Sepasang Ular Naga 15
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 15
seorang yang cepat sekali tersinggung, marah dan bertindak
seakan-akan di luar sadarnya.
"Tuanku." berkata Senapati itu, "Beberapa orang prajurit yang
mengawasi bulak itu menyampaikan laporan."
Tohjaya yang lelah dan terluka itu mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba saja ia membentak, "Coba, katakan sekali lagi."
Senapati itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus
menyampaikan berita itu. "Tuanku, di ujung bulak nampak sekelompok orang-orang
berkuda menuju ke arah ini."
"Gila." teriak Tohjaya, "Kenapa mereka menuju kemari?"
"Agaknya mereka menemukan jejak kita."
"Bodoh sekali. Dungu dan gila. Kenapa jejak kita dapat dikenali?"
Senapati itu menjadi bingung.
865 "Persetan dengan pencari jejak itu."
"Tetapi mereka benar-benar menuju ke arah ini tuanku."
"Aku tidak peduli. Aku ingin beristirahat di s ini."
Senapati itu menjadi semakin bingung. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimana jika benar-benar datang?"
"Apakah kau sudah menjadi lumpuh. Usir mereka."
"Tuanku." berkata Senapati itu, "Hamba akan berusaha mengusir
mereka. Tetapi demi keselamatan tuanku, apakah tidak sebaiknya
tuanku melanjutkan perjalanan. Jika mereka telah terusir, maka
tuanku akan dapat beristirahat lebit tenang lagi."
"Jadi, kau mengganggu istirahatku kali ini?" Tohjaya berteriak
semakin keras. Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
"Hamba akan menurut segala perintah tuanku. Apakah yang harus
hamba lakukan sekarang tuanku?"
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menyadari bahwa ia sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan
diri. Sikap Senapati yang seakan-akan menyerahkan segalanya
kepadanya itu justru membuat Tohjaya menjadi bimbang.
Akhirnya ia pun berteriak, "Kita berjalan terus." Lalu katanya
kepada Senapati, "Bagi orang-orangmu. Sebagian ikut bersamaku,
yang lain jebak orang-orang berkuda itu di sini. Kau tentu dapat
memperhitungkan jumlah yang kau perlukan untuk membinasakan
orang-orang berkuda itu."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah
tuanku. Hamba akan melakukannya."
Senapati itu pun kemudian memerintahkan beberapa orang
prajurit menyiapkan tandu. Sejenak kemudian perjalanan Tohjaya
itu pun dilanjutkannya, dikawal oleh prajurit-prajurit pilihan dengan
senjata telanjang di tangan.
866 Namun dalam pada itu, wajah-wajah mereka menjadi semakin
kuyu. Bahkan beberapa orang di antaranya telah sampai pada batas
ketahanan jiwanya. Mereka menjadi putus asa dan tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Tetapi mereka berjalan terus. Betapapun sulitnya. Jalan yang
mereka lalui semakin lama menjadi semakin sempit dan berbatubatu.
Dalam pada itu. Senapati pengiring Tohjaya itu dengan tergesagesa
pergi kemulut lorong. Ia ingin melihat sendiri, seberapa banyak
orang-orang berkuda yang menyusul perjalanannya.
Sekilas ia melihat, bahwa orang-orang berkuda itu jumlahnya
tidak begitu besar. Tetapi ia pun mengerti bahwa mereka tentu
terdiri dari orang-orang pilihan.
"Mungkin Mahisa Agni ada di antara mereka." berkata Senapati
itu. Karena itu, maka diperintahkannya sebagian besar dari
prajuritnya untuk tinggal di padukuhan itu.
"Kalian harus menahan orang-orang berkuda itu. Kalian tidak
boleh ragu-ragu. Mereka harus kalian binasakan sampai orang yang
terakhir." berkata Senapati itu, "Aku akan melanjutkan perjalanan
mengawal tuanku Tohjaya. Kami akan menunggu kalian di
padukuhan berikutnya. Jika kalian sudah berhasil, kalian harus
segera menyusul kami."
Prajurit-prajurit itu pun kemudian diserahkannya kepada seorang
pemimpin kelompok yang berpengalaman. Orang itu memiliki
kemampuan yang cukup, sehingga menurut penilaian Senapati itu.
maka pemimpin kelompok dengan pasukannya itu akan dapat
menyelesaikan tugasnya. Setelah memberikan perintah itu, maka Senapati itu pun dengan
tergesa-gesa menyusul Tohjaya yang mendahuluinya. Rasarasanya
ia sedang melepaskan seorang bayi dipinggir sumur yang
867 dalam. Cemas, ragu-ragu dan kadang-kadang ketakutan
mengenang masa yang mendatang.
Dalam pada itu Tohjaya telah meninggalkan padesan yang baru
saja disinggahinya. Ia pun kemudian juga diburu oleh kecemasan.
Apabila orang-orang Rajasa dan Sinelir sempat memburunya, maka
mereka tentu akan melepaskan dendamnya kepadanya, karena ia
sudah membunuh beberapa orang di antara mereka dan
menyisihkan mereka dari tugas-tugasnya.
Dalam pada itu Mahisa Agni dan Witantra bersama Ranggawuni.
Mahisa Cempaka dan pengiring-pengiringnya sudah menjadi
semakin dekat dengan padesan yang sudah siap menyambut
mereka. Di balik dinding batu dan pepohonan, prajurit-prajurit
pengawal Tohjaya telah menunggu dengan senjata di tangan.
Apabila pasukan yang mendatang itu mendekat, dan memasuki
regol, maka prajurit-prajurit itu akan menyergap mereka, seperti
seekor tikus yang sudah ada di dalam perangkap.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di ujung pasukannya
maju terus perlahan-lahan sambil mengamati jejak di depan kaki
kudanya. Jejak yang masih sangat jelas nampak.
"Semakin lama kita menjadi semakin dekat dengan mereka."
berkata Mahisa Agni, "Ternyata dengan jejak yang menjadi semakin
jelas." Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Jejak ini tentu baru
saja ditinggalkan oleh pengawal-pengawal tuanku Tohjaya. Kita
memang sudah berada pada jarak yang sangat dekat."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya kepalanya
dan memandangi regol padukuhan kecil yang ada di hadapannya.
"Padukuhan itu nampaknya terlampau sepi." berkata Mahisa
Agni, "Tidak ada anak-anak yang bermain-main di ujung desa. Dan
tidak ada seorang pun yang berada di sawah di sekitar padesan itu."
"Tentu mereka menjadi ketakutan. Tuanku Tohjaya baru saja
lewat padukuhan itu."
868 Sejenak Mahisa Agni terdiam. Dipandanginya padukuhan itu
dengan saksama. Seakan-akan ia ingin melihat langsung kebalik
pepohonan dan dinding batu yang mengitari padukuhan itu.
Tetapi ternyata tatapan mata Mahisa Agni dan Witantra memang
sangat tajam, dibantu oleh firasatnya. Karena itu, maka setelah
mereka menjadi semakin dekat, mereka pun telah diganggu oleh
keragu-raguan untuk meneruskan perjalanan.
"Witantra." berkata Mahisa Agni, "Aku melihat ujung senjata yang
berkilat di balik pepohonan."
Wirantra menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku juga melihat
sesuatu. Beberapa buah ranting kecil bergerak-gerak tidak
sewajarnya. Jika angin bertiup dan menggerakkan ranting-ranting
itu, maka kita akan melihat gerak yang seirama Tetapi dedaunan itu
bergerak dengan kesan yang lain."
Mahisa Agni menarik kekang kudanya sehingga kudanya pun
berhenti beberapa puluh langkah didepan regol. Dengan isyarat ia
menghentikan seluruh iring-iringan.
"Kenapa kita berhenti di sini pamanda?" bertanya Ranggawuni.
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Ditatapnya padukuhan
dihadapannya dengan tanpa berkedip.
Dan Mahisa Agni pun kemudian yakin bahwa ia melihat sesuatu.
Ia melihat ujung senjata mencuat dari balik dinding batu. Dan ia
melihat dedaunan yang bergerak tidak wajar seperti dikatakan oleh
Witantra. "Kita menghadapi sesuatu tuanku." berkata Mahisa Agni, "Dibalik
dinding batu itu telah menunggu sekelompok prajurit. Kita tidak
tahu berapa besar kekuatan mereka."
"Jadi maksud pamanda?"
"Tuanku berdua harus terhindar dari bahaya. Aku yakin bahwa di
antara mereka yang menunggu kita tidak ada yang berkuda. Karena
itu, tuanku berdua sebaiknya berada di ekor pasukan. Jika jumlah
869 mereka terlampau besar, kita harus menghindar. Dan tuanku harus
lebih dahulu terhindar dari tangan mereka."
"Kita melarikan diri?"
"Bukan melarikan diri tuanku." Witantralah yang menyahut,
"Tetapi kita menghindari lawan yang tidak terlawan. Itu bukan cacat
atau cela bagi prajurit di peperangan. Memang berbeda halnya jika
kita berperang tanding, atau menurut pertimbangan tidak ada jalan
keluar dari kesulitan itu. Maka kita akan melawan sampai nafas kita
yang terakhir." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Lalu, "Jadi, apa yang harus kami kerjakan?" bertanya Ranggawuni.
"Tuanku berdua berada di bagian belakang dari pasukan ini.
Bukan suatu sikap yang licik. Tetapi tuanku berdua masih terlalu
muda untuk mengatasi kesulitan di medan perang yang tidak
seimbang." "Jika keadaannya seimbang?"
"Terserahlah kepada tuanku. Tetapi sebaiknya tuanku tidak
berada di peperangan."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Tetapi mereka percaya bahwa Mahisa Agni dan Witantra memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang medan. Karena
itu mereka tidak membantah lagi. Diiringi oleh empat orang
pengawal terpilih keduanya pun kemudian menempatkan diri di ekor
pasukan. "Kita harus maju perlahan-lahan." berkata Mahisa Agni.
"Kita jangan memasuki regol itu." desis Witantra.
"Ya. Kita akan berada di luar regol dan memancing mereka
meloncati dinding batu. Dengan demikian kita akan mengetahui,
setidak-tidaknya mendapat gambaran dari kekuatan mereka."
870 "Jika jumlah mereka membahayakan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, apa salahnya kita menyelamatkannya lebih dahulu
sebelum kita akan menghadapinya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Beberapa langkah mereka
maju lagi mendekati regol padukuhan yang sepi itu.
Dalam pada itu, prajurit yang menunggu di balik dinding batu
dan pepohonan menjadi termangu-mangu. Sebagian dari mereka
melihat dengan jelas, bahwa yang ada dipaling depan adalah Mahisa
Agni. Bahkan ada satu dua orang yang dengan berdebar-debar
menyebut, "Yang seorang itu adalah Panji Pati-pati."
"Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihatnya. Aku pernah bertugas mengikuti
Panglima Pelayan Dalam ke Kediri dan melihat orang yang
mendapat kuasa dari Mahisa Agni itu."
"Kau pernah menjadi Pelayan Dalam?"
"Tidak. Tetapi aku pernah diperbantukan mengawal tunggul
kerajaan." Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi hati mereka telah dirayapi
oleh perasaan gelisah dan cemas. Mahisa Agni bagi para prajurit
telah dikenal sebagai orang yang tidak teratasi. Ia adalah imbangan
dari tuanku Sri Rajasa. "Tetapi apakah ia dapat melawan sejumlah orang sekaligus."
prajurit-prajurit itu menenteramkan diri mereka. Mereka merasa
bahwa jumlah mereka lebih banyak dari para pengawal yang datang
bersama Mahisa Agni dan Witantra itu.
Namun demikian, rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi
menunggu. Jika Mahisa Agni memasuki regol, maka orang-orang
yang ada di sebelah menyebelah regol itu akan melontarkan tombak
mereka serentak. "Sebagian mereka akan terbunuh pada serangan yang pertama."
berkata para prajurit itu di dalam hati.
871 Tetapi Mahisa Agni tidak membawa pasukannya masuk melalui
regol padukuhan itu. Sejenak Mahisa Agni duduk diam di atas kudanya. Namun dalam
pada itu suasana menjadi tegang. Orang-orang bersembunyi di balik
dinding batu dan pepohonan rasa-rasanya sudah tidak dapat
menunggu lebih lama lagi. Nafas mereka seolah-olah menjadi sesak,
dan tubuh mereka bagaikan terhimpit oleh ketegangan yang
semakin memuncak. Tetapi pasukan yang mendatang itu masih tetap diam di luar
regol. "Apakah mereka sudah mengetahui bahwa kami menunggu di
sini." desis seorang prajurit kepada orang yang diserahi memimpin
kelompok itu. "Mungkin." Jawabnya, "Tetapi aku belum yakin."
"Kita masih harus menunggu?"
"Ya." "Darahku hampir membeku."
"Sebentar lagi kalian akan mendapat kesempatan mencucurkan
darah dari tubuh mereka."
Prajurit itu terdiam. Dan mereka memang masih harus menunggu
beberapa lama, sehingga mereka menjadi benar-benar tidak tahan
lagi. Dalam pada itu, prajurit dan pengawal yang menyertai Mahisa
Agni pun menjadi gelisah pula. Mereka sudah terlalu lama
menunggu di atas punggung kuda. Tetapi mereka mengerti bahwa
di hadapan mereka tentu ada bahaya yang menunggu.
Dari mulut ke mulut mereka mendengar bahwa di balik dinding
batu itu telah menunggu sepasukan prajurit. Jika mereka memasuki
regol, maka senjata akan berhamburan membunuh mereka sebelum
sempat melawan. 872 Karena itulah, setiap prajurit yang ada di punggung kuda itu pun
mencoba memperhatikan dengan saksama, apakah yang ada
dihadapan mereka. Satu dua orang di antara mereka pun kemudian dapat melihat
daun pedang yang berkilat, ujung tombak yang bergeser dan
ranting-ranting yang bergetar tanpa disentuh angin.
"Ya. Maut sudah menunggu kita dibalik dinding itu." desis salah
seorang dari mereka. Ternyata sikap para prajurit dan pengawal di luar regol itu
memberikan pertanda bahwa sebenarnya mereka telah mengetahui
bahwa mereka telah ditunggu di balik dinding batu.
Karena itu, maka pemimpin prajurit yang sudah menunggu itu
harus membuat pertimbangan. Apakah mereka akan tetap berdiam
diri menunggu sampai waktu yang tidak terbatas. Atau mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus menyerang keluar regol.
Dalam kebimbangan itu, Mahisa Agni telah membuat suatu
gerakan yang mencurigakan mereka. Para prajurit itu melihat
Mahisa Agni menunjuk kearah lain dari regol padukuhan itu, seolaholah
Mahisa Agni sedang mencari jalan lain yang dapat mereka
tempuh. Mahisa Agni dan Panji Pati-pati itu sedang membicarakan
kemungkinan untuk mencari jalan lain. "Mungkin mereka akan
menerobos sawah dan ladang. Kemudian melingkari padukuhan ini."
berkata seorang prajurit.
"Jika demikian mereka akan langsung menyusul tuanku Tohjaya."
"Apakah kita akan berdiam diri."
Derap kaki kuda itu tentu akan lebih cepat dari kaki-kaki kita
meskipun kita memintas dan berlari di jalur jalan ini.
Prajurit-prajurit itu termangu-mangu.
"Kita tidak boleh membiarkan mereka." berkata pemimpin
kelompok itu. 873 "Jadi?" "Kita harus keluar dari padukuhan ini dan menyerang mereka."
"Itu lebih bagus. Kita tidak tersiksa dengan menunggu tanpa
batas." gumam yang lain.
Dengan demikian, maka pemimpin prajurit yang menunggu
dibalik dinding itu pun segera memberikan isyarat. Mereka harus
mempersiapkan diri dan menyerang serentak.
"Jangan bingung menghadapi kaki-kaki kuda." berkata
pemimpinnya. Prajurit-prajuritnya tidak membantah. Meskipun mereka
menyadari bahwa mereka harus bertempur sambil memperhatikan
derap kaki kuda. Namun mereka sama sekali tidak gentar.
Sejenak kemudian maka pemimpin kelompok itu pun segera
meneriakkan aba-aba yang disambut oleh prajurit-prajuritnya.
Sebuah teriakan yang mengumandang telah menggelegar seolaholah
akan meruntuhkan langit. Bersamaan dengan itu. para prajurit itu pun segera berloncatan
dari balik dinding batu, kemudian berlari-larian menyerang dengan
senjata terhunus. Mahisa Agni. Witantra dan para prajurit berkuda memang
menunggu saat yang demikian. Karena itu, maka demikian mereka
mendengar aba-aba, maka mereka pun segera bergeser.
Kuda-kuda mereka seakan-akan bergerak menjauhi lawan nya.
Mahisa Agni dan Witantra memberikan isyarat agar pasukan kecil itu
mundur. Tetapi tidak begitu jauh, karena Mahisa Agni pun segera
memerintahkan pasukannya berhenti.
Pasukan berkuda itu pun kemudian melihat sekelompok prajurit
berlari-larian ke arah mereka. Ternyata bahwa jumlah para
pengawal Tohjaya itu cukup banyak, sehingga untuk sesaat Mahisa
Agni dan Wintantra masih harus berbicara.
874 "Apakah kita akan dapat mengatasi jumlah itu?" bertanya
Witantra. "Aku berharap demikian kakang." sahut Mahisa Agni, "Jika kita
dapat mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya maka kita
akan mendapat kesempatan untuk mengguncangkan keberanian
mereka." "Kita memencar?" bertanya Witantra.
"Ya. Dan kemudian maju serentak seperti dalam gelar perang
yang besar." "Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?"
"Di belakang kita."
Witantra tidak menyahut. Tetapi ia pun mengangguk sambil
memberi isyarat kepada Mahisa Agni untuk segera
melaksanakannya. Mahisa Agni pun kemudian maju beberapa langkah. Diangkatnya
kedua tangannya tinggi-tinggi, kemudian tangan itu
direntangkannya kesamping.
Isyarat itu diulanginya sampai tiga kali, sehingga anak buahnya
mengerti sepenuhnya apa yang harus dilakukannya.
Witantra lah yang kemudian datang kepada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk memberitahukan kepada mereka, agar
mereka dan empat orang pengawal terpilih berada di belakang gelar
yang dibuat oleh Mahisa Agni.
Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun berderap. Para penunggangnya
tidak lagi menghiraukan sawah dan ladang di sebelah
menyebelah jalan. Mereka membawa kuda-kuda mereka dalam
sebuah deretan yang lengkung mengarah kepada prajurit-prajurit
lawan yang berlari-larian.
Mahisa Agni dan Witantra berada pada jarak beberapa langkah di
dalam deretan yang lengkung itu.
875 Sesaat Mahisa Agni menunggu. Dari kejauhan ia melihat prajuritprajurit
yang berlari-larian itu menjadi ragu-ragu. Mereka tidak lagi
menghambur dengan kecepatan sepenuhnya. Tetapi langkah
mereka sudah mulai tertahan.
Mahisa Agni memandang Witantra sejenak. Witantra mengerti
bahwa Mahisa Agni minta pertimbangannya, sehingga karena itu.
maka ia pun segera menganggukkan kepalanya.
Mahisa Agni pun kemudian berteriak nyaring, mengatasi suara
hiruk pikuk prajurit-prajurit Singasari yang sedang berlari-larian
menyerang itu. Serentak setiap orang di dalam gelar berkuda itu pun
menggerakkan kendali kuda masing-masing, sehingga dalam sekejap
kuda-kuda itu pun segera berderap maju. Sedang di atas
punggung kuda-kuda itu penunggang-penunggangnya mengacungkan
senjata-senjata telanjang dengan dada tengadah.
Pasukan berkuda dalam gelar lengkung itu benar-benar telah
mendebarkan jantung prajurit-prajurit Singasari. Apalagi ketika
kuda-kuda itu berlari semakin cepat mengarah kepada mereka.
"Jangan takut." teriak pemimpin kelompok prajurit-prajurit
Singasari itu. Tetapi derap yang laju dari sekelompok pengawal berkuda itu
benar-benar membuat mereka cemas. Jika mereka tidak menepi
maka kaki-kaki kuda itu akan segera menginjak tubuh mereka dan
membenamkan kepala mereka kedalam lumpur.
"Bunuh kuda-kuda mereka lebih dahulu." teriak pemimpin prajurit
itu. Tetapi derap kuda lawan benar-benar mempengaruhi ketabahan
hati mereka. Apalagi ketika mereka mendengar Mahisa Agni
meneriakkan aba-aba dan disahut oleh beberapa orang di antara
mereka seolah-olah mereka sudah mengumandangkan lagu
kematian bagi para prajurit-prajurit itu.
876 Ternyata bahwa usaha Mahisa Agni untuk menggertak la wannya
berhasil. Meskipun jumlah prajurit-prajurit itu lebih banyak dari
pasukan pengawal Mahisa Agni, tetapi mereka menjadi kecut
melihat sederetan pasukan berkuda berderap menuju ke arah
mereka. Dengan demikian, maka ketika pasukan berkuda itu menjadi
semakin dekat, maka di luar kemampuan pemimpin prajurit itu
untuk menahannya, maka prajurit-prajuritnya pun telah tercerai
berai. Meskipun demikian, prajurit-prajurit itu tidak berlari-larian tanpa
tujuan. Ternyata mereka hanya sekedar menyingkir dari gilasan
kaki-kaki kuda yang berderap maju itu.
Tetapi, pasukan berkuda itu ternyata tidak segera berlalu tanpa
berbuat apa-apa. Tiba-tiba saja gelar itu pun pecah dan kuda-kuda
itu pun menghambur menyerang prajurit-prajurit Singasari itu
dengan garangnya. Prajurit-prajurit Singasari itu terkejut mengalami serangan yang
demikian. Apalagi lawan mereka menyambar dengan garangnya di
atas punggung kuda, seolah-olah berpuluh-puluh ekor garuda yang
menukik bersama-sama dari udara.
Demikianlah penunggang-penunggang kuda itu menyambar
dengan senjata-senjata mereka. Setiap orang yang dilalui disisinya
merasakan sengatan yang panas pada tubuh mereka, kemudian
barulah mereka sadar, bahwa sebuah luka telah menganga.
Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah merusak ketabahan
hati prajurit-prajurit Singasari itu. Meskipun sebagian dari
mereka segera berhasil menguasai diri dan membalas seranganserangan
itu dengan pagutan ujung senjata ke arah penunggangpenunggang
kuda itu namun sebagian yang lain sama sekali sudah
tidak berdaya. Yang terluka parah pun segera menyingkir dari medan yang
kisruh. Mereka tidak mau menjadi sampah yang terinjak-injak oleh
877 kaki kuda yang berlari-larian melingkar menghamburkan debu yang
bergulung-gulung naik ke udara.
Pertempuran yang seru pun segera berkobar. Meskipun jumlah
prajurit-prajurit Singasari yang mengawal Tohjaya semula lebih
banyak, tetapi pada benturan yang pertama, mereka sudah jauh
berkurang, sehingga pertempuran berikutnya pun mereka tidak
mampu mempergunakan segenap kekuatan yang sebenarnya sudah
mereka sediakan. Apalagi, lawan mereka adalah pengawal-pengawal berkuda yang
bertempur di atas punggung kuda yang berlari-larian menyambarnyambar.
Sekali-sekali kuda-kuda itu datang menyerang, kemudian
menghambur menjauh. Meskipun demikian, prajurit-prajurit Singasari itu kadang-kadang
berhasil juga melontarkan tombaknya, dan menghunjam pada
punggung pengawal berkuda itu, sehingga pengawal itu pun
terlempar pula dari kudanya.
Tetapi, setiap kematian dari seorang pengawal, membuat kawankawannya
menjadi garang, sehingga akhirnya perang itu hampir
kehilangan bentuknya, bahwa yang berselisih itu adalah mereka
yang memiliki nalar budi dan peradaban yang kadang-kadang
mereka bangga-banggakan. Semakin lama, kedua belah pihak pun menjadi semakin kasar.
Bahkan mendekati liar dan buas. Senjata-senjata mereka menjadi
merah oleh darah dan sorot mata mereka pun menjadi merah oleh
kemarahan yang meluap di dalam dada.
Mahisa Agni dan Witantra bertempur dengan gigihnya. Namun
keduanya masih tetap sadar, bahwa yang penting bukanlah jumlah
kematian yang dapat mereka timbulkan.
Karena itulah, maka Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak
berusaha membunuh sebanyak-banyaknya, meskipun mereka
berusaha melumpuhkan setiap lawan yang mereka jumpai.
878 Semakin lama pertempuran itu berlangsung, maka menjadi
semakin jelas, bahwa prajurit Singasari yang mengawal Tohjaya itu
pun menjadi semakin lemah. Mereka tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Dalam pada itu, Ranggawuni dam Mahisa Cempaka yang oleh
Mahisa Agni disisihkan, melihat pertempuran itu dengan hati yang
berdebar-debar. Sebenarnya mereka tidak dapat berdiam diri menyaksikan
pertempuran yang membawa beberapa orang korban. Tetapi
mereka tidak dapat melanggar pesan Mahisa Agni.
Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Agni menghendaki keduanya tidak
terlibat dalam pertempuran itu. Jika salah seorang dari mereka
terluka, maka akibatnya sangat merugikan Singasari dalam
keseluruhan. Karena itu. keduanya masih harus tetap mendapat perlindungan
sebaik-baiknya dalam suasana yang demikian. Apabila mereka
sudah cukup dewasa sepenuhnya dan sudah cukup masak, maka
sudah sewajarnyalah bahwa keduanya harus dapat menjadi
Senapati di setiap medan perang.
Dengan dada yang berdebar-debar Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menyaksikan pertempuran yang sengit itu. Setiap kali
mereka melihat senjata yang menghunjam ke dalam tubuh siapa
pun juga, terasa kulit mereka meremang.
"Sebenarnyalah bahwa peperangan adalah ajang pembunuhan."
berkata Ranggawuni di dalam hatinya.
Dalam pertempuran itu ia dapat menyaksikan bagaimana
seseorang berusaha membinasakan orang lain. Bagaimana seorang
dengan tatapan mata penuh dendam dan kebencian menyerang
langsung dengan ujung senjata kepada orang lain. Kemudian
dengan geram menyaksikan darah yang terhambur dari luka.
Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Ia pun men jadi
ngeri melihat manusia saling berbunuhan. Tetapi ia tidak dapat
879 berbuat apa-apa. Ia harus tetap berada di tempatnya sambil
menyaksikan pembunuhan-pembunuhan itu berlangsung.
"Membunuh atau dibunuh." desis Mahisa Cempaka kepada diri
sendiri. Dan di peperanganlah manusia telah kehilangan kemanusiaannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung semakin dahsyat.
Namun yang sejenak kemudian mulai nampak tanda-tanda,
siapakah yang akan menguasai medan selanjutnya.
Kuda-kuda masih berlari-larian menyambar. Dan lawan mereka
semakin berkurang. Tetapi, di sekitar arena itu bertebaran sosok
mayat yang terbujur lintang. Dibagian lain, orang-orang yang
terluka mengerang kesakitan.
Mahisa Agni dan Witantra pun masih tetap di atas punggung
kudanya. Kuda mereka masih tetap berlari-larian. Tetapi senjata
mereka sudah tidak mematuk-matuk lagi. Lawan pasukan pengawal
berkuda itu sudah hampir tidak berdaya sama sekali.
"Menyerah sajalah." teriak Mahisa Agni, "Agaknya itu lebih baik
bagi kedua belah pihak."
Beberapa orang dari para prajurit itu sudah tidak dapat berbuat
apa-apa lagi karena luka-lukanya. Yang lain terbunuh dan beberapa
orang lagi sudah melemparkan senjata mereka.
Tetapi masih ada di antara mereka yang bertempur tanpa
mengenal menyerah. Dengan putus asa mereka melawan setiap
pengawal berkuda yang mendekatinya. Mereka tidak mempunyai
pilihan lain kecuali mati, karena mereka mengira bahwa apabila
mereka menyerah, akhirnya mereka akan dihukum picis di simpang
empat di pusat kota. Mahisa Agni agaknya dapat mengerti perasaan itu, sehingga
beberapa kali ia menyerukan agar mereka meletakkan senjata.
880 "Kami tidak akan memperlakukan kalian dengan landasan
dendam dan kebencian. Jika kalian menyerah, maka kalian akan
diperlakukan sewajarnya, sebagaimana seorang prajurit yang
menyerah di peperangan." berkata Mahisa Agni lantang.
Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Satu dua di antara
mereka berhasil melarikan diri dan hilang dipadukuhan. Sedang
yang lain baru menghentikan perlawanan mereka ketika mereka
sudah kehilangan kemampuan sama sekali. Di antara mereka harus
terbaring karena luka yang tergores di tubuhnya. Yang lain sudah
tidak lagi dapat bernafas karena jantung mereka tertembus senjata.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka adalah orang-orang yang keras kepala." desis
Ranggawuni, "Sayang sekali bahwa mereka tidak mau melihat
kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
Mahisa Cempaka menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jika
Tohjaya merebut tahta Singasari dengan membunuh Anusapati dan
beberapa orang pengawal saja, maka kini tahta itu menuntut korban
yang jauh lebih banyak. "Tetapi, Singasari memang harus diselamatkan." berkata Mahisa
Cempaka di dalam hatinya. Kemudian, "Namun harus beralaskan
korban yang sekian banyaknya. Bukan saja di sini, tetapi di halaman
istana dan di sekitarnya."
