Pencarian

Yang Terasing 11

Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 11


834 yang tidak kalah pentingnya daripada menuai padi dan kemudian mengerjakan sawah menjelang menanam palawija. Kerja itu adalah memulai dengan pembuatan sebuah bendungan. Justru kerja itu adalah kerja raksasa bagi anakanak muda Sambi Sari. Dihari yang sudah mereka tentukan, maka anak-anak muda itu berkumpul dipinggir sungai disekitar timbunan brunjungbrunjung bambu dan batu-batu yang beronggok-onggok. Untuk beberapa lamanya mereka tidak berbuat apa-apa, seakan-akan mereka sedang mengenal kembali benda-benda yang sudah beberapa waktu mereka tinggalkan selagi mereka sibuk dengan sawah dan ladang. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka mulailah Kesambi, yang mereka anggap sebagai anak muda yang paling berpengaruh untuk memimpin mereka melakukan kerja yang besar itu, naik keatas seonggok batu dan berkata "Sekarang kita sudah sampai pada waktunya. Kita sudah harus mulai melakukan kerja yang sudah kita putuskan bersama, yaitu membuat bendungan. Musim hujan sudah lampau meskipun masih ada juga sisa-sisanya. Tetapi sungai ini sudah tidak akan banjir lagi didalam keadaan yang wajar. Karena itu, maka jika kita sudah siap kita sudah dapat mulai dihari ini" Anak-anak muda yang Iain memperhatikan setiap kata-kara Kesambi. Tanpa mereka sadari, maka merekapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. "Jika demikian, maka kita harus membagi kita semuanya dalam kelompok-kelompok" berkata Kesambi seterusnya "kelompok-kelompok itu akan melakukan kerja masing-masing agar kita tidak saling berbenturan mengerjakan satu kerja, sedang yang lain terbengkalai" Demikianah maka Kesambipun mulai membagi kawankawannya menjadi beberapa kelompok yang mandapat
835 tugasnya masing-masing. Sebagian mengisi berunjungberunjung dengan batu-batu, sebagian yang lain memasang patok-patok didasar sungai dan sebagian yang lain menyediakan tanah untuk menimbun brunjung-brunjung itu selapis demi selapis. Dan yang lain harus membendung dan mengurangi arus air dengan mengalirkannya pada sebuah selokan yang mereka buat dibawah tebing, yang untuk sementara menampung aliran air Kali Kuning. Pada hari itu, Kesambi berhasil membagi kawan-kawannya menjadi beberapa kelompok dengan tugas masing-masing. Juga gadis gadis mendapat tugasnya menyediakan minum dan makanan bagi mereka yang bekerja dibawah pimpinan Wiyatsih. "Sebenarnya kaulah yang harus memimpin keseluruhan kerja ini" berkata Kesambi kepada Wiyatsih ketika mereka berpapasan diantara kawan-kawannya yang masih belum mulai turun ke sungai itu. "Kenapa" Kaulah yang lebih pantas. Aku seorang gadis. Karena itu, kerjaku adalah diantara gadis-gadis yang lain. Bukankah tidak pantas aku berada diantara anak-anak muda menurut kata orang tua-tua" "Ah kau" Kesambi tersenyum. Namun iapun kemudian menemui pemimpin-pemimpin kelompok yang telah terbentuk itu untuk berbicara sejenak. "Jadi besok kita mulai dengan kerja ini?" bertanya Kesambi kepada mereka. "Ya, besok sajalah, kita mulai serentak. Jika ada kerja kecil disawah biarlah dikerjakan oleh orang-orang tua" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya "Jika demikian, kita dapat membubarkan anak-anak ini sekarang. Besok kita akan mulai pagi-pagi benar. Demikian matahari terbit, demikian kita turun untuk bekerja sesuai dengan pembagian yang sudah kita tentukan"
836 "Ya" "Baiklah, jika demikian, marilah kita bubarkan. Kalianlah yang membubarkan kelompok kalian masing-masing" Demikianah maka hari itu mereka masih belum mulai dengan kerja mereka yang sesungguhnya. Hari berikutnyalah hari permulaan dari kerja itu. Berbondong-bondong anak-anak muda Sambi Sari meninggalkan tempat yang sudah mereka pilih untuk membuat bendungan yang akan memberi harapan bagi Kademangan mereka itu. Yang kemudian tinggal adalah Wiyatsih, Kesambi dan beberapa anak muda saja. Mereka masih membicarakan kemungkinan yang dapat terjadi jika mereka mulai meletakkan brunjung yang pertama didasar sungai itu. "Kita harus menjaga agar dasar sungai ini tidak gogos terus" berkata Kesambi. "Tentu tidak. Jika brunjung yang paling bawah kita isi dengan batu-batu yang agak kecil dan patok-patok yang rapat untuk menahan sampan yang kita turunkan bersama brunjung yang pertama itu. Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata "Apakah kita dapat mengeringkan tempat ini selagi kita membuat bendungan?" "Tentu tidak" Wiyatsihlah yang menyahut "tetapi setidaktidaknya air itu akan jauh berkurang. Dan dengan demikian memungkinkan kita untuk bekerja lebih baik" Kawan-kawannya mengangguk-angguk pula. Satu dua orang mulai turun kedalam air, seakan-akan mereka ingin menjajagi dalamnya air Kali Kuning. Namun selagi mereka sibuk, membicarakan bendungan yang akan mereka mulai besok, tiba-tiba Wiyatsih menjadi
837 tegang. Dikejauhan dilihatnya dua orang berjalan mendekati tanggul. "Wiyatsih" bertanya Kesambi kemudian apakah yang kau lihat?" "O" Wiyatsih termangu-mangu "tidak apa-apa, tidak apaapa " Tetapi Kesambi telah memandang kearah tempat mata Wiyatsih, dan iapun melihat dua orang, itu sudah mulai menuruni tebing. "Selamat" berkata orang yang turun itu "kalian agaknya sudah mulai dengan bendungan kalian" Sejenak Wiyatsih mematung. Kedatangan orang itu sangat mendebarkan jantungnya. Tetapi orang itu tersenyum. Katanya "Aku hanya akah mengucapkan selamat. Mudah-mudahan bendungan ini akan segera selesai. Jika kalian terlambat, dan musim hujan datang pula, maka bendungan ini akan hanyut oleh banjir sebelum siap sama sekali" Wiyatsih masih belum menjawab. Tetapi Kesambilah yang menjawab "Terima kasih. Kami akan berusaha bahwa kami akan menyelesaikan bendungan ini sebelum musim hujan mendatang" "Bagus" sahut orang itu, yang kini sudah berdiri diantara brunjung-brunjung bambu itu "sayang jika usaha yang sudah kalian mulai ini patah ditengah, atau mangalami gangguan apapun juga" "Ya, kami akan berusaha untuk menyelesaikannya dan mengamankannya" Kedua orang itu tertawa. Lalu katanya kepada Wiyatsih "Kenapa kau heran melihat kedatanganku Wiyatsih, bahkan tampaknya seolah-olah kau menjadi gelisah?"
838 "Tidak. Aku tidak apa-apa" jawab Wiyatsih sambil mencoba tersenyum. "Kau memang seorang yang luar biasa. Meskipun tampaknya anak-anak mudalah yang melakukannya dan yang memimpin pelaksanaannya, tetapi pada hakekatnya kaulah jiwa dari bendungani ini" "Ya" sahut Kesambi "ialah yang pantas untuk memimpin pembuatan bendungan ini" "Itu tidak perlu" berkata orang itu "biarlah anak-anak muda yang melakukan, tetapi Wiyatsih akan tetap menjiwainya selama ia tidak meninggalkan pekerjaan ini" "Tentu tidak" Wiyatsih mencoba menyahut "aku akan tetap disini" Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya "Lalu bagaimana dengan Pikatan?" Dada Wiyatsih berdesir mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia memandang orang itu dengan mulut yang terkatub rapat Namun kemudian sebelum ia menyahut, Kesambilah yang mendahuluinya "Kenapa dengan Pikatan?" Orang itu tertawa, katanya "Kenapa Pikatan tidak serta bersama dengan kalian membangun bendungan ini?" Kesambi menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Pikatan tidak mau berada ditengah-tengah kita kembali seperti sebelum ia pergi. Ia kini mengasingkan dirinya didalam biliknya. Bertanyalah kepada Wiyatsih. Ia adalah adiknya" "Aku tahu, aku memang bertanya kepada Wiyatsih" "O" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Wiyatsih sejenak, lalu katanya "Kaulah yang harus menjawabnya" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab "Ia tidak mau keluar dari biiiknya"
839 "Apakah kau sudah mengatakan pesanku?" "Aku sudah mengatakannya" "Seluruhnya?" "Ya, seluruhnya" "Tentu belum. Jika kau mengatakan seluruhnya, maka ia pasti akan menemui aku disini atau dimanapun" "Aku sudah mengatakan seluruhnya" Orang itu mengangguk-angukan kepalanya, sedang Kesambi menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu pasti, apakah yang sedang dibicarakan oleh Wiyatsih dengan orang itu tentang Pikatan. "Wiyatsih" berkata orang itu kemudian "aku masih sabar menunggu. Persoalan ini bagiku adalah persoalan yang paling besar didalam hidupku. Karena itu aku bersabar. Aku dapat mengesampingkan keperluan-keperluanku yang Iain untuk suatu keperluan yang terbesar yang pernah aku hadapi sebelum aku akan melakukan hal yang serupa terhadap seorang gadis dari padepokan Pucang Tunggal" Wiyatsih menjadi termangu-mangu. Sedang Kesambi dan kawan-kawannya yang lain tidak dapat ikut berbicara karena mereka tidak mengerti tentang masalah yang sedang mereka bicarakan. "Ki Sanak" berkata Wiyatsih kemudian "sebaiknya kau jangan memaksa aku lagi, Aku sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membicarakannya dengan kakang Pikatan. Ia menjadi acuh tidak acuh. Bahkan ia menjadi marah kepadaku apabila aku mencoba mendesaknya" "Benar begitu" Apakah kau masih ingin mengenal aku baru kau akan mengatakan kepada Pikatan" "Aku kira tidak ada gunanya lago memaksamu untuk menyebut dirimu yang sebenarnya. Karena itu, aku sudah
840 mengatakannya kepada kakang Pikatan. Agaknya kakang Pikatan mengetahui siapa kalian. Tetapi mungkin juga tidak" Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya "Baiklah Wiyatsih. Apakah Pikatan mengetahui tentang diriku atau tidak, bagiku tidak penting. Yang penting bahwa Pikatan itu bersedia datang kemari. Seperti yang aku katakan, aku akan sabar menunggu karena persoalannya adalah persoalan yang sangat penting. Tetapi, meskipun demikian, kesabaran seseorang memang ada batasnya" Dada Wiyatsih menjadi semakin berdebar-debar. "Karena itu Wiyatsih" berkata orang itu lebih lanjut "aku akan menunggu sampai bendungan itu turun kedasar Kali Kuning. Jika sampai saat purnama naik ditengah bulan ini Pikatan belum datang kemari, aku akan mengambil sikap lain. Bendungan ini akan aku hancurkan" "Gila" teriak Wiyatsih. Tetapi orang itu tertawa. Katanya "Jangan marah. Bagiku nilai seorang Pikatan jauh lebih besar dari bendungan ini" "Kau gila" Wiyatsih berkata lantang "bendungan ini adalah harapan bagi rakyat Sambi Sari" "Aku tidak peduli. Karena itu, seandainya kau lebih sayang pada bendungan ini, bawa Pikatan kemari sebelum purnama naik" Wiyatsih berdiri mematung. Tetapi terdengar giginya gemeretak menahan kemarahan yang bergejolak didalam dadanya. Dalam pada itu, Kesambi yang tidak tahu pasti, siapakah orang yang sedang berbicara itupun menjadi tersinggung karenanya. Karena itu maka iapun berkata "Kau telah menyinggung tentang bendungan ini. Apa maksudmu?"
