Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 36

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 36


yang lain akan langsung menuju keinduk pertahanan untuk
menghancurkan perbekalan dan menjadikan padukuhan
yang menjadi pusat pertahanan itu jadi lautan api.
"Mereka akan menjadi kecut dan kehilangan gairah
perjuangan" berkata Akuwu.
"Sebenarnya pasukan Kabanaran berhati kecil" berkata
Pangeran Indrasunu "ketika aku memasuki kota Pakuwon,
aku tidak banyak menemui kesulitan"
"Pangeran memilih saat yang tepat. Saat pasukan
Kabanaran sebagian besar berada di Kedung Serta dan
hutan perbatasan. Apalagi kedatangan Pangeran bersama
pasukan yang kuat dari beberapa padepokan begitu tiba-tiba
seperti banjir yang tidak terbendung" jawab Akuwu di
Watu Mas. "Maksudku" berkata Indrasunu "Jika mereka mengalami
sedikit saja kekalahan, maka mereka akan kehilangan
kemantapan bertempur" jawab Pangeran Indrasunu
"karena itu, aku sependapat, bahwa sebagian dari pasukan
Watu Mas menerobos melingkari gelar. Dan akupun
sependapat, bahwa pasukan ini selanjutnya akan terus
menerobos memasuki kota Pakuwon. Kita tidak perlu
mengulangi serangan yang akan memberikan peluang
kepada orang-orang Kabanaran untuk bersip-siap lagi.
Sementara perbekalan dan pelengkapaan kita, akan dapat
menyusul" "Malam nanti, sepasukan pengawal akan datang dengan
beberapa perlengkapan dan perbekalan baru" berkata
Akuwu "Aku telah mendahului mereka untuk
mempersiapkan satu rencana yang matang disini"
Sebenarnyalah malam itu, pasukan yang berangkat
bersama Akuwu Watu Mas, tetapi kemudian
ditinggalkannya telah sampai ke medan. Merekapun segera
menempatkan diri dalam perkemahan yang segera mereka
dirikan. Para pemimpinnya segera berkumpul untuk
menyesuaikan diri dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya. "Kalian masih sempat beristirahat" berkata Akuwu
"besok pagi sebagian dari kalian akan memasuki arena.
Karena itu, kalian harus menyiapkan diri lahir dan batin"
Setelah makan dan minum, maka para pengawal yang
datang kemudian itupun segera beristirahat, karena besok
mereka akan turun ke peperangan.
Dalam pada itu, di induk pertahanan pengawal dari
Kabanaran; Akuwu Suwelatamapun sibuk memberikan
perintanh-perintah. Sebagaimana di harapkan, maka malam
itu juga para penghubung telah kembali bersama sepasukan
pengawal. Mereka adalah par pengawal yang telah
memasuki sarang perampok di hutan perbatasan, sementara
yang lain adalah para pengawal yang sempat ditarik dari
beberapa tempat disekitar Kota Pakuwon. Sedangkan
sebagian yang lain adalah para pengawal yang semula
berada di Kedung Sertu yang untuk sementara ditempatkan
sebagai pengawal kota Pakuwon, sementara sebagian yang
lain telah memdahului berada di medan. Tetapi ternyata
bahwa Akuwu di Kabanaran telah mengambil satu
kebijaksanaan lain dari yang pernah dipikirkannya
sebelumnya. Karena pasukan yang datang itu masih belum
mendapat kesempatan beristirahat secukupnya, maka
sebagian saja dari pasukan cadangan yang dikeesokan
harinya akan turun ke medan.
"Jangan semua pasukan cadangan" berkata Akuwu
"sebagian harus tetap berada di induk perbatasan ini,
karena pasukan yang datang ini ternyata terlalu lambat,
sehinggi mereka belum mendapat kesempatan beristirahat
secukupnya" Demikianlah, ketika fajar menyingsing, pasukan
Kabanaran telah bersikap dengan gelar perangnya. Mereka
menurunkan sebagian dari pasukan cadangannya untuk
menggantikan para pengawal yang telah gugur dan terluka
parah. Sebagaiman hari-hari sebelumnya, maka pasukan
Kabanaran berada dalam gelar yang utuh. Dengan tandatanda
kebesaran pasukan Kabanaran telah siap maju ke
medan. Pasukan Kabanaran itu sama sekali tidak menduga,
bahwa pasukan Watu Mas telah merigadakan perubahan
cara menghadapi pasukan Kabanaran. Meskipun pasukan
Watu Mas turun dengan gelar penuh dan tanda-tanda
kebesaran seperti biasanya, namun mereka telah menerima
perintah-perintah tertentu dari para Senopati mereka.
"Jika pasukan mulai berbenturan, maka sebagian dari
mereka akan meninggalkan galar, melingkari arena dan
menyerang langsung kebelakang pertahanan lawan" pesan
Senopati yang mengatur peperangan di pihak Kabuyutan
Watu Mas "orang-orang Kabanaran aku menjadi bingung,
sehingga apabila mereka tidak bersiap-siap menghadapi
cara yang kami tempuh, gelar mereka akan koyak pada
pangkal sayapnya" Demikianlah, maka pada saatnya, kedua pasukan dalam
gelar itu telah maju ke medan. Meskipun Akuwu di kedua
belah pihak sudah berada di induk pertahanan masingmasing,
tetapi gelar yang mereka lepaskan masih belum
mempergunakan panji-panji kebesaran Akuwu di Pakuwon
masing-masing. Meskipun pasukan Watu Mas masih tetap
mempergunakan gelar Garuda Nglayang, namun para
Senopati yang berpengalaman dari pasukan Kabanaran
melihat perbedaan pada susunan gelar itu. Mereka melihat
sayap gelar Garuda Nhlayang itu terlalu besar dan tidak
seimbang dengan induk pasukannya.
"Mereka akan mamatahkan sayap gelar Sapit Urang ini"
berkata Senopati yang memimpin seluruh pasukan
Kabanaran kepada Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan adalah seorang anak muda yang
berilmu tinggi. Tetapi ia terbiasa melakukan petualangan
secara prebadi. Pengalamannya dalam olah kanuragan lebih
banyak di tentukan pada kemampuan seorang, meskipun
bukan berarti bahwa ia tidak dapat menyesuaikan diri
dengan perang gelar. Namun karena itu, maka
pengenalannya atas gelar lawan tidak setajam Senopati
yang berada di induk pasukan itu.
Karena itu, maka kesan yang pertama dilihat oleh
Mahisa Bungalan adalah sebagaimana dikatakan oleh
Senopati itu. Kekuatan gelar lawan, justru di letakkan
kepada sayap-sayap gelarnya.
Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran itupurt
segera memgirimkan penghubung-penghubungnya kepada
para Senopati pengapit dan Senopati yang memimpin ujung
sayap. Penghubung itu menyampaikan kesan yang di
berikan oleh Senopati tertinggi dari pasukan Kabanaran itu.
Dalam pada itu, ternyata para Senopatipun melihat
kelainan pada gelar lawan. Karena itu, maka Senopati
pengapit telah melepaskan beberapa kelompok pengawal
dari Kabanaran untuk berada di sayap pasukan. Sehingga
dengan demikian mereka akan mengimbangi kelainan gelar
lawan. Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itupun telah
menjadi semakin dekat. Ketika saat benturan terjadi, maka
terdengarlah sorak gemuruh dari kedua belah pihak.
Seperti hari-hari sebelumnya mala kedua pasukan itupun
segera terlibat dalam satu pertempuran sengit. Masingmasing
pihak telah berusaha untuk mendesak lawannya.
Pedang beradu pedang, tombak membentur perisai dan
bindipun terayun-ayun diudara.
Dalam pada itu, ketika pertempuran itu menjadi semakin
sengit, maka mulailah terjadi perubahan pada pasukan
Watu Mas. Gelar Garuda Nglayang itupun mulai
menunjukkan kelainannya. Sebenarnyalah beberapa kelompok pengawal diujung
sayap pasukan Watu Mas muali bergerak. Mereka seolaholahh
telah meninggalkan pasukan mereka, bergeser
menebar. Senopati yang berada disayap gelar pasukan Kabanaran
menjadi bimbang menanggapi gerak lawan. Namun
sebelum mendapat gambaran yang pasti dari tujuan gerak
lawan yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ternyata
Senopati diujung sayap itu berpikir cukup cepat.
"Pergunakan kesempatan" perintahnya "sebelum kita
menemukan pola perlawanan yang baru. Pasukan lawan
menjadi semakin tipis"
Sebenarnyalah pasukan Kabanaran berhasil menekan
lawannya yang menebar. Namun kemudian merekapun
memaklumi, bahwa beberapa kelompok pasukan Watu Mas
dengan sengaja telah melampaui ujung sayap gelar
lawannya langsung melingkar kebelakang garis perang
gelar. Sikap gelar lawan itu memang agak membingungkan
para Senopati di pasukan Kabanaran. Apalagi agaknya
jumlah pasukan Watu Mas menjadi bertambah besar
dibanding dari kemungkinan yang dapat mereka lakukan di
hari sebelumnya. Kelainan gelar lawan itu terasa menggoncangkan gelar
pasukan Kabanaran. Namun untunglah Senopati yang
trampil itu segara mengambil keputusan. Ia menarik sayap
pasukan dari gelar Sapit Urang itu justru mendekati induk
pasukan, sehingga gelar mereka menjadi sempit.
"Kita akan memuat perhitungan baru" pesan Senopati
itu kepada para pengapitnya lewat para penghubung.
Kesempatan intuk melingkari pasukan lawan memang
menjadi semakin besar pada pasukan Watu Mas. Tetapi
dengan perubahan gelar pada pasukan Kabanaran, mereka
tidak dapat lagi berusaha metotong gelar lawan pada
pangkal sayapnya. Namun demikian, maka kelainan sikap gelar Garuda
Nglayang itu telah berhasil menegangkan para pengawal
dari Kabanaran. Suatu perhitungan yang memang
dikehendaki oleh para Senopati di Watu Mas.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka sekelompok
pengawal dari Watu mas yang memang mempunyai
kelebihan dari pasukan Kabanaran, karena jumlah mereka
yang lebih banyak, telah memisahkan diri dari gelar.
Sebagaimana mereka rencanakan, pasukan kecil itu akan
menusuk langsung ke pusat pertahanan orang-orang
Kabanaran untuk menghancurkan padukuhan yang
menyimpan perbekalan dan menjadi induk pertahanan itu.
"Pasukan cadangan yang ada di padukuhan itu tidak
akan mampu melawan kita" berkata Senopati yang
memimpin sekelompok pasukan pengawal dari Watu Mas
itu. 16_SHM_Panasnya_Bunga_Mekar
Namun ternyata orang-orang Kabanaran melihat gerak
yang sudah dapat mereka baca. Pasukan itu tentu akan
menghancurkan dukungan kekuatan di belakang garis
perang. Karena itu, dua orang penghubung yang tidak sempat
mendahului pasukan Watu Mas yang dengana cepat
bergerak menuju kepadukuhan itu, telah mempergunakan
isyarat. Mereka telah melontarkan panah senderen kearah
padukuhan di belakang garis perang itu.
Dua buah panah sendaren telah mengaum diudara. Para
pengawas di luar padukuhan induk pertahanan pasukan
Kabanaran telah mendengar isyarat itu, Namun mereka
tidak segera mengerti apa yang terjadi.
Meskipun demikian, maka para pengawas itu telah
meneruskan isyarat itu ke padukuhan. Merekapun telah
melepaskan panah sendaren pula yang langsung jatuh ke
dalam padukuhan induk pertahanan itu.
Isyarat itu telah mengejutkan para pengawal yang masih
beristirahat karena mereka masih belu diikut sertakan dalam
pertempuran di hari itu. Namun demikian mereka
mendengar isyarat maka merekapun segera mempersiapkan
diri bersama para pengawal dalam pasukan cadangan.
Sebenarnyalah bahwa pasukan cadangan yang tersisa
memang tidak begitu banyak. Tetapi orang-orang Watu
Mas tidak memperhitungkan, bahwa Kabanaran telah
memanggil pasukan baru untuk memperkuat kedudukan
mereka. Dengan cepat pasukan yang berada di induk pertahanan
itu bersiap. Bukan saja para pengawal cadangan dan para
pengawal yang masih belum dipersiapkan untuk bertempur
hari itu, tetapi juga mereka yang bertugas di belakang garis
perang. Mereka yang bertugas untuk menyediakan makan
dan minum, mengurusi perbekalan dengan kegiatankegiatan
yang lain. Namun sebenarnyalah merekapun
sudah memiliki dasar-dasar ilmu perang.
Para pengawal dari Watu Mas-pun telah mendengar
isyarat yang dilontarkan oleh para penghubung pasukan
Kabanaran. mereka, sama sekali tidak menghiraukan.
Bahkan mereka telah mempercepat gerak mereka menuju
ke padukuhan induk pertahanan pasukan Kabanaran.
Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran
yang juga berada di medan itupun mengetahui gerak
pasukan Watu Mas. Namun ketika para penghubung telah
memberikan isyarat, maka Senopati itu menjadi agak
tenang, karena ia tahu, bahwa di padukuhan itu terdapat
Akuwu Suwelatama itu sendiri bersama sepasukan
pengawal. Meskipun pasukan pengawal itu menurut
rencana masih belum dipersiapkan untuk turun ke medan
pada hari itu, namun mereka tentu akan mempertahankan
padukuhan itu sebaik-baiknya.
Akuwu Suwelatama yang berada di padukuhan itupun
langsung mengatur para pengawalnya. Meskipun ia tidak
mempergunakan pertanda kebesaran seorang Akuwu,
namun ia telah bertindak sebagai Senopati perang untuk
mempertahankan padukuhan induk pertahanan yang berisi
perlengkapan perang dan perbekalan itu.
Ternyata bahwa Akuwu Suwelatama tidak menunggu
pasukan lawan memasuki regol padukuhan. Justru pasukan
Kabanaranlah yang telah bersiap untuk menyongsongnya.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepada mereka yang bertugas menyiapkan makanan dan
minuman Akuwu berpasan "Siapkan senjata kalian.
Mungkin satu dua orang akan menerobos memasuki
padukuhan ini. Adalah tugas kalian untuk menghalau atau
membinasakan mereka"
Sementara itu, kepada beberapa orang, Akuwu
memerintahkan untuk mengawasi semua lorong yang
memasuki padepokan, sedangkan pasukan cadangan tlan
pasukan yang baru datang yang seharusnya masih
mendapat kesempatan untuk beristirahat, telah dibawanya
keluar dari padepokan. Tetapi Akuwu ingin menjebak lawannya. Ia
memerintahkan pasukan yang baru datang untuk tetap
berada di dalam regol. Meraka harus bersiap untuk
bertindak pada saat yang ditentukan. Sementara pasukan
cadangan yang kecil akan keluar regol bersama Akuwu
Suwelatama sendiri. Demikian pasukan Watu Mas mendekati regol
padukuhan, maka mereka sudah bersiap untuk menebar.
Mereka akan menyerang dan memasuki padukuhan itu
tidak lewat pintu gerbang saja. Tetapi beberapa kelompok
kecil akan memasuki padukuhan dengan meloncat dinding.
