Pencarian

168 Jam Dalam Sandera 4

168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid Bagian 4


dengan berbagai pertimbangan, bukan sebuah keputusan asal-asalan.
Pemahaman mengenai sensitivitas konflik Sunni-Syiah amat membantu kami menghadapi penyanderaan. Ibrahim menjelaskan, lokasi penculikan kami adalah Ramadi. Aku teringat catatanku, Ramadi adalah basis kelompok Sunni. Karena itu, ketika para penyandera menanyakan tujuan peliputan kami di Irak, aku langsung menjawab: meliput pemilu. Jika saja kami menjelaskan tujuan sebenarnya, yaitu meliput Asyura yang biasa diperingati warga Syiah, tentu bisa berakibat fatal. Konflik sektarian di Irak kembali menguat pasca-invasi Amerika.
Namun, pemahaman dan pengetahuan, yang awalnya kurasa sudah cukup, ternyata belum. Soal penculikan, misalnya. Ketika kami memutuskan kembali ke Irak melalui jalur darat, hanya selintas kemungkinan risiko diculik mampir di kepala kami. Risiko terburuk yang banyak aku dan Budi diskusikan malah soal penghadangan oleh sekelompok orang yang biasa meminta uang di perjalanan, yang dikenal dengan sebutan Ali Baba. Jika sudah dibayar, mereka akan membiarkan kami lewat. Risiko lain adalah masuk ke wilayah pertempuran antara kelompok perlawanan dan pasukan koalisi, dan kami terjebak diantara mereka. Perjalanan darat juga berisiko menginjak ranjau, atau menjadi korban bom mobil. Tetapi soal risiko penculikan, lagi-lagi, hanya melintas sekelebat. Entah kenapa, padahal sudah sering terjadi penculikan, termasuk pada wartawan di Irak, dan aku kerap pula membacakan beritanya di layar Metro TV.
Setelah penyanderaan itu, aku rajin membaca buku tentang peliputan di daerah konflik, yang umumnya disusun berdasarkan pengalaman jurnalistik. Dari buku-buku itu pula kuketahui dua kategori penyanderaan: surprise attack atau serangan dadakan dan planned attack atau penyanderaan terencana. Kasusku dan Budi masuk kategori pertama. Kasus Ferry Santoro dan almarhum Ersa Siregar dan RCTI, yang disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka, bisa dimasukkan kategori kedua. Pada penyanderaan terencana, penyandera biasanya menjebak wartawan dengan iming-iming untuk mewawancarai atau mendapat peliputan eksklusif.
Aku juga mengenal berbagai motif penyanderaan, mulai dari komoditas politik, komoditas ekonomi, balas dendam, sandera untuk jaminan keamanan bagi penyandera, hingga kemungkinan salah tangkap. Walau terkesan sepele, ketika berada dalam penyanderaan, mengenali motif adalah hal penting. Penyanderaan ku dan Budi kemungkinan besar bermotif politik, yaitu untuk meraih atensi luas dari dunia internasional. Adapun motif penyanderaan terhadap wartawan media Barat biasanya lebih kompleks lagi. Bisa saja motif politik, ekonomi (permintaan uang tebusan), balas dendam terhadap kebijakan pemerintah asal si wartawan, atau sandera untuk jaminan keamanan di penculik, bercampur aduk.
Mengenali motif penculikan tentu akan membantu menentukan langkah apa yang harus diambil. Dalam kasusku dan Budi, penyandera hanya memanfaatkan kami sebagai komoditas politik. Karena itu, kami sebagai sandera tak perlu berpikir keras melarikan diri. Sebab, kemungkinan besar kami dibebaskan. Lain halnya dengan para sandera dan Eropa dan Amerika Serikat. Kemungkinan dibebaskan penyandera teramat kecil sehingga dianjurkan untuk escape (melarikan diri).
Pengalaman penyanderaan di Irak juga menyadarkanku bahwa kelengkapan berbagai peralatan keamanan tidak akan membantu tanpa pendekatan "hati". Keberingasan para penyandera memang sempat membuatku takut setengah mati. Langsung terbayang di kepalaku bagaimana tayangan televisi memperlihatkan kelompok penyandera memenggal kepala sandera. Aku coba melawan stigma itu dengan meyakinkan diri bahwa mereka juga manusia yang memiliki nurani. Seberbeda apa pun pandangan dan cara hidup mereka, sebagai manusia, aku yakin mereka dan kami memiliki beberapa persamaan nilai, terutama menyangkut keluarga Kami cukup berhasil mencairkan suasana ketika aku dan Budi mengeluarkan foto keluarga, sekaligus menanyakan perihal keluarga mereka. Dari sosok yang beringas dan keras, tiba-tiba mereka melunak saat bercerita tentang anak dan ibu mereka. Dan rupanya, mereka adalah orang
-orang yang merasa terpinggirkan, tak pernah mendapat perhatian dan penghargaan yang layak dalam keseharian mereka. "Strategi" saling mencurahkan isi hati seputar keseharian kami ternyata berhasil menjebol tembok kekakuan. Sejak itu, moncong senjata tidak lagi diarahkan kepada kami walau mereka tetap siaga. Aku bersyukur, di tengah kepanikan dan ketakutan, Tuhan memberiku ketenangan, untuk melihat para penyandera bukan sebagai penjahat atau teroris. Dibalik aksi perlawanan dan kekerasan yang mereka lakukan, ternyata mereka juga manusia biasa yang berhati nurani. Aku tidak setuju cara perjuangan mereka dengan menculik kami atau wartawan dan pekerja asing lain. Namun, mereka tentu punya alasan kuat untuk melakukannya.
