Tragedi Tiga Babak 2
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie Bagian 2
seandainya Ellis pembunuh profesional yang dikenali Sir Bartholomew, dan
kemudian membunuhnya sebagai akibatnya, seluruh kejadian itu benar-benar suatu
kejadian yang buruk. Untunglah ia ingat Sir Bartholomew teman Charles
Cartwright. Sekilas kamar Ellis tak menjanjikan apa-apa. Tak mungkin menemukan hal penting
di sana. Baju-baju yang digantung di lemari maupun dilipat dalam laci semua
rapi. Baju-baju itu potongannya bagus dan buatan macam-macam penjahit. Jelas
baju pemberian orang dalam situasi yang berbeda-beda. Baju-baju dalamnya pun
kelihatan begitu. Sepatu-sepatunya disemir dan dijajar rapi.
Mr. Satterthwaite mengambil sebuah sepatu bot dan bergumam, "Sembilan - nomor
sembilan." Memang tak ada jejak kaki dalam kasus itu, tapi itu tak berarti
sepatu itu tak ada gunanya.
Jelas kelihatan bahwa ketika pergi, Ellis masih mengenakan baju kerjanya. Mr.
Satterthwaite menunjukkan hal ini pada Sir Charles sebagai fakta yang agak luar
biasa. "Siapa pun akan berganti dengan baju biasa dalam keadaan seperti itu."
"Ya. Aneh juga kelihatannya. Hampir seperti... walaupun itu aneh... seolah-olah
dia tidak pergi ke mana-mana. Tapi tentunya tidak begitu."
Mereka melanjutkan pemeriksaan. Tak ada surat, tak ada dokumen, kecuali sebuah
guntingan koran tentang penyembuhan penyakit katimumul dan sebuah artikel
tentang perkawinan seorang putri bangsawan yang akan dilangsungkan dalam waktu
dekat. Di situ ada satu bundel kertas penyerap tinta dan sebotol tinta kecil di meja
samping. Tak ada pennya. Sir Charles mengambil penyerap tinta itu dan
menempelkannya ke kaca, tapi tanpa hasil. Satu halamannya terlihat sudah sering
dipakai, acak-acakan, dan tintanya kelihatan sudah lama.
"Dia tak pernah menulis surat sejak datang kemari atau tidak menyerapkan
tintanya," kata Mr. Satterthwaite menyimpulkan. "Ini penyerap tinta tua. Ah,
ya." Ia menunjuk ke tulisan "L. Baker" yang hampir-hampir tak terbaca.
"Kurasa Ellis belum memakainya sama sekali."
"Aneh, ya?" kata Sir Charles.
"Apa maksudmu?"
"Pria biasanya menulis surat."
"Kecuali jika dia kriminal."
"Ya. Barangkali kau benar. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, yang membuatnya
lari seperti itu. Tapi pokoknya dia tidak membunuh Tollie."
Mereka sibuk memeriksa lantai, mengangkat karpet, memeriksa kolong tempat tidur.
Tak ada apa-apa di situ, kecuali noda tinta di dekat perapian. Kamar itu kosong.
Mereka meninggalkan kamar itu dengan agak malu. Semangat mereka sebagai detektif
langsung berkurang. Barangkali di benak mereka terlintas pikiran bahwa di buku-buku cerita semua
teratur dengan lebih baik.
Mereka bicara sebentar dengan beberapa pelayan junior yang takut pada Mrs.
Leckie dan Beatrice Church. Tapi mereka tak memberikan harapan apa-apa.
Akhirnya keduanya pergi. "Bagaimana, Satterthwaite, ada sesuatu yang menarik?" kata Sir Charles ketika
mereka berjalan melintasi taman, menuju mobil Mr. Satterthwaite yang diparkir di
dekat pintu masuk. Mr. Satterthwaite berpikir. Ia tak bisa menjawab dengan terburu-buru, apalagi
kalau ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Mengakui apa yang mereka lakukan
sia-sia tidaklah baik. Ia menimbang-nimbang bukti-bukti yang dikatakan para
pelayan. Informasi mereka benar-benar tak bernilai.
Seperti baru saja dikatakan Sir Charles, mereka hanya tahu Miss Wills mengintip
dan menyelidiki, Miss Sutcliffe bingung, Mrs. Dacres sama sekali tak peduli, dan
Kapten Dacres mabuk. Rasanya tak ada apa-apa, kecuali kalau kelakuan Freddie
Dacres merupakan akibat dari rasa bersalah. Tapi Mr. Satterthwaite tahu Freddie
Dacres memang sering mabuk.
"Bagaimana?" ulang Sir Charles tak sabar.
"Tak ada apa-apa," Mr. Satterthwaite mengakui dengan enggan, "kecuali... kecuali
dari kliping koran itu kita bisa menarik kesimpulan, si Ellis itu sakit
katimumul." Sir Charles tersenyum masam.
"Deduksi yang masuk akal. Apa lanjutannya?"
Mr. Satterthwaite mengaku tidak tahu.
"Satu-satunya yang lain," katanya, lalu ia diam.
"Ya" Teruskan saja, barangkali ada gunanya."
"Rasanya aneh cara Sir Bartholomew mencemooh kepala pelayannya seperti yang
diceritakan pelayan itu. Rasanya kok aneh."
"Ya, aneh," kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku kenal Tollie dengan baik - lebih
baik dari kau - dan dia bukan orang yang suka bercanda. Dia tak akan bicara
seperti itu, kecuali... kecuali untuk alasan tertentu, saat dia tidak dalam
keadaan normal. Kau benar, Satterthwaite; itu satu hal penting. Jadi, ke mana
arahnya?" "Hm...," Mr. Satterthwaite mulai. Tapi jelas pertanyaan Sir Charles tak perlu
dijawab. Ia bukan ingin mendengar pendapat Mr. Satterthwaite, tapi ingin
mengeluarkan pendapatnya.
"Kau ingat ketika insiden itu terjadi, Satterthwaite" Setelah Ellis menyampaikan
pesan telepon itu. Kurasa kita bisa menyimpulkan pesan lewat telepon itulah yang
membuat Tollie geli. Kau masih ingat, kan" Aku bertanya pada pelayan itu tentang
isi pesan itu." Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Ya, dia bilang seorang wanita bernama Mrs. de Rushbridger datang ke
sanatorium," katanya, untuk menunjukkan ia juga menaruh perhatian terhadap hal
itu. "Tidak terlalu seru kedengarannya."
"Benar. Tapi kalau alasan kita benar, pasti ada sesuatu dalam pesan itu."
"Ya... a," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu.
"Tentunya," kata Sir Charles, "kita harus mencari tahu, apa sesuatu yang penting
itu dan yang terkandung dalam pesan tersebut. Barangkali itu kode yang terdengar
biasa, tapi sebenarnya punya arti lain. Kalau Tollie menyelidiki kasus kematian
Babbington, hal itu mungkin ada hubungannya. Barangkali, misalnya, dia justru
akan mengupah detektif swasta untuk menemukan fakta-faktanya. Orang itu mungkin
memberitahu dia bahwa kecurigaannya memang terbukti. Lalu dia menelepon dan
mengatakan pesan khusus itu; kalimat yang tidak berarti apa-apa bagi orang lain.
Hal itu bisa menjelaskan sikapnya yang luar biasa gembira. Juga kenapa dia
bertanya pada Ellis apakah nama itu betul, karena dia sendiri tahu sebenarnya
nama itu tak ada. Sebetulnya dia sendiri menunjukkan sikap kurang seimbang, yang
terjadi bila orang berhasil dalam sesuatu."
"Kauanggap tak ada orang yang bernama Mrs. de Rushbridger?"
"Kurasa kita harus mengeceknya dulu."
"Bagaimana?" "Kita bisa ke sanatorium sekarang dan bertanya pada pimpinannya."
"Bisa jadi dia akan berpikir ini aneh."
Sir Charles tertawa. "Biar aku yang melakukannya," katanya.
Mereka berbelok ke arah sanatorium.
Mr. Satterthwaite berkata,
"Bagaimana denganmu, Cartwright" Ada yang aneh menurut pendapatmu" Dari
kunjungan kita ke rumah, maksudku."
Sir Charles menjawab perlahan, "Ya, ada sesuatu. Sialnya, aku tak ingat apa
itu." Mr. Satterthwaite memandangnya heran. Yang dipandang hanya mengernyitkan dahi.
"Bagaimana aku bisa menjelaskannya" Ada sesuatu - sesuatu yang saat itu kurasa
tidak beres, atau aneh - tapi aku tak sempat berpikir tentang hal itu tadi. Aku
menyimpannya saja dalam pikiranku."
"Dan sekarang kau tak ingat?"
"Tidak. Waktu itu aku hanya berpikir 'Ini aneh.'"
"Apa mungkin waktu menanyai para pelayan" Pelayan yang mana?"
"Aku tak ingat lagi. Tambah kupikir, tambah lupa aku. Barangkali kalau dibiarkan
akan ingat sendiri nanti."
Mereka sampai di sanatorium, sebuah bangunan modern bercat putih, yang
dipisahkan dari taman dengan pagar. Mereka melewati pintu pagar itu dan memijat
bel depan serta minta bertemu dengan pimpinannya.
Pimpinan sanatorium itu seorang wanita jangkung setengah baya, berwajah cerdas,
dan tampak cekatan. Ia pernah mendengar Sir Charles adalah kawan almarhum Sir
Bartholomew Strange. Sir Charles menjelaskan bahwa ia baru saja pulang dari luar negeri dan terkejut
mendengar kematian kawannya. Ia juga curiga atas kejadian tersebut dan telah
datang ke rumah untuk melihat dan bertanya-tanya. Wanita itu menyatakan dengan
halus arti kepergian Sir Bartholomew bagi mereka dan kariernya yang baik sebagai
dokter. Sir Charles sendiri ingin tahu bagaimana selanjutnya nasib sanatorium
itu. Pimpinan itu mengatakan Sir Bartholomew punya dua partner, keduanya dokter
yang mempunyai reputasi, dan yang satu tinggal di sanatorium.
"Bartholomew memang bangga dengan tempat ini," kata Sir Charles.
"Ya. Perawatannya merupakan sukses besar."
"Banyak kasus-kasus saraf, ya?"
"Benar." "Itu mengingatkan saya pada seseorang di Monte Carlo yang punya hubungan dengan
seseorang di sini. Saya lupa namanya - namanya aneh - Rushbridger - Rushbridger -
seperti itu kira-kira."
"Maksud Anda Mrs. de Rushbridger?"
"Ya, betul. Apa dia di sini?"
"Oh, ya. Tapi saya kira dia tak bisa menemui Anda - untuk sementara ini. Dia
sedang menjalani istirahat total yang amat ketat." Wanita itu tersenyum. "Tak
boleh terima surat atau tamu dulu."
"Wah. Mudah-mudahan sakitnya tidak terlalu serius."
"Dia mengalami gangguan saraf yang agak berat - kehilangan ingatan dan letih
mental yang berat. Oh, dia bisa pulih kembali pada waktunya nanti."
Wanita itu tersenyum penuh keyakinan.
"Sebentar. Rasanya saya pernah dengar Tollie - Sir Bartholomew - bicara tentang dia.
Dia teman sekaligus pasiennya, kan?"
"Bukan, Sir Charles. Setidaknya, Dokter tak pernah bilang begitu. Dia baru saja
datang dari Hindia Barat. Sebenarnya lucu. Para pelayan sulit mengingat namanya -
pelayan kamar di sini agak bodoh. Dia datang dan bilang pada saya, 'Mrs. Hindia
Barat sudah datang.' Saya rasa nama itu memang agak berbau Hindia Barat, tapi
memang kebetulan saja dia baru datang dari Hindia."
"Ya, memang agak lucu. Suaminya ada?"
"Dia masih di sana."
"Ah, ya, ya. Saya pasti keliru dengan orang lain. Itu merupakan kasus yang
menarik bagi Pak Dokter."
"Kasus amnesia sebenarnya cukup banyak. Tapi kasus-kasus seperti itu selalu
menarik perhatian orang-orang medis - maksud saya variasinya. Jarang ada dua kasus
yang sama." "Buat saya semua aneh. Baiklah kalau begitu. Terima kasih kami bisa ngobrol
sebentar. Tollie selalu bangga dengan Anda. Dia sering bicara tentang Anda,"
kata Sir Charles berbohong.
"Oh, terima kasih. Syukurlah." Muka wanita itu menjadi merah. "Dia begitu baik.
Kami benar-benar kehilangan. Kami semua terkejut - seperti mau pingsan rasanya.
Pembunuh! 'Siapa sih yang tega membunuh Dokter Strange"' kata saya. Luar biasa.
Kepala pelayan itu benar-benar kurang ajar. Saya harap polisi bisa menangkapnya.
Dan tanpa motif atau apa-apa."
Sir Charles menggelengkan kepala dengan sedih, lalu pamit. Mereka keluar dan
berjalan ke arah mobil. Sebagai balas dendam karena terpaksa diam selama percakapan di sanatorium tadi,
Mr. Satterthwaite menunjukkan perhatiannya pada tempat Oliver Manders mendapat
kecelakaan. Ia menanyai penjaga gerbang yang sudah tua dan yang bicaranya pelan.
Ya, itulah tempatnya, dindingnya retak. Pemuda itu naik sepeda motor. Tidak, ia
tak melihat kecelakaan itu. Tapi ia mendengarnya. Lalu keluar dan melihat.
Pemuda itu berdiri - tepat di tempat tuan yang satunya itu berdiri. Kelihatannya
ia tidak terluka. Hanya kelihatan sedih memandangi sepeda motornya yang
berantakan. Ia menanyakan nama tempat itu, dan ketika mendengar itu rumah Sir
Bartholomew Strange, ia bilang, 'Untung,' lalu berjalan ke rumah itu. Pemuda itu
kalem, kelihatan capek. Bagaimana sampai terjadi kecelakaan itu, si penjaga
gerbang tak tahu. Tapi memang kadang-kadang hal yang tak disangka bisa terjadi.
"Kecelakaan yang aneh," pikir Mr. Satterthwaite.
Ia memperhatikan jalan yang lebar dan lurus itu. Tak ada tikungan, tak ada
persimpangan, tak ada hal yang bisa membuat pengendara motor terpaksa menabrak
dinding yang tingginya tiga meter. Ya, kecelakaan aneh.
"Apa yang kaupikirkan, Satterthwaite?" tanya Sir Charles ingin tahu.
"Tak ada," kata Mr. Satterthwaite. "Tak ada apa-apa."
"Memang aneh," kata Sir Charles. Ia juga memandang tempat terjadinya kecelakaan
itu dengan bingung. Mereka masuk ke dalam mobil dan pergi.
Mr. Satterthwaite sibuk berpikir. Mrs. de Rushbridger... teori Cartwright tidak
jalan; itu bukan pesan dalam bentuk kode. Orangnya ada. Mungkinkah ada sesuatu
yang berhubungan dengan wanita itu sendiri" Mungkinkah ia saksi" Ataukah ia
merupakan kasus yang menarik, sehingga Bartholomew Strange menunjukkan sikap
seperti itu" Apakah ia wanita cantik" Jatuh cinta pada usia 55 - seperti
diperhatikan Mr. Satterthwaite berkali-kali - memang bisa mengubah karakter
manusia. Hal itu barangkali membuatnya suka bercanda, walaupun sebelumnya ia
pendiam. Renungannya terusik. Sir Charles mencondongkan badannya ke depan.
"Satterthwaite," katanya, "kau tidak keberatan kalau kita kembali?"
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung memberi perintah. Mobil itu berjalan pelan,
berhenti, dan sopir mulai mengganti arah. Satu-dua menit kemudian mereka melaju
di jalan, ke arah berlawanan.
"Ada apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Aku baru ingat hal yang kuanggap aneh," kata Sir Charles. "Noda tinta di lantai
kamar kepala pelayan itu."
BAB XI Mr. SATTERTHWAITE memandang kawannya dengan heran.
"Noda tinta" Apa maksudmu, Cartwright?"
"Kau masih ingat?"
"Aku memang ingat ada noda tinta."
"Kau ingat posisinya?"
"Tidak, bagaimana tepatnya tidak."
"Dekat perapian."
"Ya. Aku ingat sekarang."
"Bagaimana noda itu bisa terjadi, Satterthwaite?"
Mr. Satterthwaite berpikir sejenak.
"Noda itu tidak terlalu besar," katanya. "Pasti bukan karena tumpah dari botol.
Kemungkinannya, menurut pendapatmu, orang itu menjatuhkan penanya di situ. Kau
ingat tidak, di kamar itu tak ada pena." ("Dia akan tahu aku juga memperhatikan
hal-hal seperti itu," pikir Mr. Satterthwaite.) "Jadi, jelas dia memang punya
pena, walaupun tak ada bukti dia pernah menulis."
"Ya, benar, Satterthwaite. Ada noda tinta di situ."
"Dia mungkin tak pernah menulis," kata Mr. Satterthwaite. "Barangkali dia cuma
menjatuhkan penanya di lantai."
"Tapi pasti tak akan ada noda, kecuali jika tutup pena itu dibuka."
"Kau benar," kata Mr. Satterthwaite. "Tapi aku tidak melihat keanehan apa-apa
dalam hal itu." "Barangkali memang tak ada yang aneh," kata Sir Charles. "Aku tak bisa bilang
apa-apa sampai aku kembali ke tempat itu dan melihatnya sendiri."
Mereka berbelok masuk ke pintu pagar. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di
rumah. Sir Charles membelokkan kecurigaan penghuni rumah akan kedatangannya
kembali dengan mengatakan pensilnya ketinggalan di kamar Ellis.
Setelah berhasil mengusir Mrs. Leckie yang siap membantu, Sir Charles menutup
pintu kamar Ellis dan berkata, "Sekarang kita lihat apakah aku orang tolol, atau
memang ada sesuatu dalam ideku."
Menurut pendapat Mr. Satterthwaite, alternatif pertama lebih mungkin, tapi ia
terlalu sopan untuk mengatakan hal itu. Ia duduk di tempat tidur dan memandang
kawannya. "Ini dia nodanya," kata Sir Charles sambil menunjuk dengan kakinya. "Tepat di
bawah papan pembatas dinding, di arah yang berlawanan dengan meja tulis. Dalam
situasi apa orang menjatuhkan pena di tempat itu?"
"Kita bisa menjatuhkan pena di mana saja," kata Mr. Satterthwaite.
"Memang bisa saja melemparkannya ke seberang ruangan," kata Sir Charles setuju.
"Tapi orang biasanya tidak memperlakukan penanya seperti itu. Aku tak tahu. Pena
bertinta buatku sangat menyebalkan. Suka kering tintanya, tidak keluar pada
waktu kita sedang memerlukan. Barangkali inilah jawabannya. Ellis marah dan
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, 'Sialan,' sambil melempar penanya."
"Kurasa bisa ada banyak penjelasan," kata Mr. Satterthwaite. "Dia mungkin
meletakkan penanya di atas perapian, lalu pena itu jatuh."
Sir Charles melakukan eksperimen dengan pensil. Ia membiarkan pensil itu
menggelinding di ujung perapian. Pensil itu jatuh ke lantai kira-kira satu meter
dari noda tinta, terus menggelinding ke dalam perapian yang memakai gas.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, "apa penjelasannya?"
"Aku sedang mencarinya."
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite menyaksikan pertunjukan yang
menyenangkan. Sir Charles mencoba menjatuhkan pensilnya sambil berjalan ke arah perapian. Ia
mencoba duduk di ujung tempat tidur dan menulis di situ, lalu menjatuhkan
pensil. Agar pensil itu dapat jatuh di tempat noda itu, ia harus duduk atau
berdiri merapat ke dinding dalam posisi yang tak menyenangkan.
"Itu tak mungkin," kata Sir Charles keras. Ia berdiri memandang dinding, noda
tinta, dan perapian. "Seandainya dia membakar kertas," katanya sambil berpikir. "Tapi orang tidak
membakar kertas di perapian yang dinyalakan dengan gas."
Tiba-tiba Sir Charles menarik napas panjang.
Satu menit kemudian, Mr. Satterthwaite menyaksikan profesi Sir Charles dalam
gambaran hidup. Charles Cartwright menjadi Ellis, si kepala pelayan. Ia duduk di meja tulis. Ia
kelihatan penuh rahasia, sesekali mengangkat mata dan melirik ke kiri ke kanan.
Tiba-tiba ia seperti mendengar sesuatu. Mr. Satterthwaite bahkan bisa menebak
apa kira-kira yang didengar - langkah kaki sepanjang lorong. Laki-laki itu merasa
bersalah. Ia meloncat dengan kertas di satu tangan dan pena di tangan lainnya.
Ia cepat-cepat berjalan ke perapian, kepalanya setengah menoleh, masih dalam
sikap waspada, mendengarkan, setengah takut. Ia mencoba menyelipkan kertas ke
dalam perapian yang menyala. Supaya dapat menggunakan kedua tangannya, ia
melemparkan penanya dengan tak sabar. Pensil Sir Charles jatuh tepat di noda
tinta. "Bravo!" seru Mr. Satterthwaite memberi aplaus.
Begitu bagus pertunjukan itu, sehingga ia mendapat kesan memang itulah
sebenarnya yang dilakukan Ellis.
"Begitulah kira-kira," kata Sir Charles, kembali menjadi dirinya dan bicara
dengan suara merendah. "Kalau dia mendengar polisi, atau orang yang dikiranya
polisi datang, dan harus menyembunyikan apa yang ditulisnya - nah, di mana dia
akan menyembunyikannya" Bukan di laci atau di bawah kasur. Kalau polisi
menggeledah kamar, pasti segera ditemukan. Dia tak punya waktu untuk mengangkat
papan lantai. Tempat di balik perapian itu yang paling tepat."
"Yang kemudian harus kita lakukan," kata Mr. Satterthwaite, "ialah mengecek
apakah ada sesuatu yang tersembunyi di balik perapian."
"Tepat. Tapi bisa saja yang dia takutkan tidak terjadi, dan dia bisa mengambil
kembali benda-benda itu. Tapi siapa tahu. Kita lihat saja."
Sir Charles membuka baju hangatnya dan menggulung lengan bajunya, lalu bertiarap
di lantai sambil mengintip celah di perapian.
"Ada sesuatu di bawah sana," katanya melapor. "Warnanya putih. Bagaimana
mengambilnya" Kita perlu benda semacam jepit topi wanita."
"Zaman sekarang wanita tidak memakai jepit topi," kata Mr. Satterthwaite sedih.
"Barangkali bisa pakai pisau lipat."
Tapi ternyata tidak bisa.
Akhirnya Mr. Satterthwaite keluar dan meminjam jarum rajut dari Beatrice.
Walaupun pelayan itu ingin tahu kenapa Mr. Satterthwaite meminjam benda itu,
rasa sopan santun mencegahnya menanyakan hal itu.
Jarum rajut itu membawa hasil. Sir Charles menarik kira-kira enam gumpalan
kertas yang kelihatannya dimasukkan ke dalam perapian dengan tergesa-gesa.
Dengan menggebu-gebu ia dan Mr. Satterthwaite meluruskan lembaran-lembaran itu.
Kertas-kertas itu ternyata merupakan beberapa konsep surat yang ditulis dengan
tulisan kecil dan rapi. Yang pertama isinya:
Ini suatu pernyataan bahwa penulis tak ingin menyebabkan hal-hal yang tidak enak
dan mungkin kekeliruan akan apa yang dilihatnya malam ini, tapi...
Di sini penulis jelas tidak puas dan mulai menulis lagi:
John Ellis, kepala pelayan, dengan senang hati bersedia menjalani wawancara
sehubungan dengan tragedi malam ini, sebelum pergi ke polisi dengan informasi
yang diketahuinya... Orang itu kelihatannya masih belum puas dan mencoba menulis lagi:
John Ellis, kepala pelayan, mempunyai beberapa fakta tentang kematian dokter
itu. Ia belum memberikan fakta-fakta itu pada polisi...
Pada konsep yang lain, penggunaan bentuk orang ketiga tunggal sudah
ditinggalkan: Aku sangat memerlukan uang. Seribu pound akan membereskan persoalanku. Ada
beberapa hal yang bisa kukatakan pada polisi, tapi aku tak ingin membuat
ribut... Yang terakhir kelihatan lebih terbuka:
Saya tahu bagaimana dokter itu meninggal. Saya belum mengatakan apa-apa pada
polisi. Kalau Anda bersedia menemui saya...
Surat yang ini putus dengan cara berbeda-beda; setelah kata "saya", pena
bergoyang dan lima kata terakhir buram dan hurufnya membengkok. Rupanya waktu
menulis surat itulah Ellis mendengar suara yang membuatnya khawatir. Ia meremas
kertas itu dan cepat-cepat menyembunyikannya.
Mr. Satterthwaite menarik napas.
"Selamat, Cartwright," katanya. "Instingmu tentang noda tinta itu ternyata
benar. Bagus. Sekarang kita lihat di mana kita berada."
Ia diam sesaat. "Seperti kita perkirakan, Ellis rupanya memang penjahat. Dia bukan pembunuh,
tapi tahu siapa pembunuhnya, dan dia siap memeras orang itu, laki-laki atau
perempuan." "Laki-laki atau perempuan," kata Sir Charles. "Menyebalkan juga kita tak tahu
yang mana. Kenapa dia tidak memulai suratnya dengan 'Sir' atau 'Madam' saja.
Ellis kelihatannya cukup artistik. Dia susah payah menulis banyak surat
pemerasan. Kalau saja ada satu petunjuk - satu petunjuk kecil yang sederhana -
misalnya pada siapa surat itu ditujukan."
"Tak apa," kata Mr. Satterthwaite. "Kita sudah mendapat kemajuan. Kau sendiri
yang mengatakan apa yang ingin kaucari dalam kamar ini adalah bukti
ketidakterlibatan Ellis. Kita sudah menemukannya. Surat-surat ini menunjukkan
dia tidak terlibat. Dia memang penjahat, tapi bukan pembunuh Sir Bartholomew
Strange. Orang lain yang melakukannya. Orang yang juga membunuh Babbington,
kelihatannya. Kurasa polisi terpaksa akan sependapat dengan kita."
"Kau akan memberitahu mereka tentang ini?" suara Sir Charles menunjukkan rasa
tak puas. "Kurasa kita tak bisa membiarkannya. Kenapa?"
"Hm..." Sir Charles duduk di tempat tidur. Dahinya berkerut. "Bagaimana aku
harus mengatakannya" Pada saat ini kita tahu sesuatu yang tak diketahui orang
lain. Polisi sedang mencari Ellis. Mereka pikir dialah pembunuhnya. Setiap orang
tahu polisi menganggap dia pembunuhnya. Jadi, si pembunuh yang sesungguhnya
merasa aman. Dia - entah laki-laki entah perempuan - tak akan jadi sembrono, tapi
dia akan merasa aman. Bukankah sayang kalau kita mengaduk-aduk situasi itu"
Bukankah ini merupakan kesempatan untuk kita" Maksudku kesempatan kita untuk
mencari hubungan antara Babbington dan salah satu dari orang-orang itu. Mereka
tak tahu ada orang yang menghubungkan kematian ini dengan kematian Babbington.
Mereka tak akan curiga. Ini kesempatan satu dalam seribu."
"Ah, aku mengerti," kata Mr. Satterthwaite. "Aku setuju. Ini kesempatan. Tapi
sama saja, kurasa kita tak bisa melakukannya. Kewajiban kita sebagai warga
negara ialah melaporkan penemuan ini dengan segera pada polisi. Kita tak punya
hak untuk menyimpannya sendiri."
Sir Charles memandangnya dengan sorot mata aneh.
"Kau memang contoh warga negara yang baik, Satterthwaite. Aku tahu hal yang
ortodoks itu harus dilakukan. Tapi aku bukanlah warga negara yang baik. Rasanya
aku takkan merasa terlalu bersalah kalau menyimpannya sampai satu atau dua hari
lagi. Cuma satu-dua hari, kan" Tidak" Baiklah, aku menyerah. Kita harus
menghormati hukum dan peraturan."
"Johnson adalah kawanku," Mr. Satterthwaite menjelaskan, "dan dia amat baik -
membolehkan kita ikut-ikut tahu, memberi informasi lengkap, dan sebagainya."
"Oh, kau benar," kata Sir Charles. "Benar. Hanya saja, cuma aku rupanya yang
punya pikiran untuk mencari-cari di bawah perapian itu. Hal itu tak terpikir
oleh polisi-polisi tolol itu. Tapi sudahlah. Terserah kau saja, Satterthwaite.
Jadi, di mana Ellis sekarang, kira-kira?"
"Kurasa," kata Mr. Satterthwaite, "dia mendapat apa yang dicarinya. Dia diupah
untuk menghilang, dan dia menghilang dengan baik."
"Ya," kata Sir Charles, "kurasa itulah penjelasannya."
Ia gemetar. "Aku tak suka kamar ini, Satterthwaite. Ayo keluar."
BAB XII Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite sampai di London kembali esok malamnya.
Wawancara dengan Kolonel Johnson harus dilakukan dengan taktis. Inspektur
Crossfield tidak terlalu gembira, sebab "orang-orang biasa" itu menemukan
sesuatu yang seharusnya ditemukan dirinya dan bawahannya. Ia berusaha tidak
kehilangan muka. "Bagus sekali, Sir. Saya akui saya memang tak pernah berpikir untuk memeriksa
tempat itu. Terus terang, saya ingin tahu apa yang membuat Anda mencari sesuatu
di tempat itu." Kedua laki-laki itu memang tidak bercerita secara mendetail tentang teori mereka
yang didasarkan pada setitik noda tinta. "Hanya melongok-longok," itulah yang
dikatakan Sir Charles. "Tapi Anda berhasil," kata inspektur itu, "walaupun apa yang Anda temukan tidak
terlalu mengejutkan bagi saya. Memang bisa dimengerti kalau Ellis bukan
pembunuhnya, dia pasti menghilang karena sebab-sebab tertentu. Saya sudah lama
juga berpikir, bisa jadi pemerasan merupakan profesinya."
Satu hal memang muncul karena penemuan tersebut. Kolonel Johnson bermaksud
mengadakan komunikasi dengan polisi Loomouth. Kematian Stephen Babbington harus
diperiksa. "Dan kalau mereka menemukan dia juga meninggal karena keracunan nikotin, si
Crossfield akan terpaksa mengakui kedua kematian itu berhubungan," kata Sir
Charles ketika mereka ngebut ke London.
Ia masih kesal karena terpaksa menyerahkan penemuannya kepada polisi.
Mr. Satterthwaite menghiburnya dengan mengatakan informasi itu tak akan
dipublikasikan pada wartawan.
"Orang yang bersalah tak akan khawatir, dan pencarian Ellis tetap dilakukan."
Sir Charles mengakui hal itu benar.
Setelah sampai di London, Sir Charles berkata pada Mr. Satterthwaite bahwa ia
akan menghubungi Egg Lytton Gore. Surat gadis itu ditulis dari sebuah alamat di
Belgrave Square. Ia berharap gadis itu masih ada di sana.
Mr. Satterthwaite menyetujui hal itu dengan sikap sungguh-sungguh. Ia sendiri
ingin bertemu Egg. Sir Charles memang berjanji akan menelepon gadis itu begitu
mereka sampai di London. Egg ternyata masih di situ. Ia dan ibunya tinggal di rumah saudara mereka dan
baru akan kembali ke Loomouth seminggu kemudian. Egg dengan mudah diajak keluar
untuk makan malam dengan kedua pria itu.
"Tentunya dia tak bisa datang ke tempat ini," kata Sir Charles sambil memandang
berkeliling flatnya yang mewah. "Ibunya tak akan senang. Kita bisa saja
mengundang Miss Milray, tapi rasanya tak perlu. Terus terang, Miss Milray
membuatku jadi kaku dan kagok. Dia begitu efisien, sehingga aku jadi rendah
diri." Mr. Satterthwaite menawarkan rumahnya. Akhirnya mereka memutuskan makan di
Berkeley. Setelah itu, kalau Egg suka, mereka bisa melanjutkan obrolan di suatu
tempat. Mr. Satterthwaite seketika melihat gadis itu tampak lebih kurus, matanya
kelihatan lebih besar, dan dagunya lebih tegas. Mukanya pucat dan di bawah
matanya terlihat lingkaran-lingkaran. Tapi daya tariknya tetap sama, begitu pula
semangatnya yang kekanak-kanakan.
Ia berkata pada Sir Charles, "Saya tahu Anda pasti datang."
Nada suaranya berbunyi, "Karena kau sudah tiba, semuanya pasti beres."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Tapi dia tak yakin Sir Charles akan datang; dia
sama sekali tak yakin. Dia begitu khawatir. Banyak pikiran." Dan ia berpikir
lagi, "Apakah Sir Charles tidak merasa" Aktor biasanya sensitif. Apa dia tak
tahu gadis itu mencintainya setengah mati?"
Situasi ini aneh, pikirnya. Bahwa Sir Charles jatuh cinta pada gadis itu, sudah
jelas terlihat. Gadis itu pun mencintainya. Dan hubungan di antara mereka -
hubungan yang mendekatkan mereka - adalah tindak kriminal ganda yang luar biasa.
Mereka tak banyak bicara selama makan. Sir Charles bercerita tentang
pengalamannya di luar negeri. Egg bercerita tentang Loomouth. Mr. Satterthwaite
membuat mereka bicara lagi ketika pembicaraan mulai tersendat-sendat.
Setelah selesai makan malam, mereka pergi ke rumah Mr. Satterthwaite.
Rumah Mr. Satterthwaite ada di Chelsea Embankment. Rumah besar itu berisi banyak
karya seni. Di situ banyak lukisan, patung, porselen Cina, tembikar prasejarah,
gading, miniatur dan perabotan Chippendale dan Heppelwhite asli. Terasa suasana
matang serta penuh pengertian di situ.
Tapi Egg Lytton Gore tidak melihat apa-apa. Ia melemparkan mantel malamnya di
sebuah kursi dan berkata,
"Nah, sekarang ceritakan semuanya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Sir Charles menceritakan
pengalaman mereka di Yorkshire, dan menarik napas dalam-dalam ketika pria itu
menjelaskan tentang penemuan surat-surat pemerasan itu.
"Apa yang terjadi setelah itu hanya bisa kita bayangkan," kata Sir Charles
mengakhiri. "Barangkali Ellis dibayar untuk menjaga lidahnya, dan kepergiannya
justru mendapat bantuan."
Tapi Egg menggelengkan kepala.
"Oh, tidak," katanya. "Ellis pasti sudah mati."
Kedua laki-laki itu terkejut, tapi Egg begitu yakin dengan idenya.
"Tentu saja dia sudah mati. Itu sebabnya dia berhasil menghilang begitu lama,
sampai tak seorang pun bisa menemukan jejaknya. Dia tahu terlalu banyak, jadi
dia dibunuh. Ellis adalah korban ketiga."
Walaupun kedua laki-laki itu tak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya,
mereka terpaksa mengakui teori itu sangat masuk akal.
"Tapi begini," kata Sir Charles. "Memang bisa saja Ellis sudah mati.
