Sepasang Ular Naga 13
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 13
"Tentu ada petugas sandi yang sengaja memancing kekeruhan.
Merekalah agaknya yang membunuh orang Rajasa dengan pakaian
orang Sinelir. Kemudian membunuh orang Sinelir dengan
meninggalkan ciri-ciri orang Rajasa. Dengan demikian kita akan
741 berbenturan yang satu dengan yang lain, sementara itu tuanku
Tohjaya telah menjatuhkan hukuman yang sangat mengerikan
meskipun itu lebih baik dari hukuman picis."
Panglima Pelayan Dalam mengangguk-angguk. Lalu dipandanginya
Senapati yang lain dengan tajamnya.
Senapati itu bergeser setapak. Kemudian katanya, "Aku
sependapat. Apa artinya pengabdian yang kita berikan jika kita tidak
dapat mengharapkan Singasari menjadi semakin baik. Ternyata
bahwa pamrih pribadi yang kita harapkan dengan mendukung
tuanku Tohjaya tidak terpenuhi seperti yang dijanjikan. Apalagi kita
Singasari seakan-akan menjadi buram. Waktu yang singkat selama
pemerintahan Tuanku Tohjaya telah menyeret Singasari ke dalam
suasana yang sangat gelap."
Panglima Pelayan Dalam itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang
membayangkan keragu-raguan.
Sebelum Panglima itu berkata sesuatu, Lembu Ampal telah
mendahuluinya berkata, "Baiklah. Kalian dapat membuktikan, bahwa
aku tidak berkata tanpa arah. Jika kalian kehendaki, aku dapat
membawa kalian kepada tuanku Ranggawuni. Kini tempatnya
bukannya suatu rahasia lagi, karena tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka sudah siap menghadapi segala kemungkinan."
"Lembu Ampal." berkata Panglima Pasukan Pengawal, "Aku
percaya kepadamu. Tetapi tentu aku tidak sebodoh yang kau
sangka, bahwa aku akan pergi bersamamu ketempat yang tidak aku
ketahui." Lembu Ampal tertawa. Katanya, "Memang sewajarnya. Aku
memang tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Aku merasa bahwa
sudah ada kepercayaan yang diberikan kepadaku, tetapi masih
belum sejauh itu." Lembu Ampal berhenti sejenak, "Baiklah. Jika
kalian masih ragu-ragu untuk pergi menemui ngirimkan masingmasing
seorang Senapati untuk bertemu langsung dengan tuanku
Ranggawuni." 742 Kedua Panglima itu termangu-mangu sejenak. Agaknya mereka
masih tetap ragu-ragu. "Tetapi terserahlah kepada kalian." berkata Lembu Ampal.
"Mungkin kalian memilih menggabungkan diri setelah tuanku
Ranggawuni menduduki istana."
Panglima Pelayan Dalam menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang seorang Senapatinya, maka Senapati itu berkata, "Jika
aku mendapat perintah, aku akan pergi bersama Lembu Ampal."
Panglima Pelayan Dalam itu termenung sejenak, lalu ia ia pun
menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Jika Panglima
Pasukan Pengawal sependapat, kau akan pergi bersama Lembu
Ampal." Ternyata Panglima Pasukan Pengawal itu pun tidak berkeberatan.
Ia pun kemudian menunjuk seorang Senapati yang mengawalnya
untuk pergi bersama Lembu Ampal menghadap tuanku Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. "Nah, jika demikian, kita akan segera pergi. Jika kita lambat,
maka akan ada prajurit dari golongan lain yang melihat kita. Dan
kita tidak akan pernah dapat kembali."
Demikianlah ketika kemudian Panglima Pasukan Pengawal
kembali ke rumahnya, maka Lembu Ampal dan dua orang Senapati
telah pergi untuk menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dengan hati-hati mereka mencari jalan untuk keluar dari kota,
tanpa diketahui oleh para penjaga. di setiap jalan, lorong bahkan
jalan-jalan setapak, telah mendapat pengawasan yang sangat ketat
dari para prajurit Singasari.
Namun dengan pengalaman Lembu Ampal keluar masuk kedalam
kota, maka mereka pun dapat sampai keluar kota dengan selamat.
"Kita akan berjalan semalam suntuk?" bertanya Senapati dari
golongan Rajasa. "Tidak. Tidak terlampau jauh." jawab Lembu Ampal.
743 "Kau berkata sebenarnya?" bertanya Senapati dari golongan
Sinelir. "Aku tidak berbohong."
Ketiganya pun kemudian berjalan semakin cepat. Mereka memilih
jalan melintas, menyusur pematang dan jalan-jalan sempit.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah padukuhan kecil di tengahtengah
bulak yang luas. Sambil memandang padukuhan itu Lembu
Ampal berkata, "Di situlah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka bersembunyi."
"Selama ini?" bertanya kedua Senapati itu hampir berbareng.
"Ya." jawab Lembu Ampal.
"Aku tidak percaya." berkata Senapati dari golongan Rajasa.
Lembu Ampal tertawa. Katanya, "Kadang-kadang keduanya ada
di padukuhan itu." Kedua Senapati itu menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak
berniat untuk mengurungkan maksudnya.
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki padukuhan
kecil yang terpencil itu. Di regol padukuhan kedua Senapati itu
terkejut. Mereka melihat sepasukan prajurit Singasari yang lengkap
berada di sepanjang jalan. Sebagian dari mereka berada di gardu
dan yang lain bertebaran di dalam kegelapan.
"Inilah prajurit-prajurit Singasari yang berpihak kepada tuanku
Ranggawuni?" bertanya Senapati dari golongan Sinelir.
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat menjawab, ketika seorang dari
prajurit itu mendekatnya sambil bertanya, "Siapakah yang datang
bersamamu Lembu Ampal?"
"Dua orang Senapati dari Singasari. Seorang Senapati dari
Pasukan Pengawal dan yang lain Pelayan Dalam."
744 Orang yang bertanya itu memandang kedua Senapati itu sejenak.
Kemudian dengan isyarat ia mempersilahkan Lembu Ampal berjalan
terus. "Kau kira pasukanmu ini cukup untuk menguasai istana saja?"
bertanya Senapati dari golongan Rajasa, "Apalagi untuk menguasai
seluruh kota. Prajurit Singasari yang berada di halaman kini segelar
sepapan, sedang yang ada di sekitar istana hampir tidak terhitung
lagi." Lembu Ampal tertawa, katanya, "Yang kau lihat adalah sebagian
kecil. Jumlah prajurit tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
benar-benar tidak terhitung. Seluruh rakyat Singasari akan berada
dipihaknya." Kedua Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka
tidak dapat menolak pendapat Lembu Ampal itu. Ketidak puasan
rakyat Singasari terhadap Tohjaya akan dengan mudah
menumbuhkan keinginan untuk menghirup udara baru, meskipun
mereka belum tahu pasti bahwa yang baru itu akan lebih baik dari
yang telah ditolaknya. Yang penting bagi mereka adalah suatu
perubahan. Apalagi jika yang baru itu benar-benar dapat memberikan
harapan kepada mereka. Memberikan bayangan masa depan yang
lebih baik. Karena itu maka kedua Senapati itu tidak bertanya lagi. Mereka
berjalan saja dengan tegang di antara prajurit yang berserakan.
Namun semakin dalam mereka memasuki padukuhan kecil itu,
mereka melihat bahwa prajurit yang ada di padukuhan itu pun
cukup banyak. "Kita akan menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." berkata Lembu Ampal.
Kedua Senapati itu mengangguk. Salah seorang dari mereka
menjawab, "Baiklah. Mudah-mudahan aku mendapatkan
kepercayaan atas keduanya sehingga aku akan dapat memberikan
745 pertimbangan kepada Panglima untuk mengambil keputusan seperti
yang kau harapkan." Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Maksud tuanku Ranggawuni
dan tuanku, Mahisa Cempaka, hal itu semata-mata untuk
mengurangi jumlah korban di kedua belah pihak."
"Kau masih tetap sombong."
"Sudah aku katakan. Bukan kesombongan, tetapi sekedar
rencana yang telah dibuat oleh tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." "Kesombonganmu adalah karena kau terlalu yakin bahwa
rencana itu akan berhasil."
"Siapa yang mengatakan bahwa rencana itu pasti akan berhasil"
Aku sudah mengatakan, mungkin rencana itu akan gagal karena
kekuatan pendukung tuanku Tohjaya ternyata melampaui
dugaanku." sahut Lembu Ampal, lalu, "Nah, kau berdualah yang
akan dapat memberikan pertimbangan, apakah kami akan berhasil
atau tidak. Kami sudah melihat sebagian dari prajurit-prajurit
Singasari yang berpihak kepada tuanku Ranggawuni kemudian
kalian akan bertemu langsung dengan tuanku Ranggawuni dan
tuanku Mahisa Cempaka sendiri."
Kedua Senapati itu tidak menyahut. Mereka menjadi tegang
ketika mereka kemudian memasuki sebuah regol halaman yang
meskipun tidak begitu luas, tetapi nampak mendapat penjagaan
yang khusus. "Kedua anak muda itu tentu berada di rumah ini." berkata kedua
Senapati itu di dalam hatinya.
Ternyata dugaan mereka itu benar. Di rumah itu sudah
menunggu tuanku Ranggawuni dari tuanku Mahisa Cempaka.
Dengan ragu-ragu kedua Senapati itu mengikuti Lembu Ampal
memasuki rumah yang tidak begitu besar itu. Mereka tertegun
sejenak di pintu. Meskipun malam telah menjelang dini hari, namun
di ruangan itu masih nampak beberapa orang duduk di sebuah
746 ambin yang besar seolah-olah sengaja sedang menunggu
kedatangannya. Ketika tatapan mata kedua Senapati itu bertemu dengan sorot
mata Ranggawuni dan kemudian Mahisa Cempaka yang masih muda
itu, namun benar terasa betapa besar pengaruh wibawa mereka,
sehingga kedua Senapati itu pun kemudian menundukkan
kepalannya sebelum mereka sempat melihat orang lain yang ada di
daIam ruangan itu. "Masukklah Senapati," terdengar suara Ranggawuni
mempersilahkan keduanya. "Marilah." Lembu Ampal pun mempersilahkan pula. Keduanya
pun kemudian melangkah masuk. Beberapa saat keduanya raguragu.
Baru kemudian Lembu Ampal berkata, "Duduklah di ambin itu
pula." Keduanya pun kemudian duduk di ambin itu pula, Sejenak
mereka mendapat ketempatan untuk melihat orang-orang yang
duduk di sekitarnya. Terasa mereka berdesir ketika mereka melihat seorang yang
duduk dengan tenangnya di sudut ambin itu, di sebelah tuanku
Ranggawuni. Bahkan orang itu kemudian tersenyum ketika
pandangannya bertemu dengan tatapan mata kedua Senapati itu.
"Mahisa Agni." desis kedua Senapati itu di dalam hatinya. Mereka
menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni yang nampaknya
tidak pernah keluar dari bangsalnya itu kini berada di tempat itu.
"Selamat datang kalian berdua." berkata Mahisa Agni dengan
nada yang datar. Kedua Senapati itu tergagap karenanya. Namun kemudian salah
seorang menjawab, "Demikianlah. Kami berdua selamat sampai di
tempat ini." "Majulah." Mahisa Cempaka mempersilahkan mereka bergeser
mendekat. 747 (Bersambung ke jilid 11) Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: KiArema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
748 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 11 TERASA suasana yang jauh berbeda dengan suasana paseban di Singasari. Bukan
karena tempatnya yang terlampau sederhana, tetapi
hubungan yang rapat antara
Ranggawuni, Mahisa Cempaka
dengan para pembantunya. Dengan para Senapati dan pengawahnya. "Kami memang menunggu
kedatanganmu berdua," berkata
Ranggawuni kemudian, "Kami
memang berharap, mudahmudahan
kami dapat bertemu dengan kalian. Jika tidak malam
ini, mungkin besok atau lusa. Tetapi pertemuan ini benar benar aku
harapkan dalam waktu yang dekat ini."
Kedua Senapati dari Singasari itu tidak menjawab. Tetapi mereka
mengangguk-angguk kecil seakan-akan kata-kata yang diucapkan
oleh Ranggawuni itu memberikan harapan yang cerah bagi mereka.
"Kami berterima kasih atas kunjungan kalian." berkata
Ranggawuni kemudian, "Kedatangan kalian berdua memberikan
gambaran yang lebih baik bagi masa datang Singasari."
749 "Tuanku." berkata salah seorang Senapati itu, "Hamba tidak
tahu, apakah yang sepantasnya hamba katakan. Tetapi hamba
mendapat tugas dari Panglima untuk menghadap tuanku, justru
karena kunjungan Lembu Ampal yang menyebut dirinya sebagai
utusan tuanku." "Ya. Akulah yang memerintahkan kepadanya untuk menghubungi
kedua Panglima. Kami mengetahui apa yang terjadi dan apa yang
berkembang di Singasari. Pertentangan, kecurigaan dan prasangka.
Karena itu, aku tidak dapat menunggu terlampau lama. Penasehatpenasehatku
memberikan petunjuk kepadaku bahwa aku harus
segera berbuat sesuatu."
Kedua Senapati itu menjadi heran. Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka masih terlampau muda. Tetapi seakan-akan ia telah cukup
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masak untuk memimpin Singasari.
Tetapi kedua Senapati itu pun kemudian dapat mengerti, jika di
ruangan itu terdapat beberapa orang yang dianggapnya memiliki
segala macam ilmu dan kepandaian di dalam olah pemerintahan.
"Sekarang kalian telah melihat keadaan kami." berkata
Ranggawuni kemudian, "Terserahlah kepada kalian, keputusan
apakah yang akan kalian ambil. Apakah kalian bersedia bekerja
bersama kami, atau kalian akan menentukan sikap sendiri."
Salah seorang Senapati itu menjawab, "Tuanku, hamba akan
melaporkan apa yang hamba ketahui tentang tuanku berdua dan
tentang kesiagaan tuanku. Selain kenyataan yang hamba lihat,
hamba akan memberikan pertimbangan pula kepada Panglima
hamba." "Terima kasih." sahut Ranggawuni, "Tetapi agaknya yang kalian
lihat belum lengkap jika kalian hanya melihat padukuhan ini saja.
Padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa. Sebaiknya kalian
melihat pedukuhan-pedukuhan yang lain, yang nanti akan
diantarkan oleh Lembu Ampal."
"Hamba sangat berterima kasih atas kesempatan ini tuanku."
750 "Baiklah. Aku tahu kesempatan tidak terlampau banyak. Tetapi
aku berpendapat, bahwa sebaiknya kalian kembali masuk
kelingkungan kota Singasari besok malam saja. Sebentar lagi
matahari akan terbit, dan kalian tidak akan dapat masuk dengan
diam-diam." "Pergilah bersamaku." berkata Mahisa Agni, "Tetapi jika kalian
masih ingin melihat beberapa pedukuhan yang lain, biarlah seperti
yang dikatakan tuanku Ranggawuni, kembali sajalah besok malam."
"Apakah Tuan akan kembali?" bertanya salah seorang Senapati
itu. "Sebelum fajar, aku harus sudah berada di bangsalku."
"Sebelum fajar?" Senapati itu heran.
"Ya. Sebelum fajar."
Kedua Senapati itu saling berpandangan. Saat itu Mahisa Agni
masih tenang-tenang saja di tempatnya dan sebelum fajar ia sudah
berada kembali di bangsalnya.
"Apakah aku berada di tengah-tengah kumpulan hantu-hantu?"
bertanya kedua Senapati itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun kemudian mengajak
kedua Senapati itu untuk melihat padukuhan yang lain. Setelah
mohon diri kepada Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Agni dan
orang-orang lain yang ada di ruang itu, maka kedua Senapati itu
pun meninggalkan halaman yang tidak begitu luas itu.
Dengan menunggang kuda, maka mereka pun segera menyusuri
jalan-jalan sempit di persawahan. Kemudian melintasi bulak-bulak
panjang dan menembus gelapnya malam dan dinginnya embun.
Sesaat kemudian, maka mereka pun telah memasuki sebuah
padukuhan kecil yang lain. Seperti padukuhan yang pernah
dilihatnya, maka ia pun melihat beberapa kelompok prajurit yang
berserakan di halaman-halaman.
751 Mereka kemudian menemui Senapati yang bertanggung jawab di
padukuhan kecil itu. Mereka berbicara sejenak. Kemudian Senapati-
Senapati itu pun meneruskan perjalanan mereka bersama Lembu
Ampal. "Kita mengitari kota Singasari." berkata Lembu Ampal.
Kedua Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang
dari mereka berkata, "Aku mengerti, bukan semuanya prajuritprajurit
Singasari yang ada di Kediri, atau kesatuan-kesatuan yang
ada di luar kota Singasari yang dapat dihimpun oleh tuanku
Ranggawuni. Namun meskipun di antara mereka adalah rakyat
kebanyakan, namun mereka telah bertekad untuk mengabdikan
dirinya bagi Singasari di bawah pimpinan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka." Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kota Singasari sendiri memang sudah terkepung. Kami sengaja
memilih tempat pada padukuhan-padukuhan kecil dan terpencil,
agar kehadiran kami di seputar kota tidak segera diketahui. Di s iang
hari, mereka tidak pernah keluar dari padukuhan, apalagi
berkeliaran. Sedang mereka yang masih mempunyai pekerjaan di
rumah atau di sawah, dapat saja mereka lakukan. Tetapi di malam
hari kami bersiap, dan terutama mengadakan latihan-latihan bagi
mereka yang pada dasarnya bukan prajurit. Dan agaknya latihanlatihan
itu telah menyenangkan hati mereka."
Kedua Senapati yang menyertai Lembu Ampal itu menganggukangguk.
Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang dilihatnya.
Apalagi kemudian mereka pun telah di bawa oleh Lembu Ampal
ke beberapa tempat lainnya. Kepadukuhan-padukuhan kecil di
bulak-bulak yang luas atau ke tempat-tempat terpencil yang lain
yang merupakan tempat yang menjadi pemusatan kekuatan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan di arah lain dari
kota Singasari, mereka mendengar dari Senapati yang bertanggung
jawab di tempat itu, bahwa sebagian besar dari orang-orangnya
752 sedang kembali ke padukuhan masing-masing, karena kebetulan
musim menuai padi baru saja mulai.
"Kami biarkan mereka berada di padukuhan masing-masing
untuk satu dua hari. Tetapi mereka sudah berjanji, jika terdengar
isyarat mereka akan segera bekumpul untuk tiga malam mereka
tidak mengadakan latihan. Bahkan barang kali lebih lama lagi
apabila mereka belum selesai dengan pekerjaan mereka di sawah.
Bahkan jika mereka kembali kemari, beberapa pekan lagi mereka
akan kembali lagi untuk mulai menggarap sawah dan menanam
padi." "Jadi yang ada di sini sekarang?" bertanya Lembu Ampal.
"Yang tersisa adalah prajurit-prajurit yang sebenarnya prajurit.
Merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada orang-orang
yang dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk membebaskan
Singasari dari ketidak tentuan sekarang ini."
Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka mendapat
gambaran yang lengkap tentang persiapan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Dari para Senapati mereka pun mendengar bahwa
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah memperhitungkan pula
persediaan makanan dan kesatuan-kesatuan cadangan jika
diperlukan. "Yang kita lihat adalah garis pertama jika perang timbul." berkata
Lembu Ampal, "Dan di belakang garis pertama ini, masih ada
lapisan-lapisan yang lengkap. Persediaan perlengkapan perang dan
persediaan makanan, di samping tenaga-tenaga yang harus
menghimpun kekuatan jika diperlukan, selain sudah disediakan
tenaga cadangan khusus."
Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang
dari mereka bertanya, "Lembu Ampal. Apakah kita akan dapat
mempercayai bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka yang masih terlampau muda itu mampu membuat
persiapan seperti ini betapapun cemerlangnya daya pikir mereka?"
753 Lembu Ampal tersenyum. Dan ia pun bertanya, "Apakah kalian
tidak percaya bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka memiliki kemampuan diluar jangkauan nalar?"
"Aku percaya. Tetapi aku lebih percaya jika kau katakan bahwa
kaulah yang telah mempersiapkan ini semua. Kaulah yang telah
menyusun rencana ini dengan teliti, kemudian kau lakukan
semuanya atas nama tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka." Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Terima kasih atas dugaanmu
itu. Tetapi ingat, bahwa selain aku, masih ada seorang Senapati
Besar Singasari yang dikuasakan di Kediri, dan yang sekarang
berada di lingkungan tuanku Ranggawuni meskipun nampaknya ia
berada di bangsalnya setiap saat. Selain Senapati Agung yang
bernama Mahisa Agni itu, juga ada bekas seorang Panglima Pasukan
Pengawal yang bernama Witantra, kemudian di antara mereka
terdapat pula adik seperguruannya yang bernama Mahendra, yang
memiliki kelebihan dari sesamanya. Dan jika kau heran melihat
Kesatria Putih yang kadang-kadang lebih dari seorang dan memiliki
kemampuan melebihi para prajurit dan bahkan Senapati yang
manapun, maka dari mereka itulah yang kalian jumpai."
"Benar-benar suatu susunan rencana yang rapi dan matang."
desis salah seorang dari kedua Senapati itu. Dan sebelum salah
seorang Senopati itu meneruskan, maka Lembu Ampal telah
mendahului, "Sebenarnyalah kami harus menyesuaikan diri dengan
rencana yang lain yang agaknya telah tersusun dengan masak pula.
Kematian seorang prajurit dari golongan Rajasa yang kemudian
disusul oleh terbunuhnya seorang dari golongan Sinelir, yang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menarik prajurit-prajurit
pendukung Tohjaya masuk ke dalam lingkungan istana, diikuti pula
pembunuhan semena-mena yang dilakukan atas kedua Senapati
dari kedua golongan itu, telah memaksa kami untuk bersiap. Menilik
urut-urutan kejadian itu, maka Tohjaya telah mempersiapkan diri
untuk menyapu setiap orang yang tidak sesuai dengan sikapnya
selanjutnya. Terutama usahanya untuk membunuh tuanku
754 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sebenarnya sama sekali
tidak bersalah dan semula tidak berhasrat untuk berbuat apapun
juga. Tetapi tuanku Tohjaya telah dibayangi oleh ketakutanketakutan
yang mendorongnya untuk melakukan usaha
pembunuhan yang gagal itu."
"Darimana kau mengetahui hal itu?"
"Aku adalah orangnya yang mendapat perintah langsung untuk
melakukannya. Sudah barang tentu atas petunjuk Pranaraja dan
ibunda tuanku Tohjaya."
Kedua Senapati itu mengerutkan keningnya. Agaknya Lembu
Ampal tidak berbohong bahwa ialah yang mendapat perintah untuk
melakukan pembunuhan itu.
"Nah, sekarang kalian berdua sudah tahu segala-galanya.
Terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian katakan kepada
Panglima kalian masing-masing." Lembu Ampal berhenti sejenak,
lalu, "Tetapi agaknya jelas bagi kalian untuk tidak dapat memasuki
gerbang saat ini. Lihat, langit sudah menjadi merah."
Kedua Senapati itu menengadahkan kepalanya. Mereka telah
melihat warna merah yang membayang di langit. Warna fajar.
"Sebaiknya kalian kembali apabila malam berikutnya telah
datang. Kau dapat berada di antara kami satu hari, sehingga
dengan demikian kalian akan melihat lebih banyak lagi dari
persiapan kami yang mantap."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari
keduanya berkata, "Sebenarnya aku senang sekali berada sehari lagi
di antara kalian. Tetapi jika aku tidak segera menghadap Panglima,
maka akan dapat menimbulkan salah paham. Mungkin Panglima
mengira bahwa kami berdua telah terjebak dan tidak akan dapat
kembali." "Tetapi jika saatnya kau datang, maka kedua Panglima itu akan
mengerti." 755 "Namun selama ini Panglima dapat mengambil langkah-langkah
yang barangkali justru merugikan kita semuanya."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimana kalian akan memasuki kota. Kalian keluar dengan diamdiam.
Jika kalian memasuki kota lewat gerbang, mungkin kalian
akan mendapat kesulitan, karena kalian tentu akan dicurigai oleh
para prajurit yang bertugas di pintu gerbang."
Kedua Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi mereka tidak segera
mendapatkan jalan. Di siang hari mereka tidak akan dapat
memasuki lingkungan kota dengan cara seperti di malam hari pada
saat mereka keluar. "Senapati." berkata Lembu Ampal, "Jika kalian memang berkeras
untuk memasuki kota, mungkin kalian dapat menempuh satu jalan.
Berbuatlah seolah-olah kalian adalah rakyat kecil yang hilir mudik
untuk menjual barang-barang dari anyaman bambu. Mungkin kalian
dapat membawa beberapa buah barang-barang anyaman seperti
itu. Alat-alat dapur dan alat-alat rumah yang lain."
Kedua Senapati itu saling berpandangan. Namun salah seorang
dari mereka tersenyum dan berkata, "Itu baik sekali. Aku akan
mencoba." "Tetapi cepatlah. Lepaskan pakaian Senapatimu. Orang-orang
yang menjual barang-barang anyaman bambu itu memasuki kota
pada saat menjelang fajar seperti sekarang ini."
"Tetapi darimana kami mendapat barang-barang itu." bertanya
salah seorang Senapati itu.
"Jangan cemas. Aku akan dapat mengusahakan berapa saja kau
dapat membawa. Tetapi kau harus mengikat barang-barangmu
seperti orang-orang lain menjual dagangannya ke kota."
"Aku akan belajar." sahut salah seorang dari kedua Senapati itu.
Demikianlah kedua Senopati itu pun berganti pakaian. Sejenak
mereka mempelajari bagaimana mereka harus membawa barangbarang
anyaman yang akan dijual di dalam kota Singasari.
756 Ternyata Lembu Ampal sama sekali tidak mendapat kesulitan
apapun untuk mendapatkan barang-barang yang kemudian akan
dibawa oleh kedua Senapati itu. Bahkan Lembu Ampal pun telah
mendapat pakaian yang akan dipakai oleh kedua Senapati itu pula.
Dengan beberapa pesan kepada orang-orang yang akan
memasuki gerbang Lembu Ampal menitipkan kedua Senapati itu
kepada mereka. Karena sebagian dari mereka adalah orang-orang
yang telah menyatakan diri berada di dalam lingkungan pasukan
yang dipersiapkan oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka
kedua Senapati itu pun tidak akan mendapat kesulitan dari kawankawannya
yang memasuki kota dalam iring-iringan.
Meskipun demikian, kedua Senapati itu harus berhati-hati.
Mereka tidak biasa menjinjing seikat barang-barang anyaman
bambu di atas kepala. Rasa-rasanya leher mereka menjadi sakit dan
lelah. Tetapi mereka harus menahankannya.
Ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang induk, hati kedua
Senapati itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mata setiap prajurit yang
berugas di gerbang itu memandanginya dengan tajamnya.
Namun ternyata bahwa iring-iringan itu berhasil memasuki kota
seperti biasanya. Agaknya para penjaga tidak menaruh kecurigaan
apa-apa kepada setiap orang dalam iring-iringan itu, karena mereka
tidak meneliti seorang demi seorang dari mereka. Cara mereka
menjinjing barang-barang dagangannya di atas kepala. Pakaian
mereka dari cara mereka berbicara.
Kedua Senapati itu menarik nafas lega ketika mereka telah
berada di dalam kota. Tetapi mereka tidak segera memisahkan diri
dari iring-iringan itu. Mereka berjalan terus bersama dengan orangorang
lain menjinjing barang-barangnya sampai ke tempat mereka
biasa menjajakan barang-barang anyaman itu.
Baru ketika barang-barang mereka telah diletakkan di antara
barang-barang yang lain, maka kedua Senapati itu pun minta diri
kepada orang-orang yang mendapat titipan dari Lembu Ampal.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
757 "Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian." berkata Senapati
itu, "Mumpung masih belum pagi. Kami akan kembali ke rumah
kami." "Silahkanlah." jawab orang itu.
Kedua Senapati itu pun kemudian meninggalkan mereka setelah
menitipkan barang-barangnya dan menyerahkan kepada mereka
untuk menjualnya. Ternyata keduanya merasa betapa tinggi
kesadaran orang-orang yang berada di bawah pengaruh
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Untunglah bahwa hari masih remang-remang." berkata seorang
Senapati kepada kawannya.
Kawannya tersenyum. Lalu, "Seandainya hari telah menjadi
terang sekalipun, para prajurit di pintu gerbang tidak akan
mencurigai kita." Dengan pakaian penjual barang-barang anyaman, mereka pun
kemudian berjalan di sepanjang jalan kota ke rumah masingmasing.
