Yang Terasing 4
Yang Terasing Karya S H Mintarja Bagian 4
377 hampir sempurna. Tetapi ingat, jangan mencubit suamimu kelak, apalagi anakmu. Ia dapat menjadi pingsan karenanya" "Ah kau" hampir saja tanpa sesadarnya Wiyatsih mencubitnya lagi. Tetapi Puranti surut selangkah sambil berkata "Jangan. Kau akan mengulangi lagi?" Wiyatsih tertawa tertahan. "Hati-hatilah dengan kebiasaanmu itu" "Ya. Aku akan berhati-hati" "Agaknya kau berlatih dengan baik" "Setiap aku berada ditepian, aku melatih jari-jariku dipasir." "Kau sudah mencoba dengan pasir panas. Terasa kekerasan tanganmu" "Disiang hari, pasir ditepian menjadi sepanas api dipanggang oleh sinar matahari" "O" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu "sudahlah Wiyatsih. Adalah kebetulan ayahku tidak berkeberatan untuk menggantikan aku satu dua hari. Mungkin seminggu. Dan mudah-mudahan aku segera dapat menghindarkan diriku dari laki-laki itu" "Mudah-mudahan. Tetapi meskipun kau masih belum berhasil sama sekali. kau dapat mencari waktu barang sekejap untuk mengunjungi aku disini" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau kau tidak datang untuk waktu yang lama, aku akan mencarimu ke Cankring" "Ah. itu tidak perlu" Aku ingin melihat rumahmu. Aku ingin berkenalan dengan biyung angkatmu dan aku ingin melihat tampang laki-iaki itu.
378 "Sst. Sudahlah. Aku tidak dapat terlalu lama disini. Aku akan kembali ke Cangkring. Jangan cemas. Aku akan datang setiap kali ada kesempatan" "Jangan bohong" Puranti tersenyum. Katanya "Berlatihlah baik-baik. Ayah akan membuat kau menjadi seorang gadis yang baik. Apalagi kau adalah adik Pikatan" Demikianlah maka Purantipun kemudian meninggalkan Wiyatsih seorang diri yang masih saja berdiri termangumangu. Namun justru tumbuhlah janji didalam dirinya, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan sebaik-baiknya, selagi Kiai Pucang Tunggal sendiri bersedia membimbingnya. Di malam berikutnya. Wiyatsih tidak lagi menghiraukan janjinya kepada Tanjung. Dan benarlah, bahwa yang datang bukan Puranti. Meskipun isyarat yang diberikan seperti isyarat yang selalu dilakukan oleh Puranti, namun ketika Wiyatsih berdiri dimuka Pintu butulan, yang dilihatnya berdiri dilongkangan adalah seorang laki-laki tua. Kiai Pucang Tunggal. Meskipun masih agak ragu-ragu, tetapi Wiyatsihpun melakukan semua petunjuk-petunjuknya. Petunjuk-petunjuk yang sudah pernah diberikan oleh Puranti, tetapi ada juga yang belum pernah "Kita akan melakukan tata gerak yang barangkali agak baru "berkata Kiai Pucang Tunggal "tetapi watak dan sifat-sifatnya pasti sudah kau kenal" Wiyatsih tidak menyahut. Diperhatikan saja sikap Kiai Pucang Tunggal dengan saksama. Ternyata Kiai Pucang Tunggal memperkenalkan beberapa jenis tata gerak yang diberatkan pada gerak kaki. Loncatan-loncatan dan sebagian besar adalah gerak-gerak melingkar dan serangan mendatar dengan gerak-gerak lingkaran itu.
379 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia pernah diperkenalkan dengan tata gerak itu Tetapi tidak selengkap seperti yang dilakukan oleh Kiai Pucang Tunggal. Karena itulah maka Wiyatsihpun segera mempelajarinya. Semakin lama semakin cepat. Demikianlah didalam beberapa malam, Wiyatsih sudah menguasai gerak-gerak dasar dari bentuk-bentuk baru meskipun dalam sifat dan wataknya yang lama. Dengan demikian, maka tata gerak yang dikuasai oleh Wiyatsihpun menjadi semakin, banyak ragamnya. Hampir setiap hari ia mengenal bentuk-bentuk baru. Namun pada suatu saat Kiai Pucang Tunggal berkata kepadanya "Wiyatsih. Kau sudah mempelajari bermacammacam bentuk dan jenis tata gerak yang bersumber pada tata gerak dasar yang sudah kau kuasai. Tetapi sebenarnya bukan itulah yang penting bagimu. Bukan sekedar mengenal tata gerak baru dengan bermacam corak dan kegunaan. Tetapi bagaimana kau dapat menghayati tata gerak yang pernah kau pelajari itu" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Wiyatsih, sebenarnya kau tidak perlu untuk seterusnya mempelajari dan menirukan tata gerak yang lebih banyak lagi jenisnya" Wiyatsih mengerutkan keningnya. "Tata gerak yang kau pelajari adalah tata gerak yang sebenarnya harus disesuaikan pengetrapannya dengan keadaan. Tetapi pada suatu saat kau dapat saja menjumpai keadaan yang tidak terduga-duga. Nah, dalam keadaan yang demikian, kau tidak akan dapat mempergunakan tata gerak yang manapun juga yang pernah kau pelajari" "Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan Kiai?" bertanya Wiyatsih.
380 "Yang penting bagimu Wiyatsih, kau harus benar-benar dapat menyerap inti dan tata gerak dasar ilmu ini. Dengan latihan tata gerak yang sudah kau kuasai, kau akan dapat menyesuaikan dirimu dalam keadaan yang bagaimanapun juga, sesuai dengan pengalamanmu. Tegasnya, kau harus menciptakan sendiri berjenis-jenis tata gerak yang belum pernah kau kenal untuk menanggapi keadaan tertentu, berdasarkan dasar-dasar ilmu yang sudah kau Pelajari. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, kau tidak perlu mengingat gerak yang manapun juga. Kalau kau sudah berhasil menyatupadukan tebaran ilmumu sampai kehakekatnya, maka setiap gerak akan terlontar dengan sendirinya, sesuai dengan tantangan yang kau terima. Namun sudah barang tentu, sebelumnya kau harus sudah menguasai gerak-gerak dasar yang akan menjadi pedoman setiap gerak yang akan kau lakukan kemudian" Wiyatsih masih tetap berdiri termangu-mangu. "Apakaih kau dapat mengerti Wiyatsih?" Wiyatsih tidak segera menjawab. Keragu-raguan masih tampak di wajahnya. "Cobalah memperhatikan keteranganku sekali lagi" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "untuk seterusnya, gerak yang akan kau lakukan adalah gerak yang langsung menjawab setiap tantangan disuatu saat. Kau tidak perlu mengingat-ingat lagi, jika lawanmu rnenyerang dengan tata gerak yang begitu, kau harus melawannya dengan tata gerak yang begini. Tidak. Bukan begitu. Karena itulah maka kau harus menguasai ilmumu sebaik-baiknya, sehingga kelak akan lahir suatu sikap dan gerak yang tidak ada cacatnya untuk menghadapi setiap keadaan" Wiyatsih mengangguk-angguk. Kini ia mengerti maksud Kiai Pucang Tunggal. Karena itu, maka katanya "Aku kini mengerti Kiai."
381 "Bagus. Mulai saat ini, setelah kau dapat menguasai tata gerak yang sudah kau terima, cobalah menyesuaikan diri dengan keadaan. Tetapi jangan kau lupakan, bahwa kau harus tetap berlatih setiap saat, memperdalam penguasaan gerak dasar, dan kekuatan jasmaniah. Aku rasa kekuatanmu sudah jauh melampaui kekuatan seorang gadis kebanyakan. Kau sudah mulai menyusup kedalam penguasaan tenaga cadangan. Puranti sudah memberikan dasar-dasar yang kuat buatmu, sehingga apabila ilmu itu kelak menjadi sempurna, maka tenaga cadangan yang hanya muncul disaatsaat yang justru tanpa disadari, akan dapat kau kuasai sebaikbaiknya. Jika demikian, maka kau adalah benar-benar adik seorang anak muda yang bernama Pikatan di dalam olah kanuragan" Dada Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Namun demikian, ia menjadi semakin mantap dan hasratnya untuk mendalami ilmunyapun menjadi semakin menyala didalam hatinya. Namun disamping hasratnya yang semakin besar untuk dapat segera menguasai ilmu yang diterimanya dengan baik, rasa-rasanya Wiyatsih selalu terganggu oleh kehadiran Tanjung di rumahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha menghindar, namun setiap kali, ia harus membuka pintu untuknya. "Wiyatsih" berkata Tanjung pada suatu saat "aku akan bertemu dengan kau kali ini, sebelum aku bertemu dengan ibumu" "Duduklah, sebentar lagi ibu akan datang." "Ya, ya Tetapi aku ingin bertanya, kenapa kau membohongi aku?" "Apa?" Wiyatsih terkejut "apakah aku pernah berbuat demikian?" "Bukankah beberapa hari yang lalu, kau sanggup menemui aku ditepian sebelum senja" Hampir setiap senja aku
382 menunggumu, tetapi kau tidak pernah datang. Apakah kau dengan sengaja mempermainkan aku?" Wiyatsih mengerutkan keningnya, Namun tiba-tiba saja ia tertawa "Tanjung, maaf. Aku telah melupakan janji itu. Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan seseorang. Biasanya aku tidak pernah mengingkari janji yang sudah aku ucapkan" "Tentu kau tidak sekadar lupa" jawab Tanjung "selama ini aku tidak parnah melihat kau ditepian. Biasanya kau selalu ada di pinggir kali. Dipagi hari kau mencuci pakaian, disiang hari kau singsah juga di pinggir sungai itu jika kau pulang dari sawah, merenungi air Kali Kuning untuk bekal bermimpi. Tetapi beberapa hari ini kau tidak pernah aku jumpai" "Itu suatu kebetulan saja Tanjung. Aku juga pergi ke sungai seperti biasa. Mungkin waktunya agak berubah sedikit, karena beberapa hari ini badanku agak kurang enak" "Bohong. Apakah kau tidak dengan sengaja menghindari aku dan berjanji dengan orang lain" "Ah kau" desis Wiyatsih "jangan berprasangka" "Kalau begitu Wiyatsih" suara Tanijung menurun "besok aku tunggu kau di tepian. Sebelum senja kau harus sudah ada di sana" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia terlalu sulit untuk memenuhi permintaan Tanjung itu. Ia tahu apakah yang akan dikatakannya. Tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang sebaik-baiknya. Jawaban yang dapat dimengerti oleh Tanjung tetapi tidak menyakiti hatinya. "Aku sama sekali tidak tertarik kepadanya" katanya didalam hati "apalagi kakang Pikatan, sama sekali tidak menyukai sifatsifatnya" "Bagaimana Wiyatsih?"
383 Sekilas terdengar pesan Puranti. Untuk menjajaginya, sebaiknya ia justru menemuinya sendiri seperti yang dikehendaki itu. "Terlalu mudah untuk dikatakan" katanya didalam hati "tetapi yang sulit adalah bagaimana menjajagi itu. Bagaimana aku harus berbicara supaya aku dapat meraba isi hatinya. Itulah yang sulit" Tetapi Wiyatsih tidak dapat menolak lagi. Ketika Tanjung mendesaknya, Wiyatsih menjawab, meskipun ragu-ragu " Baiklah. Aku akan datang besok" "Tetapi jangan berbohong lagi" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Aku menunggumu. Aku sudah menyediakan sebuah kentongan kecil yang aku sangkutkan pada pering ori di tepian. Jangan takut lagi" Wiyatsih mengangguk. Lalu katanya "Apakah kau sekarang akan menemui ibu?" Tanjung termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia masih ingin berbicara berdua saja dengan Wiyatsih. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk "Baikiah. Aku akan bertemu dengan Nyai Sudati" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi jangan lupa. Aku memerlukan kau. Kalau kau besok tidak datang, aku terpaksa sekali mengatakannya disini. Bahkan mungkin dihadapan ibumu" "Aku kira itu lebih baik Tanjung. Nah, daripada kita harus menunggu besok senja, katakanlah sekarang. Kalau memang perlu, biarlah aku memanggil ibu" "Tidak. Tidak" nafas Tanjung terasa semakin cepat mengalir "besok saja. Aku ingin mengatakannya dengan tenang" Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi berdebardebar. Selama ini ia memang berusaha menghindar dari
384 Tanjung. Disiang hari ia memang tidak berada ditempat yang biasa. Tetapi bukan saja karena Tanjung, namun ia memang memerlukan tempat. vang tidak pernah diinjak kaki manusia. Di tempat yang agak jauh dan padukuhan, dicelah-celah jurang yang dalam, Wiyatsih seakan-akan menyembunyikan dirinya, Untuk berlatih sepuas-puasnya. Di tempat itu, ia merasa lebih bebas daripada dihalaman belakang rumahnya. Meskipun halaman halaman itu cukup luas, namun ia tidak dapal berbuat sekehendak hatinya, karena suara yang timbul dapat mengejutkan Pikatan yang berindera tajam. Apalagi halaman rumahnya tidak ada batu-batu besar yang berbongkah-bongkah, yang dapat dijadikan alas latihan kakinya yang berloncatan dengan lincahnya. Namun dengan demikian, dirumah, Wiyatsih menjadi seorang gadis yang lain. Ia menjadi pendiam dan perenung. Kadang-kadang ia selalu berada didalam biliknya, seperti Pikatan. "Barangkali hatinya belum sesuai dengan Tanjung " pikir ibunya yang menyangka bahwa hati Wiyatsih murung karena anak muda itu. Wiyatsih yang sedang merenung itu terkejut ketika ia mendengar Tanjung berkata "Sudahlah Wiyatsih, panggillah ibumu. Persoalan kita akan kita tunda sampai besok" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Baikiah, aku akan| memanggil ibu" Setelah ibunya duduk menemui Tanjung, maka Wiyatsihpun masuk kedalam biliknya. Dengan lesu ia duduk di pembaringannya. Hatinya menjadi gelisah apabila teringat olehnya permintaan Tanjung, justru ia tahu apa yang akan dikatakannya. "Justru pertemuan yang diminta oleh Tanjung akan memberi kesempatan kepadamu untuk mengetahui sifatsifatnya "terngiang kembali kata-kata Puranti ditelinganya.
385 Tetapi alangkah sulitnya untuk berbicara tentang hubungannya itu. Ia benar-benar tidak tertarik kepada Tanjung, yang dianggapnya sebagai seorang anak muda yang cengeng, yang menurut Pikatan justru seorang penjilat. "Tidak. Aku tidak akan menemuinya. Aku akan memusatkan perhatianku kepada lalihan-latihan kanuragan itu dahulu, sebelum aku berbicara tentang laki-laki" Demikianlah Wiyatsih berusaha melupakan janjinya "Biar saja, apa yang akan dilakukan oleh Tanjung" Tetapi ketika saatnya tiba, hati Wiyatsih menjadi sangat gelisah. Ia pernah mengingkari janjinya, meskipun ia memang tidak tertarik sekali dengan janji itu. "Apakah aku akan ingkar lagi?" Sekali lagi Wiyatsih menggeram "Aku tidak akan datang. Aku tidak ingin berbicara tentang hubunganku dengan Tanjung Saat untuk itu masih jauh, selagi daerah ini masih merupakan daerah yang kering kerontang" Namun dengan demikian Tanjung akan selalu menagih janjinya itu Setiap kali Tanjung akan membuatnya gelisah dan tidak tenang. Tiba-tiba Wiyatsih tersenyum. Ia menemukan akal. Katanya kepada diri sendiri "Ia harus dibuat jera" Demikianlah disaat yang dijanjikan, Tanjung sudah menunggu Wiyatsih ditepian. Senja yang semakin lama menjadi semakin suram telah menggelisahkan Tanjung. Apalagi malam itu bukan malam terang bulan, sehingga tepian Kali Kuning itu semakin lama menjadi semakin gelap. "Kenapa ia belum datang?" bertanya Tanjung kepada diri sendiri. "Anak itu pasti ingin mempermainkan aku. Kalau hari semakin gelap, aku tidak akan dapat menunggunya lebih lama
386 lagi, Bukan saja kemungkinan satu dua orang penjahat lewat. tetapi kadang-kadang melalui Kali Kuning, iring-iringan lampor lewat dengan riuhnya. Menurut ceritera orang-orang yang berada di pinggir sungai dan melihat lampor itu lewat, ia akan dibawa serta sampai kelautan Kidul" Tanjung bergumam sendiri. Tatapa sesadarnya, Tanjung meraba kentongan kecilnya yarti memang sudah disediakan. Kalau terjadi sesuatu, maka kentongan itu akan dibunyikannya untuk memanggil anakanak muda yang lain. Tetapi meskipun demikian ia tetap raguragu, Didalam keadaan ini pasti jarang sekali anak-anak muda yang bersedia mengorbankan. dirinya, melawan para penjahat yang untuk beberapa saat telah membuat Kademangan Sambi Sari menjadi Kademangan yang mati dimalam hari. Dalam kegelisahan itu, Tanjung berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia berhanti dan duduk diatas batu padas. Kentongannya diletakkan disampingnya, siap untuk diraih apabila ada sesuatu yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba saja, Tanjung terkejut ketika sebuah batu terlempar tepat mengenal kentongannya, sehingga kentongannya itu terloncat beberapa langkah. Dengan serta merta Tanjung berdiri. Ketika ia berpaling, dilihatnya seseorang berdiri beberapa langkah dibelakangnya. Dada Tanjung berdentangan, seakan-akan hendak meledak. Orang yang berdiri dibelakangnya itu adalah seseorang yang mengenakan pakaian hitam pekat dan berkerudung pada wajahnya. Tiba-tiba saja tubuh Tanjung menjadi gemetar. Dengan suara yang berputus-putus ia bertanya "Siapa kau" Siapa?" Tetapi orang yang berpakaian hitam itu sama sekali tidak menjawab. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati Tanjung. Namun sepatah katapun tidak diucapkannya. "Siapa kau he" Siapa?"
387 Orang itu tetap berdiam diri. Namun didalam keremangan ujung malam, Tanjung melihat seakan-akan tatapan mata orang itu langsung menembus kedalam dadanya. Tanjung menjadi semakin gelisah. Terasa dihatinya, bahwa orang itu memang berniat tidak baik. Karena itu, ia berusaha untuk mengambil kentongannya yang terjatuh. Tetapi selagi Tanjung melangkah selangkah, ia terkejut bukan kepalang. Orang berpakaian hitam itu tiba-tiba saja telah ada di hadapannya, dengan satu kakinya ia menginjak kentongan yang akan diambilnva. "Siapa kau he" Siapa kau?" Tanjung hampir berteriak. Tetapi bayangan itu sama sekali tidak menjawab. Tanjung semakin lama menjadi semakin cemas menghadap orang yang aneh itu. Ia tidak akan dapat mempergunakan kentongan itu lagi. Sedangkan menurut pengamatannya orang ini pasti salah seorang dari orang-orang jahat yang sering berkeliaran di daerah ini. Meskipun demikian, Tanjung masih juga berusaha. Tibatiba saja ia berusaha untuk lari dan kembali kepadukuhan. Namun selagi ia meloncat selangkah, terasa tangan orang itu telah menggenggam lengannya. Dengan suatu hentakkan yang keras, Tanjung terpelanting dan jatuh ke dalam air. Tertatih-tatih Tanjung berusaha berdiri. Tubuhnya menjadi basah kuyup. Kekuatan itu terasa bagaikan tarikan seekor kerbau yang paling garang. Tidak terlawan sama sekali. Tanjung kini benar-benar menjadi ketakutan. Tidak ada jalan untuk lari. Tetapi tidak ada keberanian untuk melawan. Apalagi setelah ia mengetahui, betapa besarnya kekuatan tarikan tangan orang itu, meskipun tangannya sama sekali tidak terasa kasar dilengannya. "Siapa kau dan apa maumu?" suara Tanjung gemetar. Tetapi tidak ada jawaban.
388 Dalam pada itu, Tanjung yang mengadahkan kepalanya kelangit melihat bintang gemintang yang telah terhambur memenuhi gelapnya malam. Tidak ada harapan lagi seseorang yang pulang dari sawah melihat keadaanmya. Karena itu, ia menjadi semakin gelisah dan ketakutan. Sedangkan jalan untuk lari, serasa sudah tertutup sama sekali. "Apa maumu he" Apakah kau ingin mendapatkan uang?" Orang itu tidak menjawab. Ketika Tanjung bergeser surut, iapun melangkah maju. Tiba-tiba saja Tanjung yang ketakutan itu berusaha menjerit sekuat-kuatnya. Tetapi suaranya yang hampir meloncat dari mulutnya itupun segera tersumbat, karena tangan orang itu telah menampar pipinya. Kemudian sebuah hentakkan sekali lagi melemparkannya jatuh kedalam air. Bahkan kali ini, bukan saja tubuhnya terbanting jatuh, tetapi terasa pelipisnya, menjadi sakit dan pening. Hampir saja Tanjung menjadi pingsan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk bangkit, agar ia tidak mati terbenam di dalam air meskipun beberapa teguk air telah masuk kedalam perutnya, Dengan merangkak-rangkak Tanjung menepi. Namun ia tetap menyadari keadaannya, meskipun ujung malam itu serasa semakin gelap. Dengan nafas terengah-engah Tanjung mencoba menguasai perasaannya. Masih terlintas juga dikepalanya, bahwa ia menyediakan sebuah kentongan kecil. Tetapi ternyata kentongan itu tidak dapat dipergunakannya. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah menyerahkan diri kepada nasibnya. Apapun yang akan terjadi, adalah nasib yang memang harus dihadapinya. Kalau ia harus mengalami bencana ditepian itu, apa daya.
389 Namun dalam keadaan itu, Tanjung masih dapat mensukuri bahwa Wiyatsih tidak datang senja itu. Jika ia datang, maka gadis itupun pasti akan mengalami bencana yang serupa. Dalam keadaan yang pasrah itu Tanjung tidak berbuat apaapa, selain duduk bersimpuh ditepian. Pakaiannya basah kuyup dan dikotori oleh pasir yang melekat, Anak muda itu sama sekali tidak berani lagi mengangkat kepalanya. Seandainya bayangan hitam itu menerkam dan mencekiknya, ia benar-benar sudah menyerahkan dirinya. Tetapi untuk beberapa saat tidak terjadi sesuatu. Tanjung masih tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun tidak ada jari-jari tangan yang merabanya. Tidak ada hentakan dan dorongan yang kuat yang membantingnya kedalam air. Meskipun demikiani Tanjung tidak berani mengangkat wajahnya. Tetapi tiba-tiba saja nyawanya seakan-akan meloncat dari ubun-ubunnya ketika ia merasa sentuhan ditengkuknya. Dunia rasanya mulai berputar dan pasir tepian seolah-olah terbang kelangit, membawanya menghadapi maut. Sentuhan yang dingin itu benar-benar bagaikan menghentikan arus darah dan nafasnya sekaligus. Tetapi sekali lagi ia terperanjat, sehingga tubuhnya yang seakan-akan tidak bertulang lagi itu terloncat sejengkal, dan bahkan Tanjung itupun, berdiri dengan tiba-tiba, ketika ia mendengar seorang memanggilnya hampir di telinganya "Tanjung, kenapa kau bersimpuh disini?" Tanjung yang kemudian tegak berdiri, memandang orang menyapanya itu, seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatannya "Wiyatsih, kau Wiyatsih?" "Ya, kanapa" Aku minta maaf, bahwa aku agak terlambat, Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dirumah dahulu.
390 Bahkan aku hampir lupa. Tetapi aku tidak mau mengecewakan kau berulang kali. Karena itu, meskipuni sudah agak terlambat, aku perlukan datang. Sebenarnya aku agak takuttakut juga berjalan di dalam gelap. sukurlah bahwa kau masih menunggu aku kalau kau sudah tidak ada ditepiah ini, entahlah. Mungkin aku akan beteriak-teriak memanggilmanggil" "Wiyatsih, pergilah, Pergilah" Suara Tanjung terbata-bata. "Kenapa" Bukankah kita berjanji untuk bertemu ditepian senja ini" Aku hanya terlambat sedikit Tanjung" Kau marah?" "Tidak. Bukan karena aku marah" Tanjung berhenti sejenak, Dengan nanar ia memandang berkeliling. "Apakah yang kau cari?" "Hantu, Eh bukan, tentu bukan hantu. Pasti penjahat yang paling jahat" "Hantu, eh, penjahat?" Wiyatsih terheran-heran. "Seseorang dalam pakaian yang hitam. Ia menyerangku dan membanting aku kedalam air" "O" Wiyatsih maju selangkah mendekati Tanjung "aku takut" "Pergilah" "Tetapi, apakah kau berkelahi dengan penjahat itu?" Tanjung memandang Wiyatsih sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab "Tidak. Aku tidak berkelahi" "Jadi?" "Aku tidak akan dapat melawannya" "Kau sudah mencoba?" Sekali lagi Tanjung menggelengkan kepalanya. "Berapa orang?"
391 "Satu orang" "Jadi kau begitu saja menyerahkan dirimu, Tanjung?" Tanjung memandang Wiyatsih dengan pandangan yang redup katanya "Aku tidak akan mampu melawannya Wiyatsih. Aku tidak berani. Jika ia menjadi semakin marah, aku akan dibunuhnya" "Apa yang sudah dilakukan atasmu?" "Aku dibantingnya kedalam air?" "Apakah salahmu?" Tanjung menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu" "Seharusnya kau melawan. Kau juga seorang laki-laki" Tanjung tidak menyahut. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Namun ketika tiba-tiba ia menyadari keadaan yang gawat, iapun berkata "Wiyatsih, marilah kita pergi. Marilah kita pulang sebelum orang itu datang kembali" "Tetapi bukankah kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku" Sesuatu tentang diri kita?" "Lain kali Wiyatsih. lain kali saja. Sekarang kita berada dalam bahaya" "Tetapi bukankah kau membawa kentongan" Kau dapat Memukul kentonganmu apabila kau perlukan" Kentongan itu terlempar. Aku tidak sempat mengambilnya" "O" "Jadi, marilah kita pulang" Wiyatsih tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja Tanjung menarik tangan Wiyatsih dan dibawanya berlari-lari meninggalkan tepian.
392 "Tunggti, tunggu. Aku dapat jatuh terjerembab. Aku memakai kain panjang. Langkahku tidak dapat selebar langkahmu" "Tetapi Tanjung tidak menghiraukannya. Ia masih menarik Wiyatsih berlari-lari meninggalkan tepian. Namun Wiyatsih segera menghentakkan tangannya, sehingga terlepas dari pegangan Tanjung. "Wiyatsih" desis Tanjung "kau tidak menyadari bahaya yang sebenarnya" "Tetapi aku tidak dapat lari secepat kau" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "bukankah seharusnya kau melindungi aku, bukan menyeret aku berlari-lari" "Kalau saja aku tidak berhadapan dengan penjahat itu, aku. akan melakukannya" sahut Tanjung "aku tidak akan takut berhadapan dengan anak muda yang manapun juga, jika mereka mengganggumu. Tetapi penjahat itu " "Apakah kau yakin bahwa penjahat itu mempunyai kemampuan berkelahi yang jauh lebih tinggi dari kemampuanmu sebelum kau berbuat apapun juga?" "Aku dilemparkan kedalam sungai" "Mungkin karena suatu hentakkan yang mengejutkanmu" "Tetapi aku lebih baik tidak berurusan dengan penjahatpenjahat. Aku tidak mau mengalami nasib seperti Pikatan" "Ah" "Sudahlah. Marilah" Tanjung menyambar tangan Wiyatsih. Tetapi kali ini Wiyatsih mengelak sambil berkata "Aku akan berjalan sendiri. tidak pantas dilihat orang kalau kita berjalan berpegangan tangan. Padahal kita bukan sanak bukan kadang"
393 Kalau saja Tanjung melihat wajahnya sendiri, ia akan mengetahui bahwa wajahnya menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat memaksa Wiyatsih, sehingga keduanya kemudian hanya berjalan cepat-cepat beriringan. Namun di perjalanan Wiyatsih masih bertanya "Jadi besok kita berbicara ditepian?" "Tidak. Besok juga tidak" "Kapan?" "Aku belum dapat mengatakan Wiyatsih. Mungkin kita tidak akan kembali ketepian. Kaupun jangan pergi ketepian lewat senja. Ternyata penjahat-penjahal itu sudah itu sudah berkeliaran di daerah ini. Mungkin mereka salah seorang kawan dari penjahat yang terbunuh oleh Pikatan" "Mungkin" sahut Wiyatsih. "Kita akan menentukan tempat yang lain kelak." Wiyatsih tidak menyahut lagi. Mereka berjalan semakin lama semakin cepat. Tanjung memang masih dibayangi oleh kecemasan kalau-kalau bayangan yang hitam itu mengejarnya. Ketika mereka sampai ke pojok padukuhan, maka Tanjungpun menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah sampai ke tempat yang paling aman. Sekali-kali ia mengusap keringat yang membasah di keningnya, sedang langkahnyapun menjadi semakin perlahan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata "Kita tidak perlu tergesa-gesa lagi Wiyatsih" "Tetapi" berkata Wiyatsih "siapakah yang akan menjamin, bahwa kita tidak akan bertemu lagi dengan orang itu" Seandainya ia menyusul kita kemari, apakah yang dapat kita lakukan". Seandainya kita berteriak teriak, apakah orangorang padukuhan kita akan berani menolong kita?"