841 Orang itu masih tertawa Katanya "Aku ingin menukar bendungan ini dengan Pikatan. Aku ingin bertemu dan berbicara dengan Pikatan. Tetapi ia tidak bersedia datang. Karena Itu, aku mengancam kepada Wiyatsih, jiwa dari bendungan ini. Jika sampai purnama naik ditengah bulan ini, Pikatan tidak menjumpai aku, aku akan merusak bendungan ini. Jelas?" Kesambi menjadi terheran-heran Dan iapun bertanya "Apakah hubungannya dengan Pikatan" Kami membuat bendungan untuk Kademangan kami, sedang Pikatan mengasingkan diri atas kehendaknya. Kenapa kau ingin mempertaruhkan bendungan ini sekedar untuk berbicara dengan Pikatan?" "Sudah aku katakan. Nilai Pikatan bagiku lebih tinggi dari nilai bendungan ini. Jika kalian sayang akan bendungan kalian, usahakan agar Pikatan datang kemari sebelum purnama naik" Wajah Kesambi menjadi tegang. Sedang orang itu berbicara terus "Jika kalian ingin tahu hubungan antara bendungan ini dengan Pikatan" adalah kedua-duanya mempunyai sangkut paut yang rapat dengan Wiyatsih. Pikatan adalah kakak satu-satunya dari gadis ini sedang bendungan ini adalah hasil usahanya, sehingga Wiyatsih dapat disebut sebagai jiwanya" "Aku sependapat. Tetapi bendungan ini tidak dapat disamakan dengan Pikatan. Meskipun keduanya mempunyai hubungan yang erat dengan Wiyatsih, tetapi dalam bentuknya yang tersendiri" Orang itu tertawa. Katanya "Jangan ribut anak muda. Persoalan ini adalah persoalanku dengan Wiyatsih. Jika kau ingin ikut campur dan ingin menyelamatkan bendungan ini, maka bantulah Wiyatsih dengan mengundang Pikatan datang kemari"
842 "Aku tidak berkepentingan dengan Pikatan" Kesambi menjadi marah "aku berkepentingan dengan bendungan ini. Aku tidak peduli persoalan yang ada padamu dan Pikatan. Tetapi kau tidak berhak mengganggu bendunganku" "Akupun tidak berkepentingan dengan kau "sahut orang itu "kau jangan mencampuri persoalaku. Aku ingin bertemu dengan Pikatan. Jika tidak, aku ingin merusak bendungan ini. Tentu saja sebab dari kerusakan bendungan ini bukannya aku, tetapi Pikatan" "Kau memang gila" Kesambi menjadi semakin marah "aku tidak akan membiarkan bendunganku rusak apapun alasannya. Bahkan seandainya Pikatan sendiri datang merusak, aku akan menghalanginya" Orang itu tertawa semakin keras, sehingga Kesambipun menjadi semakin marah. Hampir diluar dugaan, Kesambi meloncat menerkam baju orang itu dan mengguncang-guncangnya "Jangan tertawa" bentak Kesambi "jika kau masih mengancam akan merusak bendunganku, kau akan aku bikin jera disini" Wiyatsih melihat hal itu dengan dada berdebaran. Karena itu tanpa sesadarnya ia berkata "Kesambi jangan" "Aku akan menghajarnya. la menganggap kami, anak-anak Sambi Sari sebagai golek-golek kayu yang tidak berguna" Tetapi suara tertawa orang itu tidak juga mereda. Bahkan menjadi semakin keras. "Diam, diam" Kesambi membentak sambil mengguncangguncang baju orang itu "Jangan" berkata orang itu kemudian "nanti bajuku sobek. Aku tidak membawa banyak baju selama aku menunggu Pikatan disini"
843 "Kau harus pergi dari daerah Sambi Sari. Jika tidak, maka kau akan menyesal" "Kesambi, jangan" cegah Wiyatsih. "Aku tidak peduli" berkata Kesambi. "Lepaskan" berkata orang itu kemudian. "Tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan meninggalkan Sambi Sari dan terlebih-lebih lagi, kau tidak akan mengganggu bendunganku" "Lepaskan" orang itu menggeram. Wiyatsihlah yang kemudian menjadi sangat cemas. Ia tahu siapakah sebenarnya orang itu. Jika orang itu telah berani menantang Pikatan, maka dapat dibayangkan, betapa tinggi ilmunya, sedang Kesambi dan anak-anak muda Sambi Sari pada umumnya sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berkelahi dengan ilmu apapun. Jika ada pertengkaran antara anak-anak muda yang kadang-kadang memang pernah terjadi perkelahian, tetapi mereka berkelahi sekedar memukul dan menyepak. Bahkan kemudian saling membanting dan berguling-guling ditanah. Tetapi tentu tidak dengan cara itu jika mereka berhadapan dengan orang yang disebut Hantu Bertangan Api itu. Namun dalam pada itu Wiyatsih tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sesuai dengan pesan Kiai Pucang Tunggal dan Puranti, juga karena disitu hadir anak-anak muda Sambi Sari, maka ia hanya dapat menyaksikan dengan hati yang berdebar-debar dan berusaha mencegahnya apabila mungkin. Tetapi sekali lagi Kesambi mengguncang baju orang itu sambil menggeram "Berjanjilah. Jika kau tidak mau berjanji, aku tidak akan melepaskan" "Kesambi" suara Wiyatsih bergetar "Jangan. Lepaskan"
844 Tetapi Kesambi tidak mau melepaskannya. Dan bahkan tangannya mencengkam semakin keras. Sejenak orang itu termangu-mangu. Sekali-kali ditatapnya wajah Kesambi yang tegang. Kemudian tangannya yang menggenggam bagian bajunya. "Lepaskan. Jangan berbuat bodoh sekali " "Berjanjilah, berjanjilah" Betapa kemarahan yang sangat telah menggetarkan dada Kesambi, ketika orang itu justru tertawa sekali lagi dengan nada yang sangat menyakitkan hati. Karena itu, Kesambi tidak lagi dapat mengekang dirinya, Dengan darah yang bergejolak ia mengguncang orang itu semakin keras sambil berteriak "Gila, Gila. Kalau kau tidak mau diam, aku akan memukulmu" Tetapi suara tertawa itu menjadi semakin tinggi. Bahkan orang itu berkata "Cobalah, kalau kau mempunyai tangan sekeras besi barulah kau memukul aku. Tetapi tangan anakanak muda Sambi Sari adalah tangan-tangan yang biasa terbenam di dalam lumpur di musim hujan. Karena itu tanganmu tentu tidak lebih keras dari segumpal jadah ketan" Betapa Kesambi merasa terhina. Tiba-tiba saja, diluar sadarnya tangannya telah terayun memukul mulut orang yang menghinanya itu. Tetapi Kesambi terperanjat dan tidak mengerti, apakah sebenarnya yang telah terjadi atas dirinya. Terasa tangannya yang menyentuh tubuh orang itu bagaikan terbakar. Pukulannya sama sekali tidak menggoyangkan tubuh orang yang berdiri di hadapannya itu, Tetapi ia sendirilah yang harus menyeringai menahan sakit. Dalam pada itu, ketika Kesambi mulai bertindak, anak-anak muda yang lain, yang menjadi marah pula karenanya, segera berloncatan melingkari orang itu. Namun mereka menjadi heran juga melihat Justru Kesambilah yang menjadi
845 kesakitan,, sedangkan orang yang dipukulnya itu masih saja tertawa dan bahkan kemudian berkata "Kau mencoba memukul aku?" Wajah Kesambi menjadi merah padam, tetapi ia masih belum yakin atas apa yang terjadi. Apalagi Karena kawankawannya kini telah berdiri melingkari orang itu, sehingga ia masih ingin membuktikan, apakah yang sebenarnya telah terjadi atas dirinya itu. Tetapi ketika Kesambi melangkah semakin dekat lagi, Wiyatsih yang beriari kepadanya dan menarik lengannya sambil berkata "Jangan kesambi. Jangan" "Orang ini perlu dihajar sehingga ia menyadari bahwa kami anak-anak muda Sambi Sari mempunyai sikap yang mantap. Kami bukan lagi anak-anak cengeng yang hanya pandai mengeluh. Tetapi kami bertanggung jawab atas kerja kami. Apakah kau salah seorang yang diupah oleh orang-orang kaya yang tidak senang melihat benduagan kami, Orang-orang yang ingin kami tetap melarat dan menjadi sumber kekayaan yang tidak kering-keringnya bagi mereka" Kami adalah tenaga-tenaga murah bagi mereka dan kami telah menyerahkan sebagian besar dari panenan kami, karena hutang-hutang kami. Sekarang kehidupan itu harus berubah. Jika benar kau telah menerima upah mereka untuk merusak bendungan ini, maka kami akan mempertahankan matimatian" "Sudahlah Kesambi" Wiyatsih yang memotong "jangan hiraukan orang ini. Lebih baik kita berusaha menghubungi Pikatan sekali lagi. Mudahan-mudahan kakang Pikatan dapat mengerti" Kesambi menjadi termangu-mangu, tetapi katanya "Jangan memanjakan orang yang tidak kita kenal ini Wiyatsih. Jika kita biasa menyerahkan kepentingan diri kepada orang lain seperti sekarang ini, maka akibatnya pasti akan berkepanjangan. Ini bukan berarti bahwa kita hanya memikirkan kepentingan diri
846 sendiri, tetapi kita telah berbuat untuk sebagian terbesar dari rakyat Sambi Sari " "Justru karena itu Kesambi. Kita dapat menempuh jalan lain untuk keselamatan bendungan ini" "Kesambi masih juga termangu-mangu. Anak-anak muda yang berdiri melingkari merekapun berdiri termangu-mangu pula. "Sudahlah. Akulah yang akan mencoba sekali lagi membujuk kakang Pikatan, meskipun aku akan dibentakbentaknya" Kesambi masih dicengkam oleh keragu-raguan "Tetapi, kepentingan kita adalah mempertahankan bendungan. Kita tidak tahu menahu persoalan Pikatan dan orang-orang ini" "Kau benar Kesambi. Tetapi marilah kita tempuh jalan yang paling aman" Kesambi menjadi ragu-ragu. Dan orang yang tidak dikenalnya itu masih saja tertawa dan berkata "Kau bijaksana sekali, Wiyatsih. Aku memang berharap kau akan melakukannya. Memanggil Pikatan untuk datang kemari, paling lambat nanti saat purnama. Aku masih bersabar dan aku menunggu disetiap malam disini. Tetapi, sekali lagi aku katakan, kesabaran seseorang pada suatu saat sampai pada batasnya" Wiyatsih tidak dapat melihat jalan lain kecuali berkata "akan mencobanya sekali lagi" --ooo0dw0ooo-Jilid 11
847 "TERIMA kasih. Kau tidak perlu menakut-nakuti kawankawanmu dengan mengatakan tentang aku. Tentu kau mempunyai perhitungan yang lebih baik dari kawan-kawanmu itu. Tentu kau mengukur tentang diriku dengan Pikatan, jika aku berani menunggunya, maka tentu aku mempunyai alasan. Tetapi biarlah kawan-kawanmu yang bodoh itu tetap tidak mengetahui apapun juga agar mereka tidak dikejar oleh ketakutan, karena sebenarnya akupun tidak ingin menakuti mereka, Aku hanya berkepentingan dengan Pikatan. Aku akan mengucapkan terima kasih jika kawan-kawanmu itu dapat membantumu, membujuk Pikatan agar ia datang kebendungan ini" Wiyatsih memandang orang itu dengan sorot mata yang seakan-akan membara. Tetapi ia menahan dirinya sekuatkuatnya agar ia tidak. berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kecurigaan pada orang-orang itu. "Sudahlah Wiyatsih" berkata orang itu "masih ada kesempatan beberapa hari lagi. Aku menunggumu datang bersama Pikatan. Jika kau bersedia mengantarkan kakakmu itu, mungkin kami akan berpikir lain dan akibat yang akan dialami Pikatanpun akan jauh berbeda. Kau memang seorang gadis yang cantik dan cerdas. Kau dapat mengerti siapakah aku, meskipun barangkali tidak begitu pasti, dan kaulah jiwa dari bendungan ini" Wiyatsih masih memegangi lengan Kesambi. Ia tidak berkata apapun ketika kedua orang itupun kemudian meninggalkan mereka, Wajah mereka masih selalu dibayangi oleh sebuah senyum dan bahkan orang yang telah mengancam itu sempat melambaikan tangannya sambil berkata "Salamku buat Pikatan, Wiyatsih" Wiyatsih sama sekali tidak menyahut. Tetapi kengerian yang sangat telah menyentuh hatinya. Ternyata kedatangan orang itu kini telah berkembang, Bukan semata-mata ingin melepaskan dendamnya kepada Pikatan. Tetapi tanpa
848 dikehendakinya sendiri, orang-orang itu telah tertarik pula kepadanya. Wiyatsih seakan-akan baru sadar ketika Kesambi bertanya padanya "Siapakah mereka itu sebenarnya Wiyatsih?" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan tergesa-gesa iapun melepaskan tangan Kesambi, bahkan iapun menundukkan wajahnya yang menjadi kemerahmerahan. Untuk melepaskan perasaan malu yang membayang itu maka Kesambipun segera bertanya pula "Siapakah mereka itu Wiyatsih?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu pasti. Orang-orang itu ingin memaksa Pikatan untuk menemuinya" "Apakah sebenarnya persoalan yang ada antara mereka dan Pikatan?" "Aku tidak tahu. Kakang Pikatanpun terlampau sulit untuk diajak berbicara" Kesambi menarik keningnya Namun iapun kemudian bertanya "Wiyatsih, kenapa kau tahan kami". Sebenarnya kami ingin membuatnya jera. Kawan-kawan sudah siap disekitarnya" "Ya. kenapa?" sahut yang lain "orang-orang seperti orang itu harus dilawan dengan kekerasan agar mereka tidak menganggap kami terlampau lemah dan penurut" "Aku setuju" jawab Wiyatsih "tetapi tidak melawan orang itu" "Kenapa dengan orang itu, Bukankah ia manusia biasa seperti kita" Seandainya ia memiliki kemampuan berkelahi yang luar biasa, namun bukankah aku tidak seorang diri?" sahut Kesambi. "Tetapi tidak melawan orang itu"
849 "Kenapa dengan orang itu" Apakah ia anak iblis?" Wiyatsih memandangi wajah Kesambi sejenak. Terpancar diwajahnya teka-teki yang membelit dihatinya tentang orang yang tidak begitu dikenalnya itu. "Kesambi" berkata Wiyatsih kemudian "apakah kau pernah mendengar kakang Pikatan membunuh beberapa orang perampok?" "Ya, aku mendengar" "Jika disini ada dua orang Pikatan, apakah kalian akan berani melawannya" Mungkin kalian akan dapat mengalahkan dua orang Pikatan itu, tetapi korban diantara kalianpun akan, berjatuhan" Kesambi mengerutkan keningnya. "Nah, bukankah kau dengar orang itu mengharap kedatangan kakang Pikatan" Tentu bukan untuk sebuah pembicaraan mengenai perdagangan. Tentu juga bukan jual beli pusaka atau perhiasan. Wajah mereka membayangkan dendam tiada taranya. Mungkin satu dua orang kawannya telah terbunuh, dan ia ingin membuat perhitungan. nah bukankah orang itu sendiri sudah mengatakan bahwa aku telah mengukur mereka dengan Pikatan?" Kesambi menjadi tegang sejenak. Lalu suaranya meninggi "Jadi, menurut perhitunganmu orang ini memiliki kemampuan seperti Pikatan?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Pantas" "Kenapa?" "Aku telah memukulnya. Tetapi tanganku bagaikan tembentur tiang besi. Jari-jariku rasa-rasanya menjadi patah" "Nah, belum lagi ia membalas"
850 Kesambi mengangguk-angguk. Katanya kemudian "Tetapi, apakah kita akan membiarkan orang-orang itu menggagalkan rencana kita tentang bendungan ini?" Wiyatsih termangu-mangu sejenak. Lalu katanya "Tidak Kesambi. Orang itu tidak boleh menghambat pembuatan bendungan ini, atau terlebih-lebih merusaknya" "Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" "Kita akan meneruskan rencana kita. Kita mulai besok dengan menurunkan brunjung-brunjung yang telah terisi dan membuka saluran sementara itu" "Tetapi bendungan itu akan dirusaknya jika nanti purnama naik Pikatan tidak datang menemuinya" "Jika kakang Pikatan datang menemuinya, maka arti dari pertemuan itu dapat kita bayangkan" Suara Wiyatsih menurun. Kesambi menangkap pergolakan dihati Wiyatsih. Ia berdiri disimpang jalan yang sangat sulit. Ia tidak dapat melepaskan kakaknya meloncat kedalam suatu persoalan yang belum dapat dibayangkan Tetapi iapun tidak akan dapat membiarkan bendungannya gagal atau kemudian dirusakkan. Akhirnya dengan suara yang dalam Wiyatsih berkata "Aku akan mencoba sekali lagi agar kakang Pikatan bersedia untuk datang" Tetapi Kesambilah yang kemudian bertanya "Apakah, mereka akan membuat perhitungan dengan kekerasan beralaskan dendam dan kebencian?" Wiyatsih menganggukkan kepalannya "Itulah kemungkinan yang paling dekat meskipun aku tidak tahu pasti" Kesambipun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah kawan-kawannya, wajah-wajah itupun menjadi gelisah.
