Pelangi Di Langit Singosari 28
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja Bagian 28
Ternyata kata-kata itu telah memanaskan hati Ken Dedes. Ken Dedes yang pendiam dan penurut itu tiba-tiba saja telak menunjukkan sikap yang sama sekali berbeda. Tiba-tiba saja ia berdiri dan berkata, "Tuanku. Jika tuanku memang berkuasa dan tidak seorangpun dapat menahan kehendak dan keinginan tuanku, kenapa tuanku tidak bertindak sendiri. Kenapa tuanku harus mempergunakan jalan yang panjang untuk mengusir Anusapati" Sebaiknya tuanku bertindak tegas terhadap anak itu. Tuanku tidak usah memakai cara seperti yang tuanku tempuh untuk merebut kedudukan Tunggul Ametung dan mengawini jandanya. Aku tidak menyesal karena waktu itu, aku yang merasa hidupku kering, menemukan cinta pada tatapan mata tuan. Akupun tidak menyesal ketika aku mengetahui cara yang tuan tempuh. Tetapi sekarang tuanku tidak usah memakai cara yang berselubung dan mengorbankan orang lain untuk kepentingan tuan. Tuan dapat menentukan keinginan tuan karena tuan adalah seorang Maharaja. Tuanpun tidak pernah mempergunakan cara yang terselubung untuk menghancurkan Kediri dan tuanku berhasil"
"Cukup, cukup" "Belum tuanku. Hamba masih ingin mengatakan, bahwa sebaiknya tuanku bertindak sendiri. Apakah tuanku ingin anak itu pergi dari Singasari atau tuanku ingin membunuhnya sama sekali"
"Kau sudah gila. Kau sudah gila" Sri Rajasa menggeram. Wajahnya menjadi merah padam karena kemarahan yang meluap-luap. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan bertindak kasar terhadap Permaisurinya yang dianggapnya sedang sakit itu. Tetapi niatnya segera luluh ketika tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Ketika Ken Dedes menggeretakkan giginya karena marah, tiba-tiba Ken Arok melihat cahaya yang dahulu pernah dilihatnya. Cahaya yang menyilaukan memancar dari tubuh perempuan yang lemah itu.
Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok mengusap matanya. Semula ia tidak begitu yakin akan penglihatannya. Namun semakin lama cahaya itu seakan-akan menjadi semakin terang.
Sejenak Ken Arok terpaku diam. Tetapi cahaya yang menyilaukan itu seakan-akan berkata kepadanya, "Akulah yang berhak menurunkan raja diatas tanah ini. Bukan orang lain"
Tiba-tiba Ken Ariok menutup kedua belah matanya dengan tangannya. Tetapi cahaya yang silau itu tidak dapat dihindarinya. Meskipun matanya terpejam dan kedua belah telapak tangannya menutup matanya, tetapi rasa-rasanya ia masih tetap tersilau oleh cahaya yang pernah dikenalnya. Cahaya yang telah membuatnya semakin gila disaat mudanya.
Ken Dedes yang sedang marah itu sempat juga menyaksikan apa yang dilakukan oleh Ken Arok. Dengan terheran-heran ia melihat sikap yang tidak dimengertinya itu. Kenapa tiba-saja Ken Arok seakana menjadi silau memandangnya. Sedang Ken Dedes sendiri sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Ken Dedes tidak menyadari bahwa dari dirinya telah memancar cahaya yang menyilaukan kedua mata Sri Rajasa itu.
Apalagi ketika kemudian Ken Arok itu berkata dengan suara yang terputus-putus sambil memalingkan kepalanya, "Baiklah Ken Dedes. Aku akan memperhatikan pendapatmu. Aku akan mempertimbangkannya"
Ken Dedes yang menjadi semakin heran itupun kemudian menjadi cair. Kemarahannya perlahan-lahan menjadi pudar. Terkenang olehnya apa yang perah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung. Didalam suatu keadaan yang serupa, selagi Akuwu Tunggul Ametung marah kepadanya, tiba-tiba saja Akuwu yang berkuasa pada waktu itupun menjadi seakan-akan silau memandangnya.
"Aku tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi atasku didalam keadaan ini" berkata Ken Dedes didalam hatinya.
Dalam pada itu Sri Rajasapun berkata pula, "Sudahlah Ken Dedes. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Semua yang kau katakan akan aku pertimbangkan"
"Hamba tidak mengerti tuanku" berkata Ken Dedes kemudian. Suaranya sudah jauh berbeda dengan nada suaranya ketika ia menjadi sangat marah.
Perlahan-lahan Ken Arokpun berpaling pula. Ketika ia memandang Permaisuri itu, sinar yang silau itu sudah tidak dilihatnya lagi.
Sejenak kemudian sadarlah Ken Arok, bahwa cahaya itu adalah cahaya yang tidak kasat mata wadagnya. Tetapi sinar itu langsung menembus dinding hatinya dan menyilaukan mata batinnya. Karena itu, maka iapun harus mengakui, bahwa yang dihadapinya kini adalah masih Ken Dedes yang dahulu, Ken Dedes yang pernah disebut oleh seorang Brahmana, bahwa ia akan melahirkan raja-raja yang akan berkuasa diatas tanah ini.
Sejenak kemudian, Ken Arok yang bergerlar Sri Rajasa itupun telah berhasil menguasai dirinya kembali. Karena itu maka iapun segera melangkah maju dan berkata, "Ken Dedes jangan kau biarkan hatimu terbakar. Aku minta maaf, barangkali kata-kataku terdorong oleh gejolak perasaan yang tidak terkendali"
"Ampun tuanku. Hamba tidak menganggap demikian, Hambapun mohon maaf, bahwa hamba sudah bertindak diluar keharusan hamba sebagai seorang isteri dan seorang Permaisuri"
"Berbaringlah. Bukankah kau sedang sakit?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian duduk kembali dipembaringannya. Katanya, "Ya tuanku. Hamba memang sedang sakit. Dan itulah sebabnya kadang-kadang hamba kehilangan pengamatan diri karena badan hamba terlampau panas"
"Berbaringlah" "Hamba tuanku" "Berbaringlah. Kau perlu beristirahat"
Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun membaringkan dirinya diatas pembaringannya. Kemudian ditariknya selimutnya yang berwarna kelam. Dan sesaat kemudian. Ken Dedes telah kembali kedalam keadaannya, seakan-akan seseorang yang benar-benar sakit.
"Ken Dedes" berkata Sri Rajasa kemudian, "kau jangan gelisah. Dan berbuatlah apa yang akan kau lakukan"
"Terima kasih tuanku. Dalam keadaan hamba ini, perkenankanlah hamba memohon kepada tuanku"
Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia termangu-mangu. Jika permohonan itu langsung menyangkut kedudukan Anusapati, maka hal itu akan sangat membingungkannya. Meskipun ia sadar bahwa Ken Dedes adalah seseorang yang memang ditakdirkan untuk melahirkan keturunan raja-raja, tetapi kenapa harus Anusapati, Putera Akuwu Tunggul Ametung" Bukan keturunan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabmni"
Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ken Dedes berkata, "Ampun tuanku. Hamba tidak akan memohon sesuatu diluar kemauan tuanku. Hamba hanya memohon agar kakak hamba, Mahisa Agni diperkenankan menengok hamba didalam keadaan ini"
"O" Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah. Baiklah, jika itu yang kau kehendaki. Aku akan memerintahkan seorang utusan pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni dan mengatakan kepadanya bahwa kau sedang sakit dan menunggu kedatangannya, agar ia benar-benar segera datang kemari"
Ken Dedes masih juga terheran-heran melihat sikap Sri Rajasa. Tetapi kemudian ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu. Karena itu maka iapun menyahut, "Terima kasih tuanku. Hamba mengharap sekali kedatangan kakang Mahisa Agni"
"Baik, baik. Aku akan memerintahkannya sekarang juga"
Sebelum Ken Dedes menjawab, maka Sri Rajasa itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, sehingga Ken Dedes menjadi semakin heran karenanya. Apakah yang sudah terjadi atas Sri Rajasa itu, dan apakah hal itu menguntungkannya atau justru sebaliknya.
"Sri Rajasa seakan-akan dalam ketidak sadaran" berkata Ken Dedes didalam hatinya, "jika ia kemudian menyadari apakah yang dilakukannya, apakah ia akan kembali menjadi marah dan bertindak kasar terhadap Anusapati?"
Tetapi Ken Dedes mencoba untuk tidak mencemaskan anaknya. Ia tahu bahwa anaknya mempunyai kemampuan membela dirinya. Didalam keadaan yang terpaksa ia tentu tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja.
"Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya sendiri sampai kakang Mahisa Agni datang" desis Permaisuri itu.
Dalam pada itu, ketika Ken Arok sampai diluar pintu bangsal permaisuri dan disambut oleh pengawalnya, seakan-akan ia merasa terlempar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, dan bahkan sekali-sekali berpaling. Dilihatnya pintu bangsal itu masih tetap seperti semula. Namun agaknya didalam bangsal itu terdapat sesuatu yang sudah tidak dikenalnya. namun tiba-tiba saja hadir disaat-saat yang menentukan.
"Apakah yang mempengaruhi keadaan ini, dan apakah Ken Dedes menyadari keadaan dirinya?" bertanya Sri Rajasa kepada diri sendiri.
Namun Sri Rajasa tidak menemukan jawabnya. Sekali-sekali timbullah niatnya untuk meyakinkan sekali lagi, apakah dalam keadaan marah cahaya itu menampakkan dirinya atau dalam keadaan yang gawat bagi Ken Dedes atau dalam keadaan yang mana yang dapat mempengaruhi sehingga cahaya itu timbul"
Tetapi niat itu diurungkannya. Dengan tergesa-gesa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itupun kemudian meninggalkan tangga bangsal Permaisuri itu.
Beberapa orang emban yang melihatnya menjadi terheran-heran. Mereka tidak mengerti sikap Sri Rajasa yang aneh. mereka mendengar suara Sri Rajasa yang agak keras didalam bilik Permaisuri, bahkan kemudian suara Permaisuri keras pula sehingga mereka menjadi gemetar dan ketakutan. Jika Sri Rajasa marah dan Permaisuri marah pula, mereka tentu akan bertengkar. Hal yang hampir tidak pernah terjadi, karena Permaisuri tidak pernah membantah atau mengelakkan kata-kata Sri Rajasa.
Namun tidak seorangpun yang berani mempercakapkan hal itu. Mereka hanya menyimpannya didalam hati masing-masing.
Dalam pada itu, Sri Rajasapun langsung memanggil beberapa orang perwira. Diperintahkannya untuk mengutus seorang gandek pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni atas namanya.
"Beritahukan bahwa adiknya Ken Dedes sedang sakit dan mengharap kedatangannya segera"
"Hamba tuanku. Hamba akan memerintahkan seseorang untuk berangkat hari ini"
Demikianlah, perwira itupun segera pergi menemui seorang utusan yang diperintahkannya saat itu juga berangkat untuk menyampaikan perintah Sri Rajasa, memanggil Mahisa Agni.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah menunggu, kapan Sri Rajasa memanggilnya. Bahkan hampir tidak bersabar ia menanti hari-hari berikutnya.
Demikianlah ketika utusan Sri Rajasa menghadapnya, Mahasa Agnipun menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah tuan Puteri sedang sakit panas atau pening atau sakit apa?"
"Hamba tidak mengetahuinya"
"Baiklah. Aku akan segera pergi ke Singasari. Sampaikan kepada Sri Rajasa, bahwa setelah aku mempersiapkan diri dan meninggalkan pesan-pesan di Kediri, aku akan segera pergi ke Singasari"
Sepeninggal utusan itu, maka Mahisa Agnipun segera mempersiapkan diri. Setelah berpesan kepada para pemimpin Kediri dan juru tamannya, maka iapun segera mempersiapkan kudanya.
"Apakah kau akan pergi sendiri?" bertanya Kuda Sempana yang menjadi juru taman pula di istana Kediri.
"Ya. Aku akan pergi sendiri. Tetapi aku berharap dapat menemui kakang Witantra atau Mahendra. Jika aku tidak bertemu dengan keduanya, sampaikan kepada mereka, bahwa aku pergi ke Singasari. Agaknya aku harus mengambil sikap yang pasti menghadapi Sri Rajasa dan Tohjaya. Aku tidak mengerti, apa yang sekarang telah mereka rencanakan"
"Baiklah. Mudah-mudahan kau berhasil. Jika keturunan Panawijen berhasil mempertahankan gelarnya, aku akan berbangga"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesuatu telah terbersit dihatinya. Seperti dirinya sendiri, Kuda Sempanapun pernah tergila-gila kepada Ken Dedes. Namun ia tidak berhasil mendapatkannya karena Akuwu Tunggul Ametung. Namun kini ia tidak dapat mendendam anak Akuwu itu. Bahkan sebaliknya. Ia merasa wajib melindunginya, karena ia adalah anak Ken Dedes.
Demikianlah dihari berikutnya Mahisa Agni bersiap untuk pergi ke Singasari. Ternyata ia masih sempat bertemu dengan Witantra karena setiap kali baik Witantra maupun Mahendra selalu datang menghubunginya. Kadang mereka datang bersama-sama, kadang-kadang mereka datang berganti-gantian.
"Agaknya kita akan sampai pada batas terakhir dari ceritera yang sangat menarik ini. Perang yang diam-diam terjadi diantara para penjabat tinggi di Singasari. Antara putera Sri Rajasa dan antara Sri Rajasa dengan Permaisuri. Kekalutan ini memang harus segera diakhiri. Tetapi kita harus menemukan akhir yang paling baik"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, "Yang paling baik itupun masih mempunyai beberapa kemungkinan. Paling baik bagi Sri Rajasa akan berbeda, dengan yang paing baik bagi Anusapati"
"Ya" Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "itulah kelemahan kita sebagai manusia. Kita masih didasari penilaian dari sudut pandangan dan kepentingan diri sendiri. Didalam keadaan yang gawat, kadang-kadang kita hanya mengenal suara hati sendiri"
"Baiklah Agni. Pergilah. Kehadiranmu akan sangat bermanfaat bagi Anusapati yang memerlukan pertimbangan. Sudah tentu bahwa Sumekar tidak akan dapat memberikan pertimbangan sebanyak yang dapat kau berikan"
"Terima kasih. Mungkin didalam suatu saat yang berbahaya, aku memerlukan kau, Mahendra dan Kuda Sempana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tetapi gambaran yang sekarang terbayang adalah kekerasan. Namun sampai dimana batasnya itulah yang tidak aku ketahui"
Demikianlah maka Mahisa Agnipun segera pergi ke Singasari. Seperti biasanya, ia hampir tidak pernah membawa seorang pengawalpun. Namun kali ini Witantra merasa curiga. Jika utusan itu sekedar memancing perjalanan Mahisa Agni dan mencegatnya diperjalanan seperti yang pernah dilakukan didalam istananya di Kediri, maka kekalutanpun pasti akan bertambah. Karena itu, maka iapun mengikutinya dari kejauhan bersama Kuda Sempana, meskipun mereka berangkat tidak dalam waktu yang bersamaan. Namun merekapun bertemu pada suatu sidatan jalan memintas dan langsung mengikuti dan mengawasi perjalanan Mahisa Agni dari kejauhan. Mahisa Agnipun menyadari bahwa Witantra dan Kuda Sempana sedang membayanginya. Sekali-sekali ia berpaling, namun ia tidak memberikan isyarat apapun kepada kedua orang itu.
Disepanjang perjalanan Mahisa Agni tidak menjumpai kesulitan apapun juga. Ternyata tidak ada seorangpun yang menunggunya dikelokan-kelokan jalan. Juga ketika hari menjadi malam. Meskipun demikian Mahisa Agni tetap berhati-hati agar tidak seorangpun yang dapat menyergapnya dengan tiba-tiba.
Ketika Mahisa Agni mulai memasuki kota Singasari, maka barulah Witantra dan Kuda Sempana melepaskan pengawasannya dan merekapun segera kembali ke Kediri meskipun mereka harus berhenti dan beristirahat di tengah-engah padang rumput karena kudanya yang payah. Diberinya kudanya kesempatan minum air dari belik di pinggir sungai dan makan rerumputan yang hijau sementara keduanya duduk bersandar batu yang besar. Ternyata keduanyapun sempat terkantuk-kantuk, dan bahkan kadang-kadang terlena sejenak.
Ketika kuda-kuda mereka sudah beristirahat, maka merekapun segera kembali ke Kediri, meskipun mereka tidak lagi berpacu cepat-cepat.
Ketika mereka sampai ke Kediri, maka Kuda Sempanapun harus membuat ceritera kepada kawan-kawannya, kemana selama ini ia pergi, karena ketika ia berangkat, ia hanya minta ijin sejenak. Tetapi ternyata ia pergi selama dua hari.
"Jika hal ini didengar oleh tuan Mahisa Agni, maka kau akan dimarahinya" berkata pemimpin juru taman, "bahkan mungkin kau akan dipecat"
"Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Adalah suatu halangan yang tidak dapat aku atasi, bahwa aku kali ini tidak menepati janjiku untuk kembali disiang hari"
"Kau dapat mengarang seribu alasan. Tetapi yang penting kau tidak akan mengulangi kesalahan ini"
"Ya, ya. Aku tidak akan mengulanginya" Namun demikian Kuda Sempana mengumpat didalam hatinya karena pemimpin juru taman itu memarahinya.
Dalam pada itu, Mahisa Agnipun telah berada didalam lingkungan istana Singasari. Tetapi ia tidak langsung menemui Ken Dedes. Lebih dahulu, ia harus menghadap Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi untuk melaporkan kehadirannya.
"Adikmu itu sedang sakit" berkata Sri Rajasa kepada Mahisa Agni. "ia mohon kepadaku, agar kau menemuinya"
"Apakah sakit tuan Puteri cukup parah tuanku?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ia sudah mencoba mengobati dirinya sendiri dengan dedaunan yang dibuat oleh emban. Ia masih belum bersedia untai berobat pada seorang tabib yang paling pandai. Mudah-mudahan ia segera sembuh"
"Hamba tuanku, jika berkenan dihati tuanku, hamba akan pergi menemui tuan Puteri itu tuanku"
"Pergilah. Tetapi jagalah agar ia tidak mengigau dan berbicara tentang sesuatu yang tidak disadarinya sendiri"
"Hamba tuanku. Hamba akan berusaha menyaring pembicaraannya"
"Baiklah. Panas tubuhnya telah membuatnya kadang-kadang tidak sadar atas apa yang dikatakannya sendiri"
Mahisa Agnipun kemudian mohon diri untuk pergi ke bangsal Permaisuri yang dikatakan oleh Sri Rajasa sedang sakit itu.
Permohonan Mahisa Agni untuk menghadap, segera diberitahukan oleh seorang emban kepada Permaisuri. Karena Permaisuri ternyata tidak berkeberatan meskipun sedang sakit, maka Mahisa Agnipun segera menghadap pula.
"Duduklah" berkata Ken Dedes kepada Mahisa Agni.
"Terima kasih tuan Puteri" sahut Mahisa Agni yang kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu disebelah pembaringan Ken Dedes.
Tetapi Ken Dedespun lalu bangkit. Bahkan iapun berdiri dan menutup pintu biliknya.
"Kadang-kadang satu dua orang emban lewat diluar" berkata Ken Dedes.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Sudah lama aku ingin bertemu dengan kakang Mahisa Agni" berkata Ken Dedes, "sehingga akhirnya Anusapatipun menganjurkannya"
"Ya tuan Puteri"
"Hatiku sudah menjadi semakin terpecah belah mendengar keluhan-keluhan Anusapati disaat-saat terakhir. Agaknya anak itu hampir tidak tahan lagi mengalami tekanan jiwa yang semakin parah"
"Hamba tuan Puteri"
"Karena itu kakang, aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan dan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Anusapati"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Keluhan apakah yang terakhir dikatakan oleh Putera Mahkota itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Sri Rajasa kini selalu marah kepadanya justru di muka banyak orang, di muka para pemimpin tertinggi Singasari dan para Panglima. Bahkan pernah Sri Rajasa mengancam untuk menyingkirkan Putera Mahkota dan sebagaimana dikatakan, Sri Rajasa berhak untuk menentukan sikap atas hal itu"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sri Rajasa dengan sengaja menyakiti hati Anusapati"
"Ya kakang. Dan yang terakhir ketika Sri Rajasa datang menengok aku karena aku mengatakan bahwa aku memang sakit, menasehatkan agar aku tidak dibebani oleh rahasia yang mungkin dapat memperberat sakitku"
"Maksudnya?" "Sri Rajasa menasehatkan agar aku mengatakan saja kepada Anusapati, bahwa sebenarnya ia bukan putera Sri Rajsa"
"He" Mahisa Agni terkejut, "kenapa begitu" Dan mengatakan bahwa Sri Rajasa pulalah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedeslah yang kemudian terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, "Kau mengetahuinya?"
Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes yang suram betapapun tegangnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu dan bahkan menyesal bahwa tiba-tiba saja ia mengatakan hal itu diluar sadarnya.
"Kakang Mahisa Agni, kau mengetahui bahwa yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu adalah Sri Rajasa sendiri?"
Mahisa Agni akhirnya menganggukkan kepalanya. Katanya, "Kita sudah sama-sama tahu. Langsung tidak langsung kita pernah memperkatakan hal itu"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
"Jika demikian, apakah maksud Sri Rajasa sebenarnya" Apakah Sri Rajasa ingin mempercepat penyelesaian?"
"Tidak kakang. Menurut tangkapanku. Sri Rajasa tidak menghendaki aku mengatakan hal itu. Bahkan Sri Rajasa mengatakan kemungkinan yang paling buruk jika Anusapati mengetahui hal itu, karena pada dasarnya ada semacam perasaan benci yang disembunyikan didalam hati Anusapati"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam.
"Tuan Puteri" berkata Mahisa Agni kemudian, "jika demikian kita dapat menduga maksudnya. Anusapati pasti akan merasa tidak berhak atas tahta Singasari dan dengan sendirinya mengundurkan diri"
"Tetapi kakang Mahisa Agni, jika aku mengatakan hal itu kepada Anusapati, maka akupun akan mengatakan, bahwa sebenarnya akulah yang berhak atas tahta, meskipun semula adalah tahta Tumapel. Sri Rajasa dapat mencapai puncak kekuasaannya sekarang karena beralaskan kekuatan Tumapel. Tanpa Tumapel yang kecil itu, Singasari tidak akan berdiri. Bukankah istana ini juga istana Tumapel meskipun diperluas dan diperbaiki?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi aku kira lebih baik tidak tuan Puteri. Jangan dikatakan lebih dahulu kepada Putera Mahkota sebelum Putera Mahkota mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan"
"Maksud kakang?"
"Jangan berbuat tanggung-tanggung tuan Puteri. Anusapatipun jangan menyeberang sampai ditengah. Jika ia benar-benar ingin menyeberang, ia harus sampai ketepi. Jika tidak, jangan menyentuh air sama sekali"
Ken Dedes memandang Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Namun ia masih tetap berdiam diri. Meskipun demikian, didalam dadanya sedang mengamuk badai yang maha-dahsyat, yang mengguncang-guncang perasaannya.
Untuk sejenak Mahisa Agnipun hanya berdiam diri sambil merenung. Memang jalan yang terbentang dihadapan Putera Mahkota adalah jalan yang terjal dan berbatu padas. Tetapi sebaiknya Anusapati tidak berhenti ditengah-engah.
Narnun tiba-tiba Ken Dedes bertanya, "Kakang Mahisa Agni, apakah menurut pendapatmu sekarang Anusapati masih belum siap menghadapi kemungkinan yang paling sulit bagi dirinya?"
Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Mahisa Agni. Dan tiba-tiba saja pertanyaan itu telah bergejolak semakin dahsyat didalam dadanya. Terbayang olehnya sebuah trisula kecil yang pernah diberikannya kepada Anusapati sebagai alat untuk mempertahankan dirinya dalam keadaan yang paling sulit. Dan trisula itu sama sekali tidak dipersiapkannya untuk melawan siapapun, selain untuk melawan manusia yag memiliki kemampuan yang ajaib sejak ia berkeliaran di padang Karautan. Tanpa guru dan tanpa mempelajari dengan cara yang teratur serta susunan yang mapan hantu padang Karautan itu memiliki kemampuan jasmaniah dan daya tempur yang luar biasa. Tetapi dihadapan trisula kecil itu, hantu Karautan sama sekali tidak berdaya. Trisula itu telah menyilaukannya sehingga tidak mungkin baginya untuk melawan.
Mahisa Agni menarik nafas ketika sekali lagi Ken Dedes bertanya, "Apakah Anusapati sekarang masih belum siap?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hamba masih harus menemuinya dan mengetahui tentang dirinya sepenuhnya. Tetapi jika hal ini benar-benar telah dimulai, maka tuanku akan dapat membayangkan akhir dari kelanjutan yang akan terjadi. Adalah sulit sekali untuk menekan gejolak perasaan seorang anak muda seumur Anusapati. Tentu juga sulit sekali menahan gejolak perasaan Tohjaya dan bahkan menilik tabiatnya, Sri Rajasapun tidak akan mampu berbuat lain dari pada berpihak kepada Tohjaya"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terngiang kata-kata Ken Arok bahwa jika ia mengatakan semua rahasia yang diketahuinya kepada Anusapati, maka mungkin sekali terjadi bahwa Anusapati akan berbuat sesuatu yang dapat dianggap biadab oleh rakyat Singasari, dan Sri Rajasapun berkata bahwa siapa saja yang berani mengacaukan Singasari akan berakibat kematian, meskipun Putera Mahkota.
Sebenarnya semua itu sudah jelas baginya. Dan ia kini harus memilih. Apakah ia akan menyerahkan Anusapati sebagai korban ketamakan Ken Umang yang telah berhasil memperalat Sri Rajasa, atau ia harus mempertahankan martabatnya sebagai seorang Permaisuri dan sebagai seseorang yang merasa berhak atas tahta Singasari.
Tetapi pilihan yang pahit itu jelasnya akan menempatkan dua orang yang sama-sama penting baginya untuk dikorbankan salah seorang daripada mereka itu dari hatinya. Ia harus rela apabila salah seorang dari keduanya itu akan hilang dalam arti yang sangat luas.
Dan pilihan yang demikian adalah pilihan yang paling pedih menyayat hatinya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes tidak dapat menahan gejolak perasaannya, sehingga tanpa disadarinya dari kedua matanya yang suram menitik air matanya yang bening.
"Kakang Mahisa Agi" berkata Permaisuri, "aku dihadapkan pada keadaan yang hampir tidak tertanggungkan. Kau tahu apa yang akan terjadi atasku. Aku harus membenturkan dua pihak yang sama-sama aku cintai. Adalah menyedihkan sekali bahwa hal ini harus terjadi. Seandainya Sri Rajasa tidak jatuh dibawah pengaruh perempuan itu, maka semuanya pasti akan sampai pada akhir yang berbeda. Tetapi kita tidak dapat membebankan kesalahan itu seluruhnya kepada Ken Umang. Ia berhak berusaha untuk mencapai titik kepuasan yang setinggi-tingginya. Namun sayang, bahwa ia tidak memilih alas. Ia tidak segan-segan mengorbankan orang lain untuk memenuhi keinginannya yang melambung setinggi bintang dilangit"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tuan Puteri benar menurut pikiran hamba. Perempuan itu memang perempuan yang memiliki nafsu ketamakan yang berlebih-lebihan. Ia sudah mengajar anaknya untuk mengikuti jejaknya. Dan Sri Rajasapun sudah terbenam didalam arus ketamakannya itu, sehingga ia sama sekali tidak segan-segan untuk mengambil langkah yang sesat menurut penilaianku"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Tetapi kitapun dapat mengerti kakang, tentu Sri Rajasa lebih mantap jika puteranya sendirilah yang akan menduduki tahta yang selama ini telah dibinanya"
"Tetapi iapun harus mengenal kebijaksanaan. Ia harus merasa bahwa dirinya adalah pengemban kekuasaan Tumapel waktu itu. Jika ia kemudian dapat mengembangkan kekuasaan Tumapel menjadi kerajaan Singasari yang sekarang, itu bukan berarti ia berhak dan karena kekuasaannya dapat menyerahkan tahta kepada siapapun yang dikehendaki. Apalagi, jika ia memang ingin menyerahkan tahta kepada keturunannya semata-mata. kenapa ia tidak membicarakan anak-anaknya yang lahir justru dari Permaisurinya?"
