Pencarian

Sepasang Ular Naga 14

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 14


hanyalah beberapa orang yang tidak berarti. Tetapi ternyata bahwa
beberapa orang itu muncul di setiap lorong, sehingga jumlah
mereka seluruhnya tentu akan mempengaruhi pertempuran di
sekitar istana itu. Dalam pada itu, orang- Rajasa dan Sinelir yang semakin mundur
itu pun seolah-olah mendapatkan tenaga baru di dalam diri mereka.
Dengan sepenuh kemampuan mereka berusaha untuk bertahan.
Sejenak kemudian, orang-orang yang bermunculan dari loronglorong
itu pun telah terjun pula kemedan. Prajurit-prajurit yang
semula mendesak orang-orang Rajasa dan Sinelir, terpaksa
membagi diri. Sebagian dari mereka terus berusaha mendesak
orang-orang Rajasa dan Sinelir, sedang yang lain melawan musuhmusuh
mereka yang baru. Namun dengan demikian, maka kekuatan mereka mulai terpecah.
Apalagi orang-orang Rajasa dan Sinelir mulai bertahan dengan
sekuat kemampuan. Karena lawan mereka menjadi berkurang,
maka mereka tidak lagi harus mundur terus menerus dan apalagi
bersembunyi dan bertempur sambil berlari-lari di kebun-kebun yang
ditumbuhi pepohonan. Karena itulah maka pertempuran di luar halaman istana itu
menjadi semakin riuh. Perlahan-lahan orang-orang Rajasa dan Sinelir
yang telah mendapat kekuatan baru itu berhasil menghentikan
desakan lawan-lawannya. Bahkan kemudian pertempuran yang
terjadi di luar dinding itu seolah-olah menjadi seimbang.
Namun dalam pada itu, di dalam dinding halaman, orang-orang
Rajasa dan Sinelir masih mendapatkan kesulitan. Prajurit Singasari
yang setia kepada Tohjaya, dengan kemarahan yang meluap-luap
dibumbui oleh harapan untuk mendapatkan hadiah atau pujian telah
membuat mereka bagaikan liar. Senjata mereka seolah-olah menjadi
binatang buas yang kehausan. Sedangkan darah adalah minuman
yang sangat menggairahkan.
803 Mahisa Agni yang semula masih mempertimbangkan semua
tingkah lakunya, walaupun di peperangan, mulai menjadi semakin
garang. Ia telah didorong oleh perhitungan tentang kemungkinankemungkinan
yang paling pahit akan terjadi pada Pasukan Pengawal
dan Pelayan Dalam yang semakin terdesak.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni pun kemudian berusaha
untuk melemahkan musuhnya sebanyak-banyaknya. Meskipun ia
tidak berhasrat membunuh semata-mata, tetapi jika kemudian
terjadi kematian, adalah akibat dari perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan dengan peradaban manusia yang seharusnya menjadi
semakin berkembang. Kegarangan Mahisa Agni itu ternyata mempunyai pengaruh yang
luas. Bersama-sama dengan para pengawal khususnya yang
membelitkan sehelai kain putih di lehernya, Mahisa Agni mengamuk
seperti benteng yang terluka. Setiap kelompok lawan yang dilanda
olehnya bersama kelompok kecilnya, menjadi pecah berserakan.
Dalam keadaan yang demikian itulah, maka orang-orang Rajasa
dan Sinelir mengambil keuntungan. Selagi prajurit-prajurit itu belum
dapat menyesuaikan dirinya, maka mereka pun harus dilumpuhkannya
sama sekali. Demikian juga kedua Panglima yang ada dihalaman itu. Mereka
pun bertempur dengan gigihnya, tanpa memperhatikan nasib
mereka sendiri. Sementara itu, Mahisa Wonga Teleng, oleh Mahisa Agni
dimintanya untuk tetap berada di bangsalnya sambil melindungi
ibundanya Ken Dedes dan keluarganya. Mereka masih harus tetap
berwaspada. Setiap saat kelompok-kelompok yang lain akan datang
dan berusaha membinasakan seluruh keluarga itu.
Usaha Mahisa Agni dan para Panglima itu sedikit dapat menolong
suasana. Bukan saja Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang
mengalami tekanan yang berat, tetapi prajurit-prajurit lawannya
kadang-kadang harus berlarian bercerai berai dilanggar oleh
pasukan Mahisa Agni yang tidak saja berada di arena tertentu.
804 Tetapi meskipun demikian, adalah sangat sulit bagi orang orang
Rajasa dan Sinelir untuk tetap bertahan. Tekanan yang rasa-rasanya
semakin berat, hampir tidak tertanggungkan lagi. Sedangkan regolregol
halaman dan gerbang di depan istana sudah di tutup rapatrapat
oleh prajurit-prajurit yang bertugas.
Dengan demikian maka para prajurit dari Pasukan Pengawal dan
Pelayan Dalam yang ada di dalam, tidak akan dapat menarik diri
keluar dari halaman. Sedangkan yang ada di luar tidak akan dapat
masuk. Tetapi keadaan itu justru membuat orang-orang Rajasa dan
Sinelir bagaikan kehilangan pilihan. Tidak ada cara lain daripada
bertempur sampai mati. Mereka yang berhati kecil, kadang-kadang hampir menjadi putus
asa. Tetapi jika mereka melihat Mahisa Agni dan para pengawal
khususnya mengamuk dan memecah setiap kelompok prajurit yang
mencoba menghalanginya, maka keberanian mereka pun menjadi
berkembang kembali. Dengan serta merta mereka menyerbu dan
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Prajurit yang sedang
tercerai berai itu pun kemudian, diserang tanpa ragu-ragu, sehingga
korban pun berjatuhan. Namun sekali lagi orang-orang Rajasa dan Sinelir harus mengakui
kelebihan kekuatan para prajurit. Mereka selalu menekan orangorang
Rajasa dan Sinelir dengan jumlah yang seolah-olah tidak
pernah berkurang, justru bertambah-tambah.
Apalagi kemudian Panglima prajurit itu yang berada di bangsal
Tohjaya, setelah menerima laporan dari penghubungnya, segera
mengambil keputusan, "Perang ini harus cepat selesai. Jika tidak,
maka Mahisa Agni akan mengurangi jumlah prajurit kita sedikit demi
sedikit, sehingga akhirnya menjadi lemah."
"Jadi, bagaimana maksudmu?"
"Ampun tuanku. Jika berkenan, maka hamba akan melepaskan
prajurit-prajurit cadangan di sekitar bangsal ini. Mereka harus
805 bergerak serentak untuk menumpas lawan dalam waktu yang
dekat." "Jadi bagaimana dengan bangsal ini."
"Hamba akan meninggalkan pengawal secukupnya."
"Dan kau!" "Hamba harus menahan sergapan Mahisa Agni di seluruh medan.
Ia berada di mana-mana dan memungut korban sebanyakbanyaknya.
Karena itu hamba harus menahannya agar ia terikat
disatu tempat. Biarlah Senapati pilihan menghentikan gerak kedua
Panglima yang berkhianat, sedang yang lain harus menyelesaikan
tuanku Mahisa Wonga Teleng."
"Dan ibunda Ken Dedes. Anak-anaknya dan menantunya."
"Hamba tuanku."
"Tetapi kau harus meninggalkan prajurit yang cukup di sekitar
bangsal ini." "Tentu tuanku."
"Pergilah, dan cepat kembali."
Panglima itu pun kemudian keluar dari bangsal dengan
pengawal-pengawal pilihan. Ia sudah bertekad untuk mencoba
kemampuan Mahisa Agni yang seolah-olah seperti dongengan
tentang dewa-dewa yang turun dari langit, dan tidak terkalahkan
oleh manusia yang manapun juga.
Selain ia sendiri turun kemedan, maka ia pun telah melepaskan
sebagian dari kelompok-kelompok pasukan cadangannya yang
ditempatkan di sekitar bangsal Tohjaya.
Dengan demikian maka keadaan medan menjadi semakin berat
sebelah. Orang-orang Rajasa dan Sinelir menjadi semakin terdesak.
Bahkan kemudian sekelompok prajurit telah berniat untuk
membinasakan Mahisa Wonga Teleng dan saudaranya, sekaligus
Ken Dedes dan menantunya, ibu Ranggawuni.
806 Mahisa Agni dan kedua Panglima yang berada di pihak
Ranggawuni menjadi gelisah. Mereka melihat gelombang yang
seakan-akan bergulung-gulung datang melanda pasukan orangorang
Rajasa dan Sinelir. Beberapa orang Senapati memang menjadi seakan-akan berputus
asa Bahkan ada di antara mereka yang menjadi kecewa,
seolah-olah mereka telah terjebak oleh rencana Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka. "Kita harus hancur lebih dahulu. Baru kemudian mereka akan
memetik buahnya." Namun dengan demikian, mereka yang menjadi berputus asa itu
pun justru menjadi sangat berbahaya. Mereka bertempur tanpa
pengekangan diri lagi. Bagi mereka sudah tidak ada pilihan lain
kecuali mati. Dalam pada itu, di luar dinding istana, prajurit-prajurit dan rakyat
yang berpihak kepada Ranggawuni semakin banyak berdatangan.
Ketika salah satu pertahanan para prajurit yang menjaga pintu
gerbang dapat dipecahkan, maka bagaikan bendungan yang
tersobek oleh banjir bandang, maka pasukan yang berada di luar
dinding kota pun berdesakan masuk. Mereka langsung berIari-Iarian
menyerbu ke arah istana. Baru kemudian mereka menyadari, bahwa baru sebuah pintu
gerbang yang dapat mereka susupi. Dengan demikian, maka
mereka pun kemudian memencar kebeberapa arah untuk membantu
kawannya yang sedang bertempur dengan sengitnya.
Sementara itu, Lembu Ampal menjadi agak berlega hati. Ia mulai
yakin bahwa prajurit-prajurit yang mempertahankan istana itu pun
akan segera dapat dipecahkan.
Tetapi ternyata pertahanan dipintu-pintu gerbang halaman istana
cukup rapat. Pintu-pintu besi yang besar telah diturunkan. Bukan
saja digerbang induk, tetapi di setiap pintu yang menembus keluar
dinding halaman. 807 Namun Lembu Ampal tidak saja dapat menikmati kemenangan
yang perlahan-lahan mulai nampak di luar dinding istana. Tetapi ia
mulai membayangkan, bagaimanakah nasib orang-orang Rajasa dan
Sinelir di dalam dinding istana. Tetapi Lembu Ampal sama sekali
tidak menemukan sebuah regol pun yang terbuka.
Untuk beberapa saat lamanya, Lembu Ampal mencari cara yang
sebaik-baiknya, agar ia dapat membantu pasukan yang ada di
dalam halaman. Meskipun di dalam halaman itu ada Mahisa Agni,
kedua Panglima dari Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam, Mahisa
Wonga Teleng dan adik-adiknya, namun jumlah pasukannya tentu
belum memadai untuk melawan prajurit yang terlampau kuat di
dalam halaman itu. Di luar halaman, keadaan orang-orang Rajasa dan Sinelir menja
di semakin baik. Jumlah mereka semakin lama menjadi semakin
bertambah dengan pasukan yang berhasil menyusup ke dalam kota.
Meskipun jumlah mereka tidak melonjak terlampau cepat, karena
baru sebuah regol yang dapat ditembus, namun keadaan mereka
yang bertempur di luar kota sudah menjadi semakin baik dan
meyakinkan. Dalam pada itu, T iba-tiba Lembu Ampal teringat, bagaimana ia di
malam hari memasuki halaman tidak melalui regol yang manapun
juga. Karena itu, maka ia pun segera menemui beberapa orang
pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk kepada
mereka. "Kita harus segera memasuki halaman. Jika tidak, keadaan
kawan-kawan kita di dalam tentu akan menjadi sangat parah."
berkata Lembu Ampal. "Bagaimana kita dapat memasuki halaman istana itu?" bertanya
seorang pemimpin kelompok.
"Memang tidak ada pintu regol yang dapat kita buka dari luar.
Tetapi dinding itu tidak terlampau tinggi. Kita akan meloncatinya."
"Tidak terlampau tinggi" Tetapi kami tidak akan dapat meloncat
begitu saja." 808 Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Memang kebanyakan
prajurit tidak akan dapat meloncat begitu saja. Dengan ilmu yang
wantah maka dinding itu memang terlampau tinggi.
"Carilah sebatang bambu. Kita akan memanjat naik, ke mudian
meloncat turun." Ia berhenti sejenak, lalu, "Maksudku sebatang
untuk kelompok, agar dapat bersama-sama meloncat beberapa
orang sekaligus. Jika kita meloncat masuk seorang demi seorang,
maka dada kita akan diterima oleh ujung tombak tanpa perlawanan.
Tetapi jika lima enam orang bersama-sama, maka keadaannya akan
berbeda." Kawan-kawannya termenung sejenak. Mereka menyadari bahaya
yang ada dibalik dinding itu. Bahkan terbayang diangan-diangan
mereka ujung tombak yang mencuat seperti daun ilalang yang yang
tumbuh dengan lebatnya. "Tetapi kita harus masuk." desis seorang prajurit muda.
"Ya." sahut yang lain, "Kita mencari beberapa batang bambu
atau kayu yang cukup panjang."
"Di padesan itu."
Beberapa orang pun kemudian berlari-larian mencari batangbatang
bambu. Mereka tidak menghiraukan lagi pertempuran yang
terjadi di luar dinding halaman, karena kawan-kawan mereka
agaknya akan segera berhasil menguasai keadaan.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah kembali sambil
membawa batang-batang bambu yang akan mereka pakai untuk
memanjat. "Hati-hatilah." berkata Lembu Ampal, "Jagalah jangan sampai
ujung bambumu mencuat dan nampak dari dalam. Jika mereka
melihat lebih dahulu, maka mereka akan siap menunggu dengan
ujung senjatanya." Prajurit-prajurit itu berpandangan sejenak. Namun mereka pun
segera menyadari keadaan. Karena itu, dengan tangkasnya mereka
809 menarik pedang mereka dan memotong bambu-bambu itu setinggi
dinding halaman. Prajurit-prajurit Singasari tidak sempat berbuat apa pun juga
karena mereka harus mempertahankan diri dari tekanan lawannya.
Jumlah mereka yg berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka menjadi semakin lama semakin bertambah-tambah.
Sesaat kemudian bambu-bambu itu pun telah tersandar pada
dinding. Lembu Ampallah yang pertama-pertama siap untuk
memanjat sambil berkata, "Marilah. Kita harus segera membantu
kawan kawan kita yang pasti mendapatkan kesulitan di dalam
halaman itu." Beberapa orang pun segera bersiap. Mereka masih ragu-ragu
sejenak. Namun ketika mereka melihat Lembu Ampal mulai
memanjat, maka yang lain pun segera memanjat pula.
Sebenarnya Lembu Ampal tidak memerlukan bambu-bambu itu
tetapi seolah-olah ia sengaja memberikan contoh kepada kawankawan
nya, bagaimana mereka memasuki dinding halaman istana
itu. Ketika mereka sampai di bibir dinding halaman itu, maka Lembu
Ampal pun segera memberikan isyarat. Kawan-kawannya segera


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berloncatan turun memasuki halaman dengan senjata terhunus.