Dengan sengaja mereka membiarkan diri mereka
berpapasan dengan orang-orang yang sudah mengenalnya Tetapi
ternyata orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya,
sehingga kadang-kadang kedua Senapati itu harus tersenyum
sendiri sambil mengamat-amati pakaiannya.
Baru kemudian mereka sadari, bahwa pakaian yang mereka
pakai, setelah hari menjadi terang, benar-benar pakaian yang kotor
dan kumal. Pakaian yang sudah sobek di beberapa bagian, dan yang
sudah tidak pantas dipakai lagi.
Tiba-tiba saja tubuh mereka terasa menjadi gatal-gatal, seakanakan
pakaian itu penuh dengan kuman-kuman penyakit yang mulai
menjalari tubuh mereka. Karena itulah maka mereka pun melangkah semakin cepat. Mereka
ingin segera sampai ke rumah, mandi dan berganti dengan
pakaian yang bersih. 758 Tetapi, hampir bersamaan, keduanya mengalami perlakuan yang
menjengkelkan di regol halaman masing-masing. Seorang pengawal
yang melihat kedatangan seorang berpakaian kumal, segera
membentaknya, "He, kau mau kemana?"
Senapati itu memandang pengawalnya sambil tersenyum.
Katanya, "Apakah kau mabuk, sehingga kau tidak mengenal aku
lagi." Pengawalnya mengerutkan keningnya. Namun ia pun membentak
pula, "Siapa kau dan apakah maksudmu?"
"He, kau benar-benar tidak mengenal aku."
"Cepat, jawab. Atau aku putar kepalamu."
"Buka matamu." berkata Senapati itu, "Siapa aku he?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian perlahan-lahan
ia mulai mengenali Senapatinya. Karena itu, ia pun menjadi gemetar
sambil berkata, "Tetapi tuan, kenapa tuan berpakaian seperti orangorang
padesan yang miskin?"
"Tidak apa. Cepat pergi, dan jangan katakan kepada siapapun.
Aku ingin cepat membuka pakaian yang membuat menjadi gatalgatal."
Pengawal itu tidak menjawab. Dipandanginya saja Senapati yang
memakai pakaian yang aneh itu naik ke tangga pendapa.
Sekilas pengawal itu mendengar isteri Senapati itu menjerit kecil.
Namun suara itu segera terdiam. Namun demikian beberapa orang
dengan tergesa-tergesa menuju ke biliknya.
"Kenapa kau berteriak?" bertanya Senapati itu. lsterinya menutup
mulunya dengan telapak tangannya.
"Kenapa kakang memakai pakaian itu?"
"Aku sedang dalam tugas sandi."
"O, maafkan aku." berkata isterinya yang kemudian pergi ke luar
biliknya sambil tersenyum dan berkata kepada pelayan-pelayannya
759 yang berkerumun di luar pintu bilik, "Tidak ada apa-apa. Aku hanya
terkejut sedikit." Para pelayan menjadi heran. Tetapi karena mereka tidak melihat
sesuatu, maka mereka pun segera meninggalkan bilik itu.
Setelah para pelayan pergi, maka isteri Senapati itu kembali
masuk ke dalam bilik. Dengan suara yang tertahan-tahan ia
bertanya, "Kenapa kakang memakai pakaian seperti ini?"
"Aku dalam tugas sandi."
"Tetapi sudah barang tentu tidak perlu dengan pakaian kumal
dan kotor." Sambil melepas pakaian yang kotor itu, Senapati berkata, "Aku
memerlukan pakaian ini."
Isterinya yang menyediakan ganti pakaian itu pun kemudian
menjadi bingung dan bertanya, "Apakah kakang akan langsung
memakai pakaian ini?"
Senapati itu termangu-mangu. Lalu, "Aku harus mandi dahulu.
Tetapi bagaimana aku akan pergi kepakiwan?"
Akhirnya Senapati itu memutuskan untuk mengorbankan satu
pengadeg pakaiannya lagi, yang dipakainya dari biliknya sampai
kepakiwan. Setelah ia selesai mandi dan keramas, maka ia pun berpesan,
"Pakaianku yang aku pakai ke pakiwan itu pun harus dicuci dengan
air panas, lerak dan dijemur selama tiga hari."
"Kedatangan kakang dalam pakaian kumal itu sangat mengejutkan
aku." berkata isterinya, "Bukankah kakang kemarin pergi
untuk bertugas bersama dengan Panglima atau barangkali di rumah
Panglima?" "Ya. Dan aku kemudian menjalankan tugas sandi yang aneh ini."
"Apakah yang sudah kakang lakukan?"
760 Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun seperti biasanya jika ia
menganggap persoalannya belum saatnya diketahui oleh orang lain
walaupun isterinya sendiri, maka ia pun tersenyum sambil berkata,
"Besok kau akan mengetahuinya."
Isterinya pun mengerti. Jika suaminya menjawab demikian maka
artinya, ia tidak boleh mengetahui tugas yang sedang dilakukannya.
Demikianlah maka setelah berganti pakaian, mempersiapkan diri
maka Senapati itu pun segera minta diri kepada isterinya dan pergi
menghadap Panglima masing-masing.
Hampir bersamaan pula terjadinya ketika kedua Senapati itu
menghadap Panglima masing-masing.
Dan hampir bersamaan pula apa yang telah mereka katakan
kepada Panglimanya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi kedua
Panglima itu kecuali menerima tawaran Lembu Ampal bekerja
bersama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam tugas
yang berat menghadapi masa depan Singasari.
Panglima Pasukan Pengawal yang saat itu dikawani oleh dua
orang Senapati kepercayaannya yang lain mendengarkan
keterangan dari Senapati yang melihat sendiri kesiagaan Ranggawuni
dengan seksama. Tidak ada sepatah kata pun yang tidak
didengarkannya dengan baik.
"Kau yakin akan kekuatannya?" bertanya Panglima.
"Memang masih belum meyakinkan. Jika kita dan Pasukan
Pelayan Dalam tidak pasti berada di pihak mereka, maka yang dapat
terjadi adalah benturan kekuatan yang belum dapat diperhitungkan
dengan pasti, siapakah yang akan menang. Tetapi tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka berkeyakinan, bahwa
rakyat Singasari akan berpihak kepada mereka. Dengan demikian,
maka meskipun mereka bukan prajurit yang terlatih, tetapi kekuatan
rakyat Singasari yang bangkit itu tidak akan dapat diabaikan.
Apalagi di antara mereka terdapat Senapati seperti Mahisa Agni,
Witantra dan adik seperguruannya. Orang-orang yang sudah
761 menjadi semakin tua itu agaknya masih akan mampu bergerak
sebaik-baiknya di medan perang."
Panglima Pasukan Pengawal itu mengangguk-angguk. Dengan
suara yang datar ia bertanya kepada kedua Senapati yang lain, "Apa
pendapatmu?" Salah seorang dari keduanya menyahut. "Mungkin pendapatku
bukan lagi berdasarkan kepada perhitungan murni seorang prajurit.
Sebenarnyalah aku menjadi sangat kecewa terhadap sikap tuanku
Tohjaya. Lebih-lebih sikapnya saat terakhir. Tanpa memeriksa lebih
dalam, ia sudah menjatuhkan hukuman mati kepada kedua Senapati
dihadapan para pemimpin yang lain. Apalagi sikap para prajurit
yang dengan semena-mena telah melepaskan anak panahnya yang
agaknya sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya."
Yang lain pun berkata, "Demikianlah agaknya. Apakah yang
dapat kita harapkan bagi masa depan Singasari dalam keadaan
seperti ini. Kebimbangan, kecemasan dan tiada harapan. Kematian
demi kematian akan menyusul dalam lingkungan Pasukan Pengawal
dan Pelayan Dalam. Prajurit-prajurit yang sekarang mendapat
kepercayaan dari Tuanku Tohjaya akan merasa dirinya manusiamanusia
yang paling tinggi kedudukannya di Singasari."
Panglima Pasukan Pengawal itu pun mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Kita harus menghubungi Panglima Pelayan Dalam. Kita
harus mendapat kepastian, apakah kita akan bekerja bersama dan
berpihak kepada tuanku Ranggawuni."
"Tentu kami sependapat." sahut para Senapati.
Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera
mempersiapkan diri untuk pergi menemui Panglima Pelayan Dalam.
Dengan beberapa orang pengawal ia pun berpacu di jalan kota.
Panglima itu sadar sepenuhnya, bahwa tentu segala sikap dan
tingkah lakunya itu sama sekali tidak terlepas dari pengawasan
petugas-petugas sandi yang dikirim oleh Tohjaya. Namun ia sudah
bersedia jawaban apabila Tohjaya bertanya kepadanya tentang hal
itu. Tetapi lebih dari itu, ia sudah mempersiapkan dirinya baik-baik
762 bersama seluruh pasukannya. Jika ia harus mati, maka akan timbul
juga kematian-kematian yang jumlahnya tidak terhitung lagi.
Ia kemudian diterima oleh Panglima Pelayan Dalam dengan
penuh pengertian, karena Panglima Pelayan Dalam itu pun telah
mendengar laporan sepenuhnya dari Senapatinya.
"Golongan Rajasa dan Sinelir agaknya benar-benar akan disingkirkan."
berkata Panglima Pelayan Dalam.
"Jadi, apakah kita akan berkisar lagi dari garis perjuangan kita
pada saat kita mendukung tuanku Tohjaya?" bertanya Panglima
Pasukan Pengawal. "Kita adalah orang-orang yang memang berhati lapuk. Kita
seolah-olah berdiri menghadap kemana angin bertiup. Tidak lebih
dari sebatang ilalang di padang yang luas. Namun dalam keadaaan
seperti ini, sikap itu agaknya sikap yang paling baik."
"Tetapi kita dapat mengatakannya dengan bahasa yang lain.
Bukan pendirian dan hati kita yang lapuk. Tetapi sikap kitalah yang
berkembang melihat kenyataan ini. Kita tidak akan dapat
membiarkan diri kita sendiri tersesat semakin jauh dan terlebih-lebih
lagi Singasari akan kita biarkan saja tenggelam kedalam kedung
yang paling dalam tanpa harapan untuk dapat timbul kembali."
"Itu adalah istilah yang paling baik yang dapat kita pergunakan.
Baiklah, yang manapun juga yang akan kita pakai, namun aku
sependapat bahwa kita melepaskan kesetiaan kita kepada tuanku
Tohjaya. Sejak aku mendapat perintah untuk memanggil Mahisa
Agni dari Kediri, aku sudah meragukan, apakah Mahisa Agni akan
berdiam diri saja menjalani keadaan yang diterapkan kepadanya"
Nampaknya ia memang menerima segala keadaannya di bangsalnya
dengan beberapa pengawalnya. Namun demikian, seperti pada saat
ia berdiri di balik tabir kemenangan tuanku Anusapati atas tuanku
Tohjaya, kini Mahisa Agni pun telah melakukan hal yang sama. Ia
seakan-akan dapat berada di dua tempat sekaligus. Di bangsalnya
dan di tempat pemusatan pasukan tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka." 763 "Dengan demikian, bukankah kita telah sepakat?"
"Ya. Kita telah sepakat."
Ternyata kedua Panglima itu pun telah menemukan kesepakatan
untuk bersikap terhadap Singasari. Akhirnya mereka tidak dapat
berpijak pada kepentingan pribadi masing-masing. Tetapi mereka
harus memikirkan persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan
pribadi mereka. "Jika demikian, kita akan menyampaikannya (kepada") tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka." berkata Panglima
Pasukan Pengawal. "Ya. Kapan kita akan menghadap?"
"Sebaiknya segera." potong Senapati dari Pasukan Pengawal,
yang kemudian disahut oleh Senapati Pelayan Dalam yang telah
menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. "Ya. Agaknya tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun sudah siap
menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang. Dengan
atau tidak dengan kita, tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
akan segera bertindak."
"Baiklah." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Besok kita
menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua
Senapati yang mendahului kita akan dapat menunjukkan jalan
kepada kita." "Kita harus keluar dari kota ini malam hari." berkata Senapati
Pengawal, "Setiap lorong dan jalan mendapat pengawasan yang
ketat sekali, sehingga sulit bagi kita untuk dapat keluar tanpa
mereka ketahui di s iang hari."
"Tetapi kalian dapat memasuki kota dengan penyamaran. Apakah
kita tidak melakukan hal yang sama ketika kita berangkat keluar."
"Kami berdua memasuki kota ketika masih remang-remang.
Apalagi kami berada dalam iring-iringan yang cukup banyak dari
orang-orang yang membawa barang dagangan mereka. Sebagian
764 besar adalah barang-barang anyaman yang mereka bawa masuk
kota sepekan sekali."
Kedua Panglima itu mengangguk-angguk. Lalu Panglima Pelayan
Dalam berkata, "Jika demikian, nanti malam kita keluar kota."
"Baiklah, kita akan menghadap langsung. Menurut pendapatku.
Lembu Ampal pasti ada di sana pula." berkata Senapati Pelayan
Dalam. Demikianlah kedua orang itu pun mempersiapkan diri mereka
untuk menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka diiringi
oleh Senapati masing-masing yang telah pernah menghadap lebih
dahulu. Menjelang malam, mereka telah mempersiapkan diri sebaiknya.
Mereka membawa senjata masing- masing di bawah pakaian
mereka, agar tidak segera menarik perhatian.
Dalam pakaian rakyat kebanyakan mereka pun kemudian pergi
ke tempat yang sudah mereka janjikan. Para Senapati yang pernah
pergi bersama Lembu Ampal mengetahui dengan pasti, jalan
manakah yang harus mereka lalui. Namun demikian mereka harus
masih selalu berhati-hati karena setiap saat mereka dapat bertemu
dengan bahaya yang bukan saja mengancam jiwa mereka, tetapi
juga dapat menimbulkan huru hara yang lebih Iuas. Jika kepergian
mereka diketahui oleh petugas-petugas sandi, maka pada saat
mereka tidak ada di tempat, maka pasukannya akan dapat digilas
oleh kekuatan-kekuatan lain yang ada di Singasari.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun kedua Panglima itu telah menyerahkan segala
kebijaksanaan kepada Senapati yang terpercaya, tetapi mereka
merasa lebih baik bahwa semuanya tidak terjadi lebih dahulu
sebelum kedua Panglima itu bertemu langsung dengan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Melalui jalan yang pernah mereka tempuh, maka kedua orang
Senapati itu pun berhasil membawa kedua Panglimanya ke luar
kota. Dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang
pernah mereka lalui pula, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke
765 sebuah pedukuhan kecil yang pernah mereka datangi bersama
Lembu Ampal. Ke empat orang itu terkejut ketika mereka memasuki padukuhan
kecil itu. Mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di
mulut lorong. Bahkan ketika mereka memasuki padukuhan itu,
ternyata padukuhan itu kosong sama sekali. Yang ada hanyalah
beberapa buah rumah kecil dengan pintu terbuka. Tetapi rumahrumah
itu sama sekali tidak berisi, dan bahkan tidak ada sebuah
pelita pun yang menyala. Padukuhan kecil itu benar-benar bagaikan pekuburan. Kosong
dan gelap. "Apakah kau sudah gila?" bertanya Panglima Pasukan Pengawal,
"Kenapa kami kau bawa ke tempat ini?"
"Tempat ini adalah tempat tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka menerima kami. Aku ingat betul, inilah rumahnya,
rumah ini. Regol itu aku kenal pula. Dan halamannya adalah
halaman yang ini pula."
"Tetapi padukuhan ini kosong sama sekali. Penghuninya pun
sama sekali tidak ada."
"Tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam berkata, "Apakah tuanku
Tohjaya mengetahuinya dan menyergapnya sehingga padukuhan ini
digilasnya sampai bersih."
"Tidak ada bekas pertempuran." desis Senapatinya.
"Ya. Tidak ada bekas pertempuran."
Ke empatnya termangu-mangu sejenak di dalam kegelapan
malam. Namun sebagai prajurit-prajurit pilihan mereka mendapat
semacam firasat, bahwa di sekitar mereka ada beberapa orang yang
sedang mengintai. Panglima Pasukan Pengawal yang berada di ujung tanpa
sesadarnya telah meraba hulu senjatanya. Desisnya perIahan-Iahan.
"Aku merasa bahwa kita tidak hanya berempat."
766 "Ya." sahut Panglima Pelayan Dalam, "Ada orang di sekitar kita."
Para Senapati pun merasakan sesuatu yang telah meraba dinding
hati. Sebagai prajurit mereka pun segera dapat menanggapi firasat
itu. Tanpa berjanji maka mereka berempat pun segera berdiri
menghadap ke arah yang berlainan.
"Agaknya kita telah terjebak." desis Panglima Pasukan Pengawal.
"Tentu bukan oleh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka. Aku yakin akan keiklasan mereka."
Mereka tidak berbicara lagi. Mereka kini mendengar suara
berdesir melangkah mendekat. Tidak hanya seorang, tetapi
beberapa orang. Keempat orang itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi
setiap kemungkinan. Tangan mereka telah siap menarik senjata
mereka apabila diperlukan.
Namun sejenak kemudian mereka mendengar suara tertawa
tertahan. "Maaf." terdengar kata-kata itu di sela-sela derai
tertawanya, "Kami tidak dapat menyambut kedatangan kalian
sebaiknya-baiknya." Ketika suara itu terhenti, nampaklah seseorang muncul dari
dalam gerumbul dipinggir halaman. Ternyata orang itu adalah
Lembu Ampal diikuti oleh beberapa orang pengawalnya.
"Sebenarnya apalagi yang sedang kau lakukan sekarang, Lembu
Ampal?" bertanya Panglima Pelayan Dalam.
"Maaf Mungkin kalian terkejut melihat keadaan padukuhan ini.
Padukuhan ini benar-benar padukuhan yang pernah didatangi oleh
kedua Senapati yang mewakili Panglima masing-masing."
"Kenapa padukuhan ini sekarang kosong?"
"Waktu itu aku lupa mengatakan, bahwa setiap saat tempat kami
dapat berpindah. Jika kami menganggap bahwa tempat yang kami
pergunakan sudah tidak aman lagi, maka kami pun segera bergeser
ke tempat yang lain."
767 Panglima Pelayan Dalam itu memandang Lembu Ampal dengan
tajamnya. Di dalam keremangan malam ia tidak dapat menangkap
sorot mata Lembu Ampal. Tetapi agaknya yang dikatakan itu
bukannya dibuat-buat. "Jadi kalian telah berpindah tempat?" bertanya Senapati Pelayan
Dalam. "Ya. Kami mendapat firasat, bahwa ada petugas sandi yang
mencurigai pedukuhan ini. Kami pun segera berpindah tempat
dengan berangsur-angsur. Ternyata bahwa sore tadi, sekelompok
prajurit benar-benar mendatangi tempat ini. Untunglah bahwa kami
telah pergi. Jika tidak, maka mereka tidak akan pernah kembali ke
Singasari. karena jumlah mereka tidak cukup banyak. Tetapi dengan
demikian akan berarti perang segera akan mulai."
"Tetapi kenapa kau berada di sini?" bertanya Senapati dari
Pasukan Pengawal. "Aku yakin kalau kalian akan datang. Karena itu aku menunggu di
sini. Jika malam ini kalian tidak datang, aku masih akan menunggu
beberapa malam lagi di sini."
"Bagaimana dengan kelompok prajurit itu?"
"Mereka tidak melihat aku. Bahkan aku ada di sini pula ketika
mereka tadi datang kemari. Tetapi mereka tidak mencari dengan
teliti. Apalagi karena daerah ini benar-benar telah kosong. Penghuni
padukuhan ini pun telah mengungsi pula ketika kami
meninggalkannya pergi."
"Jadi prajurit Singasari mendapatkan daerah ini kosong sama
sekali?" "Ya. Dan hal itu tentu menumbuhkan kecurigaan mereka."
"Mereka pasti akan kembali, besok atau lusa."
"Ya." jawab Lembu Ampal, "Kami pun sudah menduga. Tetapi itu
memang kami harapkan. Jika kami sudah menerima ketetapan hati
kalian, maka semuanya akan segera dimulai."
768 "Dimanakah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
sekarang?" "Kami memang menunggu kalian untuk membawa kalian
menghadap." Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak. Namun
akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun segera membawa
mereka meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata Lembu Ampal
sudah menyediakan beberapa ekor kuda. Bahkan kuda yang
disediakan melampaui jumlah orang yang hanya empat itu.
Dengan diiringi oleh beberapa pengawal Lembu Ampal, maka
mereka pun segera berpacu menuju ketempat yang sebenarnya
tidak begitu jauh. Juga sebuah desa kecil yang berada di bulak yang
luas. Kedatangan kedua Panglima itu diterima dengan senang oleh
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setelah mempersilahkan mereka
duduk, maka mereka pun segera terlibat dalam pembicaraan yang
bersungguh-sungguh. Seperti pada saat kedua Senapati mendahului menghadap, maka
pada malam itu hadir juga Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra.
Orang-orang yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun
nampak masih memiliki pengaruh yang cukup besar di
lingkungannya. "Kami menyatakan diri berada di bawah perintah tuanku berdua."
berkata Panglima Pasukan Pengawal itu, "Dan kami bertanggung
jawab bahwa semua orang di dalam pasukan kami masing-masing
akan mentaati perintah kami."
"Terima kasih." berkata Ranggawuni, "Tetapi apakah hal ini
sudah kau pikirkan masak-masak?"
Kedua Panglima itu tertegun sejenak. Seakan-akan mereka telah
dihadapkan pada cermin yang bening.
769 Kedua Panglima itu seolah-olah melihat dirinya sendiri pada saat
mereka menentukan sikap mendukung Tohjaya kira-kira setahun
yang lalu. Kematian Anusapati semula memberikan harapan kepada
mereka, bagi kepentingan pribadi, untuk mendapatkan keuntungan
vang sebesarnya. Jabatan dan harta duniawi.
Namun akhirnya mereka menjadi kecewa. Kepentingan pribadi
bagi mereka sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan
kepentingan Singasari, karena ternyata bahwa mereka betapa pun
tipisnya masih disentuh oleh kecintaan kepada tanah kelahiran.
"Tuanku Ranggawuni." Panglima Pasukan Pengawal itu pun
kemudian berkata, "Sebenarnyalah bahwa kami seakan-akan telah
kehilangan kepribadian kami. Kami pada masa tuanku Tohjaya
merebut tahta, kami tidak mampu lagi melihat, manakah yang baik
dan manakah yang buruk. Kini kami berdua tuanku hadapkan lagi
pada persoalan itu. Tetapi kini kami sudah berdiri di tempat yang
lebih mantap. Kami kini mulai mengenal, hakekat dari hidup kami
sebagai prajurit Singasari, yang harus melihat Singasari di atas
segala kepentingan. Terutama kepentingan pribadi."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih.
Mudah-mudahanan kau benar-benar telah menemukan
kepribadianmu. Bukan lagi harapan-harapan seperti yang pernah
kau impikan pada masa pamanda Tohjaya merebut tahta."
"Ampun tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Kini hamba
melihat dengan mata hati. Bukan sekedar mata wadag hamba,
bahwa tuanku berdua akan benar-benar membuat Singasari menjadi
semakin besar. Tuanku berdua akan dapat melanjutkan usaha
tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, mempersatukan
segenap isi Tanah Kelahiran ini."
Ranggawuni tersenyum. Yang kemudian berkata adalah Mahisa
Cempaka, "Aku percaya bahwa kau berbicara dengan nuranimu. Aku
tidak pantas mencurigaimu lagi."
770 "Jelasnya." berkata Mahisa Agni, "Kalian diterima dalam
lingkungan kami. Karena itu, kalian pun mempunyai pertanggungan
jawab atas sikap kalian. Apakah kalian sudah mengerti?"
"Kami mengerti." sahut Panglima Pasukan Pengawal, "Di
belakang kami adalah seluruh pasukan kami."
"Bagus." desis Witantra, "Dengan demikian, maka semuanya
akan dapat berlangsung dengan cepat."
"Ya. Semakin cepat semakin baik." sahut Mahisa Agni.
Ranggawuni memandang Mahisa Cempaka sejenak, seolah-olah
ingin mengetahui perasaannya. Namun kemudian ditatapnya wajah
Mahisa Agni dalam-dalam, karena sebenarnyalah bahwa semua
rencana telah disiapkan oleh Mahisa Agni, Lembu Ampal, dan
Witantra. "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Agaknya waktunya memang
sudah tiba. Jika tuanku menghendaki, maka setiap saat tuanku
dapat memerintahkan kepada kami untuk mulai dengan perjuangan
kami, memulihkan kebesaran nama Singasari yang sudah
dicemarkan oleh tuanku Tohjaya."
Ranggawuni mengerutkan keningnya, lalu, "Bagaimana menurut
pertimbangan paman?"
"Bagi hamba, semuanya sudah siap."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Lembu
Ampal, maka Lembu Ampal pun berkata, "Tidak ada keberatan
apapun lagi tuanku. Selagi persoalan ini belum diketahui oleh lawan,
kita harus segera bertindak. Dengan demikian korban akan dapat
dibatasi. Tetapi jika kita harus berhadapan di medan, maka korban
akan bertimbun tanpa dapat dihitung lagi."
Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Dan Mahisa Agni pun
kemudian berkata, "Kita dapat mempersiapkan seluruh pasukan
semalam ini. Besok kita dapat memberikan penjelasan yang perlu,
dan di malam hari kita dapat mendekati dinding kota. Menjelang
fajar, kita bersama-sama memasuki kota, sedang yang ada di istana
771 harus segera menguasai istana. Terutama pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam. Dengan demikian maka perhatian prajurit-prajurit
yang ada di dalam kota akan terpecah. Sebagian dari mereka harus
membendung arus lawan yang memasuki gerbang, sedang yang lain
harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam."
Kedua Panglima itu pun mengangguk-angguk pula. Mereka mengerti
rencana itu. Jika mereka dapat bertindak cepat, maka lawan
mereka akan segera menjadi bingung dan menyerah, sehingga
jumlah korban memang dapat dibatasi.
"Nah." berkata Ranggawuni kemudian kepada kedua Panglima
itu, "Kalian sudah mendengar rencana itu. Apakah kalian bersedia
menjalankan?" "Kami bersedia tuanku. Yang kami harapkan hanyalah tandatanda
dan isyarat yang akan tuanku berikan sebagai aba-aba bagi
kami untuk mulai bergerak di istana."
"Kami akan melontarkan panah-panah api dan sendaren."
berbicara Witantra, "Pada saatnya kalian harus bergerak."
"Baiklah. Kami sudah mengerti semuanya."
Ranggawuni kemudian berkata, "Jika demikian, sebaiknya kita
segera mulai. Bagaimana menurut pertimbangan pamanda Mahisa
Agni mengenai ketentuan waktu."
"Sebaiknya kita tentukan tuanku. Seperti yang hamba katakan,
malam ini kita mulai bersiap. Besok kita memberikan penjelasan
kepada setiap pemimpin kelompok di luar dinding kota, sedang
Panglima kedua pasukan itu akan menjelaskannya kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya. Malam hari kita maju dan
mengepung kota, sedang yang ada di dalam harus mempersiapkan
semua kekuatan yang ada. Tanpa kekuatan cadangan, karena kami
akan segera berada di dalam kota."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan setiap
rencana Mahisa Agni, karena ia percaya sepenuhnya, bahwa
772 perhitungan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra dan bahkan kemudian
Lembu Ampal, pada umumnya dapat berjalan baik.
Namun kemudian Ranggawuni pun bertanya, "Lalu bagaimana
dengan pamanda sendiri?"
"Hamba tetap berada di dalam bangsal dengan beberapa orang
pengawal. Hamba harus mempersiapkan pamandamu yang lain,
agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Tohjaya. Juga
ibunda tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng
berdua. Juga neneknda Ken Dedes yang sudah hampir tidak dapat
berbuat apa-apa lagi selain berprihatin untuk cucu-cucunya."
"Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam akan mendapat perintah
untuk melindungi mereka." berkata Panglima Pasukan Pengawal.
"Terima kasih." sahut Mahisa Agni, "Tetapi sebaiknya aku berada
di arena yang paling gawat itu. Sedang pasukan yang akan
memasuki kota akan dipimpin oleh Witantra dan Mahendra. Menurut
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendapatku, Lembu Ampal pun sebaiknya berada di dalam kota
bersama beberapa orang Senapati Pasukan Pengawal yang berada
di luar halaman istana. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka akan segera memasuki kota setelah keadaan kota dapat
dikuasai." "Aku serahkan semuanya kepada pamanda semuanya." berkata
Ranggawuni. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengadakan
beberapa persetujuan khusus. Isyarat yang harus diketahui segala
pihak. Di dalam perang brubuh yang kisruh, maka isyarat sandi
sangat diperlukan. Para prajurit akan sangat sulit membedakan
yang satu dengan yang lain di dalam perang brubuh. Apalagi di
malam hari. Mereka tidak akan mendapat banyak kesempatan untuk
mengenal ciri-ciri khusus mereka masing-masing. Bahkan selain
isyarat sandi, mereka pun merasa perlu untuk mempergunakan
tanda-tanda khusus. 773 "Setiap orang di dalam pasukan kita harus mempergunakan
gelang lawe berwarna putih di kedua pergelangan tangan mereka."
berkata Lembu Ampal kemudian.