394 "O" Tanjungpun menjadi termangu-mangu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata "ya, ya. Marilah, kita segera pulang" Keduanya mempercepat langkah mereka kembali. Hampir berlari-lari kecil. Apalagi karena mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun di pojok desa, karena semua orang telah menutup pintu rumahnya dan tinggal didalamnya. Sekali lagi Tanjung menarik nafas lega, ketika mereka telah mendekati regol rumah Wiyatsih. Mereka melihat regol itu masih terbuka dan dua orang penjaganya justru berdiri diluar. "Ha, itulah mereka" berkata salah seorang dari mereka. Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Ketika Wiyatsih dan Tanjung menjadi semakin dekat, ia berkata "Nyai Sudati sudah menjadi gelisah sekali. Hampir saja kami berdua disuruhnya mencari" "O" Wiyatsih tersenyum "aku berada ditepian bersama Tanjung" "Biasanya kalian tidak pulang terlampau malam" "Apakah sekarang ini sudah terlampau malam" Baru saja matahari terbenam" "Ah, ada-ada saja. Cepatlah sedikit. Ibumu sudah sangat gelisah. Bahkan menjadi cemas" Wiyatsih tertawa. Sambil berpaling kepada Tanjung ia berkata "Apakah kau akan singgah?" Tanjung ragu-ragu sejenak, lalu jawabnya "Baiklah" namun segera disambungnya "tetapi pakaianku basah kuyup dan kotor" Melihat pakaian Tanjung didalam cahaya pelita di regol rumahnya, Wiyatsih tertawa. Kedua penjaga regolnya yang semula mengerutkan keningnya itupun ikut tertawa pula.
395 Bahkan salah seorang dari mereka bertanya "Kenapa pakaianmu basah?" "Aku tergelincir kedalam air. Itulah sebabnya kami pulang agak terlambat" "Kau dapat menjadi demam" "Karena itu, aku akan terus saja pulang" Belum lagi Wiyatsih berkata sesuatu, ibunya telah berdiri di pintu regol. Sambil mengerutkaln keningnya ia bertanya "Kenapa kalian pulang terlampau lambat?" "Lihat ibu" berkata Wiyatsih "Tanjung mencuci pakaiannya langsung sambil dipakainya" "Kenapa kau Tanjung?" bertanya Nyai Sudati. "Aku tergelincir jatuh kedalam air" "Karena itu, jangan pergi ketepian dimalam hari" "Justru karena aku tergelincir aku lambat pulang" Ibu Wiyatsihpun tersenyum melihat Tanjung yang basah kuyup. Karena itu maka katanya "Pulanglah. Pakaianmu basah kuyup" "Baikiah. Aku minta diri. Besok aku akan datang kembali, barangkali ada masalah yang harus aku tangani" Nyai Sudati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya "Lain kali berhati-hatilah. Dan jangan pergi sampai larut malam" "Tanjung manganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Wiyatsih sejenak, seakan-akan berpesan, jangan mengatakan yang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Tetapi Wiyatsih hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sepeninggal Tanjung, maka Ibu Wiyatsuh itupun berkata "Masuklah. Aku menjadi sangat cemas. Untunglah kau pergi
396 bersama Tanjung. Kalau tidak, aku akan sangat marah kepadamu. "Kenapa ibu tidak marah kepadaku jika aku pergi bersama Tunjung?" "Ia anak yang baik. Ia tidak suka berlaku kasarkepada siapapun" Wiyatsih hanya menarik nafas dalam dalam. Diikutinya ibunya naik kependapa, kemudian masuk ke pringgitan. "Aku akan berganti pakaian ibu" "Kenapa" Apakah kau juga basah kuyup seperti Tanjung?" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia memandang ke ruang dalam. Tetapi ia tidak melihat kakaknya dari pringgitan itu. Jika kakaknya mendengar ibunya menyebut nama Tanjung, maka kakaknya itu akan marah lagi kepadanya. Tetapi iapun tidak akan dapat mencegah ibunya, untuk tidak menyebut-nyebut nama itu. "Bukankah pakaianmu tetap kering?" ibunya mendesak" "Ya,tetapi kainku kotor oleh pasir dan debu. Kakiku menjadi gatal-gatal. Aku akan kepakiwan sebentar." Ibunya tidak mencegahnya. Dipandanginya saja langkah Wiyatsih melangkahi pintu masuk keruang dalam. Dengan tergesa-gesa Wiyatsih masuk ke dalam biliknya dan menutup pintunya rapat-rapat. Dari dalam setagennya ia mengeluarkan sehelai kain hitam. Kemudian disingsingnya kainnya dan dilepasnya celananya. Sambil tersenyum ia berkata kepada diri sendiri "Ternyata Tanjung benar-benar seorang pengecut. Ia tidak dapat berbuat apa-apa dan sama sekali tidak berani berusaha mengatasi kesulitannya selain lari" Seperti biasanya, pakaian laki-laki yang didapatkannya dari Puranti itupun disembunyikannya, sebelum ia keluar dari
397 biliknya dan pergi ke pakiwan. Tetapi dari pakiwan Wiyatsih tidak pergi menemui ibunya. Ia langsung berbaring di pembaringannya. Malam nanti ia masih mempunyai pekerjaan seperti yang dilakukan setiap lewat tengah malam. Ibunya yang duduk di pringgitan menunggunya sejenak. Tetapi karena Wiyatsih tidak datang lagi ke pringgitan, maka iapun kemudian berdiri dan setelah menutup dan menyelarak pintu-pintu, maka Nyai Sudati itupun segera pergi ke dalam biliknya. "Mudah-mudahan keduanya akan berusaha saling menyesuaikan diri" berkata Nyai Sudati didalam hatinya. Lewat tengah malam, seperti biasanya Wiyatsih berlatih di kebun belakang. Kini Kiai Pucang Tunggal tidak lagi memberikan beberapa contoh unsur-unsur gerak kepada Wiyatsih, tetapi ia hanya memberikan beberapa petunjuk saja baginya. Wiyatsih sendiri seolah-olah telah mampu menanggapi setiap keadaan dengan serta merta. Tata gerak yang telah dikuasainya, dengan sendirinya akan berjalinlah satu dengan yang lain, apabila ia mengalami tantangan keadaan. Sekali-sekali bahkan Kiai Pucang Tunggal telah mengajarnya bertempur dengan lawan. Lawannya adalah Kiai Pucang Tunggal sendiri, sehingga Wiyatsih akan dapat menghayati kegunaan setiap tata gerak yang telah dipelajarinya. Mula-mula Wiyatsih mengalami sedikit kesulitan. Tetapi lambat laun ia berhasil menyesuaikan dirinya. Dengan demikian Kiai Pucang Tunggalpun memberikan persoalanpersoalan tata gerak yang lebih sulit lagi. Serangan-serangan beruntun dan kadang-kadang benar-benar menyakitinya. Tetapi dengan demikian, latihan-latihan yang dilakukan Wiyatsih menjadi hidup dan menarik sekali. Meskipuni kadangkadang lengannya benar-benar menjadi biru karena sentuhan
398 tangan Kiai Pucang Tunggal, namun berlatih dengan cara yang demikian sama sekali tidak menjemukannya. Apalagi setiap kali Kiai Pucang Tunggal memberikan persoalan-persoalan tata gerak yang baru, yang kadang-kadang terlampau sulit untuk diatasi. Namun dengan petunjuk Kiai Pucang Tunggal sendiri, Wiyatsih dapat maju dengan pesatnya. Selain tata gerak tangan dan kaki, Wiyatsih sudah mampu mempergunakan senjata pula. Bermacam-macam senjata. Setiap malam Kiai Pucang Tunggal tidak hanya membawa satu jenis senjata saja tetapi dua atau tiga. Senjata jarak pendek, sedang bahkan senjata panjang sekali, meskipun hanya sekedar dari sebatang bambu Namun demikian, sekali-kali Wiyatsih masih juga bertanya, dimanakah sebenarnya Puranti. "Ia berada di rumah janda di Cangkring itu" jawab Kiai Pucang Tunggal, lalu "Ia masih belum berhasil mengatasi persoalannya" "Apakah sebenarnya yang dihadapi?" "Sebenarnya bukan apa-apa. Tetapi bagaimana langkah yang sebaik-baiknya, agar laki-laki itu tidak mendendam kepada janda tua dan miskin itu. Seolah-olah janda itu tidak mau menyerahkan anak angkatnya untuk diperisterikannya" "Sekali-sekali aku ingin mengunjunginya" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan keningnya. Katanya "Jangan, Bukankah orang-orang Cangkringan sudah mengenal keluarga ini?" "Apa salahnya" Aku adalah kawan seorang gadis yang bernama Sontrot, eh Suntrut itu" Kawan gadis miskin itu hanyalah gadis-gadis miskin pula. Wiyatsih berpkir sejenak, lalu "Aku dapat juga berpakaian seperti seorang gadis miskin"
399 "Itu tidak perlu. Kalau ada yang melihat kau disana dan menarik perhatiannya, maka akan timbullah persoalan baru lagi bagi janda itu" "Ah" Wiyatsih menundukkan kepalanya. "Karena itu, tunggu sajalah barang dua tiga hari lagi. Ia akan dapat meninggalkan rumah itu. Meskipun hanya sesaat dimalam hari" "Apakah Kiai tidak pernah menjenguk Puranti di rumah itu?" "Ya, aku pernah datang sebagai seorang perantau yang miskin. Aku mengaku salah seorang keluarganya yang pergi menengoknya" "Aku juga" "Ah" Kiai Pucang Tunggal berdesah "sudahlah, sekarang mulailah dengan jenis senjata baru, senjata lentur" "Apa Kiai?" "Cambuk" "O" Demikianlah, Wiyatsih mulai mencoba mempergunakan senjata lentur, tetapi karena ia sudah menguasai tata gerak dasar dengan baik, maka iapun segera dapat mempergunakan jenis itu. Hasrat yang semakin menyala di dalam hati Wiyatsih untuk menguasai ilmu kanuragan itu sejalan dengan hasratnya yang membakar seluruh gairah dan tekadnya untuk membangun sebuah bendungan. Tanah yang kering, dedaunan yang menguning dan anak-anak kecil yang lemah dan kurus, membuatnya semakin dekkat dengan arus Kali Kuning. "Disinilah yang pernah dikatakan oleh kakang Pikatan, kemungkinan yang paling baik untuk membangun sebuah
400 bendungan" berkata Wiyatsih ketika ia berdiri di pinggir Kali Kuning. Tempat itu memang jarang sekali dilalui orang, karena letaknya yang agak jauh dari padukuhan. Tetapi tebingnya yang lebih sempit, batu-batu yang bererakan, serta tanah yang lunak diatas tebing. Membuat tempat itu paling sesuai untuk dibuat sebuah bendungan yang akan mengangkat air itu naik keatas tanggul dan mengalir membelah sawah yang kering. Meskipun Wiyatsih seorang gadis, tetapi tempaan lahir dan batin membuatnya berhati keras seperti kakaknya, ia yakin bahwa pada suatu saat di tempat itu akan berdiri sebuah bendungan yang kuat, yang akan mengairi sawah di sekitar padukuhannya. Tanpa disadarinya, tangannya meraba-raba tebing, dikoreknya batu-batu padas itu dengan jarinya. Ia masih belum sadar sama sekali bahwa bekas jarinya itu membuat goresan yang dalam pada tebing yang berbatu padas itu, seolah-olah digores oleh sepotong kayu yang keras. "Yang kita perlukan adalah brunjung-brunjung bambu" berkata Wiyatsih kepada diri sendiri "kemudian dikerahkan semua anak-anak muda, bukan hanya anak-anak muda, tetapi semua orang laki-laki untuk mengisi brunjung-brunjung itu dengan batu. Sedangkan semua perempuan menyiapkan makan dan minum bagi mereka" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya, ia puas dengan angan-angannya itu, seakan-akan kerja yang besar itu sudah dimulainya. Namun tiba-tiba badannya lemah, ketika ia sadar, bahwa semua itu barulah sekedar angan-angan, seperti yang dikatakan oleh Tanjung, bahwa ia sekedar bermimpi. "Tetapi tidak" Wiyatsih menghentakkan kakinya "Aku tidak bermimpi, aku bukan Tanjung yang sekedar menerima nasibnya. Seakan-akan alam ini begitu kejam menyiksa rakyat
401 Kademangan Sambi Sari, terutama disekitar Alas Sambirata ini tanpa ampun. Tidak, kita dapat bersahabat dengan alam. Dan kita dapat memanfaatkan alam ini." Namun sekali lagi Wiyatsih tersandar pada tebing Kali Kuning. Rakyat padukuhannya sendiri adalah rakyat yang lumpuh. Seperti Pikatan yang sekarang, benar-benar telah lumpuh sebelah tangannya, maka rakyat padukuhannyapun adalah rakyat yang lumpuh. Mereka mengeluh dan menangis. Tetapi mereka tidak berusaha merubah nasibnya sendiri, meskipun tersedia bagi mereka, air Kali Kuning yang tidak kering disegala musim. Wiyatsih itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya. Dengan serta-metta ia mengangkat wajahnya. Hatinya bersedih ketika diatas tanggul dilihatnya seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu, Kesambi. "Mengapa kau berada disitu Wiyatsih?" Wiyatsih memandang Kesambi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Sejenak kemudian iapun bertanya "Dan kenapa kau datang pula kemari, Kesambi." Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian meloncat turun sambil berkata "Mungkin kita bersama-sama telah bermimpi ditengah hari. Aku dahulu pernah mendengar, disinilah tempat yang paling baik untuk membual membuat bendungan" "Pikatan yang kau maksud?" "Ya. Pikatanlah yang pernah mengatakannya. Agaknya kaupun telah bermimpi tentang bendungan itu pula." Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Benar Kesambi. Aku memang sedang bermimpi. Tetapi aku berharap bahwa mimpiku akan menjadi Daradasih. Mimpi yang akan dapat terwujud"
402 Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku juga berpikir demikian. Kau sudah membangunkan hasratku untuk berbuat sesuatu. Kau benar, bahwa aku laki-laki seperti Pikatan. Aku muda dan utuh seperti Pikatan waktu itu. Aku bertanggung jawab atas padukuhanku seperti juga Pikatan. Karena itu aku datang kemari untuk menjajagi kemungkinan itu" "Kau berkata sebenarnya?" "Ya. Aku sudah mulai. Aku sudah mengatakannya kepada beberapa orang. Tetapi aku masih ditertawakan oleh mereka. Disangkanya aku orang yang tidak mau menerima karunia yang pantas bagi kita" "Aku akan membantumu Kesambi" Kesambi memandang Wiyatsih sejenak. Namun kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh-jauh. Tetapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. "Kesambi, kau tidak percaya bahwa aku sanggup membantumu karena aku seorang gadis?" "O. Tidak. Bukan, maksudku" berkata Kesambi dengan serta-merta. "Tetapi kenapa tanggapanmu menjadi seakan-akan beku" "Wiyatsih" berkata Kesambi "aku memang sudah mulai mempersoalkan bendungan ini dengan beberapa orang kawan. Tetapi agaknya mereka sama sekali tidak berminat. Mereka masih saja tertidur dan bergulat dengan mimpi buruk selama ini. Mereka menerima apa yang ada sekarang ini sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat mereka hindari" "Dari sanalah kita harus memulainya. Sebelum kita benarbenar membangun sebuah bendungan, kita harus mencoba membangun hasrat anak-anak muda di Sambi Sari ini untuk bangun. Dengan demikian maka kita memang mempunyai sasaran rangkap"
403 "Dan kan akan membantu aku?" "Kau tidak percaya?" "Sebenarnya, menilik sikapmu yaug tidak dibuat-buat itu aku seharusnya percaya kepadamu" "Apakah ada persoalan lain yang membuatmu ragu-ragu?" "Bagaimana dengan Tanjung?" "Apakah hubungannya dengan Tanjung?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan berat ia kemudian berkata "Setiap anak muda di padukuhan ini mengetahui bahwa hubunganmu dengan Tanjung sudah terlampau akrab" "Seandainya itu benar, apakah salahnya aku ikut membangun bendungan?" "Wiyatsih" berkata Kesambi kemudian dengan nada yang dalam "Tanjung adalah salah seorang dari anak-anak muda yang paling mencegah pembuatan sebuah bendungan. Dan menurut Tanjung, ibumu sendiri tidak sependapat dengan bendungan itu" "Ah" "Maaf Wiyatsih. Tetapi aku tidak berbohong. Banyak alasan yang dapat dikemukakan dan yang memang dapat diterima oleh orang-orang padukuhan ini. Bukan saja yang tua-tua, tetapi juga yang muda-muda" "Aku berpendirian lain" berkata Wiyatsih. "Tetapi hampir semua penduduk berpendapat, bahwa usaha untuk merubah alam ini sama sekali tidak akan berhasil. Bahkan itu adalah pertanda bahwa kita adalah orang-orang yang tamak, yang tidak mau berterima kasih atas karunia Tuhan yang telah kita terima selama ini, sehingga kita masih akan memperbanyak karunia itu dengan kemampuan kita
404 sendiri. Sedang dipihak lain dan yang penunggu Kali Kuningpun pasti akan marah apabila kita berani mengganggu aliran airnya. "Kita harus meyakinkan kepada mereka, bahwa hal itu tidak benar" "Itu adalah pekerjaan yang sulit Wiyatsih. Tidak kalah sulitnya dengan membuat bendungan itu sendiri." "Tetapi pendapat itu sama sekali tidak benar. Tuhan mengkaruniakan aliran Kali Kuning kepada kita untuk kita manfaatkan bagi kehidupan kita. Air yang mengalir disegala musim itu tidak harus kita sia-siakan, justru kita selalu kekurangan air dimusim kemarau. Sedangkan penunggu sungai inipun tidak akan dapat berbuat apa-apa, apabila rencana itu memang berkenan dihati Pencipta dari Alam ini, karena Pencipta itulah yang mempunyai kekuasaan Yang Maha Tinggi." "Jangan membantah aku" sahut Kesambi "aku sependapat dengan kau. Tetapi orang-orang lain itulah yang berpendirian demikjan." Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam, Katanya "Maaf Kesambi. Maksudku, kita dapat menjelaskan demikian kepada orang-orang padukuhan kita dan bahkan kepada seluruh Kademangan Sambi Sari yang terbelakang ini. Jika kita pergi ke Kademangan-kademangan yang lain, kita akan melihat, bahwa mereka jauh lebih cepat berbuat daripada kita disini. Aku pernah mengikuti ibuku menengok seorang keluarga meskipun bukan keluarga dekat, kepadukuhan yang bagiku terasa sangat subur, parit-parit yang mengalirkan air yang jernih, akan tetap mengalir meskipun terik matahan membakar dedaunaun dimusim yang paling kering." "Dan kita melihat dedaunan dipadukuhan ini menjadi semakin kuning. Alas Sambirata sekarang bagaikan sebuah
405 bukit berbatu-batu padas yang kekuning-kuningan karena musim kering yang panjang" "Karena itu Kesambi" berkkta Wiyatsih "marilah kita berbuat sesuatu" "Apa yang dapat kita lakukan?" "Meyakinkan mereka. Tidak jemu-jemunya sepanjang kita yakin sanggup berbuat demikian. Sebentar lagi musim kering tahun ini akan berakhir. Sebelum dedaunan menjadi hijau, kita harus sudah berhasil meyakinkan mereka, meskipun kita belum dapat memulainya. Kalau sampai musim basah yang akan datang, mereka tidak yakin bahwa kita memerlukan bendungan, maka dimusim basah, ketika dedaunan menjadi hijau dan sawah-sawah telah tergenang dengan air hujan, mereka akan menjadi semakin rnalas berpikir" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya, Suatu tugas yang sangat sulit" namun iapun kemudian mengadahkan wajahnya "aku akan mencoba" Aku akan menyiram tanaman disawahku dengan air sungai sebagai suatu peraga bahwa dengan air sungai ini kita akan mendapatkan manfaat" "Bagaimana hal itu akan kau lakukan" Dan bukankah sawahmu berada di daerah yang basah" "Ibu mempunyai juga sebidang tanah kering meskipun letaknya juga dipinggir Kali Kuning. Tetapi tanah diujung selatan dari bulak kita terletak agak tinggi dari permukaan aliran Kali Kuning itu" Kesambi mengerutkan keningnya "Ya, ya. Aku tahu. Tanah itupun kering sama sekali, sehingga seakan-akan telah terpecah-pecah oleh terik matahari. Tetapi apa yang dapat kau perbuat?" "Aku akan menanam jagung diatas tanah itu"
406 "Jagung itu akan kering sebelum tumbuh. Seperti jagung yang kita panggang, maka jagung itu akan menjadi berondong" Tetapi Wiyatsih justru tersenyum. Katanya "Aku akan menyiramnya setiap sore" "Itu tidak mungkin Wiyatsih. Kalau kau dapat mengerahkan semua anak muda di padukuhan ini, barulah kau mendapatkan ait yang cukup" Tetapi Wiyatsih masih juga tersenyum. Tiba-tiba terbayang diangan-angannya suatu latihan yang bagus sekah, selain ia akan membuktikan bahwa dengan air Kali Kuning, ia dapat berbuat sesuatu. "Aku akan memanjat tebing itu setiap hari" katanya didalam hati "alasan yang tidak akan dapat diketahui oleh siapapun bahwa aku sedang berlatih memperkuat kaki dan tanganku. Aku akan berjalan hilir mudik untuk beberapa puluh kali setiap hari, meskipun tentu ada juga orang yang berpikir bahwa aku menjadi tidak waras lagi" "Kesambi" berkata Wiyatsih kemudian "aku akan mencoba melakukannya. Aku akan membuat semacam tangga pada tebing Kali Kuning. Sudah barang tentu, aku tidak akan menanami seluruh bagian dari tanah ibu yang kering itu. Aku hanya akan mengambil sekotak yang terletak tepat dipinggir tanggul" Kesambi menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya "Sekotakpun tidak mungkin Wiyatsih" "Apakah kau juga sudah mulai dengan penyakit seperti yang menghinggapi anak-anak muda dipadukuhan kita" "Tidak. Tetapi bagaimanapun juga kita harus berpikir wajar, kita memang tidak dapat melakukan keajaiban yang manapun juga. Dan tenaga kita tidak akan dapat melampaui kenyataan kita sehari-hari"
407 "Kesambi, kadang-kadang niat dan tekad kita dapat mempengaruhi kemampuan yang ada pada diri kita masingmasing. Marilah kita lihat, apakah aku mampu atau tidak. Kalau tidak, usaha itu akan aku hentikan. Tetapi sudah tentu bahwa usaha yang lain untuk membangun bendungan ini akan tetap berlangsung" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Wiyatsih benar-benar seorang yang keras hati. "Tetapi orang yang berkeras hati seperti itulah yang akan berhasil dengan usahanya, selama usahanya itu masih tetap dalam batas kewajaran" berkata Kesambi didalam hatinya. "Kesambi " berkata Wiyatsih kemudian "marilah kita berjanji kepada diri kita sendiri, bahwa kita akan bekerja terus sejauh dapat kita lakukan" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita dapat merencanakan pembagian waktu. Di musim hujan mendatang, kita dapat menyiapkan brunjung-brunjung bambu sambil mengumpulkan batu. Disini kita dapat mengumpulkan batu berapapun yang kita perlukan. Menjelang musim kering, kita mengisi brunjung-brunjung bambu itu dengan batu. Sebagian dari kita menggali parit, membelah tanah-tanah kering. Jika hujan telah mereda kita turunkan brunjung-brunjung batu itu kedalam sungai dan kita timbun dengan tanah padas. Kita akan mendapatkan sebuah bendungan yang sederhana. Tetapi kita akan dapat mengangkat air dari Kali Kuning ini" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia menjadi begitu kagum terhadap Wiyatsih. Kagum akan kecerdasan berpikir dan tekad yang bulat didalam hati. Apalagi Wiyatsih adalah seorang gadis yang bagi padukuhannya, merupakan seorang yang lemah dan dipersiapkan sekedar untuk menyusui anaknya kelak.
408 Tetapi ternyata Wiyatsih adalah seorang gadis yang lain. Bahkan Kesambi merasa seakan-akan ia berdiri berhadapan dengan Pikatan sendiri. Dengan seorang anak muda yang gagah dan berhati baja. Yang bercita-cita membuat padukuhannya menjadi sebuah padukuhan yang subur dan hijau. Namun bagaimanapun juga, Kesambi harus menyadari, bahwa yang ada sekarang bukanlah Pikatan, tetapi Wiyatsih. Seorang gadis yang tampaknya sebagai seorang gadis yang lembut. Tetapi ternyata hatinya sekeras hati Pikatan. Meskipun demikian, ketika tanpa sesadarnya Kesambi memandang mata Wiyatsih, hatinya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja terasa sesuatu melonjak dihatinya. Baginya Wiyatsih adalah gadis yang sempurna. Seorang gadis yang bercita-cita, seorang gadis yang tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dan bukan pula seorang gadis yang sekedar menunggu hari-hari perkawinannya dengan menghisap ibu jarinya. Tetapi ia adalah gadis yang berhati bara. Panas dan bergelora. Namun demikian, ia adalah seorang gadis yang cantik dan lembut. "He, kenapa kau tiba-tiba membeku" bertanya Wiyatsih "O" Kesambi terkejut. Ia belum pernah memperhatikan seorang gadis seperti saat itu. Kesulitan hidup dan kenyataan yang dihadapinya tidak memungkinkannya untuk memikirkan dan berangan-angan sesuatu tentang seorang gadis. Apalagi kelanjutan dari angan-angannya tentang gadis itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. "Apa yang kau pikirkan?" bertanya Wiyatsih. "Batu-batu padas itu" berkata Kesambi kemudian dengan terbata-bata "tetapi kita mengharap, bahwa kita akan dapat melakukannya. "Sudahlah" berkata Kesambi kemudian "aku akan pergi. Aku akan terus berbuat apapun yang dapat aku lakukan.
