil
dibandingkan dengan ilmu dari padepokan ini" jawab
gurunya. "Guru akan turun sendiri?"
Gurunya tertawa. Katanya "Apakah kau rela aku turun
menghadapi anak muda itu?"
Gemak Werdi termangu-mangu.
"Dengan demikian berarti bahwa akulah yang telah
merendahkan diri dan merendahkan harga diri padepokan
ini" "Jadi, maksudi guru?"
"Saudara seperguruanmu. Anak gadisku sendiri yang
akan menunjukkan kepada anak muda yang datang itu,
bahwa bagi perguruan ini, ia bukan apa-apa. Justru anakku
adalah seorang gadis"
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Namun
nampak kegelisahan membayang di wajahnya yang basah
oleh keringat. "Kenapa bukan orang lain guru?"^
"Siapa yang kau maksud" Di sini muridku hanya dua
orang. Yang satu adalah kau sendiri. Apakah kau ingin
mencoba mengalahkannya?"
Wajah Gemak Werdi menjadi merah.
"Sudahlah. Jangan cemas. Ilmunya lebih lengkap dari
ilmumu. Ia adalah anakku yang menyadap ilmuku sejak ia
mulai dapay berjalan. Meskipun umurnya lebih muda dari
umurmu, tetapi masa bergurunya jauh lebih panjang dari
waktu yang kau pergunakan"
Gemak Werdi menundukkan kepalanya. Ia mengakui,
bahwa gadis itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dan
ilmunya. Meskipun umurnya masih muda, tetapi karena
sejak kanak-kanak ia sudah mulai menerima tuntunan
dalam olah kanuragan, maka ilmu yang dimilikinya hampir
setingkat dengan kelengkapan ilmu gurunya. Tetapi sudah
barang tentu, gadis itu masih harus mematangkannya.
Namun dengan demikian, bukan saja anak muda yang
sombong itulah yang akan tersinggung karenanya. Tetapi ia
sendiri akan dihadapakan pada suatu kenyataan, bahwa
ilmu seorang gadis padepokan itu jauh lebih baik dari
ilmunya. Jika gadis itu nanti berhasil menundukkan anak
muda yang sombong itu, maka anak muda itupun akan
memandangnya dengan tersenyum, bahwa kekalahannya
dari seorang gadis bukannya ia seorang diri, tetapi anak
padepokan itu sendiri, ternyata tidak dapat menyamainya.
Tetapi Gemak Werdi tidak mempunyai pilihan lain.
lebih senang melihat anak muda yang sombong itu
dikalahkan dan merunduk dengan pucat dan gemetar serta
mengakui kesalahannya daripada kegelisahannya sendiri
karena kemenangan gadis itu.
"Sudahlah" berkata gurunya, tamu itu tentu sudah
duduk di pendapa. Marilah, kita akan menemuinya dan
memikirkan semua rencana"
"Tetapi " Gemak Werdi ragu-ragu.
"Gadis itu. sudah siap. Semuanya sudah diatur sebaikbaiknya.
Mudah-mudahan Makerti dapat memberikan
sedikit peringatan sebelumnya kepada kawannya yang
sombong itu, bahwa ia akan menjumpai seseorang murid
dari padepokan ini yang memang dihormati sebagaimana ia
harus menghormati padepokan ini"
Gemak Werdi tidak menjawab. Meskipun kepalanya
terangguk-anggul kecil. Keduanyapun kemudian bangkit dan melangkah menuju
ke pendapa. Ternyata bahwa Makerti dan Mahisa Bungalan
telah duduk di pendapa seperti yang diduga oleh guru
Gemak Werdi. Ketika keduanya membuka pintu pringgrtan, maka
Makerti dengan tergesa-gesa telah membungkuk dalamdalam
sambil berdesis "Hormatku bagi guru"
Gurunya mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap
berdiri, sedang Gemak Werdi berdiri termangu-mangu di
belakangnya. "Anak muda itukah yang kau sebut Gemak Werdi?"
bertanya gurunya. "Gemak Werdi mengangguk. Jawabnya "Ya guru"
Gurunya memadang Mahisa Bungalan yang tunduk.
Kemudian terdengar ia bertanya "Siapa namamu anak
muda yang perkasa. Yang dengan sadar telah menunjukkan
keperkasaannya" Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Tetapi ia
mengangguk hormat sambil menjawab "Namaku Mahisa
Bungalan, Kiai" "Nama yang bagus. Pantas menilik ujud dan sikapmu"
berkata guru Gemak Werdi "kau seorang anak muda yang
gagah pideksa. Tampan dan sopan. Tetapi sedikit sayang,
bahwa sikapmu itu hanyalah sikap pura-pura"
Mahisa Bungalan terkejut. Ia merasa bahwa Gemak
Werdi tentu sudah sampai kepada keterangan yang
menyakitkan hati gurunya, meskipun hal itu sudah
direkayasa. Namun ia masih mengharap bahwa gurunya
tidak tidak terpengaruh oleh keterangan yang belum
dibuktikannya. Makerti yang sudah mengenal gurunya menjadi
berdebar-debar. Gurunya adalah seseorang yang tidak
mudah terpengaruh, sehingga ia menentukan sikapnya
sesuai dengan tanggapannya atas setiap peristiwa. Dengan
demikian, maka jika gurunya saat itu sudah bersikap, maka
sulitlah baginya untuk dapat merubahnya, meskipun ia
mengetahui bahwa gurunya mempunyai tanggapan yang
keliru karena keterangan yang salah pula atas sesuatu
peristiwa. Meskipun demikian, Makerti berusaha jaga untuk
memberikan penjelasan. Dengan ragu-ragu ia berkata
"Guru, apakah aku diperbolehkan memberikan sedikit
keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi" Kedatangan
kami berdua memang sengaja untuk memberikan
penjelasan tentang sikap kami. Mungkin guru telah
mendengar keterangan dari Gemak Werdi. Supaya bukan
keberangan yang berat sebelah, maka biarlah kita berbicara
tentang peristiwa yang barangkali tidak menyenangkan hati
guru" Orang tua yang berdiri di muka pintu peringgitan itu
mengerutkan keningnya. Dipandanginya Makerti dengan
tajamnya. Namun kemudian katanya "Makerti, aku kira
aku tidak menerima keterangan yang salah. Bukankan anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu pernah mengaku
bernama lain, dan bersikap seperti seorang perantau yang
tidak berarti" Tetapi tiba-tiba saja ia menunjukkan
kemampuannya yang luar biasa ketika ia melihat Gemak
Werdi dan kau sendiri mengalami kesulitan. Bukankah
begitu?" Sekali lagi Makerti terkejut. Bahkan Mahisa Bungalan
sendiri menjadi semakin tegang mendengar kata-kata guru
Makerti itu. Apalagi ketika kemudian orang tua itu tertawa. Katanya
" Aku kira aku tidak salah menilai peristiwa itu. Bukankah
benar begitu Makerti?"
Makerti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk sambil menjawab, seolah-olah di luar
sadarnya "Ya, ya guru"
Tetapi dalam pada itu Gemak Werdi beringsut sambil
berkata "Bukan itu saja guru. Yang penting adalah sikapnya
yang telah menyinggung perguruan kita"
Gurunya masih tertawa. Katanya "Jangan hiraukan
Gemak Werdi. Bagi kita anak muda itu tidak terlalu
berharga untuk diperhitungkan dari segi olah kanuragan.
Aku melihat kepura-puraannya tetapi yang karena maksud
baiknya, ia telah menyatakan dirinya"
Gemak Werdi menjadi semakin heran mendengar katakata
gurunya. Seolah-olah ia justru telah memuji anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu, meskipun
penilaiannya atas kemampuan kanuragan atas anak muda
itu sangat rendah. Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun merasa
sentuhan itu. Ia menjadi semakin ketat menjaga
perasaannya. Ketajaman nalarnya telah mulai melihat, dari
arah mana guru Gemak Werdi itu akan mulai menegurnya.
Mungkin dengan halus, tetapi pada suatu saat, akan dapat
pula terjadi kekerasan. Dalam pada itu, guru Gemak Werdi itupun berkata
selanjutnya "Anak muda, jangan takut. Aku tidak akan
marah" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Ia
semakin berhati-hati agar ia tidak dihanyutkan oleh
perasaannya. Selangkah guru Gemak Werdi itu maju sambil
tersenyum. Katanya "Kemarahan tidak akan ada artinya
apa-apa bagiku selain mendatangkan penyesalan, karena
sentuhan kemarahanku atasmu anak muda, akan membuat
kau pingsan dan bahkan mungkin jantungmu akan berhenti
berdetak" Mahisa Bungalan mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia
memaksa dirinya untuk mengangguk sambil berkata
"Terima kasih Kiai. Sejak aku masuk ke halaman
padepokan, aku memang sudah menjadi gemetar. Sekarang
mendengar bahwa Kiai tidak marah, itu membuatku diriku
menjadi sedikit menjadi tenang"
Guru Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Sementara
Mahisa Bungalan bertanya "Ampun. Kiai. Jika demikian
bukankah berarti bahwa tidak ada perasaan apa-apa lagi
antara aku dan Gemak Werdi?"
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu termangu-mangu. Sejenak ia tertegun diam
melihat Sikap Mahisa Bungalan. Ternyata anak itu dapat
menahan perasaannya, sehingga ia dapat menjaga sikap dan
kata-katanya. Namun ia juga mempunyai dugaan lain,
bahwa Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang
dungu, yang sama sekali tidak mengetahui maksudnya.
Untuk meyakinkan diri maka guru Gemak Werdi itu
berkata "Ya, ya anak muda. Memang tidak ada perasaan
apa-apa lagi antara kau dan Gemak Werdi, karena Gemak
Werdi mengerti, bahwa kau sama sekali tidak menyadari
apa yang lelah kau lakukan. Bahwa kau dalam hal ini
memang tidak berpura-pura, tetapi benar-benar karena tidak
mengerti bahwa tingkah lakumu itu menimbulkan gelak
tertawa. Untunglah bahwa Gemak Werdi mengerti
sepenuhnya apa yang dihadapinya sehingga ia tidak
mengambil sikap apapun terhadapmu. Ia meninggalkan kau
dalam kebanggaanmu, untuk menjaga agar kau tidak
terjerumus ke dalam kekecewaan"
Perasaan Mahisa Bungalan benar-benar menjadi sakit.
Ketika ia berpaling memandang Makerti, maka nampak
Makerti sedang berpikir. lapun telah menyadari, gurunya
telah menggelitik perasaan Mahisa Bungalan, sehingga
iapun mulai menyadari, arah yang akan dilalui oleh
gurunya. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan yang muda itu
masih dapat menahan hati. Sekali lagi ia mengangguk
dalami sambil berkata "Aku hanya dapat mengucapkan
terima kasih Kiai bahwa Gemak Werdi tidak mengambil
sikap apapun terhadapku sehingga aku tidak mendapat
malu di hadapan orang banyak"
Gegak Werdi yang mulai mengetahui cara gurunya
mengungkat agar Mahisa Bungalan tergetar mendengar
jawaban itu. Agaknya Mahisa Bungalan tidak terbakar
karenanya. Justru karena, itu, hati guru Gemak Werdilah yang
mulai menjadi hangat justru karena sikap rendah hati
Mahisa Bungalan. Guru Gemak Werdi itupun menjadi
heran. Anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu
sama sekali tidak merasa tersinggung. Bahkan anak itu
justru mengucapkan terima kasih kepadanya. Namun
dalam pada itu, ternyata sesuatu telah terjadi di luar dugaan
Mahisa Bungalan. Di saat ia berjuang untuk
mempertahankan keseimbangan jiwanya, tiba-tiba saja telah
muncul seorang gadis dalam pakaian yang tidak biasa
dipergunakan oleh gadis-gadis padukuhan.
