Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 3

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 3


hubungan antara Mahisa Bungalan dan anak gadisnya,
tetapi perkenalan mereka masih terlalu singkat, sehingga
jika hal itu memang terjadi, maka keduanya tentu baru
tersentuh oleh pengenalan lahiriah.
"Pada suatu saat Mahisa Bungalan akan meninggalkan
padepokan ini " berkata Ki Selabajra di dalam hatinya
"sebulan dua bulan ia akan tetap mengingat padepokan ini,
dan mungkin juga Ken Padrni. Tetapi perjalanannya yang
semakin jauh dan pengenalannya yang semakin banyak,
maka la tentu akan segera melupakannya. Demikian pula
agaknya dengan Ken Padrni. Ia melihat sepintas seorang
anak muda yang mengagumkan. Namun jika anak muda itu
telah tidak dilihatnya lagi, maka iapun akan
melupakannya" Karena itulah maka Ki Selabajra tidak begitu
memperhatikan hubungan antara anak gadisnya dengan
Mahisa Bungalan. Ia menganggap bahwa yang terjadi itu
hanyalah sentuhan perasaan sesaat dari seorang anak muda
dan seorang gadis padepokan.
Apalagi ketika pada suatu saat, Mahisa Bungalan benarbenar
telah minta diri kepadanya. Ketika mereka berada di
dalam sanggar setelah menyaksikan latihan yang berat di
malam hari, maka Mahisa Bungalanpun menyampaikan
maksudnya, bahwa, di keesokan harinya ia akan
melanjutkan perjalanannya.
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Saat yang demikian
memang pasti akan datang. Setelah beberapa kali ia minta
agar Mahisa Bungalan menunda keberangkatannya, maka
agaknya ia sudah tidak akan dapat mencegah
keberangkatan anak muda itu lagi meninggalkan padepokan
Kenanga, Demikianlah, ketika fajar menyingsing, maka Mahisa
Bungalanpun telah mempersiapkan dirinya. Betapa
segarnya ia mandi di pancuran, di belakang padepokan.
Apalagi Mahisa Bungalan tahu, bahwa sudah menjadi
kebiasaan Ken Padrni untuk mandi di dini hari, sehingga ia
tidak mau mengganggunya mempergunakan pakiwan,
meskipun seakan-akan di luar kehendaknya sendiri, Mahisa
Bungalan telah menimba air dan mengisi jambangan
pakiwan itu sehingga penuh.
Ketika matahari mulai naik ke punggung bukit, maka
Mahisa Bungalanpun telah siap. Sekali lagi minta diri
kepada Ki Selabajra untuk meneruskan perjalanan.
"Tolong, sampaikan salamku kepada Makerti dan
Gemak Werdi" berkata Mahisa Bungalan kemudian.
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Namun katanya "Aku
masih ingin menahan sesaat keberangkatan angger. Aku
mempersilahkan angger menunggu makan pagi yang sudah
disiapkan" Agaknya Ken Padmipun telah mengetahui dari ayahnya,
bahwa Mahisa Bungalan akan meninggalkan padepokan
itu. Karena itu, ketika ia menghidangkan makan dan
minuman panas, setiap kali ia memandang sekilas wajah
anak muda itu, seolah-olah ia ingin memahatkan bentuk
wajah itu di dalam dinding ingatannya untuk selamalamanya.
Tetapi sebagai seorang gadis, Ken Padrni tidak dapat
berbuat lain. Betapapun hatinya bergejolak, namun setiap
kali ia hanya dapa menundukkan wajahnya dan sekalisekali
mencuri pandang. Namun apabila kebetulan tatapan
mata mereka bertemu, maka wajahnya menjadi merah, dan
seolah-olah telinganya tersentuh bara api tempurung.
Namun bagaimanapun juga, tidak seorangpun yang
dapat mencegah keberangkatan Mahisa Bungalan. Bahkan
kemudian hampir seisi padepokan telah mengantarkannya
sampai ke regol. Ketika Ki Selabajra sedang berbicara dengan seorang
muridnya, maka Ken Padmi berbisik di telinga Mahisa
Bungalan yang berjalan di hadapannya "Apakah kau tidak
akan kembali ke padepokan ini?"
Mahisa Bungalan berpaling. Di luar sadarnya, tiba-tiba
saja Mahisa Bungalan menyahut "Tentu. Pada suatu saat
aku akan kembali ke padepokan ini"
Pembicaraan itu terputus. Ken Padmipun memperlambat
langkahnya, sehingga jaraknya dari Muhisa Bungalan
menjadi semakin panjang, karena ayahnya sudah mulai
mendekati Mahisa Bungalan lagi.
Namun dalam pada itu, meskipun tidak terucapkan,
seolah-olah Ken Padmi telah berkata dengan sepenuh hati
"Aku akan menunggu kedatanganmu kembali"
Dalam pada itu ,maka Mahisa Bungalanpun kemudian
benar-benar meninggalkan padepokan itu. Dengan
mengucapkan banyak terima kasih iapun kemudian minta
diri kepada segenap isi padepokan yang mengantarkanya
sampai ke pintu. Kemudian, betapapun beratnya, namun
Mahisa Bungalan telah mengayunkan kakinya meneruskan
perjalanannya. Baru ketika Mahisa Bungalan hilang ditikungan, maka
orang-orang padepokan itu melangkah memasuki regol
halaman. Ki Selabajra tidak melepaskan perhatiannya kepada anak
gadisnya yang tidak dapat menyembunyikan perasaan
kecewanya. Tetapi seperti yang pernah terbersit di hatinya,
bahwa perasaan itu tentu hanya perasaan sesaat.
"Sebentar saja ia akan melupakannya. Demikian juga
angger Mahisa Bungalan" berkata Ki Selabajra di dalam
hatinya. Sementara itu, diperjalanannya, Mahisa Bungalanpun
merasa gelisah. Seolah ada yang menahannya untuk tetap
tinggal di padepokan itu. Namun Mahisa Bungalanpun
menggeretakkan giginya. Katanya kepada diri sendiri "Aku
tidak boleh terganggu oleh perasaan yang lemah ini. Aku
harus meneruskan perjalanan yang sudah aku rencanakan
sebelumnya" "Langkah Mahisa Bungalan rasa-rasanya menjadi
semakin panjang. Ia ingin segera menjadi semakin jauh dari
padepokan yang tidak sengaja telah mempersilahkannya
singgah. Beberapa saat kemudian Mahisa Bungalan memaksa
dirinya untuk mengalihkan perhatiannya kepada keadaan di
sekitarnya. Sawah yang hijau. Air yang tergenang
memberikan warna yang segar. Di kejauhan nampak
beberapa buah padepokan yang bagaikan beberapa buah
pulau yang hijau kehitam-hitaman.
"Daerah ini termasuk daerah yang subur" desisnya
sambil memandangi beberapa orang yang sibuk bekerja di
sawah. Ketika kemudian matahari melampaui puncak langit,
maka terasa lehernya menjadi haus. Karena itu, maka
Mahisa Bungalanpun kemudian singgah di sebuah halaman
rumah di padepokan yang kemudian dilaluinya untuk minta
seteguk air. "Silahkan" pemiliknya mempersilahkannya dengan
ramah "di sudut padukuhan ini pun telah disediakan
jambangan air bagi orang-orang yang kepanasan di
perjalanan" "O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk "aku mohon
maaf" Ketika Mahisa Bungalan merasa lehernya menjadi segar
kembali, maka setelah mengucapkan terima kasih, maka
iapun meneruskan perjalanannya. Tetapi di luar padukuhan
itu, ketika ia melalui bayangan di bawah sebatang pohon
preh yang rimbun, maka timbullah keinginannya untuk
beristirahat sejenak. Sambil duduk di alas akar yang bagaikan jam raksasa
mencengkeram bumi, Mahisa Bungalan bersandar pada
batangnya yang besar. Angin yang sejuk mengusap
wajahnya yang kotor oleh debu. Namun Mahisa Bungalan
tidak membiarkan dirinya menjadi mengantuk. Karena itu,
maka iapun berusaha untuk memperhatikan keadaan di
sekelilingnya dengan saksama.
Namun dalam pada itu, maka perhatiannya tertarik
kepada segumpal debu yang berhamburan. Ia melihat
beberapa ekor kuda menuju ke arahnya. Karena itulah,
maka iapun kemudian bergeser agar tidak menarik
perhatian beberapa orang berkuda yang tentu akan lewat
dijalan itu pula. Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda itupun
menjadi semakin dekat. Ternyata bahwa bukan orang-orang
berkuda itulah yang tertarik kepada Mahisa Bungalan,
tetapi justru Mahisa Bungalanlah yang tertarik kepada
mereka. Karena itu, meskipun ia duduk bergeser, namun
akhirnya ia menjengukkan kepalanya untuk melihat,
siapakah orang-orang berkuda itu.
Tiba-tiba saja hatinya menjadi ber-debar-debar. Diantara
mereka terdapat seorang anak muda dengan pakaian yang
baik dan terawat. Bahkan nampaknya ia memang dengan
sengaja mengenakan pakaian yang lain dari pakaiannya
sehari-hari. Sementara pengiringnyapun mempergunakan
pakaian yang baik-baik pula.
"Nampaknya mereka bukan orang-orang bepergian
seperti kebanyakan orang bepergian" gumam Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Dadanya justru berdesir ketika ia melihat orang-orang
berkuda itu disapa oleh seorang petani yang sedang bekerja
di sawah. Tetapi jarak itu sudah agak jauh, sehingga
Mahisa Bungalan tidak mendengar dengan jelas apakah
yang dikatakan oleh orang-orang berkuda itu. Namun yang
dilihatnya kemudian, kuda-kuda itu sudah berpacu kembali.
"Nampaknya mereka datang dari padukuhan di sekitar
tempat ini" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Ternyata Mahisa Bungalan tidak dapat menahan
perasaan ingin tahunya. Sekali-sekali dipandanginya petani
yang sedang bekerja di sawahnya itu.
"Agaknya petani itu mengenal orang-orang berkuda itu"
desisnya. Karena Mahisa Bungalan tidak dapat menahan perasaan
ingin tahunya, maka iapun kemudian berjalan mendekati
petani yang sedang bekerja di sawah itu.
Kedatangannya membuat petani itu heran. Apalagi
ketika Mahisa Bungalan bertanya "Ki Sanak, apakah aku
boleh bertanya tentang orang-orang berkuda itu?"
Petani itu mengerut keningnya. Dengan heran ia
bertanya pula "Siapakah kau Ki Sanak?"
"Aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai
tujuan. Aku lewat jalan ini seperti aku lewat jalan-jalan
yang belum pernah aku kenal sebelumnya"
Petani itu meletakkan cangkulnya. Dengan tatapan mata
yang tajam ia bertanya "Apakah kepentinganmu dengan
orang-orang berkuda itu?"
"Tidak ada kepentingan apa-apa Ki Sanak. Tetapi
nampaknya mereka tidak sedang dalam perjalanan biasa"
Petani itu nampak menjadi bimbang. Lalu katanya "Kau
tidak mempunyai kepentingan apapun juga. Kau tidak
mengenal daerah ini, sehingga tidak ada sangkut paut
segelugutpun dengan orang-orang berkuda itu, juga dengan
aku" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Ia sudah
terlanjur mengatakan keasingannya dengan daerah ini. Dan
ia pun telah menyebut dirinya sebagai seorang perantau.
Dengan demikian maka ia memang tidak mempunyai
kepentingan apapun dengan orang-orang berkuda itu.
Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin menyebut
dirinya bukan sebagai orang yang asing sama sekali dengan
daerah jni. Karena itu maka katanya kemudian "Ki Sanak.
Aku memang orang yang asing dengan daerah ini. Aku
memang seorang perantau. Namun meskipun sedikit sekali
ada juga sentuhannya dengan daerah ini, karena aku masih
keluarga meskipun agak jauh dengan daerah padepokan
Kenanga" "He?" petani itu terbelalak "kau mempunyai hubungan
darah dengan Ki Selabajra di padepokan Kenanga?"
"Ya. Apakah Ki Sanak mengenal paman Selabajra?"
"Aku mengenalnya meskipun tidak secara pribadi dan
akrab. Tetapi aku pernah bertemu. Tetapi lebih daripada
itu, namanya memang sudah dikenal oleh banyak orang.
Juga oleh orang-orang dari padukuhan ini" petani itu
berhenti, lalu "tetapi jika demikian, kau seharusnya
mengetahui siapakah orang-orang itu. He, apakah kau
sudah terlalu lama tidak berkunjung ke padepokan
Kenanga?" "Aku baru saja dari padepokan Kenanga meskipun
hanya beberapa hari. Baru hari ini aku meninggalkan
padepokan itu, karena aku akan meneruskan perantauanku,
meskipun paman Selabajra menahanku"
Petani itu termangu-mangu. Kemudian katanya "Aneh
Agaknya Ki Selabajra benar-benar tidak ingin
mengumumkan hubungannya dengan padepokan Watu
Kendeng" "Aku tidak mengerti" desis Mahisa Bungalan.
"Apakah Ki Selabajra tidak pernah menyebut padepokan
Watu Kendeng yang terkenal itu?"
"Tidak Ki Sanak"
Petani itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aneh
Jika kau datang dari padepokan itu, apalagi hari ini, kau
tentu mengetahui serba sedikit tentang orang-orang berkuda
itu. Kecuali jika kedatangan mereka ke padepokan Kenanga
memang tidak memberitahukan terlebih dahulu"
"Apakah hubungan mereka dengan padepokan
Kenanga?" "Itulah yang aneh jika keluarga padepokan itu sendiri
tidak mengetahui" jawab petani itu.
Mahisa Bungalan menjadi semakin ingin tahu. Karena
itu, maka iapun mendesaknya "Jika kau mengetahui Ki
Sanak, apakah salahnya jika kau mengatakannya?"
"Anak muda, rumahku tidak terlalu jauh dari padepokan
Watu Kendeng. Karena itu, aku pernah mendengar serba
sedikit keinginan keluarga Watu Kendeng untuk menjadi
keluarga dari padepokan Kenanga"
Dada Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara petani itu berkata selanjutnya"Apakah kau
mengetahui bahwa Padepokan Kenanga mempunyai
seorang anak gadis?"
"Ya. Ken Padmi" sahut Mahisa Bungalan. Petani itu
mengangguk-angguk. Dengan menyebut nama gadis itu,
petani itupun menjadi semakin percaya bahwa Mahisa
Bungalan memang seorang yang mempunyai hubungan
dengan Kenanga. Maka katanya selanjutnya "Nah, jika kau mengetahui
bahwa padepokan Kenanga mempunyai seorang gadis,
maka kau tentu dapat menduga, apakah hubungan
kedatangan orang orang berkuda dari padepokan Watu
Kendeng itu ke padepokan Kenanga"
"Apa maksudmu Ki Sanak?"
"Ah, bukankah sudah jelas" Padepokan Watu Kendeng
mempunyai seorang anak muda yang tampan dan memiliki
ilmu yang mantap mewarisi seluruh ilmu padepokan Watu
Kendeng. Sedangkan padepokan Kenanga mempunyai
seorang gadis yang memiliki kelebihan dari gadis
kebanyakan, karena gadis padepokan Kenanga mewarisi
ilmu yang temurun dari ayahnya"
Tiba-tiba saja dada Mahisa Bungalan menjadi bergejolak.
