Sepasang Ular Naga 29
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 29
"Apakah ciri itu kakang?"
"Aku melihat kepala serigala yang sedang menganga."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tentu yang
dimaksud bukanlah satu atau dua orang anak muridnya, karena
tidak seorang pun yang mengenakan ciri-ciri semacam itu. Jika ada
1738 orang yang mengenal ciri-cirinya tentu dilihat dari segi tata gerak
dan sikapnya. Bukan pada lukisan apapun juga.
"Baladatu." berkata, Empu Sanggadaru kemudian, "Dua kali aku
telah berbenturan dengan mereka. Yang pertama di perjalanan. Dan
yang kedua adalah di padepokanku. Aku menduga bahwa dua
peristiwa itu sudah cukup alasan bagi mereka untuk melepaskan
dendamnya kepadaku."
"Apakah kira-kira mereka akan menyerang padepokanmu
kakang" sehingga kau berniat untuk segera pulang?"
"Aku mendapat firasat buruk. Tetapi aku tidak tahu, apa yang
akan terjadi?" Keduanya pun .kemudian terdiam sejenak. Angan-angan masingmasing
melambung ke dalam kegelisahan. Bahkan kemudian Empu
Sanggadarupun berkata, "Baladatu, beritahulah kepada kedua
pengawalmu, agar mereka berhati-hati. Akupun akan
memperingatkan kedua cantrikku pula."
Empu Baladatu mengangguk. Jawabnya, "Baik kakang. Tetapi
apakah menurut kakang ada kemungkinan, mereka akan datang
kemari?" "Aku adalah seorang pemburu, Baladatu. Hidungku sudah
terbiasa dapat membedakan bau angin yang bertiup. Dan aku
mencium bau yang lain dari bau hutan ini."
"Ah, tentu orang-orang Singasari yang datang untuk mengambil
harimau itu." Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, "Bukan. Aku dapat
membedakannya." "Baiklah." Empu Baladatu mengangguk sambil berdiri. "Aku akan
memanggil kedua peugawalku."
"Dan kedua cantrik itu sekaligus."
1739 Empu Baladatu termangu-mangu. Lalu katanya, "Baiklah. Aku
akan memanggilnya kemari. Kakang sajalah yang memberitahukan
kepada mereka, apa yang akan terjadi."
Empu Sanggadaru tidak menjawab. Dipandanginya saja adiknya
yang melangkah mendekati pengawal-pengawalnya yang sedang
beristirahat. Kemudian dua orang cantrik yang sedang berbaring
beberapa langkah dari kedua pengawal itu.
Sejenak kemudian, maka mereka pun datang mendekat Empu
Sanggadaru yang termangu-mangu.
Empu Baladatu pun kemudian duduk pula di sebelah kakaknya
yang nampak gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena ia
menunggu penjelasan yang akan diberikan oleh kakaknya itu.
"Apakah kalian ingat peristiwa yang telah terjadi di padepokan
kita menjelang kedatangan Empu Baladatu?" bertanya Empu
Sanggadaru kepada kedua cantriknya.
Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka menjawab, "Ya, aku ingat Empu. Pembunuhan yang sama
sekali terjadi tanpa kami sengaja. Peristiwa itu demikian cepat
berlangsung, sehingga ketika kesadaran kami timbul sepenuhnya,
kami sudah melihat mayat-mayat yang terkapar."
"Aku tidak menyalahkan kalian." desis Empu Sanggadaru,
"Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang adalah akibat dari peristiwa
itu." "Dendam." "Ya. Agaknya mereka akan datang untuk membalas dendam. Aku
tidak tahu pasti, apakah mereka akan melakukannya di sini atau di
padepokan." Kedua cantrik itu termangu-mangu.
"Baladatu." berkata Empu Sanggadaru, "Peristiwa inilah yang
membuat kita terlampau berhati-hati. Ketika kau datang, kau
disambut dengan penuh kecurigaan."
1740 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang kehadirannya di
padepokan kakaknya terasa sekali, betapa padepokan itu
diselubungi oleh suatu rahasia. Dan kini ia mengetahui, salah satu
sebab kenapa seisi padepokan itu menjadi sangat berhati-hati.
"Empu." berkata salah seorang cantriknya, "Jika demikian,
apakah tidak sebaiknya kita segera kembali ke padepokan. Jika
mereka menemukan padepokan itu kosong, maka mereka akan
berbuat apa saja tanpa dapat dikendalikan."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Kita tidak perlu kembali ke padepokan. He, Baladatu.
apakah kau masih mengira bahwa yang datang itu orang-orang dari
Singasari." Mata Empu Baladatu tiba-tiba saja terbelalak. Telinganya
memang mendengar sesuatu, dan matanya melihat daun yang
bergerak-gerak, tetapi tidak oleh angin.
"Kau benar kakang." jawabnya.
Tetapi Empu Sanggadru masih duduk dengari tenangnya.
Katanya, "Mereka tidak usah kita sambut di padepokan. Agaknya
mereka memang tidak sabar menunggu kehadiran kita dari
perburuan." "Maksud Empu." desis salah seorang cantriknya.
"Perhatikanlah keadaan di sekitarmu. Mungkin kau akan segera
mengetahui." Cantrik itu termangu-mangu. Demikian juga kedua pengawal
Empu Baladatu. Namun mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki Sejenak
kemudian seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang meloncat
dari dalam semak-semak. Kedua cantrik dan kedua pengawal Empu Baladatu terkejut.
Mereka bergeser setapak. Namun kemudian mereka pun
berloncatan pula sambil meraba hulu senjata masing-masing.
1741 Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru masih tetap duduk di
tempatnya. Mereka sama sekali tidak terkejut, karena mereka sudah
mendengar dan melihat dedaunan yang bergerak. Namun demikian,
dada mereka bergejolak ketika mereka melihat di sekitarnya
beberapa orang yang berloncatan pula. Jumlahnya terlalu banyak
dari dugaan mereka. "Siapa di antara kalian yang bernama Sanggadaru." geram orang
bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.
Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berdiri sambil memandang
berkeliling. "Limabelas orang. Aku hanya membawa lima belas orang Tetapi
lima belas orang ini akan cukup membinasakan kalian semuanya,
dan orang-orang di padepokanmu."
Empu Sanggadaru maju selangkah. Jawabnya, "Akulah yang
bernama Sanggadaru."
"Aku sudah menyangka. Kau yang mengenakan pakaian anehaneh
itulah yang bernama Sanggadaru, yang merasa dirinya jantan
tanpa tanding." "Aku kurang mengerti. Tetapi menilik ciri gambar pada
pergelangan tanganmu itu. aku sudah menduga, apakah yang telah
mendorongmu mencari aku."
"Kau benar-benar seorang yang jantan. Kau benar. Aku memang
ingin menuntut balas. Kematian kedua muridku membuat
perguruanku goncang."
"Kau sudah dalang ke padepokanku?"
"Ya." "Kau sudah membakar padepokan itu dan membunuh semua
isinya." "Belum. Aku mendengar dari cantrik-cantrikmu yang menggigil
ketakutan, bahwa kau sedang pergi berburu. Aku bukan pengecut.
Aku sengaja mencarimu. Jika aku sudah membunuhmu, maka
1742 padepokanmu akan aku kuasai dengan seluruh isinya. juga gadis
yang menumbuhkan persoalan itu. Bahkan semua perempuan yang
ada." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya beberapa orang yang berdiri tegak di sebelah
menyebelah orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.
"Mereka adalah orang-orang kepercayaanku." berkata orang
bertubuh tinggi itu, "Meskipun jumlah kami hanya lima belas, tetapi
kami dapat meratakan hutan ini."
"Siapakah namamu Ki Sanak." bertanya Empu Sanggadaru tibatiba.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang Empu
Baladatu. dua orang cantrik dan dua orang pengawal. Baru
kemudian ia berkata, "Tidak ada gunanya kau bertanya tentang
namaku. Juga nama orang-orangku. Yang penting, kami adalah
orang-orang yang tidak dapat dihina dengan cara apapun juga.
Kami adalah orang-orang dari Perguruan Serigala Putih."
"O." desis Empu Sanggadaru "Ciri serigala itu menunjukkan
siapakah kalian. Kalian adalah orang-orang yang disebut berilmu
hitam. Tetapi bahwa kau menyebut perguruamnu dengan nama
serigala putih adalah sangat mengejutkan."
Pemimpin perguruan serigala putih itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya, "Kenapa kau persoalkan nama yang telah kami pilih.
Serigala Putih. Bagus selagi. Meskipun orang lain menyebut kami
berilmu hitam." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. "Memang tidak ada
hubungan antara nama dan landasan ilmumu itu. Kau dapat memilih
nama yang paling bagus sekali pun Menur putih misalnya. Atau
barangkali nama sejenis burung yang paling indah."
"Cukup." bentak pemimipin Serigala Putih itu, "Jangan mencoba
bergurau untuk melunakkan hatiku. Sekarang aku akan menuntut
tanggung jawabmu atas kematian orang-orangku di padepokanmu."
1743 "Baiklah." Empu Sanggadaru menarik nafas, "Tetapi apakah kau
sudah mengetahui sebab-sebabnya?"
"Orang-orangku sudah mengatakan kepadaku."
"Apakah mereka berkata dengan jujur?"
"Orang-orangku adalah orang-orang yang jujur. Mereka
mengatakan kepadaku, bahwa orang-orangmu marah karena orangorangku
yang kebetulan bermalam di padepokanmu menginginkan
seorang gadis. Hanya seorang gadis yang tidak berarti. Tetapi kau
membunuh orang-orangku. Orang laki-laki."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
berkata, "Ya. Orang-orangmu ternyata jujur. Orang-orangmu ingin
merampas seorang gadis Dan itu menumhuhkan kemarahan pada
kami." "Itu adalah alasan yang gila. Seharusnya kalian membiarkan
gadis itu. apalagi berakibat jatuhnya korban. Dan korban itu adalah
laki-laki." "Aku tidak mengerti." desis Empu Sanggadaru.
"Itulah kebodohanmu. Bagi kami. perempuan tidak ada
harganya. Setiap perempuan yang masih belum dimiliki oleh
siapapun juga, ia tidak berhak menolak keinginan seorang laki-laki
atasnya. Perempuan bagi kami adalah beban. Jika mereka bukannya
lantaran untuk melahirkan keturunan, maka mereka tentu akan
kami musnakan." Terasa sesuatu bergejolak di dalam dada Empu Sanggadaru.
Sekilas ia memandang wajah Empu Baladatu yang berkerut.
Ternyata Empu Baladatu pun menjadi heran. Bahkan hampir
diluar sadarnya ia bertanya "Jadi, kalian benar-benar tidak
menghargai perempuan?"
"Ilmu kami adalah ilmu yang paling baik di seluruh muka bumi.
Bagi kami, perempuan adalah mahluk yang sama sekali tidak
berharga. Tetapi meskipun demikian, kami memerlukannya, karena
1744 kami menginginkan anak. Terutama anak. laki-laki, meskipun kami
memelihara anak-anak perempuan pula."
"Jadi, harga seorang perempuan tidak lebih dan tidak kurang dari
yang kau katakan?" "Masih ada nilai yang lain. Kadang-kadang kami memerlukan
perempuan seperti yang terjadi pada orang-orangku yang kalian
bunuh itu." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah
sebabnya, maka kalian disebut berilmu hitam. Tentu kalian pernah
pula pada suatu kali mengorbankan seorang gadis untuk ilmumu
yang sesat itu." "Darimana kau mengetahuinya?" berkata pemimpin serigala
putih itu. "Aku pernah mendengar ilmu seperti yang kau anut sekarang
Tetapi masih ada jenis ilmu hitam yang lain. Ilmu yang
mempergunakan titik darah seseorang bagi kekuatan tenaga yang
terlontar dari ilmu itu. Dan sudah tentu, bahwa keduanya adalah
ilmu yang biadab." Dada Empu Baladatu tergetar mendengar kata-kata kakaknya itu.
la sadar, bahwa kakaknya banyak mengetahui tentang ilmu yang
disebut ilmu hitam yang ternyata ada beberapa macam jenis dan
cara penyadapannya. Namun demikian, Empu Baladatu masih berusaha menyimpan
gejolak perasaanya di dalam hatinya. Bahkan ia masih bertanya Ki
Sanak. Seandainya kalian tidak menghargai perempuan, itu adalah
tata cara di dalam lingkunganmu. Tetapi kau tidak dapat
menerapkan adat itu pada orang lain yang memiliki tata cara dan
adat yang berbeda." "Itu adalah perbuatan pengecut. Kau sangka bahwa aku merasa
wajib menghargai tata cara dan adat orang lain Ternyata kalian
telah terperosok ke dalam kebodohan. Kalian menganggap bahwa
kematian itu merupakan peringatan yang membuat kami jera. Tidak.
1745 Kami justru datang untuk menguasai kalian, padepokan kalian dan
semua perempuan di dalamnya. Dan kalian tahu, apa gunanya kami
masih juga memelihara perempuan-perempuan, seperti kami
memelihara ternak, agar jenis manusia seperti juga jenis bermacammacam
binatang tidak punah karenanya."
"Itu pikiran gila." geram Empu Baladatu, "Mungkin aku juga
termasuk orang liar seperti kalian, tetapi aku masih menghargai
jenis manusia, apakah ia perempuan apakah laki-laki seperti kami
masih merasa memerlukan kawan dari orang-orang yang harus
memelihara anak keturunan kami."
"Jangan mengigau. Aku tidak peduli anggapan orang-orangku.
Karena yang bertanggung jawab adalah Sanggadaru, maka aku
akan membunuhnya sekarang."
Empu Sanggadaru menarik nafas. Dalam sekali. Sekilas
dipandanginya Empu Baladatu dan kedua pengawalnya. Katanya
kemudian, "Baladatu. Kau adalah tamu di s ini. Kau seharusnya tidak
terlibat dalam kesulitan semacam ini. Karena itu, jika kau merasa
bahwa kau tidak ikut bertanggung jawab, tinggalkan tempat ini,
Mudah-mudahan orang-orang berilmu hitam itu cukup jantan
dengan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah menyingkir."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Empu Baladatu bukanya seorang penakut meskipun ia
cukup licik. Orang-orangnya pun pernah melakukan seperti yang
dilakukan oleh orang-orang yang disebut kakaknya berilmu hitam
itu. Bahkan ia sendiri pernah melakukan kebiadaban yang barangkali
senada. Namun kini, ia merasa dirinya terikat pada jalur darah
keturunan. Empu Sanggadaru adalah kakaknya, sehingga ia tentu
tidak akan dapat membiarkannya terjerumus dalam kesulitan justru
di depan hidungnya. Karena itu, maka menjawab, "Kakang, aku sudah berada di sini.
Aku kira, yang paling baik aku lakukan adalah bersamamu melawan
orang-orang itu. Aku tidak menghiraukan apakah mereka benar atau
salah. Tetapi yang penting, ia sudah memusuhi orang yang di sini
bersamaku dalam perburuan ini. TerIebih lagi ia adalah kakakku."
1746 "Persetan " geram pemimpin dari kelompok yang menyebut diri
mereka Serigala Putih, "Aku akan membunuh kalian. Seandainya
kau akan laripun tidak akan aku berijalan. Kalian, siapapun juga,
harus mati di sini. Dan aku akan kembali ke padadepokanmu
sambil.membawa kepalamu. Dengan demikian seisi padepokan itu
akan menyerah dan menjadi orang-orangku. Mereka tentu tidak
akan dapat mencegah lagi, apapun yang akan kami lakukan
terhadap perempuan-perempuan di padepokan itu."
Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Katanya, "Baiklah Ki
Sinak. Sebenarnyalah bahwa kami pun bukan orang alim yang
lembut. Kami juga orang liar dan mungkin juga biadab. Karena itu,
seperti yang dikatakan adikku, marilah, seperti seekor harimau yang
bertemu dengan kawanan serigala. Tentu saja di antara kami tidak
akan dapat dengan lemah lembut mempersilahkan pihak lain
menggigit leher, atau menyobek perut."
Orang-orang dari kelompok Serigala Putih itu menjadi tegang.
Dengan satu isyarat mereka pun kemudian menebar, lima belas
orang dengan senjata telanjang di tangan.
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya ketika terpandang
olehnya seekor harimau hidup yang terikat. Harimau itu adalah milik
Maharaja Singasari. Jika ia terbunuh, tidak mustahil harimau itupun
akan dirampas pula oleh orang-orang yang mengaku diri bernama
Serigala Putih. Sejenak kemudian, maka kelima belas orang berilmu hitam itu
tiba-tiba telah melingkari keenam orang yg sedang menunggui dua
ekor harimau hasil buruan itu.
Empu Baladatu menjadi bedebar-debar melihat sikap itu.
Sepercik pertanyaan telah melonjak di dalam hatinya. "Apakah
orang yang menyebut Serigala Putih itu juga mempergunakan ilmu
yang serupa ?" Sejenak Empu Baladatu masih menunggu. Namun tangannya
telah menggenggam sebatang tombak pendek. Dengan sengaja ia
tidak mempergunakan pisau belatinya, agar ia tidak terjerat ke
1747 dalam tindakan yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai orang
berilmu hitam pula. Kedua pengawal Empu Baladatu telah menggenggam pedangnya.
Dengan isyarat kedua pengawalnya menyadari, bahwa mereka tidak
langsung masuk ke dalam ilmu mereka yang paling mantap.
Sementara itu Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah
bersiap pula. Mereka berdiri berdekatan. Agaknya cara itu adalah
cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang jauh lebih
banyak. "Jika kalian menyerah." berkata pemimpin Serigala Putih itu,
"Mungkin aku masih mempunyai beberapa pertimbangan. Yang
harus mati adalah Sanggadaru. Yang lain mungkin masih akan dapat
melihat matahari terbit esok pagi."
Tidak ada yang menjawab. Empu Baladatu berdiri tegak bagaikan
patung dengan tombak bertangkai pendek di tangannya. Namun
setiap kali diluar sadarnya, ia masih juga meraba pisau belati
panjangnya. Sejenak ketegangan telah mencengkam tempat itu. Orang-orang
berilmu hitam dari kelompok Serigala Putih itu telah siap dengan
senjata masing-masing. Ternyata senjata mereka bukanlah pisaupisau
belati pendek atau panjang atau pisau belati rangkap, tetapi
sebagian besar dari mereka adalah bersenjata pedang.
Pemimpinnya memegang senjata yang agak lain, sebuah bindi yang
bergerigi. Sedangkan seorang yang lain, memegang sebilah keris
yang besar dan panjang, seperti sebilah pedang.
Pemimpin Serigala Putih itu kemudian melekatkan jari-jarinya di
mulutnya. Ketika terdengar mulut itu bersuit nyaring, maka mulailah
kelima belas orang itu bergerak. Mereka melangkah maju dengan
senjata yg teracu. Keenam orang yang berada di dalam lingkaran itu telah bersiap
menghadapi kemungkinan. Senjata mereka bagaikan bergetar di
tangan yang bergetar pula.
1748 Sejenak kemudian, maka terdengar sebuah teriakan nyaring,
bukan lagi sebuah suitan. Agaknya perintah itulah yang
menentukan, kapan orang-orang Serigala Putih itu mulai
berloncatan menyerang dengan dahsyatnya.
Ternyata bukan senjata mereka sajalah yang bergerak
menyambar, tetapi mulut mereka pun berteriak-teriak tidak keruan.
Keras dan kasar. Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya melihat sikap yang
kasar dan keras itu. Tetapi ia tidak boleh membuat pertibanganpertibangan
terlalu banyak karena lawan-lawannya telah
berloncatan menyerang dengdn garangnya.
Dengan hati-hati Empu Sanggadaru menempatkan dirinya dekat
dengan kedua cantriknya. Mereka berdiri saling membelakangi.
Beberapa langkah dari mereka Empu Baladatu telah mempersiapkan
diri pula bersama kedua pengawalnya. Tetapi mereka pun bersikap
lain dari Empu Sanggadaru. Mereka lebih senang bertempur di
tempat yang luas, karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk
mempergunakan tata gerak yang panjang meskipun untuk melayani
lawannya kali ini, mereka tidak langsung berada di dalam sebuah
lingkaran yang berputaran.
Ternyata orang-orang yang berilmu hitam yang tergabung di
dalam kelompok yang disebut Serigala Putih itu tidak
mempergunakan cara yang selama itu dipakai oleh Empu Baladatu,
Mereka tidak bergerak dalam lingkaran yang berputaran.Tetapi
mereka menyerang lawannya bersama-sama. Mereka telah
membagi diri untuk menghadapi lawannya yang terpecah pula.
Pemimpin Serigala Putih itu bersama beberapa orang
pengiringnya bersama-sama menyerang Empu Sanggadaru yang
bertempur berpasangan dengan kedua cantriknya. Sementara itu
beberapa orang yang lain telah menyerang Empu Baladatu dan
kedua pengawalnya yang bertempur terpisah.
Dalam benturan pertama, sudah terasa, betapa Empu
Sanggadaru mempunyai kekuatan yang tidak terduga oleh
1749 lawannya. Pemimpin Serigala Putih itu terkejut ketika senjatanya
membentur senjata Empu Sanggadaru. Hampir saja senjatanya
terlepas. Untunglah bahwa ia sempat meloncat surut dan
memperbaiki keadaan, sementara beberapa orang-orangnya telah
melindunginya. Dengan demikian maka Empu Sanggadaru dapat menjajagi,
bahwa meskipun lawannya berlipat jumlahnya, namun ia masih
mempunyai kesempatan untuk keluar dari lingkaran maut itu.
Dalam pada itu sekilas ia melihat adikmu yang sedang
menghadapi tiga orang sekaligus. Dengan garangnya Empu
Baladatu menangkis setiap serangan, dan bahkan kemudian ia pun
menyerang dengan garangnya pula.
Empu Sanggadaru menjadi agak tenang. Nampaknya adiknya
tidak segera mengalami kesulitan.
"Mudah-mudahan kami mampu mempertahankan diri." gumam
Empu Sanggadaru di dalam hatinya.
Ternyata bahwa Empu Sanggadaru yang telah berhasil
membunuh seekor harimau dengan tangannya itu benar-benar
memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun masih nampak
goresan-goresan luka di tubuhnya, yang sudah tidak mengalirkan
darah lagi, namun itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Ia masih
tetap lincah dan garang. Namun dalam pada itu, kedua pengawal Empu Baladatu yang
masing-masing harus bertempur melawan dua orang, ternyata pada
permulaan perkelahian itu sudah nampak, bahwa mereka akan
segera menemui kesulitan, justru karena mereka bertempur dengan
cara yang tidak biasa mereka lakukan.
"Bertahanlah dengan caramu itu." teriak Empu Baladatu.
Kedua pengawalnya tidak menyahut. Tetapi mereka terdesak
mundur. Empu Baladatu yang kemudian mempergunakan setiap
kesempatan untuk menolong kedua pengawalnya. Ia bertempur
1750 seperti seekor burung. Meskipun ia tidak berlari-lari melingkari
lawannya, namun ia mempergunakan ruang yang luas untuk
mengatasi kesulitannya. Sikapnya memberikan contoh kepada kedua pengawalnya.
Seperti Empu Baladatu, maka mereka pun mempergunakan cara
yang serupa. Meskipun mereka tidak dapat melingkari lawannya,
namun gerakan yang panjang itu rasa-rasanya telah memberikan
nafas kepada mereka. Loncatan-loncatan yang jauh, dan sekali-sekali tidak dapat
menyembunyikan unsur gerakan melingkar, telah membuat
lawannya harus menyesuaikan diri.
Itulah kemenangan mereka. Mereka sudah terbiasa berkelahi
dengan gerakan dan tenaga yang banyak. Berlari-lari berputaran
untuk waktu yang lama. Dan kini mereka pun tidak segera diganggu
oleh pernafasan mereka yang terlatih ketika mereka bertempur
sambil berloncatan, dan bahkan berlari-lari.
"Licik." tiba-tiba salah seorang dari kelompok Serigala Putih itu
berteriak karena lawannya selalu menghindar menjauhkan
kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan loncatan yang
panjang. "Siapkah yang lebih licik." jawab salah seorang pengawal Empu
Baladatu, "Kalian bertempur berpasangan. Jika aku hanya
menghadapi seorang lawan, aku akan mempergunakan cara yang
lain." Lawannya menggeram. Mereka mencoba untuk mengurung
gerak pengawal Empu Baladatu. Tetapi mereka tidak berhasil karena
pengawal-pengawa itu mampu bergerak jauh lebih lincah dan cepat.
Selebihnya pernafasan mereka pun lebih terlatih untuk melakukan
gerakan yang jauh lebih banyak lagi.
Sementara itu, lawan Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya
telah membelah kelompoknya dan mengepung mereka bertiga.
Delapan orang yang dipimpin langsung oleh pimpinan gerombolan
orang berilmu hitam yang bernama Serigala Putih itu.
1751 Namun nampaknya Empu Sanggadaru memang memiliki
kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan
melampaui pemimpin gerombolan Serigala Putih itu, sehingga
karena itu, maka setiap serangannya tentu telah menyibakkan
lawan-lawannya. Tetapi lawan terlalu banyak. Sebanyak yang menyibak, maka
sebanyak itu pulalah yang datang menyerang, sehingga Empu
Sanggadaru dan kedua cantriknya harus bertempur mati-matian.
Namun betapun mereka mengerahkan tenaganya, tetapi mereka
tidak banyak dapat bernafas. Mereka bahkan kemudian hampirhampir
tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dapat mereka
lakukan adalah sekedar mempertahankan diri.
Meskipun demikian, Empu Sanggadaru masih berusaha. untuk
melihat kelemahan kepungan lawannya. Jika dengan serta merta
Empu Sanggadaru menyerang dinding kepungan yang hanya selapis
itu. ia masih melihat kemungkinan untuk keluar. Tetapi ia tidak mau
meninggalkan kedua cantriknya didalam kesulitan.
Karena itulah, sebelum menemukan suatu cara yang paling baik
untuk mematahkan kepungan itu, maka Empu Sanggadaru masih
membatasi diri, sekedar bersama-sama dengan kedua cantriknya
untuk bertahan. Dalam pada itu, Empu Baladatu ternyata dapat lebih leluasa
melakukan perlawan meskipun lebih banyak berloncatan dan
berputar-putar. Bahkan dengan sengaja ia membuat lawanlawannya
menjadi semakin marah karena Empu Baladatu dan kedua
pengawalnya telah membuat pepohonan menjadi perisai dan
perlindungan. Mereka berlari-lari berputaran mengelilingi pohonpohon
besar yang tumbuh di sekitarnya.
"Licik, gila." teriak salah seorang lawannya, "Kenapa kau tidak
bersikap jantan" Kemarilah. Kita bertempur di tempat yang lapang
dan terbuka." "Jika kalian berjanji untuk berkelahi seorang melawan seorang,
aku tidak berkeberatan. Aku akan melawan tiga orang berurutan,
1752 tidak sekaligus. Dan aku akan membunuh tiga orang itu pula
berurutan." jawab Empu Baladatu.
"Persetan." geram lawannya.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu masih saja bertempur di
antara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali ia
berlari-larian di antara pepohonan, namun tiba-tiba ia meloncat
menyerang dengan tiba-tiba. Bahkan tanpa dapat menghindarkan
diri dari pengaruh ilmunya yang sebenarnya, kadang-kadang
Baladatu pun berlari berputaran.
Demikian pula kedua pengawalnya. Mereka pun bertempur
dengan cara yang sama. Tetapi karena mereka tidak memiliki ilmu
semantap Empu Baladatu, maka mereka lebih banyak berlari-lari
menghindar daripada menyerang. Namun demikian kadang-kadang
mereka pun dapat menyerang dengan tiba-tiba dan membahayakan
lawannya. Empu Sanggadaru melihat cara bertempur adiknya dengan
heran. Ia sama sekali tidak segera dapat melihat, ilmu yang
manakah yang nampak pada adiknya itu. Ia mendapat ilmu dasar
yang sama dengan Baladatu. Namun dalam perkembangannya
menjadi sangat jauh berbeda.
Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat menilai adiknya lebih
lama lagi. Ia mengambil kesimpulan, bahwa yang dilakukan oleh
Baladatu adalah semata-mata untuk mengatasi kesulitan sesaat
yang datang tidak terduga-duga itu. Memang tidak terlalu mudah
untuk melawan tiga orang sekaligus. Seperti yang dialaminya,
bahwa ia harus melawan delapan orang bersama-sama dengan dua
orang cantriknya itu. Namun bagaimanapun juga, karena orang-orang Serigala Putih
itupun memang sudah membekali dirinya dengan ilmu pula,
ternyata bahwa lawan-lawan mereka akan sulit dapat bertahan
terlalu lama. Empu Baladatu yang berlari-larian pun akhirnya harus
mengakui kelebihan tiga orang lawannya bersama-sama. Mereka
kemudian menemukan cara untuk memotong setiap gerakan Empu
1753
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baladatu. Sementara itu kedua pengawalnya pun mengalami
kesulitan pula. Seperti Empu Baladatu, Empu Sangadaru pun mengalami
tekanan yang sangat berat. Semakin lama terasa semakin berat.