Semua pemimpin pasukan yang ada di ruang itu sependapat,
sehingga akhirnya menjadi keputusan pula, bahwa ciri itu harus
dipergunakan. Jika ada di antara mereka yang tidak
mempergunakannya, juga setiap orang di dalam pasukan, maka
apabila terjadi sesuatu atas mereka itu adalah karena kelengahan
mereka sendiri. Malam itu, semua persoalan telah diputuskan dan harus
dilaksanakan. Para Panglima itu tidak dapat berada di tempat itu
terlampau lama. Mereka malam itu juga harus kembali ke rumah
masing-masing, karena setiap saat Tohjaya akan dapat memanggil
mereka. Setelah tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka pertemuan itu
diakhiri. Para Panglima dan Senapati dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam, bersama-sama dengan Mahisa Agni, segera kembali
masuk ke dalam kota. Malam itu juga, beberapa orang utusan telah berpacu memencar
kesetiap pemusatan pasukan di sekitar kota. Witantra tetap berada
di antara pasukan induk bersama Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Mahendra dan Lembu Ampal pun kemudian mengambil
tempatnya masing-masing diarah yang berbeda.
Perintah yang dikeluarkan oleh Ranggawuni adalah mempersiapkan
semua pasukan dan kekuatan yang ada. Pagi-pagi benar,
para pemimpin kelompok harus berkumpul di tempat tertentu.
Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal akan memberi penjelasan
kepada mereka di tempat masing-masing di arah yg berbeda di
sekitar kota. Setelah setiap pemimpin kelompok mendengarkan penjelasan,
maka mereka masih mendapat waktu sehari untuk mengatur segala
persiapan. Pasukan yang belum lengkap segera dilengkapi. Para
774 pengikut Ranggawuni yang masih bekerja di sawah, segera
berkumpul di kelompok masing-masing.
Pada saat yang ditentukan, maka pasukan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka yang berada di luar kota sudah siap untuk
bergerak. Pasukan yang menjadi inti kekuatan mereka adalah
prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan yang tersebar di
tempat terpencil yang dapat dihimpun oleh Witantra.
Namun demikian, para pemimpin di dalam pasukan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka yakin bahwa mereka akan berhasil merebut
kedudukan Tohjaya dan menguasai seluruh kota. Kemudian
perIahan-Iahan mereka akan dapat pula mendapat kepercayaan
dari daerah yang sudah dipersatukan oleh Sri Rajasa sebelumnya.
Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam kota pun
segera menyebarkan orang-orang kepercayaan mereka. Mereka
yakin bahwa di dalam keadaan itu, semua perintah mereka akan
mendapat dukungan apabila perintah itu dapat memberikan harapan
yang lebih baik bagi mereka.
"Bergantian panggil para Senapati. Tiga mereka harus
menghadap aku. Sebelum matahari sepenggalah aku berada di
rumah. Kemudian sampai tengah hari, orang berikutnya harus
menghadap aku di alun-alun, justru agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Tetapi ingat, tiga-tiga. Tidak boleh lebih. Setelah tengah
hari, tiga-tiga berikutnya dapat menjumpai aku di halaman istana.
Menjelang malam, sisanya dapat menemui aku di rumah lagi.
Selanjutnya aku akan mengirimkan perintah-perintah berikutnya
lewat petugas-petugas kepercayaanku." berkata Panglima Pasukan
Pengawal yang sudah bersepakat mempergunakan cara yang sama
dengan Panglima Pasukan Pengawal.
Kepada Senapati yang menghadap tiga-tiga, kedua Panglima itu
memberikan penjelasan sampai masalah yang sekecilnya.
"Penjelasan hanya diberikan satu kali." berkata Panglimapanglima
itu. 775 Keterangan itu telah menyatakan kepada para Senapati, bahwa
mereka harus memahami penjelasan yang mereka dengar itu
sebaik-baiknya, karena mereka tidak akan mendapatkan penjelasan
apapun lagi. Mereka kemudian tinggal melaksanakan perintah itu
sebaik-baiknya. Para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu pun
telah mendapat penjelasan pula, bahwa kedua pasukan yang
semula bermusuhan itu harus dapat bekerja bersama. Mereka
agaknya telah menjadi korban adu domba sehingga di antara
mereka timbul perasaan dendam dan benci.
Demikianlah, maka para Senapati dari kedua pasukan itu pun
segera menghimpun anak buah mereka. Tetapi, karena jumlah
pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam tidak begitu banyak
dibandingkan dengan pasukan yang kemudian ditarik ke dalam
istana itu, maka usaha untuk menyampaikan perintah itu ke
segenap telinga pun tidak memerlukan waktu terlampau panjang.
Sebelum tengah malam berikutnya, semua orang di dalam kedua
pasukan itu telah mendengar perintah itu dengan sebaik-baiknya.
Mereka pun telah menempatkan dirinya seperti yang dikehendaki
oleh para pemimpin mereka. Dengan tanpa menimbulkan
kecurigaan, mereka menempatkan para Pengawal dan Pelayan
Dalam dalam jumlah yang cukup kuat di sekitar bangsal Ken Dedes,
putera-puteranya dan ibu Ranggawuni. Yang lain berada di bangsal
Mahisa Agni bersama para pengawal Mahisa Agni sendiri.
Tetapi dalam pada itu, yang bertugas di bangsal Tohjaya
menurut keinginan dan perintah Tohjaya sendiri, sama sekali
bukannya lagi Pasukan Pengawal. Di dalam bangsal itu pun tidak
ada lagi Pelayan Dalam yang melakukan tugasnya. Semua pekerjaan
telah diambil alih oleh prajurit-prajurit yang mendapat kepercayaan
sepenuhnya dari Tohjaya. Sebelumnyalah kecurigaan Tohjaya yang menjadi semakin besar
sejak hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, .kemudian
Lembu Ampal, telah menempatkannya ke dalam pengamatan yang
ketat dari kepercayaannya. Tohjaya telah memilih bangsal yang
776 semula dipergunakan oleh Anusapati, yang dikelilingi oleh kolam
buatan yang cukup dalam dan luas. Di luar lingkungan kolam itu
selapis prajurit selalu berjaga-berjaga. Kemudian setiap jembatan
yang menghubungkan bagian luar dan dalam dari lingkaran kolam
itu pun selalu dijaga sebaik-baiknya. Kemudian di setiap pintu
bangsal ditempatkan beberapa orang prajurit pilihan. Tidak seekor
jengkerik pun yang dapat memasuki bangsal itu tanpa diketahui
oleh para petugas di sekitar bangsal dan kolam itu.
Menjelang saat-saat yang telah ditentukan, maka kedua Panglima
itu pun telah berada di halaman istana pula. Merekalah yang akan
memimpin langsung benturan yang akan dapat terjadi di halaman
istana itu. Dengan diam-diam mereka berhasil mendapat hubungan dengan
Mahisa Agni yang sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.
Namun ternyata bahwa Senapati prajurit yang bertugas di
halaman istana itu pun memiliki ketajaman penglihatan. Mereka
melihat kesiagaan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam melampaui
kebiasaannya. Mereka melihat para Pengawal bertugas dalam
kelompok yang lebih besar dan hampir semua kekuatan dari
Pasukan Pengawal telah dipusatkan di dalam halaman. Demikian
pula Pelayan Dalam. Beberapa orang prajurit telah melaporkan
bahwa di bangsal-bangsal tertentu nampak beberapa orang Pelayan
Dalam mondar mandir di antara mereka. Nampak di antara Pelayan
Dalam itu kesibukan yang meningkat.
"Apakah dendam di antara kedua pasukan itu tetap menyala?"
desis seorang Senapati. "Mungkin." sahut yang lain, "Tetapi mungkin pula tidak."
Ketegangan di antara setiap pasukan di halaman ini telah
meningkat. "Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu bagaikan
minyak dengan api. Jika mereka bersentuhan lagi dalam perkara
yang paling kecil sekalipun, maka akan dapat berkobar
pertentangan yang mengerikan."
"Tetapi keduanya agaknya mencurigai kita pula."
777 "Itu wajar, karena kehadiran kita di s ini sama sekali tidak mereka
kehendaki. Kita mengemban tugas khusus dari tuanku Tohjaya,
karena kedua pasukan itu tidak lagi dapat dipercaya."
"Meskipun demikian kita tidak boleh lengah malam ini. Mungkin
akan terjadi sesuatu. Seandainya kedua pasukan itu akan bertempur
biarlah mereka bertempur. Tetapi jika mereka mulai menyentuh
tubuh kita, maka kita akan membinasakan keduanya yang
barangkali memang sudah tidak akan dipergunakan lagi oleh tuanku
Tohjaya." Demikianlah, maka di jalur lain, Senapati itu pun telah memerintahkan
kepada setiap pemimpin kelompok untuk mengawasi
keadaan sebaik-baiknya. Kemudian mengambil sikap seperti yang
diputuskan oleh Senapati yang bertanggung jawab malam itu di
halaman istana. Halaman istana itu pun kemudian dicengkam oleh ketegangan.
Ketika tengah malam telah lewat, maka setiap orang di dalam
Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah menyediakan seutas
lawe yang akan mereka belitkan di kedua pergelangan tangan
mereka sebagai tanda. "Jika telah terdengar isyarat, maka lawe itu harus segera
dikenakan. Jika terlambat dan tidak sempat lagi, maka akan dapat
terjadi salah paham." perintah setiap pemimpin kelompok, "Tetapi
juga jangan sekarang. Lawe di pergelangan itu akan dapat
menumbuhkan kecurigaan pada pihak-pihak yang lain di halaman
ini. Apalagi jika mereka memperhatikan bahwa orang-orang Rajasa
dan Sinelir memakai tanda yang bersamaan."
Setiap prajurit yang termasuk di dalam Pasukan Pengawai dan
Pelayan Dalam memperhatikan perintah itu baik-baik. Untuk
sementara mereka belum mengenakan lawe yang berwarna putih
itu di pergelangan tangannya.
Dalam pada itu, para prajurit yang tidak sedang bertugas pun
telah berada di halaman. Mereka mendapat kesempatan untuk
beristirahat sesaat di gardu-gardu dan di tempat-tempat yang tidak
778 begitu jelas dapat dilihat oleh pihak-pihak lain. Tetapi mereka tidak
dapat beristirahat dengan tenang karena mereka menyadari bahwa
sesuatu akan segera terjadi.
Kesiagaan prajurit kepercayaan Tohjaya pun kemudian dapat
dilihat oleh para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam. Namun mereka pun yakin bahwa prajurit-prajurit itu belum
menyadari apa yang akan terjadi sebenarnya. Mereka bersiap
sekedar karena firasat keprajuritan mereka, dan barangkali sedikit
kecurigaan karena jumlah Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam
malam itu agak lebih banyak dari malam sebelumnya.
Di luar halaman istana, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang tidak memasuki halaman karena pertimbanganpertimbangan
pengamanan rencana dalam keseluruhan, agar pihak
lain tidak terlampau curiga karena jumlah Pengawal dan Pelayan
Dalam menjadi jauh melampaui kebiasaannya, telah siap pula
beberapa ratus langkah dari mulut gerbang.
Mereka mempersiapkan diri di dalam kegelapan berpencaran
sehingga tidak segera dapat dilihat. Beberapa orang di antara
mereka berada di kebun-kebun dan halaman rumah yang dikelilingi
dengan dinding batu. Mereka menunggu sambil duduk-duduk di
antara pepohonan di bawah lindungan bayangan yang gelap.
Bukan saja prajurit-prajurit yang berada di regol dan yang
sedang meronda di jalan-jalan sajalah yang tidak dapat melihat
mereka, bahkan orang-orang yang memiliki halaman itu pun tidak
mengetahui bahwa di halaman, di kebun belakang atau di halaman
samping, terdapat beberapa orang yang bersembunyi di dalam
gelap. Para prajurit dari Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam itu
memusatkan perhatian mereka pada halaman istana dan isinya.
Mereka mempercayakan keadaan di luar dinding halaman istana
kepada pasukan yang akan memasuki kota dari luar.
779 Prajurit-prajurit yang menunggu itu hampir tidak sabar lagi. Apalagi
ketika mereka sudah melihat bayangan kemerahan di ujung
Timur. "Apakah ada perubahan rencana?" bertanya seorang prajurit dari
Pasukan Pengawal kepada pemimpin kelompoknya.
"Seharusnya tidak. Sebentar lagi kita tidak mempunyai waktu lagi
untuk menarik diri. Jika jalan-jalan mulai ramai, kita harus bertindak
dengan atau tanpa pasukan dari luar, karena tidak ada jalan lain
bagi kita yang sudah terlanjur berada di sini dan di dalam dinding
halaman itu." Para prajurit itu pun menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan
oleh pemimpin kelompok itu. Bahkan di antara mereka mulai
tumbuh kecurigaan, bahwa mereka justru telah terjebak dan dengan
demikian mereka harus bertempur sendiri di antara kekuatankekuatan
yang ada di Singasari. Para Panglima yang ada di halaman istaua pun mulai gelisah.
Mereka pun mulai dirayapi oleh prasangka yang serupa, bahwa
Lembu Ampal telah mempermainkan mereka.
"Tetapi tatapan mata tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka itu meyakinkan. Bahkan Mahisa Agni pun telah bersiap
pula. Saudara-saudara tuanku Anusapati telah mengetahui apa yang
akan segera terjadi." berkata Panglima itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka tidak berbuat licik seperti yang dicemaskan itu. Mereka
benar-benar telah bergerak mendekati dinding kota. Pasukan yang
terpencar di seputar kota itu dipimpin oleh Senapati terpercaya yang
dikendalikan oleh Witantra, Mahendra dan Ranggawuni serta Mahisa
Cempaka sendiri. Menjelang pagi, para Senapati dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam hampir tidak sabar lagi menunggu. Menurut
perhitungan mereka, waktu yang direncanakan seharusnya sudah
lampau.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
780 Namun selagi mereka dicengkam oleh kegelisahan dan keraguan,
mereka dikejutkan oleh hadirnya Lembu Ampal di antara mereka.
"Apakah ada perubahan?" bertanya seorang Senapati.
"Tidak." sahut Lembu Ampal.
"Tetapi kita sudah terlambat."
"Memang ada kelambatan sedikit. Tetapi tidak berarti."
"Sebentar lagi, jalan-jalan kota menjadi ramai. Matahari akan
segera terbit." "Masih ada waktu. Saat ini para prajurit sedang menyusup ke
dalam kota lewat pintu gerbang."
"Bagaimana dengan para penjaga?"
"Mereka mempergunakan penyamaran. Pengalaman yang telah
terjadi atas kedua Senapati yang datang terdahulu memberikan
pikiran kepada kami untuk melakukannya. Tidak lewat sebuah pintu
gerbang, tetapi beberapa."
"Jika jumlahnya terlampau banyak, mereka yang bertugas di
gerbang akan segera menjadi curiga."
"Memang. Tetapi dalam pada itu, prajurit-prajurit yang lain kini
sudah siap mengelilingi dinding kota."
Para Senapati itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka
menengadahkan kepala, mereka melihat langit sudah menjadi
semakin merah. "Hampir pagi. Benar-benar hampir pagi."
"Semuanya sudah siap. Sebentar lagi akan terdengar tanda.
Sementara aku berada di sini seperti yang direncanakan. Aku akan
ikut memasuki halaman istana."
Para prajurit masih saja merasa gelisah. Agaknya beberapa orang
pedagang sudah memasuki gerbang sehingga apabila timbul perang
yang memencar di kota, mereka akan dapat menjadi korban.
781 Meskipun hal itu tidak diucapkan, namun agaknya Lembu Ampal
dapat mengetahuinya, sehingga ia pun berkata, "Jangan cemas
terhadap para penjual barang-barang dari luar yang memasuki
gerbang kota. Mereka seluruhnya adalah orang-orang kita."
"Ah, tidak mungkin."
"Percayalah. Kami telah menghentikan semua orang yang akan
berjualan ke kota. Membeli barang-barang mereka dan kemudian
membawanya masuk. Tetapi orang-orang kita pun yang kemudian
mengangkutnya ke dalam kota dalam penyamaran yang rapi."
Para prajurit yang sudah siap itu mengangguk-angguk. Namun
salah seorang dari mereka berkata, "Tetapi sebentar lagi kota ini
akan terbangun. Jalan-jalan akan menjadi ramai dan dengan demikian
akan dapat timbul kericuhan dan korban yang tidak berarti."
"Mudah-mudahan kita akan segera mulai."
Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam halaman pun
menjadi semakin gelisah. Hampir saja mereka berdua mengambil
sikap tersendiri menghadapi keadaan yang mereka anggap sangat
gawat itu. Namun agaknya kelambatan itu tidak berkepanjangan. Sejenak
kemudian para prajurit yang ada di dalam kota telah mendengar
tanda bahaya yang meledak di gerbang sebelah Utara vang
kemudian menjalar keseluruh kota. Tanda yang justru dibunyikan
oleh prajurit-prajurit Singasari.
Memang tanda itulah yang dipergunakan sebagai isyarat bagi
seluruh kekuatan yang ada di dalam kota. Seperti yang sudah
mereka bicarakan, maka keributan akan dimulai dari gerbang Utara.
Pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah
memperhitungkan, bahwa akan terdengar bunyi tanda bahaya itu.
Dan tanda itu pun dipergunakan pula oleh mereka sebagai isyarat,
bahwa perjuangan mereka harus segera dimulai.
782 Namun demikian, untuk meyakinkan apakah pasukan memang
sudah siap seluruhnya, di beberapa tempat akan dilontarkan panahpanah
api dan panah sendaren dengan cirinya masing-masing.
Tanda bahaya yang dibunyikan justru oleh prajurit Singasari itu
benar-benar telah menggemparkan seluruh kota. Prajurit-prajurit
yang tersebar itu pun segera mempersiapkan diri ditempat masingmasing.
Pada saat itu pulalah, maka setiap prajurit dari pasukan
Pengawal dan Pelayan Dalam mengenakan lawe berwarna putih di
pergelangannya. Demikian pula setiap kekuatan yang mendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Prajurit-prajurit yang dipercaya oleh Tohjaya pengawal halaman
tstana pun segera bersiap pula. Tohjaya sendiri berada di
bangsalnya, dikelilingi oleh pengawalnya yang terpercaya dan senjata
telanjang di tangannya. "Apa yang sudah terjadi?" bertanya Tohjaya kepada
pengawalnya. "Belum ada laporan yang kami terima tuanku." jawab Senapati
yang bertanggung jawab atas keamanannya.
"Cepat, usahakan untuk mengetahui, apa yang terjadi."
Beberapa orang pun kemudian berlari-larian di halaman.
Penghubung-penghubung berkuda berderap di jalan-jalan kota.
Baru beberapa saat kemudian, Tohjaya mendengar laporan
bahwa sepasukan prajurit telah memasuki kota lewat gerbang
sebelah Utara, disusul oleh mereka yang memasuki kota lewat pintu
gerbang sebelah Barat dan prajurit-prajurit yang merembes melalui
lorong-lorong sempit. "Bagaimana dengan prajurit-prajurit Singasari?"
"Mereka sedang berusaha menahan arus prajurit-prajurit itu."
"Prajurit-prajurit darimanakah mereka itu?"
783 "Belum ada kepastian. Namun sementara dapat ditangkap
keterangan bahwa mereka adalah pendukung-pendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Gila. Mereka harus dibinasakan. Perintahkan untuk menangkap
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hidup-hidup. Aku sendiri akan
menghukum mereka. Aku akan menyayat kulit dan dagingnya dan
membiarkan mereka mati perlahan-lahan."
Perintah itu pun kemudian tersebar di antara para Senapati.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka harus ditangkap hidup-hidup.
Tetapi ternyata bahwa pasukan yang menyerbu ke dalam kota itu
mendesak semakin dalam. Bahkan pada saatnya, para prajurit
dikedua belah pihak melihat panah berapi yang melontar ke pusat
kota, beberapa kali berturut-turut.
"Itu adalah isyarat, bahwa kekuatan yang ada di dalam kota pun
harus mulai bergerak. Justru setelah sebagian besar prajurit
Singasari dikirim ke perbatasan dan berhasil menahan arus kekuatan
dari luar kota." "Kita harus segera mulai." berkata Lembu Ampal.
Senapati yang bertanggung jawab pun kemudian memberikan
isyarat. Beberapa orang segera berteriak bersama-sama, meneriakkan
aba-aba yang kemudian disahut oleh orang-orang lain yang
berpencaran di halaman-halaman.
Setiap aba yang didengar oleh kelompok-kelompok lain, segera
ditirukan. Dengan demikian maka aba-aba itu pun segera merata di
seluruh kota. Para prajurit yang ada di halaman itu pun segera berloncatan
keluar dari persembunyiannya. Mereka dalam waktu yang dekat
telah berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Karena jumlah
mereka memang tidak begitu banyak, maka mereka pun segera
memilih sasaran seperti yang sudah mereka rencanakan.
Kekisruhan segera terjadi di dalam kota. Pertempuran segera
menjalar ke mana-mana. 784 Kelompok-kelompok terpencil yang tidak mendengar teriakan
aba-aba dari induk pasukannya, berpegangan kepada isyarat yang
dilihatnya. Dengan demikian, maka kota Singasari benar-benar bagaikan
diaduk oleh benturan senjata. Di mana-mana telah terjadi perang
dalam kelompok-kelompok kecil.
Prajurit Singasari menjadi bingung. Mereka mendapat perintah
untuk pergi ke gerbang-gerbang kota. Tetapi tiba-tiba saja mereka
telah berpapasan dengan lawan yang bertebaran.
"Orang Rajasa." teriak seorang Senapati, "Mereka telah
memberontak." "Marilah, kita hancurkan mereka."
Prajurit-prajurit yang merasa dirinya mendapat kepercayaan Tohjaya
itu pun segera berusaha untuk menumpas orang-orang
Rajasa. Tetapi dibagian lain, prajurit-prajurit itu berteriak, "Orangorang
Sinelir. Mereka mendendam karena seorang Senapatinya
telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya."
"Binasakan mereka."
Seorang Senapati kemudian memerintahkan seorang penghubung
untuk menyampaikan kepada Senapati yang bertugas di
halaman istana, bahwa di luar halaman telah terjadi benturan
senjata antara orang Rajasa melawan para prajurit yang sedang,
mendapat kepercayaan Maharaja di Singasari.
"Mereka iri hati dan dengki."
Penghubung itu pun kemudian dengan hati-hati menyusup
mendekati pintu gerbang istana. Ternyata bahwa halaman istana itu
pun sudah menjadi sepanas bara. Isyarat yang dilihat oleh para
prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah
memperingatkan mereka, bahwa di luar halaman, perang telah
berkobar. 785 "Kita harus menunggu sejenak." perintah kedua Panglima yang
ada di dalam halaman itu, "Kita menunggu prajurit yang ada di
halaman ini berkurang."
Seperti yang mereka perhitungkan, maka beberapa kelompok
prajurit segera diperintahkan untuk membantu pengamanan di luar
halaman. Tetapi Senapati yang sedang bertugas pun tidak lengah
menghadapi kekuatan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di
dalam halaman. Sejenak kemudian maka Senapati itu menerima penghubung
yang lain dengan nafas terengah-engah memotong, "Orang-orang
Sinelir telah mengangkat senjata."
Senapati itu menjadi marah. Ia telah memerintahkan dua orang
penghubung untuk menghubungi Panglimanya. Sementara itu ia
berkata, "Tentu sudah diatur sebelumnya. Aku sudah curiga sejak
sore tadi. Jangan menjadi lengah. Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam yang ada di halaman ini pun telah bersiap. Karena itu jangan
terpancing keluar semuanya. Kalian harus bersiaga di setiap
pemusatan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam."
Para prajurit itu pun ternyata mampu bergerak cepat. Ketika
Panglima memasuki halaman istana, maka semua prajuritnya telah
menempatkan diri menghadapi setiap kemungkinan disegala sudut
halaman. Kedua Panglima yang telah bertekad untuk mendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu pun harus berhati-hati. Mereka
pun menjadi kagum, bahwa Panglima prajurit kepercayaan
Tohjaya itu cepat mengambil sikap dengan menempatkan
prajuritnya ditempat yang paling berbahaya.
Dalam pada itu, di luar halaman, pertempuran menjadi semakin
seru. Tetapi ternyata bahwa jumlah Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam tidak sebanyak prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan
untuk melindungi kekuasaan Tohjaya.
Lembu Ampal menjadi cemas melihat pertempuran di dalam
kota, tetapi di luar halaman istana itu. Karena itu, maka ia pun
786 segera berusaha untuk menghubungi Pasukan yang ada di dalam
halaman, untuk segera mulai agar prajurit-prajurit yang berada di
luar halaman, sebagian terpaksa ditarik masuk ke dalam.
Tetapi Lembu Ampal pun menyadari bahwa jumlah prajurit
kepercayaan Tohjaya yang berada di halaman memang cukup
banyak. Isyarat yang diberikan oleh Lembu Ampal telah dapat di tangkap
oleh kedua Panglima yang ada di dalam halaman ketika tiga buah
panah sendaren menyambar pepohonan di halaman.
Karena itu, maka mereka pun tidak menunggu lebih lama lagi.
Mereka yakin bahwa di luar halaman dan di luar kota, pertempuran
sudah berkobar dengan sengitnya.
Halaman istana itu pun bagaikan terbakar oleh api dendam yang
menyala di setiap dada prajurit-prajurit Singasari dikedua belah
pihak. Hampir di setiap sudut dan regol telah terjadi pertempuran.
Perang brubuh yang kisruh. Satu-satunya tanda di antara mereka
adalah, bahwa prajurit-prajurit yang berpihak pada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka mempergunakan gelang lawe berwarna putih di
pergelangan tangannya. Ketika kemudian langit menjadi cerah, maka ciri itu pun menjadi
semakin jelas. Namun dengan demikian menjadi semakin jelas pula,
bahwa jumlah prajurit yang berpihak kepada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka ternyata lebih sedikit dari. jumlah prajurit-prajurit
yang sudah dipersiapkan oleh Tohjaya, karena kecemasannya akan
kesetiaan para Pengawal dan Pelayan Dalam.
Dalam pada itu, Tohjaya yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit
yang melindungi di istananya itu pun mengumpat-umpat tidak ada
habis- habisnya. Setiap kali ia mendengar laporan tentang
pertempuran yang terjadi, ia menggeram dengan garangnya.
Betapapun jarak antara Tohjaya dan ibunya serasa menjadi
semakin jauh, namun dalam keadaan itu, ia berteriak kepada
Panglima prajurit yang sudah ada di istana pula, "Lindungi ibunda
Ken Umang sebaik-baiknya."
787 "Hamba sudah mengirimkan sepasukan prajurit ke bangsal
ibunda tuanku." sahut Panglima itu, lalu, "Bagaimana dengan
ibunda tuanku Ken Dedes, adinda tuanku yang lahir dari tuan puteri
Ken Dedes dan keluarganya."
Tohjaya merenung sejenak, lalu, "Biarlah mereka dibakar oleh
peperangan. Tentu merekalah yang telah berkhianat. Ada firasat
mengatakan, bahwa ini adalah pokal pamanda Mahisa Agni." ia
berhenti sejenak, lalu, "He, dimana pamanda Mahisa Agni?"
"Masih berada di bangsalnya. Di kawal oleh beberapa orang
pengawal setia yang dibawanya dari Kediri."
"Apakah ia tidak ikut dalam pertempuran di halaman dan di luar
halaman?" "Masih harus dilihat tuanku."
"Persetan." ia menggeram. Lalu, "Aku tidak peduli dengan
mereka. Aku tidak membutuhkan mereka lagi. Ternyata sepanjang
hidup mereka, tidak ada lain daripada mengganggu saja."
"Maksud tuanku."
"Panglima." berkata Tohjaya, "Kita masih belum tahu pasti,
siapakah yang telah membakar Singasari dengan peperangan ini.
Aku tidak peduli siapa pun yang bersalah, tetapi dalam kekalutan ini
kita dapat bertindak sekaligus. Kalian harus menyingkirkan ibunda
Ken Dedes dengan segala keturunannya, pamanda Mahisa Agni
dengan semua pengawalnya dan siapa pun yang berpihak kepada
mereka. Aku yakin bahwa mereka terlihat ke dalam kejahatan yang
terjadi ini. Tetapi bagiku perang ini akan bermanfaat. Semua orang
yang tidak sejalan dengan aku, akan aku bersihkan."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuanku." Panglima itu termangu-mangu, "Bukankah puteraputera
tuan Puteri Ken Dedes itu adalah Saudara-saudara tuanku
sendiri. Saudara seayah meskipun berlainan ibu."
