Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 29

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 29


Pangeran Indrasunu menegang sejenak. Katanya "Kau
jangan memutar balikkan keteranganmu. Bagaimana pun
juga aku mempunyai hak untuk mengambil kemanakanmu
itu" "Kau bukan orang Singasari" bantah Mahendra yang
hampir kehabisan kesabaran "hak apa yang dapat kau sebut
untuk memaksakan kehendakmu itu. Pangeran, kembalilah.
Laporkan semuanya ini kepada Pangeran Wirapaksi. Maka
kaulah yang akan mendapat nasehatnya, bahwa sebenarnya
kau telah bersalah. Tidak seorangpun bangsawan Singasari
yang akan bertindak sekasar Pangeran"
Wajah Pangeran Indrasunu menjadi merah padam.
Dengan garang ia berkata "Mahendra. Kau tahu betapa
besarnya kekuasaanku di Kediri"
"Berapapun besarnya kekuasaanmu di Kediri, maka
kekuasaan itu tidak akan dapat melimpah sampai ke
Singasari. Apalagi Kediri termasuk daerah Singasari pula"
jawab Mehendra. Kemarahan Pangeran Indrasunu tidak dapat dibendung
lagi. Dengan demikian maka iapun telah memberikan
isyarat kepada para pengawalnya. Sehingga dalam pada itu,
seorang pengawal yang bertubuh tinggi, tegap berdada
bidang telah melangkah maju sambil berkata "Sudahlah Ki
Mahendra. Jangan memaksa aku untuk bertindak. Lakukan
apa yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu. Kau tidak
akan mempunyai kesempatan lagi. Seandainya hal ini kau
anggap salah dan kau laporkan kepada para penguasa di
Singasari, maka Pangeran Wirapaksi akan dapat mencegah
segala tindakan yang akan diambil oleh para penguasa di
Singasari" "Kalian salah mengerti tentang Singasari" berkata
Mahendra "di Singasari para penguasa berusaha untuk
bertindak adil. Bahkan Pangeran Wirapaksipun akan
berusaha untuk bertindak adil"
Tetapi orang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang
itu berkata mantap "Mungkin aku memang tidak banyak
mengetahuinya. Tetapi serahkan saja gadis itu. Dan kau
akan luput dari tindak kekerasan"
"Ki Sanak" berkata Mahendra "kaupun salah hitung atas
kami. Kekerasan adalah warna hidupku sejak aku muda.
Aku adalah salah seorang, hamba di Singasari yang dikenal
sebagai seorang petualang yang dalam pengembaraan selalu
dibayangi oleh tindakan kekerasan. Tetapi sudah tentu
bahwa tidak semua kekerasan dapat dibenarkan. Dalam
persoalan ini aku mohon agar kalian tidak mempergunakan
kekerasan. Aku mohon sekali lagi, agar kalian
menghubungi Pangeran Wirapaksi lebih dulu, sementara
aku menunggu kakang Mahisa Agni dan Witantra"
"Aku tidak pernah bekerja dengan lamban" jawab orang
bertubuh raksasa itu "aku adalah pengawal Pangeran
Indrasunu yang hanya tunduk kepada perintah Pangeran
Indrasunu" "O" Mahendra mengangguk-angguk "kau memang aneh
Ki Sanak. Tetapi baiklah. Jika Pangeran Indrasunu
memaksa, maka aku akan mempertahankannya, Aku
bertanggung jawab atas keselamatan kemanakanku itu.
Karena itu, maka akupun akan mempertahankannya"
"Kau mencari perkara Ki Sanak" berkata orang bertubuh
raksasa itu " kau hanya seorang diri. Kau lihat, kami datang
bersama beberapa orang"
"Kau boleh membawanya jika kau sudah tidak
melihatnya lagi Ki Sanak" berkata Mahendra "karena itu,
maka aku tidak peduli berapa orang yang datang ke
halaman rumahku" Wajah orang itu menegang. Tiba-tiba saja ia berpaling
kepada Pangeran Indrasunu. Dengan suara ragu ia berkata
"Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan melakukan
pembunuhan di tlatah Singasari atau orang Singasari"
"Lakukan perintahku" bentak Pangeran Indrasunu
"tetapi sebaiknya jangan kau bunuh orang itu. Lumpuhkan
saja. Biarlah ia menyaksikan betapa kemanakannya merasa
bahagia karena ia dikehendaki oleh seorang Pangeran"
Orang bertubuh raksasa itu mengangguk sambil
menjawab "Baiklah Pangeran. Aku akan
melumpuhkannya. Mungkin ia akan cacat seumur
hidupnya. Tetapi ia akan merasa bahagia kelak, jika
kemanakannya itu datang menengoknya dan membawa
oleh-oleh yang terlalu baik baginya"
Mahendra tidak menyahut. Namun kemudian orang
bertubuh tinggi tegap itu bertanya "Apakah kau akan
melawan aku?" Mahendra menjawab "Ya. Aku akan mempertahankan
hakku diatas tanahku"
"Baiklah. Aku mohon Ki Sanak turun ke halaman"
berkata orang bertubuh raksasa itu.
Mahendra tidak menunggu lagi. Ia benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Karena itu, maka iapun segera
bangkit dan melangkah turun ke halaman tanpa
menghiraukan tamunya"
Orang-orang Kediri itu memang merasa heran melihat
sikap Mahendra yang terlalu yakin akan dirinya. Namun
dalam pada itu merekapun segera mengikutinya turun ke
halaman pula. Di halaman Mahendra berdiri tegak sambil berkata
"Marilah. Apa yang kalian kehendaki" Memukuli aku
sampai pingsan atau membuat tubuhku cacat" Tentu satu
tantangan bagi Singasari. Kakang Mahisa Agni dan
Witantra adalah prajurit-prajurit Singasari. Aku menjadi
cacat karena aku mempertahankan kemanakan yang
mereka bawa kepadaku"
Orang bertubuh raksasa itu mengkerutkan keningnya.
Namun Pangeran Indrasunu berkata "Jangan kau harapkan
bahwa Senopati Singasari itu akan dapat menuntut apapun
juga karena sikap sekarang ini. Kakangmas Wirapaksi akan
dapat bertindak atas mereka. Bahkan saudara-saudaramu
itu akan dapat dilepas dari jabatannya"
"Demikian mudahnya?" bertanya Mahendra.
"Apakah kesulitannya" Kakangmas Wirapaksi
mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk berbuat
demikian" jawab Pangeran Indrasunu.
"Jika demikian, aku akan menentangnya sekaligus.
Bukan hanya karena Pangeran Indrasunu akan mengambil
kemanakanku, tetapi juga karena Pangeran Wirapaksi akan
mengganggu kedudukan saudara-saudaraku"
Sikap Mahendra memang sangat menjengkelkan
Pangeran yang masih muda itu sehingga iapun kemudian
hampir berteriak "He, kau menunggu apa lagi"
Orang bertubuh raksasa itu memang menjadi ragu-ragu.
Tetapi ketika Pangeran Indrasunu membentaknya, maka
iapun segera mempersiapkan diri. Katanya "Nah kau
dengar, bahwa Pangeran Indrasunu telah memerintahkan
kepadaku untuk segera bertindak"
"Lakukanlah, apa yang harus kau lakukan" sahut
Mahendra. Orang bertubuh raksasa itupun kemudian beringsut
maju. Namun ia masih berusaha untuk memperingatkan
Mahendra. Katanya "Ki Sanak, apakah kau benar-benar
tidak dapat mengambil jalan lain?"
"Aku tidak mempunyai jalan apapun yang dapat aku
pergunakan untuk mempertahankan kemanakanku itu"
jawab Mahendra. Namun dalam pada itu Pangeran Indrasunu telah
membentak sekali lagi "Cepat. Jangan menunggu aku
kehabisan kesabaran, sehingga aku sendiri yang akan
bertindak" Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia sudah bersiap untuk bertindak. Ketika ia
melangkah maju, iapun berkata "Nampaknya kau tidak
mempunyai kesempatan. Sebetulnya aku segan melakukan
hal ini. Aku lebih senang berhadapan dengan Senopati yang
manapun juga, meskipun ia Senopati Singasari"
"Lakukan tugasmu. Tetapi jika kau mengalami kesulitan,
hal itu terpaksa aku lakukan untuk membela diri" jawab
Mahendra. Orang bertubuh raksasa itu tidak menjawab lagi. Ia
mulai berkisar, dan tangannyapun mulai bergerak.
Mahendrapun telah mempersiapkan diri. Ia akan
menghadapi apapun juga yang terjadi. Bahkan seandainya
Pangeran Indrasunu dan semua pengawalnya akan turun ke
arena" -oo0dw0oo- Jilid 24 KERIBUTAN ternyata telah didengar oleh Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti. Karena itu, maka merekapun
telah mengintip dari balik seketheng.
Bahkan Ken Padmipun telah mendengarnya pula.
Perlahan-lahan ia beringsut mendekat sambil bertanya "Apa
yang terjadi?" "Ayah akari berkelahi. Meskipun ayah sudah semakin
tua, tetapi ia masih saja berkelahi" desis Mahisa Murti.
"la membela diri" sahut Mahisa Pukat "apakah orangorang
tua harus membiarkan dirinya dipukuli?"
"Tentu tidak" jawab Mahisa Murti "nampaknya
ayahpun tidak mau dipukuli. Baginya lebih baik pukulpukulan
dari pada dipukuli saja"
"Ssst" Ken Padmi berdesis. Namun agaknya gadis itu
dapat menerka apa yang telah terjadi. Ketika sekali ia
mendengar namanya disebut oleh Pangeran muda yang
masih saja membentak-bentak itu, maka tahulah Ken
Padmi, apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu itupun
masih membentak orang bertubuh raksasa itu "Hancurkan
orang itu Ia lebih sayang kepada Ken Padmi itu dari pada
nyawanya sendiri" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mulai mendugaduga,
apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun mereka
sama sekali tidak menyebut apapun juga selain
memperhatikan keadaan itu dengan seksama.
"Jika ada orang lain yang melibatkan diri, akupun akan
turun" desis Mahisa Pukat.
"Tentu" sahut Mahisa Murti "tetapi biarlah kita tunggu
apa yang terjadi" Ken Padmi sendiri tidak mengatakan sesuatu. Namun
debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Tiba-tiba
saja iapun teringat aoa yang telah terjadi di padepokannya
sejak ia meningkat dewasa. Dan iapun mulai menilai
kepergiannya dari padepokan kecilnya, la meninggalkan
padepokannya untuk menghindari kemungkinankemungkinan
yang buruk yang dapat terjadi atas dirinya.
Tiba-tiba di tempat inipun telah terjadi pula hal yang
serupa. Bahkan ia bertanya di dalam hati "Apakah ayah Mahisa
Bungalan itu akan mampu bertahan, la sudah melihat
kemampuan Mahisa Bungalan sendiri, Mahisa Agni dan
Witantra. Tetapi bagaimana dengan Mahendra.
Sejenak kemudian ia melihat, Mahendra mulai bergeser
menghindar ketika lawannya yang bertubuh raksasa itu
menyerang. Namun lawannya itupun telah memburunya,
sehingga Mahendra baru berkisar sekali lagi.
Rasa-rasanya Ken Padmi ingin meloncat turun ke
halaman. Namun karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih berada di balik seketheng, maka iapun masih fetap
berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu, di halaman talah terjadi pertempuran
antara Mehendra melawan orang bertubuh raksasa itu. Atas
perintah Pangeran Indrasunu seseorang telah menutup
pintu regol agar tidak seorangpun dapat masuk.
Orang bertubuh raksasa itupun kemudian menyerang
Mahendra semakin cepat. Terasa betapa kekuatannya
menghentak-hentak pada ayunan tangan dani kakinya.
Mahendra ternyata masih saja selalu-menghindar, ia
berloncatan mengimbangi kecepatan gerak lawanya.
Dengan demikian serangan-serangan beruntun dari orang
bertubuh raksasa itu sama sekali tidak mengenainya.
Orang bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar.
Sebenarnya ia masih mempunyai beberapa pertimbangan,
untuk dengan langsung menghukum lawannya yang
menurut pendapatnya memang tidak bersalah. Namun
setelah serangannya beberapa kali gagal, muka diluar
sadarnya ia bergerak semakin cepat pula.
Tetapi orang bertubuh raksasa itu masih belum
mempergunakan kekuatan sepenuh tenaganya. Ia masih
ingin mengenai lawannya untuk sekedar menjajagi daya
tahannya. Namun tamyata bahwa Mahendra tidak dapat
dikenainya. Orang bertubuh raksasa itu mulai menilai lawannya.
Apalagi ketika beberapa lama mereka berkelahi, ia masih
belum menyentuh berhasil lawannya, maka Pangeran
Indrasunu mulai berteriak membentak-bentak.
"Apakah kau tidak mampu melakukannya he?" teriak
Pangeran yang masih muda itu.
Orang bertubuh raksasa itu mulai gelisah. Sementara
Mahendrapun ternyata dapat mengerti, bahwa orang
bertubuh raksasa itu bukan orang yang kasar sebagaimana
nampak pada tubuhnya. Namun karena bentakan-bentakan Pangeran Indrasunu
sajalah maka orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin
garang, la mulai mengerahkan kemampuannya. Dengan
demikian maka geraknyapun menjadi semakin cepat dan
sambaran angin pada ayunan tangannyapun menjadi
semakin deras. Karena dengan demikian, maka Mahendra masih belum
juga dapat disentuhnya, maka orang bertubuh raksasa itu
akhirnya sampai juga ke puncak ilmunya.
"Bukan niatku mencelakaimu, apalagi membunuhmu
KiSanak. Tetapi aku menjalankan perintah Pangeran
indrasunu" desis orang itu.
"Ya. Aku mengerti" jawab Mahendra "meskipun
demikian, adalah kewajibanku untuk mempertahankan


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diriku" Orang bertuhuh raksasa itu tidak ingin mendapat
penilaian yang buruk dari Pangeran Indrasunu. Karena itu,
maka dengan segenap kemampuannya lapun menyerang
Mahendra semakin lama semakin cepat. Akhirnya, orang
bertubuh raksasa yang telah sampai ke puncak
kemampuannya itu bertempur bagaikan badai.
Itulah yang ditunggu oleh Mahendra. Dengan demikian
ia dapat menentukan takaran perlawanannya, kerena
sebenarnyalah kemumpuan orang bertubuh raksasa itu,
bukannya imbangan ilmunyu. Dengan demikian, sebelum
ia mendapat gambaran tingkat kemampuun lawannya,
Mahendra masih mencari-cari agar ia tidak dengan serta
merta mecelakai orang itu. Apalagi sebenarnyalah orang
bertubuh raksasa itu menurut penilaiannya bukannya
seorang yang jahat. Yang dilakukannya itu adalah sekedar
menjalankan perintah semata-mata.