Kekalahan prajurit-prajurit Singasari itu benar-benar di luar
perhitungan nalar mereka. Yang masih hidup di antara mereka,
harus mengakui, bahwa Mahisa Agni memang seorang yang luar
biasa. Bahkan bukan saja ia seorang diri, tetapi di dalam
pasukannya terdapat seorang lagi yang seolah-olah bukan orang
kebanyakan. Ia mampu bertempur melampaui sepuluh orang
sekaligus. Dengan demikian, maka jumlah prajurit yang jauh lebih banyak
dari pasukan pengawal berkuda itu, sama sekali tidak dapat
menghentikan mereka. Apalagi membinasakan.
Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah mengumpulkan
tawanan mereka. Yang masih mampu menolong
881 kawan-kawannya, berusaha untuk membawa mereka ke tepi jalan
yang menuju keregol padukuhan dihadapan mereka.
"Korban telah jatuh." berkata Mahisa Agni kepada mereka,
"Tetapi tidak ada yang dapat menghalangi tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk mengambil kekuasaan dari tangan tuanku
Tohjaya karena sebenarnyalah mereka lebih berhak atas tahta itu.
Bukan saja karena hak, tetapi selama tuanku Tohjaya memerintah,
maka Singasari menjadi semakin suram dan hampir kehilangan
cahayanya sama sekali."
Prajurit-prajurit yang sudah tidak berdaya itu hanya dapat
mendengarkan saja. Dan Mahisa Agni melanjutkan, "Kita masih akan mengubur
kawan-kawan kita yang telah gugur. Apakah ia berpihak kepada
tuanku Tohjaya atau tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka. Namun arti yang sebenarnya dari peperangan ini,
Singasari telah kehilangan putera-puteranya yang terbaik
dimanapun ia berdiri. Setiap pertentangan antara diri sendiri, maka
akibatnya akan terasa sangat parah."
Prajurit-prajurit yang telah tidak berdaya lagi itu hanya dapat
menundukkan kepalanya. Apapun yang akan diperlakukan atas
mereka, mereka sama sekali tidak akan dapat menolak.
"Sekarang." berkata Mahisa Agni kemudian, "Kalian dapat
menatap wajah mereka yang berhak atas Singasari itu. Kalian tentu
pernah melihatnya beberapa waktu yang lampau. Tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka."
Prajurit-prajurit itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka
mengangkat wajah mereka, barulah mereka menyadari,
sebenarnyalrh bahwa anak-anak muda yang berada di luar arena
adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Namun agaknya kini mereka tidak berhak lagi bersujud dibawah
kakinya. Sebentar lagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu tentu
akan berteriak mengucapkan hukuman yang harus mereka jalani,
882 seperti saat Tohjaya berteriak menjatuhkan hukuman utas orangorang
Rajasa dan Sinelir. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Ranggawuni telah meloncat
turun wari kudanya, disusul oleh Mahisa Cempaka. Perlahan-lahan
mereka melangkah mendekati orang-orang yang sudah tertawan itu.
Karena itulah, maka para pengawalnya pun dengan tergesa-gesa
telah meloncat turun pula. Demikian juga Mahisa Agni dan Witantra
yang tidak mengira bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan
berbuat demikian. Karena itu mereka harus tetap berhati-hati. Jika dendam yang
membara di dalam dada prajurit-prajurit itu masih belum padam,
maka akan dapat terjadi mala petaka atas kedua anak-anak muda
itu. Dengan penuh kewaspadaan, maka Mahisa Agni dan Witantra
pun segera berada di sebelah menyebelah kedua anak-anak muda
yang memandang para prajurit yang terluka dari kedua belah pihak
itu dengan penuh haru. "Kalian adalah korban-korban ketamakan kami." berkata
Ranggawuni, "Tetapi kami minta kalian menjalaninya dengan ikhlas,
karena sebenarnyalah bahwa kami mempunyai cita-cita atas
Singasari yang besar ini."
Para prajurit yang semula mengawal Tohjaya menjadi heran,
karena sikap itu. Mereka tidak melihat sikap yang kasar dan
sombong dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah
memenangkan perang itu. Mereka sama sekali lain dengan Tohjaya
yang selama ini memerintah Singasari.
Tetapi mereka tidak segera mempercayai sikap yang pertama kali
mereka lihat itu. Mungkin sikap itu sekedar sikap pura-pura. Tetapi
besok jika mereka telah berada di dalam kota, dan apabila telah
berada di atas tahta, maka sikapnya akan segera berubah.
"Seperti sikap tuanku Tohjaya." berkata prajurit-prajurit itu di
dalam hati. 883 Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian
berjalan di antara prajurit-prajurit yang terluka dikedua belah pihak.
Betapa pedihnya hati kedua anak-anak muda itu. Prajurit-prajurit itu
telah menjadi korban untuk kepentingan beberapa orang saja yang
sedang berebut tahta. Tetapi di dasar hati kedua anak-anak muda itu setiap kali
terdengar suara Mahisa Agni, "Yang penting, bukan sekedar
merebut warisan kedudukan. Tetapi bagaimana dengan Singasari
yang besar ini." Dan kedua anak-anak muda itu mencoba menenangkan hati
mereka. Namun bagaimanapun juga korban telah berjatuhan.
Beberapa orang. Bukan hanya satu dua.
Dalam pada itu Mahisa Agni dan Witantra mulai menjadi gelisah.
Masih ada tugas yang harus mereka lakukan. Menelusuri jejak
Tohjaya selanjutnya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata, "Tuanku Ranggawuni
dan tuanku Mahisa Cempaka. Kita tidak dapat berhenti sampai di
sini. Kita masih harus mengikuti jejak tuanku Tohjaya dan berbicara
dengannya. Mudah-mudahan tuanku Tohjaya dapat mengerti,
sehingga tidak akan jatuh korban lagi tanpa arti sama sekali."
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Baiklah paman. Tetapi bagaimana dengan prajurit-prajurit ini?"
"Mereka akan dibawa kembali ke Singasari. Beberapa orang
pengawal akan menunggui mereka di sini. Sedang dua orang yang
lain akan pergi melaporkan peristiwa ini kepada Lembu Ampal. Ia
harus mengirimkan pengawal dan pedati untuk membawa mereka
yang terluka dan mengubur mereka yang terbunuh."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun Ranggawuni pun kemudian bertanya, "Siapakah
yang akan pergi ke Singasari?"
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian
menunjuk dua orang untuk segera menghubungi Lembu Ampal.
884 "Sampaikan pesanku kepada paman Lembu Ampal." berkata
Ranggawuni, "Jangan mengambil tindakan apapun terhadap
prajurit-prajurit yang tertawan. Ia mempersilahkannya menunggu
kedatanganku." Demikianlah dua orang utusan itu segera berpacu kembali ke
Singasari untuk melaporkan yang telah terjadi itu kepada Lembu
Ampal. Sepeninggal kedua orang itu, maka Mahisa Agni dan Witantra
pun mempersiapkan pengawalnya pula. Beberapa orang harus
menunggui prajurit-prajurit yang terluka dan tertawan Meskipun
prajurit-prajurit yang tertawan itu sudah tidak bersenjata lagi,
namun mereka tetap berbahaya. Karena itu, maka tidak ada cara
lain daripada mengikat tangan-tangan mereka.
"Kenapa mereka harus diikat?" bertanya Mahisa Cempaka.
"Mereka dapat melawan. Pengawal kita tidak cukup banyak untuk
menjaga mereka. Jika sebagian besar dari para pengawal ini tinggal,
maka perjalanan kitalah yang akan menjadi berbahaya." jawab
Witantra. "Tetapi mereka sudah menyerah. Mereka tidak akan berbuat apaapa
lagi." Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang
Mahisa Agni yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Mungkin mereka memang tidak akan berbuat apa-apa tuanku.
Tetapi ada kemungkinan yang lain pula."
"Kemungkinan yang mana?"
"Mereka mengingkarinya. Jika mereka merasa kuat untuk
melawan para pengawal yang ada, maka mereka akan dapat
berbahaya." "Ah, kalian memang terlampau berprasangka. Mereka adalah
manusia seperti kita. Kata-katanya tentu dapat dipercaya. Jika kita
sudah ingkar akan janji yang kita nyatakan dengan kata-kata atau
sikap, maka harga kita sebagai manusia tidak akan berarti lagi."
885 Witantra mengerutkan keningnya. Sedang Mahisa Agni pun
menyahut, "Ampun tuanku. Kadang-kadang kita berbuat sesuatu
yang tidak masuk akal seperti yang kita lakukan ini. Tetapi
pengalaman telah megajari kami untuk berhati-hati menghadapi
sikap seseorang. Tuanku adalah kesatria yang hampir sempurna
sehingga tuanku tidak akan ingkar akan janji dan kesanggupan.
Tetapi orang lain mungkin berbeda."
Mahisa Cempaka menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak
mengerti." "Pada suatu saat tuanku akan melihat, bahwa hati-hati seperti ini
ada gunanya. Tuanku adalah orang yang paling jujur dan penuh
kasih sayang, sehingga tuanku menganggap setiap orang berbuat
serupa. Tetapi tidak tuanku. Dan itulah yang membedakan antara
tuanku dan tuanku Tohjaya. Antara seorang prajurit dan prajurit
yang lain." Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
menyahut lagi. Para pengawal pun kemudian melakukan perintah untuk
mengikat beberapa orang tawanan yang masih berbahaya pada
sebatang pohon di ujung padesan itu. Kemudian beberapa orang
pengawal berkuda harus mengawasi mereka sambil menunggu
prajurit-prajurit dan pengawal-pengawal yang akan datang dari kota
untuk mengambil mereka. Sementara, yang lain menunggui para tawanan dan orang orang
yang terluka, maka Mahisa Agni dan Witantra pun segera mengatur
pengawal-pengawal yang lain bersama tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk meneruskan perjalanan.
"Apakah perjalanan kita masih panjang?" bertanya Ranggawuni.
"Ya." sahut Mahisa Agni, "Agaknya tuanku Tohjaya menjadi
semakin jauh karena kita harus berhenti bertempur. Bahkan
mungkin kita masih memerlukan waktu yang lama." Mahisa Agni
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi mungkin pula sebaliknya. Karena
886 tuanku Tohjaya menyangka bahwa kita sudah dapat dihancurkan,
maka mereka tidak tergesa-gesa lagi."
Ranggawuni mengangguk-angguk.
"Karena itu, marilah tuanku. Kita segera mengikuti jejak itu untuk
selanjutnya. Tidak mustahil bahwa kita harus bertempur lagi di
perjalanan." Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah
mendapat keterangan dari para tawanan, bahwa kekuatan Tohjaya
sudah menjadi sangat tipis. Sebagian besar dari pasukannya sudah
ditinggalkan dengan perhitungan, bahwa mereka akan dapat
menghancurkan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang menyusulnya
berkuda itu. T etapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Demikianlah maka sejenak kemudian Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka pun segera meneruskan perjalanan. Mahisa Agni dan
Witantra berada diujung pasukan kecilnya. Setiap kali mereka
menemukan kelapa muda yang berceceran. Agaknya para prajurit
yang mengawal Tohjaya telah membawa beberapa butir kelapa
muda yang diminum dan bahkan dimakan di sepanjang perjalanan
mereka. Dengan demikian maka mereka sama sekali sudah tidak
menghiraukan lagi, bahwa jejak mereka akan dapat diikuti oleh
lawannya. "Mereka menyangka bahwa kekuatan kita sudah dapat
dihancurkan." desis Mahisa Agni.
"Ya." jawab Witantra, "Mereka tidak lagi berusaha untuk
menyamar jejak mereka. Bahkan mungkin dengan sengaja mereka
memberikan isyarat kepada pasukan mereka yang mereka sangka
akan segera menyusul."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
memberikan banyak tanggapan lagi. Dengan jejak yang jelas itu,
maka perjalanan mereka pun menjadi semakin cepat.
887 Tetapi mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap mereka
akan memasuki padukuhan, maka mereka berhenti sejenak dan
memperhatikan padukuhan itu dengan saksama. Bahkan kadangkadang
mereka harus mengirimkan satu dua orang pengawal untuk
mendahului melihat-lihat apakah daerah yang akan mereka lalui
cukup aman. Namun dalam pada itu, selagi iring-iringan itu maju terus melalui
sebuah padukuhan yang sepi, karena penghuni-penghuninya yang
ketakutan menutup pintu rumah-rumah mereka setelah mereka
melihat pasukan yang mengawal Tohjaya melalui padukuhan itu,
tiba-tiba Mahisa Agni dan pasukannya mendengar jerit panah
sendaren yang mendaki langit. Suara panah itu bagaikan meraung
dengan kerasnya mengumandang sampai ke tempat yang jauh.
"Sebuah isyarat." desis Mahisa Agni.
Tanpa mendapat perintah lagi, beberapa ekor kuda pun segera
memencar. Mereka mencari ke segenap sudut padesan untuk
menemukan orang yang telah melepaskan anak panah sendaren itu.
Tetapi mereka tidak menemukan siapapun.
"Orang itu tentu sudah menyusup masuk ke dalam salah sebuah
rumah yang tertutup pintunya." berkata Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk sambil berkata, "Agaknya mereka
meragukan, apakah prajurit-prajuritnya akan berhasil. Karena itu
mereka telah meninggalkan satu atau dua orang untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Panah itu tentu memberitahukan bahwa
prajurit-prajurit yang menghentikan perjalanan kita telah gagal."
"Apakah arti selanjutnya?" bertanya Ranggawuni.
"Perjalanan kita akan bertambah sulit tuanku. Mungkin mereka
meninggalkan sepasukan prajurit lagi untuk menghentikan kita.
Tetapi mungkin pula mereka akan menyamar jejak yang mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggalkan sehingga kita akan menjadi semakin sukar untuk
mengikutinya." 888 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Lalu katanya, "Kenapa mereka berusaha menghindari kita?"
"Kita adalah lawan mereka. Adalah wajar jika mereka
menghindar dan bersembunyi."
Ranggawuni tidak berkata apa pun lagi. Namun dari wa jahnya
memancar kebimbangan yang mencengkam.
"Mahisa Agni." berkata Witantra, "Agaknya perjalanan kita akan
menjadi panjang. Karena itu, sebaiknya kita segera mengirimkan
satu atau dua penghubung ke kota. Lembu Ampal supaya
mengirimkan sepasukan pengawal berkuda untuk menyusul kita.
Apabila perjalanan kita ini menjadi semakin panjang dan berbahaya,
kita tidak terpencil."
"Dengan demikian maka pasukan itu agar membawa bekal secukupnya
untuk perjalanan kita selanjutnya."
Demikianlah maka Mahisa Agni pun menyetujui pendapat
Witantra. Ia pun kemudian mengirimkan dua orang untuk kembali
ke Singasari, menjemput beberapa orang pengawal dan perbekalan.
"Agaknya tuanku Tohjaya sudah menempatkan prajurit sandinya
untuk mengawasi perjalanan kita. Kini pengawas itu sudah
melepaskan isyarat dengan panah sendaren." berkata Mahisa Agni
kepada penghubung itu, "Dengan demikian maka kita akan
menempuh perjalanan yang lebih sulit, karena tuanku Tohjaya tentu
akan berusaha menyamarkan jejaknya."
Sejenak kemudian maka kedua orang itu pun segera berpacu
kembali ke Singasari. Ketika ia lewat di padukuhan bekas tempat
pasukan pengawal berkuda itu bertempur dengan prajurit-prajurit
pengawal Tohjaya, ia masih melihat tawanan-tawanan terikat.
"Apakah prajurit dari Singasari belum juga datang?" bertanya
salah seorang dari kedua penghubung itu.
"Belum." jawab salah seorang yang menjaga tawanan-tawanan
dan orang-orang yang terluka. "Tentu sebentar lagi. Kau akan
bertemu dengan mereka di perjalanan."
889 Ternyata yang dikatakan oleh pengawal itu benar. Kedua
penghubung itu pun kemudian bertemu dengan prajurit-prajurit
Singasari. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang pergi untuk
mengambil para tawanan dan orang-orang yang terluka.
Kedua penghubung itu berpacu terus menuju ke Singasari untuk
mengambil beberapa orang yang akan pergi menyusul Mahisa Agni
dan Witantra yang sedang mengawal Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menyusul Tohjaya.
Sebenarnyalah bahwa Tohjaya dan pengawal-pengawalnya telah
menangkap isyarat berganda yang dikirimkan lewat panah
sendaren. Karena itu, maka Tohjaya pun menjadi sangat gelisah, sehingga
ia menjadi semakin bingung dan selalu marah. Tidak habis-habisnya
ia membentak-bentak dan mengumpat.
Sementara itu, beberapa orang pengawalnya yang menyadari
bahaya yang mengikutinya, telah memerintahkan menghapuskan
jejak mereka sebaik-baiknya. Setiap kali mereka justru memilih jalan
yang memintas dan sulit. "Gila, kalian akan membunuh aku dengan melalui jalan rusak ini."
teriak Tohjaya, "Tubuhku terguncang-guncang dan lukaku
bertambah-tambah sakit."
"Tuanku." berkata Senapati yang mengawalnya, "Ternyata bahwa
usaha kita menghancurkan pasukan berkuda itu gagal. Panah
sendaren yang kita dengar itu memberitahukan kepada kita, bahwa
pasukan pengawal itu telah melanjutkan pengejaran."
"Gila, bodoh, dungu. Apa kerja prajurit-prajurit yang sekian
banyaknya itu" Apakah mereka perempuan-perempuan cengeng
yang hanya pandai merengek?"
"Mereka tentu sudah berjuang sebaik-baiknya tuanku, karena
mereka benar-benar orang-orang yang setia kepada tuanku seperti
kami di sini." 890 "Bohong. Kalian adalah orang-orang pandir dan tamak, jika kalian
tidak mengetahui bahwa aku membawa sebuah peti berisi emas dan
perhiasan, kalian tentu tidak mau mengikuti aku sampai ketempat
ini." Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kalian tentu akan merampok perhiasan-perhiasan yang telah
aku ambil dari ibunda Ken Umang dan yang sebagian aku ambil dari
gedung perbendaharaan."
"Ampun tuanku, sebenarnyalah hamba tidak bermimpi untuk
memiliki perhiasan itu walau hanya sebutir permata sekalipun."
"Bohong. Bohong." Tohjaya semakin berteriak-teriak sehingga
tandunya berguncang-guncang. Tetapi guncangan itu telah
membuatnya menjadi semakin marah.
Senapati itu pun terdiam. Ia tidak berani lagi membantah.
Agaknya Tohjaya benar-benar telah hampir kehilangan akal.
Sementara itu, beberapa orang prajurit mulai berpikir lain. Salah
seorang prajurit muda bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah
gunanya aku mengikuti tuanku Tohjaya. Aku masih muda. Dan aku
tidak melihat kemungkinan apapun yang dapat dicapai oleh tuanku
Tohjaya selain menyelamatkan diri. Adalah sulit sekali baginya untuk
menghim pun kekuatan karena sifat-sifatnya."
Tetapi karena Senapati dan beberapa orang pemimpin kelompok
nampaknya masih tetap setia kepada Tohjaya, maka prajurit muda
itu tidak berani berbuat apapun juga, kecuali berjalan tersuruksuruk
mengikuti iring-iringan yang semakin lama semakin dalam
menyusup kejalan-jalan sempit dan sulit. Sementara beberapa
orang di antara mereka berusaha untuk menghapuskan jejak.
Dengan demikian maka perjalanan Mahisa Agni dan pasukannya
pun menjadi semakin sulit pula. Mereka harus dengan teliti
mengamati jalan yang akan dipilihnya. Disetiap persimpangan,
beberapa orang meloncat turun dan memperhatikan setiap batang
rumput dengan saksama. 891 Daun-daun yang berserakan, ranting-ranting yang patah dan
rerumputan yang terinjak kaki, tidak luput dari setiap pengamatan.
Beberapa orang yang berpengalaman mengenali jejak berada
didepan bersama dengan Witantra dan Mahisa Agni.
"Mereka berhasil menghapus jejak sebaik-baiknya." berkata
Witantra, "Hanya dengan ketelitian sajalah kita akan berhasil
memilih jalan yang benar."
Karena itulah maka para peneliti jejak itu telah bekerja sebaikbaiknya.
Namun dengan demikian maka mereka menjadi semakin lambat
maju. Kadang-kadang mereka harus berhenti untuk beberapa lema
sambil menilai jejak yang mereka amati.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dan pasukannya selalu
menempuh jalan yang ternyata benar. Karena itu, maka mereka pun
maju terus sambil meninggalkan jejak, agar pasukan yang akan
menyusul dapat mengikuti mereka tanpa kesulitan apapun juga.
Dalam pada itu, Tohjaya yang lelah menjadi semakin mudah
tersinggung. Setiap kali ia selalu membentak-bentak tanpa sebab.
Jika prajurit-prajuritnya berjalan lambat, ia menjadi marah dan
berteriak, "Apakah kalian ingin segera mati" Di belakang kita
pengkhianat-pengkhianat itu sedang berusaha menyusul kita. Kalian
mendengar panah sendaren" Prajurit-prajurit yang kita tinggalkan
ternyata adalah prajurit-prajurit yang bodoh, dungu tetapi tamak.
Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain membunuh diri."
Senapati yang memimpin prajurit-prajurit pengawal itu sama
sekali tidak menjawab betapapun hatinya tersinggung. Ia menyadari
bahwa keadaan Tohjaya sangat tidak menguntungkan. Karena itu
yang ada di dalam hatinya sebenarnya bukan lagi harapan untuk
menyelamatkan Tohjaya agar kelak ia mendapat hadiah yang
sebesar-besarnya karena ia mengetahui bahwa Tohjaya telah
berhasil menyelamatkan sepeti perhiasan emas, intan dan berlian.
Apalagi kesetiaan kepada raja yang dianggapnya akan dapat
melindunginya di dalam segala keadaan Tetapi yang sebenarnya
892 ada di dalam hati Senapati itu kemudian adalah justru perasaan
belas kasihan. Belas kasihan kepada Tohjaya yang sejak lahir sama
sekali tidak mengenal kesulitan macam apapun juga. Ia dibesarkan
dalam lingkungan yang selalu memanjakannya. Memuji dan
menyayanginya. Tetapi, kini tiba-tiba saja ia dilemparkan ke dalam keadaan yang
sangat gawat. Keadaan yang diliputi oleh kecemasan, kebimbangan
dan bahkan ketakutan. Karena itulah maka Senapati itu sama sekali tidak menghiraukan
apa saja yang dikatakan oleh Tohjaya. Ia mencoba untuk membuat
hatinya masih dapat bertahan menghadapi keadaan itu.
"Senapati." berteriak Tohjaya kemudian, "Kau harus berbuat
sesuatu untuk mengatasi keadaan."
"Hamba tuanku." jawab Senapati itu, "Hamba memang sedang
mencari jalan." Tohjaya terdiam. Ia mencoba untuk mengerti. Tetapi pikirannya
rasa-rasanya justru menjadi semakin kalut.
Apabila kemudian para pengawalnya berjalan semakin cepat,
karena Tohjaya sendiri yang menghendaki. Namun ternyata dengan
demikian tubuhnya menjadi tergoncang-goncang, maka ia pun
menjadi marah pula dan berteriak, "Gila. Apakah kalian menjadi
pengecut dan menjadi ketakutan disusul oleh orang-orang berkuda
itu, sehingga kalian berlari-lari. Aku lelah sekali. Aku ingin mengaso.
Jika kalian mengguncang-guncang tandu ini, maka badanku menjadi
bertambah sakit." Tidak seorang pun yang berani menjawab. Mereka hanya dapat
memperlambat langkah mereka dan berjalan dengan sangat
berhati-hati. Karena kelelahan yang sangat, maka ternyata Tohjaya tanpa
disadarinya dapat juga tertidur di dalam tandunya meskipun hanya
sejenak. Dalam keadaan yang demikian, orang-orang yang
mengusung tandunya menjadi sedikit berlega hati, karena mereka
893 dapat berjalan seenaknya. Tidak terlalu tergesa-gesa dan tidak
dibentak-bentak. Tetapi jika kemudian Tohjaya terbangun, maka
mulai lagilah suaranya yang lantang menggetarkan telinga mereka.
Betapapun segannya, Senapati yang memimpin pasukan
pengawal itu pun mencoba mendekatinya dan berkata, "Tuanku,
apakah tidak lebih baik bagi tuanku untuk beristirahat sambil tidur
barang sekejap" Tubuh tuanku akan menjadi segar. Jika kita nanti
akan melintasi sungai yang bening, tuanku dapat membersihkan
diri. Dengan demikian maka keadaan tuanku tentu akan menjadi
lebih baik." Tohjaya merenung sejenak. Tetapi ia sama sekali tidak
menjawab. Sebenarnya Tohjaya ingin juga tidur agak lama. Bukan sekejap
diluar sadarnya. Tetapi pikirannya yang sedang kacau kadangkadang
terasa sangat mengganggunya, sehingga ia hanya dapat
tertidur sekedar matanya terpejam. Namun sekejap kemudian ia
pun segera terbangun dengan dada yang berdebaran.
Ternyata langit pun semakin lama menjadi semakin buram.
Matahari yang sudah teramat rendah di ujung Barat pun segera
menghilang di balik cakrawala.
"Tuanku." berkata Senapati yang memimpin pasukan pengawal
Tohjaya, "Sebaiknya kita beristirahat. Setiap orang di dalam iringiringan
kita sudah mendapat bagiannya mengusung tandu tuanku.
Mereka menjadi lelah, sehingga perlu beristirahat barang sejenak."
Tohjaya memandang wajah Senapati itu di dalam keremangan
ujung malam. Kemudian ia pun berteriak, "Aku tidak peduli, apakah
kalian menjadi lelah atau tidak. Akulah yang memerintahkan kalian
untuk berhenti atau berjalan terus."
Senapati itu tidak menyahut. Tetapi kepalanya menunduk dalamdalam.
"Lain kali kau tidak dapat memerintah aku seperti itu. Tetapi buat
kali ini, aku penuhi permintaanmu. Hanya kali ini."
894 Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Prajurit-prajurit di
dalam iring-iringan itu benar-benar sudah sangat lelah dan perlu
beristirahat. Tetapi sebenarnyalah bahwa Tohjaya sendiri telah menjadi
sangat lelah, sehingga ia memang merasa perlu untuk beristirahat.
Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Agni pun
harus berhenti pula. Di dalam kegelapan malam yang kemudian
menyeluruh di atas tanah Singasari, mereka tidak dapat lagi
mengenali jejak yang harus mereka telusuri.
"Kita bermalam di padukuhan itu." berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni mengangguk kecil. Tetapi ia pun kemudian
bertanya, "Apakah pamanda Tohjaya di malam begini berjalan terus
atau juga berhenti?"
"Aku kira mereka pun akan berhenti." sahut Witantra, "Para
prajuritnya tentu lelah. Dan tuanku Tohjaya sendiri tidak akan dapat
duduk di atas tandu sehari semalam tanpa beristirahat sama sekali."
Ranggawuni tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian tidak menolak
untuk beristirahat pada sebuah padukuhan kecil.
Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal telah
mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka
tidak boleh kehilangan kewaspadaan.
Kedatangan pasukan berkuda yang mengiringi Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka itu semula telah menimbulkan ketakutan yang
amat sangat pada penghuni padukuhan itu. T idak seorang pun yang
membuka pintu rumahnya meskipun mereka mendengar derap kaki
di halaman. Karena itulah maka Mahisa Agni terpaksa mengetuk pintu rumah
salah seorang dari mereka. Sehingga betapapun ketakutan
mencengkam hati, tetapi penghuni rumah itu dengan tangan
gemetar telah membuka pintu rumahnya.
895 "Ampun tuanku." orang itu duduk bersimpuh dimuka pintu ketika
ia melihat Mahisa Agni berdiri dimuka pintu itu bersama beberapa
orang pengawalnya, "Hamba tidak bersalah. Hamba tidak pernah
berbuat apa-apa." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa kau
menjadi ketakutan" Aku juga tidak akan berbuat apa-apa. Aku
hanya akan minta bantuanmu sekedarnya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dan Mahisa Agni pun
berkata pula, "Aku hanya ingin minta kerelaanmu untuk menerima
kami bermalam barang semalam. Tentu bukan kami seluruhnya.
Hanya dua tiga orang sajalah yang akan bermalam di rumahmu.
Yang lain biarlah berada di halaman dan di gardu-gardu. Mereka
adalah prajurit yang biasa tidur di sembarang tempat."
(Bersambung ke jilid 13) Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
896 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 13 ORANG ITU masih tetap kebingungan. Dan Mahisa Agni
pun kemudian bertanya, "Kenapa kau nampak ketakutan?" Orang itu tidak segera menjawab. "Coba, katakan. Apa yang
telah kau pikirkan tentang
kami?" "Tidak, tidak apa-apa tuan."
orang itu tergagap. Tetapi Mahisa Agni mendesak, "Tentu ada apaapa
dengan kalian. Tetapi baiklah. Yang penting bagi
kami, apakah kau mempunyai tempat untuk tiga orang di antara
kami bermalam di rumahmu?"
Betapa ketakutan melanda hati, namun orang ini pun tidak berani
pula untuk menolak. Karena itu, maka katanya, "Silahkan tuan,
silahkan." Mahisa Agni pun menyadari bahwa orang itu telah ditekan oleh
perasaan takutnya sehingga ia memberikan tempatnya untuk
897 bermalam. Tetapi Mahisa Agni akan membuktikan, bahwa mereka
tidak akan ketakutan lagi besok setelah Mahisa Agni dan kawankawannya
minta diri. "Besok mereka akan menarik nafas dalam-dalam. Karena malam
ini kami tidak akan berbuat apa-apa."
