Mini Skirt 3
Olga 06 Mini Skirt Bagian 3
Sedang di ruang rekam Radio Ga Ga, cuma ada Bobby Ardi, operator baru yang sibuk mentransfer lagu-lagu baru ke kaset mungil C-15. Selain dia dan kaset, gak ada lagi apa-apa di situ.
Sementara di tuang Mbak Vera, yang berada di paling pojok pada kantor Radio Ga Ga ini, beberapa petinggi di Radio Ga Ga lagi pada asyik rapat. Penting banget. Ya, saking pentingnya, sampe-sampe ruang yang tadinya gak pake penyadap suara itu langsung dipasangin penyadap suara. Udah gitu mereka rapatnya bisik-bisik. Takut ada yang denger. Selintas lalu, kalo diliat jadi kayak orang yang pada main kuda bisik.
Sejak bulan lalu, Radio Ga Ga telah mengadakan pembaruan manajemen. Dan rapat yang tampak mahapenting ini sekarang dipimpin langsung oleh Mas Ray. Dan yang ikutan rapat saat itu Manajer Siaran: Bapak Meksi Menari, Man"jer Umum: Mbak Vera, Manajer Promosi: Bapak Dindin Dindin! (Orang terakhir ini emang dilahirin di dalam mobil yang klaksonnya lagi korslet!)
"Minggu depan kita akan bikin acara Rally Radio Mobil, yang kebetulan sekarang udah disponsori oleh satu pabrik mobil," bisik Mas Ray mengawali rapatnya dengan berbisik.
"Mobil apa, Mas Ray"" tanya Mbak Vera kurang paham.
"Mobil... ang apa, kek, terserah! Hehehe, lucu gak saya""
Yang lain langsung bengong, karena gak nyambung!
"Eh, maksud saya gini... eh, yang barusan gak usah dipikiran, deh. Yang paling penting dari acara Rally Radio Mobil itu adalah agar hal ini jangan sampe bocor atau terdenger radio-radio lain, soalnya nanti mereka bisa ikutan bikin acara Rally Radio Mobil juga. Kan gak enak lho bikin acara punya saingan! Iya nggak""
"Lho, tapi kan acara ini
perlu promosi, Pak"" jelas Pak Dindin Dindin!
"Oh! Iya, ya...," ujar Mas Ray menepuk jidatnya. "Kalo gitu soal promosi Rally Radio Mobil ini, kita bahas dalam rapat esok hari saja. Setuju""
"Setuju!" "Baiklah, kalo gitu, rapat saya tutup! Eit, belum! Belum saya tutup, ding! Karena rapat soal mutu siaran belum disinggung. Iya, kan" Lagi sekarang baru jam dua siang. Kalo rapat selesai, nanti apa lagi yang bisa saya kerjakan" Baiknya langsung aja deh, Manajer Siaran menjelaskan secara gamblang soal mutu siaran di Radio Ga Ga ini. Silakan."
"Soal mutu siaran, kalo dibanding dengan kompetiter, bolehlah dibilang menurun...," jelas Meksi Menari yang menjabat manajer siaran itu.
"Menurun" Menurun gimana" Coba jelaskan lebih jauh lagi!"
Meksi langsung mengambil tempat duduk agak jauh dari Mas Ray.
"Lho, mau ke mana Anda""
""Kata Bapak saya disuruh menjelaskan lebih jauh""
"Uh, maksud saya bukan begitu. Bukan berarti Anda harus menjauh dari saya, tapi jelaskan lebih rinci lagi, gitu."
"Lebih rinci" Hmm, baik. Bapak mungkin kenal Olga, kan" Ya, dia adalah penyiar utama Radio Ca Ga, yang hampir tiap malam sekarang kita tugaskan untuk siaran Kuis Ngocol. Acara ini begitu digemari. Tapi belakangan ini mulai dijauhi. Ini ketahuan dari berapa suara pendengar yang menelepon kemari."
"Apa kata para pendengar itu""
"Olga gak lucu lagi!"
"Hah, Olga tidak lucu lagi""
"Iya, Pak." "Astaganaga! Kenapa bisa begitu, ya""
"Saya kurang tau, Pak."
"Saran Anda untuk bisa melucukan Olga lagi, apa""
"Saran saya""
"Iya, masa saran nenek kamu! Ya saran kamu, dong!"
"Saran saya, beri dia beasiswa untuk belajar melawak dengan para pelawak beken di negeri ini, Pak!"
"Wah, itu berarti kita harus keluar anggaran. Nggak bisa itu!"
"Ya sudah...." ""Lho, kok, ya sudah""
"Maksud saya, ya saran saya sudah sampai situ saja!"
Mereka yang rapat itu kemudian hening sejenak. Olga, cewek centil lagi kece itu, memang sudah jadi penyiar andalan Radio Ga Ga. Kecentilan dan kekonyolan Olga dianggap layak untuk dijual lewat Radio Ga Ga. Jadinya wajar saja kalo mereka merasa sedih manakala mendengar Olga sudah tak lucu lagi.
"Hmm, apa sebaiknya kita cari penyiar baru lagi aja"" tiba-tiba Mas Ray memecah keheningan lagi!
"Pelan-pelan, Pak," saran Pak Dindin Dindin! "Nanti terdengar stasiun radio lain bahwa kita sedang kesulitan karena penyiar andalan kita gak lucu lagi. Kan bisa berabe."
"Oh, iya, maap, maap. Hmm, gimana kalo kita cari penyiar baru saja"" Mas Ray memelankan suaranya.
"Terserah Bapak," jawab Meksi.
"Tapi jangan dulu begitu, Mas," potong Mbak Vera. "Mungkin Olga sekarang ini lagi banyak persoalan. Kita beri dia waktu aja untuk memulihkan kelucuannya itu. Seperti beberapa bulan yang lalu itu. Karena sayang kalo Olga kita buang begitu saja. Toh, namanya sudah terpatri di sanubari pendengar Radio Ga Ga."
""Tapi kalo tetep tidak lucu bagaimana""
"Saya akan berusaha memulihkan kelucuannya, Pak," kata Mbak Vera lagi.
"Ya, misalnya tetep gak lucu lagi"" desak Mas Ray.
"Saya, saya...," Mbak Vera keabisan kata-kata.
"Sudahlah, rapat sementara saya tutup!"
"Kesimpulannya, Pak"" tanya Meksi.
"Kesimpulannya kita bicarakan pada rapat mendatang saja!"
Ketika rapat itu usai, siaran Olga bersama Vivi Nofidia pun berakhir. Olga yang siang itu mo langsung ke sekolah, buru-buru dicegat Mbak Vera.
"Ol, Mbak mo ngomong sebentar!" panggil Mbak Vera.
Olga kemudian diajak masuk ke ruang Mbak Vera. Olga sebenarnya udah tau apa maksudnya dia dipanggil. Karena Olga sudah dengar sas-sus yang mengatakan dia sudah tidak konyol dan lucu lagi kalo siaran.
"Mungkin kamu sudah tau ya, Ol. Tadi dalam rapat kita juga menyinggung soal itu, soal menurunnya mutu siaran kamu."
Olga mengangguk-angguk saja.
"Kenapa ya, Ol, -siaran kamu bisa menurun dahsyat""
Olga tersenyum tipis. Getir rasanya mendengar pertanyaan seperti itu.
Mbak Ver" kemudian menepuk bahu Olga. Tanpa kata-kata, tapi itu berarti: "Olga, ayo dong, keluarkan segala kelucuan kamu! Kembalilah pada zaman keemasanmu dulu!"
Begitulah. Perasaan bahwa dirinya sudah tidak lucu lagi pada diri Olga ak
hirnya terus menghantuinya. Di perjalanan pulang Olga gak berani ngomong sepatah kata. Juga waktu di sekolah. Olga kuatir kata-katanya gak ada yang lucu.
Di rumah, Olga juga jadi banyak diam. Mami yang biasanya ban yak diributi oleh kicauan anak tunggalnya itu jadi kesepian. Di kamarnya Olga merenungi dirinya yang dulu begitu dipuja-puja oleh pendengar pujaan kini kena maki-maki juga oleh pendengar pujaan!
"Ol, Olga... masa baru jam segini udah tidur"" ketuk maminya dari luar. "Gak bercanda-canda dulu" Eh, Papi lagi asyik nonton tipi, tuh. Kita godain yuk! Kita jailin. Tadi di pasar, Mami beli cicek-cicekan dari karet. Pasti seru, nih, Ol!"
Ajakan Mami gak dapat balasan. Olga malah membesarkan volume suara radionya. Di Radio Ga Ga malam itu lagi ada acara Info In, acara untuk pendengar yang pengen muji atau ngritik acara Radio Ga Ga. Olga lebih konsen ke situ. Olga pengen tau lebih jauh lagi reaksi pendengar RadioGa Ga tentangnya.
Mami yang gagal ngebujuk Olga ngejailin Papi, ikut-ikutan masuk ke kamarnya dan nyetel radio stereonya juga. Mami pun memasang gelombang Radio Ga Ga. Mami emang udah biasa ikutan ngedenger radio kalo dia tau anaknya asyik ngedengerin radio. Karena Olga kadang-kadang suka gokil nelepon ke radio untuk ikutan nebak kuis yang tengah digelar Radio Ga Ga dengan berpura-pura mengecilkan suaranya. Olga jago banget mengubah-ubah suara centilnya itu. Dan Mami kini begitu tertarik pada anaknya yang begitu khusyuk ngedenger siaran Radio Ga Ga. Ya, jangan-jangan Radio Ga Ga ngegelar kuis yang hadiahnya uang puluhan ribu perak lagi! Kalo dapat Mami emang sering kecepretan.
Di radio, Ais, penyiar Info In, baru saja membuka acara. Ais kemudian menawarkan pada pendengar untuk segera menelepon ke Radio Ga Ga untuk menyampaikan unek-uneknya.
"Siapa nih"" tanya Ais.
"Roni!" "Oh, Roni. Ada apa, Ron""
"Gue langsung aja, nih. Gue terus terang sekarang ini gak suka sama siarannya Olga! Norak! Gak lucu lagi! Dan terlalu mengada-ada! Gak masuk logika! Kenapa penyiar kayak gitu masih tetap dipasang, kan sayangin Radio Ga Ga-nya! Mending ganti aja, deh". Banyak kok cewek cakep yang centil dan konyol kayak Olga. Malah yang lebih konyol lagi juga banyak!"
Sssrrrp! Darah Olga berhenti mengalir. Olga cepat mematikan radionya. Sedang Mami di kamar sebelah membulat bibirnya. Bengong dia. Dan sedetik kemudian langsung menghajar radio stereonya dengan bantal!
Ketika Olga merasa darahnya kembali mengalir, dia segera menelepon sahabat kentalnya, Wina.
"Win, lo denger siaran Info In, gak""
"Oo, yang di RCTI itu, ya""
"Bukan, Win, bukan yang di RCI'I, yang di TV3 Malaysia!!! Duh, Wina, Wina, Info In itu acara yang di Radio Ga Ga. Masa lo lupa""
"Oh, iya, gue inget, gue inget."
"Inget apa"" .
"Inget kalo gue tuh lupa sama acara Info In!"
"Sial lo!" "Oke, oke, Ol, meski gitu gue tetep akan mendengarkan segal a keluh kesah lo. Ayo, Ol, berkeluh kesahlah...."
"Iya, gue baru aja ngedenger Info In. Ada pendengar yang gak suka gue siaran lagi. Katanya gue gak lucu lagi, norak, dan suka mengada-ada. Gimana menurut lo, Win""
"Wah, tu anak berbakat jadi peramal juga, ya""
"W-I-N-A! Gue serius, monyong!"
""Sori, sori, becanda, Ol! Oke, kalo lo mo minta pendapat gue, inilah pendapat gue! Konsen baik-baik, ya" Menurut gue, sebaik-baiknya lo gak usah siaran aja. Ngapain capek-capek kerja cuma buat dimaki-maki" Iya, kan" Bayaran gak seberapa tapi makan ati. Mending lo seriusin aja sekolah lo. Ntar kalo lo sukses en kaya, lo bikin deh, radio sendiri yang gak punya acara semacam Info In itu! Oke, Ol""
Besok-besoknya Olga pun sudah punya niat untuk mundur dari Radio Ga Ga. Radio yang membesarkannya. Tapi sekaligus radio yang telah dibesarkannya. Padahal malam itu Olga kudu siaran. Waktu Mami mengingatkan Olga siaran, Olga menjawabnya dengan cuek, "Siaran" Siaran apa""
"Siaran Kuis Ngocol, masa lupa!"
Olga gak lupa, cuma males.
Tapi akhirnya dia berangkat juga karena Mami maksa-maksa Olga berangkat. Di Radio Olga makin males aja. Biasanya Olga dengan okenya melontarkan pertanyaan konyol yang sulit dijawab pendengar, tapi mala
m itu Olga melontarkan pertanyaan yang amat gampang dan terkesan murahan. Pertanyaannya: Item dan jalannya loncat-loncat" Jawabannya: Idi Amin ikutan balap karung! Oh, no...!
"Pokoknya Olga mo brenti jadi penyiar!" ujar Olga malam itu pas pulang siaran.
""Kenapa"" Mami terkejut.
"Bosen! Jenuh!"
"Apa nggak sayang, Ol""
"Lho, dulu kan Mami sendiri yang nyuruh Olga brenti siaran""
"Itu kan dulu...."
"Pokoknya Olga mo brenti. Titik!"
Olga pun membanting pintu. Mami jadi prihatin banget ngeliat anak gadisnya itu.
Dan selama seminggu itu, Olga emang bener-bener nggak pernah dateng ke Radio Ga Ga. Dia ngendon aja di rumah. Seperti orang yang nggak bersemangat. Padahal Mbak Vera telah beberapa kali nelepon ke rumah.
"Apa Olga sakit"" tanya Mbak Vera pada Mami.
"Mungkin juga. Nanti deh, kalo dia bangun saya bilangin."
Tapi seminggu kemudian ketika Olga di kamarnya dan mendengar acara Info In lagi, darahnya mengalir tambah cepat. Ais si penyiar itu menerima telepon dari seorang cewek bemama Rina yang suaranya imut-imut banget.
"Halo, ini Radio Ga Ga, ya" Ini Rina. Gini lho, saya juga mo nyampein unek-unek. Saya heran deh sama orang-orang yang menganggep Olga gak lucu lagi. Gak lucu apanya" Ah, saya pikir orang itu pasti budek. Jarang dikorek kupingnya. Gaya siaran Olga itu bener-bener lain daripada yang lain, kok. Omongnya ceplas-ceplos. Dan humornya pun me-remaja sekali. Cocok sama kita-kita. Kalo orang-orang yang gak suka ama Olga itu merasa terganggu kupingnya, ya pindah aja gelombangnya. Gak usah memaki-maki Olga begitu rupa. Kasihan kan dia. Saya pikir masih jarang ada penyiar yang secentil dan selincah Olga, lho! Beneran. Suer. Gitu aja deh, unek-unek dari Rina. Oh, iya, Ais, salam ya sama Olga. Bravo, gitu...."
Olga jadi bengong. Telepon dari Rina yang suaranya imut-imut aneh itu bener-bener membuat dia terbengong. Tiba-tiba semangat dalam dirinya tumbuh lagi. Ya, ternyata tak semua orang sekarang membenci Olga. Mungkin Rina wakil dari ratusan penggemar yang masih setia sama Olga. Olga tentu tak boleh mengecewakan penggemar-penggemar setianya itu. Ya, dia harus membuktikan kalo dia masih punya gigi. Bukannya malah jadi melempem.
Olga yang darahnya masih mengalir cepat itu langsung loncat dari tempat tidurnya dan menelepon Wina. Mami yang mengintai dari balik gorden, ikut menguping.
"Win, lo denger siaran Info In barusan nggak"" ujar Olga riang.
""Info In" Yang di TPI itu"" tanya Wina bego.
"Bukan, yang di MTV!" ujar Olga sebel.
"Itu, acara Radio Ga Ga. Masa nggak tau""
"Oya. Baru inget."
"Inget apa""
"Inget kalo gue nggak tau... hehehe, becanda. Trus kenapa lagi, Ol""
Olga langsung nyerocos cerita bahwa ada pendengar yang ngebelain dia. Dan Wina yang dasarnya plin-plan itu demi mendengar kabar dari Olga bilang, "Ya udah, Ol, lo siaran lagi aja. Sayang kan kalo ditinggalin. Dari sana kan lo bisa dapat sesuatu. Ya money, ya honey. Eh, maksud gue selain lo bisa dapat duit lo juga bisa dapat pengalaman. Iya gak, Ol""
"Iya, Win. Gue jadi semangat nih. Pengen siaran lagi!"
Olga meletakkan gagang telepon itu dengan mata berbinar. Hanya Olga tidak tau kalo di balik gorden ada sepasahg mata yang berbinar-binar. Tapi kemudian si pemilik mata berbinar-binar itu menutup mulutnya, seperti tak tahan ingin menahan tawa.