Namun sementara itu, orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itupun menjadi berdebar-debar. Mereka
melihat bahwa orang bertubuh raksasa itu telah sampai
kepuncak ilmunya. Pangeran Indrasunupun mengerti,
bahwa orang bertubuh raksasa itu telah mengerahkan
segenap kemampuannya. Karena itu, maka menurut
penilaiannya, sebentar lagi maka Mahendrapun akan segera
jatuh terkapar di tanah. Berdasar atas perhitungan itu, maka tiba-tiba saja
Pangeran Indrasunu itu telah menjatuhkan perintah kepada
pengawalnya yang lain "Cari gadis itu. dan bawa ia kemari"
Dua orang pengawalpun segera meninggalkan halaman
naik ke pendapa. Mereka langsung memasuki ruang dalam
untuk mencari Ken Padmi yang mereka sangka ada di
dalam rumah itu. Ken Padmi melihat kedua orang yang naik ke pendapa
itu dari balik pintu seketheng. Mahaisa Murti dan Mahisa
Pukatpun melihat pula. Karena itu, maka Mahisa Pukatpun
berkata "Biarlah mereka mencarimu kemari Kami berdua
akan menyongsong mereka untuk mengucapkan selamat
datang" Ken Padmi termangu-mangu. Tetapi karena ia tidak siap
dalam pakaian tempurnya, maka iapun tidak menjawab.
Sebenarnyalah kedua orang pengawal itu telah
memasuki rumah Mahendra sampai ke longkangan dan
kemudian ke bagian belakang rumah yang cukup besar itu.
Mereka memasuki dapur dan ruangan-ruangan yang lain
Beberapa orang yang berada di rumah itu menjadi gelisah.
Namun seorang pelayan laki-laki kemudian berdesis
diantara kawan-kawannya di belakang dapur "Ki Mahendra
sedang bertempur di halaman"
Dua orang itu menjelajahi setiap bilik yang ada.
Akhirnya mereka turun ke longkangan gandok.
Langkah mereka tertegun ketika mereka melihat tiga
orang anak-anak muda berada di belakang pintu seketheng.
Seorang diantara mereka adalah Ken Padmi.
"Jangan bersembunyi" geram salah seorang dari kedua
pengawal itu. 13_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Namun jawaban Mahisa Murti telah mengejutkan kedua
pengawal itu. Katanya "Kami sedang mengintip permainan
yang asyik di halaman. He, apakah kau juga ingin bermainmain
seperti itu" Nampaknya kau dapat menjadi kawan
barmain yang baik" Kedua pengawal itu menegang. Mereka justru berhenti
beberapa langkah dari ketiga anak-anak muda itu. Dalam
pada itu, justru Mahisa Murtilah yang melangkah mendekat
sambil bertanya "Siapa yang kalian cari?"
"Aku akan mengambil gadis itu. Pangeran Indrasunu
menghendakinya" sahut salah seorang pengawal itu.
Mahisa Murti tertawa pendek. Katanya "Jangan ganggu
kakakku, ia belum lama berada di rumah ini"
"Minggir anak bengal" bentak pengawal yang iain
"biarkan aku menjalankan tugasku"
"Jangan tergesa-gesa" jawab Mahisa Murti "kalian harus
mendengarkan keteranganku. Gadis itu adalah kakakku.
Aku berdua tentu bertanggung jawab atasnya. "Karena itu,
jangan kau lakukan perintah Pangeran Indrasunu itu.
Kembalilah dan katakan bahwa Ken Padmi tidak mau
keluar dari persembunyiannya"
"Anak iblis" bentak pengawal itu "aku tidak punya
waktu untuk menyaksikan kau melucu seperti itu"
"Aku tidak melucu. Sama sekali tidak. Aku berkata
sebenarnya. Karena itu, pergilah. Jangan menunggu aku
mengusirmu dengan kekerasan"
Wajah kedua pengawal itu menjadi merah membara.
Karena itu salah seorang diantara keduanya maju sambil
membentak "Cukup. Aku hanya memerlukan Ken Padmi
yang dikehendaki Pangeran Indrasunu"
"He, mudah sekali menurut dugaanmu. Dikehendaki
oleh siapapun, tetapi kalau orang yang berkepentingan tidak
mau, kau tidak dapat memaksa" bentak Mahisa Pukat yang
tidak sabar. Kedua pengawal itupun menjadi, semakin marah. Yang
seorang membentak pula "Belum tentu kalau gadis itu tidak
mau. Yang kami perlukan bukan kau"
"Jika ia mau, ia tidak akan bersembunyi" sahut Mahisa
Pukat "ia tentu sudah berlari turun ke halaman dan
memeluk kaki Pangeran itu, Tetapi ia tidak berbuat
demikian" "Persetan" kedua pengawal itu sudah kehabisan
kesabaran, selangkah mereka maju sambil bersiap
menghadapi segala kemungkinan, sementara salah seorang
dari keduanya berkata "Marilah Ken Padmi, jangan kau
korbankan orang-orang di sekitarmu. Jika kau mendengar
perintah Pangeran Indrasunu, maka saudara-saudaramu
akan selamat semuanya"
Ken Padmi memandang kedua pengawal itu. Iapun
sebenarnya ingin menyelesaikan persoalan itu langsung
dengan kedua pengawal itu. Namun agaknya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun sudah siap pula"
"Keduanya adalah adik Mahisa Buiigalnfi" berkata Ken
Padmi di dalam-hatinya "tentu keduanyapun memiliki ilmu
yang cukup. Bahkan mungkin jauh lebih baik dari aku
sendiri" Karena itu, maka Ken Padmipun tidak beringsut dari
tempatnya. Dibiarkannya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menyelesaikannya. Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena jtu, maka
keduanyapun melangkah mendekat. Sementara Mahisa
Pukat akhirnya kehilangan kesabaran dan berkata
"Sebaiknya kalian kembali kepada Pangeran itu. Katakan,
Ken Padmi tidak mau datang kepadanya"
"Persetan" geram salah seorang pengawal "tutup
mulutmu atau aku robek sampai ketelinga"
"Jangan hanya berbicara saja. Lakukan jika kalian
mampu" geram Mahisa Murti.
Ternyata pengawal yang seorang itupun tidak dapat
menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat
menerkam dengan garangnya.
Tetapi Mahisa Murti sempat mengelak. Bahkan ketika
pengawal itu menggenggam senjata di tangan, Mahisa
Murtipun telah menarik pisau belati panjangnya.
Dalam pada itu Mahisa Pukatpun telah bersiap pula.
Seperti Mahisa Murti ia memegang sebuah belati panjang.
Sementara itu lawannya mempergunakan sebilah pedang.
Namun demikian, ketika mereka kemudian terlibat
Dalam pertempuran, pisau belati panjang di tangan kedua
anak muda itu mampu mengimbangi pedang yang lebih
besar dan lebih panjang. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah bertempur pula. Agaknya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sengaja ingin bertempur terpisah, sehingga
keduanyapun telah bergeser saling menjauhi.
Dalam pada itu, agaknya Mahendra dapat mengetahui
apa yang terjadi. Sambil bertempur ia dapat mendengar
meskipun tidak jelas, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah terlibat dalam perselisihan dengan pengawal
Pangeran itu. Dan Mahendrapun sudah dapat menerka
bahwa mereka tentu akan bertempur.
Ketika benturan-benturan senjata kemudian terjadi,
maka kedua pengawal itu telah menjadi berdebar-debar.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa kedua anakanak
muda itu mempunyai kekuatan yang cukup besar dan
kecepatan bergerak yang mendebarkan.
Justru karena itu, maka kedua pengawal itupun menjadi
semakin mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang
merekapun berputaran semakin cepat. Namun dalam pada
itu, kedua pengawal itu semakin jelas melihat kenyataan,
bahwa kedua anak muda itu memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Dalam pada itu, di halaman Mahendra bertempur
dengan sengitnya pula. Bukan karena ilmu keduanya
seimbang, tetapi Mahendra sengaja sekedar mengimbangi
tingkat kemampuan lawannya, sehingga dengan demikian
seolah-olah kedua orang itu memiliki kemampuan
setingkat. Pangeran Indrasunu menyaksikan pertempuran itu
dengan jantung yang berdebaran. Pangeran muda itupun
melihat, seolah-olah kemampuan Mahendra dengan orang
yang bertubuh raksasa itu memang seimbang. Pangeran
muda itu sama sekali tidak menyangka, bahwa sebenarnya
Mahendra hanya sekedar mengimbangi kemampuan
lawannya saja. Apalagi Mahendra mengetahui bahwa
sebenarnya lawannya bukan orang yang terlalu jahat. Orang
itu sudah mencoba menghindari pertengkaran. Tetapi ia
tidak mempunyai kesempatan untuk mengelakkannya.
Sehingga karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain
kecuali bertempur. Mahendrapun sadar, jika orang bertubuh raksasa itu
dapat dikalahkannya, maka ia tentu akan menerima
hukuman. Mungkin Pangeran Indrasunu akan mengangkat
orang lain untuk mengawalnya dan melemparkan saja
orang bertubuh raksasa itu. Sedangkan orang bertubuh
raksasa itu sendiri sama sekali tidak bersalah.
Karena itu, Mahendra telah memilih jalan yang mungkin
tidak akan menyebabkan orang bertubuh raksasa itu
mendapat celaan yang berlebihan. Mahendrapun bertempur
dengan kemampuan yang disesuaikan dengan kemampuan
orang itu setingkat demi setingkat, apabila orang bertubuh
raksasa itu masih mampu meningkatkan ilmunya.
Sebenarnyalah, maka lawan Mahendra itupun merasa
heran, bahwa setelah ia sampai ke puncak kemampuannya,
maka ia tidak berhasil menguasai lawannya. Lawannyapun
mampu mengimbanginya dalam tingkat ilmunya yang
tertinggi. "Orang ini luar biasa" berkata orang bertubuh raksasa itu
di dalam hatinya. Bahkan kemudian, justru karena ia
merasa heran atas kemampuan lawannya, maka iapun
berusaha menilainya secermat-cermatnya. Bahkan sekalisekali
ia dengan sengaja memberikan kesempatan bagi
lawannya. Tetapi lawannya tidak mempergunakan.
"Orang ini aneh sekali" berkata orang itu di dalam
hatinya. Justru karena ia berkelahi dengan alas yang
berbeda dengan orang-orang yang dibakar oleh dendam dan
kebencian, maka orang bertubuh raksasa itu dapat
memandang lawannya dengan pandangan mata hatinya
yang jernih. Lambat laun orang itu memang merasa curiga. Jika ia
menghentakkan ilmunya dengan tiba-tiba, atau dengan
kejutan yang tentu tidak disangka-sangka oleh lawannya,
maka lawannya itu masih saja dapat menghindar. Tetapi
lawannya itu, sama sekali tidak pernah berusaha
mendesaknya atau sekali-sekali dengan penuh tenaga
menyerangnya pada saat-saat ia berada dalam kesulitan.
"Mungkin orang ini sengaja memancing kelemahanku"
berkata orang itu di dalam hati, lalu "seolah-olah ia tidak
sempat melihat kesempatan-kesempatan yang terbuka.
Namun pada suatu saat, ia tentu akan menerkam aku
seperti seekor harimau menerkam seekor kancil yang
lemah" Namun ternyata bahwa lawannya itu tidak pernah
berbuat seperti yang diduganya itu. Bahkan menurut
pengamatannya, lawannya itu jarang sekali menyerangnya.
Semakin lama, pengamatannya yang cermat itupun
dapat mengambil satu kesimpulan, bahwa Mahendra tidak
bertempur dengan kemampuannya yang tertinggi.
Meskipun demikian, orang bertubuh raksasa itu tidak
mau melepaskan setiap kemungkinan karena ia sendiri tidak
yakin akan pengenalannya itu. Sehingga dengan demikian,
maka perkelahian di halaman itu masih saja berlangsung
dengan serunya. Berbeda dengan Mahendra, maka Mahisa Pukat dan
Mahisa Murtipun telah bertempur dengan tangkasnya
melawan lawannya yang bersenjata. Dengan pisau belati
panjang, kedua anak muda itu tela berhasil mendesak
lawannya. Meskipun senjatanya tidak sepanjang senjata
lawan, namun keduanya mampu bertempur dengan cepat.
Kedua pengawal Pangeran Indrasunu telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka. Senjata mereka berputaran,
menebas dan mematuk. Tetapi serangan-serangan mereka
itu tidak pernah berhasil menyentuh kulit kedua anak muda
itu. Bahkan Mahisa Pukat yang garang telah berhasil
mendesaknya sehingga pengawal itu hampir saja kehilangan
nyawanya. Demikian ia menusuk tubuh Mahisa Pukat,
maka Mahisa Pukat sempat memukul serangan itu ke
samping. Namun dengan serta merta, pedang itu berputar
dan terayun mendatar setinggi dada. Tetapi Mahisa Pukat
dapat menangkisnya pula dengan sentuhan ke atas. Namun,
dengan cepat lawan Mahisa Pukat itu memutar pedangnya,
dan dengan cepat mematuk dengan derasnya ke arah


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jantung. Sekali lagi Mahisa Pukat harus menangkis serangan itu.
Demikian pedang itu terjulur lurus, maka Mahisa Pukat
telah memukul pedang itu sekeras-kerasnya, sehingga
pedang itupun tergetar. Hampir saja pedang itu terlepas dari
genggaman. Namun untunglah bahwa lawannya masih
sempat memperbaiki genggaman tangannya itu, meskipun
betapa jari-jarinya merasa pedih.
Tetapi adalah mengejutkan sekali. Sebelum ia benarbenar
sempat memperbaiki pegangan itu Mahisa Pukatlah
yang kemudian menyerangnya. Pisau belatinya diangkatnya
tinggi-tinggi. Kemudian berputar dan menukik menyerang
lambung. Dengan serta merta lawannya meloncat ke samping. Ia
masih berusaha untuk tidak membenturkan senjatanya.
Namun tiba-tiba senjata itu terayun mengejar tubuh yang
sedang mengelak itu. Tidak ada kemungkinan lain daripada menangkis senjata
itu dengna senjatanya agar pisau belati lawannya itu lidak
menyentuh tubuhnya. Karena itu, maka iapun telah
menyilangkan pedangnya melawan ayunan pisau belati
panjang itu. Sekaji lagi telah terjadl benturan antara pedang,
pengawal itu deengan pisau belati panjang Mahisa Pukat.
Meskipun pisau belati itu lebih pendek dan lebih kecil,
namun ternyata tenaga Mahisa Pukat jauh lebih kuat dan
lebih besar dari tenaga lawannya sehingga ketika benturan
itu terjadi, Mahisa Pukat telah mengungkit senjata
lawannya dengan hentakan yang keras dan cepat.
Ternyata senjata lawannya itu tidak dapat diselamatkan
lagi. Hentakan itu benar-benar telah melemparkan senjata
pengawal Pangeran Indrasunu itu. Pengawal itu tergetar
Bukan saja tangannya, tetapi juga jantungnya Jari-jarinya
merasa pedih. Tetapi yang lebih pedih lagi adalah hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti telah bertindak
lebih jauh lagi. Meskipun ia memang tidak berniat untuk
membunuh namun ketika putaran senjatanya
membingungkan lawannya, maka serangannya berhasil
menyusup langsung menyentuh lambung lawannya.
Terdengar keluhan tertahan. Pengawal yang terluka ia
meloncat beberapa langkah surut, sekilas ia memandang
kawannya, seolah-olab ia ingin mendapat bantuannya.
Tetapi sekali lagi jantungnya tergetar. Ternyata
kawannya itu baru saja kehilangan senjatanya. Dengan
termangu-mangu kawannya itu berdiri tegak, seolah-olah ia
telah pasrah kepada maut di ujung belati lawannya yang
masih muda itu. Tetapi ternyata baik Mahisa Pukat maupun Mahisa
Murti tidak menghunjamkan pisatu belati mereka ke
jantung lawannya. Demikian lawan-lawan mereka
kehilangan kemampuan untuk melawan, maka anak-anak
muda itupun menghentikan serangan mereka.