"Ayah" berkata gadis itu "aku tidak sabar menunggu
lagi. Anak muda itu ternyata sangat dungu, sehingga ia
sama sekali tidak mengetahui maksud ayah. Ia sama sekali
tidak merasa tersinggung kehormatannya. Bahkan ia
sempat mengucapkan pujian atas sikap kakang Gemak
Werdi. Bukankah itu suatu kedunguan yang tidak ada
taranya" Apakah ayah akan membiarkannya berdiri di atas
sikapnya yang dungu itu?"
Guru Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Ada dua hal yang menarik hatiku pada anak
muda itu" "Sudahlah ayah. Sebaiknya kita berterus terang. Ayah
merasa tersinggung atas sikapnya yang telah merendahkan
kakang Gemak Werdi Ia sudah menghalang-halangi kakang
Gemak Wardi melakukan tugas kemanusiaan. Lebih
daripada itu, padepokan ini merasa tersinggung, seolah-olah
memerlukan pertolongannya. Karena itu, kita, seisi
padepokan ini akan me-yakinkan kepada anak muda itu,
bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari ilmu
di perguruan manapun juga. Juga tidak kalah dari ilmu
yang dipunyai oleh anak muda yang ternyata bernama
Mahisa Bungalan itu"
Hati Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar.
Sementara gadis itu berkata terus "Sekarang, lekas katakan
kepadanya, bahwa akulah yang akan menunjukkan bahwa
padepokan ini tidak dapat direndahkan. Tidak usah kakang
Gemak Werdi. Aku, seorang gadis yang lebih muda dari
kakang Gemak Werdi akan dapat membuktikan bahwa
siapapun harus mengakui kemampuan ilmu dari padepokan
ini" Guru Gemak Werdi menjadi berdebar-debar pula. Ia
tidak mempunyai pilihan lain daripada memenuhi
permintaan anak gadisnya, karena ia memang sudah
mempersiapkannya sebelumnya. Namun demikian, Anak
Muda itu benar-benar telah menarik perhatiannya, sehingga
katanya "Baiklah. Kau berhak meyakinkan tamu kita akan
tingkat kemampuan padepokan ini "Lalu katanya kepada
Mahisa Bungalan " Mahisa Bungalan, seperti yang aku
katakan, anak gadisku akan memberimu keyakinan
kemampuan ilmu yang dimilikinya. Sekedar meyakinkan.
Bukan maksudku untuk menghukummu, karena kau tidak
melakukan kesalahan yang sungguh-sungguh atas muridku
Gemak Werdi. Tetapi sekali lagi orang-orang yang ada di pendapa itu
terkejut. Mahisa Bungalan mengangguk hormat sambil
berkata "Kiai, tanpa perbuatan apapun, aku sudah yakin,
bahwa ilmu yang ada di padepokan ini tidak kalah dari
tingkat ilmu di manapun juga.
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian menggeletakkan giginya. Namun yang menjawab
adalah gadis itu "Keyakinanmu tidak meyakinkan aku. Kau
sudah benar-benar yakin, atau kau telah dihinggapi oleh
perasaan takut melihat kenyataan yang ada di sini sekarang.
Meskipun kau belum melihat sesuatu, suasana di
padepokan ini telah membuatmu gemetar.
Sekali lagi semuanya terkejut mendengar jawaban
Mahisa Bungalan "Aku sudah gemetar sejak aku berada di
perjalanan. Semakin dekat dengan gerbang padepokan ini,
aku menjadi semakin ketakutan. Tetapi aku memaksa
diriku bersama Ki Makerti untuk datang juga ke padepokan
ini karena aku ingin memberikan keterangan agar persoalan
yang terjadi itu tidak berlarut-larut"
Gemak Werdi menjadi tidak sabar lagi. Dengan lantang
ia berkata "Guru. Lihatlah. Bukankah itu bukan lagi suatu
sikap rendah bati. Tetapi itu justru merupakan
kesombongan yang tiada taranya. Ia menganggap
perguruan ini tidak bernilai sama sekali untuk dilayani"
Tetapi gurunya justru tertawa. Katanya "Pendapatmu
ada juga benarnya Gemak Werdi. Karena itu, aku tetap
pada pendirianku, bahwa Mahisa Bungalan harus
mengalami suatu sentuhan peristiwa yang akan
meyakinkannya, bahwa perguruan ini adalah perguruan
yang patut dihormatinya Melawan atau tidak melawan
ketenutan ini akan berlaku. Ukuran batas kesakitan yang
akan dialaminyalah yang akan menentukan, apakah ia
benar-benar sudah yakin tentang kemampuan perguruan
ini" "Kini" desis Mahisa Bungalan.
Tetapi guru Gemak Werdi memotongnya "Tidak ada
perosalan lagi yang akan kita bicarakan. Bersiaplah. Kau
akan menghadapi anak gadisku di arena"
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Namun iapun
menyadari, betapapun penilaian guru Gemak Werdi
atasnya, namun ada juga sikap sombong pada orang itu. Ia
mempercayakan nama perguruannya kepada anak
gadisnya. Namun Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar.
Jika tidak ada kelebihannya, tentu bukan gadis itulah yang
ditunjuk oleh gurunya untuk meyakinkannya, bahwa
perguruan Kenaga itu adalah perguruan yang memiliki
kemampuan tidak kalah dengan perguruan lainnya.
"Bersiaplah anak muda" berkata guru Gemak Werdi itu
"turunlah ke halaman, supaya kau tidak diseret oleh
cantrik-cantril yang akan menonton perkelahian yang akan
berlangsung dengan jujur di halaman"
Mahisa Bungalan memandang Makerti sejenak. Namun
agaknya Makerti tidak mempunyai pilihan apapun juga,
sehingga karena itu, iapun telah mengangguk kecil.
Betapapun segannya, namun Mahisa Bungalan harus turun
pula ke halamam. Sejenak ia memandang Gemak Werdi.
Tetapi anak muda itu memalingkan wajahnya, seolah-olah
ia tidak dapat menahan tatapan mata Mahisa Bungalan
yang mengejeknya, bahwa justru seorang gadis yang harus
meyakinkan kepadanya, bahwa perguruan Kenaga adalah
perguruan pantas dihormati.
Ketika mereka telah berada di halaman, beberapa orang
cantrikpun ikut pula berkerumun. Mereka berdiri dalam
sebuah kelompok di sudut, sementara Gemak Werdi dan
gurunya berdiri di sebelah mereka. Makerti dengan wajah
yang tegang berada disisi yang lain, sementara anak gadis
yang akan bertanding dengan Mahsia Bungalan telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ketika tanpa
di sadari ia memandang wajah gadis itu, tiba-tiba saja
tersirat sesuatu di hatinya. Wajah gadis itu nampak secerah
matahari di langit. Sinar matanya bagaikan berpendar
dalam pelupuknya. Tetapi Mahisa Bungalan menjadi
tersipu-sipu ketika ia menyadari bahwa ia sudah berdiri di
arena yang ditonton oleh beberapa pasang mata.
"Nah, anak muda" berkata guru Gemak Werdi
"bersiaplah. Kau akan mengalami perlakuan yang mungkin
tidak kau senangi. Tetapi seperti yang sudah aku katakan,
aku tidak ingin menghukummu. Aku hanya ingin
meyakinkan, bahwa kau tidak akan dapat menganggap
perguruan ini per-guruan yang tidak masuk dalam
hitungan" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi dengan gerak
naluriah, maka iapun segera mempersiapkan dirinya.
Sepercik keseganan telah menghambatnya untuk melayani
gadis itu di arena. Hampir saja ia mengurungkan niatnya
dan pergi meninggalkan padepokan itu betapapun ia harus
menanggung malu. Namun tiba-tiba terbayang wajah ayahnya dan kedua
adik-adiknya, seolah-olah memberikan kesadaran
kepadanya, bahwa ia tidak berdiri seorang diri. Jika orangorang
padepokan itu dengan harga diri yang tinggi tidak
mau tersnggung oleh sikap yang mereka anggap
merendahkan martabat mereka, maka apakah Mahisa
Bungalan akan mengorbankan nama perguruannya de-ngan
membiarkan dirinya mendapat malu.
"Ayahku adalah Mahendra" geram Mahisa Bungalan
"aku pernah berguru kepada ayah, kepada paman Witantra
yang kebetulan memiliki arus ilmu yang sama dengan ayah,
Tetapi aku juga pernah mendapat banyak petunjuk dari
paman Mahisa Agni. Apakah dengan demikian aku akan
membiarkan nama mereka tercemar disini, bahwa murid
Mahendra yang kebetulan adalah ayahku sendiri, murid
Witantra dan Mahisa Agni, tidak mampu berbuat sesuatu di
sebuah perguruan yang terasing?"
Tiba-tiba saja darah Mahisa Bungalan bagaikan menjadi
hangat Keragu-ragunya tiba-tiba telah lenyap meskipun ia
masih tetap melihat seorang gadis cantik yang berdiri di
arena. Perubahan yang terjadi di dalam diri Mahisa Bungalan,
agaknya telah membayang di wajahnya. Guru Gemak
Werdi yang memperhatikan gerak jiwa Mahisa Bungalan
itu mengerutkan keningnya. Kini ia melihat anak muda itu
yang sebenarnya. Mahisa Bungalan nampaknya tidak lagi
berusaha mengekang, perasaannya, sehingga ia benar-benar
akan berdiri di arena sebagaimana dirinya.
Guru Gemak Werdi itu termangu-mangu sejenak. Anak
muda yang mulai berdiri tegak itu telah mendebarkan
jantungnya. Kaki Mahisa Bungalan yang merenggang, dan
punggungnya yang tidak membungkuk-bungkuk lagi,
tatapan matanya yang pasti dan tangannya yang tidak lagi
tergantung lemas di sisi tubuhnya, membayangkan bahwa
Mahisa Bungalan memang seorang anak muda yang
berilmu tinggi. Meskipun demikian, guru Gemak Werdi itu masih tetap
yakin akan anak gadisnya. Ia tahu pasti, bahwa anak
gadisnya memiliki ilmu melampaui Gemak Werdi dan
Makerti. Seluruh kemampuan yang ada padanya telah
dialirkan ke dalam perbendaharaan ilmu gadis itu.
Meskipun ia sadar, bahwa gadis itu masih harusmematangkannya
di dalam perjalanan hidupnya, tetapi
tidak ada seorang anak mudapun yang menyimpan bekal
sebanyak anak gadisnya menurut perhitungannya.
"Ia adalah aku sendiri" berkata guru Gemak Werdi itu di
dalam hatinya. Dalam pada itu, gadis itupun telah bersiap sepenuhnya.
Setapak ia bergeser. Wajahnya masih tetap cerah.
