Sepasang Ular Naga 11
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 11
sudah jemu melihat cara Tohjaya memerintah akan mudah sekali
terpengaruh oleh harapan-harapan baru bagi mereka. Jika pada
suatu saat seorang Senapati atau seorang Akuwu bangkit
mendahuluimu, maka semua kejemuan akan segera tertumpah pada
harapan yang belum pasti dapat menumbuhkan kecerahan bagi
Singasari. Bahkan mungkin budi yang luhur akan ditelan oleh nafsu
ketamakan yang lain."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Mahisa Cempaka berkata, "Paman. Apakah paman
yakin, bahwa keadaan sekarang ini sudah ada pada puncak
kesuraman bagi Singasari, sehingga perlu ada kejutan untuk
menjernihkannya?" "Ya." jawab Mahisa Agni, "Apalagi Tohjaya sekarang sedang
dicengkam oleh gejolak perasaannya sendiri, sehingga sifat-sifatnya
tidak lagi dapat diselami. Bahkan oleh orang-orang yang dekat
padanya." 621 Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah
Mahisa Cempaka yang menegang. Ia sadar, bahwa latar
belakang hubungan keluarganya agak berbeda dengan hubungan
keluarga antara Mahisa Cempaka dengan Tohjaya.
Dalam hal itu, Mahisa Agni sudah berterus terang kepada
keduanya. la tidak mau melihat kekecewaan, kejutan dan ketegangan
perasaan terjadi kelak apabila mereka tidak melihat diri
mereka sejak semula. Anusapati bergejolak ketika ia menyadari
keturunannya, bahwa ia bukan putera Sri Rajasa. Dan Tohjaya
punkemudian membunuh Anusapati karena baginya Anusapati sama
sekali bukan apa-apa. Apalagi karena Anusapati telah membunuh Sri
Rajasa pula. "Anak-anak muda itu kelak tidak boleh dijangkiti penyesalan atau
kekecewaan kelak. Mereka harus menyadari sejak semula." berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya.
Demikianlah mereka berada dalam kediaman sejenak. Semuanya
menunggu pendapat Mahisa Cempaka, karena sebenarnyalah bahwa
Tohjaya adalah pamannya. Tohjaya adalah saudara seayah dengan
ayahandanya, Mahisa Wonga Teleng.
"Paman." berkata Mahisa Cempaka kemudian sambil
menundukkan kepalanya, "Aku mengerti, bahwa Singasari
memerlukan tangan yang kuat untuk merubah keadaan yang lesu
seperti ini. Tetapi aku tidak ingin melihat pamanda Tohjaya harus
mengalami nasib seperti Maharaja yang pernah memerintah
Singasari sebelumnya. Pembunuhan itu harus dihentikan."
"Maksudmu?" bertanya Mahisa Agni, "Apakah kita harus
menunggu, atau kita harus berbuat sesuatu?"
Mahisa Cempaka terdiam. "Mahisa Cempaka." berkata Mahisa Agni, "Sudah barang tentu
bahwa akan terjadi sedikit benturan dengan pamandamu. Aku
yakin, bagaimanapun juga pamanmu tidak akan dengan suka rela
menyerahkan tahta. Tetapi ia tentu tidak akan menerima
seandainya kau berdua datang kepadanya untuk menyumbangkan
622 tenaga dan pikiran. Betapapun kalian berbuat dengan jujur dan
bersungguh-sungguh, tetapi kalian akan tetap menjadi arah ujung
pedang. Jika bukan Lembu Ampal, maka tentu akan ada orang lain
yang mendapat perintah membunuh kau berdua."
Mahisa Cempaka merenung sejenak. Kepalanya menjadi semakin
tunduk. "Mahisa Cempaka. Memang kau berada disimpang jalan yang
sulit. Kau harus memilih arah yang sama-sama berat bagimu. Jika
kau memilih Singasari, kau harus melepaskan pamandamu. Tetapi
jika kau memilih pamandamu Tohjaya, maka keadaan Singasari
tidak akan tertolong lagi."
Perlahan-lahan Mahisa Cempaka mengangkat kepalanya Kemudian
perlahan-lahan pula kepala terangguk lemah. Katanya dalam
nada yang dalam, "Aku mengerti paman. Memang aku tidak
akan dapat memilih selain bagi Singasari."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
sangat berat untuk memilih. Tetapi dengan jiwa besar kau sudah
menyebutnya." Mahisa Cempaka menundukkan kepalanya lagi. Seakan-akan ia
sedang mencari diantara kedua kakinya. Ia sadar bahwa ia memang
harus memilih Singasari yang dengan demikian harus
mengorbankan pamannya, Tohjaya.
Tetapi korban yang akan jatuh bukan hanya sekedar pamannya
seorang diri. Tetapi tentu ada orang lain. Prajurit-prajurit dan
bahkan rakyat Singasari sendiri.
Meskipun demikian, jalan itu harus ditempuh, karena tidak ada
jalan lain bagi keselamatan dan keutuhan Singasari.
Demikianlah maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah
bertekad untuk menegakkan Singasari, meskipun korban yang
diserahkan adalah cukup besar bagi mereka. Yaitu pamanda
Tohjaya. 623 Persiapan punsegera disusun semakin matang. Pasukan Singasari
yang berada di Kediri sudah siap berada dijalan yang menuju
kepintu gerbang. Mereka dengan diam-diam memasuki daerah di
seputar kota Singasari. Sedang sementara itu prajurit-prajurit yang
di Singasari telah pula terpecah. Beberapa orang Senapati yang
berhasil dihubungi oleh kawan-kawannya yang berpihak kepada
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka punkemudian menyatakan
kesediaan mereka untuk membantu, apalagi setelah mereka
mengerti persoalan yang sebenarnya telah terjadi di istana Singasari
itu. Dalam pada itu, Witantra, Mahendra, Mahisa Agni dan Lembu
Ampal punsegera membagi tugas. Mahisa Agni tetap berada di
halaman istana. Jika perlu langsung memberikan perlindungan
kepada orang-orang yang sudah menjadi tua dan sakit-sakitan. Ken
Dedes yang sudah hampir kehilangan seluruh kesehatannya karena
tekanan lahir dan batin. Mahisa Wonga Teleng yang tetap berada di
tempatnya bersama isteri Anusapati dan adik-adiknya yang lain.
Serta orang-orang yang dapat terancam jiwanya apabila pergolakan
benar terjadi. Tetapi Mahisa Agni sudah tidak seorang diri. Diantara para
Senapati telah berhasil dihubunginya dan dengan teliti menyiapkan
diri bersama beberapa orang prajurit-prajurit yang dapat dipercaya.
Kecuali mereka, para pengawal Mahisa Agni masih tetap berada di
bangsalnya pula. Mereka masih tetap mengenakan secarik kain
putih di lehernya sebagai pertanda bahwa mereka benar-benar
sudah berada di puncak penyerahan diri pada tugasnya, tanpa
menghiraukan nyawa mereka sendiri. Dan ternyata bahwa kain
putih di leher para pengawal Mahisa Agni itu mempunyai pengaruh
yang cukup besar bagi orang-orang yang tidak menyukainya.
Selain Mahisa Agni maka Witanira pun mendapat tugasnya pula.
Ia harus menyiapkan dan memimpin pasukan yang teratur, yang
sudah dengan diam-diam bergeser dari Kediri mendekati kota
Singasari. Hanya sebagian kecil sajalah yang masih tetap berada di
624 Kediri bersama pasukan keamanan yang disusun oleh Kediri sendiri
dibawah pengawasan Singasari.
Sedang Mahendra mendapat tugas untuk selalu berada di dekat
kedua anak muda itu, agar ia selalu dapat memberikan nasehat dan
perlindungan. Karena tidak mustahil bahwa masih akan terjadi
percobaan untuk langsung membunuh keduanya apabila Tohjaya
dapat menemukan mereka. Dalam pada itu Lembu Ampal mempunyai tugasnya tersendiri.
Sebelum sampai saatnya, mereka mulai dengan tindakan
sesungguhnya, Lembu Ampal bertugas untuk membuat hubungan
dengan orang-orang yang disangkanya dapat memberikan bantuan
kepada mereka. Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak bendanya
melatih diri untuk bekal dimasa mendatang yang akan menjadi
semakin berat membebani mereka dengan tanggung jawab. Apalagi
mereka harus sudah mulai dengan langkah-langkah tertentu.
Di dalam ketegangan yang memuncak itu, maka Lembu Ampal
mencoba untuk mengambil langkah yang dapat mempengaruhi
keadaan yang nampaknya tenang meskipun hanya dipermukaan
saja. "Aku akan memberikan kejutan pada para Panglima dan
Senapati." berkata Lembu Ampal kepada Mahisa Agni ketika mereka
sampat bertemu. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Sekedar menarik perhatian. Agar memberikan kesan bahwa
keadaan sekarang ini adalah keadaan yang diselubungi oleh kabut
yang gelap." "Tetapi jangan mengorbankan nyawa seseorang dengan sia-sia.
Baik kawan maupun lawan. Kita harus tetap menghargai sesama
seperti kita menghargai diri kita sendiri. Hanya dalam keadaan
tertentu saja kita dapat mengorbankan jiwa seseorang, apabila kita
benar-benar tidak menemukan jalan lain."
625 Lembu Ampal menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku akan
selalu ingat pesan-pesan tuan. Tetapi aku pun menyadari, bahwa
lebih mudah mengerti dari pada melakukannya."
"Dan kau tentu tidak akan berkeberatan melakukan betapapun
sulitnya." Lembu Ampal menganggukkan kepalanya.
Demikianlah Lembu Ampal mulai dengan usahanya untuk
memberikan kejutan kepada Singasari, agar para pemimpin
Singasari terbangun dari kesibukan mereka sendiri.
Tetapi yang dilakukan oleh Lembu Ampal sebenarnya juga suatu
tantangan. Ternyata bahwa di Singasari masih ada orang yang
dapat berpikir bening, bahwa pemerintahan yang dipegang Tohjaya
sama sekali tidak akan menguntungkan Singasari dan sebenarnyalah
bahwa ia tidak berhak sama sekali untuk tetap berada di atas tahta.
Yang menjadi sasaran Lembu Ampal adalah pendukungpendukung
Tohjaya. Meskipun Tohjaya bukannya orang yang
berhak atas tahta, terapi pendukungnya menganggap bahwa
kehadiran Tohjaya di atas tahta sangat menguntungkan mereka.
Karena itulah maka mereka berusaha untuk tetap
mempertahankannya. Untuk mengurangi korban yang bakal jatuh, Lembu Ampal harus
berusaha memisahkan mereka dari Tohjaya. Tetapi tentu tidak
dapat dengan berterus terang kepada mereka. Karena mereka
masih tetap banyak mengharapkan keuntungan dari Tohjaya itu.
Karena itu, untuk beberapa lamanya Lembu Ampal memperhatikan
setiap orang yang dianggapnya berpihak kepada Tohjaya
dengan setia. Terutama beberapa orang pasukan pengawal yang
oleh beberapa orang pemimpinnya disebut golongan Rajasa. Sedang
golongan yang lain, adalah pasukan Pelayan Dalam yang sebagian
terdiri dari orang-orang Sinelir.
Tetapi Lembu Ampal tidak segera mendapat kesempatan. Karena
itu ia masih harus menunggu dengan sabar sambil bersembunyi
626 agar mereka tidak lebih dahulu mempersiapkan diri untuk
menangkapnya apabila ia dapat terlihat oleh prajurit yang manapun
juga. Sementara masih harus menunggu kesempatan. Lembu Ampal
sengaja ingin menimbulkan sedikit keributan di kota Singasari, agar
dengan demikian para prajurit dan rakyat Singasari menjadi saling
mencurigai. Dengan demikian rencananya akan dapat berjalan
sebaik-baiknya. Demikianlah, maka pada suatu malam Singasari telah dikejutkan
oleh api yang menjilat sampai kelangit. Tidak banyak orang yang
mengetahui, bagaimana asal mulanya. Tetapi tiba-tiba saja kota
Singasari telah dibakar oleh cahaya kemerah-merahan.
Ternyata api itu telah membakar sebuah rumah yang besar dan
berhalaman luas. Rumah seorang Senapati yang sudah lama tidak
nampak di istana, bahkan tidak dapat diketemukan di sudut-sudut
kota Singasari. Rumah itu adalah rumah Lembu Ampal sendiri.
Setelah rumahnya dikosongkan dengan menyembunyikan
penghuni-penghuni yang lain, maka Lembu Ampal telah
mengorbankan rumahnya sendiri. Ia meletakkan beberapa batang
tulang lembu di sudut-sudut rumahnya yang terbakar itu, sehingga
bekas-bekasnya masih nampak. Tetapi ketika kemudian api padam,
tidak seorang pun yang dapat membedakan, sisa-sisa tulang itu
dengan sisa-sisa tulang manusia.
Ternyata bahwa kebakaran itu telah menimbulkan kegemparan.
Bukan saja penduduk di sekitarnya yang berusaha memadamkan api
yang menjilat sampai kelangit itu, tetapi juga beberapa orang
Senapati dan Panglima memerlukan datang, justru karena rumah itu
adalah rumah Lembu Ampal, seorang Senapati yang telah hilang
bersama hilangnya dua orang anak-anak muda dari lingkungan
keluarga istana. "Siapakah yang telah melakukannya?" bertanya seorang Senapati
kepada kawan-kawannya. 627 Tetapi yang lain hanya dapat menggelengkan kepalanya. Tidak
seorang pun yang dapat mengatakannya.
"Apakah kebakaran ini disengaja atau karena kelalaian saja?"
desis yang lain. Kawannya pun hanya dapat menggelengkan kepalanya, pula.
Namun mereka mencoba untuk mencari sebab dari kebakaran
itu. Mereka mencoba meneliti bekas-bekas api. Tetapi mereka tidak
menemukan sesuatu yang dapat mereka jadikan petunjuk. Yang
mereka ketemukan hanyalah sisa-sisa alat-alat rumah tangga dan
beberapa potong tulang yang telah hangus.
Kebakaran itu ternyata benar-benar telah menimbulkan kejutan
bagi para pemimpin di Singasari. Mereka untuk beberapa hari
diliputi oleh teka teki. Justru karena rumah Lembu Ampal yang
terbakar, dan diketemukannya sisa-sisa tulang yang sudah hangus
sama sekali. "Apakah ada saling mendendam diantara para Senapati?"
pertanyaan itulah yang kemudian timbul, "Karena dendam itu tidak
dapat ditumpahkan kepada Lembu Ampal, maka keluarganyalah
yang menjadi korban Mereka terbakar hidup-hidup dirumah yang
musna ditelan api itu."
Seperti yang dimaksud Lembu Ampal, maka mulai timbullah
kecurigaan diantara para Senapati. Apalagi mereka yang sejak
semula dibayangi oleh kecemasan karena Mahisa Agni dan
pengawalnya tetap berada diistana.
"Apakah Mahisa Agni yang telah melakukannya?" bertanya salah
seorang dari para Senapati.
"Ia tidak meninggalkan bangsalnya malam itu." sahut yang lain,
"Jika ia yang merencanakannya, maka tentu ia telah meminjam
tangan orang lain." "Tentu ada diantara kita yang berpendirian lain."
628 Tetapi mereka tidak dapat menemukan, bahkan menduga pun
mereka tidak berani, siapakah yang telah melakukannya. Namun
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian, rasa-rasanya mereka saling memandang yang satu
dengan yang lain, seakan-akan ingin melihat dasar hati masingmasing
apakah diantara mereka ada yang dilekati oleh sikap yang
berbeda. Dalam pada itu, para pemimpin pemerintahan dan para
panglima telah memerintahkan untuk menyelidiki kebakaran yang
telah menelan habis rumah Lembu Ampal seisinya. Bahkan diantara
abu yang berserakan diketemukan beberapa potong tulang yang
telah hangus menjadi arang.
Diantara para pemimpin itu, Pranarajalah yang menjadi sangat
gelisah. Ia tahu pasti, bahwa Lembu Ampal adalah seorang Senapati
yang mendapat perintah untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, namun yang hilang pula hampir bersamaan waktunya
dengan kedua anak-anak muda yang hilang itu.
"Apakah Mahisa Agni mulai melakukan balas dendam." bertanya
Pranaraja di dalam hatinya. Tetapi itu pun ia masih dibingungkan
oleh pertimbangan-pertimbangan lain. "Agaknya Mahisa Agni tahu
pasti apa yang akan terjadi atas kedua anak-anak muda itu,
sehingga ialah yang telah menyembunyikannya dan kemudian
melepaskan dendamnya kepada Lembu Ampal." Bahkan kemudian
Pranaraja berdesis dengan dada yang berdebar-debar.
"Bahkan mungkin Lembu Ampal sendiri telah dibunuhnya dan
kemudian seluruh keluarganya pula."
Pranaraja menjadi ngeri. Dengan jantung yang berdentang-dentang
ia bertanya kepada diri sendiri. "Apakah akan datang saatnya
Mahisa Agni melepaskan dendam kepada orang-orang lain yang
tersangkut pada usaha pembunuhan kedua anak muda itu sehingga
aku pun akan mendapat giliran?"
Pranaraja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia masih belum
menemukan jawaban yang pasti terhadap kekalutan keadaan.
Namun demikian ia selalu berlindung dibalik pengawal yang sangat
kuat. Beberapa orang Senapati terperecaya yang dapat dibujuknya
selalu dekat padanya. 629 Bukan saja Pranaraja tetapi atas perintahnya pula, pengawalan
terhadap Tohjaya pun diperketat pula, karena Pranaraja pun
khawatir bahwa akan ada usaha balas dendam terhadap Tohjaya
dengan cara yang curang. Demikianlah, maka belum lagi peristiwa kebakaran rumah Lembu
Ampal itu menjadi tenang, maka Singasari telah digemparkan oleh
peristiwa yang lain. Peristiwa yang meskipun tidak menimbulkan
kerusakan apapun juga, tetapi benar-benar telah mengguncangkan
hati setiap orang yang melihatnya.
Pada malam itu, para peronda yang berjaga-jaga di depan
gerbang istana telah melihat seekor kuda putih dengan penunggangnya
yang berpakaian putih, berlari menyusur jalan kota.
Sejenak para peronda itu bagaikan mematung. Rasa-rasanya mereka
melihat seseorang yang pernah mendapat gelar Kesatria Putih.
Tetapi Kesatria Putih itu sudah tidak ada lagi, karena Anusapati
sudah terbunuh di arena sabung ayam.
Ternyata malam itu bukan saja para prajurit di pintu gerbang
yang melihatnya, tetapi beberapa tempat yang lain pun agaknya
dilalui pula Kesatria Putih itu.
Kehadiran Kesatria Putih yang tiba-tiba saja itu, ternyata tidak
kalah menggemparkan dari rumah Lembu Ampal yang terbakar.
Seakan-akan rakyat Singasari yang mulai merasakan kebekuan
pemerintahan itu melihat Anusapati kembali diantara mereka.
Anusapati yang telah hilang dari tahta pada saat ia sedang mulai
dengan usaha yang besar bagi kesejahteraan Singasari.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat menuduh, bahwa yang
telah berbuat itu adalah Mahisa Agni. Pada malam itu Mahisa Agni
yang merasa terlampau panas, duduk diantara para prajurit yang
bertugas di depan bangsalnya. Bahkan beberapa orang
pengawalnya duduk di serambi depan menghirup udara malam yang
sejuk. "Jika bukan Mahisa Agni, maka kita akan dapat dengan mudah
menangkapnya." berkata salah seorang Senapati. "Orang yang
630 berpakaian serba putih di atas kuda yang putih itu tentu sekedar
ingin menumbuhkan pertentangan di hati rakyat Singasari."
Agaknya pendapat itu disetujui oleh para Senapati yang lain,
bahkan oleh para pemimpin pemerintahan. Ketika para Panglima
kemudian mengadakan pembicaraan tentang orang berkuda itu,
maka mereka memutuskan untuk menangkap orang itu hidup-hidup.
"Mungkin ada sangkut pautnya dengan kebakaran rumah Lembu
Ampal itu." berkata salah seorang Panglima.
"Ya. Kita harus berusaha menangkapnya hidup." sahut yang lain.
"Karena itu, lengkapi setiap penjagaan dengan beberapa orang
prajurit berkuda, jika benar orang itu bukan Mahisa Agni, maka
orang berpakaian putih itu tentu tidak akan terlampau sulit untuk
ditangkap." Dengan demikian, maka jatuhlah perintah kepada setiap gardu
penjagaan terpenting di Singasari untuk melengkapi dengan
beberapa orang dari pasukan berkuda yang setiap saat siap untuk
mengejar orang yang berpakaian putih di atas kuda putih itu.
Dan perintah selanjutnya berbunyi. "Tangkap orang itu hidup.
Hanya jika keadaan memaksa kalian boleh membunuhnya."
Dengan jatuhnya perintah itu, maka setiap prajurit yang meronda
di malam hari menjadi semakin waspada. Setiap saat mereka dapat
bertemu dengan orang yang mengenakan pakaian serba putih itu.
Karena hal itu dianggapnya penting, maka para Panglima pun
memberitahukannya kepada Tohjaya. Tetapi ternyata Tohjaya justru
menjadi sangat marah. "Anusapati sudah mati. Aku sendiri yang membunuhnya."
teriaknya. "Bukan tuanku Anusapai." sahut salah seorang Panglima, "Karena
itulah kami sedang mencoba menyelidikinya."
Tohjaya memandang para Panglima itu dengan sorot mata yang
seolah-olah langsung menusuk kepusat jantung. Dan sejenak
631 kemudian ia berteriak pula. "Kalian sudah menjadi gila. Tidak ada
orang mati yang dapat hidup kembali. Tidak ada lagi Kesatria Putih."
"Tuanku." seorang Panglima mencoba menjelaskan dengan hatihati,
"Bukan maksud kami mengatakan bahwa tuanku Anusapati
yang telah mati itu hidup kembali dan mulai lagi dengan
pengembaraannya sebagai Kesatria Putih. Tetapi tentu ada orang
lain yang mencoba untuk memancing kekeruhan. Apakah Tuanku
dapat mengerti maksud kami."
"Kalian terlalu bodoh untuk mengatasi persoalan yang paling
mudah sekalipun. Jika kalian tahu, kenapa kalian melaporkannya
kepadaku. Persoalan yang tidak berarti itu harus dapat kalian
selesaikan sendiri. Jika semua persoalan diserahkan kepadaku,
apakah artinya kalian semua" Apakah artinya aku mengangkat
kalian menjadi Panglima?"
Para Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, Tohjaya
benar-benar telah kehilangan dirinya sebagai seorang Maharaja
dari Singasari yang besar.
Tetapi tidak seorang Panglima pun yang mengetahui latar
belakang dari goncangan perasaan Tohjaya. Mereka tidak mengerti
bahwa Tohjaya mencari keseimbangan dari kejutan yang telah
membantingnya kedalam jurang yang paling dalam dengan sikapnya
yang aneh. Ia ingin mengingkari ketakutannya melihat dirinya
sendiri, melihat kehinaannya sendiri dengan tindakan- tindakan
yang seolah-olah menunjukkan kebesaran, kekuasaan yang
kelebihan-kelebihan yang lain.
Sementara itu, maka para Panglima itu pun kemudian mohon diri
meninggalkan Tohjaya sendiri, seperti yang sering dilakukannya.
Bahkan ibundanya pun menjadi sangat jarang berada di dalam
bangsalnya. Demikianlah selagi Singasari digoncang oleh keadaan yang
hampir tidak dapat diduga-duga itu, Tohjaya masih acuh tidak acuh
saja. Ia seakan-akan bersembunyi di dalam bangsal yang dikelilingi
oleh kolam yang dalam, yang dibuat oleh Anusapati.
632 Para Panglima yang kecewa itu terpaksa melakukan kuwajiban
atas keputusan mereka sendiri. Dan mereka pun harus mengambil
sikap sendiri atas peristiwa-peristiwa yang akan dapat menjadi
akibat dari tindakan mereka.
Betapapun para Panglima, para Senapati dan prajurit serta
pemimpin pemerintahan mencoba menjabarkan diri, karena sikap
Tohjaya, namun perlahan-lahan kekecewaan itu mulai tertimbun di
dalam dada mereka. Hanya karena mereka merasa bahwa mereka
adalah pendukung Tohjaya pada saat Tohjaya mengambil sikap
yang berbahaya dengan membunuh Anusapati sajalah maka mereka
tetap berusaha untuk memperbaiki keadaan yang rasanya menjadi
semakin parah. Para Panglima, Senapati dan pemimpin
pemerintahan itu tidak mau membiarkan Tohjaya runtuh karena
perubahan yang terjadi atas dirinya,. Jika demikian, maka akan
timbul kekuatan baru di dalam pimpinan pemerintahan Singasari.
Jika pimpinan yang baru itu tidak sejalan dengan Tohjaya, maka
mereka pun akan ikut serta menanggung akibatnya, karena mereka
adalah pendukung-pendukung Tohjaya.
Itulah sebabnya, maka mereka harus menyelamatkan Tohjaya
meskipun Tohjaya bagi mereka tidak lebih dari seorang yang sudah
menjadi orang yang kehilangan pengamatan diri.
Demikianlah para prajurit di Singasari bersiaga sepenuhnya untuk
menangkap orang yang berpakaian serba putih diatas kuda putih
pula seperti yang pernah disaksikan pada masa Anusapati masih
menjadi Pangeran Pati. Dan perintah yang harus mereka lakukan
adalah menangkap orang itu hidup-hidup untuk diperas
keterangannya tentang bermacam-macam hal yang mulai
menyuramkan ketenangan Singasari.
Tetapi ternyata untuk beberapa malam, tidak seorang pun yang
melihat kuda putih dengan penunggangnya yang berpakaian putih
pula. Meskipun demikian, para prajurit sama sekali tidak lengah.
Setiap saat kuda putih itu akan dapat muncul.
Ternyata seperti yang mereka duga, maka pada malam yang
gelap, para peronda di ujung jalan kota melihat seekor kuda putih
633 yang berderap di muka gerbang. Tetapi kuda itu tidak masuk ke
dalam kota. Kuda itu hanya melintas dan kemudian menyusur jalan
di luar gerbang dan menghilang di dalam gelap.
Namun kehadirannya itu telah membangunkan para penjaga
yang memang sedang menunggu dengan terkantuk-kantuk. Beberapa
orang prajurit berkuda segera bersiaga disamping kuda
mereka. Namun kuda putih yang muncul dengan tiba-tiba dan
menghilang itu tidak lewat di jalan itu lagi.
"Beritahukan kepada setiap gardu disegala penjuru." perintah
pemimpin penjaga gerbang itu.
Dengan demikian, maka beberapa ekor kuda pun kemudian
berderap di jalan-jalan kota. Mereka memencar kesegala penjuru
kota. Kepada setiap prajurit di gardu-gardu peronda, penunggang
kuda itu memberitahukan, bahwa mereka telah melihat kuda putih
dengan penunggangnya yang serba putih.
Para prajurit berkuda diseluruh gardu peronda pun kemudian
mempersiapkan diri dan kuda mereka. Setiap saat mereka harus
meloncat kepunggung kuda masing-masing untuk mengejar orang
yang mencoba menghidupkan kembali Kesatria Putih yang sudah
tidak ada lagi itu. Tetapi sampai lewat tengah malam, tidak seorang pun yang
melihat kuda putih itu lagi. Meskipun demikian para prajurit masih
tetap bersiaga sepenuhnya.
Namun para prajurit telah dikejutkan oleh suara tengara, yang
mulai terdengar justru dari tengah-tengah kota Tengara yang sudah
mereka sepakati bersama untuk memberikan tanda apabila ada
diantara mereka yang melihat orang berpakaian putih diatas kuda
putih. Suara tengara itu pun segera menjalar dari gardu yang sampai ke
gardu yang lain, sehingga dalam waktu yang pendek, seluruh kota
telah terbangun oleh suara tengara yang merobek sepinya malam.
634 Tetapi sebelum para prajurit yang berada di regol menyadari
sepenuhnya, apa yang harus mereka lakukan menghadapi orang
yang hampir serupa dengan Kesatria Putih itu, maka para prajurit
itu terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja seperti loncatan lidah api
dilangit, seekor kuda putih berderap dengan lajunya. Dua orang
yang meloncat ketengah jalan sambil menyilangkan tombak mereka,
terpaksa meloncat kembali menepi, karena kuda itu berlari justru
semakin kencang. Namun pasukan berkuda yang sudah siap itu tidak membiarkan
orang yang memang mereka tunggu-tunggu itu lewat begitu saja.
Apalagi mereka pun sebenarnya memang sudah siap menghadapi
kemungkinan itu. Karena itu, maka beberapa orang diantara mereka
pun segera berloncatan ke atas punggung kuda dan berderap
dengan lajunya menyusul orang yang berpakaian serba putih di atas
kuda putih itu. Di dalam malam yang kelam, lima orang dari pasukan berkuda
telah mengejar seorang yang melarikan kudanya di tengah-tengah
bulak yang panjang sekali. Suara kaki-kaki kuda itu gemeretak
memecah sepinya malam. Ternyata bukan hanya lima orang prajurit itu saja yang mengejar
orang yang berpakaian putih itu. Tetapi beberapa orang yang lain
dari gardu yang lain pun segera menyusul pula. Meskipun mereka
tidak dapat melihat lagi orang yang mereka kejar, namun mereka
dapat menyusuri jejak kaki-kaki kuda yang sedang berkejaran itu.