851 Namun tiba-tiba Wiyatsih berkata lantang "Jangan kita persoalkan orang itu. Kita tetap pada rencana kita. Besok kita muiai dengan kerja yang berat ini, Apapun yang akan terjadi, kita tidak boleh melangkah surut" "Ya" sahut seorang anak muda "kita laporkan saja kepada Ki Jagabaya. Biarlah Ki Jagabaya mencegahya bahkan menangkapnya" Wiyatsih memandang anak muda itu sejenak. Dalam hatinya ia berkata "Lima orang Jagabaya tidak akan dapat melawannya" Tetapi yang dikatakannya adalah "Lebih baik kita menunggu perkembangan keadaan. Jangan dilaporkan dahulu kepada Ki Jagabaya apalagi kepada Ki Demang" "Kenapa?" bertanya anak muda itu "bukankah itu menjadi kewajiban Ki Jagabaya?" "Jika kita masih mempunyai jalan untuk menyelesaikan, biarlah kita selesaikan sendiri" Anak-Anak muda itupun terdiam. "Sekarang, marilah kita pulang" berkata Wiyatsih kemudian "aku harap, agar persoalan ini tidak berkembang sehingga tidak menimbulkan kegelisahan dihati anak-anak muda yang lain. Biarlah kita bekerja seperti yang kita rencanakan. Bendungan ini harus terwujud. Parit-parit harus mengalir dan jalur-jalurnya harus sampai kedaerah yang paling ujung dari Kademangan ini. Akan lebih baik lagi jika kita membuang kelebihan air kedaerah persawahan di Kademangan tetangga. Mereka pasti akan berterima kasih kepada kita" Kesambipun kemudian menyahut "Baiklah. Marilah kita pulang. Kita sediakan alat-alat yang besok akan kita bawa. Cangkul, linggis, ganden kayu yang besar untuk menancapkan patok kayu dan tampar sebanyak-bayaknya" Demikianlah, maka anak-anak muda yang masih tinggal dipinggir Kali Kuning itupun kemudian, meninggalkan
852 brunjung-brunjung mereka yang masih teronggok disamping gundukan batu-batu dan bambu. Namun dihati mereka masih saja selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Apakah kerja mereka itu nanti tidak akan siasia. Jika orang yang mendendam kepada Pikatan itu benarbenar akan melepaskan kekesalan mereka kepada bendungan itu, maka sudah tentu anak-anak muda Sambi Sari tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi Wiyatsih sendiri yang mengetahui bahwa orang-orang itu tentu tidak hanya berdua saja. Mereka tentu mempunyai kawan untuk melindungi mereka, jika orang-orang Sambi Sari siap membantu Pikatan. Dalam kegelapan hati, Wiyatsih hanya dapat menunggu malam yang bakal datang. Ia akan dapat mengatakan kesulitannya kepada Puranti atau kepada Kiai Pucang Tunggal yang masih saja selalu mengunjunginya. Dan malam itu, Wiyatsih menunggu mereka dikebun belakang seperti biasanya dengan hati yang gelisah. Yang datang malam itu ternyata bukan saja Puranti atau Kiai Pucang Tunggal. Tetapi ternyata bahwa kedua-duanya telah datang bersama-sama. "O, kau juga datang Puranti?" bertanya Wiyatsih "Ya. Aku memang ingin datang hari ini. Dan aku singgah sejenak ditempat ayah bersembunyi" Wiyatsih mengerutkan keningnya. "Aku masih tetap berada di Cangkring Wiyatsih dan ayah bersembunyi berpindah-pindah seperti yang pernah diceriterakannya" "Di hujan lebat, apakah Kiai juga berada di Alas Sambirata atau dibulak terbuka atau di pategalan?" "Bukankah disawah-sawah banyak gubug yang dapat memberikan perlindungan kepadaku Wiyatsih" Jika tidak, aku dapat bersembunyi di teritisan banjar atau di gardu-gardu
853 perondan yang sepi. Ya. Aku memang hidup seperti kelelawar. Tetapi jangan kau hiraukan. Aku sudah terlalu biasa hidup seperti itu. Sejak aku masih kanak-kanak aku memang selalu bertualang. Namun aku memang harus membatasi diri. Jika Puranti sudah berhenti bertualang, akupun akan berhenti. Aku akan menikmati hari tuaku dipadepokan yang sepi di Pucang Tunggal" "Ah" Purantilah yang kemudian berdesah "padahal aku tidak akan berhenti bertualang" "Jika demikian, akupun tidak" sahut Kiai Pucang Tunggal sambil tersenyum. Wiyatsihpun tersenyum pula. Katanya "Puranti, kau harus ingat, bahwa Kiai Pucang Tunggal yang menjadi semakin tua. Pada saatnya memang Kiai Pucang Tunggal harus beristirahat" "Jika ayah mau, ayah dapat beristirahat setiap saat" "Tetapi hati seorang tua Puranti" sahut Kiai Pucang Tunggal "sebelum anaknya menemukan kepastian buat masa depannya, rasa-rasanya masih belum juga puas hati ini" "Ah, sudahlah ayah" Puranti bersungut. Tetapi ayahnya dan Wiyatsih masih saja tersenyum. "Sekarang, biarlah kita berbicara tentang Wiyatsih. Bagaimana dengani kau Wiyatsih" Puranti membelokkan persoalan dari dirinya. Wiyatsih masih saja tersenyum. Namun ia menjawab "Besok kita akan mulai dengan menurunkan brunjungbrunjung setelah diisi dengan batu" "Bagus. Hujan hampir reda sama sekali. Langit menjadi terang. Dan arus Kali Kuningpun sudah mulai surut" "Ya. Kali Kuning tidak lagi banjir"
854 "Sebenarnya aku ingin melihat. Tetapi aku tidak mempunyai cara yang baik. Mungkin dari kejauhan, itupun akan memancing kecurigaan" "Apakah kau mau tinggal disini" Bukankah kakang Pikatan sudah mengetahui bahwa kau ada disekitar daerah ini dan bahkan pernah tinggal dirumah ini meskipun hanya untuk waktu yang sangai pendek" Puranti menggeleng, katanya " Aku tidak dapat tinggal di rumah seorang yang sangat sombong" "Puranti !" potong ayahnya. Wiyatsihpun mengerutkah keningnya. Ia tahu benar bahwa yang dimaksud adalah Pikatan. Dan iapun mengerti, jika Puranti ada dirumah itu, kemungkinan perselisihan memang sulit dihidarkan meskipun Wiyatsihpun mengetahui, bahwa didalam diri masing-masing sebenarnya terpercik perasaan yang paling halus mengikat hati mereka berdua. Tetapi mereka dibatasi oleh harga diri masing-masing sehingga keduanya tidak mau melihat dan mengakui perasaan yang sebenarnya telah berkembang itu. "O" Wiyatsih menyahut "memang sebaiknya Puranti tidak mendekati bendungan itu untuk sementara" "Kenapa?" bertanya Kiai Pucang Tunggal. Wiyatsihpun kemudian menceriterakan kedatangan kedua orang yang mengancam akan merusak bendungan itu jika nanti disaat purnama naik Pikatan tidak juga mau datang. Puranti dan Kiai Pucang Tunggal mendengarkannya dengan saksama. Dengan gelisah Purantipun kemudian berkata "Ayah, bukankah hal itu harus dicegah?" Kiai Pucang Tunggal mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Tentu. Hal itu harus dicegah. Adalah kewajiban kita bersama untuk mencegahnya"
855 "Disaat purnama naik aku akan hadir di Bendungan" Berkata Puranti "Jika Pikatan tidak mau datang, aku akan mencegahnya" "Kita akan datang ke bendungan disaat Purnama naik" berkata Kiai Pucang Tunggal, lalu "tetapi kita tidak boleh berbuat dengan tergesa-gesa. Kita harus membuat perhitungan menurut pertimbangan dari segala segi" Puranti menundukkan kepalanya. Dan Wiyatsih berkata "Kita mengharapkan perlindungan Kiai Jika tidak, aku akan terpaksa berbuat sesuatu. Aku tidak akan merelakan bendungan itu hancur. Aku tidak tahu, apakah aku mampu melawan Hantu Bertangan Api itu" "Memang masih merupakan teka-teki Wiyatsih" sahut Kiai Pucang Tunggal "aku belum yakin bahwa kau mampu melawannya. Apalagi kau seorang diri" "Aku mengharap kedua penjaga regol itu akan membantuku. Mereka sangat baik terhadapku. Juga anakanak Sambi Sari dapat mencegah orang-orang lain ikut mencampuri persoalan ini" "Sekali lagi aku memperingatkan kau Wiyatsih. Jangan tergesa-gesa bertindak, Berusahalah agar Pikatan datang di saat Purnama naik. Jika tidak, aku dan Puranti akan mengamati kalian. Seandainya kau terpaksa menyelamatkan bendunganmu dengan kekerasan, sudah tentu kami tidak akan tinggal diam" "Tetapi Hantu bertangani api itu tidak hanya berdua" "Ya. Kami mengerti. Persiapkan kedua penjaga regol rumah. Beritahukan kemungkinan yang bakal terjadi. Seandainya Pikatan datangpun, kita harus menyelamatkan bendungan itu dari orang-orangnya yang lain. Sebab tidak mustahil jika Pikatan menang, maka orang-orangnya akan berbuat licik" Wiyatsih mengangguk-angggukkan kepalanya.
856 "Kita masih mempunyai waktu menjelang purnama" "Aku akan mempergunakan waktu yang pendek ini untuk menyesuaikan diriku jika perlu. Dimalam hari aku akan berlatih sebaik-baiknya" desis Wiyatsih kemudian "jika kau bersedia Puranti, ajarilah aku agar jika perlu aku tidak akan mati siasia. Aku harus dapat memberikan perlawanan sebaik-baiknya meskipun seandainya aku harus kalah" "Jangan berkata begitu. Meskipun sikap hati-hati itu sangat baik, tetapi jangan mengarah kepada putus asa" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Aku akan datang setiap malam Wiyatsih, bersama ayah. Tetapi kita tidak akan berlatih disini. Kita akan mencari tempat yang lebih baik, dan sudah barang tentu tidak ditempat Pikatan berlatih" "Terima kasih. Waktu yang sedikit ini harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. "Nah apakah kau sekarang juga akan memanfaatkan waktu untuk berlatih?" bertanya Puranti "Tentu" "Apakah kau bersedia pergi malam ini?" "Tentu. Aku akan minta diri kepada ibu, karena akhir-akhir ini ibu selalu gelisah, justru karena bendungan itu siap untuk dimulai. Juga karena masa panenan ini, lumbung kami menjadi penuh. Ibu kadang-kadang dicemaskan oleh penjahat-penjahat yang sering berkeliaran didaerah ini. Apalagi rumah kami telah pernah disentuh oleh penjahatpenjahat itu pula" "Baiklah Wiyatsih. Aku menunggumu disini" Wiyatsihpun kemudian minta diri kepada ibunya. Tetapi ia tidak mengatakan keperluannya. Ia hanya mengatakan bahwa ia akan pergi ke Banjar"
857 "Aku takut dirumah. Kakakmu tidak mau berbuat apa-apa jika tidak terpaksa sekali" "Dua orang penjaga itu akan berbuat sebaik-baiknya" "Tetapi jika yang datang penjahat-penjahat seperti yang terbunuh itu, atau kawan-kawannya yang mendendam?" Wiyatsih tersenyum, katanya "Tidak ibu. Akupun tidak akan pergi terlalu lama" "Kenapa kau tidak pergi besok saja?" "Ada yang penting yang harus kami bicarakan bersama kawan-kawan ibu" "Kau pergi seorang diri?" Wiyatsih mengangguk. Dan sambil tersenyum ia minta diri "Sudahlah ibu. Aku akan segera kembali" Ibunya masih ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian menganggukkan kepalanya. "Tetapi hati-hatilah dan cepat kembali" Demikianlah Wiyatsihpun kemudian meninggalkan rumahnya bersama Kiai Pucang Tunggal dan Puranti. Mereka pergi ke tempat yang sepi dan mulai berlatih dengan sungguhsungguh. Terutama Wiyatsih. "Jika kakang Pikatan tidak mau turun kebendungan yang sedang dibuat itu nanti saat Purnama naik, akulah yang akan menggantinkannya" kata Wiyatsih Puranti tidak menjawab. Tetapi ia sendiripun ingin mengganiikan Pikatan. Apalagi menurut penilaian Kiai Pucang Tunggal, Wiyatsih masih meragukan. Jika ia harus bertempur melawan Hantu Bertangan Api itu, maka ia masih akan menjumpai banyak kesulitan. Sedang Pikatanpun masih menghadapi kemungkinan yang sama dengan Hantu Bertangan Api itu. Mungkin ia akan menang, tetapi mungkin pula ia akan kalah.