Dipandanginya Mahisa Bungalan dengan tatapan matanya
yang tajam. Namun ada sesuatu yang kurang pada gadis itu menurut
Mahisa Bungalan. Dari sikap, tatapan matanya dan senyum
di sudut bibirnya, Mahisa Bungalan dapat membaca, bahwa
gadis itu mendapat petunjuk yang salah dari ayahnya.
Ayahnya tentu memberitahukan kepada gadis itu, bahwa
tidak ada orang lain yang mampu mengimbanginya.
Apalagi anak-anak muda yang sebaya. Itulah sebabnya,
maka nampaknya gadis itu kurang berhati-hati.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak mau
menganggap gadis itu lebih lemah daripadanya. Ia tetap
berhati-hati dan selalu berusaha menguasai diri dan
perasaannya, betapapun ia menyadari nama perguruannya
tidak harus dikorbankan. Sikap gadis itu ternyata kemudian pada langkah-langkah
berikutnya. Dengan kurang berhati-hati ia mengulurkan
tangannya menyerang Mahisa Bungalan, seolah-olah seperti
ingin menyentuh sebarang tonggak mati.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia harus
memperingatkan bahwa sikap itu sama sekali tidak
menguntungkanya. Jika Mahisa Bungalan salah langkah,
maka akan sangat berbahaya bagi gadis itu sendiri. Karena
itu, dengan perhitungan dan pertimbangan yang matang
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka Mahisa Bungalan sama sekali tidak bergerak. Ia
membiarkan tangan gadis itu menyentuh tubuhnya seperti
yang dikehendaki. Justru karena Mahisa Bungalan tidak berkisar sama
sekali, maka gadis yang menyerangnya itupun terkejut.
Tetapi ia tidak dapat menarik serangannya, Karena
tangannya itupun telah menyentuh tubuh Mahisa Bungalan
yang berdiri tegak seperti patung.
Sentuhan itu benar-benar telah membangunkan gadis itu
dari dugaan yang salah tentang anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu. Ia sama sekali tidak membayangkan,
bahwa Mahisa Bungalan memiliki daya tahan yang luar
biasa. Meskipun gadis itu sudah menduga, bahwa Mahisa
Bungalan memiliki kelebihan dari Gemak Werdi, namun ia
sama sekali tidak mengira, bahwa jarak itu telah
membuatnya menjadi berdebar-debar.
Karena itulah, maka gadis itupun menjadi sangat berhatihati.
Ia mulai membuat pertimbangan-pertimbangan
tertentu menghadapi Mahisa Bungalan.
Guru Gemak Werdi itupun terkejut bukan buatan. Ia
melihat anaknya menyerang. Ia menjadi bingung melihat
sikap Mahisa Bungalan yang sama sekali tidak
menghiraukan serangan itu. Namun kemudian, iapun
menyadari, bahwa Mahisa Bungalan memiliki kelebihan
yang harus diperhitungkan dengan bersungguh-sungguh.
Sejenak kemudian, maka gadis itupun telah bersiap. Ia
tidak lagi menganggap Mahisa Bungalan anak muda yang
sekedar berbangga karena kelebihan-kelebihan kecil dari
orang lain. Tetapi ia kini menganggap bahwa Mahisa
Bungalan benar-benar lawan yang cukup berat.
Sejenak keduanya masih saling berpandangan, seolaholah
masing-masing masih ingin mengetahui kemampuan
lawannya. Namun sejenak kemudian, gadis padepokan
Kenaga itupun segera meloncat menyerang dengan kakinya
yang terjulur lurus. Mahisa Bungalan menyadari, bahwa serangan yang
berikut ini bukannya sekedar gerakan yang tidak berarti.
Karena itulah maka ia tidak membiarkan dirinya disentuh
lagi oleh serangan itu. Dengan cepat Mahisa Bungalan bergeser sambil
memiringkan tubuhnya Namun ternyata bahwa ia tidak
hanya sekadar ingin menghindar. Ketika kaki lawannya
masih terjulur lurus tanpa menyentuhnya, maka Mahisa
Bungalan dengan cepat pula telah memukul pergelangan
kaki gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa Mahisa
Bungalan akan menyerang pergelangan kakinya. Karena
itu, gerakan yang sederhana dan tiba-tiba itu kurang
diperhatikannya. Namun tiba-tiba saja terasa pergelangan
kakinya disengat oleh perasaan sakit.
"Gila" ia bergumam. Selangkah ia meloncat mundur.
Tetapi iapun segera bersiap menghadapi serangan Mahisa
Bungalan yang menyusulnya.
Mahisa Bungalan ternyata telah memburunya. Lebih
cepat dari loncatan lawannya. Karena itu, maka demikian
kaki lawannya menyentuh tanah, maka kaki Mahisa
Bungalanpun telah menginjak jari-jarinya.
Ada niat Mahisa Bungaian mendorong lawannya di saat
kakinya sedang terinjak. Dengan demikian, maka
keseimbangan lawannya tentu akan terganggu. Bahkan jika
Mahisa Bungalan menghantamnya dengan serangan
sikunya, maka lawannya tentu akan jatuh terguling di arah
kaki yang terinjak itu. Tetapi ternyata Mahisa Bungalan tidak berbuat
demikian. Meskipun tangannya telah bergerak, namun ia
mengurungkan niatnya dan bahkan iapun telah meloncat
menjauh. Yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan itu benar-benar
telah mendebarkan jantung guru Gemak Werdi Ia melihat
anak gadisnya seolah-olah dihadapkan pada suatu ilmu
yang tidak dapat dimengertinya. Demikian cepat, sederhana
tetapi kadang-kadang aneh sekali.
"Anak itu akan dapat bertempur menyabung nyawa
dengan benturan- benturan kekerasan. Tetapi dengan
permainan itu, ia menjadi bingung" berkata guru Gemak
Werdi itu dalam hatinya. Tetapi agaknya bukan saja guru Gemak Werdi itulah
yang berpikir demikian. Gadis itu sendiri menganggap
bahwa gerakan yang aneh dari lawannya itu hanya
mungkin dilakukan, karena ia belum bertempur dengan
kemampuannya yang utuh. Itulah sebabnya, maka gadis itu telah merubah sikapnya.
Jika semula ia hanya ingin meyakinkan Mahisa Bungalan,
bahwa perguruan itupun mempunyai kemampuan yang
cukup untuk menghadapi orang-orang lain dari luar
padepokan, maka kemudian gadis itu di luar sadarnya telah
bertekad untuk bertempur dengan segala kemampuan yang
ada padanya. Sejenak kemudian, maka gadis itupun benar-benar telah
mempersiapkan diri. Ia tidak mau mengekang diri lagi
Karena itulah, maka iapun kemudian memusatkan segenap
kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat sikap
gadis itu. Agaknya ia benar ingin bersungguh-sungguh.
Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya, gadis itu ingin mengalahkan lawannya.
Selagi Mahisa Bungalan menilai lawannya, maka dengan
serta merta gadis itu telah menyerangnya. Sebuah patukan
jarinya yang lurus mengembang mengarah ke pundak.
Demikian cepat dan kerasnya, sehingga Mahisa Bungalan
terpaksa meloncat surut. Tetapi serangan itu tidak terhenti. Sambil meloncat maka
gadis itu telah menyerang pula dengan tangannya yang lain
dengan cara yang sama, sehingga Mahisa Bungalan
terpaksa undur selangkah lagi. Namun pada saat itulah
gadis itu berputar. Kakinya dengan derasnya telah
menyambar lambung Mahisa Bungalan.
"Bukan main" desis Mahisa Bungalan. Gadis itu mampu
bergerak cepat sekali. Namun Mahisa Bungalan masih
dapat bergerak lebih cepat, sehingga serangan-serangan itu
sama sekali tidak menyentuhnya.
Namun serangan beruntun yang dilakukan demikian
cepatnya, tetapi tanpa menyentuh lawannya itu benar-benar
telah memberikan gambaran, siapakah sebenarnya lawan
gadis itu. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
ada padanya, maka lawannya masih saja beringsut dan
bergeser. Nampaknya Mahisa Bungalan masih belum
bersungguh-sungguh. Pada saat yang demikian itu, barulah ayah gadis itu
menyadari Ia terlalu tergesa-gesa mengambil sikap hanya
sekedar memperhitungkan keterangan muridnya. Kini
setelah ia dihadapkan pada kenyataan itu, maka iapun
menyesal telah melihatkan anak gadisnya ke dalam
persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang
sederhana. Beberapa saat kemudian ia masih mengamati anak
gadisnya yang bertempur. Serangannya benar-benar datang
membadai dengan tingkat tertinggi ilmu padepokan
Kenanga. Kaki gadis itu bagaikan tidak berjejak di atas
tanah, Demikian ringan tubuhnya, seperti kapas yang
dipermainkan angin pusaran.
Tetapi jantungnya bagaikan berdetang semakin cepat
Dalam serangan yang membadai itu, lawan anak gadisnya
masih saja mampu menghindarinya dengan langkahi yang
nampaknya sederhana. "Gila" geram ayah gadis itu "ilmu iblis manakah yang
disadapnya" Jantungnya bagaikan semakin cepat berdentang ketika ia
melihat Mahisa Bungalan mulai membalas dengan
serangan-serangan. Agaknya anak muda itu akhirnya tidak
ingin menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Pada
kesempatan yang terbuka, maka mulailah Mahisa Bungalan
dengan serangannya. Adalah mengejutkan sekali bagi gadis itu, bahwa tibatiba
saja punggungnya telah tersentuh sisi telapak tangan
Mahisa Bungalan, meskipun tidak dengan sepenuh tenaga,
justru pada saat gadis itu meloncat menyerang. Agaknya
dengan kecepatan yang tidak dapat diimbanginya, Mahisa
Bungalan telah menghindar kesamping dan sebuah ayunan
tangannya telah memukul gadis itu dari belakang.
Tetapi daya dorong tangan Mahisa Bungalan tidak
menyebabkan gadis itu jatuh terjerembab. Meskipun sesaat,
keseimbangan gadis itu terganggu. Namun sejenak
kemudian ia berhasil memperbaiki keadaannya.
Pada saat yang demikian Mahisa Bungalan sudah siap
untuk meloncat menyerang pundak gadis itu. Tetapi tibativa
saja terpandang wajahnya yang cantik dan lembut,
sehingga di luar sadarnya ia telah mengurungkan niatnya.
Justru pada saat itu, lawannya telah menyerangnya selagi
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Kaki gadis itu terjulur
lurus mengarah ke lambungnya.
Namun seakan-akan gerak Mahisa Bungalan telah luluh
dengan gerak naluriahnya. Meskipun ia tidak menyadari
sepenuhnya, namun ia telah bergeser mengelak. Bahkan di
luar kehendaknya, Mahisa Bungalanlah menangkap kaki
gadis itu. Mahisa Bungalan telah siap mengangkat kaki gadis itu,
dan kemudian dengan kakinya menebas kaki gadis itu yang
lain, sehingga dengan demikian gadis itu tentu akan jatuh,
sementara dengan putaran pada pergelangan kaki dan
lipatan yang mapan, maka Mahisa Bungalan akan dapat
menguasai lawannya. Hanya dengan gerak yang cepat dan
tidak terduga, serta dilambari dengan kekuatan jasmaniah
yang sangat besar sajalah maka tu akan dapat melepaskan
diri. Namun ternyata tangkapan Mahisa Bungalan pada kaki
gadis itu, telah mengejutkan lawannya, sehingga di luar
sadarnya gadis itu terpekik.