Keluhan Rois (pemimpin penyandera), bahwa media tidak adil dan cenderung memojokkan mereka, kurenungkan selama penyanderaan. Pergeseran nilai keterlibatan media dalam meliput daerah konflik memang semakin terasa. Dulu, wartawan dilindungi berbagai pihak, kini justru menjadi target sandera dan pembunuhan.
Konvensi Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap sipil kerap tidak diindahkan lagi. Dalam konvensi itu, disebutkan bahwa wartawan mempunyai hak yang sama sebagai warga sipil, untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, pembunuhan, pemenjaraan, dan penyiksaan. Pihak yang melanggar hak-hak wartawan, dari pihak militer atau pun milisi, dapat dituntut sebagai penjahat perang. Kesepakatan yang dibentuk tahun 1949 dan diratifikasi oleh hampir semua negara ini tak lagi mampu melindungi wartawan di kawasan konflik.
Yang menyedihkan, kenyataan ini kerap tidak lepas dari ulah wartawan sendiri. Distorsi fungsi wartawan sebagai pihak yang mestinya "netral" sesungguhnya sudah terjadi sejak perang Vietnam.
Wartawan, tidak hanya yang berkebangsaan Amerika yang ketika itu memang tengah memerangi Vietnam, ikut memakai seragam militer dan angkat senjata. Perang Teluk tahun 1991 juga menjadi catatan penting dalam pergeseran nilai wartawan. Ketika itu, reporter televisi Amerika dan Inggris tampil dilayar, melaporkan langsung dengan memakai atribut militer. Mereka biasa disebut wartawan embedded, yang mengenakan kelengkapan seragam militer. Di Kandahar, Walter Rodgers, seorang wartawan CNN, melaporkan dari kamp tentara Amerika memakai seragam US Marine. Hal yang sama dilakukan Geraldo Rivera, reporter Fox News. Ketika tiba di Jalalabad, dia menenteng senjata dengan target ikut memburu Osama bin Laden.
Rivera telah bergesar jauh dari fungsinya sebagai seorang reporter, menjadi seorang combatant. Detik itu juga, gugur semua haknya sebagai jurnalis yang dilindungi konvensi Jenewa.
Semakin banyak kupelajari tentang keselamatan jurnalis, semakin sering kulihat, insiden buruk yang menimpa wartawan kerap bermula dari kesalahan kecil dan sepele. Terakhir, kematian rekan Muhamad Guntur Saefullah, juru kamera SCTV, dan Suherman, juru kamera La-tivi, dalam tragedi tenggelamnya kapal Levina, membuatku terpukul. Kalau saja Guntur dan Suherman memakai pelampung, tanpa bermaksud mempertanyakan takdir, mungkin karya-karya jurnalistik mereka masih dapat kita nikmati. Lebih terpukul lagi, aku melihat kepiluan yang dirasakan keluarga kedua wartawan itu.
Langsung kuteringat Mama dan keluargaku yang juga mengalami masa-masa sulit selama penyanderaanku. Begitu egoisnyakah aku"
Begitu egoisnyakah para wartawan yang memperjuangkan sebuah gambar eksklusif dengan risiko kematian, dan melupakan dampak buruknya bagi orang-orang yang mencintai mereka" Ataukah ini semata bentuk pengorbanan wartawan terhadap profesinya"
Peristiwa tertembaknya dua wartawan perang yang sangat dihormati karena pengalaman dan kemampuannya "membaca" medan, Kurt Shorck (Reuters) dan Miguel Gil Moreno (Associated Press), menjadi peringatan untukku. Shorck dan Moreno, yang ditugasi meliput konflik di Sierra Leone pada tahun 2000, memutuskan untuk masuk hingga melewati garis depan walaupun telah menerima laporan mengenai bahaya didaerah tersebut. Bahkan jurnalis terbaik pun, ketika sudah berada di medan liputan, kesulitan menemukan keseimbang
an antara insting untuk menyelamatkan diri dari keinginan untuk memperoleh berita eksklusif.
