Pencarian

Panasnya Bunga Mekar 37

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 37


Biasanya ia selalu pergi ke Sanggar"
Mahendrapun kemudian melangkah ke ruang belakang.
Namun ia menjadi sangat terkejut ketika ia melihat Ken
Padmi duduk diamben bambu. Wajahnya pucat dan
nampak keringat dingin membasahi keningnya.
"Kau kenapa?" bertanya Mahendra.
"Entahlah paman" desis Ken Padmi "tubuhku tiba-tiba
terasa lemah sekali. Mataku seolah-olah telah melekat oleh
perasaan ngantuk. Aku telah kehilangan pengamatan
tanganku ketika aku sedang mengemasi mangkuk-mangkuk
itu. Mahendra mengerutkan keningnya. Iapun merasakan
udara yang agak lain dari biasanya. Malam terasa sangat
sepi. Sehingga karena itu, maka katanya "Marilah. Kita
akan membicarakan keadaan udara di malam ini.
Tinggalkan saja mangkuk-mangkuk itu. Agaknya memang
ada yang harus kita bicarakan"
Ken Padmipun kemudian mengikuti Mahendra masuk
keruang dalam. Ketika ia duduk di sebelah Witantra, maka terasa
ngantuk itu bagaikan tidak dapat dihindarinya.
"Apakah kau merasakan sesuatu yang tidak wajar?"
bertanya Mahendra kepada Witantra
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Baru
saja aku akan bertanya kepadamu. Ternyata bahwa
perasaan kita sama."
"Aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar
malam ini" Mahendra memandang Ken Padmi yang berkeringat.
Agaknya ia berusaha untuk melewat ngantuknya, tetapi
dengan cara yang kurang mapan. Karena itu, maka
Mahendrapun kemudian berbisik "Ken Padmi. Dengarlah.
Sadari dirimu, bahwa kau telah terkena pengaruh sirep. Kau
mendengar?" Ken Padmi mengangguk. "Karena itu, cobalah bertahan. Kau tidak dapat dengan
cara sewajarnya melawan ngantuk sebagaimana kau
lakukan pada saat-saat lain yang terjadi karena kau memang
sedang mengantuk. Untuk melawan ilmu seperti sekarang
ini, kau harus memusatkan daya tahanmu berdasarkan
ilmu" Ken Padmi ternyata merasa seolah-olah telah terbangun
dari cengkaman ngantuknya. Dengan serta merta, iapun
kemudian duduk dengan tegak sambil menyulangkan kedua
tangannya didadanya. Dengan landasan daya tahan berdasarkan ilmunya ia
berusaha melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu.
Sementara itu, maka Mahendrapun telah mencari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Murti terdapat
telah tertidur di dalam biliknya. la sama sekali tidak
menduga, bahwa ia telah terkena pengaruh sirep, sehingga
ia sama sekali tidak berusaha untuk melawannya.
Dengan hati-hati Mahendra membangunkannya. Di
sentuhnya tubuh anaknya sambil berdesis di telinganya
"Bangunlah. Kau dalam ancaman bahaya"
Beberapa kali Mahendra mengulangi kata-katanya. Dan
beberapa saat kemudian Mahisa Murti terbangun Sambil
menggeliat ia berkisar. Namun matanya telah terpejam
kembali Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian di pijitnya ibu jari kaki Mahisa Murti sambil
diguncangnya perlahan lahan.
Akhirnya Mahisa Murti berhasil dibangunkannya.
Dengan kemampuan ilmunya Mahendra berbisik sekali lagi
ditelinga anak laki-lakinya. Namun Mahisa Murti terkejut
karenanya. Suara Mahendra yang perlahan-lahan, namun dilambari
ilmunya yang mapan, terdengar bagaikan guruh ditelinga
Mahendra Murti. "Bangunlah. Kau terancam bahaya" berkata Mahendra.
Mahisa Murti berusaha untuk menguasai kesadarannya
sepenuhnya. Dengan gagap ia bertanya lirih "Ada apa
ayah" "Marilah. Duduklah diruang tengah" ajak Mahendra.
Mahisa Murtipun kemudian mengikuti ayahnya duduk
diruang tengah. Kemudian iapun mendapat penjelasan
tentang keadaan malam itu, sehingga iapun segera berusaha
untuk menghindarkan diri dari ilmu sirep itu seperti yang
dilakukan olah Ken Padmi.
Dalam pada itu, Mahendrapun kemudian mencari pula
Mahisa Pukat yang tertidur di amben bambu diruang
sebelah. Seperti yang dilakukannya atas Mahisa Murti,
maka Mahisa Pukatpun kemudian telah terbangun pula.
Sejenak kemudian, kelima orang itupun telah duduk
diruang tengah. Masing-masing telah berusaha untuk
melawan ilmu sirep yang mencengkam rumah itu. Semakin
lama ilmu itu terasa semakin mencengkam. Namun kelima
orang itupun telah berhasil membentengi diri mereka
dengan ilmu pula. Dalam pada itu, Mahendrapun kemudian berkata
"Anak-anak. sirep ini telah memberitahukan kepada kita,
bahwa tentu ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi.
Jika tidak ada persoalan apapun juga yang akan terjadi
malam ini, tentu tidak akan ada orang yang melepaskan
ilmu sirep. Ilmu yang dapat dipergunakan dengan tujuan
yang kurang baik dan dengan sikap yang licik. Karena itu,
kita harus berhati-hati"
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk. Sementara
Witantra berkata perlahan-lahan "Kita akan menunggu.
Biarlah orang yang bermaksud buruk itu mengira bahwa
kita sudah tertidur nyenyak"
Sekali lagi anak-anak muda itu mengangguk. Tetapi
merekapun mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan.
Karena itu, dengan hati-hati anak-anak itu
mempersiapkan diri. Bukan saja membenahi pakaiannya,
tetapi mereka telah mengambil senjata masing-masing.
Sebagaimana dikatakan oleh Mahendra dan Witantra,
bukan mustahil bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak
mereka harapkan. Karena merekapun sependapat, bahwa tidak akan ada
seseorang yang melepaskan ilmu sirep jika mereka tidak
mempunyai niat yang tidak sewajarnya.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya,
kelima orang itupun duduk dengan diam. Namun
sebenarnyalah bahwa mereka telah dicengkam oleh
ketegangan. Mereka menunggu apa yang akan terjadi
kemudian. Dalam pada itu, lima orang pula duduk di dalam
gelapnya malam dihalaman. Merekapun sedang menunggu
perkembangan ilmu sirep mereka. Baru kemudian Wangkot
berkata "Kita akan melihat, apakah usaha kita berhasil"
"Ya" jawab Mendu "Kita mengelilingi rumah ini"
Demikianlah, Wangkot dan Pangeran Indrasunu telah
mengelilingi rumah itu dengan putaran kekanan, sementara
Mendu dan kedua orang Pangeran yang lain memutari
rumah itu dengan arah kekiri.
Dengan hati-hati mereka melangkah hampir menyusuri
dinding. Bahkan kadang-kadang mereka naik keserambi
untuk mendengarkan, apa masih ada orang yang terbangun
di dalam rumah itu. Ternyata bahwa rumah itu benar benar telah sepi.
Diruang belakang mereka mendengar dengkur yang keras.
Agaknya salah seorang pembantu rumah Mahendra itu
sedang tidur mendekur. Di bagian lain, pembantu yang lainpun telah tertidur
nyenyak pula. Sehingga dengan demikian, maka orangorang
yang berada diluar rumah itu menganggap bahwa
tidak seorangpun lagi yang dapat lolos dari pengaruh
sirepnya. Di ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang
bahkan di sebelah menyebelah longkangan tidak lagi
terdengar suara seseorang.
Meskipun demikian, kelima orang yang sudah
mengelilingi rumah itupun masih juga menunggu untuk
meyakinkan diri, bahwa semua orang sudah tertidur.
Mahisa Murti hampit tidak sabar menunggu dengan
duduk berdiam diri untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi
ketika ia beringsut, ayahnya memandanginya sambil
menggeleng, sehingga akhirnya ia mengurungkan niatnya
untuk bangkit. Namun akhirnya mereka saling berpandangan ketika
mereka mendengar desir langkah beberapa orang diseputar
rumah itu. Dengan demikian, maka merekapun menjadi semakin
yakin, bahwa memang akan terjadi sesuatu di rumah itu.
Setelah menunggu sejenak dengan kejemuan yang
hampir tidak tertahankan, akhirnya Mahisa Murtipun
yakin, bahwa yang paling baik dilakukan adalah duduk
sambil berdiam diri. Merekapun kemudian mendengar
beberapa orang naik kependapa.
"Sudah waktunya" berkata Wangkot "Kita pecahkan
pintu. Tetapi berhati-hatilah, agar suaranya tidak
membangunkan orang-orang tua di rumah ini. Setidaktidaknya
Mahendra akan dapat dengan cepat menguasai
diri" "Jika ia berada di rumah" sahut Pangeran Indrasunu.
Wangkot mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya "Aku akan membuka pintu ini"
Sejenak kemudian ia mulai menjajagi kekuatan selarak
pintu pringgitan itu. Baru kemudian, ia mulai mengerahkan
kekuatannya. Meskipun ia berbuat dengan hari-hati.
Didorongnya pintu kayu itu tanpa menghentakkannya agar
suara yang timbul kemudian tidak terlalu keras dan dapat
membangunkan orang-orang yang sedang tertidur nyenyak.
Terdengar selarak pintu itu patah. Kemudian kayu yang
patah itupun terjatuh dilantai.
Drak kayu yang terjatuh itu tidak terlalu keras. Tetapi
kelima orang yang berada dipendapa itu tidak berbuat
dengan tergesa-gesa. Mereka menunggu sesaat. Jika masih
ada orang yang terbangun, maka orang itu tentu akan
berbuat sesuatu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir saja meloncat
berdiri. Tetapi sekali lagi Mahendra mengelengkan kepalanya,
sehingga dengan sorot mata kurang mengerti keduanya
tetap duduk ditempatnya. Tetapi merekapun kemudian menyadari maksud
ayahnya. Mereka akan menunggu sampai orang-orang itu
datang keruang dalam dan melihat bahwa mereka masih
tetap duduk. Setelah menunggu sesaat, maka akhirnya Wangkot
diikuti oleh Mendu dan ketiga orang Pangeran itu,
memasuki ruang depan. Dengan hati-hati mereka
memperhatikan suasana yang terasa sangat sepi, sehingga
dengan demikian merekapun menjadi semakin yakin,
bahwa semuanya memang sudah tertidur.
Wangkot dan Mendupun kemudian yakin bahwa tugas
mereka ternyata tidak seberat yang mereka bayangkan
sebelumnya. Karena itu maka Wangkotpun kemudian
berkata kepada Pangeran Indrasunu "Pangeran. Pekerjaan
itii sangat menyenangkan. Hadiah yang Pangeran janjikan
akan dapat aku terima tanpa menitikkan keringat sama
sekali. Kita akan memasuki setiap ruangan. Membunuh
penghuni rumah ini, kemudian membawa gadis itu pergi.
Bukankah satu pekerjaan yang sangat mudah"
"Ya" jawab Pangeran Indrasunu "tetapi yang mudah
itupun belum kita lakukan"
Wangkot tertawa. Yang menyahut kemudian adalah
Mendu "Marilah. Kita akan menyelesaikan pekerjaan ini
dengan cepat" Orang-orang itupun kemudian memperhatikan keadaan.
Mereka melihat pintu ditengah-tengah tuangan. Namun
disebelah menyebelah, masih ada dua pintu lagi yang
menuju keruangan dalam dibelakang senthong tengah,
dengan serambi di sebelah menyebelah pula.
"Kita lihat di ruang sebelah" berkata Wangkot yang
melihat bahwa senthong tengah itu ternyata kosong, karena
pintunya yang terbuka. Yang terdapat di dalam senthong itu
hanyalah perhiasan pembaringan saja.
Lewat pintu samping mereka memasuki sebuah ruang
lain. Ruang dalam yang diantarai oleh ruang belakang dan
sebuah longkangan kecil berhadapan dengan sebuah bilik
lain. Dapur. Namun demikian mereka melangkahi tlundak pintu
ruang dalam, kelima orang itu terkejut bukan kepalang.
Ternyata mereka diatas sehelai tikar pandan yang putih
bergaris-garis biru. "Marilah Ki Sanak" terdengar suara Mahendra dalam
nada yang berat. Wangkot dan Mendu yang berdiri dipaling depan,
seolah-olah justru menjadi terbungkam. Sejenak mereka
berdiri dengan gigi gemeretak menahan kemarahan yang
menghentak-hentak. Mereka merasa, bahwa mereka seolaholah
telah dipermainkan oleh penghuni rumah itu.
"Silahkan Ki Sanak" Mahendra mengulang "mungkin Ki
Sanak mempunyai keperluan yang penting, sehingga Ki
Sanak telah datang ke pondok kami pada waktu yang
kurang pada tempatnya dan dengan cara yang tidak
sewajarnya" "Persetan" geram Wangkot "Aku sudah tahu. Ini tentu
satu tantangan." "Sebenarnya kami mempersilahkan kalian dudu.
Nampaknya aku sudah mengenal salah seorang diantara
kalian. Pangeran Indrasunu" berkata Mahendra kemudian.
"Kau tidak usah berbasa-basi" tiba-tiba Pangeran
Indrasunu membentak "Aku sudah mengenal kalian.
Kalianpun tentu sudah tahu maksud kedatangan kami.
Karena itu, sebaiknya aku berbicara langsung pada pokok
persoalannya. Berikan Ken Padmi kepadaku. Semuanya
akan cepat selesai"

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Persoalan itu lagi. Apakah Pangeran masih belum jemu
dengan persoalan yang itu-itu saja" Apakah tidak ada
persoalan yang lebih penting daripada persoalan Ken
Padmi?" Wajah Ken Padmi menjadi merah. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam. "Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menyentuh
namanya, apalagi kulitnya. Tetapi Mahisa Bungalan telah
menyakiti hatiku. Jika aku sekarang datang untuk
mengambil Ken Padmi, bukan karena aku memerlukannya.
Tetapi aku ingin melihat Mahisa Bungalan menderita
seumur hidupnya karena Ken Padmi yang disimpannya
dirumahnya, akhirnya tidak dapat di ambilnya menjadi
seorang isteri yang baik" berkata memotong Pangeran
Indrasunu. "Cukup" tiba-tiba saja Ken Padmi memotong hampir
berteriak. Namun justru karena gejolak perasaannya,
suaranya menjadi gemetar dan gagap "Aku bukan seonggok
barang yang dapat diperlakukan semena-mena"
Tetapi Pangeran Indrasunu tertawa. Katanya "Kau tidak
mempunyai pilihan. Semua orang akan dibunuh. Dan kau
akan aku bawa ketempat yang tidak kau ketahui. Pada
saatnya kau memang akan aku kembalikan kepada Mahisa
Bungalan. Tetapi ia tidak akan menerimanya lagi.