Mahisa Bungalanpun terkejut. Justru karena ia tetap
sadar bahwa lawannya adalah seorang gadis, maka tiba-tiba
saja ia telah melepaskan tangkapannya pada kaki gadis itu
dan dengan serta meloncat surut.
Gadis itu terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian
wajahnya menjadi merah padam. Ada sentuhan pada
perasaannya sebagai seorang gadis. Jika Mahisa Bungalan
benar-benar melontarkan kakinya dan menjatuhkannya
dalam tangkapan kaki, maka tentu jantunya akan berhenti
mengalir. Bukan karena perkelahian itu, tetapi adalah
karena ia seorang gadis, sedangkan lawannya adalah
seorang anak muda. Mereka berdua masih belum dibatasi
oleh dendam dan pandangan yang gelap karena persoalan
yang bersungguh-sungguh, yang benari telah membunuh
perasaan dasar mereka. Melihat sikap gadis itu, maka Mahisa Bungalan menjadi
ragu-ragu. Dengan demikian, maka pertempuran itupun
tiba-tiba saja telah terhenti.
Yang terjadi semuanya itu tidak lepas dari pengawasan
ayah gadis itu. Ia melihat betapa anak gadisnya mengalami
kesulitan, bukan saja di arena perkelahian. Tetapi
nampaknya ia juga mengalami kesulitan perasaan justru
karena sikap Mahisa Bungalan.
Namun hal itu agaknya telah menyinggung perasaannya.
Di samping penyesalannya karena ia telah melibatkan anak
gadisnya yang sedang meningkat dewasa itu, iapun
menyesal, bahwa dengan demikian, maka niatnya untuk
menunjukkan kelebihan dari perguruannya telah menjadi
kabur karena ternyata anaknya tidak mampu mengimbangi
tingkat ilmu anak muda itu.
"Anak muda itu harus mendapat peringatan yang
sungguh-sungguh" berkata ayah gadis itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka agar nama perguruannya tidak menjadi
semakin lemah di mata Mahisa Bungalan, ayah gadis
itupun kemudian melangkah maju sambil berkata "Cukup.
cukup buat kalian. Selanjutnya, biarlah aku sendiri yang
mengurus anak muda itu"
Semua orang terkejut atas keputusan itu. Bahkan Makerti
telah bergeser sambil berdesis "Guru. Guru sendiri yang
akan melakukannya?" Guru Makerti itu mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Makerti sejenak. Kemudian Mahisa
Bungalan yang termangu-mangu. Katanya kemudian "Ya.
Aku akan menunjukkan bagaimana seharusnya ia
menghormati perguruan ini. Ternyata anak gadisku
mempunyai pertimbangan tersendiri. Ia telah dibebani
perasaan belas kasihan kepada anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu, sehingga ia tidak dapat berbuat
seperti yang aku katakan kepadanya, agar ia meyakinkan
anak muda itu, bahwa perguruan ini bukannya perguruan
yang lemah dan mengharapkan belas kasihannya"
Mahisa Bungalan menjadi termangu-mangu. Ia melihat
sorot mata yang dalam pada orang tua itu. Menilik sikap
dan geraknya, menilik ketajaman ilmu yang dilontarkannya
di tempat ia menginap, dan menilik kata-katanya, maka ia
tentu akan melakukan seperti yang dikatakannya. Dan
iapun tentu benar-benar memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Tetapi Mahisa Bungalanpun kemudian kembali kepada
kesadarannya, bahwa ia tidak berdiri atas namanya sendiri.
Tetapi ia berdiri atas nama perguruannya pula. Itulah
sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri. Ketika
guru Gemak Werdi itu melangkah ke arena, maka ia sudah
siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi sekali lagi Mahisa Bungalan tertarik kepada sikap
gadis yang baru saja melawannya. Demikian ia bergeser
dan arena, maka tatapan matanya yang tajam menyala
itupun segera menjadi luluh. Wajahnya tidak lagi terangkat
dengan carikan di ujung bibirnya. Tetapi wajah itu menjadi
agak menunduk. "Apakah ia mengalami perubahan perasaan atau
kekecewaan yang mempengaruhi sikapmu?" pertanyaan itu
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tumbuh di hati Mahisa Bungalan " atau barangkali ia
memang hidup di atas dua dunia yang berbeda"
Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapat berangan-angan
terus. Tiba-tiba saja guru Gemak Werdi itu berkata
menghentak "Bersiaplah. Aku ingin menunjukkan
kepadamu, bagaimana kau harus menghormati kami disini"
Mahisa Bungalan mengerutkan dahinya. Namun
kemudian iapun bergeser sambil menyilangkan tangannya
di dada. Sejenak kemudian mereka masih saling berdiam diri.
Ketika lawannya bergeser, Mahisa Bungalanpun bergeser
pula. Namun sejenak kemudian, lawannya telah mulai
menyerang. Tangannya terjulur lurus. Seperti sikap anak
gadisnya maka jari-jarinyapun terkembang lurus mengarah
ke dada. Mahisa Bungalan tidak berani membiarkan lawannya
menyentuhnya. Ia bergeser selangkah. Iapun kemudian
menjajagi kesikapan lawannya dengan serangan kaki.
Ternyata lawannya cukup cepat. Sebuah loncatan kecil
telah membebaskannya dari garis serangan Mahisa
Bungalan. Bahkan kemudian iapun mulai meloncat dengan
serangan yang lebih bersungguh-sungguh.
Mahisa Bungalanpun merasakan tekanan yang menjadi
semakin berat. Ia sadar, bahwa lawarnya menjadi semakin
bersungguh-sungguh dalam perkelahian itu. Dengan
demikian, maka itupun telah meningkatkan pula
perlawannya, untuk menyesuaikan diri agar ia tidak segera
terdesak. Sikap Mahisa Bungalan membuat lawannya menjadi
semakin cepat bergerak. Bahkan lawannya mulai
melepaskan unsur-unsur geraknya yang semakin rumit.
Tetapi ia menjadi heran. Ketika ia sudah mulai pada
tingkat ilmu yang lebih tinggi, anak muda itu masih tetap
dapat mengimbanginya. "Anak ini benar-benar anak aneh" gumamnya "aku
sudah berada pada tingkatan yang hampir sampai ke
puncak ilmuku" Sementara itu Mahisa Bungalanpun selalu berusaha
untuk mempertahankan dirinya. Ia tidak mau
mempertaruhkan nama ayahnya, nama pamannya Witantra
dan nama Mahisa Agni. Itulah sebabnya, setiap tingkatan
ilmu lawannya, diimbanginya pula dengan tataran yang
lebih tinggi. Akhirnya, guru Gemak Werdi mencoba untuk
melepaskan beberapa unsur gerak tertinggi yang ada
padanya. Iapun tidak mau mempertaruhkan namanya.
Apalagi ia sudah terlanjur terjun sendiri ke dalam arena
perkelahian itu. Ketika serangan lawannya datang semakin cepat, maka
Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar. Apakah iapun
harus mengimbanginya. Dengan demikian, maka
perkelahian itu semakin lama akan menjadi semakin
bersungguh-sungguh. Tetapi Mahisa Bungalan tidak dapar membiarkan
pundaknya disakiti, atau perutnya menjadi mual.
Selebihnya ia harus tetap mempertahankan nama
perguruannya. Dengan demikian, maka seperti yang diduga
oleh Mahisa Bungalan, perkelahian itupun semakin lama
menjadi semakin seru. Beberapa unsur gerak tertinggi dari
ilmunya, telah dilepaskan oleh guru Gemak Werdi. Namun
ia masih belum dapat menguasai lawannya yang masih
muda itu. Karena itulah, maka hatinya menjadi semakin panas.
Meskipun ia termasuk orang yang sudah cukup usia dan
perasaannyapun cukup mengendap, namun digelitik oleh
kenyataan, hatinyapun menjadi panas.
Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu
menjadi berdebar-debar. Mereka melihat setiap gerak
menjadi semakin cepat dan keras. Bahkan akhirnya, mereka
melihat, keduanya telah benar-benar terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Mahisa Bungalan tidak dapat menghindari kenyataan
itu. Serangan lawannya datang bagaikan badai yang
semakin dahsyat, sehingga iapun telah sampai pula kepada
ilmunya ditataran tertinggi.
"Anak gila" geram guru Gemak Werdi "ternyata ia
benar-benar mampu mengimbangi ilmuku. Ia berada pada
tataran yang jauh lebih tinggi dari dugaanku"
Dengan demikian maka perkelahian itupun semakin
lama menjadi semakin meningkat. Guru Gemak Werdi
itupun kemudian telah dipengaruhi oleh perasaannya,
sehingga pengekangan dirinya menjadi semakin
mengendor. Sementara itu justru Mahisa Bungalanlah yang masih
selalu berusaha menguasai perasaannya. Ia masih dalam
tingkat mengimbangi lawannya. Setiap kali lawannya
meningkatkan tekanannya, maka Mahisa Bungalanpun
meningkatkan pertahanannya pula.
Setelah bertempur untuk waktu yang cukup lama, tetapi
tidak seujung jarinyapun yang sempat menyentuh kulit
Mahisa Bungalan, maka hati lawannyapun menjadi
mendidih pula karenanya. Di hadapan para murid dan
cantrik di padepokan itu, ia harus menunjukkan bahwa ia
adalah seorang guru yang mumpuni. Apalagi atas anak
muda yang namanya masih belum dikenal itu. Karena itu,
maka ketika segala usahanya untuk menguasai Mahisa
Bungalan tidak berhasil, maka guru Gemak Werdi pun
sampai pada puncak kemampuannya. Ia tidak lagi dapat
mengekang diri menghadapi Mahisa Bungalan yang luar
biasa. Makerti, Gemak Werdi dan anak gadis yang telah
menjajagi kemampuan Mahisa Bungalan itupun menjadi
berdebar-debar. Mereka melihat gurunya telah
meningkatkan ilmunya sampai puncak tertinggi
"Apakah Mahisa Bungalan akan dapat bertahan lebih
lama lagi" Berkata Makerti di dalam hatinya.
Namun sementara itu, Gemak Werdi yang. meskipun
juga berdebar-debar, namun ia memang berharap bahwa
Mahisa Bungalan akan melihat kenyataan, bahwa
perguruannya adalah perguruan yang tidak dapat
direndahkan. Sementara itu, Mahisa Bungalan telah benar-benar
terdesak. Lawannya telah mengerahkan segenap
kemampuan yang ada padanya. Perguruan yang
dinamainya Perguruan Kenanga itu benar-benar harus
mempertahankan harga dirinya.
Mahisa Bungalan yang masih selalu mengekang dirinya,
benar-benar telah terdesak. Bahkan, karena ia hanya
berusaha untuk mengelak dan menghindar, akhirnya ia
kehilangan kesempatannya.
Kecepatan bergerak lawannya telah mendorongnya pada
Suatu keadaan yang tidak tertahankan lagi Ketika serangan
lawannya di puncak ilmunya itu datang membadai, maka
Mahisa Bungalan tidak lagi berhasil mengelakkan setiap
serangannya. Ketika Mahisa Bungalan mulai tersentuh tangan
lawannya, maka terasa kulitnya menjadi pedih. Sentuhansentuhan
yang mula-mula tidak terlalu keras. Tetapi yang
semakin lama semakin terasa sakit. Bukan saja pada
wadagnya, tetapi juga pada hatinya.