"Itulah yang aku prihatinkan kakang"
"Tuan Puteri" berkata Mahisa Agni kemudian, "memang mungkin harus jatuh korban. Tetapi semakin kecil korban yang jatuh pasti akan lebih baik. Aku memang dapat mengambil jalan lain, karena aku merasa mampu untuk mengguncang kerajaan ini dari luar dinding istana. Aku mempunyai kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sri Rajasa dengan kekerasan"
Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Mahisa Agni. sehingga dengan serta-merta Mahisa Agni meneruskannya, "Tetapi aku tidak akan melakukannya"
Ken Dedes tidak segera menyahut, sedang Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Bagaimanapun juga Sri Rajasa adalah suami Ken Dedes. Mereka telah mendapatkan beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Merekapun tentu tidak akan dapat melupakan masa-masa mereka memasuki hari-perkawinan yang dimulai dengan saat-saat yang berbahagia. Tetapi kehadiran Ken Umang ternyata semakin lama semakin menjauhkan Sri Rajasa dari Ken Dedes.
Sebenarnyalah bahwa dada Permaisuri itu memang sedang bergejolak. Air matanyapun menjadi semakin deras mengalir dari pelupuknya.
"Kenapa aku harus mengalami hal serupa ini di hari-hari tuaku" keluh Ken Dedes, "agaknya aku banyak berbuat dosa dimasa mudaku"
"Tidak tuan Puteri" berkata Mahisa Agni, "belum tentu hal ini terjadi karena kesalahan tuan Puteri"
"Jadi siapakah yang bersalah"
"Mungkin tidak ada yang bersalah"
"Tetapi kenapa aku harus mengalami hukuman ini"
"Juga belum tentu bahwa yang sedang tuanku alami ini suatu hukuman dari Yang Maha Agung. Justru karena Yang Maha Agung mengagumi ketabahan hati tuan Puteri, maka tuan Puteri telah mendapatkan kehormatan untuk mengalami pendadaran yang hebat. Jadi yang terjadi bukannya hukuman atau siksa, tetapi justru kesempatan untuk membuktikan bahwa tuan Puteri benar-benar seorang yang mampu dan kuat memegang tahta Singasari turun temurun"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Mahisa Agnipun terdiam pula sejenak. Ia mencoba untuk mendalami perasaan Permaisuri itu sepenuhnya dan mencari celah-celah yang dapat ditempuhnya untuk menyelesaikan persoalan Putera Mahkota. Tetapi agaknya semua jalan sudah tertutup. Yang ada tinggallah dua pilihan. Putera Mahkota atau Sri Rajasa.
Dalam kediamannya Mahisa Agni kadang-kadang berangan-angan tentang kemudian yang lain sama sekali. Apakah ia harus mempergunakan kekuatan diluar istana Singasari" Jika demikian apakah ada kemungkinan lain bahwa tidak seorangpun dari keduanya harus dikorbankan.
"Tidak mungkin" berkata Mahisa Agni didalam hati, "jika aku memberontak terhadap Sri Rajasa, maka aku atau Sri Rajasa harus mati. Jika akulah yang mati, maka pemberontakan yang makan banyak korban itu tidak akan berarti apa-apa bagi Singasari, karena jalan akan terbuka bagi Sri Rajasa untuk memusnakan semua orang yang tidak disukainya termasuk Putera Mahkota. Ia dapat membuat seribu alasan yang tampaknya memang masuk akal"
"Tetapi seandainya jalan ini dapat ditempuh, aku yakin bahwa aku dan Putera Mahkota akan mempunyai harapan yang besar untuk merebut Singasari" berkata Mahisa Agni didalam hatinya pula. Ia masih percaya akan kemampuan yang ada pada dirinya serta kemungkinan yang dapat terjadi dengan trisula kecil pemberian gurunya yang kini ada pada Anusapati. Tetapi dengan demikian maka ratusan dan bahkan ribuan orang akan menjadi korban"
"Memang lebih baik hanya seorang korban. Sri Rajasa atau Anusapati" Mahisa Agni akhirnya mengambil keputusan didalam hatinya. Namun ia tidak segera dapat mengatakannya kepada Ken Dedes.
Ken Dedes masih mengusap matanya yang basah. Namun iapun kemudian berkata dengan hati yang pedih, "Tetapi kakang Mahisa Agni. Aku tidak dapat hidup berpijak pada dua buah alas yang sama goyah. Bahkan berpijak pada dua buah perahu yang berjalan berbeda arah. Aku harus memilih meskipun yang satu adalah alas kaki kiriku dan yang lain adalah alas kaki kananku" suara Ken Dedes terputus oleh tangisnya. Lalu, "aku mencintai Anusapati tetapi aku juga mencintai Sri Rajasa. Dan inilah agaknya dosa itu kakang Mahisa Agni. jangan menghibur hatiku dengan sikap yang pura-pura itu. Jangan mencoba melepaskan aku dari perasaan ini. Aku telah tidak setia kepada Akuwu Tunggul Ametung meskipun didalam hati. Jika aku tidak tertarik kepada seorang hamba yang bernama Ken Arok, maka semuanya ini tidak akan pernah terjadi. Dan akupun tentu tidak akan mengalami keadaan ini. Hukuman yang maha berat"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah tuan Puteri. Jika tuan Puteri melarang hamba mencoba memberikan ketenangan dihati tuan Puteri, hambapun tidak akan menolak pengakuan tuan Puteri. Tetapi bahwa tuan Puteri harus memilih itulah yang harus dilakukan. Dan pilihan tuan Puteri tidak boleh salah. Itulah persoalan yang maha sulit untuk dipecahkan"
Ken Dedes menganggukan kepalanya.
"Tetapi sebaiknya hamba memberikan sedikit pertanyaan kepada tuan Puteri. Bukan maksud mempersulit perasaan tuan Puteri, tetapi jika mungkin hamba akan mencoba memberikan arah berpikir bagi tuan Puteri" Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "tuan Puteri memang harus memilih. Katakanlah bahwa yang seorang adalah lambang kebahagiaan masa silam tuanku, sedang yang seorang adalah harapan dimasa datang. Yang manakah yang lebih penting bagi tuanku. Masa silam yang tinggal kenangan atau masa depan yang sangat panjang"
Pertanyaan itu telah mengguncangkan hati Ken Dedes yang memang sedang goyah. Tiba-tiba ia tidak dapat menahan isaknya yang meledak. Sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya Ken Dedes mencoba menahan tangisnya. Tetapi ia tidak berhasil.
Mahisa Agnipun tidak segera berkata apapun lagi. Iapun duduk termenung dengan kepala tunduk. Ia sadar, persoalan itu adalah persoalan yang sangat sulit dipecahkan oleh seorang ibu yang juga seorang isteri, yang menghadapi jalan simpang yang terbentang dihadapannya. Apakah ia akan mengikuti jalan anak laki-lakinya, atau jalan suaminya yang berbeda. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, yang satu mengarah ke dunia kenangan yang indah dan cemerlang, sedang yang lain adalah jalan yang menuju ke dunia mendatang yang penuh dengan harapan. Baik bagi keturunannya, maupun bagi Singasari, Namun tiba-saja Ken Dedes seakan-akan menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa ia harus bertelekan kepada suatu tumpuan yang kuat. Ia tidak boleh terkatung-katung lebih lama lagi.
Dalam pada itu, selagi Ken Dedes memusatkan segegap hati dan nalarnya, maka terasa sesuatu telah bergetar didalam dadanya. Seakan-akan ia mendengar suara jauh dari dasar hati, "Ken Dedes, tinggalkanlah dunia mimpi indahmu. Berilah harapan bagi masa datang"
Ken Dedes menggeretakkan giginya. Ia telah menemukan sesuatu didalam dirinya.
Namun dalam pada itu, permaisuri itu terperanjat ketika ia melihat Mahisa Agni tiba-tiba menutup kedua matanya dengan tangannya. Sambil berpaling Mahisa Agni berkata, "Aku melihat, aku melihat kebenaran itu"
"Kakang" Ken Dedes berdesis, "apa yang telah kau lihat?"
Mahisa Agni tidak menyahut. Untuk beberapa lamanya Ia masih memalingkan wajahnya. Namun kemudian perlahan-lahan ia memutar kepalanya dan memandang Ken Dedes dalam bentuknya yang wajar.
"Kakang, apakah yang kau lihat?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Ternyata mata hatinya telah menyaksikan kebenaran yang baginya meyakinkan bahwa Ken Dedeslah yang harus menurunkan raja Singasari.
"Kakang" desak Ken Dedes yang justru menjadi terheran-heran, "apakah yang kau lihat?"
"Sebuah isyarat tuan Puteri"
"Apakah isyarat itu?"
"Bahwa tuan Puteri telah memilih"
"Darimana kakang tahu bahwa aku telah memilih?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kini ia mengerti bahwa apa yang dilihatnya oleh mata hatinya itu justru tidak disadari oleh Ken Dedes sendiri, sehingga iapun kemudian berkata, "Aku melihat pada cahaya wajah tuan Puteri"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia melihat keanehan yang serupa. Tunggul Ametung, Ken Arok kemudian Mahisa Agni. Mereka seakan-akan menjadi silau melihat sesuatu pada dirinya.
Tetapi Ken Dedespun kemudian tidak peduli. Ia merasa bahwa ia telah berhasil mematahkan palang yang merentang dihadapannya, dan melemparkan beban yang sangat berat di punggungnya.
"Kakang telah melihat isyarat itu" berkata Ken Dedes, "dan kakang benar. Aku sudah memilih"
"Apakah pilihan tuan Puteri?"
Ken Dedes masih ragu-ragu sejenak, namun kemudian iapun berkata, "Kakang, aku telah menentukan pilihan itu. Kakanglah yang memberikan jalan bagiku. Aku memilih harapan dihari depan bagi keturunanku dan bagi Singasari. Jelasnya, Singasari harus berada ditangan Anusapati. Mudah-mudahan ia dapat memelihara kerajaan yang sedang berkembang ini. Tetapi aku yakin bahwa ia akan lebih baik dari Tohjaya yang tamak itu"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa hatinya tiba-tiba menjadi lapang. Jika Ken Dedes sudah menentukan sikap, maka jalan selanjutnya sudah terbuka baginya.
"Tetapi kakang" bertanya Ken Dedes kemudian, "jika demikian, apakah yang harus aku kerjakan selanjutnya?"
"Jika demikian tuan Puteri, tuan Puteri dapat memenuhi permintaan Sri Rajasa"
Ken Dedes mengerutkan keningnya, "Permintaan yang mana?"
"Bahwa tuanku harus mengatakan kepadanya, bahwa ia bukan putera Sri Rajasa. Tetapi ia adalah putera Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel, yang mati terbunuh oleh tangan Sri Rajasa sendiri"
"O" suara Ken Dedes terputus.
"Bukankah tuan Puteri sudah memutuskan. Hamba berharap bahwa dengan demikian Sri Rajasa akan mengambil sikap yang lebih keras, dan hamba berharap bahwa Putera Mahkota harus mempertahankan dirinya"
Wajah Ken Dedes yang mantap itu tiba-tiba telah terguncang lagi.
"Apakah tuan Puteri masih ragu-ragu"
"Tidak kakang. Aku sudah memutuskan. Tetapi apa yang akan dikatakan oleh Anusapati, bahwa ibunya telah kawin dengan pembunuh ayahnya?"
Pertanyaan Ken Dedes itu telah menyentuh perasaan Mahisa Agni. Jika benar-benar Anusapati bertanya serupa itu, tentu Ken Dedes akan mendapat kesulitan untuk menjawabnya.
Karena itu, maka Mahisa Agnipun tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia mencoba berpikir, untuk mencari kemungkinan bagaimana menanggapi pertanyaan itu.
Tetapi tidak ada jawaban yang dapat diketemukan, sehingga akhirnya Mahisa Agni berkata, "Memang sulit tuan Puteri. Karena itu, sebaiknya tuan Puteri melemparkan hal ini kepada hamba saja. Tuan Puteri dapat mengatakan kepada Anusapati, bahwa tuan Puteri baru saja mengetahui bahwa Akuwu Tunggul Ametung terbunuh oleh Sri Rajasa baru saja. Tuan Puteri dapat mengatakan bahwa hambalah yang telah memberi tahukan hal itu, sehingga akhirnya tuan Puteri mengambil keputusan untuk berterus terang kepada Putera Mahkota. Baik tentang orang yang menurunkannya, maupun tentang pembunuhan yang pernah terjadi itu"
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah kakang. Aku akan melemparkan persoalan ini kepada kakang Mahisa Agni. Tetapi tentu Anusapati akan datang kepada kakang Mahisa Agni dan bertanya, kenapa kakang baru sekarang memberi tahukan hal ini kepadaku"
"Biarlah hamba menjawabnya tuan Puteri. Mudah-mudahan jawaban hamba dapat memberinya kepuasan"
Ken Dedes mengangguk-angguk meskipun masih terbayang berbagai perasaan membayang di wajahnya. Kecemasan, keragu-raguan dan kadang-kadang takut yang amat sangat. Namun Mahisa Agni menanggap bahwa keputusan itu jangan sampai terlepas lagi. Ken Dedes jangan sampai mencabut kembali niatnya yang sudah bulat itu. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata, "Sudahlah tuan Puteri. Hamba mohon diri. Mungkin dalam waktu yang singkat Putera Mahkota akan menghadap tuan Puteri. Hamba mengharap bahwa perasaan Putera Mahkota tidak melonjak dan tidak kehilangan pengamatan diri"
"Aku akan berusaha kakang. Tetapi aku kira, dari bangsal ini ia akan mencari kakang Mahisa Agni, karena aku tahu, bahwa kakang telah mengasuhnya dan membuatnya menjadi Anusapati yang sekarang. Bukan Anusapati yang ingin diciptakan oleh Sri Rajasa"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah maksud tuan Puteri?"
"Keputusanku ini juga didorong oleh kenyataan bahwa Sri Rajasa dengan sengaja ingin membuat Anusapati kehilangan pribadinya, sehingga ia akan menjadi seorang anak muda yang sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Singasari"
"Dari siapa tuan Puteri mengetahuinya?" bertanya Mahisa Agni meskipun ia sudah mengetahuinya dari cara pendidikan yang sangat timbang bagi Anusapati dan bagi Tohjaya.
"Dari emban Anusapati yang sampai sekarang masih menungguinya dan yang sebagian waktunya dipergunakannya untuk berada disini. Emban itupun berada didalam kecemasan setiap saat, karena Sri Rajasa dan Ken Umang dapat mengambil tindakan atasnya"
"Kenapa?" "Karena ia tidak berhasil membentuk Anusapati yang cengeng, yang pengecut, penakut dan segala macam sifat yang jelek"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sepantasnya ia mengucapkan terima kasih kepada emban itu. Katanya, "Emban itu pantas mendapat perlindungan tuan Puteri"
"Karena itulah aku tidak pernah berkeberatan ia berada disini"
"Baiklah tuan Puteri, perkenankanlah hamba mohon diri. Hamba akan menunggu Putera Mahkota yang pasti akan mencari hamba. Dan hamba akan mencoba memberikan jawaban yang dapat diterimanya, kenapa hamba baru sekarang memberitahukan kematian Akuwu Tunggul Ametung kepada tuan Puteri"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu jawabnya dengan suara yang berat, "terima kasih kakang. Tetapi sudah terasa dihatiku bahwa akan ada badai yang bertiup di Singasari"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya tuan Puteri. Mudah-mudahan hanya batang-batang yang rapuh sajalah yang akan patah, sedang tunas-tunas yang masih muda akan berkembang semakin subur"
Demikianlah maka Mahisa Agnipun segera meninggalkan bangsal Ken Dedes. Dengan kepala tunduk ia berjalan menyusur petamanan. Ketika terlihat olehnya Sumekar, maka iapun segera berhenti dan mendekatinya.
Sumekar yang sedang berjongkok tidak segera berdiri. Bahkan seolah-olah ia menundukkan kepalanya dalam-dalam menghormati kedatangan wakil Mahkota di Kediri itu.
"Kediri memerlukan petamanan yang beraneka seperti di Singasari" katanya lantang. Beberapa juru tamanpun mendekat sambil berkata, "Tuan. apakah di Kediri tidak ada petamanan seperti disini?"
"Ada tetapi tidak selengkap Singasari. Aku akan memilih beberapa batang, dan aku akan membawanya jika aku kembali ke Kediri"
"O. tentu tidak. Biarlah seorang hamba membawa untuk tuan"
Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Bekerjalah. Aku tidak ingin mengganggu kalian"
Para juru taman itupun segera kembali kepekerjaan masing-masing. Hanya Sumekar sajalah yang tinggal, karena ia sedang menyiangi sebatang pohon bunga.
Sejenak keduanya tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Agni berdiri saja memperhatikan Sumekar yang sedang sibuk dengan kerjanya. Jika satu dua orang juru taman yang lain berpaling kepadanya, maka mereka sama sekali tidak bercuriga, bahwa kedua orang itu kemudian telah memperbincangkan masalah yang sangat penting bagi Singasari.
"Jadi tuan Puteri sudah sampai pada batas kesabarannya?" bertanya Sumekar.
"Ya. Sebagian adalah karena desakan Sri Rajasa sendiri, ia ingin memaksa Anusapati untuk lari atas kemauan sendiri dari jabatannya. Namun akhirnya Ken Dedes harus memilih. Ia sadar, bahwa salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Dan ternyata Ken Dedes memilih yang benar menurut penilaianku. Sri Rajasa sudah cukup berjasa bagi Singasari. Berbekal Tumapel yang kecil ia sudah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang sekarang. Karena itu, ia tidak boleh berbuat kesalahan dengan menyerahkan kerajaan yang dengan susah payah disusun ini kepada orang yang samasekali tidak akan mampu mempertahankan kehadirannya. Jika Singasari ini benar-benar jatuh ketangan Tohjaya, maka sia-sialah seluruh perjuangan Sri Rajasa. Aku sudah ikut serta menyabung nyawa mempersatukan Kediri yang goyah itu kedalam lingkungan Singasari. Karena itu, aku adalah orang yang paling berkeberatan jika kemudian Tohjaya akan menduduki tahta, bukan karena Sri Rajasa yakin bahwa ia akan dapat memimpin pemerintahan. Tetapi semata-mata karena Ken Umang berpendapat demikian"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat akan tiba waktunya hal itu terjadi.
"Karena itu Sumekar" berkata Mahisa Agni, "hati-hatilah. Kau harus mengamat-amati Putera Mahkota. Jika sampai saatnya, maka kau harus bertindak tepat. Jika salah satu dari keduanya tersingkir, sudah tentu bahwa yang sudah hampir terbenamlah yang harus segera terbenam. Bukan karena kita tidak tahu menghargai jasa-jasanya, tetapi justru karena kita tidak mau kehilangan hasil kerjanya yang besar. Aku kira tidak akan ada orang lain yang dapat berbuat seperti Sri Rajasa pada waktu itu. Tetapi aku kira juga tidak ada seorang Maharaja lain yang akan melakukan kesalahan seperti yang sedang dilakukannya"
"Baiklah" jawab Sumekar, "aku akan mencoba"
"Selama ini, aku akan minta bantuan Witantra dan Mahendra, agar ia berada tidak jauh dari istana. Setiap saat kau akan dapat menghubunginya dengan bermacama cara. Mungkin kau dapat membuat panah sendaren atau semacam apapun yang dapat kau kirimkan sebagai isyarat apabila kau menghadapi keadaan yang memaksa dan tiba-tiba"
"Baiklah. Tetapi aku harap mereka memberitahukan, dimana mereka berada"
"Aku akan berusaha bertemu dengan mereka. Pada saat aku kembali ke Kediri, mereka akan sudah berada ditempat yang akan diberitahukan kepadamu"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai orang yang setiap saat menunggui Putera Mahkota, sebenarnya Sumekar sudah tidak telaten lagi. Bahkan ia ingin mendorong agar Putera Mahkota segera berbuat sesuatu.
"Putera Mahkota kurang cepat bertindak" katanya, "meskipun ia memiliki kemampuan yang cukup, namun hatinya yang selalu ragu-ragu dan bimbang telah menahan semua tindakannya"
"Tetapi jika ia tersudut, maka iapun akan mengambil sikap" berkata Mahisa Agni sambil melangkah hilir mudik. Sejenak kemudian, "Sudahlah Sumekar. Sampai nanti. Aku masih akan tinggal untuk beberapa hari disini"
Sepeninggal Mahisa Agni, Sumekarpun merenung diluar sadarnya. Ia sudah mulai membayangkan peristiwa yang penting itu akan terjadi. Namun jika Putera Mahkota mampu melakukan dengan baik, maka tidak akan ada persoalan yang dapat mengguncang Singasari. Bahkan ia berkata didalam hati, "Seperti pada saat Sri Rajasa membunuh Tunggul Ametung menurut ceritera mereka yang menyaksikan. Tidak ada keributan yang timbul kecuali kematian Kebo Ijo"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia tersentak seakan-akan menyadari sesuatu, "Kebo Ijo telah menjadi korban. Tetapi korbannya itu tidak sia-sia bagi Tumapel yang menjadi besar, meskipun bukan semata-mata hal itulah yang dipertautkan. Kebo Ijo sama sekali tidak menyadari bahwa kematiannya itu telah memberi kesempatan Sri Rajasa bertahta dan kemudian rnembuat Tumapel menjadi Singasari yang besar sekarang ini"
Sumekar termenung sejenak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir oleh deru yang berkecamuk didalam dadanya. Seperti sebuah mimpi ia membayangkan, bahwa jika ada orang yang bersedia berkorban untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi Singasari, alangkah baiknya. Jika ada orang yang berhasil menyingkirkan Sri Rajasa sekarang ini, selagi Putera Mahkota masih seorang yang bernama Anusapati, maka tidak akan ada pilihan lain, bahwa Anusapatilah yang berhak menggantikan kedudukan Sri Rajasa. Sedang apabila usaha itu gagal, maka sama sekali nama Anusapati tidak akan tersangkut didalamnya. Tetapi jika usaha itu berhasil, maka keributan, yang lebih besar akan dapat dihindarkan.
Ternyata bahwa pikiran itu telah membuat Sumekar menjadi gemetar. Keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya. Apalagi ketika ia bertanya kepada diri sendiri, "Siapakah yang dapat membunuh Sri Rajasa?"
Sejenak Sumekar membeku ditempatnya. Namun kemudian keringat dinginnya mengalir diseluruh tubuhnya. Pergolakan didalam hatinya membuatnya bagaikan dibakar diatas bara.
Tiba-tiba terasa kepala Sumekar menjadi pening, dan pepohonan disekitarnya bagaikan berputar-putar. Dalam amukan gejolak perasaan itu seakan-akan ia mendengar suara, "Kenapa bukan kau Sumekar, kenapa bukan kau" Kau sudah berguru bertahun-tahun pada seorang mPu yang mumpuni, bahkan kau sudah berhasil mengembangkan ilmumu dengan caramu"
"O" terdengar Sumekar berdesah. Tubuhnya serasa menjadi terlalu berat dibebani oleh deru perasaannya.
Dalam keadaannya, Sumekar tidak lagi dapat berjongkok. Karena itu, maka iapun segera terduduk dengan lemahnya bertelekan kedua tangannya.
Seorang juru taman yang melihatnya menjadi heran. Baru saja ia melihat Sumekar berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan sehat. Tetapi tiba-tiba kini ia seakan-akan menjadi kehilangan kekuatannya sama sekali.
"He, kau lihat orang itu?" desis kawannya.
Beberapa orangpun kemudian mendekatinya. Mereka terkejut melihat Sumekar pucat dan berkeringat diseluruh tubuhnya.
"Kenapa kau he?" bertanya salah seorang dari mereka sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
"Kenapa he" sambung yang lain.
Sumekar mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan sepenuh kekuatan ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dicobanya untuk menghayati keadaannya dengan sepenuh kesadaran.
Perlahan-lahan ia berhasil menguasai gejolak didalam dadanya dan karena itu, maka perlahan-lahan semuanya menjadi terang. Dirinya sendiri dan keadaan disekelilingnya.
"Kenapa kau?" Sumekar membuka matanya. Ia sudah berhasil menghentikan putaran yang melingkari dirinya. Karena itu, maka iapun dapat menjawab, "Aku tiba-tiba saja menjadi pening"
"Ha, semalam kau pasti tidak tidur lagi. Kau terlalu sering tidak tidur menurut penghuni disebelahmu"
"Aku tidur sejak sore"
"Jika demikian kau terlalu banyak tidur" sahut yang lain.
"Mungkin" berkata Sumekar sambil memijit-mijit kepalanya.
"Kembalilah kebilikmu. Berhentilah bekerja supaya kau tidak terlanjur pingsan"
Sumekar mengangguk. "Marilah, aku antar kau"
Demikianlah maka Sumekarpun dipapah oleh dua orang kawannya kembali ke rumah, sedang beberapa orang abdi yang lain memandangnya dari kejauhan. Seorang pekatik mendekatinya sambil bertanya, "Kenapa?"
"Tiba-tiba saja ia menjadi pening"
"O" Beberapa emban, juru pengangsu saling berbisik, "Orang itu orang aneh. Ia hampir tidak pernah tidur"
Demikianlah Sumekarpun kemudian dibaringkannya didalam biliknya.
"Tidurlah. Jangan kau pikirkan pekerjaanmu" Sumekar mengangguk.
Sejenak kemudian maka kawannya itupun meninggalkannya. Tetapi demikian pintu ditutup, Sumekarpun bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Dipandanginya pintu gubugnya yang tertutup itu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam.
Seakan-akan suara yang didengarnya itu masih saja bergulung-gulung didalam hatinya. Tetapi kini ia dapat menanggapinya dengan sadar dan tenang, sehingga ia tidak lagi dijerat oleh perasan pening dan bingung.
"Aku akan memikirkannya masak-masak" berkata Sumekar, "apa salahnya jika aku mencoba. Mungkin aku menjadi seorang pembunuh, tetapi aku mempunyai suatu tujuan yang baik. Baik bagi Singasari yang dibina oleh Sri Rajasa, dan baik bagi Putera Mahkota. Jika seandainya didalam matinya Sri Rajasa melihat hasil yang aku peroleh dari perbuatanku, maka ia tidak akan mengutukku"
Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah Anusapati. Apakah Anusapati sependapat dengan rencananya.
"Apakah aku harus mengatakan kepadanya tentang rencana ini?"
Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri, "Aku menjadi bingung"
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Sumekar masih mempunyai waktu untuk mengendapkan perasaannya. Mahisa Agni masih ada di Singasari untuk beberapa lamanya. Bahkan mungkin ia akan dapat minta pertimbangannya.
Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian kembali membaringkan dirinya. Meskipun ia tidak dapat tertidur, namun ia sempat beristirahat badani. Namun perasaan dan nalarnya masih juga selalu berbenturan tiada hentinya.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berada di bangsal yang khusus disediakan untuknya, berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Puncak pergolakan yang selama ini membakar Singasari akan segera terjadi. Dan Mahisa Agni masih belum dapat memastikan, yang manakah yang akan berhasil keluar dari lingkaran api ini.
Dipuncak pimpinan Singasari kini benar-benar berhadapan dua pihak. Tohjaya dan Anusapati.
Sekilas terbayang wajah kedua anak muda itu. Keduanya memang memiliki kelebihannya masing-masing. Tetapi bahwa Tohjaya dipengaruhi oleh sifat-sifat tamak dan angkuh adalah karena tetesan sifat ibunya.