Persoalannya, di mana mayatnya" Kepala pelayan dengan tubuh seberat itu tentunya
harus diperhitungkan."
"Saya tak tahu di mana mayatnya," kata Egg. "Pasti banyak tempat."
"Justru sebaliknya," gumam Mr. Satterthwaite. "Sulit."
"Banyak," ulang Egg. "Coba," katanya, lalu diam sejenak. "Di ruang bawah atap -
banyak ruangan di bawah atap yang tak pernah dilihat orang. Barangkali dia ada
di dalam peti di sana."
"Kelihatannya tak masuk akal," kata Sir Charles. "Tapi mungkin saja. Mungkin
untuk menunda penemuan... eh... atau untuk mengulur waktu."
Tapi Egg bukanlah orang yang suka menghindari rasa tak enak. Ia langsung
menghadapi hal yang dipikirkan Sir Charles.
"Bau busuk menguap ke atas, tidak ke bawah. Keberadaan mayat lebih cepat
diketahui apabila diletakkan di ruang bawah tanah, bukan di ruang bawah atap.
Dan lagi, kalau orang mencium baunya, pikiran mereka pertama-tama akan tertuju
pada tikus-tikus mati."
"Kalau teorimu benar, berarti si pembunuh laki-laki. Wanita tak bisa menyeret-
nyeret mayat seputar rumah. Bagi laki-laki saja susah."
"Ada beberapa kemungkinan lain. Ada sebuah lorong rahasia di sana. Miss
Sutcliffe yang cerita pada saya. Dan Sir Bartholomew berjanji akan
menunjukkannya pada saya. Pembunuh itu mungkin memberi Ellis uang dan
menunjukkan jalan keluar lewat lorong itu. Mereka bersama-sama menyusuri lorong,
dan si pembunuh membunuhnya di sana. Seorang wanita bisa melakukan hal itu. Lalu
dia bisa meninggalkan mayatnya di situ dan kembali lagi. Tak ada seorang pun
tahu." Sir Charles menggelengkan kepala dengan ragu-ragu, tapi ia tidak membantah teori
Egg. Mr. Satterthwaite yakin kecurigaan seperti itu telah dirasakannya ketika ia
masuk ke kamar Ellis untuk kedua kalinya. Ia teringat Sir Charles yang bergidik.
Kemungkinan bahwa Ellis sudah meninggal pasti muncul dalam pikiran Sir Charles
saat itu. Mr. Satterthwaite berpikir, "Kalau Ellis benar telah meninggal, berarti kami
berhadapan dengan pembunuh yang amat berbahaya. Ya, orang yang amat berbahaya."
Tiba-tiba bulu kuduknya meremang.
Orang yang pernah membunuh tiga kali takkan ragu-ragu membunuh lagi.
Mereka dalam bahaya - ketiganya - Sir Charles, Egg, dan ia sendiri.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau mereka tahu terlalu banyak...
Lamunannya terputus ketika mendengar suara Sir Charles.
"Ada satu hal yang tidak kumengerti dalam suratmu, Egg. Kau mengatakan ada
seseorang yang dalam bahaya - polisi mencurigainya. Aku tak mengerti kenapa polisi
bisa mencurigai seseorang."
Mr. Satterthwaite melihat Egg agak bingung. Ia bahkan melihat wajah gadis itu
memerah. "Aha," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya sendiri. "Coba lihat apa jawabmu,
nona muda." "Saya memang tolol," kata Egg. "Bingung. Saya pikir Oliver, dengan alasan
kedatangannya yang seperti itu, akan menimbulkan kecurigaan polisi."
Sir Charles menerima penjelasan itu.
"Hm, begitu," katanya.
Mr. Satterthwaite berbicara.
"Apakah alasan itu masuk akal?" katanya.
Egg berpaling padanya. "Apa maksud Anda?"
"Kecelakaan itu aneh," kata Mr. Satterthwaite. "Saya merasa alasan itu tak masuk
akal. Barangkali kau bisa menjelaskan."
Egg menggelengkan kepala.
"Saya tidak tahu. Saya tak pernah berpikir tentang hal itu. Tapi kenapa Oliver
harus berpura-pura mendapat kecelakaan?"
"Barangkali dia punya alasan," kata Sir Charles. "Alasan yang wajar."
Ia tersenyum pada Egg. Gadis itu menjadi merah mukanya.
"Oh, tidak," katanya. "Tidak."
Sir Charles menarik napas panjang. Mr. Satterthwaite merasa kawannya salah
menginterpretasikan rasa malu gadis itu. Sir Charles kelihatan lebih tua dan
lebih sedih ketika bicara lagi.
"Hm, kalau kawan kita Manders tidak dalam bahaya, apa hubungannya dengan saya?"
Egg maju ke depan dengan cepat dan memegang lengan mantel Sir Charles.
"Jangan pergi lagi. Jangan menyerah. Carilah kebenaran itu - kebenaran itu. Saya
kira hanya Andalah yang bisa menemukannya. Anda bisa, dan akan menemukannya."
Gadis itu kelihatan sangat serius. Gelombang vitalitas yang ditimbulkannya
seolah-olah masuk dan berputar di dalam ruangan itu.
"Kau percaya padaku?" kata Sir Charles. Ia terharu.
"Ya, ya, ya. Kita akan menemukan kebenaran itu. Anda dan saya bersama-sama."
"Dan Satterthwaite."
"Tentu saja. Dan Mr. Satterthwaite," kata Egg tanpa antusias.
Mr. Satterthwaite tersenyum diam-diam. Ia akan tetap melanjutkan penyelidikan,
walaupun Egg tidak mengikutsertakan dirinya. Ia suka misteri, ia suka
memperhatikan tingkah laku manusia, dan ia bisa memahami orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Ketiga hal itu kelihatannya ada dalam kasus yang sedang mereka
hadapi. Sir Charles duduk. Suaranya berubah. Ia yang memegang pimpinan dan mengatur
sebuah produksi. "Pertama-tama kita harus menjernihkan situasi. Kita yakin atau tidak bahwa
pembunuh Babbington sama dengan pembunuh Bartholomew Strange?"
"Ya," kata Egg.
"Ya," kata Mr. Satterthwaite.
"Apa kita yakin pembunuhan kedua merupakan akibat langsung dari pembunuhan
pertama" Maksud saya, apa kita percaya Bartholomew Strange dibunuh dengan tujuan
mencegah dia membukakan fakta tentang pembunuhan pertama atau kecurigaannya
tentang hal itu?" "Ya," kata Egg dan Mr. Satterthwaite bersama-sama.
"Kalau begitu, yang kita selidiki adalah pembunuhan pertama, bukan kedua."
Egg mengangguk. "Menurut saya, kita hanya bisa menemukan si pembunuh apabila kita tahu motif
pembunuhan pertama. Motif itu sulit diketahui, karena Babbington orang tua yang
lembut, menyenangkan, dan bisa dikatakan tak punya musuh di dunia. Tapi dia
terbunuh, dan pasti ada penjelasan untuk itu. Kita harus menemukan penjelasan
itu." Ia diam, lalu berkata dengan suaranya yang biasa,
"Kita perinci saja kalau begitu. Sebab-sebab apa saja yang bisa dijadikan alasan
untuk membunuh orang" Pertama, untuk mendapatkan sesuatu."
"Balas dendam," kata Egg.
"Homicidal mania - pembunuh gila," kata Mr. Satterthwaite. "Crime passionnel - suka
tindak kejahatan - tak akan cocok untuk kasus ini. Tapi ada rasa takut."
Charles Cartwright mengangguk. Ia mencoret-coret selembar kertas.
"Kira-kira itu sudah cukup," katanya. "Pertama, ingin mendapatkan sesuatu. Apa
ada yang beruntung dengan kematian Babbington" Apa dia punya uang atau dia calon
ahli waris?" "Saya rasa tidak," kata Egg.
"Aku sependapat. Tapi sebaiknya kita dekati Mrs. Babbington untuk mengetahui hal
ini." "Lalu balas dendam. Apa Babbington menyakiti seseorang - barangkali pada waktu
muda" Apa dia menikahi gadis yang diinginkan laki-laki lain" Kita harus mencari
tahu hal itu juga." "Lalu homicidal mania. Baik Babbington maupun Tollie dibunuh orang gila. Kurasa
teori itu tak bisa diterapkan. Orang gila pun masih mempunyai hal yang masuk
akal dalam kriminalitasnya. Maksudku, seorang gila bisa saja berpikir dia
merupakan pilihan Tuhan untuk membunuh dokter atau pendeta, tapi tidak untuk
membunuh keduanya. Kurasa kita bisa menghilangkan teori homicidal mania. Yang
tinggal adalah ketakutan.
"Terus terang saja, kelihatannya ini yang paling cocok. Babbington tahu sesuatu
tentang seseorang, atau dia mengenali seseorang. Dia dibunuh untuk mencegahnya
mengatakan sesuatu itu."
"Sulit bagiku membayangkan hal apa yang diketahui Mr. Babbington yang
membahayakan seseorang yang hadir dalam pesta malam itu."
"Barangkali," kata Sir Charles, "dia tahu sesuatu, tapi tak sadar akan hal itu."
Ia melanjutkan penjelasannya,
"Sulit mengatakan apa yang kumaksud. Seandainya, misalnya - ini hanya contoh -
Babbington melihat seseorang pada suatu tempat tertentu. Sepanjang dia tahu, tak
ada salahnya orang itu berada di situ. Tapi seandainya orang itu sedang membuat
alibi untuk maksud tertentu, yang menyatakan dia berada di suatu tempat lain
yang amat jauh... nah, Babbington bisa saja menggagalkan rencana itu tanpa
maksud apa-apa, hanya karena dia tidak tahu."
"Hm, begitu," kata Egg. "Jadi, misalnya ada pembunuhan di London, lalu
Babbington melihat si pembunuh itu di Stasiun Paddington, tapi orang itu punya
alibi yang menunjukkan dia ada di Leeds waktu pembunuhan itu terjadi. Maka
Babbington mungkin saja akan menggagalkan rencana itu."
"Itulah yang kumaksud. Tentu saja itu hanya contoh. Bisa saja hal lain yang
terjadi. Seseorang yang dijumpainya malam itu yang dikenalnya dengan nama lain."
"Mungkin ada hubungannya dengan perkawinan," kata Egg. "Pendeta kan mengawinkan
banyak orang. Mungkin ada seseorang yang melakukan bigami."
"Atau ada hubungannya dengan kelahiran dan kematian," kata Mr. Satterthwaite.
"Sangat luas kemungkinannya," kata Egg sambil mengerutkan dahi. "Kita harus
melihatnya dengan cara lain. Kita mulai dari orang-orang yang datang ke pesta.
Kita buat daftar dulu. Siapa-siapa yang datang di rumah Anda, dan siapa-siapa
yang datang di rumah Sir Bartholomew."
Ia mengambil kertas dan pensil dari Sir Charles.
"Suami-istri Dacres. Mereka hadir di kedua pesta itu. Wanita yang seperti kol
layu itu - siapa namanya" - Wills. Miss Sutcliffe."
"Tak perlu memasukkan Angela dalam daftar itu. Aku sudah lama mengenalnya," kata
Sir Charles. Egg mengerutkan kening tak setuju.
"Kita tak bisa melakukan hal seperti itu," katanya. "Menyisihkan seseorang
karena kita mengenalnya. Kita harus adil. Kecuali itu, saya tak tahu siapa
Angela Sutcliffe. Dia bisa saja melakukan hal yang dilakukan orang lain -
kemungkinannya bahkan lebih banyak. Semua aktris punya masa lalu. Secara
keseluruhan, saya merasa dialah yang paling punya kemungkinan untuk itu."
Ia memandang Sir Charles dengan gagah. Ada jawaban dalam kilatan matanya.
"Kalau begitu, kita juga tak bisa menyisihkan Oliver Manders."
"Bagaimana mungkin dia melakukannya" Dia begitu sering bertemu dengan Mr.
Babbington sebelumnya."
"Dia ada di kedua pesta itu, dan alasan kedatangannya agak mencurigakan."
"Baik," kata Egg. Ia diam, lalu berkata, "Kalau begitu, saya akan menulis nama
Ibu dan nama saya juga. Semuanya ada tujuh orang."
"Kurasa..." "Kita melakukannya dengan benar atau tidak sama sekali," kata Egg dengan sorot
mata marah. Mr. Satterthwaite memerankan juru damai dengan menawarkan makanan kecil. Ia
membunyikan bel untuk minta minum.
Sir Charles berjalan ke sebuah sudut dan mengagumi sebuah patung kepala Negro.
Egg mendekati Mr. Satterthwaite dan menyelipkan lengannya, menggandeng pria itu.
"Bodoh saya, kenapa jadi panas begini?" gumamnya. "Saya tolol. Tapi kenapa
wanita itu diperlakukan lain" Kenapa dia begitu ngotot" Ya ampun. Kenapa saya
jadi cemburu begini?"
Mr. Satterthwaite tersenyum dan menepuk-nepuk tangannya.
"Kecemburuan tak ada gunanya, Nak," katanya. "Kalau kau cemburu, jangan
diperlihatkan. O ya, apa kau benar-benar berpikir si Manders itu mungkin
dicurigai?" Egg menyeringai, ramah dan kekanak-kanakan.
"Tentu saja tidak. Saya sengaja menulis hal itu supaya tidak terlalu mengejutkan
dia." Ia menolehkan kepalanya. Sir Charles masih mengamati kepala Negro itu
dengan pandangan sedih. "Saya tak ingin dia merasa dikejar. Tapi saya tak ingin
dia berpikir saya mencintai Oliver, karena memang tidak. Kenapa sulit begini,
ya" Sekarang dia kembali bersikap 'Kurestui kau, Nak.' Saya tak mau itu."
"Sabar," kata Mr. Satterthwaite. "Semuanya akan beres nanti."
"Saya tidak sabaran," kata Egg. "Saya ingin semuanya cepat atau cepat sekali."
Mr. Satterthwaite tertawa. Sir Charles berbalik dan mendekati mereka.
Sambil meneguk minuman, mereka membuat rencana untuk bertindak. Sir Charles akan
kembali ke Crow's Nest yang belum laku dijual. Egg dan ibunya akan kembali ke
Rose Cottage, lebih cepat dari yang mereka rencanakan. Mrs. Babbington masih
tinggal di Loomouth. Mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin dari wanita
itu, kemudian baru bertindak.
"Kita akan berhasil," kata Egg. "Saya tahu. Kita akan berhasil."
Ia membungkuk ke arah Sir Charles dengan mata bersinar. Ia mengulurkan gelasnya
dan menyentuh gelas Sir Charles.
"Kita minum untuk keberhasilan," kata Egg.
Pelan-pelan mata Sir Charles menatap mata Egg, dan ia mengangkat gelasnya ke
bibir. "Demi sukses," katanya, "dan masa depan."
BABAK KETIGA PENEMUAN BAB XIII MRS. BABBINGTON telah pindah ke pondok nelayan kecil yang tak jauh dari
pelabuhan. Ia sedang menunggu adik perempuannya datang dari Jepang dalam enam
bulan ini. Ia baru akan membuat rencana masa depan kalau adiknya sudah datang.
Pondok itu kebetulan kosong dan ia menyewanya untuk enam bulan. Ia masih takut
pergi jauh dari Loomouth karena kehilangan yang begitu mendadak. Stephen
Babbington telah melayani gereja St. Petroch, Loomouth, selama tujuh belas
tahun. Mereka menikmati tujuh belas tahun yang bahagia dan penuh damai, walaupun
putra mereka, Robin, meninggal. Anak-anak yang masih hidup adalah Edward, yang
ada di Sri Lanka; Lloyd di Afrika Selatan; dan Stephen, perwira militer di
Angola. Mereka sering menulis surat yang hangat dan penuh sayang, tapi tak
seorang pun bisa menawarkan rumah atau menemani ibunya.
Margaret Babbington sangat kesepian.
Bukan karena ia membuang-buang waktu dengan melamun. Ia masih tetap aktif di
gereja (pendeta yang baru belum menikah), dan Margaret menghabiskan banyak
waktunya dengan merawat halaman sempit di depan pondoknya. Ia tipe wanita yang
menganggap bunga adalah bagian dari hidupnya.
Ia sedang merawat tanamannya di halaman sore itu, ketika mendengar derit pintu
pagar dan melihat Sir Charles Cartwright masuk bersama Egg Lytton Gore.
Margaret tidak heran melihat Egg. Ia tahu gadis itu dan ibunya akan segera
kembali. Tapi ia heran melihat Sir Charles. Ia mendengar laki-laki itu telah
pergi dan takkan kembali lagi. Koran-koran juga memberitakan apa yang ia lakukan
di Prancis Selatan. Di halaman Crow's Nest ada sebuah papan yang bertuliskan
DIJUAL. Tak seorang pun membayangkan ia akan kembali lagi. Tapi nyatanya ia
datang kembali. Mrs. Babbington menepis rambut dari dahinya yang kepanasan dan memandang sedih
pada tangannya yang kotor penuh tanah.
"Saya tak bisa bersalaman," katanya. "Seharusnya saya memakai sarung tangan.
Kadang-kadang saya memang memakainya, tapi sarung tangan itu selalu robek.
Dengan tangan saja rasanya lebih enak."
Ia mengajak mereka masuk rumah. Ruang duduk mungil itu kelihatan nyaman dengan
sejumlah hiasan dari kain. Di situ ada foto-foto dan sejumlah jambangan berisi
bunga seruni. "Kedatangan Anda sangat mengejutkan, Sir Charles. Saya kira Anda telah
meninggalkan Crow's Nest untuk selamanya."
"Saya pikir juga begitu," kata aktor itu terus terang. "Tapi kadang-kadang, Mrs.
Babbington, nasib menentukan lain."
Mrs. Babbington tidak menanggapi. Ia memandang Egg, tapi gadis itu menahan kata-
katanya di bibir. "Begini, Mrs. Babbington. Ini bukan sekadar kunjungan. Sir Charles dan saya
ingin membicarakan sesuatu yang serius. Tapi saya... saya tak ingin membuat Anda
sedih." Mrs. Babbington memandang gadis itu, lalu ganti memandang Sir Charles. Wajahnya
berubah agak keabu-abuan dan sedikit berkerut.
"Pertama-tama," kata Sir Charles, "saya ingin bertanya apakah Anda telah
menerima informasi itu."
Mrs. Babbington menganggukkan kepalanya.
"Hm. Mungkin itu akan membuat percakapan kita nanti jadi lebih mudah."
"Itukah maksud kedatangan Anda" Perintah penggalian kembali?"
"Ya. Tentunya... sangat menyedihkan bagi Anda."
Hatinya melembut mendengar suara Sir Charles yang penuh simpati.
"Barangkali tidak apa-apa. Bagi beberapa orang tertentu, penggalian kembali
pasti mengerikan, tapi tidak buat saya. Bukan tanah liat mati yang penting bagi
saya. Suami saya ada di suatu tempat, penuh damai, tempat tak seorang pun bisa
mengganggunya. Bukan, bukan itu. Yang mengejutkan saya adalah ide itu. Ide
kematian Stephen bukan kematian yang wajar. Rasanya begitu tak masuk akal - sangat
tak masuk akal." "Saya mengerti. Anda pasti merasa demikian. Kami sendiri juga merasakan hal yang
demikian - pertama-tama."
"Apa maksud Anda dengan 'pertama-tama', Sir Charles?"
"Karena suatu kecurigaan menyelinap di hati saya pada malam kematian suami Anda,
Mrs. Babbington. Seperti Anda, saya pun merasa itu tak mungkin, sehingga saya
mengesampingkannya."
"Saya juga berpikir begitu," kata Egg.
"Anda juga?" tanya Mrs. Babbington. Ia memandang gadis itu dengan heran. "Anda
pikir ada orang yang tega membunuh Stephen?"
Keraguan dalam suaranya begitu besar, sehingga kedua tamunya tak tahu bagaimana
harus melanjutkan. Akhirnya Sir Charles melanjutkan,
"Seperti Anda ketahui, Mrs. Babbington, saya pergi ke luar negeri. Ketika masih
di Prancis Selatan, saya membaca dari koran tentang kematian teman saya, Sir
Bartholomew Strange, dalam situasi yang hampir sama. Saya juga menerima surat
dari Miss Lytton Gore."
Egg mengangguk. "Saya datang di pesta itu. Menginap di rumahnya. Mrs. Babbington, kejadiannya
sama - persis sama. Dia minum anggur, lalu wajahnya berubah, dan... dan... ya,
sama. Dia meninggal dua atau tiga menit kemudian."
Mrs. Babbington menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya tidak mengerti. Stephen! Sir Bartholomew - dokter yang cerdas dan baik!
Siapa yang tega menyakiti mereka" Itu pasti kekeliruan."
"Sir Bartholomew terbukti keracunan, ingat," kata Sir Charles.
"Kalau begitu, ini pasti pekerjaan orang gila."
Sir Charles melanjutkan, "Mrs. Babbington, saya ingin benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
di balik peristiwa ini. Dan saya merasa kita tak boleh membuang-buang waktu.
Sekali berita tentang penggalian itu tersebar, si penjahat akan menjadi waspada.
Untuk menghemat waktu, saya ingin membuat asumsi bahwa kematian Mr. Babbington
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga diakibatkan keracunan nikotin. Pertama-tama, apakah Anda atau Mr.
Babbington tahu tentang penggunaan nikotin murni?"
"Saya selalu menggunakan larutan nikotin untuk menyemprot mawar. Saya tak tahu
larutan itu beracun."
"Saya pikir - tadi malam saya membaca hal itu - dalam kedua kasus ini, dipergunakan
alkaloid murni. Kasus peracunan dengan nikotin memang tidak biasa."
Mrs. Babbington menggelengkan kepala.
"Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang peracunan nikotin. Saya kira hanya
pecandu rokok yang mungkin menderita karenanya."
"Apa suami Anda merokok?"
"Ya." "Coba sekarang Anda jelaskan. Anda tadi menunjukkan rasa heran karena ada orang
yang tega membunuh suami Anda. Apakah itu berarti - setahu Anda - dia tak punya
musuh?" "Saya yakin Stephen tak punya musuh. Setiap orang menyukainya. Kadang-kadang
orang-orang bahkan memburunya." Ia tersenyum sedih. "Dia memang sudah tua dan
kadang-kadang takut pada penemuan-penemuan baru, tapi setiap orang menyukainya.
Orang tak bisa tidak menyukai dia."
"Apakah Mr. Babbington meninggalkan banyak uang?"
"Tidak. Hampir tak ada. Dia tak bisa menabung. Dia memberi terlalu banyak. Saya
biasanya marah karenanya."
"Dia juga tidak mengharap mendapat sesuatu dari orang lain" Dia bukan ahli
waris?" "Oh, tidak. Stephen tak punya banyak kerabat. Dia punya seorang saudara
perempuan yang menikah dengan pendeta di Northumberland, tapi mereka miskin.
Semua paman dan bibinya sudah meninggal."
"Kalau begitu, tak ada orang yang akan mendapatkan sesuatu karena kematian Mr.
Babbington?" "Sama sekali tidak."
"Saya ingin kembali pada soal musuh, sebentar saja. Kata Anda Mr. Babbington tak
punya musuh. Bagaimana dengan ketika dia masih muda?"
Mrs. Babbington tampak skeptis.
"Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang suka bermusuhan. Dia selalu
baik pada orang lain."
"Saya tak ingin memberi kesan melodramatis," Sir Charles berkata sambil
berdeham-deham karena agak gugup, "tapi... eh... ketika dia bertunangan dengan
Anda, misalnya, apa tak ada pihak lain yang kecewa?"
Mata Mrs. Babbington bersinar sekejap.
"Stephen adalah kurator ayah saya. Dia pemuda pertama yang saya lihat ketika
saya pulang setelah menamatkan sekolah. Kami saling jatuh cinta. Kami
bertunangan selama empat tahun, lalu dia punya pekerjaan dan tempat tinggal di
Kent, dan kami bisa menikah. Kisah cinta kami sangat sederhana, Sir Charles, dan
sangat bahagia." Sir Charles menganggukkan kepala. Kewibawaan Mrs. Babbington yang sederhana itu
sangat menarik. Egg menggantikan peran penanya,
"Mrs. Babbington, apakah Mr. Babbington pernah bertemu dengan salah seorang tamu
di pesta itu sebelumnya?"
Mrs. Babbington kelihatan agak heran.
"Ibu Anda dan Anda sendiri, lalu Oliver Manders."
"Tamu-tamu lainnya?"
"Kami pernah melihat Angela Sutcliffe dalam suatu pertunjukan di London lima
tahun yang lalu. Stephen dan saya senang karena akan bertemu langsung
dengannya." "Anda sebelumnya tak pernah bertemu dengannya?"
"Tidak. Kami tak pernah bertemu aktris atau aktor, sampai Sir Charles datang
kemari. Dan itu," kata Mrs. Babbington, "membuat kami merasa menggebu-gebu. Saya
kira Sir Charles tidak tahu hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kami.
Seperti embusan roman dalam hidup kami."
"Anda belum pernah bertemu Kapten dan Mrs. Dacres?"
"Apa dia laki-laki kecil dengan wanita berbaju bagus itu?"
"Ya." "Tidak. Juga wanita yang satunya - yang menulis drama. Kasihan. Kelihatannya dia
tak bisa masuk lingkungan itu."
"Anda yakin belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?"
"Saya yakin belum pernah. Dan saya juga yakin Stephen juga belum pernah. Kami
selalu melakukan segalanya bersama-sama."
"Dan Mr. Babbington tidak berkata apa-apa pada Anda" Tidak sama sekali, tentang
orang-orang yang akan Anda temui atau yang Anda temui ketika dia telah melihat
mereka?" tanya Egg ngotot.
"Tidak, tak ada. Kami hanya membayangkan akan menikmati malam yang menarik. Dan
ketika kami sampai di sana... hm, tak banyak waktu..." Tiba-tiba wajahnya
gemetar. Sir Charles menyela dengan cepat,
"Maaf, kami telah mengganggu Anda seperti ini. Tapi kami merasa pasti ada
sesuatu. Pasti ada alasan untuk pembunuhan yang begitu brutal dan kejam."
"Ya," kata Mrs. Babbington. "Seandainya ini memang suatu pembunuhan, harus ada
alasannya. Tapi saya tahu - saya tak bisa membayangkan - alasan apa yang menjadi
sebab." Mereka diam sejenak. Lalu Sir Charles berkata,
"Bisakah Anda memberikan gambaran sekilas tentang karier suami Anda?"
Mrs. Babbington mempunyai ingatan kuat atas tanggal-tanggal. Demikianlah yang
dicatat Sir Charles: Stephen Babbington, lahir di Islington, Devon, 1868.
Bersekolah di St. Paul's School dan Oxford. Ditahbiskan di Hoxton, 1891.
Dikukuhkan tahun 1892. Jadi kurator di Elsington, Surrey, pada Pendeta Vernon
Lorrimer 1894 - 1899. Menikah dengan Margaret Lorrimer, 1899, menjadi pendeta di
St. Mary's, Gilling. Pindah ke St. Petroch, Loomouth, 1916.
"Ini bisa menjadi petunjuk penyelidikan," kata Sir Charles. "Yang ada
hubungannya mungkin ketika Mr. Babbington masih menjadi pendeta di St. Mary's,
Gilling. Sejarahnya yang lebih awal mungkin tidak terlalu berhubungan dengan
teman-teman yang datang ke tempat saya."
Mrs. Babbington gemetar. "Apa benar salah seorang dari mereka..."
"Saya tak tahu harus berpikir apa," kata Sir Charles. "Bartholomew Strange
kelihatannya melihat sesuatu atau menebak sesuatu. Dan dia meninggal dengan cara
yang sama, dan lima..."
"Tujuh," kata Egg.
"...dari orang-orang itu juga datang ke pestanya. Salah seorang dari mereka
pasti bersalah." "Tapi kenapa?" seru Mrs. Babbington. "Kenapa" Motif apa yang membuat seseorang
ingin membunuh Stephen?"
"Itu," kata Sir Charles, "yang ingin kami ketahui."
BAB XIV MR. SATTERTHWAITE datang ke Crow's Nest dengan Sir Charles. Ketika tuan rumah
pergi dengan Egg Lytton Gore mengunjungi Mrs. Babbington, Mr. Satterthwaite
minum teh dengan Lady Mary.
Lady Mary menyukai Mr. Satterthwaite. Walaupun sikapnya lembut, ia mempunyai
pandangan tegas tentang siapa yang disukainya dan yang tidak.
Mr. Satterthwaite menghirup teh Cina dari sebuah cangkir Dresden dan makan
sepotong sandwich mungil sambil mengobrol. Dalam kunjungannya yang terakhir,
mereka ternyata mempunyai kenalan dan teman-teman yang sama. Sekarang keduanya
bicara tentang mereka, tapi pelan-pelan pembicaraan itu beralih pada hal-hal
yang lebih akrab. Mr. Satterthwaite adalah pribadi yang simpatik; ia
mendengarkan keluhan orang lain dan tidak mengganggu mereka dengan persoalannya
sendiri. Dalam kunjungannya yang terakhir pun Lady Mary bisa bicara bebas
tentang kekhawatirannya akan masa depan anaknya. Dan ia sekarang bicara padanya,
seolah-olah pada orang yang sudah bertahun-tahun ia kenal.
"Egg itu keras kepala," katanya. "Dia biasa melakukan apa yang disukainya.
Sebenarnya saya tak suka melihat dia terlibat dalam urusan yang... menyedihkan
ini. Egg pasti akan menertawakan saya. Tapi rasanya itu bukan hal yang pantas
dilakukan wanita." Mukanya berubah merah ketika ia bicara. Matanya yang cokelat, lembut, dan jujur
memandang Mr. Satterthwaite seperti anak yang minta tolong.
"Saya tahu apa yang Anda maksud," katanya. "Terus terang, saya sendiri juga
tidak suka. Saya tahu hal itu merupakan prasangka kuno. Tapi ya... apa boleh
buat," ia mengedipkan matanya, "kita tak bisa mengharap gadis-gadis muda itu
bisa duduk diam, menjahit, dan menjadi ketakutan mendengar berita pembunuhan
seperti itu." "Saya tidak suka berpikir tentang pembunuhan," kata Lady Mary. "Saya tak
pernah... tak pernah sekali pun bermimpi akan terlibat dalam urusan ini. Sangat
mengerikan." Ia gemetar. "Kasihan Sir Bartholomew."
"Anda tidak terlalu mengenal dia?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Saya cuma bertemu dia dua kali. Yang pertama kira-kira satu tahun yang lalu,
ketika dia datang menginap di rumah Sir Charles pada suatu akhir pekan. Dan yang
kedua adalah pada malam mengerikan ketika Mr. Babbington meninggal. Saya heran
ketika mendapat undangan darinya. Saya menerimanya karena saya berpikir Egg akan
menyukainya. Tak banyak yang bisa saya berikan. Kasihan Egg - apalagi dia agak
murung waktu itu, seolah-olah dia tidak tertarik pada apa-apa. Saya pikir pesta
di rumah besar begitu akan membuatnya gembira."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Coba Anda ceritakan tentang Oliver Manders," katanya. "Saya tertarik pada anak
itu." "Saya kira dia cerdas," kata Lady Mary. "Memang semuanya sulit buat dia."
Wajahnya merah. Lalu ia menjawab pandangan bertanya Mr. Satterthwaite.
Lanjutnya, "Ayahnya tidak menikah dengan ibunya."
"Benarkah" Saya tak tahu itu."
"Setiap orang di sini tahu. Kalau tidak, saya tak akan bicara tentang hal itu.
Mrs. Manders tua, nenek Oliver, tinggal di Dunboyne, rumah besar di jalan ke
Plymouth itu. Suaminya pengacara. Anak laki-lakinya bekerja di sebuah perusahaan
di kota. Dia orang kaya. Anak perempuannya cantik, dan terpikat pada laki-laki
yang sudah beristri. Pada akhirnya, setelah terjadi banyak keributan, mereka
pergi bersama. Tapi istri laki-laki itu tak mau menceraikan suaminya. Gadis itu
meninggal tak lama setelah Oliver lahir. Pamannya yang ada di London itu
memeliharanya, karena dia tak punya anak. Oliver membagi waktunya untuk paman
dan neneknya. Dia selalu ke sini pada liburan musim panas."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Saya selalu kasihan padanya. Saya pikir sikapnya yang sombong itu hanya dibuat-
buat." "Saya tak heran," kata Mr. Satterthwaite. "Hal begitu sangat biasa. Apabila ada
orang yang kelihatan memikirkan dirinya sendiri dan selalu menyombong, saya tahu
di baliknya ada rasa rendah diri yang tersembunyi."
"Rasanya aneh."
"Kompleks rendah diri memang aneh. Crippen, misalnya, dia menderita perasaan
itu. Dan bisa menjadi latar belakang terjadinya kriminalitas. Keinginan untuk
memaksakan kepribadian seseorang."
"Rasanya aneh bagi saya," gumam Lady Mary.
Ia kelihatan agak berkerut. Mr. Satterthwaite melihatnya dengan mata
sentimentil. Pria itu menyukai tubuhnya yang luwes dengan bahu melekuk halus,
mata cokelat yang lembut, dan wajahnya yang tanpa makeup. Ia berpikir,
"Dia pasti cantik ketika muda."
Bukan kecantikan yang menonjol dan segera menarik perhatian. Bukan kecantikan
bunga mawar, tapi kecantikan sekuntum bunga violet yang sederhana namun menawan,
yang menyembunyikan kemanisannya.
Pikirannya diam-diam kembali ke masa mudanya.
Tanpa sadar ia menceritakan kisah cintanya di waktu muda kepada Lady Mary - satu-
satunya kisah cinta yang dialaminya. Kisah cinta yang biasa-biasa saja untuk
ukuran sekarang, tapi amat khusus bagi Mr. Satterthwaite.
Ia bercerita tentang gadis yang dicintainya, kecantikannya, dan kepergian mereka
bersama melihat bunga-bunga bluebell di Kew. Ia bermaksud melamarnya hari itu.
Ia sudah membayangkan gadis itu akan membalas perasaannya. Dan kemudian, ketika
mereka berdiri berdekatan sambil memandangi bunga-bunga itu, si gadis bercerita
kepadanya. Akhirnya ia tahu bahwa gadis itu mencintai orang lain. Ia
menyembunyikan pikiran dan perasaannya serta berganti peran menjadi sahabat
setia. Mungkin itu bukan kisah cinta yang hebat, tapi cerita itu terdengar menarik di
ruang Lady Mary yang dilengkapi perabot berlapis kain katun yang sudah pudar
warnanya dan hiasan keramik tua.
Setelah itu, Lady Mary bercerita tentang kehidupannya sendiri - kehidupan
perkawinannya yang tidak begitu bahagia.
"Saya dulu gadis tolol - gadis-gadis memang tolol, Mr. Satterthwaite. Mereka
begitu percaya pada diri sendiri, yakin mereka tahu yang paling baik. Orang
menulis dan bicara banyak tentang insting wanita, tapi saya tak percaya hal itu.