Besoknya Olga bangun pagi dengan semangat baru. Senyumnya kini menyebar ke mana-mana. Mami yang rindu kicauan suara Olga gak risau lagi. Kicauan Olga sudah mengisi tiap ruang kosong rumah. Papi yang jarang dijailin Olga juga kini sudah langsung ngomel-ngomel, "karena kopinya sukses ditaburi garam inggris sama Olga. Mami ketawa senang. Dan ketika Olga berangkat untuk pergi sekolah sekaligus siaran nanti siangnya sepulang sekolah, Mami berdoa dalam hati, "Ya, Tuhan, lucukanlah lagi anak kami itu, dan ampunilah juga hamba-Mu ini yang telah mengaku-aku bemama Rina...."
*** "Siang itu Radio Ga Ga rame banget. Banyak anak GFC berkumpul. Olga yang muncul dengan semangat empat lima menyapa-nyapa ramah. Yang lain membalas sapaan ramah Olga dengan tawa cengir kuda. Suasana di Radio Ga Ga jadi makin seger
aja. Mbak Vera surprise banget ngeliat Olga,
"Hei, Olga!!! Wah.. welcome aboard, nih!"
Mereka sun-sunan. "Sampe kangen. Ke mana aja" Kamu siaran lagi, dong. Tuh mulai banyak yang minta kamu kembali siaran. Makanya, Mbak Vera juga bilang, kamu nggak bakal bisa lepas deh dari Radio Ga Ga. Hahahaha...."
Olga ikut ketawa. "Eh, dalam rapat tadi, Mas Ray minta kamu ikut ngebantu acara Rally Radio Mobil. Mau, kan""
"Mau." Olga langsung aja melejit dan berbaur dengan anak-anak GFC. Dalam acara Rally Radio Mobil itu Olga ditugasin ngebagi-bagiin formulir pendaftaran dan ngasih penerangan ke para peserta rally tentang apa dan bagaimana permainan rally-nya.
Dan saat itu yang datang ngedaftar untuk ikutan Rally Radio Mobil Radio Ga Ga banyak banget. Cowoknya kece-kece, lagi. Olga jelas semangat. Sambil ngebagi-bagiin formulir Olga ngocol macem-macem.
"Gini ya, Sodara-sodara, untuk ikutan Rally Radio Mobil ini syaratnya, pertama, kamu harus punya mobil. Jadi jangan sekali-kali ikutan rally ini pake sepeda roda tiga. Kamu bisa didiskualifikasi!"
Para pendaftar pada ketawa.
"Yang kedua, Sodara-sodara harus nempelin stiker Radio Ga Ga di kaca belakang mobil kamu. Inget jangan sekali-kali nempelin stiker Radio Ga Ga di kaca lemari rumah kamu. Percuma! Gak ada yang liat! Hehehe."
Selain itu Olga juga ngumbar cerita-cerita lucu sama tebak-tebakan konyol. Dan yang bisa nebak dikasih hadiah menarik sama Olga, dikitikin pinggangnya pake bulu ayam selama seumur idup! Hehehe....
Para pendaftar itu jelas makin senang.
Sementara Mas Ray, Manajer Siaran, Manajer Promosi, dan Mbak Vera yang kebetulan mo ngelanjutin rapat babak kedua di hari itu jadi senang ngeliat Olga yang dikerumuni banyak orang itu. "Lho, kok, Olga lucu lagi...."
Dalam hati Olga bersyukur.
Terima kasih, "Rina."
Mami di rumah tersenyum. 9. ANAK KELAS DUA "OKI membuka pintu VW wama pink dengan terburu-buru.
"Jam berapa kamu pulang"" tanya Linda, kakaknya, dari belakang setir.
"Nggak tau. Nggak ada acara jemput-jemputan lagi," Oki menjawab ketus.
Linda tertawa. "Oke, anak baru gede. Kamu pulang sendiri naik bis. Punya ongkos""
Oki malah buru-buru melangkah ke pekarangan sekolah. Cara berjalan Oki amat khas. Dia seperti berjingkat melangkah dengan ujung kakinya. Tubuhnya doyong ke depan. Di kejauhan bunyi lonceng berdentang kelontang-kelonteng. Di dekat pintu gerbang masuk, berduyun-duyun anak-anak memasuki koridor sekolah. Gang-gang antar kelas itu berisiknya seperti rumah tahanan pada jam makan siang. Ada yang lempar-melempar kertas, tisu, kapur. Pletak! Tiba-tiba Oki merasa ada benda keras menimpa kepalanya.
""Hei, siapa yang nimpuk gue":' teriak Oki jengkel sambil menoleh.
Olga buru-buru bersembunyi di balik rombongan temannya sambil ketawa cekikikan. Oki masih penasaran. Dia bertanya sana-sini. Tentu saja nggak ada yang mau ngaku. Oki jadi makin jengkel, sambil berjalan dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tau ada wajah-wajah yang keliatan mencurigakan. Tapi pandangannya malah tertumbuk pada Trudie, cewek manis anak kelas dua yang rambutnya keriting kecil-kecil kayak mie goreng, dan giginya putih kecil-kecil kayak gigi kelinci. Trudie mengenakan jaket merah muda dari bahan katun yang halus. Saat itu Trudie lagi memandang lurus-lurus ke arah Oki. Oki terpana. Tapi keburu serombongan sepuluh orang anak lewat dengan berisiknya mendorong tubuh Oki ke arah yang berlawanan dengan Trudie.
Oki pun buru-buru masuk ke kelas, kalo nggak mau ketinggalan pelajaran matematika di jam pertama.
Anak itu emang anak baru. Dia pindahan dari sekolah lain. Duduk sekelas dengan Olga dan Wina. Wajahnya polos banget, bikin Olga suka ngegodain.
"*** ""Gile, Vin, tu anak tadi ngeliatin gue lagi," bisik Oki pada Alvin, temen sebangkunya. Pak Waluyo yang di depan kelas lagi nyap-nyap nerangin segitiga sama sisi, nggak denger ada dua anak muridnya di pojok lagi ngerumpi bak tikus putih.
"Siapa" Trudie"" reaksi Alvin.
"Iya." "Kenapa nggak lo tegor aja" Penakut amat."
"Ah, lo gile. Dia kan anak kelas dua. Gue ngeri kalo nekat negor, ntar dikira mo macem-macem sama
kakak kelas. Ntar gue digencet lagi ama anak kelas dua."
"Ah, emang lo penakut. Udah ketauan tu cewek emang naksir elo. Elonya dong yang harus agresif. Lo kan cowok."
"Tapi, emang nggak apa-apa anak kelas satu naksir anak kelas dua""
"Emang kenapa" Sekarang kan lagi nge-trend, ceweknya lebih tua dari cowoknya. Contoh, Whitney Houston dan Bobby Brown, Andre Agassi dan Barbra Streisand, Kirk Cameron sama... siapa tuh, ceweknya gue lupa. Pokok-nya orang-orang beken sekarang banyak yang kayak gitu, kok."
Oki jadi-termenung. Mikir dia. Semangatnya jadi numbuh lagi. Dia pun bemiat, pas keluar main nanti, kalo kebetulan ketemu di kantin, dan Trudie melihat ke arahnya lagi, Oki akan menegur.
"Dan seperti sudah diatur saja, tiba-tiba pas keluar main, pas Oki lagi asyik rebutan siomay sama anak-anak lain, Trudie muncul di depannya sambil memegang sebotol Coca-Cola dingin. Darah di sekujur tubuh Oki langsung berdesir. Dia jadi grogi.
"Mang, saya minta siomaynya. Jangan dikasih pare, ya"" suara Trudie terdengar halus banget. Si tukang siomay langsung melayani pesanan Trudie. Trudie menunggu di dekat situ. Dekat Oki.
Oki hampir tak berani bergerak. Berdiri kaku di tengah kerumunan anak. Wajahnya menunduk. Tak berani menatap Trudie. Apalagi menegur, seperti rencana semula. Padahal Trudie hanya berdiri setengah meter di depannya. Padahal Trudie menunggu siomay sambil menatap cowok berwajah innocent yang sedang tertunduk di depannya. Cowok yang berambut lebat, beridung runcung, dan alisnya yang hampir menyatu.
Oki benar-benar merasa lidahnya kelu.
Dan beberapa m"nit kemudian, Trudie berlalu, dan bergabung sama anak-anak kelas dua yang duduk di dipan kantin. Becanda sambil mengoceh macam-macam. Lagaknya, di depan anak-anak kelas satu, kayak penjajah yang berhak berbuat apa saja. Tapi kalo anak kelas tiga muncul di situ, mereka pun buru-buru menyingkir, seperti anjing kecil yang minder ketemu anjing gede, sambil buntutnya diselipkan rapat-rapat di an tara dua kaki belakangnya.
Trudie masih tertawa-tawa.
Oki telah selesai meracik siomay buatannya sendiri. Lalu duduk di bawah pohon akasia, bergabung dengan teman-temannya. Hanya sesekali saja dia melirik ke arah Trudie.
"*** ""Pengecut! Pengecuuuutl" Oki berteriak-teriak di sela-sela bisingnya musik Red Hot Chilli Peppers di kamarnya. Dia tak habis berpikir, kenapa begitu banyak kesempatan yang datang dia sia-siakan. Apa dipikir kesempatan itu akan selalu datang dan datang lagi, menunggu sampai dia punya keberanian untuk bertindak" Omong kosong. Tuhan pun bakal kapok memberi kesempatan padanya. Oki terus-menerus mengutuki dirinya. Dia berdiri di depan kaca. Bertelanjang dada sambil bertolak pinggang.
"Hei, Tuan Penakut. Apa sih mau lo" Lo pikir lo tu siapa" Bikin malu! Pengkhianat! Pengecut!" Oki berteriak-teriak memaki-maki bayangannya di kaca. Dia merasa tak punya kelainan apa-apa pada tubuhnya. Dadanya bidang, seperti kebanyakan dada cowok. Tubuhnya ramping, tak ada sedikit lemak pun bergayut di perutnya. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ayahnya yang penerbang itu. Tapi, kenapa suka ngerasa minder" Kenapa jadi penakut"
Oki pun mengeraskan volume kasetnya, lalu dia jejingkrakan nggak keruan mengikuti irama funk-metal untuk menghilangkan rasa kesalnya. Sambil mulutnya berteriak-teriak, mengikuti teks lagu yang sarat makian.
Setelah lelah, dia jatuh teientang di atas karpet. Bersimbah keringat. Matanya terpejam. Dia merasa agak tenang sekarang. Dan jatuh tertidur. Mimpi ketemu Trudie, dan enteng menyapanya, "Hai, Trudie. Mau nggak nonton malam Minggu nanti di PIM""
Sayang, hanya mimpi.... Duk! Duk! Duk! Oki tersentak kaget, bangun dari tidurnya ketika terdengar suara seperti meriam di pintu. Dengan malas Oki bangkit.
Tanpa membuka pintu pun dia tau siapa yang datang. Siapa lagi kalo bukan Linda, kakaknya yang periang itu.
"Halo, Bayi. Ngapain kamu telanjang dada sampe keringetan begitu"" ujar Linda sambil menyerbu masuk. Dan langsung duduk di atas tempat tidur.
"Bukan urusanmu," sungut Oki kesal sambil menyambar kaus di atas kursi, dan memakainya.
"Oki, kamu temenin kak
akmu ini ke Tante Inka, ya"" ujar Linda merayu. "Nanti kamu ta' beliin es krim miki mos lagi...."
"Nggak mau!" Oki menggeleng kuat-kuat.
"Kok nggak mau""
"Mulai sekarang, nggak ada lagi yang namanya nemenin ke salon lagil" tandas Oki.
Oki memang lama-lama sebal diperalat kaknya. Ya, kakaknya itu hampir tiap tiga hari sekali minta ditemenin ke salonnya Tante Inka di Jalan Arteri. Dan di sana, Oki kayak orang bego aja nunggu di ruang tamu sambil baca majalah, sementara kakaknya berjam-jam mengurusi dirinya. Rambutnya lah dikrimbat, kukunya dimanikur, wajahnya dimasker, dan segala macam kegiatan yang hanya membuang-buang waktu dan uang. Hasilnya" Linda tak lebih cantik dari biasanya. Itu menurut pendapat Oki.
Dulu, bolehlah Oki masih mau menemani. Soalnya paling tidak Oki bisa mengobrol dengan beberapa pelayan yang kebetulan menganggur. Atau bermain-main dengan anjing pudel milik Tante Inka yang diberi nama Trudie.
Hihihi, mirip dengan nama gadis yang diincarnya saat ini. Ya, ya. Oki dulu masih mau menemani, karena di rumah tak ada siapa-siapa lagi yang bisa diajak bermain.
Tapi sekarang, Oki udah gede. Baru masuk kelas satu SMA." Itu kan udah gede, meski si Linda brengsek itu selalu memanggilnya "Bayi".
"Dan berhubung udah gede, Oki sudah punya kesibukan sendiri. Punya urusan sendiri. Dia tak punya dan tak akan pernah punya waktu lagi untuk menemani Linda ke salon.
Linda jelas kesal. "Kenapa sih kamu nggak mau""
"Kenapa saya harus mau" Saya banyak urusan."
"Urusan apa""
"Mana boleh kamu tau""
"Kenapa"" "Urusan anak gede."
"Urusan anak gede" Kamu kan masih bayi""
"Jangan sembarangan, ya""
"Jadi kamu nggak mau, nih""
"Nggak." "Nggak nyesel nggak dapet es krim""
"Nggak." "Ya, udah!" Dengan jengkel Linda melangkah keluar. Wajah riangnya berubah jadi murung. Oki hampir nggak tega melihat kakaknya begitu kecewa. Tapi ditahannya rasa nggak tega itu. Ya, setiap anak gede kan punya urusan sendiri-sendiri. Mami aja banyak urusan, hingga jarang di rumah. Apalagi Papi. Jadi kalo Oki terus saja mengurusi urusan kakaknya, kapan dia punya waktu untuk dirinya sendiri"
Oki pun segera melupakan urusan kakaknya.
Dia melompat ke tempat tidur, dan meneruskan mimpinya. Sampai di mana tadi mimpinya" Oya, sampai mengajak Trudie pergi malam Minggu nanti. Apakah Trudie mau"
Oki tertidur lagi. "*** "Saat itu pulang sekolah.
Alvin menyepak kaki Oki yang lagi asyik membetulkan tali sepatu sambil nongkrong di tepi lapangan teduh. Oki menoleh, dan dengan isyarat matanya, Alvin menunjuk pada seorang gadis yang sedang berjalan di koridor menuju ke arah mereka. Oki memandang Trudie jalan bersama beberapa teman cewek dan cowok. Sambil mengobrol. Mereka hendak pulang.
"Tuh, lo tegor aja. Mereka menuju ke sini," ujar Alvin.
"Gila, lot Banyak anak kelas dua. Gue bisa digencet kalo macem-macem."
Trudie lewat. Oki dan Alvin hanya bisa memandang sambil berdiam diri. Trudie melirik ke arah Oki dan Alvin. Lalu tersenyum tipis. Tipis sekali. Dan langsung ilang. Tapi itu cukup bikin Oki serasa terbang ke langit ketujuh.
"Liat, Vin. Dia tersenyum sama gue," bisik Oki sambil matanya terpejam. Ya, ini emang kemajuan. Dulu-dulu Trudie kan hanya memandang,nggak tersenyum. Tapi kali ini ditambah bonus senyum. Wah, kemajuan lah ya.
"Tapi apa artinya kalo lo tetap nggak berani negor dia"" ujar Alvin sinis.
Oki terdiam. "Lo harus berani, Ki. Cepat susul dia, bawakan buku-bukunya, antarkan dia pulang."
"Tapi kalo ternyata dia nggak suka sama gue""
"Omong kosong! Mana mungkin" Bukti-bukti sudah banyak. Dia selalu merhatiin elo. Dan Trudie pernah nitip salam ke elo."
Oki diam lagi. Ya, ya. Beberapa anak kelas dua emang pernah memanggil-manggil Oki, dan ngebilangin kalo Trudie nitip salam. Tapi masalahnya sekarang, punyakah Oki keberanian menegur duluan" Oki jadi ngiri ngeliat si Anton, temannya yang enteng aja menyatakan cinta buat gadis-gadis yang dia sukai. Atau Olga yang ringan aja ngocol sama siapa yang dia temui. Kayak nggak ada beban. Tapi kalo Oki, satu gadis aja rasanya susah banget. Tenggorokan terasa tersumbat.
Alyin berdiri, la lu menepuk kepala Oki, "Lo memang masih bayi, Ki. Gue pulang dulu. Tuh, si Kiki udah nungguin gue. Gue kecewa sama elo."
