Pencarian

168 Jam Dalam Sandera 3

168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid Bagian 3


Sebelum penyanderaan, di tengah kesibukan kerjaku, biasanya tanganku nyaris tak pernah lepas dari ponsel. Teknologi informasi memang membawa banyakkebaikan, tetapi membuat kita, manusia, menjadi sangat bergantung padanya. Satu-dua hari di gua aku merasa janggal tanpa ponsel. Tetapi lama-kelamaan, ternyata bukan masalah (padahal kalau di Jakarta sepertinya satu jam saja tak ketemu ponsel, semua jadi serba susah), bahkan aku mulai bisa menikmati hari-hari tanpa ponsel. Aku jadi lebih konsentrasi dengan lawan bicara dan memberikan perhatian penuh pada orang-orang disekitarku, yang akhirnya membuat aku dalam waktu singkat dapat mengenal dengan baik dan pada level tertentu memahami para penculik. (Berbeda sekali dengan pertemuanku dengan orang-orang di acara "kumpul-kumpul"
di Jakarta, kalaupun menghabiskan waktu bicara cukup lama, jarang tercapai saling memahami.)
Putusnya komunikasi juga memberiku banyak waktu untuk berkomunikasi tidak hanya dengan para penculik, tetapi juga dengan diri sendiri/batin. Setelah sekian lama "tidak sempat", pantas aku kadang sulit memahami diri sendiri.
"Siap!" Juru kamera memberikan aba-aba. Keheningan membuat suasana kembali tegang. Ju-rukamera menghitung mundur dengan kode jari. Aku menghela napas panjang untuk menen-angkan diri agar tampak rileks di depan kamera. Ketika sampai pada hitungan "satu", lampu merah di kamera menyala, tanda rekaman dimulai. Mujahidin di sebelah Budi mendekat, tangan kanannya merangkul pundak Budi.
Tangan kirinya mengangkat secarik kertas catatan. Dia lalu mulai membaca dengan suara lantang pernyataan dalam bahasa Arab, yang kalau diterjemahkan adalah sebagai berikut.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilalamm. Atas dasar pertimbangan nurani dan rasa persaudaraan para anggota tentara Mujahidin, tibalah waktunya bagi kami untuk, membebaskan dua wartawan Indonesia, melihat perilaku dan niat tulus yang telah ditunjukkan kedua wartawan ini. Dan karena menghormati hubungan baik dan rasa persaudaraan antar kedua bangsa. Serta mengingat sikap Indonesia yang menentang agresi ke Irak. Selama ini kami memperlakukan kedua wartawanmu dengan baik dan penuh rasa hormat. Atas semua pertimbangan tersebut, dengan ini kami memutuskan pembebasan kedua wartawan Indonesia, tanpa syarat apa pun.
Wallahuakbar. Mujahidin. Kamera kemudian diarahkan kepada Budi. Seorang Mujahidin mendekat. Dia menyerahkan Al-Quran kepada Budi. Setelah berjabatan, secara refleks Budi mengangkat Quran dan menciumnya.
Para Mujahidin seperti kaget dengan aksi tersebut. Kamera dimatikan. Mereka lalu berdiskusi ramai.
Aku dan Budi kebingungan. Jangan-jangan mereka tidak setuju dengan reaksi Budi. Kulihat mukaBudi menjadi tegang.
"Mut, jangan-jangan kita mau dites baca Quran. Gawat ini!" bisik Budi dengan raut muka begitu khawatir.
"Bukan, Mas. Mungkin mereka surprise dengan reaksi Mas,"
kataku menghibur. Juru kamera mendekati Budi. Budi semakin pucat. Mereka menjelaskan dalam bahasa Arab. Lalu Mujahidin lain berteriak,
"More... more." Rupanya, mereka ingin Budi mengulang "adegan"
mencium Al-Quran tadi. Saking leganya, karena kekhawatirannya tidak terbukti, Budi mencium Al-Quran berkali-kali. Para Mujahidin yang ikut menonton tergelak. Selain hadiah Al-Quran, Budi juga diberi beberapa batang siwak, tasbih, dan kopiah. Spontan kupluk lusuhnya dilepas, berganti dengan kopiah. Dengan Al-Quran dan tasbih di tangan, serta kopiah di kepalanya, Budi benar-benar terlihat seperti seorang ustad.
Kini, kamera berganti menghadap ke arahku. Rupanya mereka membutuhkan penjelasan lebih buatku. Ibrahim, yang ada di dalam gua, dipanggil keluar. Ibrahim menjelaskan kepadaku bahwa Mujahidin yang akan memberikan buah tangan meminta agar tangan kami tidak boleh bersentuhan sedikit pun. Aku hanya me
ngangguk dan tersenyum. "Ini serius, Meutya. Jika dilanggar, bisa-bisa pembebasan kita terganggu."
Kamera berputar. Pemberian pertama Al-Quran, langsung kudekap erat. Lalu siwak dan tasbih, yang semuanya kugenggam dengan tangan kananku. Rupanya masih ada satu hadiah lagi, yaitu kerudung bercorak putih biru yang terlipat rapi. Aku panik, harus mengambil dengan tangan yang mana. Tangan kananku sudah penuh, sementara mengambil dengan tangan kiri bukan adab yang baik dalam Islam. Mau menaruh Al-Quran di pasir, urusan bisa panjang. Seperti kata Ibrahim tadi, pembebasan bisa terganggu.
Akhirnya, aku minta Mujahidin tersebut meletakkan saja kerudung di atas Al-Quran. Toh hanya untuk kepentingan pengambilan gambar, berarti tidak lama.
Ternyata aku keliru. Mereka ingin aku memakai kerudung pemberian itu. Karena sudah memakai kerudung, aku sampirkan saja di bahu.
Tidak, mereka mau aku memakainya. Budi, yang sudah selesai dengan "adegannya melirik ke arahku. Dia tampak ingin membantu, tetapi khawatir karena kami tidak boleh bersentuhan. Mimiknya serba salah. Aku bertambah panik ketika upayaku memakai kerudung dengan satu tangan digagalkan angin kencang yang tiba tiba bertiup.
Syukurlah, mereka menyadari kesulitanku, dan menghentikan shooting.
Dalam hati aku berteriak, aku bebas!
Aku, Budi, dan Ibrahim kembali ke dalam gua. Kami kembali menata barang-barang untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Kamera, laptop, dan barang-barang mudah pecah kami kumpulkan sendiri agar tidak terganggu oleh koper dan barang berat lainnya. Atas nasihat Ibrahim, kami juga mengumpulkan sampah agar gua kembali bersih. Menurutnya, itu adab seorang tamu yang baik. Ah, siapa yang sedang bertamu, kami disandera, kok. Ibrahim menambahkan, nanti jika ada korban penculikan lain, gua sudah siap pakai. Alasan yang menggelikan. Dalam hati aku berharap, jangan lagi ada orang, apalagi jurnalis, yang harus mengalami apa yang kami jalani.
Rois menyusul masuk. Aku tersenyum, menunjukkan bahwa kami siap berangkat.
Tetapi, dia langsung mendekati Ibrahim. Mereka berbincang serius. Daripada menunggu pembicaraan, aku pamit keluar gua untuk sikat gigi dan membasuh muka. Ini ritual yang biasa aku lakukan sebelum siaran agar terlihat segar. Siapa tahu, di perbatasan Irak-Yordania nanti sudah banyak yang menunggu. Kasihan mereka kalau sampai terganggu dengan bau kami. Aku menyeka wajah yang sudah seminggu tak pernah disapu make-up. Hmm ... tak lama lagi aku akan kembali menikmati tangan profesional yang selalu berusaha membuat aku tampil cantik. Rambutku yang kini dipenuhi pasir gurun akan kumanjakan dengan creambath dan blow dry.
Aku kembali masuk. Wajah Ibrahim keruh. Muka Budi, yang tadi berseri-seri, tidak lagi tersenyum.
Sebelum aku sempat bertanya, Ibrahim langsung menjelaskan. "Meutya, ada masalah. Kita batal pulang hari ini."
Aku seperti dihantam badai pasir. Badanku, yang sesaat lalu terasa penuh energi, mendadak lemas.
"Kenapa lagi"" tanyaku kepada Ibrahim. Aku juga memandang Rois. Kenapa orang ini selalu menunda pembebasanku" pikirku.
"Mobil GMC kita harus diambil terlebih dahulu dari sebuah tempat. Itu makan waktu dua jam. Berarti matahari mulai terbenam.
Mereka tidak mau kita dalam bahaya dengan berjalan di waktu malam," kata Ibrahim.
Aku memahami logika Ibrahim, tetapi tak bisa menerima cara Rois. Mengapa dia tidak menyiapkan mobil itu, seperti dia menyiapkan pengambilan gambar" Mengapa dia tega memainkan perasaan dan harapan kami" Apa lagi yang dimaui kelompok ini" Sederet pertanyaan berbaur dengan kemarahan bertubi-tubi menikam kepalaku. Tetapi, aku diam saja, tak mendebat. Aku lelah. Percuma saja bertanya. Aku terlampau kecewa kepada Rois. Kupikir, dia dan anggotanya tidak layak dipercaya. Seharusnya, aku tidak terbius dengan janji-janji manis mereka. Simpatiku terhadap kelompok ini turun drastis.
Kepercayaanku juga terhapus seketika.
Rois sendiri tampaknya tidak merasa bersalah. Dia malah bertanya dengan nada datar. "Jadi bagaimana" Apa kalian sudah memutuskan kembali ke Yordania petang ini juga, atau menginap semalam l
agi di gua"" Aku malas menanggapi pertanyaan basa-basi ini. "Terserah Ibrahim," jawabku pendek.
"Saya rasa besok lebih baik," jawab Ibrahim, seperti dugaanku." Rois sudah berjanji akan meng-antar mobil pagi-pagi sekali," lanjut Ibrahim.
Apa jaminannya besok mobil itu datang lebih awal" Toh, selama ini sudah berbilang kali, mereka mangkir dari janji. Selalu berjanji besok, besok, dan besok. Nyatanya, sepekan juga kami di gua ini.
Bahkan, ketika pernyataan Presiden datang, kami tetap tertunda pulang. "Ya sudahlah, mau bagaimana lagi," kataku sengit.
Sulit menerima keadaan, harus menginap satu malam lagi, pada saat pintu kebebasan sudah di depan mata. Meutya, seminggu yang berat saja sudah kamu lewati, apa susahnya melewatkan satu malam lagi" Aku menghibur diri. Padahal, jangankan satu malam, satu jam lagi saja sudah berat buatku. Hari ini pergerakan mobil ke lokasi penculikan banyak dan berulang. Siapa yang bisa menjamin, justru setelah dibebaskan penculik, kami lalu mati di tangan pasukan koalisi.
Pernyataan bebas sudah direkam. Kalau ada apa-apa, penculik bisa saja menyatakan kami sudah bebas dalam keadaan sehat.
Selanjutnya, keselamatan bukan tanggung jawab mereka. Kini, kami ibarat mangsa yang siap diburu oleh berbagai pihak.
"Sampai jumpa besok pagi, assalamu alaikum." Rois pamit.
Aku menjawab salam, tetapi tak sudi melihat wajahnya. Aku juga tak mau membahas soal ini dengan Ibrahim karena dia terlihat rikuh mengetahui kami sangat kecewa dengan keputusan Rois. Aku memilih meringkuk di balik selimut yang kutarik hingga menutup wajah. Aku juga sengaja membalik badan membelakangi Ibrahim. Aku lihat Budi juga melakukan hal yang sama.
"Meutya ... jam segini kok sudah mau tidur,"tanya Ibrahim.
Aku hanya mendehem, menunjukkan aku sudahbersiap tidur.
"Ayolah, ini hari terakhir kita di gua, dan kita sudah bebas. Mari kita isi dengan perayaan. Bukan dengan tidur." Ibrahim mencoba membujuk.
Aku tak menanggapi. Budi pun tidak terdengar menjawab. Aku dan Budi merajuk. []
Bab 9 Pembebasan yang Berliku PERBINCANGAN Ibrahim dengan si Jangkung membuatku susah memejamkan mata. Apalagi, ketika mencoba berangkat tidur tadi, aku memang belum mengantuk. Ditambah pula suasana hati yang tidak enak. Suara Ibrahim malam ini lebih keras dibandingkan biasa.
Mungkin dia berupaya membuat suasana lebih cair. Sepertinya kedua penjaga itu juga kikuk melihat aksi diam kami. Karena ukuran gua yang kecil, perasaan dan kegundahan cepat menular di antara sesama penghuni.
Dengan menyibakkan selimut sedikit, aku mengintip. Si Jangkung terlihat gelisah. Berkali-kali dia berdiri, lalu keluar gua menenteng senjata. Kadang sebentar, tetapi kadang agak lama baru dia muncul lagi.
Aku ikut gelisah. Bosan pura-pura tidur, aku putuskan untuk duduk saja. Tiada guna merajuk pada saat seperti itu. Toh tidak mengubah kondisi, malah menjadikan suasana semakin tidak nyaman.
Tak lama Budi juga bergabung.
"Ada apa dengan si Jangkung"" tanyaku pada Ibrahim. Ibrahim menggelengkan kepala.
"Kenapa dia mondar-mandir membawa senjata lengkap"" Aku terus mencari tahu.