Perjalanan 168 jam dalam penyanderaan menyadarkanku, betapa pengetahuan dan keberanian tidaklah cukup sebagai modal wartawan perang. Yang lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengendalikan diri: kapan kita harus melangkah ditengah bahaya dan kapan saatnya berhenti. Berhenti, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk orang-orang yang mencintai dan menunggu kepulangan kita, dengan selamat.
Aku teramat bersyukur dan tersanjung ketika keluargaku, kawan-kawan seprofesi, dan pemimpin bangsaku, dengan tulus mengupayakan dan mendoakan pembebasanku dan penculikan, akibat keteledoranku. Terimakasih atas doa dan air mata yang memudahkan langkahku kembali ke tanah air, kembali ke pelukan orang-orang yang mencintaiku. []
LAMPIRAN Pergolakan Sebuah Ruang Redaksi
Oleh Don Bosco Selamun Pemimpin Redaksi Metro TV 2004-2005
BERITA itu membuat seisi ruang redaksi gaduh dan panik. Ada yang histeris, ada yang menangis. Sebagian tertegun, tertunduk lesu. Raut sedih merebak seantero ruangan yang sesak. Di ruang pengendali siaran, kegaduhan lebih terasa. Sesungguhnya kegaduhan dan kepanikan biasa terjadi saat menayangkan breaking news. Tapi kali ini bercampur ketidakpastian, perasaan getir dan sedih. Karena yang diberitakan adalah nasib Meutya Viada Hafid dan Budiyanto, wartawan MetroTV, sahabat kami sendiri. Keduanya dinyatakan hilang ketika meliput pemilihan umum di Irak.
Hari itu, Jumat, 18 Februari 2005. Empat jam sebelumnya, di tengah rapat kerja Metro TV di Hotel Hilton (kini Hotel Sultan), seseorang berbisik kepada saya. "Bang, ada berita dari Deplu, dari Pak Marty. Meutya dan Budiyanto hilang di Irak. Bang Don diminta ke Deplu," kata Henny Puspitasari. Henny adalah PR Manager Metro TV yang pertama kali menerima kabar dari Marty Natalegawa, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri saat itu.
Serasa disambar petir saya mendengarnya. Saya tinggalkan ruangan raker dengan gugup. Sekujur tubuh terasa dingin, badan lemas. Menyusul kemudian Zsa Zsa Yusaryahya, Direktur Programming dan PR, yang juga diberitahu Henny. Beberapa manager dari divisi pemberitaan, Claudius Boekan, Desi Anwar, Makroen Sandjaya, Bambang Hamid, Retno Shanti, dan Usi Karundeng susul-menyusul keluar ruangan. Dan dilorong depan pintu tempat raker berlangsung, saya sampaikan kabar ini. Mereka terkejut.
Di tengah ketidakpastian tentang nasib Meutyadan Budi, begitu keduanya biasa dipanggil, kami menggelar koordinasi darurat di lorong itu. Zsa Zsa dan Desi Anwar bertugas menyampaikan kabar ini kepada keluarga Meutya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Claudius Boekan, manager peliputan, balik ke Kantor Metro TV, memimpin para kordinator peliputan (korlip) melacak posisi Meutya dan Budi. Juga memberitahu keluarga Budiyanto di Rawamangun, Jakarta Timur.
Makroen Sandjaya, manager produksi, juga balik kekantor menyiapkan berita jika peristiwa ini benar terjadi. Endah Saptorini, manager Current Affairs, membantu Makroen dan timnya. Sementara Helmy Yohanes, Services Manager, diminta menghubungi televisi-televisi asing. Praktis, hanya Bambang Hamid, sekretaris redaksi, dan Retno Shanti, manager News Magazine yang tersisa untuk mewakili Divisi Pemberitaan mengikuti raker yang mestinya berakhir sebelum makan siang hari itu. Bersama Usi Karundeng, saya bergegas menuju Departemen Luar Negeri,di Jl Pejambon, Jakarta Pusat.
* * * MEUTYA dan Budi hilang"" Itulah pertanyaan pertama yang memagut kepala saya ketika pertamakah mendengar berita itu dari Henny.
"Bagaimana nasib kedua anak buah saya itu"" Pertanyaan kedua ini merangsang adrenalin kecemasan yang membuat saya limbung.
"Tuhan, lindungi kedua sahabat saya yang telah berkorban meninggalkan keluarga untuk melaksanakan tugas yang telah saya bebankan ke pundak mereka. "Hanya itu untaian doa singkat mengiringi perasaan cemas yang menekan batin.
