Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 28

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 28


masih sempat meneriakkan satu pesan kepada semua orang
yang datang bersamanya menyerbu padepokan Kenanga
itu. Katanya "Sebentar lagi matahari akan semakin turun.
Kita harus segera menyelesaikan tugas kita. Demikian gelap
turun, kita akan membuat obor yang maha besar.
Padepokan ini akan menjadi karang abang"
Semua orang yang berada di padepokan itu
mendengarnya. Bahkan ketika Ki Dukut mengulangi
pesannya, rasa-rasanya setiap jantung di dalam dada, telah
rontok karenanya. Agaknya Ki Dukut tidak sekedar
berteriak begitu saja. Namun ia telah berusaha
mempengaruhi seluruh medan itu dengan suaranya"
Mahisa Bungalanpun merasakan getaran yang
menghentak di dadanya lewat suara Ki Dukut Karena itu,
iapun segera menyadari, bahwa Ki Dukut benar-benar
seorang yang pilih tanding.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun menjadi
heran, kenapa kedua pamannya masih belum nampak hadir
menghadapi Ki Dukut yang menjadi semakin marah
melihat kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan
Wiranata tidak seperti yang diharapkannya.
Ketika Mahisa Bungalan mengangkat wajahnya, ia
melihat, matahari memang menjadi semakin rendah.
Sebentar lagi, senja akan segera turun.
"Berapa lama pertempuran ini sudah berlangsung?"
bertanya Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, Ki Dukut masih berkata lantang "Kita
sudah terlalu banyak membuang waktu. Kita telah menyianyiakan
waktu di luar padepokan. Kita sudah kehilangan
banyak waktu untuk mencari pelindung dari serangan anak
panah. Kemudian kita kehilangan waktu pula dengan
tingkah laku yang menjemukan dari orang-orang yang tidak
berarti sama sekali, yang merasa dirinya mampu
menghancurkan padepokan ini. Bahkan Marwantaka dan
Wiranatapun tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi
anak muda itu. Aku kira aku akan dapat menjadi penonton
sampai saatnya api akan menyala, karena aku ingin
membunuh orang-orang ini justru pada saat terakhir. Tetapi
ternyata aku menunggu dengan sia-sia. Karena itu, aku
akan berbaat sendiri, sesuai dengan keinginanku"
Kata-kata itu memang mendebarkan. Agaknya Ki Dukut
sudah benar-benar kehilangan kesabaran.
Namun dalam pada itu, ketika Ki Dukut sudah siap
menyerang kedua orang pemimpin padepokan itu, ia sekali
lagi tertegun. Sekali lagi ia mendengar keluhan tertahan.
Ternyata yang terlempar dari arena adalah justru
Marwantaka sendiri. Dari pundaknya mengalir darah.
"Gila" langkah Ki Dukut terhenti lagi "apa artinya
segala yang pernah kau katakan dengan mulutmu yang
besar. Berdua dengan Wiranata kau tidak mampu
membunuh anak itu. Tetapi belum lagi terdengar jawaban, jantung Ki Dukut
bagaikan meledak ketika ia melihat Wiranatalah yang jatuh
terguling sambil mengaduh. Lambungnya ternyata telah
tersayat senjata Mahisa Bungalan.
Sementara itu, para pengikutnya menjadi gelisah.
Seorang kawan Marwantaka, yang merasa dirinya memiliki
kemampuan setingkat dengan anak muda itu, telah
membawa dua orang pengikutnya untuk menghadapi
Mahisa Bungalan. Tetapi ternyata beberapa saat kemudian,
mereka harus sudah berloncatan surut, karena tekanan
Mahisa Bungalan yang tidak terlawan.
Matahari sudah menjadi semakin rendah. Sementara itu
Witantra tidak tahu, kenapa Mahisa Agni masih belum
nampak mendekati Ki Dukut yang tentu akan sangat
berbahaya bagi Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng.
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian Ki Dukut yang
sudah tidak mau lagi menjadi penonton yang meliat
pertunjukan yang semakin memuakkan, telah bergeser
maju. Ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun.
Namun ketika tangannya telah terkembang, terasa jantung
Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng berhenti berdetak.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan yang telah
berhasil menyingkirkan lawan-lawannya yang terpenting,
telah berlari mendekati Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng
yang telah bersiap dengan senjata masing-masing.
"O" berkata Ki Dukut "kaupun akan mati bersama
dengan kedua tikus ini"
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Namun ia sadar,
bahwa Ki Dukut justru memusatkan perhatiannya
kepadanya, karena Ki Dukut mengetahui bahwa yang
terkuat diantara mereka adalah Mahisa Bungalan.
Ternyata Witantralah yang tidak sampai hati
membiarkan segalanya terjadi. Ketika Ki Dukut benarbenar
telah mulai bergeser, Witantra sudah berada tidak
terlalu jauh dari padanya.
Namun ternyata pada saat itu, Mahisa Agnipun telah
berada di antara dua orang cantrik yang lain yang masih
bertempur melawan orang-orang yang menyerang
padepokan itu. Pada serangan pertama, Ki Dukut nampaknya masih
belum bersungguh-sungguh. Ia sekedar menggerakkan
tangannya mengarah ke kening Mahisa Bungalan. Namun
Mahisa Bungalan bergeser surut sambil menebas kearah
tangan Ki Dukut itu. Gerak Mahisa Bungalan cukup cepal. sehingga Ki Dukut
yang menarik tangannya itu bergumam "Bagus. Gerakmu
cukup cepat. Tetapi kematianmupun akan cepat.
Belum lagi Ki Dukut melanjutkan rencananya untuk
membunuh, Ken Padmi telah berada di sebelah ayahnya.
Katanya "Kita hampir selesai ayah. Semua lawan telah
hampir tumpas" Kata-kata itu memang terpengaruh terhadap Ki Dukut.
Namun ia berkata "Kalianpun akan segera tumpas. Kau
lihat, masih ada beberapa tikus clurut yang bertempur.
Ken Padmi tidak menjawab. Namun ketika Ki Dukut
tiba-tiba saja menyerangnya, iapun masih sempat meloncat
surut. Sementara itu, Mahisa Bungalan tidak tinggal diam. Jika
Ki Dukut melangkah dengan serangan berikutnya, mungkin
sekali Ken Padmi akan mengalami kesulitan. Karena itu,
maka Mahisa Bungalanlah yang kemudian menyerang Ki
Dukut dengan senjatanya yang terjulur lurus ke arah
dadanya. Ki Dukut terkejut melihat kecepatan gerak Mahisa
Bungalan. Ia mengerti bahwa anak muda itu mempunyai
kelebihan. Tetapi ia tidak mengira bahwa ia sempat
bergerak secepat itu. Sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah mendapat
tuntunan ilmu dari Mahisa Agni, dari Witantra selain
ayahnya sendiri, iapun mendapat beberapa petunjuk yang
dapat mengungkit kemampuannya lebih tinggi lagi dari Ki
Wastu. Ki Wastulah yang membuat tubuhnya menjatfi
sangat ringan dalem gerak-gerak tertentu, sehingga seolaholah
tidak mempunyai bobot lagi. Dengan demikian maka
ia mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi
jika dikehendaki. Ki Dukut yang memang ingin memburu Ken Padmi
itupun harus mengurungkan niatnya. Ia harus menghindari
serangan Mahisa Bungalan yang demikian cepatnya.
Sikap Mahisa Bungalan itu seolah-olah telah
membangunkan Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng yang
berdiri termangu-mangu. Merekapun segera bergeser,
menempatkan diri dalam kesiagaan sepenuhnya
menghadapi Ki Dukut Pakering.
Ki Dukut yang marah itu, memusatkan perhatiannya
kepada Mahisa Bungalan. Ia menganggap bahwa anak
muda itu akan dapat menjadi penghambat untuk
melakukan rencananya. Dengan atau tidak dengan
Marwantaka dan Wiranata, Ki Dukut ingin membakar
padepokan itu menjadi abu.
"Dalam gelapnya malam, api akan nampak semakin
garang" berkata Ki Dukut di dalam hatinya.
Sementara itu, Marwantaka dan Wiranata yang terluka,
tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat
melihat, apa yang akan dilakukan oleh Ki Dukut.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Ki Dukut
melawan keempat lawannya itupun menjadi semakin seru.
Bersama Mahisa Bungalan, maka Ki Selabajra, Ki Watu
Kendeng dan Ken Padmi ternyata merupakan lawan yang
tidak dapat dianggap sekedar angin yang lewat, menyentuh
kulit dan hilang tidak berbekas. Tetapi keempatnya ternyata
telah memaksa Ki Dukut untuk meningkatkan ilmunya.
Bahkan semakin lama rasa-rasanya Mahisa Bungalan
menjadi semakin garang. Anak muda itu bergerak semakin
cepat, sedangkan kekuatannyapun menjadi semakin
meningkat pula. Sebenarnyalah menghadapi Ki Dukut, Mahisa Bungalan
telah mengerahkan segenap ilmunya, la lelah benar-benar
bertempur dalam tataran kemampuannya yang tertinggi. Ia
tidak lagi berada di arena melawan Ken Padmi. Tidak pula
melawan para cantrik dan bahkan lawannya bukan
Marwantaka dan Wiranata. Dalam tataran tertinggi dari ilmunya, maka Mahisa
Bungalan lelah menunjukkan kemampuannya yang
sebenarnya. Meskipun ia berhadapan dengan Ki Dukut
Pakering yang ditakuti itu, namun Mahisa Bungalan masih
juga mampu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu yang
tinggi pula. Pada saat ia bertempur melawan muridnya yang muda,
adik Pangeran Kudu Padmadala. ia berhasil
mengalahkannya. Namun pada saal itu, bukau berarti
bahwa ia akan dapat menghadapi gurunya.
Tetapi pada saat-saat berikutnya, ia mendapat bekal dari
orang-orang yang dianggapnya sebagai gurunya untuk
menyempurnakan ilmunya, bahwa Ki Wastu lelah pula
mewariskan kemampuannya pula, sehingga ilmu Mahisa
Bungalanpun telah meningkat pula.
Karena itulan, maka ia telah berhasil menempatkan
dirinya sebagai lawan Ki Dukut yang harus diperhitungkan.
Dalam pada itu, pada saat-saat permulaan dari
pertempuran itu, Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng dan Ken
Padmi masih dapat membantunya. Namun dalam langkahlangkah
selanjutnya, mereka bertiga menjadi bingung,
sehingga justru karena itu, merekapun telah bergeser dari
arena. Witantra yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena itu
menarik nafas dalam-dalem. Baru ia tahu maksud
sebenarnya dari Mahisa Agni. Ia nampaknya sengaja
membiarkan Mahisa Bungalan bertempur melawan Ki
Dukut Pakering. Agaknya Mahisa Agni yakin, bahwa
Mahisa Bungalan akan turun jika Mahisa Agni dan
Witantra tidak segera menempatkan diri sebagai lawan Ki
Dukut Pakering. Agaknya Mahisa Agni memang ingin menunjukkan
kepada orang-orang padepokan Kenanga dan Watu
Kendang, kemampuan anak muda itu yang sebenarnya.
Mahisa Bungalan tidak sekedar mampu mengalahkan Ken
Padmi di arena. Bahkan malahan ada yang menyangka,
bahwa Ken Padmi yang memang sudah menaruh hati
kepada Mahisa Bungalan, telah dengan sengaja
membiarkan dirinya kalah. Meskipun ia berpura-pura tidak
dapat menahan perasaannya dengan menarik pedang, tetapi
sebenarnyalah bahwa ia telah dengan sengaja mengalah.
Ternyata pertempuran antara Mahisa Bungalan dan Ki
Dukut itu telah menghapus segala kesan yang kurang baik
atas Mahisa Bungalan. Kecuali ia berhasil mengalahkan
Marwantaka dan Wiranata sekaligus, iapun dapat
menempatkan dirinya sebagai lawan yang harus
diperhitungkan oleh Ki Dukut Pakering, yang dikenal
sebagai hantu yang memiliki ilmu tidak ada batasnya.
Pertempuran itu semakin lama manjadi semakin sengit.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin buram, karena
matahari telah hampir tenggelam di balik cakrawala.
Ken Padmi yang kemudian berdiri di luar arena menjadi
berdebar-debar. Namun iapun dapat berbangga, bahwa
orang yang telah mengalahkannya adalah benar-benar
orang berilmu tinggi. Dalam pada itu, mataharipun menjadi semakin rendah,
sehingga akhirnya hilang dibalik cakrawala. Langit yang
buram itupun menjadi hitam.
Perlahan-lahan padepokan Kenanga itupun menjadigelap.
Namun pertempuran antara Ki Dukut dan Mahisa
Bungalan itupun semakin lama menjadi semakin sengit.
Namun ketika Ki Dukut sampai ke puncak ilmunya,
ternyata bahwa Mahisa Bungalan masih belum dapat
mengimbanginya. Semakin lama menjadi semakin nampak,
terutama di mata Mahisa Agni dan Witantra, bahwa
Mahisa Bungalan menjadi semakin terdesak.
Apalagi karena Ki Dukut yang marah itu melihat satu
kenyataan, bahwa para pengikut Marwantaka dan Wiranata
sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Mereka telah
menyerah dan sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu di
hadapan para cantrik dari padepokan Kenanga yang
menjaga mereka dengan seksama.
"Kalian akan menyesal" geram Ki Dukut sambil
menekan Mahisa Bungalan semakin tajam. Bahkan
akhirnya Ki Dukut itupun berkata "Kau memang tidak tahu
diri. Kau sangka kau akan mampu menahan ilmu
pamungkasku" Dengan demikian kedudukan Mahisa Bungalan benarbenar
menjadi gawat. Meskipun Mahisa Bungalan mampu
melawan Ki Dukut dengan kecepatan ilmu pedangnya.
Namun jika Ki Dukut benar-benar melepaskan ilmu
pamungkasnya, maka senjata di tangan Mahisa Bungalan
itupun tidak akan berarti sama sekali.
Namun dalam pada itu, ketika keadaan manjadi semakin
gawat, tiba-tiba saja Mahisa Agni telah berada di pinggir
arena perkelahian itu. Katanya "Ki Dukut. Semua orangorangmu


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menyerah. Apakah kau tidak akan
menyerah?" Gelapnya malam teiah menyelubungi seluruh
padepokan. Yang nampak pada Ki Dukut adalah seorang
cantrik tua yang telah berani menghinanya. Karena itu,
maka tanpa menjawabnya, ia bermaksud membunuh
cantrik itu dengan sekali sentuh.
Sebenarnyalah bahwa jika yang dihadapi oleh Ki Dukut
itu benar-benar seorang cantrik padepokan Kenanga, maka
ia akan mati tersentuh tangan Ki Dukut Pakering. Karena
tiba-tiba saja Ki Dukut yang marah itu bergeser dengan
kecepatan yang tidak dapat diketahui oleh tatapan mata
wadag sambil mengayunkan tangannya mengarah ke leher
cantrik tua itu. Jari-jari Ki Dukut itu akan dapat menembus
lehernya sehingga sentuhan itu akan berakibat kematian
Tetapi sekali lagi Ki Dukut terkejut. Tangannya itu sama
sekali tidak manyentuh sesuatu. Cantrik itu yang oleh mata
wadag tidak nampak bergerak sama sekali itu, ternyata
mampu menghindari serangannya yang tiba-tiba itu.