"Saya tidak tahu, tetapi yang jelas pasti ada sesuatu di luar sana. Mungkin dia membaca situasi bahaya."
"Bahaya bagaimana""
"Yang jelas, terlalu bodoh keluar gua di udara dingin begini. Pasti ada alasan kuat di balik itu." Suara Ibrahim terdengar cemas.
Aku masih ingin bertanya. Kurasa Ibrahim tahu sebab si Jangkung selalu pamit padanya saat hendak keluar gua. Keinginanku bertanya terputus dengan masuknya si penjaga. Ibrahim menatapku.
Sorot matanya menunjukkan dia tidak menginginkan pembicaraan lanjutan, dan berharap aku cukup pandai untuk memahami situasi.
Aku segera menyimpulkan: pasti daerah ini sudah diketahui musuh.
Tetapi, kenapa si Jangkung perlu waktu begitu lama melihat situasi di luar gua" Apa yang dia lihat" Bukankah sejauh mata memandang yang tampak hanya gurun"
Tak cuma bersenjata, si Jangkung juga menutupi wajahnya dengan kafiyeh. Aku berharap dia melakukannya hanya karena dia tak kuat menahan dingin. Lagi-lagi si Jangkung melesat keluar gua.
Darip ada menunggu di tengah ketidakpastian, kami menyantap kebab. Ibrahim makan tanpa semangat. Aku tak mau bertanya.
Tetapi, aku berusaha membuat suasana lebih santai. Pertemanan di tengah kesulitan membuat kami pintar membaca situasi.
Ketika aku sedang "tinggi", Ibrahim mampu mengatur keseimbangan emosi. Hanya Budi yang relatif selalu tenang. Kini, kulihat Ibrahim perlu bantuan untuk mengimbangi emosi dan perasaannya.
"Sedang membayangkan ketemu keluarga, ya"" godaku.
Namun, Ibrahim menjawab datar. "Meutya, kamu dengar suara pesawat tempur dan helikopter" Belakangan suara itu semakin sering muncul. Artinya, kawasan ini sudah tidak aman."
"Ya, aku dengar, tetapi mereka kan tidak melihat kita." Aku mencoba tenang meski membenarkan ucapan Ibrahim. Padahal, aku takut setengah mati. Peluru tidak bisa membedakan mana Mujahidin mana wartawan.
"Kalau kita masih bersua dengan hari esok, dan bisa bertemu keluarga, kita harus betul-betul bersyukur kepada Allah," tambah Ibrahim.
"Kita tetap harus meyakini bisa melewati malamini, Ibrahim.
Hanya satu malam lagi," jawabku, seolah-olah menyemangati Ibrahim saja. Padahal, itu juga usahaku menghibur diri sendiri. Aku juga sudah sangat letih, menghitung malam, menghitung pagi, dalam kondisi tertekan dan tidak pasti seperti ini.
Ucapan Ibrahim, kalau kita masih bersua dengan hari esok, begitu meresap di hatiku. Hanya kuasaNya yang kini kunanti. Pekan lalu, ketika mobil kami disergap, aku menganggap dan menerima detik itu sebagai akhir hidupku. Ketika batinku dilanda ketakutan luar biasa, menghadapi tiga lelaki kekar bersenjata yang menyekapku di tempat terasing jauh dan peradaban, akal dan fisikku hanya bisa pasrah menerima yang terburuk. Namun, Yang Maha Menjaga punya rencana lain. Nyatanya, aku masih melihat hari esoknya. Nyatanya, bukan penganiayaan ataupun pelecehan yang aku terima, melainkan sikap bersahabat dan kelembutan serta kesantunan sikap. Ketika udara dingin dan angin gurun yang kering terus menerpa, meski tanpa selimut memadai, mimisan (penyakit bawaanku sejak kecil) tak pernah terjadi. Subhanallah.
Malam terus merayap. Cahaya lampu terasa kian suram dan dingin malam gurun semakin menusuk. Si Jangkung belum juga kembali. Deru pesawat tempur melecut suasana menjadi semakin mencekam. Nun dilubuk hati, aku berdoa.
Tuhan, apakah Kau masih menghendaki kami hidup" Jika iya, kenapa begitu sulit perjalanan kami untuk, bebas" Jika tidak,kenapa tidak Kau matikan saja kami dari awal penculikan"
Apakah peristiwa ini Kau tunjukkan agar aku tersadar sebelum Kauambil nyawaku,sesaat lagi"
Apakah malam ini dapat aku lalui dengan selamat seperti malam-malam sebelumnya" Jika iya, tunjukkan padaku.
Tuhanku, agar cerita ini dapat aku bagi dengan saudara-saudaraku di tanah air, cerita tentang indahnya kebersamaan seorang manusia dan Sang Pencipta, justru di dalam kondisi yang serba terbatas dan jauh dari kenikmatan duniawi jangan jadikan malam ini malam terakhirku di bumi-Mu. Tuhanku beri aku kesempatan berbagi cerita ini agar menjadi cerita dan kenangan indah, tidak, hanya bagiku, tetapi bagi semua. Beri aku kesempatan berbakti dan kembali ke tanah airku
"Siyarra!" Ibrahim setengah berteriak. Aku menatap Ibrahim.
"Kenapa malam begini ada mobil yang datang"" Ibrahim melongok lewat celah gua, melihat suasana diluar. Raut mukanya khawatir. Belum pernah sekalipun mobil para Mujahidin datang malam begini.
Di tengah kebingungan berbaur ketakutan, si Jangkung setengah berlari menerobos masuk. "Cepat keluar! Cepat keluar!" teriaknya.
Dia tak sendirian. Di belakangnya ada kepala wilayah kelompok pergerakan. Dia pernah mampir kegua bersama pengantar logistik.
Mereka berdua terlihat tergesa. Melihat kepanikan mereka, aku tak mendebat atau bertanya. Aku langsung berdiri mengambil barang-barang yang mampu ku jinjing. Budi dan Ibrahim pun demikian.
Dibantu kepala wilayah dan dua penjaga, kami membawa semampu dan secepat mungkin. Kami berlari keluar gua. Barang ditumpuk di bagasi sekenanya. Kami pun berebutan masuk ke sedan tua milik kepala wilayah Ramadi tersebut. Ketika aku mau melangkah
, kepala wilayah menahanku.
"Tunggu! Ibrahim, pinjamkan jubahmu," ucapnya meminta Ibrahim melepaskan overcoatnya. "Terlalu besar," aku menolak.
"Pakai saja!" desak Ibrahim. Tanpa menunggu perintah berikutnya, aku langsung mengenakan jaket Ibrahim. Jaket itu sedemikian besar sehingga hampir menutup seluruh tubuhku, dari leher hingga betis.
"Lilitkan ini," kata Ibrahim sambil meletakkan kafiyeh di kepalaku. Kepala wilayah terus memberikan perintah lain lewat Ibrahim.
Belum sempurna aku menutup kepala dan wajah, aku sudah didorong masuk ke mobil. Mobil pun langsung dipacu kencang sebelum pintu tertutup rapat. Raungannya membelah gurun yang senyap dan gelap. "Apakah aku harus menutup mata dengan kain ini"" tanyaku sambil merapikan kafiyeh.
"Seperti ini, Meutya!" Yang menjawab adalah Mujahidin yang menyetir. Aku mengenali suaranya: Muhammad. Aku bersorak dalam hati.
Di tengah kepanikan, ternyata Muhammad ikut menjaga. Aku menahan diri untuk berbicara. Seminggu disekap, belum pernah aku melihat suasana panik di kalangan penculik. Apa sebenarnya yang terjadi"
Aku duduk di belakang bersama Ibrahim dan Budi. Muhammad memegang kemudi. Kepala wilayah dan si Jangkung berdesakan di jok depan, yang lazimnya untuk satu orang. Untung satu pengawal lain ditinggal di gua. Jika tidak, pasti mobil tua ini akan makin keberatan beban. Enam penumpang dan barang-barang, termasuk alat-alat peliputan yang berat, membuat mobil terseok-seok. Tetapi, kepala wilayah tidak peduli. Dia meminta gas terus ditancap. Jadilah suara mesin meraung-raung di tengah sunyinya gurun. Aku menatap ke luar jendela. Kami berjalan tanpa penerangan lampu mobil, untuk menghindari pantauan udara. Untunglah langit sedang bertabur bintang. Maha besar Engkau ya Allah, malam begitu indah. Pendar pendar cahaya bintangmembuat gurun begitu eksotis.
Mobil terus dipacu seolah-olah ada yang mengejar.
Braakk! Mobil terantuk keras, sampai-sampai kepalaku nyaris menghantam jok depan. Mesin mobil mati. Si Jangkung dan Ibrahim segera turun. Rupanya, mobil terantuk batu besar. Ibrahim, sopir yang biasa menangani mobil, meneliti kerusakan.
"Astaghfirullah, bensin bocor," Ibrahim menepuk jidatnya.
Lengkap sudah! Aku semakin pasrah. Hanya kuasa-Nya yang bisa menyelamatkan kami keluar dari gurun dengan tangki bensin yang bocor.
"Ayo ... ayo segera masuk...," perintah kepala wilayah. Mobil kembali dihidupkan. Namun, upaya menstarter gagal.
Beberapa kali mobil dicoba dinyalakan, tetapi gagal dan gagal lagi.
"La haula wala quwwata illa billah," seru si kepala wilayah, yang secara refleks kami ikuti bersama. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.
Hening sesaat. Disertai ucapan basmalah, mesin kembali coba dihidupkan. Berhasil. Mesin menderum.
Inikah pertanda Engkau masih menyayangiku" Mobil dipacu, khawatir tabung bensin yang bocor semakin terkuras. Jujur saja, ini lebih menegangkan dibandingkan saat penculikan. Semula, ketika kami diminta keluar dari gua, aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi sekarang, aku paham bahwa, kalau mau selamat, yang pertama kali harus dilakukan adalah keluar dari kegelapan gurun. Apalagi tadi, sebelum mobil datang, si Jangkung sudah kelihatan sangat gelisah.
"Mereka tahu pasukan infanteri mendekat ke lokasi gua kita,"
bisik Ibrahim. Aku senang Ibrahim memberitahuku setelah dikejauhan aku melihat cahaya lampu, tetapi takutku tak luntur. Di sebelahku, Budi terus mendaras doa dengan wajah tegang. Dia berzikir tiada putus, menggunakan tasbih pemberian Mujahidin sore tadi.
Pepohonan mulai tampak. Lalu, pagar-pagar pembatas, seperti pembatas daerah perkampungan. Setelah melewati pagar, kami pun sampai di perkampungan. Aku mulai melihat rumah. Tetapi, Ibrahim memintaku tidak usah banyak melihat ke luar, dan lebih baik merunduk. Aku menurut. Lagi pula, tidak ada yang bisa dilihat di kegelapan. Pekarangan rumah warga rata-rata hanya diterangi lampu yang temaram.
Mobil lalu berbelok, memasuki gang kecil. Tibalah kami di sebuah rumah berpagar kayu. Ukurannya cukup besar. Warnanya hijau, warna kesukaanku. Aku menyukai tempat ini. Entah karena
warnanya, entah karena sudah lama aku tak melihat rumah. Apakah kami akan disekap lagi"
"Meutya, turun! Cepat berjalan menuju pintuitu," Ibrahim menerjemahkan perintah Mujahidin. Pintu yang ditunjuk berada di sebelah kanan rumah. Itu pintu bangunan yang terpisah dari rumah utama. Seperti paviliun. Aku turun dan berlari kecil. Senang rasanya bisa mendorong pintu lagi.
Aku menyapu pandang ke ruangan besar itu. Tidak ada kursi.
Ruang itu beralas karpet dan dilengkapi bantal duduk. Khas Arab. Budi dan Ibrahim menyusul masuk. Kami saling pandang dan tersenyum penuh arti. Gerbang pembebasan telah kami lewati. Gua yang sempit berganti ruangan besar. Tak ada lagi alas tidur plastik. Langit-langit yang tinggi ikut membuatku senang. Biasanya, semua serba sumpek dan sempit. Aku duduk di salah satu pojok. Budi dan Ibrahim di pojok lain. Rasanya kami jauh sekali. Selama ini, tidur pun kakiku menyenggol kepala Budi.
Kurebahkan badanku tanpa dipersilakan. Nyaman sekali. Tidak ada pasir atau batu yang menusuk-nusuk tubuh. Kutarik bantal ke arah kepalaku. Aku bahkan sudah hampir lupa nikmatnya tidur dengan bantal.
"Wuenak, empuk ya, Mut." Budi tersenyum menikmati bantalnya. Ibrahim juga tertawa. "Iya Mas, ini baru oke. Coba dari kemarin-kemarin.
"Kami hanya bertiga di ruangan tersebut. Sambil leyah-leyeh menikmati kemewahan bantal dan alas tidur yang empuk, samar-samar terdengar suara anak kecil menangis. Makin lama tangisannya semakin keras.
"Ini baru kehidupan," kata Ibrahim tertawa.
Maklum, selama disandera di gurun, kami tidak pernah mendengar suara makhluk hidup lain di luar suara kami sendiri, kecuali satu: tikus. Suara lain hanya mesin mobil, pesawat, dan helikopter.
"Ibrahim, rumah siapa ini""
Ibrahim menggeleng. "Mungkin tempat mereka biasa berkumpul.