Keterangan itu membuatnya berdebar-debar, seolah-olah
jantungnya berdenyut semalkin cepat. Namun dengan susah
payah ia berusaha untuk melenyapkan kesan itu dari
wajahnya. 02_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Meskipun demikian, kata-katanyapun kemudian menjadi
gagap "Baik, baiklah Ki Sanak. Aku minta diri. Aku
mengucapkan terima kasih atas keterangan Ki Sanak"
Petani itupun mengangguk sambil menjawab "Itulah
yang aku dengar dari orang-orang padepokan Watu
Rendeng. Aku tidak tabu pasti, apakah yang aku dengar ini
benar atau salah" Mahisa Bungalanpun kemudian minta diri. Dengan
langkah yang ragu-ragu ia meneruskan perjalanan. Namun
rasa-rasa-nya hatinya lidak tenang karena ia telah
mendengar keterangan petani di sawah itu tentang
kedatangan orang-orang Watu Rendeng ke padepokan
Kenanga. Karena itu, beberapa langkah kemudian ia berhenti. Dari
kejauhan ia melihat petani itu bekerja kembali di sawahnya.
"Apakah benar-benar kata-katanya" pertanyaan itu
selalu mengganggunya. Meskipun ia sudah berusaha
menjawab "Benar atau tidak benar, apakah hubungannya
dengan perjalananku". Aku akan meneruskan perjalanan.
Yang terjadi di padepokan itu adalah urusan orang-orang
padepokan itu sendiri"
Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat mengingkari
kegelisahannya. Bahkan ketika kemudian ia melihat petani
itu beristirahat di gubugnya, ia berkata kepada diri sendiri
"Aku akan membuktikan, apakah yang dikatakannya itu
benar" Tetapi Mahisa Bungalan tidak mau dilihat oleh petani
itu. Karena itulah, maka ia telah mencari jalan lain, menuju
ke padepokan Kenanga. Pengalamannya merantau telah membawanya melalui
sebuah jalan sempit dan kemudian menelusuri pematang
menuju ke sebatang pohon yang dilihatnya dari kejauhan.
Ia mengenal pohon itu tumbuh di pinggir jalan yang
dilaluinya dari padepokan Kenanga sehingga jika ia sudah
mencapai pohon itu, maka ia akan dapat dengan mudah
mengikuti jalan kembali ke padepokan itu.
Meskipun ada kemungkinan petani disawah itu
melihatnya dari kejauhan saat-saat ia menelusuri pematang,
tetapi agaknya petani itu tidak akan dapat mengenalinya
atau karena petani itu tidak akan memperhatikannya lagi.
Langkah Mahisa Bungalan yang gelisah itu semakin
lama menjadi semakin cepat. Ia sadar, bahwa kaki-kaki
kuda akan dapat melangkah lebih cepat dari kakinya.
Namun ia berjalan terus menuju ke padepokan Kenanga.
"Aku akan mencapai padepokan itu di malam hari"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri "tetapi itu
lebih baik daripada aku tidak melibat sama sekali, apakah
yang akan terjadi di padepokan itu"
Oleh kegelisahannya, Mahisa Bungalan berjalan tanpa
berhenti menuju ke padepokan yang baru ditinggalkannya
di pagi hari. Meskipun ia baru sekali melalui jalan ke arah
sebaliknya, namun ia mengenal jalan itu dengan baik,
sehingga ia tidak akan mudah tersesat.
Sementara itu, beberapa orang berkuda itu benar-benar
sekelompok orang dari padepokan Watu Kendeng. Seperti
yang dikatakan oleh petani di tengah sawah, itu, orangorang
Watu Kendeng memang sedang menuju ke
padepokan Kenanga. Tetapi kedatangan mereka memang tildak diberitahukan
lebih dahulu kepada Ki Selabajra, sehingga orang-orang
padepokan Kenanga tidak mengira bahwa pada hari itu,
orang-orang dari padepokan Watu Kendeng akan datang
dengan maksud tertentu, bukan sekedar kunjungan dari
sebuah padepokan ke padepokan yang lain.
Karena itulah, maka ketika sekelompok orang-orang
berkuda itu mendekati regol padepokan Kenanga, maka
orang-orang di padepokan itu terkejut karenanya. Seorang
cantrik dengan tergopoh-gopoh menyongsong orang-orang
berkuda itu dan bertanya, siapakah mereka.
"He, apakah kau tidak mengenal kami?" orang-orang
Watu Kendeng itu justru bertanya.
Cantrik itu terheran-heran. Sementara salah seorang
Watu Kendeng itu meneruskan "Kami datang dari
padepokan Watu Kendeng"
"O" cantrik itu meng-angguk "silahkan. Aku akan
menyampaikannya kepada Ki Selabajra"
Cantrik itupun kemudian berlari-lari masuk ke ruang
dalam mencari Ki Selabajra. Dengan nafas terengah-engah
ia mengatakan bahwa di luar sekelompok tamu dari Watu
Kendeng telah datang. Tetapi Ki Selabajra tersenyum "Aku sudah melihatnya.
Silahkan mereka duduk di pendapa. Aku akan berganti
pakaian sepantasnya untuk menerima mereka"
Cantrik itu kemudian dengan tergesa-gesa mendapatkan
sekelompok tamu dari Watu Kendeng itu dan
mempersilahkannya naik ke pendapa Sementara itu,
beberapa orang murid yang lain telah mengamati tamu
mereka dari jarak yang jauh di halaman padepokan. Namun
karena tamu itu nampaknya datang dengan maksud baik,
maka merekapun telah kembali ketugas masing-masing.
Sejenak kemudian, maka Ki Selabajrapun keluar dari
ruang dalam memasuki pendapa. Sambil tersenyum cerah,
iapun kemudian duduk menemui tamunya yang sudah
duduk di atas tikar yang terbentang.
Seperti kebiasaan merekapun memenuhi sapa adat.
Mereka saling mempertanyakan keselamatan masingmasing
dan keluarga yang mereka tinggalkan. Sementara
itu Ki Watu Kendeng telah memperkenalkan para
pengiringnya. Sementara itu, para cantrikpun kemudian telah
mempersiapkan jamuan bagi para tamu yang ada di
pendapa. Setelah mereka menerima jamuan yang dihidangkan,
serta setelah mereka minum seteguk dan makan sepotong
makanan, maka mulailah mereka memasuki pembicaraan
yang sebenarnya. "Ki Watu Kendeng" bertanya Ki Selabajra dari
padepokan Kenanga "sebenarnya kedatangan kalian di
padepokan ini agak mengejutkan hatiku. Sukurlah jika
kalian hanya sekedar menengok keselamatan kami. Tetapi
jika ada keperluan lain, maka hati kami dari padepokan ini
menjadi berdebar-debar karenanya"
Ki Watu Kendeng tersenyum pula. Jawabnya "Kami
minta maaf Ki Kenanga, bahwa kedatangan kami agaknya
telah merisaukan hati keluarga padepokan ini. Adalah
kesalahan kami, bahwa kami tidak memberitahukan
terlebih dahulu kedatangan.kami ini"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya "Kunjungan
kalian sangat menggembirakan hati kami"
"Terima kasih" sahut Ki Watu Kendeng "selebihnya,
selain karena kami ingin menengok keselamatan keluarga di
padepokan ini, kami ingin melanjutkan pembicaraan yang
pernah kita lakukan beberapa saat yang lalu"
Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Seolah-olah ia
sedang mengingat, pembicaraan yang manakah yang
dimaksud oleh Ki Watu Kendeng itu.
"Ki Watu Kendeng" desis Ki Selabajra dengan kerutmerut
di kening "aku minta maaf, bahwa mungkin sudah
menjadi sifat orang-orang tua. Aku kurang dapat mengingat
lagi, pembicaraan yang manakah yang kau maksud itu?"
Wajah Ki Watu Kendeng menegang sejenak. Namun
kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab
"Mungkin kau benar, bahwa orang-orang tua memang
menjadi pelupa. Mungkin aku juga sudah lupa pula, apakah
hal ini pernah kita bicarakan. Tetapi seingatku, aku pernah
mengatakannya Ki Selabajra mengangguk-angguk. jawabnya "Ya,
memang mungkin. Tetapi persoalan yang manakah yang
kau maksud?" Sekali lagi wajah Ki Watu Kendeng menegang. Namun
iapun berusaha dengan susah payah untuk menghapus
kesan itu dari wajahnya. Katanya kemudian "Baiklah Ki
Kenanga. Daripada pembicaraan ini akan berkepanjangan
karena kau masih harus mengingat-ingat masalahnya,
baiklah aku mengulanginya saja. Kedatanganku kemari,
adalah karena aku didesak oleh anakku. Ia pernah
mendengar bahwa kita telah bersetuju, bahwa pada suatu
saat kita akan mempertemukan anak-anak kita dalam
hubungan keluarga" Wajah Ki Selabajra menjadi merah. Tetapi seperti Ki
Watu Kendeng, iapun berusaha untuk melenyapkan kesan
itu dari wajahnya. Bahkan kemudian ia menganggukangguk
sambil tersenyum. Katanya "Aku benar-benar sudah menjadi pikun Ki
Watu Kendeng. Rasa-rasanya aku benar-benar orang yang
tidak mampu lagi mengingat sesuatu yang pernah terjadi" ia
berhenti sejenak, lalu "tetapi apakah aku masih
diperkankan mohon bertanya, apakah aku memang pernah
bersetuju dengan Ki Watu Kendeng mengenai hal yang
sangat penting ini" "Ah" rasa-rasanya betapa sulitnya untuk menahan diri
"bukankah kita pernah berbicara tentang anak-anak kita.
Bukankah kita pernah menyinggung masa depan
padepokan kita. Dan bukankah kira pernah berbincang
panjang lebar tentang segala sesuatu yang menyangkut
keluarga kita masing-masing. Jika kau masih belum teringat
saat-saat itu, biarlah aku berceritera tentang sebuah
pertemuan di padepokan Serut Sari"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Aku minta maaf. Aku
minta maaf sebesar-besarnya. Sekarang aku ingat segalanya.
Kita pernah bertemu dalam pembicaraan yang
menyenangkan di padepokan Serut Sari. Kita pernah
berbicara tentang keluarga kita masing-masing. Aku ingat,
ketika kita berbicara bahwa kita mempunyai anak kita
masing-masing. Kau seorang anak laki-laki dan aku seorang
anak perempuan" "Nah, bukankah kita sudah bersepakat, bahwa kita akan
mengikat diri dalam suatu ikatan keluarga yang
besar?"bertanya Ki Watu Kendeng "anakku pernah
bertemu dengan anakmu meskipun hanya sepintas di
perjalanan, saat anakku pergi berburu. Ceriteranya tentang
anak gadismu, mengingatkan aku pada pembicaraan kita
itu" Ki Selabajra menanik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Ki Watu Kendeng. Aku tidak ingkar, bahwa aku
pernah mengatakan alangkah senangnya untuk mengikat
diri dalam satu keluarga. Tetapi aku tidak bermaksud
mengambil suatu keputusan saat itu. Bukankah anak
gadisku yang akan menjalani hubungan yang paling akrab,
karena ialah yang akan menerima lamaran anak lakilakimu.
Karena itu, sebagai orang tua, aku akan
mengarahkan perhatiannya kepada anakmu. Dan aku akan
bertanya kepadanya, apakah ia dapat menerima lamaran
ini" Ki Watu Kendeng mengangguk-angguk. Katanya "Itulah
sakap yang bijaksana. Sebaiknya kau memang bertanya
kepada anak gadismu. Perkawinan bukan hubungan antara
dua orang tanpa ikatan batin. Karena itu, maka aku akan
menjunjung tinggi keputusan anak gadismu itu"
"Terima kasih" desis Ki Selabajra "aku sangat berterima
kasih atas sikapmu itu"
Namun dalam pada itu, anak muda yang berada diantara
mereka yang datang dari Watu Kendeng itu nampak
menjadi gelisah. Sekali-sekali ia mencoba memandang Ki
Watu Kendeng. Tetapi orang itu sama sekali tidak berpaling
kepadanya. "Karena itu Ki Watu Kendeng" berkata Ki Kenanga
"aku akau mempersilahkan kalian bermalam barang satu
atau dua malam. Aku akan bertanya kepada anakku,
apakah ia sudah suap untuk memasuki dunia kekeluargaan"
Ki Watu Kendeng menjadi termangu-mangu. Dalam
keragu-raguan itulah ia berpaling memandang pengikutpengikutnya
seorang demi seorang, seakan-akan ia ingin
bertanya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Tetapi tidak seorangpun dari mereka yang memberikan
kesan yang meyakinkan. Setiap orang menjadi ragu-ragu
dan tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukan
Karena itu, maka Ki Watu Kendengpun kemudian
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Tetapi Ki
Kenanga, jarak antara padepokan kita tidak terlalu jauh.
Apakah tidak sebaiknya aku kembali ke padepokan.
Sepekan atau dua pekan lagi, aku dan datang kemari"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Kenanga mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia
memandang wajah seorang anak muda yang datang
diantara orang-orang Watu Kendeng itu. Dan Ki
Selabajrapun segera mengetahui, bahwa anak muda itu
tentu anak laki-laki Ki Watu Kendeng, yang ingin
memperisteri Ken Padmi. Dalam pada itu, Ki Kenangapun kemudian menjawab
"Segalanya terserah kepada Ki Watu Kendeng. Tetapi jika
kau akan bermalam di padepokan kecil ini, kami akan
mengucapkan terima kasih atas kesediaan itu"
Ki Watu Kendeng tersenyum, katanya "Aku dapat
datang setiap saat. Biarlah hari ini kami kembali ke Watu
Kendeng. Sepekan lagi aku akan datang. Mudah-mudahan
aku akan dapat mendengar keputusan anak gadismu.
Meskipun demikian, aku mohon, agar niat ini akan dapat
terjadi dengan baik dan selamat, meskipun sekali lagi aku
mengerti, bahwa siapapun tidak akan dapat memaksa
kesediaan sebuah hati, Tetapi setidak-tidaknya yang tua-tua
dapat berdoa untuk kepentingan anak-anaknya.
"Ya, ya Ki Watu Kendeng. Pengertian sepenuhnya itu
agaknya telah membesarkan hati kami. Seperti aku katakan,
aku akan berusaha sebaik-baiknya"
Untuk beberapa saat kemudian, Ki Watu Kendeng masih
berada di pendapa padepokan Kenanga. Meskipun
keperluannya telah selesai, tetapi ia masih sempat berbicara
panjang lebar tentang berbagai macam keadaan di
padepokan masing-masing. Tentang sawah dan ladang,
tentang musim dan tentang binatang- binatang liar.
Sementara itu, anak muda Watu Kendeng itu rasarasanya
menjadi semakin gelisah. Ia duduk saja sambil
menunduk, sementara ayahnya dapat berbincang dan
kadang-kadang tertawa berkepanjangan.
Baru ketika kemudian mereka mendapat jamuan makan,
anak muda itu sempat bergeser mendekati ayahnya. Sambil
berbisik ia bertanya "Jadi, kita masih harus menunggu
beberapa hari lagi?"
Ayahnya berpaling kepadanya dengan kerut-merut di
dahinya. Jawabnya "Tentu Pramuja. Itu sudah lajim. Ki
Selabajra akan bertanya lebih dahulu kepada anak gadisnya,
apakah ia bersedia atau tidak"
"Jika tidak?" desak anaknya.
"Apaboleh buat. Kita tidak akan dapat memaksakan
kehendak kita atas Ken Padmi"
Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan wajah
yang merah padam ia berkata "Ayah jangan terlalu lemah.