Namun sebelum mereka sempat menebar, pasukan
Kabanaran yang dipimpin oleh seorang Senopati muda
telah menyongsong mereka. Tidak seorangpun diantara
orang-orang Watu Mas yang mengetahui bahwa yang
memimpin pasukan Kabanaran itu adalah Akuwu
Suwelatama sendiri. Tetapi menurut pengamatan orang-orang Watu Mas,
jumlah pasukan cadangan itu terlalu kecil untuk melawan
mereka, sehingga bagi mereka, padukuhan itu pasti akan
dapat dihancurkannya. Namun agaknya Senopati yang memimpin pasukan
cadangan yang kecil itu sama sekali tidak mengenal takut.
Bersama pasukannya mereka memencar dalam tebaran
yang tidak terlalu luas. "Orang-orang Kabanaran itu sedang membunuh diri"
berkata Senopati yang memimpin pasukan Watu Mas itu.
Sejejak kemudian, maka kedua pasukan itupun telah
berbenturan. Tetapi sebenarnyalah pasukan cadangan dari
Kabaran terlalu sedikit untuk melawan pasukan Watu Mas.
Karena itu, maka dalam waktu yang pendek, mereka telah
terdesak mundur ke regol padukuhan.
"Hancurkan mereka" perintah Senopati dari Watu Mas.
lalu "atau desak mereka memasuki padukuhan yang akan
kita Jadikan karang abang. Padukuhan itu harus kita
musnahkan dengan segala isinya. Jangan beri kesempatan
mereka menyelamatkan perbekalan mereka"
Akuwu Suwelatama yang memimpin pasukannya justru
menarik diri dengan cepat. Sementara itu, pasukan lawan
yang merasa pasti akan berhasil telah jmendesak secepat
orang-orang Kabanaran mengudurkan diri.
Dengan perlawanan yang kurang berarti, pasukan
Kabanaran segera berusaha memasuki regol. Agaknya
mereka ingin bersembunyi dan bertempur diantara dindingdinding
halaman di dalam padukuhan itu.
Tetapi ternyata bahwa orang-orang Watu Mas tidak
telaten mendesak lawan mereka melalui regol padukuhan.
Mereka yang tidak sempat melawan orang-orang
Kabanaran dengan langsung karena medan yang sempit,
tiba-tiba saja telah berusaha untuk meloncati dinding.
Mereka menganggap bahwa di dalam dinding padukuhan
mereka akan dapat langsung bertempur melawan orang
orang Kabanaran yang mengundurkan diri. Jika mereka
segera berhasil membinasakan mereka, maka tugas mereka
menghancurkan perbekalan akan segera dapat mereka
lakukan. Tetapi yang terjadi sungguh-sungguh diluar perhitungan
mereka. Pada saat Akuwu Suwelatama melihat orang-orang
Watu Mas berloncatan, maka iapun segera memerintahkan
penghubungnya untuk meneriakkan isyarat.
Meskipun penghubung itu sudah berada di mulut regol,
namun sebagaimana telah disetujui bersama, maka
penghubung itu telah melontarkan panah sendaren ke
udara. Sambil melambung tinggi, panah sendaren itu
bagaikan menjerit meneriakkan aba-aba, agar mereka yang
berada dibelakang regol bersiap menghadapi lawan yang
datang. Sebenarnyalah, suara panah sendaren itu telah
menghentakkan orang-orang Kabanaran yang sedang
menunggu dengan hati yang berdebar-debar. Karena itu,
demikian mereka mendengar isyarat, maka merekapun
segera berloncatan. Justru hampir bersamaan dengan orangorang
Watu Mas yang meloncati dinding memasuki
padukuhan. Ternyata sebagian dari orang-orang Watu Mas itu
bernasib buruk. Demikian mereka meloncat turun, ujung
senjata orang Kabanaran telah menyambutnya.
Sementara itu, para pengawal dari Kabanaran yang
mundur melalui gerbangpun seluruhnya telah melewati
regol. Akuwu adalah orang terakhir yang berdiri dipintu
gerbang yang terbuka. Dengan pedang ia menahan orangorang
Watu Mas yang mendesak. Tetapi demikian beratnya
tekanan orang-orang Watu Mas, maka Akuwupun telah
menarik pasukannya dengan cepat memasuki padukuhan.
Orang-orang Watu Mas tidak mau, melepaskan buruan
mereka. Merekapun telah berlari-lari mengejar. Namun
Senopati Watu Mas yang berada didepan dengan cepat
dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Pertempuran antara orang-orangnya yang meloncati
dinding melawan para pengawal dari Kabanaran yang telah
menunggu mereka. Apalagi ketika Senopati itu sempat
melihat ujung-ujung senjata di balik dinding halaman dan
pepohonan perdu. Karena itu, maka iapun memberikan isyarat agar orangorangnya
tidak dengan serta merta mengejar lawannya.
Bahkan kemudian iapun meneriakkan aba-aba "Kita
memasuki sebuah perangkap. Tetapi kita tidak akan
mundur. Kita hancurkan orng-orang Kabanaran yang licik"
Para pengawal yang memasuki padukuhan lewat regol
itupun telah menghentikan gerak majunya. Mereka
kemudian menebar dekat dinding padukuhan. Dibeberapa
tempat, kawan-kawannya telah bertempur dengan orangorang
Kabanaran yang menunggu mereka di dalam dinding
padukuhan. Orang-orang Kabanaran mengumpat di dalam hati. Jikaa
pasukan Watu Mas itu memburu lawannya disepanjang
lorong di induk pertahanan itu, maka dari sebelah
menyebelah orang-orang Kabanaran akan dengan mudah
menghancurkan mereka. Tetapi ternyata orang-orang Watu
Mas itu tidak terlalu bodoh. Mereka sempat mengamati
keadaan dan melakukan perlawanan sesuai dengan keadaan
yang mereka hadapi. Sejenak kemudian telah berkobar pertempuran yang
sengit. Rencana orang-orang Kabanaran tidak dapat mereka
lakukan sebagaimana mereka harapkan. Ternyata bahwa
melena harus bertempur dalam satu perang brubuh yang
kisruh. Kedua pasukan itu seolah-olah telah berbaur
menjadi satu. Saling menusuk, saling menyedang dan saling
membunuh. Namun salam keadaan yang demikian, yang melawan
orang-orang Watu Mas bukan saja sekelompok kecil
pengawal yang dipimpin oleh seorang Senopati muda yang
tidak lain adalah Akuwu Suwelatama sendiri, tetapi
pasukan pengawal yang datang kemudian, yang dianggap
belum sempat beristirahat itu, telah terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Tetapi dengan demikian maka jumlah orang-orang
Kabanaran ternyata lebih banyak dari orang-orang Watu
Mas. Karena itu, maka sejenak kemudian, orang-orang
Watu Mas segera merasa bahwa mereka telah salah
langkah. Tetapi orang orang Watu Mas tidak berputus asa.
Mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan yang
ada. Bahkan Senopati yang memimpin sekelompok
pengawal dari Watu Mas itu telah mengambil satu langkah
yang ternyata mempunyai pengaruh yang besar.
Kepada dua orang pengawal ia berkata "Jika kita
berhasil membakar satu dua rumah, maka tentu akan
berpengaruh pada peperangan di luar padukuhan ini"
"Tetapi kita belum menemukan rumah tempat
penyimpanan perbekalan, atau rumah yang manapun juga.
Asapnya akan sama saja warnanya dari medan perang"
jawab Senopati itu. Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Kemudian
dengan diam-diam merekapun telah meninggalkan arena
pertempuran. Keduanyapun kemudian memilih sebuah rumah yang
besar yang telah kosong. Tidak ada seorang pengawalpun
yang mengawasi rumah yang kosong itu. Penghuni
padukuhan itu sudah lama dipindahkan sejak padukuhan
itu menjadi pusat pertahanan pasukan Kabanaran.
Sejenak kemudian, maka apapun mulai menyala. Sebuah
sudut yang terbuat dari anyaman bambu mulai
mengepulkan asap. Api yang merambat perlahan-lahan
mulai menelan seruas demi seruas.
Kedua pengawal itu tidak menunggu api berkobar lebih
besar. Merekapun segera berlari ke rumah di sebelah.
Rumah itu jauh lebih kecil. Tetapi hal itu memang tidak
penting bagi orang-orang Watu Mas. Karena itu, maka
sejenak kemudian rumah itupun telah dibakarnya pula.
Api ijuk dan dinding bambu membuat rumah-rumah itu
cepat terbakar. Sejenak kemudian, ternyata api telah mulai
menjilat atap, dan asappun mulai berkobar.
Api itu memang sangat mengejutkan. Akuwu
Suwelatamapun terkejut. Mereka mengira bahwa tempat
penyimpanan perbekalan telah dibakar.
Dengan cepat, Akuwu memerintahkan penghubungnya
untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka harus
memberikan laporan segera, agar Akuwu dapat mengambil
langkah. Ternyata tempat penyimpanan perbekalan masih tetap
utuh. Beberapa orang pengawal siap mengamankan rumah
tempat penyimpanan itu. Bahkan di bagian dapur, orangorang
yang bekerja menyiapkan makan dan minumanpun
telah siap dengan senjata mereka.
"Gila" desis Akuwu yang telah mendapat laporan
"biarkan saja rumah kosong itu terbakar"
"Tetapi bagaimana dengan para pengawal di medan"
bertanya penghubungnya. "Aku mengerti" jawab Akuwu "asap dan api itu tentu
akan berpengaruh. Tetapi jika api itu tidak meluas, maka
mereka tentu akan membuat pertimbangan. Karena itu,
beberapa orang pengawal harus mengadakan pengamatan
keliling di seputar padukuhan ini. Bukan hanya tempattempat
penting sajalah yang harus diawasi, karena orangorang
Watu Mas pun mempunyai banyak akal"
Demikianlah, maka sekelompok orang-orang
Kabanaranpun kemudian telah meninggalkan arena untuk
meronda seluruh padukuhan. Kepada mereka yang berjagajaga
di pintu-pintu lorong mendapat peringatan agar
merekapun berhati-hati. Sementara itu, pertempuran di padukuhan itupun mulai
sampai pada tataran yang menentukan. Orang-orang Watu
Mas yang jumlahnya lebih sedikit tidak lagi mampu
bertahan terlalu lama. Ketika dua orang pengawal dari
Watu Mas ingin membakar rumah yang lain, maka
sekelompok peronda dari Kabanaran berhasil melihatnya,
sehingga keduanya telah dapat ditangkap.
Akhirnya, betapapun juga orang-orang Watu Mas yang
memasuki padukuhan itu bertempur dengan mengerahkan
segenap kekuatan yang ada, namun ternyata bahwa mereka
tidak mampu untuk tetap bertahan, sehingga untuk
menghindari kemusnahan, maka merekapun mulai menarik
pasukannya. Bahkan ada di antara mereka yang dengan
tergesa-gesa meloncati dinding dan berlari meninggalkan
padukuhan. Orang-orang Watu Mas itu masih berharap
untuk dapat lolos dari tangan orang-orang Kabanaran dan
bergabung dengan induk pasukan mereka.
Dalam pada itu, api yang menyala, serta asap yang
mengepul tinggi, membuat orang-orang Kabanaran menjadi
bingung. Mereka mengira bahwa orang-orang Watu Mas
berhasil menghancurkan perbekalan mereka. Sehingga
justru karena itu, maka merekapun telah terpengaruh
karenanya. Selain akibat kecemasan itu, maka orang-orang Watu
Mas memang mempergunakan cara yang lain yang agak
membingungkan orang-orang Kabanaran. Karena itu, maka
untuk beberapa lamanya orang-orang Kabanaran masih
harus berusaha menyesuaikan diri.
Hari itu, orang-orang Watu Mas berhasil mendesak
orang-orang Kabanaran. Bahkan hampir saja gelar Sapit
Urang orang-orang Kabanaran berhasil dipecah. Namun
untunglah, bahwa ketangkasan dan kesigapan para Senoapti
gelar itu masih dapat bertahan.
Tetapi ketika asap membumbung sampai ke langit, rasarasanya
ada sesuatu yang hilang dari orang-orang
Kabanaran itu. Pasukan mereka pun justru semakin
terdesak mundur. Gejolak perjuangan yang membakar
jantung mereka rasarasanya menjadi surut.
Senopati yang memimpin seluruh pasukan Kabanaran
itu dapat mengerti keadaan itu. Beberapa kali ia mencoba
meneriakkan aba-aba yang disambung oleh para Senopati
yang lain. Namun nampaknya kecemasan telah merayap di
hati para pengawal di Kabanaran. Mereka merasa bahwa
dukungan perbekalan dan peralatan telah musnah dimakan
api, sementara para pengawal yang mempertahankannya
telah binasa. Sementara itu langitpun menjadi semakin merah.
Matahari perlahan-lahan turun ke punggung bukit di arah


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barat. Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran masih
berpengharapan, bahwa senja akan dapat menyelematkan
pasukannya. Sementara pada malam harinya, ia akan
mendapat kesempatan untuk memberikan beberapa
penjelasan. Yang harus dilakukannya adalah bertahan agar pasukan
lawan dalam perang gelar itu tidak mendekati pasukan
induk meskipun padukuhan itu sudah terbakar.
Tetapi pasukan Watu Mas mendesak dengan
dahsyatnya. Cara mereka memecah pasukan Kabanaran
dengan cara yang lain itu benar-benar telah menyulitkan
kedudukan orang-orang Kabanaran yang hatinya seolaholah
telah patah. "Kita harus mencapai padukuhan itu" teriak Senopati
yang memimpin pasukan Watu Mas " beberapa rumah
telah dibakar oleh para pengawal yang mendahului kita.
Kita harus merebutnya dan menghancurkan semuanya,
sehingga orang-orang Kabanaran tidak lagi mempunyai
tempat untuk berpijak"
Sorak gemuruh telah mengobarkan api perlawanan yang
dahsyat dihati orang-orang Watu Mas. Bahkan Senopati
yang memimpin pasukan Kabanaran mempunyai
perhitungan, seandainya matahstri turun dan tenggelam di
balik bukit, namun jarak padukuhan induk pertahanan itu
menjadi semakin dekat, maka pihak Watu Mas tidak akan
menarik pengawalnya. Meskipun gelap turun mereka akan
bertempur terus sampai mereka berhasil memasuki
padukuhan yang sudah terbakar itu.
Namun yang terjadi kemudian, ternyata telah merubah
segalanya. Diluar dugaan justru ketika perang gelar itu
bergeser semakin dekat dengan padukuhan induk
pertahanan orang-orang Kabanaran, telah terjadi sesuatu
yang mengejutkan. Dalam keburaman menjelang senja, orang-orang Watu
Mas yang berada di padukuhan itu telah terdesak keluar.
Bahkan ada diantara mereka yang berlari bercerai berai
kearah perang gelar untuk mencari perlindungan.
"Apa yang telah terjadi?" pertanyaan itu rasa-rasanya
telah mengetuk setiap hati para pengawal dari kedua belah
pihak. Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran melihat
keadaan itu. Sebelum para pengawalnya mengambil
kesimpulan yang berbeda-beda, maka iapun telah berteriak
"Kita berhasil mengusir mereka. Para pengawal dari
Kabanaran telah memenangkan perang di padukuhan itu"
Orang-orang Kabanaran termangu-mangu sejenak. Ada
sedikit harapan memercik dihati mereka. Apalagi ketika
kemudian muncul pasukan Kabanaran yang mengejar
orang-orang Watu Mas yang sedang menarik diri.