"Pintu terbuka. Kepala wilayah masuk bersama Muhammad.
Ahmad ternyata turut serta. Dia terlihat jauh lebih bersih, baik wajah maupun pakaiannya. Aku nyaris tak percaya bisa bertemu merekalagi.
Ahmad tersenyum, lalu mengambil tempat di sisi ruangan berseberangan denganku. Kepala wilayah duduk dekat Ibrahim di bagian tengah ruangan. Mungkin karena ada pemimpinnya, Ahmad dan Muhammad sungkan terlihat akrab dengan kami.
"Besok pagi kalian akan berangkat pulang dari rumah ini. Mobil akan siap pukul delapan. Kami janji, tidak akan ingkar," kata kepala wilayah membuka percakapan.
Dia lalu menyodorkan sebuah kantong plastik.
"Ini barang-barang kalian kami kembalikan. Tolong diperiksa apa ada kekurangan," lanjutnya.
Kami mengeluarkan telepon seluler kami. Bukan hendak memeriksa, tetapi karena senang, pertanda kebebasan semakin besar.
"Kalau tidak ada masalah, silakan istirahat.
"Kepala wilayah berdiri untuk undur diri. Tetapi, Muhammad dan Ahmad masih di dalam ruangan. Rupanya kepala wilayah meminta agar kami, walau sudah dinyatakan bebas, tetap dijaga. Tetapi kali ini, tidak lagi dengan senjata.
"Ahmad, ceritakan apa yang terjadi tadi," Ibrahim memohon.
Ahmad dan Muhammad bercerita bergantian. Seperti biasa, aku dan Budi harus sabar menunggu sampai perbincangan selesai, lalu Ibrahim menerjemahkan untuk kami.
Rupanya gerak maju tentara Amerika sudah semakin jauh ke kawasan yang dikuasai Mujahidin. "Itulah yang membuat suara tembakan bisa terdengar hingga ke gua," terang Muhammad.
Patroli udara semakin sering karena mereka mencurigai mobil yang mengarah ke gua setiap hari. Bahkan Ahmad bercerita, tadi sore dia ingin mampir ke gua, tetapi batal karena melihat pasukan tentara semakin mendekat. Ahmadlah yang melapor kepada kepala wilayah, yang kemudian memutuskan kami harus dievakuasi mendadak.
"Terlambat lima menit saja, ceritanya akan berbeda," kata Ahmad.
Aku meringis. Kalau tidak karena Ahmad, kami bisa saja mati konyol di gurun. Andai tentara koalisi menemukan kami bersama penyandera, kemungkinan besar kami ikut dihabisi.
"Tuh, Mut, mereka bisa saja membiarkan kita digurun. Mereka menyabung nyawa lho untuk menyelamatkan kita," Ibrahim kembali memuji Mujahidin.
Ahmad dan Muhammad tertawa. Ibrahim betul, mereka sudah membuat pernyataan pembebasan melalui media,
jadi bisa saja lepas tangan jika mau.
"Meutya, tidak ada yang ganggu kan selama kami tidak ada""
tanya Muhammad kepada Ibrahim. Dia mungkin khawatir si Jangkung bersikap seperti si Sontoloyo, salah satu penjaga kami pada hari pertama.
"Dia baik-baik saja, hanya rindu saja kepada kalian," canda Ibrahim. Aku hanya tersipu. Namun, kami semua senang bisa bersama-sama lagi malam ini.
Aku dan Budi ingin memberikan kenangan. Budi meninggalkan kamera untuk Muhammad. Aku memberikan jaket dan kaus berlogo Metro TV
untuk Ahmad dan SIM card Irak yang masih berisi pulsa untuk Muhammad. "Kalau rindu pada aku dan Budi, pakai kartu ini untuk menelepon ya," kataku sambil memberikan kartu nama.
Kusodorkan secarik kertas dan pulpen, dan kuminta mereka menuliskan alamat yang bisa dikontak, tetapi mereka hanya tertawa.
"Meutya, jangan bercanda! Orang pergerakan tidak punya alamat," tegur Ibrahim, yang kami sambut dengan tawa bersama.
"Untuk saya mana" Masa cuma Ahmad dan Muhammad yang dapat," pinta Ibrahim.
Aku dan Budi saling pandang. Kami lupa. Mengira kami masih punya waktu bersamanya sebelum bebas nanti. Budi lalu menyodorkan jaket yang baru saja dia beli di Yordania sebelum kami masuk lagi ke Irak untuk kedua kalinya.
"Ini hanya cukup untuk anak saya. Tetapi terima kasih, dia pasti akan senang sekali," ujar Ibrahim, yang memang bertubuh jauh lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan Budi, sambil melipat pemberian itu. Dia tampak senang menerimanya.
Keharuan menyelimuti pertemuan malam itu. Besok kami akan pergi. Bisa jadi ini pertemuan terakhir kami. Aku biasa berteman dalam tugas peliputanku. Banyak di antaranya yang berteman baik hingga kini. Tetapi, dengan Ahmad dan Muhammad berbeda. Selain berjauhan, mereka tidak bebas berkomunikasi. Hampir tidak mungkin kami akan bertemu kembali. Ini betul-betul perpisahan.
Meski lelah, dan memiliki alas tidur empuk, kami terus saja mengobrol hingga tengah malam. Sampai Muhammad mengingatkan kami untuk istirahat karena besok kami akan berangkat pagi.
Muhammad berjaga di luar ruangan saja, biar kami beristirahat dengan tenang. Kami saling mengucapkan salam perpisahan. Ahmad mengingatkanku agar tidak lupa melambaikan tangan ke arah kamera yang meliput kami nanti. Jika menontonnya, mereka akan menganggap itu sebagai salam.
Beberapa saat setelah dua penjaga itu keluar, aku sudah terlelap. Aku tak sabar menunggu matahari terbit. []
Bab 10 Tegang Tiada Akhir SENIN, 21 Februari 2005 Pukul delapan pagi, pintu ruangan diketuk. Kepala wilayah meminta kami segera berkemas. Kudengar mesin mobil sudah dinyalakan. Dia memintaku memakai kembali jaket Ibrahim untuk penyamaran. Aku dan Budi juga harus melilitkan kafiyeh penutup muka. Setelah merasa cukup aman, kami digiring menuju mobil yang kami gunakan semalam. Kepala wilayah duduk di belakang setir, didampingi Muhammad. Aku, Budi, dan Ibrahim duduk di jok belakang. Mobil pun melesat menembus wilayah perkampungan, melalui jalanan yang tak terlalu besar. Jika berpapasan dengan mobil lain, laju mobil dipelankan. Lalu, mobil segera digas kembali, terutama jika bertemu sekelompok pejalan kaki.
"Di sini banyak mata-mata. Itulah kenapa lokasi kalian tercium Tentara Koalisi kemarin malam,karena ada informan. Mereka dibayar dengan imbalan besar untuk menjual harga diri kepada asing,"ujar kepala wilayah ketus.
"Sekarang, lebih baik kalian menunduk. Aku tidak mau membuat orang curiga. Wajah kalian sudah dikenal di televisi. Berita pembebasan kalian ditayangkan berulang-ulang hampir di semua televisi," lanjut kepala wilayah, mengingatkan kami.
Cepat sekali rekaman itu tersebar. Berbeda dengan rekaman pernyataan penculikan yang memakan waktu beberapa hari.
Mobil berbelok ke jalan utama, meninggalkan wilayah perkampungan. Kepala wilayah mempercepat laju mobil. Di kawasan ini tank dan humvee pasukan koalisi memang banyak beroperasi.
Kami melewati beberapa pos mereka. Syukurlah mobil kami tak diperiksa.
"Mobil GMC kalian ada di tangan rekan kami. Kita akan bertemu mereka di suatu tempat," kata kepala wilayah.
Dia menghubungi ses eorang dengan ponselnya. Setelah berbicara di telepon, dia membelokkan mobil secara mendadak ke arah bangunan tua yang kosong. Bersama Muhammad, dia keluar dari mobil kearah jalan raya.
"Ada apa lagi ini"" tanyaku pada Ibrahim.
"Ada miskomunikasi dengan kelompok pembawa GMC. Mereka tak jelas berada di mana.
"Oh, kenapa ketegangan belum juga usai" Kulihat kepala wilayah berbicara melalui ponsel sambil mondar-mandir. Wajahnya kesal dan bingung. Muhammad berjaga di tengah jalan untuk memastikan tidak ada yang membuntuti kami. Rautnya juga tampak tegang.
"Kita akan pindah meeting point. Di sini terlalu berbahaya," kata kepala wilayah sekembalinya kebelakang kemudi. Keputusan yang melegakan. Sisa-sisa kehancuran bangunan tua ini akibat serangan bom membuatku tak nyaman berlama-lama di sini. Mobil kembali melaju dan berhenti di sebuah restoran yang cukup besar. Ada beberapa mobil yang parkir di depan restoran.
"Kenapa ke tempat ramai begini" Mana bisa makan kita""
bisikku pada Ibrahim. Ibrahim hanya menggelengkan kepala.
"Kita akan menunggu di sini. Restoran ini milik salah satu dari kami. Tempat ini aman," kata kepala wilayah.
Muhammad tak banyak bicara. Namun, dia ikut mengantar kami masuk ke restoran, melalui pintu samping. Ada tirai kain panjang yang memisahkan kami dengan pengunjung lain sehingga mereka tak dapat melihat kami.
"Mungkin kita masih harus menunggu agak lama. Kalian sarapan saja yang kenyang," kata kepala wilayah lagi.
Saran yang aneh, memangnya lagi pelesir! Aku ingin secepatnya bebas. Aku tak butuh sarapan!
Tak berapa lama kemudian, makanan datang. Dua tusuk sate Arab untukku dan Budi. Mirip sate di Indonesia, hanya saja ukurannya 10 kali lebih besar. Penusuknya pun menggunakan besi sebesar kelingking. Walau tak lapar, aku coba nikmati juga sajian spesial ini.
Pertama kali sejak disandera, aku menyantap makanan yang masih hangat.
"Kalian sekarang terkenal.Lihat wajah kalian ditelevisi," kata seseorang yang menurut Ibrahim adalah pemilik restoran. Dia menunjuk ke arah televisi. Kulihat adegan Budi sedang mencium Al-Quran di sebuah saluran televisi lokal. Aku dan Ibrahim kontan mengolok Budi. "Wah, ada bintang baru, nih." Budi hanya tersenyum.
"Assalamu 'alaikum. "Pintu samping restoran terbuka. Muhammad dan kepala wilayah berdiri menyambut Rois, yang datang bersama dua orang. Mereka bergabung ke meja kami.
"Sabar, mobil kalian tidak lama lagi datang," ujar Rois menenangkan. "Ibrahim, apakah Meutya senang akhirnya bebas"" Aku merasa ucapan Rois sengaja mengolokku karena aku sempat ngambek padanya didalam gua.
"Katakan padanya, ketika pulang nanti dia akan menikmati akibat penculikan ini." Ibrahim menyampaikan pesan Rois padaku.
Menikmati akibat penculikan ini" Mamaku menangis, bangsaku ikut susah, kerabatku khawatir, dan dia bilang aku akan menikmatinya"
Aku berbisik kepada Ibrahim. "Ibrahim, tolong sampaikan ke Rois, kalau memang nikmat, suruh saja kita bertukar tempat. Kita yang menjadi penculik, dia yang kita sandera di gurun, mau tidak""
Ibrahim hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia tak berani menyampaikan pesanku.
Tak berapa lama kemudian, kepala wilayah dan Muhammad mohon diri.
Aku baru mengerti. Rupanya pembebasan kami dilakukan berantai. Pemimpin wilayah menyerahkan kami kepada Rois. Setelah berada di tangan Rois, berarti tugas kepala wilayah dan Muhammad selesai. Aku sedikit kecewa Muhammad tak bisa menunggu hingga kami berangkat. Sebelum meninggalkan kami, dia menjabat erat tangan Ibrahim, kemudian Budi.
Ketika tiba giliran pamit padaku, Muhammad hanya menganggukkan kepala. Dia mengangkat tangan kanannya dengan jari tengah dan telunjuk mengarah ke matanya. Aku mengerti maksudnya. Dia hendak mengingatkanku agar tidak lupa janji melambaikan tangan ditelevisi untuk mereka. Tangan kearah mata, berarti mereka akan mengikuti dan menonton dengan saksama perjalanan kami hingga tiba di tanah air. Sebelum menghilang dari pandangan kami, Muhammad berkali-kali meminta maaf karena telah menculik kami di POM bensin.
Rois lalu menyarankan agar kami mengontak pihak kedutaan u
ntuk mengatur pertemuan di perbatasan Irak-Yordania. Dia agak terkejut ketika tahu aku dan Budi belum berkomunikasi dengan pihak luar, padahal ponsel kami telah dikembalikan. Aku dan Budi memang sepakat baru akan melakukan kontak keluar jika sudah betul-betul bebas. Rindu kepada keluarga memang tak tertahankan, tetapi kami khawatir komunikasi dengan keluarga akan memancing emosi, padahal kami masih perlu fokus pada upaya keluar dari Irak. Namun, saran Rois adab-enarnya. Harus ada yang mengetahui keberadaan kami. Aku dan Budi sepakat hanya membuat satu kontak telepon, yaitu kepada Musyurifun Lajawa, Kepala Bidang Penerangan KBRI di Amman. Kami yakin, sebagai Kepala Bidang Penerangan KBRI, Musyurifun akan menyampaikan info keberadaan kami kepada pihak-pihak yang tepat.