Ketika selintas Mahisa Bungalan melihat wajah-wajah
yang tegang di pinggir arena, maka hatinyapun tergetar.
Kesadaran dirinyapun menjadi semakin bergelora di dalam
hatinya. Dan suatu tekad telah meledak diliatinya "Aku
tidak mau menjadi tontonan disini"
Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
benar-benar telah menempatkan diri sebagai lawan dalam
sebuah perang tanding"
Sikapnya yang terpancar dari tekad yang pasti itu telah
mengejutkan lawannya pula. Nampaknya anak muda itu
menjadi semakin garang dan semakin keras.
Sambil menggeram Mahisa Bungalanpun meloncat
dalam kesiagaan sepenuhnya. Ia tidak lagi sekedar
menghindar dan mengelaki Ia tidak mau disakiti oleh
lawannya, dan ia tidak mau menjadi tontonan karena
pimpinan perguruan itu ingin menunjukkan kelebihannya di
hadapan orang-orangnya. Yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran yang
sangat dahsyat. Betapapun tinggi ilmu guru Gemak Werdi,
namun yang dihadapinya adalah Mahisa Bungalan.
Meskipun masih muda, tetapi Mahisa Bungalan adalah
perasan dari ilmu yang tiada taranya. Ia adalah orang yang
pernah membunuh pimpinan tertinggi di Mahibit yang
menentang pemerintahan Singasari.
Karena itu, maka pertempuran itupun telah menyala
dengan dahsyatnya. Bagaimanapun juga, akhirnya
kemarahan Mahisa Bungalanpun telah digelitik oleh
kedaan, seolah-olah ia telah dihadapkan pada seorang yang
dapat menentukan apa saja atas dirinya.
Guru Gemak Werdi benar-benar terkejut menghadapi
kenyataan itu. Tetapi iapun tidak dapat melangkah surut. Ia
sudah bertekad untuk menunjukkan kelebihan
perguruannya, namun lawannyapun telah bertekad untuk
mempertahankan harga dirinya.
Pertempuran yang semula terjadi dalam batas yang
sempit itupun telah bergeser. Semakin lama semakin luas.
Langkah mereka menjadi semakin panjang, dan kekuatan
yang terlontarpun menjadi semakin besar.
Hempasan serangan Mahisa Bungalan seolah-olah telah
menimbulkan angin pusaran. Setiap sentuhan serangan
lawannya, telah dibalasnya pula. Setiap kali keduanya telah
terlihat dalam putaran yang membingungkan.
Namun ternyata bahwa maksud guru Gemak Werdi
untuk menunjukkan harga diri padepokannya itu semakin
lama justru menjadi semakin kabur. Meskipun orang
terpenting di padepokan itu telah turun ke arena, namun
yang dihadipinya benar-benar seorang yang tiada taranya.
Dalam beberapa benturan yang kemudian terjadi, maka
keduanya mulai dapat mengerti, kekuatan yang sebenarnya
dari kedua belah pihak. Karena itulah, maka guru Gemak
Werdi itupun tidak akan dapat mengelakkan diri dari
kenyataan, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang
berkekuatan raksasa. Tetapi harga diri orang tua itu tidak mau menjadi
semakin parah menghadapi Mahisa Bungalan. Ia benarbenar
telah mengerahkan puncak ilmunya dan bahkan
kemudian segenap tenaga cadangan yang dapat
dihimpunnya. Tenaga yang justru mempunyai kekuatan
berlipat dari kekuatan wajarnya.
Itulah sebabnya kemudian di arena itu bagaikan telah
bertiup badai yang dahsyat mengguncang dedaunan dan
dahan-dahan. Orang-orang yang semula berada di sekitar arena itupun
telah berpencaran. Mereka berloncatan menjauh ketika
langkah-langkah kedua orang yang bertempur itu menjadi
semakin panjang. Bahkan mereka kemudian tidak lagi
menghiraukan tanaman di halaman. Pohon bunga soka dan
ceplok piring telah berserakkan rata dengan tanah. Bahkan
pohon kemuning di pinggir halaman Itupun telah rontok,
bukan saja bunganya, tetapi juga daunnya. Dahandahannyapun
berparahan dan berjatuhan di tanah.
Benturan demi benturan tidak dapat dielakkan. Serangan
yang dahsyat saling berbenturan.
Betapapun juga orang tua itu mengerahkan segenap
kemampuannya, namun ia tidak dapat memaksa anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan itu menjadi lumpuh.
Bahkan anak muda itupun semakin lama justru menjadi
semakin garang. Mahisa Bungalan yang berjuang bukan saja
membebaskan diri dari serangan lawan, tetapi juga bertahan
untuk tidak hanyut oleh arus perasaannya, lambat laun
menjadi semakin panas pula darahnya, Ia masih jauh lebih
muda dari guru Gemak Werdi itu, sehingga karena itu,
maka jika orang tua itu tidak lagi mampu mengekang diri,
apalagi Mahisa Bungalan yang muda.
Ternyata bahwa guru Gemak Werdi memang memiliki
pengalaman yang luas dalam olah kanuragan, sesuai
dengan umurnya. Namun demikin, Mahisa Bungalan yang
muda itu agaknya tidak pula kalah dalam pengalaman.
Mahisa Bungalan adalah anak muda yang sudah terbiasa
berpetulang. Melihat daerah yang jauh dan menempuh
perjalanan yang gawat. Sudah banyak lawan yang
dihadapinya, sehingga sudah banyak pula ilmu yang
dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ketika ia tidak lagi dapat
menguasai dirinya, maka iapun telah melepaskan segenap
tenaga cadangan yang ada padanya pula.
Benturan ilmu tertinggi itu telah membuat padepokan
kecil itu bagaikan berguncang.
Dengan marah guru Gemak Werdi telah
mempergunakan segenap kekuatan yang ada menyerang
dada Mahisa Bungalan dengan kelima jarinya yang rapat
terbuka. Namun Mahisa Bungalan masih sempat mengelak
dengan loncatan kecil. Dengan cepat dan keras Mahisa
Bungalan telah melontarkan serangan dengan kakinya yang
berputar mendatar mengarah lambung. Tetapi
lawannyapun sempat meloncat surut Dengan sekuat tenaga
lawannya memukul pergelangan kaki Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan tidak membiarkan kakinya
kesakitan. Ia menarik kakinya dalam setengah putaran.
Kemudian tiba-tiba saja ia melenting seperti seekor bilalang.
Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat
mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah memiringkan
tu-buhnya dan menangkis serangan itu dengan sikunya.
Benturan yang dahsyat tidak dapat dielakkan. Agaknya
Mahisa Bungalan tidak lagi membatasi tenaganya. Karena
itulah, maka lontaran tenaga sepenuh kekuatannya itu telah
mendorong lawannya beberapa langkah.
Guru Gemak Werdi itupun terhuyung-huyung
karenanya. Hampir saja ia tidak berhasil menguasai
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keseimbangannya. Namun ketika Mahisa Bungalan
memburunya, ia berhasil melenting beberapa langkah.
Demikian kedua kakinya menjejaki tanah, maka iapun telah
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mahisa Bungalan yang memburunya telah melihat
kesiagaan lawannya. Namun sekali lagi Mahisa Bungalan
berusaha membenturkan kekuatannya. Sekali dengan
sepenuh kekuatannya ia meloncat menyerang dengan kaki
lurus mendatar. Lawannya tidak mau membenturkan kekuatannya. Ia
sempat mengelakkan, sehingga Mahisa Bungalan meluncur
sejengkal disisinya. Namun pada saat itulah justru orang tua
itu telah berusaha menyerang Mahisa Bungalan dengan
hentakkan jarinya yang rapat mengembang pada
lambungnya. Mahisa Bungalan menggeliat, sehingga ia berhasil
berkisar dari garis serangan lawannya. Namun lawannya
sempat pula merubah arah tangannya sambil meloncat
memburu. Mahisa Bungalanlah yang kemudian tidak sempat
mengelak. Tetapi ia menyadari serangan yang datang ke
dadanya. Sambil menarik tubuhnya miring kekiri, ia
memukul tangan lawannya. Tetapi ternyata lawannya
sudah memperhitungkannya. Tangannya ditariknya, namun
kemudian sikunyalah yang menyerang, justru kening
Mahisa Bungalan. Dengan sigap Mahisa Bungalan menahan serangan itu
dengan tangan kirinya. Namun ternyata serangan itu sangar
kuatnya, sehingga meskipun sudah dilambari dengan tangat
kirinya, namun serangan itu berhasil menyentuh keningnya.
Serangan itu tidak membuat keningnya menjadi sakit,
meskipun kepalanya terdorong sejengkal. Namun sentuhan
itu membuat hati Mahisa Bungalan menjadi semakin panas.
Itulah agaknya ia sama sekali tidak memberi kesempatan
kepada lawannya. Sebelum lawannya menarik sikunya,
maka Mahisa Bungalan telah meloncat kesamping
mengambil ancang-ancang. Dengan kecepatan yang luar
biasa, maka iapun kemudian menghantam lawannya
dengan punggung kepalan tangannya mendatar setinggi
punggung. Serangan itu begitu tiba-tiba. Lawannya berusaha untuk
memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu. Tetapi
ia terlambat. Meskipun bukan punggungnya, tetapi
pundaknyalah yang telah terhantam oleh kekuatan Mahisa
Bungalan yang tiada taranya.
Lawannya itupun menyeringai kesakitan. Bahkan sekali
lagi ia terdorong ke samping. Selagi ia masih terhuyunghuyung,
maka kaki Mahisa Bungalan sekali lagi bergeser,
menghantam paha lawannya dari samping.
Orang tua itu tidak lagi mampu mempertahankan
keseimbangannya. la tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia
harus jatuh berguling. Namun dengan sigapnya iapun telah
melenting berdiri dengan kesiagaan sepenuhnya
menghadapi segala kemungkinan.
Namun pada saat itu pulalah datang serangan Mahisa
Bungalan bagaikan badai menghantam gerurnbul perdu di
padang terbuka. Demikian dahsyatnya, sehingga lawannya
yang sudah berada di puncak kemampuannya itu tidak
mampu bertahan lagi. Kekuatan Mahisa Bungalan benarkekuatan
yang tidak terlawan. Meskipun Mahisa Bungalan
belum mempergunakan puncak ilmu pamungkasan yang
diterimanya dari ayahnya dan Mahisa Agni yang telah
luluh dalam dirinya, namun ternyata bahwa lawannya,
meskipun sudah tertahan oleh tangannya yang bersilang itu,
telah melemparkanya beberapa langkah surut. Kemudian
rasa-rasanya keseimbangannyapun telah lenyap sehingga
iapun kemudian berputar sekali dan jatuh terjerembab.