Bahkan jantung Ki Dukut itupun akan meledak ketika ia
mendengar seorang cantrik tua yang lain tertawa sambil
berkata "Apa yang kau lakukan Ki Dukut. Apakah kau kira
kau dapat manangkap angin?"
Kemarahan Ki Dukut tidak terkendali lagi. Sekali lagi ia
meloncat dengan kecepatan yang tidak dapat dilihat oleh
mereka yang menyaksikan pertempuran itu. Tangannya
menebas ke arah cantrik tua yang mentertawakannya itu,
langsung kearah dada. Tetapi dada itu tidak menjadi remuk karenanya, dan
tulang-tulang iga itu tidak berpatahan, karena tangan ki
Dukut sama sekali tidak menyentuh apapun.
Ki Dukutpun sadar, dengan siapa sebenarnya ia
berhadapan. Ternyata ada beberapa orang yang memiliki
ilmu yang luar biasa berada di padepokan Kenanga.
Agaknya karena itu pula maka para pengikut Marwantaka
dan Wiranata sama sekali tidak berdaya menghadapi
cantrik-cantrik padepokan Kenanga, karena diantara para
cantrik itu terdapat orang-orang yang sebenarnya pasti
bukan cantrik yang sewajarnya.
Dalam pada itu, terdengar cantrik tua yang pertama
itupun berkata "Sudahlah Ki Dukut. Menyerah sajalah. Ki
Selabajra dan Ki Watu Kendeng tentu tidak akan
menghukum kalian, karena mereka memang tidak
berwenang. Yang dapat mereka lakukan adalah
menyerahkan kau kepada orang yang paling berkepentingan
dengan kau. Pangeran Kuda Padmadata"
"Gila, siapa kau sebenarnya?" bertanya Ki Dukut
"Sudah kenal atau belum kenal, baiklah aku menyebut
namaku, Mahisa Agni" jawab Mahisa Agni.
"Dan kau?" bertanya Ki Dukut kepada cantrik yang lain.
"Witantra" jawab Witantra "Deberapa kali kita
bersentuhan. Langsung atau tidak langsung"
"Persetan" geram Ki Dukut "apa hubungan kalian
dengan Kuda Padmadata?"
"Bukan apa-apa. Tetapi menangkapmu adalah
kewajibanku. Kami berdua adalah prajurit Singasan" jawab
Mahisa Agni. Ia langsung menyebut tentang dirinya agar
dapat mempengaruhi jalan pikiran Ki Dukut, sehingga
mungkin Ki Dukdut akan mengambil satu kebijaksanaan.
Setidak-tidaknya, Ki Dukut tidak akan terlalu merasa
terhina jika ia harus melawan. Bukan sekedar seorang
cantrik tua, tetapi seorang prajurit Singasari.
Sebenarnyalah, Ki Dukut mulai memperhatikan kedua
orang cantrik tua itu. Ada semacam perasaan lain setelah ia
mengetahui bahwa kedua orang itu sebenarnya adalah
prajurit Singasari. Yang menjadi berdebar-debar bukan hanya Ki Dukut
sendiri, karena ternyata orang-orang yang berdiri di sekitar
arena itupun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata kedua
orang itu adalah prajurit Singasari. Tentu bukan dari tataran
yang rendah. Sejenak arena pertempuran itu dicengkam oleh
ketegangan. Dengan demikian halaman padepokan
Kenanga yang hiruk pikuk itu telah menjadi hening. Seolaholah
suasananya telah menjadi beku.
Namun sejenak kemudian terdengar Ki Dukut Pakering
itu tertawa menggelegar mengguncang udara diseputarnya.
Terasa betapa suara tertawa Ki Dukut itu mencengkam
jantung. Setiap orang merasa seolah-olah dada mereka telah
dihantam oleh batu sebesar gunung
Mahisa Agni dan Witantra merasakan pula getaran itu
menyentuh dinding dadanya Tetapi bagi keduanya getaran
itu tidak berarti apa-apa karena daya tahan mereka.
Sementara itu Mahisa Bungalan masih juga harus
menangkis serangan itu dengan kekuatan dar dalam dirinya,
agar jantungnya tidak terguncang karenanya.
Ki Selabajra, Ki Watu Kendeng, bahkan Ken Padmi dan
apalagi para cantrik dari padepokan Kenanga, harus
menekan dada mereka dengan telapak tangan mereka, agar
dada mereka tidak pecah karenanya.
Dalam pada itu, Mahisa Agnipun bergeser setapak
sambil berkata "Jangan menjadi putus asa Ki Dukut. Kau
berusaha untuk membunuh seisi padepokan ini dengan cara
yang sangat mengerikan ilu"
Disela-sela suara tertawanya terdengar Ki Dukut itu
berkata "Matilah kalian semuanya. Aku tidak peduli,
apakah kalian orang-orang padepokan Kenanga atau orangorang
yang justru sedang menyerang padepokan ini. Mayat
kalian akan memenuhi halaman padepokan ini. Namun,
sebentar lagi, padepokan ini akan menjadi lautan api. Sisa
mayat kalianpun akan berbaur dengan bara dan abu dari
bangunan-bangunan yang ada di padepokan ini"
"Kau dapat berbuat demikian jika orang-orang yang ada
di sini telah menjadi putus asa seperti kau sendiri" desis
Witantra "tetapi aku masih ada di sini. Mahisa Agni dan
Mahisa Bungalan masih di sini pula. Adalah menjadi
kewajiban kami untuk mengakhiri nermainanmu yang kasar
itu" Ki Dukut masih tertawa. Suaranya masih menggetarkan
udara di sekitarnya. Bahkan setiap jantung bagaikan
berhenti ketika Ki Dukut itu berteriak "Aku akan
membunuh semua orang dengan cara yang menarik ini.
Bersedialah untuk mati"
"Kau kira kami adalah anak-auak dungu yang tidak tahu
diri" sahut Mahisa Agni sambil bergeser mendekat. Lalu "
Bukankah aku dapat langsung membungkam sumber dari
suara yang kasar dan buas ini?"
Ki Dukutpun menyadari. Tetapi ia ingin mendahuluiuya.
Karena itu justru suaranya menghentak semakir dahsyat.
Bahkan beberapa orang yang mendengar suart itu menjadi
semakin lemah, dan satu dua diantara merekg menjadi
pingsan. Tetapi Mahisa Agni tidak membiarkannya. Jika Ki
Dukut itu masih mendapat kesempatan lebih lama lagi.
orang-orang yang berada di halaman itu akan menjadi
pingsan semuanya. Bahkan Ki Selabajra dan Ki Watu
Kendengpun tidak akan dapat bertahan.
Karena itu, maka Mahisa Agni itupun bergeser semakin
mendekat. Ki Dukut adalah orang yang sudah lama diburu
bukan saja oleh muridnya Pangeran Kuda Padmadata,
tetapi ia sendiri sependapat bahwa orang itu harus
ditangkap, dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Bahkan telah banyak terbuang waktu dan korban selama
masa perburuan itu berlangsung. Karena itu, adalah satu
kesempatan, bahwa Ki Dukut itu telah datang dengan
sendirinya untuk menemuinya.
"Ki Dukut" berkata Mahisa Agni "aku mohon kau
menyadari keadaanmu. Aku tahu bahwa selama ini kau
mengalami goncangan-goncangan perasaan, sehingga kau
seolah-olah telah berubah dari kenyataanmu sebelumnya.
Kau menjadi orang lain dari Ki Dukut Pakering yang
pernah menjadi guru Pangeran Kuda Padmadata. Karena
itu, pada saat-saat terakhir seperti ini, aku berharap bahwa
Ki Dukut masih sempat untuk mengerti tentang diri
sendiri" Tetapi suara Ki Dukut itu justru semakin menghentakhentak.
Beberapa orang cantrik lagi telah jatuh pingsan.
Karena itu, agaknya tidak ada jalan lain lagi yang dapat
ditempuh oleh Mahisa Agni kecuali dengan menghentikan
sumber bunyi yang mengandung kekuatan yang dahsyat itu.
"Ki Dukut" gumam Mahisa Agni kemudian "aku sudah
siap untuk melawanmu. Jangan bangga karena kau dapat
menidurkan beberapa orang cantrik kecil. Tetapi
pandanglah aku yang mengemban tugas dari Singasari
untuk menangkapmu atas laporan dari Pangeran Kuda
Padmadata di Keiliri, bahwa kau teler membahayakan
ketenangan hidup orang banyak. Dan sekarang aku telah
melihat sendiri, bahwa kau adalah benar-benar orang yang
berbahaya" Ki Dukut tidak menghiraukan. Ia benar-benar ingin
meneriakkan lagu maut itu sampai tuntas.
Namun Mahisa Agni tidak membiarkannya lebih lama
lagi ia berteriak dan tertawa. Karena itu, maka tiba-tiba saja
Mahisa Agni telah meloncat maju. Tangannya terjulur lurus
mengarah ke dada orang itu. Ia memang tidak ingin
langsung menghancurkan tulang-tulang iga Ki Dukut yang
bagaikan gila itu. Namun ia ingin mempengaruhinya untuk
menghentikan suara tertawa dan teriakan-teriakannya yang
mampu membuat orang lain menjadi pingsan.
Dalam pada itu, Ki Dukut yang semula menganggap
bahwa Mahisa Agni hanya sekedar menakut-nakutinya itu
terpaksa bergeser pula. Telapi kemarahan yang sudah
memuncak, telah mendorongnya untuk langsung berbuat
sesuatu atas Mahisa Agni.
Meskipun ia tidak dapat melakukan kedua serangan
bersama-sama atas Mahisa Agni dan atas orang-orang yang
berada di halaman itu dengan suara tertawa dan teriakanteriakannya,
namun ia memperhitungkan, bahwa apabila
Mahisa Agni telah dilumpuhkan, maka orang-orang lain
tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Karena itu, maka pematian selanjutnya diarahkannya
kepada Mahisa Agni, dan iapun tidak boleh lengah atas
orang yang menyebut dirinya Witantra di samping Mahisa
Bungalan. Dengan garangnya maka Ki Dukutpun segera
menyerang Mahisa Agni. Tetapi Mahisa Agni lelah bersiaga
sepenuhnya. Karena itu, maka serangan pertama Ki Dukut
itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Namun Ki Dukutpun lelah menyerang pula untuk kedua
kalinya. Lebih cepat dan lebih mapan.
Meskipun demikian, serangannya itupun sama sekali
tidak menyentuh sasarannya. Mahisa Agni meloncat ke
samping selangkah. Namun Ki Dukutpun memburunya.
Dengan ilmunya yang tinggi tangannya telah terayun meng
arah ke pundak lawannya. Sekali lagi Mahisa Agni harus menghindar. Tetapi ia
tidak mau. sekedar harus menghindar dan meloncat
menjauh. Karena itu, maka sambil menghindari serangan
lawan, maka iapun telah menyerangnya pula.
Demikian tangan Ki Dukut menyambar pundaknya,
maka Mahisa Agnipun memiringkan tubuhnya sambil
menarik sebelah kakinya. Namun yang tiba-tiba saja ia telah
meloncat dan menyerang perut lawannya dengan kakinya.
Tetapi Ki Dukutpun mampu bergerak secepat Mahisa
Agni. Karena itu, maka kaki Mahisa Agni itupun tidak
mengenainya. Perkelahian itupun semakin lama menjadi semakin cepat
dan keras. Ki Dukut semakin bernafsu untuk segera
mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia sadar, bahwa
agaknya kawan-kawan Mahisa Agni tidak ingin
membantunya, sehingga yang terjadi itupun seolah-olah
adalah perang tanding. Sebenarnyalah, mereka yang tidak sedang mengawasi
orang-orang yang sudah dilumpuhkan dan menyerah,
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebar-debar. Bahkan Mahisa Bungalanpun menjadi
tegang. Ia melihat keduanya semakin lama menjadi
semakin cepat, sehingga semakin sulit untuk diikuti.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang telah bertempur
seorang melawan seorang dengan Ki Dukut itu, agaknya
tidak hanya akan mempergunakan tenaga wadagnya saja.
Demikian halnya dengan Ki Dukut yang memiliki
kemampuan yang luar biasa. Bukan saja pada kekuatan
wadag, tetapi juga kekuatan yang terpancar dengan
kekuatan getar di dalam dirinya yang mampu melontarkan
tenaga dengan kekuatan wadag yang sangat besar, di
samping sentuhan-sentuhan langsung pada pusat-pusat
syaraf lawannya, dengan rabaan wadag atau bukan wadag.
Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi
semakin keruh dan membingungkan. Kadang-kadang gerak
mereka menjadi sangat lamban. Namun terasa, lontaranlontaran
tenaga yang tidak kasat mata sedang bertarung
dengan dahsyatnya. Witantra menyaksikan pertempuran itu dengan seksama.
Iapun melihat, betapa tingginya ilmu Ki Dukut Pakering.
Sementara itu Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng sudah
tidak mampu lagi menilai pertempuran yaug sedang
berlangsung itu. "Apa yang akan terjadi dengan kita berdua jika kita
benar-benar harus melawannya" desis Ki Selabajra ditelinga
Ki Watu Kendeng. Ki Watu Kendeng menarik nafas dalam-dalam. Ki
Dukut benar-benar oraug yang memiliki kemampuan
seperti yang pernah didengarnya. Ia seolah-olah
mempunyai kekuatan diluar jangkauan nalar manusia,
sehingga ada yang menyebutnya, bahwa ia mempunyai
landasan kekuatan dari mahluk-mahluk yang tidak kasat
mata. Tetapi dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni itupun
mampu mengimbanginya. Orang yang datang bersama


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Bungalan dan disebutnya sebagai pamannya itu
ternyata seorang yang memiliki kemampuan setingkat
dengan Ki Dukut. Namun Ki Selabajra dan Ki Watu Kendengpun menjadi
khawatir. Apakah orang yang bernama Mahisa Agni dan
mengaku prajurit Singasari itu yakin bahwa dirinya akan
menang, sehingga dengan demikian, kawannya, Witantra,
tidak ikut membantunya sama sekali. ]ika Mahisa Agni itu
dapat dikalahkan oleh Ki Dukut, apakah Witantra akan
dapat mengimbanginya. Tetapi Ki Selabajra tidak bertanya. Jika keduanya sudah
mengaku prajurit Singasari, maka yang mereka lakukan itu
tentu akan dapat dipertanggung jawabkan terhadap
Maharaja di Singasari. Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin seru.
Namun dalam pada itu, arena pertempuran itupun telah
menjadi berserakan. Pepohonan yang tersentuh kekuatan
kedua orang itu berpatahan.
Ken Padmi menyaksikan pertempuran itu dengan tanpa
berkedip. Ketika Mahisa Agni itu memperlihatkan beberapa
kelebihan, ia sudah menjadi keheranan sebelum ia bersedia
dibimbing oleh Mahisa Agni itu dalam olah kanuragan,
sehingga ia dapat mengalahkan Marwantaka dan Wiranata.
Namim kini ia melihat Mahisa Agni itu seutuhnya. Melihat
ilmunya yang maha dahsyat. Bukan saja seperti permainan
anak-anak yang tidak berarti, di saat-saat terjadinya
sayembara tanding. "Bagaimana perasaannya yang sebenarnya ketika ia
melihat aku bertempur melawan Marwantaka dan
kemudian Wiranata?" bertanya Ken Padmi ke dalam
dirinya sendiri. Tersirat perasaan malu dan menyesal atas
ke sombongannya, sehingga iapun telah menantang Mahisa
Bungalan untuk memasuki arena.