Dalam pada itu, orang yang berpakaian putih itu pun melarikan
kudanya dengan sekencang-kencangnya. Agaknya baik orang yang
berpakaian putih maupun kuda putih yang dinaikinya sudah
mengenal jalan itu dengan baik, sehingga kuda itu dapat berlari
seperti angin. Tetapi prajurit berkuda itu pun telah mengenal jalan itu dengan
sebaik-baiknya pula. Kuda-kuda mereka pun tidak kalah tegarnya
dengan kuda putih yang dikejarnya. Sehingga karena itu, maka
kuda putih itu tidak berhasil memperpanjang jarak diantara mereka
yang sedang saling berkejaran itu.
635 Bahkan kemudian ternyata, bahwa prajurit berkuda itu berhasil
memperpendek jarak diantara mereka. Dengan geram, prajuritprajurit
itu sekali-sekali melecut kudanya yang rasa-rasanya berlari
terlalu lambat. Orang berpakaian putih itu tidak dapat mempercepat lari
kudanya, la terpaksa menerima kenyataan, bahwa kuda para prajurit
yang memang dipilih dari puluhan kuda yang tegar dan kuat
itu, ternyata berlari lebih cepat dari kudanya.
"Berhenti." seorang prajurit yang berlari dipaling depan kemudian
berteriak sekuatnya ketika jarak mereka tidak terlampau jauh.
Tetapi orang berpakaian putih itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan ia berusaha mempercepat lari kudanya.
Tetapi ia tidak berhasil.
Lima orang prajurit berkuda itu menjadi semakin dekat Mereka
sudah hampir pasti, bahwa mereka akan dapat menangkap orang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian putih itu. "Asal bukan tuanku Mahisa Agni." berkata para prajurit itu di
dalam hatinya, "Jika orang itu tuanku Mahisa Agni, maka satu atau
dua orang dari antara kami harus segera kembali melaporkan
kepada para Panglima, agar mereka dapat segera mengambil
tindakan." Para prajurit itu pun menjadi semakin dekat. Sekali lagi yang
berpacu paling depan berteriak pula "Berhenti. Kami akan berbicara
jika kau berhenti." Tetapi kuda putih itu berlari terus meskipun jaraknya justru
menjadi semakin pendek. "Ki Sanak." teriak prajurit berkuda itu, "Berhentilah. Kau belum
berbuat apa-apa, sehingga karena itu kau belum dapat dinyatakan
bersalah. Karena itu berhentilah dan kita akan berbicara."
Agaknya teriakan itu didengar oleh orang berpakaian putih diatas
kuda putih itu. Ternyata ia beiteriak. "Apakah jiminanmu?"
636 "Kami berjanji tidak akan berbuat apa. Kami hanya ingin
mendapatkan keterangan saja."
Orang berkuda putih itu tidak menjawab. Namun kudanya yang
sudah diperlambat sedikit itu, tiba-tiba telah dilecutnya sehingga
kuda itu bagaikan meloncat terbang di dalam gelapnya malam.
"Gila." geram para prajurit itu. Namun kuda mereka adalah tetap
kuda yang lebih baik, sehingga jarak itu pun benar-benar telah
menjadi semakin pendek. Beberapa ekor kuda yang berkejaran itu masih menyusuri bulak
yang sangat panjang. Tetapi sebentar lagi mereka akan memasuki
sebuah padukuhan yang kecil. Padukuhan yang tidak begitu banyak
dihuni orang meskipun dikelilingi oleh sebuah bulak yang subur.
"Jangan sampai kuda putih itu mencapai padukuhan dihadapan
kita." geram prajurit berkuda dipaling depan, "Agar ia tidak
mendapat kesempatan untuk melarikan diri dengan melepaskan
kudanya dan bersembunyi."
Prajurit-prajurit berkuda yang lain pun mempunyai pendapat
yang sama pula. Sebaiknya mereka mencegah kuda putih itu
memasuki padukuhan dihadapan mereka. Namun salah seorang
mereka berdesis kepada diri sendiri. "Tetapi kuda putih itu
mempunyai kaki seperti kudaku ini. Dan penunggangnya tentu
mempunyai pendirian yang berlawanan."
Karena itu, kuda-kuda ku masih tetap berkejaran. Rasa-rasanya
para prajurit itu ingin terbang mengejar kuda putih itu sebelum
mencapai padukuhan. Tetapi mereka ternyata tidak berhasil. Kuda putih itu seakanakan
mampu berlari lebih cepat. Sehingga karena itu, maka prajurit
dipaling depan mengumpat, "Gila. Berhenti, atau kami akan
membunuhmu." Tidak ada jawaban. Namun kuda putih itu bagaikan hilang ditelan
oleh mulut lorong yang gelap di hadapan mereka.
637 Tetapi jarak antara kuda perajurit yang mengejarnya itu sudah
tidak begitu jauh lagi. Agaknya tidak ada kesempatan bagi orang
berkuda putih itu untuk meloncat turun dan berlari bersembunyi di
padukuhan kecil itu. Karena itu maka para prajurit itu memacu kudanya semakin
cepat. Namun di dalam padukuhan, gelap malam rasa-rasanya semakin
mencekam. Itulah sebabnya, maka kuda-kuda itu tidak dapat berlari
terlampau cepat, agar kakinya tidak terantuk dinding batu di
sebelah menyebelah jalan. Tikungan yang tajam di dalam
padukuhan itu kadang-kadang terasa sangat mengganggu, sehingga
kadang-kadang kuda mereka harus berlari sangat lamban.
Tetapi padukuhan itu memang tidak begitu besar. Sebentar lagi
mereka akan segera lewat dan kuda putih itu harus muncul di bulak
panjang di seberang padukuhan kecil itu.
Kuda putih itu memang tidak dapat ingkar. Sejenak kemudian
maka seekor kuda putih berlari keluar dari padukuhan itu dengan
penunggangnya yang berpakaian serba putih.
Tetapi darah para prajurit yang mengejarnya itu bagaikan
berhenti mengalir Ketika mereka telah muncul dari lorong gelap di
padukuhan itu, maka mereka melihat dihadapan mereka, bukan
hanya seekor kuda putih berlari kencang sekali, tetapi kini ada dua
ekor kuda putih yang berlari berurutan di hadapan mereka.
"He." geram prajurit di paling depan, "Apakah mataku sudah
kabur?" "Apakah yang kau lihat?" bertanya prajurit yang berpacu di
belakangnya. "Dua ekor kuda putih."
"Ya. Aku juga melihat dua ekor kuda putih."
"Apakah kita sedang mengejar hantu?"
638 Tidak ada jawaban. Tetapi prajurit-prajurit itu bukannya menjadi
takut. Bahkan mereka sempat menilai keadaan yang sedang mereka
hadapi. Untuk meyakinkan kawan-kawannya prajurit yang ada di paling
depan sempat berteriak, "Jangan bermain-main seperti kanak-anak.
Aku tahu bahwa semuanya ternyata telah kalian rencanakan sebaikbaiknya.
Orang berkuda pulih yang pertama sengaja memancing
kami kepadukuhan kecil ini sedang yang lain telah siap lebih dahulu.
Demikian kawanmu masuk maka kalian berdua segera berpacu
beriringan." Tidak ada jawaban. Terapi kedua kuda putih di hadapan para
prajurit itu berpacu semakin kencang.
"Cegah mereka, jangan sampai memasuki padukuhan
berikutnya." berkata prajurit yang paling depan. "Mungkin seorang
kawannya telah siap menunggu di sana dengan kuda dan pakaian
yang serupa." Demikianlah maka para prajurit benar-benar berusaha untuk
menyusul kedua orang berkuda putih dihadapan mereka.
Agaknya kedua orang berkuda putih itu pun menyadari, bahwa
mereka tidak akan dapat lagi melepaskan diri dari para prajurit itu.
Kuda putih itu tidak setegar kuda pengejarnya.
Akhrinya orang-orang yang berkuda putih itu mengambil sikap
yang lain. Mereka tidak akan berlari terus, karena bagi mereka
sudah tidak akan ada gunanya lagi. Mereka akhirnya tentu akan
dapat disusul oleh pengejarnya.
Karena itu, maka ketika mereka sampai disimpang tiga di tengahtengah
bulak, terdengar orang berkuda putih yang di depan
memberikan isyarat. Dengan isyarat itu, maka penunggang kuda
yang dibelakang tidak lagi mengikuti derap kuda-kuda putih di
hadapannya. Kedua kuda putih itu pun berpisah di simpang tiga. Yang seekor
berbelok kekiri dan yang lain berbelok kekanan. Namun mereka
639 tidak untuk selanjutnya berusaha melarikan diri. Kedua
penunggangnya segera menarik kekang kuda mereka, sehingga
keduanya segera berputar menghadapi pengejarnya.
Disimpang tiga kelima orang prajurit yang sedang mengejar itu
pun termangu-termangu. Namun seorang yang pemimpin mereka
segera memberikan isyarat. Dua diantara mereka harus berbelok
kekiri dan tiga yang lain kekanan.
Benturan senjata pun kemudian tidak dapat dihindari lagi. Kelima
orang prajurit yang mengejar itu pun segera menyerang. Meskipun
mereka tidak ingin membunuh seperti yang diperintahkan kepada
mereka, namun karena kedua orang berpakaian putih di atas kuda
putih itu agaknya siap untuk melawan maka mereka pun siap
mempergunakan senjata pula.
Sambil bertempur, salah seorang prajurit itu berkata, "Kalian
tidak akan dapat menghindar lagi. Sejenak lagi akan datang
beberapa orang prajurit berkuda menyusul kami. Kami akan
menangkap kalian dan memperlakukannya dengan baik jika kalian
menyerah." Kedua orang berpakaian putih di atas kuda itu sama sekali tidak
menjawab. Mereka masih tetap bertahan. Keduanya sama sekali
tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah.
Demikianlah ketika pertempuran itu sedang berlangsung, maka
beberapa orang prajurit yang lain sedang berada di perjalanan
untuk menyusul kawannya yang sudah terlebih dahulu berpacu
memburu orang berkuda putih itu.
Namun sebagian dari para prajurit dengan tergesa-gesa masuk
kehalaman istana, dan langsung pergi ke bangsal Mahisa Agni.
Mereka ingin membuktikan apakah yang sedang berpacu di atas
kuda putih dan berlari dikejar oleh para prajurit itu orang lain atau
Mahisa Agni sendiri. Jika Mahisa Agni tidak berada dibanggailnya,
dan sedang memancing beberapa orang prajurit berkuda keluar
kota maka prajurit-prajurit yang sedang mengejarnya itu tentu tidak
akan pernah kembali. 640 Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit yang masuk
kehalaman istana dan langsung pergi kebangsal Mahisa Agni itu pun
telah siap dengan rencana yang apabila terpaksa akan mereka
lakukan. "Jika Mahisa Agni sendiri yang berada di atas kuda putih itu,
maka kita akan menangkap tuan puteri Ken Dedes. Kita akan
membawanya dan memaksa Mahisa Agni menyerah." berkata
Senapati itu. Namun seorang prajurit yang sudah agak lanjut usia mengerutkan
keningnya sambil berkata, "Bukankah tuanku Ken Dedes
sudah menjadi semakin tua dan sakitkan. Umurnya tentu sudah
tidak akan terlalu panjang lagi. Adalah kurang bijaksana jika
melibatkan orang yang sedang sakit dan sudah terlalu lemah di
dalam hal ini." "Aku tidak peduli. Tetapi Singasari harus diselamatkan. Jika
Mahisa Agni mencoba untuk memaksakan kehendaknya dengan
cara yang gila kenapa kita tidak berbuat seperti itu juga."
"Tetapi orang berkuda putih itu berbuat dengan jantan.
Maksudku, ia dengan berani menengadahkan dadanya untuk
melawan para prajurit."
"Persetan." bentak Senapati itu.
Prajurit itu tidak berani membantah lagi. la adalah seorang
prajurit yang hanya dapat tunduk kepada perintah pimpinannya.
Demikianlah dengan dada yang berdebar-debar. Senapati itu
pergi langsung kepintu depan. Kepada para penjaga ia menanyakan
apakah mereka melihat Mahisa Agni dalam hubungannya dengan
orang berkuda putih itu. "Pintu itu tertutup sejak senja mulai gelap." jawab para penjaga.
Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus
meyakini, apakah Mahisa Agni ada atau tidak di dalam bangsalnya.
641 Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bangsal itu. Ketika seseorang
menyahut, maka Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika pintu itu terbuka, ternyata yang berdiri di muka pintu
bukan Mahisa Agni. Tetapi seorang pengawalnya yang masih saja
mengalungkan secarik kain putih dilehernya.
"Apakah tuanku Mahisa Agni ada?" bertanya Senapati itu.
"Kenapa dengan tuanku Mahisa Agni." bertanya orang yang
membuka pintu itu. "Ada pesan yang harus aku sampaikan."
"Baru saja tuanku Mahisa Agni dapat tidur. Aku tidak berani
membangunkannya." Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar. la sudah mulai
berangan-angan. Jika Mahisa Agni benar-benar berkuda putih dan
berpacu keluar kota maka pasti sudah mulai terjadi pembunuhan
yang mengerikan. Seorang demi seorang prajurit yang mengejarnya
akan terlempar dari kuda dan untuk selamanya tidak akan
terbangun lagi. "Tetapi." berkata Senapati itu seterusnya, "Aku perlu sekali
bertemu. Aku mendapat pesan langsung dari tuanku Tohjaya. Aku
harus menyampaikannya sekarang."
Orang yang berkain putih dilehernya itu termangu-mangu sejenak,
lalu, "Tetapi aku tidak berani membangunkannya. Semalam
suntuk tuanku Mahisa Agni tidak dapat tidur. Baru menjelang dini
hari, ia dapat memejamkan matanya."
"Tetapi aku membawa pesan Maharaja Singasari."
Ketika Senapati itu melihat orang berkain putih dilehernya itu
masih belum beranjak, ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia masih
belum pasti, sehingga katanya, "Ki Sanak. Jika kau tidak berani
membangunkan, biarlah aku yang membangunkannya."
642 Orang itu nampak ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian berkata,
"Apakah ada bedanya" Jika kau yang membangunkannya, ia pun
pasti merasa terganggu."
"Tetapi aku mengemban perintah." jawab Senapati yang mulia
kehilangan kesabarannya itu.
Sementara orang yang berdiri di muka pintu dengan kain putih di
lehernya itu masih ragu-ragu, terdengarlah suara dari dalam.
"Siapakah orang itu?"
Tiba-tiba Senapati yang berdiri diluar pintu itu menarik nafas
dalam-dalam. Di dalam keremangan cahaya lampu minyak di dalam
bangsa itu, ia melihat Mahisa Agni yang agaknya memang
terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
"Apakah pesan itu?" bertanya Mahisa Agni, "Dan siapakah kau?"
Senapati itu memandang Mahisa Agni dengan saksama, seolaholah
ia ingin meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar
Mahisa Agni. "He, siapakah kau?" Mahisa Agni mengulangi.
"Aku adalah Senapati yang sedang bertugas atas pengamanan
kota pada malam ini." berkata Senapati itu.
"Apa maksudmu mencari aku?"
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun
berkata, "Tuan. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Karena tuan
mengetahui dengan pasti rentang Kesatria Putih pada masa Tuanku
Anusapati masih menjadi Pangeran Pati, maka apakah tuan tidak
berkeberatan jika aku bercerita tentang orang yang mirip dengan
Kesatria Putih itu pada saat ini."
"O." Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Ceriterakan dan
kemudian sebut, apakah yang kau tanyakan kepadaku itu."
Senapati itu pun kemudian menceriterakan penglihatan beberapa
orang prajurit tentang Kesatria Putih yang sudah pasti bukan tuanku
Anusapati yang sudah meninggal itu.
643 "Apakah taun dapat menduga, siapakah yang kini menyamarkan
diri menjadi Kesatria Putih itu dan apakah maksudnya" Apakah hal
ini ada hubungannya dengan hilangnya tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka beberapa waktu yang lalu dan kemudian
kerusuhan yang timbul akhir-akhir ini?"
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian ia pun
menggeleng sambil berkata, "Sayang. Aku belum dapat mengatakan
sesuatu tentang hal itu. Aku harus sempat melihatnya dahulu.
Apakah orang yang berpakaian serba putih itu kini ada di dalam
kota?"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak tuan." jawab Senapati itu, yang kemudian menceriterakan
tentang orang berkuda putih yang berpacu menembus para penjaga
di regol dan seperti angin menuju keluar kota.
"Aku tidak mengetahuinya. Apakah aku perlu mengejarnya dan
mencarinya?" bertanya Mahisa Agni.
"Tidak tuan. Bukan maksud kami. Kecuali jika para prajurit dan
Senapati sudah tidak sanggup lagi menangkap, maka segala sesuatu
akan kami serahkan kembali kepada tuan dan tuanku Tohjaya.
Namun selama masih ada kemungkinan para prajurit dan Senapati
melakukannya, maka biarlah kami akan melakukannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Beritaukan kepadaku jika kalian memerlukan aku."
Senapati itu pun kemudian minta diri. Ditinggalkannya bangsal itu
dengan dada yang berdebar-debar.
"Sudah pasti bukan Mahisa Agni." desis Senapati itu, "Dengan
demikian maka orang berkuda putih itu pasti akan dapat ditangkap.
Ia akan dapat diperas untuk memberikan banyak keterangan
tentang keadaan terakhir."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk mengiakan, jika orang
berkuda putih itu bukan Mahisa Agni, maka ia tidak akan dapat
melepaskan diri dari tangan prajurit-prajurit berkuda yang terpilih,
yang sudah dipersiapkan untuk menangkapnya.
644 Namun dalam pada itu, prajurit berkuda yang sudah berhadapan
dengan orang yang berpakaian serba putih itu ternyata mendapat
kesan yang lain. Orang berkuda putih itu tidak segera dapat
ditundukkannya. Bahkan perlawanannya semakin lama menjadi
semakin gigih. "Gila." teriak pemimpin kelompok kecil prajurit berkuda yang
sedang bertempur melawan dua orang berkuda putih yang berada
di jalan yang berlainan arah di s impang tiga, "Agaknya kalian benarbenar
ingin mati." Tidak seorang pun dari kedua orang berkuda putih itu yang
menjawab. Tetapi mereka tetap bertempur melawan prajurit yang
akan menangkapnya. "Cepat." teriak pemimpin prajurit itu, "Jika kami kehilangan
kesabaran, maka kalian akan kami cincang di simpang tiga ini.
Tubuh kalian yang tersayat-sayat akan menjadi tontonan orang
yang sebentar lagi akan lewat di jalan ini setelah fajar agaknya
sudah mulai nampak memerah."
Tiba-tiba saja salah seorang berkuda putih itu berkata, "Jangan
mengigau. Kalian tidak akan dapat menangkap kami. Kami adalah
Kesatria Pulih, penjelmaan dari tuntutan kebenaran dari Kesatria
Putih yang pernah kalian saksikan beberapa saat yang lalu."
"Omong kosong. Menyerahlah, atau mati. Kalian jangan
menganggap kami anak-anak yang takut melihat mayat yang hidup
kembali. Karena itu apa pun yang kau katakan tentang Kesatria
Putih itu sebenarnyalah tidak ada hubungan apa pun dengan kalian,
kecuali suatu usaha yang gagal untuk mempengaruhi kami dengan
mempergunakan nama seseorang yang telah tidak ada lagi di
Singasari, bahkan di dunia ini."
"Kami akan membuktikan." sahut salah seorang yang berpakaian
putih itu. "Jika kalian berkeras, apa boleh buat jika kalian terpaksa mati di
peperangan ini dan tubuh kalian akan aku seret di belakang kaki
kuda kami sebagai pengewan-ewan di Singasari."
645 "Manapun yang akan kau lakukan sama sekali tidak menarik.
Dicincang di simpang tiga ini untuk menjadi tontonan orang-orang
lewat, atau diseret di belakang kaki kuda untuk menjadi pengewanewan
di kota, sama-sama tidak kami ingini. Kami adalah Kesatria
Putih yang akan menuntut kematian Kesatria Putih yang pernah
menyelamatkan Singasari dari kejahatan."
"Persetan." pemimpin prajurit berkuda itu menggeram.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin
seru. Prajurit-prajurit berkuda itu menjadi semakin garang. Bahkan
mereka hampir melupakan perintah untuk apabila mungkin
menangkap Kesatria Putih itu hidup-hidup.
Namun agaknya kedua orang berpakaian putih itu benar-benar
mampu menjaga dirinya. Kelima orang prajurit berkuda yang pilihan
itu tidak banyak dapat berbuat sesuatu atas mereka. Seranganangan
prajurit berkuda itu tidak pernah berhasil menyentuh
lawannya. Karena itulah maka kelima orang prajurit berkuda itu menjadi
semakin lama semakin marah. Rasa-rasanya kedua orang
berpakaian putih diatas kuda putih itu dengan sengaja mempermainkan
mereka. Meskipun jalan tidak begitu luas tetapi mereka
berhasil hilir mudik diantara lawannya. Demikian tinggi kemampuan
mereka bermain pedang, sehingga mereka bagaikan dengan
mudahnya mampu menyusup diantara pedang lawan-lawannya.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit berkuda yang menyusul
di belakang mereka, semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Mereka dengan mudah dapat mengenali jejak prajurit yang
mendahuluinya. Meskipun demikian, mereka tidak dapat berpacu
secepat kuda yang saling mengejar di jalan itu pula, beberapa saat
yang lampau, dan yang kemudian berhenti dan bertempur dengan
sengitnya. Tetapi jalan lurus terbentang di hadapan mereka. Tidak ada jalan
lain yang dapat ditempuh sebelum mereka mencapai simpang tiga
di seberang sebuah padukuhan kecil.
646 Dengan demikian kuda para prajurit yang menyusul itu pun dapat
berpacu lebih cepat. Mereka menyusup sebuah padukuhan kecil dan
kemudian muncul lagi disebuah bulak panjang.
Malam semakin lama menjadi semakin menipis. Cahaya yang
kemerah-merahan menyala di langit sebelah timur, sehingga, bulak
itu pun rasanya menjadi semakin terang pula.
Karena itulah maka dari kejauhan mereka sudah dapat melihat
bayangan yang remang-remang bergerak-gerak di dalam kelamnya
pagi seperti bayangan yang bergerak-gerak di atas layar yang
kehitaman. "Itulah mereka." desis pemimpin kelompok itu, "Agaknya mereka
sedang bertempur di tengah- tengah bulak."
"Ya, Marilah. Kita harus menangkap mereka."
Demikianlah maka prajurit berkuda itu berpacu semakin cepat.
Debu yang putih terhambur di belakang kaki kuda mereka.
Sementara warna langit semakin lama menjadi semakin merah.
Dalam pada itu kedua orang berpakaian putih diatas kuda putih
itu pun semakin lama semakin garang. Ia melihat warna langit yang
semakin merah. Karena itu maka mereka pun menyadari, bahwa
waktu mereka akan menjadi semakin sempit.
Apalagi ketika mereka sempat melihat di dalam samar-samar,
beberapa orang berkuda mendekati arena pertempuran itu, maka
mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat bermainmain
lebih lama lagi. Namun dalam pada itu, para prajurit berkuda yang berusaha
menangkap kedua orang itu pun merasa bahwa mereka akan segera
dapat menyelesaikan tugas mereka apabila kawan-kawan mereka itu
telah terjun pula di dalam pertempuran. Karena itu, mereka
berusaha agar kedua orang tidak dapat lepas dari ikatan
pertempuran. Bahkan pemimpin kelompok prajurit berkuda yang
sudah bertempur itu berkata, "Nah, apakah kalian berdua masih
dapat menyombongkan diri?"
647 Salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu menyahut,
"Kami tidak pernah menyombongkan diri kami."
"Kenapa kalian tidak menyerah?"
"Itu bukan suatu kesombongan. Boleh saja kau sebut sebagai
suatu bentuk ketakutan, karena sebenarnya kami takut dicincang
atau diseret dibelakang kudamu."
"Persetan." pemimpin kelompok itu menggeram.
Namun kedua orang berkuda putih itu semakin menyadari bahwa
waktu memang sudah terlampau sempit. Karena lagi maka salah
seorang dari keduanya berkata, "Sebentar lagi matahari akan terbit.
Kami adalah penghuni daerah malam hari. Karena itu, kami harus
segera menyingkir bersama turunnya pagi."
"Kalian tidak akan dapat lepas dari tangan kami." Tidak ada
jawaban. Tetapi salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu
tiba-tiba mengangkat pedangnya dan diputarnya beberapa kali.
Setiap orang yang melihatnya, menyadari, bahwa itu tentu suatu
isyarat. Karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati
dan bertempur semakin sengit. Apalagi sementara itu kawan-kawan
mereka telah menjadi semakin dekat.
Tetapi adalah diluar dugaan mereka, ketika tiba-tiba saja kedua
orang berpakaian putih itu bagaikan menyerbu langsung ke tengahtengah
mereka. Begitu cepatnya sehingga hampir diluar
kemampuan gerak mereka. Yang terjadi kemudian benar-benar telah menggetarkan dada
para prajurit berkuda yang pilihan itu.
Dalam gerakan yang tidak terduga-duga tiba-tiba saja pedang
kedua orang berkuda putih itu bagaikan kilat yang menyambar
dilangit. Tiba-tiba saja terdengar senjata mereka berdentangan.
Bukan benturan yang menimbulkan buga api. Tetapi senjata para
prajurit berkuda itu tiba-tiba saja terlepas satu demi satu. Setiap kali
terdengar senjata gemerincing, maka sebilah pedang telah
terlempar dan jatuh di tanah.
648 "Gila." teriak pemimpin kelompok prajurit berkuda itu. Tetapi ia
tidak sempat meneruskan kata-katanya karena terasa pundaknya
disengat oleh perasaan sakit, dan tanpa dapat bertambahan lagi ia
terlempar dari, ia telah terlempar dari punggung kudanya.
Keempat kawatrnya benar-benar terkejut mengalami peristiwa
itu. Mereka bahkan bagaikan dicengkam oleh kebingunan sehingga
untuk beberapa saat mereka justru diam mematung.
Prajurit yang terjatuh dari kudanya itu menyeringai menahan
sakit. Ketika ia meraba pundaknya, terasa pundaknya sakit sekali.
Namun ia tidak menyentuh darah dipundaknya itu, sehingga ia pun
kemudian menyadari, bahwa orang berpakaian putih itu tidak
menusuk pundaknya dengan senjata, tetapi pundak itu telah
dipukulnya dengan tangannya.
Dalam pada itu, selagi pemimpin kelompok itu menahan sakit,
dan yang lain termangu-mangu tiba-tiba saja sekali lagi mereka
dikejutkan oleh serangan orang-orang berpakaian putih itu.
Yang kemudian terlempar bukan saya hanya satu atau dua orang
dari para prajurit itu, tetapi mereka berempat hampir bersamaan
waktunya telah terjatuh di atas tanggul parit di pinggir jalan.
Bahkan seorang diantaranya telah terjebur kedalam parit yang
sedang mengalir. Selagi mereka mengumpat-umpat, mereka telah dikejutkan sekali
oleh sesuatu yang hampir tidak mereka perhitungkan sebelumnya.
Ternyata orang-orang berpakaian putih berkuda putih itu telah
mengejutkan kuda-kuda mereka dengan sengaja, sehingga kudakuda
itu melonjak dan berlarian cerai berai.
"Kalian tidak akan dapat mengejar aku lagi." berkata salah
seorang dari orang berkuda putih itu.
"Gila." teriak pemimpin kelompok yang masih memegangi
pundaknya yang sakit, yang rasanya menjadi retak dan patah.
Tetapi kedua penunggang kuda putih itu tidak menghiraukannya.
Mereka pun kemudian meninggalkan orang-orang yang berteriakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
649 teriak sambil mengacukan tinju mereka. Tetapi mereka sadar,
bahwa tanpa kuda, mereka tidak akan dapat mengejar penunggang
kuda putih itu. Prajurit-prajurit itu menjadi semakin marah ketika dua orang
berkuda putih itu melambaikan tangan mereka sambil berpacu
meninggalkan prajurit-prajurit yang marah itu.
Sejenak kemudian, belum lagi derap kedua kuda putih itu hilang
dari telingan, mereka telah mendengar derap kaki kuda yang lain.
Mereka pun kemudian menyadari, bahwa kawan-kawan mereka
sebenarnya telah menjadi semakin dekat dan melihat apa yang
telah terjadi. Demikianlah, maka kelima orang itu hanya dapat berloncatan
menepi ketika kuda-kuda kawan-kawannya berpacu dengan cepatnya.
Para prajurit yang menyusul kemudian itu pun melihat kedua
orang berkuda patih itu melarikan diri. Karena itu mereka tidak mau
kehilangan. Tanpa berhenti sama sekali maka mereka pun berusaha
untuk mengejar kedua orang penunggang kuda putih itu.
Sekali lagi mereka saling bekejaran. Dua orang berpakaian putih
dan berkuda putih dikejar oleh sekelompok prajurit yang sedang
marah. Tetapi ternyata jarak mereka sudah terlampau jauh. Para prajurit
itu ternyata tidak segera dapat mendekati buruannya. Apalagi ketika
mereka melihat sebuah padukuhan yang besar dihadapan mereka.
Maka kedua penunggang kuda itu akan dengan mudah dapat
menyembunyikan dirinya dipadukuhan itu, atau berusaha
melenyapkan jejak kuda-kuda mereka di atas tanah berbatu-batu.