Ini kali pertama selama lebih dari 20 tahun karier kewartawanan saya, saya dipanggil ke Deplu. Lagi pula, sangat jarang Deplu bersangkut paut dengan
pemanggilan seorang pemimpin redaksi, kecuali coffee morning untuk menyampaikan berita-beritabaru. Itu pun biasanya rame-rame dengan wartawan lain. Karena itu, insting saya mengatakan "sesuatu yang genting," telah terjadi. Tetapi, apakah
"sesuatu yang buruk" telah menimpa Meutya dan Budi"
Menghadap Deplu saya siapkan berbagai bahan. Saya hubungi kembali Claudius Boekan untuk mengumpulkan semua catatan dari para Korlip tentang posisi perjalanan Meutya dan Budi, dari awal hingga data paling akhir. Laporan yang dibuat Claudius Boekan di crosscheck dengan laporan langsung dari para Korlip. Hampir semua Korlip ketika itu, Dadi R.Sumaat-madja, Budiyono, Muchlis Ainurrofiq, Muzakkir Hussain, Ferry Putra Utama, saya hubungi untuk mendapatkan gambaran tentang jejak Meutya dan Budi, hingga kontak terakhir dengan keduanya selama meliput di Irak.
Dari para Korlip diperoleh gambaran bahwa kontak terakhir dengan Meutya dan Budi terjadi tanggal 14 Februari, sore hari waktu Jakarta, atau siang hari waktu Amman, Yordania. Kontak itu terjadi ketika keduanya tengah mengurus visa di Amman, hanya beberapa saat sebelum kembali ke Bagdad. Visa sebelumnya hanya single trip rupanya. Penugasan untuk balik ke Irak, langsung berasal dari saya sebagai pemimpin redaksi. Seingat saya, ketika mendengar Meutya dan Budi sudah kembali ke Amman, dengan keras saya meminta Dadi dan Claudius untuk menugaskan kembali Meutya dan Budi ke Irak, meliput hari raya Asyura di Karbala. Lagi pula, hasil pemilu Irak belum tuntas. Padahal keduanya sangat produktif.
Laporan Korlip menjelaskan, kontak selanjutnya tidak ada lagi.
Alasannya, kemungkinan ada blank spot area dalam perjalanan dari Amman menuju Bagdad. Kemungkinan serupa terjadi dalam perjalanan dari Bagdad menuju Karbala, kota terakhir tujuan peliputan Meutya dan Budi. Seluruh catatan kontak dengan kedua kru sebelum tanggal 14 Februari itu tercatat lengkap di log book Korlip. Log book adalah catatan harian yang sangat rinci tentang A sampai Z kegiatan seluruh kru yang bertugas di lapangan.
Sedangkan semua laporan langsung yang mereka sajikan selama bertugas di Irak, tercatat rapi dalam run down berbagai progam berita rutin.
Usai mendapatkan rekam jejak kedua kru ini, saya menelepon Surya Paloh, pemilik Metro TV. "Ada apa Don"" jawab Surya Paloh, seperti biasanya, dengan nada bariton.
"Ada berita buruk, Bang," kata saya gugup.
"Berita buruk apa""
"Bang, tiga hari ini kita kehilangan kontak dengan Meutya dan Budi yang meliput di Irak. Menurut orang Deplu, keduanya hilang di Irak," kata saya.
"Kenapa"" "Belum tahu, Bang. Cuma selama ini Korlip menghubungi mereka dan tidak dapat berkomunikasi dengan keduanya. Asumsi kita, mereka mungkin berada diblank spot area. Saya sekarang ke Deplu.
Mereka juga mendapat kabar dari jaringannya telah kehilangan kontak dengan Meutya dan Budi," saya jelaskan detil yang saya ketahui.
"Oke, Don. Kita harus ambil semua langkah yang diperlukan.
Jangan pikirkan biaya." Surya meminta saya segera menemuinya seusai pertemuan di Deplu.
Saya dan Usi tiba di Deplu sebelum pukul 11.00. Kami langsung bertemu Marty Natalegawa. Pertanyaan demi pertanyaan pun meluncur dari mulut Marty. Benarkah Metro TV mengirim wartawan bernama Meutya Hafid dan Budiyanto ke Irak" Untuk tujuan apa"
Apakah ada agenda politik" Sudah berapa lama Metro TV tidak dapat berkomunikasi dengan keduanya" Saya amati wajah Marty tampak sangat serius. Pertanyaan terakhir, sangat penting. Karena tidak saja tentang posisi terakhir Meutya dan Budi, tetapi juga bagaimana kondisi terakhir kedua kru Metro TV ini. Siapa tahu, Deplu mendapat informasi lebih cepat dan langsung dari tanganpertama.
"Jaringan kami melaporkan bahwa kedua wartawan Metro TV itu kehilangan kontak. Kita juga berupaya mendapatkan hubungan dengan mereka," kata Marty sambil menjanjikan perlunya kerja sama untuk mencari kedua wartawan ini.
