Sepasang Ular Naga 28
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 28
pakaian kulit harimau memang terlalu panas. Tetapi bagiku ini
adalah suatu kebanggaan." Empu Sanggadaru menjawab.
Anak muda yang berkuda dipaling depan mengangguk Katanya,
"Ternyata kau lebih beruntung dari padaku. Aku belum mendapat
seekor binatangpun selain seekor rusa kecil yang sudah kami
jadikan santapan kami sejak kemarin."
"O, kamipun baru mendapatkan dua ekor harimau."
Orang-orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun
sementara itu Empu Sanggadaru masih bertanya, "Kau belum
menjawab Ki Sanak, siapakah kalian sebenarnya?"
Sekali lagi anak muda yang berkuda dipaling depan mendahului
ketika yang berada di belakangnya sudah siap untuk menjawab,
"Kami adalah perantau yang tidak banyak dikenal. Namaku Rute.
Kedua kawanku ini adalah Tanca dan Sasak."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun ia melihat
perubahan wajah kedua orang yang berkuda di belakang anak muda
yang menyebut tiga buah nama itu, sehingga baik Empu
Sanggadaru maupun orang-orang lain yang bersamanya, segera
mengetahui bahwa nama-nama itu bukanlah nama yang
sebenarnya. Tetapi mereka sama sekali tidak mempedulikannya, karena
mereka memang dapat saja berpapasan di jalan dengan orang yang
bernama siapapun juga. Namun dalam pada itu, ternyata kedua ekor harimau itu sangat
menarik perhatian ketiga pemburu berkuda itu. Sehingga mereka
seolah-olah tidak melepaskan tatapan mara mereka kepada
harimau-harimau itu. 1678 "Ki Sanak." tiba-tiba anak muda yang berkuda dipaling depan
berkata, "Apakah kedua ekor harimau itu juga akan kalian bawa
pulang?" "Ya, tentu Ki Sanak."
"Menarik sekali, bahwa kalian berhasil menjerat harimau itu dan
menangkapnya hidup-hidup."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
"Ya. Semalam suntuk kami memasang jaring. Yang seekor terpaksa
kami bunuh, karena berhasil melepaskan diri dari jaring kami."
Anak muda berkuda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bukan
kau pemburu-pemburu yang memang pekerjaanmu berburu?"
"Ya, ya anak muda."
"Lalu untuk apakah hasil buruanmu itu?"
"O." Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya, "Aku adalah pengumpul binatang buruan. Kulitnya,
tulang-tulangnya dan bahkan aku mengeringkannya jika malang
buruan kami dapat kami tangkap utuh."
Anak muda itu mengangguk. Lalu katanya, "Jika demikian tentu
kalian juga mendapatkan nafkah kalian dari perburuan yang kalian
lakukan." "Tidak seluruhnya Ki Sanak, karena kami juga bertani di
padepokan kami." "Bagus. Nah, sekarang, kami ingin memiliki salah seekor harimau
buruanmu itu. Apakah aku dapat membelinya" Aku ingin
menyimpannya dan mengeringkannya. Seorang saudaraku memiliki
kemampuan untuk mengeringkan binatang, karena ia mengetahui
reramuan yang dipergunakan untuk itu."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya, lalu jawabnya, "Maaf
Ki Sanak. Kami pada dasarnya memang seorang pemburu yang
sebagian besar hidup kami, kami habiskan untuk berada di tengahtengah
hutan seperti sekarang ini. Tetapi bukan maksud kami untuk
1679 menjual hasil buruan kami, karena kami. adalah orang-orang yang
senang akan hasil buruan kami bagi perhiasan rumah kami.
Selebihnya adalah kebangggaan kami untuk menempatkan hasilhasil
buruan kami itu sebagai pajangan, dan dikagumi oleh tamutamu
kami." Anak muda yang berkuda dipaling depan itu berpaling
memandang kedua orang kawannya. Anak muda yang seorang lagi
kemudian berkata, "Kau dapat memberikan harga berapa saja asal
masih cukup wajar. Kami mengagumi kemampuanmu menangkap
dua ekor harimau itu sekaligus. Padahal kami datang lebih dahulu
daripadamu. Jika kami mengambil seekor maka kalian masih
mempunyai seekor yang sama besarnya dan sama garangnya."
Empu Sanggadaru memandang Ranggawuni sejenak. Namun
sebenarnya ia hanya sekedar ingin meyakinkan, karena sudah pasti
bahwa permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya.
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan kepalanya
kemudian terangguk kecil, karena seolah-olah ia pun dapat
membaca maksud Empu Sanggadaru.
"Ki Sanak." berkata Empu Sanggadaru kemudian kepada ketiga
orang itu, "Sayang sekali, bahwa kami tidak akan dapat memenuhi
permintaanmu. Kami dengan bangga akan dapat mengeringkan
sepasang harimau ini. Jantan dan betina. Namun kami masih juga
ingin mencoba untuk menyembuhkan harimau jantan ini dari
kejutan saat ia terperangkap, agar kemudian dapat kami pelihara di
samping yang sudah mati. Tetapi apabila tidak mungkin, maka
terpaksa kemipun akan mengeringkannya dan memasangnya di
depan pintu pringgitan."
Anak muda yang berkuda dipaling depan mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, "Jangan mempersulit keadaan. Aku akan
memberikan imbalan. Aku tidak hanya akan sekedar merampas."
"Kami tahu Ki Sanak. Tetapi kami minta maaf."
Anak muda yang berkuda di belakangnyapun berkata, "Apakah
keberatanmu" Kau dapat mencari harimau yang lain."
1680 "Sulit sekali untuk menemukan harimau sebesar ini Ki Sanak."
jawab Empu Sanggadaru, "Karena itu, kami tidak akan dapat
melepaskannya." "Kalian memang keras kepala. Apakah kalian sama sekali tidak
berniat untuk mendapatkan uang cukup" Dan kemudian memasuki
hutan ini lebih dalam lagi dan mendapatkan harimau yang lebih
besar?" "Tidak." "Persetan." geram anak muda yang berkuda dipaling depan,
"Kalian keras kepala. Buat apa sebenarnya kalian berburu, jika
hanya akan kau timbun di dalam rumahmu saja tanpa menghasilkan
apa-apa?" "Itu urusan kami." tiba-tiba Empu Baladatu yang lebih panas
menjawab. Ia tidak sabar lagi melihat anak-anak muda yang
baginya terlalu sombong, sedang seorang yang nampaknya lebih
tua sama sekali tidak berbicara apa-apa.
Mendengar jawaban Empu Baladatu, anak muda yang berada di
tengah itu mengerutkan keningnya. Dengan geram ia berkata, "Kau
jangan membentak pemburu gila. Kau sangka kami ini pengemis
yang datang untuk minta-minta belas kasihan. Jika kalian
berkeberatan, sudahlah. Tetapi jangan menganggap kami seperti
binatang yang diusir dengan kasar."
"Kami muak melihat tingkah laku kalian." geram Empa Baladatu.
Sementara itu Empu Sanggadaru sempat menggamitnya agar
adiknya tidak bersikap terlalu kasar, karena di antara mereka yang
sedang berburu itu terdapat Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Tetapi Empu Baladatu memang bukan seorang yang dapat
menyabarkan diri. Karena itu, maka iapun justru mengibaskas
tangannya sambil berkata, "Biar sajalah. Aku benci melihat anakanak
muda yang sombong. Ia merasa dirinya terlampau kaya dan
dapat membeli apa saja dengan uangnya."
1681 "Tutup mulutmu." bentak anak muda yang dipaling depan, "Aku
masih mencoba menyabarkan diri."
"Aku tidak perlu kesabaranmu. Pergilah, dan jangan memaksa
kami menjual hasil buruan kami, sebab dengan demikian kalian
hanya akan menimbulkan kemarahan kami."
"Kau mencoba mengusir kami" Kau mengira bahwa kami takut
melihat tampangmu. Meskipun kalian beramai-ramai dapat
menangkap sepasang harimau sebesar itu, karena kami akan dapat
melumatkan kepalamu dengan sentuhan tanganku."
Empu Baladatu pun tiba-tiba menjadi marah. Namun Empu
Sanggadarulah yang melangkah maju sambil berkata, "Sudahlah Ki
Sanak. Kita tidak akan mengadakan pembicaraan jual beli. Kami
persilahkan Ki Sanak mencari langsung ke jantung hutan ini.
Mungkin di tengah-tengah hutan yang lebat ini, masih akan dapat
dipertemukan harimau sebesar harimau-harimau itu."
"Kami tidak bernafsu sekali untuk mendapatken seekor harimau."
jawab anak muda yang berkuda dipaling depan, "Tetapi jangan
bersikap seperti seorang pahlawan di medan perang menghadapi
lawannya yang sudah menyerah."
"Pergilah." Empu Baladatu masih membentak. Ternyata bahwa
.bentakan itu benar-benar telah membakar hati anak muda yang
berkuda di tengah. Karena itu sekali lagi anak muda itu
mengancam, "Jika kau tidak mau menutup mulutmu, aku akan
membungkamnya." "Setan alas." geram Empu Baladatu, "Cobalah kau lakukan. Aku
akan dapat mengelupas kulitmu seperti pisang."
Kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang
berkuda itu. Ternyata mereka telah pernah mendengar istilah yang
diucapkan oleh pemburu itu. Namun dengan demikian, maka
mereka pun kemudian menjadi berhati-hati.
1682 "Marilah." tiba-tiba orang yang paling tua di antara mereka
berkata, "Kita tinggalkan mereka. Sudah mereka katakan, bahwa
mereka tidak akan menjual hasil buruan mereka."
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun sekali lagi yang
tua itu berkata, "Marilah. Kita akan mencari sendiri."
Namun kedua anak muda itu masih belum beranjak dari
tempatnya, Bahkan wajah mereka menjadi merah membara karena
kemarahan yang semakin memuncak.
Sejenak suasana menjadi tegang. Baik yang berada di punggung
kuda, maupun yang berdiri di atas tanah saling berdiam diri dengan
tegangnya. Agaknya kedua anak muda yang berkuda itu benar-benar telah
dibakar oleh kemarahannya, sehingga nampaknya mereka benarbenar
akan bertindak kasar. Tetapi Empu Baladatu pun tidak lagi
dapat menahan hatinya, sehingga ia pun, siap untuk bertempur
dengan caranya. Sementara itu Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal
memandang ketiga orang berkuda itu dengan saksama. Dari sorot
matanya dan sikapnya, mereka yakin bahwa ketiga orang itu
memang bukan orang kebanyakan.
Dalam pada itu, dalam ketegangan yang semakin memuncak,
orang yang paling tua dari ketiga orang berkuda itu berkata sekali
lagi, "Tidak pantas kita berkelahi di sini tanpa sebab yang
meyakinkan. Jika ada orang yang melihat peristiwa ini, maka akan
mudah menimbulkan salah duga. Mereka tentu mengira bahwa kita,
akan merampas harimau hasil buruan mereka, meskipun sebab
yang sebenarnya adalah sikap yang kasar dan menghina. Tetapi
alasan itu tentu kurang meyakinkan."
Anak muda yang berkuda dipaling depan menggeletakkan
giginya. Sementara Empu Baladatu telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. 1683 Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang memuncak,
Ranggawuni telah memberikan isyarat kepada Lembu Ampal untuk
mendekat. Kemudian iapun berbisik di telinganya, "Cegahlah
perkelahian yang mungkin dapat terjadi."
Lembu Ampal pun kemudian mengangguk sambil berdiri. Tepat
pada saatnya ia mendekati anak-anak muda itu sambil berkata,
"Kami minta maaf Ki Sanak. Mungkin sikap kami terlampau kasar.
Tetapi itu sudah menjadi sifat seorang pemburu. Karena itu, jika
bagi kalian, sifat itu kurang menyenangkan, maka biarlah sekali lagi
aku minta maaf." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bahkan iapun
kemudian menambahkan, "Kami terbiasa hidup dalam kekeras
lebatnya hutan dan binatang-binatang buas yang hanya
mengagungkan kekuatan sebagai lambang kekuasaan. Kami
memang minta maaf atas kekasaran kami."
Tetapi Empu Baladatu memotong, "Apakah kami membiarkan
mereka menghina kami kakang?"
"Tentu bukan maksudnya menghina." sahut Lembu Ampal,
"Biarlah mereka lewat. Mereka tidak akan memaksa untuk
mengambil harimau-harimau hasil buruan kita."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
mengerti sikap kakaknya dan Lembu Ampal. Sekilas dipandanginya
Ranggawuni dan Mahisa Campaka yang sama sekali tidak
menunjukkan gejolak perasaannya sama sekali.
"Orang-orang cengeng." geram Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun ia masih tetap menahan diri, karena ia tahu pasti, bahwa
yang ada di hadapannya itu adalah seorang Maharaja yang bukan
saja memiliki kewibawaan, tetapi juga memiliki kemampuan yang
tidak ada taranya seperti yang sudah dilihatnya sendiri.
Tetapi justru karena itu ia bergumam di dalam hatinya "Tetapi
kenapa ia terlampau cengeng sehingga menghadapi orang-orang
gila yang sombong itu, mereka justru menghindari perselisihan
Menghadapi orang-orang yang demikain itu seharusnya justru
1684 memancing perselisihan, sehingga kemudian sekaligus
menghancurkan mereka tanpa ampun."
Tetapi kata-kata itu hanya melingkar di dalam dadanya saja,
karena Empu Baladatu tidak dapat mengucapkannya.
Dalam pada itu ketiga orang berkuda itu termangu-mangu. Dari
tatapan matanya, ketiganya melihat perbedaan yang memancar
pada sorot mata Lembu Ampal dari pemburu-pemburu yang kasar
itu, terutama orang yang telah mengucapkan kata-kata yang telah
menyetuh jantungnya. Karena itu, ketika orang tertua di antara mereka sekali lagi
mengajaknya meninggalkan tempat itu, maka anak-anak muda
itupun menggeretakkan giginya sambil menarik kendali kudanya.
"Keparat." desis yang paling depan.
"Sudahlah." potong yang tertua, "Kita akan mencari sendiri
kelak." Anak-anak muda itu tidak menyahut. Sementara itu yang tertua
itupun berkata, "Kami akan pergi. Bukan tujuan kami untuk berburu.
Jika kami singgah, sebenarnya kami hanyalah ingin memberikan
selingan dalam kehidupan kami yang barangkali sangat
menjemukan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa kami bukan
pemburu, karena kamipun sudah terbiasa berburu meskipun tidak di
sini Tetapi kali ini memang kami tidak sedang berburu."
"Silahkan." jawab Lembu Ampal, "Mungkin lain kali kalian dapat
kembali lagi kemari dan menemukan harimau sebesar itu."
Orang yang tertua itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab
lagi. Kudanyapun segera bergerak mengikuti kedua ekor kuda yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain. Ketika ketiga ekor kuda itu sudah hilang di balik dedaunan, maka
seorang anak muda di antara ketiga penunggang kuda itupun
berkata, "Aku sudah pernah mendengar kata-kata seperti yang
diucapkan oleh pemburu gila itu."
1685 "Ya." Jawab yang tertua di antara mereka, "Kita tidak akan dapat
melupakannya. Kata-kata itu selalu diucapkan oleh orang-orang
yang berilmu hitam."
"Hem." yang lain menggeram, "Aku adalah seorang yang
bergelar pembunuh orang berilmu hitam disamping Mahisa
Bungalan. Aku sudah berniat untuk membunuh mereka semuanya."
"Mereka berjumlah jauh lebih banyak dari kita. Dan aku melihat
sikap yang berbeda dari antara mereka itu."
Anak muda itu menggeram. Agaknya hatinya benar-benar
bergejolak melihat orang berilmu hitam di hutan yang lebat itu.
"Angger Linggadadi." berkata orang tua itu, "Kita tidak boleh
sekedar terbakar oleh perasaan. Kita harus mempertimbangkan
banyak segi menghadapi orang-orang berilmu hitam itu."
"Apa salahnya jika aku bertindak saat itu. Kita berjumlah tiga
orang. Diantara kita ada kakang Linggapati."
Orang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Linggapati sendiri
nampaknya juga sedang berusaha untuk menahan gejolak
perasaannya. "Angger Linggadadi." berkata orang tua itu, "Aku tidak sempat
menghitung dengan baik. Tetapi aku kira ada tujuh orang yang
menunggui dua ekor harimau itu."
"Apakah kita bertiga tidak dapat membunuh ketujuh orang
berilmu hitam itu. Mungkin satu dua di antara mereka adalah orangorang
terpenting di dalam lingkungan mereka. Tetapi tentu yang
lain sama sekali tidak berarti bagi kita."
"Itu adalah kata-kata hati yang terbakar oleh kemarahan dan
kebencian. Tetapi sebaiknya, biar sajalah mereka berkeliaran. Jika
mereka bertemu dengan Mahisa Bungalan, biarlah Mahisa Bungalan
menyelesaikannya." "Dan setiap orang akan berterima kasih kepada Mahisa Bungalan
itu. Sementara kita menyia-nyiakan kesempatan."
1686 "Jika terjadi sesuatu atas kita, tidak akan menguntungkan kita
sendiri, sedangkan jika kita berhasil membunuh mereka semuanya,
kita tidak akan mendapatkan apapun juga."
Dalam pada itu Linggapati berkata, "Kita sebaiknya memang
membiarkan mereka berkeliaran di hutan itu."
"Kenapa?" bertanya Linggadadi.
"Kita masih harus menyiapkan diri dan menyimpan kemampuan
kita untuk tujuan yang lebih besar daripada sekedar membiarkan
hati kita dibakar oleh kebencian kepada orang-orang berilmu hitam.
Sebutan pembunuh orang berilmu hitam itu agaknya telah
menyeretmu kepada sikap yang tidak terkendali meskipun akupun
hampir saja kehilangan pengamatan diri karena sikap orang itu
tentang harimaunya. Tetapi baiklah untuk sementara kita
melupakannya." Linggadadi menarik nafas. Namun iapun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Kita akan menunggu hingga pada suatu saat
yang tepat." "Mudah-mudahan mereka sudah binasa oleh Mahisa Bungalan.
Jika Mahisa Bungalan merintangi usaha kita merambas jalan ke
tahta Singasari, kitalah yang akan membinasakannya."
Demikianlah merekapun kemudian berusaha untuk melupakan
orang-orang yang ditemuinya di hutan itu. Dengan hati yang kosong
mereka meneruskan perjalanan mereka meninggalkan lapangan
sempit di hutan itu dan menelusuri lorong setapak menuju ke udara
terbuka. Namun dalam pada itu, agaknya perburuan yang pendek itu telah
menarik perhatian, sehingga Linggapatipun kemudian bergumam,
"Jika ada waktu yang lain, berburu agaknya memang sangat
menarik." "Ya." berkata Linggadadi, "Sebenarnya aku masih ingin
melanjutkan perburuan kali ini. Terapi agaknya waktu terlampau
sempit." 1687 Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, "Kita memang harus
segera kembali. Mudah-mudahan kehadiran kita yang lambat di
rumah tidak menumbuhkan kegelisahan."
Namun ketika di perjalanan keluar itu mereka melihat seekor
kijang melintas, maka tiba-tiba saja timbul keinginan Linggadadi
untuk mengejarnya. "Sudahlah." berkata Linggapati, "Mungkin kita akan terseret
kembali jauh ke dalam hutan ini."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengurungkan
niatnya untuk mengejar binatang buruan itu. Namun demikian ia
berkata, "Kakang Linggapati Apakah kita dapat berhenti sebentar di
mulut lorong itu. Aku masih ingin mendapatkan seekor binatang
buruan. Aku ingin membawa kepalanya kembali dan
mengeringkannya mumpung kita berada di hutan perburuan yang
agak lebat dan menyimpan banyak binatang."
"Kenapa tidak kau lakukan atas binatang yang kita langkap itu?"
Linggadadi termenung sejenak, lalu, "Tiba-tiba saja keinginan itu
timbul setelah aku melihat dua ekor harimau itu. Aku berharap
bahwa ada seekor harimau yang dapat kita ketemukan di sini."
"Jarang sekali harimau berkeliaran dibagian tepi hutan. Biasanya
harimau berada agak ke tengah." Tetapi harimau yang lapar
mungkin pula justru keluar hutan. Bahkan ada harimau yang
terpaksa berburu binatang peliharaan."
"Tetapi jarang sekali terjadi."
"Kita umpankan seekor dari kuda-kuda kita."
"Lalu, bagaimana dengan perjalanan kembali?" bertanya orang
yang paling tua. "Kita tidak benar-benar membiarkan kuda kita diterkam harimau.
Aku akan menunggunya dan membunuh harimau itu dengan pisau
belati." 1688 "Bagaimana jika sama sekali tidak ada harimau di daerah ini.
Sementara itu kira menunggu sampai jemu?"
"Kita akan membatasi waktu. Sampai tengah hari. Jika tidak ada
seekor binatangpun yang kita dapatkan, kita meneruskan
perjalanan. Tidak harus seekor harimau. Tetapi apa saja yang lewat
dan dapat kita tangkap."
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
menolak keinginan adiknya untuk membawa seekor binatang
buruan. Tetapi menunggu binatang buruan dibagian hutan yang sudah
semakin menepi, tentu tidak akan banyak memberikan harapan.
"Tidak akan banyak binatang yang kita temui di sini." berkata
orang yang tertua, "Mungkin seekor kijang, mungkin rusa atau
kancil. Tetapi tentu bukan seekor harimau."
"Apapun juga. Aku ingin membawa kepalanya pulang. Aku ingin
mengeringkannya dan memasangnya pada dinding bilik dalam. Itu
hanyalah suatu permulaan. Disaat-saat mendatang, aku akan
berburu lebih sering untuk mendapatkan binatang lebih banyak lagi.
Mungkin seekor harimau loreng, harimau kumbang atau seekor
banteng." Linggapati yang kemudian mengekang kudanyapun kemudian
berkata, "Kita akan berhenti di s ini Kita akan mengikat kuda kita dan
duduk menunggu sampai tengah hari."
"Kita akan masuk agak ke dalam. Jika jalan sempit ini sering
dilalui para pemburu, maka tidak akan seekor binatang pun yang
akan lewat di sini. Seekor kuda kita, akan kita ikat di dekat sebuah
gerumbul yang lebat. Sementara itu aku akan memanjat sebatang
pohon di dekatnya, agar aku sempat menerkam harimau yang
terpancing oleh kuda itu."
Linggapati tersenyum. Katanya, "Kali ini bukannya seekor
harimau yang menerkam mangsanya. Tetapi seekor harimau akan
diterkam oleh seseorang."
1689 Linggadadi pun tertawa pula. Namun katanya, "Tetapi aku tentu
akan berhasil membunuhnya jika ada seekor harimau yang
mendekat." Demikianlah maka merekapun segera mempersiapkan diri.
Mereka menuntun kuda mereka memasuki gerumbul-gerumbul di
pinggir jalan sempit itu.
"Biarlah ketiganya saja kita umpankan." berkata linggapati,
"Sehingga kita tidak perlu menunggu dua ekor yang lain."
"Bagus." desis Linggadadi, "Jika ada angin bertiup ke hindung
seekor harimau, maka harimau itu tentu akan mencarinya dan
menemukannya. Itu berarti bahwa kita akan mendapatkan seekor
harimau pula tanpa membeli dari orang-orang dungu itu."
Namun dalam pada itu, selagi mereka bersiap untuk
mengumpankan kuda-kuda mereka, mereka telah mendengar derap
kaki kuda mendekati, sehingga dengan demikian, merekapun
menjadi termangu-mangu karenanya.
"Siapakah mereka?"desis Linggadadi.
"Entahlah." jawab kakaknya. "Aku akan melihatnya."
Linggapatipun kemudian menyusup kembali mendekati jalan
sempit yang baru saja dilaluinya. Dari balik gerumbul ia menunggu,
karena ia ingin melihat siapakah yang akan lewat.
Dalam pada itu, ketika Ligngapati, Linggadadi dan seorang
pengiringnya telah meninggalkan Empu Sanggadaru, maka
Ranggawuni dan Mahisa Campakapun meneruskan niatnya untuk
mendahului bersama Lembu Ampal. Mereka kemudian akan
memerintahkan beberapa orang perajurit untuk mengambil harimau
yang masih hidup itu. Mungkin dengan sebuah pedati. Meskipun
sebenarnya keduanya masih ingin berburu lebih lama lagi, namun
mereka berniat memelihara harimau itu di istana sehingga harimau
itu tidak mati di perjalanan jika terlalu lama menunggu para prajurit
yang akan menjemputnya. 1690 Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa Linggapati dan
Linggadadi akan berhenti sebelum mencapai ujung lorong di mulut
hutan. Karena itulah, maka mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa diperjalanan itu, tiba-tiba saja mereka telah dihentikan oleh
seseorang yang meloncat dari dalam gerumbul ditepi jalan setapak
itu. "Ha." berkata Linggapati, "Kau lentu salah seorang dari orangorang
berilmu hitam itu." Ranggawuni terkejut. Tetapi ia sempat menarik kekang kudanya
dan berhenti beberapa langkah di hadapan Linggapati. Sementata
itu, Linggadadi dan pengiringnyapun telah berada di sebelah
Linggapati pula. "Kenapa hal ini kau lakukan?" bisik pengiringnya.
"Aku ingin mengurangi jumlah orang berilmu hitam. Agaknya
yang lewat ini adalah sebagian dari mereka. Tetapi yang lewat ini
tidak akan pernah dapat keluar dari hutan ini dan bertemu kembali
dengari kawan-kawannya. Sementara jika kawannya menyusulnya,
kami akan membinasakannya pula. Tentu masih ada empat orang di
tempat mereka berhenti menunggui harimau mereka itu."
Ranggawuni dan Mahisa Campaka termangu-mangu. Namun
dalam pada itu. Lembu Ampal melangkah maju sambil bertanya,
"Kenapa kau sebut orang berilmu hitam?"
"Tentu kau akan ingkar. Atau mungkin kau akan menyebut
perguruanmu dengan sebutan perguruan berilmu putih. Tetapi kami
tidak akan dapat kau kelabui, bahwa kau adalah orang-orang yang
disebut berilmu hitam itu."
Lembu Ampal menjadi semakin heran. Namun kemudian iapun
bertanya, "Ciri-ciri apakah yang kau kenali pada kami, sehingga
kalian menyebut kami demikian?"
"Ada atau tidak ada ciri itu pada kalian, tetapi kalian adalah
orang berilmu hitam. Kalian tidak akan ingkar, karena kami
1691 mengetahui dengan pasti. Kami adalah orang-orang yang disebut
pembunuh orang berilmu hitam."
"O." Lembu Ampal mengerutkan keningnya.
"Namaku Mahisa Bungalan."
Nama itu benar-benar telah mengejutkan Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal. Karena itu justru mereka sejenak
mematung memandang orang yang menyebut dirinya. Mahisa
Bungalan itu. Linggadadi yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan itu tertawa
sambil berkata, "Nah, kau mulai gemetar mendengar nama itu.
Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia
bertanya, "Tetapi bukankah kau tadi menyebut nama lain" Kau tadi
tidak mengatakan bahwa namamu adalah Mahisa BungaIan yang
bergelar pembunuh orang berilmu hitam."
"Aku menghindari sebutan dan gelar itu. Tetapi ketika aku yakin
bahwa kalian adalah orang-orang berilmu hitam, maka aku tetah
memperkenalkan diriku yang sebenarnya."
"Ada dua orang yang mendapat gelar Pembunuh orang berilmu
Hitam. Mahisa Bungalan dan Linggadadi." desis Lembu Ampal.
"Akulah Linggadadi." jawab Linggapati tanpa berpikir panjang.
Ketika orang yang termangu-mangu itupun menjadi yakin.
Bahkan yang dihadapi adalah orang-orang yang memang
mempunyai dendam kepada orang-orang berilmu hitam, siapapun
mereka itu. Namun dengan demikian, maka Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal menyadari, hahwa ketiga orang itu
tidak benar ingin memusuhinya sebagai Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal. "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Tentu ada salah paham. Kami
sebenarnyalah bukan orang-orang yang dapat disebut berilmu
hitam, karena kami termasuk orang-orang yang sama sekali tidak
1692 berilmu. Kami adalah pemburu sejak kami kanak-kanak. Ilmu yang
ada pada kami semata-mata adalah ilmu yang turun temurun,
bagaimanakah cara kami menjerat dan menangkap binatang dengan
alat-alat yang paling sederhana."
"Persetan." geram Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan, "Terapi Mahisa Bungalan dan Linggadadi tidak
akan dapat dikelabuhi. Memang setiap orang berilmu hitam segera
menjadi ketakutan mendengar nama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi." "Tetapi." Tiba-tiba saja Ranggawuni menjawab, "Apakah pada
suatu saat Mahisa Bungalan dan Linggadadi akan dapat bekerja
bersama-sama dalam satu kelompok seperti yang tengah aku
hadapi sekarang ini?"
"Kenapa tidak." jawab Linggapati, "Kami bersama telah
membinasakan orang-orang berilmu hitam dimana-mana."