Beberapa orang prajurit yang sedang menekan dengan yakin
akan dapat membinasakan orang-orang Rajasa dan Sinelir yang
terdorong sampai ke sudut halaman itu pun terkejut bukan buatan.
Mereka melihat beberapa orang tiba-tiba saja telah meloncat turun
dengan senjata di tangan.
Bahkan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, maka orang
kedua telah memanjat pada setiap batang bambu yang tersandar
pada dinding batu itu, dan yang sejenak kemudin telah meloncat
masuk pula. Sejenak kemudian, seorang Senapati yang menyadari keadaan,
segera meneriakkan aba-aba. Beberapa orang prajurit pun segera
810 menyerbu menyerang orang-orang yang meloncat memasuk
halaman itu. "Binasakan mereka, selagi jumlah mereka belum bertambah lagi."
Namun ketika aba-aba itu diteriakkan, dan gemanya masih belum
lenyap, maka orang-orang berikutnya telah memasuki halaman pula.
Dengan demikian maka sekelompok prajurit dengan tergesa-gesa
menyerang mereka. Mereka berdatangan dari segala arah.
Meskipun demikian sebagian dari prajurit-prajurit itu masih harus
tetap di tempatnya, karena mereka sedang terlibat di dalam
pertempuran. Orang-orang Rajasa dan Sinelir yang tertekan sampai kesudut,
dan yang semula sudah tidak mengharapkan dapat lolos dari maut,
sehingga mereka bertempur membabi buta karena putus asa,
merasa sedikit berpengharapan. Yang pasti adalah lawan mereka
berkurang, sehingga jika mereka harus mati, maka mereka akan
dapat memperpanjang umurnya beberapa saat lagi.
Pertempuran yang kemudian timbul antara para prajurit dan
orang-orang yang berloncatan masuk itu pun menjadi semakin
sengit. Prajurit yang kemudian mengepung mereka yang meloncat
turun dari atas dinding batu itu menjadi semakin banyak pula. Satu
dua orang masih berloncatan turun terus menerus.
Namun pada suatu saat, arus orang-orang yang meloncat dinding
itu pun terhenti. Orang-orang yang sudah ada di dalam, dipimpin
langsung oleh Lembu Ampal menjadi heran. Jumlah yang sudah ada
di dalam itu masih terlampau sedikit. Sedang yang lain tiba-tiba saja
menghentikan bantuannya. "Belum banyak artinya." berkata Lembu Ampal di dalam hati.
Namun bagi mereka yang sejak semula merasakan tekanan yang
sangat berat di dalam halaman itu, merasa bahwa bantuan itu telah
dapat menumbuhkan tekad yang baru di dalam dada masingmasing.
Terlebih adalah mereka yang bertempur didekat orang
orang itu meloncat dari luar halaman.
811 Lembu Ampal menjadi termangu-mangu sejenak. Apakah orang
orang yang ada diluar dinding telah dapat ditekan pula sehinga
mereka tidak dapat membantu pasukan yang ada di dalam.
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat merenungi hal itu terus
menerus. Ia pun segera sadar, bahwa ia harus bertempur. Bukan
merenung. Ternyata bahwa ketika Lembu Ampal mulai mengayunkan
senjatanya dengan segenap kemampuannya, maka orang-orang
yang mengepungnya terdesak surut meskipun tidak segera terpecah.
Tetapi kemampuan Lembu Ampal benar-benar mereka segani.
Senjatanya bagaikan angin prahara yang menyambar-nyambar
tidak henti-hentinya. Dengan demikian maka kelompok yang dipimpin oleh Lembu
Ampal dan yang masih terkepung melekat dinding itu telah
menghisap kekuatan yang cukup besar dari prajurit Singasari yang
sedang berjuang mempertahankan kekuasaan Tohjaya itu.
Tetapi jumlah kelompok kecil yang memasuki halaman itu masih
belum memadai. Betapa gigihnya mereka bertempur, dan betapa
besar kemampuan Lembu Ampal, namun dibawah pimpinan dua
orang Senapati yang sekaligus melawan Lembu Ampal, maka
kelompok kecil itu benar-benar telah terkepung rapat rapat, seperti
sekelompok orang-orang Rajasa dan Sinelir yang masih saja
tersudut tidak begitu jauh dari kelompok yang dipimpin oleh Lembu
Ampal. Namun orang-orang Rajasa dan Sinelir itu merasa bahwa
tekanan atas mereka sudah menjadi berkurang meskipun mereka
belum berhasil memecahkan kepungan atas mereka.
Namun yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan para prajurit
dan bahkan Lembu Ampal sendiri. Ternyata pasukan yang ada d:luar
dinding halaman, tidak berniat menghentikan usahanya membantu
orang-orang Rajasa dan Sinelir yang ada di dalam. Namun salah
seorang dari mereka berpendapat, bahwa sebaiknya mereka
berpindah tempat, agar pasukan yang memasuki halaman itu agak
terpencar. 812 Dengan demikian maka mereka pun segera mengangkat bambubambu
yang tersandar pada dinding halaman, dan memindahkannya
beberapa puluh langkah ke samping.
Baru sejenak kemudian maka beberapa orang mulai memanjat
bambu itu, dan sambil berteriak nyaring berloncatan turun beberapa
puluh langkah dari pasukan yang dipimpin oleh Lembu Ampal.
Kehadiran mereka pun masih juga mengejutkan orang-orang
yang ada di dalam. Namun para prajurit pun segera menyadari
bahwa orang-orang itu pun dapat menjadi sangat berbahaya bagi
mereka sehingga sekejap kemudian sebagian dari mereka pun segera
menyerbu dan mengepungnya.
Tetapi yang sudah terjadi itu pun segera terulang lagi. Setelah
beberapa orang meloncat masuk dan terlibat dalam perkelahian
yang seru, maka batang-batang bambu itu pun bergeser lagi, dan
beberapa orang telah berloncatan pula memasuki halaman.
Lembu Ampal yang melihat cara yang dipilih oleh pasukannya itu
tersenyum di dalam hati. Ia memuji kecerdikan mereka, sehingga
dengan demikian, maka musuh pun seakan-akan telah terpecahpecah
dalam kelompok-kelompok kecil.
Dalam pada itu. sejenak kemudian keadaan di satu sisi itu segera
berubah. Tetapi kedatangan pasukan yang berloncatan dari dinding
itu belum mempengaruhi keseluruban dari pertempuran. Prajuritprajurit
yang dilepas dari tugasnya di sekitar bangsal Tohjaya pun
telah turun kedalam pertempuran, sehingga seolah-olah jumlah
mereka pun menjadi bertambah-tambah banyak.
Namun dalam pada itu, orang-orang yang berloncatan masuk itu
pun ternyata mengalir tidak henti-hentinya di tempat yang selalu
bergeser di seputar halaman istana Singasari itu.
Para prajruit yang setia kepada Tohjaya mulai menjadi berdebardebar.
Mereka mencoba membagi diri untuk menahan arus orangorang
yang berloncatan masuk. Meskipun mereka tidak lebih dari
enam atau tujuh orang setiap kali, namun berturut-turut tidak ada
henti-hentinya. 813 Akhirnya prajurit-prajurit Singasari yang mempertahankan kedudukan
Tohjaya itu pun tidak dapat menahan orang-orang yang merembes
semakin banyak itu. Beberapa orang di antara mereka
berhasil lolos dan langsung menusuk kepusat halaman istana
Singasari. Yang membuat prajurit-prajurit Singasari menjadi cemas adalah
karena sebagian dari mereka yang memasuki halaman itu adalah
prajurit-prajurit Singasari pula yang telah beberapa lama bertugas di
Kediri, ditambah dengan anak-anak muda yang dengan latihan
khusus telah menggabungkan diri kedalam pasukan Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka. Keadaan pertempuran dihalaman itu mulai berubah. Di manamana
mulai terasa ada perubahan. Orang-orang Rajasa dan Sinelir
yang terkepung di mana-mana, merasakan kepungan itu menjadi
kendor. Baru kemudian mereka menyadari, bahwa tentu ada bantuan
yang sudah berhasil memasuki halaman dalam jumlah yang cukup,
sehingga prajurit-prajurit Tohjaya itu harus melawan musuh yang
lebih banyak. Sementara itu Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya
menyusup di antara pertempuran dihalaman untuk mencari Mahisa
Agni. Bagi Panglima itu. Mahisa Agni adalah orang yang paling
berbahaya yang harus lebih dahulu dibinasakan.
Dengan pengawal yang cukup banyak, dan beberapa orang
Senapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna,
Panglima itu berhasrat untuk membinasakan Mahisa Agni terlebih
dahulu sebelum pengikut-pengikutnya.
"Betapapun tinggi ilmunya, ia tidak akan dapat melawan kita
berlima." berkata Panglima itu kepada empat orang Senapatinya
yang memiliki ilmu yang melampaui kawan-kawannya. Bahkan di
antara Senapati yang lain, keempat orang itu beserta Panglimanya
merupakan sekelompok prajurit yang tidak akan dapat dikalahkan
oleh siapapun juga. 814 Sejenak mereka menyusuri daerah pertempuran yang semakin
seru. Tetapi Panglima beserta keempat Senapati terpilih itu,
bersama pengawalnya tidak menghiraukaan lagi lawan-lawannya
yang lain. Hanya kadang-kadang mereka berhenti sejenak, menggilas
orang-orang yang mencoba menghalangi langkah mereka.
Dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam yang bertempur dengan
sengitnya, melihat sekelompok prajurit pilihan itu.
Sejenak ia termangu-mangu. Ia menyadari arti kelima orang
yang pilih tanding itu, sehingga dengan demikian, maka ia tidak
mau dengan tergesa-gesa menghalanginya. Tetapi dengan diam-diam
ia berusaha mengikuti kemana ia pergi.
Pengawalnya menjadi terheran-heran. Tetapi ketika mereka
melihat Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu melintas
bersama empat Senapati dan para pengawalnya, maka para
pengawal Panglima Pelayan Dalam itu pun menyadari, bahwa di
arena itu telah turun lawan yang sangat berat. Karena itu, para
pengawal itu pun sekedar mengikuti Panglimanya tanpa berbuat
sesuatu. Hanya kadang-kadang mereka bertempur melawan
prajurit-prajurit yang menyerang mereka dengan tiba-tiba.
Tetapi agaknya nasib mereka agak kurang baik. Dengan tanpa
disadari, maka Panglima prajurit itu telah melihat Panglima Pelayan
Dalam itu, sehingga dengan menggeram ia berkata, "Kita selesaikan
tikus itu, sebelum kita bertemu dengan Mahisa Agni."
Keempat Senapati yang menyertainya melihat Panglima Pelayan
Dalam itu pula. Salah seorang dari mereka berkata, "Silahkan
Panglima mencari Mahisa Agni. Biarlah aku singgah sejenak untuk
menyelesaikannya." "Ia cukup berbahaya. Karena itu agar pekerjaan kita menjadi
cepat selesai, biarlah kita pergi bersama-sama."
Keempat Senapati dan para pengawalnya tidak ada yang
membantah lagi. Mereka mengikuti saja ketika Panglima itu
berbelok dan menuju kearah Panglima Pelayan Dalam yang menjadi
berdebar-debar. 815 "Ia melihat aku." berkata Panglima itu.
"Ya." sahut pengawalnya, "Ia datang bersama para Senapati
berwajah hantu yang empat itu."
"Apa boleh buat." geram Panglima Pelayan Dalam, "Sebenarnya
aku tidak gentar melawan Panglima itu seorang lawan seorang.
Tetapi bersama-sama dengan empat Senapati berhati iblis itu,
mereka mempunyai kekuatan yang luar biasa."
"Kami sudah siap." desis seorang pengawalnya, "Memang tidak
ada pilihan lagi. Kita harus bertempur."
Dalam pada itu, Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu
semakin lama menjadi semakin dekat. Orang-orang Rajasa dan
Sinelir yang mencoba menghalanginya, seakan-akan dengan
mudahnya disibakkan seperti daun ilalang.
Panglima Pelayan Dalam itu pun segera mempersiapkan diri.
Meskipun ia sadar, melawan mereka berlima adalah suatu pekerjaan
yg tidak mungkin. Seandainya pengawalnya mampu menahan
pengawal-pengawal Panglima itu, tetapi keempat Senapati itu tentu
akan berhasil lepas dan bersama-sama mencincangnya.
"Hanya Mahisa Agni lah yang mungkin dapat melawan mereka
berlima sakaligus. Itu pun jika memang Mahisa Agni mempunyai
ilmu ajaib yang disebut Gundala Sasra." berkata Panglima itu di
dalam hatinya. Sementara itu, Panglima dan empat orang Senapati yang disebut
berhati iblis itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka menjadi
tegang dan menakutkan, mencerminkan warna hati iblis mereka.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba Panglima Pelayan Dalam merasa
seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Panglima
Pasukan Pengawal telah berdiri dibelakangnya bersama beberapa
orang pengawalnya. "He, apakah kau akan melawannya?" bertanya Panglima Pasukan
Pengawal. 816 "Tidak ada pilihan lain." desis Panglima Pelayan Dalam.
"Sebaiknya kau mengelak lebih dahulu sebelum kau mendapat
kekuatan yang cukup. Mereka berlima adalah kekuatan yang tidak
ada bandingnya." "Semula aku hanya mengamatinya dari kejauhan. Tetapi mereka
melihat aku dan mereka mendatangi. Aku tidak akan ingkar akan
tugas keprajuritanku."
Panglima pasukan Pengawal itu termenung sejenak. Lalu
katanya, "Memang. Tidak seharusnya kita ingkar." ia termenung
sejenak, lalu, "Baiklah. Aku bersamamu sekarang."
Panglima Pelayan Dalam itu memandanginya sejenak. Desisnya,
"Apakah kau akan melawan mereka pula."
"Apa boleh buat."
Kedua Panglima itu pun kemudian mengambil jarak. Karena
jumlah pengawal mereka bertambah, maka masing-masing telah
menyiapkan sekelompok kecil prajurit yang paling baik untuk
bersama-sama melawan kelima orang lawan yang tidak ada bandingnya
itu. "Setidak-tidaknya kita harus berusaha menahan mereka." berkata
Panglima Pasukan Pengawal kepada prajurit-prajurit terpilih yang
mengawalnya, "Karena itu. kita harus bertempur sebaik-baiknya.
Mereka tentu akan terbagi dan melawan kami berdua. Tetapi aku
dan Panglima Pelayan Dalam harus melawan mereka dalam
kelompok pula." Prajuritnya mengangguk-angguk. Tetapi mereka pun sadar, siapakah
Panglima dan keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu.
Namun mereka adalah prajurit juga. Prajurit yang pernah
mendapatkan ilmu keprajuritan. Bukan saja dari pimpinan mereka
tetapi sejak mereka memasuki lapangan keprajuritan, mereka
merasa sudah memiliki bekal dari perguruan masing-masing.