Sementara itu hatinya akan terpecah seumur hidupnya"
Ken Padmi hampir saja berteriak. Tetapi yang lebih
dahulu terdengar justru Mahisa Murti tertawa. Senada
dengan suara tertawa Pangeran Indrasunu sendiri. Katanya
" Pangeran memang senang bergurau"
Sikap dan jawaban Mahisa Murti ternyata sangat
menarik perhatian, sehingga justru karena itu, maka
Pangeran Indrasunu telah berhenti tertawa. Dengan nada
datar ia bertanya "Kenapa kau tertawa?"
"Seperti Pangeran" jawab Mahisa Murti "asal saja
tertawa. Jika mungkin membangkitkan kemarahan pihak
lain" "Gila" geram Pangeran Indrasunu "Kau jangan
sombong anak muda. Kau ini aku datang dengan Sepasang
Serigala dari Padang Geneng. Jika kau berbuat yang anehaneh
dan membangkitkan kemarahannya, maka nasibmu
akan menjadi sangat buruk"
Tetapi Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya "Nasib
apapun yang akan menimpa diriku, aku tidak peduli. Tetapi
sebagaimana kau ketahui, bahwa kami bukan orang-orang
yang dengan pasrah membiarkan diri kami dicerca, dihina
dan apalagi dibunuh. Kau sudah tahu itu"
Kemarahan yang memuncak telah mencengkam jantung
Pangeran Indrasunu. Namun yang tidak kalah marahnya
adalah Wangkot dan Mendu yang merasa dipermainkan
oleh orang-orang itu, justru karena sirepnya tidak dapat
melumpuhkan mereka. Tetapi agaknya keduanya tidak ingin banyak bicara, lagi.
Mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaan mereka yang
ternyata tidak semudah yang mereka sangka.
Karena itu,maka Wangkot dan Mendu itupun kemudian
telah bersiaga sepenuhnya. Sambil bergeser maju Wangkot
mengetahui bahwa Pangeran Indrasunu itu bukannya orang
yang tidak berilmu Dengan tidak menimbulkan kesan perang tanding bagi
masing-masing-masing anak muda itu, maka kemungkinan
pergeseran akan dapat terjadi. Jika mereka terlibat dalam
perang tanding, maka mereka akan terikat oleh harga diri,
sehingga yang terjadi adalah, membunuh atau dibunuh.
Dalam pada itu, maka Mahendrapun kemudian
mengisyaratkan agar mereka menyusul kelima orang itu
turun kehalaman. Demikian mereka keluar dan turun kehalaman, maka
kelima orang liwan merekapun telah bersiap
menyongsongnya. Wangkot dan Mendu telah melihat dua
orang tua diantara kelima orang penghuni rumah itu.
Agaknya mereka harus menghadapi orang-orang itu.
Sementara Pangeran Indrasunupun telah bersiap pula, siapa
pun yang harus dihadapinya.
Betapa kecewanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
keputusan Witantra itu. Mereka berdua harus bertempur
berpasangan. Sementara itu Ken Padmi akan mendapat
kesempatan untuk bertempur melawan dua orang Pangeran
yang lain. Namun merekapun tidak dapat membantah. Witantra
adalah orang yang memiliki wibawa seperti ayahnya
sendiri. Apalagi dalam pada itu, ayak mereka sendiri itupun
sama sekali tidak memberikan petunjuk lain.
"Cepat sedikit" geram Wangkot "apakah kalian masih
segan untuk mati?" Mahendra yang mendekatinya menjawab "Aku sudah
tua. Namun untuk mati rasa-rasanya memang masih segan.
Apalagi mati oleh tanganmu yang kasar dan liar"
Wangkot menjadi semakin marah. Dengan serta merta
iapun segera menerkam lawannya, sebagaimana seekor
serigala menerkam mangsanya.
Tetapi Mahendra bukannya seekor kelinci dihadapan
seekor serigala, karena itu, maka iapun segera mengelak
dan bahkan sempat menyerang kembali.
Wangkot yang marah itupun segera bertempur dengan
kasarnya sebagaimana orang menyebutnya Serigala dari
padang Geneng. Di bagian lain, Mendupun telah mulai bertempur
melawan Witantra. Namun agaknya Witantra masih
sempat memperhatikan anak-anak muda itu. Apakah
mereka akan memperhatikan nasehatnya atau tidak.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mematuhinya. Dengan serta merta keduanya mendekati
Pangeran Indrasunu sementara Mahisa Pukat berkata
"Kami berdua akan bertempur berpasangan. Bukan karena
kami tidak berani bertempur seorang lawan seorang, tetapi
sementara memberi kesempatan kepada Ken Padmi untuk
melawan kedua orang anak muda itu"
"Persetan" geram Pangeran Indrasunu. Kemudian
Pangeran itupun berkata "Adimas Pangeran. Jangan raguragu.
Gadis itulah yang akan kalian bawa"
Kedua Pangeran itupun menjadi temangu-mangu justru
karena Ken Padmipun telah bersiap menghadapi mereka
berdua. Namun keduanya mengakui, bahwa gadis itu
memang sangat cantik. Meskipun demikian kedua Pangeran itu menjadi heran,
seolah-olah gadis itu dengan sengaja telah dihadapkan
kepada mereka untuk dengan segera dapat mereka tangkap
dan mereka bawa. "Aku kurang mengerti" desis salah seorang dari kedua
orang Pangeran itu " apakah yang sebenarnya dikehendaki
oleh gadis ini" "Apakah ia memang dengan sengaja menyerahkan
dirinya?" desis yang lain.
Wajah Ken Padmi menjadi merah padam. Namun
demikian ia masih sempat menjawab "Kita bertemu di
arena pertempuran. Kita mempunyai kesempatan yang
sama untuk membunuh atau dibunuh"
"Tetapi kami berdua tidak ingin membunuh" sahut salah
seorang dari kedua orang Pangeran itu" Kami datang untuk
mengambilmu. Sekarang tanpa kami mengerti alasannya,
kau sengaja menghadapi kami berdua"
"Kita akan bertempur" jawab Ken Padmi.
Tetapi Pangeran itu tertawa. Katanya "kami merasa
aneh. Kedua orang anak muda itu telah menghadapi
kakangmas Pangeran Indrasunu berpasangan. Bagaimana
mungkin kau, seorang gadis, harus menghadapi kami
berdua. Bukankah ini satu pertanda bahwa kau memang
sudah diserahkan kepada kami"
Kemarahan yang menghentak jantung Ken Padmi rasarasanya
akan meledakkan dadanya. Justru karena itu, maka
tubuhnyapun telah menjadi gemetar.
Mahendra dapat melihat kegelisahan gadis itu. Dan
iapun dapat mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh
kedua Pangeran itu, sehingga iapun dapat menangkap
kegelisahan Ken Padmi. Karena itu, maka katanya "Ken
Padmi. Kau harus tabah menghadapi anak-anak muda yang
licik itu. Mereka justru berusaha untuk membuat kau marah
dan gelisah sehingga kau kehilangan pengamatan diri
menghadapi keduanya dalam pertempuran. Cobalah
menilai, betapa liciknya kedua orang anak muda itu"
"Persetan" potong salah seorang dari kedua Pangeran itu
"gadis itu sendiri yang menjadi gelisah. Mungkin ia
memang berminat untuk menyerahkan diri saja setelah
melihat kami berdua"
"Nah kau dengar" potong Mahendra "bukankah mereka
lebih banyak bertempur dengan akalnya yang licik"
"Cukup" bentak Wangkot yang bertempur melawan
Mahendra sambil menyerang dengan garangnya.
Tetapi Mahendra masih sempat meloncat menjauh
sambil berkata "Hati-hatilah Ken Padmi. Bukan karena
senjata lawan. Tetapi karena kata-katanya"
Wangkot menjadi semakin marah. Ia bergerak lebih
cepat dan lebih kesat. Namun Mahendrapun telah menghadapinya
sepenuhnya. Sementara itu, Ken Padmi telah bersiap sepenuhnya. Ia
bertekad untuk tidak mau mendengar lagi, apapun yang
akan dikatakan oleh kedua orang lawannya. Namun
demikian, kedua orang lawannya itu memang sebenarnya
menjadi heran menghadapi cara perlawanan seisi rumah
itu. Justru karena mereka berdua dihadapkan langsung
kepada gadis yang akan mereka ambil. Sesuatu hal yang
sama sekali tidak mereka sangka sebelumnya. Apalagi gadis
itu langsung menghadapi mereka berdua dalam satu
pertempuran. Sementara itu, ternyata Wangkot telah menyerang
Mahendra dengan garangnya. Mendupun telah terlibat
dalam satu pertempuran yang sengit melawan Witantra.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai
menyerang pula. "Semuanya sudah bertempur" berkata salah seorang
Pangeran itu "apakah kita juga akan bertempur?"
Tetapi sebelum Pangeran yang seorang lagi menjawab,
maka Ken Padmilah yang telah mulai menyerang mereka.
Serangan pertama Ken Padmi itu ternyata sangat
mengejutkan kedua orang Pangeran itu. Ternyata serangan
itu datang secepat kilat. Namun agaknya Ken Padmi sendiri
masih ragu dengan serangan pertamanya itu, sehingga
serangan itu sama sekali tidak mengenai sasaran.
Meskipun demikian, serangan itu merupakan satu
peringatan bagi kedua orang Pangeran itu, bahwa Ken
Padmi bukan saja seorang gadis yang sangat cantik. Tetapi
ternyata ia juga seorang gadis yang berbahaya.
Namun demikian seorang diantara kedua Pangeran itu
masih berkata "Kita bertemu dengan sekuntum bunga
mawar. Cantiknya dan harum. Tetapi berduri"
"Tutup mulutmu" Ken Padmi hampir berteriak. Suara
Ken Padmi itu mencemaskan Mahendra dan Witantra. Jika
Ken Padmi tenggelam dalam kemarahannya, maka ia akan
kehilangan pengamatan diri sehingga ia akan bertempur
dengan dorongan perasaannya saja.
Namun ternyata kemudian, bahwa Ken Padmi yang
marah itu masih tetap menyadari dirinya dalam
pertempuran yang terjadi kemudian. Ia dengan mantap
meng-hadapi kedua Pangeran itu.
Ternyata seperti perhitungan Mitantra dan Mehendra,
maka kemampuan kedua orang Pangeran yang datang
bersama Pangeran Indrasunu itu tidak terlalu
menggetarkan. Kemampuan mereka tidak setinggi
kemampuan Pangeran Indrasunu sendiri. Tetapi yang lebih
penting bahwa mereka tidak terlibat dalam perang tanding
yang akan mengikat mengikat mereka meskipun mereka
tidak bersetuju lebih dahulu. Hinggi diri yang berlebihan
akan memaksa masing-masing untuk bertempur tanpa
mengakui kenyataan seandainya salah seorang diantara
mereka sudah menyadari, bahwa ilmunya tidak seimbang.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
telah meningkatkan ilmu mereka sebaik-baiknya, telah
mulai berusaha untuk dengan cepat mengalahkan
lawannya. Mereka berusaha untuk memecahkan perhatian
dengan serangan-serangan dari arah yang berlawanan.
Namun, Pangeran Indrasunupun masih berusaha untuk
mengatasi serangan-serangan itu. Ia memang mampu
bergerak cepat, meskipun ia mulai merasa betapa beratnya
menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu.
Tetapi sementara itu, Ken Padmipun harus memeras
kemampuannya. Apalagi ketika kedua orang Pangeran itu
mulai bersungguh-sungguh setelah mereka menyadari
bahwa gadis itu memang mampu bertempur dengan
cepatnya. Pertempuran di halaman rumah Mahendra itupun
semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi tidak seorangpun
dari tetangganya yang mendengar keributan itu.
Pengaruh sirep di rumah Mahendra itu ternyata telah
merembet ke rumah tetangganya, sehingga merekapun
menjadi lelap. Apalagi mereka yang sama sekali tidak
mempunyai lambaian ilmu, sehingga dengan demikian rasarasanya
tidur mereka menjadi sangat lelap seperti pingsan.
Dalam pada itu, Wangkot dan Mendu yang merasa
dirinya orang-orang yang tidak terlawan, dengan marah
berusaha untuk secepatnya mengakhiri pertempuran.
Namun ternyata bahwa mereka telah bertemu dengan orang
yang juga memiliki ilmu yang tinggi.
Wangkot yang merasa dirinya mempunyai kekuatan
yang sangat besar, telah dengan kasarnya menyerang
Mahendra, tanpa memperhatikan perlawanan lawannya. Ia
sama sekali tidak pernah merasa perlu untuk menghindari
serangan lawannya, karena ia merasa mempunyai daya
tahan yang sangat besar. Bahkan beberapa orang yang
pernah bertempur melawannya menganggapnya


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai ilmu kebal. Sementara itu Mahendra masih berusaha untuk
menjajagi kemampuan lawannya sampai pada tingkat
tertinggi. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk
menyesuaikan tingkat ilmunya mengikuti perkembangan
tingkat ilmu lawannya. Tetapi karena Wangkot memang
berusaha untuk segera mengakhiri perlawanan Mahendra,
maka Wangkot itupun segera sampai ke puncak ilmunya.
Namun demikian, Mahendra masih ragu-ragu. Ia
menduga, bahwa mungkin sekali Wangkot masih
mempunyai selapis ilmu lebih tinggi, yang akan
dipergunakan pada saat-saat terakhir dari pertempuran itu,
apabila waktunya sudah tiba. Karena itu, Mahendra masih
selalu berhatihati agar ia tidak terjebak dalam
kelengahannya sendiri. Namun akhirnya Mahendra menjadi semakin jelas,
bahwa lawannya memang sudah sampai kepuncak ilmunya.
Ketika Mahendra kemudian menekannya, Wangkot
ternyata tidak mampu lagi meningkatkan ilmunya, kecuali
ia menjadi semakin kasar dan liar.
Meskipun demikian, namun Mahendra masih harus
tetap memperhitungkan segala kemungkinan. Meskipun
demikian, ia tidak ingin membiarkan pertempuran itu
menjadi semakin berlarut-larut, apalagi ia merasa
bertanggung jawab pula atas Ken Padmi.
Witantra ternyata berbuat serupa dengan Mahendra.
Dengan demikian Witantra juga selalu memperhatikan Ken
Padmi sebagaimana dilakukan oleh Mahendra.
Ternyata Ken Padmi memang merasa terlalu berat untuk
bertempur melawan kedua orang Pangeran itu. Tetapi
ternyata Ken Padmi cukup cerdik betapapun kemarahan
menghentak-hentak dadanya. Ia tidak ingin terlibat dalam
kesulitan yang lebih parah. Karena itu, maka sebelum
lawannya mempergunakan senjata, Ken Padmi tidak
mencabut senjatanya. Karena ia sadar, ia akan mengalami
kesulitan yang lebih besar jika ia harus bertempur melawan
kedua orang Pangeran itu dengan olah senjata.
Ternyata kedua orang Pangeran itu mempunyai harga
diri juga. Justru karena Ken Padmi masih belum
mempergunakan senjata, merekapun merasa segan untuk
menarik pedang, meskipun mereka sadar, bahwa bertempur
dengan senjata akan lebih menguntungkan bagi mereka.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
memiliki ilmu yang semakin mapan, ternyata harus
mengakui, bahwa Pangeran Indrasunu adalah seorang anak
muda yang bernilai cukup tinggi. Meskipun Pangeran
Indrasunu tidak dapat mengimbangi ilmu Mahisa
Bungalan, tetapi melawan kedua adiknya, ia masih sempat
juga membalas serangan dengan serangan.