409 Tempat ini memang tepat seperti yang dikatakan oleh Pikatan beberapa tahun yang lalu, sebelum ia meninggalkan padukuhan ini. Baru setelah ia kembali, kata-katanya itu aku ingat-ingat. Tetapi ternyata Pikatan sekarang sudah lain" "Ya. la sekarang hidup terasing" "Baiklah. Kitalah yang akan melakukannya" Kesambi berhenti sejenak, lalu "tetapi pikirkan rencanamu masakmasak. Kau tidak akan dapat setiap hari naik turun tebing diujung selatan bulak kita itu " Wiyatsih tersenyum. Jawabnya "Baikiah Kesambi. Aku akan memikirkannya" "Tentu bukan sekedar tentang rencana itu Tetapi kau menghadapi masalah yang lebih rumit dari aku. Tanjung, yang selama ini selalu berada dimanapun kau pergi, tentu akan mencoba menghalangimu. Terlebih-lebih lagi adalah ibumu sendiri" Tetapi Wiyatsih masih saja tersenyum. Katanya "Aku akan mencoba meyakinkan mereka, seperti aku akan meyakinkan setiap orang, bukankah kau juga akan berbuat demikian?" Kesambi mengangguk. Tetapi, tampak keragu-raguan yang membayang. Bukan ragu-ragu tentang dirinya sendiri. Tetapi ia meragukan Wiyatsih. Betapapun keras hatinya namun orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sama sekali tidak memberikan dukungan apapun. Apalagi orang itu adalah seorang laki-laki yang mulai merayap memasuki kehidupannya. Tetapi Kesambi tidak mempersoalkannya lagi. Iapun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi ia berpaling ketika Wiyatsih berkata "Akupun akan pulang juga Kesambi" Kesambi termenung sejenak. Tetapi katanya "Aku akau pergi dahulu"
410 Wiyatsih tersenyum pula. Katanya "Memang tidak pantas jika kita berjalan bersama-sama dari tempat yang agak jauh dan sepi. Pergilah dahulu. Tidak seorangpun akan percaya bahwa kebetulan saja kita bertemu disini. Kesambi mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi iapun segera meloncat keatas tanggul dan berjalan dengan tergesagesa meninggalkan tempat yang sepi itu, karena ia tidak ingin menimbulkan persoalan yang lain jika seseorang melihat ia berada ditempat itu bersama Wiyatsih meskipun hanya secara kebetulan. Sepeninggal Kesambi, Wiyatsihpun kemudian berjalan perlahan-lahan menyelusuri sungai. Tanpa sesadarnya ia mulai berdiri diatas sebuah batu. Kemudian kakinya yang lincah mulai berloncatan. Mula-mula ia meloncat dari batu kebatu yang cukup besar. Namun kemudian kakinya menginjak batubatu yang lebih kecil, semakin lama semakin kecil. Untunglah bahwa ia segera menyadari dirinya, sehingga iapun kemudian berjalan ditepian, diatas pasir yang menjadi semakin panas. Namun demikian, ia merasa bahwa ia telah benar-benar mendapatkan seorang kawan. Kawan yang dapat diajaknya bekerja bersama untuk membangunkan anak-anak padukuhannya yang tertidur nyenyak dalam cengkaman mimpi yang menakutkan. Tetapi bagi mereka, bagi orang-orang bukan saja dipadukuhannya, tetapi di seluruh Kademangan Sambi Sari, menganggap bahwa kesulitan hidup itu adalah suatu kenyataan yang harus dijalani. Ikhlas atau tidak ikhlas, karena itulah yang menjadi bagian mereka. Ketika Wiyatsih sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat Tanjung sudah ada dipringgitan duduk bersama ibunya. Demikian Wiyatsih menjenguk pintu, maka ibunya segera berkata "Nah, itulah dia. Dari mana kau Wiyatsih. Kau pergi terlalu lama, sehingga kami menjadi cemas" "Aku mencarimu ketepian Wiyatsih" berkata Tanjung "aku kira kau mencuci disana"
411 Wiyatsih tersenyum "Aku berada disawah ibu " "Tidak, Aku juga mencarimu kesawah" "O, dari sawah aku singgah, sejenak ke sungai mencuci kakiku yang kotor sekali. Tetapi sawah yang mana kau mencari aku?" "Kesawah yang mana?" ibunya menjadi heran. "Ya, kesawah yang mana?" "Kenapa kau bertanya begitu Wiyatsih. Bukankah sawah kita yang dapat ditanami di musim kering ini hanya sebagian di sebelah utara padukuhan ini, tepat di tikungan Kali Kuning" "O, tempat itu memang baik ibu. Air Kali Kuning seakanakan langsung dapat mengairi sawah kita. Tetapi itu hanya terjadi tepat ditikungan, sedang tanah kami memang agak rendah" Ibunya dan Tanjung menjadi terheran-heran. "Aku singgah ditikungan yang lebih ke utara lagi" "Disebelah Alas Sambirata?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Wiyatsih" desis ibunya "apakah kau berkata sebenarnya?" "Ya ibu. Aku berkata sebenarnya. Kenapa?" "O" ibunya menarik nafas "duduklah. Duduklah. Katakan yang sebenarnya, apakah kau dari sana?" "Ya. Aku memang dari tempat itu" Ibunya mengusap dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya "Ampun" katanya "apa kerjamu disana?" "Aku hanya melihat-lihat saja ibu. Dahulu kakang Pikatan pernah merencanakan membuat sebuah bendungan disana, dan sekaligus tempat penyeberangan diatas bendungan itu"
412 "O" ibunya setiap kali hanya dapat menekan dadanya dengan telapak tangannya. "Wiyatsih " berkata Tanjung "kenapa kau pergi ketempat itu?" "Sudah aku katakan" jawab Wiyatsih "kakang Pikatan pernah mengatakan, bahwa ada beberapa tempat yang mungkin dapat dibangun sebuah bendungan. Ditikungan disebelah Alas Sambirata itu, atau disebelah utara pohon benda yang tumbuh dipinggir kali atau masih ada tempattempat lain yang disebutkannya" "Tetapi, tetapi kenapa kau memerlukan membuang-buang waktu pergi ketempat itu?" bertanya Tanjung. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Aku masih tetap tertarik pada bendungan seperti yang dikatakan oleh kakang Pikatan itu" "O, Wiyatsih" berkata ibunya kemudian "jangan kau ulangi lagi pekerjaan yang hanya mendebarkan jantung itu. Alas Sambirata terkenal sebagai tempat yang angker. Sebaiknya kau tidak usah pergi kesana" "Aku memang tidak memasuki Alas Sambirata itu. Aku hanya berada dipinggir Kali Kuning" "Tetapi tempat itupun mengerikan sekali. Tempat yang jarang sekali didatangi orang" "Tetapi tempat itu memang bagus sekali untuk membuat bendungan. Tebingnya agak sempit sedang tanah disekitarnya cukup tinggi untuk menjadi induk aliran air bagi padukuhan ini, sehingga hanya akan dapat mengalir sampai ke ujung selatan dari bulak kita. Sawah kita diujung Selatan itupun akan dapat menjadi basah pula" "Wiyatsih" ibunya menjadi tegang.
413 "Ditempat yang lain, tanah disekitarnya tidak begitu tinggi, sehingga air yang naik tidak cukup kuat untuk mengalir keseluruh tanah persawahan di padukuhan ini" "Cukup, cukup" potong ibunya "apakah kau telah kerasukan demit dari Kali Kuning?" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Aku memang mengetahui pendirian ibu. Ibu tidak setuju dengan bendungan itu seperti yang pernah ibu katakan kepada kakang Pikatan dahulu. Tetapi apakah alasan ibu sebenarnya?" "Aku sependapat dengan orang-orang lain Wiyatsih, Mungkin kita adalah orang yang paling besar mendapat karunia di daerah ini. Kenapa justru kitalah yang merasa bahwa apa yang kita terima ini masih terlampau sedikit, sehingga kita akan merubah alam yang disediakan untuk kita" "Itulah alasan ibu yang sebenarnya?" "Dan...." ibunya menjadi ragu-ragu, tetapi ia berkata "kau harus berterima kasih bahwa tanah ini tandus dan kering. Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk mencari nafkah dengan caraku." "Meminjamkan uang dan kemudian mengambil hasil panenan di musim basah?" Ibunya tidak menyahut. "Dengan tanah yang tandus dan kering ini ibu dapat mencari tenaga dengan upah yang rendah sekali untuk mengerjakan sawah kita, hampir satu-satunya yang dapat di kerjakan dimusim kering. Dari pada kelaparan, maka orangorang itu mau menerima tawaran ibu meskipun penghasilan mereka sama sekali tidak sepadan" "Wiyatsih" ibunya memotong "kau benar-banar telah kerasukan demit Kali Kuning. Lihat, Tanjung sudah mulai berkembang dengan modal uang yang hanya sedikit. Sedang kau, anakku, sama sekali tidak mau membantu pekerjaanku.
414 Sekarang kau mulai berani mencela pekerjaan yang sudah bertahun-tahun aku lakukan. "Dan sudah bertahun-tahun pula ibu memeras tenaga dan bahkan harta benda rakyat Sambi Sari" "Wiyatsih" hampir berbareng Nyai Sudati dan Tanjung memotong kata-kata Wiyatsih itu. "Wiyatsih" suara ibunya menjadi bergetar "apakah kau sadari apa yang kau katakan?" "Aku sadar ibu. Bahkan kesadaran yang demikian sudah lama sekali berkembang di dalam hatiku. Aku yakin bahwa di hati kakang Pikatanpun memercik pikiran yang serupa. Tetapi sekarang ia tidak lebih dari seorang laki-laki yang sedang berputus asa." "Tentu, Pikatanpun akan berkata demikian. Kau tentu mendengar daripadanya pula, atau pernah mendengar rencananya" "Ya." "Aku tidak sependapat Wiyatsih. Hentikan mimpimu yang gila itu" Tetapi Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku akan bekerja terus, ibu. Aku ingin setiap orang dari padukuhan ini dapat makan layak, dapat hidup layak. Hanya itu. Tidak berlebih-lebihan. Dan kita tidak akan menjadi miskin karenanya. Mungkin kita akan dapat mengembangkan usaha dengan cara yang lain didaerah yang lebih subur daripada kuburan yang sangat luas ini" "Wiyatsih, apakah kau benar-benar telah kesurupan?" "Tidak ibu. Aku tetap sadar" tetapi kata-kata Wiyatsih patah ditenggorokan ketika tiba-tiba saja ia melihat mata ibunya menjadi basah.
415 "Kau sudah berani menentang ibumu Wiyatsih" suara ibunya menjadi parau, sedang Tanjung hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Wiyatsih menjadi termangu-mangu. Tetapi ia masih belum menjawab. "Aku sudah mengerjakan pekerjaan ini bertahun-tahun. Sejak ayahmu meninggal, akulah yang harus memelihara kau berdua. Selama ini aku tidak pernah mengatakan kepadamu dan kepada Pikatan, apakah yang sebenarnya sudah terjadi" Wiyatsih menjadi diam dan bahkan seolah-olah telah membeku ditempatnya. "Kalau aku tidak melakukan pekerjaan ini Wiyatsih, mungkin kau akan mengalami kehidupan yang lain. Mungkin kau tidak akan pernah sempat berbicara tentang bendungan, karena kaupun akan hidup seperti gadis-gadis Sambi Sari sekarang ini. Kurus kering, dan dengan pakaian yang hampir tidak dapat menutup separo dari tububmu. Namun demikian kau tidak akan dapat menarik hati lelaki meskipun pakaianmu terbuka sama sekali, karena tubuhmu yang cacingan" Wiyatsih tidak menyahut, meskipun tiba-tiba matanya menjadi menyala. Dengan kepala tertunduk dalam-dalam, ia masih harus mendengarkan ibunya berkata seterusnya "Wiyatsih, kau tentu masih ingat. Suatu masa kita tidak sekecukupan sekarang ini, bahkan selagi ayahmu masih ada" suara ibunya menurun "sepeninggal ayahmu, kita dalam kesulitan yang parah, aku mengenal seorang laki-laki. Hampir saja aku terjebak olehnya Wiyatsih. Hampir saja aku kehilangan kehormatan dan harga diriku. Tetapi aku mencintai ayahmu. Aku mencintai Pikatan dan mencintai kau, sehingga dengan tekad yang bulat, aku melepaskan diri dari jebakan laki-laki itu. meskipun ia kaya raya. Aku tidak mau sekedar menjadi perempuan simpanan, agar isterinya yang lain tidak mengetahuinya. Aku tidak mau
416 hidup bersembunyi-sembunyi. Aku tidak mau. Dan aku tidak mau menodai cintaku kepada keluargaku. Kepadamu, kepada Pikatan dan kepada harga diriku sendiri. Sejak itulah aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa akupun harus menjadi seorang yang kaya, setidak-tidaknya berkecukupan sehingga aku tidak akan pernah mengalami penghinaan serupa itu lagi" Suara ibunya terputus. Tiba-tiba saja Nyai Sudati itu terisak. Dengan ujung kain panjangnya ia mengusap matanya sambil berkata "Wiyatsih Aku sekarang sudah herhasil, tidak akan ada laki-laki yang menghinakan aku lagi" ia berhenti sejenak, lalu "juga terhadap kau dan Pikatan. Kalian bukan anak seorang janda miskin yang menghianati kesetiaannya kepada keluarganya. Kepala Wiyatsih menjadi semakin tertunduk. Sebagai seorang gadis, hatinyapun menjadi cair mendengar isak ibunya. Bahkan mata Wiyatsihpun menjadi basah pula. Perlahan-lahan iapun kemudian berkata "Maaf ibu. Aku tidak bermaksud menyakiti hati ibu" "Aku tahu Wiyatsih" jawab ibunya "kau tidak akan menyakiti hatiku dengan sengaja, Tetapi ternyata kau perlu mendengar ceriteraku supaya kau dapat mempertimbangkan, kenapa aku telah melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan satusatunya yang dapat aku lakukan saat itu" Wiyatsih tidak menyahut. Ia tidak mau membuat hati ibunya menjadi semakin pedih. Meskipun demikian ia berkata didalam hatinya "Tidak seorangpun dapat menyalahkannya waktu itu. Keadaan ibu memang memaksa. Tetapi berbeda dengan keadaanku sekarang. Aku tidak harus melakukan pekerjaan serupa itu, karene tersedia bagiku pekerjaan yang lain" Tetapi Wiyatsih tidak mengucapkannya Disimpannya saja pikiran itu didalam hatinya. Hanya didalam saat-saat yang baik ia akan dapat mengatakannya.
417 "Nah, pikirkanlah Wiyatsih. Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Kalau kau akan makan, makan telah tersedia. Sebaiknya kau sedakan makan pula buat Tanjung" berkata ibunya tibatiba. Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Dengan hati yang berat, ia tidak dapat menolak perintah ibunya, agar ia menyediakan dan kemudian makan bersamasama dengan Tanjung. Apalagi selagi ibunya mengenang masa-masa pahit yang pernah dialaminya. Betapa hatinya terasa berat, tetapi ia harus melakukannya sebagaimana dikehendaki oleh ibunya. Dan Wiyatsihpun sadar, bahwa ibunya sengaja mendekatkannya semakin rapat kepada Tanjung, dengan berbagai macam cara. Ibunya selalu mencoba agar Wiyatsih menyadari pentingnya hubungan yang lebih pasti lagi antara dirinya dan Tanjung. Tanjung yang sudah merasa dirinya menjadi keluarga rumah itu, sama sekali tidak canggung-canggung lagi. Ia makan hidangan yang disuguhkan kepadanya seperti ia makan di rumah sendiri, justru Wiyatsihlah yang merasa canggung sekali makan, bersama dengan Tanjung. Ibunya agaknya memang dengan sengaja meninggalkan mereka berdua yang sedang makan. Sambil mengusap matanya yang basah Nyai Sudati pergi ke biliknya. Namun ia sempat berkata "Makanlah sebaik-baiknya. Bagaimanapun baiknya hidangan, tetapi apabila kalian makan dengan cara yang tidak baik, maka hidangan itu akan menjadi hambar. Tetapi sebaliknya, meskipun hanya sekedar daun gerandel, tetapi apabila kalian makan dengan cara yang baik, maka daun gerandel itu akan terasa betapa enaknya"
418 Wiyatsih dan Tanjung tidak menyahut. Keduanya hanya menundukkan kepala saja. Tetapi yang lewat didalam anganangan mereka adalah berbeda sekali. Wiyatsih merasa dirinya tersiksa menghadapi makanan yang telah tersedia itu, sebaliknya Tanjung tersenyum-senyum dilayani oleh Wiyatsih atas kehendak ibunya. Namun, selagi tangan Tanjung siap untuk menyuap mulutnya, ia terkejut. Dilihatnya seseorang berdiri tegak di depan pintu pringgitan. Orang itu adalah Pikatan. "O, marilah Pikatan. Apakah kau tidak makan bersama kami?" Mata Pikatan menyorot kewajah Tanjung setajam ujung duri landak, sehingga tanpa disadarinya Tanjung menundukkan kepalanya kembali. Sejenak kemudian tatapan mata itu berpindah kewajah Wiyatsih, tetapi Wiyatsihpun telah menundukkan wajahnya pula. Tanpa berkata sepatah katapun Pikatan melangkah melintasi pringgilan dan pergi ke pendapa. Begitu ia hilang dibalik pintu, maka Tanjungpun menarik nafas dalam-dalam. Untuk mengatasi gejolak perasaannya, Tanjung berkata dengan suara terbata-bata "Eh, apakah Pikatan sudah makan?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku tidak tahu. Bukankah kau lihat aku baru datang dan kemudian ibu minta aku melayanimu?" "O" "Kakang Pikatan makan dan minum di dalam biliknya" "Akulah yang biasanya menyediakan makan dan minumnya. tetapi kadang-kadang aku pergi terlampau lama.
419 Jika demikian maka seorang pelayanlah yang menyediakan buatnya" Tanjung mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi iapun kemudian bertanya "Kalau kau pergi terlampau lama, kemana saja sebenarnya kau Wiyatsih?" "Kesawah, kesungai untuk mencuci dan kadang-kadang sekali-kali bermain-main juga dengan kawan-kawan. Apa salahnya, apakah aku tidak boleh berkawan dan kadangkadang bermain nini towong di terang bulan?" "Aku, aku tidak bermaksud demikian, tetapi kadang-kadang kau pergi jauh lebih lama dari kawan-kawanmu. Kalau kau pergi mencuci pakaian, kawan-kawanmu tentu lebih dahulu pulang" "Aku belum selesai" "Tetapi kau tentu minta mereka pulang lebih dahulu" "O, apakah mereka harus menunggu cucianku selesai?" "Wiyatsih" suara Tanjung menjadi datar "apakah kau tidak sadar, bahwa sikapmu itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan pada kawan-kawanmu" Apakah kau tidak merasa, bahwa kau seakan-akan mulai mengasingkan dirimu pula seperti Pikatan" "Tentu tidak. Aku pergi kesawah pula bersama mereka. Aku. ikut bertanam padi di permulaan musim basah. Aku ikut menuai dan ikut beramai-ramai bersama gadis-gadis lain" "Itu tahun yang lampau. Tetapi sekarang kau bersikap lain." Wiyatsih tidak menyahut. Ia tidak menganggap perlu untuk memberikan penjelasan lebih jauh. Karena itu, maka iapun terdiam. Hanya tangannya sajalah yang masih sibuk menyuapi mulutnya.
420 Dengan demikian maka pembicaraan itupun terhenti. Tetapi Tanjung masih juga makan dengan lahapnya. Hal serupa itulah yang justru membuat Wiyatsih menjadi semakin jauh dari Tanjung. Meskipun tampaknya ia semakin sering berhubungan karena ia sekedar ingin memenuhi keinginan ibunya, namun hatinya serasa semakin hambar melihat sifat dan kelakuan anak muda itu. Tidak ada hal yang menarik baginya. Ia bukan seorang laki-laki yang diharapkannya. Kadang-kadang masih terbayang kejantanan kakaknya dahulu, sebelum ia meninggalkan padukuhan itu. Ia merupakan seorang pemimpin tanpa diangkat oleh kawankawannya. Seolah-olah dengan sendirinya ia telah berdiri di paling depan, tetapi sepeninggal Pikatan, anak muda Sambi Sari telah kehilangan ancar-ancar, apa yang sebaiknya dilakukan. "Dahulu" katanya didalam hati "Sekarang kakang Pikatan tidak ada bedanya lagi dengan Tanjung" Tetapi Wiyatsih masih mengharap kemampuan Kesambi. Setidak-tidaknya anak itu mempunyai niat. Bahkan niat yang kuat. Karena itu, apabila ia mendapat dorongan, maka Kesambi akan menjadi semakin bergairah. Demikianlah maka Wiyatsih agaknya benar-benar akan membuktikan, bahwa dengan air Kali Kuning, sawah-sawah yang kering akan dapat ditanami. Seperti yang pernah dikatakannya kepada Kesambi, maka Wiyatsih benar-benar akan menanami sawahnya yang kering diujung selatan bulak padukuhannya. Memang hampir tidak masuk akal. Ketika Wiyatsih mulai mengerjakan sawah yang kering itu, kawan-kawannya menjadi heran. Bukan saja gadis-gadis, tetapi anak-anak muda menganggapnya ada kelainan yang telah terjadi atas gadis itu.
421 Bahkan ibu Wiyatsihpun menjadi bingung. Ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh anak gadisnya itu, sehingga dengan nada kecemasan ia bertanya kepada Wiyatsih ketika anak itu ditemuinya sedang duduk di pembaringannya "Wiyatsih, apakah sebenarnya yang telah kau lakukan?" "Bukankah biasa saja ibu. Menanami sawah. Apa anehnya?" "O, Wiyatsih. Seluruh padukuhan mempercakapkan kau. Seolah-olah kau benar-benar telah berubah pikiran. Akalmu seolah-olah telah tidak sehat lagi" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Tentu tidak ibu. Aku sadar apa yang aku lakukan" "Tetapi tentu tidak seorangpun yang dapat mengerti. Akupun tidak. Kau telah menyebar benih jagung ditanah yang kering kerontang itu setelah kau sendiri mencangkulnya. Itu benar-benar suatu perbuatan yang tidak masuk akal" Sekali lagi Wiyatsih tersenyum. Katanya "Biarlah kita melihat ibu. Sesuatu yang tampaknya tidak masuk akal itupun kadang-kadang dapat membuka pikiran seseorang bahwa hal serupa itu dapat dilakukan" "Wiyatsih" berkata ibunya "aku tidak menyayangkan biji-biji jagung yang kau sebar dan yang besok atau lusa akan menjadi kering Tetapi bahwa kau telah melakukan hal itulah yang membuat aku menjadi prihatin. "Biarluh kita tunggu ibu. Apakah biji jagung itu akan tumbuh atau tidak" Wiyatsih terdiam sejenak, lalu "bahkan aku juga menanam kacang rambat di pematang, kelak, kita akan memetik kacang panjang dan daun lembayung" Ibunya menarik natas dalam-dalam "Kau telah dipengaruhi oleh mimpi burukmu Wiyatsih. Hentikan perbuatan gila itu" Tetapi Wiyatsih menggelengkan kepalanya "Aku akan mencobanya"
422 Nyai Sudati hanya dapat menekan dadanya. la menjadi sangat cemas terhadap anaknya. Anak laki-lakinya seakanakan telah kehilangan seluruh gairah hidupnya. sedang anak perempuannya tiba-tiba saja telah menunjukkan gejala-gejala yang mencemaskan. Sebenarnyalah hampir setiap orang mempercakapkan Wiyatsih dan seluruh keluarganya. Bermacam-macam eeritera telah tumbuh di padukuhan itu, bahkan diseluluh Kademangan Sambi Sari. "Agaknya dahulu Nyai Sudati pernah mencari pesugihan. Agar ia menjadi kaya, ia pergi kegoa-goa. Ternyata bahwa ia mendapatkan kekayaan itu, tetapi ia harus mengorbankan kedua anak-anaknya. Bukankah Pikatan yang cacat itu tidak bedanya dengan anak yang sudah mati" Sedang kini Wiyatsih mulai dihinggapi penyakit jiwa" berkata seorang tetangganya. "Ya. Sampai hati juga Nyai Sudati mengorbankan anakanaknya sekedar untuk menjadi seorang janda kaya" sahut yang lain Dan desas-desus serupa itu, sampait juga ke telinga Wiyatsih lewat Tanjung. Dengan nada yang keras Tanjung memperingatkan "Wiyatsih, kau harus kasihan kepada ibumu. Seandainya kau hanya sekedar menuruti kehendakmu sendrii, kau sama sekali tidak menghiraukan akibat yang menimpa seluruh keluargamu" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Katanya kemudian tanpa menjawab peringatan Tanjung itu "Tanjung, apakah kau mau membantu aku seperti kau membantu ibu?" "Apa yang harus aku lakukan?" "Menyiram jagung itu dengan air Kali Kuning" "Gila, itu pikiian gila"
423 Tetapi Wiyatsih hanya tersenyum saja, bahkan katanya "Sekarang tidak sempat berbicara dengan kau berkepanjaagan, aku akan pergi kesawah" "Wiyatsih, kau harus sadar. Kau harus menghentikannya" "Kau telah ditelan oleh mimpimu yang buruk itu" Tetapi Wiyatsih sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan iapun kemudian meninggalkan Tanjung dan pergi kesawahnya diujung bulak. Bulak yang menjadi padang yang kering kerontang. Rumputpun hampir tidak dapat tumbuh sama sekali. Sejenak Tanjung menjadi termangu-mangu, tetapi iapun kemudian menyusul Wiyatsih sambil berkata "Kau harus menyadari keadaanmu Wiyitsih. Jangan terlampau dipungaruhi oleh angan-angan. Tetapi kau harus mempergunakan akal sehatmu" Wiyatsih sama sekali tidak menjawab ia berjalan semakin lama semakin cepat diatas pematang yang kering. Sedang Tanjung hampir berloncat-loncatan mengikutinya. "Wiyatsih" berkata Tanjung kemudian "marilah kita pulang. Kau tidak akan dapat mengharapkan apa-apa dari sawahmu yang kering itu " Tetapi Wiyatsih tidak menghiraukannya sama sekali. Justru langkahnya menjadi semakin cepat berloncatan dari sebongkah tanah kering ke bongkah berikutnya. Mula-mula Tanjung tidak menghiraukan langkah itu sama sekali, karena /ia dicengkam oleh hasratnya untuk meneegah Wiyatsih pergi ke sawahnya yang kering itu. Tetapi lambat laun ia menjadi heran, kenapa Wiyatsih dapat berjalan begitu cepat. Semakin lama semakin cepat. "Tentu hal ini tidak wajar" berkata Tanjung didalam hatinya. Dan iapun mulai curiga, apakah benar Wiyatsih telab
424 kerasukan hantu atau demit dari Alas Sambirata, sehingga tingkah lakunya telah berubah. "Wiyatsih, Wiyatsih" ia masih berusaha menghentikan Wiyatsih. Tetapi Wiyatsih berjalan terus. Ketika mereka sampai disawah di ujung bulak, Tanjung menjadi terheran-heran pula. Ternyata sawah yang sekotak itu tidak sekering sawah didekatnya. Ada tanda-tanda air yang tergenang, meskipun tidak banyak" Karena itu, ketika wiyatsih turun ke tanahnya yang basah, Tanjung berdiri saja termangu-mangu. Bagaimanapun juga tidak masuk di dalam pikirannya, bahwa Wiyatsih telah menyiram sawahnya itu setiap sore. "Apakah kau heran melihat tanah yang sekotak ini basah?" bertanya Wilyatsih kemudian. Tanjung menganggukkan kepalanya. "Kau memang bodoh sekali Tanjung" berkata Wiyatsih sambil tersenyum "maaf, maksudku, bahwa kau malas berpikir. Tentu kau tidak bodoh dan tentu kau mengetahui bahwa tanah ini basah oleh air" Seperti orang yang kehilangan akai Tanjung mengangguk pula. "Dan air itu aku dapatkan dari Kali Kuning" "Tetapi, tetapi" Tanjung tergagap "bagaimana air itu bisa mengalir kesawah ini?" "Tentu tidak mengalir. Akulah yang menyiramnya. Aku rnengambil air dari Kali Kuning" Tanjung menjadi tercengang-cengang. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Wiyatsih. "Aku mengambil air dengan sepasang lodong bambu"
425 "Tidak mungkin. Tidak mungkin" Tanjung menjadi semakin heran melihat Wiyatsih. Apalagi ketika Wiyatsih tertawa berkepanjangan. "Wiyatsih, kenapa kau tertawa seperti itu?" Wiyatsih masih saja tertawa. Suaranya semakin lama menjadi semakin tinggi. Di telinga Tanjung suara tertawa Wiyatsih itu bagaikan suara setan betina yang telah merasuk ke dalam tubuh Wiyatsih, sehingga karena itu, maka iapun mundur perlahan-lahan. "Pulanglah Wiyatsih" desisnya. Tetapi suaranya hampirhampir tidak terloncat dari mulutnya. Tetapi Wiyatsih masih saja tertawa. Ia tertawa karena wajah Tanjung yang pucat. Bahkan kemudian seperti orang yang ketakutan. la tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Tanjung, namun\sikap Tanjung itu sangat menggelikan baginya. "Pulanglah Wiyatsih, pulanglah" Wiyatsih masih belum menjawab. Ia masih tertawa terus. Dan ketika ia maju selangkah mendekati Tanjung, maka dengan tergesa-gesa Tanjung pergi meninggalkannya. Sepeninggal Tanjung, Wiyatsihpun berhenti tertawa. Akhirnya ia mengerti, bahwa Tanjung justru takut melihat sikapnya. Seperti sikap orang yang kurang waras bagi Tanjung. "Aku tidak peduli" gumam Wiyatsih. Diedarkannya tatapan matanya ke tanah yang sekotak itu. Tanah itu memang basah. Demikianlah setiap sore Wiyatsih memang menyiram tanah yang sekotak itu dengan sepasang lodong bambu, ia turun naik tangga yang dibuatnya pada tebing sungai. Memang hampir tidak mungkin dilakukan oleh seorang gadis. Tetapi Wiyatsih mempunyai kemampuan lain. Kemampuan yang tidak saja dimiliki oleh gadis-gadis kawannya bermain, tetapi
426 kemampuannya memang melampaui kemampuan gadis-gadis kebanyakan. Latihan yang berat dan kemauan yang bulat membuatnya seakan-akan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatannya sendiri. Ternyata Wiyatsih mampu mengungkapkan kemampuan jasmaniahnya. Bukan saja didalam olah kanuragan. Tetapi ia mampu membangunkan tenaga cadaingan pada sepasang tangan dan kakinya untuk kepentingan yang lain. Berulang kali Wiyatsih naik turun tebing sungai yang untung tidak begitu tinggi. Tetapi Wiyatsih telah melakukannya dengan sengaja, bukan saja untuk mengairi tanamannya, tetapi juga untuk melatih kemampuan jasmaniahnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti diatas tanggul ketika ia mendengar seseorang menyapanya "Aku tidak menyangka, bahwa kau bersungguh-sungguh Wiyatsih" Wiyatsih yang hampir menuruni tanggul terhenti. Dilihatnya seorang anak muda yang justru naik tebing di hadapannya. "O, kau. Aku tidak melihat kau datang" berkata Wiyatsih. "Aku menyusur sungai itu. Aku ingin melihat, apakah tempat yang disebut oleh Pikatan itu memang tempat yang paling baik. "O, apakah kau menemukan tempat lain?" "Tidak. Aku tidak menemukan tempat lain. Tetapi aku menemukan keajaiban disini" Wiyatsih tersenyum, Katanya "Naiklah Kesambi. Lihatlah, bukankah aku mampu menyirami sawahku yang sekotak ini. Sama sekali bukan pekerjaan yang mustahil. Seandainya aku tidak dapat melakukannya sendiri, apabila keluargaku sependapat dengan aku, maka aku dapat mengerahkan anggota-anggota keluargaku yang lain. Kaupun dapat melakukannya bersama kakak dan adik-adikmu. Bersama ayah