"Di mana posisi Meutya" Semua baik-baik saja"" Nada suara Musyurifun menggambarkan kekagetan seseorang yang sudah lama menunggu kabar. Diamengenal nomor ponselku.
"Kami baik, Pak. Kami masih berada di suatu tempat di wilayah Ramadi. Mungkin satu jam lagi berangkat. Tolong ada yang menjemput kami diperbatasan, ya," pintaku.
"Orang kita sudah stand by. Kamu masih bersama penyandera"
Budiyanto di mana" Jam berapa tiba diperbatasan"" Pertanyaan Musyurifun bertubi-tubi.
"Ya, masih. Karenanya saya belum bisa bicara leluasa. Sampai ketemu di border. Insya Allah.
"Suara Musyurifun terdengar panik. Aku tak mau tertular kepanikannya. Telepon kututup.
Dua jam kami menunggu, mobil GMC kami akhirnya tiba. Serah terima kunci mobil dilakukan di dalam restoran. Rois menjelaskan melalui Ibrahim bahwa dari titik tersebut kami akan kembali ke perbatasan Irak-Yordania dengan GMC, bertiga. Tidak ada anggota Muja-
hidin yang ikut. Hanya saja, akan ada anggota mereka yang mengawal kami, secara undercover, untuk memastikan kami tiba di perbatasan dengan selamat. Kami tidak akan tahu keberadaan dan identitas para pengawal itu.
Sebelum membiarkan kami pergi, Rois menyampaikan permintaan maaf kepada Presiden dan bangsa Indonesia jika aksi penculikan oleh kelompoknya telah menyusahkan berbagai pihak. Rois juga mengatakan bahwa bangsa Indonesia sangat sayang padaku.
Ingin aku bertanya apa maksudnya, tetapi urung karena tidak mau berlama-lama lagi di sana.
Kami segera menuju mobil GMC. Ibrahim kaget melihat mobil putih kesayangannya sangat kotor sehingga berubah warna jadi kecokelatan. Mobil Rois masih membuntuti kami. Ketika kami membelok kearah POM bensin untuk mengisi bahan bakar, kulihat mobil Rois membelok ke arah berlawanan. Kupandang sekelilingku.
Kami berada di POM bensin yang sama dengan ketika kami diculik.
Kami kembali ke titik Nol.
* * * ALHAMDULLILLAH, selamat," penjaga POM bensin melongokkan kepalanya masuk jendela. Dia mengenali kami. Dia memerhatikan Budi agak lama, lalu tersenyum sambil menunjuk ke arah peci Budi, pemberian Mujahidin. Pasti dia melihat rekaman pembebasan kami di televisi. Ibrahim melenggang meninggalkan mobil.
"Ibrahim, jangan pergi jauh-jauh!" teriakku. Terbayang lagi ketika pertama kami diculik, Ibrahim sedang meninggalkan mobil, entah ke mana.
"Aku harus cari bantuan. Persneling kita rusak." Duh, jangan sampai kami diculik orang lagi. Aku masih trauma dengan suasana POM bensin.
Tak berapa lama, Ibrahim kembali dengan seorang mekanik.
Tangannya menenteng plastik hitam.
"Kacang arab, oleh-oleh untuk istri," katanya. Aku tersenyum. Masih sempat Ibrahim mengingat oleh-oleh.
Mekanik yang memeriksa mobil kami mengatakan bahwa perbaikan akan memakan waktu lama. Ibrahim memutuskan untuk meneruskan perjalanan dengan kondisi persneling bermasalah.
Konsekuensinya, menurut Ibrahim, mobil kami tidak bisa melaju kencang. Berarti tambah lama sampai di perbatasan. Cobaan belum juga usai.
Ibrahim melajukan mobil perlahan meninggalkan Ramadi, memasuki jalur utama. Jalan raya sepanjang 1.000 km yang menghubungkan Amman-Bagdad ini, sejak invasi Amerika Serikat, kerap disebut rute maut. Hingga perbatasan Yordania, tidak ada tempat istirahat, restoran, atau bengkel. Mobil biasanya masuk kedaerah ini berkonvoi, demi keamanan. Semua mobil yang
melaju di sini keluaran baru dengan kondisi prima. Mogok di jalur ini berarti fatal. Dan, kami harus menumpang mobil yang persnelingnya rusak!
Ibrahim membetulkan posisi kaca cermin di dalam mobil. "Oh Tuhan, aku terlihat jelek sekali." Dia mengusap jambangnya yang tak beraturan.
Tak sabar memandang wajah setelah tujuh hari tak bertemu bayangan diri, aku dan Budi berebut mendekati Ibrahim. Alhasil muka kami bertiga beradu dalam kaca. Semua sama jeleknya. Kami pun tertawa geli.
"Ssstt!" Ibrahim tiba-tiba meminta kami diam dan kembali duduk rapi. Kulihat konvoi pasukan koalisi dijalur berlawanan mendekat ke arah kami. Aku teringat VCD-VCD pemberian Ahmad.
Segera kukeluarkan dari tasku dan kuselipkan di bawah karpet, khawatir VCD propaganda Mujahidin ini bisa jadi masalah.
"Jangan, Mut. Nanti kalau mobilnya diperiksa, ketahuan.
Sembunyikan di badan saja," saran Budi. Dibadan" Lalu kalau ketahuan, bagaimana aku bisa berkelit"
"Wanita tidak akan diperiksa sampai dalam baju. Jadi, harus kamu yang sembunyikan," kata Budi lagi, seperti bisa membaca kesangsianku.
Aku tak punya pilihan. Ketiga VCD tersebut aku jejalkan di balik jaketku. Tank-tank tempur semakin mendekat. Tentara yang memegang senjata di atas humvee memandang ke arah mobil kami.
Aku dan Budi merunduk. Konvoi tentara pun melewati kami tanpa berhenti.
Ibrahim tampak menarik napas lega. Sejak itu kami tak lagi banyak tertawa. Masing-masing tenggelam memandangi gurun yang senyap. Jarang sekali terlihat mobil lain di luar kendaraan militer.
Sekali ada mobil yang lewat, Ibrahim selalu melambatkan laju kendaraan dan menyapa sopirnya dengan senyum.
"Siapa tahu mereka utusan Mujahidin." Ah, Ibrahim terlalu percaya kepada Rois. Aku sendiri tak begitu yakin Rois menugasi anggotanya mengawal kami hingga perbatasan.
* * * DI HADAPAN kami, matahari semakin turun dilangit barat. Perbatasan Irak-Yordania tak jauh lagi. Entah mengapa konvoi pasukan koalisi lebih banyak dari biasanya. Mungkin karena Irak tengah memperingati perayaan Asyura sehingga perbatasan dijaga ketat. Beberapa kilometer sebelum perbatasan, aku dan Budi mengaktifkan ponsel milik kantor. Ponsel nomor pribadi kami sengaja kami matikan. Kami perlu berkoordinasi dengan tim penjemput. Betul saja. Baru satu detik aktif, ponselku langsung berdering. Pasti KBRI.
"Halo Meutya, ini Bapak. Kamu sudah di mana" Bapak sudah menunggu dari tadi di border." Suara orang di ujung telepon terdengar sangat bersukacita. Suara yang sangat kukenal. Pak Surya Paloh di perbatasan"
"Pak Surya"" tanyaku hati-hati, untuk memastikan apakah suara yang kukenal betul suara milik Pemimpin Umum Media Grup, Surya Paloh. "Iya, ini Bapak. Bapak sama teman-teman semua menunggu kamu di border. Ada Sandrina dan Thia. Kami semua menunggu kamu." Tidak mungkin Pak Surya dan teman-teman sampai menjemput kami ke Yordania! Mataku basah. Aku masih tidak yakin pemimpin kami dan sejumlah rekan Metro TV datang menjemput.
Kujelaskan kepada Surya Paloh bahwa aku dan Budi hanya tinggal beberapa menit dari perbatasan. Aku janji cerita lebih banyak di Amman. Lalu, telepon ditutup.
Tak berapa lama telepon kedua masuk. "Meutya, sudah sampai perbatasan, ya" Selamat ya. Kami sambungkan on air ya di studio dengan Boy Noya." Rupanya telepon dari Kedoya, kantor Metro TV.
On air" Belum sempat aku protes, suara Boy Noya, seorang presenter Metro TV, terdengar di ujung telepon. Kutengok jam tanganku, pukul 22.45 Waktu Indonesia Barat. Biasanya, tidak ada program berita jam segini, pasti mereka menyelipkan breaking news.
Awalnya aku dan Budi sepakat tidak berbicara kepada pers, paling tidak sampai kami tiba di titik aman, Yordania. Tetapi, terlambat untuk menolak. Kudengar suara Boy bertanya mengenai kondisi terakhir dari penculikan. Aku enggan menjawab banyak. Hanya mengucapkan terima kasih kepada Presiden dan semua pihak yang telah membantu.
Andai saja aku bisa menjelaskan kepadanya bahwa kami belum sepenuhnya aman selama masih menginjak tanah Irak. Perasaanku sungguh tidak enak. Betul saja.
Gerbang perbatasan Irak-Yordania sudah didepan m
ata, tetapi beberapa penjaga berkebang-saan Arab menghadang laju mobil kami.
Aku tak peduli lagi dengan sambungan on air. Ponsel kuserahkan kepada Budi. "Kenapa kita tidak boleh lewat, Ibrahim""
"Menurut para penjaga, perbatasan Irak-Yordaniadi tutup karena perayaan Asyura. Tak ada yang boleh keluar ataupun masuk Irak,"
jelas Ibrahim. Wajahnya tampak pasrah setelah berusaha meyakinkanpara penjaga tanpa hasil.
"Apa mereka tidak tahu kita baru saja bebas dari penyanderaan"" Aku tak bisa menahan keke-salanku. Sebelum kami masuk kembali ke Irak, aku memang diberi tahu ada penutupan perbatasan hingga tanggal 24 Februari. Berarti kami masih harus menunggu tiga malam lagi" Tidak adakah pengecualian untuk kasus khusus seperti korban penculikan"
"Ya. Mereka sudah sangat tahu, bahkan ketika baru melihat mobil kita." Ibrahim mencoba meredam kekesalanku. "Mereka mengikuti kasus kalian melalui televisi. Mereka sangat senang kalian selamat. Tetapi, pintu baru akan dibuka kalau ada izin dari pusat.
Bagdad." "Coba jelaskan pada mereka bahwa perwakilan pemerintah Indonesia juga menunggu di perbatasan seberang!"
"Dengar, Meutya. Aku sangat yakin mereka tahu. Perbatasan Irak dan Yordania selalu saling memantau dan berkomunikasi. Tetapi, perintah dari pusat menyatakan demikian. Mereka menyarankan agar perwakilan pemerintahmu di perbatasan segera meminta izin ke Bagdad. Atau, kita yang kembali ke Bagdad.


168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku terperangah. Kami harus kembali ke Bagdad" Tidak mungkin. Risikonya terlalu tinggi. Budi masih sibuk menjawab pertanyaan dari Boy. Aku merebut ponsel dari tangannya. "Boy, kami ada masalah. Kami tidak diizinkan melewati perbatasan. Kami harus tutup di sini.
"Tanpa menunggu jawaban Boy, sambungan kututup. Aku merasa sedikit bersalah, tetapi tak ada pilihan lain. Wawancara live by phone kami dengan MetroTV kemungkinan dipantau media asing. Jika media tersebut menayangkan detail pernyataan kami dan dapat ditangkap oleh televisi Irak, berarti pergerakan dan pernyataan kami dapat dipantau oleh kelompok Mujahidin dan tentu lawan mereka, tentara koalisi. Kalau kami salah bicara sedikit saja atau terkesan memihak atau menyinggung salah satu kelompok, nyawa kami taruhannya.
Apalagi setelah wawancara tadi, kuprediksi semua pihak kini mengetahui lokasi kami. Tidak sulit bagi mereka untuk menangkap kembali atau memeriksa kami.
Mungkin kekhawatiranku terlalu berlebihan. Tetapi, pengalaman disandera mengingatkanku bahwa tidak ada satu jengkal tanah pun di Irak yang betul-betul aman, terutama untuk jurnalis. Kami harus segera keluar dari negeri ini.
Teleponku berdering lagi. Kali ini dari nomor Yordania.
"Halo Meutya. Perkenalkan, saya Triyono Wibowo. Saya bersama tim ditugaskan oleh Jakarta membawa kalian kembali. Kami di perbatasan Yordan sedang mengupayakan secara diam-diam melobi para penjaga Irak melalui bantuan pihak intelijen Yordan. Tolong jangan berbicara dulu pada pers mana pun. Itu mengganggu lobi kami." Suara di ujung telepon seperti mencoba tetap tenang. Namun, aku bisa menangkap si penelepon menahan amarahnya. Aku yakin dia tidak senang dengan wawancara via telepon kami. Aku mengiyakan permintaannya. Dia berjanji akan berusaha maksimal membuka jalan kami keluar dari Irak.