"Seandainya Ken Arok tidak berhasil dijebak oleh perempuan itu" berkata Mahisa Agni didalam hatinya. Terbayang sejenak, bagaimana Ken Umang berusaha untuk menyeretnya kedalam pengaruhnya. Tetapi untunglah bahwa ia masih cukup sadar untuk mempertahankan dirinya. Bahkan setelah Ken Umang itu berada di istana, ia masih saja berusaha menjebaknya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi atas dirinya ternyata telah menjauhkannya dari setiap perempuan. Ken Dedes yang kemudian dengan Tunggul Ametung dan kemudian Ken Umang yang memuakkan itu, membuatnya seakan-akan tidak lagi dapat disentuh oleh perasaan yang wajar bagi seorang laki-laki. Pernah ia tergerak melihat seorang perempuan Kediri yang dijumpainya ketika ia sedang dikejar-kejar oleh pemburu-pemburu manusia yang tidak mengenal perikemanusiaan. Tetapi ketika beberapa lamanya ia tidak melihat, maka ia sama sekali tidak lagi dapat membayangkan wajah itu, yang seakan-akan menjadi beku sebeku hatinya.
Dan kini ternyata bahwa laki-laki yang berhasil ditundukkan oleh Ken Umang itu telah kehilangan pegangan hidupnya, meskipun ia seorang Maharaja yang telah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang luas ini.
"Sebenarnya Sri Rajasa adalah orang yang paling berjasa mempersatukan Singasari. Tetapi agaknya ia hampir terjerumus untuk menghancurkannya sendiri. Jika ia berhasil mengangkat Tohjaya sebagai penggantinya, maka Singasari yang dengan susah payah diikatnya menjadi satu ini, pasti akan pecah berserakkan" berkata Mahisa Agni didalam hati.
Namun ia masih belum berhasil menguasai kegelisahan dihatinya. Karena itu, maka iapun kemudian melangkah keluar dan berdiri di muka pintu bangsalnya memandang kekajuhan. Desir angin yang lembut mengusap keningnya dan membuat tubuhnya menjadi agak segar.
Ketika terpandang olehnya daun-daun kuning yang berguguran ditanah maka iapun bergumam didalam hati, "Memang yang sudah tidak berguna lagi harus diruntuhkan seperti daun-daun yang kuning itu"
Sekilas Mahisa Agni melihat dua orang prajurit dari pasukan pengawal lewat didepan bangsalnya. Keduanya menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar, bahwa sebagai wakil Mahkota di Kediri, maka iapun mendapat pengawalan yang cukup selama ia berada di Singasari.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang masih berbaring dipembaringannya menjadi berdebar-debar. Anusapati pasti akan segera datang kepadanya setelah ia mengetahui bahwa Mahisa Agni telah datang kepadanya.
Tetapi ternyata bahwa Anusapati telah datang lebih dahulu kepada Mahisa Agni. Tanpa ragu-ragu ia langsung datang kebangsal pamannya itu.
"Kau datang kemari?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku tidak peduli lagi paman" berkata Anusapati, "apapun tanggapan orang terhadapku. Dan aku harap pamanpun bersikap demikian sekarang ini. Agaknya semuanya menjadi semakin buruk"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Masuklah"
Keduanyapun kemudian duduk diruang dalam. Dengan wajah yang tegang Anusapati berkata, "Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda?"
"Aku sudah menengok tuan Puteri"
"Apakah yang paman katakan dengan ibunda"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ibundamu mengatakan bahwa sekarang cucunya sudah besar. Sudah mulai berlatih naik kuda dan berkelahi. Bukankah puteramu dengan putera Mahisa Wonga Teleng tidak terpaut banyak sehingga keduanya dapat bermain bersama-sama. Dan yang terpenting berlatih bersama jika keduanya mulai tertarik?"
Anusapatipun menarik nafas panjang pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Ya paman. Anak itu nakal sekali. Keduanya sudah mulai berlatih naik kuda. Aku tidak tahu, kenapa hal itulah yang pertama-tama mereka minta sejak mereka menjadi semakin besar"
"Asal keduanya mendapat pelatih yang baik dan dapat dipercaya, karena keduanya masih terlampau muda. Bahkan mereka masih kanak-kanak untuk menanggapi keadaan yang kini sedang berkecamuk di istana ini"
Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya, "Kadang-kadang aku sendirilah yang mengajari mereka. Tetapi kini rasa-rasanya aku tidak sempat melakukan meskipun aku tidak berbuat apa-apa. Pekatikku yang baiklah yang kini aku serahi mengawasi keduanya. Dan adalah kebetulan sekali, aku mendapatkan dua ekor kuda yang tidak terlampau besar"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Anusapati sudah mendahuluinya, "Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda dan mempersoalkan keadaanku sekarang?"
"Aku sudah bertemu dengan ibumu. Tetapi baru sejenak"
"Apakah yang paman katakan kepada ibunda tentang aku?"
"Anusapati" berkata Mahisa Agni, "sebaiknya ibumulah yang mengatakan kepadamu. Tetapi jangan membuatnya gelisah dan cemas. Berbuatlah seperti biasa. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu, agar hati ibumu menjadi tenang"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian parah, bagaimana mungkin ia dapat berbuat seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Paman, aku sudah mengutarakan semua isi hatiku kepada ibunda. Bahkan aku telah kehilangan pribadiku sebagai seorang laki-laki dan apalagi sebagai seorang Putera Mahkota, ketika aku tiba-tiba saja menjadi cengeng dan menangis dihadapan ibunda Permaisuri. Apakah jika aku sekarang menghadap aku dapat menghapuskan semua kesan yang pernah terlahir dari sikapku sebelumnya?"
Mahisa Agni meangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, "Tentu Anusapati. Kau tidak dapat berbuat lain dari pada mengulangi keluhanmu. Tetapi jika kemudian ibundamu mengatakan sesuatu kepadamu, menasihatimu atau memberikan petunjuk-petunjuk kepadamu, janganlah kau tanggapi semata-mata dengan perasaanmu. Kau harus bersikap sebagai seorang laki-laki. Kau harus mencoba mencapai keseimbangan antara perasaan dan nalar sehingga kau tidak terjerumus kedalam sikap yang tergesa-gesa dan apalagi menyusahkan ibundamu"
Anusapati yang menundukkan kepalanya menangkap sesuatu yang tersirat didalam kata-kata Mahisa Agni. Seakan-akan sudah terngiang ditelinganya sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "Baiklah paman, aku akan pergi menghadap ibunda"
"Nah, bukankah kau sudah mulai dirayapi oleh perasaanmu tanpa menghiraukan nalar. Seharusnya kau mendengarkan aku sampai selesai"
"Apakah paman belum selesai?"
"Aku belum mengatakan selesai"
"Duduklah dengan tenang. Aku ingin melanjutkan keteranganku" Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "ibundamu sudah menjadi semakin tua. Kau harus mengingat akan hal itu, sehingga setiap tindakanmu pasti akan kau pertimbangkan baik-baik dengan keadaan ibumu. Selain dari itu, anakmu menjadi semakin meningkat umurnya. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang anak remaja yang gagah dan nakal. Ia memerlukan tuntunan dan perlindunganmu"
Terasa detak jantung Anusapati menjadi semakin keras. Ia sadar, bahwa jika ia salah langkah, maka akibatnya akan sangat pahit baginya dan bagi keluarganya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Baiklah paman. Aku akan mencoba mengendalikan diriku. Aku akan mencoba bersikap sebaik-baiknya agar aku tidak tenggelam dalam arus perasaanku semata-mata"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Anusapati sejenak. Lalu, "Jika demikian, maka bersiaplah. Pergilah menghadap ibundamu dengan hati yang tenang dan penuh pengertian. Ibundamu bukan tempat untuk menumpahkan segala kesalahan. Mungkin kata-kataku agak aneh bagimu. Dan mungkin membuat kau semakin berdebar-debar. Tetapi ingatlah. Kau harus berusaha membuat ibundamu berbahagia dihari tuanya"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku mengerti paman. Sebenarnyalah bahwa aku menjadi berdebar-debar. Aku merasa seakan-akan aku akan dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya. Tetapi aku berjanji, aku berjanji bahwa aku akan bersikap baik dan menjaga perasaan ibunda agar ibunda tidak menjadi gelisah dan bingung" Namun didalam hati Anusapati berkata terus, "Biar aku sajalah yang menjadi bingung sepanjang umurku"
Demikianlah Anusapatipun kemudian meninggalkan bangsal tempat tinggal Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Dengan kepala tunduk Anusapati berjalan perlahan-lahan. Ia tidak melihat ketika dua orang prajurit yang berpapasan dengannya menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tampaknya Putera Mahkota selalu bersedih akhir-akhir ini" gumam salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Ya. Tampaknya memang ada sesuatu yang mengganggu perasaannya" jawab yang lain.
"Adiknya itu selalu mengadu kepada Sri Rajasa. Dan Sri Rajasa semakin nampak berpihak kepadanya. Bahkan pernah Sri Rajasa marah kepada Putera Mahkota didalam sidang para pemimpin Singasari dan yang tidak dapat dimengerti, Sri Rajasa telah mengancam Putera Mahkota, bahwa kedudukannya bukan kedudukan mati"
"Aku juga mendengar" sahut yang lain, "dan kami yang tua-tua ini tentu tahu apakah sebabnya, setidak-tidaknya pernah mendengar desas-desus tentang Putera Mahkota"
"Tentang apa?" "Siapakah Putera Mahkota yang sebenarnya"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Tetapi hal itu seharusnya sudah dilupakan. Apalagi Sri Rajasa sudah mengangkatnya menjadi Putera Mahkota"
"Seharusnya. Tetapi kadang-kadang orang berbuat diluar keharusan, atau karena kekuasaan maka tidak ada keharusan yang dapat mengikatnya. Kekuasaannya itulah suatu bentuk keharusan yang dikehendakinya sendiri dan bahkan dapat dipaksakannya kepada orang lain"
Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, "Jika kau yang berkuasa, maka kau dapat berbuat apa saja yang kau kehendaki. Dan orang lain harus tunduk kepada kemauanmu. Begitu?"
Yang lain memandanginya sejenak. Namun kemudian ia bersungut-sungut, "Jika aku berkuasa, aku gantung kau diregol depan dengan kakimu diatas. Setiap orang harus memukul perutmu seperti memukul kentongan"
Kawannya berbicara tertawa. Lalu, "Belum lagi berkuasa kau sudah menjadi seorang pemarah"
Keduanyapun kemudian terdiam. Ketika mereka berhenti sejenak disudut bangsal, mereka masih melihat Anusapati berdiri termangu-mangu. Namun Putera Mahkota yang tidak pernah merasa perlu membawa seorang pengawalpun itu melangkah lagi menuju kebangsal Permaisuri.
Ketika Anusapati sampai di halaman bangsal itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Serasa ia akan memasuki rumah seorang Panglima perang yang akan memberikan perintah kepadanya untuk maju kemedan perang.
Karena itu, maka sekilas teringat anak laki-laki yang menjadi semakin besar. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang remaja yang tampan.
"Kalau terjadi sesuatu, taruhanku adalah seluruh keluarga" berkata Anusapati didalam hatinya "Aku, isteriku dan anakku pasti akan menjadi korban. Mungkin menjadi pangewan-ewan di alun-alun. Mungkin dihukum picis disimpang empat atau digantung berjajar didepan regol istana. Bahkan mungkin ibunda Permaisuri akan diikut sertakan dalam kesalahan ini"
Namun sekilas terbayang wajah Mahisa Agni yang perkasa. Dan timbullah pertanyaan didalam hatinya, "Apakah paman Mahisa Agni akan tetap berdiam diri. Bukankah di istana ini ada juga paman Sumekar" Jika terjadi sesuatu, paman Mahisa Agni tentu akan melibatkan paman Witantra, paman Mahendra dan paman Kuda Sempana. Tentu tidak hanya empat orang itu, tetapi pasti ada pengikut-pengikut yang dapat bergerak sekedar mengguncang kekuasaan Sri Rajasa. Apalagi paman Mahisa Agni pernah menjadi panglima pasukan yang terdiri dari orang-orang Kediri itu sendiri ketika ia memecah Kediri waktu itu. Dalam keadaan yang tersudut, ia pasti masih mampu menggerakkan orang-orang itu dan bekas-bekas prajurit Kediri yang menyimpan dendam meskipun umur mereka menjadi semakin tua seperti paman Mahisa Agni. Bahkan para bangsawan di Kediri yang sampai sekarang masih diberi wewenang memerintah dibawah pengawasan paman Mahisa Agni pasti merasa lebih dekat dengan paman Mahisa Agni daripada kepada ayahanda Sri Rajasa, dan apalagi adinda Tohjaya"
Memang sering terpercik didalam hati Anusapati suatu angan-angan, apakah kira-kira yang dapat terjadi jika ia minta kepada pamannya Mahisa Agni untuk merubah kekuasaan yang ada di Singasari dengan kekerasan. Tetapi ia tidak pernah dapat mengatakannya meskipun ia yakin bahwa Mahisa Agni mempunyai cukup kekuatan untuk itu. Namun sebagai seorang yang mencintai kesatuan Singasari yang sudah bulat itu, Anusapati tidak dapat berbuat demikian. Jika ia memaksa pamannya untuk melawan Sri Rajasa, berarti di Singasari akan pecah perang besar yang akan memecah belah kesatuan yang dengan susah payah sudah dihimpun oleh Sri Rajasa.
"Aku harus membedakan antara ayahanda yang sekarang terlampau memanjakan Tohjaya dengan hasil kerja yang besar dari ayahanda itu" berkata Anusapati didalam hatinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyadari bahwa pengertian itu diperolehnya dari tuntunan pamannya Mahisa Agni.
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melangkah kepintu bangsal ibunda yang terbuka. Sekali ia berpaling kearah prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu. Tampaknya prajurit itu tidak begitu menghiraukannya. Setelah membungkukkan kepalanya, maka prajurit itupun kemudian memandang lagi kejauhan dengan tatapan mata yang kosong.
Sejenak kemudian maka Anusapatipun melangkah kembali masuk kcdalani bilik ibunya. Ternyata ibunya berbaring seorang diri. Adik-adiknya tidak berada didalam bilik itu.
"O, kau Anusapati" sapa Ken Dedes yang kemudian segera bangkit dari pembaringannya. "Duduklah"
Anusapatipun kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu yang rendah disamping pembaringan ibunya itu.
"Baru saja Mahisa Wonga Teleng meninggalkan bangsal ini" berkata Ken Dedes kemudian, "adik-adikmu yang lain ikut bersamanya"
"O" Anusapati mengangguk.
"Aku sudah menyangka bahwa kau akan kemari"
Anusapati mengerutkan keningnya. Dan ibundanya berkata pula, "Apakah kau sudah menemui pamanmu?"
Anusapati mengangguk, "Ya ibunda, hamba baru saja menghadap pamanda Mahisa Agni"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Semuanya memang harus berakhir. Dan kedatangan Anusapati kini adalah permulaan dari akhir yang bagaimanapun bentuk ujudnya.
Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, "Apakah pamanmu mengatakan sesuatu kepadamu?"
Anusapati menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak ibu. Pamanda Mahisa Agni tidak mengatakan apa-apa kepada hamba, selain beberapa macam nasehat"
"O" Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan pamanda Mahisa Agni mengharap hamba untuk dengan tenang menghadapi segala macam masalah. Hamba tidak boleh kehilangan akal dan bertindak tergesa-gesa"
Ken Dedes mengangguk-angguk pula. Katanya, "Memang semuanya harus segera menjadi jelas. Ibulah yang berkewajiban untuk mengatakan kepadamu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia berdiri dihadapan sebuah ruang yang gelap pekat. Seseorang siap untuk menyalakan obor didalamnya. Dan ia akan melihat isi dari ruang yang akan segera menjadi terang. Mungkin didalam ruang itu ada seekor harimau yang siap menerkamnya, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng dengan tanduknya yang runcing. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa didalam ruang yang gelap itu terdapat seekor burung merak yang indah atau seekor kijang yang jinak.
Karena itulah maka Anusapati menjadi berdebar-debar. Jantungnya semakin lama semakin keras berdetak dan rasa-rasanya darahnya menjadi semakin cepat mengalir.
Tetapi justru karena itu ia ingin segera melihat, rahasia apakah yang sebenarnya tersimpan dirongga dada ibundanya.
"Mungkin perasaan ibunda akan menjadi ringan setelah ibunda melepaskan rahasia yang agaknya sudah lama tersimpan itu" berkata Anusapati didalam hatinya, "apapun akibatnya buat aku dan adik-adikku"
Sejenak kemudian Anusapati mengangkat wajahnya ketika ibunya berkata, "Kemarilah Anusapati, mendekatlah"
Anusapati memandang ibunya sejenak. Nafasnya terasa semakin berdesakan dilubang hidungnya.
"Sudah sepantasnya kau mendengar" berkata ibunya, "kau sudah cukup dewasa sekarang. Bukan saja dewasa, tetapi kau sudah mempunyai seorang anak yang menjadi semakin besar pula. Dan sebaliknya, jika kalian masih akan berkembang terus, maka ibumu akan menjadi semakin layu. Seperti matahari, ibumu sudah akan tenggelam diujung Barat"
Anusapati menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ibunya yang kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik itupun kemudian melanjutkannya, "Anusapati. Kau dapat melemparkan kesalahan kepadaku, kepada ibumu, bahwa semuanya telah terjadi dan membuat kau sangat berprihatin"
Anusapati sama sekali tidak menjawab.
"Setiap kali kau datang kepadaku, setiap kali hatiku menangis lebih parah dari titik air mataku yang kau lihat mengalir dari pelupukku, karena aku tahu jauh lebih banyak dari apa yang aku katakan"
Anusapati menggigit bibirnya. Ia memang sudah merasa jahwa ibunya tentu menyembunyikan sesuatu.
"Dan sekarang rahasia ini tidak dapat aku simpan lebih lama lagi justru mengingat kedudukanmu yang semakin goyah. Jika hal ini aku lakukan, sama sekali bukan karena aku inginkan untuk tetap berada pada kedudukanku yang sekarang, tetapi adalah karena suatu perbandingan, apakah yang sebaiknya terjadi di Singasari"
Anusapati yang untuk beberapa saat hanya berdiam diri itupun kemudian menjawab, "Ya ibunda"
Namun demikian, hatinya seakan-akan tidak lagi dapat malahan kesabaran untuk segera mengetahui apakah yang akan dikatakan oleh ibunya itu. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya dan memaksa ibunya untuk segera mengatakannya.
"Anusapati" berkata ibunya, "setiap kali kau selalu bertanya, kenapa sikap ayahanda Sri Rajasa kepadamu dan kepada adik-adikmu, terutama Tohjaya terasa tidak adil"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Anakku. Yang sudah kau lihat, kau adalah anakku, sedang Tohjaya adalah anak Ken Umang. Aku adalah seorang perempuan yang lain dari Ken Umang. Aku tidak dapat membuat Sri Rajasa mengasihi anak-anakku seperti Sri Rajasa mengasihi anak-anak Ken Umang. Dan ini adalah kesalahanku"
Anusapati menundukkan kepalanya. Jika ibunya bersikap demikian, dan mencari kesalahan pada diri sendiri, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Dan agaknya ia sama sekali tidak menjumpai harimau, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng liar bertanduk runcing didalam ruang yang gelap itu. Tetapi ia akan melihat ibunya sedang mencekik dirinya sendiri. Dan itu tidak boleh terjadi.
"Karena itu Anusapati" ibunya melanjutkan.
"Aku tidak ingin mendengar ibu mengutuk diri sendiri. Jika memang hal itu yang akan ibu katakan, maka agaknya lebih baik hamba tidak mendengarnya, karena hal itu justru akan menambah hati hamba menjadi semakin parah. Lebih baik ibu marah kepada hamba, atau ibu memberikan perintah untuk suatu tugas yang berat dalam usaha membebaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggu hati"
Ken Dedes memandang anak laki-lakinya itu dengan hati yang pedih.
"Aku akan mengatakannya Anusapati" berkata Ken Dedes dengan suara parau.
Anusapati mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itupun segera tertunduk kembali.
Sejenak Anusapati menunggu, tetapi ia tidak mendengar kata-kata ibunya. Bahkan iapun terperanjat ketika ia merasa ibunya memeluknya dari belakang dan membelai kepalanya seperti ia membelai anaknya yang masih terlalu muda. "Anusapati" berkata ibunya, "dengarlah. Adalah wajar jika Sri Rajasa tidak mengasihmu seperti adik-adikmu, terutama Tohjaya. Bukan saja karena aku tidak dapat melayani Sri Rajasa seperti Ken Umang, tetapi ada sebab lain yang jauh lebih dalam dari perbedaan ibu itu"
Dada Anusapati terasa berdesir mendengar kata-kata ibunya itu. Dengan penuh minat ia menatap wajah ibunya yang melanjutkan kata-katanya, "Anusapati, apakah kau sudah siap mendengar penjelasanku lebih lanjut?"
Anusapati mengangguk. Dengan suara yang dalam ia menjawab, "Hamba sudah terbiasa mendengar persoalan-persoalan yang pahit bagiku ibu. Apapun yang akan hamba dengar, tidak akan menggetarkan dadaku lagi"
Tetapi ibunya menggeleng. Jawabnya, "Kau justru pernah menitikkan air mata Anusapati"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
"Dengarlah" berkata ibunya sambil membelai rambut naknya, "mungkin kata-kataku akan terdengar aneh ditelingamu dan akan membuat hatimu sakit. Tetapi kau harus mengetahuinya" suara abunya menjadi sendat. Tetapi diteruskannya, "Sebenarnyalah bahwa kau bukan putera Sri Rajasa"
"Ibu" Anusapati hampir terpekik. Tetapi ibunya memeluknya erat-erat.
"Ya Anusapati. Kau lahir bukan karena tetesan darah Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi"
Kata-kata ibunya itu cukup jelas terdengar ditelinga Anusapati. Betapapun ia menjaga keseimbangan perasaannya, namun tiba-tiba saja ia terlonjak berdiri sambil mengibaskan pelukan ibunya. Dengan sorot mata yang seakan-akan menyala ia memandang Permaisuri dengan tajamnya.
"Jadi, jadi" suara Anusapati tergagap.
Namun dalam pada itu, setelah melepaskan kata-kata yang selama ini membebani perasaannya, justru Ken Dedes menjadi tenang. Didekatinya anaknya sambil berkata, "Anusapati. Itulah kenyataanmu anakku"
"Jadi-jadi, jadi, siapakah hamba sebenarnya" Apakah hamba juga bukan putera ibunda Permaisuri?"
"Kau anakku Anusapati. Aku adalah ibumu. Ibu kandungmu"
"Tetapi kenapa aku bukan putera Sri Rajasa" Apakah, apakah pernah terjadi sesuatu . . . . " Anusapati tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Namun agaknya ibunya mengerti apa yang tersirat dihati anaknya sehingga ia menyahut, "Tidak Anusapati. Tidak ada pelanggaran pagar ayu dan tidak ada perbuatan terkutuk dimasa kegadisanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kawin dengan Sri Rajasa setelah aku menjadi janda"
"Ibu" mata Anusapati terbelalak karenanya.
"Kau adalah Putera Akuwu Tunggul Ametung yang dahulu berkuasa di Tumapel. Sri Rajasa yang kemudaan menggantikan kedudukannya, berhasil mempersatukan Tumapel dan Kediri serta daerah-daerah lainnya sehingga disebutnya kemudian Singasari. Sebagian dari perjuangan Sri Rajasa mempersatukan Singasari pasti masih ada yang kau ingatnya"
Anusapati berdiri tegak seperti patung. Meskipun benar seperti apa yang dikatakannya, bahwa ia sudah terbiasa mendengar kata-kata keras, kasar dan sindiran-sindiran tajam yang menyakiti hatinya, namun pengakuan ibunya itu benar-benar telah membuatnya bagaikan kehilangan perasaan. Bahkan bagaikan kehilangan dirinya sendiri.
"Anusapati" berkata ibunya kemudian, "cobalah kau menanggapi hal ini dengan sikap dewasa. Bukankah kau sudah siap mendengar keteranganku yang bagaimanapun pahitnya bagimu"
Anusapati masih belum menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, "Ibu, jika demikian, maka Tohjaya sama sekali tidak ada hubungan darah dengan hamba"
Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk.
"Jika demikian apa gunanya hamba selama ini merendahkan diri dan membiarkan diriku dihinakannya" tiba-tiba wajah Anusapati menjadi tegang, "Hamba tidak peduli lagi akan anak itu. Hamba harus membuat perhitungan"
"Anusapati" Anusapati tidak menghiraukannya. Wajahnya sudah menjadi semerah nyala dimatanya. Namun sesaat sebelum ia meloncat, ibunya sudah berlari memeluknya. Dengan nada yang dalam ibunya berkata, "Anusapati. Kau sudah berjanji untuk mendengar keteranganku dengan hati yang tenang. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu"
"Lepaskan hamba ibu. Lepaskan. Buat apa hamba membiarkan diriku terhina jika aku sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan Tohjaya" Hanya karena hamba hormat kepada Sri Rajasa yang hamba anggap ayah kandung, itulah hamba tidak berbuat apa-apa atasnya. Tetapi ternyata bahwa hamba bukan anak Sri Rajasa"
"Tenanglah Anusapati. Semua tindakan yang tergesa-gesa tidak akan menguntungkan. Tentu Sri Rajasa tidak akan membiarkan anaknya mengalami bencana"
"Biarlah hamba dibunuhnya. Tetapi hamba mendendamnya"
"Jangan memanjakan dendam didalam hati. Tenanglah"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya terasa semakin erat ditubuhnya. Bahkan kemudian setitik air yang hangat meleleh ditangannya.
"Anusapati, aku adalah ibumu. Apakah kau masih mau mendengarkan kata-kataku"
Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
"Anusapati, apakah kau masih mau mendengar keteranganku?"
Jilid 25 " Manggis Putih
ANUSAPATI tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berusaha untuk melepaskan tangan ibunya yang memeluknya erat-erat seperti memeluk anak-anak yang sedang menangis meronta-ronta.
"Anusapati" suara ibunya lirih tetapi serasa meresap sampai kepusat jantung, "endapkan perasaanmu. Jangan kau biarkan hatimu melonjak-lonjak. Aku mengerti perasaanmu anakku. Bahwa kau seakan-telah melihat wajahmu sendiri di wajah air yang bening tenang. Seolah-olah kau melihat bahwa wajahmu bukan lagi wajah keturunan dewa-dewa, tetapi kau melihat dirimu sebagai manusia biasa. Tetapi jangan menyesali diri. Bahwa apa yang kita terima dari yang Maha Agung adalah yang paling baik buat kita"
Anusapati tidak menjawab. Kepalanya perlahan-lahan tertunduk dalam-dalam. Terasa didada ibunya, nafas anaknya yang seakan-akan mengalir seperti banjir.
"Duduklah Anusapati"
Anusapati tidak dapat menilai sikapnya sendiri. Perlahan-lahan ia duduk diatas dingklik kayu dan ibunyapun melepaskannya dari pelukannya.
"Jangan terbakar oleh kenyataan yang memang harus kau hadapi"
Anusapati mengangguk. Dengan suara yang parau ia berkata, "Ibu, jika demikian, maka siapakah sebenarnya hamba" Siapakah Akuwu Tunggul Ametung dan siapakah ibunda sendiri dihadapan Akuwu dan Sri Rajasa"
"Anusapati" berkata ibunya kemudian, "seperti yang aku katakan, aku adalah Permaisuri Akuwu Tunggal Ametung di Tumapel. Tetapi ketika aku sedang mulai mengandung, maka Akuwu Tunggul Ametung meninggal dunia. Dalam kesepian yang pedih, hadirlah seorang anak muda bernama Ken Arok, sehingga akhirnya aku dikawininya. Karena itulah maka kau lahir setelah aku menjadi Permaisuri Ken Arok yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung"
Wajah Anusapati yang tunduk menjadi semakin tanduk. Namun dalam pada itu, didalam dadanya bergolak berbagai macam perasaan. Kadang-kadang ia dapat mengerti apa yang telah terjadi. Tetapi keagungan cintanya kepada ibunya, rasa-rasanya melonjak ketika ia mendengar, bahwa ibundanya kawin dengan Ken Arok begitu cepat setelah ayahnya meninggal, sehingga ketika ia lahir ibundanya telah menjadi Permaisuri Ken Arok, yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.