817 Itulah sebabnya, mereka bahwa mereka bukan hanya sekedar
akan membunuh diri. Apalagi dalam jumlah yang lebih banyak.
Namun dalam pada itu, Panglima Pelayan Dalam dengan diamdiam
telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk
mencari Mahisa Agni, dengan pesan, "Panglima prajurit bersama


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keempat Senapati berhati iblis itu tidak dapat dibatasi tingkah
lakunya." Sementara itu. Panglima yang diikuti oleh keempat Senapatinya
itu pun menjadi semakin dekat. Wajah mereka nampak tegang dan
memancarkan kebencian tiada taranya.
Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun segera
bergeser salig menjauh, seakan-akan mereka akan mengepung
kedua Panglima bersama pengawalnya.
"Pengkhianat." geram Panglima yang setia kepada Tohjaya itu,
"Kalian begitu bernafsu membunuh pengikut-pengikut Anusapati
saat itu. Sekarang kalian mencoba melawan tuanku Tohjaya dan
seluruh kekuatan Singasari."
Panglima Pasukan Pengawal melangkah maju sambil menjawab,
"Semuanya sudah berubah. Tuanku Tohjaya pun sudah berubah.
Itulah sebabnya maka pendirianku pun berubah."
"Persetan. Apakah kau sadar, bahwa pengkhianatanmu itu harus
kau tebus dengan nyawamu dan nyawa semua pengikutmu."
"Kau bermimpi." sahut Panglima Pelayan Dalam, "Keadaan
pertempuran di halaman ini pun sudah berubah. Pasukanmu mulai
terdesak di mana-mana. Lihat, orang-orang yang memasuki
halaman ini dengan meloncati dinding semakin lama menjadi
semakin banyak." "Tetapi mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mampu
berperang." "Mereka adalah anak buahmu. Mereka adalah prajurit-prajurit
Singasari yang ada di Kediri dan yang lain adalah prajurit-prajurit
yang tersebar di beberapa daerah Singasari yang lain."
818 "Pengkianat mereka juga pengkhianat seperti kau."
"Mereka dapat memilih, manakah yang benar dan yang manakah
yang salah." Panglima itu menggeram. Lalu katanya, "Itulah sebabnya kau
tidak berani berbuat apa-apa terhadap Mahisa Agni."
"Akulah yang membawanya dari Kediri." berkata Panglima
Pelayan Dalam itu, "Tetapi aku menyadari kekuatan yang ada di
belakangnya." "Dan kekuatan itu sekarang kau pergunakan untuk berkhianat."
"Salah." potong Panglima Pasukan Pengawal, "Tuanku Tohjaya
lah yang memaksa kami untuk melawannya."
"Persetan, Aku tidak peduli. Sekarang kau berdua harus
mengalami akibat yang sangat buruk dari pengkhianatanmu. Kau
berdua akan mengalami nasib seperti kedua Senapatimu yang mati
dan dibuang kekali untuk menjadi makanan burung-burung liar
pemakan bangkai." Kedua Panglima itu saling berpandangan sejenak, seakan-akan
masing-masing ingin mengetahui, apakah mereka sudah bersiap.
"Marilah." berkata Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya
itu, "Kita akan segera mulai."
Panglima Pelayan Dalam memandang keempat Senapati lawan
itu sekilas. Namun disebelah menyebelahnya, pengawalpengawalnya
pun sudah bersiap sepenuhnya. Dan mereka bukannya
prajurit yang baru kemarin siang mendapat wisuda, tetapi mereka
prajurit-prajurit pilihan yang berpengalaman pula.
Meskipun demikian, kedua Panglima itu harus mengakui, bahwa
pengawalnya tidak akan dapat menyamai keempat Senapati berhati
iblis itu. Tetapi tidak ada pilihan lain. Adalah wajar sekali apabila kedua
Panglima itulah yang harus melawan mereka. Jika yang harus
menghadapi kelima orang itu hanyalah prajurit-prajurit dan
819 Senapati-Senapati yang lain, maka korban tentu akan berjatuhan
seperti menebang batang ilalang saja.
Sejenak kemudian, mereka masih saling mempersiapkan diri.
Keempat Senapati yang disebut berhati iblis itu pun segera membagi
diri. Yang seorang akan bertempur bersama Panglimanya, dan yang
tiga orang akan bertempur berpasangan.
Panglima Pasukan Pengawal menyadari, agaknya Panglima
prajurit yang telah mendesak kedudukan Pasukan Pengawal itu
telah bersiaga melawannya bersama seorang Senapatinya, sedang
ketiga Senapati yang lain telah bersiap untuk bertempur melawan
Panglima Pelayan Dalam. Kedua belah pihak ternyata benar-benar telah bersiaga. Mereka
agaknya sudah tidak akan berbicara lagi. Selangkah demi selangkah
mereka saling mendekati, sehingga akhirnya, senjata-senjata pun
mulai bergerak. Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu pun segera
mengayunkan senjatanya. Sebilah pedang yang tajam di kedua
belah sisinya. Sedang Senapati pembantunya yang seorang itu pun
telah meloncat pula dengan garrangnya. Ditangannya tergenggam
sebuah canggah bertangkai pendek.
Dilingkaran yang lain, ketiga Senapati yang berhati iblis itu pun
telah mulai menyerang pula. Senjata mereka pun sangat
mendebarkan hati. Yang seorang membawa sebilah tongkat besi
yang bergerigi seperti duri pada daun pandan dalam empat jalur.
Yang seorang lagi membawa sebuah bindi kayu galih asem ditangan
kanan, sedang ditangan kirinya tergenggam sebilah pedang pendek.
Sedang yang seorang lagi hanya memegang sebilah pedang biasa
yang tidak terlampau besar.
Kedua Panglima yang melawan mereka itu pun telah menggenggam
senjata pula di tangan masing-masing. Sehelai pedang
panjang. Sejenak kemudian, maka pertempuran segera terjadi dengan
sengitnya. Ternyata bahwa Panglima Pasukan Pengawal dan
820 Panglima Pelayan Dalam, tidak harus melawan musuhnya seorang
diri. Beberapa orang pengawal pilihan pun segera mendampinginya
melawan prajurit-prajurit berhati iblis itu.
Agaknya para pengawal pilihan itu pun mempunyai kebanggaan
mereka masing-masing. Senjata mereka ternyata bukannya senjata
yang biasa dipergunakan oleh prajurit Singasari, apalagi bagi
Pasukan Pengawal dan Pelayan Dalam yang mempergunakan
senjata seragam. Tetapi di dalam perang yang dahsyat dan di dalam
mempertaruhkan nyawa, mereka lebih senang mempergunakan
senjata yang mereka pelajari diperguruan masing-masing sebelum
mereka memasuki lingkungan keprajuritan.
Bahkan ada di antara mereka yang bersenjatakan sebatang
tombak, pendek yang ujungnya bergerigi. Ada pula yang membawa
sepasang rongkat besi yang dihubungkan dengan rantai baja. Dan
ada pula yang bersenjatakan tongkat pendek yang tajam dikedua
ujungnya. Demikianlah maka pertempuran itu menjadi semakin lama
semakin seru. Berbagai macam jenis senjata telah beradu. Apalagi
mereka yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan. Para
Panglima dan Senapati. Sejenak kemudian pertempuran ditempat itu pun segera menarik
perhatian. Beberapa orang prajurit justru tertegun menyaksikan.
Namun sementara itu. mereka masing-masing masih harus
bertempur pula di dalam lingkaran pertempuran mereka sendiri.
Lembu Ampal yang sudah ada dihalaman itu pun segera tertarik
pula oleh pertempuran yang sengit itu. Karena itulah maka ia pun
kemudian meninggalkan daerah pertempurannya sendiri, karena
kawamnya sudah semakin banyak berdatangan. Ia ingin melihat,
siapakah yang terlibat di dalam pertemputan itu.
Ketika ia menjadi semakin dekat, maka hatinya pun menjadi
semakin berdebar-debar. Ia melihat tiga orang Panglima dan empat
orang Senapati yang disebut berhati iblis itu sedang bersabung.
821 "Panglima Pasukan Pengawal dan Panglima Pelayan Dalam itu
tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi." berkata Lembu
Ampal, karena ia pun tahu kemampuan kelima orang itu. Sedangkan
para pengawal hanya dapat sekedar membantu dan merupakan
pelarian sementara jika kedua Panglima itu sudah menjadi sangat
terdesak. "Mereka tidak boleh dibiarkan." berkata Lembu Ampal pula
kepada diri sendiri, meskipun ia masih tetap ragu-ragu, apakah
kehadirannya akan dapat menolong kedua Panglima iru. Namun
setidak-tidaknya, kehadirannya diarena itu akan mampu
memperingan beban kedua Panglima itu. atau salah seorang dari
mereka. Demikianlah, maka Lembu Ampal pun segera mendekati arena
itu. Kemudian dengan serta merta ia meloncat memasuki arena
dengan pedang ditangannya.
"Lembu Ampal." desis Panglima parjurit yang setia kepada
Tohjaya itu. "Ya, aku adalah Lembu Ampal."
"Kau turut berkhianat?"
"Tidak. Aku berdiri dipihak yang benar. Aku menolak untuk
menjalankan perintah tuanku Tohjaya, membunuh tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka yang tidak bersalah."
Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu tertegun
sejenak. Dipandanginya Lembu Ampal dengan sorot mata yang
memancarkan kebencian. "Kau datang untuk menyerahkan nyawamu Lembu Ampal.
Memang sudah menjadi nasib seorang pengkhianat untuk mati
dimanapun juga." "Jika demikian, marilah kita lihat, siapakah yang akan mati di
antara kita. Yang mati itu adalah pengkhianat."
822 "Bagus." teriak Panglima itu sambil meloncat menyerang Lembu
Ampal. Lembu Ampal memang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu, maka serangan Panglima itu pun tidak
mengejutkannya. Dengan tangkasnya Lembu Ampal mengelak. Namun ia pun
segera membalas serangan itu dengan serangan yang tidak kalah
dahsyatnya. (Bersambung ke jilid 12) Koleksi : Ki Ismoyo Scanning : KiArema Retype/Profing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
823 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 12 DENGAN demikian, maka Panglima prajurit itu kini
berpindah lawan. Ia tidak lagi
melawan Panglima Pasukan Pengawal. Tetapi ia memilih
lawannya yang baru. Lembu
Ampal. Karena itulah maka Senapati
yang bertempur bertiga melawan
Panglima Pelayan Dalam, segera
mengatur diri. Seorang dari
mereka segera melepaskan arena
pertempuran itu dan terjun
melawan Panglima Pasukan Pengawal bersama seorang kawannya. Dalam pada itu, ternyata perhitungan Panglima lawan Lembu
Ampal itu salah. Ia menganggap bahwa Lembu Ampal adalah
seorang Senapati yang tidak memiliki ilmu yang cukup untuk
melawannya. Ia menganggap bahwa Lembu Ampal masih berada
selapis di bawahnya seperti kebanyakan Senapati yang lain.
Namun, setelah bergaul dengan Witantra, Mahendra, Mahisa Agni
dan menjadi kawan berlatih Ranggawuni dan Mahisa Cempaka,
Lembu Ampal ternyata telah berubah. Ia kini memiliki ilmu yang
lebih tinggi dari perhitungan lawannya.
824 "Gila, iblis manakah yang mengajari kau berkelahi?" teriak
Panglima itu. "Sekedar untuk membela diri." sahut Lembu Ampal. Lawannya
menggeram. Dengan sepenuh tenaga ia mencoba mendesak Lembu
Ampal. Namun ternyata kemudian bahwa kemampuan Panglima itu
memang masih lebih tinggi dari Lembu Ampal. Meskipun Lembu
Ampal masih akan tetap mampu menjaga dirinya, tetapi untuk
bertempur dalam waktu yang tidak terbatas, maka Lembu Ampal
akan mengalami kesulitan.
Tetapi untuk sementara Lembu Ampal masih tetap bertahan.
Sekilas bahkan ia masih sempat melihat kedua Panglima yang lain
bertempur masing-masing melawan dua orang Senapati.
Ternyata keduanya pun masih mengalami kesulitan. Tetapi untuk
beberapa saat mereka pun pasti akan dapat bertahan. Apalagi
mereka kemudian tidak lagi harus bertempur melawan kekuatan
yang berlebih-lebihan. Masing-masing dari kedua Panglima itu
tinggal melawan dua orang lawan. Sedangkan para pengawal kedua
Panglima itu masih mampu membantu mereka sejauh-jauh dapat
mereka lakukan. Dalam pada itu, Mahisa Agni yang bertempur di bagian lain dari
halaman itu, berusaha untuk menghisap lawan sebanyakbanyaknya.
Ia menyadari bahwa orang-orang Rajasa dan Sinelir terdesak
di mana-mana. Karena itu, maka Mahisa Agni dan para pengawalnya
berusaha untuk mengurangi tekanan itu dengan
melumpuhkan lawan yang mereka jumpai.
Namun sekali-sekali Mahisa Agni menjadi bimbang. Ia sendiri
tidak dapat mengerti akan tingkah lakunya sendiri. Bahkan
kemudian ia jatuh pada suatu kesimpulan, bahwa di dalam keadaan
yang memaksa akhirnya seseorang harus memilih, mengorbakan
yang dianggapnya kurang baik bagi yang lebih baik.
Demikianlah Mahisa Agni mengorbankan orang-orang yang tidak
akan banyak berguna lagi bagi Singasari dengan harapan untuk
825 menemukan hari depan yang lebih baik bagi negara yang sedang
berkembang itu. Meskipun Mahisa Agni tidak ingin melumpuhkan
lawannya dengan membunuh mereka, namun adalah di luar
kemampuannya untuk menghindarinya sama sekali.
Ketika kemudian Mahisa Agni melihat seakan-akan ada arus yang
sedang memasuki halaman, ia pun mengerti bahwa beberapa orang
telah berhasil memasuki halaman itu dan membantu orang-orang
Rajasa dan Sinelir yang mengalami tekanan. Karena itu, maka
hatinya pun menjadi semakin tenang, dan karena itu, korban yang
jatuh oleh tangannya pun menjadi berkurang.
Perlahan-lahan namun pasti Mahisa Agni langsung mendekati


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangsal Tohjaya. Betapapun ketatnya pertahanan yg berlapis-lapis,
namun Mahisa Agni selalu mendesak maju. Apalagi karena prajurit
yang membentengi bangsal itu pun sudah susut, karena mereka
harus berpencaran di seluruh halaman.
Tetapi selagi Mahisa Agni menjadi semakin dekat dengan bangsal
itu, maka datanglah penghubung yang telah dipesan oleh Panglima
Pelayan Dalam untuk menjumpai Mahisa Agni. Dengan nafas
terengah-engah ia pun berkata, "Aku harus mencari tuan di seluruh
halaman ini." "Apakah kau membawa pesan?"
"Ya." "Apakah pesan itu?"
"Panglima Pelayan Dalam mengirimkan pesan, bahwa Panglima
Prajurit yang setia kepada tuanku Tohjaya itu berkeliaran di
halaman. Tingkah lakunya sama sekali tidak dapat dibatasi,
sehingga menimbulkan korban yang tiada terhitung jumlahnya."