Meskipun demikian tetapi para prajurit itu tidak segera menjadi
berputus asa. Mereka berusaha untuk memacu kuda mereka lebih
cepat lagi. Tetapi semakin dekat mereka lebih cepat lagi. Tetapi
semakin dekat mereka dengan padukuhan hadapan mereka, maka
harapan prajurit itu pun menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, kelima prajurit yang ditinggalkan di tengahtengah
bulak hanya dapat menghentak-hentakkan tinju mereka.
650 Sejenak mereka memandang kuda kawannya yang berusaha
mengejar kedua orang berpakaian putih itu. Namun kemudian
mereka pun menarik nafas sambil berkata, "Orang gila. Mereka
berhasil melepaskan diri dari tangan kami."
Pemimpin kelompok kecil itu pun kemudian berjalan tersuruk--
suruk mencari senjatanya. Demikian pula kawannya yang lain.
Sambil menyarungkan senjata yang mereka ketemukan kembali
itu, salah seorang dari mereka berkata, "Orang gila. Apakah salah
seorang dari mereka itu Mahisa Agni?"
Pemimpin kelompok itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Aku tidak tahu. Tetapi kedua orang itu memiliki kemampuan yang
hampir sama dan ternyata jauh melampaui kemampuan setiap
prajurit Singasari."
Prajurit-prajurit itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka bertanya, "Kenapa mereka tidak membunuh
kita?" "Mereka tidak akan sempat melakukannya. Kawan-kawan kita
telah datang menyusul."
"Kenapa tidak." sahut yang lain, "Mereka sempat melemparkan
kita dari atas punggung kuda dengan tangan mereka. Jika mereka
ingin membunuh kita, maka mereka dapat mendorong kita dengan
pedang. Kita benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk
melawan. Bahkan kita tidak dapat melihat, apa yang mereka
lakukan. Baru kita sadar, ketika kita terlempar ke dalam parit."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk. Kini mereka mendapat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan untuk menilai lawan-lawan mereka. Bukan saja dalam
olah kanuragan. Tetapi ternyata orang-orang berkuda putih itu tidak
berusaha membunuh mereka.
"Aneh." kesan itulah yang membekas di hati kelima orang prajurit
yang masih saja termangu-mangu di tengah bulak.
651 Tetapi mereka tidak segera beranjak pergi. Mereka masih
menunggu kawan-kawan mereka yang mngejar kedua orang penunggang
kuda putih itu. Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu.
Mereka tidak akan dapat berlari mengejar penunggang kuda putih
dan kawan-kawan mereka yang sedang memburu kedua orang
berkuda putih itu. Namun sambil menunggu itulah kelima orang itu sempat
berbicara tentang diri mereka sendiri.
"Kenapa kedua orang itu tidak membunuh kami dengan
pedangnya." seorang dari mereka mengulang lagi, "Tentu bukan
karena tidak sempat. Tentu bukan suatu kesalahan, dan tentu
bukan karena tidak mampu. Tetapi mereka memang membiarkan
kita hidup." "Demikianlah agaknya. Jika salah seorang dari keduanya itu
Mahisa Agni, siapakah yang seorang lagi, yang mampu bertempur
dengan ilmu yang setingkat dengan Mahisa Agni itu?"
Kawannya tidak ada yang dapat menjawab. Peristiwa yang baru
saja mereka alami adalah peristiwa yang benar-benar tidak dapat
mereka mengerti. Di dalam pertempuran itu, lawannya sengaja
membiarkan mereka hidup. "Apakah mereka mengetahui bahwa kita pun tidak ingin
membunuh kedua orang penunggang kuda putih itu?" bertanya
salah seorang dari mereka.
"Tentu tidak. Dan bukankah kita sendiri sudah kehilangan niat
untuk menangkapnya hidup-hidup" Apalagi sejenak setelah kita
merasa tidak mampu lagi melakukannya. Aku sendiri rasa-rasanya
tidak ingat lagi bahwa aku akan menangkapnya, bukan
membunuhnya." Yang lain pun mengangguk-anggukkan kepala. Mereka dengan
jujur melihat kepada diri masing-masing, bahwa sebenarnyalah
mereka telah berusaha untuk membunuh orang-orang berkuda
652 putih itu, karena mereka merasa bahwa tidak akan ada kesempatan
sama sekali untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Sementara itu, beberapa orang prajurit yang lain sedang berpacu
mengejar kedua orang berkuda putih itu. Tetapi jarak mereka
agaknya terlalu jauh, sehingga mereka tidak dapat mencapai kedua
orang itu sebelum keduanya memasuki padukuhan yang besar di
hadapan mereka. "Mereka akan hilang di padukuhan itu." desis seorang prajurit
yang mengejar mereka. "Jika tidak sekalipun, kita akan sulit menangkap mereka. Jarak
kita terlalu jauh." Prajurit-prajurit itu sebelumnya merasa bahwa mereka pun tidak
akan mampu menangkap keduanya. Lima orang kawan mereka
sama sekali tidak berdaya. Apalagi jika kemudian kedua orang itu
menjebak mereka diantara sekelompok kawan-kawan oorang berkuda
putih itu. Karena itu, maka akhirnya pemimpin kelompok itu memutuskan
untuk menghentikan pengejaran. Dengan isyarat maka ia pun
menghentikan pasukannya setelah kedua orang berkuda putih itu
hilang di balik gerbang padukuhan.
"Kita tidak tahu apa yang ada dibalik padukuhan itu." berkata
pemimpin kelompok itu. Kawannya pun mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang
menjawab, "Apakah kita tidak mencoba memasukinya?"
"Dengan hati-hati." berkata yang lain.
Pemimpin kelompok itu pun mempertimbangkannya sejenak,
lalu, "Baiklah. Marilah kita mendekat."
Tetapi sekelompok prajurit itu menjadi sangat berhati-hati.
Mereka tidak berani memasuki padukuhan itu dengan kuda mereka
yang berpacu. Jika kedua orang yang ternyata memiliki ilmu yang
653 tinggi itu menjebak mereka maka akibatnya akan menjadi sangat
parah. Yang mula-mula memasuki regol itu adalah pemimpin kelompok
prajurit itu dengan seorang kawannya. Baru kemudian prajurit yang
lain dalam jarak beberapa langkah.
Namun ternyata mereka tidak menjumpai kedua orang berkuda
itu. Jalan di hadapan mereka adalah jalan yang lengang. Apalagi
hari masih gelap dan lampu masih tetap menyala di setiap rumah.
Prajurit-prajurit berkuda itu pun memasuki padukuhan itu semakin
dalam. Tetapi kuda mereka tidak berpacu lagi. Dengan hati-hati
pula mereka pun mendekati sebuah gardu perondan. Ketika masih
ada tiga orang di dalam gardu itu, maka mereka pun mendekatinya.
Kedatangan mereka membuat ketiga orang itu menjadi gemetar.
Sehingga karena itu maka ketiganya hampir tidak dapat beranjak
dari tempatnya. "He." bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.
"Ya, ya tuan." "Apakah kalian melihat dua ekor kuda putih lewat jalan ini?"
"Ya tuan." jawab salah seorang dari mereka, "Baru saja."
"Hanya dua?" "Ya tuan. Hanya dua. Mereka berpacu seperti dikejar hantu
sehingga kami menjadi kebingungan."
Pemimpin prajurit berkuda itu mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Keduanya adalah buruan prajurit Singasari. Sayang kalian
tidak berbuat apa-apa."
"O. Tetapi kami tidak mengetahuinya. Dan seandainya kami
mengetahuinya sekalipun, apakah yang dapat kami lakukan tuan.
Kami hanyalah peronda-peronda yang tidak dapat berbuat apa-apa
selain atas pencuri-pencuri kecil."
654 Prajurit-prajurit Singasari itu mengangguk-angguk. Mereka
menyadari bahwa yang ada di gardu itu adalah peronda-peronda.
Mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan para
peronda. Lima orang prajurit berkuda itu pun tidak berhasil
menahan dan apalagi menangkap kedua orang berkuda putih itu.
Pemimpin prajurit Singasari itu pun kemudian telah mengambil
keputusan dengan pasti. Mereka tidak akan dapat menangkap
kedua orang berkuda putih itu.
"Jika prajurit yang terdahulu dapat menahan keduanya untuk
waktu yang lebih panjang lagi, mungkin kita tidak akan kehilangan
mereka sama sekali." berkata pemimpin prajurit berkuda itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka pun
menyesali kegagalan itu. Jika mereka lebih cepat sedikit, maka persoalannya
akan berbeda. Sambil berkuda kembali, tiba-tiba saja pemimpin prajurit itu
bertanya, "He, kenapa yang kita hadapi dua orang berkuda putih?"
"Ya, dua orang. Laporan yang kita terima menyebutkan hanya
seorang. Dan bukankah Kesatria Putih itu hanya seorang?"
"Tetapi kita tidak berhadapan dengan Kesatria Putih. Kita
berhadapan dengan orang lain. Kita tidak tahu apakah salah
seorang dari mereka adalah Mahisa Agni."
Prajurit-prajurit itu pun kemudian terdiam. Mereka tenggelam di
dalam angan-angan masing-masing. Mereka mencoba untuk
mencari-mencari jawaban, siapakah yang berkuda putih dan bahkan
dua orang itu. Ketika prajurit berkuda itu sampai di bulak panjang, maka
mereka masih melihat kelima orang prajurit yang kehilangan kuda
mereka masih berada ditempatnya. Agaknya mereka sedang
menunggu. Namun ternyata diantara mereka kemudian terdapat
dua orang penunggang kuda yang lain.
"Siapakah yang telah menyusul kita?" bertanya prajurit itu.
655 "Dua orang prajurit pengawal." desis yang lain.
Sebenarnyalah bahwa dua orang prajurit telah menyusul mereka
yang mendahului untuk mengejar orang berpakaian putih dan
berkuda putih itu. Maka ketika para prajurit yang kembali dengan kegagalan itu
sampai diantara kawan-kawan mereka, segera mereka bertanya,
"Apakah ada pesan yang dibawa oleh kedua orang itu."
"Kami hanya akan memberikan kepastian." jawab salah seorang
dari keduanya, "Bahwa orang berpakaian putih itu bukan Mahisa
Agni. Mahisa Agni masih tetap benda di bangsalnya bersama
beberapa orang pengawalnya."
"Keduanya bukan Mahisa Agni?" bertanya pemimpin prajurit yang
menghentikan pengejaran itu.
"Keduanya. Tetapi itulah yang aneh, bahwa ada dua orang
penunggang kuda putih yang dalam pakaian putih. Tentu keduanya
adalah orang yang berlainan."
"Tentu. Apakah kau sedang bermimpi?"
"Aku hanya ingin mengungkapkan keherananku bahwa ada dua
orang yang memakai pakaian putih itu."
"Tetapi dengan demikian kita dapat menduga, bahwa yang kita
hadapi bukannya sekedar seorang yang mencoba untuk
membangunkan kembali kenangan atas Kesatria Putih. Tetapi
benar-benar telah membentuk sekelompok orang dalam sikap yang
pasti." "Dan itu adalah sangat berbahaya."
"Kita akan melaporkan kepada para Panglima." Prajurit-prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi mereka dibayangi oleh
keragu-raguan karena sikap Tohjaya yang tidak berkepastian.
Demikianlah maka prajurit-prajurit itu pun segera kembali ke
dalam kota. Yang kehilangan kudanya ikut di belakang kawannya
656 yang datang kemudian. Namun dengan demikian kuda itu tidak
dapat berlari terlalu cepat.
Ternyata peristiwa itu menjadi bahan pembicaraan yang menarik
bagi setiap prajurit. Apalagi para Senapati dan para Panglima.
Mereka dihadapkan pada kenyataan, bahwa meski pun orang
berkuda putih itu bukan Mahisa Agni, namun memiliki kemampuan
yang jauh lebih tinggi dari kemampuan para prajurit pilihan.
Seperti yang dilaporkan oleh kelima prajurit yang kehilangan
keduanya, bahwa kedua orang berpakaian putih itu dengan sengaja
tidak membunuh mereka yang sudah kehilangan kesempatan untuk
melawan. Bahkan dengan tangan mereka dapat melemparkan
prajurit-prajurit itu dari kudanya. Padahal mereka adalah prajurit
dan pasukan berkuda yang seakan-akan telah menjadi satu dengan
kuda-kuda mereka di peperangan. Namun mereka tidak mampu
berbuat apa-apa dan terlempar jatuh, sehingga mereka telah
kehilangan kuda mereka. Para Panglima pun tidak dapat memalingkan kenyataan itu.
Mereka harus dengan sungguh-sungguh menghadapi keadaan yang
menjadi gawat. Kebakaran yang membuat suasana kota menjadi
tegang itu masih belum terungkapkan, maka mereka sudah
dagoncangkan oleh peristiwa berikutnya. Namun sebagian terbesar
rakyat Singasari menarik garis hubungan antara kedua peristiwa itu
meskipun ternyata tidak menemukan hubungan vang sebenarnya.
Bahkan sebagian dari mereka justru menganggap kebakaran di
rumah Lembu Ampal adalah dendam atas hilangnya Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka disusul oleh lenyapnya Lembu Ampal.
Namun bahwa kelima prajurit yang dikalahkan oleh kedua orang
berpakaian putih itu sama sekali tidak mengalami cidera itu pun
mendapat perhatian pula dari para Panglima dan Senapati.
"Orang itu memang ingin membangunkan ingatan kita kepada
kesatria putih." berkata seorang Senapati, "Dan mereka sedang
berusaha menarik perhatian dan pengaruh atas prajurit Singasari."
657 Beberapa orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pun sependapat bahwa tentu ada usaha yang
lebih jauh dari pembakaran rumah dan sekedar mempertunjukkan
kelebihan olah kanuragan.
"Satu hal yang menarik, bahwa Mahisa Agni tidak terlibat
kedalamnya. Ternyata bahwa ia masih tetap berada di bangsalnya."
berkata Senapati yang lain.
"Betapa pun tinggi ilmu kedua orang berkuda putih itu, tetapi aku
kira mereka masih belum menyamai Mahisa Agni." sahut yang lain.
"Jadi, apa maksudmu?"
"Bagaimana jika kita pada suatu saat dapat mempergunakan
Mahisa Agni?" Pertanyaaan yang tiba-tiba saja timbul itu justru menegangkan
setiap orang yang mendengarnya. Beberapa orang saling
berpandangan sejenak. Lalu salah seorang Senapati berkata,
"Mahisa Agni bagi kita adalah seseorang yang kini diselubungi oleh
rahasia yang besar. Kita tidak tahu pasti s ikapnya yang sebenarnya.
la dengan mudah dapat dibawa kembali dari Kediri. Tetapi dibalik
itu, ia dengan sengaja menunjukkan kekuatan pasukan Singasari
yang ada di Kediri dan yang jelas berada dibawah pengaruhnya.
Bahkan kemudian ia telah melanggar wewenang Maharaja Singasari
dengan menunjuk seseorang menjadi penggantinya."
"Tetapi seorang Panglima yang membawa tunggul kerajaan ada
diantara mereka. Jika Panglima itu dengan kekuasaan yang
dilambangkan pada tunggul kerajaan menolaknya, maka semuanya
itu tidak akan dapat terjadi."
"Menurut nalar memang demikian. Tetapi berhadapan dengan
pasukan segelar sepapan, keadaannya akan berbeda."
Yang lain mengangguk-angguk kecil. Dan Senapati itu meneruskan,
"Kini Mahisa Agni ada di halaman istana dengan beberapa
pengawal yang seakan-akan telah siap untuk membunuh diri jika
diperlukan. Sungguh suatu sikap yang tidak dapat dimengerti.
658 Tetapi tuanku Tohjaya tidak dapat berbuat apa-apa atasnya dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu." Senapati itu berhenti
sejenak, lalu, "Dan sekarang, keadaan Singasari rasa-rasanya menjadi
semakin parah. Tuanku Tohjaya seperti orang yang kehilangan
dirinya sendiri. Hubungannya dengan ibunda Ken Umang menjadi
jauh, seperti tiba-tiba saja diantara mereka terentang jurang yang
sangat dalam." "Agaknya memang terdapat perbedaan pendapat antara Tuanku
Tohjaya dengan ibunda." potong yang lain.
"Itu wajar. Tetapi kali ini seolah-olah perbedaan pendapat itu
tidak akan dapat bertemu sama sekali. Ibunda tuanku Tohjaya
sudah sering berusaha mendekati puteranya. Tetapi tuanku Tohjaya
seperti orang yang sudah menjadi bingung terhadap dirinya sendiri."
Dan tiba-tiba saja seorang Senapati berkata, "Dan itukah
orangnya yang kini memegang kekuasaan atas Singasari?"
Semua orang memandang Senapati itu. Terasa dada mereka
bergetar. Namun seakan-akan kata-kata itu langsung menyusup ke
dalam pusat jantung. Namun bagaimanapun juga para Senapati itu tidak dapat
mengambil sikap apapun. Mereka masih harus menilai keadaan
berikutnya. Setelah orang-orang berkuda putih, lalu apa lagi yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal mereka lihat di dalam kota Singasari itu.
"Apapun sikap kalian secara pribadi, tetapi kalian adalah prajurit."
berkata seorang Senapati yang sudah mulai beruban ujung
rambutnya, "Karena itu kalian harus tetap bersiaga menghadapi
segala kemungkinan. Sekarang kita melihat tuanku Tohjaya dalam
keadaan yang tidak dapat kita mengerti itu, tetapi mungkin besok
lusa keadaannya akan berubah, dan ia akan dapat berdiri tegak di
atas dampar yang telah tersedia untuknya itu."
Kawannya mengangguk-angguk.
"Nah, sebaiknya kita tetap berada di dalam tugas kita masingmasing."
659 Ternyata prajurit Singasari tidak kehilangan akal apapun yang
baru saja terjadi. Mereka masih dapat menahan diri untuk
menunggu perkembangan keadaan selanjutnya. Namun mereka
sependapat, bahwa orang berkuda putih itu tentu tidak akan
menghentikan usaha mereka untuk menimbulkan kesan yang aneh
pada prajurit-prajurit dan rakyat Singasari. Karena itulah maka
setiap penjagaan justru telah diperkuat. Terutama regor yang
memisahkan lingkungan kota Singasari.
Dalam pada itu, kedua orang berkuda putih itu pun setelah
berhasil melepaskan diri dari para prajurit, segera kembali ketempat
persembunyian mereka. Dengan senyum yang menghiasi bibirnya
Mahendra, salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu
berkata, "Yang kita lakukan barulah langkah yang pertama."
"Ya, agaknya memang demikian." sahut Witantra, seorang yang
lain di atas kuda putih itu, "Selanjutnya, Lembu Ampallah yang akan
mengambil bagian. Kita akan menunggu saat yang tepat untuk
berbuat lebih banyak lagi. Prajurit Singasari agaknya telah menjadi
bingung menghadapi keadaan yang tidak segera dapat mereka
mengerti ini." Disaat-saat berikutnya, Lembu Ampal telah mengambil bagian
pula untuk membuat Singasari menjadi semakin kisruh. Meskipun
yang terjadi tidak pernah merenggut nyawa, tetapi kadang-kadang
benar sangat mengganggu ketenangan. Sebuah jembatan kayu
yang kuat telah roboh di malam hari. Suaranya bagaikan
menggnocangkan padukuhan-padukuhan disekitarnya.
Ketika pada pagi harinya para prajurit mengadakan penelitian,
maka dilihatnya tali temali jembatan itu telah putus. Tetapi nampak
dengan jelas bekas-bekasnya, bahwa tali-tali yang putus itu adalah
akibat dari kesengajaan. Bekasnya nampak jelas, guratan pada tali
temali itu, sehingga mengakibatkan jembatan itu roboh sama sekali.
Para Panglima menjadi gelisah pula. Setiap malam penjagaan
menjadi semakin diperkuat. Para prajurit terpercaya hampir tidak
mendapat kesempatan untuk beristirahat sama sekali sehingga
mereka nampak menjadi sangat letih.
660 "Kita tidak akan dapat tinggal diam." berkata Panglima pengawal.
"Tuanku Tohjaya tidak dapat dibawa berbicara dalam saat-saat
terakhir." "Kita harus mencoba."
Demikianlah para Panglima itu pun menghadap Tohjaya yang
nampak kusut dan lemah. Ketika para Panglima menghadap, ia pun
menjadi tegang dan bertanya, "Kalian akan mengganggu aku lagi?"
"Tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Tuanku adalah
seorang Maharaja dari sebuah negara yang besar, yang
mempersatukan banyak telatah yang terbentang dari ujung Barat
sampai keujung Timur. Sudah sewajarnyalah bahwa tuanku
memperhatikan keadaan Singasari sebaik-baiknya."
"Kau menggurui aku he?" bentak Tohjaya.
"Ampun tuanku. Hamba tentu tidak akan berani berbuat
demikian. Jika hamba menghadap tuanku, sebenarnyalah hamba
semuanya akan mohon perlindungan tuanku."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Lalu ia pun mulai bertanya,
"Ada apa sebenarnya?"
Panglima Pelayan Dalam itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
hati-hati ia berkata, "Tuanku, hamba sekalian yang menghadap
adalah pengemban perintah tuanku. Para Panglima dan Senapati.
Seperti yang pernah tuanku dengar, bahwa Singasari telah
diguncangkan oleh peristiwa-peristiwa yang kurang dapat hamba
mengerti. Karena itu, sebaiknya tuanku memanggil para pemimpin
pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan. Apakah yang
sebaiknya kita lakukan bersama untuk mengatasi persoalan yang
berlarut-larut ini."
Tohjaya tidak segera menjawab. Kali ini agaknya ia mau
mendengarkannya. Tetapi tiba-tiba saja ia membentak, "Itu adalah
persoalan kalian. Kalian adalah prajurit dari kesatuan manapun juga.
Kalianlah yang berkuwajiban untuk menenteramkan kekisruhan
661 semacam itu. Bukan orang lain. Apakah yang dapat kau ketemukan
dari para pamimpin pemerintahan?"
"Tuanku, para pemimpin pemerintahan akan dapat memberikan
banyak petunjuk. Mungkin ada persoalan-persoalan yang langsung
atau tidak langsung menyangkut ketidak puasan beberapa golongan
dari lingkungan. Menurut ceritera, kehancuran Kediri pada masa
pemerintahan Tumapel dipegang oleh Sri Rajasa adalah karena
Kediri tidak menghiraukan persoalan yang timbul dikalangan
rakyatnya. Pertentangan antara Sri Maharaja Kediri dengan para
pemimpin agama." "Persetan dengan Kediri. Kediri adalah negara kecil yang lemah,
yang tidak lagi dapat mempertahankan dirinya sendiri. Tentu kau
tidak dapat memperbandingkannya dengan Singasari yang besar
sekarang ini. Dan jika kau mengangkat kalian pada pimpinan
keprajuritan, tentu dengan harapan bahwa kalian dapat mengatasi
semua kesulitan." Para Panglima hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dan
tiba-tiba saja seorang Panglima berkata, "Tuanku, apakah sudah
cukup jika hamba sekalian ini berusaha untuk meredakan keadaan
semata-mata dengan memperhatikan bidang kami. Maksud hamba
sekalian, apakah sudah cukup dengan kekerasan saja. Jika kita
hanya melakukan kekerasan, maka yang kita selesaikan adalah
persoalan yang ada dipermukaan saja. Kita tidak menghentikan
sebab dari kekisruhan itu."
"Aku tidak peduli. Itu adalah urusanmu. Kau akan dapat berbuat
apa saja. Tetapi jangan ganggu aku."
"Tuanku." berkata Panglima pasukan tempur yang masih agak
muda, "Apakah dengan demikian tuanku mernpercayakan segalanya
kepada hamba sekalian ini?"
Tohjaya membelalakkan matanya. Katanya, "Kalian adalah orangorang
yang paling bodoh. Jika aku mengangkat kalian pada jabatan
kalian sekarang ini tentu aku percaya kepada kalian. Pergilah.
Lakukanlah kuwajiban kalian dengan baik, agar aku tidak memaksa
662 kalian untuk mengundurkan diri atau memaksa kalian untuk
membunuh diri di hadapanku."
Para Panglima itu berpandangan sejenak. Tohjaya benar-benar
tidak dapat diajak berbicara lagi.
"Apakah dengan demikian berarti Singasari tidak lagi diperintah
oleh seorang Maharaja?" pertanyaan itu timbul disetiap hati. Baik
para Panglima, Senapati maupun para prajurit yang kemudian
mendengar persoalan itu. Tetapi para Panglima memang tidak dapat membiarkan keadaan
semakin memburuk, yang dapat mereka lakukan untuk sementara
adalah memperkuat penjagaan disegala tempat. Di pintu-pintu
gerbang dan di gardu-gardu parondan di dalam kota. Bahkan
peronda yang berkeliling pun gelombangnya dipersingkat dan
dengan demikian hampir setiap saat nampak beberapa orang
prajurit di sepanjang jalan.
Namun dalam pada itu, diantara penjagaan yang ketat, telah
timbul kecurigaan yang semakin mendalam diantara para prajurit.
Bahkan para Panglima dan Senapati selalu bertanya di dalam hati,
apakah salah seorang dari mereka beserta pengikutnya telah
membuat kekacauan itu. Selagi semua perhatian tertuju kepada
pengamanan kota, maka orang itu telah mempersiapkan diri untuk
merebut kedudukan Tohjaya yang sebenarnya memang sudah tidak
dapat dianggap sebagai pelindung lagi.
Dan yang paling parah, setiap orang dapat disangka berbuat
demikian. Setiap orang dapat dituduh ingin memanfaatkan keadaan
yang goyah itu untuk kepentingan pribadi masing-masing.
Karena itu, maka setiap orang mencoba untuk mengingat pada
saat dua orang berkuda putih itu dikejar-kejar oleh beberapa orang
prajurit, siapakah yang tidak nampak pada pusat pimpinan bersama
untuk mengemudikan perintah pengamanan di dalam kota.
Tetapi mereka tidak segera menemukan. Pada saat berita bahwa
orang berkuda putih itu lewat regol kota, maka,setiap Panglima pun
segera medapat pemberitahuan, dan mereka telah berkumpul untuk
663 mengawasi langsung usaha penangkapan yang gagal itu. Bahkan
ketika seorang Senapati melihat kebangsal Mahisa Agni, maka ia
pun berada di bangsalnya pula.
Ketidak pastian sikap dan keragu-raguan telah menguasai hati
setiap Panglima. Dipertajam lagi oleh kecurigaan dan ketidak
percayaan yang satu dengan yang lain. Dengan demikian maka
mereka pun tidak membicarakan setiap persoalan dengan terbuka.
Pada saat yang demikian itulah maka Lembu Ampal menganggap
bahwa saatnya memang sudah masak. Namun demikian ia masih
minta kepada Witantra dan Mahendra untuk sekali-sekali
mengganggu para prajurit dengan kuda dan pakaian putihnya.
Bahkan pada suatu saat Mahendra telah menyerang sekelompok
peronda di dalam kota. Begitu tiba-tiba ia meloncat dari kegelapan.
Meskipun ia tidak berkuda putih, tetapi pakaiannya masih
menunjukkan ciri penunggang kuda putih.
"Kalian tentu mengenal Kesatria Putih." berkata Mahendra.
"Omong kosong. Kesatria Putih adalah tuanku Anusapati."
"Aku adalah Anusapati." berkata Mahendra yang menutup
sebagian wajahnya dengan kerudung putihnya.
"Bohong. Tuanku Anusapati sudah wafat."
"Seperti kau lihat, aku masih hidup."
"Tentu bukan tuanku Anusapati. Anusapati telah wafat di arena
sabung ayam." "Kenapa?" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Meskipun ia tidak melihat
sendiri, tetapi setiap orang pernah mendengar, terutama para
prajurit, bagaimana Anusapati terbunuh oleh Tohjaya. Meskipun
demikian, setiap prajurit pendukung Tohjaya, seakan-akan
mempunyai kuwajiban untuk tidak menyebutkannya.
Karena itu, maka prajurit itu pun kemudian menjawab, "Tuanku
Anusapati terbunuh dalam kerusuhan yang terjadi. Para pengawal
664 tidak dapat mengendalikan kebencian yang meluap kepada tuanku
Anusapati saat itu."
Orang berkerudung putih itu tertawa. Katanya, "Kau berbohong.
Dari sorot matamu aku menangkap bahwa kau tidak berkata
sebenarnya." "Aku berkata sebenarnya." jawab prajurit itu.
Suara tertawa dari balik kerudung putih itu terdengar semakin
keras. Katanya disela-sela suara tertawanya, "Tentu tidak. Akulah
yang paling mengetahui persoalan yang menyangkut diriku sendiri."
"Bohong." teriak seorang prajurit yang lain, "Kau bukan tuanku
Anusapati." "Aku akan membuktikannya nanti." berkata orang berkerudung
putih, "Tetapi cobalah berkata dengan jujur."
"Jangan memancing." sahut prajurit yang lain lagi.
"Aku tidak memancing. Tetapi jika kau tidak berkata dengan
jujur, maka kau akan menyesal. Aku adalah Anusapati."
Kata-kata itu merasa menusuk jantung para prajurit itu. Tetapi
pemimpin mereka kemudian menjawab, "Jangan hiraukan. Ia adalah
seorang yang menganggap kami terlampau dungu. Kami tahu pasti,
bahwa orang berkerudung putih itu bukan tuanku Anusapati.
Mereka telah melakukan kesalahan, karena pada suatu saat mereka
muncul bersama-sama. Dua orang berkerudung putih dan
menunggang kuda putih. Jika Kesatria Putih itu tuanku Anusapati
maka ia tidak akan dapat menjadi dua."