"Apa katamu" bertanya Mahisa Pukat kepada lawannya
"apakah kau ingin menyelesaikan persoalan ini dengan
pertaruhan nyawamu, atau kau mempunyai sikap lain?"
Lawan Mahisa Pukat tidak menjawab, sementara
Mahisa Murti membentak lawannya "Pergi ke Pangeran
itu. Katakan kepadanya bahwa gadis yang bernama Ken
Padmi itu tidak mau dibawanya. Jika Pangeran itu tidak
percaya, biarlah ia bertemu langsung. Dan jika Pangeran itu
akan memaksanya, biarlah ia mencoba mengalahkan gadis
yang bernama Ken Padmi itu"
"Ah" desis Ken Padmi.
Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Jangan dikira bahwa
gadis itu dapat dipermainkan. Jika ia dapat mengalahkan
gadis itu maka ia akan dapat membawanya"
"Tidak" desis Ken Padmi "aku tidak mau apapun yang
dapat dilakukannya" Tetapi Mahisa Murtilah yang kemudian menyahut
"Yang benar, jika Pangeran itu dapat mengalahkan kakang
Mahisa Bungalan, maka ia akan dapat membawa Ken
Padmi" "Ah" sekali lagi Ken Padmi berdesis.
Tetapi ternyata yang dikatakan oleh kedua anak-anak
muda itu tidak sekedar masuk ke telinga kiri dan lenyap
lewat telinga kanan. Kedua anak-anak muda itu dianggap
benar-benar telah melontarkan tantangan bagi Pangeran
Indrasunu. Karena itu, maka salah seorang dari kedua
pengawal itu kemudian bertanya "Apakah aku dapat
mengatakan tantangan itu kepada Pangeran Indrasunu"
"Katakan. Jika ia dapat mengalahkan kakang Mahisa
Bungalan" jawab Mahisa Pukat.
Kedua orang pengawal itu termangu-mangu. Sementara
itu, Mahisa Murti membentak "Sekarang, cepat pergi. Atau
aku harus melubangi jantungmu"
Kedua pengawal itu melangkah surut. Kemudian dengan
tergesa-gesa keduanya meninggalkan longkangan itu ketika
Mahisa Murti membentaknya "Cepat, sebelum kami
mengambil keputusan lain"
Demikian pengawal itu turun ke halaman, maka
Pangeran Indrasunupun terkejut. Ia melihat seorang
pengawalnya telah berlumuran darah. Sementara orang
bertubuh tinggi besar itu masih belum berhasil mengalahkan
Mahendra. Bahkan semakin lama semakin nampak, orang
bertubuh raksasa itu menjadi semakin letih, sehingga
kemampuannyapun menjadi semakin menurun.
Dengan wajah tegang Pangeran Indrasunupun dengan
tergesa-gesa mendekati pengawalnya yang terluka sambil
bertanya "Kenapa" Siapakah yang telah melukaimu?"
Kedua pengawal yang telah dikalahkan oleh anak-anak
muda dilongkangan di belakang seketheng itupun ragu-ragu
sejenak. Namun dalam pada itu, Pangeran Indrsunu
membentaknya "Cepat. Katakan"
"Di dalam belakang seketheng ada dua orang anak muda
yang mengawal gadis yang Pangeran Maksudkan?" jawab
pengawal itu. "Siapa?" bertanya Pangeran itu dengan marah.
"Kami tidak mengetahuinya. Tetapi nampaknya mereka
adalah adik atau barangkali saudara sepupu gadis itu"
Pangeran itu membentaknya semakin keras.
"Tidak" suara kedua pengawal itu semakin lambat.
Bahkan pengawal yang terluka itu mulai menjadi gemetar
karena darah yang semakin mangalir dari lukanya.
Sementara itu, Mahendra yang bertempur sambil
mengimbangi kemampuan lawannya sempat, berkata
"Luka itu harus diobati, agar darahnya menjadi pampat"
Peringatan Mahendra itu memang menarik perhatian
Pangeran Indrasunu berpaling kepadanya. Namun iapun
membentak "Tutup mulutmu"
Namun Mahendra menjawab "Aku berkata sebenarnya.
Jika ia tidak segera mendapat pertolongan, justru karena
darahnya yang mengalir semakin banyak itu, nyawanya
akan terancam. Padahal korban itu tidak perlu, karena
lukanya sebenarnya tidak terlalu berbahaya. Tetapi jika ia
kehabisan darah, maka sebab kematiannya adalah justru
karena darahnya menjadi kering"
"Tutup mulut orang itu" perintah Pangeran Indrasunu
kepada pengawalnya yang bertubuh raksasa "kenapa kau
tidak segera melakukannya?"
Orang bertubuh raksasa itu semakin heran melihat
lawannya. Iapun berusaha semakin banyak mengenalinya.
Apakah sebenarnya yang akan dilakukannya. Namun
dalam pada itu, ia masih harus bertempur dalam puncak
kemampuannya, karena lawannya yang bernama Mahendra
itupun bertempur pada tataran yang setingkat dengan
puncak kemampuannya itu. Dalam pada itu, ternyata orang yang terluka itu menjadi
semakin lemah. Darahnya masih saja mengalir tanpa
terbendung. Meskipun luka itu sendiri tidak terlalu parah.
Pangeran Indrasunu ternyata sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan ia masih saja membentak orang
bertubuh raksasa itu "Cepat selesaikan orang itu. Kemudian
dua orang yang telah melukai pengawal-pengawalku"
Tetapi Pangeran Indrasunu tidak memerintahkan kepada
pengawalnya yang lain untuk mengambil Ken Padmi,
karena pengawal yang lain itupun akan dapat mengalami
nasib seperti yang dialami oleh pengawal yang terluka itu.
Namun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh
Pangeran Indrasunu adalah, bahwa Mahisa Murti dengan
tiba-tiba saja telah berlari mendekati pengawal yang terluka
itu. Sejenak kedatangannya telah menimbulkan kejutan bagi
para pengawal yang lain. Beberapa orang telah bersiaga.
Bahkan pengawal yang terluka itu sendiri, berusaha untuk
bersiap-siap. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Murti itu datang dengan
sebumbung kecil obat ditangannya. Katanya "Obat ini akan
memampatkan darahmu"
"Gila" geram Pangeran Indrasunu.
"Maaf Pangeran. Aku tidak berniat membunuhnya. Jika
ia terlambat mengobati lukanya, maka ia akan mati. Dan
aku akan menyesal bahwa aku telah membunuh orang yang
sebenarnya udak pantas untuk dibunuh" jawab Mahisa
Murti. "Jadi kau yang telah melukai pengawalku?" bertanya
Pangeran Indrasunu. "Ya" jawab Mahisa Murti.
"Bagus. Kau telah datang untuk membunuh dirimu"
Lalu katanya kepada para pengawal "tangkap anak ini"
Para pengawal yang sudah siap itupun mulai bergerak.
Tetapi Mahisa Murti seolah-olah tidak menghiraukannya.
Bahkan katanya "Sabarlah sedikit. Kalian dapat menangkap
aku setelah aku menyerahkan obat ini kepada kawanmu
yang terluka itu" Para pengawal itupun menjadi termangu-mangu.
Sementara Mahisa Murti tanpa menghiraukan mereka,
telah berjongkok disamping pengawal yang terluka, yang
karena kelemahan tubuhnya telah terduduk di pinggir
halaman. Dengan tenang Mahisa Murti membuka bumbung kecil itu
dan kemudian berkata kepada pengawal itu "Berbaringlah,
agar aku dapat menaburkan obat ini pada lambungmu"
Seperti kehilangan dirinya sendiri, pengawal itu menurut
saja. Iapun kemudian berbaring agak miring, sementara
Mahisa Murtipun telah menaburkan obat yang dibawanya
itu pada luka yang masih berdarah.
Pengawal itu menyeringai menahan pedih yang
menusuk. Namun Mahisa Murti berkata "Memang agak
pedih. Tetapi obat ini bekerja cepat, sehingga lukamu akan
segera menjadi sembuh"
Sebenarnyalah luka itu terasa pedih dan nyeri. Bahkan
seakan-akan telah menjalar keseluruh tubuh. Namun dalam
pada itu darah dilambung itupun berangsur-angsur menjadi
pampat. "Jangan bangkit sampai darah itu benar-benar berhenti.
Setelah itupun kau harus menjaga, agar kau tidak terlalu
banyak bergerak sehingga darahmu benai bonar tidal akan
mengalir lagi" Seolah-olah diluar sadarnya pengawal itu mengangguk.
Dalam pada itu, Pangeran Indrasunu telah terpukau oleh
sikap Mahisa Murti. Bahkan mereka yang sedang
bertempur itupun berusaha untuk melihat apa yang telah
terjadi. "Anak itu adalah anakku" desis Mahendra.
"O" orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk.
Namun orang itu masih tetap menyerangnya.
"Kau tidak akan berhasil" akhirnya Mahendra berkata
"sebenarnya aku dapat berbuat lebih banyak. Jika para
pengawal itu benar-benar akan menangkapnya, maka aku
akan bertindak lebih jauh"
"Apa yang dapat kau lakukan?" bertanya orang yang
bertubuh raksasa itu. "Melawan kalian semuanya dan mengalahkannya"
jawab Mahendra. Ternyata jawab orang bertubuh raksasa itu mengejutkan
Mahendra. Katanya "Aku percaya. Sejak semula aku
menganggap bahwa caramu bertempur tidak wajar"
"Kalau begitu berhentilah" desis Mahendra.
"Jangan aku yang berhenti. Tetapi tolong, hentikan
perlawananku. Jika aku pingsan, maka tidak akan ada
tuduhan pengkhianatan" desis orang bertubuh raksasa itu.
Mahendra justru termangu-mangu. Ternyata orang
bertubuh raksasa itu tahu akan keadaannya. Tetapi ia tidak
dapat berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakainya. Jika
ia menyerah atau menghentikan perlawanan, maka ia akan
dapat dituduh berkhianat.
Mahendra memahami sepenuhnya akan hal itu. Karena
itu, maka katanya kemudian "Maaf, apakah aku harus
benar-benar melakukannya?"
"Ya. Tetapi akupun mengharap, jangan bunuh aku"
berkata orang bertubuh raksasa itu.
Demikianlah, maka pertempuran itupun nampaknya
menjadi semakin sengit. Sementara itu, Pangeran Indrasunu
menjadi semakin marah melihat keadaan para
pengawalnya. Namun tiba-tiba sekali lagi ia berteriak
"Tangkap anak itu"
Para pengawalpun telah bergerak pula. Selangkah
mereka maju mendekati Mahisa Murti yang masih sibuk.
Namun sekali lagi para pengawal itu termangu-mangu,
justru karena Mahisa Murti seolah-olah tidak menghiraukan
mereka. Namun Pangeran yang masih muda itu berteriak lebih
keras lagi "Cepat tangkap orang itu dan aku akan
mengadilinya karena ia sudah melukai pengawalku"
Para pengawal nampaknya tidak dapat berbuat lain.
Ketika mereka bergerak, maka Mahisa Murtipun telah
bangkit berdiri, sehingga para pengawal itupun tertegun
karenanya. "Baiklah" berkata Mahisa Murti, lalu "aku sudah selesai.
Apakah kalian benar-benar akan menangkapku?"
"Tutup mulutmu" bentak Pangeran Indrasunu "kau


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan diampuni"
"Aku tidak akan minta ampun" jawab Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, para pengawal itupun terkejut
ketika mereka mendengar seorang lagi berteriak dari tangga
seketheng "Jangan ampuni anak itu"
Ternyata Mahisa Pukat berdiri tegak sambil membawa
sebatang tombak pendek. Di tangannya yang lain ia
membawa sebilah pedang. Sambil mengacukan pedang itu
ia berkata "Mahisa Murti, sebaiknya kau bersenjata pedang
jika lawanmu cukup banyak. Akupun akan melawan
mereka dengan tombak pendek ini. Sementara itu, seorang
lagi diantara kita akan bertempur dengan pedang rangkap"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Ia tahu, yang
dimaksud tentu Ken Padmi.
Namun tiba-tiba saja Mahendra berteriak "Tidak. Tidak
ada yang akan bertempur dengan pedang rangkap.
Kalianpun tidak akan bertempur. Aku akan melawan
mereka semuanya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi termangumangu.
Namun tiba-tiba tata gerak ayah mereka itu
menjadi semakin cepat. Bagaikan amukan prahara ia
menyerang orang bertubuh raksasa itu.
Tidak ada orang yang tahu, apa yang telah terjadi.
Namun tiba-tiba saja orang bertubuh raksasa itu telah
terlempar dan jatuh terbanting di tanah.
Pangeran Indrasunu terkejut bukan buatan. Dengan
tergesa-gesa iapun berlari-lari mendekati orang bertubuh
raksasa itu. Namun ternyata ia telah pingsan.
Mahendra masih berdiri tegak ditempatnya. Kemudian
dengan suara lantang ia berkata "Nah, orang itu sudah aku
kalahkan. Sekarang, siapa yang akan menangkap anakku
itu" Ia sendiri akan dapat membela dirinya bersama
saudara-saudaranya. Tetapi aku adalah ayahnya. Aku akan
bertindak lebih jauh dari apa yang sudah aku lakukan"
Pangeran Indrasunu menggeretakkan giginya. Dengan
lantang ia berkata "Aku sendiri akan membunuhmu"
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun semuanya
berpaling ketika tiba-tiba saja Mahisa Pukat yang masih
berada di tangga seketheng berteriak "Tidak usah ayah
berbuat apa-apa. Sebenarnya persoalannya sudah jelas. Ken
Padmi akan melihat apakah Pangeran Indrasunu itu benarbenar
seorang laki-laki. Jika ia dapat mengalahkan Mahisa
Bungalan, maka semuanya akan dipertimbangkannya"
"Mahisa Pukat" potong Mahendra. Tetapi anak itu
sudah terlanjur mengatakannya. Bahkan Mahisa Murti pun
menyambung " sebuah sayembara tanding yang menarik.
Tentu Pangeran Indrasunu tidak sempat mengikuti
sayembara tanding di padepokan Kenanga. Karena itu,
maka ia akan mengikutinya di sini, jika ia benar-benar
memerlukan Ken Padmi"
"Mahisa Pukat" desis Ken Padmi dari balik seketheng
"Aku tidak mau. Itu saja"
Tetapi Mahisa Pukat yang nakal itu tidak
menghiraukannya. Bahkan iapun kemudian melangkah
turun ke halaman sambil berkata "Kedua pengawal itulah
yang seharusnya menyampaikan tantangan ini"
Mehendra tidak dapat mencegahnya lagi. Kedua
anaknya itu memang nakal sekali.
Namun demikian, seandainya hal itu yang harus terjadi,
maka Mahendrapun tidak berkeberatan. Menurut
perhitungannya, Pangeran itu tidak akan dapat
mengalahkan Mahisa Bungalan. Namun demikian, Mahisa
Bungalan tidak akan dapat mengabaikannya. Meskipun
Pangeran itu nampak tidak banyak bertindak langsung
karena pengawal-pengawalnya, bukan berarti bahwa ia
tidak memiliki ilmu yang cukup.