"Aku tidak perduli. Mereka adalah orang-orang yang dengki dan
jahat. Mereka tentu mengharap aku terbakar dalam api peperangan
ini." 788 Panglima itu tidak berani membantah lagi. Dalam keadaan yang
demikian hati Tohjaya akan sangat mudah terbakar. Karena itu
maka katanya, "Baiklah tuanku, semua perintah tuanku akan hamba
laksanakan." Panglima itu pun kemudian ke luar dari dalam biliknya. Tetapi ia
masih saja ragu-ragu akan perintah Tohjaya.
"Aku tidak peduli." akhirnya ia pun menggeram, "Aku sekedar
menjalankan perintah. Mungkin memang merekalah yang telah
menghasut orang Rajasa dan Sinelir untuk memberontak. Sayang,
mereka adalah orang-orang yang dungu, yang tidak dapat membuat
pertimbangan kekuatan. Orang-orang Sinelir dan Kajasa itu
jumlahnya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan jumlah
prajurit Singasari yang ada."
Dalam pada itu, Mahisa Wonga Teleng yang sudah dihubungi
bahwa hal itu akan terjadi, telah mengumpulkan adik-adiknya di
bangsal ibundanya Ken Dedes. Dibawah perlindungan beberapa
orang pengawal terpilih, mereka pun telah bersiap dengan senjata
masing-masing untuk menghadapi segala, kemungkinan.
Pertempuran yang berkobar di halaman itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Meskipun sebagian dari para prajurit telah
keluar dari halaman untuk melawan orang-orang Rajasa dan Sinelir
yang ada di luar halaman, namun ternyata kekuatan mereka di
halaman itu masih cukup besar untuk menekan orang-orang Rajasa
dan Sinelir. Kedua orang Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam itu pun telah turun sendiri kedalam medan pertempuran,
sehingga karena itu, maka keduanya bersama beberapa orang
pengawalnya telah mengikat dua kelompok prajurit lawan untuk
menahan mereka. Sementara itu, Mahisa Agni masih tetap berada di bangsalnya.
Tetapi ia sudah menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Ia sudah memerintahkan kepada pengawalTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
789 pengawalnya khususnya untuk memperhatikan isyarat yang akan
diberikan oleh Mahisa Wonga Teleng apabila keadaan memaksa.
Namun ternyata bahwa sesuai dengan perintah Tohjaya,
sekelompok prajurit pilihan telah menyerbu ke dalam bangsal itu,
bersamaan waktunya dengan kelompok yang lain yang menyerang
bangsal Ken Dedes yang dipertahankan oleh pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang terpilih bersama Mahisa Wonga Teleng dan
adik-adiknya. Mahisa Agni yang memang sudah siap itu pun segera memerintahkan
pengawalnya untuk menyambut serbuan itu. Bukan
saja orang Rajasa dan Sinelir, tetapi bahwa Mahisa Agni sendiri
bersama para pengawal khususnya, telah berada di gerbang
bangsalnya pula. "Bukan kita yang menyerang, tetapi Tohjaya." berkata Mahisa
Agni, "Karena itu, kita harus mempertahankan diri sebaiknya. Aku
sendiri akan memimpin perlawanan itu di sini."
Para Pengawal dan Pelayan Dalam yang jumlahnya tidak begitu
banyak itu pun menjadi berbesar hati. Mereka mengenal baik-baik,
siapakah Mahisa Agni itu.
Pertempuran di halaman yang menjadi semakin sengit itu pun
menjadi bertambah-tambah lagi. Sekelompok prajurit telah menyerbu
langsung ke pintu gerbang bangsal Mahisa Agni.
Tetapi para prajurit yang mempertahankan bangsal itu pun telah
siap menyambut mereka. Beberapa orang pengawal khusus yang
selama itu berada bersama Mahisa Agni, segera berpencar. Selain
tanda yang sudah disetujui bersama, gelang lawe wenang yang
berwarna putih, maka di leher mereka masih tetap membelit sehelai
kain putih sebagai pertanda bahwa perang yang mereka lakukan
adalah perang tanpa mengenal surut. Yang mereka pilih adalah dua
kemungkinan. Menang atau mati. Tanpa pilihan ketiga,
mengundurkan diri. Demikianlah pertempuran telah pecah pula di depan bangsal
Mahisa Agni. Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit
790 yang menyerang bangsal itu, berusaha untuk sekaligus memukul
para pengawal dan membinasakannya sebelum mereka sempat
berbuat terlampau banyak.
Tetapi para prajurit itu ternyata menjumpai perlawanan yang
mengejutkan. Orang-orang berkalung sehelai kain putih itu ternyata
langsung menyergap mereka dan menusuk ke dalam barisan
prajurit-prajurit yang menyerang itu. Disusul oleh sergapan para
prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang merasa
dirinya seakan-akan telah mengenakan selembar kain putih melilit
dileher mereka pula. Di antara mereka itu terdapat seorang yang untuk sejenak
mengamati pertempuran itu dengan kening yang berkerut merut.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri,
"Alangkah rakusnya manusia. Mereka yang mempunyai akal budi,
masih harus menyelesaikan persoalan di antara mereka dengan
kekerasan. Seakan-akan manusia itu tidak dapat berbicara yang
satu dengan yang lain untuk menyesuaikan kepentingan masingmasing."
Namun kemudian Mahisa Agni meraba dadanya sendiri
sambil berkata, "Termasuk aku sendiri."
Mahisa Agni yang sedang merenung itu tiba-tiba terkejut ketika
sebuah tombak terjulur ke dadanya. Dengan cekatan ia bergeser
setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun dengan demikian
ujung tombak itu meluncur tanpa menyentuh sasarannya sama
sekali. Ketika orang yang menyerangnya itu kemudian menarik tombak
pendeknya dan melangkah surut, maka Mahisa Agni pun melihat
bahwa orang itu adalah Senapati yang bertugas mempimpin
pasukan yang menyerang bangsalnya. Bersama dengan dua orang
pengawalnya mereka berusaha untuk mengurung Mahisa Agni, agar
tidak mengacaukan pasukannya yang sedang bertempur di muka
bangsal itu. "Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?" bertanya Mahisa
Agni. 791 Senapati itu tidak menjawab. Dengan garangnya ia menyerang,
disusul dengan serangan beruntun dari kedua orang pengawalnya.
Namun Mahisa Agni masih sempat mengelakkan serangan itu.
Dengan sigapnya ia bergeser dan meloncat. Kemudian hampir di
luar pengamatan lawannya ia sudah berada di luar kepungan ketiga
orang itu. "Aku masih ingin berbicara." berkata Mahisa Agni yang belum
memegang senjata apapun, "Apakah kalian mau mendengar?"
Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia menyerang
sekali lagi dengan dahsyatnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak
berarti. "Hentikan sejenak. Aku akan berbicara." berkata Mahisa Agni
pula. Tetapi, Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia
semakin merasa terhina dengan sikap Mahisa Agni itu. Karena itu, ia
pun segera mempersiapkan diri untuk menyerangnya pula dengan
tombak pendeknya. Namun dalam pada itu, kedua pengawalnya menjadi heran
melihat sikap Mahisa Agni. la sama sekali tidak memegang senjata
apapun di medan perang yang semakin seru itu. Bahkan ia masih
saja mengelak sambil berusaha untuk berbicara kepada lawannya.
"Dengarlah." desis Mahisa Agni.
"Tidak ada yang dibicarakan." teriak Senapati itu, lalu, "Bunuh
semua orang Rajasa dan Sinelir. Bunuh semua pengawal berkalung
kain putih itu. Aku akan membunuh Mahisa Agni."
"Jadi kau tidak mau berbicara lagi." bertanya Mahisa Agni.
Senapati itu tidak menyahut. Tetapi ia berteriak kepada kedua
pengawalnya, "Jangan tidur. Orang ini harus dibunuh."
"Kalian tidak akan dapat membunuh aku." berkata Mahisa Agni,
"Jika kau berkeras hati, maka kau dan seluruh anak buahmu akan
terbunuh di sini." 792 "Persetan. Jangan terlampau sombong."
"Akulah yang telah menaklukkan Kediri bersama Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi. Tidak ada orang lain yang dapat
mengalahkan aku di seluruh Singasari. Yang dapat menyamaiku
hanyalah Sri Rajasa, dan kini tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka." Kata-kata itu menyentuh hati Senapati yang bersikap melawannya
membabi buta. Namun kemudian ia menggeram, "Jangan
sombong. Kau pun akan mati. Aku adalah Senapati terpercaya. Aku
mendapat tugas untuk membunuhmu. Dan kau jangan mencoba
menakut-nakuti aku."
Mahisa Agni menarik nafas. Ia sudah berusaha. Bahkan dengan
menakut-nakuti dan menyebut-nyebut nama Sri Rajasa agar Senapati
itu mau diajak berbicara. Tetapi prajurit-prajurit itu pun
agaknya seorang prajurit yang keras hati.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahisa Agni dari pada
bertempur. Dan ia pun kemudian sudah siap untuk melakukannya
setelah usahanya untuk berbicara sia-sia.
Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menarik
pedangnya yang disarungkannya di lambung kirinya.
Sekejap kemudian, maka Senapati pun itu pun telah mengulang
serangannya bersama kedua pengawalnya. Hampir bersamaan dari
arah yang berlainan. Tetapi kini Mahisa Agni tidak lagi sekedar menghindar dan
berloncatan. Ia sudah memegang senjata ditangannya. Karena
itulah, maka ia pun segera mempergunakannya.
Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelak sekaligus menangkis
serangan yang lain. Namun hampir diluar kemampuan pengamatan
lawannya, pedang Mahisa Agni pun segera berputar.
Sebuah benturan yang keras segera terjadi. Terdengar sebuah
keluhan tertahan. Seorang dari ketiga lawan Mahisa Agni itu segera
meloncat mundur sambil memegang pergelangan tangannya yang
793 berdarah, sedang senjatanya telah terlempar beberapa langkah
daripadanya. "Menyingkirlah." geram Mahisa Agni, "Jika kau tidak mendekat
aku lagi, dan tidak ikut campur di dalam pertempuran ini kau akan
mendapat kesempatan hidup."
Orang itu tidak menjawab. Sementara itu lawan-lawan Mahisa
Agni yang lain telah menyerangnya pula. Tetapi serangan mereka
sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Orang yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika
dilihatnya seorang prajurit yang terkapar di tanah dengan sebuah
tombak masih digenggamnya, maka ia pun segera memungut
tombak itu. Sejenak ia termangu. Kemudian dengan hati-hati ia mendekati
Mahisa Agni. Tombak yang dipungutnya itu pun dipeganginya
dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya yang terluka.
Tiba-tiba, ketika ia sudah membidik dengan saksama, tombak itu
dilemparkannya kearah punggung Mahisa Agni yang sedang
berusaha menangkis serangan seorang lawannya.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak lengah. Ia dapat
melihat sekilas lontaran tombak itu, sehingga ia sempat
memiringkan tubuhnya sambil bergeser sejengkal.
Tetapi tombak itu tidak terlempar dengan sia-sia. Sejenak
kemudian terdengar teriakan nyaring. Tombak itu ternyata telah
terhunjam ke dalam perut kawan prajurit yang melontarkannya itu
sendiri. Seketika orang itu terlempar dan terbanting di tanah, untuk tidak
bangkit lagi seIama-Iamanya.
"Gila, gila." prajurit yang melontarkan tombak itu berteriak.
Kemarahan yang memuncak telah mencengkam otaknya. Demikian
pula Senapati yang bersama mereka telah melawan Mahisa Agni itu.
794 Tetapi kemarahan mereka tidak banyak memberikan arti Mahisa
Agni pun kemudian melihat kenyataan, bahwa jumlah orang-orang
Rajasa dan Sinelir yang tidak begitu banyak itu mulai terdesak.
Bukan saja dihadapan bangsal Mahisa Agni. Tetapi agaknya di
mana-mana, di seluruh sudut halaman istana itu.
Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada mengurangi
jumlah lawannya. Dan jika di antara mereka itu terbunuh, hal itu
tentu tidak akan dapat dihindarinya lagi. Juga apabila pada suatu
saat, ia sendirilah yang terbunuh di peperangan itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun telah melibatkan diri
benar-benar di dalam pertempuran dan pertumpahan darah. Apalagi
ketika ia melihat seorang pengawalnya yang berciri sehelai kain
putih dilehernya telah terbaring di tanah. Lambungnya menganga
tersayat oleh ujung pedang, sedang darahnya mengalir bagaikan
terperas dari tubuhnya. Mahisa Agni menggeram. Ia sempat melihat pengawalnya yang lain masih bertempur
dengan gigihnya di antara orang-orang Rajasa dan Sinelir yang
berciri lawe di tangannya.
Ketika Mahisa Agni dengan tidak sengaja melihat ujung tombak
seorang prajurit lawannya, menyentuh punggung seorang
pengawalnya yang lain, sehingga pengawalnya itu terluka parah,
dan kemudian seorang Rajasa berdesis menahan sakit ketika
lengannya nyaris putus oleh sabetan pedang, dada Mahisa Agni
bagaikan mendidih. Perlahan-lahan Mahisa Agni hanyut di dalam
arus kekerasan yang terjadi diarena peperangan itu.
Bahkan kemudian Mahisa Agni tidak dapat menahan hatinya lagi
ketika seorang lagi Pelayan Dalam yang jatuh di tanah karena
lambungnya ditembus oleh ujung tombak.
Mahisa Agni menggeram. Ia harus menghentikan jatuhnya
korban-korban baru dipihaknya. Karena itu, maka ia pun segera
meloncat dengan garangnya sambil menggerakkan pedangnya.
795 Ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengakhiri
perlawanan Senapati yang menahan serangannya. Senapati itu pun
segera terlempar sambil mengerang.
Mahisa Agni tidak menghiraukannya lagi, apakah Senapati itu
mati atau sekedar terluka. Mahisa Agni pun kemudian dengan
sengitnya bertempur melawan prajurit-prajurit yang telah
menyerang bangsalnya itu.
Sesaat setelah Mahisa Agni ikut langsung di dalam peperangan
itu, segera terjadi perubahan di arena. Prajurit-prajurit itu tidak lagi
berhasil mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir beserta pengawal
khusus Mahisa Agni yang bertempur tanpa menghiraukan dirinya
sendiri. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Senapatinya telah
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbunuh atau terluka parah dan terbaring di pinggir arena tanpa
bergerak sama sekali. Prajurit itu bagaikan kehilangan ikatan. Mereka seolah-olah
bertempur menurut kemauan masing-masing. Sehingga dengan
demikian maka ikatan kesatuan mereka pun menjadi retak dan
akhirnya pecah sama sekali.
Pengawal-pengawal Mahisa Agni bersama orang-orang Rajasa
dan Sinelir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendesak
lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran di depan bangsal Mahisa
Agni itu pun mempunyai akhir yang agak berbeda dengan
pertempuran-pertempuran yang lain. Pada umumnya para prajurit
yang mendukung Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Tetapi
mereka yang melawan Mahisa Agni dengan pengawalnya yang di
lehernya dibelitkan kain putih yang bertempur bersama-sama dengan
orang-orang Rajasa dan Sinelir, telah terdesak dan bahkan kepungan
mereka telah dipecahkan. Namun ternyata bukan pecahnya kepungan para prajurit itu tidak
hanya terjadi dibangsal Mahisa Agni. Dimuka gardu peronda di
sudut halaman dalam, kepungan para prajurit itu pun dapat
dipatahkan. Di regol itu berjaga-jaga sekelompok prajurit dari
796 Pasukan Pengawal yang langsung dipimpin oleh Panglimanya
sendiri, sehingga dengan demikian maka mereka telah bertempur
dengan segenap kemampuan yang ada. Seperti para pengawal yang
bertempur bersama Mahisa Agni, maka mereka pun hanya
mempunyai dua pilihan. Menang atau mati.
Tetapi masih ada satu tempat lagi yang berhasil menyobek
kepungan para prajurit. Didepan bangsal Tuan Puteri Ken Dedes,
Mahisa Wonga Teleng bertempur mati-matian. Bersamanya adalah
Panglima Pelayan Dalam yang dengan cemas telah berusaha untuk
melindungi keluarga Ken Dedes yang agaknya menjadi sasaran
kemarahan Tohjaya. Mahisa Wonga Teleng memang tidak mempunyai pilihan lain.
Bersama adik-adiknya dan Panglima Pelayan Dalam ia memimpin
orang-orang Rajasa dan Sinelir menghancurkan prajurit vang
mencoba menyergap bangsal itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah bebas dari ancaman
para prajurit itu pun kemudian memanggil Senapati yang ditugaskan
oleh orang-orang Rajasa dan Sinelir. Dengan singkat mereka
berunding untuk mengatasi kesulitan yang timbul di halaman itu.
"Kita tidak akan dapat tinggal diam. Setelah kita berhasil
mengusir prajurit-prajurit itu, kita harus bertindak lebih jauh."
berkata Mahisa Agni, "Kita tidak yakin apakah kawan-kawan kita
berhasil mempertahankan diri."
"Jadi maksud tuan?" bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.
"Kita pergi kebangsal Tuan Puteri Ken Dedes."
"Aku sependapat tuan." potong Senapati Pelayan Dalam,
"Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan."
Mahisa Agni pun kemudian memimpin sekelompok pasukannya
melintasi halaman. Di beberapa tempat mereka memang harus
berhenti sejenak. Tetapi mereka mencoba menghindari pertempuran
yang dapat mengikat mereka.
"Cepat." berkata Mahisa Agni.
797 Tetapi sekelompok prajurit yang melihatnya tidak melepaskannya.
Mereka pun dengan serta merta telah mengejar
sekelompok lawan yang mengikuti Mahisa Agni.
"Jangan hiraukan. Adalah kebetulan sekali jika mereka mengikuti
kita. Lawannya akan sedikit mendapat keringanan."
Pengikut-pengikut Mahisa Agni itu tidak menjawab. Tetapi mereka
pun sependapat. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, maka orang-orang
Sinelir dan Rajasa yang sedang bertempur dan ditinggalkan oleh
sebagian dari lawan-lawannya menjadi agak lapang. Mereka tidak
harus memeras keringat sampai titik terakhir, dan kemudian dengan
terengah-engah mencoba menyelamatkan hidup mereka.
Ketika Mahisa Agni mendekati bangsal Tuan Puteri Ken Dedes,
maka hatinya menjadi lega. Ia melihat bahwa Mahisa Wonga Teleng
dan Panglima Dalam yang bertempur di sekitar bangsal itu telah
berhasil mendesak lawannya sehingga sebagian besar dari mereka
telah terusir. Yang masih ada hanyalah orang-orang yang keras
kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan
dapat berhasil menerobos memasuki bangsal itu.
Kedatangan Mahisa Agni telah menambah mantap orang-orang
Rajasa dan Sinelir yang sedang bertempur bersama Mahisa Wonga
Teleng. Karena itu, maka mereka pun bertempur semakin gigih.
Senjata mereka berputaran dan korban pun berjatuhan semakin
banyak. "Bagaimana keadaan tuan?" bertanya Mahisa Agni.
"Kami berhasil paman." jawab Mahisa Wonga Teleng.
"Jika demikian, baiklah. Aku akan menahan prajurit yang
mengejarku." berkata Mahisa Agni.
Dengan serta merta maka Mahisa Agni pun kemudian memerintahkan
pengikutnya untuk menyiapkan diri melawan
sekelompok prajurit yang mengejarnya.
798 Namun mereka bukan lawan yang cukup kuat. Sejenak kemudian
mereka pun telah pecah dan berlari-larian memencar mencari
kawan-kawannya yang lain dan menggabungkan diri di arena
pertempuran yang lain. Dalam pada itu, Panglima Pasukan Pengawal pun telah
meninggalkan tempatnya pula untuk menolong pasukannya yang
terdesak di beberapa bagian dari arena di halaman istana itu.
Bahkan sebagian besar dari lingkaran-lingkaran pertempuran benarbenar
telah dikuasai oleh prajurit yang setia kepada Tohjaya.
Sementara itu, Lembu Ampal yang bertempur di luar dinding
istana pun harus berjuang mati-matian untuk dapat bertahan.
Jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir memang tidak cukup banyak.
Sebenarnyalah, bahwa mereka mengharapkan bantuan yang datang
dari luar kota, untuk membantu menahan sergapan prajurit-prajurit
yang sedang marah sekaligus mencari muka.
Betapa usaha Lembu Ampal untuk menolong orang-orang Rajasa
dan Sinelir, namun mereka tidak akan dapat berbuat melampaui
kemampuan mereka. Karena itu, maka orang-orang Rajasa dan
Sinelir semakin lama menjadi semakin terdesak menjauhi dinding
istana. Dalam pada itu, di dalam istana, Mahisa Agni, kedua Panglima,
Mahisa Wonga Teleng dan orang-orang terpilih hanya mampu
menolong Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang berada
disekitarnya dan terbatas sekali. Tetapi keadaannya masih agak
lebih baik dengan kawan-kawannya yang berada di luar dinding
istana. Namun dalam pada itu, pertempuran di pintu gerbang dan regolregol
lorong di dinding kota pun terjadi dengan sengitnya. Pasukan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka melanda prajurit Singasari yang
mempertahankan kota itu dengan dahsyatnya.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa pasukan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, bukannya yang berada di mulut gerbang dap regol itu
sajalah yang akan menerobos memasuki kota. Sebagian dari
799 mereka, justru telah berada memasuki kota. Sebagian dari mereka,
justru telah berada di dalam. Mereka memasuki kota tanpa
bertempur sama sekali, karena mereka menyamar sebagai orangorang
yang akan berjualan hasil kerja mereka dan hasil bumi dari
luar kota. Orang-orang itulah yang sudah berada di dalam. Mereka mencari
tempat untuk menanggalkan pakaian penyamaran mereka dan
mengenakan pakaian tempur yang sudah mereka bawa tersembunyi
di bawah barang dagangan. Dengan tergesa-gesa mereka
mengenakan lawe di pergelangan tangan sebagai ciri yang sudah
ditentukan. Barulah kemudian mereka memencar. Mereka merayap
mendekati dinding halaman istana dari segala jurusan. Bahkan
mereka tidak langsung terjun ke arena pertempuran, karena beberapa
orang di antara mereka sempat memasuki pintu-pintu rumah
yang tertutup rapat. Dengan agak memaksa pintu-pintu itu pun terbuka.
Penghuninya dengan gemetar menatap orang-orang yang
tidak dikenalnya berdiri di depan pintu.
"Jangan takut." berkata pengikut Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, "Aku adalah prajurit-prajurit Singasari yang setia kepada
sumbernya pemimpin pemerintahan yang sebenarnya. Kami adalah
pendukung-pendukung tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka, keturunan Ken Dedes."
Orang-orang itu bagaikan membeku sambil mendengar keterangan
itu. "Nah, tenanglah. Kami akan berjuang bagi kalian melawan
Tohjaya yang tamak."
Sepeninggal orang-orang yang berdiri dengan senjata di tangan
di muka pintu rumah-rumah mereka itu, barulah mereka mulai berpikir.
Dan sebagaian besar dari mereka mulai disentuh oleh
harapan, "Bukankah tuanku Ranggawuni itu putera tuanku
Anusapati, sedangkan tuanku Mahisa Cempaka adalah putera
tuanku Mahisa Wonga Teleng?"
800 Orang-orang yang mendatangi pintu-pintu rumah yang tertutup
itu ternyata terkejut ketika mereka melihat seorang yang terluka
berIari-Iari memasuki halaman dan berusaha bersembunyi di balik
dinding. Tetapi ketika orang yang terluka itu sedang berusaha
menahan darah yang keluar dengan kain panjangnya, ia terkejut
melihat beberapa orang mendatanginya.
Meskipun ia sudah terluka, namun dengan sigapnya ia meloncat
dan mengacukan senjatanya.
"Kenapa kau ki Sanak?" bertanya orang-orang yang baru datang.
Orang yang terluka itu heran. Apakah orang-orang itu tidak
mengetahui bahwa sedang terjadi perang di seluruh bagian kota di
sekitar dinding istana"
Namun tiba-tiba ketika terpandang olehnya gelang lawe di
pergelangan tangannya maka orang yang terluka itu pun berkata,
"Apakah kau menyadari bahwa lawe di tanganmu itu mempunyai
arti?" "Tentu." jawab orang-orang itu. Dan hampir di luar kesadaran
mereka, mereka pun serentak memandang pergelangan tangan
orang yang terluka itu. Orang itu pun mengenakan lawe di
tangannya meskipun sudah menjadi merah oleh darah.
"Kau orang Rajasa atau Sinelir?"
"Bukan. Tetapi aku berada dipihaknya. Aku adalah pembantu di
rumah seorang Senapati Pasukan Pengawal. Aku adalah
pekatiknya." "O." sahut orang yang baru datang itu, "Dimana Senapatimu
sekarang?" "Bertempur. Tetapi agaknya orang-orang Rajasa dan Sinelir
terdesak, dan bahkan hampir tidak dapat bertahan lagi."
Orang-orang itu terkejut. Dengan serta merta salah seorang dari
mereka bertanya, "Jadi orang-orang Rajasa dan Sinelir sudah terdesak?"
801 "Ya. Berat sekali."
Mereka berpandangan sejenak, lalu salah seorang bergumah,
"Kita memang sudah menduga. Tetapi tidak secepat itu. Karena itu,
marilah, kita segera saja turun ke medan."
Orang yang terluka itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Jika
kalian segera membantu, keadaan tentu akan berubah. Aku pun
akan memampatkan luka ini. Seterusnya aku akan memanggil para
pelayan dan pembantu yang lain. Siapapun, asal ia seorang laki.
Demikian juga yang dilakukan oleh Senapati-Senapati yang lain."
Orang-orang itu tidak menyahut. Segera mereka berlari-larian
menyusur lorong menuju ke arah istana.
Hampir bersamaan waktunya, kawamnya yang tersebar pun
mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah menjadi gawat
sekali. Sebenarnya, bahwa pada saat itu orang-orang Rajasa dan Sinelir
sudah terdesak semakin jauh. Mereka bertempur sambil menarik
diri. Bahkan sebagaian dari mereka telah bertempur di padesan
yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun.
Dalam keadaan yang demikian itulah beberapa orang muncul dari
lorong-lorong sempit, justru dari padesan-padesan. Beberapa kali
terdengar suitan-suitan nyaring sebagai isyarat kehadiran mereka
dan sekaligus perintah dan isyarat bagi kawan-kawan mereka agar
segera turun ke medan. Beberapa orang Rajasa dan Sinelir yang melihat kehadiran
mereka bersorak dengan serta merta. Orang-orang yang mempunyai
tanda lawe berwarna putih di pergelangannya itu tentu
pasukan yang telah berhasil menyusup memasuki kota dan segera
akan bertempur bersama mereka.
Demikianlah yang sebenarnya segera terjadi. Orang-orang yang
bermunculan dari lorong-lorong sempit dari segala arah di seputar
dinding halaman istana itu pun segera bersiaga menghadapi setiap
kemungkinan. 802 Prajurit-prajurit yang sedang mendesak dan bahkan mulai
mengejar orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terpaksa menarik diri
itu pun terkejut. Semula mereka menyangka bahwa yang datang itu
Kesatria Baju Putih 18 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Pendekar Elang Salju 3
"Tentu ada petugas sandi yang sengaja memancing kekeruhan.
Merekalah agaknya yang membunuh orang Rajasa dengan pakaian
orang Sinelir. Kemudian membunuh orang Sinelir dengan
meninggalkan ciri-ciri orang Rajasa. Dengan demikian kita akan
741 berbenturan yang satu dengan yang lain, sementara itu tuanku
Tohjaya telah menjatuhkan hukuman yang sangat mengerikan
meskipun itu lebih baik dari hukuman picis."
Panglima Pelayan Dalam mengangguk-angguk. Lalu dipandanginya
Senapati yang lain dengan tajamnya.
Senapati itu bergeser setapak. Kemudian katanya, "Aku
sependapat. Apa artinya pengabdian yang kita berikan jika kita tidak
dapat mengharapkan Singasari menjadi semakin baik. Ternyata
bahwa pamrih pribadi yang kita harapkan dengan mendukung
tuanku Tohjaya tidak terpenuhi seperti yang dijanjikan. Apalagi kita
Singasari seakan-akan menjadi buram. Waktu yang singkat selama
pemerintahan Tuanku Tohjaya telah menyeret Singasari ke dalam
suasana yang sangat gelap."