858 Namun Wiyatsih yang berhati keras sekeras hati Pikatan itupun berlatih dengan sungguh-sungguh. Waktu yang singkat menjelang purnama naik harus membentuknya menjadi seorang yang lebih baik. Yang setidak-tidaknya akan dapat mengimbangi Hantu Bertangan Api itu. Ternyata Wiyatsih tidak lagi mengingat akan waktu yang dijanjikan kepada ibunya. Demikian asyiknya ia berlatih, sehingga ia tidak sadar, bahwa tengah malam telah lampau. "Wiyatsih" berkata Kiai Pucang Tunggal kemudian "apa kali kau akan berlatih semalam suntuk?" Wiyatsih menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bintangbintang sudah jauh bergeser ke Barat. "Apakah sudah tengah malam?" "Sudah lewat" jawab Kiai Pucang Tunggal. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ibu sudah menunggu. Baiklah aku pulang Kiai" "Marilah" sahut Puranti "aku antar kau sampai kepintu butulan" "Kita mungkin akan bertemu dengan kakang Pikatan" jawab Wiyatsih "ditengah malam ia biasanya keluar dari rumah" "Aku sudah tahu pasti, jalan manakah yang dilaluinya "berkata Kiai Pucang Tunggal kemudian. Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. "Marilah" ajak Puranti kemudian Sekali lagi Wiyatsih mengangguk, dan merekapun kemudian berjalan menyelusur jalan setapak dan memasuki pedukuhan yang lengang tengah malam. Wiyatsih memasuki halaman rumahnya seorang diri. Dilihatnya penjaga rumahnya yang seorang duduk ditengah-
859 tengah pendapa sambil berkerudung kain panjangnya, sedang kawannya tertidur bersandar tiang. "Wiyatsih" penjaga itu menyapanya ketika ia melihat Wiyatsih perlahan-lahan mendorong pintu regol, dan kemudian melangkah mendekati tangga pendapa "Dari mana kau lewat tengah malam begini?" Wiyatsih tersenyum sambil menjawab "Aku baru datang dari banjar" "Dari banjar" Ada apa di banjar malam ini?" "Kami berbicara tentang bendungan. Besok akan mulai. Karena itu malam ini kami mengadakan beberapa pembicaraan penting" "Dan gadis-gadis juga ikut berbicara?" Wiyatsih ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya "Tidak. Hanya aku saja" Penjaga itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Adalah sangat berbahaya, maksudku tidak pantas bahwa gadis-gadis berada dibanjar sampai jauh malam. Apalagi kemudian pulang seorang diri Tetapi lebih tidak pantas lagi jika seorang anak muda mengantarkannya tanpa orang lain. Dimalam hari banyak hantu berkeliaran. Jika anak muda yang mengantarkan itu dirasuki setan atau iblis, maka akibatnya adalah penyesalan yang tidak ada habisnya, dan bendungan itupun akan ternoda pula karenanya. "Jangan cemas. Tidak ada gadis yang ikut dalam pembicaraan itu, selain aku. Dan akupun pulang seorang diri tanpa diantar siapapun" "Aku percaya. Bahkan seandainya ada seseorang mengantar sakalipun, tidak akan terjadi bencana itu atasmu. Kecuali jika kau justru yang dirasuki setan"
860 "Ah kau. Bukankah aku sadar akan kewajibanku atas kampung halaman" Dan bukankah dengan demikian aku tidak akan menodai bendungan itu?" "Aku percaya, aku percaya. Karena itu, jika kau sajalah yang hadir dari antara sekian banyak gadis-gadis, tentu tidak akan ada yang berkeberatan" Wiyatsih tersenyum pula, lalu "Apakah ibu sudah tidur?" "Aku kira belum. Belum lama ibumu keluar dan bertanya tentang kau" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Ternyata ibunya pasti menjadi sangat gelisah, karena ia masih belum pulang sampai lewat tengah malam. "Bukankah tidak terjadi sesuatu dirumah ini?" bertanya Wiyatsih kemudian. Penjaga itu menggelengkan kepalanya"Tidak. Tidak ada apa-apa, selain orang itu mendekur keras-keras" Wiyatsih memandang penjaga yang lain yang bersandar tiang. Tetapi ternyata ia sudah terbangun mendengar pembicaraan itu dan menyahut "Ketika ibumu keluar, akulah yang sedang berjaga Wiyatsih. Orang itulah yang sedang mendekur keras sekali" Wiyatsih tertawa pendek. Lalu katanya "Hati hatilah Jangan hanya duduk saja disitu. Dibelakang, lumbung masih penuh" "Dimusim panen tidak akan ada orang yang moncuri padi. Hampir setiap orang sudah menyimpan padi di rumah. "Ada yang sudah hampir habis meskipun sawah masih, berbau jerami. Masih ada juga orang yang melakukan pemborosan didalam kesulitan ini" Penjaga itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi yang bersandar tiang itu berkata "Sudah ada yang tidur
861 didalam lumbung itu. Jika terjadi sesuatu ia akan memberikan isyarat kepada kami" "Ah kau. Kau masih juga lebih sering mendekur" Orang itu tersenyum, tetapi matanya sudah terpejam lagi. Wiyatsihpun kemudian melintasi pendapa dan mengetuk pintu depan. "Siapa?" terdengar suara ibunya. Agaknya ibunya masih duduk menunggunya. "Aku ibu" "Wiyatsih?" "Ya" Terdengar langkah mendekat, dan pintu itupun segera terbuka "Kau baru kembali?" "O" sahut Wiyatsih "aku sudah lama ada dipendapa ibu. Aku berbicara dengan para penjaga itu mengenai keadaan kini yang berangsur menjadi baik dan aman" "Apakah kau sudah lama datang?" "Sudah ibu" "Aku baru saja keluar dan bertanya kepada para penjaga, apakah kau sudah datang" "O" Wiyatsih tertegun sejenak, lalu "baru saja ibu masuk, aku datang. Tetapi aku tidak segera mengetuk pintu" Ibunya menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Wiyatsih yang kemudian masuk kedalam melihat bumbungbumbung kecil yang berisi potongan-potongan lidi berjajar diatas sehelai tikar. Bahkan masih ada beberapa potong lidi berserakan. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ibunya masih saja sibuk dengan lidi-lidi itu. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
862 "Apakah kau sudah mencuci kakimu?" bertanya ibunya. Wiyatsih menggeleng. "Bersihkan kakimu dahulu jika kau datang dari banjar. Dan tidurlah. Hari sudah larut malam, bahkan tengah malam sudah lama lampau" "Dan ibu juga belum tidur?" "Aku menunggumu. Untuk mencegah kantuk, aku sambil menghitung lidi itu" Wiyatsihpun kemudian pergi kebutulan. Ternyata pintu butulan itu sudah terbuka. Tentu Pikatan sudah keluar dari rumah itu tanpa diketahui oleh ibunya, meskipun ibunya masih duduk menghitung lidi. Setelah mencuci kaki dan tangannya Wiyatsihpun masuk kembali lewat pintu butulan itu. Tetapi ia tidak mau menyelarak pintu itu, agar kakaknya tidak menemui kesulitan apabila ia datang pagi-pagi sebelum isi rumah itu terbangun, meskipun kadang-kadang ia datang setelah fajar dan pintu itu memang sudah dibukanya. Namun hampir setiap hari Wiyatsih pulalah yang membuka pintu itu, dan ia tidak pernah mempersoalkannya kepada pintu itu tidak diselarak. Meskipun pernah pada suatu pagi ibunyalah yang menemukan pintu itu terbuka dan menyangka bahwa isi rumah ini lupa menyelarakanya. Untunglah bahwa sejenak kemudian ia mendengar suara gerit timba dan dilihatnya dari longkagan Pikatan sedang mengambil air untuk mencuci kakinya. Disangkanya bahwa Pikatanlah yang baru saja keluar ke pakiwan. Ketika ia sampai diruang tengah, ibunya sudah berdiri dimuka pintu bilik sambil berkata "Tidurlah. Kau dapat menjadi sakit jika bangun terlampau malam" "Baik ibu" sahut Wiyatsih sambil masuk kedalam biliknya pula.
863 Sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi. Agaknya ibunya telah tertidur. Dan Pikatan tidak ada didalam biliknya. Namun ternyata bahwa Wiyatsih tidak segera dapat tidur. Ia terlena menjelang fajar sejenak. Tetapi tidak lama, karena iapun segera terbangun ketika ia mendengar dari pintu bilik Pikatan terbuka. Dan ternyata fajar telah mewarnai langit. "Aku harus segera bersiap. Pagi ini kami akan mului dengan bendungan itu" Dengan demikian, setelah menunggu sejenak, Wiyatsihpun segera bangkit dan melangkah keluar. Ternyata langit diujung Timur telah menjadi semburat merah, dan bintang-bintang sudah mulai pudar. Wiyatsihpun kemudian dengan, tergesa-gesa pergi ke pakiwan Dilakukannya segala kewajibannya. Seperti biasa iapun membantu mereka yang bekerja didapur. Baru ketika semua pekerjaan dirumah selesai, Wiyatsih berkemas untuk pergi ke Kali Kuning. "Kau akan pergi kemana Wiyatsih?" bertanya ibunya yang telah terbangun pula. "Kali Kuning ibu" "Sepagi ini?" "Ya bu, kawan-kawan akan mulai hari ini dengan bendungannya. Aku harus ikut bersama mereka" Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Jadi kalian benar-benar akan membuat bendungan?" "Bukankah ibu sudah melihatnya" Parit-parit yang tergali menusuk tanah-tanah kering dipersawahan dan pategalan. Sebentar lagi sebelum musim hujan yang akan datang, paritparit itu pasti sudah akan dapat mengalirkan air. Mula-mula parit-parit yang besar yang langsung mendapatkan airnya dari
864 susukan induk. Barulah kita dapat mengatur pembagian air sebaik-baiknya" Ibunya niengangguk-angguk. Tetapi wajahnya menjadi buram. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Dan tanpa berbicara sepatah katapun, maka iapun segera meninggalkan anaknya yang sudah siap untuk berangkat. Wiytasih memandang ibunya dengan dada yang berdebardebar. Ia mengerti bahwa bendungan, parit-parit yang akan mengalir itu, akan membuatnya kehilangan mata pencaharian. "Tetapi bukankah ibu masih mempunyai sawah yang cukup untuk hidup kami?" Wiyatsih bertanya kepada diri sendiri. "Kasian ibu" ia berguman "tetapi apaboleh buat, Mudahmudahan ibu memaafkan aku" Sejenak kemudian maka dengan perasaan yang buram Wiyatsih pergi dengan tergesa-gesa kebendungan. Sekali-kali ia teringat juga kepada ibunya. Kemudian kepada wajah orang-orang kaya yang tentu akan menjadi tegang pula. "Apaboleh buat, apaboleh buat" katanya didalam hati. Ketika Wiyatsih sampai ketanggul, langit sudah menjadi semakin cerah Dilihatnya beberapa orang anak muda justru telah mendahuluinya. Bahkan beberapa diantara mereka telah turun kedalam air meskipun mereka belum berbuat apa-apa. Dengan tergesa-gesa Wiyatsih turun pula ketepian. Ia ingin segera mengetahui akibat dari kedatangan Hantu Bertangan Api kemarin. Namun ternyata anak-anak muda yang kemarin melihat kedatangan Hantu itu menepati pesannya. Mereka tidak menyebarkan ceritera tentang kedatangan orang yang mengandung rahasia itu. Meskipun ada juga yang berceritera, tetapi ceritera itu tidak dimaksudkan untuk menakuti-nakuti kawan-kawannya. Namun demikian ada juga diantara mereka yang membicarakan sambil berbisik.
865 Sejenak kemudian, maka anak-anak muda Sambi Sari itupun mulai berdatangan. Kesambipun segera datang pula, bersama dengan anak-anak muda yang lain. Ketika anak-anak muda itu sudah berkumpul, maka mulailah mereka menempatkan diri mereka pada kelompokkelompok yang sudah mereka susun sebelumnya. Dan sejenak kemudian, merekapun segera mulai dengan kerja mereka yang besar itu. Membuat bendungan. Anak-anak muda yang telah dibekali dengan tekad itu tidak memerlukan perintah-perintah lagi untuk melecut kerja mereka Dengan kesadaran didalam diri, mereka bekerja dengan sepenuh tenaga. Sebagian mengisi brunjung-brunjung bambu itu dengan batu-batu, sementara kelompok yang lain menanam patok-patok pada dasar sungai yang berpasir dan berbatu-batu. Sedang kelompok yang lain lagi sibuk membelokkan air Kali Kuning lewat sebuah selokan darurat dibawah tebing batu padas agar mereka dapat membuat bendungan dengan lebih mudah dan lebih baik. Apabila kelak bendungan itu sudah selesai, maka tebing itu akan dirontokkan sehingga saluran darurat itupun akan tertutup karenanya. Demikianlah pada hari yang pertama itu, terasa gelora tekad. anak-anak muda Sambi Sari menyala disetiap dada. Mereka tidak menghiraukan terik matahari yang membakar tubuh mereka karena awan yang kelabu sudah dihanyutkain angin ke Utara. Apabila sebuah brunjung telah penuh diisi dengan batubatu maka brunjung itupun kemudian diseret oleh beberapa orang anak muda kebibir sungai. Kemudian dengan hati-hati mereka meluncurkan brunjung itu, agar batu-batu yang ada didalamnya tidak berserakatan apabila brunjung itu pecah. Sementara itu yang lain telah menanam patok-patok untuk menahan brunjung-brunjung itu, karena jika air Kali Kuning
866 menjadi agak besar, brunjung-brunjung itu akan dapat terdorong dan tidak lagi berada ditempat yang seharusnya. Dalam pada itu, selagi anak muda bekerja dengan sepenuh hati, gadis-gadis mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang merebus air, ada yang menanak nasi dan ada pula yang membuat lauk pauknya. Mereka mengerjakannya disebuah gubug yang telah dibuat khusus untuk dijadikan sebuah dapur. Dihari pertama itu, ternyata Ki Demang Sambi Saripun memerlukan datang. Dengan bangga ia melihat, anak-anaknya bekerja dengan sepenuh kemauan untuk kepentingan Kademangannya. Jika air itu nanti benar-benar naik, Sambi Sari bukan lagi sebuah Kademangan yang kering kerontang dimusim kemarau. Tetapi Kademangan Sambi Sari akan menjadi daerah yang hijau dimusim kering. Parit-parit akan tetap mengalir dari sawah-sawah akan dapat ditanami dengan padi dua kali setahun. Diseling oleh tanaman palawija karena air tetap membasahi tanah yang menjadi subur. Namun Ki Demangpun sadar, bahwa ada orang-orang yang tidak senang melihat bendungan itu. Ada orang yang merasa pekerjaannva terganggu. Orang yang memiliki tahah yang berlebihan dan memerlukan tenaga murah. Jika setiap orang akan bekerja disawah sendiri disegala musim, maka yang memiliki sawah yang subur dipinggir sungai dan parit-parit yang sudah ada turun temurun akan kehilangan tenaga. Terlebih-lebih lagi, para petani tidak akan memerlukan lagi meminjam padi dan beras dimusim paceklik yang panjang dengan bunga yang berlebih-lebihan. Dengan demikiam Ki Demang harus dapat menguasai keadaan dan tetap memelihara keseimbangan, sehingga perubahan keadaan itu tidak menimbulkan goncangangoncangan. Tetapi jika ada orang-orang kaya yang berusaha menghalang-halangi pembuatan bendungan yang akan sangat
867 bermanfaat bagi para petani itu, Ki Demang tentu akan ikut campur pula Tetapi Ki Demang sama sekali belum mendengar, bahwa ada pihak lain yang mengancam akan merusak bendungan itu jika ia tidak berhasil menemukan Pikatan. Orang yang sebetulnya justru tidak mempunyai sangkut paut dengan bendungan itu. Tetapi agaknya ia berusaha mempergunakan bendungan itu untuk memaksa Pikatan, agar ia bersedia menemuinya dan membuat perhitungan atas dendam yang disimpannya sejak kekalahannya di goa Pabelan. Demikianlah maka semakin tinggi matahari, maka kerja itupun menjadi semakin riuh. Ketika keringat telah membasahi panggung dan tangan, anak-anak muda Sambi Sari seakanakan tidak lagi merasa bahwa kerja yang mereka lakukan adalah kerja yang berat. Dengan irama yang mereka teriakkan bersama-sama, maka mereka menarik brunjung-brunjung yang telah terisi dengan batu, setapak demi setapak kebibir sungai dan kemudian perlahan-lahan dengan tali-tali yang kuat, brunjung-brunjung itupun diturunkan kedalam air Tetapi Kali Kuning cukup luas dan dalam. Kerja yang akan mereka lakukan bukan kerja sehari dua hari. Tetapi kerja mereka akan makan waktu yang panjang. Dari bulan yang satu kebulan yang lain. Bahkan apabila bendungan, itu nanti menjadi semakin tinggi, maka sebagian dari anak-anak muda itu masih harus melanjutkan mengerjakan parit-parit sesuai dengan rencana. Membuat bendungan-bendungan kecil pada parit induk dan memperhitungkan pembagian air sebaikbaiknya bagi setiap padukuhan. Dan anak muda Sambi Sari itupun sadar, bahwa dengan sebuah bendungan yang baik, maka kehidupan rakyatnya pasti akan mengalami perubahan. Sedangkan Kademangankademangan yang lain akan melihat manfaat dari bendungan semacam itu, dan tentu akan menggerak-kan hati anak-anak mudanya untuk melakukan pekerjaan yang sama.