Kita dapat menekan Ki Kenanga agar ia memberikan anak
gadisnya" "Yang akan kawin bukan Ki Kenanga. Tetapi anak
gadisnya, Ken Padmi"
"Ayahnya mempunyai wewenang untuk menentukan
jodoh anak gadisnya" tiba-tiba seseorang berdesis
dikebalakang Ki Watu Kendeng.
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Orang
yang berdesis itu adalah adiknya. Adik kandungnya.
"Kau jangan memberikan pandangan yang salah kepada
anakmu. Aku sudah memenuhi permintaannya melamar
gadis Padepokan ini. Tetapi aku bukan seseorang yang tidak
tahu adat, sehingga aku akan memaksakan kehendakku atas
orang lain" Adik kandung Ki Watu Kendeng itu tertawa. Katanya
"Kakang memang seorang yang baik hati. Tetapi kebaikan
kakang adalah gambaran dari kelemahan hati kakang"
Ki Watu Kendeng tidak sempat menjawab. Dalam pada
itu, maka Ki Selabajrapun kemudian mempersilahkan
tamunya untuk makan bersama-sama.
Baru setelah mereka selesai makan dan beristirahat
sejenak, maka Ki Watu Kendengpun kemudian minta diri
untuk kembali ke padepokannya.
"Aku akan kembali dalam waktu sepekan. Aku akan
menerima segala keputusan Ki Selabajra setelah
diperbincangkan dengan gadis yang akan menjalaninya"
"Baiklah Ki Watu Kendeng Kami sangat menghargai
kesudian Ki Watu Kendeng berkunjung ke padepokan ini.
Betapa besar rasa terima kasih kami, tidak dapat kami
katakan disini" Namun dalam pada itu, Pramuja menjadi semakin
gelisah. Sejak ia bertemu Ken Padmi di perjalanan ketika ia
pergi berburu, serta setelah sempat berbicara satu dua patah
kata dalam pertemuan yang tidak sengaja itu, hatinya
bagaikan di cengkam oleh bayangan wajah gadis padepokan
Kenanga itu. Tetapi ayahnya sudah terlanjut minta diri dan ia tidak
akan dapat memaksa ayahnya untuk berbuat lain.
Betapapun kecewa hatinya, namun iapun kemudian ikut
pula mohon diri dan mengikuti ayahnya kembali ke
padepokannya. "Jangan gelisah" tiba-tiba saja pamannya berbisik di
telinganya. Kuda Pramuja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak sempat bertanya lebih banyak lagi, karena orangorang
padepokan Kenanga yang mengantar mereka sampai
ke regol. Baru diperjalanan, ia mendekati pamannya sambil
bertanya "Apakah maksud paman sebenarnya"
"Pramuja" desis pamannya "ayahmu memang orang
yang sangat baik. Ia bukan jenis orang yang dapat
memaksakan kehendaknya atas orang lain. Tetapi itu
memang kelemahannya, sehingga seakan-akan ia menerima
saja nasib buruk sekalipun yang menimpanya dan menimpa
anaknya. Ia tidak akan berusaha apapun juga seandainya
lima hari lagi Ki Kenanga itu menjawab "Maaf Ki Watu
Kendeng. Anakku tidak mau"
"Jadi bagaimana menurut paman?" bertanya Kuda
Pramuja. "Aku akan berusaha Pramuja" jawab pamannya. "aku
akan menempuh jalanku sendiri. Mudah-mudahan aku
berhasil, meskipun aku harus sedikit menakut-nakuti orang"
Kuda Pramuja termangu-mangu. Namun kemudian ia
bertanya "Apakah orang-orang dari padepokan Kenanga itu
dapat ditakut-takuti paman" Mereka memiliki murid-murid
pilihan yang akan dapat mempertahankan sikap dan
pendirian mereka, jika terjadi kekerasan"
Pamannya tertawa. Tetapi ia segera terdiam ketika ia
melihat beberapa orang pengiring berpaling kepadanya.
Bahkan Ki Watu Kendengpun berpaling pula sambil
bertanya "Ada apa?"
"Tidak kakang. Tidak ada apa-apa. Aku sedang
mengajari Pramuja untuk .menjadi seorang suami yang baik
kelak " jawab adiknya.
Ki Watu Kendengpun tersenyum. Tetapi ia tidak tahu
apakah sebenarnya yang dibicarakan oleh anak dan adiknya
itu. Dalam pada itu, Pramujapun bertanya "Bagaimana
pendapat paman tentang orang-orang padepokan
Kenanga?" "Mereka memang mengagumkan bagi orang-orang
padukuhan terpencil. Juga mungkin masih harus
diperhitungkan oleh orang-orang dari perguruan Watu
Kendeng. Tetapi bagiku, mereka bukan apa-apa Pramuja.
Jika aku sekedar menyadap ilmu Watu Kendeng,
barangkali aku masih juga seperti ayahmu. Baik hati dan
membiarkan kepentingan diri sendiri tersisihkan. Tetapi
yang semuanya itu sebenarnya hanyalah gambaran dari
kelemahan hati" Kuda Pramuja mengangguk-angguk. Ia mencoba
mengerti keterangan pamannya. Namun iapun kemudian
bertanya "Apa yang akan paman lakukan untuk itu?"
Pamannya tersenyum. Jawabnya "Serahkan kepadaku.
Aku akan melakukannya tanpa sepengetahuan ayahmu"
"Apa yang akan paman lakukan itu?"
Pamannya masih saja tersenyum. Sambil menggeleng ia
berkata "Aku belum tahu"
"Paman merahasiakannya?"
Pamannya memandang Pramuja sambil menahan
tertawanya. Katanya "Mudah-mudahan aku berhasil. Aku
memang harus menunjukkan bahwa padepokan Watu
Kendeng bukannya padepokan yang lemah, dan bukan pula
yang lemah lembut menghadapi persoalan- persoalan
penting bagi hidup seorang penghulunya"
Kuda Pramuja tidak mendesak lagi. Tetapi ia percaya
bahwa pamannya akan dapat menyelesaikan persoalannya.
Pamannya tentu berhasil mempengaruhi sikap dan
keputusan Ki Kenanga untuk memberikan anak gadisnya
kepada anak padepokan Watu Kendeng.
Demikianlah, maka kuda-kuda itupun berlari tidak
terlalu kencang di bulak panjang. Sementara itu Kuda
Pramuja masih saja selalu dibayangi oleh kegelisahannya,
bahwa maksudnya, akan urung karena sikap ayahnya.
"Untunglah ada paman di sini" katanya di dalam hati.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang berjalan kembali
ke padepokan Kenanga sudah menjadi semakin dekat. Ia
terkejut ketika dari kejauhan ia melihat beberapa ekor kuda
berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah
perjalanannya. "Orang-orang Watu Kendeng" desisnya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian menepi
dan duduk di belakang sebatang pohon yang tumbuh di
pinggir jalan bulak. Ketika iring-iringan orang berkuda itu telah lewat, maka
Mahisa Bungalanpun kemudian berdiri termangu-mangu.
Sambil memandangi debu yang berhamburan ia berdesis
"Ternyata mereka tidak terlalu lama berada di padepokan
Kenanga. Tetapi apakah dengan demikian pertanda bahwa
sudah ada pembicaraan sebelumnya, sehingga
kedatangannya itu hanyalah sekedar mematangkan
persoalan saja?" Mahisa Bungalan justru menjadi semakin gelisah.
Sementara langit telah menjadi semakin buram. Seburam
hari anak muda itu. -oo0dw0ooJilid 03 "APAKAH aku akan kembali ke padepokan Kenanga?"
bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri "bukankah
dengan demikian berarti bahwa aku harus menemukan
alasan yang tepat, kenapa aku kembali?"
Mahisa Bungalan masih saja termangu-mangu. Namun
seolah-olah di luar sadarnya, kakinyapun kemudian
melangkah menyusuri jalan kembali.
"Entahlah, apa yang akan aku lakukan kemudian. Tetapi
rasa-rasanya aku ingin melihat kembali, apa yang terjadi di
padepokan itu" berkata Mahisa Bungalan di dalam hati.
Mahisa Bungalan sadar, bahwa ia akan memasuki
padepokan itu setelah hari menjadi malam. Dan tiba-tiba
saja timbullah niatnya untuk tidak menampakkan diri
meskipun ia berada di sekitar padepokan itu.
"Di siang hari aku akan berkisar menjauh" katanya
"tetapi di malam hari aku akan dapat mendekati dan
melihat suasana padepokan itu barang satu dua hari"
Demikianlah, maka ketika malam kemudian turun,
Mahisa Bungalan telah mendekati padepokan Kenanga.
Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Padepokan itu masih tetap tenang seperti saat ia
meninggalkannya. Ia tidak melihat kesihukan dan
kegelisahan. Namun dengan demikian, hatinya sendirilah yang gelisah.
Seolah-olah ia,melihat dua padepokan yang terpisah tidak
terlalu jauh itu sudah bersepakat untuk mengikat
persaudaraan diantara mereka. Adalah kebetulan bahwa
padepokan Kenanga, mempunyai seorang gadis, sementara
padepokan Watu Kendeng mempunyai seorang anak lakilaki.
"Aku akan menunggu, apakah yang akan terjadi
selanjutnya" katanya kepada diri sendiri.
Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mengawasi regol
padepokan itu dari jarak yang agak jauh. Ia tidak
merasakan dinginnya malam dan desing nyamuk di
telinganya. Perhatiannya seakan-akan terpateri pada regol
gerbang padepokan Kananga yang sudah tertutup,
meskipun ia tahu, pintu itu tidak pernah diselarak.
Namun dalam pada itu, yang tidak diketahui oleh
Mahisa Bungalan adalah, bahwa di ruang dalam, Ki
Kenanga sedang duduk di hadap anak-anak gadisnya yang
manunduk. Dengan sareh Ki Kenanga mengatakan, apa
yang telah terjadi di siang yang baru lewat. Ia mengatakan,
apakah keperluan para tamu dari padepokan Watu
kendeng. Ken Padmi memang sudah menduga. Ia pernah bertemu
dengan Kuda Pramuja. Ia pernah berbicara di luar
sadarnya, ketika ia bertemu dengan anak muda itu yang
sedang pergi berburu. Entah pura-pura atau sebenarnya. Kuda Pramuja
bertanya kepadanya, arah jalan ke hutan perburuan. Tetapi
setelah ia menunjukkan jalan, anak muda itu masih banyak
berbicara. Anak muda itu bertanya namanya, rumahnya
dan kenapa ia pergi ke sawah seorang diri, meskipun
sebenarnya ia mempunyai banyak kawan saat itu yang
berada di kotak sawahnya masing-masing.
Untuk beberapa hari, kawan-kawannya memang
mengganggunya. Seolah-olah ia sudah berkenalan akrab
dengan anak muda yang membawa kelengkapan berburu
bersama dua orang pengiringnya itu.
"Ken Padmi" berkata ayahnya "semuanya tergantung
kepadamu. Kau yang akan menjalani. Karena itu, kaulah
yang harus memutuskan, meskipun orang tua harus kau
dengar pendapatnya. Apalagi kau seorang gadis. Tetapi
terhadap angger Kuda Pramuja, aku tidak berpendapat
sesuatu. Ia adalah anak muda yang termasuk anak muda
yang wajar. Tidak ada keberatannya, tetapi juga tidak ada
kelebihannya. Mungkin ia pewaris ilmu padepokan Watu
Kendeng. Tetapi demikianlah, nampaknya tidak lebih dari
kemampuan kita di sini. Karena itu, terserah kepadamu"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ken Padmi masih tetap menundukkan kepalanya sambil
membisu. Di luar sadarnya, mulai terbayang di anganangannya,
seorang anak muda yang baru saja meninggalkan
padepokannya. Anak muda yang rendah hati dan memiliki
ilmu yang luar biasa. Ayahnya yang dikagumi oleh semua
orang di padepokan itu sebagai seorang yang memiliki ilmu
yang pilih tanding, ternyata tidak mampu mengimbangi
ilmu anak muda itu. "Ken Padmi" berkata Ki Kenanga seterusnya" kau harus
manjawab pertanyaanku, karena pada suatu saat, akupun
harus menjawab pertanyaan Ki Watu Kendeng. Jangan
segan. Ki Watu Kandeng adalah seorang yang berhati
seluas lautan. Ia termasuk seorang yang sabar dan mengerti
perasaan orang lain"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
tetap diam. "Baiklah" berkata Ki Kenanga "menurut orang
kebanyakan, jika seorang gadis ditanya tentang saat
perkawinannya sama sekali tidak manjawab, maka itu
berarti bahwa ia setuju. Karena itu, sepekan lagi, jika Ki
Watu Kendang datang kemari, maka aku akan mengiakan
lamarannya bagi anaknya, Kuda Pramuja"
"Ayah" tiba-tiba saja Ken Padmi berdesis. Tetapi
suaranya terputus di kerongkongan. Seperti semula, iapun
menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil bermainmain
dengan kukunya sendiri. "Apa yang akan kau katakan?" bertanya ayahnya.
Ken Padmi tidak menyahut.
Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam. Kemudan
katanya "Jawabku adalah jawabmu. Jika tafsiranku atas
kediamanku salah, maka kaulah yang akan menyesal.
Bukan aku. Aku hanya sekedar mengatakan, apa yang
menurut dugaanku kau kehendaki"
Ken Padmi mengangkat wajahnya sesaat Namun wajah
itupun tunduk kembali. "Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan
baik. Meskipun kau dan aku. belum mengenal anak muda
itu dengan baik, sifat dan wataknya, tingkah lakunya,
namun jika ia seperti ayahnya, maka ia adalah anak yang
baik" "Ayah" sekali lagi Ken Padmi berdesis.
Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Ia tidak menyahut.
Ia berharap bahwa anaknya akan mengatakan sesuatu.
Namun kemudian Ki Kenanga hanya melihat anaknya
menunduk sambil menggelengkan kepalanya perlahanlahan.
"He, kau keberatan?" bertanya Ki Kenanga.
Ken Padmi diam kembali. Dan kepalanyapun menunduk
pula dalam-dalam. Namun dengan demikian, Ki Selabajra telah mengetahui
isi hati anak gadisnya. Ternyata anak gadisnya tidak dapat
menerima Kuda Pramuja. Bagi Ki Kenanga, penolakan itupun wajar, anak
gadisnya belum begitu mengenal anak muda dari
padepokan Watu Kendeng itu. Jika ia mendapat
kesempatan untuk menentukan sikap, tentu ia akan
menyatakan keberatannya. Mungkin jika ia mendapat
kesempatan untuk berkenalan lebih mendalam, akibatnya
akan berbeda. Karena Ken Padmi masih tetap diam, maka ayahnyapun
akhirnya berkata "Baiklah anakku. Meskipun kau lebih
banyak diam, tetapi aku mengerti, apa yang kau
maksudkan. Jika pada saatnya Ki Watu Kendeng itu datang
maka aku akan menjelaskan, bahwa kau masih belum ingin
berumah tangga. Itu adalah alasan yang paling baik untuk
dikatakan, tanpa menyebut alasan-alasan yang lain.