Sorak yang membahana telah menggetarkan langit diatas
medan perang. Hati yang hampir patah, tiba-tiba telah
bergejolak kembali. Orang-orang Kabanaran yang merasa
kehilangan alas bagi pasukannya bagaikan terbangun dari
sebuah mimpi yang menakutkan. Mereka seolah-olah telah
melihat lagi cahaya harapan untuk mempertahankan diri
dari orang-orang Watu Mas.
Sebaliknya orang-orang Watu Mas-lah yang kemudian
menjadi bingung. Mereka melihat orang-orangnya yang
memasuki padukuhan itu terdesak dengan dahsyatnya.
Bahkan berhasil dicerai-beraikan.
Sebagian dari orang-orang Watu Mas yang berhasil lolos
dari tangan orang-orang Kabanaran ternyata berhasil
mencapai induk pasukannya. Apalagi gelar yang lain dari
pasukan Watu Mas, yang memungkinkan orang-orangnya
bergabung dengan para pengawal di Watu Mas yang berada
dibelakang garis perang. Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang Kabanaran
yang mengejar orang-orang Watu Mas tidak berhenti
sampai diluar regol padukuhan. Mereka justru maju
menyatu dengan gelar pasukan mereka yang terdesak.
Dengan demikian, maka para pengawal dari Kabanaran
yang sebenarnya masih belum saatnya turun ke medan itu
telah dengan langsun melibatkan diri. Sehingga betapapun
juga, kehadiran mereka telah mempengaruhi keseimbangan
di peperangan itu. Dalam keadaan yang demikian, maka hati orang-orang
Kabanaran bagaikan berkembang di dalam dadanya.
Mereka dengan dahsyatnya telah mengerahkan tenaga
untuk menggempur orang-orang Watu Mas yang
kebingungan melihat suasana. Mereka semula memastikan
bahwa padukuhan itu berhasil dikuasai. Tetapi ternyata
berhitungan itu salah. Benturan antara kedua gelar itu telah bergulir kearah
yang sebaliknya. Orang-orang Kabanaran berhasil
mendesak orang-orang Watu Mas. Bahkan dalam beberapa
hal, pasukan Watu Mas telah menjadi goyah. Kelainan
gelar yang semula menguntungkan itu, justru menjadi
sebaliknya. Tetapi ternyata bahwa nasib mereka masih tidak terlalu
buruh. Semakin mereka terdesak, maka langitpun menjadi
semakin buram, sehingga ketika matahari terbenam,
terdengarlah orang-orang Watu Mas meniup sangkakala.
Orang-orang Kabanaran tidak ingin berbuat curang.
Meskipun kesempatan mereka saat itu lebih baik, tetapi
merekapun telah menghentikan perang dan menarik
pasukannya ke padukuhan yang merekaa sangka telah jatuh
ketangan orang-orang Watu Mas dan langsung di
hancurkan. Ketika mereka memasuki padukuhan itu, barulah
mereka melihat bahwa yang terbakar bukanlah tempat
penyimpanan perbekalan dan peralatan. Tetapi yang
terbakar adalah dua buah rumah yang kosong karena sudah
lama ditinggalkan oleh penghuninya dan tidak
dipergunakan oleh para pengawal.
"Gila" geram Senopati yang memimpin pasukan
Kabanaran "hampir saja kami menjadi korban perasaan
kami yang tidak terkendali"
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya orang-orang
Kabanaran itu justru telah mendapat tempaan batin
sehingga seakan-akan mereka justru menjadi yakin, bahwa
mereka tidak akan dapat dikalahkan oleh orang-orang Watu
Mas. Setelah para Senopati beristirahat sejenak dan makan
serta minum, maka Akuwu Suwelatama telah mimanggil
mereka untuk membicarakan pertempuran dihari
mendatang. "Sudah waktunya kita mengerahkan segenap kekuatan"
berkata Akuwu Suwelatama "orang-orang Watu Mas-pun
telah mengerahkan segenap kekuatan mereka. Bahkan
mereka telah melakukan serangan khusus untuk
menghancurkan perbekalan dan perlengkapan kita di induk
pertahanan ini" "Ya Akuwu" jawab Senopati tertingginya "bahkan kami
telah mendapat laporan sejak pertama, pasukan Pangeran
Indrasunu yang didatangkannya dari padepokan,
merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Mereka
secara pribadi mempunyai beberapa kelebihan"
Diluar sadarnya Akuwu Suwelatama berpaling kepada
Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan hanya
menundukkan kepalanya saja. Ia tidak akan dapat
menjanjikan apa-apa dalam waktu dekat. Kecuali seperti
yang dilakukan oleh Indrasunu. Sejak awal ia sudah
membawa sepasukan pengawal atau bahkan prajurit dari
Singasari. Namun dalam waktu itu, Akuwu menjawab, "Tetapi
dalam keseluruhanya, kita masih mempunyai kelebihan.
Karena itu, sebelum kita justru menjumpai persoalanpersoalan
diluar kemampuan kita untuk menjawab, maka
sebaiknya besok kita keluar dengan kekuatan penuh. Kita
tidak akan bertempur terlalu jauh dari padukuhan ini, tetapi
dengan penuh keyakinan, bahwa mereka tidak akan dapat
mendesak kita. Kita masih akan tetap meninggalkan
sekelompok kecil pasukan cadangan yang tinggal di
padukuhan ini, tetapi juga sekelompok yang lain yang akan
berada di dalam gelar, tetapi setiap saat akan dapat
meninggalkan gelar untuk kepentingan khusus"
Senopati yang memimpin pasukan Kabanaran itu
mengangguk. Sementara itu, Akuwu bertanya kepada
Mahisa Bungalan "Bagaimana pertimbanganmu, Mahisa
Bungalan" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Katanya
"Aku sependapat. Tetapi sayang, bahwa aku tidak dapat
membantu dengan pasukan, justru karena tidak ada waktu
lagi" "Terima kasih" sahut Akuwu "bantuanmu sudah cukup
besar. Mudah-mudahan kita akan cepat mengakhiri
pertempuran. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara
ini" "Kita sudah mendapat gambaran dari perhitungan kita
selama beberapa hari peperangan ini" berkata Mahisa
Bungalan. "Asal tidak ada kekuatan baru daatang, besok kita akan
dapat mendesak mereka masuk hutan" berkata Akuwu.
Dan tiba-tiba saja ia berkata "Kibarkan panji-panji
kebesaranku. Akuwu Kabanaran sudah berada di medan
perang" Dada para Senopati rasa-rasanya telah mengembang.
Besok mereka akan bertempur di bawah pimpinan langsung
Akuwu Suwelatama dalam pertanda kebesarannya.
Dalam pada itu, Akuwu Watu Maspun telah berbicara
dengan para Senopatinya. Mereka membicarakan kegagalan
yang mereka alami. Hampir saja rencana itu berhasil.
Namun diluar perhitungan mereka, ternyata di padukuhan
itu masih terdapat sepasukan pengawal yang menunggu
kedatangan mereka. "Besok kita akan kembali kedalam gelar seutuhnya"
berkata Akuwu "baru dihari berikutnya kita akan
mengambil cara yang lebih baik lagi"
Para Senopatipun sependapat. Mereka tidak dapat
menemukan cara yang lebih baik dari cara yang telah
mereka pergunakan tetapi tidak berhasil.
Karena itu, maka yang kemudian dilakukan adalah
beristirahat sebaik-baiknya. Sebagaimana perintah Akuwu,
maka sebagian besar pasukan cadangan besok akan turun
pula ke medan. Namun dalam pada itu, ternyata Pangeran Indrasunu
sedang membuat pertimbangan-pertimbangan tersendiri. Ia
masih akan ikut berperang dihari berikutnya. Namun
kehadiran Mahisa Bungalan yang dilihatnya sekilas
memberikan suatu pikiran bagi kepentingannya sendiri.
"Anak itu biasanya datang bersama paman-pamannya"
berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya "Jika
demikian, maka aku akan dapat berbicara tentang Ken
Padmi. Gadis itu telah ditinggalkan tanpa pengawalan
secukupnya. Mungkin aku akan mendapat kesempatan
untuk menngambilnya bersama kedua orang pemimpin
padepokan itu" Sebenarnyalah Pangeran Indrasunu teringat kedua orang
Pangeran yang telah bersamanya memerangi Pakuwon
Kabanaran "Kedua orang itu tentu akan bersedia ikut
bersamaku. Jika aku berhasil mengambil gadis itu, maka
sakit hatiku sudah terbalas. Gadis itu akan cacat seumur
hidupnya sehingga Mahisa Bungalanpun akan ikut
menderita" Ketika Pangeran Indrasunu berbaring di
pembaringannya, maka ia masih saja menimbang-nimbang.
Seorang dari tiga orang Pangeran yang telah berbuat
bersamanya atas Kabanaran agaknya telah kehilangan masa
depannya sepeninggalan gurunya. Ia seakan-akan berputus
asa. Tetapi kedua orang Pangeran yang lain, pasti masih akan
dengan senang hati melakukannya. Sebagian dari pasukan
yang dibawanya ke Watu Mas adalah pasukan dari kedua
padepokan, yang dipimpin oleh guru kedua pangeran itu.
Tiba-tiba Pangeran Indrasunu itu tersenyum sendiri.
Katanya "Kebanggaannya akan segera lenyap. Salahnya
sendiri, bahwa ia ikut mencapuri persoalan yang timbul
antara Watu Mas dan Kabanaran. Ia akan mengorbankan
gadis yang paling berharga di dalam hidupnya"
Malam itu Pangeran Indrasunu tidur dengan mimpi
cerah. Perteman itu sudah tidak menarik lagi baginya.
Meskipun ia masih juga ingin melihat pasukan Kabanaran
hancur, tetapi ia lebih senang dapat mengambil Ken Padmi
dan menghinakannya agar hati Mahisa Bungalan hancur
karenanya. Pangeran Indrasunu bangun agak lambat. Tetapi iapun
dengan cepat segera menyesuaikan diri. Dengan tergesagesa
ia makan pagi sebelum berangkat ke medan.
Kemudian iapun segera berada diantara pasukannya yang
deperbantukannya kepada Akuwu di Watu Mas. Pasukan
yang sudah menjadi semakin susut dari hari kehari. Namun
sebenarnyalah pasukan yang dipimpin oleh Pangeran
Indrasunu, adalah pasukan pilihan. Meskipun mereka
bukan pengawal Watu Mas, namun justru karena mereka
adalah para cantrik dari padepokan, maka mereka memiliki
kemampuan secara pribadi cukup meyakinkan
dibandingkan dengan para pengawal.
Ketika kedua pasukan sudah bersiap, maka tiba-tiba
seorang pengawas dari Watu Mas telah menghadap
Senopati jtertinggi dari pasukan Watu Mas. Dengan
sungguh-sungguh dilaporkannya, bahwa pada pasukan
Kabanaran terdapat tunggul berwarna kuning emas dengan
panji-panji kebesaran Akuwu di Kabanaran.
"Jadi Akuwu Suwelatama telah turun ke medan?"
bertanya senopati dari Watu Mas itu.
"Ya. Panji-panji kebesarannya telah terpasang diantara
segala macam panji-panji, rontek dan kelebat" jawab
pengawas itu. Senopati itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah,
aku akan menyampaikannya kepada Akuwu di Watu Mas."


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akuwu di Watu Mas merasa seakan-akan jantungnya
diguncang. Dengan serta merta maka iapun memerintahkan
"Pasang panji-panji kebesaran Akuwu Watu Mas"
Demikianlah, ketika pada saatnya kedua belah pihak
bersiap berhadapan di medan, maka kedua belah pihakpun
telah melihat tunggul dan panji panji kebesaran Akuwu dari
kedua belah pihak. Karena itu, maka kedua Senopati dari masing-masing.
Pakuwonpun merasa bahwa perang antara kedua Pakuwon
itu sudah akan sampai ke puncaknya. Mereka telah
mengerahkan segenap kemampuannya dan tidak lagi
berusaha untuk menahan diri. Bahkan kedua Akuwu dari
masing-masing Pakuwonpun telah turun pula ke medan.
Sesaat kemudian, maka kedua pasukan dalam gelar yang
lengkappun telah saling mendekat. Hampir semua kekuatan
telah dikerahkan. Namun di kedua belah pihak, pasukan
cadangan masih selalu dipesiapkan untuk menjaga apabila
lawan mempergunakan satu cara yang berbeda dari perang
gelar pada umumnya. Ternyata pada hari itu kedua belah pihak masih tetap
mempergunakan gelar yang sama. Pasukan Watu Mas
mempergunakan gelar Garuda Nglayang sementara orangorang
dari Kabanaran yang dipimpin oleh Akuwunya
mempergunakan gelar Sapit Urang. Namun dalam padi itu,
Akuwu Suwelatama telah meletakkan Senopati yang
semula menjadi pemimpin tertinggi pasukan Kabanaran itu
menjadi Senopati pengapit bersama Mahisa Bungalan dan
bertanggung jawab atas pasukan yang berada di sayap gelar.
Demikianlah, ketika pasukan itu menjadi semakin dekat,
maka mulai terdengar sorak gemuruh dari kedua belah
pihak. Masing-masing hadir dengan segenap gairah
perjuangan, karena mereka telah dipimpin oleh Akuwu
masing-masing. Pangeran Indrasunu masih tetap berada di induk
pasukan bersama sebagian dari pasukan yang dibawanya.
Sebagian lain dari pasukannya telah diserahkan kepada
kelompok-kelompok yang berada di sayap pasukan untuk
memberikan tekanan-tekanan kepada sayap lawan.
Sejenak kemudian, maka kedua pasukan yang dipimpin
langsung oleh Akuwu dari kedua Pakuwon yang
bertetangga itu telah berbenturan. Kedua kekuatan yang
besar itu segera terlibat kedalam satu bergumulan yang
sengit. Akuwu Suwelatama dan Akuwu di Watu Mas yang
memimpin pasukan masing-masingpun ternyata tidak
sekedar hadir saja di medan. Keduanya telah dengan penuh
tanggung jawab hadir di pertempuran sebagai seorang
Akuwu. Sebagai Senopati tertinggi dari pasukan pengawal
Pakuwon masing-masing. Karena itu, baik Akuwu di Kabanaran maupun Akuwu
di Watu Mas telah bertempur dengan garangnya di induk
pasukannya. Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa dengan
hadirnya kedua orang pemimpin tertinggi dari kedua
Pakuwon itu, maka pertempuranpun menjadi bertambah
garang. Di sayap merupakan sapit dari gelar Sapit Urang
pasukan Kabanaran, Senopati yang semula memimpin
seluruh pasukan Kabanaran itu telah berjuang dengan
serunya. Tugasnya yang menjadi lebih sempit, telah
membuatnya lebih cermat. Ia tidak harus mengamati
seluruh medan, tetapi yang paling penting baginya, adalah
sayap yang dipimpinnya. Sementara disayap yang lain, Mahisa Bungalan, yang
meskipun bukan seorang perwira pengawal dari Kabanaran,
namun rasa-rasanya telah menjadi keluarga sendiri.