Suara tertawa orang berkerudung putih itu menjadi semakin
keras. Katanya, "Wadagku tidak lagi seperti wadagmu. Aku sudah
mencapai kesempurnaan. Juga penguasaan atas wadagku dan ujud
halusku. Aku dapat nampak seperti dua, tiga atau lebih."
"Omong kosong."
"Nah, dengarlah. Aku tahu pasti tentang diriku. Aku telah
dibunuh bukan oleh rakyat Singasari seperti yang aku katakan.
665 Tetapi oleh adinda Tohjaya dengan keris Empu Gandring. Nah,
apakah kau juga mengetahui bahwa keris bertangkai dahan
cangkring itu akulah yang memberikannya kepada adinda Tohjaya
itu" Selagi aku asyik memperhatikan ayam yang bersabung tanpa
taji, maka aku telah ditusuknya. Dan aku disangkanya mati. Tetapi
aku tidak mati. Justru aku kini mencapai tingkat ilmu yang tidak
akan terjangkau oleh siapa pun juga. Termasuk ujudku yang dapat
kalian lihat menjadi dua atau tiga."
Para prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ada sedikit
kebimbangan di dalam hati mereka. Namun akhirnya pemimpin
prajurit itu pun berkata lantang, "Kau hampir berhasil menakuti
kami. Tetapi kami memang tidak sedungu yang kau sangka. Jika
kau benar-benar tuanku Anusapati, maka bukti yang paling baik kau
berikan adalah membuka wajahmu. Kami semuanya telah mengenal
dengan baik wajah tuanku Anusapati, sehingga tentu tidak akan ada
keragu-raguan lagi."
Sejenak orang berkerudung putih itu tidak menjawab. Namun
kemudian suara tertawanya terdengar lagi. Katanya, "Kalian
memang benar-benar orang bodoh. Orang yang sudah mencapai
kesempurnaan seperti aku, maka tidak ada lagi yang dapat dikenal
dari batasan ujud. Aku dapat merubah ujudku menjadi apapun juga,
seperti menjadi berapa pun juga."
Tetapi pemimpin prajurit itu menggeram. Katanya, "Kita tidak
ada waktu untuk berbicara seperti orang gila. Sekarang, jangan
biarkan orang ini berbicara lagi. Tangkap orang itu dan kita akan
mendapatkan keterangan daripadanya tentang permainanpermainan
gila pada saat terakhir yang terjadi di Singasari."
Para prajurit itu pun tidak menunggu perintah lebih banyak lagi.
Mereka pun segera bergerak mengepung orang berpakaian serba
putih itu. "Menyerahlah." berkata pemimpin peronda itu.
"Kalian tidak dapat memaksa aku." sahut orang berkerudung
putih itu. 666 Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka pun
segera mempersempit kepungan itu, dan senjata mereka pun sudah
mulai teracu. Orang berkerudung putih itu masih tetap diam ditempatnya.
Sekali-sekali ia memandang ujung-ujung senjata itu dengan wajah
yang kosong.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menyerahlah." pemimpin peronda itu berkata, "Jika kau
menyerah, persoalannya akan menjadi lebih baik bagimu. Tetapi jika
kau melawan, maka akibatnya akan kau sesali nanti."
Orang itu tidak menyahut.
"Cepat, menyerahlah."
Orang berkerudung putih itu kemudian menjawab perlahan,
"Apakah kalian memang ingin menangkap aku."
"Ya. Kali ini kau tidak akan dapat lolos. Seandainya kau berhasil
melepaskan diri dari tangan kami, kami akan segera membunyikan
isyarat. Setiap gardu perondan dan peronda yang sedang hilir mudik
pun akan segera bertindak sehingga kau tidak akan mempunyai
kesempatan apapun lagi."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya ujung senjata
yang teracu kepadanya. "Ayo cepatlah menyerah." perintah pemimpin peronda itu.
Orang berkerudung putih itu masih berdiam diri sejenak. Dengan
tajamnya ia memandangi orang-orang yang mengepungnya dengan
senjata terhunus itu. "Cepat." teriak pemimpin peronda itu. "Atau kami akan beramairamai
membunuhmu." "Apakah untungnya kalian membunuhku" Kalian tentu ingin
menangkap aku hidup-hidup."
667 "Ya, apabila mungkin. Tetapi jika tidak, maka kami akan
membunuhmu. Dengan demikian maka kekacauan di daerah ini
akan berkurang." "Tidak ada gunanya. Aku masih akan tetap berkeliaran untuk
membebaskan rakyat Singasari dari kekuasaan orang yang telah
membunuhku. Membunuh Kesatria Putih."
Pemimpin peronda itu tidak bersabar lagi. Dengan lantang ia
berkata, "Tangkap orang itu. Jika ia melawan, maka tidak ada jalan
lain kecuali melumpuhkannya dengan kekerasan. Ia akan kita peras
sampai menyebutkan keterangan tentang dirinya. Atau kita hukum
picis di s impang empat."
Namun para peronda itu terkejut, la melihat orang itu bergetar.
Kemudian diluar kemampuan pengamatan mereka, maka orang itu
sudah berada di luar kepungan.
Pemimpin peronda itu termangu-mangu sejenak. Wajahnya menjadi
tegang. Namun ia pun segera menyadari keadaannya dan
berteriak, "Bunuh saja orang itu."
Serentak para peronda itu menyerang. Tetapi orang berkerudung
putih itu sudah s iap dengan senjata di tangannya. Sehingga dengan
demikian maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang
seru. Namun ternyata menangkap atau membunuh orang berkerudung
putih itu memang tidak semudah yang mereka sangka. Beberapa
kali para peronda itu seolah-olah kehilangan jejak lawannya.
Dengan tegang mereka mendengar orang berkerudung putih itu
tertawa di belakang mereka sambil berkata, "Aku ada di sini."
Pemimpin peronda itu menjadi semakin marah. Tetapi juga
sepercik keheranan bahwa kemudian mengarah kepada perasaan
cemas, bahwa lawannya benar-benar Anusapati yang justru sudah
mencapai kesempurnaan. Namun demikian ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka ia
pun bertempur terus dengan sekuat tenaganya.
668 Tetapi perkelahian itu sama sekali tidak menarik lagi. Para
peronda lebih banyak menjadi bingung daripada bertempur. Setiap
kali mereka berdiri tegang jika mereka kehilangan lawannya yang
mampu bergerak secepat tatit yang berloncatan di langit.
"Jangan bingung." berkata orang berkerudung putih itu, "Jika
kalian dapat menangkap hantu, kalian akan dapat menangkap aku."
Kata-kata itu benar-benar telah membuat bulu-bulu tengkuk
mereka meremang. Lawan mereka itu benar-benar seperti hantu
yang dapat bergerak tanpa menyentuh tanah.
Meskipun demikian, mereka masih mencoba untuk tetap
bertabah hati. Mereka masih menyerang terus. Ketakutan dan
kecemasan mereka semakin lama menjadi semakin tajam menusuk
jantung. Tetapi karena sampai saat terakhir belum ada di antara
mereka yang terluka apalagi terbunuh, mereka pun masih juga
mencoba untuk bertempur. "Kami tidak dapat menyentuhnya." berkata salah seorang dari
mereka di dalam hati, "Tetapi agaknya hantu putih itu pun tidak
dapat menyentuh kami."
Karena dugaan itu, maka beberapa orang diantara masih
mencoba terus. Namun mereka bertanya juga di dalam hati, "Jika
demikian, apakah gunanya kita bertempur. Tentu tidak akan ada
akhirnya sampai kami pingsan kelelahan."
Tetapi tiba-tiba saja orang-orang yang bertanya-tanya di dalam
hati itu terkejut ketika salah seorang dari prajurit itu berdesis
tertahan. Sepercik darah mereka memancar dari luka yang tergores
di bahunya. "Luka." salah seorang dari mereka menggeram.
Sebenarnyalah bahwa orang berkerudung putih itu bukan
sekedar bayangan hantu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat
menyentuh. Karena salah seorang dari mereka ternyata telah
terluka di pundak. Meskipun luka itu agaknya tidak parah, tetapi
darah telah mengalir dari luka itu.
669 Selagi para prajurit itu termangu-mangu, maka orang berkerudung
putih itu berkata di antara suara tertawanya. "Jangan terkejut.
Aku dapat membuat luka lebih dalam lagi di pundak, bahu bahkan di
perutmu. Tetapi aku kira itu tidak akan ada gunanya karena Kesatria
Putih sama sekali tidak ingin memusuhi kalian. Yang aku lakukan
sekarang adalah memberitakan kehadiranku. Sebentar lagi
Anusapati akan kembali ke atas tahta Singasari. Jika aku sendiri
tidak lagi memerlukan kedudukan itu, maka anakku lah yang akan
datang kepada kalian dan memerintah kalian seperti aku sendiri
melakukannya." Para prajurit itu menjadi bingung sejenak. Tetapi ketika suara
tertawa orang berkerudung putih itu mereda, maka pemimpin
peronda itu pun menyadari keadaannya. Lawannya bukan hantu,
tetapi seseorang yang memiliki ilmu tiada taranya. Karena itu, maka
ia pun segera meneriakkan aba-aba untuk membunyikan isyarat.
Sejenak kemudian terdengar suara kentongan memecah sepi
yang menyelubungi kota. Dan suara itu pun kemudian menjalar dari
kentongan yang satu ke kentongan yang lain, sehingga seluruh kota
menjadi sibuk karenanya. Para prajurit segera bersiaga. Sebagian
ada di gardu masing-masing, sedang yang lain dengan kesiagaan
yang tertinggi, menyusuri jalan-jalan kota untuk menemukan orang
yang selama itu telah mengganggu ketenangan kota Singasari.
Mereka pasti bahwa orang berkerudung putih itu telah berada di
dalam kota karena mereka sudah bersetuju untuk memberikan
tanda yang khusus jika salah seorang prajurit melihat orang
berkerudnng putih itu ada di dalam kota.
Dalam pada itu, maka setiap regol pun seolah-olah telah tertutup
rapat. Tidak ada seekor kelinci pun yang dapat keluar meninggalkan
kota tanpa menembus penjagaan. Bahkan lorong-lorong sempit
yang menghubungkan kota dengan daerah di luarnya pun mendapat
pengawasan dengan saksama. Bukan saja peronda vang berjalan
dari sebuah mulut lorong kemukit lorong yang Iain, tetapi beberapa
orang prajurit dan para peronda disetiap padukuhan dengan
670 berdebar-debar menunggui lorong- lorong itu tanpa mengedipkan
mata. Orang yang memakai kerudung putih itu pun mendegar bahwa
diseluruh kota telan terdengar bunyi tanda yang khusus baginya.
Namun ia masih sempat tertawa dan berkata, "Tidak ada gunanya.
Tidak ada seorang pun dari isi Singasari yang dapat menangkap
aku." "Kami akan menghubungi Mahisa Agni. Kau akan ditangkapnya
dan di cincangnya." sahut seorang prajurit dengan tiba-tiba.
Sejenak orang berkerudung putih itu terdiam. Tetapi kemudian ia
menjawab, "Mahisa Agni seolah-olah sedang ditawan di dalam
bangsalnya Setiap kali ia keluar, maka para prajurit selalu
mengawasinya. Apalagi jika ia keluar dari halaman istana. Karena
itu, ia tidak akan dapat melakukan seperti yang kau katakan."
"Untuk kepentingan seperti ini, ia tentu tidak akan berkeberatan."
Orang berkerudung putih itu tertawa, katanya, "Tetapi ternyata
bahwa ia tidak keluar dari bangsalnya meskipun ia mendengar suara
tengara itu. Aku tidak akan cemas sama sekali. Tetapi aku harus
pergi. Jika aku tidak pergi, dan para prajurit yang lain datang
mengepungku, maka korban akan berjatuhan. Aku tidak akan
sekedar menggores pundak atau punggung atau lengan. Tetapi aku
akan menyobek lambung dan barangkali memenggal kepala sampai
putus." "Kau tidak dapat pergi." bentak pemimpin prajurit itu. Dan
berbareng dengan itu, maka yang lain pun telah mengepungnya
pula. Tetapi seperti yang telah terjadi, orang itu dengan mudahnya
dapat menembus kepungan itu sambil berkata, "Tunggulah.
Sebentar lagi kawan-kawanmu akan datang. Tetapi aku sudah pergi
jauh sekali. Selamat tinggal kawan-kawan yang baik."
Belum lagi gema suaranya lenyap, orang berkerudung putih itu
pun telah meloncat dan lenyap ke dalam lorong sempit.
671 Para prajurit itu mencoba untuk mengejarnya. Tetapi karena
orang berkerudung putih itu menyusup ke dalam lorong dan seperti
anak panah yang terlepas dari busurnya, meluncur dengan cepat
sekali, maka prajurit-prajurit itu tidak mengejarnya lagi. Adalah
sangat berbahaya untuk menyusulnya dalam urutan seorang demi
seorang. Karena seorang demi seorang itu akan dengan mudah
dapat menjadi umpan senjatanya.
Karena itu, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berhenti termangu-
termangu di mulut lorong. Mereka memandang ke dalam
kekosongan karena orang berkerudung putih itu telah lenyap.
Sejenak kemudian maka kelompok yang pertama dari prajurit
peronda berkuda telah datang. Dengan serta-merta prajurit-prajurit
yang baru saja bertempur itu pun menceriterakan apa yang telah
terjadi. "Orang itu masuk ke dalam lorong ini." berkata pemimpin
kelompok peronda yang sudah bertempur itu.
"Kenapa kau biarkan saja?"
"Kami sudah bertempur. Seorang kawan kami terluka."
Peronda yang berkuda itu pun kemudian berbicara di antara
mereka sejenak, lalu mereka pun memutuskan untuk mengejarnya
dan minta agar perajurit yang telah bertempur itu memberitahukan
kepada peronda-peronda berikutnya untuk mengepung tempat itu.
Demikianlah maka beberapa orang berkuda itu pun menyusul
menyusup ke dalam lorong sempit itu. Tetapi mereka pun sadar
bahwa cara itu bukan cara yang sebaik-baiknya karena orang
berkerudung itu akan dengan mudahnya bersembunyi di halaman
sebelah menyebelah lorong itu.
Namun, sejenak kemudian prajurit-prajurit Singasari yang sigap
telah mengepung tempat itu. Setiap ujung lorong telah dijaga
sebaik-baiknya. "Tidak ada peronda yang bertemu dengan seorang pun di jalanjalan
kota." berkata seorang Senapati, "Jika benar orang itu
672 memasuki padesan itu, maka ia tentu masih ada disana. Kita akan
mengepungnya dan mencari dari rumah kerumah yang lain sampai
pagi. Jika kita menemukan orang yang mencurigakan, maka orang
itu harus ditangkap dan dibawa kepadaku."
Demikianlah desa itu bagaikan tertutup. Setiap jengkal dinding
yang mengelilinginya mendapat mengawasan dengan saksama
sehingga tidak akan ada seorang pun yang dapat keluar dari desa
itu tanpa diketahui oleh para penjaga.
Selain penjagaan yang rapat di desa itu, maka di setiap pintu
gerbang kota dan lorong-lorong pun masih tetap dijaga oleh para
prajurit dan peronda-peronda dari padesan masing-masing.
Seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, maka para prajurit pun
mulai mencari orang berkerudung putih itu.
Tetapi agaknya memang tidak terlalu mudah melakukannya.
Meskipun setiap jengkal tanah di setiap halaman seolah-olah telah
terinjak oleh para prajurit, namun mereka tidak menemukan orang
yang dicarinya. "Tentu orang itu sudah melepaskan kerudung putihnya." berkata
setiap prajurit. Namun kemudian timbul pertanyaan, "Siapakah di
antara laki-laki penghuni desa itu yang pantas dicurigai?"
(Bersambung ke jilid 10) Koleksi : Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
673 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 10 TIDAK SEORANG PUN yang dapat dituduh menjadi orang
berkerudung putih. Mereka
adalah penduduk yang sederhana. Jika mereka menemukan anak muda yang gagah, baik di rumahnya maupun di gardu peronda, maka mereka mencoba melihat,
apakah anak muda itu berkeringat dan menunjukkan
tanda-tanda kelelahan. Tetapi mereka tidak menemukannya. Seperti yang dikatakan oleh
Senapati, maka desa itu tidak
segera dilepaskan dari kepungan. Ketika hari menjadi siang, maka pencaharian pun
menjadi semakin teliti. Tetapi mereka tidak dapat menemukannya.
Kecurigaan terhadap seseorang pun tidak.
Sekali lagi para prajurit Singasari gagal. Dan mereka pun sadar,
bahwa kegagalan-kegagalan serupa itu akan berlangsung berulang
kali. Orang berkerudung putih itu benar-benar orang yang memiliki
ilmu yang tiada taranya. 674 "Kecuali jika Mahisa Agni mau mencoba menangkapnya." berkata
salah seorang Senapati. "Tidak ada gunanya memaksa orang itu untuk berbuat sesuatu."
jawab yang lain, "Ia sudah kehilangan semua harapan masa
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depannya. Ia tidak ubahnya seperti seekor kepompong di dalam
bilik itu." "Kau salah. Ia adalah orang yang paling mencintai Singasari. Jika
tidak demikian, kematian tuanku Anusapati tentu akan dapat
mendorongnya untuk menyobek jantung Singasari dari Kediri. Ia
mempunyai pengaruh yang sangat besar. Tetapi ia taat memenuhi
panggilan tuanku Tohjaya. Ia datang dan membiarkan dirinya
berada di dalam bilik itu, meskipun ia tetap berada di bilik itu
bersama beberapa orang pengawalnya dengan selembar kain putih
di lehernya." "Sungguh tidak dapat dimengerti. Apakah arti dari perbuatannya
itu. Tetapi aku justru menjadi curiga akan kediamannya itu."
"Sudah berkali-kali dibuktikan, bahwa orang yang berkerudung
itu tentu bukan Mahisa Agni."
"Ya. Tetapi siapa tahu, ia mempunyai kawan-kawan yang dapat
berbuat demikian." Kawannya berbicara tidak menjawab. Bagi Singasari orang
berkerudung putih itu memang sebuah teka-teki yang cukup besar.
Meskipun demikian, betapapun kemungkinan untuk menangkapnya
terlampau tipis, tetapi para Senapati tidak menjadi
berputus asa. Adalah kuwajiban mereka untuk melakukannya.
Betapapun sulit dan berbahayanya.
Tetapi agaknya orang-orang yang menyebut dirinya Kesatria
Putih itu telah menyiapkan rencana yang lain. Witantra dan
Mahendra merasa sudah cukup banyak membuat orang-orang Singasari
menjadi bingung. 675 Karena itulah maka sampai saatnya Lembu Ampal lah yang harus
berbuat sesuatu untuk menambah kecurigaan antara prajurit
Singasari sendiri. Antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain.
"Tetapi hati-hatilah." pesan Witantra kepada Lembu Ampai ketika
ia akan mulai dengan rencananya.
"Tetapi aku terpaksa mengorbankan satu dua orang prajurit
untuk mencapai maksud itu."
Witantra mengerutkan keningnya. Nampak wajahnya menjadi
termangu penuh kebimbangan.
"Tidak ada jalan lain." berkata Lembu Ampal, "Karena kuatnya
dua golongan itulah yang merupakan pendukung paling kuat dari
tuanku Tohjaya sekarang ini."
"Maksudmu pasukan Pengawal yang kebanyakan terdiri dari
golongan Rajasa dan Pelayan Dalam dari golongan Sindir?"
"Ya." Lembu Ampal menganggukkan kepalanya.
"Kadang-kadang kita memang tidak dapat menghindarkan jatuhnya
korban." berkata Mahendra kemudian, "Kematian Kebo Ijo
adalah korban yang lebih menyedihkan lagi. Bahkan Empu Gandring
sendiri. Terakhir adalah Akuwu Tunggul Ametung baru kemudian
Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa dapat menduduki
tahta." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "Setelah mereka itu, jatuh
pula korban yang disebut Pangalasan dari Batil dan Sri Rajasa
Sendiri sebelum Anusapati sendiri menjadi korban pola. Korbankorban
itu memang masih akan berjatuhan, sampai saatnya tahta
kembali kepada yang berhak sesuai dengan keturunannya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang tidak
ada jalan lain untuk mencapai tujuan tanpa jatuhnya korban.
"Mereka adalah lawan kita." berkata Lembu Ampal.
"Tetapi kita belum turun ke medan peperangan."
"Aku tidak dapat melihat jalan lain." desis Lembu Ampal.
676 Akhirnya Witantra tidak dapat menolak lagi. Memang tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh. Jalan yang direncanakan Lembu
Ampal adalah jalan yang paling sedikit menelan korban. Sebab
dengan jalan lain, dengan jalan kekerasan saja, korban akan
berjatuhan semakin banyak.
"Tetapi mereka yang kebetulan sekali diumpankan sebagai
korban itu adalah orang-orang yang nasibnya sangat malang."
Lembu Ampal tidak menyahut. Jika ia tenggelam dalam keibaan
seperti Witantra, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi
untuk mengembalikan tahta kepada keturunan Ken Dedes.
Tetapi ternyata Witantra tidak melarangnya. Bahkan ke mudian
Witantra berkata, "Tetapi terserah kepadamu lembu Ampal. Aku
yakin bahwa kau pun cukup bijaksana."
"Aku akan mencoba sebaik-baiknya." sahut Lembu Ampal,
"Memang agaknya selama ini Kesatria Putih memang tidak
merampas korban jiwa sama sekali. Hanya beberapa orang menjadi
luka-luka. Tetapi kali ini aku terpaksa sekali harus mengambil
korban jiwa." Lembu Ampal berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi jika
aku gagal, maka jiwakulah yang akan diambil oleh para prajurit
Singasari." "Kami akan mencoba mengawasi dan sejauh mungkin
membantumu jika kau berada dalam kesulitan."
"Terima kasih. Sebenarnyalah bahwa kau berdua telah berbuat
jauh lebih banyak dari yang akan aku lakukan."
Demikianlah maka Lembu Ampal pun telah menyiapkan
rencananya sebaik-baiknya. Setelah beberapa lama ia bergaul dengan
Witantra dan Mahendra, dan tanpa malu-malu ia belajar dari
keduanya, maka ilmu Lembu Ampal pun telah jauh bertambah. Jika
semula ia adalah seorang Senapati kepercayaan dengan ilmu yang
dianggap cukup baik di antara para Senapati, maka setelah ilmunya
meningkat, Lembu Ampal menjadi semakin banyak memiliki
kelebihan dari para prajurit pada umumnya, bahkan dengan para
Senapati. 677 Dalam pada itu, peristiwa yang telah terjadi berturut-turut di
Singasari telah banyak menimbulkan persoalan pada para pemimpin
pemerintahan, para Panglima dan para Senapati.
Rasa-rasanya kecurigaan di antara mereka semakin lama menjadi
semakin tajam mengorek jantung masing-masing. Bagi para prajurit
semakin tajam mengorek jantung masing- masing. Bagi para prajurit,
adalah mustahil jika orang yang menyebut dirinya Kesatria
Putih itu dapat lenyap begitu saja beberapa kali, dan berhasil
melepaskan diri, jika tidak ada di antara para prajurit itu sendiri
yang dengan sengaja melindunginya.
"Yang menyebut dirinya Kesatria Putih itu tentu bukan hantu."
berkata salah seorang Senapati, "Karena itu tidak mungkin ia
menghilang begitu saja, atau bahkan menjadi dua atau tiga atau
sepasukan Kesatria Putih yang berbaris di sepanjang jalan kota."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi di antara mereka tidak
dapat melenyapkan kecurigaan yang sudah terlanjur tertatanam di
dalam hati. "Jika pada suatu saat aku dapat menemukan." geram seorang
Senapati muda, "Maka akan terbongkarlah sekelompok pengkhianat
yang selama ini dapat bekerja dengan rapi sekali."
Kawannya berbicara memandanginya sejenak. Lalu katanya,
"Apakah kau yakin bahwa yang melakukan itu sekelompok
pengkhianat yang tersusun dalam suatu kerja sama yang rapi atau
hanya satu dua orang saja."
"Tentu sekelompok orang." tiba-tiba seorang prajurit yang lain
menyahut. Ketika kedua prajurit yang sedang berbicara itu berpaling,
dilihatnya seorang Senapati dari pasukan yang lain duduk di
belakang mereka. Seperti acuh tidak acuh saja Senapati itu
meneruskan, "Bahkan mungkin dipimpin oleh orang yang
berkedudukan penting di Singasari."
678 Kedua prajurit yang semula bercakap-cakap itu memandang
Senapati yang tanpa diduga berada di belakangnya itu dengan sorot
mata yang aneh. Namun pada sorot mata itu terpancar kecurigaan.
Tetapi keduanya tidak menanggapinya. Keduanya akhirnya
berdiam diri tanpa menjawab lagi.
Namun demikian, ternyata di bagian lain dari istana Singasari,
ketika para peronda di malam hari nganglang di taman, sekelompok
Pelayan Dalam memandang dua orang dari Pasukan Pengawal yang
melintas di hadapan mereka dengan pandangan mata yang penuh
kecurigaan pula. "Aku tidak dapat mempercayai Pasukan Pengawal lagi." berkata
salah seorang Pelayan Dalam, "Ternyata mereka hampir tidak
berbuat apa-apa dalam keadaan yang tegang ini. Mereka sama
sekali tidak tergerak untuk menangkap orang yang menyebut
dirinya Kesatria Putih."
"Mereka merasa bahwa tugas mereka adalah mengawal istana
dan keluarga Maharaja." sahut yang lain, "Seperti kita pun tidak
akan berbuat lain kecuali bertugas di dalam istana melayani Tuanku
Tohjaya dan keluarganya meskipun kita juga seorang prajurit."
"Tetapi pasukan pengawal mempunyai tugas pengamanan
langsung atau tidak langsung. Ia tidak boleh membiarkan prajuritprajurit
Singasari yang lain bergerak sendiri dalam kesulitan tanpa
berbuat apa-apa." "Menurut pendengaranku, sekelompok Pasukan Pengawal
berkuda telah ikut mencari Kesatria Putih."
"Tetapi mereka tidak akan menemukan. Pasukan Pengawal itu
nampaknya semakin lama semakin jauh dari tuanku Tohjaya."
"Itu tidak mungkin." desis yang lain lagi. "Mereka adalah Pasukan
kinasih." "Kau ingat saat terbunuhnya tuanku Anusapati" Pasukan
Pengawal baginya saat itu adalah justru sekelompok pembunuh
679 yang mengerikan, meskipun keris yang menikam tubuhnya berada
di tangan tuanku Tohjaya."
Kawannya saling berdiam diri. Selama ini Pasukan Pengawal
memang kehilangan arti. Mereka tidak berhasil menyelamatkan Sri
Rajasa pada jaman pemerintahannya. Merekapun kemudian tidak
berhasil melindungi Anusapati. Seharusnya pasukan pengawallah
yang bertugas untuk menjaga dan melindungi Maharaja Singasari.
Tetapi dua orang Maharaja telah terbunuh.
"Dan sekarang. Pasukan Pangawal Singasari itu pun tampaknya
tidak meyakinkan." Pelayan Dalam itu berkata di dalam hati masingmasing.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun prajuritprajurit
yang khusus yang mendapat tugas langsung di dalam
istana. Mereka adalah prajurit-prajurit yang lebih dekat kepada
Maharaja pada masa pemerintahan siapa pun juga. Tetapi di luar
istana, mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa.
Seperti anggauta Pasukan Pengawal, maka Pelayan Dalam pun
adalah prajurit-prajurit terpilih. Mereka memiliki kelebihan dari
prajurit-prajurit kebanyakan karena tugas mereka yang khusus.
Dalam pada itu, sebaliknya anggota Pasukan Pengawal yang
melintas, dan melihat sekelompok Pelayan Dalam duduk bercakapcakap
itu pun membicarakannya pula. Seorang yang bertubuh tinggi
berkata kepada kawannya, "Apakah sebenarnya mereka lakukan di
dalam masa yang penuh teka teki ini" Duduk berkelompok, makan,
minum, dan saling berebutan jika tuanku Tohjaya memberikan
sesuatu. Bahkan sisa makannya sekalipun."
"Ah, kau terlampau berprasangka. Mereka mempunyai tugasnya
sendiri." sahut kawannya yang agak pendek tetapi berdada bidang.
"Aku tahu. Tetapi mereka pun bertanggung jawab atas
keselamatan Singasari dan tuanku Tohjaya. Apakah kau ingat, saat
meninggalnya Sri Rajasa di bagian belakang bangsalnya.
Sebenarnya yang harus mengetahui persoalannya adalah Pelayan
680 Dalam. Mereka bertugas di dalam bangsal-bangsal istana. Sedang
kami bertugas di luar, di pintu gerbang dan di sudut istana ini."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk
kecil. Bahkan ia masih sempat berpaling dan melihat Pelayan Dalam
itu masih saja duduk di tempatnya.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Pelayan Dalam yang juga
Dendam Empu Bharada 26 Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara Lima Setan Dari Barat 2
sudah jemu melihat cara Tohjaya memerintah akan mudah sekali
terpengaruh oleh harapan-harapan baru bagi mereka. Jika pada
suatu saat seorang Senapati atau seorang Akuwu bangkit
mendahuluimu, maka semua kejemuan akan segera tertumpah pada
harapan yang belum pasti dapat menumbuhkan kecerahan bagi
Singasari. Bahkan mungkin budi yang luhur akan ditelan oleh nafsu
ketamakan yang lain."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Mahisa Cempaka berkata, "Paman. Apakah paman
yakin, bahwa keadaan sekarang ini sudah ada pada puncak
kesuraman bagi Singasari, sehingga perlu ada kejutan untuk
menjernihkannya?" "Ya." jawab Mahisa Agni, "Apalagi Tohjaya sekarang sedang
dicengkam oleh gejolak perasaannya sendiri, sehingga sifat-sifatnya
tidak lagi dapat diselami. Bahkan oleh orang-orang yang dekat
padanya." 621 Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ditatapnya wajah
Mahisa Cempaka yang menegang. Ia sadar, bahwa latar
belakang hubungan keluarganya agak berbeda dengan hubungan
keluarga antara Mahisa Cempaka dengan Tohjaya.