Panglima Pelayan Dalam itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang
membayangkan keragu-raguan.
Sebelum Panglima itu berkata sesuatu, Lembu Ampal telah
mendahuluinya berkata, "Baiklah. Kalian dapat membuktikan, bahwa
aku tidak berkata tanpa arah. Jika kalian kehendaki, aku dapat
membawa kalian kepada tuanku Ranggawuni. Kini tempatnya
bukannya suatu rahasia lagi, karena tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka sudah siap menghadapi segala kemungkinan."
"Lembu Ampal." berkata Panglima Pasukan Pengawal, "Aku
percaya kepadamu. Tetapi tentu aku tidak sebodoh yang kau
sangka, bahwa aku akan pergi bersamamu ketempat yang tidak aku
ketahui." Lembu Ampal tertawa. Katanya, "Memang sewajarnya. Aku
memang tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Aku merasa bahwa
sudah ada kepercayaan yang diberikan kepadaku, tetapi masih
belum sejauh itu." Lembu Ampal berhenti sejenak, "Baiklah. Jika
kalian masih ragu-ragu untuk pergi menemui ngirimkan masingmasing
seorang Senapati untuk bertemu langsung dengan tuanku
Ranggawuni." 742 Kedua Panglima itu termangu-mangu sejenak. Agaknya mereka
masih tetap ragu-ragu. "Tetapi terserahlah kepada kalian." berkata Lembu Ampal.
"Mungkin kalian memilih menggabungkan diri setelah tuanku
Ranggawuni menduduki istana."
Panglima Pelayan Dalam menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang seorang Senapatinya, maka Senapati itu berkata, "Jika
aku mendapat perintah, aku akan pergi bersama Lembu Ampal."
Panglima Pelayan Dalam itu termenung sejenak, lalu ia ia pun
menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Jika Panglima
Pasukan Pengawal sependapat, kau akan pergi bersama Lembu
Ampal." Ternyata Panglima Pasukan Pengawal itu pun tidak berkeberatan.
Ia pun kemudian menunjuk seorang Senapati yang mengawalnya
untuk pergi bersama Lembu Ampal menghadap tuanku Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. "Nah, jika demikian, kita akan segera pergi. Jika kita lambat,
maka akan ada prajurit dari golongan lain yang melihat kita. Dan
kita tidak akan pernah dapat kembali."
Demikianlah ketika kemudian Panglima Pasukan Pengawal
kembali ke rumahnya, maka Lembu Ampal dan dua orang Senapati
telah pergi untuk menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Dengan hati-hati mereka mencari jalan untuk keluar dari kota,
tanpa diketahui oleh para penjaga. di setiap jalan, lorong bahkan
jalan-jalan setapak, telah mendapat pengawasan yang sangat ketat
dari para prajurit Singasari.
Namun dengan pengalaman Lembu Ampal keluar masuk kedalam
kota, maka mereka pun dapat sampai keluar kota dengan selamat.
"Kita akan berjalan semalam suntuk?" bertanya Senapati dari
golongan Rajasa. "Tidak. Tidak terlampau jauh." jawab Lembu Ampal.
743 "Kau berkata sebenarnya?" bertanya Senapati dari golongan
Sinelir. "Aku tidak berbohong."
Ketiganya pun kemudian berjalan semakin cepat. Mereka memilih
jalan melintas, menyusur pematang dan jalan-jalan sempit.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah padukuhan kecil di tengahtengah
bulak yang luas. Sambil memandang padukuhan itu Lembu
Ampal berkata, "Di situlah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka bersembunyi."
"Selama ini?" bertanya kedua Senapati itu hampir berbareng.
"Ya." jawab Lembu Ampal.
"Aku tidak percaya." berkata Senapati dari golongan Rajasa.
Lembu Ampal tertawa. Katanya, "Kadang-kadang keduanya ada
di padukuhan itu." Kedua Senapati itu menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak
berniat untuk mengurungkan maksudnya.
Demikianlah maka mereka bertiga pun memasuki padukuhan
kecil yang terpencil itu. Di regol padukuhan kedua Senapati itu
terkejut. Mereka melihat sepasukan prajurit Singasari yang lengkap
berada di sepanjang jalan. Sebagian dari mereka berada di gardu
dan yang lain bertebaran di dalam kegelapan.
"Inilah prajurit-prajurit Singasari yang berpihak kepada tuanku
Ranggawuni?" bertanya Senapati dari golongan Sinelir.
Tetapi Lembu Ampal tidak sempat menjawab, ketika seorang dari
prajurit itu mendekatnya sambil bertanya, "Siapakah yang datang
bersamamu Lembu Ampal?"
"Dua orang Senapati dari Singasari. Seorang Senapati dari
Pasukan Pengawal dan yang lain Pelayan Dalam."
744 Orang yang bertanya itu memandang kedua Senapati itu sejenak.
Kemudian dengan isyarat ia mempersilahkan Lembu Ampal berjalan
terus. "Kau kira pasukanmu ini cukup untuk menguasai istana saja?"
bertanya Senapati dari golongan Rajasa, "Apalagi untuk menguasai
seluruh kota. Prajurit Singasari yang berada di halaman kini segelar
sepapan, sedang yang ada di sekitar istana hampir tidak terhitung
lagi." Lembu Ampal tertawa, katanya, "Yang kau lihat adalah sebagian
kecil. Jumlah prajurit tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
benar-benar tidak terhitung. Seluruh rakyat Singasari akan berada
dipihaknya." Kedua Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka
tidak dapat menolak pendapat Lembu Ampal itu. Ketidak puasan
rakyat Singasari terhadap Tohjaya akan dengan mudah
menumbuhkan keinginan untuk menghirup udara baru, meskipun
mereka belum tahu pasti bahwa yang baru itu akan lebih baik dari
yang telah ditolaknya. Yang penting bagi mereka adalah suatu
perubahan. Apalagi jika yang baru itu benar-benar dapat memberikan
harapan kepada mereka. Memberikan bayangan masa depan yang
lebih baik. Karena itu maka kedua Senapati itu tidak bertanya lagi. Mereka
berjalan saja dengan tegang di antara prajurit yang berserakan.
Namun semakin dalam mereka memasuki padukuhan kecil itu,
mereka melihat bahwa prajurit yang ada di padukuhan itu pun
cukup banyak. "Kita akan menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." berkata Lembu Ampal.
Kedua Senapati itu mengangguk. Salah seorang dari mereka
menjawab, "Baiklah. Mudah-mudahan aku mendapatkan
kepercayaan atas keduanya sehingga aku akan dapat memberikan
745 pertimbangan kepada Panglima untuk mengambil keputusan seperti
yang kau harapkan." Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Maksud tuanku Ranggawuni
dan tuanku, Mahisa Cempaka, hal itu semata-mata untuk
mengurangi jumlah korban di kedua belah pihak."
"Kau masih tetap sombong."
"Sudah aku katakan. Bukan kesombongan, tetapi sekedar
rencana yang telah dibuat oleh tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka." "Kesombonganmu adalah karena kau terlalu yakin bahwa
rencana itu akan berhasil."
"Siapa yang mengatakan bahwa rencana itu pasti akan berhasil"
Aku sudah mengatakan, mungkin rencana itu akan gagal karena
kekuatan pendukung tuanku Tohjaya ternyata melampaui
dugaanku." sahut Lembu Ampal, lalu, "Nah, kau berdualah yang
akan dapat memberikan pertimbangan, apakah kami akan berhasil
atau tidak. Kami sudah melihat sebagian dari prajurit-prajurit
Singasari yang berpihak kepada tuanku Ranggawuni kemudian
kalian akan bertemu langsung dengan tuanku Ranggawuni dan
tuanku Mahisa Cempaka sendiri."
Kedua Senapati itu tidak menyahut. Mereka menjadi tegang
ketika mereka kemudian memasuki sebuah regol halaman yang
meskipun tidak begitu luas, tetapi nampak mendapat penjagaan
yang khusus. "Kedua anak muda itu tentu berada di rumah ini." berkata kedua
Senapati itu di dalam hatinya.
Ternyata dugaan mereka itu benar. Di rumah itu sudah
menunggu tuanku Ranggawuni dari tuanku Mahisa Cempaka.
Dengan ragu-ragu kedua Senapati itu mengikuti Lembu Ampal
memasuki rumah yang tidak begitu besar itu. Mereka tertegun
sejenak di pintu. Meskipun malam telah menjelang dini hari, namun
di ruangan itu masih nampak beberapa orang duduk di sebuah
746 ambin yang besar seolah-olah sengaja sedang menunggu
kedatangannya. Ketika tatapan mata kedua Senapati itu bertemu dengan sorot
mata Ranggawuni dan kemudian Mahisa Cempaka yang masih muda
itu, namun benar terasa betapa besar pengaruh wibawa mereka,
sehingga kedua Senapati itu pun kemudian menundukkan
kepalannya sebelum mereka sempat melihat orang lain yang ada di
daIam ruangan itu. "Masukklah Senapati," terdengar suara Ranggawuni
mempersilahkan keduanya. "Marilah." Lembu Ampal pun mempersilahkan pula. Keduanya
pun kemudian melangkah masuk. Beberapa saat keduanya raguragu.
Baru kemudian Lembu Ampal berkata, "Duduklah di ambin itu
pula." Keduanya pun kemudian duduk di ambin itu pula, Sejenak
mereka mendapat ketempatan untuk melihat orang-orang yang
duduk di sekitarnya. Terasa mereka berdesir ketika mereka melihat seorang yang
duduk dengan tenangnya di sudut ambin itu, di sebelah tuanku
Ranggawuni. Bahkan orang itu kemudian tersenyum ketika
pandangannya bertemu dengan tatapan mata kedua Senapati itu.
"Mahisa Agni." desis kedua Senapati itu di dalam hatinya. Mereka
menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja Mahisa Agni yang nampaknya
tidak pernah keluar dari bangsalnya itu kini berada di tempat itu.
"Selamat datang kalian berdua." berkata Mahisa Agni dengan
nada yang datar. Kedua Senapati itu tergagap karenanya. Namun kemudian salah
seorang menjawab, "Demikianlah. Kami berdua selamat sampai di
tempat ini." "Majulah." Mahisa Cempaka mempersilahkan mereka bergeser
mendekat. 747 (Bersambung ke jilid 11) Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: KiArema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
748 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 11 TERASA suasana yang jauh berbeda dengan suasana paseban di Singasari. Bukan
karena tempatnya yang terlampau sederhana, tetapi
hubungan yang rapat antara
Ranggawuni, Mahisa Cempaka
dengan para pembantunya. Dengan para Senapati dan pengawahnya. "Kami memang menunggu
kedatanganmu berdua," berkata
Ranggawuni kemudian, "Kami
memang berharap, mudahmudahan
kami dapat bertemu dengan kalian. Jika tidak malam
ini, mungkin besok atau lusa. Tetapi pertemuan ini benar benar aku
harapkan dalam waktu yang dekat ini."
Kedua Senapati dari Singasari itu tidak menjawab. Tetapi mereka
mengangguk-angguk kecil seakan-akan kata-kata yang diucapkan
oleh Ranggawuni itu memberikan harapan yang cerah bagi mereka.
"Kami berterima kasih atas kunjungan kalian." berkata
Ranggawuni kemudian, "Kedatangan kalian berdua memberikan
gambaran yang lebih baik bagi masa datang Singasari."
749 "Tuanku." berkata salah seorang Senapati itu, "Hamba tidak
tahu, apakah yang sepantasnya hamba katakan. Tetapi hamba
mendapat tugas dari Panglima untuk menghadap tuanku, justru
karena kunjungan Lembu Ampal yang menyebut dirinya sebagai
utusan tuanku." "Ya. Akulah yang memerintahkan kepadanya untuk menghubungi
kedua Panglima. Kami mengetahui apa yang terjadi dan apa yang
berkembang di Singasari. Pertentangan, kecurigaan dan prasangka.
Karena itu, aku tidak dapat menunggu terlampau lama. Penasehatpenasehatku
memberikan petunjuk kepadaku bahwa aku harus
segera berbuat sesuatu."
Kedua Senapati itu menjadi heran. Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka masih terlampau muda. Tetapi seakan-akan ia telah cukup
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masak untuk memimpin Singasari.
Tetapi kedua Senapati itu pun kemudian dapat mengerti, jika di
ruangan itu terdapat beberapa orang yang dianggapnya memiliki
segala macam ilmu dan kepandaian di dalam olah pemerintahan.
"Sekarang kalian telah melihat keadaan kami." berkata
Ranggawuni kemudian, "Terserahlah kepada kalian, keputusan
apakah yang akan kalian ambil. Apakah kalian bersedia bekerja
bersama kami, atau kalian akan menentukan sikap sendiri."
Salah seorang Senapati itu menjawab, "Tuanku, hamba akan
melaporkan apa yang hamba ketahui tentang tuanku berdua dan
tentang kesiagaan tuanku. Selain kenyataan yang hamba lihat,
hamba akan memberikan pertimbangan pula kepada Panglima
hamba." "Terima kasih." sahut Ranggawuni, "Tetapi agaknya yang kalian
lihat belum lengkap jika kalian hanya melihat padukuhan ini saja.
Padukuhan kecil yang tidak berarti apa-apa. Sebaiknya kalian
melihat pedukuhan-pedukuhan yang lain, yang nanti akan
diantarkan oleh Lembu Ampal."
"Hamba sangat berterima kasih atas kesempatan ini tuanku."
750 "Baiklah. Aku tahu kesempatan tidak terlampau banyak. Tetapi
aku berpendapat, bahwa sebaiknya kalian kembali masuk
kelingkungan kota Singasari besok malam saja. Sebentar lagi
matahari akan terbit, dan kalian tidak akan dapat masuk dengan
diam-diam." "Pergilah bersamaku." berkata Mahisa Agni, "Tetapi jika kalian
masih ingin melihat beberapa pedukuhan yang lain, biarlah seperti
yang dikatakan tuanku Ranggawuni, kembali sajalah besok malam."
"Apakah Tuan akan kembali?" bertanya salah seorang Senapati
itu. "Sebelum fajar, aku harus sudah berada di bangsalku."
"Sebelum fajar?" Senapati itu heran.
"Ya. Sebelum fajar."
Kedua Senapati itu saling berpandangan. Saat itu Mahisa Agni
masih tenang-tenang saja di tempatnya dan sebelum fajar ia sudah
berada kembali di bangsalnya.
"Apakah aku berada di tengah-tengah kumpulan hantu-hantu?"
bertanya kedua Senapati itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun kemudian mengajak
kedua Senapati itu untuk melihat padukuhan yang lain. Setelah
mohon diri kepada Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Agni dan
orang-orang lain yang ada di ruang itu, maka kedua Senapati itu
pun meninggalkan halaman yang tidak begitu luas itu.
Dengan menunggang kuda, maka mereka pun segera menyusuri
jalan-jalan sempit di persawahan. Kemudian melintasi bulak-bulak
panjang dan menembus gelapnya malam dan dinginnya embun.
Sesaat kemudian, maka mereka pun telah memasuki sebuah
padukuhan kecil yang lain. Seperti padukuhan yang pernah
dilihatnya, maka ia pun melihat beberapa kelompok prajurit yang
berserakan di halaman-halaman.
751 Mereka kemudian menemui Senapati yang bertanggung jawab di
padukuhan kecil itu. Mereka berbicara sejenak. Kemudian Senapati-
Senapati itu pun meneruskan perjalanan mereka bersama Lembu
Ampal. "Kita mengitari kota Singasari." berkata Lembu Ampal.
Kedua Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang
dari mereka berkata, "Aku mengerti, bukan semuanya prajuritprajurit
Singasari yang ada di Kediri, atau kesatuan-kesatuan yang
ada di luar kota Singasari yang dapat dihimpun oleh tuanku
Ranggawuni. Namun meskipun di antara mereka adalah rakyat
kebanyakan, namun mereka telah bertekad untuk mengabdikan
dirinya bagi Singasari di bawah pimpinan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka." Lembu Ampal mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kota Singasari sendiri memang sudah terkepung. Kami sengaja
memilih tempat pada padukuhan-padukuhan kecil dan terpencil,
agar kehadiran kami di seputar kota tidak segera diketahui. Di s iang
hari, mereka tidak pernah keluar dari padukuhan, apalagi
berkeliaran. Sedang mereka yang masih mempunyai pekerjaan di
rumah atau di sawah, dapat saja mereka lakukan. Tetapi di malam
hari kami bersiap, dan terutama mengadakan latihan-latihan bagi
mereka yang pada dasarnya bukan prajurit. Dan agaknya latihanlatihan
itu telah menyenangkan hati mereka."
Kedua Senapati yang menyertai Lembu Ampal itu menganggukangguk.
Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang dilihatnya.
Apalagi kemudian mereka pun telah di bawa oleh Lembu Ampal
ke beberapa tempat lainnya. Kepadukuhan-padukuhan kecil di
bulak-bulak yang luas atau ke tempat-tempat terpencil yang lain
yang merupakan tempat yang menjadi pemusatan kekuatan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan di arah lain dari
kota Singasari, mereka mendengar dari Senapati yang bertanggung
jawab di tempat itu, bahwa sebagian besar dari orang-orangnya
752 sedang kembali ke padukuhan masing-masing, karena kebetulan
musim menuai padi baru saja mulai.
"Kami biarkan mereka berada di padukuhan masing-masing
untuk satu dua hari. Tetapi mereka sudah berjanji, jika terdengar
isyarat mereka akan segera bekumpul untuk tiga malam mereka
tidak mengadakan latihan. Bahkan barang kali lebih lama lagi
apabila mereka belum selesai dengan pekerjaan mereka di sawah.
Bahkan jika mereka kembali kemari, beberapa pekan lagi mereka
akan kembali lagi untuk mulai menggarap sawah dan menanam
padi." "Jadi yang ada di sini sekarang?" bertanya Lembu Ampal.
"Yang tersisa adalah prajurit-prajurit yang sebenarnya prajurit.
Merekalah yang memberikan latihan-latihan kepada orang-orang
yang dengan suka rela menyerahkan dirinya untuk membebaskan
Singasari dari ketidak tentuan sekarang ini."
Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka mendapat
gambaran yang lengkap tentang persiapan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Dari para Senapati mereka pun mendengar bahwa
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka telah memperhitungkan pula
persediaan makanan dan kesatuan-kesatuan cadangan jika
diperlukan. "Yang kita lihat adalah garis pertama jika perang timbul." berkata
Lembu Ampal, "Dan di belakang garis pertama ini, masih ada
lapisan-lapisan yang lengkap. Persediaan perlengkapan perang dan
persediaan makanan, di samping tenaga-tenaga yang harus
menghimpun kekuatan jika diperlukan, selain sudah disediakan
tenaga cadangan khusus."
Kedua Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang
dari mereka bertanya, "Lembu Ampal. Apakah kita akan dapat
mempercayai bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka yang masih terlampau muda itu mampu membuat
persiapan seperti ini betapapun cemerlangnya daya pikir mereka?"
753 Lembu Ampal tersenyum. Dan ia pun bertanya, "Apakah kalian
tidak percaya bahwa tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka memiliki kemampuan diluar jangkauan nalar?"
"Aku percaya. Tetapi aku lebih percaya jika kau katakan bahwa
kaulah yang telah mempersiapkan ini semua. Kaulah yang telah
menyusun rencana ini dengan teliti, kemudian kau lakukan
semuanya atas nama tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka." Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Terima kasih atas dugaanmu
itu. Tetapi ingat, bahwa selain aku, masih ada seorang Senapati
Besar Singasari yang dikuasakan di Kediri, dan yang sekarang
berada di lingkungan tuanku Ranggawuni meskipun nampaknya ia
berada di bangsalnya setiap saat. Selain Senapati Agung yang
bernama Mahisa Agni itu, juga ada bekas seorang Panglima Pasukan
Pengawal yang bernama Witantra, kemudian di antara mereka
terdapat pula adik seperguruannya yang bernama Mahendra, yang
memiliki kelebihan dari sesamanya. Dan jika kau heran melihat
Kesatria Putih yang kadang-kadang lebih dari seorang dan memiliki
kemampuan melebihi para prajurit dan bahkan Senapati yang
manapun, maka dari mereka itulah yang kalian jumpai."
"Benar-benar suatu susunan rencana yang rapi dan matang."
desis salah seorang dari kedua Senapati itu. Dan sebelum salah
seorang Senopati itu meneruskan, maka Lembu Ampal telah
mendahului, "Sebenarnyalah kami harus menyesuaikan diri dengan
rencana yang lain yang agaknya telah tersusun dengan masak pula.
Kematian seorang prajurit dari golongan Rajasa yang kemudian
disusul oleh terbunuhnya seorang dari golongan Sinelir, yang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menarik prajurit-prajurit
pendukung Tohjaya masuk ke dalam lingkungan istana, diikuti pula
pembunuhan semena-mena yang dilakukan atas kedua Senapati
dari kedua golongan itu, telah memaksa kami untuk bersiap. Menilik
urut-urutan kejadian itu, maka Tohjaya telah mempersiapkan diri
untuk menyapu setiap orang yang tidak sesuai dengan sikapnya
selanjutnya. Terutama usahanya untuk membunuh tuanku
754 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang sebenarnya sama sekali
tidak bersalah dan semula tidak berhasrat untuk berbuat apapun
juga. Tetapi tuanku Tohjaya telah dibayangi oleh ketakutanketakutan
yang mendorongnya untuk melakukan usaha
pembunuhan yang gagal itu."
"Darimana kau mengetahui hal itu?"
"Aku adalah orangnya yang mendapat perintah langsung untuk
melakukannya. Sudah barang tentu atas petunjuk Pranaraja dan
ibunda tuanku Tohjaya."
Kedua Senapati itu mengerutkan keningnya. Agaknya Lembu
Ampal tidak berbohong bahwa ialah yang mendapat perintah untuk
melakukan pembunuhan itu.
"Nah, sekarang kalian berdua sudah tahu segala-galanya.
Terserah kepada kalian, apakah yang akan kalian katakan kepada
Panglima kalian masing-masing." Lembu Ampal berhenti sejenak,
lalu, "Tetapi agaknya jelas bagi kalian untuk tidak dapat memasuki
gerbang saat ini. Lihat, langit sudah menjadi merah."
Kedua Senapati itu menengadahkan kepalanya. Mereka telah
melihat warna merah yang membayang di langit. Warna fajar.
"Sebaiknya kalian kembali apabila malam berikutnya telah
datang. Kau dapat berada di antara kami satu hari, sehingga
dengan demikian kalian akan melihat lebih banyak lagi dari
persiapan kami yang mantap."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari
keduanya berkata, "Sebenarnya aku senang sekali berada sehari lagi
di antara kalian. Tetapi jika aku tidak segera menghadap Panglima,
maka akan dapat menimbulkan salah paham. Mungkin Panglima
mengira bahwa kami berdua telah terjebak dan tidak akan dapat
kembali." "Tetapi jika saatnya kau datang, maka kedua Panglima itu akan
mengerti." 755 "Namun selama ini Panglima dapat mengambil langkah-langkah
yang barangkali justru merugikan kita semuanya."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimana kalian akan memasuki kota. Kalian keluar dengan diamdiam.
Jika kalian memasuki kota lewat gerbang, mungkin kalian
akan mendapat kesulitan, karena kalian tentu akan dicurigai oleh
para prajurit yang bertugas di pintu gerbang."
Kedua Senapati itu terdiam sejenak. Tetapi mereka tidak segera
mendapatkan jalan. Di siang hari mereka tidak akan dapat
memasuki lingkungan kota dengan cara seperti di malam hari pada
saat mereka keluar. "Senapati." berkata Lembu Ampal, "Jika kalian memang berkeras
untuk memasuki kota, mungkin kalian dapat menempuh satu jalan.
Berbuatlah seolah-olah kalian adalah rakyat kecil yang hilir mudik
untuk menjual barang-barang dari anyaman bambu. Mungkin kalian
dapat membawa beberapa buah barang-barang anyaman seperti
itu. Alat-alat dapur dan alat-alat rumah yang lain."
Kedua Senapati itu saling berpandangan. Namun salah seorang
dari mereka tersenyum dan berkata, "Itu baik sekali. Aku akan
mencoba." "Tetapi cepatlah. Lepaskan pakaian Senapatimu. Orang-orang
yang menjual barang-barang anyaman bambu itu memasuki kota
pada saat menjelang fajar seperti sekarang ini."
"Tetapi darimana kami mendapat barang-barang itu." bertanya
salah seorang Senapati itu.
"Jangan cemas. Aku akan dapat mengusahakan berapa saja kau
dapat membawa. Tetapi kau harus mengikat barang-barangmu
seperti orang-orang lain menjual dagangannya ke kota."
"Aku akan belajar." sahut salah seorang dari kedua Senapati itu.
Demikianlah kedua Senopati itu pun berganti pakaian. Sejenak
mereka mempelajari bagaimana mereka harus membawa barangbarang
anyaman yang akan dijual di dalam kota Singasari.
756 Ternyata Lembu Ampal sama sekali tidak mendapat kesulitan
apapun untuk mendapatkan barang-barang yang kemudian akan
dibawa oleh kedua Senapati itu. Bahkan Lembu Ampal pun telah
mendapat pakaian yang akan dipakai oleh kedua Senapati itu pula.
Dengan beberapa pesan kepada orang-orang yang akan
memasuki gerbang Lembu Ampal menitipkan kedua Senapati itu
kepada mereka. Karena sebagian dari mereka adalah orang-orang
yang telah menyatakan diri berada di dalam lingkungan pasukan
yang dipersiapkan oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, maka
kedua Senapati itu pun tidak akan mendapat kesulitan dari kawankawannya
yang memasuki kota dalam iring-iringan.
Meskipun demikian, kedua Senapati itu harus berhati-hati.
Mereka tidak biasa menjinjing seikat barang-barang anyaman
bambu di atas kepala. Rasa-rasanya leher mereka menjadi sakit dan
lelah. Tetapi mereka harus menahankannya.
Ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang induk, hati kedua
Senapati itu menjadi tegang. Rasa-rasanya mata setiap prajurit yang
berugas di gerbang itu memandanginya dengan tajamnya.
Namun ternyata bahwa iring-iringan itu berhasil memasuki kota
seperti biasanya. Agaknya para penjaga tidak menaruh kecurigaan
apa-apa kepada setiap orang dalam iring-iringan itu, karena mereka
tidak meneliti seorang demi seorang dari mereka. Cara mereka
menjinjing barang-barang dagangannya di atas kepala. Pakaian
mereka dari cara mereka berbicara.
Kedua Senapati itu menarik nafas lega ketika mereka telah
berada di dalam kota. Tetapi mereka tidak segera memisahkan diri
dari iring-iringan itu. Mereka berjalan terus bersama dengan orangorang
lain menjinjing barang-barangnya sampai ke tempat mereka
biasa menjajakan barang-barang anyaman itu.
Baru ketika barang-barang mereka telah diletakkan di antara
barang-barang yang lain, maka kedua Senapati itu pun minta diri
kepada orang-orang yang mendapat titipan dari Lembu Ampal.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
757 "Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian." berkata Senapati
itu, "Mumpung masih belum pagi. Kami akan kembali ke rumah
kami." "Silahkanlah." jawab orang itu.
Kedua Senapati itu pun kemudian meninggalkan mereka setelah
menitipkan barang-barangnya dan menyerahkan kepada mereka
untuk menjualnya. Ternyata keduanya merasa betapa tinggi
kesadaran orang-orang yang berada di bawah pengaruh
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
"Untunglah bahwa hari masih remang-remang." berkata seorang
Senapati kepada kawannya.
Kawannya tersenyum. Lalu, "Seandainya hari telah menjadi
terang sekalipun, para prajurit di pintu gerbang tidak akan
mencurigai kita." Dengan pakaian penjual barang-barang anyaman, mereka pun
kemudian berjalan di sepanjang jalan kota ke rumah masingmasing.
Dengan sengaja mereka membiarkan diri mereka
berpapasan dengan orang-orang yang sudah mengenalnya Tetapi
ternyata orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya,
sehingga kadang-kadang kedua Senapati itu harus tersenyum
sendiri sambil mengamat-amati pakaiannya.
Baru kemudian mereka sadari, bahwa pakaian yang mereka
pakai, setelah hari menjadi terang, benar-benar pakaian yang kotor
dan kumal. Pakaian yang sudah sobek di beberapa bagian, dan yang
sudah tidak pantas dipakai lagi.
