Pencarian

Sepasang Ular Naga 12

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 12


bersenjata itu memang mempunyai persoalan yang khusus dan
kuwajiban yang khusus. Demikianlah, keduanya pun saling berdiam diri sambil berjalan
menuju ke gardu tempat mereka bertugas. Namun masih terasa
berapa ketegangan rasanya semakin mencengkam bukan saja
halaman istana, tetapi seluruh Singasari.
"Gila." desis salah seorang Pengawal itu tiba-tiba, "Seorang atau
dua orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih ternyata mampu
menggoncangkan Singasari."
Kawannya tidak menyahut lagi. Ketika mereka sampai di gardu
maka mereka pun segera melaporkan pengamatan mereka selama
mereka nganglang. Kemudian setelah itu, keduanya duduk tanpa
berbicara lagi. Tetapi rasa-rasanya angan-angan merekalah yang
nganglang mengelilingi seluruh daerah Singasari dan melihat
kekacauan yang timbul di mana-mana. Jika Kesatria Putih yang
dahulu menumbuhkan ketenangan dan perlindungan, maka yang
sekarang sebaliknya. "Bagi pengikut-pengikut Tohjaya." tiba-tiba sesuatu terdengar di
dasar hati prajurit-prajurit itu, "Tetapi mereka sebenarnya juga pelindung
dan menumbuhkan ketegangan di hati rakyat kebanyakan."
Prajurit-prajurit itu mengerutkan keningnya. Dan sebuah pertanyaan
yang lain telah timbul, "Kenapa sikap rakyat berbeda dengan
para pengikut Tohjaya?"
Ada sepercik pengakuan bahwa sebenarnya Tohjaya tidak
berakar di hati rakyat Singasari. Namun demikian adalah suatu
681 kenyataan bahwa Tohjaya duduk di atas tahta setelah berhasil
membunuh Anusapati. Demikianlah maka para pengawal itu meronda dengan persoalan
di hati masing-masing. Bahkan hampir di setiap hati prajurit
Singasari. Meskipun bentuknya berbeda-beda, tetapi persoalannya
hampir serupa. Kecurigaan di antara para prajurit tu rasa-rasanya memang
semakin meningkat. Tetapi mereka masih tetap membatasi
persoalannya, karena mereka sama sekali tidak dapat menemukan
bukti-bukti apapun bahwa keduanya harus saling mencurigai.
Semalam suntuk para peronda hampir tidak dapat memejamkan
matanya meskipun bergantian seperti malam-malam yang lewat.
Setiap saat mereka dibayangi oleh kehadiran orang berkerudung
putih dengan tiba-tiba, dan yang dengan tiba-tiba pula lenyap
seperti hantu. Tetapi sampai menjelang pagi hari, malam itu para prajurit tidak
menjumpai orang berkerudung putih.
Dipagi hari, maka para pengawal yang sedang bertugas itu pun
bergantian pergi ke sungai. Mereka membersihkan diri dan bahkan
ada yang mandi agar tubuh mereka merasa menjadi segar.
Dalam pada itu, selagi mereka sedang s ibuk dengan diri masingmasing,
maka terdengar seorang prajurit berteriak tertahan. Sebuah
perkelahian pendek terjadi beberapa langkah dari mereka yang
sedang mandi. Dalam keremangan pagi, para prajurit yang sedang mandi itu
pun melihat kedua orang prajurit yang sedang bertempur itu. Tetapi
tidak terlampau lama, karena yang seorang dari mereka pun segera
terkulai di tanah. Ketika yang lain berlari-lari mendekatinya dengan ragu-ragu,
maka yang seorang telah hilang di dalam gerumbul-gerumbul liar di
tepi sungai itu. 682 Betapa prajurit yang pertama-tama mencapainya itu terkejut
ketika ia melihat bahwa yang terkulai di tanah itu adalah kawannya
sendiri. Dengan jantung berdebaran prajurit itu mencoba
mengangkat kepala kawannya yang sudah menjadi sangat lemah
itu. "Orang Sinelir." desis prajurit yang telah menjadi sangat lemah
itu. Ketika kawanya yang lain mendekatinya, maka prajurit itu sudah
tidak dapat bertahan lagi. Nafasnya menjadi sendat, dan akhirnya ia
pun kehilangan nyawanya. Tetapi suaranya telah didengar. Yang membunuhnya adalah
orang Sinelir. "Gila." teriak prajurit dari pasukan pengawal yang terdiri dari
golongan Rajasa itu. "Orang-orang itu memang gila." teriak yang lain, "Apakah mereka
mengira bahwa pasukan Pelayan Dalam cukup mampu melawan
Pasukan Pengawal." Prajurit-prajurit yang ada di tepian itu pun kemudian segera
berkemas. Dengan kemarahan yang tertahan di dalam dada, mereka
pun membawa kawannya yang terbunuh itu kembali ke tempat
mereka bertugas. Kedatangan prajurit-prajurit yang membawa seorang kawannya
yang mati terbunuh dengan luka senjata di dadanya itu telah
menggemparkan. Berita itu segera menjalar ke telinga setiap
prajurit dari pasukan pengawal.
"Apakah artinya ini." seorang Senapati yang bertugas dan
bertanggung jawab di malam itu pun dengan wajah merah padam
menyaksikan mayat yang terbujur di gardu peronda.
"Seorang dari pasukan Pelayan Dalam." desis seorang prajurit.
"Kau yakin?" Senapati itu hampir berteriak.
683 "Ya. Yang terbunuh itu sendiri menyebutnya sebelum ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir."
Wajah Senapati itu bagaikan menyala. Tetapi ia masih mencoba
menahan diri sebagai seorang Senapati, la tidak boleh bertindak
tergesa-gesa sehingga dengan demikian akan dapat menimbulkan
persoalan yang lebih rumit.
"Aku akan melaporkannya kepada Panglima agar Panglima
Pelayan Dalam dapat mengambil tindakan terhadap anak buahnya."
"Kita kepung barak orang Sinelir." teriak prajurit yang masih
muda. Betapapun Senapati itu menjadi marah, tetapi ia berkata,
"Jangan bertindak sendiri. Aku akan menyelesaikan persoalan ini
lewat jalur yang seharusnya. Mungkin persoalannya adalah
persoalan pribadi sehingga tidak sepantasnya kita ikut
mencampurinya secara beramai-ramai."
Prajuritnya terdiam sejenak. Mereka saling berpandangan. Katakata
Senapatinya itu memang dapat diterima. Jika persoalannya
adalah persoalan pribadi, maka tidak sepantasnya jika yang lain pun
ikut pula di dalam persoalan itu.
Meskipun demikian, masih juga ada sepercik dendam di dalam
hati para prajurit dari pasukan Pengawal itu. Apalagi mereka yang
melihat langsung perkelahian yang tidak lama itu. Mereka melihat,
meskipun tidak dari permulaan sekali namun mereka dapat
mengambil kesimpulan bahwa Pelayan Dalam itu menyerang
dengan tiba-tiba sehingga prajurit yang terbunuh itu sama sekali
tidak sempat mempertahankan diri.
Tetapi mereka masih harus tunduk kepada Senapatinya.
Betapapun juga mereka masih bersedia menunggu apakah yang
harus mereka lakukan. Namun demikian, di hari berikutnya, maka ketegangan telah
mencengkam hati setiap prajurit. Ternyata prajurit-prajurit dari
684 kesatuan yang lain pun telah mendengar pula, sehingga mereka
harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang sama.
Kecurigaan di Singasari menjadi semakin memuncak. Ketika hal
itu didengar oleh para Pelayan Dalam, maka mereka pun terkejut
pula. Menurut penilaian mereka, tentu tidak ada seorang pun yang
akan berbuat demikian. Namun demikian, dilandasi oleh kecurigaan
yang memang sudah menyala di hati, mereka pun segera
mempersiapkan diri. Pelayan Dalam adalah prajurit terpilih dalam
bentuknya tersendiri. Merekalah sebenarnya yang mendapat
kepercayaan langsung berada di dalam bangsal-bangsal istana.
Bahkan sampai ke bilik-bilik mengawasi para pelayan yang lain.
Mengawasi juru panebah, para emban dan setiap pekerja di dalam
istana. Karena itu mereka adalah prajurit-prajurit yang memiliki
ketajaman pengawasan firasat dan kemampuan bertempur baik
secara sendiri maupun dalam kelompok-kelompok. Itulah sebabnya
maka para Pelayan Dalam itu pun merasa bahwa mereka akan
dapat melindungi diri mereka sendiri jika diperlukan, meskipun
mereka harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal. Juga pasukan
pilihan. Adalah orang-orang yang khusus yang sudah melewati
pendadaran yang berlapis sajalah yang dapat diterima menjadi
prajurit Pengawal. Demikianlah kedua kesatuan yang terdiri dari orang-orang pilihan
itu telah menjadi saling mencurigai. Karena itu setiap orang,
maupun setiap kelompok yang berpapasan di halaman istana,
memercikkan ketegangan yang tertahan-tahan.
Laporan mengenai terbunuhnya seorang prajurit Pengawal dari
golongan Rajasa itu telah sampai kepada Panglima. Berita itu
ternyata menjadi berita yang paling mengejutkan di dalam keadaan
yang kalut itu. Lebih mengejutkan dari kehadiran orang yang
menyebut dirinya bernama Kesatria Putih itu.
Demikianlah akhirnya Panglima Pasukan Pengawal itu pun telah
menemui Panglima Pelayan Dalam. Seperti juga pemimpin-pemimpin
yang lain, mereka dapat berbicara lebih tenang dari para
prajurit dan Senapati-senapati muda.
685 Dari hasil pembicaraan itu, maka Panglima Pelayan Dalam telah
memerintahkan untuk menemukan prajurit yang telah bersalah, dan
mencari latar belakang dari persoalan itu. Sementara itu, mereka
telah melaporkan pula kepada Tohjaya tentang peristiwa yang
sangat tidak diharapkan terjadi itu.
Seperti yang sudah diduga, Tohjaya pun kemudian menjadi
marah sekali. Dengan wajah merah padam ia berteriak, "Tangkap
pembunuh itu. Aku perintahkan untuk menjatuhkan hukuman picis
terhadapnya." "Tuanku." semua orang yang mendengar terkejut karenanya dan
Panglima Pelayan Dalam pun berkata, "Hukuman itu terlampau
berat baginya. Apalagi apabila persoalannya adalah persoalan
pribadi. Jika tuanku menghendaki, prajurit itu memang dapat
dihukum mati. Tetapi bukan hukuman picis. Hamba mohon agar
tuanku menjatuhkan jenis hukuman yang lain, meskipun juga
berakibat mati." "Tutup mulutmu." teriak Tohjaya, "Jika kau keberatan orang itu
dihukum picis, maka kaulah yang akan mengalaminya."
Panglima itu menelan ludahnya. Agaknya perasaan keadilannya
benar-benar telat tersinggung. Hukuman picis adalah hukuman yang
paling berat dan sama sekali tidak mengenal perikemanusiaan.
Hanya pengkhianat yang paling jahat, dan mereka yang telah
mengorbankan negara sajalah yang pantas dihukum picis. Itu pun
sebaiknya dihindari. Sementara itu Panglima Pasukan Pengawal pun memberanikan
diri berkata, "Tuanku. Hukuman yang paling pantas untuk
pembunuh itu tentu bukan hukuman yang paling berat. Aku adalah
Panglima yang telah kehilangan seorang prajurit. Tetapi hampir
setiap saksi mengatakan bahwa telah terjadi perkelahian meskipun
hanya sebentar dan mungkin juga berarti suatu sergapan yang licik.
Tetapi jika tuanku sependapat dengan hamba, hukuman pancung
adalah hukuman yang paling tepat baginya. Hukuman yang
mengerikan, tetapi tidak menimbulkan siksaan yang teramat pedih
bagi yang menjalaninya."
686 "Tidak. Tidak. Jika orang itu tertangkap, aku menghendakinya
dihukum picis. Ia harus diikat di perempatan yang paling ramai.
Setiap orang yang lewat harus menyayat kulitnya dan menaburinya
dengan garam yang sudah dilumatkan dan memercikkan air asam
dan jeruk pada luka itu. Biarkan ia terikat dan hidup sampai tiga hari
tiga malam. Di hari terakhir biarkan ia mati diterik panas matahari."
Para Panglima dan perwira yang mendengar keputusan Tuanku
Tohjaya itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka tidak
akan dapat lagi melunakkan hati yang sudah membatu itu.
"Apakah yang membuatnya menjadi begitu keras hati." bertanya
setiap orang yang ada di ruangan itu.
Para prajurit memang sudah mengerti bahwa Tohjaya adalah
seorang yang keras hati. Ia adalah orang yang sulit diketahui jalan
pikirannya. Bahwa ibundanya terlampau memanjakannya, adalah
kesalahan yang paling menentukan. Tetapi akhir-akhir ini hatinya
serasa menjadi semakin keras sekeras batu hitam.
Selagi para prajurit itu termangu, maka Tohjaya pun kemudian
berteriak, "Cepat, apakah yang kalian tunggu?"
Prajurit-prajurit itu terkejut. Mereka saling berpandangan. Mereka
tidak tahu, apakah yang dimaksud oleh Tohjaya.
"Pergi, cepat cari orang itu, dan ikat di perempatan."
Barulah para Panglima dan Senapati itu menyadari perintah yang
mengerikan itu. Demikianlah maka para prajurit itu pun meninggalkan Tohjaya di
bangsalnya. Para pemimpin pemerintahan yang masih tinggal,
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak seorang pun yang
berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang wajah Tohjaya
yang bagaikan membara. Tetapi para pemimpin itu pun tidak terlalu lama tinggal di
bangsal itu, karena mereka pun segera diusir pula oleh Tohjaya.
687 Sejak saat itu, Tohjaya menjadi semakin bingung. la memperkuat
penjagaan bangsalnya semakin kuat. Bukan saja para prajurit
Pengawal yang dipercayanya saja menjaga bangsalnya tetapi
Tohjaya telah memerintahkan seorang Senapati kepercayaannya
untuk menarik sepasukan prajurit dari pasukan tempur untuk
berada di sekitar bangsalnya pula.
Panglima dari pasukan tempur itu tidak dapat berbuat apa-apa, ia
hanya dapat memberitahukan kepada Panglima Pasukan Pengawal
dan Pelayan Dalam, bahwa sepasukan prajuritnya telah ditarik
masuk ke halaman istana. Bukan atas kehendaknya, tetapi atas
perintah Tohjaya. Maka kecurigaan dikalangan para prajurit pun menjadi semakin
meluas. Ternyata Tohjaya sudah tidak percaya lagi kepada pasukan
Pengawal dan Pelayan Dalam, sehingga ia telah menarik pasukan
yang lain ke dalam lingkungan istana. Pasukan yang sebenarnya
mempuyai kuwajiban tersendiri.