Apalagi pimpinan Serigala Putih itu ada di antara mereka yang
beramai-ramai mengepung Empu Sanggadaru.
Sorak dan teriakan masih saja mengumandang di hutan itu.
orang-orang berilmu hitam itu agaknya dengan sengaja
mempengaruhi jiwanya dengan suara-suara yang mengejutkan dan
keras. Sangat keras. Namun agaknya teriakan-teriakan itu juga
memberikan tekanan dan dorongan pada setiap gerak yang mereka
lakukan. Jika untuk beberapa lama, keenam orang itu masih dapat
bertahan, itu adalah karena ternyata mereka memiliki ilmu yang
lebih baik dari lawan-lawannya. Tetapi perbedaan jumlah ternyata
telah sangat menentukan pula.
Ketika desakan lawannya menjadi semakin berat, maka rasarasanya
ujung senjata mereka telah mulai menyentuh kulit. Dengan
mengerahkan ilmu dan tenaga, keenam orang itu masih dapat
menghindar dan menangkis setiap serangan. Tetapi mereka pun
mulai dirayapi oleh pengakuan, bahwa mereka menjadi sangat lelah
karenanya, sehingga dengan demikian, maka perlawanan mereka
pun mulai surut. Pemimpin Serigala Putih itu melihat, bahwa Empu Sanggadaru
dan kedua cantriknya tidak lagi segarang sesaat ketika mereka
mulai dengan pertempuran itu. Meskipun kekuatan Empu
Sanggadaru masih menggoncangkan hati lawan-lawannya, namun,
terutama pada kedua orang cantriknya, rasa-rasanya perlawan
sudah menjadi kendor. "Kami hanya menunggu saat itu datang." berkata pemimpin
Serigala Putih itu. "Kematian memang sudah membayang. Tetapi
agaknya kalian ingin disebut jantan. Mati dengan senjata di
tanganku." 1754 Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia memusatkan perhatiannya
pada usaha untuk memecahkan kepungan.
"Apakah aku sendiri harus keluar dari kepungan itu dan
membantu kedua cantrik itu dari luar lingkaran?" pertanyaan itu
mulai menggelitik hatinya.
Tetapi Empu Sanggadaru tidak sampai hati meninggalkan kedua
cantriknya yang setia itu. Jika ia terlambat, maka keduanya tidak
akan tertolong lagi karena tekanan lawan seolah-olah sudah tidak
terbendung lagi. Demikian pula keadaan Empu Baladatu. Bagi Empu Baladatu
sendiri, meskipun ia harus melawan tiga orang tetapi ia masih
melihat kemungkinan baginya menyelamatkan diri di sela-sela
pepohonan, meskipun seandainya ia harus melarikan diri. Tetapi
kedua orang pengawalnya, benar-benar telah mengalami tekanan
yang hampir tidak teratasi.
Yang kemudian terjadi adalah benar-benar mencemaskan.
Seandainya pada saat yang dekat, Empu Baladatu dan Empu
Sanggadam masih dapat bertahan, tetapi jika para pengawalnya
dan cantriknya terbunuh, maka akan datang saatnya, keduanya pun
akan terbunuh pula. Tetapi Empu Sangggadaru tidak akan ingkar. Seandainya ia harus
mati karena dendam yang menyala di hati lawan-lawannya itu, ia
sudah ikhlas. Tetapi yang mendebarkan jantungnya justru akibat
dari kematiannya. Orang-orangnya di padepokan tentu akan
mengalami perlakukan yang sama sekali tidak diinginkan.
"Jika aku sempat mengumpulkan kekuatan di padepokan. maka
tentu tidak akan dapat terjadi perlakuan serupa." desis Empu
Sanggadaru di dalam hatinya. Tetapi yang terjadi sudah terlanjur
terjadi. Ia tidak berada di antara anak buahnya.
"Adalah suatu kelengahan bahwa dalam keadaan yang gawat
aku meniggalkan padepokanku." ia melanjutkan di dalam hati,
"Tetapi semata-mata karena keinginanku untuk mengantarkan
adikku melihat isi hutan ini. Dan aku sama sekali tidak
1755 memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi saat ini, justru ketika
aku sedang terpisah dari cantrik-cantrikku."
Tetapi semuanya itu sekedar penyesalan yang tidak akan berarti
apa-apa. Ia harus bertempur dan tanpa dapat lagi menghindari
kemungkinan buruk yang bakal terjadi.
Namun dalam kesulitan itu, tiba-tiba semua pihak yang sedang
bertempur terkejut ketika beberapa orang muncul dari balik
gerumbulan-gerumbulan perdu di sekitar lapangan kecil yang
menjadi arena perkelahian itu. Apalagi ketika mereka melihat,
bahwa yang datang itu adalah beberapa orang prajurit dalam
pakaian keprajuritan. "Apakah yang telah terjadi." berkatanya seorang paling di antara
mereka. Empu Sanggadaru segera mengenal orang itu, meskipun ia
berpakaian keprajuritan. Karena itu, iapun menjawab, "Kami sedang
menghadapi dendam yang membakar hati kelompok Serigala Putih.
Sekelompok orang yang berilmu hitam."
"He?" Lembu Ampal terkejut. Baru saja ia disangka oleh tiga
orang yang tidak dikenalnya, sebagai orang-orang berilmu hitam.
Dan kini ia benar-benar berhadapan dengan sekelompok orang yang
disebut berilmu hitam. Sejenak Lembu Ampal sempat mengamati pertempuran yang
agaknya telah terganggu itu. Dengan kening yang berkerut ia
berkata, "Aku sudah beberapa saat mengintip pertempuran ini dari
balik gerumbul. Ketika aku mendekati tempat ini untuk mengambil
harimau itu bersama beberapa orang prajurit, aku mendengar suara
ribut. Orang-orang yang berteriak dan memaki-maki. Karena itulah,
maka kami memutuskan untuk mendekati tempat ini dengan diamdiam.
Dan sekarang, ternyata bahwa di tempat ini telah terjadi
pertempuran." "Persetan." geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu,
"Jangan ganggu kami. Jika kalian ingin mengambil harimau itu,
1756 ambillah. Kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan
kalian." "Mungkin. Tetapi kami mengenal Empu Sanggadaru. Karena itu,
mau tidak mau, kami pun akan tersentuh juga oleh persoalan yang
sedang terjadi sekarang ini."
"Jika kau mengenalnya, itu bukan berarti bahwa kau telah
terlibat dalam persoalannya. Sanggadaru telah membunuh beberapa
orang dari padepokanku. Dan aku kini datang untuk menuntut
balas." "Tetapi pembunuhan itu tidak terjadi dengan semena-mena."
sahut Empu Sanggadaru, "Orang-orangmu telah melanggar adab
yang berlaku dalam pergaulan manusia."
"Aku tidak mengakui peradaban orang lain, kecuali yang berlaku
di dalam lingkungan kami. Karena itu, kami tidak dapat
dipersalahkan. Apalagi dibunuh."
Lembu Ampal yang mendengar keterangan itu, dapat mulai
melihat meskipun samar, persoalan apakah yang sedang terjadi.
Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
"Adalah kuwajiban kami untuk mencegah pertengkaran yang terjadi
seperti sekarang ini. Karena itu, marilah kita selesaikan persoalan ini
sebaik-baiknya." "Ia telah membunuh orang-orangku. Dan itu sudah terjadi.
Penyelesaian yang paling baik bagiku adalah tebusan kematian
dengan kematian." "Tetapi kematian itu tentu ada sebabnya. Jika sebabnya itu
cukup besar, sehingga kematian itu tidak dapat dihindarkan, maka
penilainya harus berbeda." jawab Lembu Ampal.
"Demikian juga kali ini. Jika terjadi pembantaian karena
alasannya cukup kuat maka itupun tidak dapat dicegah dan harus
mendapat penilan yang lain pula." teriak pemimpin Serigala Putih
itu. 1757 "Kami mempertahankan kehormatan seorang gadis." tiba-tiba
saja Empu Sanggadaru memotong, "Itulah sebabnya kami terpaksa
membunuh beberapa saat yang lampau."
"Kehormatan seorang perempuan tidak berarti apa-apa bagi
kami." teriak pemimpin Serigala Putih itu.
Lembu Ampal memandang wajah pemimpin kelompok yang
menyebut dirinya Serigala Putih itu dengan tajamnya. Kemudian
dengan suara yang datar ia bertanya, "Apakah memang demikian
penilaianmu terhadap seorang perempuan?"
"Ya." "Tetapi apakah kau menyadari bahwa kau juga dilahirkan oleh
seorang perempuan" Bahkan ibumu yang mengasuhmu sejak bayi
itupun seorang perempuan?"
Pemimpin Serigala Putih itu termangu-mangu sejenak. Tetapi
karena ia sudah berdiri dialas suatu sikap yang keras, maka iapun
berteriak, "Apa peduliku dengan ibuku" Ia memang seorang
perempuan. Tetapi ia hanyalah sekedar alat untuk melahirkan aku
dan memeliharaku karena kewajiban."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika itu
pendirianmu, maka sebaiknya aku memperingatkanmu, jangan
mempertahankan sikap dan pendirian yang salah itu dengan
menambah kematian. Apakah itu anak buahmu sendiri, atau anak
buah orang lain." "Persetan. Apa pedulimu?"
"Lihat Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Aku tidak sendiri."
"Berapa banyak prajuritmu. Kami dengan lima belas orang akan
membinasakan seisi hutan ini, termasuk prajurit-prajurit yang
tersesat ke dalamnya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu
memang sudah mengeraskan hatinya, sehingga tidak dapat diajak
berbincang lagi. 1758 "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Kami datang dengan lima
orang prajurit. Bahkan jika kami memberikan isyarat, maka kawankawan
kami yang aku perintahkan menunggu di ujung hutan ini
akan segera berdatangan."
Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu
justru tertawa. Katanya, "Kau mencoba menakut-nakuti aku. Aku
bukan anak-anak lagi. Apapun yang akan kau lakukan, bahkan
memanggil semua prajurit di seluruh Singasari, kami sama sekali
tidak akan gentar." Lembu Ampal masih akan berbicara lagi. Tetapi perwira yang
masih sangat muda, yang memimpin prajurit-prajurit Singasari itu
sudah mendahului, "Kami adalah prajurit Singasari yang terucapkan
adalah perintah. Kau kami anggap telah melanggar ketenteraman
hidup rakyat Singasari. Karena itu, perbuatan kalian harus dicegah.
Jika perlu dengan kekerasan."
"Persetan?" Perwira itu maju selangkah. Dengan wajah yang tegang ia
berkata kepada Lembu Ampal, "Bagi kami sudah pasti. Orang inilah
sebab dari pertengkaran yang telah terjadi, la sama sekali tidak
bersedia mendengarkan pertimbangan kami."
Lembu Ampal meng-angguk-angguk kecil. Katanya, "Masih ada
kesempatan Ki Sanak. Aku sudah melihat, bahwa kau tidak segera
dapat mengalahkan lawanmu yang jumlahnya jauh lebih .kecil dari
jumlah anak buahmnu. Kami akan membuat pertimbangan lebih
jauh jika kau mau mengurungkan niatmu untuk membunuh, karena
nampaknya tidak ada niatmu yang lain kecuali melepaskan dendam
dan menaburkan kematian di s ini."
"Tepat. Dan tidak ada orang yang dapat melarang. Jika kau ikut
campur maka kematian akan bertambah. Dan kalian pun terpaksa
menyesali nasib kalian yang malang."
"Tidak ada gunanya lagi kita berbicara." perwira muda yang
datang bersama Lembu Ampal itu tidak sabar lagi, "Jika kalian
memang keras kepala, maka kami pun akan mencegah perbuatan
1759 kalian yang biadab itu dengan kekerasan. Mungkin benar sebutan
bagi kalian, bahwa kalian adalah orang-orang yang berilmu hitam
seperti yang dikatakan oleh pemburu itu."
"Apapun yang kalian katakan, aku tidak peduli. Kami akan
membunuh kalian dan melemparkan kalian ke mulut harimau yang
terikat tetapi masih hidup itu. Bahkan mungkin akan datang pula
serigala lapar jika mencium bangkai kalian yang membusuk di sini."
Perwira muda itu menjadi marah. Selangkah ia maju dan berkata
kepada Empu Sanggadaru, "Aku dan para prajurit yang ada
bersamaku ada di pihakmu."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bersama dengan
Lembu Ampal, prajurit itu berjumlah enam orang. Dengan demikian
maka jumlah mereka akan menjadi seimbang, meskipun masih
berselisih beberapa orang.
"Besiaplah." teriak pemimpin Serigala Putih ini, "Aku akan
membunuh kalian. Jika kalian masih mempunyai kawan yang
bersembunyi, berikan isyarat agar mereka segera membantu kalian.
Karena dengan demikian tugasku akan segera selesai. Membunuh
kalian semuanya. Kemudian menguasai padepokan pemburu gila itu
bersama semua isinya termasuk perempuan-perempuan."
Wajah Empu Sanggadaru rasa-rasanya menjadi panas seperti
tersentuh bara. Dengan nada yang dalam tertahan-tahan ia
menggeram, "Kalian memang biadab."
Pemimpin Serigala Putih itu tidak menjawab. Dengan isyarat ia
memerintahkan anak buahnya memencar dan siap menghadapi
lawan yang lebih banyak. Prajurit-prajurit Singasari pun segera mempersiapkan diri, tetapi
mereka tidak segera melepaskan isyarat untuk memanggil kawankawannya
yang ditinggalkan saat mereka mendahului melihat apa
yang terjadi, karena mereka mendengar teriakan, yang liar dan
kasar. 1760 Lembu Ampal masih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
mendapat kesempatan karena pemimpin Serigala Putih itu sudah
meloncat menyerang Empu Sanggadaru, sementara anak buahnya
pun segera berloncatan pula menyerang setiap orang yang ada di
dekat mereka termasuk Empu Baladatu dan Lembu Ampal.
Tetapi Lembu Ampal dan para prajurit, serta orang-orang lain
yang mendapat serangan yang tiba-tiba itu masih sempat mengelak.
Bahkan Lembu Ampal masih sempat berkata, "Ki Sanak, apakah
kalian tidak dapat membuat pertimbangan" Sebelum kami turun di
gelanggang, kalian sudah mendapat kesulitan untuk mengalahkan
lawan-lawan kalian yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah
kalian. Apalagi sekarang."
"Persetan." geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu,
"Waktunya sebenarnya sudah, tiba untuk membinasakan pemburu
gila yang menyebut dirinya bernama Empu Sanggadaru itu. Tetapi
kalian telah mengganggu sehingga saat itu tertunda beberapa saat.
Namun kalian tidak akan mampu mencegahnya. Bahkan kalian pun
akan ikut serta binasa bersama mereka."
"Seandainya kami tidak cukup kuat, maka kami dapat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memanggil kawan-kawan kami yang berada tidak jauh dari tempat
ini." "Sudah aku katakan, aku tidak takut. Jangan mencoba menakutnakuti
kami dengan ceritera bohongmu itu."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia meloncat surut
ketika seorang lawannya menyerang dengan ujung pedangnya yang
runcing. Namun dalam pada itu, Perwira prajurit yang masih muda itu
sama sekali tidak dapat menahan hati lagi. Kesabarannya tidak
selapang Lembu Ampal yang umurnya sudah hampir dua kali lipat
dari umur perwira muda itu.
Karena itulah, maka sambil berteriak ia menyerang, "Baiklah. Aku
akan memperlihatkan kepada kalian, bahwa aku tidak sedang
membual." 1761 Serangannya pun tiba-tiba menjadi semakin garang. Senjatanya
berputaran menyambar-nyambar. Agaknya ia benar-benar akan
membuktikan ucapannya, bahwa ia tidak sedang bergurau.
Lembu Ampal sendiri tidak banyak mengalami kesulitan melayani
dua orang lawannya sekaligus. Tetapi keduanya bukannya orang
terkuat di dalam lingkungan Serigala Pulih, sementara pemimpinnya
yang mendendam sepanas api kepada Empu Sanggadaru dibantu
oleh seorang pengawalnya, masih saja berusaha membunuh Empu
Sanggadaru itu. Kelebihan yang seorang lagi dari gerombolan Serigala Putih itu
telah menggabungkan diri dengan seorang kawannya yang
bertempur melawan Empu Baladatu. Agaknya mereka menyadari
bahwa Empu Baladatu pun merupakan seorang yang pilih tanding.
Dengan demikian,maka orang-orang berilmu hitam dari
gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih ilu ternyata telah
menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kesulitan. Ternyata
bahwa dendam yang menyala membakar jantung mereka, telah
memburamkan mata mereka yang tidak lagi dapat melihat
kenyataan. Dengan demikian, maka keadaan pun segera berbalik. Orangorang
dari gerombolan Serigala Putih pun segera mengalami
tekanan yang berat. Dalam pertempuran seorang lawan seorang,
maka mereka sama sekali tidak akan mampu mengalahkan para
prajurit Singasari. Apalagi perwira muda yang marah itu. Sedangkan
pengawal Empu Baladatu pun adalah pengawal yang terpilih.
Demikian juga agaknya para cantrik yang mengikuti Empu
Sanggadaru. Yang mengalami kesulitan di antara mereka adalah Empu
Sanggadaru sendiri, meskipun ia masih merasa mampu untuk
mempertahankan dirinya. Ia harus melawan pemimpin gerombolan
yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dibantu oleh seorang anak
buahnya yang tidak kalah buasnya dengan pemimpin kelompok itu
sendiri. 1762 Karena itulah maka Empu Sanggadaru masih harus mengerahkan
kemampuannya. Ia harus mempertahankan dirinya sejauh-jauh
dapat dilakukan, sebelum kemudian dengan tiba-tiba ia mencari
kesempatan untuk mengurangi jumlah lawannya.
Namun lawannya pun agaknya mempunyai pertimbangan yang
cukup berbahaya baginya. Pemimpin Serigala Putih itu berusaha
untuk dapat membunuh Empu Sanggadaru segera, sehingga ia
kemudian dapat membantu kawan-kawannya, mengurangi jumlah
lawannya seorang demi seorang.
Karena itulah maka pemimpin gerombolan Serigala Putih itu
dengan bernafsu sekali berusaha menghancurkan Empu Sanggadaru
secepat-cepatnya. Tekanan itu memang terasa semakin berat. Pemimpin
gerombolan itu agaknya benar-benar telah mengerahkan puncak
kemampuannya. Ketika ia dikepung oleh beberapa orang Serigala Pulih barsama
kedua cantrik, agaknya pemimpin gerombolan itu masih belum
mengungkapkan ilmu puncaknya, seperti yang dialaminya saat itu.
Namun kelika sekilas ia memandang pertempuran di sekitarnya,
ia merasa berlega hati, karena nampaknya tidak seorangpun dari
mereka yang berada di pihaknya mengalami kesulitan. Adiknya,
Empu Baladatu yang juga harus melawan dua orang, juga tidak
mengalami kesulitan karena keduanya bukanlah orang-orang
puncak dari kelompok Serigala Putih itu. Demikian pula Lembu
Ampal. Bahkan Empu Sanggadaru dapat melihat dengau jelas,
bahwa Lembu Ampal, akan segera dapat memenangkan perkelahian
itu apabila dikehendaki. Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapal berteriak agar Lembu
Ampal melakukannya dan kemudian membantunya, meskipun
sebenarnya bahwa ia merasa sangat berat melawan pemimpin
gerombolan yang mempergunakan segala kemampuan yang ada
padnnya itu. 1763 Dengan baik kedua lawan Empu Sanggadaru itu dapat bekerja
bersama, meskipun tingkat kemampuan mereka tidak sama. Setiap
kali mereka berhasil saling melindungi dan mengisi kekurangan yang
lain sehingga Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar.
Namun dalam pada itu, ketika pertempuran itu sedang
berlangsung, tiba-tiba saja telah tumbuh sesuatu di hati Empu
Baladatu. Jika benar orang-orang ini berilmu hitam, apapun
jenisnya, maka mungkin pada suatu saat ia akan dapat
menghubungi mereka. Mungkin mereka akan dapat diajak bekerja
bersama. Bukan saja untuk mengembangkan niatnya, kekuasaan
tertinggi di Singasari, tetapi juga ia akan dapat mengembangkan
ilmunya dengan tata gerak yang memiliki nafas yang sejalan.
meskipun ada beberapa perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat
tertembus oleh kepentingan bersama.
Karena itu. maka Empu Baladatu tidak segera mengerahkan
segenap kemampuannya untuk membinasakan kedua lawannya
meskipun ia mampu. Yang dilakukannya kemudian adalah sekedar
mempertahankan diri. Bahkan kadang-kadang dengan sengaja ia
menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia tidak ingin membunuh
keduanya atau salah seorang dari mereka.
Sementara itu. Lembu Ampal bertempur dengan sigapnya Tetapi
nampaknya iapun tidak bernafsu untuk membunuh. Yang
dilakukannya adalah sekedar bertahan dan menghindar. Namun
sudah tentu dengan latar belakang niat yang jauh berbeda dengan
Empu Baladatu. Yang harus bertempur dengan sekuat tenaga adalah Empu
Sanggadaru. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan kedua
cantriknya dan orang-orang yang berpihak kepadanya mampu
mengimbangi kekuatan lawannya, bahwa sebagian dari mereka
telah berhasil mendesaknya, ia sudah merasa bahwa separo
kemenangan ada di tangannya. Karena itulah ia menjadi tenang.
Dan ketenangannya itupun agaknya mempengaruhi caranya
bertempur melawan kedua lawannya yang berat itu.
1764 Dalam pada itu perkelahian di antara Empu Sanggadaru dan
kedua lawannya justru menjadi bertambah sengit. Bahkan pemimpin
Sarigala Putih itu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya
untuk membunuh Empu Sanggadaru Demikian keras niatnya
sehingga ia sama sekali tidak sempat memperhatikan anak buahnya
yang semuanya telah terdesak.
Dengan kemarahan yang meluap-luap pemimpin Serigala Putih
itu mengayunkan senjatanya semakin cepat. Sekali tanganya
terjulur lurus. Namun kemudian dengan sigapnya ia menarik sebelah
kakinya. Putaran mendatar yang berbahaya setiap kali disusul
dengan serangan kawannya yang mematuk lurus.
Betapun tangguhnya Empu Sanggadaru, namun ternyala bahwa
ia harus mempergunakan segenap ilmu yang dimiliknya. Dengan
tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Sekali-sekali ia harus
membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.
Namun, ketika kedua lawannya berhasil mengurungnya di dalam
putaran senjata, maka Empu Sanggadaru telah kehilangan
kesempatan untuk menghindari kedua senjata yang mematuk
bersama. Ia berhasil menangkis serangan pemimpin Serigala Putih
itu. Namun pada saat yang bersamaan, senjata yang lain telah
terjulur pula mengarah ke lambungnya.
Empu Sanggadaru hanya dapat menggeliat. Tetapi ujung senjata
itu masih juga berhasil menyentuhnya meskipun tidak pada
lambung, tetapi pada tangannya.
Kemarahan yang meluap telah menggetarkan dada Empu
Sanggadaru. Luka di tangannya itu bagaikan api yang menyalakan
minyak yang memang sudah tersiram di hatinya. Luka-luka yang
digoreskan oleh kuku-kuku harimau itu rasa-rasanya masih pedih.
Dan kini, tangannya sudah tergores oleh luka yang lain, luka oleh
senjata. Karena itu, maka Empu Sanggadaru tidak lagi mengekang
dirinya. Kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Itulah
1765 sebabnya maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuan
yang ada padanya. Senjata Empu Sanggadaru pun segera berputar semakin cepat.
Seolah-olah senjata itu telah berubah menjadi puluhan senjata
serupa yang berterbangan tanpa dapat dikendalikan lagi
mengerumuni pemimpin Serigala Putih itu dengan seorang
kawannya. Ternyata bahwa Empu Sanggadaru masih mampu meningkatkan
tekanannya oleh kemarahan yang memuncak. Yang mula-mula
menjadi sasaran kemarahannya justru adalah kawan pemimpin
Serigala Putih yang telah melukainya itu.
Dengan garangnya Empu Sanggaradu menyerang pemimpin
Serigala Putih itu untuk memisahkannya dari kawannya. Ketika
pemimpin kelompok orang-orang berilmu hitam itu terdesak
beberapa langkah surut, maka tiba-tiba saja Empu Sanggadaru yang
marah itu meloncat ke samping. Sebuah putaran yang tiba-tiba
ternyata telah mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ujung senjata
Empu Sanggadaru bergerak dengan cepatnya mendatar di setinggi
lambung. Kawan pemimpin Serigala Putih itu sempat mengelak. Ia
meloncat mundur sambil melindungi tubuhnya dengan senjatanya.
Namun adalah diluar dugaannya. bahwa Empu Sanggadaru sempat
meloncat begitu cepat dan panjang. Serangan berikutnya rasarasanya
telah datang mematuk dada.
Tetapi ia masih sempat merendahkan dirinya. Sehinggga dengan
demikian ujung senjata Empu Sanggadaru tidak sempat
menyentuhnya. Namun lawannya benar-benar tidak melepaskannya.
Bahkan kemudian serangan berikutnya adalah serangan yang tidak
diduga-duga. Empu Sanggadaru tidak menyerang degan senjatanya.
Karena lawannya itu masih tetap merendahkan dirinya sambil
menyiapkan senjatanya untuk menangkis setiap serangan, maka
Empu Sanggadaru telah mengangkat senjata dan terayun mengarah
kepalanya. Tetapi ketika ia menyilangkan senjatanya di atas
1766 kepanya. maka diluar dugaannya, tiba-tiba sebuah tendangaan yang
keras telah menghantam dagunya sehingga orang itu seakan-akan
terangkat dan terlempar surut.
Ternyata bahwa hantaman kaki Empu Sanggadaru itu demikian
kuatnya, sehingga orang yang terlempar surut itu, terputar sekali di
udara. Namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha
untuk tidak jatuh pada kepalanya.
Pada saat, itu pemimpin gerombolan Serigala Putih merasa
darahnya bagaikan mendidih. Ketika ia melihat Empu Sanggadaru
mengejar kawannya yang seolah-olah masih belum dapat
menguasai dirinya, maka ia pun langsung menyerang dengan
senjatanya mengarah kepunggung lawannya.
Tetapi punggungnya Empu Sanggadaru seolah-olah mempunyai
mata. Karena itu, seakan-akan ia dapat melihat serangan yang
menerkam punggungnya itu. Dengan sigapnya ia meloncat ke
samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga dengan demikian
ia berhasil menyelamatkan diri.
Namun, yang malang adalah orang Serigala Putih itu sendiri.
Karena senjata pemimpinnya tidak mengenai Empu Sanggadaru,
maka seolah-olah ujung senjata itu sengaja disiapkan untuk
membunuhnya. Terdengar sebuah pekik yang mengerikan. Orang Serigala Putih
itu ternyata telah dikenai oleh senjata Pemimpinya sendiri.
Pekik yang panjang itupun perlahan-lahan menghilang.
Temannya masih terdengar sepintas. Namun kemudian lenyap
ditelan oleh kesepian yang tegang.
Jerit itu seolah-olah telah menghentikan pertempuran itu untuk
sejenak. Namun ternyata kemarahan pemimpin Serigala Putih itu
tidak tertahankan lagi. Dengan sebuah teriakan yang seolah-olah
memenuhi hutan, ia mulai menyerang dengan dahsyatnya.
Empu Sanggadaru yang sudah terluka oleh senjata itupun masih
juga dibakar oleh kemarahannya. Kematian seorang anggauta
1767 Serigala Putih masih belum menenangkan kemarahannya. Apalagi
ketika ia melihat pemimpin gerombolan itu seolah-olah menjadi gila
dan benar-benar berusaha membunuhnya.
Dengan sepenuhnya kemampuan yang ada. Empu Sanggadaru
pun tidak lagi ingin memaafkan lawannya. Itulah sebabnya maka
serangannya datang beruntun bagaikan banjir bandang. Apalagi kini
lawannya tinggal seorang diri. Tetapi yang seorang itu adalah
pemimpin dari gerombolan Serigala Putih.
Empu Sanggadaru tidak mau lagi dicemaskan oleh masa depan
yang berbahaya. Pemimpin Serigala Pulih itu adalah seorang
pendendam yang mantap. Karena itu, untuk menghindarkan diri dari
kesulitan masa depan, maka ia bertekad, untuk melenyapkan saja
orang itu dari muka bumi. Dengan demikian maka padepokatrnya
akan terhindar dari kesulitan di masa datang. Bahkan mungkin
bukan saja padepokannya, tetapi juga padepokan-padepokan dan
pedukuhan-pedukuhan yang lain.
Karena itulah, maka Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha
sekedar mengalahkan lawannya. Tetapi serangannya kemudian
langsung mengarahkan ke jantung lawan.