868 Lewat tengah hari anak-anak muda itupun beristirahat sejenak . Gadis-gadis telah menyediakan makan dan minuman. Beras yang baru saja mereka petik dari sawah dan lauk pauk yang basah membuat tubuh mereka menjadi segar kembali. Ki Demang yang dengan. bangga melihat pembuatan bendungan itu, dengan senang hati ikut makan bersama dengan Anak-Anak muda Sambi Sari. Meskipun sayur dan lauk yang ada jauh lebih sederhana dari yang disediakan dirumahnya, tetapi rasa-rasanya Ki Demang sedang menikmati suguhan yang luar biasa nikmatnya. Apalagi dimakan bersama-sama dengan anak muda dengan alas selembar daun pisang. Dan bagi anak muda yang lainpun merasa, bahwa apa yang sedang mereka makan bersama-sama itu jauh lebih enak dari daging ingkung ayam yang dimasak lembaran pada hari-hari merti desa di banjar Kademangan. Daun kangkung dan lembayung yang dipetik di pematang dan pinggir Kali Kuning, sambal kelapa muda yang pedas, semakin memeras keringat anak-anak muda itu dari tubuh mereka, apalagi nasi yang masih mengepulkan asap yang putih. Semuanya itu membuat mereka semakin bergairah, untuk melanjutkan kerja mereka. Setelah mereka selesai dengan makan dan minum, maka merekapun beristirahat pula sejenak. Ada yang berbaring diatas pasir, ada pula yang sekedar berjalan-jalan sambil melihat-lihat hasil mereka, dan ada yang duduk dibawah tebing sambil bereaka-cakap. Tetapi ada juga yang duduk disudut dapur yang mereka buat itu sambil memandangi gadis-gadis yang sedang sibuk membersihkan alat-alat mereka. Bahkan ada juga satu dua orang yang sempat bercanda dengan gadis-gadis itu. Namun karena gadis-gadis itu sedang sibuk, maka merekapun akhirnya hanya sekedar memandanginya saja sambil bekerja tersenyum-senyum.
869 Demikianlah yang terjadi setiap hari. Ternyata anak-anak muda Sambi Sari tidak hanya sekedar siap untuk memulai. Tetapi mereka benar-benar telah siap untuk bekerja seterusnya. Apalagi musim hujan seakan-akan telah habis. Mereka tidak lagi diganggu oleh kerja disawah yang mereka tanami dengan palawija yang sudah tumbuh semakin besar. Titik air hujan yang masih kadang-kadang turun, masih sanggup membasahi tanah pategalan dan sawah mereka untuk menghidupi palawija yang tidak banyak menghasilkan itu, namun merupakan tambahan bahan makanan yang dapat membantu menyambung hidup rakyat Sambi Sari. Dan Rakyat Sambi Sari itu tinggal menunggu saja saatnya palawija mereka berbuah. Kerja kecil disawah ternyata dapat dilakukan oleh orang-orang tua dan perempuan, sedang anak-anak mudanya dapat mencurahkan kerja mereka di Kali Kuning. Dalam pada itu, semakin jauh kerja yang dilakukan anakanak muda Sambi Sari itu, Wiyatsih menjadi semakin berdebar-debar. Jika pada saat purnama naik Pikatan tidak bersedia datang kebendungan, maka persoalannya akan menjadi sangal gawat. Tetapi jika Pikatan datang juga kebendungan, maka ia akan dicemaskan oleh kemungkinan yang bakal terjadi atas kakaknya itu. Kiai Pucang Tunggal masih belum dapat memberikan jaminan, bahwa Pikatan akan dapat memenangkan perkelahian jika itu harus terjadi. Yang terbayang didalam angan-angan Wiyatsih, adalah kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi. Apakah yang dapat dilakukan, seandainya ia terpaksa melihat kakaknya satu-satunya itu terkapar ditepian berlumuran darah". Jika Wiyatsih duduk sendiri didalam biliknya disore hari, kadang-kadang diluar sadarnya, matanya menjadi basah. Dan bahkan kadang-kadang ia mengeluh "Kenapa aku harus memilih. Bendungan itu atau kakang Pikatan?"
870 Tetapi kadang-kadang ia menegakkan kepalanya sambil bergumam "Kakang Pikatan telah menguasai ilmu puncak perguruan Pucang Tunggal. Tentu Hantu Bertangan Api itu tidak akan dapat mengalahkannya" Namun setiap kali Wiyatsih masih harus menarik nafas dalam-dalam. Jika terjadi perang tanding, tentu Pikatan tidak mau dibantu oleh siapapun juga meskipun itu akan berakibat mati. Apalagi dibantu oleh seorang gadis, meskipun gadis itu adalah dirinya, adiknya. Bahkan ia tentu menolak bantuan gurunya sendiri. Masalah itulah yang membebani perasaan Wiyatsih setiap kali, sehingga kadang-kadang tanpa dikehendakinya sendiri, ia duduk saja merenung memandang kekejauhan. Bahkan selagi ia berada diantara kawan-kawannya yang sedang bekerja di pinggir Kali Kuning. "He, kau melamun" berkata seorang gadis sambil menggamitnya "apakah anak muda itu tidak datang hari ini?" Wiyatsih terkejut. Tetapi iapun segera berusaha tersenyum "Siapa yang tidak datang?" Gadis itu tertawa nakal sekali. Tetapi ia tidak menjawab. "Ah, ada-ada saja kau ini" sahut Wiyatsih kemudian. Gadis itu tertawa. Beberapa orang yang mendengarnya tertawa juga. Namun seseorang menjawabnya dari sebelah perapian "Aku sudah melihatnya. Ia berada dibawah. Diantara anakanak muda yang mengatur brunjung-brunjung" "Ah" Wiyatsih berdesah dan pipinya menjadi semburat merah. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Dan iapun kemudian meneggelamkan diri didalam kerja sama dengan kawankawannya.
871 Dada Wiyatsih berdesir tajam apabila seorang kawannya yang kebetulan, melihat kedatangan Hantu Bertangan Api itu bertanya kepadanya "Bagaimana dengan Pikatan, Wiyatsih" Apakah ia bersedia datang dimalam purnama itu?" Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang kekejauhan ia menjawab "Aku sedang berusaha meyakinkan. Tetapi jika ia datang, ia telah ditunggu oleh bencana ditepian Kali Kuning" Anak muda yang bertanya kepada gadis itupun tidak mendesak lagi. Iapun mengerti, bahwa Wiyatsih sedang dibingungkan oleh keadaan itu. Namun demikian, jika Pikatan berkeberatan, apakah bendungan yang mereka kerjakan dengan susah payah dengan merampas segala tenaga dan waktu itu akan mereka korbankan hanya karena Pikatan itu tidak datang memehuhi tantangan orang yang mendendamnya" Sedang persoalan antara Pikatan dan orang itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan bendungan ini" Tetapi sebagai kawan-kawannya dimasa lampau apakah mereka akan membenarkan rencana itu terjadi atas Pikatan". Ternyata diantara Anak-Anak muda Sambi Sari yang mengetahui persoalan itu, hal itupun menjadi bahan pembicaraan. Bahkan semakin lama menjadi semakin luas, meskipun setiap kali Kesambi berusaha membatasi persoalannya agar hal itu tidak menumbuhkan kekecewaan yang dapat melemahkan kerja anak-anak muda. Sambi Sari. Namun sejalan dengan pembicaraan yang semakin meluas, akhirnya beberapa orang dari lingkungan mereka yang tidak senang melihat lahirnya sebuah bendungan itupun mendengarnya pula, beberapa orang kaya yang biasa meminjamkan uangnya dengan bunga yang tinggi itupun dengan diam-diam berunding diantara mereka. "Bendungan itu harus gagal" berkata salah seorang dari mereka.
872 "Jadi, apakah yang dapat kita lakukan" Anak muda itu mendapat perlindungan dari Ki Demang dan Ki Jagabaya. Apalagi mereka agaknya telah bertekad bulat, sehingga uang kita tidak akan dapat mencegah niat mereka itu. Satu dua orang anak muda yang berpendirian lain, sudah aku coba, tetapi gagal" "Bagaimana dengan Tanjung?" bertanya salah seorang dari mereka. "Aku tidak berani mempercayainya. Ia adalah kepercayaan Nyai Sudati. Sedang anak gadis orang itulah yang memimpin pembuatan bendungan meskipun tampaknya Kesambilah yang melakukannya" Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seorang yang lain berkata "Biarlah kali ini kita tidak membawanya serta. Tetapi aku yakin bahwa ia sependapat dengan kita. Jika kita berhasil, maka akan dapat memungut biaya atas usaha kita ini dari padanya, dan aku yakin ia tidak akan menolak" "Tetapi apakah yang dapat kita usahakan?" "Merusak bendungan itu" "Ah, mana mungkin. Bendungan itu dikerjakan setiap hari?"Dimalam hari bukankah kita mendengar ceritera tentang orang yang tidak dikenal yang akan merusak bendungan itu meskipun alasannya berbeda?" "Ya. Tetapi sesudah purnama naik" "Ah, itu tidak perlu. Tetapi setiap orang mendengar bahwa ada orang yang ingin merusak bendungan itu. Sebagian dari anak-anak muda Sambi Sari memang percaya, bahwa hal itu baru akan di lakukan sesudah purnama naik, sehingga jika mereka merasa perlu, baru sesudah purnama naik bendungan itu akan dijaga. Bahkan mungkin anak-anak muda itu akan tidur ditepian. Tetapi kini bendungan itu belum dijaga"
873 "Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" "Kita mengupah beberapa orang yang berani dan mempunyai kemampuan yang cukup. Kita suruh mereka merusak bendungan itu. Sebagian kecil saja. Tetapi hal itu pasti sudah menurunkan tekad anak-anak muda Sambi Sari" "Siapakah yang akan kita upah" "Kita menghubungi seorang penjahat. Daripada mereka pergi merampok, lebih baik mereka merusak bendungan" "Ah" "Aku dapat menghubungi salah seorang dari mereka yang mungkin dapat melakukan" "Dimana?" "Bukankah dipadukuhan sebelah ada orang yang bernama Ja Betet" "Mengerikan" "Ya. Ja Betet" sahut yang lain "tetapi ia sekarang sudah tua dan tidak berbuat apa-apa lagi. Badannya telah remuk karena petualangannya" "Belum. Tetapi benar ia sudah menghentikan pekerjaan itu. Meskipun demikian ia pasti masih sanggup mencari tiga atau empat orang yang kuat. Dan anak-anak Sambi Sari tentu akan melemparkan kesalahan kepada orang yang mengancam merusak bendungan itu" "Tetapi purnama belum naik" "Ah, mereka tidak akan sempat mencari kesalahan pada orang lain. Mereka pasti akan segera menuduh orang-orang itu" Beberapa orang-orang kaya itu mengangguk-anggukan kepalanya. Salah seorang berkata "Terserah kepadamu. Aku
874 akan membayar bagian biaya yang dibebankan kepadaku untuk mengupah orang-orang itu atau apapun juga yang lain" "Bagus, Kita akan melakukannya. Kita kehilangan sedikit uang, tetapi selanjutnya kita akan tetap dapat memeras mereka" Dan hal itupun kemudian menjadi keputusan mereka. Mereka akan mengupah beberapa orang untuk merusak bendungan. Hal itu tentu akan menurunkan gairah anak-anak muda Sambi Sari. Apa lagi apabila benar-benar sesudah purnama naik ada pihak lain yang akan merusak bendungan itu pula. Niat mereka yang betapapun kerasnya itupun pasti akan patah, sehingga rencana pembuatan bendungan itu akan urung. Demikianlah maka salah seorang dari orang-orang itu dengan diam-diam telah menghubungi seorang yang mereka sebut Ja Betet, karena hidung orang itu melengkung seperti burung betet. Orang yang dikenal sebagai seorang bekas perampok yang menakutkan, yang oleh beberapa orang dianggap bahwa dalam keadaan yang mendesak ia pasti masih akan melakukannya. Bahkan dimusim paceklik yang lalu, ia pasti merupakan salah seorang dari perampokperampok yang berkeliaran. Ternyata bahwa niat dari pembicaraan mereka itu terwujud. Ja Betet menyatakan kesediaannya dengan upah tertentu. la akan menghubungi lima orang kawannya untuk merusak bendungan itu. Memecah brunjung-brunjung dan memutuskan tali-tali pengikatnya. "Lakukanah segera. Nanti malam. Jangan menunggu anakanak Sambi Sari mulai menjaga bendungannya menjelang purnama naik, karena waktu yang dijanjikan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu adalah saat purnama naik" berkata orang yang menghubungi Ja Betet itu.