Oki tak berkomentar. Ya, dia memang merasa berhak tetap menyandang gelar ''bayi'' karena tingkah lakunya. Tapi kemudian dia berpikir, "apa rela dia tetap disebut bayi setelah duduk di kelas satu SMA ini" Bagaimana mungkin" Dia lantas merenung. Ya, satu-satunya cara agar bisa mengubah julukan bagi dirinya adalah kalo dia sendiri punya keinginan berontak. Ya, anak yang penakut kan nggak selamanya ditakdirkan tetap jadi penakut, kalo dia punya keinginan untuk bersikap berani. Berani menghadapi masalah, berani menanggung risiko.
Tiba-tiba aja Oki merasa dirinya menjadi seorang yang lain. Oki merasa seperti dilahirkan kembali sebagai seorang yang lain. Yang punya rasa percaya diri yang kuat, yang berani menatap lurus ke depan, yang berani berbicara lantang. Tapi saat itu suasana sekolah telah sepi. Semua anak sudah pulang. Hanya ada berapa anak yang duduk-duduk dekat pintu gerbang, menunggu jemputan.
Oki melangkah pulang dengan mantap.
"*** "Tumben, seharian ini Oki tak melihat Trudie. Padahal sejak semalam dia telah membulatkan tekad mau menegur anak kelas dua itu kalau kebetulan berpapasan. Tapi kemana sih, anak satu itu" Sampai pulang sekolah, Oki tetap tak melihat Trudie.
Besoknya lagi, ketika Oki baru meninggalkan VW kakaknya, dia melihat wajah yang dicari-cari itu berdiri di seberang jalan. Oki tercekat. Karena di seberang jalan itu, Trudie lagi bercengkerama mesra dengan seorang cowok berbadan tegap. Cowok itu anak kelas tiga.
Trudie dan cowok itu buru-buru menyeberang, sambil bergandengan tangan dan tertawa-tawa. Tepat menuju Oki. Oki langsung mempercepat langkah kakinya, sambil mukanya tertunduk dalam. Hati terasa panas, wajahnya merah padam karena kesal. Dia berlagak tak melihat sepasang manusia itu.
Dan saat mengikuti jam-jam pelajaran pertama. di sekolah, Oki nampak amat murung.
Alvin sampai beberapa kali menegur, "Lo kenapa, sih""
"Nggak pa-pa." "Nggak pa-pa kok diem terus dari tadi""
Oki membisu sampai bel istirahat pertama berdentang. Otaknya dipenuhi bayangan pemandangan menyakitkan tadi pagi. Trudie bergandengan mesra dengan cowok lain. Anak kelas tiga.
Dan ketika Oki melangkah gontai ke kantin sekolah, dia bertemu dengan Trudie lagi. Sesaat pandangan mereka beradu. Trudie menatap Oki dalam-dalam. Dari tatapan itu, "seolah Oki bisa membaca penyesalan Trudie, "Maaf, Oki, saya terpaksa menerima cinta cowok lain. Abis dari dulu kamu ditungguin, nggak ada reaksinya. Saya kan nggak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian...."
Oki memalingkan wajahnya. Tiba-tiba dia jadi amat benci pada dirinya sendiri. Ya, itu kan memang salahnya sendiri. Kenapa menunda waktu begitu lama" Zaman sekarang, kalau ada kesempatan harus langsung direbut. Karena persaingan begitu ketat. Kamu harus camkan itu!
Berbagai kata-kata penyesalan, makian, terus mengiang-ngiang di telinganya. Oki terus dan terus berjalan menuju belakang sekolah. Lalu sampai di dekat gudang, tiba-tiba dia berteriak keras sekali. Melampiaskan rasa jengkelnya yang luar biasa!
*** "Senja itu, Oki sedang tertidur dalam posisi tertelungkup di kasurnya yang empuk. Jam di dindirig menunjukkan pukul empat sore. Di luar gerimis kecil masih saja turun.
Kamar Oki nampak berantakan sekali. Buku-buku, kaset-kaset metal, gitar, majalah, tak beraturan tersebar di karpet. Linda yang masuk ke kamar Oki, sejenak melongo melihat pemandangan yang nggak seperti biasanya itu.
Linda menggeleng-gelengkan kepala. Lalu membereskan beberapa majalah dan buku ke dalam rak di bawah stereo set.
Oki terbangun. Rumbutnya kusut, wajahnya nampak kucel. Dia memandang kakaknya yang membereskan majalah. Linda melirik ke Oki yang sudah bangun.
"Begini, ya , tingkah anak yang udah merasa gede"" sindir Linda.
Oki hanya me"ggeliat, dan mengubah posisi tidurnya. Linda membawa tumpukan majalah itu ke rak, sambil terus mengoceh, "Nah, sekarang, gadis mana yang telah bikin kamu je"gkel""
Oki memandang kakaknya, sambil kedua tangannya saling menopang belakang kepalany
a. "Kenapa bisa nuduh gara-gara cewek""
Linda tertawa kecil. "Kamu pikir saya dewasa dengan tiba-tiba" Tanpa mengalami masa-masa kayak kamu sekarang ini""
"Sok tau. Kayak yang udah dewasa aja."
"Lho, kamu lupa kakakmu ini udah jadi mahasiswi" Itu berarti udah gede."
"Who cares""
"Dari perubahan kamu, nggak mau dijemput, nggak mau nganterin ke salon, merasa punya urusan sendiri, nggak mau dibilang bayi lagi... saya tau apa yang terjadi dengan kamu. Dan di sini, ada kakakmu yang selalu mau membantu. Kenapa nggak mau nyoba cerita"" ujar kakaknya menantang.
"Kenapa kamu mau membantu""
"Karena kamu adik saya yang manis. Yang dulunya selalu mau mengantar kakaknya ke mana aja, yang cuma ngomel-ngomel dikit kalo disuruh ngebantuin ngadukin adonan kue, dan terutama, yang paling saya sayangi karena emang cuma ada satu-satunya...."
Oki nyengir. "Oke, saya emang lagi sebel. Gini, kan ada anak kelas dua yang namanya..."
"Eit, stop. Gimana kalo nyeritainnya sekalian nganterin saya ke salon Tante Inka""
Olga 06 Mini Skirt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oki melotot. "*** "Linda memarkir VW-nya di depan salon Tante Inka. Lalu memandang ke arah Oki, "O, jadi gitu persoalannya""
"Ya." "Kamu harus tau, Ki. Untuk menjalin persahabatan atau tali asmara atau apa lah ya namanya, pokoknya sejenis itu, tidak cukup hanya karena tu cewek demen ngeliatin kamu."
"Maksudmu"" Oki bertanya.
""Ya, masa mentang-mentang si Trudie demen ngeliatin kamu, dan teman-temannya bilang bahwa Trudie suka sama kamu, lantas itu dijadikan alasan kamu mau macarin dia" Pacar kan beda sama gunung es. Yang hanya ditaklukkan karena kita merasa ditantang, atau merasa dapat tantangan. Pacaran itu kan hubungan emosional, yang nggak ada kaitannya sama temen-temen kamu di sekolah. Bukan karena dorongan Alvin , kamu lantas mau pacaran sama Trudie. Bukan karena ledekan anak-anak kelas dua, kamu lantas mau menaklukkan Trudie. Udah deh, kamu nggak usah nyesel nggak bisa ngedapetin Trudie. Mungkin Trudie emang bukan cewek yang cocok buat kamu. Buktinya, baru ada anak kelas tiga yang ngerayu aja, dia mau.
"Kalo kamu menjalin hubungan dengan cewek, kamu harus kenal dia baik-baik dulu. Pelajari sifatnya, tingkah lakunya, bagaimana dia memperlakukan teman-temannya, atau bagaimana teman-temannya memperlakukan dia... pokoknya segalanya. Kalo udah kenal deket, udah sering bergaul dan ngerasa udah sreg, baru kamu boleh macarin dia. Begitchu..."
Oki diam. Dia memandang kakaknya kagum.
Linda membuka pintu VW. "Udah nggak usah kagum gitu, dong. Ayo, temenin turun!"
"Sialan!" Oki memaki. Tapi itu makian sayang.
" 10. PUISI-PUISI PUASA "CERITANYA, lengkap seminggu sudah Olga nggak menjalankan ibadah yang paling mulia di bulan Ramadan: puasa. Alasan yang dikemukakan, lantaran gangguan bulanan: tiga hari. Lantaran males: satu hari. Lantaran nggak mood: satu hari. Dan selebihnya lantaran telat bangun sahur. Mami plus Papi juga ikutan nggak puasa karena sebab yang terakhir itu.
Ya, tentu ada sebabnya kenapa mereka sampe telat bangun sahur. Dan sebab-musabab itulah yang rupanya lagi jadi rumpian anget di pagi itu. Antara Mami, Papi, dan Olga, minus Bik Inah, karena udah keburu pulang kampung, saling tuding dan saling tuduh sebagai pencipta sebab itu.
"Papi keasyikan ngimpiin pacar lama ya, sampe tidurnya begitu pules"" tuding Mami tanpa basa dan basi lagi. Papi yang lagi asyik baca koran sambil menyeruput kopi anget bikinan sendiri, nggak terperangah kayak biasanya kalo dituding Mami. Dengan tenang Papi meletakkan cangkir kopinya di meja.
"Betul begitu, kan, Pi" Ngaku aja, deh!" tuding Mami lagi masih tanpa basa dan basi.
Dan masih dengan tenang pula Papi ngeliat koran yang tadi dibacanya. Meletakkannya di meja, menatap Mami lekat-lekat, lalu ngomong dengan suara lantang.
"Apa Mami bilang, tadi""
Bahwa Mami selalu nuduh orang tanpa tata bahasa, dan tata krama, dan tata logika, itu udah tata aturan sejak dari zaman dulu kala. Tapi bahwasanya Papi berani ngomong selantang itu terhadap Mami, rasanya ini baru yang pertama kali. Apalagi ditambah dengan delikan mata segala yang tentu aja bikin Mami kaget.
"Papi ini, kenapa ti
durnya pules banget sampe nggak bisa ngebangunin sahur. Ngimpiin pacar lama, kan"" omel Mami lagi setelah bisa menguasai kagetnya akibat perubahan sikap Papi yang dianggapnya berani mati itu.
"Apakah ini semacam tuduhan"" tanya Papi masih lantang.
"Ya!" Jawab Mami pendek. Tapi karena pendek itu jadi terkesan keras. Padahal Mami udah mulai grogi sebetulnya.
"Ada berita buruk dan berita buruk buat Mami. Mau yang mana dulu"" tawar Papi.
"Yang berita buruk dulu!" pinta Mami.
"Mami terlalu cemburuan. Mestinya malu dong sama umur."
"Sekarang berita buruknya""
"Mami suka lupa sama tugas. Ngebangunin sahur itu kan tugasnya Mami, bukan tugasnya Papi. Mami musti inget dong, sebagai ibunya rumah tetangga, maksud Papi, sebagai ibu rumah tangga, ngebangunin sahur itu adalah tugas Mami. Itu pun setelah Mami masak, beres-beres, dan kalo udah siap baru Papi dibangunin," beber Papi.
Mami merengut. "Enak aja!" "Tapi itulah kodrat Mami sebagai ibu rumah tangga!"
Papi pun menyalakan rokok. Kemudian menyedotnya dengan nikmat, sebelum akhirnya dikombinasi dengan pisang goreng. Mumpung lagi nggak puasa, pikir Papi.
"Lalu kodrat Papi sebagai bapak rumah tangga apa, dong"" Mami jadi penasaran.
"Ya menyantap hidangan sahur yang disediain Mami."
"Kesimpulannya, Mami dong yang salah kalo gitu""
"Jelas!" jawab Papi cuek, sambil tangannya berusaha meraih pisang goreng yang ketiga.
"Nggak bisa. Mami nggak salah. Olga tuh yang salah!" elak Mami. Tapi nadanya berubah lembut. Naga-naganya kalo Papi udah nekat begitu, Mami bisa ciut juga hatinya.
Sedang Olga yang pada saat itu lagi asyik mengilik-ngilik kuping di sudut sofa, jadi terlonjak kaget. Olga kontan mendelik ke arah Mami dan Papi. Lalu berkokok nyaring sekali.
"Kukuru... eh, jangan nuduh sembarangan dong, Pi, Mi...! Bukan Olga kok yang kemaren mecahin jambangan. Itu salah si Belang. Kenapa waktu Olga timpuk pakebatu, si Belang mengelak. Ya, akibatnya batu itu nyasar ke jambangan. Jelas bukan salah Olga, kan, Pi, Mi" He, kok pada bengong, sih" Apa ada yang salah""
Mami dan Papi saling pandang. Tapi cuma sebentar.
"Olga kamu ini ngigo atau apa, sih" Kok jadi ngaco gitu" Itulah kalo kamu terlalu deket sama Papi!" bentak Mami.
Olga tertegun. Tapi cuma sebentar.
"Lho, emangnya tadi Mami lagi ngomongin apaan"" tanya Olga bego.
Saking gemesnya Mami langsung meraih idung Olga, dan memencetnya keras-keras. Maksudnya biar Olga sadar.
"Makanya dengerin dulu masalahnya, jangan main samber aja," semprot Mami tanpa melepas jepitan jarinya di idung Olga.
Olga gelagapan. "Mami hepas hong, hakit ni!" teriak Olga "sambil berusaha menarik idungnya. Untungnya berhasil.
Papi cekikikan. Perhatian Olga segera beralih ke Papi.
"Ada apa sih, Pi, sebetulnya"" tanya Olga kemudian.
"Soal kita pada nggak puasa hari ini."
"Kalo itu kan bukan salah Olga, Pi," tukas Olga yang mulai paham permasalahannya.
"Apa"" samber Mami sewot.
"Telat bangun sahur, kan""
"Iya, lalu kenapa kamu merasa nggak salah""
"Itu kan tugasnya Mami."
"Apa kamu bilang, Ol""
"Itu kan tugasnya Mami."
"Coba kamu bilang sekali lagi," pinta Mami sambil siap-siap memencet idung Olga. Olga ketakutan, dan berlari ke dekat Papi. Dari situ Olga melingkarkan kedua telapak tangannya ke mulut hingga, menyerupai corong, lalu berteriak keras.
"Itu tugas Mami sebagai ibu rumah tangga. Biasanya juga gitu, kan""
"Jadi kalo gi"u Mami yang salah, dong""
"Tepat!" teriak Olga dan Papi nyaris berbarengan.
Mami terperanjat. Apalagi waktu berteriak tadi Papi sempet-sempetnya ngedeketin mulutnya ke telinga Mami yang sebelah kiri dan Olga sebelah kanan.
"Nggak bisaaa... Mami nggak salah. Tukang bangunin sahur yang salah. Kenapa selama dua hari ini mereka pada nggak teriak-teriak bangunin orang sahur kayak biasa-biasanya"" teriak Mami sambil berusaha mencari salah satu kuping Papi atau Olga. Tapi kedua makhluk itu dengan sigap menghindar. Cuma ketika teriakan Mami rapi bergema, Papi dan Olga serentak berpandangan. Melongo. Kemudian tersenyum kecil, seperti menangkap sesuatu dari teriakan Mami tadi.
"Kalo gitu yang salah tukang ngebangunin
sahur. Kenapa selama dua hari ini dia nggak nongol," tukas Papi dan Olga sadar.
"Betul itu!" sambar Mami cepat. Lalu tersenyum lebar.
"*** "Angin bertiup nggak pelan nggak kencang, tapi akhirnya menclok juga di daun-daun pohon mangga depan rumah Olga, dan daun-daun itu bergoyang. Ada sehelai daunnya ya"g lepas dari dahannya, akibat kurang tahan guncangan, melayang-layang sebentar, lalu jatuh ke tanah. Jatuhnya daun itu ke tanah, entah siapa yang ngatur, ternyata berbarengan dengan jatuhnya Mami dari ranjang karena kegeser pantat Papi.
Bluk! Mami terperanjat bukan alang kepalang. Terbengong sejenak. Setelah angan-angannya rada ngumpul, dan setelah mengusap-usap jidatnya yang rada benjol, Mami lalu mengucek-ngucek matanya yang sepet. Pandangannya ngamprok ke jam dinding yang digantung di dinding. Kemudian menjerit keras sekali begitu sadar kalo jam udah menunjukkan waktu pukul empat lebih empat menit lebih empat empat detik.
"Waaa... Pi! Bangun, Pi Bangun.... Sebentar lagi imsak."
Dengan kejam Mami mengguncang-guncang pundak Papi yang lagi asyik ngorok. Walhasil, Papi terperanjat. Sedang Mami langsung menghambur ke arah dapur. Tapi sebelon itu, sempat mampir dulu ke kamar Olga.
Dar... der... dor...! "Olga, bangun, Ol, sebentar lagi imsak nih!" teriak Mami. Untung Olga segera terperanjat. Ya, gimana nggak terperanjat kalo gedoran di pintu ala Mami begitu full dolby stereo. Olga berjalan terhuyung-huyung menuju pintu.
"Ada apa, Mi"" Olga menyembulkan wajahnya dari pintu yang dibuka sedikit. Tapi Mami nggak ada di situ, Olga celingukan. Siapa yang barusan" batin Olga.
"Ol, sini dong cepet, bantu Mami beres-beres." Kebingungan Olga akhirnya terjawab.