Lagi-lagi teleponku berdering. Orang di ujung telepon mengaku sebagai wartawan BBC. Dia mengaku sedang menunggu di perbatasan bersama puluhan jurnalis lain. Dia menanyakan alasan kami tak boleh melintasi perbatasan. Aku minta maaf kepadanya dan menjelaskan belum boleh memberikan keterangan apapun sampai kami berhasil keluar dari Irak.
Telepon terus berdering. Surya Paloh, yang terus memantau posisiku, mengaku terkejut kami tertahan. Kedoya juga mengontak.
Telepon dioper bergantian dari Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi, lalu Usi Karundeng, Manager Talent yang membawahi presenter. Semua panik setelah tahu kami tak bisa segera keluar dari Irak. Semua meminta kami melobi penjaga pintu perbatasan Irak untuk membuka pintu. Mereka tak tahu keputusan ini sulit diubah, seperti harga mati. Penjaga perbatasan, berbeda dengan ketika kami masuk, kali ini tak bisa
dilobi. Mungkinkah ada instruksi untuk menahan kami di perbatasan dengan maksud memancing reaksi kelompok penyandera"
Tim Deplu di perbatasan juga berulang-ulang menelepon, menanyakan situasi terakhir. Kukatakan, kami merasa tidak aman dan memohon tim masuk ke Irak mendampingi kami. Namun, sepertinya sulit berharap banyak kepada tim di perbatasan.
Bagaimana mereka menyelamatkan kami keluar Irak, masuk ke Irak pun mereka tidak bisa.
Ibrahim menawarkan dua solusi. Pertama, mencari tempat aman di dekat pintu perbatasan dan menunggu sampai para penjaga berubah pikiran. Entah sampai kapan. Atau kedua, mendatangi pos komandan pasukan koalisi yang bertugas di perbatasan.
"Merekalah sebenarnya yang berkuasa menentukan mobil masuk dan keluar Irak," kata Ibrahim.
Namun, alternatif kedua bukan tanpa risiko. Kami bisa saja diinterogasi untuk menjelaskan keberadaan kelompok Mujahidin yang menangkap kami.
Aku memilih alternatif pertama. Lebih baik menunggu, walau tak jelas berapa lama, daripada diinterogasi. Mobil kami parkir persis ke depan kantor imigrasi, tak jauh dari gerbang perbatasan. Beberapa kali pejabat imigrasi mengetuk jendela. Dia menawari kami tidur di dalam kantor. Aku menolak. Perasaanku tak tenang. Aku tak bisa percaya kepada siapa pun. Syukurlah Ibrahim dan Budi setuju. Kami putuskan tidur dimobil saja.
Angin bertiup melalui celah-celah tipis jendela. Dinginnya masih tetap membuat kulitku seperti membeku. Suhu malam musim dingin Irak selalu dibawah 10 derajat celsius. Dan, kami harus tidur tanpa selimut dengan perut kosong. Sulit sekali memejamkan mata, tetapi kupaksa juga. Badanku mulai menggigil, tetapi keringat membasahi tubuhku. Keringat dingin. Ternyata disandera di gua lebih nyaman.
PAGINYA, tak kuat menahan lapar, kami menyerah juga dengan tawaran sarapan bersama pejabat imigrasi. Dia sangat ramah menjamu kami. Beberapakali dia meminta maaf karena tak bisa mengizinkankami keluar perbatasan.
Aku menerima telepon dari Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Marty Natalegawa. Mulai pagi ini, koordinasi lebih banyak dilakukan langsung dengan Jakarta karena hingga pagi tim penanggulangan krisis yang dikirim ke perbatasan belum juga berhasil menjemput kami. Lobi ke Bagdad juga banyak dilakukan langsung tim pembebasan di Jakarta. Marty menjelaskan, pihaknya sudah mengirim faksimile surat permintaan izin ke Kementerian Dalam Negeri Irak, tetapi belum ada tanggapan.
Sulit kumengerti mengapa Bagdad tak juga mengizinkan kami keluar, padahal mereka tahu persis pernyataan Presiden yang mengharapkan kami segera pulang. Mungkinkah karena Indonesia tak lagi memiliki perwakilan di Irak sejak invasi" Entahlah. Yang jelas, hingga siang hari nasib kami masih terkatung-katung. Padahal, Kedutaan Irak di Jakarta juga sudah membantu melobi pemerintah pusat di Bagdad, termasuk berbicara langsung dengan pejabat imigrasi di perbatasan melalui ponselku. Dia memerintahkan membuka pintu perbatasan untuk kami. Namun, para pejabat imigrasi tak mengindahkannya.
Matahari semakin meninggi, kabar baik tak juga datang. Kami kembali ke mobil. Sudah 20 jam kami menunggu. Aku semakin panik dan tak mampu lagi mengontrol emosi.Aku merutuki petugas imigrasi yang menurutku tidak punya hati nurani.
"Kalau saja kami berkebangsaan Amerika atau Inggris dan baru dibebaskan dari penyan-deraan,pasti kami sudah diizinkan lewat.
"Kepada Triyono dan tim penanggulangan krisis diperbatasan, aku mengaku kecewa karena mereka tidak mampu mendampingi kami di perbatasan Irak. Aku juga kecewa kepada teman-teman Kedoya yang memintaku selalu melaporkan kondisi terkini yang kualami.
Hampir dalam setiap penugasanku selama lima tahun menjadi jurnalis, aku bersedia melaporkan berbagai hal, terkadang yang dapat membahayakan diriku sendiri. Tetapi, aku tak mau melakukan tugas reportase dan menjadi objek liputan dalam kondisi seperti ini.
Aku mendadak tersadar. Beginikah perasaan yang dialami para korban musibah tertentu, ketika aku wawancarai"
Marty Natalegawa, yang kembali mengontakku, tak luput dari repetan panjangku. Dia me-mintaku untuk tenang.
"Aku baru bisa tenang kalau ada perwakilan pemerintah yang masuk untuk mendampingi dan menjaga kami di perbatasan Irak,"
kataku. Terbayang di benakku ketika beberapa wartawan atau pekerja asing baru dilepaskan dari penyanderaan di Irak, perwakilan negara masing-masing menjemput dan mengevakuasi mereka dari pihak penculik. Casingkem dan Istiqomah pun diserahkan penyandera ke Kedutaan Besar Arab Saudi, lalu didampingi Tim Bulan Sabit Merah keluar dari Irak hingga ke Kedutaan Indonesia di Amman. Mengapa kami dibiarkan berjuang sendiri"
Tak lama setelah kontakku dengan Marty, kudengar Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memerintahkan kepada Duta Besar Indonesia di Yordania, Ridhan A. Wahab, untuk masuk ke Irak menjemput kami.
Kabar tersebut membuatku tenang. Aku menyesal telah emosional. Rupanya semua pihak bekerja keras mengupayakan kepulangan kami.
Kini, pilihanku tinggal berserah diri.
Aku, Budi, dan Ibrahim menunggu dalam diam. Tim Metro TV di Amman dan Jakarta, serta tim Deplu di dua tempat yang sama, tidak lagi menelepon. Kami semua menunggu ketidakpastian.
Di tengah kepasrahan itu, jawaban datang. Tanpa menunggu kedatangan Dubes RI, sore hari petugas penjaga menghampiri mobil, mengabarkan bahwa kami dapat izin keluar Irak. Tanpa alasan yang jelas.
SELASA, 22 Februari, pukul 19.35 WIB. Mobil mulai melaju ke gerbang pertama yang membatasi Irakdan Yordania. Di dalam mobil, aku dan Budi bersorak-sorak, tak mampu menahan luapan kegembiraan.
Ibrahim pun menyenandungkan sebuah lagu Arab. Mobil melaju pelan seakan-akan menghayati momen-momen meninggalkan Irak. Waktu seolah-olah turut merambat pelan.
Kuhubungi Marty Natalegawa untuk mengabarkan berita gembira ini.
Sepertinya Marty dapat menduga dari suaraku yang ceria menyapanya."Meutya, please tell me we made it."
"Yes Pak Marty. We did. I'll be with the team in less than five."
Aku geli sendiri mendengar Marty, yang kukenal cukup tenang, memekikkan teriakan gembiranya. Dia menutup telepon untuk segera mengabari tim diperbatasan Yordania. Aku lalu menghubungi teman MetroTV di perbatasan, Mauluddin Anwar, mengabarkan berita gembira ini.
Namun di tengah kegembiraan, kulihat wajah Ibrahim berubah muram.
"Meutya, kamu dijemput banyak orang. Apakah kamu dan Budi akan ikut teman-temanmu ke Amman dan meninggalkanku menyetir seorang diri"" Suaranya tak mampu menyembunyikan kesedihan. Dia menyadarkanku bahwa tidak lama lagi kami harus berpisah.
"Tidak, Ibrahim." Aku mencoba menghiburnya. "Dari perbatasan, kita akan tetap bersama-sama hingga Amman, sampai ke hotel tempat kamu menjemput kami." Tak mungkin kami membiarkan Ibrahim menyetir sendiri ke Amman.
Namun, semua itu hanya harapan. Kenyataan harus memisahkan kami. Aku dan Budi bahkan tak sempat mengucapkan kalimat perpisahan kepada Ibrahim. Setelah melewati gerbang perbatasan Yordan, sejumlah lelaki berbadan tegap telah menunggu kami. Aku juga lihat Musyurifun Lajawa dan beberapa orang yang kuduga adalah anggota tim penanggulangan krisis Deplu. Mereka meminta mobil kami berhenti. Aku dan Budi langsung ditarik keluar mobil oleh tim. Sementara, Ibrahim ditarik oleh pria berbadan tegap berseragam tentara Yordania. Kami dibawa ke ruangan terpisah.
Aku meronta meminta Ibrahim ikut bersama kami. Ibrahim hanya bisa memandang kami karena kedua tangannya dipegang erat dua pria dan dibawamasuk ke sebuah ruangan. Menurut Musyurifun, Ibrahim harus menjalani interogasi bersama intel Yordania, untuk dimintai keterangan tantang kelompok penculik. Juga, untuk memastikan bahwa Ibrahim tidak terlibat dalampencuhkan.
Aku terkejut. Ingin kuikut menjelaskan bahwa Ibrahim tak mungkin terlibat penculikan. Namun, aku tidak dapat berbuat banyak untuk meyakinkan pihak Yordania. Ibrahim adalah warga negara Yordania, dan mereka berhak menginterogasinya. Lagi pula, badanku mendadak lemas. Aku baru sadar sejak turun dari mobil jalanku dipapah. Mungkin karena sudah mencapai puncak ketahananku, akhirnya badanku menyerah juga pada kondisi sebenarnya.
"Keduanya sudah sampai, Pak. Keduanya baik-baik saja. Hanya saja, Meutya keliha
tan lemas dan pucat." Sambil dibawa menuju sebuah ruangan, kudengar samar-samar seorang anggota tim berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
"Mbak Meutya, Pak Syamsir ingin bicara." Pak Syamsir siapa"
Belum sempat kubertanya, ponsel disodorkan ke arahku.
"Meutya, syukurlah kalian telah selamat. Saya Syamsir Siregar.
Anggota kami di Yordania ikut membantu pembebasan. Kami semua senang Anda dan Budi selamat." Rupanya Kepala Badan Intelijen Negara, Syamsir Siregar. Aku mengucapkan banyak terima kasih kepadanya. Aku yakin tim dan BIN telah bekerja keras untuk mengupayakan kami kembali ke tanah air.
Di ruang tunggu, chai hangat sudah tersaji. Harum aromanya melegakanku. Aku menyeruputnya.
Tiba-tiba, ponsel kembali disodorkan ke arahku. "Mbak Meutya, Pak Menlu mau bicara."
"Alhamdulillah, selamat ya Meutya. Segera kembali ke tanah air." Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan bahwa aku dan Budi sudah ditunggu segera oleh Presiden SBY. Aku mengucapkan penghargaan dan terima kasihku atas kerja tim yang telah mengupayakan pembebasan kami.
Setelah barang-barang bawaan kami selesai diperiksa, aku dan Budi dibawa ke mobil besar yang diparkir di belakang gedung.
Aku tidak melihat satu pun wartawan di sana. Sepertinya mobil sengaja disiapkan untuk keluar dari pintu belakang, untuk menghindari wartawan. Aku merasa tak enak. Rekan-rekan seprofesiku, yang sengaja menginap di perbatasan menunggu kebebasanku, tak dapat merekam gambarku. Sebagai jurnalis, aku mengerti bagaimana kesalnya sudah menunggu lama tetapi tak memperoleh gambar.
Aku juga teringat Ibrahim. Aku telah berbohong padanya.
Tetapi, aku tak punya pilihan karena dijaga ketat tim penjemput.
Ibrahim harus menyetir sendiri selama empat jam lebih ke Amman.
Ibrahim, maafkan aku. Sebelum meninggalkan perbatasan, aku meminta tolong Musyurifun memberikan sejumlah uang kepada Ibrahim untuk menutupi kerugian mobilnya yang rusak karena penculikan, dan tambahan uang sakuyang belum sempat kubayarkan.
Mobil yang membawaku melaju cepat menuju Wisma Indonesia di Amman, yang berjarak sekitar empat jam dari perbatasan.
DI PINTU wisma, aku disambut keramaian. Suasana malam hari membuatku tak bisa melihat jelas siapa saja mereka. Hanya saja kudengar pekikan "Allahu akbar, Allahu akbar" mengiringi langkahku kepintu masuk wisma.