Dalam hal itu, Mahisa Agni sudah berterus terang kepada
keduanya. la tidak mau melihat kekecewaan, kejutan dan ketegangan
perasaan terjadi kelak apabila mereka tidak melihat diri
mereka sejak semula. Anusapati bergejolak ketika ia menyadari
keturunannya, bahwa ia bukan putera Sri Rajasa. Dan Tohjaya
punkemudian membunuh Anusapati karena baginya Anusapati sama
sekali bukan apa-apa. Apalagi karena Anusapati telah membunuh Sri
Rajasa pula. "Anak-anak muda itu kelak tidak boleh dijangkiti penyesalan atau
kekecewaan kelak. Mereka harus menyadari sejak semula." berkata
Mahisa Agni di dalam hatinya.
Demikianlah mereka berada dalam kediaman sejenak. Semuanya
menunggu pendapat Mahisa Cempaka, karena sebenarnyalah bahwa
Tohjaya adalah pamannya. Tohjaya adalah saudara seayah dengan
ayahandanya, Mahisa Wonga Teleng.
"Paman." berkata Mahisa Cempaka kemudian sambil
menundukkan kepalanya, "Aku mengerti, bahwa Singasari
memerlukan tangan yang kuat untuk merubah keadaan yang lesu
seperti ini. Tetapi aku tidak ingin melihat pamanda Tohjaya harus
mengalami nasib seperti Maharaja yang pernah memerintah
Singasari sebelumnya. Pembunuhan itu harus dihentikan."
"Maksudmu?" bertanya Mahisa Agni, "Apakah kita harus
menunggu, atau kita harus berbuat sesuatu?"
Mahisa Cempaka terdiam. "Mahisa Cempaka." berkata Mahisa Agni, "Sudah barang tentu
bahwa akan terjadi sedikit benturan dengan pamandamu. Aku
yakin, bagaimanapun juga pamanmu tidak akan dengan suka rela
menyerahkan tahta. Tetapi ia tentu tidak akan menerima
seandainya kau berdua datang kepadanya untuk menyumbangkan
622 tenaga dan pikiran. Betapapun kalian berbuat dengan jujur dan
bersungguh-sungguh, tetapi kalian akan tetap menjadi arah ujung
pedang. Jika bukan Lembu Ampal, maka tentu akan ada orang lain
yang mendapat perintah membunuh kau berdua."
Mahisa Cempaka merenung sejenak. Kepalanya menjadi semakin
tunduk. "Mahisa Cempaka. Memang kau berada disimpang jalan yang
sulit. Kau harus memilih arah yang sama-sama berat bagimu. Jika
kau memilih Singasari, kau harus melepaskan pamandamu. Tetapi
jika kau memilih pamandamu Tohjaya, maka keadaan Singasari
tidak akan tertolong lagi."
Perlahan-lahan Mahisa Cempaka mengangkat kepalanya Kemudian
perlahan-lahan pula kepala terangguk lemah. Katanya dalam
nada yang dalam, "Aku mengerti paman. Memang aku tidak
akan dapat memilih selain bagi Singasari."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
sangat berat untuk memilih. Tetapi dengan jiwa besar kau sudah
menyebutnya." Mahisa Cempaka menundukkan kepalanya lagi. Seakan-akan ia
sedang mencari diantara kedua kakinya. Ia sadar bahwa ia memang
harus memilih Singasari yang dengan demikian harus
mengorbankan pamannya, Tohjaya.
Tetapi korban yang akan jatuh bukan hanya sekedar pamannya
seorang diri. Tetapi tentu ada orang lain. Prajurit-prajurit dan
bahkan rakyat Singasari sendiri.
Meskipun demikian, jalan itu harus ditempuh, karena tidak ada
jalan lain bagi keselamatan dan keutuhan Singasari.
Demikianlah maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah
bertekad untuk menegakkan Singasari, meskipun korban yang
diserahkan adalah cukup besar bagi mereka. Yaitu pamanda
Tohjaya. 623 Persiapan punsegera disusun semakin matang. Pasukan Singasari
yang berada di Kediri sudah siap berada dijalan yang menuju
kepintu gerbang. Mereka dengan diam-diam memasuki daerah di
seputar kota Singasari. Sedang sementara itu prajurit-prajurit yang
di Singasari telah pula terpecah. Beberapa orang Senapati yang
berhasil dihubungi oleh kawan-kawannya yang berpihak kepada
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka punkemudian menyatakan
kesediaan mereka untuk membantu, apalagi setelah mereka
mengerti persoalan yang sebenarnya telah terjadi di istana Singasari
itu. Dalam pada itu, Witantra, Mahendra, Mahisa Agni dan Lembu
Ampal punsegera membagi tugas. Mahisa Agni tetap berada di
halaman istana. Jika perlu langsung memberikan perlindungan
kepada orang-orang yang sudah menjadi tua dan sakit-sakitan. Ken
Dedes yang sudah hampir kehilangan seluruh kesehatannya karena
tekanan lahir dan batin. Mahisa Wonga Teleng yang tetap berada di
tempatnya bersama isteri Anusapati dan adik-adiknya yang lain.
Serta orang-orang yang dapat terancam jiwanya apabila pergolakan
benar terjadi. Tetapi Mahisa Agni sudah tidak seorang diri. Diantara para
Senapati telah berhasil dihubunginya dan dengan teliti menyiapkan
diri bersama beberapa orang prajurit-prajurit yang dapat dipercaya.
Kecuali mereka, para pengawal Mahisa Agni masih tetap berada di
bangsalnya pula. Mereka masih tetap mengenakan secarik kain
putih di lehernya sebagai pertanda bahwa mereka benar-benar
sudah berada di puncak penyerahan diri pada tugasnya, tanpa
menghiraukan nyawa mereka sendiri. Dan ternyata bahwa kain
putih di leher para pengawal Mahisa Agni itu mempunyai pengaruh
yang cukup besar bagi orang-orang yang tidak menyukainya.
Selain Mahisa Agni maka Witanira pun mendapat tugasnya pula.
Ia harus menyiapkan dan memimpin pasukan yang teratur, yang
sudah dengan diam-diam bergeser dari Kediri mendekati kota
Singasari. Hanya sebagian kecil sajalah yang masih tetap berada di
624 Kediri bersama pasukan keamanan yang disusun oleh Kediri sendiri
dibawah pengawasan Singasari.
Sedang Mahendra mendapat tugas untuk selalu berada di dekat
kedua anak muda itu, agar ia selalu dapat memberikan nasehat dan
perlindungan. Karena tidak mustahil bahwa masih akan terjadi
percobaan untuk langsung membunuh keduanya apabila Tohjaya
dapat menemukan mereka. Dalam pada itu Lembu Ampal mempunyai tugasnya tersendiri.
Sebelum sampai saatnya, mereka mulai dengan tindakan
sesungguhnya, Lembu Ampal bertugas untuk membuat hubungan
dengan orang-orang yang disangkanya dapat memberikan bantuan
kepada mereka. Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tidak bendanya
melatih diri untuk bekal dimasa mendatang yang akan menjadi
semakin berat membebani mereka dengan tanggung jawab. Apalagi
mereka harus sudah mulai dengan langkah-langkah tertentu.
Di dalam ketegangan yang memuncak itu, maka Lembu Ampal
mencoba untuk mengambil langkah yang dapat mempengaruhi
keadaan yang nampaknya tenang meskipun hanya dipermukaan
saja. "Aku akan memberikan kejutan pada para Panglima dan
Senapati." berkata Lembu Ampal kepada Mahisa Agni ketika mereka
sampat bertemu. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Sekedar menarik perhatian. Agar memberikan kesan bahwa
keadaan sekarang ini adalah keadaan yang diselubungi oleh kabut
yang gelap." "Tetapi jangan mengorbankan nyawa seseorang dengan sia-sia.
Baik kawan maupun lawan. Kita harus tetap menghargai sesama
seperti kita menghargai diri kita sendiri. Hanya dalam keadaan
tertentu saja kita dapat mengorbankan jiwa seseorang, apabila kita
benar-benar tidak menemukan jalan lain."
625 Lembu Ampal menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku akan
selalu ingat pesan-pesan tuan. Tetapi aku pun menyadari, bahwa
lebih mudah mengerti dari pada melakukannya."
"Dan kau tentu tidak akan berkeberatan melakukan betapapun
sulitnya." Lembu Ampal menganggukkan kepalanya.
Demikianlah Lembu Ampal mulai dengan usahanya untuk
memberikan kejutan kepada Singasari, agar para pemimpin
Singasari terbangun dari kesibukan mereka sendiri.
Tetapi yang dilakukan oleh Lembu Ampal sebenarnya juga suatu
tantangan. Ternyata bahwa di Singasari masih ada orang yang
dapat berpikir bening, bahwa pemerintahan yang dipegang Tohjaya
sama sekali tidak akan menguntungkan Singasari dan sebenarnyalah
bahwa ia tidak berhak sama sekali untuk tetap berada di atas tahta.
Yang menjadi sasaran Lembu Ampal adalah pendukungpendukung
Tohjaya. Meskipun Tohjaya bukannya orang yang
berhak atas tahta, terapi pendukungnya menganggap bahwa
kehadiran Tohjaya di atas tahta sangat menguntungkan mereka.
Karena itulah maka mereka berusaha untuk tetap
mempertahankannya. Untuk mengurangi korban yang bakal jatuh, Lembu Ampal harus
berusaha memisahkan mereka dari Tohjaya. Tetapi tentu tidak
dapat dengan berterus terang kepada mereka. Karena mereka
masih tetap banyak mengharapkan keuntungan dari Tohjaya itu.
Karena itu, untuk beberapa lamanya Lembu Ampal memperhatikan
setiap orang yang dianggapnya berpihak kepada Tohjaya
dengan setia. Terutama beberapa orang pasukan pengawal yang
oleh beberapa orang pemimpinnya disebut golongan Rajasa. Sedang
golongan yang lain, adalah pasukan Pelayan Dalam yang sebagian
terdiri dari orang-orang Sinelir.
Tetapi Lembu Ampal tidak segera mendapat kesempatan. Karena
itu ia masih harus menunggu dengan sabar sambil bersembunyi
626 agar mereka tidak lebih dahulu mempersiapkan diri untuk
menangkapnya apabila ia dapat terlihat oleh prajurit yang manapun
juga. Sementara masih harus menunggu kesempatan. Lembu Ampal
sengaja ingin menimbulkan sedikit keributan di kota Singasari, agar
dengan demikian para prajurit dan rakyat Singasari menjadi saling
mencurigai. Dengan demikian rencananya akan dapat berjalan
sebaik-baiknya. Demikianlah, maka pada suatu malam Singasari telah dikejutkan
oleh api yang menjilat sampai kelangit. Tidak banyak orang yang
mengetahui, bagaimana asal mulanya. Tetapi tiba-tiba saja kota
Singasari telah dibakar oleh cahaya kemerah-merahan.
Ternyata api itu telah membakar sebuah rumah yang besar dan
berhalaman luas. Rumah seorang Senapati yang sudah lama tidak
nampak di istana, bahkan tidak dapat diketemukan di sudut-sudut
kota Singasari. Rumah itu adalah rumah Lembu Ampal sendiri.
Setelah rumahnya dikosongkan dengan menyembunyikan
penghuni-penghuni yang lain, maka Lembu Ampal telah
mengorbankan rumahnya sendiri. Ia meletakkan beberapa batang
tulang lembu di sudut-sudut rumahnya yang terbakar itu, sehingga
bekas-bekasnya masih nampak. Tetapi ketika kemudian api padam,
tidak seorang pun yang dapat membedakan, sisa-sisa tulang itu
dengan sisa-sisa tulang manusia.
Ternyata bahwa kebakaran itu telah menimbulkan kegemparan.
Bukan saja penduduk di sekitarnya yang berusaha memadamkan api
yang menjilat sampai kelangit itu, tetapi juga beberapa orang
Senapati dan Panglima memerlukan datang, justru karena rumah itu
adalah rumah Lembu Ampal, seorang Senapati yang telah hilang
bersama hilangnya dua orang anak-anak muda dari lingkungan
keluarga istana. "Siapakah yang telah melakukannya?" bertanya seorang Senapati
kepada kawan-kawannya. 627 Tetapi yang lain hanya dapat menggelengkan kepalanya. Tidak
seorang pun yang dapat mengatakannya.
"Apakah kebakaran ini disengaja atau karena kelalaian saja?"
desis yang lain. Kawannya pun hanya dapat menggelengkan kepalanya, pula.
Namun mereka mencoba untuk mencari sebab dari kebakaran
itu. Mereka mencoba meneliti bekas-bekas api. Tetapi mereka tidak
menemukan sesuatu yang dapat mereka jadikan petunjuk. Yang
mereka ketemukan hanyalah sisa-sisa alat-alat rumah tangga dan
beberapa potong tulang yang telah hangus.
Kebakaran itu ternyata benar-benar telah menimbulkan kejutan
bagi para pemimpin di Singasari. Mereka untuk beberapa hari
diliputi oleh teka teki. Justru karena rumah Lembu Ampal yang
terbakar, dan diketemukannya sisa-sisa tulang yang sudah hangus
sama sekali. "Apakah ada saling mendendam diantara para Senapati?"
pertanyaan itulah yang kemudian timbul, "Karena dendam itu tidak
dapat ditumpahkan kepada Lembu Ampal, maka keluarganyalah
yang menjadi korban Mereka terbakar hidup-hidup dirumah yang
musna ditelan api itu."
Seperti yang dimaksud Lembu Ampal, maka mulai timbullah
kecurigaan diantara para Senapati. Apalagi mereka yang sejak
semula dibayangi oleh kecemasan karena Mahisa Agni dan
pengawalnya tetap berada diistana.
"Apakah Mahisa Agni yang telah melakukannya?" bertanya salah
seorang dari para Senapati.
"Ia tidak meninggalkan bangsalnya malam itu." sahut yang lain,
"Jika ia yang merencanakannya, maka tentu ia telah meminjam
tangan orang lain." "Tentu ada diantara kita yang berpendirian lain."
628 Tetapi mereka tidak dapat menemukan, bahkan menduga pun
mereka tidak berani, siapakah yang telah melakukannya. Namun
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
demikian, rasa-rasanya mereka saling memandang yang satu
dengan yang lain, seakan-akan ingin melihat dasar hati masingmasing
apakah diantara mereka ada yang dilekati oleh sikap yang
berbeda. Dalam pada itu, para pemimpin pemerintahan dan para
panglima telah memerintahkan untuk menyelidiki kebakaran yang
telah menelan habis rumah Lembu Ampal seisinya. Bahkan diantara
abu yang berserakan diketemukan beberapa potong tulang yang
telah hangus menjadi arang.
Diantara para pemimpin itu, Pranarajalah yang menjadi sangat
gelisah. Ia tahu pasti, bahwa Lembu Ampal adalah seorang Senapati
yang mendapat perintah untuk membunuh Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, namun yang hilang pula hampir bersamaan waktunya
dengan kedua anak-anak muda yang hilang itu.
"Apakah Mahisa Agni mulai melakukan balas dendam." bertanya
Pranaraja di dalam hatinya. Tetapi itu pun ia masih dibingungkan
oleh pertimbangan-pertimbangan lain. "Agaknya Mahisa Agni tahu
pasti apa yang akan terjadi atas kedua anak-anak muda itu,
sehingga ialah yang telah menyembunyikannya dan kemudian
melepaskan dendamnya kepada Lembu Ampal." Bahkan kemudian
Pranaraja berdesis dengan dada yang berdebar-debar.
"Bahkan mungkin Lembu Ampal sendiri telah dibunuhnya dan
kemudian seluruh keluarganya pula."
Pranaraja menjadi ngeri. Dengan jantung yang berdentang-dentang
ia bertanya kepada diri sendiri. "Apakah akan datang saatnya
Mahisa Agni melepaskan dendam kepada orang-orang lain yang
tersangkut pada usaha pembunuhan kedua anak muda itu sehingga
aku pun akan mendapat giliran?"
Pranaraja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia masih belum
menemukan jawaban yang pasti terhadap kekalutan keadaan.
Namun demikian ia selalu berlindung dibalik pengawal yang sangat
kuat. Beberapa orang Senapati terperecaya yang dapat dibujuknya
selalu dekat padanya. 629 Bukan saja Pranaraja tetapi atas perintahnya pula, pengawalan
terhadap Tohjaya pun diperketat pula, karena Pranaraja pun
khawatir bahwa akan ada usaha balas dendam terhadap Tohjaya
dengan cara yang curang. Demikianlah, maka belum lagi peristiwa kebakaran rumah Lembu
Ampal itu menjadi tenang, maka Singasari telah digemparkan oleh
peristiwa yang lain. Peristiwa yang meskipun tidak menimbulkan
kerusakan apapun juga, tetapi benar-benar telah mengguncangkan
hati setiap orang yang melihatnya.
Pada malam itu, para peronda yang berjaga-jaga di depan
gerbang istana telah melihat seekor kuda putih dengan penunggangnya
yang berpakaian putih, berlari menyusur jalan kota.
Sejenak para peronda itu bagaikan mematung. Rasa-rasanya mereka
melihat seseorang yang pernah mendapat gelar Kesatria Putih.
Tetapi Kesatria Putih itu sudah tidak ada lagi, karena Anusapati
sudah terbunuh di arena sabung ayam.
Ternyata malam itu bukan saja para prajurit di pintu gerbang
yang melihatnya, tetapi beberapa tempat yang lain pun agaknya
dilalui pula Kesatria Putih itu.
Kehadiran Kesatria Putih yang tiba-tiba saja itu, ternyata tidak
kalah menggemparkan dari rumah Lembu Ampal yang terbakar.
Seakan-akan rakyat Singasari yang mulai merasakan kebekuan
pemerintahan itu melihat Anusapati kembali diantara mereka.
Anusapati yang telah hilang dari tahta pada saat ia sedang mulai
dengan usaha yang besar bagi kesejahteraan Singasari.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat menuduh, bahwa yang
telah berbuat itu adalah Mahisa Agni. Pada malam itu Mahisa Agni
yang merasa terlampau panas, duduk diantara para prajurit yang
bertugas di depan bangsalnya. Bahkan beberapa orang
pengawalnya duduk di serambi depan menghirup udara malam yang
sejuk. "Jika bukan Mahisa Agni, maka kita akan dapat dengan mudah
menangkapnya." berkata salah seorang Senapati. "Orang yang
630 berpakaian serba putih di atas kuda yang putih itu tentu sekedar
ingin menumbuhkan pertentangan di hati rakyat Singasari."
Agaknya pendapat itu disetujui oleh para Senapati yang lain,
bahkan oleh para pemimpin pemerintahan. Ketika para Panglima
kemudian mengadakan pembicaraan tentang orang berkuda itu,
maka mereka memutuskan untuk menangkap orang itu hidup-hidup.
"Mungkin ada sangkut pautnya dengan kebakaran rumah Lembu
Ampal itu." berkata salah seorang Panglima.
"Ya. Kita harus berusaha menangkapnya hidup." sahut yang lain.
"Karena itu, lengkapi setiap penjagaan dengan beberapa orang
prajurit berkuda, jika benar orang itu bukan Mahisa Agni, maka
orang berpakaian putih itu tentu tidak akan terlampau sulit untuk
ditangkap." Dengan demikian, maka jatuhlah perintah kepada setiap gardu
penjagaan terpenting di Singasari untuk melengkapi dengan
beberapa orang dari pasukan berkuda yang setiap saat siap untuk
mengejar orang yang berpakaian putih di atas kuda putih itu.
Dan perintah selanjutnya berbunyi. "Tangkap orang itu hidup.
Hanya jika keadaan memaksa kalian boleh membunuhnya."
Dengan jatuhnya perintah itu, maka setiap prajurit yang meronda
di malam hari menjadi semakin waspada. Setiap saat mereka dapat
bertemu dengan orang yang mengenakan pakaian serba putih itu.
Karena hal itu dianggapnya penting, maka para Panglima pun
memberitahukannya kepada Tohjaya. Tetapi ternyata Tohjaya justru
menjadi sangat marah. "Anusapati sudah mati. Aku sendiri yang membunuhnya."
teriaknya. "Bukan tuanku Anusapai." sahut salah seorang Panglima, "Karena
itulah kami sedang mencoba menyelidikinya."
Tohjaya memandang para Panglima itu dengan sorot mata yang
seolah-olah langsung menusuk kepusat jantung. Dan sejenak
631 kemudian ia berteriak pula. "Kalian sudah menjadi gila. Tidak ada
orang mati yang dapat hidup kembali. Tidak ada lagi Kesatria Putih."
"Tuanku." seorang Panglima mencoba menjelaskan dengan hatihati,
"Bukan maksud kami mengatakan bahwa tuanku Anusapati
yang telah mati itu hidup kembali dan mulai lagi dengan
pengembaraannya sebagai Kesatria Putih. Tetapi tentu ada orang
lain yang mencoba untuk memancing kekeruhan. Apakah Tuanku
dapat mengerti maksud kami."
"Kalian terlalu bodoh untuk mengatasi persoalan yang paling
mudah sekalipun. Jika kalian tahu, kenapa kalian melaporkannya
kepadaku. Persoalan yang tidak berarti itu harus dapat kalian
selesaikan sendiri. Jika semua persoalan diserahkan kepadaku,
apakah artinya kalian semua" Apakah artinya aku mengangkat
kalian menjadi Panglima?"
Para Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, Tohjaya
benar-benar telah kehilangan dirinya sebagai seorang Maharaja
dari Singasari yang besar.
Tetapi tidak seorang Panglima pun yang mengetahui latar
belakang dari goncangan perasaan Tohjaya. Mereka tidak mengerti
bahwa Tohjaya mencari keseimbangan dari kejutan yang telah
membantingnya kedalam jurang yang paling dalam dengan sikapnya
yang aneh. Ia ingin mengingkari ketakutannya melihat dirinya
sendiri, melihat kehinaannya sendiri dengan tindakan- tindakan
yang seolah-olah menunjukkan kebesaran, kekuasaan yang
kelebihan-kelebihan yang lain.
Sementara itu, maka para Panglima itu pun kemudian mohon diri
meninggalkan Tohjaya sendiri, seperti yang sering dilakukannya.
Bahkan ibundanya pun menjadi sangat jarang berada di dalam
bangsalnya. Demikianlah selagi Singasari digoncang oleh keadaan yang
hampir tidak dapat diduga-duga itu, Tohjaya masih acuh tidak acuh
saja. Ia seakan-akan bersembunyi di dalam bangsal yang dikelilingi
oleh kolam yang dalam, yang dibuat oleh Anusapati.
632 Para Panglima yang kecewa itu terpaksa melakukan kuwajiban
atas keputusan mereka sendiri. Dan mereka pun harus mengambil
sikap sendiri atas peristiwa-peristiwa yang akan dapat menjadi
akibat dari tindakan mereka.
Betapapun para Panglima, para Senapati dan prajurit serta
pemimpin pemerintahan mencoba menjabarkan diri, karena sikap
Tohjaya, namun perlahan-lahan kekecewaan itu mulai tertimbun di
dalam dada mereka. Hanya karena mereka merasa bahwa mereka
adalah pendukung Tohjaya pada saat Tohjaya mengambil sikap
yang berbahaya dengan membunuh Anusapati sajalah maka mereka
tetap berusaha untuk memperbaiki keadaan yang rasanya menjadi
semakin parah. Para Panglima, Senapati dan pemimpin
pemerintahan itu tidak mau membiarkan Tohjaya runtuh karena
perubahan yang terjadi atas dirinya,. Jika demikian, maka akan
timbul kekuatan baru di dalam pimpinan pemerintahan Singasari.
Jika pimpinan yang baru itu tidak sejalan dengan Tohjaya, maka
mereka pun akan ikut serta menanggung akibatnya, karena mereka
adalah pendukung-pendukung Tohjaya.
Itulah sebabnya, maka mereka harus menyelamatkan Tohjaya
meskipun Tohjaya bagi mereka tidak lebih dari seorang yang sudah
menjadi orang yang kehilangan pengamatan diri.
Demikianlah para prajurit di Singasari bersiaga sepenuhnya untuk
menangkap orang yang berpakaian serba putih diatas kuda putih
pula seperti yang pernah disaksikan pada masa Anusapati masih
menjadi Pangeran Pati. Dan perintah yang harus mereka lakukan
adalah menangkap orang itu hidup-hidup untuk diperas
keterangannya tentang bermacam-macam hal yang mulai
menyuramkan ketenangan Singasari.
Tetapi ternyata untuk beberapa malam, tidak seorang pun yang
melihat kuda putih dengan penunggangnya yang berpakaian putih
pula. Meskipun demikian, para prajurit sama sekali tidak lengah.
Setiap saat kuda putih itu akan dapat muncul.
Ternyata seperti yang mereka duga, maka pada malam yang
gelap, para peronda di ujung jalan kota melihat seekor kuda putih
633 yang berderap di muka gerbang. Tetapi kuda itu tidak masuk ke
dalam kota. Kuda itu hanya melintas dan kemudian menyusur jalan
di luar gerbang dan menghilang di dalam gelap.
Namun kehadirannya itu telah membangunkan para penjaga
yang memang sedang menunggu dengan terkantuk-kantuk. Beberapa
orang prajurit berkuda segera bersiaga disamping kuda
mereka. Namun kuda putih yang muncul dengan tiba-tiba dan
menghilang itu tidak lewat di jalan itu lagi.
"Beritahukan kepada setiap gardu disegala penjuru." perintah
pemimpin penjaga gerbang itu.
Dengan demikian, maka beberapa ekor kuda pun kemudian
berderap di jalan-jalan kota. Mereka memencar kesegala penjuru
kota. Kepada setiap prajurit di gardu-gardu peronda, penunggang
kuda itu memberitahukan, bahwa mereka telah melihat kuda putih
dengan penunggangnya yang serba putih.
Para prajurit berkuda diseluruh gardu peronda pun kemudian
mempersiapkan diri dan kuda mereka. Setiap saat mereka harus
meloncat kepunggung kuda masing-masing untuk mengejar orang
yang mencoba menghidupkan kembali Kesatria Putih yang sudah
tidak ada lagi itu. Tetapi sampai lewat tengah malam, tidak seorang pun yang
melihat kuda putih itu lagi. Meskipun demikian para prajurit masih
tetap bersiaga sepenuhnya.
Namun para prajurit telah dikejutkan oleh suara tengara, yang
mulai terdengar justru dari tengah-tengah kota Tengara yang sudah
mereka sepakati bersama untuk memberikan tanda apabila ada
diantara mereka yang melihat orang berpakaian putih diatas kuda
putih. Suara tengara itu pun segera menjalar dari gardu yang sampai ke
gardu yang lain, sehingga dalam waktu yang pendek, seluruh kota
telah terbangun oleh suara tengara yang merobek sepinya malam.
634 Tetapi sebelum para prajurit yang berada di regol menyadari
sepenuhnya, apa yang harus mereka lakukan menghadapi orang
yang hampir serupa dengan Kesatria Putih itu, maka para prajurit
itu terkejut bukan buatan. Tiba-tiba saja seperti loncatan lidah api
dilangit, seekor kuda putih berderap dengan lajunya. Dua orang
yang meloncat ketengah jalan sambil menyilangkan tombak mereka,
terpaksa meloncat kembali menepi, karena kuda itu berlari justru
semakin kencang. Namun pasukan berkuda yang sudah siap itu tidak membiarkan
orang yang memang mereka tunggu-tunggu itu lewat begitu saja.
Apalagi mereka pun sebenarnya memang sudah siap menghadapi
kemungkinan itu. Karena itu, maka beberapa orang diantara mereka
pun segera berloncatan ke atas punggung kuda dan berderap
dengan lajunya menyusul orang yang berpakaian serba putih di atas
kuda putih itu. Di dalam malam yang kelam, lima orang dari pasukan berkuda
telah mengejar seorang yang melarikan kudanya di tengah-tengah
bulak yang panjang sekali. Suara kaki-kaki kuda itu gemeretak
memecah sepinya malam. Ternyata bukan hanya lima orang prajurit itu saja yang mengejar
orang yang berpakaian putih itu. Tetapi beberapa orang yang lain
dari gardu yang lain pun segera menyusul pula. Meskipun mereka
tidak dapat melihat lagi orang yang mereka kejar, namun mereka
dapat menyusuri jejak kaki-kaki kuda yang sedang berkejaran itu.
Dalam pada itu, orang yang berpakaian putih itu pun melarikan
kudanya dengan sekencang-kencangnya. Agaknya baik orang yang
berpakaian putih maupun kuda putih yang dinaikinya sudah
mengenal jalan itu dengan baik, sehingga kuda itu dapat berlari
seperti angin. Tetapi prajurit berkuda itu pun telah mengenal jalan itu dengan
sebaik-baiknya pula. Kuda-kuda mereka pun tidak kalah tegarnya
dengan kuda putih yang dikejarnya. Sehingga karena itu, maka
kuda putih itu tidak berhasil memperpanjang jarak diantara mereka
yang sedang saling berkejaran itu.