Dalam pada itu, Ki Dukut benar-benar telah sampai
kepuncak ilmunya. Tangannya telah berubah seakan-akan
menjadi bara yang menyala di dalam gelapnya malam.
Setiap sentuhan akan berarti hangus ditubuh lawannya.
Namun tangan Ki Dukut tidak pernah dapat menyentuh
Mahisa Agni yang bertempur dangan kecepatan angin
pusaran. Jika ia melihat lawannya, maka tangan Ki Dukut
yang seolah-olah membara itu bagaikan kemamang yang
terbang berputaran mengitari Mahisa Agni. Namun dalam
kecepatan geraknya, tubuh Mahisa Agni bagaikan tinggal
sebuah bayangan yang nampak tetapi tidak teraba karena.
Sehingga dengan demikian maka Mahisa Agnilah yang
kemudian lebih banyak mengenai tubuh Ki Dukut dengan
sentuhan-sentuhan kekuatan raksasa. Betapa kuat daya
tahan tubuh Ki Dukut, namun sentuhan-sentuhan itu
akhirnya terasa juga sakit.
Dalam pada itu, kemarahan Ki Dukut semakin
memuncak pula. Dengan demikian, maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Yang
kemudian bagaikan membara bukan saja tangannya, tetapi
hampir seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian, Ki
Dukut mengharap bahwa lawannya tidak akan berani lagi
menyentuh tubuhnya, agar tangannya tidak terbakar oleh
panasnya ilmu yang terpancar dari tubuhnya itu.
Tetapi ternyata bahwa tangan Mahisa Agni, seolah-olah
telah menjadi kebal. Ilmu Ki Dukut itu sama sekali tidak
mempengaruhinya. Serangan Mahisa Agni masih beruntun
mengenai tubuhnya sehingga sekali-sekali Ki Dukut itu
menyeringai menahan sakit.
Karena itulah maka Ki Dukut tidak lagi memusatkan
perlawanannya kepada ilmunya yang dahsyat itu, karena
seolah-olah tidak banyak bermanfaat untuk menghadapi
Mahisa Agni. Sehingga dengan demikian maka Ki
Dukutpun kemudian memusatkan segenap tenaga dan
ilmunya untuk mengatasi kecepatan geraknya.
Nampaknya Ki Dukut berhasil dengan usahanya.
Sejenak kemudian, seolah-olah ia mampu mengimbangi
kecepatan gerak Mahisa Agni. lapun seolah-olah tidak lagi
berjejak di atas tanah. Tubuhnya melayang-layang dengan
cepatnya susul menyusul dengan tubuh Mahisa Agni,
sehingga keduanya seolah-olah hanyalah dua bayangan
yang saling berkejaran. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu jtidak lagi
dapat mengerti apa yang telah terjadi, kecuali Witantra dan
Mahisa Bungalan. Dengan berdebar-debar Witantra
menyaksikan dua kemampuan raksasa sedang bertempur
dengan garangnya. Keduanya adalah orang-orang berilmu
yang memiliki pengalaman yang sangat luas dan dalam.
Setiap kesalahan, betapapun kecilnya, akan dapat berakibat
gawat. Sementara itu, Ki Watu Kendeng dan Ki Selabajra, Ken
Padmi dan orang-orang yang menyaksikannya, tidak lagi
dapat menyebutkan apa yang sedang terjadi itu.
Sebenarnyalah pertempuran itu sudah melampaui benturan
tenaga wajar dalam lambaran ilmu yang tinggi. Masingmasing
memiliki kemampuan menggerakkan tenaga
cadangan dan bahkan menyerap kekuatan yang terselubung
pada diri masing-masing. Karena itu, maka pertempuran itupun merupakan
benturan dua ilmu yang sudah sampai pada tataran hampir
sempurna. Ki Dukut yang marah itu akhirnya tidak telaten lagi
dengan pertempuran yang seakan-akan tidak lagi akan
tarakhir. Apalagi dalam tahap-tahap berikutnya, masih juga
nampak bahwa Mahisa Agni memiliki kelebihan kecepatan
selapis tipis dari Ki Dukut Pakering. Karena itu, maka
dalam kejemuannya, bukan saja dalam pertempuran itu.
tetapi juga ungkapan dari endapan perasaannya dalam
keadaan yang paling kalut itu, kejemuannya pada
petualangan yang dilakukannya untuk waktu yang sudah
terlalu lama tanpa menghasilkan sesuatu, bahkan yang
dialaminya adalah kegagalan-kegagalan yang paling
memuakkan, maka Ki Dukut mengambil satu keputusan
untuk menentukan akhir dari pertempuran itu. Apapun
yang akan terjadi, hancur atau menghancurkan, ia akan
melepaskan ilmu pamungkasnya yang hampir tidak pernah
dipergunakan dalam petualangannya.
Namun menghadapi orang yang menyebut dirinya
prajurit Singasari itu, ia bertekad untuk menentukan,
apakah petualangannya itu akan berakhir atau berhasil.
Karena itu, maka pada saat-saat terakhir, Ki Dukut telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk berusaha
mengimbangi lawannya. Kemudian dengan tiba-tiba saja Ki
Dukut telah meloncat menjauhi Mahisa Agni.
Ketika Mahisa Agni akan memburunya, maka iapuh
terkejut melihat sikap Ki Dukut. Ki Dukut telah berdiri
miring sambil merendahkan tubuhnya, tangannya bagaikan
bergetar bersilang di depan wajahnya.
Mahisa Agnipun tidak sempat berpikir panjang. Iapun
telah melompat menjauhi lawannya. Dengan sikap mapan
ia menyilangkan tangannya di depan dadanya. Dengan
segenap daya kemampuannya lahir dan batin, ia telah
mengerahkan ilmu pamungkasnya, Gundala Sasra.
Dalam pada itu, Ki Dukut yang sudah memusatkan
segenap ilmu puncaknya, tiba-tiba telah berteriak nyaring.
Suaranya manggeletar bagaikan mengguncang langit.
Dengan loncatan yang panjang ia mengayunkan tangannya
langsung menghantam ke arah kepala Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Agnipun telah bersiap sebaik-baiknya. Ia
telah mengetrapkah ilmunya pula untuk melawan ilmu
puncak Ki Dukut Pakering.
Ketegangan yang memuncak telah mencengkam jantung
Witantra dan Mahisa Bungalan, sementara orang-orang lain
sudah tidak mampu lagi menilai apa yang bakal terjadi.
Ketika Ki Dukut mengayunkan tangannya, terasa seolaholah
jantung Witantra dan Mahisa Bungalan berhenti
berdetak. Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat
dahsyat dari dua kekuatan yang hampir tidak dapat dinilai.
Benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seluruh
padepokan Kenanga. Daun-daun telah berguguran dari
tangkainya. Bahkan rumah-rumah yang berdiri tegak di
lingkungan padepokan itupun bagaikan telah diguncang
oleh gempa. Demikianlah benturan itu ternyata telah melemparkan
Mahisa Agni beberapa langkah surut. Bahkan iapun telah
terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Terasa tulangtulangnya
bagaikan berpatahan, sementara dadanyapun
menjadi sesak. Malam rasa-rasanya menjadi semakin gelap
pekat dan bintang di langitpun rasa-rasanya telah
berputaran. Namun Maiafsa Agni masih mampu bangkit dan duduk
di tanah. Sesaat ia memusatkan segenap daya tahan
tubuhnya untuk mengalasi goiicangan yang terjadi pada
dirinya. Pada saat yang bersamaan, ternyata Ki Dukut Pakering
yang pernah menjadi guru dari Pangeran Kuda Padma Data
itu, telah terlempar pula. Kekuatan yang luar biasa, yang
tersalur pada hentakan pukulan tangannya, telah
membentur kekuatan yang tidak terduga pula. Karena itu,
maka kekuatan yang membentur kekuatan yang justru
melampaui kekuatannya itu seolah-olah lelah memental
dan memukul dirinya sendiri.
Bahkan kekuatan Mahisa Agni bukan saja kekuatan yang
bertahan, namun Mahisa Agni lelah menghentakkan
tangannya pula tepat pada saat benturan itu terjadi.
Dengan demikian, maka kekuatan yang ganda itu telah
menghantam bagian dalam tubuh Ki Dukut Pakering.
Demikian dahsyatnya hentakan kekuatan itu sehingga
betapapun tinggi daya tahan tubuh Ki Dukut Pakering,
namun ternyata ia tidak mampu melawan kekuatan ganda
yang memukul jantungnya. Rasa-rasanya jantung Ki Dukut itu telah terbakai di
dalam dadanya, sehingga detaknyapun telah terganggu
karenanya. Ki Dukut yang terjatuh beberapa langkah dari
benturan itu, sempat menggeliat. Dadanya serasa telah
pecah, dan tulang-tulangnya berpatahan.
Ketika Mahisa Agni perlahan-lahan dapat menguasai
perasaan sakitnya, maka Ki Dukut justru menjadi semakin
parah. Bahkan kemudian, dari mulutnya lelah lerdengar
desah tertahan-tahan. Witantra yang dengan serta merta berlari-lari mendekati
Mahisa Agni pada saat benturan terjadi, menjadi tenang
ketika ia melihat Mahisa Agni masih sempat bangkit dan
mengatur pernafasannya dan memusatkan daya. tahannya.
Justru karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Watu
Kendeng dan Ki Selabajra yang juga mendekati Mahisa
Agni bersama Mahisa Bungalan dan Ken Padmi
"Awasilah. Jangan diganggu"
Ki Selabajra mengangguk kecil. Sementara Witantra pun
lelah meninggalkan Mahisa Agni dan mendekati Ki Dukut
yang terbaring. "Ki Dukut" desis Wilanlra.
Terdengar nafas orang itu terengah-engah. Namun
sejenak kemudian, betapapun lirihnya, terdengar Ki Dukut
berkata "Bagaimana dengan prajurit itu?"
Witantra menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menjawabjapa
adanya "Ia berhasil bertahan"
Ki Dukut mengerang menahan-sakit-di selaruh
tubuhnya. Sementara beberapa orang telah mendekatinya.
Marwantaka dan Wiranata yang terlukapun berusaha untuk
mendekat. Sementara beberapa orang cantrik telah datang
sambil membawa obor-obor minyak.
Kesan Ki Dukut pada saat terakhir itu sangat
mengejutkan. Ternyata Ki Dukut yang sudah menjadi
sangat lemah itu berdesis "Jadi ia tidak mati?"
Witantra menggeleng sambil menjawab "Tidak Ki
Diikut" Witantra menjadi berdebar-debar. Tetapi iapun
kemudian mendengar Ki Dukut itu berdesis "Orang itu
memang luar biasa. Ilmunya melampaui segala ilmu yang
pernah aku pelajari. Sokurlah bahwa aku tidak
membunuhnya. Ia tidak boleh mati. Akulah yang
seharusnya mati" Ki Dukut berdesis. Nampak betapa sakit
tubuhnya. ketika Witantra berusaha membantunya, ia
berkata "Tidak ada gunanya. Biar sajalah aku mati. Aku
kira kematian adalah jalan yang paling baik. Aku sudah
jemu bertualang. Aku sudah jemu dengan segala macam
kegagalan yang aku alami. Lebih dari itu, aku menyesali
justru pada saat yang sudah terlambat"
"Tidak" jawab Witantra "belum terlambat. Kau dapat
menyatakan diri bahwa kau menyesali segala tingkah
Lakumu. Jika kau masih menyadari apa yang telah kau
lakukan, maka kau dapat bertaubat sekarang"
Nafas Ki Dukut semakin memburu. Tetapi ia masih
berusaha untuk berbicara " Apa itu mungkin?"
"Mungkin, mungkin sekali Ki Dukut" jawab Witantra.
Ki Dukut terdiam sejenak. Kemudian perlahan sekali ia
berdesis "Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa mengampuni
segala kesahihan yang pernah aku lakukan. Dosaku sudah
tukik terhitung lagi dan apakah masih ada ruang
pengampunan yang dapat menerima aku"
"Tentu" jawab Witantra "Tuhan Yang Maha Kuasa
adalah Yang Maha Pengampun"
"Aku mohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Kuasa"
ia berhenti sejenak. lalu "aku minta maaf kepada muridku.
Pangeran Kuda Padmadata. Apakah kau mau
mengatakannya" "Ya. Ya. Aku akan mengatakan" jawab Witantra.
"Apakah kau mau juga menyampaikan kepada Ki
Kasang Jati?" bertanya Ki Dukut.
"Akan aku sampaikan" jawab Witantra.
"Kami lelah bermusuhan sejak lama sekali. Sampaikan
kepadanya, aku sudah menghentikan sikap bermusuhan
itu" berkata Ki Dukut.
"Ya. ya. akan aku sampaikan" jawab Witantra.
"Kepada Ki Selabajra. kepada Watu Kendeng dari


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada siapa saja. Aku minta maaf" tetapi suaranya
menjadi semakin lambat. "Semuanya akan memaafkanmu Ki Dukut"
Di bawah cahaya obor nampak Ki Dukut tersenyum.
Kemudian terdengar ia berdesis "Terima kasih Ki Sanak.
Apakah kau salah seorang dari prajurit Singasari itu?"
"Ya, Ki Dikit" jawab Witantra.
"Kepergianku akan mengurangi gejolak. Terima kasih
atas perhatianmu pada saat terakhir" desis Ki Dikut.
Perasaan Witantra ternyata telah tersentuh juga. Pada
saat-saat Ki Dukut sampai ke Sang Penciptanya, maka ia
telah mengenali kembali dirinya sendiri dan bahkan ia telah
mengakui segala kesalahannya.
Dalam pada itu. justru pada saat terakhir itu, nafas Ki
Dukut bagaikan menjadi semakin teratur. Ia menggerakkan
kaki dan dan kemudian menyilangkan tangannya di
dadanya. Ia masih berusaha untuk berbicara. Sementara
Witantra telah melekatkan telinganya di mulut Ki Dukut
yang lemah "Ki Sanak. Aku juga minta maaf kepadamu.
kepada kawanmu yang telah membebaskan aku dari
tekanan penderitaan batin selama ini. Selamat tinggal"
"Ki Dukut, Ki Dukut" desis Witantra.
Tetapi Ki Dukut tidak mendengarnya lagi. la telah pergi
untuk selamanya. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
kemudian berdiri, ia melihat Ki Selabajra dan Ki Watu
Kendeng telah berdiri dibelakangnya.
"Ia telah pergi" berkata Witantra.
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Witantra berkata selanjutnya "Namun dengan demikian ia
merasa ainnya terbebas dari segala tekanan batin atas
kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya. Lebih dari
itu, di saat terakhir ia telah bertaubat dengan sungguhsungguh.
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Sementara Witantra
meneruskan "Ia sempat minta maaf kepada Ki Selabajra
kepada Ki Watu Kendeng, kepada semuanya saja"
Ki Watu Kendeng melangkah mendekatinya. Ketika ia
berjongkok dan mengamati wajah Ki Dukut, katanya "Ya.
Nampaknya ia pergi dengan tenang, meskipun ia telah
dihantam oleh ilmu yang dahsyal sekali. Tentu isi dadanya
telah rontok karena hentakan ganda. Karena tenaganya
sendiri dan karena dorongan kekuatan ilmu Mahisa Agni.