"Tetapi yang dikenal di Singasari adalah Mahisa Bungalan yang
melakukan tugasnya seorang diri. Ia tidak pernah dilihat orang
bersama-sama dengan orang lain, kecuali kadang-kadang dengan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya yang bernama Mahendra."
"Ya, ayah memang bernama Mahendra. Kedua adiknya bernama
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Jika kalian ada yang sempat
melarikan diri, kalian dapat menyebut namaku dan aku tidak akan
ingkar jika kalian mecari aku di rumahku. Aku, ayahku dan adikadikku
siap untuk membunuh kalian bersama seluruh
perguruanmu." "Dan bagaimana dengan Linggadadi" " bertanya Mahisa
Campaka. "Jika kalian dapat menemukan Mahisa Bungalan, maka kalianpun
akan dapat menemukan Linggadadi." jawab Linggapati.
Lembu Ampal yang heran melihat tingkah laku orang-orang itu
pun kemudian berkata, "Ki Sanak, siapapun namamu. Agaknya kita
telah salah paham. Kami menyadari bahwa kalian adalah orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1693 orang yang membenci orang-orang berilmu hitam. Dan agaknya
kamipun demikian. Tetapi sebaiknya kalian menyebutkan, apakah
sebabnya maka kalian menganggap kami orang-orang berilmu
hitam." "Tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara. Aku tahu, kau
berusaha untuk memperpanjang waktu dan menunggu kawankawanmu
yang barangkali sebentar lagi akan lewat pula di jalan ini."
"Tidak. Mereka tidak akan lewat di jalan ini. karena kuda-kuda
mereka sedang aku pergunakan. Kami bertiga tidak
mempergunakan kuda saat kami pergi berburu."
"Jangan berbicara ngaya wara. Mana mungkin kalian itu tidak
membawa kuda." "Kami memang membawa kuda. Tetapi kuda-kuda itu telah kami
titipkan kepada kawan-kawan kami yang mendahului kami. Maksud
kami, dengan demikian kami tidak akan dibebani keharusan
menjaga kuda-kuda kami."
"O, itu adalah ceritera yang sama sekali tidak menarik sedang
kawan-kawan kalian tetap juga menunggui kuda-kudanya." bentak
Linggadadi, "Sudahlah. Kami akan membunuh kalian apapun yang
kalian katakan. Kami tetap dalam sikap kami, sesuai dengan gelar
yang telah kami dapatkan Pembunuh orang berilmu Hitam."
"Kami sudah mencoba memberi peringatan, bahwa kalian telah
salah menilai kami." desis Mahisa Campaka.
"Itu adalah sekedar suatu usaha untuk menyelamatkan diri. Aku
pernah memhunuh lima orang berilmu hitam. Mereka juga ingkar
bahwa mereka adalah orang-orang berilmu hitam, karena mereka
dan juga kalian, sama sekali tidak merasa bahwa ilmu yang kau
pelajari itu adalah ilmu yang sama sekali bertentangan dengan
perikemanusian. Apalagi karena kalian sudah mempersiapkan diri
untuk suatu tujuan yang lebib besar, menghancurkan
pemerintahan." 1694 Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal menjadi heran
dan bertanya-tanya di dalam hati, "Siapakah sebenarnya orangorang
itu." Tetapi mereka tidak sempat untuk berbicara lebih banyak lagi
karena orang-orang itu agaknya benar-benar akan menyerang.
Lembu Ampal pun kemudian mempersiapkan dirinya sebaikbaiknya,
karena yang bersamanya itu adalah dua orang yang
sedang memerintah Singasari. Setelah mengikat kudanya sendiri
pada sebatang pohon perdu, maka iapun kemudian kendali kuda
kedua anak muda itu dan mengikatnya pula seperti kudanya.
"Kami sudah bersiap." berkata Ranggawuni kemudian, "Tetapi
kami masih mencoba untuk memperingatkan, bahwa kalian tidak
sedang berhadapan dengan orang-orang berilmu hitam."
Linggadadi menggeram. Katanya, "Jangan menyesal jika
kalianpun akan mati seperti kawan-kawanmu yang lima dan
barangkali yang lain-lain lagi."
"Kalian .telah melakukan kesalahan ganda." berkata Mahisa
Campaka, "Kami bukannya orang-orang berilmu hitam, dan yang
pasti kami tidak sedang berhadapan dengan anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan. Aku tidak dapat mengatakan, apakah
salah seorang dari kalian benar-benar bernama Linggadadi yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Linggapati termangu-mangu sejenak. Namun Linggadadi yang
menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan itupun berteriak, "Jika
kalian mengenal orang lain yang bernama Mahisa Bungalan, aku
tidak peduli. Tetapi Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu
hitam itu adalah aku."
Mahisa Campaka menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orangorang
itu sama sekali tidak lagi dapat diajak berbicara. Sehingga
karena itu, tidak ada cara lain kecuali mempertahankan diri dari
kemarahan orang-orang itu.
1695 Namun demikian, maka Lembu Ampal masih berkata, "Jika di
antara kalian tidak ada yang menyebut nama Mahisa Bungalan,
mungkin kami percaya, bahwa kalian benar-benar bermaksud baik,
dan kami pun akan dapat memberikan lebih banyak keterangan
tentang diri kami. Tetapi karena salah seorang dari kalian
menamakan diri Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu hitam,
maka kami menjadi ragu-ragu, apakah kalian benar-benar tidak
bermaksud buruk." Sejenak Linggadadi tertegun. Tetapi hatinya benar-benar telah
menjadi gelap. Nafsunya untuk membunuh orang yang dianggapnya
berilmu hitam itu sudah tidak dapat terbendung lagi. Karena itulah
maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, "Aku tidak
sempat berbicara lebih lama lagi. Kalian harus segera kami
musnahkan. Kemudian akan menyusuli kawan-kawan kalian yang
masih ada di padang perburuan itu. Dengan demikian sekaligus
kami akan mendapatkan dua ekor harimau yang kami inginkan itu."
"Jika soalnya adalah harimau itu, maka apakah sudah
sepantasnya kalian berusaha membunuh sesama?"
"Aku tidak peduli apapun tanggapanmu. Aku akan tetap
membunuh orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan."
"Dengan cara yang tidak berperikemanusiaan pula?"
"Persetan." Linggadadi melangkah maju. Demikian pula
Linggapati dan pengiringnya yang nampak ragu-ragu. Tetapi iapun
ternyata tidak mempunyai pilihan lain, karena kedua anak-anak
muda itu benar-benar akan bertempur melawan orang-orang yang
dianggapnya berilmu hitam itu.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun telah bersiap pula.
Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi Ranggawuni seolaholah
telah menempatkan diri melawan anak muda yang menyebut
dirinya bernama Linggadadi, dan Mahisa Campaka telah bersiap-siap
melawan anak muda yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan. 1696 Sementara itu dengan segan, pengiring Linggapati pun telah
bersiap pula melawan Lembu Ampal yang nampak ragu-ragu juga.
Tetapi Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan itu ternyata benar-benar bernafsu membunuh lawannya.
Dengan garangnya ia mempersiapkan diri. Dan sejenak kemudian
maka iapun telah mulai menyerang Mahisa Campaka.
Mahisa Campaka sudah siap menghadapi serangan itu, sehingga
dengan demikian, serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya.
Dengan sigap ia menghindari serangan itu.
Namun demikian, seperti juga pada Ranggawuni dan Lembu
Ampal, Mahisa Campaka pun merasa bahwa tidak sepantasnya ia
kehilangan akal seperti lawan-lawannya, karena ia masih tetap
menduga, bahwa yang terjadi adalah sebuah salah paham saja.
Tetapi menghadapi serangan yang kemudian membadai, Mahisa
Campaka tidak akan dapat selalu bertahan dan menghindar Pada
suatu saat iapun akan sampai pada suatu batas yang tidak dapat
dihindarinya lagi. Untuk mengurangi tekanan lawannya, maka iapun
harus melawannya pula. Dalam pada itu, Linggapati pun telah menyerang Ranggawuni
pula. Serangannya merupakan amukan badai yang sangat
berbahaya, karena Linggapati ingin dengan segera, menyelesaikan
perkelahian itu. Jika terjadi apapun juga dengan adiknya dan
pengiringnya, maka jika ia sudah terlepas dari lawannva, maka ia
akan dapat membantunya. Tetapi lawannya adalah Ranggawuni yang memiliki ilmu yang
hampir sempurna. Karena itulah maka serangannya tidak segera
dapat menundukkan lawannya. Bahkan kadang-kadang Linggapati
menjadi heran, bagaimana mungkin lawannya dapat dengan mudah
melepaskan diri dari belitan serangannya yang sangat cepat dan
berbahaya. "Ternyata orang; ini adalah orang-orang berilmu hitam dari
tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang aku jumpai di dalam
pasar itu." berkata Linggapati di dalam hatinya.
1697 Di lingkaran perkelahian yang lain. Lembu Ampal bertempur
dengan orang yang paling tua di antara ketiga orang itu, masih juga
tetap ragu-ragu. Ia berpendapat bahwa ketiga orang-orang itu
hanyalah sekedar salah paham. Mereka tentu tidak mengira bahwa
orang-orang yang sedang dilawannya itu adalah Maharaja dan Ratu
Anghabaya. Tetapi Lembu Ampal tidak berani mengatakan hal itu kepada
lawannya, karena pesan Ranggawuni sendiri, bahwa kepada orang
yang tidak dikenal, jangan sekali-kali menyebutkan kenyataan
tentang dirinya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Lembu Ampal hanyalah
sakedar bertahan. Ia tidak bernafsu untuk mencelakai lawannya
karena pertimbangan-pertimbangan yang masih meragukan.
Namun di lingkaran perkelahian yang lain, Linggadadi yang sudah
terlanjur menyebut namanya dengan Mahisa Bungalan, yang
ternyata telah menumbuhkan persoalan tersendiri itu, bertempur
dengan segenap kemampuan yang ada padanya, karena ia tetap
menganggap bahwa lawannya adalah orang berilmu hitam yang
harus dibinasakan, karena orang berilmu hitam itu akan dapat
mengganggu rencananya. Orang berilmu hitam itu mempunyai
tujuan yang akan dapat mencairkan tujuan Linggadadi yang utama,
menguasai segenap kekuasaan di Singgasana Singasari.
Linggapati yang memperhitungkan semua rencananya dengan
cermat untuk jangka waktu yang panjang itu, merasa sangat
terganggu dengan hadirnya orang-orang dari golongan lainyang
disebut berilmu hitam itu. Karena itu. maka orang-orang berilmu
hitam itu memang harus dibinasakan.
"Tetapi ternyata membinasakan mereka tidak semudah yang aku
duga." berkata Linggadadi di dalam hatinya. Apalagi setelah ia
bertempur beberapa saat melawan Ranggawuni.
Meskipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun
ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda, bahwa lawannya
akan dapat, ditundukkannya.
1698 Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Linggapati dan Linggadadi telah memeras segenap
kemampuan yang ada padanya untuk menguasai lawannya.
Sementara itu, Mahisa Campaka dan Ranggawuni yang semula
masih dengan sadar, mempertahankan diri dari serangan lawannya
dengan pertimbangan, bahwa lawannya hanyalah sekedar salah
menilai dirinya, semakin lama menjadi semakin kehilangan
kesabaran. Mereka adalah anak-anak muda seperti juga Linggapati
dan Linggadadi, sehingga karena itu, maka ketika keringat mereka
telah mulai membasahi kulit, merekapun menjadi semakin garang
pula. Untuk sekedar mempertahankan diri dari serangan lawannya
yang membadai, terasa semakin lama menjadi semakin sulit. Karena
itu, maka pertahanan yang paling baik dalam keadaan yang
demikian adalah berganti menyerang pula.
Darah muda di dalam tubuh kedua orang pemimpin tertinggi di
Singasari yang sedang tidak mengenakan tanda-tanda kebesarannya
itupun menjadi semakin panas. Bahkan akhirnya telah mendidih
ketika serangan lawannya terasa mulai menyentuh tubuhnya. Bukan
saja sekedar untuk mempertahankan dirinya, namun tanggung
jawabnya atas Singasari yang besar itulah yang terutama
mendorong mereka untuk kemudian bertempur dengan kemampuan
yang ada pada mereka. Dan kemampuan raksasa yang sulit untuk
dicari bandingnya. Semula, ketika Linggapati berhasil menyentuh tubuh
Ranggawuni, ia merasa bahwa saat yang menentukan akan segera
tiba. Jika orang-orang yang dilawannya itu benar-benar orang
berilmu hitam, maka mereka akan segera mengerahkan
kemampuan terakhirnya. Suatu ciri dari orang-orang berilmu hitam
adalah bertempur dalam lingkaran yang dapat membuat lawannya
menjadi bingung, dan kemudian dengan kejam menyobek kulit
korbannya sehingga seolah-olah terkelupas.
Karena itu, maka Linggapati pun segera mempersiapkan diri
untuk menghadapinya. 1699 Namun yang kemudian dihadapinya adalah berbeda sekali
dengan gambaran di dalam kepalanya. Lawannya itu sama sekali
tidak menjadi buas dan liar, kemudian berlari-lari melingkar sambil
berteriak-teriak dengan kerasnya. Tetapi lawannya itu justru
nampaknya menjadi semakin tenang. Namun dalam ketenangannya
itu. terasa bahwa kekuatan ilmunya menjadi semakin mapan.
"Gila." desis Linggapati, "Apakah benar bahwa mereka bukan
orang-orang berilmu hitam."
Linggapati tidak sempat menilai lawannya lebih lama lagi.
Serangan Ranggawuni terasa semakin mendesaknya. Gerak yang
mantap dan cepat, membuatnya kadang-kadang kehilangan
pengamatan diri. Berkali-kali ia kehilangan kesempatan untuk
menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga karena itu, maka setiap
kali Linggapati itu meloncat jauh-jauh surut, untuk mendapat
kesempatan menyiapkan perlawanan berikutnya.
Ranggawuni tidak tergesa-gesa memburu lawannya. Bahkan
nampaknya ia sama sekali tidak bernafsu untuk mengalahkan
lawannya. Namun demikian, serangan-serangan yang
dilontarkannya bagaikan amukan angin prahara.
"Apakah aku berhadapan dengan anak jin." desis Linggapati di
dalam hatinya, ketika keadaannya menjadi semakin sulit.
Demikian pula agaknya dengan Linggadadi. Ternyata bahwa
Masiha Campaka dapat bergerak secepat loncatan kilat di udara.
Bahkan sudah mulai terasa, bahwa serangannya akan langsung
mengarah kesasaran yang meyakinkan.
Linggadadi benar-benar menjadi heran, la pernah beberapa kali
bertempur melawan orang-orang berilmu hitam. Namun kali ini ia
berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tidak diduganya. Ia menyangka bahwa anak-anak muda itu adalah
orang-orang berilmu hitam yang memiliki tingkat ilmu tidak lebih
dari yang pernah dibunuhnya. Namun ternyata, bahwa anak-anak
muda itu justru sudah mulai menguasainya.
1700 "Apakah anak-anak ini termasuk murid-murid yang paling baik
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari lingkungan orang-orang berilmu hitam itu?" Pertanyaan itu
bukan saja mengganggu Linggadadi. tetapi juga Linggapati.
Bahkan pengiringnya yang tua itupun merasa heran karena
tingkah lawannya. Ternyata bahwa Lembu Ampal sama sekali tidak
bertempur dengan sungguh-sungguh. Karena ia sendiri juga raguragu,
maka perkelahian antara kedua orang-orang tua itu
nampaknya menjadi semakin lama semakin lamban. Bahkan
merekapun kemudian berusaha untuk dapat memperhatikan
perkelahian kedua anak-anak muda yang menyebut diri mereka
pembunuh orang-orang berilmu hitam itu, melawan dua orang yang
sebenarnya masih diragukan.
Apalagi setelah berkelahi beberapa lama, sama sekali tidak
nampak pada kedua anak-anak muda yang mereka sangka berilmu
hitam itu, ciri-ciri dari ilmu hitam yang memang pernah mereka
kenal. Namun Linggapati dan Linggadadi sudah terlanjur terlibat dalam
pekelahian yang sengit dengan Ranggawuni dan Mahisa Campaka
yang sama sekali tidak mengenakan ciri-ciri kebesaran mereka.
Dalam pada itu. perkelahian itupun menjadi semakin seru.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka sama sekali tidak mau
mempertaruhkan diri mereka dan, tanggung jawab mereka atas
Singasari. Karena itu, maka agar mereka tidak hancur di dalam
perkelahian itu, maka merekapun mulai mendesak lawan masingmasing.
"Gila." desis Linggapati sambil menghentakkan segenap ilmunya.
Tetapi Ranggawuni sama sekali tidak dapat disentuhnya lagi,
sehingga dengan demikian ia menjadi yakin, bahwa ilmu lawannya
itu masih lebih baik dari ilmunya.
Tetapi Linggapati tidak berputus asa Ia masih ingin menguasai
lawannya dengan kekuatan daya tahan tubuhnya. Ia akan mampu
bertempur untuk waktu yang lama dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. 1701 Tetapi ternyata bahwa melawan Ranggawuni, Linggapati benarbenar
telah memeras tenaganya. Ia tidak dapat menahan diri untuk
menyimpan tenaganya agar ia mampu bertempur untuk waktu yang
panjang. Setiap kali bahkan ia harus meloncat surut sejauh-jauhnya
untuk mendapatkan kesempatan memperbaiki keadaannya.
Ranggawuni mulai mengetahui, bahwa lawannya sudah
kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri apabila ia
mendesak terus. Apalagi dengan puncak ilmunya. Namun
Ranggawuni sama sekali tidak bermaksud demikian. Ia mengetahui
bahwa yang terjadi adalah salah paham. Namun ia masih tetap
curiga, bahwa lawannya itu telah menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam.
"Mungkin dengan menyebut nama-nama itu mereka ingin
menakut-nakuti kami." berkata Ranggawuni di dalam hatinya.
Sementara itu Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan itupun semakin terdesak pula. Agaknya sifat
Mahisa Campaka agak lebih keras dari Ranggawuni, sehingga
karena itu, maka tekanan ilmunya terasa menjadi sangat berat bagi
Linggadadi. Berkali-kali Linggadadi terpaksa berloncatan menjauhi
lawannya. Namun setiap kali Mahisa Campaka selalu berhasil
mencapainya. Beberapa kali sentuhan serangan Mahisa Campaka
telah mengenai lawannya. Karena desakan yang tidak terelakkan lagi, maka Linggadadi
tidak dapat berbuat lain. kecuali menarik senjatanya. Ia sadar,
bahwa dengan demikian, perkelahian itu menjadi semakin
berbahaya baginya, karena lawannya pun tentu akan berberbuat
serupa. Ternyata dugaan itu adalah tepat. Mahisa Campaka tidak
membiarkan terdesak karena lawannya benar-benar menguasai
senjatanya dengan baik. Karena itu, maka sejenak kemudian,
Mahisa Campaka pun telah menarik senjatanya pula. Tetapi
senjatanya tidak lebih dari sebuah pisau belati.
1702 Linggadadi yang semula telah ragu-ragu menilai lawannya
sebagai orang berilmu hitam, tiba-tiba seakan-akan mendapat
keyakinan baru atas lawannya, karena lawannya itu bersenjata
sebilah pisau belati. "Mereka mengupas kulit lawannya dengan pisau-pisau belati."
katanya di dalam hati. Dengan demikian, maka perkelahian itupun menjadi semakin
sengit. Tebasan, senjata kedua belah pihak telah mematahkan
dahan-dahan kayu di sekitar mereka. Gerumbul-gerumbul perdu
bagaikan diratakan dengan rerumputan yang terinjak-injak oleh kaki
mereka yang sedang berkelahi.
Linggapati pun kemudian tidak dapat bertahan, sekedar
bertempur dengan tangannya, betapapun ia percaya kepada
kemampuan jarinya. Karena itulah, maka seperti Linggadadi maka
iapun telah mencabut senjata kepercayaannya pula. Namun juga
seperti Mahisa Campaka, Ranggawuni pun telah mencabut pisau
belatinya. "Kau benar-benar orang berilmu hitam yang aku cari." geram
Linggapati, "Karena kau bersenjata sebilah pisau belati."
Ranggawuni menjadi heran. Tetapi iapun menjawab, "Ini adalah
senjata yang paling umum bagi seorang pemburu."
Tetapi Linggapati sama sekali tidak menghiraukannya.
Serangannya justru menjadi semakin .garang. Bahkan Linggapati
telah bersiap menghadapi lawannya, seandainya lawannya itu akan
mempergunakan ilmunya yang paling kasar. Berlari-lari melingkar
dengan ujung pisau yang teracu, kemudian menyayat korbannya
sehingga lukanya arang kranjang.
Namun ternyata bahwa Ranggawuni tidak berbuat demikian. Ia
masih saja bertempur dengan caranya. Sama sekali tidak
menunjukkan kekasaran, apalagi yang liar. Meskipun terasa ilmunya
semakin mendesak lawannya, namun sikap dan geraknya adalah
sikap dan gerak dari seseorang yang memiliki kewibawaan yang
agung. 1703 Karena itulah, maka orang yang sedang bertempur melawan
Lembu Ampal, yang mendapat kesempatan terbanyak untuk menilai
lawannya, menjadi semakin heran. Bahkan ia pun kemudian yakin,
bahwa lawan mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang
disebut berilmu hitam itu.
Semakin seru perkelahian itu, Linggapati dan Linggadadi semakin
terdesak. Meskipun lawannya hanya membawa senjata-senjata
pendek, tetapi rasa-rasanya ujung pisau belati itu sudah menyentuh
kulitnya. Bahkan ketika Linggadadi kehilangan kesempatan sama
sekali untuk menghindar dan menangkis, ujung senjata lawannya
telah tergores di kulitnya. Hanya segores kecil. Namun setitik darah
mulai menetes. "Ia mulai melukai aku." geram Linggadadi di dalam hatinya.
Namun lawannya itu tidak belari-lari berputar-putar dan melukai
tubuhnya disegala permukaan kulitnya. Bahkan ketika titik darah itu
telah diusapnya, lawannya nampaknya tidak hernafsu lagi untuk
melukainya. Namun demikian Mahisa Campaka masih saja
mendesak terus, sehingga Linggadadi merasa seolah-olah di hutan
yang lebat dan luas itu tidak ada lagi tempat yang aman untuk
berpijak. Sententara itu, Lembu Ampal yang bertumpur dengan ragu-ragu,
masih sempat bertanya kepada lawannya, "Ki Sanak. Kenapa anakanak
muda itu bernafsu sekali menganggap kami orang orang
berilmu hitam?" Lawannya meloncat surut. Katanya, "Benar-benar salah paham.
Aku yakin bahwa kalian bukan orang-orang yang kami maksud."
"Jika demikian, apakah kau dapat menghentikan perkelahian itu?"
bertanya Lembu Ampal. Orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi Lembu Ampal tidak
menyerangnya lagi. Seolah-olah ia sengaja memberi kesempatan
kepada lawannya untuk memberiperingatan kepada kawankawannya.
1704 Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata
meskipun dengan ragu-ragu, "Apakah perkelahian; ini harus
diteruskan?" Linggadadi dan Linggapati yang mendengar kata-kata itupun
melangkah surut. Terasa sesuatu menyentuh hati. Pertanyaan
serupa itu, agaknya memang sudah tumbuh dihati mereka, sejak
mereka melihat, bagaimana cara lawannya mempergunakan pisau
belatinya, yang sama sekali; berbeda dengan cara yang pernah
dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam.
Karena lawannya menghindar, maka Ranggawuni dan Mahisa
Campaka pun menghentikan serangannya pula. Mereka memang
tidak bernafsu untuk menghancurkan lawannya itu pada segala
kesempatan. Karena itu, maka merekapun membiarkan lawannya
mengambil jarak. "Agaknya perkelahian ini tidak akan berarti apa-apa jika kita
teruskan." berkata orang tertua dari ketiga orang yang tidak
menyebut nama mereka itu, karena lawannya pasti bahwa yang
menyebut dirinya Mahisa Bungalan itu adalah orang yang sama
sekali tidak bernama Mahisa Bungalan.
"Jadi apa maksudmu?" bertanya Mahisa Campaka.
"Agaknya kami keliru. Kalian benar-benar bukan orang berilmu
hitam." "Kami sudah mengatakan sejak semula. Bahwa kami bukan
orang berilmu hitam." Jawab Ranggawuni.
"Ya. Kami kemudian yakin setelah kami melihat tata gerak dan
sikap kalian." "Bagaimana dengan tata gerak ilmu kami?" tiba-tiba saja Mahisa
Campaka bertanya, "Apakah mirip dengan tata gerak dari ilmu
Mahisa Bungalan?" Orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan termangumangu.
1705 "Sebenarnya kami dapat berbuat lebih baik jika salah seorang
dari kalian tidak menyebut dirinya Mahisa Bungalan, pembunuh
orang-orang berilmu hitam." desis Mahisa Campaka.
"Kenapa?" bertanya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan. Seperti yang pernah dilakukan jika orang-orang
berilmu hitam itu ada yang berhasil melepaskan dirinya, maka
dendamnya akan tertumpah kepada Mahisa Bungalan. Tetapi karena
agaknya Linggapati berpendapat lain, semata-mata didorong oleh
nafsunya untuk memusuhi orang-orang berilmu hitam, maka iapun
telah menyebut dirinya Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu
hitam pula. Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Sudah tentu mungkin sekali dua orang mempunyai
nama yang sama. Tetapi jika kau menyebut nama dan gelar yang
sama, maka kami pun menjadi bingung karenanya. Mahisa Bungalan
pembunuh orang berilmu hitam, tentu bukan dua atau tiga orang."
"Apa kau kenal dengan Mahisa Bungalan pembunuh orang
berilmu hitam" Barangkali ada orang lain yang mengaku bernama
dan bergelar demikian untuk kepentingan tertentu."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita tidak
mempunyai alasan yang kuat untuk bermusuhan. Hanya sekedar
curiga. Sebenarnyalah kami juga menaruh curiga pada nama dan
gelarmu." Linggapati dan Linggadadi termangu-mangu sejenak. Sementara
itu kawan mereka sudah lebih tua menyahut, "Sudahlah. Jangan
dihiraukan tentang persamaan nama dan gelar itu. Tetapi,
seterusnya kita akan saling mengakui, bahwa kita telah terjerumus
ke dalam suatu kesalah pahaman."
"Sebenarnya salah paham itu tidak perlu terjadi." Mahisa
Campaka yang paling muda di antara ketiga orang yang dituduh
orang-orang berilmu hitam itu menjawab, "Kami sudah memberi
tahukan sejak kami kalian hentikan dan sebelum perkelahian
terjadi." 1706 "Ya. Itu adalah suatu kekhilafan." jawab lawannya yang sudah
seusia Lembu Ampal. "Hampir saja kami menyelesaikan perkelahian ini dengan
kekerasan pula." Sambung Mahisa Campaka.
Wajah Linggadadi yang masih muda pula menjadi merah. Tetapi
kawannya yang tua menjawab, "Kemungkinan semacam itu
memang dapat saja terjadi di sepanjang jalan yang sempit ini.
Tetapi baiklah kami minta maaf."
Mahisa Campaka masih akan menjawab. Tetapi Lembu Ampal
mendahului, "Sekarang, apakah yang akan kalian lakukan setelah
kalian mengetahui dan yakin bahwa kami bukan orang berilmu
hitam?" "Kami akan menghentikan niat kami untuk membunuh kalian."
jawab Linggapati. Namun Mahisa Campaka menyahut, "Salah Ki Sanak, siapapun
namamu. Seandainya kalian berniat untuk melakukannya, aku yakin
bahwa kalian tidak akan mampu, karena menurut perhitunganku,
kalianlah yang tentu akan terbunuh."
Lembu Ampal segera memotong, "Tetapi kita akan
menghindarkan pertentangan lebih jauh."
"Ya." jawab orang yang setua Lembu Ampal itu, "Kami akan
mempersilahkan kalian berjalan terus."
"Apakah kau akan mengganggu kawan-kawan kami yang masih
ada di hutan itu?" "Tentu tidak." "Sebaiknya kalian jangan mengganggu mereka. Apalagi
menyangka mereka termasuk orang-orang berilmu hitam Empu
Sanggadaru itu mungkin tidak akan memaafkan kalian. Ia adalah
orang yang mempunyai ilmu tanpa tanding."
"Bukan karena ilmunya itu jika kami mengurungkan niat kami."
Linggapati menyahut, "Betapapun tingginya ilmu seseorang, aku
1707 tidak akan gentar. Tetapi justru karena ia bukan orang berilmu
hitam." "Jadi kau berpendirian bahwa kau tetap merasa dirimu orang
tidak terkalahkan setelah kita bertempur beberapa lama?" potong
Mahisa Campaka yang muda itu.
"Sudahlah." sahut Lembu Ampal, "Jika kalian tidak ingin
memusuhi kami, biarlah kami meneruskan perjalanan kami."
Ketiga orang lawan yang meragukan itu termangu-mangu
sejenak. Orang yang tertua di antara mereka berkata, "Silahkan Ki
Sanak melanjutkan perjalanan. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan,
perkenankanlah kami bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya."