Demikianlah maka rasa-rasanya ibundanya sama sekali tidak menjadi berduka cita atas kematian ayahandanya. Bahkan dengan segera ia telah berhasil menggantungkan cintanya kepada orang lain.
Dan tiba-tiba saja, diluar sadar bibirnya telah bergetar dan melontarkan kata-kata, "Apakah ibunda tidak mencintai Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga iapun bertanya, "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Ibu, jika ibu mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung seperti yang ibu katakan, apakah ibu dapat melakukannya" Belum lagi api pembakaran mayat ayahanda padam, ibunda telah melangsungkan perkawinan dengan orang yang ibunda sebut bernama Ken Arok dan yang kemudian menjadi Akuwu di Tumapel, dan yang sekarang ini bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
"Kau salah mengerti anakku. Aku mencintai ayahandamu Akuwu Tunggul Ametung. Kematiannya membuat aku kesepian dan kehilangan pegangan. Pada saat itu hadir orang yang dapat memberi aku jalan pelepasan"
"Dan ibu segera melupakan ayahanda dan kawin dengan laki-laki itu. Bukan saja ibunda dikawininya, tetapi hak atas Tumapel itupun sekaligus ibunda serahkan kepadanya"
"Anusapati" Dan tiba-tiba saja Anusapati menjadi kehilangan pengamatan dirinya. Tekanan perasaan yang tidak tertahankan membuatnya bagaikan terbakar. Karena itu maka katanya kemudian dengan suara parau, "Jika ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung, maka tidak begitu mudahnya ibunda mencintai orang lain. Dan jika ibunda tidak mencintai Sri Rajasa, ternyata ibunda adalah seorang yang mendambakan nafsu semata-mata"
"Anusapati" "Ibunda. Bukankah yang terjadi sekarang ini akibat dari perbuatan dosa ibunda itu" Hambalah yang sekarang harus menanggung akibatnya. Dihinakan dan disisihkan dari hubungan kasih keluarga tanpa mengetahui sebab musababnya. Baru sekarang hamba tahu, bahwa bukan salah Sri Rajasa, bukan salah Tohjaya dan bukan salah siapapun juga. Sebenarnyalah bahwa hamba memang bukan keluarga mereka. Dan hamba memang pantas untuk dihinakan dan dijauhkan dari kasih keluargaku"
"Cukup Anusapati, cukup. Aku sudah mengatakan, bahwa akulah yang bersalah. Akulah yang telah berbuat dosa. Tetapi bukan maksudku untuk membuat kau menderita karenanya. Meskipun kau bukan putera Sri Rajasa, tetapi kau tetap mendapatkan hakmu sebagai Putera Mahkota"
"Apakah artinya kedudukan itu sekarang ibunda. Hamba pasti sudah menjadi sampah di halaman istana ini jika tidak ada paman Mahisa Agni. Hamba pasti tidak akan bernilai lebih baik dari seorang juru taman jika paman Mahisa Agni tidak berbuat sesuatu yang mengagumkan atas hamba. Paman Mahisa Agnilah yang membuat hamba diterima oleh rakyat Singasari karena mereka menganggap bahwa hambalah Kesatria Putih itu seutuhnya. Dan itu adalah hasil perbuatan paman Mahisa Agni, seperti juga kemampuan yang hamba miliki sekarang, sehingga hamba selamat dari kematian oleh tangan Kiai Kisi"
Ken Dedes terhenyak dipembaringannya. Dengan kedua belah tangannya ia menutup wajahnya yang basah karena air mata. Namun agaknya dada Anusapati masih juga pepat, sehingga ia masih juga berkata, "Dan sekarang hamba harus melihat bahwa diri hamba sebenarnya tidak lebih dari seorang anak yang sudah tidak berbapa. Hamba adalah seorang yang memang sebenarnya tidak berharga bagi Sri Rajasa, karena hamba adalah anak orang lain. Anak yang ditinggalkan didalam perut ibunda oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan Ken Arok. Bahkan hamba adalah manusia yang paling terkutuk dimata Ken Arok itu karena setiap kali Sri Rajasa melihat hamba, maka pasti ia akan teringat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Betapa bencinya Ken Arok terhadap Akuwu Tunggul Ametung karena Akuwu itu telah merampas kegadisan Ibunda dimasa muda dan meninggalkan seorang anak laki-laki yang akan tetap membuatnya terkenang atas kekecewaannya itu. Dan apalagi anak laki-laki itu sekarang merasa dirinya berhak untuk menyebut dirinya Putera Mahkota" suara Anusapati terputus sejenak. Lalu, "alangkah malunya hamba kepada diri sendiri. Jika aku tahu tentang diri hamba, maka hamba tidak akan menerima kedudukan itu. Hamba akan manyingkir dari istana ini dan mengikuti paman Mahisa Agni dipadepokan yang terpencil itu. Paman Mahisa Agni pasti akan rela melepaskan kedudukan yang betapapun tingginya, karena sebenarnya paman Mahisa Agni sama sekali tidak menginginkannya, ia ada didalam istana pada waktu itu hanya semata-mata karena hamba. Dan ia kini berada di Kediri sebagai wakil Mahkota, adalah karena paman ingin tetap mempunyai pengaruh dalam pemerintahan Singasari juga semata-mata karena hamba"
"Kau salah Anusapati" sahut ibunya disela-sela isaknya yang tertahan, "pamanmu Mahisa Agni mengasihimu. Tetapi jangan disangka bahwa pamanmu tidak mencintai Singasari. Semua yang diperbuatnya adalah untuk Singasari"
"Hamba tahu ibu. Tetapi Singasari bagi paman Mahisa Agni bukan sekedar kekuasaan Sri Rajasa. Singasari adalah keseluruhan wadah dan isinya. Dan Singasari adalah suatu kesatuan yang utuh sekarang ini. Tetapi paman Mahisa Agnipun tahu, bahwa Singasari sedang diancam oleh ketamakan seorang isteri dan anak dari yang berkuasa sekarang. Jika hamba mengatakan bahwa paman Mahisa Agni telah berbuat banyak sekali untuk hamba sakarang ini, hamba yang sudah terlanjur menjadi Putera Mahkota itupun adalah karena pamanda Mahisa Agni mencintai Singasari dan mengasihi hamba. Jika tidak, maka paman Mahisa Agni tidak akan membina hamba menjadi seorang yang mampu berbuat sesuatu seperti sekarang ini, dan paman Mahisa Agni tentu tidak akan berusaha membendung kekuasaan yang akan melimpah kepada tangan yang menurut paman Mahisa Agni tidak akan dapat mempertahankan dan apalagi mengembangkan Singasari yang sekarang ini. Jika paman Mahisa Agni tidak mempedulikan hamba, tetapi semata-mata mempedulikan Singasari, maka ia akan dapat berbuat lain dari yang dilakukannya sekarang. Tetapi jika paman Mahisa Agni hanya mengasihi hamba dan tidak mengingat Singasari, maka alangkah baiknya jika hamba pergi kepada paman Mahisa Agni di Kediri dan bersama-sama memberontak. Maka pasti Singasari akan pecah dan kemungkinan terbesar kami akan menang. Tetapi Singasari akan digenangi darah rakyatnya yang sedang berusaha mengembangkan negeri ini"
Ken Dedes tidak lagi dapat membendung air matanya yang mengalir semakin banyak. Bahkan kemudian terdengar isaknya semakin lama menjadi semakin keras. Dan tiba-tiba saja diantara tangisnya ia berkata, "Sudah aku katakan Anusapati. Aku memang bersalah. Jika aku tidak bertemu dan tidak menerima orang itu disaat aku kehilangan Akuwu Tunggal Ametung, maka keadaannya akan jauh berbeda. Sebenarnyalah bahwa aku akan memilih hidup dipadepokan jika aku mendapat kesempatan. Tetapi tidak. Aku tidak dapat memilih selain harus pasrah diri di istana Tumapel"
"Tentu tidak. Ibunda tentu akan dapat memilih. Jika ibunda tetap berbakti kepada ayahanda Tunggul Ametung, dan jika ibunda benar-benar mencintainya, maka ibunda tidak akan melakukannya meskipun orang yang bernama Ken Arok itu setiap hari duduk berimpuh dibawah kaki ibunda, namun yang kini akhirnya telah menginjak tengkuk keturunan ibunda. Tentu pada saat ibunda menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung, ibunda merasa sangat berbahagia, tetapi bukan karena mencintai Akuwu Tunggul Ametung. Ibunda saat itu hanya memandang bahwa ibunda menerima lamaran seorang Akuwu, sedangkan ibunda adalah seorang gadis padepokan. Tetapi karena itulah, maka sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung, maka seketika itu pula ibunda sudah barhasil melupakannya"
"Anusapati" "Kenapa ibu tidak berani melihat wajah sendiri betapapun buruknya"
"Tidak. Tidak" tiba-tiba Ken Dedes berdiri. Dipandanginya wajah anaknya dengan tajamnya. Dan tiba-tiba saja diluar sadarnya ia berkata, "Kau salah. Sama sekali salah. Akuwu Tunggul Ametung tidak datang kepada ayahku untuk melamar sebagai lazimnya seorang laki-laki meminang seorang gadis. Tetapi aku telah dirampas dan dilarikannya dengan paksa. Aku telah diambilnya tanpa setahu ayahku, seorang pendeta dipadepokan Panawijen. Kakekmu telah kehilangan aku bukan karena lamaran seorang Akuwu"
Jawaban ibunya itu telah membuat dada Anusapati berdentangan. Semula ia ragu-ragu mendengar keterangan itu, seakan-akan bahwa ayahnya yang baru dikenalnya itu telah menculik ibunya yang bernama Ken Dedes itu dari padepokan, sehingga oleh hentakan berbagai perasaan didadanya, ia bahkan tidak mempercayainya. Kebenciannya kepada Sri Rajasa, yang tertahan-tahan dan yang tiba-tiba saja meledak setelah mengetahui bahwa Sri Rajasa sama sekali bukan ayahnya, meluap tanpa dapat dikendalikannya. Dan itulah sebabnya maka ia tidak dapat menelan kenyataan yang dihadapkan ibunya kepadanya, bahwa ayahnya yang sebenarnya itupun telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.
Karena itu maka katanya, "Ibunda. Ternyata bahwa ibunda telah memutar balikkan kenyataan. Hamba tidak dapat mengerti yang manakah yang benar. Ibunda mula-mula mengatakan bahwa ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian ibunda mengatakan bahwa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat kesalahan. Ibunda tidak diambil dari padepokan dengan upacara kebesaran lamaran seorang Akuwu, tetapi ibunda telah dilarikannya. Yang manakah yang harus hamba percaya. Tetapi bahwa ibunda telah mencintai Sri Rajasa itulah yang benar. Bahkan mungkin kematian ayahanda Tunggul Ametung adalah suatu hal yang menyenangkan sekali bagi ibunda, karena ibunda telah terlepas dari sangkar yang telah dibuat oleh Akuwu Tunggul Ametung"
"Anusapati" wajah ibunnya menjadi merah padam, "kau adalah anakku. Aku melahirkan kau dengan bertaruh nyawa. Sekarang kau berani menghinaku. Anusapati, apapun yang telah aku lakukan, tetapi aku mencintaimu. Kau adalah anakku yang selalu membuat aku prihatin. Aku mengharap kau kelak tidak mengalami masa-masa yang paling pahit didalam hidupmu. Dan kini selagi aku berusaha dengan segenap hati, kau . . . kau . . . " suara Ken Dedes terputus dikerongkongan.
Namun agaknya hati Anusapati telah tertutup. Kepahitan hidup dan kenyataan yang bercampur baur itu membuatnya kehilangan pegangan.
Karena itu maka katanya, "Ibunda. Kenapa ibunda masih juga mengatakan bahwa ibunda mencintai hamba, mencintai ayah" Jika ibunda mempertahankan kedudukanku sekarang sebagai Putera Mahkota, sebenarnya sama sekali bukan untuk kepentingan hamba, tetapi semata-mata karena ibunda ingin tetap duduk di atas kedudukan ibunda, seorang Permaisuri. Alangkah nistanya martabat seorang Permaisuri yang harus turun dari kedudukannya karena ada perempuan lain yang mendesaknya"
"Anusapati, Anusapati" Ken Dedes membentak hampir menjerit sehingga seorang emban yang mendengarnya diluar menjadi termangu-mangu. Tetapi justru karena ia mengetahui bahwa agaknya Permaisuri marah dan bahkan bertengkar dengan Putera Mahkota, ia sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya berdebar-debar.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang menjadi marah pula, justru kehilangan kemampuan untuk mengucapkan kata-kata. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia harus bertengkar dengan Anusapati. Anak yang selama ini membuatnya sangat berprihatin. Namun yang kemudian menjadi salah paham ketika ia mendengar kenyataan tentang dirinya itu.
Namun karena Ken Dedes seakan-akan menjadi terbungkam itulah, maka ternyata dadanya telah menggeletar. Yang tidak dapat diucapkannya itulah yang seakan-akan telah mengambang didalam dirinya, sehingga karena itulah maka tanpa disadarinya, dari dalam dirinya telah memancar cahaya yang hanya tampak oleh mata hati yang telah terbuka.
Ternyata bahwa selama ini, selama Anusapati mengalami pembajaan diri, serta dasar-dasar ilmu Gundala Sasra dan bahkan sekaligus kemampuan menyerapan dari kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, ternyata bahwa Anusapati yang muda itupun telah mampu mempergunakan mata hatinya diluar sadarnya. Dan itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja ia melihat cahaya yang menyilaukan dari tubuh ibunya. Tubuh yang disaat-saat tertentu seakan-akan telah memancar dalam bentuk yang berlainan.
Anusapati sejenak membeku ditempatnya. Namun cahaya yang silau itu rasa-rasanya langsung menusuk tubuhnya dan menghunjam jauh kepusat jantungnya, sehingga tiba-tiba saja ia menutup wajahnya sambil berkata, "Ibu, jangan ibu . . "
Sejenak Ken Dedes termangu-mangu. Ia tidak mengerti apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Namun dalam pada itu, meskipun Anusapati telah menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tetapi cahaya itu bagaikan menembus pelupuk matanya yang terpejam.
"Ibunda" tiba-tiba Anusapati berlutut, "ampun ibunda. Ampun"
Ken Dedes yang sedang marah itu tiba-tiba tergugah pula hatinya ketika ia melihat anaknya berlutut. Seakan-akan ia telah dihadapkan kembali kepada Anusapati dalam keadaan sehari-hari. Anak laki-lakinya yang selalu dirundung oleh kepahitan dan tekanan perasaan. Karena itulah maka hatinyapun manjadi cair. Perlahan-lahan ia mendekati anaknya dan sekali lagi dipeluknya kepala anaknya yang sedang berjongkok itu. Katanya, "Anusapati. Bangkitlah. Ibu tidak marah lagi"
Tetapi Anusapati masih memejamkan matanya dan menutup wajahnya meskipun terasa pelukan ibunya yang hangat.
"Anusapati, kenapa kau seakan-akan menjadi silau dan menutup wajahmu dengan tanganmu. Pandanglah, inilah ibumu"
Anusapati mendengar suara ibunya itu. Suara yang lembut. Karena itu, maka perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat tangannya yang menutup wajahnya itu.
Kini ia tidak melihat apapun lagi. Perlahan-lahan ia memandang ibunya yang masih memeluknya. Tetapi ibunya itu adalah ibunya yang dilihatnya setiap hari.
Karena itu, maka sadarlah Anusapati, bahwa sebenarnyalah bahwa ibunya bukannya orang kebanyakan. Bukannya gadis padepokan seperti gadis-gadis padepokan yang lain. Tetapi ibunya tentu mempunyai kelebihan. Meskipun Anusapati tidak tahu apakah arti dari cahaya yang seakan-akan memancar dari jantung ibunya itu, namun bagi Anusapati, cahaya itu pasti mempunyai arti yang dalam.
Dengan demikian maka sambil memeluk ibunya ia tidak dapat lagi menahan air matanya yang mengambang dipelupuknya. Katanya dalam nada yang berat terputus-putus, "Ampunkan hamba ibunda. Hamba ternyata telah berbuat kasar terhadap ibunda. Sama sekali bukan maksud hamba. Mungkin didorong oleh gejolak perasaan yang tidak dapat hamba kuasai lagi"
"Sudahlah Anusapati" sahut Ken Dedes sambil membelai rambut anaknya yang masih berjongkok sambil memeluknya, "jangan hiraukan lagi dan lupakanlah apa yang sudah terjadi. Terimalah kenyataan tentang dirimu dengan sikap dewasa. Alangkah beratnya bagi ibunda untuk menunjukkan kenyataan ini kepadamu. Mungkin karena ibunda tidak mempunyai keberanian, tetapi juga mungkin karena ibunda menunggu sampai ibunda yakin bahwa kau sudah cukup kuat menerima kenyataan ini, maka barulah sekarang ibunda mengatakannya"
"Ibunda" berkata Anusapati, "lalu apakah yang seharusnya hamba perbuat. Kini hamba telah dapat melihat kenyataan tentang diri hamba"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Cobalah, cernakan dahulu apa yang kau ketahui. Barulah kau berpikir dengan bening, apakah yang sebaiknya kau lakukan"
Anusapati mengangguk. Perlahan-lahan dilepaskannya ibunya. Dan dengan kepala tunduk iapun kemudian duduk diatas dingklik kayu sambil merenung.
"Ibu" tiba-tiba ia bertanya, "apakah sebabnya maka ayahanda Tunggul Ametung yang saat itu menjadi Akuwu Tumapel meninggal" Apakah ayahanda Tunggul Ametung memang sudah tua atau karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh para dukun yang paling pandai dari seluruh Tumapel?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mendebarkan. Jika Ken Dedes menjawab yang sebenarnya, maka ia cemaskan bahwa Anusapati akan mengalami kejutan lagi dan kehilangan pengamatan diri. Tetapi jika ia tidak berkata sebenarnya, maka niatnya untuk mengungkapkan kenyataan tentang anaknya itu sama sekali belum tuntas. Dengan demikian maka anaknya tidak akan dapat mengambil sikap yang telah didasari oleh pengertian yang bulat tentang dirinya. Mungkin ia justru menjadi putus asa dan kehilangan segenap gairah untuk hidup dan kehilangan cita-cita buat masa depannya. Tetapi mungkin dendam telah membakar jiwanya namun dengan sasaran yang tidak seharusnya. Jika dendam Anusapati semata-mata ditujukan kepada Tohjaya dan ia bertindak terhadap putera Sri Rajasa itu, maka ia akan mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ia dapat ditangkap dan dihukum seberat-eratnya. Padahal Tohjaya bukannya sasaran dendam yang sebenarnya.
"Tetapi apakah aku akan membiarkan anakku mendendam?" Ken Dedes bertanya kepada diri sendiri.
Sebuah persoalan cepat berkecamuk didalam hati Ken Dedes. Jika masalahnya tidak akan menyangkut masa depan anaknya, maka Ken Dedes sama sekali tidak akan membiarkan anaknya terjerumus kedalam dendam yang tidak ada ujungnya. Jika sekiranya Ken Arok tidak berusaha menyambut hari depan Anusapati, maka persoalannya pasti akan sudah dlupakan oleh Ken Dedes, meskipun ia sendiri mengalami kepahitan perasaan karena hadirnya Ken Umang. Hal itu adalah karena kesalahan yang telah dilakukannya sendiri. Tetapi bagi Anusapati, persoalan yang dihadapi bukan semata-mata persoalan dendam karena ayahnya telah terbunuh, tetapi yang lebih penting baginya adalah persoalan masa depannya. Karena itu jika Anusapati berbuat sesuatu, alasannya harus condong kepada kepentingan hari depan. Bukan semata-mata karena ia mendendam.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka Anusapatipun mendesak, "Ibunda, bukan maksud hamba untuk menggubah persoalan yang sudah lama berlaku. Tetapi apakah ibunda dapat mengatakan, apakah sebabnya ayahanda Tunggal Ametung meninggal dunia, selagi hamba belum lahir?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anakku. Persoalan ini bagaikan hantu yang selalu membayangi hati ibu. Tetapi karena aku sudah mengatakan sebagian dari kenyataanmu maka aku tidak akan menyembunyikannya lagi"
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi kini ia berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak diguncang oleh perasaannya dan kehilangan kendali. Apapun yang akan dikatakan oleh ibunya akan diterimanya dan dicernakannya baik-baik tanpa kehilangan akal dan berbuat kasar terhadap ibunya yang hampir seperti dirinya sendiri, selalu dicengkam oleh keprihatinan.
Dengan demikian, wajah Anusapatipun menjadi tenang dan tidak lagi membayangkan kegelisahan yang melonjak-lonjak seperti ketika ia mendengar tentang ayahnya.
Melihat ketenangan Anusapati, hati Ken Dedes menjadi agak tatag. Sejenak dipandanginya anaknya yang duduk diam. Kemudian diaturnya perasaannya yang mulai bergejolak. Persoalan yang akan dikatakannya sebenarnya adalah persoalan yang lebih penting dari persoalan siapakah ayah Anusapati itu.
"Anusapati" berkata ibunya, "Akuwu Tunggul Ametung meninggal bukan karena ia sudah terlalu tua. Bukan pula karena Akuwu sakit dan tidak dapat diobati lagi"
"Jadi" terasa hati Anusapati melonjak. Tetapi iapun segera berusaha menguasainya kembali. "Apakah ayahanda gugur dipeperangan?"
Ken Dedes menggelengkan kepalanya.
"Apakah maksud ibu, ayahanda meninggal dengan tiba-tiba?"
"Ya Anusapati. Ayahanda itu meninggal dengan tiba-tiba"
"Kenapa ibunda?"
"Anusapati. Alangkah sedihnya jika aku terpaksa mengatakan kepadamu. Ayahandamu meninggal karena pembunuhan"
"Ayahku dibunuh orang?"
"Ya Anusapati" Wajah Anusapati menjadi merah padam. Tetapi dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai perasaannya. Bagaimanapun juga ia masih juga bertanya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi ibu. Jika ayahanda mati dibunuh orang, ibunda dapat juga melupakannya dalam waktu yang singkat. Masih belum seumur hamba didalam kandungan"
Mata Ken Dedes menjadi basah. Jawabnya, "Itu adalah dosaku Anusapati. Jangan kau ulang lagi. Aku sudah merasa bahwa hal itu adalah dosa yang beranak pinak, sehingga diriku seakan-akan tidak lagi dapat menempatkan diri dihadapan Yang Maha Agung. Sekali aku berbuat dosa, maka aku harus melindungi dosa itu dengan dosa-dosa yang lain terhadap sesama manusia. Tetapi aku sadar, bahwa aku tidak akan dapat menyembunyikannya terhadap Yang Maha Agung"
Wajah Anusapati tertunduk lesu. Jika ia menyebut dosa itu lagi, maka hati ibunya pasti akan semakin remuk. Karena itu maka iapun bertanya, "Apakah orang-orang Tumapel waktu itu, pasukan-pasukan pengawal dan para prajurit tidak dapat menemukan siapakah yang membunuh ayahanda Tunggal Ametung, yang pada waktu itu menjabat sebagai Akuwu di Tumapel?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Dengan sisa keberanian, ketenangan dan pasrah diri yang tulus, maka iapun kemudian bertata, "Pada waktu itu tidak ada orang yang dapat mengetahui siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tuduhan yang utama ditujukan kepada seorang pelayan dalam yang memiliki sebilah keris yang masih tertancap ditubuh Tunggul Ametung"
"Siapakah orang itu?"
"Orang itu bernama Kebo Ijo. Dan ia sudah menjalani, hukumannya. Ia dibunuh karena kesalahan itu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hukuman yang setimpal baginya. Tetapi apakah pamrih Kebo Ijo dengan membunuh ayahanda Tunggal Ametung?"
Sejenak Ken Dedes tidak menyahut. Ia masih harus mengatasi gejolak didalam dirinya untuk dapat sampai pada keterangan yang sebenarnya tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung.
"Anusapati" berkata Ken Dedes kemudian, "tetapi ternyata bahwa tuduhan itu keliru. Akhirnya, setelah pembunuhan itu terjadi beberapa lama, dapat diketahui bahwa pembunuhnya sama sekali bukan Kebo Ijo"
"O, dan Kebo Ijo sudah terlanjur dibunuh?"
"Ya. Kebo Ijo telah terbunuh"
"Tetapi apakah pembunuh yang sebenarnya akhirnya dapat diketahui?"
Terasa debar didada Ken Dedes menjadi semakin cepat. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya kepada anaknya seutuhnya.
"Anusapati" berkata Ken Dedes kemudian, "memang akhirnya pembunuh yang sebenarnya itupun diketahui pula. Ia tidak saja membunuh Akuwu Tunggal Ametung. Tetapi ia juga membunuh mPu Gandring, seorang mPu yang telah membuat keris untuknya dan keris itu pulalah yang telah mengakhiri hidup Akuwu Tunggul Ametung"
"Alangkah terkutuknya. Tetapi apakah ibu mengetahui siapakah orang itu?"
Ken Dedes mengangguk dengan ragu-ragu.
"Siapakah orang itu ibunda?"
Sesaat Ken Dedes tidak dapat mengucapkan kata-kata. Sekali lagi ia merasa disimpang jalan yang panjang.
"Ibunda" desak Anusapati.
Namun Ken Dedespun kemudian mengumpulkan semua kekuatan batin yang ada padanya untuk mengatakannya apa yang sebenarnya sudah terjadi. Karena itu dengan suara yang serak ia berkata, "Anusapati. Yang terjadi kemudian hampir diluar kemampuanku untuk mengatasinya. Selagi aku mengagumi usaha Ken Arok untuk menyatukan seluruh daerah Singasari, maka tahulah aku siapakah sebenarnya yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung" Ken Dedes berhenti sejenak. Lalu, "orang itu adalah orang yang kini berkuasa di Singasari"
"Sri Rajasa" suara Anusapati terputus.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun untuk mengucapkan kata-katanya yang terakhir ternyata Ken Dedes telah memaksa diri dengan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka setelah kata-kata itu terucapkan, iapun menjadi seolah-olah lemas tidak bertenaga lagi.
Betapa hati Anusapati bergejolak. Tetapi betapa ia berusaha untuk menahan diri. Apalagi ketika ia melihat ibunya seakan-akan hendak menjadi pingsan karenanya.
Dengan sigapnya ia menangkap tubuh ibunya dan membawanya kepembaringan. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh itu. Ketika Anusapati memandang wajahnya, alangkah pucatnya.
Protokol Keempat 5 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Medali Wasiat 6
Ternyata kata-kata itu telah memanaskan hati Ken Dedes. Ken Dedes yang pendiam dan penurut itu tiba-tiba saja telak menunjukkan sikap yang sama sekali berbeda. Tiba-tiba saja ia berdiri dan berkata, "Tuanku. Jika tuanku memang berkuasa dan tidak seorangpun dapat menahan kehendak dan keinginan tuanku, kenapa tuanku tidak bertindak sendiri. Kenapa tuanku harus mempergunakan jalan yang panjang untuk mengusir Anusapati" Sebaiknya tuanku bertindak tegas terhadap anak itu. Tuanku tidak usah memakai cara seperti yang tuanku tempuh untuk merebut kedudukan Tunggul Ametung dan mengawini jandanya. Aku tidak menyesal karena waktu itu, aku yang merasa hidupku kering, menemukan cinta pada tatapan mata tuan. Akupun tidak menyesal ketika aku mengetahui cara yang tuan tempuh. Tetapi sekarang tuanku tidak usah memakai cara yang berselubung dan mengorbankan orang lain untuk kepentingan tuan. Tuan dapat menentukan keinginan tuan karena tuan adalah seorang Maharaja. Tuanpun tidak pernah mempergunakan cara yang terselubung untuk menghancurkan Kediri dan tuanku berhasil"
"Cukup, cukup" "Belum tuanku. Hamba masih ingin mengatakan, bahwa sebaiknya tuanku bertindak sendiri. Apakah tuanku ingin anak itu pergi dari Singasari atau tuanku ingin membunuhnya sama sekali"
"Kau sudah gila. Kau sudah gila" Sri Rajasa menggeram. Wajahnya menjadi merah padam karena kemarahan yang meluap-luap. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri dan bertindak kasar terhadap Permaisurinya yang dianggapnya sedang sakit itu. Tetapi niatnya segera luluh ketika tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Ketika Ken Dedes menggeretakkan giginya karena marah, tiba-tiba Ken Arok melihat cahaya yang dahulu pernah dilihatnya. Cahaya yang menyilaukan memancar dari tubuh perempuan yang lemah itu.