Para pengawalpun telah mengetahui tingkat
kemampuannya, sehingga karena itu, maka dengan senang
hati mereka menerima Mahisa Bungalan sebagai Senopati
pengapit, yang bertanggung jawab atas sayap yang
dipimpinnya. Kecermatan Mahisa Bungalana dan Senopati pengapit
yang seorang lagi, sangat berpengaruh atas tugas dari sayap
gelar Sapit Urang itu. Bahkan keduanya masih sangat sempat menunjukan dua
orang pemimpin kelompok disayap masing-masing untuk
bertempur terpisah, seolah-olah sebuah sapit yang sedang
mengembang. Gelar yang cermat itu belum pernah di jumpai oleh
pasukan Watu Mas sebelumnya. Karena itu, maka
merekapun harus segera menyesuaikan diri, bertempur
dengan sangat cermat pula. Namun ternyata pasukan
Kabanaran telah menjadi lebih mapan.
Dengan demikian, maka dalam pertempuran yang
menjadi semakin sengit, dibawah pimpinan Akuwu masingmasing,
maka pasukan Kabanaran benar-benar
menunjukkan kelebihan. Dari ujung-ujung gelar, pasukan
Kabanaran telah mendesak selangkah demi selangkah.
Kekuatan ujung sayap gelar kedua pasukan itupun semakin
jelas, bahwa Kabanaran memang mempunyai kelebihan.
Akuwu di Watu Mas tidak dapat mengingkari kenyataan
itu. Kemarahan yang menghendaki didadanya, telah
membuatnya semakin garang. Tetapi kegarangannya tidak
banyak berpengaruh atas lawannya. Bahkan dengan
demikian ia telah terlampau banyak menghentakkan
tenaganya. Dengan pesan yang keras Akuwu di Watu Mas telah
memerintahkan penghubungnya, agar Senopati di kedua
sayapnya berusaha untuk menahan desakan lawannya.
Namun agaknya kekuatan yang saling berbenturan
diujung sayap itu memang berselisih meskipun hanya
selapis. Te tapi pada pertempuran yang lama, selisih yang
selapis itu nampak menjadi semakin jelas. Akuwu di Watu
Mas berusaha untuk mengimbangi tekanan lawan dengan
kekuatannya di induk pasukan. Bersama pasukan Pangeran
Indrasunu yang berada di induk pasukan itu, Akuwu di
Watu Mas dengan segenap kekuatan yang ada telah
menekan induk pasukan dari Kabanaran.
Tetapi pasukan Kabanaran yang kuat itu tidak dapat di
desaknya. Semakin besar usaha orang-orang Watu Mas
menekan lawannya yang mapan, maka semakin banyak
korban yang jatuh dipeperangan.
Beberapa orang Senopati dari Watu Mas tetap dalam
kesadaran mereka, bahwa perang akan berlangsung lama.
Setidaknya mereka akan bertempur sehari penuh. Dengan
demikian maka mereka harus memperhitungkan
kemampuan mereka, agar nafas mereka tidak putas
ditengah. justru pada saat yang paling gawat.
Karena itu, beberapa orang Senopati dengan
kelompoknya berusah untuk bertempur dengan perhitungan
tenaga bagi peperangan yang sehari penuh, sebelum mereka
akan sempat beristirahat semalam suntuk.
Tetapi betapapun juga, pasukan Kabanaran di hari itu
mempunyai kelebihan yang meyakinkan. Pasukannya yang
sudah diturunkan hampir seluruhnya di medan perang
memang berpangaruh. Jumlah yang lebih besar dan tenaga
yang masih segar, ternyata tidak tertahan lagi oleh pasukan
Watu Mas. Dumulai dari kedua ujung sayap, maka pasukan Watu
Mas, perlahan-lahan telah terdesak. Pertempuran di hari itu
merupakan kebalikan dari pertempuran di hari pertama.
Pasukan Kabanaran mendesak terus sejak matahari sampai
ke puncak. Semakin rendah matahari turun ke Barat, maka
semakin berat tekanan-tekanan yang diberikan oleh pasukan
Kabanaran. Dalam pada itu, maka Akuwu di Kabanaran telah
memberikan perintah kepada kedua Senopati pengapitnya
"Kita harus mendesak pasukan Watu Mas keluar dari
arena. Jika mereka ingin bertahan di hutan, biarlah ia
berada di hutan perbatasan. Tetapi kita harus berhasil
melampaui perumahan mereka. Kita harus
menghancurkannya, sehingga mereka tidak lagi mempunyai
landasan perbekalan dan perlengkapan"
Perintah itu yang diterima oleh kedua Senopati pengapit,
telah diusahakan sekuat-kuatnya untuk dapat dilaksanakan.
Senopati yang semula memimpin seluruh pasukan,
sementara yang lain adalah Manisa Bungalan, telah
bertempur dengan gigihnya. Keduanya adalah orang-orang
yang memiliki kemampuan yang mendebarkan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Bunglan sendiri, yang
menganggap bahwa perang itu sudah berkepanjangan dari
hari ke hari, telah mengambil keputusan untuk membantu
Akuwu Kabanaran, menyelesaikan secepatnya. Dalam
keseimbangan di hari itu, Mahisi Bungalan
memperhitungkan, apabila Kabanaran berhasil
memanfaatkan keadaan, maka pertempuran akan berakhir.
Tetapi jika Kabanaran gagal, maka Watu Mas akan sempat
mengambil pasukan pengawalnya yang akan dapat
memperkuat medan, sehingga dengan demikian, maka
pertempuran akan menjadi semakin berlarut-larut. Arena
pertempuran itu akan menjadi ajang pembantaian yang
tidak berkeputusan. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah
bertekad untuk menunjukkan kemampuannya yang
sebenarnya. Ia sama sekali tidak bermaksud membunuh
lawan sebanyak-banyaknya. Tetapi ia memang ingin
mendesak lawan sejauh-jauhnya. Mungkin ia memang
harus memakan dan menghentikan perlawanan orang-orang
Watu Mas, tetapi itu tidak berarti harus membunuhnya.
Karena itulah, maka Mahisa Bungalan yang telah
menerima pesan Akuwu Suwelatama untuk segera berusaha
mengaturi peperangan itupun telah bertempur dengan
garangnya. Dengan kekuatan cadangannya yang tidak dapat
diimbangi oleh orang-orang Watu Mas, maka Mahisa
Bungalan tealah berhasil memecah perlawanan orang-orang
Watu Mas di sayap pasukan yang berhadapan dengan
pasukannya. Sementara orang-orang Kabanaran yang
menyaksikan kemampuan puncak Mahisa Bungalan,
menjadi semakin bergairah untuk bertempur.Tenaga
mereka yang terasa mulai susut, seolah-olah menjadi pulih
kembali. Sorak yang membahana serasa akan membelah langit.
Senopati yang memimpin sayap galar lawan dengan
kemarahan yang memuncak telah berusaha untuk
menghentikan Mahisa Bungalan. Namun dengan demikian
Senopati itu telah terpancing dalam perang Senopati yang
sangat berbahaya baginya. Kemampuan Mahisa Bungalan,
ternyata tidan dapat diimbanginya.
Dua orang pengawal Watu Mas berusaha membantunya.
Namun dalam keadaan yang gawat, kedua pengawal itu
harus mempertahankan hidup mereka sendiri dari serangan
pengawal pasukan Kabanaran.
Yang berhasil mendesak lawannya ternyata bukan saja di
sayap yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan. Di sayap yang
lain, pasukan Kabanaran mendapat kemajuan yang
mengejutkan pula. Sementara di induk pasukan, pasukan
Watu Mas sulit untuk mengimbangi kekuatan pasukan
Kabanaran yang telah menurunkan hampir semua pasukan
yang berada, termasuk pasukan yang datang kemudian,
yang ditarik dari beberapa daerah, termasuk pasukan yang
telah menghancurkan sarang para perampok di hutan
perbatasan. Akuwu Suwelatama memang berharap bahwa perang
agar segera berakhir. Pasukan Watu Mas harus segera
terusir dari bumi Kabanaran.
Meskipun demikian, Akuwu di Kabanaranpun
menyadari, seandainya saat itu ia berhasil mengusir
pasukan. Watu Mas, bukan berarti bahwa orang-orang
Watu Mas akan menerima kenyataan itu. Mungkin pada
suatu saat, mereka akan melakukan sesuatu yang lebih
berbahaya bagi Kabanaran. Namun Kabanaran memang
harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Perlahan-lahan pasukan Kabanaran berhasil mendesak
pasukan Watu Mas. Di kedua sayap pasukan, para
pengawal daro Watu Mas mengalami kesulitan yang tidak
teratasi, sehingga kedua sayap pasukan Watu Mas dalam
gelar Garuda Melayang itu telah terdesak bagaikan sayap
yang tidak berdaya lagi. Akuwu Watu Mas tidak dapat membiarkan keaua
sayapnya patah. Untuk itu ia harus mengimbangi gerak
mundur sayapnya. Sambil menginginkan kelompokkelompok
kecil untuk membantu kedua sayapnya, Akuwu
Watu Mas menarik pasukannya surut pada induk pasukan.
Kekuatan yang kecil itu berhasil membantu kesulitan
pada kedua sayap gelar pasukan Watu Mas. Namun tidak
dapat berlangsung lama, karena sebenarnyalah pasukan
Kabanaran memiliki kelebihan. Terutama pada sayap yang
dipimpin oleh Mahisa Bungalan. Ia sendiri bagaikan hantu
yang mengerikan. Betapapun juga Senopati disayap lawan
itu mengerahkan kemampuannya, namun akhirnya ia harus
mengakui keunggulan Mahisa Bungalan.
Pada saat-saat yang sangat berbahaya, maka senjata
Mahisa Bungalan justru telah menyentuhnya. Sebuah
goresan memanjang melintang di dadanya. Goresan itu
tidak begitu dalam. Tetapi darah yang mengalir di
sepanjang luka itu memberikan kesan yang mengerikan.
Tetapi Senopati itu juga justru mengamuk dengan
sengitnya. Dengan lantang ia justru berteriak. "Amuk.
Amuk, hancurkan pasukan Kabanaran yang tamak dan
sombong ini. Tetapi suaranya justru terputus. Sekali lagi senjata
Mahisa Bungalan menyentuhnya. Lengan Senopati itulah
yang kemudian menjadi merah karena darah.
Meskipun demikian, Senopati itu sama sekali tidak
melangkah surut. Senjatanya justru diputarnya seperti
baling-baling. Dengan garang ia meloncat menyerang
Mahisa Bungalan dengan ayunan mendatar.
Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkan. Senjatanya
sama sekali tidak mengenai Mahisa Bungalan. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru senjatanya telah terlempar dari tangannya. Sambil
mengaduh maka Senopati itu memegangi pergelangan
tangannya. Ternyata justru ujung senjata Mahisa
Bungalannya yang telah mengenai pergelangan tangan
Senopati itu, sehingga senjatanya terlepas.
Darah mengalir dari nadinya bagaikan terperas dari
tubuhnya. Dengan cemas, Senopati itu berusaha untuk
manahan arus darahnya, sehingga ia tidak lagi sempat
mmemberikan perlawanan kepada Mahisa Bungalan.
Dua orang pengawal berusaha untuk melindunginya,
sementara seorang pengawal yang lain telah menariknya
dari medan. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Ia sempat
melihat Senopati itu meninggalkannya. Tetapi ia tidak
memburunya. Ia tahu pasti bahwa Senopati itu akan
memerlukan waktu untuk mengobati lukanya. Jika tidak,
maka arus darah dri nadi pergelangan tangannya itu akan
dapat membunuhnya. Sementara itu, Senopati bawahannya yang tertua
diantara mereka, telah mengambil alih pimpinan sayap
pasukan Watu Mas. Tetapi, ketika ia harus berhadapan juga
dengan Mahisa Bungala, maka ia tidak dapat bertahan
sepenginang. Senjata Mahisa Bungalan segera menyentuh
kulitnya, sehingga darahpun mulai menetes dari luka.
Beberapa orang pengawal berusaha untuk membantunya.
Namun orang-orang yang mengerumuni Mahisa Bungalan
itu tidak memberikan banyak arti. Bukan saja karena para
pengawal dari Kabanaranpun berdatangan untuk
membebaskan Mahisa Bungalan dari kepungan, maka
Mahisa Bungalan sendiri merupakan orang yang sangat
berbahaya bagi mereka. Karena itulah. maka sayap yang langsung berhadapan,
dengan pasukan Kananaran yang dipimpin oleh Mahisa
Bungalan itu sulit untuk diselamatkan. Kelemahan pada
ujung sayap itu telah merambat disepanjang tubuh sayap
memanjang, sehingga akhirnya sayap itu tidak dapat
diselamatkannya lagi. Sekali lagi Akuwu di Watu Mas harus memperhitungkan
keselamatan seluruh pasukannya. Ia tidak dapat
membiarkan sayapnya patah dan hancur bercerai berai.
Karena itulah, maka ia harus memilih jalan yang paling
baik bagi seluruh pasukannya.
Sekali lagi ia memerintahkan menarik pasukannya
mundur. Namun pasukan itu masih tetap utuh, sehingga
dalam gerak surut, pasukan Watu Mas masih dapat
memberikan perlawanan yang utuh.
Gerak mundur itu telah mencemaskan orang-orang yang
berada di perkemahan. Senopati yang memimpin pasukan
cadangan segera mendapat laporan dan mendapat perintah
untuk turun ke medan dengan segenap orang yang ada.
Sejenak kemudian, maka beberapa kelompok pasukan
cadangan tekah bergerak menyusul ke medan yang menjadi
semakin dekat, justru karena pasukan Watu Mas terdesak
mundur. Akuwu Suwelatamapun kemudian mendapat laporan,
bahwa pasukan Watu Mas telah mengerahkan segenap
nasukkan cadangannya pada saat itu juga, sehingga dengan
demikian maka jumlah pasukan Watu Mas akan
bertambah. "Cepat. Kita harus menghancurkan pasukan itu.
Sehingga jika pasukan cadangannya bergabung, maka
kekuatan mereka tidak akan terasa bertambah. Kita tidak
akan sempat memanggil pasukan cadangan kita yang
tersisa. Jika kita terlambat mengambil sikap, maka kitalah
yang akan terdesak" perintah Akuwu Suwelatama.
Perintah itu sudah jelas. Perintah itupun segera sampai
keujung-ujung sayap. Karena itulah, maka setiap kelompok
di dalam pasukan Kabanaran telah berusaha untuk dengan
secepatnya memecah pertambahan lawan.
Terutama diujung-ujung sayap. Mahisa Bungalan,
meningkatkan perlawanannya terhadap sayap lawan yang
menjadi semakin lemah. Beberapa kali pasukan lawan
menarik diri untuk menyelamatkan keutuhan gelarnya.