Tetapi karena perintah itu langsung keluar dari mulut Tohjaya,
Maharaja Singasari, maka tidak seorang pun yang dapat
menolaknya. Dengan demikian maka selain kaum Rajasa dan Sinelir, di
halaman istana telah berjaga-jaga pula pasukan tamtama yang
terbiasa hidup di medan perang. Meskipun secara pribadi, mereka
tidak terlatih sebaik prajurit-prajurit dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam, namun di dalam kelompok yang cukup besar,
mereka adalah prajurit-prajurit yang sangat berbahaya. Senjata
mereka hampir membeku melihat luka yang silang menyilang di
tubuh lawannya.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian, maka setiap kelompok dari prajurit prajurit
yang ada di halaman itu pun menjadi semakin saling mencurigai,
sehingga di dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik prajurit dari
Pasukan Pengawal, dari Pelayan Dalam dan prajurit-prajurit yang
terbiasa berada di medan itu, selalu di bayangi oleh kewaspadaan
yang besar. Tidak seorang pun dari mereka yang pernah terpisah
dari senjata dan bahkan setiap kelompok yang bertugas di halaman
688 itu, tidak pernah membiarkan kelompok mereka terpisah tanpa
saling berjanji untuk saling memberikan isyarat jika diperlukan
sesuai dengan persetujuan masing masing.
Pasukan Pengawal yang merasa dirinya paling berhak untuk
menjaga keamanan di halaman, tidak pernah membiarkan tugasnya
diambil oleh pasukan yang lain. Meskipun di halaman itu bertebaran
prajurit-prajurit tamtama, namun setiap saat sekelompok Pasukan
Pengawal masih selalu meronda berkeliling. Tetapi mereka tidak lagi
meronda berdua setiap kali, tetapi kelompok mereka menjadi lima
orang. Kebencian para prajurit dari Pasukan Pengawal kepada orang
Sinelir rasa-rasanya masih menyala di dada, maka mereka tidak
senang sekali melihat sikap para prajurit yang biasa hidup di medan
perang itu berada di halaman tanpa menghiraukan tata cara.
Sementara itu, orang-orang Sinelir yang merasa menjadi sasaran
dendam orang orang Rajasa pun selalu bersiaga sepenuhnya.
Bahkan kini mereka rasa-rasanya dihadapkan pula pada sekelompok
pasukan yang lain, yang tidak mengenal suba sita.
"Kita harus bertindak tegas." berkata seorang Senapati dari
Pelayan Dalam, "Baik para Pengawal maupun prajurit prajurit liar
itu, tidak boleh memasuki pakiwan bagi para kesatria dan apalagi
para puteri. Itu adalah kuwajiban kita. Jika mereka memaksa, maka
kita harus bertindak. Kita adalah prajurit-prajurit yang membawa
senjata pula." Para prajurit yang mendengar perintah itu pun menjadi semakin
mantap akan tugas mereka. Mereka sama sekali tidak takut
menghadapi apapun juga di dalam menjalankan tugas.
"Jika orang-orang Rajasa itu masih tetap mendendam, maka kita
harus menanggapinya." berkata seorang Pelayan Dalam yang
berjambang segenggam. Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi
mereka harus tetap menjunjung tinggi panji-panji pasukan masingmasing.
689 Dengan demikian, maka kecurigaan, kebencian dan dendam
rasa-rasanya semakin menyala di halaman istana Singasari. Dan itu
adalah gambaran dari Singasari keseluruhan.
Prajurit-prajurit yang ditarik dari luar istana, dan merasa mereka
adalah petugas-petugas yang langsung ditempatkan oleh Maharaja
Singasari pun merasa diri mereka berkuasa. Itulah sebabnya maka
kadang-kadang mereka berbuat sesuka hati tanpa menghiraukan
batas-batas kekuasaan dari kesatuan yang lain.
Dalam pada itu, Lembu Ampal pun tidak berhenti sampai pada
batas itu. Ia masih ingin melanjutkan rencananya, ia ingin
memanfaatkan keadaan yang sedang panas itu.
"Apalagi yang akan kau kerjakan Lembu Ampal?" bertanya
Mahendra. "Seperi rencana semula." berkata Lembu Ampal, "Keadaan
menjadi semakin panas. Kesempatan agaknya sudah terbuka
sekarang." "Tetapi kau mengorbankan orang yang sama sekali tidak
bersalah." "Mereka adalah prajurit. Setiap prajurit seharusnya sudah
memperhitungkan kemungkinan untuk mati tertusuk senjata. Bukan
hanya sekedar untuk menengadahkan kepalanya karena
kedudukannya itu. Karena itu, maka jika justru akulah yang
kemudian mati terbunuh dalam rencanaku, aku pun tidak menyesal
karena aku pun seorang prajurit."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia memang melihat
bahwa agaknya rencana Lembu Ampal akan berhasil.
Dalam pada itu. Mahisa Agni yang masih tetap tinggal di halaman
istana merasakan juga udara yang semakin panas. Semakin banyak
prajurit yang bertebaran di halaman, ia pun menjadi semakin sulit
untuk berhubungan dengan Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal.
Hanya karena kelebihan mereka sajalah, sekali-kali mereka dapat
juga saling berhubungan. 690 Namun dalam pada itu, setiap pengawal khusus di bangsal
Mahisa Agni pun sudah mempersiapkan diri menghadapi setiap
kemungkinan. Mereka semakin meningkatkan kesiagaan. Apalagi
mereka sadar, bahwa tatapan mata para prajurit itu terhadap
mereka, bagaikan sorot api yang memancarkan kebencian tiada
taranya. Selain Mahisa Agni dan para pengawalnya, maka Mahisa Wonga
Teleng dan adik-adiknya pun selalu bersiaga pula. Mereka bersama
Mahisa Agni adalah pihak yang lain sama sekali dengan pihak-pihak
yang sedang saling mencurigai, meskipun agaknya semua pihak
telah mencurigai mereka pula.
Di bangsal Mahisa Wonga Teleng, beberapa orang pelayan yang
serta selalu menyediakan senjata pula meskipun tidak semata-mata
mereka sandang di lambung seperti para prajurit. Tetapi meskipun
mereka bukan prajurit, namun serba sedikit mereka pun mampu
mempergunakan senjata. Apalagi adik-adik Mahisa Wonga Teleng.
Sementara itu, ibu Ranggawuni pun telah berada di bangsal
Mahisa Wonga Teleng pula karena ia tidak dapat tinggal sendiri di
bangsalnya tanpa anaknya yang sangat dikasihinya.
Tetapi Mahisa Wonga Teleng telah saling berjanji dengan Mahisa
Agni. Jika terjadi sesuatu, maka mereka akan saling memberikan
isyarat. Meskipun jumlah mereka tidak terlampau banyak, tetapi
mereka tidak akan menyediakan diri untuk pasrah begitu saja tanpa
memberikan perlawanan. Dalam pada itu. Lembu Ampal pun berjalan terus dengan
rencananya. Seperti yang sudah diaturnya sebaik-baiknya, maka
Lembu Ampal berusaha untuk dapat melakukan rencananya di
dalam istana. Ia tahu benar, bahwa tugas Pelayan Dalam sebagian besar
dilakukan di dalam bangsal di istana.
"Aku harus melakukannya di tempat yang paling berbahaya."
berkata Lembu Ampal kepada Witantra.
691 Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tugas itu memang tugas
yang sangat berat. Jika Lembu Ampal gagal, akibatnya akan
menjadi luas. Keributan yang timbul di halaman istana yang diliputi
oleh ketegangan itu akan dapat menimbulkan huru hara yang dapat
menyentuh Mahisa Agni dan bahkan mungkin Ken Dedes yang
sudah hampir tidak dapat berbuat sesuatu selain duduk dan
bercakap-cakap dengan para emban yang menjaganya.
Karena itu, maka Witantra pun kemudian berkata, "Aku dan
Mahendra tidak akan dapat membiarkan kau melakukan rencanamu
sendiri." "Maksudmu?" "Biarlah kami berjaga-jaga. Jika terjadi kerusuhan di dalam
halaman apapun sebabnya, kami akan memasukinya."
"Tetapi bagaimana jika hal itu timbul tanpa hubungan apapun
dengan rencanaku." "Memang sulit untuk membedakan. Tetapi apa boleh buat. Tetapi
aku akan berusaha memasuki halaman tanpa diketahui orang lain."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Terima
kasih. Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan baik,
sehingga akan segera datang saatnya tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka kembali ke istana."
"Aku pun akan menyiapkan pasukan pengawal Ranggawuni yang
datang dari Kediri itu tidak terlampau jauh dari istana. Jika perlu aku
dapat memberikan isyarat kepada mereka."
Witantra berhenti sejenak, lalu, "Tetapi jika demikian, maka
perang telah terjadi di Singasari. Sedang golongan Rajasa dan
Sinelir akan bersatu untuk melawan kita semua."
Lembu Ampal termenung sejenak, jika yang terjadi adalah
perang yang akan mengoyak Singasari menjadi debu, maka segala
usaha yang selama ini dilakukan oleh Mahisa Agni, Witantra dan
Mahendra akan menjadi sia-sia. Mereka tidak ingin melihat Singasari
menjadi ajang perang di antara saudara sendiri yang dapat
692 membakar Singasari menjadi arang. T etapi mereka pun tidak dapat
membiarkan kelaliman tetap berada di atas tahta. Itulah sebabnya
maka mereka mencari cara yang paling baik untuk merubah
keadaan tanpa korban yang tidak berarti.
"Jika ada korban yang jatuh, harus diusahakan sekecil-kecilnya."
berkata Witantra setiap kali, "Jika kita tidak memikirkan korban yang
bakal jatuh dan rakyat kecil yang akan mengalami bencana, maka
kita telah memukul Tohjaya dengan perang."
Demikianlah maka Lembu Ampal telah dibekali oleh berbagai
macam pertimbangan untuk melakukan rencananya. Karena itu,
maka tanggung jawab yang dipikulnya adalah tanggung jawab yang
sangat berat. Ketika saat yang ditunggunya tiba, maka Lembu Ampal pun
segera mempersiapkan diri. Di malam yang kelam, dengan sangat
berhati-hati Lembu Ampal berusaha memasuki halaman istana
Singasari. Tetapi bukan hanya Lembu Ampal seorang diri, ternyata
bahwa Witantra dan Mahendra pun telah ikut pula memasuki istana.
Ternyata bahwa halaman istana Singasari itu mendapat
pengawasan yang luar biasa ketatnya. Hampir di setiap tempat
terdapat prajurit. Di gerbang-gerbang bangsal dan gerbang
petamanan, di regol-regol halaman dan di tempat-tempat yang
penting. Pasukan Pengawal tetap berada di tempatnya. Sedang di
dalam bangsal-bangsal yang bertebaran di halaman, dibangsal
perbendaharaan, dan di longkang air, prajurit dari kesatuan Pelayan
Dalam selalu bersiaga menghadapi setiap, kemungkinan yang bakal
terjadi. Sedang hampir di setiap tempat, prajurit-prajurit tempur
yang merasa dirinya mendapat tugas langsung dari Tohyaja pun
merasa bertanggung jawab terhadap keadaan seluruhnya di dalam
halaman itu. Karena itu, maka Lembu Ampal harus berhati-hati sekali. Setiap
langkah ia akan berpapasan dengan prajurit peronda dari pasukan
yang berbeda. 693 "Bukan main." berkata Lembu Ampal di dalam hatinya, "Benarbenar
suatu pameran kekuatan atau pameran ketakutan."
Tetapi Lembu Ampal sama sekali tidak berniat untuk mengurungkan
niatnya. Bahkan dengan keberanian yang luar biasa
Lembu Ampal sempat memberikan isyarat kepada Mahisa Agni.
Ketika terdengar angkup berdesah bagaikan desah perawan yang
ditinggal kekasih, Mahisa Agni sadar, bahwa suara itu adalah suara
isyarat yang ternyata dari iramanya yang ajeg seperti yang sudah
saling mereka setujui. "Mereka ada di halaman." berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menyiapkan
dirinya menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Ia
menyadari bahwa Lembu Ampal telah menyusun rencana tertentu
yang akan dilaksanakannya untuk mengusir Tohjaya dari
kedudukannya. Mahisa Agni yang menyadari keadaan sepenuhnya itu pun segera
memberitahukan kepada para pengawalnya yang ada di bangsalnya.
Meskipun jumlah mereka tidak seimbang sama sekali dibandingkan
dengan prajurit yang bertebaran di halaman istana, namun tenaga
para pengawal terpilih yang hanya sedikit itu bersama dengan
Mahisa Agni dan beberapa orang yang telah mengirimkan isyarat
itu, ditambah dengan Mahisa Wonga Teleng bersama adik-adik dan
pelayan-pelayan yang setia, akan merupakan kekuatan yang harus
diperhitungkan oleh prajurit-prajurit yang ada di halaman itu.
Para pengawal yang sudah berbaring di atas tikar yang di
bentangkan di ruang dalam itu pun segera terbangun. Mereka
membenahi pakaian mereka, dan menggantungkan senjata di -
lambung. Sedang di leher mereka masih tetap tersangkut sehelai
kain berwarna putih sebadai pertanda kesediaan mereka untuk
berkorban demi kesetiaan mereka terhadap keyakinan mereka.
Dalam pada itu, Lembu Ampal yang yakin bahwa Mahisa Agni
telah mendengar isyaratnya itu pun segera merayap semakin dalam.
Ia merangkak di balik gerumbul-gerumbul perdu dan kadangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
694 kadang harus bersembunyi di antara dedaunan di petamanan, jika
beberapa orang prajurit kebetulan lewat.
"Aku harus menemukan kesempatan itu." ia berkata di dalam
hati. Namun kesediaan Witantra dan Mahendra untuk berada di
halaman istana itu, menambah kemantapannya untuk melakukan
tugasnya. Sementara itu, para prajurit yang berjaga-berjaga di halaman istana
dan dicengkam oleh ketegangan itu merasakan betapa malam
menjadi sangat sepi dan lengang. Namun, kadang-kadang naluri
keprajuritan mereka merasakan, bahwa malam yang sepi itu
bagaikan mengandung gejolak yang tersembunyi, yang setiap saat
dapat meledak dengan dahsyatnya.
Tetapi, para prajurit itu tidak tahu dari manakah sumber ledakan
itu. Kecurigaan mereka yang semakin menyala di dalam setiap hati
membuat mereka selalu bersiaga. Mereka selalu berada di dalam
kelompok-kelompok yang siap menghadapi segala kemungkinan
yang dapat terjadi. Dalam suasana yang demikian itulah, Lembu Ampal ingin
melaksanakan rencananya yang telah matang.
Untuk beberapa saat lamanya Lembu Ampal menunggu
kesempatan dengan bersembunyi di balik gerumbul perdu. Sekalikali
ia menebarkan pandangan matanya ke segenap arah. Tetapi ia
tidak dapat melihat Witantra maupun Mahendra.
"Aku tidak tahu dimanakah keduanya berada. Tetapi aku yakin
bahwa keduanya telah berada di dalam halaman ini pula." berkata
Lembu Ampal di dalam hatinya.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Di langit
bintang geminlang telah bergeser kebarat dan angin yang dingin
berhembus perlahan-lahan.
Para prajurit yang berada di halaman istana itu pun merasakan
betapa malam menjadi sangat dingin.