Dengan dada yang berdebar-debar Ken Arok mengusap matanya. Semula ia tidak begitu yakin akan penglihatannya. Namun semakin lama cahaya itu seakan-akan menjadi semakin terang.
Sejenak Ken Arok terpaku diam. Tetapi cahaya yang menyilaukan itu seakan-akan berkata kepadanya, "Akulah yang berhak menurunkan raja diatas tanah ini. Bukan orang lain"
Tiba-tiba Ken Ariok menutup kedua belah matanya dengan tangannya. Tetapi cahaya yang silau itu tidak dapat dihindarinya. Meskipun matanya terpejam dan kedua belah telapak tangannya menutup matanya, tetapi rasa-rasanya ia masih tetap tersilau oleh cahaya yang pernah dikenalnya. Cahaya yang telah membuatnya semakin gila disaat mudanya.
Ken Dedes yang sedang marah itu sempat juga menyaksikan apa yang dilakukan oleh Ken Arok. Dengan terheran-heran ia melihat sikap yang tidak dimengertinya itu. Kenapa tiba-saja Ken Arok seakana menjadi silau memandangnya. Sedang Ken Dedes sendiri sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi atasnya. Ken Dedes tidak menyadari bahwa dari dirinya telah memancar cahaya yang menyilaukan kedua mata Sri Rajasa itu.
Apalagi ketika kemudian Ken Arok itu berkata dengan suara yang terputus-putus sambil memalingkan kepalanya, "Baiklah Ken Dedes. Aku akan memperhatikan pendapatmu. Aku akan mempertimbangkannya"
Ken Dedes yang menjadi semakin heran itupun kemudian menjadi cair. Kemarahannya perlahan-lahan menjadi pudar. Terkenang olehnya apa yang perah terjadi atas Akuwu Tunggul Ametung. Didalam suatu keadaan yang serupa, selagi Akuwu Tunggul Ametung marah kepadanya, tiba-tiba saja Akuwu yang berkuasa pada waktu itupun menjadi seakan-akan silau memandangnya.
"Aku tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi atasku didalam keadaan ini" berkata Ken Dedes didalam hatinya.
Dalam pada itu Sri Rajasapun berkata pula, "Sudahlah Ken Dedes. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Semua yang kau katakan akan aku pertimbangkan"
"Hamba tidak mengerti tuanku" berkata Ken Dedes kemudian. Suaranya sudah jauh berbeda dengan nada suaranya ketika ia menjadi sangat marah.
Perlahan-lahan Ken Arokpun berpaling pula. Ketika ia memandang Permaisuri itu, sinar yang silau itu sudah tidak dilihatnya lagi.
Sejenak kemudian sadarlah Ken Arok, bahwa cahaya itu adalah cahaya yang tidak kasat mata wadagnya. Tetapi sinar itu langsung menembus dinding hatinya dan menyilaukan mata batinnya. Karena itu, maka iapun harus mengakui, bahwa yang dihadapinya kini adalah masih Ken Dedes yang dahulu, Ken Dedes yang pernah disebut oleh seorang Brahmana, bahwa ia akan melahirkan raja-raja yang akan berkuasa diatas tanah ini.
Sejenak kemudian, Ken Arok yang bergerlar Sri Rajasa itupun telah berhasil menguasai dirinya kembali. Karena itu maka iapun segera melangkah maju dan berkata, "Ken Dedes jangan kau biarkan hatimu terbakar. Aku minta maaf, barangkali kata-kataku terdorong oleh gejolak perasaan yang tidak terkendali"
"Ampun tuanku. Hamba tidak menganggap demikian, Hambapun mohon maaf, bahwa hamba sudah bertindak diluar keharusan hamba sebagai seorang isteri dan seorang Permaisuri"
"Berbaringlah. Bukankah kau sedang sakit?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian duduk kembali dipembaringannya. Katanya, "Ya tuanku. Hamba memang sedang sakit. Dan itulah sebabnya kadang-kadang hamba kehilangan pengamatan diri karena badan hamba terlampau panas"
"Berbaringlah" "Hamba tuanku" "Berbaringlah. Kau perlu beristirahat"
Ken Dedes termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun membaringkan dirinya diatas pembaringannya. Kemudian ditariknya selimutnya yang berwarna kelam. Dan sesaat kemudian. Ken Dedes telah kembali kedalam keadaannya, seakan-akan seseorang yang benar-benar sakit.
"Ken Dedes" berkata Sri Rajasa kemudian, "kau jangan gelisah. Dan berbuatlah apa yang akan kau lakukan"
"Terima kasih tuanku. Dalam keadaan hamba ini, perkenankanlah hamba memohon kepada tuanku"
Sri Rajasa menjadi berdebar-debar. Sejenak ia termangu-mangu. Jika permohonan itu langsung menyangkut kedudukan Anusapati, maka hal itu akan sangat membingungkannya. Meskipun ia sadar bahwa Ken Dedes adalah seseorang yang memang ditakdirkan untuk melahirkan keturunan raja-raja, tetapi kenapa harus Anusapati, Putera Akuwu Tunggul Ametung" Bukan keturunan Sri Rajasa Batara Sang Amurwabmni"
Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ken Dedes berkata, "Ampun tuanku. Hamba tidak akan memohon sesuatu diluar kemauan tuanku. Hamba hanya memohon agar kakak hamba, Mahisa Agni diperkenankan menengok hamba didalam keadaan ini"
"O" Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah. Baiklah, jika itu yang kau kehendaki. Aku akan memerintahkan seorang utusan pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni dan mengatakan kepadanya bahwa kau sedang sakit dan menunggu kedatangannya, agar ia benar-benar segera datang kemari"
Ken Dedes masih juga terheran-heran melihat sikap Sri Rajasa. Tetapi kemudian ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu. Karena itu maka iapun menyahut, "Terima kasih tuanku. Hamba mengharap sekali kedatangan kakang Mahisa Agni"
"Baik, baik. Aku akan memerintahkannya sekarang juga"
Sebelum Ken Dedes menjawab, maka Sri Rajasa itupun dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu, sehingga Ken Dedes menjadi semakin heran karenanya. Apakah yang sudah terjadi atas Sri Rajasa itu, dan apakah hal itu menguntungkannya atau justru sebaliknya.
"Sri Rajasa seakan-akan dalam ketidak sadaran" berkata Ken Dedes didalam hatinya, "jika ia kemudian menyadari apakah yang dilakukannya, apakah ia akan kembali menjadi marah dan bertindak kasar terhadap Anusapati?"
Tetapi Ken Dedes mencoba untuk tidak mencemaskan anaknya. Ia tahu bahwa anaknya mempunyai kemampuan membela dirinya. Didalam keadaan yang terpaksa ia tentu tidak akan menyerahkan nyawanya begitu saja.
"Mudah-mudahan ia dapat menjaga dirinya sendiri sampai kakang Mahisa Agni datang" desis Permaisuri itu.
Dalam pada itu, ketika Ken Arok sampai diluar pintu bangsal permaisuri dan disambut oleh pengawalnya, seakan-akan ia merasa terlempar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, dan bahkan sekali-sekali berpaling. Dilihatnya pintu bangsal itu masih tetap seperti semula. Namun agaknya didalam bangsal itu terdapat sesuatu yang sudah tidak dikenalnya. namun tiba-tiba saja hadir disaat-saat yang menentukan.
"Apakah yang mempengaruhi keadaan ini, dan apakah Ken Dedes menyadari keadaan dirinya?" bertanya Sri Rajasa kepada diri sendiri.
Namun Sri Rajasa tidak menemukan jawabnya. Sekali-sekali timbullah niatnya untuk meyakinkan sekali lagi, apakah dalam keadaan marah cahaya itu menampakkan dirinya atau dalam keadaan yang gawat bagi Ken Dedes atau dalam keadaan yang mana yang dapat mempengaruhi sehingga cahaya itu timbul"
Tetapi niat itu diurungkannya. Dengan tergesa-gesa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itupun kemudian meninggalkan tangga bangsal Permaisuri itu.
Beberapa orang emban yang melihatnya menjadi terheran-heran. Mereka tidak mengerti sikap Sri Rajasa yang aneh. mereka mendengar suara Sri Rajasa yang agak keras didalam bilik Permaisuri, bahkan kemudian suara Permaisuri keras pula sehingga mereka menjadi gemetar dan ketakutan. Jika Sri Rajasa marah dan Permaisuri marah pula, mereka tentu akan bertengkar. Hal yang hampir tidak pernah terjadi, karena Permaisuri tidak pernah membantah atau mengelakkan kata-kata Sri Rajasa.
Namun tidak seorangpun yang berani mempercakapkan hal itu. Mereka hanya menyimpannya didalam hati masing-masing.
Dalam pada itu, Sri Rajasapun langsung memanggil beberapa orang perwira. Diperintahkannya untuk mengutus seorang gandek pergi ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni atas namanya.
"Beritahukan bahwa adiknya Ken Dedes sedang sakit dan mengharap kedatangannya segera"
"Hamba tuanku. Hamba akan memerintahkan seseorang untuk berangkat hari ini"
Demikianlah, perwira itupun segera pergi menemui seorang utusan yang diperintahkannya saat itu juga berangkat untuk menyampaikan perintah Sri Rajasa, memanggil Mahisa Agni.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Mahisa Agni sudah menunggu, kapan Sri Rajasa memanggilnya. Bahkan hampir tidak bersabar ia menanti hari-hari berikutnya.
Demikianlah ketika utusan Sri Rajasa menghadapnya, Mahasa Agnipun menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah tuan Puteri sedang sakit panas atau pening atau sakit apa?"
"Hamba tidak mengetahuinya"
"Baiklah. Aku akan segera pergi ke Singasari. Sampaikan kepada Sri Rajasa, bahwa setelah aku mempersiapkan diri dan meninggalkan pesan-pesan di Kediri, aku akan segera pergi ke Singasari"
Sepeninggal utusan itu, maka Mahisa Agnipun segera mempersiapkan diri. Setelah berpesan kepada para pemimpin Kediri dan juru tamannya, maka iapun segera mempersiapkan kudanya.
"Apakah kau akan pergi sendiri?" bertanya Kuda Sempana yang menjadi juru taman pula di istana Kediri.
"Ya. Aku akan pergi sendiri. Tetapi aku berharap dapat menemui kakang Witantra atau Mahendra. Jika aku tidak bertemu dengan keduanya, sampaikan kepada mereka, bahwa aku pergi ke Singasari. Agaknya aku harus mengambil sikap yang pasti menghadapi Sri Rajasa dan Tohjaya. Aku tidak mengerti, apa yang sekarang telah mereka rencanakan"
"Baiklah. Mudah-mudahan kau berhasil. Jika keturunan Panawijen berhasil mempertahankan gelarnya, aku akan berbangga"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sesuatu telah terbersit dihatinya. Seperti dirinya sendiri, Kuda Sempanapun pernah tergila-gila kepada Ken Dedes. Namun ia tidak berhasil mendapatkannya karena Akuwu Tunggul Ametung. Namun kini ia tidak dapat mendendam anak Akuwu itu. Bahkan sebaliknya. Ia merasa wajib melindunginya, karena ia adalah anak Ken Dedes.
Demikianlah dihari berikutnya Mahisa Agni bersiap untuk pergi ke Singasari. Ternyata ia masih sempat bertemu dengan Witantra karena setiap kali baik Witantra maupun Mahendra selalu datang menghubunginya. Kadang mereka datang bersama-sama, kadang-kadang mereka datang berganti-gantian.
"Agaknya kita akan sampai pada batas terakhir dari ceritera yang sangat menarik ini. Perang yang diam-diam terjadi diantara para penjabat tinggi di Singasari. Antara putera Sri Rajasa dan antara Sri Rajasa dengan Permaisuri. Kekalutan ini memang harus segera diakhiri. Tetapi kita harus menemukan akhir yang paling baik"
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berdesis, "Yang paling baik itupun masih mempunyai beberapa kemungkinan. Paling baik bagi Sri Rajasa akan berbeda, dengan yang paing baik bagi Anusapati"
"Ya" Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "itulah kelemahan kita sebagai manusia. Kita masih didasari penilaian dari sudut pandangan dan kepentingan diri sendiri. Didalam keadaan yang gawat, kadang-kadang kita hanya mengenal suara hati sendiri"
"Baiklah Agni. Pergilah. Kehadiranmu akan sangat bermanfaat bagi Anusapati yang memerlukan pertimbangan. Sudah tentu bahwa Sumekar tidak akan dapat memberikan pertimbangan sebanyak yang dapat kau berikan"
"Terima kasih. Mungkin didalam suatu saat yang berbahaya, aku memerlukan kau, Mahendra dan Kuda Sempana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tetapi gambaran yang sekarang terbayang adalah kekerasan. Namun sampai dimana batasnya itulah yang tidak aku ketahui"
Demikianlah maka Mahisa Agnipun segera pergi ke Singasari. Seperti biasanya, ia hampir tidak pernah membawa seorang pengawalpun. Namun kali ini Witantra merasa curiga. Jika utusan itu sekedar memancing perjalanan Mahisa Agni dan mencegatnya diperjalanan seperti yang pernah dilakukan didalam istananya di Kediri, maka kekalutanpun pasti akan bertambah. Karena itu, maka iapun mengikutinya dari kejauhan bersama Kuda Sempana, meskipun mereka berangkat tidak dalam waktu yang bersamaan. Namun merekapun bertemu pada suatu sidatan jalan memintas dan langsung mengikuti dan mengawasi perjalanan Mahisa Agni dari kejauhan. Mahisa Agnipun menyadari bahwa Witantra dan Kuda Sempana sedang membayanginya. Sekali-sekali ia berpaling, namun ia tidak memberikan isyarat apapun kepada kedua orang itu.
Disepanjang perjalanan Mahisa Agni tidak menjumpai kesulitan apapun juga. Ternyata tidak ada seorangpun yang menunggunya dikelokan-kelokan jalan. Juga ketika hari menjadi malam. Meskipun demikian Mahisa Agni tetap berhati-hati agar tidak seorangpun yang dapat menyergapnya dengan tiba-tiba.
Ketika Mahisa Agni mulai memasuki kota Singasari, maka barulah Witantra dan Kuda Sempana melepaskan pengawasannya dan merekapun segera kembali ke Kediri meskipun mereka harus berhenti dan beristirahat di tengah-engah padang rumput karena kudanya yang payah. Diberinya kudanya kesempatan minum air dari belik di pinggir sungai dan makan rerumputan yang hijau sementara keduanya duduk bersandar batu yang besar. Ternyata keduanyapun sempat terkantuk-kantuk, dan bahkan kadang-kadang terlena sejenak.
Ketika kuda-kuda mereka sudah beristirahat, maka merekapun segera kembali ke Kediri, meskipun mereka tidak lagi berpacu cepat-cepat.
Ketika mereka sampai ke Kediri, maka Kuda Sempanapun harus membuat ceritera kepada kawan-kawannya, kemana selama ini ia pergi, karena ketika ia berangkat, ia hanya minta ijin sejenak. Tetapi ternyata ia pergi selama dua hari.
"Jika hal ini didengar oleh tuan Mahisa Agni, maka kau akan dimarahinya" berkata pemimpin juru taman, "bahkan mungkin kau akan dipecat"
"Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Adalah suatu halangan yang tidak dapat aku atasi, bahwa aku kali ini tidak menepati janjiku untuk kembali disiang hari"
"Kau dapat mengarang seribu alasan. Tetapi yang penting kau tidak akan mengulangi kesalahan ini"
"Ya, ya. Aku tidak akan mengulanginya" Namun demikian Kuda Sempana mengumpat didalam hatinya karena pemimpin juru taman itu memarahinya.
Dalam pada itu, Mahisa Agnipun telah berada didalam lingkungan istana Singasari. Tetapi ia tidak langsung menemui Ken Dedes. Lebih dahulu, ia harus menghadap Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi untuk melaporkan kehadirannya.
"Adikmu itu sedang sakit" berkata Sri Rajasa kepada Mahisa Agni. "ia mohon kepadaku, agar kau menemuinya"
"Apakah sakit tuan Puteri cukup parah tuanku?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ia sudah mencoba mengobati dirinya sendiri dengan dedaunan yang dibuat oleh emban. Ia masih belum bersedia untai berobat pada seorang tabib yang paling pandai. Mudah-mudahan ia segera sembuh"
"Hamba tuanku, jika berkenan dihati tuanku, hamba akan pergi menemui tuan Puteri itu tuanku"
"Pergilah. Tetapi jagalah agar ia tidak mengigau dan berbicara tentang sesuatu yang tidak disadarinya sendiri"
"Hamba tuanku. Hamba akan berusaha menyaring pembicaraannya"
"Baiklah. Panas tubuhnya telah membuatnya kadang-kadang tidak sadar atas apa yang dikatakannya sendiri"
Mahisa Agnipun kemudian mohon diri untuk pergi ke bangsal Permaisuri yang dikatakan oleh Sri Rajasa sedang sakit itu.
Permohonan Mahisa Agni untuk menghadap, segera diberitahukan oleh seorang emban kepada Permaisuri. Karena Permaisuri ternyata tidak berkeberatan meskipun sedang sakit, maka Mahisa Agnipun segera menghadap pula.
"Duduklah" berkata Ken Dedes kepada Mahisa Agni.
"Terima kasih tuan Puteri" sahut Mahisa Agni yang kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu disebelah pembaringan Ken Dedes.
Tetapi Ken Dedespun lalu bangkit. Bahkan iapun berdiri dan menutup pintu biliknya.
"Kadang-kadang satu dua orang emban lewat diluar" berkata Ken Dedes.
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Sudah lama aku ingin bertemu dengan kakang Mahisa Agni" berkata Ken Dedes, "sehingga akhirnya Anusapatipun menganjurkannya"
"Ya tuan Puteri"
"Hatiku sudah menjadi semakin terpecah belah mendengar keluhan-keluhan Anusapati disaat-saat terakhir. Agaknya anak itu hampir tidak tahan lagi mengalami tekanan jiwa yang semakin parah"
"Hamba tuan Puteri"
"Karena itu kakang, aku ingin mendengar pendapatmu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan dan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Anusapati"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Keluhan apakah yang terakhir dikatakan oleh Putera Mahkota itu?" bertanya Mahisa Agni.
"Sri Rajasa kini selalu marah kepadanya justru di muka banyak orang, di muka para pemimpin tertinggi Singasari dan para Panglima. Bahkan pernah Sri Rajasa mengancam untuk menyingkirkan Putera Mahkota dan sebagaimana dikatakan, Sri Rajasa berhak untuk menentukan sikap atas hal itu"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sri Rajasa dengan sengaja menyakiti hati Anusapati"
"Ya kakang. Dan yang terakhir ketika Sri Rajasa datang menengok aku karena aku mengatakan bahwa aku memang sakit, menasehatkan agar aku tidak dibebani oleh rahasia yang mungkin dapat memperberat sakitku"
"Maksudnya?" "Sri Rajasa menasehatkan agar aku mengatakan saja kepada Anusapati, bahwa sebenarnya ia bukan putera Sri Rajsa"
"He" Mahisa Agni terkejut, "kenapa begitu" Dan mengatakan bahwa Sri Rajasa pulalah yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedeslah yang kemudian terkejut mendengar kata-kata Mahisa Agni itu. Dengan wajah yang tegang ia bertanya, "Kau mengetahuinya?"
Mahisa Agni memandang wajah Ken Dedes yang suram betapapun tegangnya. Tetapi ia menjadi ragu-ragu dan bahkan menyesal bahwa tiba-tiba saja ia mengatakan hal itu diluar sadarnya.
"Kakang Mahisa Agni, kau mengetahui bahwa yang membunuh Akuwu Tunggul Ametung itu adalah Sri Rajasa sendiri?"
Mahisa Agni akhirnya menganggukkan kepalanya. Katanya, "Kita sudah sama-sama tahu. Langsung tidak langsung kita pernah memperkatakan hal itu"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
"Jika demikian, apakah maksud Sri Rajasa sebenarnya" Apakah Sri Rajasa ingin mempercepat penyelesaian?"
"Tidak kakang. Menurut tangkapanku. Sri Rajasa tidak menghendaki aku mengatakan hal itu. Bahkan Sri Rajasa mengatakan kemungkinan yang paling buruk jika Anusapati mengetahui hal itu, karena pada dasarnya ada semacam perasaan benci yang disembunyikan didalam hati Anusapati"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Semakin dalam.
"Tuan Puteri" berkata Mahisa Agni kemudian, "jika demikian kita dapat menduga maksudnya. Anusapati pasti akan merasa tidak berhak atas tahta Singasari dan dengan sendirinya mengundurkan diri"
"Tetapi kakang Mahisa Agni, jika aku mengatakan hal itu kepada Anusapati, maka akupun akan mengatakan, bahwa sebenarnya akulah yang berhak atas tahta, meskipun semula adalah tahta Tumapel. Sri Rajasa dapat mencapai puncak kekuasaannya sekarang karena beralaskan kekuatan Tumapel. Tanpa Tumapel yang kecil itu, Singasari tidak akan berdiri. Bukankah istana ini juga istana Tumapel meskipun diperluas dan diperbaiki?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi aku kira lebih baik tidak tuan Puteri. Jangan dikatakan lebih dahulu kepada Putera Mahkota sebelum Putera Mahkota mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan"
"Maksud kakang?"
"Jangan berbuat tanggung-tanggung tuan Puteri. Anusapatipun jangan menyeberang sampai ditengah. Jika ia benar-benar ingin menyeberang, ia harus sampai ketepi. Jika tidak, jangan menyentuh air sama sekali"
Ken Dedes memandang Mahisa Agni dengan sorot mata yang aneh. Namun ia masih tetap berdiam diri. Meskipun demikian, didalam dadanya sedang mengamuk badai yang maha-dahsyat, yang mengguncang-guncang perasaannya.
Untuk sejenak Mahisa Agnipun hanya berdiam diri sambil merenung. Memang jalan yang terbentang dihadapan Putera Mahkota adalah jalan yang terjal dan berbatu padas. Tetapi sebaiknya Anusapati tidak berhenti ditengah-engah.
Narnun tiba-tiba Ken Dedes bertanya, "Kakang Mahisa Agni, apakah menurut pendapatmu sekarang Anusapati masih belum siap menghadapi kemungkinan yang paling sulit bagi dirinya?"
Pertanyaan itu telah mendebarkan dada Mahisa Agni. Dan tiba-tiba saja pertanyaan itu telah bergejolak semakin dahsyat didalam dadanya. Terbayang olehnya sebuah trisula kecil yang pernah diberikannya kepada Anusapati sebagai alat untuk mempertahankan dirinya dalam keadaan yang paling sulit. Dan trisula itu sama sekali tidak dipersiapkannya untuk melawan siapapun, selain untuk melawan manusia yag memiliki kemampuan yang ajaib sejak ia berkeliaran di padang Karautan. Tanpa guru dan tanpa mempelajari dengan cara yang teratur serta susunan yang mapan hantu padang Karautan itu memiliki kemampuan jasmaniah dan daya tempur yang luar biasa. Tetapi dihadapan trisula kecil itu, hantu Karautan sama sekali tidak berdaya. Trisula itu telah menyilaukannya sehingga tidak mungkin baginya untuk melawan.
Mahisa Agni menarik nafas ketika sekali lagi Ken Dedes bertanya, "Apakah Anusapati sekarang masih belum siap?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hamba masih harus menemuinya dan mengetahui tentang dirinya sepenuhnya. Tetapi jika hal ini benar-benar telah dimulai, maka tuanku akan dapat membayangkan akhir dari kelanjutan yang akan terjadi. Adalah sulit sekali untuk menekan gejolak perasaan seorang anak muda seumur Anusapati. Tentu juga sulit sekali menahan gejolak perasaan Tohjaya dan bahkan menilik tabiatnya, Sri Rajasapun tidak akan mampu berbuat lain dari pada berpihak kepada Tohjaya"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terngiang kata-kata Ken Arok bahwa jika ia mengatakan semua rahasia yang diketahuinya kepada Anusapati, maka mungkin sekali terjadi bahwa Anusapati akan berbuat sesuatu yang dapat dianggap biadab oleh rakyat Singasari, dan Sri Rajasapun berkata bahwa siapa saja yang berani mengacaukan Singasari akan berakibat kematian, meskipun Putera Mahkota.
Sebenarnya semua itu sudah jelas baginya. Dan ia kini harus memilih. Apakah ia akan menyerahkan Anusapati sebagai korban ketamakan Ken Umang yang telah berhasil memperalat Sri Rajasa, atau ia harus mempertahankan martabatnya sebagai seorang Permaisuri dan sebagai seseorang yang merasa berhak atas tahta Singasari.
Tetapi pilihan yang pahit itu jelasnya akan menempatkan dua orang yang sama-sama penting baginya untuk dikorbankan salah seorang daripada mereka itu dari hatinya. Ia harus rela apabila salah seorang dari keduanya itu akan hilang dalam arti yang sangat luas.
Dan pilihan yang demikian adalah pilihan yang paling pedih menyayat hatinya.
Tiba-tiba saja Ken Dedes tidak dapat menahan gejolak perasaannya, sehingga tanpa disadarinya dari kedua matanya yang suram menitik air matanya yang bening.
"Kakang Mahisa Agi" berkata Permaisuri, "aku dihadapkan pada keadaan yang hampir tidak tertanggungkan. Kau tahu apa yang akan terjadi atasku. Aku harus membenturkan dua pihak yang sama-sama aku cintai. Adalah menyedihkan sekali bahwa hal ini harus terjadi. Seandainya Sri Rajasa tidak jatuh dibawah pengaruh perempuan itu, maka semuanya pasti akan sampai pada akhir yang berbeda. Tetapi kita tidak dapat membebankan kesalahan itu seluruhnya kepada Ken Umang. Ia berhak berusaha untuk mencapai titik kepuasan yang setinggi-tingginya. Namun sayang, bahwa ia tidak memilih alas. Ia tidak segan-segan mengorbankan orang lain untuk memenuhi keinginannya yang melambung setinggi bintang dilangit"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Tuan Puteri benar menurut pikiran hamba. Perempuan itu memang perempuan yang memiliki nafsu ketamakan yang berlebih-lebihan. Ia sudah mengajar anaknya untuk mengikuti jejaknya. Dan Sri Rajasapun sudah terbenam didalam arus ketamakannya itu, sehingga ia sama sekali tidak segan-segan untuk mengambil langkah yang sesat menurut penilaianku"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, "Tetapi kitapun dapat mengerti kakang, tentu Sri Rajasa lebih mantap jika puteranya sendirilah yang akan menduduki tahta yang selama ini telah dibinanya"
"Tetapi iapun harus mengenal kebijaksanaan. Ia harus merasa bahwa dirinya adalah pengemban kekuasaan Tumapel waktu itu. Jika ia kemudian dapat mengembangkan kekuasaan Tumapel menjadi kerajaan Singasari yang sekarang, itu bukan berarti ia berhak dan karena kekuasaannya dapat menyerahkan tahta kepada siapapun yang dikehendaki. Apalagi, jika ia memang ingin menyerahkan tahta kepada keturunannya semata-mata. kenapa ia tidak membicarakan anak-anaknya yang lahir justru dari Permaisurinya?"