Karena itu, maka dipersilahkannya Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka untuk bermalam di rumah itu, dikawani oleh Witantra,
karena banyak hal yang akan dapat terjadi di malam.
Mahisa Agni sendiri tetap berada di antara pasukannya, Ia
berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu gardu ke
gardu yang lain di dalam padukuhan itu.
Gardu-gardu yang ada di padukuhan itu, ternyata telah
dipergunakan oleh para pengawal untuk bermalam. Mereka tidak
basah oleh embun di malam hari, sementara satu dua orang
berganti-ganti harus berjaga-jaga mengawasi keadaan.
Dalam pada itu, selagi mereka mulai merasakan sejuknya angin
malam, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda di
kejauhan. Bukan hanya satu dua. Tetapi cukup banyak.
Tanpa perintah dari siapa pun juga, maka setiap pengawal yang
ada di padukuhan itu pun segera bersiap. Mereka berkumpul di
beberapa tempat yang terpisah. Dengan sepenuh kesiagaan mereka
pun menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Di ujung lorong, di luar gerbang padukuhan itu beberapa orang
pengawal telah bersiap. Mereka harus menghentikan orang-orang
berkuda itu. Jika mereka melawan, maka akan terjadi pertempuran
yang seru, karena pengawal yang ada di padukuhan itu seluruhnya
telah siap menghadapi apapun juga.
Sejenak kemudian, di dalam keremangan malam, mereka seolaholah
melihat sebuah iring-iringan pasukan berkuda mendekati,
meskipun sebenarnya baru mereka dengar suara derap kaki kuda.
Namun mereka pasti, sebentar lagi kuda-kuda itu akan segera
muncul dari dalam kegelapan.
898 Karena itu, maka seorang pengawal segera mengambil obor dari
sebuah gardu dan membawanya kepintu gerbang. Setelah
menyelipkan tangkai obor itu pada dinding padukuhan maka
pengawal itu pun melangkah surut.
Sebentar kemudian, nampak dalam keremangan cahaya lampu
obor, muncul beberapa ekor kuda dengan penunggangnya.
Namun nampaknya kuda-kuda itu tidak berjalan terlampau cepat.
Bahkan kemudian menjadi semakin lama semakin lambat.
Dalam pada itu, para pengawal itu pun segera mengenal, bahwa
yang ada di punggung kuda itu adalah para prajurit Singasari yang
berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Di tangan
mereka masih nampak melingkar gelang lawe wenang.
Bahkan, semakin dekat mereka itu dengan obor yang terselip
pada dinding padukuhan, para pengawal yang sudah terlebih dahulu
ada di padukuhan itu pun segera melihat, bahwa yang ada di paling
depan adalah Lembu Ampal sendiri.
Di pintu gerbang Lembu Ampal berhenti. Ia sadar bahwa para
pengawal tentu sudah mempersiapkan diri. Karena itu maka ia pun
mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Selamat malam.
Siapakah yang ada di padukuhan ini?"
Yang mula-mula muncul dari balik pintu gerbang adalah Mahisa
Agni. Sambil tersenyum ia menjawab, "Aku. Bukan Tuanku
Tohjaya." Lembu Ampal pun tersenyum pula. Katanya, "Aku sudah
memperhitungkan. Menilik jejak yang aku ikuti, tentu dengan
sengaja kalian memberikan tanda-tanda agar aku tidak sesat. Dan
hal yang demikian tidak akan dilakukan oleh pengawal-tuanku
Tohjaya. Apalagi mereka sudah menjadi jauh berkurang setelah
pertempuran yang menentukan itu."
Mahisa Agni mengangguk-angguk.
899 "Aku melihat bekas pertempuran itu. Beberapa orang yang
terluka dan tertawan, sudah dibawa ke Singasari. Yang terbunuh
terpaksa dikuburkan di tempat itu untuk sementara."
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, "Marilah.
Kau tentu ingin menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Jika keduanya sudah tertidur, sebaiknya kau menghadap
besok pagi-pagi sebelum kita melanjutkan perjalanan menyusul
tunaku Tohjaya." Lembu Ampal pun kemudian dibawa oleh Mahisa Agni ke rumah
tempat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka bermalam. Sedang
prajurit-prajurit kemudian bergabung dengan kawan-kawan mereka
yang telah mendahului. Ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun masih belum
tertidur. Mereka mendengar juga derap kaki kuda mendekat. Dan
mereka pun sudah menduga bahwa yang datang itu adalah pasukan
kecil yang diminta oleh Mahisa Agni.
Tidak banyak yang dapat diceriterakan oleh Lembu Ampal
tentang istana Singasari. Yang diketahuinya, kini seluruh Singasari
telah dikuasainya. Yang ada di istana sepeninggalnya adalah
Mahendra yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk
menunggui Ken Umang yang seolah-olah sudah kehilangan
ingatannya sama sekali. Kadang ia menangis melolong-lolong,
kemudian tertawa berkepanjangan.
"O." Ranggawuni menarik nafas dalam, sedang Mahisa Cempaka
hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Hampir tidak dapat dikuasai lagi." berkata Lembu Ampal.
"Apa yang dilakukan oleh Mahendra?" bertanya Witantra.
"Sebagian besar adalah memberikan gambaran yang salah
kepada tuan puteri."
"Maksudmu?" 900 "Mengiakan saja apa yang dikatakannya. Misalnya tentang
tuanku Tohjaya yang masih dianggapnya berkuasa di Singasari.
Mahendra tidak sampai hati merusak angan-angannya yang sudah
tidak waras lagi itu, sehingga karena itu. maka ia hanya mengiakan
saja semua bayangan-bayangan yang dibuatnya di anganangannya."
"Kasihan." desis Mahisa Cempaka.
"Itu adalah sisa angan-angannya yang membubung tinggi tanpa
batas. Nafsunya untuk menguasai isi dunia ini telah membuatnya
menjadi tamak dan kehilangan pengamatan diri." berkata Witantra.
"Akibatnya menjadi terlampau parah baginya."
"Ya. Kenyataan yang sangat pahit telah merenggutnya dari dunia
harapan yang dibentuknya. Harapan yang berlebihan sehingga
membuatnya menjadi seorang manusia yang dikungkung oleh
nafsu. Ketika pada suatu saat ia terlempar pada kegagalan yang
mutlak, maka perasaannya pun tidak lagi berhasil menahan
goncangan yang terlampau dahsyat baginya."
Witantra berhenti sejenak, lalu, "Memang kasihan sekali."
Mahisa Agni memandang Witantra dengan tatapan mata suram.
Ia mengetahui bahwa Ken Umang adalah adik ipar sejak ia masih
menjadi Panglima di Tumapel.
Dan agaknya Witantra pun sedang memikirkannya, sehingga
hampir di luar sadarnya ia berkata, "Ia adalah adikku."
"Siapa?" Lembu Ampal bertanya dengan wajah yang tegang.
"Tuanku Ken Umang."
"Adikmu?" "Adik iparku." Lembu Ampal menunduk. Tetapi keadaan itu sudah terjadi dan
tidak dapat dihindarinya lagi. Ken Umang telah kehilangan ingatan.
901 Dan setiap orang akan mengatakan bahwa ia memang sudah
menjadi gila karena kegagalan yang dialaminya.
Sejenak mereka itu pun kemudian saling berdiam diri. Mereka
mulai membayangkan apa yang akan mereka hadapi. Jika Ken
Umang mengetahui apa yang dialami oleh Tohjaya di perjalanannya,
maka ia pun tentu akan menjadi semakin parah.
Atau bahkan tidak peduli sama sekali, karena sudah tidak ada
perasaan yang dapat tersentuh oleh keadaan apapun juga.
Yang terdengar kemudian adalah desah tarikan nafas Mahisa
Agni. Lalu katanya, "Sekarang, silahkan tuanku berdua beristirahat.
Besok kita akan menempuh perjalanan yang panjang."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian mencoba untuk
dapat beristirahat, karena yang akan mereka lakukan di hari
berikutnya masih terlampau banyak. Sementara Witantra
mengawaninya, maka Mahisa Agni dan Lembu Ampal pun
meninggalkan bilik itu kembali ke tengah-tengah pasukan mereka.
"Aku telah membawa bekal seperti yang kau pesankan." berkata
Lembu Ampal. "Terima kasih. Mungkin kita masih akan menempuh perjalanan
untuk satu dua hari lagi, karena agaknya Tohjaya dan pengikutnya
menyadari bahwa kami mencarinya. Mereka telah berusaha untuk
menghapus jejak mereka, sehingga usaha kita menjadi agak sulit."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Memang bukan tugas yang
berat menyusul perjalanan Tohjaya. Tentu Tohjaya masih juga
membawa pengawal vang cukup kuat, sehingga mungkin masih
akan terjadi benturan senjata di antara pasukan yang mengawal
Tohjaya dengan pasukan yang berusaha menyusulnya.
Namun kemudian Mahisa Agni pun berkata, "Lembu Ampal.
Sebaiknya kita pun beristirahat. Masih ada waktu. Besok pagi kita
akan menempuh perjalanan jauh."
Lembu Ampal mengangguk-angguk pula. Jawabnya, "Baiklah.
Tetapi agaknya kau jauh lebih lelah dari aku."
902 "Kita sama-sama bertempur hari ini."
"Tetapi aku kemudian berada di istana. Dan kau memburu
tuanku Tohjaya dan masih harus bertempur sekali lagi melawan
pengawalnya yang cukup kuat." Lembu Ampal berhenti sejenak,
lalu, "Beristirahatlah. Sebentar lagi aku pun akan beristirahat. Kau di
sini, aku di ujung yang lain."
Keduanya pun kemudian berpisah. Mahisa Agni dan Lembu
Ampal berada di tempat yang berbeda, agar mereka dapat
menyesuaikan diri dengan segera jika terjadi sesuatu dari arah
manapun juga. Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka beserta
Witantra masih berada di tempatnya. Beberapa orang pengawal
berada di halaman untuk mengawasi rumah yang disinggahi anakanak
muda yang akan memegang pimpinan tertinggi bagi Singasari.
Namun, ternyata bahwa malam itu tidak terjadi sesuatu pada
pasukan yang dipimpin Mahisa Agni. Mereka sempat beristirahat
dengan baik. Mahisa Agni sempat tidur beberapa saat. Demikian
juga pemimpin-pemimpin yang lain. Betapa kegelisahan selalu
mengganggu perasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam
pertentangan antara keluarga sendiri itu, namun agaknya kelelahan
yang sangat telah membawa mereka tidur barang sejenak.
Ketika ayam berkokok di akhir kalinya, semua orang di dalam
pasukan itu sudah terbangun. Mereka segera mengemasi pakaian
dan senjata mereka. Sebelum mereka berada di dalam kelompok
masing-masing, mereka masih sempat pergi kepakiwan dan
meneguk semangkuk minuman panas yang mereka siapkan sendiri
dengan meminjam dapur dan perlengkapan penghuni padukuhan
itu. "Kita membawa persediaan beras yang cukup berkata Lembu
Ampal. Menjelang perjalanan yang panjang, kalian dapat
menyiapkan makan pagi."
903 Prajurit-prajurit itu pun kemudian menyiapkan makan pagi
mereka sebelum mereka berangkat menyelusuri jejak yang semakin
lama menjadi semakin rumit.
Demikianlah ketika matahari mulai naik, pasukan itu pun telah
siap untuk bergerak. Mahisa Agni masih sempat mengucapkan
terima kasih kepada penghuni padukuhan itu sebelum ia
meninggalkan mereka dalam keragu-raguan.
"Pasukan ini agak berbeda dengan pasukan yang lewat kemarin."
berkata seorang laki-laki tua.
"Di dalam pasukan yang kemarin terdapat tuanku Tohjaya.
Maharaja Singasari. Karena itulah kita harus menghormati dan
berbuat apa saja menurut perintahnya."
"Tetapi di dalam pasukan ini terdapat tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Merekalah yang mengusir tuanku Tohjaya dari
tahta karena tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
merasa berhak atas tahta itu."
"Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?"
"Semalam dua orang prajurit yang berjaga-jaga di halaman
rumahku sempat menceriterakan kepadaku."
"Kau keluar rumah dan menemuinya?"
"Mula-mula maksudku sekedar memberikan sekedar minuman
panas agar mereka tidak berbuat apa-apa atas keluargaku."
"Uh. Hanya dengan minuman panas. Jika mereka ingin berbual
sesuatu, jangankan minuman panas."
"Maksudku, agar sikap mereka sedikit lebih lunak." ia berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi ternyata mereka adalah orang baik. Mereka
tidak bertindak dengan kasar. Dan mereka justru berceritera
tentang tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sama sekail tidak
berani keluar rumah. Aku juga mendengar dua atau tiga orang yang
meronda dan berhenti di pendapa. Agaknya mereka duduk di sana
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
904 sambil berbicara beberapa lama. Kemudian mereka pun
meninggalkan rumahku tanpa aku ketahui arahnya."
"Jika kau berani keluar dan menemuinya, mereka akan
memberikan banyak penjelasan. Mereka ternyata tidak sekasar
prajurit-prajurit yang ada di dalam pasukan pengawal tuanku
Tohjaya. Agaknya memang benar, bahwa tuanku Tohjaya sedang
melarikan diri dan dikejar oleh pasukan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka ini."
"Aku tidak mengerti. Tetapi menilik akibat yang ditinggalkan
pasukan ini memang lebih baik. Mereka mengembalikan semua alatalat
yang mereka pinjam dengan baik."
Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti
kawannya ia memang menilai pasukan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka lebih baik dari pasukan yang mengawal Tohjaya. Dan itu
menggambarkan bahwa keadaan prajurit-prajurit yang mengawal
Tohjaya dalam keadaan yang jauh lebih buruk dari prajurit-prajurit
yang datang kemudian itu.
Sebenarnyalah bahwa keadaannya memang demikian. Keadaan
prajurit-prajurit yang mengawal Tohjaya memang jauh lebih puruk.
Mereka tidak sempat membawa persediaan apa pun juga karena
mereka berangkat dengan tergesa-gesa. Yang mula-mula diingat
oleh Tohjaya hanyalah seperti perhiasan emas dan berlian. Dan
perhiasan-perhiasan itu tidak akan dapat dipergunakan bagi anak
buahnya di perjalanan. Jika mereka lapar, maka mereka hanya
dapat merampas makanan dari penduduk di padukuhan padukuhan
yang mereka lalui tanpa menghiraukan keadaan penduduk itu
sendiri. Malam itu Tohjaya dan anak buahnya bermalam di padukuhan
terpencil. Ia menempatkan beberapa orang pengawal agak jauh di
belakang mereka. Jika mereka melihat pasukan yang mengikutinya,
maka mereka harus memberikan isyarat dengan panah sendaren.
905 Tetapi malam itu pasukan Mahisa Agni pun berhenti pula,
sehingga karena itu, maka tidak ada sebatang anak panah pun yang
dilepaskan di udara. Menjelang fajar, maka pengawal-pengawal yang harus
memberikan isyarat itu pun telah berada kembali di induk
pasukannya dan sejenak kemudian mereka pun meninggalkan
padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan.
Prajurit-prajurit itu sama sekali tidak menghiraukan barangbarang
yang mereka pergunakan. Mereka merampas beras dan
makanan yang mereka jumpai. Mempergunakan alat-alat dapur dan
memaksa beberapa orang memasak untuk mereka. Namun ketika
merasa perlu untuk pergi, begitu saja mereka meninggalkan
padukuhan itu. Barang-barang yang mereka pergunakan masih
berserakan dan tersebar di halaman dan sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa Tohjaya dan pengawalnya berangkat
meninggalkan padukuhan itu. Mereka tidak memilih jalan yang
besar dan rata, tetapi mereka menyelusuri jalan-jalan sempit dan
buruk. Dengan saksama mereka mencoba menghapuskan jejak
mereka, agar pasukan yang akan menyusuli mereka tidak dapat
menemukan arah yang benar.
Namun ternyata betapapun mereka berusaha menghapus jejak
mereka, namun agaknya mereka telah dikejar oleh kegelisahan dan
kecemasan. Lebih dari itu, mereka pun agaknya terlampau tergesagesa
sehingga pencari jejak yang ada di dalam pasukan Mahisa Agni
masih mampu untuk mengenalinya betapapun lama dan lambatnya.
Tetapi ternyata bahwa pengawal-pengawal Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka selalu milih arah yang benar.
Tohjaya sendiri keadaannya menjadi semakin parah. Luka-luka di
tubuhnya meskipun mula-mula tidak terlampau parah, namun
karena tidak mendapat pengobatan yang baik dan segera, ternyata
akhirnya telah merampas segenap tenaganya. Ia menjadi sangat
lemah dan duduk saja di atas tandunya. Badannya terasa panas dan
nyeri. Sedang lukanya nampak membengkak dan sakit bukan
kepalang. 906 Dalam keadaan yang demikian, maka ia pun menjadi selalu
marah dan membentak-bentak. Tidak ada yang benar di matanya,
apa saja yang dilakukan oleh pengawalnya. Kadang-kadang ia
merasa dirinya dipermainkan. Tetapi kadang-kadang ia dibayangi
oleh ketakutan yang amat sangat. Bukan saja kepada pasukan yang
menyusulnya, tetapi juga kepada pasukannya sendiri.
Jika seorang prajurit berjalan di depan berhenti sejenak karena
kelelahan, dan apabila berpaling, maka ia pun segera membentak
dan berteriak-teriak. "He, kenapa kau berhenti" Apakah kau tidak dapat berjalan lagi?"
bahkan kadang-kadang ia berkata lantang, "Kau iri melihat aku
membawa peti ini he" Gila. Kau tentu akan mendapat bagianmu
kelak. Dan jika pada suatu saat aku berhasil merebut tahta kembali,
kau akan menjadi tumenggung. Kau dengar?"
Prajurit itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam sambil
berkata, "Hamba tuanku. Hamba mengerti."
Namun kemudian Tohjaya menjadi terlampau sering marah.
Semakin tinggi matahari, maka udara menjadi semakin panas
seperti tubuh Tohjaya sendiri. Agaknya luka-lukanya memang
mengandung racun betapapun lunaknya.
"Air, air." teriak Tohjaya.
Seorang prajurit berlari-lari memberikan air kepadanya. Dengan
dada yang berdegup cepat, Tohjaya menerima air itu dan
meneguknya. "Jangan terlampau banyak tuanku." Senapati yang mengiringi
memperingatkannya. "Jika tuanku terlampau banyak minum, maka
kesehatan tuanku akan menjadi semakin buruk, Tuanku akan
merasa pening dan terlampau penat."
"Gila. Gila, Kau iri ya. Kau sendiri akan menghirup air itu sampai
habis?" 907 "Tuanku. Hamba merasa sangat letih. Tetapi hamba dengan setia
mengawal tuanku. Karena itu, maka hamba pun mencoba
memperingatkan tuanku dengan tulus."
"Diam. Diam kau tikus."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian,
Tohjaya pun berhenti meneguk air betapapun ia masih ingin.
Kemudian menyerahkan guci kecil berisi air itu kepada pengawalnya
sambil berkata, "Simpan air itu. Aku akan selalu haus hari ini.
Matahari terlampau terik. Dan tubuhku terlampau panas."
"Kita akan mencari dukun yang pandai tuanku." desis Senapati
yang memimpin pengawalan itu.
Tohjaya tidak menyahut. Tetapi tubuhnya serasa menjadi
semakin panas. Bahkan rasa-rasanya bagaikan dipanggang di atas
api. Tetapi, iring-iringan itu berjalan terus. Betapapun lambatnya
Tohjaya dan pengawalnya masih tetap maju. Beberapa orang
dengan hati yang buram masih juga mencoba menghilangkan jejak
mereka. "Apakah ada gunanya." desis seorang prajurit.
"Kenapa?" kawannya bertanya.
"Aku tidak mempunyai harapan lagi. Kita tentu akan tertangkap
dan aku tidak tahu, nasib apa yang akan terjadi alas kita semua."
"He, kau sadari apa yang kau katakan?"
"Ya," Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja kawannya berlari lari
menghadap Tohjaya yang masih ada di atas tandu dengan tubuh
yang semakin lemah. Dengan terbata-bata prajurit itu berkata, "Ampun tuanku. Ada di
antara kita yang ternyata menjadi lemah hati."
"Apa maksudmu?"
908 "Seorang kawan hamba mengatakan, bahwa tidak ada harapan
lagi bagi kita. Kita tentu akan tertangkap. Dan kita tidak tahu, nasib
apa yang akan menimpa kita."
"Gila. Siapa yang berkata begitu?"
"Itulah tuanku. Justru kawan hamba sendiri."
"Panggil, panggil ia kemari." Tohjaya berteriak.
Prajurit yang sekedar berguman dengan kawannya itu menjadi
heran. Ia tidak menyangka bahwa kawannya akan mengambil s ikap
demikian. Namun ia tidak dapat membantah lagi. Dengan wajah yang
tegang ia mendekati tandu Tohjaya.
Semua orang yang menyaksikan apa yang kemudian terjadi,
terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja Tohjaya mengayunkan
tombaknya langsung menusuk ke jantung prajurit yang malang itu.
Tidak ada yang sempat dilakukannya. Ketika tombak itu dicabut,
maka prajurit itu pun jatuh terjembab. Mati.
"Ia harus mati. Ia harus mati." teriak Tohjaya.
Tidak ada yang menyahut. Semua orang yang melihat peristiwa
itu bagaikan melihat sesosok hantu yang mencengkam jantung
korbannya dan menghirup darahnya.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tertawa yang
melengking. Di antara suara tertawa itu terdengar kata-kata,
"Mampus kau. Mampus kau. Kau tidak akan dapat lagi mengganggu
aku. Aku tentu akan dapat mengawini isterimu kelak jika aku
kembali ke Singasari. Aku akan menjadi Tumenggung. Aku akan
menerima hadiah segenggam mutiara kuning yang paling mahal
harganya." Sikap prajurit itu benar-benar telah menggoncangkan perasaan.
Kematian prajurit yang ditusuk tombak langsung menembus jantung
itu telah menimbulkan kejutan yang luar biasa. Apalagi disusul
dengan sikap yang tidak wajar dari seorang prajurit muda.
909 "Sudah lama aku mencintai isterinya." berkata prajurit itu,
"Sekarang baru terbuka jalan."
"Kau sudah gila." teriak seorang kawannya.
"Tidak. Aku tidak gila. Aku masih tetap sadar, bahwa, aku akan
menjadi seorang Tumenggung dan akan memperisteri seorang
perempuan yang paling cantik di seluruh Singasari."
"Kau gila." Senapati yang memimpin pengawalan itulah yang
kemudian menggeram. Tohjaya melihat sikap orang itu dengan wajah yang merah
padam. Dengan geramnya ia berkata, "Seret ia kemari. Cepat."
Beberapa orang prajurit telah menangkapnya dan membawanya
kepada Tohjaya. Namun dalam pada itu Senapatinya pun berkata, "Tuanku,
serahkanlah orang itu kepada hamba."
"Bawa kemari." teriak Tohjaya.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, nasib
apakah yang akan dialami oleh prajurit yang malang itu.
Yang terjadi tidak luput dari dugaan para prajurit. Seperti
kawannya yang telah terbunuh, ia pun kemudian menghembuskan
nafasnya yang penghabisan.
Senapati yang bertanggung jawab atas perjalanan itu hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia
sudah melihat, bahwa jalan di hadapan mereka adalah gelap
semata-mata. Perjalanan berikutnya benar-benar tidak menyenangkan, jalan
yang sulit dan sikap Tohjaya yang kadang-kadang tidak dapat
dimengerti. Namun iring-iringan itu berjalan terus.
Ketika malam kemudian turun lagi, iring-iringan itu berhenti pula
di sebuah dusun kecil. Seperti yang pernah terjadi, maka mereka
910 pun segera merampas makanan yang ada. Memaksa beberapa
orang untuk bekerja bagi mereka.
Namun malam yang sejuk itu terasa betapa panasnya bagi
Tohjaya. Lukanya menjadi semakin membengkak. Dan badannya
terasa semakin lemah dan sakit.
Tetapi ia ingin bertahan. Ia harus melepaskan diri dari tangan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia ingin berada di tempat yang
tidak dapat dijangkau oleh kedua kemenakannya itu dan kemudian
menyusun kekuatan kembali untuk merebut tahta Singasari.
Pada saat fajar mulai membayang, iring-iringan itu pun
melanjutkan perjalanannya. Setiap orang sudah menjadi semakin
letih. Bahkan ada di antara mereka yang sudah tidak bernafsu sama
sekali untuk berjalan. Namun mereka tidak berani membantah,
karena mereka menyadari akibat yang dapat terjadi atas mereka.
Apalagi orang-orang yang mengusung tandu. Mereka menjadi
semakin lemah dan letih. Dalam pada itu, pasukan Mahisa Agni pun berjalan terus. Mereka
pun tidak dapat berjalan terlampau cepat. Selain mereka harus
meneliti jejak, maka mereka tidak dapat membiarkan kuda-kuda
mereka menjadi sangat letih.
Namun bagaimanapun juga, agaknya perjalan pasukan Mahisa
Agni agak lebih cepat dari Tohjaya bersama pengiringnya.
Kegelisahan, luka dan perasaan nyeri pada tubuh Tohjaya
membuatnya semakin kehilangan keseimbangan. Kadang-kadang ia
pun menjadi hampir berputus asa. Tetapi kadang-kadang darahnya
bagaikan bergejolak oleh dendam yang tidak tertahankan. Dendam
atas kematian ayahandanya yang sudah dapat ditumpahkannya
kepada Anusapati, agaknya harus ditebus dengan perasaan dendam
dan sakit hati pula, karena Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
berhasil mengusirnya dari istana dalam keadaan yang parah.
Dalam keadaan yang semakin lemah itulah, maka Tohjaya
berusaha untuk menyangkal kenyataan tentang dirinya. Karena itu,
911 dengan mengerahkan segenap tenaganya, ia tetap duduk tegak di
atas tandunya yang mulai gontai. Meskipun pengawalnya sudah
menjadi letih sekali. "Gila." teriak Tohjaya, "Apakah kalian tidak dapat berjalan lebih
baik?" Para pengawalnya berusaha untuk berjalan dengan tegap dan
teratur. Namun keadaan mereka benar-benar sudah tidak
memungkinkan. Bahkan bukan saja keadaan tubuh mereka yang
letih, tetapi pakaian mereka pun sudah tidak utuh lagi. Perut yang
lapar dan perasaan gelisah serta cemas, membuat mereka tidak
dapat berbuat dengan tertib atas diri mereka sendiri.
Tohjaya terkejut ketika ia merasakan tandunya terguncang.
Dengan serta merta ia mengangkat kepalanya dan memandang
para pengawal yang memanggul tandu.
Tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah padam. Kemarahan yang
selalu menyala di dadanya, rasa-rasanya melonjak sampai ke ujung
ubun-ubunnya. Dengan mata yang merah ia melihat pengawalnya yang
memanggul tandu di depan sebelah kanan sedang sibuk
memperbaiki celananya yang sudah sobek, dan karena
kekhilafannya telah tersingkap. Kain panjangnya tidak dikenakannya
lagi karena mengganggu langkahnya, sehingga kain panjang itu
hanya disangkutkannya saja di lehernya.
Tohjaya yang sedang gelap hati melihat hal itu sebagai suatu
peristiwa yang besar, yang tidak dapat dimaafkannya lagi. Selain
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghinaan atas seorang Maharaja yang besar dari Singasari, maka
hal itu memberikan perlambang kepadanya bahwa nasibnya
agaknya memang kurang baik. Seolah-olah ia telah melihat
kegagalan diri sendiri. Pakaian yang tersingkap adalah perlambang
kegelapan bagi nasib seorang besar seperti Tohjaya.
Karena itu, tanpa berkata apapun juga, di dorong oleh
kemarahan yang meluap, maka dengan serta merta orang itu pun
telah dipukul dengan sebatang tangkai tombak yang selalu ada di
912 sisi Tohjaya. Demikian kerasnya sehingga orang itu pun berteriak
kesakitan. Tetapi bukan saja berteriak. Tiba-tiba saja ia melonjak dan
melepaskan tandunya sehingga Tohjaya pun kemudian terlempar
jatuh. Kemarahan yang meluap itu pun menjadi semakin membakar
dadanya. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri dan dengan sisa
tenaganya ia mengangkat tombaknya sambil berteriak, "Gila, Kau
gila. Kau harus dibunuh karena kau memberikan perlambang buruk
bagiku. Selebihnya kau telah menghina seorang Maharaja besar,
karena kau tidak berpakaian sepantasnya apalagi kau berjalan di
hadapanku." "Tuanku." Senapati yang memimpin pengawal itu berteriak. Ia
mencoba mencegah sesuatu yang bakal terjadi.
Tetapi yang terjadi agaknya memang terlampau cepat. Pengawal
yang kesakitan itu telah kehilangan akal pula. Kelelahan, putus asa
dan ketiadaan harapan, membuatnya bermata gelap.
Karena itu, ketika ia melihat ujung tombak mengarah ke
dadanya, dengan serta merta ia pun menarik kerisnya. Dengan
tanpa disadarinya ia justru meloncat maju menyongsong ujung
tombak yang telah terayun ke arahnya.