Di depan pintu masuk, kulihat sosok yang kukenal. Pak Surya Paloh! Dia menyambutku dengan tangan terbuka lebar. Kurasakan kelegaan seorangbapak dalam pelukannya.
Kemudian, kurasakan juga pelukan dari rekan kerjaku di Metro TV, Sandrina Malakiano dan Thia Yufada. Mereka tak melepaskan pelukan sambil mengiringi kumasuk menemui lebih banyak lagi teman-teman MetroTV, Muchlis Hasyim dari Media Grup, produserku Mauluddin Anwar, Kusdaryanto, Sudirman juru kamera. Kami sudah seperti keluarga. Luar biasa nikmatnya disambut orang-orang yang menyayangi.
Penyambutan tak selesai sampai di situ. Duta Besar dan tim Deplu juga menyambut kami suka cita. Tak habis-habisnya aku menerima ucapan selamat dan ungkapan sayang dari semuanya. Tidak sedikit juga lontaran pertanyaan tentang saat-saat penculikan. Ibu Dubes mempersilakan aku mandi.Tergiur membayangkan segarny air di tubuhku, aku langsung menerima tawarannya. Itulah pertama kalinya aku mandi, keramas, dan buang air besar setelah delapan hari disekap di dalam gua.
Pukul 8 malam waktu Amman, aku dipanggil turun. Kulihat ruang tamu wisma sudah dipenuhi wartawan. Belum satu jam aku menikmati keindahan itu, aku dan Budi langsung dihadang konferensi pers. Begitu banyak pertanyaan yang terlontar, dan aku tak lagi keberatan menjawabnya. Selain karena aku dan Budi telah merasa betul-betul aman di Wisma Idonesia, yang secara hukum dilindungi oleh pemerintah Yordania, kami juga merasa nyaman dikelilingi orang-orang yang menyayangi kami. Setelah dua jam, kututup sesi tanya-jawab dengan mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan jurnalis karena telah membantu menekan kelompok penculik melalui pemberitaan mereka.
Malam ini aku menginap di Wisma Indonesia, menunggu kepulangan ke tanah air esok hari. Nyaman rasanya tidur d
i kasur empuk. Tempat tidur ukuran king hanya untukku sendiri, dilengkapi bantal dan guling, juga selimut tebal.
Kusempatkan menelepon mamaku. Banyak cerita yang ingin kusampaikan, tetapi aku harus membatasi diri. Kumatikan lampu kamar. Ini bukan gua digurun, Mut, tidak ada penyandera di sini.
Tidurku nyenyak sekali. []
Bab 11 Aku Pulang JAKARTA sudah di depan mata. Dari jendela pesawat, aku melihat liukan sungai berwarna kecokelatan, berpadu dengan bias kemerahan atap-atap genting. Beberapa menit lagi, aku akan menjejak tanah air.
Berkali-kali aku pulang dari negeri seberang, tetapi perasaan rinduku kepada tanah air kali ini berbeda sekali.
Dua puluh empat hari setelah meninggalkan tanah air, sejak 31 Januari 2005, aku akhirnya bisa pulang. Aku rindu sekali.
Mendadak, saat melaju di ketinggian angkasa, aku merasakan bahwa drama yang kualami, mulai dari mobil kami dibawa lari, dan selama hari-hari di dalam gua, semuanya sudah ada yang mengatur.
Dan, hanya atas kuasa-Nyalah kami dapat bertahan hidup, sehari lagi, sehari lagi, sampai akhirnya dibebaskan.
Di tengah hari-hari penyanderaan, aku yakin pasti Allah sengaja mengajak dan mengajarkan padaku melalui perjalanan spiritual (aku melihat penyanderaan ini juga sebagai perjalanan spiritual dari Tuhan, mungkin karena selama ini aku banyak melupakan-Nya, banyak meninggalkan perintah-Nya, karena terlalu sibuk mengejar dunia).
Tiba-tiba, semua yang kukejar atau yang dikejar oleh banyak orang selama di dunia ternyata tidak bisa menolongku keluar dari masalah, keluar dengan selamat dari gua. Hanya Dialah dan atas kehendak-Nyalah aku dapat selamat. Materi, harta, uang, tidak dapat menolong keluar dari masalah karena toh yang diinginkan para penculik bukan materi.
Selama di gua, tidur tanpa alas yang memadai dengan ruang sangat terbatas (dibandingkan tempat tidurku di rumah yang besar dan empuk), baju-baju di lemariku yang bertumpuk tidaklah berarti.
Selama tujuh hari, aku tidak ganti baju. Semua serba terbatas, bahkan air sebagai kebutuhan utama juga terbatas karena satu ember harus kami bagi berlima.
Di pesawat, aku duduk bersama Sandrina dan Thia Yufada, dua rekanku sesama presenter yang turut menjemput ke Yordania. Thia menggenggam tanganku, memberikan kekuatan. Sandrina sesekali mengusap kepalaku. Mungkin mereka memerhatikan mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku masih tidak percaya akhirnya dapat betul-betul kembali ke tanah air. Thia dan Sandrina banyak bercerita bahwa kepulanganku tak lepas dari dukungan masyarakat luas. Masyarakat turut menangis dan berdoa untuk keselamatan aku dan Budi. Anak-anak yatim ikut menangis dan mendoakan keselamatanku. Kenapa mereka begituperhatian" Mereka kan tidak kenal aku" Lagi-lagi pipiku basah oleh airmata. Thia dan Sandrina memelukku erat.
Pesawat Qatar Airways yang membawa kami dari Yordania akhirnya menjejakkan roda-rodanya di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Aku masih setengah tak percaya, perjuangan panjang kembali ketanah kelahiran akhirnya berujung juga. Penumpang lain turun lebih dahulu dibandingkan rombongan kami. Seperti biasa, dipintu keluar pesawat sejumlah kru bandara bersiaga. Ternyata ada yang khusus menunggu kami. Aku, Budi, diiringi Tim Metro TV, dan Tim Deplu.
Setelah mendapat kalungan untaian bunga anggrek yang indah, aku dan Budi langsung dibawa menuju sebuah ruang tunggu yang berbeda dengan penumpang lainnya.
Belum sampai masuk, di pintu kulihat beberapa sosok yang kukenal menungguku. Ada Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi Metro TV. Banyak juga petinggi kantor lainnya. Don memelukku erat, hingga aku sulit bernapas. Dia juga menciumi telapak tanganku. Betul kata Sandrina, Bang Don sempat bersumpah, kalau aku kembali dengan selamat, dia akan mencium tanganku ibarat seorang putri.
Meski kikuk, aku membiarkannya. Sebab, dia tengah menunaikan janji. Marty Natalegawa, Juru Bicara Departemen Luar Negeri, menyambutku dengan senyum lebar. "Keluarga menunggu di istana,"
kata Marty, yang mengerti mataku mencari-cari.
Seorang petugas menyodorkan tas berbahan karton."Itu titipan u
ntuk Mbak Meutya," katanya manis. Didalaminya ada baju jas dan celana panjang hitam. Aku mengenalinya, itu bajuku. Ada pula surat.
Di amplop tertulis "untuk adekku Meutya". Cepat-cepat kusobek amplopnya. Sambil membaca, aku digiring petugas wanita itu ke ruang ganti.
Hi adekku, Welcome back, ini titipan baju kalau mau ganti.
Trus di bawah ini contoh tanda terimakasih, siapa tahu perlu, habis kan jadi resmi karena ke istana.
Adek bayi akan pake baju baru loh, tetapi nunggu di rumah.
Ah, kakak-kakakku begitu perhatian dan pengertian. Mereka mengerti aku butuh baju yang pantas untuk dikenakan ke istana karena baju-bajuku dari Irak belum dicuci. Aku tersenyum mengingat "si adek bayi", keponakanku Aisha yang baru berusia satu tahun. Aku sudah sangat rindu akan polahnya yang selalu menggemaskan. Ah, tidak sabar rasanya ingin pulang.
Setelah berganti baju, kami pun berangkat. Budi memakai jas abu-abu yang disiapkan kantor, dan tetap mengenakan peci pemberian penyandera. Kamimenumpang mobil yang sama dengan Marty Natalegawa dan Surya Paloh. Di luar, aku melihat kamera rekan-rekan wartawan yang menunggu ingin mengambil gambar kami.
Beberapa di antaranya berlari mengejar laju mobil. Biasanya akulah yang di sana, menunggu dan memburu nara sumber. Maafkan aku teman-teman, kami harus mengikuti jadwal protokoler istana.
Sirene fore rider yang membelah macet sore Jakarta membuat perjalanan dan bandara hanya kurang dari satu jam. Turun di pintu belakang Istana Negara, aku terpana melihat sambutan meriah. Dari jauh kulihat gazebo di bagian belakang istana sudah ramai sekali.
Puluhan kamera mengarah kepada kami. Canggung juga rasanya menjadi objek berita. Gugup sejenak memikirkan apa yang akan kusampaikan nanti.
"Papa...!" Seorang anak kecil berlari girang menyongsong. Laras, anak sulung Budi yang berusia tujuh tahun, berteriak dengan air mata berderai di pipi. Dia melompat ke arah Budi. Sang ayah memeluknya erat-erat. Dibelakangnya ada Lestari, istri Budi. Juga orang tua Budi.
Niti Heru dan Disih, yang sengaja datang dari Desa Ganjuran, Mertoyudhan, Magelang,un-tuk menyambut kembalinya si anak hilang.
Lalu, sosok yang sangat kukenal dan kurindukan berlari ke arahku. Mama. Juga, ada kakakku Finny dan Fitri. Kami berpelukan lama, seolah-olah tak ingin lepas. Pelukan yang menguatkan hatiku, sebelum melangkah ke pendopo. Menghadap Presiden.
Di gazebo, pertemuan dengan Presiden berjalan hangat dan santai. Presiden membuka pertemuan dengan memberikan kata sambutan.
"Alhamdulillah, kita bersama-sama ber-syukur ke hadirat Allah Swt. Karena ridha Allah, akhirnya yang sangat kita cintai Saudara Budiyanto dan Saudara Meutya Hafid telah kembali dengan selamat dan berjumpa dengan orang-orang yang sangat disayangi. Telah kembali berada di tengah-tengah kita, di tengah keluarga besar bangsa Indonesia yang terus berdoa siang dan malam agar mereka segera dibebaskan dan kembali dengan selamat ke Indonesia. Atas nama pemerintah, atas nama rakyat Indonesia, tentu disamping bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak, yang telah dengan ikhlas, dengan gigih, berbuat sesuatu untuk, menyelamatkan dan membebaskan kedua wartawan kita yang sangat saya cintai ini.
Pertama-pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Menteri Luar Negeri, termasuk. Dubes RI di Amman, penghubung kita di Bagdad, Saudara Triyono dan Tim Krisis, dan seluruh jajaran termasuk, dan BIN yang atas-nama pemerintah telah bekerja keras, dengan diplomasi dan melaksanakan semua upaya pembebasan.
"Kutebar pandang menyisir ruangan. Selain Presiden, ada Menteri Luar Negeri Hassan Wira-juda, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Jubir Presiden Andi Mallarangeng dan Dinno Pati Dja-lal.
Presiden juga menyampaikan terima kasih kepada Metro TV.
"Yang kedua, saya berterima kasih kepada pihak. Metro TV, sahabat-sahabat dari Metro TV yang peduli dan berusaha. Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan dan terima kasih.
Juga kepada tokoh-tokoh lain, ulama kita, saudara-saudara kita, baikdi Indonesia maupun
di Timur Tengah yang berdoa, menyampaikan seruan, menyampaikan statement dengan berbagai cara agar Meutya dan Budiyanto bisa selamat dan bebas dan kembali kepada keluarga dan saudara-saudaranya di Indonesia.
"Surya Paloh dan petinggi Media Group yang hadir menyambutnya dengan tepukan tangan kecil. Presiden melanjutkan,
"Saya mengajak, kita semua untuk, memetik, hikmah dan pelajaran, dan bagaimana kita memandang ke depan. Tugas wartawan sering berhadapan dengan risiko dan bahaya, apalagi di daerah konflik, baik di tanah air maupun di luar negeri.
Tetapi, jangan sampai adanya episode ini melunturkan keberanian, semangat, dan kegigihan dari rekan-rekan wartawan untuk, melakukan tugas jurnalistiknya. Wartawan juga menjadi bagian penting dan upaya menegakkan kebenaran, misi kemanusiaan, bahkan dalam pengembangan demokrasi di negara kita. Teruslah berjuang, teruslah berprofesi, untuk, kepentingan kita semua.
"Kali ini tepukan semakin meriah. Kawan-kawan yang meliput ikut bertepuk tangan. Mereka yang kukenal dalam peliputan ada yang melambaikan tangan dan melempar senyum ke arahku.
Presiden pun menutup sambutannya.
"Saya kira itulah yang dapat saya sampaikan, syukur kita, terima kasih saya, dan mudah-mudahan ini pelajaran yang bisa kita petik bersama. Saya kira akan menjadi bagian penting dalam biografi, dalam sejarah kalian berdua suatu saat untuk, menulis riwayat hidup. Dan tentunya kami lebih bersyukur karena orangtua, keluarga, anak tentunya lebih bersyukur, lebih berbahagia, terutama bagi Meutya dan bagi Budiyanto.
"Setelah memberikan kata penyambutan, Presiden menanyakan ihwal penculikan dan bagaimana perlakuan selama kami disandera.