Rasanya tak ada sesuatu yang mengingatkan gadis-gadis tentang tipe laki-laki
tertentu. Maksud saya dari dalam diri mereka sendiri. Orangtua mereka
mengingatkan mereka, tapi tidak mereka hiraukan, mereka tak percaya. Rasanya
menyedihkan, tapi seorang gadis justru semakin tertarik kalau ada yang
memberitahu bahwa pacarnya bukan pria baik-baik. Dia merasa cintanya akan bisa
mengubah laki-laki itu."
Mr. Satterthwaite mengangguk pelan.
"Orang biasanya tahu begitu sedikit. Saat dia tahu lebih banyak, sudah
terlambat." Lady Mary menarik napas. "Sebenarnya semua salah saya. Keluarga saya tak setuju saya menikah dengan
Ronald. Dia dari keluarga baik-baik, tapi reputasinya buruk. Ayah saya dengan
terus terang menasihati saya, dan mengatakan dia bukan pemuda baik-baik. Tapi
saya tak percaya. Saya pikir dia akan berubah karena dia mencintai saya."
Ia diam sesaat, mengenang hal-hal yang telah lewat.
"Ronald laki-laki yang menarik. Apa yang dikatakan Ayah tentang dia memang
benar. Saya segera melihatnya. Sebetulnya hal itu kuno - tapi dia membuat saya
sedih. Ya, dia membuat saya sedih. Saya selalu takut dengan apa yang terjadi
kemudian." Mr. Satterthwaite, yang selalu tertarik pada kehidupan orang lain, menggumamkan
tanggapan simpatik yang hati-hati.
"Mungkin ini hal yang kejam, Mr. Satterthwaite, tapi saya lega ketika dia
menderita pneumonia dan akhirnya meninggal. Bukan karena saya tidak lagi
mencintainya - saya tetap mencintai dia sampai meninggal - tapi saya sudah sadar dan
tak punya ilusi lagi tentang dirinya. Lalu ada Egg."
Suaranya melembut. "Dia sangat lucu. Berguling-guling waktu belajar berdiri. Seperti telur - karena
itu dijuluki Egg." Ia diam lagi. "Beberapa buku yang saya baca beberapa tahun terakhir ini membuat saya tenang.
Buku-buku tentang psikologi. Buku-buku itu menunjukkan bahwa dalam banyak hal,
orang memang sering tak bisa berbuat apa-apa. Seperti suatu kekusutan. Kadang-
kadang dalam keluarga yang berpendidikan baik, hal itu terjadi. Waktu masih
muda, Ronald mencari uang di sekolah - uang yang sebenarnya tidak dia perlukan.
Saya bisa merasakan dia memang tak bisa melawan kebiasaan itu. Dia lahir dengan
kekusutan itu." Dengan lembut Lady Mary mengusap matanya dengan saputangan kecil.
"Hal itu tak bisa diterima dalam prinsip pendidikan saya," katanya. "Saya diajar
bahwa setiap orang tahu membedakan antara salah dan benar. Tapi rupanya tidak
selalu begitu." "Pikiran manusia memang suatu misteri," kata Mr. Satterthwaite lembut. "Kita
hanya bisa berusaha mengerti. Memang ada pribadi-pribadi yang kurang atau tidak
mempunyai kekuatan untuk mengerem. Seandainya saya atau Anda berkata, 'Saya
benci seseorang. Mudah-mudahan dia mati.' Hal itu akan lepas dari pikiran kita
begitu kata-kata itu kita ucapkan. Rem itu akan bekerja secara otomatis. Tapi
untuk orang-orang tertentu, ide atau obsesi itu jalan terus. Mereka tak melihat
apa-apa kecuali realisasi ide itu."
"Rasanya," kata Lady Mary, "itu terlalu tinggi untuk saya pahami."
"Maaf. Saya memang bicara berdasarkan buku saja."
"Maksud Anda, apakah anak-anak muda itu terlalu kurang kontrol sekarang ini?"
"Bukan, sama sekali bukan itu maksud saya. Kurang kontrol - saya kira itu bagus -
bebas mengekspresikan diri. Anda berpikir tentang Miss... Egg."
"Saya kira sebaiknya Anda panggil dia Egg saja," kata Lady Mary tersenyum.
"Terima kasih. Miss Egg memang kedengarannya agak aneh."
"Egg sangat impulsif. Sekali dia memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa
menghalanginya. Seperti yang saya katakan tadi, saya tak suka dia terlibat
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan urusan itu. Tapi dia tak mau mendengarkan saya."
Mr. Satterthwaite tersenyum mendengar kesedihan pada nada suara Lady Mary. Ia
berpikir, "Bagaimana kalau dia tahu minat Egg dalam kriminalitas itu hanya alasan untuk
melakukan taktik kuno itu - permainan si wanita mengejar si laki-laki" Ah, Lady
Mary pasti cemas kalau tahu yang sebenarnya."
"Egg bilang, Mr. Babbington juga diracun. Anda pikir itu benar, Mr.
Satterthwaite" Apa itu hanya salah satu kata-kata Egg yang suka gegabah?"
"Kita akan tahu pasti setelah penggalian."
"Oh, apa akan ada penggalian?" Lady Mary gemetar. "Kasihan Mrs. Babbington! Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi seorang wanita selain hal seperti itu."
"Anda kenal dekat dengan Mrs. Babbington?"
"Ya, tentu saja. Kami bersahabat."
"Anda tahu seseorang yang barangkali tidak suka pada Pak Pendeta?"
"Tidak." "Dia tak pernah bicara tentang hal itu?"
"Tidak." "Hubungan suami-istri itu baik-baik saja?"
"Ya. Mereka bahagia. Suami, istri, dan anak-anak. Tentu saja hidup mereka pas-
pasan, dan Mr. Babbington menderita rematik. Itu saja kesulitan mereka."
"Bagaimana hubungan Oliver Manders dengan Pak Pendeta?"
"Ya..." Lady Mary ragu-ragu. "Bisa dikatakan tidak terlalu baik. Keluarga
Babbington kasihan pada Oliver, dan anak itu dulu suka ke tempat mereka,
bermain-main dengan anak-anak mereka pada waktu libur, walaupun saya kira dia
tidak terlalu akrab dengan mereka. Oliver bukanlah pemuda yang populer. Dia suka
menyombongkan uangnya, sekolahnya, dan kesenangan-kesenangan lain yang
diperolehnya di London. Anak laki-laki memang suka begitu."
"Ya... bagaimana akhir-akhir ini setelah dia dewasa?"
"Saya kira mereka tidak sering bertemu. Oliver pernah bersikap agak kasar pada
Mr. Babbington di sini, di rumah saya. Kejadiannya kira-kira dua tahun yang
lalu." "Apa yang terjadi?"
"Oliver menyatakan pendapatnya yang menyerang kekristenan. Mr. Babbington sangat
hormat dan sabar padanya, tapi itu justru membuat Oliver tambah ganas. Dia
berkata, 'Semua orang beragama menghinaku karena ayah-ibuku tidak menikah.
Barangkali kalian menyebutku anak haram. Hm, aku mengagumi orang-orang yang
punya keberanian untuk menyatakan apa yang mereka percayai dan aku tak peduli
pada apa yang dipikirkan pendeta-pendeta atau para hipokrit lainnya.' Mr.
Babbington tidak menjawab. Tapi Oliver melanjutkan, 'Anda tak mau menjawab itu.
Seluruh dunia ini berantakan karena eklesiastisme dan takhayul. Rasanya aku
ingin menyapu semua gereja di dunia ini.' Mr. Babbington tersenyum dan berkata,
'Dan pendetanya juga"' Saya kira senyum itulah yang menyakitkan hati Oliver. Dia
merasa dianggap main-main. Dia berkata, 'Aku benci semua yang ada di gereja.
Keangkuhan, keamanan, kemunafikan. Berantas saja semuanya.' Mr. Babbington
tersenyum - senyumnya sangat manis - dan dia berkata, 'Anakku, kalaupun kau bisa
menghancurkan semua gereja yang telah dibangun atau direncanakan, kau masih
harus berhadapan dengan Tuhan.'"
"Lalu dia bilang apa?"
"Dia kelihatan terkejut, lalu kembali ke sikap lamanya yang suka menghina,
sinis, dan menjengkelkan.
"Dia bilang, 'Barangkali apa yang kukatakan tadi tidak terekspresikan dengan
baik dan tidak bisa dicerna dengan mudah oleh generasi Anda.'"
"Anda tak suka pada Oliver Manders, Lady Mary?"
"Saya kasihan padanya," kata Lady Mary membela diri.
"Tapi Anda tak setuju dia menikah dengan Egg?"
"Tidak." "Kenapa sebenarnya?"
"Karena... karena dia tidak baik. Dan karena..."
"Ya?" "Karena ada sesuatu pada dirinya yang tidak saya mengerti. Sesuatu yang dingin."
Mr. Satterthwaite memandangnya sejenak, kemudian berkata,
"Bagaimana pendapat Sir Bartholomew Strange tentang dia" Pernahkah dia bicara
tentang Oliver?" "Saya ingat, dia mengatakan Oliver Manders merupakan kasus yang menarik. Katanya
anak itu mengingatkannya pada satu kasus yang sedang ditanganinya di rumah
sakitnya. Saya katakan Oliver kelihatan kuat dan sehat. Dan dia berkata, 'Ya,
kesehatannya memang baik, tapi dia menuju kehancuran.'"
Ia diam, lalu berkata, "Saya rasa Sir Bartholomew dokter yang cerdas."
"Kolega-koleganya sangat menghormati dia."
"Saya menyukainya," kata Lady Mary.
"Pernahkah dia mengatakan sesuatu pada Anda tentang kematian Mr. Babbington?"
"Tidak." "Sama sekali tidak?"
"Saya rasa tidak."
"Menurut Anda - pasti ini sulit bagi Anda, karena Anda tidak terlalu kenal dia -
menurut Anda, apakah ada sesuatu di dalam pikirannya?"
"Dia kelihatan riang, bahkan geli akan sesuatu hal - leluconnya sendiri. Dia
mengatakan pada makan malam itu akan membuat kejutan."
"Benarkah?" Mr. Satterthwaite merenungkan hal itu dalam perjalanan pulang.
Kejutan apa kira-kira yang akan diberikan Sir Bartholomew pada tamu-tamunya"
Apakah memang akan lucu, seperti yang ia perkirakan"
Atau sikap riang merupakan topeng dari tujuan yang sulit dikontrol" Apakah ada
yang tahu" BAB XV "ADA kemajuan?" tanya Sir Charles.
Ini merupakan sebuah rapat penting.
Sir Charles, Mr. Satterthwaite, dan Egg Lytton Gore duduk di ruang kapal. Mereka
sedang rapat. Perapian di ruangan itu menyala, dan di luar angin badai meraung-
raung. Mr. Satterthwaite dan Egg menjawab hampir bersamaan.
"Tidak," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya," kata Egg.
Sir Charles memandang mereka berganti-ganti. Mr. Satterthwaite memberi isyarat
dengan berwibawa bahwa sebaiknya wanita yang bicara lebih dulu.
Egg diam sejenak, berpikir.
"Kita ada kemajuan," katanya akhirnya. "Kita maju karena belum menemukan apa-
apa. Kedengarannya tidak masuk akal, tapi sebenarnya tidak. Maksud saya begini.
Sebelumnya kita sudah punya bayangan, dan sekarang kita tahu pasti bahwa
beberapa bagian dari bayangan itu tidak benar."
"Melangkah maju dengan menyingkirkan hal-hal yang tidak benar," kata Sir
Charles. "Itulah." Mr. Satterthwaite berdeham.
"Ide kemajuan itu sekarang bisa kita singkirkan," katanya, "rasanya tak ada
orang yang - seperti dalam buku-buku detektif - mendapat keuntungan dari kematian
Stephen Babbington. Motif balas dendam bisa dikesampingkan. Selain sikapnya yang
amat baik dan disukai orang, saya ragu apakah dia cukup penting untuk dimusuhi.
Jadi, kembali lagi pada bayangan kita, yaitu ketakutan. Dengan kematian Stephen
Babbington, ada seseorang yang memperoleh rasa aman."
"Bagus sekali cara Anda mengatakannya," kata Egg.
Mr. Satterthwaite kelihatan senang, namun tetap bersikap rendah hati. Sir
Charles tampak marah. Seharusnya dialah yang jadi bintang, bukan Satterthwaite.
"Persoalannya sekarang," kata Egg, "apa yang akan kita lakukan kemudian - yang
benar-benar kita lakukan" Apa kita akan memata-matai orang" Atau menyamar dan
membuntuti mereka?" "Saya tidak suka main jadi orang tua berjenggot, dan saya tak akan melakukannya
sekarang." "Lalu apa...," kata Egg memulai.
Tapi ada interupsi. Pintu ruangan itu terbuka dan Temple menyerukan,
"Mr. Hercule Poirot."
M. Poirot masuk dengan wajah berseri sambil menyalami ketiga orang yang terpana
keheranan itu. "Bolehkah saya membantu dalam rapat ini?" katanya dengan mata berkedip. "Ini
benar rapat, kan?" "Ah, kami senang bertemu Anda kembali," kata Sir Charles setelah sadar dari
kekagetannya. Ia menyalami tamunya dengan hangat dan mendorongnya ke sebuah
kursi besar yang nyaman. "Dari mana Anda muncul, begini tiba-tiba?"
"Saya mengunjungi kawan baik saya, Mr. Satterthwaite, di London. Mereka bilang
dia pergi - ke Cornwall. Eh bien, saya bisa menduga ke mana perginya. Saya
langsung naik kereta ke Loomouth. Dan akhirnya saya sampai di sini."
"Ya," kata Egg, "tapi kenapa Anda ke sini" Maksud saya," kata Egg dengan muka
merah, karena merasa tak sopan, "tentunya Anda datang dengan maksud tertentu."
"Saya datang untuk mengakui kesalahan saya," kata Poirot dengan tangan terbuka
dan senyum menawan kepada Sir Charles. "Monsieur, di ruangan inilah Anda
menyatakan tidak puas. Dan saya berpikir, itu hanya insting dramatis Anda yang
bicara. Saya berkata pada diri saya sendiri, 'Dia aktor besar; dia harus selalu
memainkan sebuah drama, apa pun risikonya.' Kelihatannya - saya akui - hal ini
sangat luar biasa, ada seorang bapak tua yang baik hati yang meninggal bukan
dengan cara wajar. Sekarang pun saya masih belum mengerti bagaimana racun itu
bisa masuk ke dalam tubuhnya. Kelihatannya aneh - fantastis. Tapi setelah itu
terjadi kematian lain - kematian dalam situasi yang sama, sehingga sulit dikatakan
sebagai kebetulan. Tidak. Pasti ada hubungan antara keduanya. Jadi, Sir Charles,
saya datang untuk minta maaf karena saya, Hercule Poirot, telah keliru, dan
minta agar boleh ikut serta dalam kelompok Anda."
Sir Charles membersihkan tenggorokannya dengan agak gugup. Ia kelihatan malu.
"Anda baik sekali, M. Poirot. Bagaimana, ya... meminta waktu Anda begitu
banyak... saya..." Ia berhenti, kelihatannya tak tahu akan bicara apa. Matanya minta bantuan pada
Mr. Satterthwaite. "Anda sangat baik," kata Mr. Satterthwaite.
"Tidak... tidak. Saya bukannya baik. Ini hanya rasa ingin tahu dan... ya,
menyinggung harga diri saya. Saya harus memperbaiki kesalahan saya. Waktu
saya... itu tak jadi soal. Kenapa saya harus jalan-jalan" Bahasa orang memang
berbeda, tapi sifat dasar manusia sama di mana-mana. Tapi tentu saja, kalau saya
terlalu mengganggu dan kurang bisa diterima..."
Kedua laki-laki itu bicara bersamaan.
"Tentu saja tidak."
"Ah, tidak." Poirot mengalihkan matanya pada gadis itu.
"Dan Anda?" Sejenak Egg tidak berkata apa-apa. Ini memberi kesan yang sama pada ketiga laki-
laki itu: Egg tidak ingin bantuan M. Poirot.
Mr. Satterthwaite merasa tahu sebabnya. Ini adalah drama pribadi Sir Charles
Cartwright dengan Egg Lytton Gore. Mr. Satterthwaite diperbolehkan ikut hanya
sebagai pembantu - orang ketiga yang tidak berperan besar. Tapi Hercule Poirot
lain. Ia akan memainkan peran utama. Barangkali Sir Charles pun nantinya akan
terpaksa pensiun. Lalu rencana Egg jadi berantakan.
Ia memandang gadis itu, kasihan karena kesulitan yang sedang dihadapinya. Kedua
laki-laki yang lain tidak mengerti. Tapi dia - dengan kepekaan yang mirip kepekaan
kaum wanita - mengerti dilema itu. Egg sedang berjuang merebut kebahagiaannya.
Apa yang akan dikatakannya"
Lagi pula, apa lagi yang bisa ia katakan" Apa yang ia pikirkan" "Pergi! Pergi!
Kedatanganmu merusak segalanya. Aku tak ingin kau ada di sini."
Egg Lytton Gore mengatakan satu-satunya hal yang bisa ia katakan.
"Tentu saja," katanya sambil tersenyum kecil. "Kami akan senang sekali."
BAB XVI "BAGUS," kata Poirot. "Kita semua kolega. Eh bien, saya bisa jadi au courant
dalam situasi ini." Ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Mr. Satterthwaite menceritakan
langkah-langkah yang telah mereka ambil sejak kembali ke Inggris. Mr.
Satterthwaite narator yang baik. Ia punya kemampuan menciptakan suatu atmosfer
dan menghidupkan suatu gambaran. Deskripsinya tentang rumah, pelayan-pelayan,
dan kepala polisi sangat mengagumkan. Poirot menanggapi dengan hangat penemuan
Sir Charles akan surat-surat yang belum selesai, yang disembunyikan di celah
perapian. "Ah, mais c'est magnifique, ?a!" serunya senang. "Deduksi dan rekonstruksi itu -
sempurna! Anda seharusnya menjadi detektif besar, Sir Charles. Bukan aktor
besar." Sir Charles menanggapi pujian itu dengan kerendahan hati - khas dia. Berkat
pengalaman panggungnya yang bertahun-tahun, ia mengasah kemahirannya dalam
menerima pujian dengan luwes.
"Observasi Anda juga tajam," kata Poirot pada Mr. Satterthwaite. "Keramahannya
yang tiba-tiba pada kepala pelayan itu."
"Apa pendapat Anda mengenai urusan dengan Mrs. Rushbridger itu?" tanya Sir
Charles dengan penuh semangat.
"Itu sebuah ide. Ide itu menunjukkan... ya, menunjukkan beberapa hal, bukan?"
Tak seorang pun yakin akan beberapa hal itu, tapi tak ada yang mau
mengatakannya. Jadi, mereka hanya bergumam.
Kemudian Sir Charles ganti bercerita. Ia menjelaskan kunjungannya dengan Egg
pada Mrs. Babbington dan hasilnya yang agak negatif.
"Anda sudah tahu semua sekarang," katanya. "Anda tahu apa yang kami lakukan.
Bagaimana pendapat Anda?"
Ia membungkuk ke depan dengan penuh rasa ingin tahu.
Poirot diam sejenak. Ketiga orang lainnya memperhatikannya.
Akhirnya ia berkata, "Apakah Anda masih ingat, Mademoiselle, gelas anggur yang bagaimana yang dipakai
Sir Bartholomew di meja?"
Sir Charles menyela ketika Egg menggelengkan kepala.
"Saya bisa menceritakan."
Ia berdiri dan berjalan ke lemari, mengambil beberapa gelas sherry yang berat.
"Gelas-gelas itu tentu saja agak lain modelnya - lebih bulat - bentuknya lebih
sempurna untuk anggur. Dia membelinya di Lammersfield waktu ada obral - satu set
gelas. Saya mengagumi gelas-gelas itu. Karena dia tidak memerlukan semuanya, dia
berikan beberapa pada saya. Bagus, ya?"
Poirot mengambil gelas itu dan mengamat-amatinya.
"Ya," katanya. "Contoh yang bagus. Saya kira gelas seperti ini yang dipakai."
"Kenapa?" seru Egg.
Poirot hanya tersenyum padanya.
"Ya," katanya, "kematian Sir Bartholomew Strange bisa dijelaskan dengan mudah,
tapi kematian Stephen Babbington lebih sulit. Ah, kalau saja terjadi yang
sebaliknya!" "Apa maksud Anda - yang sebaliknya?" tanya Mr. Satterthwaite. Poirot berbalik,
memandangnya. "Coba Anda pikirkan. Sir Bartholomew dokter terkenal. Ada beberapa kemungkinan
yang menyebabkan kematian dokter terkenal. Dokter tahu banyak rahasia, rahasia-
rahasia penting. Bayangkan seorang pasien yang ada dalam batas garis kewarasan.
Satu kata keluar dari mulut dokter itu, dan orang tersebut akan dikucilkan
dunia. Ini godaan bagi otak yang tak seimbang. Seorang dokter bisa punya rasa
curiga tentang kematian mendadak salah seorang pasiennya. Ya, banyak motif yang
bisa ditemukan pada kematian seorang dokter.
"Tadi saya katakan, kalau saja terjadi yang sebaliknya. Seandainya Sir
Bartholomew Strange dulu yang meninggal, kemudian Stephen Babbington. Kematian
Stephen Babbington mungkin karena dia melihat sesuatu - mencurigai sesuatu tentang
kematian pertama." Ia menarik napas, lalu berkata,
"Tapi kita tak bisa punya kasus seperti yang kita inginkan. Kita harus
menghadapi sebuah kasus seperti apa adanya. Saya hanya ingin menyarankan satu
hal kecil. Saya kira kematian Stephen Babbington bukan kecelakaan - racun itu -
seandainya ada racun - sebetulnya ditujukan untuk Sir Bartholomew Strange, tapi
keliru diminum orang lain."
"Ide yang luar biasa," kata Sir Charles. Tapi wajahnya yang sejenak gembira
berubah jadi muram lagi. "Tapi saya kira teori itu tidak jalan. Babbington masuk
ke dalam ruangan ini kira-kira empat menit sebelum dia sakit. Selama itu satu-
satunya minuman atau makanan yang ditelannya hanyalah setengah gelas koktail;
dan tak ada apa-apa dalam koktail itu..."
Poirot menyela, "Itu sudah Anda ceritakan. Tapi seandainya, ini kita omong-omong saja,
seandainya ada sesuatu dalam koktail itu. Mungkinkah itu ditujukan pada Sir
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bartholomew Strange tapi keliru diminum Mr. Babbington?"
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Kalau orang kenal baik dengan Tollie, dia tak akan memasukkan racun ke dalam
koktailnya." "Kenapa?" "Karena dia tak pernah minum koktail."
"Tak pernah?" "Tak pernah." Poirot membuat gerakan jengkel.
"Ah, urusan ini salah semua. Rasanya tak masuk akal."
"Di samping itu," lanjut Sir Charles, "saya tak bisa membayangkan bagaimana
gelas itu bisa tertukar. Temple mengedarkan gelas-gelas itu dengan nampan, dan
setiap orang mengambil gelas yang dipilihnya sendiri."
"Benar," gumam Poirot. "Orang tak bisa memaksa orang minum koktail seperti dalam
permainan kartu. Seperti apa dia, si Temple ini" Dia pelayan yang tadi
membukakan saya pintu?"
"Ya, betul. Dia sudah tiga atau empat tahun ikut saya - gadis yang baik, tahu
tugasnya. Saya tak tahu asal-usulnya. Tapi Miss Milray pasti tahu."
"Miss Milray - dia sekretaris Anda" Wanita jangkung yang agak seperti serdadu
itu?" "Memang seperti serdadu," kata Sir Charles setuju.
"Saya pernah makan bersama Anda dalam beberapa kesempatan, tapi rasanya belum
pernah bertemu dia sampai malam itu."
"Biasanya dia tidak makan malam dengan kita. Dia ada karena angka tiga belas
saja." Sir Charles menjelaskan dan Poirot mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Jadi, dia sendiri yang mengusulkan ikut makan malam."
Ia diam merenung sampai satu menit, lalu berkata,
"Boleh saya bicara dengan pelayan itu - si Temple?"
"Tentu saja." Sir Charles menekan sebuah bel. Jawabannya cepat,
"Tuan memanggil?"
Temple seorang gadis jangkung berumur 32 atau 33. Ia kelihatan bersih, rambutnya
tersisir rapi dan berkilat, tapi tidak cantik. Sikapnya tenang dan efisien.
"M. Poirot ingin menanyakan beberapa hal," kata Sir Charles.
Temple mengalihkan pandangannya yang angkuh pada Poirot.
"Kami sedang bicara tentang malam ketika Mr. Babbington meninggal di sini," kata
Poirot. "Kau masih ingat?"
"Oh, ya, Sir." "Saya ingin tahu dengan pasti bagaimana koktail itu dihidangkan."
"Maaf, Sir." "Saya ingin tahu tentang koktail itu. Apa kau yang mencampurnya?"
"Bukan. Sir Charles suka melakukan hal itu sendiri. Saya yang membawa botol-
botolnya - vermuth, gin, dan sebagainya."
"Di mana kauletakkan botol-botol itu?"
"Di meja sana, Sir."
Ia menunjuk sebuah meja dekat dinding.
"Nampan dan gelas-gelasnya ada di sana, Sir. Setelah selesai mencampur dan
mengocok, Sir Charles menuang koktail itu ke gelas-gelas. Lalu saya membawa
nampan itu berkeliling, mengedarkannya pada tamu-tamu."
"Apa semua koktail dalam gelas itu kau yang mengulurkannya?"
"Sir Charles memberikan satu gelas untuk Miss Lytton Gore, Sir - mereka sedang
berbicara pada saat itu. Sir Charles juga mengambil koktail sendiri. Dan Mr.
Satterthwaite" - matanya berpindah memandang Mr. Satterthwaite - "datang dan
mengambil satu untuk seorang tamu wanita - kalau tak salah Miss Wills."
"Betul," kata Mr. Satterthwaite.
"Yang lain saya edarkan. Saya kira setiap tamu mengambil satu, kecuali Sir
Bartholomew." "Kau mau mengulangi semuanya, Temple" Kita taruh saja bantal-bantal itu untuk
mengganti tamu-tamu. Saya berdiri di sini, saya masih ingat; Miss Sutcliffe di
sana." Dengan bantuan Mr. Satterthwaite, mereka membuat rekonstruksi. Mr. Satterthwaite
memang teliti. Ia ingat dengan baik di mana setiap orang dalam ruangan itu pada
waktu pesta. Lalu Temple mengedarkan gelas-gelas minuman. Mereka memastikan ia
mendatangi Mrs. Dacres lebih dulu, lalu Miss Sutcliffe dan Poirot, kemudian Mr.
Babbington, Lady Mary, dan Mr. Satterthwaite yang duduk bersama-sama.
Ini cocok dengan apa yang diingat Mr. Satterthwaite.
Akhirnya Temple disuruh keluar.
"Pah!" seru Poirot. "Tak mungkin. Temple orang terakhir yang memegang koktail
itu. Tapi tak mungkin dia memasukkan sesuatu, dan kita tak bisa memaksa orang
mengambil koktail tertentu."
"Biasanya orang mengambil yang paling dekat," kata Sir Charles.
"Teori itu cocok bila kita mengedarkan nampan pertama-tama pada orang itu, tapi
itu juga tak bisa dipastikan. Gelas-gelas itu rapat. Sebetulnya tidak bisa
dikatakan satu gelas lebih dekat pada seseorang dari gelas lainnya. Tidak. Cara
begitu tak bisa dipakai. Mr. Satterthwaite, apa Anda ingat, Mr. Babbington terus
memegang gelasnya atau meletakkannya di meja?"
"Dia meletakkannya di meja."
"Ada yang datang mendekati mejanya setelah itu?"
"Tidak, saya orang terdekat dengan dia, tapi saya tidak memasukkan apa-apa ke
dalam koktailnya, walaupun saya bisa melakukannya tanpa diketahui orang lain."
Mr. Satterthwaite bicara dengan agak kaku. Poirot cepat-cepat meminta maaf,
"Tidak! Tidak! Saya bukannya membuat tuduhan - quelle id?el! Tapi saya ingin
meyakinkan fakta-fakta saya. Menurut analisis, tak ada apa-apa di dalam koktail
itu. Sekarang, di luar hasil analisis itu, kelihatannya tak mungkin seseorang
membubuhkan sesuatu ke dalam koktail. Hasil yang sama dari dua tes yang berbeda.
Tapi Mr. Babbington tidak minum atau makan apa-apa. Dan kalau dia diracun dengan
nikotin murni, kematian berlangsung cepat. Anda lihat ke mana arahnya?"
"Tidak ke mana-mana. Sialan," kata Sir Charles.
"Saya tak akan berkata begitu - tidak, saya tak akan mengatakan hal itu. Itu akan
memberi ide yang mengerikan - yang saya harap dan yakin tidak benar. Tidak, tentu
saja tidak benar - kematian Sir Bartholomew membuktikannya, tapi..."
Ia mengernyitkan dahi dan berpikir. Yang lain memandangnya dengan ingin tahu.
Poirot memandang ke atas.
"Anda mengerti maksud saya, kan" Mrs. Babbington tidak ada di Melfort Abbey.
Karena itu, kita tak bisa mencurigai Mrs. Babbington."
"Mrs. Babbington - tapi tak seorang pun bermimpi akan mencurigai dia."
Poirot tersenyum. "Tidak" Aneh sekali. Pikiran itu masuk di kepala saya dengan segera - segera.
Kalau pria malang itu tidak diracuni lewat koktail, dia pasti diracuni beberapa
menit sebelum masuk rumah. Caranya bagaimana" Sebutir kapsul" Barangkali sesuatu
untuk mencegah sakit perut. Tapi siapa yang memberikannya" Cuma seorang istri.
Siapa, barangkali, yang punya motif sehingga tak seorang pun curiga terhadap hal
itu" Sekali lagi, seorang istri."
"Tapi mereka saling mencintai!" seru Egg marah. "Anda sama sekali tak tahu!"
Poirot tersenyum manis padanya.
"Ya. Itu memang penting. Anda tahu, tapi saya tidak. Saya lihat faktanya tidak
menjadi miring karena adanya hal-hal yang telah dipertimbangkan lebih dahulu.
Dan saya ingin memberitahukan sesuatu, Mademoiselle. Selama pengalaman saya
sebagai detektif, saya menjumpai lima kasus wanita yang dibunuh oleh suami yang
sangat mencintai mereka, dan 22 suami yang dibunuh oleh istri yang mencintai
mereka. Les femmes, mereka kelihatannya bisa menyembunyikan muka dengan lebih
baik." "Anda benar-benar keterlaluan," kata Egg. "Saya tahu suami-istri Babbington
tidak begitu. Itu... itu mengerikan."
"Pembunuhan memang mengerikan, Mademoiselle," kata Poirot dengan nada keras.
Ia melanjutkan dengan suara lebih ringan,
"Tapi saya, yang hanya melihat fakta, setuju bahwa Mrs. Babbington tidak
melakukan hal itu. Dia tak ada di Melfort Abbey. Seperti dikatakan Sir Charles,
hal itu pasti dilakukan oleh orang yang ada dalam kedua kejadian - satu dari tujuh
orang dalam daftar Anda."
Mereka diam. "Jadi, sebaiknya bagaimana kita bertindak?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Anda pasti sudah punya rencana," kata Poirot.
Sir Charles berdeham. "Satu-satunya yang bisa kita lakukan kelihatannya adalah melakukan proses
eliminasi," katanya. "Maksud saya, mengasumsikan semua orang dalam daftar itu
sebagai tersangka, sampai benar-benar terbukti mereka tak bersalah. Maksud saya,
kita harus yakin dulu orang itu mempunyai hubungan dengan Stephen Babbington.
Kita harus menggunakan segala akal untuk mengetahui hubungan itu. Kalau tidak
ada, kita lanjutkan dengan mengecek tamu-tamu lainnya."
"Itu psikologi yang bagus," kata Poirot. "Caranya?"
"Itu belum kami bicarakan. Kami akan senang menerima saran dan nasihat Anda, M.
Poirot. Barangkali Anda sendiri..."
Poirot mengangkat tangannya.
"Kawan, jangan minta saya melakukan sesuatu gerakan aktif. Saya selalu yakin,
setiap persoalan sebaiknya diselesaikan dengan berpikir. Saya beri nama saja
sebagai 'gerakan pasif'. Silakan melanjutkan penyelidikan yang sudah dipimpin
Sir Charles dengan bagus."
"Bagaimana dengan aku?" pikir Mr. Satterthwaite. "Aktor-aktor ini! Semua
menyoroti mereka, dan peran bintang pun mereka mainkan."
"Barangkali Anda sewaktu-waktu bisa minta pendapat pengacara. Saya
pengacaranya." Ia tersenyum pada Egg. "Bagaimana pendapat Anda, Mademoiselle?"
"Bagus," kata Egg. "Saya yakin pengalaman Anda akan sangat membantu kami."
Wajah gadis itu kelihatan lega. Ia melirik jam tangannya dan berseru,
"Saya harus pulang. Ibu bisa pingsan nanti."
"Biar kuantar pulang," kata Sir Charles.
Mereka keluar bersama-sama.
BAB XVII "IKANNYA sudah muncul," kata Hercule Poirot.
Mr. Satterthwaite, yang memperhatikan pintu ditutup oleh kedua orang itu,
terkejut ketika menoleh memandang Poirot. Pria itu sedang tersenyum dengan wajah
agak mencemooh. "Ya, ya. Jangan membantah. Anda dengan sengaja menunjukkan umpan itu pada saya
waktu di Monte Carlo. Iya, kan" Anda menunjukkan artikel di koran. Anda berharap
saya tertarik, sehingga saya melibatkan diri dalam urusan itu."
"Memang benar," kata Mr. Satterthwaite mengaku. "Tapi saya pikir saya gagal."
"Tidak, tidak. Anda tidak gagal. Anda pengamat watak manusia yang amat tajam.
Saya bosan, seperti anak kecil yang di pantai itu - tak ada yang dia kerjakan.
Anda datang tepat pada waktunya - dan memang, banyak tindak kriminal yang
ditentukan oleh saat yang tepat. Tapi kita kembali saja ke domba kita. Tindak
kejahatan ini sangat menarik, sangat membingungkan."
"Yang mana - pertama atau kedua?"
"Hanya ada satu; yang pertama adalah separo dan yang kedua juga separo dari satu
tindak kriminal. Separo yang kedua sangat sederhana - motifnya, cara yang
digunakannya..." Mr. Satterthwaite menyela,
"Rasanya caranya sama-sama sulit. Tak ada racun yang ditemukan dalam anggur, dan
makanannya dimakan semua orang."
"Tidak, tidak, sama sekali lain. Dalam kasus pertama, kelihatannya tak seorang
pun bisa meracuni Stephen Babbington. Kalau mau, Sir Charles bisa saja meracuni
salah satu tamunya, tapi bukan tamu tertentu. Temple bisa saja menyelipkan
sesuatu ke dalam gelas terakhir, tapi gelas Mr. Babbington bukan gelas terakhir.