Kedua orang itu bagaikan menjadi wuru. Masing-masing tidak
melihat kemungkinan lain daripada membunuh lawannya. Sehingga
dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung semakin
sengit. Tetapi, semakin lama semakin nyata bahwa Empu Sanggadaru
berhasil menguasai lawannya yang tinggal seorang itu. Senjata
sudah semakin sering menyambar menyentuh pakaian lawannya,
dan bahkan kemudian telah terjadi goresan-goresan kecil sehingga
menitikkan darah. Goresan-goresan kecil itu agaknya membuat lawannya menjadi
semakin marah. Serangan-angannya datang seperti badai. Namun,
Empu Sanggadaru mampu bergerak secepat kilat, sehingga
serangan lawannya sama sekali tidak berhasil mengenainya.
1768 Selain Empu Sanggadaru, yang tidak dapat menahan diri adalah
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perwira muda yang merasa wibawa prajurit Singasari telah
tersinggung. Karena itulah, maka iapun dengan sekuat tenaganya
berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Namun tidak seperti
Empu Sanggadaru, perwira itu masih berusaha untuk dapat
mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Lembu Ampal masih bertempur dengan caranya. hanya memacu
lawannya untuk bertempur dengan sekuat tenaganya. Sekali-sekali
saja ia menyerang jika lawannya menjadi kendor. Dan serangannya
itu setiap kali memang berhasil membuat lawannya menjadi marah
dan dengan sekuat tenaganya menyerang bersama-sama.
Tetapi perhitungan Lembu Ampal benar-benar telah masak. Ia
yakin bahwa keduanya akan menjadi letih dan dengan demikian
akan menjadi sangat mudah untuk dikalahkan.
Namun ternyata orang-orang berilmu hitam itu bukannya jantan
yang memilih mati daripada mengorbankan namanya. Itulah
sebabnya, maka sebagian dari mereka telah bertempur sambil
bergeser surut menepi. Pertempuran itupun kemudian telah berubah sama sekali. Orangorang
berilmu hitam itu benar-benar sudah tidak mendapat
kesempatan lagi. Kehadiran prajurit Singasari meskipun tidak
seluruhnya, telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Betapun pemimpin
Serigala Putih berusaha, namun ia tidak mampu mengimbangi ilmu
Empu Sanggadaru. Ternyata bahwa pemimpin Serigala Putih itu telah salah hitung.
Ia tidak menyangka bahwa orang-orang berilmu hitam itu tidak
mampu melawan musuh-musuhnya meskipun ia prajurit Singasari.
Dan iapun tidak menyangka bahwa yang bernama Empu
Sanggadaru dari padepokan yang tidak dikenal itu. ternyata memiliki
ilmu yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmunya yang
dibangga-banggakan, meskipun beberapa orang yang tidak senang
menyebutnya ilmu hitam. 1769 Tetapi penyesalan yang betapun juga, tidak akan berarti sama
sekali. Apabila lawannya, Empu Sanggadaru, benar-benar sudah
tidak dapat mengekang diri lagi. Luka di tangannya telah
membuatnya menjadi gelap hati.
Itulah sebabnya, maka iapun kemudian menyerang pemimpin
Serigala Putih dengan segenap ilmu yang ada padanya. Bahkan
tanpa ampun lagi, senjatanya benar-benar telah mengurung
lawannya dalam lingkaran maut.
Pemimpin Serigala Putih itu masih berusaha melepaskan diri. Ia
berusaha menembus lingkaran putaran senjata Sanggadaru. Namun
yang terjadi adalah diluar kehendaknya, karena justru pada saat
yang berbahaya itu, saat-saat pemimpin Serigala Putih berusaha
membebaskan dirinya, Empu Sanggadaru telah sampai pada
kemungkinan yang terakhir. Dengan garangnya ia menyerang
lawannya tanpa ampun lagi.
Pemimpin Serigala Putih itu masih berhasil menagkis satu dua
serangannya yang datang beruntun. Namun serangan-serangan
berikutnya, membuat pemimpin Serigala Putih itu bagaikan
kehilangan kesempatan. Sesaat kemudian terdengar sebuah keluhan tertahan. Darah yang
merah memancar dari luka yang tiba-tiba saja telah menganga di
dada pemimpin Serigala Putih itu.
Sesaat pertempuran itu seolah-olah telah terhenti. Setiap orang
telah dikejutkan oleh peristiwa yang menyusul. Pemimpin Serigala
Putih yang dibakar oleh dendam karena kematian anak buahnya itu
ternyata tidak berhasil menuntut balas. Bahkan ia sendiri kemudian
terlempar dan jatuh di tanah dengan darah yang membasahi
seluruh tubuhnya. Anak buahnya yang melihat pemimpinnya mati terkapar itu
menjadi bingung. Hatinya kuncup seperti dedaunan yang tersiram
air yang mendidih. Pada saat yang mencengkam itulah, maka tiba-tiba saja
terdengar suara Empu Baladatu, "He, orang-orang berilmu hitam,
1770 ternyata masih ada satu kesempatan yang dapat kami berikan
kepada kalian. Sepeninggal pemimpinmu maka kalian sebaiknya
menyerah tanpa perlawanan, karena tidak ada kesempatan yang
lain yang dapat kalian peroleh setelah kami kehilangan kesabaran
kami." Orang-orang yang mendengar suara Empu Baladatu itu bagaikan
membeku. Bahkan Empu Sanggadaru sendiri berdiri termangumangu
dengan senjata yang merah oleh darah di tangannya.
Suasana diarena itu seolah-olah bagaikan membeku. Lembu
Ampal berdiri diam di tempatnya. Ia memang tidak bernafsu untuk
bertempur lebih lama lagi. Yang dihadapinya bukannya sebuah
perlawanan terhadap pemerintah Singasari. Tetapi yang dihadapinya
adalah dendam dari dua perguruan yang seharusnya dapat
dicegahnya. Namun yang terjadi adalah diluar kemampuannya untuk
mencegahnya. Dan pertempuran itu sudah terjadi. Bahkan telah
menelan dua orang korban lagi. Dan korban-korban itu tentu akan
mempertajam dendam yg telah tumbuh di hati orang-orang berilmu
hitam itu. Tetapi bagi Lembu Ampal, kata-kata Empu Baladatu itu
dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi orang-orang
berilmu hitam itu. Ternyata bahwa kata-kata Empu Baladatu itu berpengaruh juga
pada lawan-lawannya. Mereka masih berdiri termangu-mangu tanpa
berbuat sesuatu meskipun senjata mereka tetap tergenggam di
tangan. Empu Baladatu yang melihat pengaruh kata-katanya itu mengena
pada orang-orang berilmu hitam itupun kemudian mengulanginya
Nyatakan bahwa kalian tidak akan memberikan perlawanan lagi.
"Nyatakan bahwa kalian telah menghentikan semua niat untuk
membalas dendam karena kalian tidak akan dapat ingkar dari
kenyataan, bahwa kalian lah yang justru akan punah jika kalian
masih berkeras untuk melanjutkan pertempuran ini."
1771 Semua orang masih membeku di tempatnya.
"Lakukanlah, atau kami harus bertempur terus dan membunuh
kalian semuanya?" Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan Serigala Putih itu
dengan ragu-ragu berkata, "Apakah yang harus kami lakukan, jika
kami menyatakan diri untuk menghentikan usaha pelepasan dendam
kami." "Prajurit-prajurit Singasari akan menjadi saksi, bahwa kami tidak
ingkar. Letakkan senjata kalian dan berkumpullah di hadapan
kakang Empu Sanggadaru. Salah seorang dari kalian harus
menyatakan pengakuan kalian dengan jujur."
Orang-orang itu masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian
mereka pun segera melemparkan senjata mereka di tanah.
Perlahan-perlahan mereka mulai bergerak mendekati Empu
Sangadaru. Empu Sanggadaru bagaikan membeku melihat orang-orang yang
bergerak mendekatinya. Kemudian berdiri termangu-mangu seolaholah
mereka menggantungkan harapan mereka kepadanya.
Empu Sanggadaru menarik nafas. ia pun kemudian sadar, bahwa
ia harus, menanggapi perkembangan keadaan itu. Sekilas dilihatnya
prajurit-prajurit Singasari pun telah bergerak mengumpul. Perwira
muda itupun nampaknya telah berusaha mengendalikan dirinya
pula. "Lakukanlah jika kalian ingin melakukan." berkata Empu
Baladatu. Lalu katanya kepada Lembu Ampal, "Kami mohon, agar
prajurit Singasari menjadi saksi, bahwa dendam kami dari kedua
belah pihak akan terhapus saat ini juga."
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
berpaling kepada perwira muda itu seolah-olah minta
pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya. Apakah
permintaan Empu Baladatu itu dapat dipenuhi atau prajurit Singasari
akan mengambil sikap yang lain.
1772 Perwira muda itupun ragu-ragu sejenak. Dilihatnya orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih itu berdiri termangu-mangu dengan
penuh harap untuk dapat tetap hidup.
Sebagai seorang prajurit maka perwira itu harus menentukan
sikap, la tidak boleh terseret oleh arus perasannya. Apalagi sebagai
seorang anak muda. Karena itulah, maka ketika dilihatnya kawan-kawannya pun
masih utuh, maka iapun berkata, "Aku, perwira yang memimpin
serombongan prajurit Singasari, menyatakan bahwa aku tidak
berkeberatan untuk menarik segala akibat yang timbul dari
perlawanan orang-orang dari Serigala Pulih kepada perintah kami,
yang juga berarti perlawanan kepada pimpinan pemerintah, jika
mereka benar-benar telah menyesal dan menyatakan diri
menyerah." Orang-orang dari anggauta gerombolan Serigala Putih itu
mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa mereka benar-benar
berhadapan dengan beberapa orang prajurit yang memegang teguh
tugas dan kewajibannya, tetapi juga mengingat segi-segi
pertimbangan yang lain. Empu Sanggadaru yang masih menggenggam senjata yang
basah oleh darah berkata dengan nada yang datar, "Kalian dengar"
Apakah kalian menyesal dan menyatakan diri menyerah?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sepercik ketidak puasan
nampak membayang di wajahnya. Bahkan ia pun kemudian
bertanya kepada diri sendiri, "Kepada siapa orang-orang itu
menyatakan menyerah" Jumlah prajurit itu tidak lebih banyak dari
jumlah kami. Kamilah yang pantas menentukan sikap. Bukan
mereka." Tetapi Empu Baladatu tidak mengatakan. Ia menyimpan
perasaan itu di dalam hatinya.
Salah seorang dari orang-orang Serigala Putih itu pun kemudian
menghadap kepada perwira muda itu sambil berkata, "Kami
1773 menyerah. Dan kami menyatakan menyesal bahwa kami telah
terlibat ke dalam dendam."
Perwira itu menjawab, "Baiklah. Aku maafkan kalian dan aku
bebaskan kalian dari segala tuntutan karena perlawanan kalian.
Namun demikian, terserah kepada Empu Sanggadaru, apakah yang
akan dilakukannya." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kitanya, "Baiklah.
Aku pun memaafkan kalian. Tetapi kami adalah orang-orang yang
mempunyai kesabaran yang terbatas. Karena itu, jika kalian
ternyata kelak melakukan pelanggaran atas penyesalan kalian
sekarang ini, mungkin kami sudah tidak dapat lagi memaafkannya."
"Terima kasih." sahut salah seorang dari mereka.
"Kalian terpaksa pulang dengan membawa korban lagi. Tetapi
kalian sudah berjanji untuk tidak mendendamnya lagi. Mudahmudahan
kawan-kawan kalian dapat mengerti, karena seperti yang
aku katakan, kesabaran kami sangat terbatas."
Orang-orang Serigala Putih itu menundukkan kepalanya. Mereka
merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengiakan
dan menyatakan kesanggupan.
Empu Sanggadaru pun kemudian berkata, "Nah, sekarang
pergilah. Bawalah kedua mayat kawan kalian ini."
Orang-orang itu pun berpandangan sejenak. Namun kemudian
mereka mulai bergerak dan mengangkat kedua mayat kawan-kawan
mereka. Namun demikian, ketika mereka mulai bergerak, nampaklah,
bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Beberapa orang dengan tidak
sadar memandangi senjata mereka yang tergolek di tanah.
"Kalian sudah melemparkan senjata kalian." desis Empu
Sanggadaru. Salah seorang dari mereka dengan ragu-ragu menjawab Kami
sudah menyatakan, bahwa kami menyerah dan menyesali perbuatan
1774 kami. Tetapi kami merasa cemas bahwa di perjalanan kembali ke
padepokan kami. Di perjalanan kami akan menemui kesulitan."
"Kenapa?" "Gerombolan kami telah saling mendendam pula dengan
gerombolan orang-orang berilmu hitam yang menamakan dirinya
gerombolan Macan Kumbang. Jika kami dengan tidak sengaja
bertemu dengan mereka tanpa sehelai senjatapun di tangan, maka
kami akan musnah." "Itu adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri. Kalian ternyata
mempunyai dendam di mana-mana. Kalian bermusuhan dengan
siapapun juga." jawab Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu tertarik dengan keterangan itu. Tetapi ia sama
sekali tidak bertanya. Yang dikatakannya kemudian adalah, "Tetapi
apakah kalian berjanji, bahwa senjata-senjata kalian hanya akan
kalian pergunakan untuk mempertahankan diri. dan bukan untuk
menyerang?" Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu memandang
Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru berganti-ganti. Salah seorang
dari mereka pun kemudian berkata, "Kami bersumpah. Kami tidak
akan mempergunakan senjata kami, selain untuk mempertahankan
hidup kami jika kami di serang."
"Ambillah. Aku kira kakang Empu Sanggadaru dan para prajurit
Singasari tidak akan berkeberatan, karena sebenarnya senjata
semacam itu bukannya satu-satunya senjata yang kalian miliki,
meskipun senjata itu kalian tinggalkan, tetapi jika jiwa kalian masih
tetap kelam, maka besok kalian tentu sudah akan menggenggam
senjata serupa." Orang-orang Serigala Putih masih termangu-mangu. Empu
Sanggadaru pun kemudian tidak dapat berbuat lain karena adiknya
seolah-olah sudah menghadapkannya kepada suatu sikap tertentu.
1775 Karena itu maka katanya, "Baiklah. Tetapi kalian harus benarbenar
memegang janji dan sumpah kalian, bahwa kalian hanya akan
mempergunakan untuk mempertahankan diri."
Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata
dengan nada yang dalam, "Terima kasih. Kami mengucapkan terima
kasih tiada taranya. Dengan demikian maka jiwa kami seolah-olah
telah kalian selamatkan dua kali. Yang pertama bahwa kami tidak
terbunuh di dalam pertempuran ini. Kedua, bahwa kami
diperkenankan membawa senjata kami, meskipun dengan janji
bahwa senjata-senjata itu hanya akan kami pergunakan untuk
mempertahankan diri."
"Pergilah." jawab Empu Sanggadaru, "Dan cobalah mengenal diri
sendiri sebaik-baiknya."
"Ya Empu." jawab orang itu pula, "Kami akan mohon diri. Mudahmudahan
kami mendapat kesempatan unuk memandang ke dalam
diri kami masing-masing. Mengenang apa yang telah kami perbuat
dan mengambil sikap yang benar di hari-hari mendatang."
"Bagus. Pertahankan sikap dan pandangan itu."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun menganggukangguk
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan mereka telah berjanji kepada diri sendiri,
bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya di kemudian hari.
Demikianlah maka mereka pun kemudian minta diri sambil
membawa mayat kawan-kawan mereka dan memungut senjata
masing-masing. "Pergilah." berkata Empu Baladatu, "Tetapi dimanakah
padepokan kalian" Aku ingin mengetahuinya. Bahkan mungkin pada
suatu saat aku singgah ke padepokanmu."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun nampak
keragu-raguan membayang di wajah mereka.
"Jika kalian jujur sampai ke dalam hati, kalian tidak akan
berkeberatan menunjukkan padepokanmu." desak Empu Baladatu.
1776 Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab,
"Sebenarnya kami tidak tinggal dalam satu padepokan. Namun kami
memang terdiri dari satu perguruan. Guru kami adalah pemimpin
kami yang terbunuh. Tetapi ia bukan seorang yang langsung
mengajari kami. Di bawah pemimpin kami yang terbunuh ada
beberapa orang yang telah mendapat kepercayaannya untuk
mengajar kami." "Siapakah mereka. Tentu ada di antara kalian."
Orang yang menjawab itu melanjutkan, "Baiklah aku tidak
bersembunyi lagi, karena aku merasa bahwa nyawaku telah
diselamatkan. Di antara mereka adalah aku dan empat orang lagi.
Sedang seorang dari kami lelah terbunuh bersama pemimpin kami
itu." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa
perbedaan tingkat mereka tidak begitu jelas nampak pada kelima
belas orang, yang sudah barang tentu orang-orang pilihan itu.
"Kau belum menyebutkan, di mana padepokanmu."
Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, "Kami
berasal dari padepokan Semuwun di sebelah hutan Dandarau."
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu. Ia
mengulang, "Dandarau. Jadi kalian adalah orang dari daerah Hutan
Dandarau." "Ya." Lembu Ampal memandang orang-orang itu seorang demi
seorang. Lalu katanya, "Apakah benar katamu, bahwa pemimpinmu
yang terbunuh itu orang pertama di padepokanmu?"
Orang itu ragu-ragu. Lalu jawabnya, "Ya Ia adalah orang
pertama." Lembu Ampal tidak membantah. Tetapi ia bertanya pula, "Dan
apakah kalian masih mempunyai jalur yang sama dari perguruan
1777 kalian dengan orang-orang yang kalian sebut dari gerombolan
Macan Kumbang.?" Orang itu ragu-ragu pula. Namun iapun menjawab, "Agaknya
memang demikian. Tetapi kami terpisah oleh kepentingan yang
sama, sehingga kami saling berebut dan bersaing. Itulah sebabnya
kami menjadi saling mendendam."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih jauh. Demikianlah orang-orang berilmu hitam itupun kemudian
meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat kawan-kawan
mereka. Sekali-sekali mereka masih sempat berpaling sebelum
mereka hilang di balik dedaunan.
Demikian mereka hilang dari pandangan mata orang-orang yang
telah mengalahkannya mutlak salah seorang dari mereka
mengumpat, "Anak setan. Ternyata kita terbentur pada orang-orang
yang memiliki kemampuan luar biasa."
Orang yang nampaknya mengambil alih pimpinan dan yang
selalu memberikan keterangan kepada lawan mereka yang ternyata
memiliki kelebihan itu menyahut, "Kali ini kita tidak dapat
mengingkari kenyataan itu. Kita memang kalah mutlak."
"Tetapi prajurit-prajurit Singasari itulah yang menyebabkan kita
hampir saja punah jika tidak ada orang yang berhasil menyabarkan
Empu Sanggadaru." "Ia adalah adiknya."
"Nampaknya sikapnya cukup baik. Ilmunya pun cukup matang
dan berbahaya." Yang Ian mengerutkan keningnya. Tetapi masih ada yang
mengumpat, "Aku ingin membunuh mereka semua. Mungkin pada
suatu saat, maksud itu akan dapat aku lakukan."
Tetapi kawan-kawannya tertawa. Salah seorang berkata, "Kau
mimpi sambil berjalan. Kita tidak mempunyai pemimpin yang
1778 tangguh lagi. Bahkan pemimpin kami yang kami kagumi itu pun
ternyata tidak dapat menga Bahkan Empu Sanggadaru meskipun ia
bertempur berdua. Apalagi seorang diri."
Kawannya yang masih mendendam itu menarik nafas dalamdalam.
"Kita memang sudah berputus asa. Seandainya kita bertemu
dengan orang-orang Macan Kumbang pun kita akan mereka telan
sekarang ini." Kawannya memandang orang itu sambil mengerutkan dahinya.
Salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah benar begitu
pendirianmu." "Tidak ada lagi yang berani mempertanggung jawabkan setiap
tindakan yang akan kita ambil karena pemimpin kita sudah tidak ada
lagi." "Kita akan membicarakannya." berkata seorang yang paling tua
di antara mereka. "Setelah kita sampai kepadepokan, kita akan
menyusun diri dengan kekuatan vang masih ada. Tetapi sudah
barang tentu bahwa kita tidak akan dapat melepaskan pengalaman
yang baru saja kita hadapi. Kita harus menyadari bahwa ilmu yang
kita miliki ternyata adalah ilmu yang masih jauh dari tingkat yang
sempurna. Kita sebelumnya telah salah menilai diri kita. seolah-olah
kita adalah orang-orang yg paling kuat di muka bumi ini. Setidaktidaknya
di Singasari. Tetapi ternyata bahwa kita bukannya apa-apa.
Apalagi bagi para prajurit. Aku merasa bahwa prajurit yang sudah
tua itu seolah-olah tidak bertempur bersungguh-sungguh. Ia
sekedar membela dirinya dan sama sekali tidak berniat untuk
membunuh." "Juga orang yang di sebut adik Empu Sanggadaru itu." sahut
yang lain, "Jika ia ingin membunuh, maka ia banyak mempunyai
kesempatan." Yang lain lagi berkata, "Empu Sanggadarupun agaknya bukan
seorang pembunuh. Tetapi luka di tangannya itu membuatnya lupa
diri. Apalagi di tubuhnya masih tergores luka-luka yang agaknya
karena kuku harimau yang dibunuhnya itu."
1779 Orang yang mengutuki keadaan itupun terdiam. Ternyata kawankawannya
telah berusaha melihat kenyatan. Meskipun demikian ia
masih bertanya tanpa ditunjukan kepada siapapun juga. "Jadi jika
kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang, apa yang akan
kita lakukan?" "Kita masih bersenjata." berkata orang tertua di antara mereka.
Orang yang bertanya itu terdiam. Namun masih nampak bahwa
di wajahnya membayang kekecewaan yang mendalam.
Iring-iringan itupun kemudian menyusup hutan itu semakin jauh.
Tetapi mereka pun kemudian mencari jalan menepi, karena mereka
akan berjalan di bagian yang tidak terlampau pepat. Meskipun
mereka akan tetap berada di dalam hutan, namun mereka ingin
perjalanan mereka semakin cepat. Apalagi mereka menyadari
bahwa setiap saat, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
akan dapat melihat mereka.
Jika orang-orang Macan Kumbang itu mengetahui, bahwa
pemimpinnya telah terbunuh, maka mereka pun akan segera
mengambil kesempatan untuk melepaskan dendam yang sudah
saling tertanam dikedua belab pihak.
Karena itulah, maka Serigala Putih yang selama itu tidak pernah
merasa gentar, sepeninggal pemimpinnya menjadi agak cemas juga.
Meskipun demikian, karena mereka masih tetap menggenggam
senjata di tangan, maka mereka pun masih mempunyai kesempatan
untuk mempertahankan diri.
Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang dari gerombolan
Serigala Putih, maka Empu Sanggadaru pun menjadi termangu.
Sepercik penyesalan nampak membayang di wajahnya, bahwa telah
terjadi pembunuhan oleh tangannya. Namun ia tidak dapat
menghindari kemungkinan itu. karena keadaan yang telah
memaksanya. "Sudahlah." berkata Lembu Ampal, "Nampaknya mereka telali
menyadari kesalahan mereka. Jika di dalam pertempuran timbul
korban jiwa, itu bukannya suatu hal yang aneh dan berlebihan."
1780 Empu Sanggadaru mengangguk.
"Sekarang, aku akan melakukan tugasku yang lain." berkata
Lembu Ampal. "Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
memerintahkan mengambil harimaunya?" bertanya Empu Baladatu.
"Ya Empu. Dan kami datang membawa sebuah pedati."
Lembu Ampal pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit
untuk menjemput kawan-kawannya serta pedati yang mereka bawa
dari Sangasari. "Itulah sebabnya, kami menunggu terlampau lama di sini."
Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Kami berjalan seperti siput
yang merambat." "Dan dengan demikian kalian terpaksa bermalam di sini."
berkata Empu Sanggadaru. Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Jawabnya. "Tidak.
Kami akan berjalan lagi seperti siput. Kapan pun kami akan sampai
di Singasari. Kami akan bergantian tidur di sepanjang jalan di dalam
pedati itu bersama dengan harimau yang sudah terikat itu."
"Jika yang sedang tidur itu lengah dan tangannya terjulur ke
mulut harimau yang marah itu. maka tangan itu akan segera putus."
Lembu Ampal tertawa. Lalu katanya kepada perwira muda yang
memimpin para prajurit itu. "Bukankah kita dapat tidur sambil duduk
di punggung kuda yg berjalan perlahan-lahan."
Perwira itu tersenyum. Setelah mereka menunggu sejenak, maka iring- iringan prajurit
Singasari yang lebih banyak jumlahnya telah datang bersama
sebuah pedati yang berjalan lamban sekali.
"Masukkanlah harimau yang masih hidup itu ke dalam pedati."
perintah perwira muda yang memimpin para prajurit Singasari itu.
1781 Para prajurit itupun kemudian dengan hati-hati mengangkat
harimau yang terikat itu. Sebuah auman yang dahsyat terdengar.
Harimau itu meronta dengan sekuat tenaganya. Tetapi ikatan janget
itu tidak dapat diputuskannya. Bahkan kaki-kakinya merasa menjadi
sakit dan nyeri sehingga akhirnya harimau itu berdiam diri.
Para prajurit itu tidak terlalu lama tinggal di hutan. Mereka pun
setelah menaikkan harimau yang terikat kaki-kakinya itu dengan
hati-hati, segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Singasari.
Mereka sudah bertekad untuk berjalan meskipun senja turun dan
malam pun akan segera menyelubungi seluruh wilayah Singasari
yang luas. Sepeniggal para prajurit Singasari setelah mereka sempat
beristirahat sejenak, maka Empu Sanggadaru pun mulai berpikir
apakah ia akan meneruskan perburuan atau tidak.
"Aku akan mengeringkan harimau itu sebelum membusuk."
berkata Empu Sanggadaru. "Jadi kita kembali ke padepokan?" bertanya empu Baladatu.
Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, "Rasa-rasanya aku
ingin segera melihat padepokan. Apakah benar orang-orang Serigala
Putih tidak mengganggu padepokanku."
Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Katanya, "Agaknya
baik juga kita kembali ke padepokanmu kakang. Jika ternyata tidak
ada gangguan suatu apa, kita dapat kembali lagi memburu harimau
di kesempatan lain."
Demikianlah maka mereka pun memutuskan untuk kembali saja
kepadepokan dengan membawa harimau yang telah mati itu.
Ternyata membawa seekor harimau yang sudah mati jauh lebih
mudah daripada membawa seekor harimau yang masih hidup.
Apalagi jika dengan niat bahwa harimau itu akan dipelihara di dalam
kandang. 1782 Dengan berdebar-debar Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu
pun kemudian mendekati padepokannya, setelah matahari
terbenam. Namun ketika mereka melihat cahaya lampu dari kejauhan,
mereka merasa tenang. Lampu itu adalah pertanda bahwa
padepokannya masih tetap hidup meskipun barangkali dicengkam
oleh kegelisahan dan ketakutan.
Ketika Empu Sanggadaru memasuki regol, maka seperti kanakanak
yang ingin mengadu kepada ayahnya, maka beberapa orang
pun segera berkumpul. Di tangan mereka tergenggam berbagai
macam senjata. Agaknya mereka pun sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari, tanpa Empu
Sanggadaru sendiri, maka jika orang-orang Serigala Putih memilih
menghancurkan padepokannya lebih dahulu, maka orang-orangnya
itupun akan mengalami kesulitan meskipun akan jatuh korban pula
dikedua belah pihak. "Jika Empu tidak segera datang, kami sudah bersiap-siap untuk
menyusul." berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa?" berkata salah seorang dari mereka.
"Sekelompok orang-orang yang menyebut dirinya dari
gerombolan Serigala Putih telah datang."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka mencari Empu. Karena mula-mula kami kurang tahu
maksudnya, kami telah menunjukkan di mana Empu berada."
"Lalu, mereka meninggalkan kalian tanpa berbuat apa-apa?"
"Ya. Tetapi kami menjadi curiga. Nampaknya di mata mereka
menyala dendam. Ketika kami bertanya apakah keperluan mereka
dengan Empu, maka mereka pun menyatakan dendam mereka."
"Berapa orang jumlah mereka saat mereka mendatangi
padepokan ini" 1783 "Lima atau enam orang."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ada beberapa
kemungkinan yang sudah terjadi. Mereka tidak semuanya
menampakkan diri di padukuhan ini, atau orang-orang Serigala
Putih itu telah kembali terlebih dahulu untuk memanggil orangorangnya
yang lain, karena pemimpinnya ingin melakukan
pekerjaannya dengan meyakinkan, bahwa mereka tidak akan
mengulangi lagi untuk kedua kalinya.
"Apakah Empu telah bertemu dengan mereka?"
"Ya." "Dan terjadi perselisihan."
"Ya." "Empu berhasil mengalahkan mereka."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Kami sudah menduga, bahwa Empu Sanggadaru dan Empu
Baladatu akan dapat mengatasi kesulitan itu."
"Tidak sederhana seperti yang kalian duga. Sebenarnya kami
tidak dapat melawan mereka, karena ketika mereka mengepung
kami jumlahnya menjadi lima belas orang."
"Lima belas?" "Ya. Dan kami berenam tidak mampu melawan lima belas orang,
meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Tetapi jumlah mereka yang banyak itu telah
menyulitkan kami." "Jadi?" "Adalah kebetulan sekali, bahwa prajurit-prajurit Singasari
sedang berada di hutan."
Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Empu Sanggadaru
yang kemudian turun dari kudanya dan berdiri di antara orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1784 orangnya yang tidak sabar, terpaksa menceriterakan apa yang telah
terjadi di hutan perburuan itu.
Baru setelah orang-orangnya mengangguk-angguk sambil
menarik nafas lega, Empu Sanggadaru berkata, "Aku akan
mengeringkan harimau. Sediakan alat-alat dan reramuan yang aku
perlukan." "Sekarang Empu?"
"Ya, sekarang. Aku ingin menunjukkan kepada adikku,
bagaimana aku mengawetkan binatang buruanku."
Beberapa orang cantrikpun menjadi sibuk. Mereka yang sudah
terbiasa menyediakan reramuanpun segera melakukannya meskipun
malam menjadi semakin galap.
Halaman belakang padepokan yang luar itu pun segera menjadi
terang. Beberapa obor dipancangkan di sekitar reramuan yang telah
disiapkan untuk mengawetkan harimau yang sangat besar itu.
Para cantrik yang sudah biasa melihat Empu Sanggadaru
membawa hasil buruan kembali dari hutan, masih juga heran
melihat seekor harimau loreng yang sangat besar itu. Apalagi
mereka kemudian mengetahui bahwa kulit harimau itu sama sekali
tidak luka oleh senjata. "Empu Sanggadaru telah menangkap harimau itu dengan
tangannya." desis salah seorang cantriknya.
Yang lain mengangguk sambil menyahut, "Ya. Dan ternyata
Empu Sanggadaru mampu meskipun pada tubuhnya terdapat
beberapa gores luka."
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru pun segera mulai dengan
pekerjaan yang sudah sering kali dilakukan. Mengawetkan binatang
buruannya. Empu Baladatu menunggui kerja kakaknya dengan asyiknya. Ia
pun ternyata tertarik untuk mempelajarinya. Apabila pada suatu
saat ada kesempatan, maka Empu Baladatu berniat untuk belajar,
1785 reramuan apa saja yang diperlukan dan cara yang agak rumit untuk
melakukan pengawetan itu.
Tetapi yang lebih menarik bagi Empu Baladatu adalah orangorang
berilmu hitam itu sendiri. Rasa-rasanya ada suatu dorongan
padanya untuk datang mengunjungi orang-orang yang disebut
berilmu hitam, tetapi yang mempunyai beberapa kelainan dari
ilmunya. Meskipun demikian, mata Empu Baladatu yang tajam dan
mengenalnya yang baik terhadap ilmu hitam itu, ia dapat
menangkap beberapa kesemaan pada sumber geraknya. Karena
itulah, maka nampaknya orang-orang berilmu hitam itu sangat
menarik perhatiannya. Malam itu, Empu Baladatu telah menyaksikan bagaimana
kakaknya mengawetkan binatang buruannya, sehingga jumlah
binatang yang berjajar di rumahnya telah bertambah dengan seekor
harimau loreng yang sangat besar.
Namun demikian, Empu Baladatu merasa seolah-olah
kedatangannya itu sia-sia. Ia tidak dapat mengemukakan
maksudnya, setelah ia mengetahui, bagaimana tanggapan kakaknya
yang sebenarnya terhadap pimpinan pemerintahan Singasari yang
sedang berjalan. Ternyata kakaknya sangat mengagumi kedua
anak-anak muda yang memegang pemerintahan itu. Ranggawuni
dan Mahisa Campaka. Dan iapun telah melihat sendiri, bagaimana
anak muda yang bernama Ranggawuni itu mampu menangkap
seekor harimau, melampaui kemampuan kakaknya. Jika kakaknya
berhasil menangkap harimau itu mati, maka Ranggawuni berhasil
menangkap harimau itu hidup-hidup.
Tetapi Empu Baladatu bukan orang yang mudah berputus asa. Ia
sudah berada dalam tenggelam di dala angan-angannya, bahwa ia
akan menemukan jalan untuk menjangkau ke tempat yang bagi
orang lain hanya sekedar mimpi.
"Aku tidak peduli apakah aku dijangkiti oleh penyakit gila. Tetapi
aku tidak akan mundur. Betapapun dahsyatnya ilmu Ranggawuni
1786 dan Mahisa Campaka. namun pada suatu saat aku tentu akan dapat
mengimbanginya, asal dengan tekun meningkatkan ilmuku yang
pada dasarnya tidak ada bandingnya di muka bumi." berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya.
Ternyata Empu Baladatu telah mempunyai rencananya sendiri.
Itulah sebabnya maka ia tidak dapat terlalu lama tinggal bersama
kakaknya. Setelah ia melihat bagaimana caranya kakaknya
menganwetkan binatang-binatang buruannya, dan yang penting
karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di padopokan itu, maka
ia tidak betah tinggal terlalu lama. Di hari berikutnya, maka Empu
Baladatu pun minta diri untuk meninggalkan padepokan kakaknya
itu. "He, kenapa kau pergi begitu cepat.?" bertanya Empu
Sanggadar. "Aku sudah lama meninggalkan padepokanku kakang.
Kedatangan orang-orang Serigala Putih mengingatkan aku kepada
padepokanku. Meskipun aku tidak mempunyai lawan yang mungkin
mendendamku, tetapi rasa-rasanya aku menjadi gelisah jika aku
mengenangkan ceriteramu tentang orang-orang Serigala Putih yang
singgah di padepokan ini dan yang ternyata kemudian menimbulkan
persoalan yang berkepanjangan."
"Tetapi bukankah ada orang-orangmu yang menunggui
padepokan?" "Tidak banyak. Padepokanku adalah padepokan yang terlalu
kecil dibandingkan dengan padepokanmu."
"Tetapi bukankah kau masih akan pergi berburu lagi?"
"Lain kali aku akan datang kemari lagi kakang. Aku masih
mempunyai beberapa keinginan. Tetapi rasa-rasanya aku sekarang
selalu digelisahkan oleh keadaan padepokanku yang sudah cukup
lama aku tinggalkan itu."
Empu Sanggadaru hanya dapal mengaugguk-auggukkan
kepalanya, la tidak akan dapat menahan adiknya terlalu lama. Jika
1787 benar-benar terjadi sesuatu, maka adiknya tentu akan
menyalahkannya. "Baiklah Baladatu. Jika kau akan kembali, aku hanya dapat
mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan kau tidak menemui
kesulitan di perjalanan."
"Terima kasih kakang. Aku akan datang pada saatnya."
Empu Sanggadaru tidak dapat menahan lagi. Di pagi hari
berikutnya, Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan padepokan
kakaknya yang ternyata masih saja diliputi oleh kesiagaan. Apalagi
ketika penghuni padepokan itu menyadari, bahwa orang-orang
Serigala Putih adalah orang-orang yang telah menggemparkan
padepokan itu meskipun mereka harus meninggalkan beberapa
orang korban. Dan mereka pun segera teringat kepada ciri-ciri yang
pernah mereka lihat pada korban korban itu.
(Bersambung ke jilid 25) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1788 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 25 JUSTRU setelah keadaan menjadi
tenang, maka orang-orang di
padepokan, Sanggadaru dapat
melihat dengan jelas, hubungan dari
peristiwa-peristiwa yang susul
menyusul terjadi. Serigala Putih dan
gambar Serigala dengan mulut
menganga itu ternyata telah
berusaha melepaskan dendamnya,
namun yang terjadi adalah
sebaliknya. "Aku tidak sampai hati
membinasakan mereka yang telah
menyerah" berkata Empu
Sanggadaru kepada orang-orangnya, "meskipun aku sadar, bahwa
mungkin sekali pada suatu saat dendam itu menyala lagi didalam
hati mereka meskipun mereka mengatakan, bahwa mereka tidak
akan mempergunakan senjatanya lagi selain untuk membela, diri."
"Pada suatu saat mereka akan merasa kuat lagi" berkata salah
seorang cantriknya, "jika demikian maka mereka akan datang dan
mencoba untuk menebus kekalahannya."
"Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu yang dekat" jawab Empu
Sanggadaru. 1789 "Kecuali jika mereka mendapatkan bantuan dari pihak lain, atau
pihak yang sengaja ingin mendapatkan, keuntungan dari benturan
itu." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Karena itu
jangan pernah menjadi lengah, kapanpun juga. Setiap saat kita
akan dapat menjadi sasaran dendam."
Para cantrik dari padepokan itu pun menyadari bahwa dendam
itu memang setiap saat dapat membakar padepokannya, sehingga
karena itu, maka merekapun tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Serigala Putih itupun ternyata
telah selamat sampai ke padepokan mereka. Meskipun demikian,
ternyata kedatangan mereka dengan membawa mayat kedua orang
kawannya, bahkan salah seorang dari keduanya yang terbunuh itu
adalah pemimpin mereka, telah membuat seisi padepokan itu
menjadi cemas dan marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apapun juga, setelah kawan-kawan mereka yang mengalami
pertempuran yang dahsyat itu menceriterakan betapa lawan mereka
memiliki ilmu yang tinggi.
"Apakah kalian berkata sebenarnya?" bertanya salah seorang
dari mereka yang tinggal di padepokan sehingga tidak dapat melihat
sendiri, apa yang telah terjadi.
"Kau sangka bahwa kami ini sekelompok pengecut", Kami
menyadari, bahwa kami adalah orang-orang terbaik dari padepokan
ini. Apa yang kami katakan, tentu dapat kalian bayangkan. Jika
kalian yang mengalaminya, maka kalian tentu akan mati membeku
ditempat." Tidak ada yang menjawab. Tetapi dari wajah-wajah mereka
nampak keheranan dan bahkan kurang mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, bahwa pemimpin mereka yang mereka kagumi
itu telah terbunuh. "Kita harus merahasiakannya sejauh dapat kita lakukan" berkata
seorang yang tertua diantara mereka. Yang lain menyadari, bahwa
kematian itu akan dapat berakibat buruk bagi padepokan mereka.
1790 Karena itu salah seorang dari mereka berkata, "Orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang tentu akan memanfaatkan kematian
ini. Dan itu berarti bencana."
"Kita jangan terlampau terpengaruh oleh kematian satu atau dua
orang dari antara kami. Jumlah kami masih cukup banyak untuk
menghadapi orang-orang Macan Kumbang. Tetapi jangan ingkar
akan kenyataan yang kita hadapi. Jika kita salah menilai diri sendiri,
maka akibatnya akan sangat pahit. Kematian pemimpin kita
merupakan kelemahan yang tidak akan dapat kita tutup-tutupi lagi
jika kita benar-benar telah berhadapan dengan orang-orang Macan
Kumbang. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang juga
menyebut dirinya bernama Macan Kumbang itu, merupakan orang
yang sangat berbahaya. Hanya pemimpin kita sajalah yang akan
dapat menghadapinya."
"Kita hadapi dengan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tiga
atau empat orang pilihan."
"Kau sangka ia datang seorang diri" Tentu merekapun akan
dapat menyingkirkan yang tiga atau empat orang itu dengan tiga
atau empat orang dari lingkungan mereka."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Baiklah" berkata orang tertua, "kita tetap melihat kenyataan itu.
Tetapi kita jangan mati ketakutan. Mungkin jika terjadi benturan,
kita akan tumpas. Tetapi tentu lebih separo dari mereka pun akan
terbunuh." Kawan-kawannya memandanginya dengan tajam. Namun
kemudian salah seorang dari mereka bergumam, "Kau benar. Kita
adalah laki-laki yang telah berani menamakan diri Serigala Putih."
Dengan rahasia, orang-orang Serigala Putih itu menguburkan
pemimpin mereka yang terbunuh itu, agar gerombolan mereka
kemudian tidak menjadi liar, maka mereka telah memilih orang
tertua di antara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya
untuk memimpin mereka. 1791 "Aku bersedia saja. Tetapi kalian harus patuh meskipun tidak
seperti terhadap pemimpin kita yang sudah terbunuh" berkata orang
tertua itu, "selanjutnya, kalian harus berusaha sejak sekarang,
untuk meningkatkan ilmu. Jauh lebih tekun dari waktu yang sudahsudah.
Kehilangan yang kita alami, akan kita tebus dengan
meningkatnya kemampuan kita seorang-seorang. Dengan demikian,
maka kita tidak akan menjadi terlalu lemah, seperti seekor kijang di
hutan belantara yang dihuni oleh harimau dan serigala liar."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang
menyahut "Kami akan melakukannya dengan sepenuh hati. Kami akan
melatih diri sejauh dapat kami lakukan. Karena kami yakin, bahwa
orang-orang Macan Kumbang itu tentu akan datang, lambat atau
cepat." Orang tertua itu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan kecemasan yang sebenarnya tetap mencengkam
hatinya karena ia lidak dapat menyembunyikan pengakuan, bahwa
tidak akan ada kekuatan yang dapat mencegah orang-orang dari
Macan Kumbang dengan pemimpinnya yang ditakuti, untuk
menghancurkan orang-orang Serigala Putih yang seolah-olah telah
kehilangan taring itu. "Pemimpin kami pun masih harus mempertimbangkan berulang
kali jika terpaksa harus berperang tanding dengan pemimpin Macan
Kumbang yang garang itu. Apalagi tanpa orang yang kita anggap
sebagai pelindung itu, kita tentu akan dengan mudah dapat
dihancurkannya." Tetapi seperti yang dikatakannya, orang-orang Serigala Putih itu
dengan tekun melatih diri. Seorang-seorang tanpa mengenal lelah.
Dengan cara yang paling kasar sekalipun. Bahkan mereka seolaholah
telah benar-benar menjadi liar dan buas seperti sekelompok
Serigala yang kelaparan. Mereka memenuhi semua keinginan yang
tumbuh di dalam hati, untuk menyatakan diri dalam kebulatan
tekad, karena keinginan yang belum terpenuhi pada hakekatnya
1792 akan dapat menjadi penghambat semua usaha dan pemusatan
pikiran dan kehendak. Dengan demikian orang-orang dari Serigala Putih itu sama sekali
tidak mempertimbangkan cara-cara pemenuhan keinginannya,
meskipun cara itu oleh kebanyakan orang dianggap melanggar segisegi
peradaban sekalipun. Namun demikian, rasa-rasanya perkembangan ilmu mereka itu
maju dengan lambatnya. Apalagi sudah tidak ada lagi dari antara
mereka yang dapat membimbing dan memberi petunjuk-petunjuk
yang berarti. Beberapa orang yang sudah mendapat kepercayaan
untuk menularkan ilmunya kepada para pengikut yang lebih muda
dalam usia dan ilmunya, hanya mampu mendorong mereka itu
untuk maju selangkah demi selangkah yang pendek dan lemban.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Maju dengan lambat
adalah jauh lebih baik dari tidak bergerak sama sekali.
Namun, sebelum mereka mencapai kemampuan yang mereka
harapkan, ternyata yang mereka cemaskan itu telah datang. Dengan
hati yang kecut, seorang pengikut gerombolan Serigala Putih telah
bertemu dengan tiga orang yang tidak mereka kenal, yang agaknya
dengan sengaja telah menjumpainya. Dengan sengaja ketiga orang
itu berdiri berjajar di tengah jalan memasuki padepokan gerombolan
Serigala Putih. "Kau memang luar biasa" desis salah seorang dari ketiga orang
itu. "Kau siapa?" bertanya orang Serigala Putih.
Ketiga orang itu tertawa. Katanya, "Kau terlampau berani keluar
seorang diri dari padepokanmu. He, darimana kau sebenarnya?"
"Aku baru saja kepategalan."
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang
berkata, "Kita bunuh saja tikus ini."
1793 Yang tertua di antara ketiga orang itu menggeleng, "Jangan. Ia
harus dapat kita jadikan alat untuk menyampaikan kepada kawankawannya,
bahwa saat ajal mereka telah tiba."
"Mereka akan pergi mengungsi."
"Dan kita akan bertepuk sambil bersorak-sorak. Perguruan
Serigala Putih yang terkenal, ternyata hanya berisi serigala betina
yang ketakutan melihat taring seekor Macan Kumbang."
"Kau dari Macan Kumbang?" tiba-tiba saja orang dari Serigala
Putih itu bertanya. Ketiga orang itu tertawa bersamaan. Salah seorang menjawab.
"Seharusnya kau sudah mengetahuinya, bahwa aku adalah orangorang
Macan Kumbang meskipun di antara kami jarang sekali yang
membuat ciri-ciri gambar seperti di pergelangan tangan orang
Serigala Putih, atau di lengannya, di kakinya bahkan di perutnya."
Ketiga orang Macan Kumbang itu tertawa. Yang seorang pun
kemudian berkata, "He, apakah kau kira kami tidak mengetahui
bahwa pemimpinmu sudah mati."
Orang Serigala Putih itu terkejut.
"Jangan terkejut. Betapapun kau mencoba merahasiakannya,
tetapi kami sudah mengetahuinya. Meskipun kami belum berhasil
mendapat keterangan, siapakah yang telah membunuh
pemimpinmu itu." "Kau bermimpi" sahut orang Serigala Putih , "pemimpin kami
tidak akan dapat mati sampai saatnya matahari itu merunduk
sampai ke ujung Tanah Singasari. He, apakah kau sedang mengigau
orang Macan kelaparan."
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun salah seorang berkata,
"kata-katamu tidak meyakinkan. Besok atau lusa, kami pun akan
segera mengetahui, siapakah yang telah membunuhnya. Mungkin
sekelompok prajurit Singasari, tetapi mungkin orang yang namanya
lamat-lamat pernah kami dengar, Mahisa Bungalan dan Linggadadi,
pembunuh orang-orang berilmu hitam. Nah, apakah kau menyadari
1794 bahwa ilmumu dan ilmuku itu bersama-sama mengambil sumber
dari ilmu hitam." "Persetan dengan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Ternyata, seorangpun dari antara kami belum ada yang
menjadi korbannya." "Namun tiba-tiba langsung pemimpinmu."
"Tidak. Ia tidak mati karena Mahisa Bungalan atau Linggadadi."
"Jadi s iapa?" "Angan-angan yang cukup gila. Sudah aku katakan, bahwa
pemimpin dan guruku itu tidak akan dapat mati sampai akhir
jaman. Kau ingat, sampai akhir jaman. Dan kau akan mati lebih
dahulu daripadanya."
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu tertawa
terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka berkata di antara suara
tertawanya, "Kau sudah gila. Kematian pemimpinmu membuat
orang-orangnya menjadi gila seperti kau. Apakah kau benar
menganggap bahwa gurumu belum mati?"
Pertanyaan itu cukup membingungkan. Tetapi ia masih tetap
menjawab, "Ya. Aku menganggap bahwa pemimpinku masih belum
mati." "Jangan hiraukan kata-katanya. Sebaiknya orang itu di bunuh
saja. Biarlah orang-orang Serigala Putih marah. Jika benar
pemimpinnya masih hidup, biarlah ia datang kepadepokan kami
untuk menuntut balas."
Orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi berdebar. Jika
ketiga orang itu benar-benar akan membunuhnya, maka sudah
tentu ia tidak akan dapat melawan. Tetapi lebih baik baginya
membawa salah seorang dari mereka mati daripada menyerahkan
lehernya untuk dijerat dan diseret sepanjang jalan.
Tetapi ternyata salah seorang dari ketiga orang itu
mencegahnya. Katanya, "Biarkan ia hidup. Biarlah ia berceritera
1795 kepada kawannya, bahwa gerombolan Serigala Putih dimata orangorang
Macan Kumbang sudah tidak berarti lagi. Mereka adalah
segerombolan orang yang perlu dikasihani dan dilindungi."
"Gila" teriak orang dari gerombolan Secigala Putih
"Aku akan dapat membunuh kalian bertiga."
Orang yang mencegah untuk membunuhnya tertawa
berkepanjangan. Katanya, "Ternyata kau masih mempunyai harga
diri. Tetapi kami tidak akan merubah keputusan ini. Kau kami beri
kesempatan untuk tetap hidup. Dengan demikian kau harus
berterima kasih kepada kami, bahwa nyawamu yang sebenarnya
tergantung di tangan kami itu, tidak kami renggut dari tubuhmu."
"Persetan. Kalian akan menyesal bahwa kalian tidak
membunuhku sekarang."
Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu masih tertawa,
"Pulanglah. Jangan merajuk. Katakan kepada orang-orangmu. Yang
ingin tetap hidup, supaya meninggalkan padepokannya dan
mengungsi kemana saja yang mereka kehendaki. Tetapi jika kalian
jantan, tunggulah kehadiran kami bersama kawan-kawan kami.
Kami akan datang untuk menumpas kalian. Meskipun kau tetap
berkeras, bahwa pemimpinmu masih tetap hidup sampai sekarang."
Orang dari gerombolan Seriggla Putih itu menggeretakkan
giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga ketika orangorang
gerombolan Macan Kumbang itu dengan penuh hinaan
meninggalkannya. Orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu.
Namun kemudian iapun melangkah dengan hati yang berdebardebar.
Tentu ketiga orang itu tidak hanya sekedar mengancam.
Mereka tentu akan melakukannya.
Ketika ia sampai di padepokannya, maka ia pun segera
melaporkan apa yang baru saja dialaminya kepada orang yang
untuk sementara dianggap sebagai pemimpinnya.
1796 Orang tertua itu pun mengerutkan keningnya. Dengan suara
yang dalam ia berkata, "Dugaan kita benar. Mereka pada suatu saat
tentu akan mengetahuinya dan akan datang kepadepokan ini."
"Siapakah yang telah membocorkan rahasia ini?" bertanya salah
seorang dari mereka. "Kita tidak usah mencari-cari. Dengan demikian tentu akan timbul
kecurigaan di antara kita masing-masing. Yang penting sekarang,
bagaimana kita menghadapi mereka."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi tegang.
Kehadiran orang-orang Macan Kumbang dapat menghancurkan
mereka sama sekali, sehingga apa yang telah mereka bangunkan
selama itu akan lenyap begitu saja.
"Ternyata pemimpin kita salah hitung. Pemburu yang memakai
pakaian kulit harimau itu, memiliki ilmu yang tidak ada taranya.
Sekarang, ternyata kita mengalami akibat yang parah. Dengan tidak
langsung kita sudah mengumpankan diri kita ke mulut gerombolan
harimau liar itu." Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi semuanya itu sudah
terjadi sehingga tidak akan ada lagi gunanya untuk disesali.
"Ada beberapa kemungkinan" orang tertua itu berkata, "jika kita
ingin menyelamatkan diri untuk sementara, kita masih mempunyai
waktu, kita dapat meninggalkan padepokan ini. Tetapi dengan janji
di dalam hati, bahwa kita akan kembali pada saat yang tepat.
Sedang kemungkinan yang lain adalah, kita melawan sampai orang
terakhir. Jika kita memilih yang kedua, maka kita akan melepaskan
perempuan dari lingkungan padepokan ini bersama anak-anak.
Mereka sama sekali tidak akan berarti dalam pertempuran semacam
itu. Biarlah mereka mencari jalan hidup mereka masing-masing."
"Kenapa kita harus memikirkan mereka" Bagi kita, apapun yang
akan terjadi atas mereka, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan-
Perempuan itu hanya akan membebani kita dengan berbagai macam
kesulitan." 1797 "Bukan mereka. Tetapi anak keturunan kita harus di selamatkan.
Itulah tugas mereka. Perempuan-Perempuan itu harus dapat
menyelamatkan anak-anak, terutama anak-anak laki, sehingga kelak
mereka akan dapat mengambil kembali padepokan ini."
"Jangan hiraukan. Sekarang, yang penting, apakah kita akan
melawan atau melarikan diri untuk sementara."
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian
berkata, "Kita akan tetap tinggal di sini. Bagaimana pendapat
kalian?" Kawan-kawannya pun nampak berpikir sejenak. Ada keraguraguan
di dalam hati masing-masing. Sebagian benar-benar menjadi
cemas. Namun sebagian yang lain ingin mempertimbangkan
kemungkinan itu dengan nalar.
"Apakah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sia-sia"
berkata salah seorang dari mereka, "kita tidak lagi harus bermimpi.
Tanpa pemimpin dan guru kita, kita tidak akan dapat melawan
orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Itu sudah kita
sadari. Jika demikian apakah ada gunanya kita bertahan?"
"Lebih baik kita menyingkir. Tetapi pada saatnya kita akan
kembali" sahut yang lain , "apakah bukan begitu?"
"Kita bukan pengecut" seorang yang bertubuh raksasa
memotong , "tidak ada gunanya kita lari. Mereka tentu akan
mengejar terus. Kita tahu, bukan padepokan inilah yang sebenarnya
mereka cari. Tetapi kita. Daripada kita hidup dengan kecemasan dan
merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang, alangkah baiknya jika kita mati
bersama mereka. Jika kita akan tumpas, maka yang akan tetap
hidup di dalam lingkungan orang-orang gerombolan Macan
Kumbang tentu tinggal pemimpinnya itu saja."
Kata-kata orang bertubuh raksasa itu ternyata, telah menyentuh
perasaan setiap orang yang mendengarkannya. Bahkan orang tertua
itupun segera menambah, "Itu adalah sifat jantan. Kita akan mati di
1798 atas tanah padepokan ini, dimana kita. mendapat ilmu yang selama
ini telah membekali setiap kerja yang kita lakukan."
"Aku sependapat. Perempuan harus menyingkirkan anak-anak
kita. Mereka boleh membawa bekal dari barang-barang yang masih
ada di dalam persediaan kita. Hasil-hasil yang kita. peroleh selama
ini dengan menjelajahi daerah-daerah yang terasing dari
pengawasan prajurit Singasari, dapat, dijadikan bekal untuk
menumbuhkan anak-anak kita yang kelak akan mengambil
padepokan ini kembali." sahut orang bertubuh raksasa itu.
"Tetapi bagaimana jika Perempuan-Perempuan itu ternyata
mementingkan diri mereka sendiri, dan bukan mementingkan anakanak
kita." "Kita akan membunuhnya dan melemparkannya ke dalam
sungai." "Siapakah yang akan melakukannya jika kita semua sudah mati?"
"Tidak. Orang-orang tua pun akan pergi bersama perempuanperempuan
itu. Laki-laki yang meskipun sudah tua, dapat
membunuh Perempuan-Perempuan yang ingkar akan kewajibannya
terhadap anak-anak dan mementingkan diri sendiri."
Orang-Orang dari gerombolan Serigala Putih yang berilmu hitam
itu mengangguk-angguk. "Nah" berkata orang tertua, "kita akan menunggu. Hari ini, besok
atau lusa. Kita akan tetap berlatih dengan sekuat tenaga, meskipun
kemampuan kita hanya akan bertambah seujung rambut. Tetapi itu
lebih baik daripada tidak sama sekali."
"Ya. Kita akan berlatih agar kita tetap dalam kesiagaan tertinggi."
"Tetapi" orang tertua itu memperingatkan, "jangan kalian
habiskan tenaga kalian, agar jika kita benar-benar harus bertempur
kita tidak akan kelelahan."
"Ya. Kita harus menghemat tenaga" sahut yang lain.
1799 "Sekarang" berkata orang tertua itu, "suruhlah perempuanperempuan
pergi dengan membawa anak-anak. Mereka
bertanggung jawab. Berilah mereka bekal. Suruhlah laki-laki tua
mengawasi Perempuan-Perempuan itu. Yang lain tetap disini dan
bertempur sampai orang terakhir."
"Kemanakah anak-anak kita harus dibawa."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekehendak perempuan-perempuan itu sendiri."
"Berilah petunjuk. Jika kita tidak dapat ditumpas oleh orangorang
gerombolan Macan Kumbang, kita akan menjemput anakanak
Pendekar Binal 11 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Pendekar Aneh Naga Langit 30
"Apakah ciri itu kakang?"
"Aku melihat kepala serigala yang sedang menganga."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tentu yang
dimaksud bukanlah satu atau dua orang anak muridnya, karena
tidak seorang pun yang mengenakan ciri-ciri semacam itu. Jika ada
1738 orang yang mengenal ciri-cirinya tentu dilihat dari segi tata gerak
dan sikapnya. Bukan pada lukisan apapun juga.
"Baladatu." berkata, Empu Sanggadaru kemudian, "Dua kali aku
telah berbenturan dengan mereka. Yang pertama di perjalanan. Dan
yang kedua adalah di padepokanku. Aku menduga bahwa dua
peristiwa itu sudah cukup alasan bagi mereka untuk melepaskan
dendamnya kepadaku."
"Apakah kira-kira mereka akan menyerang padepokanmu
kakang" sehingga kau berniat untuk segera pulang?"
"Aku mendapat firasat buruk. Tetapi aku tidak tahu, apa yang
akan terjadi?" Keduanya pun .kemudian terdiam sejenak. Angan-angan masingmasing
melambung ke dalam kegelisahan. Bahkan kemudian Empu
Sanggadarupun berkata, "Baladatu, beritahulah kepada kedua
pengawalmu, agar mereka berhati-hati. Akupun akan
memperingatkan kedua cantrikku pula."
Empu Baladatu mengangguk. Jawabnya, "Baik kakang. Tetapi
apakah menurut kakang ada kemungkinan, mereka akan datang
kemari?" "Aku adalah seorang pemburu, Baladatu. Hidungku sudah
terbiasa dapat membedakan bau angin yang bertiup. Dan aku
mencium bau yang lain dari bau hutan ini."