Mahendra menjadi berdebar-debar ketika Pangeran
Indrasunu itu menyahut "Aku terima tantangan Mahisa
Bungalan. Jika aku menang, aku berhak mengambil Ken
Padmi. Tetapi aku menjadi muak terhadap gadis itu,
sehingga setelah aku mempunyai hak atasnya maka aku
akan memberikannya kepada pengemis kudisan"
Tetapi sikap Mahisa Murti memang menjengkelkan.
Katanya "Ken Padmi berhak pula mencekiknya sampai
mati" Kemarahan Pangeran Indrasunu sudah memuncak
sampai ke kepala. Tetapi ia tidak dapat mengabaikan
kenyataan. Orang yang paling dipercaya telah dikalahkan
oleh Mahendra, sehingga pingsan. Sementara salah seorang
pengawalnya malahan sudah dilukai oleh Mahisa Murti.
Karena itu, maka Pangeran Indrasunu itupun kemudian
menggeram "Aku akan mengurungkan niatku kali ini.
Tetapi itu bukan berarti bahwa persoalanku sudah selesai,
tantangan untuk berperang tanding itu akan aku layani.
Aku akan membunuh Mahisa Bungalan di arena.
Kemudian mengambil Ken Padmi dan menyeretnya seperti
seekor lembu untuk aku serahkan kepada pengemis seperti
yang sudah aku katakan"
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia tertawa pendek.
Sangat menyakitkan hati. Tetapi Pangeran Indrasunu tidak
dapat berbuat apa-apa. Sejenak kemudian, maka Pangeran Indrasunu itupun
tekah memerintahkan para pengawalnya bersiap-siap untuk
meninggalkan tempat itu. Yang pingsan itupun perlahanlahan
telah sadar kembali. Namun tubuhnya menjadi
sangat lemah, sehingga ia perlu dibantu oleh seorang
pengawal yang lain. "Kalian telah berkhianat" geram Pangeran Indrasunu
"semuanya ini akan sampai ke telinga kakangmas
Wirapaksi" Sekali lagi Mahisa Pukat tertawa. Bahkan Mahisa
Murtipun tertawa pula sambil berkata "Sebaiknya memang
demikian. Jika Pangeran Indrasunu melaporkannya kepada
Pangeran Wirapaksi, maka Pangeran Wirapaksi akan
menghukummu. Di Singasari adat seperti yang Pangeran
lakukan itu tidak berlaku lagi. He, apakah Pangeran juga
masih dapat menyaksikannya di Kediri" Pangeran Kuda
Padmadata adalah seorang Pangeran yang berpengaruh.
Tetapi ia bersikap sangat baik dan ramah kepada siapapun"
"Persetan" geram Pangeran Indrasunu "apa yang kau
ketahui tentang Pangeran Kuda Padmadata"
Kedua anak Mahendra itu tidak menjawab lagi. Rasarasanya
mereka memang ingin mengusir Pangeran itu agar
segera meninggalkan halaman rumahnya.
Sejenak kemudian, maka Pangeran itu benar-benar telah
pergi. Mahisa Pukat dan Mahisa Murtipun mendekati
ayahnya sambil tersenyum.
"Pangeran itu memang memerlukan sedikit pelajaran"
berkata Mahisa Murti. "Ia tentu akan menyampaikan persoalan ini kepada
Pangeran Wirapaksi" desis Mahendra.
"Aku kira ada baiknya" sahut Mahisa Pukat "bukankah
ayah mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik"
"Aku mengenal Pangeran Wirapaksi dengan baik. Tetapi
Pangeran Indrasunu adalah adik iparnya" jawab ayahnya.
"Apakah mungkin hal itu akan sangat berpengaruh"
Mungkin Pangeran Wirapaksi akan dapat mempertimbang
kannya sebaik-baiknya" desis Mahisa Murti.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya "Baiklah. Kita menunggu perkembangan
keadaan. Mungkin Pangeran Indrasunu akan dapat
mengatakan yang tidak sebenarnya. Yang putih dikatakan
hitam, yang hitam dikatakan putih. Tetapi Mahisa Agni
dan Witantra tentu akan didengar pula keterangannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Merekapun kemudian mengikuti ayahnya ke seketheng,
karena mereka mengira bahwa Ken Padmi masih berada di
longkangan. Namun demikian mereka memasuki seketheng, mereka
terkejut karena mereka melihat Ken Padmi menangis di
serambi. "Ken Padmi" Mahendra mendekatinya dengan tergesagesa
"kenapa kau menangis" Segalanya telah selesai.
Pangeran itu telah pergi"
Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar. Ia mengira bahwa
Ke a Padmi marah kepadanya, karena ia telah mengatakan
bahwa Ken Padmi menuntut sayembara tanding.
"Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu" desis Mahisa
Pukat "aku justru ingin bergurau dengan Pangeran itu"
"Jika kau menolak sayembara tanding seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Pukat, Ken Padmi. Akulah yang
akan mengurusnya. Jika pimpinan pemerintahan di
Singasari melarang, maka hal itu tidak akan dapat
dilangsungkan" Tetapi Ken Padmi menggelengkan kepalanya. Katanya
"Tidak. Bukan karena sayembara tanding itu"
"Lalu, kenapa kau menangis?" bertanya Mahendra.
Diantara isaknya Ken Padmi berkata "Ternyata nasibku
terlalu buruk. Di padepokan Kenanga, aku telah
menimbulkan persoalan sehingga jatuh korban jiwa.
Beberapa orang terbunuh karena persoalanku langsung atau
tidak langsung. Kemudian aku telah menyingkir, betapapun
hatiku terasa pahit. Sebagai seorang gadis aku telah
mengikuti seorang laki-laki yang belum mempunyai satu
ikatan apapun juga. Namun dengan satu harapan, bahwa
aku akan hidup tenang dan tidak membuat persoalan bagi
orang lain. Tetapi ternyata bahwa disinipun telah terjadi
persoalan karena aku. Agaknya aku adalah manusia yang
paling terkutuk, yang dimana-mana akan dapat
menimbulkan bencana"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
lembut ia berkata "Sudahlah Ken Padmi. Jangan terlalu kau
pikirkan. Serahkan segalanya kepadaku"
"Tetapi segalanya itu terjadi karena nasibku yang buruk"
desis Ken Padmi. "Ken Padmi" berkata Mahendra kemudian "jangan
menyesali nasib yang sudah digariskan olen Sang Pencipta.
Segala yang terjadi, tentu bukannya tanpa maksud. Hal
yang terasa pahit, mungkin akan dapat memberikan
kebahagiaan di hari kemudian. Karena itu, berdoa sajalah
agar kau mendapat petunjuk dihatimu, apakah yang
sebaiknya harus kau lakukan"
Ken Padmi memandang Mahendra sekilas. Kemudian
iapun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan
suara lirih ia berkata "Semoga Yang Maha Agung
memberikan petunjuknya. Bukan maksudku untuk
menyesali garis yang tergores di sepanjang jalan hidupku.
Namun jika harus terjadi akibat dari sebab yang tidak aku
mengerti, atau yang telah terjadi pada masa lalu, mudahmudahan
aku lekas mendapatkan pengampunan"
"Sudahlah" berkata Mahendra kemudian "masuklah.
Cobalah beristirahat. Aku akan menyelesaikan persoalan ini
sebaik-baiknya. Karena itu, hari ini juga aku akan pergi ke
Singasari menyusul Mahisa Agni dan Witantra. Sebaiknya
ia mendengar persoalan ini dari mulutku. Bukan dari
Pangeran Indrasunu atau orang lain yang ditugaskan oleh
Pangeran itu. Karena aku yakin bahwa Pangeran Indrasunu
akan segera menyampaikan persoalannya kepada Pangeran
Wirapaksi" Ken Padmi hanya dapat mengangguk saja, sementara
Mahisa Pukat dan Mahisa Murtipun kemudian
membimbingnya masuk ke ruang dalam.
Sementara itu, Mahendrapuri segera berkemas. Ia akan
segera menyusul Mahisa Agni dan Witantra. Bahkan iapun
harus segera memberitahukan kepada Mahisa Bungalan
bahwa sudah terloncat kata-kata dari mulit adik-adiknya,
bahwa untuk mendapatkan Ken Padmi Pangeran Indrasunu
harus perang tanding. Namun agaknya Pangeran Indrasunu
telah tersinggung. Untuk mendapatkan seorang gadis
padepokan ia harus melakukan sayembara tanding.
Karena itu, maka iapun ingin menghina keluarga Ken
Padmi pula, dengan mengatakan bahwa apabila ia
memenangKan sayembara, maka gadis itu akan
dilemparkannya dengan hina.
Mahendrapun sadar, bahwa penghinaan itu tenti akan
membakar darah Mahisa Bungalan. Tetapi iapur berharap
bahwa Mahisa Agni dan Witantra akan dapa memberikan
pertimbangan. Sementara itu, Pangeran Indrasunu yang meninggalkan
rumah Mahendra itupun telah memacu kuda menuju ke
istana Pangeran Wirapaksi.
Ia harus memberitahukan kepada Pangeran wirapaksi
bahwa seorang pidak pedarakan telah berani menolak
keinginannya, seorang Pangeran. Seandainya orang
Singasari tidak menghormatinya sebagai seorang
bangsawan Kediri, maka merekapun harus menghormati
Pangeran Wirapaksi yang meskipun juga berdarah Kediri,
tetapi ia sudah berada di Singasari.
Kedatangan Pangeran Indrasunu yang tergesa-gesa, serta
keadaan para pengawalnya telah mengejutkan para
pengawal istana Pangeran Wirapaksi. Namun Pangeran
Indrasunu yang marah itu, tidak mengatakan sesuatu, selain
sambil membentak-bentak ia menyerahkan kudanya kepada
para pengawal. Kedatangan Pangeran Indrasunu yang tergesa-gesa itu
memang membuat Pangeran Wirapaksi terkejut. Sebelum
Pangeran Wirapaksi bertanya, maka Pangeran Indrasunu
telah berkata "Orang-orang Singasari perlu mendapat
pelajaran, bagaimana mereka harus bersikap terhadap
bangsawan dan para penguasa"
Pangeran Wirapaksi terkejut melihat sikap adik iparnya.
Karena itu, maka katanya "Duduklah. Kita berbicara
dengan tenang. Pangeran Indrasunu dan Pangeran Wirapaksi itupun
kemudian duduk di serambi. Dengan sabar Pangeran
Wirapaksi bertanya "Apakah yang sudah terjadi?"
"Orang-orang Singasari ternyata adalah orang-orang
yang tidak tahu diri. Bodoh dan sombong" geram Pangeran
Indrasunu. "Apa yang telah terjadi" desak Pangeran Wirapaksi.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Indrasunu kemudian menceriterakan apa yang
telah terjadi di rumah seorang yang bernama Mahendra.
"O" Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk
"begitukah yang telah terjadi" Semula aku tidak begitu
memikirkan, akibatnya. Karena itu, aku menunjukkan di
mana gadis itu akan tinggal, karena ia akan berada di
Singasari. Aku mengenal Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra dengan baik"
"Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat
menghinakan kami, para bangsawan" geram Pangeran
indrasunu. "Jika kau mengatakan kepadaku, apa yang sebenarnya
akan kau lakukan, aku tidak akan menunjukkan kepadamu,
dimana rumah Mahendra itu" berkata Pangeran Wirapaksi.
Pangeran Indrasunu menjadi heran. Dengan nada tinggi
ia bertanya "Kenapa justru begitu?"
"Aku tidak dapat bermusuhan dengan Mahendra,
Mahisa Agni dan Witantra" sahut Pangeran Wirapaksi.
"Kenapa" Apakah mereka setingkat dengan kakang mas
Wirapaksi dalam kedudukan keprajuritan" Bukankah
Mahendra bukan seorang prajurit?" bertanya Pangeran
Indrasunu. "Memang bukan. Tetapi sebaiknya kau urungkan
niatmu" berkata Pangeran Wirapaksi.
"Aku sudah mengatakan kepada Mahendra. Aku terima
tantangan perang tanding melawan Mahisa. Bungalan.
Tetapi jika aku menang, aku tidak akan mengambil gadis
yang memuakkan itu. Sebagai hak yang aku peroleh, maka
gadis itu akan aku serahkan kepada pengemis kudisan di
pinggir jalan" geram Pangeran Indrasunu.
"Kau kurang mengenal Singasari" berkata Pangeran
Wirapaksi "aku akan berusaha mengurungkannya"
"Kenapa?" bertanya Pangeran Indrasunu "apakah
kakangmas berkeberatan melihat Ken Padmi menjadi
pengewan-ewan, karena ia menjadi seorang istri dari
seorang pengemis?" "Jangan begitu kasar terhadap orang-orang Singasari.
Aku sudah mengenal Singasari seperti aku mengenal
Kediri. Sebenarnya bukan saja Singasari. Di Kediripun kau
tidak dapat berbuat seperti itu"
"Jadi kakangmas tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
mereka" Jika demikian, maka biarkan aku menempuh
caraku. Perang tanding. Bukankah itu adil?" bertanya
Pangeran yang masih muda itu.
Pangeran Wirapaksi menarik nafas dalam-dalam. Adik
iparnya benar-benar belum mengenal keadaan Singasari,
dan lebih-lebih lagi ia belum mengenal siapakah Mahendra,
Mahisa Agni dan Witantra yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, terbersit juga di dalam hatinya
"Biarlah anak ini sekali-sekali mendapat peringatan, bahwa
ia tidak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri"
Karena itu, maka Pangeran Wirapaksipun berkata
"Baiklah adimas. Jika kau menghendaki perang tanding
melawan Mahisa Bungalan, aku kira dapat juga
dilaksanakan. Tetapi dengan peraturan yang ketat sehingga
perang tanding itu benar-benar dilandasi oleh sifat kesatria"
"Maksud kakangmas, sampai mati?" suara Pangeran
Indrasunu tiba-tiba menurun.
"Tentu tidak. Maksudku, perang tanding itu dilakukan
atas landasan sifat seorang kesatria. Yang kalah akan segera
mengaku kalah, dan yang menang tidak bertindak
sewenang-wenang" jawab Pangeran Wirapaksi.
"Bagaimana dengan taruhan itu?" bertanya Pangeran
Indrasunu. "Mahisa Bungalan akan mempertahankan gadis itu, dan
kau akan merebutnya" jawab Pangeran Wirapaksi pula.
"Bagus, aku akan melakukannya" jawab Pangeran
Indrasunu. "Tetapi coba renungkan, apa itu adil?" bertanya
Pangeran Wirapaksi. "Kenapa" Bukankah itu adil?" bertanya Pangeran gang
masih muda itu. "Jika kau menang, kau akan mendapat sesuatu,
meskipun yang kau dapatkan itu akan kau lempar kembali.
Tetapi bagaimana jika kau kalah?" bertanya kakak iparnya.
"Jika aku kalah, bagaimana?" Pangeran Indrasunu
menjadi tegang. "Kau harus minta maaf kepadanya" berkata Pangeran
Wirapaksi. "Minta maaf?" Pangeran Indsasunu termangu-mangu.
"Ya. Dan sayembara ini bersifat umum. Maksudku, jika
masih ada orang lain yang berminat, ia akan dapat
memasuki sayembara itu. Yang menang akan
mempertahankannya" berkata Pangeran Wirapaksi.