Yang terjadi itu benar-benar mengguncangkan dada
setiap orang yang menyaksikan, terutama murid-murid dari
perguruan Kenanga. Mereka harus melihat kenyataan,
bahwa gurunya terjatuh dan dengan susah payah berusaha
untuk bangkit. Anak gadisnya yang berdiri termangu-mangu, tiba-tiba
saja telah meloncat maju sambil berkata lantang "Kau tidak
dapat dimaafkan lagi"
Mahisa Bungalan tertegun. Apalagi ketika kemudian
Gemak Werdi telah melangkah maju pula diikuti oleh
beberapa orang cantrik. Bahkan yang mengguncangkan
dada Mahisa Bungalan adalah justru Makerti telah berdiri
menghadapinya pula sambil berkata "Yang kau lakukan
adalah sudah keterlaluan Mahisa Bungalan. Aku adalah
muridnya, yang siap untuk menuntut balas"
Mahisa Bungalan berdiri tegak seperti patung. Namun ia
mencoba untuk melihat kenyataan yang mengepungnya.
Murid-murid dari perguruan Kenanga.
"Apaboleh buat" tiba-tiba saja ia menggeram "aku bukan
tontonan di sini Bukan pula sasaran untuk sekedar
melepaskan kekecewaan karena kedunguan Gemak Werdi
yang terjadi di Watan itu. Aku adalah Mahisa Bungalan
yang juga mempunyai harga diri seperti kalian. Jika
semuanya memang tidak dapat dicegah lagi ,maka harga
diriku adalah nyawaku"
Kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan setiap
dada. Apalagi ketika nampak oleh mereka sorot mata
Mahisa Bungalan yang bagaikan memancarkan api Namun
merekapun berkata pula di dalam hati masing-masing
"Harga diriku juga bernilai seperti nyawaku"
Sejenak kemudian Mahisa Bungalan telah berdiri di
dalam sebuah lingkaran. Para murid dari padepokan itu
telah mengepung Di tiga penjuru berdiri Gemak Werdi,
Makerti dan anak gadis pimpinan padepokan Kenanga yang
telah dijatuhkan oleh Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu Mahisa Bungalanpun telah
mempersiapkan dirinya. Ia tidak lagi mempunyai
bermacam-macam pertimbangan. Bahkan iapun tidak lagi
berusaha mengekang diri seandainya sentuhan tangannya
akan berakibat maut bagi siapapun juga.
Setiap jantungpun terasa berdegup semakin cepat.
Ketegangan menjadi semakin memuncak pula. Namun
pada saat Mahisa Bungalan siap meloncat menyerang setiap
orang yang mengepungnya, tiba-tiba terdengar suara dalam
nada yang dalam "Tunggu, tunggulah"
Semua orang tertegun. Ketika mereka kemudian
berpaling, dilihatnya guru Gemak Werdi itu berdiri tertatihtatih
mendekati arena. Mahisa Bungalan beringsut setapak. Ia menjadi curiga,
bahwa orang tua itupun akan ikut beramai*ramai
mengeroyoknya pula. Namun orang itupun berkata "Hentikan permusuhan
ini" Semua orang menjadi termangu-mangu, sementara orang
tua itu berkata "Hentikan. Kita sudah kehilangan
pengamatan diri menghadapi anak muda itu. Ternyata
bahwa kita tidak akan dapat mengingkari kenyataan bahwa
perguruan kita yang kecil ini bukanlah apa-apa baginya"
Para murid menjadi heran, sementara orang tua itu
meneruskan "Pada saat-saat terakhir dari permainan angger
Mahisa Bungalan. terbukti betapa tinggi ilmu yang
dimilikinya. Meskipun kita penghuni seluruh padepokan ini
bersama-sama melawannya termasuk aku sendiri, namun
kita tidak akan dapat berbuat banyak. Aku yakin, bahwa di
atas kekuatannya yang baru saja kita saksikan, angger
Mahisa Bungalan masih mampu melepaskan ilmu yang
jauh lebih dahsyat lagi. Ilmu yang akan dapat membakar
seluruh pade-pokan ini menjadi hangus"
Murid-muridnya mendengar keterangan gurunya itu
dengan bersungguh-sungguh. Mereka memang sudah
melihat, betapa anak muda itu berhasil merobohkan
gurunya. Namun mereka tidak menyadari kekuatan apakah
yang masih tersimpan pada anak muda itu, yang akan dapat
dilontarkannya setiap saat jika keadaan memaksa.
Kekuatan ilmu yang seolah-olah dapat meruntuhkan
gunung. Selagi para muridnya masih dicengkam oleh ketidakpastian,
maka orang tua itupun kemudian mendekati
Mahisa Bungalan sambil berkata "Angger Mahisa
Bungalan, aku mohon maaf atas sambutanku yang kurang
baik di padepokan ini. Tetapi ketahuilah, bahwa ternyata
kami telah menerima kunjungan seorang anak muda yang
tidak ada duanya" Mahisa Bungalan masih berdiri tegak bagaikan patung,
la masih diliputi oleh kecurigaan menghadapi seluruh
penghuni padepokan itu. Sementara itu, orang tua itu
meneruskan "Semalam, ketika aku menjajagi ketahanan
ilmu angger ternyata aku sudah salah hitung. Aku kira
angger benar-benar tidak mampu mengatasi lontran ilmuku.
Tetapi agaknya karena kebodohanku sajalah, maka aku
tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi"
Mahisa Bungalan masih tetap berdiam diri. Ia masih
belum dapat melepaskan diri dari suasana yang baru saja
mencengkam padepokan itu. Apalagi Mahisa Bungalan
masih melihat murid-murid padepokan itu masih tetap
bersiaga, termasuk Makerti.
Namun sekali lagi guru mereka itu berkata "Kalian tidak
perlu berbuat apa-apa lagi. Cepat, tinggalkan tempat ini,
dan pergilah merebus air dan menanak nasi. Kalian dapat
menangkap dua ekor ayam yang paling gemuk untuk
menjamu tamu kita" Para cantrik masih termangu-mangu .Namun merekapun
kemudian bergeser seorang demi seorang, sehingga
akhirnya yang tinggal hanyalah Gemak Werdi, Makerti dan
gadis yang masih tetap memandang Mahisa Bungalan
dengan curiga. "Kemarilah. Duduklah di pendapa" ajak orang tua itu.
Melihat sikapnya, Mahisa Bungalan lambat laun
ditumbuhi juga kepercayaan kepadanya, bahwa ia tidak
akan berbuat jahat. Sehingga karena itu, maka iapun
kemudian mengikutinya naik ke pendapa.
Makerti yang mengikutinya di belakang berdesis di
telinga Mahisa Bungalan "Aku mohon maaf. Aku tidak
dapat melihat guruku mengalami kesulitan"
Mahisa Bungalan tersenyum Katanya "Aku mengerti.
Kau adalah murid yang baik"
Sejenak kemudian merekapun telah duduk di pendapa
mengelilingi minuman hangat yang dihidangkan. Dengan
nada datar orang tua Itupun kemudian berkata "Angger
Mahisa Bungalan. Ternyata kami salah menilai angger.
Meskipun aku sudah menduga bahwa angger memang
memiliki kemampuan, tetapi ternyata yang ada sangat jauh
dari perhitunganku semula"
Mahisa Bungalan tidak menjawab.
"Perkenankanlah kami memperkenalkan diri. Aku
adalah seorang tua yang memimpin padepokan ini. Orang
menyebutku Ki Kenanga, namun kadang-kadang juga
disebut Ki Selabajra. Gadis itu adalah anakku yang disebut
Amrik yang juga kadang-kadang dipanggil Ken Padmi.
Sedangkan dua orang muridku yang lain tentu sudah kau
kenal" Mahisa Bungalan mengangguk hormat. Katanya
"Terima kasih Kiai. Aku senang sekali dapat berkenalan
dengan Kiai" "Sekali lagi aku minta maaf atas penerimaan yang tidak
ramah ini" "Aku juga minta maaf Kiai. Mungkin kedatanganku
telah mengguncangkan ketenangan padepokan ini,
meskipun maksudku bukan demikian"
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku mengerti. Akupun menyadari bahwa yang
kau lakukan bukannya dengan sengaja menghina perguruan
ini. Tetapi rasa-rasanya adalah terlalu berat untuk
menerima belas kasihan dari seseorang yang belum kami
kenal" "Aku melakukannya tanpa maksud buruk"
"Karena itulah, maka yang ingin kami lakukan
sebenarnya hanyalah sekedar menunjukkan harga diri.
Namun agaknya perasaan ini tidak lagi dapat kami kuasai.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Pengakuan yang jujur itu telah membuat penilaiannya atas
orang-orang padepokan itupun agak berubah.
"Karena itu ngger" berkata Ki Kenanga yang juga sering
disebut Ki Selabajra "anggaplah yang terjadi itu betul-betul
suatu kekhilafan" "Marilah kita lupakan Kiai. Jika maksud kedatanganku
kemari sudah dapat dimengerti, aku sudah mengucapkan
beribu terima kasih"
"Kami mengerti ngger. Bahkan lebih daripada itu.
Ternyata meskipun usia angger masih jauh lebih muda dari
umurku, namun angger adalah seorang yang telah dewasa
lahir dan batin" Mahisa Bungalan mengangkat Wajahnya sejenak.
Namun udiam sambil menundukkan kepalanya ia
bergumam "Jangan memuji Kiai. Aku tidak lebih dari yang ada ini"
"Yang ada itulah yang luar biasa" sahut Ki Selabajra
"aku ingin mohon agar angger bersedia bermalam di sini
untuk satu dua malam"
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ketika ia
berpaling kepada Makerti, maka sorot mata Makertipun
seolah-olah telah mempersilahkannya pula. Karena itu
maka katanya "Terima kasih Kiai. Jika Kiai sudi menerima
aku bermalam" "Tentu, tentu ngger. Aku senang sekali menerima angger
bermalam di sini" Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya pula sejenak,
seolah-olah ia ingin tahu, apakah orang tua itu berkata
dengan jujur. Namun nampak pada sorot matanya, maka
yang dikatakannya itu benar-benar terloncat dari hatinya.
Nampaknya ia benar-benar menerima Mahisa Bungalan
bermalam dengan senang. Ketika kemudian beberapa jamuan makan dihidangkan,
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka Mahisa Bungalanpun minta diri untuk mencuci
tangan dan kakinya di sumur, di halaman samping
padepokan itu. Pada saat Mahisa Bungalan turun itulah, Makerti telah
menceriterakan, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan sama
sekali tidak dicengkam oleh ilmu yang dilontarkan Ki
Selabajra semalam. Mahisa Bunglan sama sekali tidak
tertidur nyenyak sehingga tidak menyadari apa yang telah
terjadi. "Dan kau juga mampu melepaskan diri dari pengaruh
ilmuku?" bertanya guru Makerti.
"Sebenarnya aku tidak mampu lagi guru. Tetapi ketika
Mahisa Bungalan memegang tanganku, rasa-rasanya ada
semacam arus yang hangat mengalir ke seluruh tubuhku,
sehingga aku dapat bertahan diri dari pengaruh ilmu guru
yang sebenarnya tidak terlawan itu"
"Jadi kau juga telah dibebaskan dari pengaruh ilmu itu
oleh Mahisa Bungalan?"
"Ya guru" Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Makerti sejenak. Kemudian Gemak Werdi
dan anak gadisnya yang menunduk.
"Jika demikian, ia benar-benar anak muda yang luar
biasa. Ia tentu memiliki ilmu yang belum pernah kita
ketahui dan tidak dapat kita bayangkan tingkat
kemampuannya" berkata orang tua itu.