Tiba-tiba saja tubuh mereka terasa menjadi gatal-gatal, seakanakan
pakaian itu penuh dengan kuman-kuman penyakit yang mulai
menjalari tubuh mereka. Karena itulah maka mereka pun melangkah semakin cepat. Mereka
ingin segera sampai ke rumah, mandi dan berganti dengan
pakaian yang bersih. 758 Tetapi, hampir bersamaan, keduanya mengalami perlakuan yang
menjengkelkan di regol halaman masing-masing. Seorang pengawal
yang melihat kedatangan seorang berpakaian kumal, segera
membentaknya, "He, kau mau kemana?"
Senapati itu memandang pengawalnya sambil tersenyum.
Katanya, "Apakah kau mabuk, sehingga kau tidak mengenal aku
lagi." Pengawalnya mengerutkan keningnya. Namun ia pun membentak
pula, "Siapa kau dan apakah maksudmu?"
"He, kau benar-benar tidak mengenal aku."
"Cepat, jawab. Atau aku putar kepalamu."
"Buka matamu." berkata Senapati itu, "Siapa aku he?"
Pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian perlahan-lahan
ia mulai mengenali Senapatinya. Karena itu, ia pun menjadi gemetar
sambil berkata, "Tetapi tuan, kenapa tuan berpakaian seperti orangorang
padesan yang miskin?"
"Tidak apa. Cepat pergi, dan jangan katakan kepada siapapun.
Aku ingin cepat membuka pakaian yang membuat menjadi gatalgatal."
Pengawal itu tidak menjawab. Dipandanginya saja Senapati yang
memakai pakaian yang aneh itu naik ke tangga pendapa.
Sekilas pengawal itu mendengar isteri Senapati itu menjerit kecil.
Namun suara itu segera terdiam. Namun demikian beberapa orang
dengan tergesa-tergesa menuju ke biliknya.
"Kenapa kau berteriak?" bertanya Senapati itu. lsterinya menutup
mulunya dengan telapak tangannya.
"Kenapa kakang memakai pakaian itu?"
"Aku sedang dalam tugas sandi."
"O, maafkan aku." berkata isterinya yang kemudian pergi ke luar
biliknya sambil tersenyum dan berkata kepada pelayan-pelayannya
759 yang berkerumun di luar pintu bilik, "Tidak ada apa-apa. Aku hanya
terkejut sedikit." Para pelayan menjadi heran. Tetapi karena mereka tidak melihat
sesuatu, maka mereka pun segera meninggalkan bilik itu.
Setelah para pelayan pergi, maka isteri Senapati itu kembali
masuk ke dalam bilik. Dengan suara yang tertahan-tahan ia
bertanya, "Kenapa kakang memakai pakaian seperti ini?"
"Aku dalam tugas sandi."
"Tetapi sudah barang tentu tidak perlu dengan pakaian kumal
dan kotor." Sambil melepas pakaian yang kotor itu, Senapati berkata, "Aku
memerlukan pakaian ini."
Isterinya yang menyediakan ganti pakaian itu pun kemudian
menjadi bingung dan bertanya, "Apakah kakang akan langsung
memakai pakaian ini?"
Senapati itu termangu-mangu. Lalu, "Aku harus mandi dahulu.
Tetapi bagaimana aku akan pergi kepakiwan?"
Akhirnya Senapati itu memutuskan untuk mengorbankan satu
pengadeg pakaiannya lagi, yang dipakainya dari biliknya sampai
kepakiwan. Setelah ia selesai mandi dan keramas, maka ia pun berpesan,
"Pakaianku yang aku pakai ke pakiwan itu pun harus dicuci dengan
air panas, lerak dan dijemur selama tiga hari."
"Kedatangan kakang dalam pakaian kumal itu sangat mengejutkan
aku." berkata isterinya, "Bukankah kakang kemarin pergi
untuk bertugas bersama dengan Panglima atau barangkali di rumah
Panglima?" "Ya. Dan aku kemudian menjalankan tugas sandi yang aneh ini."
"Apakah yang sudah kakang lakukan?"
760 Senapati itu ragu-ragu sejenak. Namun seperti biasanya jika ia
menganggap persoalannya belum saatnya diketahui oleh orang lain
walaupun isterinya sendiri, maka ia pun tersenyum sambil berkata,
"Besok kau akan mengetahuinya."
Isterinya pun mengerti. Jika suaminya menjawab demikian maka
artinya, ia tidak boleh mengetahui tugas yang sedang dilakukannya.
Demikianlah maka setelah berganti pakaian, mempersiapkan diri
maka Senapati itu pun segera minta diri kepada isterinya dan pergi
menghadap Panglima masing-masing.
Hampir bersamaan pula terjadinya ketika kedua Senapati itu
menghadap Panglima masing-masing.
Dan hampir bersamaan pula apa yang telah mereka katakan
kepada Panglimanya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi kedua
Panglima itu kecuali menerima tawaran Lembu Ampal bekerja
bersama dengan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam tugas
yang berat menghadapi masa depan Singasari.
Panglima Pasukan Pengawal yang saat itu dikawani oleh dua
orang Senapati kepercayaannya yang lain mendengarkan
keterangan dari Senapati yang melihat sendiri kesiagaan Ranggawuni
dengan seksama. Tidak ada sepatah kata pun yang tidak
didengarkannya dengan baik.
"Kau yakin akan kekuatannya?" bertanya Panglima.
"Memang masih belum meyakinkan. Jika kita dan Pasukan
Pelayan Dalam tidak pasti berada di pihak mereka, maka yang dapat
terjadi adalah benturan kekuatan yang belum dapat diperhitungkan
dengan pasti, siapakah yang akan menang. Tetapi tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka berkeyakinan, bahwa
rakyat Singasari akan berpihak kepada mereka. Dengan demikian,
maka meskipun mereka bukan prajurit yang terlatih, tetapi kekuatan
rakyat Singasari yang bangkit itu tidak akan dapat diabaikan.
Apalagi di antara mereka terdapat Senapati seperti Mahisa Agni,
Witantra dan adik seperguruannya. Orang-orang yang sudah
761 menjadi semakin tua itu agaknya masih akan mampu bergerak
sebaik-baiknya di medan perang."
Panglima Pasukan Pengawal itu mengangguk-angguk. Dengan
suara yang datar ia bertanya kepada kedua Senapati yang lain, "Apa
pendapatmu?" Salah seorang dari keduanya menyahut. "Mungkin pendapatku
bukan lagi berdasarkan kepada perhitungan murni seorang prajurit.
Sebenarnyalah aku menjadi sangat kecewa terhadap sikap tuanku
Tohjaya. Lebih-lebih sikapnya saat terakhir. Tanpa memeriksa lebih
dalam, ia sudah menjatuhkan hukuman mati kepada kedua Senapati
dihadapan para pemimpin yang lain. Apalagi sikap para prajurit
yang dengan semena-mena telah melepaskan anak panahnya yang
agaknya sudah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya."
Yang lain pun berkata, "Demikianlah agaknya. Apakah yang
dapat kita harapkan bagi masa depan Singasari dalam keadaan
seperti ini. Kebimbangan, kecemasan dan tiada harapan. Kematian
demi kematian akan menyusul dalam lingkungan Pasukan Pengawal
dan Pelayan Dalam. Prajurit-prajurit yang sekarang mendapat
kepercayaan dari Tuanku Tohjaya akan merasa dirinya manusiamanusia
yang paling tinggi kedudukannya di Singasari."
Panglima Pasukan Pengawal itu pun mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Kita harus menghubungi Panglima Pelayan Dalam. Kita
harus mendapat kepastian, apakah kita akan bekerja bersama dan
berpihak kepada tuanku Ranggawuni."
"Tentu kami sependapat." sahut para Senapati.
Demikianlah maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun segera
mempersiapkan diri untuk pergi menemui Panglima Pelayan Dalam.
Dengan beberapa orang pengawal ia pun berpacu di jalan kota.
Panglima itu sadar sepenuhnya, bahwa tentu segala sikap dan
tingkah lakunya itu sama sekali tidak terlepas dari pengawasan
petugas-petugas sandi yang dikirim oleh Tohjaya. Namun ia sudah
bersedia jawaban apabila Tohjaya bertanya kepadanya tentang hal
itu. Tetapi lebih dari itu, ia sudah mempersiapkan dirinya baik-baik
762 bersama seluruh pasukannya. Jika ia harus mati, maka akan timbul
juga kematian-kematian yang jumlahnya tidak terhitung lagi.
Ia kemudian diterima oleh Panglima Pelayan Dalam dengan
penuh pengertian, karena Panglima Pelayan Dalam itu pun telah
mendengar laporan sepenuhnya dari Senapatinya.
"Golongan Rajasa dan Sinelir agaknya benar-benar akan disingkirkan."
berkata Panglima Pelayan Dalam.
"Jadi, apakah kita akan berkisar lagi dari garis perjuangan kita
pada saat kita mendukung tuanku Tohjaya?" bertanya Panglima
Pasukan Pengawal. "Kita adalah orang-orang yang memang berhati lapuk. Kita
seolah-olah berdiri menghadap kemana angin bertiup. Tidak lebih
dari sebatang ilalang di padang yang luas. Namun dalam keadaaan
seperti ini, sikap itu agaknya sikap yang paling baik."
"Tetapi kita dapat mengatakannya dengan bahasa yang lain.
Bukan pendirian dan hati kita yang lapuk. Tetapi sikap kitalah yang
berkembang melihat kenyataan ini. Kita tidak akan dapat
membiarkan diri kita sendiri tersesat semakin jauh dan terlebih-lebih
lagi Singasari akan kita biarkan saja tenggelam kedalam kedung
yang paling dalam tanpa harapan untuk dapat timbul kembali."
"Itu adalah istilah yang paling baik yang dapat kita pergunakan.
Baiklah, yang manapun juga yang akan kita pakai, namun aku
sependapat bahwa kita melepaskan kesetiaan kita kepada tuanku
Tohjaya. Sejak aku mendapat perintah untuk memanggil Mahisa
Agni dari Kediri, aku sudah meragukan, apakah Mahisa Agni akan
berdiam diri saja menjalani keadaan yang diterapkan kepadanya"
Nampaknya ia memang menerima segala keadaannya di bangsalnya
dengan beberapa pengawalnya. Namun demikian, seperti pada saat
ia berdiri di balik tabir kemenangan tuanku Anusapati atas tuanku
Tohjaya, kini Mahisa Agni pun telah melakukan hal yang sama. Ia
seakan-akan dapat berada di dua tempat sekaligus. Di bangsalnya
dan di tempat pemusatan pasukan tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka." 763 "Dengan demikian, bukankah kita telah sepakat?"
"Ya. Kita telah sepakat."
Ternyata kedua Panglima itu pun telah menemukan kesepakatan
untuk bersikap terhadap Singasari. Akhirnya mereka tidak dapat
berpijak pada kepentingan pribadi masing-masing. Tetapi mereka
harus memikirkan persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan
pribadi mereka. "Jika demikian, kita akan menyampaikannya (kepada") tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka." berkata Panglima
Pasukan Pengawal. "Ya. Kapan kita akan menghadap?"
"Sebaiknya segera." potong Senapati dari Pasukan Pengawal,
yang kemudian disahut oleh Senapati Pelayan Dalam yang telah
menemui Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. "Ya. Agaknya tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka pun sudah siap
menghadapi setiap kemungkinan yang akan berkembang. Dengan
atau tidak dengan kita, tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
akan segera bertindak."
"Baiklah." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Besok kita
menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Kedua
Senapati yang mendahului kita akan dapat menunjukkan jalan
kepada kita." "Kita harus keluar dari kota ini malam hari." berkata Senapati
Pengawal, "Setiap lorong dan jalan mendapat pengawasan yang
ketat sekali, sehingga sulit bagi kita untuk dapat keluar tanpa
mereka ketahui di s iang hari."
"Tetapi kalian dapat memasuki kota dengan penyamaran. Apakah
kita tidak melakukan hal yang sama ketika kita berangkat keluar."
"Kami berdua memasuki kota ketika masih remang-remang.
Apalagi kami berada dalam iring-iringan yang cukup banyak dari
orang-orang yang membawa barang dagangan mereka. Sebagian
764 besar adalah barang-barang anyaman yang mereka bawa masuk
kota sepekan sekali."
Kedua Panglima itu mengangguk-angguk. Lalu Panglima Pelayan
Dalam berkata, "Jika demikian, nanti malam kita keluar kota."
"Baiklah, kita akan menghadap langsung. Menurut pendapatku.
Lembu Ampal pasti ada di sana pula." berkata Senapati Pelayan
Dalam. Demikianlah kedua orang itu pun mempersiapkan diri mereka
untuk menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka diiringi
oleh Senapati masing-masing yang telah pernah menghadap lebih
dahulu. Menjelang malam, mereka telah mempersiapkan diri sebaiknya.
Mereka membawa senjata masing- masing di bawah pakaian
mereka, agar tidak segera menarik perhatian.
Dalam pakaian rakyat kebanyakan mereka pun kemudian pergi
ke tempat yang sudah mereka janjikan. Para Senapati yang pernah
pergi bersama Lembu Ampal mengetahui dengan pasti, jalan
manakah yang harus mereka lalui. Namun demikian mereka harus
masih selalu berhati-hati karena setiap saat mereka dapat bertemu
dengan bahaya yang bukan saja mengancam jiwa mereka, tetapi
juga dapat menimbulkan huru hara yang lebih Iuas. Jika kepergian
mereka diketahui oleh petugas-petugas sandi, maka pada saat
mereka tidak ada di tempat, maka pasukannya akan dapat digilas
oleh kekuatan-kekuatan lain yang ada di Singasari.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meskipun kedua Panglima itu telah menyerahkan segala
kebijaksanaan kepada Senapati yang terpercaya, tetapi mereka
merasa lebih baik bahwa semuanya tidak terjadi lebih dahulu
sebelum kedua Panglima itu bertemu langsung dengan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Melalui jalan yang pernah mereka tempuh, maka kedua orang
Senapati itu pun berhasil membawa kedua Panglimanya ke luar
kota. Dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang
pernah mereka lalui pula, sehingga akhirnya mereka pun sampai ke
765 sebuah pedukuhan kecil yang pernah mereka datangi bersama
Lembu Ampal. Ke empat orang itu terkejut ketika mereka memasuki padukuhan
kecil itu. Mereka sama sekali tidak menemukan seorang pun di
mulut lorong. Bahkan ketika mereka memasuki padukuhan itu,
ternyata padukuhan itu kosong sama sekali. Yang ada hanyalah
beberapa buah rumah kecil dengan pintu terbuka. Tetapi rumahrumah
itu sama sekali tidak berisi, dan bahkan tidak ada sebuah
pelita pun yang menyala. Padukuhan kecil itu benar-benar bagaikan pekuburan. Kosong
dan gelap. "Apakah kau sudah gila?" bertanya Panglima Pasukan Pengawal,
"Kenapa kami kau bawa ke tempat ini?"
"Tempat ini adalah tempat tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka menerima kami. Aku ingat betul, inilah rumahnya,
rumah ini. Regol itu aku kenal pula. Dan halamannya adalah
halaman yang ini pula."
"Tetapi padukuhan ini kosong sama sekali. Penghuninya pun
sama sekali tidak ada."
"Tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam berkata, "Apakah tuanku
Tohjaya mengetahuinya dan menyergapnya sehingga padukuhan ini
digilasnya sampai bersih."
"Tidak ada bekas pertempuran." desis Senapatinya.
"Ya. Tidak ada bekas pertempuran."
Ke empatnya termangu-mangu sejenak di dalam kegelapan
malam. Namun sebagai prajurit-prajurit pilihan mereka mendapat
semacam firasat, bahwa di sekitar mereka ada beberapa orang yang
sedang mengintai. Panglima Pasukan Pengawal yang berada di ujung tanpa
sesadarnya telah meraba hulu senjatanya. Desisnya perIahan-Iahan.
"Aku merasa bahwa kita tidak hanya berempat."
766 "Ya." sahut Panglima Pelayan Dalam, "Ada orang di sekitar kita."
Para Senapati pun merasakan sesuatu yang telah meraba dinding
hati. Sebagai prajurit mereka pun segera dapat menanggapi firasat
itu. Tanpa berjanji maka mereka berempat pun segera berdiri
menghadap ke arah yang berlainan.
"Agaknya kita telah terjebak." desis Panglima Pasukan Pengawal.
"Tentu bukan oleh tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka. Aku yakin akan keiklasan mereka."
Mereka tidak berbicara lagi. Mereka kini mendengar suara
berdesir melangkah mendekat. Tidak hanya seorang, tetapi
beberapa orang. Keempat orang itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi
setiap kemungkinan. Tangan mereka telah siap menarik senjata
mereka apabila diperlukan.
Namun sejenak kemudian mereka mendengar suara tertawa
tertahan. "Maaf." terdengar kata-kata itu di sela-sela derai
tertawanya, "Kami tidak dapat menyambut kedatangan kalian
sebaiknya-baiknya." Ketika suara itu terhenti, nampaklah seseorang muncul dari
dalam gerumbul dipinggir halaman. Ternyata orang itu adalah
Lembu Ampal diikuti oleh beberapa orang pengawalnya.
"Sebenarnya apalagi yang sedang kau lakukan sekarang, Lembu
Ampal?" bertanya Panglima Pelayan Dalam.
"Maaf Mungkin kalian terkejut melihat keadaan padukuhan ini.
Padukuhan ini benar-benar padukuhan yang pernah didatangi oleh
kedua Senapati yang mewakili Panglima masing-masing."
"Kenapa padukuhan ini sekarang kosong?"
"Waktu itu aku lupa mengatakan, bahwa setiap saat tempat kami
dapat berpindah. Jika kami menganggap bahwa tempat yang kami
pergunakan sudah tidak aman lagi, maka kami pun segera bergeser
ke tempat yang lain."
767 Panglima Pelayan Dalam itu memandang Lembu Ampal dengan
tajamnya. Di dalam keremangan malam ia tidak dapat menangkap
sorot mata Lembu Ampal. Tetapi agaknya yang dikatakan itu
bukannya dibuat-buat. "Jadi kalian telah berpindah tempat?" bertanya Senapati Pelayan
Dalam. "Ya. Kami mendapat firasat, bahwa ada petugas sandi yang
mencurigai pedukuhan ini. Kami pun segera berpindah tempat
dengan berangsur-angsur. Ternyata bahwa sore tadi, sekelompok
prajurit benar-benar mendatangi tempat ini. Untunglah bahwa kami
telah pergi. Jika tidak, maka mereka tidak akan pernah kembali ke
Singasari. karena jumlah mereka tidak cukup banyak. Tetapi dengan
demikian akan berarti perang segera akan mulai."
"Tetapi kenapa kau berada di sini?" bertanya Senapati dari
Pasukan Pengawal. "Aku yakin kalau kalian akan datang. Karena itu aku menunggu di
sini. Jika malam ini kalian tidak datang, aku masih akan menunggu
beberapa malam lagi di sini."
"Bagaimana dengan kelompok prajurit itu?"
"Mereka tidak melihat aku. Bahkan aku ada di sini pula ketika
mereka tadi datang kemari. Tetapi mereka tidak mencari dengan
teliti. Apalagi karena daerah ini benar-benar telah kosong. Penghuni
padukuhan ini pun telah mengungsi pula ketika kami
meninggalkannya pergi."
"Jadi prajurit Singasari mendapatkan daerah ini kosong sama
sekali?" "Ya. Dan hal itu tentu menumbuhkan kecurigaan mereka."
"Mereka pasti akan kembali, besok atau lusa."
"Ya." jawab Lembu Ampal, "Kami pun sudah menduga. Tetapi itu
memang kami harapkan. Jika kami sudah menerima ketetapan hati
kalian, maka semuanya akan segera dimulai."
768 "Dimanakah tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
sekarang?" "Kami memang menunggu kalian untuk membawa kalian
menghadap." Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak. Namun
akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, maka Lembu Ampal pun segera membawa
mereka meninggalkan padukuhan kecil itu. Ternyata Lembu Ampal
sudah menyediakan beberapa ekor kuda. Bahkan kuda yang
disediakan melampaui jumlah orang yang hanya empat itu.
Dengan diiringi oleh beberapa pengawal Lembu Ampal, maka
mereka pun segera berpacu menuju ketempat yang sebenarnya
tidak begitu jauh. Juga sebuah desa kecil yang berada di bulak yang
luas. Kedatangan kedua Panglima itu diterima dengan senang oleh
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Setelah mempersilahkan mereka
duduk, maka mereka pun segera terlibat dalam pembicaraan yang
bersungguh-sungguh. Seperti pada saat kedua Senapati mendahului menghadap, maka
pada malam itu hadir juga Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra.
Orang-orang yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun
nampak masih memiliki pengaruh yang cukup besar di
lingkungannya. "Kami menyatakan diri berada di bawah perintah tuanku berdua."
berkata Panglima Pasukan Pengawal itu, "Dan kami bertanggung
jawab bahwa semua orang di dalam pasukan kami masing-masing
akan mentaati perintah kami."
"Terima kasih." berkata Ranggawuni, "Tetapi apakah hal ini
sudah kau pikirkan masak-masak?"
Kedua Panglima itu tertegun sejenak. Seakan-akan mereka telah
dihadapkan pada cermin yang bening.
769 Kedua Panglima itu seolah-olah melihat dirinya sendiri pada saat
mereka menentukan sikap mendukung Tohjaya kira-kira setahun
yang lalu. Kematian Anusapati semula memberikan harapan kepada
mereka, bagi kepentingan pribadi, untuk mendapatkan keuntungan
vang sebesarnya. Jabatan dan harta duniawi.
Namun akhirnya mereka menjadi kecewa. Kepentingan pribadi
bagi mereka sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan
kepentingan Singasari, karena ternyata bahwa mereka betapa pun
tipisnya masih disentuh oleh kecintaan kepada tanah kelahiran.
"Tuanku Ranggawuni." Panglima Pasukan Pengawal itu pun
kemudian berkata, "Sebenarnyalah bahwa kami seakan-akan telah
kehilangan kepribadian kami. Kami pada masa tuanku Tohjaya
merebut tahta, kami tidak mampu lagi melihat, manakah yang baik
dan manakah yang buruk. Kini kami berdua tuanku hadapkan lagi
pada persoalan itu. Tetapi kini kami sudah berdiri di tempat yang
lebih mantap. Kami kini mulai mengenal, hakekat dari hidup kami
sebagai prajurit Singasari, yang harus melihat Singasari di atas
segala kepentingan. Terutama kepentingan pribadi."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terima kasih.
Mudah-mudahanan kau benar-benar telah menemukan
kepribadianmu. Bukan lagi harapan-harapan seperti yang pernah
kau impikan pada masa pamanda Tohjaya merebut tahta."
"Ampun tuanku." berkata Panglima Pelayan Dalam, "Kini hamba
melihat dengan mata hati. Bukan sekedar mata wadag hamba,
bahwa tuanku berdua akan benar-benar membuat Singasari menjadi
semakin besar. Tuanku berdua akan dapat melanjutkan usaha
tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, mempersatukan
segenap isi Tanah Kelahiran ini."
Ranggawuni tersenyum. Yang kemudian berkata adalah Mahisa
Cempaka, "Aku percaya bahwa kau berbicara dengan nuranimu. Aku
tidak pantas mencurigaimu lagi."
770 "Jelasnya." berkata Mahisa Agni, "Kalian diterima dalam
lingkungan kami. Karena itu, kalian pun mempunyai pertanggungan
jawab atas sikap kalian. Apakah kalian sudah mengerti?"
"Kami mengerti." sahut Panglima Pasukan Pengawal, "Di
belakang kami adalah seluruh pasukan kami."
"Bagus." desis Witantra, "Dengan demikian, maka semuanya
akan dapat berlangsung dengan cepat."
"Ya. Semakin cepat semakin baik." sahut Mahisa Agni.
Ranggawuni memandang Mahisa Cempaka sejenak, seolah-olah
ingin mengetahui perasaannya. Namun kemudian ditatapnya wajah
Mahisa Agni dalam-dalam, karena sebenarnyalah bahwa semua
rencana telah disiapkan oleh Mahisa Agni, Lembu Ampal, dan
Witantra. "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Agaknya waktunya memang
sudah tiba. Jika tuanku menghendaki, maka setiap saat tuanku
dapat memerintahkan kepada kami untuk mulai dengan perjuangan
kami, memulihkan kebesaran nama Singasari yang sudah
dicemarkan oleh tuanku Tohjaya."
Ranggawuni mengerutkan keningnya, lalu, "Bagaimana menurut
pertimbangan paman?"
"Bagi hamba, semuanya sudah siap."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Lembu
Ampal, maka Lembu Ampal pun berkata, "Tidak ada keberatan
apapun lagi tuanku. Selagi persoalan ini belum diketahui oleh lawan,
kita harus segera bertindak. Dengan demikian korban akan dapat
dibatasi. Tetapi jika kita harus berhadapan di medan, maka korban
akan bertimbun tanpa dapat dihitung lagi."
Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Dan Mahisa Agni pun
kemudian berkata, "Kita dapat mempersiapkan seluruh pasukan
semalam ini. Besok kita dapat memberikan penjelasan yang perlu,
dan di malam hari kita dapat mendekati dinding kota. Menjelang
fajar, kita bersama-sama memasuki kota, sedang yang ada di istana
771 harus segera menguasai istana. Terutama pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam. Dengan demikian maka perhatian prajurit-prajurit
yang ada di dalam kota akan terpecah. Sebagian dari mereka harus
membendung arus lawan yang memasuki gerbang, sedang yang lain
harus berhadapan dengan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam."
Kedua Panglima itu pun mengangguk-angguk pula. Mereka mengerti
rencana itu. Jika mereka dapat bertindak cepat, maka lawan
mereka akan segera menjadi bingung dan menyerah, sehingga
jumlah korban memang dapat dibatasi.
"Nah." berkata Ranggawuni kemudian kepada kedua Panglima
itu, "Kalian sudah mendengar rencana itu. Apakah kalian bersedia
menjalankan?" "Kami bersedia tuanku. Yang kami harapkan hanyalah tandatanda
dan isyarat yang akan tuanku berikan sebagai aba-aba bagi
kami untuk mulai bergerak di istana."
"Kami akan melontarkan panah-panah api dan sendaren."
berbicara Witantra, "Pada saatnya kalian harus bergerak."
"Baiklah. Kami sudah mengerti semuanya."
Ranggawuni kemudian berkata, "Jika demikian, sebaiknya kita
segera mulai. Bagaimana menurut pertimbangan pamanda Mahisa
Agni mengenai ketentuan waktu."
"Sebaiknya kita tentukan tuanku. Seperti yang hamba katakan,
malam ini kita mulai bersiap. Besok kita memberikan penjelasan
kepada setiap pemimpin kelompok di luar dinding kota, sedang
Panglima kedua pasukan itu akan menjelaskannya kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya. Malam hari kita maju dan
mengepung kota, sedang yang ada di dalam harus mempersiapkan
semua kekuatan yang ada. Tanpa kekuatan cadangan, karena kami
akan segera berada di dalam kota."
Ranggawuni mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan setiap
rencana Mahisa Agni, karena ia percaya sepenuhnya, bahwa
772 perhitungan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra dan bahkan kemudian
Lembu Ampal, pada umumnya dapat berjalan baik.
Namun kemudian Ranggawuni pun bertanya, "Lalu bagaimana
dengan pamanda sendiri?"
"Hamba tetap berada di dalam bangsal dengan beberapa orang
pengawal. Hamba harus mempersiapkan pamandamu yang lain,
agar mereka tidak menjadi sasaran kemarahan Tohjaya. Juga
ibunda tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Wonga Teleng
berdua. Juga neneknda Ken Dedes yang sudah hampir tidak dapat
berbuat apa-apa lagi selain berprihatin untuk cucu-cucunya."
"Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam akan mendapat perintah
untuk melindungi mereka." berkata Panglima Pasukan Pengawal.
"Terima kasih." sahut Mahisa Agni, "Tetapi sebaiknya aku berada
di arena yang paling gawat itu. Sedang pasukan yang akan
memasuki kota akan dipimpin oleh Witantra dan Mahendra. Menurut
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendapatku, Lembu Ampal pun sebaiknya berada di dalam kota
bersama beberapa orang Senapati Pasukan Pengawal yang berada
di luar halaman istana. Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka akan segera memasuki kota setelah keadaan kota dapat
dikuasai." "Aku serahkan semuanya kepada pamanda semuanya." berkata
Ranggawuni. Mahisa Agni mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengadakan
beberapa persetujuan khusus. Isyarat yang harus diketahui segala
pihak. Di dalam perang brubuh yang kisruh, maka isyarat sandi
sangat diperlukan. Para prajurit akan sangat sulit membedakan
yang satu dengan yang lain di dalam perang brubuh. Apalagi di
malam hari. Mereka tidak akan mendapat banyak kesempatan untuk
mengenal ciri-ciri khusus mereka masing-masing. Bahkan selain
isyarat sandi, mereka pun merasa perlu untuk mempergunakan
tanda-tanda khusus. 773 "Setiap orang di dalam pasukan kita harus mempergunakan
gelang lawe berwarna putih di kedua pergelangan tangan mereka."
berkata Lembu Ampal kemudian.