Sementara kau akan mendapat kesempatan untuK
mengenalnya lebih dalam, sehingga mungkin pada suatu
saat. hatimu akan tersentuh pula oleh anak muda itu"
"Ah" Ken Padmi terdesah. Tetapi tidak ada kata-kata
lain yang diucapkannya. Karena tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka Ki
Selabajra itupun berkata "Nah, sekarang pergilah
beristirahat. Cobalah merenungi dirimu sendiri. Meskipun
kali ini kau masih belum dapat menerima lamaran anak
padepokan Watu Kendeng itu, namun lamaran ini adalah
pertanda, bahwa di mata orang lain, kau benar-benar sudah
dewasa" Seperti tersisih dari panasnya bara, maka Ken Padmi pun
segera masuk ke dalam biliknya. Ia menarik nafas dalamdalam,
seolah-olah ia sudah terlepas dari bencana yang
bagaikan tidak terelakkan.
Namun dalam pada itu, gadis itupun segera merebahkan
dirinya. Semakin lama ia menerawangi dirinya sendiri,
maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah. Agaknya
seperti yang dikatakan oleh ayahnya, bahwa ia memang
sudah menjadi seorang gadis yang dewasa. Bukan saja ujud
lahiriahnya saja, tetapi hatinyapun telah menjadi dewasa
pula. Ternyata bahwa ia mulai menilai seorang anak muda
yang sudah hadir di hatinya. Namun bagaikan bayangan
yang nampak sekilas, kemudian secepat ia datang, maka
iapun telah pergi. Tetapi tiba-tiba saja yang datang kemudian mengetuk
pintu padepokannya adalah justru anak muda yang lain.
Anak muda dari padepokan Watu Kendeng. Meskipun ia
tidak dapat menunjukkan cacat anak muda itu karana ia
belum banyak mengenalnya, namun rasa-rasanya ia tidak
akan dapat melepaskan diri dari sejuknya bayangan yang
pernah meneduhi hatinya meskipun hanya sesaat.
Malam itu, Ken Padmi benar-benar menjadi gelisah,
tetapi agaknya ayahnyapun menjadi gelisah pula. Sampai
jauh malam ia masih mendengar ayahnya mundar-mandir
di ruang dalam. Kemudian didengarnya derit pintu depan
ketika ayahnya melangkah keluar ke pendapa menghirup,
sejuknya udara. Tetapi itupun tidak lama, karena sebentar
kemudian, ayahnyapun telah membuka pintu kembali dan
melangkah masuk ke ruang dalam.
Tidak kurang gelisahnya adalah Mahisa Bungalan. Ia
masih tetap mengawasi regol halaman padepokan. Namun
ia sama sekali tidak melihat sesuatu yang mencurigakan,
sehingga ketika malam menjadi semakin larut, maka iapun
menganggap bahwa untuk malam itu, ia sudah cukup lama
mengawasi regol padepokan Kenanga.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan kemudian berdiri
sambil mengeliat. Rasa-rasanya badannya memang menjadi
letih. "Aku akan mencari tempat untuk beristirahat. Jika
mungkin tidur barang sekejap di manapun yang mungkin"
katanya kepada diri sendiri.
Namun ketika Mahisa Bungalan baru saja melangkah,
maka iapun segera merendahkan badannya dan berlindung
di balik dedaunan. Dalam keremangan malam ia melihat
bayangan yang lewat dengan cepatnya di sepanjang jalan
menuju ke regol halaman. Jantung Mahisa Bungalan menjadi tegang. Bahkan iapun
kemudian bergeser untuk dapat mengikuti bayangan itu
lebih jelas. "Siapakah orang itu" desisnya dengan curiga. Apalagi
ketika ia melihat orang itu termangu-mangu di depan regol
yang nampaknya tertutup. Dada Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebaran
ketika ia melihat orang itu tidak mengetuk pintu regol atau
atau berusaha membukanya.
Tetapi bagaikan terbang ia telah meloncat, hinggap di
atas dinding halaman, kemudian hilang di dalamnya.
"Aneh" desis Mahisa Bungalan. Tetapi oleh
keinginannya untuk mengetahui perkembangan yang terjadi
di padepokan itu, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
dengan hati-hati mendekati dinding.
Tetapi ia tidak menyusulnya lewat halaman depan.
Dengan hati-hati ia berkisar dan menyusuri dinding
melingkar ke belakang. Sejenak Mahisa Bungalan memperhatikan suasana.
Ketika ia yakin tidak ada seorangpun di halaman belakang,
maka iapun telah meloncat pula masuk ke dalamnya.
Untuk sesaat Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ia
tidak tahu, kemanakah bayangan yang telah memasuki
halaman itu bersembunyi. Karena itu, maka iapun menjadi
semakin berhati-hati. Ia mencoba mendengarkan setiap
bunyi dan melihat setiap gerak.
Tetapi Mahisa Bungalan terkejut, karena orang yang
memasuki halaman rumah itu ternyata tidak bersembunyi.
Ia agaknya berada di pendapa padepokan itu dan dengan
lantang ia menyatakan kehadirannya.
"Ki Kenanga" terdengar suara memanggil di pendapa
"Apakah aku boleh bertemu barang sejenak?"
Kehadiran orang itu telah mengejutkan Ki Kenanga yang
baru saja merebahkan dirinya. Karena itu, maka iapun
dengan tergesa-gesa segera bangkit dan melangkah keluar
dari biliknya. Pada saat yang bersamaan, Ken Padmipun telah berada
di pintu biliknya. Namun yang kemudian dicegah oleh
ayahnya yang berkata "Tinggallah di dalam. Jangan ikuti
aku keluar. Aku belum tahu, siapakah yang memanggilku"
"Tetapi nampaknya agak kurang wajar ayah" sahut
anaknya. "Mungkin. Tetapi biarlah aku mencoba menemuinya.
Mungkin aku akan dapat menyelesaikan"
Ken Padmi ter-mangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat
mencegah ayahnya yang kemudian melangkah manuju ke
pintu depan. Dengan hati yang berdebar-debar Ken Padmi masih
berdiri di tempatnya. Ia tidak dapat membiarkan ayahnya
sendiri menghadapi suatu keadaan yang tidak pasti.
Diluar sadarnya. Ken Padmi memandang ke pintu yang
menghubungkan ruang dalam dan ruang belakang. Yang
tinggal di rumah itu selain ia sendiri dan ayannya, adalah
salah seorang murid ayahnya yang sudah hampir
menyelesaikan latihan-latihannya, yang kebetulan adalah
saudara sepupunya sendiri. Sementara murid-murid
ayahnya yang lain berada di gandok sebelah kiri dan kanan.
Di rumah yang lain tinggal beberapa orang cantrik dan para
pembantu padepokan itu. Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
mengusir ketegangan yang tersangkut di hatinya.
Dalam pada itu, ayahnya telah membuka pintu dengan
hati-hati Di bawah cahaya lampu di pendapa ia melihat
seorang laki-laki yang berdiri tegak beberapa langkah di
muka pintu. "Siapakah kau?" bertanya Ki Selabajra.
"Apakah Ki Kenanga tidak ingat aku lagi" Baru siang
tadi aku datang ke rumah ini" jawab orang itu.
Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Namun iapun
segera ingat bahwa orang itu adalah salah seorang yang
berada di dalam iring-iringan yang datang dari Watu
Kendeng. "O" Ki Selabajra mengangguk-angguk "aku masih ingat.
Bukankah Ki Sanak diperkenalkan sebagai adik Ki Watu
Kendeng?" "Tepat Kiai. Aku adalah adik Ki Watu Kendeng" Ki
Selabajra mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Marilah Ki Sanak. Silahkan duduk. Mungkin ada sesuatu
yang ingin kau sampaikan sehingga kau datang pada waktu
yang asing bagi sebuah kunjungan"
Apakah kau menjadi sakit hati karena kunjungan ini?"
bertanya orang itu. Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih
tetap mencoba tersenyum. Katanya "Silahkan duduk"
Orang itupun kemudian duduk di pendapa
berhadapandengan Ki Selabajra. Sementara dengan sangat
hati-hati, Mahisa Bungalan telah bergeser mendekat,
meskipun ia tidak dapat terlalu dekat dengan pendapa.
Namun lamat-lamat ia dapat mendengarkan pembicaraan
kedua orang itu. Kadang-kadang beberapa bagian dapat
didengarnya dengan jelas, tetapi kadang-kadang seolah-olah
ia hanya mendengar orang berguman tanpa arti.
Meskipun demikian, dalam keseluruhan Mahisa
Bungalan dapat mengerti, apa yang sedang dipercakapkan.
"Ki Selabajra" berkata tamunya "aku minta maaf, bahwa
aku datang jauh malam dan bukan waktunya untuk
berkunjung" Ki Selabajra tersenyum, betapa kecutnya. Orang itu telah
menyakiti hatinya. Bukan saja karena kedatangannya jauh
malam tetapi juga pertanyaannya, apakah ia menjadi sakit
hati. Justru pertanyaannya itulah yang sebenarnya
membuatnya kecewa. Meskipun demikian, ia masih tetap
menahan diri. "Ki Kenanga" berkata orang itu "kedatanganku kali ini,
sama sekali tidak ada hubungannya dengan kakang Watu
Kendeng, meskipun persoalannya memang bersangkut
paut" Ki Kenanga mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih
mencoba mengangguk-angguk sambil berkata "Tentu
persoalan yang sangat penting"
"Ya" jawab adik Ki Watu Kendeng "persoalannya
menyangkut masa depan seseorang"
Ki Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai
meraba persoalan apakah yang akan disampaikan oleh adik
Ki Watu Kendeng itu. "Ki Selabajra" berkata orang itu "aku sudah mendengar
apa yang dikatakan oleh kakang Watu Kendeng kepadamu
siang tadi. Akupun telah mendengar jawabanmu"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya "Ya, kau
tentu sudah mendengar dan mengerti, persoalan apakah
yang sedang kami hadapi"
"Kakang Watu Kendeng akan datang sepekan lagi untuk
mendengarkan keputusan anak gadisnya" berkata orang itu.
"Ya Ki Sanak. Aku akan memberikan jawaban kira-kira
sepekan lagi" jawab Ki Selabajra.
"Baiklah Ki Kenanga. Waktu itu tidak jauh dan tidak
terlalu dekat. Waktu yang kau berikan adalah wajar sekali


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk sesuatu persoalan yang sangat penting"
"Ya Ki Sanak" "Tetapi, sebelum waktu itu datang, agaknya hatikulah
yang gelisah melampaui kegelisahan hati kakang Watu
Kendeng. Bagiku waktu yang sepekan itu terlalu panjang.
Apalagi setelah sepekan, jawabmupun belum pasti pula"
"Ki Sanak. Jawaban yang akan aku berikan tentu sesuai
dengan jawaban anakku yang akan menjalani. Karena itu,
maka adalah wajar pula bahwa aku harus mendapat
kepastian lebih dahulu, apakah jawab anakku itu"
"Itulah yang aku tidak telaten. Aku tidak dapat
membiarkan kemanakanku berada dalam kegelisahan
berlama-lama. Karena itu, aku mohon, bahwa Ki Selabajra
telah menentukan sikap, bahwa permintaan kemanakanku
itu akan dapat diterima"
"Ah" desah Ki Selabajra "tentu aku tidak dapat
memutuskannya sendiri"
"Ki Selabajra" berkata adik Ki Watu Kendeng itu
"kedatanganku atas kehendaku itu akan dapat diterima. Itu
saja. Dan aku harap kau tidak akan memberikan jawaban
lain sepekan yang akan datang"
Wajah Ki Selabajra menjadi tegang. Dipandanginya
tamunya yang ternyata benar-benar telah dengan sengaja
menyakiti hatinya. Meskipun demikian, ia masih menahan
hati. Bahkan kemudian bertanya "Aku tidak mengetahui Ki
Sanak. Apakah kau ingin memaksakan kehendak
kemenakanmu, atau sebenarnya kau sekedar didorong oleh
kecintaanmu kepada kemanakamnu sehingga kau tidak
sampai hati melihat anak itu bersedih"
"Kedua-duanya" jawab tamunya "aku memang tidak
dapat melihat kemanakanku itu selalu gelisah, ja benarbenar
mencintai anak gadismu. Karena itu, jika lamaran itu
kau tolak, maka akibatnya akan sangat parah bagi anak
Watu Kendeng itu" "Tetapi sebaliknya Ki Sanak" jawab Ki Selabajra "jika
jawaban anakku ternyata lain, dan ia dipaksa untuk
menerima lamaran itu, maka hidupnyalah yang akan
tersiksa disepanjang umurnya"
"Tentu tidak Ki Selabajra. Pada umumnya seorang anak
gadis tidak akan menentang keputusan ayahnya. Ia akan
tunduk dengan ikhlas. Seterusnya tergantung, bagaimana
mereka membangun rumah tangganya. Jika suami yang
diberikan oleh orang tuanya itu seorang laki-laki yang baik,
maka rumah tangga itupun akan menjadi baik. Tetapi jika
laki-laki itu seorang laki-laki yang buruk, barulah kau dapat
mengatakan, malanglah nasib perempuan yang demikian"
Ki Selabajra termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun
bertanya "Apakah angger Kuda Pramuja itu seorang lakilaki
yang baik?" "Aku adalah taruhannya. Jika ia kelak ternyata men jadi
laki-laki yang buruk, maka aku akan mematahkan lehernya
kerena ia sudah ingkar pada kewajibannya " jawab adik Ki
Watu Kendeng. Ki Selabajra tidak segera menjawab. Tetapi nampak
keragu-raguan membayang diwajahnya. Bahkan sebuah
pertanyaan telah membersit "Apakah benar seperti yang
dikatakan oleh orang itu?"
Namun akhirnya Ki Selabajra menjawab "Ki Sanak. Aku
dapat mengerti. Tetapi aku susah berniat untuk
menyerahkan keputusannya kepada anak gadisku. Ia adalah
anakku satu-satunya. Seperti Ki Watu Kendeng ingin
membahagiakan anaknya, akupun ingin berbuat demikian.
Aku akan bertanya kepadanya, apakah ia bersedia atau
tidak" "Jika tidak" potong tamunya itu.
Pertanyaan itu sangat tidak disukai oleh Ki Selabajra.
Tetapi ia harus menjawab. Dan jawabnyapun tidak
diharapkan pula oleh tamunya.
"jika anakku tidak bersedia, apaboleh buat Ki Sanak Aku
tidak akan dapat menerima lamaran itu" jawab Ki Selabajra
kemudian. Wajah adik Watu Kendeng itu menjadi merah. Dengan
nada yang patah-patah ia berkata "Aku memperingatkan
sekali lagi. Jika kelak kakang Watu Kendeng datang
kemari, maka aku tidak mau mendengar jawaban lain
daripada lamaran itu diterima. Aku tidak selemah kakang
Watu Kendeng yang menunggu dengan sabar, apa saja
yang akan kau katakan, meskipun akhirnya yang aku
katakan itu terdengar sangat pahit dihatinya"
"Jadi, apakah benar menurut tanggapanku. Bahwa kau
telah memaksakan kehendakmu?"
"Ya" sahut adik Ki Watu Kendeng serta merta "aku
memang tidak mempunyai istilah yang lebih tepat. Aku
memang ingin memaksakan kehendakku, agar kau dapat
mengatur anak perempuan. Aku hanya ingin mendengar
bahwa lamaran kemenakanku itu dapat kau terima. Aku
tidak peduli apakah yang akan kau lakukan terhadap anak
perempuan itu" "Sayang Ki Sanak" jawab Ki Selabajra "bahwa
keinginanmu untuk mendengar jawaban seperti yang kau
kehendaki itu bertentangan dengan keinginanku.