Namun kedua adik Mahisa Bungalan itu telah menerima
dasar ilmu sepenuhnya dari jalur ilmu ayahnya, sebagaimana
telah diterima oleh Mahisa Bungalan. Tetapi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat masih belum sempat mengembangkannya
sebagaimana di lakukan oleh Mahisa Bungalan,
serta pengalaman mereka yang masih ketinggalan dari
kakaknya. Meskipun demikian, dengan bertempur berpasangan,
maka mereka berdua dapat memadukan ilmu mereka,
sehingga dengan demikian, maka kemudian terasa bahwa
kedua anak muda adik Mahisa Bungalan itu berhasil
menekan lawannya. Agaknya kedua anak muda itu tidak merasa terikat oleh
harga diri sebagaimana kedua Pangeran yang bertempur
melawan Ken Padmi, karena lawan kedua adik Mahisa
Bungalan itu bukan seorang gadis. Apalagi dalam keadaan
yang mendesak, justru Pangeran Indrasunulah yang lebih
dahulu menarik pedangnya dari sarungnya.
Dengan demikian maka Pangeran Indrasunu telah
mempergunakan ilmu pedangnya untuk melawan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun ternyata bahwa justru
karena ia bersenjata, maka keadaan menjadi gawat. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang memencar, telah
mempergunakan setiap kesempatan untuk saling mengisi.
Tidak segera mempergunakan tangan.Tetapi mereka telah
mempergunakan senjata. Kelengahan kecil akan dapat
berkaitan gawat bagi Pangeran Indrasunu.
Dalam pada itu Wangkot menjadi semakin liar. ia masih
belum melihat kenyataan tentang dirinya dihadapan
Mahendra. Bahwa sebenarnya Mahendra akan mampu
mengimbangi apapun yang akan dilakukannya.
Dengan granggangnya sambil meloncat. Kemudian
kedua tangannya itu terjulur lurus kedepan, seperti seekor
serigala yang sedang menerkam mangsanya.
Tetapi yang ditekankan adalah Mahendra. Dengan
tangkas Dengan tangkas Mahendra bergeser menghindar.
Namun kumudian dengan kecepatan yang tidak diduga
tangannya telah terayun menghantam punggung lawannya
yang terdorong oleh kekuatannya sendiri.
Sebenarnyalah bahwa Wangkot memang mempunyai
daya tahan yang luar biasa. Namun demikian dorongan
tangan Mahendra itu mampu melontarkannya beberapa
langkah lebih jauh dari dorongan kekuatannya sendiri,
sehingga hampir saja ia telah kehilangan keseimbangan dan
jatuh terjerembab. Namun ternyata Wangkot masih berhasil menguasai
dirinya. Ia tidak terjatuh, meskipun ia harus mengumpatumpat.
Ternyata bahwa punggungnya juga terasa sakit oleh
sentuhan tangan Mahendra.
Tetapi sejenak kemudian, sambil menggeram Wakot
itupun sudah siap pula untuk bertempur dengan garangnya.
Dalam pada itu, Mendupun telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Seperti Wangkot, ia tidak menduga,
bahwa ia telah dihadapkan kepada seorang yang mumpuni.
Yang memiliki ilmu yang tinggi dan bahkan mampu
mengimbanginya. Dengan buas Mendu melihat lawannya kedalam
pertempuran yang kasar. Namun Witantra adalah seorang
yang memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia telah
mengalami benturan ilmu dengan orang-orang yang
mempunyai dasat kemampuan yang berbeda-beda. Juga
melawan orang-orang kasar seperti Mendu itu. Sehingga
dengan demikian, maka Witantra tidak menjadi
kebingungan menghadapi lawannya itu.
Pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin
dahsyat. Mendu yang kasar dan liar, ternyata membentur
kekuatan dan ilmu Witantra yang tangguh dan mapan.
Bahkan kekuatan jasmaniah serigala dari padang Geneng
itupun kadang-kadang telah dilawan oleh Witantra dengan
benturan kekuatan pula. Mendu hampir tidak percaya bahwa ada seseorang yang
memiliki kekuatan yang melampaui kekuatannya. Tetapi
ketika sekali lagi ia meloncat menyerang Witantra, maka
dengan sengaja Witantra tidak menghindar, tetapi ia telah
membenturkan kekuatannya melawan serangan Mendu itu.
Barulah kemudian Mendu yakin, bahwa Witantra
memiliki kekuatan yang luar biasa setelah ia terdorong
beberapa langkah surut dan bahkan hampir saja ia
kehilangan keseimbangan, sementara Witantra masih tetap
berdiri tegak di tempatnya.
"Anak iblis" Mendu menggeram "Kau sangka bahwa
dengan demikian, kau sudah menang"
"Aku tidak menyangka begitu" jawab Witantra.
"Lihat, sebentar lagi kau akan aku koyak menjadi
sayatan kulit dan daging" geram Mendu sambil menarik
sebuah pedang yang mempunyai bentuk khusus. Pada
punggung pedang itu terdapat semacam duri pandan yang
dapat mengait kulit dan daging. Meskipun duri baja itu
lembut, tetapi jika menyentuh kulit, maka akibatnya akan
menjadi sangat parah. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
lawannya tidak hanya membawa satu jenis senjata.
Mungkin dalam keadaan yang berbeda ia akan
mempergunakan jenis senjatanya yang lain, karena
Witantra melihat beberapa pucuk paser kecil pada ikat
pinggang lawannya. Yang tentu saja paser-paser itu
diberinya beracun. Justru karena itu. maka Witantrapun tidak ingin
mengalami kesulitan. Ia memang sudah memperhitungkan,
bahwa diantara mereka yang telah memasang sirep itu
termasuk orang-orang yang berkemampuan. Karena itu,
maka iapun telah bersiap dengan senjatanya. Bukan senjata
khusus. Senjata apa saja yang dapat diketemukannya.
Sejenak kemudian, Witantra sudah bersenjata pedang
untuk menghadapi senjata lawannya yang mempunyai
kekhususan yang mendebarkan itu.
Sejenak kemudian, maka Mendu dan Witantra sudah
terlihat dalam perang bersenjata. Dengan garangnya Mendu
memutar pedangnya dan melihat lawannya dalam
serangan-serangan yang cepat dan keras.
Tetapi ternyata Mendu telah membentur kemampuan
ilmu pedang Witantra yang luar biasa, yaitu justru
membuat Mendu semakin sulit menghadapinya.
Tetapi Serigala itu sama sekali tidak mengurangi
keliarannya. Semakin lama justru menjadi semakin keras
dan kasar. Ia berusaha untuk pada suatu saat, melampaui
kemampuan perlawanan Witantra terhadap kekasarannya.
Namun demikian, Witantra seolah-olah sama sekali
tidak terpengaruh oleh kekasaran lawannya. Bahkan
dengan tenang. Witantra berhasil mendesak lawannya.
Ujung pedangnya sekali-sekali berhasil menyusup diantara
putaran pedang Mendu, dan bahkan telah menyentuh
kulitnya. "Gila" geram Mendu yang ternyata bahwa kulitnyalah
yang telah berdarah lebih dahulu. Bukan kulit Witantra.
Namun dalam pada itu, ternyata Ken Padmi benar-benar
mengalami kesulitan. Meskipun ia masih tetap bertahan
untuk tidak bertempur mempergunakan senjatanya, tetapi
kedua orang lawannya telah mendesaknya. Benturanbenturan
yang semakin sering terjadi, mulai terasa sakit
pada kulitnya. Lengannya, pundaknya dan bahkan
tengkuknya, telah disentuh tangan lawan-lawannya.
Untunglah bahwa kecepatannya bergerak telah dapat
membebaskannya, dari pengaruh yang lebih parah.
Tetapi jika gadis itu harus bertahan terlalu lama, maka
akhirnya ia akan benar-benar dikuasai oleh lawannya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bertempur semakin cepat. Mereka berusaha untuk
berpacu dengan waktu yang diperlukan oleh kedua
Pangeran yang bertempur melawan Ken Padmi untuk
mengalahkan gadis itu. Sebenarnyalah kedua anak muda adik Mahisa Bungalan
itu mempunyai kesempatan yang baik. Namun dalam ilmu
tertinggi yang tersalur kedalam ilmu pedangnya, maka
Pangeran Indrasunu memang seorang yang sangat
berbahaya. Namun demikian, kedua adik Mahisa Bungalan
itupun telah mengerahkan ilmu puncak mereka, sehingga
dengan demikian, maka kerja sama yang sangat rapi dalam
ilmu puncak masing-masing, benar-benar membuat
Pangeran Indrasunu kehilangan kesempatan untuk
menyerang. Kedua anak muda itu dengan tangkasnya
berloncatan diseputarnya. Bahkan kadang-kadang saling
bertukar arah dan dengan tiba-tiba saja menyambar
lawannya. Betapa Pangeran Indrasunu semakin merasa sulit
menghadapi kedua adik Mahisa Bungalan itu. Sehingga
dengan demikian, maka Pangeran Indrasunu itupun
semakin lama menjadi semakin terdorong dan terpisah dari
arena dalam keseluruhan. Tetapi Ken Padmipun telah mengalami nasib yang
serupa dengan Pangeran Indrasunu yang mengalami
kesulitan itu. Keadaan Ken Padmi itulah yang kemudian mendorong
Mahendra untuk meningkatkan ilmunya. Lawannya,
Wangkot telah melihat Mahendra dengan perang senjata
pula. Tekanan-tekanan Mahendra terasa terlalu sulit untuk
dihindari. Sehingga Wangkot mengharap bahwa ia akan
memiliki kelebihan dalam kecepatan menggerakan senjata.
Tetapi Mahendra ternyata seorang yang memiliki ilmu
yang mumpuni. Ketika Wangkot mempergunakan
goloknya yang besar dan berat, maka Mahendra pun telah
menarik pedangnya. Namun seperti Witantra, dalam keremangan cahaya
lampu minyak di pendapa dan di serambi, maka Mahendra
melihat sesuatu terselip diikat pinggang lawannya. Dan
iapun menduga, bahwa Wangkot memiliki senjata lontar
yang berbahaya. "Mungkin paser-paser kecil" desis Mahendra pada saat
Ken Padmi dalam keadaan yang sangat berbahaya, maka
Mahendra maupun Witantra telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Mereka tidak lagi berusaha menahan diri.
Jika mereka terlambat, maka akibatnya akan parah bagi
Ken Padmi, sementara Pangeran Indrasunu masih berusaha
untuk bertahan melawan kedua orang lawannya.
Betepapun Mahendra dan Witantra berusaha bertempur
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, namun
keliaran lawan mereka telah memaksa keduanya untuk
berbuat lebih banyak lagi. Bahkan meraka tidak dapat
menghindarkan diri dari usaha untuk melumpuhkan
lawannya. Sehingga dengan demikian, maka senjata
merekapun menjadi semakin sering melukai lawan dan
bahkan luka yang lebih dalam.
Wangkotlah yang lebih dahulu kehilangan pengamatan.
Kemarahannya yang menghentak-hentak dadanya, telah
membuatnya benar-benar buas. Karena itu, maka tiba-tiba
sejatanya telah berada ditangan kirinya.
Dengan cepat, Mahendra dapat mengerti bahwa
lawannya tentu akan mempergunakan senjata lontarnya.
Karena itu, maka iapun segera bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan ia telah berusaha untuk bertempur
pada jarak yang pendek, sehingga lawannya tidak mendapat


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk melontarkan paser-pasernya.
Tetapi Wangkot sempat meloncat menjauh. Terlalu
cepat untuk diburu. Bahkan Mahendrapun telah meloncat
menjauh pula. ketika ia melihat lawannya telah memungut
senjatanya. Sejenak kemudian, Wangkot benar-benar telah
melemparkan paser-paser kecilnya. Demikian cepatnya
.sehingga paser-paser itu telah terbang beruntun.
Tetapi Mahendra telah bersiap. Dengan tangkasnya ia
meloncat menghindarkan diri dari sambaran paser-paser itu.
Namun Wangkot tidak memberinya waktu. Tangannya
dengan cepat terayun. Beberapa paser telah dilontarkannya
menyusul paser-paser yang terdahulu.
Mahendra terkejut melihat serangan beruntun itu.
Karena itu, maka iapun harus mengerahkan segenap
kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan itu.
Dengan tangkas ia berloncatan dan dengan langkah-langkah
panjang. Namun demikian, paser-paser kecil itu seolah-olah selalu
mengejarnya. Hampir saja Mahendra kehilangan
kesempatan ketika sebuah peser menyambar dadanya.
Dengan cepat ia membungkukkan badannya, namun tibatiba
sebuah paser yang lain telah menyambar keningnya
justru pada saat ia membungkuk.
Tetapi Mahendra tidak mau menjadi sasaran tanpa
berbuat sesuatu. Pada saat yang gawat itu, Mahendra justru
menjatuhkan dirinya berguling dengan cepatnya mendekat.
Pada saat lawannya sekali lagi memungut paser di ikat
pinggangnya, dan siap menggunakannya, tiba-tiba saja
Mahendra melenting dengan cepat. Kakinya telah
menyambar tangan orang itu, sehingga pasernya terlepas
dari tangannya. Mahendra tidak mau kehilangan kesempatan. Pada saat
orang itu sedang menggapai ikat pinggangnya, maka
pedang Mahendra telah terayun menyambarnya.
Kemarahan Mahendra nampaknya telah membakar
jantungnya. Itulah sebabnya, maka pedangnya telah
langsung menyambar pundak lawannya.
Namun Wangkot masih berusaha untuk menghindar. Ia
meloncat kesamping, sementara tangannya telah sempat
memungut sebuah dari paser-paser yang tersiksa.
Tetapi ternyata Mahendra lebih cepat. Ketika tangan itu
terangkat untuk melontarkan pasernya, pedang Mahendra
telah terjulur lurus menghujam kedada orang Yang
terdengar adalah keluhan tertahan. Demikian pedang itu
ditarik dari dadanya, maka Wangkotpun telah terhuyunghuyung
jatuh tertelungkup. Namun Mahendra tidak sempat menyaksikan apa yang
akan terjadi atas lawannya. Pada saat yang demikian, Ken
Padmi telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Kedua
Pangeran yang menghadapinya itu telah berhasil
mematahkan perlawanannya. Meskipun Ken Padmi telah
bertempur dengan segenap ilmunya, namun menghadapi
kedua orang lawan yang tangguh, ternyata ia tidak dapat
bertahan lebih lama lagi.
Pada saat yang gawat dan menggelisahkan itulah, Ken
Padmi tidak dapat bertahan lebih lama tanpa
mempergunakan senjata. Meskipun ia sadar, bahwa senjata
akan menambah bahaya baginya, tetapi akhirnya ia
memilih bertempur dengan senjata, meskipun dapat
berakibat maut. Baginya lebih baik mati dari pada disentuh
oleh kedua Pangeran yang ternyata mempunyai maksud
tertentu itu. Demikian Ken Padmi menarik pedangnya, maka kedua
Pangeran itu tertegun sejenak. Tetapi mereka tidak sempat
berpikir lebih lama, karena Ken Padmilah yang kemudian
menyerang dengan geramnya.