"Seperti kalian tidak menyebut diri kalian yang sebenarnya, maka
kamipun merasa tidak terikat pada kuwajiban untuk menyatakan diri
kami." jawab Ranggawuni.
"Kami menyebut nama kami yang sebenarnya." putong
Linggapati. Tetapi Ranggawuni menggeleng. Katanya, "Tidak. Kalian tidak
menyebut nama kalian yang sebenarnya. Kami tahu bahwa baik
Mahisa Bungalan, maupun Linggadadi adalah pembunuh orangorang
berilmu hitam. Tetapi kamipun tahu bahwa keduanya tidak
akan berada di dalam lingkungan yang sama seperti ini."
Wajah Linggadadi dan Linggapati menjadi merah.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi sudahlah." Ranggawuni melanjutkan, "Aku sependapat
bahwa tidak ada gunanya meneruskan perselisihan tanpa sebab
yang pantas ini. Kita akan berpisah tanpa mengenal diri kita masingmasing
yang sebenarnya. Tetapi satu hal yang boleh kalian ketahui,
bahwa kami tahu pasti, bahwa yang menyebut Mahisa Bungalan
adalah sama sekali bukan Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang
berilmu hitam, karena sebenarnyalah bahwa putera Ki Mahendra
bukanlah orang yang sedang kami hadapi sekarang ini."
"Persetan." geram Linggadadi.
1708 Namun orang yang tertua di antara mereka berkata, "Baiklah.
Mungkin kita masih akan bertemu pada kesempatan yang lain. Pada
kesempatan yang lebih baik. Perkenalan yang diawali dengan sikap
bermusuhan memang tidak menyenangkan. Mungkin dikesempatan
lain. kita akan dapat bertemu dalam suasana yang lebih baik."
"Mudah-mudahan." jawab Lembu Ampal, "Sekarang, kami minta
diri. Pesan kami, jangan mencoba mengganggu kawan-kawan kami
jika kalian tetap pada keinginan kalian untuk tidak berselisih dengan
kami." "Kami memang tidak ingin mengalami salah paham yang lebih
parah lagi." jawab orang yang setua Lembu Ampal itu.
Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian mengajak kedua
anak-anak muda itu meninggalkan hutan itu. Sejenak kemudian
mereka berloncatan ke atas punggung kuda yang mereka pinjam itu
dan berpacu meninggalkan lawan-lawannya yang sebenarnya akan
dapat mereka kuasai. Namun ketiga orang yang sedang
menyelubungi diri masing-masing dengan penyamaran itu,
menganggap hal itu tidak menguntungkannya. Apalagi orang-orang
itu adalah orang-orang yang agaknya dengan mati-matian
memusuhi orang-orang berilmu hitam. Bahkan mereka tidak segansegan
meminjam nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi,
pembunuh orang berilmu hitam.
Karena itu, ketiga orang itu merupakan teka-teki yang sulit bagi
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal. Namun demikian,
mereka masih tetap menganggap bahwa orang-orang itu pada
suatu saat akan dapat membantu mereka melawan orang-orang
berilmu hitam, karena mereka sama sekait tidak mongerti latar
belakang dari tindakan ketiga orang itu.
"Kita akan menghubungi Mahisa Bungalan." berkata Ranggawuni.
"Mereka masih dalam perjalanan." jawab Lembu Ampal.
"Kami mengharap, mereka akan segera kembali. Jika Mahisa
Bungalan mengetahui apa yang telah terjadi. maka ia tentu akan
merasa tersinggung karenanya."
1709 Tiba-tiba saja Lembu Ampal berdesis, "Apakah justru mereka
itulah orang-orang berilmu hitam?"
Tetapi Ranggawuni menggelengkan kepalanya, "Aku yakin,
mereka bukan berilmu hitam itu."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Mahisa Bungalan akan dapat banyak memberikan pendapatnya
tentang orang-orang itu. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak
benar-benar tidak mengganggu Empu Sanggadaru yang sedang
menunggui harimau-harimau itu."
Demikianlah maka ketiga orang itupun kemudian berpacu terus
langsung menuju ke istana Singasari. Karena mereka sama sekali
tidak mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tidak
seorangpun yang mengetahui, bahwa mereka bertiga adalah orangorang
terpenting dalam pemerintahan yang baru berkembang di
Singasari itu. Bahkan para penjaga gerbang di istana pun tidak dapat
mengenal mereka. Karena itu, maka para prajurit pun segera
menghentikan mereka dan dengan curiga bertanya, siapakah
mereka bertiga itu. Lembu Ampal lah yang meloncat turun dari kudanya dan berkata,
"Apakah kalian benar-benar tidak mengenal kami?"
Para prajurit itu menggeleng.
"Kau harus mengenal aku, meskipun yang dua orang anak muda
itu belum." berkata Lembu Ampal.
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang
dari mereka tiba-tiba saja mendesak maju sambil berdesis,
"Senapati Lembu Ampal."
Lembu Ampal tersenyum. "Kau mengenal aku."
Prajurit itu mengangguk dalam-dalam. Namun dalam pada itu,
seorang perwira yang masih muda dengan tergesa-gesa datang pula
menemui mereka. Dengan cemas tiba-tiba saja ia mengangguk
1710 dalam-dalam kepada kedua orang yang masih berada di punggung
kudanya. Katanya, "Ampun tuanku, apakah ada sesuatu yang terjadi
di luar rencana. Bukankah belum saatnya hamba menyusul ke hutan
perburuan seperti yang tuanku titahkan?"
Ranggawuni memandang perwira muda itu sambil tersenyum.
Jawabnya sambil menggeleng, "Tidak. Tidak ada sesuatu yang
terjadi." "Tetapi tuanku telah datang jauh lebih cepat dari waktu yang
tuanku tentukan." Ranggawuni tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan segera
memberi tahukan kepadamu. Aku akan masuk dahulu."
Para prajurit yang berada di regol mulai memandang Ranggawuni
dan Mahisa Campaka dengan saksama. Barulah kemudian mereka
sadar, bahwa mereka memang berhadapan dengan Maharaja dan
Ratu Angabhaya dari Singasari.
Dengan serta merta para prajurit itu pun segera mengangguk
hormat dengan, hati yang gelisah. Seolah-olah mereka telah
melakukan kesalahan meskipun sama sekait tidak mereka sengaja.
"Tidak apa-apa." berkata Ranggawuni seolah-olah melihat
perasaan para prajurit itu. "Kalian tidak melakukan kesalahan
apapun juga." Ranggawuni, Mahisa Campak dan Lembu Ampal pun segera
memasuki gerbang istana diiringi oleh perwira muda itu.
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal pun segera
menghilang di dalam bangsal, agar tidak terlalu banyak prajurit dan
hamba istana yang melihat dengan keheran-heranan, bahwa
Ranggawuni Mahisa Campaka dan Lembu Ampal tidak mengenakan
pakaian yang sepantasnya. Bahkan mereka lebih mirip dengan
seorang pemburu di hutan-hutan.
Baru kemudian Ranggawuni memanggil perwira muda itu untuk
menghadap dan memberitahukan apa yang telah terjadi.
1711 Perwira muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi hamba
harus mengambil harimau itu tuanku?"
"Ya Bawalah sebuah pedati. Dengan demikian, kau tidak akan
mengalami kesulitan di perjalanan, karena harimau itu agaknya
cukup buas, sedangkan aku ingin harimau itu tetap hidup dan
dipelihara di halaman ini. Mungkin kelak kita akan mendapatkan
jenis binatang yang lain, yang akan dapat mengisi halaman istana
ini pula." "Hamha tuanku. Hamba akan mempersiapkannya."
"Segeralah berangkat, agar orang-orang yang menunggui
binatang itu tidak terlalu lama dan menjadi jemu. Paman Lembu
Ampal akan menyertai kalian, agar Empu Sanggadaru tidak raguragu
untuk memberikan harimau itu kepada kalian."
"Hamba tuanku. Baiklah hamba mempersiapkan diri bersama
para prajurit. Hamba akan mengumpulkan mereka, dan pada
saatnya, hamba akan menghadap lagi untuk mohon diri."
"Kau dapat langsung berhubungan dengan paman Lembu Ampal
yang seterusnya akan memimpin kalian sepanjang perjalanan ke
hutan itu. Dan paman Lembu Ampal sudah ngetahui, apakah yang
harus dilakukannya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia
harus bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang kurang
baik jika orang-orang yang mencegatnya itu masih mendendam.
Karena itu, maka Lembu Ampal pun berpesan kepada perwira
yang akan membawa sekelompok prajurit mengambil harimau di
hutan itu, agar yang dibawanya itu adalah prajurit-prajurit pilihan.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dan Lembu Ampal berkata,
"Tidak ada apa-apa. Hanya sekedar sikap berhati-hati."
Demikianlah maka sekelompok kecil prajurit Singasari segera
dipersiapkan, membawa sebuah pedati ke hutan perburuan. Namun
di perjalanan itu, Lembu Ampal berkata berterus teng kepada
perwira muda, bahwa di saat Ranggawuni dan Mahisa Campaka
1712 kembali ke Singasari, mereka telah bertemu dengan orang-orang
yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi
yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
"Tetapi apakah mereka benar-benar Mahisa Bungalan dan
Linggadadi?" bertanya perwira muda itu.
"Tentu bukan Mahisa Bungalan." jawab Lembu Ampal, "Tetapi
aku tidak tahu pasti, apakah yang seorang memang Linggadadi."
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Jika
kita harus bertemu dan terjadi salah paham pula, mungkin aku dan
para prajurit mengambil sikap lain dari sikap tuanku Ranggawuni
dan tuanku Mahisa Campaka. Mungkin juga akan berbeda dengan
sikap Senapati Lembu Ampal."
"Apakah yang akan kau lakukan?"
"Kami agaknya lebih senang menangkap mereka. Atau jika gagal
membunuh mereka, karena bagiku mereka sudab jelas, mempunyai
niat buruk. Jika tidak, mereka tidak akan mempergunakan nama
yang bukan namanya, atau justru nama yang lain sama sekali."
"Mungkin. Tetapi mungkin juga karena mereka benar menyangka
babwa kami adalah orang-orang berilmu hitam, sehingga mereka
merasa perlu untuk menakut-nakuti kami."
Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun menganggukangguk.
Katanya, "Memang mungkin. Tetapi jika mereka
mengganggu kami, apa boleh buat."
"Aku kira, seandainya kita bertemu, mereka akan mempunyai
sikap yang lain melihat prajurit-prajurit Singasari yang lengkap
dengan tanda-tanda keprajuritannya."
Perwira itu menyahut, "Mudah-mudahan."
Lembu Ampal tidak berbicara lagi tentang orang-orang yang
mengaku bernama Mahisa Bungalan itu. Namun demikian, ia masih
1713 tetap berhati-hati. Apalagi jika ketiga orang itu ternyata mempunyai
kawan-kawan yang lain yang dapat dikumpulkannya dengan cepat.
Dalam pada itu, pedati yang ditarik dengan dua ekor lembu itu
berjalan lamban sekali. Tetapi para prajurit Itu tidak dapat memaksa
lembu-lembu mereka berlari secepat derap kaki kuda.
Dalam pada itu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya
pun menjadi bimbang sepeninggal Ranggawuni, Mahisa Campaka
dan Lembu Ampal. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian
mengurungkan niatnva untuk mencari seekor harimau atau binatang
buruan yang lain. Namun demikian mereka masih berada di hutan
itu untuk beberapa lama sambil membicarakan ketiga orang yang
mereka anggap aneh itu. "Agaknya mereka benar-benar bukan orang berilmu hitam."
berkata Linggapati. Linggadadi mengerutkan keningnya.
"Kau pernah bertemu langsung dengan beberapa orang di antara
mereka." berkata Linggapati, "Lebih banyak dari yang pernah aku
temui. Dengan demikian kau dapat mempunyai gambaran yang
lebih banyak tentang sikap dan ciri-ciri mereka."
"Aku juga menjadi ragu-ragu." berkata Linggadadi. Dalam pada
itu, pengiringnya memotong, "Tetapi mereka bukanlah orang-orang
yang jahat. itu aku pasti. Jika aku dapat berkata terus terang, maka
sebenarnyalah mereka mempunyai cukup kesempatan untuk
melakukan sesuatu yang dapat mengakibatkan bencana bagi kami."
"Tidak." teriak Linggadadi, "Itu adalah kekhawatiran orang-orang
tua yang sama sekali tidak beralasan."
Namun Linggapati menyahut, "Aku tidak membantah. Agaknya
mereka memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Setidak-tidaknya
mereka tidak akan dapat kami kalahkan, jika mereka tidak lengah
atau melakukan kesalahan."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi akhirnya iapun
berkata, "Aku mengakui bahwa mereka memiliki ilmu yang tinggi.
1714 Tetapi aku masih menganggap bahwa ilmu mereka belum berada di
atas ilmu kita." Pengiringnya memandang Linggadadi sejenak. Namun ia tidak
membantah, karena ia mengerti, bahwa sebenarnya di dalam hati
Linggadadipun telah terbersit pengakuan bahwa ketiga orang itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka tetap berada di hutan itu
meskipun nafsu Linggadadi untuk mendapatkan seekor binatang
buruan telah lenyap. Namun hatinya yang bergejolak membuatnya
seolah-olah mematung di tempatnya. Sekali-sekali Linggadadi
membayangkan orang-orang yang lain, yang tidak ikut bersama
ketiga orang itu meninggalkan hutan. Memang timbul keinginan
untuk melihat mereka. Tetapi keinginan itupun segera
disingkirkannya jauh-jauh. Ia tidak mau mengalami keadaan yang.
sama. Apalagi baginya, nampaknya orang yg. memakai pakaian
pemburu dari kulit harimau itu, lebih meyakinkan dari anak-anak
muda yang baru saja meninggalkan hutan itu.
"Apakah kita tidak akan pergi dari hutan ini?" bertanya Linggapati
kemudian. Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Kesan tentang
perkelahiannya dengan anak-anak muda itu benar-benar telah
mencengkam hatinya. Betapapun juga ia berusaha menutupi
kekecewaan dan kekurangannya di hadapan pengiringnya, namun
seperti juga Linggapati, ia tidak dapat ingkar kepada diri sendiri,
bahwa sebenarnya anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tidak
akan dapat dikalahkannya.
Namun, darahnya yang panas oleh umurnya yang masih muda,
membuatnya untuk berusaha menutupi kekurangan itu sejauh dapat
dilakukan. Namun ternyata bahwa kakaknya, Linggapati, telah berterus
terang, bahwa ilmu anak-anak muda itu telah melampaui ilmu
mereka. 1715 "Jadi, apakah yang akan kita lakukan sekarang kakang?"
bertanya Linggadadi, "Apakah kita akan kembali untuk beberapa
lamanya sebelum kita mulai lagi dengan perburuan kita atas orangorang
berilmu hitam seperti yang kita rencanakan?"
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya, kita akan
kembali untuk menenangkan hati dan membuat rencana yang lebih
bening. Jika kita tenggelam dalam perburuan ini, kita akan terpisah
dari orang-orang yang selama ini merupakan dasar kekuatan kita."
"Tetapi dengan demikian, orang-orang berilmu hitam akan
menjadi leluasa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan
perampokan-perampokan. Mereka agaknya tidak saja menangkap
orang-orang yang mereka kehendaki, yang menurut pendengaran
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita, sejak ilmu itu berkembang dimasa lampau, dipergunakan untuk
korban bagi kelanggengan ilmu mereka, namun mereka juga telah
merampok harta benda untuk bekal perkembangan ilmu mereka dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka."
"Ya." jawab kakaknya, "Mudah-mudahan sementara kita
menyusun rencana yang lebih baik, Mahisa Bungalan benar-benar
telah melakukan tugasnya, membunuh orang-orang berilmu hitam,
sehingga mereka tidak lagi berkeliaran. Kami berkepentingan
dengan lenyapnya orang-orang berilmu hitam, agar Singasari
menjadi tenang. Dalam ketenangan itu kita akan mengembangkan
diri di luar kecurigaan Singasari."
" Bagaimana jika Mahisa Bungalan tidak berbuat apa-apa pula
sehingga orang-orang berilmu hitam itu justru semakin berkembang
di seluruh Singasari" Kecuali dengan demikian mereka akan
merupakan sentuhan-sentuhan yang membuat Singasari semakin
kuat, maka mereka pun merupakan bencana bagi kami di hari
kemudian." "Tentu kita tidak akan melepaskannya sama sekali. Kita hanya
akan beristirahat untuk waktu yang pendek sambil menyusun diri.
Tetapi jika keadaan memburuk bagi kita, maka kita akan segera
bertindak cepat." 1716 Linggadadi mengangguk-angguk. Memang untuk herbuat sesuatu
tanpa melihat perkembangan keadaan secara menyeluruh, agaknya
tidak akan menghasilkan, sesuatu yang bermanfaat.
Demikianlah setelah mereka berbincang cukup lama, dan
sekaligus beristirahat setelah mereka memeras tenaga bertempur
melawan tiga orang yang tidak mereka kenal, maka merekapun
segera berkemas. "Kita akan melalui Kotaraja." berkata Linggapati, "Sekaligus
melihat apakah ada perkembangan yang menarik perhatian.
Mungkin di Kotaraja kita mendengar, apa saja yang pernah
dilakukan oleh Mahisa Bungalan yang sesungguhnya, sehingga
dengan demikian kita akan dapat menyesuaikan diri."
Linggadadi pun ternyata sependapat pula, sehingga ketiganya
kemudian menempuh perjalanan langsung menuju ke Kotaraja yang
tidak terlampau jauh. Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang jalan,
karena angan-angan masing-masing yang berkembang jauh
melampaui kemungkinan yang dapat dilakukan oleh wadag mereka.
Kadang-kadang angan-angan itu dapat memberikan beberapa
kepuasan tertentu, namun dalam kesadaran yang kemudian
membangun mereka, terasa betapa kekecewaan telah menerkam
mereka. Dalam perjalanan itu, mereka kemudian tertegun ketika mereka
melihat dari kejauhan iring-iringan prajurit Singasari dalam jumlah
yang kecil dengan sebuah pedati di antara mereka.
"Apakah ada seorang puteri yang ingin bercengkerama dengan
sebuah pedati?" tiba-tiba saja Linggapati berdesis.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Katanya, "Nampaknya
sekelompok prajurit yang mempunyai tugas yang khusus. Tetapi
kenapa mereka melalui jalan ini, jalan yang menuju ke hutan yang
jarang sekali dijamah orang itu?"
1717 "Mereka tentu akan bertemu dengan orang-orang yang dalam
hutan itu?" "Mereka tentu akan bertemu dengan orang-orang yang dalam
ciri-ciri ucapannya sebagai orang berilmu hitam itu." desis
Linggadadi kemudian. Yang lain menjadi termangu-mangu. Namun kemudian Linggapati
berkata, "Siapapun mereka, tetapi kami telah meyakinkan diri,
bahwa mereka bukan orang-orang berilmu hitam. Setelah kita
bertempur, maka kita sama sekali tidak melihat ciri-ciri dari ilmu
hitam itu pada mereka."
Linggadadi tidak menjawab. Bahkan merekapun kemudian harus
menepi ketika para prajurit itu menjadi semakin dekat. Namun
ketiga orang itu terperanjat ketika ketika mereka melihat salah
seorang dari para prajurit itu adalah orang yang telah mereka kenal
sebelumnya. Meskipun nampak perubahan pada bentuk pakaian dan
pertanda kebesaran yang dipakainya, namun mereka bertiga sama
sekali tidak melupakannya, bahwa yang berada dipaling depan, di
samping seorang perwira muda adalah salah seorang dari yang
telah bertempur melawan mereka.
Tetapi orang itu kini mengenakan pakaian dan tanda-tanda
kebesaran seorang perwira prajurit Singasari. Bahkan seorang
Senapati besar yang tentu berkedudukan tinggi dan berjabatan
penting. Linggapati yang berada di paling depan berpaling. Dilihatnya
wajah adiknya yang tegang. Demikian juga pengiringnya yang telah
setua perwira yang telah mereka kenal itu.
"Siapakah sebenarnya orang itu." desis Linggadadi.
Linggapati menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Jika ia seorang
perwira, siapakah dua orang anak muda yang telah berburu
bersamanya?" "Apakah mata kita yang telah menjadi rabun dan melihat orang
itu sebagai seseorang yang pernah kita, kenal?"
1718 "Ya. Mungkin wajahnya sajalah yang mirip."
"Tetapi kita akan melihat, apakah ia mengenal kita atau tidak."
"Bagaimana jika ia masih mengenal kita, namun kemudian
menjatuhkan perintah kepada para prajuritnya untuk menangkap
kita?" "Kita bukan tikus piti."
Ketiga orang itupun menjadi tegang. Dengan tatapan yang tajam
mereka memandang perwira yang nampaknya sudah mereka kenal
itu. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika iring-iringan itu
menjadi semakin dekat. Dengan tegang mereka memandang
perwira yang berada di paling depan bersama seorang perwira
muda itu. Terasa dada meteka berdesir, ketika ternyata perwira itu
mengangkat tangannya dan memberikan isyarat agar iring-iringan
itu berhenti. Sejenak Linggapati tercenung. Namun kemudian iapun
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan da pat terjadi.
Lembu Ampal yang memimpin iring"an prajurit Singasari itu masih
mengenal dengan baik ketiga orang yang telah bertempur
melawannya bersama kedua pimpinan tertinggi Singasari. Karena
itu, maka iapun kemudian mendekati ketiga orang itu lebih dekat
lagi. Namun yang nampak di wajahnya adalah sebuah senyuman
yang bersih. Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Menurut
pertimbangannya, perwira itu tidak akan berbuat sesuatu atas
mereka bertiga. Apalagi kekerasan.
"Ki Sanak." berkata Lembu Ampal kemudian, "Apakah kalian
masih mengenal aku?"
"Ya." jawab Linggapati.
"Inilah kenyataanku sebenarnya. Bukan maksudku untuk
membanggakan diri di hadapan Ki Sanak bertiga. Bahkan aku kira Ki
1719 Sanak sudah tidak ada di sini, atau sama sekali aku tidak
menyangka bahwa kita akan bertemu di pinggir kota ini."
Linggapati mengangguk hormat. Katanya, "Kami mohon maaf.
Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Ki Sanak adalah seorang
perwira yang barangkali justru berkedudukan tinggi."
"Sama sekali bukan seseorang yang berkedudukan tinggi. Tetapi
aku memang seorang prajurit." Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu,
"Aku kira Ki Sanak sudah jauh. Rasa-rasanya kami sudah terlalu
lama meninggalkan hutan itu. Menyiapkan pedati kemudian pergi ke
hutan itu dengan sangat lamban karena di antara kami terdapat
sebuah pedati." Linggapati mengangguk. Jawabnya, "Kami masih berada di hutan
itu agak lama. Kami memerlukan waktu untuk merenungi apa yang
baru saja terjadi. Dan ternyata bahwa kami telah melakukan
kesalahan, karena kami telah menyangka bahwa Ki Sanak yang
ternyata seorang prajurit, adalah orang-orang berilmu hitam."
(Bersambung ke jilid 24) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing: Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1720 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jild 24 "TIDAK apa-apa Ki Sanak. Namun
aku masih tetap menganggap kalian
sebuah teka-teki, justru karena salah
seorang dari kalian menamakan diri
Mahisa Bungalan." Linggadadi mengerutkan keningnya. Tetapi Linggapati yang
menjawab lebih dahulu, "Sekali lagi
kami mohon maaf. Sebenarnya itu
adalah sekedar terdorong dari
kebencian kami kepada orang-orang
berilmu hitam, sehingga kami diluar
sadar, telah meminjam nama-nama
orang yang paling ditakuti pula oleh orang-orang berilmu hitam."
Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Tetapi aku tidak akan
bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya, karena agaknya kalian
memang tidak ingin kami kenal. Baiklah, silahkanlah berjalan terus.
Tetapi aku minta kalian agak berhati-hati menghadapi orang-orang
berilmu hitam." "Terima kasih Ki Sanak. Tetapi siapakah sebenarnya kedua anak
muda yang berkuda bersama Ki Sanak di hutan perbuan itu?"
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Ia sebenarnya agak
ragu-ragu menyebut nama keduanya. Namun kemudian ia berkata,
1721 "Aku tidak akan menyembunyikan nama mereka, karena terlalu
banyak orang yang sudah mengenalnya."
Linggapati, Linggadadi dan pengiringnya termangu-mangu.
Namun serasa ada ketegangan di dalam dadanya.
"Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Keduanya adalah tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Canipaka, Maharaja dan Ratu
Angabhaya dari kerajaan Singasari."
"O." Suatu hentakkan telah menggelepar di dada ketiga orang
itu. Ternyata yang dihadapi adalah kedua orang anak muda yang
sering disebut sepasang Ular Naga dalam Satu Sarang. Kedua anak
muda yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Singasari.
"Sekali lagi aku mohon beribu ampun." berkata Linggapati,
"Hanya karena kemurahannya saja aku tidak dihukumi mati."
Lembu Ampal tersenyum melihat sikap Linggapati. Namun
keningnya berkerut ketika ia memandang wajah Linggadadi yang
buram. Agaknya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan itu mempunyai sikap yang lain dari kakaknya.
Sebenarnyalah bahwa Linggadadi mempunyai sikap yang
berbeda. Tetapi ia masih sekali tidak dapat menyatakannya. Karena
itulah maka yang nampak di wajahnya hanyalah kemuraman yang
gelap. "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal kemudian, "Tentu tidak begitu
mudah untuk menjatuhkan hukuman mati. Juga atas Ki Sanak
bertiga, sehingga bukannya karena kemurahanya semata-mata.
Tetapi memang tidak sepantasnya kalian bertiga harus dihukum
mati hanya karena salah paham semata-mata."
"Tentu karena kemurahannya saja." sahut Linggapati,
"Katakanlah bahwa kita masing-masing tidak mempunyai wewenang
apapun untuk menjatuhkan hukuman kepada sesama. Tetapi tanpa
kemurahannya, maka dalam perkelahian itu, kami bertiga memang
sudah terbunuh. Dengan jujur kami mengakui, bahwa kami bertiga
1722 tidak mampu mempertahankan diri dari ilmu yang jauh diluar
jangkauan kami itu."
Lambu Ampal tersenyum. Tetapi ketika ia memandang wajah
Linggadadi, maka Lembu Ampal pun menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah Ki Sanak." berkata Lembu Ampal: kemudian, "Kita akan
berpisah. Kali ini aku tidak bertanya siapakah kalian karena
suasananya agaknya masih kurang tepat."
"Ki Sanak menganggap bahwa kami masih akan bersembunyi
dibalik nama yang asal saja kami sebut?"
Lembu Ampal tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnyalah bahwa kita
masing-masing masih saling mencurigai. Itulah sebabnya, maka aku
tidak bertanya, siapakah kalian sebenarnya, karena kalian tentu
akan menyebut nama yang salah. Dan kami tidak akan
mendapatkan bukti apapun juga untuk menyatakan kesalahan itu.
Bahkan seandainya nama-nama itu adalah nama-nama kalian yang
sebenarnya." Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ki Sanak memang
bijaksana. Baiklah. Tetapi berterima kasihlah kami bahwa kami
diperkenankan mengetahui keadaan Ki Sanak yang sebenarnya, dan
terlebih-lebih kedudukan kedua tuanku yang memimpin Singasari
ini." Lembu Ampal masih tersenyum. Lalu, "Baiklah kita berpisah. Aku
akan mengambil harimau yang masih hidup, yang berhasil
ditangkap oleh tuanku Ranggawuni dengan tangannya tanpa luka
segorespun pada kulit harimau itu."
"Ha." Linggapati mengerutkan keningnya.
"Ya, demikianlah. Tuanku Ranggawuni menangkap harimau itu
tanpa mempergunakan senjata apapun juga selain tangannya
sendiri." Tetapi Lembu Ampal melihat sekilas senyum yang asam di bibir
Linggadadi. Namun demikian, Lembu Ampal sama sekali tidak
menghiraukannya, meskipun sebagai seorang yang memiliki
1723 ketajaman indera dapat menangkap bahwa sebenarnya
persoalannya bukanlah persoalan yang dapat selesai tanpa
menimbulkan akibat apapun juga. Namun demikian Lembu Ampal
masih berharap bahwa orang yang agaknya mempunyai pengaruh
yang lebih besar itu dapat mengendalikan orang yang menyebut
dirinya bernama Mahisa Bungalan.
Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian melanjutkan
perjalanannya diikuti oleh para prajurit yang terheran-heran, karena
mereka tidak mengetahui apakah yang sebenarnya dibicarakan oleh
Lembu Ampal dengan ketiga orang itu. Hanya kemudian, di
perjalanan selanjutnya, Lembu Ampal sempat menceriterakan
apakah yang sudah terjadi dengan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira muda ilu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka ternyata
terlampau baik hati. Aku masih tetap curiga terhadap orang yang
kedua itu. Tatapan matanya sama sekali tidak meyakinkan, bahwa
ia dapat mengerti terhadap persoalan yang sebenarnya
dihadapinya." "Ya." jawab Lembu Ampal, "Tetapi agaknya yang lain akan dapat
meyakinkannya kemudian."