Marty menjelaskan tentang arti "kehilangan kontak". Dia kemudian membawa Usi dan saya bertemu Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Dalam percakapan yang berlangsung 30 menit, Menlu berjanji unt
uk memanfaatkan saluran-saluran diplomatik agar segera mengetahui nasib Meutya dan Budi. Sesuai penjelasan yang saya berikan, Menlu kemudian mengkonfirmasi-kan kembali bahwa penugasan Meutya dan Budi benar-benar penugasan jurnalistik, tidak ada maksud politik di belakangnya. Kesimpulan ini rupanya penting, sebagai dasar bagi Deplu untuk menjalin kontak lebih lanjut melalui jaringan-jaringan yang tersedia.
Pertemuan dengan Deplu itu memastikan bahwa Meutya dan Budi "kehilangan kontak" dengan Metro TV, keluarga mereka, dan dunia luar. Makna "kehilangan kontak," seperti dijelaskan Marty, mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin karena blank spot area, mungkin diculik, tetapi mungkin juga ini yang terburuk tewas karena konflik yang berkecamuk di Irak. "Tetapi, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk," kata Marty.
Dua kemungkinan terakhir yang diungkap Marty membuat saya shock. Usai pertemuan, saya coba menepis kemungkinan terburuk itu, atau kemungkinan diculik kelompok tertentu di Irak. Tetapi pikiran itu tetap melekat di kepala sepanjang perjalanan dari Deplu hingga kantor Metro TV, di kawasan Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Perjalanan terasa begitu lama.
Perasaan yang paling membebani pikiran adalah, bagaimana cara saya mempertanggung jawabkan penugasan ini kepada keluarga Meutya dan Budi" Bagaimana pula mempertanggung jawabkan penugasan ini kepada awak redaksi dan rekan-rekan ditingkat manajemen, termasuk Surya Paloh, pemilik Metro TV" Lalu, bagaimana menjelaskan kepada publik, bahwa ini benar-benar tugas professional" Jangan sampai mengesankan bahwa saya, dan beberapa rekan yang menugaskan Meutya dan Budi ke Irak, dinilai salah secara profesional. Soalnya Irak layak menjadi berita di satu sisi, tetapi memang,sangat berbahaya karena konflik dan perang di sisi lain.
Dalam perjalanan, saya hubungi Makroen, Andrianus Pao, Agus Guna Diatmika, Wayan Eka Putra dan beberapa produser untuk menyiapkan breaking news. Disamping karena sudah mendapatkan konfirmasi dari Deplu, kantor berita asing, APTN (Associated Press Television News) juga sudah memberitakan hilangnya Meutya dan Budi, walaupun kantor berita yang berpusat di London itu belum mendapatkan gambar.
Makin dekat ke kantor Metro TV, saya mencoba sekuat tenaga menghilangkan pertanyaan-pertanyaan apologetik itu. Langkah awal yang harus diupayakan adalah bagaimana dapat berkomunikasi dengan Meutya dan Budi, karena faktanya adalah kami "kehilangan kontak." Tetapi, jika kemungkinan paling buruk yang terjadi tewas tertembak di daerah perang ... oh,... betapa pahitnya mulut saya yang menugaskan kedua rekan ini ke daerah bahaya. Sesaat itu pula saya merasa menjadi seorang pemimpin redaksi paling bodoh, karena lalai menghitung risiko sebesar ini.
Sambil memikul beban perasaan itu saya masuki ruang redaksi.
Saya minta Bambang Hamid, sekretaris redaksi, mengumpulkan seluruh kru pemberitaan. Seluruh direksi, Ana Wijaya, Lestari Luhur, John Balonso, dan Zsa Zsa Yusaryahya juga hadir. Saya umumkan hasil pertemuan dengan Menlu Hassan Wirajuda. Semua diam. Saya minta semuanya berdoa menurut keyakinan masing-masing memohon keselamatan jiwa dan raga kedua sahabat ini. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk atas keduanya. Sangat nyata di ruangan itu, betapa semua awak Metro TV, memperlihatkan rasa kebersamaan yang luar biasa.
Saya kemudian mengumpulkan semua korlip, produser eksekutif, produser dan para manajer di lingkungan divisi pemberitaan. Saya minta pandangan mereka tentang langkah konkret yang bisa segera ditempuh agar secepatnya bisa berkomunikasi dengan Meutya dan Budi. Pertemuan kilat itu memutuskan beberapa langkah. Pertama, mencari liason officer di Irak atau Yordania yang mempunyai akses luas ke berbagai kelompok di Irak. Tentang itu, Mauluddin Anwar, produser Metro Hari Ini, menyebutkan nama Mohammad Nasser. Menurut beberapa rekan, Nasser mempunyai hubungan yang luas dengan beberapa kelompok di Irak. Sejumlah biaya perlu dipersiapkan untuk operasionalnya.