875 "Baiklah. Percayalah kepadaku. Aku akan melakukan dengan sebaik-baiknya. Bendungan itu akan rusak dan beberapa brunjung akan pecah dan berserakan apabila tali-tali pengikatnya putus. apalagi brunjung-brunjung itu masih belum mapan" jawab Ja Betet. "Terserahlah kepadamu" "Aku akan menghubungi kawan-kawanku sekarang. Nanti malam aku akan merusak bendungan itu" Sepeninggal orang yang menghubunginya, maka Ja Betetpun dengan tergesa-gesa menghubungi kawankawannya. Pekerjaan yang didapatnya itu adalah pekerjaan yang paling mudah yang pernah dilakukan Sekedar merusak bendungan. Dan ia akan menerima upah cukup banyak untuk enam orang. Kawan-kawannyapun senang sekali menerima tugas itu. Senjata yang harus disediakan hanyalah sekedar beberapa bilah parang dan linggis. "Tetapi" berkata salah seorang kawannya "apakah kau tidak salah dengar?" "Tentu tidak" berkata Ja Betet "Aku dengar dengan baik, kita mendapat tugas merusak bendungan itu. Hanya itu" "Aku tidak mengerti. Apakah untungnya merusak bendungan sehingga ia bersedia membayar mahal" "Kau memang bodoh" Ja Betet mencibirkan bibirnya "yang penting baginya, bendungan itu gagal. Dengan demikian tidak akan ada air yang naik, dan parit-parit tidak mengalir. Kau mengerti akibatnya" "Setan" orang itu mengangguk-angguk "ternyata mereka adalah orang yang licik. Dengan demikian mereka akan tetap dapat meribakan uangnya dan memeras tetanggatetangganya"
876 "Ternyata kau pandai juga. Tetapi kita tidak peduli. Apapun akibatnya. Yang penting kita mendapat uang. Untuk mendapat uang tanpa kesulitan, kita rusak bendungan itu. Jika kita harus merampok dan menyamun, mungkin kita masih harus berkelahi" Namun tiba-tiba salah seorang dari oramg-orang itu berkata "Lebih baik kita berkelahi. Pekerjaan ini tidak memberikan kegembiraan sama sekali. Yang memberi kepuasan kepada kita adalah, apabila kita melihat darah mengucur dari luka, dan orang yang terluka itu menggeliat menjelang kematiannya" "Ah" desis Ja Betet "Aku sudah menjadi semakin tua. Barangkali aku sudah jemu membunuh" "Macam kau" sahut yang lain "Jika suatu kali kau menyamun seorang perempuan cantik, kau selalu merasa dirimu masih muda. Kau memang gila. Kau lebih senang menyamun orangnya dari harta bendanya. Sebut, berapa orang yang sudah kau perkosa dengan cara itu?" " Ah, tentu sekarang aku tidak akan memperkosa bendungan" "Tentu kau akan memperkosanya. Merusaknya dan bahkan meughancurkannya sama sekali apabila mungkin" "Aku tidak peduli. Yang penting kita bersiap-siap. Nanti malam kita akan melakukannya. Semakin cepat semakin baik. Kita akan segera menerima upahnya" "Tetapi bagaimana jika mereka ingkar" Jika bendungan itu rusak, tetapi mereka tidak memberikan upahnya?" "Gila. Apakah orang itu sudah bernyawa rangkap" Ia tentu akan takut berbuat demikian karena ia mengenal aku" Demikianlah maka keenam orang itupun segera mempersiapkan diri. Mereka segera memutuskan dimana
877 mereka akan bertemu dan apa yang mereka bawa masingmasing. "Jika bendungan itu ditunggui oleh anak-anak muda Sambi Sari dan mencoba mempertahankannya", apaboleh buat. Menurut perjanjian, setiap orang yang harus kita lawan, mempunyai nilai upah tersendiri" "O, jika demikian kita dapat mengatakan bahwa kita telah berkelahi mati-matian melawan sejumlah anak-anak muda. Sambi Sari. Sebut saja sepuluh atau lebih, meskipun kita tidak menjumpai seorangpun" berkata kawannya yang lain. "Tetapi akhirnya akan ketahuan juga bahwa kita berbohong seandainya tidak benar-benar ada anak-anak Sambi Sari itu" "Jika demikian kita sengaja membocorkan rencana ini. Jika anak-anak Sambi Sari itu mendengar bahwa kita akan merusak bendungannya, maka mereka pasti akan bersiaga. Nah, bukankah kita benar-benar akan bertempur?" "Ada juga bahayanya. Bagaimanakah jika hal itu sampai ketelinga Ki Demang di Sambi Sari" Dan bagaimana jika yang kemudian berjaga-jaga dibendungan itu jumlahnya melampaui kemampuan kita, bahkan termasuk Ki Jagabaya?" Kawan-kawan Ja Betet itu mengangguk-angguk. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk merusak bendungan itu dengan cara yang semudah-mudahnya. Demikianlah ketika senja datang, orang-orang itupun telah berkumpul dirumah Ja Betet. Mereka sudah siap dengan parang dan alat-alat yang lain. Apabila malam mulai turun, maka mereka akan segera pergi ke bendungan. Tidak sulit melakukan pekerjaan itu, dan tidak akan makan waktu terlalu lama. Mereka hanya sekedar memotong beberapa utas tali dan mematahkan beberapa buah deriji brunjung-brunjung bambu yang tidak begitu kuat dan batupun akan beserakan.
878 Ketika gelap malam menyelubungi seluruh padukulum disekitar alas Sambirata di Sambi Sari, maka keenam orang itu telah berada dibendungan yang masih sedang dibuat itu. Tetapi tepian sungai itu telah menjadi sepi. Tidak seorangpun yang tampak diantara brunjung-brunjung yang masih bertumpuk-tumpuk, yang masih harus diisi dengan batu-batu sebelum diturukan kesungai. "Tidak ada seorangpun" desis Ja Betet. "Ya. Agaknya mereka terlalu percaya bahwa pada saat purnama naik itulah yang menjadi batas waktu pengamanan bendungan ini" sahut seorang kawannya. Merekapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Ja Betetpun kamudian berkata "Marilah. Mumpung masih belum terlampau malam. Kita masih sempat minum tuak dirumah. Besok kita akan menerima sejumlah uang yang cukup untuk menyenangkan diri selama sepekan tanpa berbuat apa-apa lagi. Sejenak orang-orang itu termangu-mangu. Tetapi karena sama sekali tidak ada orang disekitar bendungan itu, maka merekapun segera melangkah kebibir sungai. "Jika ada seorangpun yang melihat, orang itu harus dibinasakan supaya ia tidak dapat menyebut namaku besok dihadapan Ki Demang Sambi Sari. Karena orang-orang Sambi Sari telah banyak yang mengenalku" Berkata Ja Betet pula. "Tentu hidungmu itulah yang telah menarik perhatian mereka" sahut kawannya. Orang-orang yang sudah siap untuk memutuskan tali-tali bendungan itu masih sempat tertawa berkepanjangan. *** Dalam pada itu, selagi orang-orang itu bersiap-siap melakukan tugasnya, di rumahnya Wiyatsih telah mencoba untuk berbicara dengan Pikatan. Meskipun dengan dada yang
879 berdebar-debar, namun dipaksanya dirinya untuk mengatakan, bagaimana Hantu Bertangan Api itu telah mengancam akan merusak bendungan apabila pada purnama naik Pikatan tidak datang ketepian. Pikatan terkejut mendengar keterangan itu. Namun kemudian dengan acuh tidak acuh ia berkata "Aku tidak berkepentingan dengan siapapun juga" "Kakang" barkata Wiyatsih "sebenarnya aku tidak akan menyampaikannya kepada kakang Pikatan. Yang aku katakan sampai saat ini banyalah sekedar pemberitahuan bahwa kakang diintai oleh bahaya yang dapat menerkam setiap saat. Namun kini aku dan anak-anak muda Sambi Sari berada didalam kesulitan, Jika kakang Pikatan tidak datang kebendungan sampai saat purnama naik, maka bendungan itupun akan terancam. Tetapi ....." suara Wiyatsih terputus dikerongkongan. Terasa sesuatu yang hangat mengambang dipelupuknya. Tetapi Wiyatsih terkejut ketika ia mendengar kakaknya menyahut "O, jadi sekarang aku tahu. Akhirnya semua dugaanku benar. Tidak ada lagi orang yang memerlukan aku. Ibu tidak. Kau juga tidak" "Apa maksudmu kakang?" "Ternyata kau lebih cinta kepada bendunganmu itu daripada kepadaku. Daripada bendungan itu rusak oleh Hantu Bertangan Api maka bagimu lebih baik aku menjadi tumbal. Biar saja aku mati ditepian, asal bendunganmu itu selamat" "Kakang" Wiyatsih hampir memekik "bukan maksudku, Aku tidak berkata demikian" "Lalu, apa yang kau kehendaki" Kau menyuruih aku datang kebendungan sebelum purnama naik agar Hantu Bertangan Api itu tidak merusak bendungan. Bukankah itu berarti bahwa kematianku akan menjadi sarana keselamatan bendunganmu"
880 Dan itu berarti pula bahwa niiai bendungan itu lebih besar dari nilai nyawaku menurut pertimbanganmu" "Tidak kakang. Bukan itu. Aku minta kau datang kebendungan karena aku mempunyai suatu keyakinan. Keyakinan bahwa kau akan dapat menyelesaikan persoalanmu dengan Hantu bertangan api itu tanpa mengorbankan dirimu" "Kenapa kau mempunyai keyakinan itu?" "Kakang sendiri pemah mengatakan, bahwa kakang akan dapat membunuhnya" "Tetapi itu dahulu. sebelum aku menjadi seorang cacat yang tidak berarti. Aku sekarang adalah seorang yang terbuang. Aku tidak diperlukan lagi" "Kakang" suara Wiyatsih mulai sendat "bukankah kau memiliki kemampuan yang tinggi. Dan bukankah kau selama ini telah mematangkan ilmumu?" "Siapa yang mengatakannya?" "Aku tahu, bahwa setiap malam kau keluar rumah Bahkan dimusim hujan sekalipun" "Kau tahu kemana aku pergi?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. "Jangan kau sebut-sebut lagi. Kau tidak tahu apa yang aku lakukan. Dan sekarang, jangan mempersoalkan Hantu Bertangan Api dengan aku. Biar saja ia merusak bendungan. Bendungan yang sedang dibuat itu memang tidak akan berarti apa-apa. Bendungan itupun akan hanyut pada musim hujan mendatang sebelum sempat menaikkan air ke parit-parit" "Kenapa?" "Selain aku, tidak ada orang yang dapat membuat bendungan. Biarlah bendungan itu dihancurkan oleh Hantu
881 Bertangan Api. Aku akan membangun bendungan yang lebih baik kelak" "Kakang. Jika bendungan itu hancur, semangat anak-anak muda Sambi Sari akan menjadi patah. Mereka tidak akan mudah digerakkan lagi, Dan mereka untuk selamanya akan tetap hidup dalam keadaan mereka seperti sekarang ini" "Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Jangan ganggu aku lagi dengan persoalan-persoalanmu. Dengan kepentinganmu sendiri. kenapa kalian, anak muda Sambi Sari tidak berusaha mempertahankan bendungan itu" Kenapa harus aku?" Mata Wiyatsih menjadi semakin panas. Katanya "Bagaimanapun juga ada hubungan antara persoalan mi dengan kau kakang. Hantu itu mencari kakang Pikatan" "O" suara Pikatan menjadi semakin keras "kau benar-benar ingin melihat aku mati ditepian" Apakah kau memang ingin mengubur mayatku dibawah bendungan sebagai tumbal" Atau barangkali mengambil sepasang mata dari mayatku atau kepalaku sama sekali" "Kakang, kakang" Wiyatsih tidak dapat menahan tangisnya lagi "Kau selalu salah paham" "Keluar dari bilik ini Wiyatsih. Aku tidak peduli lagi terhadap apapun dan terhadap siapapun" "Tetapi itu adalah tanggung jawabmu" "Kenapa" Kenapa tanggung jawabku?" suara Pikatan meninggi Wiyatsih yang hampir kehilangan kesabaran itupun masih akan berteriak pula Tetapi terasa tangan yang lembut meraba pundaknya Didengarnya bisik ditelinganya "Sudahlah Wiyatsih. Jangan kau ganggu lagi kakakmu. Aku ingin rumah ini menjadi tenang. Tetapi setiap kali akan mendengar kalian bertengkar"
882 "Kakang Pikatan mengingkari tanggung jawabnya" desis Wiyatsih. "Persetan. Aku tidak bersangkut paut. Dan kaulah yang mulai dengan pertengkaran ini. Kau memasuki bilikku" Wiyatsih masih akan menjawab lagi, tetapi ibunya segera menariknya sambil berkata "Sudahlah Wiyatsih. Jangan bertengkar terus. Umur ibu akan menjadi semakin pendek karenanva. Marilah" Wiyatsih tidak dapat mengelak. Karena itu iapun menurut saja ditarik oleh ibunya keluar dari bilik Pikatan. Ketika keduanya telah berada diluar bilik, maka segera terdengar derak pintu itu tertutup rapat. Wiyatsih tertegun sejenak. Dipandanginya pintu yang tertutup itu, seperti hati Pikatan sendiri yang tertutup rapat. "Sudahlah Wiyatsih" berkata ibunya "kakakmu tidak lagi dapat kau ajak bicara. Jangan kau paksa ia membantu membuat bendungan itu" "Aku tidak memaksanya membuat bendungan ibu" jawab Wiyatsih. "Jadi, apakah maksudmu" Aku mendengar kalian menyebut-nyebut bendungan itu" Wiyatsih tidak dapat menjelaskan kepada ibunya. Jika ibunya mengetahui persoalan yang sebenarnya maka iapun tentu akan menjadi cemas dan kebingungan. Ia tentu tidak akan merelakan Pikatan pergi untuk bertaruh nyawa. Bagi ibunya, bendungan itu justru tidak penting sama sekali. Karena itu, Wiyatsih hanya dapat menundukkan kepalanya. Air matanya sajalah yang menitik satu-satu dilantai. "Sudahlah Wiyatsih" berkata ibunya "tidurlah" Wiyatsih menganggukkan, kepalanya.