Senapati yang memimpin pengawalan itu justru harus
memalingkan wajahnya ketika ia melihat benturan yang sangat
mengerikan. Ujung tombak itu benar-benar telah menembus dada
pengawal yang malang itu. Tetapi agaknya sisa dorongan tenaganya
masih melontarkannya beberapa langkah maju, sehingga ujung
kerisnya telah menyentuh tubuh Tohjaya. Keris yang dilumuri
dengan racun warangan yang kuat.
Sejenak kemudian orang itu pun terlempar ke samping dan jatuh
menelentang. Langsung kehilangan nyawanya.
Namun dalam pada itu. Tohjaya pun jatuh terduduk pula. Ia
sudah mengerahkan segenap sisa tenaganya. Apalagi terasa
913 sentuhan keris itu di tubuhnya. Tubuh yang memang sudah
terlampau lemah. "Tuanku." Senapati yang memimpin pengawalannya mendekat.
Tetapi Tohjaya menjadi semakin lemah. Racun warangan yang
kuat pada ujung keris itu dengan cepatnya mulai bekerja. Apalagi
daya tahan tubuh Tohjaya telah hampir punah sama sekali.
Tidak seorang pun yang dapat mengatasi batas maut apabila
sudah menghampirinya. Demikian pula tuanku Tohjaya yang pernah
menjadi seorang Maharaja yang besar di Singasari setelah ia
berhasil membunuh Anusapati. Tetapi ternyata ia pun tidak cukup
lama duduk di atas tahta.
Racun warangan yang bekerja di tubuhnya itu telah
mencengkamnya demikian kuat, sehingga darahnya pun seakanakan
telah tersumbat oleh gumpalan-gumpalan darahnya yang
membeku. Dengan mata sayu dipandanginya Senopati yang berjongkok di
sampingnya. Kemudian sebelum ia jatuh menelentang. Senopati itu
sudah menyambarnya dan meletakkan kepala Tohjaya itu di
pangkuannya. "Tuanku." desisnya.
"Aku, aku tidak akan dapat melanjutkan perjalanan ini." desis
Tohjaya. "Tahankanlah tuanku. Hamba akan berusaha mendapatkan
seorang dukun yang pandai."
Tohjaya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada
gunanya. Aku akan mati." Namun tiba-tiba Tohjaya itu tersentak,
"Persetan. Kalian memang mengharap aku mati, agar kalian dapat
memiliki harta kekayaan yang aku bawa."
"Tuanku." suara Senepati itu lambat, "Tenangkan hati tuanku.
Tidak seorang pun yang akan berkhianat terhadap tuanku."
"Omong kosong. Siapa yang menusuk aku?"
914 "Orang itu sudah mati."
"Mati?" "Hamba tuanku."
Tohjaya menarik nafas dalam sekali. Namun rasa-rasanya
nafasnya sudah menjadi semakin dalam.
Sejenak kemudian Tohjaya itu pun memejamkan matanya.
Perlahan-lahan terdengar ia berdesis, "Ambillah. Ambillah petiku
seisinya." Senopati itu mengerutkan keningnya. Ia merasakan sebuah
tarikan nafas yang sendat. Tarikan nafas terakhir dari Tohjaya yang
berbaring di pangkuannya.
Untuk beberapa saat lamanya, Senopati itu rasa-rasanya
bagaikan membeku. Bahkan terasa matanya menjadi basah.
Beberapa hari ia mengikuti Tohjaya yang terusir dari tahta. Dengan
setia ia mengawal Tohjaya itu betapun beratnya. Kini ia hanya dapat
menuggui Tohjaya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Prajurit-prajurit pengawalnya pun kemudian berkerumun.
Sejenak mereka pun ikut berduka cita. Namun kemudian ada
sesuatu yang melonjak di dalam hati mereka. Kejemuan dan
kelelahan yang amat sangat, agaknya telah menumbuhkan perasaan
putus-asa dan kelemahan tekad.
Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak lagi mempunyai
nafsu untuk berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Mahisa
Agni semakin lama menjadi semakin dekat. Jalan yang rumit
memang merupakan penghambat dari perjalanan itu. Tetapi karena
mereka berada di punggung kuda, maka mereka tidak merasakan
kelelahan seperti prajurit-prajurit yang mengusung Tohjaya di atas
tandu. 915 Para pencari jejak, menangkap jejak prajurit-prajurit yang
mereka ikuti mengikuti jalan sempit yang sukar. Tetapi, ternyata
semakin lama jejak itu menjadi semakin jelas.
"Mereka sudah sangat letih, sehingga mereka tidak sempat lagi
menghapus jejak dengan baik." berkata salah seorang pencari jejak.
"Jaraknya pun tidak begitu jauh lagi. Jejak ini masih baru."
berkata yang lain. Mahisa Agni dan kawan-kawannya hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Meskipun demikian mereka pun melihat
tanda bahwa sebentar lagi mereka akan dapat segera menyusul
Tohjaya dan pengikut-pengikutnya.
"Marilah kita percepat perjalanan ini." berkata Mahisa Agni.
Dengan demikian maka mereka pun maju semakin cepat. Jejak
yang mereka ikuti pun menjadi semakin jelas. Sosok mayat yang
mereka jumpai di perjalanan telah menumbuhkan berbagai
tanggapan atas prajurit-prajurit Tohjaya yang kelelahan itu.
Meskipun jalan menjadi semakin sempit, namun kuda mereka
dapat berlari lebih cepat. Mereka tidak perlu lagi berjalan
membungkuk-bungkuk melihat jejak di atas tanah berbatu-batu,
atau di atas rerumputan di pinggir jalan, jejak itu kini nampak jelas
dan pasti. Ternyata mereka tidak terlalu lama lagi berkuda. Dari kejauhan
mereka telah melihat sekelompok prajurit yang berserakan di
pinggir jalan. Prajurit-prajurit yang berjongkok dan duduk-duduk
dengan kepala tunduk di dalam sebuah suasana yang asing.
"Itulah mereka?" desis Mahisa Agni.
"Apa yang terjadi paman?" tiba-tiba Ranggawuni bertanya.
"Aku tidak tahu. Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Kita tidak
mengerti apa yang akan dilakukan oleh tuanku Tohjaya. Kadangkadang
ia dapat berbuat di luar dugaan."
916 "Tetapi suasananya nampak aneh paman" Mereka seakan-akan
tidak menghiraukan lagi kedatangan kita. Tentu sesuatu telah
terjadi. Di perjalanan kita menjumpai mayat yang terluka di dada.
Mungkin ada persoalan yang tumbuh di antara prajurit-prajurit itu
sendiri." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Itu tidak mustahil.
Dalam keadaan yang parah, mungkin timbul pikiran-pikiran yg
berbeda-beda. Dan perbedaan yang demikian kadang-kadang tidak
dapat diselesaikan dengan pembicaraan, karena otak mereka telah
beku." Sebenarnyalah bahwa prajurit-prajurit yang mengerumuni
Tohjaya yang sudah terbunuh itu sudah tidak menghiraukan lagi
kehadiran pasukan berkuda yang menyusul mereka. Mereka sudah
terlampau letih lahir dan batin. Mereka sudah tidak tahu lagi apa
yang sebaiknya mereka lakukan selain daripada pasrah diri terhadap
nasib. Meskipun demikian namun Mahisa Agni cukup berhati-hati
menanggapinya. Mungkin orang-orang itu dengan sengaja berbuat
demikian, tetapi tiba-tiba saja mereka bangkit dan menyergap.
Karena itu maka pasukan Mahisa Agni pun menebar. Ada di
antara mereka yang terpaksa turun kepategalan di pinggir jalan.
Perlahan-lahan pasukan itu maju. Mahisa Agni yang berada di
paling depan bersama Witantra dan Lembu Ampal pun tidak
kehilangan kewaspadaan sama sekali.
Ternyata tidak seorang prajurit pun yang beranjak dari
tempatnya. Mereka tetap duduk atau berjongkok di tempat.
Satu dua di antara mereka ada yang memalingkan wajahnya
melihat kedatangan pasukan berkuda itu. Namun orang-orang itu
seolah-olah acuh tidak acuh saja.
Karena tidak seorang pun dari mereka menyentuh senjatanya,
maka Mahisa Agni maju lebih dekat lagi. Bahkan ia pun kemudian
917 meloncat turun dari kudanya dan menyerahkan kudanya kepada
seorang pengawal. Demikian pula Witantra dan Lembu Ampal.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekat. Beberapa langkah
kemudian mereka terhenti karena mereka melihat seseorang yang
terbujur di tanah, dan seorang lagi di pangkuan seorang prajurit.
"Ki sanak." berkata Mahisa Agni lantang, "Siapakah yang
memimpin kelompok prajurit di antara kalian?"
Tidak ada seorang pun yang segera menyahut.
"He, siapakah yang mempertanggung jawabkan kelompok kalian
itu?" Senapati yang masih memangku Tohjaya itu pun mengangkat
kepalanya sambil berkata keras-keras. "Akulah yang bertanggung
jawab. Mendekatlah. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa
lagi sekarang." Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Perlahan-lahan ia
mendekat. Kemudian ia pun bertanya, "Siapakah itu?"
Senapati itu memandanginya. Wajahnya nampak sayu dan
matanya masih merah. Jawabnya, "Tuanku Tohjaya."
"Kenapa?" "Tuanku telah meninggal."
Jawaban itu telah mengejutkan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka Dengan serta merta mereka meloncat dari punggung
kudanya dan berlari mendekat. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra
telah menahan kedua anak-anak muda.
"Sabarlah tuanku. Kita harus meyakinkan dahulu."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tertegun sejenak. Namun
mereka tidak dapat memaksa. Mereka membiarkan Mahisa Agni
kemudian mendekat dan melihat bahwa Tohjaya benar-benar sudah
terbaring diam. 918 Barulah kemudian ia memberikan isyarat kepada Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Keduanya berlari-lari mendekat dan
berjongkok di s isi tubuh Tohjaya yang sudah membeku.
"Paman, paman." desis Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Kedua anak-anak muda itu mengusap matanya yang basah.
Sementara Mahisa Agni, Witantra dan Lembu Ampal memperhatikan
setiap gerak dan sikap prajurit-prajurit Singasari yang mengawal
Tohjaya sampai akhir hayatnya.
Tiba-tiba saja Ranggawuni meloncat berdiri sambil bertanya
lantang, "Siapa yang membunuh pamanda Tohjaya?"
Senapati yang memangkunya melontarkan pandangan matanya
kearah prajurit yang terbaring diam. Sebuah luka menganga di
dadanya karena tombak Tohjaya.
"Sampyuh?" Senapati itu mengangguk.
"Apakah kau tidak dapat mencegahnya?" bertanya Mahisa
Cempaka. "Peristiwa itu cepat sekali terjadinya. Hamba tidak sempat
berbuat apa-apa tuanku." jawab Senapati itu. Ia pun kemudian
menceriterakan apa yang telah dilihatnya dan kemudian yang dapat
disaksikan adalah kematian Tohjaya di pangkuannya itu.
Yang mendengarkan ceritera itu menundukkan kepalanya.
Kematian Tohjaya benar-benar tidak terduga-duga. Seorang prajurit
yang mengawalnya dengan setialah yang justru telah
membunuhnya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu menyaksikan akhir dari
hidup Tohjaya. Kemudian Ranggawuni pun memerintahkan untuk
membawa jenazah Tohjaya kembali ke Singasari dan
menyelenggarakan sebaik-baiknya sesuai dengan adat upacara yang
harus dilakukan. 919 Demikianlah, setelah para prajurit melepaskan senjata-senjata,
maka mereka pun kembali mengusung Tohjaya di atas tandu, tetapi
mereka membawanya kembali ke Singasari.
Berbagai tanggapan telah timbul. Namun adalah suatu kenyataan
bahwa Tohjaya sudah tidak ada lagi. Dan tidak ada yang dapat
menyangkal, bahwa di antara para bangsawan, Ranggawuni lah
yang paling berhak atas Tahta Singasari. Namun, Ranggawuni tidak
akan bersedia mukti sendiri. Karena baginya jabatan tertinggi itu
merupakan tanggung jawab yang sangat berat.
Dan karena itulah maka Ranggawuni telah menerima jabatan
tertinggi di Singasari bersama saudara sepupunya, Mahisa Cempaka.
Keduanyalah yang kemudian menyelenggarakan jenazah Tohjaya
sebagaimana mestinya, dan dicandikan di Katanglumbang.
Beberapa saat kemudian, setelah Singasari menjadi tenang, dan
rakyat Singasari tidak lagi di cemaskan oleh peristiwa-peristiwa baru
yang timbul, maka Ranggawuni pun telah dinobatkan menjadi
Maharaja di Singasari dengan resmi.
Ranggawuni yang menjabat sebagai Maharaja dengan gelar
Wisnuwardana, sedangkan Mahisa Cempaka diangkat menjadi Ratu
Angabhaya dengan gelar Batara Narasinga. Keduanya memerintah
Singasari dengan rukun dan seakan-akan tidak pernah terpisahkan,
sehingga rakyat Singasari menganggap keduanya bagaikan
Sepasang Ular Naga di satu sarang.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk sementara Singasari pun diliputi oleh ketenangan yang
damai. Namun demikian Sepasang Ular Naga di satu sarang itu tidak
dapat mencegah mengalirnya waktu. Mereka tidak dapat mencegah
tuan puteri Ken Dedes menjadi semakin tua seperti juga Mahisa
Agni dan Witantra yang kemudian kembali ke padepokannya.
Mereka tidak dapat mencegah Mahendra yang kembali pula ke
rumahnya menjadi bertambah tua pula seperti juga Lembu Ampal.
Apalagi Ken Umang yg tidak dapat disembunyikan lagi dan yang
kemudian sebagaian orang menganggap lebih baik baginya ketika ia
920 meninggal dunia, justru lebih cepat dari Ken Dedes yang tua dan
sakit-sakitan. Tetapi bahwa yang kasat mata tidak akan abadi adanya, juga
ketenangan dan kedamaian di Singasari, yang ibu kotanya masih
tetap berada di Tumapel lama.
Demikialah maka Kediri yang sudah ditinggalkan Mahisa Agni pun
berkembang pula. Tetapi, Kediri merasa dirinya memiliki masa
lampau yang lebih besar dari Singasari. Itulah sebabnya, pada suatu
saat akan datang persoalan yang tumbuh karena kebesaran Kediri
yang hampir pulih kembali.
Namun untuk waktu yang lama, Singasari adalah negara yang
besar di bawah pimpinan Sepasang Ular Naga di satu Sarang.
Tidak ada seorang pun yang tidak menjadi cemas di seluruh
istana bahwa seluruh daerah Singasari yang besar, ketika nenekda
Maharaja Singasari yang bergelar Wisnuwardana, yaitu Ken Dedes,
menjadi sakit keras. Kecuali sakit yang dideritanya untuk waktu
yang lama, maka tuan puteri memang sudah berusia lanjut.
Siang malam beberapa orang emban selalu menungguinya.
Bahkan Tuanku Maharaja di Singasari sendiri sering sekali datang
menjenguknya. Dalam keadaan yang semakin gawat, kakak angkat tuan puteri,
Mahisa Agni, hampir tidak pernah beranjak dari s isinya.
Tetapi yang harus terjadi, akan terjadilah.
Herapa banyak orang-orang pandai dalam ilmu pengobatan telah
mencoba untuk mengobatinya, namun sakitnya sama sekali tidak
menjadi berkurang. "Kakang Mahisa Agni." berkata tuan puteri dengan suara yang
lemah, "Aku masih melihat daun-daun kemuning di halaman
berguguran." 921 "Ah mana mungkin tuan puteri." jawab Mahisa Agni, "Tuan puteri
selalu berada di dalam bilik. Tuan puteri tidak pernah turun ke
halaman bangsal ini."
Ken Dedes tersenyum. Katanya, "Tetapi bukanlah daun kemuning
itu masih selalu berguguran" Setiap pagi juru taman selalu menyapu
halaman itu dan menyingkirkan daun-daun kering yang
berhamburan." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Kakang." berkata Ken Dedes, "Aku pun menjadi semakin lemah.
Sebenarnya umurku lebih muda daripadamu kakang. Tetapi
nampaknya aku menjadi jauh lebih tua daripadamu."
"Ah. Mungkin begitu. Tetapi itu bukan hal yang perlu dihiraukan.
Kakang Witantra pada suatu saat nampak jauh lebih tua
daripadaku." Ken Dedes yang selalu berbaring di pembaringannya itu masih
juga tersenyum. Katanya, "Mungkin kau benar kakang. Tetapi rasarasanya
agak lain dengan diriku. Aku sudah menjadi sakit-sakitan.
Bahkan sudah agak lama. Sehari dua hari badanku seakan-akan
sudah menjadi baik. Tetapi kemudian penyakitku yang tidak
diketahui namanya ini kambuh lagi. Mungkin penyakit inilah yang
disebut penyakit tua."
"Tuan puteri memang harus banyak beristirahat. Pada saatnya
tuan puteri akan sembuh."
Namun Ken Dedes tersenyum pula. Katanya, "Kau ingin membuat
aku menjadi tenang. Aku memang tidak gelisah kakang. Bahkan
seandainya janji itu sampai juga menjemput aku. Rasa-rasanya
hidupku yang pahit selama ini telah terobati. Di saat-saat terakhir
aku melihat bahwa cucu-cucuku akan dapat menemukan masamasa
yang cerah. Kita agaknya tidak perlu cemas lagi bahwa
Singasari akan diguncang dengan pertentangan yang tidak
berkesudahan." "Mudah-mudahan tuan puteri."
922 "Aku melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dapat bekerja
sama dengan baik. Bahkan keduanya seolah-olah tidak dapat
dipisahkan lagi. Aku sadar, bahwa peran kakang Mahisa Agni cukup
besar sehingga jiwa kedua anak itu dapat terbentuk seperti
sekarang ini." "Nampaknya memang demikian tuan puteri. Beberapa orang di
dalam lingkungan istana ini, yang semula, masih diragukan
kesetiaannya setelah pimpinan pemerintah berada di tangan
cucunda Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agaknya kini tidak lagi
menjadi persoalan. Mereka meskipun perlahan-lahan telah dapat
menerima kenyataan, bahwa di bawah pimpinan cucunda
Ranggawuni dan Mahisa Cemaka, keadaan menjadi semakin baik."
Ken Dedes mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan.
Semuanya merupakan kenyataan yang sangat manis di saat-saat
terakhir ini." Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas. Namun sebagai seorang
yang memiliki pengalaman yang seolah-olah jenuh, maka ia dapat
menduga bahwa saat terakhir bagi Ken Dedes itu memang sudah
dekat. Meskipun demikian, seperti Ken Dedes sendiri, Mahisa Agni selalu
menyatakan syukur di dalam hati, bahwa Ken Dedes yang seakanakan
di sepanjang umurnya selalu dicengkam oleh keprihatinan itu,
kini mendapat juga sekedar obat bagi jiwanya, la sempat melihat
keturunannya memegang kekuasaan. Betapapun juga, agaknya
ramalan seorang yang mumpuni pada masa Ken Arok, yang
kemudian bergelar Sri Rajasa, masih muda. Bahwa seorang gadis
yang pada tubuhnya nampak cahaya yang khusus, akan dapat
melahirkan orang-orang yang akan memiliki kewibawaan yang
tinggi, kini menjadi kenyataan. Ken Dedes telah menurunkan
seorang yang bernama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang
kemudian memegang pimpinan tertinggi di Singasari.
Demikianlah, keadaan kesehatan Ken Dedes semakin hati
menjadi semakin susut. Tetapi jiwanya nampak semakin hari
menjadi semakin segar. Agaknya Ken Dedes benar-benar telah siap
923 menghadap apabila saatnya telah datang, ia dipanggil oleh
kekuasaan tertinggi untuk menghadap.
Ketahanan hati Ken Dedes, membuat keluarga istana menjadi
tabah pula. Meskipun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari
kecemasan, tetapi mereka pun telah pasrah, apa saja yang akan
terjadi, terjadilah. Maharja di Singasari dan Ratu Angabhaya, yang keduanya adalah
cucu Ken Dedes, akhirnya harus mengendapkan kegelisahan hati
mereka. Ken Dedes sendiri sempat memanggil keduanya
menghadap di pembaringannya.
"Cucunda." berkata Ken Dedes yang sudah semakin lemah,
"Tidak ada kelanggengan di dunia yang fana ini. Semua yang
nampak akan menjadi tiada. Semua yang hidup akan mati.
Perubahan akan selalu terjadi, selain perubahan itu sendiri. Karena
itu, cucunda berdua harus menghadapinya dengan sepenuh
kesadaran bahwa pada suatu saat aku harus meninggalkan
cucunda. Aku sudah wajib berterima kasih kepada Yang Maha
Agung, bahwa aku sempat menyaksikan cucu-cucuku menjadi orang
yang terpandang di Singasari."
Kedua cucunda Ken Dedes itu hanya dapat menganggukanggukkan
kepala mereka. "Pada suatu saat akan datang pelayan kepada cucunda berdua
dan memberitahukan bahwa aku sudah tidak ada lagi."
Keduanya masih mengangguk-angguk.
Untuk beberapa saat lamanya Ken Dedes masih dapat
memberikan beberapa pesan sebelum ia berkata kepada kedua
cucunya, "Biarlah aku beristirahat. Aku masih ingin tjdur sejenak.
Mungkin aku masih diperkenankan bertemu dengan beberapa orang
lagi sebelum saat itu datang besok atau lusa."
"Kami akan menunggui di s ini." berkata Maharaja Wisnuwardana.
Ken Dedes menggeleng, "Itu tidak perlu. Bukankah tugas
seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya itu terlampau banyak. Pada
924 saat-saat yang paling dekat, aku akan berusaha memberitahukan
kepada cucunda berdua. Bukan maksudku mengatakan bahwa aku
akan dapat mengerti batas-batas yang penuh dengan rahasia itu.
Tetapi setidak-tidaknya kelemahan tubuhku akan memberikan
petunjuk tentang hal itu."
Kedua cucunda memandang kepada Mahisa Agni yang selalu
menunggui Ken Dedes, hampir siang dan malam itu.
"Tinggalkan neneknda beristirahat tuanku. Tuanku berdua tidak
dapat mengesampingkan tugas tuanku dan menunggui neneknda
untuk waktu yang terlalu lama." berkata Mahisa Agni, "Hamba akan
tetap berada di sini."
Kedua cucu Ken Dedes itu pun kemudian meninggalkan
neneknda yang semakin lemah, tetapi masih tetap sadar
sepenuhnya apa yang dihadapinya.
Pada saat-saat terakhir itu, seolah-olah beberapa orang sahabat
Mahisa Agni pun telah berkumpul pula di halaman istana. Di antara
mereka adalah Witantra dan Mahendra.
Mahendra di saat-saat terakhir itu memerlukan datang untuk
menengok Ken Dedes. Sebuah kenangan khusus telah menyentuh
hatinya semasa ia masih muda. Ia pernah tergila-gila kepada Ken
Dedes dan mempertaruhkan apa saja yang ada padanya. Bahkan ia
pernah melakukan perang tanding dengan Mahisa Agni yang pada
waktu itu menyebut dirinya bernama Wiraprana, karena Wiraprana
sendiri, seorang anak muda yang dicintai oleh Ken Dedes, sama
sekali tidak mampu mempertahankan gadis itu dengan cara yang
keras. Mahendra menarik nafas dalam-dalam jika kenangan itu mulai
membayang. "Tetapi semuanya sudah lama lampau." berkata Mahendra
kepada diri sendiri. Namun, bayangan itu bagaikan lewat dengan urutan yang jelas di
dalam angan-angannva. Ken Dedes yang kemudian jatuh di tangan
925 Akuwu Tunggul Ametung yang bujukan Kuda Sempana. Tetapi
akhirnya Kuda Sempana sendiri mendendam karenanya. Ken Ddes
benar-benar telah diperisteri sendiri oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Sesuatu telah terjadi saat itu. Mahendra pun akhirnya mendengar
bahwa Tunggul Ametung pernah mengucapkan kepada Ken Dedes,
bahwa ia telah menyerahkan kekuasaan atas Tumapel kepada
isterinya. Ken Dedes itu.
Meskipun kemudian Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok
sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung karena dibunuh oleh Ken Arok
itu sendiri, namun ternyata sampai saat terakhir, garis keturunan
Ken Dedes lah yang memegang kekuasaan di Singasari. Tohjaya
hanya berhasil menguasai Singasari yang besar untuk waktu yang
sangat pendek. Tidak lebih dari setahun.
Akhirnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang menjadi
Maharaja dan Ratu Angabhaya dengan gelar Wisnuwardana dan
Batara Narasinga. Mahendra tidak dapat menghapus kenangan itu. Pada saat ia
bersama Witantra diperkenankan memasuki bangsal Ken Dedes,
maka bayangan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin jelas
membayang. Dengan hati yang berdebar-debar keduanya bergeser mendekati
pembaringan. Mahendra menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ken
Dedes yang terbaring diam. Wajahnya yang dibayangi dengan garisgaris
umur nampak pucat. Tetapi bagi Mahendra yang melihat
wajah itu di masa mudanya, seolah-olah melihat kecantikan yang
dahulu masih membayang. Kecantikan yang menyeret Ken Dedes ke
tempat yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduganya
sama sekali. Mahisa Agni yang ada di ruang itu pula sempat melihat wajah
Mahendra yang menegang. Namun hanya sejenak, karena
Mahendra berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menguasai
perasaannya. 926 Ketika Ken Dedes kemudian membukakan matanya, Mahendra
menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia berhasil menghapus
kesan-kesan itu dari wajahnya.
Meskipun keadaan tubuh Ken Dedes sudah sangat lemah, tetapi
ingatannya masih cukup baik. Ia tidak melupakan masa-masa
lampau yang agaknya membayang juga di angan-angan Mahendra.
"Mahendra." berkata Ken Dedes perlahan-lahan sekali.
Mahendra bergeser mendekat. "Hamba tuan puteri."
"Aku mengucapkan terima kasih. Bantuanmu besar sekali bagi
cucu-cucuku, dan terutama bagi Singasari."
"Itu sudah menjadi kuwajiban hamba tuan puteri."
"Mahendra." berkata Ken Dedes pula, "Kesempatan terakhir ini
akan aku pergunakan untuk selain mengucapkat terima kasih, juga
minta maaf kepadamu. Aku menyimpan kesalahan yang mungkin
telah menyakiti hatimu."
"Ah, sudahlah tuan puteri. Sekarang tuan puteri tinggal
menenteramkan hati. Cucunda telah sampai pada jenjang yang
seharusnya. Yang lampau biarlah lampau."
Ken Dedes tersenyum. Katanya, "Mungkin aku tidak akan dapat
menunggu cucuku lebih dari saat-saat purnama naik besok lusa.
Kepadamu, kepada kakang Witantra dan kepada Kakang Mahisa
Agni aku mohon, agar cucuku selalu mendapatkan perlindungan."
"Pesan itu akan selalu kami junjung tinggi tuan puteri."
Ken Dedes tersenyum. Kemudian katanya kepada Witantra,
"Kakang, sejak masa pemerintahan Akuwu Tumapel, kau adalah
orang yang banyak memberikan arah dalam pemerintahan. Apakah
kau juga akan berbuat demikian pada saat-saat cucu-cucuku
memegang pemerintahan di Singasari?"
"Tuan puteri." berkata Witantra, "Selagi hamba, mendapat
kesempatan, hamba akan melakukannya."
927 Keri Dedes tersenyum pula. Kehadiran Witantra dan Mahendra
membuat hatinya semakin besar. Seolah-olah ia dengan hati yang
lapang, dapat meninggalkan cucu-cucunya tanpa kecemasan
apapun, karena di sekitar Baginda Wisnuwardana dan Batara
Narasinga, berdiri orang-orang yang dapat dipercaya, sementara
kedua cucu-cucunya itu tumbuh menjadi orang yang cukup kuat
untuk kemudian berdiri sendiri.
Kehadiran Witantra dan Mahendra agaknya menambah lapang
jalan yang akan ditempuh oleh Ken Dedes. Ternyata sepeninggal
mereka, wajah Ken Dedes yang semakin pucat, menjadi semakin
cerah pula.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pada akhirnya saat yang tidak dapat dihindari itu pun tiba.
Saat-saat terakhir dari kehidupan seorang yang semula adalah gadis
padepokan kecil di sebelah padukuhan Panawijen, namun yang
perjalanan hidupnya menelusuri kekuasaan demi kekuasaan sejak
saat Tumapel sampai Singasari. Sejak suaminya yang pertama, yang
mengambilnya dengan paksa dari padukuhan, sampai pada saat
Sepasang Naga Lembah Iblis 4 Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1
seorang yang cepat sekali tersinggung, marah dan bertindak
seakan-akan di luar sadarnya.
"Tuanku." berkata Senapati itu, "Beberapa orang prajurit yang
mengawasi bulak itu menyampaikan laporan."
Tohjaya yang lelah dan terluka itu mengerutkan keningnya. Dan
tiba-tiba saja ia membentak, "Coba, katakan sekali lagi."
Senapati itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus
menyampaikan berita itu. "Tuanku, di ujung bulak nampak sekelompok orang-orang
berkuda menuju ke arah ini."
"Gila." teriak Tohjaya, "Kenapa mereka menuju kemari?"
"Agaknya mereka menemukan jejak kita."
"Bodoh sekali. Dungu dan gila. Kenapa jejak kita dapat dikenali?"