695 Karena ternyata tidak ada tanda-tanda yang memberi petunjuk
bahwa sesuatu akan terjadi, maka para prajurit itu pun tidak lagi
merasa diburu oleh ketegangan. Mereka merasa bahwa mereka
telah dicengkam oleh kecemasan sehingga mereka seakan-akan
merasa berada di ujung bahaya.
"Kita terpengaruh oleh keadaan." berkata seorang prajurit
kepada kawannya, "Rasa-rasanya jantungku berdetak semakin
cepat. Namun agaknya, tidak akan terjadi sesuatu."
"Macammu." desis kawannya yang lain, "Kau selalu gelisah dan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahkan kadang-kadang kau telah menarik pedangmu tanpa sebab."
"Sore tadi. Tetapi kemudian aku menyadari bahwa tidak akan
terjadi apa-apa. Biasanya malam memang sesepi ini. Tetapi kali ini
kita sendirilah yang membuat malam seakan-akan menjadi sangat
garang di dalam kesepiannya."
Kawannya tidak menjawab. Dipandanginya kawannya yang lain
yang bertugas di regol. Lalu katanya, "Biarlah mereka bertugas. Kita
mendapat kesempatan untuk tidur saat ini. Jika kita tidak tidur
sekarang, maka kita akan segera menggantikan tugas mereka. Dan
itu adalah alamat bahwa semalam suntuk kita tidak akan tidur."
"Kau bicara berkepanjangan. Bagaimana mungkin aku dapat
tidur." Tidak seorang pun yang menjawab. Prajurit-prajurit itu mencoba
untuk dapat tidur barang sejenak, sebelum mereka menggantikan
tugas kawan-kawannya di regol.
Demikian pula prajurit-prajurit dari kesatuan yang lain. Perlahanlahan
mereka kehilangan kesiagaan karena mereka tidak menjumpai
peristiwa apapun. Apalagi semakin malam maka seakan-akan
halaman itu menjadi semakin tenang. Tetapi kesepian yang justru
semakin memuncak kadang-kadang terasa meremang di tengkuk.
Lembu Ampal dari persembunyiannya pun melihat bahwa
kesibukan para prajurit itu pun semakin lama menjadi semakin
696 surut. Bahkan kemudian beberapa orang di antara mereka sudah
menjadi acuh tidak acuh lagi.
Agaknya para prajurit dari kesatuan-kesatuan yang lain pun
demikian pula keadaannya. Para Pengawal yang berjaga-jaga di
bangsal dan para Pelayan Dalam yang ada di dalam bangsal dan
longkangan-longkangan sudah tidak lagi bersiap-siap dalam
keadaan yang tegang. Lembu Ampal yang bersembunyi di balik pohon-pohon perdu itu
pun merasa bahwa saatnya sudah menjadi semakin dekat. Karena
itu, ia pun segera mempersiapkan diri. Ia harus menemukan
seorang dari golongan Sinelir.
Ketika halaman itu menjadi semakin lengang, maka lembu Ampal
pun merayap lebih dalam lagi. Bahkan ia pun kemudian mendekati
bangsal yang berada di lingkungan halaman yang seakan-akan
terpisah dari yang lain. Bangsal yang di huni oleh Ken Umang.
Bangsal itu nampaknya memang sedang suram. Tidak lagi
nampak kegembiraan yang berlebih-lebihan seperti beberapa saat
sebelumnya, justru ketika Tohjaya belum menjadi seorang
Maharaja. Beberapa orang pemimpin Singasari memang sedang dicengkam
oleh teka-teki tentang sifat Ken Umang dan Tohjaya, justru setelah
Tohjaya menjabat kedudukan tertinggi di Singasari.
"Mungkin mereka tidak sependapat di dalam olah pemerintahan."
berkata seorang prajurit.
"Tentu tidak. Jika demikian, maka akibatnya tidak akan berlarutlarut."
sahut kawannya. Namun, yang terjadi kemudian jarak antara ibunda Maharaja di
Singasari itu rasa-rasanya menjadi semakin jauh.
Dalam pada itu, Lembu Ampal pun telah berada di sekitar
bangsal Ken Umang yang dilingkungi oleh sebuah kebun bunga
yang rimbun. Tetapi kebun itu pun nampaknya tidak lagi secerah
beberapa saat sebelumnya. Batangnya tidak lagi nampak segar dan
697 terpelihara. Meskipun para juru taman masih tidak meninggalkan
tugas mereka, tetapi karena Ken Umang hampir tidak pernah
menengok tanaman-tanaman itu, maka juru taman pun tidak lagi
bekerja dengan sepenuh gairah.
Perlahan-lahan Lembu Ampal merayap semakin dekat, ia melihat
beberapa orang pasukan pengawal bersiap-siap di dekat bangsal itu.
Dan bahkan hampir di setiap sudut dan pintu.
Tetapi, Lembu Ampal tidak memerlukan mereka. Ia kemudian
mengendap di bawah sebatang pohon yang besar di petamanan.
"Dari atas dahan itu aku akan dapat melihat ke dalam
longkangan di belakang bangsal itu." berkata Lembu Ampal di dalam
hatinya. Dan ia pun kemudian benar-benar ingin mencoba
memanjat. Sejenak Lembu Ampal pun memperhatikan keadaan, ketika ia
yakin bahwa ia akan dapat memanjat tanpa diketahui oleh seorang
pun dari para penjaga, maka ia pun segera bersiap.
Dengan sangat hati-hati, Lembu Ampal pun kemudian
melekatkan diri pada batang pohon itu. Ternyata Lembu Ampal
memang memiliki kecakapan memanjat. Hampir tidak dapat dilihat,
ia sudah bergeser naik. Tubuhnya melekat pada batang pohon yang
besar itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Apalagi ketika Lembu
Ampal sudah sampai pada dahan-dahan yang berdaun.
Seperti yang diduganya, Lembu Ampal dapat melihat ke dalam
longkangan di belakang bangsal. Para Pelayan Dalam yang berjagajaga
di dalam, tidak berkelompok sebanyak para Pengawal dan
prajurit-prajurit yang lain.
"Hanya ada dua orang yang nampak dari sini." desis Lembu
Ampal kepada diri sendiri. Lalu, "Tetapi di dalam bangsal itu tentu
ada beberapa orang yang lain yang bersiaga penuh. Jika ada
sesuatu yang mencurigakan maka salah seorang dari Pelayan Dalam
itu dapat memberikan isyarat dan mereka pun akan segera bersiaga
sepenuhnya." 698 Karena itu Lembu Ampal harus berpikir sejenak. Ia harus dapat
bertindak tanpa menimbulkan keributan agar ia tidak terjebak di
dalam istana dan tidak dapat meloncat keluar.
Beberapa saat lamanya Lembu Ampal bagaikan melekat pada
sebatang dahan. Namun ia pun kemudian merayap seperti seekor
cicak maju mendekati dinding longkangan.
Dengan kewaspadaan yang tinggi, Lembu Ampal kemudian
berusaha untuk turun perlahan-lahan dan ketika tidak seorang pun
yang kebetulan berada di dekatnya, maka ia pun segera meloncat
dan menelungkup datar pada dinding.
Dua orang prajurit pengawal di regol tidak melihatnya sama
sekali. Demikian juga prajurit-prajurit Pengawal yang ada di gardu.
Demikian juga yang berada di sudut luar dinding.
Beberapa saat lamanya Lembu Ampal mematung. Dua Pelayan
Dalam yang ada di longkangan pun seakan-akan tidak
menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Mereka duduk di
tangga serambi menghadap kelongkangan yang kosong dan sepi.
"Pada suatu saat yang seorang dari keduanya tentu akan pergi
meskipun hanya beberapa langkah. Jika keduanya terpisah, maka
akan datang saatnya aku bertindak, supaya aku tidak harus
membunuh keduanya." Dengan sabar Lembu Ampal menunggu. Sekali-kali ia menengadahkan
kepalanya melihat bintang-bintang di langit. Tetapi
agaknya ia tidak terlampau tergesa-gesa.
Ternyata akhirnya yang diharapkannya itu datang. Yang seorang,
yang agaknya sudah jemu duduk berdiam diri, segera berdiri sambil
menggeliat. "Kantuk ini selalu mengganggu." desisnya.
"Kau mau kemana?" bertanya yang seorang.
"Berjalan-jalan mengelilingi longkangan daripada kantuk. Di luar
dinding ini prajurit-prajurit dari kesatuan Pengawal sedang berjagaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
699 jaga juga. Sedang di halaman berkeliaran prajurit dari pasukan
tempur yang ditarik masuk ke dalam istana ini."
"Dan di sini kita bersiap menghadapi segala kemungkinan."
Kawannya yang sudah berdiri itu tertawa. Katanya, "Jika terjadi
sesuatu, maka yang pertama-tama akan hancur adalah istana ini.
Jika pecah keributan di antara pasukan yang ada di dalam istana,
maka bangsal-bangsal tentu akan hancur. Meskipun mungkin
Pelayan Dalam jumlahnya paling sedikit, tetapi kita tidak akan dapat
dianggap paling lemah."
Yang lain pun tertawa pula. Tetapi orang itu tidak menjawabnya.
Dengan tergesa-gesa ia menutup mulutnya yang sedang menguap
dengan telapak tangannya.
"Setan." desisnya, "Aku pun menjadi kantuk sekali. Tidak pernah
aku dihinggapi perasaan seperti ini."
"Sebentar lagi akan datang giliran orang lain." kawannya itu
terdiam sejenak, lalu, "Biarlah aku melihat, apakah yang berjagajaga
di serambi samping juga diganggu oleh perasaan seperti ini."
"Kemana kau?" "Ke serambi sebelah. Hanya lima langkah dari sudut itu."
"Cepat kembali, jika kau terlampau lama, kantukku tentu tidak
dapat aku tahankan lagi, karena tidak ada kawanku berbicara sama
sekali." "Baiklah. Mudah-mudahan para penjaga di serambi yang lain pun
tidak menjadi kantuk pula."
Pelayan Dalam yang seorang itu pun kemudian pergi ke serambi
samping. Lembu Ampal seolah-olah mendapat kesempatan untuk melakukan
rencananya. Tetapi ia harus cepat bertindak, jika ia
terlambat, dan Pelayan Dalam yang seorang itu kembali dan melihat
apa yang terjadi, maka ia tentu akan sempat melontarkan isyarat.
Halaman ini akan menjadi kacau dan para penjaga pun akan segera
700 bersiaga dan mengepung halaman ini rapat-rapat. Bukan saja ia
tidak dapat keluar halaman, tetapi tentu juga Witantra dan
Mahendra. Sudah barang tentu keduanya tidak akan menyerahkan
dirinya tanpa perlawanan. Sedangkan perlawanan berarti perang
apabila Witantra melepaskan isyarat bagi para pengawal yang
datang dari Kediri dan yang sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh
Witantra di batas kota. Karena itu, Lembu Ampal harus melaksanakan tugasnya dengan
cermat, hati-hati dan sekaligus berhasil. Tugasnya kali ini bukannya
tugas yang dapat diulang dua kali.
Sejenak Lembu Ampal masih menunggu. Ketika Pelayan Dalam
yang seorang lagi sudah tidak nampak, maka mulailah ia beringsut
sedikit. Sebagai bekas seorang prajurit Lembu Ampal mengetahui, bahwa
di bangsal itu tentu terdapat sekelompok Pelayan Dalam yang
tugasnya terpencar. Hampir di setiap ruangan terdapat satu atau
dua orang di dalam keadaan yang panas ini. Sedang di ruang yang
khusus akan terdapat Pelayan Dalam yang sedang tidak bertugas.
Mereka biasanya tertidur nyenyak sebelum saat bertugas bagi
mereka datang. "Yang satu ini terpaksa dikorbankan." berkata Lembu Ampal di
dalam hatinya. Sejenak kemudian, setelah ia mempersiapkan diri untuk tugas
yang berat itu, Lembu Ampal pun tiba-tiba saja meloncat ke dalam
longkangan. Pelayan Dalam itu terkejut. Dengan gerak naluriah ia meloncat
berdiri. Tetapi ia tidak sempat berbuat apa-apa. Ketika ia menyadari
keadaan, maka perutnya telah tertembus oleh keris Lembu Ampal.
"Maaf Ki Sanak." terdengar Lembu Ampal berdesis, "Aku terpaksa
melakukan untuk suatu tujuan yang lebih besar. Tetapi jangan
menganggap dirimu tidak bersalah, karena kau adalah salah
701 seorang pendukung tuanku Tohjaya yang kini memiliki tahta yang
sebenarnya bukan haknya, dan yang direbutnya dengan
mengorbankan jiwa tuanku Anusapati."
Tetapi Pelayan Dalam itu sudah tidak dapat menjawab. Bahkan
pendengarannya sudah tidak utuh lagi.
Lembu Ampal pun kemudian melepaskannya. Tetapi Pelayan
Dalam itu sudah tidak mampu lagi untuk tetap berdiri. Sehingga ia
pun kemudian jatuh menelungkup dengan darah yang bagaikan
menyembur dari lukanya. Lembu Ampal merenungi mayat itu sejenak. Kemudian
dilepasnya sehelai kain yang dibawanya dan sebuah ikat pinggang.
Dilemparkannya ikat pinggang itu beberapa langkah, dari mayat
yang sudah terkapar di tanah itu, dan kemudian di dekat dinding
kainnya pun ditinggalkannya pula.
Sejenak kemudian maka Lembu Ampal itu pun meninggalkan
halaman bangsal itu. Ketika Lembu Ampal kemudian hilang di dalam kegelapan maka
terdengarlah suara burung kedasih yang ngelangut. Suara burung
yang melontar dari mulut Lembu Ampal. Dengan suara itu, ia
memberi isyarat kepada Witantra, Mahendra dan Mahisa Agni,
bahwa ia telah berhasil melakukan tugasnya. Isyarat yang memang
sudah disepakati sebelumnya.
Dengan demikian, maka hampir bersamaan waktunya, Lembu
Ampal, Witantra dan Mahendra pun dengan sangat hati-hati telah
meloncat ke luar dinding halaman istana. Mereka berjanji untuk
bertemu di tempat yang telah mereka tentukan bersama sambil
menunggu perkembangan kaadaan.
Sesaat ketika mereka telah bertemu, maka Lembu Ampal pun
segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya.
Witantra menarik nafas dalam-dalam, sedang Mahendra duduk
tepekur sambil mengangguk-angguk.
702 "Mudah-mudahan korban berikutnya dapat dibatasi sekecil--
kecilnya." berkata Witantra.
"Menurut perhitunganku, jalan ini adalah jalan yang paling sedikit
menuntut korban." Witantra memandang Lembu Ampal sejenak. lalu, "Mudahmudahan
perhitunganmu benar. Tetapi jika malam ini orang-orang
Sinelir tidak dapat menahan diri dan terjadi benturan senjata
dengan golongan Rajasa, maka keadaan akan menjadi kacau. Tentu
akan terjadi perang segitiga di halaman istana. Orang-orang Sinelir,
orang Rajasa dan para prajurit yang ditarik masuk ke halaman
istana atas perintah tuanku Tohjaya."