Keinginanku adalah, bahwa kau maupun Ki Watu
Kendeng melihat kenyataan yang ada pada hati anak
gadisku. Tidak lebih dan tidak kurang"
"Ki Selabajra" berkata tamunya yang wajahnya mulai
menegang "jangan mencoba membantah keinginanku. Aku
mempunyai seribu cara untuk memaksamu"
Wajah Ki Selabajrapun menjadi merah padam. Tetap ia
masih menyadari keadaannya. Ia masih mencoba untui
menahan diri. Namun dalam pada itu, yang berada di
belakang pintu, yang memisahkan pendapa dan ruang
dalam, rasa-rasanya dadanya bagaikan terbakar. Ken Padmi
yang sudah memanggil saudaranya yang kebetulan adalah
murid ayahnya itu, mendengarkan setiap kalimat yang
diucapkan oleh tamu dan ayahnya. Karena itu, maka rasarasanya
jantungnya tidak kuat lagi menahan dentang yang
seakan-akan hendak meledakkan isi dadanya itu.
Hampir saja Ken Padmi meloncat ke pintu, jika saudara
sepupunya tidak menggamitnya dan berbisik "Jangan
tergesa-gesa Ken Padmi. Kita menunggu, apa yang akan
dilakukan oleh paman Selabajra"
Dalam pada itu, Ki Selabajrapun berkata "Ki Sanak Aku
adalah seorang ayah. Anak bagiku adalah mutiara yang
tidak ada batas nilainya, sehingga bagiku, nilainya sama
dengan nyawaku sendiri. Kepahitan yang akan dialami oleh
anakku, adalah kepahitanku sendiri. Anakku adalah
penerus hidupku. Karena itu, aku akan
mempertahankannya. Jika ia bersedia menerima lamaran
itu, hanyalah karena ia bersedia. Bukan karena kau takuttakuti
sekarang ini. Tetapi jika ia tidak bersedia, maka
akupun akan melindunginya dengan segenap kemampuan
yang ada padaku" Tiba-tiba adik Ki Watu Kendeng itu tertawa. Katanya
"Ki Selabajra. Jangan berbicara tentang mempertahankan
dan melindungi anakmu dengan kekerasan. Mungkin kau
mengira, karena kau adalah seorang guru yang disegani di
padepokan ini, .maka kau telah menganggap bahwa kau
akan mempertahankan dan melindungi anakmu. Tetapi
pandanganmu seperti juga pandangan kakang Watu
Kendeng, adalah picik dan sempit sekali"
Ki Selabajra menggeretakkan giginya. Namun ia masih
bertahan untuk tidak berbuat sesuatu, meskipun dengan
demikian terasa dadanya menjadi sesak.
"Ki Selabajra" berkata tamunya "memang bagi daerah ini
dan sekitarnya, maka perguruan Kenanga dan Watu
Kendeng merupakan dua perguruan yang sulit dicari
bandingnya. Dua perguruan yang jaraknya tidak terlalu
jauh dan dipimpin oleh dua orang tua yang baik, sabar dan
lemah hati" Ki Selabajra telah berkeringat di seluruh rubuhnya, justru
karena ia mempertahankan nalarnya agar tidak bergejolak
dan tidak terkendali. "Tetapi Kiai" berkata tamunya lebih lanjut "di luar
kedua padepokan ini, ternyata masih terbentang daerah
yang luas sekali. Aku yang sudah menjelajahi hampir
seluruh daerah di negeri ini, sudah melihat, betapa kecilnya
arti kedua padepokan terpencil ini. Karena itu, kau jangan
membanggakan diri kepadaku. Mungkin kau dapat
menengadahkan wajahmu kepada orang-orang di sekitar
ini. Mungkin sampai daerah yang agak jauh. Tetapi tidak
kepadaku. Kepada seorang yang pernah mendapat gelar,
Alap-alap Wereng atau di tempat lain aku disebut Gagak
Branang, sedangkan di daerah yang jauh menjorok ke Barat
aku dipanggil Macan kejiman"
Ki Selabajra bagaikan duduk diatas api. Ia menjadi
sangat gelisah meskipun ia masih tetap bertahan pada
sikapnya. "Nah, Ki Selabajra. Mudah-mudahan kau menyadari
keadaanmu. Aku tidak akan berbuat apa-apa sekarang.
Tetapi aku akan ikut datang bersama kekang Watu
Kendeng yang lemah hati itu sepekan lagi. Dan kau tidak
mempunyai pilihan. Kau harus mengatakan bahwa lamaran
Kuda Pramuja dapat diterima dengan baik dan ikhlas"
Ki Selabajra tidak dapat menahan hatinya lagi. Dengan
jantung yang berdenyut lebih cepat, ia menjawab dengan
gagap karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya
"Tidak usah sepekan lagi. Sekarang aku dapat menjawab
meskipun aku berhadapan dengan Alap-alap Wereng
Gagak Branang atau Macan Kejiman. Anakku tidak mau
menjadi isteri kemanakanmu itu. Anakku sudah menjawab.
Ia masih belum ingin kawin sampai waktu yang belum
ditentukan" Wajah orang yang pernah mendapat bermacam-macam
gelar itupun menjadi merah padam. Sejenak ia justru
membeku di tempatnya. Giginya terdengar gemeretak dan
tangannya meremas ujung kain panjangnya.
"Ki Selabajra" ia menggeram "kau jangan bermain-main
dengan api. Kau belum tahu siapa aku. Tetapi aku sudah
tahu, sampai dimana kemampuan pemimpin padepokkan
Kenanga. Kau tidak lebih dari kakang Watu Kendeng.
Karena itu, pikirkan sekali lagi. Aku masih berbaik hati
untuk memberimu waktu sampai sepekan, karena kau
adalah bakal tersangkut ke dalam lingkungan keluarga
kami" Jika Ki Selabajra tidak sadar bahwa ia adalah seorang
ayah yang sedang terlibat ke dalam pembicaraan dengan
pihak lain, dan bukan dengan orang yang duduk di
hadapannya itu, maka ia tentu sudah tidak akan dapat
menahan diri lagi. Justru karena Ki Selabajra masih menghormati Ki Watu
Kendeng, maka ia masih mencoba bertahan agar ia tidak
menjadi mata gelap. Ki Selabajra" berkata orang itu "aku akan pergi. Sudah
aku katakan, bahwa aku tidak akan berbuat apa-apa kali ini.
Tetapi sepekan lagi, kau jangan mencoba bermain-main
dengan Macan Kajiman yang juga bergelar Gagak Branang
dan yang juga dipanggil Alap-alap Wereng. Adalah wajar,
bahwa justru didaerah kelahiran seseorang tidak banyak
dikenal. Tetapi di seputar negeri ini hampir setiap orang
pernah menyebut gelarnya"
Damikian dahsatnya gejolak di dada Ki Selabajra,
sehingga ia sama sekali tidak dapat menjawab kata-kata itu.
Bahkan ketika orang itu kemudian berdiri dan melangkah
pergi. Ki Selabajra masih saja mematung dengan gemetar.
Baru ketika orang itu turun ke halaman, maka Ki
Selabajra menggeram. Perlahan-lahan ia berdiri sambil
memandang ke dalam gelap. Tetapi ia masih melihat
tamunya itu meninggalkan halaman rumahnya dengan
meloncati dinding. "Gila" ia menggeram.
Ki Selabajra itu terkejut ketika ia mendengar pintu yang
didorong kuat-kuat. Ketika ia berpaling, ia melihat Ken
Padmi dan saudara sepupunya berdiri di muka pintu.
"Aku hampir tidak sabar lagi ayah" geram Ken Padmi.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Akupun harus berjuang mempertahankan
kesadarannya. Tetapi apakah kau mendengar seluruh
pembicaraan kami?" "Ya ayah. Aku mendengarnya. Dan karena itu, aku
menjadi gemetar" "Sudahlah. Masuklah kembali ke dalam bilikmu.
Beristirahatlah. Besok kita akan membicarakan, apakah
yang sebaiknya kita lakukan. Aku mengerti, bahwa orang
itu tentu merasa mempunyai kelebihan dari orang-orang
Kenanga dan Watu Kendeng. Namun, apapun yang akan
terjadi, aku tidak .akan menyerahkan kepadanya. Aku
masih akan mencoba berbicara dengan Ki Watu Kendeng.
Aku kira ia tidak mudah dipengaruhi oleh sikap seperti
sikap orang yang mempunyai bermacam-macam gelar itu.
Justru karena itu, aku masih menghormatinya dan aku akan
memberikan jawaban sebaik-baiknya"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
mencoba membayangkan, sikap orang yang dengan deksura
telah menghina keluarganya, Menghina perguruannya.
Namun dalam pada itu, iapun menyadari, bahwa jika tidak
ada kelebihan apapun juga, orang itu tentu tidak akan
berani berlaku sedemikian kasarnya.
Sementara itu, di dalam kegelapan malam. Mahisa
Bungalan berdiri dengan jantung bergetar. Untuk sesaat
Mahisa Bungalan masih tetap berdiri di tempatnya Ia masih
mendengar Ki Salabajra berbicara dengan anak dan
kemanakannya. Namun kemudian, merekapun telah masuk
kembali ke dalam rumahnya, sehingga pendapa itupun
menjadi sepi. Mahisa Bungalan yang masih berada di tempatnya
itupun menarik nafas dalam-dalam. Serba sedikit ia
mengerti apa yang telah terjadi kepadepokan itu. Ia
mengerti bahwa orang-orang Watu Kendeng telah melamar
Ken Padmi. Sementara mereka menunggu jawaban yang
akan diberikan sepekan lagi, maka telah datang seseorang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mengaku mempunyai beberapa sebutan yang
mendebarkan untuk memasakkan kehendaknya, agar
lamaran itu dapat diterima.
"Curang" berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya
"seharusnya tidak seorang yang dapat memaksakan
kehendaknya seperti itu"
Namun Manisa Bungalan justru sedikit milihat sepercik
kesempatan. Dengan tingkah laku orang itu, maka Ki
Salabajra tentu membuat pertimbangan-pertimbangan lain
yang justru merugikan orang-orang Watu Kendeng sendiri:
Apalagi ketika ia melihat sikap Ken Padmi setelah orang
Watu Kendeng itu meninggalkan padepokkan Kenanga.
Bahkan ia hampir pasti, bahwa Ken Padmi tidak akan
menerima lamaran itu. Meskipun demikian, ancaman orang itu bukannya hal
yang dapat diabaikan. Mahisa Bungalan tidak dapt
membayangkan, apa yang akan terjadi sepekan lagi, jika
Selabajra memberikan jawaban yang tidak mereka
kehendaki. Ketika padepokan itu menjadi semakin sepi, maka
Mahisa Bungalanpun mulai bergesar meninggalkan
tempatnya. Ia masih mendengar suara orang berbicara
sepatah-patah di dalam rumah itu. Namun ia tidak dapat
menangkap isinya. Yang diketahuinya malam itu pada padepokan Kenanga,
ternyata telah mengikatnya untuk berada tidak jauh dari
padepokkan itu. Di siang hari Mahisa Bungalan memang
berusaha untuk tidak diketahui oleh seorangpun dari
padepokkan itu: Bahkan kadang-kadang ia memasuki hutan
yang tidak terlalu jauh dari padepokkan Kenanga untuk
sekedar berburu dan mengisi waktunya yang
menggelisahkan. Tetapi di malam hari, Mahisa Selalu
berada dekat dengan padepokkan itu. Seolah-olah ia
mempunyai kewajiban untuk ikut menjaganya.
Di hari ketiga, ketika Mahisa Bungalan mendekati
padepokan itu, ia terkejut karena dilihatnya di pendapa
duduk Gemak Werdi dan Makerti. Sejenak Mahisa
Bungalan termangu-mangu. Namun kemudian ia
menyadari, bahwa Ki Selabajra memerlukan kedua orang
muridnya yang telah meninggalkan padepokannya itu
untuk menenangkan hatinya.
Dangen sangat ber-hati-hati Mahisa Bungalan memasuki
padepokan itu dari belakang. Kemudian ia mulai merayap
mendekati pendapa. Dari balik tanaman perdi ia dapat
melihat pembicaraan yang bersungguh-sungguh di pendapa.
Meskipun ia tidak dapat mendengar dengan jelas, tetapi
Mahisa Bungalan mengetahui apa yang sedang mereka
bicarakan, sementara Ken Padmi sendiri tidak ikut dalam
pembicaraan di pendapa itu.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun dapat
mengetahui, bahwa padepoka Kenanga itu telah dicengkam
oleh kegelisahan. Agaknya mereka mulai dibayangi oleh
ancaman dari orang yang memiliki berbagai macam sebutan
itu. Ketika Mahisa Bungalan itu berusaha mendekat
beberapa jengkal lagi, maka ia masih sempat mendengar
Gemak Werdi berkata "Siapapun orang itu guru, namun
kita tidak akan membiarkan nama perguruan kita diinjakinjak.
Aku akan menunjukkan, bahwa perguruan ini
bukannya sekedar tempat melonjak-lonjak"
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata
"Jangan kehilangan pertimbangan Gemak Werdi. Bukan
karena dibayangi oleh ketakutan. Tetapi pengalaman kita
mengatakan, bahwa tiba-tiba saja kita dihadapkan pada
kekuatan yang tidak terduga-duga. Beberapa saat yang
lampau, padepokan ini telah digetarkan oleh kehadiran
seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan.
Mungkin kita harus melihat kenyataan lagi, bahwa orang
itu benar-benar seorang yang mumpuni meskipun sifat dan
wataknya berlawanan dari sifat dan watak Mahisa
Bungalan yang rendah hati"
Gemak Werdi tidak menyahut. Bahkan kepalanyapun
tertunduk dalam-dalam. Ia memang harus mengakui
kenyataan itu. "Meskipun demikian" berkata Ki Selabajra "Bukan
berarti bahwa kita tidak akan mempertahankan harga diri
kita. Tetapi hendaknya dapat diketahui, bahwa mungkin
kita akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak dapat
kita imbangi. Dalam keadaan yang demikian, maka aku
tidak akan mempunyai pilihan lain daripada bertahan
sampai kesempatan yang terakhir. Apalagi Ken Padmi
sama sekali tidak bermaksud menerima lamaran itu. Tidak
ada cara yang lebih baik bagiku dan anak gadisku, dari pada
mempertahankan diri sampai batas" ia berhenti sejenak,
lalu "tetapi aku tidak menghendaki demikian bagi orang
lain meskipun ia adalah murid-muridku. Biarlah aku dan
Ken Padmi sajalah yang akan mempertaruhkan segalagalanya.
Karena aku adalah ayahnya, dan Ken Padmi
adalah sasaran dari tindak kekerasan itu"
"Kami adalah murid-murid padepokan ini" tiba-tiba
Makerti berdesis "tidak ada kehormatan yang lebih tinggi
bagi kami daripada kesempatan mempertahankan nama
baik dan harga diri perguruan kami, apapun yang terjadi"
"Tidak ada yang memberati aku" sambung Gemak
Werdi "karena itu, kami mohon untuk menentukan sikap
menghadapi keadaan ini"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam, sementara
dada Mahisa Bungalanpun menjadi berdebar-debar, bagai
manapun juga kedua orang murid perguruan Kenanga yang
sudah meninggalkan padepokan itu masih juga mempunyai
ikatan yang tidak terputuskan. Apalagi Gemak Werdi yang
menjadi agak binal karena kebanggaannya, justru karena itu
baru saja keluar dari padepokan itu. Seolah-olah ia adalah
orang yang memiliki kemampuan yang paling tinggi di
seluruh Singasari. Namun pertemuannya dengan Ki Lambun dan apalagi
kemudian dengan Mahisa Bungalan, telah membuka
hatinya, bahwa ia masih teramat kecil diantara orang-orang
berilmu yang berkeliaran di tlatah Singasari.