427 dan ibumu. Bukankah semakin banyak orang yang ikut serta, semakin luas tanah yang dapat diairi" Kesambi menggeleng-gelengkan kepalanya. Suatu hal yang dianggapnya mustahil dapat juga dilakukan oleh Wiyatsih "Tetapi hasilnya tidak seberapa banyak Wiyatsih. Apakah kau pikir hasil dan jerih payahmu dapat seimbang" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Didalam hal ini tentu jauh dari seimbang. Kesambi. Tetapi aku ingin membuktikan, bahwa dengan usaha menaikkan air dari Kali Kuning, sawah kita dapat ditanami. Hanya itu. Tentu kita akan mengusulkan cara yang lebih baik dari naik turun tebing seperti yang aku lakukan" "Bendungan maksudmu?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang berat ia berkata "Kau memberikan pengorbanan yang besar sekali-untuk cita-cita itu" "Aku sadar. Bukan saja aku akan menjadi sangat lelah setiap hari, tetapi ada juga orang yang menganggap syarafku sudah tidak sehat lagi. Tetapi aku tidak berkeberatan. Pada suatu saat, mata mereka akan terbuka" Kesambi mengangguk-anggukan kepalanya. la memang mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang disekitarnya tentang Wiyatsih. Sebagian besar dari orang-orang padukuhan disekitar Alas Sambirata menganggapnya sudah tidak waras lagi. Setidak-tidaknya Wiyatsih telah dipengaruhi oleh suatu mimpi yang mengganggu syarafnya. "Kalau jagungku nanti tumbuh "berkata Wiyatsihkemudian "dan kelak menjadi besar, mereka pasti akan percaya, bahwa air kali Kuning memang ada manfaatnya"
428 Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku seorang laki-laki Wiyatsih. Tetapi aku tidak sanggup berbuat seperti kau" Wiyatsih tersenyum "Memang mungkin" jawab Wiyatsih "bukan tidak sanggup. Tetapi tidak telaten. Itulah soalnya, atau kedua-duanya" Wiyatsih tertawa. Kemudian katanya "Ada baiknya bahwa orang-orang padukuhan kita menganggap perbuatan ini seperti perbuatan orang yang tidak waras. Mereka sama sekali tidak menarik perhatian lagi dan mereka sama sekali tidak pernah melihat apakah tanamanku tumbuh atau tidak. Tetapi baru saja Tanjung mengikuti aku dan melihat tanah ini basah. Agaknya ia benar-benar menganggap aku sudah gila, sehingga ia dengan tergesa-gesa, pergi meninggalkan aku" Kesambipun tersenyum pula. Katanya "Kalau aku tidak mendengar rencanamu, mungkin akupun menganggapmu demikian. Tetapi karena aku mengerti betapa besar niatmu, maka aku berpendapat lain. Aku berpendapat justru kau telah mengorbankan namamu untuk kepentingan ini" "Kenapa namaku?" "Maksudku, kau telah menyediakan diri, seandaiaya kau dianggap gila sekalipun" "Bukankah itu hanya sementara?" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Tetapi selain anggapan-anggapan itu Wiyatsih, aku tetap tidak mengerti, kenapa kau mampu melakukanknya. Seorang gadis yang lain, kecuali kau, tidak akan dapat naik turun tebing yang meskipun tidak begitu tinggi itu sampai tiga empat kali. Tetapi untuk menyiram tahahmu yang meskipun hanya sekotak ini, pasti lebih dari sepuluh atau lima belas kali" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu Kesambi. Barangkali itu adalah karunia. Dan apakah aku
429 txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
tidak seharusnya berterima kasih dan bersukur dengan memanfaatkan karunia yang aku terima itu?" Kesambi mengangguk-angguk pula "Ya, ya. Memang itu adalab suatu karunia" "Nah, marilah, apakah kau akan membantu aku?" berkata Wiyatsih kemudian. Kesambi termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan membantumu, dan setiap orang padukuhan kita, apabila melihat apa yang kila lakukan, akan mengatakan, bahwa aku sudah kejangkitan penyakit seperti penyakitmu pula" Keduanya tertawa. Tetapi keduanya menyadari benarbenar apa yang sedang mereka lakukan. Demikianlah, maka keduanyapun segera melanjutkan kerja Wiyatsih menyirami tanamannya. Tetapi ternyata bahwa Kesambi menjadi lebih dahulu lelah dari Wiyatsih, meskipun Wiyatsih telah mulai lebih dahulu dari padanya. "He, kau tdak dapat lagi berdiri?" bertanya Wiyatsih ketika Kesambi kemudian duduk dengan nafas terengah-engah diatas tanggul. Kesambi memandangnya dengan terheran-heran, Nafas Wiyatsih tidak mengalir secepat nafasnya, meskipun terasa juga gadis itu mulai menjadi lelah. "Kau memang aneh" berkata Kesambi "aku menjadi curiga juga akhirnya, apakah kau tidak kesurupan danyang Kali Kuning ini". Kalau kau mempergunakan tenagamu sewajarnya sebagai seorang gadis, maka kau tidak mungkin melakukan semuanya ini"
430 "Kenapa tidak mungkin. Sudah aku katakan, bahwa tekad yang bulat dapat menambahkan kemampuan yang melampaui kemampuan yang sewajarnya" "Aku tidak kuat lagi Wiyatsih" Wiyatsih tertawa. Kemudian katanya "Lihat, sawahku telah, basah, aku kira memang sudah cukup untuk hari ini" Kesambi hanya berpaling saja. Ia sudah segan sekali untuk berdiri karena kelelahan. Keringatnya mengalir disegenap tubuhnya dan membasahi pakaiannya. Namun tiba-tiba Wiyatsih berdesis "Sst, Kesambi. Aku lihat ada dua orang mendatangi tempat ini" Kesambi mengerutkan keningnya sambil berpaling "Ya, dua orang" katanya ketika ia melihat di kejauhan ada dua orang yang datang. "Pasti Tanjung dan ibu" berkata Wiyatsih "pergilah, kehadiranmu dapat menimbulkan salah paham" "Kemana?" bertanya Kesambi agak gugup. "Kau dapat meluncuri tanggul itu dan berjalan menyelusur sungai seperti pada saat kau datang" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku masih lelah sekali. Tetapi apaboleh buat" Kesambipun kemudian turun tanpa berdiri lebih dahulu. Begitu saja ia meluncur, sehingga kedua orang yang mendatang memang tidak melihatnya. Seperti yang diduga oleh Wiyatsih, yang datang itu sebenarnyalah Tanjung bersama Nyai Sudati. Dengan wajah yang tegang ibu Wiyatsih itu mendatanginya dengan tergesagesa. Suaranya menjadi bergetar dan tersendat-sendat " Wiyatsih, apakah yang telah kau kerjakan disini?" Wiyatsih tidak segera menjawab, dibiarkannya ibunya turun ke sawah yang baru saja disiraminya, dan seperti yang
431 diduganya, ibunya seakan-akan terkejut ketika merasa kakinya terperosok kedalam lumpur "Tanah ini basah Wiyatsih" katanya. Wiyatsih menganggukkan kepalanya "Ya ibu, tanah ini memang basah" "Jadi kau menyiraminya dengan air Kali Kuning?" "Ya. Aku mengambilnya dari sungai itu" "O" ibunya mendekati Wiyatsih. Kemudian memeluknya sambil berkata "Marilah kita pulang anakku. Kau harus melepaskan diri dari cengkaman mimpimu yang buruk ini" "Kenapa ibu" Seharusnya kita menjadi senang melihat tanah ini basah meskipun hanya sekotak" "Tenagamu akan habis tersia-sia. Apakah artinya jagung sekotak buat kita Wiyatsih. Apa pula artinya kacang panjang yang kau tanam dipematang itu" "Arti yang sebenarnya tidak terletak pada hasil yang akan kita petik dari sekotak tanaman jagung ini ibu" "O, kau/sudah kesurupan. Marilah kita pulang" Wiyatsih tidak membantah lagi. Ibunya membimbingnya berjalan menyelusur pematang yang kering, dan kemudian berjalan diantara tanah yang seakan-akan menjadi peeahpeeah seperti bibir seorang yang sedang sakit panas. Tetapi Wiyatsih tidak berhenti sampai hari itu. Bagaimanapun juga ia selalu pergi ke sawahnya dan menyiramnya dengan air Kali Kuning. Bahkan ternyata bahwa Kesambipun sering datang membantunya, meskipun ternyata bahwa kemampuannya menuruni tebing itu tidak sekuat Wiyatsih. Namun dalam pada itu, Nyai Sudati tidak juga berhenti berusaha. Didatanginya dukun-dukun yang pandai untuk membantunya menghentikan usaha anaknya yang
432 dianggapnya tidak waras lagi itu. Bahkan Tanjungpun telah pergi berkeliling dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain, untuk menemukan seorang tua yang akan mampu membuat Wiyatsih sadar dari mimpinya yang dianggap terlampau buruk Tetapi Wiyasih tidak peduli. Ia tahu juga bahwa ibunya berusaha mendapatkan seorang dukun, tetapi ia tidak menghiraukannya sama sekali. Di malam hari, Wiyatsih masih terus berlatih. Ternyata Puranti cukup lama tidak datang kerumahnya. Tetapi Kiai Pucang Tunggallah yang selalu menuntunnya. Namun demikian, kemajuan Wiyatsih terasa menjadi lebih cepat. Kematangan Kiai Pucang Tunggal telah memberikan kesempatan kepada Wiyatsih untuk melakukan sesuatu bukan sekedar menirukan sesuatu. Kepada Kiai Pucang Tunggal, Wiyatsih telah mengatakan semuanya yang dialaminya. Ia berceritera pula tentang sawahnya dan tentang anggapan orang-orang disekitarnya, bahwa ia telah dihinggapi penyakit syaraf. "Jangan hiraukan mereka" berkata Kiai Pucang Tunggal " Pada saatnya mereka akan tercengang dan mereka akan merasa bahwa diri mereka masing-masinglah yang ternyata sudah dihinggapi penyakit syaraf. Penyakit syaraf dalam pengertian yang lain, bukan dalam pengertian gila. Tetapi kelelahan hati, kemalasan dan tidak ada usaha adalah adalah satu dari penyakit syaraf itu pula" Wiyatsih menggangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia menjawab "Tetapi Kiai, orang-orang dipadukuhan ini sebenarnya bukan orang yang malas. Mereka bekerja sehari penuh untuk sesuap nasi atau segenggam jagung" "Kemalasan mereka terletak pada ketiadaan hasrat untuk berpikir lebih maju dari yang sudah mereka lakukan sekarang"
433 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tibatiba saja ia bertanya "Apakah Puranti belum selesai dengan persoalannya?" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan keningnya. Lalu menggelengkan kepalanya "Persoalannya cukup sulit. Seorang laki-laki telah datang meminang ke rumah janda itu, sedang janda itu tidak kuasa menolaknya" "O, jadi Puranti akan kawin?" Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya" Tidak. Itulah yang menyulitkan Puranti, ia sedang mencari jalan. Agaknya ia hampir berhasil" "Apa yang dilakukannya?" Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya "Aku tidak jelas. Tetapi ia sendiri akan menyatakan penolakanmya kepada laki-laki itu" "Siapakah laki-laki itu?" "Seorang yang cukup kaya di padukuhan Cangkring. Ia mempunyai banyak isteri. Dan Puranti akan dijadikannya isteri yang kelima" "O" tanpa dikehendakinya sendiri Wiyatsih memekik. Untunglah ia segera menyadari keadaannya, sehingga dengan serta merta kedua belah tangannya telah menutup mulutnya. Demikianlah Wiyatsih mendapat kemajuan yang seakanakan berjalan beriringan. Ia menjadi semakin lama semakin menguasai ilmu yang dipelajarinya. Bahkan, karena niatnya yang menyala, ia telah memiliki pengetahuan dasar yang mantap dari kecerdasannya agaknya mampu memperkembangkannya sendiri, dimanapun ia berlatih. Sementara itu, ia melonjak kegirangan kelika ia melihat jagungnya telah tumbuh dan lambat laun menjadi semakin besar.
434 -ooo0dw0oooJilid 06 NAMUN dalam pada itu, ternyata bahwa di langit selembar awan kelabu telah tampak terbang ke Utara. Dengan dada yang berdebar-debar Wiyatsih memperhatikan awan yang kelabu itu. Musim hujan sudah menjadi semakin dekat. Dan sebelum hujau mulai jatuh orang-orang dipadukuhan harus yakin, bahwa memang diperlukan sebuah cara untuk menaikkan air Kali Kuning. Dan ia telah membuat sebuah contoh, bahwa air Kali Kuning memang diperlukan dan dapat dipergunakan. "Lihat" berkata Wiyatsih kepada Kesambi ketika Kesambi datang pula kesawahnya "Jagung ini tumbuh dengan subur. Kacang panjang di pematang itupun telah tumbuh pula dengan subur. Tetapi rasa-rasanya semi yang kembang itu terlampau lamban. Aku ingin sebelum hujan yang pertama turun, jagungku sudah tumbuh sebesar ilalang" Tanpa disadarinya Kesambi menengadahkan kepalanya ke langit. Tetapi langit bersih. Hanya selembar awan yang putih sajalah yang lewat dipermukaan wajah yang biru. "Udara masih tetap kering" Katanya. "Kemarin aku melihat awan yang kelabu" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Musim hujan harusnya memang sudah datang. Tetapi agaknya kemarau memang agak panjang sehingga tanah dibulak Sambi Sari pada umumnya, menjadi kering kerontang. "Wiyatsih" berkata Kesambi "aku berharap bahwa usahamu akan bcrliasil. Aku kira masih belum ada orang yang
435 memperhatikan, bahwa jagungmu mulai tumbuh subur. Tetapi pada suatu saat mereka akan berdatangan dan mengakui di dalam hati mereka, bahwa dengan air Kali Kuiunig, mereka dapat memanfaatkan sawah mereka disepanjang tahun, bukan hanya di musim basah" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya"Aku berharap demikian." "Beberapa anak muda mulai memikirkan bendungan" berkata Kesambi tiba-tiba. "He?" "Aku, berusaha terus. Meskipun masih samar-samar, tetapi satu dua orang telah mulai tertarik untuk berbicara tentang air. Mudah-mudahan dengan tanaman jagungmu itu, mereka akan menjadi semakin yakin, bahwa air itu merupakan kebutuhan mutlak bagi sawah kita" Tetapi selagi harapan Wiyatsih tentang bendungan itu mulai berkembang di dalam hatinya, kekacauan yang selama ini mereda setelah beberapa orang perampok terbunuh, kini mulai manjalar kembali. Agaknya beberapa orang sudah tidak tertahankan lagi mendengarkan anaknya merengek kelaparan. Tetapi mungkin pula karena para penjahat telah mulai melupakan kematian beberapa orang kawannya. "Atau mereka sekarang justru merasa lebih kuat "berkata Kiai Pucang Tunggal pada suatu malam kepada Wiyatsih. "Ya. Kiai. Memang mungkin sekali" "Bahkan ada kemungkinan yang lain yang kurang menyenangkan bagi Pikatan, karena Puranti terlanjur membuat dirinya waklu itu seolah-olah orang yang sedang lumpuh sebelah tangannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Para penjahat itu dapat saja datang saat untuk melepaskan dendamnya kepada Pikatan,
436 karena ia pernah membunuh beberapa orang kawannya menurut penglihatan mereka. "Jika terjadi demikian, apa yang harus aku lakukan Kiai?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Memang sulit sekali. Purantti telah melakukan suatu kesalahan. Seandainya waktu itu ia tidak terlampau terpengaruh oleh usaha para penjahat itu untuk mencemarkan nama Pikatan, mungkin ia memang tidak akan mempergunakan ciri-ciri itu. Tetapi terdorong oleh gejolak perasaannya, maka tiba-tiba saja ia telah menjadikan dirinya seorang yang cacat sebelah tangannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi iapun merasakan juga keseimbangan di hati Kiai Pucang Tunggal. Namun akhirnya orang tua itu berkata "Kalau tidak terpaksa sekali Wiyatsih, jangan berbuat sesuatu, supaya Pikatan tidak dapat mengenalimu dari ilmumu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya sambil berkata "Baik Kiai. Aku akan berusaha" Namun yang terjadi, kerusuhan perlahan-lahan mulai berkembang. Bahkan kadang-kadang seseorang menemukan sesosok mayat ditengah-tengah bulak dan disaput oleh rahasia. Tidak seorangpun yang mengetahui siapakah orang itu dan kenapa ia terbunuh. Tetapi beberapa orang menduga, bahwa diantara para penjahat sendiri agaknya telah terjadi benturan-benturan yang membawa korban jiwa. Tetapi dalam pada itu, ceritera tentang Pikatan mulai menjalar kembali sejalan dengan menjalarnya kejahatan. Jika seseorang menemukan mayat yang tidak dikenal, maka mereka langsung menganggap bahwa Pikatanlah yang telah melakukannya. "Gila" Pikatan yang kemudian mendengar pula cerita itu berkembang, ia mengumpat di dalam biliknya. Kemudian
437 dipanggilnya Wiyatsih sambil membentak "Kau mempunyai mulut juga Wiyatsih. Berkatalah kepada mereka, bahwa aku tidak pernah berbuat apa-apa" "Kau terlalu bodoh. Pakailah segala macam cara untuk membantah kebohongan berita itu. Aku tidak pernah berbuat apa-apa. Kau dapat menyuruh penjilat yang bernama Tanjung itu menyiarkan kebenaran dari keadaanku" Wiyatsih hanya menganggukkan kepalanya saja. "Berita itu sangat memalukan. Seolah-olah aku seorang pahlawan yang wajib mereka hormati" "Kakang" berkata Wiyatsih kemudian "mungkin tidak ada lagi orang yang menyebarkan berita itu. Tetapi karena hal itu pernah mereka dengar, jadi dengan sendirinya mereka menghubungkan setiap peristiwa yang serupa dengan peristiwa yang mereka anggap pernah terjadi" "Tetapi yang dahulupun hal itu tidak pernah terjadi. Berita itu sangat memuakkan bagiku" Wiyatsih hanya menundukkan kepalanya saja tanpa menjawab sama sekali. "Kau harus berusaha" geram Pikatan kemudian "mulailah hari ini. Jangan menunggu sampai menjadi terlalu parah" Wiyatsih mengangguk lemah. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Demikianlah, ternyata berita itu membuat Pikatan seakanakan menjadi semakin Terasing. Setiap hari ia hanya berada. Di dalam biliknya. Kemudian memanggil Wiyatsih dan marahmarah kepadanya Untunglah hampir setiap malam Wiyatsih mendapat nasehat dari Kiai Pucang Tunggal, sehingga hati Wiyatsih tetap tabah menghadapi masalah itu. Dalam pada itu, Nyai Sudati masih saja sibuk mencari seorang dukun yang pandai untuk membangunkan kesadaran
438 Wiyatsih yang mereka anggap sudah menjadi gila. Tetapi Wiyatsih masih tetap pergi ke sawahnya dan menyiramnya dengan air Kali Kuning. "Kau memang gila" tiba-tiba saja Pikatan yang tidak pernah mempersoalkannya, berkata kepada Wiyatsih pada suatu hari "kalau kau tidak gila, kau pasti lebih berhasil menyingkirkan desas-desus itu daripada mengurus sawah yang sekotak itu" Wiyatsih menjadi heran. Ternyata kakaknya mendengar juga persoalan sawah yang digarapnya. Agaknya setiap kali ia berbicara dengan ibunya, Pikatan selalu mendengarkannya. "Jadi kau bercita-cita agar seseorang membangun bendungan?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Tidak mungkin. Tidak akan ada seorangpun yang mampu membuat bendungan" "Kenapa?" bertanya Wiyatsih. "Hanya akulah yang mampu melakukannya" "O" Wiyatsih termangu-mangu "jadi kakang masih berniat untuk membangun sebuah bendungan sebelah Alas Sambirata?" Tetapi jawaban Pikatan sangat mengecewakannya. Katanya "Tidak. Aku tidak akan membuat sebuah bendungan. Padukuhan ini sekarang menjadi padukuhan yang asing bagiku. Kehidupan yang ada di dalamnyapun asing pula bagiku. Buat apa aku bersusah payah membangun sebuah bendungan", buat apa", coba katakan, buat apa?" "Tetapi kakang pernah bencita-cita akan membuat bendungan saat itu. Jadi buat apa sebenarnya kakang waktu itu bercita-cita untuk membuat sebuah bendungan?" "Waktu itu. Ya waktu itu. Tetapi tidak sekarang. Aku dahulu merasa satu dengan padukuhan ini. Aku merasa satu dengan
439 kehidupan diatasnya. Tetapi sekarang aku menjadi asing. Dengan demikian, aku tidak merasa berkewajiban lagi untuk membangun sebuah bendungan" Jawaban itu semakin meyakinkan Wiyatsih, bahwa kakaknya kini benar-benar telah berubah. Bukan lagi Pikatan yang dahulu. Pikatan yang sekarang adalah orang asing di padukuhannya, bahkan di rumahnya sendiri. "Wiyatsih" berkata Pikatan kemudian "hentikan usahamu yang gila itu. Kau harus memusatkan untuk menghentikan cerita yang tidak kalah gilanya dengan ceritera jagung sekotak diujung bulak, kau harus menghentikan ceritera tentang Pikatan" "Kakang" bertanya Wiyatsih kemudian "apakah untuk membersihkan nama kakang dari sorotan para penjahat itu lebih penting dari usahaku untuk kepentingan padukuhan kita?" Pertanyaan itu telah mengguncangkan dada Pikatan. Sejenak ia berdiri membeku memandang wajah Wiyatsih dengan sorot mata yang menyala. Dan tiba-tiba saja ia membentak penuh kemarahan "Wiyatsih. Kau benar-benar kesurupan setan Sambirata dan Kali Kuning sekaligus. Kenapa kau bertanya begitu kepadaku he?" "Kakang" jawab Wiyatsih "aku tidak akan ingkar, bahwa aku memang berkewajiban membantu kakang untuk membersihkan nama kakang apabila hal itu memang kakang kehendaki. Tetapi kakang jangan menghalang-halangi usahaku membuat bendungan di Kali Kuning seperti yang pernah kakang rencanakan dahulu" "Bodoh sekali. Apa yang akan dapat kau perbuat He!. seorang perempuan. Perempuan yang manja lagi" "Tetapi di padukuhan ini ada laki-laki juga" sahut Wiyatsih.
440 "O. Kau mengharap bahwa ada laki-laki yang akan melakukan pekerjaan itu". Tanjung?" Pikatan mencibirkan bibirnya. Dengan nada tinggi ia berkata "Ia tidak akan dapat berbuat apapun juga. Ia tidak lebih dari seorang penjilat. Dan kau sudah tergila-gila kepada penjilat itu. Kau benar-benar sudah gila. Kau mengharap penjilat itu membangun sebuah jembatan" Wiyatsih, dengar baik-baik. Meskipun aku sudah lumpuh sebelah tanganku, tetapi aku masih memiliki kemampuau dan tekad seratus kali lipat dari padanya. Meskipun ujudnya laki-laki itu tidak cacat, tetapi sebenarnyalah ia adalah orang yang lumpuh hatinya. Ia tidak pantas hidup di dalam lingkungan keluarga kita. Dan kau agaknya sudah jatuh dibawah kakinya. Belum lagi kau menjadi isterinya, kau sudah melayaninya makan dan minum Kelak kalau kau benar-benar menjadi isterinya, maka kau tidak akan lebih dari pelayannya. Kau harus menyiapkan segala kebutuhannya dengan uangmu sendiri. Dan laki-laki itu hanya bermodal daya tarik sudah membuatmu gila" "Kakang" dada Wiyatsih tiba-tiba menjadi sesak. Selama ini ia sudah berusaha menahan hati menghadapi sikap kakaknya. Tetapi pada suatu saat hatinya yang pepat itu akhirnya melimpah juga "Apa bedanya Tanjung dengan kau sekarang" Tanjung yang kau sebut penjilat itu dan kau yang sudah menjadi pengecut" Kenapa kau ribut dengan desas-desus tentang Pikatan yang mereka sebutkan membunuh para permpok dan penjahat" Apakah kau ingin bersikap jujur karena memang bukan kau yang melakukannya, atau karena kau menjadi ketakutan membayangkan pembalasan dendam dari para penjahat itu atasmu?" "Diam, diam" tiba-tiba Pikatan membentak, wajahnya menjadi merah padam. Selama ini belum pernah Wiyatsih membantah dan bahkan seakan-akan telah mengumpatinya pula.
441 Tetapi hati Wiyatsih yang selama ini serasa tertekan, tidak lagi dapat dibendung. Katanya "Kakang, kalau kau ingin bidup terasing, hiduplah terasing. Tetapi jangan selalu dibayangi oleh kebanggaan diri yang berlebih-lebihan, seolah-olah Pikatanlah orang yang paling cakap, paling pandai dan paling kuat di padukuhan kecil ini. Seandainya memang demikian, tetapi kau tidak pernah berbuat apa-apa, itu tidak akan berarti sama sekali. Kau hanya tinggal di dalam bilikmu sehari-harian. Apakah yang dapat kau hasilkan?" "Diam, diam" Pikatan membentak semakin keras. "Kalau kau tidak mau diam, aku tampar mulutmu" Tetapi Wiyatsih masih berbicara "Marilah kita menghayati hidup kita sendiri-sendiri. Kau hidup dalam duniamu yang gelap dan sempit serta terasing. Aku akan hidup di dalam dunia khayalanku yang kau katakan gila itu" Pikatan sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Tetapi ketika hampir saja tangan kirinya terangkat, Ibunya yang mendengar pertengkaran itu dari dapur segera datang berlarilari. "Apalagi yang kalian pertengkarkan" Keduanya terkejut. Keduanya berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri diambang pintu. Dengan serta-merta Wiyatsih berlari memeluk ibunya sambil menangis sejadi-jadinya. Rasarasanya dadanya yang pepat itu akan meledak karenanya. Namun masih saja ada sisa yang harus ditahankannya. Sisa masalah yang masih membuatnya pepat dan masih belum dapat diledakkannya. "Sudahlah Wiyatsih" berkata ibunya "kenapa kalian selalu bertengkar". Seliap kali kalian bertengkar. Setiap kali kalian dilibat dalam masalah-masalah yang tidak dapat aku mengerti, dan kalian tidak pernah mengatakannya apabila ibu bertanya kepada kalian, apa saja yang telah kalian pertengkarkan"
442 Wiyatsih masih menangis di dalam pelukan ibunya. Seperti kanak-kanak ia membenamkan wajahnya di dada ibunya itu. "Pikatan" berkata ibunya "adikmu adalah seorang gadis. kau harus dapat menahan hati sedikit, supaya kata-katamu tidak menusuk hatinya. Perasaan seorang gadis memang lain dari perasaan seorang laki-laki dan lain lagi dengan perasaan orang tua" Tetapi Pikatan menggeram "Ibu terlalu memanjakan dia sejak bayi. Itulah sebabnya ia menjadi keras kepala, pembantah, berani melawan saudara tuanya sendiri" "Maafkan, adikmu Pikatan. Ia memang seorang gadis manja. Bahkan kini ia menjadi seorang pemimpi. Tetap itu salah ibu sendiri. Bukan ibu saja yang memanjakannya sejak kecil, Tetapi kau juga memanjakannya. Umurmu dan umurnya terpaut beberapa tahun. Tetapi tidak pantas lagi kalau kau masih juga mendukungnya setelah Wiyatsih pandai memanjat pohon melinjo. Tetapi itu kau lakukan, Pikatan. Saat itu aku masih berbangga kedua anakku hidup rukun. Rukun sekali. Tetapi kalian menginjak dewasa, kalian justru selalu bertengkar. Hampir setiap hari" suara Nyai Sudatipun menjadi sendat, sedang Wiyatsih masih menangis di dalam pelukannya "Aku menjadi benar-benar prihatin Pikatan. Aku semakin tua dan tentu saja pada suatu saat aku akan meninggalkan kalian. Tetapi disaat-saat terakhir dari hidupku aku harus mengalami keprihatinan ini. Pikatan, anak laki-laki satu-satunya, menjadi cacat dan telah mengasingkan dirinya sendiri di dalam biliknya. Sedang Wiyatsih, anak perempuanku menjadi kehilangan keseimbangan karena mimpinya yang merayap meraih bintang-bintang di langit. Semua orang memperkatakannya seolah-olah aku pernah mencari pesugihan. Dan seolah-olah aku telah mengorbankan kalian untuk memuaskan diriku sendiri. Anak-anakku, itu adalah suatu siksaan bagiku, justru disaat umurku mendekati liang kubur"
Salam Terakhir Sherlock 1 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Kucing Ditengah Burung Dara 2
377 hampir sempurna. Tetapi ingat, jangan mencubit suamimu kelak, apalagi anakmu. Ia dapat menjadi pingsan karenanya" "Ah kau" hampir saja tanpa sesadarnya Wiyatsih mencubitnya lagi. Tetapi Puranti surut selangkah sambil berkata "Jangan. Kau akan mengulangi lagi?" Wiyatsih tertawa tertahan. "Hati-hatilah dengan kebiasaanmu itu" "Ya. Aku akan berhati-hati" "Agaknya kau berlatih dengan baik" "Setiap aku berada ditepian, aku melatih jari-jariku dipasir." "Kau sudah mencoba dengan pasir panas. Terasa kekerasan tanganmu" "Disiang hari, pasir ditepian menjadi sepanas api dipanggang oleh sinar matahari" "O" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu "sudahlah Wiyatsih. Adalah kebetulan ayahku tidak berkeberatan untuk menggantikan aku satu dua hari. Mungkin seminggu. Dan mudah-mudahan aku segera dapat menghindarkan diriku dari laki-laki itu" "Mudah-mudahan. Tetapi meskipun kau masih belum berhasil sama sekali. kau dapat mencari waktu barang sekejap untuk mengunjungi aku disini" Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau kau tidak datang untuk waktu yang lama, aku akan mencarimu ke Cankring" "Ah. itu tidak perlu" Aku ingin melihat rumahmu. Aku ingin berkenalan dengan biyung angkatmu dan aku ingin melihat tampang laki-iaki itu.