"Atau sebaliknya."
Lembu Ampal tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan
apapun juga. Dalam pada ilu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya
masih termangu-mangu. Mereka memandang iring-iringan yang
maju dengan lambatnya karena harus mengikuti pedati yang ditarik
oleh sepasang lembu. Dalam pada itu, Linggadadi yang menahan hati tidak dapat
membiarkan dadanya retak. Karena itu, dengan suara yang berat ia
berkata, "Kakang terlampau merendahkan diri. Apakah sudah
selayaknya kita menganggap bahwa atas kemurahan anak-anak itu
kita terlepas dari kematian?"
1724 Linggapati tertawa. Jawabnya, "Marilah kita mencoba jujur
terhadap diri sendiri. Aku kira, kita memang tidak akan dapat
memenangkan perkelahian itu. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak
seharusnya menimbulkan kesan, bahwa sebenarnya kita tidak ikhlas
mengalami kekalahan itu."
"Maksudmu?" "Biarlah mereka mendapat kesan, bahwa tidak akan ada
perlawanan apapun juga yang akan pecah di Singasari. Seolah-olah
setiap orang sudah mengakui kebenaran dan kekuasaan kedua
anak-anak itu. Juga orang-orang berilmu hitam itu tidak boleh
menimbulkan kesan, bahwa Singasari pada suatu saat akan
digoncang oleh gempa yang paling dahsyat."
Linggadadi termenung sejenak. Namun kemudian kepalanya
terangguk-angguk kecil. Sementara itu kakaknya masih juga tertawa. Katanya kemudian,
"Linggadadi, Kita ternyata harus lebih berhati-hati lagi setelah kita
mengenal kedua anak muda itu, bahkan dengan langsung. Kita tidak
usah malu mengakui bahwa kita memang tidak mempunyai ilmu
yang timbang dengan kemampuan mereka. Pengakuan itu penting
sekali bagi kita. Dengan demikian kita akan berusaha untuk
meningkatkan ilmu kita. Jika kita sudah merasa memiliki
kemampuan yang cukup, maka untuk seterusnya kita akan tetap
seperti sekarang. Dan ternyata ilmu kita sekarang tidak banyak
berarti bagi kedua anak-anak muda itu. Apalagi dengan dukungan
kekuatan Mahisa Agni, Witantra Mahendra dan anak-anak muda
yang tentu memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan."
Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kakang
benar. Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa kita harus
berkecil hati. Kita masih memiliki beberapa orang tua yang dapat
kita anggap tanpa tanding. Jika ternyata bahwa kita terbentur
kepada kemampuan ilmu yang tidak terjangkau, maka kita tidak
akan kehilangan kesempatan, sebab orang-orang tua yang selama
ini berada di antara kita tentu tidak akan tinggal diam."
1725 "Kau tidak boleh berpikir begitu." jawab Linggapati "Kau selalu
ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah dan cepat. Landasan
pikiran kita sekarang, adalah meningkatkan ilmu sehingga
kemampuan kita akan dapat memadai untuk melawan kedua anakanak
muda yang kebetulan saja lahir dalam garis keturunan rajaraja
di Singasari." Linggadadi mengerutkan keningnya Tetapi ia tidak menjawab
lagi. "Baiklah." berkata Linggapati kemudian, "Marilah kita
meneruskan perjalanan kita. Kita akan singgah sebentar di Kota
Raja." "Bagaimana jika kita bertemu dengan kedua anak muda itu?"
bertanya Linggadadi. "Kemungkinan itu akan kecil sekali terjadi. Di Kota Raja kedua
anak-anak muda itu tidak akan dapat leluasa bergerak, justru
karena keduanya adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Apalagi
mereka baru saja kembali dari sebuah perburuan yang lain dari
kebiasaan para bangsawan." Linggapati berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi justru itulah kelebihan kedua anak-anak muda itu. Mereka
tidak berburu di atas tandu, diiringi oleh prajurit segelar sepapan
yang akan menggiring binatang buruan agar lewat di muka
tandunya. Perburuan yang demikian adalah perburuan yang tidak
berarti." "Dan ternyata kedua anak muda itu tidak puas dengan cara
yang demikian." sahut Linggadadi, "Bahkan menurut perwira yang
mengawalnya. Ranggawuni telah menangkap hidup-hidup harimau
itu dengan tangannya. Apakah kau percaya?"
Linggapati berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan
kepalanya sambil berkata, "Aku percaya. Tentu tuanku Ranggawuni
dapat melakukannya. Aku juga melihat beberapa goresan pada
tubuhnya. Tentu luka-luka yang dideritanya saat ia berkelahi dengan
harimau itu." 1726 "Goresan-goresan kecil. Apakah kuku macan itu tidak dapat
menyobek perutnya." "Apakah tuanku Ranggawuni terlelang diam tanpa mengadakan
perlawan." "Maksudku, karena ia tidak bersenjata apapun juga. Jika ia
mempergunakan sebuah pisau belati seperti yang dipergunakannya
melawan kita, aku masih dapat mengerti."
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Itupula kelebihannya."
Linggadadi tidak menjawab lagi. la sudah meneruskan perjalanan
mereka melalui Kota Raja, meskipun ia agak cemas pula Karena
mungkin sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berbeda dengan
sikap Lembu Ampal. Tetapi Linggapati sama sekali tidak mencemaskannya. Bahkan
seandainya di Kota Raja ia berjumpa dengan kedua anak muda yang
sedang memerintah itu, karena keduanya tentu lidak akan berbeda
sikap dengan Lembu Ampal.
Dalam pada itu, ketika Linggapati, adiknya dan pengiringnya
melanjutkan perjalanannya ke Kota Raja, maka Lembu Ampal pun
menjadi semakin dekat dengan hutan perburuan yang lebat itu.
Namun perjalanan mereka benar-benar merupakan perjalanan yang
lambat dan menjemukan. Bahkan prajurit-prajurit muda yg berkuda
di belakang pedati itupun mulai mengeluh.
"Kudaku menjadi lelah sekali dengan perjalanan yang demikian."
desis seorang prajurit yang bertubuh tinggi.
Kawannya menarik nafas dalam. Jawabnya, "Nafasku menjadi
sesak. Hampir-hampir tidak tertahan lagi."
Seorang prajurit yang lebih tua di sebelahnya memandang
keduanya berganti-ganti. Lalu, "Kalian telah melalui pendadaran.
Agaknya kalian tidak menempuh pendadaran kesabaran seperti
yang pernah aku alami."
1727 "Aku mengalami pendadaran yang keras di arena." desis prajurit
yang bertubuh tinggi itu.
"Nah itulah sebabnya. Aku saat itu mengalami dua macam
pendadaran. Pendadaran jasmaniah dan pendadaran rohaniah."
"Aku juga." desis prajurit muda itu.
"Tetapi tentu berbeda dengan pengalaman yang pernah aku
alami semasa aku memasuki masa pendadaran setelah untuk tiga
bulan aku mengalami tempaan sebagai calon prajurit."
"Tentu aku juga." desis prajurit muda itu.
"Tetapi kalian sama sekali tidak memiliki kesabaran itu."
"Ceriterakan, apakah yang pernah kau alami dalam pendadaran
kesabaran itu." Prajurit yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun berceritera. "Menarik sekali. Saat aku selesai
pendadaran jasmaniah, maka aku bersama sekelompok calon
prajurit yang dinyatakan berhasil dalam pendadaran jasmaniah,
ditempatkan di sebuah tempat yang terpisah. Berhari-hari kami
menunggu. Ketika kami sudah mulai menjadi jemu, maka perwira
yang mengawasi kami itupun bertanya kepada kami, apakah kami
masih bersedia untuk menunggu pendadaran yang terakhir. Ketika
kami bertanya, kapan maka perwira itu tidak dapat mengatakan.
Tergantung kedatangan perwira yang berwenang dari Pajang.
Ketika kejemuan sudah memuncak, maka perwira itu berkata, "Kami
minta maaf, bahwa perwira yg bertugas untuk menyelesaikan
pendadaran itu masih belum datang. Kami tidak dapat mengatakan,
kapan pendadaran itu akan diselenggarakan. Karena itu, daripada
kalian kehilangan banyak waktu untuk menunggu dalam kejemuan,
maka barang siapa yang tidak telaten lagi menunggu dipersilahkan
meninggalkan tempat ini."
"O, menarik sekali." sahut prajurit-prajurit muda itu.
"Dan ternyata sebagian dari kami memang sudah tidak tahan
lagi dalam kejemuan. Mereka pun kemudian meninggalkan tempat
1728 terpencil itu Karena menurut mereka, pendadaran itu tidak akan
berlangsung untuk waktu yang lama."
"Jadi, kapan pendadaran itu diselenggarakan."
"Tidak ada seorang perwira yang datang."
"Jadi. tidak ada pedadaran lagi?"
"Tidak." " Bagaimana akhir dari pengasingan itu."
"Itu sajalah Tanpa ada pendadaran yang lain, kami pun
dinyatakan diterima menjadi seorang prajurit. Karena pendadaran
yang sebenarnya adalah ketahanan menunggu tanpa berbuat apaapa
itu." Prajurit-prajurit muda itu tersenyum sambil mengangguk-angguk
Mereka pun mengalami pendadaran kesabaran sesuai dengan
keadaan sesaat, dan dengan cara yang berbeda-beda.
Demikianlah iring-iringan itu maju terus dengan lambannya. Para
prajurit itu mengisi waktunya dengan bercakap-cakap dan
berceritera tentang berbagai macam hal yang mereka anggap
menarik. Prajurit-prajurit muda di bagaian belakang kadang-kadang
terdengar tertawa meskipun mereka mencoba menahan sekuatkuatnya.
Lembu Ampal dan perwira muda di sampingnya pun ternyata
telah tenggelam dalam pembicaraan yang asyik pula, sehingga
mereka hampir tidak menghiraukan lagi prajurit-prajurit yang
bercakap-cakap pula di antara mereka. Bahkan prajurit-prajurit
muda yang di paling belakang sempat pula bergurau untuk mengisi
kejemuan mereka mengikuti pedati yang merayap seperti siput yang
paling malas. Ketika mereka melintasi sebuah padukuhan kecil, dan melintasi
sebuah bulak yang panjang, maka Lembu Ampal pun berkata
kepada perwira muda itu, "Bulak ini adalah bulak yang terakhir. Kita
akan segera sampai pada sebuah padang ilalang dan hutan perdu
1729 sebelum kita memasuki hutan yang sudah nampak di hadapan kita
itu." Perwira muda ilu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa prajuritprajuritnya
sudah mulai menjadi jemu. Namun mereka tidak dapat
berbuat lebih daripada melupakan kejemuan itu dengan bercakapcakap
dan bergurau. Prajurit-prajurit yang ada di dalam iring-iringan itu baru
memperhatikan hutan di hadapan mereka, setelah mereka melintasi
bulak panjang itu. Meskipun jalan agak sulit dilalui oleh sebuah
pedati, namun mereka pun kemudian memasuki hutan yang lebat
itu. Tetapi terayata bahwa pada suatu saat, pedati itu tidak dapat
maju lagi, sehingga Lembu Ampal harus mengambil kebijaksanaan
lain. "Kita tinggalkan pedati itu di sini, ditunggui oleh beberapa
prajurit." berkata Lembu Ampal.
"Apakah ada orang yang akan mencuri pedati ini." bertanya
seorang prajurit. "Bukan orang yang akan mencurinya, tetapi mungkin seekor
harimau yang garang, yang mencium bau lembu penarik pedati itu.
akan datang dan menerkamnya."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Bahkan seorang prajurit muda
berkata, "Jika diperintahkan, aku akan menunggui pedati itu. Jika
ternyata ada seekor harimau yang datang, aku akan membunuhnya
dan mengambil kulitnya."
"Baiklah." berkata perwira muda yg memimpin sekelompok
prajurit itu, "Tetapi kau tidak boleh meninggalkan pedati ini sama
sekali." Demikianlah maka empat orang prajurit telah mendapat perintah
untuk menunggui pedati itu. Sedang yang lain akan berkuda
memasuki hutan itu sampai ke sebuah lapangan kecil di dalam
hutan itu. 1730 "Mereka yang menunggui harimau itu tentu sudah menjadi
jemu. Lebih jemu daripada kita yang berjalan mengikuti pedati yang
merayap ini." berkata Lembu Ampal kemudian.
Dalam pada itu, Empu Senggadaru memang sudah mulai gelisah
menunggu. Tetapi ia masih menyabarkan dirinya. Sekali-sekali ia
mendengar harimau yang terikat itu mengaum sambil meronta.
Namun harimau itu seolah-olah menjadi putus asa, dan berdiam diri
meskipun masih terdengar geramnya yang penuh kemarahan.
Dalam kesempatan itu, setiap kali Empu Baladatu mencoba
menjajagi perasaan kakaknya, bagaimanakah sikapnya terhadap
kedua anak muda yang sedang memegang pemerintah itu.
Tetapi setiap kali ia menjadi kecewa, karena menilik
pengamatannya, Empu Sanggadaru terlalu mengagumi kedua anakanak
muda itu. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga
sikap dan wataknya. Sambil merenungi harimau loreng yang masih hidup dan terikat
keempat kakinya erat-erat dengan janget itu, Empu Sanggadaru
berkata, "Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada seorang anak
muda yang sebaya dengan Tuanku Ranggawuni, yang mampu
melakukannya." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun hampir di luar
sadarnya ia bertanya, "Bagaimana dengan anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan?"
"Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam?"
bertanya Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu mengangguk, meskipun terasa getar yang keras
mengguncang dadanya. "Aku tidak tahu pasti tentang anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan itu. Tetapi menurut pendengaranku, ia adalah anak muda
yang luar biasa pula. Menilik bahwa ia adalah anak Mahendra, maka
aku kira ia memang mempunyai kelebihan."
1731 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun kemudian
bertanya dengan ragu-ragu pula, "Kakang apakah kesetiaan rakyat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singasari terhadap kedua anak-anak muda itu cukup mantap?"
"Ya. Aku kira cukup mantap. Tidak ada alasan untuk menolak
keduanya. Mereka adalah keturunan Ken Dedes, meskipun dari jalur
suami yang berbeda."
"Apakah pedengaran kakang benar, bahwa Ranggawuni adalah
keturunan Tunggul Ametung. sedang Mahisa Cempaka adalah
keturunan Ken Arok."
"Tentu tidak ada orang yang tahu, apakah memang demikian".
Tidak seorangpun yang dapat membantah atau membenarkan,
bahwa semasa Ken Dedes masih menjadi isteri Akuwu Tunggul
Ametung ia memang sudah berhubungan dengan Ken Arok yang
waktu itu merupakan salah seorang hamba istana yang paling dekat
dengan Akuwu dan Permaisurinya itu. Tetapi keadaan lahiriahnya
menunjukkan bahwa saat Ken Dedes kawin dengan Ken Arok yang
telah menguasai keadaan itu sedang mengandung. Ketika bayi itu
lahir, maka setiap orang menganggapnya bahwa bayi itu adalah
putera Akuwu Tunggul Ametung."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Bagaimanakah tanggapan kakang terhadap beberapa pendapat,
bahwa kedua anak muda itu masih terlampau dungu untuk
memegang tampuk pemerintahan, sehingga sebenarnya yang
memerintah sekarang adalah orang lain sama sekali Ia adalah
Mahisa Agni, saudara angkat Ken Dedes itu."
Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, "Itu adalah wajar sekali.
Anak-anak muda itu memerlukan seorang yang mempunyai
pengalaman dan pengetahuan cukup. Mahisa Agni adalah seorang
tua yang memenuhi syarat itu."
"Tetapi kakang, bukanlah dengan demikian Mahisa Agni akan
dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri saja."
Empu Sanggadaru tersenyum pula. Katanya, "Seandainya
demikian, itupun wajar. Tetapi berapa besar perbandingan yang
1732 dapat kita lihat. Usaha yang nampak pada Mahisa Agni sampai
sekarang adalah usaha yang sama sekali tidak menyinggung rasa
keadilan bagi rakyat Singasari. Meskipun nampak jelas pengaruhnya
pada kedua anak-anak muda itu, namun yang dilakukan adalah
suatu usaha yang justru membuat Singasari bertambah besar."
"Apakah itu bukan berarti menarik segala perhatian rakyat ke
arahnya, bukan ke arah kedua anak-anak muda yang seharusnya
memegang pemerintahan itu?"
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Bahkan iapun
kemudian bertanya, "Kenapa kau bertanya demikian Baladatu"
Apakah kau merasa, atau mendengar atau melihat sikap seperti itu"
Menurut pendapatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang
demikian. Bahkan orang tua yang bernama Mahisa Agni itu jarang
sekali menampakkan dirinya di hadapan rakyat Singasari dengan
menengadahkan dadanya, la tetap seorang yang rendah hati dan
selalu mengingat akan asalnya. Ia selalu merasa bahwa sebenarnya
ia adalah seorang anak padepokan terpencil. Padepokan kecil,
sehingga ia tidak terpisah dari lapisan yang telah melahirkannya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia agaknya tidak
mempunyai kesempatan untuk melihat kekurangan pada keluarga
Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan orang-orang di sekitarnya.
Namun demikian ia masih belum berputus asa. la masih akan tetap
mencari kelemahan pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari
segala segi. Tetapi dalam pada itu. Empu Sanggadaru berkata, "Baladatu.
Akupun sudah termasuk orang tua. Aku mengenal beberapa orang
yang memerintah di Singasari, bahkan sejak jaman Tumapel. Tidak
ada seorang pun yang berhasil memerintah dengan lunak tetapi
mantap seperti kedua anak-anak muda ini. Tunggul Ametung adalah
seorang Akuwu yang besar, tetapi ia lebih senang mementingkan
kesenangan pribadi. Ken Arok adalah seorang yang berusaha untuk
mempersatukan daerah yang luas sehingga Singasari menjadi kuat.
Tetapi ia telah mengorbankan beberapa ribu jiwa untuk mencapai
maksudnya itu. Ia menyiram tanamannya dengan darah meskipun
1733 tanamannya menjadi subur. Setelah itu, maka bertahtalah seorang
Maharaja yang terlalu baik hati. Kelemahan Anusapati terletak pada
kelemahan hatinya itu. Meskipun ia tahu bahwa adiknya, Tohjaya
siap membalas dendam, namun ia sendirilah yang justru
memberikan kesempatan untuk melakukannya. Perasaan bersalah
dan rendah diri selalu mencengkamnya, sehingga ia tidak mampu
menjadi besar. Yang terakhir sebelum kedua anak-anak muda ini
adalah tuanku Tohjaya. Seorang anak muda yang keras hati, garang
dan terlampau dikuasai oleh nafsunya. Ibundanyalah sumber dari
kehancurannya itu." Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia
tidak mempunyai harapan lagi untuk memancing kakaknya, agar ia
bersedia berdiri di pihaknya, atau setidak-tidaknya membantunya.
Bahkan Empu Baladatu menjadi semakin berdebar-debar ketika
kakaknya berkata, "Baladatu. Aku kira pemerintahan kedua anak
muda sekarang ini adalah pemerintahan yang paling mantap. Tidak
ada alasan dari seorang pun di antara rakyat Singasari untuk tidak
merasa puas atas pemerintahan yang dipimpinnya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Betapun perasaan kecewa
menggelepar di dalam dadanya.
Namun demikian, Empu Baladatu tidak dapat melupakan
kinginannya untuk mencapai sesuatu. Ketika ia sempat melihat ke
dalam hatinya, sebenarnyalah bahwa yang mendorongnya untuk
melawan pimpinan tertinggi di Singasari bukanlah karena perasaan
kecewa atas pemerintahan itu sendiri. Tetapi semata-mata didorong
oleh nafsunya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya paling
berharga di muka bumi. "Maharaja adalah jabatan yang paling utama Kebahagiaan
tertinggi bagi seseorang adalah apabila ia dapat menjadi seorang
raja yang besar dan memerintah daerah yang luas." berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya.
Dan ternyata bahwa Empu Baladalu tidak berpikir terlalu
sederhana. lapun mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
1734 yang dapat dihadapinya dalam ushanya memenuhi nafsu yang
bergejolak di dalam hatinya. Ia juga mempertimbangkan hati rakyat
Singasari dan memperhitungkan kekuatan yang dapat dihimpunnya.
Karena itulah, maka ia mulai dengan membangun kekuatan yang
dianggapnya akan dapat menjadi kekuatan yang tidak terlawan.
Tetapi sebelum ia berhasil, maka rasa-rasanya, awan yang gelap
telah mengalir di atas perguruannya. Hadirnya nama-nama Mahasa
Bungalan dan Linggadadi membuatnya menjadi suram.
"Aku harus mencari cara lain." berkata Empu Baladatu. Dan iapun
telah memikirkannya. "Yang mula-mula harus aku lakukan adalah membinasakan
keduanya. Jika aku dapat membujuk kakang Empu Sanggadaru
untuk memusuhi keduanya, maka aku akan dapat meneruskan
usahaku, merintis jalan ke Singgasana. Meskipun mungkin masih
memerlukan waktu yang lama."
Dalam pada itu, kejemuan benar-benar sudah hampir tidak
teratasi lagi oleh Empu Sanggadaru. Rasanya tangannya sudah,
menjadi gatal, ia tidak biasa duduk termenung, apalagi dalam
pakaian seorang pemburu. Meskipun ia dapat bersabar menunggu
buruannya di dekat mata air, tetapi ia seolah-olah.telah kehilangan
kesabarannya itu, untuk menunggui seekor harimau yang masih
hidup tetapi terikat keempat kakinya erat-erat.
Setiap kali ia memandangi adiknya, dilihatnya adiknya sedang
termenung, memandang gerak dedaunan yang gelisah disentuh
angin yang lembut. Namun dalam pada itu, selagi mereka merenungi kejemuan
mereka, tetapi karena mereka sedang menjalani tugas yang
dibebankan oleh kedua pemimpin tertinggi di Singasari meskipun
tidak dalam kedudukannya, sehingga mereka tidak berani
meninggalkannya, terasa sesuatu yang agak lain telah menyentuh
firasat. Terutama Empu Sanggadaru.
1735 Karena itulah maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah.
Diluar sadarnya ia bangkit dan berjalan hilir mudik di antara kedua
ekor harimau yang mereka dapatkan dalam perburuan itu. Yang
seekor telah mati, sedang yang lain masih hidup meskipun terikat
erat-erat. "Kakang nampaknya gelisah sekali." tiba-tiba Empu Baladatu
bergumam. "Aku menjadi jemu. Tetapi lebih dari itu, terasa ada sesuatu yang
lain. Rasa-rasanya angin bertiup semakin gatal di kulit."
"Apakah pakaian macanmu itulah yang gatal kakang?"
Empu Sanggadaru masih mengerutkan keningnya, ia masih
sempat tersenyum sambil menjawab, "Tentu bukan. Tetapi mungkin
pula karena sudah terlalu lama tidak aku pergunakan. Tetapi lebih
dari itu, aku menjadi gelisah bukan saja karena kejemuan ini."
"Apakah kira-kira ada sesuatu yang menyebabkan kakang
gelisah" Mungkin kakang masih meninggalkan kuwajiban yang harus
kakang lakukan" Atau barangkali karena kakang merasa bahwa
sudah waktunya memasuki hutan yang lebat ini lebih dalam lagi "
"Tidak. Bukan itu. Tetapi memang ada persoalan yang belum
selesai." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu, "Maksudmu?"
Empu Sanggadaru memandang adiknya sejenak. Namun
kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Aku minta maaf kepadamu Baladatu. Justru pada saat kau berada
di tempat ini. Kegelisahan ini mungkin hanyalah sekedar karena
hatiku yang kecut." "Apakah sehenarnya yang telah terjadi?"
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang akan terjadi Dan
untung pulalah bahwa kedua anak-anak muda, pemimpin tertinggi
dari pemerintahan di Singasari itu sudah kembali."
"Aku tidak mengerti."
1736 Sekali lagi Empu Sanggadaru menarik nafas dalam sekali. Lalu,
"Setiap orang dapat saja tergelincir dalam sikap dan perbuatan yang
tidak dikehendakinya sendiri. Dan aku sudah melakukannya."
"Apa yang sudah kau lakukan?" bertanya adiknya.
"Sikap permusuhan. Benar-benar tidak aku kehendaki. Tetapi itu
sudah terjadi." Empu Baladatu telah menjadi gelisah pula. Meskipun ia tidak
mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi dengan kakaknya,
namun iapun dapat menduga, bahwa agaknya sesuatu yang tidak
menyenangkan akan terjadi.
"Baladatu." berkata Empu Sanggadaru kemudian, "Tanganku
telah terlanjur melakukan tindak kekerasan ketika sekelompok
orang-orang yang tidak aku kenal lewat di sebelah padepokan."
"Apa yang telah terjadi?"
"Empat orang singgah di padepokan. Aku mengira bahwa mereka
adalah orang-orang yang memerlukan persinggahan. Dan aku telah
memberikannya. Tetapi ternyata mereka bukannya orang yang
berhati bersih." "Apakah mereka telah mencuri?"
"Tidak." Empu Sanggadaru mengeleng, "Aku kira mereka tidak
menyadari bahwa mereka berada di dalam sebuah perguruan. Yang
nampak pada mereka adalah sebuah padepokan dan hasil buruan
itu. Itulah sebabnya, sejak mereka memasuki padepokanku sikapnya
benar-benar memuakkan. Meskipun demikian kepada mereka kami
berikan tempat untuk bermalam." Empu Sanggadaru berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi sayang, bahwa salah seorang dari mereka
menjumpai seorang endang kecil dari padepokan sedang mengambil
air di sumur. Ternyata bahwa gadis itu sangat menarik
perhatiannya. Bahkan ternyata kemudian, ia tidak dapat menahan
untuk menyapanya. Pembicaraan yang pendek dan keramahtamahan
gadis itu membuat laki-laki itu hilangan nalar, sehingga ia
1737 berusaha untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
peradaban manusia. Ketika gadis yang ramah itu menjerit, beberapa orang berlarilarian
medatanginya. Dan yang terjadi kemudian, benar-benar tidak
dapat dicegah lagi. Keempat orang itu menganggap para cantrik di
padepokanku adalah tikus kecil yang hanya mengenal cangkul dan
batang-batang jagung. Karena itulah, maka mereka sama sekali
tidak minta maaf, bahkan menuntut agar gadis itu diserahkan
kepada mereka. Itulah awal dari peristiwa yang sama sekali tidak
aku kehendaki. Ketika aku datang ke tempat itu, karena aku berada
di pategalan ketika seorang catrik berlari-lari mencariku, aku
menjumpai dua sosok mayat dari keempat orang itu. Sedang yang
dua lainnya berhasil melarikan diri.
Baru pada mayat itu aku dapat mengenal bahwa orang-orang itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber .pada rohroh
jahat. Ilmu yang sering disebut ilmu hitam."
Empu Baladatu terkejut mendengar keterangan itu. la sudah
terlanjur menerima julukan dari orang-orang yang tidak senang
kepadanya, bahwa ilmu yang disadapnya adalah ilmu hitam. Dan
kini ada golongan lain yang juga menyedap ilmu yang disebut ilmu
hitam itu. Karena itulah maka dengan serta merta ia bertanya, "Kakang,
apakah kakang mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang kakang
sebut berilmu hitam itu?"
"Aku pernah menjumpai sebelumnya Baladatu. Aku pernah
melihat ciri seperti yang nampak pada kedua sosok mayal itu."
Alap Alap Laut Kidul 7 Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Dendam Iblis Seribu Wajah 2
pakaian kulit harimau memang terlalu panas. Tetapi bagiku ini
adalah suatu kebanggaan." Empu Sanggadaru menjawab.
Anak muda yang berkuda dipaling depan mengangguk Katanya,
"Ternyata kau lebih beruntung dari padaku. Aku belum mendapat
seekor binatangpun selain seekor rusa kecil yang sudah kami
jadikan santapan kami sejak kemarin."
"O, kamipun baru mendapatkan dua ekor harimau."
Orang-orang berkuda itu mengerutkan keningnya. Namun
sementara itu Empu Sanggadaru masih bertanya, "Kau belum
menjawab Ki Sanak, siapakah kalian sebenarnya?"
Sekali lagi anak muda yang berkuda dipaling depan mendahului
ketika yang berada di belakangnya sudah siap untuk menjawab,
"Kami adalah perantau yang tidak banyak dikenal. Namaku Rute.
Kedua kawanku ini adalah Tanca dan Sasak."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Namun ia melihat
perubahan wajah kedua orang yang berkuda di belakang anak muda
yang menyebut tiga buah nama itu, sehingga baik Empu
Sanggadaru maupun orang-orang lain yang bersamanya, segera
mengetahui bahwa nama-nama itu bukanlah nama yang
sebenarnya. Tetapi mereka sama sekali tidak mempedulikannya, karena
mereka memang dapat saja berpapasan di jalan dengan orang yang
bernama siapapun juga. Namun dalam pada itu, ternyata kedua ekor harimau itu sangat
menarik perhatian ketiga pemburu berkuda itu. Sehingga mereka
seolah-olah tidak melepaskan tatapan mara mereka kepada
harimau-harimau itu. 1678 "Ki Sanak." tiba-tiba anak muda yang berkuda dipaling depan
berkata, "Apakah kedua ekor harimau itu juga akan kalian bawa
pulang?" "Ya, tentu Ki Sanak."