883 Perlahan-lahan ia melangkah kebiliknya, sementara ibunya pergi kebiliknya pula. Tetapi Wiyatsih tidak terlalu lama berada didalam bilik itu. Ketika ia sudah tidak mendengar suara apapun lagi, maka iapun segera pergi berjingkat keluar lewat pintu butulan. Ternyata bahwa disudut kebun belakang, Puranti dan Kiai Pucang Tunggal sudah menunggu. Ketika mereka melihat Wiyatsih datang, maka Purantilah yang pertama-tama bertanya "Aku mendengar suaramu melengking Wiyatsih. Apakah kau bertengkar dengan kakakmu?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Apalagi yang kau bicarakan?" Wiyatsih duduk disamping Puranti. Kemudian dikatakannya apa yang baru saja terjadi. "Ia menolak untuk datang" Puranti menarik nafas dalam-dalam, sedang Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak. Katanya kemudian "Mudahmudahan ia sempat membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum sampai saatnya purnama naik" "Mudah-mudahan" desis Wiyatsih. "Tetapi biarkanlah ia menentukan sendiri, Wiyatsih Sebaiknya kau tidak usah memaksanya lagi, " "Jadi" "Biarlah ia menentukan sikapnya" "Tetapi" Purantilah yang menyahut "jika pada saat purnama naik ia menolak, kita tidak mempunyai kesempatan untuk menentukan sikap" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan kenignya. Namun katanya "Mudah-mudahan kita menemukan pemecahan yang sebaik-baiknya"
884 Dan hampir berbareng Wiyatsih dan Puranti berkata "Mudah-mudahan...." Kiai Pucang Tunggal mengetahui perasaan kedua gadis itu. Tetapi ia tetap berdiam diri. "Wiyatsih" berkata Puranti kemudian "marilah kita berlatih saja. Jangan hiraukan lagi Pikatan. Tanpa Pikatanpun kita dapat mencegah Hantu Bertangan Api itu apabila sampai saatnya purnama naik" Kiai Pucang Tunggal memandang Puranti sejenak. Namun ia masih tetap berdiam diri. "Kita berlatih ditebing" berkata Puranti kemudian. Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Marilah ayah" ajak Puranti. Mereka bertigapun kemudian pergi meninggalkan kebun itu pergi ketempat mereka biasanya berlatih. Dengan hati yang masih tetap dibayangi oleh kecemasan, Wiyatsih melangkahkan kakinya dengan kepala tunduk. *** Pada saat itu, di tepian Kali Kuning, beberapa orang sudah turun ke air. Ja Betet dengan kawan-kawannya sudah muiai meraba-raba brunjung-brunjung yang tertimbun melintang Kali Kuning. "Mereka mengalirkan sebagiah besar air Kali Kuning lewat parit yang mereka gali dibawah tebing itu" berkata Ja Betet. "Itulah kelebihan anak-anak muda. Dengan demikian mereka tidak begitu sulit menyelesaikan bendungannya. Tanah dan sangkrah yang mereka sisipkan disela-sela brunjung-brunjung itu tidak dapat dengan mudah hanyut. Bahkan tanah yang mereka hancurkan diatas brunjungbrunjung ini, perlahan-lahan akan mengisi sela-sela batu didalam brunjung-brunjung itu, sehingga bendungan ini akan
885 segera mapan. Air yang sedikit itu membantu memadatkan tanah dan membusukkan sangkrah diantara brunjungbrunjung itu" "Sekarang, manakah yang akan kita rusak lebih dahulu" Brunjung-brunjungnya atau tali-talinya" "Tali-talinya. Setelah timbunan brunjung-brunjung ini roboh, kita akan merusak brunjung-brunjung ini sehingga batu-batu yang ada didalamnya akan berserakan, sementara brunjung-brunjung yang ada ditepian itu, kita bakar sampai lumat" "Bagus. Pekerjaan kita akan menjadi sempurna. Membuat brunjung-brunjung itu bukannya pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu sepekan dua pekan" "Marilah kita mulai. Kita putuskan dahulu tali-tali pengikatnya" Orang orang itupun kemudian mulai menarik parang mereka. Masing-masing telah memilih sasaran yang mereka angap baik. Dengan sekali ayun, tati-tali itupun akan segera terputus karenanya. Tetapi ketika mereka sudah siap mengayunkan parangparang mereka tiba-tiba saja tepian itu telah digetarkan oleh suara tertawa, sehingga orang-orang yang sudah siap untuk merusak bendungan itu terkejut. Serentak mereka berpaling, dan merekapun melihat didalam keremangan malam dua orang berdiri ditepian. Ja Betet dan kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengenal orang itu. Suaranyapun belum pernah mereka dengar. Namun suara itu benar-benar menyakitkan hati. "Apakah yang akan kau lakukan?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang berdiri ditepian itu.
886 Ja Betet memandang orang itu dengan tajamnya. Bahkan kemudian ia melangkah mendekat diikuti oleh kawankawannya. "Siapa kau?" geram Ja Betet. "Kalian tentu belum menganal aku" jawab orang yang berdiri ditepian itu. "Persetan" Ja Betet menjadi semakin dekat "kau bukan orang Sambi Sari. Aku belum pernah melihatmu" "Apakah kau mengenal sitiap orang Sambi Sari?" "Aku mengenal semua orang Sambi Sari" "Ternyata kau belum mengenal aku" "Kau tentu bukan orang Sambi Sari. Jika seandainya kau orang Sambi Sari, nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi" Orang yang berdiri ditepian itu tertawa. Katanya "Tetapi itu tidak penting. Apakah aku orang Sambi Sari atau bukan" orang itu berhenti sejenak, lalu "Kenapa kalian akan merusak bendungan itu?" "Kau tidak usah turut campur. Pergilah" "Aku tidak akan pergi, karena aku mempunyai persoalan disini" "Gila. Apakah kau tidak menyadari bahwa sikap itu dapat mencelakai kau sendiri?" "Apapun yang akan terjadi, tetapi aku tidak dapat pergi Aku sedang menunggu seseorang" "Siapa?" "Pikatan. Aku sedang menunggu Pikatan. Hampir setiap malam aku datang kebendungan ini. Demikian juga malam ini. Adalah kebetulan sekali aku mendapatkan kalian sebelum kalian berhasil merusak bendungan itu.
887 Ja Betet dan kawan-kawannya menjadi berdebar-debar. Ternyata orang inilah yang menurut desas-desus yang didengarnya, akan merusak bendungan jika Pikatan tidak datang sampai saat purnama naik, Sehingga hampir diluar sadarnya Ja Betetpun, bertanya "Jadi kau yang menunggu Pikatan sampai saat purnama naik?" "Darimana kau mendengarnya" Kau benar. Aku menunggu Pikatan sampai purnama naik. Karena itu sebaiknya kau urungkan niatmu untuk merusak bendungan ini sebelum purnama naik. Bendungan ini masih berguna bagiku" "Buat apa?" "Aku dapat mempergunakannya untuk memaksa Pikatan datang. Jika bendungan itu sudah rusak, maka aku tidak akan dapat mempergunakannya lagi sebagai alat. Bagi Pikatan, tidak ada gunanya lagi datang memenuhi undanganku ditepian ini, karena ia tidak lagi mempunyai kepentingan" Ja Betet menjadi ragu-ragu sejenak. Jika orang ini berani mengundang Pikatan, itu artinya ia sudah siap melawan Pikatan. Dengan demikian maka kemampuan orang inipun harus diukur dengan kemampuan Pikatan. Namun demikian, Ja Betet masih juga menyangsikannya. Mungkin ia hanya menjebak anak muda itu dan kemudian beramai-ramai membunuhnya. Sebelum Ja Betel berbuat sesuatu, seorang kawannya telah berkata lantang "Kami tidak peduli. Kami tidak berurusan dengan kau dan Pikatan. Kedatangan, kami saat ini adalah untuk merusak bendungan. habis perkara" "Jangan begitu Ki Sanak" berkata orang yang berdiri ditepian itu "aku senang sekali jika bendungan ini kau rusak. Tetapi nanti sesudah purnama naik. Aku sudah tidak terikat lagi dengan semua persoalan di Sambi Sari. Aku memang ingin melihat bendungan ini rusak dan orang-orang Sambi Sari menangisi karananya sambil mengumpati Pikatan. Pada saat
888 itulah aku akan menjemput Pikatan dirumahnya, karena aku sudah tidak berhasil memancingnya keluar. Persoalanku dengan Pikatan harus dapat segera diselesaikan. Seiesai sampai tuntas" "Kami tidak menghalangi penyelesaian persoalanmu. Datang saja kerumahnya. Itu lebih baik daripada kau berkeliaran disini sambil menunggu purnama naik beberapa hari mendatang" "Aku lebih senang berada ditepian ini. Jika Pikatan datang, tempat ini adalah tempat yang baik sekali untuk menyambutnya" "Aku tidak peduli. Tetapi malam ini kami akan merusak bendungan ini" Orang yang berdiri ditepian itu diam sejenak. Namun kemudian terdengar suaranya berat "Jangan memaksa. Sebaiknya kalian pulang. Aku mengerti bahwa kalian adalah orang-orang yang sekedar mendapat upah dari orang-orang kaya yang tidak senang melihat bendungan ini. Akupun tidak peduli. Tetapi jangan sekarang. Aku masih memerlukan bendungan itu untuk memancing Pikatan. Sesudah aku selesai, hancurkan bendungan itu. Bahkan aku akan membantumu" "Aku tidak peduli. Jangan menghalangi kami" teriak Ja Betet. Meskipun ia menyadari kemungkinan yang dapat terjadi, namun berenam ia merasa bahwa gerombolan kecilnya itu cukup kuat menghadapi setiap akibat apapun juga. Sedangkan yang berdiri ditepian itu hanyalah orang dua saja. Bahkan seandainya yang berdiri ditepian itu Pikatan sendiri sekalipun, Ja Betet yang sudah banyak makan garam kekerasan dan perkelahian sama sekali tidak akan gentar. Karena itu Ja Betet sama sekali tidak mau melangkah surut. Bahkan selangkah ia maju diikuti oleh kawannya.
889 "Jangan keras kepala" Berkata orang yang berdiri ditepian itu "aku harap kau bersabar beberapa hari lagi. Bukankah kau akan tetap menerima upah itu" Katakanlah kepada orangorang-yang mengupahmu, bahwa saat yang baik adalah setelah purnama naik" "Dan bendungan itu sudah ditunggui oleh anak-anak muda Sambi Sari dalam jumlah yang tidak terhitung?" Orang itu tertawa. Katanya "Jadi kau masih juga takut menghadapi anak-anak muda Sambi Sari" Ingat, aku menunggu Pikatan disini karena aku sudah siap membuat perhitungan, Kau dapat menganggap bahwa aku adalah, Pikatan itu, Pikatan yang mampu membunuh beberapa orang perampok menurut pendengaranku. Apakah kalian tidak mendengar?" "O, jadi kau menganggap bahwa Pikatan dapat berbuat seperti itu pula terhadap kami?" Ja Betet tertawa pula "aku adalah Ja Betet. Sudah lama aku meletakkan senjataku. Tetapi aku masih sanggup melawan Pikatan seorang diri. Perampokperampok yang dibunuhnya dihalaman rumahnya adalah perampok-perampok yang bodoh. Apalagi dirumah itu ada dua orang penjaga regol yang mampu juga berkelahi Tentu bukan Pikatan seorang diri melakukannya" "Aku percaya bahwa yang melakukannya adalah Pikatan seorang diri" "Ceritera itu sekedar untuk mengangkat nama Pikatan lebih tinggi lagi" "Kau tidak mengetahui Pikatan yang sebenarnya. Aku mengenalnya dengan baik" "Itupun hanya sekedar suatu cara untuk mengangkat namamu sendiri. Coba sebut. siapa namamu?" Orang yang berdiri ditepian itu mengerutkan keningnya. Katanya "Kalian membuat aku marah"
890 "Kami sudah marah sejak tadi" sahut salah seorang kawan Ja Betet "kami akan, segera menyelesaikan tugas kami. Jangan mengganggp atau kami harus bersikap kasar?" Orang yang berdiri kemudian ia justru tertawa dengan nada yang kecut "O, kalian memang cucurut gila. Jangan membunuh diri. Cepat pergi. Tunggu sampai purnama naik, baru kalian merusak bendungan itu" "Jangan mengigau" seorang kawan Ja Betet yang lain membentak. Orang yang berdiri ditepian itu menggeram. Tetapi ketika seorang kawannya itu melangkah maju, ia masih menahannya "Aku masih ingin memberi mereka kesempatan terakhir. Pergi sekarang, atau kalian akan mati menjadi tumbal bendungan ini" "Orang tidak tahu diri" teriak Ja Betet "ayo, siapakah yang akan mati di tepian, atau hanyut diarus Kali Kuning" Sebelum kau sempat bertemu dengan Pikatan. kau sudah tidak akan dapat melihat bulan lerbit, apalagi pada saat purnama naik" "Jadi kalian tidak lagi dapat diselamatkan?" "Jangan bicara saja. Kami sudah ingin membuhuhmu" teriak kawan Ja Betet. Orang yang berdiri ditepian itu menggeram. Tiba-tiba saja ia berkata "Marilah. Kita lihat, siapa yang mengigau malam ini ini" Orang yang berdiri ditepian itu tidak sempat meneruskan kata-katanya. Ja Betet dan kawan-kawannya yang telah menggenggam parang itupun segera berloncatan naik ketepian dan menyerang kedua orang itu. Orang yang berdiri ditepian itu, segera mengelak. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain daripada bertempur, melawan enam orang yang menyerangnya itu.
891 Sejenak kemudian, maka merekapun telah terlihat didalam perkelahian yang sengit. Kawan-kawan Ja Betet ternyata adalah perampok-perampok yang cukup berpengalaman. Apalagi jumlah mereka jauh lebih banyak dari lawannya hanya berdua. Parang merekapun segera berputaran menyerang seperti datangnya angin yang prahara. Sedang Ja Betet sendiri selain sebuah parang ditangan kanan, iapun menggenggam sebuah linggis kecil ditangan kiri. Tetapi kali ini lawan mereka adalah Hantu Bertangan Api dengan seorang pengiringnya. Adalah suatu kekhilafan bahwa Ja Betet tidak sempat mengetahui dengan pasti, siapakah lawannya itu. Dengan demikian, maka mula-mula Ja Betet dan kawan-kawannya menganggap bahwa untuk memgalahkan dua orang lawannya itu adalah pekerjaan yang tidak terlampau sulit, bahkan semudah merusak bendungan itu sendiri. Namun setelah mereka berkelahi beberapa saat, barulah mereka menyadari kesalahan itu. Hantu Bertangan Api dan seorang kawannya masing-inasing harus berkelahi melawan tiga orang. Kawan Hantu Bertangan Api itu ternyata harus bekerja keras untuk mempertahankan dirinya. Tetapi bagi Hantu Bertangan Api, tiga orang itu bukannya lawan yang dapat membahayakan, betapapun berat tekanan mereka. Ketika senjata Ja Betet sudah berbenturan dengan pedang Hantu Bertangan Api itu, ia merasakan seakan-akan ada kekuatan yang menyelusuri senjatanya dan membuat tangannya menjadi panas seperti menyentuh bara. "Gila" ia menggeram "kekuatan apakah yang ada pada orang ini" Kekuatan setan atau jin Alas Sambirata" Tetapi Ja Betetpun memiliki kelebihan. Tandangnya yang kasar dan cepat. Kekuatannyapun seakan-akan masih tetap utuh meskipun sudah lama in tidak mempergunakan senjata. Dan kali ini ia bersenjata sebuah parang dan linggis, sebuah tongkat besi yang berujung runcing.