Semua pemimpin pasukan yang ada di ruang itu sependapat,
sehingga akhirnya menjadi keputusan pula, bahwa ciri itu harus
dipergunakan. Jika ada di antara mereka yang tidak
mempergunakannya, juga setiap orang di dalam pasukan, maka
apabila terjadi sesuatu atas mereka itu adalah karena kelengahan
mereka sendiri. Malam itu, semua persoalan telah diputuskan dan harus
dilaksanakan. Para Panglima itu tidak dapat berada di tempat itu
terlampau lama. Mereka malam itu juga harus kembali ke rumah
masing-masing, karena setiap saat Tohjaya akan dapat memanggil
mereka. Setelah tidak ada lagi yang dipersoalkan, maka pertemuan itu
diakhiri. Para Panglima dan Senapati dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam, bersama-sama dengan Mahisa Agni, segera kembali
masuk ke dalam kota. Malam itu juga, beberapa orang utusan telah berpacu memencar
kesetiap pemusatan pasukan di sekitar kota. Witantra tetap berada
di antara pasukan induk bersama Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Mahendra dan Lembu Ampal pun kemudian mengambil
tempatnya masing-masing diarah yang berbeda.
Perintah yang dikeluarkan oleh Ranggawuni adalah mempersiapkan
semua pasukan dan kekuatan yang ada. Pagi-pagi benar,
para pemimpin kelompok harus berkumpul di tempat tertentu.
Witantra, Mahendra dan Lembu Ampal akan memberi penjelasan
kepada mereka di tempat masing-masing di arah yg berbeda di
sekitar kota. Setelah setiap pemimpin kelompok mendengarkan penjelasan,
maka mereka masih mendapat waktu sehari untuk mengatur segala
persiapan. Pasukan yang belum lengkap segera dilengkapi. Para
774 pengikut Ranggawuni yang masih bekerja di sawah, segera
berkumpul di kelompok masing-masing.
Pada saat yang ditentukan, maka pasukan Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka yang berada di luar kota sudah siap untuk
bergerak. Pasukan yang menjadi inti kekuatan mereka adalah
prajurit-prajurit Singasari yang berada di Kediri dan yang tersebar di
tempat terpencil yang dapat dihimpun oleh Witantra.
Namun demikian, para pemimpin di dalam pasukan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka yakin bahwa mereka akan berhasil merebut
kedudukan Tohjaya dan menguasai seluruh kota. Kemudian
perIahan-Iahan mereka akan dapat pula mendapat kepercayaan
dari daerah yang sudah dipersatukan oleh Sri Rajasa sebelumnya.
Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam kota pun
segera menyebarkan orang-orang kepercayaan mereka. Mereka
yakin bahwa di dalam keadaan itu, semua perintah mereka akan
mendapat dukungan apabila perintah itu dapat memberikan harapan
yang lebih baik bagi mereka.
"Bergantian panggil para Senapati. Tiga mereka harus
menghadap aku. Sebelum matahari sepenggalah aku berada di
rumah. Kemudian sampai tengah hari, orang berikutnya harus
menghadap aku di alun-alun, justru agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Tetapi ingat, tiga-tiga. Tidak boleh lebih. Setelah tengah
hari, tiga-tiga berikutnya dapat menjumpai aku di halaman istana.
Menjelang malam, sisanya dapat menemui aku di rumah lagi.
Selanjutnya aku akan mengirimkan perintah-perintah berikutnya
lewat petugas-petugas kepercayaanku." berkata Panglima Pasukan
Pengawal yang sudah bersepakat mempergunakan cara yang sama
dengan Panglima Pasukan Pengawal.
Kepada Senapati yang menghadap tiga-tiga, kedua Panglima itu
memberikan penjelasan sampai masalah yang sekecilnya.
"Penjelasan hanya diberikan satu kali." berkata Panglimapanglima
itu. 775 Keterangan itu telah menyatakan kepada para Senapati, bahwa
mereka harus memahami penjelasan yang mereka dengar itu
sebaik-baiknya, karena mereka tidak akan mendapatkan penjelasan
apapun lagi. Mereka kemudian tinggal melaksanakan perintah itu
sebaik-baiknya. Para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu pun
telah mendapat penjelasan pula, bahwa kedua pasukan yang
semula bermusuhan itu harus dapat bekerja bersama. Mereka
agaknya telah menjadi korban adu domba sehingga di antara
mereka timbul perasaan dendam dan benci.
Demikianlah, maka para Senapati dari kedua pasukan itu pun
segera menghimpun anak buah mereka. Tetapi, karena jumlah
pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam tidak begitu banyak
dibandingkan dengan pasukan yang kemudian ditarik ke dalam
istana itu, maka usaha untuk menyampaikan perintah itu ke
segenap telinga pun tidak memerlukan waktu terlampau panjang.
Sebelum tengah malam berikutnya, semua orang di dalam kedua
pasukan itu telah mendengar perintah itu dengan sebaik-baiknya.
Mereka pun telah menempatkan dirinya seperti yang dikehendaki
oleh para pemimpin mereka. Dengan tanpa menimbulkan
kecurigaan, mereka menempatkan para Pengawal dan Pelayan
Dalam dalam jumlah yang cukup kuat di sekitar bangsal Ken Dedes,
putera-puteranya dan ibu Ranggawuni. Yang lain berada di bangsal
Mahisa Agni bersama para pengawal Mahisa Agni sendiri.
Tetapi dalam pada itu, yang bertugas di bangsal Tohjaya
menurut keinginan dan perintah Tohjaya sendiri, sama sekali
bukannya lagi Pasukan Pengawal. Di dalam bangsal itu pun tidak
ada lagi Pelayan Dalam yang melakukan tugasnya. Semua pekerjaan
telah diambil alih oleh prajurit-prajurit yang mendapat kepercayaan
sepenuhnya dari Tohjaya. Sebelumnyalah kecurigaan Tohjaya yang menjadi semakin besar
sejak hilangnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, .kemudian
Lembu Ampal, telah menempatkannya ke dalam pengamatan yang
ketat dari kepercayaannya. Tohjaya telah memilih bangsal yang
776 semula dipergunakan oleh Anusapati, yang dikelilingi oleh kolam
buatan yang cukup dalam dan luas. Di luar lingkungan kolam itu
selapis prajurit selalu berjaga-berjaga. Kemudian setiap jembatan
yang menghubungkan bagian luar dan dalam dari lingkaran kolam
itu pun selalu dijaga sebaik-baiknya. Kemudian di setiap pintu
bangsal ditempatkan beberapa orang prajurit pilihan. Tidak seekor
jengkerik pun yang dapat memasuki bangsal itu tanpa diketahui
oleh para petugas di sekitar bangsal dan kolam itu.
Menjelang saat-saat yang telah ditentukan, maka kedua Panglima
itu pun telah berada di halaman istana pula. Merekalah yang akan
memimpin langsung benturan yang akan dapat terjadi di halaman
istana itu. Dengan diam-diam mereka berhasil mendapat hubungan dengan
Mahisa Agni yang sudah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.
Namun ternyata bahwa Senapati prajurit yang bertugas di
halaman istana itu pun memiliki ketajaman penglihatan. Mereka
melihat kesiagaan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam melampaui
kebiasaannya. Mereka melihat para Pengawal bertugas dalam
kelompok yang lebih besar dan hampir semua kekuatan dari
Pasukan Pengawal telah dipusatkan di dalam halaman. Demikian
pula Pelayan Dalam. Beberapa orang prajurit telah melaporkan
bahwa di bangsal-bangsal tertentu nampak beberapa orang Pelayan
Dalam mondar mandir di antara mereka. Nampak di antara Pelayan
Dalam itu kesibukan yang meningkat.
"Apakah dendam di antara kedua pasukan itu tetap menyala?"
desis seorang Senapati. "Mungkin." sahut yang lain, "Tetapi mungkin pula tidak."
Ketegangan di antara setiap pasukan di halaman ini telah
meningkat. "Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam itu bagaikan
minyak dengan api. Jika mereka bersentuhan lagi dalam perkara
yang paling kecil sekalipun, maka akan dapat berkobar
pertentangan yang mengerikan."
"Tetapi keduanya agaknya mencurigai kita pula."
777 "Itu wajar, karena kehadiran kita di s ini sama sekali tidak mereka
kehendaki. Kita mengemban tugas khusus dari tuanku Tohjaya,
karena kedua pasukan itu tidak lagi dapat dipercaya."
"Meskipun demikian kita tidak boleh lengah malam ini. Mungkin
akan terjadi sesuatu. Seandainya kedua pasukan itu akan bertempur
biarlah mereka bertempur. Tetapi jika mereka mulai menyentuh
tubuh kita, maka kita akan membinasakan keduanya yang
barangkali memang sudah tidak akan dipergunakan lagi oleh tuanku
Tohjaya." Demikianlah, maka di jalur lain, Senapati itu pun telah memerintahkan
kepada setiap pemimpin kelompok untuk mengawasi
keadaan sebaik-baiknya. Kemudian mengambil sikap seperti yang
diputuskan oleh Senapati yang bertanggung jawab malam itu di
halaman istana. Halaman istana itu pun kemudian dicengkam oleh ketegangan.
Ketika tengah malam telah lewat, maka setiap orang di dalam
Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah menyediakan seutas
lawe yang akan mereka belitkan di kedua pergelangan tangan
mereka sebagai tanda. "Jika telah terdengar isyarat, maka lawe itu harus segera
dikenakan. Jika terlambat dan tidak sempat lagi, maka akan dapat
terjadi salah paham." perintah setiap pemimpin kelompok, "Tetapi
juga jangan sekarang. Lawe di pergelangan itu akan dapat
menumbuhkan kecurigaan pada pihak-pihak yang lain di halaman
ini. Apalagi jika mereka memperhatikan bahwa orang-orang Rajasa
dan Sinelir memakai tanda yang bersamaan."
Setiap prajurit yang termasuk di dalam Pasukan Pengawai dan
Pelayan Dalam memperhatikan perintah itu baik-baik. Untuk
sementara mereka belum mengenakan lawe yang berwarna putih
itu di pergelangan tangannya.
Dalam pada itu, para prajurit yang tidak sedang bertugas pun
telah berada di halaman. Mereka mendapat kesempatan untuk
beristirahat sesaat di gardu-gardu dan di tempat-tempat yang tidak
778 begitu jelas dapat dilihat oleh pihak-pihak lain. Tetapi mereka tidak
dapat beristirahat dengan tenang karena mereka menyadari bahwa
sesuatu akan segera terjadi.
Kesiagaan prajurit kepercayaan Tohjaya pun kemudian dapat
dilihat oleh para Senapati dari Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam. Namun mereka pun yakin bahwa prajurit-prajurit itu belum
menyadari apa yang akan terjadi sebenarnya. Mereka bersiap
sekedar karena firasat keprajuritan mereka, dan barangkali sedikit
kecurigaan karena jumlah Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam
malam itu agak lebih banyak dari malam sebelumnya.
Di luar halaman istana, para prajurit dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang tidak memasuki halaman karena pertimbanganpertimbangan
pengamanan rencana dalam keseluruhan, agar pihak
lain tidak terlampau curiga karena jumlah Pengawal dan Pelayan
Dalam menjadi jauh melampaui kebiasaannya, telah siap pula
beberapa ratus langkah dari mulut gerbang.
Mereka mempersiapkan diri di dalam kegelapan berpencaran
sehingga tidak segera dapat dilihat. Beberapa orang di antara
mereka berada di kebun-kebun dan halaman rumah yang dikelilingi
dengan dinding batu. Mereka menunggu sambil duduk-duduk di
antara pepohonan di bawah lindungan bayangan yang gelap.
Bukan saja prajurit-prajurit yang berada di regol dan yang
sedang meronda di jalan-jalan sajalah yang tidak dapat melihat
mereka, bahkan orang-orang yang memiliki halaman itu pun tidak
mengetahui bahwa di halaman, di kebun belakang atau di halaman
samping, terdapat beberapa orang yang bersembunyi di dalam
gelap. Para prajurit dari Pasukan Pengawai dan Pelayan Dalam itu
memusatkan perhatian mereka pada halaman istana dan isinya.
Mereka mempercayakan keadaan di luar dinding halaman istana
kepada pasukan yang akan memasuki kota dari luar.
779 Prajurit-prajurit yang menunggu itu hampir tidak sabar lagi. Apalagi
ketika mereka sudah melihat bayangan kemerahan di ujung
Timur. "Apakah ada perubahan rencana?" bertanya seorang prajurit dari
Pasukan Pengawal kepada pemimpin kelompoknya.
"Seharusnya tidak. Sebentar lagi kita tidak mempunyai waktu lagi
untuk menarik diri. Jika jalan-jalan mulai ramai, kita harus bertindak
dengan atau tanpa pasukan dari luar, karena tidak ada jalan lain
bagi kita yang sudah terlanjur berada di sini dan di dalam dinding
halaman itu." Para prajurit itu pun menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan
oleh pemimpin kelompok itu. Bahkan di antara mereka mulai
tumbuh kecurigaan, bahwa mereka justru telah terjebak dan dengan
demikian mereka harus bertempur sendiri di antara kekuatankekuatan
yang ada di Singasari. Para Panglima yang ada di halaman istaua pun mulai gelisah.
Mereka pun mulai dirayapi oleh prasangka yang serupa, bahwa
Lembu Ampal telah mempermainkan mereka.
"Tetapi tatapan mata tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka itu meyakinkan. Bahkan Mahisa Agni pun telah bersiap
pula. Saudara-saudara tuanku Anusapati telah mengetahui apa yang
akan segera terjadi." berkata Panglima itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka tidak berbuat licik seperti yang dicemaskan itu. Mereka
benar-benar telah bergerak mendekati dinding kota. Pasukan yang
terpencar di seputar kota itu dipimpin oleh Senapati terpercaya yang
dikendalikan oleh Witantra, Mahendra dan Ranggawuni serta Mahisa
Cempaka sendiri. Menjelang pagi, para Senapati dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam hampir tidak sabar lagi menunggu. Menurut
perhitungan mereka, waktu yang direncanakan seharusnya sudah
lampau.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
780 Namun selagi mereka dicengkam oleh kegelisahan dan keraguan,
mereka dikejutkan oleh hadirnya Lembu Ampal di antara mereka.
"Apakah ada perubahan?" bertanya seorang Senapati.
"Tidak." sahut Lembu Ampal.
"Tetapi kita sudah terlambat."
"Memang ada kelambatan sedikit. Tetapi tidak berarti."
"Sebentar lagi, jalan-jalan kota menjadi ramai. Matahari akan
segera terbit." "Masih ada waktu. Saat ini para prajurit sedang menyusup ke
dalam kota lewat pintu gerbang."
"Bagaimana dengan para penjaga?"
"Mereka mempergunakan penyamaran. Pengalaman yang telah
terjadi atas kedua Senapati yang datang terdahulu memberikan
pikiran kepada kami untuk melakukannya. Tidak lewat sebuah pintu
gerbang, tetapi beberapa."
"Jika jumlahnya terlampau banyak, mereka yang bertugas di
gerbang akan segera menjadi curiga."
"Memang. Tetapi dalam pada itu, prajurit-prajurit yang lain kini
sudah siap mengelilingi dinding kota."
Para Senapati itu pun mengangguk-angguk. Tetapi ketika mereka
menengadahkan kepala, mereka melihat langit sudah menjadi
semakin merah. "Hampir pagi. Benar-benar hampir pagi."
"Semuanya sudah siap. Sebentar lagi akan terdengar tanda.
Sementara aku berada di sini seperti yang direncanakan. Aku akan
ikut memasuki halaman istana."
Para prajurit masih saja merasa gelisah. Agaknya beberapa orang
pedagang sudah memasuki gerbang sehingga apabila timbul perang
yang memencar di kota, mereka akan dapat menjadi korban.
781 Meskipun hal itu tidak diucapkan, namun agaknya Lembu Ampal
dapat mengetahuinya, sehingga ia pun berkata, "Jangan cemas
terhadap para penjual barang-barang dari luar yang memasuki
gerbang kota. Mereka seluruhnya adalah orang-orang kita."
"Ah, tidak mungkin."
"Percayalah. Kami telah menghentikan semua orang yang akan
berjualan ke kota. Membeli barang-barang mereka dan kemudian
membawanya masuk. Tetapi orang-orang kita pun yang kemudian
mengangkutnya ke dalam kota dalam penyamaran yang rapi."
Para prajurit yang sudah siap itu mengangguk-angguk. Namun
salah seorang dari mereka berkata, "Tetapi sebentar lagi kota ini
akan terbangun. Jalan-jalan akan menjadi ramai dan dengan demikian
akan dapat timbul kericuhan dan korban yang tidak berarti."
"Mudah-mudahan kita akan segera mulai."
Dalam pada itu, kedua Panglima yang ada di dalam halaman pun
menjadi semakin gelisah. Hampir saja mereka berdua mengambil
sikap tersendiri menghadapi keadaan yang mereka anggap sangat
gawat itu. Namun agaknya kelambatan itu tidak berkepanjangan. Sejenak
kemudian para prajurit yang ada di dalam kota telah mendengar
tanda bahaya yang meledak di gerbang sebelah Utara vang
kemudian menjalar keseluruh kota. Tanda yang justru dibunyikan
oleh prajurit-prajurit Singasari.
Memang tanda itulah yang dipergunakan sebagai isyarat bagi
seluruh kekuatan yang ada di dalam kota. Seperti yang sudah
mereka bicarakan, maka keributan akan dimulai dari gerbang Utara.
Pasukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka sudah
memperhitungkan, bahwa akan terdengar bunyi tanda bahaya itu.
Dan tanda itu pun dipergunakan pula oleh mereka sebagai isyarat,
bahwa perjuangan mereka harus segera dimulai.
782 Namun demikian, untuk meyakinkan apakah pasukan memang
sudah siap seluruhnya, di beberapa tempat akan dilontarkan panahpanah
api dan panah sendaren dengan cirinya masing-masing.
Tanda bahaya yang dibunyikan justru oleh prajurit Singasari itu
benar-benar telah menggemparkan seluruh kota. Prajurit-prajurit
yang tersebar itu pun segera mempersiapkan diri ditempat masingmasing.
Pada saat itu pulalah, maka setiap prajurit dari pasukan
Pengawal dan Pelayan Dalam mengenakan lawe berwarna putih di
pergelangannya. Demikian pula setiap kekuatan yang mendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Prajurit-prajurit yang dipercaya oleh Tohjaya pengawal halaman
tstana pun segera bersiap pula. Tohjaya sendiri berada di
bangsalnya, dikelilingi oleh pengawalnya yang terpercaya dan senjata
telanjang di tangannya. "Apa yang sudah terjadi?" bertanya Tohjaya kepada
pengawalnya. "Belum ada laporan yang kami terima tuanku." jawab Senapati
yang bertanggung jawab atas keamanannya.
"Cepat, usahakan untuk mengetahui, apa yang terjadi."
Beberapa orang pun kemudian berlari-larian di halaman.
Penghubung-penghubung berkuda berderap di jalan-jalan kota.
Baru beberapa saat kemudian, Tohjaya mendengar laporan
bahwa sepasukan prajurit telah memasuki kota lewat gerbang
sebelah Utara, disusul oleh mereka yang memasuki kota lewat pintu
gerbang sebelah Barat dan prajurit-prajurit yang merembes melalui
lorong-lorong sempit. "Bagaimana dengan prajurit-prajurit Singasari?"
"Mereka sedang berusaha menahan arus prajurit-prajurit itu."
"Prajurit-prajurit darimanakah mereka itu?"
783 "Belum ada kepastian. Namun sementara dapat ditangkap
keterangan bahwa mereka adalah pendukung-pendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Gila. Mereka harus dibinasakan. Perintahkan untuk menangkap
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka hidup-hidup. Aku sendiri akan
menghukum mereka. Aku akan menyayat kulit dan dagingnya dan
membiarkan mereka mati perlahan-lahan."
Perintah itu pun kemudian tersebar di antara para Senapati.
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka harus ditangkap hidup-hidup.
Tetapi ternyata bahwa pasukan yang menyerbu ke dalam kota itu
mendesak semakin dalam. Bahkan pada saatnya, para prajurit
dikedua belah pihak melihat panah berapi yang melontar ke pusat
kota, beberapa kali berturut-turut.
"Itu adalah isyarat, bahwa kekuatan yang ada di dalam kota pun
harus mulai bergerak. Justru setelah sebagian besar prajurit
Singasari dikirim ke perbatasan dan berhasil menahan arus kekuatan
dari luar kota." "Kita harus segera mulai." berkata Lembu Ampal.
Senapati yang bertanggung jawab pun kemudian memberikan
isyarat. Beberapa orang segera berteriak bersama-sama, meneriakkan
aba-aba yang kemudian disahut oleh orang-orang lain yang
berpencaran di halaman-halaman.
Setiap aba yang didengar oleh kelompok-kelompok lain, segera
ditirukan. Dengan demikian maka aba-aba itu pun segera merata di
seluruh kota. Para prajurit yang ada di halaman itu pun segera berloncatan
keluar dari persembunyiannya. Mereka dalam waktu yang dekat
telah berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Karena jumlah
mereka memang tidak begitu banyak, maka mereka pun segera
memilih sasaran seperti yang sudah mereka rencanakan.
Kekisruhan segera terjadi di dalam kota. Pertempuran segera
menjalar ke mana-mana. 784 Kelompok-kelompok terpencil yang tidak mendengar teriakan
aba-aba dari induk pasukannya, berpegangan kepada isyarat yang
dilihatnya. Dengan demikian, maka kota Singasari benar-benar bagaikan
diaduk oleh benturan senjata. Di mana-mana telah terjadi perang
dalam kelompok-kelompok kecil.
Prajurit Singasari menjadi bingung. Mereka mendapat perintah
untuk pergi ke gerbang-gerbang kota. Tetapi tiba-tiba saja mereka
telah berpapasan dengan lawan yang bertebaran.
"Orang Rajasa." teriak seorang Senapati, "Mereka telah
memberontak." "Marilah, kita hancurkan mereka."
Prajurit-prajurit yang merasa dirinya mendapat kepercayaan Tohjaya
itu pun segera berusaha untuk menumpas orang-orang
Rajasa. Tetapi dibagian lain, prajurit-prajurit itu berteriak, "Orangorang
Sinelir. Mereka mendendam karena seorang Senapatinya
telah dibunuh oleh tuanku Tohjaya."
"Binasakan mereka."
Seorang Senapati kemudian memerintahkan seorang penghubung
untuk menyampaikan kepada Senapati yang bertugas di
halaman istana, bahwa di luar halaman telah terjadi benturan
senjata antara orang Rajasa melawan para prajurit yang sedang,
mendapat kepercayaan Maharaja di Singasari.
"Mereka iri hati dan dengki."
Penghubung itu pun kemudian dengan hati-hati menyusup
mendekati pintu gerbang istana. Ternyata bahwa halaman istana itu
pun sudah menjadi sepanas bara. Isyarat yang dilihat oleh para
prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam telah
memperingatkan mereka, bahwa di luar halaman, perang telah
berkobar. 785 "Kita harus menunggu sejenak." perintah kedua Panglima yang
ada di dalam halaman itu, "Kita menunggu prajurit yang ada di
halaman ini berkurang."
Seperti yang mereka perhitungkan, maka beberapa kelompok
prajurit segera diperintahkan untuk membantu pengamanan di luar
halaman. Tetapi Senapati yang sedang bertugas pun tidak lengah
menghadapi kekuatan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di
dalam halaman. Sejenak kemudian maka Senapati itu menerima penghubung
yang lain dengan nafas terengah-engah memotong, "Orang-orang
Sinelir telah mengangkat senjata."
Senapati itu menjadi marah. Ia telah memerintahkan dua orang
penghubung untuk menghubungi Panglimanya. Sementara itu ia
berkata, "Tentu sudah diatur sebelumnya. Aku sudah curiga sejak
sore tadi. Jangan menjadi lengah. Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam yang ada di halaman ini pun telah bersiap. Karena itu jangan
terpancing keluar semuanya. Kalian harus bersiaga di setiap
pemusatan Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam."
Para prajurit itu pun ternyata mampu bergerak cepat. Ketika
Panglima memasuki halaman istana, maka semua prajuritnya telah
menempatkan diri menghadapi setiap kemungkinan disegala sudut
halaman. Kedua Panglima yang telah bertekad untuk mendukung
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu pun harus berhati-hati. Mereka
pun menjadi kagum, bahwa Panglima prajurit kepercayaan
Tohjaya itu cepat mengambil sikap dengan menempatkan
prajuritnya ditempat yang paling berbahaya.
Dalam pada itu, di luar halaman, pertempuran menjadi semakin
seru. Tetapi ternyata bahwa jumlah Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam tidak sebanyak prajurit-prajurit yang sudah dipersiapkan
untuk melindungi kekuasaan Tohjaya.
Lembu Ampal menjadi cemas melihat pertempuran di dalam
kota, tetapi di luar halaman istana itu. Karena itu, maka ia pun
786 segera berusaha untuk menghubungi Pasukan yang ada di dalam
halaman, untuk segera mulai agar prajurit-prajurit yang berada di
luar halaman, sebagian terpaksa ditarik masuk ke dalam.
Tetapi Lembu Ampal pun menyadari bahwa jumlah prajurit
kepercayaan Tohjaya yang berada di halaman memang cukup
banyak. Isyarat yang diberikan oleh Lembu Ampal telah dapat di tangkap
oleh kedua Panglima yang ada di dalam halaman ketika tiga buah
panah sendaren menyambar pepohonan di halaman.
Karena itu, maka mereka pun tidak menunggu lebih lama lagi.
Mereka yakin bahwa di luar halaman dan di luar kota, pertempuran
sudah berkobar dengan sengitnya.
Halaman istana itu pun bagaikan terbakar oleh api dendam yang
menyala di setiap dada prajurit-prajurit Singasari dikedua belah
pihak. Hampir di setiap sudut dan regol telah terjadi pertempuran.
Perang brubuh yang kisruh. Satu-satunya tanda di antara mereka
adalah, bahwa prajurit-prajurit yang berpihak pada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka mempergunakan gelang lawe berwarna putih di
pergelangan tangannya. Ketika kemudian langit menjadi cerah, maka ciri itu pun menjadi
semakin jelas. Namun dengan demikian menjadi semakin jelas pula,
bahwa jumlah prajurit yang berpihak kepada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka ternyata lebih sedikit dari. jumlah prajurit-prajurit
yang sudah dipersiapkan oleh Tohjaya, karena kecemasannya akan
kesetiaan para Pengawal dan Pelayan Dalam.
Dalam pada itu, Tohjaya yang dikelilingi oleh prajurit-prajurit
yang melindungi di istananya itu pun mengumpat-umpat tidak ada
habis- habisnya. Setiap kali ia mendengar laporan tentang
pertempuran yang terjadi, ia menggeram dengan garangnya.
Betapapun jarak antara Tohjaya dan ibunya serasa menjadi
semakin jauh, namun dalam keadaan itu, ia berteriak kepada
Panglima prajurit yang sudah ada di istana pula, "Lindungi ibunda
Ken Umang sebaik-baiknya."
787 "Hamba sudah mengirimkan sepasukan prajurit ke bangsal
ibunda tuanku." sahut Panglima itu, lalu, "Bagaimana dengan
ibunda tuanku Ken Dedes, adinda tuanku yang lahir dari tuan puteri
Ken Dedes dan keluarganya."
Tohjaya merenung sejenak, lalu, "Biarlah mereka dibakar oleh
peperangan. Tentu merekalah yang telah berkhianat. Ada firasat
mengatakan, bahwa ini adalah pokal pamanda Mahisa Agni." ia
berhenti sejenak, lalu, "He, dimana pamanda Mahisa Agni?"
"Masih berada di bangsalnya. Di kawal oleh beberapa orang
pengawal setia yang dibawanya dari Kediri."
"Apakah ia tidak ikut dalam pertempuran di halaman dan di luar
halaman?" "Masih harus dilihat tuanku."
"Persetan." ia menggeram. Lalu, "Aku tidak peduli dengan
mereka. Aku tidak membutuhkan mereka lagi. Ternyata sepanjang
hidup mereka, tidak ada lain daripada mengganggu saja."
"Maksud tuanku."
"Panglima." berkata Tohjaya, "Kita masih belum tahu pasti,
siapakah yang telah membakar Singasari dengan peperangan ini.