"Ah. kenapa menjadi demikian luas?" bertanya Pangeran
Indrasunu. "Tidak apa-apa. Kita tidak dapat melakukannya terbatas
di Singasari" jawab Pangeran Wirapaksi.
"Terserah kepada kakangmas. Aku sudah siap memasuki
sayembara itu, meskipun aku belum mengenal Mahisa
Bungalan" gumam Pangeran Indrasunu. Namun tiba-tiba ia
bertanya "Tetapi kenapa Mahisa Bungalan?"
Pangeran Wirapaksi mengerutkan keningnya. Jawabnya
"Aku tidak tahu. Bukankah adimas sendiri yang datang ke
rumah Mahendra" Tetapi mungkin karena gadis itu adalah
saudaranya. Mungkin saudara sepupu, mungkin dalam
kaitan yang lain" Pangeran Indrasunu tidak bertanya lagi. Namun
kemudian ia berkata "Aku akan melatih diri
mempergunakan senjata. Aku akan menghancurkan
lawanku di arena" "Baiklah. Dan aku akan melakukan hubungan dalam
persoalan ini dengan orang-orang yang berkepentingan"
berkata Pangeran Wirapaksi.
Dalam pada itu, maka Pangeran Wirapaksipun segera
mencari Mahisa Agni, yang menurut Pangeran Indrasunu
sudah berada di Kotaraja.
Ternyata Pangeran itu tidak terlalu sulit mencarinya. la
menemui Mahisa Agni justru di dalam lingkungan istana
Singasari sebagaimana Mahisa Agni tinggal sejak semula.
Kedatangan Pangeran Wirapaksi memang mengejutkan.
Namun karena tidak nampak satu kesanpun yang dapat
menggelisahkan, maka Mahisa Agni, Witantra maupun
Mahisa Bungalan tidak menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi belum lagi Pangeran Wirapaksi mengatakan
sesuatu tentang keperluannya yang sebenarnya, justru
karena ia tidak tergesa-gesa, maka Mahendrapun telah
datang pula. Dengan demikian, setelah mereka beristirahat sejanak,
maka pembicaraanpun mulai mengarah.
Ternyata apa yang akan dikatakan oleh Pangeran
Wirapaksi dan Mahendra telah sejalan. Perang tanding
untuk satu sayembara. "Anak bengal" geram Mahisa Bungalan.
"Aku tidak sempat mencegah Mahisa Pukat mengatakannya,
sementara nampaknya Pangeran Indrasunu telah
menanggapinya" berkata Mahendra.
Tetapi Pangeran Wirapaksipun telah memberikan
keterangan pula. Sayembara itu bukan sayembara yang
sungguh-sungguh dan terbuka.
"Aku ingin Indrasunu mendapat pengalaman" berkata
Pangeran Wirapaksi "aku tahu, bahwa ia memang berguru.
Tetapi aku tidak yakin, bahwa kemampuannya sudah
cukup untuk melakukan perang tanding melawan Mahisa
Bungalan" Mahisa Agni menarik nafas panjang. Ketika Mahendra
kemudian mengatakan, bahwa Ken Padmi merasakan
peristiwa itu sebagai satu kepahitan setelah ia berusaha
menghindari kepahitan yang yang pernah dialami di
padepokannya, maka iapun berkata "Sebenarnya aku dapat
mengerti. Tetapi aku kira cara ini baik juga bagi Pangeran
Indrasunu. Tetapi apakah hal itu tidak berpengaruh bagi
para bangsawan di Kediri, seolah-olah Pangeran Indrasunu
mendapat perlakuan yang tidak wajar di Singasari"
"Aku juga seorang berdarah Kediri. Aku akan dapat
mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang orang
Kediri yang tersinggung oleh peristiwa ini" jawab Pangeran
Wirapaksi. Tetapi perang tanding itu benar-benar bukan satu
sayembara terbuka. Pangeran Wirapaksi hanya sekedar
ingin meyakinkan Pangeran Indrasunu, bahwa ia tidak akan
dapat berbuat sekehendak hatinya meskipun ia seorang
Pangeran. Ia tidak dapat dengan sewenang-wenang
menyakiti hati rakyat Singasari. Bahkan juga rakyat Kediri.
Karena itu, maka Pangeran Wirapaksipun kemudian
berkata "Biarlah perang tanding itu diselenggarakan di
halaman belakang tempat tinggalku"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
bertanya "Tetapi apakah kita akan melaporkan perang
tanding ini kepada Sri Maharaja?"
"Tidak. Tentu tidak perlu" jawab Pangeran Wirapaksi
"tidak akan ada yang mengetahuinya kecuali kita, dan para.
pengawal Pangeran Indrasunu dari Kediri. Tetapi mereka
tidak akan dapat menyebarkannya di Singasari, karena
mereka tidak mempunyai kepentingan"
"Apakah Pangeran Indrasunu tidak mempunyai satu
keinginan" Misalnya perang tanding ini harus disaksikan
oleh orang banyak atau keinginan-keinginan lain?" bertanya
Witantra. "Akulah yang akan mengatur. Ia tidak akan berbuat apaapa
kecuali turun ke arena" jawab Pangeran Wirapaksi.
Dengan demikian maka merekapun telah mengatur
waktu, kapan perang tanding itu akan diselenggarakan.
Namun justru karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan
Mahisa Bungalan telah mengurungkan niatnya untuk
menghadap Sri Maharaja. Mereka akan menghadap dan
melaporkan diri setelah semuanya selesai.
Namun dalam pada itu, adalah dilnar pengamatan
Pangeran Wirapaksi, ternyata Pangeran Indrasunu telah
memerintahkan dua orang pengawalnya untuk pergi ke
Kediri melaporkan segalanya yang telah terjadi kepada guru
Pangeran Indrasunu. Seorang tua dari padepokan Umbul
Pitu. Demikianlah, menurut keterapan waktu yang disepakati,
perang tanding akan diadakan tiga hari lagi di halaman
belakang istana Pangeran Wirapaksi.
Tetapi yang tiga hari itu sudah dapat dimanfaatkan baikbaik
oleh pengawal yang menghadap Wasi Sambuja dari
padepokan Umbul Pitu. Laporan pengawal itu telah mengejutkan Wasi Sambuja.
Namun-kemudian ia bertanya "Siapakah lawan yang akan
memasuki arena?" "Namanya Mahisa Bungalan" jawab pengawal itu
"nama yang tidak banyak dikenal di luar Kota Raja"
Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku akan menyaksikan perang tanding itu. Tetapi aku akan
datang dengan diam-diam"
"Perang tanding itu akan berlangsung di dalam halaman
istana Pangeran Wirapaksi" jawab pengawal itu.
"Kau sudah mengatakannya" sahut Wasi Sambuja.
"Jadi bagaimana Kiai akan memasuki halaman itu
dengan diam-diam. Di setiap regol ada pengawal yang
menjaganya. Apalagi dalam penyelenggaraan perang
tanding itu" sahut pengawal itu.
Wasi Sambuja tertawa. Katanya "Jika aku sedungu kau,
maka aku tidak akan dapat melakukannya. Malam
sebelumnya aku sudah berada di dalam halaman. Meskipun
aku belum pernah memasuki halaman itu, tetapi aku akan
dapat mencari persembunyian sampai saat perang tanding
itu di selenggarakan"
Pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Baiklah. Semuanya akan aku sampaikan kepada Pangeran
Indrasunu" "Jangan cemas. Mungkin ia akan kalah jika lawannya
seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Tetapi jika
lawannya masih sebaya dengan Pangeran Indrasunu, aku
kira ia akan dapat dibuatnya menjadi jera. Namun
seandainya Pangeran Indrasunu dikalahkannya, aku akan
memasuki sayembara bagi Pangeran Indrasunu"
"Pangeran Indrasunu tidak menghendaki gadis itu lagi.
Jika ia menang, gadis itu akan diberikan kepada pengemis
kudisan" berkata pengawalnya.
Tetapi Wasi Sambuja tertawa. Katanya "Sudah lebih
dari sepuluh kali aku mendengar ia berkata seperti itu.
Tetapi ternyata gadis-gadis yang akan diserahkan kepada
pengemis kudisan itu diambilnya juga menjadi selirnya
meskipun hanya satu dua bulan. Baru kemudian diberikan
kepada hamba-hambanya. He, siapa tahu, kaupun akan
mendapat triman" "Ah" desis pengawal itu.
Wasi Sambuja tertawa. Katanya "Berangkatlah dahulu.
Aku akan segera menyusul. Segalanya akan aku bereskan
kemudian" Demikianlah pengawal itu meninggalkan padepokan
Ketika di hari berikutnya ia menghadap Pangeran
Indrasunu, maka segalanya telah dilaporkannya.
"Bagus" desisnya "semua orang akan menyesali
kesombongannya. Jika guru benar datang, maka segalanya
akan hancur. Hari depan gadis itupun akan aku hancurkan
pula. Karena ia lelah berani menghina Pangeran
Indrasunu" Demikianlah hari yang ditentukan itupun telah tiba. Di
halaman belakang istana Pangeran Wirapaksi teiah di buat
arena dengan gawar tampar ijuk. Beberapa orang pengawal
berjaga-jaga dengan ketat. Sementara yang lain akan
menjadi saksi dari perang tanding yang akan
diselenggarakan tanpa hadirnya gadis yang diperebutkan.
Sementara Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang sangat
ingin menyaksikan perang tanding itu terpaksa tidak dapat
hadir, karena mereka harus menjaga Ken Padmi di


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumahnya. Segalanya memang dapat terjadi. Kecurangan
atau sikap lain yang dapat merugikan.
Sebenarnyalah tidak terlalu banyak, saksi yang berada di
sekitar arena perang tanding itu, termasuk para pengawal
Pangeran Indrasunu. Dalam pada. itu. Perang tanding itu sendiri, tidak
didengar sama sekali oleh orang-orang di luar istana
Pangeran Wirapaksi, karena Pangeran Wirapaksi sendiri
telah memerintahkan kepada para pengawalnya untuk tidak
mengatakan kepada siapapun juga di luar lingkungan istana
itu. Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan dan Pangeran
Indrasunu pun telah bersiap-siap memasuki arena.
Pangeran Wirapaksi dan Mahisa Agni akan menjadi
penengah di dalam arena. Setelah semuanya dianggap siap, maka perang tanding
yang tidak banyak di ketahui orang itupun sudah siap untuk
dimulai. Mahisa Bungalan telah turun ke arena. Kemudian
Pangeran Indrasunupun telah bersiap pula di luar gawar.
"Sebenarnya tidak pantas aku memasuki arena perang
tanding melawan seseorang yang tidak sederajat" berkata
Pangeran Indrasunu. "Jangan begitu" sahut Pangeran Wirapaksi "dalam olah
kanuragan, semua orang sederajat. Siapa yang trampil dan
memiliki kemampuan lebih baik, ia akan menang. Derajat
sama sekali tidak akan mempengaruhi kemampuan di
dalam arena perang tanding"
Pangeran Indrasunu memandang Mahisa Bungalan
sejenak. Namun kemudian iapun meloncat memasuki arena
sambil berkata "Tetapi baiklah. Jika kau menjadi pepalang.
He, kenapa kaulah yang harus memasuki arena?"
"Ia mempunyai hak" jawab Mahisa Agni "ia
mempertahankan saudara sepupunya"
"O, jadi tegasnya keluarga kalian telah menolak
keinginanku. Dan anak yang bernama Mahisa Bungalan itu
mewakili kalian untuk mengesahkan penolakan kalian?"
berkata Pangeran Indrasunu.
"Ya" jawab Mahisa Bungalan tegas.
"Baiklah" berkata Pangeran Indrasunu "aku sudah siap"
"Perang tanding ini dapat segera dimulai" berkata
Pangeran Wirapaksi "tetapi aku ingin memperingatkan.
Perang tanding ini adalah perang tanding antara para
ksatria. Semua pihak harus bersikap jujur. Yang kalah harus
dengan jantan mengaku kalah, atau perang tanding akan
dihentikan jika salah satu pihak sudah jelas tidak akan
mampu melawan lagi" "Bagus" sahut Pangeran Indrasunu "kita dapat segera
mulai " Pangeran Wirapaksipun kemudian bertanya kepada
Mahisa Bungalan "Apakah kau sudah siap?"
Mahisa Bungalan mengangguk. Jawabnya "Aku sudah
siap" "Kau sudah siap adimas?" bertanya Pangeran Wirapaksi
kepada adik iparnya. "Ya. Aku sudah siap" jawab Pangeran yang masih muda
itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian Pangeran
Wirapaksi telah memberikan isyarat kepada kedua anak
muda yang berada di arena perang tanding itu.
Pangeran Indrasunu bergeser setapak. Dengan wajah
tengadah ia memandang Mahisa Bungalan yang masih
tetap berdiri tegak ditempatnya.
"Apakah yang dapat dilakukan" desis Pangeran
Indrasunu di dalam hatinya.
Namun ketika Pangeran Indrasunu melangkah semakin
dekat, maka Mahisa Bungalanpun mulai bergeser pula. Ia
berputar ke arah Pangeran Indrasunu bergerak.
Namun tiba-tiba saja Pangeran Indrasunu itu meloncat
menyerang. Demikian tiba-tiba. Meskipun serangan, itu
tidak terlalu keras, tetapi memang terlalu cepat untuk dapat
dihindari. Karena itu, maka Mahisa Bungalan tidak
menghindarinya. Serangan Pangeran Indrasunu yang
mengarah ke dadanya itu telah ditangkisnya dengan
tangannya yang bersilang. Mahisa Bungalan sengaja
sekedar menahan serangan itu dan tidak
menghentakkannya dengan kekuatannya, sekedar untuk
menjajagi kekuatan Pangeran Indrasunu, meskipun ia tahu,
serangan itu bukanlah serangan yang sebenarnya.
Yang ternyata terkejut adalah Pangeran Indrasunu.
Bukan karena benturan kekuatan. Tetapi bahwa Mahisa
Bungalan sempat menangkis serangannya itu. Dengan
demikian, maka Pangeran Indrasunu dapat
memperhitungkan, bahwa lawannya adalah seorang anak
muda yang mampu bergerak cepat sekali.
Namun demikian Pangeran Indrasunu masih belum
yakin akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dikembangkan dengan kecepatan gerak lawannya. Karena
itulah, maka sejenak kemudian maka Pangeran muda
itupun telah bertempur semakin cepat. Ia mulai dengan
serangan-serangan yang susul menyusul.
Beberapa kali Mahisa Bungalan sempat menangkis dan
menghindari serangan-serangan lawannya. Bahkan ia
condong untuk bertahan, dan sama sekali masih belum
bermaksud untuk menyerang.
Namun nampaknya Pangeran Indrasunu menganggap
bahwa Mahisa Bungalan tidak sempat membalas seranganserangannya
dengan serangan pula. Justru karena itu, maka
ia berniat untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran
itu. Karena itu, maka serangan-serangan Pangeran
Indrasunupun menjadi semakin lama semakin cepat.
Apabila Mahisa Bungalan menghindar, maka iapun segera
memburunya. Dengan loncatan-loncatan panjang ia
menyerang terus-menerus tanpa memberi kesemoatan
kepada lawannya sama sekali.
Tetapi Mahisa Bungalan memang tidak memerlukan
agar lawannya memberikan kesempatan kepadanya, karena
jika dikehendaki Mahisa Bungalan akan segera dapat
mengambil kesempatan itu sendiri.