Dalam pada itu, Ki Selabajra berkata "Aku tidak ingin
masalah pribadiku ini akan menyeret kalian ke dalam
kesulitan. Karena itu, biarkan persoalan yang menyangkut
pribadi, dan bukan karena padepokan kita ini, akan kami
hadapi secara pribadi juga"
"Itu tidak mungkin guru" jawab Makerti "kami merasa
mempunyai ikatan yang tidak terlepaskan dengan
padepokan ini. Sedangkan kami tidak dapat memisahkan,
antara guru sebagai guru kami di padepokan ini. dengan,
guru sebagai pribadi"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Aku sudah mengatakan semua isi hatiku. Aku
berterima kasih atas kesediaan kalian membantu
kesulitanku secara pribadi. Tetapi aku sudah mengatakan,
bahwa akibat dari persoalan ini mungkin akan sangat
panjang dan jauh" "Apapun yang akan terjadi" desis Gemak Werdi "kami
adalah keluarga padepokan Kenanga"
Akhirnya Ki Selabajra tidak dapat menolak uluran
kesetiaan murid-muridnya. Mereka sudah menempatkan
diri pada kesiagaan, apapun yang akan terjadi.
"Guru" berkata Gemak Werdi "aku mohon ijin untuk
menyiapkan adik-adik seperguruanku yang meskipun belum
menyelesaikan pendidikannya di padepokan ini, namun
diantara mereka yang sudah sampai ketingkat tertinggi,
tentu akan dapat membantu jika keadaan memang
memaksa" "Jika mereka bersedia, terserahlah kepadamu Gemak
Werdi" berkata Ki Selabajra "aku hanya dapat berbesar hati
dan berulang kali mengucapkan terima kasih"
Sementara itu, maka Gemak Werdi dan Makertipun
minta ijin kepada gurunya untuk pergi ke Sanggar menemui
murid-murid perguruan Kenanga yang sudah mencapai
tingkat tertinggi. Sepeninggal murid-muridnya, maka Ki Selabajrapun
kemudian masuk pula ke ruang dalam. Didapatinya Ken
Padmi sedang berbaring menelungkup di pembaringannya.
Ketika Ki Selabajra menjenguknya, maka dengan
tergesa-gesa gadis itu menyeka matanya.
"Kau menangis?" bertanya ayahnya dengan heran. Ia
jarang sekali melihat Ken Padmi menangis sejak kanakkanak.
Pertanyaan itu. bagaikan desakan yang memecahkan
bendungan batinnya. Karena itu. maka seolah-olah air
matanya tidak dapat tertampung lagi dipelupuknya.
Ken Padmi menangis terisak-isak.
Ayahnya terdiam. Perlahan-lahan ia melangkah masuk
dan duduk dibibir pembaringan anaknya. Ia menyadari,
bahwa Ken Padmi adalah seorang gadis. Menghadapi
benturan kekerasan, ia dapat bertahan untuk mencucurkan
air matanya. Tetapi menghadapi persoalan manusiawinya
sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa, maka Ken
Padmi telah menangis. Sebenarnyalah banyak sekali yang menyesak di dada
gadis itu. Bukan saja karena lamaran yang mempunyai
akibat yang luas bagi padepokannya dan murid-murid
ayahnya. Tetapi seolah-olah mulai membayang lagi wajah
ibunya yang sudah tidak ada disisinya lagi.
"Ken Padmi" berkata ayahnya "aku mengerti, kenapa
kau menangis. Tetapi katakanlah, persoalan yang
sebenarnya yang bergejolak dihatimu"
Ken Padmi tidak segera menjawab. Tetapi air matanya
masih saja mengalir. "Katakan Ken Padmi, supaya aku dapat menimbang
buruk dan baiknya. Jika kau tetap diam, maka aku tidak
mengerti, yang manakah yang sebenarnya paling balik
buatmu. Aku sama sekali tidak berniat untuk membuat
hatimu bertambah pedih. Tetapi aku ingin membantumu,
menyelesaikan masalah yang kau anggap baik"
"Ayah" suara Ken Padmi seolah-olah tersumbat di
kerongkongannya "aku telah menyebabkan seluruh
padepokan ini gelisah"
"Mereka adalah keluarga kita yang baik" sahut ayahnya.
"Justru karena itu ayah" sahut Ken Padmi "aku tidak
sampai hati untuk mengorbankan segalanya yang pernah
ada di padepokan ini"
"Mereka menyatakan kesediaan meraka dengan ikhlas"
berkata ayahnya. "Ayah" tiba-tiba saja suara Ken Padmi menjadi sangat
dalam "bagaimana jika aku menerima lamaran itu?"
Ayahnya terkejut. Dan sementara itu, seseorang yang
bergeser ke balik dinding, di dalam gepapnya malam disisi
rumah itupun terkejut pula.
"Kenapa begitu Ken Padmi?" bertanya ayahnya.
"Biarlah aku menyelesaikan masalahku sendiri setelah
perkawinan itu berlangsung. Namun dengan demikian, aku
tidak akan mengorbankan saudara-saudara seperguruanku.
Dan bahkan mungkin para cantrik dan para pelayan yang
tidak tahu menahu persoalannya"
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya ayahnya dengan
jantung yang tegang. Di luar, melekat dinding, Mahisa Bungalanpun menjadi
sangat gelisah pula menunggu jawaban Ken Padmi yang
masih terisak.Sejenak Mahisa Bungalan yang berada diluar
dinding tidak mendengar suara apapun juga. Namun rasarasanya
jantungnya berdebaran ketika ia mendengar Ken
Padmi menangis. "Ayah" berkata Ken Padmi kemudian "mungkin aku
akan disebut seorang pengkhianat, atau seorang perempuan
yang tidak wajar, atau sebutan apapun. Tetapi barangkali
itu lebih baik, karena tidak akan menyangkut orang lain
kecuali aku sendiri"
"Apakah yang akan kau lakukan?" desak ayahnya.
"Ayah" jawab Ken Padmi "aku akan menerima lamaran
itu. Aku akan kawin dengan anak muda dari Watu
Kendeng itu. Tetapi, yang akan aku lakukan setelah itui
adalah perang tanding"
"Kau kehilangan pegangan" desis ayahnya yang terkejut
mendengar jawaban anaknya itu.
Sementar itu, Mahisa Bungalan terkejut pula. Bahkan,
rasa-rasanya jantungnya semakin cepat berdegup di dalam
dadanya. Dalam pada itu itu, Ken Padmipun meneruskan
"Aku kira aku tidak akan mempunyai jalan lain. Jika aku
menerima lamaran itu, maka tidak akan ada perselisihan
antara padepokan ini dangan padepokan Watu Kendeng.
Orang yang mempunyai seribu macam sebutan itu tidak
akan berbuat sesuatu. Jika kemudian terjadilah persoalan
antara aku dan suamiku, itu adalah persoalan yang tidak
seharusnya dicampunri oleh orang lain"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Namun
terdengar ia menjawab "Kau jangan menganggap seperti
itu. Kau jangan menganggap bahwa persoalan suami isteri
adalah persoalan yang tidak akan dicampuri oleh orang
lain. Sedangkan, apakah sebenarnya hak orang itu
mencampuri persoalanmu sekarang, sebelum kau menjadi
isteri kemanakannya?"
Ken Padmi termangu-mangu. Namun ia tidak dapat
menjawab pertanyaan ayahnya.
"Dipandang dari sudut hak, maka ia sudah melanggar. Ia
tidak wenang mencampuri persoalanmu sekarang ini. Dan
iapun tidak mempunyai wewenang untuk memaksakan
kehendaknya kepadamu dan kepada siapapun"
Ken Padmi tidak menjawab. Dan ayahnyapun berkata
seterusnya "Karena itu Ken Padmi. Sebaiknya kau tidak
menjerumuskan dirimu ke dalam lingkungan yang akan
dapat menyiksa batinmu. Biarlah kita berdiri atas sikap dan
pendirian kita, apapun yang akan terjadi. Aku adalah
ayahmu, dan aku akan mempertahankan jika kau memang
tidak berniat untuk menyerah dirimu"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi terdengar isaknya
menjadi semakin keras. "Sudahlah. Tidurnya dengan nyenyak. Padepokan ini


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah siap menghadapi, sementara akupun akan tidur
nyenyak pula. Karena apapun yang akan terjadi, sudah
menjadi tekad kita bersama untuk menerima dengan ikhlas.
Ken Padmi tidak menjawab. Iapun kemudian
menyembunyikan wajahnya yang menelungkup dibawah
lengannya. Sejenak kemudian, Ki Selabajrapun meninggalkan bilik
Ken Padmi. Sementara itu, Mahisa Bungalan masih
melekat dinding dengan jantung yang berdegupan.
Mahisa Bungalan harus mengerutkan tubuhnya di balik
rimbunnya tanaman perdu disisi rumah itu, ketika ia
mendengar pintu butulan bederit. Kemudian iapun melihat
Ki Selabajra keluar dari pintu butulan menuju ke
sanggarnya. Mahisa Bungalanpun dapat menduga, apa yang akan
dilakukannya. Di saat-saat terakhir menjelang hari yang
menentukan itu, maka ia telah berada di dalam sanggar
bersama murid-muridnya yang sudah meninggalkah
padepokan, dan tiga orang murid yang sudah mencapai
tataran tertinggi. "Kita akan menghadapi kemungkinan yang sangat berat"
berkata Ki Selabajra "karena itu, terserahlah kepada kalian.
Aku seharusnya mengerti, bahwa kalian tidak boleh terlihat
ke dalam kemungkinan yang masih belum waktunya kalian
alami" Tetapi seperti Gemak Werdi dan Makerti, maka ketiga
rang murid itupun menyatakan kesediannya untuk
mengalami apapun juga. Apalagi salah seorang dari mereka
adalah kemanakan Ki Selabajra sendiri.
"Aku akan menyampaikannya kepada ayah" berkata
kemanakannya itu "tentu ayah juga akan datang dl ihari
yang ditentukan itu"
"Tidak" jawab Ki Selabajra dengan serta merta "aku
tahu bahwa ayahmu tentu akan datang. Tetapi justru arena
itu aku larang kau memberitahukan hal ini kepada ayahmu.
Ia adalah saudaraku yang akan menjadi sandaran alur
keluarga kita. Jika ia mengalami bencana seperti aku akan
mengalaminya, maka sandaran jalur keluarga kita akan
lenyap bersama-sama"
Kemanakan Ki Selabajra itu menarik nafas dalam-ialam.
Tetapi ia tidak berani membantah. Apalagi ia dapat
mengerti keterangan pamannya itu.
"Nah, berlatihlah di saat-saat yang gawat ini sebaikbaiknya.
Meskipun aku tahu, bahwa tiga empat hari tidak
akan ada artinya" Meskipun demikian, maka murid-murid padepokan
Kenanga itupun segera tenggelam ke dalam latihan yang
berat. Pada saat-saat yang gawat itu, Ki Selabajra sekanakan
teleh menuangkan segenap dasar-dasar ilmunya
sampai tuntas. Namun iapun menyadari, bahwa selain
landasan-landasan ilmu itu, maka pengalaman dan
kesempatan mengembangkannyapun sangat penting pula
artinya. Dan itulah yang kesempatannya tidak dipunyai leh
murid-muridnya itu. Apa lagi ketiga muridnya yang masih
belum dinyatakan selesai meskipun sudah berada pada
tingkat yang terakhir. Dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun masih tetap
berada dihalaman padepokan itu. Bahkan iapun telah
bergeser mendekati sanggar. Namun ia tidak menampakkan
dirinya. Sejenak Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu. Apakah ia
akan menyatakan kehadirannya untuk menenangkan
perasaan orang-orang dari padepokan Kenanga, atau sama
sekali tidak. Namun akhirnya, Mahisa Bungalanpun justru menjauh.
Ia masih dibayangi oleh perasaan segan. Ia sudah terlanjur
minta diri untuk meninggalkan padepokan itu, sehingga
memang agak aneh jika tiba-tiba ia sudah berada di
padepokan itu lagi. Ada sepercik parasaan malu di dalam dirinya, justru
karena di padepokan itu ada seorang gadis yang meningkat
dewasa. Meskipun demikian, Mahisa Bungalan tidak akan
meninggalkan padepokan itu. Di hari-hari yang dekat, akan
ada sekelompok orang-orang Watu Kendeng yang datang
kepadepokan itu untuk menanyakan, apakah lamarannya
diterima atau ditolak. Menurut pengamatannya, setelah ia mendengar
pembicaraan antara Ki Selabajra dan adik Ki Watu
Kendeng, meka ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Ki
Selabajra sendiri tidak akan memaksakan kehendaknya.
Tetapi adiknya yang mempunyai beberapa macam sebutan
itulah yang telah menakut-nakuti orang-orang dari
padepokan Kenanga. Ketika malam menjadi semakin malam, itu sementara
orang-orang padepokan Kenanga masih meneruskan
latihan-latihanya yang berat, maka Mahisa Bungalanpun
dengan hati-hati telah meninggalkan padepokan itu untuk
kembali ke tempat persembunyiannya, di pinggir sebuah
hutan yang tidak begitu besar. Untuk menghindari kesulitan
yang tidak dikehendakinya, maka Mahisa Bungalan telah
mencari tempat untuk tidur diatas dahan-dahan yang lebat
tetapi tidak terlalu tinggi. Dengan menyilangkan beberapa
potong kayu dari dahan kedahan, dan diikat dengan lulup
maka Mahisa Bungalan telah membuat pembaringan yang
menyenangkan sejak ia berada di tempat itu.
Hampir setiap hari, Mahisa Bungalan selalu mengawasi
padepokan Kenanga. Di siang hari ia menunggui jalan
memasuki padukuhan itu dari arah Watu Kendeng
meskipun dari kejauhan, sedangkan di malam hari, ia
bahkan selalu mandekati padepokan itu.
Sepekan setelah lamaran Ki Watu Kendeng
disampaikan, maka hati Mahisa Bungalan menjadi
berdebar-debar. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia menjadi
sangat gelisah. Bukan karena ia menjadi silau terhadap
orang yang memiliki bermacam-macam gelar itu. Tetapi ia
selalu menjadi gelisah jika ia mengingat niat Ken Padmi
untuk menerima saja lamaran itu untuk menghindari
kemungkinan yang tebih buruk, yang dapat terjadi atas
padepokan Kenanga. "Itu bukan urusanku" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan
menggeram. Namun kemudian ia tidak dapat menghindari
kenyataan, bahwa ia telah berada di sekitar padepokan itu
untuk sepekan lamanya. Di hari yang kelima, Mahisa Bungalan sama sekali tidak
melepaskan pengawasannya atas jalan yang memasuki
padepokan Kenanga dari arah Watu Kendeng seperti yang
pernah diketahuinya. Ia memperhatikan segenap orang
yang datang. Apalagi jika ia melihat debu yang mengepul
oleh sentuhan kaki kuda. Tetapi sampai menjelang matahari turun di ujung Barat,
ia tidak melihat iring-iringan dari padepokan Watu
Kendeng, sehingga justru karena itu, ia menjadi semakin
gelisah karenanya. Namun ketika langit menjadi suram, barulah ia melihat
iring-iringan dari kejahuan. Karena itulah, maka apun
segera berusaha berlindung di balik sebatang pohon
beberapa langkah dari jalan.