Lembu Ampal mengusap keringatnya. Keadaan yang demikian
memang dapat terjadi. Tetapi bagi Lembu Ampal, itu agaknya lebih
baik daripada jika mereka justru bersatu.
Namun Lembu Ampal tidak mengatakannya.
"Kita akan menunggu perkembangan yang terjadi." berkata
Mahendra. Lembu Ampal dan Witantra mengangguk kecil.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Pelayan
Dalam yang pergi ke serambi sebelah menemukan dua orang
kawannya sedang duduk di serambi. Agaknya keduanya dicengkam
oleh suasana yang terasa asing sehingga keduanya selalu bersiaga
dengan senjata mereka. Dan bahkan sesuai dengan kegelisahan itu,
mereka berdua duduk pada jarak yang agak berjauhan dengan
senjata telanjang di tangan.
"Kalian nampak gelisah." berkata Pelayan Dalam yang datang
melihat keadaan kedua kawannya itu.
"Bukan gelisah, tetapi bersiaga. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
kurang pada tempatnya."
"Kami berdua di serambi sebelah merasa kantuk sekali. Karena
itulah maka aku datang kemari. Sekedar menghilangkan perasaan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

703 kantuk, karena petugas yang akan menggantikan kami masih akan
datang nanti." Kedua Pelayan Dalam yang duduk di seramhi itu mengangguk.
Namun salah seorang berkata, "Jangan terlampau lama kau
tinggalkan kawanmu. Kembalilah. Keadaan ini agaknya tidak wajar.
Aku mendengar suara burung kedasih."
"Hampir setiap malam aku mendengar suara burung kedasih
Begitulah agaknya bunyi burung itu. Tidak ada mengandung makna
apapun." "Mungkin. Tetapi kembalilah."
Pelayan Dalam dari serambi sebelah itu mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian tersenyum sambil tertawa. Katanya, "Kalian
tentu akan segera tidur. Atau barangkali suara burung itu membuat
kalian ketakutan. Tetapi bukankah kehadiranku di sini dapat
membuat kalian mempunyai kawan tambahan."
"Kau memang bodoh." jawab kawannya, "Kembalilah. Kawanmu
hanya seorang diri. Jika kau tinggalkan ia terlalu lama, maka ialah
yang akan ketakutan oleh bunyi burung kedasih itu."
"Kawanku adalah seorang prajurit yang tangguh. Ia tidak
ketakutan mendengar suara apapun. Suara harimau atau suara
garuda sekalipun." Kedua Pelayan Dalam yang bertugas di seramhi itu tidak
menyahut lagi. Tetapi mereka juga tidak mengacuhkan lagi
kawannya yang masih berada di penjagaannya itu.
"Baiklah." berkata Pelayan Dalam yang datang dari serambi
sebelah, "Aku akan segera kembali. Jika kalian akan tidur, silahkan
tidur. Tetapi jika Pelayan Dalam yang akan menggantikan kalian
datang, dan kalian masih tidur nyenyak maka besok kalian akan
dipecat." Kedua kawannya sama sekali tidak menyahut. Dibiarkannya saja
Pelayan Dalam itu berbicara sambil melangkah pergi.
704 Ketika ia kembali ketempatnya, ia menjadi heran bahwa
kawannya sudah tidak ada ditempatnya lagi. Sejenak ia mengamati
keadaan di sekelilingnya. Namun darahnya serasa terhenti ketika ia
melihat kawannya terbaring diam, sedang darah bagaikan
membanjir di sekitarnya. Dengan dada berdebar-debar ia mendekatinya. Kemudian
meraba tubuhnya. Tetapi tubuh itu sudah dingin membeku.
Pelayan Dalam itu hampir kehilangan akal. Sekilas terdengar
suara kawannya terngiang, "Aku mendengar suara burung kedasih."
Dengan serta-merta Pelayan Dalam itu pun segera berlari.
Dipukulnya kentongan kecil untuk memberikan isyarat bahwa di
tempatnya telah terjadi pembunuhan. Pembunuhan atas seorang
prajurit yang sedang melakukan tugasnya.
Sejenak kemudian halaman itu telah menjadi ribut. Beberapa
orang Pelayan Dalam berlarian ke tempat pembunuhan itu terjadi.
Bahkan bukan saja para Pelayan Dalam. Tetapi para prajurit dari
pasukan yang lain pun menjadi terkejut dan segera mempersiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan. Tetapi justru dalam keadaan
bahaya, mereka saling menjaga diri untuk tidak saling melintasi
kekuasaan masing-masing. Karena itulah, maka yang kemudian berada di longkangan
belakang adalah para Pelayan Dalam dengan senjata telanjang di
tangan. Sedang para Pengawal pun telah bersiaga di depan regol
bangsal dan bahkan di depan setiap pintu gerbang. Beberapa orang
di antara mereka segera memencar menutup segala lubang yang
dapat ditembus oleh seseorang untuk keluar dari halaman. Karena
itu, maka hampir di setiap jengkal di dinding halaman istana itu
mendapat pengawasan yang ketat.
Sementara itu, para prajurit yang ditarik ke dalam istana pun
telah bersiaga pula. Mereka pun telah berada di gardu-gardu yang
khusus bagi mereka, terpencar di seluruh halaman.
Sejenak halaman itu menjadi tegang Pelayan Dalam yang ada di
setiap bangsal di halaman istana itu telah menggenggam senjata di
705 tangan. Jika isyarat berikutnya berbunyi, maka mereka harus
bertempur, siapa pun lawan mereka. Karena itu, maka setiap
kelompok di setiap bangsal, segera mempersiapkan diri menunggu
kemungkinan yang masih akan berkembang.
Dalam pada itu. Senapati yang sedang memimpin tugas para
Pelayan Dalam di seluruh istana, dikawal oleh sekelompok pengawal
terpilih, segera datang ketempat pembunuhan terjadi. Sejenak
mereka mengamati keadaan. Namun kemudian hati setiap orang itu
hampir meledak karenanya. Ternyata di antara mereka telah
menemukan sebuah ikat pinggang dan sehelai kain panjang.
"Orang-orang Rajasa." teriak Pelayan Dalam yang menemukan
ikat pinggang dengan ciri khusus itu.
Sejenak para Pelayan Dalam itu diam mematung. Namun
kemudian seorang dari antara mereka berteriak, "Kita bunuh orangorang
Rajasa. Mereka telah menfitnah kita, dengan menuduh bahwa
salah seorang dari kita telah membunuh kawan mereka. Itu tidak
benar. Tidak seorang pun di antara kita yang telah membunuh
mereka. Tetapi ternyata itu hanya alasan saja dari orang-orang
Rajasa untuk melakukan tindakan biadab ini."
"Ya, kita serang saja mereka malam ini. Kita sudah siap. Di setiap
bangsal di istana ini terdapat sekelompok Pelayan Dalam. Pasukan
Pengawal yang ada malam ini akan musna dalam sekejap."
Tetapi Senapati yang telah hadir di antara mereka itu pun
kemudian berkata, "Tunggu. Aku sependapat dengan kalian tetapi
aku tidak dapat berbuat tergesa-gesa seperti itu. Aku harus
menyampaikan hal ini kepada Panglima. Malam ini juga kami akan
menghadap tuanku Tohjaya. Jika tuanku Tohjaya tidak dapat
memberikan ketegasan apapun, kita akan segera bertindak. Apapun
yang akan terjadi." "Itu tidak perlu." teriak seorang Pelayan Dalam.
"Perlu, agar kita tidak disebut pasukan liar. Tetapi kita harus
bersiaga sepenuhnya. Mungkin kita benar-benar harus bertempur
malam ini." 706 "Tetapi mereka akan bersiaga."
"Aku akan melakukan secepatnya sebelum sempat mereka
lakukan." Beberapa orang Pelayan Dalam bagaikan tidak dapat menahan
diri lagi. Mereka berdesakkan menghadap Senapati itu. Salah
seorang berkata, "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
"Aku yang akan melakukannya. Kalian menunggu di sini dalam
kesiagaan sepenuhnya. Selama ini orang-orang Rajasa tentu tidak
tahu pasti apa yang telah terjadi karena itu jangan kau kabarkan
lebih dahulu apa yang telah terjadi." berkata Senapati itu. "Jika
mereka mengetahuinya, maka mereka pun akan bersiap
menghadapi segala kemungkinan."
Seorang Pelayan Dalam yang tidak sabar lagi berkata, "Cepat.
Silahkan menyampaikannya kepada Panglima."
Senapati itu pun kemudian meninggalkan bangsal itu. Di luar
dilihatnya kesatuan-kesatuan yang lain memang sudah bersiaga.
"Apa yang terjadi." bertanya seorang Senapati dari pasukan
Pengawal. "Sebuah kesalahan kecil." jawab Senapati itu.
"Tetapi isyarat itu telah mengemparkan seluruh istana."
"Aku akan menghadap Panglima. Baru persoalannya akan terang
bagi kalian." Senapati itu segera pergi dengan meninggalkan kesan yang
aneh. Tetapi salah seorang pengawal pun kemudian berbisik di
antara kawannya. "Mungkin ada orang-orang dari lingkungan
Pelayan Dalam yang saling berkelahi dan saling membunuh."
Kesimpulan itulah yang untuk sementara mereka anggap paling
mungkin. Dalam pada itu. Senapati Pelayan Dalam itu pun segera
menghadap Panglimanya. Dengan wajah yang merah tegang ia
707 mengatakan apa yang telah terjadi di longkangan belakang bangsal
itu. Panglima Pelayan Dalam itu menggeretakkan giginya. Katanya,
"Orang-orang Rajasa menganggap bahwa salah seorang dari kami
telah membunuh kawan mereka bahkan tuanku Tohjaya telah
menjatuhkan perintah yang mengerikan. Jika pembunuh itu
tertangkap, ia harus dihukum picis di perempatan jalan."
"Tetapi tidak seorang pun dari kami yang telah melakukannya."
sahut Senapati itu. "Aku akan menghadap tuanku Tohjaya bersama Panglima
pasukan Pengawal." "Tetapi malam ini suasana harus dapat dikuasai, jika tidak, maka
orang-orang Sinelir tidak lagi dapat mengendalikan diri. Mungkin
mereka akan bertindak sendiri-sendiri, karena mereka pun merasa,
bahwa mereka memiliki kemampuan tempur tidak kalah dari para
Pengawal. Baik dalam kelompok maupun secara pribadi."
"Aku akan menghadap tuanku Tohjaya sekarang bersama
Panglima Pasukan Pengawal."
Panglima Pelayan Dalam itu pun kemudian menemui Panglima
Pasukan Pengawal dan bersama-sama menghadap tuanku Tohjaya.
Ternyata Tohjaya pun telah terbangun mendengar bunyi isyarat
dan keributan yang terjadi di halaman istana. Dengan dada yang
berdebar-debar, maka diperintahkannya semua prajurit yang ada di
sekitar bangsalnya bersiap sepenuhnya. Prajurit dari segala
pasakan. Tetapi agaknya kepercayaan Tohjaya baru tertumpah
kepada prajurit-prajurit tempur yang dipanggilnya masuk ke dalatn
istana itu. Kehadiran kedua Panglima di malam hari itu tidak mengejutkannya.
Tetapi ia tidak senang melihat keduanya datang
menghadap untuk menyampaikan keluhan-keluhan.
"Kami akan memberikan laporan." berkata Panglima Pelayan
Dalam. 708 "Apakah orangmu yang membunuh itu sudah tertangkap?"
"Ampun tuanku. Yang terjadi adalah sebaliknya."
"Maksudmu?" "Seorang Pelayan Dalam telah terbunuh oleh seorang dari
lingkungan Pasukan Pengawal."
"Gila." Tohjaya berteriak. Namun Panglima itu berkata
seterusnya, "Tuanku harus mengambil langkah-langkah
kebijaksanaan dan memerintahkan kepada kami untuk
melaksanakannya. Jika tidak, maka dendamlah yang akan berbicara
dan kami akan menjadi sulit untuk menguasai keadaan."
"Gila. Itu perbuatan gila. Kalian harus menangkap kedua
pembunuh itu malam ini. Aku akan menghukum keduanya dengan
hukuman picis." "Kami akan melakukan penyelidikan tuanku."
"Sekarang. Sekarang kau dengar."
Kedua Panglima itu menjadi bingung. Dan Tohjaya masih saja
berteriak, "Kalian adalah Panglima. Kalian harus dapat melakukan
perintahku sebaik-baiknya."
"Tetapi untuk menangkap malam ini adalah sulit sekali tuanku.
Yang penting bagi kami adalah mencegah pembunuhan yang dapat
terjadi lagi. Bahkan mungkin pembunuhan yang lebih mengerikan
lagi karena kedua belah pihak tidak dapat mengendalikan diri."
"Aku tidak peduli. Kau berdua harus menghadapkan kedua
pembunuh itu malam ini."
"Tuanku." berkata Panglima Pasukan Pengawal, "Sebaiknya
hamba berkata sekarang dihadapan tuanku bahwa hamba tidak
akan mungkin dapat melakukannya. Bukan karena hamba tidak mau
menjalankan perintah tuanku, tetapi kemampuan hamba adalah
sangat terbatas. Demikian juga agaknya bagi Panglima Pelayan
Dalam." 709 "Aku tidak mau mendengar alasan apapun juga. Sekarang kalian
pergi dan membawa orang-orang itu kemari."
Para Panglima itu menjadi bingung. Bagaimana mungkin mereka
dapat membawa orang-orang yang belum dapat mereka ketahui
untuk menghadap. Karena itu, untuk beberapa saat mereka sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Karena kedua Panglima itu masih saja berada di tempatnya,
maka sekali lagi Tohjaya berteriak, "He, kenapa kalian diam saja"
Kenapa kalian tidak segera melaksanakan perintahku."
Bagaimanapun juga kedua Panglima itu harus memberi
penjelasan bahwa perintah itu tidak mungkin dapat dilaksanakan.
"Tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Orang-orang yang
harus hamba hadapkan itu masih belum dapat diketemukan. Hamba
dan para Senapati masih harus mencari, siapakah yang bersalah
dan yang harus menerima hukuman itu."
"Aku tidak peduli, aku tidak peduli." Tohjaya berteriak semakin
keras. "Ampun tuanku." Panglima Pasukan Pengawal itulah yang
kemudian berkata, "Jika keduanya tidak ada di tangan kami, lalu
siapakah yang harus hamba hadapkan?"
Tohjaya menjadi tegang. Tiba-tiba matanya bagaikan menyala.
Dengan suara gemetar ia menggeram, "Jadi kalian tidak dapat
menangkap kedua pembunuh itu?"
"Belum tuanku. Hamba sedang berusaha dengan sekuat tenaga."
Tohjaya menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia berkata, "Siapakah
yang bertanggung jawab pada hari-hari peristiwa itu terjadi?"
"Para Senapati tuanku." jawab kedua Panglima itu hampir
berbareng. "Jika demikian panggilah Senapati yang bertanggung jawab pada
saat pembunuhan itu terjadi. Senapati dari golongan Sinelir pada
saat orang Sinelir membunuh orang Rajasa dan Senapati yang
710 bertanggung jawab atas orang-orang Rajasa sekarang ini, pada saat
seorang Sinelir mati terbunuh."