"Menarik sekali, bahwa kalian berhasil menjerat harimau itu dan
menangkapnya hidup-hidup."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
"Ya. Semalam suntuk kami memasang jaring. Yang seekor terpaksa
kami bunuh, karena berhasil melepaskan diri dari jaring kami."
Anak muda berkuda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bukan
kau pemburu-pemburu yang memang pekerjaanmu berburu?"
"Ya, ya anak muda."
"Lalu untuk apakah hasil buruanmu itu?"
"O." Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kemudian
jawabnya, "Aku adalah pengumpul binatang buruan. Kulitnya,
tulang-tulangnya dan bahkan aku mengeringkannya jika malang
buruan kami dapat kami tangkap utuh."
Anak muda itu mengangguk. Lalu katanya, "Jika demikian tentu
kalian juga mendapatkan nafkah kalian dari perburuan yang kalian
lakukan." "Tidak seluruhnya Ki Sanak, karena kami juga bertani di
padepokan kami." "Bagus. Nah, sekarang, kami ingin memiliki salah seekor harimau
buruanmu itu. Apakah aku dapat membelinya" Aku ingin
menyimpannya dan mengeringkannya. Seorang saudaraku memiliki
kemampuan untuk mengeringkan binatang, karena ia mengetahui
reramuan yang dipergunakan untuk itu."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya, lalu jawabnya, "Maaf
Ki Sanak. Kami pada dasarnya memang seorang pemburu yang
sebagian besar hidup kami, kami habiskan untuk berada di tengahtengah
hutan seperti sekarang ini. Tetapi bukan maksud kami untuk
1679 menjual hasil buruan kami, karena kami. adalah orang-orang yang
senang akan hasil buruan kami bagi perhiasan rumah kami.
Selebihnya adalah kebangggaan kami untuk menempatkan hasilhasil
buruan kami itu sebagai pajangan, dan dikagumi oleh tamutamu
kami." Anak muda yang berkuda dipaling depan itu berpaling
memandang kedua orang kawannya. Anak muda yang seorang lagi
kemudian berkata, "Kau dapat memberikan harga berapa saja asal
masih cukup wajar. Kami mengagumi kemampuanmu menangkap
dua ekor harimau itu sekaligus. Padahal kami datang lebih dahulu
daripadamu. Jika kami mengambil seekor maka kalian masih
mempunyai seekor yang sama besarnya dan sama garangnya."
Empu Sanggadaru memandang Ranggawuni sejenak. Namun
sebenarnya ia hanya sekedar ingin meyakinkan, karena sudah pasti
bahwa permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya.
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan kepalanya
kemudian terangguk kecil, karena seolah-olah ia pun dapat
membaca maksud Empu Sanggadaru.
"Ki Sanak." berkata Empu Sanggadaru kemudian kepada ketiga
orang itu, "Sayang sekali, bahwa kami tidak akan dapat memenuhi
permintaanmu. Kami dengan bangga akan dapat mengeringkan
sepasang harimau ini. Jantan dan betina. Namun kami masih juga
ingin mencoba untuk menyembuhkan harimau jantan ini dari
kejutan saat ia terperangkap, agar kemudian dapat kami pelihara di
samping yang sudah mati. Tetapi apabila tidak mungkin, maka
terpaksa kemipun akan mengeringkannya dan memasangnya di
depan pintu pringgitan."
Anak muda yang berkuda dipaling depan mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, "Jangan mempersulit keadaan. Aku akan
memberikan imbalan. Aku tidak hanya akan sekedar merampas."
"Kami tahu Ki Sanak. Tetapi kami minta maaf."
Anak muda yang berkuda di belakangnyapun berkata, "Apakah
keberatanmu" Kau dapat mencari harimau yang lain."
1680 "Sulit sekali untuk menemukan harimau sebesar ini Ki Sanak."
jawab Empu Sanggadaru, "Karena itu, kami tidak akan dapat
melepaskannya." "Kalian memang keras kepala. Apakah kalian sama sekali tidak
berniat untuk mendapatkan uang cukup" Dan kemudian memasuki
hutan ini lebih dalam lagi dan mendapatkan harimau yang lebih
besar?" "Tidak." "Persetan." geram anak muda yang berkuda dipaling depan,
"Kalian keras kepala. Buat apa sebenarnya kalian berburu, jika
hanya akan kau timbun di dalam rumahmu saja tanpa menghasilkan
apa-apa?" "Itu urusan kami." tiba-tiba Empu Baladatu yang lebih panas
menjawab. Ia tidak sabar lagi melihat anak-anak muda yang
baginya terlalu sombong, sedang seorang yang nampaknya lebih
tua sama sekali tidak berbicara apa-apa.
Mendengar jawaban Empu Baladatu, anak muda yang berada di
tengah itu mengerutkan keningnya. Dengan geram ia berkata, "Kau
jangan membentak pemburu gila. Kau sangka kami ini pengemis
yang datang untuk minta-minta belas kasihan. Jika kalian
berkeberatan, sudahlah. Tetapi jangan menganggap kami seperti
binatang yang diusir dengan kasar."
"Kami muak melihat tingkah laku kalian." geram Empa Baladatu.
Sementara itu Empu Sanggadaru sempat menggamitnya agar
adiknya tidak bersikap terlalu kasar, karena di antara mereka yang
sedang berburu itu terdapat Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Tetapi Empu Baladatu memang bukan seorang yang dapat
menyabarkan diri. Karena itu, maka iapun justru mengibaskas
tangannya sambil berkata, "Biar sajalah. Aku benci melihat anakanak
muda yang sombong. Ia merasa dirinya terlampau kaya dan
dapat membeli apa saja dengan uangnya."
1681 "Tutup mulutmu." bentak anak muda yang dipaling depan, "Aku
masih mencoba menyabarkan diri."
"Aku tidak perlu kesabaranmu. Pergilah, dan jangan memaksa
kami menjual hasil buruan kami, sebab dengan demikian kalian
hanya akan menimbulkan kemarahan kami."
"Kau mencoba mengusir kami" Kau mengira bahwa kami takut
melihat tampangmu. Meskipun kalian beramai-ramai dapat
menangkap sepasang harimau sebesar itu, karena kami akan dapat
melumatkan kepalamu dengan sentuhan tanganku."
Empu Baladatu pun tiba-tiba menjadi marah. Namun Empu
Sanggadarulah yang melangkah maju sambil berkata, "Sudahlah Ki
Sanak. Kita tidak akan mengadakan pembicaraan jual beli. Kami
persilahkan Ki Sanak mencari langsung ke jantung hutan ini.
Mungkin di tengah-tengah hutan yang lebat ini, masih akan dapat
dipertemukan harimau sebesar harimau-harimau itu."
"Kami tidak bernafsu sekali untuk mendapatken seekor harimau."
jawab anak muda yang berkuda dipaling depan, "Tetapi jangan
bersikap seperti seorang pahlawan di medan perang menghadapi
lawannya yang sudah menyerah."
"Pergilah." Empu Baladatu masih membentak. Ternyata bahwa
.bentakan itu benar-benar telah membakar hati anak muda yang
berkuda di tengah. Karena itu sekali lagi anak muda itu
mengancam, "Jika kau tidak mau menutup mulutmu, aku akan
membungkamnya." "Setan alas." geram Empu Baladatu, "Cobalah kau lakukan. Aku
akan dapat mengelupas kulitmu seperti pisang."
Kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang
berkuda itu. Ternyata mereka telah pernah mendengar istilah yang
diucapkan oleh pemburu itu. Namun dengan demikian, maka
mereka pun kemudian menjadi berhati-hati.
1682 "Marilah." tiba-tiba orang yang paling tua di antara mereka
berkata, "Kita tinggalkan mereka. Sudah mereka katakan, bahwa
mereka tidak akan menjual hasil buruan mereka."
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun sekali lagi yang
tua itu berkata, "Marilah. Kita akan mencari sendiri."
Namun kedua anak muda itu masih belum beranjak dari
tempatnya, Bahkan wajah mereka menjadi merah membara karena
kemarahan yang semakin memuncak.
Sejenak suasana menjadi tegang. Baik yang berada di punggung
kuda, maupun yang berdiri di atas tanah saling berdiam diri dengan
tegangnya. Agaknya kedua anak muda yang berkuda itu benar-benar telah
dibakar oleh kemarahannya, sehingga nampaknya mereka benarbenar
akan bertindak kasar. Tetapi Empu Baladatu pun tidak lagi
dapat menahan hatinya, sehingga ia pun, siap untuk bertempur
dengan caranya. Sementara itu Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal
memandang ketiga orang berkuda itu dengan saksama. Dari sorot
matanya dan sikapnya, mereka yakin bahwa ketiga orang itu
memang bukan orang kebanyakan.
Dalam pada itu, dalam ketegangan yang semakin memuncak,
orang yang paling tua dari ketiga orang berkuda itu berkata sekali
lagi, "Tidak pantas kita berkelahi di sini tanpa sebab yang
meyakinkan. Jika ada orang yang melihat peristiwa ini, maka akan
mudah menimbulkan salah duga. Mereka tentu mengira bahwa kita,
akan merampas harimau hasil buruan mereka, meskipun sebab
yang sebenarnya adalah sikap yang kasar dan menghina. Tetapi
alasan itu tentu kurang meyakinkan."
Anak muda yang berkuda dipaling depan menggeletakkan
giginya. Sementara Empu Baladatu telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. 1683 Namun dalam pada itu, dalam ketegangan yang memuncak,
Ranggawuni telah memberikan isyarat kepada Lembu Ampal untuk
mendekat. Kemudian iapun berbisik di telinganya, "Cegahlah
perkelahian yang mungkin dapat terjadi."
Lembu Ampal pun kemudian mengangguk sambil berdiri. Tepat
pada saatnya ia mendekati anak-anak muda itu sambil berkata,
"Kami minta maaf Ki Sanak. Mungkin sikap kami terlampau kasar.
Tetapi itu sudah menjadi sifat seorang pemburu. Karena itu, jika
bagi kalian, sifat itu kurang menyenangkan, maka biarlah sekali lagi
aku minta maaf." Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Bahkan iapun
kemudian menambahkan, "Kami terbiasa hidup dalam kekeras
lebatnya hutan dan binatang-binatang buas yang hanya
mengagungkan kekuatan sebagai lambang kekuasaan. Kami
memang minta maaf atas kekasaran kami."
Tetapi Empu Baladatu memotong, "Apakah kami membiarkan
mereka menghina kami kakang?"
"Tentu bukan maksudnya menghina." sahut Lembu Ampal,
"Biarlah mereka lewat. Mereka tidak akan memaksa untuk
mengambil harimau-harimau hasil buruan kita."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
mengerti sikap kakaknya dan Lembu Ampal. Sekilas dipandanginya
Ranggawuni dan Mahisa Campaka yang sama sekali tidak
menunjukkan gejolak perasaannya sama sekali.
"Orang-orang cengeng." geram Empu Baladatu di dalam hatinya.
Namun ia masih tetap menahan diri, karena ia tahu pasti, bahwa
yang ada di hadapannya itu adalah seorang Maharaja yang bukan
saja memiliki kewibawaan, tetapi juga memiliki kemampuan yang
tidak ada taranya seperti yang sudah dilihatnya sendiri.
Tetapi justru karena itu ia bergumam di dalam hatinya "Tetapi
kenapa ia terlampau cengeng sehingga menghadapi orang-orang
gila yang sombong itu, mereka justru menghindari perselisihan
Menghadapi orang-orang yang demikain itu seharusnya justru
1684 memancing perselisihan, sehingga kemudian sekaligus
menghancurkan mereka tanpa ampun."
Tetapi kata-kata itu hanya melingkar di dalam dadanya saja,
karena Empu Baladatu tidak dapat mengucapkannya.
Dalam pada itu ketiga orang berkuda itu termangu-mangu. Dari
tatapan matanya, ketiganya melihat perbedaan yang memancar
pada sorot mata Lembu Ampal dari pemburu-pemburu yang kasar
itu, terutama orang yang telah mengucapkan kata-kata yang telah
menyetuh jantungnya. Karena itu, ketika orang tertua di antara mereka sekali lagi
mengajaknya meninggalkan tempat itu, maka anak-anak muda
itupun menggeretakkan giginya sambil menarik kendali kudanya.
"Keparat." desis yang paling depan.
"Sudahlah." potong yang tertua, "Kita akan mencari sendiri
kelak." Anak-anak muda itu tidak menyahut. Sementara itu yang tertua
itupun berkata, "Kami akan pergi. Bukan tujuan kami untuk berburu.
Jika kami singgah, sebenarnya kami hanyalah ingin memberikan
selingan dalam kehidupan kami yang barangkali sangat
menjemukan. Meskipun demikian bukan berarti bahwa kami bukan
pemburu, karena kamipun sudah terbiasa berburu meskipun tidak di
sini Tetapi kali ini memang kami tidak sedang berburu."
"Silahkan." jawab Lembu Ampal, "Mungkin lain kali kalian dapat
kembali lagi kemari dan menemukan harimau sebesar itu."
Orang yang tertua itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab
lagi. Kudanyapun segera bergerak mengikuti kedua ekor kuda yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain. Ketika ketiga ekor kuda itu sudah hilang di balik dedaunan, maka
seorang anak muda di antara ketiga penunggang kuda itupun
berkata, "Aku sudah pernah mendengar kata-kata seperti yang
diucapkan oleh pemburu gila itu."
1685 "Ya." Jawab yang tertua di antara mereka, "Kita tidak akan dapat
melupakannya. Kata-kata itu selalu diucapkan oleh orang-orang
yang berilmu hitam."
"Hem." yang lain menggeram, "Aku adalah seorang yang
bergelar pembunuh orang berilmu hitam disamping Mahisa
Bungalan. Aku sudah berniat untuk membunuh mereka semuanya."
"Mereka berjumlah jauh lebih banyak dari kita. Dan aku melihat
sikap yang berbeda dari antara mereka itu."
Anak muda itu menggeram. Agaknya hatinya benar-benar
bergejolak melihat orang berilmu hitam di hutan yang lebat itu.
"Angger Linggadadi." berkata orang tua itu, "Kita tidak boleh
sekedar terbakar oleh perasaan. Kita harus mempertimbangkan
banyak segi menghadapi orang-orang berilmu hitam itu."
"Apa salahnya jika aku bertindak saat itu. Kita berjumlah tiga
orang. Diantara kita ada kakang Linggapati."
Orang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Linggapati sendiri
nampaknya juga sedang berusaha untuk menahan gejolak
perasaannya. "Angger Linggadadi." berkata orang tua itu, "Aku tidak sempat
menghitung dengan baik. Tetapi aku kira ada tujuh orang yang
menunggui dua ekor harimau itu."
"Apakah kita bertiga tidak dapat membunuh ketujuh orang
berilmu hitam itu. Mungkin satu dua di antara mereka adalah orangorang
terpenting di dalam lingkungan mereka. Tetapi tentu yang
lain sama sekali tidak berarti bagi kita."
"Itu adalah kata-kata hati yang terbakar oleh kemarahan dan
kebencian. Tetapi sebaiknya, biar sajalah mereka berkeliaran. Jika
mereka bertemu dengan Mahisa Bungalan, biarlah Mahisa Bungalan
menyelesaikannya." "Dan setiap orang akan berterima kasih kepada Mahisa Bungalan
itu. Sementara kita menyia-nyiakan kesempatan."
1686 "Jika terjadi sesuatu atas kita, tidak akan menguntungkan kita
sendiri, sedangkan jika kita berhasil membunuh mereka semuanya,
kita tidak akan mendapatkan apapun juga."
Dalam pada itu Linggapati berkata, "Kita sebaiknya memang
membiarkan mereka berkeliaran di hutan itu."
"Kenapa?" bertanya Linggadadi.
"Kita masih harus menyiapkan diri dan menyimpan kemampuan
kita untuk tujuan yang lebih besar daripada sekedar membiarkan
hati kita dibakar oleh kebencian kepada orang-orang berilmu hitam.
Sebutan pembunuh orang berilmu hitam itu agaknya telah
menyeretmu kepada sikap yang tidak terkendali meskipun akupun
hampir saja kehilangan pengamatan diri karena sikap orang itu
tentang harimaunya. Tetapi baiklah untuk sementara kita
melupakannya." Linggadadi menarik nafas. Namun iapun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Kita akan menunggu hingga pada suatu saat
yang tepat." "Mudah-mudahan mereka sudah binasa oleh Mahisa Bungalan.
Jika Mahisa Bungalan merintangi usaha kita merambas jalan ke
tahta Singasari, kitalah yang akan membinasakannya."
Demikianlah merekapun kemudian berusaha untuk melupakan
orang-orang yang ditemuinya di hutan itu. Dengan hati yang kosong
mereka meneruskan perjalanan mereka meninggalkan lapangan
sempit di hutan itu dan menelusuri lorong setapak menuju ke udara
terbuka. Namun dalam pada itu, agaknya perburuan yang pendek itu telah
menarik perhatian, sehingga Linggapatipun kemudian bergumam,
"Jika ada waktu yang lain, berburu agaknya memang sangat
menarik." "Ya." berkata Linggadadi, "Sebenarnya aku masih ingin
melanjutkan perburuan kali ini. Terapi agaknya waktu terlampau
sempit." 1687 Linggapati mengangguk-angguk. Katanya, "Kita memang harus
segera kembali. Mudah-mudahan kehadiran kita yang lambat di
rumah tidak menumbuhkan kegelisahan."
Namun ketika di perjalanan keluar itu mereka melihat seekor
kijang melintas, maka tiba-tiba saja timbul keinginan Linggadadi
untuk mengejarnya. "Sudahlah." berkata Linggapati, "Mungkin kita akan terseret
kembali jauh ke dalam hutan ini."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mengurungkan
niatnya untuk mengejar binatang buruan itu. Namun demikian ia
berkata, "Kakang Linggapati Apakah kita dapat berhenti sebentar di
mulut lorong itu. Aku masih ingin mendapatkan seekor binatang
buruan. Aku ingin membawa kepalanya kembali dan
mengeringkannya mumpung kita berada di hutan perburuan yang
agak lebat dan menyimpan banyak binatang."
"Kenapa tidak kau lakukan atas binatang yang kita langkap itu?"
Linggadadi termenung sejenak, lalu, "Tiba-tiba saja keinginan itu
timbul setelah aku melihat dua ekor harimau itu. Aku berharap
bahwa ada seekor harimau yang dapat kita ketemukan di sini."
"Jarang sekali harimau berkeliaran dibagian tepi hutan. Biasanya
harimau berada agak ke tengah." Tetapi harimau yang lapar
mungkin pula justru keluar hutan. Bahkan ada harimau yang
terpaksa berburu binatang peliharaan."
"Tetapi jarang sekali terjadi."
"Kita umpankan seekor dari kuda-kuda kita."
"Lalu, bagaimana dengan perjalanan kembali?" bertanya orang
yang paling tua. "Kita tidak benar-benar membiarkan kuda kita diterkam harimau.
Aku akan menunggunya dan membunuh harimau itu dengan pisau
belati." 1688 "Bagaimana jika sama sekali tidak ada harimau di daerah ini.
Sementara itu kira menunggu sampai jemu?"
"Kita akan membatasi waktu. Sampai tengah hari. Jika tidak ada
seekor binatangpun yang kita dapatkan, kita meneruskan
perjalanan. Tidak harus seekor harimau. Tetapi apa saja yang lewat
dan dapat kita tangkap."
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat
menolak keinginan adiknya untuk membawa seekor binatang
buruan. Tetapi menunggu binatang buruan dibagian hutan yang sudah
semakin menepi, tentu tidak akan banyak memberikan harapan.
"Tidak akan banyak binatang yang kita temui di sini." berkata
orang yang tertua, "Mungkin seekor kijang, mungkin rusa atau
kancil. Tetapi tentu bukan seekor harimau."
"Apapun juga. Aku ingin membawa kepalanya pulang. Aku ingin
mengeringkannya dan memasangnya pada dinding bilik dalam. Itu
hanyalah suatu permulaan. Disaat-saat mendatang, aku akan
berburu lebih sering untuk mendapatkan binatang lebih banyak lagi.
Mungkin seekor harimau loreng, harimau kumbang atau seekor
banteng." Linggapati yang kemudian mengekang kudanyapun kemudian
berkata, "Kita akan berhenti di s ini Kita akan mengikat kuda kita dan
duduk menunggu sampai tengah hari."
"Kita akan masuk agak ke dalam. Jika jalan sempit ini sering
dilalui para pemburu, maka tidak akan seekor binatang pun yang
akan lewat di sini. Seekor kuda kita, akan kita ikat di dekat sebuah
gerumbul yang lebat. Sementara itu aku akan memanjat sebatang
pohon di dekatnya, agar aku sempat menerkam harimau yang
terpancing oleh kuda itu."
Linggapati tersenyum. Katanya, "Kali ini bukannya seekor
harimau yang menerkam mangsanya. Tetapi seekor harimau akan
diterkam oleh seseorang."
1689 Linggadadi pun tertawa pula. Namun katanya, "Tetapi aku tentu
akan berhasil membunuhnya jika ada seekor harimau yang
mendekat." Demikianlah maka merekapun segera mempersiapkan diri.
Mereka menuntun kuda mereka memasuki gerumbul-gerumbul di
pinggir jalan sempit itu.
"Biarlah ketiganya saja kita umpankan." berkata linggapati,
"Sehingga kita tidak perlu menunggu dua ekor yang lain."
"Bagus." desis Linggadadi, "Jika ada angin bertiup ke hindung
seekor harimau, maka harimau itu tentu akan mencarinya dan
menemukannya. Itu berarti bahwa kita akan mendapatkan seekor
harimau pula tanpa membeli dari orang-orang dungu itu."
Namun dalam pada itu, selagi mereka bersiap untuk
mengumpankan kuda-kuda mereka, mereka telah mendengar derap
kaki kuda mendekati, sehingga dengan demikian, merekapun
menjadi termangu-mangu karenanya.
"Siapakah mereka?"desis Linggadadi.
"Entahlah." jawab kakaknya. "Aku akan melihatnya."
Linggapatipun kemudian menyusup kembali mendekati jalan
sempit yang baru saja dilaluinya. Dari balik gerumbul ia menunggu,
karena ia ingin melihat siapakah yang akan lewat.
Dalam pada itu, ketika Ligngapati, Linggadadi dan seorang
pengiringnya telah meninggalkan Empu Sanggadaru, maka
Ranggawuni dan Mahisa Campakapun meneruskan niatnya untuk
mendahului bersama Lembu Ampal. Mereka kemudian akan
memerintahkan beberapa orang perajurit untuk mengambil harimau
yang masih hidup itu. Mungkin dengan sebuah pedati. Meskipun
sebenarnya keduanya masih ingin berburu lebih lama lagi, namun
mereka berniat memelihara harimau itu di istana sehingga harimau
itu tidak mati di perjalanan jika terlalu lama menunggu para prajurit
yang akan menjemputnya. 1690 Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa Linggapati dan
Linggadadi akan berhenti sebelum mencapai ujung lorong di mulut
hutan. Karena itulah, maka mereka sama sekali tidak menyangka,
bahwa diperjalanan itu, tiba-tiba saja mereka telah dihentikan oleh
seseorang yang meloncat dari dalam gerumbul ditepi jalan setapak
itu. "Ha." berkata Linggapati, "Kau lentu salah seorang dari orangorang
berilmu hitam itu." Ranggawuni terkejut. Tetapi ia sempat menarik kekang kudanya
dan berhenti beberapa langkah di hadapan Linggapati. Sementata
itu, Linggadadi dan pengiringnyapun telah berada di sebelah
Linggapati pula. "Kenapa hal ini kau lakukan?" bisik pengiringnya.
"Aku ingin mengurangi jumlah orang berilmu hitam. Agaknya
yang lewat ini adalah sebagian dari mereka. Tetapi yang lewat ini
tidak akan pernah dapat keluar dari hutan ini dan bertemu kembali
dengari kawan-kawannya. Sementara jika kawannya menyusulnya,
kami akan membinasakannya pula. Tentu masih ada empat orang di
tempat mereka berhenti menunggui harimau mereka itu."
Ranggawuni dan Mahisa Campaka termangu-mangu. Namun
dalam pada itu. Lembu Ampal melangkah maju sambil bertanya,
"Kenapa kau sebut orang berilmu hitam?"
"Tentu kau akan ingkar. Atau mungkin kau akan menyebut
perguruanmu dengan sebutan perguruan berilmu putih. Tetapi kami
tidak akan dapat kau kelabui, bahwa kau adalah orang-orang yang
disebut berilmu hitam itu."
Lembu Ampal menjadi semakin heran. Namun kemudian iapun
bertanya, "Ciri-ciri apakah yang kau kenali pada kami, sehingga
kalian menyebut kami demikian?"
"Ada atau tidak ada ciri itu pada kalian, tetapi kalian adalah
orang berilmu hitam. Kalian tidak akan ingkar, karena kami
1691 mengetahui dengan pasti. Kami adalah orang-orang yang disebut
pembunuh orang berilmu hitam."
"O." Lembu Ampal mengerutkan keningnya.
"Namaku Mahisa Bungalan."
Nama itu benar-benar telah mengejutkan Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal. Karena itu justru mereka sejenak
mematung memandang orang yang menyebut dirinya. Mahisa
Bungalan itu. Linggadadi yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan itu tertawa
sambil berkata, "Nah, kau mulai gemetar mendengar nama itu.
Mahisa Bungalan, pembunuh orang berilmu hitam."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia
bertanya, "Tetapi bukankah kau tadi menyebut nama lain" Kau tadi
tidak mengatakan bahwa namamu adalah Mahisa BungaIan yang
bergelar pembunuh orang berilmu hitam."
"Aku menghindari sebutan dan gelar itu. Tetapi ketika aku yakin
bahwa kalian adalah orang-orang berilmu hitam, maka aku tetah
memperkenalkan diriku yang sebenarnya."
"Ada dua orang yang mendapat gelar Pembunuh orang berilmu
Hitam. Mahisa Bungalan dan Linggadadi." desis Lembu Ampal.
"Akulah Linggadadi." jawab Linggapati tanpa berpikir panjang.
Ketika orang yang termangu-mangu itupun menjadi yakin.
Bahkan yang dihadapi adalah orang-orang yang memang
mempunyai dendam kepada orang-orang berilmu hitam, siapapun
mereka itu. Namun dengan demikian, maka Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal menyadari, hahwa ketiga orang itu
tidak benar ingin memusuhinya sebagai Ranggawuni, Mahisa
Campaka dan Lembu Ampal. "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Tentu ada salah paham. Kami
sebenarnyalah bukan orang-orang yang dapat disebut berilmu
hitam, karena kami termasuk orang-orang yang sama sekali tidak
1692 berilmu. Kami adalah pemburu sejak kami kanak-kanak. Ilmu yang
ada pada kami semata-mata adalah ilmu yang turun temurun,
bagaimanakah cara kami menjerat dan menangkap binatang dengan
alat-alat yang paling sederhana."
"Persetan." geram Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan, "Terapi Mahisa Bungalan dan Linggadadi tidak
akan dapat dikelabuhi. Memang setiap orang berilmu hitam segera
menjadi ketakutan mendengar nama Mahisa Bungalan dan
Linggadadi." "Tetapi." Tiba-tiba saja Ranggawuni menjawab, "Apakah pada
suatu saat Mahisa Bungalan dan Linggadadi akan dapat bekerja
bersama-sama dalam satu kelompok seperti yang tengah aku
hadapi sekarang ini?"
"Kenapa tidak." jawab Linggapati, "Kami bersama telah
membinasakan orang-orang berilmu hitam dimana-mana."
"Tetapi yang dikenal di Singasari adalah Mahisa Bungalan yang
melakukan tugasnya seorang diri. Ia tidak pernah dilihat orang
bersama-sama dengan orang lain, kecuali kadang-kadang dengan
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya yang bernama Mahendra."
"Ya, ayah memang bernama Mahendra. Kedua adiknya bernama
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Jika kalian ada yang sempat
melarikan diri, kalian dapat menyebut namaku dan aku tidak akan
ingkar jika kalian mecari aku di rumahku. Aku, ayahku dan adikadikku
siap untuk membunuh kalian bersama seluruh
perguruanmu." "Dan bagaimana dengan Linggadadi" " bertanya Mahisa
Campaka. "Jika kalian dapat menemukan Mahisa Bungalan, maka kalianpun
akan dapat menemukan Linggadadi." jawab Linggapati.