"Dimana ia sekarang?"
"Bertempur melawan Panglima Pasukan Pengawal."
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Ia sudah menjadi semakin
dekat dengan bangsal Tohjaya. Ia ingin memasuki bangsal itu
826 lebih dahulu dari para prajurit dan Panglima. Jika Panglima Pelayan
Dalam itulah yang pertama-tama menemukannya, maka nasib
Tohjaya agaknya akan menjadi sangat buruk. Kedua Panglima itu
sudah menyimpan dendam di dalam hati. Kecuali penyesalan bahwa
mereka sudah terlibat dalam usaha pembunuhan Anusapati yang
kemudian menempatkan Tohjaya pada tahta Singasari, juga karena
sikap dan tingkah laku Tohjaya yang sangat menyakitkan hati.
Namun ternyata bahwa kedua Panglima itu kini berada di dalam
kesulitan. "Bagaimanakah imbangan kekuatan itu?" bertanya Mahisa Agni
kemudian, "Apakah Panglima Pasukan Pengawal selalu terdesak?"
"Ya tuan Panglima prajurit yang setia kepada tuanku Tohjaya itu
bersama dengan empat orang Senapati yang disebut berhati iblis
itu." Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Senapati itu memang
benar-benar berhati iblis. Ia tidak mengenal perikemanusiaan sama
sekali. Kematian lawannya dimedan perang merlupakan permainan
yang menyenangkan baginya.
Karena itu, Mahisa Agni pun kemudian berpikir sejenak. Bangsal
Tohjaya sudah tidak begitu jauh lagi. Tetapi Panglima Pasukan
Pengawal itu memang memerlukan pertolongan.
Sejenak Mahisa Agni memperhatikan pertempuran di sekitar
halaman bangsal Tohjaya yang diputari dengan sebuah kolam yang
justru dibuat oleh Anusapati. Ternyata pengawal-pengwal Tohjaya
masih cukup kuat untuk bertahan. Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan pergi mendapatkan Panglimapanglima
yang sedang bertempur itu."
Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni pun kemudian membawa
pengawalnya menuju ke arena pertempuran para Panglima itu.
Beberapa kali Mahisa Agni harus menghalau lawan-lawannya yang
mencoba menyergapnya. Tetapi, tidak seorang pun Senapati yang
berusaha untuk menahannya setelah mereka melihat bahwa orang
itu adalah Mahisa Agni. 827 "Biarlah Panglima menundukkannya." berkata Senapati-senapati
yang memimpin kelompok-kelompok yang sedang bertempur di
halaman itu. Di sepanjang halaman itu Mahisa Agni sempat melihat, bahwa
kekuatan pelindung Tohjaya masih cukup besar. Jika tidak ada
bantuan yang menambah kekuatan orang orang Rajasa dan Sinelir,
maka pertempuran di halaman itu tentu akan memerlukan waktu
yang sangat panjang. Bahkan mungkin di malam hari.
Sementara itu, maka pertempuran menjadi semakin seru. Lembu
Ampal yang kemudian mengambil alih lawan Panglima Pasukan
Pengawal itu pun harus bertempur dengan sekuat lenaga. Panglima
itu memang memiliki kelebihan yang pada suaiu saat akan dapat
menentukan akhir dari pertempuran itu.
Ternyata bahwa ketahanan Lembu Ampal yang harus memeras
tenaganya itu pun semakin lama menjadi semakin susut. Lebih
cepat dari lawannya. Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya
itu memiliki ketahanan yang mengagumkan. Sekian lama ia
bertempur namun tenaganya sama sekali tidak berkurang.
Ketika Lembu Ampal merasakan bahwa nafasnya mulai sendat,
maka seakan-akan ia merasa bahwa akhir dari pertempuran itu
sudah dekat. Pengawalnya sekali-sekali dapat juga membantunya.
Namun mereka agaknya mempunyai lawan masing-masing.
Pengawal Panglima dan keempat Senapati iblis itu pun bertempur
dengan garangnya, bahkan mendekati cara bertempur para
Senapati yang ganas, dan bahkan seolah-olah menjadi liar dan
buas. Lembu Ampal yang menjadi semakin letih itu terkejut ketika ia
mendengar keluhan tertahan. Ketika ia berusaha untuk melihatnya,
maka hatinya menjadi berdebaran. Ia melihat seleret luka tergores
dilengan Panglima Pelayan Dalam yang bertempur melawan dua
orang dari keempat Senapati berhati iblis itu.
Dengan sigapnya Panglima itu meloncat surut. Beberapa orang
pengawal mencoba melindunginya. Tetapi justru sebuah tusukan
828 langsung menembus dada seorang pengawal yang terlampau
tergesa-gesa meloncat maju.
Tetapi Lembu Ampal tidak dapat berbuat apapun juga karena ia
sendiri harus memeras segenap kemampuannya untuk
mempertahankan diri. Panglima Pelayan Dalam yang terluka itu menggeram.
Kemarahannya telah membakar jantungnya sehingga wajahnya
menjadi merah semerah darah yang menitik dari lukanya.
Meskipun luka itu tidak terlampau dalam, tetapi luka itu agaknya
telah mengganggunya. Bukan saja perasaan nyeri yang menyengat,
tetapi terlebih-lebih lagi adalah gangguan perasaan yang sangat
mempengaruhinya. Kemarahan, dendam dan kecemasan bercampur
baur membuat nalarnya kadang-kadang menjadi buram.
Sementara itu, Panglima Pasukan Pengawal pun harus bertempur
mati-matian. Ia pun terdesak terus, sehingga semakin lama menjadi
semakin dekat dengan dinding halaman. Jika ia tersudut pada
dinding itu, dan kedua Senapati lawannya menyerang bersamasama.
maka tidak ada harapan lagi baginya untuk dapat keluar dari
lingkaran maut. Ternyata bahwa Senapati-Senapati yang disebut berhati iblis itu
memang memiliki kelebihan dari Senapati-Senapati yang lain.
Lembu Ampal yang bertempur dengan memeras segenap
kemampuannya masih dapat bertahan. Tetapi ia pun sadar, bahwa
ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya sampai saat terakhir
dari pertempuran itu. Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya
itu benar-benar seorang yang memiliki kemampuan melampaui
sesamanya, karena itulah maka Lembu Ampal pun menjadi sangat
cemas. Ia melihat Panglima Pelayan Dalam yang terluka dan ia pun
melihat Panglima Pasukan Pengawal yang terdesak ke dinding.
Terasa jantung Lembu Ampal bergetar ketika ia kemudian
melihat, sebuah serangan pedang yang mendatar telah menyentuh
tubuh Panglima Pasukan Pengawal pula. Terdengar ia pun berdesis.
829 Dengan tangan kirinya ia meraba dadanya. Segumpal darah telah
memerah di telapak tangannya.
Sementara itu terdengar salah seorang Senapati yang disebut
berhati iblis itu tertawa. Katanya, "Kalian telah terluka semuanya.
Sebentar lagi kalian akan mati. Kalian akan menyesal pada saat ajal
itu datang. Tetapi sudah terlambat. Tidak ada yang dapat kau
lakukan selain pasrah diri kepada kematian."
Panglima Pasukan Pengawal itu pun menggeram. Ia tidak
mempedulikannya. Meskipun dadanya telah terluka, tetapi ia masih
berusaha untuk mempertahankan dirinya.
Namun, baik Panglima Pelayan Dalam, maupun Panglima
Pasukan Pengawal agaknya tidak akan dapat bertahan lebih lama
lagi. Darah mereka mengalir semakin banyak dari luka, sehingga
ketahanan tubuh mereka pun menjadi semakin berkurang.
Tetapi sebelum kedua Panglima itu harus menyerahkan
nyawanya, maka tiba-tiba pertempuran di sekitar mereka pun
tersibak. Ketika mereka yang sedang bertempur di arena itu
berpaling, mereka melihat seseorang yang sudah mulai berubah
pada janggut dan kumisnya. Bahkan rambutnya yang berjuntai di
bawah ikat kepalanya pun telah menjadi keputih-putihan pula.
Hampir diluar sadarnya, Lembu Ampal berdesis, "Panji Pati-pati."
Panglima prajurit yang setia kepada Tohjaya itu tiba-tiba saja
menggeram. Katanya, "Inikah Panji Pati-Pati itu?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku Witantra.
Memang beberapa orang menyebutku Panji Pati-Pati."
"Apakah kau juga berpihak kepada Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka?" "Aku telah melindunginya ketika keduanya lari dari kejaran maut
atas perintah tuanku Tohjaya. Kemudian Lembu Ampal yang
mendapat perintah membunuh tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka pun berada di rumahku pula. Kini kami bersamaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
830 sama datang untuk menempatkan tuanku Ranggawuni dan tuanku
Mahisa Cempaka kembali pada kedudukannya."
"Gila." geram Panglima itu, "Kau kira bahwa kau akan berhasil"
Sebentar lagi orang-orangmu, orang-orang Rajasa dan Sinelir akan
tumpas dihalaman ini. Jika kau ingin menyaksikan, maka sebaiknya
kau menunggu di tepi. Sebab jika kau ikut berada di arena, maka
kau pun akan mati." Witantra mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat kedua
Panglima yang bertempur melawan Senapati-Senapati yang disebut
berhati iblis itu menjadi semakin terdesak, sehingga katanya
kemudian kepada Lembu Ampal, "Lembu Ampal, serahkau Panglima
ini kepadaku. Kau dapat menolong Panglima Pasukan Pengawal
yang terluka itu. Agaknya lukanya lebih parah dari Panglima Pelayan
Dalam." Lembu Ampal surut selangkah. Tetapi agaknya lawannya tidak
membiarkannya. Dengan serta-merta ia pun meloncat menyerang.
Namun yang terjadi adalah sebuah benturan yang dahsyat. Diluar
dugaan, Witantra pun telah meloncat pula membentur senjata
lawannya pula. Sebuah pedang pendek yang lurus dan tebal.
Benturan ilu telah menggoncangkan hati Panglima yang setia
kepada Tohjaya. Ia tidak menduga, bahwa dengan gerak yang tibatiba
saja, Witantra mampu menahan kekuatannya. Karena itu, maka
ia pun harus memperhitungkan lawannya itu sebaik-baiknya.
Sesaat Panglima itu memandang Witantra. Kemudian sambil
melangkah maju ia berkata, "Ternyata kau lebih baik dari Lembu
Ampal. Menggembirakan sekali, bahwa aku mendapat lawan yang
pantas." Witantra tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Dalam pada itu Lembu Ampal telah terlepas dari ikatan
perkelahian dengan Panglima itu. Dengan demikian maka ia pun
kemudian bebas memilih lawannya. Seperti yang dikatakan oleh
831 Witantta, maka ia harus membantu Panglima yang sudah terluka
itu. Dengan pasti Lembu Ampal pun mendekati arena pertempuran
itu. Ketika ia kemudian meloncat dengan senjata teracu, maka ia
pun berkata kepada para pengawal yang mencoba membantu
Panglimanya, "Tinggalkan arena ini. Bantulah Panglima Pelayan
Dalam yang juga sudah terluka. Bertempurlah dalam kelompok yang
ketat. Cobalah memisahkan Senapati yang seorang dengan yang
lain." Beberapa orang pengawalpun kemudian melangkah surut dan
beralih di arena yang lain, bergabung dengan para pengawal
Panglima Pelayan Dalam. Lembu Ampal dengan segera mengambil alih salah seorang dari
kedua Senapati yang bertempur melawan Panglima Pasukan
Pengawal. Dengan demikian maka Panglima Pasukan Pengawal itu pun
menjadi agak lapang. Tekanan lawannya terasa jauh berkurang.
Namun sayang sekali, bahwa karena luka-lukanya, maka ia pun
menjadi semakin lama semakin lemah. Darah yang mengucur dari
tubuhnya seolah-olah telah melepaskan sebagian dari tenaganya
pula. "Bertahanlah." berkata Lembu Ampal, "Aku akan menyelesaikan
yang seorang ini. Kemudian aku akan membantumu."
Panglima Pasukan Pengawal itu tidak menjawab. Ia bertempur
dengan sisa tenaganya yang semakin tipis.
Sebenarnya Panglima Pasukan Pengawal itu mempunyai
beberapa kelebihan dari lawannya. Tetapi lukanya benar-benar telah
mengganggu, sehingga sesaat kemudian ia telah terdesak kembali.
Setiap kali ia sudah berusaha berlindung di balik beberapa orang
pengawal yang membantunya.
832 Tetapi prajurit-prajurit lawannya pun tidak mau melepaskannya
pula. Mereka berusaha untuk mendesak pengawal itu dari sisi
Panglimanya. Dibagian lain, Panglima Pelayan Dalam yang masih harus,
melawan dua orang Senapati, benar-benar telah kehilangan kesempatan.
Lukanya pun terasa nyeri meskipun tidak separah
Panglima Pasukan Pengawal. Pengawal-pengawalnya yang berusaha
membantunya tidak banyak dapat menahan arus serangan kedua
Senapati itu, karena prajurit-prajurit lawannyapua bagaikan
mengerumuni mereka disegala arah.
Pada saat ia kehilangan segala kesempatan untuk bertahan,
maka ia tidak dapat berbuat lain kecuali pasrah kepada Yang Maha
Agung. Jika umurnya memang sampai pada batasnya, maka ia tidak
akan dapat mengelak. Namun pada saat yang paling sulit itu rasanya setitik embun
telah membasahi hatinya yang serasa telah menjadi kering. Tibatiba
saja seseorang telah berdiri di arena pertempuran itu. Ketika
kedua Senapati lawannya menyerangnya bersama-sama dengan
serangan yang menentukan, maka serangan itu telah membentur
kekuatan vang seakan-akan tidak tertembus lagi.
Ternyata Mahisa Agni telah berdiri diarena itu.
"Setan alas." geram salah seorang Senapati yang disebut berhati
iblis, "Kenapa kau mencampuri pertempuran ini. Pertempuran di
antara kesatria Singasari?"
"Yang terjadi di halaman ini adalah perang brubuh. Karena itu,
aku akan melawan setiap orang yang berdiri di seberang. Kau pun
dapat melawan siapa saja tanpa memilih."
"Pengecut. Menepilah. Jika tidak, maka kaulah yang akan segera
terbunuh. Bukan Panglima yang licik itu." Senapati itu membentak,
"Sebenarnya kau dapat hindarkan diri dari bencana ini. Tetapi jika
kau berkeras, apaboleh buat."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

833 Mahisa Agni memandang kedua Senapati itu. Ada sesuatu yang
rasa-rasanya mendorongnya untuk bertindak keras terhadap kedua
Senapati seperti lazimnya yang terjadi di arena peperangan. Apalagi
Mahisa Agni menyadari bahwa kedua orang itu adalah orang-orang
yang menurut beberapa orang disebut berhati iblis.