Tidak ada seorangpun yang memperhatikan gerumbulgerumbul
perdu yang berserakan diantara rumput ilalang
yang tumbuh liar di pinggir sebuah sungai kecil. Karena itu,
maka merekapun tidak melihat, bahwa ada orang yang
dengan sengaja telah menunggu kehadiran mereka.
Dari kejauhan, Mahisa Bungalan tidak berani
memastikan apakah diantara mereka terdapat orang yang
bergelar diantaranya Gagak Branang itu.
"Kenapa mereka menunggu sampai menjelang senja"
guman Mahisa Bungalan. Namun menurut dugaan Mahisa Bungalan, hal itu telah
disengaja oleh adik Ki Watu Kendeng. Ia akan dapat
berbuat banyak di malam hari. Dalam kegelapan, ia mampu
melawan banyak orang padepokan Kenanga dengan
caranya. Tetapi tiba-tiba iapun berguman "Tetapi hal ini akan
lebih baik pula bagiku. Aku akan dapat menonton
pertunjukkan itu dari jarak yang tidak terlalu jauh. Bahkan
jika mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka.
Mahisa Bungalan yang pernah tinggal di padepokan
Kenanga telah mengenal keadaan padepokan itu dengan
baik, sehingga ia akan dapat menempatkan diri untuk
mengamati keadaan padepokan itu.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun segera
mempersiapkan diri. Tetapi ia masih menunggu beberapa
saat dengan gelisah agar gelap segera turun menyelimuti
seluruh padepokan Kenanga.
"Tentu tidak akan segera terjadi sesuatu" berkata Mahisa
Bungalan kepada dirinya sendiri "Mula-mula mereka akan
dijamu. Baru kemudian mereka akan berbicara tentang
gadis itu. Pada saat itulah. Paman anak muda dari Watu
Kendeng itu akan menunjukkan, apakah yang telah
dikatakanlah itu sekedar ancaman atau benar-benar akan
disertai dengan sikap dan perbuatan"
Dalam pada itu, maka iring-iringan itupun telah diterima
oleh Ki Selabajra dengan sebaik-baiknya. Tidak terkesan
sama sekali di wajahnya, bahwa ia pernah mendapat
ancaman dari orang yang pernah mendapat gelar Macan
Kajiman yang ada juga di dalam iring-iringan itu.
Namun dalam pada itu, Macan Kajiman itu menggamit
seorang pengiringnya yang berada di sampingnya. Dengan
berbisik ia berkata "Tidak akan lepas lagi. Gadis itu tentu
akan dapat dibawa Ke Watu Kendeng"
"Untunglah Kuda Pramuja yang mempunyai seorang
paman yang mengerti tentang keadaannya" jawab
pengiringnya. Macan Kajiman mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia berbisik di telinga pengiringnya "Kau adalah
pengikutku yang setia. Jangan hiraukan orang-orang Watu
Kendeng. Juga jangan hiraukan Kuda Pramuja. Jika gadis
itu sudah di Watu Kendeng, kau tahu apa yang harus kau
lakukan. Kesannya adalah gadis itu melarikan diri"
Pengiring Macan Kajiman itu tersenyum. Namun
mereka tidak dapat berbicara, lebih banyak lagi, karena
iring-iringan itu telah dipersilahkah naik ke pendapa.
Ketika para tamu dari Watu Kendeng itu telah duduk di
atas tikar pandan yang putih, maka mulailah mereka seperti
yang terbiasa, saling bertanya tentang keselamatan di
perjalanan, dan keluarga yang ditinggalkan.
Namun dalam pada itu, pengiring Macan Kajiman yang
juga disebut Alap-alap Wereng itu menjadi sangat gelisah,
la memang bukan orang Watu Kendeng. Tetapi ia adalah
memang pengawal Macan Kajiman itu.
Meskipun demikian, ia tidak dapat mengerti, kenapa hal
itu sampai hati dilakukannya. Ia sudah terbiasa melakukan
kekerasan untuk memaksakan kehendaknya dan kehendak
Macan Kajiman. Tetapi terhadap orang lain. Tidak
terhadap keluarga sendiri. Jika Macan Kajiman yang juga
bernama Gagak Branang itu memaksakan kehendaknya
kepada Ki Selabajra agar memberikan anak gadisnya
kepada anak Watu Kendeng, itu masih dapat dimengerti.
Tetapi menurut tangkapannya yang sekilas, sesudah gadis
itu berada di Watu Kendeng, maka gadis itu akan
dilarikannya, tetapi dengan kesan, bahwa gadis itu telah
melarikan dirinya sendiri.
"Rencana yang paling gila" geram pengikutnya itu.
Betapa kasar jiwanya, tetapi ia masih belum dapat mengerti
jalan pikiran Gagak Branang yang gila itu.
Meskipun demikian ia tidak dapat membantah atau
mencegahnya. Jika hal itu harus terjadi, maka ia hanya
akan melaksanakan saja. Tentu ia harus memanggil
pengikut Gagak Branang yang lain dan memberikan
kesempatan kepadanya untuk melarikan gadis itu,
sementara ia dan Gagak Branang akan berpura-pura ikut
kehilangan, dan barangkali ikut mencarinya pula.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang dari
Watu Kendeng yang duduk di sampingnya mendengar
seolah-olah orang itu berdesah, sehingga karena itu iapun
bertanya lirih "Kenapa kau berdesah?"
"Pengikut Gagak Branang itu mengerutkan keningnya,
jawabnya "Tidak apa-apa. Dan aku tidak berdesah. Tetapi
aku hanya berdesis saja"
Orang Watu Kendeng yang duduk di sampingnya hanya
mengangguk-angguk saja. Ia tidak mengerti, apa yang
sedang dipikirkan oleh orang yang duduk di sebelahnya itu.
Seorang pengikut adik Ki Watu Kendeng yang kebetulan
sedang berkunjung ke padepokan itu.
Sejenak kemudian, setelah kebiasaan untuk saling
bertanya tentang keselamatan itu selesai, maka mulailah
beberapa orang cantrik menghidangkan sekedar makanan
dan minuman. Sementara orang-orang yang berada di pendapa itu
makan dan minum sambil berbicara tentang keadaan serta
padepokan masing-masing, maka malampun mulai turun
menyelubungi padepokan Kenanga. Di pendapa, di ruang
dan bilik, dan di sudut-sudut rumah lampu minyak sudah
mulai dipasang. Namun orang-orang yang berada di pendapa itu
nampaknya masih saja belum sampai kepada maksud
pembicaraan yang sebenarnya.
"Aku tidak telaten" geram Macan Kajiman kepada
pengikutnya "aku akan mulai dengan maksud yang
sebenarnya" "Jangan Ki Lurah" desis pengikutnya "hal itu akan
menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan.
Mungkin akan timbul ketegangan"
"Itulah yang aku inginkan" sahut adik Ki Watu
Kendeng. "Bukan ketegangan dengan orang-orang Kenanga.
Tetapi ketegangan dengan orang-orang Watu Kendeng
sendiri, karena mereka merasa dilampaui"
Macan Kajiman yang juga disebut Gagak Branang itu
menggeram. Namun iapun kemudian berdesah "Itulah yang


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat menjengkelkan. Jika aku tidak mempedulikan
semuanya, maka aku kira aku akan cepat selesai"
"Namun akhirnya akan rusak juga jika orang-orang
Kenanga tidak memenuhi keinginanku" desis Gagak
Branang. "Bersabarlah sedikit" desis pengikutnya yang mengenal
sifat Gagak Branang itu Karena itulah, maka adik Ki Watu Kendeng itu terpaksa
memaksa dirinya untuk tetap duduk dengan menahan
gejolak kegelisahannya. Seolah-olah pembicaraan mereka
sama sekali tidak mengarah ke makna kedatangan orangorang
Watu Kendeng ke padepokan Kenanga yang sudah
direncanakan sebaik-baiknya itu.
Baru setelah dadanya menjadi hampir retak oleh ketidaksabaran,
maka barulah Ki Watu Kendeng beringsut sambil
berkata "Ki Kenanga. Tentu Ki Kenanga sudah mengerti
mengapa kami sekelompok kecil ini datang ke padepokan
Kenanga. Beberapa hari yang lalu, kamu sudah pernah
datang kemarikan mengajukan satu masalah yang
menyangkut anak gadis padepokan Kenanga. Karena itu,
maka seperti yang telah kami katakan, sekarang kami
datang untuk bertanya, keputusan yang diambil oleh anak
gadis Ki Kenanga itu"
Ki Kenanga menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun
juga, terasa jantungnya bergetar. Apalagi ketika sekilas
dilihatnya, adik Ki Watu Kendeng yang memandanginya
dengan tajamnya. Setelah beringsut sejengkal, maka Ki Selabajra itupun
berkata dengan nada yang gelisah "Ki Watu kendeng.
Betapa rasa terima kasih kami atas kunjungan Ki Watu
Kendeng, dan apalagi Ki Watu Kendeng berkenan
memandang anak gadis padepokan yang tidak berarti ini"
Gagak Branangpun mulai berdebar-debar. Jika orang itu
tidak memenuhi keinginannya, maka ia tentu tidak, akan
dapat menahan diri iagi. "Ki Watu Kendeng" Ki Selabajra meneruskan "seperti
yang aku katakan, karena bukan aku yang akan
menjalaninya, maka akupun telah menyampaikan lamaran
yang sangat kami hargai itu kepada anak gadisku"
Ki Watu Kendeng mengerutkan keningnya. Sementara
wajah-anak laki-lakinya pun menjadi tegang.
"Gila" geram Gagak Branang "kenapa ia harus berputarputar
seperti orang mabuk tuak"
Sementara itu Ki Selabajra meneruskan "Ki Watu
Kendeng, sebagai orang tua, maka aku tidak lebih dari
sekedar mengatakan apa yang dikatakan oleh anakku"
"Ya, ya Ki Selabajra" Ki Watu Kendengpun seolah-olah
tidak sabar lagi menunggu.
"Sebelumnya, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Bukan maksud anakku menolak lamaran Ki Watu Kendeng
bagi anak laki-laki yang tidak bercacat, angger Kuda
Pramuja, tetapi sekedar karena merasa kekecilan diri dan
kekurangannya. Apalagi anakku masih terlalu muda,
sehingga saat ini, ia masih belum dapat menerima lamaran
itu, karena anakku masih belum berhasrat dan belum
memikirkan hari-hari perkawinan"
Jawaban itu membuat wajah Ki Watu Kendeng
menegang sejenak, seperti juga wajah-wajah orang Watu
Kendeng yang lain. Apalagi wajah Gagak Branang yang
menjadi merah padam. Dadanya yang bagaikan akan meledak, membuat
nafasnya menjadi sesak. Dalam pada itu, Ki Watu Kendengpun menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata "Ki Kenanga. Betapa besar
harapan kami, bahwa lamaran kami akan dapat diterima.
Tetapi ternyata bahwa angger Ken Padmi masih belum
memikirkan masalah perkawinan. Tetapi Ki Selabajra,
apakah hal itu berarti bahwa kami masih dapat menunggu
dan berharap, bahwa pada suatu saat, jika Ken Padmi telah
menjadi semakin dewasa, lamaran kami ini akan dapat
kami sampaikan sekali lagi"
Pertanyaan itu diluar dugaan Ki Selabajra. Karena itu,
maka iapun menjadi bingung. Bagaimana ia harus
menjawab pertanyaan itu tanpa menyinggung perasaannya,
tetapi juga tidak membebani jiwanya untuk masa yang
panjang. Ketika ia berbicara tentang anak gadisnya, dan hanya
dengan sepintas dan bergurau, ia tidak menolak permintaan
Ki Watu Kendeng untuk mengikat tali kekeluargaan, maka
Ki Watu Kendeng itu menganggap bahwa ia boleh
mengharapkan kemungkinan itu dapat benar-benar terjadi.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Selabajra mencari
jawaban yang paling baik, maka terdengar seseorang
berkata lantang "Kenapa kami masih harus menunggu dan
sekedar berharap?" Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dengan tegang
mereka memandang Gagak Branang yang wajahnya
menjadi merah. Hal itulah yang telah diduga lebih dahulu oleh Ki
Selabajra. Karena itu, maka ia justru tidak begitu terkejut
karenanya, meskipun ia tidak segera menjawab.
"Kakang Watu Kendang" berkata orang itu "apakah
kakang hanya dapat mengelus dada sambil memeluk nasib
malang?" Ki Watu Kendeng memandang adiknya dengan tegang.
Kemudian iapun bertanya "Apakah maksudmu?"
"Jangan merajuk seperti kanak-kanak kakang. Berkatalah
dengan tegas, bahwa gadis itu kau perlukan bagi Kuda
Pramuja, Jangan bertanya, boleh atau tidak boleh. Tetapi
katakanlah sesuai dengan yang kau harapkan"
Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian jawabnya "Kita berada dalam lingkungan hidup
yang luas. Itulah sebabnya kita harus menyangkutkan
kepentingan kita sendiri dengan kepentingan orang lain.
Jika di dalam hidup yang saling berhubungan ini kita hanya
memikirkan kepentingan kita sendiri tanpa menghiraukan
kepentingan orang lain, maka pergaulan kita akan sering
terganggu" "Dalam banyak hal, yang kakang katakan itu benar.
Tetapi satu hal ini adalah hal yang tidak dapat sekedar
memikirkan kepentingan orang lain. Kakang harus
memikirkan hari depan Kuda Pramuja yang akan
meneruskan jalur keluarga kakang. Apakah kakang rela
melihat hidupnya selalu dibayangi oleh kekecewaan dan
kesepian?" Ki Selabajra mengerutkan keningnya. Ketika ia
memandang wajah Ki Watu Kendeng, maka nampak
betapa bedanya bayangan sifat dan watak pada kedua kakak
beradik itu. Apalagi ternyata dengan sareh Ki Watu Kendeng berkata
"Tetapi bukan berarti bahwa kita sudah kehilangan
kesempatan untuk selama-lamanya"
Adiknya justru menggeram. Katanya "Kakang akan
menunggu sampai berapa tahun. Di tahun pertama, Ki
Kenanga akan menjawab seperti yang dikatakannya
sekarang. Mungkin di tahun kedua ia masih berkata bahwa
anaknya belum ingin kawin. Tetapi di tahun ketiga, tahutahu
gadis itu sudah kawin dengan orang lain"
"Ah. jangan terlalu berprasangka. Kita masih
mempunyai kesempatan untuk berbicara di hari-hari
kemudian" sahut kakaknya.
Tatapi seperti yang diduga oleh Ki Selabajra, maka
Gagak Branang itu berkata "Kakang tidak perlu menunggu.
Kedatangan kita kali ini adalah keputusan terakhir. Kita
datang untuk mengambil gadis itu. Boleh atau tidak boleh,
mau atau tidak mau" Wajah Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Apalagi ketika
adiknya berkata "Kakang, serahkan persoalannya
kepadaku" Tetapi yang ada di pendapa itu menjadi berdebar-debar,
ketika Ki Watu Kendeng justru menjawab "Itu bukan
watakku. Aku adalah seorang yang menyadari keadaan diri
dan padepokanku. Apalagi masih ada kesempatan di hari
mendatang, sedangkan seandainya gadis itu menolak
sekalipun, aku tidak akan dapat memaksa"
"Kakang terlalu baik hati. Tetapi tentu tidak para
pengikut kakang. Aku akan mengajari mereka, bagaimana
seharusnya menghadapi masalah-masalah yang besar
seperti ini. Kuda Pramuja harus yakin akan hari depannya.