"Itulah yang aku prihatinkan kakang"
"Tuan Puteri" berkata Mahisa Agni kemudian, "memang mungkin harus jatuh korban. Tetapi semakin kecil korban yang jatuh pasti akan lebih baik. Aku memang dapat mengambil jalan lain, karena aku merasa mampu untuk mengguncang kerajaan ini dari luar dinding istana. Aku mempunyai kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sri Rajasa dengan kekerasan"
Ken Dedes mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Mahisa Agni. sehingga dengan serta-merta Mahisa Agni meneruskannya, "Tetapi aku tidak akan melakukannya"
Ken Dedes tidak segera menyahut, sedang Mahisa Agni menjadi termangu-mangu. Bagaimanapun juga Sri Rajasa adalah suami Ken Dedes. Mereka telah mendapatkan beberapa orang anak laki-laki dan perempuan. Merekapun tentu tidak akan dapat melupakan masa-masa mereka memasuki hari-perkawinan yang dimulai dengan saat-saat yang berbahagia. Tetapi kehadiran Ken Umang ternyata semakin lama semakin menjauhkan Sri Rajasa dari Ken Dedes.
Sebenarnyalah bahwa dada Permaisuri itu memang sedang bergejolak. Air matanyapun menjadi semakin deras mengalir dari pelupuknya.
"Kenapa aku harus mengalami hal serupa ini di hari-hari tuaku" keluh Ken Dedes, "agaknya aku banyak berbuat dosa dimasa mudaku"
"Tidak tuan Puteri" berkata Mahisa Agni, "belum tentu hal ini terjadi karena kesalahan tuan Puteri"
"Jadi siapakah yang bersalah"
"Mungkin tidak ada yang bersalah"
"Tetapi kenapa aku harus mengalami hukuman ini"
"Juga belum tentu bahwa yang sedang tuanku alami ini suatu hukuman dari Yang Maha Agung. Justru karena Yang Maha Agung mengagumi ketabahan hati tuan Puteri, maka tuan Puteri telah mendapatkan kehormatan untuk mengalami pendadaran yang hebat. Jadi yang terjadi bukannya hukuman atau siksa, tetapi justru kesempatan untuk membuktikan bahwa tuan Puteri benar-benar seorang yang mampu dan kuat memegang tahta Singasari turun temurun"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam.
Mahisa Agnipun terdiam pula sejenak. Ia mencoba untuk mendalami perasaan Permaisuri itu sepenuhnya dan mencari celah-celah yang dapat ditempuhnya untuk menyelesaikan persoalan Putera Mahkota. Tetapi agaknya semua jalan sudah tertutup. Yang ada tinggallah dua pilihan. Putera Mahkota atau Sri Rajasa.
Dalam kediamannya Mahisa Agni kadang-kadang berangan-angan tentang kemudian yang lain sama sekali. Apakah ia harus mempergunakan kekuatan diluar istana Singasari" Jika demikian apakah ada kemungkinan lain bahwa tidak seorangpun dari keduanya harus dikorbankan.
"Tidak mungkin" berkata Mahisa Agni didalam hati, "jika aku memberontak terhadap Sri Rajasa, maka aku atau Sri Rajasa harus mati. Jika akulah yang mati, maka pemberontakan yang makan banyak korban itu tidak akan berarti apa-apa bagi Singasari, karena jalan akan terbuka bagi Sri Rajasa untuk memusnakan semua orang yang tidak disukainya termasuk Putera Mahkota. Ia dapat membuat seribu alasan yang tampaknya memang masuk akal"
"Tetapi seandainya jalan ini dapat ditempuh, aku yakin bahwa aku dan Putera Mahkota akan mempunyai harapan yang besar untuk merebut Singasari" berkata Mahisa Agni didalam hatinya pula. Ia masih percaya akan kemampuan yang ada pada dirinya serta kemungkinan yang dapat terjadi dengan trisula kecil pemberian gurunya yang kini ada pada Anusapati. Tetapi dengan demikian maka ratusan dan bahkan ribuan orang akan menjadi korban"
"Memang lebih baik hanya seorang korban. Sri Rajasa atau Anusapati" Mahisa Agni akhirnya mengambil keputusan didalam hatinya. Namun ia tidak segera dapat mengatakannya kepada Ken Dedes.
Ken Dedes masih mengusap matanya yang basah. Namun iapun kemudian berkata dengan hati yang pedih, "Tetapi kakang Mahisa Agni. Aku tidak dapat hidup berpijak pada dua buah alas yang sama goyah. Bahkan berpijak pada dua buah perahu yang berjalan berbeda arah. Aku harus memilih meskipun yang satu adalah alas kaki kiriku dan yang lain adalah alas kaki kananku" suara Ken Dedes terputus oleh tangisnya. Lalu, "aku mencintai Anusapati tetapi aku juga mencintai Sri Rajasa. Dan inilah agaknya dosa itu kakang Mahisa Agni. jangan menghibur hatiku dengan sikap yang pura-pura itu. Jangan mencoba melepaskan aku dari perasaan ini. Aku telah tidak setia kepada Akuwu Tunggul Ametung meskipun didalam hati. Jika aku tidak tertarik kepada seorang hamba yang bernama Ken Arok, maka semuanya ini tidak akan pernah terjadi. Dan akupun tentu tidak akan mengalami keadaan ini. Hukuman yang maha berat"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudahlah tuan Puteri. Jika tuan Puteri melarang hamba mencoba memberikan ketenangan dihati tuan Puteri, hambapun tidak akan menolak pengakuan tuan Puteri. Tetapi bahwa tuan Puteri harus memilih itulah yang harus dilakukan. Dan pilihan tuan Puteri tidak boleh salah. Itulah persoalan yang maha sulit untuk dipecahkan"
Ken Dedes menganggukan kepalanya.
"Tetapi sebaiknya hamba memberikan sedikit pertanyaan kepada tuan Puteri. Bukan maksud mempersulit perasaan tuan Puteri, tetapi jika mungkin hamba akan mencoba memberikan arah berpikir bagi tuan Puteri" Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "tuan Puteri memang harus memilih. Katakanlah bahwa yang seorang adalah lambang kebahagiaan masa silam tuanku, sedang yang seorang adalah harapan dimasa datang. Yang manakah yang lebih penting bagi tuanku. Masa silam yang tinggal kenangan atau masa depan yang sangat panjang"
Pertanyaan itu telah mengguncangkan hati Ken Dedes yang memang sedang goyah. Tiba-tiba ia tidak dapat menahan isaknya yang meledak. Sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya Ken Dedes mencoba menahan tangisnya. Tetapi ia tidak berhasil.
Mahisa Agnipun tidak segera berkata apapun lagi. Iapun duduk termenung dengan kepala tunduk. Ia sadar, persoalan itu adalah persoalan yang sangat sulit dipecahkan oleh seorang ibu yang juga seorang isteri, yang menghadapi jalan simpang yang terbentang dihadapannya. Apakah ia akan mengikuti jalan anak laki-lakinya, atau jalan suaminya yang berbeda. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, yang satu mengarah ke dunia kenangan yang indah dan cemerlang, sedang yang lain adalah jalan yang menuju ke dunia mendatang yang penuh dengan harapan. Baik bagi keturunannya, maupun bagi Singasari, Namun tiba-saja Ken Dedes seakan-akan menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa ia harus bertelekan kepada suatu tumpuan yang kuat. Ia tidak boleh terkatung-katung lebih lama lagi.
Dalam pada itu, selagi Ken Dedes memusatkan segegap hati dan nalarnya, maka terasa sesuatu telah bergetar didalam dadanya. Seakan-akan ia mendengar suara jauh dari dasar hati, "Ken Dedes, tinggalkanlah dunia mimpi indahmu. Berilah harapan bagi masa datang"
Ken Dedes menggeretakkan giginya. Ia telah menemukan sesuatu didalam dirinya.
Namun dalam pada itu, permaisuri itu terperanjat ketika ia melihat Mahisa Agni tiba-tiba menutup kedua matanya dengan tangannya. Sambil berpaling Mahisa Agni berkata, "Aku melihat, aku melihat kebenaran itu"
"Kakang" Ken Dedes berdesis, "apa yang telah kau lihat?"
Mahisa Agni tidak menyahut. Untuk beberapa lamanya Ia masih memalingkan wajahnya. Namun kemudian perlahan-lahan ia memutar kepalanya dan memandang Ken Dedes dalam bentuknya yang wajar.
"Kakang, apakah yang kau lihat?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya. Ternyata mata hatinya telah menyaksikan kebenaran yang baginya meyakinkan bahwa Ken Dedeslah yang harus menurunkan raja Singasari.
"Kakang" desak Ken Dedes yang justru menjadi terheran-heran, "apakah yang kau lihat?"
"Sebuah isyarat tuan Puteri"
"Apakah isyarat itu?"
"Bahwa tuan Puteri telah memilih"
"Darimana kakang tahu bahwa aku telah memilih?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kini ia mengerti bahwa apa yang dilihatnya oleh mata hatinya itu justru tidak disadari oleh Ken Dedes sendiri, sehingga iapun kemudian berkata, "Aku melihat pada cahaya wajah tuan Puteri"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali ia melihat keanehan yang serupa. Tunggul Ametung, Ken Arok kemudian Mahisa Agni. Mereka seakan-akan menjadi silau melihat sesuatu pada dirinya.
Tetapi Ken Dedespun kemudian tidak peduli. Ia merasa bahwa ia telah berhasil mematahkan palang yang merentang dihadapannya, dan melemparkan beban yang sangat berat di punggungnya.
"Kakang telah melihat isyarat itu" berkata Ken Dedes, "dan kakang benar. Aku sudah memilih"
"Apakah pilihan tuan Puteri?"
Ken Dedes masih ragu-ragu sejenak, namun kemudian iapun berkata, "Kakang, aku telah menentukan pilihan itu. Kakanglah yang memberikan jalan bagiku. Aku memilih harapan dihari depan bagi keturunanku dan bagi Singasari. Jelasnya, Singasari harus berada ditangan Anusapati. Mudah-mudahan ia dapat memelihara kerajaan yang sedang berkembang ini. Tetapi aku yakin bahwa ia akan lebih baik dari Tohjaya yang tamak itu"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa hatinya tiba-tiba menjadi lapang. Jika Ken Dedes sudah menentukan sikap, maka jalan selanjutnya sudah terbuka baginya.
"Tetapi kakang" bertanya Ken Dedes kemudian, "jika demikian, apakah yang harus aku kerjakan selanjutnya?"
"Jika demikian tuan Puteri, tuan Puteri dapat memenuhi permintaan Sri Rajasa"
Ken Dedes mengerutkan keningnya, "Permintaan yang mana?"
"Bahwa tuanku harus mengatakan kepadanya, bahwa ia bukan putera Sri Rajasa. Tetapi ia adalah putera Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel, yang mati terbunuh oleh tangan Sri Rajasa sendiri"
"O" suara Ken Dedes terputus.
"Bukankah tuan Puteri sudah memutuskan. Hamba berharap bahwa dengan demikian Sri Rajasa akan mengambil sikap yang lebih keras, dan hamba berharap bahwa Putera Mahkota harus mempertahankan dirinya"
Wajah Ken Dedes yang mantap itu tiba-tiba telah terguncang lagi.
"Apakah tuan Puteri masih ragu-ragu"
"Tidak kakang. Aku sudah memutuskan. Tetapi apa yang akan dikatakan oleh Anusapati, bahwa ibunya telah kawin dengan pembunuh ayahnya?"
Pertanyaan Ken Dedes itu telah menyentuh perasaan Mahisa Agni. Jika benar-benar Anusapati bertanya serupa itu, tentu Ken Dedes akan mendapat kesulitan untuk menjawabnya.
Karena itu, maka Mahisa Agnipun tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia mencoba berpikir, untuk mencari kemungkinan bagaimana menanggapi pertanyaan itu.
Tetapi tidak ada jawaban yang dapat diketemukan, sehingga akhirnya Mahisa Agni berkata, "Memang sulit tuan Puteri. Karena itu, sebaiknya tuan Puteri melemparkan hal ini kepada hamba saja. Tuan Puteri dapat mengatakan kepada Anusapati, bahwa tuan Puteri baru saja mengetahui bahwa Akuwu Tunggul Ametung terbunuh oleh Sri Rajasa baru saja. Tuan Puteri dapat mengatakan bahwa hambalah yang telah memberi tahukan hal itu, sehingga akhirnya tuan Puteri mengambil keputusan untuk berterus terang kepada Putera Mahkota. Baik tentang orang yang menurunkannya, maupun tentang pembunuhan yang pernah terjadi itu"
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah kakang. Aku akan melemparkan persoalan ini kepada kakang Mahisa Agni. Tetapi tentu Anusapati akan datang kepada kakang Mahisa Agni dan bertanya, kenapa kakang baru sekarang memberi tahukan hal ini kepadaku"
"Biarlah hamba menjawabnya tuan Puteri. Mudah-mudahan jawaban hamba dapat memberinya kepuasan"
Ken Dedes mengangguk-angguk meskipun masih terbayang berbagai perasaan membayang di wajahnya. Kecemasan, keragu-raguan dan kadang-kadang takut yang amat sangat. Namun Mahisa Agni menanggap bahwa keputusan itu jangan sampai terlepas lagi. Ken Dedes jangan sampai mencabut kembali niatnya yang sudah bulat itu. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata, "Sudahlah tuan Puteri. Hamba mohon diri. Mungkin dalam waktu yang singkat Putera Mahkota akan menghadap tuan Puteri. Hamba mengharap bahwa perasaan Putera Mahkota tidak melonjak dan tidak kehilangan pengamatan diri"
"Aku akan berusaha kakang. Tetapi aku kira, dari bangsal ini ia akan mencari kakang Mahisa Agni, karena aku tahu, bahwa kakang telah mengasuhnya dan membuatnya menjadi Anusapati yang sekarang. Bukan Anusapati yang ingin diciptakan oleh Sri Rajasa"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah maksud tuan Puteri?"
"Keputusanku ini juga didorong oleh kenyataan bahwa Sri Rajasa dengan sengaja ingin membuat Anusapati kehilangan pribadinya, sehingga ia akan menjadi seorang anak muda yang sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Singasari"
"Dari siapa tuan Puteri mengetahuinya?" bertanya Mahisa Agni meskipun ia sudah mengetahuinya dari cara pendidikan yang sangat timbang bagi Anusapati dan bagi Tohjaya.
"Dari emban Anusapati yang sampai sekarang masih menungguinya dan yang sebagian waktunya dipergunakannya untuk berada disini. Emban itupun berada didalam kecemasan setiap saat, karena Sri Rajasa dan Ken Umang dapat mengambil tindakan atasnya"
"Kenapa?" "Karena ia tidak berhasil membentuk Anusapati yang cengeng, yang pengecut, penakut dan segala macam sifat yang jelek"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sepantasnya ia mengucapkan terima kasih kepada emban itu. Katanya, "Emban itu pantas mendapat perlindungan tuan Puteri"
"Karena itulah aku tidak pernah berkeberatan ia berada disini"
"Baiklah tuan Puteri, perkenankanlah hamba mohon diri. Hamba akan menunggu Putera Mahkota yang pasti akan mencari hamba. Dan hamba akan mencoba memberikan jawaban yang dapat diterimanya, kenapa hamba baru sekarang memberitahukan kematian Akuwu Tunggul Ametung kepada tuan Puteri"
Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu jawabnya dengan suara yang berat, "terima kasih kakang. Tetapi sudah terasa dihatiku bahwa akan ada badai yang bertiup di Singasari"
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya tuan Puteri. Mudah-mudahan hanya batang-batang yang rapuh sajalah yang akan patah, sedang tunas-tunas yang masih muda akan berkembang semakin subur"
Demikianlah maka Mahisa Agnipun segera meninggalkan bangsal Ken Dedes. Dengan kepala tunduk ia berjalan menyusur petamanan. Ketika terlihat olehnya Sumekar, maka iapun segera berhenti dan mendekatinya.
Sumekar yang sedang berjongkok tidak segera berdiri. Bahkan seolah-olah ia menundukkan kepalanya dalam-dalam menghormati kedatangan wakil Mahkota di Kediri itu.
"Kediri memerlukan petamanan yang beraneka seperti di Singasari" katanya lantang. Beberapa juru tamanpun mendekat sambil berkata, "Tuan. apakah di Kediri tidak ada petamanan seperti disini?"
"Ada tetapi tidak selengkap Singasari. Aku akan memilih beberapa batang, dan aku akan membawanya jika aku kembali ke Kediri"
"O. tentu tidak. Biarlah seorang hamba membawa untuk tuan"
Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Bekerjalah. Aku tidak ingin mengganggu kalian"
Para juru taman itupun segera kembali kepekerjaan masing-masing. Hanya Sumekar sajalah yang tinggal, karena ia sedang menyiangi sebatang pohon bunga.
Sejenak keduanya tidak mengatakan sesuatu. Mahisa Agni berdiri saja memperhatikan Sumekar yang sedang sibuk dengan kerjanya. Jika satu dua orang juru taman yang lain berpaling kepadanya, maka mereka sama sekali tidak bercuriga, bahwa kedua orang itu kemudian telah memperbincangkan masalah yang sangat penting bagi Singasari.
"Jadi tuan Puteri sudah sampai pada batas kesabarannya?" bertanya Sumekar.
"Ya. Sebagian adalah karena desakan Sri Rajasa sendiri, ia ingin memaksa Anusapati untuk lari atas kemauan sendiri dari jabatannya. Namun akhirnya Ken Dedes harus memilih. Ia sadar, bahwa salah seorang dari keduanya harus menyingkir. Dan ternyata Ken Dedes memilih yang benar menurut penilaianku. Sri Rajasa sudah cukup berjasa bagi Singasari. Berbekal Tumapel yang kecil ia sudah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang sekarang. Karena itu, ia tidak boleh berbuat kesalahan dengan menyerahkan kerajaan yang dengan susah payah disusun ini kepada orang yang samasekali tidak akan mampu mempertahankan kehadirannya. Jika Singasari ini benar-benar jatuh ketangan Tohjaya, maka sia-sialah seluruh perjuangan Sri Rajasa. Aku sudah ikut serta menyabung nyawa mempersatukan Kediri yang goyah itu kedalam lingkungan Singasari. Karena itu, aku adalah orang yang paling berkeberatan jika kemudian Tohjaya akan menduduki tahta, bukan karena Sri Rajasa yakin bahwa ia akan dapat memimpin pemerintahan. Tetapi semata-mata karena Ken Umang berpendapat demikian"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menyangka bahwa pada suatu saat akan tiba waktunya hal itu terjadi.
"Karena itu Sumekar" berkata Mahisa Agni, "hati-hatilah. Kau harus mengamat-amati Putera Mahkota. Jika sampai saatnya, maka kau harus bertindak tepat. Jika salah satu dari keduanya tersingkir, sudah tentu bahwa yang sudah hampir terbenamlah yang harus segera terbenam. Bukan karena kita tidak tahu menghargai jasa-jasanya, tetapi justru karena kita tidak mau kehilangan hasil kerjanya yang besar. Aku kira tidak akan ada orang lain yang dapat berbuat seperti Sri Rajasa pada waktu itu. Tetapi aku kira juga tidak ada seorang Maharaja lain yang akan melakukan kesalahan seperti yang sedang dilakukannya"
"Baiklah" jawab Sumekar, "aku akan mencoba"
"Selama ini, aku akan minta bantuan Witantra dan Mahendra, agar ia berada tidak jauh dari istana. Setiap saat kau akan dapat menghubunginya dengan bermacama cara. Mungkin kau dapat membuat panah sendaren atau semacam apapun yang dapat kau kirimkan sebagai isyarat apabila kau menghadapi keadaan yang memaksa dan tiba-tiba"
"Baiklah. Tetapi aku harap mereka memberitahukan, dimana mereka berada"
"Aku akan berusaha bertemu dengan mereka. Pada saat aku kembali ke Kediri, mereka akan sudah berada ditempat yang akan diberitahukan kepadamu"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai orang yang setiap saat menunggui Putera Mahkota, sebenarnya Sumekar sudah tidak telaten lagi. Bahkan ia ingin mendorong agar Putera Mahkota segera berbuat sesuatu.
"Putera Mahkota kurang cepat bertindak" katanya, "meskipun ia memiliki kemampuan yang cukup, namun hatinya yang selalu ragu-ragu dan bimbang telah menahan semua tindakannya"
"Tetapi jika ia tersudut, maka iapun akan mengambil sikap" berkata Mahisa Agni sambil melangkah hilir mudik. Sejenak kemudian, "Sudahlah Sumekar. Sampai nanti. Aku masih akan tinggal untuk beberapa hari disini"
Sepeninggal Mahisa Agni, Sumekarpun merenung diluar sadarnya. Ia sudah mulai membayangkan peristiwa yang penting itu akan terjadi. Namun jika Putera Mahkota mampu melakukan dengan baik, maka tidak akan ada persoalan yang dapat mengguncang Singasari. Bahkan ia berkata didalam hati, "Seperti pada saat Sri Rajasa membunuh Tunggul Ametung menurut ceritera mereka yang menyaksikan. Tidak ada keributan yang timbul kecuali kematian Kebo Ijo"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia tersentak seakan-akan menyadari sesuatu, "Kebo Ijo telah menjadi korban. Tetapi korbannya itu tidak sia-sia bagi Tumapel yang menjadi besar, meskipun bukan semata-mata hal itulah yang dipertautkan. Kebo Ijo sama sekali tidak menyadari bahwa kematiannya itu telah memberi kesempatan Sri Rajasa bertahta dan kemudian rnembuat Tumapel menjadi Singasari yang besar sekarang ini"
Sumekar termenung sejenak. Nafasnya menjadi semakin cepat mengalir oleh deru yang berkecamuk didalam dadanya. Seperti sebuah mimpi ia membayangkan, bahwa jika ada orang yang bersedia berkorban untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi Singasari, alangkah baiknya. Jika ada orang yang berhasil menyingkirkan Sri Rajasa sekarang ini, selagi Putera Mahkota masih seorang yang bernama Anusapati, maka tidak akan ada pilihan lain, bahwa Anusapatilah yang berhak menggantikan kedudukan Sri Rajasa. Sedang apabila usaha itu gagal, maka sama sekali nama Anusapati tidak akan tersangkut didalamnya. Tetapi jika usaha itu berhasil, maka keributan, yang lebih besar akan dapat dihindarkan.
Ternyata bahwa pikiran itu telah membuat Sumekar menjadi gemetar. Keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya. Apalagi ketika ia bertanya kepada diri sendiri, "Siapakah yang dapat membunuh Sri Rajasa?"
Sejenak Sumekar membeku ditempatnya. Namun kemudian keringat dinginnya mengalir diseluruh tubuhnya. Pergolakan didalam hatinya membuatnya bagaikan dibakar diatas bara.
Tiba-tiba terasa kepala Sumekar menjadi pening, dan pepohonan disekitarnya bagaikan berputar-putar. Dalam amukan gejolak perasaan itu seakan-akan ia mendengar suara, "Kenapa bukan kau Sumekar, kenapa bukan kau" Kau sudah berguru bertahun-tahun pada seorang mPu yang mumpuni, bahkan kau sudah berhasil mengembangkan ilmumu dengan caramu"
"O" terdengar Sumekar berdesah. Tubuhnya serasa menjadi terlalu berat dibebani oleh deru perasaannya.
Dalam keadaannya, Sumekar tidak lagi dapat berjongkok. Karena itu, maka iapun segera terduduk dengan lemahnya bertelekan kedua tangannya.
Seorang juru taman yang melihatnya menjadi heran. Baru saja ia melihat Sumekar berbicara dengan Mahisa Agni dalam keadaan sehat. Tetapi tiba-tiba kini ia seakan-akan menjadi kehilangan kekuatannya sama sekali.
"He, kau lihat orang itu?" desis kawannya.
Beberapa orangpun kemudian mendekatinya. Mereka terkejut melihat Sumekar pucat dan berkeringat diseluruh tubuhnya.
"Kenapa kau he?" bertanya salah seorang dari mereka sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
"Kenapa he" sambung yang lain.
Sumekar mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan sepenuh kekuatan ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dicobanya untuk menghayati keadaannya dengan sepenuh kesadaran.
Perlahan-lahan ia berhasil menguasai gejolak didalam dadanya dan karena itu, maka perlahan-lahan semuanya menjadi terang. Dirinya sendiri dan keadaan disekelilingnya.
"Kenapa kau?" Sumekar membuka matanya. Ia sudah berhasil menghentikan putaran yang melingkari dirinya. Karena itu, maka iapun dapat menjawab, "Aku tiba-tiba saja menjadi pening"
"Ha, semalam kau pasti tidak tidur lagi. Kau terlalu sering tidak tidur menurut penghuni disebelahmu"
"Aku tidur sejak sore"
"Jika demikian kau terlalu banyak tidur" sahut yang lain.
"Mungkin" berkata Sumekar sambil memijit-mijit kepalanya.
"Kembalilah kebilikmu. Berhentilah bekerja supaya kau tidak terlanjur pingsan"
Sumekar mengangguk. "Marilah, aku antar kau"
Demikianlah maka Sumekarpun dipapah oleh dua orang kawannya kembali ke rumah, sedang beberapa orang abdi yang lain memandangnya dari kejauhan. Seorang pekatik mendekatinya sambil bertanya, "Kenapa?"
"Tiba-tiba saja ia menjadi pening"
"O" Beberapa emban, juru pengangsu saling berbisik, "Orang itu orang aneh. Ia hampir tidak pernah tidur"
Demikianlah Sumekarpun kemudian dibaringkannya didalam biliknya.
"Tidurlah. Jangan kau pikirkan pekerjaanmu" Sumekar mengangguk.
Sejenak kemudian maka kawannya itupun meninggalkannya. Tetapi demikian pintu ditutup, Sumekarpun bangkit dan duduk dibibir pembaringannya. Dipandanginya pintu gubugnya yang tertutup itu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam.
Seakan-akan suara yang didengarnya itu masih saja bergulung-gulung didalam hatinya. Tetapi kini ia dapat menanggapinya dengan sadar dan tenang, sehingga ia tidak lagi dijerat oleh perasan pening dan bingung.
"Aku akan memikirkannya masak-masak" berkata Sumekar, "apa salahnya jika aku mencoba. Mungkin aku menjadi seorang pembunuh, tetapi aku mempunyai suatu tujuan yang baik. Baik bagi Singasari yang dibina oleh Sri Rajasa, dan baik bagi Putera Mahkota. Jika seandainya didalam matinya Sri Rajasa melihat hasil yang aku peroleh dari perbuatanku, maka ia tidak akan mengutukku"
Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah Anusapati. Apakah Anusapati sependapat dengan rencananya.
"Apakah aku harus mengatakan kepadanya tentang rencana ini?"
Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya kepada diri sendiri, "Aku menjadi bingung"
03 Pelangi Di Langit Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Sumekar masih mempunyai waktu untuk mengendapkan perasaannya. Mahisa Agni masih ada di Singasari untuk beberapa lamanya. Bahkan mungkin ia akan dapat minta pertimbangannya.
Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian kembali membaringkan dirinya. Meskipun ia tidak dapat tertidur, namun ia sempat beristirahat badani. Namun perasaan dan nalarnya masih juga selalu berbenturan tiada hentinya.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berada di bangsal yang khusus disediakan untuknya, berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Puncak pergolakan yang selama ini membakar Singasari akan segera terjadi. Dan Mahisa Agni masih belum dapat memastikan, yang manakah yang akan berhasil keluar dari lingkaran api ini.
Dipuncak pimpinan Singasari kini benar-benar berhadapan dua pihak. Tohjaya dan Anusapati.
Sekilas terbayang wajah kedua anak muda itu. Keduanya memang memiliki kelebihannya masing-masing. Tetapi bahwa Tohjaya dipengaruhi oleh sifat-sifat tamak dan angkuh adalah karena tetesan sifat ibunya.