"Ah, tentu orang-orang Singasari yang datang untuk mengambil
harimau itu." Empu Sanggadaru menggeleng. Katanya, "Bukan. Aku dapat
membedakannya." "Baiklah." Empu Baladatu mengangguk sambil berdiri. "Aku akan
memanggil kedua peugawalku."
"Dan kedua cantrik itu sekaligus."
1739 Empu Baladatu termangu-mangu. Lalu katanya, "Baiklah. Aku
akan memanggilnya kemari. Kakang sajalah yang memberitahukan
kepada mereka, apa yang akan terjadi."
Empu Sanggadaru tidak menjawab. Dipandanginya saja adiknya
yang melangkah mendekati pengawal-pengawalnya yang sedang
beristirahat. Kemudian dua orang cantrik yang sedang berbaring
beberapa langkah dari kedua pengawal itu.
Sejenak kemudian, maka mereka pun datang mendekat Empu
Sanggadaru yang termangu-mangu.
Empu Baladatu pun kemudian duduk pula di sebelah kakaknya
yang nampak gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena ia
menunggu penjelasan yang akan diberikan oleh kakaknya itu.
"Apakah kalian ingat peristiwa yang telah terjadi di padepokan
kita menjelang kedatangan Empu Baladatu?" bertanya Empu
Sanggadaru kepada kedua cantriknya.
Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka menjawab, "Ya, aku ingat Empu. Pembunuhan yang sama
sekali terjadi tanpa kami sengaja. Peristiwa itu demikian cepat
berlangsung, sehingga ketika kesadaran kami timbul sepenuhnya,
kami sudah melihat mayat-mayat yang terkapar."
"Aku tidak menyalahkan kalian." desis Empu Sanggadaru,
"Tetapi yang perlu kau ketahui sekarang adalah akibat dari peristiwa
itu." "Dendam." "Ya. Agaknya mereka akan datang untuk membalas dendam. Aku
tidak tahu pasti, apakah mereka akan melakukannya di sini atau di
padepokan." Kedua cantrik itu termangu-mangu.
"Baladatu." berkata Empu Sanggadaru, "Peristiwa inilah yang
membuat kita terlampau berhati-hati. Ketika kau datang, kau
disambut dengan penuh kecurigaan."
1740 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Memang kehadirannya di
padepokan kakaknya terasa sekali, betapa padepokan itu
diselubungi oleh suatu rahasia. Dan kini ia mengetahui, salah satu
sebab kenapa seisi padepokan itu menjadi sangat berhati-hati.
"Empu." berkata salah seorang cantriknya, "Jika demikian,
apakah tidak sebaiknya kita segera kembali ke padepokan. Jika
mereka menemukan padepokan itu kosong, maka mereka akan
berbuat apa saja tanpa dapat dikendalikan."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Kita tidak perlu kembali ke padepokan. He, Baladatu.
apakah kau masih mengira bahwa yang datang itu orang-orang dari
Singasari." Mata Empu Baladatu tiba-tiba saja terbelalak. Telinganya
memang mendengar sesuatu, dan matanya melihat daun yang
bergerak-gerak, tetapi tidak oleh angin.
"Kau benar kakang." jawabnya.
Tetapi Empu Sanggadru masih duduk dengari tenangnya.
Katanya, "Mereka tidak usah kita sambut di padepokan. Agaknya
mereka memang tidak sabar menunggu kehadiran kita dari
perburuan." "Maksud Empu." desis salah seorang cantriknya.
"Perhatikanlah keadaan di sekitarmu. Mungkin kau akan segera
mengetahui." Cantrik itu termangu-mangu. Demikian juga kedua pengawal
Empu Baladatu. Namun mereka tidak perlu terlalu lama berteka-teki Sejenak
kemudian seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang meloncat
dari dalam semak-semak. Kedua cantrik dan kedua pengawal Empu Baladatu terkejut.
Mereka bergeser setapak. Namun kemudian mereka pun
berloncatan pula sambil meraba hulu senjata masing-masing.
1741 Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru masih tetap duduk di
tempatnya. Mereka sama sekali tidak terkejut, karena mereka sudah
mendengar dan melihat dedaunan yang bergerak. Namun demikian,
dada mereka bergejolak ketika mereka melihat di sekitarnya
beberapa orang yang berloncatan pula. Jumlahnya terlalu banyak
dari dugaan mereka. "Siapa di antara kalian yang bernama Sanggadaru." geram orang
bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.
Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu berdiri sambil memandang
berkeliling. "Limabelas orang. Aku hanya membawa lima belas orang Tetapi
lima belas orang ini akan cukup membinasakan kalian semuanya,
dan orang-orang di padepokanmu."
Empu Sanggadaru maju selangkah. Jawabnya, "Akulah yang
bernama Sanggadaru."
"Aku sudah menyangka. Kau yang mengenakan pakaian anehaneh
itulah yang bernama Sanggadaru, yang merasa dirinya jantan
tanpa tanding." "Aku kurang mengerti. Tetapi menilik ciri gambar pada
pergelangan tanganmu itu. aku sudah menduga, apakah yang telah
mendorongmu mencari aku."
"Kau benar-benar seorang yang jantan. Kau benar. Aku memang
ingin menuntut balas. Kematian kedua muridku membuat
perguruanku goncang."
"Kau sudah dalang ke padepokanku?"
"Ya." "Kau sudah membakar padepokan itu dan membunuh semua
isinya." "Belum. Aku mendengar dari cantrik-cantrikmu yang menggigil
ketakutan, bahwa kau sedang pergi berburu. Aku bukan pengecut.
Aku sengaja mencarimu. Jika aku sudah membunuhmu, maka
1742 padepokanmu akan aku kuasai dengan seluruh isinya. juga gadis
yang menumbuhkan persoalan itu. Bahkan semua perempuan yang
ada." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya beberapa orang yang berdiri tegak di sebelah
menyebelah orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu.
"Mereka adalah orang-orang kepercayaanku." berkata orang
bertubuh tinggi itu, "Meskipun jumlah kami hanya lima belas, tetapi
kami dapat meratakan hutan ini."
"Siapakah namamu Ki Sanak." bertanya Empu Sanggadaru tibatiba.
Orang itu mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang Empu
Baladatu. dua orang cantrik dan dua orang pengawal. Baru
kemudian ia berkata, "Tidak ada gunanya kau bertanya tentang
namaku. Juga nama orang-orangku. Yang penting, kami adalah
orang-orang yang tidak dapat dihina dengan cara apapun juga.
Kami adalah orang-orang dari Perguruan Serigala Putih."
"O." desis Empu Sanggadaru "Ciri serigala itu menunjukkan
siapakah kalian. Kalian adalah orang-orang yang disebut berilmu
hitam. Tetapi bahwa kau menyebut perguruamnu dengan nama
serigala putih adalah sangat mengejutkan."
Pemimpin perguruan serigala putih itu tertawa terbahak-bahak.
Katanya, "Kenapa kau persoalkan nama yang telah kami pilih.
Serigala Putih. Bagus selagi. Meskipun orang lain menyebut kami
berilmu hitam." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. "Memang tidak ada
hubungan antara nama dan landasan ilmumu itu. Kau dapat memilih
nama yang paling bagus sekali pun Menur putih misalnya. Atau
barangkali nama sejenis burung yang paling indah."
"Cukup." bentak pemimipin Serigala Putih itu, "Jangan mencoba
bergurau untuk melunakkan hatiku. Sekarang aku akan menuntut
tanggung jawabmu atas kematian orang-orangku di padepokanmu."
1743 "Baiklah." Empu Sanggadaru menarik nafas, "Tetapi apakah kau
sudah mengetahui sebab-sebabnya?"
"Orang-orangku sudah mengatakan kepadaku."
"Apakah mereka berkata dengan jujur?"
"Orang-orangku adalah orang-orang yang jujur. Mereka
mengatakan kepadaku, bahwa orang-orangmu marah karena orangorangku
yang kebetulan bermalam di padepokanmu menginginkan
seorang gadis. Hanya seorang gadis yang tidak berarti. Tetapi kau
membunuh orang-orangku. Orang laki-laki."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
berkata, "Ya. Orang-orangmu ternyata jujur. Orang-orangmu ingin
merampas seorang gadis Dan itu menumhuhkan kemarahan pada
kami." "Itu adalah alasan yang gila. Seharusnya kalian membiarkan
gadis itu. apalagi berakibat jatuhnya korban. Dan korban itu adalah
laki-laki." "Aku tidak mengerti." desis Empu Sanggadaru.
"Itulah kebodohanmu. Bagi kami. perempuan tidak ada
harganya. Setiap perempuan yang masih belum dimiliki oleh
siapapun juga, ia tidak berhak menolak keinginan seorang laki-laki
atasnya. Perempuan bagi kami adalah beban. Jika mereka bukannya
lantaran untuk melahirkan keturunan, maka mereka tentu akan
kami musnakan." Terasa sesuatu bergejolak di dalam dada Empu Sanggadaru.
Sekilas ia memandang wajah Empu Baladatu yang berkerut.
Ternyata Empu Baladatu pun menjadi heran. Bahkan hampir
diluar sadarnya ia bertanya "Jadi, kalian benar-benar tidak
menghargai perempuan?"
"Ilmu kami adalah ilmu yang paling baik di seluruh muka bumi.
Bagi kami, perempuan adalah mahluk yang sama sekali tidak
berharga. Tetapi meskipun demikian, kami memerlukannya, karena
1744 kami menginginkan anak. Terutama anak. laki-laki, meskipun kami
memelihara anak-anak perempuan pula."
"Jadi, harga seorang perempuan tidak lebih dan tidak kurang dari
yang kau katakan?" "Masih ada nilai yang lain. Kadang-kadang kami memerlukan
perempuan seperti yang terjadi pada orang-orangku yang kalian
bunuh itu." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Itulah
sebabnya, maka kalian disebut berilmu hitam. Tentu kalian pernah
pula pada suatu kali mengorbankan seorang gadis untuk ilmumu
yang sesat itu." "Darimana kau mengetahuinya?" berkata pemimpin serigala
putih itu. "Aku pernah mendengar ilmu seperti yang kau anut sekarang
Tetapi masih ada jenis ilmu hitam yang lain. Ilmu yang
mempergunakan titik darah seseorang bagi kekuatan tenaga yang
terlontar dari ilmu itu. Dan sudah tentu, bahwa keduanya adalah
ilmu yang biadab." Dada Empu Baladatu tergetar mendengar kata-kata kakaknya itu.
la sadar, bahwa kakaknya banyak mengetahui tentang ilmu yang
disebut ilmu hitam yang ternyata ada beberapa macam jenis dan
cara penyadapannya. Namun demikian, Empu Baladatu masih berusaha menyimpan
gejolak perasaanya di dalam hatinya. Bahkan ia masih bertanya Ki
Sanak. Seandainya kalian tidak menghargai perempuan, itu adalah
tata cara di dalam lingkunganmu. Tetapi kau tidak dapat
menerapkan adat itu pada orang lain yang memiliki tata cara dan
adat yang berbeda." "Itu adalah perbuatan pengecut. Kau sangka bahwa aku merasa
wajib menghargai tata cara dan adat orang lain Ternyata kalian
telah terperosok ke dalam kebodohan. Kalian menganggap bahwa
kematian itu merupakan peringatan yang membuat kami jera. Tidak.
1745 Kami justru datang untuk menguasai kalian, padepokan kalian dan
semua perempuan di dalamnya. Dan kalian tahu, apa gunanya kami
masih juga memelihara perempuan-perempuan, seperti kami
memelihara ternak, agar jenis manusia seperti juga jenis bermacammacam
binatang tidak punah karenanya."
"Itu pikiran gila." geram Empu Baladatu, "Mungkin aku juga
termasuk orang liar seperti kalian, tetapi aku masih menghargai
jenis manusia, apakah ia perempuan apakah laki-laki seperti kami
masih merasa memerlukan kawan dari orang-orang yang harus
memelihara anak keturunan kami."
"Jangan mengigau. Aku tidak peduli anggapan orang-orangku.
Karena yang bertanggung jawab adalah Sanggadaru, maka aku
akan membunuhnya sekarang."
Empu Sanggadaru menarik nafas. Dalam sekali. Sekilas
dipandanginya Empu Baladatu dan kedua pengawalnya. Katanya
kemudian, "Baladatu. Kau adalah tamu di s ini. Kau seharusnya tidak
terlibat dalam kesulitan semacam ini. Karena itu, jika kau merasa
bahwa kau tidak ikut bertanggung jawab, tinggalkan tempat ini,
Mudah-mudahan orang-orang berilmu hitam itu cukup jantan
dengan membiarkan orang-orang yang tidak bersalah menyingkir."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Empu Baladatu bukanya seorang penakut meskipun ia
cukup licik. Orang-orangnya pun pernah melakukan seperti yang
dilakukan oleh orang-orang yang disebut kakaknya berilmu hitam
itu. Bahkan ia sendiri pernah melakukan kebiadaban yang barangkali
senada. Namun kini, ia merasa dirinya terikat pada jalur darah
keturunan. Empu Sanggadaru adalah kakaknya, sehingga ia tentu
tidak akan dapat membiarkannya terjerumus dalam kesulitan justru
di depan hidungnya. Karena itu, maka menjawab, "Kakang, aku sudah berada di sini.
Aku kira, yang paling baik aku lakukan adalah bersamamu melawan
orang-orang itu. Aku tidak menghiraukan apakah mereka benar atau
salah. Tetapi yang penting, ia sudah memusuhi orang yang di sini
bersamaku dalam perburuan ini. TerIebih lagi ia adalah kakakku."
1746 "Persetan " geram pemimpin dari kelompok yang menyebut diri
mereka Serigala Putih, "Aku akan membunuh kalian. Seandainya
kau akan laripun tidak akan aku berijalan. Kalian, siapapun juga,
harus mati di sini. Dan aku akan kembali ke padadepokanmu
sambil.membawa kepalamu. Dengan demikian seisi padepokan itu
akan menyerah dan menjadi orang-orangku. Mereka tentu tidak
akan dapat mencegah lagi, apapun yang akan kami lakukan
terhadap perempuan-perempuan di padepokan itu."
Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Katanya, "Baiklah Ki
Sinak. Sebenarnyalah bahwa kami pun bukan orang alim yang
lembut. Kami juga orang liar dan mungkin juga biadab. Karena itu,
seperti yang dikatakan adikku, marilah, seperti seekor harimau yang
bertemu dengan kawanan serigala. Tentu saja di antara kami tidak
akan dapat dengan lemah lembut mempersilahkan pihak lain
menggigit leher, atau menyobek perut."
Orang-orang dari kelompok Serigala Putih itu menjadi tegang.
Dengan satu isyarat mereka pun kemudian menebar, lima belas
orang dengan senjata telanjang di tangan.
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya ketika terpandang
olehnya seekor harimau hidup yang terikat. Harimau itu adalah milik
Maharaja Singasari. Jika ia terbunuh, tidak mustahil harimau itupun
akan dirampas pula oleh orang-orang yang mengaku diri bernama
Serigala Putih. Sejenak kemudian, maka kelima belas orang berilmu hitam itu
tiba-tiba telah melingkari keenam orang yg sedang menunggui dua
ekor harimau hasil buruan itu.
Empu Baladatu menjadi bedebar-debar melihat sikap itu.
Sepercik pertanyaan telah melonjak di dalam hatinya. "Apakah
orang yang menyebut Serigala Putih itu juga mempergunakan ilmu
yang serupa ?" Sejenak Empu Baladatu masih menunggu. Namun tangannya
telah menggenggam sebatang tombak pendek. Dengan sengaja ia
tidak mempergunakan pisau belatinya, agar ia tidak terjerat ke
1747 dalam tindakan yang dapat memperkenalkan dirinya sebagai orang
berilmu hitam pula. Kedua pengawal Empu Baladatu telah menggenggam pedangnya.
Dengan isyarat kedua pengawalnya menyadari, bahwa mereka tidak
langsung masuk ke dalam ilmu mereka yang paling mantap.
Sementara itu Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya telah
bersiap pula. Mereka berdiri berdekatan. Agaknya cara itu adalah
cara yang paling baik untuk melawan jumlah yang jauh lebih
banyak. "Jika kalian menyerah." berkata pemimpin Serigala Putih itu,
"Mungkin aku masih mempunyai beberapa pertimbangan. Yang
harus mati adalah Sanggadaru. Yang lain mungkin masih akan dapat
melihat matahari terbit esok pagi."
Tidak ada yang menjawab. Empu Baladatu berdiri tegak bagaikan
patung dengan tombak bertangkai pendek di tangannya. Namun
setiap kali diluar sadarnya, ia masih juga meraba pisau belati
panjangnya. Sejenak ketegangan telah mencengkam tempat itu. Orang-orang
berilmu hitam dari kelompok Serigala Putih itu telah siap dengan
senjata masing-masing. Ternyata senjata mereka bukanlah pisaupisau
belati pendek atau panjang atau pisau belati rangkap, tetapi
sebagian besar dari mereka adalah bersenjata pedang.
Pemimpinnya memegang senjata yang agak lain, sebuah bindi yang
bergerigi. Sedangkan seorang yang lain, memegang sebilah keris
yang besar dan panjang, seperti sebilah pedang.
Pemimpin Serigala Putih itu kemudian melekatkan jari-jarinya di
mulutnya. Ketika terdengar mulut itu bersuit nyaring, maka mulailah
kelima belas orang itu bergerak. Mereka melangkah maju dengan
senjata yg teracu. Keenam orang yang berada di dalam lingkaran itu telah bersiap
menghadapi kemungkinan. Senjata mereka bagaikan bergetar di
tangan yang bergetar pula.
1748 Sejenak kemudian, maka terdengar sebuah teriakan nyaring,
bukan lagi sebuah suitan. Agaknya perintah itulah yang
menentukan, kapan orang-orang Serigala Putih itu mulai
berloncatan menyerang dengan dahsyatnya.
Ternyata bukan senjata mereka sajalah yang bergerak
menyambar, tetapi mulut mereka pun berteriak-teriak tidak keruan.
Keras dan kasar. Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya melihat sikap yang
kasar dan keras itu. Tetapi ia tidak boleh membuat pertibanganpertibangan
terlalu banyak karena lawan-lawannya telah
berloncatan menyerang dengdn garangnya.
Dengan hati-hati Empu Sanggadaru menempatkan dirinya dekat
dengan kedua cantriknya. Mereka berdiri saling membelakangi.
Beberapa langkah dari mereka Empu Baladatu telah mempersiapkan
diri pula bersama kedua pengawalnya. Tetapi mereka pun bersikap
lain dari Empu Sanggadaru. Mereka lebih senang bertempur di
tempat yang luas, karena sudah menjadi kebiasaan mereka untuk
mempergunakan tata gerak yang panjang meskipun untuk melayani
lawannya kali ini, mereka tidak langsung berada di dalam sebuah
lingkaran yang berputaran.
Ternyata orang-orang yang berilmu hitam yang tergabung di
dalam kelompok yang disebut Serigala Putih itu tidak
mempergunakan cara yang selama itu dipakai oleh Empu Baladatu,
Mereka tidak bergerak dalam lingkaran yang berputaran.Tetapi
mereka menyerang lawannya bersama-sama. Mereka telah
membagi diri untuk menghadapi lawannya yang terpecah pula.
Pemimpin Serigala Putih itu bersama beberapa orang
pengiringnya bersama-sama menyerang Empu Sanggadaru yang
bertempur berpasangan dengan kedua cantriknya. Sementara itu
beberapa orang yang lain telah menyerang Empu Baladatu dan
kedua pengawalnya yang bertempur terpisah.
Dalam benturan pertama, sudah terasa, betapa Empu
Sanggadaru mempunyai kekuatan yang tidak terduga oleh
1749 lawannya. Pemimpin Serigala Putih itu terkejut ketika senjatanya
membentur senjata Empu Sanggadaru. Hampir saja senjatanya
terlepas. Untunglah bahwa ia sempat meloncat surut dan
memperbaiki keadaan, sementara beberapa orang-orangnya telah
melindunginya. Dengan demikian maka Empu Sanggadaru dapat menjajagi,
bahwa meskipun lawannya berlipat jumlahnya, namun ia masih
mempunyai kesempatan untuk keluar dari lingkaran maut itu.
Dalam pada itu sekilas ia melihat adikmu yang sedang
menghadapi tiga orang sekaligus. Dengan garangnya Empu
Baladatu menangkis setiap serangan, dan bahkan kemudian ia pun
menyerang dengan garangnya pula.
Empu Sanggadaru menjadi agak tenang. Nampaknya adiknya
tidak segera mengalami kesulitan.
"Mudah-mudahan kami mampu mempertahankan diri." gumam
Empu Sanggadaru di dalam hatinya.
Ternyata bahwa Empu Sanggadaru yang telah berhasil
membunuh seekor harimau dengan tangannya itu benar-benar
memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun masih nampak
goresan-goresan luka di tubuhnya, yang sudah tidak mengalirkan
darah lagi, namun itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Ia masih
tetap lincah dan garang. Namun dalam pada itu, kedua pengawal Empu Baladatu yang
masing-masing harus bertempur melawan dua orang, ternyata pada
permulaan perkelahian itu sudah nampak, bahwa mereka akan
segera menemui kesulitan, justru karena mereka bertempur dengan
cara yang tidak biasa mereka lakukan.
"Bertahanlah dengan caramu itu." teriak Empu Baladatu.
Kedua pengawalnya tidak menyahut. Tetapi mereka terdesak
mundur. Empu Baladatu yang kemudian mempergunakan setiap
kesempatan untuk menolong kedua pengawalnya. Ia bertempur
1750 seperti seekor burung. Meskipun ia tidak berlari-lari melingkari
lawannya, namun ia mempergunakan ruang yang luas untuk
mengatasi kesulitannya. Sikapnya memberikan contoh kepada kedua pengawalnya.
Seperti Empu Baladatu, maka mereka pun mempergunakan cara
yang serupa. Meskipun mereka tidak dapat melingkari lawannya,
namun gerakan yang panjang itu rasa-rasanya telah memberikan
nafas kepada mereka. Loncatan-loncatan yang jauh, dan sekali-sekali tidak dapat
menyembunyikan unsur gerakan melingkar, telah membuat
lawannya harus menyesuaikan diri.
Itulah kemenangan mereka. Mereka sudah terbiasa berkelahi
dengan gerakan dan tenaga yang banyak. Berlari-lari berputaran
untuk waktu yang lama. Dan kini mereka pun tidak segera diganggu
oleh pernafasan mereka yang terlatih ketika mereka bertempur
sambil berloncatan, dan bahkan berlari-lari.
"Licik." tiba-tiba salah seorang dari kelompok Serigala Putih itu
berteriak karena lawannya selalu menghindar menjauhkan
kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan loncatan yang
panjang. "Siapkah yang lebih licik." jawab salah seorang pengawal Empu
Baladatu, "Kalian bertempur berpasangan. Jika aku hanya
menghadapi seorang lawan, aku akan mempergunakan cara yang
lain." Lawannya menggeram. Mereka mencoba untuk mengurung
gerak pengawal Empu Baladatu. Tetapi mereka tidak berhasil karena
pengawal-pengawa itu mampu bergerak jauh lebih lincah dan cepat.
Selebihnya pernafasan mereka pun lebih terlatih untuk melakukan
gerakan yang jauh lebih banyak lagi.
Sementara itu, lawan Empu Sanggadaru dan kedua cantriknya
telah membelah kelompoknya dan mengepung mereka bertiga.
Delapan orang yang dipimpin langsung oleh pimpinan gerombolan
orang berilmu hitam yang bernama Serigala Putih itu.
1751 Namun nampaknya Empu Sanggadaru memang memiliki
kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan
melampaui pemimpin gerombolan Serigala Putih itu, sehingga
karena itu, maka setiap serangannya tentu telah menyibakkan
lawan-lawannya. Tetapi lawan terlalu banyak. Sebanyak yang menyibak, maka
sebanyak itu pulalah yang datang menyerang, sehingga Empu
Sanggadaru dan kedua cantriknya harus bertempur mati-matian.
Namun betapun mereka mengerahkan tenaganya, tetapi mereka
tidak banyak dapat bernafas. Mereka bahkan kemudian hampirhampir
tidak sempat menyerang sama sekali. Yang dapat mereka
lakukan adalah sekedar mempertahankan diri.
Meskipun demikian, Empu Sanggadaru masih berusaha. untuk
melihat kelemahan kepungan lawannya. Jika dengan serta merta
Empu Sanggadaru menyerang dinding kepungan yang hanya selapis
itu. ia masih melihat kemungkinan untuk keluar. Tetapi ia tidak mau
meninggalkan kedua cantriknya didalam kesulitan.
Karena itulah, sebelum menemukan suatu cara yang paling baik
untuk mematahkan kepungan itu, maka Empu Sanggadaru masih
membatasi diri, sekedar bersama-sama dengan kedua cantriknya
untuk bertahan. Dalam pada itu, Empu Baladatu ternyata dapat lebih leluasa
melakukan perlawan meskipun lebih banyak berloncatan dan
berputar-putar. Bahkan dengan sengaja ia membuat lawanlawannya
menjadi semakin marah karena Empu Baladatu dan kedua
pengawalnya telah membuat pepohonan menjadi perisai dan
perlindungan. Mereka berlari-lari berputaran mengelilingi pohonpohon
besar yang tumbuh di sekitarnya.
"Licik, gila." teriak salah seorang lawannya, "Kenapa kau tidak
bersikap jantan" Kemarilah. Kita bertempur di tempat yang lapang
dan terbuka." "Jika kalian berjanji untuk berkelahi seorang melawan seorang,
aku tidak berkeberatan. Aku akan melawan tiga orang berurutan,
1752 tidak sekaligus. Dan aku akan membunuh tiga orang itu pula
berurutan." jawab Empu Baladatu.
"Persetan." geram lawannya.
Dengan demikian, maka Empu Baladatu masih saja bertempur di
antara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu. Sekali-sekali ia
berlari-larian di antara pepohonan, namun tiba-tiba ia meloncat
menyerang dengan tiba-tiba. Bahkan tanpa dapat menghindarkan
diri dari pengaruh ilmunya yang sebenarnya, kadang-kadang
Baladatu pun berlari berputaran.
Demikian pula kedua pengawalnya. Mereka pun bertempur
dengan cara yang sama. Tetapi karena mereka tidak memiliki ilmu
semantap Empu Baladatu, maka mereka lebih banyak berlari-lari
menghindar daripada menyerang. Namun demikian kadang-kadang
mereka pun dapat menyerang dengan tiba-tiba dan membahayakan
lawannya. Empu Sanggadaru melihat cara bertempur adiknya dengan
heran. Ia sama sekali tidak segera dapat melihat, ilmu yang
manakah yang nampak pada adiknya itu. Ia mendapat ilmu dasar
yang sama dengan Baladatu. Namun dalam perkembangannya
menjadi sangat jauh berbeda.
Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat menilai adiknya lebih
lama lagi. Ia mengambil kesimpulan, bahwa yang dilakukan oleh
Baladatu adalah semata-mata untuk mengatasi kesulitan sesaat
yang datang tidak terduga-duga itu. Memang tidak terlalu mudah
untuk melawan tiga orang sekaligus. Seperti yang dialaminya,
bahwa ia harus melawan delapan orang bersama-sama dengan dua
orang cantriknya itu. Namun bagaimanapun juga, karena orang-orang Serigala Putih
itupun memang sudah membekali dirinya dengan ilmu pula,
ternyata bahwa lawan-lawan mereka akan sulit dapat bertahan
terlalu lama. Empu Baladatu yang berlari-larian pun akhirnya harus
mengakui kelebihan tiga orang lawannya bersama-sama. Mereka
kemudian menemukan cara untuk memotong setiap gerakan Empu
1753
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baladatu. Sementara itu kedua pengawalnya pun mengalami
kesulitan pula. Seperti Empu Baladatu, Empu Sangadaru pun mengalami
tekanan yang sangat berat. Semakin lama terasa semakin berat.
Apalagi pimpinan Serigala Putih itu ada di antara mereka yang
beramai-ramai mengepung Empu Sanggadaru.
Sorak dan teriakan masih saja mengumandang di hutan itu.
orang-orang berilmu hitam itu agaknya dengan sengaja
mempengaruhi jiwanya dengan suara-suara yang mengejutkan dan
keras. Sangat keras. Namun agaknya teriakan-teriakan itu juga
memberikan tekanan dan dorongan pada setiap gerak yang mereka
lakukan. Jika untuk beberapa lama, keenam orang itu masih dapat
bertahan, itu adalah karena ternyata mereka memiliki ilmu yang
lebih baik dari lawan-lawannya. Tetapi perbedaan jumlah ternyata
telah sangat menentukan pula.