Meskipun Mahisa Bungalan mengagumi kecepatan
mengambil keputusan Akuwu di Watu Mas, namun Mahisa
Bungalan tidak ingin membiarkan gelar lawan itu sempat di
perbaiki. Karena itu, maka sebelum pasukan cadangan
lawan berhasil menyatu dalam gelar, maka Mahisa
Bungalan telah mengerahkan segenap kemampuan
pasukannya untuk benar-benar memecahkan pasukan
lawan. Dengan demikian, maka betapapun juga sayap pasukan
Watu Mas itu bertahan, namun mereka benar-benar
mengalami kesulitan. Akuwu di Watu Mas telah
memberikan perintah untuk dengan sisa-sisa tenaga yang
ada berusaha untuk tetap utuh dalam gelar sampai saatnya
pasukan cadangan memasuki arena. Namun sebenarnyalah,
sayap pasukan Watu Mas yang berhadapan dengan
pasukan Mahisa Bungalan tidak mampu lagi untuk tetap
bertahan. Tetapi sayap itu tekah juga membiarkan dirinya
berserakkan. Dengan sisa-sisa orang yang ada, maka sayap
itupun seolah-olah telah melipat dirinya kearah induk
pasukan. Pada saat yang gawat itulah, pasukan cadangan dari
Watu Mas memasuki arena. Bukan saja pasukan cadangan,
tetapi seakan akan setiap orang yang ikut pergi ke medan
telah turun dalam pertempuran. Mereka yang seharusnya
menyiapkan perbekalan dan perlengkapanpun telah ikut
pula memasuki gelar yang sudah kehilangan sebelah sayap.
Untuk beberapa saat, pasukan Akuwu di Watu Mas
sempat bertahan. Pasukan Kabanaran tidak dapat
mendorong maju lagi. Sejumlah pasukan cadangan yang
segar telah membuat pasukan Watu Mas bertambah kuat.
Namun ternyata Mahisa Bungalan telah mengambil
sikap sendiri sebelum Akuwu sempat menjatuhkan
perintah. Sayapnyapun kemudian telah maju beberapa
langkah mendahului pasukan induknya dan melipat
menerang lawan dari lambung yang telah kehilangan
sayapnya. Serangan pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Bungalan
itu benar-benar mengacaukan pertahanan lawan yang
sedang berusaha untuk menyusun kembali gelarnya. Sayap
yang sedang dipersiapkan itu sama sikali tidak sempat
menyesuikan diri dengan gelar seutuhnya. Tetapi mereka
justru harus menghadapi pasukan Mahisa Bungalan.
Ternyata bahwa sikap Mahisa Bungalan itu dapat
dimengerti oleh Akuwu Suwelatama. Bahkan Akuwulah
yang kemudian berusaha untuk menyesuaikan seluruh
pasukannya. Senopati yang berada disayap yang lainnya telah
mengerahkan segenap pengawal yang ada. Tetapi ia agak
terlambat. Pasukan cadangan dari Watu Mas sempat
memperkuat pasukan pada sayap yang terdesak, tetapi
masih belum pecah itu. Untuk beberapa saat pasukan Watu Mas mampu
bertahan. Namun bagaimanapun juga, gelarnya yang tidak
utuh lagi telah membuat pasukan itu terdesak bukan saja
mendur, tetapi juga menyamping. Pasukan Mahisa
Bungalan yang menyerang lambung, benar-benar membuat
Akuwu di Watu Mas menjadi cemas.
Sebenarnyalah, pasukan Watu Mas pada akhirnya harus
mengakui, bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih
lama lagi. Pasukan cadangan yang memasuki arena, hanya
sempat membuat pasukan Watu Mas tidak bercerai berai.
Namun mereka memang harus menarik pasukan itu
mundur, justru sepanjang pasukan itu masih dapat dikuasai
sebaik-baiknya. Akhirnya Akuwu Watu Mas memang tidak ada pilihan
lain. Dengan sisa-sisa pasukannya, maka ia telah menarik
diri perlahan-lahan. Bahkan iapun telah memerintahkan
kepada orang-orang yang tersisa di perkemahan. Mereka
harus menyelamatkan apa yang dapat diselamatkan. Yang
tidak mungkin lagi diselamatkan, agar dihancurkannya
sama sekali. Pangeran Indrasunu yang berada di pasukan induknya
tidak lagi bergairah untuk bertahan. Ia justru mempunyai
pertimbangan tersendiri. Sebaliknya pasukan Watu Mas itu
mundur dari medan dan menyusun kekuatan untuk satu
kesempatan yang lain. Sementara itu, Mahisa Bungalan
tentu masih akan teta berada di Kabanaran untuk beberapa
saat. "Aku harus mempergunakan kesempatan ini sebaikbaiknya.
Akuwu harus mengambil garis itu, dan memaksa
Mahisa Bungalan menderita seumut hidupnya" berkata
Pangeran Indrasunu di dalam hati sambil mengikuti gerak
mundur pasukan Watu Mas dalam keseluruhan.
Sebenarnyalah, semakin lama pasukan Kabanaran
berhasil mendorong lawannya semakin cepat. Pasukan
Watu Mas-pun kemudian segera mempersiapkan diri untuk
memasuki hutan perbatasan dalam gerak mundur mereka.
Diantara pepohonan, mereka mendapat kesempatan
berlindung lebih banyak lagi. Namun mereka harus
menjaga, bahwa mereka tetap mundur dalam satu kesatuan.
Jika pasukan itu pecah, maka keadaan akan menjadi
semakin sulit bagi setiap pengawal dari Watu Mas.
-ooo0dw0oo- Jilid 30 DALAM pada itu, selagi pasukan Watu Mas mulai
memasuki hutan perbatasan, asappun telah mengepul
membakar perkemahan yang berisi perbekalan dan
perlengkapan yang tidak dapat di singkirkan oleh orangorang
Watu Mas. Lebih baik segalanya itu musnah
daripada jatuh ketangan orang-orang Kabanaran. Namun
agaknya orang-orang Watu Mas masih beruntung.
Demikian mereka memasuki hutan perbatasan dalam gerak
mundur, maka langitpun menjadi muram. Matahari yang
rendahpun segera menyusup kebalik pegunungan.
Malam itu ditandai dengan cahaya api yang berkobar
membakar perkemahan orang-orang Watu Mas.
Akuwu Suwelatama yang melihat bahwa Watu Mas
telah menghancurkan sendiri perbekalannya, mempunyai
perhitungan bahwa pasukan Watu Mas itu akan terus
bergerak mundur kembali ke Pakuwonnya. Sementara
malam turun dan gelap bagaikan tabir hitam di pelupuk
mata, maka Akuwupun segera memerintahkan
membunyikan isyarat agar pasukan Kabanaran segera
berkumpul di pinggir hutan. Akuwu tidak menghendaki
pasukannya mengejar terus memasuki hutan di malam hari,
karena hal itu tidak akan menguntungkan.
Dengan demikian, maka pasukan Kabanaran telah,
berkumpul di pinggir hutan perbatasan. Dengan cemas
mereka menyaksikan perkemahan orang-orang Watu Mas
yang terbakar. Jika api itu kemudian menjilat bibir hutan,
maka kebakaran akan timbul lebih mencemaskan lagi dari
kebakaran perkemahan itu, atau bahkan kebakaran di
padukuhan sekalipun. Karena kebakaran hutan akan dapat
menjadi bencana yang besar karena api akan sulit
dipindahkan. Karena itu, maka agaknya Akuwupun melihat bahaya
yang demikian, sehingga iapun kemudian memerintahkan
pasukannya untuk memadamkan api dengam alat yang ada.
Dengan pasir, dengan air yang harus dicari pada sungaisungai
kecil yang terdapat di hutan itu sendiri.
Mereka mengatas kesulitan membawa air dari sungaisungai
kecil itu dengan tapas atau kayu yang dapat mereka
buat dengan tergesa-gesa. Meskipun kurang memadai,
tetapi karena jumlah para pengawal cukup banyak, maka
akhirnya usaha merekapun perlahan-lahan dapat berhasil.
Sebagian dari para pengawal itu telah menebang pepohonan
hutan yang akan mudah dijilat oleh api sementara yang
lain, berusaha memadamkan api itu sendiri.
Perjuangan melawan api itupun cukup melelahkan.
Sementara itu beberapa orang yang berkewajiban telah
berusaha merawat orang-orang yang terluka dan menjadi
korban di dalam peperangan itu.
Malam itu, pasukan Kabanaran menarik diri ke
padukuhan induk pertahanan dalam keadaan yang sangat
letih. Setelah bertempur dengan segenap kemampuan,
mereka harus berjuang melawan api dan merawat mereka
yang terluka. Bukan hanya orang-orang Kabanaran, tetapi
juga orang-orang Watu Mas, karena pasukan Watu Mas
sendiri telah mengundurkan diri dari arena. Yang lain
masih harus menyelenggarakan kawan-kawan mereka dan
juga lawan-lawan mereka yang terbunuh di peperangan.
Namun demikian, orang-orang Kabanaran dapat
merasakan kebanggaan, bahwa mereka dapat
menyelesaikan peperangan dengan mengusir orang-orang
Watu Mas dari daerah mereka. Bahkan tidak mustahil,
bahwa apabila pasukan Watu Mas mendapat kemenangan
dalam pertempuran itu, mereka akam merambat menuju ke
kota Pakuwon dan bahkan mungkin sekali Watu Mas
benar-benar akan menguasai Kabanaran. Baru kemudian
dengan dalil apapun juga Watu Mas dapat saja memberikan
laporan ke Kediri dengan memutar balikkan kenyataan.
Malam itu Akuwu masih memanggil para senopatinya
untuk membicarakan perkembangan terakhir dri
peperangan yang nampaknya telah hampir selesai
seluruhnya itu. Meskipun demikian, Akuwu masih ingin
memperingatkan, bahwa mereka masih harus bersiaga
menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih-akan
dapat terjadi. Diantara para senopati itu terdapat Mahisa Bungalan.
Secara khusus Akuwu telah menyampaikan ucapan terima
kasihnya kepada Mahis Bungalan dan berharap untuk
beberapa lama masih tetap berada di Kabanaran.
Dalam pada itu, pasukan Watu Mas benar-benar telah
terusir dari medan. Meskipun pasukan Kabanaran tidak
mengejar pasukan Watu Mas karena malam telah turun,
namun pasukan Watu Mas sendiri tidak akan mungkin lagi


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk kembali ke medan seperti keadaannya waktu itu.
Dalam gerak mundur, Akuwu masih tetap berhasil
mengikat pasukan Watu Mas. Karena itu, ia masih dapat
memanggil pula para senopatinya, demikian mereka sempat
beristirahat di tengah-tengah hutan perbatasan.
"Kita menarik diri untuk sementara" berkata Akuwu.
Pangeran Indrasunu menarik nafas. Rasa-rasanya iapun
sudah jemu dengan peperangan itu. Tiba-tiba saja telah
timbul rencananya yang lain, didorong oleh dendamnya
kepada Mahisa Bungalan. "Aku akan mengambil gadis itu" katanya berulang kali
di dalam-hatinya "bersama kedua orang guru saudarasaudaraku
itu, aku tentu akan berhasil. Di rumah Mahisa
Bungalan tidak ada orang yang cukup kuat untuk
melindungi gadis itu, justru karena Mahisa Bungalan ada
disini. Tentu kedua orang pamannya itu berada disini pula.
Seandainya ayah Mahisa Bungalan ada di rumah, maka ia
tentu akan mampu melawan dua orang pemimpin
padepokan yang mampuni itu. Sementara aku dan kedua
orang Pangeran itu akan mengambil Ken Padmi dan
membawanya pergi kemanapun juga"
Pangeran Indrasunu itu tersenyum sendiri. Selanjutnya
Pangeran Indrasunu itu seakan-akan tidak menghiraukan
apa yang telah terjadi. Ia tidak menghiraukan lagi rencanarencana
Akuwu yang secara kasar diuraikan kepada pada
Senapatinya, bahwa dalam waktu tidak terlalu lama, maka
ia akan menebus kekalahan itu. Namun demikian, ketika
mereka kemudian memasuki Pakuwon Watu Mas dalam
keadaan yang parah, Pangeran Indrasunu telah memaksa
dirinya untuk mengatur orang-orang yang dibawanya.
Sebenarnya bahwa orang-orang yang dibawa oleh
Pangeran Indrasunu dari dua padepokan yang besar dan
berpengaruh itu, memiliki kemampuan yang lebih baik daik
para pengawal dari Watu Mas. Apalagi para pengawal yang
dibentuk menghadapi keadaan yang gawat di saat-saat
terakhir. Ternyata bahwa korban yang jatuh diantara orang-orang
yang diperbantukan oleh Pangeran Indrasunu itu terhitung
sedikit dibanding dengan korban yang jatuh dari antara
pasukan pengawal Watu Mas sendiri'
Kehadiran pasukan pengawal Watu Mas diantara
rakyatnya dihari berikutnya telah disambut dengan wajahwajah
muram. Di beberapa wajah nampak air mata yang
mengalir, karena anak lagi-laki yang dicintainya. suami
yang melindungi hidupnya atau ayah yang mengasihinya
telah direnggut oleh peperangan.
Apalagi pasukan Watu Mas tidak dapat
menyembunyikan kenyataan, bahwa mereka telah tepukul
mundur, sehingga mereka kembali ke Pakuwon dengan
membawa kepahitan yang tidak terlupakan.
Sementara itu, pasukan Kabanaran masih berada di
padukuhan induk pertahanan mereka. Mereka masih harus
membenahi akibat peperangan yang parah bagi kedua belah
pihak. Namun demikian beberapa bagian dari pasukan itu
sudah dipersiapkan untuk ditarik kembali ke daerah tugas
mereka yang lama. Namun dalam pada itu, ternyata Akuwu masih minta
Mahisa Bungalan untuk beristirahat barang beberapa saat di
Pakuwon Kabanaran. Akibat peperangan itu masih harus
diatasi. "Mungkin sepekan, mungkin dua" berkata Akuwu
"tetapi sebenarnya semakin lama semakin baik bagi kami"
Mahisa Bungalan tidak dapat menolak. Iapun merasa
sangat letih, sehingga memerlukan waktu beberapa lama
untuk beristirahat sebelum ia kembali ke Singasari.
Berbeda dengan Mahisa Bungalan. Pangeran Indrasunu
ternyata dengan tergesa-gesa minta diri untuk meninggalkan
Watu Mas. "Aku harus mempertanggung jawabkan orang-orang
yang datang bersamaku" berkata Pangeran Indrasunu "Aku
akan membawa mereka segera kembali ke padepokan
mereka masing-masing"
"Sebaiknya Pangeran beristirahat lebih dahulu"Akuwu
di Watu Mas berusaha untuk mencegahnya.
Tetapi Pangeran Indrasunu menggeleng. Ia sudah
mempunyai rencana sendiri. Dan ia mempunyai cukup
kekayaan untuk memancing kedua pemimpin padepokan,
guru dari kedua orang Tangeran yang telah bekerja
bersamanya mengusir Pangeran Suwelatama dari kota
Pakuwon. Justru pada saat pasukan Kabanaran sebagian
berada di daerah Kedung Sertu, Hutan perbatasan dan
daerah daerah rawan yang lain.
Aku dapal menjanjikan kepada mereka, sebidang tanah
yang luas untuk memperluas padepokan mereka" berkata
Pangeran Indrasunu di dalam hatinya "Tidak perlu pasukan
segelar sepapan. Dua orang guru dari kedua orang
saudaraku, bersama kedua orang saudaraku itu sendiri.
Tidak akan ada pertempuran yang besar dan kalut seperti
yang baru saja terjadi. Tetapi sekedar permainan pendek
untuk membunuh orang-orang yang mencoba menghalangi
niatku" Pangeran Indrasunu yakin bahwa dua orang Pangeran
itu akan bersedia membantunya. Tetapi seorang yang lain,
yang telah kehilangan gurunya, masih belum dapat
diharapkan, karena hatinya seakan-akan telah patah.