Demikianlah, ketika Pangeran Indrasunu sudah me
agerahkan segenap kemampuannya dan sama sekali tidak
berhasil menyentuhnya, maka Mahisa Bungalanpun mulai
bersiap-siap untuk memberikan perlawanan yang
sesungguhnya kepada Pangeran yang sombong itu.
De mikianlah, maka di saat-saat berikutnya, Mahisa Bungalan
tidak hanya sekedar menghindar dan menghindar. Ketika
serangan Pangeran Indrasunu menjadi semakin cepat, maka
mulailah ia membalas serangan Pangeran Indrasunu yang
masih muda itu dengan serangan pula.
Pangeran Indrasunu terkejut ketika tiba-tiba saja justru
Mahisa Bungalan telah menyerangnya, bahkan pada saat
yang tidak terduga sama sekali.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun segera
berubah. Mahisa Bungalan tidak lagi sekedar menghindar
dan menangkis serangan lawannya, namun iapun mulai
menyerang pula, sebagaimana dilakukan oleh Pangeran
Indrasunu. Pangeran Indrasunu yang semula menganggap bahwa
Mahisa Bungalan tidak mampu membalas serangan-serang
annya, terpaksa menentukan sikap lain untuk
mengatasinya. Pangeran Indrasunu tidak saja
meningkatkan kecepatan geraknya, namun iapun mulai
mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.
Ternyata bahwa kecepatannya saja tidak dapat mengatasi
kemampuan lawannya, karena pada benturan-benturan
yang terjadi, justru tangan Pangeran Indrasunu mulai
bergetar. Ternyata Pangeran Indrasunupun bukan seorang anak
muda yang lemah. Ia memang mempunyai kemampuan
sehingga kesombongannya itupun telah dibekali dengan
ilmu yang dapat dipergunakannya pada saat-saat yang
memaksa. Namun menghadapi Mahisa Bungalan,
Pangeran Indrasunu itu harus menilai kenyataan yang
dihadapinya. Semakin lama tekanan Mahisa Bungalan justru menjadi
semakjn kuat. Bahkan akhirnya Pangeran Indrasunu seolaholah
tidak mendapat tempat lagi di arena perang tanding
itu. Jika mula-mula ia menyangka bahwa Mahisa Bungalan
tidak pernah mempunyai kesempatan untuk membalas
serangan-serangannya dengan serangan pula, maka
kemudian justru terjadi sebaliknya.
Karena itu, maka akhirnya Pangeran Indrasunu itupun
telah mengambil keputusan untuk mempergunakan puncak
ilmunya yang jarang sekali dipergunakan selain pada saatsaat
yang paling gawat. Menghadapi Mahisa Bungalan Pangeran Indrasunu tidak
mempunyai pilihan lain. Ia sudah memutuskan untuk
mempergunakan puncak ilmunya, meskipun dengan
demikian lawannya akan lebur menjadi abu. Ia tidak lagi
dapat membatasi diri dengan sekedar mengalahkan
lawannya dan membuat lawannya mengakui kekalahan.
Karena itulah, ketika Pangeran Indrasunu itu telah
terdesak oleh serangan-serangan yang beruntun, maka
iapun segera berusaha untuk mengambil jarak.
Mahisa Bungalanpun terkejut ketika ia melihat lawannya
bersikap. Ternyata menurut pengalaman serta
pengenalannya atas olah kanuragan, maka Pangeran
Indrasunu sedang mempersiapkan ilmu puncaknya yang
tentu memiliki daya kemampuan yang luar biasa.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun tidak
memburunya. Justru iapun telah surut selangkah.
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendrapun menjadi
tegang melihat kenyataan itu. Bahkan Pangeran Wirapaksi
pun telah bergeser selangkah. Tetapi ia tidak dapat
mencegah. Segalanya kemudian telah terjadi. Pangeran
Indrasunu yang telah sampai pada puncak ilmunya itu telah
meloncat menyerang Mahisa Bungalan.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Bungalanpun telah siap
menghadapi kemungkinan itu. Ketika ilmu puncak itu
membentur pertahanannya, maka beradulah dua puncak
ilmu yang nggegirisi. Mahisa Bungalan ternyata telah terdorong beberapa
langkah surut. Iapun tidak mampu bertahan pada
keseimbangannya, sehingga kerana itu, maka iapun telah
terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi
sesak dan matanyapun berkunang-kunang.
Namun Mahisa Bungalan masih memiliki kesadaran
sepenuhnya. Karena itu, maka iapun segera memperbaiki
keadaannya. Iapun kemudian duduk sambil menyilangkan
tangannya di dadanya. Dengan mengatur pernafasannya ia
berusaha untuk memusatkan daya tahan tubuhnya untuk
melawan perasaan sakit yang seolah-olah menghimpit
jantungnya. Mahisa Agni, Witantra dan Mahendrapun telah berada
diseputarnya. Namun mereka sama sekali tidak menyentuhnya.
Perang tanding itu masih belum dinyatakan
selesai oleh Pangeran Wirapaksi sehingga mereka masih
mepunggu dengan membiarkan mereka yang berperang
untuk menolong dirinya sendiri.
Namun dalam pada itu, ternyata keadaan Pangeran
Indrasunu telah terlempar dan terbanting jatuh, sehingga
tidak lagi sadar akan dirinya.
Karena itu, maka Pangeran Wirapaksipun telah berlarilari
mendekatinya. Namun demikian ia berjongkok di
samping adik iparnya, maka iapun terkejut ketika seorang
pengawal Pangeran Indrasunu itu mendekatinya sambil
berdesis "Jangan kau sentuh Pangeran. Kau Sudah
merelakan adik iparmu sendiri"
Pangeran Wirapaksi terkejut. Ketika ia memandang
pengawal itu dengan saksama, maka iapun berdesis "Wasi
Sambuja" "Aku sudah tahu, bahwa kau akan sampai hati
membiarkan adik iparmu mengalami bencana seperti ini"
desis Wasi Sambuja. Lalu "tetapi aku juga tidak dapat
menyalahkan Pangeran, karena kedudukan Pangeran.
Pangeran tentu tidak senang melihat sikap adik ipar
Pangeran, dan dengan perang tanding yang tertutup ini
Pangeran ingin sedikit memberi pelajaran kepada adik ipar
Pangeran" "Ya" desis Pangeran Wirapaksi,
"Tetapi Pangeran lupa, bahwa yang terjadi ini telah
menyinggung harga diri sebuah padepokan. Sebuah
perguruan" berkata Wasi Sambuja selanjutnya.
Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Ia sama
sekali tidak menduga, bahwa persoalannya akan
berkembangan menjadi semakin luas. Tiba-tiba saja guru
Pangeran Indrasunu itu sudah berada di halaman itu
dengan mengenakan pakaian seorang pengawal.
Dalam kebimbangan itu, terdengar Wasi Sambuja
berkata "Pangeran. Kita semua tidak dapat ingkar. Bahwa
dalam perang tanding ini, Pangeran Indrasunu sudah dapat
dikalahkan oleh Mahisa Bungalan. Sebentar lagi Mahisa
Bungalan akan dapat menguasai dirinya, pernafasannya
akan pulih, dan kekuatannyapun akan segera tumbuh
kembali, sehingga sejenak kemudian ia sudah siap untuk
menghadapi segala kemungkinan seandainya perang
tanding ini akan diteruskan"
"Jadi maksudmu, perang tanding ini sudah selesai?"
bertanya Pangeran Wirapaksi.
"Belum Pangeran" jawab Wasi Sambuja "masih akan
ada kelanjutannya. Jika Mahisa Bungalan sudah berani
membuka sayembara, maka ia akan berani menghadapi
siapapun juga" "Tidak. Itu tidak benar. Sayembara ini tertutup" jawab
Pangeran Wirapaksi "persoalannya adalah penyelesaian
persoalan antara Mahisa Bungalan sebagai keluarga seorang
gadis yang bernama Ken Padmi dengan adimas Indrasunu"


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Wasi Sambuja tertawa. Katanya "Sudahlah.
Nyatakan bahwa Pangeran Indrasunu sudah kalah. Aku
akan mengobatinya" Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Namun iapun
kemudian berdiri di sudut arena sambil berkata "Perang
tanding telah dimenangkan oleh Mahisa Bungalan"
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun mereka melihat, bahwa Pangeran
Wirapaksi telah terlibat dalam satu pembicaraan yang
bersungguh-sungguh dengan seorang pengawal, tetapi
ternyata bahwa Pangeran Wirapaksi segera mengambil satu
keputusan yang bijaksana.
Namun dalam pada itu, mereka menjadi berdebar-debar
ketika pengawal yang telah berbicara dengan sungguhsungguh
dengan pangeran Wirapaksi itupun kemudian
berdiri sambil berkata "Aku mohon maaf, bahwa aku ingin
mengajukan satu persoalan kepada Pangeran Wirapaksi"
Wajah Pangeran Wirapaksi menjadi tegang. Sementara
itu Wasi Sambujapun berkata "Perang tanding ini sudah
dinyatakan selesai. Anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan itu telah dinyatakan menang dan Pangeran
Indrasunu telah dinyatakan kalah. Namun dalam pada itu,
aku menyatakan, bahwa akupun ingin memasuki arena
perang tanding dalam persoalan yang sama. Aku minta
gadis yang bernama Ken Padmi itu bagi siapapun juga yang
aku tentukan kemudian, setelah gadis itu menjadi milikku"
Suasana di sekitar arena itu menjadi tegang. Wajah
Mahisa Bungalan menjadi merah membara. Meskipun
keadaan tubuhnya masih belum pulih benar, namun ia
sudah berusaha untuk bangkit.
Tetapi Pangeran Wirapaksi berpikir tangkas. Sebelum
Mahisa Bungalan menjawab tantangan itu, yang akan
berarti kehancuran baginya, karena Pangeran Wirapaksi
dapat menilai kemampuan Wasi Sambuja, maka ia telah
berkata mendahului jawaban Mahisa Bungalan "Ternyata
bahwa telah timbul persoalan baru di arena ini. Satu
tantangan baru telah datang. Orang yang dalam pakaian
seorang pengawal ini adalah seorang yang pilih tanding"
"Kau tidak perlu menyebut apapun juga Pangeran"
potong Wasi Sambuja "kecuali sebut saja namaku"
"Baiklah" sahut Pangeran Wirapaksi cepat "namanya
adalah Wasi Sambuja, ia adalah guru dari Pangeran
Indrasunu" Wajah Wasi Sambuja menjadi tegang. Tetapi iapun
kemudian tersenyum sambil berkata "Muridku telah kalah.
Tetapi aku ingin mendapat hak yang sama, karena aku juga
menghendaki gadis itu. Atau barangkali kalian, keluarga
dekatnya, merelakan gadis itu aku ambil dari rumahmu?"
Mahisa Bungalan bergeser setapak. Tetapi Witantra telah
menggamitnya. Katanya "Permainan bagi anak-anak muda
sudah selesai. Kau sudah berhasil mengurungkan niat
Pangeran Indrasunu untuk mengambil Ken Padmi. Jika
kemudian datang orang tua yang berniat seperti Pangeran
Indrasunu, biarlah orang-orang tua juga yang
menyelesaikannya" Pangeran Wirapaksi menarik nafas dalam-dalam. La
mengenal Witantra, seperti juga ia mengenal Mahisa Agni
dan Mahendra. Karena itu, ketika Witantra menyatakan
dirinya untuk menggantikan Mahisa Bungalan maka.
Pangeran Wirapaksi menjadi sedikit tenang.
Dalam pada itu Wasi Sambuja itupun mengerutkan
keningnya. Dengan nada datar ia bertanya "Kau siapa"
"Aku pamannya. Akulah, yang telah membawa gadis itu
dari padepokannya. Karena itu, maka adalah kewajibanku
untuk mempertahankannya" berkata Witantra.
Sementara itu Mahisa. Agnipun bergeser pula sambil
berdesis" Serahkan orang itu kepadaku"
Tetapi dengan tidak sengaja Wintantra menjawab "Kau
sudah membunuh Ki Dukut Pakering. Jangan bertempur
lagi sekarang ini. Suasananya agak berbeda jika kau masih
dibayangi oleh Sifat dan tabiat Ki Dukut, maka akibatnya
akan gawat" Wajah Wasi Sambuja menegang mendengar nama itu
disebut. Hampir diluar sadarnya ia bertanya "Ki Dukut
siapa yang kalian maksud?"
"Ki Dukut Pakering" jawab Witantra.
"Guru Pangeran Kuda Padmadata?" desak Wasi
Sambuja. "Ya. Guru Pangeran Kuda Padmadata yang sudah
kehilangan kepribadian itu. Namun ia masih memiliki
ilmunya yang luar biasa itu" sahut Witantra.
Terasa jantung Wasi Sambuja berdebaran. Namun
kemudian ia berkata "Ki Dukut nasibnya memang sangat
buruk" Witantra mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
bertanya "Kenapa kau menganggapnya bahwa nasibnya
sangat buruk?" "Aku sudah mendengar bahwa ia mati terbunuh, jadi
orang itukah yang telah membunuhnya?" bertanya Wasi
Sambuja pula. "Bukan maksudku" jawab Mahisa Agni "tetapi
demikianlah yang telah terjadi.
"Petualangannya telah membuat tubuh dan hatinya,
ringkih, sehingga kau berhasil membunuhnya" berkata
Wasi Sambuja "seandainya aku yang bertemu dengan orang
itu di saat terakhir, akupun akan dengan mudah
membunuhnya" Witantra mengangguk sambil berkata "Mungkin Ki
Sanak akan dapat melakukannya. Tetapi sebaiknya kita
tidak berbicara tentang bunuh membunuh. Kita tidak akan
saling membunuh. Jika persoalannya adalah karena gadis
itu, maka aku adalah pamannya yang membawanya dari
padepokan, sehingga aku memang wajib
mempertahankannya. Tetapi jika persoalannya adalah
harga diri dari satu perguruan, maka aku minta maaf,
bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berniat untuk
menyinggung harga diri perguruan Pangeran Indrasunu,
tetapi semata-mata untuk mewujudkan penolakan Ken
Padmi atas keinginan Pangeran Indrasunu untuk
mengambilnya dan memberikannya kepada pengemis
kudisan di pinggir jalan"
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Soalnya memang tidak begitu sederhana. Tetapi baiklah,
aku akan melawanmu di arena"
Witantra tidak menjawab lagi. Iapun kemudian
membenahi dirinya, sementara Wasi Sambuja telah
membantu Pangeran Indrasunu yang telah sadar untuk
duduk. Iapun telah memberikan sebutir obat berwarna hijau
kehitaman yang dibuatnya dari reramuan dedaunan.
"Makanlah. Pangeran akan segera merasa sehat
kembali" berkata Wasi Sambuja.
Pangeran Indrasunupun kemudian menelan obat yang
diberikan oleh gurunya. Sebenarnyalah sejenak kemudian ia
mprasa tubuhnya menjadi semakin segar setelah ia minum
seteguk air yang telah mencairkan sebutir obat itu di dalam
perutnya. Dalam pada itu, maka sesaat kemudian, yang berdiri di
tengah arena bukan lagi dua orang auak-anak muda.
Namun yang telah terjadi diantara anak-anak muda itu
telah menyeret orang-orang tua melibatkan diri
kedalamnya. "Ki Sanak" berkata Wasi Sambuja "aku ingin
memperingatkan kau sebelumnya, bahwa aku ingin
menebus kekalahan muridku. Kemudian merampas gadis
itu dan seperti yang dikehendaki oleh muridku,
memberikan gadis itu kepada pengemis di pinggir jalan.