Kedua, membentuk kelompok khusus yang fasih berbahasa Arab. Mereka bertugas mengakses se
luruh informasi berbahasa Arab, baik memonitor siaran radio, televisi, koran, maupun mengais data dan informasi via internet, berbagai milis dan lain-lain, khususnya yang berbahasa Arab. Lebih khusus lagi memantau siaran Al-Arabiyah dan Al-Jazeerah. Tim ini sekaligus ditugaskan untuk selalu berhubungan dengan kedua stasiun televisi itu. Kedua orang yang dikontrak khusus masing-masing Sugiri dan Mohamad Syarif. Sugiri pernah dikontrak Metro TV, dan Syarif dikontrak stasiun TV-7 (sekarang Trans 7) sebagai penerjemah simultan berita-berita Al-Jazeerah ketika tentara sekutu menyerang Irak. Metro TV mempunyai dua produser yang fasih berbahasa Arab, yaitu Mauluddin Anwar dan Muchlish Ainurrofiq.
Ketiga, membentuk tim khusus untuk berhubungan dengan Deplu yang juga sudah membentuk tim khusus. Keempat, mengutus pimpinan untuk segera berangkat ke Irak. Kelima, menjalin hubungan dengan beberapa televisi seperti CNN, Al-Jazeerah, Al-Arabiyah, kantor berita televisi asing seperti APTN dan Reuters, yang mempunyai peliputan luas di Irak. Keenam, tim bekerja 24jam.
Pukul tiga sore, usai breaking news, saya menghadap Surya Paloh. Baru memasuki pintu ruangan kerjanya, Surya langsung menyapa. "Saya siap berangkat ke Irak, Don," katanya. Tentu saja saya surprise. Melihat saya terkejut, Surya melanjutkan, "Siapkan beberapa kru untuk pergi bersama saya." Jawaban Surya benar-benar di luar dugaan. Semula saya menduga Surya Paloh akan marah dan mempersalahkan saya atas penugasan ini, lalu memberhentikan saya atau memberikan sanksi berat. Bagi saya itu sudah menjadi risiko dari tanggung jawab jabatan. Ternyata tidak ada sama sekali nada marah.
Juga tidak mempersalahkan saya. Tentu saja saya respek atas kesediaan Surya.
Surya Paloh, seperti para karyawan mengenalnya, sangat memegang teguh komitmen atas dedikasi, loyalitas, kesetiaan dan pengorbanan karyawan terhadap perusahaan. Nilai ini sangat penting bagi Surya. Harga kesetiaan dan loyalitas, bagi Surya, melampaui apapun. Kali ini, Surya siap berkorban untuk anak buah yang loyal itu.
Termasuk mengambil alih tanggung jawab atas akibat keputusan saya.
"Terima kasih Bang," jawab saya, dan kami pun terlibat dalam diskusi yang intens mengenai langkah-langkah yang akan diambil.
Bagi saya, keberangkatan Surya mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, akses untuk berhubungan dengan berbagai pihak akan lebih mudah.
Kedua, kalau Meutya dan Budi diculik, Surya Paloh dapat langsung mengambil keputusan untuk menyetujui dan menyiapkan uang tebusan jika itu menjadi syarat pembebasan. Ketiga, jika kemungkinan terburuklah yang terjadi, yaitu Meutya dan Budi tewas tertembak di daerah konflik, perusahaan telah menunjukkan itikad yang sungguh-sungguh total dan ikhlas kepada keluarga, rekan-rekan di Metro TV, dan publik dengan menerjunkan pemilik Metro TV sendiri.
Usai bertemu Surya Paloh, saya menanyakan ke APTN apakah mereka mempunyai gambar tentang berita kehilangan Budi dan Meutya.
Kantor berita ini memang mengindikasikan Meutya dan Budi kemungkinan diculik di sekitar Ramadi. Tapi berita itu tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana keadaan keduanya. Segera setelah mendapatkan berita itu, saya hubungi, Y.K. Chan, representatif APTN
di Hong Kong. Kami sudah lama saling kenal. Saya mencaritahu lebih lanjut tentang kebenaran berita itu. Y.K. Chan meyakinkan berita itu benar. Tetapi sebagai orang televisi, "seeing is believing". Baru percaya jika ada gambar.
Y.K. (baca: waikei), begitu biasanya dia disapa, mengatakan APTN belum mendapat gambar. Janjinya, akan segera mengabari begitu mendapat gambar. Tetapi tidak jelas kapan, semuanya tergantung Irak. "Tolong feed segera ke alamat Metro TV jika Anda punya gambar," kata saya. Pada saat bersamaan, saya membaca news tickers di CNN tentang Budi dan Meutya yang hilang di Irak. Al-Jazeerah juga memberitakan nasib keduanya. Menyaksikan berita-berita itu, saya merasakan betapa besarnya peristiwa ini.