Ketika desakan lawannya menjadi semakin berat, maka rasarasanya
ujung senjata mereka telah mulai menyentuh kulit. Dengan
mengerahkan ilmu dan tenaga, keenam orang itu masih dapat
menghindar dan menangkis setiap serangan. Tetapi mereka pun
mulai dirayapi oleh pengakuan, bahwa mereka menjadi sangat lelah
karenanya, sehingga dengan demikian, maka perlawanan mereka
pun mulai surut. Pemimpin Serigala Putih itu melihat, bahwa Empu Sanggadaru
dan kedua cantriknya tidak lagi segarang sesaat ketika mereka
mulai dengan pertempuran itu. Meskipun kekuatan Empu
Sanggadaru masih menggoncangkan hati lawan-lawannya, namun,
terutama pada kedua orang cantriknya, rasa-rasanya perlawan
sudah menjadi kendor. "Kami hanya menunggu saat itu datang." berkata pemimpin
Serigala Putih itu. "Kematian memang sudah membayang. Tetapi
agaknya kalian ingin disebut jantan. Mati dengan senjata di
tanganku." 1754 Empu Sanggadaru tidak menyahut. Ia memusatkan perhatiannya
pada usaha untuk memecahkan kepungan.
"Apakah aku sendiri harus keluar dari kepungan itu dan
membantu kedua cantrik itu dari luar lingkaran?" pertanyaan itu
mulai menggelitik hatinya.
Tetapi Empu Sanggadaru tidak sampai hati meninggalkan kedua
cantriknya yang setia itu. Jika ia terlambat, maka keduanya tidak
akan tertolong lagi karena tekanan lawan seolah-olah sudah tidak
terbendung lagi. Demikian pula keadaan Empu Baladatu. Bagi Empu Baladatu
sendiri, meskipun ia harus melawan tiga orang tetapi ia masih
melihat kemungkinan baginya menyelamatkan diri di sela-sela
pepohonan, meskipun seandainya ia harus melarikan diri. Tetapi
kedua orang pengawalnya, benar-benar telah mengalami tekanan
yang hampir tidak teratasi.
Yang kemudian terjadi adalah benar-benar mencemaskan.
Seandainya pada saat yang dekat, Empu Baladatu dan Empu
Sanggadam masih dapat bertahan, tetapi jika para pengawalnya
dan cantriknya terbunuh, maka akan datang saatnya, keduanya pun
akan terbunuh pula. Tetapi Empu Sangggadaru tidak akan ingkar. Seandainya ia harus
mati karena dendam yang menyala di hati lawan-lawannya itu, ia
sudah ikhlas. Tetapi yang mendebarkan jantungnya justru akibat
dari kematiannya. Orang-orangnya di padepokan tentu akan
mengalami perlakukan yang sama sekali tidak diinginkan.
"Jika aku sempat mengumpulkan kekuatan di padepokan. maka
tentu tidak akan dapat terjadi perlakuan serupa." desis Empu
Sanggadaru di dalam hatinya. Tetapi yang terjadi sudah terlanjur
terjadi. Ia tidak berada di antara anak buahnya.
"Adalah suatu kelengahan bahwa dalam keadaan yang gawat
aku meniggalkan padepokanku." ia melanjutkan di dalam hati,
"Tetapi semata-mata karena keinginanku untuk mengantarkan
adikku melihat isi hutan ini. Dan aku sama sekali tidak
1755 memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi saat ini, justru ketika
aku sedang terpisah dari cantrik-cantrikku."
Tetapi semuanya itu sekedar penyesalan yang tidak akan berarti
apa-apa. Ia harus bertempur dan tanpa dapat lagi menghindari
kemungkinan buruk yang bakal terjadi.
Namun dalam kesulitan itu, tiba-tiba semua pihak yang sedang
bertempur terkejut ketika beberapa orang muncul dari balik
gerumbulan-gerumbulan perdu di sekitar lapangan kecil yang
menjadi arena perkelahian itu. Apalagi ketika mereka melihat,
bahwa yang datang itu adalah beberapa orang prajurit dalam
pakaian keprajuritan. "Apakah yang telah terjadi." berkatanya seorang paling di antara
mereka. Empu Sanggadaru segera mengenal orang itu, meskipun ia
berpakaian keprajuritan. Karena itu, iapun menjawab, "Kami sedang
menghadapi dendam yang membakar hati kelompok Serigala Putih.
Sekelompok orang yang berilmu hitam."
"He?" Lembu Ampal terkejut. Baru saja ia disangka oleh tiga
orang yang tidak dikenalnya, sebagai orang-orang berilmu hitam.
Dan kini ia benar-benar berhadapan dengan sekelompok orang yang
disebut berilmu hitam. Sejenak Lembu Ampal sempat mengamati pertempuran yang
agaknya telah terganggu itu. Dengan kening yang berkerut ia
berkata, "Aku sudah beberapa saat mengintip pertempuran ini dari
balik gerumbul. Ketika aku mendekati tempat ini untuk mengambil
harimau itu bersama beberapa orang prajurit, aku mendengar suara
ribut. Orang-orang yang berteriak dan memaki-maki. Karena itulah,
maka kami memutuskan untuk mendekati tempat ini dengan diamdiam.
Dan sekarang, ternyata bahwa di tempat ini telah terjadi
pertempuran." "Persetan." geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu,
"Jangan ganggu kami. Jika kalian ingin mengambil harimau itu,
1756 ambillah. Kami tidak mempunyai persoalan apapun juga dengan
kalian." "Mungkin. Tetapi kami mengenal Empu Sanggadaru. Karena itu,
mau tidak mau, kami pun akan tersentuh juga oleh persoalan yang
sedang terjadi sekarang ini."
"Jika kau mengenalnya, itu bukan berarti bahwa kau telah
terlibat dalam persoalannya. Sanggadaru telah membunuh beberapa
orang dari padepokanku. Dan aku kini datang untuk menuntut
balas." "Tetapi pembunuhan itu tidak terjadi dengan semena-mena."
sahut Empu Sanggadaru, "Orang-orangmu telah melanggar adab
yang berlaku dalam pergaulan manusia."
"Aku tidak mengakui peradaban orang lain, kecuali yang berlaku
di dalam lingkungan kami. Karena itu, kami tidak dapat
dipersalahkan. Apalagi dibunuh."
Lembu Ampal yang mendengar keterangan itu, dapat mulai
melihat meskipun samar, persoalan apakah yang sedang terjadi.
Karena itu, maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata,
"Adalah kuwajiban kami untuk mencegah pertengkaran yang terjadi
seperti sekarang ini. Karena itu, marilah kita selesaikan persoalan ini
sebaik-baiknya." "Ia telah membunuh orang-orangku. Dan itu sudah terjadi.
Penyelesaian yang paling baik bagiku adalah tebusan kematian
dengan kematian." "Tetapi kematian itu tentu ada sebabnya. Jika sebabnya itu
cukup besar, sehingga kematian itu tidak dapat dihindarkan, maka
penilainya harus berbeda." jawab Lembu Ampal.
"Demikian juga kali ini. Jika terjadi pembantaian karena
alasannya cukup kuat maka itupun tidak dapat dicegah dan harus
mendapat penilan yang lain pula." teriak pemimpin Serigala Putih
itu. 1757 "Kami mempertahankan kehormatan seorang gadis." tiba-tiba
saja Empu Sanggadaru memotong, "Itulah sebabnya kami terpaksa
membunuh beberapa saat yang lampau."
"Kehormatan seorang perempuan tidak berarti apa-apa bagi
kami." teriak pemimpin Serigala Putih itu.
Lembu Ampal memandang wajah pemimpin kelompok yang
menyebut dirinya Serigala Putih itu dengan tajamnya. Kemudian
dengan suara yang datar ia bertanya, "Apakah memang demikian
penilaianmu terhadap seorang perempuan?"
"Ya." "Tetapi apakah kau menyadari bahwa kau juga dilahirkan oleh
seorang perempuan" Bahkan ibumu yang mengasuhmu sejak bayi
itupun seorang perempuan?"
Pemimpin Serigala Putih itu termangu-mangu sejenak. Tetapi
karena ia sudah berdiri dialas suatu sikap yang keras, maka iapun
berteriak, "Apa peduliku dengan ibuku" Ia memang seorang
perempuan. Tetapi ia hanyalah sekedar alat untuk melahirkan aku
dan memeliharaku karena kewajiban."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika itu
pendirianmu, maka sebaiknya aku memperingatkanmu, jangan
mempertahankan sikap dan pendirian yang salah itu dengan
menambah kematian. Apakah itu anak buahmu sendiri, atau anak
buah orang lain." "Persetan. Apa pedulimu?"
"Lihat Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Aku tidak sendiri."
"Berapa banyak prajuritmu. Kami dengan lima belas orang akan
membinasakan seisi hutan ini, termasuk prajurit-prajurit yang
tersesat ke dalamnya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu
memang sudah mengeraskan hatinya, sehingga tidak dapat diajak
berbincang lagi. 1758 "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Kami datang dengan lima
orang prajurit. Bahkan jika kami memberikan isyarat, maka kawankawan
kami yang aku perintahkan menunggu di ujung hutan ini
akan segera berdatangan."
Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Serigala Putih itu
justru tertawa. Katanya, "Kau mencoba menakut-nakuti aku. Aku
bukan anak-anak lagi. Apapun yang akan kau lakukan, bahkan
memanggil semua prajurit di seluruh Singasari, kami sama sekali
tidak akan gentar." Lembu Ampal masih akan berbicara lagi. Tetapi perwira yang
masih sangat muda, yang memimpin prajurit-prajurit Singasari itu
sudah mendahului, "Kami adalah prajurit Singasari yang terucapkan
adalah perintah. Kau kami anggap telah melanggar ketenteraman
hidup rakyat Singasari. Karena itu, perbuatan kalian harus dicegah.
Jika perlu dengan kekerasan."
"Persetan?" Perwira itu maju selangkah. Dengan wajah yang tegang ia
berkata kepada Lembu Ampal, "Bagi kami sudah pasti. Orang inilah
sebab dari pertengkaran yang telah terjadi, la sama sekali tidak
bersedia mendengarkan pertimbangan kami."
Lembu Ampal meng-angguk-angguk kecil. Katanya, "Masih ada
kesempatan Ki Sanak. Aku sudah melihat, bahwa kau tidak segera
dapat mengalahkan lawanmu yang jumlahnya jauh lebih .kecil dari
jumlah anak buahmnu. Kami akan membuat pertimbangan lebih
jauh jika kau mau mengurungkan niatmu untuk membunuh, karena
nampaknya tidak ada niatmu yang lain kecuali melepaskan dendam
dan menaburkan kematian di s ini."
"Tepat. Dan tidak ada orang yang dapat melarang. Jika kau ikut
campur maka kematian akan bertambah. Dan kalian pun terpaksa
menyesali nasib kalian yang malang."
"Tidak ada gunanya lagi kita berbicara." perwira muda yang
datang bersama Lembu Ampal itu tidak sabar lagi, "Jika kalian
memang keras kepala, maka kami pun akan mencegah perbuatan
1759 kalian yang biadab itu dengan kekerasan. Mungkin benar sebutan
bagi kalian, bahwa kalian adalah orang-orang yang berilmu hitam
seperti yang dikatakan oleh pemburu itu."
"Apapun yang kalian katakan, aku tidak peduli. Kami akan
membunuh kalian dan melemparkan kalian ke mulut harimau yang
terikat tetapi masih hidup itu. Bahkan mungkin akan datang pula
serigala lapar jika mencium bangkai kalian yang membusuk di sini."
Perwira muda itu menjadi marah. Selangkah ia maju dan berkata
kepada Empu Sanggadaru, "Aku dan para prajurit yang ada
bersamaku ada di pihakmu."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bersama dengan
Lembu Ampal, prajurit itu berjumlah enam orang. Dengan demikian
maka jumlah mereka akan menjadi seimbang, meskipun masih
berselisih beberapa orang.
"Besiaplah." teriak pemimpin Serigala Putih ini, "Aku akan
membunuh kalian. Jika kalian masih mempunyai kawan yang
bersembunyi, berikan isyarat agar mereka segera membantu kalian.
Karena dengan demikian tugasku akan segera selesai. Membunuh
kalian semuanya. Kemudian menguasai padepokan pemburu gila itu
bersama semua isinya termasuk perempuan-perempuan."
Wajah Empu Sanggadaru rasa-rasanya menjadi panas seperti
tersentuh bara. Dengan nada yang dalam tertahan-tahan ia
menggeram, "Kalian memang biadab."
Pemimpin Serigala Putih itu tidak menjawab. Dengan isyarat ia
memerintahkan anak buahnya memencar dan siap menghadapi
lawan yang lebih banyak. Prajurit-prajurit Singasari pun segera mempersiapkan diri, tetapi
mereka tidak segera melepaskan isyarat untuk memanggil kawankawannya
yang ditinggalkan saat mereka mendahului melihat apa
yang terjadi, karena mereka mendengar teriakan, yang liar dan
kasar. 1760 Lembu Ampal masih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
mendapat kesempatan karena pemimpin Serigala Putih itu sudah
meloncat menyerang Empu Sanggadaru, sementara anak buahnya
pun segera berloncatan pula menyerang setiap orang yang ada di
dekat mereka termasuk Empu Baladatu dan Lembu Ampal.
Tetapi Lembu Ampal dan para prajurit, serta orang-orang lain
yang mendapat serangan yang tiba-tiba itu masih sempat mengelak.
Bahkan Lembu Ampal masih sempat berkata, "Ki Sanak, apakah
kalian tidak dapat membuat pertimbangan" Sebelum kami turun di
gelanggang, kalian sudah mendapat kesulitan untuk mengalahkan
lawan-lawan kalian yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah
kalian. Apalagi sekarang."
"Persetan." geram pemimpin kelompok Serigala Putih itu,
"Waktunya sebenarnya sudah, tiba untuk membinasakan pemburu
gila yang menyebut dirinya bernama Empu Sanggadaru itu. Tetapi
kalian telah mengganggu sehingga saat itu tertunda beberapa saat.
Namun kalian tidak akan mampu mencegahnya. Bahkan kalian pun
akan ikut serta binasa bersama mereka."
"Seandainya kami tidak cukup kuat, maka kami dapat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memanggil kawan-kawan kami yang berada tidak jauh dari tempat
ini." "Sudah aku katakan, aku tidak takut. Jangan mencoba menakutnakuti
kami dengan ceritera bohongmu itu."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia meloncat surut
ketika seorang lawannya menyerang dengan ujung pedangnya yang
runcing. Namun dalam pada itu, Perwira prajurit yang masih muda itu
sama sekali tidak dapat menahan hati lagi. Kesabarannya tidak
selapang Lembu Ampal yang umurnya sudah hampir dua kali lipat
dari umur perwira muda itu.
Karena itulah, maka sambil berteriak ia menyerang, "Baiklah. Aku
akan memperlihatkan kepada kalian, bahwa aku tidak sedang
membual." 1761 Serangannya pun tiba-tiba menjadi semakin garang. Senjatanya
berputaran menyambar-nyambar. Agaknya ia benar-benar akan
membuktikan ucapannya, bahwa ia tidak sedang bergurau.
Lembu Ampal sendiri tidak banyak mengalami kesulitan melayani
dua orang lawannya sekaligus. Tetapi keduanya bukannya orang
terkuat di dalam lingkungan Serigala Pulih, sementara pemimpinnya
yang mendendam sepanas api kepada Empu Sanggadaru dibantu
oleh seorang pengawalnya, masih saja berusaha membunuh Empu
Sanggadaru itu. Kelebihan yang seorang lagi dari gerombolan Serigala Putih itu
telah menggabungkan diri dengan seorang kawannya yang
bertempur melawan Empu Baladatu. Agaknya mereka menyadari
bahwa Empu Baladatu pun merupakan seorang yang pilih tanding.
Dengan demikian,maka orang-orang berilmu hitam dari
gerombolan yang menyebut dirinya Serigala Putih ilu ternyata telah
menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam kesulitan. Ternyata
bahwa dendam yang menyala membakar jantung mereka, telah
memburamkan mata mereka yang tidak lagi dapat melihat
kenyataan. Dengan demikian, maka keadaan pun segera berbalik. Orangorang
dari gerombolan Serigala Putih pun segera mengalami
tekanan yang berat. Dalam pertempuran seorang lawan seorang,
maka mereka sama sekali tidak akan mampu mengalahkan para
prajurit Singasari. Apalagi perwira muda yang marah itu. Sedangkan
pengawal Empu Baladatu pun adalah pengawal yang terpilih.
Demikian juga agaknya para cantrik yang mengikuti Empu
Sanggadaru. Yang mengalami kesulitan di antara mereka adalah Empu
Sanggadaru sendiri, meskipun ia masih merasa mampu untuk
mempertahankan dirinya. Ia harus melawan pemimpin gerombolan
yang menyebut dirinya Serigala Putih itu dibantu oleh seorang anak
buahnya yang tidak kalah buasnya dengan pemimpin kelompok itu
sendiri. 1762 Karena itulah maka Empu Sanggadaru masih harus mengerahkan
kemampuannya. Ia harus mempertahankan dirinya sejauh-jauh
dapat dilakukan, sebelum kemudian dengan tiba-tiba ia mencari
kesempatan untuk mengurangi jumlah lawannya.
Namun lawannya pun agaknya mempunyai pertimbangan yang
cukup berbahaya baginya. Pemimpin Serigala Putih itu berusaha
untuk dapat membunuh Empu Sanggadaru segera, sehingga ia
kemudian dapat membantu kawan-kawannya, mengurangi jumlah
lawannya seorang demi seorang.
Karena itulah maka pemimpin gerombolan Serigala Putih itu
dengan bernafsu sekali berusaha menghancurkan Empu Sanggadaru
secepat-cepatnya. Tekanan itu memang terasa semakin berat. Pemimpin
gerombolan itu agaknya benar-benar telah mengerahkan puncak
kemampuannya. Ketika ia dikepung oleh beberapa orang Serigala Pulih barsama
kedua cantrik, agaknya pemimpin gerombolan itu masih belum
mengungkapkan ilmu puncaknya, seperti yang dialaminya saat itu.
Namun kelika sekilas ia memandang pertempuran di sekitarnya,
ia merasa berlega hati, karena nampaknya tidak seorangpun dari
mereka yang berada di pihaknya mengalami kesulitan. Adiknya,
Empu Baladatu yang juga harus melawan dua orang, juga tidak
mengalami kesulitan karena keduanya bukanlah orang-orang
puncak dari kelompok Serigala Putih itu. Demikian pula Lembu
Ampal. Bahkan Empu Sanggadaru dapat melihat dengau jelas,
bahwa Lembu Ampal, akan segera dapat memenangkan perkelahian
itu apabila dikehendaki. Tetapi Empu Sanggadaru tidak dapal berteriak agar Lembu
Ampal melakukannya dan kemudian membantunya, meskipun
sebenarnya bahwa ia merasa sangat berat melawan pemimpin
gerombolan yang mempergunakan segala kemampuan yang ada
padnnya itu. 1763 Dengan baik kedua lawan Empu Sanggadaru itu dapat bekerja
bersama, meskipun tingkat kemampuan mereka tidak sama. Setiap
kali mereka berhasil saling melindungi dan mengisi kekurangan yang
lain sehingga Empu Sanggadaru menjadi berdebar-debar.
Namun dalam pada itu, ketika pertempuran itu sedang
berlangsung, tiba-tiba saja telah tumbuh sesuatu di hati Empu
Baladatu. Jika benar orang-orang ini berilmu hitam, apapun
jenisnya, maka mungkin pada suatu saat ia akan dapat
menghubungi mereka. Mungkin mereka akan dapat diajak bekerja
bersama. Bukan saja untuk mengembangkan niatnya, kekuasaan
tertinggi di Singasari, tetapi juga ia akan dapat mengembangkan
ilmunya dengan tata gerak yang memiliki nafas yang sejalan.
meskipun ada beberapa perbedaan-perbedaan yang mungkin dapat
tertembus oleh kepentingan bersama.
Karena itu. maka Empu Baladatu tidak segera mengerahkan
segenap kemampuannya untuk membinasakan kedua lawannya
meskipun ia mampu. Yang dilakukannya kemudian adalah sekedar
mempertahankan diri. Bahkan kadang-kadang dengan sengaja ia
menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia tidak ingin membunuh
keduanya atau salah seorang dari mereka.
Sementara itu. Lembu Ampal bertempur dengan sigapnya Tetapi
nampaknya iapun tidak bernafsu untuk membunuh. Yang
dilakukannya adalah sekedar bertahan dan menghindar. Namun
sudah tentu dengan latar belakang niat yang jauh berbeda dengan
Empu Baladatu. Yang harus bertempur dengan sekuat tenaga adalah Empu
Sanggadaru. Tetapi ia sama sekali tidak mengeluh. Bahkan kedua
cantriknya dan orang-orang yang berpihak kepadanya mampu
mengimbangi kekuatan lawannya, bahwa sebagian dari mereka
telah berhasil mendesaknya, ia sudah merasa bahwa separo
kemenangan ada di tangannya. Karena itulah ia menjadi tenang.
Dan ketenangannya itupun agaknya mempengaruhi caranya
bertempur melawan kedua lawannya yang berat itu.
1764 Dalam pada itu perkelahian di antara Empu Sanggadaru dan
kedua lawannya justru menjadi bertambah sengit. Bahkan pemimpin
Sarigala Putih itu benar-benar telah mengerahkan segenap ilmunya
untuk membunuh Empu Sanggadaru Demikian keras niatnya
sehingga ia sama sekali tidak sempat memperhatikan anak buahnya
yang semuanya telah terdesak.
Dengan kemarahan yang meluap-luap pemimpin Serigala Putih
itu mengayunkan senjatanya semakin cepat. Sekali tanganya
terjulur lurus. Namun kemudian dengan sigapnya ia menarik sebelah
kakinya. Putaran mendatar yang berbahaya setiap kali disusul
dengan serangan kawannya yang mematuk lurus.
Betapun tangguhnya Empu Sanggadaru, namun ternyala bahwa
ia harus mempergunakan segenap ilmu yang dimiliknya. Dengan
tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Sekali-sekali ia harus
membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.
Namun, ketika kedua lawannya berhasil mengurungnya di dalam
putaran senjata, maka Empu Sanggadaru telah kehilangan
kesempatan untuk menghindari kedua senjata yang mematuk
bersama. Ia berhasil menangkis serangan pemimpin Serigala Putih
itu. Namun pada saat yang bersamaan, senjata yang lain telah
terjulur pula mengarah ke lambungnya.
Empu Sanggadaru hanya dapat menggeliat. Tetapi ujung senjata
itu masih juga berhasil menyentuhnya meskipun tidak pada
lambung, tetapi pada tangannya.
Kemarahan yang meluap telah menggetarkan dada Empu
Sanggadaru. Luka di tangannya itu bagaikan api yang menyalakan
minyak yang memang sudah tersiram di hatinya. Luka-luka yang
digoreskan oleh kuku-kuku harimau itu rasa-rasanya masih pedih.
Dan kini, tangannya sudah tergores oleh luka yang lain, luka oleh
senjata. Karena itu, maka Empu Sanggadaru tidak lagi mengekang
dirinya. Kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Itulah
1765 sebabnya maka iapun segera mengerahkan segenap kemampuan
yang ada padanya. Senjata Empu Sanggadaru pun segera berputar semakin cepat.
Seolah-olah senjata itu telah berubah menjadi puluhan senjata
serupa yang berterbangan tanpa dapat dikendalikan lagi
mengerumuni pemimpin Serigala Putih itu dengan seorang
kawannya. Ternyata bahwa Empu Sanggadaru masih mampu meningkatkan
tekanannya oleh kemarahan yang memuncak. Yang mula-mula
menjadi sasaran kemarahannya justru adalah kawan pemimpin
Serigala Putih yang telah melukainya itu.
Dengan garangnya Empu Sanggaradu menyerang pemimpin
Serigala Putih itu untuk memisahkannya dari kawannya. Ketika
pemimpin kelompok orang-orang berilmu hitam itu terdesak
beberapa langkah surut, maka tiba-tiba saja Empu Sanggadaru yang
marah itu meloncat ke samping. Sebuah putaran yang tiba-tiba
ternyata telah mengejutkan lawannya. Apalagi ketika ujung senjata
Empu Sanggadaru bergerak dengan cepatnya mendatar di setinggi
lambung. Kawan pemimpin Serigala Putih itu sempat mengelak. Ia
meloncat mundur sambil melindungi tubuhnya dengan senjatanya.
Namun adalah diluar dugaannya. bahwa Empu Sanggadaru sempat
meloncat begitu cepat dan panjang. Serangan berikutnya rasarasanya
telah datang mematuk dada.
Tetapi ia masih sempat merendahkan dirinya. Sehinggga dengan
demikian ujung senjata Empu Sanggadaru tidak sempat
menyentuhnya. Namun lawannya benar-benar tidak melepaskannya.
Bahkan kemudian serangan berikutnya adalah serangan yang tidak
diduga-duga. Empu Sanggadaru tidak menyerang degan senjatanya.
Karena lawannya itu masih tetap merendahkan dirinya sambil
menyiapkan senjatanya untuk menangkis setiap serangan, maka
Empu Sanggadaru telah mengangkat senjata dan terayun mengarah
kepalanya. Tetapi ketika ia menyilangkan senjatanya di atas
1766 kepanya. maka diluar dugaannya, tiba-tiba sebuah tendangaan yang
keras telah menghantam dagunya sehingga orang itu seakan-akan
terangkat dan terlempar surut.
Ternyata bahwa hantaman kaki Empu Sanggadaru itu demikian
kuatnya, sehingga orang yang terlempar surut itu, terputar sekali di
udara. Namun dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha
untuk tidak jatuh pada kepalanya.
Pada saat, itu pemimpin gerombolan Serigala Putih merasa
darahnya bagaikan mendidih. Ketika ia melihat Empu Sanggadaru
mengejar kawannya yang seolah-olah masih belum dapat
menguasai dirinya, maka ia pun langsung menyerang dengan
senjatanya mengarah kepunggung lawannya.
Tetapi punggungnya Empu Sanggadaru seolah-olah mempunyai
mata. Karena itu, seakan-akan ia dapat melihat serangan yang
menerkam punggungnya itu. Dengan sigapnya ia meloncat ke
samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga dengan demikian
ia berhasil menyelamatkan diri.
Namun, yang malang adalah orang Serigala Putih itu sendiri.
Karena senjata pemimpinnya tidak mengenai Empu Sanggadaru,
maka seolah-olah ujung senjata itu sengaja disiapkan untuk
membunuhnya. Terdengar sebuah pekik yang mengerikan. Orang Serigala Putih
itu ternyata telah dikenai oleh senjata Pemimpinya sendiri.
Pekik yang panjang itupun perlahan-lahan menghilang.
Temannya masih terdengar sepintas. Namun kemudian lenyap
ditelan oleh kesepian yang tegang.
Jerit itu seolah-olah telah menghentikan pertempuran itu untuk
sejenak. Namun ternyata kemarahan pemimpin Serigala Putih itu
tidak tertahankan lagi. Dengan sebuah teriakan yang seolah-olah
memenuhi hutan, ia mulai menyerang dengan dahsyatnya.
Empu Sanggadaru yang sudah terluka oleh senjata itupun masih
juga dibakar oleh kemarahannya. Kematian seorang anggauta
1767 Serigala Putih masih belum menenangkan kemarahannya. Apalagi
ketika ia melihat pemimpin gerombolan itu seolah-olah menjadi gila
dan benar-benar berusaha membunuhnya.
Dengan sepenuhnya kemampuan yang ada. Empu Sanggadaru
pun tidak lagi ingin memaafkan lawannya. Itulah sebabnya maka
serangannya datang beruntun bagaikan banjir bandang. Apalagi kini
lawannya tinggal seorang diri. Tetapi yang seorang itu adalah
pemimpin dari gerombolan Serigala Putih.
Empu Sanggadaru tidak mau lagi dicemaskan oleh masa depan
yang berbahaya. Pemimpin Serigala Pulih itu adalah seorang
pendendam yang mantap. Karena itu, untuk menghindarkan diri dari
kesulitan masa depan, maka ia bertekad, untuk melenyapkan saja
orang itu dari muka bumi. Dengan demikian maka padepokatrnya
akan terhindar dari kesulitan di masa datang. Bahkan mungkin
bukan saja padepokannya, tetapi juga padepokan-padepokan dan
pedukuhan-pedukuhan yang lain.
Karena itulah, maka Empu Sanggadaru tidak lagi berusaha
sekedar mengalahkan lawannya. Tetapi serangannya kemudian
langsung mengarahkan ke jantung lawan.
Kedua orang itu bagaikan menjadi wuru. Masing-masing tidak
melihat kemungkinan lain daripada membunuh lawannya. Sehingga
dengan demikian maka pertempuran itupun berlangsung semakin
sengit. Tetapi, semakin lama semakin nyata bahwa Empu Sanggadaru
berhasil menguasai lawannya yang tinggal seorang itu. Senjata
sudah semakin sering menyambar menyentuh pakaian lawannya,
dan bahkan kemudian telah terjadi goresan-goresan kecil sehingga
menitikkan darah. Goresan-goresan kecil itu agaknya membuat lawannya menjadi
semakin marah. Serangan-angannya datang seperti badai. Namun,
Empu Sanggadaru mampu bergerak secepat kilat, sehingga
serangan lawannya sama sekali tidak berhasil mengenainya.