"Aku masih memberimu kesempatan." teriak salah seorang dari
mereka. Kesombongan orang itu telah menambah kebencian Mahisa Agni
kepada sifat-sifat mereka. Meskipun pada dasarnya Mahisa Agni
bukan seorang yang haus akan kematian lawan-lawannya, tetapi
Senapati-Senapati itu memang harus diperlakukan khusus. Tidak
ada lagi harapan untuk dapat mengubah sifat mereka. Karena itu,
tidak ada jalan lain bagi Mahisa Agni untuk menghilangkan sifatsifatnya
dengan melenyapkan mereka.
Karena itu, maka Mahisa Agni pun kemudian telah, berketetapan
hari untuk melawan keduanya. Dengan penuh kewaspadaan ia
melangkah maju sambil berkata, "Marilah. Lakukanlah yang menurut
pendapat kalian paling baik kalian lakukan. Aku telah memutuskan
untuk mengambil alih lawan Panglima yang telah terluka itu."
"Kau memang gila." teriak salah seorang Senapati itu.
Dalam pada itu Panglima Pelayan Dalam itu pun menjadi
termangu-mangu. Meskipun ia percaya akan kelebihan Mahisa Agni,
tetapi dua orang Senapati yang bertempur bersama itu tentu
merupakan musuh yang cukup berat baginya.
Dalam pada itu, salah seorang Senapati itu telah meloncat
menyerangnya. Namun dengan sigapnya Mahisa Agni bergeser
menghindari. Ketika serangan yang kedua dari Senapati yang lain
meluncur mengarah kedadanya, maka ia pun menangkis serangan
itu dengan senjatanya. Benturan-benturan yang terjadi benar-benar telah mengejutkan
Senapati itu. Mahisa Agni ternyata memang seorang yang memiliki
kelebihan dari mereka berdua.
834 Dalam pada itu, W itantra pun masih bertempur dengan Panglima
prajurit yang setia kepada Tohjaya itu. Agaknya Witantra menjadi
ragu-ragu untuk mengambil sikap. Apakah Panglima itu pantas
dibinasakan atau sekedar dilumpuhkan.
Namun kemudian Witantra melihat bahwa agaknya Mahisa Agni
telah bertempur bersungguh-sungguh. Ia melihat Mahisa Agni yang
tegang mengambil sikap tanpa menunggu perkembangan
perlawanan kedua Senapati itu.
"Mahisa Agni akan langsung bertindak terhadap keduanya."
berkata Witantra di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa bagi Mahisa Agni, keduanya harus segera
dilenyapkan. Halaman itu harus segera dibersihkan agar
pertempuran itu tidak menjadi berlarut-larut. Orang-orang yang
sudah tidak dapat diharapkan lagi untuk dapat berubah, harus
segera dibinasakan. Witantra pun agaknya dapat menangkap perasaan yang tersirat
di dalam sikap dan tatapan mata Mahisa Agni yang bagaikan bara.
Dengan demikian maka Witantra pun merasa wajib mengimbanginya.
Memang orang-orang itu adalah orang-orang yang
sangat berbahaya. Mereka adalah orang-orang yang sekedar
mengejar kepentingan pribadi. Saat Tohjaya menguntungkan bagi
mereka, maka mereka pun dengan gigih merpertahankannya. Tetapi
jika Tohjaya tidak mereka perlukan lagi, maka ia akan segera
dilemparkannya. Jika ada orang lain yang mereka anggap lebih baik,
maka pengkhianatan tidak akan banyak dipertimbangkan lagi.
Dengan demikian, maka Witantra pun segera bersikap. Ia ingin
segera mengakhiri pertempuran itu.
Dalam pada itu, Lembu Ampal pun tidak lagi dapat didesak oleh
lawannya. Lembu Ampal ternyata cukup mampu melawan seorang
Senapati betapapun garangnya. Ternyata Senapati yang disebut
berhati iblis itu seorang diri bukan merupakan iblis yang tidak
terkalahkan. 835 Namun Panglima Pelayan Dalam yang terluka itu harus
mengerahkan sisa tenaganya untuk tetap bertahan. Tetapi lawannya
yang hanya seorang itu tidak terlampau berbahaya lagi baginya.
Sebenarnyalah bahwa Witantra dan Mahisa Agni dapat
menentukan akhir dari pertempuran itu seperti yang mereka
kehendaki. Apalagi dibagian lain di halaman itu. orang-orang Rajasa
dan Sinelir yang ada di luar dinding telah berturut-turut memasuki
halaman. Ternyata bahwa pintu gerbang kota telah dapat ditembus
sehingga pasukan dari Iuar pun dengan arus yang tidak tertahan
telah memenuhi kota. Dalam ketegangan itulah hadir pula seorang yang memiliki ilmu
yang hampir tidak terlawan oleh prajurit-prajurit yang setia kepada
Tohjaya. Ternyata Mahendra yang memimpin pasukan dari arah
lain, telah memasuki halaman istana pula. Ia sempat melihat
bagaimana Witantra bersiap untuk mengakhiri pertempuran.
Disaat terakhir itu ia melihat Panglima Pelayan Dalam yang
terluka menjadi semakin terdesak. Bukan karena ilmu lawannya
yang melampaui ilmunya, tetapi karena darah yang mengalir dari
lukanya, maka ia pun menjadi semakin lama semakin lemah.
Pada saat yang gawat, Mahendra tanpa disadari telah
memperhatikannya. Seleret kecemasan menyentuh dadanya,
sehingga ia pun segera meloncat mendekatinya, tepat pada saat
sebuah serangan yang dahsyat mengarah kedada Panglima itu.
Mahendra yang mampu bergerak secepat lidah api menyambar
dilangit itu, sempat menyambar leher Senapati yang menyerang
Panglima itu. Kemudian melemparkannya dengan sekuat tenaganya.
Senapati itu sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang
dapat berbuat demikian. Karena itu, ia pun sama sekali tidak bersiap
menghadapi serangan Mahendra.
Yang dirasakannya adalah sambaran pada tengkuknya, kemudian
sebuah kekuatan yang tidak terlawan telah melontarkannya.
836 Sebuah benturan yang dahsyat telah terjadi. Senapati yang tidak
menyangka akan mendapat serangan itu ternyata telah membentur
dinding halaman. Sekilas ia masih dapat melihat wajah Mahendra. Kemudian
dengan suara parau ia menggeram, "Pengecut, licik."
Tetapi suaranya pun segera terputus. Agaknya kepalanya tidak
dapat menahan benturan yang dahsyat itu, sehingga otaknya telah
terguncang. Senapati itu hanya dapat menggeliat sekali. Kemudian ia pun
menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Ternyata Mahendra yang datang terakhir telah membunuh
lawannya lebih dahulu dari yang lain. Sekilas ia mengedarkan
tatapan matanya. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia
melihat kedua Panglima yang terluka itu. Sedangkan disisi yang lain
Lembu Ampal masih bertempur dengan gigihnya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Witantra
bertempur. Ia memang agak lebih muda dari Witantra. Dan agaknya
sifatnya pun agak berbeda. Ia tidak telaten melihat Witantra
bertempur. Hampir saja ia ikut campur. Namun agaknya Witantra
pun memang sudah berniat mengakhiri pertempuran itu.
Diarena yang lain, Mahisa Agni pun sudah sampai pada tekanan
yang menentukan. Serangannya memang tidak dapat dibendung
lagi. Kedua lawannya yang berusaha saling mengisi ternyata telah
kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.
Sekilas pedang Mahisa Agni menyambar. Yang terasa oleh salah
seorang Senapati itu hanyalah sebuah goresan dilehernya. Namun
kemudian terasa nafasnya seolah-olah telah kehilangan jalan. Dan ia
pun terjerembab dengan tanpa dapat bertahan sama sekali.
Senapati yang lain pun tidak dapat berbuat apa pun ketika
serangan berikutnya mengarah kelambungnya. Meskipun ia
mencoba untuk meloncat surut, tetapi ujung pedang Mahisa Agni
837 mengejarnya terus, seolah-olah pedang itu dapat terjulur menjadi
panjang sekali. Hampir bersamaan dengan Senapati yang kedua itu, adalah
Panglima yang tetap setia kepada Tohjaya. Betapa ia memeras
kemampuannya, namun lawannya adalah Witantra. Seorang yang
memiliki kelebihan di dalam segala segi.
Karena itu, maka sejenak kemudian nampaklah bahwa
perlawanannya tidak berarti lagi bagi Witantra. Sebuah serangan
yang dahsyat telah melandanya, seperti angin pusaran yang tidak
dapat dihindarinya lagi. Panglima itu adalah Pangliima yang berbangga atas kemampuannya.
Tetapi ternyata ada orang lain yang mampu
mengatasinya. Dan orang itu bukan Mahisa Agni, karena baginya
hanya Mahisa Agnilah orang yang disegani selama ini. Dan ternyata
Mahisa Agni telah membinasakan dua orang pengawalnya. Sedang
orang yang tidak dikenalnya, dengan mudah sekali membunuh
Senapati pengawalnya yang lain dengan membenturkannya pada
dinding. "Iblis mana sajakah yang telah masuk kedalam tubuh mereka."
geram Panglima itu di dalam hatinya.
Dalam saat terakhir itu ternyata Witantra masih sempat berkata,
"Panglima, sayang sekali bahwa pintu telah tertutup bagimu."
"Persetan." "Disaat terakhir, bertaubatlah. Mungkin masih ada kesempatan."
"Jangan banyak bicara."
Witantra benar-benar tidak mempunyai kesempatan. Karena itu
memang tidak ada pilihan lain daripada membinasakannya.
Dengan demikian maka Witantra menjadi tidak ragu-ragu lagi.
Bahkan kemudian hampir tidak dapat dilihat dengan mata wadag,
serangannya tiba-tiba saja telah mencengkam sisa hidup Panglima
yang sampai saat terakhirnya setia kepada Tohjaya karena baginya
838 Tohjaya adalah sandaran yang paling banyak memberikan harapan
kepadanya. Baginya, memang tidak ada pilihan lain kecuali
mempertahankan Tohjaya, atau harus mati di peperangan. Adalah
imbangan yang sudah dipilihnya di dalam garis hidupnya. Mukti atau
mati. Sejenak kemudian, Witantra sudah berdiri tegak di sisi mayat
Panglima itu. Sekilas ia memandang Mahisa Agni dan Mahendra
yang termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian melangkah
saling mendekati. "Pasukan tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
sudah ada di dalam kota." desis Mahendra kemudian.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dilihatnya mayat
yang terbujur lintang di halaman itu. Sementara Lembu Ampal
masih harus menyelesaikan seorang lawannya.
"Memang tidak ada jalan yang lebih cepat dari perang ini."
berkata Mahisa Agni, "Tetapi perang ini telah menelan korban tak
terhitung jumlahnya."
Witantra termangu-mangu. Tetapi korban memang terlampau
banyak. Sementara itu, Lembu Ampal telah berhasil mengalahkan
lawannya. Dengan demikian maka ia pun kemudian berkumpul pula
bersama Mahisa Agni. Witantra dan Mahendra.
"Apa yang sekarang kita lakukan?" bertanya Witantra.
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Kita masih belum sampai ke bangsal induk istana ini. Tentu tuanku
Tohjaya berada di sana dengan pengawalan yang kuat. Kita harus
datang kepadanya, menemuinya dan memaksanya menyerahkan
pimpinan Kerajaan Singasari kepada tuanku Ranggauwuni dan
Mahisa Cempaka." Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah kau
kira Tohjaya akan dengan suka rela melakukannya."
839 "Mahisa Agni." berkata Lembu Ampal, "Kita sudah sampai di s ini.
Jika tuanku Tohjaya berkeberatan, maka tidak ada pilihan lain
daripada memaksanya. Tentu saja dengan segala akibatnya."
Mahisa Agni memandang Witantra dan Mahendra berganti-ganti.
Nampak di wajah mereka membayangkan ketegangan yang
menghentak-hentak jantung. Ada semacam pertentangan di dalam
diri mereka masing-masing.
Tetapi jalan itu adalah jalan yang sudah direncanakan. Tohjaya
memang harus disingkirkan. Jika ia berkeras untuk bertahan, maka
Tohjaya akan dapat mengalami nasib seperti Panglima dan
Senapati-Senapati yang setia kepadanya itu.
Dalam pada itu, agaknya mereka memang tidak ada pilihan.
Karena itulah maka kemudian Lembu Ampal bersama dengan
Mahisa Agni, Witantra dan Mahendra mempersiapkan diri untuk
menuju ke bangsal induk tempat tinggal Tohjaya. yang dikelilingi
oleh kolam dan dijaga oleh prajurit segelar sepapan.
Pertempuran di halaman itu masih berlangsung dengan sengit di
beberapa bagian. Tetapi sudah menjadi semakin berat sebelah.
Prajurit-prajurit Singasari yang mempertahankan Tohjaya sudah
terdesak karena jumlah lawannya menjadi semakin banyak. Bahkan
di beberapa bagian setiap tawaran untuk menyerah, pasti mereka
terima dengan, serta merta karena mereka yakin, bahwa mereka
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.
Namun demikian, ketika Lembu Ampal dan pasukannya
mendekati bangsal Tohjaya, mereka masih mendapat perlawanan
yang gigih. Beberapa saat mereka harus bertempur. Tetapi karena
di dalam pasukannya terdapat Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan
para Panglima yang meskipun sudah terluka, maka perlawanan para
penjaga bangsal itu pun tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Perlahan-lahan mereka terdesak, sehingga pertahanan itu pun
akhirnya menjadi pecah. Prajurit-prajurit itu pun berlarian
meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Di
segala sudut telah berjaga-jaga orang-orang Rajasa dan Sinelir,
disertai prajurit-prajurit yang datang dari luar halaman istana.
840 Rasa-rasanya halaman istana itu memang sudah penuh dengan
orang-orang yang mengenakan tanda lawe berwarna putih di
pergelangan tangannya. Karena itu, maka prajurit yang
mempertahankan kedudukan Tohjaya itu pun tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menghentikan perlawanan mereka dan menyerah.
Sekelompok demi sekelompok, para prajurit itu pun melemparkan
senjata mereka. Tidak ada harapan lagi bagi mereka, apalagi untuk
menang, sedang untuk melarikan diri pun rasa-rasanya sudah tidak
ada jalan. Dalam pada itu dengan berdebar-debar Lembu Ampal mendekati
bangsal tempat tinggal Tohjaya. Mahisa Agni tidak dapat
melepaskannya sendiri. Jika ia memasuki bangsal itu dan
menemukan Tohjaya, mungkin gejolak perasaannya akan meledak.
Karena itu, maka ia selalu berada di samping Lembu Ampal pada
saat mereka mendekati bangsal yang dikelilingi oleh sebuah kolam.
Meskipun nampaknya sudah tidak ada prajurit yang berjaga-jaga
di sekitar bangsal itu, tetapi mereka yang mendekati pintu bangsal
itu masih tetap berhati-hati. Tohjaya tentu tidak akan dengan
mudah menyerah. Di dalam bangsal itu pasti masih ada sepasukan
prajurit pilihan, yang barangkali seperti para pengawal Mahisa Agni,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkalung sehelai kain putih dilehernya dan pasrah untuk mati di
dalam peperangan. Tetapi rasa-rasanya bangsal itu terlalu sepi.