Aku tidak peduli siapa pun yang bersalah, tetapi dalam kekalutan ini
kita dapat bertindak sekaligus. Kalian harus menyingkirkan ibunda
Ken Dedes dengan segala keturunannya, pamanda Mahisa Agni
dengan semua pengawalnya dan siapa pun yang berpihak kepada
mereka. Aku yakin bahwa mereka terlihat ke dalam kejahatan yang
terjadi ini. Tetapi bagiku perang ini akan bermanfaat. Semua orang
yang tidak sejalan dengan aku, akan aku bersihkan."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tuanku." Panglima itu termangu-mangu, "Bukankah puteraputera
tuan Puteri Ken Dedes itu adalah Saudara-saudara tuanku
sendiri. Saudara seayah meskipun berlainan ibu."
"Aku tidak perduli. Mereka adalah orang-orang yang dengki dan
jahat. Mereka tentu mengharap aku terbakar dalam api peperangan
ini." 788 Panglima itu tidak berani membantah lagi. Dalam keadaan yang
demikian hati Tohjaya akan sangat mudah terbakar. Karena itu
maka katanya, "Baiklah tuanku, semua perintah tuanku akan hamba
laksanakan." Panglima itu pun kemudian ke luar dari dalam biliknya. Tetapi ia
masih saja ragu-ragu akan perintah Tohjaya.
"Aku tidak peduli." akhirnya ia pun menggeram, "Aku sekedar
menjalankan perintah. Mungkin memang merekalah yang telah
menghasut orang Rajasa dan Sinelir untuk memberontak. Sayang,
mereka adalah orang-orang yang dungu, yang tidak dapat membuat
pertimbangan kekuatan. Orang-orang Sinelir dan Kajasa itu
jumlahnya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan jumlah
prajurit Singasari yang ada."
Dalam pada itu, Mahisa Wonga Teleng yang sudah dihubungi
bahwa hal itu akan terjadi, telah mengumpulkan adik-adiknya di
bangsal ibundanya Ken Dedes. Dibawah perlindungan beberapa
orang pengawal terpilih, mereka pun telah bersiap dengan senjata
masing-masing untuk menghadapi segala, kemungkinan.
Pertempuran yang berkobar di halaman itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Meskipun sebagian dari para prajurit telah
keluar dari halaman untuk melawan orang-orang Rajasa dan Sinelir
yang ada di luar halaman, namun ternyata kekuatan mereka di
halaman itu masih cukup besar untuk menekan orang-orang Rajasa
dan Sinelir. Kedua orang Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pelayan
Dalam itu pun telah turun sendiri kedalam medan pertempuran,
sehingga karena itu, maka keduanya bersama beberapa orang
pengawalnya telah mengikat dua kelompok prajurit lawan untuk
menahan mereka. Sementara itu, Mahisa Agni masih tetap berada di bangsalnya.
Tetapi ia sudah menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Ia sudah memerintahkan kepada pengawalTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
789 pengawalnya khususnya untuk memperhatikan isyarat yang akan
diberikan oleh Mahisa Wonga Teleng apabila keadaan memaksa.
Namun ternyata bahwa sesuai dengan perintah Tohjaya,
sekelompok prajurit pilihan telah menyerbu ke dalam bangsal itu,
bersamaan waktunya dengan kelompok yang lain yang menyerang
bangsal Ken Dedes yang dipertahankan oleh pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang terpilih bersama Mahisa Wonga Teleng dan
adik-adiknya. Mahisa Agni yang memang sudah siap itu pun segera memerintahkan
pengawalnya untuk menyambut serbuan itu. Bukan
saja orang Rajasa dan Sinelir, tetapi bahwa Mahisa Agni sendiri
bersama para pengawal khususnya, telah berada di gerbang
bangsalnya pula. "Bukan kita yang menyerang, tetapi Tohjaya." berkata Mahisa
Agni, "Karena itu, kita harus mempertahankan diri sebaiknya. Aku
sendiri akan memimpin perlawanan itu di sini."
Para Pengawal dan Pelayan Dalam yang jumlahnya tidak begitu
banyak itu pun menjadi berbesar hati. Mereka mengenal baik-baik,
siapakah Mahisa Agni itu.
Pertempuran di halaman yang menjadi semakin sengit itu pun
menjadi bertambah-tambah lagi. Sekelompok prajurit telah menyerbu
langsung ke pintu gerbang bangsal Mahisa Agni.
Tetapi para prajurit yang mempertahankan bangsal itu pun telah
siap menyambut mereka. Beberapa orang pengawal khusus yang
selama itu berada bersama Mahisa Agni, segera berpencar. Selain
tanda yang sudah disetujui bersama, gelang lawe wenang yang
berwarna putih, maka di leher mereka masih tetap membelit sehelai
kain putih sebagai pertanda bahwa perang yang mereka lakukan
adalah perang tanpa mengenal surut. Yang mereka pilih adalah dua
kemungkinan. Menang atau mati. Tanpa pilihan ketiga,
mengundurkan diri. Demikianlah pertempuran telah pecah pula di depan bangsal
Mahisa Agni. Seorang Senapati yang memimpin prajurit-prajurit
790 yang menyerang bangsal itu, berusaha untuk sekaligus memukul
para pengawal dan membinasakannya sebelum mereka sempat
berbuat terlampau banyak.
Tetapi para prajurit itu ternyata menjumpai perlawanan yang
mengejutkan. Orang-orang berkalung sehelai kain putih itu ternyata
langsung menyergap mereka dan menusuk ke dalam barisan
prajurit-prajurit yang menyerang itu. Disusul oleh sergapan para
prajurit dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang merasa
dirinya seakan-akan telah mengenakan selembar kain putih melilit
dileher mereka pula. Di antara mereka itu terdapat seorang yang untuk sejenak
mengamati pertempuran itu dengan kening yang berkerut merut.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri,
"Alangkah rakusnya manusia. Mereka yang mempunyai akal budi,
masih harus menyelesaikan persoalan di antara mereka dengan
kekerasan. Seakan-akan manusia itu tidak dapat berbicara yang
satu dengan yang lain untuk menyesuaikan kepentingan masingmasing."
Namun kemudian Mahisa Agni meraba dadanya sendiri
sambil berkata, "Termasuk aku sendiri."
Mahisa Agni yang sedang merenung itu tiba-tiba terkejut ketika
sebuah tombak terjulur ke dadanya. Dengan cekatan ia bergeser
setapak sambil memiringkan tubuhnya. Namun dengan demikian
ujung tombak itu meluncur tanpa menyentuh sasarannya sama
sekali. Ketika orang yang menyerangnya itu kemudian menarik tombak
pendeknya dan melangkah surut, maka Mahisa Agni pun melihat
bahwa orang itu adalah Senapati yang bertugas mempimpin
pasukan yang menyerang bangsalnya. Bersama dengan dua orang
pengawalnya mereka berusaha untuk mengurung Mahisa Agni, agar
tidak mengacaukan pasukannya yang sedang bertempur di muka
bangsal itu. "Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan?" bertanya Mahisa
Agni. 791 Senapati itu tidak menjawab. Dengan garangnya ia menyerang,
disusul dengan serangan beruntun dari kedua orang pengawalnya.
Namun Mahisa Agni masih sempat mengelakkan serangan itu.
Dengan sigapnya ia bergeser dan meloncat. Kemudian hampir di
luar pengamatan lawannya ia sudah berada di luar kepungan ketiga
orang itu. "Aku masih ingin berbicara." berkata Mahisa Agni yang belum
memegang senjata apapun, "Apakah kalian mau mendengar?"
Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia menyerang
sekali lagi dengan dahsyatnya. Tetapi serangannya sama sekali tidak
berarti. "Hentikan sejenak. Aku akan berbicara." berkata Mahisa Agni
pula. Tetapi, Senapati itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia
semakin merasa terhina dengan sikap Mahisa Agni itu. Karena itu, ia
pun segera mempersiapkan diri untuk menyerangnya pula dengan
tombak pendeknya. Namun dalam pada itu, kedua pengawalnya menjadi heran
melihat sikap Mahisa Agni. la sama sekali tidak memegang senjata
apapun di medan perang yang semakin seru itu. Bahkan ia masih
saja mengelak sambil berusaha untuk berbicara kepada lawannya.
"Dengarlah." desis Mahisa Agni.
"Tidak ada yang dibicarakan." teriak Senapati itu, lalu, "Bunuh
semua orang Rajasa dan Sinelir. Bunuh semua pengawal berkalung
kain putih itu. Aku akan membunuh Mahisa Agni."
"Jadi kau tidak mau berbicara lagi." bertanya Mahisa Agni.
Senapati itu tidak menyahut. Tetapi ia berteriak kepada kedua
pengawalnya, "Jangan tidur. Orang ini harus dibunuh."
"Kalian tidak akan dapat membunuh aku." berkata Mahisa Agni,
"Jika kau berkeras hati, maka kau dan seluruh anak buahmu akan
terbunuh di sini." 792 "Persetan. Jangan terlampau sombong."
"Akulah yang telah menaklukkan Kediri bersama Sri Rajasa
Batara Sang Amurwabumi. Tidak ada orang lain yang dapat
mengalahkan aku di seluruh Singasari. Yang dapat menyamaiku
hanyalah Sri Rajasa, dan kini tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka." Kata-kata itu menyentuh hati Senapati yang bersikap melawannya
membabi buta. Namun kemudian ia menggeram, "Jangan
sombong. Kau pun akan mati. Aku adalah Senapati terpercaya. Aku
mendapat tugas untuk membunuhmu. Dan kau jangan mencoba
menakut-nakuti aku."
Mahisa Agni menarik nafas. Ia sudah berusaha. Bahkan dengan
menakut-nakuti dan menyebut-nyebut nama Sri Rajasa agar Senapati
itu mau diajak berbicara. Tetapi prajurit-prajurit itu pun
agaknya seorang prajurit yang keras hati.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Mahisa Agni dari pada
bertempur. Dan ia pun kemudian sudah siap untuk melakukannya
setelah usahanya untuk berbicara sia-sia.
Karena itulah maka Mahisa Agni pun kemudian menarik
pedangnya yang disarungkannya di lambung kirinya.
Sekejap kemudian, maka Senapati pun itu pun telah mengulang
serangannya bersama kedua pengawalnya. Hampir bersamaan dari
arah yang berlainan. Tetapi kini Mahisa Agni tidak lagi sekedar menghindar dan
berloncatan. Ia sudah memegang senjata ditangannya. Karena
itulah, maka ia pun segera mempergunakannya.
Dengan tangkasnya Mahisa Agni mengelak sekaligus menangkis
serangan yang lain. Namun hampir diluar kemampuan pengamatan
lawannya, pedang Mahisa Agni pun segera berputar.
Sebuah benturan yang keras segera terjadi. Terdengar sebuah
keluhan tertahan. Seorang dari ketiga lawan Mahisa Agni itu segera
meloncat mundur sambil memegang pergelangan tangannya yang
793 berdarah, sedang senjatanya telah terlempar beberapa langkah
daripadanya. "Menyingkirlah." geram Mahisa Agni, "Jika kau tidak mendekat
aku lagi, dan tidak ikut campur di dalam pertempuran ini kau akan
mendapat kesempatan hidup."
Orang itu tidak menjawab. Sementara itu lawan-lawan Mahisa
Agni yang lain telah menyerangnya pula. Tetapi serangan mereka
sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Orang yang terluka itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika
dilihatnya seorang prajurit yang terkapar di tanah dengan sebuah
tombak masih digenggamnya, maka ia pun segera memungut
tombak itu. Sejenak ia termangu. Kemudian dengan hati-hati ia mendekati
Mahisa Agni. Tombak yang dipungutnya itu pun dipeganginya
dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya yang terluka.
Tiba-tiba, ketika ia sudah membidik dengan saksama, tombak itu
dilemparkannya kearah punggung Mahisa Agni yang sedang
berusaha menangkis serangan seorang lawannya.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Agni tidak lengah. Ia dapat
melihat sekilas lontaran tombak itu, sehingga ia sempat
memiringkan tubuhnya sambil bergeser sejengkal.
Tetapi tombak itu tidak terlempar dengan sia-sia. Sejenak
kemudian terdengar teriakan nyaring. Tombak itu ternyata telah
terhunjam ke dalam perut kawan prajurit yang melontarkannya itu
sendiri. Seketika orang itu terlempar dan terbanting di tanah, untuk tidak
bangkit lagi seIama-Iamanya.
"Gila, gila." prajurit yang melontarkan tombak itu berteriak.
Kemarahan yang memuncak telah mencengkam otaknya. Demikian
pula Senapati yang bersama mereka telah melawan Mahisa Agni itu.
794 Tetapi kemarahan mereka tidak banyak memberikan arti Mahisa
Agni pun kemudian melihat kenyataan, bahwa jumlah orang-orang
Rajasa dan Sinelir yang tidak begitu banyak itu mulai terdesak.
Bukan saja dihadapan bangsal Mahisa Agni. Tetapi agaknya di
mana-mana, di seluruh sudut halaman istana itu.
Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada mengurangi
jumlah lawannya. Dan jika di antara mereka itu terbunuh, hal itu
tentu tidak akan dapat dihindarinya lagi. Juga apabila pada suatu
saat, ia sendirilah yang terbunuh di peperangan itu.
Sejenak kemudian maka Mahisa Agni pun telah melibatkan diri
benar-benar di dalam pertempuran dan pertumpahan darah. Apalagi
ketika ia melihat seorang pengawalnya yang berciri sehelai kain
putih dilehernya telah terbaring di tanah. Lambungnya menganga
tersayat oleh ujung pedang, sedang darahnya mengalir bagaikan
terperas dari tubuhnya. Mahisa Agni menggeram. Ia sempat melihat pengawalnya yang lain masih bertempur
dengan gigihnya di antara orang-orang Rajasa dan Sinelir yang
berciri lawe di tangannya.
Ketika Mahisa Agni dengan tidak sengaja melihat ujung tombak
seorang prajurit lawannya, menyentuh punggung seorang
pengawalnya yang lain, sehingga pengawalnya itu terluka parah,
dan kemudian seorang Rajasa berdesis menahan sakit ketika
lengannya nyaris putus oleh sabetan pedang, dada Mahisa Agni
bagaikan mendidih. Perlahan-lahan Mahisa Agni hanyut di dalam
arus kekerasan yang terjadi diarena peperangan itu.
Bahkan kemudian Mahisa Agni tidak dapat menahan hatinya lagi
ketika seorang lagi Pelayan Dalam yang jatuh di tanah karena
lambungnya ditembus oleh ujung tombak.
Mahisa Agni menggeram. Ia harus menghentikan jatuhnya
korban-korban baru dipihaknya. Karena itu, maka ia pun segera
meloncat dengan garangnya sambil menggerakkan pedangnya.
795 Ia tidak memerlukan waktu yang lama untuk mengakhiri
perlawanan Senapati yang menahan serangannya. Senapati itu pun
segera terlempar sambil mengerang.
Mahisa Agni tidak menghiraukannya lagi, apakah Senapati itu
mati atau sekedar terluka. Mahisa Agni pun kemudian dengan
sengitnya bertempur melawan prajurit-prajurit yang telah
menyerang bangsalnya itu.
Sesaat setelah Mahisa Agni ikut langsung di dalam peperangan
itu, segera terjadi perubahan di arena. Prajurit-prajurit itu tidak lagi
berhasil mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir beserta pengawal
khusus Mahisa Agni yang bertempur tanpa menghiraukan dirinya
sendiri. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Senapatinya telah
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbunuh atau terluka parah dan terbaring di pinggir arena tanpa
bergerak sama sekali. Prajurit itu bagaikan kehilangan ikatan. Mereka seolah-olah
bertempur menurut kemauan masing-masing. Sehingga dengan
demikian maka ikatan kesatuan mereka pun menjadi retak dan
akhirnya pecah sama sekali.
Pengawal-pengawal Mahisa Agni bersama orang-orang Rajasa
dan Sinelir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendesak
lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran di depan bangsal Mahisa
Agni itu pun mempunyai akhir yang agak berbeda dengan
pertempuran-pertempuran yang lain. Pada umumnya para prajurit
yang mendukung Tohjaya berhasil mendesak lawannya. Tetapi
mereka yang melawan Mahisa Agni dengan pengawalnya yang di
lehernya dibelitkan kain putih yang bertempur bersama-sama dengan
orang-orang Rajasa dan Sinelir, telah terdesak dan bahkan kepungan
mereka telah dipecahkan. Namun ternyata bukan pecahnya kepungan para prajurit itu tidak
hanya terjadi dibangsal Mahisa Agni. Dimuka gardu peronda di
sudut halaman dalam, kepungan para prajurit itu pun dapat
dipatahkan. Di regol itu berjaga-jaga sekelompok prajurit dari
796 Pasukan Pengawal yang langsung dipimpin oleh Panglimanya
sendiri, sehingga dengan demikian maka mereka telah bertempur
dengan segenap kemampuan yang ada. Seperti para pengawal yang
bertempur bersama Mahisa Agni, maka mereka pun hanya
mempunyai dua pilihan. Menang atau mati.
Tetapi masih ada satu tempat lagi yang berhasil menyobek
kepungan para prajurit. Didepan bangsal Tuan Puteri Ken Dedes,
Mahisa Wonga Teleng bertempur mati-matian. Bersamanya adalah
Panglima Pelayan Dalam yang dengan cemas telah berusaha untuk
melindungi keluarga Ken Dedes yang agaknya menjadi sasaran
kemarahan Tohjaya. Mahisa Wonga Teleng memang tidak mempunyai pilihan lain.
Bersama adik-adiknya dan Panglima Pelayan Dalam ia memimpin
orang-orang Rajasa dan Sinelir menghancurkan prajurit vang
mencoba menyergap bangsal itu.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang sudah bebas dari ancaman
para prajurit itu pun kemudian memanggil Senapati yang ditugaskan
oleh orang-orang Rajasa dan Sinelir. Dengan singkat mereka
berunding untuk mengatasi kesulitan yang timbul di halaman itu.
"Kita tidak akan dapat tinggal diam. Setelah kita berhasil
mengusir prajurit-prajurit itu, kita harus bertindak lebih jauh."
berkata Mahisa Agni, "Kita tidak yakin apakah kawan-kawan kita
berhasil mempertahankan diri."
"Jadi maksud tuan?" bertanya Senapati dari Pasukan Pengawal.
"Kita pergi kebangsal Tuan Puteri Ken Dedes."
"Aku sependapat tuan." potong Senapati Pelayan Dalam,
"Mudah-mudahan mereka masih dapat bertahan."
Mahisa Agni pun kemudian memimpin sekelompok pasukannya
melintasi halaman. Di beberapa tempat mereka memang harus
berhenti sejenak. Tetapi mereka mencoba menghindari pertempuran
yang dapat mengikat mereka.
"Cepat." berkata Mahisa Agni.
797 Tetapi sekelompok prajurit yang melihatnya tidak melepaskannya.
Mereka pun dengan serta merta telah mengejar
sekelompok lawan yang mengikuti Mahisa Agni.
"Jangan hiraukan. Adalah kebetulan sekali jika mereka mengikuti
kita. Lawannya akan sedikit mendapat keringanan."
Pengikut-pengikut Mahisa Agni itu tidak menjawab. Tetapi mereka
pun sependapat. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, maka orang-orang
Sinelir dan Rajasa yang sedang bertempur dan ditinggalkan oleh
sebagian dari lawan-lawannya menjadi agak lapang. Mereka tidak
harus memeras keringat sampai titik terakhir, dan kemudian dengan
terengah-engah mencoba menyelamatkan hidup mereka.
Ketika Mahisa Agni mendekati bangsal Tuan Puteri Ken Dedes,
maka hatinya menjadi lega. Ia melihat bahwa Mahisa Wonga Teleng
dan Panglima Dalam yang bertempur di sekitar bangsal itu telah
berhasil mendesak lawannya sehingga sebagian besar dari mereka
telah terusir. Yang masih ada hanyalah orang-orang yang keras
kepala dan tidak mau melihat kenyataan, bahwa mereka tidak akan
dapat berhasil menerobos memasuki bangsal itu.
Kedatangan Mahisa Agni telah menambah mantap orang-orang
Rajasa dan Sinelir yang sedang bertempur bersama Mahisa Wonga
Teleng. Karena itu, maka mereka pun bertempur semakin gigih.
Senjata mereka berputaran dan korban pun berjatuhan semakin
banyak. "Bagaimana keadaan tuan?" bertanya Mahisa Agni.
"Kami berhasil paman." jawab Mahisa Wonga Teleng.
"Jika demikian, baiklah. Aku akan menahan prajurit yang
mengejarku." berkata Mahisa Agni.
Dengan serta merta maka Mahisa Agni pun kemudian memerintahkan
pengikutnya untuk menyiapkan diri melawan
sekelompok prajurit yang mengejarnya.
798 Namun mereka bukan lawan yang cukup kuat. Sejenak kemudian
mereka pun telah pecah dan berlari-larian memencar mencari
kawan-kawannya yang lain dan menggabungkan diri di arena
pertempuran yang lain. Dalam pada itu, Panglima Pasukan Pengawal pun telah
meninggalkan tempatnya pula untuk menolong pasukannya yang
terdesak di beberapa bagian dari arena di halaman istana itu.
Bahkan sebagian besar dari lingkaran-lingkaran pertempuran benarbenar
telah dikuasai oleh prajurit yang setia kepada Tohjaya.
Sementara itu, Lembu Ampal yang bertempur di luar dinding
istana pun harus berjuang mati-matian untuk dapat bertahan.
Jumlah orang-orang Rajasa dan Sinelir memang tidak cukup banyak.
Sebenarnyalah, bahwa mereka mengharapkan bantuan yang datang
dari luar kota, untuk membantu menahan sergapan prajurit-prajurit
yang sedang marah sekaligus mencari muka.
Betapa usaha Lembu Ampal untuk menolong orang-orang Rajasa
dan Sinelir, namun mereka tidak akan dapat berbuat melampaui
kemampuan mereka. Karena itu, maka orang-orang Rajasa dan
Sinelir semakin lama menjadi semakin terdesak menjauhi dinding
istana. Dalam pada itu, di dalam istana, Mahisa Agni, kedua Panglima,
Mahisa Wonga Teleng dan orang-orang terpilih hanya mampu
menolong Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang berada
disekitarnya dan terbatas sekali. Tetapi keadaannya masih agak
lebih baik dengan kawan-kawannya yang berada di luar dinding
istana. Namun dalam pada itu, pertempuran di pintu gerbang dan regolregol
lorong di dinding kota pun terjadi dengan sengitnya. Pasukan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka melanda prajurit Singasari yang
mempertahankan kota itu dengan dahsyatnya.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa pasukan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, bukannya yang berada di mulut gerbang dap regol itu
sajalah yang akan menerobos memasuki kota. Sebagian dari
799 mereka, justru telah berada memasuki kota. Sebagian dari mereka,
justru telah berada di dalam. Mereka memasuki kota tanpa
bertempur sama sekali, karena mereka menyamar sebagai orangorang
yang akan berjualan hasil kerja mereka dan hasil bumi dari
luar kota. Orang-orang itulah yang sudah berada di dalam. Mereka mencari
tempat untuk menanggalkan pakaian penyamaran mereka dan
mengenakan pakaian tempur yang sudah mereka bawa tersembunyi
di bawah barang dagangan. Dengan tergesa-gesa mereka
mengenakan lawe di pergelangan tangan sebagai ciri yang sudah
ditentukan. Barulah kemudian mereka memencar. Mereka merayap
mendekati dinding halaman istana dari segala jurusan. Bahkan
mereka tidak langsung terjun ke arena pertempuran, karena beberapa
orang di antara mereka sempat memasuki pintu-pintu rumah
yang tertutup rapat. Dengan agak memaksa pintu-pintu itu pun terbuka.
Penghuninya dengan gemetar menatap orang-orang yang
tidak dikenalnya berdiri di depan pintu.
"Jangan takut." berkata pengikut Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka, "Aku adalah prajurit-prajurit Singasari yang setia kepada
sumbernya pemimpin pemerintahan yang sebenarnya. Kami adalah
pendukung-pendukung tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka, keturunan Ken Dedes."
Orang-orang itu bagaikan membeku sambil mendengar keterangan
itu. "Nah, tenanglah. Kami akan berjuang bagi kalian melawan
Tohjaya yang tamak."
Sepeninggal orang-orang yang berdiri dengan senjata di tangan
di muka pintu rumah-rumah mereka itu, barulah mereka mulai berpikir.
Dan sebagaian besar dari mereka mulai disentuh oleh
harapan, "Bukankah tuanku Ranggawuni itu putera tuanku
Anusapati, sedangkan tuanku Mahisa Cempaka adalah putera
tuanku Mahisa Wonga Teleng?"
800 Orang-orang yang mendatangi pintu-pintu rumah yang tertutup
itu ternyata terkejut ketika mereka melihat seorang yang terluka
berIari-Iari memasuki halaman dan berusaha bersembunyi di balik
dinding. Tetapi ketika orang yang terluka itu sedang berusaha
menahan darah yang keluar dengan kain panjangnya, ia terkejut
melihat beberapa orang mendatanginya.
Meskipun ia sudah terluka, namun dengan sigapnya ia meloncat
dan mengacukan senjatanya.
"Kenapa kau ki Sanak?" bertanya orang-orang yang baru datang.
Orang yang terluka itu heran. Apakah orang-orang itu tidak
mengetahui bahwa sedang terjadi perang di seluruh bagian kota di
sekitar dinding istana"
Namun tiba-tiba ketika terpandang olehnya gelang lawe di
pergelangan tangannya maka orang yang terluka itu pun berkata,
"Apakah kau menyadari bahwa lawe di tanganmu itu mempunyai
arti?" "Tentu." jawab orang-orang itu. Dan hampir di luar kesadaran
mereka, mereka pun serentak memandang pergelangan tangan
orang yang terluka itu. Orang itu pun mengenakan lawe di
tangannya meskipun sudah menjadi merah oleh darah.
"Kau orang Rajasa atau Sinelir?"
"Bukan. Tetapi aku berada dipihaknya. Aku adalah pembantu di
rumah seorang Senapati Pasukan Pengawal. Aku adalah
pekatiknya." "O." sahut orang yang baru datang itu, "Dimana Senapatimu
sekarang?" "Bertempur. Tetapi agaknya orang-orang Rajasa dan Sinelir
terdesak, dan bahkan hampir tidak dapat bertahan lagi."
Orang-orang itu terkejut. Dengan serta merta salah seorang dari
mereka bertanya, "Jadi orang-orang Rajasa dan Sinelir sudah terdesak?"
801 "Ya. Berat sekali."
Mereka berpandangan sejenak, lalu salah seorang bergumah,
"Kita memang sudah menduga. Tetapi tidak secepat itu. Karena itu,
marilah, kita segera saja turun ke medan."
Orang yang terluka itu termangu-mangu. Lalu katanya, "Jika
kalian segera membantu, keadaan tentu akan berubah. Aku pun
akan memampatkan luka ini. Seterusnya aku akan memanggil para
pelayan dan pembantu yang lain. Siapapun, asal ia seorang laki.
Demikian juga yang dilakukan oleh Senapati-Senapati yang lain."
Orang-orang itu tidak menyahut. Segera mereka berlari-larian
menyusur lorong menuju ke arah istana.
Hampir bersamaan waktunya, kawamnya yang tersebar pun
mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah menjadi gawat
sekali. Sebenarnya, bahwa pada saat itu orang-orang Rajasa dan Sinelir
sudah terdesak semakin jauh. Mereka bertempur sambil menarik
diri. Bahkan sebagaian dari mereka telah bertempur di padesan
yang ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun.
Dalam keadaan yang demikian itulah beberapa orang muncul dari
lorong-lorong sempit, justru dari padesan-padesan. Beberapa kali
terdengar suitan-suitan nyaring sebagai isyarat kehadiran mereka
dan sekaligus perintah dan isyarat bagi kawan-kawan mereka agar
segera turun ke medan. Beberapa orang Rajasa dan Sinelir yang melihat kehadiran
mereka bersorak dengan serta merta. Orang-orang yang mempunyai
tanda lawe berwarna putih di pergelangannya itu tentu
pasukan yang telah berhasil menyusup memasuki kota dan segera
akan bertempur bersama mereka.
Demikianlah yang sebenarnya segera terjadi. Orang-orang yang
bermunculan dari lorong-lorong sempit dari segala arah di seputar
dinding halaman istana itu pun segera bersiaga menghadapi setiap
kemungkinan. 802 Prajurit-prajurit yang sedang mendesak dan bahkan mulai
mengejar orang-orang Rajasa dan Sinelir yang terpaksa menarik diri
itu pun terkejut. Semula mereka menyangka bahwa yang datang itu
Kesatria Baju Putih 18 Sepasang Pendekar Daerah Perbatasan Giok Bun Kiam Lu Karya Chin Yung Pendekar Elang Salju 3