378 "Sst. Sudahlah. Aku tidak dapat terlalu lama disini. Aku akan kembali ke Cangkring. Jangan cemas. Aku akan datang setiap kali ada kesempatan" "Jangan bohong" Puranti tersenyum. Katanya "Berlatihlah baik-baik. Ayah akan membuat kau menjadi seorang gadis yang baik. Apalagi kau adalah adik Pikatan" Demikianlah maka Purantipun kemudian meninggalkan Wiyatsih seorang diri yang masih saja berdiri termangumangu. Namun justru tumbuhlah janji didalam dirinya, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan sebaik-baiknya, selagi Kiai Pucang Tunggal sendiri bersedia membimbingnya. Di malam berikutnya. Wiyatsih tidak lagi menghiraukan janjinya kepada Tanjung. Dan benarlah, bahwa yang datang bukan Puranti. Meskipun isyarat yang diberikan seperti isyarat yang selalu dilakukan oleh Puranti, namun ketika Wiyatsih berdiri dimuka Pintu butulan, yang dilihatnya berdiri dilongkangan adalah seorang laki-laki tua. Kiai Pucang Tunggal. Meskipun masih agak ragu-ragu, tetapi Wiyatsihpun melakukan semua petunjuk-petunjuknya. Petunjuk-petunjuk yang sudah pernah diberikan oleh Puranti, tetapi ada juga yang belum pernah "Kita akan melakukan tata gerak yang barangkali agak baru "berkata Kiai Pucang Tunggal "tetapi watak dan sifat-sifatnya pasti sudah kau kenal" Wiyatsih tidak menyahut. Diperhatikan saja sikap Kiai Pucang Tunggal dengan saksama. Ternyata Kiai Pucang Tunggal memperkenalkan beberapa jenis tata gerak yang diberatkan pada gerak kaki. Loncatan-loncatan dan sebagian besar adalah gerak-gerak melingkar dan serangan mendatar dengan gerak-gerak lingkaran itu.
379 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia pernah diperkenalkan dengan tata gerak itu Tetapi tidak selengkap seperti yang dilakukan oleh Kiai Pucang Tunggal. Karena itulah maka Wiyatsihpun segera mempelajarinya. Semakin lama semakin cepat. Demikianlah didalam beberapa malam, Wiyatsih sudah menguasai gerak-gerak dasar dari bentuk-bentuk baru meskipun dalam sifat dan wataknya yang lama. Dengan demikian, maka tata gerak yang dikuasai oleh Wiyatsihpun menjadi semakin, banyak ragamnya. Hampir setiap hari ia mengenal bentuk-bentuk baru. Namun pada suatu saat Kiai Pucang Tunggal berkata kepadanya "Wiyatsih. Kau sudah mempelajari bermacammacam bentuk dan jenis tata gerak yang bersumber pada tata gerak dasar yang sudah kau kuasai. Tetapi sebenarnya bukan itulah yang penting bagimu. Bukan sekedar mengenal tata gerak baru dengan bermacam corak dan kegunaan. Tetapi bagaimana kau dapat menghayati tata gerak yang pernah kau pelajari itu" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "Wiyatsih, sebenarnya kau tidak perlu untuk seterusnya mempelajari dan menirukan tata gerak yang lebih banyak lagi jenisnya" Wiyatsih mengerutkan keningnya. "Tata gerak yang kau pelajari adalah tata gerak yang sebenarnya harus disesuaikan pengetrapannya dengan keadaan. Tetapi pada suatu saat kau dapat saja menjumpai keadaan yang tidak terduga-duga. Nah, dalam keadaan yang demikian, kau tidak akan dapat mempergunakan tata gerak yang manapun juga yang pernah kau pelajari" "Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan Kiai?" bertanya Wiyatsih.
380 "Yang penting bagimu Wiyatsih, kau harus benar-benar dapat menyerap inti dan tata gerak dasar ilmu ini. Dengan latihan tata gerak yang sudah kau kuasai, kau akan dapat menyesuaikan dirimu dalam keadaan yang bagaimanapun juga, sesuai dengan pengalamanmu. Tegasnya, kau harus menciptakan sendiri berjenis-jenis tata gerak yang belum pernah kau kenal untuk menanggapi keadaan tertentu, berdasarkan dasar-dasar ilmu yang sudah kau Pelajari. Bahkan pada tingkat yang lebih tinggi, kau tidak perlu mengingat gerak yang manapun juga. Kalau kau sudah berhasil menyatupadukan tebaran ilmumu sampai kehakekatnya, maka setiap gerak akan terlontar dengan sendirinya, sesuai dengan tantangan yang kau terima. Namun sudah barang tentu, sebelumnya kau harus sudah menguasai gerak-gerak dasar yang akan menjadi pedoman setiap gerak yang akan kau lakukan kemudian" Wiyatsih masih tetap berdiri termangu-mangu. "Apakaih kau dapat mengerti Wiyatsih?" Wiyatsih tidak segera menjawab. Keragu-raguan masih tampak di wajahnya. "Cobalah memperhatikan keteranganku sekali lagi" Kiai Pucang Tunggal berhenti sejenak, lalu "untuk seterusnya, gerak yang akan kau lakukan adalah gerak yang langsung menjawab setiap tantangan disuatu saat. Kau tidak perlu mengingat-ingat lagi, jika lawanmu rnenyerang dengan tata gerak yang begitu, kau harus melawannya dengan tata gerak yang begini. Tidak. Bukan begitu. Karena itulah maka kau harus menguasai ilmumu sebaik-baiknya, sehingga kelak akan lahir suatu sikap dan gerak yang tidak ada cacatnya untuk menghadapi setiap keadaan" Wiyatsih mengangguk-angguk. Kini ia mengerti maksud Kiai Pucang Tunggal. Karena itu, maka katanya "Aku kini mengerti Kiai."
381 "Bagus. Mulai saat ini, setelah kau dapat menguasai tata gerak yang sudah kau terima, cobalah menyesuaikan diri dengan keadaan. Tetapi jangan kau lupakan, bahwa kau harus tetap berlatih setiap saat, memperdalam penguasaan gerak dasar, dan kekuatan jasmaniah. Aku rasa kekuatanmu sudah jauh melampaui kekuatan seorang gadis kebanyakan. Kau sudah mulai menyusup kedalam penguasaan tenaga cadangan. Puranti sudah memberikan dasar-dasar yang kuat buatmu, sehingga apabila ilmu itu kelak menjadi sempurna, maka tenaga cadangan yang hanya muncul disaatsaat yang justru tanpa disadari, akan dapat kau kuasai sebaikbaiknya. Jika demikian, maka kau adalah benar-benar adik seorang anak muda yang bernama Pikatan di dalam olah kanuragan" Dada Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Namun demikian, ia menjadi semakin mantap dan hasratnya untuk mendalami ilmunyapun menjadi semakin menyala didalam hatinya. Namun disamping hasratnya yang semakin besar untuk dapat segera menguasai ilmu yang diterimanya dengan baik, rasa-rasanya Wiyatsih selalu terganggu oleh kehadiran Tanjung di rumahnya. Bagaimanapun juga ia berusaha menghindar, namun setiap kali, ia harus membuka pintu untuknya. "Wiyatsih" berkata Tanjung pada suatu saat "aku akan bertemu dengan kau kali ini, sebelum aku bertemu dengan ibumu" "Duduklah, sebentar lagi ibu akan datang." "Ya, ya Tetapi aku ingin bertanya, kenapa kau membohongi aku?" "Apa?" Wiyatsih terkejut "apakah aku pernah berbuat demikian?" "Bukankah beberapa hari yang lalu, kau sanggup menemui aku ditepian sebelum senja" Hampir setiap senja aku
382 menunggumu, tetapi kau tidak pernah datang. Apakah kau dengan sengaja mempermainkan aku?" Wiyatsih mengerutkan keningnya, Namun tiba-tiba saja ia tertawa "Tanjung, maaf. Aku telah melupakan janji itu. Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan seseorang. Biasanya aku tidak pernah mengingkari janji yang sudah aku ucapkan" "Tentu kau tidak sekadar lupa" jawab Tanjung "selama ini aku tidak parnah melihat kau ditepian. Biasanya kau selalu ada di pinggir kali. Dipagi hari kau mencuci pakaian, disiang hari kau singsah juga di pinggir sungai itu jika kau pulang dari sawah, merenungi air Kali Kuning untuk bekal bermimpi. Tetapi beberapa hari ini kau tidak pernah aku jumpai" "Itu suatu kebetulan saja Tanjung. Aku juga pergi ke sungai seperti biasa. Mungkin waktunya agak berubah sedikit, karena beberapa hari ini badanku agak kurang enak" "Bohong. Apakah kau tidak dengan sengaja menghindari aku dan berjanji dengan orang lain" "Ah kau" desis Wiyatsih "jangan berprasangka" "Kalau begitu Wiyatsih" suara Tanijung menurun "besok aku tunggu kau di tepian. Sebelum senja kau harus sudah ada di sana" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia terlalu sulit untuk memenuhi permintaan Tanjung itu. Ia tahu apakah yang akan dikatakannya. Tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban yang sebaik-baiknya. Jawaban yang dapat dimengerti oleh Tanjung tetapi tidak menyakiti hatinya. "Aku sama sekali tidak tertarik kepadanya" katanya didalam hati "apalagi kakang Pikatan, sama sekali tidak menyukai sifatsifatnya" "Bagaimana Wiyatsih?"
383 Sekilas terdengar pesan Puranti. Untuk menjajaginya, sebaiknya ia justru menemuinya sendiri seperti yang dikehendaki itu. "Terlalu mudah untuk dikatakan" katanya didalam hati "tetapi yang sulit adalah bagaimana menjajagi itu. Bagaimana aku harus berbicara supaya aku dapat meraba isi hatinya. Itulah yang sulit" Tetapi Wiyatsih tidak dapat menolak lagi. Ketika Tanjung mendesaknya, Wiyatsih menjawab, meskipun ragu-ragu " Baiklah. Aku akan datang besok" "Tetapi jangan berbohong lagi" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Aku menunggumu. Aku sudah menyediakan sebuah kentongan kecil yang aku sangkutkan pada pering ori di tepian. Jangan takut lagi" Wiyatsih mengangguk. Lalu katanya "Apakah kau sekarang akan menemui ibu?" Tanjung termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia masih ingin berbicara berdua saja dengan Wiyatsih. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk "Baikiah. Aku akan bertemu dengan Nyai Sudati" ia berhenti sejenak, lalu "Tetapi jangan lupa. Aku memerlukan kau. Kalau kau besok tidak datang, aku terpaksa sekali mengatakannya disini. Bahkan mungkin dihadapan ibumu" "Aku kira itu lebih baik Tanjung. Nah, daripada kita harus menunggu besok senja, katakanlah sekarang. Kalau memang perlu, biarlah aku memanggil ibu" "Tidak. Tidak" nafas Tanjung terasa semakin cepat mengalir "besok saja. Aku ingin mengatakannya dengan tenang" Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi berdebardebar. Selama ini ia memang berusaha menghindar dari
384 Tanjung. Disiang hari ia memang tidak berada ditempat yang biasa. Tetapi bukan saja karena Tanjung, namun ia memang memerlukan tempat. vang tidak pernah diinjak kaki manusia. Di tempat yang agak jauh dan padukuhan, dicelah-celah jurang yang dalam, Wiyatsih seakan-akan menyembunyikan dirinya, Untuk berlatih sepuas-puasnya. Di tempat itu, ia merasa lebih bebas daripada dihalaman belakang rumahnya. Meskipun halaman halaman itu cukup luas, namun ia tidak dapal berbuat sekehendak hatinya, karena suara yang timbul dapat mengejutkan Pikatan yang berindera tajam. Apalagi halaman rumahnya tidak ada batu-batu besar yang berbongkah-bongkah, yang dapat dijadikan alas latihan kakinya yang berloncatan dengan lincahnya. Namun dengan demikian, dirumah, Wiyatsih menjadi seorang gadis yang lain. Ia menjadi pendiam dan perenung. Kadang-kadang ia selalu berada didalam biliknya, seperti Pikatan. "Barangkali hatinya belum sesuai dengan Tanjung " pikir ibunya yang menyangka bahwa hati Wiyatsih murung karena anak muda itu. Wiyatsih yang sedang merenung itu terkejut ketika ia mendengar Tanjung berkata "Sudahlah Wiyatsih, panggillah ibumu. Persoalan kita akan kita tunda sampai besok" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Jawabnya "Baikiah, aku akan| memanggil ibu" Setelah ibunya duduk menemui Tanjung, maka Wiyatsihpun masuk kedalam biliknya. Dengan lesu ia duduk di pembaringannya. Hatinya menjadi gelisah apabila teringat olehnya permintaan Tanjung, justru ia tahu apa yang akan dikatakannya. "Justru pertemuan yang diminta oleh Tanjung akan memberi kesempatan kepadamu untuk mengetahui sifatsifatnya "terngiang kembali kata-kata Puranti ditelinganya.
385 Tetapi alangkah sulitnya untuk berbicara tentang hubungannya itu. Ia benar-benar tidak tertarik kepada Tanjung, yang dianggapnya sebagai seorang anak muda yang cengeng, yang menurut Pikatan justru seorang penjilat. "Tidak. Aku tidak akan menemuinya. Aku akan memusatkan perhatianku kepada lalihan-latihan kanuragan itu dahulu, sebelum aku berbicara tentang laki-laki" Demikianlah Wiyatsih berusaha melupakan janjinya "Biar saja, apa yang akan dilakukan oleh Tanjung" Tetapi ketika saatnya tiba, hati Wiyatsih menjadi sangat gelisah. Ia pernah mengingkari janjinya, meskipun ia memang tidak tertarik sekali dengan janji itu. "Apakah aku akan ingkar lagi?" Sekali lagi Wiyatsih menggeram "Aku tidak akan datang. Aku tidak ingin berbicara tentang hubunganku dengan Tanjung Saat untuk itu masih jauh, selagi daerah ini masih merupakan daerah yang kering kerontang" Namun dengan demikian Tanjung akan selalu menagih janjinya itu Setiap kali Tanjung akan membuatnya gelisah dan tidak tenang. Tiba-tiba Wiyatsih tersenyum. Ia menemukan akal. Katanya kepada diri sendiri "Ia harus dibuat jera" Demikianlah disaat yang dijanjikan, Tanjung sudah menunggu Wiyatsih ditepian. Senja yang semakin lama menjadi semakin suram telah menggelisahkan Tanjung. Apalagi malam itu bukan malam terang bulan, sehingga tepian Kali Kuning itu semakin lama menjadi semakin gelap. "Kenapa ia belum datang?" bertanya Tanjung kepada diri sendiri. "Anak itu pasti ingin mempermainkan aku. Kalau hari semakin gelap, aku tidak akan dapat menunggunya lebih lama
386 lagi, Bukan saja kemungkinan satu dua orang penjahat lewat. tetapi kadang-kadang melalui Kali Kuning, iring-iringan lampor lewat dengan riuhnya. Menurut ceritera orang-orang yang berada di pinggir sungai dan melihat lampor itu lewat, ia akan dibawa serta sampai kelautan Kidul" Tanjung bergumam sendiri. Tatapa sesadarnya, Tanjung meraba kentongan kecilnya yarti memang sudah disediakan. Kalau terjadi sesuatu, maka kentongan itu akan dibunyikannya untuk memanggil anakanak muda yang lain. Tetapi meskipun demikian ia tetap raguragu, Didalam keadaan ini pasti jarang sekali anak-anak muda yang bersedia mengorbankan. dirinya, melawan para penjahat yang untuk beberapa saat telah membuat Kademangan Sambi Sari menjadi Kademangan yang mati dimalam hari. Dalam kegelisahan itu, Tanjung berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia berhanti dan duduk diatas batu padas. Kentongannya diletakkan disampingnya, siap untuk diraih apabila ada sesuatu yang mencurigakan. Namun, tiba-tiba saja, Tanjung terkejut ketika sebuah batu terlempar tepat mengenal kentongannya, sehingga kentongannya itu terloncat beberapa langkah. Dengan serta merta Tanjung berdiri. Ketika ia berpaling, dilihatnya seseorang berdiri beberapa langkah dibelakangnya. Dada Tanjung berdentangan, seakan-akan hendak meledak. Orang yang berdiri dibelakangnya itu adalah seseorang yang mengenakan pakaian hitam pekat dan berkerudung pada wajahnya. Tiba-tiba saja tubuh Tanjung menjadi gemetar. Dengan suara yang berputus-putus ia bertanya "Siapa kau" Siapa?" Tetapi orang yang berpakaian hitam itu sama sekali tidak menjawab. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati Tanjung. Namun sepatah katapun tidak diucapkannya. "Siapa kau he" Siapa?"
387 Orang itu tetap berdiam diri. Namun didalam keremangan ujung malam, Tanjung melihat seakan-akan tatapan mata orang itu langsung menembus kedalam dadanya. Tanjung menjadi semakin gelisah. Terasa dihatinya, bahwa orang itu memang berniat tidak baik. Karena itu, ia berusaha untuk mengambil kentongannya yang terjatuh. Tetapi selagi Tanjung melangkah selangkah, ia terkejut bukan kepalang. Orang berpakaian hitam itu tiba-tiba saja telah ada di hadapannya, dengan satu kakinya ia menginjak kentongan yang akan diambilnva. "Siapa kau he" Siapa kau?" Tanjung hampir berteriak. Tetapi bayangan itu sama sekali tidak menjawab. Tanjung semakin lama menjadi semakin cemas menghadap orang yang aneh itu. Ia tidak akan dapat mempergunakan kentongan itu lagi. Sedangkan menurut pengamatannya orang ini pasti salah seorang dari orang-orang jahat yang sering berkeliaran di daerah ini. Meskipun demikian, Tanjung masih juga berusaha. Tibatiba saja ia berusaha untuk lari dan kembali kepadukuhan. Namun selagi ia meloncat selangkah, terasa tangan orang itu telah menggenggam lengannya. Dengan suatu hentakkan yang keras, Tanjung terpelanting dan jatuh ke dalam air. Tertatih-tatih Tanjung berusaha berdiri. Tubuhnya menjadi basah kuyup. Kekuatan itu terasa bagaikan tarikan seekor kerbau yang paling garang. Tidak terlawan sama sekali. Tanjung kini benar-benar menjadi ketakutan. Tidak ada jalan untuk lari. Tetapi tidak ada keberanian untuk melawan. Apalagi setelah ia mengetahui, betapa besarnya kekuatan tarikan tangan orang itu, meskipun tangannya sama sekali tidak terasa kasar dilengannya. "Siapa kau dan apa maumu?" suara Tanjung gemetar. Tetapi tidak ada jawaban.
388 Dalam pada itu, Tanjung yang mengadahkan kepalanya kelangit melihat bintang gemintang yang telah terhambur memenuhi gelapnya malam. Tidak ada harapan lagi seseorang yang pulang dari sawah melihat keadaanmya. Karena itu, ia menjadi semakin gelisah dan ketakutan. Sedangkan jalan untuk lari, serasa sudah tertutup sama sekali. "Apa maumu he" Apakah kau ingin mendapatkan uang?" Orang itu tidak menjawab. Ketika Tanjung bergeser surut, iapun melangkah maju. Tiba-tiba saja Tanjung yang ketakutan itu berusaha menjerit sekuat-kuatnya. Tetapi suaranya yang hampir meloncat dari mulutnya itupun segera tersumbat, karena tangan orang itu telah menampar pipinya. Kemudian sebuah hentakkan sekali lagi melemparkannya jatuh kedalam air. Bahkan kali ini, bukan saja tubuhnya terbanting jatuh, tetapi terasa pelipisnya, menjadi sakit dan pening. Hampir saja Tanjung menjadi pingsan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk bangkit, agar ia tidak mati terbenam di dalam air meskipun beberapa teguk air telah masuk kedalam perutnya, Dengan merangkak-rangkak Tanjung menepi. Namun ia tetap menyadari keadaannya, meskipun ujung malam itu serasa semakin gelap. Dengan nafas terengah-engah Tanjung mencoba menguasai perasaannya. Masih terlintas juga dikepalanya, bahwa ia menyediakan sebuah kentongan kecil. Tetapi ternyata kentongan itu tidak dapat dipergunakannya. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah menyerahkan diri kepada nasibnya. Apapun yang akan terjadi, adalah nasib yang memang harus dihadapinya. Kalau ia harus mengalami bencana ditepian itu, apa daya.
389 Namun dalam keadaan itu, Tanjung masih dapat mensukuri bahwa Wiyatsih tidak datang senja itu. Jika ia datang, maka gadis itupun pasti akan mengalami bencana yang serupa. Dalam keadaan yang pasrah itu Tanjung tidak berbuat apaapa, selain duduk bersimpuh ditepian. Pakaiannya basah kuyup dan dikotori oleh pasir yang melekat, Anak muda itu sama sekali tidak berani lagi mengangkat kepalanya. Seandainya bayangan hitam itu menerkam dan mencekiknya, ia benar-benar sudah menyerahkan dirinya. Tetapi untuk beberapa saat tidak terjadi sesuatu. Tanjung masih tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun tidak ada jari-jari tangan yang merabanya. Tidak ada hentakan dan dorongan yang kuat yang membantingnya kedalam air. Meskipun demikiani Tanjung tidak berani mengangkat wajahnya. Tetapi tiba-tiba saja nyawanya seakan-akan meloncat dari ubun-ubunnya ketika ia merasa sentuhan ditengkuknya. Dunia rasanya mulai berputar dan pasir tepian seolah-olah terbang kelangit, membawanya menghadapi maut. Sentuhan yang dingin itu benar-benar bagaikan menghentikan arus darah dan nafasnya sekaligus. Tetapi sekali lagi ia terperanjat, sehingga tubuhnya yang seakan-akan tidak bertulang lagi itu terloncat sejengkal, dan bahkan Tanjung itupun, berdiri dengan tiba-tiba, ketika ia mendengar seorang memanggilnya hampir di telinganya "Tanjung, kenapa kau bersimpuh disini?" Tanjung yang kemudian tegak berdiri, memandang orang menyapanya itu, seolah-olah ia tidak percaya pada penglihatannya "Wiyatsih, kau Wiyatsih?" "Ya, kanapa" Aku minta maaf, bahwa aku agak terlambat, Aku harus menyelesaikan pekerjaanku dirumah dahulu.
390 Bahkan aku hampir lupa. Tetapi aku tidak mau mengecewakan kau berulang kali. Karena itu, meskipuni sudah agak terlambat, aku perlukan datang. Sebenarnya aku agak takuttakut juga berjalan di dalam gelap. sukurlah bahwa kau masih menunggu aku kalau kau sudah tidak ada ditepiah ini, entahlah. Mungkin aku akan beteriak-teriak memanggilmanggil" "Wiyatsih, pergilah, Pergilah" Suara Tanjung terbata-bata. "Kenapa" Bukankah kita berjanji untuk bertemu ditepian senja ini" Aku hanya terlambat sedikit Tanjung" Kau marah?" "Tidak. Bukan karena aku marah" Tanjung berhenti sejenak, Dengan nanar ia memandang berkeliling. "Apakah yang kau cari?" "Hantu, Eh bukan, tentu bukan hantu. Pasti penjahat yang paling jahat" "Hantu, eh, penjahat?" Wiyatsih terheran-heran. "Seseorang dalam pakaian yang hitam. Ia menyerangku dan membanting aku kedalam air" "O" Wiyatsih maju selangkah mendekati Tanjung "aku takut" "Pergilah" "Tetapi, apakah kau berkelahi dengan penjahat itu?" Tanjung memandang Wiyatsih sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab "Tidak. Aku tidak berkelahi" "Jadi?" "Aku tidak akan dapat melawannya" "Kau sudah mencoba?" Sekali lagi Tanjung menggelengkan kepalanya. "Berapa orang?"
391 "Satu orang" "Jadi kau begitu saja menyerahkan dirimu, Tanjung?" Tanjung memandang Wiyatsih dengan pandangan yang redup katanya "Aku tidak akan mampu melawannya Wiyatsih. Aku tidak berani. Jika ia menjadi semakin marah, aku akan dibunuhnya" "Apa yang sudah dilakukan atasmu?" "Aku dibantingnya kedalam air?" "Apakah salahmu?" Tanjung menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu" "Seharusnya kau melawan. Kau juga seorang laki-laki" Tanjung tidak menyahut. Kepalanya tertunduk semakin dalam. Namun ketika tiba-tiba ia menyadari keadaan yang gawat, iapun berkata "Wiyatsih, marilah kita pergi. Marilah kita pulang sebelum orang itu datang kembali" "Tetapi bukankah kau ingin mengatakan sesuatu kepadaku" Sesuatu tentang diri kita?" "Lain kali Wiyatsih. lain kali saja. Sekarang kita berada dalam bahaya" "Tetapi bukankah kau membawa kentongan" Kau dapat Memukul kentonganmu apabila kau perlukan" Kentongan itu terlempar. Aku tidak sempat mengambilnya" "O" "Jadi, marilah kita pulang" Wiyatsih tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja Tanjung menarik tangan Wiyatsih dan dibawanya berlari-lari meninggalkan tepian.
392 "Tunggti, tunggu. Aku dapat jatuh terjerembab. Aku memakai kain panjang. Langkahku tidak dapat selebar langkahmu" "Tetapi Tanjung tidak menghiraukannya. Ia masih menarik Wiyatsih berlari-lari meninggalkan tepian. Namun Wiyatsih segera menghentakkan tangannya, sehingga terlepas dari pegangan Tanjung. "Wiyatsih" desis Tanjung "kau tidak menyadari bahaya yang sebenarnya" "Tetapi aku tidak dapat lari secepat kau" Wiyatsih berhenti sejenak, lalu "bukankah seharusnya kau melindungi aku, bukan menyeret aku berlari-lari" "Kalau saja aku tidak berhadapan dengan penjahat itu, aku. akan melakukannya" sahut Tanjung "aku tidak akan takut berhadapan dengan anak muda yang manapun juga, jika mereka mengganggumu. Tetapi penjahat itu " "Apakah kau yakin bahwa penjahat itu mempunyai kemampuan berkelahi yang jauh lebih tinggi dari kemampuanmu sebelum kau berbuat apapun juga?" "Aku dilemparkan kedalam sungai" "Mungkin karena suatu hentakkan yang mengejutkanmu" "Tetapi aku lebih baik tidak berurusan dengan penjahatpenjahat. Aku tidak mau mengalami nasib seperti Pikatan" "Ah" "Sudahlah. Marilah" Tanjung menyambar tangan Wiyatsih. Tetapi kali ini Wiyatsih mengelak sambil berkata "Aku akan berjalan sendiri. tidak pantas dilihat orang kalau kita berjalan berpegangan tangan. Padahal kita bukan sanak bukan kadang"
393 Kalau saja Tanjung melihat wajahnya sendiri, ia akan mengetahui bahwa wajahnya menjadi merah. Tetapi ia tidak dapat memaksa Wiyatsih, sehingga keduanya kemudian hanya berjalan cepat-cepat beriringan. Namun di perjalanan Wiyatsih masih bertanya "Jadi besok kita berbicara ditepian?" "Tidak. Besok juga tidak" "Kapan?" "Aku belum dapat mengatakan Wiyatsih. Mungkin kita tidak akan kembali ketepian. Kaupun jangan pergi ketepian lewat senja. Ternyata penjahat-penjahal itu sudah itu sudah berkeliaran di daerah ini. Mungkin mereka salah seorang kawan dari penjahat yang terbunuh oleh Pikatan" "Mungkin" sahut Wiyatsih. "Kita akan menentukan tempat yang lain kelak." Wiyatsih tidak menyahut lagi. Mereka berjalan semakin lama semakin cepat. Tanjung memang masih dibayangi oleh kecemasan kalau-kalau bayangan yang hitam itu mengejarnya. Ketika mereka sampai ke pojok padukuhan, maka Tanjungpun menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia sudah sampai ke tempat yang paling aman. Sekali-kali ia mengusap keringat yang membasah di keningnya, sedang langkahnyapun menjadi semakin perlahan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata "Kita tidak perlu tergesa-gesa lagi Wiyatsih" "Tetapi" berkata Wiyatsih "siapakah yang akan menjamin, bahwa kita tidak akan bertemu lagi dengan orang itu" Seandainya ia menyusul kita kemari, apakah yang dapat kita lakukan". Seandainya kita berteriak teriak, apakah orangorang padukuhan kita akan berani menolong kita?"