Matanya lalu mencari-cari sumber suara barusan. Dan di dapur diliatnya Mami lagi supersibuk.
"Ada apa sih, Mi, kok sibuk amat"" tanya Olga rada-rada bego.
"Ada apa, apa kamu lupa sekarang kita harus sahur" Puasa nggak kamu"" kata Mami ketus.
Jawaban Mami bikin Olga pulih kesadarannya, untuk selanjutnya terperanjat dan melambung beberapa senti.
"Gila, sahur!" pekik Olga. Olga pun buru-buru memburu Mami ke dapur. Dan secara serabutan mulai mengerjakan apa yang Olga rasa bisa kerjakan. Tak lama kemudian dua anak-beranak itu pun tenggelam dalam kesibukan yang mahahebat. Dari mulai memanaskan nasi, masak supermie, ngegoreng kerupuk, telor mata sapi, menjerang air, lalu menghidangkannya di meja.
Ya, sebetulnya sih Mami dan Olga nggak perlu sesibuk itu kalo bangun sahurnya nggak telat. Dan kalo aja Bik Inah ada di rumah. Tapi sejak dua hari sebelon puasa, Bik Inah udah minta izin pulang kampung, dan baru pulang sebulan setelah Lebaran. Pembantu satu ini emang sakral banget kalau menghadapi bulan puasa. "Saya nggak mau ibadah saya keganggu sama kerjaan," alasannya. Terpaksalah Mami ngizinin Bik Inah pulang kampung, abis Bik Inah minta izinnya sambil merengek-rengek segala. Dan kalo izinnya nggak dikabulin, Bik Inah ngancem mau mogok mandi. Kan gawat.
"Ol, sekarang bangunin papimu cepet!" pinta Mami setelah ngicipin semur jengkol kesukaan Papi. Tumben saat itu Olga langsung nurut. Bagai biji nangka keinjek, Olga pun mencelat dengan gesitnya ngebangunin Papi.
"Pi, bangun, Pi, sahur!" teriak Olga pas di kuping Papi. Papi geragapan.
"Apa tadi kamu bilang, Ol""
"Sahur!" jawab Olga masih keras, dan masih di telinga Papi. Papi tentu aja jadi pekak. Tapi begitu sadar apa yang dikatakan Olga, Papi pun langsung mencelat ke arah meja makan. Olga membuntuti. Sesampai di meja makan, Mami udah cemas menunggu.
"Buruan dong, keburu imsak nih," tukas Mami sambil matanya melengos ke arah jam dinding yang digantung di din ding. Pukul setengah lima kurang lima menit lebih lima menit. Gila.
Papi dengan sigap duduk. Disusul Olga yang lebih dulu duduk. Keduanya lalu buru-buru menyendok nasi. Memilih lauk. Berdoa. Dan makan. Tapi baru tiga suapan masuk ke mulut, tiba-tiba radio yang disetel Mami keras-keras mengumandangkan beduk imsak. Akibatnya Mami, Papi, dan Olga jadi kelimpungan. Mereka pun segera menghentikan suapannya. Dan berlari ke wastafel buat gosok gigi. .
*** "Walaupun sahurny a gagal, puasa jalan terus. Makanya pagi itu Olga keliatan lemes sekali. Di dalam kelas Olga cuma bisa ngedengerin pelajaran sambil terkantuk-kantuk. Wina yang orangnya nggak betahan kalo ngeliat Olga beda dad biasa-biasanya, mulai bikin ulah. Tanpa ngelepas pandangan matanya dari Bu Biologi yang lagi sibuk nerangin soal teori daur ulang, Wina menyobek pinggiran buku tulisnya. Sobekan kertas itu lalu dipilin hingga membentuk benang kecil. Setelah dapet apa yang dimaksud, Wina pun mulai melakukan aksinya. Mengilik-ngilik idung Olga. Tentuaja Olga jadi kegelian, dan bersin keras sekali.
"Wina, usil amat sih lo!" pekik Olga, tapi dengan suara tertahan. Takut didengar Bu Biologi. Emang belakangan ini Olga lagi jadi sorotan Bu Biologi akibat nilai ulangannya selalu jeblok.
Wina sendiri kemudian terpekik begitu ngerasain sengatan di jempolnya akibat injakan kaki Olga.
""Gila lo, Ol. Sakit, kan!" protes Wina.
"Lo yang gila, ngapain lo ngilik-ngilik idung gue. Apa lo pikir gue punya idung buat dikilik-kilik"" maki Olga.
"Abis iseng liat lo ngantuk."
"Segitunya!" "Tapi ngapain sih lo ini ari keliatan ngantuk banget"" tanya Wina antusias.
Saat istirahat, baru Olga ngejawab pertanyaan Wina. Di bawah pohon mangga yang rindang, yang tumbuh di halaman sekolah, Olga ngejelasin bahwa belakangan ini dia sering telat bangun sahur. Gara-garanya ya lantaran nggak ada orang yang mau ngebangunin sahur. Maklum Olga tinggal di kompleks, yang penghuninya pada nggak punya kesadaran buat ngebangunin orang sahur. Ternyata Wina punya masalah yang sama.
"Gue juga sering telat bangun sahur, Ol. Ya itu, kalo nggak kebetulan pembantu gue rajin bangun pagi," seru Wina.
"Kalo pembantu gue sih udah pulang kampung dari dulu-dulu. Sedang Mami gue nggak gitu bisa diarepin," timpal Olga dengan lesu.
Tapi sekonyong-konyong Wina menampakkan tam pang ceria.
"Kalo gitu gini aja, ntar kalo pas sahur gue bangunin lo pake telepon. Biasanya gue juga baru dibangunin pas makanan siap. Tapi ntar gue minta bangunin lebih cepet lagi. Terus gue call elo. Gimana""
Olga langsung menepuk bahu Wina keras sekali. Dan seperti halnya Wina, Olga pun menampakkan senyum ceria.
"Gila lo, itu ide bagus. Sekarang gue makin ngerasain kalo lo temen yang paling berarti buat gue. Nyesel kemaren gue sempet bikin lo marah, Win. Eh, makasih ya atas niat baiknya."
"Iya!" sambut Wina pendek sambil menepuk bahu Olga gak kalah keras. Olga pun terbatuk-batuk. Uhuk, uhuk!
"*** Sepulang sekolah Olga gak langsung ke rumah. Siang begitu panas. Angin bertiup kering, sekering tenggorokan Olga yang bagai dikitik-kitik pake silet. Olga juga merasa perutnya laper berat. Tapi Olga masih harus ke Radio Ga Ga buat siaran. Emang selama bulan puasa ini Olga kebagian jatah ngasuh acara yang dikasih judul Killing Time; yang kalo diterjemahkan ke bahasa Belanda jadi ngabuburit. Intinya tentang obrolan menyambut beduk magrib. Di situ Olga ngocol soal cerita nabi-nabi, diselingi lagu kasidahan, biar yang puasa lupa sama lapernya.
Tertatih-tatih Olga menyeret langkah ke stopan bis. Lalu naik bis yang penuh sesak. Udara gerah dan bau apek keringat para penumpang bikin tenggorokan Olga makin kering. Gawatnya, karena udah sore, bisnya sering macet, hingga Olga cukup lama terjebak pada situasi kayak gitu, sebelon akhirnya nyampe di depan studio Radio Ga Ga. Yang bikin keki, begitu nyampe, langsung disambut oleh pemandangan Ucup yang tanpa perasaan bersalah sedikit pun lagi asyik gegares siomay binti bakwan dan es jeruk segar. Ya ampun. Biadab banget sih tu anak, batin Olga.
"He, Cup. Kira-kira dong lo, puasa-puasa gini gegares seenaknya!" tegur Olga lantaran gak tahan liat perbuatan Ucup.
"Hormatilah orang yang tidak berpuasa!" ujar Ucup sambil nyengir.
Olga jelas sebel. Tapi daripada puasa batal karena berantem sama makhluk tua bangka ini, Olga buru-buru masuk ke kotak siaran.
Dasar Olga, biar lagi laper dan haus berat, kalo udah siaran, tetep aja ngocol. Sejam lamanya Olga. bisa ngelupain penderitaannya. Sampe akhirnya siaran rapi jali.
Di tengah perjalanan pulang, sejenak Olga sempet tergoda ngel
iat minuman warna-warni yang dipajang di sebuah rumah makan.
"Mampir jangan... mampir jangan... ah, mampir ah, ah,.jangan ah. Mampir! Jangan! Mampiiir! Jangaaan!" Begitu gejolak batin Olga. Untungnya Olga inget kalo bulan puasa adalah bulan yang penuh dengan godaan dan godaan dan godaan. Sengaja godaannya disebut tiga kali, biar banyak. Ya, Olga sadar, justr" kalo kita bisa menahan godaan itu, puasa kita jadi bermakna.
Olga buru-buru memalingkan wajahnya, dan melangkah nggak peduli. .
Sampe di rumah jam dinding yang digantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam. Olga ngelempar badannya di sofa yang empuk. Sebab kalo keras namanya tapang.
Lalu tidur pules banget, sambil nggak lupa ngeluarin dengkuran yang mirip-mirip suara mesin penggiling tebu. Olga betul-betul keabisan tenaga saat itu. Tapi lagi enak-enaknya tidur, tiba-tiba Olga ngerasain bahunya diguncang keras. Olga tergeragap bangun. Begitu membuka mata, Olga kaget banget, sebab yang langsung diliatnya agalah wajah Mami yang meringis gede banget di depan matanya.
"Tolooong... hantu!" jerit Olga.
"Olga, jangan gila kamu. Ini Mami!" bentak Mami.
"O, Mami, kirain. Ada apa, Mi""
"Bantuin Mami nyiapin makan buat buka!" pinta Mami.
Olga ngulet sejenak. "Aduh, Mi, Olga lemes ni...," sambut Olga berusaha mengelak.
""Nggak ada alasan , ayo!" tolak Mami kejam. Lalu menyeret Olga ke dapur. Sebetulnya tanpa diseret juga Olga mau, soalnya sekonyong-konyong Olga sadar nggak ada salahnya bikin seneng Mami di bulan puasa ini. Malah pahalanya gede. Kayak atlet atletik yang pahanya gede-gede itu, pikir Olga.
Sebentar kemudian Mami dan Olga udah sibuk di dapur. Papi ternyata pulang kantor begitu makanan selesai terhidang di meja rumah tetangga. Ya, emang baru tetangga Mami yang siap menghidangkan makanan buka. Sedang Mami dan Olga masih asyik bersibuk ria di dapur. Dan belon ada tanda-tanda selesai. Padahal beduk magrib tinggal beberapa saat lagi.
Papi yang kecewa ngeliat cara kerja Mami dan Olga, lantas ngegubrakin tas kopernya di meja. Ngerenggangin dasi yang ngelilit lehernya. Menghela napas panjang. Lalu ngebuka sepatu. Betul, kan, beduk magrib akhirnya bertalu-talu, saat Papi masih sibuk dengan kaus kakinya. Tanpa dikomando, Papi langsung melejit ke arah meja makan. Ternyata Mami dan Olga udah duduk di situ. Dan ternyata makanan yang siap baru kolak pisang. Lumayan, batin Papi.
"Enak kolak bikinanmu, Mi," sindir Papi yang begitu ngicipin kolak kok rasanya nggak keruan. Ada manis, asem, pait, asin campur jadi satu.
"Siapa dulu dong, anaknya!" serobot Olga niruin iklan RCI'I.
Mami yang tadi tersipu malu, langsung pasang tampang sebel. Tadi dikira, Papi betul muji. Dan Olga dianggap ngerusak kebahagiaan Mami. Untung akhirnya mereka bisa makan tanpa keributan. Malah begitu rapi buka, acara disambung dengan salat magrib bareng. Nggak lama kemudian ketiganya udah duduk-duduk santai di serambi. Maksudnya sih nunggu saat teraweh.
*** "Olga tersentak dari tidurnya begitu telepon yang ditaro deket kuping berdering keras. Pukul dua lebih dua menit lebih dua detik.
"Siapa, ni"" jerit Olga sebel.
"Gue, Ol, Wina!"
"Gila lo, Win, ngapain lo pagi buta gini udah nelepon gue. Jangan cari gara-gara lo, ya."
"Aduh, Ol, berang-berang amat sih lo, eh, maksud gue, pemberang amat sih lo. Sahur nggak lo" Katanya minta bangunin."
Olga menepuk jidatnya. "O iya, Win, sori ya, gue ampir lupa. Soalnya barusan gue ngimpi indah banget. Kencan sama Andi di Paris."
Olga lalu mencelat ke kamar Mami. Ngegedor-gedor pintunya.
"Mi, bangun, Mi. Sahur!" jerit Olga. Untung Mami segera bangun, walau dengan tampang kusut.
"Malem ini Mami masak sendiri dulu deh, ya. Ada tugas yang mesti Olga kerjain."
Olga mencelat keluar. "Hei, Olgaaa, mau ke mana kamu!" jerit Mami kebingungan.
"Ngebangunin orang sahur, Mi."
"Gila kamu, itu kan kerjaannya anak cowok."
"Ah, biar deh, Mi, daripada nggak ada."
Olga ternyata betul-betul ngejalanin niatnya. Dengan suaranya yang cablak, Olga mulai keliling kompleks ngebangunin orang sahur. Walhasil, emang nggak sedikit ibu-ibu yang terbangun karena teriak
an Olga. Apalagi Olga teriak-teriaknya sembari diselingi dengan menggetok-getok tiaing listrik yang emang banyak di sekitar kompleks.
"Sahuuur...! Sahuuur...! Ibu-ibu yang manis, cepet deh pada bangun sahur. Mumpung waktunya masih banyak nih. Masih sempet kalo pengen nganget-ngangetin sayuran," jerit Olga.
Olga akhirnya kecapekan juga jerit-jerit begitu. Untung seantero kompleks udah disusuri. Pas pulang, hidangan sahur ala Mami udah siap terhidang di meja. Mami sama Papi malah udah lama nunggu.
"Tu dia anaknya!" cetus Mami begitu Olga nongol di pintu.
Papi menyambut antusias. "Dari mana aja sih" Ayo deh cepet kita makan sahur. Ntar keburu imsak lagi."
Olga buru-buru ke wastafel buat cuci tangan, lalu ngegabung sama Papi dan Mami. Mereka lalu makan sahur tanpa tergesa-gesa. Dan saat itu, ternyata di sekitar kompleks Olga banyak yang makan sahur tanpa tergesa-gesa kayak biasa-biasanya. Semua itu, berkat siapa lagi kalo bukan Olga.
Sedang Olga begitu selesai makan sahur dan sikat gigi, segera menghambur ke telepon, dan memutar beberapa angka.
"Halo, Wina, ya" Makasih ya, Win. Berkat elo, hari ini sahur gue nggak telat lagi. Malah gue sempet teriak-teriak keliling kompleks buat ngebangunin orang sahur. Hebat, kan" Hebat dong, ya!"
"Olga... " "Wah pokoknya puasa kali ini hepi banget deh, Win. Gue makin ngerasain maknanya puasa."
"Olga..." "Kalo ada yang bilang puasa itu masa penuh godaan dan tantangan, gue percaya, Win."
""Olga... "
"Terus kalo ada yang bilang puasa itu bikin sengsara, gue juga percaya, Win. Ya, puasa emang bikin sengsara. Laper, haus. Bukan cuma itu, puasa juga mengharuskan kita ngejauhin hal-hal yang kita suka. Misalnya ke disko, ngegosipin temen, sirik, marah-marah. Bayangin, Win, nggak enak, kan" Apalagi selama puasa kita juga nggak boleh ngurangin aktivitas kita. Maksudnya, nggak mentang-mentang lagi puasa lantas kita nggak mau kerja, sekolah, atau yang sebangsanya gitu deh. Pokoknya puasa itu bikin sengsara. Tapi justru karena puasalah kita jadi berbeda, Win. Setiap hari ada yang kita tunggu. Sesuatu yang pasti, beduk magrib. Kan indah, Win, hidup ini, jika ada sesuatu yang kita nanti-nantikan setiap hari. Puasa itu ibarat puisi, Win. Puisi-puisi yang indah."
"Olga... " Olga baru sadar kalo sejak tadi Wina selalu menyelak omongannya.
"Ada apa sih, Win, kok cerewet amat""
"Sekarang jam berapa, Ol"" tanya Wina yang nggak peduli dituduh cerewet, walau yang cerewet sebetulnya Olga.
"Jam setengah lima kurang lima menit."
"Udah imsak ya, Ol""
"Udah. Ada apa emangnya, Win""
"Gue belon sahur, Ol. Tadi pas gue nelepon elo, gue langsung tidur lagi. Dan baru bangun setelah elo nelepon barusan."
Olga melongo, sebehim akhirnya memekik tertahan.