Kedua Panglima itu menjadi bingung.
"Panggil mereka kemari."
"Apakah yang akan tuanku lakukan atas mereka?"
Kemarahan Tohjaya bagaikan tidak tertahankan lagi, sehingga
ketika ia berteriak justru suaranya tidak begitu jelas terdengar,
"Jadi, kau mulai berkuasa atas aku?"
"Tidak tuanku. Bukan maksudku."
"Kenapa kalian bertanya apa yang akan aku lakukan atas kedua
Senapati itu." "Tuanku." berkata Panglima pasukan Pengawal, "Senapati itu
berada di bawah perintah hamba. Jadi hambalah yang bertanggung
jawab atasnya." "Aku tidak peduli. Panggil Senapati itu. Aku ingin mendengar
keterangannya. Aku akan mengusut sendiri pembunuhan itu dan
mencari pembunuhya."
Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak Lalu, Panglima
Pelayan Dalam itu berkata, "Tidak banyak yang dapat dikatakannya
tuanku." "Panggil keduanya, atau aku akan pergi sendiri?" Kedua Panglima
itu tidak dapat berbuat lain. Maka keduanya pun kemudian minta


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri untuk mencari Senapati yang bertugas pada saat pembunuhan
terjadi. Beberapa saat kemudian maka kedua Panglima itu telah berada
di halaman istana pula bersama kedua Senapati itu.
"Apakah kehendak tuanku Tohjaya yang sebenarnya?" bertanya
Panglima Pelayan Dalam. "Aku tidak tahu."
711 Kedua Panglima itu termangu-mangu. Untuk beberapa saat
lamanya keduanya termenung membayangkan api yang kira-kira
bakal terjadi. Sementara itu, dari kejauhan, beberapa kelompok prajurit
menyaksikan dengan tegang. Mereka yang tidak mengerti apa yang
mereka bicarakan telah mempersiapkan diri. Mereka dari Pasukan
Pengawal dan para Pelayan Dalam yang menyaksikan pembicaraan
itu dari bangsal-bangsal di sekitarnya.
"Apakah para Senapati itu memang harus menghadap?" Panglima
Pelayan Dalam itu bertanya.
"Memang mencurigakan. Kemarahan tuanku Tohjaya agaknya
tidak terkendalikan." jawab Panglima Pasukan Pengawal.
"Apakah yang dicemaskan?" bertanya Senapati dari Pasukan
Pengawal, "Aku dapat mempertanggung jawabkan apapun juga.
Malam ini tidak ada seorang pun dari lingkungan kami yang tidak
diketahui tingkah lakunya oleh setiap pemimpin kelompok."
"Demikian juga para Pelayan Dalam." Senapati Pelayan Dalam itu
tiba-tiba saja telah menyahut, "Kami mengetahui setiap langkah dari
orang-orang kami. Aku dapat menjelaskan kepada tuanku Tohjaya."
"Tetapi pembunuhan itu telah terjadi. Orang-orangku melihat
orang Sinelir selagi mereka masih berkelahi. Orang Sinelir itu
langsung menyergap dengan licik."
"Dan jika kau melihat kematian Pelayan Dalam yang ada
dilongkangan itu." "Kau menuduh orang Rajasa."
"Cukup." kedua Panglima itu hampir berbareng berteriak, lalu,
Panglima Pasukan Pengawal itu berkata, "Kita akan menghadap
bersama-sama. Kita akan menjelaskan persoalannya. Yang penting
adalah mengatasi ketegangan yang sekarang terjadi. Bukan
menambah kalut lagi."
712 Kedua Senapati itu terdiam. Tetapi dari kedua pasang mata itu
masih membara dendam sampai kepusat jantung.
Demikianlah maka kedua Panglima itu pun akhirnya memutuskan
untuk membawa para Senapati menghadap. Apalagi karena kedua
Senapati itu agaknya masih selalu dibayangi oleh dendam dan
kebencian. "Jika tuanku Tohjaya ingin mendengar, biarlah ia mendengar
kata hati setiap orang di dalam lingkungan prajuritnya. Agaknya
kekalutan dan kecurigaan telah berakar pada setiap dada."
Tanpa ragu-ragu, kedua Senapati itu pun mengikuti Panglima
masing-masing untuk menghadap. Mereka sudah mempersiapkan
pembelaan yang sejauh-sejauhnya dan tuduhan-tuduhan yang pasti,
bahwa lawan mereka telah berdosa sampai ke ujung ubun-ubun.
Ketika kedua Panglima itu sampai di bangsal tuanku, beberapa
orang prajurit bukan dari pasukan Pengawal dan bukan Pelayan
Dalam telah terada di ambang pintu. Bahkan ketika mereka masuk
ke dalam, dua orang Senapati ada di belakang tuanku Tohjaya,
duduk tepekur sambil menundukkan kepala.
"Apakah artinya ini?" bertanya kedua Panglima itu di dalam hati.
Tetapi agaknya kedua Senapati yang sedang diamuk oleh
dendam itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan mereka
dengan wajah yang tegang memasuki sidang.
"Kemarilah." panggil tuanku Tohjaya ketika mereka sudah duduk
menekur. Panglima dan Senapati itu ragu-ragu. Namun mereka pun kemudian
bergeser maju. "Aku ingin mendengar peristiwa yang sebenarnya telah terjadi."
Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak, lalu Panglima
Pelayan Dalam itu pun berkata, "Inilah kedua Senapati itu tuanku."
"Bagus. Majulah mendekat."
713 Tanpa prasangka apapun kedua Senapati itu mendekat.
"Siapakah di antara kalian yang dapat mengatakan apa yang
terjadi sebenarnya?" bertanya Tohjaya.
"Hamba tuanku." jawab keduanya hampir berbareng.
"Nah, kau." berkata Tohjaya sambi menunjuk Senapati dari
pasukan Pengawal, "Katakan apakah yang kau ketahui tentang
kematian orangmu." Senapati itu pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi
atas orang Rajasa yang terbunuh di pinggir kali.
Tohjaya mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, "Jadi yang
membunuh seorang Pelayan Dalam?"
"Hamba tuanku."
"Bohong tuanku." potong Senapati Pelayan Dalam.
"Diam kau." Tohjaya menjerit, "Aku tidak bertanya kepadamu."
Senapati itu terkejut, sehingga ia tergeser setapak surut. Dengan
serta merta ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Teruskan." berkata Tohjaya kepada Senapati dari Pasukan
Pengawal itu, "Ceriterakan bagaimana orangmu mendendam dan
membunuh orang Sinelir."
"Ampun tuanku. Orangku tidak akan berbuat demikian."
"Ceriterakan bagaimana ia membunuh." bentak Tohjaya.
Senapati itu menjadi bingung.
"Kau bodoh." geram Tohjaya, lalu katanya kepada Senapati
Pelayan Dalam, "Nah, sekarang kaulah yang berceritera. Siapa yang
terbunuh dan siapa yang membunuh."
Senapati itu pun ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menceriterakan
apa yang telah terjadi. Seorang Pelayan Dalam telah mati
terbunuh, dan telah diketemukan pula ikat pinggang dan kain
714 panjang seorang prajurit Rajasa yang agaknya telah terlepas ketika
mereka sedang berkelahi. Tohjaya memandang kedua Senapati itu berganti-ganti. Lalu
dengan wajah tegang ia berkata, "Sekarang sebutkan, siapakah dari
orang-orang Sinelir yang telah membunuh seorang dari Pasukan
Pengawal di pinggir kali itu?"
"Tentu bukan orang-orang Sinelir tuanku. Hamba yakin."
"Sebut namanya." teriak Tohjaya. Kemudian sambil memandang
Senapati dari Pasukan Pengawal ia pun berteriak pula, "Kau juga
harus menunjuk salah seorang dari anak buahmu. Siapa yang
membunuh Pelayan Dalam itu."
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara
gemetar ia berkata, "Bukan dari anak buah hamba tuanku. Itu tentu
sekedar fitnah." "Sebut namanya. Sebut namanya." suara Tohjaya melengking
semakin tinggi. Senapati itu menjadi semakin bingung.
"Aku akan menghukum pembunuh-pembunuh itu dengan
hukuman picis. Keduanya harus diikat di s impang empat dekat alunalun.
Setiap orang harus melukai dengan pisau yang tidak tajam
atau dengan welat pering wulung. Kemudian pada luka itu harus
dibubuhi sejumput garam yang sudah dilumatkan dan setetes air
asam atau jeruk pecel. Orang itu harus tetap hidup sampai tiga hari.
Di hari keempat ia baru boleh mati di terik matahari. Jika ia mati
sebelum hari ketiga, maka orang yang bertanggung jawab atas
hukuman itu akan menggantikannya sampai hari ketiga itu."
"Mengerikan sekali." setiap orang yang mendengar menjadi
ngeri. Tetapi masih ada juga orang yang tersenyum mendengar
keputusan itu. Dua orang Senapati yang duduk di belakang Tohjaya
itu justru menjadi gembira karenanya.
Karena kedua Senapati itu masih berdiam diri, maka sekali lagi
Tohjaya menggeram, "Aku beri waktu kau sampai hitungan
715 kesepuluh untuk menyebut namanya." Tohjaya terdiam sejenak, lalu
mulailah ia menghitung perlahan-lahan.
Semua orang yang ada di ruang itu menjadi tegang. Mereka
mengikuti dengan dada yang berdebar-debar hitungan yang
diucapkan oleh Tohjaya. "Satu, dua, tiga, empat,?"
"Tuanku." tiba-tiba Panglima Pasukan Pengawal memotong, "Apa
yang dapat mereka sebutkan jika mereka benar-benar tidak
mengetahui siapakah yang telah melakukannya."
Tohjaya tertegun sejenak. Lalu katanya, "Aku tidak peduli. la
harus menyebut satu nama. Nama siapa saja. Dan orang itulah yang
akan menjalani hukuman picis."
Suasana menjadi semakin tegang. Dan Tohjaya berkata pula,
"Aku akan mengulangi. Siapa yang memotong hitungan yang aku
ucapkan, orang itu pun akan dihukum picis."
"Tetapi." Panglima Pelayan Dalam menyela, "Ampun tuanku."
Selagi menelan ludahnya, lalu, "Bagaimana jika karena terpaksa
mereka menyebut nama orang yang tidak bersalah."
"Aku tidak peduli."
"Tetapi itu tidak adil."
"Diam kau." Tohjaya berteriak keras sekali sehingga ruangan itu
seakan-akan bergetar karenanya.
Panglima itu pun terdiam. Sekilas ia melihat wajah dua orang
Senapati yang berada di belakang Tohjaya menjadi tegang. Dan
Panglima itu pun mulai menyadari keadaan yang sebenarnya.
"Aku akan mulai menghitung." berkata Tohjaya. Lalu, "Dan kau
berdua harus menyebut suatu nama."
Sekali lagi Tohjaya mulai menghitung. Setiap bilangan yang
diucapkan rasa-rasanya seperti gelegar guntur yang meledak di
langit. 716 "Satu, dua, tiga, empat, lima, . . ." tidak seorang pun yang berani
memotong hitungan itu. Akhirnya Tohjaya sampai pada hitungan yang ke sepuluh. Terasa
ketegangan yang memuncak di dalam ruangan itu. Setiap wajah
bagaikan membeku yang terdengar hanyalah degup jantung yang
berdentangan di setiap dada.
"Nah." berkata Tohjaya, "Aku akan menunjuk salah seorang dari
kalian. Maka ia harus menyebut lebih dahulu. Kemudian yang lain
harus menyebut sebuah nama pula."
Suasana benar-benar diliputi oleh kegelisahan yang mencengkam.
Tidak seorang pun yang tahu apakah yang akan terjadi
kemudian. Jika kedua Senapati itu menyebut nama orang yang
sebenarnya tidak bersalah, maka nasib orang itu ternyata terlampau
malang. Ia akan mengalami hukuman yang paling mengerikan
sepanjang peradaban manusia Hukuman picis di perapatan.
Sejenak Tohjaya memandang kedua Senapati itu berganti-ganti.
Keduanya menunduk dalam-dalam, seolah-olah kedua menghindarkan
diri dari sambaran sorot mata Tohjaya.
Namun akhirnya Tohjaya menunjuk kepada Senapati Pelayan
Dalam sambil berkata, "Nah, katakan, siapa yang telah melakukan
pembunuhan itu." Senapati itu menjadi pucat. Tetapi ia menengadahkan wajahnya
sambil bertanya, "Ampun tuanku, apakah nama siapa pun yang
hamba sebut akan menjalani hukuman itu?"
"Ya." sahut Tohjaya.
Jawaban itu benar-benar mengguncangkan setiap dada. Senapati
itu dapat menyebut nama siapapun. Nama orang yang paling
dibencinya akan dapat diumpankannya.
Tetapi Senapati itu tidak segera menjawab.
"Cepat." teriak Tohjaya.
717 "Ampun tuanku." berkata Senapati itu, "Karena sebenarnya
hamba tidak mengetahui nama seseorang yang telah bersalah, dan
hamba tidak dapat menyebut nama orang lain yang tidak berdosa,
maka biarlah hamba tidak mengucapkan nama siapa pun juga."
"Gila. Itu akan berarti kaulah yang harus menjalani hukuman itu."
"Tuanku. Jika memang hamba harus menggantikan hukuman itu,
maka hamba mohon agar tuanku sudi meringankan hukuman itu
sedikit. Hamba akan bersedia menjalani hukuman apapun juga yang
lain sampai mati sekalipun."
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Lalu dipandanginya wajah
Senapati yang seorang lagi Senapati dari Pasukan Pengawal.
Katanya, "Ia tidak dapat menyebut sebuah nama. Karena itu ia akan
segera mati. Sekarang, cobalah kau mengatakan, siapakah yang
pantas dihukum picis."
Senapati itu menjadi tegang. Sepercik kekaguman telah
menyentuh jantungnya. Meskipun ia membenci orang-orang Sinelir
sampai keujung rambut. Tetapi sikap jantan Senapati dari Pelayan
Dalam itu telah mempengaruhinya.
"Cepat, apakah kau juga harus menjalani hukuman mati?"
Senapati itu membungkuk dalam-dalam. Kemudian katanya
dengan suara parau, "Ampun tuanku. Sebenarnyalah hamba sudah
menyiapkan nama yang tuanku kehendaki."
"Nah, ternyata kau bersikap kesatria. Kau dapat menjalankan
perintah Maharajamu dengan sempurna."
Sepercik keheranan telah menyentuh setiap hati. Apakah artinya
sikap kesatria itu bagi Tohjaya. Jika Senapati itu menyebut nama
orang yang sama sekali tidak berdosa, apakah itu juga sifat kesatria.
Dalam kebimbangan itu terdengar Tohjaya berkata, "Cepat, sebut
namanya. Aku ingin segera mendengar dan memerintahkan
mengikatnya pada sebuah tiang di simpang empat yang paling
ramai bersama Senapati yang bodoh itu."