635 Bahkan kemudian ternyata, bahwa prajurit berkuda itu berhasil
memperpendek jarak diantara mereka. Dengan geram, prajuritprajurit
itu sekali-sekali melecut kudanya yang rasa-rasanya berlari
terlalu lambat. Orang berpakaian putih itu tidak dapat mempercepat lari
kudanya, la terpaksa menerima kenyataan, bahwa kuda para prajurit
yang memang dipilih dari puluhan kuda yang tegar dan kuat
itu, ternyata berlari lebih cepat dari kudanya.
"Berhenti." seorang prajurit yang berlari dipaling depan kemudian
berteriak sekuatnya ketika jarak mereka tidak terlampau jauh.
Tetapi orang berpakaian putih itu sama sekali tidak
menghiraukannya. Bahkan ia berusaha mempercepat lari kudanya.
Tetapi ia tidak berhasil.
Lima orang prajurit berkuda itu menjadi semakin dekat Mereka
sudah hampir pasti, bahwa mereka akan dapat menangkap orang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian putih itu. "Asal bukan tuanku Mahisa Agni." berkata para prajurit itu di
dalam hatinya, "Jika orang itu tuanku Mahisa Agni, maka satu atau
dua orang dari antara kami harus segera kembali melaporkan
kepada para Panglima, agar mereka dapat segera mengambil
tindakan." Para prajurit itu pun menjadi semakin dekat. Sekali lagi yang
berpacu paling depan berteriak pula "Berhenti. Kami akan berbicara
jika kau berhenti." Tetapi kuda putih itu berlari terus meskipun jaraknya justru
menjadi semakin pendek. "Ki Sanak." teriak prajurit berkuda itu, "Berhentilah. Kau belum
berbuat apa-apa, sehingga karena itu kau belum dapat dinyatakan
bersalah. Karena itu berhentilah dan kita akan berbicara."
Agaknya teriakan itu didengar oleh orang berpakaian putih diatas
kuda putih itu. Ternyata ia beiteriak. "Apakah jiminanmu?"
636 "Kami berjanji tidak akan berbuat apa. Kami hanya ingin
mendapatkan keterangan saja."
Orang berkuda putih itu tidak menjawab. Namun kudanya yang
sudah diperlambat sedikit itu, tiba-tiba telah dilecutnya sehingga
kuda itu bagaikan meloncat terbang di dalam gelapnya malam.
"Gila." geram para prajurit itu. Namun kuda mereka adalah tetap
kuda yang lebih baik, sehingga jarak itu pun benar-benar telah
menjadi semakin pendek. Beberapa ekor kuda yang berkejaran itu masih menyusuri bulak
yang sangat panjang. Tetapi sebentar lagi mereka akan memasuki
sebuah padukuhan yang kecil. Padukuhan yang tidak begitu banyak
dihuni orang meskipun dikelilingi oleh sebuah bulak yang subur.
"Jangan sampai kuda putih itu mencapai padukuhan dihadapan
kita." geram prajurit berkuda dipaling depan, "Agar ia tidak
mendapat kesempatan untuk melarikan diri dengan melepaskan
kudanya dan bersembunyi."
Prajurit-prajurit berkuda yang lain pun mempunyai pendapat
yang sama pula. Sebaiknya mereka mencegah kuda putih itu
memasuki padukuhan dihadapan mereka. Namun salah seorang
mereka berdesis kepada diri sendiri. "Tetapi kuda putih itu
mempunyai kaki seperti kudaku ini. Dan penunggangnya tentu
mempunyai pendirian yang berlawanan."
Karena itu, kuda-kuda ku masih tetap berkejaran. Rasa-rasanya
para prajurit itu ingin terbang mengejar kuda putih itu sebelum
mencapai padukuhan. Tetapi mereka ternyata tidak berhasil. Kuda putih itu seakanakan
mampu berlari lebih cepat. Sehingga karena itu, maka prajurit
dipaling depan mengumpat, "Gila. Berhenti, atau kami akan
membunuhmu." Tidak ada jawaban. Namun kuda putih itu bagaikan hilang ditelan
oleh mulut lorong yang gelap di hadapan mereka.
637 Tetapi jarak antara kuda perajurit yang mengejarnya itu sudah
tidak begitu jauh lagi. Agaknya tidak ada kesempatan bagi orang
berkuda putih itu untuk meloncat turun dan berlari bersembunyi di
padukuhan kecil itu. Karena itu maka para prajurit itu memacu kudanya semakin
cepat. Namun di dalam padukuhan, gelap malam rasa-rasanya semakin
mencekam. Itulah sebabnya, maka kuda-kuda itu tidak dapat berlari
terlampau cepat, agar kakinya tidak terantuk dinding batu di
sebelah menyebelah jalan. Tikungan yang tajam di dalam
padukuhan itu kadang-kadang terasa sangat mengganggu, sehingga
kadang-kadang kuda mereka harus berlari sangat lamban.
Tetapi padukuhan itu memang tidak begitu besar. Sebentar lagi
mereka akan segera lewat dan kuda putih itu harus muncul di bulak
panjang di seberang padukuhan kecil itu.
Kuda putih itu memang tidak dapat ingkar. Sejenak kemudian
maka seekor kuda putih berlari keluar dari padukuhan itu dengan
penunggangnya yang berpakaian serba putih.
Tetapi darah para prajurit yang mengejarnya itu bagaikan
berhenti mengalir Ketika mereka telah muncul dari lorong gelap di
padukuhan itu, maka mereka melihat dihadapan mereka, bukan
hanya seekor kuda putih berlari kencang sekali, tetapi kini ada dua
ekor kuda putih yang berlari berurutan di hadapan mereka.
"He." geram prajurit di paling depan, "Apakah mataku sudah
kabur?" "Apakah yang kau lihat?" bertanya prajurit yang berpacu di
belakangnya. "Dua ekor kuda putih."
"Ya. Aku juga melihat dua ekor kuda putih."
"Apakah kita sedang mengejar hantu?"
638 Tidak ada jawaban. Tetapi prajurit-prajurit itu bukannya menjadi
takut. Bahkan mereka sempat menilai keadaan yang sedang mereka
hadapi. Untuk meyakinkan kawan-kawannya prajurit yang ada di paling
depan sempat berteriak, "Jangan bermain-main seperti kanak-anak.
Aku tahu bahwa semuanya ternyata telah kalian rencanakan sebaikbaiknya.
Orang berkuda pulih yang pertama sengaja memancing
kami kepadukuhan kecil ini sedang yang lain telah siap lebih dahulu.
Demikian kawanmu masuk maka kalian berdua segera berpacu
beriringan." Tidak ada jawaban. Terapi kedua kuda putih di hadapan para
prajurit itu berpacu semakin kencang.
"Cegah mereka, jangan sampai memasuki padukuhan
berikutnya." berkata prajurit yang paling depan. "Mungkin seorang
kawannya telah siap menunggu di sana dengan kuda dan pakaian
yang serupa." Demikianlah maka para prajurit benar-benar berusaha untuk
menyusul kedua orang berkuda putih dihadapan mereka.
Agaknya kedua orang berkuda putih itu pun menyadari, bahwa
mereka tidak akan dapat lagi melepaskan diri dari para prajurit itu.
Kuda putih itu tidak setegar kuda pengejarnya.
Akhrinya orang-orang yang berkuda putih itu mengambil sikap
yang lain. Mereka tidak akan berlari terus, karena bagi mereka
sudah tidak akan ada gunanya lagi. Mereka akhirnya tentu akan
dapat disusul oleh pengejarnya.
Karena itu, maka ketika mereka sampai disimpang tiga di tengahtengah
bulak, terdengar orang berkuda putih yang di depan
memberikan isyarat. Dengan isyarat itu, maka penunggang kuda
yang dibelakang tidak lagi mengikuti derap kuda-kuda putih di
hadapannya. Kedua kuda putih itu pun berpisah di simpang tiga. Yang seekor
berbelok kekiri dan yang lain berbelok kekanan. Namun mereka
639 tidak untuk selanjutnya berusaha melarikan diri. Kedua
penunggangnya segera menarik kekang kuda mereka, sehingga
keduanya segera berputar menghadapi pengejarnya.
Disimpang tiga kelima orang prajurit yang sedang mengejar itu
pun termangu-termangu. Namun seorang yang pemimpin mereka
segera memberikan isyarat. Dua diantara mereka harus berbelok
kekiri dan tiga yang lain kekanan.
Benturan senjata pun kemudian tidak dapat dihindari lagi. Kelima
orang prajurit yang mengejar itu pun segera menyerang. Meskipun
mereka tidak ingin membunuh seperti yang diperintahkan kepada
mereka, namun karena kedua orang berpakaian putih di atas kuda
putih itu agaknya siap untuk melawan maka mereka pun siap
mempergunakan senjata pula.
Sambil bertempur, salah seorang prajurit itu berkata, "Kalian
tidak akan dapat menghindar lagi. Sejenak lagi akan datang
beberapa orang prajurit berkuda menyusul kami. Kami akan
menangkap kalian dan memperlakukannya dengan baik jika kalian
menyerah." Kedua orang berpakaian putih di atas kuda itu sama sekali tidak
menjawab. Mereka masih tetap bertahan. Keduanya sama sekali
tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah.
Demikianlah ketika pertempuran itu sedang berlangsung, maka
beberapa orang prajurit yang lain sedang berada di perjalanan
untuk menyusul kawannya yang sudah terlebih dahulu berpacu
memburu orang berkuda putih itu.
Namun sebagian dari para prajurit dengan tergesa-gesa masuk
kehalaman istana, dan langsung pergi ke bangsal Mahisa Agni.
Mereka ingin membuktikan apakah yang sedang berpacu di atas
kuda putih dan berlari dikejar oleh para prajurit itu orang lain atau
Mahisa Agni sendiri. Jika Mahisa Agni tidak berada dibanggailnya,
dan sedang memancing beberapa orang prajurit berkuda keluar
kota maka prajurit-prajurit yang sedang mengejarnya itu tentu tidak
akan pernah kembali. 640 Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit yang masuk
kehalaman istana dan langsung pergi kebangsal Mahisa Agni itu pun
telah siap dengan rencana yang apabila terpaksa akan mereka
lakukan. "Jika Mahisa Agni sendiri yang berada di atas kuda putih itu,
maka kita akan menangkap tuan puteri Ken Dedes. Kita akan
membawanya dan memaksa Mahisa Agni menyerah." berkata
Senapati itu. Namun seorang prajurit yang sudah agak lanjut usia mengerutkan
keningnya sambil berkata, "Bukankah tuanku Ken Dedes
sudah menjadi semakin tua dan sakitkan. Umurnya tentu sudah
tidak akan terlalu panjang lagi. Adalah kurang bijaksana jika
melibatkan orang yang sedang sakit dan sudah terlalu lemah di
dalam hal ini." "Aku tidak peduli. Tetapi Singasari harus diselamatkan. Jika
Mahisa Agni mencoba untuk memaksakan kehendaknya dengan
cara yang gila kenapa kita tidak berbuat seperti itu juga."
"Tetapi orang berkuda putih itu berbuat dengan jantan.
Maksudku, ia dengan berani menengadahkan dadanya untuk
melawan para prajurit."
"Persetan." bentak Senapati itu.
Prajurit itu tidak berani membantah lagi. la adalah seorang
prajurit yang hanya dapat tunduk kepada perintah pimpinannya.
Demikianlah dengan dada yang berdebar-debar. Senapati itu
pergi langsung kepintu depan. Kepada para penjaga ia menanyakan
apakah mereka melihat Mahisa Agni dalam hubungannya dengan
orang berkuda putih itu. "Pintu itu tertutup sejak senja mulai gelap." jawab para penjaga.
Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia harus
meyakini, apakah Mahisa Agni ada atau tidak di dalam bangsalnya.
641 Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bangsal itu. Ketika seseorang
menyahut, maka Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar.
Ketika pintu itu terbuka, ternyata yang berdiri di muka pintu
bukan Mahisa Agni. Tetapi seorang pengawalnya yang masih saja
mengalungkan secarik kain putih dilehernya.
"Apakah tuanku Mahisa Agni ada?" bertanya Senapati itu.
"Kenapa dengan tuanku Mahisa Agni." bertanya orang yang
membuka pintu itu. "Ada pesan yang harus aku sampaikan."
"Baru saja tuanku Mahisa Agni dapat tidur. Aku tidak berani
membangunkannya." Senapati itu menjadi semakin berdebar-debar. la sudah mulai
berangan-angan. Jika Mahisa Agni benar-benar berkuda putih dan
berpacu keluar kota maka pasti sudah mulai terjadi pembunuhan
yang mengerikan. Seorang demi seorang prajurit yang mengejarnya
akan terlempar dari kuda dan untuk selamanya tidak akan
terbangun lagi. "Tetapi." berkata Senapati itu seterusnya, "Aku perlu sekali
bertemu. Aku mendapat pesan langsung dari tuanku Tohjaya. Aku
harus menyampaikannya sekarang."
Orang yang berkain putih dilehernya itu termangu-mangu sejenak,
lalu, "Tetapi aku tidak berani membangunkannya. Semalam
suntuk tuanku Mahisa Agni tidak dapat tidur. Baru menjelang dini
hari, ia dapat memejamkan matanya."
"Tetapi aku membawa pesan Maharaja Singasari."
Ketika Senapati itu melihat orang berkain putih dilehernya itu
masih belum beranjak, ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia masih
belum pasti, sehingga katanya, "Ki Sanak. Jika kau tidak berani
membangunkan, biarlah aku yang membangunkannya."
642 Orang itu nampak ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian berkata,
"Apakah ada bedanya" Jika kau yang membangunkannya, ia pun
pasti merasa terganggu."
"Tetapi aku mengemban perintah." jawab Senapati yang mulia
kehilangan kesabarannya itu.
Sementara orang yang berdiri di muka pintu dengan kain putih di
lehernya itu masih ragu-ragu, terdengarlah suara dari dalam.
"Siapakah orang itu?"
Tiba-tiba Senapati yang berdiri diluar pintu itu menarik nafas
dalam-dalam. Di dalam keremangan cahaya lampu minyak di dalam
bangsa itu, ia melihat Mahisa Agni yang agaknya memang
terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
"Apakah pesan itu?" bertanya Mahisa Agni, "Dan siapakah kau?"
Senapati itu memandang Mahisa Agni dengan saksama, seolaholah
ia ingin meyakinkan bahwa yang dilihatnya itu benar-benar
Mahisa Agni. "He, siapakah kau?" Mahisa Agni mengulangi.
"Aku adalah Senapati yang sedang bertugas atas pengamanan
kota pada malam ini." berkata Senapati itu.
"Apa maksudmu mencari aku?"
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun
berkata, "Tuan. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Karena tuan
mengetahui dengan pasti rentang Kesatria Putih pada masa Tuanku
Anusapati masih menjadi Pangeran Pati, maka apakah tuan tidak
berkeberatan jika aku bercerita tentang orang yang mirip dengan
Kesatria Putih itu pada saat ini."
"O." Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Ceriterakan dan
kemudian sebut, apakah yang kau tanyakan kepadaku itu."
Senapati itu pun kemudian menceriterakan penglihatan beberapa
orang prajurit tentang Kesatria Putih yang sudah pasti bukan tuanku
Anusapati yang sudah meninggal itu.
643 "Apakah taun dapat menduga, siapakah yang kini menyamarkan
diri menjadi Kesatria Putih itu dan apakah maksudnya" Apakah hal
ini ada hubungannya dengan hilangnya tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka beberapa waktu yang lalu dan kemudian
kerusuhan yang timbul akhir-akhir ini?"
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian ia pun
menggeleng sambil berkata, "Sayang. Aku belum dapat mengatakan
sesuatu tentang hal itu. Aku harus sempat melihatnya dahulu.
Apakah orang yang berpakaian serba putih itu kini ada di dalam
kota?"
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak tuan." jawab Senapati itu, yang kemudian menceriterakan
tentang orang berkuda putih yang berpacu menembus para penjaga
di regol dan seperti angin menuju keluar kota.
"Aku tidak mengetahuinya. Apakah aku perlu mengejarnya dan
mencarinya?" bertanya Mahisa Agni.
"Tidak tuan. Bukan maksud kami. Kecuali jika para prajurit dan
Senapati sudah tidak sanggup lagi menangkap, maka segala sesuatu
akan kami serahkan kembali kepada tuan dan tuanku Tohjaya.
Namun selama masih ada kemungkinan para prajurit dan Senapati
melakukannya, maka biarlah kami akan melakukannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Beritaukan kepadaku jika kalian memerlukan aku."
Senapati itu pun kemudian minta diri. Ditinggalkannya bangsal itu
dengan dada yang berdebar-debar.
"Sudah pasti bukan Mahisa Agni." desis Senapati itu, "Dengan
demikian maka orang berkuda putih itu pasti akan dapat ditangkap.
Ia akan dapat diperas untuk memberikan banyak keterangan
tentang keadaan terakhir."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk mengiakan, jika orang
berkuda putih itu bukan Mahisa Agni, maka ia tidak akan dapat
melepaskan diri dari tangan prajurit-prajurit berkuda yang terpilih,
yang sudah dipersiapkan untuk menangkapnya.
644 Namun dalam pada itu, prajurit berkuda yang sudah berhadapan
dengan orang yang berpakaian serba putih itu ternyata mendapat
kesan yang lain. Orang berkuda putih itu tidak segera dapat
ditundukkannya. Bahkan perlawanannya semakin lama menjadi
semakin gigih. "Gila." teriak pemimpin kelompok kecil prajurit berkuda yang
sedang bertempur melawan dua orang berkuda putih yang berada
di jalan yang berlainan arah di s impang tiga, "Agaknya kalian benarbenar
ingin mati." Tidak seorang pun dari kedua orang berkuda putih itu yang
menjawab. Tetapi mereka tetap bertempur melawan prajurit yang
akan menangkapnya. "Cepat." teriak pemimpin prajurit itu, "Jika kami kehilangan
kesabaran, maka kalian akan kami cincang di simpang tiga ini.
Tubuh kalian yang tersayat-sayat akan menjadi tontonan orang
yang sebentar lagi akan lewat di jalan ini setelah fajar agaknya
sudah mulai nampak memerah."
Tiba-tiba saja salah seorang berkuda putih itu berkata, "Jangan
mengigau. Kalian tidak akan dapat menangkap kami. Kami adalah
Kesatria Pulih, penjelmaan dari tuntutan kebenaran dari Kesatria
Putih yang pernah kalian saksikan beberapa saat yang lalu."
"Omong kosong. Menyerahlah, atau mati. Kalian jangan
menganggap kami anak-anak yang takut melihat mayat yang hidup
kembali. Karena itu apa pun yang kau katakan tentang Kesatria
Putih itu sebenarnyalah tidak ada hubungan apa pun dengan kalian,
kecuali suatu usaha yang gagal untuk mempengaruhi kami dengan
mempergunakan nama seseorang yang telah tidak ada lagi di
Singasari, bahkan di dunia ini."
"Kami akan membuktikan." sahut salah seorang yang berpakaian
putih itu. "Jika kalian berkeras, apa boleh buat jika kalian terpaksa mati di
peperangan ini dan tubuh kalian akan aku seret di belakang kaki
kuda kami sebagai pengewan-ewan di Singasari."
645 "Manapun yang akan kau lakukan sama sekali tidak menarik.
Dicincang di simpang tiga ini untuk menjadi tontonan orang-orang
lewat, atau diseret di belakang kaki kuda untuk menjadi pengewanewan
di kota, sama-sama tidak kami ingini. Kami adalah Kesatria
Putih yang akan menuntut kematian Kesatria Putih yang pernah
menyelamatkan Singasari dari kejahatan."
"Persetan." pemimpin prajurit berkuda itu menggeram.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin
seru. Prajurit-prajurit berkuda itu menjadi semakin garang. Bahkan
mereka hampir melupakan perintah untuk apabila mungkin
menangkap Kesatria Putih itu hidup-hidup.
Namun agaknya kedua orang berpakaian putih itu benar-benar
mampu menjaga dirinya. Kelima orang prajurit berkuda yang pilihan
itu tidak banyak dapat berbuat sesuatu atas mereka. Seranganangan
prajurit berkuda itu tidak pernah berhasil menyentuh
lawannya. Karena itulah maka kelima orang prajurit berkuda itu menjadi
semakin lama semakin marah. Rasa-rasanya kedua orang
berpakaian putih diatas kuda putih itu dengan sengaja mempermainkan
mereka. Meskipun jalan tidak begitu luas tetapi mereka
berhasil hilir mudik diantara lawannya. Demikian tinggi kemampuan
mereka bermain pedang, sehingga mereka bagaikan dengan
mudahnya mampu menyusup diantara pedang lawan-lawannya.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit berkuda yang menyusul
di belakang mereka, semakin lama menjadi semakin dekat pula.
Mereka dengan mudah dapat mengenali jejak prajurit yang
mendahuluinya. Meskipun demikian, mereka tidak dapat berpacu
secepat kuda yang saling mengejar di jalan itu pula, beberapa saat
yang lampau, dan yang kemudian berhenti dan bertempur dengan
sengitnya. Tetapi jalan lurus terbentang di hadapan mereka. Tidak ada jalan
lain yang dapat ditempuh sebelum mereka mencapai simpang tiga
di seberang sebuah padukuhan kecil.
646 Dengan demikian kuda para prajurit yang menyusul itu pun dapat
berpacu lebih cepat. Mereka menyusup sebuah padukuhan kecil dan
kemudian muncul lagi disebuah bulak panjang.
Malam semakin lama menjadi semakin menipis. Cahaya yang
kemerah-merahan menyala di langit sebelah timur, sehingga, bulak
itu pun rasanya menjadi semakin terang pula.
Karena itulah maka dari kejauhan mereka sudah dapat melihat
bayangan yang remang-remang bergerak-gerak di dalam kelamnya
pagi seperti bayangan yang bergerak-gerak di atas layar yang
kehitaman. "Itulah mereka." desis pemimpin kelompok itu, "Agaknya mereka
sedang bertempur di tengah- tengah bulak."
"Ya, Marilah. Kita harus menangkap mereka."
Demikianlah maka prajurit berkuda itu berpacu semakin cepat.
Debu yang putih terhambur di belakang kaki kuda mereka.
Sementara warna langit semakin lama menjadi semakin merah.
Dalam pada itu kedua orang berpakaian putih diatas kuda putih
itu pun semakin lama semakin garang. Ia melihat warna langit yang
semakin merah. Karena itu maka mereka pun menyadari, bahwa
waktu mereka akan menjadi semakin sempit.
Apalagi ketika mereka sempat melihat di dalam samar-samar,
beberapa orang berkuda mendekati arena pertempuran itu, maka
mereka pun menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat bermainmain
lebih lama lagi. Namun dalam pada itu, para prajurit berkuda yang berusaha
menangkap kedua orang itu pun merasa bahwa mereka akan segera
dapat menyelesaikan tugas mereka apabila kawan-kawan mereka itu
telah terjun pula di dalam pertempuran. Karena itu, mereka
berusaha agar kedua orang tidak dapat lepas dari ikatan
pertempuran. Bahkan pemimpin kelompok prajurit berkuda yang
sudah bertempur itu berkata, "Nah, apakah kalian berdua masih
dapat menyombongkan diri?"
647 Salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu menyahut,
"Kami tidak pernah menyombongkan diri kami."
"Kenapa kalian tidak menyerah?"
"Itu bukan suatu kesombongan. Boleh saja kau sebut sebagai
suatu bentuk ketakutan, karena sebenarnya kami takut dicincang
atau diseret dibelakang kudamu."
"Persetan." pemimpin kelompok itu menggeram.
Namun kedua orang berkuda putih itu semakin menyadari bahwa
waktu memang sudah terlampau sempit. Karena lagi maka salah
seorang dari keduanya berkata, "Sebentar lagi matahari akan terbit.
Kami adalah penghuni daerah malam hari. Karena itu, kami harus
segera menyingkir bersama turunnya pagi."
"Kalian tidak akan dapat lepas dari tangan kami." Tidak ada
jawaban. Tetapi salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu
tiba-tiba mengangkat pedangnya dan diputarnya beberapa kali.
Setiap orang yang melihatnya, menyadari, bahwa itu tentu suatu
isyarat. Karena itu, maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati
dan bertempur semakin sengit. Apalagi sementara itu kawan-kawan
mereka telah menjadi semakin dekat.
Tetapi adalah diluar dugaan mereka, ketika tiba-tiba saja kedua
orang berpakaian putih itu bagaikan menyerbu langsung ke tengahtengah
mereka. Begitu cepatnya sehingga hampir diluar
kemampuan gerak mereka. Yang terjadi kemudian benar-benar telah menggetarkan dada
para prajurit berkuda yang pilihan itu.
Dalam gerakan yang tidak terduga-duga tiba-tiba saja pedang
kedua orang berkuda putih itu bagaikan kilat yang menyambar
dilangit. Tiba-tiba saja terdengar senjata mereka berdentangan.
Bukan benturan yang menimbulkan buga api. Tetapi senjata para
prajurit berkuda itu tiba-tiba saja terlepas satu demi satu. Setiap kali
terdengar senjata gemerincing, maka sebilah pedang telah
terlempar dan jatuh di tanah.
648 "Gila." teriak pemimpin kelompok prajurit berkuda itu. Tetapi ia
tidak sempat meneruskan kata-katanya karena terasa pundaknya
disengat oleh perasaan sakit, dan tanpa dapat bertambahan lagi ia
terlempar dari, ia telah terlempar dari punggung kudanya.
Keempat kawatrnya benar-benar terkejut mengalami peristiwa
itu. Mereka bahkan bagaikan dicengkam oleh kebingunan sehingga
untuk beberapa saat mereka justru diam mematung.
Prajurit yang terjatuh dari kudanya itu menyeringai menahan
sakit. Ketika ia meraba pundaknya, terasa pundaknya sakit sekali.
Namun ia tidak menyentuh darah dipundaknya itu, sehingga ia pun
kemudian menyadari, bahwa orang berpakaian putih itu tidak
menusuk pundaknya dengan senjata, tetapi pundak itu telah
dipukulnya dengan tangannya.
Dalam pada itu, selagi pemimpin kelompok itu menahan sakit,
dan yang lain termangu-mangu tiba-tiba saja sekali lagi mereka
dikejutkan oleh serangan orang-orang berpakaian putih itu.
Yang kemudian terlempar bukan saya hanya satu atau dua orang
dari para prajurit itu, tetapi mereka berempat hampir bersamaan
waktunya telah terjatuh di atas tanggul parit di pinggir jalan.
Bahkan seorang diantaranya telah terjebur kedalam parit yang
sedang mengalir. Selagi mereka mengumpat-umpat, mereka telah dikejutkan sekali
oleh sesuatu yang hampir tidak mereka perhitungkan sebelumnya.
Ternyata orang-orang berpakaian putih berkuda putih itu telah
mengejutkan kuda-kuda mereka dengan sengaja, sehingga kudakuda
itu melonjak dan berlarian cerai berai.
"Kalian tidak akan dapat mengejar aku lagi." berkata salah
seorang dari orang berkuda putih itu.
"Gila." teriak pemimpin kelompok yang masih memegangi
pundaknya yang sakit, yang rasanya menjadi retak dan patah.
Tetapi kedua penunggang kuda putih itu tidak menghiraukannya.
Mereka pun kemudian meninggalkan orang-orang yang berteriakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
649 teriak sambil mengacukan tinju mereka. Tetapi mereka sadar,
bahwa tanpa kuda, mereka tidak akan dapat mengejar penunggang
kuda putih itu. Prajurit-prajurit itu menjadi semakin marah ketika dua orang
berkuda putih itu melambaikan tangan mereka sambil berpacu
meninggalkan prajurit-prajurit yang marah itu.
Sejenak kemudian, belum lagi derap kedua kuda putih itu hilang
dari telingan, mereka telah mendengar derap kaki kuda yang lain.
Mereka pun kemudian menyadari, bahwa kawan-kawan mereka
sebenarnya telah menjadi semakin dekat dan melihat apa yang
telah terjadi. Demikianlah, maka kelima orang itu hanya dapat berloncatan
menepi ketika kuda-kuda kawan-kawannya berpacu dengan cepatnya.
Para prajurit yang menyusul kemudian itu pun melihat kedua
orang berkuda patih itu melarikan diri. Karena itu mereka tidak mau
kehilangan. Tanpa berhenti sama sekali maka mereka pun berusaha
untuk mengejar kedua orang penunggang kuda putih itu.
Sekali lagi mereka saling bekejaran. Dua orang berpakaian putih
dan berkuda putih dikejar oleh sekelompok prajurit yang sedang
marah. Tetapi ternyata jarak mereka sudah terlampau jauh. Para prajurit
itu ternyata tidak segera dapat mendekati buruannya. Apalagi ketika
mereka melihat sebuah padukuhan yang besar dihadapan mereka.
Maka kedua penunggang kuda itu akan dengan mudah dapat
menyembunyikan dirinya dipadukuhan itu, atau berusaha
melenyapkan jejak kuda-kuda mereka di atas tanah berbatu-batu.