"Kami tak pernah menangis secara terbuka, hingga menerima kabar bahwa kami bebas karena Bapak merespons dengan cepat,"
jawabku dengan takzim, sambil berterima kasih atas perhatian Presiden, yang menjadi kunci utama pembebasan kami. Aku juga menyampaikan pesan Rois, berupa permohonan maaf kepada Presiden dan masyarakat Indonesia karena telah menculik dan membuat susah bangsa Indonesia." Rois memuji Bapak, katanya betapa sayangnya Presiden kepada kalian."
Budi menambahi cerita tentang strategi melunakkan hati penyandera. "Di tengah tekanan, kami berusaha sabar dan menempatkan diri sebagai tamu yang baik. Kadang-kadang, kami menservice mereka. Membuat teh, juga mencuci gelas. Walaupun tangan harus kedinginan".
Presiden mendengar kisah kami dengan sungguh-sungguh.
Presiden juga bercerita pernah melintas dari Amman ke Bagdad, tahun 1999. "Jadi, saya bisa membayangkan kondisinya," tutur Presiden.
Pertemuan 20 menit pun ditutup dengan berfoto bersama Presiden.
Penyambutan yang tak kalah meriah diberikan teman-teman di kantor Metro TV. Begitu mobil memasuki gerbang kantor di Kedoya, Jakarta Barat, karangan bunga berjejer hingga lobi utama. Dari balik kaca mobil, aku baca beberapa pengirim. Ada departemen, wakil rakyat, hingga LSM, yang sebagian besar ku kenal dari peliputan. Air mataku kembali menetes. Begitu banyak perhatian ditujukan kepadaku.
Mendekati lobi, rekan-rekan kerjaku berjejer menyambut sambil membawa spanduk bertulis-kan "Selamat datang teman, sahabat tercinta, Meutya dan Budiyanto". Di situ juga ada fotoku dan Budi saat disandera. Jeritan teman-teman memanggil-manggil nama kami. Aku mengenali salah satu suara: Najwa Shihab. Karib ku di kantor yang rajin menyemangati setiap aku berhadapan dengan penugasan berat.
Dia berlari ke arahku. Aku melepaskan diri dari kawalan sekuriti kantor. Kami berpelukan erat sekali. Kawan-kawan lain ikut memelukku. Profesi membuat kami banyak menghabiskan waktu di kantor. Membuat kami dekat seperti keluarga.
Ingin rasanya aku menghabiskan waktu lebih banyak dengan mereka semua. Tetapi, sekuriti langsung menggiring aku dan Budi ke lantai tiga, menuju grand studio. Rupanya, di sana lebih banyak lagi kawan-kawan lainnya. Mereka bertepuk tangan dan memanggil-manggil, saat kami memasuki studio. Di panggung ada Virgie Baker dan Tommy Cokro, dua rekanku sesama presenter. Ternyata kantor menyiapkan siaran langsung untuk penyambutan kami. A
ku dan Budi naik ke panggung. Ikut pula Laras, yang memeluk erat boneka unta oleh-oleh ayahnya dari Yordania.
Hening. Di keremangan, televisi berlayar lebar menayangkan gambar-gambar apa yang terjadi dikantor selama kami diculik.
Awalnya kami hanya tersenyum melihat tingkah kawan-kawan di layar TV. Bahagia rasanya bisa bertemu kembali kawan-kawan, handai taulan, dan kerabat, setelah sempat berpikir bahwa dunia akan berakhir.
Lambat laun, gambar pun menyingkapkan keharuan. Tiga hari setelah kami hilang kontak, kantor menyiarkan Breaking News. Prita Laura dan Virgie Baker bergantian membawakannya. Vir-gie melakukan siaran sambil menitikkan air mata dengan suara terbata. Gambar beralih ke suasana newsroom. Kawan-kawan yang bertangisan setiap ada kabar terbaru dari Irak. Ketika akhirnya kabar penculikan dipastikan oleh pernyataan lewat video, tangisan pun pecah di kantor.
Ada kepanikan di wajah mereka. Sabtu, 19 Februari dini hari, Metro TV menyiarkan penculikan itu lewat Breaking News. Mas Helmi Yohannes yang membawakannya. Dia tampil tegang, tetapi mencoba tenang.
Siaran dini hari itu juga ditonton Mama di rumah. Mama berpelukan erat dengan kedua kakakku, sambil memirsa siaran yang mengumumkan secara resmi aku terculik.
Potongan gambar yang kami kirim sebelum penculikan, dipadu pula dengan aku tampil on screen dibeberapa lokasi, disiarkan dalam Breaking News itu.
Pada bagian lain, ditampilkan pula pernyataan Presiden, yang dibacakan tengah malam dan disiarkan Al-Jazeerah:
"Saya, Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, menyampaikan bahwa kedua wartawan itu benar-benar menjalankan tugas sebagai jurnalis seputar pelaksanaan pemilu di Irak. Mereka sama sekali tidak, terlibat dalam masalah politik maupun konflik yang sedang terjadi di Irak.
"Selain Presiden, ada juga pernyataan mantan presiden K.H. Abdurrahman Wahid, mantan Ketua MPR Amien Rais, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua PMI Mar'ie Muharnad, Ketua PP Muhammadiyah Prof.Din Syamsuddin, Ketua PB NU K.H. Hasyim Muzadi, mantan menteri agama Dr. Quraisy Shihab, dai K.H.Abdullah Gymnastiar, dan Ustad Abu Bakar Ba'asyir. Peran mereka selaku tokoh politik dan agama dijaminkan demi kebebasan kami. Semua satu suara bahwa kami adalah jurnalis yang bertugas murni untuk peliputan. Rupanya, setelah pernyataan Presiden disiarkan, tetapi belum ada langkah pembebasan, kantor mengupayakan pernyataan para tokoh itu, melalui stasiun Al-Jazeerah.
Begitu besar perhatian itu. Membuat air mataku seolah-olah tak berhenti menggenang.
Di layar aku juga melihat tim khusus Metro TV yang dipimpin Surya Paloh, berangkat ke Amman, Yordania. Kesibukan juga terjadi di Departemen Luar Negeri. Juru Bicara Marty Natalegawa banyak memberikan keterangan pers mengenai detail kejadian yang kami alami selama 168 jam di gurun. Ada pula suasana rekan kerjaku di newsroom, yang setiap sore melantunkan doa bersama untuk kebebasan kami, rekan mereka.
Persis pada hari pembebasan kami, suasana kantor lebih heboh lagi. Hampir semua petinggi Metro TV dan Media Indonesia ada di ruang mastercontrol, tempat seluruh tayangan dikoor-dinasi. Mereka berpelukan dan bertangis-tangisan mensyukuri kebebasan kami.
Bahkan, ada doa syukur yang dipimpin mantan Ketua MPR Amien Rais, di Mesjid Al-Ikhsan, di kompleks kantor.
Aku bersyukur, ada hikmah persaudaraan yang begitu kental di antara rekan kerja. Aku ingat ketika pertama kali memutuskan merambah dunia jurnalistik, Desember 2000. Aku memulai karier ini dan titik nol. Tertantang dengan konsep televisi berita 24 jam, aku bergabung bersama Metro TV. Tanpa pengalaman, dan tanpa latar belakang pengetahuan kewartawanan. Aku harus tandem dengan wartawan senior, untuk memulai peliputan. Belajar teknik mencari berita, mendapatkan sudut berita yang baik, juga menemukan nara sumber dan mewawancarainya. Melihat liputanku di Irak diputar, aku merasa sudah jauh berjalan. Keluarga sempat menyuruh aku mundur karena ini jauh dari pelajaran Teknik Industri yang ku dalami di Australia. Ayah ingin aku bekerja di bidang yang sesuai dengan s
ekolahku. Lewat pertentangan hebat, aku meluluhkan hati keluarga.
Apalagi di awal liputan, aku bergelut dengan dunia teknologi. Aku meliput dan membawakan program gaya hidup era digital, e-Lifestyle.
Belakangan, area liputanku banyak berkaitan dengan wilayah konflik dan bencana. Darurat Militer tahun 2003 menjadi langkah pertamaku menjejak bumi Aceh. Aku seolah-olah akrab dengan Aceh, apalagi ketika bencana tsunami melanda Desember 2004. Tsunami menjadi liputan paling berkesan dalam karierku. Selain bisa melihat sendiri dampak bencana, aku juga menemukan pengalaman yang tidak biasa, seperti lebih sering naik helikopter ketimbang naik mobil.
Profesi jurnalis membuatku banyak bertemu hal-hal baru.
Termasuk bersua dengan wajah duka, kepanikan, dan bermacam ketidak bahagiaan lainnya. Empati yang muncul melahirkan kesedihan pada diriku. Apalagi aku harus menekan rasa itu, ketika muncul di layar, yang mengharuskan penampilan tetap prima. Tak jarang,aku menangis beberapa waktu setelah tugasku selesai. Seusai meliput bencana tsunami, misalnya, aku masih suka menangis mengingat penderitaan para korban. Tak terbayang suatu masa, empati atas kesedihan itu terjadi atas diriku. Perasaan bersalah, bahwa pilihan profesi telah melukai hati keluarga, kembali mencuat. Aku telah membuat Mama dan rekan kerjaku menangis dan panik. Mestinya, aku yang menanggung semua akibat dari pilihan hidupku.
LAMPU studio menyala benderang. Pemred Metro TV, Don Bosco Selamun, maju ke panggung. Dia membawakan seikat kembang untuk Budiyanto. Dibelakangnya, Najwa Shihab memberikan kembang yang serupa untukku. Kami berpelukan berteman derai air mata. Kantor juga menyiapkan tumpengan, yang potongannya kuberikan kepada Surya Paloh dan Mama. Perjuangan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga dan institusiku, yang sungguh diluar dugaan, membuat air mataku kembali meleleh.
Setelah beberapa kata sambutan, acara penyambutan pun diakhiri. "Keluarga juga ingin menyambut mereka," begitu kata pembawa acara. Salaman, pelukan, dan suara-suara memanggil kembali terdengar. Aku ingin menyalami semuanya, ingin menyampaikan terima kasihku yang tiada terhingga.
Ketika kami pulang, jalanan sudah mulai gelap. Aku dan Budi berpisah mobil. Aku semobil dengan Mama dan kakak. Tidak ada lagi ingar-bingar. Suasana di mobil hangat, tenang. Sesekali Mama menyela ketenangan dengan bercerita tentang kakek dan nenekku yang sengaja datang dari Tasikmalaya untuk menyambutku dirumah.
Teh Finny menimpali bahwa saudara-saudara dari Bandung juga ikut menunggu di rumah.
Aku memeluk erat Mama. Menangis dipangkuannya. Aku akhirnya pulang. Bahagia, rindu, dan rasa bersalah, berbaur menjadi satu. Sebelum terlelap, aku sempat mendengar perkataan Mama: "Di rumah sudah tersedia semur daging dan kerupuk kesukaanmu."
Kantuk kian menyergap. Kelelahan fisik dan jiwa membuatku lelap di pangkuan Mama.
Dalam tidurku, suara Ibrahim terngiang: "Kalau kita masih bertemu hari esok dan sampai pada keluarga masing-masing, kita harus betul-betul bersyukur kepada Allah." []
Bab 12 Kapan Harus Berhenti"
(Sebuah Refleksi) "Tidak ada berita yang nilainya lebih dari nyawa"
KARENA karier jurnalistikku masih seumur jagung, aku senantiasa mengingatkan diri untuk tidak menantang pergi ke medan peliputan yang berat dan berisiko. Aku tak mau dengan sengaja mencari-cari, atau meminta penugasan yang berbahaya dari atasanku. Tetapi, apa bisa dan apa enaknya, seorang wartawan selamanya hanya "mengerjakan peliputan yang aman", menghindari penugasan berisiko" Ketika pada akhirnya penugasan berisiko itu datang juga padaku, selalu kuingatkan diri bahwa nyawa dan keselamatan adalah prioritas utama.
Namun, di medan peliputan, tak semudah itu menentukan garis tegas dari prioritas, antara menyelamatkan nyawa dan mengejar berita. Tantangan untuk memperoleh informasi dan visual dari dekat dengan alasan "it's not good enough, it's not close enough", tekanan untuk mendapat gambar eksklusif, hiruk pikuk di lapangan, semakin membuat adrenalin meluap-luap, menjadikan pandangan seorang wartaw
an kabur. Dedikasi terhadap profesi, cinta pada kegiatan reportase, tanpa disadari menjadi pembenar untuk maju selangkah lebih dekat lagi pada risiko yang bisa saja berakibat kematian. Garis batas itu semakin sulit terbaca karena, sebagai jurnalis, penilaianku kerap dikaburkan nikmatnya berada ditengah kancah sebuah berita "panas". Sebuah medan peliputan konflik atau bencana memang ibarat magnet yang menyedot seluruh perhatian, menghipnotis, memacu semangat. Hingga lupa bertanya pada diri, "kapan saya harus berhenti""
Aku harus bersyukur karena Tuhan telah mengingatkanku dengan cara halus. Penyanderaan yang kualami membuatku melihat garis batas yang sebelumnya kabur itu menjadi jelas dan terang. Juga membuatku sadar, sebagai pencari berita, aku juga bisa mati di medan tugas, dan menjadi berita. Mungkin terdengar sangat naif, tetapi risiko ini kerap terlupa ketika diri dirasuki kenikmatan meliput sebuah peristiwa. Bagiku, penyanderaan ini adalah teguran halus-Nya untuk mengingatkanku, di sinilah aku harus berhenti.