Pembunuhan Mr. Babbington kelihatannya amat tak masuk akal, sehingga saya masih
merasa mungkin hal itu memang tak masuk akal - jadi, dia memang meninggal secara
wajar. Tapi itu akan kita ketahui tak lama lagi. Kasus yang kedua lain. Setiap
tamu yang hadir, atau kepala pelayan, atau pelayan lain, bisa saja meracuni
Bartholomew Strange. Itu tidak sulit."
"Saya tidak melihat...," kata Mr. Satterthwaite.
Poirot melaju terus, "Nanti akan saya buktikan pada Anda dengan eksperimen kecil. Kita bicarakan hal
yang lebih penting dulu. Nanti akan Anda lihat - dan ketahui. Anda memiliki hati
yang penuh simpati dan penuh pengertian. Saya tak akan memainkan peranan anak
manja." "Maksud Anda...," kata Mr. Satterthwaite, mulai tersenyum.
"Sir Charles harus memainkan peran seorang bintang! Dia sudah terbiasa. Dan
lagi, ada orang lain yang mengharapkan dia memainkan peran itu. Saya tak salah,
kan" Keikutsertaan saya dalam urusan ini tidak menyenangkan hati gadis itu."
"Anda memang orang yang cepat tanggap, M. Poirot."
"Ah, itu kan jelas kelihatan di depan mata! Saya cukup perasa. Saya ingin
memberi peluang bagi sebuah kisah cinta, bukan menghalanginya. Anda dan saya -
kita harus bekerja sama - untuk kemuliaan Sir Charles Cartwright. Bukan begitu"
Bila kasus itu sudah terselesaikan..."
"Jika...," kata Mr. Satterthwaite ragu.
"Bila! Saya tak akan membiarkannya gagal."
"Tak pernah?" tanya Mr. Satterthwaite menyelidik.
"Ada saat-saat saya tidak cepat tanggap," kata Poirot dengan penuh wibawa. "Saya
tak bisa merasakan kebenaran secepat yang biasa saya rasakan."
"Tapi Anda tak pernah gagal sama sekali?"
Desakan Mr. Satterthwaite ini memang sekadar rasa ingin tahu yang sederhana. Ia
bertanya-tanya. "Eh, bien," kata Hercule Poirot. "Suatu waktu. Sudah lama sekali dulu. Ketika
saya di Belgia. Kita tak perlu bicara tentang hal itu."
Rasa ingin tahu dan kenakalan Mr. Satterthwaite rupanya telah terpuaskan. Ia
cepat-cepat mengganti arah pembicaraan,
"Ah, ya. Anda tadi bilang, jika kasus ini terpecahkan..."
"Sir Charles yang akan menyelesaikannya. Itu penting. Saya hanya akan menjadi
gigi sebuah roda bergigi." Ia mengembangkan kedua tangannya. "Sekali-sekali, di
sana-sini - saya akan berkata sedikit-sedikit - hanya sedikit kata-kata - petunjuk - tak
lebih. Saya tak ingin penghormatan atau kepopuleran. Saya sudah punya."
Mr. Satterthwaite mengamati pria itu dengan rasa ingin tahu. Ia senang melihat
kesombongan yang naif dan egoisme yang begitu besar dalam diri laki-laki kecil
itu. Tapi ia memang tidak omong kosong. Pria Inggris biasanya bersikap merendah
dengan apa yang telah berhasil ia lakukan dengan baik, dan kadang-kadang senang
dengan apa yang tidak dikerjakan dengan baik. Tapi pria Latin lebih bisa
menghargai kekuatannya sendiri. Kalau memang pandai ia tak perlu mencari alasan
untuk menutup-nutupi fakta itu.
"Saya ingin tahu," kata Mr. Satterthwaite. "Ini menarik untuk saya ketahui - apa
sebenarnya yang ingin Anda dapatkan dari urusan ini" Apakah kasus ini menarik?"
Poirot menggelengkan kepala.
"Bukan, bukan, bukan itu. Seperti chien de chasse, saya hanya mengikuti
penciuman, dan saya menjadi tertarik. Sekali mencium sesuatu, saya tak bisa
membuangnya. Itu memang benar. Tapi ada yang lebih dari itu. Bagaimana saya
mengatakannya" Suatu nafsu untuk mengetahui kebenaran. Di dunia ini tak ada yang
lebih menimbulkan rasa ingin tahu, lebih menarik, dan lebih indah kecuali
kebenaran." Mereka diam sejenak setelah Poirot berkata-kata.
Lalu ia mengambil kertas Mr. Satterthwaite yang berisi tujuh nama dan
membacanya, "Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss Wills, Miss Sutcliffe, Lady Mary Lytton Gore,
Miss Lytton Gore, Oliver Manders.
"Ya," katanya. "Bisa disimpulkan, kan?"
"Apanya?" "Urutan nama-nama itu."
"Rasanya tak ada yang bisa disimpulkan. Kami menulis nama-nama itu tanpa urutan
tertentu." "Tepat. Daftar itu mulai dengan Mrs. Dacres. Saya menyimpulkan dialah orang yang
dianggap paling punya kemungkinan untuk melakukan kejahatan itu."
"Bukan yang paling punya kemungkinan," kata Mr. Satterthwaite. "Yang paling
kecil - itu kemungkinannya lebih cocok."
"Dan kalimat ketiga barangkali lebih cocok. Barangkali dia orang yang Anda
sekalian pilih sebagai orang yang punya kemungkinan besar."
Mr. Satterthwaite membuka mulutnya tanpa sadar, lalu menatap mata Poirot yang
hijau, lembut, dan aneh. Ia tidak jadi mengucapkan kata-katanya dan menggantinya
dengan, "Bagaimana, ya" M. Poirot, barangkali Anda benar. Tanpa disadari, itu memang
benar." "Saya ingin menanyakan sesuatu, Mr. Satterthwaite."
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja, silakan," kata Mr. Satterthwaite sambil merenung.
"Dari yang Anda ceritakan, saya mengambil kesimpulan bahwa Sir Charles dan Mrs.
Lytton Gore bersama-sama menginterview Mrs. Babbington."
"Ya." "Anda tidak pergi bersama mereka?"
"Tidak. Tiga orang terlalu ramai."
Poirot tersenyum. "Dan barangkali Anda punya keinginan pergi ke tempat lain. Barangkali Anda punya
ikan lain untuk digoreng. Anda ke mana, Mr. Satterthwaite?"
"Saya minum teh dengan Lady Mary Lytton Gore," jawab Mr. Satterthwaite kaku.
"Apa yang Anda bicarakan?"
"Dia baik sekali. Mau menceritakan kesulitan-kesulitannya ketika baru menikah."
Ia mengulang dengan singkat cerita Lady Mary. Poirot menganggukkan kepala penuh
simpati. "Itu memang terjadi - cerita seorang gadis idealis yang menikah dengan laki-laki
brengsek dan tak mau mendengar nasihat orang lain. Apa Anda tidak bicara tentang
hal-hal lain" Misalnya saja bicara tentang Oliver Manders?"
"Ya, betul." "Dan Anda tahu sesuatu tentang... apa?"
Mr. Satterthwaite mengulangi apa yang diceritakan Lady Mary. Lalu ia berkata,
"Kenapa Anda bertanya apa kami bicara tentang dia?"
"Karena Anda ke sana dengan tujuan itu... jangan protes dulu. Anda mungkin
berharap Mrs. Dacres atau suaminya yang melakukan tindak kriminal. Tapi Anda
juga berpikir si Manders punya kemungkinan."
Ia menenangkan protes Mr. Satterthwaite.
"Ya... ya. Anda memang suka diam-diam. Anda punya ide-ide, tapi suka
menyimpannya sendiri. Saya bersimpati pada Anda. Saya sendiri juga begitu."
"Saya tidak mencurigainya. Itu aneh. Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang
dia." "Sama saja dengan yang saya katakan. Dia adalah pilihan Anda berdasarkan
insting. Saya juga tertarik padanya pada waktu pesta di sini itu, karena saya
lihat..." "Apa yang Anda lihat?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya lihat paling tidak ada dua orang - barangkali juga lebih - yang memainkan
suatu peran. Satu adalah Sir Charles." Ia tersenyum. "Dia memainkan peran
seorang perwira angkatan laut; benar, kan" Itu sangat wajar. Seorang aktor besar
tak akan berhenti berperan hanya karena dia tidak berada di panggung lagi. Tapi
pemuda Manders itu - dia juga memainkan sebuah peran. Peran seorang pemuda yang
bosan, walaupun sebenarnya tidak. Dia orang yang penuh semangat hidup. Karena
itu, saya melihatnya."
"Bagaimana Anda tahu saya sedang mencari tahu tentang dia?"
"Banyak caranya. Anda tertarik pada kecelakaan yang membawanya ke Melfort Abbey
malam itu. Anda tidak pergi berkunjung ke tempat Mrs. Babbington dengan Sir
Charles dan Miss Lytton Gore. Mengapa" Karena Anda ingin mencari tahu sesuatu
yang lain tanpa diketahui orang lain. Anda pergi ke kediaman Lady Mary untuk
bertanya tentang seseorang. Siapa" Pasti orang sini. Oliver Manders. Lalu - ini
sangat khas - Anda meletakkan namanya di daftar paling bawah. Siapa orang-orang
yang paling tidak Anda curigai - Lady Mary dan Miss Egg" - tapi Anda menulis nama
Manders setelah nama mereka, karena dialah orang yang Anda incar dan Anda ingin
menyimpan hal itu sendiri."
"Ya ampun," kata Mr. Satterthwaite. "Apa benar saya seperti itu?"
"Pr?cis?ment. Penglihatan Anda tajam dan pertimbangan Anda sangat cermat, dan
Anda suka menyimpan hasilnya untuk diri Anda sendiri. Opini Anda tentang pribadi
manusia merupakan pengetahuan yang tidak akan Anda pamerkan pada orang lain."
"Saya kira...," Mr. Satterthwaite memulai, tapi dia terhenti oleh kedatangan Sir
Charles. Aktor itu masuk dengan langkah ringan.
"Br - r - r," katanya. "Malam yang ganas."
Ia menuang wiski campur soda untuk dirinya sendiri.
Mr. Satterthwaite dan Poirot tidak mau minum.
"Hm," kata Sir Charles, "sekarang kita buat saja rencana penyelidikan. Mana
daftar itu, Satterthwaite" Ah, terima kasih. Nah, Pak Penasihat, bagaimana
sebaiknya kita melakukannya?"
"Apa pendapat Anda sendiri, Sir Charles?"
"Hm, kita bisa membagi-bagi orang untuk tugas yang berbeda. Pembagian tugas. Pertama, ini ada Mrs. Dacres. Egg kelihatannya ingin menangani dia.
Dia berpendapat orang yang berbusana begitu sempurna tak akan puas dengan
sekadar pujian dari pihak laki-laki. Kelihatannya bagus juga melakukan
pendekatan dari sisi profesinya. Satterthwaite dan saya akan melakukan hal yang
sama kalau mungkin. Lalu Dacres. Saya kenal beberapa temannya yang sering ikut
balap. Kelihatannya ada yang bisa diambil dari mereka. Lalu Angela Sutcliffe."
"Itu juga bagianmu, Cartwright," kata Mr. Satterthwaite. "Kau kenal dia dengan
baik sekali, kan?" "Ya, karena itu sebaiknya orang lain saja yang menangani dia. Pertama," ia
tersenyum sedih, "saya akan dituduh tidak bekerja dengan baik, dan yang kedua...
hm, dia teman saya. Kalian mengerti?"
"Parfaitement, parfaitement. Anda pasti merasa tak enak. Sangat bisa dimaklumi.
Mr. Satterthwaite yang baik ini - dia akan menggantikan Anda."
"Lady Mary dan Egg - tentu saja mereka tidak termasuk. Bagaimana dengan si
Manders" Kedatangannya ke tempat Tollie itu karena kecelakaan, tapi rasanya dia
tetap perlu diperhitungkan."
"Mr. Satterthwaite yang akan menangani dia," kata Poirot. "Tapi, Sir Charles,
masih ada yang ketinggalan dalam daftar itu. Miss Murriel Wills masih
ketinggalan." "Oh, ya. Nah, kalau Satterthwaite menangani Manders, saya akan ambil Miss Wills.
Setuju" Bagaimana, Poirot" Ada saran?"
"Tidak, tak ada. Saya akan tertarik mendengar hasilnya."
"Tentu saja. Tentu kami akan lapor. Satu hal lagi. Kalau kita bisa mendapatkan
foto orang-orang ini, kita bisa menanyai orang di Gilling."
"Bagus," kata Poirot. "Ada satu hal... ah, ya. Teman Anda, Sir Bartholomew. Dia
tidak minum koktail, tapi minum anggur, ya?"
"Ya. Dia suka anggur."
"Aneh juga, ya, dia tidak merasa apa-apa. Nikotin murni seharusnya menimbulkan
rasa yang khas, rasa tidak enak."
"Barangkali saja tidak ada nikotin di dalam anggur," kata Sir Charles. "Ingat,
isi gelas itu sudah dianalisis."
"Oh, ya," kata Poirot dengan tololnya. "Tolol saya. Tapi kalau dipakai, nikotin
rasanya tidak enak."
"Saya tidak tahu apa itu penting," kata Sir Charles pelan. "Musim semi yang
lalu, Tollie kena flu berat. Dia jadi kurang peka pada rasa dan penciuman."
"Ah, ya," kata Poirot sambil merenung. "Itu yang menyebabkannya. Jadi, ada
alasannya." Sir Charles berjalan ke jendela dan memandang ke luar.
"Badai masih bertiup. Saya akan suruh ambil barang-barang Anda, M. Poirot. The
Rose and Crown memang bagus untuk para aktris yang antusias, tapi saya rasa Anda
menyukai tempat yang lebih bersih dan tempat tidur yang nyaman."
"Anda baik sekali, Sir Charles."
"Ah, terima kasih. Biar saya urus dulu."
Ia keluar ruangan. Poirot memandang Mr. Satterthwaite.
"Boleh saya membuat saran?"
"Ya?" Poirot membungkuk ke depan dan bicara dengan suara rendah,
"Tanyakan pada Manders, kenapa dia membuat kecelakaan tipuan. Katakan polisi
mencurigai dia dan perhatikan reaksinya."
"Anda pikir..."
"Saya belum memikirkan apa-apa. Tapi dalam buku harian itu tertulis: 'Aku
khawatir dengan M.' Barangkali saja yang dimaksud memang Manders. Barangkali
juga sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus ini."
"Kita lihat saja nanti," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya. Kita lihat nanti."
BAB XVIII RUANG pamer Ambrosine, Ltd., itu kelihatan pucat. Dindingnya berwarna putih tua,
karpetnya yang tebal berwarna netral, hampir tak berwarna. Juga perabotannya. Di
sana-sini terpantul cahaya kromium. Di salah satu dinding terdapat lukisan
geometris raksasa dalam warna biru dan kuning menyala. Ruang itu didesain oleh
Mr. Sydney Sandford, desainer termuda dan terbaru saat itu.
Egg Lytton Gore duduk di sebuah kursi berdesain modern yang mirip dengan kursi
pasien dokter gigi, dan memandang wanita-wanita cantik kemilau seperti ular
dengan wajah-wajah bosan yang melenggang lewat di depannya. Egg berusaha
kelihatan agar uang sejumlah lima atau enam puluh pound untuk sepotong baju
tidak terlalu berarti baginya.
Mrs. Dacres - seperti biasa, kelihatan cantik dan aneh - sedang menjalankan
tugasnya. "Anda suka ini" Lihat simpul di bahu ini - lucu, ya" Dan garis pinggangnya agak
menerawang. Tapi yang merah ini saya tidak terlalu suka. Lebih bagus warna baru -
Espa?ol - sangat menarik. Seperti warna moster dengan campuran sedikit cabe merah.
Anda suka ini" Vin Ordinaire, agak aneh, ya" Menerawang dan aneh. Tapi di zaman
sekarang model baju memang santai."
"Sulit memilihnya," kata Egg. "Begini," ia berpura-pura membuka rahasia,
"sebelumnya saya tak punya uang untuk beli baju-baju. Kami sangat miskin. Saya
masih ingat, Anda tampak begitu cantik pada malam di Crow's Nest itu. Jadi saya
berpikir, 'Nah, mumpung ada uang, aku mau menemui dan konsultasi dengan Mrs.
Dacres. Aku akan minta saran padanya.' Saya benar-benar kagum pada Anda malam
itu." "Ah, Anda baik sekali. Saya sebenarnya senang mendandani gadis muda. Gadis-gadis
tidak seharusnya kelihatan sembarangan dengan pakaian mereka. Anda pasti
mengerti maksud saya."
"Oh, jadi kau tidak berpakaian sembarangan," pikir Egg kasar. "Seperti ondel-
ondel begitu kok." "Anda punya kepribadian yang menonjol," lanjut Mrs. Dacres. "Jadi, jangan
berpakaian terlalu sederhana. Pilih baju-baju bermodel biasa tapi menerawang.
Sedikit lain, begitu. Berapa yang Anda perlukan?"
"Saya ingin empat gaun malam dan dua baju untuk siang hari, lalu satu atau dua
setelan sport - itu dulu."
Sikap Mrs. Dacres bertambah manis. Untunglah ia tak tahu bahwa simpanan Egg di
bank tinggal lima belas pound dua belas shilling. Itu pun harus dihemat sampai
bulan Desember. Bertambah banyak gadis-gadis yang melewati Egg dengan pakaian macam-macam. Di
sela-sela percakapan tentang pakaian, Egg menyelipkan persoalan lain.
"Pasti Anda belum ke Crow's Nest lagi sejak peristiwa itu," katanya.
"Ya. Saya tidak bisa. Peristiwa itu sangat mengguncangkan. Dan lagi saya
menganggap terlalu banyak artis di Cornwall. Rasanya mereka aneh di mata saya."
"Ya. Urusan itu menyebalkan, ya?" kata Egg. "Padahal Mr. Babbington sangat
baik." "Dan sudah tua," kata Mrs. Dacres.
"Anda pernah bertemu dia sebelumnya, kan?"
"Pak tua itu" Apa iya" Saya lupa."
"Kalau tak salah, dia pernah bilang begitu," kata Egg. "Tapi bukan di Cornwall.
Kalau tak salah di Gilling."
"Apa iya?" Mata Mrs. Dacres menjadi kabur. "Bukan, Marcelle. Saya mau Petite
Scandale - dengan model Jenny - lalu Patou biru."
"Dan luar biasa, ya," kata Egg, "peristiwa peracunan Sir Bartholomew?"
"Wah, kata-kata Anda terlalu blak-blakan! Tapi baik juga untuk saya. Banyak
wanita datang memesan baju di sini karena ingin mendengar sensasi saja. Nah,
model Patou ini pasti pas buat Anda. Lihat lipit-lipit yang tidak ada gunanya
tapi lucu itu; membuat baju ini kelihatan tambah manis. Muda tanpa kelihatan
menyebalkan. Ya, kematian Sir Bartholomew memang menjadi berkat buat saya.
Sebenarnya saya juga punya kesempatan melakukan pembunuhan itu, lho. Saya lebih
suka peran itu. Ada seorang wanita gemuk yang datang dan membelalakkan matanya.
Terlalu blak-blakan. Tapi..."
Tapi pembicaraannya disela suara beraksen Amerika yang kelihatannya merupakan
pelanggan penting. Ketika si Amerika sibuk menguraikan keperluan-keperluannya yang kelihatan macam-
macam dan mahal, Egg berhasil menyingkir tanpa mengganggu. Ia meninggalkan pesan
pada pegawai muda yang menggantikan Mrs. Dacres melayaninya bahwa ia akan
berpikir dulu sebelum memberi keputusan.
Egg melirik jam tangannya ketika muncul di Bruton Street. Pukul 12.40. Tak lama
lagi ia mungkin bisa melakukan rencananya yang kedua.
Ia berjalan sampai di Berkeley Square, lalu kembali lagi pelan-pelan. Pada pukul
satu ia berdiri diam memandang sebuah jendela toko yang memajang barang-barang
kesenian Cina. Miss Doris Sims masuk ke Bruton Street dengan cepat dan berbelok ke arah
Berkeley Square. Sebelum ia sampai, terdengar sebuah suara.
"Maaf," kata Egg, "boleh saya bicara sebentar?"
Gadis itu menoleh dan terkejut.
"Anda salah seorang gadis model di Ambrosine, kan" Saya melihat Anda tadi pagi.
Maaf, ya, tapi saya ingin mengatakan, menurut pendapat saya, perawakan Anda
sangat sempurna." Doris Sims tidak tersinggung. Ia hanya bingung.
"Terima kasih, Anda baik sekali," katanya.
"Dan Anda juga kelihatannya baik," kata Egg. "Karena itu, saya ingin minta
tolong. Anda mau makan siang dengan saya di Berkeley atau Ritz" Saya akan cerita
nanti." Setelah ragu-ragu sebentar, Doris Sims setuju. Ia ingin tahu dan ia suka makan
enak. Begitu mereka duduk, Egg mulai dengan keterangannya.
"Saya harap Anda bisa menyimpan hal ini untuk diri Anda sendiri," katanya.
"Begini. Saya dapat pekerjaan - menulis macam-macam profesi wanita. Saya ingin
Anda menceritakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan urusan busana."
Doris kelihatan agak kecewa, tapi ia menjawab dengan ramah dan memberikan
jawaban-jawaban yang berani tentang jam kerja, gaji, hal-hal yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan di tempat kerjanya. Egg mencatat hal-hal yang penting di
buku catatannya. "Anda sangat baik," katanya. "Saya memang bodoh. Ini merupakan pekerjaan baru
bagi saya. Saya sedang bangkrut, tapi hasil tulisan ini nanti akan membantu."
Ia melanjutkan lagi, "Saya juga nekat masuk Ambrosine dan berpura-pura ingin membeli baju-baju mahal
itu. Sebenarnya uang saku saya untuk membeli baju tinggal beberapa pound saja
sampai Natal nanti. Mrs. Dacres pasti marah kalau tahu yang sebenarnya."
Doris tertawa. "Pasti." "Bagaimana, apa saya berhasil" Berhasil kelihatan seperti orang yang punya uang
banyak?" "Anda sangat berhasil, Miss Lytton Gore. Mrs. Dacres mengira Anda akan memesan
banyak baju." "Dia pasti kecewa," kata Egg.
Doris tertawa lagi. Ia menikmati makanannya dan tertarik pada Egg. "Barangkali
dia orang kalangan atas," pikirnya. "Tapi dia tak banyak lagak. Dan tingkahnya
wajar." Setelah hubungan baik itu berjalan, Egg tak punya banyak kesulitan memancing
lawan bicaranya tentang apa saja yang berhubungan dengan bosnya.
"Saya pikir Mrs. Dacres itu seperti kucing yang menakutkan. Apa betul?" pancing
Egg. "Tak satu pun dari kami menyukainya, Miss Lytton Gore. Itu fakta. Tapi dia
pandai dan pintar berbisnis. Tidak seperti para wanita kalangan atas lainnya,
yang bangkrut karena pelanggannya tak mau membayar utang. Dia sangat licin dan
gigih. Dia memang fair dan seleranya bagus. Dia tahu barang bagus dan pintar
memilihkan yang cocok untuk pelanggannya."
"Kalau begitu, uangnya pasti banyak."
Mata Doris memancarkan sinar aneh, tapi penuh pengertian.
"Ah, saya tak mau berkomentar atau bergosip."
"Tentu saja tidak," kata Egg. "Lanjutkan."
"Tapi kalau Anda tanya, perusahaan itu tak jauh dari Queer Street. Ada seorang
laki-laki Yahudi yang menemui Madam, dan ada satu atau dua hal yang terjadi - saya
kira Madam meminjam uang agar usahanya bisa jalan, dengan harapan dagangannya
laku. Tapi Madam kadang-kadang kelihatan jelek sekali. Sangat cemas. Saya tak
tahu bagaimana wajahnya tanpa makeup. Saya rasa dia sering kali tak bisa tidur."
"Suaminya seperti apa?"
"Oh, aneh. Bukan orang baik-baik. Kami jarang bertemu dia. Teman-teman tak
setuju dengan pendapat saya, tapi saya merasa Madam masih mencintainya. Tentu
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja banyak hal tak enak yang keluar dari mulut."
"Misalnya?" tanya Egg.
"Ah, saya tak suka mengulang-ulang. Tak pernah."
"Tentu saja tidak. Teruskan. Anda tadi bilang..."
"Hm, banyak yang dikatakan teman-teman. Tentang seorang pemuda, sangat kaya dan
sangat lembek. Bukan bodoh, tapi... ya... gampanganlah. Madam mengejar-ngejar
dia setengah mati. Dia mungkin bisa membereskan persoalannya, karena pemuda itu
begitu lembek, penurut, tapi tiba-tiba dia disuruh pergi berlayar. Begitu
mendadak." "Disuruh siapa" Dokter?"
"Ya. Dari Harley Street. Kalau tak salah, dia itu yang dibunuh di Yorkshire -
diracun, kata orang."
"Sir Bartholomew Strange?"
"Ya, benar. Madam juga sedang ada di pestanya waktu itu, dan kami, teman-teman,
bercanda sendiri, tertawa-tawa dan berkhayal, barangkali Madam yang melakukan -
karena balas dendam! Ya, itu sih cuma lelucon."
"Tentu saja. Lelucon gadis-gadis," kata Egg. "Saya mengerti. Saya sendiri
berpendapat Mrs. Dacres memang pantas jadi pembunuh - kelihatannya amat kejam."
"Ya. Dan suka marah! Kalau dia tidak menahan emosinya, wah, tak ada yang berani
mendekat. Orang bilang suaminya saja ketakutan - tidak heran."
"Anda pernah dengar dia bicara tentang seseorang bernama Babbington atau suatu
tempat bernama Gilling?"
"Wah, sulit mengingatnya. Rasanya sih tidak."
Doris melihat jamnya dan berseru,
"Wah, saya mesti cepat-cepat kembali. Terlambat nanti."
"Sampai ketemu. Terima kasih, ya!"
"Ah, ini menyenangkan. Sampai ketemu, Miss Lytton Gore. Mudah-mudahan artikel
itu sukses. Akan saya cari nanti."
"Usahamu akan sia-sia, kawan," pikir Egg sambil minta bon.
Dalam buku catatannya ia menulis:
Cynthia Dacres. Diperkirakan dalam kesulitan finansial. Punya temperamen
"kejam". Seorang pemuda yang diperkirakan punya affair dengannya disuruh
berlayar oleh Sir Bartholomew Strange. Tidak menunjukkan reaksi apa-apa ketika
nama Gilling disebut. Ia juga tak pernah bertemu dengan Mr. Babbington
sebelumnya. "Tidak banyak yang kudapat," kata Egg pada diri sendiri. "Ada motif untuk
melakukan pembunuhan atas Sir Bartholomew, tapi tipis. M. Poirot barangkali bisa
memakai info ini. Aku tidak."
BAB XIX TAPI Egg belum selesai dengan programnya hari itu. Langkah berikutnya adalah
pergi ke apartemen suami-istri Dacres. Gedung apartemen itu sebuah bangunan baru
yang mahal. Jendela-jendelanya kelihatan mewah dan penjaga-penjaga pintunya
memakai seragam seperti jenderal-jenderal asing.
Egg tidak memasuki gedung itu. Ia berjalan mondar-mandir di seberang jalan.
Setelah kurang-lebih satu jam, ia menghitung langkahnya sudah mencapai beberapa
mil. Saat itu pukul setengah enam.
Sebuah taksi melaju dan berhenti di depan apartemen itu. Kapten Dacres keluar
dari dalamnya. Egg memberi waktu tiga menit, lalu ia menyeberang jalan dan masuk
ke gedung itu. Ia memijat bel pintu nomor tiga. Kapten Dacres sendiri yang membukakan pintu. Ia
kelihatan sedang akan melepas mantel luarnya.
"Oh," kata Egg. "Apa kabar" Anda masih ingat saya, kan" Kita pernah bertemu di
Cornwall, dan bertemu lagi di Yorkshire."
"Ya... ya. Di dua tempat yang terjadi kematian, kan" Silakan masuk, Miss Lytton
Gore." "Saya ingin bertemu dengan istri Anda. Bisa?"
"Dia masih di Bruton Street, di tokonya."
"Ya, saya tahu. Saya tadi ke sana. Saya pikir dia sudah pulang, dan barangkali
tidak keberatan kalau saya datangi. Tapi jangan-jangan kedatangan saya akan
mengganggunya." Egg diam, mencoba menarik perhatian.
Freddie Dacres berkata pada dirinya sendiri,
"Gadis manis. Sangat manis."
Lalu ia berkata, "Cynthia tak akan pulang sampai jam enam lebih. Saya baru datang dari Newbury.
Menjengkelkan. Saya sedang sial dan cepat-cepat pergi. Kita tunggu saja di klub.
Minum-minum dulu." Egg menerima undangan itu, walaupun ia menduga Dacres kelihatannya sudah minum
beberapa gelas alkohol sebelumnya.
Egg duduk di keremangan tempat minum. Sambil mencicipi Martini, ia berkata,
"Menyenangkan juga tempat ini. Saya belum pernah kemari."
Freddie Dacres tersenyum ramah. Ia suka gadis-gadis muda dan cantik. Barangkali
tidak sesuka hal-hal tertentu lainnya, tapi cukup menyukai hal itu.
"Saat-saat yang membingungkan, ya?" katanya. "Maksud saya, di Yorkshire itu.
Aneh juga, ya. Seorang dokter diracun. Mengerti maksud saya" Rasanya terbalik,
begitu. Dokter kan orang yang meracuni orang lain."
Ia tertawa terkekeh-kekeh, menertawakan leluconnya sendiri, lalu memesan segelas
pink gin lagi. "Anda bisa saja," kata Egg. "Saya tak pernah berpikir begitu."
"Ah, cuma bercanda," kata Freddie Dacres.
"Aneh juga, ya," kata Egg. "Tiap kali kita bertemu, ada kematian."
"Ya, memang," kata Kapten Dacres. "Maksud Anda kematian pendeta tua itu - siapa
namanya - di rumah aktor terkenal itu?"
"Ya. Aneh juga caranya meninggal. Begitu mendadak."
"Ya. Membuat kacau saja," kata Dacres. "Membuat kita jadi senewen. Orang-orang
muncul di mana-mana, dan kita jadi berpikir, 'Giliranku berikutnya.' Huh. Kita
jadi merinding." "Anda pernah kenal Mr. Babbington, kan" Di Gilling?"
"Tak pernah ke tempat itu. Tidak. Tak pernah ketemu bapak tua itu. Lucu juga.
Dia meninggal seperti si Strange itu. Aneh. Bukan karena dikerjai orang juga,
kan?" "Hm. Apa pendapat Anda?"
Dacres menggelengkan kepalanya.
"Pasti tidak," katanya pasti. "Tak ada orang membunuh pendeta. Kalau dokter
lain." "Ya, dokter memang lain," kata Egg.
"Tentu saja. Masuk akal. Dokter itu setan-setan yang suka campur tangan." Ia
menelan sedikit kata-katanya, lalu mencondongkan badannya ke depan. "Tak mau
membiarkan orang lain. Tahu maksud saya?"
"Tidak," kata Egg.
"Mereka meributkan hidup orang lain. Kekuasaannya terlalu besar. Seharusnya
dibatasi." "Saya tidak terlalu mengerti maksud Anda."
"Nona manis, ini maksud saya. Mereka mengunci hidup orang lain, memenjarakan
orang. Mereka jahat. Mengucilkan orang lain dan menyembunyikan barang-barangnya.
Bagaimanapun kita meminta dan memohon, mereka tak akan memberikannya. Sama
sekali tak mau tahu penderitaan orang lain. Itu yang namanya dokter."
Wajahnya gemetar dan kelihatan menderita. Matanya memandang jauh menerawang.
"Neraka... benar-benar neraka! Dan mereka bilang itu penyembuhan! Berpura-pura
melakukan hal terpuji. Bedebah!"
"Apa Sir Bartholomew Strange...," kata Egg hati-hati.
Freddie Dacres langsung menyambar,
"Sir Bartholomew Strange. Sir Bartholomew sialan. Saya ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi dalam sanatorium yang amat berharga itu. Kasus-kasus penyakit
saraf. Itu kata mereka. Orang ada di dalamnya dan tak bisa keluar. Dan mereka
bilang orang-orang itu datang atas kemauan sendiri. Kemauan sendiri. Hanya
karena mereka bisa menguasai orang-orang itu pada waktu mereka ketakutan."
Ia gemetar sekarang. Mulutnya tiba-tiba melengkung ke bawah.
"Saya kalut. Berantakan," katanya dengan nada minta maaf. Ia memanggil pelayan
dan menyuruh Egg minum lagi. Ketika gadis itu menolak, ia memesan untuk dirinya
sendiri. "Hm. Lebih enak sekarang," katanya sambil menghabiskan isi gelasnya.
"Sudah baik sekarang. Urusan brengsek membuat saya gelisah. Saya gelisah. Saya
tak boleh membuat Cynthia marah. Dia pesan supaya saya tidak cerita-cerita." Ia
mengangguk-anggukkan kepala satu-dua kali. "Tak baik bercerita soal ini pada
polisi," katanya. "Mereka akan mengira saya yang menghabisi si Strange. Eh" Anda
tahu, kan, pasti ada seseorang yang melakukannya" Salah satu dari kita pasti
telah membunuh dia. Ah, lucu. Yang mana" Siapa" Itu pertanyaannya."
"Barangkali Anda tahu?" kata Egg.
"Kenapa Anda bilang begitu" Kenapa saya yang tahu?"
Ia memandang gadis itu dengan marah dan curiga.
"Saya tak tahu apa-apa tentang soal itu. Dan saya tak ingin menjalani perawatan
brengsek itu. Apa pun yang dikatakan Cynthia, saya tak akan mau. Dokter itu
memang punya rencana - mereka berdua sama-sama punya rencana. Tapi mereka tak akan
bisa membodohi saya."
Ia menarik badannya. "Saya orang yang kuat, Miss Lytton Gore."
"Saya percaya," kata Egg. "O ya, Anda kenal dengan seseorang bernama Mrs. de
Rushbridger yang ada di sanatorium?"
"Rushbridger" Rushbridger" Rasanya si Strange pernah bicara tentang dia. Soal
apa, ya" Ah... apa, ya" Saya lupa."
Freddie Dacres menarik napas dan menggelengkan kepala.