"Jika kedua pemimpin padepokan itu menolak, aku akan
menghubungi Sepasang Serigala yang berada di padang
perdu Geneng" berkata Pangeran Indrasunu "Meskipun
orang lain menyebut namanya saja ketakutan, namun ia
akan berpikir ulang untuk menolak tawaranku"
Demikianlah, meskipun pasukannya baru beristirahat
sehari di Pakuwon Watu Mas, namun Pangeran Indrasunu
telah minta diri kepada Akuwu setelah ia tahu pasti, siapa
saja diantara pasukannya yang menjdi korban. Sementara
yang terluka parah dan tidak mungkin melakukan
perjalanan, telah dititipkan di Pakuwon Watu Mas.
Tidak seorangpun yang mengetahui rencana Pangeran
itu yang sebenarnya. Namun alasannya memang dapt di
mengerti, bahwa ia harus mempertanggung jawabkan
pasukannya kepada para pemimpin padepokannya.
Kegagalan itu telah membuat para pemimpin di kedua
padepokan yang telah menyerahkan sekelompok orangorangnya
menjadi kecewa. Beberapa diantara mereka telah
menjadi korban, sementara Pangeran Indrasunu tidak
berhasil melepaskan dendamnya meskipun ia telah
bertempur bersama pasukan Watu Mas.
"Kita dahulu dapat memilih waktu yang paling tepat"
berkata Pangeran Indrasunu, meskipun hal itu hanya terjadi
secara kebetulan dan tidak pernah diperhitungkan
sebelumnya. "Ya" sahut salah seorang dari kedua Pangeran yang
telah bergabung dengan Pangeran Indrasunu "tetapi
agaknya Akuwu Watu Mas kurang menghitung keadaan
dengan cermat" Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Namun pada
satu kesempatan ia berkata kepada kedua Pangeran itu
"Aku mempunyai rencana khusus"
"Apa?" bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.
"Mengambil Ken Padmi. Gadis yang membuat
dendamku menyala sampai sekarang" jawab Pangeran
Indrasunu. Kedua Pangeran itu termangu-mangu sejenak. Dengan
ragu-ragu salah seorang dari mereka bertanya "Kau akan
memperisterikannya?"
"Jangan bodoh" jawab Pangeran Indrasunu "Aku sama
sekali tidak tertarik lagi kepada perempuan itu. Tetapi yang
penting bagiku kemudian adalah, menyakiti hati Mahisa
Bungalan" "Jadi apa yang akan kau kerjakan" bertanya Pangeran
yang lain. "Sudah aku katakan, mengambil perempuan itu dan
membawanya pergi. Menghinakannya sebagaimana Mahisa
Bungalan akan merasa terhina" berkata Pangeran
Indrasunu. "Kita bertiga?" bertanya Pangeran itu.
Pangeran Indrasunu menggeleng. Katanya "Tentu tidak.
Aku akan mohon kedua guru kalian masing-masing untuk
menyertaiku. Aku akan dapat menyediakan sebidang tanah
untuk memperluas padepokan mereka masing-masing"
Tetapi kedua Pangeran itu agaknya tidak sependapat.
Salah seorang berkata "Guru sedang dibakar oleh
kekecewaan. Bantuan yang diberikan kepada Akuwu di
Watu Mas lewat kakangmas Indrasunu ternyata sama sekali
tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan"
"Aku tetap akan menyerahkan sebidang tanah" berkata
Pangeran Indrasunu. "Hanya sebidang tanah. Tetapi jika rencana Akuwu di
Watu Mas itu berhasil, maka yang akan diperoleh oleh guru
adalah sebuah tanah Perdikan betapapun sempitnya"
berkata Pangeran itu. Pangeran Indrasunu mengerutkan. keningnya. Namun
sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat memberikan
sebagaimana yang dikehendaki. Ia dapat membeli tanah
yang luas dan memberikannya kepada orang-orang yang
dikehendaki. Namun untuk memberikan kedudukan
sebagai Tanah Perdikan, ia memang tidak berhak. Akuwu
di Watu Mas akan dapat melakukannya atas kuasa yang
diterimanya, meskipun yang berhak mengukuhkannya
adalah Raja sendiri. Karena itu, maka Pangeran Indrasunu itupun berkata
"Tetapi bagaimana dengan kalian berdua"
"Jika guru kami tidak dapat ikut bersama kami, apakah
yang dapat kami lakukan" Bukankah gadis itu akan
mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu tinggi?"
bertanya salah seorang Pangeran itu.
"Kita dapat berhubungan dengan orang-orang berilmu
tinggi yang barangkali setingkat dengan guru kalian,
meskipun dari daerah kehidupan yang berbeda" Jawab
Pangeran Indrasunu. "Siapa?" bertanya salah seorang dari kedua Pangeran itu.
"Bagaimana dengan Wangkot dan Mendu yang terkenal
dengan sebutan Sepasang Serigala dari padang perdu
Jeneng itu" desis Pangeran Indrasunu.
Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Salah seorang
berkata "Kedua orang itu sangat berbahaya"
"Tetapi apakah keduanya berani berbuat sesuatu atas
kita masing-masing. Mereka tentu mengetahui, siapakah
kita masing-masing" jawab Pangeran Indrasunu.
"Tetapi merekapun tentu akan bertanya, kenapa kita
minta tenaga mereka. Kenapa bukan guru. Bukankah
mereka mengetahui bahwa guru memiliki ilmu yang tidak
kalah dahsyatnya dengan ilmu mereka" bertanya salah
seorang dari kedua Pangeran itu.
"Guru sedang sibuk. Atau ambil saja alasan lain.
Katakan bahwa guru telah mengenal dengan keluarga gadis
itu, atau alasan apapun juga" jawab Pangeran Indrasunu
"kemudian aku akan menyediakan upah yang
menyenangkan mereka. Bahkan mungkin tidak perlu
sebanyak itu jika aku harus menyediakan sebidang tanah
bagi padepokan kalian masing-masing"
Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Namun tibatiba
salah seorang diantara mereka bertanya "Tetapi apakah
yang akan aku dapatkan dengan perbuatan ini" Kau akan
mendapatkan gadis itu dan kau akan mendapat kepuasan
untuk melepaskan dendam. Tetapi kami berdua?"
"Aku tidak memerlukan gadis itu lagi" jawab Pangeran
Indrasunu "sudah aku katakan berulang kali. Ambillah jika
kalian menghendaki. Gadis itu memang cantik sekali. Aku
hanya ingin melihat betapa Mahisa Bungalan menjadi sakit
hati dan kepahitan di sepanjang hidupnya. Dan sudah
barang tentu, aku akan bersedia membantu kalian pada
kesempatan lain jika kalian memerlukannya. Selebihnya,
kalian akan dapat mengambil sebagian dari hakku. Aku
memang bersedia membayar mahal sekali untuk kepuasan
dendamku ini" Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah
seorang kemudian berkata "Terserahlah kepadamu. Tetapi
jika Wangkot dan Mendu bersedia, maka pekerjaan kita
memang sudah menjadi ringan. Keduanya adalah orang
yang jarang ada bandingnya di seluruh tlatah Singasari.
Ternyata bahwa mereka masih belum juga dapat ditangkap
meskipun keduanya sudah lama dianggap sebagai orang
yang tidak dikendaki"
"Sebenarnya mereka bukannya orang yang tidak
terlawan. Aku yakin guru kalian akan dapat melawannya.
Para Senapati di Kediri atau Singasari akan dapat
mengalahkan mereka meskipun satu dua saja diantara
mereka. Namun memburu keduanya di padang yang luas
memerlukan waktu, kesempatan dan juga tenaga" Pangeran
Indrasunu berhenti sejenak, lalu "tetapi untuk mengambil
gadis itu, kedua sudah cukup memadai. Karena disamping
keduanya kita bertiga akan pergi juga bersama mereka"
Kedua Pangeran itu mengangguk-angguk. Tetapi salah
seorang dari mereka berkata "Tetapi aku akan minta ijin
kepada guru untuk memeritahukan Sepasang Serigala itu
agar serigala itu tidak akan berbuat jahat justru kepada kita
di Perjalanan" Pangeran Indrasunu ternyata sependapat. Dengan
demikian akan nampak ada kekuatan yang berdiri
dibelakang para Pangeran muda itu. Hanya karena
kekuatan itu tidak dapat dipergunakan untuk maksud yang
khususus itu, mereka memimjan kekuatan lain. Sehingga
dengan demikian, maka Sepasang Serigala itu tidak akan
dapat berbuat jahat kepada para Pangeran, sebab itu berarti
mereka akan berhadapan dengan guru-guru para Pangeran
itu. Demikianlah, maka Pangeran Indrasunupun telah
mengatur agar rencana itu dapat dilaksanakan secepatnya.
Yang menurut perhitungannya, Mahisa Bungalah dan
mungkin paman-pamannya masih berada di Pakuwon


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kabanaran. "Mahisa Bungalan akan ikut menikmati kemenangan itu
berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.
Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah
mencari hubungan dengan orang yang disebut Sepasang
Serigala itu. Dalam pada itu, sebenarnya Ken Padmi masih berada di
rumah Mahisa Bungalan yang sedang berada di Pakuwon
Kabanaran. Yang tinggal bersamanya di rumah itu, selain Mahendra
dan kedua anaknya, hanyalah para pelayan dan para
pembantunya saja. Sehingga dengan demikian, hari-hari Ken Padmi di
rumah itu diisinya dengan kegiatan yang sangat khusus
untuk mengisi waktunya yang terluang, dan untuk
menghalau kesepiannya karena Mahisa Bungalan tidak ada
di rumah. Mahendra yang melihat, bahwa pada gadis itu telah
tertanam bekal kemampuan, telah berusaha membantunya
untuk mengembangkan ilmunya sebaik-baiknya.
Karena itulah, maka seakan-akan segenap waktunya
yang panjang telah dipergunakan untuk berada di dalam
sanggar. Jika Ken Padmi sudah selesai membantu para pembantu
di dapur, maka iapun langsung berada di dalam sanggar.
Mahendra pada saat-saat tidak sedang pergi mengurusi
dagangannya, telah berusaha meningkatkan kemampuan
gadis itu. Dengan mempelajari bekal ilmu pada gadis itu,
maka Mahendra yang memiliki ilmu yang mumpuni itu
dapat mengatur dan menyesuaikan tuntutan yang diberikan
berdasarkan atas bekal yang sudah ada pada gadis itu.
Ken Padmi ternyata memang seorang gadis yang
memiliki kelebihan dari kebanyakan gadis yang lain.
Dengan sungguh-sungguh ia mengikuti segala petunjuk dan
tuntutan Mahendra. Seolah-olah ia tidak pernah mengenal lelah jika ia berada
di dalam sanggar. Setelah beberapa lama Ken Padmi
berusaha menyesuaikan dirinya, maka akhirnya Mahendra
mengambil satu keputusan untuk memberikan kesempatan
latihan bersama antara Ken Padmi dengan kedua anakanaknya
yang lain. Bersama-sama mereka meningkat dengan cepat. Kedua
adik Mahisa Bungalan itupun semakin dewasa menjadi
semakin menyadari, betapa pentingnya mereka
memperdalam ilmu. Sebagaimana pengalaman mereka, dan
apa yang mereka lihat pada ayah, kakaknya dan orangorang
disekitarnya, bahwa pada suatu saat, mereka
memerlukan perlindungan dari tindak kejahatan.
"Ilmu bukannya alat untuk memaksakan kehendak"
berkata Mahendra setiap kali "kelebihan seseorang atas
orang lain bukannya berarti bahwa ia dapat bertindak
sewenang-wenang. Bersama-sama, ketiganya meningkat setapak demi
setapak. Tetapi kesungguhan mereka, telah mempercepat
peningkatan dan pengembangan ilmu itu. Ken Padmi
sebagai seorang gadis, maka ia mempunyai beberapa
perbedaan wadag dari seorang laki-laki. Bahkan juga
mempunyai dasar yang berbeda dalam pertimbangan nalar
dan perasaan. Namun demikian, sesuai dengan pribadinya, maka Ken
Padmi menekuni bagian yang tidak kalah nilainya dari
bagian yang di perdalam oleh kedua adik Mahisa Bungalan.
Ken Padmi lebih mementingkan kecepatan gerak dan
ketrampilan tangan. Langkahnya tidak terlalu panjang,
tetapi kecepatannya sulit untuk diikuti, sehingga seolah-olah
kakinya tidak berjejak diatas tanah. Sementara itu, kedua
adik Mahisa Bungalan meningkatkan kemampuan dan
kekuatan wadagnya semakin mantap. Bukan berarti bahwa
keduanya, perkembangan kekuatan wadagnya lebih
nampak dari peningkatan kecepatan gerak.
Meskipun demikian, baik kedua adik Mahisa Bungalan,
maupun Ken Padmi, telah meningkat pula pada bagian
bagian yang lain, kecuali bagian yang lebih diutamakannya.
Semakin lama Mahisa Bungalan meninggalkan
rumahnya, maka semakin tekun Ken berada di dalam
sanggar. Tidak ada yang menarik baginya, kecuali
meningkatkan dan mengembangkan oleh kanugaran.
Meskipun Ken Padmi tidak tahu, apakah ia masih akan
mempunyai kesempatan untuk mengabdikan ilmu itu
kepada sesamanya. Dengan latihan-latihan yang keras, tidak mengenal lelah
dan kemauan yang bulat, maka ketiga orang anak muda
itupun telah berhasil mencapai satu tingkatan yang tinggi.
Ketiganya ternyata telah berhasil menguasai tataran tataran
tertinggi dari ilmu yang diturunkan oleh Mahendra kepada
mereka. Dengan dasar itulah, maka mereka akan dapat
mengembangkannya sehingga mereka akan menjadi orangorang
yang pilih tanding. Dalam pada itu, nampaknya Ken Padmi, seorang gadis
yang berasal dari padepokan itu, memiliki daya serap yang
luar biasa. la sudah menempa dirinya di padepokan
menghadapi sayembara tanding yang diadakannya. Dengan
bekal ilmu itulah, maka ia telah memanjat kepada tataran
tertinggi dari ilmu yang diterima dari Mahendra. Bahkan
iapun telah menerima anugerah dari Mahendra, bersama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, untuk menguasai
ilmu puncaknya. "Kalian akan mempergunakannya sebagai landasan
pengabdian" berkata Mahendra "karena itu tidak ada alasan
bagiku untuk ragu-ragu"
Sebenarnyalah bahwa dengan alasan yang kuat,
ketiganya mampu menguasai ilmu puncak dari perguruan
yang dianut Mahendra itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan
karena mereka bertiga sempat menempa diri bersama-sama.
maka mereka telah berhasil mengembangkan ilmu mereka
lebih cepat daripada jika mereka bekerja sendiri-sendiri,
yang sudah barang tentu dibawah pengawasan langsung
dan Mahendra sendiri. Mahendra telah mengorbankan waktunya disaat-saat
terakhir bagi kepentingan ketiga orang anak-anak muda itu.