Lembu Ampal yang heran melihat tingkah laku orang-orang itu
pun kemudian berkata, "Ki Sanak, siapapun namamu. Agaknya kita
telah salah paham. Kami menyadari bahwa kalian adalah orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1693 orang yang membenci orang-orang berilmu hitam. Dan agaknya
kamipun demikian. Tetapi sebaiknya kalian menyebutkan, apakah
sebabnya maka kalian menganggap kami orang-orang berilmu
hitam." "Tidak ada kesempatan untuk banyak berbicara. Aku tahu, kau
berusaha untuk memperpanjang waktu dan menunggu kawankawanmu
yang barangkali sebentar lagi akan lewat pula di jalan ini."
"Tidak. Mereka tidak akan lewat di jalan ini. karena kuda-kuda
mereka sedang aku pergunakan. Kami bertiga tidak
mempergunakan kuda saat kami pergi berburu."
"Jangan berbicara ngaya wara. Mana mungkin kalian itu tidak
membawa kuda." "Kami memang membawa kuda. Tetapi kuda-kuda itu telah kami
titipkan kepada kawan-kawan kami yang mendahului kami. Maksud
kami, dengan demikian kami tidak akan dibebani keharusan
menjaga kuda-kuda kami."
"O, itu adalah ceritera yang sama sekali tidak menarik sedang
kawan-kawan kalian tetap juga menunggui kuda-kudanya." bentak
Linggadadi, "Sudahlah. Kami akan membunuh kalian apapun yang
kalian katakan. Kami tetap dalam sikap kami, sesuai dengan gelar
yang telah kami dapatkan Pembunuh orang berilmu Hitam."
"Kami sudah mencoba memberi peringatan, bahwa kalian telah
salah menilai kami." desis Mahisa Campaka.
"Itu adalah sekedar suatu usaha untuk menyelamatkan diri. Aku
pernah memhunuh lima orang berilmu hitam. Mereka juga ingkar
bahwa mereka adalah orang-orang berilmu hitam, karena mereka
dan juga kalian, sama sekali tidak merasa bahwa ilmu yang kau
pelajari itu adalah ilmu yang sama sekali bertentangan dengan
perikemanusian. Apalagi karena kalian sudah mempersiapkan diri
untuk suatu tujuan yang lebib besar, menghancurkan
pemerintahan." 1694 Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal menjadi heran
dan bertanya-tanya di dalam hati, "Siapakah sebenarnya orangorang
itu." Tetapi mereka tidak sempat untuk berbicara lebih banyak lagi
karena orang-orang itu agaknya benar-benar akan menyerang.
Lembu Ampal pun kemudian mempersiapkan dirinya sebaikbaiknya,
karena yang bersamanya itu adalah dua orang yang
sedang memerintah Singasari. Setelah mengikat kudanya sendiri
pada sebatang pohon perdu, maka iapun kemudian kendali kuda
kedua anak muda itu dan mengikatnya pula seperti kudanya.
"Kami sudah bersiap." berkata Ranggawuni kemudian, "Tetapi
kami masih mencoba untuk memperingatkan, bahwa kalian tidak
sedang berhadapan dengan orang-orang berilmu hitam."
Linggadadi menggeram. Katanya, "Jangan menyesal jika
kalianpun akan mati seperti kawan-kawanmu yang lima dan
barangkali yang lain-lain lagi."
"Kalian .telah melakukan kesalahan ganda." berkata Mahisa
Campaka, "Kami bukannya orang-orang berilmu hitam, dan yang
pasti kami tidak sedang berhadapan dengan anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan. Aku tidak dapat mengatakan, apakah
salah seorang dari kalian benar-benar bernama Linggadadi yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Linggapati termangu-mangu sejenak. Namun Linggadadi yang
menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan itupun berteriak, "Jika
kalian mengenal orang lain yang bernama Mahisa Bungalan, aku
tidak peduli. Tetapi Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu
hitam itu adalah aku."
Mahisa Campaka menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orangorang
itu sama sekali tidak lagi dapat diajak berbicara. Sehingga
karena itu, tidak ada cara lain kecuali mempertahankan diri dari
kemarahan orang-orang itu.
1695 Namun demikian, maka Lembu Ampal masih berkata, "Jika di
antara kalian tidak ada yang menyebut nama Mahisa Bungalan,
mungkin kami percaya, bahwa kalian benar-benar bermaksud baik,
dan kami pun akan dapat memberikan lebih banyak keterangan
tentang diri kami. Tetapi karena salah seorang dari kalian
menamakan diri Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu hitam,
maka kami menjadi ragu-ragu, apakah kalian benar-benar tidak
bermaksud buruk." Sejenak Linggadadi tertegun. Tetapi hatinya benar-benar telah
menjadi gelap. Nafsunya untuk membunuh orang yang dianggapnya
berilmu hitam itu sudah tidak dapat terbendung lagi. Karena itulah
maka ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, "Aku tidak
sempat berbicara lebih lama lagi. Kalian harus segera kami
musnahkan. Kemudian akan menyusuli kawan-kawan kalian yang
masih ada di padang perburuan itu. Dengan demikian sekaligus
kami akan mendapatkan dua ekor harimau yang kami inginkan itu."
"Jika soalnya adalah harimau itu, maka apakah sudah
sepantasnya kalian berusaha membunuh sesama?"
"Aku tidak peduli apapun tanggapanmu. Aku akan tetap
membunuh orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan."
"Dengan cara yang tidak berperikemanusiaan pula?"
"Persetan." Linggadadi melangkah maju. Demikian pula
Linggapati dan pengiringnya yang nampak ragu-ragu. Tetapi iapun
ternyata tidak mempunyai pilihan lain, karena kedua anak-anak
muda itu benar-benar akan bertempur melawan orang-orang yang
dianggapnya berilmu hitam itu.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka pun telah bersiap pula.
Meskipun mereka tidak saling berjanji, tetapi Ranggawuni seolaholah
telah menempatkan diri melawan anak muda yang menyebut
dirinya bernama Linggadadi, dan Mahisa Campaka telah bersiap-siap
melawan anak muda yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan. 1696 Sementara itu dengan segan, pengiring Linggapati pun telah
bersiap pula melawan Lembu Ampal yang nampak ragu-ragu juga.
Tetapi Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan itu ternyata benar-benar bernafsu membunuh lawannya.
Dengan garangnya ia mempersiapkan diri. Dan sejenak kemudian
maka iapun telah mulai menyerang Mahisa Campaka.
Mahisa Campaka sudah siap menghadapi serangan itu, sehingga
dengan demikian, serangan itu sama sekali tidak mengejutkannya.
Dengan sigap ia menghindari serangan itu.
Namun demikian, seperti juga pada Ranggawuni dan Lembu
Ampal, Mahisa Campaka pun merasa bahwa tidak sepantasnya ia
kehilangan akal seperti lawan-lawannya, karena ia masih tetap
menduga, bahwa yang terjadi adalah sebuah salah paham saja.
Tetapi menghadapi serangan yang kemudian membadai, Mahisa
Campaka tidak akan dapat selalu bertahan dan menghindar Pada
suatu saat iapun akan sampai pada suatu batas yang tidak dapat
dihindarinya lagi. Untuk mengurangi tekanan lawannya, maka iapun
harus melawannya pula. Dalam pada itu, Linggapati pun telah menyerang Ranggawuni
pula. Serangannya merupakan amukan badai yang sangat
berbahaya, karena Linggapati ingin dengan segera, menyelesaikan
perkelahian itu. Jika terjadi apapun juga dengan adiknya dan
pengiringnya, maka jika ia sudah terlepas dari lawannva, maka ia
akan dapat membantunya. Tetapi lawannya adalah Ranggawuni yang memiliki ilmu yang
hampir sempurna. Karena itulah maka serangannya tidak segera
dapat menundukkan lawannya. Bahkan kadang-kadang Linggapati
menjadi heran, bagaimana mungkin lawannya dapat dengan mudah
melepaskan diri dari belitan serangannya yang sangat cepat dan
berbahaya. "Ternyata orang; ini adalah orang-orang berilmu hitam dari
tingkat yang lebih tinggi daripada mereka yang aku jumpai di dalam
pasar itu." berkata Linggapati di dalam hatinya.
1697 Di lingkaran perkelahian yang lain. Lembu Ampal bertempur
dengan orang yang paling tua di antara ketiga orang itu, masih juga
tetap ragu-ragu. Ia berpendapat bahwa ketiga orang-orang itu
hanyalah sekedar salah paham. Mereka tentu tidak mengira bahwa
orang-orang yang sedang dilawannya itu adalah Maharaja dan Ratu
Anghabaya. Tetapi Lembu Ampal tidak berani mengatakan hal itu kepada
lawannya, karena pesan Ranggawuni sendiri, bahwa kepada orang
yang tidak dikenal, jangan sekali-kali menyebutkan kenyataan
tentang dirinya. Karena itu, maka yang dilakukan oleh Lembu Ampal hanyalah
sakedar bertahan. Ia tidak bernafsu untuk mencelakai lawannya
karena pertimbangan-pertimbangan yang masih meragukan.
Namun di lingkaran perkelahian yang lain, Linggadadi yang sudah
terlanjur menyebut namanya dengan Mahisa Bungalan, yang
ternyata telah menumbuhkan persoalan tersendiri itu, bertempur
dengan segenap kemampuan yang ada padanya, karena ia tetap
menganggap bahwa lawannya adalah orang berilmu hitam yang
harus dibinasakan, karena orang berilmu hitam itu akan dapat
mengganggu rencananya. Orang berilmu hitam itu mempunyai
tujuan yang akan dapat mencairkan tujuan Linggadadi yang utama,
menguasai segenap kekuasaan di Singgasana Singasari.
Linggapati yang memperhitungkan semua rencananya dengan
cermat untuk jangka waktu yang panjang itu, merasa sangat
terganggu dengan hadirnya orang-orang dari golongan lainyang
disebut berilmu hitam itu. Karena itu. maka orang-orang berilmu
hitam itu memang harus dibinasakan.
"Tetapi ternyata membinasakan mereka tidak semudah yang aku
duga." berkata Linggadadi di dalam hatinya. Apalagi setelah ia
bertempur beberapa saat melawan Ranggawuni.
Meskipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun
ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda, bahwa lawannya
akan dapat, ditundukkannya.
1698 Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Linggapati dan Linggadadi telah memeras segenap
kemampuan yang ada padanya untuk menguasai lawannya.
Sementara itu, Mahisa Campaka dan Ranggawuni yang semula
masih dengan sadar, mempertahankan diri dari serangan lawannya
dengan pertimbangan, bahwa lawannya hanyalah sekedar salah
menilai dirinya, semakin lama menjadi semakin kehilangan
kesabaran. Mereka adalah anak-anak muda seperti juga Linggapati
dan Linggadadi, sehingga karena itu, maka ketika keringat mereka
telah mulai membasahi kulit, merekapun menjadi semakin garang
pula. Untuk sekedar mempertahankan diri dari serangan lawannya
yang membadai, terasa semakin lama menjadi semakin sulit. Karena
itu, maka pertahanan yang paling baik dalam keadaan yang
demikian adalah berganti menyerang pula.
Darah muda di dalam tubuh kedua orang pemimpin tertinggi di
Singasari yang sedang tidak mengenakan tanda-tanda kebesarannya
itupun menjadi semakin panas. Bahkan akhirnya telah mendidih
ketika serangan lawannya terasa mulai menyentuh tubuhnya. Bukan
saja sekedar untuk mempertahankan dirinya, namun tanggung
jawabnya atas Singasari yang besar itulah yang terutama
mendorong mereka untuk kemudian bertempur dengan kemampuan
yang ada pada mereka. Dan kemampuan raksasa yang sulit untuk
dicari bandingnya. Semula, ketika Linggapati berhasil menyentuh tubuh
Ranggawuni, ia merasa bahwa saat yang menentukan akan segera
tiba. Jika orang-orang yang dilawannya itu benar-benar orang
berilmu hitam, maka mereka akan segera mengerahkan
kemampuan terakhirnya. Suatu ciri dari orang-orang berilmu hitam
adalah bertempur dalam lingkaran yang dapat membuat lawannya
menjadi bingung, dan kemudian dengan kejam menyobek kulit
korbannya sehingga seolah-olah terkelupas.
Karena itu, maka Linggapati pun segera mempersiapkan diri
untuk menghadapinya. 1699 Namun yang kemudian dihadapinya adalah berbeda sekali
dengan gambaran di dalam kepalanya. Lawannya itu sama sekali
tidak menjadi buas dan liar, kemudian berlari-lari melingkar sambil
berteriak-teriak dengan kerasnya. Tetapi lawannya itu justru
nampaknya menjadi semakin tenang. Namun dalam ketenangannya
itu. terasa bahwa kekuatan ilmunya menjadi semakin mapan.
"Gila." desis Linggapati, "Apakah benar bahwa mereka bukan
orang-orang berilmu hitam."
Linggapati tidak sempat menilai lawannya lebih lama lagi.
Serangan Ranggawuni terasa semakin mendesaknya. Gerak yang
mantap dan cepat, membuatnya kadang-kadang kehilangan
pengamatan diri. Berkali-kali ia kehilangan kesempatan untuk
menempatkan diri sebaik-baiknya, sehingga karena itu, maka setiap
kali Linggapati itu meloncat jauh-jauh surut, untuk mendapat
kesempatan menyiapkan perlawanan berikutnya.
Ranggawuni tidak tergesa-gesa memburu lawannya. Bahkan
nampaknya ia sama sekali tidak bernafsu untuk mengalahkan
lawannya. Namun demikian, serangan-serangan yang
dilontarkannya bagaikan amukan angin prahara.
"Apakah aku berhadapan dengan anak jin." desis Linggapati di
dalam hatinya, ketika keadaannya menjadi semakin sulit.
Demikian pula agaknya dengan Linggadadi. Ternyata bahwa
Masiha Campaka dapat bergerak secepat loncatan kilat di udara.
Bahkan sudah mulai terasa, bahwa serangannya akan langsung
mengarah kesasaran yang meyakinkan.
Linggadadi benar-benar menjadi heran, la pernah beberapa kali
bertempur melawan orang-orang berilmu hitam. Namun kali ini ia
berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang
tidak diduganya. Ia menyangka bahwa anak-anak muda itu adalah
orang-orang berilmu hitam yang memiliki tingkat ilmu tidak lebih
dari yang pernah dibunuhnya. Namun ternyata, bahwa anak-anak
muda itu justru sudah mulai menguasainya.
1700 "Apakah anak-anak ini termasuk murid-murid yang paling baik
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari lingkungan orang-orang berilmu hitam itu?" Pertanyaan itu
bukan saja mengganggu Linggadadi. tetapi juga Linggapati.
Bahkan pengiringnya yang tua itupun merasa heran karena
tingkah lawannya. Ternyata bahwa Lembu Ampal sama sekali tidak
bertempur dengan sungguh-sungguh. Karena ia sendiri juga raguragu,
maka perkelahian antara kedua orang-orang tua itu
nampaknya menjadi semakin lama semakin lamban. Bahkan
merekapun kemudian berusaha untuk dapat memperhatikan
perkelahian kedua anak-anak muda yang menyebut diri mereka
pembunuh orang-orang berilmu hitam itu, melawan dua orang yang
sebenarnya masih diragukan.
Apalagi setelah berkelahi beberapa lama, sama sekali tidak
nampak pada kedua anak-anak muda yang mereka sangka berilmu
hitam itu, ciri-ciri dari ilmu hitam yang memang pernah mereka
kenal. Namun Linggapati dan Linggadadi sudah terlanjur terlibat dalam
pekelahian yang sengit dengan Ranggawuni dan Mahisa Campaka
yang sama sekali tidak mengenakan ciri-ciri kebesaran mereka.
Dalam pada itu. perkelahian itupun menjadi semakin seru.
Ranggawuni dan Mahisa Campaka sama sekali tidak mau
mempertaruhkan diri mereka dan, tanggung jawab mereka atas
Singasari. Karena itu, maka agar mereka tidak hancur di dalam
perkelahian itu, maka merekapun mulai mendesak lawan masingmasing.
"Gila." desis Linggapati sambil menghentakkan segenap ilmunya.
Tetapi Ranggawuni sama sekali tidak dapat disentuhnya lagi,
sehingga dengan demikian ia menjadi yakin, bahwa ilmu lawannya
itu masih lebih baik dari ilmunya.
Tetapi Linggapati tidak berputus asa Ia masih ingin menguasai
lawannya dengan kekuatan daya tahan tubuhnya. Ia akan mampu
bertempur untuk waktu yang lama dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. 1701 Tetapi ternyata bahwa melawan Ranggawuni, Linggapati benarbenar
telah memeras tenaganya. Ia tidak dapat menahan diri untuk
menyimpan tenaganya agar ia mampu bertempur untuk waktu yang
panjang. Setiap kali bahkan ia harus meloncat surut sejauh-jauhnya
untuk mendapatkan kesempatan memperbaiki keadaannya.
Ranggawuni mulai mengetahui, bahwa lawannya sudah
kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri apabila ia
mendesak terus. Apalagi dengan puncak ilmunya. Namun
Ranggawuni sama sekali tidak bermaksud demikian. Ia mengetahui
bahwa yang terjadi adalah salah paham. Namun ia masih tetap
curiga, bahwa lawannya itu telah menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan dan Linggadadi, pembunuh orang-orang berilmu hitam.
"Mungkin dengan menyebut nama-nama itu mereka ingin
menakut-nakuti kami." berkata Ranggawuni di dalam hatinya.
Sementara itu Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan itupun semakin terdesak pula. Agaknya sifat
Mahisa Campaka agak lebih keras dari Ranggawuni, sehingga
karena itu, maka tekanan ilmunya terasa menjadi sangat berat bagi
Linggadadi. Berkali-kali Linggadadi terpaksa berloncatan menjauhi
lawannya. Namun setiap kali Mahisa Campaka selalu berhasil
mencapainya. Beberapa kali sentuhan serangan Mahisa Campaka
telah mengenai lawannya. Karena desakan yang tidak terelakkan lagi, maka Linggadadi
tidak dapat berbuat lain. kecuali menarik senjatanya. Ia sadar,
bahwa dengan demikian, perkelahian itu menjadi semakin
berbahaya baginya, karena lawannya pun tentu akan berberbuat
serupa. Ternyata dugaan itu adalah tepat. Mahisa Campaka tidak
membiarkan terdesak karena lawannya benar-benar menguasai
senjatanya dengan baik. Karena itu, maka sejenak kemudian,
Mahisa Campaka pun telah menarik senjatanya pula. Tetapi
senjatanya tidak lebih dari sebuah pisau belati.
1702 Linggadadi yang semula telah ragu-ragu menilai lawannya
sebagai orang berilmu hitam, tiba-tiba seakan-akan mendapat
keyakinan baru atas lawannya, karena lawannya itu bersenjata
sebilah pisau belati. "Mereka mengupas kulit lawannya dengan pisau-pisau belati."
katanya di dalam hati. Dengan demikian, maka perkelahian itupun menjadi semakin
sengit. Tebasan, senjata kedua belah pihak telah mematahkan
dahan-dahan kayu di sekitar mereka. Gerumbul-gerumbul perdu
bagaikan diratakan dengan rerumputan yang terinjak-injak oleh kaki
mereka yang sedang berkelahi.
Linggapati pun kemudian tidak dapat bertahan, sekedar
bertempur dengan tangannya, betapapun ia percaya kepada
kemampuan jarinya. Karena itulah, maka seperti Linggadadi maka
iapun telah mencabut senjata kepercayaannya pula. Namun juga
seperti Mahisa Campaka, Ranggawuni pun telah mencabut pisau
belatinya. "Kau benar-benar orang berilmu hitam yang aku cari." geram
Linggapati, "Karena kau bersenjata sebilah pisau belati."
Ranggawuni menjadi heran. Tetapi iapun menjawab, "Ini adalah
senjata yang paling umum bagi seorang pemburu."
Tetapi Linggapati sama sekali tidak menghiraukannya.
Serangannya justru menjadi semakin .garang. Bahkan Linggapati
telah bersiap menghadapi lawannya, seandainya lawannya itu akan
mempergunakan ilmunya yang paling kasar. Berlari-lari melingkar
dengan ujung pisau yang teracu, kemudian menyayat korbannya
sehingga lukanya arang kranjang.
Namun ternyata bahwa Ranggawuni tidak berbuat demikian. Ia
masih saja bertempur dengan caranya. Sama sekali tidak
menunjukkan kekasaran, apalagi yang liar. Meskipun terasa ilmunya
semakin mendesak lawannya, namun sikap dan geraknya adalah
sikap dan gerak dari seseorang yang memiliki kewibawaan yang
agung. 1703 Karena itulah, maka orang yang sedang bertempur melawan
Lembu Ampal, yang mendapat kesempatan terbanyak untuk menilai
lawannya, menjadi semakin heran. Bahkan ia pun kemudian yakin,
bahwa lawan mereka itu sama sekali bukan orang-orang yang
disebut berilmu hitam itu.
Semakin seru perkelahian itu, Linggapati dan Linggadadi semakin
terdesak. Meskipun lawannya hanya membawa senjata-senjata
pendek, tetapi rasa-rasanya ujung pisau belati itu sudah menyentuh
kulitnya. Bahkan ketika Linggadadi kehilangan kesempatan sama
sekali untuk menghindar dan menangkis, ujung senjata lawannya
telah tergores di kulitnya. Hanya segores kecil. Namun setitik darah
mulai menetes. "Ia mulai melukai aku." geram Linggadadi di dalam hatinya.
Namun lawannya itu tidak belari-lari berputar-putar dan melukai
tubuhnya disegala permukaan kulitnya. Bahkan ketika titik darah itu
telah diusapnya, lawannya nampaknya tidak hernafsu lagi untuk
melukainya. Namun demikian Mahisa Campaka masih saja
mendesak terus, sehingga Linggadadi merasa seolah-olah di hutan
yang lebat dan luas itu tidak ada lagi tempat yang aman untuk
berpijak. Sententara itu, Lembu Ampal yang bertumpur dengan ragu-ragu,
masih sempat bertanya kepada lawannya, "Ki Sanak. Kenapa anakanak
muda itu bernafsu sekali menganggap kami orang orang
berilmu hitam?" Lawannya meloncat surut. Katanya, "Benar-benar salah paham.
Aku yakin bahwa kalian bukan orang-orang yang kami maksud."
"Jika demikian, apakah kau dapat menghentikan perkelahian itu?"
bertanya Lembu Ampal. Orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi Lembu Ampal tidak
menyerangnya lagi. Seolah-olah ia sengaja memberi kesempatan
kepada lawannya untuk memberiperingatan kepada kawankawannya.
1704 Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata
meskipun dengan ragu-ragu, "Apakah perkelahian; ini harus
diteruskan?" Linggadadi dan Linggapati yang mendengar kata-kata itupun
melangkah surut. Terasa sesuatu menyentuh hati. Pertanyaan
serupa itu, agaknya memang sudah tumbuh dihati mereka, sejak
mereka melihat, bagaimana cara lawannya mempergunakan pisau
belatinya, yang sama sekali; berbeda dengan cara yang pernah
dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam.
Karena lawannya menghindar, maka Ranggawuni dan Mahisa
Campaka pun menghentikan serangannya pula. Mereka memang
tidak bernafsu untuk menghancurkan lawannya itu pada segala
kesempatan. Karena itu, maka merekapun membiarkan lawannya
mengambil jarak. "Agaknya perkelahian ini tidak akan berarti apa-apa jika kita
teruskan." berkata orang tertua dari ketiga orang yang tidak
menyebut nama mereka itu, karena lawannya pasti bahwa yang
menyebut dirinya Mahisa Bungalan itu adalah orang yang sama
sekali tidak bernama Mahisa Bungalan.
"Jadi apa maksudmu?" bertanya Mahisa Campaka.
"Agaknya kami keliru. Kalian benar-benar bukan orang berilmu
hitam." "Kami sudah mengatakan sejak semula. Bahwa kami bukan
orang berilmu hitam." Jawab Ranggawuni.
"Ya. Kami kemudian yakin setelah kami melihat tata gerak dan
sikap kalian." "Bagaimana dengan tata gerak ilmu kami?" tiba-tiba saja Mahisa
Campaka bertanya, "Apakah mirip dengan tata gerak dari ilmu
Mahisa Bungalan?" Orang yang menyebut dirinya Mahisa Bungalan termangumangu.
1705 "Sebenarnya kami dapat berbuat lebih baik jika salah seorang
dari kalian tidak menyebut dirinya Mahisa Bungalan, pembunuh
orang-orang berilmu hitam." desis Mahisa Campaka.
"Kenapa?" bertanya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama
Mahisa Bungalan. Seperti yang pernah dilakukan jika orang-orang
berilmu hitam itu ada yang berhasil melepaskan dirinya, maka
dendamnya akan tertumpah kepada Mahisa Bungalan. Tetapi karena
agaknya Linggapati berpendapat lain, semata-mata didorong oleh
nafsunya untuk memusuhi orang-orang berilmu hitam, maka iapun
telah menyebut dirinya Linggadadi pembunuh orang-orang berilmu
hitam pula. Ranggawuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Sudah tentu mungkin sekali dua orang mempunyai
nama yang sama. Tetapi jika kau menyebut nama dan gelar yang
sama, maka kami pun menjadi bingung karenanya. Mahisa Bungalan
pembunuh orang berilmu hitam, tentu bukan dua atau tiga orang."
"Apa kau kenal dengan Mahisa Bungalan pembunuh orang
berilmu hitam" Barangkali ada orang lain yang mengaku bernama
dan bergelar demikian untuk kepentingan tertentu."
Ranggawuni menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita tidak
mempunyai alasan yang kuat untuk bermusuhan. Hanya sekedar
curiga. Sebenarnyalah kami juga menaruh curiga pada nama dan
gelarmu." Linggapati dan Linggadadi termangu-mangu sejenak. Sementara
itu kawan mereka sudah lebih tua menyahut, "Sudahlah. Jangan
dihiraukan tentang persamaan nama dan gelar itu. Tetapi,
seterusnya kita akan saling mengakui, bahwa kita telah terjerumus
ke dalam suatu kesalah pahaman."
"Sebenarnya salah paham itu tidak perlu terjadi." Mahisa
Campaka yang paling muda di antara ketiga orang yang dituduh
orang-orang berilmu hitam itu menjawab, "Kami sudah memberi
tahukan sejak kami kalian hentikan dan sebelum perkelahian
terjadi." 1706 "Ya. Itu adalah suatu kekhilafan." jawab lawannya yang sudah
seusia Lembu Ampal. "Hampir saja kami menyelesaikan perkelahian ini dengan
kekerasan pula." Sambung Mahisa Campaka.
Wajah Linggadadi yang masih muda pula menjadi merah. Tetapi
kawannya yang tua menjawab, "Kemungkinan semacam itu
memang dapat saja terjadi di sepanjang jalan yang sempit ini.
Tetapi baiklah kami minta maaf."
Mahisa Campaka masih akan menjawab. Tetapi Lembu Ampal
mendahului, "Sekarang, apakah yang akan kalian lakukan setelah
kalian mengetahui dan yakin bahwa kami bukan orang berilmu
hitam?" "Kami akan menghentikan niat kami untuk membunuh kalian."
jawab Linggapati. Namun Mahisa Campaka menyahut, "Salah Ki Sanak, siapapun
namamu. Seandainya kalian berniat untuk melakukannya, aku yakin
bahwa kalian tidak akan mampu, karena menurut perhitunganku,
kalianlah yang tentu akan terbunuh."
Lembu Ampal segera memotong, "Tetapi kita akan
menghindarkan pertentangan lebih jauh."
"Ya." jawab orang yang setua Lembu Ampal itu, "Kami akan
mempersilahkan kalian berjalan terus."
"Apakah kau akan mengganggu kawan-kawan kami yang masih
ada di hutan itu?" "Tentu tidak." "Sebaiknya kalian jangan mengganggu mereka. Apalagi
menyangka mereka termasuk orang-orang berilmu hitam Empu
Sanggadaru itu mungkin tidak akan memaafkan kalian. Ia adalah
orang yang mempunyai ilmu tanpa tanding."
"Bukan karena ilmunya itu jika kami mengurungkan niat kami."
Linggapati menyahut, "Betapapun tingginya ilmu seseorang, aku
1707 tidak akan gentar. Tetapi justru karena ia bukan orang berilmu
hitam." "Jadi kau berpendirian bahwa kau tetap merasa dirimu orang
tidak terkalahkan setelah kita bertempur beberapa lama?" potong
Mahisa Campaka yang muda itu.
"Sudahlah." sahut Lembu Ampal, "Jika kalian tidak ingin
memusuhi kami, biarlah kami meneruskan perjalanan kami."
Ketiga orang lawan yang meragukan itu termangu-mangu
sejenak. Orang yang tertua di antara mereka berkata, "Silahkan Ki
Sanak melanjutkan perjalanan. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan,
perkenankanlah kami bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya."
"Seperti kalian tidak menyebut diri kalian yang sebenarnya, maka
kamipun merasa tidak terikat pada kuwajiban untuk menyatakan diri
kami." jawab Ranggawuni.