Namun sama sekali terbayang rasa sakit di wajahnya"
"Justru ia telah pasrah" desis Ki Selabajra "mudahmudahan
pengakuan dan penyesalannya di saat terakhir
dapat didengar oleh Sang Pencipta"
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih ditunggu oleh
Mahisa Bungalan dan Ken Padmipun menjadi semakin
baik. Bahkan kemudian Mahisa Agni telah menggeliat
sambil menarik nafas dalam-dalam.
Ketika Mahisa Agni kemudian bangkit perlahan-lahan,
maka Mahisa Bungalan segera membantunya sambil
bertanya "Bagaimana keadaan paman?"
"Sudah semakin baik Mahisa Bungalan. Aku sudah
dapat mengatasi kesulitan pernafasanku" jawab Mahisa
Agni "mudah-mudahan untuk selanjutnya aku tidak
terganggu karenanya"
Mahisa Bungalan memang melihat keadaan Mahisa
Agni menjadi semakin baik. Bahkan ketika ia kemudian
melepaskannya, Mahisa Agni sudah dapat berdiri tegak.
Selangkah-Aelangkah Mahisa Agni mencoba berjalan.
Ternyata sudah terbebas dari segala macam akibat karena
benturan ilmu dengan Ki Dukut, selain perasaan nyeri pada
tulang-tulangnya. Karena itu, maka Mahisa Agnipun kemudian melangkah
menuju Witantra yang duduk di samping tubuh Ki Dukut
yang terbujur. "Ia sudah meninggal" berkata Witantra ketika Mahisa
Agni berdiri disampingnya. Dalam pada itu Witantrapun
sempat menceriterakan kepada Mahisa Agni, apa yang
telah terjadi pada saat-saat terakhir dari hidup Ki Dukut.
"Sukurlah" desis Mahisa Agni sambil memandang tubuh
yang terbujur diam "adalah tugas kita untuk
menyelenggarakan korban-korban yang jatuh dalam
pertempuran ini, termasuk Ki Dukut itu sendiri"
Demikianlah, maka padepokan itu telah mendapat satu
kesibukan baru. Orang-orang yang terluka dan menyerah
telah dikumpulkan di pendapa padepokan, sementara yang
lain telah mengumpulkan pula korban yang jatuh dari
kedua belah pihak. Marwantaka dan Wiranata sendiri, yang juga terluka,
tidak dapat berbuat apa-apa selain minta maaf atas segala
tingkah lakunya. Mereka merasa diri mereka terlalu kecil
berhadapan dengan Mahisa Bungalan yang memiliki ilmu
yang dahsyat. Apalagi dihadapan Mahisa Agni dan
Witantra. "Kalian telah menjadi korban perasaan kalian yang tidak
terkendali" berkata Mahisa Agni kepada kedua anak muda
itu "sementara tenaga kalian masih sangat dibutuhkan oleh
lingkungan kalian. Mungkin bagi padepokan kalian atau
bagi padukuhan. Jika kalian mampu menyalurkan gejolak
perasaan muda kalian bagi yang bermanfaat, maka
alangkah besar sumbangan kalian kepada sesama disekitar
kalian" Marwantaka dan Wiranata hanya dapat menunduk,
sementara luka mereka telah mendapatkan pengobatan
sementara. "Kita akan mengakhiri segala permusuhan" berkata Ki
Selabajra kepada kedua anak muda itu "pertengkaran
diantara kita, hanya akan menghasilkan bencana seperti
yang telah terjadi hari ini. Kematian, luka parah dan korban
harta benda. Apakah kita tidak dapat berbuat lain dari
pertentangan-pertentangan yang berkepanjangan?"
Kedua anak muda itu masih saja menduduk. Namun
kemudian terdengar Marwantaka berdesis "Kami teian
melakukan kesalahan yang besar sekali. Meskipun
demikian, aku memberanikan diri untuk mohon
kesempatan memperbaiki kesalahan itu"
"Kami bukan pendendam" desis Ki Watu Kendeng
"kalian tentu akan mendapat kesempatan untuk
mencobanya dengan satu kehidupan baru. Kalian harus
mengubur sifat dan cara hidup kalian yang lama untuk
memasmu satu masa kehidupan baru"
Namun Jawaban Ki Watu Kendeng itu agaknya belum
memberikan kepuasan kepada anak-anak muda itu. Hampir
di luar sadar, mereka memandang Ki Selabajra dan Mahisa
Bungalan berganti-ganti. Ki Selabajra yang berdiri disebelah Ki Watu Kendeng
itupun mengangguk kecil sambil berkata "Aku sependapat
anak-anak muda. Yang dikatakan oleh Ki Watu Kendeng
itu, juga yang akan aku katakan kepada kalian"
Marwantaka dan Wiranata tidak dapat menjawab lagi.
Terasa perasaannya benar-benar telah tersentuh. Justru
karena itu mereka semakin merasa bersalah atas segala
tingkah laku mereka. Dalam pada itu, maka Marwantaka dan Wiranatapun
kemudian minta diri. Namun mereka harus membawa
kawan-kawan mereka yang telah menjadi korban gejolak
kemurkaan mereka. Namun ternyata korban yang terbunuh tidak terlalu
banyak. Mahisa Agni dan Witantra memang tidak
membunuh lawan-lawan mereka. Meskipun sebagian besar
dari mereka terluka, dan ada diantara mereka yang
kehilangan kemampuan untuk bertempur tanpa luka di
kulit, tetapi ternyata tulang-tulang mereka rasanya bagaikan
berpatahan. Sementara itu, maka Marwantaka dan Wiranata lelah
minta kepada Ki Selabajra dan Ki Watu Kendeng untuk
membawa Ki Dukut bersama mereka, karena Ki Dukut
itupun datang ke padepokan itu bersama mereka pula.
Yang kemudian ditinggalkan di padepokan itu adalah
korban-korban yang jatuh dari padepokan Kenanga sendiri.
Namun korban itupun tidak banyak. Ternyata Mahisa
Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah berhasil
melindungi para cantrik dengan sebaik-baiknya.
Malam itu juga padepokan Kenanga berusaha
membersihkan segala sesuatu bekas pertempuran yang
mendebarkan jantung itu. Mereka, para penghuni
padepokan itu telah mempersiapkan pula alat-alat
penyelenggaraan korban yang terbunuh itu di keesokan
harinya. Demikianlah, maka padepokan kecil itu telah diliputi
oleh perasaan duka, karena ada diantara para cantrik yang
menjadi korban. Sementara itu, Ken Padmi seolah-olah
tidak berani menampakkan dirinya di luar biliknya. Ki
Selabajra dan Ki Watu Kendeng telah berusaha untuk
memenangkan hatinya. Namun setiap kali Ken Padmi
berkata "Akulah yang bersalah. Aku telah menyebabkan
kematian para cantrik yang tidak berdosa itu"
"Bukan salahmu Ken Padmi" berkata Ki Watu Kendeng
"mereka gugur untuk mempertahankan padepokan mereka
yang diserang oleh sekelompok orang-orang yang ingin
merusak padepokan ini apapun sebabnya"
"Tetapi sebab itu sudah jelas" isak Ken Padmi.
"jangan menyalahkan diri sendiri" berkata ayahnya "kita
semuanya berada di dalam kekuasaan Sang Pencipta. Kita
tidak dapat mengelakkan diri dari apa yang sudah
digariskanNya" "Tetapi kenapa akulah yang kali ini menjadi alat" keluh
Ken Padimi. "Jangan mengeluh seperti itu Ken Padmi, seolah-olah
kau telah mencela keharusan yang berlaku. Kita semua
harus menerima segalanya dengan ikhlas, karena kita
memang hanya pantas untuk menerimanya. Jika
diperlakukan sesuatu atas diri kita, tentu hal itu bukannya
tanpa maksud. Hanya kepicikan pengetahuan dan
kedunguan kita sajalah yang menyebabkan kita tidak
mengetahui, apakah sebenarnya maksud yang tersembunyi
dari peristiwa-peristiwa ini" kata Ki Selabajra.
Ken Padmi tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih terisakisak.
Rasa-rasanya ia adalah penyebab dari setiap kematian.
Dan ia tidak akan dapat membebaskan diri dari tanggung
jawab itu. Namun dalam pada itu, ketika akhirnya Mahisa Agni
dan Witantra memberikan beberapa nasehat pula, akhirnya
hati Ken Padmi dapat sedikit menjadi tenang.
Demikianlah untuk beberapa saat lamanya, Ken Padmi
masih diliputi oleh perasaan gelisah. Tetapi kehadiran
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan di padepokan
itu untuk hari-hari berikutnya, dapat menjadi landasan dan
pegangan perasaannya menghadapi masa-masa mendatang
yang masih panjang. Untuk beberapa lama Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan tetap berada di padepokan itu. Mereka
masih menganggap perlu untuk tetap mengawasi keadaan.
Mungkin masih ada persoalan-persoalan yang tumbuh
akibat dari pertempuran yang telah menjatuhkan beberapa
orang korban, termasuk Ki Dukut Pakering itu.
Sementara itu, dalam kesempatan selama berada di
padepokan Kenanga dan selagi Ki Watu Kendeng berada di
padepokan itu pula, maka Mahisa Agni dan Witantra, atas
nama Mahendra telah berbicara pula tentang Ken Padmi.
Sementara Ki Watu Kendeng yang telah menganggap
Mahisa Bungalan sebagai pengganti anaknya telah
menyaksikan pula setiap pembicaraan tentang kedua orang
anak muda itu. Namun dalam pada itu, Ken Padmi telah menjadi sangat
malu jika ia teringat akan kesombongannya, bahwa ia telah
menantang Mahisa Bungalan untuk memasuki arena, selagi
ia mengetahui bahwa Mahisa Agni dan Witantra datang ke
padepokan itu justru atas pengetahuan Mahisa Bungalan,
dan kedua orang itu adalah orang-orang yang telah
membimbing Mahisa Bungalan pula dalam olah kanuragan.
Tetapi segalanya itu telah terjadi, dan gadis itu tidak
akan bertahan lagi pada harga dirinya yang berlebihan agar
tidak terjadi lagi bencana yang mengerikan bagi
padepokannya. Dalam pada itu, di hati kecilnya, Ken Padmipun merasa
kurang mapan atas segala pembicaraan yang dilakukan oleh
ayahnya dengan Mahisa Agni dan Witantra. Tetapi ia tidak
ingin mengulangi kesulitan yang pernah terjadi. Ia tidak
mau lagi menolak segala pembicaraan itu karena bukan
ayah Mahisa Bungalan sendiri yang datang. Jika
sebelumnya Mahisa Bungalan pernah menolak
pembicaraan tentang dirinya oleh Ki Watu Kendeng dan
memberikan alasan untuk menyampaikan persoalannya
kepada ayahnya sendiri, maka kini ternyata yang
membicarakannya bukan ayah Mahisa Bungalan sendiri.
Dengan demikian, maka segala pembicaraanpun telah
berjalan dengan lancar. Tidak ada lagi jarak yang
membatasi kedua anak muda itu. Masing-masing telah
membuka hatinya, sementara orang-orang tuapun telah
merestuinya. Meskipun demikian, rasa-rasanya kegelapan pada
padepokan itu masih saja membayang. Karena itu, maka
orang-orang tuapun mempertimbangkan, sebaiknya Ken
Padmi untuk sementara meninggalkan padepokan
Kenanga. "Biarlah ia pergi ke Singasari bersama kami" berkata
Mahisa Agni. Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Adalah berat
sekali untuk melepaskan seorang anak gadis meninggalkan
rumahnya mengikuti seseorang yang kelak akan menjadi
suaminya. Namun untuk membiarkan Ken Padmi tetap berada di
padepokan rasa-rasanya Ki Selabajrapun mencemaskannya.
Seolah-olah yang telah terjadi itu akan terulang kembali.
"Kami. yang tua-tua ini akan menjaganya " berkala
Witantra kemudian. Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya kemudian "Aku titipkan Ken Padmi kepada Ki
Mahisa Agni dan Ki Witantra. Biarlah anak itu ikut dengan
kalian berdua" Witantra mengangguk kecil, la mengerti maksud Ki
Selabajra. Maka katanya "Baiklah Ki Selabajra. Ken Padmi
akan pergi bersama kami untuk sementara. Maksudku, aku
dan Mahisa Agni. Bukan Mahisa Bungalan"
Ki Selabajra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Segalanya terserah kepada kalian berdua. Jika
datang saatnya kedua anak itu akan mengikat hubungan
mereka dalam perkawinan, aku mohon untuk mendapat
berita" "O, tentu" jawab Mahisa Agni "mana mungkin hal itu
terjadi di luar pengetahuan Ki Selabajra sebagai ayah Ken
Padmi" Ki Selabajra tersenyum. Jawabnya "Aku merasa cemas.
Jika kalian sudah berada di Singasari, maka kalian adalah
orang-orang penting. Kalian akan melupakan kami, orangorang
padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa"
"Berarti atau tidak berarti, tetapi Ki Selabajra adalah
ayah Ken Padmi" ulang Mahisa Agni.
Ki Selabajra mengangguk-angguk. Katanya seolah-olah
bergumam kepada diri sendiri "Aku memang ayahnya"
"Karena itu, maka segalanya akan bertumpu kepada Ki
Selabajra" desis Witantra.
Ki Selabajra masih mengangguk-angguk. Kemudian
katanya"Baiklah. Aku akan mencoba melepaskan
kegelisahanku. Biarlah Ken Padmi ikut bersama kalian"
Demikianlah, maka dihari berikutnya Mahisa Agni,
Witantra dan Mahisa Bungalanpun telah berkemas-kemas.
Akan pergi bersama mereka Ken Padmi yang jarang sekali
meninggalkan padepokannya, sehingga karena itu, iapun
menjadi sangat gelisah. Namun sudah menjadi keputusan, bahwa sebaiknya ia
meninggalkan padepokannya untuk, sementara, karena di
padepokan itu, ia tidak mendapat perlindungan yang cukup.
Sementara itu, Ki Watu Kendeng masih berada di
padepokan itu pula. Iapun akan meninggalkan padepokan
itu bersama dengan Mahisa Agni. Bahkan ia telah minta
Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan singgah
barang satu dua hari di padepokannya.
Mahisa Agni tidak dapat menolak. Karena itu, ketika
segalanya sudah siap, maka merekapun meninggalkan
padepokan Kenanga menuju ke padepokan Watu Kendeng.
Ken Padmi yang berada di dalam iring-iringan itu, tidrk
dapat menahan air matanya. Ia akan meninggalkan
padepokan dan keluarganya untuk waktu yang tidak
ditentukan. Satu hal yang belum pernah dilakukannya
sebelumnya. Perjalanan ke Watu Kendeng bukannya satu perjalanan
yang terlalu panjang. Mereka melalui jalan bulak di antara
tanah persawahan yang digarap oleh para cantrik dan
rakyat dipadukuhan di sekitar padepokan. Namun
merekapun melalui jalan yang menjelujur di pinggir hutan
yang tidak terlalu lebat.
Sementara itu, Ken Padmi yang berkuda pula seperti
orang-orang lain dalam iring-iringan itu, telah mengenakan
pakaian khususnya, seperti yang selalu dipakainya dalam
olah kanuragan. Dalam perjalanan itu, Mahisa Agni telah bersepakat
dengan Witantra untuk sekaligus singgah di Kediri.