Dan hari depan anak itu sebagian adalah tanggung jawab
kakang pula" berkata adiknya.
Wajah Ki Watu Kendeng menjadi semakin tegang.
Dipandanginya wajah adiknya yang menyala. Katanya
"Kau jangan menodai nama baik perguruan Watu
Kendeng. Kami adalah sekelompok orang yang
mempelajari olah kanuragan bukan untuk memaksakan
kehendak kami kepada orang lain"
"Aku tahu kakang orang baik. Tetapi kakang juga silau
melihat perguruan Kenanga. Kakang mungkin pernah
mendangar bahwa Ki Selabajra memiliki ilmu yang tinggi
dan kemampuan aji yang sulit tandingnya" Gagak Branang
itu berhenti sejenak, lalu katanya melanjutkan "kakang,
serahkan orang-orang Kenanga ini kepadaku dan kepada
Kuda Pramuja beserta pengiringnya. Semuanya akan selesai
dengan baik. Baik bagi kakang dan baik bagi Kuda
Pramuja. Jika Ki Kenanga tidak berkeras kepala, maka
akibatnya akan baik juga bagi Ki Kenanga dan anak
gadisnya itu" "Aku tidak sependapat" berkata Ki Watu Kendeng
dengan tegas. Lalu "Aku masih menghormati pergaulan
antara manusia. Aku masih belum memilih jalan kehidupan
seperti binatang di rimba. Siapa yg kuat, ia berhak
memaksakan kehendaknya pada yang lemah, sampai
membunuh sekalipun tanpa tanggung jawab. Tetapi itu
terjadi di dunia binatang yang hanya hidup dalam naluri
kebinatangannya. Sedangkan tidak pada kita. Kita
mempunyai nalar budi dan perasaan. Dengan demikian kita
tidak akan dapat bertindak sekasar itu"
"Kakang terlalu banyak pertimbangan. Sekarang,
silahkan kakang bertanya kepada Kuda Pramuja. Apakah
prasetianya bagi bakal isterinya" berkata Gagak Branang.
Ki Watu Kendeng termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia memandang anaknya sambil bertanya
"Katakan. Apa yang kau kehendaki sebenarnya"
Kuda Pramuja ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah
pamannya yang merah. Kemudian Katanya "Aku sudah
prasetia ayah. Jika aku datang sekali lagi ke padepokan
Kenanga seperti sekarang, maka itu berarti bahwa aku
harus membawa Ken Padmi kaluar dari padepokan ini ke
Padepokan Watu Kendeng"
"Kau gila" "Benar ayah. Jika perkawinan ini urung apapun
alasannya bagiku lebih baik aku mati bersama leburnya
padepokan Kenanga yang akan menjadi karang abang"
"Cukup" bentak Ki Watu Kendeng "tentu pamanmu
yang mengajari kau berbuat demikian. Sabelum pamanmu
pulang ke padepokan, kau tidak pernah mengatakan
demikian. Kau hanya mengatakan bahwa kau bertemu
dengan Ken Padmi, dan kau merasa tertarik sekali kepada
gadis itu, tanpa memilih antara hidup dan mati"
"Tetapi sekarang aku memilihnya ayah" jawab Kuda
Pramuja "aku benar-benar memilih mati daripada urung"
Ki Watu Kendeng menjadi tegang. Kamudian katanya
lantang "Kau jangan menjadi gila karena pengaruh
pamanmu. Aku tidak mengajarimu berbuat demikian. Dan
kau tidak boleh berbuat demikian"
Kuda Pramuja menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba saja
kepalanyapun tertunduk dalam-dalam.
"Kakang" Gagak Brananglah yang menyahut "Mungkin
kakang dapat memaksa anak itu diam. Mungkin kakang
dapat memaksa anak itu kembali tanpa gadis yang
diinginkan. Tetapi hatinya menjadi patah. Dan iapun siap
untuk membunuh dirinya sendiri. Siang atau malam, pagi
atau sore, bahkan mungkin sekarang di pendapa ini"
"Tidak" Ki Watu Kendeng memotong "ia adalah anak
laki. Anak perguruan Watu Kendeng. ia tidak akan secepat
itu menjadi kehilangan akal dan putus asa, jika kau tidak
mengajarinya. Alangkah rendahnya seseorang yang mati
membunuh diri. Apalagi karena perkawinan yang gagal"
"Jika ia menusuk dadanya dengan kerisnya, maka ia
adalah orang yang paling hina. Tetapi jika ia mati dengan
keris di tangan dan yang telah dibasuhnya dengan darah
lawan, maka ia adalah seorang pahlawan yang tidak gentar
memberikan korban bagi suatu keinginan yang
diyakininya" Wajah Ki Watu Kendeng menjadi merah seperti
darahnya. Dengan lantang ia bertanya kepada anaknya
"He, Kuda Pramuja. Apakah benar kau ingin berbuat gila
demikian?" Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncangkan isi
dada. anak muda itu. Sebenarnya ia memang tidak segarang
itu. Pamannyalah yang telah mengajarinya, seperti yang
dikatakan oleh Ki Watu Kendeng. Karena itu, ketika
ayahnya menyudutkannya ke dalam keadaan yang sulit,
maka melonjaklah nuraninya tanpa sesadarnya.
"Jawab pertanyaanku" bentak Ki Watu Kendeng.
Kuda Pramuja yang terkejut itupun menjawab dengan
suara bergetar "Tidak ayah. Aku menurut apa yang ayah
katakan" Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Namun
dalam pada itu Gagak Branang berteriak "Persetan orangorang
Watu kendeng yang pengecut. Akulah yang akan
menentukan sikap sebagai seorang laki-laki. Aku minta Ki
Selabajra menyerahkan anak gadisnya kepada Kuda
Pramuja. Jika tidak, maka padepokan ini akan menjadi
karang abang" "Itu bukan maksudku" Ki Watu Rendenglah yang
menjawab "jika kau ingin berbuat demikian, aku tidak
bertanggung-jawab. Bahkan seandainya kau berhasil
merampas gadis Kenanga itu dengan kekerasan, ia tidak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menjadi isteri anakku. Anakku hanya beristeri dengan
orang yang dapat menerimanya dengan ikhlas. Tidak
karena terpaksa atau dengan dorongan lain yang tidak
dikehendakinya sendiri"
Gagak Branang itu benar-benar menjadi marah. Dengan
kasar iapun kemudian meloncat dari pendapa sambil
berteriak "Aku sudah terlanjur mengatakan maksudku. Aku
akan merampas gadis itu dari Padepokan Kenanga. Jika
orang-orang Watu Kendeng akan menghalang-halangi aku,
maka merekapun akan menjadi lawanku yang akan aku
singkirkan dari muka bumi. Tegasnya, aku akan membunuh
siapa saja yang akan menghalang-halangi niatku mengambil
gadis itu. Jika Kuda Pramuja yang ternyata seorang
pengecut itu tidak akan menerimanya, maka aku akan
mengambilnya menjadi isteriku sendiri"
Orang-orang yang berada di pendapa itupun menjadi
tegang. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa Gagak
Branang telah benar-benar menjadi seperti orang yang wuru
tanpa menghiraukan apapun juga. Bahkan kakaknyapun
sama sekali tidak dapat mempengaruhi sikapnya.
"Nah, Ki Selabajra. Sebelum peristiwa yang buruk itu
terjadi diatas padepokanmu, panggillah anakmu dan
serahkanlah kepadaku. Karena kau dan orang-orangmu
bahkan bersama orang-orang Watu Kendeng yang ada
disini, tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku dan orangorangku"
"Kau hanya sendiri. Apa yang-dapat kau lakukan?"
bertanya kakaknya. "Yang nampak, aku hanya berdua" jawab Gagak
Branang "tetapi jika diperlukan, aku akan dapat memanggil
orang-orangku yang setia untuk menghancurkan padepokan
ini" Wajah-wajah itupun semakin menjadi tegang. Pengiring
Gagak Branang itupun menjadi berdebar-debar pula.
Peristiwa itu terjadi terlalu cepat. Pembicaraan di pendapa
itu telah patah sesaat saja dari kata-kata pembukaan.
"Terlalu" desisnya "Ki Lurah tidak dapat menahan diri
menghadapi keadaan ini. Tetapi justru karena ialah yang
telah tergila-gila dengan gadis padepokan Kenanga itu"
Namun demikian, pengikutnya itu tidak dapat berbuat
lain daripada mempersiapkan diri. Jika keadaan tidak lagi
dapat dikuasai, maka iapun harus bertempur. Ia mengerti,
betapa tingginya kemampuan Gagak Branang. Tetapi ia
menjadi berdebar-debar, karena jumlah lawan yang terlalu
banyak. Bahkan nampaknya orang-orang Watu Kendeng
sendiri justru akan berdiri di pihak padepokan Kenanga.
Namun dalam pada itu, diluar pengetahuan pengiring
Gagak Branang itu, tiga orang adik seperguruan Gagak
Branang sedang merayap mendekati padepokan Kenanga.
Mereka tahu, bahwa keadaan akan segera membakar
pertemuan itu seperti yang dipesankan oleh Gagak
Branang. Karena itulah, maka merekapun telah
mempersiapkan diri, sejak Gagak Branang memasuki
padepokan Kenanga. "Nampaknya suasana padepokan itu telah meningkat
menjadi panas "berkata salah seorang dari ketiga orang itu.
"Ya. Kau dengar suara Macan Kajiman itu" Nah,
marilah, apalagi yang kita tunggu?"
"Biarlah perkelahian itu pecah lebih dahulu. Kita akan
melihat, siapakah yang akan menjadi lawannya. Baru kita
akan turun sambil mengejutkan mereka" jawab yang lain.
Ketiga orang itupun kemudian menunggu sambil
melekat ke dinding padepokan. Setiap saat mereka siap
untuk meloncat masuk dan melihatkan diri ke dalam arena
perkelahian itu. "He, seperti yang diduga oleh Macan Kajiman, saudara
laki-lakinya itu benar-benar seorang pengecut. Juga anak
yang dipakainya sebagai kedok itupun tidak dapat berbuat
apa-apa. Karena itu, maka agaknya Macan Kajiman benarbenar
harus mempergunakan kekerasan"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun yang
seorang lagi tertawa sambil berkata "Suatu kesempatan
yang baik untuk mencari perbandingan ilmu. Selebihnya,
padepokan itu tentu memiliki sesuatu yang menarik selain
anak perempuan Ki Selabajra itu. Mungkin emas, mungkin
selaka, mungkin pusaka-pusaka yang berharga"
Tiba-tiba saja kawan-kawannyapun tertawa tertahan.
Yang seorang berdesis "Bagi Macan Kajiman, yang penting
adalah gadis itu saja, meskipun ia sudah mempunyai lebih
dari sepuluh istri "
Ketiga orang adik seperguruan Gagak Branang itu
hampir tidak dapat menahan suara tertawanya. Namun
untunglah, bahwa suara itu tidak terdengar dari dalam
halaman yang sedang dicengkam oleh ketegangan.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di pendapa
padepokan Kenanga itu bagaikan telah dipanggang di atas
api. Makerti yang sejak semula hanya berdiam diri saja,
tidak lagi dapat menahan diri.
Tetapi ketika ia siap untuk meloncat, Ki Selabajra telah
menggamitnya sambil berbisik "Orang itu bukan lawanmu"
"Tetapi jantungku bagaikan retak guru" desis Makerti.
Ki Selabajra menggelengkan kepalanya. Bahkan ketika
Gemak Werdi bergeser, iapun menggeleng lemah.
"Aku akan turun ke halaman" desis Ki Selabajra.
Dengan dada tengadah, maka Ki Selabajrapun kemudian
melangkah ke tangga pendapa. Tetapi langkahnya tertahan
ketika Ki Watu Kendeng meloncat kesampingnya sambil
berkata "Ki Kenanga. Jangan kau hadapi anak itu seorang
diri" "Kenapa?" "Ia memiliki ilmu iblis"
"Apapun yang akan terjadi Ki Watu Kendeng, aku
adalah ayah dari gadis yang dikehendakinya dengan
kekerasan. Aku harus mempertahankannya sampai
kemampuanku yang terakhir"
"Kemarilah" teriak Gagak Branang "jika kau ingin mati,
turunlah ke halaman"
"Aku akan menyertainya" diluar dugaan Ki Watu
Kendeng berteriak "akulah yang menyebabkan keonaran ini
terjadi. Jika aku tidak datang melamar anak Ki Selabajra,
maka tidak akan terjadi seperti ini. Karena itu, biarlah aku
menebus kesalahan ini dengan mempertaruhkan hidupku
bersama Ki Selabajra"
"Pengerut, minggirlah kakang" Teriak Gagak Branang
"aku masih merasa segan membunuh saudara kandung
meskipun aku tahu tingkat kemampuanmu"
"Aku mengerti, bahwa tingkat kemampuanmu adalah
tingkat kemampuan iblis. Tetapi panggilan nuraniku
memaksa aku untuk melibatkan diri dalam pertempuran ini.
Mungkin aku dari Ki Selabajra masih belum dapat
mengimbangi kemampuanmu. Tetapi di sini ada beberapa
orang murid padepokan Kenanga dan beberapa orang
murid Watu Kendeng. Betapapun tinggi ilmumu beserta
seorang pengiringmu itu, namun kau tidak akan mampu
melawan kami yang lebih dari sepuluh orang ini"
Gagak Branang tertawa. Katanya "Apa artinya sepuluh
orang itu bagiku dan bagi pengiringku. Bahkan mungkin
masih ada orang lain yang akan membantuku. Kalian akan
segera terkapar mati. di halaman padepokan ini, sementara
aku akan membawa gadis Kenanga itu"
Ketegangan di halaman itupun sudah memuncak. Ketika
Ki Kenanga dan Ki Watu Kendeng turun ke halaman,
maka setiap orang telah berloncatan turun pula.
"Kita akan bertempur bersama-sama" teriak Ki Watu
Kendeng "aku mengerti, apa yang dapat dilakukan oleh
iblis itu" Gagak Branang tertawa keras-keras. Semakin lama
menjadi semakin keras. Diantara derai tertawanya
terdengar ia berkata "Kalian mulai berputus asa. Baik. Aku
mengakui, bahwa aku tidak akan dapat melawan sepuluh
orang sekaligus. Tetapi aku tidak sendiri. Aku datang
berdua dengan pengiringku. Nah, dengan demikian, kalian
tidak akan dapat melawan aku. Apalagi jika saudarasaudara
seperguruanku datang pula saat ini"
"Jangan menakut-nakuti" desis Ki Watu Kendeng "kau
memang hanya berdua"
Sementara itu, salah seorang dari ketiga orang saudara
seperguruan Gagak Branang berkata "Ia sudah menyebut
kita bertiga" "Jika demikian, marilah. Apa yang kita tunggu lagi?"
sahut yang lain. Yang seorang terdiam sejenak. Namun kemudian
Katanya "Marilah Kita meloncat dinding"
"Tunggu" desis yang lain "aku akan mempersiapkan diri
untuk tertawa. He, bukankah dengan tertawa kita akan
menjadi semakin garang?"
"Suara tertawamu jelek. Biar aku sajalah yang tertawa
Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 2 Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Pendekar Latah 8
^