Tidak ada pilihan lain bagi kedua orang Pangeran itu,
selain mempergunakan senjatanya pula. Karena itulah,
maka merekapun segera menarik pedang mereka untuk
mengghadapi serangan-serangan Ken Padmi. Ternyata
seperti yang diperhitungkan oleh Ken Padmi, justru karena
ia telah melihat lawannya dalam perang bersenjata, maka.
ia telah berada dalam keadaan bahaya yang sebenarnya
mengancam jiwanya. Dari arah yang berlawanan, kedua lawannya telah siar
menyerang bersama-sama. Namun pada saat yang menegangkan itu, mereka telat
dikejutkan oleh geram yang patah. Kemudian mereka
mendengar rintihan yang dalam.
Diluar sadar, mereka telah berpaling. Ternyata mereka
melihat beberapa langkah dari mereka, diarena yang
terpisah, mereka melihat Witantra meninggalkan lawannya
yang tergolok diam. Suara rintihan itupun telah terputus
pula seperti nafas orang yang terbaring itu.
Kedua orang Pangeran yang bertempur bersama
melawan Ken Padmi menjadi berdebar-debar. Pada saat itu
Mahendra dan Witantra telah kehilangan lawan-lawan
mereka. Keduanya hampir bersamaan telah mendekati
arena pertempuran antara Ken Padmi melawan dua orang
Pangeran itu dari arah yang berbeda.
Ternyata jantung kedua Pangeran itu telah berguncang
Mahendra dan Witantra, telah mampu melampaui
kemampuan dan ilmu kedua orang yang menggemparkan
tlatah padang Geneng itu.
Dan ternyata kedua orang itu telah melangkah
mendekati mereka. Kedua orang Pangeran itu termangumangu.
Sementara itu Ken Padmipun seolah-olah telah
membeku pula. Ia tidak ingin berbuat licik meskipun ia
merasa kemampuannya tidak akan dapat mengimbangi
kedua orang Pangeran itu. Tetapi ia tidak akan mencuri
serangan selagi kedua orang Pangeran itu dalam
kegelisahan sambil memperhatikan kehadiran Mahendra
dan Witantra. "Pangeran" berkata Mahendra kemudian "bukankah
kalian berdua juga Pangeran seperti Pangeran Indrasunu?"
Keduanya tidak menjawab. Tetapi terdengar suara
Mahisa Murti "Ya. Pangeran Indrasunu memanggil ke
duanya dengan sebutan Pangeran pula"
"Nah, sekarang kalian dapat membuat pertimbangan
yang bening" berkata Mahendra kemudian "kedua orang
yang mungkin kalian anggap akan dapat mengakhiri mimpi
kalian, sehingga akan menjadi kenyataan itu ternyata telah
kehilangan kesempatan untuk memaksakan kehendaknya
atas kami. Ilmu sirepnya telah gagal, dan kemudian
ilmunyapun tidak mampu mendukung keliaran dan
kebuasannya" Kedua orang itu termangu-mangu.
Namun sementara itu terdengar Pangeran Indrasunu
berteriak "Kita bukan pengecut"
Kedua Pangeran itu menjadi sangat ragu-ragu. Namun
suara Pangeran Indrasunu itu telah menghentakkan mereka,
sehingga seolah-olah mereka telah mendapatkan keberanian
baru. Namun dalam pada itu, selagi mereka sudah siap untuk
menyerang, Mahendra dan Witantra sudah berdiri dipinggir
arena, sehingga perhatian kedua Pangeran itu justru kepada
kepada Ken Padmi. Meskipun demikian, Ken Padmi itu masih belum
mempergunakan kesempatan itu untuk menyerang. Ia
masih berduru termangu-mangu. Bahkan iapun telah
memperhatikan Mahendra dan Witantra yang berdiri
beberapa langkah dari padanya.
"Pangeran" berkata Witantra kemudian "kami mohon
Pangeran mengerti, apa yang telah terjadi. Mungkin
Pangeran adalah salah seorang diantara mereka yang ikut
menyerang Kabanaran pada waktu itu. Jika demikian maka
kita memang pernah bertemu, setidak-tidaknya pernah
berada dalam satu lingkungan"
Kedua Pangeran itu termangu-mangu. Kembali mereka
menjadi ragu-ragu. "Pangeran berdua" Witantra melanjutkan "bukan
maksud kami menyombongkan diri. Tetapi Pangeran tentu
mengerti, bahwa dua orang iblis itu mempunyai ilmu yang
lebih tinggi dari Pangeran. Ternyata bahwa kami berdua
dapat mengimbangi ilmu mereka. Nah, berdasarkan atas
perhitungan nalar, apakah Pangeran berdua akan dapat
melawan kami yang bukan saja berdua, tetapi bertiga
dengan gadis itu?" Kedua Pangeran itu menjadi semakin ragu-ragu.
Sementara itu sekali lagi Pangeran Indrasunu berteriak
"Jangan menjadi pengecut"
"Maaf Pangeran Indrasunu" sahut Mahendra "jangan
terlalu banyak memperhatikan kedua saudara Pangeran ini.
Mereka tidak akan mengalami apapun juga. Sebaiknya
Pangeran menjaga diri Pangeran sendiri. Kedua anak-anak
itu akan dapat berbahaya bagi Pangeran"
"Persetan" geram Pangeran Indrasunu.
Namun ketika Pangeran Indrasunu akan membuka
mulutnya lagi, Mahisa Murti telah menyerangnya dengan
cepat, sehingga Pangeran itu tidak sempat mengucapkan
separah katapun. Dengan tergesa-gesa Pangeran Indrasunu
menghindar dengan loncatan panjang.
Mahisa Murti tidak mengejarnya, sementara Mahisa
Pukat justru tertawa sambil berkata "Hampir saja kau tidak
dapat diam Pangeran. Jika senjata Mahisa Murti
menyentuh mulutmu, maka kau akan selalu tersenyum"
"Gila" kemarahan Pangeran Indrasunu semakin
memuncak. Namun kedua anak muda itu justru tertawa.
Ketegangan di jantung mereka sudah menjadi jauh
berkurang. Kecemasannya bukan karena dari mereka sendiri. Tetapi
justru karena mereka melihat keadaan Ken Padmi. Namun
setelah Ken Padmi mendapat perlindungan dari Mahendra
dan Witantra, maka merekapun tidak lagi dicengkam oleh
kecemasan. Karena itu, maka merekapun kemudian sempat
membuat Pangeran Indrasunu menjadi semakin marah.
Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak menghadapi kedua
anak muda itu. Sementara itu, kedua Pangeran yang menghadapi Ken
Padmi, benar-benar sudah tidak mempunyai harapan
apapun juga. Mereka harus melihat satu kenyataan, bahwa
Mahendra dan Witantra adalah orang-orang yang tidak
terlawan. Namun dalam pada itu, Witantra yang sempat
memperhatikan pertempuran antara Pangeran Indrasunu
melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi cemas.
Jika Pangeran Indrasunu menjadi sangat marah, sehingga ia
tidak lagi menghiraukan apapun juga, maka hal itu akan
dapat memancing kemarahan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pula. Jika kedua anak muda itu kehilangan pengamatan
diri, maka keduanya akan sangat berbahaya bagi
Pangeran Indrasunu. Karena itu, maka Witantra itupun kemudian berkata
kepada kedua Pangeran yang bertempur melawan Ken
Padmi "Pangeran, aku kira Pangeran masih sempat berpikir
bening. Coba perhitungkan keadaan sebaik-baiknya. Apa
yang Pangeran hadapi sekarang. Pangeran berdua tidak
segera dapat mengalahkan Ken Padmi seorang diri. Apalagi
jika ada diantara kalian, kami berdua"
Kedua Pangeran itu masih termangu-mangu. Namun
kemudian Witantra berkata "Tetapi kami tidak dapat hanya
memperhatikan keadaan Pangeran berdua saja. Kami
melihat, Pangeran Indrasunu itupun dalam keadaan
bahaya. Jika kedua anak muda yang bertempur
melawannya itu kehilangan pengekangan diri, maka
keadaan Pangeran Indrasunu akan menjadi sangat sulit"
Kedua Pangeran itu tidak menyahut. Sementara itu
Witantra berkata kepada Mahendra "Kau disini. Aku akan
melihat keadaan Pangeran Indrasunu dari dekat"
Sebenarnyalah Witantra telah meninggalkan Mehendra.
Dengan berdebar-debar Witantra mendekati arena
pertempuran antara Pangeran Indrasunu melawan kedua
anak-anak Mahendra. Sementara Mahendra masih berada
di dekat Ken Padmi. Sepeninggal Witantra, Mahendrapun bertanya kepada
kedua orang Pangeran itu "Apakah Pangeran telah
menemukan keputusan yang paling baik" Menyerah, atau
Pangeran memilih mengalami nasib lebih buruk dari itu?"
Kedua Pangeran itu masih saja termangu-mangu. Yang
menjawab adalah Pangeran Indrasunu "kami adalah lakilaki.
Akhir dari pertempuran adalah kematian"
"Sebenarnya kami juga tidak keberatan untuk
melakukannya" berkata Mahendra pula "besok kami akan
membawa mayat Pangeran bertiga ke Singosari. Menunjukkan
kepada Sri Maharaja, bahwa tiga orang Pangeran
dari Kediri telah melawan kekuasaan Kediri dan juga
Singasari. Mereka telah merampok rumah seorang
pedagang mas intan dan wasi aji"
"Persetan" teriak Pangeran Indrasunu "Kau kira kami
akan merampok?" "Ya. Kalian akan merampok. Meskipun kami tahu
bahwa kalian akan mengambil anak gadis itu, tetapi kami
dapat saja mengatakan menurut selera kami. Kami dapat
mengatakan apa saja yang paling buruk bagi Pangeran,
karena Pangeran sudah mati, sehingga Pangeran tidak akan
dapat membantah atau menjelaskan niat Pangeran yang
sebenarnya. Apalagi yang datang bersama Pangeran adalah
dua orang liar dan kasar, yang pantas disebut perampok itu"
"Licik" teriak Pangeran Indrasunu "itu perbuatan gila
dan tidak jujur" "Tidak ada orang yang akan mengatakan demikian"
jawab Mahendra "Pangeran bertiga sudah terbunuh.
Mungkin jiwa Pangeran bertiga sempat menyaksikan
kebohongan kami. Mungkin dapat pula melihat bagaimana
orang-orang Singasari mencibirkan bibirnya menyaksikan
mayat lima orang perampok"
"Gila. Itu perbuatan yang paling gila" geram Pangeran
Indrasunu.

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Mahendra tertawa. Katanya "Tetapi sangat
menyenangkan bagi kami"
Pangeran Indrasunu menggertakkan giginya. Tetapi
sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mendesaknya. Namun dalam pada itu, Witantra telah
berada didekat arena itu.
"Pangeran" berkata Witantra "yang paling baik,
Pangeran menyerah dalam keadaan hidup. Pangeran masih
akan dapat menjelaskan, apa yang sebenarnya ingin
Pangeran lakukan disini, sehingga nama Pangeran tidak
akan tercemar" "Aku tidak peduli. Seandainya nama kami tercemar
sekalipun, aku tidak akan merasakan apapun juga" jawab
Pangeran Indrasunu. "Mungkin tidak, jika jiwa Pangeran dapat
menghindarkan diri dari segala macam perasaan mungkin
tidak akan menghambat langkah Pangeran meninggalkan
dunia fana ini. Tetapi jika tidak, maka Pangeran akan
merasakan, betapa sakitnya jiwa yang tersia-sia. Roh yang
disakiti tanpa dapat mempertahankan diri" berkata
Witantra "Tetapi jika Pangeran beranggapan bahwa setelah
mati, Pangeran tidak akan tahu apa-apa lagi, juga tentang
nama Pangeran yang tercemar, maka yang akan merasakan
segala duka dan cela adalah keluarga Pangeran. Apakah
Pangeran dapat mengerti"
Pangeran Indrasunu menggeram. Tetapi kata-kata itu
memang sangat berpengaruh dihatinya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
mendesaknya semakin garang. Bahkan Mahisa Pukat pun
berkata "Paman Witantra jangan mengganggu kesenangan
kami. Kami berdua telah sampai pada kemungkinan
terakhir dari pertempuran ini"
"Mahisa Pukat" berkata Witantra "apakah kita sudah
terpengaruh oleh orang-orang yang bernafsu untuk
membunuh tanpa menghiraukan sasaran terakhir"
Bertanyalah kepada ayahmu, manakah yang paling baik
kita lakukan dalam keadaan seperti ini"
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya, sehingga ia justru
telah tertegun sejenak. Namun Mahisa Murti masih
bertempur dengan garangnya. Serangannya justru datang
membadai melanda Pangeran Indrasunu yang sudah
menjadi ragu-ragu. Dalam pada itu. Mahisa Pukatpun kemudian berkata
"Paman benar. Memang sebaiknya kita tidak usah
membunuh. Tetapi jika Pangeran itu menjadi gila dan tidak
tahu diri. apa boleh buat"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia
melihat Mahisa Murti yang bertempur seorang diri.
Pangeran Indrasunu mendengar pembicaraan itu.
Bagaimanapun juga ia tidak dapat mengabaikan kenyataan
yang sedang dhadapinya. Jika ia berkeras, bahwa sampai
pada ilmu pucaknya sakalipun, ia tidak akan dapat
memenangkan pertempuran itu meskipun Witantra tidak
mencampurinya. Bahkan jika ia memancing kekerasan yang lebih tajam,
maka hal itu akan memancing kesulitan saja baginya.
Meskipun demikian ia masih tetap meragukan sikap
Witantra. Apakah yang dikatakan oleh Witantra benar
seperti yang akan dilakukannya. Apakah Witantra tidak
akan membiarkannya kedua adik Mahisa Bungalan itu
berbuat sesuka hatinya atas dirinya apabila ia mengakhiri
perlawanannya yang sudah disadarinya akan sia-sia.
Dalam pada itu, maka Mahendra yang berada di arena
yang lain ternyata telah berhasil menghentikan perlawanan
kedua orang Pangeran yang bertempur melawan Ken
Padmi. Kedua Pangeran itu merasa, bahwa sebenarnyalah
mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Mahendra
adalah seorang yang terlalu besar bagi mereka. Bahkan bagi
gurunya. Mahendra tidak akan dapat dikalahkannya.
Akhirnya Pangeran Indrasunupun menyadari apa yang
terjadi. Karena itu, maka akhirnya iapun telah kehilangan
gairahnya untuk bertempur lebih lama lagi.
Dalam pada itu, maka sekali lagi Witantra berkata
"Pangeran aku berharap bahwa Pangeran akan menyerah."