Bagaimanapun juga, mereka merasa perlu untuk
memberitahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata bahwa
Ki Dukut Pakering telah terbunuh dalam satu perang
tanding dengan Mahisa Agni.
"Tidak ada jalan keluat untuk menghindari benturan
ilmu itu" berkata Mahisa Agni "karena itu, nampaknya hai
itu memang harus terjadi. Mau tidak mau"
Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Pangeran
Kuda Padmadata tentu mengetahui watak dan sifat
gurunya. Karena itu, ia akan menerimanya dengan hati
terbuka. Tidak ada pilihan lain kecuali jalan satu-satunya
itu" Demikianlah, mereka telah sepakat. Dari Watu Kendeng
mereka akan singgah di Kediri.
Mahisa Agni, Witantra, Mahisa Bungalan dan Ken
Padmi berada di Watu Kendeng tidak terlalu lama. Mereka
pun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan. Seperti
yang direncanakan, maka mereka akan singgah di Kediri,
untuk memberi tahukan kepada Pangeran Kuda Padmadata
bahwa gurunya telah tiada lagi.
Perjalanan ke Kediri memang cukup panjang. Namun
mereka tidak mengalami gangguan sesuatu di perjalanan.
Ketika mereka memasuki regol istana Pangeran Kuda
Padmadata maka Pangeran itupun telah terkejut karenanya.
Ketika seorang pengawal memberitahukan kepadanya
bahwa diluar ada beberapa orang tamu, maka dengan
tergesa-gesa iapiin telah menyongsongnya. Apalagi ketika
kemudian diketahuinya bahwa tamu-tamunya itu adalah
orang-orang yang sudah dikenalnya baik-baik.
"Marilah, silahkan" Pangeran itu mempersilahkan
mereka naik ke pendapa. Ken Padmi memandangi istana itu dengan heran.
Lantainya yang halus licin di bentangi tikar yang putih.
Tiang-tiang kayu yang berukir dan bersungging halus berdiri
tegak dengan agungnya. Ternyata Pangeran Kuda Padmadata telah menyambut
kedatangan mereka dengan ramah sekali. Karena itulah,
maka Ken Padmipun merasa dirinya semakin kecil. Apa
yang pernah dilakukannya atas Mahisa Bungalan
membuatnya semakin segan terhadap anak muda itu.
"Seorang Pangeranpun bersikap sangat baik kepadanya.
Sementara di padepokan kecil, aku memperlakukannya
kurang wajar" berkata Ken Padmi menyesali diri di dalam
hatinya. Sejenak kemudian, maka merekapun telah diterima oleh
Pangeran Kuda Padmadata di pendapa. Ken Padmi rasarasanya
menjadi sangat canggung. Jika ia duduk di pendapa
rumahnya, padepokan Kenanga, rasa-rasanya ia adalah
orang yang paling terhormat. Namun di pendapa yang besar
dan megah itu, ia telah susut menjadi terlalu kecil.
Apalagi ketika Mahisa Agni memperkenalkannya
sebagai seorang gadis padepokan. Mahisa Agni telah
menyebutnya dengan terus terang, bahwa Ken Padmi
berasal dari padepokan Kenanga. Sebuah padepokan kecil
dan terpencil. Wajah Ken Padmi rasa-rasanya menjadi panas.
Kepalanya telah tertunduk dalam-dalam. Terasa bahwa
dalam perjalanan hidupnya, ia telah merambah jalan yang
memang tidak sepantasnya dilaluinya.
"Aku hanya seorang gadis padepokan. Seorang gadis
yang tidak berharga. Dan itu sudah dikatakan oleh paman
Mahisa Agni kepada Pangeran itu" berkata Ken Padmi
didalam dirinya. Hampir saja mulutnya meneriakkannya.
Tetapi untunglah bahwa ia menyadarinya, bahwa ia berada
di sebuah pendapa yang agung.
Namun demikian, ia mulai merasa kecewa bahwa ia
telah berada diantara orang-orang besar dari Singasari.
Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan adalah orang-orang terhormat, sebagaimana
dinyatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata terhadap
mereka. "Mereka tentu dengan sengaja menyakiti hatiku" berkata
Ken Padmi di dalam hatinya "mereka tentu pernah
mendengar laporan Mahisa Bungalan. bahwa ia telah
diperlakukan tidak pada tempatnya di padepokan Kenanga.
Karena itu, kini pamannya itu tentu ingin menunjukkan,
betapa kecilnya aku dan padepokan Kenanga itu
sebenarnya" Tetapi Ken Padmi itu menjadi heran ketika ia
mendengar Pangeran Kuda Padmadata itu berkata "Jika
demikian, gadis ini berasal dari tempat yang sama seperti
isteriku. Ia juga berasal dari sebuah padepokan kecil"
Ken Padmi mengerutkan keningnya. Apakah maksud
Pangeran Kuda Padmadata sebenarnya.
Namun demikian Pangeran itu berkata "Marilah Ken
Padmi. Aku perkenalkan kau dengan isteriku. yang juga
seseorang yang berasal dari sebuah padepokan seperti kau"
Ken Padmi memandang Pangeran itu dengan bimbang.
Namun nampaknya Pangeran itu bersungguh-sungguh.
Bahkan Mahisa Bungalan pun berkata "Pergilah ke
serambi. Yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata
memang sebenarnya. Puteri memang berasal dari
padepokan seperti yang dikatakannya tanpa
menyembunyikannya, karena aku mengenal sifat yang
berterus terang dan terbuka dari Pangeran Kuda
Padmadata" Ken Padmi masih termangu-mangu. Namun Pangeran
Kuda Padmadata menjelaskan "Jangan ragu-ragu.
Sebenarnyalah seperti yang aku katakan. Ia adalah anak
padepokan. Mungkin padepokan yang lebih kecil dari
padepokan Kenanga. Padepokan isteriku itu adalah
padepokan yang terletak di pinggir hutan. Aku
menemukannya pada saat aku berburu di hutan itu"
Ken Padmi masih tetap termangu-mangu. Namun ketika
Pangeran Kuda Padmadata beringsut dan turun ke serambi
samping, iapun dengan ragu-ragu mengikutinya. Bahkan
sekali-sekali ia berpaling ke arah mereka yang masih tetap
duduk di pendapa. "Duduklah" Pangeran Kuda Padmadatapun
mempersilahkannya "Aku akan memanggil isteriku"
Sejenak kemudian, maka Pangeran Kuda Padmadata
telah masuk ke ruang dalam dan sejenak kemudian ia telah
kembali ke serambi bersama seorang puteri dalam pakaian
yang indah dan agung. Sulit bagi Ken Padmi untuk percaya
bahwa puteri itu adalah seorang gadis padepokan seperti
yang dikatakan oleh Pangeran Kuda Padmadata.
"Mereka telah memperolok-olokkan aku" berkata Ken
Padmi di dalam hatinya. Rasa-rasanya ia ingin berteriak
dan menangis sejadi-jadinya oleh perasaan malu dan
gelisah. Namun justru karena itu, maka dadanya rasa-rasanya
menjadi sesak oleh himpitan perasaan yang tidak
terlontarkan. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata itupun
membimbing. isterinya dan memperkenalkannya kepada
Ken Padmi "Ken Padmi. Inilah isteriku yang aku katakan
kepadamu. Ia juga berasal dari padepokan seperti kau.
Tetapi kau masih mempunyai kelebihan seperti yang
dikatakan oleh paman Mahisa Agni ketika ia
memperkenalkanmu. Sementara isteriku sama sekali tidak
memiliki kelebihan apapun. Namun aku mencintainya dan
ia juga mencintai aku. Dengan bekal itulah aku
membangun rumah tangga ini"
Ken Padmi kebingungan untuk menanggapinya. Justru
karena itu ia tetap berdiam diri. Namun wajairnya menjadi
kemerah-merahan oleh kegelisahan.
"Temuilah gadis ini" berkata Pangeran Kuda Padmadata
kepada isterinya "nampaknya ada hubungan khusus antara
gadis ini dengan Mahisa Bungalan"
Terasa jantung Ken Padmi semakin cepat berdetak.
Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
segera kembali ke pendapa, sementara isterinya duduk
bersama Ken Padmi di serambi. Baru kemudian Ken Padmi
percaya bahwa isteri Pangeran Kuda Padmadata itu seorang
perempuan yang berasal dari padepokan setelah puteri itu
sendiri menceriterakannya.
"Karena itu, jangan merasa asing di rumah ini" berkata
isteri Pangeran Kuda Padmadata itu "rumah ini adalah
rumahku. Seorang perempuan dari lingkungan rendah pula.
Mula-mula akupun merasa aneh berada di rumah ini.
Tetapi akhirnya aku terbiasa pula. Dan aku menganggap
rumah ini tidak lebih dari rumahku seperti rumahku di
padepokan kecil itu"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Terima kasih puteri, bahwa aku diperkenankan
tinggal barang sesaat di istana ini"
"Kau boleh tinggal di sini untuk waktu yang tidak
terbatas, sebagaimana kau berada di padepokan yang akan
dapat memberikan tempat kepada siapapun yang
kemalaman dan dapat memberikan makan kepada siapapun
yang kelaparan dalam perjalanan" berkata isteri Pangeran
Kuda Padmadata. Lalu "justru kehadiranmu memberikan
kesegaran dalam kehidupanku yang terasa gersang dan
tandus. Sehari-hari aku dibatasi oleh paugeran yang berlaku
bagi seorang puteri. Apalagi jika dalam kewajiban tertentu
aku harus berada di tengah-tengah isteri para Pangeran
yang lain. Rasa-rasanya aku sedang menjalani hukuman
yang sangat berat. Kadang-kadang aku memang
merindukan untuk berada kembali di tangah-tengah alam
padepokan. Di sawah dan pategalan. Diantara dendang
gadis-gadis yang sedang memetik hasil sawah dan dalam
alunan suara seruling gembala di lereng-lereng bukit dan
padang rerumputan" Ken Padmi menundukkan kepalanya. Ternyata bahwa
kehidupan yang dilihatnya, sangat indah itu terasa juga
gersang dan tandus bagi puteri, isteri Pangeran Kuda
Padmadata itu. Namun dalam pada itu, puteri itupun berkata "Tetapi
untunglah bahwa Pangeran Kuda Padmadata dapat
mengerti perasaanku. Sekali-sekali Pangeran telah
mengajak aku bertamasya ke tanah persawahan dan
hijaunya pategalan. Kadang-kadang aku telah dibawanya
berburu, sebagaimana Pangeran pernah menemukan aku.
Namun betapapun juga, masih juga terasa kegersangan itu,
karena dalam perburuan, kami selalu dikelilingi oleh
sepasukan pengawal yang seharusnya memang mengawal
keselamatan kami. Apalagi pada saat-saat yang
menegangkan, dimana keselamatan kami selalu dibayangi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh guru Pangeran Kuda Padmadata sendiri. Ki Dukut
Pakering" "Ki Dukut" desis Ken Padmi.
"Ya" Ken Padmipun kemudian menceriterakan serba sedikit
tentang peristiwa yang telah terjadi dipadepokannya,
sehingga Ki Dukut itu telah terpancing untuk
mencampurinya. Namun agaknya ia bernasib buruk,
sehingga Mahisa Agni ternyata telah berperang tanding dan
berhasil membunuhnya. "O" puteri itu mengangguk-angguk "apakah dengan
demikian berarti, bahwa Pangeran Kuda Padmadata tidak
selalu dibayangi oleh kekejamannya"
Dalam pada itu, ternyata Mahisa Agni dipendapa sedang
menceriterakan apa yang telah terjadi, sehingga Pangeran
Kuda Padmadata mendapat keterangan tentang kematian
Ki Dukut Pakering. Pangeran itu menundukkan kepalanya. Bagaimanapun
juga Ki Dukut adalah gurunya. Meskipun Pangeran Kuda
Padmadata sendiri pernah berniat untuk memburu dan
membunuhnya, namun berita kematiannya telah
menggetarkan jantungnya pula.
"Namun dengan demikian penderitaannya telah
berakhir" desis Witantra "selama ini ia selalu disiksa oleh
satu keinginan yang tidak pernah dapat dicapainya.
Kematian baginya adalah jalan terbaik untuk mengurangi
dosa-dosa yang masih akan dilakukannya. Pangeran tidak
perlu mencemaskan masa langgengnya, karena justru pada
saat terakhir ia masih sempat mengucapkan lontaran
perasaannya dalam pertaubatan, la masih sempat melihat
kepada diri sendiri dan mengakui segala dosa-dosanya"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Sukurlah jika ia tidak terjerumus sampai batas
terakhir. Mudah-mudahan pengakuan segala dosa-dosanya
pada saat terakhir itu akan didengar oleh Sang Pencipta"
"Apapun juga yang terjadi dengan Ki Dukut Pakering,
namun itu adalah yang terbaik baginya "desis Witantra
kemudian. "Ya. Memang tidak ada jalan pelepasan yang lebih baik
baginya "ulang Pangeran Kuda Padmadata.
Dengan demikian, maka Pangeran Kuda Padmadata
harus mengikhlaskan gurunya pergi sebagaimana ia harus
mengikhlaskan adiknya. Bahkan hilangnya Ki Dukut,
agaknya akan dapat memberikan ketenangan kepada
keluarganya. Sementara itu, Ki Wastu yang sedang pergi bersama
cucu laki-lakinya, terkejut juga ketika ia kembali dan
menemukan tamu-tamunya di pendapa. Dengan gembira ia
menemui mereka yang sudah duduk di pendapa dan
membawanya cucunya bersamanya.
Putera Pangeran Kuda Padmadata itu sudah mengenal
tamu-tamunya,. terutama Mahisa Bungalan. Karena itu,
maka iapun segera menjadi akrab dan tidak segan-segan
untuk ikut serta berceritera.
Ki Wastupun mengangguk-angguk pula ketika Pangeran
Kuda Padmadatapun kemudian memberitahukan
kepadanya, apa yang telah terjadi dengan Ki Dukut
Pakering. Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
berat ia bergumam "Orang itu adalah musuh bebuyutan
kakang Kasang Jati. Ternyata ia justru terbunuh di tangan
Ki Mahisa Agni" "Aku hanya lantaran untuk menutup segala tingkah
lakunya. Tetapi ia menyesali segala perbuatannya di saatsaat
yang paling menentukan" jawab Mahisa Agni.
"Sukurlah" desis Ki Wastu "mudah-mudahan ia masih
mendapat jalan" Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk tinggal
beberapa hari. Namun agaknya Mahisa Bungalan telah
menjadi lain. Ia tiba-tiba saja ingin segera pulang ke
rumahnya. Ia rasa-rasanya bukan lagi seorang petualang
yang berada di segala tempat pada segala waktu tanpa
teringat untuk pulang. Meskipun demikian, mereka telah bermalam pula di
istana Pangeran Kuda Padmadata untuk semalam. Ken
Padmi yang mendapat tempat sebuah ruangan yang luas
dan dihiasi dengan perkakas yang lengkap serta tirai kain
halus dan mengkilap, justru menjadi tidak dapat tidur
nyenyak. Rasa-rasanya ia tidak berada di dunianya.
Namun karena lelah dan letih, akhirnya Ken Padmipun
telah tertidur juga di atas pembaringan kayu berukir dan
disungging dengan warna-warna cerah.