"Ingatan saya hilang. Ya, itu dia. Dan saya punya musuh. Banyak musuh.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Algojo Gunung Sutra 1
seandainya Ellis pembunuh profesional yang dikenali Sir Bartholomew, dan
kemudian membunuhnya sebagai akibatnya, seluruh kejadian itu benar-benar suatu
kejadian yang buruk. Untunglah ia ingat Sir Bartholomew teman Charles
Cartwright. Sekilas kamar Ellis tak menjanjikan apa-apa. Tak mungkin menemukan hal penting
di sana. Baju-baju yang digantung di lemari maupun dilipat dalam laci semua
rapi. Baju-baju itu potongannya bagus dan buatan macam-macam penjahit. Jelas
baju pemberian orang dalam situasi yang berbeda-beda. Baju-baju dalamnya pun
kelihatan begitu. Sepatu-sepatunya disemir dan dijajar rapi.
Mr. Satterthwaite mengambil sebuah sepatu bot dan bergumam, "Sembilan - nomor
sembilan." Memang tak ada jejak kaki dalam kasus itu, tapi itu tak berarti
sepatu itu tak ada gunanya.
Jelas kelihatan bahwa ketika pergi, Ellis masih mengenakan baju kerjanya. Mr.
Satterthwaite menunjukkan hal ini pada Sir Charles sebagai fakta yang agak luar
biasa. "Siapa pun akan berganti dengan baju biasa dalam keadaan seperti itu."
"Ya. Aneh juga kelihatannya. Hampir seperti... walaupun itu aneh... seolah-olah
dia tidak pergi ke mana-mana. Tapi tentunya tidak begitu."
Mereka melanjutkan pemeriksaan. Tak ada surat, tak ada dokumen, kecuali sebuah
guntingan koran tentang penyembuhan penyakit katimumul dan sebuah artikel
tentang perkawinan seorang putri bangsawan yang akan dilangsungkan dalam waktu
dekat. Di situ ada satu bundel kertas penyerap tinta dan sebotol tinta kecil di meja
samping. Tak ada pennya. Sir Charles mengambil penyerap tinta itu dan
menempelkannya ke kaca, tapi tanpa hasil. Satu halamannya terlihat sudah sering
dipakai, acak-acakan, dan tintanya kelihatan sudah lama.
"Dia tak pernah menulis surat sejak datang kemari atau tidak menyerapkan
tintanya," kata Mr. Satterthwaite menyimpulkan. "Ini penyerap tinta tua. Ah,
ya." Ia menunjuk ke tulisan "L. Baker" yang hampir-hampir tak terbaca.
"Kurasa Ellis belum memakainya sama sekali."
"Aneh, ya?" kata Sir Charles.
"Apa maksudmu?"
"Pria biasanya menulis surat."
"Kecuali jika dia kriminal."
"Ya. Barangkali kau benar. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, yang membuatnya
lari seperti itu. Tapi pokoknya dia tidak membunuh Tollie."
Mereka sibuk memeriksa lantai, mengangkat karpet, memeriksa kolong tempat tidur.
Tak ada apa-apa di situ, kecuali noda tinta di dekat perapian. Kamar itu kosong.
Mereka meninggalkan kamar itu dengan agak malu. Semangat mereka sebagai detektif
langsung berkurang. Barangkali di benak mereka terlintas pikiran bahwa di buku-buku cerita semua
teratur dengan lebih baik.
Mereka bicara sebentar dengan beberapa pelayan junior yang takut pada Mrs.
Leckie dan Beatrice Church. Tapi mereka tak memberikan harapan apa-apa.
Akhirnya keduanya pergi. "Bagaimana, Satterthwaite, ada sesuatu yang menarik?" kata Sir Charles ketika
mereka berjalan melintasi taman, menuju mobil Mr. Satterthwaite yang diparkir di
dekat pintu masuk. Mr. Satterthwaite berpikir. Ia tak bisa menjawab dengan terburu-buru, apalagi
kalau ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Mengakui apa yang mereka lakukan
sia-sia tidaklah baik. Ia menimbang-nimbang bukti-bukti yang dikatakan para
pelayan. Informasi mereka benar-benar tak bernilai.
Seperti baru saja dikatakan Sir Charles, mereka hanya tahu Miss Wills mengintip
dan menyelidiki, Miss Sutcliffe bingung, Mrs. Dacres sama sekali tak peduli, dan
Kapten Dacres mabuk. Rasanya tak ada apa-apa, kecuali kalau kelakuan Freddie
Dacres merupakan akibat dari rasa bersalah. Tapi Mr. Satterthwaite tahu Freddie
Dacres memang sering mabuk.
"Bagaimana?" ulang Sir Charles tak sabar.
"Tak ada apa-apa," Mr. Satterthwaite mengakui dengan enggan, "kecuali... kecuali
dari kliping koran itu kita bisa menarik kesimpulan, si Ellis itu sakit
katimumul." Sir Charles tersenyum masam.
"Deduksi yang masuk akal. Apa lanjutannya?"
Mr. Satterthwaite mengaku tidak tahu.
"Satu-satunya yang lain," katanya, lalu ia diam.
"Ya" Teruskan saja, barangkali ada gunanya."
"Rasanya aneh cara Sir Bartholomew mencemooh kepala pelayannya seperti yang
diceritakan pelayan itu. Rasanya kok aneh."
"Ya, aneh," kata Sir Charles penuh tekanan. "Aku kenal Tollie dengan baik - lebih
baik dari kau - dan dia bukan orang yang suka bercanda. Dia tak akan bicara
seperti itu, kecuali... kecuali untuk alasan tertentu, saat dia tidak dalam
keadaan normal. Kau benar, Satterthwaite; itu satu hal penting. Jadi, ke mana
arahnya?" "Hm...," Mr. Satterthwaite mulai. Tapi jelas pertanyaan Sir Charles tak perlu
dijawab. Ia bukan ingin mendengar pendapat Mr. Satterthwaite, tapi ingin
mengeluarkan pendapatnya.
"Kau ingat ketika insiden itu terjadi, Satterthwaite" Setelah Ellis menyampaikan
pesan telepon itu. Kurasa kita bisa menyimpulkan pesan lewat telepon itulah yang
membuat Tollie geli. Kau masih ingat, kan" Aku bertanya pada pelayan itu tentang
isi pesan itu." Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Ya, dia bilang seorang wanita bernama Mrs. de Rushbridger datang ke
sanatorium," katanya, untuk menunjukkan ia juga menaruh perhatian terhadap hal
itu. "Tidak terlalu seru kedengarannya."
"Benar. Tapi kalau alasan kita benar, pasti ada sesuatu dalam pesan itu."
"Ya... a," kata Mr. Satterthwaite ragu-ragu.
"Tentunya," kata Sir Charles, "kita harus mencari tahu, apa sesuatu yang penting
itu dan yang terkandung dalam pesan tersebut. Barangkali itu kode yang terdengar
biasa, tapi sebenarnya punya arti lain. Kalau Tollie menyelidiki kasus kematian
Babbington, hal itu mungkin ada hubungannya. Barangkali, misalnya, dia justru
akan mengupah detektif swasta untuk menemukan fakta-faktanya. Orang itu mungkin
memberitahu dia bahwa kecurigaannya memang terbukti. Lalu dia menelepon dan
mengatakan pesan khusus itu; kalimat yang tidak berarti apa-apa bagi orang lain.
Hal itu bisa menjelaskan sikapnya yang luar biasa gembira. Juga kenapa dia
bertanya pada Ellis apakah nama itu betul, karena dia sendiri tahu sebenarnya
nama itu tak ada. Sebetulnya dia sendiri menunjukkan sikap kurang seimbang, yang
terjadi bila orang berhasil dalam sesuatu."
"Kauanggap tak ada orang yang bernama Mrs. de Rushbridger?"
"Kurasa kita harus mengeceknya dulu."
"Bagaimana?" "Kita bisa ke sanatorium sekarang dan bertanya pada pimpinannya."
"Bisa jadi dia akan berpikir ini aneh."
Sir Charles tertawa. "Biar aku yang melakukannya," katanya.
Mereka berbelok ke arah sanatorium.
Mr. Satterthwaite berkata,
"Bagaimana denganmu, Cartwright" Ada yang aneh menurut pendapatmu" Dari
kunjungan kita ke rumah, maksudku."
Sir Charles menjawab perlahan, "Ya, ada sesuatu. Sialnya, aku tak ingat apa
itu." Mr. Satterthwaite memandangnya heran. Yang dipandang hanya mengernyitkan dahi.
"Bagaimana aku bisa menjelaskannya" Ada sesuatu - sesuatu yang saat itu kurasa
tidak beres, atau aneh - tapi aku tak sempat berpikir tentang hal itu tadi. Aku
menyimpannya saja dalam pikiranku."
"Dan sekarang kau tak ingat?"
"Tidak. Waktu itu aku hanya berpikir 'Ini aneh.'"
"Apa mungkin waktu menanyai para pelayan" Pelayan yang mana?"
"Aku tak ingat lagi. Tambah kupikir, tambah lupa aku. Barangkali kalau dibiarkan
akan ingat sendiri nanti."
Mereka sampai di sanatorium, sebuah bangunan modern bercat putih, yang
dipisahkan dari taman dengan pagar. Mereka melewati pintu pagar itu dan memijat
bel depan serta minta bertemu dengan pimpinannya.
Pimpinan sanatorium itu seorang wanita jangkung setengah baya, berwajah cerdas,
dan tampak cekatan. Ia pernah mendengar Sir Charles adalah kawan almarhum Sir
Bartholomew Strange. Sir Charles menjelaskan bahwa ia baru saja pulang dari luar negeri dan terkejut
mendengar kematian kawannya. Ia juga curiga atas kejadian tersebut dan telah
datang ke rumah untuk melihat dan bertanya-tanya. Wanita itu menyatakan dengan
halus arti kepergian Sir Bartholomew bagi mereka dan kariernya yang baik sebagai
dokter. Sir Charles sendiri ingin tahu bagaimana selanjutnya nasib sanatorium
itu. Pimpinan itu mengatakan Sir Bartholomew punya dua partner, keduanya dokter
yang mempunyai reputasi, dan yang satu tinggal di sanatorium.
"Bartholomew memang bangga dengan tempat ini," kata Sir Charles.
"Ya. Perawatannya merupakan sukses besar."
"Banyak kasus-kasus saraf, ya?"
"Benar." "Itu mengingatkan saya pada seseorang di Monte Carlo yang punya hubungan dengan
seseorang di sini. Saya lupa namanya - namanya aneh - Rushbridger - Rushbridger -
seperti itu kira-kira."
"Maksud Anda Mrs. de Rushbridger?"
"Ya, betul. Apa dia di sini?"
"Oh, ya. Tapi saya kira dia tak bisa menemui Anda - untuk sementara ini. Dia
sedang menjalani istirahat total yang amat ketat." Wanita itu tersenyum. "Tak
boleh terima surat atau tamu dulu."
"Wah. Mudah-mudahan sakitnya tidak terlalu serius."
"Dia mengalami gangguan saraf yang agak berat - kehilangan ingatan dan letih
mental yang berat. Oh, dia bisa pulih kembali pada waktunya nanti."
Wanita itu tersenyum penuh keyakinan.
"Sebentar. Rasanya saya pernah dengar Tollie - Sir Bartholomew - bicara tentang dia.
Dia teman sekaligus pasiennya, kan?"
"Bukan, Sir Charles. Setidaknya, Dokter tak pernah bilang begitu. Dia baru saja
datang dari Hindia Barat. Sebenarnya lucu. Para pelayan sulit mengingat namanya -
pelayan kamar di sini agak bodoh. Dia datang dan bilang pada saya, 'Mrs. Hindia
Barat sudah datang.' Saya rasa nama itu memang agak berbau Hindia Barat, tapi
memang kebetulan saja dia baru datang dari Hindia."
"Ya, memang agak lucu. Suaminya ada?"
"Dia masih di sana."
"Ah, ya, ya. Saya pasti keliru dengan orang lain. Itu merupakan kasus yang
menarik bagi Pak Dokter."
"Kasus amnesia sebenarnya cukup banyak. Tapi kasus-kasus seperti itu selalu
menarik perhatian orang-orang medis - maksud saya variasinya. Jarang ada dua kasus
yang sama." "Buat saya semua aneh. Baiklah kalau begitu. Terima kasih kami bisa ngobrol
sebentar. Tollie selalu bangga dengan Anda. Dia sering bicara tentang Anda,"
kata Sir Charles berbohong.
"Oh, terima kasih. Syukurlah." Muka wanita itu menjadi merah. "Dia begitu baik.
Kami benar-benar kehilangan. Kami semua terkejut - seperti mau pingsan rasanya.
Pembunuh! 'Siapa sih yang tega membunuh Dokter Strange"' kata saya. Luar biasa.
Kepala pelayan itu benar-benar kurang ajar. Saya harap polisi bisa menangkapnya.
Dan tanpa motif atau apa-apa."
Sir Charles menggelengkan kepala dengan sedih, lalu pamit. Mereka keluar dan
berjalan ke arah mobil. Sebagai balas dendam karena terpaksa diam selama percakapan di sanatorium tadi,
Mr. Satterthwaite menunjukkan perhatiannya pada tempat Oliver Manders mendapat
kecelakaan. Ia menanyai penjaga gerbang yang sudah tua dan yang bicaranya pelan.
Ya, itulah tempatnya, dindingnya retak. Pemuda itu naik sepeda motor. Tidak, ia
tak melihat kecelakaan itu. Tapi ia mendengarnya. Lalu keluar dan melihat.
Pemuda itu berdiri - tepat di tempat tuan yang satunya itu berdiri. Kelihatannya
ia tidak terluka. Hanya kelihatan sedih memandangi sepeda motornya yang
berantakan. Ia menanyakan nama tempat itu, dan ketika mendengar itu rumah Sir
Bartholomew Strange, ia bilang, 'Untung,' lalu berjalan ke rumah itu. Pemuda itu
kalem, kelihatan capek. Bagaimana sampai terjadi kecelakaan itu, si penjaga
gerbang tak tahu. Tapi memang kadang-kadang hal yang tak disangka bisa terjadi.
"Kecelakaan yang aneh," pikir Mr. Satterthwaite.
Ia memperhatikan jalan yang lebar dan lurus itu. Tak ada tikungan, tak ada
persimpangan, tak ada hal yang bisa membuat pengendara motor terpaksa menabrak
dinding yang tingginya tiga meter. Ya, kecelakaan aneh.
"Apa yang kaupikirkan, Satterthwaite?" tanya Sir Charles ingin tahu.
"Tak ada," kata Mr. Satterthwaite. "Tak ada apa-apa."
"Memang aneh," kata Sir Charles. Ia juga memandang tempat terjadinya kecelakaan
itu dengan bingung. Mereka masuk ke dalam mobil dan pergi.
Mr. Satterthwaite sibuk berpikir. Mrs. de Rushbridger... teori Cartwright tidak
jalan; itu bukan pesan dalam bentuk kode. Orangnya ada. Mungkinkah ada sesuatu
yang berhubungan dengan wanita itu sendiri" Mungkinkah ia saksi" Ataukah ia
merupakan kasus yang menarik, sehingga Bartholomew Strange menunjukkan sikap
seperti itu" Apakah ia wanita cantik" Jatuh cinta pada usia 55 - seperti
diperhatikan Mr. Satterthwaite berkali-kali - memang bisa mengubah karakter
manusia. Hal itu barangkali membuatnya suka bercanda, walaupun sebelumnya ia
pendiam. Renungannya terusik. Sir Charles mencondongkan badannya ke depan.
"Satterthwaite," katanya, "kau tidak keberatan kalau kita kembali?"
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung memberi perintah. Mobil itu berjalan pelan,
berhenti, dan sopir mulai mengganti arah. Satu-dua menit kemudian mereka melaju
di jalan, ke arah berlawanan.
"Ada apa?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Aku baru ingat hal yang kuanggap aneh," kata Sir Charles. "Noda tinta di lantai
kamar kepala pelayan itu."
BAB XI Mr. SATTERTHWAITE memandang kawannya dengan heran.
"Noda tinta" Apa maksudmu, Cartwright?"
"Kau masih ingat?"
"Aku memang ingat ada noda tinta."
"Kau ingat posisinya?"
"Tidak, bagaimana tepatnya tidak."
"Dekat perapian."
"Ya. Aku ingat sekarang."
"Bagaimana noda itu bisa terjadi, Satterthwaite?"
Mr. Satterthwaite berpikir sejenak.
"Noda itu tidak terlalu besar," katanya. "Pasti bukan karena tumpah dari botol.
Kemungkinannya, menurut pendapatmu, orang itu menjatuhkan penanya di situ. Kau
ingat tidak, di kamar itu tak ada pena." ("Dia akan tahu aku juga memperhatikan
hal-hal seperti itu," pikir Mr. Satterthwaite.) "Jadi, jelas dia memang punya
pena, walaupun tak ada bukti dia pernah menulis."
"Ya, benar, Satterthwaite. Ada noda tinta di situ."
"Dia mungkin tak pernah menulis," kata Mr. Satterthwaite. "Barangkali dia cuma
menjatuhkan penanya di lantai."
"Tapi pasti tak akan ada noda, kecuali jika tutup pena itu dibuka."
"Kau benar," kata Mr. Satterthwaite. "Tapi aku tidak melihat keanehan apa-apa
dalam hal itu." "Barangkali memang tak ada yang aneh," kata Sir Charles. "Aku tak bisa bilang
apa-apa sampai aku kembali ke tempat itu dan melihatnya sendiri."
Mereka berbelok masuk ke pintu pagar. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di
rumah. Sir Charles membelokkan kecurigaan penghuni rumah akan kedatangannya
kembali dengan mengatakan pensilnya ketinggalan di kamar Ellis.
Setelah berhasil mengusir Mrs. Leckie yang siap membantu, Sir Charles menutup
pintu kamar Ellis dan berkata, "Sekarang kita lihat apakah aku orang tolol, atau
memang ada sesuatu dalam ideku."
Menurut pendapat Mr. Satterthwaite, alternatif pertama lebih mungkin, tapi ia
terlalu sopan untuk mengatakan hal itu. Ia duduk di tempat tidur dan memandang
kawannya. "Ini dia nodanya," kata Sir Charles sambil menunjuk dengan kakinya. "Tepat di
bawah papan pembatas dinding, di arah yang berlawanan dengan meja tulis. Dalam
situasi apa orang menjatuhkan pena di tempat itu?"
"Kita bisa menjatuhkan pena di mana saja," kata Mr. Satterthwaite.
"Memang bisa saja melemparkannya ke seberang ruangan," kata Sir Charles setuju.
"Tapi orang biasanya tidak memperlakukan penanya seperti itu. Aku tak tahu. Pena
bertinta buatku sangat menyebalkan. Suka kering tintanya, tidak keluar pada
waktu kita sedang memerlukan. Barangkali inilah jawabannya. Ellis marah dan
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, 'Sialan,' sambil melempar penanya."
"Kurasa bisa ada banyak penjelasan," kata Mr. Satterthwaite. "Dia mungkin
meletakkan penanya di atas perapian, lalu pena itu jatuh."
Sir Charles melakukan eksperimen dengan pensil. Ia membiarkan pensil itu
menggelinding di ujung perapian. Pensil itu jatuh ke lantai kira-kira satu meter
dari noda tinta, terus menggelinding ke dalam perapian yang memakai gas.
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, "apa penjelasannya?"
"Aku sedang mencarinya."
Dari tempat duduknya, Mr. Satterthwaite menyaksikan pertunjukan yang
menyenangkan. Sir Charles mencoba menjatuhkan pensilnya sambil berjalan ke arah perapian. Ia
mencoba duduk di ujung tempat tidur dan menulis di situ, lalu menjatuhkan
pensil. Agar pensil itu dapat jatuh di tempat noda itu, ia harus duduk atau
berdiri merapat ke dinding dalam posisi yang tak menyenangkan.
"Itu tak mungkin," kata Sir Charles keras. Ia berdiri memandang dinding, noda
tinta, dan perapian. "Seandainya dia membakar kertas," katanya sambil berpikir. "Tapi orang tidak
membakar kertas di perapian yang dinyalakan dengan gas."
Tiba-tiba Sir Charles menarik napas panjang.
Satu menit kemudian, Mr. Satterthwaite menyaksikan profesi Sir Charles dalam
gambaran hidup. Charles Cartwright menjadi Ellis, si kepala pelayan. Ia duduk di meja tulis. Ia
kelihatan penuh rahasia, sesekali mengangkat mata dan melirik ke kiri ke kanan.
Tiba-tiba ia seperti mendengar sesuatu. Mr. Satterthwaite bahkan bisa menebak
apa kira-kira yang didengar - langkah kaki sepanjang lorong. Laki-laki itu merasa
bersalah. Ia meloncat dengan kertas di satu tangan dan pena di tangan lainnya.
Ia cepat-cepat berjalan ke perapian, kepalanya setengah menoleh, masih dalam
sikap waspada, mendengarkan, setengah takut. Ia mencoba menyelipkan kertas ke
dalam perapian yang menyala. Supaya dapat menggunakan kedua tangannya, ia
melemparkan penanya dengan tak sabar. Pensil Sir Charles jatuh tepat di noda
tinta. "Bravo!" seru Mr. Satterthwaite memberi aplaus.
Begitu bagus pertunjukan itu, sehingga ia mendapat kesan memang itulah
sebenarnya yang dilakukan Ellis.
"Begitulah kira-kira," kata Sir Charles, kembali menjadi dirinya dan bicara
dengan suara merendah. "Kalau dia mendengar polisi, atau orang yang dikiranya
polisi datang, dan harus menyembunyikan apa yang ditulisnya - nah, di mana dia
akan menyembunyikannya" Bukan di laci atau di bawah kasur. Kalau polisi
menggeledah kamar, pasti segera ditemukan. Dia tak punya waktu untuk mengangkat
papan lantai. Tempat di balik perapian itu yang paling tepat."
"Yang kemudian harus kita lakukan," kata Mr. Satterthwaite, "ialah mengecek
apakah ada sesuatu yang tersembunyi di balik perapian."
"Tepat. Tapi bisa saja yang dia takutkan tidak terjadi, dan dia bisa mengambil
kembali benda-benda itu. Tapi siapa tahu. Kita lihat saja."
Sir Charles membuka baju hangatnya dan menggulung lengan bajunya, lalu bertiarap
di lantai sambil mengintip celah di perapian.
"Ada sesuatu di bawah sana," katanya melapor. "Warnanya putih. Bagaimana
mengambilnya" Kita perlu benda semacam jepit topi wanita."
"Zaman sekarang wanita tidak memakai jepit topi," kata Mr. Satterthwaite sedih.
"Barangkali bisa pakai pisau lipat."
Tapi ternyata tidak bisa.
Akhirnya Mr. Satterthwaite keluar dan meminjam jarum rajut dari Beatrice.
Walaupun pelayan itu ingin tahu kenapa Mr. Satterthwaite meminjam benda itu,
rasa sopan santun mencegahnya menanyakan hal itu.
Jarum rajut itu membawa hasil. Sir Charles menarik kira-kira enam gumpalan
kertas yang kelihatannya dimasukkan ke dalam perapian dengan tergesa-gesa.
Dengan menggebu-gebu ia dan Mr. Satterthwaite meluruskan lembaran-lembaran itu.
Kertas-kertas itu ternyata merupakan beberapa konsep surat yang ditulis dengan
tulisan kecil dan rapi. Yang pertama isinya:
Ini suatu pernyataan bahwa penulis tak ingin menyebabkan hal-hal yang tidak enak
dan mungkin kekeliruan akan apa yang dilihatnya malam ini, tapi...
Di sini penulis jelas tidak puas dan mulai menulis lagi:
John Ellis, kepala pelayan, dengan senang hati bersedia menjalani wawancara
sehubungan dengan tragedi malam ini, sebelum pergi ke polisi dengan informasi
yang diketahuinya... Orang itu kelihatannya masih belum puas dan mencoba menulis lagi:
John Ellis, kepala pelayan, mempunyai beberapa fakta tentang kematian dokter
itu. Ia belum memberikan fakta-fakta itu pada polisi...
Pada konsep yang lain, penggunaan bentuk orang ketiga tunggal sudah
ditinggalkan: Aku sangat memerlukan uang. Seribu pound akan membereskan persoalanku. Ada
beberapa hal yang bisa kukatakan pada polisi, tapi aku tak ingin membuat
ribut... Yang terakhir kelihatan lebih terbuka:
Saya tahu bagaimana dokter itu meninggal. Saya belum mengatakan apa-apa pada
polisi. Kalau Anda bersedia menemui saya...
Surat yang ini putus dengan cara berbeda-beda; setelah kata "saya", pena
bergoyang dan lima kata terakhir buram dan hurufnya membengkok. Rupanya waktu
menulis surat itulah Ellis mendengar suara yang membuatnya khawatir. Ia meremas
kertas itu dan cepat-cepat menyembunyikannya.
Mr. Satterthwaite menarik napas.
"Selamat, Cartwright," katanya. "Instingmu tentang noda tinta itu ternyata
benar. Bagus. Sekarang kita lihat di mana kita berada."
Ia diam sesaat. "Seperti kita perkirakan, Ellis rupanya memang penjahat. Dia bukan pembunuh,
tapi tahu siapa pembunuhnya, dan dia siap memeras orang itu, laki-laki atau
perempuan." "Laki-laki atau perempuan," kata Sir Charles. "Menyebalkan juga kita tak tahu
yang mana. Kenapa dia tidak memulai suratnya dengan 'Sir' atau 'Madam' saja.
Ellis kelihatannya cukup artistik. Dia susah payah menulis banyak surat
pemerasan. Kalau saja ada satu petunjuk - satu petunjuk kecil yang sederhana -
misalnya pada siapa surat itu ditujukan."
"Tak apa," kata Mr. Satterthwaite. "Kita sudah mendapat kemajuan. Kau sendiri
yang mengatakan apa yang ingin kaucari dalam kamar ini adalah bukti
ketidakterlibatan Ellis. Kita sudah menemukannya. Surat-surat ini menunjukkan
dia tidak terlibat. Dia memang penjahat, tapi bukan pembunuh Sir Bartholomew
Strange. Orang lain yang melakukannya. Orang yang juga membunuh Babbington,
kelihatannya. Kurasa polisi terpaksa akan sependapat dengan kita."
"Kau akan memberitahu mereka tentang ini?" suara Sir Charles menunjukkan rasa
tak puas. "Kurasa kita tak bisa membiarkannya. Kenapa?"
"Hm..." Sir Charles duduk di tempat tidur. Dahinya berkerut. "Bagaimana aku
harus mengatakannya" Pada saat ini kita tahu sesuatu yang tak diketahui orang
lain. Polisi sedang mencari Ellis. Mereka pikir dialah pembunuhnya. Setiap orang
tahu polisi menganggap dia pembunuhnya. Jadi, si pembunuh yang sesungguhnya
merasa aman. Dia - entah laki-laki entah perempuan - tak akan jadi sembrono, tapi
dia akan merasa aman. Bukankah sayang kalau kita mengaduk-aduk situasi itu"
Bukankah ini merupakan kesempatan untuk kita" Maksudku kesempatan kita untuk
mencari hubungan antara Babbington dan salah satu dari orang-orang itu. Mereka
tak tahu ada orang yang menghubungkan kematian ini dengan kematian Babbington.
Mereka tak akan curiga. Ini kesempatan satu dalam seribu."
"Ah, aku mengerti," kata Mr. Satterthwaite. "Aku setuju. Ini kesempatan. Tapi
sama saja, kurasa kita tak bisa melakukannya. Kewajiban kita sebagai warga
negara ialah melaporkan penemuan ini dengan segera pada polisi. Kita tak punya
hak untuk menyimpannya sendiri."
Sir Charles memandangnya dengan sorot mata aneh.
"Kau memang contoh warga negara yang baik, Satterthwaite. Aku tahu hal yang
ortodoks itu harus dilakukan. Tapi aku bukanlah warga negara yang baik. Rasanya
aku takkan merasa terlalu bersalah kalau menyimpannya sampai satu atau dua hari
lagi. Cuma satu-dua hari, kan" Tidak" Baiklah, aku menyerah. Kita harus
menghormati hukum dan peraturan."
"Johnson adalah kawanku," Mr. Satterthwaite menjelaskan, "dan dia amat baik -
membolehkan kita ikut-ikut tahu, memberi informasi lengkap, dan sebagainya."
"Oh, kau benar," kata Sir Charles. "Benar. Hanya saja, cuma aku rupanya yang
punya pikiran untuk mencari-cari di bawah perapian itu. Hal itu tak terpikir
oleh polisi-polisi tolol itu. Tapi sudahlah. Terserah kau saja, Satterthwaite.
Jadi, di mana Ellis sekarang, kira-kira?"
"Kurasa," kata Mr. Satterthwaite, "dia mendapat apa yang dicarinya. Dia diupah
untuk menghilang, dan dia menghilang dengan baik."
"Ya," kata Sir Charles, "kurasa itulah penjelasannya."
Ia gemetar. "Aku tak suka kamar ini, Satterthwaite. Ayo keluar."
BAB XII Sir CHARLES dan Mr. Satterthwaite sampai di London kembali esok malamnya.
Wawancara dengan Kolonel Johnson harus dilakukan dengan taktis. Inspektur
Crossfield tidak terlalu gembira, sebab "orang-orang biasa" itu menemukan
sesuatu yang seharusnya ditemukan dirinya dan bawahannya. Ia berusaha tidak
kehilangan muka. "Bagus sekali, Sir. Saya akui saya memang tak pernah berpikir untuk memeriksa
tempat itu. Terus terang, saya ingin tahu apa yang membuat Anda mencari sesuatu
di tempat itu." Kedua laki-laki itu memang tidak bercerita secara mendetail tentang teori mereka
yang didasarkan pada setitik noda tinta. "Hanya melongok-longok," itulah yang
dikatakan Sir Charles. "Tapi Anda berhasil," kata inspektur itu, "walaupun apa yang Anda temukan tidak
terlalu mengejutkan bagi saya. Memang bisa dimengerti kalau Ellis bukan
pembunuhnya, dia pasti menghilang karena sebab-sebab tertentu. Saya sudah lama
juga berpikir, bisa jadi pemerasan merupakan profesinya."
Satu hal memang muncul karena penemuan tersebut. Kolonel Johnson bermaksud
mengadakan komunikasi dengan polisi Loomouth. Kematian Stephen Babbington harus
diperiksa. "Dan kalau mereka menemukan dia juga meninggal karena keracunan nikotin, si
Crossfield akan terpaksa mengakui kedua kematian itu berhubungan," kata Sir
Charles ketika mereka ngebut ke London.
Ia masih kesal karena terpaksa menyerahkan penemuannya kepada polisi.
Mr. Satterthwaite menghiburnya dengan mengatakan informasi itu tak akan
dipublikasikan pada wartawan.
"Orang yang bersalah tak akan khawatir, dan pencarian Ellis tetap dilakukan."
Sir Charles mengakui hal itu benar.
Setelah sampai di London, Sir Charles berkata pada Mr. Satterthwaite bahwa ia
akan menghubungi Egg Lytton Gore. Surat gadis itu ditulis dari sebuah alamat di
Belgrave Square. Ia berharap gadis itu masih ada di sana.
Mr. Satterthwaite menyetujui hal itu dengan sikap sungguh-sungguh. Ia sendiri
ingin bertemu Egg. Sir Charles memang berjanji akan menelepon gadis itu begitu
mereka sampai di London. Egg ternyata masih di situ. Ia dan ibunya tinggal di rumah saudara mereka dan
baru akan kembali ke Loomouth seminggu kemudian. Egg dengan mudah diajak keluar
untuk makan malam dengan kedua pria itu.
"Tentunya dia tak bisa datang ke tempat ini," kata Sir Charles sambil memandang
berkeliling flatnya yang mewah. "Ibunya tak akan senang. Kita bisa saja
mengundang Miss Milray, tapi rasanya tak perlu. Terus terang, Miss Milray
membuatku jadi kaku dan kagok. Dia begitu efisien, sehingga aku jadi rendah
diri." Mr. Satterthwaite menawarkan rumahnya. Akhirnya mereka memutuskan makan di
Berkeley. Setelah itu, kalau Egg suka, mereka bisa melanjutkan obrolan di suatu
tempat. Mr. Satterthwaite seketika melihat gadis itu tampak lebih kurus, matanya
kelihatan lebih besar, dan dagunya lebih tegas. Mukanya pucat dan di bawah
matanya terlihat lingkaran-lingkaran. Tapi daya tariknya tetap sama, begitu pula
semangatnya yang kekanak-kanakan.
Ia berkata pada Sir Charles, "Saya tahu Anda pasti datang."
Nada suaranya berbunyi, "Karena kau sudah tiba, semuanya pasti beres."
Mr. Satterthwaite berpikir, "Tapi dia tak yakin Sir Charles akan datang; dia
sama sekali tak yakin. Dia begitu khawatir. Banyak pikiran." Dan ia berpikir
lagi, "Apakah Sir Charles tidak merasa" Aktor biasanya sensitif. Apa dia tak
tahu gadis itu mencintainya setengah mati?"
Situasi ini aneh, pikirnya. Bahwa Sir Charles jatuh cinta pada gadis itu, sudah
jelas terlihat. Gadis itu pun mencintainya. Dan hubungan di antara mereka -
hubungan yang mendekatkan mereka - adalah tindak kriminal ganda yang luar biasa.
Mereka tak banyak bicara selama makan. Sir Charles bercerita tentang
pengalamannya di luar negeri. Egg bercerita tentang Loomouth. Mr. Satterthwaite
membuat mereka bicara lagi ketika pembicaraan mulai tersendat-sendat.
Setelah selesai makan malam, mereka pergi ke rumah Mr. Satterthwaite.
Rumah Mr. Satterthwaite ada di Chelsea Embankment. Rumah besar itu berisi banyak
karya seni. Di situ banyak lukisan, patung, porselen Cina, tembikar prasejarah,
gading, miniatur dan perabotan Chippendale dan Heppelwhite asli. Terasa suasana
matang serta penuh pengertian di situ.
Tapi Egg Lytton Gore tidak melihat apa-apa. Ia melemparkan mantel malamnya di
sebuah kursi dan berkata,
"Nah, sekarang ceritakan semuanya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Sir Charles menceritakan
pengalaman mereka di Yorkshire, dan menarik napas dalam-dalam ketika pria itu
menjelaskan tentang penemuan surat-surat pemerasan itu.
"Apa yang terjadi setelah itu hanya bisa kita bayangkan," kata Sir Charles
mengakhiri. "Barangkali Ellis dibayar untuk menjaga lidahnya, dan kepergiannya
justru mendapat bantuan."
Tapi Egg menggelengkan kepala.
"Oh, tidak," katanya. "Ellis pasti sudah mati."
Kedua laki-laki itu terkejut, tapi Egg begitu yakin dengan idenya.
"Tentu saja dia sudah mati. Itu sebabnya dia berhasil menghilang begitu lama,
sampai tak seorang pun bisa menemukan jejaknya. Dia tahu terlalu banyak, jadi
dia dibunuh. Ellis adalah korban ketiga."
Walaupun kedua laki-laki itu tak pernah memikirkan kemungkinan itu sebelumnya,
mereka terpaksa mengakui teori itu sangat masuk akal.
"Tapi begini," kata Sir Charles. "Memang bisa saja Ellis sudah mati.