394 "O" Tanjungpun menjadi termangu-mangu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata "ya, ya. Marilah, kita segera pulang" Keduanya mempercepat langkah mereka kembali. Hampir berlari-lari kecil. Apalagi karena mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun di pojok desa, karena semua orang telah menutup pintu rumahnya dan tinggal didalamnya. Sekali lagi Tanjung menarik nafas lega, ketika mereka telah mendekati regol rumah Wiyatsih. Mereka melihat regol itu masih terbuka dan dua orang penjaganya justru berdiri diluar. "Ha, itulah mereka" berkata salah seorang dari mereka. Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Ketika Wiyatsih dan Tanjung menjadi semakin dekat, ia berkata "Nyai Sudati sudah menjadi gelisah sekali. Hampir saja kami berdua disuruhnya mencari" "O" Wiyatsih tersenyum "aku berada ditepian bersama Tanjung" "Biasanya kalian tidak pulang terlampau malam" "Apakah sekarang ini sudah terlampau malam" Baru saja matahari terbenam" "Ah, ada-ada saja. Cepatlah sedikit. Ibumu sudah sangat gelisah. Bahkan menjadi cemas" Wiyatsih tertawa. Sambil berpaling kepada Tanjung ia berkata "Apakah kau akan singgah?" Tanjung ragu-ragu sejenak, lalu jawabnya "Baiklah" namun segera disambungnya "tetapi pakaianku basah kuyup dan kotor" Melihat pakaian Tanjung didalam cahaya pelita di regol rumahnya, Wiyatsih tertawa. Kedua penjaga regolnya yang semula mengerutkan keningnya itupun ikut tertawa pula.
395 Bahkan salah seorang dari mereka bertanya "Kenapa pakaianmu basah?" "Aku tergelincir kedalam air. Itulah sebabnya kami pulang agak terlambat" "Kau dapat menjadi demam" "Karena itu, aku akan terus saja pulang" Belum lagi Wiyatsih berkata sesuatu, ibunya telah berdiri di pintu regol. Sambil mengerutkaln keningnya ia bertanya "Kenapa kalian pulang terlampau lambat?" "Lihat ibu" berkata Wiyatsih "Tanjung mencuci pakaiannya langsung sambil dipakainya" "Kenapa kau Tanjung?" bertanya Nyai Sudati. "Aku tergelincir jatuh kedalam air" "Karena itu, jangan pergi ketepian dimalam hari" "Justru karena aku tergelincir aku lambat pulang" Ibu Wiyatsihpun tersenyum melihat Tanjung yang basah kuyup. Karena itu maka katanya "Pulanglah. Pakaianmu basah kuyup" "Baikiah. Aku minta diri. Besok aku akan datang kembali, barangkali ada masalah yang harus aku tangani" Nyai Sudati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun katanya "Lain kali berhati-hatilah. Dan jangan pergi sampai larut malam" "Tanjung manganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Wiyatsih sejenak, seakan-akan berpesan, jangan mengatakan yang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Tetapi Wiyatsih hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sepeninggal Tanjung, maka Ibu Wiyatsuh itupun berkata "Masuklah. Aku menjadi sangat cemas. Untunglah kau pergi
396 bersama Tanjung. Kalau tidak, aku akan sangat marah kepadamu. "Kenapa ibu tidak marah kepadaku jika aku pergi bersama Tunjung?" "Ia anak yang baik. Ia tidak suka berlaku kasarkepada siapapun" Wiyatsih hanya menarik nafas dalam dalam. Diikutinya ibunya naik kependapa, kemudian masuk ke pringgitan. "Aku akan berganti pakaian ibu" "Kenapa" Apakah kau juga basah kuyup seperti Tanjung?" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia memandang ke ruang dalam. Tetapi ia tidak melihat kakaknya dari pringgitan itu. Jika kakaknya mendengar ibunya menyebut nama Tanjung, maka kakaknya itu akan marah lagi kepadanya. Tetapi iapun tidak akan dapat mencegah ibunya, untuk tidak menyebut-nyebut nama itu. "Bukankah pakaianmu tetap kering?" ibunya mendesak" "Ya,tetapi kainku kotor oleh pasir dan debu. Kakiku menjadi gatal-gatal. Aku akan kepakiwan sebentar." Ibunya tidak mencegahnya. Dipandanginya saja langkah Wiyatsih melangkahi pintu masuk keruang dalam. Dengan tergesa-gesa Wiyatsih masuk ke dalam biliknya dan menutup pintunya rapat-rapat. Dari dalam setagennya ia mengeluarkan sehelai kain hitam. Kemudian disingsingnya kainnya dan dilepasnya celananya. Sambil tersenyum ia berkata kepada diri sendiri "Ternyata Tanjung benar-benar seorang pengecut. Ia tidak dapat berbuat apa-apa dan sama sekali tidak berani berusaha mengatasi kesulitannya selain lari" Seperti biasanya, pakaian laki-laki yang didapatkannya dari Puranti itupun disembunyikannya, sebelum ia keluar dari
397 biliknya dan pergi ke pakiwan. Tetapi dari pakiwan Wiyatsih tidak pergi menemui ibunya. Ia langsung berbaring di pembaringannya. Malam nanti ia masih mempunyai pekerjaan seperti yang dilakukan setiap lewat tengah malam. Ibunya yang duduk di pringgitan menunggunya sejenak. Tetapi karena Wiyatsih tidak datang lagi ke pringgitan, maka iapun kemudian berdiri dan setelah menutup dan menyelarak pintu-pintu, maka Nyai Sudati itupun segera pergi ke dalam biliknya. "Mudah-mudahan keduanya akan berusaha saling menyesuaikan diri" berkata Nyai Sudati didalam hatinya. Lewat tengah malam, seperti biasanya Wiyatsih berlatih di kebun belakang. Kini Kiai Pucang Tunggal tidak lagi memberikan beberapa contoh unsur-unsur gerak kepada Wiyatsih, tetapi ia hanya memberikan beberapa petunjuk saja baginya. Wiyatsih sendiri seolah-olah telah mampu menanggapi setiap keadaan dengan serta merta. Tata gerak yang telah dikuasainya, dengan sendirinya akan berjalinlah satu dengan yang lain, apabila ia mengalami tantangan keadaan. Sekali-sekali bahkan Kiai Pucang Tunggal telah mengajarnya bertempur dengan lawan. Lawannya adalah Kiai Pucang Tunggal sendiri, sehingga Wiyatsih akan dapat menghayati kegunaan setiap tata gerak yang telah dipelajarinya. Mula-mula Wiyatsih mengalami sedikit kesulitan. Tetapi lambat laun ia berhasil menyesuaikan dirinya. Dengan demikian Kiai Pucang Tunggalpun memberikan persoalanpersoalan tata gerak yang lebih sulit lagi. Serangan-serangan beruntun dan kadang-kadang benar-benar menyakitinya. Tetapi dengan demikian, latihan-latihan yang dilakukan Wiyatsih menjadi hidup dan menarik sekali. Meskipuni kadangkadang lengannya benar-benar menjadi biru karena sentuhan
398 tangan Kiai Pucang Tunggal, namun berlatih dengan cara yang demikian sama sekali tidak menjemukannya. Apalagi setiap kali Kiai Pucang Tunggal memberikan persoalan-persoalan tata gerak yang baru, yang kadang-kadang terlampau sulit untuk diatasi. Namun dengan petunjuk Kiai Pucang Tunggal sendiri, Wiyatsih dapat maju dengan pesatnya. Selain tata gerak tangan dan kaki, Wiyatsih sudah mampu mempergunakan senjata pula. Bermacam-macam senjata. Setiap malam Kiai Pucang Tunggal tidak hanya membawa satu jenis senjata saja tetapi dua atau tiga. Senjata jarak pendek, sedang bahkan senjata panjang sekali, meskipun hanya sekedar dari sebatang bambu Namun demikian, sekali-kali Wiyatsih masih juga bertanya, dimanakah sebenarnya Puranti. "Ia berada di rumah janda di Cangkring itu" jawab Kiai Pucang Tunggal, lalu "Ia masih belum berhasil mengatasi persoalannya" "Apakah sebenarnya yang dihadapi?" "Sebenarnya bukan apa-apa. Tetapi bagaimana langkah yang sebaik-baiknya, agar laki-laki itu tidak mendendam kepada janda tua dan miskin itu. Seolah-olah janda itu tidak mau menyerahkan anak angkatnya untuk diperisterikannya" "Sekali-sekali aku ingin mengunjunginya" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan keningnya. Katanya "Jangan, Bukankah orang-orang Cangkringan sudah mengenal keluarga ini?" "Apa salahnya" Aku adalah kawan seorang gadis yang bernama Sontrot, eh Suntrut itu" Kawan gadis miskin itu hanyalah gadis-gadis miskin pula. Wiyatsih berpkir sejenak, lalu "Aku dapat juga berpakaian seperti seorang gadis miskin"
399 "Itu tidak perlu. Kalau ada yang melihat kau disana dan menarik perhatiannya, maka akan timbullah persoalan baru lagi bagi janda itu" "Ah" Wiyatsih menundukkan kepalanya. "Karena itu, tunggu sajalah barang dua tiga hari lagi. Ia akan dapat meninggalkan rumah itu. Meskipun hanya sesaat dimalam hari" "Apakah Kiai tidak pernah menjenguk Puranti di rumah itu?" "Ya, aku pernah datang sebagai seorang perantau yang miskin. Aku mengaku salah seorang keluarganya yang pergi menengoknya" "Aku juga" "Ah" Kiai Pucang Tunggal berdesah "sudahlah, sekarang mulailah dengan jenis senjata baru, senjata lentur" "Apa Kiai?" "Cambuk" "O" Demikianlah, Wiyatsih mulai mencoba mempergunakan senjata lentur, tetapi karena ia sudah menguasai tata gerak dasar dengan baik, maka iapun segera dapat mempergunakan jenis itu. Hasrat yang semakin menyala di dalam hati Wiyatsih untuk menguasai ilmu kanuragan itu sejalan dengan hasratnya yang membakar seluruh gairah dan tekadnya untuk membangun sebuah bendungan. Tanah yang kering, dedaunan yang menguning dan anak-anak kecil yang lemah dan kurus, membuatnya semakin dekkat dengan arus Kali Kuning. "Disinilah yang pernah dikatakan oleh kakang Pikatan, kemungkinan yang paling baik untuk membangun sebuah
400 bendungan" berkata Wiyatsih ketika ia berdiri di pinggir Kali Kuning. Tempat itu memang jarang sekali dilalui orang, karena letaknya yang agak jauh dari padukuhan. Tetapi tebingnya yang lebih sempit, batu-batu yang bererakan, serta tanah yang lunak diatas tebing. Membuat tempat itu paling sesuai untuk dibuat sebuah bendungan yang akan mengangkat air itu naik keatas tanggul dan mengalir membelah sawah yang kering. Meskipun Wiyatsih seorang gadis, tetapi tempaan lahir dan batin membuatnya berhati keras seperti kakaknya, ia yakin bahwa pada suatu saat di tempat itu akan berdiri sebuah bendungan yang kuat, yang akan mengairi sawah di sekitar padukuhannya. Tanpa disadarinya, tangannya meraba-raba tebing, dikoreknya batu-batu padas itu dengan jarinya. Ia masih belum sadar sama sekali bahwa bekas jarinya itu membuat goresan yang dalam pada tebing yang berbatu padas itu, seolah-olah digores oleh sepotong kayu yang keras. "Yang kita perlukan adalah brunjung-brunjung bambu" berkata Wiyatsih kepada diri sendiri "kemudian dikerahkan semua anak-anak muda, bukan hanya anak-anak muda, tetapi semua orang laki-laki untuk mengisi brunjung-brunjung itu dengan batu. Sedangkan semua perempuan menyiapkan makan dan minum bagi mereka" Wiyatsih mengangguk-anggukan kepalanya, ia puas dengan angan-angannya itu, seakan-akan kerja yang besar itu sudah dimulainya. Namun tiba-tiba badannya lemah, ketika ia sadar, bahwa semua itu barulah sekedar angan-angan, seperti yang dikatakan oleh Tanjung, bahwa ia sekedar bermimpi. "Tetapi tidak" Wiyatsih menghentakkan kakinya "Aku tidak bermimpi, aku bukan Tanjung yang sekedar menerima nasibnya. Seakan-akan alam ini begitu kejam menyiksa rakyat
401 Kademangan Sambi Sari, terutama disekitar Alas Sambirata ini tanpa ampun. Tidak, kita dapat bersahabat dengan alam. Dan kita dapat memanfaatkan alam ini." Namun sekali lagi Wiyatsih tersandar pada tebing Kali Kuning. Rakyat padukuhannya sendiri adalah rakyat yang lumpuh. Seperti Pikatan yang sekarang, benar-benar telah lumpuh sebelah tangannya, maka rakyat padukuhannyapun adalah rakyat yang lumpuh. Mereka mengeluh dan menangis. Tetapi mereka tidak berusaha merubah nasibnya sendiri, meskipun tersedia bagi mereka, air Kali Kuning yang tidak kering disegala musim. Wiyatsih itu tiba-tiba terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya. Dengan serta-metta ia mengangkat wajahnya. Hatinya bersedih ketika diatas tanggul dilihatnya seorang anak muda yang berdiri termangu-mangu, Kesambi. "Mengapa kau berada disitu Wiyatsih?" Wiyatsih memandang Kesambi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip. Sejenak kemudian iapun bertanya "Dan kenapa kau datang pula kemari, Kesambi." Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian meloncat turun sambil berkata "Mungkin kita bersama-sama telah bermimpi ditengah hari. Aku dahulu pernah mendengar, disinilah tempat yang paling baik untuk membual membuat bendungan" "Pikatan yang kau maksud?" "Ya. Pikatanlah yang pernah mengatakannya. Agaknya kaupun telah bermimpi tentang bendungan itu pula." Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Benar Kesambi. Aku memang sedang bermimpi. Tetapi aku berharap bahwa mimpiku akan menjadi Daradasih. Mimpi yang akan dapat terwujud"
402 Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku juga berpikir demikian. Kau sudah membangunkan hasratku untuk berbuat sesuatu. Kau benar, bahwa aku laki-laki seperti Pikatan. Aku muda dan utuh seperti Pikatan waktu itu. Aku bertanggung jawab atas padukuhanku seperti juga Pikatan. Karena itu aku datang kemari untuk menjajagi kemungkinan itu" "Kau berkata sebenarnya?" "Ya. Aku sudah mulai. Aku sudah mengatakannya kepada beberapa orang. Tetapi aku masih ditertawakan oleh mereka. Disangkanya aku orang yang tidak mau menerima karunia yang pantas bagi kita" "Aku akan membantumu Kesambi" Kesambi memandang Wiyatsih sejenak. Namun kemudian dilemparkannya tatapan matanya jauh-jauh. Tetapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. "Kesambi, kau tidak percaya bahwa aku sanggup membantumu karena aku seorang gadis?" "O. Tidak. Bukan, maksudku" berkata Kesambi dengan serta-merta. "Tetapi kenapa tanggapanmu menjadi seakan-akan beku" "Wiyatsih" berkata Kesambi "aku memang sudah mulai mempersoalkan bendungan ini dengan beberapa orang kawan. Tetapi agaknya mereka sama sekali tidak berminat. Mereka masih saja tertidur dan bergulat dengan mimpi buruk selama ini. Mereka menerima apa yang ada sekarang ini sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat mereka hindari" "Dari sanalah kita harus memulainya. Sebelum kita benarbenar membangun sebuah bendungan, kita harus mencoba membangun hasrat anak-anak muda di Sambi Sari ini untuk bangun. Dengan demikian maka kita memang mempunyai sasaran rangkap"
403 "Dan kan akan membantu aku?" "Kau tidak percaya?" "Sebenarnya, menilik sikapmu yaug tidak dibuat-buat itu aku seharusnya percaya kepadamu" "Apakah ada persoalan lain yang membuatmu ragu-ragu?" "Bagaimana dengan Tanjung?" "Apakah hubungannya dengan Tanjung?" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan berat ia kemudian berkata "Setiap anak muda di padukuhan ini mengetahui bahwa hubunganmu dengan Tanjung sudah terlampau akrab" "Seandainya itu benar, apakah salahnya aku ikut membangun bendungan?" "Wiyatsih" berkata Kesambi kemudian dengan nada yang dalam "Tanjung adalah salah seorang dari anak-anak muda yang paling mencegah pembuatan sebuah bendungan. Dan menurut Tanjung, ibumu sendiri tidak sependapat dengan bendungan itu" "Ah" "Maaf Wiyatsih. Tetapi aku tidak berbohong. Banyak alasan yang dapat dikemukakan dan yang memang dapat diterima oleh orang-orang padukuhan ini. Bukan saja yang tua-tua, tetapi juga yang muda-muda" "Aku berpendirian lain" berkata Wiyatsih. "Tetapi hampir semua penduduk berpendapat, bahwa usaha untuk merubah alam ini sama sekali tidak akan berhasil. Bahkan itu adalah pertanda bahwa kita adalah orang-orang yang tamak, yang tidak mau berterima kasih atas karunia Tuhan yang telah kita terima selama ini, sehingga kita masih akan memperbanyak karunia itu dengan kemampuan kita
404 sendiri. Sedang dipihak lain dan yang penunggu Kali Kuningpun pasti akan marah apabila kita berani mengganggu aliran airnya. "Kita harus meyakinkan kepada mereka, bahwa hal itu tidak benar" "Itu adalah pekerjaan yang sulit Wiyatsih. Tidak kalah sulitnya dengan membuat bendungan itu sendiri." "Tetapi pendapat itu sama sekali tidak benar. Tuhan mengkaruniakan aliran Kali Kuning kepada kita untuk kita manfaatkan bagi kehidupan kita. Air yang mengalir disegala musim itu tidak harus kita sia-siakan, justru kita selalu kekurangan air dimusim kemarau. Sedangkan penunggu sungai inipun tidak akan dapat berbuat apa-apa, apabila rencana itu memang berkenan dihati Pencipta dari Alam ini, karena Pencipta itulah yang mempunyai kekuasaan Yang Maha Tinggi." "Jangan membantah aku" sahut Kesambi "aku sependapat dengan kau. Tetapi orang-orang lain itulah yang berpendirian demikjan." Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam, Katanya "Maaf Kesambi. Maksudku, kita dapat menjelaskan demikian kepada orang-orang padukuhan kita dan bahkan kepada seluruh Kademangan Sambi Sari yang terbelakang ini. Jika kita pergi ke Kademangan-kademangan yang lain, kita akan melihat, bahwa mereka jauh lebih cepat berbuat daripada kita disini. Aku pernah mengikuti ibuku menengok seorang keluarga meskipun bukan keluarga dekat, kepadukuhan yang bagiku terasa sangat subur, parit-parit yang mengalirkan air yang jernih, akan tetap mengalir meskipun terik matahan membakar dedaunaun dimusim yang paling kering." "Dan kita melihat dedaunan dipadukuhan ini menjadi semakin kuning. Alas Sambirata sekarang bagaikan sebuah
405 bukit berbatu-batu padas yang kekuning-kuningan karena musim kering yang panjang" "Karena itu Kesambi" berkkta Wiyatsih "marilah kita berbuat sesuatu" "Apa yang dapat kita lakukan?" "Meyakinkan mereka. Tidak jemu-jemunya sepanjang kita yakin sanggup berbuat demikian. Sebentar lagi musim kering tahun ini akan berakhir. Sebelum dedaunan menjadi hijau, kita harus sudah berhasil meyakinkan mereka, meskipun kita belum dapat memulainya. Kalau sampai musim basah yang akan datang, mereka tidak yakin bahwa kita memerlukan bendungan, maka dimusim basah, ketika dedaunan menjadi hijau dan sawah-sawah telah tergenang dengan air hujan, mereka akan menjadi semakin rnalas berpikir" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ya, Suatu tugas yang sangat sulit" namun iapun kemudian mengadahkan wajahnya "aku akan mencoba" Aku akan menyiram tanaman disawahku dengan air sungai sebagai suatu peraga bahwa dengan air sungai ini kita akan mendapatkan manfaat" "Bagaimana hal itu akan kau lakukan" Dan bukankah sawahmu berada di daerah yang basah" "Ibu mempunyai juga sebidang tanah kering meskipun letaknya juga dipinggir Kali Kuning. Tetapi tanah diujung selatan dari bulak kita terletak agak tinggi dari permukaan aliran Kali Kuning itu" Kesambi mengerutkan keningnya "Ya, ya. Aku tahu. Tanah itupun kering sama sekali, sehingga seakan-akan telah terpecah-pecah oleh terik matahari. Tetapi apa yang dapat kau perbuat?" "Aku akan menanam jagung diatas tanah itu"
406 "Jagung itu akan kering sebelum tumbuh. Seperti jagung yang kita panggang, maka jagung itu akan menjadi berondong" Tetapi Wiyatsih justru tersenyum. Katanya "Aku akan menyiramnya setiap sore" "Itu tidak mungkin Wiyatsih. Kalau kau dapat mengerahkan semua anak muda di padukuhan ini, barulah kau mendapatkan ait yang cukup" Tetapi Wiyatsih masih juga tersenyum. Tiba-tiba terbayang diangan-angannya suatu latihan yang bagus sekah, selain ia akan membuktikan bahwa dengan air Kali Kuning, ia dapat berbuat sesuatu. "Aku akan memanjat tebing itu setiap hari" katanya didalam hati "alasan yang tidak akan dapat diketahui oleh siapapun bahwa aku sedang berlatih memperkuat kaki dan tanganku. Aku akan berjalan hilir mudik untuk beberapa puluh kali setiap hari, meskipun tentu ada juga orang yang berpikir bahwa aku menjadi tidak waras lagi" "Kesambi" berkata Wiyatsih kemudian "aku akan mencoba melakukannya. Aku akan membuat semacam tangga pada tebing Kali Kuning. Sudah barang tentu, aku tidak akan menanami seluruh bagian dari tanah ibu yang kering itu. Aku hanya akan mengambil sekotak yang terletak tepat dipinggir tanggul" Kesambi menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya "Sekotakpun tidak mungkin Wiyatsih" "Apakah kau juga sudah mulai dengan penyakit seperti yang menghinggapi anak-anak muda dipadukuhan kita" "Tidak. Tetapi bagaimanapun juga kita harus berpikir wajar, kita memang tidak dapat melakukan keajaiban yang manapun juga. Dan tenaga kita tidak akan dapat melampaui kenyataan kita sehari-hari"
407 "Kesambi, kadang-kadang niat dan tekad kita dapat mempengaruhi kemampuan yang ada pada diri kita masingmasing. Marilah kita lihat, apakah aku mampu atau tidak. Kalau tidak, usaha itu akan aku hentikan. Tetapi sudah tentu bahwa usaha yang lain untuk membangun bendungan ini akan tetap berlangsung" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Wiyatsih benar-benar seorang yang keras hati. "Tetapi orang yang berkeras hati seperti itulah yang akan berhasil dengan usahanya, selama usahanya itu masih tetap dalam batas kewajaran" berkata Kesambi didalam hatinya. "Kesambi " berkata Wiyatsih kemudian "marilah kita berjanji kepada diri kita sendiri, bahwa kita akan bekerja terus sejauh dapat kita lakukan" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita dapat merencanakan pembagian waktu. Di musim hujan mendatang, kita dapat menyiapkan brunjung-brunjung bambu sambil mengumpulkan batu. Disini kita dapat mengumpulkan batu berapapun yang kita perlukan. Menjelang musim kering, kita mengisi brunjung-brunjung bambu itu dengan batu. Sebagian dari kita menggali parit, membelah tanah-tanah kering. Jika hujan telah mereda kita turunkan brunjung-brunjung batu itu kedalam sungai dan kita timbun dengan tanah padas. Kita akan mendapatkan sebuah bendungan yang sederhana. Tetapi kita akan dapat mengangkat air dari Kali Kuning ini" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia menjadi begitu kagum terhadap Wiyatsih. Kagum akan kecerdasan berpikir dan tekad yang bulat didalam hati. Apalagi Wiyatsih adalah seorang gadis yang bagi padukuhannya, merupakan seorang yang lemah dan dipersiapkan sekedar untuk menyusui anaknya kelak.
408 Tetapi ternyata Wiyatsih adalah seorang gadis yang lain. Bahkan Kesambi merasa seakan-akan ia berdiri berhadapan dengan Pikatan sendiri. Dengan seorang anak muda yang gagah dan berhati baja. Yang bercita-cita membuat padukuhannya menjadi sebuah padukuhan yang subur dan hijau. Namun bagaimanapun juga, Kesambi harus menyadari, bahwa yang ada sekarang bukanlah Pikatan, tetapi Wiyatsih. Seorang gadis yang tampaknya sebagai seorang gadis yang lembut. Tetapi ternyata hatinya sekeras hati Pikatan. Meskipun demikian, ketika tanpa sesadarnya Kesambi memandang mata Wiyatsih, hatinya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja terasa sesuatu melonjak dihatinya. Baginya Wiyatsih adalah gadis yang sempurna. Seorang gadis yang bercita-cita, seorang gadis yang tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dan bukan pula seorang gadis yang sekedar menunggu hari-hari perkawinannya dengan menghisap ibu jarinya. Tetapi ia adalah gadis yang berhati bara. Panas dan bergelora. Namun demikian, ia adalah seorang gadis yang cantik dan lembut. "He, kenapa kau tiba-tiba membeku" bertanya Wiyatsih "O" Kesambi terkejut. Ia belum pernah memperhatikan seorang gadis seperti saat itu. Kesulitan hidup dan kenyataan yang dihadapinya tidak memungkinkannya untuk memikirkan dan berangan-angan sesuatu tentang seorang gadis. Apalagi kelanjutan dari angan-angannya tentang gadis itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. "Apa yang kau pikirkan?" bertanya Wiyatsih. "Batu-batu padas itu" berkata Kesambi kemudian dengan terbata-bata "tetapi kita mengharap, bahwa kita akan dapat melakukannya. "Sudahlah" berkata Kesambi kemudian "aku akan pergi. Aku akan terus berbuat apapun yang dapat aku lakukan.