Lembu Ampal yang menjadi tegang merayap mendekati bangsal
itu didampingi oleh Mahisa Agni. Kemudian beberapa orang lain
mengikutinya. "Sepi sekali." desis Lembu Ampal.
Mahisa Agni pun menjadi curiga. Katanya, "Seakan-akan bangsal
itu memang sudah kosong."
841 Lembu Ampal tidak sabar lagi. Ia pun kemudian meloncat berlari
di atas jembatan kolam yang mengelilingi bangsal itu diikuti oleh
Mahisa Agni dan orang-orang yang lain.
Dengan serta merta Lembu Ampal mendorong pintu yang
tertutup sehingga pintu itu berderak keras sekali.
Wajah Lembu Ampal menjadi tegang. Dengan nada yang dalam
ia berdesis, "Kosong. Bangsal ini sudah kosong."
Beberapa orang pun kemudian berlari-larian memasuki bangsal
itu dan melihat segala ruang yang ada. Bangsal itu memang sudah
kosong. "Di paseban." teriak Lembu Ampal, "Mungkin Tohjaya ingin tetap
duduk di atas tahta sampai kesempatan yang paling akhir."
"Atau di bangsal ibundanya." teriak Panglima Pasukan Pengawal.
"Marilah kita bagi." berkata Mahisa Agni, "Kakang Witantra dan
Mahendra ke bangsal tuan puteri Ken Umang bersama para
pengawal. Sedang aku akan mengikuti Lembu Ampal ke paseban."
Demikianlah maka mereka pun telah membagi diri. Yang
sebagian mengikuti Lembu Ampal dan Mahisa Agni sedang yang lain
mengikuti Mahendra dan Witantra.
Dengan hati-hati mereka mendekati kedua bangsal itu pada saat
yang hampir bersamaan. Seperti ketika mereka memasuki bangsa!
yang dikelilingi oleh kolam itu, maka mereka pun masih saja selalu
berhati-hati. Di sana sini prajurit yang setia kipada Tohjaya masih
saja berkeliaran meskipun perlawanan mereka sudah tidak berarti
apa-apa lagi. Witantra yang mendekati bangsal Ken Umang, tiba-tiba saja
tertegun ketika ia melihat tuan puteri Ken Umang berada di depan
pintu bangsalnya. Ia sama sekali tidak berada di antara para
pengawal dan emban. Seorang diri ia mendapatkan pasukan yang
mendekati bangsalnya. 842 "Kakang." desis Mahendra, "Bukankah perempuan itu Ken
Umang?" "Ya." sahut Witantra.
"Apakah maksudnya?"
"Aku tidak tahu."
Mahendra termangu-mangu sejenak. Dan Witantra pun kemudian
berkata, "Aku akan mendekatinya."
Witantra pun kemudian memberikan isyarat kepada prajurit
prajuritnya, agar mereka berhenti ditempat masing-masing.
Bersama Mahendra ia pun melangkah mendekati perempuan yang
sudah berada di halaman itu.
"Tuan puteri." sapa Witantra, "Kemanakah tuan putri akan
pergi?" Ken Umang memandang Witantra sejenak. Lalu ia pun bertanya,
"He. siapakah kau?"
"Hamba Witantra tuan puteri."
"Witantra, Witantra siapa?"
"Witantra. Tentu tuan Puteri ingat, bahwa hamba adalah
Witantra. Seorang bekas Panglima pada masa pemerintahan Akuwu
di Tumapel. Tetapi itu sudah lama lampau. Sekarang hamba tidak
lebih dari penghuni sebuah padepokan kecil yang terpencil."
Ken Umang mengingat-ingat sejenak, lalu tiba-tiba saja ia
tertawa, "Witantra. Seorang Panglima masa pemerintahan Akuwu
Tunggul Ametung." ia berhenti sejenak, lalu, "Jadi kau kakang
Witantra ya?" "Hamba luari puteri."
Suara tertawa Ken Umang menjadi semakin tinggi. Kemudian di
sela-sela tertawanya ia berkata, "Sekarang anakku telah menjadi
seorang Maharaja yang paling perkasa di muka bumi. He Witantra,
kau harus berlutut di hadapan tuanku Tohjaya. Sang Mahaprabu
843 yang tiada duanya. Apalagi Mahisa Agni yang sombong itu. Ia harus
berlutut dan mencium jari-jari kakiku."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada
Mahendra dilihatnya Mahendra memandanginya pula.
Dalam pada itu, Ken Umang pun berkata, "Witantra. Meskipun
aku adalah adikmu, adik iparmu, tetapi aku mempunyai kedudukan
yang jauh lebih tinggi daripadamu. Kau tidak dapat menolak bahwa
kau harus berlutut dihadapanku."
Witantra masih belum menjawab. Suara tertawa Ken Umang
rasa-rasanya telah menggetarkan dadanya.
"He, dimana Mahisa Agni" Bawa ia kemari. Ia harus menebus
kesombongannya di masa mudanya. Sekarang ia harus bertiarap
dihadapanku. Aku akan menginjakkan kakiku di atas ubun-ubunnya.
Ia tidak dapat menentang. Karena aku adalah Ibunda Maharaja di
Singasari." Witantra menjadi semakin berdebar-debar. Pada sorot matanya
ia melihat, bahwa goncangan jiwa Ken Umang atas kegagalan usaha
anaknya, untuk menguasai Singasari tidak dapat dikendalikan lagi.
Apalagi hubungannya dengan Tohjaya yang di saat terakhir menjadi
kurang baik. "Tuan puteri." berkata Witantra kemudian, "Sebenarnyalah
hamba akan datang untuk berlutut di hadapan putera tuan puteri.
Tetapi dimanakah tuanku Maharaja Singasari?"
"Tentu tidak ada di sini." jawab Ken Umang, "Tohjaya ada di
bangsal paseban atau di bangsalnya sendiri. Ia tidak pantas lagi
tinggal di bangsal yang buruk ini, karena ia adalah seorang
Maharaja." namun tiba-tiba wajah Ken Umang menjadi buram,
"Tetapi, tetapi aku tidak diperbolehkannya tinggal bersamanya. Aku
telah berjuang dengan segala cara untuk menempatkannya di atas
tahta Tetapi ia kemudian melupakan aku. Aku ibundanya. Cara
apapun yang aku tempuh, cara apapun yang dapat menumbuhkan
bibit kelahirannya, namun aku sudah melahirkannya dan
844 membesarkannya. Aku sudah berjuang dan menempatkannya di
atas tahta." Tiba-tiba saja Ken Umang menangis. Dengan serta merta ia
menjatuhkan dirinya di atas rerumputan. Tanpa menghiraukan
dirinya ia menangis sejadi-jadinya. Meraung-raung seperti kanakkanak
yang ditinggalkan oleh ibunya pergi ketempat yang tidak
diketahui. "Tohjaya." suaranya tiba-tiba meninggi, "Kau telah mendurhakai
ibumu. Kenapa kau persoalkan, bagaimana ibundamu berbasil
meruntuhkan kekerasan hati Ken Arok saat itu. Kenapa kau
persoalkan bahwa hal itu terjadi di saat ia sedang berburu di
tengah-tengah hutan. Apa salahnya" Apakah kau menyangka bahwa
hal itu hanya dapat terjadi atas binatang buas yang hidup di hutanhutan
itu sendiri. Tidak, kita pun tidak ubahnya binatang buas yang
hidup di hutan. Siapa yang kuat, ialah yang berkuasa. Bukankah
karena kau kuat dan dapat membunuh Anusapati kau dapat menjadi
seorang raja" Kenapa kau kemudian mengingkarinya hanya karena
yang terjadi adalah peristiwa yang tidak kau setujui" Tidak ada
seorang pun yang mengetahui, bahwa kau menjelma pada gairah
yang tumbuh di tengah hutan perburuan. Kenapa kau seakan-akan
menjadi muak karenanya."
Witantra yang melihat dan mendengar keluhan itu memalingkan
wajahnya. Bagaimana pun juga, ia mempunyai sangkut paut dengan
perempuan itu telah terguncang dan tidak dapat dikuasainya lagi.
Mahendra pun menundukkan wajahnya. Sekilas ia melihat para
prajurit dan pengawal termangu-mangu di tempatnya. Muka mereka
pun menjadi tertunduk seperti daun ilalang yang menjadi layu.
Tidak seorang pun yang dapat berbuat sesuatu. Semua kebencian
menjadi luluh dan larut seperti debu di dedaunan di sapu
oleh hujan yang runtuh dari langit.
Ken Umang kemudian tidak hanya duduk bersimpuh di
rerumputan. Tetapi ia pun kemudian menangis sambil
menelengkupkan wajahnya di bawah kedua lengannya.
845 "Tohjaya. Tohjaya." tangis itu semakin menyayat, "Kenapa kau
tinggalkan aku sendiri. Bukankah sebentar lagi semua orang yang
akan dapat mengusikmu sudah akan terbunuh tanpa kecuali"
Ranggawuni, Mahisa Cempaka, Mahisa Wonga Teleng, Mahisa Agni,
Ken Dedes dan semua anak-anaknya yang lain. Kau adalah satusatunya
pewaris atas Singasari." tangisnya jadi meninggi, "Tetapi
jangan tinggalkan aku sendiri. Tohjaya."
Pengakuan di luar sadar itu memang dapat menggetarkan
jantung. Tetapi tidak seorang pun yang dapat terbakar hatinya.
Yang tumbuh hanyalah perasaan iba dan kasihan. Seorang puteri
yang mempunyai kedudukan tertinggi di Singasari, ibunda Maharaja
Tohjaya, tiba-tiba telah menjadi kehilangan kesadaran.
"Tuan Puteri." Witantra melangkah mendekatinya, "Tuan puteri
jangan bersedih. Semuanya akan menjadi baik. Tuanku Tohjaya
akan segera kembali menjemput tuan puteri. Bukankah tuanku
Tohjaya tidak pergi terlampau jauh?"
"Ia telah melarikan diri bersama pengawal-pengawalnya. Aku
hanya diberitahu oleh seorang penghubung. Ia tidak membawa aku
serta. Ia telah meninggalkan aku sendiri."
"Tidak tuan puteri. Masih banyak para pengawal di sekitar tuan
puteri. Tuan puteri akan selalu aman dan mendapat perlindungan."
Tiba-tiba tangis Ken Umang mereda. Ketika ia mengangkat
wajahnya, nampak matanya menjadi merah dan liar.
"He, apakah kalian pengawal-pengawalku."
"Hamba tuan puteri. Kami adalah pengawal tuan puteri yang
setia." Ken Umang memandang Witantra sejenak. Lalu matanya yang
basah seakan-akan menjadi bersinar. Katanya, "He, apakah benar
kalian pengawal-pengawalku yang setia?"
"Hamba tuanku."
846 "Jika demikian, bawa aku menyusul anakku, Tohjaya, Maharaja
Singasari." "Kemanakah tuanku Tohjaya pergi?"
"Ia pergi meninggalkan istana ini setelah ia mendapat berita
bahwa Panglima prajurit yang setia kepadanya terbunuh."
"Tetapi bukankah istana ini telah terkepung" Tuan puteri.
Kemanakah kita pergi, kita tentu akan tertahan oleh prajurit-prajurit
yang mengepung istana ini."
"Tetapi Tohjaya tentu dapat lolos. Di bangsal sebelah utara ada
pintu rahasia yang menghubungkan bagian dalam bangsal itu
dengan bagian luar istana ini."
"Maksud tuan puteri, tuanku Tohjaya telah menemukan sebuah
pintu rahasia?" "Bukan menemukan. Tetapi Tohjaya lah yang membuat pintu
rahasia itu." "Tuan puteri. Marilah, hamba akan mengantarkan tuan puteri
melalui pintu rahasia itu. Apakah tuan puteri juga mengetahui pintu
itu?" "Akulah yang menganjurkannya membuat. Ketika Anusapati
masih memerintah, maka Tohjaya membuat pintu rahasia ini
sebelum membunuh Anusapati. Jika usahanya gagal, maka ia akan
dapat lolos dari pintu itu. Ternyata pintu itu kini telah
dipergunakannya." Witantra mengangguk-angguk. Lalu, "Marilah tuan puteri. Kami
akan mengawal tuan puteri menyusul tuanku Tohjaya."
Ken Umang pun segera meloncat berdiri. Ia tidak menghiraukan
lagi pakaiannya yang kusut dan tidak mapan. Berlari-lari seperti
kanak-kanak menyongsong ibunya yang datang dari jauh, Ken
Umang pergi ke bangsal sebelah.
Sebenarnyalah bahwa bangsal itu sudah dijaga oleh orang-orang
Rajasa dan Sinelir. Tetapi atas isyarat Witantra, maka dibiarkannya
847 Ken Umang lewat diikuti oleh Witantra. Mahendra dan beberapa
orang pengawal. Sebenarnyalah, seperti yang dikatakan oleh Ken Umang, di dalam
bangsal itu terdapat sebuah pintu rahasia. Sebuah pintu yang samar
dan tidak akan dapat dikenal oleh siapapun juga. Pintu itu justru
terdapat di bawah sehelai permadani yang indah yang datang dari
seberang. Jika permadani itu disingkapkan, akan nampak sebuah
pintu yang besar. "Bukalah pintu itu." perintah Ken Umang.
Beberapa orang pengawal berusaha membuka pintu yang berat,
namun yang akhirnya terbuka juga. Witantra menarik nafas dalamdalam.
Ia melihat sebuah lubang yang besar dengan sebuah tangga
menurun yang dalam. "Benar-benar suatu pintu rahasia yang hampir sempurna." desis
Witantra. Namun kemudian ia pun berkata, "Mahendra, jagalah tuan puteri.
Aku akan melihat ke ujung pintu rahasia ini."
Mahendra mengangguk. Katanya, "Tetapi hati-hatilah kakang.
Mungkin ada sesuatu yang tidak wajar. Jika kakang menjumpai
suatu kesulitan, berilah isyarat."
"Aku akan berhati-hati. Aku akan pergi dengan beberapa orang
pengawal." Witantra pun kemudian bersiap utk menuruni tangga itu. Kepada
Ken Umang ia berkata, "Tinggallah tuan puteri di sini sejenak.
Hamba akan melihat, apakah jalan ini aman bagi tuan puteri."
"Ya, cepat." Witantra pun kemudian menuruni tangga itu. Dua orang
pengawalnya telah mendapatkan dua buah obor yang dapat
dipergunakan untuk menerangi jalan rahasia yang dalam.
"Jalan ini cukup mendapatkan udara." berkata Witantra,
"Ternyata obor-obor itu tidak menjadi suram."
848 "Ya." sahut pengawalnya, "Tentu jalan ini tidak terlampau
panjang." Meskipun menyusur lubang yang menjadi semakin, sempit.
Tetapi cukup untuk berjalan terbungkuk-bungkuk. Beberapa tiang
menahan papan-papan kayu yang melintang dibagian atas lubang
itu. T etapi agaknya lubang itu memang cukup kuat.
Dihadapan kaki Witantra. ia memang melihat jejak yang baru.