Pangeran Indrasunu yang masih dibayangi oleh harga
dirinya itu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah tidak lagi
berusaha untuk melawan, selain berloncatan mundur
menghindari desakan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun kedua anak muda itupun segera memaklumi,
bahwa Pangeran Indrasunu sudah tidak melawan lagi
dengan sungguh-sungguh. Karena itu, maka akhirnya keduanyapun berhenti ketika
Witantra berkata "Sudahlah anak-anak. Tidak ada gunanya
lagi kalian bertempur terus"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian perlahanlahan
menghentikan serangan-serangannya. Meskipun
demikian keduanya masih tetap berhati-hati menghadapi
Pangeran yang licik itu. Tetapi agaknya Pangeran Indrasunu benar-benar telah
menyerah. Bahkan ketika Witantra mendekatinya untuk
meminta senjatanya. Pangeran Indrasunu telah
menyerahkannya. "Segalanya sudah berakhir" berkata Witantra "marilah
kita akan masuk kedalam"
Mahendrapun telah menbawa kedua Pangeran yang lain
mengikuti Witantra masuk keruang dalam. Ketika
Pangeran itu dipersilahkan duduk disebuah amben yang
besar. Disudut lain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tengah
mengawasinya. "Ken Padmi" berkata Mahendra kemudian "agaknya
semua orang didapur sedang tidur. Jika mungkin
bangunkan mereka. Tetapi jika tidak, kau sajalah yang
merebus air. Kita akan menjamu tamu kita malam ini"
Ken Padmi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun bangkit pula dan melangkah pergi ke dapur.
"Aku akan menemaninya" desis Mahisa Pukat.
Ken Padmi tertegun. Tetapi Mahendra kemudian
menyahut "Kau mempunyai tugas tersendiri. Kau dan
Mahisa Murti masih harus membawa kedua sosok mayat
itu dan membaringkannya di pendapa. Besok kita akan
menguburkannya. Tetapi kita harus memberikan laporan
kepada Ki Buyut dan tetangga-tetangga kita agar tidak
terjadi salah paham"
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti saling berpandangan
sejenak. Namun akhirnya merekapun bangkit dengan segan
dan pergi keluar rumah untuk mengambil dua sosok mayat
di halaman dan meletakannya di pendapa. Kemudian
kedua sosok mayat itu telah ditutup dengan dua helai kain
panjang. Yang berada diruang dalam kemudian adalah ketiga
orang Pangeran di tunggui oelh Mahisa dan Witantra.
Tidak banyak yang mereka bicarakan. Namun terasa oleh
ketiga orang Pangeran itu perlakuan yang asing dari
Mahendra dan Witantra. justru karena keduanya tidak
berbuat apa-apa. Menurut jalan pikiran mereka serta apa yang mungkin
mereka lakukan dalam keadaan yang serupa, maka mereka
bertiga tentu akan mengalami nasib yang sangat buruk.
Namun ternyata Mahendra dan Witantra tidak berbuat apaapa.
"Hanya satu permainan saja" berkata para Pangeran itu
di dalam hatinya "tetapi besok mereka akan menghinakan
kami dihadapan orang-orang pedukuhan ini. Bahkan
mungkin mereka akan mengarak kami menuju ke
Singasari" Tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun juga.
Mahendra dan Witantra akan dapat memperlakukan
mereka seperti yang mereka kehendaki.
Terbesit juga ingatan kedua orang saudara Pangeran
Indrasunu itu kepada guru mereka dan padepokan mereka.
Tetapi merekapun sadar, bahwa guru merekapun tidak akan
dapat menolongnya. "Aku tidak menyangka bahwa Witantra itu berada disini
pula" berkata Pangeran Indrasunu di dalam hatinya. Tetapi
semuanya sudah terlanjur terjadi.
Malam itu Pangeran Indrasunu dan kedua saudaranya
masih mendapat waktu untuk merenung sejenak sebelum
pagi. Meskipun mereka dipersilahkan untuk tidur barang
sejenak, tetapi mata mereka tidak dapat terpejam. Mereka
sadar, bahwa Mahendra dan Witantra yang duduk dibibir
amben bersandar tiang itu bergantian meninggalkan
mereka, pergi ke pakiwan membersihkan diri. Tetapi ketiga
orang Pangeran itu tidak berani berbuat apapun juga,
karena mereka sadar, bahwa mereka bertiga tidak akan
dapat berbuat apa-apa terhadap Mahendra atau Witantra
seorang diri. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat ternyata lebih senang berada di pendapa meskipun
mereka harus menunggui mayat yang terbaring diam.
Sementara Ken Padmi sibuk di dapur karena orang-orang
yang terkena sirep itu masih saja belum dapat dibangunkan.
Jika salah seorang sempat membuka matanya, namun
sekejap kemudian orang itu telah kembali menjatuhkan
dirinya di manapun juga. Ketika air masak, maka Ken Padmipun
menghidangkannya untuk Mahendra, Witantra dan kedua
adik Mahisa Bungalan. Tetapi Mahendra berkata "Kau
harus menjamu tamu-tamu kita ini"
Ken Padmi menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
Mahendra bersungguh-sungguh, bahwa ia harus menjamu
ketiga orang Pangeran itu. Perasaan Ken Padmi meronta.
Tetapi ia tidak dapat menolak perintah Mahendra yang
baginya tidak masuk akal itu.
Karena itulah, maka sejenak kemudian Ken Padmipun
telah menyiapkan minuman bagi ketiga Pangeran itu.
Menjelang pagi, maka minuman yang diperuntukan bagi
ketiga orang Pangeran itu sudah dihidangkannya pula
betapapun terasa berat di hati. Diletakannya minuman itu
di amben, kemudian tanpa mengatakan apapun juga ia
meninggalkan ruangan itu kembali kedapur.
Hampir diluar sadarnya, tiba-tiba saja air matanya
menitik di pipinya. Sambil duduk disudut ruangan yang
sepi ia berusaha untuk menjinakkan perasaannya sendiri.
Namun ia merasa sangat dihinakan oleh para Pangeran itu,
yang dengan niat yang sangat keji telah datang ke rumah
itu. "Kemudian aku harus menghidangkan minuman bagi
mereka" berkata Ken Padmi di dalam hatinya.
Bagi Ken Padmi Pangeran Indrasunu bukannya pertama
kalinya menyakiti hatinya, menghinakannya, seolah-olah ia
adalah benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak
hatinya. Niatnya yang keji dan cara yang licik, membuat
Ken Padmi membencinya sampai ke ubun-ubun.
Ken Padmi terkejut ketika ia mendengar langkah,
memasuki ruangan. Dengan cepat ia mengusap matanya
yang basah. Kemudian ia bangkit berdiri menghadap ke
pintu. Yang berdiri didepan pintu adalah Mahendra.
Dipandanginya Ken Padmi dengan tatapan mata lembut
kebapaan. "Ken Padmi" berkata Mahendra kemudian "Aku
mengerti, bahwa perasaanmu terasa sangat pedih"
"Tidak paman. Aku tidak apa-apa" Ken Padmi mencoba
tersenyum. "Jangan berpura-pura. Apa yang kau rasakan itu adalah
perasaan sewajarnya. Kau memang merasa pedih
mengalami perlakuan yang tidak pantas. Kau tentu merasa
terhina dan mungkin merasa diri tidak berharga" berkata
Mahendra kemudian "tetapi aku dapat mengerti. Karena
itu, aku anggap perasaan yang demikian itu adalah wajar"
Ken Padmi tidak menjawab. Tetapi kepalanyapun
kemudian tertunduk lesu. "Tetapi sesudah kita berpijak kepada kewajaran, maka
baiklah kita belajar berjiwa besar" berkata Mahendra
kemudian "Kita belajar memaafkan kesalahan orang lain
terhadap diri kita, karena sebenarnyalah memang tidak ada
orang yang tidak mempunyai kesalahan apapun juga"
Jika kita dapat memaafkan kesalahan orang lain, maka
kita. mempunyai penghargaan bahwa kesalahan-kesalahan
yang pernah kita perbuatpun akan dimaafkannya pula.
Terutama kesalahan-kesalahan kita yang harus kita
pertanggung-jawabkan kepada Sang Pencipta"
Ken Padmi masih menunduk.
"Ken Padmi" berkata Mahendra pula menurut
perhitunganku masih ada harapan bagi anak-anak muda itu
untuk mengerti tentang diri mereka. Untuk menyadari
bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Guru Pangeran
Indrasunu itupun dapat mengerti bahwa muridnya telah
berbuat salah. Sedangkan Pangeran Indrasunu itu sendiri
masih cukup muda dan masih mempunyai waktu untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukannya. Ken Padmi mengangkat Wajahnya. Tetapi ketika
terpandang olehnya tatapan mata Mahendra, maka iapun
telah menunduk kembali. "Apakah kau dapat mengerti Ken Padmi?" bertanya
Mahendra. Sejenak Ken Padmi mematung. Namun kemudian iapun
menganggukkan kepalanya. "Sukurlah, meskipun pertama-tama terasa aneh dan
asing" Mahendra meneruskan "Kita akan memberi
kesempatan kepada Pangeran Indrasunu. Jika ia gagal
mempergunakan kesempatan itu, kita sudah dapat
mengetahui arah pedepokannya. Jika kesempatan itu
dilewatkannya, maka kita akan melaporkannya kepada
para'pemimpin di Kediri dan Singasari. Ia sudah berbuat
banyak kesalahan bagi Kediri dan Singasari. Tetapi agaknya
Akuwu Suwelatama masih juga berusaha untuk memberi
kesempatan kepadanya melihat kedalam dirinya sendiri.
Memang berbeda dengan kedua orang itu. Agaknya kedua
orang upahan itu memang tidak mempunyai tempat
berpijak lagi bagi masa depannya. Karena itu, aku tidak


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeberatan jika keduanya terpaksa harus mengalami nasib
yang buruk di padukuhan ini.
Ken Padmi menjadi semakin tunduk. Tetapi ia semakin
dapat memahami keterangan Mahendra. Meskipun
demikian ia tidak menjawab sama sekali.
Namun Mahendra yang memiliki pengalaman lahir dan
batin yang luas itu seolah-olah dapat membaca perasaan
gadis itu. Karena itu, maka katanya "Baiklah Ken Padmi.
Kau masih mempunyai waktu untuk merenungkan hal itu.
Tetapi aku yakin, bahwa kaupun akan dapat dan bersedia
mengetasi perasaanmu"
Ken Padmi masih tetap tidak menjawab. Kepalanya
masih saja tertunduk diam.
Baru kemudian, ketika Mahendra bergeser ia
mengangkat wajahnya. Dilihatnya Mahendra melangkah
surut sambil berkata "Sebaiknya kau beristirahat. Masih ada
sisa waktu meskipun tinggal sekejap. Sementara kau dapat
membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak itu.
Agaknya kekuatan sirep itu sudah jauh berkurang"
"Baik paman" desis Ken Padmi hampir tidak terdengar.
Mahendrapun kemudian meninggalkan Ken Padmi
merenungi keadaannya. Namun Mahendra yakin, bahwa
Ken Padmi akan dapat menerima keadaan itu dengan
lapang dada. Ketika kemudian wajah pagi mulai membayang,
Mahendrapun telah memerintahkan kepada kedua anaknya
untuk ke rumah Ki Buyut. Mereka harus melaporkan,
bahwa rumah mereka telah didatangi oleh dua orang
perampok. "Dua orang?" bertanya Mahisa Pukat.
Pangeran Indrasunu yang mendengar pertanyaan itu
menjadi berdebar-debar. Namun sekali lagi Mahendra
berkata "Dua orang"
Mahisa Pukat memandang Pangeran Indrasunu dan
kedua orang Pangeran yang lain sekilas. Namun kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata "Ya. Baiklah"
Kedua orang adik Mahisa Bunglan itupun kemudian
pergi dengan tergesa-gesa ke rumah Ki Buyut. Seperti yang
dikatakan oleh ayahnya, bahwa rumah mereka telah
didatangi oleh dua orang perampok.
"Lalu, apa saja yang telah mereka bawa?" bertanya Ki
Buyut. "Tidak ada Ki Buyut" jawab Mahisa Murti.
"Lalu, bagaimana dengan perarnpok-perampok itu" Apa
yang telah mereka lakukan?" bertanya Ki Buyut heran.
"Keduanya telah terbunuh" jawab Mahisa Pukat.
"Terbunuh?" Ki Buyut mengerutkan keningnya "siapa
yang membunuh?" "Kami, seisi rumah beramai-ramai. Sebenarnya kami
tidak ingin membunuh. Tetapi kami harus
mempertahankan diri. Dan kami dengan terpaksa sekali
telah membunuh keduanya yang ternyata sangat berbahaya
itu" jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah. Aku akan datang ke rumah kalian" berkata Ki
Buyut kemudian. "Kita bersama-sama" sahut Mahisa Murti.
Ki Buyut tertegun sejenak. Namun akhirnya ia
mengangguk-angguk sambil berkata "Baiklah. Kita pergi
bersama-sama" Sejenak kemudian, maka Ki Buyut diiringi oleh dua
orang pengawalnya telah pergi bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat untuk melihat apa yang telah terjadi.
Ketika mereka sampai ke rumah anak-anak muda itu.
beberapa orang telah berada di halaman.
"Marilah Ki Buyut" Mahendra mempersilahkan. Orangorangpun
menyibak. Ketika Ki Buyut naik ke pendapa,
maka dilihatnya dua sosok mayat terbujur membeku.
Ternyata Mahendra telah meminta Pangeran Indrasunu
dan kedua Pangeran yang lain duduk pula di pendapa.
Kehadiran Ki Buyut membuat para Pangeran itu
berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa,
karena Witantra selalu duduk didekat mereka.
"Silahkan duduk Ki Buyut" Mahendra kemudian
mempersilahkan. Ki Buyutpun kemudian duduk bersama kedua
pengawalnya. Disebelahnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun duduk pula. Setiap kali mereka memperhatikan
sikap dan wajah ketiga Pangeran yang duduk disebelah
Witantra. "Orang-orang gila" geram Pangeran Indrasunu didalam
hatinya "ternyata kebaikan hati orang ini hanyalah sekedar
pura-pura. Mereka akan mempermainkan kami didepan
orang banyak" Tetapi Pangeran Indrasunu sadar jika ia berbuat sesuatu
yang tidak dikehendaki oleh Mahendra dan Witantra, maka
nasib mereka akan menjadi semakin buruk.
Demikian Ki Buyut duduk, maka iapun segera bertanya
"Apakah dua orang mayat ini yang kau maksud dengan dua
orang perampok itu?"
"Ya Ki Buyut" jawab Mahendra.
"Apa yang telah mereka lakukan?" bertanya Ki Buyut
pula. "Mereka akan merampok seisi rumah ini Ki Buyut.
Mula-mula mereka mempergunakan ilmu sirep, sehingga
hampir saja kami seisi rumah tertidur. Untung bahwa kami
masih menyadari diri. Tetapi tetangga-tetangga kami tidak
seorangpun yang mendengar keributan yang telah terjadi di
rumah ini. Baru pagi ini mereka mendengar, bahwa kami
telah didatangi oleh dua orang perampok"
"Dan kalian berhasil membunuhnya?" bertanya Ki
Buyut. "Ya Ki Buyut. Tetapi itu karena satu kebetulan.