Meskipun demikian tetapi para prajurit itu tidak segera menjadi
berputus asa. Mereka berusaha untuk memacu kuda mereka lebih
cepat lagi. Tetapi semakin dekat mereka lebih cepat lagi. Tetapi
semakin dekat mereka dengan padukuhan hadapan mereka, maka
harapan prajurit itu pun menjadi semakin tipis.
Dalam pada itu, kelima prajurit yang ditinggalkan di tengahtengah
bulak hanya dapat menghentak-hentakkan tinju mereka.
650 Sejenak mereka memandang kuda kawannya yang berusaha
mengejar kedua orang berpakaian putih itu. Namun kemudian
mereka pun menarik nafas sambil berkata, "Orang gila. Mereka
berhasil melepaskan diri dari tangan kami."
Pemimpin kelompok kecil itu pun kemudian berjalan tersuruk--
suruk mencari senjatanya. Demikian pula kawannya yang lain.
Sambil menyarungkan senjata yang mereka ketemukan kembali
itu, salah seorang dari mereka berkata, "Orang gila. Apakah salah
seorang dari mereka itu Mahisa Agni?"
Pemimpin kelompok itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Aku tidak tahu. Tetapi kedua orang itu memiliki kemampuan yang
hampir sama dan ternyata jauh melampaui kemampuan setiap
prajurit Singasari."
Prajurit-prajurit itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka bertanya, "Kenapa mereka tidak membunuh
kita?" "Mereka tidak akan sempat melakukannya. Kawan-kawan kita
telah datang menyusul."
"Kenapa tidak." sahut yang lain, "Mereka sempat melemparkan
kita dari atas punggung kuda dengan tangan mereka. Jika mereka
ingin membunuh kita, maka mereka dapat mendorong kita dengan
pedang. Kita benar-benar sudah kehilangan kesempatan untuk
melawan. Bahkan kita tidak dapat melihat, apa yang mereka
lakukan. Baru kita sadar, ketika kita terlempar ke dalam parit."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk. Kini mereka mendapat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan untuk menilai lawan-lawan mereka. Bukan saja dalam
olah kanuragan. Tetapi ternyata orang-orang berkuda putih itu tidak
berusaha membunuh mereka.
"Aneh." kesan itulah yang membekas di hati kelima orang prajurit
yang masih saja termangu-mangu di tengah bulak.
651 Tetapi mereka tidak segera beranjak pergi. Mereka masih
menunggu kawan-kawan mereka yang mngejar kedua orang penunggang
kuda putih itu. Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu.
Mereka tidak akan dapat berlari mengejar penunggang kuda putih
dan kawan-kawan mereka yang sedang memburu kedua orang
berkuda putih itu. Namun sambil menunggu itulah kelima orang itu sempat
berbicara tentang diri mereka sendiri.
"Kenapa kedua orang itu tidak membunuh kami dengan
pedangnya." seorang dari mereka mengulang lagi, "Tentu bukan
karena tidak sempat. Tentu bukan suatu kesalahan, dan tentu
bukan karena tidak mampu. Tetapi mereka memang membiarkan
kita hidup." "Demikianlah agaknya. Jika salah seorang dari keduanya itu
Mahisa Agni, siapakah yang seorang lagi, yang mampu bertempur
dengan ilmu yang setingkat dengan Mahisa Agni itu?"
Kawannya tidak ada yang dapat menjawab. Peristiwa yang baru
saja mereka alami adalah peristiwa yang benar-benar tidak dapat
mereka mengerti. Di dalam pertempuran itu, lawannya sengaja
membiarkan mereka hidup. "Apakah mereka mengetahui bahwa kita pun tidak ingin
membunuh kedua orang penunggang kuda putih itu?" bertanya
salah seorang dari mereka.
"Tentu tidak. Dan bukankah kita sendiri sudah kehilangan niat
untuk menangkapnya hidup-hidup" Apalagi sejenak setelah kita
merasa tidak mampu lagi melakukannya. Aku sendiri rasa-rasanya
tidak ingat lagi bahwa aku akan menangkapnya, bukan
membunuhnya." Yang lain pun mengangguk-anggukkan kepala. Mereka dengan
jujur melihat kepada diri masing-masing, bahwa sebenarnyalah
mereka telah berusaha untuk membunuh orang-orang berkuda
652 putih itu, karena mereka merasa bahwa tidak akan ada kesempatan
sama sekali untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Sementara itu, beberapa orang prajurit yang lain sedang berpacu
mengejar kedua orang berkuda putih itu. Tetapi jarak mereka
agaknya terlalu jauh, sehingga mereka tidak dapat mencapai kedua
orang itu sebelum keduanya memasuki padukuhan yang besar di
hadapan mereka. "Mereka akan hilang di padukuhan itu." desis seorang prajurit
yang mengejar mereka. "Jika tidak sekalipun, kita akan sulit menangkap mereka. Jarak
kita terlalu jauh." Prajurit-prajurit itu sebelumnya merasa bahwa mereka pun tidak
akan mampu menangkap keduanya. Lima orang kawan mereka
sama sekali tidak berdaya. Apalagi jika kemudian kedua orang itu
menjebak mereka diantara sekelompok kawan-kawan oorang berkuda
putih itu. Karena itu, maka akhirnya pemimpin kelompok itu memutuskan
untuk menghentikan pengejaran. Dengan isyarat maka ia pun
menghentikan pasukannya setelah kedua orang berkuda putih itu
hilang di balik gerbang padukuhan.
"Kita tidak tahu apa yang ada dibalik padukuhan itu." berkata
pemimpin kelompok itu. Kawannya pun mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang
menjawab, "Apakah kita tidak mencoba memasukinya?"
"Dengan hati-hati." berkata yang lain.
Pemimpin kelompok itu pun mempertimbangkannya sejenak,
lalu, "Baiklah. Marilah kita mendekat."
Tetapi sekelompok prajurit itu menjadi sangat berhati-hati.
Mereka tidak berani memasuki padukuhan itu dengan kuda mereka
yang berpacu. Jika kedua orang yang ternyata memiliki ilmu yang
653 tinggi itu menjebak mereka maka akibatnya akan menjadi sangat
parah. Yang mula-mula memasuki regol itu adalah pemimpin kelompok
prajurit itu dengan seorang kawannya. Baru kemudian prajurit yang
lain dalam jarak beberapa langkah.
Namun ternyata mereka tidak menjumpai kedua orang berkuda
itu. Jalan di hadapan mereka adalah jalan yang lengang. Apalagi
hari masih gelap dan lampu masih tetap menyala di setiap rumah.
Prajurit-prajurit berkuda itu pun memasuki padukuhan itu semakin
dalam. Tetapi kuda mereka tidak berpacu lagi. Dengan hati-hati
pula mereka pun mendekati sebuah gardu perondan. Ketika masih
ada tiga orang di dalam gardu itu, maka mereka pun mendekatinya.
Kedatangan mereka membuat ketiga orang itu menjadi gemetar.
Sehingga karena itu maka ketiganya hampir tidak dapat beranjak
dari tempatnya. "He." bertanya pemimpin kelompok prajurit itu.
"Ya, ya tuan." "Apakah kalian melihat dua ekor kuda putih lewat jalan ini?"
"Ya tuan." jawab salah seorang dari mereka, "Baru saja."
"Hanya dua?" "Ya tuan. Hanya dua. Mereka berpacu seperti dikejar hantu
sehingga kami menjadi kebingungan."
Pemimpin prajurit berkuda itu mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Keduanya adalah buruan prajurit Singasari. Sayang kalian
tidak berbuat apa-apa."
"O. Tetapi kami tidak mengetahuinya. Dan seandainya kami
mengetahuinya sekalipun, apakah yang dapat kami lakukan tuan.
Kami hanyalah peronda-peronda yang tidak dapat berbuat apa-apa
selain atas pencuri-pencuri kecil."
654 Prajurit-prajurit Singasari itu mengangguk-angguk. Mereka
menyadari bahwa yang ada di gardu itu adalah peronda-peronda.
Mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jangankan para
peronda. Lima orang prajurit berkuda itu pun tidak berhasil
menahan dan apalagi menangkap kedua orang berkuda putih itu.
Pemimpin prajurit Singasari itu pun kemudian telah mengambil
keputusan dengan pasti. Mereka tidak akan dapat menangkap
kedua orang berkuda putih itu.
"Jika prajurit yang terdahulu dapat menahan keduanya untuk
waktu yang lebih panjang lagi, mungkin kita tidak akan kehilangan
mereka sama sekali." berkata pemimpin prajurit berkuda itu.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka pun
menyesali kegagalan itu. Jika mereka lebih cepat sedikit, maka persoalannya
akan berbeda. Sambil berkuda kembali, tiba-tiba saja pemimpin prajurit itu
bertanya, "He, kenapa yang kita hadapi dua orang berkuda putih?"
"Ya, dua orang. Laporan yang kita terima menyebutkan hanya
seorang. Dan bukankah Kesatria Putih itu hanya seorang?"
"Tetapi kita tidak berhadapan dengan Kesatria Putih. Kita
berhadapan dengan orang lain. Kita tidak tahu apakah salah
seorang dari mereka adalah Mahisa Agni."
Prajurit-prajurit itu pun kemudian terdiam. Mereka tenggelam di
dalam angan-angan masing-masing. Mereka mencoba untuk
mencari-mencari jawaban, siapakah yang berkuda putih dan bahkan
dua orang itu. Ketika prajurit berkuda itu sampai di bulak panjang, maka
mereka masih melihat kelima orang prajurit yang kehilangan kuda
mereka masih berada ditempatnya. Agaknya mereka sedang
menunggu. Namun ternyata diantara mereka kemudian terdapat
dua orang penunggang kuda yang lain.
"Siapakah yang telah menyusul kita?" bertanya prajurit itu.
655 "Dua orang prajurit pengawal." desis yang lain.
Sebenarnyalah bahwa dua orang prajurit telah menyusul mereka
yang mendahului untuk mengejar orang berpakaian putih dan
berkuda putih itu. Maka ketika para prajurit yang kembali dengan kegagalan itu
sampai diantara kawan-kawan mereka, segera mereka bertanya,
"Apakah ada pesan yang dibawa oleh kedua orang itu."
"Kami hanya akan memberikan kepastian." jawab salah seorang
dari keduanya, "Bahwa orang berpakaian putih itu bukan Mahisa
Agni. Mahisa Agni masih tetap benda di bangsalnya bersama
beberapa orang pengawalnya."
"Keduanya bukan Mahisa Agni?" bertanya pemimpin prajurit yang
menghentikan pengejaran itu.
"Keduanya. Tetapi itulah yang aneh, bahwa ada dua orang
penunggang kuda putih yang dalam pakaian putih. Tentu keduanya
adalah orang yang berlainan."
"Tentu. Apakah kau sedang bermimpi?"
"Aku hanya ingin mengungkapkan keherananku bahwa ada dua
orang yang memakai pakaian putih itu."
"Tetapi dengan demikian kita dapat menduga, bahwa yang kita
hadapi bukannya sekedar seorang yang mencoba untuk
membangunkan kembali kenangan atas Kesatria Putih. Tetapi
benar-benar telah membentuk sekelompok orang dalam sikap yang
pasti." "Dan itu adalah sangat berbahaya."
"Kita akan melaporkan kepada para Panglima." Prajurit-prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi mereka dibayangi oleh
keragu-raguan karena sikap Tohjaya yang tidak berkepastian.
Demikianlah maka prajurit-prajurit itu pun segera kembali ke
dalam kota. Yang kehilangan kudanya ikut di belakang kawannya
656 yang datang kemudian. Namun dengan demikian kuda itu tidak
dapat berlari terlalu cepat.
Ternyata peristiwa itu menjadi bahan pembicaraan yang menarik
bagi setiap prajurit. Apalagi para Senapati dan para Panglima.
Mereka dihadapkan pada kenyataan, bahwa meski pun orang
berkuda putih itu bukan Mahisa Agni, namun memiliki kemampuan
yang jauh lebih tinggi dari kemampuan para prajurit pilihan.
Seperti yang dilaporkan oleh kelima prajurit yang kehilangan
keduanya, bahwa kedua orang berpakaian putih itu dengan sengaja
tidak membunuh mereka yang sudah kehilangan kesempatan untuk
melawan. Bahkan dengan tangan mereka dapat melemparkan
prajurit-prajurit itu dari kudanya. Padahal mereka adalah prajurit
dan pasukan berkuda yang seakan-akan telah menjadi satu dengan
kuda-kuda mereka di peperangan. Namun mereka tidak mampu
berbuat apa-apa dan terlempar jatuh, sehingga mereka telah
kehilangan kuda mereka. Para Panglima pun tidak dapat memalingkan kenyataan itu.
Mereka harus dengan sungguh-sungguh menghadapi keadaan yang
menjadi gawat. Kebakaran yang membuat suasana kota menjadi
tegang itu masih belum terungkapkan, maka mereka sudah
dagoncangkan oleh peristiwa berikutnya. Namun sebagian terbesar
rakyat Singasari menarik garis hubungan antara kedua peristiwa itu
meskipun ternyata tidak menemukan hubungan vang sebenarnya.
Bahkan sebagian dari mereka justru menganggap kebakaran di
rumah Lembu Ampal adalah dendam atas hilangnya Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka disusul oleh lenyapnya Lembu Ampal.
Namun bahwa kelima prajurit yang dikalahkan oleh kedua orang
berpakaian putih itu sama sekali tidak mengalami cidera itu pun
mendapat perhatian pula dari para Panglima dan Senapati.
"Orang itu memang ingin membangunkan ingatan kita kepada
kesatria putih." berkata seorang Senapati, "Dan mereka sedang
berusaha menarik perhatian dan pengaruh atas prajurit Singasari."
657 Beberapa orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka pun sependapat bahwa tentu ada usaha yang
lebih jauh dari pembakaran rumah dan sekedar mempertunjukkan
kelebihan olah kanuragan.
"Satu hal yang menarik, bahwa Mahisa Agni tidak terlibat
kedalamnya. Ternyata bahwa ia masih tetap berada di bangsalnya."
berkata Senapati yang lain.
"Betapa pun tinggi ilmu kedua orang berkuda putih itu, tetapi aku
kira mereka masih belum menyamai Mahisa Agni." sahut yang lain.
"Jadi, apa maksudmu?"
"Bagaimana jika kita pada suatu saat dapat mempergunakan
Mahisa Agni?" Pertanyaaan yang tiba-tiba saja timbul itu justru menegangkan
setiap orang yang mendengarnya. Beberapa orang saling
berpandangan sejenak. Lalu salah seorang Senapati berkata,
"Mahisa Agni bagi kita adalah seseorang yang kini diselubungi oleh
rahasia yang besar. Kita tidak tahu pasti s ikapnya yang sebenarnya.
la dengan mudah dapat dibawa kembali dari Kediri. Tetapi dibalik
itu, ia dengan sengaja menunjukkan kekuatan pasukan Singasari
yang ada di Kediri dan yang jelas berada dibawah pengaruhnya.
Bahkan kemudian ia telah melanggar wewenang Maharaja Singasari
dengan menunjuk seseorang menjadi penggantinya."
"Tetapi seorang Panglima yang membawa tunggul kerajaan ada
diantara mereka. Jika Panglima itu dengan kekuasaan yang
dilambangkan pada tunggul kerajaan menolaknya, maka semuanya
itu tidak akan dapat terjadi."
"Menurut nalar memang demikian. Tetapi berhadapan dengan
pasukan segelar sepapan, keadaannya akan berbeda."
Yang lain mengangguk-angguk kecil. Dan Senapati itu meneruskan,
"Kini Mahisa Agni ada di halaman istana dengan beberapa
pengawal yang seakan-akan telah siap untuk membunuh diri jika
diperlukan. Sungguh suatu sikap yang tidak dapat dimengerti.
658 Tetapi tuanku Tohjaya tidak dapat berbuat apa-apa atasnya dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu." Senapati itu berhenti
sejenak, lalu, "Dan sekarang, keadaan Singasari rasa-rasanya menjadi
semakin parah. Tuanku Tohjaya seperti orang yang kehilangan
dirinya sendiri. Hubungannya dengan ibunda Ken Umang menjadi
jauh, seperti tiba-tiba saja diantara mereka terentang jurang yang
sangat dalam." "Agaknya memang terdapat perbedaan pendapat antara Tuanku
Tohjaya dengan ibunda." potong yang lain.
"Itu wajar. Tetapi kali ini seolah-olah perbedaan pendapat itu
tidak akan dapat bertemu sama sekali. Ibunda tuanku Tohjaya
sudah sering berusaha mendekati puteranya. Tetapi tuanku Tohjaya
seperti orang yang sudah menjadi bingung terhadap dirinya sendiri."
Dan tiba-tiba saja seorang Senapati berkata, "Dan itukah
orangnya yang kini memegang kekuasaan atas Singasari?"
Semua orang memandang Senapati itu. Terasa dada mereka
bergetar. Namun seakan-akan kata-kata itu langsung menyusup ke
dalam pusat jantung. Namun bagaimanapun juga para Senapati itu tidak dapat
mengambil sikap apapun. Mereka masih harus menilai keadaan
berikutnya. Setelah orang-orang berkuda putih, lalu apa lagi yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal mereka lihat di dalam kota Singasari itu.
"Apapun sikap kalian secara pribadi, tetapi kalian adalah prajurit."
berkata seorang Senapati yang sudah mulai beruban ujung
rambutnya, "Karena itu kalian harus tetap bersiaga menghadapi
segala kemungkinan. Sekarang kita melihat tuanku Tohjaya dalam
keadaan yang tidak dapat kita mengerti itu, tetapi mungkin besok
lusa keadaannya akan berubah, dan ia akan dapat berdiri tegak di
atas dampar yang telah tersedia untuknya itu."
Kawannya mengangguk-angguk.
"Nah, sebaiknya kita tetap berada di dalam tugas kita masingmasing."
659 Ternyata prajurit Singasari tidak kehilangan akal apapun yang
baru saja terjadi. Mereka masih dapat menahan diri untuk
menunggu perkembangan keadaan selanjutnya. Namun mereka
sependapat, bahwa orang berkuda putih itu tentu tidak akan
menghentikan usaha mereka untuk menimbulkan kesan yang aneh
pada prajurit-prajurit dan rakyat Singasari. Karena itulah maka
setiap penjagaan justru telah diperkuat. Terutama regor yang
memisahkan lingkungan kota Singasari.
Dalam pada itu, kedua orang berkuda putih itu pun setelah
berhasil melepaskan diri dari para prajurit, segera kembali ketempat
persembunyian mereka. Dengan senyum yang menghiasi bibirnya
Mahendra, salah seorang dari kedua orang berkuda putih itu
berkata, "Yang kita lakukan barulah langkah yang pertama."
"Ya, agaknya memang demikian." sahut Witantra, seorang yang
lain di atas kuda putih itu, "Selanjutnya, Lembu Ampallah yang akan
mengambil bagian. Kita akan menunggu saat yang tepat untuk
berbuat lebih banyak lagi. Prajurit Singasari agaknya telah menjadi
bingung menghadapi keadaan yang tidak segera dapat mereka
mengerti ini." Disaat-saat berikutnya, Lembu Ampal telah mengambil bagian
pula untuk membuat Singasari menjadi semakin kisruh. Meskipun
yang terjadi tidak pernah merenggut nyawa, tetapi kadang-kadang
benar sangat mengganggu ketenangan. Sebuah jembatan kayu
yang kuat telah roboh di malam hari. Suaranya bagaikan
menggnocangkan padukuhan-padukuhan disekitarnya.
Ketika pada pagi harinya para prajurit mengadakan penelitian,
maka dilihatnya tali temali jembatan itu telah putus. Tetapi nampak
dengan jelas bekas-bekasnya, bahwa tali-tali yang putus itu adalah
akibat dari kesengajaan. Bekasnya nampak jelas, guratan pada tali
temali itu, sehingga mengakibatkan jembatan itu roboh sama sekali.
Para Panglima menjadi gelisah pula. Setiap malam penjagaan
menjadi semakin diperkuat. Para prajurit terpercaya hampir tidak
mendapat kesempatan untuk beristirahat sama sekali sehingga
mereka nampak menjadi sangat letih.
660 "Kita tidak akan dapat tinggal diam." berkata Panglima pengawal.
"Tuanku Tohjaya tidak dapat dibawa berbicara dalam saat-saat
terakhir." "Kita harus mencoba."
Demikianlah para Panglima itu pun menghadap Tohjaya yang
nampak kusut dan lemah. Ketika para Panglima menghadap, ia pun
menjadi tegang dan bertanya, "Kalian akan mengganggu aku lagi?"
"Tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Tuanku adalah
seorang Maharaja dari sebuah negara yang besar, yang
mempersatukan banyak telatah yang terbentang dari ujung Barat
sampai keujung Timur. Sudah sewajarnyalah bahwa tuanku
memperhatikan keadaan Singasari sebaik-baiknya."
"Kau menggurui aku he?" bentak Tohjaya.
"Ampun tuanku. Hamba tentu tidak akan berani berbuat
demikian. Jika hamba menghadap tuanku, sebenarnyalah hamba
semuanya akan mohon perlindungan tuanku."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Lalu ia pun mulai bertanya,
"Ada apa sebenarnya?"
Panglima Pelayan Dalam itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
hati-hati ia berkata, "Tuanku, hamba sekalian yang menghadap
adalah pengemban perintah tuanku. Para Panglima dan Senapati.
Seperti yang pernah tuanku dengar, bahwa Singasari telah
diguncangkan oleh peristiwa-peristiwa yang kurang dapat hamba
mengerti. Karena itu, sebaiknya tuanku memanggil para pemimpin
pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan. Apakah yang
sebaiknya kita lakukan bersama untuk mengatasi persoalan yang
berlarut-larut ini."
Tohjaya tidak segera menjawab. Kali ini agaknya ia mau
mendengarkannya. Tetapi tiba-tiba saja ia membentak, "Itu adalah
persoalan kalian. Kalian adalah prajurit dari kesatuan manapun juga.
Kalianlah yang berkuwajiban untuk menenteramkan kekisruhan
661 semacam itu. Bukan orang lain. Apakah yang dapat kau ketemukan
dari para pamimpin pemerintahan?"
"Tuanku, para pemimpin pemerintahan akan dapat memberikan
banyak petunjuk. Mungkin ada persoalan-persoalan yang langsung
atau tidak langsung menyangkut ketidak puasan beberapa golongan
dari lingkungan. Menurut ceritera, kehancuran Kediri pada masa
pemerintahan Tumapel dipegang oleh Sri Rajasa adalah karena
Kediri tidak menghiraukan persoalan yang timbul dikalangan
rakyatnya. Pertentangan antara Sri Maharaja Kediri dengan para
pemimpin agama." "Persetan dengan Kediri. Kediri adalah negara kecil yang lemah,
yang tidak lagi dapat mempertahankan dirinya sendiri. Tentu kau
tidak dapat memperbandingkannya dengan Singasari yang besar
sekarang ini. Dan jika kau mengangkat kalian pada pimpinan
keprajuritan, tentu dengan harapan bahwa kalian dapat mengatasi
semua kesulitan." Para Panglima hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dan
tiba-tiba saja seorang Panglima berkata, "Tuanku, apakah sudah
cukup jika hamba sekalian ini berusaha untuk meredakan keadaan
semata-mata dengan memperhatikan bidang kami. Maksud hamba
sekalian, apakah sudah cukup dengan kekerasan saja. Jika kita
hanya melakukan kekerasan, maka yang kita selesaikan adalah
persoalan yang ada dipermukaan saja. Kita tidak menghentikan
sebab dari kekisruhan itu."
"Aku tidak peduli. Itu adalah urusanmu. Kau akan dapat berbuat
apa saja. Tetapi jangan ganggu aku."
"Tuanku." berkata Panglima pasukan tempur yang masih agak
muda, "Apakah dengan demikian tuanku mernpercayakan segalanya
kepada hamba sekalian ini?"
Tohjaya membelalakkan matanya. Katanya, "Kalian adalah orangorang
yang paling bodoh. Jika aku mengangkat kalian pada jabatan
kalian sekarang ini tentu aku percaya kepada kalian. Pergilah.
Lakukanlah kuwajiban kalian dengan baik, agar aku tidak memaksa
662 kalian untuk mengundurkan diri atau memaksa kalian untuk
membunuh diri di hadapanku."
Para Panglima itu berpandangan sejenak. Tohjaya benar-benar
tidak dapat diajak berbicara lagi.
"Apakah dengan demikian berarti Singasari tidak lagi diperintah
oleh seorang Maharaja?" pertanyaan itu timbul disetiap hati. Baik
para Panglima, Senapati maupun para prajurit yang kemudian
mendengar persoalan itu. Tetapi para Panglima memang tidak dapat membiarkan keadaan
semakin memburuk, yang dapat mereka lakukan untuk sementara
adalah memperkuat penjagaan disegala tempat. Di pintu-pintu
gerbang dan di gardu-gardu parondan di dalam kota. Bahkan
peronda yang berkeliling pun gelombangnya dipersingkat dan
dengan demikian hampir setiap saat nampak beberapa orang
prajurit di sepanjang jalan.
Namun dalam pada itu, diantara penjagaan yang ketat, telah
timbul kecurigaan yang semakin mendalam diantara para prajurit.
Bahkan para Panglima dan Senapati selalu bertanya di dalam hati,
apakah salah seorang dari mereka beserta pengikutnya telah
membuat kekacauan itu. Selagi semua perhatian tertuju kepada
pengamanan kota, maka orang itu telah mempersiapkan diri untuk
merebut kedudukan Tohjaya yang sebenarnya memang sudah tidak
dapat dianggap sebagai pelindung lagi.
Dan yang paling parah, setiap orang dapat disangka berbuat
demikian. Setiap orang dapat dituduh ingin memanfaatkan keadaan
yang goyah itu untuk kepentingan pribadi masing-masing.
Karena itu, maka setiap orang mencoba untuk mengingat pada
saat dua orang berkuda putih itu dikejar-kejar oleh beberapa orang
prajurit, siapakah yang tidak nampak pada pusat pimpinan bersama
untuk mengemudikan perintah pengamanan di dalam kota.
Tetapi mereka tidak segera menemukan. Pada saat berita bahwa
orang berkuda putih itu lewat regol kota, maka,setiap Panglima pun
segera medapat pemberitahuan, dan mereka telah berkumpul untuk
663 mengawasi langsung usaha penangkapan yang gagal itu. Bahkan
ketika seorang Senapati melihat kebangsal Mahisa Agni, maka ia
pun berada di bangsalnya pula.
Ketidak pastian sikap dan keragu-raguan telah menguasai hati
setiap Panglima. Dipertajam lagi oleh kecurigaan dan ketidak
percayaan yang satu dengan yang lain. Dengan demikian maka
mereka pun tidak membicarakan setiap persoalan dengan terbuka.
Pada saat yang demikian itulah maka Lembu Ampal menganggap
bahwa saatnya memang sudah masak. Namun demikian ia masih
minta kepada Witantra dan Mahendra untuk sekali-sekali
mengganggu para prajurit dengan kuda dan pakaian putihnya.
Bahkan pada suatu saat Mahendra telah menyerang sekelompok
peronda di dalam kota. Begitu tiba-tiba ia meloncat dari kegelapan.
Meskipun ia tidak berkuda putih, tetapi pakaiannya masih
menunjukkan ciri penunggang kuda putih.
"Kalian tentu mengenal Kesatria Putih." berkata Mahendra.
"Omong kosong. Kesatria Putih adalah tuanku Anusapati."
"Aku adalah Anusapati." berkata Mahendra yang menutup
sebagian wajahnya dengan kerudung putihnya.
"Bohong. Tuanku Anusapati sudah wafat."
"Seperti kau lihat, aku masih hidup."
"Tentu bukan tuanku Anusapati. Anusapati telah wafat di arena
sabung ayam." "Kenapa?" Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Meskipun ia tidak melihat
sendiri, tetapi setiap orang pernah mendengar, terutama para
prajurit, bagaimana Anusapati terbunuh oleh Tohjaya. Meskipun
demikian, setiap prajurit pendukung Tohjaya, seakan-akan
mempunyai kuwajiban untuk tidak menyebutkannya.
Karena itu, maka prajurit itu pun kemudian menjawab, "Tuanku
Anusapati terbunuh dalam kerusuhan yang terjadi. Para pengawal
664 tidak dapat mengendalikan kebencian yang meluap kepada tuanku
Anusapati saat itu."
Orang berkerudung putih itu tertawa. Katanya, "Kau berbohong.
Dari sorot matamu aku menangkap bahwa kau tidak berkata
sebenarnya." "Aku berkata sebenarnya." jawab prajurit itu.
Suara tertawa dari balik kerudung putih itu terdengar semakin
keras. Katanya disela-sela suara tertawanya, "Tentu tidak. Akulah
yang paling mengetahui persoalan yang menyangkut diriku sendiri."
"Bohong." teriak seorang prajurit yang lain, "Kau bukan tuanku
Anusapati." "Aku akan membuktikannya nanti." berkata orang berkerudung
putih, "Tetapi cobalah berkata dengan jujur."
"Jangan memancing." sahut prajurit yang lain lagi.
"Aku tidak memancing. Tetapi jika kau tidak berkata dengan
jujur, maka kau akan menyesal. Aku adalah Anusapati."
Kata-kata itu merasa menusuk jantung para prajurit itu. Tetapi
pemimpin mereka kemudian menjawab, "Jangan hiraukan. Ia adalah
seorang yang menganggap kami terlampau dungu. Kami tahu pasti,
bahwa orang berkerudung putih itu bukan tuanku Anusapati.