Persoalannya, di mana mayatnya" Kepala pelayan dengan tubuh seberat itu tentunya
harus diperhitungkan."
"Saya tak tahu di mana mayatnya," kata Egg. "Pasti banyak tempat."
"Justru sebaliknya," gumam Mr. Satterthwaite. "Sulit."
"Banyak," ulang Egg. "Coba," katanya, lalu diam sejenak. "Di ruang bawah atap -
banyak ruangan di bawah atap yang tak pernah dilihat orang. Barangkali dia ada
di dalam peti di sana."
"Kelihatannya tak masuk akal," kata Sir Charles. "Tapi mungkin saja. Mungkin
untuk menunda penemuan... eh... atau untuk mengulur waktu."
Tapi Egg bukanlah orang yang suka menghindari rasa tak enak. Ia langsung
menghadapi hal yang dipikirkan Sir Charles.
"Bau busuk menguap ke atas, tidak ke bawah. Keberadaan mayat lebih cepat
diketahui apabila diletakkan di ruang bawah tanah, bukan di ruang bawah atap.
Dan lagi, kalau orang mencium baunya, pikiran mereka pertama-tama akan tertuju
pada tikus-tikus mati."
"Kalau teorimu benar, berarti si pembunuh laki-laki. Wanita tak bisa menyeret-
nyeret mayat seputar rumah. Bagi laki-laki saja susah."
"Ada beberapa kemungkinan lain. Ada sebuah lorong rahasia di sana. Miss
Sutcliffe yang cerita pada saya. Dan Sir Bartholomew berjanji akan
menunjukkannya pada saya. Pembunuh itu mungkin memberi Ellis uang dan
menunjukkan jalan keluar lewat lorong itu. Mereka bersama-sama menyusuri lorong,
dan si pembunuh membunuhnya di sana. Seorang wanita bisa melakukan hal itu. Lalu
dia bisa meninggalkan mayatnya di situ dan kembali lagi. Tak ada seorang pun
tahu." Sir Charles menggelengkan kepala dengan ragu-ragu, tapi ia tidak membantah teori
Egg. Mr. Satterthwaite yakin kecurigaan seperti itu telah dirasakannya ketika ia
masuk ke kamar Ellis untuk kedua kalinya. Ia teringat Sir Charles yang bergidik.
Kemungkinan bahwa Ellis sudah meninggal pasti muncul dalam pikiran Sir Charles
saat itu. Mr. Satterthwaite berpikir, "Kalau Ellis benar telah meninggal, berarti kami
berhadapan dengan pembunuh yang amat berbahaya. Ya, orang yang amat berbahaya."
Tiba-tiba bulu kuduknya meremang.
Orang yang pernah membunuh tiga kali takkan ragu-ragu membunuh lagi.
Mereka dalam bahaya - ketiganya - Sir Charles, Egg, dan ia sendiri.
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau mereka tahu terlalu banyak...
Lamunannya terputus ketika mendengar suara Sir Charles.
"Ada satu hal yang tidak kumengerti dalam suratmu, Egg. Kau mengatakan ada
seseorang yang dalam bahaya - polisi mencurigainya. Aku tak mengerti kenapa polisi
bisa mencurigai seseorang."
Mr. Satterthwaite melihat Egg agak bingung. Ia bahkan melihat wajah gadis itu
memerah. "Aha," kata Mr. Satterthwaite pada dirinya sendiri. "Coba lihat apa jawabmu,
nona muda." "Saya memang tolol," kata Egg. "Bingung. Saya pikir Oliver, dengan alasan
kedatangannya yang seperti itu, akan menimbulkan kecurigaan polisi."
Sir Charles menerima penjelasan itu.
"Hm, begitu," katanya.
Mr. Satterthwaite berbicara.
"Apakah alasan itu masuk akal?" katanya.
Egg berpaling padanya. "Apa maksud Anda?"
"Kecelakaan itu aneh," kata Mr. Satterthwaite. "Saya merasa alasan itu tak masuk
akal. Barangkali kau bisa menjelaskan."
Egg menggelengkan kepala.
"Saya tidak tahu. Saya tak pernah berpikir tentang hal itu. Tapi kenapa Oliver
harus berpura-pura mendapat kecelakaan?"
"Barangkali dia punya alasan," kata Sir Charles. "Alasan yang wajar."
Ia tersenyum pada Egg. Gadis itu menjadi merah mukanya.
"Oh, tidak," katanya. "Tidak."
Sir Charles menarik napas panjang. Mr. Satterthwaite merasa kawannya salah
menginterpretasikan rasa malu gadis itu. Sir Charles kelihatan lebih tua dan
lebih sedih ketika bicara lagi.
"Hm, kalau kawan kita Manders tidak dalam bahaya, apa hubungannya dengan saya?"
Egg maju ke depan dengan cepat dan memegang lengan mantel Sir Charles.
"Jangan pergi lagi. Jangan menyerah. Carilah kebenaran itu - kebenaran itu. Saya
kira hanya Andalah yang bisa menemukannya. Anda bisa, dan akan menemukannya."
Gadis itu kelihatan sangat serius. Gelombang vitalitas yang ditimbulkannya
seolah-olah masuk dan berputar di dalam ruangan itu.
"Kau percaya padaku?" kata Sir Charles. Ia terharu.
"Ya, ya, ya. Kita akan menemukan kebenaran itu. Anda dan saya bersama-sama."
"Dan Satterthwaite."
"Tentu saja. Dan Mr. Satterthwaite," kata Egg tanpa antusias.
Mr. Satterthwaite tersenyum diam-diam. Ia akan tetap melanjutkan penyelidikan,
walaupun Egg tidak mengikutsertakan dirinya. Ia suka misteri, ia suka
memperhatikan tingkah laku manusia, dan ia bisa memahami orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Ketiga hal itu kelihatannya ada dalam kasus yang sedang mereka
hadapi. Sir Charles duduk. Suaranya berubah. Ia yang memegang pimpinan dan mengatur
sebuah produksi. "Pertama-tama kita harus menjernihkan situasi. Kita yakin atau tidak bahwa
pembunuh Babbington sama dengan pembunuh Bartholomew Strange?"
"Ya," kata Egg.
"Ya," kata Mr. Satterthwaite.
"Apa kita yakin pembunuhan kedua merupakan akibat langsung dari pembunuhan
pertama" Maksud saya, apa kita percaya Bartholomew Strange dibunuh dengan tujuan
mencegah dia membukakan fakta tentang pembunuhan pertama atau kecurigaannya
tentang hal itu?" "Ya," kata Egg dan Mr. Satterthwaite bersama-sama.
"Kalau begitu, yang kita selidiki adalah pembunuhan pertama, bukan kedua."
Egg mengangguk. "Menurut saya, kita hanya bisa menemukan si pembunuh apabila kita tahu motif
pembunuhan pertama. Motif itu sulit diketahui, karena Babbington orang tua yang
lembut, menyenangkan, dan bisa dikatakan tak punya musuh di dunia. Tapi dia
terbunuh, dan pasti ada penjelasan untuk itu. Kita harus menemukan penjelasan
itu." Ia diam, lalu berkata dengan suaranya yang biasa,
"Kita perinci saja kalau begitu. Sebab-sebab apa saja yang bisa dijadikan alasan
untuk membunuh orang" Pertama, untuk mendapatkan sesuatu."
"Balas dendam," kata Egg.
"Homicidal mania - pembunuh gila," kata Mr. Satterthwaite. "Crime passionnel - suka
tindak kejahatan - tak akan cocok untuk kasus ini. Tapi ada rasa takut."
Charles Cartwright mengangguk. Ia mencoret-coret selembar kertas.
"Kira-kira itu sudah cukup," katanya. "Pertama, ingin mendapatkan sesuatu. Apa
ada yang beruntung dengan kematian Babbington" Apa dia punya uang atau dia calon
ahli waris?" "Saya rasa tidak," kata Egg.
"Aku sependapat. Tapi sebaiknya kita dekati Mrs. Babbington untuk mengetahui hal
ini." "Lalu balas dendam. Apa Babbington menyakiti seseorang - barangkali pada waktu
muda" Apa dia menikahi gadis yang diinginkan laki-laki lain" Kita harus mencari
tahu hal itu juga." "Lalu homicidal mania. Baik Babbington maupun Tollie dibunuh orang gila. Kurasa
teori itu tak bisa diterapkan. Orang gila pun masih mempunyai hal yang masuk
akal dalam kriminalitasnya. Maksudku, seorang gila bisa saja berpikir dia
merupakan pilihan Tuhan untuk membunuh dokter atau pendeta, tapi tidak untuk
membunuh keduanya. Kurasa kita bisa menghilangkan teori homicidal mania. Yang
tinggal adalah ketakutan.
"Terus terang saja, kelihatannya ini yang paling cocok. Babbington tahu sesuatu
tentang seseorang, atau dia mengenali seseorang. Dia dibunuh untuk mencegahnya
mengatakan sesuatu itu."
"Sulit bagiku membayangkan hal apa yang diketahui Mr. Babbington yang
membahayakan seseorang yang hadir dalam pesta malam itu."
"Barangkali," kata Sir Charles, "dia tahu sesuatu, tapi tak sadar akan hal itu."
Ia melanjutkan penjelasannya,
"Sulit mengatakan apa yang kumaksud. Seandainya, misalnya - ini hanya contoh -
Babbington melihat seseorang pada suatu tempat tertentu. Sepanjang dia tahu, tak
ada salahnya orang itu berada di situ. Tapi seandainya orang itu sedang membuat
alibi untuk maksud tertentu, yang menyatakan dia berada di suatu tempat lain
yang amat jauh... nah, Babbington bisa saja menggagalkan rencana itu tanpa
maksud apa-apa, hanya karena dia tidak tahu."
"Hm, begitu," kata Egg. "Jadi, misalnya ada pembunuhan di London, lalu
Babbington melihat si pembunuh itu di Stasiun Paddington, tapi orang itu punya
alibi yang menunjukkan dia ada di Leeds waktu pembunuhan itu terjadi. Maka
Babbington mungkin saja akan menggagalkan rencana itu."
"Itulah yang kumaksud. Tentu saja itu hanya contoh. Bisa saja hal lain yang
terjadi. Seseorang yang dijumpainya malam itu yang dikenalnya dengan nama lain."
"Mungkin ada hubungannya dengan perkawinan," kata Egg. "Pendeta kan mengawinkan
banyak orang. Mungkin ada seseorang yang melakukan bigami."
"Atau ada hubungannya dengan kelahiran dan kematian," kata Mr. Satterthwaite.
"Sangat luas kemungkinannya," kata Egg sambil mengerutkan dahi. "Kita harus
melihatnya dengan cara lain. Kita mulai dari orang-orang yang datang ke pesta.
Kita buat daftar dulu. Siapa-siapa yang datang di rumah Anda, dan siapa-siapa
yang datang di rumah Sir Bartholomew."
Ia mengambil kertas dan pensil dari Sir Charles.
"Suami-istri Dacres. Mereka hadir di kedua pesta itu. Wanita yang seperti kol
layu itu - siapa namanya" - Wills. Miss Sutcliffe."
"Tak perlu memasukkan Angela dalam daftar itu. Aku sudah lama mengenalnya," kata
Sir Charles. Egg mengerutkan kening tak setuju.
"Kita tak bisa melakukan hal seperti itu," katanya. "Menyisihkan seseorang
karena kita mengenalnya. Kita harus adil. Kecuali itu, saya tak tahu siapa
Angela Sutcliffe. Dia bisa saja melakukan hal yang dilakukan orang lain -
kemungkinannya bahkan lebih banyak. Semua aktris punya masa lalu. Secara
keseluruhan, saya merasa dialah yang paling punya kemungkinan untuk itu."
Ia memandang Sir Charles dengan gagah. Ada jawaban dalam kilatan matanya.
"Kalau begitu, kita juga tak bisa menyisihkan Oliver Manders."
"Bagaimana mungkin dia melakukannya" Dia begitu sering bertemu dengan Mr.
Babbington sebelumnya."
"Dia ada di kedua pesta itu, dan alasan kedatangannya agak mencurigakan."
"Baik," kata Egg. Ia diam, lalu berkata, "Kalau begitu, saya akan menulis nama
Ibu dan nama saya juga. Semuanya ada tujuh orang."
"Kurasa..." "Kita melakukannya dengan benar atau tidak sama sekali," kata Egg dengan sorot
mata marah. Mr. Satterthwaite memerankan juru damai dengan menawarkan makanan kecil. Ia
membunyikan bel untuk minta minum.
Sir Charles berjalan ke sebuah sudut dan mengagumi sebuah patung kepala Negro.
Egg mendekati Mr. Satterthwaite dan menyelipkan lengannya, menggandeng pria itu.
"Bodoh saya, kenapa jadi panas begini?" gumamnya. "Saya tolol. Tapi kenapa
wanita itu diperlakukan lain" Kenapa dia begitu ngotot" Ya ampun. Kenapa saya
jadi cemburu begini?"
Mr. Satterthwaite tersenyum dan menepuk-nepuk tangannya.
"Kecemburuan tak ada gunanya, Nak," katanya. "Kalau kau cemburu, jangan
diperlihatkan. O ya, apa kau benar-benar berpikir si Manders itu mungkin
dicurigai?" Egg menyeringai, ramah dan kekanak-kanakan.
"Tentu saja tidak. Saya sengaja menulis hal itu supaya tidak terlalu mengejutkan
dia." Ia menolehkan kepalanya. Sir Charles masih mengamati kepala Negro itu
dengan pandangan sedih. "Saya tak ingin dia merasa dikejar. Tapi saya tak ingin
dia berpikir saya mencintai Oliver, karena memang tidak. Kenapa sulit begini,
ya" Sekarang dia kembali bersikap 'Kurestui kau, Nak.' Saya tak mau itu."
"Sabar," kata Mr. Satterthwaite. "Semuanya akan beres nanti."
"Saya tidak sabaran," kata Egg. "Saya ingin semuanya cepat atau cepat sekali."
Mr. Satterthwaite tertawa. Sir Charles berbalik dan mendekati mereka.
Sambil meneguk minuman, mereka membuat rencana untuk bertindak. Sir Charles akan
kembali ke Crow's Nest yang belum laku dijual. Egg dan ibunya akan kembali ke
Rose Cottage, lebih cepat dari yang mereka rencanakan. Mrs. Babbington masih
tinggal di Loomouth. Mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin dari wanita
itu, kemudian baru bertindak.
"Kita akan berhasil," kata Egg. "Saya tahu. Kita akan berhasil."
Ia membungkuk ke arah Sir Charles dengan mata bersinar. Ia mengulurkan gelasnya
dan menyentuh gelas Sir Charles.
"Kita minum untuk keberhasilan," kata Egg.
Pelan-pelan mata Sir Charles menatap mata Egg, dan ia mengangkat gelasnya ke
bibir. "Demi sukses," katanya, "dan masa depan."
BABAK KETIGA PENEMUAN BAB XIII MRS. BABBINGTON telah pindah ke pondok nelayan kecil yang tak jauh dari
pelabuhan. Ia sedang menunggu adik perempuannya datang dari Jepang dalam enam
bulan ini. Ia baru akan membuat rencana masa depan kalau adiknya sudah datang.
Pondok itu kebetulan kosong dan ia menyewanya untuk enam bulan. Ia masih takut
pergi jauh dari Loomouth karena kehilangan yang begitu mendadak. Stephen
Babbington telah melayani gereja St. Petroch, Loomouth, selama tujuh belas
tahun. Mereka menikmati tujuh belas tahun yang bahagia dan penuh damai, walaupun
putra mereka, Robin, meninggal. Anak-anak yang masih hidup adalah Edward, yang
ada di Sri Lanka; Lloyd di Afrika Selatan; dan Stephen, perwira militer di
Angola. Mereka sering menulis surat yang hangat dan penuh sayang, tapi tak
seorang pun bisa menawarkan rumah atau menemani ibunya.
Margaret Babbington sangat kesepian.
Bukan karena ia membuang-buang waktu dengan melamun. Ia masih tetap aktif di
gereja (pendeta yang baru belum menikah), dan Margaret menghabiskan banyak
waktunya dengan merawat halaman sempit di depan pondoknya. Ia tipe wanita yang
menganggap bunga adalah bagian dari hidupnya.
Ia sedang merawat tanamannya di halaman sore itu, ketika mendengar derit pintu
pagar dan melihat Sir Charles Cartwright masuk bersama Egg Lytton Gore.
Margaret tidak heran melihat Egg. Ia tahu gadis itu dan ibunya akan segera
kembali. Tapi ia heran melihat Sir Charles. Ia mendengar laki-laki itu telah
pergi dan takkan kembali lagi. Koran-koran juga memberitakan apa yang ia lakukan
di Prancis Selatan. Di halaman Crow's Nest ada sebuah papan yang bertuliskan
DIJUAL. Tak seorang pun membayangkan ia akan kembali lagi. Tapi nyatanya ia
datang kembali. Mrs. Babbington menepis rambut dari dahinya yang kepanasan dan memandang sedih
pada tangannya yang kotor penuh tanah.
"Saya tak bisa bersalaman," katanya. "Seharusnya saya memakai sarung tangan.
Kadang-kadang saya memang memakainya, tapi sarung tangan itu selalu robek.
Dengan tangan saja rasanya lebih enak."
Ia mengajak mereka masuk rumah. Ruang duduk mungil itu kelihatan nyaman dengan
sejumlah hiasan dari kain. Di situ ada foto-foto dan sejumlah jambangan berisi
bunga seruni. "Kedatangan Anda sangat mengejutkan, Sir Charles. Saya kira Anda telah
meninggalkan Crow's Nest untuk selamanya."
"Saya pikir juga begitu," kata aktor itu terus terang. "Tapi kadang-kadang, Mrs.
Babbington, nasib menentukan lain."
Mrs. Babbington tidak menanggapi. Ia memandang Egg, tapi gadis itu menahan kata-
katanya di bibir. "Begini, Mrs. Babbington. Ini bukan sekadar kunjungan. Sir Charles dan saya
ingin membicarakan sesuatu yang serius. Tapi saya... saya tak ingin membuat Anda
sedih." Mrs. Babbington memandang gadis itu, lalu ganti memandang Sir Charles. Wajahnya
berubah agak keabu-abuan dan sedikit berkerut.
"Pertama-tama," kata Sir Charles, "saya ingin bertanya apakah Anda telah
menerima informasi itu."
Mrs. Babbington menganggukkan kepalanya.
"Hm. Mungkin itu akan membuat percakapan kita nanti jadi lebih mudah."
"Itukah maksud kedatangan Anda" Perintah penggalian kembali?"
"Ya. Tentunya... sangat menyedihkan bagi Anda."
Hatinya melembut mendengar suara Sir Charles yang penuh simpati.
"Barangkali tidak apa-apa. Bagi beberapa orang tertentu, penggalian kembali
pasti mengerikan, tapi tidak buat saya. Bukan tanah liat mati yang penting bagi
saya. Suami saya ada di suatu tempat, penuh damai, tempat tak seorang pun bisa
mengganggunya. Bukan, bukan itu. Yang mengejutkan saya adalah ide itu. Ide
kematian Stephen bukan kematian yang wajar. Rasanya begitu tak masuk akal - sangat
tak masuk akal." "Saya mengerti. Anda pasti merasa demikian. Kami sendiri juga merasakan hal yang
demikian - pertama-tama."
"Apa maksud Anda dengan 'pertama-tama', Sir Charles?"
"Karena suatu kecurigaan menyelinap di hati saya pada malam kematian suami Anda,
Mrs. Babbington. Seperti Anda, saya pun merasa itu tak mungkin, sehingga saya
mengesampingkannya."
"Saya juga berpikir begitu," kata Egg.
"Anda juga?" tanya Mrs. Babbington. Ia memandang gadis itu dengan heran. "Anda
pikir ada orang yang tega membunuh Stephen?"
Keraguan dalam suaranya begitu besar, sehingga kedua tamunya tak tahu bagaimana
harus melanjutkan. Akhirnya Sir Charles melanjutkan,
"Seperti Anda ketahui, Mrs. Babbington, saya pergi ke luar negeri. Ketika masih
di Prancis Selatan, saya membaca dari koran tentang kematian teman saya, Sir
Bartholomew Strange, dalam situasi yang hampir sama. Saya juga menerima surat
dari Miss Lytton Gore."
Egg mengangguk. "Saya datang di pesta itu. Menginap di rumahnya. Mrs. Babbington, kejadiannya
sama - persis sama. Dia minum anggur, lalu wajahnya berubah, dan... dan... ya,
sama. Dia meninggal dua atau tiga menit kemudian."
Mrs. Babbington menggelengkan kepalanya pelan.
"Saya tidak mengerti. Stephen! Sir Bartholomew - dokter yang cerdas dan baik!
Siapa yang tega menyakiti mereka" Itu pasti kekeliruan."
"Sir Bartholomew terbukti keracunan, ingat," kata Sir Charles.
"Kalau begitu, ini pasti pekerjaan orang gila."
Sir Charles melanjutkan, "Mrs. Babbington, saya ingin benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
di balik peristiwa ini. Dan saya merasa kita tak boleh membuang-buang waktu.
Sekali berita tentang penggalian itu tersebar, si penjahat akan menjadi waspada.
Untuk menghemat waktu, saya ingin membuat asumsi bahwa kematian Mr. Babbington
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
juga diakibatkan keracunan nikotin. Pertama-tama, apakah Anda atau Mr.
Babbington tahu tentang penggunaan nikotin murni?"
"Saya selalu menggunakan larutan nikotin untuk menyemprot mawar. Saya tak tahu
larutan itu beracun."
"Saya pikir - tadi malam saya membaca hal itu - dalam kedua kasus ini, dipergunakan
alkaloid murni. Kasus peracunan dengan nikotin memang tidak biasa."
Mrs. Babbington menggelengkan kepala.
"Saya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang peracunan nikotin. Saya kira hanya
pecandu rokok yang mungkin menderita karenanya."
"Apa suami Anda merokok?"
"Ya." "Coba sekarang Anda jelaskan. Anda tadi menunjukkan rasa heran karena ada orang
yang tega membunuh suami Anda. Apakah itu berarti - setahu Anda - dia tak punya
musuh?" "Saya yakin Stephen tak punya musuh. Setiap orang menyukainya. Kadang-kadang
orang-orang bahkan memburunya." Ia tersenyum sedih. "Dia memang sudah tua dan
kadang-kadang takut pada penemuan-penemuan baru, tapi setiap orang menyukainya.
Orang tak bisa tidak menyukai dia."
"Apakah Mr. Babbington meninggalkan banyak uang?"
"Tidak. Hampir tak ada. Dia tak bisa menabung. Dia memberi terlalu banyak. Saya
biasanya marah karenanya."
"Dia juga tidak mengharap mendapat sesuatu dari orang lain" Dia bukan ahli
waris?" "Oh, tidak. Stephen tak punya banyak kerabat. Dia punya seorang saudara
perempuan yang menikah dengan pendeta di Northumberland, tapi mereka miskin.
Semua paman dan bibinya sudah meninggal."
"Kalau begitu, tak ada orang yang akan mendapatkan sesuatu karena kematian Mr.
Babbington?" "Sama sekali tidak."
"Saya ingin kembali pada soal musuh, sebentar saja. Kata Anda Mr. Babbington tak
punya musuh. Bagaimana dengan ketika dia masih muda?"
Mrs. Babbington tampak skeptis.
"Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang suka bermusuhan. Dia selalu
baik pada orang lain."
"Saya tak ingin memberi kesan melodramatis," Sir Charles berkata sambil
berdeham-deham karena agak gugup, "tapi... eh... ketika dia bertunangan dengan
Anda, misalnya, apa tak ada pihak lain yang kecewa?"
Mata Mrs. Babbington bersinar sekejap.
"Stephen adalah kurator ayah saya. Dia pemuda pertama yang saya lihat ketika
saya pulang setelah menamatkan sekolah. Kami saling jatuh cinta. Kami
bertunangan selama empat tahun, lalu dia punya pekerjaan dan tempat tinggal di
Kent, dan kami bisa menikah. Kisah cinta kami sangat sederhana, Sir Charles, dan
sangat bahagia." Sir Charles menganggukkan kepala. Kewibawaan Mrs. Babbington yang sederhana itu
sangat menarik. Egg menggantikan peran penanya,
"Mrs. Babbington, apakah Mr. Babbington pernah bertemu dengan salah seorang tamu
di pesta itu sebelumnya?"
Mrs. Babbington kelihatan agak heran.
"Ibu Anda dan Anda sendiri, lalu Oliver Manders."
"Tamu-tamu lainnya?"
"Kami pernah melihat Angela Sutcliffe dalam suatu pertunjukan di London lima
tahun yang lalu. Stephen dan saya senang karena akan bertemu langsung
dengannya." "Anda sebelumnya tak pernah bertemu dengannya?"
"Tidak. Kami tak pernah bertemu aktris atau aktor, sampai Sir Charles datang
kemari. Dan itu," kata Mrs. Babbington, "membuat kami merasa menggebu-gebu. Saya
kira Sir Charles tidak tahu hal itu merupakan sesuatu yang luar biasa bagi kami.
Seperti embusan roman dalam hidup kami."
"Anda belum pernah bertemu Kapten dan Mrs. Dacres?"
"Apa dia laki-laki kecil dengan wanita berbaju bagus itu?"
"Ya." "Tidak. Juga wanita yang satunya - yang menulis drama. Kasihan. Kelihatannya dia
tak bisa masuk lingkungan itu."
"Anda yakin belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?"
"Saya yakin belum pernah. Dan saya juga yakin Stephen juga belum pernah. Kami
selalu melakukan segalanya bersama-sama."
"Dan Mr. Babbington tidak berkata apa-apa pada Anda" Tidak sama sekali, tentang
orang-orang yang akan Anda temui atau yang Anda temui ketika dia telah melihat
mereka?" tanya Egg ngotot.
"Tidak, tak ada. Kami hanya membayangkan akan menikmati malam yang menarik. Dan
ketika kami sampai di sana... hm, tak banyak waktu..." Tiba-tiba wajahnya
gemetar. Sir Charles menyela dengan cepat,
"Maaf, kami telah mengganggu Anda seperti ini. Tapi kami merasa pasti ada
sesuatu. Pasti ada alasan untuk pembunuhan yang begitu brutal dan kejam."
"Ya," kata Mrs. Babbington. "Seandainya ini memang suatu pembunuhan, harus ada
alasannya. Tapi saya tahu - saya tak bisa membayangkan - alasan apa yang menjadi
sebab." Mereka diam sejenak. Lalu Sir Charles berkata,
"Bisakah Anda memberikan gambaran sekilas tentang karier suami Anda?"
Mrs. Babbington mempunyai ingatan kuat atas tanggal-tanggal. Demikianlah yang
dicatat Sir Charles: Stephen Babbington, lahir di Islington, Devon, 1868.
Bersekolah di St. Paul's School dan Oxford. Ditahbiskan di Hoxton, 1891.
Dikukuhkan tahun 1892. Jadi kurator di Elsington, Surrey, pada Pendeta Vernon
Lorrimer 1894 - 1899. Menikah dengan Margaret Lorrimer, 1899, menjadi pendeta di
St. Mary's, Gilling. Pindah ke St. Petroch, Loomouth, 1916.
"Ini bisa menjadi petunjuk penyelidikan," kata Sir Charles. "Yang ada
hubungannya mungkin ketika Mr. Babbington masih menjadi pendeta di St. Mary's,
Gilling. Sejarahnya yang lebih awal mungkin tidak terlalu berhubungan dengan
teman-teman yang datang ke tempat saya."
Mrs. Babbington gemetar. "Apa benar salah seorang dari mereka..."
"Saya tak tahu harus berpikir apa," kata Sir Charles. "Bartholomew Strange
kelihatannya melihat sesuatu atau menebak sesuatu. Dan dia meninggal dengan cara
yang sama, dan lima..."
"Tujuh," kata Egg.
"...dari orang-orang itu juga datang ke pestanya. Salah seorang dari mereka
pasti bersalah." "Tapi kenapa?" seru Mrs. Babbington. "Kenapa" Motif apa yang membuat seseorang
ingin membunuh Stephen?"
"Itu," kata Sir Charles, "yang ingin kami ketahui."
BAB XIV MR. SATTERTHWAITE datang ke Crow's Nest dengan Sir Charles. Ketika tuan rumah
pergi dengan Egg Lytton Gore mengunjungi Mrs. Babbington, Mr. Satterthwaite
minum teh dengan Lady Mary.
Lady Mary menyukai Mr. Satterthwaite. Walaupun sikapnya lembut, ia mempunyai
pandangan tegas tentang siapa yang disukainya dan yang tidak.
Mr. Satterthwaite menghirup teh Cina dari sebuah cangkir Dresden dan makan
sepotong sandwich mungil sambil mengobrol. Dalam kunjungannya yang terakhir,
mereka ternyata mempunyai kenalan dan teman-teman yang sama. Sekarang keduanya
bicara tentang mereka, tapi pelan-pelan pembicaraan itu beralih pada hal-hal
yang lebih akrab. Mr. Satterthwaite adalah pribadi yang simpatik; ia
mendengarkan keluhan orang lain dan tidak mengganggu mereka dengan persoalannya
sendiri. Dalam kunjungannya yang terakhir pun Lady Mary bisa bicara bebas
tentang kekhawatirannya akan masa depan anaknya. Dan ia sekarang bicara padanya,
seolah-olah pada orang yang sudah bertahun-tahun ia kenal.
"Egg itu keras kepala," katanya. "Dia biasa melakukan apa yang disukainya.
Sebenarnya saya tak suka melihat dia terlibat dalam urusan yang... menyedihkan
ini. Egg pasti akan menertawakan saya. Tapi rasanya itu bukan hal yang pantas
dilakukan wanita." Mukanya berubah merah ketika ia bicara. Matanya yang cokelat, lembut, dan jujur
memandang Mr. Satterthwaite seperti anak yang minta tolong.
"Saya tahu apa yang Anda maksud," katanya. "Terus terang, saya sendiri juga
tidak suka. Saya tahu hal itu merupakan prasangka kuno. Tapi ya... apa boleh
buat," ia mengedipkan matanya, "kita tak bisa mengharap gadis-gadis muda itu
bisa duduk diam, menjahit, dan menjadi ketakutan mendengar berita pembunuhan
seperti itu." "Saya tidak suka berpikir tentang pembunuhan," kata Lady Mary. "Saya tak
pernah... tak pernah sekali pun bermimpi akan terlibat dalam urusan ini. Sangat
mengerikan." Ia gemetar. "Kasihan Sir Bartholomew."
"Anda tidak terlalu mengenal dia?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Saya cuma bertemu dia dua kali. Yang pertama kira-kira satu tahun yang lalu,
ketika dia datang menginap di rumah Sir Charles pada suatu akhir pekan. Dan yang
kedua adalah pada malam mengerikan ketika Mr. Babbington meninggal. Saya heran
ketika mendapat undangan darinya. Saya menerimanya karena saya berpikir Egg akan
menyukainya. Tak banyak yang bisa saya berikan. Kasihan Egg - apalagi dia agak
murung waktu itu, seolah-olah dia tidak tertarik pada apa-apa. Saya pikir pesta
di rumah besar begitu akan membuatnya gembira."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Coba Anda ceritakan tentang Oliver Manders," katanya. "Saya tertarik pada anak
itu." "Saya kira dia cerdas," kata Lady Mary. "Memang semuanya sulit buat dia."
Wajahnya merah. Lalu ia menjawab pandangan bertanya Mr. Satterthwaite.
Lanjutnya, "Ayahnya tidak menikah dengan ibunya."
"Benarkah" Saya tak tahu itu."
"Setiap orang di sini tahu. Kalau tidak, saya tak akan bicara tentang hal itu.
Mrs. Manders tua, nenek Oliver, tinggal di Dunboyne, rumah besar di jalan ke
Plymouth itu. Suaminya pengacara. Anak laki-lakinya bekerja di sebuah perusahaan
di kota. Dia orang kaya. Anak perempuannya cantik, dan terpikat pada laki-laki
yang sudah beristri. Pada akhirnya, setelah terjadi banyak keributan, mereka
pergi bersama. Tapi istri laki-laki itu tak mau menceraikan suaminya. Gadis itu
meninggal tak lama setelah Oliver lahir. Pamannya yang ada di London itu
memeliharanya, karena dia tak punya anak. Oliver membagi waktunya untuk paman
dan neneknya. Dia selalu ke sini pada liburan musim panas."
Ia diam, lalu melanjutkan,
"Saya selalu kasihan padanya. Saya pikir sikapnya yang sombong itu hanya dibuat-
buat." "Saya tak heran," kata Mr. Satterthwaite. "Hal begitu sangat biasa. Apabila ada
orang yang kelihatan memikirkan dirinya sendiri dan selalu menyombong, saya tahu
di baliknya ada rasa rendah diri yang tersembunyi."
"Rasanya aneh."
"Kompleks rendah diri memang aneh. Crippen, misalnya, dia menderita perasaan
itu. Dan bisa menjadi latar belakang terjadinya kriminalitas. Keinginan untuk
memaksakan kepribadian seseorang."
"Rasanya aneh bagi saya," gumam Lady Mary.
Ia kelihatan agak berkerut. Mr. Satterthwaite melihatnya dengan mata
sentimentil. Pria itu menyukai tubuhnya yang luwes dengan bahu melekuk halus,
mata cokelat yang lembut, dan wajahnya yang tanpa makeup. Ia berpikir,
"Dia pasti cantik ketika muda."
Bukan kecantikan yang menonjol dan segera menarik perhatian. Bukan kecantikan
bunga mawar, tapi kecantikan sekuntum bunga violet yang sederhana namun menawan,
yang menyembunyikan kemanisannya.
Pikirannya diam-diam kembali ke masa mudanya.
Tanpa sadar ia menceritakan kisah cintanya di waktu muda kepada Lady Mary - satu-
satunya kisah cinta yang dialaminya. Kisah cinta yang biasa-biasa saja untuk
ukuran sekarang, tapi amat khusus bagi Mr. Satterthwaite.
Ia bercerita tentang gadis yang dicintainya, kecantikannya, dan kepergian mereka
bersama melihat bunga-bunga bluebell di Kew. Ia bermaksud melamarnya hari itu.
Ia sudah membayangkan gadis itu akan membalas perasaannya. Dan kemudian, ketika
mereka berdiri berdekatan sambil memandangi bunga-bunga itu, si gadis bercerita
kepadanya. Akhirnya ia tahu bahwa gadis itu mencintai orang lain. Ia
menyembunyikan pikiran dan perasaannya serta berganti peran menjadi sahabat
setia. Mungkin itu bukan kisah cinta yang hebat, tapi cerita itu terdengar menarik di
ruang Lady Mary yang dilengkapi perabot berlapis kain katun yang sudah pudar
warnanya dan hiasan keramik tua.
Setelah itu, Lady Mary bercerita tentang kehidupannya sendiri - kehidupan
perkawinannya yang tidak begitu bahagia.