"Seandainya Ken Arok tidak berhasil dijebak oleh perempuan itu" berkata Mahisa Agni didalam hatinya. Terbayang sejenak, bagaimana Ken Umang berusaha untuk menyeretnya kedalam pengaruhnya. Tetapi untunglah bahwa ia masih cukup sadar untuk mempertahankan dirinya. Bahkan setelah Ken Umang itu berada di istana, ia masih saja berusaha menjebaknya.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi atas dirinya ternyata telah menjauhkannya dari setiap perempuan. Ken Dedes yang kemudian dengan Tunggul Ametung dan kemudian Ken Umang yang memuakkan itu, membuatnya seakan-akan tidak lagi dapat disentuh oleh perasaan yang wajar bagi seorang laki-laki. Pernah ia tergerak melihat seorang perempuan Kediri yang dijumpainya ketika ia sedang dikejar-kejar oleh pemburu-pemburu manusia yang tidak mengenal perikemanusiaan. Tetapi ketika beberapa lamanya ia tidak melihat, maka ia sama sekali tidak lagi dapat membayangkan wajah itu, yang seakan-akan menjadi beku sebeku hatinya.
Dan kini ternyata bahwa laki-laki yang berhasil ditundukkan oleh Ken Umang itu telah kehilangan pegangan hidupnya, meskipun ia seorang Maharaja yang telah berhasil menyatukan seluruh daerah Singasari yang luas ini.
"Sebenarnya Sri Rajasa adalah orang yang paling berjasa mempersatukan Singasari. Tetapi agaknya ia hampir terjerumus untuk menghancurkannya sendiri. Jika ia berhasil mengangkat Tohjaya sebagai penggantinya, maka Singasari yang dengan susah payah diikatnya menjadi satu ini, pasti akan pecah berserakkan" berkata Mahisa Agni didalam hati.
Namun ia masih belum berhasil menguasai kegelisahan dihatinya. Karena itu, maka iapun kemudian melangkah keluar dan berdiri di muka pintu bangsalnya memandang kekajuhan. Desir angin yang lembut mengusap keningnya dan membuat tubuhnya menjadi agak segar.
Ketika terpandang olehnya daun-daun kuning yang berguguran ditanah maka iapun bergumam didalam hati, "Memang yang sudah tidak berguna lagi harus diruntuhkan seperti daun-daun yang kuning itu"
Sekilas Mahisa Agni melihat dua orang prajurit dari pasukan pengawal lewat didepan bangsalnya. Keduanya menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sadar, bahwa sebagai wakil Mahkota di Kediri, maka iapun mendapat pengawalan yang cukup selama ia berada di Singasari.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang masih berbaring dipembaringannya menjadi berdebar-debar. Anusapati pasti akan segera datang kepadanya setelah ia mengetahui bahwa Mahisa Agni telah datang kepadanya.
Tetapi ternyata bahwa Anusapati telah datang lebih dahulu kepada Mahisa Agni. Tanpa ragu-ragu ia langsung datang kebangsal pamannya itu.
"Kau datang kemari?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku tidak peduli lagi paman" berkata Anusapati, "apapun tanggapan orang terhadapku. Dan aku harap pamanpun bersikap demikian sekarang ini. Agaknya semuanya menjadi semakin buruk"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Masuklah"
Keduanyapun kemudian duduk diruang dalam. Dengan wajah yang tegang Anusapati berkata, "Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda?"
"Aku sudah menengok tuan Puteri"
"Apakah yang paman katakan dengan ibunda"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ibundamu mengatakan bahwa sekarang cucunya sudah besar. Sudah mulai berlatih naik kuda dan berkelahi. Bukankah puteramu dengan putera Mahisa Wonga Teleng tidak terpaut banyak sehingga keduanya dapat bermain bersama-sama. Dan yang terpenting berlatih bersama jika keduanya mulai tertarik?"
Anusapatipun menarik nafas panjang pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Ya paman. Anak itu nakal sekali. Keduanya sudah mulai berlatih naik kuda. Aku tidak tahu, kenapa hal itulah yang pertama-tama mereka minta sejak mereka menjadi semakin besar"
"Asal keduanya mendapat pelatih yang baik dan dapat dipercaya, karena keduanya masih terlampau muda. Bahkan mereka masih kanak-kanak untuk menanggapi keadaan yang kini sedang berkecamuk di istana ini"
Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya, "Kadang-kadang aku sendirilah yang mengajari mereka. Tetapi kini rasa-rasanya aku tidak sempat melakukan meskipun aku tidak berbuat apa-apa. Pekatikku yang baiklah yang kini aku serahi mengawasi keduanya. Dan adalah kebetulan sekali, aku mendapatkan dua ekor kuda yang tidak terlampau besar"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Anusapati sudah mendahuluinya, "Apakah paman sudah bertemu dengan ibunda dan mempersoalkan keadaanku sekarang?"
"Aku sudah bertemu dengan ibumu. Tetapi baru sejenak"
"Apakah yang paman katakan kepada ibunda tentang aku?"
"Anusapati" berkata Mahisa Agni, "sebaiknya ibumulah yang mengatakan kepadamu. Tetapi jangan membuatnya gelisah dan cemas. Berbuatlah seperti biasa. Seakan-akan tidak terjadi sesuatu, agar hati ibumu menjadi tenang"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian parah, bagaimana mungkin ia dapat berbuat seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Paman, aku sudah mengutarakan semua isi hatiku kepada ibunda. Bahkan aku telah kehilangan pribadiku sebagai seorang laki-laki dan apalagi sebagai seorang Putera Mahkota, ketika aku tiba-tiba saja menjadi cengeng dan menangis dihadapan ibunda Permaisuri. Apakah jika aku sekarang menghadap aku dapat menghapuskan semua kesan yang pernah terlahir dari sikapku sebelumnya?"
Mahisa Agni meangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab, "Tentu Anusapati. Kau tidak dapat berbuat lain dari pada mengulangi keluhanmu. Tetapi jika kemudian ibundamu mengatakan sesuatu kepadamu, menasihatimu atau memberikan petunjuk-petunjuk kepadamu, janganlah kau tanggapi semata-mata dengan perasaanmu. Kau harus bersikap sebagai seorang laki-laki. Kau harus mencoba mencapai keseimbangan antara perasaan dan nalar sehingga kau tidak terjerumus kedalam sikap yang tergesa-gesa dan apalagi menyusahkan ibundamu"
Anusapati yang menundukkan kepalanya menangkap sesuatu yang tersirat didalam kata-kata Mahisa Agni. Seakan-akan sudah terngiang ditelinganya sesuatu yang sangat penting dan menentukan. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, "Baiklah paman, aku akan pergi menghadap ibunda"
"Nah, bukankah kau sudah mulai dirayapi oleh perasaanmu tanpa menghiraukan nalar. Seharusnya kau mendengarkan aku sampai selesai"
"Apakah paman belum selesai?"
"Aku belum mengatakan selesai"
"Duduklah dengan tenang. Aku ingin melanjutkan keteranganku" Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "ibundamu sudah menjadi semakin tua. Kau harus mengingat akan hal itu, sehingga setiap tindakanmu pasti akan kau pertimbangkan baik-baik dengan keadaan ibumu. Selain dari itu, anakmu menjadi semakin meningkat umurnya. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang anak remaja yang gagah dan nakal. Ia memerlukan tuntunan dan perlindunganmu"
Terasa detak jantung Anusapati menjadi semakin keras. Ia sadar, bahwa jika ia salah langkah, maka akibatnya akan sangat pahit baginya dan bagi keluarganya.
Karena itu maka katanya kemudian, "Baiklah paman. Aku akan mencoba mengendalikan diriku. Aku akan mencoba bersikap sebaik-baiknya agar aku tidak tenggelam dalam arus perasaanku semata-mata"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Anusapati sejenak. Lalu, "Jika demikian, maka bersiaplah. Pergilah menghadap ibundamu dengan hati yang tenang dan penuh pengertian. Ibundamu bukan tempat untuk menumpahkan segala kesalahan. Mungkin kata-kataku agak aneh bagimu. Dan mungkin membuat kau semakin berdebar-debar. Tetapi ingatlah. Kau harus berusaha membuat ibundamu berbahagia dihari tuanya"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku mengerti paman. Sebenarnyalah bahwa aku menjadi berdebar-debar. Aku merasa seakan-akan aku akan dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak pernah aku duga-duga sebelumnya. Tetapi aku berjanji, aku berjanji bahwa aku akan bersikap baik dan menjaga perasaan ibunda agar ibunda tidak menjadi gelisah dan bingung" Namun didalam hati Anusapati berkata terus, "Biar aku sajalah yang menjadi bingung sepanjang umurku"
Demikianlah Anusapatipun kemudian meninggalkan bangsal tempat tinggal Mahisa Agni jika ia berada di Singasari. Dengan kepala tunduk Anusapati berjalan perlahan-lahan. Ia tidak melihat ketika dua orang prajurit yang berpapasan dengannya menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
"Tampaknya Putera Mahkota selalu bersedih akhir-akhir ini" gumam salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Ya. Tampaknya memang ada sesuatu yang mengganggu perasaannya" jawab yang lain.
"Adiknya itu selalu mengadu kepada Sri Rajasa. Dan Sri Rajasa semakin nampak berpihak kepadanya. Bahkan pernah Sri Rajasa marah kepada Putera Mahkota didalam sidang para pemimpin Singasari dan yang tidak dapat dimengerti, Sri Rajasa telah mengancam Putera Mahkota, bahwa kedudukannya bukan kedudukan mati"
"Aku juga mendengar" sahut yang lain, "dan kami yang tua-tua ini tentu tahu apakah sebabnya, setidak-tidaknya pernah mendengar desas-desus tentang Putera Mahkota"
"Tentang apa?" "Siapakah Putera Mahkota yang sebenarnya"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Tetapi hal itu seharusnya sudah dilupakan. Apalagi Sri Rajasa sudah mengangkatnya menjadi Putera Mahkota"
"Seharusnya. Tetapi kadang-kadang orang berbuat diluar keharusan, atau karena kekuasaan maka tidak ada keharusan yang dapat mengikatnya. Kekuasaannya itulah suatu bentuk keharusan yang dikehendakinya sendiri dan bahkan dapat dipaksakannya kepada orang lain"
Kawannya mengerutkan keningnya. Katanya, "Jika kau yang berkuasa, maka kau dapat berbuat apa saja yang kau kehendaki. Dan orang lain harus tunduk kepada kemauanmu. Begitu?"
Yang lain memandanginya sejenak. Namun kemudian ia bersungut-sungut, "Jika aku berkuasa, aku gantung kau diregol depan dengan kakimu diatas. Setiap orang harus memukul perutmu seperti memukul kentongan"
Kawannya berbicara tertawa. Lalu, "Belum lagi berkuasa kau sudah menjadi seorang pemarah"
Keduanyapun kemudian terdiam. Ketika mereka berhenti sejenak disudut bangsal, mereka masih melihat Anusapati berdiri termangu-mangu. Namun Putera Mahkota yang tidak pernah merasa perlu membawa seorang pengawalpun itu melangkah lagi menuju kebangsal Permaisuri.
Ketika Anusapati sampai di halaman bangsal itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Serasa ia akan memasuki rumah seorang Panglima perang yang akan memberikan perintah kepadanya untuk maju kemedan perang.
Karena itu, maka sekilas teringat anak laki-laki yang menjadi semakin besar. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang remaja yang tampan.
"Kalau terjadi sesuatu, taruhanku adalah seluruh keluarga" berkata Anusapati didalam hatinya "Aku, isteriku dan anakku pasti akan menjadi korban. Mungkin menjadi pangewan-ewan di alun-alun. Mungkin dihukum picis disimpang empat atau digantung berjajar didepan regol istana. Bahkan mungkin ibunda Permaisuri akan diikut sertakan dalam kesalahan ini"
Namun sekilas terbayang wajah Mahisa Agni yang perkasa. Dan timbullah pertanyaan didalam hatinya, "Apakah paman Mahisa Agni akan tetap berdiam diri. Bukankah di istana ini ada juga paman Sumekar" Jika terjadi sesuatu, paman Mahisa Agni tentu akan melibatkan paman Witantra, paman Mahendra dan paman Kuda Sempana. Tentu tidak hanya empat orang itu, tetapi pasti ada pengikut-pengikut yang dapat bergerak sekedar mengguncang kekuasaan Sri Rajasa. Apalagi paman Mahisa Agni pernah menjadi panglima pasukan yang terdiri dari orang-orang Kediri itu sendiri ketika ia memecah Kediri waktu itu. Dalam keadaan yang tersudut, ia pasti masih mampu menggerakkan orang-orang itu dan bekas-bekas prajurit Kediri yang menyimpan dendam meskipun umur mereka menjadi semakin tua seperti paman Mahisa Agni. Bahkan para bangsawan di Kediri yang sampai sekarang masih diberi wewenang memerintah dibawah pengawasan paman Mahisa Agni pasti merasa lebih dekat dengan paman Mahisa Agni daripada kepada ayahanda Sri Rajasa, dan apalagi adinda Tohjaya"
Memang sering terpercik didalam hati Anusapati suatu angan-angan, apakah kira-kira yang dapat terjadi jika ia minta kepada pamannya Mahisa Agni untuk merubah kekuasaan yang ada di Singasari dengan kekerasan. Tetapi ia tidak pernah dapat mengatakannya meskipun ia yakin bahwa Mahisa Agni mempunyai cukup kekuatan untuk itu. Namun sebagai seorang yang mencintai kesatuan Singasari yang sudah bulat itu, Anusapati tidak dapat berbuat demikian. Jika ia memaksa pamannya untuk melawan Sri Rajasa, berarti di Singasari akan pecah perang besar yang akan memecah belah kesatuan yang dengan susah payah sudah dihimpun oleh Sri Rajasa.
"Aku harus membedakan antara ayahanda yang sekarang terlampau memanjakan Tohjaya dengan hasil kerja yang besar dari ayahanda itu" berkata Anusapati didalam hatinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyadari bahwa pengertian itu diperolehnya dari tuntunan pamannya Mahisa Agni.
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melangkah kepintu bangsal ibunda yang terbuka. Sekali ia berpaling kearah prajurit yang bertugas mengawal bangsal itu. Tampaknya prajurit itu tidak begitu menghiraukannya. Setelah membungkukkan kepalanya, maka prajurit itupun kemudian memandang lagi kejauhan dengan tatapan mata yang kosong.
Sejenak kemudian maka Anusapatipun melangkah kembali masuk kcdalani bilik ibunya. Ternyata ibunya berbaring seorang diri. Adik-adiknya tidak berada didalam bilik itu.
"O, kau Anusapati" sapa Ken Dedes yang kemudian segera bangkit dari pembaringannya. "Duduklah"
Anusapatipun kemudian duduk diatas sebuah dingklik kayu yang rendah disamping pembaringan ibunya itu.
"Baru saja Mahisa Wonga Teleng meninggalkan bangsal ini" berkata Ken Dedes kemudian, "adik-adikmu yang lain ikut bersamanya"
"O" Anusapati mengangguk.
"Aku sudah menyangka bahwa kau akan kemari"
Anusapati mengerutkan keningnya. Dan ibundanya berkata pula, "Apakah kau sudah menemui pamanmu?"
Anusapati mengangguk, "Ya ibunda, hamba baru saja menghadap pamanda Mahisa Agni"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Semuanya memang harus berakhir. Dan kedatangan Anusapati kini adalah permulaan dari akhir yang bagaimanapun bentuk ujudnya.
Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, "Apakah pamanmu mengatakan sesuatu kepadamu?"
Anusapati menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak ibu. Pamanda Mahisa Agni tidak mengatakan apa-apa kepada hamba, selain beberapa macam nasehat"
"O" Ken Dedes mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan pamanda Mahisa Agni mengharap hamba untuk dengan tenang menghadapi segala macam masalah. Hamba tidak boleh kehilangan akal dan bertindak tergesa-gesa"
Ken Dedes mengangguk-angguk pula. Katanya, "Memang semuanya harus segera menjadi jelas. Ibulah yang berkewajiban untuk mengatakan kepadamu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia berdiri dihadapan sebuah ruang yang gelap pekat. Seseorang siap untuk menyalakan obor didalamnya. Dan ia akan melihat isi dari ruang yang akan segera menjadi terang. Mungkin didalam ruang itu ada seekor harimau yang siap menerkamnya, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng dengan tanduknya yang runcing. Ia sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa didalam ruang yang gelap itu terdapat seekor burung merak yang indah atau seekor kijang yang jinak.
Karena itulah maka Anusapati menjadi berdebar-debar. Jantungnya semakin lama semakin keras berdetak dan rasa-rasanya darahnya menjadi semakin cepat mengalir.
Tetapi justru karena itu ia ingin segera melihat, rahasia apakah yang sebenarnya tersimpan dirongga dada ibundanya.
"Mungkin perasaan ibunda akan menjadi ringan setelah ibunda melepaskan rahasia yang agaknya sudah lama tersimpan itu" berkata Anusapati didalam hatinya, "apapun akibatnya buat aku dan adik-adikku"
Sejenak kemudian Anusapati mengangkat wajahnya ketika ibunya berkata, "Kemarilah Anusapati, mendekatlah"
Anusapati memandang ibunya sejenak. Nafasnya terasa semakin berdesakan dilubang hidungnya.
"Sudah sepantasnya kau mendengar" berkata ibunya, "kau sudah cukup dewasa sekarang. Bukan saja dewasa, tetapi kau sudah mempunyai seorang anak yang menjadi semakin besar pula. Dan sebaliknya, jika kalian masih akan berkembang terus, maka ibumu akan menjadi semakin layu. Seperti matahari, ibumu sudah akan tenggelam diujung Barat"
Anusapati menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ibunya yang kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik itupun kemudian melanjutkannya, "Anusapati. Kau dapat melemparkan kesalahan kepadaku, kepada ibumu, bahwa semuanya telah terjadi dan membuat kau sangat berprihatin"
Anusapati sama sekali tidak menjawab.
"Setiap kali kau datang kepadaku, setiap kali hatiku menangis lebih parah dari titik air mataku yang kau lihat mengalir dari pelupukku, karena aku tahu jauh lebih banyak dari apa yang aku katakan"
Anusapati menggigit bibirnya. Ia memang sudah merasa jahwa ibunya tentu menyembunyikan sesuatu.
"Dan sekarang rahasia ini tidak dapat aku simpan lebih lama lagi justru mengingat kedudukanmu yang semakin goyah. Jika hal ini aku lakukan, sama sekali bukan karena aku inginkan untuk tetap berada pada kedudukanku yang sekarang, tetapi adalah karena suatu perbandingan, apakah yang sebaiknya terjadi di Singasari"
Anusapati yang untuk beberapa saat hanya berdiam diri itupun kemudian menjawab, "Ya ibunda"
Namun demikian, hatinya seakan-akan tidak lagi dapat malahan kesabaran untuk segera mengetahui apakah yang akan dikatakan oleh ibunya itu. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya dan memaksa ibunya untuk segera mengatakannya.
"Anusapati" berkata ibunya, "setiap kali kau selalu bertanya, kenapa sikap ayahanda Sri Rajasa kepadamu dan kepada adik-adikmu, terutama Tohjaya terasa tidak adil"
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Anakku. Yang sudah kau lihat, kau adalah anakku, sedang Tohjaya adalah anak Ken Umang. Aku adalah seorang perempuan yang lain dari Ken Umang. Aku tidak dapat membuat Sri Rajasa mengasihi anak-anakku seperti Sri Rajasa mengasihi anak-anak Ken Umang. Dan ini adalah kesalahanku"
Anusapati menundukkan kepalanya. Jika ibunya bersikap demikian, dan mencari kesalahan pada diri sendiri, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Dan agaknya ia sama sekali tidak menjumpai harimau, atau seekor ular raksasa, atau seekor banteng liar bertanduk runcing didalam ruang yang gelap itu. Tetapi ia akan melihat ibunya sedang mencekik dirinya sendiri. Dan itu tidak boleh terjadi.
"Karena itu Anusapati" ibunya melanjutkan.
"Aku tidak ingin mendengar ibu mengutuk diri sendiri. Jika memang hal itu yang akan ibu katakan, maka agaknya lebih baik hamba tidak mendengarnya, karena hal itu justru akan menambah hati hamba menjadi semakin parah. Lebih baik ibu marah kepada hamba, atau ibu memberikan perintah untuk suatu tugas yang berat dalam usaha membebaskan diri dari ikatan yang selama ini membelenggu hati"
Ken Dedes memandang anak laki-lakinya itu dengan hati yang pedih.
"Aku akan mengatakannya Anusapati" berkata Ken Dedes dengan suara parau.
Anusapati mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itupun segera tertunduk kembali.
Sejenak Anusapati menunggu, tetapi ia tidak mendengar kata-kata ibunya. Bahkan iapun terperanjat ketika ia merasa ibunya memeluknya dari belakang dan membelai kepalanya seperti ia membelai anaknya yang masih terlalu muda. "Anusapati" berkata ibunya, "dengarlah. Adalah wajar jika Sri Rajasa tidak mengasihmu seperti adik-adikmu, terutama Tohjaya. Bukan saja karena aku tidak dapat melayani Sri Rajasa seperti Ken Umang, tetapi ada sebab lain yang jauh lebih dalam dari perbedaan ibu itu"
Dada Anusapati terasa berdesir mendengar kata-kata ibunya itu. Dengan penuh minat ia menatap wajah ibunya yang melanjutkan kata-katanya, "Anusapati, apakah kau sudah siap mendengar penjelasanku lebih lanjut?"
Anusapati mengangguk. Dengan suara yang dalam ia menjawab, "Hamba sudah terbiasa mendengar persoalan-persoalan yang pahit bagiku ibu. Apapun yang akan hamba dengar, tidak akan menggetarkan dadaku lagi"
Tetapi ibunya menggeleng. Jawabnya, "Kau justru pernah menitikkan air mata Anusapati"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
"Dengarlah" berkata ibunya sambil membelai rambut naknya, "mungkin kata-kataku akan terdengar aneh ditelingamu dan akan membuat hatimu sakit. Tetapi kau harus mengetahuinya" suara abunya menjadi sendat. Tetapi diteruskannya, "Sebenarnyalah bahwa kau bukan putera Sri Rajasa"
"Ibu" Anusapati hampir terpekik. Tetapi ibunya memeluknya erat-erat.
"Ya Anusapati. Kau lahir bukan karena tetesan darah Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi"
Kata-kata ibunya itu cukup jelas terdengar ditelinga Anusapati. Betapapun ia menjaga keseimbangan perasaannya, namun tiba-tiba saja ia terlonjak berdiri sambil mengibaskan pelukan ibunya. Dengan sorot mata yang seakan-akan menyala ia memandang Permaisuri dengan tajamnya.
"Jadi, jadi" suara Anusapati tergagap.
Namun dalam pada itu, setelah melepaskan kata-kata yang selama ini membebani perasaannya, justru Ken Dedes menjadi tenang. Didekatinya anaknya sambil berkata, "Anusapati. Itulah kenyataanmu anakku"
"Jadi-jadi, jadi, siapakah hamba sebenarnya" Apakah hamba juga bukan putera ibunda Permaisuri?"
"Kau anakku Anusapati. Aku adalah ibumu. Ibu kandungmu"
"Tetapi kenapa aku bukan putera Sri Rajasa" Apakah, apakah pernah terjadi sesuatu . . . . " Anusapati tidak dapat meneruskan kata-katanya.
Namun agaknya ibunya mengerti apa yang tersirat dihati anaknya sehingga ia menyahut, "Tidak Anusapati. Tidak ada pelanggaran pagar ayu dan tidak ada perbuatan terkutuk dimasa kegadisanku. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku kawin dengan Sri Rajasa setelah aku menjadi janda"
"Ibu" mata Anusapati terbelalak karenanya.
"Kau adalah Putera Akuwu Tunggul Ametung yang dahulu berkuasa di Tumapel. Sri Rajasa yang kemudaan menggantikan kedudukannya, berhasil mempersatukan Tumapel dan Kediri serta daerah-daerah lainnya sehingga disebutnya kemudian Singasari. Sebagian dari perjuangan Sri Rajasa mempersatukan Singasari pasti masih ada yang kau ingatnya"
Anusapati berdiri tegak seperti patung. Meskipun benar seperti apa yang dikatakannya, bahwa ia sudah terbiasa mendengar kata-kata keras, kasar dan sindiran-sindiran tajam yang menyakiti hatinya, namun pengakuan ibunya itu benar-benar telah membuatnya bagaikan kehilangan perasaan. Bahkan bagaikan kehilangan dirinya sendiri.
"Anusapati" berkata ibunya kemudian, "cobalah kau menanggapi hal ini dengan sikap dewasa. Bukankah kau sudah siap mendengar keteranganku yang bagaimanapun pahitnya bagimu"
Anusapati masih belum menjawab. Namun tiba-tiba saja tangannya menjadi gemetar. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia menggeram, "Ibu, jika demikian, maka Tohjaya sama sekali tidak ada hubungan darah dengan hamba"
Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk.
"Jika demikian apa gunanya hamba selama ini merendahkan diri dan membiarkan diriku dihinakannya" tiba-tiba wajah Anusapati menjadi tegang, "Hamba tidak peduli lagi akan anak itu. Hamba harus membuat perhitungan"
"Anusapati" Anusapati tidak menghiraukannya. Wajahnya sudah menjadi semerah nyala dimatanya. Namun sesaat sebelum ia meloncat, ibunya sudah berlari memeluknya. Dengan nada yang dalam ibunya berkata, "Anusapati. Kau sudah berjanji untuk mendengar keteranganku dengan hati yang tenang. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu"
"Lepaskan hamba ibu. Lepaskan. Buat apa hamba membiarkan diriku terhina jika aku sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengan Tohjaya" Hanya karena hamba hormat kepada Sri Rajasa yang hamba anggap ayah kandung, itulah hamba tidak berbuat apa-apa atasnya. Tetapi ternyata bahwa hamba bukan anak Sri Rajasa"
"Tenanglah Anusapati. Semua tindakan yang tergesa-gesa tidak akan menguntungkan. Tentu Sri Rajasa tidak akan membiarkan anaknya mengalami bencana"
"Biarlah hamba dibunuhnya. Tetapi hamba mendendamnya"
"Jangan memanjakan dendam didalam hati. Tenanglah"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Pelukan ibunya terasa semakin erat ditubuhnya. Bahkan kemudian setitik air yang hangat meleleh ditangannya.
"Anusapati, aku adalah ibumu. Apakah kau masih mau mendengarkan kata-kataku"
Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
"Anusapati, apakah kau masih mau mendengar keteranganku?"
Jilid 25 " Manggis Putih
ANUSAPATI tidak menjawab. Tetapi ia tidak lagi berusaha untuk melepaskan tangan ibunya yang memeluknya erat-erat seperti memeluk anak-anak yang sedang menangis meronta-ronta.
"Anusapati" suara ibunya lirih tetapi serasa meresap sampai kepusat jantung, "endapkan perasaanmu. Jangan kau biarkan hatimu melonjak-lonjak. Aku mengerti perasaanmu anakku. Bahwa kau seakan-telah melihat wajahmu sendiri di wajah air yang bening tenang. Seolah-olah kau melihat bahwa wajahmu bukan lagi wajah keturunan dewa-dewa, tetapi kau melihat dirimu sebagai manusia biasa. Tetapi jangan menyesali diri. Bahwa apa yang kita terima dari yang Maha Agung adalah yang paling baik buat kita"
Anusapati tidak menjawab. Kepalanya perlahan-lahan tertunduk dalam-dalam. Terasa didada ibunya, nafas anaknya yang seakan-akan mengalir seperti banjir.
"Duduklah Anusapati"
Anusapati tidak dapat menilai sikapnya sendiri. Perlahan-lahan ia duduk diatas dingklik kayu dan ibunyapun melepaskannya dari pelukannya.