1768 Selain Empu Sanggadaru, yang tidak dapat menahan diri adalah
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perwira muda yang merasa wibawa prajurit Singasari telah
tersinggung. Karena itulah, maka iapun dengan sekuat tenaganya
berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Namun tidak seperti
Empu Sanggadaru, perwira itu masih berusaha untuk dapat
mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Lembu Ampal masih bertempur dengan caranya. hanya memacu
lawannya untuk bertempur dengan sekuat tenaganya. Sekali-sekali
saja ia menyerang jika lawannya menjadi kendor. Dan serangannya
itu setiap kali memang berhasil membuat lawannya menjadi marah
dan dengan sekuat tenaganya menyerang bersama-sama.
Tetapi perhitungan Lembu Ampal benar-benar telah masak. Ia
yakin bahwa keduanya akan menjadi letih dan dengan demikian
akan menjadi sangat mudah untuk dikalahkan.
Namun ternyata orang-orang berilmu hitam itu bukannya jantan
yang memilih mati daripada mengorbankan namanya. Itulah
sebabnya, maka sebagian dari mereka telah bertempur sambil
bergeser surut menepi. Pertempuran itupun kemudian telah berubah sama sekali. Orangorang
berilmu hitam itu benar-benar sudah tidak mendapat
kesempatan lagi. Kehadiran prajurit Singasari meskipun tidak
seluruhnya, telah menentukan akhir dari pertempuran itu.
Tidak ada lagi yang dapat diharapkan. Betapun pemimpin
Serigala Putih berusaha, namun ia tidak mampu mengimbangi ilmu
Empu Sanggadaru. Ternyata bahwa pemimpin Serigala Putih itu telah salah hitung.
Ia tidak menyangka bahwa orang-orang berilmu hitam itu tidak
mampu melawan musuh-musuhnya meskipun ia prajurit Singasari.
Dan iapun tidak menyangka bahwa yang bernama Empu
Sanggadaru dari padepokan yang tidak dikenal itu. ternyata memiliki
ilmu yang dapat mengimbangi, bahkan melampaui ilmunya yang
dibangga-banggakan, meskipun beberapa orang yang tidak senang
menyebutnya ilmu hitam. 1769 Tetapi penyesalan yang betapun juga, tidak akan berarti sama
sekali. Apabila lawannya, Empu Sanggadaru, benar-benar sudah
tidak dapat mengekang diri lagi. Luka di tangannya telah
membuatnya menjadi gelap hati.
Itulah sebabnya, maka iapun kemudian menyerang pemimpin
Serigala Putih dengan segenap ilmu yang ada padanya. Bahkan
tanpa ampun lagi, senjatanya benar-benar telah mengurung
lawannya dalam lingkaran maut.
Pemimpin Serigala Putih itu masih berusaha melepaskan diri. Ia
berusaha menembus lingkaran putaran senjata Sanggadaru. Namun
yang terjadi adalah diluar kehendaknya, karena justru pada saat
yang berbahaya itu, saat-saat pemimpin Serigala Putih berusaha
membebaskan dirinya, Empu Sanggadaru telah sampai pada
kemungkinan yang terakhir. Dengan garangnya ia menyerang
lawannya tanpa ampun lagi.
Pemimpin Serigala Putih itu masih berhasil menagkis satu dua
serangannya yang datang beruntun. Namun serangan-serangan
berikutnya, membuat pemimpin Serigala Putih itu bagaikan
kehilangan kesempatan. Sesaat kemudian terdengar sebuah keluhan tertahan. Darah yang
merah memancar dari luka yang tiba-tiba saja telah menganga di
dada pemimpin Serigala Putih itu.
Sesaat pertempuran itu seolah-olah telah terhenti. Setiap orang
telah dikejutkan oleh peristiwa yang menyusul. Pemimpin Serigala
Putih yang dibakar oleh dendam karena kematian anak buahnya itu
ternyata tidak berhasil menuntut balas. Bahkan ia sendiri kemudian
terlempar dan jatuh di tanah dengan darah yang membasahi
seluruh tubuhnya. Anak buahnya yang melihat pemimpinnya mati terkapar itu
menjadi bingung. Hatinya kuncup seperti dedaunan yang tersiram
air yang mendidih. Pada saat yang mencengkam itulah, maka tiba-tiba saja
terdengar suara Empu Baladatu, "He, orang-orang berilmu hitam,
1770 ternyata masih ada satu kesempatan yang dapat kami berikan
kepada kalian. Sepeninggal pemimpinmu maka kalian sebaiknya
menyerah tanpa perlawanan, karena tidak ada kesempatan yang
lain yang dapat kalian peroleh setelah kami kehilangan kesabaran
kami." Orang-orang yang mendengar suara Empu Baladatu itu bagaikan
membeku. Bahkan Empu Sanggadaru sendiri berdiri termangumangu
dengan senjata yang merah oleh darah di tangannya.
Suasana diarena itu seolah-olah bagaikan membeku. Lembu
Ampal berdiri diam di tempatnya. Ia memang tidak bernafsu untuk
bertempur lebih lama lagi. Yang dihadapinya bukannya sebuah
perlawanan terhadap pemerintah Singasari. Tetapi yang dihadapinya
adalah dendam dari dua perguruan yang seharusnya dapat
dicegahnya. Namun yang terjadi adalah diluar kemampuannya untuk
mencegahnya. Dan pertempuran itu sudah terjadi. Bahkan telah
menelan dua orang korban lagi. Dan korban-korban itu tentu akan
mempertajam dendam yg telah tumbuh di hati orang-orang berilmu
hitam itu. Tetapi bagi Lembu Ampal, kata-kata Empu Baladatu itu
dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi orang-orang
berilmu hitam itu. Ternyata bahwa kata-kata Empu Baladatu itu berpengaruh juga
pada lawan-lawannya. Mereka masih berdiri termangu-mangu tanpa
berbuat sesuatu meskipun senjata mereka tetap tergenggam di
tangan. Empu Baladatu yang melihat pengaruh kata-katanya itu mengena
pada orang-orang berilmu hitam itupun kemudian mengulanginya
Nyatakan bahwa kalian tidak akan memberikan perlawanan lagi.
"Nyatakan bahwa kalian telah menghentikan semua niat untuk
membalas dendam karena kalian tidak akan dapat ingkar dari
kenyataan, bahwa kalian lah yang justru akan punah jika kalian
masih berkeras untuk melanjutkan pertempuran ini."
1771 Semua orang masih membeku di tempatnya.
"Lakukanlah, atau kami harus bertempur terus dan membunuh
kalian semuanya?" Tiba-tiba saja salah seorang dari gerombolan Serigala Putih itu
dengan ragu-ragu berkata, "Apakah yang harus kami lakukan, jika
kami menyatakan diri untuk menghentikan usaha pelepasan dendam
kami." "Prajurit-prajurit Singasari akan menjadi saksi, bahwa kami tidak
ingkar. Letakkan senjata kalian dan berkumpullah di hadapan
kakang Empu Sanggadaru. Salah seorang dari kalian harus
menyatakan pengakuan kalian dengan jujur."
Orang-orang itu masih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian
mereka pun segera melemparkan senjata mereka di tanah.
Perlahan-perlahan mereka mulai bergerak mendekati Empu
Sangadaru. Empu Sanggadaru bagaikan membeku melihat orang-orang yang
bergerak mendekatinya. Kemudian berdiri termangu-mangu seolaholah
mereka menggantungkan harapan mereka kepadanya.
Empu Sanggadaru menarik nafas. ia pun kemudian sadar, bahwa
ia harus, menanggapi perkembangan keadaan itu. Sekilas dilihatnya
prajurit-prajurit Singasari pun telah bergerak mengumpul. Perwira
muda itupun nampaknya telah berusaha mengendalikan dirinya
pula. "Lakukanlah jika kalian ingin melakukan." berkata Empu
Baladatu. Lalu katanya kepada Lembu Ampal, "Kami mohon, agar
prajurit Singasari menjadi saksi, bahwa dendam kami dari kedua
belah pihak akan terhapus saat ini juga."
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
berpaling kepada perwira muda itu seolah-olah minta
pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya. Apakah
permintaan Empu Baladatu itu dapat dipenuhi atau prajurit Singasari
akan mengambil sikap yang lain.
1772 Perwira muda itupun ragu-ragu sejenak. Dilihatnya orang-orang
dari gerombolan Serigala Putih itu berdiri termangu-mangu dengan
penuh harap untuk dapat tetap hidup.
Sebagai seorang prajurit maka perwira itu harus menentukan
sikap, la tidak boleh terseret oleh arus perasannya. Apalagi sebagai
seorang anak muda. Karena itulah, maka ketika dilihatnya kawan-kawannya pun
masih utuh, maka iapun berkata, "Aku, perwira yang memimpin
serombongan prajurit Singasari, menyatakan bahwa aku tidak
berkeberatan untuk menarik segala akibat yang timbul dari
perlawanan orang-orang dari Serigala Pulih kepada perintah kami,
yang juga berarti perlawanan kepada pimpinan pemerintah, jika
mereka benar-benar telah menyesal dan menyatakan diri
menyerah." Orang-orang dari anggauta gerombolan Serigala Putih itu
mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa mereka benar-benar
berhadapan dengan beberapa orang prajurit yang memegang teguh
tugas dan kewajibannya, tetapi juga mengingat segi-segi
pertimbangan yang lain. Empu Sanggadaru yang masih menggenggam senjata yang
basah oleh darah berkata dengan nada yang datar, "Kalian dengar"
Apakah kalian menyesal dan menyatakan diri menyerah?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sepercik ketidak puasan
nampak membayang di wajahnya. Bahkan ia pun kemudian
bertanya kepada diri sendiri, "Kepada siapa orang-orang itu
menyatakan menyerah" Jumlah prajurit itu tidak lebih banyak dari
jumlah kami. Kamilah yang pantas menentukan sikap. Bukan
mereka." Tetapi Empu Baladatu tidak mengatakan. Ia menyimpan
perasaan itu di dalam hatinya.
Salah seorang dari orang-orang Serigala Putih itu pun kemudian
menghadap kepada perwira muda itu sambil berkata, "Kami
1773 menyerah. Dan kami menyatakan menyesal bahwa kami telah
terlibat ke dalam dendam."
Perwira itu menjawab, "Baiklah. Aku maafkan kalian dan aku
bebaskan kalian dari segala tuntutan karena perlawanan kalian.
Namun demikian, terserah kepada Empu Sanggadaru, apakah yang
akan dilakukannya." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kitanya, "Baiklah.
Aku pun memaafkan kalian. Tetapi kami adalah orang-orang yang
mempunyai kesabaran yang terbatas. Karena itu, jika kalian
ternyata kelak melakukan pelanggaran atas penyesalan kalian
sekarang ini, mungkin kami sudah tidak dapat lagi memaafkannya."
"Terima kasih." sahut salah seorang dari mereka.
"Kalian terpaksa pulang dengan membawa korban lagi. Tetapi
kalian sudah berjanji untuk tidak mendendamnya lagi. Mudahmudahan
kawan-kawan kalian dapat mengerti, karena seperti yang
aku katakan, kesabaran kami sangat terbatas."
Orang-orang Serigala Putih itu menundukkan kepalanya. Mereka
merasa bahwa mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengiakan
dan menyatakan kesanggupan.
Empu Sanggadaru pun kemudian berkata, "Nah, sekarang
pergilah. Bawalah kedua mayat kawan kalian ini."
Orang-orang itu pun berpandangan sejenak. Namun kemudian
mereka mulai bergerak dan mengangkat kedua mayat kawan-kawan
mereka. Namun demikian, ketika mereka mulai bergerak, nampaklah,
bahwa mereka masih saja ragu-ragu. Beberapa orang dengan tidak
sadar memandangi senjata mereka yang tergolek di tanah.
"Kalian sudah melemparkan senjata kalian." desis Empu
Sanggadaru. Salah seorang dari mereka dengan ragu-ragu menjawab Kami
sudah menyatakan, bahwa kami menyerah dan menyesali perbuatan
1774 kami. Tetapi kami merasa cemas bahwa di perjalanan kembali ke
padepokan kami. Di perjalanan kami akan menemui kesulitan."
"Kenapa?" "Gerombolan kami telah saling mendendam pula dengan
gerombolan orang-orang berilmu hitam yang menamakan dirinya
gerombolan Macan Kumbang. Jika kami dengan tidak sengaja
bertemu dengan mereka tanpa sehelai senjatapun di tangan, maka
kami akan musnah." "Itu adalah akibat dari perbuatan kalian sendiri. Kalian ternyata
mempunyai dendam di mana-mana. Kalian bermusuhan dengan
siapapun juga." jawab Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu tertarik dengan keterangan itu. Tetapi ia sama
sekali tidak bertanya. Yang dikatakannya kemudian adalah, "Tetapi
apakah kalian berjanji, bahwa senjata-senjata kalian hanya akan
kalian pergunakan untuk mempertahankan diri. dan bukan untuk
menyerang?" Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu memandang
Empu Baladatu dan Empu Sanggadaru berganti-ganti. Salah seorang
dari mereka pun kemudian berkata, "Kami bersumpah. Kami tidak
akan mempergunakan senjata kami, selain untuk mempertahankan
hidup kami jika kami di serang."
"Ambillah. Aku kira kakang Empu Sanggadaru dan para prajurit
Singasari tidak akan berkeberatan, karena sebenarnya senjata
semacam itu bukannya satu-satunya senjata yang kalian miliki,
meskipun senjata itu kalian tinggalkan, tetapi jika jiwa kalian masih
tetap kelam, maka besok kalian tentu sudah akan menggenggam
senjata serupa." Orang-orang Serigala Putih masih termangu-mangu. Empu
Sanggadaru pun kemudian tidak dapat berbuat lain karena adiknya
seolah-olah sudah menghadapkannya kepada suatu sikap tertentu.
1775 Karena itu maka katanya, "Baiklah. Tetapi kalian harus benarbenar
memegang janji dan sumpah kalian, bahwa kalian hanya akan
mempergunakan untuk mempertahankan diri."
Orang-orang gerombolan Serigala Putih itu saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata
dengan nada yang dalam, "Terima kasih. Kami mengucapkan terima
kasih tiada taranya. Dengan demikian maka jiwa kami seolah-olah
telah kalian selamatkan dua kali. Yang pertama bahwa kami tidak
terbunuh di dalam pertempuran ini. Kedua, bahwa kami
diperkenankan membawa senjata kami, meskipun dengan janji
bahwa senjata-senjata itu hanya akan kami pergunakan untuk
mempertahankan diri."
"Pergilah." jawab Empu Sanggadaru, "Dan cobalah mengenal diri
sendiri sebaik-baiknya."
"Ya Empu." jawab orang itu pula, "Kami akan mohon diri. Mudahmudahan
kami mendapat kesempatan unuk memandang ke dalam
diri kami masing-masing. Mengenang apa yang telah kami perbuat
dan mengambil sikap yang benar di hari-hari mendatang."
"Bagus. Pertahankan sikap dan pandangan itu."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itupun menganggukangguk
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan mereka telah berjanji kepada diri sendiri,
bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya di kemudian hari.
Demikianlah maka mereka pun kemudian minta diri sambil
membawa mayat kawan-kawan mereka dan memungut senjata
masing-masing. "Pergilah." berkata Empu Baladatu, "Tetapi dimanakah
padepokan kalian" Aku ingin mengetahuinya. Bahkan mungkin pada
suatu saat aku singgah ke padepokanmu."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun nampak
keragu-raguan membayang di wajah mereka.
"Jika kalian jujur sampai ke dalam hati, kalian tidak akan
berkeberatan menunjukkan padepokanmu." desak Empu Baladatu.
1776 Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab,
"Sebenarnya kami tidak tinggal dalam satu padepokan. Namun kami
memang terdiri dari satu perguruan. Guru kami adalah pemimpin
kami yang terbunuh. Tetapi ia bukan seorang yang langsung
mengajari kami. Di bawah pemimpin kami yang terbunuh ada
beberapa orang yang telah mendapat kepercayaannya untuk
mengajar kami." "Siapakah mereka. Tentu ada di antara kalian."
Orang yang menjawab itu melanjutkan, "Baiklah aku tidak
bersembunyi lagi, karena aku merasa bahwa nyawaku telah
diselamatkan. Di antara mereka adalah aku dan empat orang lagi.
Sedang seorang dari kami lelah terbunuh bersama pemimpin kami
itu." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ternyata bahwa
perbedaan tingkat mereka tidak begitu jelas nampak pada kelima
belas orang, yang sudah barang tentu orang-orang pilihan itu.
"Kau belum menyebutkan, di mana padepokanmu."
Orang itu masih ragu-ragu. Namun kemudian jawabnya, "Kami
berasal dari padepokan Semuwun di sebelah hutan Dandarau."
Lembu Ampal mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu. Ia
mengulang, "Dandarau. Jadi kalian adalah orang dari daerah Hutan
Dandarau." "Ya." Lembu Ampal memandang orang-orang itu seorang demi
seorang. Lalu katanya, "Apakah benar katamu, bahwa pemimpinmu
yang terbunuh itu orang pertama di padepokanmu?"
Orang itu ragu-ragu. Lalu jawabnya, "Ya Ia adalah orang
pertama." Lembu Ampal tidak membantah. Tetapi ia bertanya pula, "Dan
apakah kalian masih mempunyai jalur yang sama dari perguruan
1777 kalian dengan orang-orang yang kalian sebut dari gerombolan
Macan Kumbang.?" Orang itu ragu-ragu pula. Namun iapun menjawab, "Agaknya
memang demikian. Tetapi kami terpisah oleh kepentingan yang
sama, sehingga kami saling berebut dan bersaing. Itulah sebabnya
kami menjadi saling mendendam."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih jauh. Demikianlah orang-orang berilmu hitam itupun kemudian
meninggalkan tempat itu sambil membawa mayat kawan-kawan
mereka. Sekali-sekali mereka masih sempat berpaling sebelum
mereka hilang di balik dedaunan.
Demikian mereka hilang dari pandangan mata orang-orang yang
telah mengalahkannya mutlak salah seorang dari mereka
mengumpat, "Anak setan. Ternyata kita terbentur pada orang-orang
yang memiliki kemampuan luar biasa."
Orang yang nampaknya mengambil alih pimpinan dan yang
selalu memberikan keterangan kepada lawan mereka yang ternyata
memiliki kelebihan itu menyahut, "Kali ini kita tidak dapat
mengingkari kenyataan itu. Kita memang kalah mutlak."
"Tetapi prajurit-prajurit Singasari itulah yang menyebabkan kita
hampir saja punah jika tidak ada orang yang berhasil menyabarkan
Empu Sanggadaru." "Ia adalah adiknya."
"Nampaknya sikapnya cukup baik. Ilmunya pun cukup matang
dan berbahaya." Yang Ian mengerutkan keningnya. Tetapi masih ada yang
mengumpat, "Aku ingin membunuh mereka semua. Mungkin pada
suatu saat, maksud itu akan dapat aku lakukan."
Tetapi kawan-kawannya tertawa. Salah seorang berkata, "Kau
mimpi sambil berjalan. Kita tidak mempunyai pemimpin yang
1778 tangguh lagi. Bahkan pemimpin kami yang kami kagumi itu pun
ternyata tidak dapat menga Bahkan Empu Sanggadaru meskipun ia
bertempur berdua. Apalagi seorang diri."
Kawannya yang masih mendendam itu menarik nafas dalamdalam.
"Kita memang sudah berputus asa. Seandainya kita bertemu
dengan orang-orang Macan Kumbang pun kita akan mereka telan
sekarang ini." Kawannya memandang orang itu sambil mengerutkan dahinya.
Salah seorang dari mereka bertanya, "Apakah benar begitu
pendirianmu." "Tidak ada lagi yang berani mempertanggung jawabkan setiap
tindakan yang akan kita ambil karena pemimpin kita sudah tidak ada
lagi." "Kita akan membicarakannya." berkata seorang yang paling tua
di antara mereka. "Setelah kita sampai kepadepokan, kita akan
menyusun diri dengan kekuatan vang masih ada. Tetapi sudah
barang tentu bahwa kita tidak akan dapat melepaskan pengalaman
yang baru saja kita hadapi. Kita harus menyadari bahwa ilmu yang
kita miliki ternyata adalah ilmu yang masih jauh dari tingkat yang
sempurna. Kita sebelumnya telah salah menilai diri kita. seolah-olah
kita adalah orang-orang yg paling kuat di muka bumi ini. Setidaktidaknya
di Singasari. Tetapi ternyata bahwa kita bukannya apa-apa.
Apalagi bagi para prajurit. Aku merasa bahwa prajurit yang sudah
tua itu seolah-olah tidak bertempur bersungguh-sungguh. Ia
sekedar membela dirinya dan sama sekali tidak berniat untuk
membunuh." "Juga orang yang di sebut adik Empu Sanggadaru itu." sahut
yang lain, "Jika ia ingin membunuh, maka ia banyak mempunyai
kesempatan." Yang lain lagi berkata, "Empu Sanggadarupun agaknya bukan
seorang pembunuh. Tetapi luka di tangannya itu membuatnya lupa
diri. Apalagi di tubuhnya masih tergores luka-luka yang agaknya
karena kuku harimau yang dibunuhnya itu."
1779 Orang yang mengutuki keadaan itupun terdiam. Ternyata kawankawannya
telah berusaha melihat kenyatan. Meskipun demikian ia
masih bertanya tanpa ditunjukan kepada siapapun juga. "Jadi jika
kita bertemu dengan orang-orang Macan Kumbang, apa yang akan
kita lakukan?" "Kita masih bersenjata." berkata orang tertua di antara mereka.
Orang yang bertanya itu terdiam. Namun masih nampak bahwa
di wajahnya membayang kekecewaan yang mendalam.
Iring-iringan itupun kemudian menyusup hutan itu semakin jauh.
Tetapi mereka pun kemudian mencari jalan menepi, karena mereka
akan berjalan di bagian yang tidak terlampau pepat. Meskipun
mereka akan tetap berada di dalam hutan, namun mereka ingin
perjalanan mereka semakin cepat. Apalagi mereka menyadari
bahwa setiap saat, orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang
akan dapat melihat mereka.
Jika orang-orang Macan Kumbang itu mengetahui, bahwa
pemimpinnya telah terbunuh, maka mereka pun akan segera
mengambil kesempatan untuk melepaskan dendam yang sudah
saling tertanam dikedua belab pihak.
Karena itulah, maka Serigala Putih yang selama itu tidak pernah
merasa gentar, sepeninggal pemimpinnya menjadi agak cemas juga.
Meskipun demikian, karena mereka masih tetap menggenggam
senjata di tangan, maka mereka pun masih mempunyai kesempatan
untuk mempertahankan diri.
Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang dari gerombolan
Serigala Putih, maka Empu Sanggadaru pun menjadi termangu.
Sepercik penyesalan nampak membayang di wajahnya, bahwa telah
terjadi pembunuhan oleh tangannya. Namun ia tidak dapat
menghindari kemungkinan itu. karena keadaan yang telah
memaksanya. "Sudahlah." berkata Lembu Ampal, "Nampaknya mereka telali
menyadari kesalahan mereka. Jika di dalam pertempuran timbul
korban jiwa, itu bukannya suatu hal yang aneh dan berlebihan."
1780 Empu Sanggadaru mengangguk.
"Sekarang, aku akan melakukan tugasku yang lain." berkata
Lembu Ampal. "Tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka
memerintahkan mengambil harimaunya?" bertanya Empu Baladatu.
"Ya Empu. Dan kami datang membawa sebuah pedati."
Lembu Ampal pun kemudian memerintahkan dua orang prajurit
untuk menjemput kawan-kawannya serta pedati yang mereka bawa
dari Sangasari. "Itulah sebabnya, kami menunggu terlampau lama di sini."
Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Kami berjalan seperti siput
yang merambat." "Dan dengan demikian kalian terpaksa bermalam di sini."
berkata Empu Sanggadaru. Lembu Ampal menggelengkan kepalanya. Jawabnya. "Tidak.
Kami akan berjalan lagi seperti siput. Kapan pun kami akan sampai
di Singasari. Kami akan bergantian tidur di sepanjang jalan di dalam
pedati itu bersama dengan harimau yang sudah terikat itu."
"Jika yang sedang tidur itu lengah dan tangannya terjulur ke
mulut harimau yang marah itu. maka tangan itu akan segera putus."
Lembu Ampal tertawa. Lalu katanya kepada perwira muda yang
memimpin para prajurit itu. "Bukankah kita dapat tidur sambil duduk
di punggung kuda yg berjalan perlahan-lahan."
Perwira itu tersenyum. Setelah mereka menunggu sejenak, maka iring- iringan prajurit
Singasari yang lebih banyak jumlahnya telah datang bersama
sebuah pedati yang berjalan lamban sekali.
"Masukkanlah harimau yang masih hidup itu ke dalam pedati."
perintah perwira muda yang memimpin para prajurit Singasari itu.
1781 Para prajurit itupun kemudian dengan hati-hati mengangkat
harimau yang terikat itu. Sebuah auman yang dahsyat terdengar.
Harimau itu meronta dengan sekuat tenaganya. Tetapi ikatan janget
itu tidak dapat diputuskannya. Bahkan kaki-kakinya merasa menjadi
sakit dan nyeri sehingga akhirnya harimau itu berdiam diri.
Para prajurit itu tidak terlalu lama tinggal di hutan. Mereka pun
setelah menaikkan harimau yang terikat kaki-kakinya itu dengan
hati-hati, segera mempersiapkan diri untuk kembali ke Singasari.
Mereka sudah bertekad untuk berjalan meskipun senja turun dan
malam pun akan segera menyelubungi seluruh wilayah Singasari
yang luas. Sepeniggal para prajurit Singasari setelah mereka sempat
beristirahat sejenak, maka Empu Sanggadaru pun mulai berpikir
apakah ia akan meneruskan perburuan atau tidak.
"Aku akan mengeringkan harimau itu sebelum membusuk."
berkata Empu Sanggadaru. "Jadi kita kembali ke padepokan?" bertanya empu Baladatu.
Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, "Rasa-rasanya aku
ingin segera melihat padepokan. Apakah benar orang-orang Serigala
Putih tidak mengganggu padepokanku."
Empu Baladatu mengangguk-angguk pula. Katanya, "Agaknya
baik juga kita kembali ke padepokanmu kakang. Jika ternyata tidak
ada gangguan suatu apa, kita dapat kembali lagi memburu harimau
di kesempatan lain."
Demikianlah maka mereka pun memutuskan untuk kembali saja
kepadepokan dengan membawa harimau yang telah mati itu.
Ternyata membawa seekor harimau yang sudah mati jauh lebih
mudah daripada membawa seekor harimau yang masih hidup.
Apalagi jika dengan niat bahwa harimau itu akan dipelihara di dalam
kandang. 1782 Dengan berdebar-debar Empu Sanggadaru dan Empu Baladatu
pun kemudian mendekati padepokannya, setelah matahari
terbenam. Namun ketika mereka melihat cahaya lampu dari kejauhan,
mereka merasa tenang. Lampu itu adalah pertanda bahwa
padepokannya masih tetap hidup meskipun barangkali dicengkam
oleh kegelisahan dan ketakutan.
Ketika Empu Sanggadaru memasuki regol, maka seperti kanakanak
yang ingin mengadu kepada ayahnya, maka beberapa orang
pun segera berkumpul. Di tangan mereka tergenggam berbagai
macam senjata. Agaknya mereka pun sudah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Tetapi Empu Sanggadaru pun menyadari, tanpa Empu
Sanggadaru sendiri, maka jika orang-orang Serigala Putih memilih
menghancurkan padepokannya lebih dahulu, maka orang-orangnya
itupun akan mengalami kesulitan meskipun akan jatuh korban pula
dikedua belah pihak. "Jika Empu tidak segera datang, kami sudah bersiap-siap untuk
menyusul." berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa?" berkata salah seorang dari mereka.
"Sekelompok orang-orang yang menyebut dirinya dari
gerombolan Serigala Putih telah datang."
"Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka mencari Empu. Karena mula-mula kami kurang tahu
maksudnya, kami telah menunjukkan di mana Empu berada."
"Lalu, mereka meninggalkan kalian tanpa berbuat apa-apa?"
"Ya. Tetapi kami menjadi curiga. Nampaknya di mata mereka
menyala dendam. Ketika kami bertanya apakah keperluan mereka
dengan Empu, maka mereka pun menyatakan dendam mereka."
"Berapa orang jumlah mereka saat mereka mendatangi
padepokan ini" 1783 "Lima atau enam orang."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Ada beberapa
kemungkinan yang sudah terjadi. Mereka tidak semuanya
menampakkan diri di padukuhan ini, atau orang-orang Serigala
Putih itu telah kembali terlebih dahulu untuk memanggil orangorangnya
yang lain, karena pemimpinnya ingin melakukan
pekerjaannya dengan meyakinkan, bahwa mereka tidak akan
mengulangi lagi untuk kedua kalinya.
"Apakah Empu telah bertemu dengan mereka?"
"Ya." "Dan terjadi perselisihan."