Ternyata Ken Padmipun tidak dapat menghindarkan diri
dari mimpi yang indah tentang sebuah dunia yang sangat
asing baginya. Bunga-bunga yang besar dan berbau harum
semerbak memenuhi taman. Ketika ayam jantan berkokok menjelang fajar, Ken
Padmi terbangun. Ia masih mencium harumnya bau sedap
malam yang sudah menjadi semakin susut menjelang dini
hari. Pagi-pagi sekali tamu-tamu di istana Pangeran Kuda
Padmadata itupun sudah terbangun. Mereka segera
membersihkan diri dan berbenah. Mereka sudah
mengatakan kepada Pangeran Kuda Padmadata, bahwa
mereka akan kembali ke Singasari.
Pangeran Kuda Padmadata tidak dapat menahan mereka
terlalu lama di Kediri. Dengan mengucap terima kasih,
maka Pangeran itu telah melepas mereka.
"Meskipun kita tidak perlu lagi berburu kejahatan
bersama-sama, tetapi aku harap kalian masih akan sering
datang mengunjungi kami" minta Pangeran Kuda
Padmadata. "Terima kasih" jawab Mahisa Agni "kami akan selalu
datang pada saat-saat mendatang"
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun telah
meninggalkan Kediri. Mereka menuju ke Singasari dan
langsung jnenuju ke rumah Ki Mahendra.
Perjalanan ke Singasari memang cukup panjang. Mereka
akan sampai setelah malam. Namun mereka adalah
petualang-petualang, yang sudah terlalu sering berada di
tempat terbuka. Namun di antara mereka ternyata terdapat
Ken Padmi yang tidak mempunyai kebiasaan seperti ketiga
orang yang bersamanya. Karena itu, maka setiap kali, merekapun harus
beristirahat dan berhenti. Namun hal itu penting juga bagi
kuda mereka yang lelah. Sekali-sekali mereka berhenti di
pinggir sebuah sungai yang jernih. Mereka memberi
kesempatan kuda mereka makan rerumputan segar,
sementara mereka sendiri dapat mencuci kaki mereka
dalam arus yang jernih itu.
Tetapi kadang-kadang merekapun berhenti di warungwarung.
Meskipun mereka juga memberi kesempatan
kepada kuda-kuda mereka untuk makan rerumputan,
namun yang penting adalah bagi para penunggangnya
sendiri. Dalam pada itu, maka menjelang kota raja, mereka telah
melalui sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Hutan yang
merupakan daerah perburuan bagi para bangsawan.
Meskipun ada beberapa orang yang lebih senang berburu di
hutan yang lebat dan pepat, yang jarang disentuh kaki
manusia, namun ada juga yang lebih senang berburu di
hutan yang memang menjadi tempat yang disiapkan untuk
perburuan itu. Dengan demikian maka perburuan itu tidak
terlalu berbahaya, sebagaimana jika mereka berada di hutan
yang lebat dan pepat. Tetapi hutan itu sama sekali tidak menarik. Mahisa
Bungalanlah yang seolah-olah menjadi sangat tergesa-gesa.
Namun ia mempunyai alasan yang dapat disampaikan
kepada paman-pamannya. "Jika kita cepat sampai, maka Ken Padmi akan cepat
dapat beristirahat" berkata Mahisa Bungalan.
Namun Witantra menjawab "Tetapi jangan kau paksa ia
sekarang menjadi sangat letih dalam perjalanan. Sekalisekali
ia memang memerlukan beristirahat. Ketahanannya
memang agak berbeda dengan kita yang selalu bertualang"
Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih saja nampak tergesa-gesa betapapun ia
berusaha menahan diri"
Namun dalam pada itu, Ken Padmi sendiri memang
merasa sangat letih. Untunglah, meskipun Ken Padmi
bukan seorang yang terbiasa bertualang, namun ia sudah
membiasakan diri berlatih olah kanuragan. Latihan-latihan
yang berat, telah membantunya mengatasi kelelaham
Meskipun demikian, ia memang memerlukan waktuwaktu
untuk beristirahat. Sehingga karena itu, maka
Mahisa Bungalan tidak dapat memaksanya.
Sekali-sekali Ken Padmi ingin berteduh di bawah
sebatang pohon yang rindang, ketika wajahnya menjadi
merah terbakar teriknya matahari. Bahkan sekali-sekali Ken
Padmi ingin meneguk air kelapa yang bergayutan di
pelepahnya. Ketika langit mulai dibayangi warna merah, mereka
telah berada di antara hutan yang tidak terlalu pepat.
Mereka bersepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka
melintasi hutan itu. Bagi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan,
perjalanan itu sama sekali bukannya sesuatu yang asing.
Apalagi hutan yang mereka lalui adalah hutan yang terlalu
sering di sentuh oleh orang-orang yang memiliki kegemaran
berburu, tetapi tidak berani memasuki hutan yang lebat dan
pepat, yang justru masih menyimpan binatang-binatang
buas yang tidak terhitung jumlahnya.
Namun bagi Ken Padmi, perjalanan itu terasa sangat
berat. Sekali-sekali mereka harus merunduk karena
pepohonan yang berdaun lebat bergayutan rendah. Namun
sekali-sekali terdapat sebatang pohon tua yang patah dan
melintang di tengah jalan.
Justru karena itu, maka Mahisa Agni dan Witantra telah
berpendapat bahwa sebaiknya mereka menghentikan
perjalanan mereka dan menunggu sampai fajar di esok hari.
Ken Padmi sendiri sependapat. Meskipun ia tidak pernah
bertualang, tetapi ia merasa lebih baik berhenti daripada
melakukan perjalanan yang sangat berat di malam hari.
"Kita akan mencari tempat yang paling baik" berkata
Mahisa Bungalan. Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan sendiri
mengenal tempat itu dengan baik. Karena itu, maka
merekapun mengetahui bahwa tidak terlalu jauh dari
tempat itu, terdapat sebatang pohon yang besar dan sebuah
mata air dibawahnya. "Kita akan berhenti di tempat yang tidak terlalu jauh dari
air itu" berkata Mahisa Agni.
"Ada tempat yang barangkali cukup baik di dekat mata
air itu" desis Mahisa Bungalan.
Perlahan-lahan merekapun maju terus, mendekati mata
air. Ternyata, bahwa tidak terlalu jauh dari sebatang pohon
yang besar, berdaun lebat yang bagaikan bukit hitam di
gelapnya malam, terdapat beberapa langkah tempat terbuka
yang dapat mereka pergunakan untuk berhenti.
"Tempat ini cukup baik" berkata Mahisa Agni.
"Ya. Dan tidak terlalu dekat dengan jalan yang
menghubungi daerah ini dengan kota raja" sahut Witantra.
Namun dalam pada itu, terasa kekhawatiran Ken Padmi
terhadap binatang merayap yang tidak dapat dilihatnya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun bertanya kepada
kedua pamannya "Apakah kita diperkenankan menyalakan
api?" Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Asal kita cukup berhati-hati. Api yang
tidak terkendali akan dapat menimbulkan ancaman bagi
hutan ini" Dengan demikian, maka Mahisa Bungalanpun kemudian
membuat sebuah perapian di tengah-tengah tempat terbuka
yang tidak terlalu luas itu. Namun ia harus membatasi agar
api tidak menjilat dan membakar hutan itu.
Ken Padmi duduk ditepi perapian sambil memeluk
lututnya. Jika sekali-sekali ia melayangkan pandangannya,
maka terasa juga kengerian melihat pohon-pohon raksasa
disekitarnya. Ia terbiasa hidup disebuah padepokan kecil
yang juga di penuhi oleh pepohonan. Tetapi pohon buahbuahan
yang tidak terlalu rapat dan tumbuh di atas kebun
yang selalu dibersihkan. Namun hutan itu rasa-rasanya
menyesakkan nafasnya. Mahisa Agni dan Witantra duduk beberapa langkah dari
Keri Padmi, sementara Mahisa Bungalan yang gelisah,
berada dihadapan gadis itu, berseberangan perapian.
Meskipun demikian, baik Mahisa Bungalan maupun Ken
Padmi hanya duduk sambil berdiam diri.
Mahisa Agnilah yang kemudian berbicara dari
tempatnya memecah keheningan "Jika kau letih,
beristirahatlah Ken Padmi. Mungkin kau tidak terbiasa
tidur di tempat seperti ini. Tetapi mungkin kau sekali sekali
pernah juga tidur sambil memeluk lutut seperti itu"
Ken Padmi berpaling. Ia mencoba untuk tersenyum
sambil menjawab "Satu pengalaman baru bagiku paman"
"Bagus. Jika kau anggap hal ini sebagai satu
pengalaman, maka kau tidak akan menganggapnya sebagai
satu siksaan" sahut Witantra.
Ken Padmi tidak menjawab lagi, meskipun ia masih saja
tersenyum. Namun dengan demikian Mahisa Bungalan
mendapat kesempatan untuk ikut berbicara "Apakah kau
memerlukan tempat untuk berbaring?"
Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi setelah ia meman
dang berkeliling, yang terdapat hanya rerumputan kering
dan reruntuhan dedaunan, maka iapun menggeleng "Tidak.
Aku dapat tidur sambil duduk seperti ini"
"Baiklah" sahut Mahisa Bungalan "cobalah untuk tidur.
Aku akan berjaga-jaga bersama kedua paman itu"
Ken Padmi mengangguk. Namun ia tidak segera


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha untuk memejamkan matanya. Meskipun ia
meletakkan dagunya pada lututnya, tetapi matanya masih
tetap memandangi api yang menyala.
Namun dalam pada itu, keempat orang yang sedang
beristirahat itu terkejut ketika mereka mendengar desir
langkah beberapa orang mendekati.
Hampir diluar sadarnya, Mahisa Bungalanpun telah
bangkit berdiri dan bersiap menghadapi kemungkinankemungkinan
yang dapat terjadi. Ternyata kemudian Ken Padmi, Mahisa Agni dan
Witantrapun telah bangkit pula ketika suara langkah itu
semakin dekat. Ketika gerumbul perdu terkuak, maka mereka melihat
beberapa orang muncul dari balik dedaunan yang gelap.
Cahaya perapian yang menjangkau wajah-wajah itu
membayangkan cahaya kemerahan yang samar.
Namun salah seorang dari orang-orang yang datang itu
tiba-tiba telah berdesis "Paman Mahisa Agni dan paman
Witantra" Mahisa Agni dan Witantra menarik nafas dalam-dalam.
Yang datang itu adalah seorang Pangeran di Singasari yang
menurut kelengkapan yang dibawanya, agaknya Pangeran
itu sedang berburu. "Pangeran Wirapaksi" desis Mahisa Agni.
"Ya paman. Agaknya paman juga sedang berburu?"
jawab Pangeran itu. Mahisa Agni menggeleng. Jawabnya "Tidak Pangeran.
Kami dalam perjalanan kembali ke Singasari. Kami baru
saja mengunjungi saudara kami di Kediri"
Pangeran Wirapaksi memandang Mahisa Bungalan
sejenak. Kemudian katanya "Kau juga baru kembali
bersama paman Mahisa Agni, Mahisa Bungalan?"
"Ya Pangeran" jawab Mahisa Bungalan "aku sedang
mengikuti paman Mahisa Agni dan paman Witantra.
Apakah Pangeran sedang berburu?"
"Ya. Aku mengantar adimas Pangeran Indrasunu dari
Kediri. Adimas Pangeran yang sedang berada di Singasari
ingin berburu di malam hari. Karena itu, kami telah
mengantarnya" jawab Pangeran Wirapaksi.
"O, jadi diantara iring-iringan ini terdapat seorang
Pangeran dari Kediri?" bertanya Mahisa Agni.
Belum lagi Pangeran Wirapaksi menjawab, seorang yang
masih berusia muda maju selangkah. Melihat sikap yang
tengadah, maka Mahisa Agni dapat meraba sifat dan watak
Pangeran yang masih muda itu.
"Siapakah mereka itu kakangmas?" bertanya anak muda
itu. "Mereka adalah para Senopati di Singasari. Tetapi yang
seorang ini, agaknya sudah mendapat tempat pula
dilingkungan keprajuritan meskipun belum secara resmi
diterima sebagai prajurit" jawab Pangeran Wirapaksi, yang
kemudian memperkenalkan Pangeran itu "Pangeran
Indrasunu adalah adik iparku. Ia adalah saudara muda
isteriku yang aku ambil dari lingkungan para bangsawan di
Kediri, yang sebenarnya masih juga bertalian darah dengan
keluargaku" Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya "Selamat
datang di Singasari Pangeran"
Pangeran yang masih muda itu tidak mengacuhkannya.
Bahkan seolah-olah tidak mendengarnya. Yang
dipandanginya kemudian adalah Ken Padmi yang berdiri di
sebelah perapian. "Siapakah anak itu?" tiba-tiba Pangeran itu bertanya
"nampaknya seperti seorang perempuan, tetapi ia
mengenakan pakaian yang aneh"
"Ia adalah kemenakanku Pangeran" jawab Mahisa Agni
"ia memang seorang gadis. Tetapi karena perjalanan kami
berkuda, maka ia terpaksa mengenakan pakaian seorang
laki-laki" jawab Mahisa Agni.
"Kenapa berkuda?" bertanya Pangeran Indrasunu.
"Perjalanan yang, paling memungkinkan kami tempuh.
Jika kami berjalan kaki, maka kami akan memerlukan
waktu yang terlalu lama" jawab Mahisa Agni.
Pangeran Indrasunu itu mengangguk-angguk. Namun
tatapan matanya kemudian seolah-olah tidak lepas dari Ken
Padmi. yang wajahnya menjadi kemerah-merahan oleh
cahaya api. "Jadi kalian bukan pemburu di sini?" tiba-tiba saja
Pangeran Indrasunu bertanya.
"Bukan Pangeran" jawab Mahisa Agni "kami hanya
singgah sebentar" "Kenapa kalian tidak meneruskan perjalanan saja"
berkata Pangeran Wirapaksi "bukankah Singasari tidakterlalu
jauh lagi?" "Kami sudah terlalu letih Pangeran" jawab Mahisa Agni
"agaknya kami lebih senang untuk beristirahat barang
sebentar. Besok menjelang dini hari, kami akan berangkat
lagi" "Baiklah" berkata Pangeran Wirapaksi "kami akan pergi
ke belik itu. Mungkin ada seekor binatang buas yang ingin
minum di malam hari"
"Silahkan Pangeran" jawab Mahisa Agni "mudahmudahan
Pangeran berhasil. Tetapi agaknya hutan ini
sudah menjadi semakin rindang, sehingga binatang tidak
lagi banyak tinggal di sini, tetapi mereka telah berpindah ke
hutan sebelah yang masih lebat dan pepat"
Pangeran Wirapaksi tersenyum. Sekilas ia berpaling
kepada Pangeran yang masih muda itu sambil berdesis
"Berburu di hutan rimba memerlukan pengalaman yang
cukup. Mungkin aku dapat melakukannya. Agaknya hutan
rimba di sebelah memang dapat memberikan kegembiraan
tersendiri betapapun gawatnya. Tetapi adimas Indrasunu
masih memerlukan waktu untuk melakukannya"
"Akupun dapat melakukannya" sahut Pangeran yang
masih muda itu "tetapi tidak hanya satu dua malam.