Senapati itu menjadi bingung.
865 "Persetan dengan pencari jejak itu."
"Tetapi mereka benar-benar menuju ke arah ini tuanku."
"Aku tidak peduli. Aku ingin beristirahat di s ini."
Senapati itu menjadi semakin bingung. Lalu katanya, "Tetapi
bagaimana jika benar-benar datang?"
"Apakah kau sudah menjadi lumpuh. Usir mereka."
"Tuanku." berkata Senapati itu, "Hamba akan berusaha mengusir
mereka. Tetapi demi keselamatan tuanku, apakah tidak sebaiknya
tuanku melanjutkan perjalanan. Jika mereka telah terusir, maka
tuanku akan dapat beristirahat lebit tenang lagi."
"Jadi, kau mengganggu istirahatku kali ini?" Tohjaya berteriak
semakin keras. Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
"Hamba akan menurut segala perintah tuanku. Apakah yang harus
hamba lakukan sekarang tuanku?"
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menyadari bahwa ia sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan
diri. Sikap Senapati yang seakan-akan menyerahkan segalanya
kepadanya itu justru membuat Tohjaya menjadi bimbang.
Akhirnya ia pun berteriak, "Kita berjalan terus." Lalu katanya
kepada Senapati, "Bagi orang-orangmu. Sebagian ikut bersamaku,
yang lain jebak orang-orang berkuda itu di sini. Kau tentu dapat
memperhitungkan jumlah yang kau perlukan untuk membinasakan
orang-orang berkuda itu."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Baiklah
tuanku. Hamba akan melakukannya."
Senapati itu pun kemudian memerintahkan beberapa orang
prajurit menyiapkan tandu. Sejenak kemudian perjalanan Tohjaya
itu pun dilanjutkannya, dikawal oleh prajurit-prajurit pilihan dengan
senjata telanjang di tangan.
866 Namun dalam pada itu, wajah-wajah mereka menjadi semakin
kuyu. Bahkan beberapa orang di antaranya telah sampai pada batas
ketahanan jiwanya. Mereka menjadi putus asa dan tidak tahu apa
yang harus dilakukan. Tetapi mereka berjalan terus. Betapapun sulitnya. Jalan yang
mereka lalui semakin lama menjadi semakin sempit dan berbatubatu.
Dalam pada itu. Senapati pengiring Tohjaya itu dengan tergesagesa
pergi kemulut lorong. Ia ingin melihat sendiri, seberapa banyak
orang-orang berkuda yang menyusul perjalanannya.
Sekilas ia melihat, bahwa orang-orang berkuda itu jumlahnya
tidak begitu besar. Tetapi ia pun mengerti bahwa mereka tentu
terdiri dari orang-orang pilihan.
"Mungkin Mahisa Agni ada di antara mereka." berkata Senapati
itu. Karena itu, maka diperintahkannya sebagian besar dari
prajuritnya untuk tinggal di padukuhan itu.
"Kalian harus menahan orang-orang berkuda itu. Kalian tidak
boleh ragu-ragu. Mereka harus kalian binasakan sampai orang yang
terakhir." berkata Senapati itu, "Aku akan melanjutkan perjalanan
mengawal tuanku Tohjaya. Kami akan menunggu kalian di
padukuhan berikutnya. Jika kalian sudah berhasil, kalian harus
segera menyusul kami."
Prajurit-prajurit itu pun kemudian diserahkannya kepada seorang
pemimpin kelompok yang berpengalaman. Orang itu memiliki
kemampuan yang cukup, sehingga menurut penilaian Senapati itu.
maka pemimpin kelompok dengan pasukannya itu akan dapat
menyelesaikan tugasnya. Setelah memberikan perintah itu, maka Senapati itu pun dengan
tergesa-gesa menyusul Tohjaya yang mendahuluinya. Rasarasanya
ia sedang melepaskan seorang bayi dipinggir sumur yang
867 dalam. Cemas, ragu-ragu dan kadang-kadang ketakutan
mengenang masa yang mendatang.
Dalam pada itu Tohjaya telah meninggalkan padesan yang baru
saja disinggahinya. Ia pun kemudian juga diburu oleh kecemasan.
Apabila orang-orang Rajasa dan Sinelir sempat memburunya, maka
mereka tentu akan melepaskan dendamnya kepadanya, karena ia
sudah membunuh beberapa orang di antara mereka dan
menyisihkan mereka dari tugas-tugasnya.
Dalam pada itu Mahisa Agni dan Witantra bersama Ranggawuni.
Mahisa Cempaka dan pengiring-pengiringnya sudah menjadi
semakin dekat dengan padesan yang sudah siap menyambut
mereka. Di balik dinding batu dan pepohonan, prajurit-prajurit
pengawal Tohjaya telah menunggu dengan senjata di tangan.
Apabila pasukan yang mendatang itu mendekat, dan memasuki
regol, maka prajurit-prajurit itu akan menyergap mereka, seperti
seekor tikus yang sudah ada di dalam perangkap.
Mahisa Agni dan Witantra yang berkuda di ujung pasukannya
maju terus perlahan-lahan sambil mengamati jejak di depan kaki
kudanya. Jejak yang masih sangat jelas nampak.
"Semakin lama kita menjadi semakin dekat dengan mereka."
berkata Mahisa Agni, "Ternyata dengan jejak yang menjadi semakin
jelas." Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Jejak ini tentu baru
saja ditinggalkan oleh pengawal-pengawal tuanku Tohjaya. Kita
memang sudah berada pada jarak yang sangat dekat."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Diangkatnya kepalanya
dan memandangi regol padukuhan kecil yang ada di hadapannya.
"Padukuhan itu nampaknya terlampau sepi." berkata Mahisa
Agni, "Tidak ada anak-anak yang bermain-main di ujung desa. Dan
tidak ada seorang pun yang berada di sawah di sekitar padesan itu."
"Tentu mereka menjadi ketakutan. Tuanku Tohjaya baru saja
lewat padukuhan itu."
868 Sejenak Mahisa Agni terdiam. Dipandanginya padukuhan itu
dengan saksama. Seakan-akan ia ingin melihat langsung kebalik
pepohonan dan dinding batu yang mengitari padukuhan itu.
Tetapi ternyata tatapan mata Mahisa Agni dan Witantra memang
sangat tajam, dibantu oleh firasatnya. Karena itu, maka setelah
mereka menjadi semakin dekat, mereka pun telah diganggu oleh
keragu-raguan untuk meneruskan perjalanan.
"Witantra." berkata Mahisa Agni, "Aku melihat ujung senjata yang
berkilat di balik pepohonan."
Wirantra menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku juga melihat
sesuatu. Beberapa buah ranting kecil bergerak-gerak tidak
sewajarnya. Jika angin bertiup dan menggerakkan ranting-ranting
itu, maka kita akan melihat gerak yang seirama Tetapi dedaunan itu
bergerak dengan kesan yang lain."
Mahisa Agni menarik kekang kudanya sehingga kudanya pun
berhenti beberapa puluh langkah didepan regol. Dengan isyarat ia
menghentikan seluruh iring-iringan.
"Kenapa kita berhenti di sini pamanda?" bertanya Ranggawuni.
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Ditatapnya padukuhan
dihadapannya dengan tanpa berkedip.
Dan Mahisa Agni pun kemudian yakin bahwa ia melihat sesuatu.
Ia melihat ujung senjata mencuat dari balik dinding batu. Dan ia
melihat dedaunan yang bergerak tidak wajar seperti dikatakan oleh
Witantra. "Kita menghadapi sesuatu tuanku." berkata Mahisa Agni, "Dibalik
dinding batu itu telah menunggu sekelompok prajurit. Kita tidak
tahu berapa besar kekuatan mereka."
"Jadi maksud pamanda?"
"Tuanku berdua harus terhindar dari bahaya. Aku yakin bahwa di
antara mereka yang menunggu kita tidak ada yang berkuda. Karena
itu, tuanku berdua sebaiknya berada di ekor pasukan. Jika jumlah
869 mereka terlampau besar, kita harus menghindar. Dan tuanku harus
lebih dahulu terhindar dari tangan mereka."
"Kita melarikan diri?"
"Bukan melarikan diri tuanku." Witantralah yang menyahut,
"Tetapi kita menghindari lawan yang tidak terlawan. Itu bukan cacat
atau cela bagi prajurit di peperangan. Memang berbeda halnya jika
kita berperang tanding, atau menurut pertimbangan tidak ada jalan
keluar dari kesulitan itu. Maka kita akan melawan sampai nafas kita
yang terakhir." Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Lalu, "Jadi, apa yang harus kami kerjakan?" bertanya Ranggawuni.
"Tuanku berdua berada di bagian belakang dari pasukan ini.
Bukan suatu sikap yang licik. Tetapi tuanku berdua masih terlalu
muda untuk mengatasi kesulitan di medan perang yang tidak
seimbang." "Jika keadaannya seimbang?"
"Terserahlah kepada tuanku. Tetapi sebaiknya tuanku tidak
berada di peperangan."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Tetapi mereka percaya bahwa Mahisa Agni dan Witantra memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang medan. Karena
itu mereka tidak membantah lagi. Diiringi oleh empat orang
pengawal terpilih keduanya pun kemudian menempatkan diri di ekor
pasukan. "Kita harus maju perlahan-lahan." berkata Mahisa Agni.
"Kita jangan memasuki regol itu." desis Witantra.
"Ya. Kita akan berada di luar regol dan memancing mereka
meloncati dinding batu. Dengan demikian kita akan mengetahui,
setidak-tidaknya mendapat gambaran dari kekuatan mereka."
870 "Jika jumlah mereka membahayakan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, apa salahnya kita menyelamatkannya lebih dahulu
sebelum kita akan menghadapinya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Beberapa langkah mereka
maju lagi mendekati regol padukuhan yang sepi itu.
Dalam pada itu, prajurit yang menunggu di balik dinding batu
dan pepohonan menjadi termangu-mangu. Sebagian dari mereka
melihat dengan jelas, bahwa yang ada dipaling depan adalah Mahisa
Agni. Bahkan ada satu dua orang yang dengan berdebar-debar
menyebut, "Yang seorang itu adalah Panji Pati-pati."
"Darimana kau tahu?"
"Aku pernah melihatnya. Aku pernah bertugas mengikuti
Panglima Pelayan Dalam ke Kediri dan melihat orang yang
mendapat kuasa dari Mahisa Agni itu."
"Kau pernah menjadi Pelayan Dalam?"
"Tidak. Tetapi aku pernah diperbantukan mengawal tunggul
kerajaan." Yang lain tidak menyahut lagi. Tetapi hati mereka telah dirayapi
oleh perasaan gelisah dan cemas. Mahisa Agni bagi para prajurit
telah dikenal sebagai orang yang tidak teratasi. Ia adalah imbangan
dari tuanku Sri Rajasa. "Tetapi apakah ia dapat melawan sejumlah orang sekaligus."
prajurit-prajurit itu menenteramkan diri mereka. Mereka merasa
bahwa jumlah mereka lebih banyak dari para pengawal yang datang
bersama Mahisa Agni dan Witantra itu.
Namun demikian, rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi
menunggu. Jika Mahisa Agni memasuki regol, maka orang-orang
yang ada di sebelah menyebelah regol itu akan melontarkan tombak
mereka serentak. "Sebagian mereka akan terbunuh pada serangan yang pertama."
berkata para prajurit itu di dalam hati.
871 Tetapi Mahisa Agni tidak membawa pasukannya masuk melalui
regol padukuhan itu. Sejenak Mahisa Agni duduk diam di atas kudanya. Namun dalam
pada itu suasana menjadi tegang. Orang-orang bersembunyi di balik
dinding batu dan pepohonan rasa-rasanya sudah tidak dapat
menunggu lebih lama lagi. Nafas mereka seolah-olah menjadi sesak,
dan tubuh mereka bagaikan terhimpit oleh ketegangan yang
semakin memuncak. Tetapi pasukan yang mendatang itu masih tetap diam di luar
regol. "Apakah mereka sudah mengetahui bahwa kami menunggu di
sini." desis seorang prajurit kepada orang yang diserahi memimpin
kelompok itu. "Mungkin." Jawabnya, "Tetapi aku belum yakin."
"Kita masih harus menunggu?"
"Ya." "Darahku hampir membeku."
"Sebentar lagi kalian akan mendapat kesempatan mencucurkan
darah dari tubuh mereka."
Prajurit itu terdiam. Dan mereka memang masih harus menunggu
beberapa lama, sehingga mereka menjadi benar-benar tidak tahan
lagi. Dalam pada itu, prajurit dan pengawal yang menyertai Mahisa
Agni pun menjadi gelisah pula. Mereka sudah terlalu lama
menunggu di atas punggung kuda. Tetapi mereka mengerti bahwa
di hadapan mereka tentu ada bahaya yang menunggu.
Dari mulut ke mulut mereka mendengar bahwa di balik dinding
batu itu telah menunggu sepasukan prajurit. Jika mereka memasuki
regol, maka senjata akan berhamburan membunuh mereka sebelum
sempat melawan. 872 Karena itulah, setiap prajurit yang ada di punggung kuda itu pun
mencoba memperhatikan dengan saksama, apakah yang ada
dihadapan mereka. Satu dua orang di antara mereka pun kemudian dapat melihat
daun pedang yang berkilat, ujung tombak yang bergeser dan
ranting-ranting yang bergetar tanpa disentuh angin.
"Ya. Maut sudah menunggu kita dibalik dinding itu." desis salah
seorang dari mereka. Ternyata sikap para prajurit dan pengawal di luar regol itu
memberikan pertanda bahwa sebenarnya mereka telah mengetahui
bahwa mereka telah ditunggu di balik dinding batu.
Karena itu, maka pemimpin prajurit yang sudah menunggu itu
harus membuat pertimbangan. Apakah mereka akan tetap berdiam
diri menunggu sampai waktu yang tidak terbatas. Atau mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus menyerang keluar regol.
Dalam kebimbangan itu, Mahisa Agni telah membuat suatu
gerakan yang mencurigakan mereka. Para prajurit itu melihat
Mahisa Agni menunjuk kearah lain dari regol padukuhan itu, seolaholah
Mahisa Agni sedang mencari jalan lain yang dapat mereka
tempuh. Mahisa Agni dan Panji Pati-pati itu sedang membicarakan
kemungkinan untuk mencari jalan lain. "Mungkin mereka akan
menerobos sawah dan ladang. Kemudian melingkari padukuhan ini."
berkata seorang prajurit.
"Jika demikian mereka akan langsung menyusul tuanku Tohjaya."
"Apakah kita akan berdiam diri."
Derap kaki kuda itu tentu akan lebih cepat dari kaki-kaki kita
meskipun kita memintas dan berlari di jalur jalan ini.
Prajurit-prajurit itu termangu-mangu.
"Kita tidak boleh membiarkan mereka." berkata pemimpin
kelompok itu. 873 "Jadi?" "Kita harus keluar dari padukuhan ini dan menyerang mereka."
"Itu lebih bagus. Kita tidak tersiksa dengan menunggu tanpa
batas." gumam yang lain.
Dengan demikian, maka pemimpin prajurit yang menunggu
dibalik dinding itu pun segera memberikan isyarat. Mereka harus
mempersiapkan diri dan menyerang serentak.
"Jangan bingung menghadapi kaki-kaki kuda." berkata
pemimpinnya. Prajurit-prajuritnya tidak membantah. Meskipun mereka
menyadari bahwa mereka harus bertempur sambil memperhatikan
derap kaki kuda. Namun mereka sama sekali tidak gentar.
Sejenak kemudian maka pemimpin kelompok itu pun segera
meneriakkan aba-aba yang disambut oleh prajurit-prajuritnya.
Sebuah teriakan yang mengumandang telah menggelegar seolaholah
akan meruntuhkan langit. Bersamaan dengan itu. para prajurit itu pun segera berloncatan
dari balik dinding batu, kemudian berlari-larian menyerang dengan
senjata terhunus. Mahisa Agni. Witantra dan para prajurit berkuda memang
menunggu saat yang demikian. Karena itu, maka demikian mereka
mendengar aba-aba, maka mereka pun segera bergeser.
Kuda-kuda mereka seakan-akan bergerak menjauhi lawan nya.
Mahisa Agni dan Witantra memberikan isyarat agar pasukan kecil itu
mundur. Tetapi tidak begitu jauh, karena Mahisa Agni pun segera
memerintahkan pasukannya berhenti.
Pasukan berkuda itu pun kemudian melihat sekelompok prajurit
berlari-larian ke arah mereka. Ternyata bahwa jumlah para
pengawal Tohjaya itu cukup banyak, sehingga untuk sesaat Mahisa
Agni dan Wintantra masih harus berbicara.
874 "Apakah kita akan dapat mengatasi jumlah itu?" bertanya
Witantra. "Aku berharap demikian kakang." sahut Mahisa Agni, "Jika kita
dapat mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya maka kita
akan mendapat kesempatan untuk mengguncangkan keberanian
mereka." "Kita memencar?" bertanya Witantra.
"Ya. Dan kemudian maju serentak seperti dalam gelar perang
yang besar." "Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?"
"Di belakang kita."
Witantra tidak menyahut. Tetapi ia pun mengangguk sambil
memberi isyarat kepada Mahisa Agni untuk segera
melaksanakannya. Mahisa Agni pun kemudian maju beberapa langkah. Diangkatnya
kedua tangannya tinggi-tinggi, kemudian tangan itu
direntangkannya kesamping.
Isyarat itu diulanginya sampai tiga kali, sehingga anak buahnya
mengerti sepenuhnya apa yang harus dilakukannya.
Witantra lah yang kemudian datang kepada Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk memberitahukan kepada mereka, agar
mereka dan empat orang pengawal terpilih berada di belakang gelar
yang dibuat oleh Mahisa Agni.
Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun berderap. Para penunggangnya
tidak lagi menghiraukan sawah dan ladang di sebelah
menyebelah jalan. Mereka membawa kuda-kuda mereka dalam
sebuah deretan yang lengkung mengarah kepada prajurit-prajurit
lawan yang berlari-larian.
Mahisa Agni dan Witantra berada pada jarak beberapa langkah di
dalam deretan yang lengkung itu.
875 Sesaat Mahisa Agni menunggu. Dari kejauhan ia melihat prajuritprajurit
yang berlari-larian itu menjadi ragu-ragu. Mereka tidak lagi
menghambur dengan kecepatan sepenuhnya. Tetapi langkah
mereka sudah mulai tertahan.
Mahisa Agni memandang Witantra sejenak. Witantra mengerti
bahwa Mahisa Agni minta pertimbangannya, sehingga karena itu.
maka ia pun segera menganggukkan kepalanya.
Mahisa Agni pun kemudian berteriak nyaring, mengatasi suara
hiruk pikuk prajurit-prajurit Singasari yang sedang berlari-larian
menyerang itu. Serentak setiap orang di dalam gelar berkuda itu pun
menggerakkan kendali kuda masing-masing, sehingga dalam sekejap
kuda-kuda itu pun segera berderap maju. Sedang di atas
punggung kuda-kuda itu penunggang-penunggangnya mengacungkan
senjata-senjata telanjang dengan dada tengadah.
Pasukan berkuda dalam gelar lengkung itu benar-benar telah
mendebarkan jantung prajurit-prajurit Singasari. Apalagi ketika
kuda-kuda itu berlari semakin cepat mengarah kepada mereka.
"Jangan takut." teriak pemimpin kelompok prajurit-prajurit
Singasari itu. Tetapi derap yang laju dari sekelompok pengawal berkuda itu
benar-benar membuat mereka cemas. Jika mereka tidak menepi
maka kaki-kaki kuda itu akan segera menginjak tubuh mereka dan
membenamkan kepala mereka kedalam lumpur.
"Bunuh kuda-kuda mereka lebih dahulu." teriak pemimpin prajurit
itu. Tetapi derap kuda lawan benar-benar mempengaruhi ketabahan
hati mereka. Apalagi ketika mereka mendengar Mahisa Agni
meneriakkan aba-aba dan disahut oleh beberapa orang di antara
mereka seolah-olah mereka sudah mengumandangkan lagu
kematian bagi para prajurit-prajurit itu.
876 Ternyata bahwa usaha Mahisa Agni untuk menggertak la wannya
berhasil. Meskipun jumlah prajurit-prajurit itu lebih banyak dari
pasukan pengawal Mahisa Agni, tetapi mereka menjadi kecut
melihat sederetan pasukan berkuda berderap menuju ke arah
mereka. Dengan demikian, maka ketika pasukan berkuda itu menjadi
semakin dekat, maka di luar kemampuan pemimpin prajurit itu
untuk menahannya, maka prajurit-prajuritnya pun telah tercerai
berai. Meskipun demikian, prajurit-prajurit itu tidak berlari-larian tanpa
tujuan. Ternyata mereka hanya sekedar menyingkir dari gilasan
kaki-kaki kuda yang berderap maju itu.
Tetapi, pasukan berkuda itu ternyata tidak segera berlalu tanpa
berbuat apa-apa. Tiba-tiba saja gelar itu pun pecah dan kuda-kuda
itu pun menghambur menyerang prajurit-prajurit Singasari itu
dengan garangnya. Prajurit-prajurit Singasari itu terkejut mengalami serangan yang
demikian. Apalagi lawan mereka menyambar dengan garangnya di
atas punggung kuda, seolah-olah berpuluh-puluh ekor garuda yang
menukik bersama-sama dari udara.
Demikianlah penunggang-penunggang kuda itu menyambar
dengan senjata-senjata mereka. Setiap orang yang dilalui disisinya
merasakan sengatan yang panas pada tubuh mereka, kemudian
barulah mereka sadar, bahwa sebuah luka telah menganga.
Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah merusak ketabahan
hati prajurit-prajurit Singasari itu. Meskipun sebagian dari
mereka segera berhasil menguasai diri dan membalas seranganserangan
itu dengan pagutan ujung senjata ke arah penunggangpenunggang
kuda itu namun sebagian yang lain sama sekali sudah
tidak berdaya. Yang terluka parah pun segera menyingkir dari medan yang
kisruh. Mereka tidak mau menjadi sampah yang terinjak-injak oleh
877 kaki kuda yang berlari-larian melingkar menghamburkan debu yang
bergulung-gulung naik ke udara.
Pertempuran yang seru pun segera berkobar. Meskipun jumlah
prajurit-prajurit Singasari yang mengawal Tohjaya semula lebih
banyak, tetapi pada benturan yang pertama, mereka sudah jauh
berkurang, sehingga pertempuran berikutnya pun mereka tidak
mampu mempergunakan segenap kekuatan yang sebenarnya sudah
mereka sediakan. Apalagi, lawan mereka adalah pengawal-pengawal berkuda yang
bertempur di atas punggung kuda yang berlari-larian menyambarnyambar.
Sekali-sekali kuda-kuda itu datang menyerang, kemudian
menghambur menjauh. Meskipun demikian, prajurit-prajurit Singasari itu kadang-kadang
berhasil juga melontarkan tombaknya, dan menghunjam pada
punggung pengawal berkuda itu, sehingga pengawal itu pun
terlempar pula dari kudanya.
Tetapi, setiap kematian dari seorang pengawal, membuat kawankawannya
menjadi garang, sehingga akhirnya perang itu hampir
kehilangan bentuknya, bahwa yang berselisih itu adalah mereka
yang memiliki nalar budi dan peradaban yang kadang-kadang
mereka bangga-banggakan. Semakin lama, kedua belah pihak pun menjadi semakin kasar.
Bahkan mendekati liar dan buas. Senjata-senjata mereka menjadi
merah oleh darah dan sorot mata mereka pun menjadi merah oleh
kemarahan yang meluap di dalam dada.
Mahisa Agni dan Witantra bertempur dengan gigihnya. Namun
keduanya masih tetap sadar, bahwa yang penting bukanlah jumlah
kematian yang dapat mereka timbulkan.
Karena itulah, maka Mahisa Agni dan Witantra sama sekali tidak
berusaha membunuh sebanyak-banyaknya, meskipun mereka
berusaha melumpuhkan setiap lawan yang mereka jumpai.
878 Semakin lama pertempuran itu berlangsung, maka menjadi
semakin jelas, bahwa prajurit Singasari yang mengawal Tohjaya itu
pun menjadi semakin lemah. Mereka tidak dapat bertahan lebih
lama lagi. Dalam pada itu, Ranggawuni dam Mahisa Cempaka yang oleh
Mahisa Agni disisihkan, melihat pertempuran itu dengan hati yang
berdebar-debar. Sebenarnya mereka tidak dapat berdiam diri menyaksikan
pertempuran yang membawa beberapa orang korban. Tetapi
mereka tidak dapat melanggar pesan Mahisa Agni.
Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Agni menghendaki keduanya tidak
terlibat dalam pertempuran itu. Jika salah seorang dari mereka
terluka, maka akibatnya sangat merugikan Singasari dalam
keseluruhan. Karena itu. keduanya masih harus tetap mendapat perlindungan
sebaik-baiknya dalam suasana yang demikian. Apabila mereka
sudah cukup dewasa sepenuhnya dan sudah cukup masak, maka
sudah sewajarnyalah bahwa keduanya harus dapat menjadi
Senapati di setiap medan perang.
Dengan dada yang berdebar-debar Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menyaksikan pertempuran yang sengit itu. Setiap kali
mereka melihat senjata yang menghunjam ke dalam tubuh siapa
pun juga, terasa kulit mereka meremang.
"Sebenarnyalah bahwa peperangan adalah ajang pembunuhan."
berkata Ranggawuni di dalam hatinya.
Dalam pertempuran itu ia dapat menyaksikan bagaimana
seseorang berusaha membinasakan orang lain. Bagaimana seorang
dengan tatapan mata penuh dendam dan kebencian menyerang
langsung dengan ujung senjata kepada orang lain. Kemudian
dengan geram menyaksikan darah yang terhambur dari luka.
Mahisa Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Ia pun men jadi
ngeri melihat manusia saling berbunuhan. Tetapi ia tidak dapat
879 berbuat apa-apa. Ia harus tetap berada di tempatnya sambil
menyaksikan pembunuhan-pembunuhan itu berlangsung.
"Membunuh atau dibunuh." desis Mahisa Cempaka kepada diri
sendiri. Dan di peperanganlah manusia telah kehilangan kemanusiaannya.
Demikianlah, pertempuran itu berlangsung semakin dahsyat.
Namun yang sejenak kemudian mulai nampak tanda-tanda,
siapakah yang akan menguasai medan selanjutnya.
Kuda-kuda masih berlari-larian menyambar. Dan lawan mereka
semakin berkurang. Tetapi, di sekitar arena itu bertebaran sosok
mayat yang terbujur lintang. Dibagian lain, orang-orang yang
terluka mengerang kesakitan.
Mahisa Agni dan Witantra pun masih tetap di atas punggung
kudanya. Kuda mereka masih tetap berlari-larian. Tetapi senjata
mereka sudah tidak mematuk-matuk lagi. Lawan pasukan pengawal
berkuda itu sudah hampir tidak berdaya sama sekali.
"Menyerah sajalah." teriak Mahisa Agni, "Agaknya itu lebih baik
bagi kedua belah pihak."
Beberapa orang dari para prajurit itu sudah tidak dapat berbuat
apa-apa lagi karena luka-lukanya. Yang lain terbunuh dan beberapa
orang lagi sudah melemparkan senjata mereka.
Tetapi masih ada di antara mereka yang bertempur tanpa
mengenal menyerah. Dengan putus asa mereka melawan setiap
pengawal berkuda yang mendekatinya. Mereka tidak mempunyai
pilihan lain kecuali mati, karena mereka mengira bahwa apabila
mereka menyerah, akhirnya mereka akan dihukum picis di simpang
empat di pusat kota. Mahisa Agni agaknya dapat mengerti perasaan itu, sehingga
beberapa kali ia menyerukan agar mereka meletakkan senjata.
880 "Kami tidak akan memperlakukan kalian dengan landasan
dendam dan kebencian. Jika kalian menyerah, maka kalian akan
diperlakukan sewajarnya, sebagaimana seorang prajurit yang
menyerah di peperangan." berkata Mahisa Agni lantang.
Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Satu dua di antara
mereka berhasil melarikan diri dan hilang dipadukuhan. Sedang
yang lain baru menghentikan perlawanan mereka ketika mereka
sudah kehilangan kemampuan sama sekali. Di antara mereka harus
terbaring karena luka yang tergores di tubuhnya. Yang lain sudah
tidak lagi dapat bernafas karena jantung mereka tertembus senjata.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mereka adalah orang-orang yang keras kepala." desis
Ranggawuni, "Sayang sekali bahwa mereka tidak mau melihat
kenyataan bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi."
Mahisa Cempaka menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jika
Tohjaya merebut tahta Singasari dengan membunuh Anusapati dan
beberapa orang pengawal saja, maka kini tahta itu menuntut korban
yang jauh lebih banyak. "Tetapi, Singasari memang harus diselamatkan." berkata Mahisa
Cempaka di dalam hatinya. Kemudian, "Namun harus beralaskan
korban yang sekian banyaknya. Bukan saja di sini, tetapi di halaman
istana dan di sekitarnya."
Kekalahan prajurit-prajurit Singasari itu benar-benar di luar
perhitungan nalar mereka. Yang masih hidup di antara mereka,
harus mengakui, bahwa Mahisa Agni memang seorang yang luar
biasa. Bahkan bukan saja ia seorang diri, tetapi di dalam
pasukannya terdapat seorang lagi yang seolah-olah bukan orang
kebanyakan. Ia mampu bertempur melampaui sepuluh orang
sekaligus. Dengan demikian, maka jumlah prajurit yang jauh lebih banyak
dari pasukan pengawal berkuda itu, sama sekali tidak dapat
menghentikan mereka. Apalagi membinasakan.