Berita sependek itu tentu saja memancing perhatian rekan-rekan wartawan lainnya di tanah air. Beberapa saat kemudian saya mendapat telepon dari teman-teman wa
rtawan menanyakan nasib Budi dan Meutya. Mereka juga menanyakan alasan penugasan keduanya ke Irak. Keesokannya, hampir semua media cetak menyajikan berita ini di halaman depan.
Keadaan di ruang redaksi Metro TV benar-benar tegang. Saya melihat wajah-wajah sedih. Menyaksikan pemandangan itu, sekali lagi, saya merasa menjadi orang paling bodoh. Karena penugasan sayalah keduanya harus menderita dan mengalami nasib yang tak jelas. Bagi saya, dan awak Metro TV, perjalanan waktu dari pukul 10 hingga pukul 3 sore hari itu tidak saja terasa lama, tetapi juga sangat meletihkan secara mental.
* * * MENGAPA Meutya dan Budiyanto yang saya tugaskan" Pengenalan saya tentang Meutya secara pribadi, sebetulnya belum terlalu lama.
Terhitung dari masa penugasan sebagai pemimpin redaksi Metro TV, Juni 2004, saya baru mengenal Meutya sekitar delapan bulan. Tapi pemunculan Meutya sebagai presenter Metro TV jelas memudahkan pengenalan terhadap kemampuannya. Beberapa kali kami berdialog.
Diam-diam saya juga mengevaluasi rekaman wawancaranya seperti saya lakukan atas wawancara dari penyiar-penyiar lainnya.
Sebagai presenter Meutya tergolong bagus, baik dalam news delivery maupun mewawancarai nara sumber. Teknik delivery-nya otoritatif dan kredibel, walaupun belum didukung kualitas vokal yang bagus. Itu pun ditutupinya dengan artikulasi yang clear. Dan beberapa wawancara, Meutya mampu mengambil perspektif tertentu, sehingga wawancaranya mengalir, fokus dan mudah dipahami. Meutya juga mampu mendalami jawaban-jawaban narasumbernya.
MENGAPA Meutya dan Budiyanto yang saya tugaskan" Pengenalan saya tentang Meutya secara pribadi, sebetulnya belum terlalu lama.
Terhitung dari masa penugasan sebagai pemimpin redaksi Metro TV, Juni 2004, saya baru mengenal Meutya sekitar delapan bulan. Tapi pemunculan Meutya sebagai presenter Metro TV jelas memudahkan pengenalan terhadap kemampuannya. Beberapa kali kami berdialog.
Tetapi bukan itu alasan utama mengapa Meutya yang dikirim ke Irak. Yang istimewa, dia juga andal melakukan laporan langsung dari lapangan, dari medan-medan yang sulit. Setiap kali ditugaskan ke lapangan, tidak ada keraguan, dia pasti berhasil, dan menyajikannya dengan menarik. Pergaulannya yang luwes membuatnya mudah menjalin kerjasama tim, sebuah syarat mutlak dalam kerja televisi.
Walaupun posturnya mungil, Meutya mempunyai daya tahan, endurance yang kuat menghadapi medan berat. Chit-chat-nya juga lively. Salah satu puncak penugasan lapangan untuk Meutya adalah ketika pada awal hingga minggu ke-tiga Januari, meliput Aceh sesaat setelah gempa dan gelombang tsunami menerjang Tanah Rencong, dan menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa. Meutya dan juru kamera Gideon Sinaga, ditugaskan di kawasan Meulaboh. Adalah Meutya dan Gideon yang menyusuri wilayah-wilayah terisolir di pantai barat Aceh itu. Keduanya memasuki Teunom dan Phang-ha, yang oleh berbagai kalangan dianggap sebagai daerah merah karena, konon, banyak anggota GAM di sana ketika itu.
Ketika bertugas di sana, saya mendapat laporan Meutya dan juru kameranya harus "mengo-jek" untuk menggapai wilayah-wilayah bencana yang oleh para petugas penolong pun belum dapat dijangkau.
Mereka menyajikan gambar-gambar jenazah korban tsunami yang masih tergeletak di sejumlah lokasi, dia bahkan tidak takut kalau-kalau tukang ojek yang membawanya adalah anggota GAM.
Bagaimana keduanya bisa sampai ke daerah terpencil itu"
Meutya melobi seorang pilot heli hanya untuk didrop ke pantai barat itu. Keduanya menjadi jurnalis pertama yang masuk ke kawasan yang gelap gulita dan tidak ada sinyal telepon. Selama dua hari mereka menyusuri daerah itu dan kehilangan kontak dengan posko di Metro TV. Bagaimana keduanya bisa keluar dari sana" Saya mendapat laporan hanya faktor kebetulan belaka mereka tertolong oleh sebuah heli yang hendak mengevakuasi para korban.