Sementara ini aku tidak mempunyai banyak waktu"
Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk "Ya. Adimas
benar" Pangeran Indrasunu tidak segera menyahut. Tetapi
kembali tatapan matanya tertuju kepada gadis yang
berpakaian seperti laki-laki. dan berdiri di sebelah perapian
itu. Tiba-tiba saja ia bertanya "Siapa namanya?"
Mahisa Agni terkejut. Tergagap ia menjawab "Namanya
Ken Padmi" "Nama yang manis" desis Pangeran Indrasunu.
Pujian itu benar-benar tidak menyenangkan hati Mahisa
Bungalan. Namun ia masih tetap berdiam diri.
"Jadi kalian akan pergi ke Singasari?" bertanya
Indrasunu kemudian. "Ya Pangeran. Tetapi kami akan singgah di rumah
saudara kami yang tidak berada di Kota Raja meskipun
tidak terlalu jauh letaknya. Baru kemudian kami akan
kembali ke barak kami masing-masing. Sementara Mahisa
Bungalanpun akan mulai memasuki lingkungan
keprajuritan" "Ia akan melalui pendadaran jika ia ingin menjadi
seorang prajurit" sahut Indrasunu. Lalu "He, apa kau kira,
karena kalian adalah Senopati prajurit, begitu saja dengan
mudah dapat membawa kemanakan, anak atau tetanggatetangga
dekat memasuki tugas keprajuritan?"
"Tentu tidak Pangeran. Tentu anak itupun akan melalui
pendadaran" jawab Mahisa Agni "dan pendadaran itu
memang sudah disiapkan. Bukan oleh kami berdua, tetapi
oleh orang lain yang bertugas"
Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian bertanya "Tetapi kenapa kalian tidak
mengenakan tanda-tanda keprajuritan sekarang ini"
"Perjalanan kami adalah perjalanan keluarga" jawab
Mahisa Agni. "Tetapi apa salahnya kalian tetap mengenakan pakaian
keprajuritan" bantah Pangeran yang masih muda itu.
"Mereka memiliki ketentuan khusus" sahut Pangeran
Wirapaksi "bagi keduanya ketentuan tidak terlalu mengikat.
Selain karena tugas-tugas khusus yang sering mereka
lakukan, juga karena mereka telah cukup tua sehingga
seolah-olah kepada mereka Maharaja di Singasari
memberikan banyak kebebasan untuk berbuat sesuai
dengan keinginan hati mereka"
"Ah tentu tidak" sahut Pangeran Indrasunu "ketentuan
keprajuritan berlaku bagi siapa saja yang masih disebut
prajurit. Kecuali jika ia sudah mengundurkan diri"
Dalam pada itu, Witantralah yang menyahut "Kami
sudah mengundurkan diri. Tetapi kami kadang-kadang
masih menerima tugas tertentu"
Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian berkata "Ah, segalanya itu bukan urusanku. Aku
akan berburu malam ini. He, bukankah nama perempuan
itu Ken Padmi?" "Ya Pangeran" jawab Mahisa Agni.
Pangeran Indrasunu tidak menjawab lagi. Iapun
kemudian berkisar dari tempatnya dan berkata kepada
Pangeran Wirapaksi "Marilah. Kita melanjutkan perburuan
ini" Pangeran Wirapaksipuri kemudian melangkah surut
sambil minta diri kepada Mahisa Agni, Witantra, Mahisa
Bungalan dan gadis yang tidak dikenalnya sebelumnya.
"Aku akan melanjutkan perburuan ini" berkata Pangeran
Wirapaksi. "Silahkan Pangeran" jawab Mahisa Agni "mudahmudahan
Pangeran berhasil" Pangeran Wirapaksi tertawa. Ia sendiri sudah mengerti,
bahwa berburu di hutan yang sudah menjadi semakin
jarang itu, tidak akan banyak memberikan hasil. Namun
Pangeran Wirapaksi juga tidak dapat membawa Pangeran
muda itu berburu di hutan rimba yang masih pepat dan liar
meskipun Pangeran Wirapaksi sendiri sering melakukannya
dengan para pengawalnya. Dalam pada itu, sepeninggal pemburu itu, Mahisa
Bungalan berdesis "Apakah paman pernah melihat
Pangeran muda itu sebelumnya?"
Mahisa Agni dan Witantra menggeleng.
"Belum" jawab Mahisa Agni "nampaknya ia seorang
Pangeran yang manja"
"Mungkin. Sikapnya kurang wajar dan memberikan
kesan yang kurang baik" desis Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra tidak menyahut. Mereka
mengerti bahwa Mahisa Bungalan tentu tidak senang
melihat sikap Pangeran yang beberapa kali bertanya tentang
Ken Padmi itu. Karena itu, maka kedua orang tua itupun telah kembali
ketempatnya. Sambil duduk Mahisa Agni berkata"Kita
akan beristirahat" "Jika kau sempat, tidurlah Ken Padmi" berkata Witantra
"kau tentu letih. Besok, sebelum dini hari, kita akan
melanjutkanper jalanan"
"Aku akan mencoba tidur sambil duduk saja paman"
jawab Ken Padmi. "Jika demikian, beringsutlah sedikit. Jangan menghadap
ke perapian" berkata Witantra selanjutnya.
Ken Padmipun kemudian beringsut. Tetapi ia tidak
terlalu jauh dari perapian. Setiap kali ia selalu melihat
rerumputan disekelilingnya. Nampaknya ia selalu
mencemaskan bila binatang melata mengganggunya. Ken
Padmi mengerti, gigitan ular dapat berakibat jauh lebih
gawat dari patukan senjata.
Namun ia merasa heran, bahwa Witantra, Mahisa Agni
dan Mahisa Bungalan sama sekali tidak menghiraukannya,
seandainya seekor ular merambat dikakinya dan mematuk
tumitnya. Namun oleh kelelahan, Ken Padmi dapat juga tidur
sambil duduk dengan meletakkan kepalanya dilututnya.
Namun setiap kali ia terbangun apabila tubuhnya mulai
condong ke samping. Namun dalam pada itu, ternyata istirahat yang dilakukan
oleh Ken Padmi dengan caranya itu, dapat juga sekedar
mengurangi keletihannya. Ketika menjelang dini hari
mereka bersiap-siap, maka tubuhnya telah menjadi sedikit
segar. Apalagi ketika kemudian ia telah mencuci muka dan
tangannya di belil sebelah.
"Semalam Pangeran itu tentu menunggui belik ini"
berkata Mahisa Agni. "Tetapi agaknya tidak ada seekor binatangpun yang
mendekat, sehingga mereka beringsut semakin ke tengah.
Mungkin mereka menemukan seekor kijang atau seekor
rusa" desis Witantra.
"Jika mereka gagal dengan cara ini, mungkin Pangeran
muda itu akan membawa sepasukan prajurit" sahut Mahisa
Agni. "Binatang yang tersisa akan dikeroyak dengan sepasukan
berkuda. Mereka akan menggiring binatang yang ada di
hutan ini ke satu tujuan" desis Witantra.
Orang-orang yang sedang berburu itu tinggal menunggu.
Mereka akan melemparkan anak panah dan lembing
kepada binatang-binatang yang sedang melarikan diri"
sahut Mahisa Bungalan. "Tidak selalu Mahisa Bungalan" jawab Mahisa Agni
"kadang-kadang, ada juga pemburu-pemburu yang ikut
mengejar binatang buruan itu dan memanahnya dari atas
punggung kuda" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Iapun kemudian
membenahi dirinya sebagaimana dilakukan oleh Ken
Padmi. Sejenak kemudian merekapun telah bersiap untuk
melakukan perjalanan. Sebelum matahari terbit, mereka berempat telah
meninggalkan perapian yang telah dipadamkan sehingga
sisa-sisa apinya tidak akan berbahaya lagi bagi hutan itu.
Perlahan-lahan mereka menuju keluar hutan dan turun ke
jalan. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda merekapun telan
berlari menuju ke Singasari.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni
dan Witantra, mereka tidak langsung menuju ke kota raja.
Tetapi mereka akan singgah di rumah Mahendra, untuk
menitipkan Ken Padmi di rumah itu.
Ken Padmi merasa gelisah juga ketika ia menjadi
semakin dekat dengan rumah yang dituju. Ia merasa seolaholah
ia telah merendahkan dirinya mengikuti seorang lakilaki
yang belum mempunyai ikatan apapun juga.
Namun ia selalu berusaha untuk menenangkan hatinya
bahwa kepergiannya itu sepenuhnya disetujui oleh orang
tuanya, sehingga ia akan dapat membagi tanggung jawab
jika ada orang lain yang membicarakannya.
Ketika matahari terbit, terasa perjalanan itu semakin
segar. Embun yang bergayutan didedaunanpun mulai susut
dan akhirnya lenyap sama sekali.
Ternyata bahwa tujuan mereka memang sudah tidak
terlalu jauh lagi. Mereka menempuh jalan samping,
sehingga mereka sama sekali tidak memasuki kota raja.
Namun dari jalan yang mereka lalui mereka dapat melihat
gerbang kota yang megah. Ketika matahari mulai terasa menggatali kulit, maka
iring-iringan itupun memasuki sebuah padukuhan yang
besar. Mereka menyelusuri jalan padukuhan, menuju ke
sebuah rumah yang berhalaman cukup luas.
Kedatangan iring-iringan itu telah mengejutkan seisi
rumah. Mahendra yang kebetulan tidak sedang bepergian,
telah dengan tergopoh-gopoh menyambut mereka. Namun
iapun terkejut ketika ia melihat seorang perempuan ikut
pula bersama Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa
Bungalan. "Aku akan menjelaskannya nanti" berkata Mahisa Agni.
Mahendrapun kemudian mempersilahkan tamunya naik.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah ikut
menyambut pula. Setelah duduk sejenak, serta setelah hidangan di
suguhkan, maka mulailah Mahisa Agni menceriterakan
segala sesuatunya yang telah terjadi dalam perjalanan
mereka. Mahisa Agni telah menceriterakan tentang
peristiwa yang terjadi di padepokan Kenanga.
Selengkapnya. Mahendra menarik natas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Jadi Ki Dukut Pakering yang diburu dengan siasia
itu akhirnya telah datang menyerahkan diri"
"Demikianlah yang telah terjadi" jawab Mahisa Agni.
Namun kemudian sambil mengangguk-angguk
Mahendra berkata "Dan gadis ini adalah Ken Padmi, dari
padepokan Kenanga. Ken Padmi menundukkan kepalanya. Yang bertanya itu
adalah Mahendra, ayah Mahisa Bungalan. Karena itu, rasarasanya
wajahnya menjadi panas. "Baiklah" berkata Mahendra "aku terima kau di rumah
ini .seperti anakku sendiri. Kau akan mempunyai dua orang
adik yang nakal. Tetapi aku kira ia akan dapat
membantumu" Ken Padmi hanya dapat menunduk saja. Rasa-rasanya ia
berada di dunia yang masih sangat asing. Namun agaknya
sikap orang-orang di rumah itu akan cukup baik
terhadapnya. Demikianlah, maka Ken Padmi mulai dengan satu
kehidupan baru. Apa yang berlaku di rumah Mahendra
agak berbeda dengan apa yang berlaku di rumahnya, di
padepokan kecil yang jauh dari kota raja itu.
Namun sebagaimana yang telah dilakukannya,
mengikuti orang-orang yang masih belum mempunyai
ikatan tertentu itu, maka ia telah berusaha untuk
menyesuaikan dirinya. Sebenarnyalah, ia kemudian menganggap Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti sebagai adik-adiknya. Tetapi seperti yang
dikatakan oleh Mahendra, kedua anak itu memang agak
nakal. Tetapi keduanya tidak pernah mengganggunya
dengan sungguh-sungguh. Bahkan semakin lama, hubungan
merekapun menjadi semakin akrab.
Namun dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan tidak dapat tinggal terlalu lama. Mereka
harus menghadap dan menyatakan diri, bahwa mereka
telah kembali. Sehingga karena itu, maka setelah berada di
rumah dua tiga hari, Mahisa Bungalanpun bersiap-siap
untuk pergi ke Kota Raja.
Dengan demikian, maka Ken Padmipun harus
ditinggalkannya di rumahnya. Ia tidak akan dapat
mengajaknya ke Kota Raja dalam keadaan yang belum
menentu itu. "Tentu ia akan tinggal di sini" berkata Mahendra
"setelah kau selesai mengurus dirimu sendiri dalam
hubungannya dengan rencanamu untuk memasuki tugas
keprajuritan, maka kau harus segera kembali untuk
menyelesaikan hubungan dengan Ken Padmi. Kita masjh
harus pergi ke padepokan Kenanga untuk mengurus segalagalanya.
Baru kemudian kau akan dapat membawanya ke
Kota Raja" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Iapun sadar
bahwa persoalannya dengan Ken Padmi masih memerlukan
waktu dan penyelesaian. Namun seperti yang dikatakan
oleh avahnva. ia akan menyelesaikan persoalannya lebih
dahulu. Dan hal itupun telah dikatakannya pula kepada
Ken Padmi. Dengan demikian, maka setelah segala persiapan selesai,
maka Mahisa Bungalanpun telah mengikuti Mahisa Agni
dan Witantra ke Kota Raja. Mereka akan menghadap
Maharaja Singasari untuk melepaskan hasil perjalanan
mereka terakhir dan kematian seseorang yang menamakan
dirinya Ki Dukut Pakering, yang pernah menjadi guru
dalam olah kanuragan dari Pangeran Kuda Padmadata di
Kediri. Namun dalam pada itu, telah terjadi yang sama sekali
tidak diduga-duga. Sepeninggal Mahisa Bungalan, maka
telah datang ke rumah Mahendra sebuah iring-iringan kecil.
Diantara mereka terdapat seorang Pangeran muda dari
Kediri yang bernama Pangeran Indrasunu.
Dengan tergopoh-gopoh Mahendra telah menerima
iring-iringan itu. Tidak ada orang yang telah dikenalnya di
antara mereka yang ada di dalam iring-iringan itu. Namun
menilik pakaian yang dikenakan, maka mereka adalah para
bangsawan dan pengiringnya.
"Aku mengetahui tempat ini atas petunjuk Pangeran
Wirapaksi" berkata Pangeran Indrasunu.
"O" Mahendra mengangguk-angguk. Jawabnya
"Pangeran Wirapaksi memang sudah mengenal tempat ini"
Mahendra kemudian mempersilahkan tamu-tamunya
untuk duduk di pendapa. "Tentu kau terkejut, kenapa tiba-tiba saja aku datang
kemari" berkata Pangeran Indrasunu.
"Ya. Aku menjadi sangat terkejut, karena aku belum
mengenal tamu-tamuku" sahut Mahendra.
"Aku Pangeran Indrasunu dari Kediri" jawab Pangeran
yang masih muda itu. "O" Mahendra mengangguk-angguk "jadi Pangeran
berasal dari Kediri"
"Ya. Dan kakak perempuanku adalah isteri Pangeran
Wirapaksi" berkata Pangeran Indrasunu pula.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Jadi
Pangeran ini adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi"
"Ya. Bukankah kau sudah mengenal kakangmas
Wirapaksi?" bertanya Pangeran Indrasunu.
"Tentu. Tentu aku sudah mengenalnya" jawab
Mahendra. "Baiklah. Dan kau tentu tahu, bahwa Pangeran
Wirapaksi adalah seorang bangsawan yang berpengaruh di
Singasari" berkata Pangeran muda itu pula.