Kebetulan di rumah kami terdapat tiga orang tamu" jawab
Mahendra. Wajah Pangeran Indrasunu dan kedua orang Pangeran
yang lain menjadi tegang. Apalagi ketika Ki Buyut
berpaling terhadap mereka dengan sorot mata yang
memancarkan kecurigaan. Sementara itu ketiga orang
Pangeran itu tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh
Mahendra tentang diri mereka.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
menjadi tegang pula. Merekapun tidak tahu, apa yang
hendak dikatakan oleh ayahnya tentang ketiga Pangeran
yang telah datang ke rumahnya bersama kedua orang yang
terbunuh itu. Dalam pada itu Mahendrapun berkata selanjutnya "Ki
Buyut, Seandainya di rumah ini tidak ada tamu tiga orang
ini, maka kejadiannya mungkin akan berakhir lain"
Ki Buyut memandang ketiga orang Pengeran itu
berganti-ganti. Tetapi karena Mahendra belum
menyebutnya, maka Ki Buyut masih belum mengerti,
siapakah ketiganya itu. "Bagaimana dengan ketiga orang tamu ini?" bertanya Ki
Buyut kemudian. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Ketiga anak-anak muda ini adalah tiga orang
Pangeran dari Kediri"
"O" Ki Buyut terkejut. Kemudian ia mengangguk
dengan hormatnya sambil berkata "Maaf Pangeran. Aku
tidak tahu sebelumnya, sehingga barangkali sikapku agak
kurang mapan dan deksura"
Ketiga orang Pangeran itu termangu-mangu. Mereka
justru menjadi bingung menanggapi sikap Ki Buyut itu.
"Seandainya saja tidak ada Pangeran-Pangeran ini,
mungkin sekali kami tidak akan dapat berbuat banyak
terhadap para perampok. Aku memang serba sedikit dapat
melawan mereka. Tetapi yang datang ke rumah ini adalah
dua orang yang memiliki ilmu yang luar biasa, yang tidak
banyak dikenal orang. Karena itu hampir saja aku
kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri
bersama kedua anak-anakku. Namun ternyata ketiga orang
Pangeran ini telah bersedia turun tangan. Karena itu maka
kami sekeluarga telah berhasil diselamatkan"
"O" Ki Buyut mengangguk-angguk. Sementara itu ketiga
orang Pangeran itu terkejut bukan kepalang. Mereka tidak
menyangka bahwa Mahendra akan bersikap demikian.
Bahkan merekapun hampir tidak percaya kepada
pendengarannya. Bukan saja ketiga orang Pangeran itu, tetapi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpuh terkejut bukan buatan. Hampir
saja mereka membantah pernyataan ayahnya. Namun
ketika tatapan mata mereka membentur tatapan mata
ayahnya, maka merekapun kemudian menundukkan kepala
mereka. "Jadi, ketiga Pangetan ini yang telah menolongmu?"
bertanya Ki Buyut. "Ya Ki Buyut" jawab Mahendra.
Ki Buyut masih saja mengangguk-angguk. Kemudian
katanya "Terima kasih Pangeran. Akupun wajib
mengucapkan terima kasih. Pangeran telah menyelamatkan
satu keluarga di dalam lingkungan kabuyutan ini"
Ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin bingung.
Wajah mereka menjadi merah padam. Namun justru
karena itu, mereka sama sekali tidak menjawab.
Namun dalam pada itu, Mahendralah yang kemudian
berkata "Yang penting kemudian Ki Buyut, Jika Ki Buyut
sudah mengetahui persoalannya, maka kami akan minta
ijin untuk menyelenggarakan mayat itu agar tidak terlalu
lama berada di pendapa ini"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Baiklah. Aku sudah menyaksikannya dan aku sudah
mengetahui persoalannya. Terserah kepadamu dan
tetangga-tetanggamu. Mudah-mudahan peristiwa ini akan
dapat menjadi peringatan bagi setiap kejahatan"
Setelah melihat kedua sosok mayat itu, maka Ki Buyut
itupun turun ke halaman. Diserahkannya kedua sosok
mayat itu kepada tetangga-tetangga Mahendra yang berada
di halaman itu. "Apakah kau mengetahui, siapakah kedua orang ini
Mahendra?" bertanya Ki Buyut "mungkin mereka
menyebut tentang diri mereka, nama mereka atau sebutan
mereka" Mahendra memandang Pangeran Indrasunu yang juga
ikut turun ke halaman, seolah-olah minta agar ia
menjawabnya. Pangeran itu termangu-mangu. Namun kemudian
dengan suara sendat ia berkata "Menurut pendengaranku
Ki Buyut, mereka menyebut nama mereka, Sepasang
Serigala dari Padang Geneng"
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia belum pernah
mendengar nama itu, tetapi sebutan itu benar-benar telah
menggetarkan jantungnya. Sehingga justru karena itu, maka
ia merasa semakin berterima kasih kepada ketiga orang
Pangeran yang kebetulan sedang bertemu di rumah
Mahendra. Namun yang bergejolak kemudian adalah jantung
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Rasa keadilan mereka
benar-benar telah tersinggung.
Karena itu, hampir diluar sadar mereka telah berkisar,
meninggalkan orang banyak yang berkerumun dihalaman.
Mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba mereka ingin
menemui Ken Padmi. Ketika mereka mamasuki ruang dalam, mereka
menemukan Ken Padmi duduk disudut amben sambil
menangis. Hatinya benar-benar bagaikan tergores oleh
tajamnya sembilu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tertegun melihat
Ken Padmi menangis. Tetapi keduanya mengerti betapa
sakitnya hati gadis itu. Namun demikian, Mahisa Murti masih juga bertanya
"Kenapa kau menangis?"
Ken Padmi mengangkat wajahnya sejenak. Namun
wajah itupun telah tertunduk lagi. Diantara isak tangisnya
ia menjawab "Aku mendengar jawaban paman Mahendra
atas pertanyaan Ki Buyut tentang ketiga orang Pangeran
itu" Mereka menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak muda
itupun kemudian duduk pula diamben itu. Keduanya sudah
merasa bahwa ayahnya telah berbuat tidak adil. Apalagi
Ken Padmi yang merasa langsung dihinakannya.
Dalam pada itu, di halaman, Ki Buyutpun kemudian
telah minta diri. Para tetangga Mahendralah yang
kemudian menyelenggarakan kedua sosok mayat itu
sebagaimana diminta oleh Ki Buyut.
"Ki Mahendra adalah orang pilih tanding" berkata salah
seorang tetangganya "namun agaknya kedua orang ini
memiliki ilmu yang lebih tinggi. Untunglah bahwa di
rumah ini sedang ada tiga orang tamu, sehingga mereka
bersama-sama akhirnya dapat membunuh kedua orang
yang nampaknya sangat ganas itu. Juga nampak bagaimana
mereka membuat sebutan bagi diri mereka sendiri."
Kawannya mengangguk-angguk. Mereka sependapat
dengan tetangganya itu. Bahkan mereka telah
membayangkan, betapa garangnya kedua orang yang
terbunuh itu, karena menurut pengertian mereka, Mahendra
adalah orang yang mempunyai kelebihan dari tetanggatetangga
mereka. Sebagai seorang pedagang yang
berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu
kota ke kota yang lain, Mahendra harus membekali dirinya
dengan ilmu yang cukup. Tetapi untuk melawan kedua
orang itu, agaknya ia mengalami kesulitan tanpa ketiga
orang tamu yang kebetulan berada di rumah itu.
Ketika kesibukan itu kemudian lampau, karena kedua
sosok mayat itu sudah dibawa ke tempat pekuburan, maka
Mahendra mulai mengamati keadaan anak-anaknya dan
Ken Padmi. Ketika ia masuk keruang dalam, Ken Padmi
telah tidak ada diruang itu. Yang ada tinggal Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. "Kenapa kau tidak ikut membawa kedua sosok mayat itu
ke pekuburan?" bertanya Mahendra.


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat memandang ayahnya sejenak. Kemudian,
katanya dengan suara datar "kami tidak mengerti sikap
ayah" Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku
sudah menduga. Dimana Ken Padmi sekarang?"
"Ia berada di dalam biliknya" Jawab Mahisa Murti.
"Biarlah ia berada di dalam biliknya" jawab Mahendra
"mudah-mudahan Ken Padmi dan kalian berdua akhirnya
dapat mengerti juga maksudku"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menundukkan
kepalanya saja. Ketika mereka mendengar langkah
mendekat, baru mereka mengangkat wajah mereka.
Ternyata Witantra telah berdiri di samping ayah mereka.
"Mereka kurang mengerti" berkata Mahendra.
"Baiklah. Biarkan ketiga orang Pangeran itu masuk"
desis Witantra. Mahendra menganggukkan kepalanya. Namun sebelum
Witantra memanggil ketiga orang Pangeran itu, Mahisa
Murti berkata "Ayah, apakah aku diperkenankan
meninggalkan ruang ini"
"Kenapa?" bertanya Mahendra.
"Jika ketiga Pangeran itu berada diruang ini pula,
jantungku rasa-rasanya akan meledak"
"Mungkin kami tidak akan dapat bertahan ayah"
sambung Mahisa Pukat. Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya "Aku minta
kalian tetap berada disini. Kita sedang menguji hati ketiga
orang Pangeran itu. Kita masih dapat mengambil sikap
apapun juga sesuai dengan sikap mereka sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalamdalam
Mahisa Murti berkata "Terserahlah kepada ayah"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya kepada Witantra "Biarlah mereka kemari, kakang"
Witantrapun memanggil ketiga orang Pangeran itu
memasuki ruang dalam. Mereka dipersilahkan duduk di
amben yang besar bersama Mahendra. Witantra dan kedua
adik Mahisa Bungalan itu.
Namun sejak memasuki ruangan ternyata, sikap ketiga
orang Pangeran itu sudah berubah sama sekali.
Setelah ketiganya duduk, maka Mahendrapun kemudian
bertanya "Pangeran. Kami telah berusaha berbuat sebaikbaiknya.
Kemudian terserah, apakah yang akan Pangeran
lakukan" Pangeran Indrasunu mengangkat wajahnya.
Dipandanginya wajah Mahendra sejenak. Kemudian
dipandanginya kedua anak muda yang menundukkan
kepalanya. Mahisa Murti yang berusaha menahan gejolak
hatinya setiap kali bergeser setapak. Sementara Mahisa
Pukat meremas-remas jari-jarinya sendiri
Namun Kedua anak muda itu terkejut ketika mereka
mendengar isak tertahan. Ketika mereka mengangkat wajah
mereka, mereka seolah-olah tidak percaya akan
penglihatannya. Pangeran Indrasunu itu ternyata menangis.
"Paman" terdengar suara yang bergetar "paman telah
berbuat sesuatu yang tidak pernah aku duga sama sekali.
Paman telah menghadapkan wajahku kemuka cermin. Dan
paman telah memaksa kami bertiga untuk memandang ke
wajah-wajah kami" "Maksud Pangeran?" bertanya Mahendra.
"Paman telah memaksa kami melihat, betapa kotor hati
kami," jawab Pangeran Indrasunu "Karena itu, betapa
penyesalan yang tidak terkatakan telah menyiksa perasaan
kami" "Maksud Pangeran, bahwa Pangeran telah menyesali
perbuatan Pangeran?" bertanya Witantra.
"Ternyata hati kami adalah hati batu" jawab Pangeran
Indrasunu "baru sekarang aku melihat, betapa kakangmas
Suwelatama berusaha menjaga nama kami. Kakangmas
Suwelatama tidak pernah melaporkan sikap kami kepada
para penguasa di Kediri dan apalagi secara resmi kepada
Maharaja di Singasari. Tetapi hati kami masih belum
terbuka. Baru saat ini, setelah kami dibenturkan kepada
kenyataan yang sangat pedih tergores dihati kami, maka
kami harus menyesali sikap kami. Kami yang sudah
menduga bahwa kami akan dihukum picis, ternyata sama
sekali jauh dari kenyataan itu"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa
usaha Mahendra untuk membuat penyelesaian yang sebaikbaiknya
sebagian telah dapat dicapainya, meskipun ia harus
mengorbankan kepahitan kedua anak laki-lakinya dan calon
menantunya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
mulai arti dari sikap ayahnya. Sikap yang tidak
diperhitungkannya sama sekali. Namun yang agaknya sikap
itu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari sikap yang keras
dan kasar. Bahkan dengan membunuh mereka bertiga.
Karena itu, maka hati merekapun mulai mencair.
Kemarahan, kegelisahan dan perasaan tidak adil yang
meronta di dalam dadanya telah mulai melunak.
Mahendra sempat memandang wajah anak-anaknya. Ia
melihat perubahan pada wajah-wajah itu.
"Mudah-mudahan mereka dapat mengerti" berkata
Mahendra di dalam hatinya.
"Pangeran" berkata Witantra kemudian "Aku mengucap
sukur jika Pangeran benar-benar telah merasa bersalah.
Dengan demikian Pangeran akan berjanji di dalam diri,
bahwa Pangeran tidak akan melakukan kesalahan itu lagi
untuk selanjutnya" Pangeran Indrasunu mengangguk. Sambil mengusap
matanya yang basah ia berkata "Aku menyesal sekali.
Penyesalan ini akan menyiksa kami untuk waktu yang tidak
terbatas. Mudah-mudahan aku selalu mendapat petunjuk
dari Sang Pencipta di dalam hati, sehingga aku tidak akan
melakukan kesalahan lagi"
"Kami akan selalu ikut berdoa Pangeran" jawab
Witantra. "Nah" berkata Mahendra kemudian "Jika Pangeran
benar-benar menyesali perbuatan Pangeran, sebaiknya
Pangeran menyatakannya kepada orang-orang yang terkait
dalam sikap dan perbuatan Pangeran. Mungkin kepada
kami berdua yang tua-tua ini Pangeran tidak perlu
menyatakan penyesalan dan minta maaf, karena kami
sudah dapat mengerti perasaan Pangeran. Tetapi kepada
anak-anak muda itu, cobalah Pangeran mengatakannya"
Pangeran Indrasunu memandang Mahisa Pukat dan
Mahisa Murti yang duduk berdampingan. Namun, ia telah
memaksa hatinya untuk menahan segala gejolak dan
perasaann. Ia benar-benar telah menyesal, sehingga iapun
tidak berkeberatan untuk menyatakannya. Karena itu, maka
iapun kemudian berpaling kepada kedua orang saudaranya.
Dengan nada berat ia berkata "Marilah. Kita akan minta
maaf kepada mereka" Pangeran Indrasunu dan kedua Pangeran itupun
beringsut setapak menghadap kepada kedua orang anak
muda yan justru menunduk. Dengan nada dalam Pangeran
Indrasunu berkata "Kami harus menyesali segala tingkah
laku kami. Bukan saja yang baru kami lakukan, tetapi
serangkaian perbuatan kami yang sesat selama ini"
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti masih saja menunduk.
Sehingga dengan demikian, maka ayahnyapun telah
menegurnya "Kau dengar kata-kata Pangeran Indrasunu?"
Kedua anak muda itu berbareng mengangguk.
"Nah. Kau dapat menjawabnya" desak ayahnya.
Mahisa Pukatlah yang kemudian meringsut sedikit.
Katanya dengan sendat "Baiklah"
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Mereka tidak berkeberatan Pangeran. Tetapi masih ada
seorang lagi yang tersangkut oleh tingkah laku Pangeran.