409 Tempat ini memang tepat seperti yang dikatakan oleh Pikatan beberapa tahun yang lalu, sebelum ia meninggalkan padukuhan ini. Baru setelah ia kembali, kata-katanya itu aku ingat-ingat. Tetapi ternyata Pikatan sekarang sudah lain" "Ya. la sekarang hidup terasing" "Baiklah. Kitalah yang akan melakukannya" Kesambi berhenti sejenak, lalu "tetapi pikirkan rencanamu masakmasak. Kau tidak akan dapat setiap hari naik turun tebing diujung selatan bulak kita itu " Wiyatsih tersenyum. Jawabnya "Baikiah Kesambi. Aku akan memikirkannya" "Tentu bukan sekedar tentang rencana itu Tetapi kau menghadapi masalah yang lebih rumit dari aku. Tanjung, yang selama ini selalu berada dimanapun kau pergi, tentu akan mencoba menghalangimu. Terlebih-lebih lagi adalah ibumu sendiri" Tetapi Wiyatsih masih saja tersenyum. Katanya "Aku akan mencoba meyakinkan mereka, seperti aku akan meyakinkan setiap orang, bukankah kau juga akan berbuat demikian?" Kesambi mengangguk. Tetapi, tampak keragu-raguan yang membayang. Bukan ragu-ragu tentang dirinya sendiri. Tetapi ia meragukan Wiyatsih. Betapapun keras hatinya namun orang-orang yang paling dekat dengan dirinya sama sekali tidak memberikan dukungan apapun. Apalagi orang itu adalah seorang laki-laki yang mulai merayap memasuki kehidupannya. Tetapi Kesambi tidak mempersoalkannya lagi. Iapun kemudian meninggalkan tempat itu. Tetapi ia berpaling ketika Wiyatsih berkata "Akupun akan pulang juga Kesambi" Kesambi termenung sejenak. Tetapi katanya "Aku akau pergi dahulu"
410 Wiyatsih tersenyum pula. Katanya "Memang tidak pantas jika kita berjalan bersama-sama dari tempat yang agak jauh dan sepi. Pergilah dahulu. Tidak seorangpun akan percaya bahwa kebetulan saja kita bertemu disini. Kesambi mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi iapun segera meloncat keatas tanggul dan berjalan dengan tergesagesa meninggalkan tempat yang sepi itu, karena ia tidak ingin menimbulkan persoalan yang lain jika seseorang melihat ia berada ditempat itu bersama Wiyatsih meskipun hanya secara kebetulan. Sepeninggal Kesambi, Wiyatsihpun kemudian berjalan perlahan-lahan menyelusuri sungai. Tanpa sesadarnya ia mulai berdiri diatas sebuah batu. Kemudian kakinya yang lincah mulai berloncatan. Mula-mula ia meloncat dari batu kebatu yang cukup besar. Namun kemudian kakinya menginjak batubatu yang lebih kecil, semakin lama semakin kecil. Untunglah bahwa ia segera menyadari dirinya, sehingga iapun kemudian berjalan ditepian, diatas pasir yang menjadi semakin panas. Namun demikian, ia merasa bahwa ia telah benar-benar mendapatkan seorang kawan. Kawan yang dapat diajaknya bekerja bersama untuk membangunkan anak-anak padukuhannya yang tertidur nyenyak dalam cengkaman mimpi yang menakutkan. Tetapi bagi mereka, bagi orang-orang bukan saja dipadukuhannya, tetapi di seluruh Kademangan Sambi Sari, menganggap bahwa kesulitan hidup itu adalah suatu kenyataan yang harus dijalani. Ikhlas atau tidak ikhlas, karena itulah yang menjadi bagian mereka. Ketika Wiyatsih sampai di depan pintu rumahnya, ia melihat Tanjung sudah ada dipringgitan duduk bersama ibunya. Demikian Wiyatsih menjenguk pintu, maka ibunya segera berkata "Nah, itulah dia. Dari mana kau Wiyatsih. Kau pergi terlalu lama, sehingga kami menjadi cemas" "Aku mencarimu ketepian Wiyatsih" berkata Tanjung "aku kira kau mencuci disana"
411 Wiyatsih tersenyum "Aku berada disawah ibu " "Tidak, Aku juga mencarimu kesawah" "O, dari sawah aku singgah, sejenak ke sungai mencuci kakiku yang kotor sekali. Tetapi sawah yang mana kau mencari aku?" "Kesawah yang mana?" ibunya menjadi heran. "Ya, kesawah yang mana?" "Kenapa kau bertanya begitu Wiyatsih. Bukankah sawah kita yang dapat ditanami di musim kering ini hanya sebagian di sebelah utara padukuhan ini, tepat di tikungan Kali Kuning" "O, tempat itu memang baik ibu. Air Kali Kuning seakanakan langsung dapat mengairi sawah kita. Tetapi itu hanya terjadi tepat ditikungan, sedang tanah kami memang agak rendah" Ibunya dan Tanjung menjadi terheran-heran. "Aku singgah ditikungan yang lebih ke utara lagi" "Disebelah Alas Sambirata?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Wiyatsih" desis ibunya "apakah kau berkata sebenarnya?" "Ya ibu. Aku berkata sebenarnya. Kenapa?" "O" ibunya menarik nafas "duduklah. Duduklah. Katakan yang sebenarnya, apakah kau dari sana?" "Ya. Aku memang dari tempat itu" Ibunya mengusap dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya "Ampun" katanya "apa kerjamu disana?" "Aku hanya melihat-lihat saja ibu. Dahulu kakang Pikatan pernah merencanakan membuat sebuah bendungan disana, dan sekaligus tempat penyeberangan diatas bendungan itu"
412 "O" ibunya setiap kali hanya dapat menekan dadanya dengan telapak tangannya. "Wiyatsih " berkata Tanjung "kenapa kau pergi ketempat itu?" "Sudah aku katakan" jawab Wiyatsih "kakang Pikatan pernah mengatakan, bahwa ada beberapa tempat yang mungkin dapat dibangun sebuah bendungan. Ditikungan disebelah Alas Sambirata itu, atau disebelah utara pohon benda yang tumbuh dipinggir kali atau masih ada tempattempat lain yang disebutkannya" "Tetapi, tetapi kenapa kau memerlukan membuang-buang waktu pergi ketempat itu?" bertanya Tanjung. Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Aku masih tetap tertarik pada bendungan seperti yang dikatakan oleh kakang Pikatan itu" "O, Wiyatsih" berkata ibunya kemudian "jangan kau ulangi lagi pekerjaan yang hanya mendebarkan jantung itu. Alas Sambirata terkenal sebagai tempat yang angker. Sebaiknya kau tidak usah pergi kesana" "Aku memang tidak memasuki Alas Sambirata itu. Aku hanya berada dipinggir Kali Kuning" "Tetapi tempat itupun mengerikan sekali. Tempat yang jarang sekali didatangi orang" "Tetapi tempat itu memang bagus sekali untuk membuat bendungan. Tebingnya agak sempit sedang tanah disekitarnya cukup tinggi untuk menjadi induk aliran air bagi padukuhan ini, sehingga hanya akan dapat mengalir sampai ke ujung selatan dari bulak kita. Sawah kita diujung Selatan itupun akan dapat menjadi basah pula" "Wiyatsih" ibunya menjadi tegang.
413 "Ditempat yang lain, tanah disekitarnya tidak begitu tinggi, sehingga air yang naik tidak cukup kuat untuk mengalir keseluruh tanah persawahan di padukuhan ini" "Cukup, cukup" potong ibunya "apakah kau telah kerasukan demit dari Kali Kuning?" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Aku memang mengetahui pendirian ibu. Ibu tidak setuju dengan bendungan itu seperti yang pernah ibu katakan kepada kakang Pikatan dahulu. Tetapi apakah alasan ibu sebenarnya?" "Aku sependapat dengan orang-orang lain Wiyatsih, Mungkin kita adalah orang yang paling besar mendapat karunia di daerah ini. Kenapa justru kitalah yang merasa bahwa apa yang kita terima ini masih terlampau sedikit, sehingga kita akan merubah alam yang disediakan untuk kita" "Itulah alasan ibu yang sebenarnya?" "Dan...." ibunya menjadi ragu-ragu, tetapi ia berkata "kau harus berterima kasih bahwa tanah ini tandus dan kering. Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk mencari nafkah dengan caraku." "Meminjamkan uang dan kemudian mengambil hasil panenan di musim basah?" Ibunya tidak menyahut. "Dengan tanah yang tandus dan kering ini ibu dapat mencari tenaga dengan upah yang rendah sekali untuk mengerjakan sawah kita, hampir satu-satunya yang dapat di kerjakan dimusim kering. Dari pada kelaparan, maka orangorang itu mau menerima tawaran ibu meskipun penghasilan mereka sama sekali tidak sepadan" "Wiyatsih" ibunya memotong "kau benar-banar telah kerasukan demit Kali Kuning. Lihat, Tanjung sudah mulai berkembang dengan modal uang yang hanya sedikit. Sedang kau, anakku, sama sekali tidak mau membantu pekerjaanku.
414 Sekarang kau mulai berani mencela pekerjaan yang sudah bertahun-tahun aku lakukan. "Dan sudah bertahun-tahun pula ibu memeras tenaga dan bahkan harta benda rakyat Sambi Sari" "Wiyatsih" hampir berbareng Nyai Sudati dan Tanjung memotong kata-kata Wiyatsih itu. "Wiyatsih" suara ibunya menjadi bergetar "apakah kau sadari apa yang kau katakan?" "Aku sadar ibu. Bahkan kesadaran yang demikian sudah lama sekali berkembang di dalam hatiku. Aku yakin bahwa di hati kakang Pikatanpun memercik pikiran yang serupa. Tetapi sekarang ia tidak lebih dari seorang laki-laki yang sedang berputus asa." "Tentu, Pikatanpun akan berkata demikian. Kau tentu mendengar daripadanya pula, atau pernah mendengar rencananya" "Ya." "Aku tidak sependapat Wiyatsih. Hentikan mimpimu yang gila itu" Tetapi Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku akan bekerja terus, ibu. Aku ingin setiap orang dari padukuhan ini dapat makan layak, dapat hidup layak. Hanya itu. Tidak berlebih-lebihan. Dan kita tidak akan menjadi miskin karenanya. Mungkin kita akan dapat mengembangkan usaha dengan cara yang lain didaerah yang lebih subur daripada kuburan yang sangat luas ini" "Wiyatsih, apakah kau benar-benar telah kesurupan?" "Tidak ibu. Aku tetap sadar" tetapi kata-kata Wiyatsih patah ditenggorokan ketika tiba-tiba saja ia melihat mata ibunya menjadi basah.
415 "Kau sudah berani menentang ibumu Wiyatsih" suara ibunya menjadi parau, sedang Tanjung hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Wiyatsih menjadi termangu-mangu. Tetapi ia masih belum menjawab. "Aku sudah mengerjakan pekerjaan ini bertahun-tahun. Sejak ayahmu meninggal, akulah yang harus memelihara kau berdua. Selama ini aku tidak pernah mengatakan kepadamu dan kepada Pikatan, apakah yang sebenarnya sudah terjadi" Wiyatsih menjadi diam dan bahkan seolah-olah telah membeku ditempatnya. "Kalau aku tidak melakukan pekerjaan ini Wiyatsih, mungkin kau akan mengalami kehidupan yang lain. Mungkin kau tidak akan pernah sempat berbicara tentang bendungan, karena kaupun akan hidup seperti gadis-gadis Sambi Sari sekarang ini. Kurus kering, dan dengan pakaian yang hampir tidak dapat menutup separo dari tububmu. Namun demikian kau tidak akan dapat menarik hati lelaki meskipun pakaianmu terbuka sama sekali, karena tubuhmu yang cacingan" Wiyatsih tidak menyahut, meskipun tiba-tiba matanya menjadi menyala. Dengan kepala tertunduk dalam-dalam, ia masih harus mendengarkan ibunya berkata seterusnya "Wiyatsih, kau tentu masih ingat. Suatu masa kita tidak sekecukupan sekarang ini, bahkan selagi ayahmu masih ada" suara ibunya menurun "sepeninggal ayahmu, kita dalam kesulitan yang parah, aku mengenal seorang laki-laki. Hampir saja aku terjebak olehnya Wiyatsih. Hampir saja aku kehilangan kehormatan dan harga diriku. Tetapi aku mencintai ayahmu. Aku mencintai Pikatan dan mencintai kau, sehingga dengan tekad yang bulat, aku melepaskan diri dari jebakan laki-laki itu. meskipun ia kaya raya. Aku tidak mau sekedar menjadi perempuan simpanan, agar isterinya yang lain tidak mengetahuinya. Aku tidak mau
416 hidup bersembunyi-sembunyi. Aku tidak mau. Dan aku tidak mau menodai cintaku kepada keluargaku. Kepadamu, kepada Pikatan dan kepada harga diriku sendiri. Sejak itulah aku berjanji kepada diriku sendiri, bahwa akupun harus menjadi seorang yang kaya, setidak-tidaknya berkecukupan sehingga aku tidak akan pernah mengalami penghinaan serupa itu lagi" Suara ibunya terputus. Tiba-tiba saja Nyai Sudati itu terisak. Dengan ujung kain panjangnya ia mengusap matanya sambil berkata "Wiyatsih Aku sekarang sudah herhasil, tidak akan ada laki-laki yang menghinakan aku lagi" ia berhenti sejenak, lalu "juga terhadap kau dan Pikatan. Kalian bukan anak seorang janda miskin yang menghianati kesetiaannya kepada keluarganya. Kepala Wiyatsih menjadi semakin tertunduk. Sebagai seorang gadis, hatinyapun menjadi cair mendengar isak ibunya. Bahkan mata Wiyatsihpun menjadi basah pula. Perlahan-lahan iapun kemudian berkata "Maaf ibu. Aku tidak bermaksud menyakiti hati ibu" "Aku tahu Wiyatsih" jawab ibunya "kau tidak akan menyakiti hatiku dengan sengaja, Tetapi ternyata kau perlu mendengar ceriteraku supaya kau dapat mempertimbangkan, kenapa aku telah melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan satusatunya yang dapat aku lakukan saat itu" Wiyatsih tidak menyahut. Ia tidak mau membuat hati ibunya menjadi semakin pedih. Meskipun demikian ia berkata didalam hatinya "Tidak seorangpun dapat menyalahkannya waktu itu. Keadaan ibu memang memaksa. Tetapi berbeda dengan keadaanku sekarang. Aku tidak harus melakukan pekerjaan serupa itu, karene tersedia bagiku pekerjaan yang lain" Tetapi Wiyatsih tidak mengucapkannya Disimpannya saja pikiran itu didalam hatinya. Hanya didalam saat-saat yang baik ia akan dapat mengatakannya.
417 "Nah, pikirkanlah Wiyatsih. Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Kalau kau akan makan, makan telah tersedia. Sebaiknya kau sedakan makan pula buat Tanjung" berkata ibunya tibatiba. Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Dengan hati yang berat, ia tidak dapat menolak perintah ibunya, agar ia menyediakan dan kemudian makan bersamasama dengan Tanjung. Apalagi selagi ibunya mengenang masa-masa pahit yang pernah dialaminya. Betapa hatinya terasa berat, tetapi ia harus melakukannya sebagaimana dikehendaki oleh ibunya. Dan Wiyatsihpun sadar, bahwa ibunya sengaja mendekatkannya semakin rapat kepada Tanjung, dengan berbagai macam cara. Ibunya selalu mencoba agar Wiyatsih menyadari pentingnya hubungan yang lebih pasti lagi antara dirinya dan Tanjung. Tanjung yang sudah merasa dirinya menjadi keluarga rumah itu, sama sekali tidak canggung-canggung lagi. Ia makan hidangan yang disuguhkan kepadanya seperti ia makan di rumah sendiri, justru Wiyatsihlah yang merasa canggung sekali makan, bersama dengan Tanjung. Ibunya agaknya memang dengan sengaja meninggalkan mereka berdua yang sedang makan. Sambil mengusap matanya yang basah Nyai Sudati pergi ke biliknya. Namun ia sempat berkata "Makanlah sebaik-baiknya. Bagaimanapun baiknya hidangan, tetapi apabila kalian makan dengan cara yang tidak baik, maka hidangan itu akan menjadi hambar. Tetapi sebaliknya, meskipun hanya sekedar daun gerandel, tetapi apabila kalian makan dengan cara yang baik, maka daun gerandel itu akan terasa betapa enaknya"
418 Wiyatsih dan Tanjung tidak menyahut. Keduanya hanya menundukkan kepala saja. Tetapi yang lewat didalam anganangan mereka adalah berbeda sekali. Wiyatsih merasa dirinya tersiksa menghadapi makanan yang telah tersedia itu, sebaliknya Tanjung tersenyum-senyum dilayani oleh Wiyatsih atas kehendak ibunya. Namun, selagi tangan Tanjung siap untuk menyuap mulutnya, ia terkejut. Dilihatnya seseorang berdiri tegak di depan pintu pringgitan. Orang itu adalah Pikatan. "O, marilah Pikatan. Apakah kau tidak makan bersama kami?" Mata Pikatan menyorot kewajah Tanjung setajam ujung duri landak, sehingga tanpa disadarinya Tanjung menundukkan kepalanya kembali. Sejenak kemudian tatapan mata itu berpindah kewajah Wiyatsih, tetapi Wiyatsihpun telah menundukkan wajahnya pula. Tanpa berkata sepatah katapun Pikatan melangkah melintasi pringgilan dan pergi ke pendapa. Begitu ia hilang dibalik pintu, maka Tanjungpun menarik nafas dalam-dalam. Untuk mengatasi gejolak perasaannya, Tanjung berkata dengan suara terbata-bata "Eh, apakah Pikatan sudah makan?" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku tidak tahu. Bukankah kau lihat aku baru datang dan kemudian ibu minta aku melayanimu?" "O" "Kakang Pikatan makan dan minum di dalam biliknya" "Akulah yang biasanya menyediakan makan dan minumnya. tetapi kadang-kadang aku pergi terlampau lama.
419 Jika demikian maka seorang pelayanlah yang menyediakan buatnya" Tanjung mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi iapun kemudian bertanya "Kalau kau pergi terlampau lama, kemana saja sebenarnya kau Wiyatsih?" "Kesawah, kesungai untuk mencuci dan kadang-kadang sekali-kali bermain-main juga dengan kawan-kawan. Apa salahnya, apakah aku tidak boleh berkawan dan kadangkadang bermain nini towong di terang bulan?" "Aku, aku tidak bermaksud demikian, tetapi kadang-kadang kau pergi jauh lebih lama dari kawan-kawanmu. Kalau kau pergi mencuci pakaian, kawan-kawanmu tentu lebih dahulu pulang" "Aku belum selesai" "Tetapi kau tentu minta mereka pulang lebih dahulu" "O, apakah mereka harus menunggu cucianku selesai?" "Wiyatsih" suara Tanjung menjadi datar "apakah kau tidak sadar, bahwa sikapmu itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan pada kawan-kawanmu" Apakah kau tidak merasa, bahwa kau seakan-akan mulai mengasingkan dirimu pula seperti Pikatan" "Tentu tidak. Aku pergi kesawah pula bersama mereka. Aku. ikut bertanam padi di permulaan musim basah. Aku ikut menuai dan ikut beramai-ramai bersama gadis-gadis lain" "Itu tahun yang lampau. Tetapi sekarang kau bersikap lain." Wiyatsih tidak menyahut. Ia tidak menganggap perlu untuk memberikan penjelasan lebih jauh. Karena itu, maka iapun terdiam. Hanya tangannya sajalah yang masih sibuk menyuapi mulutnya.
420 Dengan demikian maka pembicaraan itupun terhenti. Tetapi Tanjung masih juga makan dengan lahapnya. Hal serupa itulah yang justru membuat Wiyatsih menjadi semakin jauh dari Tanjung. Meskipun tampaknya ia semakin sering berhubungan karena ia sekedar ingin memenuhi keinginan ibunya, namun hatinya serasa semakin hambar melihat sifat dan kelakuan anak muda itu. Tidak ada hal yang menarik baginya. Ia bukan seorang laki-laki yang diharapkannya. Kadang-kadang masih terbayang kejantanan kakaknya dahulu, sebelum ia meninggalkan padukuhan itu. Ia merupakan seorang pemimpin tanpa diangkat oleh kawankawannya. Seolah-olah dengan sendirinya ia telah berdiri di paling depan, tetapi sepeninggal Pikatan, anak muda Sambi Sari telah kehilangan ancar-ancar, apa yang sebaiknya dilakukan. "Dahulu" katanya didalam hati "Sekarang kakang Pikatan tidak ada bedanya lagi dengan Tanjung" Tetapi Wiyatsih masih mengharap kemampuan Kesambi. Setidak-tidaknya anak itu mempunyai niat. Bahkan niat yang kuat. Karena itu, apabila ia mendapat dorongan, maka Kesambi akan menjadi semakin bergairah. Demikianlah maka Wiyatsih agaknya benar-benar akan membuktikan, bahwa dengan air Kali Kuning, sawah-sawah yang kering akan dapat ditanami. Seperti yang pernah dikatakannya kepada Kesambi, maka Wiyatsih benar-benar akan menanami sawahnya yang kering diujung selatan bulak padukuhannya. Memang hampir tidak masuk akal. Ketika Wiyatsih mulai mengerjakan sawah yang kering itu, kawan-kawannya menjadi heran. Bukan saja gadis-gadis, tetapi anak-anak muda menganggapnya ada kelainan yang telah terjadi atas gadis itu.
421 Bahkan ibu Wiyatsihpun menjadi bingung. Ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh anak gadisnya itu, sehingga dengan nada kecemasan ia bertanya kepada Wiyatsih ketika anak itu ditemuinya sedang duduk di pembaringannya "Wiyatsih, apakah sebenarnya yang telah kau lakukan?" "Bukankah biasa saja ibu. Menanami sawah. Apa anehnya?" "O, Wiyatsih. Seluruh padukuhan mempercakapkan kau. Seolah-olah kau benar-benar telah berubah pikiran. Akalmu seolah-olah telah tidak sehat lagi" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Tentu tidak ibu. Aku sadar apa yang aku lakukan" "Tetapi tentu tidak seorangpun yang dapat mengerti. Akupun tidak. Kau telah menyebar benih jagung ditanah yang kering kerontang itu setelah kau sendiri mencangkulnya. Itu benar-benar suatu perbuatan yang tidak masuk akal" Sekali lagi Wiyatsih tersenyum. Katanya "Biarlah kita melihat ibu. Sesuatu yang tampaknya tidak masuk akal itupun kadang-kadang dapat membuka pikiran seseorang bahwa hal serupa itu dapat dilakukan" "Wiyatsih" berkata ibunya "aku tidak menyayangkan biji-biji jagung yang kau sebar dan yang besok atau lusa akan menjadi kering Tetapi bahwa kau telah melakukan hal itulah yang membuat aku menjadi prihatin. "Biarluh kita tunggu ibu. Apakah biji jagung itu akan tumbuh atau tidak" Wiyatsih terdiam sejenak, lalu "bahkan aku juga menanam kacang rambat di pematang, kelak, kita akan memetik kacang panjang dan daun lembayung" Ibunya menarik natas dalam-dalam "Kau telah dipengaruhi oleh mimpi burukmu Wiyatsih. Hentikan perbuatan gila itu" Tetapi Wiyatsih menggelengkan kepalanya "Aku akan mencobanya"
422 Nyai Sudati hanya dapat menekan dadanya. la menjadi sangat cemas terhadap anaknya. Anak laki-lakinya seakanakan telah kehilangan seluruh gairah hidupnya. sedang anak perempuannya tiba-tiba saja telah menunjukkan gejala-gejala yang mencemaskan. Sebenarnyalah hampir setiap orang mempercakapkan Wiyatsih dan seluruh keluarganya. Bermacam-macam eeritera telah tumbuh di padukuhan itu, bahkan diseluluh Kademangan Sambi Sari. "Agaknya dahulu Nyai Sudati pernah mencari pesugihan. Agar ia menjadi kaya, ia pergi kegoa-goa. Ternyata bahwa ia mendapatkan kekayaan itu, tetapi ia harus mengorbankan kedua anak-anaknya. Bukankah Pikatan yang cacat itu tidak bedanya dengan anak yang sudah mati" Sedang kini Wiyatsih mulai dihinggapi penyakit jiwa" berkata seorang tetangganya. "Ya. Sampai hati juga Nyai Sudati mengorbankan anakanaknya sekedar untuk menjadi seorang janda kaya" sahut yang lain Dan desas-desus serupa itu, sampait juga ke telinga Wiyatsih lewat Tanjung. Dengan nada yang keras Tanjung memperingatkan "Wiyatsih, kau harus kasihan kepada ibumu. Seandainya kau hanya sekedar menuruti kehendakmu sendrii, kau sama sekali tidak menghiraukan akibat yang menimpa seluruh keluargamu" Wiyatsih mengerutkan keningnya. Katanya kemudian tanpa menjawab peringatan Tanjung itu "Tanjung, apakah kau mau membantu aku seperti kau membantu ibu?" "Apa yang harus aku lakukan?" "Menyiram jagung itu dengan air Kali Kuning" "Gila, itu pikiian gila"
423 Tetapi Wiyatsih hanya tersenyum saja, bahkan katanya "Sekarang tidak sempat berbicara dengan kau berkepanjaagan, aku akan pergi kesawah" "Wiyatsih, kau harus sadar. Kau harus menghentikannya" "Kau telah ditelan oleh mimpimu yang buruk itu" Tetapi Wiyatsih sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan iapun kemudian meninggalkan Tanjung dan pergi kesawahnya diujung bulak. Bulak yang menjadi padang yang kering kerontang. Rumputpun hampir tidak dapat tumbuh sama sekali. Sejenak Tanjung menjadi termangu-mangu, tetapi iapun kemudian menyusul Wiyatsih sambil berkata "Kau harus menyadari keadaanmu Wiyitsih. Jangan terlampau dipungaruhi oleh angan-angan. Tetapi kau harus mempergunakan akal sehatmu" Wiyatsih sama sekali tidak menjawab ia berjalan semakin lama semakin cepat diatas pematang yang kering. Sedang Tanjung hampir berloncat-loncatan mengikutinya. "Wiyatsih" berkata Tanjung kemudian "marilah kita pulang. Kau tidak akan dapat mengharapkan apa-apa dari sawahmu yang kering itu " Tetapi Wiyatsih tidak menghiraukannya sama sekali. Justru langkahnya menjadi semakin cepat berloncatan dari sebongkah tanah kering ke bongkah berikutnya. Mula-mula Tanjung tidak menghiraukan langkah itu sama sekali, karena /ia dicengkam oleh hasratnya untuk meneegah Wiyatsih pergi ke sawahnya yang kering itu. Tetapi lambat laun ia menjadi heran, kenapa Wiyatsih dapat berjalan begitu cepat. Semakin lama semakin cepat. "Tentu hal ini tidak wajar" berkata Tanjung didalam hatinya. Dan iapun mulai curiga, apakah benar Wiyatsih telab
424 kerasukan hantu atau demit dari Alas Sambirata, sehingga tingkah lakunya telah berubah. "Wiyatsih, Wiyatsih" ia masih berusaha menghentikan Wiyatsih. Tetapi Wiyatsih berjalan terus. Ketika mereka sampai disawah di ujung bulak, Tanjung menjadi terheran-heran pula. Ternyata sawah yang sekotak itu tidak sekering sawah didekatnya. Ada tanda-tanda air yang tergenang, meskipun tidak banyak" Karena itu, ketika wiyatsih turun ke tanahnya yang basah, Tanjung berdiri saja termangu-mangu. Bagaimanapun juga tidak masuk di dalam pikirannya, bahwa Wiyatsih telah menyiram sawahnya itu setiap sore. "Apakah kau heran melihat tanah yang sekotak ini basah?" bertanya Wilyatsih kemudian. Tanjung menganggukkan kepalanya. "Kau memang bodoh sekali Tanjung" berkata Wiyatsih sambil tersenyum "maaf, maksudku, bahwa kau malas berpikir. Tentu kau tidak bodoh dan tentu kau mengetahui bahwa tanah ini basah oleh air" Seperti orang yang kehilangan akai Tanjung mengangguk pula. "Dan air itu aku dapatkan dari Kali Kuning" "Tetapi, tetapi" Tanjung tergagap "bagaimana air itu bisa mengalir kesawah ini?" "Tentu tidak mengalir. Akulah yang menyiramnya. Aku rnengambil air dari Kali Kuning" Tanjung menjadi tercengang-cengang. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Wiyatsih. "Aku mengambil air dengan sepasang lodong bambu"
425 "Tidak mungkin. Tidak mungkin" Tanjung menjadi semakin heran melihat Wiyatsih. Apalagi ketika Wiyatsih tertawa berkepanjangan. "Wiyatsih, kenapa kau tertawa seperti itu?" Wiyatsih masih saja tertawa. Suaranya semakin lama menjadi semakin tinggi. Di telinga Tanjung suara tertawa Wiyatsih itu bagaikan suara setan betina yang telah merasuk ke dalam tubuh Wiyatsih, sehingga karena itu, maka iapun mundur perlahan-lahan. "Pulanglah Wiyatsih" desisnya. Tetapi suaranya hampirhampir tidak terloncat dari mulutnya. Tetapi Wiyatsih masih saja tertawa. Ia tertawa karena wajah Tanjung yang pucat. Bahkan kemudian seperti orang yang ketakutan. la tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Tanjung, namun\sikap Tanjung itu sangat menggelikan baginya. "Pulanglah Wiyatsih, pulanglah" Wiyatsih masih belum menjawab. Ia masih tertawa terus. Dan ketika ia maju selangkah mendekati Tanjung, maka dengan tergesa-gesa Tanjung pergi meninggalkannya. Sepeninggal Tanjung, Wiyatsihpun berhenti tertawa. Akhirnya ia mengerti, bahwa Tanjung justru takut melihat sikapnya. Seperti sikap orang yang kurang waras bagi Tanjung. "Aku tidak peduli" gumam Wiyatsih. Diedarkannya tatapan matanya ke tanah yang sekotak itu. Tanah itu memang basah. Demikianlah setiap sore Wiyatsih memang menyiram tanah yang sekotak itu dengan sepasang lodong bambu, ia turun naik tangga yang dibuatnya pada tebing sungai. Memang hampir tidak mungkin dilakukan oleh seorang gadis. Tetapi Wiyatsih mempunyai kemampuan lain. Kemampuan yang tidak saja dimiliki oleh gadis-gadis kawannya bermain, tetapi