Bahkan ia menemukan beberapa titik darah dan satu dua senjata
yang terjatuh. "Mereka mundur dengan tergesa-gesa." berkata Witantra.
"Ya. Dan mereka tidak sempat menutup pintu rahasia ini dengan
baik, sehingga kami akan dapat mengikutinya."
Ternyata seperti yang mereka duga, jalan rahasia itu memang
tidak terlampau panjang. Beberapa saat kemudian mereka telah
merasakan udara di dalam lubang itu bergerak.
"Kita sudah dekat dengan mulut goa ini." desis Witantra.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata beberapa saat kemudian, mereka melihat cahaya yang
buram, dan sejenak kemudian, mereka telah sampai pada sebuah
lubang. Perlahan-lahan mereka naik pada tangga yang curam. Ketika
Witantra kemudian menjulurkan kepalanya, maka ia pun berdesis,
"Sebuah pintu rahasia yang sempurna."
Ternyata, bahwa mereka telah keluar dari lubang itu di dalam
sebuah gerumbul yang lebat, sehingga lubang itu memang sama
sekali tidak nampak dari tempat di sekitarnya.
"Kita berada dimana sekarang ini?" bertanya Witantra ketika
mereka telah berada di luar pintu.
Beberapa orang pengawalnya pun segera mencoba mengenali
tempat itu. Dua tiga orang mencoba menerobos gerumbul itu.
849 "Mereka berjalan ke arah ini." berkata salah seorang
pengawalnya. "Ya. Mereka menuju ke jurusan ini. Marilah kita mencoba
mengikutinya." berkala Witantra kemudian.
Para pengawalnya pun kemudian mengikutinya ketika Witantra
mengikuti jejak kaki yang meninggalkan lubang jalur rahasia itu,
menerobos gerumbul-gerumbul liar yang cukup lebat.
Akhirnya mereka sampai ketepi gerumbul-gerumbul liar itu.
Demikian mereka muncul, maka seorang prajurit berteriak, "Kita
berada di pinggir kota. Jalan itu adalah jalan langsung menuju ke
alun-alun." Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku sekarang
mengetahui dengan tepat, dimana kita berada. Agaknya Tohjaya
berhasil muncul di belakang pasukan kita yang sudah mengepung
istana, sehingga ia berhasil meloloskan diri."
"Kita harus mengejarnya. Kita dapat mengikuti jejaknya dengan
jelas, karena mereka sama sekali tidak sempat menghapus jejak.
Bahkan titik-titik darah masih dapat kita lihat di sini."
Witantra menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera pergi.
Katanya kemudian kepada pengawalnya, "Pergilah menghadap
Mahisa Agni. Katakan apa yang kau lihat di sini."
"Baik. Dan kemudian apakah tuanku Mahisa Agni harus datang
kemari?" "Sebaiknya ia melihat jejak ini. Biarlah ia mengambil keputusan."
Pengawal itu pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke istana
untuk menyampaikan laporan tentang jalan rahasia. Tetapi agaknya
jalan dibawah tanah itu jauh lebih dekat dari jalan yang menuju ke
alun-alun. Apalagi ia masih harus melalui sisa-sisa pertempuran
yang barangkali masih belum mereda sama sekali, sehingga di sanasini
masih ada pertempuran yang dapat mengganggu
perjalanannya. 850 Karena itu, ia tidak memilih jalan yang menuju ke alun-alun itu,
tetapi ia kembali melalui jalan rahasia di bawah tanah.
Demikianlah dengan obor di tangan, ia muncul kembali di
bangsal darimana ia memasuki jalan itu.
"Bagaimana." Mahendra yang masih tetap menunggui Ken
Umang bertanya. Pengawal itu termangu-mangu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Ken
Umang berteriak, "Ayo katakan, apa yang kau ketemukan" Apakah
kau bertemu dengan anakku, Maharaja Singasari?"
Pengawal itu menjadi bingung. Mahendra pun termangu-mangu
sejenak, namun ia kemudian bertanya mendahului jawaban
pengawal itu, "Tuan Puteri. Kami memang sedang menyelidiki
segala kemungkinan. Biarlah kami memanggil kawan-kawan kami
agar perjalanan kami menjadi lebih aman."
Ken Umang mengerutkan keningnya.
"Apakah musuh masih terlampau banyak?" bertanya Mahendra.
Pengawal yang semula menjadi bingung itu pun kemudian
mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. ya tuan puteri. Musuh
terlampau banyak di ujung jalan rahasia ini."
"Tunggulah di sini sebentar tuan puteri." berkata Mahendra,
"Hamba akan keluar bangsal ini sebentar."
Ken Umang menjadi sangat gelisah.
"Duduklah sebentara tuan puteri."
"Tetapi bagaimana dengan puteraku Tohjaya."
"Tuanku Tohjaya berhasil melalui musuh yang banyak itu.
Tuanku Tohjaya sekarang pergi ke tempat yang aman."
Ken Umang mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Tetapi kau
harus cepat. Aku tidak dapat bersabar lagi untuk menyusul anakku."
851 Mahendra tidak menjawab. Ia pun kemudian pergi ke luar
bangsal itu bersama pengawal yang baru saja datang melalui pintu
rahasia itu. Kemudian kepada Mahendra dilaporkannya semua yang dilihat
dan pesan Witantra untuk menemui Mahisa Agni.
"Pergilah kepada Mahisa Agni. Cepat. Tetapi aku harus
menyingkirkan Ken Umang lebih dahulu. Jika ia melihat Mahisa Agni,
maka persoalannya akan bergeser."
Pengawal itu mengerutkan keningnya.
"Kau tidak perlu mengetahui sebabnya. Tuan puteri Ken Umang
agaknya sedang terganggu syarafnya sehingga kadang-kadang ia
menjadi lupa sama sekali akan dirinya dan orang-orang yang pernah
dikenalnya. Kecewa, pedih dan sakit hati sudah agak lama
mencengkamnya. Dan kini goncangan terakhir adalah sebab utama
yang telah membuatnya terganggu ingatannya."
"Jadi, apakah aku harus menunggu?"
"Tidak perlu. Pergilah kepada Mahisa Agni. Sebaiknya ia melalui
jalan rahasia ini. Tetapi jika ia mendapatkan beberapa ekor kuda,
maka ia dapat mempergunakannya."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Katanya, "Apakah kudakuda
yang ada di halaman istana ini telah dilepaskan semuanya?"
"Aku tidak tahu."
"Tentu masih ada. Tidak seorang pun yang mengganggu kudakuda
itu, sedangkan tuanku Tohjaya tentu tidak dapat
mempergunakan seekor pun dari kuda-kuda itu."
"Cobalah. Tetapi aku harus menyingkirkan tuan puteri. Jika kau
tidak berhasil mendapatkan kuda maka kau akan menempuh jalan
ini agar tidak terlampau jauh ketinggalan. Aku tidak akan pergi,
karena halaman ini masih memerlukan pengawasan."
Demikianlah, penghubung itu pun kemudian mencari Mahisa Agni
ke paseban. Agaknya pertempuran di halaman Istana itu sudah
852 hampir selesai seluruhnya. Beberapa orang prajurit yang tidak
bersenjata lagi telah menyerahkan diri di berbagai tempat.
Ketika Mahisa Agni yang masih berada di paseban mendengar
laporan itu, maka ia pun terperanjat. Beberapa saat ia berada di
paseban. Lembu Ampal sedang mencari keterangan, dimanakah
kira-kira Tohjaya berada. Dalam pada itu, laporan itu mengatakan
bahwa Tohjaya berhasil lolos dari halaman istana.
"Baiklah." berkata Mahisa Agni, "Aku akan segera menghadap
kakang Witantra. Biarlah Mahendra berada di halaman istana. Masih
akan timbul bermacam-macam persoalan di sini. Halaman ini
memang tidak dapat ditinggalkan begitu saja."
"Apakah tuanku memerlukan kuda." bertanya penghubung itu.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu, "Jika kau berhasil
mendapatkannya barang lima atau enam ekor, aku akan berkuda."
Sejenak kemudian penghubung itu pun membawa beberapa
orang pengawal untuk mencari kuda. Ternyata di kandang kuda
yang disediakan bagi para prajurit, sama sekali sudah tidak
diketemukan seekor kuda pun karena kuda-kuda itu telah
dipergunakan oleh pasukan berkuda keluar halaman istana, ketika
prajurit-prajurit di luar halaman mendapat serangan. Tetapi pasukan
berkuda itu tidak kembali lagi dengan kuda-kuda mereka. Sebagian
besar dari mereka telah tertangkap dan terbunuh. Yang lain
menyerah, dan ada satu dua di antara mereka yang lari tanpa
tujuan. Tetapi, penghubung itu masih mencarinya terus ke kandang kuda
di belakang bangsal induk. Ternyata di kandang itu masih ada
beberapa ekor kuda yang dapat dipergunakannya.
Dengan tergesa-gesa kuda itu pun disiapkannya. Kemudian kuda
yang masih ada empat ekor itu pun dibawanya kepada Mahisa Agni,
sementara pengawal yang lain telah mendapatkan kuda pula dari
Mahisa Wonga Teleng. 853 Demikianlah Mahisa Agni akhirnya dapat mengumpulkan tujuh
ekor kuda. Setelah memberikan beberapa pesan, maka ia pun minta
diri kepada Lembu Ampal. Mahendra masih ada di bangsal tuan puteri Ken Umang.
"Terserahlah kepada kalian untuk mengawasi isi halaman ini. Aku
akan menjumpai kakang Witantra. Seterusnya aku akan berusaha
mengikuti jejak tuanku Tohjaya."
"Bagaimana dengan tuanku Ranggawuni dan Mahisa Cempaka?"
"Aku akan menghadap sejenak dan bertanya apakah keduanya
akan pergi bersamaku."
"Keduanya sudah berada di dalam kota, di tempat yang sudah
ditentukan." "Beritahukan kepada Mahendra. bahwa aku pergi berkuda.
Karena itu aku tidak melalui jalan rahasia itu."
Mahisa Agni pun kemudian meninggalkan halaman istana.
Gerbang halaman sudah berhasil dibuka dan sudah dikuasai oleh
pasukan yang mempergunakan gelang lawe wenang di pergelangan
tangannya. Sejenak kemudian tujuh ekor kuda itu pun berpacu di sepanjang
jalan kota. Bekas-bekas pertempuran masih berserakkan di sanasini.
Beberapa orang sedang berusaha mengumpulkan korban yang
berceceran di mana-mana. Mahisa Agni mengusap dadanya yang berdebaran. Banyak nyawa
yang melayang. Pembunuhan terjadi di mana-mana di dalam
peperangan tanpa pertimbangan lagi.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Setiap orang mengerti dan
kadang-kadang dengan tulus hati mengutuk kekejaman perang
yang pernah terjadi. Tetapi setiap kali peperangan itu timbul lagi.
Orang-orang yang mengutuk perang itu akhirnya terlibat dalam
peperangan baru yang juga mengakibatkan kematian dan
penderitaan tiada taranya.
854 Dalam pada itu, Mahisa Agni masih berpacu terus bersama
pengawal-pengawalnya dan seorang penghubung yang mengenal
tempat Witantra menunggu. Mereka langsung menuju ke tempat
yang sudah ditentukan. Tempat yang sudah disediakan buat
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
Kedatangan Mahisa Agni yang tergesa-gesa itu mereka songsong
dengan dada yang berdebar-debar. Sebelum Mahisa Agni berkata
sesuatu, Mahisa Cempaka sudah mendahuluinya, "Apa yang sudah
terjadi paman?" Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Bagaimana dengan pamanda Tohjaya" Bukankah pamanda
Selamat?" Mahisa Agni memandang kedua anak-anak yang masih sangat
muda itu dengan hati yang tertegun-tegun. Keduanya ternyata
masih diterangi dengan cinta kasih sehingga bagaimana pun juga
mereka masih berharap pamandanya selamat, meskipun
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengetahui, Tohjaya telah
memerintahkan Lembu Ampal untuk membunuh mereka. Dan
terlebih-lebih lagi Tohjaya telah membunuh Anusapati pula.
Mahisa Agni pun kemudian melaporkan serba singkat tentang
apa yang terjadi. Dikatakannya pula bahwa Witantra sedang
menunggu di ujung pintu rahasia itu.
"Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka. Apakah
tuanku juga ingin mengikuti jejak pamanda tuanku yang telah
meninggalkan istana?"
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saling berpandangan sejenak,
dan akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya.
Mahisa Agni pun kemudian memerintahkan menyiapkan kuda
bagi Ranggawuni dan Mahisa Cempaka serta beberapa orang
pengawal. 855 "Kita akan pergi menemui Witantra di ujung pintu rahasia itu.
Kita akan membawa beberapa ekor kuda untuknya tuanku. Kita
akan berusaha menyusul pamanda tuanku." berkata Witantra.
"Jika kita dapat menyusul, apakah yang akan kalian lakukan atas
pamanda Tohjaya?" "Tidak apa-apa tuanku, selain menyerahkan kekuasaan dengan
baik kepada tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka.
Kemudian berjanji tidak akan mengganggu pemerintahan untuk
selanjutnya." "Setelah pamanda berjanji?"
"Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Kita akan memikirkannya
kemudian. Tetapi percayalah, bahwa kami tidak akan berbuat apaapa
tanpa perintah tuanku. Sebab jika ada dendam kepada
keduanya, maka dendam yang terbesar tentu tersimpan di hati
tuanku berdua. Jika tuanku sama sekali tidak mendendam, maka
orang lain sama sekali tidak berhak untuk melakukannya."
"Baiklah paman." berkata Ranggawuni kemudian, "Kita akan
segera pergi." Demikianlah maka sekelompok pengawal berkuda mengikuti
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pergi mendapatkan Witantra
bersama Mahisa Agni dan prajurit penghubung yang mengetahui
pintu rahasia yang menghubungkan bagian dalam dan luar istana
itu. Selain kuda yang mereka pergunakan, maka kelompok itu juga
membawa beberapa ekor kuda bagi Witantra dan beberapa orang
pengawalnya. Dalam pada itu, maka Mahendra yang ada di dalam istana, sibuk
menyabarkan Ken Umang yang mulai gelisah. Kegelisahan yang
menyulitkan. Karena Ken Umang tidak lagi dapat menahan gelojak
perasaan karena gangguan ingatannya, maka ia pun kemudian
berteriak-teriak. Menangis melolong-lolong, namun kemudian
tertawa berkepanjangan. 856 "Anakku akan menguasai seluruh bumi." katanya di sela-sela
derai tertawanya, "Semua orang akan berlutut di hadapannya. Juga
Mahisa Agni. Ia akan dipaksa untuk mencium telapak kakiku. Dan
aku tidak akan mencuci kakiku yang kotor."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam ketika ia kemudian melihat
Ken Umang tertawa terbahak-bahak sehingga tubuhnya terguncangguncang.
"Ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri." berkala Mahendra
kepada seorang pengawal yang ada disisinya.
"Ya. Selama ini hatinya digelorakan oleh nafsu ketamakan tiada
taranya. Pada saat seperti ini, semuanya yang seakan dapat
diendapkan itu, teraduk tanpa dapat dikendalikan lagi."