718 Senapati itu menjadi tegang. Sejenak ia memalingkan wajahnya
memandang Senapati yang tidak bersedia mengorbankan orang lain
itu dengan membiarkan dirinya sendiri dihukum. Senapati dari
Pasukan Pengawal itu melihat, betapa Senapati Pelayan Dalam
memandangnya dengan sorot mata kebencian dan lebih dari itu
penuh penghinaan karena agaknya ia sudah bersedia menyebut
nama seseorang yang barangkali tidak bersalah sama sekali.
"He, kenapa kau tidak segera berbicara?" bentak Tohjaya.
"Ampun tuanku. Adapun pembunuh yang paling keji di seluruh
Singasari dan yang pantas mendapat hukuman picis itu tidak lain
adalah Tohjaya sendiri. Ia bukan saja membunuh seorang prajurit,
tetapi ia telah membunuh Maharaja yang sebenarnya berhak atas
tahta, tuanku Anusapati."
Jawaban itu bagaikan halilintar yang meledak di ruangan itu.
Sejenak setiap orang terpukau oleh cengkaman perasaan yang
sangat asing. Namun sejenak kemudian terdengar Tohjaya berteriak nyaring,
"Gila, ternyata kau lebih gila dari kawanmu yang dungu itu."
"Sebenarnyalah tuanku seorang pembunuh. Apalagi jika tuanku
menghukum mati orang-orang yang tidak berdosa seperti kami
hanya karena kami tidak mau mengorbankan orang lain untuk
menjalani hukuman yang tidak berperikemanusiaan itu."
Senapati itu agaknya masih akan mengucapkan kata-kata. Tetapi
suaranya terputus karena Tohjaya yang tidak dapat mengendalikan


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaannya itu telah meloncat dari singgasananya, langsung
menarik rambut orang itu dan hampir di luar pengamatan mata,
kerisnya telah terhunjam di dada Senapati yang malang itu.
Sejenak orang-orang yang menyaksikan darah menyembur dari
luka itu mematung. Namun sekejap kemudian Senapati Pelayan
Dalam itu meloncat berdiri. Kerisnya telah tertarik dari wrangkanya.
Baginya Tohjaya memang seorang pembunuh yang sangat keji
sehingga justru karena itu, ia telah kehilangan semua
kewibawaannya di hadapan Senapati itu.
719 Tetapi Senapati itu tidak sempat berbuat apa-apa. Sekejap
kemudian tiga buah anak panah telah terhunjam di punggungnya.
Tohjaya yang tidak dapat mengendalikan perasaannya itu telah
meloncat dari singgasananya, langsung menarik rambut orang itu
dan hampir di luar pengamatan mata, kerisnya telah terhunjam di
dada Senapati yang malang itu.
Para Panglima yang hadir sempat melihat anak panah itu
meluncur. Ternyata di balik warana kayu yang membatasi ruangan
itu dengan ruangan yang lain, telah siap beberapa orang prajurit
yang memiliki kemampuan bidik yang luar biasa. Dalam keadaan
yang kalut itu mereka sempat meloncat dan sekaligus membidikkan
anak panahnya dan tepat mengenai punggung Senapati itu, yang
sekaligus rebah di lantai.
Tetapi Senapati itu masih sempat berkata, "Bagiku kematian ini
jauh lebih baik dari hukum picis itu. Dan sebenarnyalah bahwa
Tohjaya adalah pembunuh yang paling bengis. Ialah yang pantas
mendapatkan hukuman picis itu."
Senapati itu tidak sempat meneruskan kata-katanya. Ia pun mati
di hadapan Tohjaya yang menjadi sangat marah. Matanya menjadi
merah seperti bara, sedang giginya gemeretak bagaikan
berpatahan. Kedua Panglima yang ada di ruangan itu pun hampir di bawah
sadar mereka telah berdiri pula. Namun mereka masih dapat
mencegah perasaan mereka yang melonjak. Ternyata di ruangan itu
kemudian telah berdiri berderet-deret beberapa orang prajurit dan
Senapati. Bukan dari Pasukan Pengawal dan bukan pula Pelayan
Dalam. Mereka adalah prajurit tempur yang ditarik oleh Tohjaya
untuk menjaga dan melindungi dirinya.
Kedua Panglima itu hanya dapat menggeram. Tetapi keduanya
tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian Tohjaya yang wajahnya bagaikan menyala itu
pun berteriak, "Ayo, siapa lagi yang akan mencemarkan nama
Tohjaya, Maharaja yang paling berkuasa di Singasari."
720 Tidak seorang pun yang berani menjawab. Bahkan kedua
panglima yang berdiri itu pun telah terduduk kembali dengan
lemahnya. "Lemparkan kedua Senapati itu ke sungai jangan rawat
mayatnya. Keduanya adalah contoh dari pengkhianatan yang paling
hina. Senapati yang wajib menjadi contoh bagi para prajurit,
ternyata keduanya adalah orang-orang yang paling licik, pengecut
dan gila." Tidak seorang pun yang berbuat sesuatu. Yang ada di ruangan
itu bagaikan patung baru yang mati.
"Cepat, ambil mayat itu, dan lemparkan ke sungai. Keduanya
pantas menjadi makanan burung-burung gagak atau kadal pemakan
bangkai. Keduanya tidak pantas mendapat perawatan sebagaimana
manusia yang lain meninggal dunia dalam keadaan yang wajar."
Perintah itu tidak perlu diulangi. Prajurit-prajurit yang Sedang
mendapat kepercayaan Tohjaya itu pun segera bertindak, dan
dilemparkannya ke halaman. Sedang orang lain di halaman telah
siap membawa mereka, dan benar-benar akan mereka lemparkan
begitu saja di sungai. Sejenak kemudian maka Tohjaya yang masih berdiri sambil
memegang keris yang berlumuran darah di tangannya itu pun
berkata, "Peristiwa ini merupakan contoh yang baik bagi setiap
prajurit yang mencoba mengingkari kekuasaanku, kekuasaan
Maharaja Singasari putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Kuasaku tidak bedanya dengan kuasa ayahanda. Bahkan jauh lebih
besar lagi daripadanya."
Orang-orang yang ada di ruang itu hanya dapat menundukkan
kepala tanpa berbuat sesuatu. Namun setiap hati agaknya telah
terluka pula oleh tindakan Tohjaya itu.
Beberapa saat lamanya, ruangan itu masih saja dicengkam oleh
suasana maut. Darah yang berceceran dan ujung senjata yang
berwarna merah. 721 Dan tiba-tiba saja Tohjaya berteriak, "Sekarang, kalian pergi
semua dari ruang ini. Kalian dapat melihat kedua mayat yang akan
menjadi makanan burung gagak itu. Aku melarang setiap orang
yang berusaha untuk mengambil dan menyelenggarakan upacara
kematian mereka. Siapa yang melanggar perintah ini pun akan aku
bunuh seperti keduanya."
Tidak seorang pun yang berkata barang sepatah kata. Semua
kepala tertunduk. Tetapi di setiap hati bergetar gejolak perasaan
yang melonjak-lonjak. Demikianlah mereka meninggalkan ruangan itu dengan penuh
persoalan di dalam hati. Kedua Panglima yang telah membawa
kedua Senapati itu pun menyesal. Kenapa bukan mereka sendiri
yang berkorban seperti keteguhan hati kedua Senapati yang gugur
itu. "Aku tidak tahu, bahwa demikianlah akhir dari persoalan ini."
berkata Panglima Pasukan Pengawal di dalam hatinya. Sedang
Panglima yang lain berkata di dalam hati pula, "Jika aku tahu maka
aku tidak akan membawanya menghadap."
Demikianlah, seperti yang diharapkan Tohjaya, berita tentang
kematian kedua Senapati itu telah sampai ke setiap telinga di
Singasari. Berita yang benar-benar mengejutkan setiap hati. Bahkan
Lembu Ampal sendiri tidak menduga bahwa hal serupa itu akan
terjadi. Ia hanya mengharap kedua belah pihak mendapat hukuman
dari Tohjaya sehingga dapat menumbuhkan kebencian mereka
kepada Maharaja itu. Tetapi ternyata Tohjaya telah bertindak lebih
jauh. Ia telah membunuh dua orang pemimpin dari kedua belah
pihak dengan cara yang mengerikan sekali.
Namun sebenarnyalah tindakan Tohjaya itu sangat menguntungkan
rencana Lembu Ampal. Ia harus segera bertindak
selagi para pemimpin Pasukan Pengawal Pelayan Dalam masih
didera oleh perasaan mereka masing-masing.
"Aku akan menjumpai kedua Panglima itu." berkata Lembu Ampal
kepada Witantra dan Mahendra.
722 "Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan membujuk mereka. Setidak-tidaknya mereka jangan
membantu dan melindungi Tohjaya lagi. Peristiwa yang telah terjadi
benar-benar telah menyakitkan hati kedua golongan itu, sehingga
kedua belah pihak akan dengan mudah aku seret ke dalam rencana
kita." "Apakah kau yakin?"
"Aku akan mencoba."
Witantra termenung sejenak. Kemudian, "Baiklah kau mencoba.
Tetapi hati-hatilah. Sebab yang terjadi mungkin sekali sebaliknya
dari yang kita harapkan. Kedua Panglima itu dapat menjadi penjilat
yang paling berbahaya. Apabila keduanya berhati lemah, maka jiwa
mereka tentu akan terguncang melihat peristiwa yang terjadi itu,
sehingga keduanya akan menjadi pengecut yang paling
memuakkan." "Aku yakin tidak. Aku mengenal serba sedikit tentang kedua
Panglima itu." Witantra mengangguk-angguk. Ia mengenal Panglima Pelayan
Dalam selagi Panglima itu mendapat tugas ke Kediri sambil
membawa tunggul Kerajaan. Karena itu katanya, "Mungkin kau
benar Panglima Pelayan Dalam itu agaknya memiliki sikap seorang
prajurit, meskipun agaknya masih belum cukup dewasa. Tetapi ia
pun bukannya seorang pengecut."
"Aku akan segera menghubungi keduanya." berkata Lembu
Ampal. "Berhati-hatilah."
"Aku harus segera berhasil sebelum keduanya sempat berpikir
lebih banyak lagi." "Lakukanlah. Aku akan menghubungi Mahisa Agni. Jika saatnya
bertindak, ia harus sudah siap melindungi orang-orang yang ada di
dalam halaman istana."
723 "Kedua Panglima itu akan membantu. Mereka dapat
menempatkan orang-orangnya seperti saat mereka menempatkan
orang-orang mereka pada saat Tohjaya membunuh tuanku
Anusapati." Dengan demikian, maka Lembu Ampal pun telah sampai pada
puncak rencananya. Berhasil atau gagal akan segera nampak pada
tindakannya yang terakhir itu.
Pada saat yang ditentukan, maka Witantra pun berhasil
menghubungi Mahisa Agni dan mengatakan rencana terakhir yang
sudah siap dilakukan oleh Lembu Ampal.
"Cerdas juga akal orang ini." berkata Mahisa Agni, "Tetapi kita
memang harus berhati-hati. Agaknya pertempuran memang tidak
dapat dihindarkan lagi karena Tohjaya berhasil menarik sekelompok
prajurit unuk melindunginya selain pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam yang sudah menjadi semakin jauh dari padanya. Agaknya
Tohjaya pun sudah mulai berprasangka sehingga ia tidak lagi
percaya kepada kedua golongan itu."
"Kita harus pandai mempergunakan keadaan ini Agni." berkata
Witantra. "Baiklah. Aku menunggu kelanjutan dari rencana ini. Lembu
Ampal harus memberitahukan apakah ia berhasil atau tidak
secepatnya, sehingga aku tahu. apakah Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang ada di sekitarku ini dapat aku percaya atau
sebaliknya." "Baiklah Agni. Lembu Ampal tentu mengerti, jalur manakah yang
harus ditempuhnya, sehingga orang-orang yang dapat dipercaya di
istana ini akan menghubungimu dan kau akan segera dapat
menyusun rencana penyelamatan tuan puteri Ken Dedes, ibunda
tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng."
Mahisa Agni menangguk-angguk. Sudah terbayang di anganangannya
bahwa akan terjadi peperangan di Singasari. Namun
demikian ia masih berkata, "Aku mengharap bahwa korban dapat
dibatasi sekecil-kecilnya. Terutama rakyat yang selalu dibingungkan
724 oleh peristiwa peristiwa yang mengerikan sejak terbunuhnya Sri
Rajasa." Witantra merenung sejenak. Memang tidak menyenangkan
melihat mayat berhamburan di sepanjang jalan. Namun kadang
kadang perang memang sulit dihindari. Jika jalan itu tidak ditempuh
maka keadaan akan menjadi semakin memburuk.
Demikianlah Witantra meninggalkan Mahisa Agni dengan
membawa pesan-pesan untuk Lembu Ampal dan untuk Witantra
sendiri. Untuk menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi,
maka Witantra telah menarik beberapa kelompok prajurit Singasari
yng ada di Kediri bersama dengan para pengawal Ranggawuni yang
memang sudah berada di Singasari lebih dahulu. Terapi Wirantra
pun tidak dapat meninggalkan kewaspadaan karena, di Kediri
keluarga Maharaja yang lelah dikalahkan oleh Ken Arok yang
bergelar Sri Rajasa masih mempunyai pengaruh yang cukup. Jika
Singasari terlampau sibuk dengan persoalan sendiri, maka di Kediri
akan bangkit kekuatan yang akan dapat memutuskan ikatan
kesatuan yang telah berhasil dibuat oleh Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi. Lembu Ampal yang telah memikirkan rencananya
masak-masak mulai bertindak lebih jauh lagi. Dengan hati-hati sekali
ia berusaha untuk dapat menjumpai kedua Panglima dari pasukan
yang telah dibuat sakit hati oleh Tohjaya.
Sebagai seorang prajurit yang telah berhasil meningkatkan
dirinya justru pada saat ia harus menyingkir dari lingkungannya,
maka Lembu Ampal memiliki beberapa kelebihan. Dengan cara yang
khusus ia telah berhasil memasuki halaman rumah Panglima
Pasukan Pengawal. Seperti pada saat-saat ia memasuki halaman
istana, maka ia pun dengan diam-diam memanjat dinding dan
hilang di dalam lindungan pohon-pohon perdu di halaman rumah
Panglima, yang sudah dikenalnya dengan baik, karena sebelumnya
Lembu Ampal memang pernah berkunjung ke rumah itu.
Jika ia berhasil menyusup di antara para penjaga di halaman
istana, maka ia tidak banyak mengalami kesulitan untuk menerobos
penjagaan para prajurit yang mengawal rumah Panglimanya.
725 Meskipun pada saat-saat terakhir rumah itu dikawal semakin rapat,
namun Lembu Ampal masih juga berhasil memasukinya.
Lembu Ampal memang sudah memperhitungkan bahwa pada
saat itu Panglima Pasukan Pengawal itu tidak sedang berada di
rumahnya. Ia sedang berada di halaman istana untuk mengawasi
keadaan. Ia tidak sampai hati membiarkan prajurit-prajurit berada di
dalam ketegangan tanpa kehadirannya. Meskipun ia tidak dapat
bertindak sesuatu pada saat itu, tetapi kehadirannya akan dapat
membuat prajurit-prajurit menjadi agak tenang.