Mereka telah melakukan kesalahan, karena pada suatu saat mereka
muncul bersama-sama. Dua orang berkerudung putih dan
menunggang kuda putih. Jika Kesatria Putih itu tuanku Anusapati
maka ia tidak akan dapat menjadi dua."
Suara tertawa orang berkerudung putih itu menjadi semakin
keras. Katanya, "Wadagku tidak lagi seperti wadagmu. Aku sudah
mencapai kesempurnaan. Juga penguasaan atas wadagku dan ujud
halusku. Aku dapat nampak seperti dua, tiga atau lebih."
"Omong kosong."
"Nah, dengarlah. Aku tahu pasti tentang diriku. Aku telah
dibunuh bukan oleh rakyat Singasari seperti yang aku katakan.
665 Tetapi oleh adinda Tohjaya dengan keris Empu Gandring. Nah,
apakah kau juga mengetahui bahwa keris bertangkai dahan
cangkring itu akulah yang memberikannya kepada adinda Tohjaya
itu" Selagi aku asyik memperhatikan ayam yang bersabung tanpa
taji, maka aku telah ditusuknya. Dan aku disangkanya mati. Tetapi
aku tidak mati. Justru aku kini mencapai tingkat ilmu yang tidak
akan terjangkau oleh siapa pun juga. Termasuk ujudku yang dapat
kalian lihat menjadi dua atau tiga."
Para prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ada sedikit
kebimbangan di dalam hati mereka. Namun akhirnya pemimpin
prajurit itu pun berkata lantang, "Kau hampir berhasil menakuti
kami. Tetapi kami memang tidak sedungu yang kau sangka. Jika
kau benar-benar tuanku Anusapati, maka bukti yang paling baik kau
berikan adalah membuka wajahmu. Kami semuanya telah mengenal
dengan baik wajah tuanku Anusapati, sehingga tentu tidak akan ada
keragu-raguan lagi."
Sejenak orang berkerudung putih itu tidak menjawab. Namun
kemudian suara tertawanya terdengar lagi. Katanya, "Kalian
memang benar-benar orang bodoh. Orang yang sudah mencapai
kesempurnaan seperti aku, maka tidak ada lagi yang dapat dikenal
dari batasan ujud. Aku dapat merubah ujudku menjadi apapun juga,
seperti menjadi berapa pun juga."
Tetapi pemimpin prajurit itu menggeram. Katanya, "Kita tidak
ada waktu untuk berbicara seperti orang gila. Sekarang, jangan
biarkan orang ini berbicara lagi. Tangkap orang itu dan kita akan
mendapatkan keterangan daripadanya tentang permainanpermainan
gila pada saat terakhir yang terjadi di Singasari."
Para prajurit itu pun tidak menunggu perintah lebih banyak lagi.
Mereka pun segera bergerak mengepung orang berpakaian serba
putih itu. "Menyerahlah." berkata pemimpin peronda itu.
"Kalian tidak dapat memaksa aku." sahut orang berkerudung
putih itu. 666 Tetapi prajurit-prajurit itu tidak menjawab lagi. Mereka pun
segera mempersempit kepungan itu, dan senjata mereka pun sudah
mulai teracu. Orang berkerudung putih itu masih tetap diam ditempatnya.
Sekali-sekali ia memandang ujung-ujung senjata itu dengan wajah
yang kosong.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menyerahlah." pemimpin peronda itu berkata, "Jika kau
menyerah, persoalannya akan menjadi lebih baik bagimu. Tetapi jika
kau melawan, maka akibatnya akan kau sesali nanti."
Orang itu tidak menyahut.
"Cepat, menyerahlah."
Orang berkerudung putih itu kemudian menjawab perlahan,
"Apakah kalian memang ingin menangkap aku."
"Ya. Kali ini kau tidak akan dapat lolos. Seandainya kau berhasil
melepaskan diri dari tangan kami, kami akan segera membunyikan
isyarat. Setiap gardu perondan dan peronda yang sedang hilir mudik
pun akan segera bertindak sehingga kau tidak akan mempunyai
kesempatan apapun lagi."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya ujung senjata
yang teracu kepadanya. "Ayo cepatlah menyerah." perintah pemimpin peronda itu.
Orang berkerudung putih itu masih berdiam diri sejenak. Dengan
tajamnya ia memandangi orang-orang yang mengepungnya dengan
senjata terhunus itu. "Cepat." teriak pemimpin peronda itu. "Atau kami akan beramairamai
membunuhmu." "Apakah untungnya kalian membunuhku" Kalian tentu ingin
menangkap aku hidup-hidup."
667 "Ya, apabila mungkin. Tetapi jika tidak, maka kami akan
membunuhmu. Dengan demikian maka kekacauan di daerah ini
akan berkurang." "Tidak ada gunanya. Aku masih akan tetap berkeliaran untuk
membebaskan rakyat Singasari dari kekuasaan orang yang telah
membunuhku. Membunuh Kesatria Putih."
Pemimpin peronda itu tidak bersabar lagi. Dengan lantang ia
berkata, "Tangkap orang itu. Jika ia melawan, maka tidak ada jalan
lain kecuali melumpuhkannya dengan kekerasan. Ia akan kita peras
sampai menyebutkan keterangan tentang dirinya. Atau kita hukum
picis di s impang empat."
Namun para peronda itu terkejut, la melihat orang itu bergetar.
Kemudian diluar kemampuan pengamatan mereka, maka orang itu
sudah berada di luar kepungan.
Pemimpin peronda itu termangu-mangu sejenak. Wajahnya menjadi
tegang. Namun ia pun segera menyadari keadaannya dan
berteriak, "Bunuh saja orang itu."
Serentak para peronda itu menyerang. Tetapi orang berkerudung
putih itu sudah s iap dengan senjata di tangannya. Sehingga dengan
demikian maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang
seru. Namun ternyata menangkap atau membunuh orang berkerudung
putih itu memang tidak semudah yang mereka sangka. Beberapa
kali para peronda itu seolah-olah kehilangan jejak lawannya.
Dengan tegang mereka mendengar orang berkerudung putih itu
tertawa di belakang mereka sambil berkata, "Aku ada di sini."
Pemimpin peronda itu menjadi semakin marah. Tetapi juga
sepercik keheranan bahwa kemudian mengarah kepada perasaan
cemas, bahwa lawannya benar-benar Anusapati yang justru sudah
mencapai kesempurnaan. Namun demikian ia adalah seorang prajurit. Karena itu, maka ia
pun bertempur terus dengan sekuat tenaganya.
668 Tetapi perkelahian itu sama sekali tidak menarik lagi. Para
peronda lebih banyak menjadi bingung daripada bertempur. Setiap
kali mereka berdiri tegang jika mereka kehilangan lawannya yang
mampu bergerak secepat tatit yang berloncatan di langit.
"Jangan bingung." berkata orang berkerudung putih itu, "Jika
kalian dapat menangkap hantu, kalian akan dapat menangkap aku."
Kata-kata itu benar-benar telah membuat bulu-bulu tengkuk
mereka meremang. Lawan mereka itu benar-benar seperti hantu
yang dapat bergerak tanpa menyentuh tanah.
Meskipun demikian, mereka masih mencoba untuk tetap
bertabah hati. Mereka masih menyerang terus. Ketakutan dan
kecemasan mereka semakin lama menjadi semakin tajam menusuk
jantung. Tetapi karena sampai saat terakhir belum ada di antara
mereka yang terluka apalagi terbunuh, mereka pun masih juga
mencoba untuk bertempur. "Kami tidak dapat menyentuhnya." berkata salah seorang dari
mereka di dalam hati, "Tetapi agaknya hantu putih itu pun tidak
dapat menyentuh kami."
Karena dugaan itu, maka beberapa orang diantara masih
mencoba terus. Namun mereka bertanya juga di dalam hati, "Jika
demikian, apakah gunanya kita bertempur. Tentu tidak akan ada
akhirnya sampai kami pingsan kelelahan."
Tetapi tiba-tiba saja orang-orang yang bertanya-tanya di dalam
hati itu terkejut ketika salah seorang dari prajurit itu berdesis
tertahan. Sepercik darah mereka memancar dari luka yang tergores
di bahunya. "Luka." salah seorang dari mereka menggeram.
Sebenarnyalah bahwa orang berkerudung putih itu bukan
sekedar bayangan hantu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat
menyentuh. Karena salah seorang dari mereka ternyata telah
terluka di pundak. Meskipun luka itu agaknya tidak parah, tetapi
darah telah mengalir dari luka itu.
669 Selagi para prajurit itu termangu-mangu, maka orang berkerudung
putih itu berkata di antara suara tertawanya. "Jangan terkejut.
Aku dapat membuat luka lebih dalam lagi di pundak, bahu bahkan di
perutmu. Tetapi aku kira itu tidak akan ada gunanya karena Kesatria
Putih sama sekali tidak ingin memusuhi kalian. Yang aku lakukan
sekarang adalah memberitakan kehadiranku. Sebentar lagi
Anusapati akan kembali ke atas tahta Singasari. Jika aku sendiri
tidak lagi memerlukan kedudukan itu, maka anakku lah yang akan
datang kepada kalian dan memerintah kalian seperti aku sendiri
melakukannya." Para prajurit itu menjadi bingung sejenak. Tetapi ketika suara
tertawa orang berkerudung putih itu mereda, maka pemimpin
peronda itu pun menyadari keadaannya. Lawannya bukan hantu,
tetapi seseorang yang memiliki ilmu tiada taranya. Karena itu, maka
ia pun segera meneriakkan aba-aba untuk membunyikan isyarat.
Sejenak kemudian terdengar suara kentongan memecah sepi
yang menyelubungi kota. Dan suara itu pun kemudian menjalar dari
kentongan yang satu ke kentongan yang lain, sehingga seluruh kota
menjadi sibuk karenanya. Para prajurit segera bersiaga. Sebagian
ada di gardu masing-masing, sedang yang lain dengan kesiagaan
yang tertinggi, menyusuri jalan-jalan kota untuk menemukan orang
yang selama itu telah mengganggu ketenangan kota Singasari.
Mereka pasti bahwa orang berkerudung putih itu telah berada di
dalam kota karena mereka sudah bersetuju untuk memberikan
tanda yang khusus jika salah seorang prajurit melihat orang
berkerudnng putih itu ada di dalam kota.
Dalam pada itu, maka setiap regol pun seolah-olah telah tertutup
rapat. Tidak ada seekor kelinci pun yang dapat keluar meninggalkan
kota tanpa menembus penjagaan. Bahkan lorong-lorong sempit
yang menghubungkan kota dengan daerah di luarnya pun mendapat
pengawasan dengan saksama. Bukan saja peronda vang berjalan
dari sebuah mulut lorong kemukit lorong yang Iain, tetapi beberapa
orang prajurit dan para peronda disetiap padukuhan dengan
670 berdebar-debar menunggui lorong- lorong itu tanpa mengedipkan
mata. Orang yang memakai kerudung putih itu pun mendegar bahwa
diseluruh kota telan terdengar bunyi tanda yang khusus baginya.
Namun ia masih sempat tertawa dan berkata, "Tidak ada gunanya.
Tidak ada seorang pun dari isi Singasari yang dapat menangkap
aku." "Kami akan menghubungi Mahisa Agni. Kau akan ditangkapnya
dan di cincangnya." sahut seorang prajurit dengan tiba-tiba.
Sejenak orang berkerudung putih itu terdiam. Tetapi kemudian ia
menjawab, "Mahisa Agni seolah-olah sedang ditawan di dalam
bangsalnya Setiap kali ia keluar, maka para prajurit selalu
mengawasinya. Apalagi jika ia keluar dari halaman istana. Karena
itu, ia tidak akan dapat melakukan seperti yang kau katakan."
"Untuk kepentingan seperti ini, ia tentu tidak akan berkeberatan."
Orang berkerudung putih itu tertawa, katanya, "Tetapi ternyata
bahwa ia tidak keluar dari bangsalnya meskipun ia mendengar suara
tengara itu. Aku tidak akan cemas sama sekali. Tetapi aku harus
pergi. Jika aku tidak pergi, dan para prajurit yang lain datang
mengepungku, maka korban akan berjatuhan. Aku tidak akan
sekedar menggores pundak atau punggung atau lengan. Tetapi aku
akan menyobek lambung dan barangkali memenggal kepala sampai
putus." "Kau tidak dapat pergi." bentak pemimpin prajurit itu. Dan
berbareng dengan itu, maka yang lain pun telah mengepungnya
pula. Tetapi seperti yang telah terjadi, orang itu dengan mudahnya
dapat menembus kepungan itu sambil berkata, "Tunggulah.
Sebentar lagi kawan-kawanmu akan datang. Tetapi aku sudah pergi
jauh sekali. Selamat tinggal kawan-kawan yang baik."
Belum lagi gema suaranya lenyap, orang berkerudung putih itu
pun telah meloncat dan lenyap ke dalam lorong sempit.
671 Para prajurit itu mencoba untuk mengejarnya. Tetapi karena
orang berkerudung putih itu menyusup ke dalam lorong dan seperti
anak panah yang terlepas dari busurnya, meluncur dengan cepat
sekali, maka prajurit-prajurit itu tidak mengejarnya lagi. Adalah
sangat berbahaya untuk menyusulnya dalam urutan seorang demi
seorang. Karena seorang demi seorang itu akan dengan mudah
dapat menjadi umpan senjatanya.
Karena itu, maka prajurit-prajurit itu pun kemudian berhenti termangu-
termangu di mulut lorong. Mereka memandang ke dalam
kekosongan karena orang berkerudung putih itu telah lenyap.
Sejenak kemudian maka kelompok yang pertama dari prajurit
peronda berkuda telah datang. Dengan serta-merta prajurit-prajurit
yang baru saja bertempur itu pun menceriterakan apa yang telah
terjadi. "Orang itu masuk ke dalam lorong ini." berkata pemimpin
kelompok peronda yang sudah bertempur itu.
"Kenapa kau biarkan saja?"
"Kami sudah bertempur. Seorang kawan kami terluka."
Peronda yang berkuda itu pun kemudian berbicara di antara
mereka sejenak, lalu mereka pun memutuskan untuk mengejarnya
dan minta agar perajurit yang telah bertempur itu memberitahukan
kepada peronda-peronda berikutnya untuk mengepung tempat itu.
Demikianlah maka beberapa orang berkuda itu pun menyusul
menyusup ke dalam lorong sempit itu. Tetapi mereka pun sadar
bahwa cara itu bukan cara yang sebaik-baiknya karena orang
berkerudung itu akan dengan mudahnya bersembunyi di halaman
sebelah menyebelah lorong itu.
Namun, sejenak kemudian prajurit-prajurit Singasari yang sigap
telah mengepung tempat itu. Setiap ujung lorong telah dijaga
sebaik-baiknya. "Tidak ada peronda yang bertemu dengan seorang pun di jalanjalan
kota." berkata seorang Senapati, "Jika benar orang itu
672 memasuki padesan itu, maka ia tentu masih ada disana. Kita akan
mengepungnya dan mencari dari rumah kerumah yang lain sampai
pagi. Jika kita menemukan orang yang mencurigakan, maka orang
itu harus ditangkap dan dibawa kepadaku."
Demikianlah desa itu bagaikan tertutup. Setiap jengkal dinding
yang mengelilinginya mendapat mengawasan dengan saksama
sehingga tidak akan ada seorang pun yang dapat keluar dari desa
itu tanpa diketahui oleh para penjaga.
Selain penjagaan yang rapat di desa itu, maka di setiap pintu
gerbang kota dan lorong-lorong pun masih tetap dijaga oleh para
prajurit dan peronda-peronda dari padesan masing-masing.
Seperti yang dikatakan oleh Senapati itu, maka para prajurit pun
mulai mencari orang berkerudung putih itu.
Tetapi agaknya memang tidak terlalu mudah melakukannya.
Meskipun setiap jengkal tanah di setiap halaman seolah-olah telah
terinjak oleh para prajurit, namun mereka tidak menemukan orang
yang dicarinya. "Tentu orang itu sudah melepaskan kerudung putihnya." berkata
setiap prajurit. Namun kemudian timbul pertanyaan, "Siapakah di
antara laki-laki penghuni desa itu yang pantas dicurigai?"
(Bersambung ke jilid 10) Koleksi : Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
673 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 10 TIDAK SEORANG PUN yang dapat dituduh menjadi orang
berkerudung putih. Mereka
adalah penduduk yang sederhana. Jika mereka menemukan anak muda yang gagah, baik di rumahnya maupun di gardu peronda, maka mereka mencoba melihat,
apakah anak muda itu berkeringat dan menunjukkan
tanda-tanda kelelahan. Tetapi mereka tidak menemukannya. Seperti yang dikatakan oleh
Senapati, maka desa itu tidak
segera dilepaskan dari kepungan. Ketika hari menjadi siang, maka pencaharian pun
menjadi semakin teliti. Tetapi mereka tidak dapat menemukannya.
Kecurigaan terhadap seseorang pun tidak.
Sekali lagi para prajurit Singasari gagal. Dan mereka pun sadar,
bahwa kegagalan-kegagalan serupa itu akan berlangsung berulang
kali. Orang berkerudung putih itu benar-benar orang yang memiliki
ilmu yang tiada taranya. 674 "Kecuali jika Mahisa Agni mau mencoba menangkapnya." berkata
salah seorang Senapati. "Tidak ada gunanya memaksa orang itu untuk berbuat sesuatu."
jawab yang lain, "Ia sudah kehilangan semua harapan masa
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depannya. Ia tidak ubahnya seperti seekor kepompong di dalam
bilik itu." "Kau salah. Ia adalah orang yang paling mencintai Singasari. Jika
tidak demikian, kematian tuanku Anusapati tentu akan dapat
mendorongnya untuk menyobek jantung Singasari dari Kediri. Ia
mempunyai pengaruh yang sangat besar. Tetapi ia taat memenuhi
panggilan tuanku Tohjaya. Ia datang dan membiarkan dirinya
berada di dalam bilik itu, meskipun ia tetap berada di bilik itu
bersama beberapa orang pengawalnya dengan selembar kain putih
di lehernya." "Sungguh tidak dapat dimengerti. Apakah arti dari perbuatannya
itu. Tetapi aku justru menjadi curiga akan kediamannya itu."
"Sudah berkali-kali dibuktikan, bahwa orang yang berkerudung
itu tentu bukan Mahisa Agni."
"Ya. Tetapi siapa tahu, ia mempunyai kawan-kawan yang dapat
berbuat demikian." Kawannya berbicara tidak menjawab. Bagi Singasari orang
berkerudung putih itu memang sebuah teka-teki yang cukup besar.
Meskipun demikian, betapapun kemungkinan untuk menangkapnya
terlampau tipis, tetapi para Senapati tidak menjadi
berputus asa. Adalah kuwajiban mereka untuk melakukannya.
Betapapun sulit dan berbahayanya.
Tetapi agaknya orang-orang yang menyebut dirinya Kesatria
Putih itu telah menyiapkan rencana yang lain. Witantra dan
Mahendra merasa sudah cukup banyak membuat orang-orang Singasari
menjadi bingung. 675 Karena itulah maka sampai saatnya Lembu Ampal lah yang harus
berbuat sesuatu untuk menambah kecurigaan antara prajurit
Singasari sendiri. Antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain.
"Tetapi hati-hatilah." pesan Witantra kepada Lembu Ampai ketika
ia akan mulai dengan rencananya.
"Tetapi aku terpaksa mengorbankan satu dua orang prajurit
untuk mencapai maksud itu."
Witantra mengerutkan keningnya. Nampak wajahnya menjadi
termangu penuh kebimbangan.
"Tidak ada jalan lain." berkata Lembu Ampal, "Karena kuatnya
dua golongan itulah yang merupakan pendukung paling kuat dari
tuanku Tohjaya sekarang ini."
"Maksudmu pasukan Pengawal yang kebanyakan terdiri dari
golongan Rajasa dan Pelayan Dalam dari golongan Sindir?"
"Ya." Lembu Ampal menganggukkan kepalanya.
"Kadang-kadang kita memang tidak dapat menghindarkan jatuhnya
korban." berkata Mahendra kemudian, "Kematian Kebo Ijo
adalah korban yang lebih menyedihkan lagi. Bahkan Empu Gandring
sendiri. Terakhir adalah Akuwu Tunggul Ametung baru kemudian
Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa dapat menduduki
tahta." Mahendra berhenti sejenak, lalu, "Setelah mereka itu, jatuh
pula korban yang disebut Pangalasan dari Batil dan Sri Rajasa
Sendiri sebelum Anusapati sendiri menjadi korban pola. Korbankorban
itu memang masih akan berjatuhan, sampai saatnya tahta
kembali kepada yang berhak sesuai dengan keturunannya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang tidak
ada jalan lain untuk mencapai tujuan tanpa jatuhnya korban.
"Mereka adalah lawan kita." berkata Lembu Ampal.
"Tetapi kita belum turun ke medan peperangan."
"Aku tidak dapat melihat jalan lain." desis Lembu Ampal.
676 Akhirnya Witantra tidak dapat menolak lagi. Memang tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh. Jalan yang direncanakan Lembu
Ampal adalah jalan yang paling sedikit menelan korban. Sebab
dengan jalan lain, dengan jalan kekerasan saja, korban akan
berjatuhan semakin banyak.
"Tetapi mereka yang kebetulan sekali diumpankan sebagai
korban itu adalah orang-orang yang nasibnya sangat malang."
Lembu Ampal tidak menyahut. Jika ia tenggelam dalam keibaan
seperti Witantra, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi
untuk mengembalikan tahta kepada keturunan Ken Dedes.
Tetapi ternyata Witantra tidak melarangnya. Bahkan ke mudian
Witantra berkata, "Tetapi terserah kepadamu lembu Ampal. Aku
yakin bahwa kau pun cukup bijaksana."
"Aku akan mencoba sebaik-baiknya." sahut Lembu Ampal,
"Memang agaknya selama ini Kesatria Putih memang tidak
merampas korban jiwa sama sekali. Hanya beberapa orang menjadi
luka-luka. Tetapi kali ini aku terpaksa sekali harus mengambil
korban jiwa." Lembu Ampal berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi jika
aku gagal, maka jiwakulah yang akan diambil oleh para prajurit
Singasari." "Kami akan mencoba mengawasi dan sejauh mungkin
membantumu jika kau berada dalam kesulitan."
"Terima kasih. Sebenarnyalah bahwa kau berdua telah berbuat
jauh lebih banyak dari yang akan aku lakukan."
Demikianlah maka Lembu Ampal pun telah menyiapkan
rencananya sebaik-baiknya. Setelah beberapa lama ia bergaul dengan
Witantra dan Mahendra, dan tanpa malu-malu ia belajar dari
keduanya, maka ilmu Lembu Ampal pun telah jauh bertambah. Jika
semula ia adalah seorang Senapati kepercayaan dengan ilmu yang
dianggap cukup baik di antara para Senapati, maka setelah ilmunya
meningkat, Lembu Ampal menjadi semakin banyak memiliki
kelebihan dari para prajurit pada umumnya, bahkan dengan para
Senapati. 677 Dalam pada itu, peristiwa yang telah terjadi berturut-turut di
Singasari telah banyak menimbulkan persoalan pada para pemimpin
pemerintahan, para Panglima dan para Senapati.
Rasa-rasanya kecurigaan di antara mereka semakin lama menjadi
semakin tajam mengorek jantung masing-masing. Bagi para prajurit
semakin tajam mengorek jantung masing- masing. Bagi para prajurit,
adalah mustahil jika orang yang menyebut dirinya Kesatria
Putih itu dapat lenyap begitu saja beberapa kali, dan berhasil
melepaskan diri, jika tidak ada di antara para prajurit itu sendiri
yang dengan sengaja melindunginya.
"Yang menyebut dirinya Kesatria Putih itu tentu bukan hantu."
berkata salah seorang Senapati, "Karena itu tidak mungkin ia
menghilang begitu saja, atau bahkan menjadi dua atau tiga atau
sepasukan Kesatria Putih yang berbaris di sepanjang jalan kota."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi di antara mereka tidak
dapat melenyapkan kecurigaan yang sudah terlanjur tertatanam di
dalam hati. "Jika pada suatu saat aku dapat menemukan." geram seorang
Senapati muda, "Maka akan terbongkarlah sekelompok pengkhianat
yang selama ini dapat bekerja dengan rapi sekali."
Kawannya berbicara memandanginya sejenak. Lalu katanya,
"Apakah kau yakin bahwa yang melakukan itu sekelompok
pengkhianat yang tersusun dalam suatu kerja sama yang rapi atau
hanya satu dua orang saja."
"Tentu sekelompok orang." tiba-tiba seorang prajurit yang lain
menyahut. Ketika kedua prajurit yang sedang berbicara itu berpaling,
dilihatnya seorang Senapati dari pasukan yang lain duduk di
belakang mereka. Seperti acuh tidak acuh saja Senapati itu
meneruskan, "Bahkan mungkin dipimpin oleh orang yang
berkedudukan penting di Singasari."
678 Kedua prajurit yang semula bercakap-cakap itu memandang
Senapati yang tanpa diduga berada di belakangnya itu dengan sorot
mata yang aneh. Namun pada sorot mata itu terpancar kecurigaan.
Tetapi keduanya tidak menanggapinya. Keduanya akhirnya
berdiam diri tanpa menjawab lagi.
Namun demikian, ternyata di bagian lain dari istana Singasari,
ketika para peronda di malam hari nganglang di taman, sekelompok
Pelayan Dalam memandang dua orang dari Pasukan Pengawal yang
melintas di hadapan mereka dengan pandangan mata yang penuh
kecurigaan pula. "Aku tidak dapat mempercayai Pasukan Pengawal lagi." berkata
salah seorang Pelayan Dalam, "Ternyata mereka hampir tidak
berbuat apa-apa dalam keadaan yang tegang ini. Mereka sama
sekali tidak tergerak untuk menangkap orang yang menyebut
dirinya Kesatria Putih."
"Mereka merasa bahwa tugas mereka adalah mengawal istana
dan keluarga Maharaja." sahut yang lain, "Seperti kita pun tidak
akan berbuat lain kecuali bertugas di dalam istana melayani Tuanku
Tohjaya dan keluarganya meskipun kita juga seorang prajurit."
"Tetapi pasukan pengawal mempunyai tugas pengamanan
langsung atau tidak langsung. Ia tidak boleh membiarkan prajuritprajurit
Singasari yang lain bergerak sendiri dalam kesulitan tanpa
berbuat apa-apa." "Menurut pendengaranku, sekelompok Pasukan Pengawal
berkuda telah ikut mencari Kesatria Putih."
"Tetapi mereka tidak akan menemukan. Pasukan Pengawal itu
nampaknya semakin lama semakin jauh dari tuanku Tohjaya."
"Itu tidak mungkin." desis yang lain lagi. "Mereka adalah Pasukan
kinasih." "Kau ingat saat terbunuhnya tuanku Anusapati" Pasukan
Pengawal baginya saat itu adalah justru sekelompok pembunuh
679 yang mengerikan, meskipun keris yang menikam tubuhnya berada
di tangan tuanku Tohjaya."
Kawannya saling berdiam diri. Selama ini Pasukan Pengawal
memang kehilangan arti. Mereka tidak berhasil menyelamatkan Sri
Rajasa pada jaman pemerintahannya. Merekapun kemudian tidak
berhasil melindungi Anusapati. Seharusnya pasukan pengawallah
yang bertugas untuk menjaga dan melindungi Maharaja Singasari.
Tetapi dua orang Maharaja telah terbunuh.
"Dan sekarang. Pasukan Pangawal Singasari itu pun tampaknya
tidak meyakinkan." Pelayan Dalam itu berkata di dalam hati masingmasing.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka pun prajuritprajurit
yang khusus yang mendapat tugas langsung di dalam
istana. Mereka adalah prajurit-prajurit yang lebih dekat kepada
Maharaja pada masa pemerintahan siapa pun juga. Tetapi di luar
istana, mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa.
Seperti anggauta Pasukan Pengawal, maka Pelayan Dalam pun
adalah prajurit-prajurit terpilih. Mereka memiliki kelebihan dari
prajurit-prajurit kebanyakan karena tugas mereka yang khusus.
Dalam pada itu, sebaliknya anggota Pasukan Pengawal yang
melintas, dan melihat sekelompok Pelayan Dalam duduk bercakapcakap
itu pun membicarakannya pula. Seorang yang bertubuh tinggi
berkata kepada kawannya, "Apakah sebenarnya mereka lakukan di
dalam masa yang penuh teka teki ini" Duduk berkelompok, makan,
minum, dan saling berebutan jika tuanku Tohjaya memberikan
sesuatu. Bahkan sisa makannya sekalipun."
"Ah, kau terlampau berprasangka. Mereka mempunyai tugasnya
sendiri." sahut kawannya yang agak pendek tetapi berdada bidang.
"Aku tahu. Tetapi mereka pun bertanggung jawab atas
keselamatan Singasari dan tuanku Tohjaya. Apakah kau ingat, saat
meninggalnya Sri Rajasa di bagian belakang bangsalnya.
Sebenarnya yang harus mengetahui persoalannya adalah Pelayan
680 Dalam. Mereka bertugas di dalam bangsal-bangsal istana. Sedang
kami bertugas di luar, di pintu gerbang dan di sudut istana ini."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk
kecil. Bahkan ia masih sempat berpaling dan melihat Pelayan Dalam
itu masih saja duduk di tempatnya.
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Pelayan Dalam yang juga
Dendam Empu Bharada 26 Lima Sekawan Menyergap Penyelundup Mutiara Lima Setan Dari Barat 2