Justru pada sikap Pangeran sekarang ini, telah menjadi
sasaran Pangeran bertiga"
Jantung ketiga orang Pangeran itu menjadi semakin
berdebar-debar. Mereka sudah menduga, bahwa orang itu
adalah seorang gadis yang bernama Ken Padmi.
Sebenarnyalah maka Mahendra berkata "Pangeran. Jika
sekarang ada disini, Pangeran juga harus minta maaf
kepada Mahisa Bungalan dan kepada Pamannya, kakang
Mahisa Agni. Tetapi meraka tidak ada sekarang ini. Sedang
yang ada disini hanyalah Ken Padmi. Karena itu, maka
Pangeranpun harus minta maaf kepadanya, "
Pangeran Indrasunu dan kedua orang saudaranya
menundukkan wajahnya. Keringat yang dingin telah
membasahi kening dan punggung. Tetapi mereka tidak
akan dapat ingkar. Dalam pada itu, maka Mahendrapun kemudian berkata
kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Murti "Panggilah Ken
Padmi kemari" Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun
akhirnya keduanyapun bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah mendekati bilik Ken Padmi yang tertutup.
Tetapi pintu bilik itu ternyata tidak terselarak. Ketika
Mahisa Murti mendorong pintu itu, maka pintu itupun
telah terbuka. Mahisa Murti tertegun ketika ia melihat Ken Padmi
duduk dibibir pembaringannya. Dengan sehelai kain panjang
gadis itu mengusap wajahnya yang basah.
Dengan ragu-ragu Mahisa Murti itupun berkata "Ayah
memanggilmu" Ken Padmi memandang kedua anak muda yang berdiri
dipintu itu. Kemudian desisnya lirih "Aku sudah
mendengar, apa yang kalian percakapkan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk,
"Marilah" berkata Ken Padmi kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun mempersilahkan
Ken Padmi mendahului mereka. Namun nampaknya Ken
Padmi itu sudah tidak ragu-ragu lagi melangkah ke amben
diruang dalam. Meskipun demikian, ketika ia sudah duduk, maka
wajahnyapun masih juga tertunduk dalam-dalam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah duduk pula
disamping gadis itu. Tetapi mereka tidak lagi menundukkan
wajah mereka. Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesepian. Masingmasing
seolah-olah hanya mendengar jantung mereka
sendiri. Kegelisahan yang sangat telah menerpa perasaan
Pangeran Indrasunu dengan kedua saudaranya.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahendra, mereka
harus minta maaf kepada gadis itu. Gadis yang akan
dijadikan korban dendam mereka kepada Mahisa Bungalan.
"Pangeran" terdengar suara Mahendra menyayat
kesepian itu "Aku persilahkan Pangeran minta maaf
kepadanya. Karena sebenarnyalah kesalahan Pangeran
terbesar adalah kepada gadis itu"
Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, maka iapun kemudian berkata
"Baiklah paman. Aku sudah siap untuk minta maaf dan
mengakui segala kesalahan"
"Lakukanlah" sahut Mahendra.
Pangeran Indrasunu itupun kemudian memandang
wajah Ken Padmi yang tunduk. Sekilas ia masih melihat
kecantikan gadis itu. Namun kemudian betapapun beratnya
iapun berkata "Ken Padmi. Paman Mahendra telah
membenturkan aku dan kedua saudaraku ini kepada satu
kenyataan tentang dirikami masing-masing. Karena itulah,
maka aku akan minta maaf kepadamu atas segala kesalahan
yang pernah aku lakukan. Kesalahan yang pada saat-saat
aku menyadarinya kemudian, telah aku sesali sedalamdalamnya"
Ken Padmi mengangkat wajahnya. Hanya sekejap.
Wajah itupun kemudian menunduk lagi.
Karena Ken Padmi tidak menjawab, maka
Mahendrapun kemudian berkata "Kau harus menjawab
Ken Padmi. Apakah kau bersedia memaafkan atau tidak?"
Sejenak Mahendra menunggu. Namun kemudian gadis
itu telah menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih" desis Pangeran Indrasunu
"sebenarnyalah bahwa kesalahan kami sudah terlalu besar.
Jika kau memaafkannya, maka aku akan merasa, betapa
kerdil diriku dihadapan jiwa-jiwa besar seisi rumah ini"
Ken Padmi tidak menjawab. Kepalanya tertunduk
semakin dalam. Namun dalam pada itu, Mahendralah yang
berkata "Pangeran. Penyesalan yang paling berarti adalah
apabila kesalahan itu tidak akan terulang lagi. Sebaiknya
Pangeran berjanji kepada diri sendiri. Kemudian Pangeran
masih harus menghubungi Pangeran Suwelatama dari
Kabanaran. Pangeran harus memperbaiki hubungan
Pangeran dengan Akuwu Kabanaran, karena Pangeran
telah pernah melakukan satu perbuatan yang menyakiti hati
orang-orang Kabanaran"
Pangeran Indrasunu mengangguk. Katanya "Aku tidak
berkeberatan paman. Aku akan pergi ke Kabanaran. Aku
akan menemui kakangmas Suwelatama untuk mohon maaf
atas segala kesalahan yang pernah aku perbuat, langsung
atau tidak langsung"
"Itu adalah sikap kesatria" desis Witantra "dengan
demikian maka Pangeran bukan saja telah dibersihkan dari
kesalahan, tetapi Pangeran akan kembali kepada sikap
seorang kesatria" Ketiga orang Pangeran itu tidak menjawab. Untuk sesaat
kembali ruang itu menjadi sepi. Baru kemudian Mahendra
berkata "Kami masih akan menjamu Pangeran sebelum
Pangeran meninggalkan rumah ini"
Tetapi rasa-rasanya ketiga orang Pangeran itu tidak betah
lagi untuk tinggal di rumah itu. Meskipun kesalahan mereka
sudah dimaafkan, tetapi rasa-rasanya masih saja jantungnya
bergejolak apabila mereka melihat Ken Padmi.
Namun demikian mereka tidak dapat memaksa, karena
Mahendra benar-benar menahannya.
Tetapi setelah mereka benar-benar dijamu sekali lagi
maka merekapun segera minta diri meninggalkan rumah
yang telah memaksa mereka untuk melihat kedalam diri


Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka sendiri. Ternyata bahwa penyerahan yang dikatakan oleh
Pangeran Indrasunu bukannya sekedar untuk berlindung
mencari keselamatan. Mereka ternyata benar-benar
menyesali segala perbuatan yang telah mereka lakukan.
Karena itulah, maka diperjalanan kembali, Pangeran
Indrasunu telah minta kedua orang Pangeran yang lain
untuk singgah di Kabanaran.
"Kami tidak berkeberatan" berkata salah seorang dari
kedua Pangeran itu "tetapi apakah tidak mungkin terjadi
salah paham. Begitu kita memasuki Pakuwon Kabanaran,
maka sepasukan pengawal Pakuwon itu siap menangkap
kita" "Kita harus memberikan kesan, bahwa kita datang
dengan maksud baik. Kita harus melepaskan segala senjata
dan mungkin sikap yang dapat memancing pertentangan"
berkata Pangeran Indrasunu.
"Tidak ada orang yang mempercayai kita lagi" jawab
Pangeran yang lain "Jika kakangmas Pangeran sependapat,
kita akan kembali dahulu kepadepokan. Kita
menyampaikan segala persoalan ini kepada guru. Biarlah
guru memberikan petunjuk apakah yang sebaiknya kita
lakukan. Jika guru tidak berkeberatan, biarlah guru
menyampaikan maksud kita kepada kakangmas Akuwu
Suwelatama" Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Iapun sadar,
bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan kepercayaan.
Apalagi di Pakuwon Kabanaran. Mungkin mereka justru
mengira bahwa kedatangannya adalah karena kelicikan
sifatnya, sehingga segala pernyataannya sianggap oleh
orang-orang Kabanaran sebagai satu jebakan.
Karena itu, maka Pangeran itupun berkata "Baiklah.
Kita akan mohon petunjuk kepada mereka yang
mempunyai wawasan yang lebih luas, tetapi dengan satu
pengertian, bahwa kita sudah menyesali perbuatan kita"
Demikianlah ketiga orang Pangeran itupun telah dengan
tergesa-gesa pergi ke padepokan tempat mereka berguru.
Pangeran Indrasunupun telah telah pergi bersama kedua
orang saudaranya. Meraka akan datang kepada guru
mereka masing-masing untuk melaporkan perkembangan
yang telah terjadi di dalam jiwa mereka. "Kita pergi
bersama-sama" berkata Pangeran Indrasunu "Kita datang
kepada kedua orang guru kalian berganti-ganti. Kita akan
bersama-sama mendengarkan pendapat mereka"
Dalam pada itu, di rumah Mahendra, Mahisa Pukat,
Mahisa Murti dan Ken Padmi duduk menghadap Witantra
dan Mahendra. Ternyata pada saat terakhir, mereka dapat
mengerti, apa yang dikehendaki oleh orang tua meraka.
Dengan demikian maka mereka telah menundukkan
kejahatan tanpa mengotori tangan mereka dengan
kekerasan yang dapat merenggut jiwa ketiga orang
Pangeran itu. "Mereka masih muda" berkata Mahendra "mungkin hari
depan mereka masih cukup cerah"
Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan Ken Padmi menunduk
kan wajah-wajah mereka. "Karena itu, kita memberi kesempatan kepada mereka"
berkata Mahendra kemudian "kecuali jika kesempatan yang
kita berikan itu tidak mereka pergunakan sebaik-baiknya,
itu adalah salah mereka sendiri"
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
itu Witantra berkata "Tetapi menilik sikap mereka, aku
mempunyai keyakinan bahwa mereka benar-benar telah
menyesali perbuatan mereka. Dengan tulus mereka
menyatakan penyesalan dan pertaubatan. Memang
mungkin sekali, mereka masih dapat dipengaruhi oleh
orang lain sehingga mereka akan melakukan kesalahan
yang sama. Tetapi mudah-mudahan mereka benar-benar
telah menemukan kembali diri mereka yang hilang,
sehingga tidak akan diombang-ambingkan lagi oleh sikap
dan perbuatan yang salah"
"Tetapi apakah mungkin mereka akan dapat
mempertahankan penyesalan itu untuk waktu yang lama
ayah?" bertanya Mahisa Pukat.
"Memang masih akan terjadi banyak kemungkinan"
jawab ayahnya "tetapi aku berharap behwa mereka tidak
terperosok lagi kedalam hubungan yang dapat
mempengaruhi jiwa mereka. Jika meraka kemudian
kembali kelingkungan hidup mereka sebagai cantrik, maka
mereka akan banyak tergantung kepada sikap guru mereka.
Namun nampaknya justru karena mereka adalah Pangeran
yang mempunyai segala-galanya dari segi lahiriah, maka
justru guru mereka berada dibawah pengaruh para
Pangeran muda itu. Guru mereka hanyalah orang-orang
mumpuni yang diupah untuk menurunkan ilmu kanuragan.
Tetapi sama sekali tidak dapat membekali meraka dengan
pesan-pesan kejiwaan"
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Meraka justru
mendapat kesempatan untuk menilai diri sendiri. Ketiga
orang Pangeran itu juga anak-anak muda meskipun lebih
tua dari mereka, namun tentu tidak terpaut banyak.
Dengan demikian mereka masih merasa beruntung,
behwa mereka sejak semula dapat memilih jalan yang lebih
baik dari ketiga orang Pangeran itu, sehingga mereka tidak
perlu menyesali tingkah laku mereka dan mencari sandaran
tatanan hidup yang baru. Meskipun demikian, ketika kembali kedalam biliknya,
Ken Padmi sempat mengurai keadaannya sendiri. Tiba-tiba
saja ia merasa demikian sepinya. Ia berada di rumah orang
lain, bukan rumahnya sendiri, justru karena hubungannya
dengan Mahisa Bungalan. Sementara itu Mahisa Bungalan
sendiri tidak berada di rumah.
Terpercik kerinduannya kepada padepokannya yang
sepi. Kepada orang tuanya dan kepada lingkungannya.
Rasa-rasanya ada satu keinginan untuk melihat semuanya
itu. Tetapi ia tidak akan pergi meninggalkan rumah itu
sebelum Mahisa Bungalan kembali.
Karena itu, maka kemudian Ken Padmipun telah
terbenam kedalam perasaannya. Ia mengharap dengan
sungguh-sungguh, agar Mahisa Bungalan segera kembali.
Bahkan dalam gejolak pengharapannya itu terselip
kekhawatiran, bahwa mungkin Mahisa Bungalan telah
mengalami sesuatu. Ia tahu bahwa Mahisa Bungalan berada
disatu tempat justru karena tempat itu mengalami
pergolakan. -ooo0dw0ooo- Jilid 31 TETAPI semula Ken Padmi tidak mengatakannya
kepada siapapun juga. Dicobanya untuk menahan gejolak
perasaannya itu didalam dadanya sendiri.
Namun ternyata bahwa sikap dan warna wajahnya tidak
dapat disembunyikannya terhadap Mahendra dan Witantra.
Bahkan sebelum mereka bertanya, mereka telah dapat
meraba, apa yang terjadi didalam jantung anak gadis itu.
Karena itu, meka Mahendra merasa perlu untuk
memberinya beberapa nasehat, agar perasaan itu tidak
selalu mencekamnya, sehingga mempengaruhi bukan saja
jiwanya, tetapi juga tubuhnya.
"Jika terjadi sesuatu, tentu sudah ada berita sampai
kepadaku" berkata Mahendra. Lalu "Ia berada disitu tempat
yang sudah kami kenal dan mengenal kami. Karena itu, jika
berkata "Bersiaplah untuk mati"
Tetapi nampaknya kelima orang yang duduk itu masih
saja duduk ditempatnya. Menanggapi sikap Wangkot itu,
Mahendra kemudian berkata "Aku kira kurang
menyenangkan untuk bertempur disini. Ruangan ini tentu
terasa terlalu sempit. Karena itu, kami persilahkan kalian
keluar. Kita akan bertempur dihalaman."
Wajah Wangkoot dan Mendu menjadi sangat tegang,
Namun sebelum, keduanya menyahut, Pangeran Indrasunu
telah berteriak "kami tunggu kalian di halaman"
Tidak seorangpun yang menjawab. Mereka
memperhatikan Pangeran Indrasunu yang melangkah
keluar di ikuti oleh kedua orang Pangeran yang lain,
sementara Wangkot dan Mendu pun kemudian melangkah
juga keluar betapapun beratnya.