"Ya ampun, kenapa bisa begitu, Win""
TAMAT tamat Suling Naga 14 Thalita Karya Stephanie Zen Pendekar Elang Salju 8
Sedang di ruang rekam Radio Ga Ga, cuma ada Bobby Ardi, operator baru yang sibuk mentransfer lagu-lagu baru ke kaset mungil C-15. Selain dia dan kaset, gak ada lagi apa-apa di situ.
Sementara di tuang Mbak Vera, yang berada di paling pojok pada kantor Radio Ga Ga ini, beberapa petinggi di Radio Ga Ga lagi pada asyik rapat. Penting banget. Ya, saking pentingnya, sampe-sampe ruang yang tadinya gak pake penyadap suara itu langsung dipasangin penyadap suara. Udah gitu mereka rapatnya bisik-bisik. Takut ada yang denger. Selintas lalu, kalo diliat jadi kayak orang yang pada main kuda bisik.
Sejak bulan lalu, Radio Ga Ga telah mengadakan pembaruan manajemen. Dan rapat yang tampak mahapenting ini sekarang dipimpin langsung oleh Mas Ray. Dan yang ikutan rapat saat itu Manajer Siaran: Bapak Meksi Menari, Man"jer Umum: Mbak Vera, Manajer Promosi: Bapak Dindin Dindin! (Orang terakhir ini emang dilahirin di dalam mobil yang klaksonnya lagi korslet!)
"Minggu depan kita akan bikin acara Rally Radio Mobil, yang kebetulan sekarang udah disponsori oleh satu pabrik mobil," bisik Mas Ray mengawali rapatnya dengan berbisik.
"Mobil apa, Mas Ray"" tanya Mbak Vera kurang paham.
"Mobil... ang apa, kek, terserah! Hehehe, lucu gak saya""
Yang lain langsung bengong, karena gak nyambung!
"Eh, maksud saya gini... eh, yang barusan gak usah dipikiran, deh. Yang paling penting dari acara Rally Radio Mobil itu adalah agar hal ini jangan sampe bocor atau terdenger radio-radio lain, soalnya nanti mereka bisa ikutan bikin acara Rally Radio Mobil juga. Kan gak enak lho bikin acara punya saingan! Iya nggak""
"Lho, tapi kan acara ini
perlu promosi, Pak"" jelas Pak Dindin Dindin!
"Oh! Iya, ya...," ujar Mas Ray menepuk jidatnya. "Kalo gitu soal promosi Rally Radio Mobil ini, kita bahas dalam rapat esok hari saja. Setuju""
"Setuju!" "Baiklah, kalo gitu, rapat saya tutup! Eit, belum! Belum saya tutup, ding! Karena rapat soal mutu siaran belum disinggung. Iya, kan" Lagi sekarang baru jam dua siang. Kalo rapat selesai, nanti apa lagi yang bisa saya kerjakan" Baiknya langsung aja deh, Manajer Siaran menjelaskan secara gamblang soal mutu siaran di Radio Ga Ga ini. Silakan."
"Soal mutu siaran, kalo dibanding dengan kompetiter, bolehlah dibilang menurun...," jelas Meksi Menari yang menjabat manajer siaran itu.
"Menurun" Menurun gimana" Coba jelaskan lebih jauh lagi!"
Meksi langsung mengambil tempat duduk agak jauh dari Mas Ray.
"Lho, mau ke mana Anda""
""Kata Bapak saya disuruh menjelaskan lebih jauh""
"Uh, maksud saya bukan begitu. Bukan berarti Anda harus menjauh dari saya, tapi jelaskan lebih rinci lagi, gitu."
"Lebih rinci" Hmm, baik. Bapak mungkin kenal Olga, kan" Ya, dia adalah penyiar utama Radio Ca Ga, yang hampir tiap malam sekarang kita tugaskan untuk siaran Kuis Ngocol. Acara ini begitu digemari. Tapi belakangan ini mulai dijauhi. Ini ketahuan dari berapa suara pendengar yang menelepon kemari."
"Apa kata para pendengar itu""
"Olga gak lucu lagi!"
"Hah, Olga tidak lucu lagi""
"Iya, Pak." "Astaganaga! Kenapa bisa begitu, ya""
"Saya kurang tau, Pak."
"Saran Anda untuk bisa melucukan Olga lagi, apa""
"Saran saya""
"Iya, masa saran nenek kamu! Ya saran kamu, dong!"
"Saran saya, beri dia beasiswa untuk belajar melawak dengan para pelawak beken di negeri ini, Pak!"
"Wah, itu berarti kita harus keluar anggaran. Nggak bisa itu!"
"Ya sudah...." ""Lho, kok, ya sudah""
"Maksud saya, ya saran saya sudah sampai situ saja!"
Mereka yang rapat itu kemudian hening sejenak. Olga, cewek centil lagi kece itu, memang sudah jadi penyiar andalan Radio Ga Ga. Kecentilan dan kekonyolan Olga dianggap layak untuk dijual lewat Radio Ga Ga. Jadinya wajar saja kalo mereka merasa sedih manakala mendengar Olga sudah tak lucu lagi.
"Hmm, apa sebaiknya kita cari penyiar baru lagi aja"" tiba-tiba Mas Ray memecah keheningan lagi!
"Pelan-pelan, Pak," saran Pak Dindin Dindin! "Nanti terdengar stasiun radio lain bahwa kita sedang kesulitan karena penyiar andalan kita gak lucu lagi. Kan bisa berabe."
"Oh, iya, maap, maap. Hmm, gimana kalo kita cari penyiar baru saja"" Mas Ray memelankan suaranya.
"Terserah Bapak," jawab Meksi.
"Tapi jangan dulu begitu, Mas," potong Mbak Vera. "Mungkin Olga sekarang ini lagi banyak persoalan. Kita beri dia waktu aja untuk memulihkan kelucuannya itu. Seperti beberapa bulan yang lalu itu. Karena sayang kalo Olga kita buang begitu saja. Toh, namanya sudah terpatri di sanubari pendengar Radio Ga Ga."
""Tapi kalo tetep tidak lucu bagaimana""
"Saya akan berusaha memulihkan kelucuannya, Pak," kata Mbak Vera lagi.
"Ya, misalnya tetep gak lucu lagi"" desak Mas Ray.
"Saya, saya...," Mbak Vera keabisan kata-kata.
"Sudahlah, rapat sementara saya tutup!"
"Kesimpulannya, Pak"" tanya Meksi.
"Kesimpulannya kita bicarakan pada rapat mendatang saja!"
Ketika rapat itu usai, siaran Olga bersama Vivi Nofidia pun berakhir. Olga yang siang itu mo langsung ke sekolah, buru-buru dicegat Mbak Vera.
"Ol, Mbak mo ngomong sebentar!" panggil Mbak Vera.
Olga kemudian diajak masuk ke ruang Mbak Vera. Olga sebenarnya udah tau apa maksudnya dia dipanggil. Karena Olga sudah dengar sas-sus yang mengatakan dia sudah tidak konyol dan lucu lagi kalo siaran.
"Mungkin kamu sudah tau ya, Ol. Tadi dalam rapat kita juga menyinggung soal itu, soal menurunnya mutu siaran kamu."
Olga mengangguk-angguk saja.
"Kenapa ya, Ol, -siaran kamu bisa menurun dahsyat""
Olga tersenyum tipis. Getir rasanya mendengar pertanyaan seperti itu.
Mbak Ver" kemudian menepuk bahu Olga. Tanpa kata-kata, tapi itu berarti: "Olga, ayo dong, keluarkan segala kelucuan kamu! Kembalilah pada zaman keemasanmu dulu!"
Begitulah. Perasaan bahwa dirinya sudah tidak lucu lagi pada diri Olga ak
hirnya terus menghantuinya. Di perjalanan pulang Olga gak berani ngomong sepatah kata. Juga waktu di sekolah. Olga kuatir kata-katanya gak ada yang lucu.
Di rumah, Olga juga jadi banyak diam. Mami yang biasanya ban yak diributi oleh kicauan anak tunggalnya itu jadi kesepian. Di kamarnya Olga merenungi dirinya yang dulu begitu dipuja-puja oleh pendengar pujaan kini kena maki-maki juga oleh pendengar pujaan!
"Ol, Olga... masa baru jam segini udah tidur"" ketuk maminya dari luar. "Gak bercanda-canda dulu" Eh, Papi lagi asyik nonton tipi, tuh. Kita godain yuk! Kita jailin. Tadi di pasar, Mami beli cicek-cicekan dari karet. Pasti seru, nih, Ol!"
Ajakan Mami gak dapat balasan. Olga malah membesarkan volume suara radionya. Di Radio Ga Ga malam itu lagi ada acara Info In, acara untuk pendengar yang pengen muji atau ngritik acara Radio Ga Ga. Olga lebih konsen ke situ. Olga pengen tau lebih jauh lagi reaksi pendengar RadioGa Ga tentangnya.
Mami yang gagal ngebujuk Olga ngejailin Papi, ikut-ikutan masuk ke kamarnya dan nyetel radio stereonya juga. Mami pun memasang gelombang Radio Ga Ga. Mami emang udah biasa ikutan ngedenger radio kalo dia tau anaknya asyik ngedengerin radio. Karena Olga kadang-kadang suka gokil nelepon ke radio untuk ikutan nebak kuis yang tengah digelar Radio Ga Ga dengan berpura-pura mengecilkan suaranya. Olga jago banget mengubah-ubah suara centilnya itu. Dan Mami kini begitu tertarik pada anaknya yang begitu khusyuk ngedenger siaran Radio Ga Ga. Ya, jangan-jangan Radio Ga Ga ngegelar kuis yang hadiahnya uang puluhan ribu perak lagi! Kalo dapat Mami emang sering kecepretan.
Di radio, Ais, penyiar Info In, baru saja membuka acara. Ais kemudian menawarkan pada pendengar untuk segera menelepon ke Radio Ga Ga untuk menyampaikan unek-uneknya.
"Siapa nih"" tanya Ais.
"Roni!" "Oh, Roni. Ada apa, Ron""
"Gue langsung aja, nih. Gue terus terang sekarang ini gak suka sama siarannya Olga! Norak! Gak lucu lagi! Dan terlalu mengada-ada! Gak masuk logika! Kenapa penyiar kayak gitu masih tetap dipasang, kan sayangin Radio Ga Ga-nya! Mending ganti aja, deh". Banyak kok cewek cakep yang centil dan konyol kayak Olga. Malah yang lebih konyol lagi juga banyak!"
Sssrrrp! Darah Olga berhenti mengalir. Olga cepat mematikan radionya. Sedang Mami di kamar sebelah membulat bibirnya. Bengong dia. Dan sedetik kemudian langsung menghajar radio stereonya dengan bantal!
Ketika Olga merasa darahnya kembali mengalir, dia segera menelepon sahabat kentalnya, Wina.
"Win, lo denger siaran Info In, gak""
"Oo, yang di RCTI itu, ya""
"Bukan, Win, bukan yang di RCI'I, yang di TV3 Malaysia!!! Duh, Wina, Wina, Info In itu acara yang di Radio Ga Ga. Masa lo lupa""
"Oh, iya, gue inget, gue inget."
"Inget apa"" .
"Inget kalo gue tuh lupa sama acara Info In!"
"Sial lo!" "Oke, oke, Ol, meski gitu gue tetep akan mendengarkan segal a keluh kesah lo. Ayo, Ol, berkeluh kesahlah...."
"Iya, gue baru aja ngedenger Info In. Ada pendengar yang gak suka gue siaran lagi. Katanya gue gak lucu lagi, norak, dan suka mengada-ada. Gimana menurut lo, Win""
"Wah, tu anak berbakat jadi peramal juga, ya""
"W-I-N-A! Gue serius, monyong!"
""Sori, sori, becanda, Ol! Oke, kalo lo mo minta pendapat gue, inilah pendapat gue! Konsen baik-baik, ya" Menurut gue, sebaik-baiknya lo gak usah siaran aja. Ngapain capek-capek kerja cuma buat dimaki-maki" Iya, kan" Bayaran gak seberapa tapi makan ati. Mending lo seriusin aja sekolah lo. Ntar kalo lo sukses en kaya, lo bikin deh, radio sendiri yang gak punya acara semacam Info In itu! Oke, Ol""
Besok-besoknya Olga pun sudah punya niat untuk mundur dari Radio Ga Ga. Radio yang membesarkannya. Tapi sekaligus radio yang telah dibesarkannya. Padahal malam itu Olga kudu siaran. Waktu Mami mengingatkan Olga siaran, Olga menjawabnya dengan cuek, "Siaran" Siaran apa""
"Siaran Kuis Ngocol, masa lupa!"
Olga gak lupa, cuma males.
Tapi akhirnya dia berangkat juga karena Mami maksa-maksa Olga berangkat. Di Radio Olga makin males aja. Biasanya Olga dengan okenya melontarkan pertanyaan konyol yang sulit dijawab pendengar, tapi mala
m itu Olga melontarkan pertanyaan yang amat gampang dan terkesan murahan. Pertanyaannya: Item dan jalannya loncat-loncat" Jawabannya: Idi Amin ikutan balap karung! Oh, no...!
"Pokoknya Olga mo brenti jadi penyiar!" ujar Olga malam itu pas pulang siaran.
""Kenapa"" Mami terkejut.
"Bosen! Jenuh!"
"Apa nggak sayang, Ol""
"Lho, dulu kan Mami sendiri yang nyuruh Olga brenti siaran""
"Itu kan dulu...."
"Pokoknya Olga mo brenti. Titik!"
Olga pun membanting pintu. Mami jadi prihatin banget ngeliat anak gadisnya itu.
Dan selama seminggu itu, Olga emang bener-bener nggak pernah dateng ke Radio Ga Ga. Dia ngendon aja di rumah. Seperti orang yang nggak bersemangat. Padahal Mbak Vera telah beberapa kali nelepon ke rumah.
"Apa Olga sakit"" tanya Mbak Vera pada Mami.
"Mungkin juga. Nanti deh, kalo dia bangun saya bilangin."
Tapi seminggu kemudian ketika Olga di kamarnya dan mendengar acara Info In lagi, darahnya mengalir tambah cepat. Ais si penyiar itu menerima telepon dari seorang cewek bemama Rina yang suaranya imut-imut banget.
"Halo, ini Radio Ga Ga, ya" Ini Rina. Gini lho, saya juga mo nyampein unek-unek. Saya heran deh sama orang-orang yang menganggep Olga gak lucu lagi. Gak lucu apanya" Ah, saya pikir orang itu pasti budek. Jarang dikorek kupingnya. Gaya siaran Olga itu bener-bener lain daripada yang lain, kok. Omongnya ceplas-ceplos. Dan humornya pun me-remaja sekali. Cocok sama kita-kita. Kalo orang-orang yang gak suka ama Olga itu merasa terganggu kupingnya, ya pindah aja gelombangnya. Gak usah memaki-maki Olga begitu rupa. Kasihan kan dia. Saya pikir masih jarang ada penyiar yang secentil dan selincah Olga, lho! Beneran. Suer. Gitu aja deh, unek-unek dari Rina. Oh, iya, Ais, salam ya sama Olga. Bravo, gitu...."
Olga jadi bengong. Telepon dari Rina yang suaranya imut-imut aneh itu bener-bener membuat dia terbengong. Tiba-tiba semangat dalam dirinya tumbuh lagi. Ya, ternyata tak semua orang sekarang membenci Olga. Mungkin Rina wakil dari ratusan penggemar yang masih setia sama Olga. Olga tentu tak boleh mengecewakan penggemar-penggemar setianya itu. Ya, dia harus membuktikan kalo dia masih punya gigi. Bukannya malah jadi melempem.
Olga yang darahnya masih mengalir cepat itu langsung loncat dari tempat tidurnya dan menelepon Wina. Mami yang mengintai dari balik gorden, ikut menguping.
"Win, lo denger siaran Info In barusan nggak"" ujar Olga riang.
""Info In" Yang di TPI itu"" tanya Wina bego.
"Bukan, yang di MTV!" ujar Olga sebel.
"Itu, acara Radio Ga Ga. Masa nggak tau""
"Oya. Baru inget."
"Inget apa""
"Inget kalo gue nggak tau... hehehe, becanda. Trus kenapa lagi, Ol""
Olga langsung nyerocos cerita bahwa ada pendengar yang ngebelain dia. Dan Wina yang dasarnya plin-plan itu demi mendengar kabar dari Olga bilang, "Ya udah, Ol, lo siaran lagi aja. Sayang kan kalo ditinggalin. Dari sana kan lo bisa dapat sesuatu. Ya money, ya honey. Eh, maksud gue selain lo bisa dapat duit lo juga bisa dapat pengalaman. Iya gak, Ol""
"Iya, Win. Gue jadi semangat nih. Pengen siaran lagi!"
Olga meletakkan gagang telepon itu dengan mata berbinar. Hanya Olga tidak tau kalo di balik gorden ada sepasahg mata yang berbinar-binar. Tapi kemudian si pemilik mata berbinar-binar itu menutup mulutnya, seperti tak tahan ingin menahan tawa.