Sejenak kemudian Mahisa Agni dan Witantra telah mengumpulkan
tawanan mereka. Yang masih mampu menolong
881 kawan-kawannya, berusaha untuk membawa mereka ke tepi jalan
yang menuju keregol padukuhan dihadapan mereka.
"Korban telah jatuh." berkata Mahisa Agni kepada mereka,
"Tetapi tidak ada yang dapat menghalangi tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk mengambil kekuasaan dari tangan tuanku
Tohjaya karena sebenarnyalah mereka lebih berhak atas tahta itu.
Bukan saja karena hak, tetapi selama tuanku Tohjaya memerintah,
maka Singasari menjadi semakin suram dan hampir kehilangan
cahayanya sama sekali."
Prajurit-prajurit yang sudah tidak berdaya itu hanya dapat
mendengarkan saja. Dan Mahisa Agni melanjutkan, "Kita masih akan mengubur
kawan-kawan kita yang telah gugur. Apakah ia berpihak kepada
tuanku Tohjaya atau tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa
Cempaka. Namun arti yang sebenarnya dari peperangan ini,
Singasari telah kehilangan putera-puteranya yang terbaik
dimanapun ia berdiri. Setiap pertentangan antara diri sendiri, maka
akibatnya akan terasa sangat parah."
Prajurit-prajurit yang telah tidak berdaya lagi itu hanya dapat
menundukkan kepalanya. Apapun yang akan diperlakukan atas
mereka, mereka sama sekali tidak akan dapat menolak.
"Sekarang." berkata Mahisa Agni kemudian, "Kalian dapat
menatap wajah mereka yang berhak atas Singasari itu. Kalian tentu
pernah melihatnya beberapa waktu yang lampau. Tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka."
Prajurit-prajurit itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka
mengangkat wajah mereka, barulah mereka menyadari,
sebenarnyalrh bahwa anak-anak muda yang berada di luar arena
adalah Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Namun agaknya kini mereka tidak berhak lagi bersujud dibawah
kakinya. Sebentar lagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka itu tentu
akan berteriak mengucapkan hukuman yang harus mereka jalani,
882 seperti saat Tohjaya berteriak menjatuhkan hukuman utas orangorang
Rajasa dan Sinelir. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Ranggawuni telah meloncat
turun wari kudanya, disusul oleh Mahisa Cempaka. Perlahan-lahan
mereka melangkah mendekati orang-orang yang sudah tertawan itu.
Karena itulah, maka para pengawalnya pun dengan tergesa-gesa
telah meloncat turun pula. Demikian juga Mahisa Agni dan Witantra
yang tidak mengira bahwa Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan
berbuat demikian. Karena itu mereka harus tetap berhati-hati. Jika dendam yang
membara di dalam dada prajurit-prajurit itu masih belum padam,
maka akan dapat terjadi mala petaka atas kedua anak-anak muda
itu. Dengan penuh kewaspadaan, maka Mahisa Agni dan Witantra
pun segera berada di sebelah menyebelah kedua anak-anak muda
yang memandang para prajurit yang terluka dari kedua belah pihak
itu dengan penuh haru. "Kalian adalah korban-korban ketamakan kami." berkata
Ranggawuni, "Tetapi kami minta kalian menjalaninya dengan ikhlas,
karena sebenarnyalah bahwa kami mempunyai cita-cita atas
Singasari yang besar ini."
Para prajurit yang semula mengawal Tohjaya menjadi heran,
karena sikap itu. Mereka tidak melihat sikap yang kasar dan
sombong dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang telah
memenangkan perang itu. Mereka sama sekali lain dengan Tohjaya
yang selama ini memerintah Singasari.
Tetapi mereka tidak segera mempercayai sikap yang pertama kali
mereka lihat itu. Mungkin sikap itu sekedar sikap pura-pura. Tetapi
besok jika mereka telah berada di dalam kota, dan apabila telah
berada di atas tahta, maka sikapnya akan segera berubah.
"Seperti sikap tuanku Tohjaya." berkata prajurit-prajurit itu di
dalam hati. 883 Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian
berjalan di antara prajurit-prajurit yang terluka dikedua belah pihak.
Betapa pedihnya hati kedua anak-anak muda itu. Prajurit-prajurit itu
telah menjadi korban untuk kepentingan beberapa orang saja yang
sedang berebut tahta. Tetapi di dasar hati kedua anak-anak muda itu setiap kali
terdengar suara Mahisa Agni, "Yang penting, bukan sekedar
merebut warisan kedudukan. Tetapi bagaimana dengan Singasari
yang besar ini." Dan kedua anak-anak muda itu mencoba menenangkan hati
mereka. Namun bagaimanapun juga korban telah berjatuhan.
Beberapa orang. Bukan hanya satu dua.
Dalam pada itu Mahisa Agni dan Witantra mulai menjadi gelisah.
Masih ada tugas yang harus mereka lakukan. Menelusuri jejak
Tohjaya selanjutnya. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata, "Tuanku Ranggawuni
dan tuanku Mahisa Cempaka. Kita tidak dapat berhenti sampai di
sini. Kita masih harus mengikuti jejak tuanku Tohjaya dan berbicara
dengannya. Mudah-mudahan tuanku Tohjaya dapat mengerti,
sehingga tidak akan jatuh korban lagi tanpa arti sama sekali."
Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Baiklah paman. Tetapi bagaimana dengan prajurit-prajurit ini?"
"Mereka akan dibawa kembali ke Singasari. Beberapa orang
pengawal akan menunggui mereka di sini. Sedang dua orang yang
lain akan pergi melaporkan peristiwa ini kepada Lembu Ampal. Ia
harus mengirimkan pengawal dan pedati untuk membawa mereka
yang terluka dan mengubur mereka yang terbunuh."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun Ranggawuni pun kemudian bertanya, "Siapakah
yang akan pergi ke Singasari?"
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian
menunjuk dua orang untuk segera menghubungi Lembu Ampal.
884 "Sampaikan pesanku kepada paman Lembu Ampal." berkata
Ranggawuni, "Jangan mengambil tindakan apapun terhadap
prajurit-prajurit yang tertawan. Ia mempersilahkannya menunggu
kedatanganku." Demikianlah dua orang utusan itu segera berpacu kembali ke
Singasari untuk melaporkan yang telah terjadi itu kepada Lembu
Ampal. Sepeninggal kedua orang itu, maka Mahisa Agni dan Witantra
pun mempersiapkan pengawalnya pula. Beberapa orang harus
menunggui prajurit-prajurit yang terluka dan tertawan Meskipun
prajurit-prajurit yang tertawan itu sudah tidak bersenjata lagi,
namun mereka tetap berbahaya. Karena itu, maka tidak ada cara
lain daripada mengikat tangan-tangan mereka.
"Kenapa mereka harus diikat?" bertanya Mahisa Cempaka.
"Mereka dapat melawan. Pengawal kita tidak cukup banyak untuk
menjaga mereka. Jika sebagian besar dari para pengawal ini tinggal,
maka perjalanan kitalah yang akan menjadi berbahaya." jawab
Witantra. "Tetapi mereka sudah menyerah. Mereka tidak akan berbuat apaapa
lagi." Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia memandang
Mahisa Agni yang termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Mungkin mereka memang tidak akan berbuat apa-apa tuanku.
Tetapi ada kemungkinan yang lain pula."
"Kemungkinan yang mana?"
"Mereka mengingkarinya. Jika mereka merasa kuat untuk
melawan para pengawal yang ada, maka mereka akan dapat
berbahaya." "Ah, kalian memang terlampau berprasangka. Mereka adalah
manusia seperti kita. Kata-katanya tentu dapat dipercaya. Jika kita
sudah ingkar akan janji yang kita nyatakan dengan kata-kata atau
sikap, maka harga kita sebagai manusia tidak akan berarti lagi."
885 Witantra mengerutkan keningnya. Sedang Mahisa Agni pun
menyahut, "Ampun tuanku. Kadang-kadang kita berbuat sesuatu
yang tidak masuk akal seperti yang kita lakukan ini. Tetapi
pengalaman telah megajari kami untuk berhati-hati menghadapi
sikap seseorang. Tuanku adalah kesatria yang hampir sempurna
sehingga tuanku tidak akan ingkar akan janji dan kesanggupan.
Tetapi orang lain mungkin berbeda."
Mahisa Cempaka menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak
mengerti." "Pada suatu saat tuanku akan melihat, bahwa hati-hati seperti ini
ada gunanya. Tuanku adalah orang yang paling jujur dan penuh
kasih sayang, sehingga tuanku menganggap setiap orang berbuat
serupa. Tetapi tidak tuanku. Dan itulah yang membedakan antara
tuanku dan tuanku Tohjaya. Antara seorang prajurit dan prajurit
yang lain." Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
menyahut lagi. Para pengawal pun kemudian melakukan perintah untuk
mengikat beberapa orang tawanan yang masih berbahaya pada
sebatang pohon di ujung padesan itu. Kemudian beberapa orang
pengawal berkuda harus mengawasi mereka sambil menunggu
prajurit-prajurit dan pengawal-pengawal yang akan datang dari kota
untuk mengambil mereka. Sementara, yang lain menunggui para tawanan dan orang orang
yang terluka, maka Mahisa Agni dan Witantra pun segera mengatur
pengawal-pengawal yang lain bersama tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka untuk meneruskan perjalanan.
"Apakah perjalanan kita masih panjang?" bertanya Ranggawuni.
"Ya." sahut Mahisa Agni, "Agaknya tuanku Tohjaya menjadi
semakin jauh karena kita harus berhenti bertempur. Bahkan
mungkin kita masih memerlukan waktu yang lama." Mahisa Agni
berhenti sejenak, lalu, "Tetapi mungkin pula sebaliknya. Karena
886 tuanku Tohjaya menyangka bahwa kita sudah dapat dihancurkan,
maka mereka tidak tergesa-gesa lagi."
Ranggawuni mengangguk-angguk.
"Karena itu, marilah tuanku. Kita segera mengikuti jejak itu untuk
selanjutnya. Tidak mustahil bahwa kita harus bertempur lagi di
perjalanan." Ranggawuni masih mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah
mendapat keterangan dari para tawanan, bahwa kekuatan Tohjaya
sudah menjadi sangat tipis. Sebagian besar dari pasukannya sudah
ditinggalkan dengan perhitungan, bahwa mereka akan dapat
menghancurkan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang menyusulnya
berkuda itu. T etapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Demikianlah maka sejenak kemudian Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka pun segera meneruskan perjalanan. Mahisa Agni dan
Witantra berada diujung pasukan kecilnya. Setiap kali mereka
menemukan kelapa muda yang berceceran. Agaknya para prajurit
yang mengawal Tohjaya telah membawa beberapa butir kelapa
muda yang diminum dan bahkan dimakan di sepanjang perjalanan
mereka. Dengan demikian maka mereka sama sekali sudah tidak
menghiraukan lagi, bahwa jejak mereka akan dapat diikuti oleh
lawannya. "Mereka menyangka bahwa kekuatan kita sudah dapat
dihancurkan." desis Mahisa Agni.
"Ya." jawab Witantra, "Mereka tidak lagi berusaha untuk
menyamar jejak mereka. Bahkan mungkin dengan sengaja mereka
memberikan isyarat kepada pasukan mereka yang mereka sangka
akan segera menyusul."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
memberikan banyak tanggapan lagi. Dengan jejak yang jelas itu,
maka perjalanan mereka pun menjadi semakin cepat.
887 Tetapi mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap mereka
akan memasuki padukuhan, maka mereka berhenti sejenak dan
memperhatikan padukuhan itu dengan saksama. Bahkan kadangkadang
mereka harus mengirimkan satu dua orang pengawal untuk
mendahului melihat-lihat apakah daerah yang akan mereka lalui
cukup aman. Namun dalam pada itu, selagi iring-iringan itu maju terus melalui
sebuah padukuhan yang sepi, karena penghuni-penghuninya yang
ketakutan menutup pintu rumah-rumah mereka setelah mereka
melihat pasukan yang mengawal Tohjaya melalui padukuhan itu,
tiba-tiba Mahisa Agni dan pasukannya mendengar jerit panah
sendaren yang mendaki langit. Suara panah itu bagaikan meraung
dengan kerasnya mengumandang sampai ke tempat yang jauh.
"Sebuah isyarat." desis Mahisa Agni.
Tanpa mendapat perintah lagi, beberapa ekor kuda pun segera
memencar. Mereka mencari ke segenap sudut padesan untuk
menemukan orang yang telah melepaskan anak panah sendaren itu.
Tetapi mereka tidak menemukan siapapun.
"Orang itu tentu sudah menyusup masuk ke dalam salah sebuah
rumah yang tertutup pintunya." berkata Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk sambil berkata, "Agaknya mereka
meragukan, apakah prajurit-prajuritnya akan berhasil. Karena itu
mereka telah meninggalkan satu atau dua orang untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Panah itu tentu memberitahukan bahwa
prajurit-prajurit yang menghentikan perjalanan kita telah gagal."
"Apakah arti selanjutnya?" bertanya Ranggawuni.
"Perjalanan kita akan bertambah sulit tuanku. Mungkin mereka
meninggalkan sepasukan prajurit lagi untuk menghentikan kita.
Tetapi mungkin pula mereka akan menyamar jejak yang mereka
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggalkan sehingga kita akan menjadi semakin sukar untuk
mengikutinya." 888 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka termangu-mangu sejenak.
Lalu katanya, "Kenapa mereka berusaha menghindari kita?"
"Kita adalah lawan mereka. Adalah wajar jika mereka
menghindar dan bersembunyi."
Ranggawuni tidak berkata apa pun lagi. Namun dari wa jahnya
memancar kebimbangan yang mencengkam.
"Mahisa Agni." berkata Witantra, "Agaknya perjalanan kita akan
menjadi panjang. Karena itu, sebaiknya kita segera mengirimkan
satu atau dua penghubung ke kota. Lembu Ampal supaya
mengirimkan sepasukan pengawal berkuda untuk menyusul kita.
Apabila perjalanan kita ini menjadi semakin panjang dan berbahaya,
kita tidak terpencil."
"Dengan demikian maka pasukan itu agar membawa bekal secukupnya
untuk perjalanan kita selanjutnya."
Demikianlah maka Mahisa Agni pun menyetujui pendapat
Witantra. Ia pun kemudian mengirimkan dua orang untuk kembali
ke Singasari, menjemput beberapa orang pengawal dan perbekalan.
"Agaknya tuanku Tohjaya sudah menempatkan prajurit sandinya
untuk mengawasi perjalanan kita. Kini pengawas itu sudah
melepaskan isyarat dengan panah sendaren." berkata Mahisa Agni
kepada penghubung itu, "Dengan demikian maka kita akan
menempuh perjalanan yang lebih sulit, karena tuanku Tohjaya tentu
akan berusaha menyamarkan jejaknya."
Sejenak kemudian maka kedua orang itu pun segera berpacu
kembali ke Singasari. Ketika ia lewat di padukuhan bekas tempat
pasukan pengawal berkuda itu bertempur dengan prajurit-prajurit
pengawal Tohjaya, ia masih melihat tawanan-tawanan terikat.
"Apakah prajurit dari Singasari belum juga datang?" bertanya
salah seorang dari kedua penghubung itu.
"Belum." jawab salah seorang yang menjaga tawanan-tawanan
dan orang-orang yang terluka. "Tentu sebentar lagi. Kau akan
bertemu dengan mereka di perjalanan."
889 Ternyata yang dikatakan oleh pengawal itu benar. Kedua
penghubung itu pun kemudian bertemu dengan prajurit-prajurit
Singasari. Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit yang pergi untuk
mengambil para tawanan dan orang-orang yang terluka.
Kedua penghubung itu berpacu terus menuju ke Singasari untuk
mengambil beberapa orang yang akan pergi menyusul Mahisa Agni
dan Witantra yang sedang mengawal Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menyusul Tohjaya.
Sebenarnyalah bahwa Tohjaya dan pengawal-pengawalnya telah
menangkap isyarat berganda yang dikirimkan lewat panah
sendaren. Karena itu, maka Tohjaya pun menjadi sangat gelisah, sehingga
ia menjadi semakin bingung dan selalu marah. Tidak habis-habisnya
ia membentak-bentak dan mengumpat.
Sementara itu, beberapa orang pengawalnya yang menyadari
bahaya yang mengikutinya, telah memerintahkan menghapuskan
jejak mereka sebaik-baiknya. Setiap kali mereka justru memilih jalan
yang memintas dan sulit. "Gila, kalian akan membunuh aku dengan melalui jalan rusak ini."
teriak Tohjaya, "Tubuhku terguncang-guncang dan lukaku
bertambah-tambah sakit."
"Tuanku." berkata Senapati yang mengawalnya, "Ternyata bahwa
usaha kita menghancurkan pasukan berkuda itu gagal. Panah
sendaren yang kita dengar itu memberitahukan kepada kita, bahwa
pasukan pengawal itu telah melanjutkan pengejaran."
"Gila, bodoh, dungu. Apa kerja prajurit-prajurit yang sekian
banyaknya itu" Apakah mereka perempuan-perempuan cengeng
yang hanya pandai merengek?"
"Mereka tentu sudah berjuang sebaik-baiknya tuanku, karena
mereka benar-benar orang-orang yang setia kepada tuanku seperti
kami di sini." 890 "Bohong. Kalian adalah orang-orang pandir dan tamak, jika kalian
tidak mengetahui bahwa aku membawa sebuah peti berisi emas dan
perhiasan, kalian tentu tidak mau mengikuti aku sampai ketempat
ini." Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kalian tentu akan merampok perhiasan-perhiasan yang telah
aku ambil dari ibunda Ken Umang dan yang sebagian aku ambil dari
gedung perbendaharaan."
"Ampun tuanku, sebenarnyalah hamba tidak bermimpi untuk
memiliki perhiasan itu walau hanya sebutir permata sekalipun."
"Bohong. Bohong." Tohjaya semakin berteriak-teriak sehingga
tandunya berguncang-guncang. Tetapi guncangan itu telah
membuatnya menjadi semakin marah.
Senapati itu pun terdiam. Ia tidak berani lagi membantah.
Agaknya Tohjaya benar-benar telah hampir kehilangan akal.
Sementara itu, beberapa orang prajurit mulai berpikir lain. Salah
seorang prajurit muda bertanya kepada dirinya sendiri, "Apakah
gunanya aku mengikuti tuanku Tohjaya. Aku masih muda. Dan aku
tidak melihat kemungkinan apapun yang dapat dicapai oleh tuanku
Tohjaya selain menyelamatkan diri. Adalah sulit sekali baginya untuk
menghim pun kekuatan karena sifat-sifatnya."
Tetapi karena Senapati dan beberapa orang pemimpin kelompok
nampaknya masih tetap setia kepada Tohjaya, maka prajurit muda
itu tidak berani berbuat apapun juga, kecuali berjalan tersuruksuruk
mengikuti iring-iringan yang semakin lama semakin dalam
menyusup kejalan-jalan sempit dan sulit. Sementara beberapa
orang di antara mereka berusaha untuk menghapuskan jejak.
Dengan demikian maka perjalanan Mahisa Agni dan pasukannya
pun menjadi semakin sulit pula. Mereka harus dengan teliti
mengamati jalan yang akan dipilihnya. Disetiap persimpangan,
beberapa orang meloncat turun dan memperhatikan setiap batang
rumput dengan saksama. 891 Daun-daun yang berserakan, ranting-ranting yang patah dan
rerumputan yang terinjak kaki, tidak luput dari setiap pengamatan.
Beberapa orang yang berpengalaman mengenali jejak berada
didepan bersama dengan Witantra dan Mahisa Agni.
"Mereka berhasil menghapus jejak sebaik-baiknya." berkata
Witantra, "Hanya dengan ketelitian sajalah kita akan berhasil
memilih jalan yang benar."
Karena itulah maka para peneliti jejak itu telah bekerja sebaikbaiknya.
Namun dengan demikian maka mereka menjadi semakin lambat
maju. Kadang-kadang mereka harus berhenti untuk beberapa lema
sambil menilai jejak yang mereka amati.
Meskipun demikian, Mahisa Agni dan pasukannya selalu
menempuh jalan yang ternyata benar. Karena itu, maka mereka pun
maju terus sambil meninggalkan jejak, agar pasukan yang akan
menyusul dapat mengikuti mereka tanpa kesulitan apapun juga.
Dalam pada itu, Tohjaya yang lelah menjadi semakin mudah
tersinggung. Setiap kali ia selalu membentak-bentak tanpa sebab.
Jika prajurit-prajuritnya berjalan lambat, ia menjadi marah dan
berteriak, "Apakah kalian ingin segera mati" Di belakang kita
pengkhianat-pengkhianat itu sedang berusaha menyusul kita. Kalian
mendengar panah sendaren" Prajurit-prajurit yang kita tinggalkan
ternyata adalah prajurit-prajurit yang bodoh, dungu tetapi tamak.
Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain membunuh diri."
Senapati yang memimpin prajurit-prajurit pengawal itu sama
sekali tidak menjawab betapapun hatinya tersinggung. Ia menyadari
bahwa keadaan Tohjaya sangat tidak menguntungkan. Karena itu
yang ada di dalam hatinya sebenarnya bukan lagi harapan untuk
menyelamatkan Tohjaya agar kelak ia mendapat hadiah yang
sebesar-besarnya karena ia mengetahui bahwa Tohjaya telah
berhasil menyelamatkan sepeti perhiasan emas, intan dan berlian.
Apalagi kesetiaan kepada raja yang dianggapnya akan dapat
melindunginya di dalam segala keadaan Tetapi yang sebenarnya
892 ada di dalam hati Senapati itu kemudian adalah justru perasaan
belas kasihan. Belas kasihan kepada Tohjaya yang sejak lahir sama
sekali tidak mengenal kesulitan macam apapun juga. Ia dibesarkan
dalam lingkungan yang selalu memanjakannya. Memuji dan
menyayanginya. Tetapi, kini tiba-tiba saja ia dilemparkan ke dalam keadaan yang
sangat gawat. Keadaan yang diliputi oleh kecemasan, kebimbangan
dan bahkan ketakutan. Karena itulah maka Senapati itu sama sekali tidak menghiraukan
apa saja yang dikatakan oleh Tohjaya. Ia mencoba untuk membuat
hatinya masih dapat bertahan menghadapi keadaan itu.
"Senapati." berteriak Tohjaya kemudian, "Kau harus berbuat
sesuatu untuk mengatasi keadaan."
"Hamba tuanku." jawab Senapati itu, "Hamba memang sedang
mencari jalan." Tohjaya terdiam. Ia mencoba untuk mengerti. Tetapi pikirannya
rasa-rasanya justru menjadi semakin kalut.
Apabila kemudian para pengawalnya berjalan semakin cepat,
karena Tohjaya sendiri yang menghendaki. Namun ternyata dengan
demikian tubuhnya menjadi tergoncang-goncang, maka ia pun
menjadi marah pula dan berteriak, "Gila. Apakah kalian menjadi
pengecut dan menjadi ketakutan disusul oleh orang-orang berkuda
itu, sehingga kalian berlari-lari. Aku lelah sekali. Aku ingin mengaso.
Jika kalian mengguncang-guncang tandu ini, maka badanku menjadi
bertambah sakit." Tidak seorang pun yang berani menjawab. Mereka hanya dapat
memperlambat langkah mereka dan berjalan dengan sangat
berhati-hati. Karena kelelahan yang sangat, maka ternyata Tohjaya tanpa
disadarinya dapat juga tertidur di dalam tandunya meskipun hanya
sejenak. Dalam keadaan yang demikian, orang-orang yang
mengusung tandunya menjadi sedikit berlega hati, karena mereka
893 dapat berjalan seenaknya. Tidak terlalu tergesa-gesa dan tidak
dibentak-bentak. Tetapi jika kemudian Tohjaya terbangun, maka
mulai lagilah suaranya yang lantang menggetarkan telinga mereka.
Betapapun segannya, Senapati yang memimpin pasukan
pengawal itu pun mencoba mendekatinya dan berkata, "Tuanku,
apakah tidak lebih baik bagi tuanku untuk beristirahat sambil tidur
barang sekejap" Tubuh tuanku akan menjadi segar. Jika kita nanti
akan melintasi sungai yang bening, tuanku dapat membersihkan
diri. Dengan demikian maka keadaan tuanku tentu akan menjadi
lebih baik." Tohjaya merenung sejenak. Tetapi ia sama sekali tidak
menjawab. Sebenarnya Tohjaya ingin juga tidur agak lama. Bukan sekejap
diluar sadarnya. Tetapi pikirannya yang sedang kacau kadangkadang
terasa sangat mengganggunya, sehingga ia hanya dapat
tertidur sekedar matanya terpejam. Namun sekejap kemudian ia
pun segera terbangun dengan dada yang berdebaran.
Ternyata langit pun semakin lama menjadi semakin buram.
Matahari yang sudah teramat rendah di ujung Barat pun segera
menghilang di balik cakrawala.
"Tuanku." berkata Senapati yang memimpin pasukan pengawal
Tohjaya, "Sebaiknya kita beristirahat. Setiap orang di dalam iringiringan
kita sudah mendapat bagiannya mengusung tandu tuanku.
Mereka menjadi lelah, sehingga perlu beristirahat barang sejenak."
Tohjaya memandang wajah Senapati itu di dalam keremangan
ujung malam. Kemudian ia pun berteriak, "Aku tidak peduli, apakah
kalian menjadi lelah atau tidak. Akulah yang memerintahkan kalian
untuk berhenti atau berjalan terus."
Senapati itu tidak menyahut. Tetapi kepalanya menunduk dalamdalam.
"Lain kali kau tidak dapat memerintah aku seperti itu. Tetapi buat
kali ini, aku penuhi permintaanmu. Hanya kali ini."
894 Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Prajurit-prajurit di
dalam iring-iringan itu benar-benar sudah sangat lelah dan perlu
beristirahat. Tetapi sebenarnyalah bahwa Tohjaya sendiri telah menjadi
sangat lelah, sehingga ia memang merasa perlu untuk beristirahat.
Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Mahisa Agni pun
harus berhenti pula. Di dalam kegelapan malam yang kemudian
menyeluruh di atas tanah Singasari, mereka tidak dapat lagi
mengenali jejak yang harus mereka telusuri.
"Kita bermalam di padukuhan itu." berkata Mahisa Agni.
Ranggawuni mengangguk kecil. Tetapi ia pun kemudian
bertanya, "Apakah pamanda Tohjaya di malam begini berjalan terus
atau juga berhenti?"
"Aku kira mereka pun akan berhenti." sahut Witantra, "Para
prajuritnya tentu lelah. Dan tuanku Tohjaya sendiri tidak akan dapat
duduk di atas tandu sehari semalam tanpa beristirahat sama sekali."
Ranggawuni tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian tidak menolak
untuk beristirahat pada sebuah padukuhan kecil.
Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal telah
mendapat tugas untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka
tidak boleh kehilangan kewaspadaan.
Kedatangan pasukan berkuda yang mengiringi Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka itu semula telah menimbulkan ketakutan yang
amat sangat pada penghuni padukuhan itu. T idak seorang pun yang
membuka pintu rumahnya meskipun mereka mendengar derap kaki
di halaman. Karena itulah maka Mahisa Agni terpaksa mengetuk pintu rumah
salah seorang dari mereka. Sehingga betapapun ketakutan
mencengkam hati, tetapi penghuni rumah itu dengan tangan
gemetar telah membuka pintu rumahnya.
895 "Ampun tuanku." orang itu duduk bersimpuh dimuka pintu ketika
ia melihat Mahisa Agni berdiri dimuka pintu itu bersama beberapa
orang pengawalnya, "Hamba tidak bersalah. Hamba tidak pernah
berbuat apa-apa." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa kau
menjadi ketakutan" Aku juga tidak akan berbuat apa-apa. Aku
hanya akan minta bantuanmu sekedarnya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dan Mahisa Agni pun
berkata pula, "Aku hanya ingin minta kerelaanmu untuk menerima
kami bermalam barang semalam. Tentu bukan kami seluruhnya.
Hanya dua tiga orang sajalah yang akan bermalam di rumahmu.
Yang lain biarlah berada di halaman dan di gardu-gardu. Mereka
adalah prajurit yang biasa tidur di sembarang tempat."
(Bersambung ke jilid 13) Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Retype/Proofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
896 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 13 ORANG ITU masih tetap kebingungan. Dan Mahisa Agni
pun kemudian bertanya, "Kenapa kau nampak ketakutan?" Orang itu tidak segera menjawab. "Coba, katakan. Apa yang
telah kau pikirkan tentang
kami?" "Tidak, tidak apa-apa tuan."
orang itu tergagap. Tetapi Mahisa Agni mendesak, "Tentu ada apaapa
dengan kalian. Tetapi baiklah. Yang penting bagi
kami, apakah kau mempunyai tempat untuk tiga orang di antara
kami bermalam di rumahmu?"
Betapa ketakutan melanda hati, namun orang ini pun tidak berani
pula untuk menolak. Karena itu, maka katanya, "Silahkan tuan,
silahkan." Mahisa Agni pun menyadari bahwa orang itu telah ditekan oleh
perasaan takutnya sehingga ia memberikan tempatnya untuk
897 bermalam. Tetapi Mahisa Agni akan membuktikan, bahwa mereka
tidak akan ketakutan lagi besok setelah Mahisa Agni dan kawankawannya
minta diri. "Besok mereka akan menarik nafas dalam-dalam. Karena malam
ini kami tidak akan berbuat apa-apa."