Karena itu, maka aku akan bertempur dengan segenap
kemampuanku untuk mengalahkanmu. Jika kau merasa
bahwa kau sudah tidak mampu lagi mengimbangi ilmuku,
aku minta kau cepat mengatakannya, agar perkelahian
dapat diakhiri. Namun sebaliknya jika kau bertahan terus,
aku akan meningkatkan ilmuku sampai kepada puncaknya.
Aku akan menyesal sekali bahwa pada saat yang demikian
terjadi atasmu sesuatu yang tidak aku kehendaki"
Tetapi jawab Witantra mendebarkan jantung Wasi
Sambuja. Katanya "Aku mengerti sepenuhnya. Kita sudah
menghendaki apapun yang terjadi. Tetapi kita memasuki
arena tanpa rasa dendam sama sekali, karena kita belum
pernah tersentuh oleh satu persoalanpun sebelumnya"
Namun Wasi Sambuja menjawab "Kau sudah
menyentuh harga diri perguruanku. Meskipun bukan kau
sendiri yang melakukannya"
Witantra tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sadar, bahwa
Wasi Sambuja tentu bukan orang kebanyakan. Bahkar,
mungkin ia memiliki ilmu setingkat dengan Ki Dukut
Pakering. Karena itu, Witantra harus berhati-hati. Ia tidak boleh
menganggap lawannya sekedar seorang guru dari
padepokan kecil yang tidak tersebut namanya. Tetapi ia
telah diangkat menjadi guru dari seorang Pangeran.
Sejenak kemudian kedua orang-orang tua itupun telah
bersiap. Pangeran Wirapaksi yang sama sekali tidak
menghendaki keadaan berkembang semakin gawat, menjadi
tegang. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya.
Berbeda dengan perang tanding antara kedua anak-anak
muda, maka pada orang-orang tua itu tidak diperlukan
penengah. Mereka adalah laki-laki yang menghargai sifatsifat
kesatria, sehingga tidak mudah terjadi kecurangan.
Untuk beberapa saat kedua orang di tengah arena itu
saling mengamati sikap lawannya. Namun agaknya
keduanya menganggap bahwa lawan mereka adalah orangorang
yang meyakinkan. Sejenak kemudian, kedua orang itu mulai bergeser
mendekat. Wasi Sambuja yang ingin menebus kekalahan
muridnya itu telah menyerang lawannya. Witantrapun
dengan gerak sederhana menghindari serangan yang belum
bersungguh-sungguh itu. Namun ternyata serangan Wasi
Sambuja yang kedua telah mengejutkan lawannya.
Serangan itu bukan sekedar pancingan agar lawannya
bergeser. Tetapi serangan itu benar-benar serangan yang
langsung mengarah ke dada.
Witantra sebenarnyalah tidak memperhitungkannya.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah meloncat
surut. Namun Wasi Sambuja tidak melepaskan kesempatan
itu. Dengan tangkasnya ia memburu. Serangan berikutnya
benar-benar serangan yang menentukan. Agaknya Wasi
Sambuja ingin menunjukkan, bahwa lawannya tidak berarti
apa-apa baginya. Witantra yang tidak menyangka itupun benar-benar
tersurut dalam kesulitan. Namun pada saat serangan
lawannya terjulur ke lehernya, Ki Witantra masih sempat
menjatuhkan dirinya dan berguling dengan cepat.
Namun sementara itu, Wasi Sambuja telat
memperhitungkannya, bahwa Witantra tentu akan
melenting berdiri secepatnya.
Karena itu, maka Wasi Sambuja telah siap meloncat di
saat Witantra tegak di atas tanah. Sebelum ia sempat
bersiap, maka serangan yang dilambari dengan segenap
kekuatannya akan segera mengakhiri perang tanding itu.
"Dengan demikian maka setiap orang akan menyebut
namaku" berkata Wasi Sambuja di dalam hatinya.
Namun sekali itu perhitungan Wasi Sambuja keliru,
karena Witantrapun menyadari, jika ia melenting berdiri,
maka saat yang demikian itu tentu sudah ditunggu oleh
Wasi Sambuja. Karena itu, maka ketika Wasi Sambuja
tidak memburunya, dan bahkan bersiap untuk meloncat
menyerang, maka Witantra sama sekali tidak melenting
berdiri. Tetapi dengan sigapnya ia telah duduk dengan
kedua kakinya bersilang memanjang.
Wasi Sambuja mengumpat meskipun hanya didalam
mulutnya. Namun iapun telah menyerang dengan kakinya
mengarah kekening Witantra yang masih terduduk.
Namun Witantra memiringkan tubuhnya. Bahkan
kemudian sambil bertumpu pada sebelah tangannya, maka
kakinya telah menyambar mendatar setapak di atas tanah.
Demikian cepatnya, sementara kaki Wasi Sambuja yang
sebelah masih terangkat. Benturan kaki itu ternyata telah melemparkan Wasi
Sambuja. Tetapi Wasi Sambuja tidak jatuh terbanting. Ia
masih sempat melenting justru tepat pada saat Witantra
juga melenting berdiri. Ketika keduanya telah tegak kembali dan berhadapan di
tengah arena, maka sekali lagi Wasi Sambuja mengumpat
didalam hatinya. Witantra berhasil membebaskan dirinya
pada saat yang paling gawat, sehingga mereka telah berdiri
dalam kedudukan yang sama.
Wasi Sambujapun kemudian menyadari, bahwa
Witantra memiliki ketrampilan yang matang dalam olah
kanuragan. Karena itu, apabila mereka masih saja
bertempur beradu kemampuan dan ketrampilan tenaga
wadag mereka sewajarnya, maka pertempuran itu tentu
akan berlangsung sangat lama. Bahkan mungkin mereka
harus beristirahat untuk bertempur lagi di hari berikutnya.
Tiga hari tiga malam. Karena itu, maka Wasi Sambujapun menyadari, bahwa
ia harus mempergunakan tenaga cadangannya. Iapun
mengerti, bahwa lawannva akan mampu melakukannya.
Namun dengan benturan kekuatan yang berlipat, maka
segalanyapun akan semakin cepat. Kekalahan atau
kemenangan akan segera dapat diketahui.
Dengan demikian, maka Wasi Sambuja yang kemudian
memancing serangan Witantra, telah mempergunakan
tenaga rangkapnya. Sementara itu, maka Witantrapun telah
melihat pula, bahwa tenaga cadangan Wasi Sambuja telah
melambari tata geraknya. Witantra yang selalu waspada itupun mengerti apa yang
harus dilakukannya. Ia tidak mau dikeiutkan lagi dengan
serangan yang tiba-tiba, apalagi dengan kekuatan rangkap.
Serangan yang kemudian melibat Witantra, telah


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihadapinya dengan lambaran tenaga cadangannya pula.
Dengan demikian maka pertempuran di arena itupun
semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin kuat.
Benturan-benturan kekuatan diantara keduanya telah
mendebarkan setiap jantung mereka yang menyaksikannya.
Sebenarnyalah bahwa Wasi Sambuja adalah seorang
yang memiliki kelebihan seperti juga Ki Dukut Pakering. Ia
mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak kasat mata.
Namun ternyata bahwa kekuatannyapun melampaui
dugaan Witantra sebelumnya.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin
lama menjadi semakin meningkat. Bukan saja kecepatan
gerak mereka, tetapi benturan-benturan yang terjadi kemudian,
seolah-olah telah mengguncang halaman istana itu.
Mahisa Agni dan Mahendra inemperhatikan
pertempuran itu dengan jantung berdebaran. Demikian pula
Pangeran Wirapaksi. Ia tidak menyangka, bahwa di
halaman istananya akan terjadi benturan kekuatan yang
demikian dahsyat. Sementara itu, Pangeran Indrasunu memperhatikan
pertempuran itu dengan jantung yang rasa-rasanya
berdentang semakin cepat. Ia menganggap gurunya sebagai
seorang yang tidak ada duanya. Bahkan Pangeran
Indrasunu tidak pernah menganggap bahwa gurunya itu
berada dibawah tataran guru Pangeran Kuda Padmadata.
Namun berhadapan dengan Witantra, ternyata gurunya
tidak segera berhasil mengalahkannya. Karena itu, maka
jantungnyapun berdegup semakin keras. Dipinggir arena itu
masih ada dua orang tua lagi yang nampaknya memiliki
kemampuan yang meyakinkan. Mahendra yang bertempur
di halaman rumahnya melawan pengawalnya, ternyata
tidak menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.
Pangeran Indrasunu baru sadar, ketika ia telah bertempur
melawan Mahisa Bungalan yang merupakan salah seorang
anak Mahendra itu. Jika gurunya menang atas Witantra, apakah itu berarti
bahwa perang tanding ini sudah selesai. Apakah itu tidak
berarti bahwa Mahisa Agni atau Mahendra, atau keduanya
berturut-turut dapat memasuki arena itu pula, untuk
mempertahankan gadis itu dengan cara yang telah
ditempuh oleh gurunya untuk merebutnya.
Demikianlah pertempuran itupun semakin lama menjadi
semakin meningkat. Baik Wasi Sambuja maupun Witantra
telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Perlahanlahan
tetapi pasti, bahwa mereka akhirnya akan sampai
kepada puncak ilmu mereka masing-masing.
Para pengawal yang menyaksikan pertempuran itupun
berdiri bagaikan patung. Mereka menjadi semakin sulit
menilai, apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Wasi
Sambuja dan Witantra. Gerak mereka semakin cepat, dan
tenaga merekaoun telah meniadi berlipat ganda. Namun
sejalan dengan itu, daya tahan tubuh masing-masingpun
seolah-olah telah berlipat ganda pula.
Yang nampak di arena itupun kemudian bagaikan
benturan angin pusaran yang saling melibat. Keduanya
memiliki kemampuan yang sulit untuk ditangkap dengan
nalar orang kebanyakan. Namun dalam pada itu, lambat laun, justru Mahisa Agni
dan Mahendralah yang melihat, bahwa keseimbangan
pertempuran itu mulai goyah Nampaknya Witantra
memiliki daya tahan yang lebih besar dari lawannya.
Perlahan-lahan kekuatan Wasi Sambujapun menjadi susut.
Namun hal itu masih belum disadari oleh orang yang
berkepentingan. Wasi Sambuja memang merasa harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi
Witantra yang mulai menekan. Namun ia belum
menyadari, bahwa kekuatan yang dikerahkan tanpa
kekangan itu telah menghisap segenap kekuatan yang ada
padanya, melampaui batas kemampuannya.
Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun pada suatu saat
akan nampak bahwa kemampuan manusia tetap dalam
keterbatasan. Di saat-saat batas itu telah disentuh, maka
seseorang tidak mungkin lagi untuk mengatasinya.
Demikian pula Wasi Sambuja. Perlawanannya mulai
susut, sehingga perlahan-lahan ia mulai terdesak setapak
demi setapak. Ketika tiba-tiba saja Wasi Sambuja yang menghindari
serangan Witantra menyentuh gawar, barulah ia mengerti
apa yang sebenarnya telah terjadi. Agaknya ia telah
terdesak menepi tanpa sadarnya.
Dengan demikian, maka Wasi Sambujapun mulai
memperhatikan dengan sungguh-sungguh keseimbangan
pertempuran itu. Ketika ia menghentakkan tenaganya, dan
ternyata ia tidak berhasil mendesak dan apalagi mengenai
Witantra, maka iapun mulai yakin, bahwa lawannya masih
dalam keadaan yang lebih baik dari dirinya.
Namun demikian, Wasi Sambuja sama sekali tidak
berniat untuk menghentikan perang tanding itu. Ia masih
mempunyai harapan. Meskipun tenaganya mulai susut,
tetapi jika lawannya mahibuat kesalahan besar atau kecil,
maka ia akan dapat memanfaatkannya justru pada saat-saat
yang paling gawat. Tetapi Witantra seolah-olah tidak akan pernah
melakukan kesalahan yang betapapun kecilnya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Witantra telah
mendesaknya semakin berat,
Wasi Sambuja menjadi gelisah. Ia melihat benturan ilmu
antara muridnya dengan Mahisa Bungalan. Sementara itu,
Wasi Sambujapun tahu, bahwa Mahisa Bungalan, anak
Mahendra telah memiliki ilmu yang sejalan dengan ilmu
Witantra. Meskipun Wasi Sambuja tidak pasti, namun ia
menganggap bahwa Witantra memiliki ilmu dari sumber
yang sama dengan Mahisa Bungalan dalam tataran yang
lebih tinggi. Bahkan Wasi Sambuja menduga, bahwa
Mahisa Bungalan adalah murid Witantra yang memasuki
arena ketika ia memasukinya pula untuk menebus
kekalahan Pangeran Indrasunu.
Rasa-rasanya akan terulang kembali apa yang telah
terjadi. Pangeran Indrasunu tidak mampu menembus
kekuatan ilmu Mahisa Bungalan, sehingga karena itu, maka
Wasi Sambuja itupun bertanya kepada diri sendiri "Apakah
aku mampu menghancurkannya dengan ilmu
pamungkasku?" Namun akhirnya Wasi Sambuja sampai pada satu
kesimpulan, bahwa persoalannya akan berbeda. Jika
Pangeran Indrasunu tidak mampu menembus kekuatan
ilmu Mahisa Bungalan itu bukan berarti bahwa sumber
ilmunyalah yang kalah. Tetapi unsur manusianya itupun
mempunyai pengaruh yang kuat pula. Dalam hal kedua
anak muda itu, maka Wasi Sambuja menilai bahwa Mahisa
Bungalan memang memiliki kemungkinan lebih baik dari
Pangeran Indrasunu. Dan itu bukan berarti bahwa guru
kedua anak muda itu tercermin sepenuhnya kepada muridmuridnya.
Dengan demikian maka Wasi Sambuja yang menjadi
semakin kehilangan pengamatan diri karena desakan
Witantra yang semakin berat itu, telah mengambil satu
keputusan, untuk membenturkan ilmunya.
"Jika bukan orang itu, biar aku sajalah yang mati dalam
perang tanding ini. Rasa-rasanya aku tidak akan dapat
menanggung tekanan batin karena kekalahan yang
beruntun ini, seandainya aku tidak berhasil" berkata Wasi
Sambuja di dalam hati. Ketika ia berangkat dari
padepokannya, ia sama sekali tidak menduga bahwa ia
akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki ke
mampuan seperti itu. Namun Wasi Sambuja masih tetap berpengharapan.
Pangeran Indrasunu bukan muridnya sejak kanak-kanak. Ia
datang kepadanya setelah ia menjadi anak muda dewasa
dengan bekal ilmu yang kurang mapan. Dalam waktu
singkat ia berhasil membentuk Pangeran Indrasunu menjadi
seorang yang mulai mapan dengan ilmunya, meskipun sifat
dan wataknya sama sekali tidak dapat berubah.
Karena itulah, maka akhirnya Wasi Sambuja itupun
benar-benar telah mempersiapkan diri untuk melepaskan
ilmu puncaknya. Witantra memang sudah menduganya. Dan iapun telah
bersiap pula menghadapinya. Ketika ia melihat Wasi
Sambuja siap untuk menyerangnya dengan ilmu
puncaknya, maka Witantrapun telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Dipusatkannya segenap daya ilmunya
untuk menghadapi benturan dengan ilmu Wasi Sambuja.