Mahendra dan Witantra kemudian bangkit berdiri diikuti
oleh anak-anak muda itu. Dengan nada dalam Witantra
berkata "Berhati-hatilah. Mereka tentu orang-orang
berilmu. Pangeran Indrasunupun cukup berilmu"
"Aku akan melawannya " tiba-tiba saja Keri Padmi
berdesis. Mahendra termangu-mangu sejenak. Meskipun
kemampuan Ken Padmi maju dengan cepat, namun tentu
ia belum sampai pada tataran kemampuan Mahisa
Bungalan. Pada puncak ilmunya, Pangeran Indrasunu telah
menggetarkan pertahanan Mahisa Bungalan meskipun
akhirnya Pangeran Indrasunu harus mengakui kelebihan
Mahisa Bungalan. Karena itu, agar tidak terjadi kesan perang tanding
diantara mereka, maka Witantrapun berkata "Kalau
bertiga. Sementara lawan kalianpun bertiga. Aku
nasehatkan kepada kalian, bahwa lawan kalian itupun tentu
orang-orang berilmu. Jangan berperang tanding. Mungkin
ilmu kalian belum dapat mengimbangi ilmu Pangeran
Indrasunu. Tetapi mungkin kemampuan kalian melampaui
kemampuan kedua orang anak muda yang lain. Karena itu,
biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua
menghadapi Pangeran Indrasunu. Sementara itu, dengan
hati-hati Ken Padmi harus memancing dua orang lainnya
untuk bertempur menghadapinya.
"Aku tidak tahu, apakah Ken Padmi memiliki
kemampuan mengimbangi keduanya. Jika tidak, maka
apakah Mahisa Murti atau Mahisa PuKat harus segera
membantu Ken Padmi dengan mengambil salah seorang
dari keduanya menjadi lawannya"
Ken Padmi mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia ingin
sekali mencoba menempatkan diri melawan Pangeran
Indrasunu. Namun iapun tidak berani membantah petunjuk
Witantra yang berusaha untuk menghindarkan anak-anak
muda itu dari kesan berperang tanding, karena Witantra
perlu, maka Akuwu Suwelatama akan dapat menugaskan
orang-orangnya untuk memberitahukan persoalannya
kepadaku, atau kepada pamanmu Mahisa Agni di
Singasari." Ken Padmi mengangguk-angguk. Iapun mengerti
berdasarkan pertimbangan nalarnya. Tetapi perasaannya
masih saja menghentak-hentak didalam dada.
Namun beberapa nasehat Mahendra berpengaruh juga
atas perasaan gadis itu, meskipun ia tidak dapat melepaskan
seluruhnya. Namun Ken Padmi kemudian berusaha
menghalau kegelisahannya dengan kerja dan berlatih
didalam sanggar, sehingga dengan demikian, ia justru telah
meningkatkan ilmunya. Dalam pada itu, berangsur-angsur Pakuwon Kabanaran
telah menjadi tenang kembali. Meskipun beberapa orang
pengamat masih belum melepaskan pengawasan mereka
seluruhnya terhadap Pakuwon Watu Mas yang masih
mendendam. Tetapi nampaknya Pakuwon Watu Mas-pun
harus berpikir berulangkah jika mereka hendak melar kukan
sesuatu atas Kabanaran. Kegagalan mereka, ternyata telah
membuka mata mereka, bahwa, Pakuwon Kabanaran tidak
terlalu lemah seperti yang mereka sangka. Apalagi setelah
Kabanaran berhasil mengatasi kesulitan mereka yang paling
gawat. Para perampok di kedung Sertu dan para perampok
yang bersembunyi di tlatah Watu Mas telah dapat di
tundukkan. Bahkan dari tangan para perampok itu telah
berhasil dirampas, harta benda yang bernilai sangat tinggi,
yang oleh Akuwu akan dipergunakan bagi kesejahteraan
rakyat Kabanaran. karena Akuwu tidak lagi dapat
memisahkan dan mengenali para pemiliknya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalanpun merasa,
kehadirannya di Pakuwon Kabanaran telah cukup lama. Ia
sempat melihat Akuwu mulai dengan kerja untuk
membangun Pakuwon Kabanaran sebaik-baiknya. Tetapi
Mahisa Bungalan tidak akan dapat tinggal untuk waktu
yang terlalu lama. Dengan demikian, maka pada suatu saat Mahisa
Bungalanpun telah minta diri kepada Akuwu Suwelatama
untuk kembali ke Singasari.
"Kami mengucapkan terima kasih" berkata Akuwu
Suwelatama. "Tidak ada yang dapat aku lakukan disini" jawab Mahisa
Bungalan. "Banyak pendapatmu yang sangat menguntungkan bagi
penyelesaian persoalan yang kita hadapi. Terutama para
perampok di Kedung Serta dan di hutan perbatasan" jawab
Akuwu. "Aku hanya seorang diantara sekian banyak orang disini"
berkata Mahisa Bungalan. Lalu" Aku mengucapkan selamat
atas kerja yang sudah di mulai oleh Pakuwon ini. Namun
demikian Akuwu tidak boleh lengah. Mungkin pada satu
saat Watu Mas akan mengejutkan Pakuwon Kabanaran.
Mungkin Pangeran Indrasunu akan datang kembali ke
Pakuwon Watu Mas dan menggelitik Akuwu di Watu Mas
untuk membalas dendam atas kekalahannya."
"Kami akan berhati-hati" jawab Akuwu Suwelatama
"kami akan tetap menempatkan pasukan di perbatasan,
meskipun tidak sekuat yang pernah kita lakukan. Namun
kamipun harus mempunyai sebuah pasukan khusus yang
akan dapat bergerak cepat jika terjadi sesuatu."
"Yang lebih penting, bagaimana mempergunakan harta
benda yang besar itu untuk kesejahteraan Pakuwon
Kabanaran" berkata Mahisa Bungalan.
"Tentu" jawab Akuwu Suwelatama. Namun kemudian
dengan ragu-ragu ia berkata "Namun sebenarnyalah, kau
berhak atas sebagian dari harta benda itu. Mungkin
padukuhanmu juga memerlukan dana untuk kesejahteraan
rakyatnya."

Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng sambil tersenyum.
Katanya" Para perampok itu mengambil harta benda dari
Pakuwon Kabanaran. Jadi harta benda itu harus kembali ke
Kabanaran. Jika Akuwu tidak lagi dapat menemukan para
pemiliknya, maka Akuwu akan dapat mempergunakannya
bagi kesejahteraan Pakuwon ini pada umumnya."
"Tetapi kau membantu mendapatkan harta benda itu
kembali" jawab Akuwu.
Sekali lagi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya " Jika
harta benda ini kelak menjadi piranti kesejahteraan
Pakuwon ini, aku sudan merasa berbahagia karenanya."
Akuwu Suwelatama mengangguk-angguk. Sejak semula
ia memang sudah menduga bahwa Mahisa Bungalan tidak
akan menerima sebagian dari harta benda yang dapat
dibebaskan dari tangan para perampok itu.
Dalam pada itu, maka Mahisa Bungalan benar-benar
telah minta diri untuk meninggalkan Pakuwon itu. Ia sudah
merasa cukup lama meninggalkan rumahnya. Sebagaimana
ia pernah menyatakan kesanggupannya kepada Maharaja di
Singasari, bahwa ia akan memasuki tugas keprajuritan.
Sudah beberapa lama ia berada di Singasari, namun ia
masih menawar lagi dalam petualangannya yang berbahaya
di daerah Pakuwon Kabanaran.
Demikianlah, pada hari yang ditentukan, Mahisa Bungalanpun
meninggalkan Pakuwon Kabanaran. Para pemimpin
di Pakuwon itu beserta Akuwu Suwelatama sendiri
mengantarkannya sampai kegerbang kota. Kamudian
mereka melepaskan Mahisa Bungalan berkuda menempuh
jarak yang panjang. "Semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu"
berkata Akuwu Suwelatama.
Mahisa Bungalan tersenyum. Sambil melambaikan
tangannya ia berkuda meninggalkan pintu gerbang kota.
Semakin lama Mahisa Bungalan itupun menjadi semakin
jauh. Ia sadar, bahwa ia akan menempuh jalan yang
panjang. Orang-orang yang datang bersamanya ke
Pakuwon Kabanaran telah pulang mendahuluinya. Pamanpaman-
nyapun telah mendahuluinya pula.
Ketika Mahisa Bungalan kemudian menatap jalan yang
menjelujur di hadapannya, maka dilihatnya jalur yang
panjang. Jalur yang akan pembawanya kembali ke Singasari.
Kepada janjinya untuk memasuki lingkungan
keprajuritan. Dan kepada kampung halamannya yang
sudah lama ditinggalkannya.
Tiba-tiba sekilas membayang wajah seorang gadis yang
menunggunya. Ken Padmi. Gadis yang telah meninggalkan
beerbagai persoalan di luar kehendaknya sendiri.
"Aku sudah terlalu lama meninggalkannya" berkata
Mahisa Bungalan kepada diri sendiri. Dan kini, Mahisa
Bungalan itu telah berada dalam perjalanan kembali.
"Aku akan segera memasuki tugas keprajuritan" berkata
Mahisa Bungalan kepada diri sendiri "sehingga sudah
sepantasnya aku mempunyai sisihan."
Sebagai seorang petualang, maka perjalanan yang
panjang tanpa seorang kawanpun telah merupakan satu
kebiasaan bagi Mahisa Bungalan. Ia telah melakukannya
berkali-kali. Kadang-kadang ia berada di perantauan
dengan nama dan keadaan yang berbeda dengan keadaan
yang sebenarnya. Namun kadang-kadang ia berada di
petualangannya dengan namanya sendiri.
Karena itu, maka perjalanan kembali ke Singasari itupun
bukan satu pengalaman baru bagi Mahisa Bungalan.
Namun demikian kadang-kadang ia harus memikirkan,
apakah ia tidak akan bertemu dengan orang-orang yang
mendendamnya selama ini. Namun Mahisa Bungalan tidak akan berkecil hati
menghadapi apapun juga. Ia sudah siap menghadapi
keadaan yang bagaimanapun juga.
"Di sepanjang jalan, Mahisa Bungalan ternyata tidak
berhenti terlalu sering. Hanya jika kudanya merasa sangat
letih, maka baru ia berhenti dipinggir tempat yang berair
dan berumput hijau untuk memberi kesempatan kepada
kudanya untuk minum dan makan rerumputan. Sementara
itu, Mahisa Bungalan sendiri juga mendapat kesempatan
untuk beristirahat. Dalam pada itu, tanpa diduganya, ternyata beberapa
orang telah menyusul perjalanan Mahisa Bungalan. Lima
orang berkuda berderap dengan kecepatan yang tinggi.
Merekapun tidak pernah berhenti seperti Mahisa Bungalan,
kecuali memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka
untuk minum dan makan rerumputan.
"Mudah-mudahan kita akan dapat menyusulnya sebelum
ia sampai ke Singasari" berkata salah seorang diantara
mereka. Namun perjalanan itu memang cukup panjang. Mahisa
Bungalan tidak akan dapat mencapai Singasari sebelum
matahari terbenam. Jika ia melanjutkan perjalanan dimalam
hari, maka ia memang tidak perlu bermalam diperjalanan,
karena ia. akan mencapai Singasari malam itu juga.
Karena itu, maka kelima orang yang menyusulnya ingin
segera dapat menyusulnya.
"Mudah-mudahan orang itu tidak berbohong" berkata
salah satu dari mereka. "Mudah-mudahan" desis yang lain. Lalu "Tetapi aku
kira ia memang tidak akan berbohong, karena mereka tidak
mengenal, siapa aku "
"Ya. Aku kira ia mengatakan apa adanya" berkata yang
lain pula. Dengan demikian maka kelima orang itu berpacu
semakin cepat. Dari seorang penjaga istana Pangeran
Suwelata-ma meraka mendapat keterangan, bahwa Mahisa
Bungalan telah meninggalkan istana itu, ketika kelima
orang itu datang. "Baru saja" berkata penjaga itu.
Karena itulah, maka kelima orang itu telah
menyusulnya. Sebenarnyalah, perjalanan kelima orang itu lebih cepat
dari perjalanan Mahisa Bungalan. Karena itu, jarak
diantara merekapun semakin lama semakin dekat,
meskipun kelima orang itu tidak cepat dapat menyusulnya.
"Ia seorang diri" berkata salah seorang dari kelima orang
itu. "Ia terlalu berani untuk melakukannya" sahut yang lain.
"Ia memang seorang pemberani, seorang petualang dan
seorang prajurit sekaligus" berkata yang lain "tetapi itu tidak
berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan. Jika ada yang
berniat jahat, maka bukan tidak mustahil, bahwa Mahisa
Bungalan mengalami bencana karena sikapnya sendiri."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun tidak seorangpun
yang menjawab. Dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan tidak sampai
hati membiarkan kudanya menjadi terlampau letih. Ketika
matahari turun ke Barat, maka ia berhenti cukuplama dipinggir
sebuah sungai yang tidak terlalu besar. Namun d^
tepian terdapat rerumputan yang hijau segar.
Agar kudanya sempat beristirahat agak panjang, maka
Mahisa Bungalan telah duduk bersandar sebatang pohon
yang besar. Silirnya angin telah membuatnya merasa
mengantuk. Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak
ingin tidur. Ia ingin meneruskan perjalanan jika kudanya
sudah tidak merasa letih lagi setelah beristirahat cukup
lama. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan justru telah
berdiri. Sambil menyilangkan tangannya didada, ia telah
berjalan hilir mudik ditepian. Sekali-sekali ia sempat
memperhatikan beberapa jenis ikan yang berenang diair
yang bening. "Agaknya jarang ada orang mencari ikan disungai ini"
berkata Mahisa Bungalan kepada diri sendiri.
Sebenarnya bahwa disungai itu memang terdapat cukup
banyak ikan yang berkeliaran. Rasa-rasanya Mahisa
Bungalan ingin turun dan menangkap ikan yang berkeliaran
itu. Tetapi Mahisa Bungalan tidak melakukannya. Sekali-kali
ia berpaling kepada kudanya. Nampaknya kudanya masih
sibuk merenggut rerumputan hijau yang segar.
"Biarlah kuda itu cukup beristirahat" berkata Mahisa
Bungalan didalam hatinya."
Namun dalam pada itu tiba-tiba saja Mahisa Bungalan
terkejut ketika ia mendengar derap beberapa ekor kuda.
Sejenak ia termangu-mangu. Di tepian sungai, ia tidak
segera dapat melihat orang-orang berkuda itu.
Ada niatnya memanjat pohon besar yang tumbuh dibawah
tanggul. Namun derap kuda itu menjadi semakin
dekat, sehingga niatnya itupun diurungkannya. Yang
dilakukannya kenjiudian hanyalah menunggu saja sampai
orang-orang berkuda itupun turun ketepian.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian derap kuda-kuda
itupun menjadi semakin mendekati tanggul. Ketika Mahisa
Bungalan kemudian menengadahkan wajahnya, maka iapun
segera melihat lima orang berkuda menuruni tebing.
Mahisa Bungalan terkejut melihat orang-orang itu.
Sebagaimana orang itupun terkjut ketika mereka melihat
Mahisa Bungalan. Dalam pada itu, di Pakuwon Kabanaran, beberapa orang
Senepati menjadi termangu-mangu. Akuwu Suwelatama
diiringi oleh sepuluh orang pengawal terbaiknya telah
meninggalkan istana menyusul perjalanan Mahisa
Bungalan. "Akuwu sangat tergesa-gesa" berkata seorang diantara
para pengawal itu. "Apa sebenarnya yang telah terjadi?" bertanya yang lain.
"Beberapa saat sebelumnya, seorang pengawal telah
memberikan keterangan kepada seseorang tentang Mahisa
Bungalan. Pengawal itu mengatakan kepada seseorang yang
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 6 Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Sumpah Palapa 24
^