Besoknya Olga bangun pagi dengan semangat baru. Senyumnya kini menyebar ke mana-mana. Mami yang rindu kicauan suara Olga gak risau lagi. Kicauan Olga sudah mengisi tiap ruang kosong rumah. Papi yang jarang dijailin Olga juga kini sudah langsung ngomel-ngomel, "karena kopinya sukses ditaburi garam inggris sama Olga. Mami ketawa senang. Dan ketika Olga berangkat untuk pergi sekolah sekaligus siaran nanti siangnya sepulang sekolah, Mami berdoa dalam hati, "Ya, Tuhan, lucukanlah lagi anak kami itu, dan ampunilah juga hamba-Mu ini yang telah mengaku-aku bemama Rina...."
*** "Siang itu Radio Ga Ga rame banget. Banyak anak GFC berkumpul. Olga yang muncul dengan semangat empat lima menyapa-nyapa ramah. Yang lain membalas sapaan ramah Olga dengan tawa cengir kuda. Suasana di Radio Ga Ga jadi makin seger
aja. Mbak Vera surprise banget ngeliat Olga,
"Hei, Olga!!! Wah.. welcome aboard, nih!"
Mereka sun-sunan. "Sampe kangen. Ke mana aja" Kamu siaran lagi, dong. Tuh mulai banyak yang minta kamu kembali siaran. Makanya, Mbak Vera juga bilang, kamu nggak bakal bisa lepas deh dari Radio Ga Ga. Hahahaha...."
Olga ikut ketawa. "Eh, dalam rapat tadi, Mas Ray minta kamu ikut ngebantu acara Rally Radio Mobil. Mau, kan""
"Mau." Olga langsung aja melejit dan berbaur dengan anak-anak GFC. Dalam acara Rally Radio Mobil itu Olga ditugasin ngebagi-bagiin formulir pendaftaran dan ngasih penerangan ke para peserta rally tentang apa dan bagaimana permainan rally-nya.
Dan saat itu yang datang ngedaftar untuk ikutan Rally Radio Mobil Radio Ga Ga banyak banget. Cowoknya kece-kece, lagi. Olga jelas semangat. Sambil ngebagi-bagiin formulir Olga ngocol macem-macem.
"Gini ya, Sodara-sodara, untuk ikutan Rally Radio Mobil ini syaratnya, pertama, kamu harus punya mobil. Jadi jangan sekali-kali ikutan rally ini pake sepeda roda tiga. Kamu bisa didiskualifikasi!"
Para pendaftar pada ketawa.
"Yang kedua, Sodara-sodara harus nempelin stiker Radio Ga Ga di kaca belakang mobil kamu. Inget jangan sekali-kali nempelin stiker Radio Ga Ga di kaca lemari rumah kamu. Percuma! Gak ada yang liat! Hehehe."
Selain itu Olga juga ngumbar cerita-cerita lucu sama tebak-tebakan konyol. Dan yang bisa nebak dikasih hadiah menarik sama Olga, dikitikin pinggangnya pake bulu ayam selama seumur idup! Hehehe....
Para pendaftar itu jelas makin senang.
Sementara Mas Ray, Manajer Siaran, Manajer Promosi, dan Mbak Vera yang kebetulan mo ngelanjutin rapat babak kedua di hari itu jadi senang ngeliat Olga yang dikerumuni banyak orang itu. "Lho, kok, Olga lucu lagi...."
Dalam hati Olga bersyukur.
Terima kasih, "Rina."
Mami di rumah tersenyum. 9. ANAK KELAS DUA "OKI membuka pintu VW wama pink dengan terburu-buru.
"Jam berapa kamu pulang"" tanya Linda, kakaknya, dari belakang setir.
"Nggak tau. Nggak ada acara jemput-jemputan lagi," Oki menjawab ketus.
Linda tertawa. "Oke, anak baru gede. Kamu pulang sendiri naik bis. Punya ongkos""
Oki malah buru-buru melangkah ke pekarangan sekolah. Cara berjalan Oki amat khas. Dia seperti berjingkat melangkah dengan ujung kakinya. Tubuhnya doyong ke depan. Di kejauhan bunyi lonceng berdentang kelontang-kelonteng. Di dekat pintu gerbang masuk, berduyun-duyun anak-anak memasuki koridor sekolah. Gang-gang antar kelas itu berisiknya seperti rumah tahanan pada jam makan siang. Ada yang lempar-melempar kertas, tisu, kapur. Pletak! Tiba-tiba Oki merasa ada benda keras menimpa kepalanya.
""Hei, siapa yang nimpuk gue":' teriak Oki jengkel sambil menoleh.
Olga buru-buru bersembunyi di balik rombongan temannya sambil ketawa cekikikan. Oki masih penasaran. Dia bertanya sana-sini. Tentu saja nggak ada yang mau ngaku. Oki jadi makin jengkel, sambil berjalan dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tau ada wajah-wajah yang keliatan mencurigakan. Tapi pandangannya malah tertumbuk pada Trudie, cewek manis anak kelas dua yang rambutnya keriting kecil-kecil kayak mie goreng, dan giginya putih kecil-kecil kayak gigi kelinci. Trudie mengenakan jaket merah muda dari bahan katun yang halus. Saat itu Trudie lagi memandang lurus-lurus ke arah Oki. Oki terpana. Tapi keburu serombongan sepuluh orang anak lewat dengan berisiknya mendorong tubuh Oki ke arah yang berlawanan dengan Trudie.
Oki pun buru-buru masuk ke kelas, kalo nggak mau ketinggalan pelajaran matematika di jam pertama.
Anak itu emang anak baru. Dia pindahan dari sekolah lain. Duduk sekelas dengan Olga dan Wina. Wajahnya polos banget, bikin Olga suka ngegodain.
"*** ""Gile, Vin, tu anak tadi ngeliatin gue lagi," bisik Oki pada Alvin, temen sebangkunya. Pak Waluyo yang di depan kelas lagi nyap-nyap nerangin segitiga sama sisi, nggak denger ada dua anak muridnya di pojok lagi ngerumpi bak tikus putih.
"Siapa" Trudie"" reaksi Alvin.
"Iya." "Kenapa nggak lo tegor aja" Penakut amat."
"Ah, lo gile. Dia kan anak kelas dua. Gue ngeri kalo nekat negor, ntar dikira mo macem-macem sama
kakak kelas. Ntar gue digencet lagi ama anak kelas dua."
"Ah, emang lo penakut. Udah ketauan tu cewek emang naksir elo. Elonya dong yang harus agresif. Lo kan cowok."
"Tapi, emang nggak apa-apa anak kelas satu naksir anak kelas dua""
"Emang kenapa" Sekarang kan lagi nge-trend, ceweknya lebih tua dari cowoknya. Contoh, Whitney Houston dan Bobby Brown, Andre Agassi dan Barbra Streisand, Kirk Cameron sama... siapa tuh, ceweknya gue lupa. Pokok-nya orang-orang beken sekarang banyak yang kayak gitu, kok."
Oki jadi-termenung. Mikir dia. Semangatnya jadi numbuh lagi. Dia pun bemiat, pas keluar main nanti, kalo kebetulan ketemu di kantin, dan Trudie melihat ke arahnya lagi, Oki akan menegur.
"Dan seperti sudah diatur saja, tiba-tiba pas keluar main, pas Oki lagi asyik rebutan siomay sama anak-anak lain, Trudie muncul di depannya sambil memegang sebotol Coca-Cola dingin. Darah di sekujur tubuh Oki langsung berdesir. Dia jadi grogi.
"Mang, saya minta siomaynya. Jangan dikasih pare, ya"" suara Trudie terdengar halus banget. Si tukang siomay langsung melayani pesanan Trudie. Trudie menunggu di dekat situ. Dekat Oki.
Oki hampir tak berani bergerak. Berdiri kaku di tengah kerumunan anak. Wajahnya menunduk. Tak berani menatap Trudie. Apalagi menegur, seperti rencana semula. Padahal Trudie hanya berdiri setengah meter di depannya. Padahal Trudie menunggu siomay sambil menatap cowok berwajah innocent yang sedang tertunduk di depannya. Cowok yang berambut lebat, beridung runcung, dan alisnya yang hampir menyatu.
Oki benar-benar merasa lidahnya kelu.
Dan beberapa m"nit kemudian, Trudie berlalu, dan bergabung sama anak-anak kelas dua yang duduk di dipan kantin. Becanda sambil mengoceh macam-macam. Lagaknya, di depan anak-anak kelas satu, kayak penjajah yang berhak berbuat apa saja. Tapi kalo anak kelas tiga muncul di situ, mereka pun buru-buru menyingkir, seperti anjing kecil yang minder ketemu anjing gede, sambil buntutnya diselipkan rapat-rapat di an tara dua kaki belakangnya.
Trudie masih tertawa-tawa.
Oki telah selesai meracik siomay buatannya sendiri. Lalu duduk di bawah pohon akasia, bergabung dengan teman-temannya. Hanya sesekali saja dia melirik ke arah Trudie.
"*** ""Pengecut! Pengecuuuutl" Oki berteriak-teriak di sela-sela bisingnya musik Red Hot Chilli Peppers di kamarnya. Dia tak habis berpikir, kenapa begitu banyak kesempatan yang datang dia sia-siakan. Apa dipikir kesempatan itu akan selalu datang dan datang lagi, menunggu sampai dia punya keberanian untuk bertindak" Omong kosong. Tuhan pun bakal kapok memberi kesempatan padanya. Oki terus-menerus mengutuki dirinya. Dia berdiri di depan kaca. Bertelanjang dada sambil bertolak pinggang.
"Hei, Tuan Penakut. Apa sih mau lo" Lo pikir lo tu siapa" Bikin malu! Pengkhianat! Pengecut!" Oki berteriak-teriak memaki-maki bayangannya di kaca. Dia merasa tak punya kelainan apa-apa pada tubuhnya. Dadanya bidang, seperti kebanyakan dada cowok. Tubuhnya ramping, tak ada sedikit lemak pun bergayut di perutnya. Wajahnya tampan, mewarisi wajah ayahnya yang penerbang itu. Tapi, kenapa suka ngerasa minder" Kenapa jadi penakut"
Oki pun mengeraskan volume kasetnya, lalu dia jejingkrakan nggak keruan mengikuti irama funk-metal untuk menghilangkan rasa kesalnya. Sambil mulutnya berteriak-teriak, mengikuti teks lagu yang sarat makian.
Setelah lelah, dia jatuh teientang di atas karpet. Bersimbah keringat. Matanya terpejam. Dia merasa agak tenang sekarang. Dan jatuh tertidur. Mimpi ketemu Trudie, dan enteng menyapanya, "Hai, Trudie. Mau nggak nonton malam Minggu nanti di PIM""
Sayang, hanya mimpi.... Duk! Duk! Duk! Oki tersentak kaget, bangun dari tidurnya ketika terdengar suara seperti meriam di pintu. Dengan malas Oki bangkit.
Tanpa membuka pintu pun dia tau siapa yang datang. Siapa lagi kalo bukan Linda, kakaknya yang periang itu.
"Halo, Bayi. Ngapain kamu telanjang dada sampe keringetan begitu"" ujar Linda sambil menyerbu masuk. Dan langsung duduk di atas tempat tidur.
"Bukan urusanmu," sungut Oki kesal sambil menyambar kaus di atas kursi, dan memakainya.
"Oki, kamu temenin kak
akmu ini ke Tante Inka, ya"" ujar Linda merayu. "Nanti kamu ta' beliin es krim miki mos lagi...."
"Nggak mau!" Oki menggeleng kuat-kuat.
"Kok nggak mau""
"Mulai sekarang, nggak ada lagi yang namanya nemenin ke salon lagil" tandas Oki.
Oki memang lama-lama sebal diperalat kaknya. Ya, kakaknya itu hampir tiap tiga hari sekali minta ditemenin ke salonnya Tante Inka di Jalan Arteri. Dan di sana, Oki kayak orang bego aja nunggu di ruang tamu sambil baca majalah, sementara kakaknya berjam-jam mengurusi dirinya. Rambutnya lah dikrimbat, kukunya dimanikur, wajahnya dimasker, dan segala macam kegiatan yang hanya membuang-buang waktu dan uang. Hasilnya" Linda tak lebih cantik dari biasanya. Itu menurut pendapat Oki.
Dulu, bolehlah Oki masih mau menemani. Soalnya paling tidak Oki bisa mengobrol dengan beberapa pelayan yang kebetulan menganggur. Atau bermain-main dengan anjing pudel milik Tante Inka yang diberi nama Trudie.
Hihihi, mirip dengan nama gadis yang diincarnya saat ini. Ya, ya. Oki dulu masih mau menemani, karena di rumah tak ada siapa-siapa lagi yang bisa diajak bermain.
Tapi sekarang, Oki udah gede. Baru masuk kelas satu SMA." Itu kan udah gede, meski si Linda brengsek itu selalu memanggilnya "Bayi".
"Dan berhubung udah gede, Oki sudah punya kesibukan sendiri. Punya urusan sendiri. Dia tak punya dan tak akan pernah punya waktu lagi untuk menemani Linda ke salon.
Linda jelas kesal. "Kenapa sih kamu nggak mau""
"Kenapa saya harus mau" Saya banyak urusan."
"Urusan apa""
"Mana boleh kamu tau""
"Kenapa"" "Urusan anak gede."
"Urusan anak gede" Kamu kan masih bayi""
"Jangan sembarangan, ya""
"Jadi kamu nggak mau, nih""
"Nggak." "Nggak nyesel nggak dapet es krim""
"Nggak." "Ya, udah!" Dengan jengkel Linda melangkah keluar. Wajah riangnya berubah jadi murung. Oki hampir nggak tega melihat kakaknya begitu kecewa. Tapi ditahannya rasa nggak tega itu. Ya, setiap anak gede kan punya urusan sendiri-sendiri. Mami aja banyak urusan, hingga jarang di rumah. Apalagi Papi. Jadi kalo Oki terus saja mengurusi urusan kakaknya, kapan dia punya waktu untuk dirinya sendiri"
Oki pun segera melupakan urusan kakaknya.
Dia melompat ke tempat tidur, dan meneruskan mimpinya. Sampai di mana tadi mimpinya" Oya, sampai mengajak Trudie pergi malam Minggu nanti. Apakah Trudie mau"
Oki tertidur lagi. "*** "Saat itu pulang sekolah.
Alvin menyepak kaki Oki yang lagi asyik membetulkan tali sepatu sambil nongkrong di tepi lapangan teduh. Oki menoleh, dan dengan isyarat matanya, Alvin menunjuk pada seorang gadis yang sedang berjalan di koridor menuju ke arah mereka. Oki memandang Trudie jalan bersama beberapa teman cewek dan cowok. Sambil mengobrol. Mereka hendak pulang.
"Tuh, lo tegor aja. Mereka menuju ke sini," ujar Alvin.
"Gila, lot Banyak anak kelas dua. Gue bisa digencet kalo macem-macem."
Trudie lewat. Oki dan Alvin hanya bisa memandang sambil berdiam diri. Trudie melirik ke arah Oki dan Alvin. Lalu tersenyum tipis. Tipis sekali. Dan langsung ilang. Tapi itu cukup bikin Oki serasa terbang ke langit ketujuh.
"Liat, Vin. Dia tersenyum sama gue," bisik Oki sambil matanya terpejam. Ya, ini emang kemajuan. Dulu-dulu Trudie kan hanya memandang,nggak tersenyum. Tapi kali ini ditambah bonus senyum. Wah, kemajuan lah ya.
"Tapi apa artinya kalo lo tetap nggak berani negor dia"" ujar Alvin sinis.
Oki terdiam. "Lo harus berani, Ki. Cepat susul dia, bawakan buku-bukunya, antarkan dia pulang."
"Tapi kalo ternyata dia nggak suka sama gue""
"Omong kosong! Mana mungkin" Bukti-bukti sudah banyak. Dia selalu merhatiin elo. Dan Trudie pernah nitip salam ke elo."
Oki diam lagi. Ya, ya. Beberapa anak kelas dua emang pernah memanggil-manggil Oki, dan ngebilangin kalo Trudie nitip salam. Tapi masalahnya sekarang, punyakah Oki keberanian menegur duluan" Oki jadi ngiri ngeliat si Anton, temannya yang enteng aja menyatakan cinta buat gadis-gadis yang dia sukai. Atau Olga yang ringan aja ngocol sama siapa yang dia temui. Kayak nggak ada beban. Tapi kalo Oki, satu gadis aja rasanya susah banget. Tenggorokan terasa tersumbat.
Alyin berdiri, la lu menepuk kepala Oki, "Lo memang masih bayi, Ki. Gue pulang dulu. Tuh, si Kiki udah nungguin gue. Gue kecewa sama elo."
Oki tak berkomentar. Ya, dia memang merasa berhak tetap menyandang gelar ''bayi'' karena tingkah lakunya. Tapi kemudian dia berpikir, "apa rela dia tetap disebut bayi setelah duduk di kelas satu SMA ini" Bagaimana mungkin" Dia lantas merenung. Ya, satu-satunya cara agar bisa mengubah julukan bagi dirinya adalah kalo dia sendiri punya keinginan berontak. Ya, anak yang penakut kan nggak selamanya ditakdirkan tetap jadi penakut, kalo dia punya keinginan untuk bersikap berani. Berani menghadapi masalah, berani menanggung risiko.