Pembicaraan itupun segera terputus, karena Mahisa
Bungalan telah datang kembali, dan duduk diantara
mereka. Sejenak kemudian merekapun telah menikmati
hidangan makan bersama. Meskipun sudah tidak ada masalah lagi diantara mereka,
namun rasa-rasanya masih saja ada jarak antara Gemak
Werdi dan Mahisa Bungalan. Anak muda itu masih saja
dibayangi oleh sikap Mahisa Bungalan di Watan Di
hadapan banyak orang, Mahisa Bungalan telah
memperkecil arti kehadirannya.
"Kenapa ia tidak dengan tulus membantuku" pertanyaan
itulah yang selalu mengganggunya "Bahkan ia telah
memperkecil arti kehadiranku di padukuhan itu.
Seharusnya orang-orang Watan merasa bahwa aku telah
membebaskan mereka dari tingkah laku yang jahat dari Ki
Lambun dan orang-orangnya"
Namun Gemak Werdi menahan semuanya itu di dalam
hatinya. Ia sadar, bahwa gurunya sudah mulai terpengaruh
oleh anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu.
Apalagi setelah anak muda itu menunjukkan
kemampuannya. Bahkan gurunya menganggap bahwa
Mahisa Bungalan memiliki ilmu yang tatarannya tidak
dapat dibayangkan. Seperti yang diminta oleh Ki Selabajra, maka Mahisa
Bungalan telah tinggal untuk dua tiga hari di padepokan
kecil itu. Dengan demikian, maka Makertipun tidak segera
pulang ke rumahnya. Iapun tinggal pula di padepokan itu
untuk mengawani Mahisa Bungalan. Demikian pula
Gemak Werdi. Namun dalam pada itu, yang sangat mengherankan
Mahisa Bungalan adalah gadis yang bernama Ken Padmi
itu. Ketika ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya, ia
menganggap bahwa gadis itu adalah gadis yang sombong.
Ia dengan dada tengadah telah menantangnya memasuki
arena perkelahian atas nama perguruannya.
Tetapi yang dilakukan itu agaknya adalah sekedar
perintah ayahnya. Dalam pergaulan sehari-hari, ternyata
gadis itu adalah gadis yang luruh. Hampir setiap saat ia
selalu menundukkan kepalanya. Langkahnya lembut dan
sorot matanya terasa lunak.
Pada malam pertama Mahisa Bungalan berada di
padepokan itu, ia telah melihat, bahwa sebenarnya
padepokan itu termasuk padepokan yang tenang. Namun
agaknya karena Ki Selabajra terlalu yakin akan
perguruannya yang terpencil itu, sehingga beberapa orang
muridnya yang kurang perbendaharaan pengalaman,
menganggap bahwa perguruan itu adalah perguruan yang
terbaik di seluruh muka bumi. Mereka sudah menerima
ilmu cukup dari padepokan ini menganggap bahwa mereka
akan dapat berbuat apa saja terhadap orang lain.
Meskipun Ki Selabajra tidak mengajarkan kejahatan,
tetapi satu dua orang muridnya yang merasa dirinya tidak
terkalahkan itu, kadang-kadang dapat menyulitkan diri
mereka sendiri. Seperti yang telah dilakukan oleh Gemak
Werdi yang hampir saja merenggut nyawanya sendiri,
karena di luar per-hitungannya ia telah bertemu dengan
orang yang bernama Ki Lambun yang memiliki ilmu yang
tinggi pula. Tanpa mengajukan permintaan, Ki Selabajra telah
memberi kesempatan kepada Mahisa Bungalan untuk
menyaksikan latihan-latihan bagi dua orang murid pada
tataran tertinggi dari perguruan Kenanga. Jika mereka
sudah dapat menguasai ilmu pada tataran tertinggi itu,
maka mereka berdua akan dapat dilepas seperti Gemak
Werdi. "Keduanya memiliki dasar yang sangat baik" desis
Mahisa Bungalan ketika Ki Selabajra minta pendapatnya
tentang kedua orang muridnya.
"Mereka akan menjadi seorang anak muda yang
mengagumkan seperti Gemak Werdi" berkata Ki Selabajra
"tetapi mereka tentu tidak banyak berarti bagi angger
Mahisa Bungalan" Mahisa Bungalan tidak menyahut.
Dalam pada itu, kedua murid Ki Selabajra itu
memperlihatkan, bahwa cara yang ditempuh oleh orang tua
itu untuk menurunkan ilmunya, termasuk cara yang baik
menurut penilaian Mahisa Bungalan. Meskipun tidak
seluruh yang ada di dalam perbendaharaan pengetahuan Ki
Selabjra dituangkan, namun keduanya, seperti juga Gemak
Werdi dan Makerti, mendapat kemungkinan untuk
mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya. Seseorang yang
memiliki ketajaman penglihatan dan kecerdasan pikiran,
akan dapat mengembangkan ilmunya setinggi-tingginya.
Adalah di luar dugaannya, bahwa pada saat itu tiba-tiba
saja Ken Padmi masuk ke dalam sanggar. Tetapi gadis itu
terkejut ketika ia melihat Mahisa Bungalan ada di dalam
sanggar itu pula. Dengan tergesa-gesa ia berbalik dan
melangkah keluar. Tetapi ayahnya memanggilnya
"Kemarilah Duduklah di sini"
Gadis itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian
mendekati ayahnya dan duduk disebelahnya pula.
"Setelah keduanya selesai, maka akan datang giliranmu"
"Ah" tiba-tiba saja gadis itu berdesah "aku tidak ingin
berlatih malam ini" "Kenapa?" bertanya ayahnya.
Gadis itu menjadi gelisah. Di luar sadarnya, teringat
olehnya saat Mahisa Bungalan menangkap kakinya Jika
saja anak muda itu ingin memperolok-olokkannya, ia tentu
dapat melakukannya saat itu.
Rasa-rasanya tubuh gadis itu meremang dan
wajahnyapun menjadi kemerah-merahan.
Untuk sesaat gadis yang duduk di sebelah ayahnya itu
hanya menundukkan kepalanya saja. la sama sekali tidak
berani berpaling. Apalagi kepada Mahisa Bungalan.
Dalam pada itu kedua murid yang sudah hampir
menyelesaikan ilmunya itu berlatih semakin cepat.
Akhirnya keduanya sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu
yang pernah dipelajarinya.
"Cukup" berkata Ki Selabajra "kalian dapat beristirahat.
Keduanya mengangguk dalam-dalam. Kemudian
keduanyapun keluar dari sanggar.
Yang ada di dalam sanggar itu kemudian hanyalah Ki
Selabajra, Mahisa Bungalan dan Ken Padmi menunduk.
Sejenak mereka berdiam diri. Namun kemudian Ki
Selabajrapun berkata kepada anak gadisnya "Bagaimana
dengan kau?" Gadis itu menggeleng lemah Suaranya hanya terdengar
seperti berbisik "Aku tidak ingin berlatih sekarang ayah"
"Kenapa tidak anakku. Di padepokan ini, kau adalah
muridku yang memiliki ilmu paling lengkap dan
kemampuan yang paling tinggi. Tidak ada seorangpun,
meskipun ia seorang laki-laki, yang dapat mengimbangimu
dalam kecepatan bergerak dan ketrampilan ilmu pedang.
Karena itu, aku ingin kau menunjukkan kemampuan itu
kepada angger Mahisa Bungalan"
Ken Padmi tetap menggelengkan kepalanya meskipun ia
tidak menjawab. "Anakku" berkata ayahnya "aku mengerti, bahwa kau
menjadi sangat malu setelah kau menyadari, bahwa ilmu
yang paling sempurna di padepokan ini, masih jauh
dibawah kemampuan angger Mahisa Bungalan. Aku, orang
yang dianggap paling mumpuni disini, ternyata sama. sekali
tidak berarti apa-apa. Namun justru karena itu, kau tidak
perlu malu kepadanya"
Ken Padmi masih menunduk.
"Cobalah" Gadis itu masih saja menggelengkan kepalanya.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa anak gadisnya menjadi malu bukan karena
perbandingan ilmunya yang jauh lebih rendah dari Mahisa
Bungalan. Tetapi gadis itu malu justru karena ia seorang
gadis. Karena itu, maka Ki Selabajrapun tidak memaksanya,
Mahisa Bungalan masih akan berada di padepokan itu
untuk satu atau dua hari, sehingga ia masih dapat berharap,
bahwa pada suatu saat, Mahisa Bungalan akan melihat
anak gadisnya menunjukkan puncak kemampuannya.
Bukan untuk me-nyombongkan diri, namun dengan
harapan, bahwa Mahisa Bungalan akan dapat memberikan
beberapa petunjuk bagi kemajuan ilmu anak gadisnya itu.
Maka ketika Ki Selabajra menyadari bahwa pakaian
anak nya sudah basah oleh keringat, berkata "Jika
demikian, kau boleh pula meninggalkan ruangan ini. Tetapi
pada suatu saat, kau akan menunjukkan betapa dungunya
orang terbaik di padepokan ini"
Ken Padrni ragu-ragu untuk bangkit Tegapi akhirnya,
ketika ayahnya mengangguk kepadanya, iapun melangkah
keluar dari ruangan itu. Demikian ia sampai keluar pintu,
maka rasa-rasanya kakinya menjadi ringan, sehingga
langkahnya menjadi semakin cepat.
Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja ia
berpapasan dengan Gemak Werdi. Sejenak keduanya saling
memandang. Namun kemudian Gemak Werdi bertanya "
Darimana kau Padrni?"
Ken Padrni termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian
menjawab "Dari Sanggar kakang Gemak Werdi "
"Siapa yang berada di sanggar?"
"Ayah dan Mahisa Bungalan"
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Gemak Werdi.
"Mahisa Bungalan melihat kawan-kawan kita berlatih"
jawab Ken Padrni "Termasuk kau?"
Ken Padrni menggeleng. Jawabnya "Aku tidak berbuat.
apa-apa. Ketika aku masuk, aku tidak mengerti bahwa
Mahisa. Bungalan ada di dalam bersama ayah"
Gemak Werdi mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun meneruskan langkahnya turun ke halaman.
"Kemana kau?" Ken Padrni masih bertanya.
Gemak Werdi menggeleng. Jawabnya "Tidak kemanamana.
Aku hanya akan berada di halaman saja"
Ken Padrni tidak bertanya lagi. Iapun kemudian masuk
ke ruang dalam langsung ke dalam biliknya. Dengan serta
merta iapun merebahkan dirinya di pembaringannya.
Untuk beberapa saat Ken Padrni masih berangan-angan.
Sekilas ia membayangkan, betapa anak muda yang bernama
Mahisa Bungalan itu memiliki kemampuan tiada taranya.
Meskipun umurnya masih sebaya dengan Gemak Werdi,
namun ia sudah dapat mengalahkan ayahnya yang juga
gurunya dalam olah kanuragan.
"Dari mana ia mendapatkan ilmu itu?" pertanyaan itulah
yang mengganggunya, namun kemudian "tetapi tentu dari
sumber yang jernih. Nampaknya ia bukan orang yang
sombong, keras kepala atau orang-orang yang merasa
dirinya paling besar diseluruh dunia ini. Ia nampaknya
seorang yang rendah hati. Jika ayah tidak memaksa, maka
ia sama sekali tidak ingin menunjukkan kemampuannya.