Pada bulan terakhir, ia sama sekali tidak meninggalkan
rumahnya. Justru pada saat-saat ia ingin menurunkan ilmu
puncaknya. Namun setelah saat-saat itu lewat, Mahisa Bungalan
masih juga belum segera pulang.
Yang datang kemudian adalah Witantra seorang diri.
Dengan singkat ia menceritakan apa yang mereka lakukan
di Pakuwon Kabanaran. Mengapa Mahisa Bungalan masih
harus tinggal. "Aku dan Mahisa Agni telah mendahului" berkata
Witantra "untuk beberapa lama kami berada di Singasari.
Namun pasukan yang lainpun telah kembali mendahului
Mahisa Bungalan yang masih harus tinggal di Kabanaran.
Bahkan pasukan itu telah mendahului kami berdua
sehingga mereka tidak sempat menyaksikan apa yang
pernah kami saksikan tentang ular-ular yang mengerikan
itu. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Berguman ia
berkata seolah-olah kepada diri sendiri "Jadi Mahisa
Bungalan tinggal seorang diri "
"Ya. Tetapi ia berada diantara para pengawal
Kabanaran" jawab Witantra "sementara itu, Mahisa Agni
masih menyelesaikan beberapa persoalannya di Singasari,
maka aku telah memerlukan datang kemari untuk
memberitahukan kepadamu tentang Mahisa Bungalan.
Agar kau tidak terlalu lama menunggu tanpa kabar berita"
Mahendra menganggu-angguk. Hampir berbisik ia
berkata "Ken Padmi sudah mengharapkannya pulang. Ia
datang kemari karena ia mengikuti Mahisa Bungalan.
Tetapi setelah gadis itu berada di sini, Mahisa Bungalan
telah pergi untuk waktu yang seakan-akan tidak terbatas"
"Tetapi itu lebih baik" berkata Witantra "sepanjang
Mahisa Bungalan tidak mau mengalami kesulitan di
perjalanan, maka lebih baik ia tidak terlalu sering berada di
rumah, selama Ken Padmi berada di rumahmu"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Tetapi ia mempergunakan waktunya untuk
menempa diri. Sungguh di luar dugaan. Gadis padepokan
itu mampu menyamai kedua adik Mahisa Bungalan"
"Gadis itu juga sudah berbekal ilmu" berkata Witantra di
padepokan ia pernah menempa diri untuk menghadapi
sayembara tanding. Ilmu dasarnya sudah meningkat dengan
pesat. Disini, ia mengisi kekosongannya dengan ilmu.
Agaknya kepergian Mahisa Bungalan memang sudah
terlalu lama" Mahendra mengangguk-angguk. Sementara itu.
Witantrapun berkata "Sebaliknya kau tempa anak itu agar
menjadi lebih baik bersama anak-anakmu. Kau tidak akan
menyesal. Pada dasarnya Ken Padmi adalah seorang gadis
padepokan yang baik. Apalagi dalam keprihatinan seperti
sekarang ini" "Kau dapat membantuku. Biarlah kita mengisi waktu
sambil menunggu Mahisa Bungalan" berkata Mahendra.
Sebenarnyalah kepergian Mahisa Bungalan terasa terlalu
lama. Apalagi bagi Ken Padmi. Namun dengan demikian,
maka kesepian keprihatinan dan tekadnya yang besar, telah
mendorongnya untuk menjadi seorang gadis yang luar
biasa. Bersama Mahendra, maka Witantra yang untuk
beberapa lama tinggal di rumah Mahendra, telah membantu
membentuk Ken Padmi. Dengan dasar ilmu yang sama,
maka Witantra dan Mahendra bersama-sama telah mengisi
kekosongan yang terasa menyesak di dalam dada Ken
Padmi pada saat-saat senggang. Justru karena itu, maka
Ken Padmi selalu tenggelam di dalam kesibukan apapun
juga, terutama kesibukan di dalam sanggar, meskipun ia
tidak melupakan tugasnya sebagai seorang gadis.
Pada saat-saat yang demikian itulah, Pangeran
Indrasunu yang mendendam Mahisa Bungalan sampai ke
ujung rambut, telah merencanakan untuk mengambil Ken
Padmi bersama dengan dua orang Pangeran dan Sepasang
Serigala dari padang Geneng.
Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu
mempersiapkan rencananya. Menurut perhitungannya
Mahisa Bungalan dan kedua pamannya tentu masih berada
di Kabanaran. "Seandainya mereka telah kembali, maka mereka tentu
akan berada di Singasari untuk beberapa hari sebelum
Mahisa Bungalan pulang kerumahnya" berkata Pangeran
Indrasunu. Dalam pada itu, setelah hari-hari yang sangat panjang,
sejak Mahisa Bungalan meninggalkan rumahnya menuju ke
Kabanaran untuk membantu Pakuwon itu memecahkan
masalahnya, kemudian disambung dengan persoalanpersoalan
yang timbul kemudian, Mahisa Bungalan mulai
memikirkan untuk kembali. Meskipun demikian ia masih
harus memenuhi permintaan Akwu Suwelatama, agar ia
bersedia untuk tinggal beberapa lamanya.
Mahisa Bungalan memang tidak dapat menolak. Apa
lagi karena ia masih mendengar laporan-laporan bahwa
pasukan Watu Mas masih saja dipersiapkan.
"Tetapi di dalam peperangan aku tidak bertemu langsung
dengan Pangeran Indrasunu" berkata Mahisa Bungalan
kepada Akuwu Suwelatama. "Memang sulit untuk dapat bertemu dengan seseorang
sesuai dengan keinginan kita dalam perang gelar yang luas"
sahut Pangeran Suwelatama "namun menurut beberapa
keterangan yang aku dengar, adimas Indrasunu telah
meninggalkan Watu Mas. la harus mempertanggung
jawabkan pasukan yang dibawannya kepada para
pemimpin padepokan" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya
"Sebenarnya aku ingin dapat menemuinya. Dendam itu
berkembang dan tidak dapat dikendalikannya, lagi,
sehingga sasarannya telah bergeser. Karena itu, bagiku
Pangeran Indrasunu adalah orang yang berbahaya. Ia tidak
mengekang diri dan membatasi persoalan yang sebenarnya
dihadapinya" "Aku mengerti" jawab Akuwu Suwelatama "tetapi
mudah-mudahan ia dapat belajar dari pengalamannya"
"Mudah-mudahan Akuwu. Tetapi baginya
pengalamannya itu sudah terlalu banyak. Namun
nampaknya ia selalu berusaha untuk mempergunakan
segala kesempatan yang ada. Sakit hatinya telah
membuatnya menjadi seorang yang tidak terkendali.
Kadang-kadang yang dilakukannya telah terlepas dari
tujuan tertentu, selain membuat keonaran" sahut Mahisa
Bungalan. Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Untuk sementara ia tidak mencampuri
persoalan di antara Watu Mas dan Kabanaran. Meskipun
itu bukan berarti bahwa Akuwu di Watu Mas akan
menghentikan segala kegiatannya. Ia tentu tidak mau
menerima kenyataan yang pahit itu negitu saja"
"Ia akan mempertimbangkan" berkata Mahisa Bungalan
"ia telah melihat, korban yang jatuh. Seandainya ia berhasil
memang dan kemudian menduduki kota Pakuwon
Kabanaran, tentu iapun akan melihat, bahwa perang tidak
akan berakhir sampai sekian. Dan iapun akan menilai
kembali keputusan yang akan diambilnya jika ia sempat
memperhitungkan, apakah yang sebenarnya diinginkannya"
Akuwu Suwelatama mengangguk. Katanya "Mudahmudahan
ia menyadari, bahwa yang dilakukannya sematamata
terdorong oleh satu keinginan yang tidak menentu
ujung pangkalnya. Harga diri, ketidak-pastian dan masa
depan yang kurang cerah. Dan mudah-mudahan Akuwu di
Watu Mas menemukan jalan pemecahannya yang lain
kecuali dengan tetangga"
"Tetapi agaknya desakan dan ceritera-ceritera khayal


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Indrasunu ikut menentukan sikap itu" sahut
Mahisa Bungalan. Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah iapun telah menduga, bahwa peranan
Pangeran Indrasunu tentu ikut pula berbicara pada
persoalan itu. Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan tidak
menyadari, bahwa Pangeran Indrasunu telah bekerja cepat.
Ia telah menghubungi Serigala dari Gunung. Dan bahkan,
Pangeran Indrasunu itu telah membuat rencana tertentu
untuk mengambil Ken padmi dari rumahnya.
Sepasang Serigala itu ternyata telah menerima tawaran
Pangeran Indrasunu dengan baik. Meskipun demikian, dua
orang pemimpin padepokan yang berpengaruh, telah
memberikan beberapa pesan kepadanya, agar kedua orang
itu menjalankan kesanggupannya sebaik-baiknya.
"Ingat, kedua Pangeran itu adalah murid-muridku"
berkata para pemimpin padepokan itu "jika kau
mengingkari dan apalagi mengkhianati, maka kalian akan
berhadapan dengan seluruh isi dua padepokan ini."
"Aku akan melakukannya dengan baik, asal semua
kesanggupan Pangeran Indrasunu dipenuhi" jawab salah
seorang dari sepasang serigala itu.
"Aku tidak pernah ingkar" berkata Pangeran Indrasunu
"tetapi jika kalian ternyata tidak mampu memenuhi
kesanggupan kalian, maka kalian tidak akan menerima
sekeping uangpun, apalagi sebidang tanah atau hadiahhadiah
yang lain. "Kami berdua adalah orang-orang yang tidak mendapat
tempat diantara sesama" berkata Mendu "karena itu,
percayalah bahwa aku tidak akan ragu-ragu berbuat apa
saja terhadap siapa saja. Apalagi sekedar mengambil
seorang gadis" "Jangan merendahkan kemampuan orang yang belum
kau kenal" berkata Pangeran Indrasunu "Aku pernah
menjajagi kemampuan orang-orang di sekitar gadis itu."
Kedua orang padang Gunung itu tertawa. Salah seorang
berkata "Kami telah mendapatkan puncak dari ilmu kami
di padang Gunung setelah kami mesu diri bertahun tahun"
"Mudah-mudahan yang kau katakan itu benar" desis
Pangeran Indrasunu "karena itu, kita akan segera
berangkat. Aku sudah mendapat keterangan terakhir,
bahwa seseorang masih melihat Mahisa Bungalan berada di
Kabanaran." "Siapa Mahisa Bungalan itu?" bertanya Mendu.
"Ia adalah calon suami gadis yang akan kita ambil"
jawab Pangeran Indrasunu.
Sepasang Serigala itu memandang Pangeran Indrasunu
dengan tatapan mata yang tajam. Seolah-olah mereka ingin
mengatakan, bahwa seandainya Mahisa Bungalan itupun
ada di rumahnya, maka keduanya tidak akan gentar
menghadapinya. Dalam pada itu, maka rencana itupun telah siap untuk
dilaksanakan. Sepasang Serigala itu akan bersama-sama
dengan tiga orang Pangeran pergi ke rumah Mahendra
untuk mengambl Ken Padmi dengan paksa. Mereka dapat
berbuat apa saja atas gadis itu untuk menyakiti hati Mahisa
Bungalan dan akan membuatnya hidupnya kering di
sepanjang umurnya. Setelah segala sesuatunya sudah diperhitungkan, maka
mereka berlimapun telah berangkat menuju ke sebuah
padukuhan di luar kota Singasari. Perjalanan mereka
memang panjang. Tetapi didorong oleh dendam yang
menyala, maka perjalanan itu rasa-rasanya adalah
perjalanan yang menggairahkan.
Dalam pada itu, kedua Pangeran yang mengikuti
Pangeran Indrasunu itu selain terdorong oleh keterangan
Pangeran Indrasunu dan keinginan mereka untuk
bertualang, merekapun sebenarnya telah terbujuk oleh
pernyataan Pangeran Indrasunu, bahwa gadis yang
bernama. Ken Padmi itu adalah gadis yang cantik sekali.
"Kalian dapat memperlakukan apa saja" berkata
Pangeran Indrasunu. Kedua Pangeran yang pergi bersamanya itu tersenyum
sambil mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari
keduanya menjawab "Yang penting bagi kami adalah
mendapatkan pengalaman dalam petualangan yang
menarik seperti ini. Meskipun kali ini guru yang sedang
merenungi keresahannya karena kekalahan Watu Mas itu
tidak dapat menyertai kita, tetapi kedua orang itu
nampaknya cukup menyakinkan, meskipun keduanya
masih nampak liar dan kasar"
"Cara mereka menyadap ilmupun berbeda. Tetapi
ternyata bahwa merekapun memiliki ilmu yang
mengagumkan. Bahkan guru kalianpun mengakui, bahwa
sebenarnya kedua orang itu mempunyai ilmu yang tinggi,
tetapi dari jenis ilmu yang kasar. Meskipun demikian
namun mereka akan dapat meyelesaikan persoalannya"
jawab Pangeran Indrasunu "apalagi jika paman-paman
Mahisa Bungalan itu tidak ada di rumah"
Kedua Pangeran yang menyertainya itu menganggukangguk.
Mereka yakin bahwa rencana mereka akan dapat
berhasil dengan baik, karena mereka yakin akan
kemampuan kedua orang yang menyertai mereka, dan
justru karena Mahisa Bungalan masih nampak berada di
Kabanaran. Ketiga orang Pangeran itupun kemudian telah
bersepakat, bahwa mereka akan datang pada malam hari.
Mereka akan menghancurkan siapa saja yang mencoba
menghalangi mereka, dan mereka akan membawa Ken
Padmi ke tempat yang tidak akan diketahui oleh Mahisa
Bungalan. "Setelah tiga atau ampat bulan perempuan itu akan kita
lemparkan kembali ke padukuhan itu" berkata Pangeran
Indrasunu "Biarlah ia menjadi sumber malapetaka dalam
keluarga Mahisa Bungalan"
Ketiga orang Pangeran itu tertawa. Sementara itu,
Sepasang Serigala yang berkuda dibelakang mengerutkan
kening. Salah seorang berkata "Anak-anak muda yang gila.
Guru-guru merekapun juga gila. Apa sebenarnya
keuntungan mereka dengan sikapnya ini. Apakah upah
yang mereka janjikan itu sepasang dengan gadis yang
mereka kehendaki?" "Bukan gadis itu" jawab kawannya "tetapi dendamnya
yang membara. Itulah gilanya Pangeran Indrasunu" Yang
lain tertawa. Katanya "Apapun yang dikehendaki. Tetapi
upah yang dijanjikan memang menarik"
Demikianlah mereka semakin lama menjadi semakin
dekat dengan tujuan. Tetapi mereka tidak tergesa-gesa.
Mereka dapat beristirahat ketika matahari terik. Merekapun
dapat bermalam di perjalanan, karena mereka baru akan
memasuki pedukuhan pada malam berikutnya.
"Sebenarnya kita tidak usah membuang waktu sehari"
berkata Wangkot "jika kita berjalan terus, maka lewat
tengah malam kita akan sampai ketujuan"
"Terlalu tergesa-gesa" jawab Pangeran Indrasunu
"mungkin kita akan melihat suasana. Kau berdua akan
dapat berjalan-jalan di padukuhan itu disiang hari, karena
belum ada orang yang mengenal kalian. Baru pada malam
hari kita memasuki halaman rumahnya"
Sepasang Serigala itu tidak membantah. Mereka dapat
berbuat kapan saja, karena bagi keduanya tidak ada orang
yang ditakutinya. Seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Indrasunu,
maka mereka telah bermalam di perjalanan. Pada bagi hari
mereka akan mendekat. Namun mereka akan melihat
keadaan lebih dahulu. Kedua orang dari padang Geneng,
dan kedua Pangeran itu masih belum dikenal oleh orangorang
padukuhan itu, atau oleh keluarga Mahendra.