Mehendra mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu
maksud Pangeran itu. Tetapi ia tidak membantahnya.
Pangeran Wirapaksi memang seorang yang berpengaruh. Ia
seorang -Senopati yang baik diantara Senopati-senopati
yang lain dari kalangan para bangsawan. Umurnya masih
tergolong muda, tetapi ia memang lebih tua dari Pangeran
Indrasunu. Sebenarnyalah Pangeran Wirapaksipun
mempunyai darah Kediri meskipun ia juga berdarah
Singasari. Sejenak Pangeran Indrasunu terdiam. Namun kemudian
ia berkata "Ki Mahendra, apakah benar bahwa Mahisa
Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan berada di rumah ini?"
Mahendra menjadi semakin heran mendengar
pertanyaan itu. Namun iapun menjawab "Ya Pangeran.
Mereka memang berada di sini. Tetapi mereka baru saja
kembali ke Kota Raja. Mereka sudah terlalu lama
meninggalkan kewajiban mereka"
"Jadi mereka telah pergi ke Kota Raja?" Pangeran
Indrasunu terkejut"kapan mereka berangkat?"
"Hari ini" jawab Mahendra "jika Pangeran mengambil
jalan yang juga dilalui oleh mereka, tentu Pangeran akan
berpapasan" "Tetapi aku tidak bertemu dengan mereka" desis
Pangeran itu. "Apakah Pangeran mempunyai keperluan dengan
mereka?" bertanya Mahendra.
Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan suara sendat ia berkata "Ki Mahendra.
Aku hanya ingin bertanya, apakah mereka kembali ke
rumah ini bersama seorang gadis kemenakan Ki Mahisa
Agni" Wajah Mehendra menegang sejenak. Namun kemudian
ia menjawab dengan hati-hati "Ya Pangeran. Mereka
memang kembali dengan seorang gadis kemenakan kakang
Mahisa Agni, yang juga kemenakanku"
"O" Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Sejenak
ia termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata "dari
manakah sebenarnya gadis itu" Aku bertemu dengan gadis
itu di hutan perburuan, menjelang gadis itu datang ke
rumah ini. Aku saat itu sedang berburu. Sementara gadis itu
sedang beristirahat bersama Ki Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan sambil menghangatkan diri di depan
perapian" Mahendra tidak segera menjawab. Ia mencoba mencari
sasaran dan arah pertanyaan Pangeran Indrasunu itu.
Untuk sesaat Pangeran Indrasunu terdiam.
Dipandanginya wajah Mahendra yang memancarkan
pertanyaan itu. Namun kemudian Pangeran yang masih muda itupun
bertanya pula "Apakah gadis itu ada di rumah sekarang?"
Mahendra benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia
menjawab sebagaimana adanya "Ya Pangeran. Gadis itu
ada di rumah" "Apakah ia tidak turut ke Kota Raja" bertanya Pangeran
muda itu. "Tidak. Ia berada di rumah, karena perjalanan ke Kota
Raja bukannya satu tamasya" jawab Mahendra.
"Baiklah. Jika demikian aku akan berterus terang
kepadamu Ki Mahendra, karena gadis itu sebagaimana
pengakuanmu, adalah kemenakan Mahisa Agni dan itu
berarti kemanakanmu juga" Pangeran Indrasunu itupun
berhenti sejenak, lalu katanya pula "karena itu, aku dapat
mengatakannya kepada Mahisa Agni, tetapi aku dapat juga
mengatakannya kepadamu"
Mahendra menjadi semakin berdebar-debar. Sementara
itu Pangeran yang masih muda itu berkata, selanjutmu "Ki
Mahendra. Aku baru melihat sekilas gadis itu. Teiapi aku
merasa tertarik kepadanya. Sekarang aku datang untuk
melihat, apakah aku benar-benar memang tertarik. Jika aku
benar-benar tertarik kepadanya, aku akan membawanya ke
Kediri" Jantung Mahendra bagaikan dihentak oleh sebongkah
batu padas. Ditahankannya gejolak perasaan itu di
dadanya. Namun bagaimanapun juga, nampak pada
wajahnya betapa ia menahan diri.
Tetapi Pangeran yang masih muda itu menangkap kesan
itu lain. Ia tahu bahwa Mahendra terkejut mendengar
keterangannya. Namun ia menganggap bahwa kemudian
Mahendra itu merasa dirinya sangat beruntung, karena
kemanakannya akan diambil oleh seorang Pangeran.
Karena itu maka katanya "Ki Mahendra. Aku baru akan
melihatnya. Jika aku tertarik seperti sentuhan perasaanku
pada malam itu, aku baru akan mengambilnya. Jika
ternyata aku tidak tertarik, kau jangan menjadi kecewa
karenanya" Dada Mahendra bagaikan menjadi pecah karenanya.
Namun bagaimanapun juga ia berusaha untuk menahan
diri. Pangeran itu adalah Pangeran dari Kediri yang
kedatangannya di Singasari merupakan tamu seorang
bangsawan Singasari yang masih berdarah Kediri pula.
Namun yang merasa dirinya sudah menjadi bagian dari
Singasari dalam keseluruhan.
Baru setelah gejolak di dadanya itu mereda, Mahendra
menjawab "Pangeran. Sebenarnyalah kemanakanku itu
masih terlalu kanak-kanak untuk mempersoalkan hubungan
dengan seorang laki-laki. Aku merasa berbahagia sekali
karena Pangeran telah berkenan untuk datang dan merasa
tertarik kepadanya, meskipun mungkin hal itu tidak akan
berkelanjutan. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku kira
kemanakanku itu masih memerlukan waktu untuk mengerti
perasaan seorang laki-laki"
Pangeran Indrasunu mengerutkan keningnya. Ia agak
heran mendengar jawaban Mahendra, yang dikiranya akan
menerima permintaannya itu dengan gembira sekali.
Namun ternyata Pangeran yang masih muda itu
kemudian menganggap bahwa Mahendra hanya sekedar
berbasa basi saja. Karena itu maka katanya "Jangan
berbelit-belit Ki Mahendra. Sebaiknya kau panggil
kemanakanmu dan aku akan menilainya sekali lagi.
Mungkin aku memerlukannya dan aku akan membawanya
ke Kediri. Bahkan mungkin aku akan dapat mengambilnya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai isteri yang sebenarnya, karena ternyata ada juga
seorang Pangeran di Kediri yang mempunyai seorang isteri
gadis pedesan" Mahendra masih saja menahan diri. Tetapi ia berkata di
dalam hati "Jika anak ini tidak segera pergi, mungkin aku
akan kehilangan kesabaran"
Tetapi sementara itu Pangeran itu masih berkata "Ki
Mehendra, jika kau pernah mendengar nama Pangeran
Kuda Padmadata dari Kediri, maka kau akan mengetahui
bahwa gadis padepokan yang dibawanya ke istananya itu
ternyata dapat juga berusaha menyesuaikan diri. Karena
itu, jika kemanakanmu itu memang mempunyai
keberuntung an yang baik, mungkin ia akan dapat aku
angkat menjadi isteriku yang sebenarnya"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia
ingin melepaskan segala kesal didalam hatinya bersama
dengan pelepasan nafasnya yang panjang.
Katanya kemudian dengan hati-hati "Aku mohon maaf
sekali lagi Pangeran. Aku harap Pangeran
mempertimbangkan masak-masak bersama Pangeran
Wirapaksi. Mungkin Pangeran Wirapaksi akan dapat
memberikan beberapa pendapat tentang hal ini kepada
Pangeran" "Kenapa aku harus minta pendapatnya?" bertanya
Pangeran Indrasunu "aku sudah dewasa. Aku sudah dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Karena
itu, aku kira aku tidak perlu mendapat nasehat dari orang
lain. Sebenarnyalah aku juga telah mengatakannya bahwa
aku akan datang kemari. Yang menunjukkan rumah ini
kepadaku juga Pangeran Wirapaksi meskipun ia tidak tahu
pasti maksud kedatanganku. Tetapi ia tentu dapat
menduga-duga karenanya"
"Meskipun demikian, aku mohon Pangeran
mempertimbangkannya sekali lagi. Sebaiknya Pangeran
memang berbicara dengan Pangeran Wirapaksi, apakah
yang sebaiknya Pangeran lakukan. Segalanya bagi kebaikan
segala pihak, agar tidak ada yang menyesal di kemudian
hari" berkata Mahendra sambil menahan dadanya yang
akan meledak. Tetapi Pangeran itu tertawa, katanya "Karena itu aku
ingin bertemu sekali lagi dengan kemanakanmu itu agar aku
tidak kecewa dan menyesal. He, apakah aku perlu menemui
orang tuanya jika ternyata aku menyukainya dan akan
membawanya ke Kediri?"
Mahendra hampir saja kehabisan akal dan bertindak
kasar terhadap Pangeran dari Kediri itu. Namun dengan
susah payah ia berusaha mengekang diri. Jika ia bertindak,
langkah Pangeran Indrasunu masih belum jelas. Mungkin
Pangeran itu tidak benar-benar akan membawa Ken Padmi
setelah Pangeran itu melihatnya sekali lagi.
Karena itu, maka Mahendra akhirnya mengambil
keputusan untuk mempertemukannya sekali lagi dengan
Ken Padmi. Namun demikian ia berpesan "Pangeran. Aku
akan memanggil gadis itu. Ia akan membawa hidangan
kemari. Tetapi Pangeran jangan memberikan keputusan
dihadapan gadis itu. Biarlah ia berlalu tanpa mengetahui
maksud kehadiran Pangeran. Baru kemudian Pangeran
mengatakannya segala sesuatunya kepadaku. Apakah
Pangeran bersedia?" Sejenak Pangeran Indrasunu itu termangu-mangu.
Namun akhirnya ia berkata "Baiklah. Tetapi aku tidak biasa
dibatasi dengan ketentuan-ketentuan seperti itu"
"Mungkin Pangeran tidak terbiasa. Tetapi hal ini penting
sekali bagiku" sahut Mahendra.
Pangeran Indrasunu tidak menolak lagi. Sementara ia
menunggu dengan para pengawalnya, maka Mahendra pun
pergi ke belakang untuk menemui Ken Padmi agar gadis itu
menyuguhkan hidangan kepada tamu-tamunya.
"Minuman panas dan makanan apa saja yang ada" desis
Mehendra. Ken Padmi sama sekali tidak memikirkan maksudmaksud
lain dari tamu-tamunya. Karena itu, makaia sama
sekali tidak membenahi dirinya. Pakaiannya dan bahkan ia
sama sekali tidak menyeka keringat di wajahnya.
Justru Mahendra dengan sengaja membiarkannya, agar
ada kesan yang sederhana bahkan agak kotor atas gadis
yang bernama Ken Padmi itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun sama sekali tidak
menyangka bahwa tamu-tamunya itu mempunyai
kepentingan tertentu terhadap Ken Padmi, yang mereka
ketahui, seorang gadis yang mempunyai ikatan khusus
dengan kakak mereka, Mahisa Bungalan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian Ken Padmi telah
menghidangkan minuman dan makanan kepada tamutamunya.
Namun gadis itu terkejut ketika ia melihat bahwa
tamu itu adalah Pangeran yang dijumpainya di hutan
perburuan. Meskipun demikian Ken Padmi berusaha untuk tidak
memberikan kesan apapun juga. Ia meletakkan
hidangannya dihadapan para tamunya. Kemudian iapun
beringsut surut. Sejenak Ken Padmi bergeser menjauh,
namun iapun segera meninggalkan pendapa.
Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu sengaja
memperhatikan gadis itu baik-baik. Memang ada kesan
bahwa gadis itu sangat sederhana dan bahkan agak kotor.
Karena itu, maka kesan yang didapatkannya jauh berbeda
dengan isteri Pangeran Kuda Padmadata. Perempuan yang
kemudian menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata itupun
seorang perempuan padepokan. Namun ketika ia bertemu,
maka perempuan itu sama sekali tidak lagi dapat dibedakan
dengan perempuan-perempuan berdarah bangsawan. Baik
cara berpakaian, cara berbicara dan sikapnya dalam
keseluruhan. Sedangkan perempuan yang dihadapinya itu benar-benar
seorang perempuan yang sederhana dan sikapnyapun masih
dapat dilihat jelas, sikap seorang gadis padepokan.
Namun ketika Pangeran Indrasunu memandang wajah
gadis itu, maka darahnya tersirap. Gadis yang sederhana itu
adalah gadis yang sangat cantik. Justru keringat di kening
dan wajah yang kemerah-merahan, membuat gadis itu
seolah-olah semakin cantik.
Karena itu, maka ketika gadis itu telah meninggalkan
pendapa, Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya Mahendra sejenak. Kemudian katanya "Ki
Mahendra. Ternyata kemanakanmu memang seorang gadis
yang cantik. Aku benar-benar tertarik kepadanya. Karena
itu, maka aku beritahukan kepadamu bahwa kemanakanmu
itu aku kehendaki dan akan aku bawa ke Kediri. Kau dapat
mengucap sukur atas karunia yang kau terima karena satu
diantara keluargamu telah dikehendaki oleh seorang
Pangeran dari Kediri, meskipun untuk sementara ia akan
menjadi isteri peminggir. Tetapi jika ia berhasil
menyesuaikan diri, maka ada kemungkinan ia akan menjadi
isteriku yang sebenarnya"
Betapa panasnya telinga Mahendra mendengar kata-kata
Pangeran yang masih muda itu. Hampir saja ia berteriak
mengusirnya. Namun sekali lagi ia berusaha untuk
menahan dirinya. Dengan tersendat-sendat ia berkata "Pangeran. Aku
berterima kasih atas perhatian Pangeran terhadap
kemanakanku itu. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku
tidak akan dapat menyerahkannya segera. Meskipun ia
kemanakanku, tetapi yang membawanya kemari bukannya
aku, tetapi kakang Mahisa Agni dan Witantra. Karena itu,
maka segala sesuatunya tergantung sekali kepada keduanya.
Jika kedua sependapat, maka akupun tidak akan dapat
mencegahnya. Sebaliknya jika keduanya berkeberatan,
maka aku tidak akan dapat memaksanya.
Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam.
Dengan suara lantang ia berkata "Ki Mahendra. Apakah
kau sadar, dengan siapa kau berhadapan?"
"Aku sadar sepenuhnya Pangeran" jawab Mahendra.
"Aku bukan saja seorang Pangeran terpenting di Kediri.
Tetapi aku adalah adik ipar Pangeran Wirapaksi dari
Singasari" geram Pangeran itu.
"Aku mengerti sepenuhnya Pangeran" jawab Mahendra
" akupun mengenal Pangeran Wirapaksi sebaik-baiknya"
"Nah, jika demikian, kenapa kau masih ngelantur untuk
menunggu Mahisa Agni dan Witantra?" bertanya Pangeran
itu. Jantung Mahendra benar-benar bagaikan membara.
Dipandanginya Pangeran Indrasunu yang masih muda itu.
Meskipun demikian Mahendra masih menahan diri dan
berkata "Pangeran. Justru aku mengenal Pangeran
Wirapaksi dengan baik, maka aku telah bertindak sesuai
dengan cara yang paling baik bagi segala pihak. Pangeran
Wirapaksi bukan seseorang yang akan memaksakan
kehendaknya terhadap orang lain"
Pendekar Pemanah Rajawali 19 She Karya Windhy Puspitadewi Prabarini 1
^