Demikianlah maka Mahendra dan beberapa orang pengawal
hanya dapat menyaksikan Ken Umang dalam sikapnya yang tidak
terkendali itu. Kadang-kadang tertawa, namun kemudian menangis
berguling-guling seperti kanak-kanak.
Sekali-sekali Mahendra mencoba menyabarkannya juga. Tetapi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya untuk sesaat, karena jiwa yang sakit itu tiba-tiba telah
meledak pula. Karena kemudian Mahendra mengetahui bahwa Mahisa Agni
tidak akan melalui lubang rahasia itu, maka ia tidak memaksa Ken
Umang untuk menyingkir. Karena menurut penilaian Mahendra, jika
Ken Umang melihat Mahisa Agni, maka dendam dan kebenciannya
akan memuncak dan sulit untuk di tenteramkan lagi.
Sementara itu, Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang diantar
oleh Mahisa Agni telah sampai ketempat Witantra yang menunggu.
Sejenak keduanya dan Mahisa Agni melihat, betapa pintu dari jalan
rahasia itu muncul ke atas permukaan tanah di dalam gerumbul
yang cukup rinbun. "Jadi, apakah yang akan kita lakukan?" bertanya Ranggawuni.
"Menurut pendapat hamba." berkata Witantra, "Kita akan
mengikuti jejak yang ditinggalkan oleh tuanku Tohjaya. Kita harus
857 dapat menyusulnya dan mohon agar dengan suka rela menyerahkan
kekuasaannya." Ranggawuni mengerutkan keningnya.
"Bagaimana jika mereka kita biarkan saja pergi?" bertanya
Mahisa Cempaka. "Tuanku." berkata Mahisa Agni, "Hamba berpendapat, bahwa
tuanku Tohjaya sebaiknya dapat kita ketemukan. Dengan demikian
kita akan dapat berbicara dan menjelaskan persoalan yang
sebenarnya. Tetapi jika kita tidak berhasil menjumpainya, maka
Tuanku Tohjaya akan menganggap bahwa kita akan selalu
memusuhinya. Bahkan mungkin tuanku Tohjaya menduga bahwa
tuanku berdua akan membalas dendam dan membunuhnya."
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka mengangguk-angguk lemah.
"Karena itu tuanku." berkata Mahisa Agni kemudian, "Adalah
sudah sebaiknya kita menyusulnya dan memberikan penjelasan
yang sejauh-jauhnya sehingga tuanku Tohjaya dapat
mempercayainya." "Baiklah paman." berkata Ranggawuni, "Jika demikian, maka
sebaiknya kita pun segera berangkat. Bukankah pamanda Tohjaya
hanya berjalan kaki saja?"
"Ya. Tetapi siapa tahu bahwa di sepanjang perjalanannya
pamanda tuanku mendapatkan beberapa ekor kuda." sahut Mahisa
Agni. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka pun kemudian mempersiapkan
diri untuk pergi bersama Witantra dan Mahisa Agni diikuti oleh
beberapa orang pengawal. Mereka masih belum tahu kekuatan yang
ada bersama Tohjaya. Mungkin sekelompok kecil. Tetapi mungkin
juga pasukan yang kuat. "Jika keadaan memaksa, maka kita harus mengambil sikap."
berkata Witantra. 858 Ranggawuni dan Mahisa Cempaka saling berpandangan sejenak,
lalu, "Apakah maksud paman?"
"Jika kekuatan tuanku Tohjaya ternyata jauh melampaui pasukan
kecil ini. maka kita wajib menyelamatkan diri. Tetapi menilik
jejaknya, pasukan itu tidak terlampau kuat." berkata Mahisa Agni.
"Mudah-mudahan kita tidak salah duga." sahut Witantra, lalu,
"Tetapi menilik jejaknya, jumlah mereka memang tidak terlampau
banyak." Demikianlah pasukan kecil itu mengikuti jejak pasukan yang
meninggalkan Singasari. Sekali-sekali mereka mendapatkan tanda
bahwa ada orang-orang yang terluka di dalam pasukan yang sedang
mereka ikuti itu. Kadang-kadang nampak darah berceceran. Bahkan
kadang-kadang mereka dapat menemukan senjata yang tergolek di
tanah. "Jika seorang prajurit masih mampu menggenggam senjata maka
senjata itu tidak akan dilepaskan." berkata salah seorang pengawal.
Dengan demikian, maka pasukan yang sedang mengikuti jejak itu
mengambil kesimpulan, bahwa ada orang-orang yang sudah sangat
parah, sehingga tidak mampu lagi membawa senjatanya.
Tiba-tiba, pasukan itu terhenti ketika mereka melihat sesosok
tubuh yang tergolek di tepi jalan. Mahisa Agni yang berjalan di
depan, perlahan-lahan mendekatinya. Ia tidak dapat dengan
tergesa-gesa melihat tubuh yang terbaring itu. Mungkin ia justru
akan dapat dijebak dan diserang dengan tiba-tiba.
Tetapi ternyata tubuh itu benar-benar sudah tidak berdaya.
Darah mengalir dari luka yang menganga di lambungnya.
Ketika Mahisa Agni berjongkok di s isi tubuh yang lemah itu, maka
iring-iringan itu pun berhenti.
"Apakah kau salah seorang dari pengawal tuanku Tohjaya yang
sedang menyingkir dari istana?" bertanya Mahisa Agni.
859 Orang itu memandang Mahisa Agni dengan tatapan mata yang
sayu. Kemudian ketika bibirnya bergerak, terdengar suaranya parau,
"Ya. Aku adalah pengawalnya."
"Apakah kau terluka di pertempuran yang terjadi di halaman
istana?" Prajurit yang terluka itu menganggukkan kepalanya.
"Apakah kau tahu, siapakah kami?"
"Ya. Kalian adalah pengkhianat yang telah memberontak kepada
tuanku Tohjaya." "Apakah tuanku Tohjaya mengatakan demikian?"
"Setiap orang yang setia kepada Singasari mengatakan
demikian." "Dan kau bersedia mati dalam kesetiaanmu kepada Singasari
atau kepada tuanku Tohjaya."
"Tuanku Tohjaya adalah satu dengan Singasari."
"Bagaimana dengan tuanku Anusapati" Apakah kau belum
pernah mendengar, bagaimana tuanku Tohjaya merebut
kedudukannya." "Aku tidak peduli." wajah orang itu menjadi merah padam.
Namun tiba-tiba tubuhnya menjadi semakin lemah. Matanya sudah
setengah terpejam. "Aku akan mencoba mengobati lukamu." berkata Witantra,
"Setidak-tidaknya menahan aliran darah."
Tetapi sekali lagi orang itu menghentakkan kepalanya dan
bangkit bertelekan s ikunya, "Jangan sentuh aku pengkhianat."
Witantra mengerutkan keningnya. Katanya, "Dengarlah. Apakah
kau pernah mendengar nama tuanku Anusapati?"
"Aku tidak peduli."
860 "Cobalah kau kenang masa pemerintahannya yang pendek itu.
Cobalah kau membuat perbandingan dengan masa pemerintahan
tuanku Tohjaya dalam waktu yang hampir sama."
Orang itu tiba-tiba menjadi lemah dan hampir saja kepalanya
yang tidak tertahankan lagi terantuk tanah. Tetapi Mahisa Agni
cepat menyambarnya. "Dengarlah." berkata Mahisa Agni, "Jika kau sempat membuat
pertimbangan, siapakah yang sebenarnya memberontak terhadap
kekuasaan yang sebenarnya di Singasari" Tuanku Tohjaya telah
membunuh tuanku Anusapati."
"Anusapati telah membunuh tuanku Sri Rajasa."
"Kau yakin?" "Menurut tuanku Tohjaya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mau
berbantah dengan orang yang sudah menjadi sangat lemah. Karena
itu, maka ia pun kemudian bertanya, "Baiklah. Tetapi dimanakah
tuanku Tohjaya sekarang?"
"Aku tidak tahu."
"Kami melihat jejaknya. Maksud kami baik. Barangkali kau dapat
memberi penjelasan" Apakah tuanku Tohjaya naik kuda atau
berjalan kaki?" Prajurit itu tidak mau menjawab. Tubuhnya menjadi semakin
lemah dan wajahnya bertambah pucat.
Perlahan-lahan Witantra mendekatinya. Dicobanya menaburkan
obat diatas luka orang itu. Namun diluar dugaannya, orang itu
justru meronta sambil berteriak, "Pergi, pergi pengkhianat."
Witantra tidak menghiraukannya. Ia masih saja menaburkan
obatnya. 861 Tetapi agaknya luka orang itu memang terlampau parah dan
darah sudah terlampau banyak yang mengalir, sehingga karena itu,
ia sudah sangat lemah. Meskipun demikian ia masih saja tetap bergumam, "Kau
pengkhianat seperti Anusapati yang membunuh Rajasa."
Witantra tidak menjawab. Ditungguinya orang itu sejenak. Jika
lukanya dapat tertolong, maka apabila ia tidak dapat mengikuti jejak
Tohjaya seterusnya, orang itu barangkali dapat memberikan sedikit
petunjuk. Tetapi luka itu sudah terlambat mendapat pengobatan. Karena
itu, maka dengan tatapan kebencian perlahan-lahan orang itu
kehilangan nafasnya, sehingga akhirnya ia pun meninggal dunia.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Orang itu memang
sudah tidak mungkin lagi diselamatkan.
"Marilah kita ikuti jejak itu seterusnya." berkata Mahisa Agni,
"Kita harus menemukannya dan menyelesaikan persoalan Singasari
sebaik-baiknya agar perang tidak berkepanjangan di hari-hari
mendatang." Demikianlah maka kelompok itu pun melanjutkan perjalanan
tanpa mendapat gambaran apapun tentang pengikut-pengikut
Tohjaya. Apalagi tentang kekuatan dan jumlah orang-orangnya.
"Sampai di sini mereka masih tetap berjalan kaki." berkata
Witantra. "Jika mereka kemudian mendapatkan kuda di perjalanan, kita
akan dapat memperhitungkan kekuatannya menilik jejaknya." sahut
Mahisa Agni. Witantra mengangguk-angguk. Namun mereka harus tetap
berhati-hati. Dalam pada itu. sebenarnyalah Tohjaya berusaha untuk
menyingkir menjauhi istana. Ia berhasrat untuk menyusun kekuatan
862 dan melawan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tohjaya masih
berniat untuk tetap menguasai tahta Singasari.
Dengan sejumlah pengikutnya Tohjaya yang terluka diusung
dengan tandu. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa di sepanjang
jalan padesan yang sempit. Setiap kali tandunya terguncang
Tohjaya berteriak memaki-maki prajurit-prajuritnya yang
mengusung tandu itu. "Kalian telah gila. Aku terluka. Kalian harus berjalan dengan baik.
Setiap goncangan membuat lukaku semakin sakit. Darah semakin
banyak mengalir dari lukaku."
Prajurit-prajuritnya sama sekali tidak berani berbuat apapun juga.
Mereka berjalan dengan tergesa-gesa tetapi selalu berusaha agar
tandu itu tidak terguncang.
Ketika mereka sampai di ujung sebuah padesan terpencil, maka
Tohjaya pun menghentikan tandunya. Ketika ia berpaling hatinya
menjadi tenang. Prajurit yang mengawalnya cukup banyak sehingga
merupakan sebuah barisan yang cukup panjang.
"Kita berhenti di sini." berkata Tohjaya, "Aku ingin beristirahat."
"Tetapi sebaiknya tuanku beristirahat di seberang padesan ini."
berkata seorang Senapati yang mengawalnya, "Dengan demikian,
jika ada pasukan yang mengikuti jejak kita, mereka tidak segera
dapat melihat apabila mereka muncul diujung bulak."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berteriak,
"Apakah kau takut menghadapi orang-orang Rajasa dan Sinelir?"
"Tidak tuanku. Tetapi sekedar sikap berhati-hati."
Tohjaya termenung sejenak. Namun kemudian dengan wajah
tegang ia berkata, "Kita pergi ke ujung lain dari padesan ini.
Senapatiku sudah menggigil mendengar nama orang-orang Rajasa
dan Sinelir." 863 Tidak ada yang menjawab. Prajurit-prajurit yang mengusung
tandu itu pun segera mengangkat tandu Tohjaya dan membawanya
melalui lorong di padesaan kecil itu sampai ke ujung yang lain.
Kepada beberapa orang prajurit Senapati itu memerintahkan
untuk berjaga-jaga di ujung lorong.
"Aku mempunyai firasat bahwa mereka akan mengejar kita. Kita
tidak sempat melenyapkan jejak."
"Apakah mereka akan dapat menemukan lorong rahasia di bawah
tanah itu?" "Tidak mustahil. Mereka akan menjelajahi setiap sudut ruangan
bangsal yang manapun juga. Tetapi mungkin juga ada orang yang
melihat iring-iringan ini dan dengan sengaja berkhianat."
Demikianlah maka beberapa orang prajurit sambil berlindung
mengawasi bulak panjang yang terbentang di hadapan mereka.
Dengan demikian mereka dapat melihat setiap orang yang muncul
di ujung bulak di kejauhan, sementara Tohjaya beristirahat di
padesan itu. Tanpa minta ijin kepada pemilik-pemiliknya yang ketakutan dan
bersembunyi di dalam gubug-gubug kecil, prajurit-prajurit yang lelah
itu telah memanjat batang-batang kelapa. Airnya dapat diminum
dan kelapa-kelapa yang masih muda itu pun dikunyahnya sekedar
mengisi perut. Bahkan, kemudian bukan saja kelapa dan buah-buahan. Tetapi
beberapa orang prajurit telah masuk ke dalam dapur dan
mengambil makanan apa pun yang ada di dalam dapur itu.
Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit yang berjaga-jaga di
ujung lorong telah melihat debu yang berhamburan. Kemudian
nampak beberapa ekor kuda muncul dan maju perlahan-lahan.
"Itulah mereka?" bertanya salah seorang prajurit yang berjagajaga
itu. 864 Kawannya menjadi berdebar-debar. Di kejauhan mereka melihat
sekelompok orang-orang berkuda yang nampaknya memang sedang
mencari jejak. "Cepat laporkan." berkata yang seorang kepada yang lain, "Aku
dan beberapa prajurit tetap berada di sini."
Salah seorang dari prajurit-prajurit itu pun segera berlari-lari
menyampaikan laporan tentang sekelompok pasukan berkuda yang
telah menyusul mereka. "Pasukan berkuda yang mana?" bertanya seorang Senapati.
"Maksudku orang-orang berkuda."
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun
memberanikan diri mendekati Tohjaya yang sedang beristirahat.
Dengan ragu-ragu ia mencoba untuk mengatakan laporan yang
disampaikan oleh prajurit itu. Tetapi ia harus sangat berhati-hati,
karena Tohjaya agaknya benar-benar telah berubah menjadi
Pedang Sakti Tongkat Mustika 8 Pedang Siluman Darah 6 Geger Kitab Inti Jagad Kalung Keramat Warisan Iblis 1
^