Demikian juga Panglima Pelayan Dalam. Ia pun berada pula di
halaman istana di antara anak buahnya. Tanpa menghiraukan
tatapan mata dari pasukan-pasukan yang lain, Panglima Pelayan
Dalam itu mengunjungi setiap bangsal untuk menemui para Pelayan
Dalam yang sedang bertugas di dalam kelompok-kelompok yang
sudah bersiaga menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi, Panglima-panglima itu tidak berada di halaman istana
sepanjang malam, jika mereka menganggap keadaan menjadi
tenang, mereka pun biasanya kembali ke rumah masing-masing,
meskipun setiap saat mereka selalu bersiap untuk pergi ke halaman
istana. Dengan demikian maka halaman istana itu agaknya telah menjadi
pusat pergolakan dari setiap golongan yang sedang diamuk oleh
ketegangan. Dengan sabar ia menunggu sambil bersembunyi di balik
dedaunan. Jika para pengawal rumah itu menemukannya, maka
semua rencananya akan gagal. Para pengawal itu tentu tidak akan
dapat diajaknya berbicara dengan baik. Karena itu, maka ia harus
dapat langsung bertemu dengan Panglima.
Lembu Ampal tidak akan mempergunakan cara yang wajar,
karena ia adalah seorang prajurit yang telah melarikan diri. Prajuritprajuit
yang menjumpainya, mungkin juga para pengawal rumah
Panglima ini pun tentu akan mencurigainya dan langsung
menangkapnya. 726 Lewat tengah malam, terdengar iring-iringan kuda memasuki
halaman rumah itu. Lembu Ampal menduga bahwa mereka adalah
Panglima bersama para pengawalnya.
Ternyata dugaannya benar. Ia melihat dari persembunyiannya,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima turun dari kudanya dan menyerahkan kepada
pengawalnya, sementara ia pun kemudian melangkah ke tangga
rumahnya. Pada saat itulah Lembu Ampal menampakkan dirinya. Tanpa
mengejutkan para pengawal ia melangkah ke halaman seolah-olah
ia memang sewajarnya berjalan di halaman itu.
Baru kemudian para pengawal terkejut ketika Lembu Ampal
sudah berdiri beberapa langkah dari Panglima. Bahkan setelah
Lembu Ampal menyapanya. Panglima itu pun terkejut pula. Tanpa disadarinya ia telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan, sedang para pengawalnya pun
telah bergeser mendekati Lembu Ampal.
Tetapi Lembu Ampal tersenyum. Ia sama sekali tidak menunjukkan
sikap permusuhan. Bahkan ternyata Lembu Ampal sama
sekali tidak membawa senjata apapun juga.
"Panglima." berkata Lembu Ampal, "Aku memang akan
menghadap. Aku mempunyai beberapa persoalan yang apabila
Panglima tidak berkeberatan, akan aku sampaikan."
Suasana menjadi tegang. Panglima Pasukan Pengawal itu
memandang Lembu Ampal seperti memandang hantu. Tetapi
karena sikap lembu Ampal yang sama sekali tidak menunjukkan
ketegangan, maka Panglima itu pun menjadi agak lunak pula
sikapnya. "Bukankah kau Lembu Ampal?" bertanya Panglima itu.
"Ya. Aku Lembu Ampal. Mungkin Panglima terkejut bahwa tibatiba
saja aku berada di sini setelah sekian lamanya aku hilang dari
Singasari." 727 "Dan sekarang apakah yang kau kehendaki?"
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Lalu sambil tertawa ia
berkata, "Sikap Panglima menjadi jauh berbeda dengan sikapmu
yang dahulu. Apakah aku sudah menjadi lain sama sekali?"
Panglima Pasukan Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, "Kedatanganmu tidak pada saat yang baik, dan
setelah kau hilang untuk beberapa saat lamanya, maka tiba-tiba
saja kau berada di halaman rumahku."
"Panglima." berkata Lembu Ampal, "Itulah yang akan aku
ceriterakan. Apakah Panglima tidak berkeheratan?"
"Cepat katakan."
"O." Lembu Ampal menyahut, "Tentu tidak, dapat aku katakan
sekarang. Aku ingin mendapat kesemparan bertemu dengan
Panglima seorang diri."
Panglima itu menjadi ragu-ragu sejenak. Seorang pengawalnya
yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis sekepal mendekatinya.
Tetapi sebelum orang itu berkata sesuatu, Lembu Ampal sudah
mendahuluinya, "Panglima, adalah wajar sekali jika aku sekarang
dicurigai. Tetapi jika aku berada di dalam suatu ruangan bersama
Panglima, apakah yang dapat aku lakukan" Apakah seandainya aku
bermaksud jahat, akan berani melakukannya di dalam keadaan yang
demikian, karena aku merasa bahwa kemampuanku tidak lebih baik
dari seorang Panglima."
Panglima Pasukan Pengawal itu mengerutkan keningnya.
Bagaimanapun juga harga dirinya telah tersentuh. Jika ia menolak
Lembu Ampal untuk bertemu berdua, maka apakah itu berarti
bahwa ia berada dalam ketakutan.
Tiba-tiba saja ketegangan telah melonjak kembali di dada
Panglima Pasukan itu. Tetapi setelah mempertimbangkan sejenak,
ia pun berkata, "Baiklah Lembu Ampal. Aku berikesempatan kau
berbicara kepadaku seorang diri seperti yang kau kehendaki. Tetapi
waktuku tidak terlampau lama karena itu, cepatlah sedikit. Kau
728 tahu, keadaan sekarang agak berbeda dengan saat-saat yang
lampau." "O, apakah ada sesuatu yang terjadi?"
"Katakanlah lebih, dahulu keperluanmu. Marilah masuklah ke
ruang dalam." Lembu Ampal memandang wajah-wajah para pengawal yang
memancarkan kecurigaan. Tetapi itu adalah sewajarnya karena itu
ia pun tidak menghiraukan mereka lagi.
Ketika Panglima Pasukan Pengawal itu memasuki rumahnya,
maka Lembu Ampal pun mengikutinya.
Di ruang tengah, Lembu Ampal dipersilahkan duduk di atas
sehelai tikar pandan, sedang Panglima Pasukan Pengawal itu pun
duduk pula beberapa langkah di hadapan Lembu Ampal.
Lembu Ampal mengerti, bahwa Panglima itu harus berhati-hati
menghadapinya, sehingga karena itu maka Panglima itu sudah
membatasi dirinya pada jarak yang cukup, jika tiba-tiba saja Lembu
Ampal berbuat sesuatu, maka ia masih mempunyai kesempatan
untuk membela diri. "Lembu Ampal." berkata Panglima itu, "Sekarang katakanlah.
Bukan karena aku tidak mau menerima kunjungan ini dengan baik,
karena sebelum kau hilang, kau pernah juga berkunjung ke rumah
ini dan aku terima dengan sepantasnya. Tetapi karena keadaan kini
agak berbeda, maka caraku menerimamu agak berbeda."
"Baiklah." berkata Lembu Ampal, "Sebaiknya aku memang
mengatakan keperluanku."
"Sebutlah." "Aku sekarang adalah utusan tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka." "Ha." Panglima Pasukan Pengawal itu terkejut. Wajahnya menjadi
merah. Tetapi segera ia berusaha menguasai perasaannya. Lalu,
"Apa maksudnya mengutus kau datang kemari. Apakah tuanku
729 Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka mempunyai tuntutan atas
diriku?" "Tidak. Bukan suatu tuntutan. Tetapi tuanku Ranggawuni dan
tuanku Mahisa Cempaka sekedar memberitahukan bahwa keduanya
telah siap untuk masuk ke dalam istana Singasari. Menurut penilaian
tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka, yang paling
berkepentingan atas istana seisinya adalah pasukan-pasukan
Pengawal dan Pelayan Dalam. Karena itu, tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka memerintahkan aku untuk menemui Panglima-
Panglimanya dan minta ijin untuk memasuki istana sebagai pewaris
yang sah atas tahta yang telah direbut dengan kekerasan oleh
tuanku Tohjaya setelah membunuh tuanku Anusapati di arena
sabung ayam." "Kenapa tuanku Ranggawuni memberitahukan hal ini kepadaku?"
bertanya Panglima itu, "Apakah ini berarti suatu tantangan?"
"Sama sekali bukan. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka ingin mengetahui, siapakah sebenarnya menurut pendapat
Panglima yang sewajarnya harus duduk di atas tahta. Jika menurut
Panglima memang seharusnya tuanku Tohjaya yang berhak atas
tahta, maka mungkin tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
akan mengambil sikap yang lain."
Panglima Pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Ia merasa
bahwa kedudukan Singasari memang menjadi bertambah sulit
dengan kehadiran Lembu Ampal yang menyebut dirinya utusan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dalam pada itu Lembu Ampal pun berkata, "Nah, sebaiknya kau
memberikan tanggapan yang sewajarnya, sesuai dengan hati
nuranimu. Kini tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sedang
menyingkir dari ancaman tuanku Tohjaya."
"Bukankah keduanya telah dilarikan orang" Karena selama ini kau
juga hilang, maka orang yang paling pantas untuk dituduh
melarikan keduanya adalah kau."
730 "Aku tidak melarikan keduanya. Keduanya lari atas pertolongan
orang lain karena tuanku Tohjaya berusaha untuk membunuhnya.
Aku kemudian menyusul dan menjadi pengikutnya karena aku yakin
bahwa tuanku Ranggawuni lah orang yang paling berhak atas tahta
Singasari saat ini."
Panglima itu terdiam. Kekecewaannya atas Tohjaya dengan
sikapnya yang kasar terhadap seorang Senapatinya dan bahkan
kemudian membunuhnya, membuat hatinya menjadi ragu-ragu
menghadapi keadaan yang tiba-tiba telah diperagakan di
hadapannya. Panglima itu mulai membuat pertimbangan dan penilaian. Sejak
Anusapati meninggal, dan pimpinan pemerintahan dipegang oleh
Tohjaya selama kira-kira setahun, tidak ada suatu pun yang dapat
dibanggakan. Bahkan harapan-harapan yang semula dijanjikan oleh
Tohjaya, sama sekali tidak membayang.
"Memang agak berbeda dengan masa pemerintahan tuanku
Anusapati." katanya di dalam hati, "Meskipun masa pemerintahan
tuanku Anusapati juga hanya singkat, tetapi sudah ada di antaranya
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Singasari."
Namun tiba-tiba sesuatu bergejolak di dalam dirinya. Dan
seakan-akan ia melihat dirinya sendiri menjulurkan jari telunjuknya
ke depan hidungnya. "Kau sudah memihak tuanku Tohjaya pada
saat tuanku Anusapati terbunuh. Kau tentu tahu bahwa tuanku
Ranggawuni adalah putera terkasih dari tuanku Anusapati. Apakah
itu dapat kau terima?"
Tiba-tiba Lembu Ampal terkejut ketika Panglima itu menggeram,
"Kau sedang menjebak aku Lembu Ampal. Kau tahu bahwa benar
atau tidak, setiap orang dapat menuduh aku terlibat dalam
pembunuhan tuanku Anusapati saat itu."
"Bukan sekedar tuduhan." sahut Lembu Ampal, "Aku tahu pasti
bahwa kau terlibat Panglima."
731 "Dan sekarang kau sedang menggiring aku ketiang gantungan
dengan menyerahkan aku kepada Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka?" "Kau salah. Aku pun terlibat pula pada saat tuanku Tohjaya
membunuh tuanku Anusapati. Tetapi aku tidak digantung oleh
tuanku Ranggawuni." Panglima itu merenung sejenak. Lalu, "Itu karena kau sekarang
sedang diperlukan. Jika saatnya kau tidak dipakainya lagi, maka kau
akan dibunuhnya. Sekarang tuanku Ranggawuni masih memerlukan
kau untuk menghubungi aku dan barangkali orang-orang lain.
Tetapi itu hanya bersifat sementara."
"Kau salah Panglima. Sebenarnya tuanku Ranggawuni tidak
memerlukan aku. Tidak pula memerlukan kau. Jika tuanku
Ranggawuni tidak memperhitungkan kemungkinan untuk
memperkecil korban yang dapat jatuh di dalam pengambilan haknya
itu, maka aku memang tidak diperlukan sama sekali. Kau pun tidak.
Saat ini tuanku Ranggawuni telah memiliki kekuatan yang tidak ada
taranya. Barangkali kau pernah mendengar dari Panglima Pelayan
Dalam atau dari orang lain, bahwa kekuatan Singasari yang ada di
Kediri seluruhnya dapat digerakkan. Bahkan kelompok-kelompok
pasukan keamanan yang diperkenankan disusun oleh orang-orang
Kediri sendiri. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, Tetapi jumlah
itu harus diperhitungkan di samping kekuatan Singasari sendiri."
Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu, "Dan barangkali kau juga
mengetahui bahwa di halaman istana itu ada Mahisa Agni. Kau
sendiri dapat menduga, dimana ia berdiri. Mahisa Wonga Teleng.
Adik-adik Anusapati yang lain. Bahkan beberapa orang pengawal
khusus yang dibawa oleh Mahisa Agni itu sendiri. Selain mereka, kau
harus mengenal nama-nama seperti Witantra yang juga disebut
Panji Pati-pati. Ia adalah seorang Panglima pada masa kekuasaan
Akuwu Tunggul Ametung."
"Ia sudah terlalu tua." potong Panglima itu.
732 "Setua Mahisa Agni Tetapi ia memiliki kemampuan setinggi
Mahisa Agni pula di samping adik seperguruannya yang bernama
Mahendra." "Kau sengaja menakut-nakuti aku."
"Tidak. Aku minta kau membuat pertimbangan-pertimbangan
Panglima. Rakyat Singasari akan segera terpengaruh oleh kehadiran
Ranggawuni dengan pasukannya. Rakyat Singasari tentu akan
segera teringat kepada Kesatria Putih."
"Jadi tuanku Ranggawuni kah yang selama ini telah membuat
Singasari menjadi gaduh dengan kuda putih dan pakaian putih itu?"
"Kedua-duanya. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka." Panglima itu menggeram. Ia melihat di dalam angan-angannya
sebuah kekuatan yang besar dan tersusun rapi di bawah pimpinan
anak-anak muda yang perkasa.
"Nah, pertimbangkan Panglima. Jika Panglima bersedia
memperkecil jumlah korban yang dapat jatuh, maka aku yakin
bahwa tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak akan berbuat
apa-apa terhadap Panglima bahkan mereka akan mengucapkan
terima kasih kepadamu."
Panglima Pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Terbayang
pertentangan yang semakin gawat di Singasari. Kecurigaan di antara
para prajurit yang semula merupakan pendukung-pendukung
terbaik dari Tohjaya. Kemudian tiba-tiba saja Lembu Ampal datang
sebagai utusan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, yang seakanakan
mendesaknya ke dalam suatu sudut tanpa pilihan.
"Kenapa tuanku Ranggawuni menganggap bahwa aku dapat
memperkecil korban yang jatuh?"
"Jika kau tidak memperluas pertentangan, maka tentu tidak akan
banyak korban yang tidak berarti di dalam pertentangan ini."