"Saya dulu gadis tolol - gadis-gadis memang tolol, Mr. Satterthwaite. Mereka
begitu percaya pada diri sendiri, yakin mereka tahu yang paling baik. Orang
menulis dan bicara banyak tentang insting wanita, tapi saya tak percaya hal itu.
Rasanya tak ada sesuatu yang mengingatkan gadis-gadis tentang tipe laki-laki
tertentu. Maksud saya dari dalam diri mereka sendiri. Orangtua mereka
mengingatkan mereka, tapi tidak mereka hiraukan, mereka tak percaya. Rasanya
menyedihkan, tapi seorang gadis justru semakin tertarik kalau ada yang
memberitahu bahwa pacarnya bukan pria baik-baik. Dia merasa cintanya akan bisa
mengubah laki-laki itu."
Mr. Satterthwaite mengangguk pelan.
"Orang biasanya tahu begitu sedikit. Saat dia tahu lebih banyak, sudah
terlambat." Lady Mary menarik napas. "Sebenarnya semua salah saya. Keluarga saya tak setuju saya menikah dengan
Ronald. Dia dari keluarga baik-baik, tapi reputasinya buruk. Ayah saya dengan
terus terang menasihati saya, dan mengatakan dia bukan pemuda baik-baik. Tapi
saya tak percaya. Saya pikir dia akan berubah karena dia mencintai saya."
Ia diam sesaat, mengenang hal-hal yang telah lewat.
"Ronald laki-laki yang menarik. Apa yang dikatakan Ayah tentang dia memang
benar. Saya segera melihatnya. Sebetulnya hal itu kuno - tapi dia membuat saya
sedih. Ya, dia membuat saya sedih. Saya selalu takut dengan apa yang terjadi
kemudian." Mr. Satterthwaite, yang selalu tertarik pada kehidupan orang lain, menggumamkan
tanggapan simpatik yang hati-hati.
"Mungkin ini hal yang kejam, Mr. Satterthwaite, tapi saya lega ketika dia
menderita pneumonia dan akhirnya meninggal. Bukan karena saya tidak lagi
mencintainya - saya tetap mencintai dia sampai meninggal - tapi saya sudah sadar dan
tak punya ilusi lagi tentang dirinya. Lalu ada Egg."
Suaranya melembut. "Dia sangat lucu. Berguling-guling waktu belajar berdiri. Seperti telur - karena
itu dijuluki Egg." Ia diam lagi. "Beberapa buku yang saya baca beberapa tahun terakhir ini membuat saya tenang.
Buku-buku tentang psikologi. Buku-buku itu menunjukkan bahwa dalam banyak hal,
orang memang sering tak bisa berbuat apa-apa. Seperti suatu kekusutan. Kadang-
kadang dalam keluarga yang berpendidikan baik, hal itu terjadi. Waktu masih
muda, Ronald mencari uang di sekolah - uang yang sebenarnya tidak dia perlukan.
Saya bisa merasakan dia memang tak bisa melawan kebiasaan itu. Dia lahir dengan
kekusutan itu." Dengan lembut Lady Mary mengusap matanya dengan saputangan kecil.
"Hal itu tak bisa diterima dalam prinsip pendidikan saya," katanya. "Saya diajar
bahwa setiap orang tahu membedakan antara salah dan benar. Tapi rupanya tidak
selalu begitu." "Pikiran manusia memang suatu misteri," kata Mr. Satterthwaite lembut. "Kita
hanya bisa berusaha mengerti. Memang ada pribadi-pribadi yang kurang atau tidak
mempunyai kekuatan untuk mengerem. Seandainya saya atau Anda berkata, 'Saya
benci seseorang. Mudah-mudahan dia mati.' Hal itu akan lepas dari pikiran kita
begitu kata-kata itu kita ucapkan. Rem itu akan bekerja secara otomatis. Tapi
untuk orang-orang tertentu, ide atau obsesi itu jalan terus. Mereka tak melihat
apa-apa kecuali realisasi ide itu."
"Rasanya," kata Lady Mary, "itu terlalu tinggi untuk saya pahami."
"Maaf. Saya memang bicara berdasarkan buku saja."
"Maksud Anda, apakah anak-anak muda itu terlalu kurang kontrol sekarang ini?"
"Bukan, sama sekali bukan itu maksud saya. Kurang kontrol - saya kira itu bagus -
bebas mengekspresikan diri. Anda berpikir tentang Miss... Egg."
"Saya kira sebaiknya Anda panggil dia Egg saja," kata Lady Mary tersenyum.
"Terima kasih. Miss Egg memang kedengarannya agak aneh."
"Egg sangat impulsif. Sekali dia memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa
menghalanginya. Seperti yang saya katakan tadi, saya tak suka dia terlibat
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan urusan itu. Tapi dia tak mau mendengarkan saya."
Mr. Satterthwaite tersenyum mendengar kesedihan pada nada suara Lady Mary. Ia
berpikir, "Bagaimana kalau dia tahu minat Egg dalam kriminalitas itu hanya alasan untuk
melakukan taktik kuno itu - permainan si wanita mengejar si laki-laki" Ah, Lady
Mary pasti cemas kalau tahu yang sebenarnya."
"Egg bilang, Mr. Babbington juga diracun. Anda pikir itu benar, Mr.
Satterthwaite" Apa itu hanya salah satu kata-kata Egg yang suka gegabah?"
"Kita akan tahu pasti setelah penggalian."
"Oh, apa akan ada penggalian?" Lady Mary gemetar. "Kasihan Mrs. Babbington! Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi seorang wanita selain hal seperti itu."
"Anda kenal dekat dengan Mrs. Babbington?"
"Ya, tentu saja. Kami bersahabat."
"Anda tahu seseorang yang barangkali tidak suka pada Pak Pendeta?"
"Tidak." "Dia tak pernah bicara tentang hal itu?"
"Tidak." "Hubungan suami-istri itu baik-baik saja?"
"Ya. Mereka bahagia. Suami, istri, dan anak-anak. Tentu saja hidup mereka pas-
pasan, dan Mr. Babbington menderita rematik. Itu saja kesulitan mereka."
"Bagaimana hubungan Oliver Manders dengan Pak Pendeta?"
"Ya..." Lady Mary ragu-ragu. "Bisa dikatakan tidak terlalu baik. Keluarga
Babbington kasihan pada Oliver, dan anak itu dulu suka ke tempat mereka,
bermain-main dengan anak-anak mereka pada waktu libur, walaupun saya kira dia
tidak terlalu akrab dengan mereka. Oliver bukanlah pemuda yang populer. Dia suka
menyombongkan uangnya, sekolahnya, dan kesenangan-kesenangan lain yang
diperolehnya di London. Anak laki-laki memang suka begitu."
"Ya... bagaimana akhir-akhir ini setelah dia dewasa?"
"Saya kira mereka tidak sering bertemu. Oliver pernah bersikap agak kasar pada
Mr. Babbington di sini, di rumah saya. Kejadiannya kira-kira dua tahun yang
lalu." "Apa yang terjadi?"
"Oliver menyatakan pendapatnya yang menyerang kekristenan. Mr. Babbington sangat
hormat dan sabar padanya, tapi itu justru membuat Oliver tambah ganas. Dia
berkata, 'Semua orang beragama menghinaku karena ayah-ibuku tidak menikah.
Barangkali kalian menyebutku anak haram. Hm, aku mengagumi orang-orang yang
punya keberanian untuk menyatakan apa yang mereka percayai dan aku tak peduli
pada apa yang dipikirkan pendeta-pendeta atau para hipokrit lainnya.' Mr.
Babbington tidak menjawab. Tapi Oliver melanjutkan, 'Anda tak mau menjawab itu.
Seluruh dunia ini berantakan karena eklesiastisme dan takhayul. Rasanya aku
ingin menyapu semua gereja di dunia ini.' Mr. Babbington tersenyum dan berkata,
'Dan pendetanya juga"' Saya kira senyum itulah yang menyakitkan hati Oliver. Dia
merasa dianggap main-main. Dia berkata, 'Aku benci semua yang ada di gereja.
Keangkuhan, keamanan, kemunafikan. Berantas saja semuanya.' Mr. Babbington
tersenyum - senyumnya sangat manis - dan dia berkata, 'Anakku, kalaupun kau bisa
menghancurkan semua gereja yang telah dibangun atau direncanakan, kau masih
harus berhadapan dengan Tuhan.'"
"Lalu dia bilang apa?"
"Dia kelihatan terkejut, lalu kembali ke sikap lamanya yang suka menghina,
sinis, dan menjengkelkan.
"Dia bilang, 'Barangkali apa yang kukatakan tadi tidak terekspresikan dengan
baik dan tidak bisa dicerna dengan mudah oleh generasi Anda.'"
"Anda tak suka pada Oliver Manders, Lady Mary?"
"Saya kasihan padanya," kata Lady Mary membela diri.
"Tapi Anda tak setuju dia menikah dengan Egg?"
"Tidak." "Kenapa sebenarnya?"
"Karena... karena dia tidak baik. Dan karena..."
"Ya?" "Karena ada sesuatu pada dirinya yang tidak saya mengerti. Sesuatu yang dingin."
Mr. Satterthwaite memandangnya sejenak, kemudian berkata,
"Bagaimana pendapat Sir Bartholomew Strange tentang dia" Pernahkah dia bicara
tentang Oliver?" "Saya ingat, dia mengatakan Oliver Manders merupakan kasus yang menarik. Katanya
anak itu mengingatkannya pada satu kasus yang sedang ditanganinya di rumah
sakitnya. Saya katakan Oliver kelihatan kuat dan sehat. Dan dia berkata, 'Ya,
kesehatannya memang baik, tapi dia menuju kehancuran.'"
Ia diam, lalu berkata, "Saya rasa Sir Bartholomew dokter yang cerdas."
"Kolega-koleganya sangat menghormati dia."
"Saya menyukainya," kata Lady Mary.
"Pernahkah dia mengatakan sesuatu pada Anda tentang kematian Mr. Babbington?"
"Tidak." "Sama sekali tidak?"
"Saya rasa tidak."
"Menurut Anda - pasti ini sulit bagi Anda, karena Anda tidak terlalu kenal dia -
menurut Anda, apakah ada sesuatu di dalam pikirannya?"
"Dia kelihatan riang, bahkan geli akan sesuatu hal - leluconnya sendiri. Dia
mengatakan pada makan malam itu akan membuat kejutan."
"Benarkah?" Mr. Satterthwaite merenungkan hal itu dalam perjalanan pulang.
Kejutan apa kira-kira yang akan diberikan Sir Bartholomew pada tamu-tamunya"
Apakah memang akan lucu, seperti yang ia perkirakan"
Atau sikap riang merupakan topeng dari tujuan yang sulit dikontrol" Apakah ada
yang tahu" BAB XV "ADA kemajuan?" tanya Sir Charles.
Ini merupakan sebuah rapat penting.
Sir Charles, Mr. Satterthwaite, dan Egg Lytton Gore duduk di ruang kapal. Mereka
sedang rapat. Perapian di ruangan itu menyala, dan di luar angin badai meraung-
raung. Mr. Satterthwaite dan Egg menjawab hampir bersamaan.
"Tidak," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya," kata Egg.
Sir Charles memandang mereka berganti-ganti. Mr. Satterthwaite memberi isyarat
dengan berwibawa bahwa sebaiknya wanita yang bicara lebih dulu.
Egg diam sejenak, berpikir.
"Kita ada kemajuan," katanya akhirnya. "Kita maju karena belum menemukan apa-
apa. Kedengarannya tidak masuk akal, tapi sebenarnya tidak. Maksud saya begini.
Sebelumnya kita sudah punya bayangan, dan sekarang kita tahu pasti bahwa
beberapa bagian dari bayangan itu tidak benar."
"Melangkah maju dengan menyingkirkan hal-hal yang tidak benar," kata Sir
Charles. "Itulah." Mr. Satterthwaite berdeham.
"Ide kemajuan itu sekarang bisa kita singkirkan," katanya, "rasanya tak ada
orang yang - seperti dalam buku-buku detektif - mendapat keuntungan dari kematian
Stephen Babbington. Motif balas dendam bisa dikesampingkan. Selain sikapnya yang
amat baik dan disukai orang, saya ragu apakah dia cukup penting untuk dimusuhi.
Jadi, kembali lagi pada bayangan kita, yaitu ketakutan. Dengan kematian Stephen
Babbington, ada seseorang yang memperoleh rasa aman."
"Bagus sekali cara Anda mengatakannya," kata Egg.
Mr. Satterthwaite kelihatan senang, namun tetap bersikap rendah hati. Sir
Charles tampak marah. Seharusnya dialah yang jadi bintang, bukan Satterthwaite.
"Persoalannya sekarang," kata Egg, "apa yang akan kita lakukan kemudian - yang
benar-benar kita lakukan" Apa kita akan memata-matai orang" Atau menyamar dan
membuntuti mereka?" "Saya tidak suka main jadi orang tua berjenggot, dan saya tak akan melakukannya
sekarang." "Lalu apa...," kata Egg memulai.
Tapi ada interupsi. Pintu ruangan itu terbuka dan Temple menyerukan,
"Mr. Hercule Poirot."
M. Poirot masuk dengan wajah berseri sambil menyalami ketiga orang yang terpana
keheranan itu. "Bolehkah saya membantu dalam rapat ini?" katanya dengan mata berkedip. "Ini
benar rapat, kan?" "Ah, kami senang bertemu Anda kembali," kata Sir Charles setelah sadar dari
kekagetannya. Ia menyalami tamunya dengan hangat dan mendorongnya ke sebuah
kursi besar yang nyaman. "Dari mana Anda muncul, begini tiba-tiba?"
"Saya mengunjungi kawan baik saya, Mr. Satterthwaite, di London. Mereka bilang
dia pergi - ke Cornwall. Eh bien, saya bisa menduga ke mana perginya. Saya
langsung naik kereta ke Loomouth. Dan akhirnya saya sampai di sini."
"Ya," kata Egg, "tapi kenapa Anda ke sini" Maksud saya," kata Egg dengan muka
merah, karena merasa tak sopan, "tentunya Anda datang dengan maksud tertentu."
"Saya datang untuk mengakui kesalahan saya," kata Poirot dengan tangan terbuka
dan senyum menawan kepada Sir Charles. "Monsieur, di ruangan inilah Anda
menyatakan tidak puas. Dan saya berpikir, itu hanya insting dramatis Anda yang
bicara. Saya berkata pada diri saya sendiri, 'Dia aktor besar; dia harus selalu
memainkan sebuah drama, apa pun risikonya.' Kelihatannya - saya akui - hal ini
sangat luar biasa, ada seorang bapak tua yang baik hati yang meninggal bukan
dengan cara wajar. Sekarang pun saya masih belum mengerti bagaimana racun itu
bisa masuk ke dalam tubuhnya. Kelihatannya aneh - fantastis. Tapi setelah itu
terjadi kematian lain - kematian dalam situasi yang sama, sehingga sulit dikatakan
sebagai kebetulan. Tidak. Pasti ada hubungan antara keduanya. Jadi, Sir Charles,
saya datang untuk minta maaf karena saya, Hercule Poirot, telah keliru, dan
minta agar boleh ikut serta dalam kelompok Anda."
Sir Charles membersihkan tenggorokannya dengan agak gugup. Ia kelihatan malu.
"Anda baik sekali, M. Poirot. Bagaimana, ya... meminta waktu Anda begitu
banyak... saya..." Ia berhenti, kelihatannya tak tahu akan bicara apa. Matanya minta bantuan pada
Mr. Satterthwaite. "Anda sangat baik," kata Mr. Satterthwaite.
"Tidak... tidak. Saya bukannya baik. Ini hanya rasa ingin tahu dan... ya,
menyinggung harga diri saya. Saya harus memperbaiki kesalahan saya. Waktu
saya... itu tak jadi soal. Kenapa saya harus jalan-jalan" Bahasa orang memang
berbeda, tapi sifat dasar manusia sama di mana-mana. Tapi tentu saja, kalau saya
terlalu mengganggu dan kurang bisa diterima..."
Kedua laki-laki itu bicara bersamaan.
"Tentu saja tidak."
"Ah, tidak." Poirot mengalihkan matanya pada gadis itu.
"Dan Anda?" Sejenak Egg tidak berkata apa-apa. Ini memberi kesan yang sama pada ketiga laki-
laki itu: Egg tidak ingin bantuan M. Poirot.
Mr. Satterthwaite merasa tahu sebabnya. Ini adalah drama pribadi Sir Charles
Cartwright dengan Egg Lytton Gore. Mr. Satterthwaite diperbolehkan ikut hanya
sebagai pembantu - orang ketiga yang tidak berperan besar. Tapi Hercule Poirot
lain. Ia akan memainkan peran utama. Barangkali Sir Charles pun nantinya akan
terpaksa pensiun. Lalu rencana Egg jadi berantakan.
Ia memandang gadis itu, kasihan karena kesulitan yang sedang dihadapinya. Kedua
laki-laki yang lain tidak mengerti. Tapi dia - dengan kepekaan yang mirip kepekaan
kaum wanita - mengerti dilema itu. Egg sedang berjuang merebut kebahagiaannya.
Apa yang akan dikatakannya"
Lagi pula, apa lagi yang bisa ia katakan" Apa yang ia pikirkan" "Pergi! Pergi!
Kedatanganmu merusak segalanya. Aku tak ingin kau ada di sini."
Egg Lytton Gore mengatakan satu-satunya hal yang bisa ia katakan.
"Tentu saja," katanya sambil tersenyum kecil. "Kami akan senang sekali."
BAB XVI "BAGUS," kata Poirot. "Kita semua kolega. Eh bien, saya bisa jadi au courant
dalam situasi ini." Ia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Mr. Satterthwaite menceritakan
langkah-langkah yang telah mereka ambil sejak kembali ke Inggris. Mr.
Satterthwaite narator yang baik. Ia punya kemampuan menciptakan suatu atmosfer
dan menghidupkan suatu gambaran. Deskripsinya tentang rumah, pelayan-pelayan,
dan kepala polisi sangat mengagumkan. Poirot menanggapi dengan hangat penemuan
Sir Charles akan surat-surat yang belum selesai, yang disembunyikan di celah
perapian. "Ah, mais c'est magnifique, ?a!" serunya senang. "Deduksi dan rekonstruksi itu -
sempurna! Anda seharusnya menjadi detektif besar, Sir Charles. Bukan aktor
besar." Sir Charles menanggapi pujian itu dengan kerendahan hati - khas dia. Berkat
pengalaman panggungnya yang bertahun-tahun, ia mengasah kemahirannya dalam
menerima pujian dengan luwes.
"Observasi Anda juga tajam," kata Poirot pada Mr. Satterthwaite. "Keramahannya
yang tiba-tiba pada kepala pelayan itu."
"Apa pendapat Anda mengenai urusan dengan Mrs. Rushbridger itu?" tanya Sir
Charles dengan penuh semangat.
"Itu sebuah ide. Ide itu menunjukkan... ya, menunjukkan beberapa hal, bukan?"
Tak seorang pun yakin akan beberapa hal itu, tapi tak ada yang mau
mengatakannya. Jadi, mereka hanya bergumam.
Kemudian Sir Charles ganti bercerita. Ia menjelaskan kunjungannya dengan Egg
pada Mrs. Babbington dan hasilnya yang agak negatif.
"Anda sudah tahu semua sekarang," katanya. "Anda tahu apa yang kami lakukan.
Bagaimana pendapat Anda?"
Ia membungkuk ke depan dengan penuh rasa ingin tahu.
Poirot diam sejenak. Ketiga orang lainnya memperhatikannya.
Akhirnya ia berkata, "Apakah Anda masih ingat, Mademoiselle, gelas anggur yang bagaimana yang dipakai
Sir Bartholomew di meja?"
Sir Charles menyela ketika Egg menggelengkan kepala.
"Saya bisa menceritakan."
Ia berdiri dan berjalan ke lemari, mengambil beberapa gelas sherry yang berat.
"Gelas-gelas itu tentu saja agak lain modelnya - lebih bulat - bentuknya lebih
sempurna untuk anggur. Dia membelinya di Lammersfield waktu ada obral - satu set
gelas. Saya mengagumi gelas-gelas itu. Karena dia tidak memerlukan semuanya, dia
berikan beberapa pada saya. Bagus, ya?"
Poirot mengambil gelas itu dan mengamat-amatinya.
"Ya," katanya. "Contoh yang bagus. Saya kira gelas seperti ini yang dipakai."
"Kenapa?" seru Egg.
Poirot hanya tersenyum padanya.
"Ya," katanya, "kematian Sir Bartholomew Strange bisa dijelaskan dengan mudah,
tapi kematian Stephen Babbington lebih sulit. Ah, kalau saja terjadi yang
sebaliknya!" "Apa maksud Anda - yang sebaliknya?" tanya Mr. Satterthwaite. Poirot berbalik,
memandangnya. "Coba Anda pikirkan. Sir Bartholomew dokter terkenal. Ada beberapa kemungkinan
yang menyebabkan kematian dokter terkenal. Dokter tahu banyak rahasia, rahasia-
rahasia penting. Bayangkan seorang pasien yang ada dalam batas garis kewarasan.
Satu kata keluar dari mulut dokter itu, dan orang tersebut akan dikucilkan
dunia. Ini godaan bagi otak yang tak seimbang. Seorang dokter bisa punya rasa
curiga tentang kematian mendadak salah seorang pasiennya. Ya, banyak motif yang
bisa ditemukan pada kematian seorang dokter.
"Tadi saya katakan, kalau saja terjadi yang sebaliknya. Seandainya Sir
Bartholomew Strange dulu yang meninggal, kemudian Stephen Babbington. Kematian
Stephen Babbington mungkin karena dia melihat sesuatu - mencurigai sesuatu tentang
kematian pertama." Ia menarik napas, lalu berkata,
"Tapi kita tak bisa punya kasus seperti yang kita inginkan. Kita harus
menghadapi sebuah kasus seperti apa adanya. Saya hanya ingin menyarankan satu
hal kecil. Saya kira kematian Stephen Babbington bukan kecelakaan - racun itu -
seandainya ada racun - sebetulnya ditujukan untuk Sir Bartholomew Strange, tapi
keliru diminum orang lain."
"Ide yang luar biasa," kata Sir Charles. Tapi wajahnya yang sejenak gembira
berubah jadi muram lagi. "Tapi saya kira teori itu tidak jalan. Babbington masuk
ke dalam ruangan ini kira-kira empat menit sebelum dia sakit. Selama itu satu-
satunya minuman atau makanan yang ditelannya hanyalah setengah gelas koktail;
dan tak ada apa-apa dalam koktail itu..."
Poirot menyela, "Itu sudah Anda ceritakan. Tapi seandainya, ini kita omong-omong saja,
seandainya ada sesuatu dalam koktail itu. Mungkinkah itu ditujukan pada Sir
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bartholomew Strange tapi keliru diminum Mr. Babbington?"
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Kalau orang kenal baik dengan Tollie, dia tak akan memasukkan racun ke dalam
koktailnya." "Kenapa?" "Karena dia tak pernah minum koktail."
"Tak pernah?" "Tak pernah." Poirot membuat gerakan jengkel.
"Ah, urusan ini salah semua. Rasanya tak masuk akal."
"Di samping itu," lanjut Sir Charles, "saya tak bisa membayangkan bagaimana
gelas itu bisa tertukar. Temple mengedarkan gelas-gelas itu dengan nampan, dan
setiap orang mengambil gelas yang dipilihnya sendiri."
"Benar," gumam Poirot. "Orang tak bisa memaksa orang minum koktail seperti dalam
permainan kartu. Seperti apa dia, si Temple ini" Dia pelayan yang tadi
membukakan saya pintu?"
"Ya, betul. Dia sudah tiga atau empat tahun ikut saya - gadis yang baik, tahu
tugasnya. Saya tak tahu asal-usulnya. Tapi Miss Milray pasti tahu."
"Miss Milray - dia sekretaris Anda" Wanita jangkung yang agak seperti serdadu
itu?" "Memang seperti serdadu," kata Sir Charles setuju.
"Saya pernah makan bersama Anda dalam beberapa kesempatan, tapi rasanya belum
pernah bertemu dia sampai malam itu."
"Biasanya dia tidak makan malam dengan kita. Dia ada karena angka tiga belas
saja." Sir Charles menjelaskan dan Poirot mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Jadi, dia sendiri yang mengusulkan ikut makan malam."
Ia diam merenung sampai satu menit, lalu berkata,
"Boleh saya bicara dengan pelayan itu - si Temple?"
"Tentu saja." Sir Charles menekan sebuah bel. Jawabannya cepat,
"Tuan memanggil?"
Temple seorang gadis jangkung berumur 32 atau 33. Ia kelihatan bersih, rambutnya
tersisir rapi dan berkilat, tapi tidak cantik. Sikapnya tenang dan efisien.
"M. Poirot ingin menanyakan beberapa hal," kata Sir Charles.
Temple mengalihkan pandangannya yang angkuh pada Poirot.
"Kami sedang bicara tentang malam ketika Mr. Babbington meninggal di sini," kata
Poirot. "Kau masih ingat?"
"Oh, ya, Sir." "Saya ingin tahu dengan pasti bagaimana koktail itu dihidangkan."
"Maaf, Sir." "Saya ingin tahu tentang koktail itu. Apa kau yang mencampurnya?"
"Bukan. Sir Charles suka melakukan hal itu sendiri. Saya yang membawa botol-
botolnya - vermuth, gin, dan sebagainya."
"Di mana kauletakkan botol-botol itu?"
"Di meja sana, Sir."
Ia menunjuk sebuah meja dekat dinding.
"Nampan dan gelas-gelasnya ada di sana, Sir. Setelah selesai mencampur dan
mengocok, Sir Charles menuang koktail itu ke gelas-gelas. Lalu saya membawa
nampan itu berkeliling, mengedarkannya pada tamu-tamu."
"Apa semua koktail dalam gelas itu kau yang mengulurkannya?"
"Sir Charles memberikan satu gelas untuk Miss Lytton Gore, Sir - mereka sedang
berbicara pada saat itu. Sir Charles juga mengambil koktail sendiri. Dan Mr.
Satterthwaite" - matanya berpindah memandang Mr. Satterthwaite - "datang dan
mengambil satu untuk seorang tamu wanita - kalau tak salah Miss Wills."
"Betul," kata Mr. Satterthwaite.
"Yang lain saya edarkan. Saya kira setiap tamu mengambil satu, kecuali Sir
Bartholomew." "Kau mau mengulangi semuanya, Temple" Kita taruh saja bantal-bantal itu untuk
mengganti tamu-tamu. Saya berdiri di sini, saya masih ingat; Miss Sutcliffe di
sana." Dengan bantuan Mr. Satterthwaite, mereka membuat rekonstruksi. Mr. Satterthwaite
memang teliti. Ia ingat dengan baik di mana setiap orang dalam ruangan itu pada
waktu pesta. Lalu Temple mengedarkan gelas-gelas minuman. Mereka memastikan ia
mendatangi Mrs. Dacres lebih dulu, lalu Miss Sutcliffe dan Poirot, kemudian Mr.
Babbington, Lady Mary, dan Mr. Satterthwaite yang duduk bersama-sama.
Ini cocok dengan apa yang diingat Mr. Satterthwaite.
Akhirnya Temple disuruh keluar.
"Pah!" seru Poirot. "Tak mungkin. Temple orang terakhir yang memegang koktail
itu. Tapi tak mungkin dia memasukkan sesuatu, dan kita tak bisa memaksa orang
mengambil koktail tertentu."
"Biasanya orang mengambil yang paling dekat," kata Sir Charles.
"Teori itu cocok bila kita mengedarkan nampan pertama-tama pada orang itu, tapi
itu juga tak bisa dipastikan. Gelas-gelas itu rapat. Sebetulnya tidak bisa
dikatakan satu gelas lebih dekat pada seseorang dari gelas lainnya. Tidak. Cara
begitu tak bisa dipakai. Mr. Satterthwaite, apa Anda ingat, Mr. Babbington terus
memegang gelasnya atau meletakkannya di meja?"
"Dia meletakkannya di meja."
"Ada yang datang mendekati mejanya setelah itu?"
"Tidak, saya orang terdekat dengan dia, tapi saya tidak memasukkan apa-apa ke
dalam koktailnya, walaupun saya bisa melakukannya tanpa diketahui orang lain."
Mr. Satterthwaite bicara dengan agak kaku. Poirot cepat-cepat meminta maaf,
"Tidak! Tidak! Saya bukannya membuat tuduhan - quelle id?el! Tapi saya ingin
meyakinkan fakta-fakta saya. Menurut analisis, tak ada apa-apa di dalam koktail
itu. Sekarang, di luar hasil analisis itu, kelihatannya tak mungkin seseorang
membubuhkan sesuatu ke dalam koktail. Hasil yang sama dari dua tes yang berbeda.
Tapi Mr. Babbington tidak minum atau makan apa-apa. Dan kalau dia diracun dengan
nikotin murni, kematian berlangsung cepat. Anda lihat ke mana arahnya?"
"Tidak ke mana-mana. Sialan," kata Sir Charles.
"Saya tak akan berkata begitu - tidak, saya tak akan mengatakan hal itu. Itu akan
memberi ide yang mengerikan - yang saya harap dan yakin tidak benar. Tidak, tentu
saja tidak benar - kematian Sir Bartholomew membuktikannya, tapi..."
Ia mengernyitkan dahi dan berpikir. Yang lain memandangnya dengan ingin tahu.
Poirot memandang ke atas.
"Anda mengerti maksud saya, kan" Mrs. Babbington tidak ada di Melfort Abbey.
Karena itu, kita tak bisa mencurigai Mrs. Babbington."
"Mrs. Babbington - tapi tak seorang pun bermimpi akan mencurigai dia."
Poirot tersenyum. "Tidak" Aneh sekali. Pikiran itu masuk di kepala saya dengan segera - segera.
Kalau pria malang itu tidak diracuni lewat koktail, dia pasti diracuni beberapa
menit sebelum masuk rumah. Caranya bagaimana" Sebutir kapsul" Barangkali sesuatu
untuk mencegah sakit perut. Tapi siapa yang memberikannya" Cuma seorang istri.
Siapa, barangkali, yang punya motif sehingga tak seorang pun curiga terhadap hal
itu" Sekali lagi, seorang istri."
"Tapi mereka saling mencintai!" seru Egg marah. "Anda sama sekali tak tahu!"
Poirot tersenyum manis padanya.
"Ya. Itu memang penting. Anda tahu, tapi saya tidak. Saya lihat faktanya tidak
menjadi miring karena adanya hal-hal yang telah dipertimbangkan lebih dahulu.
Dan saya ingin memberitahukan sesuatu, Mademoiselle. Selama pengalaman saya
sebagai detektif, saya menjumpai lima kasus wanita yang dibunuh oleh suami yang
sangat mencintai mereka, dan 22 suami yang dibunuh oleh istri yang mencintai
mereka. Les femmes, mereka kelihatannya bisa menyembunyikan muka dengan lebih
baik." "Anda benar-benar keterlaluan," kata Egg. "Saya tahu suami-istri Babbington
tidak begitu. Itu... itu mengerikan."
"Pembunuhan memang mengerikan, Mademoiselle," kata Poirot dengan nada keras.
Ia melanjutkan dengan suara lebih ringan,
"Tapi saya, yang hanya melihat fakta, setuju bahwa Mrs. Babbington tidak
melakukan hal itu. Dia tak ada di Melfort Abbey. Seperti dikatakan Sir Charles,
hal itu pasti dilakukan oleh orang yang ada dalam kedua kejadian - satu dari tujuh
orang dalam daftar Anda."
Mereka diam. "Jadi, sebaiknya bagaimana kita bertindak?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Anda pasti sudah punya rencana," kata Poirot.
Sir Charles berdeham. "Satu-satunya yang bisa kita lakukan kelihatannya adalah melakukan proses
eliminasi," katanya. "Maksud saya, mengasumsikan semua orang dalam daftar itu
sebagai tersangka, sampai benar-benar terbukti mereka tak bersalah. Maksud saya,
kita harus yakin dulu orang itu mempunyai hubungan dengan Stephen Babbington.
Kita harus menggunakan segala akal untuk mengetahui hubungan itu. Kalau tidak
ada, kita lanjutkan dengan mengecek tamu-tamu lainnya."
"Itu psikologi yang bagus," kata Poirot. "Caranya?"
"Itu belum kami bicarakan. Kami akan senang menerima saran dan nasihat Anda, M.
Poirot. Barangkali Anda sendiri..."
Poirot mengangkat tangannya.
"Kawan, jangan minta saya melakukan sesuatu gerakan aktif. Saya selalu yakin,
setiap persoalan sebaiknya diselesaikan dengan berpikir. Saya beri nama saja
sebagai 'gerakan pasif'. Silakan melanjutkan penyelidikan yang sudah dipimpin
Sir Charles dengan bagus."
"Bagaimana dengan aku?" pikir Mr. Satterthwaite. "Aktor-aktor ini! Semua
menyoroti mereka, dan peran bintang pun mereka mainkan."
"Barangkali Anda sewaktu-waktu bisa minta pendapat pengacara. Saya
pengacaranya." Ia tersenyum pada Egg. "Bagaimana pendapat Anda, Mademoiselle?"
"Bagus," kata Egg. "Saya yakin pengalaman Anda akan sangat membantu kami."
Wajah gadis itu kelihatan lega. Ia melirik jam tangannya dan berseru,
"Saya harus pulang. Ibu bisa pingsan nanti."
"Biar kuantar pulang," kata Sir Charles.
Mereka keluar bersama-sama.
BAB XVII "IKANNYA sudah muncul," kata Hercule Poirot.
Mr. Satterthwaite, yang memperhatikan pintu ditutup oleh kedua orang itu,
terkejut ketika menoleh memandang Poirot. Pria itu sedang tersenyum dengan wajah
agak mencemooh. "Ya, ya. Jangan membantah. Anda dengan sengaja menunjukkan umpan itu pada saya
waktu di Monte Carlo. Iya, kan" Anda menunjukkan artikel di koran. Anda berharap
saya tertarik, sehingga saya melibatkan diri dalam urusan itu."
"Memang benar," kata Mr. Satterthwaite mengaku. "Tapi saya pikir saya gagal."
"Tidak, tidak. Anda tidak gagal. Anda pengamat watak manusia yang amat tajam.
Saya bosan, seperti anak kecil yang di pantai itu - tak ada yang dia kerjakan.
Anda datang tepat pada waktunya - dan memang, banyak tindak kriminal yang
ditentukan oleh saat yang tepat. Tapi kita kembali saja ke domba kita. Tindak
kejahatan ini sangat menarik, sangat membingungkan."
"Yang mana - pertama atau kedua?"
"Hanya ada satu; yang pertama adalah separo dan yang kedua juga separo dari satu
tindak kriminal. Separo yang kedua sangat sederhana - motifnya, cara yang
digunakannya..." Mr. Satterthwaite menyela,
"Rasanya caranya sama-sama sulit. Tak ada racun yang ditemukan dalam anggur, dan
makanannya dimakan semua orang."