426 kemampuannya memang melampaui kemampuan gadis-gadis kebanyakan. Latihan yang berat dan kemauan yang bulat membuatnya seakan-akan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatannya sendiri. Ternyata Wiyatsih mampu mengungkapkan kemampuan jasmaniahnya. Bukan saja didalam olah kanuragan. Tetapi ia mampu membangunkan tenaga cadaingan pada sepasang tangan dan kakinya untuk kepentingan yang lain. Berulang kali Wiyatsih naik turun tebing sungai yang untung tidak begitu tinggi. Tetapi Wiyatsih telah melakukannya dengan sengaja, bukan saja untuk mengairi tanamannya, tetapi juga untuk melatih kemampuan jasmaniahnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti diatas tanggul ketika ia mendengar seseorang menyapanya "Aku tidak menyangka, bahwa kau bersungguh-sungguh Wiyatsih" Wiyatsih yang hampir menuruni tanggul terhenti. Dilihatnya seorang anak muda yang justru naik tebing di hadapannya. "O, kau. Aku tidak melihat kau datang" berkata Wiyatsih. "Aku menyusur sungai itu. Aku ingin melihat, apakah tempat yang disebut oleh Pikatan itu memang tempat yang paling baik. "O, apakah kau menemukan tempat lain?" "Tidak. Aku tidak menemukan tempat lain. Tetapi aku menemukan keajaiban disini" Wiyatsih tersenyum, Katanya "Naiklah Kesambi. Lihatlah, bukankah aku mampu menyirami sawahku yang sekotak ini. Sama sekali bukan pekerjaan yang mustahil. Seandainya aku tidak dapat melakukannya sendiri, apabila keluargaku sependapat dengan aku, maka aku dapat mengerahkan anggota-anggota keluargaku yang lain. Kaupun dapat melakukannya bersama kakak dan adik-adikmu. Bersama ayah
427 dan ibumu. Bukankah semakin banyak orang yang ikut serta, semakin luas tanah yang dapat diairi" Kesambi menggeleng-gelengkan kepalanya. Suatu hal yang dianggapnya mustahil dapat juga dilakukan oleh Wiyatsih "Tetapi hasilnya tidak seberapa banyak Wiyatsih. Apakah kau pikir hasil dan jerih payahmu dapat seimbang" Wiyatsih tersenyum. Katanya "Didalam hal ini tentu jauh dari seimbang. Kesambi. Tetapi aku ingin membuktikan, bahwa dengan usaha menaikkan air dari Kali Kuning, sawah kita dapat ditanami. Hanya itu. Tentu kita akan mengusulkan cara yang lebih baik dari naik turun tebing seperti yang aku lakukan" "Bendungan maksudmu?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang berat ia berkata "Kau memberikan pengorbanan yang besar sekali-untuk cita-cita itu" "Aku sadar. Bukan saja aku akan menjadi sangat lelah setiap hari, tetapi ada juga orang yang menganggap syarafku sudah tidak sehat lagi. Tetapi aku tidak berkeberatan. Pada suatu saat, mata mereka akan terbuka" Kesambi mengangguk-anggukan kepalanya. la memang mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang disekitarnya tentang Wiyatsih. Sebagian besar dari orang-orang padukuhan disekitar Alas Sambirata menganggapnya sudah tidak waras lagi. Setidak-tidaknya Wiyatsih telah dipengaruhi oleh suatu mimpi yang mengganggu syarafnya. "Kalau jagungku nanti tumbuh "berkata Wiyatsihkemudian "dan kelak menjadi besar, mereka pasti akan percaya, bahwa air kali Kuning memang ada manfaatnya"
428 Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Aku seorang laki-laki Wiyatsih. Tetapi aku tidak sanggup berbuat seperti kau" Wiyatsih tersenyum "Memang mungkin" jawab Wiyatsih "bukan tidak sanggup. Tetapi tidak telaten. Itulah soalnya, atau kedua-duanya" Wiyatsih tertawa. Kemudian katanya "Ada baiknya bahwa orang-orang padukuhan kita menganggap perbuatan ini seperti perbuatan orang yang tidak waras. Mereka sama sekali tidak menarik perhatian lagi dan mereka sama sekali tidak pernah melihat apakah tanamanku tumbuh atau tidak. Tetapi baru saja Tanjung mengikuti aku dan melihat tanah ini basah. Agaknya ia benar-benar menganggap aku sudah gila, sehingga ia dengan tergesa-gesa, pergi meninggalkan aku" Kesambipun tersenyum pula. Katanya "Kalau aku tidak mendengar rencanamu, mungkin akupun menganggapmu demikian. Tetapi karena aku mengerti betapa besar niatmu, maka aku berpendapat lain. Aku berpendapat justru kau telah mengorbankan namamu untuk kepentingan ini" "Kenapa namaku?" "Maksudku, kau telah menyediakan diri, seandaiaya kau dianggap gila sekalipun" "Bukankah itu hanya sementara?" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Tetapi selain anggapan-anggapan itu Wiyatsih, aku tetap tidak mengerti, kenapa kau mampu melakukanknya. Seorang gadis yang lain, kecuali kau, tidak akan dapat naik turun tebing yang meskipun tidak begitu tinggi itu sampai tiga empat kali. Tetapi untuk menyiram tahahmu yang meskipun hanya sekotak ini, pasti lebih dari sepuluh atau lima belas kali" Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak tahu Kesambi. Barangkali itu adalah karunia. Dan apakah aku
429 txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
tidak seharusnya berterima kasih dan bersukur dengan memanfaatkan karunia yang aku terima itu?" Kesambi mengangguk-angguk pula "Ya, ya. Memang itu adalab suatu karunia" "Nah, marilah, apakah kau akan membantu aku?" berkata Wiyatsih kemudian. Kesambi termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan membantumu, dan setiap orang padukuhan kita, apabila melihat apa yang kila lakukan, akan mengatakan, bahwa aku sudah kejangkitan penyakit seperti penyakitmu pula" Keduanya tertawa. Tetapi keduanya menyadari benarbenar apa yang sedang mereka lakukan. Demikianlah, maka keduanyapun segera melanjutkan kerja Wiyatsih menyirami tanamannya. Tetapi ternyata bahwa Kesambi menjadi lebih dahulu lelah dari Wiyatsih, meskipun Wiyatsih telah mulai lebih dahulu dari padanya. "He, kau tdak dapat lagi berdiri?" bertanya Wiyatsih ketika Kesambi kemudian duduk dengan nafas terengah-engah diatas tanggul. Kesambi memandangnya dengan terheran-heran, Nafas Wiyatsih tidak mengalir secepat nafasnya, meskipun terasa juga gadis itu mulai menjadi lelah. "Kau memang aneh" berkata Kesambi "aku menjadi curiga juga akhirnya, apakah kau tidak kesurupan danyang Kali Kuning ini". Kalau kau mempergunakan tenagamu sewajarnya sebagai seorang gadis, maka kau tidak mungkin melakukan semuanya ini"
430 "Kenapa tidak mungkin. Sudah aku katakan, bahwa tekad yang bulat dapat menambahkan kemampuan yang melampaui kemampuan yang sewajarnya" "Aku tidak kuat lagi Wiyatsih" Wiyatsih tertawa. Kemudian katanya "Lihat, sawahku telah, basah, aku kira memang sudah cukup untuk hari ini" Kesambi hanya berpaling saja. Ia sudah segan sekali untuk berdiri karena kelelahan. Keringatnya mengalir disegenap tubuhnya dan membasahi pakaiannya. Namun tiba-tiba Wiyatsih berdesis "Sst, Kesambi. Aku lihat ada dua orang mendatangi tempat ini" Kesambi mengerutkan keningnya sambil berpaling "Ya, dua orang" katanya ketika ia melihat di kejauhan ada dua orang yang datang. "Pasti Tanjung dan ibu" berkata Wiyatsih "pergilah, kehadiranmu dapat menimbulkan salah paham" "Kemana?" bertanya Kesambi agak gugup. "Kau dapat meluncuri tanggul itu dan berjalan menyelusur sungai seperti pada saat kau datang" Kesambi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku masih lelah sekali. Tetapi apaboleh buat" Kesambipun kemudian turun tanpa berdiri lebih dahulu. Begitu saja ia meluncur, sehingga kedua orang yang mendatang memang tidak melihatnya. Seperti yang diduga oleh Wiyatsih, yang datang itu sebenarnyalah Tanjung bersama Nyai Sudati. Dengan wajah yang tegang ibu Wiyatsih itu mendatanginya dengan tergesagesa. Suaranya menjadi bergetar dan tersendat-sendat " Wiyatsih, apakah yang telah kau kerjakan disini?" Wiyatsih tidak segera menjawab, dibiarkannya ibunya turun ke sawah yang baru saja disiraminya, dan seperti yang
431 diduganya, ibunya seakan-akan terkejut ketika merasa kakinya terperosok kedalam lumpur "Tanah ini basah Wiyatsih" katanya. Wiyatsih menganggukkan kepalanya "Ya ibu, tanah ini memang basah" "Jadi kau menyiraminya dengan air Kali Kuning?" "Ya. Aku mengambilnya dari sungai itu" "O" ibunya mendekati Wiyatsih. Kemudian memeluknya sambil berkata "Marilah kita pulang anakku. Kau harus melepaskan diri dari cengkaman mimpimu yang buruk ini" "Kenapa ibu" Seharusnya kita menjadi senang melihat tanah ini basah meskipun hanya sekotak" "Tenagamu akan habis tersia-sia. Apakah artinya jagung sekotak buat kita Wiyatsih. Apa pula artinya kacang panjang yang kau tanam dipematang itu" "Arti yang sebenarnya tidak terletak pada hasil yang akan kita petik dari sekotak tanaman jagung ini ibu" "O, kau/sudah kesurupan. Marilah kita pulang" Wiyatsih tidak membantah lagi. Ibunya membimbingnya berjalan menyelusur pematang yang kering, dan kemudian berjalan diantara tanah yang seakan-akan menjadi peeahpeeah seperti bibir seorang yang sedang sakit panas. Tetapi Wiyatsih tidak berhenti sampai hari itu. Bagaimanapun juga ia selalu pergi ke sawahnya dan menyiramnya dengan air Kali Kuning. Bahkan ternyata bahwa Kesambipun sering datang membantunya, meskipun ternyata bahwa kemampuannya menuruni tebing itu tidak sekuat Wiyatsih. Namun dalam pada itu, Nyai Sudati tidak juga berhenti berusaha. Didatanginya dukun-dukun yang pandai untuk membantunya menghentikan usaha anaknya yang
432 dianggapnya tidak waras lagi itu. Bahkan Tanjungpun telah pergi berkeliling dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain, untuk menemukan seorang tua yang akan mampu membuat Wiyatsih sadar dari mimpinya yang dianggap terlampau buruk Tetapi Wiyasih tidak peduli. Ia tahu juga bahwa ibunya berusaha mendapatkan seorang dukun, tetapi ia tidak menghiraukannya sama sekali. Di malam hari, Wiyatsih masih terus berlatih. Ternyata Puranti cukup lama tidak datang kerumahnya. Tetapi Kiai Pucang Tunggallah yang selalu menuntunnya. Namun demikian, kemajuan Wiyatsih terasa menjadi lebih cepat. Kematangan Kiai Pucang Tunggal telah memberikan kesempatan kepada Wiyatsih untuk melakukan sesuatu bukan sekedar menirukan sesuatu. Kepada Kiai Pucang Tunggal, Wiyatsih telah mengatakan semuanya yang dialaminya. Ia berceritera pula tentang sawahnya dan tentang anggapan orang-orang disekitarnya, bahwa ia telah dihinggapi penyakit syaraf. "Jangan hiraukan mereka" berkata Kiai Pucang Tunggal " Pada saatnya mereka akan tercengang dan mereka akan merasa bahwa diri mereka masing-masinglah yang ternyata sudah dihinggapi penyakit syaraf. Penyakit syaraf dalam pengertian yang lain, bukan dalam pengertian gila. Tetapi kelelahan hati, kemalasan dan tidak ada usaha adalah adalah satu dari penyakit syaraf itu pula" Wiyatsih menggangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia menjawab "Tetapi Kiai, orang-orang dipadukuhan ini sebenarnya bukan orang yang malas. Mereka bekerja sehari penuh untuk sesuap nasi atau segenggam jagung" "Kemalasan mereka terletak pada ketiadaan hasrat untuk berpikir lebih maju dari yang sudah mereka lakukan sekarang"
433 Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tibatiba saja ia bertanya "Apakah Puranti belum selesai dengan persoalannya?" Kiai Pucang Tunggal mengerutkan keningnya. Lalu menggelengkan kepalanya "Persoalannya cukup sulit. Seorang laki-laki telah datang meminang ke rumah janda itu, sedang janda itu tidak kuasa menolaknya" "O, jadi Puranti akan kawin?" Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya" Tidak. Itulah yang menyulitkan Puranti, ia sedang mencari jalan. Agaknya ia hampir berhasil" "Apa yang dilakukannya?" Kiai Pucang Tunggal menggelengkan kepalanya "Aku tidak jelas. Tetapi ia sendiri akan menyatakan penolakanmya kepada laki-laki itu" "Siapakah laki-laki itu?" "Seorang yang cukup kaya di padukuhan Cangkring. Ia mempunyai banyak isteri. Dan Puranti akan dijadikannya isteri yang kelima" "O" tanpa dikehendakinya sendiri Wiyatsih memekik. Untunglah ia segera menyadari keadaannya, sehingga dengan serta merta kedua belah tangannya telah menutup mulutnya. Demikianlah Wiyatsih mendapat kemajuan yang seakanakan berjalan beriringan. Ia menjadi semakin lama semakin menguasai ilmu yang dipelajarinya. Bahkan, karena niatnya yang menyala, ia telah memiliki pengetahuan dasar yang mantap dari kecerdasannya agaknya mampu memperkembangkannya sendiri, dimanapun ia berlatih. Sementara itu, ia melonjak kegirangan kelika ia melihat jagungnya telah tumbuh dan lambat laun menjadi semakin besar.
434 -ooo0dw0oooJilid 06 NAMUN dalam pada itu, ternyata bahwa di langit selembar awan kelabu telah tampak terbang ke Utara. Dengan dada yang berdebar-debar Wiyatsih memperhatikan awan yang kelabu itu. Musim hujan sudah menjadi semakin dekat. Dan sebelum hujau mulai jatuh orang-orang dipadukuhan harus yakin, bahwa memang diperlukan sebuah cara untuk menaikkan air Kali Kuning. Dan ia telah membuat sebuah contoh, bahwa air Kali Kuning memang diperlukan dan dapat dipergunakan. "Lihat" berkata Wiyatsih kepada Kesambi ketika Kesambi datang pula kesawahnya "Jagung ini tumbuh dengan subur. Kacang panjang di pematang itupun telah tumbuh pula dengan subur. Tetapi rasa-rasanya semi yang kembang itu terlampau lamban. Aku ingin sebelum hujan yang pertama turun, jagungku sudah tumbuh sebesar ilalang" Tanpa disadarinya Kesambi menengadahkan kepalanya ke langit. Tetapi langit bersih. Hanya selembar awan yang putih sajalah yang lewat dipermukaan wajah yang biru. "Udara masih tetap kering" Katanya. "Kemarin aku melihat awan yang kelabu" Kesambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Musim hujan harusnya memang sudah datang. Tetapi agaknya kemarau memang agak panjang sehingga tanah dibulak Sambi Sari pada umumnya, menjadi kering kerontang. "Wiyatsih" berkata Kesambi "aku berharap bahwa usahamu akan bcrliasil. Aku kira masih belum ada orang yang
435 memperhatikan, bahwa jagungmu mulai tumbuh subur. Tetapi pada suatu saat mereka akan berdatangan dan mengakui di dalam hati mereka, bahwa dengan air Kali Kuiunig, mereka dapat memanfaatkan sawah mereka disepanjang tahun, bukan hanya di musim basah" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya"Aku berharap demikian." "Beberapa anak muda mulai memikirkan bendungan" berkata Kesambi tiba-tiba. "He?" "Aku, berusaha terus. Meskipun masih samar-samar, tetapi satu dua orang telah mulai tertarik untuk berbicara tentang air. Mudah-mudahan dengan tanaman jagungmu itu, mereka akan menjadi semakin yakin, bahwa air itu merupakan kebutuhan mutlak bagi sawah kita" Tetapi selagi harapan Wiyatsih tentang bendungan itu mulai berkembang di dalam hatinya, kekacauan yang selama ini mereda setelah beberapa orang perampok terbunuh, kini mulai manjalar kembali. Agaknya beberapa orang sudah tidak tertahankan lagi mendengarkan anaknya merengek kelaparan. Tetapi mungkin pula karena para penjahat telah mulai melupakan kematian beberapa orang kawannya. "Atau mereka sekarang justru merasa lebih kuat "berkata Kiai Pucang Tunggal pada suatu malam kepada Wiyatsih. "Ya. Kiai. Memang mungkin sekali" "Bahkan ada kemungkinan yang lain yang kurang menyenangkan bagi Pikatan, karena Puranti terlanjur membuat dirinya waklu itu seolah-olah orang yang sedang lumpuh sebelah tangannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Para penjahat itu dapat saja datang saat untuk melepaskan dendamnya kepada Pikatan,
436 karena ia pernah membunuh beberapa orang kawannya menurut penglihatan mereka. "Jika terjadi demikian, apa yang harus aku lakukan Kiai?" Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Memang sulit sekali. Purantti telah melakukan suatu kesalahan. Seandainya waktu itu ia tidak terlampau terpengaruh oleh usaha para penjahat itu untuk mencemarkan nama Pikatan, mungkin ia memang tidak akan mempergunakan ciri-ciri itu. Tetapi terdorong oleh gejolak perasaannya, maka tiba-tiba saja ia telah menjadikan dirinya seorang yang cacat sebelah tangannya" Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi iapun merasakan juga keseimbangan di hati Kiai Pucang Tunggal. Namun akhirnya orang tua itu berkata "Kalau tidak terpaksa sekali Wiyatsih, jangan berbuat sesuatu, supaya Pikatan tidak dapat mengenalimu dari ilmumu" Wiyatsih menganggukkan kepalanya sambil berkata "Baik Kiai. Aku akan berusaha" Namun yang terjadi, kerusuhan perlahan-lahan mulai berkembang. Bahkan kadang-kadang seseorang menemukan sesosok mayat ditengah-tengah bulak dan disaput oleh rahasia. Tidak seorangpun yang mengetahui siapakah orang itu dan kenapa ia terbunuh. Tetapi beberapa orang menduga, bahwa diantara para penjahat sendiri agaknya telah terjadi benturan-benturan yang membawa korban jiwa. Tetapi dalam pada itu, ceritera tentang Pikatan mulai menjalar kembali sejalan dengan menjalarnya kejahatan. Jika seseorang menemukan mayat yang tidak dikenal, maka mereka langsung menganggap bahwa Pikatanlah yang telah melakukannya. "Gila" Pikatan yang kemudian mendengar pula cerita itu berkembang, ia mengumpat di dalam biliknya. Kemudian
437 dipanggilnya Wiyatsih sambil membentak "Kau mempunyai mulut juga Wiyatsih. Berkatalah kepada mereka, bahwa aku tidak pernah berbuat apa-apa" "Kau terlalu bodoh. Pakailah segala macam cara untuk membantah kebohongan berita itu. Aku tidak pernah berbuat apa-apa. Kau dapat menyuruh penjilat yang bernama Tanjung itu menyiarkan kebenaran dari keadaanku" Wiyatsih hanya menganggukkan kepalanya saja. "Berita itu sangat memalukan. Seolah-olah aku seorang pahlawan yang wajib mereka hormati" "Kakang" berkata Wiyatsih kemudian "mungkin tidak ada lagi orang yang menyebarkan berita itu. Tetapi karena hal itu pernah mereka dengar, jadi dengan sendirinya mereka menghubungkan setiap peristiwa yang serupa dengan peristiwa yang mereka anggap pernah terjadi" "Tetapi yang dahulupun hal itu tidak pernah terjadi. Berita itu sangat memuakkan bagiku" Wiyatsih hanya menundukkan kepalanya saja tanpa menjawab sama sekali. "Kau harus berusaha" geram Pikatan kemudian "mulailah hari ini. Jangan menunggu sampai menjadi terlalu parah" Wiyatsih mengangguk lemah. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Demikianlah, ternyata berita itu membuat Pikatan seakanakan menjadi semakin Terasing. Setiap hari ia hanya berada. Di dalam biliknya. Kemudian memanggil Wiyatsih dan marahmarah kepadanya Untunglah hampir setiap malam Wiyatsih mendapat nasehat dari Kiai Pucang Tunggal, sehingga hati Wiyatsih tetap tabah menghadapi masalah itu. Dalam pada itu, Nyai Sudati masih saja sibuk mencari seorang dukun yang pandai untuk membangunkan kesadaran
438 Wiyatsih yang mereka anggap sudah menjadi gila. Tetapi Wiyatsih masih tetap pergi ke sawahnya dan menyiramnya dengan air Kali Kuning. "Kau memang gila" tiba-tiba saja Pikatan yang tidak pernah mempersoalkannya, berkata kepada Wiyatsih pada suatu hari "kalau kau tidak gila, kau pasti lebih berhasil menyingkirkan desas-desus itu daripada mengurus sawah yang sekotak itu" Wiyatsih menjadi heran. Ternyata kakaknya mendengar juga persoalan sawah yang digarapnya. Agaknya setiap kali ia berbicara dengan ibunya, Pikatan selalu mendengarkannya. "Jadi kau bercita-cita agar seseorang membangun bendungan?" Wiyatsih menganggukkan kepalanya. "Tidak mungkin. Tidak akan ada seorangpun yang mampu membuat bendungan" "Kenapa?" bertanya Wiyatsih. "Hanya akulah yang mampu melakukannya" "O" Wiyatsih termangu-mangu "jadi kakang masih berniat untuk membangun sebuah bendungan sebelah Alas Sambirata?" Tetapi jawaban Pikatan sangat mengecewakannya. Katanya "Tidak. Aku tidak akan membuat sebuah bendungan. Padukuhan ini sekarang menjadi padukuhan yang asing bagiku. Kehidupan yang ada di dalamnyapun asing pula bagiku. Buat apa aku bersusah payah membangun sebuah bendungan", buat apa", coba katakan, buat apa?" "Tetapi kakang pernah bencita-cita akan membuat bendungan saat itu. Jadi buat apa sebenarnya kakang waktu itu bercita-cita untuk membuat sebuah bendungan?" "Waktu itu. Ya waktu itu. Tetapi tidak sekarang. Aku dahulu merasa satu dengan padukuhan ini. Aku merasa satu dengan
439 kehidupan diatasnya. Tetapi sekarang aku menjadi asing. Dengan demikian, aku tidak merasa berkewajiban lagi untuk membangun sebuah bendungan" Jawaban itu semakin meyakinkan Wiyatsih, bahwa kakaknya kini benar-benar telah berubah. Bukan lagi Pikatan yang dahulu. Pikatan yang sekarang adalah orang asing di padukuhannya, bahkan di rumahnya sendiri. "Wiyatsih" berkata Pikatan kemudian "hentikan usahamu yang gila itu. Kau harus memusatkan untuk menghentikan cerita yang tidak kalah gilanya dengan ceritera jagung sekotak diujung bulak, kau harus menghentikan ceritera tentang Pikatan" "Kakang" bertanya Wiyatsih kemudian "apakah untuk membersihkan nama kakang dari sorotan para penjahat itu lebih penting dari usahaku untuk kepentingan padukuhan kita?" Pertanyaan itu telah mengguncangkan dada Pikatan. Sejenak ia berdiri membeku memandang wajah Wiyatsih dengan sorot mata yang menyala. Dan tiba-tiba saja ia membentak penuh kemarahan "Wiyatsih. Kau benar-benar kesurupan setan Sambirata dan Kali Kuning sekaligus. Kenapa kau bertanya begitu kepadaku he?" "Kakang" jawab Wiyatsih "aku tidak akan ingkar, bahwa aku memang berkewajiban membantu kakang untuk membersihkan nama kakang apabila hal itu memang kakang kehendaki. Tetapi kakang jangan menghalang-halangi usahaku membuat bendungan di Kali Kuning seperti yang pernah kakang rencanakan dahulu" "Bodoh sekali. Apa yang akan dapat kau perbuat He!. seorang perempuan. Perempuan yang manja lagi" "Tetapi di padukuhan ini ada laki-laki juga" sahut Wiyatsih.
440 "O. Kau mengharap bahwa ada laki-laki yang akan melakukan pekerjaan itu". Tanjung?" Pikatan mencibirkan bibirnya. Dengan nada tinggi ia berkata "Ia tidak akan dapat berbuat apapun juga. Ia tidak lebih dari seorang penjilat. Dan kau sudah tergila-gila kepada penjilat itu. Kau benar-benar sudah gila. Kau mengharap penjilat itu membangun sebuah jembatan" Wiyatsih, dengar baik-baik. Meskipun aku sudah lumpuh sebelah tanganku, tetapi aku masih memiliki kemampuau dan tekad seratus kali lipat dari padanya. Meskipun ujudnya laki-laki itu tidak cacat, tetapi sebenarnyalah ia adalah orang yang lumpuh hatinya. Ia tidak pantas hidup di dalam lingkungan keluarga kita. Dan kau agaknya sudah jatuh dibawah kakinya. Belum lagi kau menjadi isterinya, kau sudah melayaninya makan dan minum Kelak kalau kau benar-benar menjadi isterinya, maka kau tidak akan lebih dari pelayannya. Kau harus menyiapkan segala kebutuhannya dengan uangmu sendiri. Dan laki-laki itu hanya bermodal daya tarik sudah membuatmu gila" "Kakang" dada Wiyatsih tiba-tiba menjadi sesak. Selama ini ia sudah berusaha menahan hati menghadapi sikap kakaknya. Tetapi pada suatu saat hatinya yang pepat itu akhirnya melimpah juga "Apa bedanya Tanjung dengan kau sekarang" Tanjung yang kau sebut penjilat itu dan kau yang sudah menjadi pengecut" Kenapa kau ribut dengan desas-desus tentang Pikatan yang mereka sebutkan membunuh para permpok dan penjahat" Apakah kau ingin bersikap jujur karena memang bukan kau yang melakukannya, atau karena kau menjadi ketakutan membayangkan pembalasan dendam dari para penjahat itu atasmu?" "Diam, diam" tiba-tiba Pikatan membentak, wajahnya menjadi merah padam. Selama ini belum pernah Wiyatsih membantah dan bahkan seakan-akan telah mengumpatinya pula.
441 Tetapi hati Wiyatsih yang selama ini serasa tertekan, tidak lagi dapat dibendung. Katanya "Kakang, kalau kau ingin bidup terasing, hiduplah terasing. Tetapi jangan selalu dibayangi oleh kebanggaan diri yang berlebih-lebihan, seolah-olah Pikatanlah orang yang paling cakap, paling pandai dan paling kuat di padukuhan kecil ini. Seandainya memang demikian, tetapi kau tidak pernah berbuat apa-apa, itu tidak akan berarti sama sekali. Kau hanya tinggal di dalam bilikmu sehari-harian. Apakah yang dapat kau hasilkan?" "Diam, diam" Pikatan membentak semakin keras. "Kalau kau tidak mau diam, aku tampar mulutmu" Tetapi Wiyatsih masih berbicara "Marilah kita menghayati hidup kita sendiri-sendiri. Kau hidup dalam duniamu yang gelap dan sempit serta terasing. Aku akan hidup di dalam dunia khayalanku yang kau katakan gila itu" Pikatan sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Tetapi ketika hampir saja tangan kirinya terangkat, Ibunya yang mendengar pertengkaran itu dari dapur segera datang berlarilari. "Apalagi yang kalian pertengkarkan" Keduanya terkejut. Keduanya berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri diambang pintu. Dengan serta-merta Wiyatsih berlari memeluk ibunya sambil menangis sejadi-jadinya. Rasarasanya dadanya yang pepat itu akan meledak karenanya. Namun masih saja ada sisa yang harus ditahankannya. Sisa masalah yang masih membuatnya pepat dan masih belum dapat diledakkannya. "Sudahlah Wiyatsih" berkata ibunya "kenapa kalian selalu bertengkar". Seliap kali kalian bertengkar. Setiap kali kalian dilibat dalam masalah-masalah yang tidak dapat aku mengerti, dan kalian tidak pernah mengatakannya apabila ibu bertanya kepada kalian, apa saja yang telah kalian pertengkarkan"
442 Wiyatsih masih menangis di dalam pelukan ibunya. Seperti kanak-kanak ia membenamkan wajahnya di dada ibunya itu. "Pikatan" berkata ibunya "adikmu adalah seorang gadis. kau harus dapat menahan hati sedikit, supaya kata-katamu tidak menusuk hatinya. Perasaan seorang gadis memang lain dari perasaan seorang laki-laki dan lain lagi dengan perasaan orang tua" Tetapi Pikatan menggeram "Ibu terlalu memanjakan dia sejak bayi. Itulah sebabnya ia menjadi keras kepala, pembantah, berani melawan saudara tuanya sendiri" "Maafkan, adikmu Pikatan. Ia memang seorang gadis manja. Bahkan kini ia menjadi seorang pemimpi. Tetap itu salah ibu sendiri. Bukan ibu saja yang memanjakannya sejak kecil, Tetapi kau juga memanjakannya. Umurmu dan umurnya terpaut beberapa tahun. Tetapi tidak pantas lagi kalau kau masih juga mendukungnya setelah Wiyatsih pandai memanjat pohon melinjo. Tetapi itu kau lakukan, Pikatan. Saat itu aku masih berbangga kedua anakku hidup rukun. Rukun sekali. Tetapi kalian menginjak dewasa, kalian justru selalu bertengkar. Hampir setiap hari" suara Nyai Sudatipun menjadi sendat, sedang Wiyatsih masih menangis di dalam pelukannya "Aku menjadi benar-benar prihatin Pikatan. Aku semakin tua dan tentu saja pada suatu saat aku akan meninggalkan kalian. Tetapi disaat-saat terakhir dari hidupku aku harus mengalami keprihatinan ini. Pikatan, anak laki-laki satu-satunya, menjadi cacat dan telah mengasingkan dirinya sendiri di dalam biliknya. Sedang Wiyatsih, anak perempuanku menjadi kehilangan keseimbangan karena mimpinya yang merayap meraih bintang-bintang di langit. Semua orang memperkatakannya seolah-olah aku pernah mencari pesugihan. Dan seolah-olah aku telah mengorbankan kalian untuk memuaskan diriku sendiri. Anak-anakku, itu adalah suatu siksaan bagiku, justru disaat umurku mendekati liang kubur"
Salam Terakhir Sherlock 1 Pendekar Patung Emas Pendekar Bersinar Kuning Karya Qing Hong Kucing Ditengah Burung Dara 2