"Ya." "Empu berhasil mengalahkan mereka."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya." "Kami sudah menduga, bahwa Empu Sanggadaru dan Empu
Baladatu akan dapat mengatasi kesulitan itu."
"Tidak sederhana seperti yang kalian duga. Sebenarnya kami
tidak dapat melawan mereka, karena ketika mereka mengepung
kami jumlahnya menjadi lima belas orang."
"Lima belas?" "Ya. Dan kami berenam tidak mampu melawan lima belas orang,
meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Tetapi jumlah mereka yang banyak itu telah
menyulitkan kami." "Jadi?" "Adalah kebetulan sekali, bahwa prajurit-prajurit Singasari
sedang berada di hutan."
Orang-orang padepokan itu termangu-mangu. Empu Sanggadaru
yang kemudian turun dari kudanya dan berdiri di antara orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1784 orangnya yang tidak sabar, terpaksa menceriterakan apa yang telah
terjadi di hutan perburuan itu.
Baru setelah orang-orangnya mengangguk-angguk sambil
menarik nafas lega, Empu Sanggadaru berkata, "Aku akan
mengeringkan harimau. Sediakan alat-alat dan reramuan yang aku
perlukan." "Sekarang Empu?"
"Ya, sekarang. Aku ingin menunjukkan kepada adikku,
bagaimana aku mengawetkan binatang buruanku."
Beberapa orang cantrikpun menjadi sibuk. Mereka yang sudah
terbiasa menyediakan reramuanpun segera melakukannya meskipun
malam menjadi semakin galap.
Halaman belakang padepokan yang luar itu pun segera menjadi
terang. Beberapa obor dipancangkan di sekitar reramuan yang telah
disiapkan untuk mengawetkan harimau yang sangat besar itu.
Para cantrik yang sudah biasa melihat Empu Sanggadaru
membawa hasil buruan kembali dari hutan, masih juga heran
melihat seekor harimau loreng yang sangat besar itu. Apalagi
mereka kemudian mengetahui bahwa kulit harimau itu sama sekali
tidak luka oleh senjata. "Empu Sanggadaru telah menangkap harimau itu dengan
tangannya." desis salah seorang cantriknya.
Yang lain mengangguk sambil menyahut, "Ya. Dan ternyata
Empu Sanggadaru mampu meskipun pada tubuhnya terdapat
beberapa gores luka."
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru pun segera mulai dengan
pekerjaan yang sudah sering kali dilakukan. Mengawetkan binatang
buruannya. Empu Baladatu menunggui kerja kakaknya dengan asyiknya. Ia
pun ternyata tertarik untuk mempelajarinya. Apabila pada suatu
saat ada kesempatan, maka Empu Baladatu berniat untuk belajar,
1785 reramuan apa saja yang diperlukan dan cara yang agak rumit untuk
melakukan pengawetan itu.
Tetapi yang lebih menarik bagi Empu Baladatu adalah orangorang
berilmu hitam itu sendiri. Rasa-rasanya ada suatu dorongan
padanya untuk datang mengunjungi orang-orang yang disebut
berilmu hitam, tetapi yang mempunyai beberapa kelainan dari
ilmunya. Meskipun demikian, mata Empu Baladatu yang tajam dan
mengenalnya yang baik terhadap ilmu hitam itu, ia dapat
menangkap beberapa kesemaan pada sumber geraknya. Karena
itulah, maka nampaknya orang-orang berilmu hitam itu sangat
menarik perhatiannya. Malam itu, Empu Baladatu telah menyaksikan bagaimana
kakaknya mengawetkan binatang buruannya, sehingga jumlah
binatang yang berjajar di rumahnya telah bertambah dengan seekor
harimau loreng yang sangat besar.
Namun demikian, Empu Baladatu merasa seolah-olah
kedatangannya itu sia-sia. Ia tidak dapat mengemukakan
maksudnya, setelah ia mengetahui, bagaimana tanggapan kakaknya
yang sebenarnya terhadap pimpinan pemerintahan Singasari yang
sedang berjalan. Ternyata kakaknya sangat mengagumi kedua
anak-anak muda yang memegang pemerintahan itu. Ranggawuni
dan Mahisa Campaka. Dan iapun telah melihat sendiri, bagaimana
anak muda yang bernama Ranggawuni itu mampu menangkap
seekor harimau, melampaui kemampuan kakaknya. Jika kakaknya
berhasil menangkap harimau itu mati, maka Ranggawuni berhasil
menangkap harimau itu hidup-hidup.
Tetapi Empu Baladatu bukan orang yang mudah berputus asa. Ia
sudah berada dalam tenggelam di dala angan-angannya, bahwa ia
akan menemukan jalan untuk menjangkau ke tempat yang bagi
orang lain hanya sekedar mimpi.
"Aku tidak peduli apakah aku dijangkiti oleh penyakit gila. Tetapi
aku tidak akan mundur. Betapapun dahsyatnya ilmu Ranggawuni
1786 dan Mahisa Campaka. namun pada suatu saat aku tentu akan dapat
mengimbanginya, asal dengan tekun meningkatkan ilmuku yang
pada dasarnya tidak ada bandingnya di muka bumi." berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya.
Ternyata Empu Baladatu telah mempunyai rencananya sendiri.
Itulah sebabnya maka ia tidak dapat terlalu lama tinggal bersama
kakaknya. Setelah ia melihat bagaimana caranya kakaknya
menganwetkan binatang-binatang buruannya, dan yang penting
karena ia tidak akan mendapatkan apa-apa di padopokan itu, maka
ia tidak betah tinggal terlalu lama. Di hari berikutnya, maka Empu
Baladatu pun minta diri untuk meninggalkan padepokan kakaknya
itu. "He, kenapa kau pergi begitu cepat.?" bertanya Empu
Sanggadar. "Aku sudah lama meninggalkan padepokanku kakang.
Kedatangan orang-orang Serigala Putih mengingatkan aku kepada
padepokanku. Meskipun aku tidak mempunyai lawan yang mungkin
mendendamku, tetapi rasa-rasanya aku menjadi gelisah jika aku
mengenangkan ceriteramu tentang orang-orang Serigala Putih yang
singgah di padepokan ini dan yang ternyata kemudian menimbulkan
persoalan yang berkepanjangan."
"Tetapi bukankah ada orang-orangmu yang menunggui
padepokan?" "Tidak banyak. Padepokanku adalah padepokan yang terlalu
kecil dibandingkan dengan padepokanmu."
"Tetapi bukankah kau masih akan pergi berburu lagi?"
"Lain kali aku akan datang kemari lagi kakang. Aku masih
mempunyai beberapa keinginan. Tetapi rasa-rasanya aku sekarang
selalu digelisahkan oleh keadaan padepokanku yang sudah cukup
lama aku tinggalkan itu."
Empu Sanggadaru hanya dapal mengaugguk-auggukkan
kepalanya, la tidak akan dapat menahan adiknya terlalu lama. Jika
1787 benar-benar terjadi sesuatu, maka adiknya tentu akan
menyalahkannya. "Baiklah Baladatu. Jika kau akan kembali, aku hanya dapat
mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan kau tidak menemui
kesulitan di perjalanan."
"Terima kasih kakang. Aku akan datang pada saatnya."
Empu Sanggadaru tidak dapat menahan lagi. Di pagi hari
berikutnya, Empu Baladatu pun kemudian meninggalkan padepokan
kakaknya yang ternyata masih saja diliputi oleh kesiagaan. Apalagi
ketika penghuni padepokan itu menyadari, bahwa orang-orang
Serigala Putih adalah orang-orang yang telah menggemparkan
padepokan itu meskipun mereka harus meninggalkan beberapa
orang korban. Dan mereka pun segera teringat kepada ciri-ciri yang
pernah mereka lihat pada korban korban itu.
(Bersambung ke jilid 25) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1788 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 25 JUSTRU setelah keadaan menjadi
tenang, maka orang-orang di
padepokan, Sanggadaru dapat
melihat dengan jelas, hubungan dari
peristiwa-peristiwa yang susul
menyusul terjadi. Serigala Putih dan
gambar Serigala dengan mulut
menganga itu ternyata telah
berusaha melepaskan dendamnya,
namun yang terjadi adalah
sebaliknya. "Aku tidak sampai hati
membinasakan mereka yang telah
menyerah" berkata Empu
Sanggadaru kepada orang-orangnya, "meskipun aku sadar, bahwa
mungkin sekali pada suatu saat dendam itu menyala lagi didalam
hati mereka meskipun mereka mengatakan, bahwa mereka tidak
akan mempergunakan senjatanya lagi selain untuk membela, diri."
"Pada suatu saat mereka akan merasa kuat lagi" berkata salah
seorang cantriknya, "jika demikian maka mereka akan datang dan
mencoba untuk menebus kekalahannya."
"Tetapi sudah tentu tidak dalam waktu yang dekat" jawab Empu
Sanggadaru. 1789 "Kecuali jika mereka mendapatkan bantuan dari pihak lain, atau
pihak yang sengaja ingin mendapatkan, keuntungan dari benturan
itu." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Karena itu
jangan pernah menjadi lengah, kapanpun juga. Setiap saat kita
akan dapat menjadi sasaran dendam."
Para cantrik dari padepokan itu pun menyadari bahwa dendam
itu memang setiap saat dapat membakar padepokannya, sehingga
karena itu, maka merekapun tidak meninggalkan kewaspadaan.
Dalam pada itu, maka orang-orang Serigala Putih itupun ternyata
telah selamat sampai ke padepokan mereka. Meskipun demikian,
ternyata kedatangan mereka dengan membawa mayat kedua orang
kawannya, bahkan salah seorang dari keduanya yang terbunuh itu
adalah pemimpin mereka, telah membuat seisi padepokan itu
menjadi cemas dan marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apapun juga, setelah kawan-kawan mereka yang mengalami
pertempuran yang dahsyat itu menceriterakan betapa lawan mereka
memiliki ilmu yang tinggi.
"Apakah kalian berkata sebenarnya?" bertanya salah seorang
dari mereka yang tinggal di padepokan sehingga tidak dapat melihat
sendiri, apa yang telah terjadi.
"Kau sangka bahwa kami ini sekelompok pengecut", Kami
menyadari, bahwa kami adalah orang-orang terbaik dari padepokan
ini. Apa yang kami katakan, tentu dapat kalian bayangkan. Jika
kalian yang mengalaminya, maka kalian tentu akan mati membeku
ditempat." Tidak ada yang menjawab. Tetapi dari wajah-wajah mereka
nampak keheranan dan bahkan kurang mengerti apa yang
sebenarnya terjadi, bahwa pemimpin mereka yang mereka kagumi
itu telah terbunuh. "Kita harus merahasiakannya sejauh dapat kita lakukan" berkata
seorang yang tertua diantara mereka. Yang lain menyadari, bahwa
kematian itu akan dapat berakibat buruk bagi padepokan mereka.
1790 Karena itu salah seorang dari mereka berkata, "Orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang tentu akan memanfaatkan kematian
ini. Dan itu berarti bencana."
"Kita jangan terlampau terpengaruh oleh kematian satu atau dua
orang dari antara kami. Jumlah kami masih cukup banyak untuk
menghadapi orang-orang Macan Kumbang. Tetapi jangan ingkar
akan kenyataan yang kita hadapi. Jika kita salah menilai diri sendiri,
maka akibatnya akan sangat pahit. Kematian pemimpin kita
merupakan kelemahan yang tidak akan dapat kita tutup-tutupi lagi
jika kita benar-benar telah berhadapan dengan orang-orang Macan
Kumbang. Pemimpin gerombolan Macan Kumbang yang juga
menyebut dirinya bernama Macan Kumbang itu, merupakan orang
yang sangat berbahaya. Hanya pemimpin kita sajalah yang akan
dapat menghadapinya."
"Kita hadapi dengan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari tiga
atau empat orang pilihan."
"Kau sangka ia datang seorang diri" Tentu merekapun akan
dapat menyingkirkan yang tiga atau empat orang itu dengan tiga
atau empat orang dari lingkungan mereka."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Baiklah" berkata orang tertua, "kita tetap melihat kenyataan itu.
Tetapi kita jangan mati ketakutan. Mungkin jika terjadi benturan,
kita akan tumpas. Tetapi tentu lebih separo dari mereka pun akan
terbunuh." Kawan-kawannya memandanginya dengan tajam. Namun
kemudian salah seorang dari mereka bergumam, "Kau benar. Kita
adalah laki-laki yang telah berani menamakan diri Serigala Putih."
Dengan rahasia, orang-orang Serigala Putih itu menguburkan
pemimpin mereka yang terbunuh itu, agar gerombolan mereka
kemudian tidak menjadi liar, maka mereka telah memilih orang
tertua di antara mereka, bukan saja umurnya, tetapi juga ilmunya
untuk memimpin mereka. 1791 "Aku bersedia saja. Tetapi kalian harus patuh meskipun tidak
seperti terhadap pemimpin kita yang sudah terbunuh" berkata orang
tertua itu, "selanjutnya, kalian harus berusaha sejak sekarang,
untuk meningkatkan ilmu. Jauh lebih tekun dari waktu yang sudahsudah.
Kehilangan yang kita alami, akan kita tebus dengan
meningkatnya kemampuan kita seorang-seorang. Dengan demikian,
maka kita tidak akan menjadi terlalu lemah, seperti seekor kijang di
hutan belantara yang dihuni oleh harimau dan serigala liar."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang
menyahut "Kami akan melakukannya dengan sepenuh hati. Kami akan
melatih diri sejauh dapat kami lakukan. Karena kami yakin, bahwa
orang-orang Macan Kumbang itu tentu akan datang, lambat atau
cepat." Orang tertua itu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjukkan kecemasan yang sebenarnya tetap mencengkam
hatinya karena ia lidak dapat menyembunyikan pengakuan, bahwa
tidak akan ada kekuatan yang dapat mencegah orang-orang dari
Macan Kumbang dengan pemimpinnya yang ditakuti, untuk
menghancurkan orang-orang Serigala Putih yang seolah-olah telah
kehilangan taring itu. "Pemimpin kami pun masih harus mempertimbangkan berulang
kali jika terpaksa harus berperang tanding dengan pemimpin Macan
Kumbang yang garang itu. Apalagi tanpa orang yang kita anggap
sebagai pelindung itu, kita tentu akan dengan mudah dapat
dihancurkannya." Tetapi seperti yang dikatakannya, orang-orang Serigala Putih itu
dengan tekun melatih diri. Seorang-seorang tanpa mengenal lelah.
Dengan cara yang paling kasar sekalipun. Bahkan mereka seolaholah
telah benar-benar menjadi liar dan buas seperti sekelompok
Serigala yang kelaparan. Mereka memenuhi semua keinginan yang
tumbuh di dalam hati, untuk menyatakan diri dalam kebulatan
tekad, karena keinginan yang belum terpenuhi pada hakekatnya
1792 akan dapat menjadi penghambat semua usaha dan pemusatan
pikiran dan kehendak. Dengan demikian orang-orang dari Serigala Putih itu sama sekali
tidak mempertimbangkan cara-cara pemenuhan keinginannya,
meskipun cara itu oleh kebanyakan orang dianggap melanggar segisegi
peradaban sekalipun. Namun demikian, rasa-rasanya perkembangan ilmu mereka itu
maju dengan lambatnya. Apalagi sudah tidak ada lagi dari antara
mereka yang dapat membimbing dan memberi petunjuk-petunjuk
yang berarti. Beberapa orang yang sudah mendapat kepercayaan
untuk menularkan ilmunya kepada para pengikut yang lebih muda
dalam usia dan ilmunya, hanya mampu mendorong mereka itu
untuk maju selangkah demi selangkah yang pendek dan lemban.
Meskipun demikian mereka berjalan terus. Maju dengan lambat
adalah jauh lebih baik dari tidak bergerak sama sekali.
Namun, sebelum mereka mencapai kemampuan yang mereka
harapkan, ternyata yang mereka cemaskan itu telah datang. Dengan
hati yang kecut, seorang pengikut gerombolan Serigala Putih telah
bertemu dengan tiga orang yang tidak mereka kenal, yang agaknya
dengan sengaja telah menjumpainya. Dengan sengaja ketiga orang
itu berdiri berjajar di tengah jalan memasuki padepokan gerombolan
Serigala Putih. "Kau memang luar biasa" desis salah seorang dari ketiga orang
itu. "Kau siapa?" bertanya orang Serigala Putih.
Ketiga orang itu tertawa. Katanya, "Kau terlampau berani keluar
seorang diri dari padepokanmu. He, darimana kau sebenarnya?"
"Aku baru saja kepategalan."
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Lalu yang seorang
berkata, "Kita bunuh saja tikus ini."
1793 Yang tertua di antara ketiga orang itu menggeleng, "Jangan. Ia
harus dapat kita jadikan alat untuk menyampaikan kepada kawankawannya,
bahwa saat ajal mereka telah tiba."
"Mereka akan pergi mengungsi."
"Dan kita akan bertepuk sambil bersorak-sorak. Perguruan
Serigala Putih yang terkenal, ternyata hanya berisi serigala betina
yang ketakutan melihat taring seekor Macan Kumbang."
"Kau dari Macan Kumbang?" tiba-tiba saja orang dari Serigala
Putih itu bertanya. Ketiga orang itu tertawa bersamaan. Salah seorang menjawab.
"Seharusnya kau sudah mengetahuinya, bahwa aku adalah orangorang
Macan Kumbang meskipun di antara kami jarang sekali yang
membuat ciri-ciri gambar seperti di pergelangan tangan orang
Serigala Putih, atau di lengannya, di kakinya bahkan di perutnya."
Ketiga orang Macan Kumbang itu tertawa. Yang seorang pun
kemudian berkata, "He, apakah kau kira kami tidak mengetahui
bahwa pemimpinmu sudah mati."
Orang Serigala Putih itu terkejut.
"Jangan terkejut. Betapapun kau mencoba merahasiakannya,
tetapi kami sudah mengetahuinya. Meskipun kami belum berhasil
mendapat keterangan, siapakah yang telah membunuh
pemimpinmu itu." "Kau bermimpi" sahut orang Serigala Putih , "pemimpin kami
tidak akan dapat mati sampai saatnya matahari itu merunduk
sampai ke ujung Tanah Singasari. He, apakah kau sedang mengigau
orang Macan kelaparan."
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun salah seorang berkata,
"kata-katamu tidak meyakinkan. Besok atau lusa, kami pun akan
segera mengetahui, siapakah yang telah membunuhnya. Mungkin
sekelompok prajurit Singasari, tetapi mungkin orang yang namanya
lamat-lamat pernah kami dengar, Mahisa Bungalan dan Linggadadi,
pembunuh orang-orang berilmu hitam. Nah, apakah kau menyadari
1794 bahwa ilmumu dan ilmuku itu bersama-sama mengambil sumber
dari ilmu hitam." "Persetan dengan orang yang bernama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi. Ternyata, seorangpun dari antara kami belum ada yang
menjadi korbannya." "Namun tiba-tiba langsung pemimpinmu."
"Tidak. Ia tidak mati karena Mahisa Bungalan atau Linggadadi."
"Jadi s iapa?" "Angan-angan yang cukup gila. Sudah aku katakan, bahwa
pemimpin dan guruku itu tidak akan dapat mati sampai akhir
jaman. Kau ingat, sampai akhir jaman. Dan kau akan mati lebih
dahulu daripadanya."
Orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang itu tertawa
terbahak-bahak. Salah seorang dari mereka berkata di antara suara
tertawanya, "Kau sudah gila. Kematian pemimpinmu membuat
orang-orangnya menjadi gila seperti kau. Apakah kau benar
menganggap bahwa gurumu belum mati?"
Pertanyaan itu cukup membingungkan. Tetapi ia masih tetap
menjawab, "Ya. Aku menganggap bahwa pemimpinku masih belum
mati." "Jangan hiraukan kata-katanya. Sebaiknya orang itu di bunuh
saja. Biarlah orang-orang Serigala Putih marah. Jika benar
pemimpinnya masih hidup, biarlah ia datang kepadepokan kami
untuk menuntut balas."
Orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi berdebar. Jika
ketiga orang itu benar-benar akan membunuhnya, maka sudah
tentu ia tidak akan dapat melawan. Tetapi lebih baik baginya
membawa salah seorang dari mereka mati daripada menyerahkan
lehernya untuk dijerat dan diseret sepanjang jalan.
Tetapi ternyata salah seorang dari ketiga orang itu
mencegahnya. Katanya, "Biarkan ia hidup. Biarlah ia berceritera
1795 kepada kawannya, bahwa gerombolan Serigala Putih dimata orangorang
Macan Kumbang sudah tidak berarti lagi. Mereka adalah
segerombolan orang yang perlu dikasihani dan dilindungi."
"Gila" teriak orang dari gerombolan Secigala Putih
"Aku akan dapat membunuh kalian bertiga."
Orang yang mencegah untuk membunuhnya tertawa
berkepanjangan. Katanya, "Ternyata kau masih mempunyai harga
diri. Tetapi kami tidak akan merubah keputusan ini. Kau kami beri
kesempatan untuk tetap hidup. Dengan demikian kau harus
berterima kasih kepada kami, bahwa nyawamu yang sebenarnya
tergantung di tangan kami itu, tidak kami renggut dari tubuhmu."
"Persetan. Kalian akan menyesal bahwa kalian tidak
membunuhku sekarang."
Orang dari gerombolan Macan Kumbang itu masih tertawa,
"Pulanglah. Jangan merajuk. Katakan kepada orang-orangmu. Yang
ingin tetap hidup, supaya meninggalkan padepokannya dan
mengungsi kemana saja yang mereka kehendaki. Tetapi jika kalian
jantan, tunggulah kehadiran kami bersama kawan-kawan kami.
Kami akan datang untuk menumpas kalian. Meskipun kau tetap
berkeras, bahwa pemimpinmu masih tetap hidup sampai sekarang."
Orang dari gerombolan Seriggla Putih itu menggeretakkan
giginya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apapun juga ketika orangorang
gerombolan Macan Kumbang itu dengan penuh hinaan
meninggalkannya. Orang dari gerombolan Serigala Putih itu termangu-mangu.
Namun kemudian iapun melangkah dengan hati yang berdebardebar.
Tentu ketiga orang itu tidak hanya sekedar mengancam.
Mereka tentu akan melakukannya.
Ketika ia sampai di padepokannya, maka ia pun segera
melaporkan apa yang baru saja dialaminya kepada orang yang
untuk sementara dianggap sebagai pemimpinnya.
1796 Orang tertua itu pun mengerutkan keningnya. Dengan suara
yang dalam ia berkata, "Dugaan kita benar. Mereka pada suatu saat
tentu akan mengetahuinya dan akan datang kepadepokan ini."
"Siapakah yang telah membocorkan rahasia ini?" bertanya salah
seorang dari mereka. "Kita tidak usah mencari-cari. Dengan demikian tentu akan timbul
kecurigaan di antara kita masing-masing. Yang penting sekarang,
bagaimana kita menghadapi mereka."
Orang-orang dari gerombolan Serigala Putih itu menjadi tegang.
Kehadiran orang-orang Macan Kumbang dapat menghancurkan
mereka sama sekali, sehingga apa yang telah mereka bangunkan
selama itu akan lenyap begitu saja.
"Ternyata pemimpin kita salah hitung. Pemburu yang memakai
pakaian kulit harimau itu, memiliki ilmu yang tidak ada taranya.
Sekarang, ternyata kita mengalami akibat yang parah. Dengan tidak
langsung kita sudah mengumpankan diri kita ke mulut gerombolan
harimau liar itu." Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi semuanya itu sudah
terjadi sehingga tidak akan ada lagi gunanya untuk disesali.
"Ada beberapa kemungkinan" orang tertua itu berkata, "jika kita
ingin menyelamatkan diri untuk sementara, kita masih mempunyai
waktu, kita dapat meninggalkan padepokan ini. Tetapi dengan janji
di dalam hati, bahwa kita akan kembali pada saat yang tepat.
Sedang kemungkinan yang lain adalah, kita melawan sampai orang
terakhir. Jika kita memilih yang kedua, maka kita akan melepaskan
perempuan dari lingkungan padepokan ini bersama anak-anak.
Mereka sama sekali tidak akan berarti dalam pertempuran semacam
itu. Biarlah mereka mencari jalan hidup mereka masing-masing."
"Kenapa kita harus memikirkan mereka" Bagi kita, apapun yang
akan terjadi atas mereka, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan-
Perempuan itu hanya akan membebani kita dengan berbagai macam
kesulitan." 1797 "Bukan mereka. Tetapi anak keturunan kita harus di selamatkan.
Itulah tugas mereka. Perempuan-Perempuan itu harus dapat
menyelamatkan anak-anak, terutama anak-anak laki, sehingga kelak
mereka akan dapat mengambil kembali padepokan ini."
"Jangan hiraukan. Sekarang, yang penting, apakah kita akan
melawan atau melarikan diri untuk sementara."
Orang tertua dari gerombolan Serigala Putih itupun kemudian
berkata, "Kita akan tetap tinggal di sini. Bagaimana pendapat
kalian?" Kawan-kawannya pun nampak berpikir sejenak. Ada keraguraguan
di dalam hati masing-masing. Sebagian benar-benar menjadi
cemas. Namun sebagian yang lain ingin mempertimbangkan
kemungkinan itu dengan nalar.
"Apakah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang sia-sia"
berkata salah seorang dari mereka, "kita tidak lagi harus bermimpi.
Tanpa pemimpin dan guru kita, kita tidak akan dapat melawan
orang-orang dari gerombolan Macan Kumbang. Itu sudah kita
sadari. Jika demikian apakah ada gunanya kita bertahan?"
"Lebih baik kita menyingkir. Tetapi pada saatnya kita akan
kembali" sahut yang lain , "apakah bukan begitu?"
"Kita bukan pengecut" seorang yang bertubuh raksasa
memotong , "tidak ada gunanya kita lari. Mereka tentu akan
mengejar terus. Kita tahu, bukan padepokan inilah yang sebenarnya
mereka cari. Tetapi kita. Daripada kita hidup dengan kecemasan dan
merasa diri kita selalu dikejar-kejar oleh orang-orang dari
gerombolan Macan Kumbang, alangkah baiknya jika kita mati
bersama mereka. Jika kita akan tumpas, maka yang akan tetap
hidup di dalam lingkungan orang-orang gerombolan Macan
Kumbang tentu tinggal pemimpinnya itu saja."
Kata-kata orang bertubuh raksasa itu ternyata, telah menyentuh
perasaan setiap orang yang mendengarkannya. Bahkan orang tertua
itupun segera menambah, "Itu adalah sifat jantan. Kita akan mati di
1798 atas tanah padepokan ini, dimana kita. mendapat ilmu yang selama
ini telah membekali setiap kerja yang kita lakukan."
"Aku sependapat. Perempuan harus menyingkirkan anak-anak
kita. Mereka boleh membawa bekal dari barang-barang yang masih
ada di dalam persediaan kita. Hasil-hasil yang kita. peroleh selama
ini dengan menjelajahi daerah-daerah yang terasing dari
pengawasan prajurit Singasari, dapat, dijadikan bekal untuk
menumbuhkan anak-anak kita yang kelak akan mengambil
padepokan ini kembali." sahut orang bertubuh raksasa itu.
"Tetapi bagaimana jika Perempuan-Perempuan itu ternyata
mementingkan diri mereka sendiri, dan bukan mementingkan anakanak
kita." "Kita akan membunuhnya dan melemparkannya ke dalam
sungai." "Siapakah yang akan melakukannya jika kita semua sudah mati?"
"Tidak. Orang-orang tua pun akan pergi bersama perempuanperempuan
itu. Laki-laki yang meskipun sudah tua, dapat
membunuh Perempuan-Perempuan yang ingkar akan kewajibannya
terhadap anak-anak dan mementingkan diri sendiri."
Orang-Orang dari gerombolan Serigala Putih yang berilmu hitam
itu mengangguk-angguk. "Nah" berkata orang tertua, "kita akan menunggu. Hari ini, besok
atau lusa. Kita akan tetap berlatih dengan sekuat tenaga, meskipun
kemampuan kita hanya akan bertambah seujung rambut. Tetapi itu
lebih baik daripada tidak sama sekali."
"Ya. Kita akan berlatih agar kita tetap dalam kesiagaan tertinggi."
"Tetapi" orang tertua itu memperingatkan, "jangan kalian
habiskan tenaga kalian, agar jika kita benar-benar harus bertempur
kita tidak akan kelelahan."
"Ya. Kita harus menghemat tenaga" sahut yang lain.
1799 "Sekarang" berkata orang tertua itu, "suruhlah perempuanperempuan
pergi dengan membawa anak-anak. Mereka
bertanggung jawab. Berilah mereka bekal. Suruhlah laki-laki tua
mengawasi Perempuan-Perempuan itu. Yang lain tetap disini dan
bertempur sampai orang terakhir."
"Kemanakah anak-anak kita harus dibawa."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekehendak perempuan-perempuan itu sendiri."
"Berilah petunjuk. Jika kita tidak dapat ditumpas oleh orangorang
gerombolan Macan Kumbang, kita akan menjemput anakanak
Pendekar Binal 11 Wiro Sableng 127 Mayat Persembahan Pendekar Aneh Naga Langit 30