Karena itu, maka dipersilahkannya Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka untuk bermalam di rumah itu, dikawani oleh Witantra,
karena banyak hal yang akan dapat terjadi di malam.
Mahisa Agni sendiri tetap berada di antara pasukannya, Ia
berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari satu gardu ke
gardu yang lain di dalam padukuhan itu.
Gardu-gardu yang ada di padukuhan itu, ternyata telah
dipergunakan oleh para pengawal untuk bermalam. Mereka tidak
basah oleh embun di malam hari, sementara satu dua orang
berganti-ganti harus berjaga-jaga mengawasi keadaan.
Dalam pada itu, selagi mereka mulai merasakan sejuknya angin
malam, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda di
kejauhan. Bukan hanya satu dua. Tetapi cukup banyak.
Tanpa perintah dari siapa pun juga, maka setiap pengawal yang
ada di padukuhan itu pun segera bersiap. Mereka berkumpul di
beberapa tempat yang terpisah. Dengan sepenuh kesiagaan mereka
pun menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Di ujung lorong, di luar gerbang padukuhan itu beberapa orang
pengawal telah bersiap. Mereka harus menghentikan orang-orang
berkuda itu. Jika mereka melawan, maka akan terjadi pertempuran
yang seru, karena pengawal yang ada di padukuhan itu seluruhnya
telah siap menghadapi apapun juga.
Sejenak kemudian, di dalam keremangan malam, mereka seolaholah
melihat sebuah iring-iringan pasukan berkuda mendekati,
meskipun sebenarnya baru mereka dengar suara derap kaki kuda.
Namun mereka pasti, sebentar lagi kuda-kuda itu akan segera
muncul dari dalam kegelapan.
898 Karena itu, maka seorang pengawal segera mengambil obor dari
sebuah gardu dan membawanya kepintu gerbang. Setelah
menyelipkan tangkai obor itu pada dinding padukuhan maka
pengawal itu pun melangkah surut.
Sebentar kemudian, nampak dalam keremangan cahaya lampu
obor, muncul beberapa ekor kuda dengan penunggangnya.
Namun nampaknya kuda-kuda itu tidak berjalan terlampau cepat.
Bahkan kemudian menjadi semakin lama semakin lambat.
Dalam pada itu, para pengawal itu pun segera mengenal, bahwa
yang ada di punggung kuda itu adalah para prajurit Singasari yang
berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Di tangan
mereka masih nampak melingkar gelang lawe wenang.
Bahkan, semakin dekat mereka itu dengan obor yang terselip
pada dinding padukuhan, para pengawal yang sudah terlebih dahulu
ada di padukuhan itu pun segera melihat, bahwa yang ada di paling
depan adalah Lembu Ampal sendiri.
Di pintu gerbang Lembu Ampal berhenti. Ia sadar bahwa para
pengawal tentu sudah mempersiapkan diri. Karena itu maka ia pun
mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Selamat malam.
Siapakah yang ada di padukuhan ini?"
Yang mula-mula muncul dari balik pintu gerbang adalah Mahisa
Agni. Sambil tersenyum ia menjawab, "Aku. Bukan Tuanku
Tohjaya." Lembu Ampal pun tersenyum pula. Katanya, "Aku sudah
memperhitungkan. Menilik jejak yang aku ikuti, tentu dengan
sengaja kalian memberikan tanda-tanda agar aku tidak sesat. Dan
hal yang demikian tidak akan dilakukan oleh pengawal-tuanku
Tohjaya. Apalagi mereka sudah menjadi jauh berkurang setelah
pertempuran yang menentukan itu."
Mahisa Agni mengangguk-angguk.
899 "Aku melihat bekas pertempuran itu. Beberapa orang yang
terluka dan tertawan, sudah dibawa ke Singasari. Yang terbunuh
terpaksa dikuburkan di tempat itu untuk sementara."
Mahisa Agni mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, "Marilah.
Kau tentu ingin menghadap tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka. Jika keduanya sudah tertidur, sebaiknya kau menghadap
besok pagi-pagi sebelum kita melanjutkan perjalanan menyusul
tunaku Tohjaya." Lembu Ampal pun kemudian dibawa oleh Mahisa Agni ke rumah
tempat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka bermalam. Sedang
prajurit-prajurit kemudian bergabung dengan kawan-kawan mereka
yang telah mendahului. Ternyata Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun masih belum
tertidur. Mereka mendengar juga derap kaki kuda mendekat. Dan
mereka pun sudah menduga bahwa yang datang itu adalah pasukan
kecil yang diminta oleh Mahisa Agni.
Tidak banyak yang dapat diceriterakan oleh Lembu Ampal
tentang istana Singasari. Yang diketahuinya, kini seluruh Singasari
telah dikuasainya. Yang ada di istana sepeninggalnya adalah
Mahendra yang sebagian besar waktunya dipergunakan untuk
menunggui Ken Umang yang seolah-olah sudah kehilangan
ingatannya sama sekali. Kadang ia menangis melolong-lolong,
kemudian tertawa berkepanjangan.
"O." Ranggawuni menarik nafas dalam, sedang Mahisa Cempaka
hanya dapat menundukkan kepalanya.
"Hampir tidak dapat dikuasai lagi." berkata Lembu Ampal.
"Apa yang dilakukan oleh Mahendra?" bertanya Witantra.
"Sebagian besar adalah memberikan gambaran yang salah
kepada tuan puteri."
"Maksudmu?" 900 "Mengiakan saja apa yang dikatakannya. Misalnya tentang
tuanku Tohjaya yang masih dianggapnya berkuasa di Singasari.
Mahendra tidak sampai hati merusak angan-angannya yang sudah
tidak waras lagi itu, sehingga karena itu. maka ia hanya mengiakan
saja semua bayangan-bayangan yang dibuatnya di anganangannya."
"Kasihan." desis Mahisa Cempaka.
"Itu adalah sisa angan-angannya yang membubung tinggi tanpa
batas. Nafsunya untuk menguasai isi dunia ini telah membuatnya
menjadi tamak dan kehilangan pengamatan diri." berkata Witantra.
"Akibatnya menjadi terlampau parah baginya."
"Ya. Kenyataan yang sangat pahit telah merenggutnya dari dunia
harapan yang dibentuknya. Harapan yang berlebihan sehingga
membuatnya menjadi seorang manusia yang dikungkung oleh
nafsu. Ketika pada suatu saat ia terlempar pada kegagalan yang
mutlak, maka perasaannya pun tidak lagi berhasil menahan
goncangan yang terlampau dahsyat baginya."
Witantra berhenti sejenak, lalu, "Memang kasihan sekali."
Mahisa Agni memandang Witantra dengan tatapan mata suram.
Ia mengetahui bahwa Ken Umang adalah adik ipar sejak ia masih
menjadi Panglima di Tumapel.
Dan agaknya Witantra pun sedang memikirkannya, sehingga
hampir di luar sadarnya ia berkata, "Ia adalah adikku."
"Siapa?" Lembu Ampal bertanya dengan wajah yang tegang.
"Tuanku Ken Umang."
"Adikmu?" "Adik iparku." Lembu Ampal menunduk. Tetapi keadaan itu sudah terjadi dan
tidak dapat dihindarinya lagi. Ken Umang telah kehilangan ingatan.
901 Dan setiap orang akan mengatakan bahwa ia memang sudah
menjadi gila karena kegagalan yang dialaminya.
Sejenak mereka itu pun kemudian saling berdiam diri. Mereka
mulai membayangkan apa yang akan mereka hadapi. Jika Ken
Umang mengetahui apa yang dialami oleh Tohjaya di perjalanannya,
maka ia pun tentu akan menjadi semakin parah.
Atau bahkan tidak peduli sama sekali, karena sudah tidak ada
perasaan yang dapat tersentuh oleh keadaan apapun juga.
Yang terdengar kemudian adalah desah tarikan nafas Mahisa
Agni. Lalu katanya, "Sekarang, silahkan tuanku berdua beristirahat.
Besok kita akan menempuh perjalanan yang panjang."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian mencoba untuk
dapat beristirahat, karena yang akan mereka lakukan di hari
berikutnya masih terlampau banyak. Sementara Witantra
mengawaninya, maka Mahisa Agni dan Lembu Ampal pun
meninggalkan bilik itu kembali ke tengah-tengah pasukan mereka.
"Aku telah membawa bekal seperti yang kau pesankan." berkata
Lembu Ampal. "Terima kasih. Mungkin kita masih akan menempuh perjalanan
untuk satu dua hari lagi, karena agaknya Tohjaya dan pengikutnya
menyadari bahwa kami mencarinya. Mereka telah berusaha untuk
menghapus jejak mereka, sehingga usaha kita menjadi agak sulit."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Memang bukan tugas yang
berat menyusul perjalanan Tohjaya. Tentu Tohjaya masih juga
membawa pengawal vang cukup kuat, sehingga mungkin masih
akan terjadi benturan senjata di antara pasukan yang mengawal
Tohjaya dengan pasukan yang berusaha menyusulnya.
Namun kemudian Mahisa Agni pun berkata, "Lembu Ampal.
Sebaiknya kita pun beristirahat. Masih ada waktu. Besok pagi kita
akan menempuh perjalanan jauh."
Lembu Ampal mengangguk-angguk pula. Jawabnya, "Baiklah.
Tetapi agaknya kau jauh lebih lelah dari aku."
902 "Kita sama-sama bertempur hari ini."
"Tetapi aku kemudian berada di istana. Dan kau memburu
tuanku Tohjaya dan masih harus bertempur sekali lagi melawan
pengawalnya yang cukup kuat." Lembu Ampal berhenti sejenak,
lalu, "Beristirahatlah. Sebentar lagi aku pun akan beristirahat. Kau di
sini, aku di ujung yang lain."
Keduanya pun kemudian berpisah. Mahisa Agni dan Lembu
Ampal berada di tempat yang berbeda, agar mereka dapat
menyesuaikan diri dengan segera jika terjadi sesuatu dari arah
manapun juga. Dalam pada itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka beserta
Witantra masih berada di tempatnya. Beberapa orang pengawal
berada di halaman untuk mengawasi rumah yang disinggahi anakanak
muda yang akan memegang pimpinan tertinggi bagi Singasari.
Namun, ternyata bahwa malam itu tidak terjadi sesuatu pada
pasukan yang dipimpin Mahisa Agni. Mereka sempat beristirahat
dengan baik. Mahisa Agni sempat tidur beberapa saat. Demikian
juga pemimpin-pemimpin yang lain. Betapa kegelisahan selalu
mengganggu perasaan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dalam
pertentangan antara keluarga sendiri itu, namun agaknya kelelahan
yang sangat telah membawa mereka tidur barang sejenak.
Ketika ayam berkokok di akhir kalinya, semua orang di dalam
pasukan itu sudah terbangun. Mereka segera mengemasi pakaian
dan senjata mereka. Sebelum mereka berada di dalam kelompok
masing-masing, mereka masih sempat pergi kepakiwan dan
meneguk semangkuk minuman panas yang mereka siapkan sendiri
dengan meminjam dapur dan perlengkapan penghuni padukuhan
itu. "Kita membawa persediaan beras yang cukup berkata Lembu
Ampal. Menjelang perjalanan yang panjang, kalian dapat
menyiapkan makan pagi."
903 Prajurit-prajurit itu pun kemudian menyiapkan makan pagi
mereka sebelum mereka berangkat menyelusuri jejak yang semakin
lama menjadi semakin rumit.
Demikianlah ketika matahari mulai naik, pasukan itu pun telah
siap untuk bergerak. Mahisa Agni masih sempat mengucapkan
terima kasih kepada penghuni padukuhan itu sebelum ia
meninggalkan mereka dalam keragu-raguan.
"Pasukan ini agak berbeda dengan pasukan yang lewat kemarin."
berkata seorang laki-laki tua.
"Di dalam pasukan yang kemarin terdapat tuanku Tohjaya.
Maharaja Singasari. Karena itulah kita harus menghormati dan
berbuat apa saja menurut perintahnya."
"Tetapi di dalam pasukan ini terdapat tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. Merekalah yang mengusir tuanku Tohjaya dari
tahta karena tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
merasa berhak atas tahta itu."
"Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?"
"Semalam dua orang prajurit yang berjaga-jaga di halaman
rumahku sempat menceriterakan kepadaku."
"Kau keluar rumah dan menemuinya?"
"Mula-mula maksudku sekedar memberikan sekedar minuman
panas agar mereka tidak berbuat apa-apa atas keluargaku."
"Uh. Hanya dengan minuman panas. Jika mereka ingin berbual
sesuatu, jangankan minuman panas."
"Maksudku, agar sikap mereka sedikit lebih lunak." ia berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi ternyata mereka adalah orang baik. Mereka
tidak bertindak dengan kasar. Dan mereka justru berceritera
tentang tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sama sekail tidak
berani keluar rumah. Aku juga mendengar dua atau tiga orang yang
meronda dan berhenti di pendapa. Agaknya mereka duduk di sana
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
904 sambil berbicara beberapa lama. Kemudian mereka pun
meninggalkan rumahku tanpa aku ketahui arahnya."
"Jika kau berani keluar dan menemuinya, mereka akan
memberikan banyak penjelasan. Mereka ternyata tidak sekasar
prajurit-prajurit yang ada di dalam pasukan pengawal tuanku
Tohjaya. Agaknya memang benar, bahwa tuanku Tohjaya sedang
melarikan diri dan dikejar oleh pasukan tuanku Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka ini."
"Aku tidak mengerti. Tetapi menilik akibat yang ditinggalkan
pasukan ini memang lebih baik. Mereka mengembalikan semua alatalat
yang mereka pinjam dengan baik."
Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti
kawannya ia memang menilai pasukan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka lebih baik dari pasukan yang mengawal Tohjaya. Dan itu
menggambarkan bahwa keadaan prajurit-prajurit yang mengawal
Tohjaya dalam keadaan yang jauh lebih buruk dari prajurit-prajurit
yang datang kemudian itu.
Sebenarnyalah bahwa keadaannya memang demikian. Keadaan
prajurit-prajurit yang mengawal Tohjaya memang jauh lebih puruk.
Mereka tidak sempat membawa persediaan apa pun juga karena
mereka berangkat dengan tergesa-gesa. Yang mula-mula diingat
oleh Tohjaya hanyalah seperti perhiasan emas dan berlian. Dan
perhiasan-perhiasan itu tidak akan dapat dipergunakan bagi anak
buahnya di perjalanan. Jika mereka lapar, maka mereka hanya
dapat merampas makanan dari penduduk di padukuhan padukuhan
yang mereka lalui tanpa menghiraukan keadaan penduduk itu
sendiri. Malam itu Tohjaya dan anak buahnya bermalam di padukuhan
terpencil. Ia menempatkan beberapa orang pengawal agak jauh di
belakang mereka. Jika mereka melihat pasukan yang mengikutinya,
maka mereka harus memberikan isyarat dengan panah sendaren.
905 Tetapi malam itu pasukan Mahisa Agni pun berhenti pula,
sehingga karena itu, maka tidak ada sebatang anak panah pun yang
dilepaskan di udara. Menjelang fajar, maka pengawal-pengawal yang harus
memberikan isyarat itu pun telah berada kembali di induk
pasukannya dan sejenak kemudian mereka pun meninggalkan
padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan.
Prajurit-prajurit itu sama sekali tidak menghiraukan barangbarang
yang mereka pergunakan. Mereka merampas beras dan
makanan yang mereka jumpai. Mempergunakan alat-alat dapur dan
memaksa beberapa orang memasak untuk mereka. Namun ketika
merasa perlu untuk pergi, begitu saja mereka meninggalkan
padukuhan itu. Barang-barang yang mereka pergunakan masih
berserakan dan tersebar di halaman dan sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa Tohjaya dan pengawalnya berangkat
meninggalkan padukuhan itu. Mereka tidak memilih jalan yang
besar dan rata, tetapi mereka menyelusuri jalan-jalan sempit dan
buruk. Dengan saksama mereka mencoba menghapuskan jejak
mereka, agar pasukan yang akan menyusuli mereka tidak dapat
menemukan arah yang benar.
Namun ternyata betapapun mereka berusaha menghapus jejak
mereka, namun agaknya mereka telah dikejar oleh kegelisahan dan
kecemasan. Lebih dari itu, mereka pun agaknya terlampau tergesagesa
sehingga pencari jejak yang ada di dalam pasukan Mahisa Agni
masih mampu untuk mengenalinya betapapun lama dan lambatnya.
Tetapi ternyata bahwa pengawal-pengawal Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka selalu milih arah yang benar.
Tohjaya sendiri keadaannya menjadi semakin parah. Luka-luka di
tubuhnya meskipun mula-mula tidak terlampau parah, namun
karena tidak mendapat pengobatan yang baik dan segera, ternyata
akhirnya telah merampas segenap tenaganya. Ia menjadi sangat
lemah dan duduk saja di atas tandunya. Badannya terasa panas dan
nyeri. Sedang lukanya nampak membengkak dan sakit bukan
kepalang. 906 Dalam keadaan yang demikian, maka ia pun menjadi selalu
marah dan membentak-bentak. Tidak ada yang benar di matanya,
apa saja yang dilakukan oleh pengawalnya. Kadang-kadang ia
merasa dirinya dipermainkan. Tetapi kadang-kadang ia dibayangi
oleh ketakutan yang amat sangat. Bukan saja kepada pasukan yang
menyusulnya, tetapi juga kepada pasukannya sendiri.
Jika seorang prajurit berjalan di depan berhenti sejenak karena
kelelahan, dan apabila berpaling, maka ia pun segera membentak
dan berteriak-teriak. "He, kenapa kau berhenti" Apakah kau tidak dapat berjalan lagi?"
bahkan kadang-kadang ia berkata lantang, "Kau iri melihat aku
membawa peti ini he" Gila. Kau tentu akan mendapat bagianmu
kelak. Dan jika pada suatu saat aku berhasil merebut tahta kembali,
kau akan menjadi tumenggung. Kau dengar?"
Prajurit itu hanya dapat mengangguk dalam-dalam sambil
berkata, "Hamba tuanku. Hamba mengerti."
Namun kemudian Tohjaya menjadi terlampau sering marah.
Semakin tinggi matahari, maka udara menjadi semakin panas
seperti tubuh Tohjaya sendiri. Agaknya luka-lukanya memang
mengandung racun betapapun lunaknya.
"Air, air." teriak Tohjaya.
Seorang prajurit berlari-lari memberikan air kepadanya. Dengan
dada yang berdegup cepat, Tohjaya menerima air itu dan
meneguknya. "Jangan terlampau banyak tuanku." Senapati yang mengiringi
memperingatkannya. "Jika tuanku terlampau banyak minum, maka
kesehatan tuanku akan menjadi semakin buruk, Tuanku akan
merasa pening dan terlampau penat."
"Gila. Gila, Kau iri ya. Kau sendiri akan menghirup air itu sampai
habis?" 907 "Tuanku. Hamba merasa sangat letih. Tetapi hamba dengan setia
mengawal tuanku. Karena itu, maka hamba pun mencoba
memperingatkan tuanku dengan tulus."
"Diam. Diam kau tikus."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian,
Tohjaya pun berhenti meneguk air betapapun ia masih ingin.
Kemudian menyerahkan guci kecil berisi air itu kepada pengawalnya
sambil berkata, "Simpan air itu. Aku akan selalu haus hari ini.
Matahari terlampau terik. Dan tubuhku terlampau panas."
"Kita akan mencari dukun yang pandai tuanku." desis Senapati
yang memimpin pengawalan itu.
Tohjaya tidak menyahut. Tetapi tubuhnya serasa menjadi
semakin panas. Bahkan rasa-rasanya bagaikan dipanggang di atas
api. Tetapi, iring-iringan itu berjalan terus. Betapapun lambatnya
Tohjaya dan pengawalnya masih tetap maju. Beberapa orang
dengan hati yang buram masih juga mencoba menghilangkan jejak
mereka. "Apakah ada gunanya." desis seorang prajurit.
"Kenapa?" kawannya bertanya.
"Aku tidak mempunyai harapan lagi. Kita tentu akan tertangkap
dan aku tidak tahu, nasib apa yang akan terjadi alas kita semua."
"He, kau sadari apa yang kau katakan?"
"Ya," Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja kawannya berlari lari
menghadap Tohjaya yang masih ada di atas tandu dengan tubuh
yang semakin lemah. Dengan terbata-bata prajurit itu berkata, "Ampun tuanku. Ada di
antara kita yang ternyata menjadi lemah hati."
"Apa maksudmu?"
908 "Seorang kawan hamba mengatakan, bahwa tidak ada harapan
lagi bagi kita. Kita tentu akan tertangkap. Dan kita tidak tahu, nasib
apa yang akan menimpa kita."
"Gila. Siapa yang berkata begitu?"
"Itulah tuanku. Justru kawan hamba sendiri."
"Panggil, panggil ia kemari." Tohjaya berteriak.
Prajurit yang sekedar berguman dengan kawannya itu menjadi
heran. Ia tidak menyangka bahwa kawannya akan mengambil s ikap
demikian. Namun ia tidak dapat membantah lagi. Dengan wajah yang
tegang ia mendekati tandu Tohjaya.
Semua orang yang menyaksikan apa yang kemudian terjadi,
terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja Tohjaya mengayunkan
tombaknya langsung menusuk ke jantung prajurit yang malang itu.
Tidak ada yang sempat dilakukannya. Ketika tombak itu dicabut,
maka prajurit itu pun jatuh terjembab. Mati.
"Ia harus mati. Ia harus mati." teriak Tohjaya.
Tidak ada yang menyahut. Semua orang yang melihat peristiwa
itu bagaikan melihat sesosok hantu yang mencengkam jantung
korbannya dan menghirup darahnya.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba terdengar suara tertawa yang
melengking. Di antara suara tertawa itu terdengar kata-kata,
"Mampus kau. Mampus kau. Kau tidak akan dapat lagi mengganggu
aku. Aku tentu akan dapat mengawini isterimu kelak jika aku
kembali ke Singasari. Aku akan menjadi Tumenggung. Aku akan
menerima hadiah segenggam mutiara kuning yang paling mahal
harganya." Sikap prajurit itu benar-benar telah menggoncangkan perasaan.
Kematian prajurit yang ditusuk tombak langsung menembus jantung
itu telah menimbulkan kejutan yang luar biasa. Apalagi disusul
dengan sikap yang tidak wajar dari seorang prajurit muda.
909 "Sudah lama aku mencintai isterinya." berkata prajurit itu,
"Sekarang baru terbuka jalan."
"Kau sudah gila." teriak seorang kawannya.
"Tidak. Aku tidak gila. Aku masih tetap sadar, bahwa, aku akan
menjadi seorang Tumenggung dan akan memperisteri seorang
perempuan yang paling cantik di seluruh Singasari."
"Kau gila." Senapati yang memimpin pengawalan itulah yang
kemudian menggeram. Tohjaya melihat sikap orang itu dengan wajah yang merah
padam. Dengan geramnya ia berkata, "Seret ia kemari. Cepat."
Beberapa orang prajurit telah menangkapnya dan membawanya
kepada Tohjaya. Namun dalam pada itu Senapatinya pun berkata, "Tuanku,
serahkanlah orang itu kepada hamba."
"Bawa kemari." teriak Tohjaya.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, nasib
apakah yang akan dialami oleh prajurit yang malang itu.
Yang terjadi tidak luput dari dugaan para prajurit. Seperti
kawannya yang telah terbunuh, ia pun kemudian menghembuskan
nafasnya yang penghabisan.
Senapati yang bertanggung jawab atas perjalanan itu hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia
sudah melihat, bahwa jalan di hadapan mereka adalah gelap
semata-mata. Perjalanan berikutnya benar-benar tidak menyenangkan, jalan
yang sulit dan sikap Tohjaya yang kadang-kadang tidak dapat
dimengerti. Namun iring-iringan itu berjalan terus.
Ketika malam kemudian turun lagi, iring-iringan itu berhenti pula
di sebuah dusun kecil. Seperti yang pernah terjadi, maka mereka
910 pun segera merampas makanan yang ada. Memaksa beberapa
orang untuk bekerja bagi mereka.
Namun malam yang sejuk itu terasa betapa panasnya bagi
Tohjaya. Lukanya menjadi semakin membengkak. Dan badannya
terasa semakin lemah dan sakit.
Tetapi ia ingin bertahan. Ia harus melepaskan diri dari tangan
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Ia ingin berada di tempat yang
tidak dapat dijangkau oleh kedua kemenakannya itu dan kemudian
menyusun kekuatan kembali untuk merebut tahta Singasari.
Pada saat fajar mulai membayang, iring-iringan itu pun
melanjutkan perjalanannya. Setiap orang sudah menjadi semakin
letih. Bahkan ada di antara mereka yang sudah tidak bernafsu sama
sekali untuk berjalan. Namun mereka tidak berani membantah,
karena mereka menyadari akibat yang dapat terjadi atas mereka.
Apalagi orang-orang yang mengusung tandu. Mereka menjadi
semakin lemah dan letih. Dalam pada itu, pasukan Mahisa Agni pun berjalan terus. Mereka
pun tidak dapat berjalan terlampau cepat. Selain mereka harus
meneliti jejak, maka mereka tidak dapat membiarkan kuda-kuda
mereka menjadi sangat letih.
Namun bagaimanapun juga, agaknya perjalan pasukan Mahisa
Agni agak lebih cepat dari Tohjaya bersama pengiringnya.
Kegelisahan, luka dan perasaan nyeri pada tubuh Tohjaya
membuatnya semakin kehilangan keseimbangan. Kadang-kadang ia
pun menjadi hampir berputus asa. Tetapi kadang-kadang darahnya
bagaikan bergejolak oleh dendam yang tidak tertahankan. Dendam
atas kematian ayahandanya yang sudah dapat ditumpahkannya
kepada Anusapati, agaknya harus ditebus dengan perasaan dendam
dan sakit hati pula, karena Ranggawuni dan Mahisa Cempaka
berhasil mengusirnya dari istana dalam keadaan yang parah.
Dalam keadaan yang semakin lemah itulah, maka Tohjaya
berusaha untuk menyangkal kenyataan tentang dirinya. Karena itu,
911 dengan mengerahkan segenap tenaganya, ia tetap duduk tegak di
atas tandunya yang mulai gontai. Meskipun pengawalnya sudah
menjadi letih sekali. "Gila." teriak Tohjaya, "Apakah kalian tidak dapat berjalan lebih
baik?" Para pengawalnya berusaha untuk berjalan dengan tegap dan
teratur. Namun keadaan mereka benar-benar sudah tidak
memungkinkan. Bahkan bukan saja keadaan tubuh mereka yang
letih, tetapi pakaian mereka pun sudah tidak utuh lagi. Perut yang
lapar dan perasaan gelisah serta cemas, membuat mereka tidak
dapat berbuat dengan tertib atas diri mereka sendiri.
Tohjaya terkejut ketika ia merasakan tandunya terguncang.
Dengan serta merta ia mengangkat kepalanya dan memandang
para pengawal yang memanggul tandu.
Tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah padam. Kemarahan yang
selalu menyala di dadanya, rasa-rasanya melonjak sampai ke ujung
ubun-ubunnya. Dengan mata yang merah ia melihat pengawalnya yang
memanggul tandu di depan sebelah kanan sedang sibuk
memperbaiki celananya yang sudah sobek, dan karena
kekhilafannya telah tersingkap. Kain panjangnya tidak dikenakannya
lagi karena mengganggu langkahnya, sehingga kain panjang itu
hanya disangkutkannya saja di lehernya.
Tohjaya yang sedang gelap hati melihat hal itu sebagai suatu
peristiwa yang besar, yang tidak dapat dimaafkannya lagi. Selain
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghinaan atas seorang Maharaja yang besar dari Singasari, maka
hal itu memberikan perlambang kepadanya bahwa nasibnya
agaknya memang kurang baik. Seolah-olah ia telah melihat
kegagalan diri sendiri. Pakaian yang tersingkap adalah perlambang
kegelapan bagi nasib seorang besar seperti Tohjaya.
Karena itu, tanpa berkata apapun juga, di dorong oleh
kemarahan yang meluap, maka dengan serta merta orang itu pun
telah dipukul dengan sebatang tangkai tombak yang selalu ada di
912 sisi Tohjaya. Demikian kerasnya sehingga orang itu pun berteriak
kesakitan. Tetapi bukan saja berteriak. Tiba-tiba saja ia melonjak dan
melepaskan tandunya sehingga Tohjaya pun kemudian terlempar
jatuh. Kemarahan yang meluap itu pun menjadi semakin membakar
dadanya. Tertatih-tatih ia mencoba berdiri dan dengan sisa
tenaganya ia mengangkat tombaknya sambil berteriak, "Gila, Kau
gila. Kau harus dibunuh karena kau memberikan perlambang buruk
bagiku. Selebihnya kau telah menghina seorang Maharaja besar,
karena kau tidak berpakaian sepantasnya apalagi kau berjalan di
hadapanku." "Tuanku." Senapati yang memimpin pengawal itu berteriak. Ia
mencoba mencegah sesuatu yang bakal terjadi.