Witantra tidak mau menyesal. Karena itu, maka iapun
telah mengerahkan segenap ilmu yang ada padanya.
Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di pinggir
arena itu menjadi semakin tegang. Mereka melihat sikap
Wasi Sambuja dan Witantra. Apalagi Pangeran Indrasunu
yang melihat gurunya sudah sampai kepada ilmu
puncaknya. Mahisa Agni, Mahendra dan Mahisa Bungalanpun telan
menanan nafasnya. Benturan itu tentu akan merupakan
benturan yang sangat dahsyat. Namun merekapun
menyadari, bahwa taruhannya adalah harga diri sebuah
perguruan. Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, Wasi Sambuja
itupun telah meloncat menyerang dengan lambaran ilmu
puncaknya yang tiada taranya.
Namun dalam pada itu, Witantrapun tidak hanya
sekedar bertahan. Ia ingin mendapat kesempatan yang sama
dengan lawannya, sehingga karena itu, maka Witan trapun
telah meloncat pula, membentur ilmu lawannya dengan
ilmunya. Sebenarnyalah benturan yang terjadi bagaikan mengguncang
seluruh isi istana Pangeran Wirapaksi. Getarannya
telah menghantam, setiap dada, sehingga rasa-rasanya
benturan yang dahsyat itu telah terjadi didalam dada orangorang
yang menyaksikannya itu. Karena itu, mereka yang daya tahannya tidak mampu
mengatasinya, maka merekapun telah terduduk di tanah
sambil menahan guncangan dada mereka dengan
tangannya. Sebenarnyalah bahwa benturan itu benar-benar merupakan
benturan kekuatan dan ilmu yang sulit ditangkap
dengan nalar. Namun kedua orang yang telah
membenturkan ilmunya itupun merupakan orang yang luar
biasa. Keduanya tidak lumat menjadi debu meskipun
keduanya mengalami keadaan yang parah.
Witantra telah terlempar beberapa langkah dan jatuh
terbanting di tanah. Ternyata bahwa benturan ilmu itu telah
benar-benar mengguncang isi dadanya.
Sekali Witantra menggeliat. Kemudian iapun
menjulurkan kakinya lurus-lurus. Ia tidak dapat lagi bangkit
seperti yang dilakukan oleh Mahisa Bungalan, karena rasarasanya
tulang-tulangnya berpatahan.
Namun kemudian Witantra telah berbaring sambil
memusatkan segenap daya tahan tubuhnya. Mengatur
pernafasannya dan mempergunakan segenap sisa kekuatan
yang ada padanya untuk mengatasi kesulitan di dalam
dirinya, karena sebenarnya, ia telah terluka dibagian dalam
tubuhnya. Namun dalam pada itu, Wasi Sambujapun telah
terbaring di tanah. Matanya terpejam, dan nafasnya
menjadi terputus-putus. Pangeran Indrasunu menjadi bingung. Demikian pula
Pangeran Wirapaksi. Sementara itu, Mahisa Agni yang
kemudian mendekat dan berjongkok disamping Witantra
yang dengan tenang berusaha mengatasi kesulitan didalam
dirinya itu, telah berkata kepada Mahendra "Lihatlah, apa
yang telah terjadi dengan Wasi Sambuja"
Mahendrapun kemudian melangkah mendekati Wasi
Sambuja. Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja
Pangeran Indrasunu merebut tombak seorang pengawalnya
sambil berteriak "Jangan berbuat curang. Jika kau
melangkah selangkah lagi, aku bunuh kau dengan tombak
ini" Mahendra tertegun. Ia mengerti perasaan Pangeran
Indrasunu, karena Pangeran itu adalah muridnya. Namun
dalam pada itu, keadaan Wasi Sambuja sebenarnyalah
sangat gawat. Sejenak Mahendra termangu-mangu. Namun kemudian
katanya "Pangeran. Sebenarnyalah aku tidak ingin berbuat
jahat. Aku justru ingin melihat, apa yang terjadi atas guru
Pangeran itu. Dengan demikian, jika ada kemungkinan
yang dapat aku lakukan, biarlah aku mencoba
menolongnya" "Jangan menipu aku" Pangeran Indrasunu masih saja
berteriak "mundur atau aku bunuh kau"
"Tenanglah Pangeran" berkata Mahendra "keadaan
gurumu sangat gawat. Jika kau berkeras, dan ternyata
terjadi sesuatu atas gurumu itu, maka kesalahannya ada
padamu" "Aku bukan anak dungu yang dapat kau tipu dengan
cara yang licik itu" geram Pangeran yang masih muda itu
"mundurlah. Cepat"
Tetapi Mahendra masih berusaha meyakinkan, katanya
"Berpikirlah. Jangan terlalu hanyut pada perasaan sematamata"
Tetapi agaknya Pangeran Indrasunu sama sekali sudah
tidak dapat berpikir bening. Karena itu, maka tiba-tiba saja
ia telah meloncat menikam Mahendra tepat ke arah dada.
Namun Mahendra telah menduganya. Karena itu, maka
iapun bergeser setapak. Kemudian diraihnya tangkai
tombak itu dan justru ia telah meraba tengkuk Pangeran
yang masih muda itu. Tidak seorangpun yang melihat, apa yang telah
dilakukan oleh Mahendra. Namun ternyata Pangeran itu
seolah-olah telah kehilangan segenap tenaganya. Ketika ia
menjadi terhuyung-huyung maka Mahendrapun cepat
menangkapnya dan membaringkannya di tanah.
Namun dalam pada itu, para pengawalnya telah
berloncatan berdiri. Mereka telah bersiap melakukan apa
saja sebagai pernyataan bakti mereka kepada Pangeran


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indrasunu. Tetapi sekali lagi Mahendra berkata "Kalianpun jangan
kehilangan akal. Jika pada saatnya Pangeran Indrasunu
tidak terbangun lagi, maka kalian dapat membunuhku"
Para pengawal itu termangu-mangu. Apalagi ketika
Pangeran Wirapaksi yang percaya kepada kata-kata
Mahendra itupun menyambung "Minggirlah. Percayalah
kepadaku. Pangeran Indrasunu adalah adik iparku"
Para pengawal itu ragu-ragu. Tetapi ketika para
pengawal istana Pangeran Wirapaksi mulai bergeser, maka
'merekapun telah melangkah surut.
Dalam pada itu, Mahendrapun dengan tergesa-gesa
mendekati Wasi Sambuja yang dalam keadaan parah.
Namun rasa-rasanya Wasi Sambuja masih dapat mengatasi
keadaannya. Sementara itu Mahendrapun telah memberi
isyarat kepada Mahisa Agni untuk mendekatinya.
Setelah berpesan kepada Mahisa Bungalah untuk
menunggui Witantra yang sedang berusaha mengatur
pernafasannya dan mengatasi kesulitan dibagian dalam
dadanya, maka Mahisa Agnipun telah dengan tergesa-gesa
mendekatinya. Mahisa Agni dan Mahendrapun kemudian berjongkok di
sebelah Wasi Sambuja yang terbujur diam. Keduanyapun
kemudian berusaha untuk membantu mengatur pernafasan
mereka. Mahendra telah mengangkat kedua tangan Wasi
Sambuja dan kemudian meletakkannya membentang.
Sementara Mahisa Agnipun kemudian duduk diam sambil
meletakkan tangannya di dada Wasi Sambuja.
Masih terasa nafas Wasi Sambuja bergerak. Tetapi sama
sekali tidak teratur dan bahkan kadang-kadang hampir tidak
terasa. Karena itu, maka Mahendrapun telah mengambil sejenis
obat yang selalu dibawanya. Dengan beberapa tetes air,
obat itu dicairkannya dan kemudian dituangkannya ke
dalam mulut Wasi Sambuja.
"Mudah-mudahan dapat membantunya" berkata
Mahendra sambil mengendorkan ikat pinggang kulit Wasi
Sambuja yang tebal dan lebar.
"Bawa Wasi Sambuja ke serambi" minta Mahendra
kemudian kepada para pengawal Pangeran Indrasunu.
Oleh beberapa orang maka Wasi Sambuja itupun
kemudian dibaringkan di amben kayu di serambi samping
istana Pangeran Wirapaksi. Sementara itu, justru Witantra
masih tetap berbaring di sisi arena.
"Apakah Ki Witantra tidak dibawa ke serambi pula?"
bertanya Pangeran Wirapaksi.
Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Katanya "Ia sedang
berusaha dengan kekuatan sendiri untuk memperbaiki
pernafasan dan berusaha menyembuhkan guncangan di
dalam dadanya karena benturan itu. Aku masih berharap
bahwa ia dapat melakukannya bagi dirinya sendiri tanpa
bantuan sejenis obat-obatan, karena dengan kekuatan
sendiri, segalanya akan berjalan lebih baik dan wajar bagi
tubuhnya" Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Tetapi iapun
melihat bahwa pernafasan Witantra yang terbaring di sisi
arena itu, semakin lama menjadi semakin teratur.
Dalam pada itu, setelah Wasi Sambuja terbaring di
amben kayu, maka Mahisa Agni dan Mahendrapun meninggalkannya
dan merekapun mendekati Witantra yang
terbaring sambil berkata kepada para pengawal Indrasunu,
agar Pangeran Indrasunu yang tertidur itupun dibawa ke
serambi pula. Ketika Mahisa Agni dan Mahendra berjongkok di sisi
tubuh Witantra, ternyata bahwa Witantra sudah berhasil
mengatasi segala kesulitan didalam dirinya. Meskipun
tubuhnya masih sangat lemah, namun pernafasannya sudah
menjadi teratur. Dadanya tidak lagi terasa pepat bagaikan
ditindih gunung. Dibantu oleh Mahisa Bungalan, maka perlahan-lahan
Witantrapun berusaha untuk duduk. Sambil menarik nafas
dalam-dalam, ia bergumam "Wasi itu memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Dimana ia sekarang?"
Mahisa Agni memandang ke serambi sambil berkata "Ia
telah dibaringkan di amben kayu"
Wajah Witantra menegang. Dengan terbata-bata ia
bertanya "Tetapi bukankah aku tidak membunuhnya ?"
"Tidak" jawab Mahendra "ia tidak mati. Tetapi
keadaannya sangat parah. Tetapi aku sudah memberikan
obat baginya. Mudah-mudahan ia berhasil mengatasi
keadaannya" Witantra mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan
melihatnya" Dengan tubuh yang masih lemah, Witantra itupun
berdiri dibantu oleh Mahisa Bungalan. Iapun kemudian
diikuti oleh Mahisa Agni dan Mahendra melangkah menuju
ke serambi pula untuk melihat keadaan Wasi Sambuja.
Ketika Witantra sampai di serambi, Wasi Sambuja masih
terbaring diam. Nampaknya keadaannya memang parah.
Namun setelah obat yang diberikan oleh Mahendra
dituangkan kedalam mulutnya dan mengalir melalui
tenggorokannya, maka pernafasannya menjadi berangsur
baik dan mulai teratur. Namun demikian matanya masih
tetap terpejam. Witantra yang lemah itupun kemudian duduk di bibir
amben tempat Wasi Sambuja terbaring. Ketika ia
memandang ke amben yang lain, dilihatnya Pangeran
Indrasunupun terbaring pula.
"Kenapa anak itu?" bertanya Witantra.
"Aku telah membuatnya tidur sebentar" jawab
Mahendra yang kemudian menceriterakan apa yang telah
diperbuat oleh Pangeran Indrasunu.
Dalam pada itu, ketika angin yang silir menyentuh tubuh
Pangeran Indrasunu, maka iapun mulai sadar perlahanlahan.
Akhirnya iapun teringat segalanya yang telah terjadi,
sehingga karena itu, maka iapun segera meloncat bangun.
"Dimana guru?" Pangeran Indrasunu itupun ke-mudian
bertanya dengan tegang. "Tenanglah" berkata Mahendra "gurumu sedang
berusaha untuk memperbaiki pernafasannya"
"Omong kosong. Kalian telah membunuhnya" Pangeran
itu membentak. "Ia dalam keadaan yang semakin baik" jawab Mahendra
"Omong kosong. Jika kalian membunuh guru, bunuh
aku sama sekali. Guru datang kemari karena aku
memanggilnya. Karena itu, maka kematiannya harus aku
tuntut sampai akhir hidupku pula"
"Gurumu masih hidup" jawab Mahisa Agni "ia akan
berangsur baik jika kau tidak mengganggunya. Tetapi jika
kau tidak mau mengerti usaha kami, maka kematiannya
adalah karena pokalmu. Itu berarti bahwa kaulah yang
membunuhnya" Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun
katanya kemudian "Kalian berusaha menipu aku"
"Tunggulah barang sejenak. Kau akan melihat satu
kenyataan tentang keadaan gurumu ini. Lihat,
pernafasannya telah menjadi lebih lancar dan lebih teratur"
jawab Mahendra. Pangeran Wirapaksilah yang kemudian mendekati adik
iparnya. Dibimbingnya adik iparnya untuk duduk. Dengan
kata-kata sareh Pangeran Wirapaksi berkata "Adimas
Indrasunu. Jika orang-orang itu bermaksud jahat, maka
alangkah mudahnya untuk membunuh Wasi Sambuja
dalam keadaan itu. Tetapi kau harus percaya bahwa mereka
tidak akan melakukannya"
Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.
Tubuhnya sendiri rasa-rasanya masih terlalu letih. Bukan
saja karena perang tanding. Tetapi benturan ilmu yang telah
terjadi, membuatnya hampir tidak bertenaga lagi.
Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh orang-orang
yang mengerumuni Wasi Sambuja termasuk Witantra,
bahwa pernafasannya menjadi semakin baik. Beberapa kali
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam meskipun
matanya masih terpejam. Namun perlahan-lahan pula ia
mulai menggerakkan pelupuk matanya itu.
Ketika matanya terbuka, ia melihat beberapa orang
duduk di bibir amben kayu tempat ia terbaring. Semula
bayangan-bayangan Itu nampak baur. Namun semakin
lama menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat
seorang demi seorang. Diantara mereka nampak Witantra,
orang yang melawannya dalam perang tanding, dan
Pangeran Wirapaksi sendiri.
Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
melihat Pangeran Indrasunu maka iapun berdesis
"Pangeran" Pangeran Indrasunu mendekatinya. Dengan penuh harap
ia berkata "Apakah guru menjadi semakin baik?"
Wasi Sambuja tersenyum. Katanya "Aku berangsur
semakin baik" Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Katanya
"Sukurlah. Sebentar lagi guru akan pulih kembali"
Sesaat Wasi Sambuja masih tetap berbaring. Namun
pernafasannya tidak lagi terasa sesak. Dan iapun merasa
pada bibir dan lidahnya, bahwa ia telah minum obat yang
membantunya mempercepat kesadarannya.
Namun ketika tubuhnya terasa menjadi semakin baik,
maka Wasi Sambuja itupun berusaha untuk bangkit.
"Jangan memaksa diri" desis Pangeran Wirapaksi
"berbaring sajalah"
Tetapi Wasi Sambuja berusaha untuk tersenyum dan
menjawab "Aku sudah berangsur baik"
Dibantu oleh Pangeran hidrasimu, maka Wasi Sambuja
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 20 Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Hijaunya Lembah Hijaunya 22
^