Aku teringat guide kami, Muhammad Nasser, yang berteriak-teriak memintaku melepaskan serpihan bom sesaat setelah terjadi ledakan besar di pusat Kota Bagdad, Tahrir Square. Aku tidak mengindahkannya. Barang bukti itu kupegang dan kutunjukkan ke kamera sembari kukatakan: "Inilah satu rangkaian bom yang digunakan untuk meledakkan pusat Kota Bagdad, hanya beberapa kilometer dari pusat komando pasukan koalisi." Ada kepuasan (juga kebanggaan) berhasil menunjukkan kepada pemirsa benda kecil yang telah mengakibatkan kerusakan masif itu. Saking "asyiknya", tak terpikir olehku, serpihan bom tersebut masih bisa meledak di tanganku.
Nasser juga membujukku dan Budi yang sibuk mengambil gambar korban ledakan, untuk segera meninggalkan lokasi. Ceceran darah dan serpihan tubuh manusia membuat Budi terpaku pada lensa kameranya, dan aku fokus mengumpulkan data. Dari sisi visual dan data, peristiwa ledakan bom ini memang sangat kuat nilai beritanya.
News judgementku spontan mengatakan peristiwa ini akan menjadi headline berita petang kami. Dan terbukti benar, redaksi Metro TV di Kedoya menjadikan peristiwa ini berita pertama dalam program Metro Hari Ini. Begitu bersemangatnya aku dan Budi, hingga lupa untuk beberapa saat bahwa menjadi wartawan tidak berarti kami tidak bisa menambah statistik jumlah korban. Tak terpikir sama sekali, ketika itu, badanku juga bisa terburai persis seperti serpihan daging korban yang berceceran di lokasi ledakan.
Karena terbukti selamat dan peliputan kami dianggap berhasil oleh redaksi di Kedoya, aku dan Budi semakin menjadi-jadi.
Penugasan kedua masuk ke Irak untuk meliput perayaan Asyura di Kota Karbala kami sambut dengan semangat. Padahal ku akui, di lubuk hati, penugasan ini amat berbahaya dengan tingkat kesulitan yang amat tinggi. Pertama,kami tidak punya akses keKarbala. Nasser yang beraliran Sunni tidak mungkin mengantar kami ke Karbala yang dihuni mayoritas kelompok Sy-iah. Sementara itu, menggantungkan kepercayaan dan keselamatan kami kepada orang baru akan terlalu riskan didaerah konflik seperti Irak. Kedua, Kota Karbala ketika itu tidak terjangkau sinyal telepon seluler, padahal terlalu riskan masuk ke daerah tersebut tanpa alat komunikasi. Ketiga, perayaan Asyura dari tahun ke tahun kerap diwarnai insiden. Setahun sebelumnya terjadi kerusuhan yang menewaskan 200-an orang.
Kerusuhan, bagiku, adalah keadaan konflik yang paling berat karena polanya sulit dipahami dan dibaca. Pawai damai yang diikuti ribuan orang bisa berubah kacau dalam sekejap. Pada peristiwa Mei 1998 di Jakarta, misalnya, kelompok yang terlibat menciptakan huru-hara tidak jelas. Siapa yang menunggangi dan siapa yang ditunggangi susah diterka. Pada perayaan Asyura 2004, pihak yang diduga bermain juga beragam, mulai dari intelijen Israel Mossad, kelompok Sunni Arab, dan kepentingan adu domba Sunni-Syiah oleh Amerika Serikat dan Inggris. Jika benar huru-hara didasari konflik Sunni-Syiah, tentu persoalannya lebih kompleks lagi karena melibatkan emosi dan sejarah panjang pergolakan sektarian sejak awal peradab
an Islam. Di tengah tantangan yang begitu berat dan tingkat keberhasilan peliputan yang kurasa tipis, aku dan Budi tetap memutuskan menjalankan penugasan itu. Entah apa yang menggerakkan kami untuk terus melangkah. Mungkin karena merasa ini suatu bentuk amanah yang harus diemban, atau karena naluri jurnalistik kami semata. Ditambah dengan alasan "nilai berita yang kuat" dan kepercayaan pada takdir, kami maju terus.
Kini, dalam pikiran jernihku, aku merasa "beruntung" dan bersyukur kami "dipaksa" berhenti oleh penyandera, sebelum terlambat. Apalagi belakangan kudengar, perayaan Asyura tahun 2005, yang sedianya hendak kuliput, memakan korban yang tidak sedikit. Sayangnya, tidak semua wartawan "seberuntung" aku dan Budi. Terlalu banyak rekan jurnalis yang berhenti ketika sudah terlambat. Setelah maut menyergap.
Pengalaman di Irak membuatku kerap diundang lembaga-lembaga internasional, mendiskusikan masalah keselamatan jurnalis.
Di situ pula aku berkenalan dengan Sarah de Jong dari International News Safety Institute (INSI), yang mendata semua wartawan yang mati atau mengalami kekerasan dalam peliputan di berbagai belahan dunia. Sebagian besar adalah wartawan senior, wartawan pilihan yang sudah memiliki jam terbang cukup tinggi. Sebagian sudah dilengkapi standar pengamanan terbaik, termasuk menggunakan jasa bodyguard dan security consultant. Semua kemewahan tersebut menjadi tak berarti karena mungkin lupa bertanya pada diri sendiri, kapan harus berhenti. Industri pers kehilangan banyak orang terbaiknya di garis depan, kadang karena kesalahan sepele. Kenyataan pahit yang mengerikan.
Melihat statistik itu, aku jadi merasa bodoh karena tidak merasa takut ketika berangkat ke Irak. Bukan berarti aku menyesal telah menerima penugasan ini, tidak. Naluri jurnalistikku pasti tetap menerima penugasan ini dengan bersemangat. Hanya saja, sedikit
"rasa takut" mungkin dapat membantuku membaca garis batas yang jelas ketika asyik meliput di medan berbahaya. Mungkin aku tidak akan mengangkat serpihan bom secara refleks ketika mengetahui bahwa benda tersebut sebenarnya masih bisa meledak. Mungkin sedikit "rasa takut" adalah sisi manusiawi yang penting kumiliki ketika memasuki daerah konflik untuk membuatku mampu menjawab "kapan saya harus berhenti". Ketidak khawatiranku diawal penugasan kuanggap sebagai sikap positive thinking yang baik, tetapi membuatku kurang cermat mencerna kemungkinan buruk.
Sebagai seorang anchor, aku sudah sering membawakan berita penyanderaan wartawan di Irak. Tetapi, aku tidak membayangkan aku dan Budi berada dalam kondisi tersebut. Aku berangkat dengan semangat tinggi dan kesiapan yang, menurutku saat itu, bulat. Tetapi, betulkah aku sudah siap"
Hari-hari panjang penyanderaan di gua memberiku banyak waktu untuk merenung, menyadari, dan akhirnya mengakui bahwa sepanjang perjalanan jurnalistikku, aku mungkin belum pernah betul-betul siap dalam peliputan. Pemimpin dan seniorku di Metro TV kerap memuji. Aku selalu siap dan tidak pernah menolak tugas, aku siap dengan fisikku yang tahan banting, aku siap dengan berbekal ilmu dan daya nalar yang cukup baik, aku siap dengan kemampuan lobi menembus narasumber, aku siap dengan kelincahan dan kelihaianku mengemas sebuah berita menjadi menarik, aku tidak pernah gentar masuk daerah konflik. Aku siap dengan logistik dan teknologi pendukung, tetapi siapkah aku" Ternyata belum.
Ketika meninggalkan Jakarta menuju Irak, secara fisik dan mental aku memang siap meliput. Tetapi, aku belum siap dengan berbagai konsekuensinya, termasuk menghadapi kemungkinan terburuk: kematian. Aku baru bisa mengatakan betul-betul siap meliput di daerah konflik hanya ketika aku siap dengan kemungkinan terburuk itu. Ini bukan berarti aku bersedia mati untuk sebuah berita, melainkan semata memahami dan siap menghadapi risiko itu, jika ditakdirkan. Berada dalam tangan kelompok penyandera membuatku mengerti arti siap yang sebenarnya. Sayangnya, aku baru menyadarinya ketika memang tak punya pilihan lain, selain mempersiapkan diri untuk risiko terburuk: kematian.
"Kalau di peluru itu
tidak tertera nama kita, ya kita tidak akan kena, Mut." Ucapan Budi ini menjadi modal keberanianku selama bertugas di Irak. Bersandarkan kepasrahan dan kepercayaan pada takdir, aku melaju tanpa takut. Yang aku lupa, pasrah adalah penyerahan diri, setelah usaha maksimal dilakukan.
Seorang tentara Irak pernah bertanya padaku dan Budi ketika kami meliput. "Kenapa tidak memakai rompi anti peluru"" Kujawab,
"Tidak punya." Dia bertanya lagi, "Kenapa tidak memakai helm anti peluru"" Jawabanku sama, "Tidak punya." Penasaran dia bertanya lagi,
"Lalu apa pelindung kalian"" Aku dan Budi menjawab mantap:
"Bismillah!" Budi mengeluarkan Al-Quran kecilnya dari saku dan menempelkannya di kening. Tentara dengan pengamanan lengkap, helm dan rompi anti peluru serta senjata laras panjang itu, tertawa.
Sebagai seorang Muslim yang juga percaya takdir, dia agak sulit mendebat alasan kami.
Bermodalkan "Bismillah" dan "La haula wa laquwwata illa billah", kami juga tegar keluar masuk daerah zona merah yang berbahaya.
Sebelum berangkat ke Irak, aku memang kurang bersimpati terhadap cara peliputan beberapa televisi asing yang dikenal dengan hotel journalism. Wartawan melaporkan langsung dari hotel, dengan data-data yang disiapkan oleh stringer, orang lokal yang membantu mencari data dan rekaman visual. Reporter tersebut biasanya menambahkan perspektif dan analisis dalam laporannya, seolah-olah dia terjun langsung dan mengetahui persis fakta di lapangan. Aku tidak mau demikian. Aku dan Budi, ditemani Nasser, sengaja masuk ke zona merah, mencoba menggali informasi dan melihat langsung bagaimana masyarakat memandang pelaksanaan pemilu pertama di Irak pasca kejatuhan Saddam Hussein. Lagi-lagi hanya berbekal kepasrahan dan keyakinan akan takdir. Salah-kah"
Tidak ada salahnya pasrah dan bergantung pada takdir. Bahkan bagiku, itu adalah keniscayaan, salah satu modal utama yang membantuku berhasil menuntaskan berbagai tugas reportaseku.
Hanya saja, kalau boleh aku mewakili kecenderungan orang Indonesia pada umumnya, sikap ini kadang cenderung membuat kita tidak berhati-hati dan menyerahkan semuanya pada takdir. Menyepelekan masalah, tanpa diiringi usaha maksimal.
Padahal, banyak yang bisa disiapkan sebelum keberangkatanku ke kawasan konflik seperti Irak. Jaket pengaman dan helm antipeluru, misalnya. Umumnya hal ini tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan anggaran. Bagi sebuah stasiun televisi Indonesia, mengirimkan krunya untuk meliput ke Irak, dengan perhitungan memberikan laporan langsung minimal satu kali sehari, sudah merupakan suatu kemewahan. Atau, kalaupun perusahaan pers tertentu sebenarnya telah memiliki perangkat lengkap peliputan di kawasan konflik, sang wartawan Indonesia sengaja tidak membawanya, dengan berbagai alasan. Ribet dan berat, biasanya, menjadi alasan utama. Tanpa perangkat pengamanan liputan tadi, aku sendiri dan Budi merasa sudah mempersiapkan segalanya secara maksimal meskipun tidak seratus persen. Dan, modal utama yang kami persiapkan cukup baik adalah pengetahuan dan pemahaman terhadap medan peliputan.
Sepulangku dengan selamat dari Irak, aku banyak berdialog dengan aktivis lembaga yang menangani persoalan wartawan di kawasan konflik, seperti International News Safety Institute (INSI).
Aku juga berdiskusi dengan seorang trainer perusahaan security consultant, AKE. Dari mereka aku mendapat pelajaran bahwa modal utarna jurnalis ketika memasuki daerah konflik bukan peralatan komunikasi ataupun keamanan, melainkan knowledge, yakni pengetahuan atau pemahaman terhadap medan peliputan, baik wilayah maupun sosiokultural warganya. " Knowledge is the most valuable safety material" kata Peter Williams, wartawan CNN yang meliput huru-hara di Bradford, Inggris, tahun 2001.
Dalam penugasanku, peran Budiyanto sangat besar. Sebelum bertugas bersamaku, Budi sudah dua kali masuk ke Irak dan memiliki memori yang kuat mengenai lokasi lokasi penting di sana. Budi juga membuka banyak akses melalui Nasser, yang sudah dikenalnya sejak tahun 2003. Berbekal pemahaman Budi itulah, kami putuskan masuk ke Irak melalui jalur darat,
Kisah Hantu Goosebumps I 1 Pendekar Rajawali Sakti 90 Rajawali Murka Pendekar Pendekar Negeri Tayli 2
^