Tiba-tiba aja Oki merasa dirinya menjadi seorang yang lain. Oki merasa seperti dilahirkan kembali sebagai seorang yang lain. Yang punya rasa percaya diri yang kuat, yang berani menatap lurus ke depan, yang berani berbicara lantang. Tapi saat itu suasana sekolah telah sepi. Semua anak sudah pulang. Hanya ada berapa anak yang duduk-duduk dekat pintu gerbang, menunggu jemputan.
Oki melangkah pulang dengan mantap.
"*** "Tumben, seharian ini Oki tak melihat Trudie. Padahal sejak semalam dia telah membulatkan tekad mau menegur anak kelas dua itu kalau kebetulan berpapasan. Tapi kemana sih, anak satu itu" Sampai pulang sekolah, Oki tetap tak melihat Trudie.
Besoknya lagi, ketika Oki baru meninggalkan VW kakaknya, dia melihat wajah yang dicari-cari itu berdiri di seberang jalan. Oki tercekat. Karena di seberang jalan itu, Trudie lagi bercengkerama mesra dengan seorang cowok berbadan tegap. Cowok itu anak kelas tiga.
Trudie dan cowok itu buru-buru menyeberang, sambil bergandengan tangan dan tertawa-tawa. Tepat menuju Oki. Oki langsung mempercepat langkah kakinya, sambil mukanya tertunduk dalam. Hati terasa panas, wajahnya merah padam karena kesal. Dia berlagak tak melihat sepasang manusia itu.
Dan saat mengikuti jam-jam pelajaran pertama. di sekolah, Oki nampak amat murung.
Alvin sampai beberapa kali menegur, "Lo kenapa, sih""
"Nggak pa-pa." "Nggak pa-pa kok diem terus dari tadi""
Oki membisu sampai bel istirahat pertama berdentang. Otaknya dipenuhi bayangan pemandangan menyakitkan tadi pagi. Trudie bergandengan mesra dengan cowok lain. Anak kelas tiga.
Dan ketika Oki melangkah gontai ke kantin sekolah, dia bertemu dengan Trudie lagi. Sesaat pandangan mereka beradu. Trudie menatap Oki dalam-dalam. Dari tatapan itu, "seolah Oki bisa membaca penyesalan Trudie, "Maaf, Oki, saya terpaksa menerima cinta cowok lain. Abis dari dulu kamu ditungguin, nggak ada reaksinya. Saya kan nggak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian...."
Oki memalingkan wajahnya. Tiba-tiba dia jadi amat benci pada dirinya sendiri. Ya, itu kan memang salahnya sendiri. Kenapa menunda waktu begitu lama" Zaman sekarang, kalau ada kesempatan harus langsung direbut. Karena persaingan begitu ketat. Kamu harus camkan itu!
Berbagai kata-kata penyesalan, makian, terus mengiang-ngiang di telinganya. Oki terus dan terus berjalan menuju belakang sekolah. Lalu sampai di dekat gudang, tiba-tiba dia berteriak keras sekali. Melampiaskan rasa jengkelnya yang luar biasa!
*** "Senja itu, Oki sedang tertidur dalam posisi tertelungkup di kasurnya yang empuk. Jam di dindirig menunjukkan pukul empat sore. Di luar gerimis kecil masih saja turun.
Kamar Oki nampak berantakan sekali. Buku-buku, kaset-kaset metal, gitar, majalah, tak beraturan tersebar di karpet. Linda yang masuk ke kamar Oki, sejenak melongo melihat pemandangan yang nggak seperti biasanya itu.
Linda menggeleng-gelengkan kepala. Lalu membereskan beberapa majalah dan buku ke dalam rak di bawah stereo set.
Oki terbangun. Rumbutnya kusut, wajahnya nampak kucel. Dia memandang kakaknya yang membereskan majalah. Linda melirik ke Oki yang sudah bangun.
"Begini, ya , tingkah anak yang udah merasa gede"" sindir Linda.
Oki hanya me"ggeliat, dan mengubah posisi tidurnya. Linda membawa tumpukan majalah itu ke rak, sambil terus mengoceh, "Nah, sekarang, gadis mana yang telah bikin kamu je"gkel""
Oki memandang kakaknya, sambil kedua tangannya saling menopang belakang kepalany
a. "Kenapa bisa nuduh gara-gara cewek""
Linda tertawa kecil. "Kamu pikir saya dewasa dengan tiba-tiba" Tanpa mengalami masa-masa kayak kamu sekarang ini""
"Sok tau. Kayak yang udah dewasa aja."
"Lho, kamu lupa kakakmu ini udah jadi mahasiswi" Itu berarti udah gede."
"Who cares""
"Dari perubahan kamu, nggak mau dijemput, nggak mau nganterin ke salon, merasa punya urusan sendiri, nggak mau dibilang bayi lagi... saya tau apa yang terjadi dengan kamu. Dan di sini, ada kakakmu yang selalu mau membantu. Kenapa nggak mau nyoba cerita"" ujar kakaknya menantang.
"Kenapa kamu mau membantu""
"Karena kamu adik saya yang manis. Yang dulunya selalu mau mengantar kakaknya ke mana aja, yang cuma ngomel-ngomel dikit kalo disuruh ngebantuin ngadukin adonan kue, dan terutama, yang paling saya sayangi karena emang cuma ada satu-satunya...."
Oki nyengir. "Oke, saya emang lagi sebel. Gini, kan ada anak kelas dua yang namanya..."
"Eit, stop. Gimana kalo nyeritainnya sekalian nganterin saya ke salon Tante Inka""
Olga 06 Mini Skirt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Oki melotot. "*** "Linda memarkir VW-nya di depan salon Tante Inka. Lalu memandang ke arah Oki, "O, jadi gitu persoalannya""
"Ya." "Kamu harus tau, Ki. Untuk menjalin persahabatan atau tali asmara atau apa lah ya namanya, pokoknya sejenis itu, tidak cukup hanya karena tu cewek demen ngeliatin kamu."
"Maksudmu"" Oki bertanya.
""Ya, masa mentang-mentang si Trudie demen ngeliatin kamu, dan teman-temannya bilang bahwa Trudie suka sama kamu, lantas itu dijadikan alasan kamu mau macarin dia" Pacar kan beda sama gunung es. Yang hanya ditaklukkan karena kita merasa ditantang, atau merasa dapat tantangan. Pacaran itu kan hubungan emosional, yang nggak ada kaitannya sama temen-temen kamu di sekolah. Bukan karena dorongan Alvin , kamu lantas mau pacaran sama Trudie. Bukan karena ledekan anak-anak kelas dua, kamu lantas mau menaklukkan Trudie. Udah deh, kamu nggak usah nyesel nggak bisa ngedapetin Trudie. Mungkin Trudie emang bukan cewek yang cocok buat kamu. Buktinya, baru ada anak kelas tiga yang ngerayu aja, dia mau.
"Kalo kamu menjalin hubungan dengan cewek, kamu harus kenal dia baik-baik dulu. Pelajari sifatnya, tingkah lakunya, bagaimana dia memperlakukan teman-temannya, atau bagaimana teman-temannya memperlakukan dia... pokoknya segalanya. Kalo udah kenal deket, udah sering bergaul dan ngerasa udah sreg, baru kamu boleh macarin dia. Begitchu..."
Oki diam. Dia memandang kakaknya kagum.
Linda membuka pintu VW. "Udah nggak usah kagum gitu, dong. Ayo, temenin turun!"
"Sialan!" Oki memaki. Tapi itu makian sayang.
" 10. PUISI-PUISI PUASA "CERITANYA, lengkap seminggu sudah Olga nggak menjalankan ibadah yang paling mulia di bulan Ramadan: puasa. Alasan yang dikemukakan, lantaran gangguan bulanan: tiga hari. Lantaran males: satu hari. Lantaran nggak mood: satu hari. Dan selebihnya lantaran telat bangun sahur. Mami plus Papi juga ikutan nggak puasa karena sebab yang terakhir itu.
Ya, tentu ada sebabnya kenapa mereka sampe telat bangun sahur. Dan sebab-musabab itulah yang rupanya lagi jadi rumpian anget di pagi itu. Antara Mami, Papi, dan Olga, minus Bik Inah, karena udah keburu pulang kampung, saling tuding dan saling tuduh sebagai pencipta sebab itu.
"Papi keasyikan ngimpiin pacar lama ya, sampe tidurnya begitu pules"" tuding Mami tanpa basa dan basi lagi. Papi yang lagi asyik baca koran sambil menyeruput kopi anget bikinan sendiri, nggak terperangah kayak biasanya kalo dituding Mami. Dengan tenang Papi meletakkan cangkir kopinya di meja.
"Betul begitu, kan, Pi" Ngaku aja, deh!" tuding Mami lagi masih tanpa basa dan basi.
Dan masih dengan tenang pula Papi ngeliat koran yang tadi dibacanya. Meletakkannya di meja, menatap Mami lekat-lekat, lalu ngomong dengan suara lantang.
"Apa Mami bilang, tadi""
Bahwa Mami selalu nuduh orang tanpa tata bahasa, dan tata krama, dan tata logika, itu udah tata aturan sejak dari zaman dulu kala. Tapi bahwasanya Papi berani ngomong selantang itu terhadap Mami, rasanya ini baru yang pertama kali. Apalagi ditambah dengan delikan mata segala yang tentu aja bikin Mami kaget.
"Papi ini, kenapa ti
durnya pules banget sampe nggak bisa ngebangunin sahur. Ngimpiin pacar lama, kan"" omel Mami lagi setelah bisa menguasai kagetnya akibat perubahan sikap Papi yang dianggapnya berani mati itu.
"Apakah ini semacam tuduhan"" tanya Papi masih lantang.
"Ya!" Jawab Mami pendek. Tapi karena pendek itu jadi terkesan keras. Padahal Mami udah mulai grogi sebetulnya.
"Ada berita buruk dan berita buruk buat Mami. Mau yang mana dulu"" tawar Papi.
"Yang berita buruk dulu!" pinta Mami.
"Mami terlalu cemburuan. Mestinya malu dong sama umur."
"Sekarang berita buruknya""
"Mami suka lupa sama tugas. Ngebangunin sahur itu kan tugasnya Mami, bukan tugasnya Papi. Mami musti inget dong, sebagai ibunya rumah tetangga, maksud Papi, sebagai ibu rumah tangga, ngebangunin sahur itu adalah tugas Mami. Itu pun setelah Mami masak, beres-beres, dan kalo udah siap baru Papi dibangunin," beber Papi.
Mami merengut. "Enak aja!" "Tapi itulah kodrat Mami sebagai ibu rumah tangga!"
Papi pun menyalakan rokok. Kemudian menyedotnya dengan nikmat, sebelum akhirnya dikombinasi dengan pisang goreng. Mumpung lagi nggak puasa, pikir Papi.
"Lalu kodrat Papi sebagai bapak rumah tangga apa, dong"" Mami jadi penasaran.
"Ya menyantap hidangan sahur yang disediain Mami."
"Kesimpulannya, Mami dong yang salah kalo gitu""
"Jelas!" jawab Papi cuek, sambil tangannya berusaha meraih pisang goreng yang ketiga.
"Nggak bisa. Mami nggak salah. Olga tuh yang salah!" elak Mami. Tapi nadanya berubah lembut. Naga-naganya kalo Papi udah nekat begitu, Mami bisa ciut juga hatinya.
Sedang Olga yang pada saat itu lagi asyik mengilik-ngilik kuping di sudut sofa, jadi terlonjak kaget. Olga kontan mendelik ke arah Mami dan Papi. Lalu berkokok nyaring sekali.
"Kukuru... eh, jangan nuduh sembarangan dong, Pi, Mi...! Bukan Olga kok yang kemaren mecahin jambangan. Itu salah si Belang. Kenapa waktu Olga timpuk pakebatu, si Belang mengelak. Ya, akibatnya batu itu nyasar ke jambangan. Jelas bukan salah Olga, kan, Pi, Mi" He, kok pada bengong, sih" Apa ada yang salah""
Mami dan Papi saling pandang. Tapi cuma sebentar.
"Olga kamu ini ngigo atau apa, sih" Kok jadi ngaco gitu" Itulah kalo kamu terlalu deket sama Papi!" bentak Mami.
Olga tertegun. Tapi cuma sebentar.
"Lho, emangnya tadi Mami lagi ngomongin apaan"" tanya Olga bego.
Saking gemesnya Mami langsung meraih idung Olga, dan memencetnya keras-keras. Maksudnya biar Olga sadar.
"Makanya dengerin dulu masalahnya, jangan main samber aja," semprot Mami tanpa melepas jepitan jarinya di idung Olga.
Olga gelagapan. "Mami hepas hong, hakit ni!" teriak Olga "sambil berusaha menarik idungnya. Untungnya berhasil.
Papi cekikikan. Perhatian Olga segera beralih ke Papi.
"Ada apa sih, Pi, sebetulnya"" tanya Olga kemudian.
"Soal kita pada nggak puasa hari ini."
"Kalo itu kan bukan salah Olga, Pi," tukas Olga yang mulai paham permasalahannya.
"Apa"" samber Mami sewot.
"Telat bangun sahur, kan""
"Iya, lalu kenapa kamu merasa nggak salah""
"Itu kan tugasnya Mami."
"Apa kamu bilang, Ol""
"Itu kan tugasnya Mami."
"Coba kamu bilang sekali lagi," pinta Mami sambil siap-siap memencet idung Olga. Olga ketakutan, dan berlari ke dekat Papi. Dari situ Olga melingkarkan kedua telapak tangannya ke mulut hingga, menyerupai corong, lalu berteriak keras.
"Itu tugas Mami sebagai ibu rumah tangga. Biasanya juga gitu, kan""
"Jadi kalo gi"u Mami yang salah, dong""
"Tepat!" teriak Olga dan Papi nyaris berbarengan.
Mami terperanjat. Apalagi waktu berteriak tadi Papi sempet-sempetnya ngedeketin mulutnya ke telinga Mami yang sebelah kiri dan Olga sebelah kanan.
"Nggak bisaaa... Mami nggak salah. Tukang bangunin sahur yang salah. Kenapa selama dua hari ini mereka pada nggak teriak-teriak bangunin orang sahur kayak biasa-biasanya"" teriak Mami sambil berusaha mencari salah satu kuping Papi atau Olga. Tapi kedua makhluk itu dengan sigap menghindar. Cuma ketika teriakan Mami rapi bergema, Papi dan Olga serentak berpandangan. Melongo. Kemudian tersenyum kecil, seperti menangkap sesuatu dari teriakan Mami tadi.
"Kalo gitu yang salah tukang ngebangunin
sahur. Kenapa selama dua hari ini dia nggak nongol," tukas Papi dan Olga sadar.
"Betul itu!" sambar Mami cepat. Lalu tersenyum lebar.
"*** "Angin bertiup nggak pelan nggak kencang, tapi akhirnya menclok juga di daun-daun pohon mangga depan rumah Olga, dan daun-daun itu bergoyang. Ada sehelai daunnya ya"g lepas dari dahannya, akibat kurang tahan guncangan, melayang-layang sebentar, lalu jatuh ke tanah. Jatuhnya daun itu ke tanah, entah siapa yang ngatur, ternyata berbarengan dengan jatuhnya Mami dari ranjang karena kegeser pantat Papi.
Bluk! Mami terperanjat bukan alang kepalang. Terbengong sejenak. Setelah angan-angannya rada ngumpul, dan setelah mengusap-usap jidatnya yang rada benjol, Mami lalu mengucek-ngucek matanya yang sepet. Pandangannya ngamprok ke jam dinding yang digantung di dinding. Kemudian menjerit keras sekali begitu sadar kalo jam udah menunjukkan waktu pukul empat lebih empat menit lebih empat empat detik.
"Waaa... Pi! Bangun, Pi Bangun.... Sebentar lagi imsak."
Dengan kejam Mami mengguncang-guncang pundak Papi yang lagi asyik ngorok. Walhasil, Papi terperanjat. Sedang Mami langsung menghambur ke arah dapur. Tapi sebelon itu, sempat mampir dulu ke kamar Olga.
Dar... der... dor...! "Olga, bangun, Ol, sebentar lagi imsak nih!" teriak Mami. Untung Olga segera terperanjat. Ya, gimana nggak terperanjat kalo gedoran di pintu ala Mami begitu full dolby stereo. Olga berjalan terhuyung-huyung menuju pintu.
"Ada apa, Mi"" Olga menyembulkan wajahnya dari pintu yang dibuka sedikit. Tapi Mami nggak ada di situ, Olga celingukan. Siapa yang barusan" batin Olga.
"Ol, sini dong cepet, bantu Mami beres-beres." Kebingungan Olga akhirnya terjawab.