Bahkan ayah dahululah yang telah kehilangan pengamatan
diri di arena" Tetapi yang terjadi adalah jauh dari yang
dimaksudkan. Ken Padrni menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya. Ia menjadi sangat malu mengenang, bahwa ia
berdiri dengan wajah tengadah, mengumpati anak muda itu
sebagai anak yang dungu. Saat itu iapun yakin, akan dapat
menunaikan tugas yang diberikan oleh ayahnya, mengajari
anak muda yang baru datang itu untuk menghormati
padepokan ini. Beberapa saat lamanya gadis itu berangan-angan.
Penyesalan, malu dan berbagai macam perasaan campur
baur. Bahkan ia pun tidak dapat ingkar lagi, bahwa ia
mengagumi Mahisa Bungalan sebagai seorang yang
memiliki ilmu yang tiada bandingnya, yang dilakukan itu
belum merupakan puncak dari kemampuannya yang
sebenarnya. Lambat laun, semua bayangan diangan-angannya itu
menjadi kabur. Sehingga akhirnya ketika matanya terpejam,
maka yang nampak adalah sebuah mimpi yang indah.
Dalam pada itu, Ki Selabjra dan Mahisa Bungalan masih
berada di sanggar. Sejenak mereka masih berbicara tentang
berbagai macam persoalan olah kanuragan. Sehingga
dengan demikian maka Ki Selabajra menjadi semakin
yakin, bahwa Mahisa Bungalan memang seorang anak
muda yang luar biasa. Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, dan
padepokan itu menjadi sepi, maka Ki Selabajra telah
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk beristirahat.
Digandok sebelah kiri, Mahisa Bungalan dipersilahkan
beristirahat bersama Makerti. Untuk beberapa saat mereka
masih berbicara tentang peristiwa yang pernah mereka
alami. Di Watan dan di padepokan itu.
"Kau adalah murid yang setia" berkata Mahisa
Bungalan" Dalam keadaan yang gawat kau telah
menentukan sikap terpuji. Kau berdiri di pihak
perguruanmu" Makerti tersenyum betapapun kecutnya. Katanya
"Untunglah bahwa guru menyadari keadaannya dan
keadaan murid-muridnya. Jika tidak, mungkin kepalaku
sudah terbelah" "Ah"desis Mahisa Bungalan "apakah kau mempunyai
kesan bahwa aku adalah seorang pembunuh?"
"Memeng tidak Mahisa Bungalan. Tetapi dalam keadaan
terpaksa, dan untuk membela diri, mungkin seseorang yang
bukan seorang pembunuh akan dapat membunuh
lawannya" sahut Makerti.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia tidak
membantah karena hal itu memang dapat terjadi.
Untuk beberapa saat mereka masih berbicara. Namun
akhirnya Mahisa Bungalanpun merebahkan dirinya di
amben bambu sambil berdesis " Di Watan aku tidur di
Banjar padukuhan. Di sini aku mendapat kehormatan tidur
di gandok" namun kemudian sambungnya "itu bukan
berarti bahwa aku tidak mendapat kehormatan di Watan.
Sikap Ki Buyut sangat baik dan mudah-mudahan Watan
akan tetap dalam suasana yang baik setelah Ki Lambun
menyadari keadaannya"
Makertipun kemudian berbaring pula. Namun anganangannya
masih terbang hilir mudik beberapa saat. Namun
kemudian matanyapun terpejam seperti Mahisa Bungalan.
Sehingga beberapa saat kemudian, keduanyapun telah
tertidur nyenyak. Pagi-pagi benar, ketika langit menjadi merah, Mahisa
Bungalan telah terbangun. Ketika ia bangkit, dilihatnya
Makertipun telah membuka matanya pula. Tetapi
nampaknya Makerti masih malas untuk meninggalkan
pembaringannya, sehingga Mahisa Bunglanpun kemudian
meninggalkannya di dalam bilik seorang diri.
Dengan tarikan nafas panjang, Mahisa Bungalan
merasakan sejuknya udara pagi. Meskipun langit masih
suram, namun di halaman beberapa ekor ayam telah turun.
Suara burung liar yang berkicau di dahan pepohonan rasarasanya
bagaikan kidung menyambut datangnya hari baru.
Mahisa Bungalanpun kemudian turun ke halaman pula.
Dilihatnya seorang cantrik sedang menyapu di sudut.
Sementara yang lain sedang sibuk dengan kerja masingmasing.
Dengan ragu-ragu Mahisa Bungalanpun pergi ke
pakiwan. Untuk menghangatkan badannya, maka iapun
kemudian pergi ke sumur untuk menimba air, mengisi
tempayan di pakiwan. Beberapa saat lamanya ia menarik senggot turun dan
melepaskannya naik. Kemudian menuang air di dalam upih
ke dalam tempayan di pakiwan.
Namun tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia
melihat dalam keremangan dini hari, seorang gadis pergi
mendekatinya. Namun tiba-tiba saja langkah gadis itu
terhenti. Wajahnya menegang sejenak ketika ia menyadari
bahwa yang sedang menimba air itu adalah Mahisa
Bungalan. "O" terdengar gadis itu berdesah "aku kira, aku kira
kakang Gemak Werdi atau paman Makerti atau anak-anak
padepokan ini" Mahisa Bungalanpun menjadi bingung sesaat. Namun
kemudian ia memaksa diri untuk menjawab "Apakah ada
bedanya" Aku terbiasa melakukannya pula di rumahku.
Juga selama aku berada di banjar padukuhan di Watan"
"Tetapi, tetapi disini banyak anak-anak padepokan yang
dapat melakukannya" desis Ken Padrni.
"Ah" sahut Mahisa Bungalan "tidak ada bedanya.
Biarlah aku mengisi jambangan di pakiwan itu. Apakah kau
akan mandi?" Ken Padrni menundukkan kepalanya. Ia merasa
bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan, sehingga
karena itu, maka ia berdiri saja sambil menundukkan
kepalanya. Tetapi gadis itu terkejut ketika Mahisa Bungalan
melepaskan senggot timba sambil berkata "Jambangan telah
penuh. Silabkan kau mandi lebih dahulu .Aku akan
melihat-lihat kebun padepokan ini"
"O" Ken Padrni masih bingung. Ia tidak tahu, apakah
yang akan dikatakannya. Namun iapun kemudian melihat
Mahisa Bungalan meninggalkan sumur dan berjalan
kekebun di belakang padepokan.
Sejenak Ken Padrni masih termangu-mangu. Namun ia
hampir terlonjak ketika ia mendengar suara seseorang
"Apakah yang kau renungkan, Ken Padrni?"
"Tidak, tidak apa-apa" desisnya gagap.
Makerti tersenyum. Sementara Ken Padrni meneruskan
"Kau mengejutkan aku, paman Makerti"
"O, sejak kapan kau menjadi demikian mudah, terkejut
dan menjadi gagap?" bertanya Makerti.
Ken Padmi menundukkan wajahnya yang menjadi
kemerahan. Sementara Makerti berkata "Jika kau akan
mandi, mandilah. Aku akan mengawani Mahisa Bungalan
melihat-lihat kebun belakang"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi ketika Makerti
meninggalkannya, ia memadanginya dari belakang
sehingga hilang di balik sudut rumahnya.
Sejenak gadis itu termangu-mangu. Namun iapun
kemudian masuk ke dalam pakiwan untuk mandi. Betapa
sejuknya air di jambangan, yang rasa-rasanya lebih sejuk
dari pagi sebelumnya. Namun dalam pada itu, percakapannya yang pendek
dengan Mahisa Bungalan itu rasa-rasanya telah
memecahkan batas antara keduanya. Dengan demikian
keduanya merasa telah berkenalan, sehingga keduanya
tidak lagi. merasa canggung untuk menyapa jika mereka
berpapasan. Sikap dan sifat Ken Padmi ternyata telah mengikat
Mahisa Bungalan untuk tidak tergesa-gesa meninggalkan
padepokan itu. Bahkan ketika Makerti dan Gemak Werdi
minta diri untuk kembali ke rumah masing-masing, Mahisa
Bungalan tidak menolak permintaan Ki Selabajra untuk
tinggal barang satu dua hari di padepokan itu.
"Kau ragu-ragu meninggalkan padepokan itu Gemak
Werdi?" bertanya Makerti diperjalanan, beberapa saat
setelah mereka memasuki bulak.
Gemak Werdi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian ia menjawab "Tidak paman. Aku tidak raguragu"
Makerti mengangguk-angguk. Ia melihat sesuatu dalam
tatapan mata Gemak Werdi. Tetapi ia tidak bertanya
apapun juga. Ia yakin bahwa yang tersangkut itu akan
hilang karena kesadaran diri Gemak Werdi.
Sebagai seorang yang lebih tua Makerti mengerti, bahwa
ada sesuatu perasaan yang menyentuh hati anak muda itu
terhadap Ken Padmi di padepokan Kenanga. Namun
agaknya Gemak Werdipun menyadari keadaannya,
sehingga ia telah memandang kemungkinan yang luas yang
dapat terjadi di padepokan itu.
Sementara itu, Mahisa Bungalan telah mencoba
menyesuaikan dirinya dengan kehidupan di padepokan
kecil itu. Semakin lama ia menjadi semakin tidak canggung
lagi. Pagi-pagi ia bangun dan melakukan pekerjaan seperti
murid-murid padepokan yang lain. Bahkan kadang-kadang
iapun telah pergi ke sawah pula bersama para cantrik.
Dalam pada itu, batas antara Mahisa Bungalan dengan
Ken Padmipun menjadi semakin kabur Meskipun mereka
seakan-akan hanya bertemu sekejap dan berbicara sepatah,
tetapi pertemuan itupun menjadi semakin sering.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak akan tetap berada di
padepokan itu. Ia sadar, bahwa ia akan meninggalkan
padepokan itu pada suatu saat. Dan iapun mulai
memikirkan untuk melanjutkan perjalanannya yang tanpa
tujuan, sebelum ia menetap pada waktu ikatan tugas
keprajuritan. Itulah sebabnya, maka betapapun ia kerasan tinggal di
padepokan itu, namun iapun mulai menyatakan niatnya
untuk meneruskan perjalanan kepada Ki Selabajra.
"Jangan tergesa-gesa ngger. Tinggallah barang satu dua
bulan disini" berkata orang tua itu.
Mahisa Bungalan tersenyum. Jawabnya "Maaf Kiai.
Aku tidak dapat mengingkari maksud perjalananku sejak
aku meninggalkan kampung halamanku. Aku ingin pergi
menjelajahi daerah yang luas untuk mengembangkan
pengalamanku sebelum aku mengikat diri pada suatu tugas
tertentu" "Tugas apakah yang angger maksudkan?" bertanya Ki
Selabajra. "Apa saja. Bukankah pada suatu saat aku harus
mempunyai pegangan hidup tertentu" Tetapi rasa-rasanya
bekal hidup ini tidak lengkap tanpa pengenalan lingkungan
yang agak luas" Ki Selabajra mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa
agaknya demikianlah panggilan hidup Mahisa Bungalan.
Sehingga karena itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan
dapat menahannya lebih lama lagi.
Namun dalam pada itu, sebagai orang tua ia melihat
sesuatu yang menyentuh hati Mahisa Bungalan di
padepokan itu. Tetapi Ki Selabajra tidak berani
mengatakannya. Meskipun diam-diam ia memperhatikan
Boulevard Revenge 2 Ayat Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Domba Domba Telah Membisu 3