Tetapi yang terjadi agaknya memang terlampau cepat. Pengawal
yang kesakitan itu telah kehilangan akal pula. Kelelahan, putus asa
dan ketiadaan harapan, membuatnya bermata gelap.
Karena itu, ketika ia melihat ujung tombak mengarah ke
dadanya, dengan serta merta ia pun menarik kerisnya. Dengan
tanpa disadarinya ia justru meloncat maju menyongsong ujung
tombak yang telah terayun ke arahnya.
Senapati yang memimpin pengawalan itu justru harus
memalingkan wajahnya ketika ia melihat benturan yang sangat
mengerikan. Ujung tombak itu benar-benar telah menembus dada
pengawal yang malang itu. Tetapi agaknya sisa dorongan tenaganya
masih melontarkannya beberapa langkah maju, sehingga ujung
kerisnya telah menyentuh tubuh Tohjaya. Keris yang dilumuri
dengan racun warangan yang kuat.
Sejenak kemudian orang itu pun terlempar ke samping dan jatuh
menelentang. Langsung kehilangan nyawanya.
Namun dalam pada itu. Tohjaya pun jatuh terduduk pula. Ia
sudah mengerahkan segenap sisa tenaganya. Apalagi terasa
913 sentuhan keris itu di tubuhnya. Tubuh yang memang sudah
terlampau lemah. "Tuanku." Senapati yang memimpin pengawalannya mendekat.
Tetapi Tohjaya menjadi semakin lemah. Racun warangan yang
kuat pada ujung keris itu dengan cepatnya mulai bekerja. Apalagi
daya tahan tubuh Tohjaya telah hampir punah sama sekali.
Tidak seorang pun yang dapat mengatasi batas maut apabila
sudah menghampirinya. Demikian pula tuanku Tohjaya yang pernah
menjadi seorang Maharaja yang besar di Singasari setelah ia
berhasil membunuh Anusapati. Tetapi ternyata ia pun tidak cukup
lama duduk di atas tahta.
Racun warangan yang bekerja di tubuhnya itu telah
mencengkamnya demikian kuat, sehingga darahnya pun seakanakan
telah tersumbat oleh gumpalan-gumpalan darahnya yang
membeku. Dengan mata sayu dipandanginya Senopati yang berjongkok di
sampingnya. Kemudian sebelum ia jatuh menelentang. Senopati itu
sudah menyambarnya dan meletakkan kepala Tohjaya itu di
pangkuannya. "Tuanku." desisnya.
"Aku, aku tidak akan dapat melanjutkan perjalanan ini." desis
Tohjaya. "Tahankanlah tuanku. Hamba akan berusaha mendapatkan
seorang dukun yang pandai."
Tohjaya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada
gunanya. Aku akan mati." Namun tiba-tiba Tohjaya itu tersentak,
"Persetan. Kalian memang mengharap aku mati, agar kalian dapat
memiliki harta kekayaan yang aku bawa."
"Tuanku." suara Senepati itu lambat, "Tenangkan hati tuanku.
Tidak seorang pun yang akan berkhianat terhadap tuanku."
"Omong kosong. Siapa yang menusuk aku?"
914 "Orang itu sudah mati."
"Mati?" "Hamba tuanku."
Tohjaya menarik nafas dalam sekali. Namun rasa-rasanya
nafasnya sudah menjadi semakin dalam.
Sejenak kemudian Tohjaya itu pun memejamkan matanya.
Perlahan-lahan terdengar ia berdesis, "Ambillah. Ambillah petiku
seisinya." Senopati itu mengerutkan keningnya. Ia merasakan sebuah
tarikan nafas yang sendat. Tarikan nafas terakhir dari Tohjaya yang
berbaring di pangkuannya.
Untuk beberapa saat lamanya, Senopati itu rasa-rasanya
bagaikan membeku. Bahkan terasa matanya menjadi basah.
Beberapa hari ia mengikuti Tohjaya yang terusir dari tahta. Dengan
setia ia mengawal Tohjaya itu betapun beratnya. Kini ia hanya dapat
menuggui Tohjaya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Prajurit-prajurit pengawalnya pun kemudian berkerumun.
Sejenak mereka pun ikut berduka cita. Namun kemudian ada
sesuatu yang melonjak di dalam hati mereka. Kejemuan dan
kelelahan yang amat sangat, agaknya telah menumbuhkan perasaan
putus-asa dan kelemahan tekad.
Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak lagi mempunyai
nafsu untuk berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Mahisa
Agni semakin lama menjadi semakin dekat. Jalan yang rumit
memang merupakan penghambat dari perjalanan itu. Tetapi karena
mereka berada di punggung kuda, maka mereka tidak merasakan
kelelahan seperti prajurit-prajurit yang mengusung Tohjaya di atas
tandu. 915 Para pencari jejak, menangkap jejak prajurit-prajurit yang
mereka ikuti mengikuti jalan sempit yang sukar. Tetapi, ternyata
semakin lama jejak itu menjadi semakin jelas.
"Mereka sudah sangat letih, sehingga mereka tidak sempat lagi
menghapus jejak dengan baik." berkata salah seorang pencari jejak.
"Jaraknya pun tidak begitu jauh lagi. Jejak ini masih baru."
berkata yang lain. Mahisa Agni dan kawan-kawannya hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Meskipun demikian mereka pun melihat
tanda bahwa sebentar lagi mereka akan dapat segera menyusul
Tohjaya dan pengikut-pengikutnya.
"Marilah kita percepat perjalanan ini." berkata Mahisa Agni.
Dengan demikian maka mereka pun maju semakin cepat. Jejak
yang mereka ikuti pun menjadi semakin jelas. Sosok mayat yang
mereka jumpai di perjalanan telah menumbuhkan berbagai
tanggapan atas prajurit-prajurit Tohjaya yang kelelahan itu.
Meskipun jalan menjadi semakin sempit, namun kuda mereka
dapat berlari lebih cepat. Mereka tidak perlu lagi berjalan
membungkuk-bungkuk melihat jejak di atas tanah berbatu-batu,
atau di atas rerumputan di pinggir jalan, jejak itu kini nampak jelas
dan pasti. Ternyata mereka tidak terlalu lama lagi berkuda. Dari kejauhan
mereka telah melihat sekelompok prajurit yang berserakan di
pinggir jalan. Prajurit-prajurit yang berjongkok dan duduk-duduk
dengan kepala tunduk di dalam sebuah suasana yang asing.
"Itulah mereka?" desis Mahisa Agni.
"Apa yang terjadi paman?" tiba-tiba Ranggawuni bertanya.
"Aku tidak tahu. Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Kita tidak
mengerti apa yang akan dilakukan oleh tuanku Tohjaya. Kadangkadang
ia dapat berbuat di luar dugaan."
916 "Tetapi suasananya nampak aneh paman" Mereka seakan-akan
tidak menghiraukan lagi kedatangan kita. Tentu sesuatu telah
terjadi. Di perjalanan kita menjumpai mayat yang terluka di dada.
Mungkin ada persoalan yang tumbuh di antara prajurit-prajurit itu
sendiri." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Itu tidak mustahil.
Dalam keadaan yang parah, mungkin timbul pikiran-pikiran yg
berbeda-beda. Dan perbedaan yang demikian kadang-kadang tidak
dapat diselesaikan dengan pembicaraan, karena otak mereka telah
beku." Sebenarnyalah bahwa prajurit-prajurit yang mengerumuni
Tohjaya yang sudah terbunuh itu sudah tidak menghiraukan lagi
kehadiran pasukan berkuda yang menyusul mereka. Mereka sudah
terlampau letih lahir dan batin. Mereka sudah tidak tahu lagi apa
yang sebaiknya mereka lakukan selain daripada pasrah diri terhadap
nasib. Meskipun demikian namun Mahisa Agni cukup berhati-hati
menanggapinya. Mungkin orang-orang itu dengan sengaja berbuat
demikian, tetapi tiba-tiba saja mereka bangkit dan menyergap.
Karena itu maka pasukan Mahisa Agni pun menebar. Ada di
antara mereka yang terpaksa turun kepategalan di pinggir jalan.
Perlahan-lahan pasukan itu maju. Mahisa Agni yang berada di
paling depan bersama Witantra dan Lembu Ampal pun tidak
kehilangan kewaspadaan sama sekali.
Ternyata tidak seorang prajurit pun yang beranjak dari
tempatnya. Mereka tetap duduk atau berjongkok di tempat.
Satu dua di antara mereka ada yang memalingkan wajahnya
melihat kedatangan pasukan berkuda itu. Namun orang-orang itu
seolah-olah acuh tidak acuh saja.
Karena tidak seorang pun dari mereka menyentuh senjatanya,
maka Mahisa Agni maju lebih dekat lagi. Bahkan ia pun kemudian
917 meloncat turun dari kudanya dan menyerahkan kudanya kepada
seorang pengawal. Demikian pula Witantra dan Lembu Ampal.
Perlahan-lahan mereka berjalan mendekat. Beberapa langkah
kemudian mereka terhenti karena mereka melihat seseorang yang
terbujur di tanah, dan seorang lagi di pangkuan seorang prajurit.
"Ki sanak." berkata Mahisa Agni lantang, "Siapakah yang
memimpin kelompok prajurit di antara kalian?"
Tidak ada seorang pun yang segera menyahut.
"He, siapakah yang mempertanggung jawabkan kelompok kalian
itu?" Senapati yang masih memangku Tohjaya itu pun mengangkat
kepalanya sambil berkata keras-keras. "Akulah yang bertanggung
jawab. Mendekatlah. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa
lagi sekarang." Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Perlahan-lahan ia
mendekat. Kemudian ia pun bertanya, "Siapakah itu?"
Senapati itu memandanginya. Wajahnya nampak sayu dan
matanya masih merah. Jawabnya, "Tuanku Tohjaya."
"Kenapa?" "Tuanku telah meninggal."
Jawaban itu telah mengejutkan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka Dengan serta merta mereka meloncat dari punggung
kudanya dan berlari mendekat. Tetapi Mahisa Agni dan Witantra
telah menahan kedua anak-anak muda.
"Sabarlah tuanku. Kita harus meyakinkan dahulu."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka tertegun sejenak. Namun
mereka tidak dapat memaksa. Mereka membiarkan Mahisa Agni
kemudian mendekat dan melihat bahwa Tohjaya benar-benar sudah
terbaring diam. 918 Barulah kemudian ia memberikan isyarat kepada Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Keduanya berlari-lari mendekat dan
berjongkok di s isi tubuh Tohjaya yang sudah membeku.
"Paman, paman." desis Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Kedua anak-anak muda itu mengusap matanya yang basah.
Sementara Mahisa Agni, Witantra dan Lembu Ampal memperhatikan
setiap gerak dan sikap prajurit-prajurit Singasari yang mengawal
Tohjaya sampai akhir hayatnya.
Tiba-tiba saja Ranggawuni meloncat berdiri sambil bertanya
lantang, "Siapa yang membunuh pamanda Tohjaya?"
Senapati yang memangkunya melontarkan pandangan matanya
kearah prajurit yang terbaring diam. Sebuah luka menganga di
dadanya karena tombak Tohjaya.
"Sampyuh?" Senapati itu mengangguk.
"Apakah kau tidak dapat mencegahnya?" bertanya Mahisa
Cempaka. "Peristiwa itu cepat sekali terjadinya. Hamba tidak sempat
berbuat apa-apa tuanku." jawab Senapati itu. Ia pun kemudian
menceriterakan apa yang telah dilihatnya dan kemudian yang dapat
disaksikan adalah kematian Tohjaya di pangkuannya itu.
Yang mendengarkan ceritera itu menundukkan kepalanya.
Kematian Tohjaya benar-benar tidak terduga-duga. Seorang prajurit
yang mengawalnya dengan setialah yang justru telah
membunuhnya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu menyaksikan akhir dari
hidup Tohjaya. Kemudian Ranggawuni pun memerintahkan untuk
membawa jenazah Tohjaya kembali ke Singasari dan
menyelenggarakan sebaik-baiknya sesuai dengan adat upacara yang
harus dilakukan. 919 Demikianlah, setelah para prajurit melepaskan senjata-senjata,
maka mereka pun kembali mengusung Tohjaya di atas tandu, tetapi
mereka membawanya kembali ke Singasari.
Berbagai tanggapan telah timbul. Namun adalah suatu kenyataan
bahwa Tohjaya sudah tidak ada lagi. Dan tidak ada yang dapat
menyangkal, bahwa di antara para bangsawan, Ranggawuni lah
yang paling berhak atas Tahta Singasari. Namun, Ranggawuni tidak
akan bersedia mukti sendiri. Karena baginya jabatan tertinggi itu
merupakan tanggung jawab yang sangat berat.
Dan karena itulah maka Ranggawuni telah menerima jabatan
tertinggi di Singasari bersama saudara sepupunya, Mahisa Cempaka.
Keduanyalah yang kemudian menyelenggarakan jenazah Tohjaya
sebagaimana mestinya, dan dicandikan di Katanglumbang.
Beberapa saat kemudian, setelah Singasari menjadi tenang, dan
rakyat Singasari tidak lagi di cemaskan oleh peristiwa-peristiwa baru
yang timbul, maka Ranggawuni pun telah dinobatkan menjadi
Maharaja di Singasari dengan resmi.
Ranggawuni yang menjabat sebagai Maharaja dengan gelar
Wisnuwardana, sedangkan Mahisa Cempaka diangkat menjadi Ratu
Angabhaya dengan gelar Batara Narasinga. Keduanya memerintah
Singasari dengan rukun dan seakan-akan tidak pernah terpisahkan,
sehingga rakyat Singasari menganggap keduanya bagaikan
Sepasang Ular Naga di satu sarang.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk sementara Singasari pun diliputi oleh ketenangan yang
damai. Namun demikian Sepasang Ular Naga di satu sarang itu tidak
dapat mencegah mengalirnya waktu. Mereka tidak dapat mencegah
tuan puteri Ken Dedes menjadi semakin tua seperti juga Mahisa
Agni dan Witantra yang kemudian kembali ke padepokannya.
Mereka tidak dapat mencegah Mahendra yang kembali pula ke
rumahnya menjadi bertambah tua pula seperti juga Lembu Ampal.
Apalagi Ken Umang yg tidak dapat disembunyikan lagi dan yang
kemudian sebagaian orang menganggap lebih baik baginya ketika ia
920 meninggal dunia, justru lebih cepat dari Ken Dedes yang tua dan
sakit-sakitan. Tetapi bahwa yang kasat mata tidak akan abadi adanya, juga
ketenangan dan kedamaian di Singasari, yang ibu kotanya masih
tetap berada di Tumapel lama.
Demikialah maka Kediri yang sudah ditinggalkan Mahisa Agni pun
berkembang pula. Tetapi, Kediri merasa dirinya memiliki masa
lampau yang lebih besar dari Singasari. Itulah sebabnya, pada suatu
saat akan datang persoalan yang tumbuh karena kebesaran Kediri
yang hampir pulih kembali.
Namun untuk waktu yang lama, Singasari adalah negara yang
besar di bawah pimpinan Sepasang Ular Naga di satu Sarang.
Tidak ada seorang pun yang tidak menjadi cemas di seluruh
istana bahwa seluruh daerah Singasari yang besar, ketika nenekda
Maharaja Singasari yang bergelar Wisnuwardana, yaitu Ken Dedes,
menjadi sakit keras. Kecuali sakit yang dideritanya untuk waktu
yang lama, maka tuan puteri memang sudah berusia lanjut.
Siang malam beberapa orang emban selalu menungguinya.
Bahkan Tuanku Maharaja di Singasari sendiri sering sekali datang
menjenguknya. Dalam keadaan yang semakin gawat, kakak angkat tuan puteri,
Mahisa Agni, hampir tidak pernah beranjak dari s isinya.
Tetapi yang harus terjadi, akan terjadilah.
Herapa banyak orang-orang pandai dalam ilmu pengobatan telah
mencoba untuk mengobatinya, namun sakitnya sama sekali tidak
menjadi berkurang. "Kakang Mahisa Agni." berkata tuan puteri dengan suara yang
lemah, "Aku masih melihat daun-daun kemuning di halaman
berguguran." 921 "Ah mana mungkin tuan puteri." jawab Mahisa Agni, "Tuan puteri
selalu berada di dalam bilik. Tuan puteri tidak pernah turun ke
halaman bangsal ini."
Ken Dedes tersenyum. Katanya, "Tetapi bukanlah daun kemuning
itu masih selalu berguguran" Setiap pagi juru taman selalu menyapu
halaman itu dan menyingkirkan daun-daun kering yang
berhamburan." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Kakang." berkata Ken Dedes, "Aku pun menjadi semakin lemah.
Sebenarnya umurku lebih muda daripadamu kakang. Tetapi
nampaknya aku menjadi jauh lebih tua daripadamu."
"Ah. Mungkin begitu. Tetapi itu bukan hal yang perlu dihiraukan.
Kakang Witantra pada suatu saat nampak jauh lebih tua
daripadaku." Ken Dedes yang selalu berbaring di pembaringannya itu masih
juga tersenyum. Katanya, "Mungkin kau benar kakang. Tetapi rasarasanya
agak lain dengan diriku. Aku sudah menjadi sakit-sakitan.
Bahkan sudah agak lama. Sehari dua hari badanku seakan-akan
sudah menjadi baik. Tetapi kemudian penyakitku yang tidak
diketahui namanya ini kambuh lagi. Mungkin penyakit inilah yang
disebut penyakit tua."
"Tuan puteri memang harus banyak beristirahat. Pada saatnya
tuan puteri akan sembuh."
Namun Ken Dedes tersenyum pula. Katanya, "Kau ingin membuat
aku menjadi tenang. Aku memang tidak gelisah kakang. Bahkan
seandainya janji itu sampai juga menjemput aku. Rasa-rasanya
hidupku yang pahit selama ini telah terobati. Di saat-saat terakhir
aku melihat bahwa cucu-cucuku akan dapat menemukan masamasa
yang cerah. Kita agaknya tidak perlu cemas lagi bahwa
Singasari akan diguncang dengan pertentangan yang tidak
berkesudahan." "Mudah-mudahan tuan puteri."
922 "Aku melihat Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dapat bekerja
sama dengan baik. Bahkan keduanya seolah-olah tidak dapat
dipisahkan lagi. Aku sadar, bahwa peran kakang Mahisa Agni cukup
besar sehingga jiwa kedua anak itu dapat terbentuk seperti
sekarang ini." "Nampaknya memang demikian tuan puteri. Beberapa orang di
dalam lingkungan istana ini, yang semula, masih diragukan
kesetiaannya setelah pimpinan pemerintah berada di tangan
cucunda Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, agaknya kini tidak lagi
menjadi persoalan. Mereka meskipun perlahan-lahan telah dapat
menerima kenyataan, bahwa di bawah pimpinan cucunda
Ranggawuni dan Mahisa Cemaka, keadaan menjadi semakin baik."
Ken Dedes mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan.
Semuanya merupakan kenyataan yang sangat manis di saat-saat
terakhir ini." Mahisa Agni hanya dapat menarik nafas. Namun sebagai seorang
yang memiliki pengalaman yang seolah-olah jenuh, maka ia dapat
menduga bahwa saat terakhir bagi Ken Dedes itu memang sudah
dekat. Meskipun demikian, seperti Ken Dedes sendiri, Mahisa Agni selalu
menyatakan syukur di dalam hati, bahwa Ken Dedes yang seakanakan
di sepanjang umurnya selalu dicengkam oleh keprihatinan itu,
kini mendapat juga sekedar obat bagi jiwanya, la sempat melihat
keturunannya memegang kekuasaan. Betapapun juga, agaknya
ramalan seorang yang mumpuni pada masa Ken Arok, yang
kemudian bergelar Sri Rajasa, masih muda. Bahwa seorang gadis
yang pada tubuhnya nampak cahaya yang khusus, akan dapat
melahirkan orang-orang yang akan memiliki kewibawaan yang
tinggi, kini menjadi kenyataan. Ken Dedes telah menurunkan
seorang yang bernama Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang
kemudian memegang pimpinan tertinggi di Singasari.
Demikianlah, keadaan kesehatan Ken Dedes semakin hati
menjadi semakin susut. Tetapi jiwanya nampak semakin hari
menjadi semakin segar. Agaknya Ken Dedes benar-benar telah siap
923 menghadap apabila saatnya telah datang, ia dipanggil oleh
kekuasaan tertinggi untuk menghadap.
Ketahanan hati Ken Dedes, membuat keluarga istana menjadi
tabah pula. Meskipun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari
kecemasan, tetapi mereka pun telah pasrah, apa saja yang akan
terjadi, terjadilah. Maharja di Singasari dan Ratu Angabhaya, yang keduanya adalah
cucu Ken Dedes, akhirnya harus mengendapkan kegelisahan hati
mereka. Ken Dedes sendiri sempat memanggil keduanya
menghadap di pembaringannya.
"Cucunda." berkata Ken Dedes yang sudah semakin lemah,
"Tidak ada kelanggengan di dunia yang fana ini. Semua yang
nampak akan menjadi tiada. Semua yang hidup akan mati.
Perubahan akan selalu terjadi, selain perubahan itu sendiri. Karena
itu, cucunda berdua harus menghadapinya dengan sepenuh
kesadaran bahwa pada suatu saat aku harus meninggalkan
cucunda. Aku sudah wajib berterima kasih kepada Yang Maha
Agung, bahwa aku sempat menyaksikan cucu-cucuku menjadi orang
yang terpandang di Singasari."
Kedua cucunda Ken Dedes itu hanya dapat menganggukanggukkan
kepala mereka. "Pada suatu saat akan datang pelayan kepada cucunda berdua
dan memberitahukan bahwa aku sudah tidak ada lagi."
Keduanya masih mengangguk-angguk.
Untuk beberapa saat lamanya Ken Dedes masih dapat
memberikan beberapa pesan sebelum ia berkata kepada kedua
cucunya, "Biarlah aku beristirahat. Aku masih ingin tjdur sejenak.
Mungkin aku masih diperkenankan bertemu dengan beberapa orang
lagi sebelum saat itu datang besok atau lusa."
"Kami akan menunggui di s ini." berkata Maharaja Wisnuwardana.
Ken Dedes menggeleng, "Itu tidak perlu. Bukankah tugas
seorang Maharaja dan Ratu Angabhaya itu terlampau banyak. Pada
924 saat-saat yang paling dekat, aku akan berusaha memberitahukan
kepada cucunda berdua. Bukan maksudku mengatakan bahwa aku
akan dapat mengerti batas-batas yang penuh dengan rahasia itu.
Tetapi setidak-tidaknya kelemahan tubuhku akan memberikan
petunjuk tentang hal itu."
Kedua cucunda memandang kepada Mahisa Agni yang selalu
menunggui Ken Dedes, hampir siang dan malam itu.
"Tinggalkan neneknda beristirahat tuanku. Tuanku berdua tidak
dapat mengesampingkan tugas tuanku dan menunggui neneknda
untuk waktu yang terlalu lama." berkata Mahisa Agni, "Hamba akan
tetap berada di sini."
Kedua cucu Ken Dedes itu pun kemudian meninggalkan
neneknda yang semakin lemah, tetapi masih tetap sadar
sepenuhnya apa yang dihadapinya.
Pada saat-saat terakhir itu, seolah-olah beberapa orang sahabat
Mahisa Agni pun telah berkumpul pula di halaman istana. Di antara
mereka adalah Witantra dan Mahendra.
Mahendra di saat-saat terakhir itu memerlukan datang untuk
menengok Ken Dedes. Sebuah kenangan khusus telah menyentuh
hatinya semasa ia masih muda. Ia pernah tergila-gila kepada Ken
Dedes dan mempertaruhkan apa saja yang ada padanya. Bahkan ia
pernah melakukan perang tanding dengan Mahisa Agni yang pada
waktu itu menyebut dirinya bernama Wiraprana, karena Wiraprana
sendiri, seorang anak muda yang dicintai oleh Ken Dedes, sama
sekali tidak mampu mempertahankan gadis itu dengan cara yang
keras. Mahendra menarik nafas dalam-dalam jika kenangan itu mulai
membayang. "Tetapi semuanya sudah lama lampau." berkata Mahendra
kepada diri sendiri. Namun, bayangan itu bagaikan lewat dengan urutan yang jelas di
dalam angan-angannva. Ken Dedes yang kemudian jatuh di tangan
925 Akuwu Tunggul Ametung yang bujukan Kuda Sempana. Tetapi
akhirnya Kuda Sempana sendiri mendendam karenanya. Ken Ddes
benar-benar telah diperisteri sendiri oleh Akuwu Tunggul Ametung.
Sesuatu telah terjadi saat itu. Mahendra pun akhirnya mendengar
bahwa Tunggul Ametung pernah mengucapkan kepada Ken Dedes,
bahwa ia telah menyerahkan kekuasaan atas Tumapel kepada
isterinya. Ken Dedes itu.
Meskipun kemudian Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok
sepeninggal Akuwu Tunggul Ametung karena dibunuh oleh Ken Arok
itu sendiri, namun ternyata sampai saat terakhir, garis keturunan
Ken Dedes lah yang memegang kekuasaan di Singasari. Tohjaya
hanya berhasil menguasai Singasari yang besar untuk waktu yang
sangat pendek. Tidak lebih dari setahun.
Akhirnya Ranggawuni dan Mahisa Cempaka lah yang menjadi
Maharaja dan Ratu Angabhaya dengan gelar Wisnuwardana dan
Batara Narasinga. Mahendra tidak dapat menghapus kenangan itu. Pada saat ia
bersama Witantra diperkenankan memasuki bangsal Ken Dedes,
maka bayangan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin jelas
membayang. Dengan hati yang berdebar-debar keduanya bergeser mendekati
pembaringan. Mahendra menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ken
Dedes yang terbaring diam. Wajahnya yang dibayangi dengan garisgaris
umur nampak pucat. Tetapi bagi Mahendra yang melihat
wajah itu di masa mudanya, seolah-olah melihat kecantikan yang
dahulu masih membayang. Kecantikan yang menyeret Ken Dedes ke
tempat yang sama sekali tidak dikehendaki dan tidak diduganya
sama sekali. Mahisa Agni yang ada di ruang itu pula sempat melihat wajah
Mahendra yang menegang. Namun hanya sejenak, karena
Mahendra berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menguasai
perasaannya. 926 Ketika Ken Dedes kemudian membukakan matanya, Mahendra
menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia berhasil menghapus
kesan-kesan itu dari wajahnya.
Meskipun keadaan tubuh Ken Dedes sudah sangat lemah, tetapi
ingatannya masih cukup baik. Ia tidak melupakan masa-masa
lampau yang agaknya membayang juga di angan-angan Mahendra.
"Mahendra." berkata Ken Dedes perlahan-lahan sekali.
Mahendra bergeser mendekat. "Hamba tuan puteri."
"Aku mengucapkan terima kasih. Bantuanmu besar sekali bagi
cucu-cucuku, dan terutama bagi Singasari."
"Itu sudah menjadi kuwajiban hamba tuan puteri."
"Mahendra." berkata Ken Dedes pula, "Kesempatan terakhir ini
akan aku pergunakan untuk selain mengucapkat terima kasih, juga
minta maaf kepadamu. Aku menyimpan kesalahan yang mungkin
telah menyakiti hatimu."
"Ah, sudahlah tuan puteri. Sekarang tuan puteri tinggal
menenteramkan hati. Cucunda telah sampai pada jenjang yang
seharusnya. Yang lampau biarlah lampau."
Ken Dedes tersenyum. Katanya, "Mungkin aku tidak akan dapat
menunggu cucuku lebih dari saat-saat purnama naik besok lusa.
Kepadamu, kepada kakang Witantra dan kepada Kakang Mahisa
Agni aku mohon, agar cucuku selalu mendapatkan perlindungan."
"Pesan itu akan selalu kami junjung tinggi tuan puteri."
Ken Dedes tersenyum. Kemudian katanya kepada Witantra,
"Kakang, sejak masa pemerintahan Akuwu Tumapel, kau adalah
orang yang banyak memberikan arah dalam pemerintahan. Apakah
kau juga akan berbuat demikian pada saat-saat cucu-cucuku
memegang pemerintahan di Singasari?"
"Tuan puteri." berkata Witantra, "Selagi hamba, mendapat
kesempatan, hamba akan melakukannya."
927 Keri Dedes tersenyum pula. Kehadiran Witantra dan Mahendra
membuat hatinya semakin besar. Seolah-olah ia dengan hati yang
lapang, dapat meninggalkan cucu-cucunya tanpa kecemasan
apapun, karena di sekitar Baginda Wisnuwardana dan Batara
Narasinga, berdiri orang-orang yang dapat dipercaya, sementara
kedua cucu-cucunya itu tumbuh menjadi orang yang cukup kuat
untuk kemudian berdiri sendiri.
Kehadiran Witantra dan Mahendra agaknya menambah lapang
jalan yang akan ditempuh oleh Ken Dedes. Ternyata sepeninggal
mereka, wajah Ken Dedes yang semakin pucat, menjadi semakin
cerah pula.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pada akhirnya saat yang tidak dapat dihindari itu pun tiba.
Saat-saat terakhir dari kehidupan seorang yang semula adalah gadis
padepokan kecil di sebelah padukuhan Panawijen, namun yang
perjalanan hidupnya menelusuri kekuasaan demi kekuasaan sejak
saat Tumapel sampai Singasari. Sejak suaminya yang pertama, yang
mengambilnya dengan paksa dari padukuhan, sampai pada saat
Sepasang Naga Lembah Iblis 4 Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1