Matanya lalu mencari-cari sumber suara barusan. Dan di dapur diliatnya Mami lagi supersibuk.
"Ada apa sih, Mi, kok sibuk amat"" tanya Olga rada-rada bego.
"Ada apa, apa kamu lupa sekarang kita harus sahur" Puasa nggak kamu"" kata Mami ketus.
Jawaban Mami bikin Olga pulih kesadarannya, untuk selanjutnya terperanjat dan melambung beberapa senti.
"Gila, sahur!" pekik Olga. Olga pun buru-buru memburu Mami ke dapur. Dan secara serabutan mulai mengerjakan apa yang Olga rasa bisa kerjakan. Tak lama kemudian dua anak-beranak itu pun tenggelam dalam kesibukan yang mahahebat. Dari mulai memanaskan nasi, masak supermie, ngegoreng kerupuk, telor mata sapi, menjerang air, lalu menghidangkannya di meja.
Ya, sebetulnya sih Mami dan Olga nggak perlu sesibuk itu kalo bangun sahurnya nggak telat. Dan kalo aja Bik Inah ada di rumah. Tapi sejak dua hari sebelon puasa, Bik Inah udah minta izin pulang kampung, dan baru pulang sebulan setelah Lebaran. Pembantu satu ini emang sakral banget kalau menghadapi bulan puasa. "Saya nggak mau ibadah saya keganggu sama kerjaan," alasannya. Terpaksalah Mami ngizinin Bik Inah pulang kampung, abis Bik Inah minta izinnya sambil merengek-rengek segala. Dan kalo izinnya nggak dikabulin, Bik Inah ngancem mau mogok mandi. Kan gawat.
"Ol, sekarang bangunin papimu cepet!" pinta Mami setelah ngicipin semur jengkol kesukaan Papi. Tumben saat itu Olga langsung nurut. Bagai biji nangka keinjek, Olga pun mencelat dengan gesitnya ngebangunin Papi.
"Pi, bangun, Pi, sahur!" teriak Olga pas di kuping Papi. Papi geragapan.
"Apa tadi kamu bilang, Ol""
"Sahur!" jawab Olga masih keras, dan masih di telinga Papi. Papi tentu aja jadi pekak. Tapi begitu sadar apa yang dikatakan Olga, Papi pun langsung mencelat ke arah meja makan. Olga membuntuti. Sesampai di meja makan, Mami udah cemas menunggu.
"Buruan dong, keburu imsak nih," tukas Mami sambil matanya melengos ke arah jam dinding yang digantung di din ding. Pukul setengah lima kurang lima menit lebih lima menit. Gila.
Papi dengan sigap duduk. Disusul Olga yang lebih dulu duduk. Keduanya lalu buru-buru menyendok nasi. Memilih lauk. Berdoa. Dan makan. Tapi baru tiga suapan masuk ke mulut, tiba-tiba radio yang disetel Mami keras-keras mengumandangkan beduk imsak. Akibatnya Mami, Papi, dan Olga jadi kelimpungan. Mereka pun segera menghentikan suapannya. Dan berlari ke wastafel buat gosok gigi. .
*** "Walaupun sahurny a gagal, puasa jalan terus. Makanya pagi itu Olga keliatan lemes sekali. Di dalam kelas Olga cuma bisa ngedengerin pelajaran sambil terkantuk-kantuk. Wina yang orangnya nggak betahan kalo ngeliat Olga beda dad biasa-biasanya, mulai bikin ulah. Tanpa ngelepas pandangan matanya dari Bu Biologi yang lagi sibuk nerangin soal teori daur ulang, Wina menyobek pinggiran buku tulisnya. Sobekan kertas itu lalu dipilin hingga membentuk benang kecil. Setelah dapet apa yang dimaksud, Wina pun mulai melakukan aksinya. Mengilik-ngilik idung Olga. Tentuaja Olga jadi kegelian, dan bersin keras sekali.
"Wina, usil amat sih lo!" pekik Olga, tapi dengan suara tertahan. Takut didengar Bu Biologi. Emang belakangan ini Olga lagi jadi sorotan Bu Biologi akibat nilai ulangannya selalu jeblok.
Wina sendiri kemudian terpekik begitu ngerasain sengatan di jempolnya akibat injakan kaki Olga.
""Gila lo, Ol. Sakit, kan!" protes Wina.
"Lo yang gila, ngapain lo ngilik-ngilik idung gue. Apa lo pikir gue punya idung buat dikilik-kilik"" maki Olga.
"Abis iseng liat lo ngantuk."
"Segitunya!" "Tapi ngapain sih lo ini ari keliatan ngantuk banget"" tanya Wina antusias.
Saat istirahat, baru Olga ngejawab pertanyaan Wina. Di bawah pohon mangga yang rindang, yang tumbuh di halaman sekolah, Olga ngejelasin bahwa belakangan ini dia sering telat bangun sahur. Gara-garanya ya lantaran nggak ada orang yang mau ngebangunin sahur. Maklum Olga tinggal di kompleks, yang penghuninya pada nggak punya kesadaran buat ngebangunin orang sahur. Ternyata Wina punya masalah yang sama.
"Gue juga sering telat bangun sahur, Ol. Ya itu, kalo nggak kebetulan pembantu gue rajin bangun pagi," seru Wina.
"Kalo pembantu gue sih udah pulang kampung dari dulu-dulu. Sedang Mami gue nggak gitu bisa diarepin," timpal Olga dengan lesu.
Tapi sekonyong-konyong Wina menampakkan tam pang ceria.
"Kalo gitu gini aja, ntar kalo pas sahur gue bangunin lo pake telepon. Biasanya gue juga baru dibangunin pas makanan siap. Tapi ntar gue minta bangunin lebih cepet lagi. Terus gue call elo. Gimana""
Olga langsung menepuk bahu Wina keras sekali. Dan seperti halnya Wina, Olga pun menampakkan senyum ceria.
"Gila lo, itu ide bagus. Sekarang gue makin ngerasain kalo lo temen yang paling berarti buat gue. Nyesel kemaren gue sempet bikin lo marah, Win. Eh, makasih ya atas niat baiknya."
"Iya!" sambut Wina pendek sambil menepuk bahu Olga gak kalah keras. Olga pun terbatuk-batuk. Uhuk, uhuk!
"*** Sepulang sekolah Olga gak langsung ke rumah. Siang begitu panas. Angin bertiup kering, sekering tenggorokan Olga yang bagai dikitik-kitik pake silet. Olga juga merasa perutnya laper berat. Tapi Olga masih harus ke Radio Ga Ga buat siaran. Emang selama bulan puasa ini Olga kebagian jatah ngasuh acara yang dikasih judul Killing Time; yang kalo diterjemahkan ke bahasa Belanda jadi ngabuburit. Intinya tentang obrolan menyambut beduk magrib. Di situ Olga ngocol soal cerita nabi-nabi, diselingi lagu kasidahan, biar yang puasa lupa sama lapernya.
Tertatih-tatih Olga menyeret langkah ke stopan bis. Lalu naik bis yang penuh sesak. Udara gerah dan bau apek keringat para penumpang bikin tenggorokan Olga makin kering. Gawatnya, karena udah sore, bisnya sering macet, hingga Olga cukup lama terjebak pada situasi kayak gitu, sebelon akhirnya nyampe di depan studio Radio Ga Ga. Yang bikin keki, begitu nyampe, langsung disambut oleh pemandangan Ucup yang tanpa perasaan bersalah sedikit pun lagi asyik gegares siomay binti bakwan dan es jeruk segar. Ya ampun. Biadab banget sih tu anak, batin Olga.
"He, Cup. Kira-kira dong lo, puasa-puasa gini gegares seenaknya!" tegur Olga lantaran gak tahan liat perbuatan Ucup.
"Hormatilah orang yang tidak berpuasa!" ujar Ucup sambil nyengir.
Olga jelas sebel. Tapi daripada puasa batal karena berantem sama makhluk tua bangka ini, Olga buru-buru masuk ke kotak siaran.
Dasar Olga, biar lagi laper dan haus berat, kalo udah siaran, tetep aja ngocol. Sejam lamanya Olga. bisa ngelupain penderitaannya. Sampe akhirnya siaran rapi jali.
Di tengah perjalanan pulang, sejenak Olga sempet tergoda ngel
iat minuman warna-warni yang dipajang di sebuah rumah makan.
"Mampir jangan... mampir jangan... ah, mampir ah, ah,.jangan ah. Mampir! Jangan! Mampiiir! Jangaaan!" Begitu gejolak batin Olga. Untungnya Olga inget kalo bulan puasa adalah bulan yang penuh dengan godaan dan godaan dan godaan. Sengaja godaannya disebut tiga kali, biar banyak. Ya, Olga sadar, justr" kalo kita bisa menahan godaan itu, puasa kita jadi bermakna.
Olga buru-buru memalingkan wajahnya, dan melangkah nggak peduli. .
Sampe di rumah jam dinding yang digantung di dinding menunjukkan pukul setengah enam. Olga ngelempar badannya di sofa yang empuk. Sebab kalo keras namanya tapang.
Lalu tidur pules banget, sambil nggak lupa ngeluarin dengkuran yang mirip-mirip suara mesin penggiling tebu. Olga betul-betul keabisan tenaga saat itu. Tapi lagi enak-enaknya tidur, tiba-tiba Olga ngerasain bahunya diguncang keras. Olga tergeragap bangun. Begitu membuka mata, Olga kaget banget, sebab yang langsung diliatnya agalah wajah Mami yang meringis gede banget di depan matanya.
"Tolooong... hantu!" jerit Olga.
"Olga, jangan gila kamu. Ini Mami!" bentak Mami.
"O, Mami, kirain. Ada apa, Mi""
"Bantuin Mami nyiapin makan buat buka!" pinta Mami.
Olga ngulet sejenak. "Aduh, Mi, Olga lemes ni...," sambut Olga berusaha mengelak.
""Nggak ada alasan , ayo!" tolak Mami kejam. Lalu menyeret Olga ke dapur. Sebetulnya tanpa diseret juga Olga mau, soalnya sekonyong-konyong Olga sadar nggak ada salahnya bikin seneng Mami di bulan puasa ini. Malah pahalanya gede. Kayak atlet atletik yang pahanya gede-gede itu, pikir Olga.
Sebentar kemudian Mami dan Olga udah sibuk di dapur. Papi ternyata pulang kantor begitu makanan selesai terhidang di meja rumah tetangga. Ya, emang baru tetangga Mami yang siap menghidangkan makanan buka. Sedang Mami dan Olga masih asyik bersibuk ria di dapur. Dan belon ada tanda-tanda selesai. Padahal beduk magrib tinggal beberapa saat lagi.
Papi yang kecewa ngeliat cara kerja Mami dan Olga, lantas ngegubrakin tas kopernya di meja. Ngerenggangin dasi yang ngelilit lehernya. Menghela napas panjang. Lalu ngebuka sepatu. Betul, kan, beduk magrib akhirnya bertalu-talu, saat Papi masih sibuk dengan kaus kakinya. Tanpa dikomando, Papi langsung melejit ke arah meja makan. Ternyata Mami dan Olga udah duduk di situ. Dan ternyata makanan yang siap baru kolak pisang. Lumayan, batin Papi.
"Enak kolak bikinanmu, Mi," sindir Papi yang begitu ngicipin kolak kok rasanya nggak keruan. Ada manis, asem, pait, asin campur jadi satu.
"Siapa dulu dong, anaknya!" serobot Olga niruin iklan RCI'I.
Mami yang tadi tersipu malu, langsung pasang tampang sebel. Tadi dikira, Papi betul muji. Dan Olga dianggap ngerusak kebahagiaan Mami. Untung akhirnya mereka bisa makan tanpa keributan. Malah begitu rapi buka, acara disambung dengan salat magrib bareng. Nggak lama kemudian ketiganya udah duduk-duduk santai di serambi. Maksudnya sih nunggu saat teraweh.
*** "Olga tersentak dari tidurnya begitu telepon yang ditaro deket kuping berdering keras. Pukul dua lebih dua menit lebih dua detik.
"Siapa, ni"" jerit Olga sebel.
"Gue, Ol, Wina!"
"Gila lo, Win, ngapain lo pagi buta gini udah nelepon gue. Jangan cari gara-gara lo, ya."
"Aduh, Ol, berang-berang amat sih lo, eh, maksud gue, pemberang amat sih lo. Sahur nggak lo" Katanya minta bangunin."
Olga menepuk jidatnya. "O iya, Win, sori ya, gue ampir lupa. Soalnya barusan gue ngimpi indah banget. Kencan sama Andi di Paris."
Olga lalu mencelat ke kamar Mami. Ngegedor-gedor pintunya.
"Mi, bangun, Mi. Sahur!" jerit Olga. Untung Mami segera bangun, walau dengan tampang kusut.
"Malem ini Mami masak sendiri dulu deh, ya. Ada tugas yang mesti Olga kerjain."
Olga mencelat keluar. "Hei, Olgaaa, mau ke mana kamu!" jerit Mami kebingungan.
"Ngebangunin orang sahur, Mi."
"Gila kamu, itu kan kerjaannya anak cowok."
"Ah, biar deh, Mi, daripada nggak ada."
Olga ternyata betul-betul ngejalanin niatnya. Dengan suaranya yang cablak, Olga mulai keliling kompleks ngebangunin orang sahur. Walhasil, emang nggak sedikit ibu-ibu yang terbangun karena teriak
an Olga. Apalagi Olga teriak-teriaknya sembari diselingi dengan menggetok-getok tiaing listrik yang emang banyak di sekitar kompleks.
"Sahuuur...! Sahuuur...! Ibu-ibu yang manis, cepet deh pada bangun sahur. Mumpung waktunya masih banyak nih. Masih sempet kalo pengen nganget-ngangetin sayuran," jerit Olga.
Olga akhirnya kecapekan juga jerit-jerit begitu. Untung seantero kompleks udah disusuri. Pas pulang, hidangan sahur ala Mami udah siap terhidang di meja. Mami sama Papi malah udah lama nunggu.
"Tu dia anaknya!" cetus Mami begitu Olga nongol di pintu.
Papi menyambut antusias. "Dari mana aja sih" Ayo deh cepet kita makan sahur. Ntar keburu imsak lagi."
Olga buru-buru ke wastafel buat cuci tangan, lalu ngegabung sama Papi dan Mami. Mereka lalu makan sahur tanpa tergesa-gesa. Dan saat itu, ternyata di sekitar kompleks Olga banyak yang makan sahur tanpa tergesa-gesa kayak biasa-biasanya. Semua itu, berkat siapa lagi kalo bukan Olga.
Sedang Olga begitu selesai makan sahur dan sikat gigi, segera menghambur ke telepon, dan memutar beberapa angka.
"Halo, Wina, ya" Makasih ya, Win. Berkat elo, hari ini sahur gue nggak telat lagi. Malah gue sempet teriak-teriak keliling kompleks buat ngebangunin orang sahur. Hebat, kan" Hebat dong, ya!"
"Olga... " "Wah pokoknya puasa kali ini hepi banget deh, Win. Gue makin ngerasain maknanya puasa."
"Olga..." "Kalo ada yang bilang puasa itu masa penuh godaan dan tantangan, gue percaya, Win."
""Olga... "
"Terus kalo ada yang bilang puasa itu bikin sengsara, gue juga percaya, Win. Ya, puasa emang bikin sengsara. Laper, haus. Bukan cuma itu, puasa juga mengharuskan kita ngejauhin hal-hal yang kita suka. Misalnya ke disko, ngegosipin temen, sirik, marah-marah. Bayangin, Win, nggak enak, kan" Apalagi selama puasa kita juga nggak boleh ngurangin aktivitas kita. Maksudnya, nggak mentang-mentang lagi puasa lantas kita nggak mau kerja, sekolah, atau yang sebangsanya gitu deh. Pokoknya puasa itu bikin sengsara. Tapi justru karena puasalah kita jadi berbeda, Win. Setiap hari ada yang kita tunggu. Sesuatu yang pasti, beduk magrib. Kan indah, Win, hidup ini, jika ada sesuatu yang kita nanti-nantikan setiap hari. Puasa itu ibarat puisi, Win. Puisi-puisi yang indah."
"Olga... " Olga baru sadar kalo sejak tadi Wina selalu menyelak omongannya.
"Ada apa sih, Win, kok cerewet amat""
"Sekarang jam berapa, Ol"" tanya Wina yang nggak peduli dituduh cerewet, walau yang cerewet sebetulnya Olga.
"Jam setengah lima kurang lima menit."
"Udah imsak ya, Ol""
"Udah. Ada apa emangnya, Win""
"Gue belon sahur, Ol. Tadi pas gue nelepon elo, gue langsung tidur lagi. Dan baru bangun setelah elo nelepon barusan."
Olga melongo, sebehim akhirnya memekik tertahan.
"Ya ampun, kenapa bisa begitu, Win""
TAMAT tamat Suling Naga 14 Thalita Karya Stephanie Zen Pendekar Elang Salju 8