"Kami menyebut nama kami yang sebenarnya." putong
Linggapati. Tetapi Ranggawuni menggeleng. Katanya, "Tidak. Kalian tidak
menyebut nama kalian yang sebenarnya. Kami tahu bahwa baik
Mahisa Bungalan, maupun Linggadadi adalah pembunuh orangorang
berilmu hitam. Tetapi kamipun tahu bahwa keduanya tidak
akan berada di dalam lingkungan yang sama seperti ini."
Wajah Linggadadi dan Linggapati menjadi merah.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi sudahlah." Ranggawuni melanjutkan, "Aku sependapat
bahwa tidak ada gunanya meneruskan perselisihan tanpa sebab
yang pantas ini. Kita akan berpisah tanpa mengenal diri kita masingmasing
yang sebenarnya. Tetapi satu hal yang boleh kalian ketahui,
bahwa kami tahu pasti, bahwa yang menyebut Mahisa Bungalan
adalah sama sekali bukan Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang
berilmu hitam, karena sebenarnyalah bahwa putera Ki Mahendra
bukanlah orang yang sedang kami hadapi sekarang ini."
"Persetan." geram Linggadadi.
1708 Namun orang yang tertua di antara mereka berkata, "Baiklah.
Mungkin kita masih akan bertemu pada kesempatan yang lain. Pada
kesempatan yang lebih baik. Perkenalan yang diawali dengan sikap
bermusuhan memang tidak menyenangkan. Mungkin dikesempatan
lain. kita akan dapat bertemu dalam suasana yang lebih baik."
"Mudah-mudahan." jawab Lembu Ampal, "Sekarang, kami minta
diri. Pesan kami, jangan mencoba mengganggu kawan-kawan kami
jika kalian tetap pada keinginan kalian untuk tidak berselisih dengan
kami." "Kami memang tidak ingin mengalami salah paham yang lebih
parah lagi." jawab orang yang setua Lembu Ampal itu.
Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian mengajak kedua
anak-anak muda itu meninggalkan hutan itu. Sejenak kemudian
mereka berloncatan ke atas punggung kuda yang mereka pinjam itu
dan berpacu meninggalkan lawan-lawannya yang sebenarnya akan
dapat mereka kuasai. Namun ketiga orang yang sedang
menyelubungi diri masing-masing dengan penyamaran itu,
menganggap hal itu tidak menguntungkannya. Apalagi orang-orang
itu adalah orang-orang yang agaknya dengan mati-matian
memusuhi orang-orang berilmu hitam. Bahkan mereka tidak segansegan
meminjam nama Mahisa Bungalan dan Linggadadi,
pembunuh orang berilmu hitam.
Karena itu, ketiga orang itu merupakan teka-teki yang sulit bagi
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal. Namun demikian,
mereka masih tetap menganggap bahwa orang-orang itu pada
suatu saat akan dapat membantu mereka melawan orang-orang
berilmu hitam, karena mereka sama sekait tidak mongerti latar
belakang dari tindakan ketiga orang itu.
"Kita akan menghubungi Mahisa Bungalan." berkata Ranggawuni.
"Mereka masih dalam perjalanan." jawab Lembu Ampal.
"Kami mengharap, mereka akan segera kembali. Jika Mahisa
Bungalan mengetahui apa yang telah terjadi. maka ia tentu akan
merasa tersinggung karenanya."
1709 Tiba-tiba saja Lembu Ampal berdesis, "Apakah justru mereka
itulah orang-orang berilmu hitam?"
Tetapi Ranggawuni menggelengkan kepalanya, "Aku yakin,
mereka bukan berilmu hitam itu."
Lembu Ampal mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya,
"Mahisa Bungalan akan dapat banyak memberikan pendapatnya
tentang orang-orang itu. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak
benar-benar tidak mengganggu Empu Sanggadaru yang sedang
menunggui harimau-harimau itu."
Demikianlah maka ketiga orang itupun kemudian berpacu terus
langsung menuju ke istana Singasari. Karena mereka sama sekali
tidak mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tidak
seorangpun yang mengetahui, bahwa mereka bertiga adalah orangorang
terpenting dalam pemerintahan yang baru berkembang di
Singasari itu. Bahkan para penjaga gerbang di istana pun tidak dapat
mengenal mereka. Karena itu, maka para prajurit pun segera
menghentikan mereka dan dengan curiga bertanya, siapakah
mereka bertiga itu. Lembu Ampal lah yang meloncat turun dari kudanya dan berkata,
"Apakah kalian benar-benar tidak mengenal kami?"
Para prajurit itu menggeleng.
"Kau harus mengenal aku, meskipun yang dua orang anak muda
itu belum." berkata Lembu Ampal.
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang
dari mereka tiba-tiba saja mendesak maju sambil berdesis,
"Senapati Lembu Ampal."
Lembu Ampal tersenyum. "Kau mengenal aku."
Prajurit itu mengangguk dalam-dalam. Namun dalam pada itu,
seorang perwira yang masih muda dengan tergesa-gesa datang pula
menemui mereka. Dengan cemas tiba-tiba saja ia mengangguk
1710 dalam-dalam kepada kedua orang yang masih berada di punggung
kudanya. Katanya, "Ampun tuanku, apakah ada sesuatu yang terjadi
di luar rencana. Bukankah belum saatnya hamba menyusul ke hutan
perburuan seperti yang tuanku titahkan?"
Ranggawuni memandang perwira muda itu sambil tersenyum.
Jawabnya sambil menggeleng, "Tidak. Tidak ada sesuatu yang
terjadi." "Tetapi tuanku telah datang jauh lebih cepat dari waktu yang
tuanku tentukan." Ranggawuni tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan segera
memberi tahukan kepadamu. Aku akan masuk dahulu."
Para prajurit yang berada di regol mulai memandang Ranggawuni
dan Mahisa Campaka dengan saksama. Barulah kemudian mereka
sadar, bahwa mereka memang berhadapan dengan Maharaja dan
Ratu Angabhaya dari Singasari.
Dengan serta merta para prajurit itu pun segera mengangguk
hormat dengan, hati yang gelisah. Seolah-olah mereka telah
melakukan kesalahan meskipun sama sekait tidak mereka sengaja.
"Tidak apa-apa." berkata Ranggawuni seolah-olah melihat
perasaan para prajurit itu. "Kalian tidak melakukan kesalahan
apapun juga." Ranggawuni, Mahisa Campak dan Lembu Ampal pun segera
memasuki gerbang istana diiringi oleh perwira muda itu.
Ranggawuni, Mahisa Campaka dan Lembu Ampal pun segera
menghilang di dalam bangsal, agar tidak terlalu banyak prajurit dan
hamba istana yang melihat dengan keheran-heranan, bahwa
Ranggawuni Mahisa Campaka dan Lembu Ampal tidak mengenakan
pakaian yang sepantasnya. Bahkan mereka lebih mirip dengan
seorang pemburu di hutan-hutan.
Baru kemudian Ranggawuni memanggil perwira muda itu untuk
menghadap dan memberitahukan apa yang telah terjadi.
1711 Perwira muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi hamba
harus mengambil harimau itu tuanku?"
"Ya Bawalah sebuah pedati. Dengan demikian, kau tidak akan
mengalami kesulitan di perjalanan, karena harimau itu agaknya
cukup buas, sedangkan aku ingin harimau itu tetap hidup dan
dipelihara di halaman ini. Mungkin kelak kita akan mendapatkan
jenis binatang yang lain, yang akan dapat mengisi halaman istana
ini pula." "Hamha tuanku. Hamba akan mempersiapkannya."
"Segeralah berangkat, agar orang-orang yang menunggui
binatang itu tidak terlalu lama dan menjadi jemu. Paman Lembu
Ampal akan menyertai kalian, agar Empu Sanggadaru tidak raguragu
untuk memberikan harimau itu kepada kalian."
"Hamba tuanku. Baiklah hamba mempersiapkan diri bersama
para prajurit. Hamba akan mengumpulkan mereka, dan pada
saatnya, hamba akan menghadap lagi untuk mohon diri."
"Kau dapat langsung berhubungan dengan paman Lembu Ampal
yang seterusnya akan memimpin kalian sepanjang perjalanan ke
hutan itu. Dan paman Lembu Ampal sudah ngetahui, apakah yang
harus dilakukannya."
Lembu Ampal menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia
harus bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang kurang
baik jika orang-orang yang mencegatnya itu masih mendendam.
Karena itu, maka Lembu Ampal pun berpesan kepada perwira
yang akan membawa sekelompok prajurit mengambil harimau di
hutan itu, agar yang dibawanya itu adalah prajurit-prajurit pilihan.
Perwira itu mengerutkan keningnya. Dan Lembu Ampal berkata,
"Tidak ada apa-apa. Hanya sekedar sikap berhati-hati."
Demikianlah maka sekelompok kecil prajurit Singasari segera
dipersiapkan, membawa sebuah pedati ke hutan perburuan. Namun
di perjalanan itu, Lembu Ampal berkata berterus teng kepada
perwira muda, bahwa di saat Ranggawuni dan Mahisa Campaka
1712 kembali ke Singasari, mereka telah bertemu dengan orang-orang
yang menyebut dirinya bernama Mahisa Bungalan dan Linggadadi
yang bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam.
"Tetapi apakah mereka benar-benar Mahisa Bungalan dan
Linggadadi?" bertanya perwira muda itu.
"Tentu bukan Mahisa Bungalan." jawab Lembu Ampal, "Tetapi
aku tidak tahu pasti, apakah yang seorang memang Linggadadi."
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Jika
kita harus bertemu dan terjadi salah paham pula, mungkin aku dan
para prajurit mengambil sikap lain dari sikap tuanku Ranggawuni
dan tuanku Mahisa Campaka. Mungkin juga akan berbeda dengan
sikap Senapati Lembu Ampal."
"Apakah yang akan kau lakukan?"
"Kami agaknya lebih senang menangkap mereka. Atau jika gagal
membunuh mereka, karena bagiku mereka sudab jelas, mempunyai
niat buruk. Jika tidak, mereka tidak akan mempergunakan nama
yang bukan namanya, atau justru nama yang lain sama sekali."
"Mungkin. Tetapi mungkin juga karena mereka benar menyangka
babwa kami adalah orang-orang berilmu hitam, sehingga mereka
merasa perlu untuk menakut-nakuti kami."
Perwira itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun menganggukangguk.
Katanya, "Memang mungkin. Tetapi jika mereka
mengganggu kami, apa boleh buat."
"Aku kira, seandainya kita bertemu, mereka akan mempunyai
sikap yang lain melihat prajurit-prajurit Singasari yang lengkap
dengan tanda-tanda keprajuritannya."
Perwira itu menyahut, "Mudah-mudahan."
Lembu Ampal tidak berbicara lagi tentang orang-orang yang
mengaku bernama Mahisa Bungalan itu. Namun demikian, ia masih
1713 tetap berhati-hati. Apalagi jika ketiga orang itu ternyata mempunyai
kawan-kawan yang lain yang dapat dikumpulkannya dengan cepat.
Dalam pada itu, pedati yang ditarik dengan dua ekor lembu itu
berjalan lamban sekali. Tetapi para prajurit Itu tidak dapat memaksa
lembu-lembu mereka berlari secepat derap kaki kuda.
Dalam pada itu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya
pun menjadi bimbang sepeninggal Ranggawuni, Mahisa Campaka
dan Lembu Ampal. Dengan ragu-ragu merekapun kemudian
mengurungkan niatnva untuk mencari seekor harimau atau binatang
buruan yang lain. Namun demikian mereka masih berada di hutan
itu untuk beberapa lama sambil membicarakan ketiga orang yang
mereka anggap aneh itu. "Agaknya mereka benar-benar bukan orang berilmu hitam."
berkata Linggapati. Linggadadi mengerutkan keningnya.
"Kau pernah bertemu langsung dengan beberapa orang di antara
mereka." berkata Linggapati, "Lebih banyak dari yang pernah aku
temui. Dengan demikian kau dapat mempunyai gambaran yang
lebih banyak tentang sikap dan ciri-ciri mereka."
"Aku juga menjadi ragu-ragu." berkata Linggadadi. Dalam pada
itu, pengiringnya memotong, "Tetapi mereka bukanlah orang-orang
yang jahat. itu aku pasti. Jika aku dapat berkata terus terang, maka
sebenarnyalah mereka mempunyai cukup kesempatan untuk
melakukan sesuatu yang dapat mengakibatkan bencana bagi kami."
"Tidak." teriak Linggadadi, "Itu adalah kekhawatiran orang-orang
tua yang sama sekali tidak beralasan."
Namun Linggapati menyahut, "Aku tidak membantah. Agaknya
mereka memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Setidak-tidaknya
mereka tidak akan dapat kami kalahkan, jika mereka tidak lengah
atau melakukan kesalahan."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi akhirnya iapun
berkata, "Aku mengakui bahwa mereka memiliki ilmu yang tinggi.
1714 Tetapi aku masih menganggap bahwa ilmu mereka belum berada di
atas ilmu kita." Pengiringnya memandang Linggadadi sejenak. Namun ia tidak
membantah, karena ia mengerti, bahwa sebenarnya di dalam hati
Linggadadipun telah terbersit pengakuan bahwa ketiga orang itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka tetap berada di hutan itu
meskipun nafsu Linggadadi untuk mendapatkan seekor binatang
buruan telah lenyap. Namun hatinya yang bergejolak membuatnya
seolah-olah mematung di tempatnya. Sekali-sekali Linggadadi
membayangkan orang-orang yang lain, yang tidak ikut bersama
ketiga orang itu meninggalkan hutan. Memang timbul keinginan
untuk melihat mereka. Tetapi keinginan itupun segera
disingkirkannya jauh-jauh. Ia tidak mau mengalami keadaan yang.
sama. Apalagi baginya, nampaknya orang yg. memakai pakaian
pemburu dari kulit harimau itu, lebih meyakinkan dari anak-anak
muda yang baru saja meninggalkan hutan itu.
"Apakah kita tidak akan pergi dari hutan ini?" bertanya Linggapati
kemudian. Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Kesan tentang
perkelahiannya dengan anak-anak muda itu benar-benar telah
mencengkam hatinya. Betapapun juga ia berusaha menutupi
kekecewaan dan kekurangannya di hadapan pengiringnya, namun
seperti juga Linggapati, ia tidak dapat ingkar kepada diri sendiri,
bahwa sebenarnya anak-anak muda itu memiliki ilmu yang tidak
akan dapat dikalahkannya.
Namun, darahnya yang panas oleh umurnya yang masih muda,
membuatnya untuk berusaha menutupi kekurangan itu sejauh dapat
dilakukan. Namun ternyata bahwa kakaknya, Linggapati, telah berterus
terang, bahwa ilmu anak-anak muda itu telah melampaui ilmu
mereka. 1715 "Jadi, apakah yang akan kita lakukan sekarang kakang?"
bertanya Linggadadi, "Apakah kita akan kembali untuk beberapa
lamanya sebelum kita mulai lagi dengan perburuan kita atas orangorang
berilmu hitam seperti yang kita rencanakan?"
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya, kita akan
kembali untuk menenangkan hati dan membuat rencana yang lebih
bening. Jika kita tenggelam dalam perburuan ini, kita akan terpisah
dari orang-orang yang selama ini merupakan dasar kekuatan kita."
"Tetapi dengan demikian, orang-orang berilmu hitam akan
menjadi leluasa untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan
perampokan-perampokan. Mereka agaknya tidak saja menangkap
orang-orang yang mereka kehendaki, yang menurut pendengaran
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita, sejak ilmu itu berkembang dimasa lampau, dipergunakan untuk
korban bagi kelanggengan ilmu mereka, namun mereka juga telah
merampok harta benda untuk bekal perkembangan ilmu mereka dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka."
"Ya." jawab kakaknya, "Mudah-mudahan sementara kita
menyusun rencana yang lebih baik, Mahisa Bungalan benar-benar
telah melakukan tugasnya, membunuh orang-orang berilmu hitam,
sehingga mereka tidak lagi berkeliaran. Kami berkepentingan
dengan lenyapnya orang-orang berilmu hitam, agar Singasari
menjadi tenang. Dalam ketenangan itu kita akan mengembangkan
diri di luar kecurigaan Singasari."
" Bagaimana jika Mahisa Bungalan tidak berbuat apa-apa pula
sehingga orang-orang berilmu hitam itu justru semakin berkembang
di seluruh Singasari" Kecuali dengan demikian mereka akan
merupakan sentuhan-sentuhan yang membuat Singasari semakin
kuat, maka mereka pun merupakan bencana bagi kami di hari
kemudian." "Tentu kita tidak akan melepaskannya sama sekali. Kita hanya
akan beristirahat untuk waktu yang pendek sambil menyusun diri.
Tetapi jika keadaan memburuk bagi kita, maka kita akan segera
bertindak cepat." 1716 Linggadadi mengangguk-angguk. Memang untuk herbuat sesuatu
tanpa melihat perkembangan keadaan secara menyeluruh, agaknya
tidak akan menghasilkan, sesuatu yang bermanfaat.
Demikianlah setelah mereka berbincang cukup lama, dan
sekaligus beristirahat setelah mereka memeras tenaga bertempur
melawan tiga orang yang tidak mereka kenal, maka merekapun
segera berkemas. "Kita akan melalui Kotaraja." berkata Linggapati, "Sekaligus
melihat apakah ada perkembangan yang menarik perhatian.
Mungkin di Kotaraja kita mendengar, apa saja yang pernah
dilakukan oleh Mahisa Bungalan yang sesungguhnya, sehingga
dengan demikian kita akan dapat menyesuaikan diri."
Linggadadi pun ternyata sependapat pula, sehingga ketiganya
kemudian menempuh perjalanan langsung menuju ke Kotaraja yang
tidak terlampau jauh. Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang jalan,
karena angan-angan masing-masing yang berkembang jauh
melampaui kemungkinan yang dapat dilakukan oleh wadag mereka.
Kadang-kadang angan-angan itu dapat memberikan beberapa
kepuasan tertentu, namun dalam kesadaran yang kemudian
membangun mereka, terasa betapa kekecewaan telah menerkam
mereka. Dalam perjalanan itu, mereka kemudian tertegun ketika mereka
melihat dari kejauhan iring-iringan prajurit Singasari dalam jumlah
yang kecil dengan sebuah pedati di antara mereka.
"Apakah ada seorang puteri yang ingin bercengkerama dengan
sebuah pedati?" tiba-tiba saja Linggapati berdesis.
Linggadadi mengerutkan keningnya. Katanya, "Nampaknya
sekelompok prajurit yang mempunyai tugas yang khusus. Tetapi
kenapa mereka melalui jalan ini, jalan yang menuju ke hutan yang
jarang sekali dijamah orang itu?"
1717 "Mereka tentu akan bertemu dengan orang-orang yang dalam
hutan itu?" "Mereka tentu akan bertemu dengan orang-orang yang dalam
ciri-ciri ucapannya sebagai orang berilmu hitam itu." desis
Linggadadi kemudian. Yang lain menjadi termangu-mangu. Namun kemudian Linggapati
berkata, "Siapapun mereka, tetapi kami telah meyakinkan diri,
bahwa mereka bukan orang-orang berilmu hitam. Setelah kita
bertempur, maka kita sama sekali tidak melihat ciri-ciri dari ilmu
hitam itu pada mereka."
Linggadadi tidak menjawab. Bahkan merekapun kemudian harus
menepi ketika para prajurit itu menjadi semakin dekat. Namun
ketiga orang itu terperanjat ketika ketika mereka melihat salah
seorang dari para prajurit itu adalah orang yang telah mereka kenal
sebelumnya. Meskipun nampak perubahan pada bentuk pakaian dan
pertanda kebesaran yang dipakainya, namun mereka bertiga sama
sekali tidak melupakannya, bahwa yang berada dipaling depan, di
samping seorang perwira muda adalah salah seorang dari yang
telah bertempur melawan mereka.
Tetapi orang itu kini mengenakan pakaian dan tanda-tanda
kebesaran seorang perwira prajurit Singasari. Bahkan seorang
Senapati besar yang tentu berkedudukan tinggi dan berjabatan
penting. Linggapati yang berada di paling depan berpaling. Dilihatnya
wajah adiknya yang tegang. Demikian juga pengiringnya yang telah
setua perwira yang telah mereka kenal itu.
"Siapakah sebenarnya orang itu." desis Linggadadi.
Linggapati menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Jika ia seorang
perwira, siapakah dua orang anak muda yang telah berburu
bersamanya?" "Apakah mata kita yang telah menjadi rabun dan melihat orang
itu sebagai seseorang yang pernah kita, kenal?"
1718 "Ya. Mungkin wajahnya sajalah yang mirip."
"Tetapi kita akan melihat, apakah ia mengenal kita atau tidak."
"Bagaimana jika ia masih mengenal kita, namun kemudian
menjatuhkan perintah kepada para prajuritnya untuk menangkap
kita?" "Kita bukan tikus piti."
Ketiga orang itupun menjadi tegang. Dengan tatapan yang tajam
mereka memandang perwira yang nampaknya sudah mereka kenal
itu. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika iring-iringan itu
menjadi semakin dekat. Dengan tegang mereka memandang
perwira yang berada di paling depan bersama seorang perwira
muda itu. Terasa dada meteka berdesir, ketika ternyata perwira itu
mengangkat tangannya dan memberikan isyarat agar iring-iringan
itu berhenti. Sejenak Linggapati tercenung. Namun kemudian iapun
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan da pat terjadi.
Lembu Ampal yang memimpin iring"an prajurit Singasari itu masih
mengenal dengan baik ketiga orang yang telah bertempur
melawannya bersama kedua pimpinan tertinggi Singasari. Karena
itu, maka iapun kemudian mendekati ketiga orang itu lebih dekat
lagi. Namun yang nampak di wajahnya adalah sebuah senyuman
yang bersih. Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Menurut
pertimbangannya, perwira itu tidak akan berbuat sesuatu atas
mereka bertiga. Apalagi kekerasan.
"Ki Sanak." berkata Lembu Ampal kemudian, "Apakah kalian
masih mengenal aku?"
"Ya." jawab Linggapati.
"Inilah kenyataanku sebenarnya. Bukan maksudku untuk
membanggakan diri di hadapan Ki Sanak bertiga. Bahkan aku kira Ki
1719 Sanak sudah tidak ada di sini, atau sama sekali aku tidak
menyangka bahwa kita akan bertemu di pinggir kota ini."
Linggapati mengangguk hormat. Katanya, "Kami mohon maaf.
Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Ki Sanak adalah seorang
perwira yang barangkali justru berkedudukan tinggi."
"Sama sekali bukan seseorang yang berkedudukan tinggi. Tetapi
aku memang seorang prajurit." Lembu Ampal berhenti sejenak, lalu,
"Aku kira Ki Sanak sudah jauh. Rasa-rasanya kami sudah terlalu
lama meninggalkan hutan itu. Menyiapkan pedati kemudian pergi ke
hutan itu dengan sangat lamban karena di antara kami terdapat
sebuah pedati." Linggapati mengangguk. Jawabnya, "Kami masih berada di hutan
itu agak lama. Kami memerlukan waktu untuk merenungi apa yang
baru saja terjadi. Dan ternyata bahwa kami telah melakukan
kesalahan, karena kami telah menyangka bahwa Ki Sanak yang
ternyata seorang prajurit, adalah orang-orang berilmu hitam."
(Bersambung ke jilid 24) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Mahesa Editing: Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1720 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jild 24 "TIDAK apa-apa Ki Sanak. Namun
aku masih tetap menganggap kalian
sebuah teka-teki, justru karena salah
seorang dari kalian menamakan diri
Mahisa Bungalan." Linggadadi mengerutkan keningnya. Tetapi Linggapati yang
menjawab lebih dahulu, "Sekali lagi
kami mohon maaf. Sebenarnya itu
adalah sekedar terdorong dari
kebencian kami kepada orang-orang
berilmu hitam, sehingga kami diluar
sadar, telah meminjam nama-nama
orang yang paling ditakuti pula oleh orang-orang berilmu hitam."
Lembu Ampal tersenyum. Katanya, "Tetapi aku tidak akan
bertanya, siapakah kalian ini sebenarnya, karena agaknya kalian
memang tidak ingin kami kenal. Baiklah, silahkanlah berjalan terus.
Tetapi aku minta kalian agak berhati-hati menghadapi orang-orang
berilmu hitam." "Terima kasih Ki Sanak. Tetapi siapakah sebenarnya kedua anak
muda yang berkuda bersama Ki Sanak di hutan perbuan itu?"
Lembu Ampal termangu-mangu sejenak. Ia sebenarnya agak
ragu-ragu menyebut nama keduanya. Namun kemudian ia berkata,
1721 "Aku tidak akan menyembunyikan nama mereka, karena terlalu
banyak orang yang sudah mengenalnya."
Linggapati, Linggadadi dan pengiringnya termangu-mangu.
Namun serasa ada ketegangan di dalam dadanya.
"Ki Sanak." berkata Lembu Ampal, "Keduanya adalah tuanku
Ranggawuni dan tuanku Mahisa Canipaka, Maharaja dan Ratu
Angabhaya dari kerajaan Singasari."
"O." Suatu hentakkan telah menggelepar di dada ketiga orang
itu. Ternyata yang dihadapi adalah kedua orang anak muda yang
sering disebut sepasang Ular Naga dalam Satu Sarang. Kedua anak
muda yang memegang tampuk pimpinan tertinggi di Singasari.
"Sekali lagi aku mohon beribu ampun." berkata Linggapati,
"Hanya karena kemurahannya saja aku tidak dihukumi mati."
Lembu Ampal tersenyum melihat sikap Linggapati. Namun
keningnya berkerut ketika ia memandang wajah Linggadadi yang
buram. Agaknya Linggadadi yang menyebut dirinya bernama Mahisa
Bungalan itu mempunyai sikap yang lain dari kakaknya.
Sebenarnyalah bahwa Linggadadi mempunyai sikap yang
berbeda. Tetapi ia masih sekali tidak dapat menyatakannya. Karena
itulah maka yang nampak di wajahnya hanyalah kemuraman yang
gelap. "Ki Sanak." berkata Lembu Ampal kemudian, "Tentu tidak begitu
mudah untuk menjatuhkan hukuman mati. Juga atas Ki Sanak
bertiga, sehingga bukannya karena kemurahanya semata-mata.
Tetapi memang tidak sepantasnya kalian bertiga harus dihukum
mati hanya karena salah paham semata-mata."
"Tentu karena kemurahannya saja." sahut Linggapati,
"Katakanlah bahwa kita masing-masing tidak mempunyai wewenang
apapun untuk menjatuhkan hukuman kepada sesama. Tetapi tanpa
kemurahannya, maka dalam perkelahian itu, kami bertiga memang
sudah terbunuh. Dengan jujur kami mengakui, bahwa kami bertiga
1722 tidak mampu mempertahankan diri dari ilmu yang jauh diluar
jangkauan kami itu."
Lambu Ampal tersenyum. Tetapi ketika ia memandang wajah
Linggadadi, maka Lembu Ampal pun menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah Ki Sanak." berkata Lembu Ampal: kemudian, "Kita akan
berpisah. Kali ini aku tidak bertanya siapakah kalian karena
suasananya agaknya masih kurang tepat."
"Ki Sanak menganggap bahwa kami masih akan bersembunyi
dibalik nama yang asal saja kami sebut?"
Lembu Ampal tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnyalah bahwa kita
masing-masing masih saling mencurigai. Itulah sebabnya, maka aku
tidak bertanya, siapakah kalian sebenarnya, karena kalian tentu
akan menyebut nama yang salah. Dan kami tidak akan
mendapatkan bukti apapun juga untuk menyatakan kesalahan itu.
Bahkan seandainya nama-nama itu adalah nama-nama kalian yang
sebenarnya." Linggapati mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ki Sanak memang
bijaksana. Baiklah. Tetapi berterima kasihlah kami bahwa kami
diperkenankan mengetahui keadaan Ki Sanak yang sebenarnya, dan
terlebih-lebih kedudukan kedua tuanku yang memimpin Singasari
ini." Lembu Ampal masih tersenyum. Lalu, "Baiklah kita berpisah. Aku
akan mengambil harimau yang masih hidup, yang berhasil
ditangkap oleh tuanku Ranggawuni dengan tangannya tanpa luka
segorespun pada kulit harimau itu."
"Ha." Linggapati mengerutkan keningnya.
"Ya, demikianlah. Tuanku Ranggawuni menangkap harimau itu
tanpa mempergunakan senjata apapun juga selain tangannya
sendiri." Tetapi Lembu Ampal melihat sekilas senyum yang asam di bibir
Linggadadi. Namun demikian, Lembu Ampal sama sekali tidak
menghiraukannya, meskipun sebagai seorang yang memiliki
1723 ketajaman indera dapat menangkap bahwa sebenarnya
persoalannya bukanlah persoalan yang dapat selesai tanpa
menimbulkan akibat apapun juga. Namun demikian Lembu Ampal
masih berharap bahwa orang yang agaknya mempunyai pengaruh
yang lebih besar itu dapat mengendalikan orang yang menyebut
dirinya bernama Mahisa Bungalan.