Kecuali jika Mahisa Bungalan sudah berada di rumah.
Namun agaknya yang paling baik, adalah Wongkot dan
Mendu sajalah yang akan mengamati keadaan, setelah
mereka diberi beberapa petunjuk tentang tempat tinggal
Mahendra, anak-anaknya dan Ken Padmi.
Demikianlah maka setelah mereka mencari tempat yang
paling baik untuk beristirahat di hari berikutnya, dia sebuah
hutan yang tidak terlalu jauh, maka Wangkot Dan Mendu
telah berusaha mendekati padukuhan tempat tinggal
Mahendra. Mereka meninggalkan kuda merka di hutan
kecil ditunggui oleh ketiga orang Pangeran itu.
Namun sebenarnyalah Wangkot dan Mendu
melakukannya dengan segan, karena bagi mereka, hal itu
tidak banyak gunanya. Sebagaimana dikatakannya, Sepasang Serigala itu tidak
takut menghadapi siapapun juga. Siapapun yang berada di
rumah itu, keduanya akan sanggup membinasakannya.
Tetapi keduanya telah berusaha juga untuk mengamati
rumah yang ditunjukkan oleh Pangeran Indrasunu.
"Sepi" berkata Wangkot.
"Aku sudah siap" jawab Mendu "seandainya rumah itu
tidak sepipun tidak ada kesulitannya. Pangeran Indrasunu
terlalu berhati-hati"
"Biar sajalah" jawab Wangkot "kita penuhi saja
keinginannya. Ia sudah bersedia membayar mahal bagi
dendamnya" Mendu tertawa. Katanya "Kenapa kedua orang
pemimpin padepokan itu tidak melakukannya sendiri.
Merekapun orang yang memiliki kemampuan cukup"
"Pemimpin-pemimpin padepokan adalah orang-orang
malas. Mereka memiliki ilmu, dan mereka hidup dari
ilmunya itu. Namun mereka tidak mau berjuang menentang
buasnya dunia olah kanuragan. Mereka sekedar menjual
ilmunya kepada cantrik-cantrik kecil. Dengan sedikit tenaga
dan tanpa kemungkinan yang berbahaya mereka dapat
hidup dengan padepokan-padepokannya" desis Wangkot
"namun orang yang demikian tidak akan dapat melihat
betapa dasyatnya benturan ilmu didunia petualangan ini.
Mereka tidak pernah mengalami kegembiraan dan
kepuasan sejati karena ilmunya itu"
"Persetan" sahut Mendu "orang-orang malas itu akan
mati dalam kemalasannya. Tetapi bagi kita, dunia
petualangan adalah dunia yang memberikan kesenangan
dan kepuasan" Wangkot tidak menjawab. Mereka sudah melintas di
depan rumah yang ditunjukkan. Namun sebelum mereka
keluar dari ujung lorong itu, mereka didepan melangkah
kembali. Sekali lagi mereka melewati lorong didepan rumah
Mahendra. Lorong itu sepi, seperti juga halaman rumah itu
sepi. Namun ketika mereka melihat seorang gadis cantik
melintas di halaman, maka keduanya berhenti sejenak.
"Agaknya gadis itulah yang disebut Ken Padmi" berkata
Wangkot "seorang adis yang memang sangat cantik. Itulah
agaknya maka Pangeran Indrasunu menjadi gila"
"Tetapi kini yang berkembang adalah dendamnya" sahut
Mendu "ia sudah berusaha untuk melupakan gadis itu.
Yang akan dilakukannya itu adalah sekedar menyakiti hati
bakal suami gadis itu"
"Omong kosong" geram Wangkot "jika gadis itu sudah
dibawanya, maka ia akan berubah pikiran. Mungkin justru
akan timbul perselisihan diantara ketiga orang Pangeran itu
karena gadis yang cantik sekali itu"
"Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. He, bukankah
tugas kita melindungi ketiga orang Pangeran yang akan
menculik gadis itu& Apapun yang akan terjadi dengan
gadis itu, bukan persoalan kita. Persoalan kita, jika
pekerjaan ini selesai, maka kita akan mendapatkan upah
kita" Demikianlah maka kedua orang itupun kemudian
kembali ke hutan kecil tempat ketiga orang Pangeran itu
menunggu. Dengan singkat mereka melaporkan, apa yang
telah mereka lihat pada rumah yang dimaksud.
"Aku sudah melihat gadis itu" berkata Wangkot.
"Dimana?" bertanya Pangeran Indrasunu.
"Di halaman rumah itu. Aku melihat seorang gadis
melintasi halaman. Cantik sekali. Berkulit halus seperti
sutera yang dibeli dari pada pendatang"
"Gila" geram Pangeran Indrasunu "gadis itu gadis
padepokan. Kulitnya tentu tidak sehalus yang kau katakan,
la bekerja keras sebagaimana gadis-gadis padepokan yang
lain. Bahkan dipanggang di teriknya matahari dan diembun
yang dingin di malam hari"
"Agaknya justru karena itu" jawab Mendu "tetapi
entahlah. Mungkin di rumah itu ada gadis yang lain kecuali
yang dimaksud oleh Pangeran Indrasunu"
Pangeran Indrasunu tiba-tiba menggeram. Katanya
"Mahisa Bungalan memang gila. karena itu, gadis itu harus
di bawa" Selebihnya Pangeran Indrasunu bertanya, apakah
melihat tanda-tanda yang dapat menyulitkan rencananya.
"Rumah itu sepi" jawab Mendu "tidak ada orang. Pintu
pringgitan di belakang pendapa nampak tertutup,
Gandokpun rasa-rasanya tertutup pula"
"Tetapi siapa tahu, dibelakang pintu tertutup itu terdapat
orang-orang yang memiliki kemampuan tinggi"
"Persetan" geram Wangkot "Pangeran harus percaya
kepada ksmi disini. Jika tidak, maka tidak ada gunanya
kami berada disini."
"Bukan tidak percaya" jawab Pangeran Indrasunu
"tetapi aku hanya ingin berhati-hati"
Karena ingin berhati-hati itulah agaknya, ketika senja
turun, Pangeran Indrasunu minta agar Wangkot dan
Mendu sekali lagi melihat-lihat sasaran yang akan mereka
datangi. "Tidak perlu" jawab Wangkot "Aku bertanggung jawab"
"Jangan sombong menghadapi orang-orang Singasari"
desis Pangeran Indrasunu.
"Aku lebih berhati-hati menghadapi orang-orang Kediri
daripada orang-orang Singasari" jawab Mendu.
Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian katanya "Baiklah. Kita akan berangkat,
meskipun aku masih ingin mengamati rumah itu sebelum
bertindak" Demikianlah, setelah makan bekal yang mereka bawa,
maka merekapun segera bersiap-siap untuk pergi kerumah
Mahendra. Sesaat mereka memeriksa senjata masingmasing,
seolah-olah mereka sedang bersetuju dengan
senjata-senjata itu untuk melakukan satu tugas yang sangat
penting. Ketika gelap turun, maka mereka berlimapun telah
meninggalkan tempat persembunyian mereka menuju
kepadukuhan tempat tinggal Mahendra.
Dengan hati-hati mereka memasuki lorong padukuhan
itu. Mereka telah memilih jalan sempit yang tidak diawasi
oleh anak-anak muda yang mungkin berada di gardu di
lorong induk padukuhan itu.
Sebagaimana biasa, maka demikian malam menjadi
kelam, pintu-pintu rumahpun tertutup rapat. Meskipun di
gardu-gardu anak-anak muda duduk bergurau diantara
mereka, tetapi pada umumnya padukuhan memang terasa
sepi. Sebagaimana di kehendaki oleh Pangeran Indrasunu,
maka merekapun mendekati halaman rumah Mahendra.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Wangkot, halaman
rumah itu memang sepi. Apalagi dimalam hari.
"Kita akan mendengarkan, apakah ada kesan-kesan
tertentu di rumah itu" berkata Pangeran Indrasunu.
"Silahkan" berkata Mendu.
Pangeran Indrasunu dengan hari-hati memasuki regol
halaman yang ternyata tidak diselarak. Dengan penuh
kewaspadaan ia menelusuri bayangan pepohonan
mendekati seketheng. Dengan berjingkat ia memasuki
seketheng sebelah kiri. Ternyata bahwa longkangan di
belakang seketheng itu nampak gelap dan sepi.
Bahkan Pangeran Indrasunu tidak mendengar suara
seseorang. "Memang sepi" berkata Pangeran Indrasunu di
dalam hatinya. Namun ia melangkah keserambi. Sejenak ia menunggu.
Namun kemudian ia bergeser sejengkal maju ketika ia
mendengar suara seseorang.
Agaknya kedua adik Mahisa Bungalan sedang bercakapcakap.
Mereka baru saja selesai makan malam di raung
dalam. Ternyata pula kemudian terdengar suara mangkuk
beradu. Terasa jantung Pangeran Indrasunu berdebaran ketika ia
mendengar suara seorang Perempuan.
"Gadis itu" desis Pangeran Indrasunu.
Tetapi Pangeran Indrasunu tidak terlalu jelas apa yang
dibicarakannya. Salah seorang adik Mahisa Bungalan
berkata "Kita tidak kesanggar malam ini"
"Sama sekali tidak?" terdengar suara perempuan itu.
"Tidak" jawab suara laki-laki yang agaknya adalah adik
Mahisa Bungalan "hari ini kita sudah cukup berlatih"
Tidak terdengar jawaban. Namun terasa jantung
Pangeran Indrasunu berdebar-debar.
"Agaknya mereka selalu berlatih dengan tertib dan
teratur" berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya.
Meskipun ada juga terasa kecemasan di dalam dadanya,,
tetapi ia berkata lebih lanjut di dalam hatinya "Tetapi
mereka tidak akan banyak memberikan perlawanan yang
berarti. Apabila yang ada hanya anak-anak itu"
Tetapi Pangeran Indrasunu datang dengan dua orang
yang memiliki ilmu raksasa. Yang sulit dicari bandingnya.
Pangeran Indrasunu masih beberapa saat berada di
serambi. Tetapi ia tidak mendengar lagi percakapan.
Bahkan kemudian ia mendengar salah seorang diantara
mereka yang berada di dalam berdesis "Malam terasa
sangat sepi. Aku tiba-tiba saja merasa mengantuk"
Yang lain tertawa pendek. Tetapi terdengar jawaban.
Dalam pada itu, Pangeran Indrasunupun segera bergeser
dari tempatnya. Tetapi iapun merasa aneh. Udara malam
itu terasa lain dengan malam-malam sebelumnya. Dan yang
kemudian kurang di mengertinya pula, bahwa Pangeran
itupun merasa mengantuk. Dengan hati-hati Pangeran Indrasunu meninggalkan
serambi itu. Demikian ia melalui seketheng, maka terasa
seakan-akan sulit baginya untuk melawan perasaan
kantuknya. Justru karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa
mendapatkan kawan-kawannya. Sepasang Serigala dari
Padang Geneng dan kedua Pangeran itu, yang bersembunyi
sudut halaman dibawah pohon perdu.
"Terasa ada kelainan malam ini" desis Pangeran
Indrasunu. Dengan berbisik Wangkot berkata "Aku telah
menyebarkan sirep dihalaman rumah ini. Kedua Pangeran
inipun telah menjadi mengantuk. Tetapi aku mohon mereka
mengerahkan daya tahan mereka agar sirep ini tidak
mempengaruhinya. Jika Pangeran bertiga tidur, maka aku
tidak akan dapat berbuat banyak, karena kami berdua akan
sibuk mengurusi Pangeran berdua saja"
Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian duduk disebelah kedua Pangeran yang lain untuk
memusatkan daya tahannya melawan sirep yang
mencengkam halaman rumah itu.
Ternyata bahwa Pangeran Indrasunu memiliki kekuatan
yang cukup. Bahkan melampaui kedua orang Pangeran
yang lain. Namun akhirnya mereka bertiga berhasil juga
membebaskan dirinya dari pengaruh sirep itu, justru karena
mereka sadar bahwa sirep itu ada.
"Tanpa mengetahu bahwa di dilaman ini tersebar
pengaruh sirep, maka aku kira, aku sudah tertidur nyenyak"
berkata salah seorang dari ketiga orang Pangeran itu.
"Ya" desis Pangeran Indrasunu "Akupun tadi
mendengar salah seorang yang berada diruang dalam,
disebelah serambi, berdesis bahwa ia menjadi sangat
mengantuk. Mereka malam ini tidak akan pergi ke sanggar.
Agaknya di malam-malam yang lain mereka selalu berada
di dalam sanggar" Wangkot tertawa pendek. Katanya perlahan-lahan "Kita
akan menunggu beberapa saat. Aku berharap bahwa seisi
rumah akan tertidur nyenyak. Dengan demikian kita akan
dapat menyelesaikan tugas ini dengan mudah sekali. Kita
akan membunuh orang-orang yang sedang tidur. Kemudian
membawa gadis yang sedang tidur pula keluar dari rumah
dan halaman ini" Wangkot dan Mendu tertawa tertahan. Mereka merasa
bahwa usaha mereka pasti akan berhasil dengan mudah.
Karena itu, maka Mendupun berkata "Nah, bukankah apa
yang kami katakan bukan sekedar bualan yang tidak berarti
Kami sama sekali tidak cemas, siapapun lawan kami"
Pangeran Indrasunu menganguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Kelima orang itupun kemudian duduk menunggu di
tempat mereka bersembunyi. Mereka yakin bahwa sejenak
kemudian, seisi rumah itu tentu akan tertidur nyenyak,
sehingga dengan demikian mereka tidak perlu terlalu
banyak melepaskan tenaga. Mereka akan dengan mudah
membinasakan lawan-lawan mereka.
Namun dalam pada itu yang terjadi di dalam rumah itu
berbeda dengan yang diharapkan oleh kelima orang itu. Di
ruang dalam, Mahendra duduk berdua dengan Witantra
sambil berbincang tentang banyak hal setelah mereka
makan malam. Ketika Mahisa Murti melintasi diruang itu dan
mengatakan bahwa ia akan pergi ke biliknya, kedua orang
itu tidak banyak menghiraukannya.
Mereka masih saja bercakap-cakap perlahan-lahan.
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar sebuah
mangkuk yang terjatuh dan pecah berserakan. Mahendra
yang kemudian berdiri sambil berdesis "Ken Padmi pasti
kurang berhati-hati. Ia adalah seorang gadis yang cepat,
sebagaimana ia bergerak di sanggar. Tetapi kadang-kadang
ia kurang memperhitungkan barang-barang yang
dipeganginya. Tangannya kadang-kadang menyentuh
mangkuk yang sedang dicucinya"
Witantara tersenyum. Katanya "Mungkin ia tergesagesa.
Api Di Bukit Menoreh 15 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Tragedi Tiga Babak 2
^