892 Ternyata bahwa kawan-kawan Ja Betetpun segera dapat menyesuaikan dirinya. Bertiga mereka mengepung Hantu Bertangan Api yang belum mereka kenal. Yang mereka rasakan, setiap sentuhan dan benturan senjata, tangan mereka bagaikan telah menyentuh api, sehingga senjata merekapun hampir saja terlepas dari tangan. Dibagian lain, tiga orang kawan Ja Betet telah bertempur mati-matian melawan seorang kawan Hantu Bertangan Api. Ternyata bahwa orang itu tidak setangkas dan tidak sekuat Hantu Bertangan Api itu. Meskipun demikian. dengan mengerahkan segenap kemampuan, ia berhasil mempertahankan dirinya. Ketiga orang perampok yang mengeroyokmya itu berusaha sekuat-kuat tenaga untuk mematahkan pertahanan kawan Hantu Bertangan Api itu. Sebagai orang-orang yang telah dengan sengaja mewarnai hidupnya dengaa noda-noda darah, mereka sama sekali tidak pernah mengekang diri. Senjata merekapun berayun-ayun susul menyusul tidak henti-hentinya menyerang bagian-bagian tubuh lawannya dari segala arah. Seperti ratusan ujung parang yang bertebangan mengelilinginya. "Gila" kawan Hantu Bertangan Api itu menggeram "perampok-perampok ini memang gila. Mereka tidak pantas untuk berbangga hati karena dapat mengalahkan aku" Dengan demikian maka iapun berjuang lebih keras lagi. Diperasnya segenap kemampuan yang ada tanpa mempertimbangkan kemungkinan yang dapat terjadi karena jarak waktu. Sehab jika ia tidak memeras tenaganya, maka sulitlah baginya untuk tetap bertahan. Meskipun ia sadar bahwa jika ketiga orang itu mampu bertahan lebih lama lagi dengan, kemampuan yang ajeg, maka ia pasti akan kehabisan tenaga. "Aku harus dapat mengurangi jumlah lawanku" katanya didalam hati.
893 Tetapi untuk melakukannya ternyata bukan. suatu pekerjaan yang mudah. Bahkan semakin lama ketiga perampok itu justru semakin mendesaknya. Kawan Hantu Bertangan Api itu terkejut ketika terasa sesuatu menyentuh pundaknya. Ketika ia sempat melihatnya, ternyata setitik darah telah membasahi kainnya. "Gila" ia menggeram "kalian melukai aku?" "Persetan" sahut salah seorang dari ketiga perampok itu "kami adalah orang-orang yang terlalu sering bermain dengan senjata. Membunuh korban-korban kami dengan cara kami" Kawan Hantu Bertangan Api itu tidak menyahut. Ia sendiri juga seorang perampok. Perampok yang lebih besar dari ketiga perampok yang sedang mengeroyoknya. Namun demikian perampok-perampok kecil itu ternyata memiliki kemampuan berkelahi yang cukup, sehingga mereka bertiga telah berhasil mengurung seorang perampok dari gerombolan Hantu Bertangan Api. Semakin lama, kawan Hantu Bertangan Api itupun menjadi semakin lelah. Usahanya untuk menumpahkan segenap kemampuannya untuk mengurangi jumlah lawannya ternyata tidak berhasil dan bahkan ia sendirilah yang telah terluka karenanya. Dalam pada itu, Hantu Bertangan Apipun telah bertempur mati-matian. Ketiga orang lawannya telah berusaha menekannya dengan segenap kemampuan seperti yang terjadi didalam lingkaran perkelahian yang lain. Tetapi ternyata bahwa Hantu Bertangan Api memiliki kelebihan dari kawannya. Karena itulah maka ia tidak banyak mengalami kesulitan melawan ketiga orang perampok itu. Bahkan ketika tanganaya telah basah oleh keringat, iapun selalu berhasil mendesak lawannya. Kepungan yang mulamula tampaknya cukup rapat itu perlahan-lahan, kendor, dan
894 bahkan setiap kali serangan Hantu Bertangan Api mampu memecahkan kebulatan kepungan itu Meskipun demikian Ja Betet dan kedua kawannya sama sekali tidak mau melepaskan orang itu. Orang yang telah mencoba menghalang-halanginya. Orang itu harus disingkirkan, bahkan harus dibunuhnya sama sekali agar tidak dapat menyebarkan berita tentang rusaknya bendungan ini. Mereka tidak peduli, apakah sangkut pautnya dengan Pikatan. Yang penting bagi mereka, bendungan itu harus rusak. Dengan demikian maka upah merekapun akan bertambah dengan bukti mayat kedua orang itu. Tetapi setiap kali ketiga orang itu terkejut. Tiba-tiba saja senjata Hantu Bertangan Api itu telah mendesing ditelinga mereka, sepetrii seekor nyamuk yang berterbangan berputarputar. Semakin lama, tampaklah bahwa Ja Betet dan kawannya menjadi semakin terdesak, Berbeda dengah lingkaran perkelahian yang lain, yang sempat juga dilihat oleh Hantu bertangap api. "Gila" Hantu itu berdesis didalam hati "perampok ini berhasil mendesaknya. Namun dengan demikian, maka Hantu itupun bertempur semakin sengit. iapun berlomba dengan waktu agar ia dapat mendahului ketiga perampok yang sedang bertempur melawan kawannya yang telah terdesak itu. Hantu Bertangan Api itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar keluhan tertahan. Ternyata seleret luka telah tergores pula didada kawannya itu, sehingga perlawanannyapun menjadi semakin lemah. "Gila" Hantu itu menggeram "aku harus segera mengakhirinya"
895 Dengan demikian, maka Hantu Bertangan Api itu menghentakkan senjatanya. seakan-akan mengerahkan segenap kekuatannya. Sejenak kemudian, maka Hantu Bertangan Api itu seolah-olah sudah memiliki tenaga rangkap. Ketika pedangnya terayun dengan derasnya, maka terdengar gemerincing senjata beradu disusul oleh sebuah teriakan nyaring. Seorang kawan Ja Betet telah terlempar ditepian dan jatuh untuk tidak pernah dapat bangkit lagi. Sebuah luka yang panjang menganga diperutnya. Dan darahnyapun kemudian mengalir membasahi pasir dan terhisap kedalamnya. Ja Betet terperanjat melihat kejadian itu. Kini benar-benar dihadapkan pada kenyataan, bahwa lawannya benar-benar orang yang memiliki kelebihan dari mereka. Tetapi ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk merenung Senjata Hantu Bertangan Api itu segera menyambar lawan-lawannya kembali. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Serangan yang datang bagaikan angin itu telah mendesak Ja Betet yang kini tinggal mempunyai seorang kawan lagi didalam lingkaran perkelahian itu. Karena itu, setiap kali ia meloncat surut menghindarkan diri dari amukan senjata Hantu bertangan Api. "Tidak ada kesempatan lagi untuk lari" geram Hantu Bertangan Api" Jika aku sudah terlanjur menarik senjataku, maka semua lawanku harus mati" Terasa tengkuk para perampok itu meremang mendengar kata-kata Hantu Berrtangan api. Namun semuanya sudah terlanjur terjadi, sehingga karena itu, maka merekapun bertempur sekuat-kuat tenaga unuk mempertahankan hidupnya. Namun demikian, ada juga diantara mereka yang mengumpat "Setan alas. Ternyata biaya untuk merusak
896 bendungan itu terlampau mahal. Bukan saja uang dan harta benda, tetapi juga nyawa" Dalam pada itu, selagi Hantu Bertangan Api itu berusaha menyelesaikan lawan-lawannya, maka tiga orang yang bertempur malawan kawan Hantu itu mendesaknya semakin berat, sehingga kawan Hantu Bertangan Api itu merasa, bahwa dalam waktu yang singkat, ia tidak akan lagi mampu melawan. Apalagi lukanya terasa semakin lama semakin sakit. Tetapi Hantu Bertangan api yang menyadari keadaan itu, berusaha agar ia dapat menyelesaikan pertempurannya lebih dahulu dari perlawanan terakhir kawannya yang selalu terdesak itu. Untuk saat-saat yang terakhir dari perlawannya, Ja Betet yang sudah menjadi putus asa bertempur membabi buta. Namun ia masih juga sempat berteriak "He, siapakah sebenarnya kau?" Hantu Bertangan Api mendesaknya semakin seru sambil menjawab "Baiklah, biarlah sebelum mati kau mendengar namaku. Aku adalah Hantu Bertangan Api dari goa Pabelan" "He?" Ja Betet terkejut. Sebagai seorang perampok maka ia pernah mendengar nama itu, sebagai nama yang memang disegani oleh golongannya. Nama seorang perampok besar yang pernah menggemparkan daerah Demak dibagian Selatan ini. Yang meskipun sebagian besar masih berupa hutan belukar, tetapi sebagiah telah menjadi daerah yang raimai dan subur. Terutama disebelah menyebelah sungai Opak didaerah Prambanan, menyusur ke Timur sampai ke daerah Pajang. "Nah" berkata Hantu Bertangan Api itu selanjutnya "sekarang bersiaplah untuk mati" Ja Betet yang sudah berputus-asa itu menggeram. Memang tidak ada pilihan lain daripadanya, selain mati. Meskipun demikian, ia masih sempat berpikir, bahwa sebaiknya mati
897 tidak seorang diri. Maksudnya, bahwa lawannyapun harus menderita oleh perkelahian ini. Karena itu, maka iapun segera berteriak kepada kawannya yang bertempur melawan Hantu! Bertangan Api itu "Lepaskan orang ini. Bunuh kawannya yang seorang itu. Ia sudah sangat lemah" "Gila" teriak Hantu Bertangan Api. Namun agaknya kawan Ja Betetpun telah putus asa pula. Apalagi mereka hampir tidak mempunyai kesmpatan untuk melarikan diri dalam keadaan seperti itu. Karena itu, maka kawannya itu tidak perlu mendapat perintah ulangan. Iapun segera meninggalkan Ja Betet sendiri bertempur melawan Hantu Bertangan Api. Bagi Hantu Bertangan Api, melawan Ja Betet sendiri, sama artinya membunuhnya begitu saja. Namun Ja Betet masih juga berusaha memperpanjang umurnya. Bukan dengan bertahan mati-matian, tetapi ia masih sempat berloncatan surut dengan sedapat-dapatnya menangkis setiap serangan yang bagaikan badai melandanya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sejenak kemudian ketika senjata Hantu Bertangan Api telah menyambar dadanya, sehingga rasa-rasanya dadanya telah pecah karenanya. Namun selagi ia menyeringai menahan sakit, ia masih sempat mendengar keluhan tertahan. Hampir diluar sadarnya ia berpaling memandang kearena perkelahian dlsebelahnya. Ia masih melihat keempat orang kawannya hampir bersamaan menyerang mereka. yang tidak dapat lagi mempertahankah dirinya. Agaknya senjata dari keempat perampok itu telah berhasil menahan luka ditubuh kawan Hantu Bertangan Api itu. Tetapi pada saat itu, pada saat yang hanya sekejap itu, Hantu Bertangan Api yang marah, melontarkan sebuah serangan mendatar, langsung mengarah lambung. Yang
898 terdangar kemudian adalah suatu jeritan nyaring. Perut Ja Betetpun tersobek oleh senjata Hantu bertangan api itu. Namun sambil memegangi perutnya yang menganga itu. Ja Betet masih juga sempat menahan jeritnya dan berkata terbata-bata "Kawanmupun akan mati juga seperti aku Kami, perampok-perampok kecil didaerah ini ternyata mampu juga membunuh salah seorang perampok dari gerombolan Hantu Bertangan Api" Hantu Bertangan Api tidak menunggu sampai mulut Ja Betet terkatup rapat. Sebuah tusukan menghunjam didadanya tepat diarah jantungnya. Ketika Hantu Bertangan Api menarik senjatanya, Ja Betet sudah tidak berkicau lagi. Iapun kemudian jatuh terlungkup. Namun bibirnya tampak tersenyum puas, karena ia yakin bahwa kawan Hantu Bertangan Api itupun akan mati terbunuh juga. Ketika Hantu Bertangan Api melihat Ja Betet itu rebah diatas pasir tepian, maka iapun segera menyadari nasib kawannya. Tetapi agaknya ia sudah terlambat. Ketika ia melihat ke arena yang lain, keempat orang perampok kawan Ja Betet itu sedang berusaha untuk melarikan dirinya, dan meninggalkan sesosok mayat yang terbujur diam. Betapa kemarahah menyala didada Hantu bertangah api. Sebelum ia sempat bertemu dengan Pikatan, maka seorang kawannya telah menjadi korban kegilaan perampok-perampok kecil itu. Karena itu maka Hantu Bertangan Api tidak dapat memberikan maaf lagi kepada empat orang yang sedang meloncat untuk melarikan diri itu. Dengan serta merta, Hantu Bertangan Api itupun meraih segenggam pasir berbatu-batu kecil. Dengan segenap kekuatan yang ada padanya, maka dilemparkannya genggaman batu-batu kerikil itu kepada para perampok yang sedang melarikan diri. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali.
899 Batu-batu kerikil itu menghambur dengan derasmya mengarah ke punggung para perampok yang berusaha melarikan diri itu. Akibatnya, ternyata mengerikan sekali. Batu-batu yang dilontarkan dengan kemarahan yang meluapluap itu telah menghunjam masuk kedalam tubuh para perampok itu, sehingga dua diantaranya tidak dapat lagi mengelakkan dari terkaman maut. Seorang lagi masih dapat berlari beberapa langkah, tetapi iapun segera terjatuh. Sesaat ia masih sempat menggeliat, tetapi sejenak kemudian maka iapun menghembuskan nafasnya yang terakhir pula. Sedang seorang yang lain, masih dapat berlari kencang-kencang meninggalkan arena yang bagaikan neraka itu. Meskipun beberapa buah batu kerikil telah melukai punggungnya dan bahkan beberapa diantaranya telah menusuk kedalam dagingnya, namun ia masih dapat bertahan dan dengan susah payah melepaskan diri dari kemarahan Hantu Bertangan Api itu. Hantu Bertangan Api itu menggeram. Sebenarnya ia masih. sempat mengejar orang yang masib tetap hidup itu. Namun niat itu diurungkannya. Kemarahanyalah yang menahannya untuk membunuh orang itu. la ingin membiarkan orang itu hidup dan menceriterakan apa yang telah terjadi. "Aku ingin Pikatan mendengarnya" geram Hantu bertangan api itu "dan juga anak-anak muda Sambi Sari. Jika mereka mengetahui apa yang telah terjadi, mereka pasti akan memaksa Pikatan untuk datang dan aku akan membunuh Pikatan dengan cara yang lebih baik dari kelinci-kelinci gila itu. Aku sudah kehilangan seorang kawan yang baik. Dan aku akan membunuh lebih banyak lagi selain Fikatan. Dan aku akan membawa Wiyatsih kesarangku yang baru nanti sebagai tebusan kegilaan orang-orang Sambi Sari dan sekitarnya. Hantu Bertangan Api itu memandang mayat kawannya itu sejenak. Namun iapun kemudian dengan tergesa-gesa
The Ultimate 2 Pendekar Rajawali Sakti 114 Gerhana Darah Biru Lentera Maut 4
^