Demikianlah, maka Lembu Ampal pun kemudian melanjutkan
perjalanannya diikuti oleh para prajurit yang terheran-heran, karena
mereka tidak mengetahui apakah yang sebenarnya dibicarakan oleh
Lembu Ampal dengan ketiga orang itu. Hanya kemudian, di
perjalanan selanjutnya, Lembu Ampal sempat menceriterakan
apakah yang sudah terjadi dengan Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Perwira muda ilu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
tuanku Ranggawuni dan tuanku Mahisa Cempaka ternyata
terlampau baik hati. Aku masih tetap curiga terhadap orang yang
kedua itu. Tatapan matanya sama sekali tidak meyakinkan, bahwa
ia dapat mengerti terhadap persoalan yang sebenarnya
dihadapinya." "Ya." jawab Lembu Ampal, "Tetapi agaknya yang lain akan dapat
meyakinkannya kemudian."
"Atau sebaliknya."
Lembu Ampal tertawa. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan
apapun juga. Dalam pada ilu, Linggapati, Linggadadi dan seorang pengiringnya
masih termangu-mangu. Mereka memandang iring-iringan yang
maju dengan lambatnya karena harus mengikuti pedati yang ditarik
oleh sepasang lembu. Dalam pada itu, Linggadadi yang menahan hati tidak dapat
membiarkan dadanya retak. Karena itu, dengan suara yang berat ia
berkata, "Kakang terlampau merendahkan diri. Apakah sudah
selayaknya kita menganggap bahwa atas kemurahan anak-anak itu
kita terlepas dari kematian?"
1724 Linggapati tertawa. Jawabnya, "Marilah kita mencoba jujur
terhadap diri sendiri. Aku kira, kita memang tidak akan dapat
memenangkan perkelahian itu. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak
seharusnya menimbulkan kesan, bahwa sebenarnya kita tidak ikhlas
mengalami kekalahan itu."
"Maksudmu?" "Biarlah mereka mendapat kesan, bahwa tidak akan ada
perlawanan apapun juga yang akan pecah di Singasari. Seolah-olah
setiap orang sudah mengakui kebenaran dan kekuasaan kedua
anak-anak itu. Juga orang-orang berilmu hitam itu tidak boleh
menimbulkan kesan, bahwa Singasari pada suatu saat akan
digoncang oleh gempa yang paling dahsyat."
Linggadadi termenung sejenak. Namun kemudian kepalanya
terangguk-angguk kecil. Sementara itu kakaknya masih juga tertawa. Katanya kemudian,
"Linggadadi, Kita ternyata harus lebih berhati-hati lagi setelah kita
mengenal kedua anak muda itu, bahkan dengan langsung. Kita tidak
usah malu mengakui bahwa kita memang tidak mempunyai ilmu
yang timbang dengan kemampuan mereka. Pengakuan itu penting
sekali bagi kita. Dengan demikian kita akan berusaha untuk
meningkatkan ilmu kita. Jika kita sudah merasa memiliki
kemampuan yang cukup, maka untuk seterusnya kita akan tetap
seperti sekarang. Dan ternyata ilmu kita sekarang tidak banyak
berarti bagi kedua anak-anak muda itu. Apalagi dengan dukungan
kekuatan Mahisa Agni, Witantra Mahendra dan anak-anak muda
yang tentu memiliki kemampuan seperti Mahisa Bungalan."
Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Kakang
benar. Tetapi dengan demikian bukan berarti bahwa kita harus
berkecil hati. Kita masih memiliki beberapa orang tua yang dapat
kita anggap tanpa tanding. Jika ternyata bahwa kita terbentur
kepada kemampuan ilmu yang tidak terjangkau, maka kita tidak
akan kehilangan kesempatan, sebab orang-orang tua yang selama
ini berada di antara kita tentu tidak akan tinggal diam."
1725 "Kau tidak boleh berpikir begitu." jawab Linggapati "Kau selalu
ingin menyelesaikan persoalan dengan mudah dan cepat. Landasan
pikiran kita sekarang, adalah meningkatkan ilmu sehingga
kemampuan kita akan dapat memadai untuk melawan kedua anakanak
muda yang kebetulan saja lahir dalam garis keturunan rajaraja
di Singasari." Linggadadi mengerutkan keningnya Tetapi ia tidak menjawab
lagi. "Baiklah." berkata Linggapati kemudian, "Marilah kita
meneruskan perjalanan kita. Kita akan singgah sebentar di Kota
Raja." "Bagaimana jika kita bertemu dengan kedua anak muda itu?"
bertanya Linggadadi. "Kemungkinan itu akan kecil sekali terjadi. Di Kota Raja kedua
anak-anak muda itu tidak akan dapat leluasa bergerak, justru
karena keduanya adalah Maharaja dan Ratu Angabhaya. Apalagi
mereka baru saja kembali dari sebuah perburuan yang lain dari
kebiasaan para bangsawan." Linggapati berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi justru itulah kelebihan kedua anak-anak muda itu. Mereka
tidak berburu di atas tandu, diiringi oleh prajurit segelar sepapan
yang akan menggiring binatang buruan agar lewat di muka
tandunya. Perburuan yang demikian adalah perburuan yang tidak
berarti." "Dan ternyata kedua anak muda itu tidak puas dengan cara
yang demikian." sahut Linggadadi, "Bahkan menurut perwira yang
mengawalnya. Ranggawuni telah menangkap hidup-hidup harimau
itu dengan tangannya. Apakah kau percaya?"
Linggapati berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan
kepalanya sambil berkata, "Aku percaya. Tentu tuanku Ranggawuni
dapat melakukannya. Aku juga melihat beberapa goresan pada
tubuhnya. Tentu luka-luka yang dideritanya saat ia berkelahi dengan
harimau itu." 1726 "Goresan-goresan kecil. Apakah kuku macan itu tidak dapat
menyobek perutnya." "Apakah tuanku Ranggawuni terlelang diam tanpa mengadakan
perlawan." "Maksudku, karena ia tidak bersenjata apapun juga. Jika ia
mempergunakan sebuah pisau belati seperti yang dipergunakannya
melawan kita, aku masih dapat mengerti."
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Itupula kelebihannya."
Linggadadi tidak menjawab lagi. la sudah meneruskan perjalanan
mereka melalui Kota Raja, meskipun ia agak cemas pula Karena
mungkin sikap Ranggawuni dan Mahisa Cempaka berbeda dengan
sikap Lembu Ampal. Tetapi Linggapati sama sekali tidak mencemaskannya. Bahkan
seandainya di Kota Raja ia berjumpa dengan kedua anak muda yang
sedang memerintah itu, karena keduanya tentu lidak akan berbeda
sikap dengan Lembu Ampal.
Dalam pada itu, ketika Linggapati, adiknya dan pengiringnya
melanjutkan perjalanannya ke Kota Raja, maka Lembu Ampal pun
menjadi semakin dekat dengan hutan perburuan yang lebat itu.
Namun perjalanan mereka benar-benar merupakan perjalanan yang
lambat dan menjemukan. Bahkan prajurit-prajurit muda yg berkuda
di belakang pedati itupun mulai mengeluh.
"Kudaku menjadi lelah sekali dengan perjalanan yang demikian."
desis seorang prajurit yang bertubuh tinggi.
Kawannya menarik nafas dalam. Jawabnya, "Nafasku menjadi
sesak. Hampir-hampir tidak tertahan lagi."
Seorang prajurit yang lebih tua di sebelahnya memandang
keduanya berganti-ganti. Lalu, "Kalian telah melalui pendadaran.
Agaknya kalian tidak menempuh pendadaran kesabaran seperti
yang pernah aku alami."
1727 "Aku mengalami pendadaran yang keras di arena." desis prajurit
yang bertubuh tinggi itu.
"Nah itulah sebabnya. Aku saat itu mengalami dua macam
pendadaran. Pendadaran jasmaniah dan pendadaran rohaniah."
"Aku juga." desis prajurit muda itu.
"Tetapi tentu berbeda dengan pengalaman yang pernah aku
alami semasa aku memasuki masa pendadaran setelah untuk tiga
bulan aku mengalami tempaan sebagai calon prajurit."
"Tentu aku juga." desis prajurit muda itu.
"Tetapi kalian sama sekali tidak memiliki kesabaran itu."
"Ceriterakan, apakah yang pernah kau alami dalam pendadaran
kesabaran itu." Prajurit yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun berceritera. "Menarik sekali. Saat aku selesai
pendadaran jasmaniah, maka aku bersama sekelompok calon
prajurit yang dinyatakan berhasil dalam pendadaran jasmaniah,
ditempatkan di sebuah tempat yang terpisah. Berhari-hari kami
menunggu. Ketika kami sudah mulai menjadi jemu, maka perwira
yang mengawasi kami itupun bertanya kepada kami, apakah kami
masih bersedia untuk menunggu pendadaran yang terakhir. Ketika
kami bertanya, kapan maka perwira itu tidak dapat mengatakan.
Tergantung kedatangan perwira yang berwenang dari Pajang.
Ketika kejemuan sudah memuncak, maka perwira itu berkata, "Kami
minta maaf, bahwa perwira yg bertugas untuk menyelesaikan
pendadaran itu masih belum datang. Kami tidak dapat mengatakan,
kapan pendadaran itu akan diselenggarakan. Karena itu, daripada
kalian kehilangan banyak waktu untuk menunggu dalam kejemuan,
maka barang siapa yang tidak telaten lagi menunggu dipersilahkan
meninggalkan tempat ini."
"O, menarik sekali." sahut prajurit-prajurit muda itu.
"Dan ternyata sebagian dari kami memang sudah tidak tahan
lagi dalam kejemuan. Mereka pun kemudian meninggalkan tempat
1728 terpencil itu Karena menurut mereka, pendadaran itu tidak akan
berlangsung untuk waktu yang lama."
"Jadi, kapan pendadaran itu diselenggarakan."
"Tidak ada seorang perwira yang datang."
"Jadi. tidak ada pedadaran lagi?"
"Tidak." " Bagaimana akhir dari pengasingan itu."
"Itu sajalah Tanpa ada pendadaran yang lain, kami pun
dinyatakan diterima menjadi seorang prajurit. Karena pendadaran
yang sebenarnya adalah ketahanan menunggu tanpa berbuat apaapa
itu." Prajurit-prajurit muda itu tersenyum sambil mengangguk-angguk
Mereka pun mengalami pendadaran kesabaran sesuai dengan
keadaan sesaat, dan dengan cara yang berbeda-beda.
Demikianlah iring-iringan itu maju terus dengan lambannya. Para
prajurit itu mengisi waktunya dengan bercakap-cakap dan
berceritera tentang berbagai macam hal yang mereka anggap
menarik. Prajurit-prajurit muda di bagaian belakang kadang-kadang
terdengar tertawa meskipun mereka mencoba menahan sekuatkuatnya.
Lembu Ampal dan perwira muda di sampingnya pun ternyata
telah tenggelam dalam pembicaraan yang asyik pula, sehingga
mereka hampir tidak menghiraukan lagi prajurit-prajurit yang
bercakap-cakap pula di antara mereka. Bahkan prajurit-prajurit
muda yang di paling belakang sempat pula bergurau untuk mengisi
kejemuan mereka mengikuti pedati yang merayap seperti siput yang
paling malas. Ketika mereka melintasi sebuah padukuhan kecil, dan melintasi
sebuah bulak yang panjang, maka Lembu Ampal pun berkata
kepada perwira muda itu, "Bulak ini adalah bulak yang terakhir. Kita
akan segera sampai pada sebuah padang ilalang dan hutan perdu
1729 sebelum kita memasuki hutan yang sudah nampak di hadapan kita
itu." Perwira muda ilu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa prajuritprajuritnya
sudah mulai menjadi jemu. Namun mereka tidak dapat
berbuat lebih daripada melupakan kejemuan itu dengan bercakapcakap
dan bergurau. Prajurit-prajurit yang ada di dalam iring-iringan itu baru
memperhatikan hutan di hadapan mereka, setelah mereka melintasi
bulak panjang itu. Meskipun jalan agak sulit dilalui oleh sebuah
pedati, namun mereka pun kemudian memasuki hutan yang lebat
itu. Tetapi terayata bahwa pada suatu saat, pedati itu tidak dapat
maju lagi, sehingga Lembu Ampal harus mengambil kebijaksanaan
lain. "Kita tinggalkan pedati itu di sini, ditunggui oleh beberapa
prajurit." berkata Lembu Ampal.
"Apakah ada orang yang akan mencuri pedati ini." bertanya
seorang prajurit. "Bukan orang yang akan mencurinya, tetapi mungkin seekor
harimau yang garang, yang mencium bau lembu penarik pedati itu.
akan datang dan menerkamnya."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Bahkan seorang prajurit muda
berkata, "Jika diperintahkan, aku akan menunggui pedati itu. Jika
ternyata ada seekor harimau yang datang, aku akan membunuhnya
dan mengambil kulitnya."
"Baiklah." berkata perwira muda yg memimpin sekelompok
prajurit itu, "Tetapi kau tidak boleh meninggalkan pedati ini sama
sekali." Demikianlah maka empat orang prajurit telah mendapat perintah
untuk menunggui pedati itu. Sedang yang lain akan berkuda
memasuki hutan itu sampai ke sebuah lapangan kecil di dalam
hutan itu. 1730 "Mereka yang menunggui harimau itu tentu sudah menjadi
jemu. Lebih jemu daripada kita yang berjalan mengikuti pedati yang
merayap ini." berkata Lembu Ampal kemudian.
Dalam pada itu, Empu Senggadaru memang sudah mulai gelisah
menunggu. Tetapi ia masih menyabarkan dirinya. Sekali-sekali ia
mendengar harimau yang terikat itu mengaum sambil meronta.
Namun harimau itu seolah-olah menjadi putus asa, dan berdiam diri
meskipun masih terdengar geramnya yang penuh kemarahan.
Dalam kesempatan itu, setiap kali Empu Baladatu mencoba
menjajagi perasaan kakaknya, bagaimanakah sikapnya terhadap
kedua anak muda yang sedang memegang pemerintah itu.
Tetapi setiap kali ia menjadi kecewa, karena menilik
pengamatannya, Empu Sanggadaru terlalu mengagumi kedua anakanak
muda itu. Bukan saja kemampuan dan ilmunya, tetapi juga
sikap dan wataknya. Sambil merenungi harimau loreng yang masih hidup dan terikat
keempat kakinya erat-erat dengan janget itu, Empu Sanggadaru
berkata, "Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada seorang anak
muda yang sebaya dengan Tuanku Ranggawuni, yang mampu
melakukannya." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun hampir di luar
sadarnya ia bertanya, "Bagaimana dengan anak muda yang
bernama Mahisa Bungalan?"
"Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang berilmu hitam?"
bertanya Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu mengangguk, meskipun terasa getar yang keras
mengguncang dadanya. "Aku tidak tahu pasti tentang anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan itu. Tetapi menurut pendengaranku, ia adalah anak muda
yang luar biasa pula. Menilik bahwa ia adalah anak Mahendra, maka
aku kira ia memang mempunyai kelebihan."
1731 Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu ia pun kemudian
bertanya dengan ragu-ragu pula, "Kakang apakah kesetiaan rakyat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Singasari terhadap kedua anak-anak muda itu cukup mantap?"
"Ya. Aku kira cukup mantap. Tidak ada alasan untuk menolak
keduanya. Mereka adalah keturunan Ken Dedes, meskipun dari jalur
suami yang berbeda."
"Apakah pedengaran kakang benar, bahwa Ranggawuni adalah
keturunan Tunggul Ametung. sedang Mahisa Cempaka adalah
keturunan Ken Arok."
"Tentu tidak ada orang yang tahu, apakah memang demikian".
Tidak seorangpun yang dapat membantah atau membenarkan,
bahwa semasa Ken Dedes masih menjadi isteri Akuwu Tunggul
Ametung ia memang sudah berhubungan dengan Ken Arok yang
waktu itu merupakan salah seorang hamba istana yang paling dekat
dengan Akuwu dan Permaisurinya itu. Tetapi keadaan lahiriahnya
menunjukkan bahwa saat Ken Dedes kawin dengan Ken Arok yang
telah menguasai keadaan itu sedang mengandung. Ketika bayi itu
lahir, maka setiap orang menganggapnya bahwa bayi itu adalah
putera Akuwu Tunggul Ametung."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Bagaimanakah tanggapan kakang terhadap beberapa pendapat,
bahwa kedua anak muda itu masih terlampau dungu untuk
memegang tampuk pemerintahan, sehingga sebenarnya yang
memerintah sekarang adalah orang lain sama sekali Ia adalah
Mahisa Agni, saudara angkat Ken Dedes itu."
Empu Sanggadaru tersenyum. Katanya, "Itu adalah wajar sekali.
Anak-anak muda itu memerlukan seorang yang mempunyai
pengalaman dan pengetahuan cukup. Mahisa Agni adalah seorang
tua yang memenuhi syarat itu."
"Tetapi kakang, bukanlah dengan demikian Mahisa Agni akan
dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri saja."
Empu Sanggadaru tersenyum pula. Katanya, "Seandainya
demikian, itupun wajar. Tetapi berapa besar perbandingan yang
1732 dapat kita lihat. Usaha yang nampak pada Mahisa Agni sampai
sekarang adalah usaha yang sama sekali tidak menyinggung rasa
keadilan bagi rakyat Singasari. Meskipun nampak jelas pengaruhnya
pada kedua anak-anak muda itu, namun yang dilakukan adalah
suatu usaha yang justru membuat Singasari bertambah besar."
"Apakah itu bukan berarti menarik segala perhatian rakyat ke
arahnya, bukan ke arah kedua anak-anak muda yang seharusnya
memegang pemerintahan itu?"
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Bahkan iapun
kemudian bertanya, "Kenapa kau bertanya demikian Baladatu"
Apakah kau merasa, atau mendengar atau melihat sikap seperti itu"
Menurut pendapatku, sama sekali tidak ada tanda-tanda yang
demikian. Bahkan orang tua yang bernama Mahisa Agni itu jarang
sekali menampakkan dirinya di hadapan rakyat Singasari dengan
menengadahkan dadanya, la tetap seorang yang rendah hati dan
selalu mengingat akan asalnya. Ia selalu merasa bahwa sebenarnya
ia adalah seorang anak padepokan terpencil. Padepokan kecil,
sehingga ia tidak terpisah dari lapisan yang telah melahirkannya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia agaknya tidak
mempunyai kesempatan untuk melihat kekurangan pada keluarga
Ranggawuni, Mahisa Cempaka dan orang-orang di sekitarnya.
Namun demikian ia masih belum berputus asa. la masih akan tetap
mencari kelemahan pada Ranggawuni dan Mahisa Cempaka dari
segala segi. Tetapi dalam pada itu. Empu Sanggadaru berkata, "Baladatu.
Akupun sudah termasuk orang tua. Aku mengenal beberapa orang
yang memerintah di Singasari, bahkan sejak jaman Tumapel. Tidak
ada seorang pun yang berhasil memerintah dengan lunak tetapi
mantap seperti kedua anak-anak muda ini. Tunggul Ametung adalah
seorang Akuwu yang besar, tetapi ia lebih senang mementingkan
kesenangan pribadi. Ken Arok adalah seorang yang berusaha untuk
mempersatukan daerah yang luas sehingga Singasari menjadi kuat.
Tetapi ia telah mengorbankan beberapa ribu jiwa untuk mencapai
maksudnya itu. Ia menyiram tanamannya dengan darah meskipun
1733 tanamannya menjadi subur. Setelah itu, maka bertahtalah seorang
Maharaja yang terlalu baik hati. Kelemahan Anusapati terletak pada
kelemahan hatinya itu. Meskipun ia tahu bahwa adiknya, Tohjaya
siap membalas dendam, namun ia sendirilah yang justru
memberikan kesempatan untuk melakukannya. Perasaan bersalah
dan rendah diri selalu mencengkamnya, sehingga ia tidak mampu
menjadi besar. Yang terakhir sebelum kedua anak-anak muda ini
adalah tuanku Tohjaya. Seorang anak muda yang keras hati, garang
dan terlampau dikuasai oleh nafsunya. Ibundanyalah sumber dari
kehancurannya itu." Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia
tidak mempunyai harapan lagi untuk memancing kakaknya, agar ia
bersedia berdiri di pihaknya, atau setidak-tidaknya membantunya.
Bahkan Empu Baladatu menjadi semakin berdebar-debar ketika
kakaknya berkata, "Baladatu. Aku kira pemerintahan kedua anak
muda sekarang ini adalah pemerintahan yang paling mantap. Tidak
ada alasan dari seorang pun di antara rakyat Singasari untuk tidak
merasa puas atas pemerintahan yang dipimpinnya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Betapun perasaan kecewa
menggelepar di dalam dadanya.
Namun demikian, Empu Baladatu tidak dapat melupakan
kinginannya untuk mencapai sesuatu. Ketika ia sempat melihat ke
dalam hatinya, sebenarnyalah bahwa yang mendorongnya untuk
melawan pimpinan tertinggi di Singasari bukanlah karena perasaan
kecewa atas pemerintahan itu sendiri. Tetapi semata-mata didorong
oleh nafsunya untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya paling
berharga di muka bumi. "Maharaja adalah jabatan yang paling utama Kebahagiaan
tertinggi bagi seseorang adalah apabila ia dapat menjadi seorang
raja yang besar dan memerintah daerah yang luas." berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya.
Dan ternyata bahwa Empu Baladalu tidak berpikir terlalu
sederhana. lapun mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
1734 yang dapat dihadapinya dalam ushanya memenuhi nafsu yang
bergejolak di dalam hatinya. Ia juga mempertimbangkan hati rakyat
Singasari dan memperhitungkan kekuatan yang dapat dihimpunnya.
Karena itulah, maka ia mulai dengan membangun kekuatan yang
dianggapnya akan dapat menjadi kekuatan yang tidak terlawan.
Tetapi sebelum ia berhasil, maka rasa-rasanya, awan yang gelap
telah mengalir di atas perguruannya. Hadirnya nama-nama Mahasa
Bungalan dan Linggadadi membuatnya menjadi suram.
"Aku harus mencari cara lain." berkata Empu Baladatu. Dan iapun
telah memikirkannya. "Yang mula-mula harus aku lakukan adalah membinasakan
keduanya. Jika aku dapat membujuk kakang Empu Sanggadaru
untuk memusuhi keduanya, maka aku akan dapat meneruskan
usahaku, merintis jalan ke Singgasana. Meskipun mungkin masih
memerlukan waktu yang lama."
Dalam pada itu, kejemuan benar-benar sudah hampir tidak
teratasi lagi oleh Empu Sanggadaru. Rasanya tangannya sudah,
menjadi gatal, ia tidak biasa duduk termenung, apalagi dalam
pakaian seorang pemburu. Meskipun ia dapat bersabar menunggu
buruannya di dekat mata air, tetapi ia seolah-olah.telah kehilangan
kesabarannya itu, untuk menunggui seekor harimau yang masih
hidup tetapi terikat keempat kakinya erat-erat.
Setiap kali ia memandangi adiknya, dilihatnya adiknya sedang
termenung, memandang gerak dedaunan yang gelisah disentuh
angin yang lembut. Namun dalam pada itu, selagi mereka merenungi kejemuan
mereka, tetapi karena mereka sedang menjalani tugas yang
dibebankan oleh kedua pemimpin tertinggi di Singasari meskipun
tidak dalam kedudukannya, sehingga mereka tidak berani
meninggalkannya, terasa sesuatu yang agak lain telah menyentuh
firasat. Terutama Empu Sanggadaru.
1735 Karena itulah maka rasa-rasanya ia menjadi semakin gelisah.
Diluar sadarnya ia bangkit dan berjalan hilir mudik di antara kedua
ekor harimau yang mereka dapatkan dalam perburuan itu. Yang
seekor telah mati, sedang yang lain masih hidup meskipun terikat
erat-erat. "Kakang nampaknya gelisah sekali." tiba-tiba Empu Baladatu
bergumam. "Aku menjadi jemu. Tetapi lebih dari itu, terasa ada sesuatu yang
lain. Rasa-rasanya angin bertiup semakin gatal di kulit."
"Apakah pakaian macanmu itulah yang gatal kakang?"
Empu Sanggadaru masih mengerutkan keningnya, ia masih
sempat tersenyum sambil menjawab, "Tentu bukan. Tetapi mungkin
pula karena sudah terlalu lama tidak aku pergunakan. Tetapi lebih
dari itu, aku menjadi gelisah bukan saja karena kejemuan ini."
"Apakah kira-kira ada sesuatu yang menyebabkan kakang
gelisah" Mungkin kakang masih meninggalkan kuwajiban yang harus
kakang lakukan" Atau barangkali karena kakang merasa bahwa
sudah waktunya memasuki hutan yang lebat ini lebih dalam lagi "
"Tidak. Bukan itu. Tetapi memang ada persoalan yang belum
selesai." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Lalu, "Maksudmu?"
Empu Sanggadaru memandang adiknya sejenak. Namun
kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
"Aku minta maaf kepadamu Baladatu. Justru pada saat kau berada
di tempat ini. Kegelisahan ini mungkin hanyalah sekedar karena
hatiku yang kecut." "Apakah sehenarnya yang telah terjadi?"
"Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang akan terjadi Dan
untung pulalah bahwa kedua anak-anak muda, pemimpin tertinggi
dari pemerintahan di Singasari itu sudah kembali."
"Aku tidak mengerti."
1736 Sekali lagi Empu Sanggadaru menarik nafas dalam sekali. Lalu,
"Setiap orang dapat saja tergelincir dalam sikap dan perbuatan yang
tidak dikehendakinya sendiri. Dan aku sudah melakukannya."
"Apa yang sudah kau lakukan?" bertanya adiknya.
"Sikap permusuhan. Benar-benar tidak aku kehendaki. Tetapi itu
sudah terjadi." Empu Baladatu telah menjadi gelisah pula. Meskipun ia tidak
mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi dengan kakaknya,
namun iapun dapat menduga, bahwa agaknya sesuatu yang tidak
menyenangkan akan terjadi.
"Baladatu." berkata Empu Sanggadaru kemudian, "Tanganku
telah terlanjur melakukan tindak kekerasan ketika sekelompok
orang-orang yang tidak aku kenal lewat di sebelah padepokan."
"Apa yang telah terjadi?"
"Empat orang singgah di padepokan. Aku mengira bahwa mereka
adalah orang-orang yang memerlukan persinggahan. Dan aku telah
memberikannya. Tetapi ternyata mereka bukannya orang yang
berhati bersih." "Apakah mereka telah mencuri?"
"Tidak." Empu Sanggadaru mengeleng, "Aku kira mereka tidak
menyadari bahwa mereka berada di dalam sebuah perguruan. Yang
nampak pada mereka adalah sebuah padepokan dan hasil buruan
itu. Itulah sebabnya, sejak mereka memasuki padepokanku sikapnya
benar-benar memuakkan. Meskipun demikian kepada mereka kami
berikan tempat untuk bermalam." Empu Sanggadaru berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi sayang, bahwa salah seorang dari mereka
menjumpai seorang endang kecil dari padepokan sedang mengambil
air di sumur. Ternyata bahwa gadis itu sangat menarik
perhatiannya. Bahkan ternyata kemudian, ia tidak dapat menahan
untuk menyapanya. Pembicaraan yang pendek dan keramahtamahan
gadis itu membuat laki-laki itu hilangan nalar, sehingga ia
1737 berusaha untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
peradaban manusia. Ketika gadis yang ramah itu menjerit, beberapa orang berlarilarian
medatanginya. Dan yang terjadi kemudian, benar-benar tidak
dapat dicegah lagi. Keempat orang itu menganggap para cantrik di
padepokanku adalah tikus kecil yang hanya mengenal cangkul dan
batang-batang jagung. Karena itulah, maka mereka sama sekali
tidak minta maaf, bahkan menuntut agar gadis itu diserahkan
kepada mereka. Itulah awal dari peristiwa yang sama sekali tidak
aku kehendaki. Ketika aku datang ke tempat itu, karena aku berada
di pategalan ketika seorang catrik berlari-lari mencariku, aku
menjumpai dua sosok mayat dari keempat orang itu. Sedang yang
dua lainnya berhasil melarikan diri.
Baru pada mayat itu aku dapat mengenal bahwa orang-orang itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang bersumber .pada rohroh
jahat. Ilmu yang sering disebut ilmu hitam."
Empu Baladatu terkejut mendengar keterangan itu. la sudah
terlanjur menerima julukan dari orang-orang yang tidak senang
kepadanya, bahwa ilmu yang disadapnya adalah ilmu hitam. Dan
kini ada golongan lain yang juga menyedap ilmu yang disebut ilmu
hitam itu. Karena itulah maka dengan serta merta ia bertanya, "Kakang,
apakah kakang mengenal ciri-ciri dari orang-orang yang kakang
sebut berilmu hitam itu?"
"Aku pernah menjumpai sebelumnya Baladatu. Aku pernah
melihat ciri seperti yang nampak pada kedua sosok mayal itu."
Alap Alap Laut Kidul 7 Pendekar Rajawali Sakti 168 Kitab Naga Jonggrang Dendam Iblis Seribu Wajah 2