"Jangan terbakar oleh kenyataan yang memang harus kau hadapi"
Anusapati mengangguk. Dengan suara yang parau ia berkata, "Ibu, jika demikian, maka siapakah sebenarnya hamba" Siapakah Akuwu Tunggul Ametung dan siapakah ibunda sendiri dihadapan Akuwu dan Sri Rajasa"
"Anusapati" berkata ibunya kemudian, "seperti yang aku katakan, aku adalah Permaisuri Akuwu Tunggal Ametung di Tumapel. Tetapi ketika aku sedang mulai mengandung, maka Akuwu Tunggul Ametung meninggal dunia. Dalam kesepian yang pedih, hadirlah seorang anak muda bernama Ken Arok, sehingga akhirnya aku dikawininya. Karena itulah maka kau lahir setelah aku menjadi Permaisuri Ken Arok yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung"
Wajah Anusapati yang tunduk menjadi semakin tanduk. Namun dalam pada itu, didalam dadanya bergolak berbagai macam perasaan. Kadang-kadang ia dapat mengerti apa yang telah terjadi. Tetapi keagungan cintanya kepada ibunya, rasa-rasanya melonjak ketika ia mendengar, bahwa ibundanya kawin dengan Ken Arok begitu cepat setelah ayahnya meninggal, sehingga ketika ia lahir ibundanya telah menjadi Permaisuri Ken Arok, yang menggantikan kedudukan Akuwu Tunggul Ametung.
Demikianlah maka rasa-rasanya ibundanya sama sekali tidak menjadi berduka cita atas kematian ayahandanya. Bahkan dengan segera ia telah berhasil menggantungkan cintanya kepada orang lain.
Dan tiba-tiba saja, diluar sadar bibirnya telah bergetar dan melontarkan kata-kata, "Apakah ibunda tidak mencintai Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Dedes terkejut mendengar pertanyaan itu. Sehingga iapun bertanya, "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Ibu, jika ibu mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung seperti yang ibu katakan, apakah ibu dapat melakukannya" Belum lagi api pembakaran mayat ayahanda padam, ibunda telah melangsungkan perkawinan dengan orang yang ibunda sebut bernama Ken Arok dan yang kemudian menjadi Akuwu di Tumapel, dan yang sekarang ini bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
"Kau salah mengerti anakku. Aku mencintai ayahandamu Akuwu Tunggul Ametung. Kematiannya membuat aku kesepian dan kehilangan pegangan. Pada saat itu hadir orang yang dapat memberi aku jalan pelepasan"
"Dan ibu segera melupakan ayahanda dan kawin dengan laki-laki itu. Bukan saja ibunda dikawininya, tetapi hak atas Tumapel itupun sekaligus ibunda serahkan kepadanya"
"Anusapati" Dan tiba-tiba saja Anusapati menjadi kehilangan pengamatan dirinya. Tekanan perasaan yang tidak tertahankan membuatnya bagaikan terbakar. Karena itu maka katanya kemudian dengan suara parau, "Jika ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung, maka tidak begitu mudahnya ibunda mencintai orang lain. Dan jika ibunda tidak mencintai Sri Rajasa, ternyata ibunda adalah seorang yang mendambakan nafsu semata-mata"
"Anusapati" "Ibunda. Bukankah yang terjadi sekarang ini akibat dari perbuatan dosa ibunda itu" Hambalah yang sekarang harus menanggung akibatnya. Dihinakan dan disisihkan dari hubungan kasih keluarga tanpa mengetahui sebab musababnya. Baru sekarang hamba tahu, bahwa bukan salah Sri Rajasa, bukan salah Tohjaya dan bukan salah siapapun juga. Sebenarnyalah bahwa hamba memang bukan keluarga mereka. Dan hamba memang pantas untuk dihinakan dan dijauhkan dari kasih keluargaku"
"Cukup Anusapati, cukup. Aku sudah mengatakan, bahwa akulah yang bersalah. Akulah yang telah berbuat dosa. Tetapi bukan maksudku untuk membuat kau menderita karenanya. Meskipun kau bukan putera Sri Rajasa, tetapi kau tetap mendapatkan hakmu sebagai Putera Mahkota"
"Apakah artinya kedudukan itu sekarang ibunda. Hamba pasti sudah menjadi sampah di halaman istana ini jika tidak ada paman Mahisa Agni. Hamba pasti tidak akan bernilai lebih baik dari seorang juru taman jika paman Mahisa Agni tidak berbuat sesuatu yang mengagumkan atas hamba. Paman Mahisa Agnilah yang membuat hamba diterima oleh rakyat Singasari karena mereka menganggap bahwa hambalah Kesatria Putih itu seutuhnya. Dan itu adalah hasil perbuatan paman Mahisa Agni, seperti juga kemampuan yang hamba miliki sekarang, sehingga hamba selamat dari kematian oleh tangan Kiai Kisi"
Ken Dedes terhenyak dipembaringannya. Dengan kedua belah tangannya ia menutup wajahnya yang basah karena air mata. Namun agaknya dada Anusapati masih juga pepat, sehingga ia masih juga berkata, "Dan sekarang hamba harus melihat bahwa diri hamba sebenarnya tidak lebih dari seorang anak yang sudah tidak berbapa. Hamba adalah seorang yang memang sebenarnya tidak berharga bagi Sri Rajasa, karena hamba adalah anak orang lain. Anak yang ditinggalkan didalam perut ibunda oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan Ken Arok. Bahkan hamba adalah manusia yang paling terkutuk dimata Ken Arok itu karena setiap kali Sri Rajasa melihat hamba, maka pasti ia akan teringat kepada Akuwu Tunggul Ametung. Betapa bencinya Ken Arok terhadap Akuwu Tunggul Ametung karena Akuwu itu telah merampas kegadisan Ibunda dimasa muda dan meninggalkan seorang anak laki-laki yang akan tetap membuatnya terkenang atas kekecewaannya itu. Dan apalagi anak laki-laki itu sekarang merasa dirinya berhak untuk menyebut dirinya Putera Mahkota" suara Anusapati terputus sejenak. Lalu, "alangkah malunya hamba kepada diri sendiri. Jika aku tahu tentang diri hamba, maka hamba tidak akan menerima kedudukan itu. Hamba akan manyingkir dari istana ini dan mengikuti paman Mahisa Agni dipadepokan yang terpencil itu. Paman Mahisa Agni pasti akan rela melepaskan kedudukan yang betapapun tingginya, karena sebenarnya paman Mahisa Agni sama sekali tidak menginginkannya, ia ada didalam istana pada waktu itu hanya semata-mata karena hamba. Dan ia kini berada di Kediri sebagai wakil Mahkota, adalah karena paman ingin tetap mempunyai pengaruh dalam pemerintahan Singasari juga semata-mata karena hamba"
"Kau salah Anusapati" sahut ibunya disela-sela isaknya yang tertahan, "pamanmu Mahisa Agni mengasihimu. Tetapi jangan disangka bahwa pamanmu tidak mencintai Singasari. Semua yang diperbuatnya adalah untuk Singasari"
"Hamba tahu ibu. Tetapi Singasari bagi paman Mahisa Agni bukan sekedar kekuasaan Sri Rajasa. Singasari adalah keseluruhan wadah dan isinya. Dan Singasari adalah suatu kesatuan yang utuh sekarang ini. Tetapi paman Mahisa Agnipun tahu, bahwa Singasari sedang diancam oleh ketamakan seorang isteri dan anak dari yang berkuasa sekarang. Jika hamba mengatakan bahwa paman Mahisa Agni telah berbuat banyak sekali untuk hamba sakarang ini, hamba yang sudah terlanjur menjadi Putera Mahkota itupun adalah karena pamanda Mahisa Agni mencintai Singasari dan mengasihi hamba. Jika tidak, maka paman Mahisa Agni tidak akan membina hamba menjadi seorang yang mampu berbuat sesuatu seperti sekarang ini, dan paman Mahisa Agni tentu tidak akan berusaha membendung kekuasaan yang akan melimpah kepada tangan yang menurut paman Mahisa Agni tidak akan dapat mempertahankan dan apalagi mengembangkan Singasari yang sekarang ini. Jika paman Mahisa Agni tidak mempedulikan hamba, tetapi semata-mata mempedulikan Singasari, maka ia akan dapat berbuat lain dari yang dilakukannya sekarang. Tetapi jika paman Mahisa Agni hanya mengasihi hamba dan tidak mengingat Singasari, maka alangkah baiknya jika hamba pergi kepada paman Mahisa Agni di Kediri dan bersama-sama memberontak. Maka pasti Singasari akan pecah dan kemungkinan terbesar kami akan menang. Tetapi Singasari akan digenangi darah rakyatnya yang sedang berusaha mengembangkan negeri ini"
Ken Dedes tidak lagi dapat membendung air matanya yang mengalir semakin banyak. Bahkan kemudian terdengar isaknya semakin lama menjadi semakin keras. Dan tiba-tiba saja diantara tangisnya ia berkata, "Sudah aku katakan Anusapati. Aku memang bersalah. Jika aku tidak bertemu dan tidak menerima orang itu disaat aku kehilangan Akuwu Tunggal Ametung, maka keadaannya akan jauh berbeda. Sebenarnyalah bahwa aku akan memilih hidup dipadepokan jika aku mendapat kesempatan. Tetapi tidak. Aku tidak dapat memilih selain harus pasrah diri di istana Tumapel"
"Tentu tidak. Ibunda tentu akan dapat memilih. Jika ibunda tetap berbakti kepada ayahanda Tunggul Ametung, dan jika ibunda benar-benar mencintainya, maka ibunda tidak akan melakukannya meskipun orang yang bernama Ken Arok itu setiap hari duduk berimpuh dibawah kaki ibunda, namun yang kini akhirnya telah menginjak tengkuk keturunan ibunda. Tentu pada saat ibunda menerima lamaran Akuwu Tunggul Ametung, ibunda merasa sangat berbahagia, tetapi bukan karena mencintai Akuwu Tunggul Ametung. Ibunda saat itu hanya memandang bahwa ibunda menerima lamaran seorang Akuwu, sedangkan ibunda adalah seorang gadis padepokan. Tetapi karena itulah, maka sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung, maka seketika itu pula ibunda sudah barhasil melupakannya"
"Anusapati" "Kenapa ibu tidak berani melihat wajah sendiri betapapun buruknya"
"Tidak. Tidak" tiba-tiba Ken Dedes berdiri. Dipandanginya wajah anaknya dengan tajamnya. Dan tiba-tiba saja diluar sadarnya ia berkata, "Kau salah. Sama sekali salah. Akuwu Tunggul Ametung tidak datang kepada ayahku untuk melamar sebagai lazimnya seorang laki-laki meminang seorang gadis. Tetapi aku telah dirampas dan dilarikannya dengan paksa. Aku telah diambilnya tanpa setahu ayahku, seorang pendeta dipadepokan Panawijen. Kakekmu telah kehilangan aku bukan karena lamaran seorang Akuwu"
Jawaban ibunya itu telah membuat dada Anusapati berdentangan. Semula ia ragu-ragu mendengar keterangan itu, seakan-akan bahwa ayahnya yang baru dikenalnya itu telah menculik ibunya yang bernama Ken Dedes itu dari padepokan, sehingga oleh hentakan berbagai perasaan didadanya, ia bahkan tidak mempercayainya. Kebenciannya kepada Sri Rajasa, yang tertahan-tahan dan yang tiba-tiba saja meledak setelah mengetahui bahwa Sri Rajasa sama sekali bukan ayahnya, meluap tanpa dapat dikendalikannya. Dan itulah sebabnya maka ia tidak dapat menelan kenyataan yang dihadapkan ibunya kepadanya, bahwa ayahnya yang sebenarnya itupun telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.
Karena itu maka katanya, "Ibunda. Ternyata bahwa ibunda telah memutar balikkan kenyataan. Hamba tidak dapat mengerti yang manakah yang benar. Ibunda mula-mula mengatakan bahwa ibunda mencintai ayahanda Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian ibunda mengatakan bahwa ayahanda Akuwu Tunggul Ametung telah berbuat kesalahan. Ibunda tidak diambil dari padepokan dengan upacara kebesaran lamaran seorang Akuwu, tetapi ibunda telah dilarikannya. Yang manakah yang harus hamba percaya. Tetapi bahwa ibunda telah mencintai Sri Rajasa itulah yang benar. Bahkan mungkin kematian ayahanda Tunggul Ametung adalah suatu hal yang menyenangkan sekali bagi ibunda, karena ibunda telah terlepas dari sangkar yang telah dibuat oleh Akuwu Tunggul Ametung"
"Anusapati" wajah ibunnya menjadi merah padam, "kau adalah anakku. Aku melahirkan kau dengan bertaruh nyawa. Sekarang kau berani menghinaku. Anusapati, apapun yang telah aku lakukan, tetapi aku mencintaimu. Kau adalah anakku yang selalu membuat aku prihatin. Aku mengharap kau kelak tidak mengalami masa-masa yang paling pahit didalam hidupmu. Dan kini selagi aku berusaha dengan segenap hati, kau . . . kau . . . " suara Ken Dedes terputus dikerongkongan.
Namun agaknya hati Anusapati telah tertutup. Kepahitan hidup dan kenyataan yang bercampur baur itu membuatnya kehilangan pegangan.
Karena itu maka katanya, "Ibunda. Kenapa ibunda masih juga mengatakan bahwa ibunda mencintai hamba, mencintai ayah" Jika ibunda mempertahankan kedudukanku sekarang sebagai Putera Mahkota, sebenarnya sama sekali bukan untuk kepentingan hamba, tetapi semata-mata karena ibunda ingin tetap duduk di atas kedudukan ibunda, seorang Permaisuri. Alangkah nistanya martabat seorang Permaisuri yang harus turun dari kedudukannya karena ada perempuan lain yang mendesaknya"
"Anusapati, Anusapati" Ken Dedes membentak hampir menjerit sehingga seorang emban yang mendengarnya diluar menjadi termangu-mangu. Tetapi justru karena ia mengetahui bahwa agaknya Permaisuri marah dan bahkan bertengkar dengan Putera Mahkota, ia sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Bahkan rasa-rasanya tubuhnya menjadi gemetar dan dadanya berdebar-debar.
Dalam pada itu, Ken Dedes yang menjadi marah pula, justru kehilangan kemampuan untuk mengucapkan kata-kata. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia harus bertengkar dengan Anusapati. Anak yang selama ini membuatnya sangat berprihatin. Namun yang kemudian menjadi salah paham ketika ia mendengar kenyataan tentang dirinya itu.
Namun karena Ken Dedes seakan-akan menjadi terbungkam itulah, maka ternyata dadanya telah menggeletar. Yang tidak dapat diucapkannya itulah yang seakan-akan telah mengambang didalam dirinya, sehingga karena itulah maka tanpa disadarinya, dari dalam dirinya telah memancar cahaya yang hanya tampak oleh mata hati yang telah terbuka.
Ternyata bahwa selama ini, selama Anusapati mengalami pembajaan diri, serta dasar-dasar ilmu Gundala Sasra dan bahkan sekaligus kemampuan menyerapan dari kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, ternyata bahwa Anusapati yang muda itupun telah mampu mempergunakan mata hatinya diluar sadarnya. Dan itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja ia melihat cahaya yang menyilaukan dari tubuh ibunya. Tubuh yang disaat-saat tertentu seakan-akan telah memancar dalam bentuk yang berlainan.
Anusapati sejenak membeku ditempatnya. Namun cahaya yang silau itu rasa-rasanya langsung menusuk tubuhnya dan menghunjam jauh kepusat jantungnya, sehingga tiba-tiba saja ia menutup wajahnya sambil berkata, "Ibu, jangan ibu . . "
Sejenak Ken Dedes termangu-mangu. Ia tidak mengerti apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Namun dalam pada itu, meskipun Anusapati telah menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tetapi cahaya itu bagaikan menembus pelupuk matanya yang terpejam.
"Ibunda" tiba-tiba Anusapati berlutut, "ampun ibunda. Ampun"
Ken Dedes yang sedang marah itu tiba-tiba tergugah pula hatinya ketika ia melihat anaknya berlutut. Seakan-akan ia telah dihadapkan kembali kepada Anusapati dalam keadaan sehari-hari. Anak laki-lakinya yang selalu dirundung oleh kepahitan dan tekanan perasaan. Karena itulah maka hatinyapun manjadi cair. Perlahan-lahan ia mendekati anaknya dan sekali lagi dipeluknya kepala anaknya yang sedang berjongkok itu. Katanya, "Anusapati. Bangkitlah. Ibu tidak marah lagi"
Tetapi Anusapati masih memejamkan matanya dan menutup wajahnya meskipun terasa pelukan ibunya yang hangat.
"Anusapati, kenapa kau seakan-akan menjadi silau dan menutup wajahmu dengan tanganmu. Pandanglah, inilah ibumu"
Anusapati mendengar suara ibunya itu. Suara yang lembut. Karena itu, maka perlahan-lahan ia membuka matanya dan mengangkat tangannya yang menutup wajahnya itu.
Kini ia tidak melihat apapun lagi. Perlahan-lahan ia memandang ibunya yang masih memeluknya. Tetapi ibunya itu adalah ibunya yang dilihatnya setiap hari.
Karena itu, maka sadarlah Anusapati, bahwa sebenarnyalah bahwa ibunya bukannya orang kebanyakan. Bukannya gadis padepokan seperti gadis-gadis padepokan yang lain. Tetapi ibunya tentu mempunyai kelebihan. Meskipun Anusapati tidak tahu apakah arti dari cahaya yang seakan-akan memancar dari jantung ibunya itu, namun bagi Anusapati, cahaya itu pasti mempunyai arti yang dalam.
Dengan demikian maka sambil memeluk ibunya ia tidak dapat lagi menahan air matanya yang mengambang dipelupuknya. Katanya dalam nada yang berat terputus-putus, "Ampunkan hamba ibunda. Hamba ternyata telah berbuat kasar terhadap ibunda. Sama sekali bukan maksud hamba. Mungkin didorong oleh gejolak perasaan yang tidak dapat hamba kuasai lagi"
"Sudahlah Anusapati" sahut Ken Dedes sambil membelai rambut anaknya yang masih berjongkok sambil memeluknya, "jangan hiraukan lagi dan lupakanlah apa yang sudah terjadi. Terimalah kenyataan tentang dirimu dengan sikap dewasa. Alangkah beratnya bagi ibunda untuk menunjukkan kenyataan ini kepadamu. Mungkin karena ibunda tidak mempunyai keberanian, tetapi juga mungkin karena ibunda menunggu sampai ibunda yakin bahwa kau sudah cukup kuat menerima kenyataan ini, maka barulah sekarang ibunda mengatakannya"
"Ibunda" berkata Anusapati, "lalu apakah yang seharusnya hamba perbuat. Kini hamba telah dapat melihat kenyataan tentang diri hamba"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Cobalah, cernakan dahulu apa yang kau ketahui. Barulah kau berpikir dengan bening, apakah yang sebaiknya kau lakukan"
Anusapati mengangguk. Perlahan-lahan dilepaskannya ibunya. Dan dengan kepala tunduk iapun kemudian duduk diatas dingklik kayu sambil merenung.
"Ibu" tiba-tiba ia bertanya, "apakah sebabnya maka ayahanda Tunggul Ametung yang saat itu menjadi Akuwu Tumapel meninggal" Apakah ayahanda Tunggul Ametung memang sudah tua atau karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh para dukun yang paling pandai dari seluruh Tumapel?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mendebarkan. Jika Ken Dedes menjawab yang sebenarnya, maka ia cemaskan bahwa Anusapati akan mengalami kejutan lagi dan kehilangan pengamatan diri. Tetapi jika ia tidak berkata sebenarnya, maka niatnya untuk mengungkapkan kenyataan tentang anaknya itu sama sekali belum tuntas. Dengan demikian maka anaknya tidak akan dapat mengambil sikap yang telah didasari oleh pengertian yang bulat tentang dirinya. Mungkin ia justru menjadi putus asa dan kehilangan segenap gairah untuk hidup dan kehilangan cita-cita buat masa depannya. Tetapi mungkin dendam telah membakar jiwanya namun dengan sasaran yang tidak seharusnya. Jika dendam Anusapati semata-mata ditujukan kepada Tohjaya dan ia bertindak terhadap putera Sri Rajasa itu, maka ia akan mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Ia dapat ditangkap dan dihukum seberat-eratnya. Padahal Tohjaya bukannya sasaran dendam yang sebenarnya.
"Tetapi apakah aku akan membiarkan anakku mendendam?" Ken Dedes bertanya kepada diri sendiri.
Sebuah persoalan cepat berkecamuk didalam hati Ken Dedes. Jika masalahnya tidak akan menyangkut masa depan anaknya, maka Ken Dedes sama sekali tidak akan membiarkan anaknya terjerumus kedalam dendam yang tidak ada ujungnya. Jika sekiranya Ken Arok tidak berusaha menyambut hari depan Anusapati, maka persoalannya pasti akan sudah dlupakan oleh Ken Dedes, meskipun ia sendiri mengalami kepahitan perasaan karena hadirnya Ken Umang. Hal itu adalah karena kesalahan yang telah dilakukannya sendiri. Tetapi bagi Anusapati, persoalan yang dihadapi bukan semata-mata persoalan dendam karena ayahnya telah terbunuh, tetapi yang lebih penting baginya adalah persoalan masa depannya. Karena itu jika Anusapati berbuat sesuatu, alasannya harus condong kepada kepentingan hari depan. Bukan semata-mata karena ia mendendam.
Karena ibunya tidak segera menjawab, maka Anusapatipun mendesak, "Ibunda, bukan maksud hamba untuk menggubah persoalan yang sudah lama berlaku. Tetapi apakah ibunda dapat mengatakan, apakah sebabnya ayahanda Tunggal Ametung meninggal dunia, selagi hamba belum lahir?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anakku. Persoalan ini bagaikan hantu yang selalu membayangi hati ibu. Tetapi karena aku sudah mengatakan sebagian dari kenyataanmu maka aku tidak akan menyembunyikannya lagi"
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi kini ia berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak diguncang oleh perasaannya dan kehilangan kendali. Apapun yang akan dikatakan oleh ibunya akan diterimanya dan dicernakannya baik-baik tanpa kehilangan akal dan berbuat kasar terhadap ibunya yang hampir seperti dirinya sendiri, selalu dicengkam oleh keprihatinan.
Dengan demikian, wajah Anusapatipun menjadi tenang dan tidak lagi membayangkan kegelisahan yang melonjak-lonjak seperti ketika ia mendengar tentang ayahnya.
Melihat ketenangan Anusapati, hati Ken Dedes menjadi agak tatag. Sejenak dipandanginya anaknya yang duduk diam. Kemudian diaturnya perasaannya yang mulai bergejolak. Persoalan yang akan dikatakannya sebenarnya adalah persoalan yang lebih penting dari persoalan siapakah ayah Anusapati itu.
"Anusapati" berkata ibunya, "Akuwu Tunggul Ametung meninggal bukan karena ia sudah terlalu tua. Bukan pula karena Akuwu sakit dan tidak dapat diobati lagi"
"Jadi" terasa hati Anusapati melonjak. Tetapi iapun segera berusaha menguasainya kembali. "Apakah ayahanda gugur dipeperangan?"
Ken Dedes menggelengkan kepalanya.
"Apakah maksud ibu, ayahanda meninggal dengan tiba-tiba?"
"Ya Anusapati. Ayahanda itu meninggal dengan tiba-tiba"
"Kenapa ibunda?"
"Anusapati. Alangkah sedihnya jika aku terpaksa mengatakan kepadamu. Ayahandamu meninggal karena pembunuhan"
"Ayahku dibunuh orang?"
"Ya Anusapati" Wajah Anusapati menjadi merah padam. Tetapi dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai perasaannya. Bagaimanapun juga ia masih juga bertanya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi ibu. Jika ayahanda mati dibunuh orang, ibunda dapat juga melupakannya dalam waktu yang singkat. Masih belum seumur hamba didalam kandungan"
Mata Ken Dedes menjadi basah. Jawabnya, "Itu adalah dosaku Anusapati. Jangan kau ulang lagi. Aku sudah merasa bahwa hal itu adalah dosa yang beranak pinak, sehingga diriku seakan-akan tidak lagi dapat menempatkan diri dihadapan Yang Maha Agung. Sekali aku berbuat dosa, maka aku harus melindungi dosa itu dengan dosa-dosa yang lain terhadap sesama manusia. Tetapi aku sadar, bahwa aku tidak akan dapat menyembunyikannya terhadap Yang Maha Agung"
Wajah Anusapati tertunduk lesu. Jika ia menyebut dosa itu lagi, maka hati ibunya pasti akan semakin remuk. Karena itu maka iapun bertanya, "Apakah orang-orang Tumapel waktu itu, pasukan-pasukan pengawal dan para prajurit tidak dapat menemukan siapakah yang membunuh ayahanda Tunggal Ametung, yang pada waktu itu menjabat sebagai Akuwu di Tumapel?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Dengan sisa keberanian, ketenangan dan pasrah diri yang tulus, maka iapun kemudian bertata, "Pada waktu itu tidak ada orang yang dapat mengetahui siapakah yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Tuduhan yang utama ditujukan kepada seorang pelayan dalam yang memiliki sebilah keris yang masih tertancap ditubuh Tunggul Ametung"
"Siapakah orang itu?"
"Orang itu bernama Kebo Ijo. Dan ia sudah menjalani, hukumannya. Ia dibunuh karena kesalahan itu"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hukuman yang setimpal baginya. Tetapi apakah pamrih Kebo Ijo dengan membunuh ayahanda Tunggal Ametung?"
Sejenak Ken Dedes tidak menyahut. Ia masih harus mengatasi gejolak didalam dirinya untuk dapat sampai pada keterangan yang sebenarnya tentang kematian Akuwu Tunggul Ametung.
"Anusapati" berkata Ken Dedes kemudian, "tetapi ternyata bahwa tuduhan itu keliru. Akhirnya, setelah pembunuhan itu terjadi beberapa lama, dapat diketahui bahwa pembunuhnya sama sekali bukan Kebo Ijo"
"O, dan Kebo Ijo sudah terlanjur dibunuh?"
"Ya. Kebo Ijo telah terbunuh"
"Tetapi apakah pembunuh yang sebenarnya akhirnya dapat diketahui?"
Terasa debar didada Ken Dedes menjadi semakin cepat. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya kepada anaknya seutuhnya.
"Anusapati" berkata Ken Dedes kemudian, "memang akhirnya pembunuh yang sebenarnya itupun diketahui pula. Ia tidak saja membunuh Akuwu Tunggal Ametung. Tetapi ia juga membunuh mPu Gandring, seorang mPu yang telah membuat keris untuknya dan keris itu pulalah yang telah mengakhiri hidup Akuwu Tunggul Ametung"
"Alangkah terkutuknya. Tetapi apakah ibu mengetahui siapakah orang itu?"
Ken Dedes mengangguk dengan ragu-ragu.
"Siapakah orang itu ibunda?"
Sesaat Ken Dedes tidak dapat mengucapkan kata-kata. Sekali lagi ia merasa disimpang jalan yang panjang.
"Ibunda" desak Anusapati.
Namun Ken Dedespun kemudian mengumpulkan semua kekuatan batin yang ada padanya untuk mengatakannya apa yang sebenarnya sudah terjadi. Karena itu dengan suara yang serak ia berkata, "Anusapati. Yang terjadi kemudian hampir diluar kemampuanku untuk mengatasinya. Selagi aku mengagumi usaha Ken Arok untuk menyatukan seluruh daerah Singasari, maka tahulah aku siapakah sebenarnya yang telah membunuh Akuwu Tunggul Ametung" Ken Dedes berhenti sejenak. Lalu, "orang itu adalah orang yang kini berkuasa di Singasari"
"Sri Rajasa" suara Anusapati terputus.
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Namun untuk mengucapkan kata-katanya yang terakhir ternyata Ken Dedes telah memaksa diri dengan segenap kekuatannya. Karena itulah, maka setelah kata-kata itu terucapkan, iapun menjadi seolah-olah lemas tidak bertenaga lagi.
Betapa hati Anusapati bergejolak. Tetapi betapa ia berusaha untuk menahan diri. Apalagi ketika ia melihat ibunya seakan-akan hendak menjadi pingsan karenanya.
Dengan sigapnya ia menangkap tubuh ibunya dan membawanya kepembaringan. Perlahan-lahan dibaringkannya tubuh itu. Ketika Anusapati memandang wajahnya, alangkah pucatnya.
Protokol Keempat 5 Jaka Sembung 11 Badai Di Laut Arafuru Medali Wasiat 6