"Tidak, tidak, sama sekali lain. Dalam kasus pertama, kelihatannya tak seorang
pun bisa meracuni Stephen Babbington. Kalau mau, Sir Charles bisa saja meracuni
salah satu tamunya, tapi bukan tamu tertentu. Temple bisa saja menyelipkan
sesuatu ke dalam gelas terakhir, tapi gelas Mr. Babbington bukan gelas terakhir.
Pembunuhan Mr. Babbington kelihatannya amat tak masuk akal, sehingga saya masih
merasa mungkin hal itu memang tak masuk akal - jadi, dia memang meninggal secara
wajar. Tapi itu akan kita ketahui tak lama lagi. Kasus yang kedua lain. Setiap
tamu yang hadir, atau kepala pelayan, atau pelayan lain, bisa saja meracuni
Bartholomew Strange. Itu tidak sulit."
"Saya tidak melihat...," kata Mr. Satterthwaite.
Poirot melaju terus, "Nanti akan saya buktikan pada Anda dengan eksperimen kecil. Kita bicarakan hal
yang lebih penting dulu. Nanti akan Anda lihat - dan ketahui. Anda memiliki hati
yang penuh simpati dan penuh pengertian. Saya tak akan memainkan peranan anak
manja." "Maksud Anda...," kata Mr. Satterthwaite, mulai tersenyum.
"Sir Charles harus memainkan peran seorang bintang! Dia sudah terbiasa. Dan
lagi, ada orang lain yang mengharapkan dia memainkan peran itu. Saya tak salah,
kan" Keikutsertaan saya dalam urusan ini tidak menyenangkan hati gadis itu."
"Anda memang orang yang cepat tanggap, M. Poirot."
"Ah, itu kan jelas kelihatan di depan mata! Saya cukup perasa. Saya ingin
memberi peluang bagi sebuah kisah cinta, bukan menghalanginya. Anda dan saya -
kita harus bekerja sama - untuk kemuliaan Sir Charles Cartwright. Bukan begitu"
Bila kasus itu sudah terselesaikan..."
"Jika...," kata Mr. Satterthwaite ragu.
"Bila! Saya tak akan membiarkannya gagal."
"Tak pernah?" tanya Mr. Satterthwaite menyelidik.
"Ada saat-saat saya tidak cepat tanggap," kata Poirot dengan penuh wibawa. "Saya
tak bisa merasakan kebenaran secepat yang biasa saya rasakan."
"Tapi Anda tak pernah gagal sama sekali?"
Desakan Mr. Satterthwaite ini memang sekadar rasa ingin tahu yang sederhana. Ia
bertanya-tanya. "Eh, bien," kata Hercule Poirot. "Suatu waktu. Sudah lama sekali dulu. Ketika
saya di Belgia. Kita tak perlu bicara tentang hal itu."
Rasa ingin tahu dan kenakalan Mr. Satterthwaite rupanya telah terpuaskan. Ia
cepat-cepat mengganti arah pembicaraan,
"Ah, ya. Anda tadi bilang, jika kasus ini terpecahkan..."
"Sir Charles yang akan menyelesaikannya. Itu penting. Saya hanya akan menjadi
gigi sebuah roda bergigi." Ia mengembangkan kedua tangannya. "Sekali-sekali, di
sana-sini - saya akan berkata sedikit-sedikit - hanya sedikit kata-kata - petunjuk - tak
lebih. Saya tak ingin penghormatan atau kepopuleran. Saya sudah punya."
Mr. Satterthwaite mengamati pria itu dengan rasa ingin tahu. Ia senang melihat
kesombongan yang naif dan egoisme yang begitu besar dalam diri laki-laki kecil
itu. Tapi ia memang tidak omong kosong. Pria Inggris biasanya bersikap merendah
dengan apa yang telah berhasil ia lakukan dengan baik, dan kadang-kadang senang
dengan apa yang tidak dikerjakan dengan baik. Tapi pria Latin lebih bisa
menghargai kekuatannya sendiri. Kalau memang pandai ia tak perlu mencari alasan
untuk menutup-nutupi fakta itu.
"Saya ingin tahu," kata Mr. Satterthwaite. "Ini menarik untuk saya ketahui - apa
sebenarnya yang ingin Anda dapatkan dari urusan ini" Apakah kasus ini menarik?"
Poirot menggelengkan kepala.
"Bukan, bukan, bukan itu. Seperti chien de chasse, saya hanya mengikuti
penciuman, dan saya menjadi tertarik. Sekali mencium sesuatu, saya tak bisa
membuangnya. Itu memang benar. Tapi ada yang lebih dari itu. Bagaimana saya
mengatakannya" Suatu nafsu untuk mengetahui kebenaran. Di dunia ini tak ada yang
lebih menimbulkan rasa ingin tahu, lebih menarik, dan lebih indah kecuali
kebenaran." Mereka diam sejenak setelah Poirot berkata-kata.
Lalu ia mengambil kertas Mr. Satterthwaite yang berisi tujuh nama dan
membacanya, "Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss Wills, Miss Sutcliffe, Lady Mary Lytton Gore,
Miss Lytton Gore, Oliver Manders.
"Ya," katanya. "Bisa disimpulkan, kan?"
"Apanya?" "Urutan nama-nama itu."
"Rasanya tak ada yang bisa disimpulkan. Kami menulis nama-nama itu tanpa urutan
tertentu." "Tepat. Daftar itu mulai dengan Mrs. Dacres. Saya menyimpulkan dialah orang yang
dianggap paling punya kemungkinan untuk melakukan kejahatan itu."
"Bukan yang paling punya kemungkinan," kata Mr. Satterthwaite. "Yang paling
kecil - itu kemungkinannya lebih cocok."
"Dan kalimat ketiga barangkali lebih cocok. Barangkali dia orang yang Anda
sekalian pilih sebagai orang yang punya kemungkinan besar."
Mr. Satterthwaite membuka mulutnya tanpa sadar, lalu menatap mata Poirot yang
hijau, lembut, dan aneh. Ia tidak jadi mengucapkan kata-katanya dan menggantinya
dengan, "Bagaimana, ya" M. Poirot, barangkali Anda benar. Tanpa disadari, itu memang
benar." "Saya ingin menanyakan sesuatu, Mr. Satterthwaite."
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja, silakan," kata Mr. Satterthwaite sambil merenung.
"Dari yang Anda ceritakan, saya mengambil kesimpulan bahwa Sir Charles dan Mrs.
Lytton Gore bersama-sama menginterview Mrs. Babbington."
"Ya." "Anda tidak pergi bersama mereka?"
"Tidak. Tiga orang terlalu ramai."
Poirot tersenyum. "Dan barangkali Anda punya keinginan pergi ke tempat lain. Barangkali Anda punya
ikan lain untuk digoreng. Anda ke mana, Mr. Satterthwaite?"
"Saya minum teh dengan Lady Mary Lytton Gore," jawab Mr. Satterthwaite kaku.
"Apa yang Anda bicarakan?"
"Dia baik sekali. Mau menceritakan kesulitan-kesulitannya ketika baru menikah."
Ia mengulang dengan singkat cerita Lady Mary. Poirot menganggukkan kepala penuh
simpati. "Itu memang terjadi - cerita seorang gadis idealis yang menikah dengan laki-laki
brengsek dan tak mau mendengar nasihat orang lain. Apa Anda tidak bicara tentang
hal-hal lain" Misalnya saja bicara tentang Oliver Manders?"
"Ya, betul." "Dan Anda tahu sesuatu tentang... apa?"
Mr. Satterthwaite mengulangi apa yang diceritakan Lady Mary. Lalu ia berkata,
"Kenapa Anda bertanya apa kami bicara tentang dia?"
"Karena Anda ke sana dengan tujuan itu... jangan protes dulu. Anda mungkin
berharap Mrs. Dacres atau suaminya yang melakukan tindak kriminal. Tapi Anda
juga berpikir si Manders punya kemungkinan."
Ia menenangkan protes Mr. Satterthwaite.
"Ya... ya. Anda memang suka diam-diam. Anda punya ide-ide, tapi suka
menyimpannya sendiri. Saya bersimpati pada Anda. Saya sendiri juga begitu."
"Saya tidak mencurigainya. Itu aneh. Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang
dia." "Sama saja dengan yang saya katakan. Dia adalah pilihan Anda berdasarkan
insting. Saya juga tertarik padanya pada waktu pesta di sini itu, karena saya
lihat..." "Apa yang Anda lihat?" tanya Mr. Satterthwaite ingin tahu.
"Saya lihat paling tidak ada dua orang - barangkali juga lebih - yang memainkan
suatu peran. Satu adalah Sir Charles." Ia tersenyum. "Dia memainkan peran
seorang perwira angkatan laut; benar, kan" Itu sangat wajar. Seorang aktor besar
tak akan berhenti berperan hanya karena dia tidak berada di panggung lagi. Tapi
pemuda Manders itu - dia juga memainkan sebuah peran. Peran seorang pemuda yang
bosan, walaupun sebenarnya tidak. Dia orang yang penuh semangat hidup. Karena
itu, saya melihatnya."
"Bagaimana Anda tahu saya sedang mencari tahu tentang dia?"
"Banyak caranya. Anda tertarik pada kecelakaan yang membawanya ke Melfort Abbey
malam itu. Anda tidak pergi berkunjung ke tempat Mrs. Babbington dengan Sir
Charles dan Miss Lytton Gore. Mengapa" Karena Anda ingin mencari tahu sesuatu
yang lain tanpa diketahui orang lain. Anda pergi ke kediaman Lady Mary untuk
bertanya tentang seseorang. Siapa" Pasti orang sini. Oliver Manders. Lalu - ini
sangat khas - Anda meletakkan namanya di daftar paling bawah. Siapa orang-orang
yang paling tidak Anda curigai - Lady Mary dan Miss Egg" - tapi Anda menulis nama
Manders setelah nama mereka, karena dialah orang yang Anda incar dan Anda ingin
menyimpan hal itu sendiri."
"Ya ampun," kata Mr. Satterthwaite. "Apa benar saya seperti itu?"
"Pr?cis?ment. Penglihatan Anda tajam dan pertimbangan Anda sangat cermat, dan
Anda suka menyimpan hasilnya untuk diri Anda sendiri. Opini Anda tentang pribadi
manusia merupakan pengetahuan yang tidak akan Anda pamerkan pada orang lain."
"Saya kira...," Mr. Satterthwaite memulai, tapi dia terhenti oleh kedatangan Sir
Charles. Aktor itu masuk dengan langkah ringan.
"Br - r - r," katanya. "Malam yang ganas."
Ia menuang wiski campur soda untuk dirinya sendiri.
Mr. Satterthwaite dan Poirot tidak mau minum.
"Hm," kata Sir Charles, "sekarang kita buat saja rencana penyelidikan. Mana
daftar itu, Satterthwaite" Ah, terima kasih. Nah, Pak Penasihat, bagaimana
sebaiknya kita melakukannya?"
"Apa pendapat Anda sendiri, Sir Charles?"
"Hm, kita bisa membagi-bagi orang untuk tugas yang berbeda. Pembagian tugas. Pertama, ini ada Mrs. Dacres. Egg kelihatannya ingin menangani dia.
Dia berpendapat orang yang berbusana begitu sempurna tak akan puas dengan
sekadar pujian dari pihak laki-laki. Kelihatannya bagus juga melakukan
pendekatan dari sisi profesinya. Satterthwaite dan saya akan melakukan hal yang
sama kalau mungkin. Lalu Dacres. Saya kenal beberapa temannya yang sering ikut
balap. Kelihatannya ada yang bisa diambil dari mereka. Lalu Angela Sutcliffe."
"Itu juga bagianmu, Cartwright," kata Mr. Satterthwaite. "Kau kenal dia dengan
baik sekali, kan?" "Ya, karena itu sebaiknya orang lain saja yang menangani dia. Pertama," ia
tersenyum sedih, "saya akan dituduh tidak bekerja dengan baik, dan yang kedua...
hm, dia teman saya. Kalian mengerti?"
"Parfaitement, parfaitement. Anda pasti merasa tak enak. Sangat bisa dimaklumi.
Mr. Satterthwaite yang baik ini - dia akan menggantikan Anda."
"Lady Mary dan Egg - tentu saja mereka tidak termasuk. Bagaimana dengan si
Manders" Kedatangannya ke tempat Tollie itu karena kecelakaan, tapi rasanya dia
tetap perlu diperhitungkan."
"Mr. Satterthwaite yang akan menangani dia," kata Poirot. "Tapi, Sir Charles,
masih ada yang ketinggalan dalam daftar itu. Miss Murriel Wills masih
ketinggalan." "Oh, ya. Nah, kalau Satterthwaite menangani Manders, saya akan ambil Miss Wills.
Setuju" Bagaimana, Poirot" Ada saran?"
"Tidak, tak ada. Saya akan tertarik mendengar hasilnya."
"Tentu saja. Tentu kami akan lapor. Satu hal lagi. Kalau kita bisa mendapatkan
foto orang-orang ini, kita bisa menanyai orang di Gilling."
"Bagus," kata Poirot. "Ada satu hal... ah, ya. Teman Anda, Sir Bartholomew. Dia
tidak minum koktail, tapi minum anggur, ya?"
"Ya. Dia suka anggur."
"Aneh juga, ya, dia tidak merasa apa-apa. Nikotin murni seharusnya menimbulkan
rasa yang khas, rasa tidak enak."
"Barangkali saja tidak ada nikotin di dalam anggur," kata Sir Charles. "Ingat,
isi gelas itu sudah dianalisis."
"Oh, ya," kata Poirot dengan tololnya. "Tolol saya. Tapi kalau dipakai, nikotin
rasanya tidak enak."
"Saya tidak tahu apa itu penting," kata Sir Charles pelan. "Musim semi yang
lalu, Tollie kena flu berat. Dia jadi kurang peka pada rasa dan penciuman."
"Ah, ya," kata Poirot sambil merenung. "Itu yang menyebabkannya. Jadi, ada
alasannya." Sir Charles berjalan ke jendela dan memandang ke luar.
"Badai masih bertiup. Saya akan suruh ambil barang-barang Anda, M. Poirot. The
Rose and Crown memang bagus untuk para aktris yang antusias, tapi saya rasa Anda
menyukai tempat yang lebih bersih dan tempat tidur yang nyaman."
"Anda baik sekali, Sir Charles."
"Ah, terima kasih. Biar saya urus dulu."
Ia keluar ruangan. Poirot memandang Mr. Satterthwaite.
"Boleh saya membuat saran?"
"Ya?" Poirot membungkuk ke depan dan bicara dengan suara rendah,
"Tanyakan pada Manders, kenapa dia membuat kecelakaan tipuan. Katakan polisi
mencurigai dia dan perhatikan reaksinya."
"Anda pikir..."
"Saya belum memikirkan apa-apa. Tapi dalam buku harian itu tertulis: 'Aku
khawatir dengan M.' Barangkali saja yang dimaksud memang Manders. Barangkali
juga sama sekali tak ada hubungannya dengan kasus ini."
"Kita lihat saja nanti," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya. Kita lihat nanti."
BAB XVIII RUANG pamer Ambrosine, Ltd., itu kelihatan pucat. Dindingnya berwarna putih tua,
karpetnya yang tebal berwarna netral, hampir tak berwarna. Juga perabotannya. Di
sana-sini terpantul cahaya kromium. Di salah satu dinding terdapat lukisan
geometris raksasa dalam warna biru dan kuning menyala. Ruang itu didesain oleh
Mr. Sydney Sandford, desainer termuda dan terbaru saat itu.
Egg Lytton Gore duduk di sebuah kursi berdesain modern yang mirip dengan kursi
pasien dokter gigi, dan memandang wanita-wanita cantik kemilau seperti ular
dengan wajah-wajah bosan yang melenggang lewat di depannya. Egg berusaha
kelihatan agar uang sejumlah lima atau enam puluh pound untuk sepotong baju
tidak terlalu berarti baginya.
Mrs. Dacres - seperti biasa, kelihatan cantik dan aneh - sedang menjalankan
tugasnya. "Anda suka ini" Lihat simpul di bahu ini - lucu, ya" Dan garis pinggangnya agak
menerawang. Tapi yang merah ini saya tidak terlalu suka. Lebih bagus warna baru -
Espa?ol - sangat menarik. Seperti warna moster dengan campuran sedikit cabe merah.
Anda suka ini" Vin Ordinaire, agak aneh, ya" Menerawang dan aneh. Tapi di zaman
sekarang model baju memang santai."
"Sulit memilihnya," kata Egg. "Begini," ia berpura-pura membuka rahasia,
"sebelumnya saya tak punya uang untuk beli baju-baju. Kami sangat miskin. Saya
masih ingat, Anda tampak begitu cantik pada malam di Crow's Nest itu. Jadi saya
berpikir, 'Nah, mumpung ada uang, aku mau menemui dan konsultasi dengan Mrs.
Dacres. Aku akan minta saran padanya.' Saya benar-benar kagum pada Anda malam
itu." "Ah, Anda baik sekali. Saya sebenarnya senang mendandani gadis muda. Gadis-gadis
tidak seharusnya kelihatan sembarangan dengan pakaian mereka. Anda pasti
mengerti maksud saya."
"Oh, jadi kau tidak berpakaian sembarangan," pikir Egg kasar. "Seperti ondel-
ondel begitu kok." "Anda punya kepribadian yang menonjol," lanjut Mrs. Dacres. "Jadi, jangan
berpakaian terlalu sederhana. Pilih baju-baju bermodel biasa tapi menerawang.
Sedikit lain, begitu. Berapa yang Anda perlukan?"
"Saya ingin empat gaun malam dan dua baju untuk siang hari, lalu satu atau dua
setelan sport - itu dulu."
Sikap Mrs. Dacres bertambah manis. Untunglah ia tak tahu bahwa simpanan Egg di
bank tinggal lima belas pound dua belas shilling. Itu pun harus dihemat sampai
bulan Desember. Bertambah banyak gadis-gadis yang melewati Egg dengan pakaian macam-macam. Di
sela-sela percakapan tentang pakaian, Egg menyelipkan persoalan lain.
"Pasti Anda belum ke Crow's Nest lagi sejak peristiwa itu," katanya.
"Ya. Saya tidak bisa. Peristiwa itu sangat mengguncangkan. Dan lagi saya
menganggap terlalu banyak artis di Cornwall. Rasanya mereka aneh di mata saya."
"Ya. Urusan itu menyebalkan, ya?" kata Egg. "Padahal Mr. Babbington sangat
baik." "Dan sudah tua," kata Mrs. Dacres.
"Anda pernah bertemu dia sebelumnya, kan?"
"Pak tua itu" Apa iya" Saya lupa."
"Kalau tak salah, dia pernah bilang begitu," kata Egg. "Tapi bukan di Cornwall.
Kalau tak salah di Gilling."
"Apa iya?" Mata Mrs. Dacres menjadi kabur. "Bukan, Marcelle. Saya mau Petite
Scandale - dengan model Jenny - lalu Patou biru."
"Dan luar biasa, ya," kata Egg, "peristiwa peracunan Sir Bartholomew?"
"Wah, kata-kata Anda terlalu blak-blakan! Tapi baik juga untuk saya. Banyak
wanita datang memesan baju di sini karena ingin mendengar sensasi saja. Nah,
model Patou ini pasti pas buat Anda. Lihat lipit-lipit yang tidak ada gunanya
tapi lucu itu; membuat baju ini kelihatan tambah manis. Muda tanpa kelihatan
menyebalkan. Ya, kematian Sir Bartholomew memang menjadi berkat buat saya.
Sebenarnya saya juga punya kesempatan melakukan pembunuhan itu, lho. Saya lebih
suka peran itu. Ada seorang wanita gemuk yang datang dan membelalakkan matanya.
Terlalu blak-blakan. Tapi..."
Tapi pembicaraannya disela suara beraksen Amerika yang kelihatannya merupakan
pelanggan penting. Ketika si Amerika sibuk menguraikan keperluan-keperluannya yang kelihatan macam-
macam dan mahal, Egg berhasil menyingkir tanpa mengganggu. Ia meninggalkan pesan
pada pegawai muda yang menggantikan Mrs. Dacres melayaninya bahwa ia akan
berpikir dulu sebelum memberi keputusan.
Egg melirik jam tangannya ketika muncul di Bruton Street. Pukul 12.40. Tak lama
lagi ia mungkin bisa melakukan rencananya yang kedua.
Ia berjalan sampai di Berkeley Square, lalu kembali lagi pelan-pelan. Pada pukul
satu ia berdiri diam memandang sebuah jendela toko yang memajang barang-barang
kesenian Cina. Miss Doris Sims masuk ke Bruton Street dengan cepat dan berbelok ke arah
Berkeley Square. Sebelum ia sampai, terdengar sebuah suara.
"Maaf," kata Egg, "boleh saya bicara sebentar?"
Gadis itu menoleh dan terkejut.
"Anda salah seorang gadis model di Ambrosine, kan" Saya melihat Anda tadi pagi.
Maaf, ya, tapi saya ingin mengatakan, menurut pendapat saya, perawakan Anda
sangat sempurna." Doris Sims tidak tersinggung. Ia hanya bingung.
"Terima kasih, Anda baik sekali," katanya.
"Dan Anda juga kelihatannya baik," kata Egg. "Karena itu, saya ingin minta
tolong. Anda mau makan siang dengan saya di Berkeley atau Ritz" Saya akan cerita
nanti." Setelah ragu-ragu sebentar, Doris Sims setuju. Ia ingin tahu dan ia suka makan
enak. Begitu mereka duduk, Egg mulai dengan keterangannya.
"Saya harap Anda bisa menyimpan hal ini untuk diri Anda sendiri," katanya.
"Begini. Saya dapat pekerjaan - menulis macam-macam profesi wanita. Saya ingin
Anda menceritakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan urusan busana."
Doris kelihatan agak kecewa, tapi ia menjawab dengan ramah dan memberikan
jawaban-jawaban yang berani tentang jam kerja, gaji, hal-hal yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan di tempat kerjanya. Egg mencatat hal-hal yang penting di
buku catatannya. "Anda sangat baik," katanya. "Saya memang bodoh. Ini merupakan pekerjaan baru
bagi saya. Saya sedang bangkrut, tapi hasil tulisan ini nanti akan membantu."
Ia melanjutkan lagi, "Saya juga nekat masuk Ambrosine dan berpura-pura ingin membeli baju-baju mahal
itu. Sebenarnya uang saku saya untuk membeli baju tinggal beberapa pound saja
sampai Natal nanti. Mrs. Dacres pasti marah kalau tahu yang sebenarnya."
Doris tertawa. "Pasti." "Bagaimana, apa saya berhasil" Berhasil kelihatan seperti orang yang punya uang
banyak?" "Anda sangat berhasil, Miss Lytton Gore. Mrs. Dacres mengira Anda akan memesan
banyak baju." "Dia pasti kecewa," kata Egg.
Doris tertawa lagi. Ia menikmati makanannya dan tertarik pada Egg. "Barangkali
dia orang kalangan atas," pikirnya. "Tapi dia tak banyak lagak. Dan tingkahnya
wajar." Setelah hubungan baik itu berjalan, Egg tak punya banyak kesulitan memancing
lawan bicaranya tentang apa saja yang berhubungan dengan bosnya.
"Saya pikir Mrs. Dacres itu seperti kucing yang menakutkan. Apa betul?" pancing
Egg. "Tak satu pun dari kami menyukainya, Miss Lytton Gore. Itu fakta. Tapi dia
pandai dan pintar berbisnis. Tidak seperti para wanita kalangan atas lainnya,
yang bangkrut karena pelanggannya tak mau membayar utang. Dia sangat licin dan
gigih. Dia memang fair dan seleranya bagus. Dia tahu barang bagus dan pintar
memilihkan yang cocok untuk pelanggannya."
"Kalau begitu, uangnya pasti banyak."
Mata Doris memancarkan sinar aneh, tapi penuh pengertian.
"Ah, saya tak mau berkomentar atau bergosip."
"Tentu saja tidak," kata Egg. "Lanjutkan."
"Tapi kalau Anda tanya, perusahaan itu tak jauh dari Queer Street. Ada seorang
laki-laki Yahudi yang menemui Madam, dan ada satu atau dua hal yang terjadi - saya
kira Madam meminjam uang agar usahanya bisa jalan, dengan harapan dagangannya
laku. Tapi Madam kadang-kadang kelihatan jelek sekali. Sangat cemas. Saya tak
tahu bagaimana wajahnya tanpa makeup. Saya rasa dia sering kali tak bisa tidur."
"Suaminya seperti apa?"
"Oh, aneh. Bukan orang baik-baik. Kami jarang bertemu dia. Teman-teman tak
setuju dengan pendapat saya, tapi saya merasa Madam masih mencintainya. Tentu
Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja banyak hal tak enak yang keluar dari mulut."
"Misalnya?" tanya Egg.
"Ah, saya tak suka mengulang-ulang. Tak pernah."
"Tentu saja tidak. Teruskan. Anda tadi bilang..."
"Hm, banyak yang dikatakan teman-teman. Tentang seorang pemuda, sangat kaya dan
sangat lembek. Bukan bodoh, tapi... ya... gampanganlah. Madam mengejar-ngejar
dia setengah mati. Dia mungkin bisa membereskan persoalannya, karena pemuda itu
begitu lembek, penurut, tapi tiba-tiba dia disuruh pergi berlayar. Begitu
mendadak." "Disuruh siapa" Dokter?"
"Ya. Dari Harley Street. Kalau tak salah, dia itu yang dibunuh di Yorkshire -
diracun, kata orang."
"Sir Bartholomew Strange?"
"Ya, benar. Madam juga sedang ada di pestanya waktu itu, dan kami, teman-teman,
bercanda sendiri, tertawa-tawa dan berkhayal, barangkali Madam yang melakukan -
karena balas dendam! Ya, itu sih cuma lelucon."
"Tentu saja. Lelucon gadis-gadis," kata Egg. "Saya mengerti. Saya sendiri
berpendapat Mrs. Dacres memang pantas jadi pembunuh - kelihatannya amat kejam."
"Ya. Dan suka marah! Kalau dia tidak menahan emosinya, wah, tak ada yang berani
mendekat. Orang bilang suaminya saja ketakutan - tidak heran."
"Anda pernah dengar dia bicara tentang seseorang bernama Babbington atau suatu
tempat bernama Gilling?"
"Wah, sulit mengingatnya. Rasanya sih tidak."
Doris melihat jamnya dan berseru,
"Wah, saya mesti cepat-cepat kembali. Terlambat nanti."
"Sampai ketemu. Terima kasih, ya!"
"Ah, ini menyenangkan. Sampai ketemu, Miss Lytton Gore. Mudah-mudahan artikel
itu sukses. Akan saya cari nanti."
"Usahamu akan sia-sia, kawan," pikir Egg sambil minta bon.
Dalam buku catatannya ia menulis:
Cynthia Dacres. Diperkirakan dalam kesulitan finansial. Punya temperamen
"kejam". Seorang pemuda yang diperkirakan punya affair dengannya disuruh
berlayar oleh Sir Bartholomew Strange. Tidak menunjukkan reaksi apa-apa ketika
nama Gilling disebut. Ia juga tak pernah bertemu dengan Mr. Babbington
sebelumnya. "Tidak banyak yang kudapat," kata Egg pada diri sendiri. "Ada motif untuk
melakukan pembunuhan atas Sir Bartholomew, tapi tipis. M. Poirot barangkali bisa
memakai info ini. Aku tidak."
BAB XIX TAPI Egg belum selesai dengan programnya hari itu. Langkah berikutnya adalah
pergi ke apartemen suami-istri Dacres. Gedung apartemen itu sebuah bangunan baru
yang mahal. Jendela-jendelanya kelihatan mewah dan penjaga-penjaga pintunya
memakai seragam seperti jenderal-jenderal asing.
Egg tidak memasuki gedung itu. Ia berjalan mondar-mandir di seberang jalan.
Setelah kurang-lebih satu jam, ia menghitung langkahnya sudah mencapai beberapa
mil. Saat itu pukul setengah enam.
Sebuah taksi melaju dan berhenti di depan apartemen itu. Kapten Dacres keluar
dari dalamnya. Egg memberi waktu tiga menit, lalu ia menyeberang jalan dan masuk
ke gedung itu. Ia memijat bel pintu nomor tiga. Kapten Dacres sendiri yang membukakan pintu. Ia
kelihatan sedang akan melepas mantel luarnya.
"Oh," kata Egg. "Apa kabar" Anda masih ingat saya, kan" Kita pernah bertemu di
Cornwall, dan bertemu lagi di Yorkshire."
"Ya... ya. Di dua tempat yang terjadi kematian, kan" Silakan masuk, Miss Lytton
Gore." "Saya ingin bertemu dengan istri Anda. Bisa?"
"Dia masih di Bruton Street, di tokonya."
"Ya, saya tahu. Saya tadi ke sana. Saya pikir dia sudah pulang, dan barangkali
tidak keberatan kalau saya datangi. Tapi jangan-jangan kedatangan saya akan
mengganggunya." Egg diam, mencoba menarik perhatian.
Freddie Dacres berkata pada dirinya sendiri,
"Gadis manis. Sangat manis."
Lalu ia berkata, "Cynthia tak akan pulang sampai jam enam lebih. Saya baru datang dari Newbury.
Menjengkelkan. Saya sedang sial dan cepat-cepat pergi. Kita tunggu saja di klub.
Minum-minum dulu." Egg menerima undangan itu, walaupun ia menduga Dacres kelihatannya sudah minum
beberapa gelas alkohol sebelumnya.
Egg duduk di keremangan tempat minum. Sambil mencicipi Martini, ia berkata,
"Menyenangkan juga tempat ini. Saya belum pernah kemari."
Freddie Dacres tersenyum ramah. Ia suka gadis-gadis muda dan cantik. Barangkali
tidak sesuka hal-hal tertentu lainnya, tapi cukup menyukai hal itu.
"Saat-saat yang membingungkan, ya?" katanya. "Maksud saya, di Yorkshire itu.
Aneh juga, ya. Seorang dokter diracun. Mengerti maksud saya" Rasanya terbalik,
begitu. Dokter kan orang yang meracuni orang lain."
Ia tertawa terkekeh-kekeh, menertawakan leluconnya sendiri, lalu memesan segelas
pink gin lagi. "Anda bisa saja," kata Egg. "Saya tak pernah berpikir begitu."
"Ah, cuma bercanda," kata Freddie Dacres.
"Aneh juga, ya," kata Egg. "Tiap kali kita bertemu, ada kematian."
"Ya, memang," kata Kapten Dacres. "Maksud Anda kematian pendeta tua itu - siapa
namanya - di rumah aktor terkenal itu?"
"Ya. Aneh juga caranya meninggal. Begitu mendadak."
"Ya. Membuat kacau saja," kata Dacres. "Membuat kita jadi senewen. Orang-orang
muncul di mana-mana, dan kita jadi berpikir, 'Giliranku berikutnya.' Huh. Kita
jadi merinding." "Anda pernah kenal Mr. Babbington, kan" Di Gilling?"
"Tak pernah ke tempat itu. Tidak. Tak pernah ketemu bapak tua itu. Lucu juga.
Dia meninggal seperti si Strange itu. Aneh. Bukan karena dikerjai orang juga,
kan?" "Hm. Apa pendapat Anda?"
Dacres menggelengkan kepalanya.
"Pasti tidak," katanya pasti. "Tak ada orang membunuh pendeta. Kalau dokter
lain." "Ya, dokter memang lain," kata Egg.
"Tentu saja. Masuk akal. Dokter itu setan-setan yang suka campur tangan." Ia
menelan sedikit kata-katanya, lalu mencondongkan badannya ke depan. "Tak mau
membiarkan orang lain. Tahu maksud saya?"
"Tidak," kata Egg.
"Mereka meributkan hidup orang lain. Kekuasaannya terlalu besar. Seharusnya
dibatasi." "Saya tidak terlalu mengerti maksud Anda."
"Nona manis, ini maksud saya. Mereka mengunci hidup orang lain, memenjarakan
orang. Mereka jahat. Mengucilkan orang lain dan menyembunyikan barang-barangnya.
Bagaimanapun kita meminta dan memohon, mereka tak akan memberikannya. Sama
sekali tak mau tahu penderitaan orang lain. Itu yang namanya dokter."
Wajahnya gemetar dan kelihatan menderita. Matanya memandang jauh menerawang.
"Neraka... benar-benar neraka! Dan mereka bilang itu penyembuhan! Berpura-pura
melakukan hal terpuji. Bedebah!"
"Apa Sir Bartholomew Strange...," kata Egg hati-hati.
Freddie Dacres langsung menyambar,
"Sir Bartholomew Strange. Sir Bartholomew sialan. Saya ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi dalam sanatorium yang amat berharga itu. Kasus-kasus penyakit
saraf. Itu kata mereka. Orang ada di dalamnya dan tak bisa keluar. Dan mereka
bilang orang-orang itu datang atas kemauan sendiri. Kemauan sendiri. Hanya
karena mereka bisa menguasai orang-orang itu pada waktu mereka ketakutan."
Ia gemetar sekarang. Mulutnya tiba-tiba melengkung ke bawah.
"Saya kalut. Berantakan," katanya dengan nada minta maaf. Ia memanggil pelayan
dan menyuruh Egg minum lagi. Ketika gadis itu menolak, ia memesan untuk dirinya
sendiri. "Hm. Lebih enak sekarang," katanya sambil menghabiskan isi gelasnya.
"Sudah baik sekarang. Urusan brengsek membuat saya gelisah. Saya gelisah. Saya
tak boleh membuat Cynthia marah. Dia pesan supaya saya tidak cerita-cerita." Ia
mengangguk-anggukkan kepala satu-dua kali. "Tak baik bercerita soal ini pada
polisi," katanya. "Mereka akan mengira saya yang menghabisi si Strange. Eh" Anda
tahu, kan, pasti ada seseorang yang melakukannya" Salah satu dari kita pasti
telah membunuh dia. Ah, lucu. Yang mana" Siapa" Itu pertanyaannya."
"Barangkali Anda tahu?" kata Egg.
"Kenapa Anda bilang begitu" Kenapa saya yang tahu?"
Ia memandang gadis itu dengan marah dan curiga.
"Saya tak tahu apa-apa tentang soal itu. Dan saya tak ingin menjalani perawatan
brengsek itu. Apa pun yang dikatakan Cynthia, saya tak akan mau. Dokter itu
memang punya rencana - mereka berdua sama-sama punya rencana. Tapi mereka tak akan
bisa membodohi saya."
Ia menarik badannya. "Saya orang yang kuat, Miss Lytton Gore."
"Saya percaya," kata Egg. "O ya, Anda kenal dengan seseorang bernama Mrs. de
Rushbridger yang ada di sanatorium?"
"Rushbridger" Rushbridger" Rasanya si Strange pernah bicara tentang dia. Soal
apa, ya" Ah... apa, ya" Saya lupa."
Freddie Dacres menarik napas dan menggelengkan kepala.
"Ingatan saya hilang. Ya, itu dia. Dan saya punya musuh. Banyak musuh.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3 Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Algojo Gunung Sutra 1