"Maksudmu, aku haras menyingkir?"
733 Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Hampir serupa itu. Tetapi bukan berarti bahwa kau harus
pergi. Kau dapat berdiri di tempat yang khusus. Kau membiarkan
saja tuanku Ranggawuni masuk ke istana atau kau justru
mengawalnya. Bukankah suasana istana itu sekarang telah dipenuhi
oleh ketidak tentuan?"
"Dari mana kau tahu?"
"Setiap orang mengatakan. Setiap orang di Singasari mendengar
bahwa tuanku Tohjaya telah menyinggung harga diri kaum Rajasa
dan Sinelir dengan membunuh dua orang pemimpin yang
berpengaruh dan bahkan melemparkan mayatnya begitu saja ke
sungai. Tidak seorang pun yang berani mengambil mayat itu. Terapi
akhirnya mayat itu hilang dari sungai."
"Kenapa hilang?"
"Ada orang yang tidak sampai hati membiarkan mayat itu
dikerumuni oleh burung-burung gagak dan binatang-binatang buas
yang lain." "Siapa?" "Tidak ada orang lain yang berani melakukannya selain Kesatria
Putih." "Kesatria Putih." ulang Panglima itu, "Maksudmu tuanku
Ranggawuni?" Lembu Ampal mengangguk sambil berdesis, "Ya. Dan mayat
kedua orang Senapati yang rela mengorbankan dirinya daripada
mengorbankan orang lain itu pantas mendapat penghormatan."
Panglima itu menundukkan kepalanya. Ia merasa bahwa
seharusnya ialah yang melakukannya apa pun akibatnya. Namun


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata bahwa justru Ranggawuni telah mendahuluinya.
Dalam keragu-raguan itu Lembu Ampal mendesaknya, "Katakan
keputusanmu. Aku juga akan menghadap Panglima Pelayan Dalam.
734 Karena sebenarnyalah bahwa istana itu berada di dalam tangan
Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam."
"Tetapi prajurit-prajurit yang lain sekarang ada di istana pula.
Justru merekalah yang memegang peran terpenting di dalam
keadaan yang kalut ini. Tuanku Tohjaya kini lebih banyak berbicara
dengan mereka daripada dengan kami."
"Tentu semakin lama kekuasaan mereka akan semakin
berkembang. Dan akhirnya akan tamatlah kesatuan Pasukan
Pengawal dan Pelayan Dalam. Akan lenyap pulalah golongan Rajasa
dan Sinelir di dalam lingkungan keprajuritan Singasari."
Panglima itu merenung sejenak. Lalu katanya, "Kau jangan
mengambil keuntungan dari pertentangan di dalam lingkungan
keprajuritan di Singasari. Aku tahu, tuanku Ranggawuni tentu
dengan sengaja memilih waktu seperti ini. Selagi kecurigaan dan
dendam sedang membakar hati para prajurit."
"Bukankah itu wajar" Tetapi jika tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka tidak berbuat sesuatu sekarang ini, maka Singasari akan
menjadi semakin buruk. Apabila kelak tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka terpaksa mengambil alih kekuasaan dengan
kekerasan, maka korban tidak akan dapat dihitung lagi."
Panglima itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Memang akhirnya aku menyadari, bahwa ketidak pastian, dan
tanpa pendirian dan sikap yang teguh seperti aku, sepantasnya
hanya akan menjadi alat dan dimanfaatkan oleh orang-orang lain."
"Jangan merasa demikian. Kau pun belum terlambat untuk
bersikap sekarang ini. Seandainya kau memutuskan untuk
mendukung kekuasaan tuanku Tohjaya, maka kau pun akan
mendapat kesempatan. Sebaliknya jika kau mengambil sikap lain,
maka kau masih mempunyai kemungkinan pula."
Panglima Pasukan Pengawal itu menarik nafas dalam- dalam.
Katanya dalam nada yang datar, "Aku memang tidak mempunyai,
pilihan Lembu Ampal. Aku sudah tidak akan dapat berbuat sesuatu
di bawah perintah tuanku Tohjaya. Memang, sejak semula aku
735 berpikir berlandaskan kepentingan pribadi dan pamrih semata-mata.
Sekarang aku pun masih belum dapat melepaskan perhitungan
pribadi itu. Agaknya akan lebih menguntungkan bagiku untuk
berpihak kepada tuanku Ranggawuni meskipun seandainya tuanku
Ranggawuni kelak mengambil keputusan untuk menggantung aku di
alun-alun. Karena menurut perhitunganku, tuanku Tohjaya pun
pada suatu saat akan berbuat demikian atasku. Dan menurut
perhitunganku pula, jika datang hukuman mati, yang akan dilakukan
oleh tuanku Ranggawuni tentu lebih baik daripada tuanku Tohjaya."
"Pertimbanganmu terlampau jauh Panglima."
"Aku harus memperhitungkan segala kemungkinan."
"Jadi apa keputusanmu" Jika kau bersedia maka marilah kira
bersama-sama pergi menghadap Panglima Pelayan Dalam."
Panglima Pasukan Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Kemudian
katanya, "Apakah aku tidak mendapat kesempatan untuk
berpikir?" Pertanyaan ini memang wajar sekali. Tetapi Lembu Ampal tidak
ingin memberikan kesempatan itu, jika Panglima itu sempat
merenungi keadaannya, maka ada kemungkinan bahwa ia akan
mengambil s ikap lain. Karena itu, maka Lembu Ampal pun kemudian berkata,
"Panglima. Kita jangan terombang ambing oleh keadaan ini
terlampau lama. Mungkin besok atau lusa akan jatuh korban lagi
seperti kedua Senapati itu. Bahkan mungkin pada suatu saat
Panglima sendiri akan ditikam di hadapan para pemimpin di
paseban." Panglima itu mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia
menggeram penuh dendam. "Meskipun demikian." berkata Lembu Ampal selanjutnya,
"Terserah kepada Panglima, apakah Panglima masih dapat
berpangku tangan dalam keadaan seperti sekarang ini."
736 Panglima itu merenung sejenak. Kemudian, "Baiklah. Marilah kita
pergi ke rumah Panglima Pelayan Dalam. Aku kira ia pun belum
lama datang dari istana."
"Tentu Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam masih tetap saling
mencurigai. Siapa tahu, bahwa sebenarnya pihak lainlah yang
dengan sengaja memancing kekeruhan ini."
"Aku sudah menduga." sahut Panglima Pasukan Pengawal.
"Dan akibatnya sekarang terasa bahwa kekuasaan di dalam
halaman istana sudah bergeser dari Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam kepada prajurit-prajurit itu."
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Marilah.
Aku harus sudah kembali sebelum pagi. Mungkin tuanku Tohjaya
memerlukan aku dan memanggil setiap saat."
Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera
pergi bersama Lembu Ampal. Namun ia tidak dapat melepaskan
kecurigaannnya, sehingga ia masih juga membawa beberapa orang
pengawal pilihan. Seandainya Lembu Ampal tidak berbuat apa-apa,
maka di perjalanan dapat saja timbul persoalan dengan prajuritprajurit
dan Senapati dari kesatuan yang lain, yang memang sedang
dalam keadaan yang tegang dan saling mencurigai.
Ternyata bahwa sikap Lembu Ampal di sepanjang jalan, seakanakan
memberikan keyakinan kepada Panglima Pasukan Pengawal
itu, bahwa Lembu Ampal tidak berbohong. Itulah sebabnya maka ia
pun menjadi semakin mantap untuk melakukan tindakan yang dapat
memberikan harapan bagi dirinya dan bagi Singasari.
Kedatangan Panglima Pengawal di rumah Panglima Pelayan
Dalam disambut dengan penuh kecurigaan. Para pengawal di rumah
itu pun segera bersiap. Para penjaga regol segera berloncatan
dengan senjata di tangan.
"Aku ingin bertemu dengan Panglimamu." berkata Panglima
Pasukan Pengawal. 737 Seorang Senapati yang berada di regol dan yang malam itu
bertanggung jawab penjagaan di rumah Panglimanya, melangkah
maju sambil bertanya, "Apakah ada keperluan penting sekali
sehingga Panglima datang di malam hari?"
"Penting sekali. Katakan kepada Panglimamu, aku datang
bersama Lembu Ampal."
"Lembu Ampal." para prajurit itu berdesis dan serentak mereka
mencari di antara wajah-wajah para pengawal Panglima Pasukan
Pengawal itu. Lembu Ampal justru maju sambil tersenyum. Katanya, "Ya, aku
mengikuti Panglima Pasukan Pengawal datang untuk menghadap
Panglimamu." Senapati yang bertugas di regol itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia berkata, "Aku akan menyampaikannya kepada
Panglima, apakah ia dapat menerima." Ia terdiam, lalu katanya,
"Tetapi bukankah Lembu Ampal itu sudah beberapa lama lenyap
dari Singasari?" "Aku tetap berada di Singasari. Tetapi tidak di dalam kota."
"Ya. Begitulah maksudku."
"Kepergianku merupakan bagian dari persoalan yang akan aku
sampaikan kepada Panglimamu sekarang ini."
Senapati itu memandang Lembu Ampal sejenak. Lalu, "Baiklah.
Tunggulah sebentar."
Senapati itu pun kemudian menghadap kepada Panglimanya
yang baru saja masuk ke dalam biliknya. Mula-mula ia terkejut
mendengar laporan bahwa Panglima Pasukan Pengawal telah
datang dengan beberapa orang pengawal, termasuk Lembu Ampal.
"Apa katanya?" "Ada persoalan penting yang akan dibicarakan."
738 Penglima Pelayan Dalam itu termangu-mangu sejenak. Ia mempunyai
banyak pertimbangan. Tetapi juga prasangka.
"Mungkin ia ingin menentukan sikap bersama setelah terjadi
peristiwa yang mengerikan itu." berkata Panglima itu di dalam
hatinya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "Persilahkan mereka
masuk. Yang aku terima di ruang dalam hanyalah Panglima Pasukan
dan Lembu Ampal." Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal dan Lembu
Ampal itu pun kemudian masuk ke ruang dalam ditemui oleh
Panglima Pelayan Dalam dengan penuh pertanyaan yang membayang
di sorot matanya. Lembu Ampal lah yanng kemudian mulai berbicara. Seperti yang
dikatakannya kepada Panglima Pasukan Pengawal ia menawarkan
kerja sama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah
bersiap untuk memasuki istana Singasari.
Panglima Pelayan Dalam itu termangu-mangu. Ia pun diamuk
oleh kebimbangan seperti yang dialami oleh Panglima Pasukan
Pengawal. Namun Lembu Ampal berkata, "Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka tidak bertindak atas dasar dendam karena kematian
tuanku Anusapati yang telah di bunuh oleh tuanku Tohjaya. Tetapi
yang mereka lakukan didasari rasa tanggung jawab atas
perkembangan Singasari. Seandainya tuanku Tohjaya dapat
memerintah Singasari seperti tuanku Sri Rajasa, maka aku kira
tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak akan pernah
memikirkan untuk merebut tahta." Lembu Ampal berhenti sejenak,
lalu, "Sebenarnyalah bahwa yang dikehendaki oleh tuanku
Ranggawuni bukanlah sekedar kedudukannya, tetapi justru
tanggung jawabnya." Panglima Pelayan Dalam masih tetap merenung.
739 "Itulah sebabnya maka tuanku Ranggawuni tidak akan
menghiraukan apakah para Panglima pernah mendukung tuanku
Tohjaya atau tidak. Yang penting, siapakah yang ingin bekerja
bersama akan diterima dengan kedua belah tangannya. Tetapi jika
tidak, maka kedua anak-anak muda itu akan menghadapi mereka
sebagai lawan yang harus dibinasakan."
"Kau mengancam?" bertanya Panglima Pelayan Dalam.
"Tentu tidak. Aku tahu ancaman bagi Panglima tidak ada
gunanya. Bahkan bagi setiap prajurit. Tetapi yang aku katakan
adalah rencana tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Siapa
yang berjalan seiring, akan dibimbingnya. Tetapi yang melintang
akan dipatahkannya. Dan ini bukannya sebuah ancaman. Tetapi
demikianlah yang akan dilakukan, meskipun barangkali kedua anakanak
muda itu akan menjumpai kegagalan karena ternyata
pendukung Tohjaya terlampau kuat."
Panglima Pelayan Dalam itu menjadi semakin bimbang. Sehingga
akhirnya ia bertanya kepada Panglima Pasukan Pengawal, "Apa
keputusanmu?" "Aku menjadi bingung." sahut Panglima Pasukan Pengawal,
"Tetapi aku tidak dapat menutup kenyataan bahwa tuanku Tohjaya
benar-benar sudah tidak dapat diharapkan. Apalagi karena
pasukanku dan pasukanmu kini sudah tidak berarti sama sekali,
bahkan mungkin dalam waktu dekat, pasukan kita akan dihapuskan.
Para pemimpinnya akan mengalami nasib serupa dengan kedua
Senapati yang telah dibunuh dan dilemparkan begitu saja ke sungai,
sehingga tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang
memerintahkan untuk mengambil kedua mayat itu, karena tidak ada
orang lain yang berani melakukannya."
Panglima Pelayan Dalam itu pun kemudian menyahut, "Aku juga
sudah kehilangan harapan. Bagiku tuanku Tohjaya sudah tidak
berarti lagi di dalam perjuangan buat masa depan Singasari."
740 Lembu Ampal memandang kedua Panglima itu berganti-ganti. Ia
tidak perlu berbicara lagi. Yang dilakukannya kemudian adalah
menunggu saja perkembangan pendapat kedua Panglima itu.
Sejenak kemudian Panglima Pelayan Dalam pun berkata,
"Tunggulah. Akan berbicara dengan beberapa orang Senapati yang
terpercaya yang kebetulan bertugas di sini sekarang. Mungkin
mereka akan dapat memberikan pendapat."
"Aku memutuskannya sendiri." berkata Panglima Pasukan
Pengawal. "Tetapi biarlah aku meyakinkan pikiranku."
"Tetapi dengan kemungkinan yang sangat buruk bagiku." berkata
Lembu Ampal. "Kenapa?" "Jika para Senapati menolak, maka aku tidak akan dapat keluar
lagi dari tempat ini."
Panglima Pelayan Dalam itu merenung sejenak, lalu, "Kau
memang pantas ditangkap karena kau menghilang justru setelah
tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lenyap. Kau meninggalkan
tugasmu sebagai seorang prajurit tanpa izin. Tetapi kali ini biarlah
aku yang menanggung keselamatanmu selama kau menjadi
tamuku. Namun demikian di luar halaman rumah ini, itu terserah
kepadamu sendiri." Lembu Ampal tersenyum. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dalam
pada itu Panglima Pelayan Dalam itu pun segera memanggil dua
orang Senapati yang terpercaya untuk ikut serta berbicara dengan
Panglima Pasukan Pengawal dan Lembu Ampal.
"Melihat perkembangan terakhir, agaknya kita memang sedang
dibenturkan satu dengan yang lain." berkata seorang Senapati,
Cinta Tak Semudah Kata 1 Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Iblis Misteri Lukisan Tengkorak 5
^