Hasil liputan dari Meulaboh, Aceh, itu tidak saja memperlihatkan kualitas laporannya yang mendalam dan lengkap. Tetapi juga, terutama, teladannya bagi rekan-rekan penyiar lainnya tentang pentingnya kelincahan dan pengalaman di lap
angan. Dia juga mampu menyampaikan hal-hal penting lain tentang apa yang terjadi di belakang gambar dan apa yang belum terwakili dalam gambar.
Atas dasar itulah, ketika baru saja beristirahat beberapa hari dari peliputan di Meulaboh, saya meminta Claudius dan Dadi untuk menugaskan Meutya meliput pemilihan umum di Irak. Tidak ada keberatan sedikit pun dari kedua atasannya ini. Setelah keduanya menghubunginya, Meutya pun tak berkeberatan.
Mengapa pemilu Irak" Ada tiga alasan yang melatar belakanginya. Pertama, bagi penonton Indonesia, Irak bukanlah sesuatu yang asing. Proximity psikologisnya sangat dekat. Lagi pula sajian-sajian televisi asing seperti CNN, Fox News Channel, dan Al-Jazeerah ketika perang Irak bergolak, memperlihatkan betapa tingginya perhatian penonton di sini. Kejatuhan Saddam Husein, beberapa waktu sebelumnya, menjadi pembicaraan di mana-mana.
Kedua, adalah cukup penting melihat bagaimana masa depan Irak berdasarkan hasil pemilu yang berlangsung pada awal Februari itu. Di tengah-tengah hingar-bingar konflik yang melibatkan tentara koalisi dan loyalis Saddam Husein yang dituduh melakukan bom bunuh diri dan bom mobil di mana-mana, pemberitaan konflik Syiah-Sunni di Irak juga merebak luas. Ketiga, media-media barat sering berat sebelah dalam menggambarkan keadaan di Irak. Membandingkan cara Al-Jazeerah memberitakannya, jelas ada sudut pandang yang berbeda.
Ditengah situasi yang "serba kurang jelas" itulah mengapa Metro TV, sebagai televisi berita, perlu mengirim kru meliput pemilu Irak ini.
Menilik kelincahan fisik dan kemampuannya untuk belajar cepat, tidak sedikit pun muncul keraguan bahwa Meutya akan berhasil menyajikan laporan-laporan yang lengkap dan mendalam dari Irak.
Kemampuan berbahasa Inggrisnya memudahkan Meutya menggali bahan-bahan dari sumber lainnya. Juga akan mendapatkan hasil maksimal karena kemampuannya lebih dari cukup untuk mewawancarai tokoh-tokoh politik penting di Irak jika sewaktu-waktu diperlukan.
Mengapa Budiyanto" Saya mengenal Budiyanto dua hari setelah saya bergabung dengan Metro TV. Penampilannya yang rendah hati dengan smiling facenya membuat saya langsung mengingat namanya sejak pertemuan pertama. Beberapa hari kemudian saya baru tahu, Budi
adalah kordinator cameramen divisi pemberitaan. Budi lincah, kerjasama timnya bagus. Dari sikap dan tutur katanya, Budi menjalankan model kepemimpinan dengan memberikan teladan. Dia tidak pernah menolak tugas kemanapun dan kapan pun. Dia juga merupakan instruktur yang andal.
Budi dikenal memiliki multi skill alias serba bisa. Selain mengambil gambar, dia mampu memilih dan menyunting gambar yang bernilai berita. Budi mampu memperbaiki kamera yang tidak berfungsi, atau mengoperasikan telepon satelit yang masih langka ketika itu. Dia sangat familier dengan pengiriman gambar (feeding) melalui satelit. Semua kemampuan itu menjadi prasyarat yang lebih dari cukup untuk suksesnya sebuah peliputan. Dalam keadaan tertentu, Budi mampu menjalankan fungsinya sebagai "video journalist" (VJ) jika sesewaktu tidak ada reporter yang tersedia tepat waktu. Dalam penugasan di Irak, jika terjadi suatu peristiwa yang sangat penting, Budi akan mampu jalan sendiri dan Meutya bisa menyewa juru kamera lokal atau asing sehingga Metro TV mempunyai dua pasang kru di sana.
Dan kelebihan lain dari Budi, dia sudah pernah dua kali ditugaskan dalam Perang Irak. Artinya, dia sudah mengenal medan.
Dalam beberapa percakapan di kantin dan informal, saya juga mendengar Budi pernah ditugaskan ke daerah konflik seperti Aceh. Di tanah Rencong itu, Budi menyusuri bukit, gunung, dan lembah, yang membuatnya matang di lapangan.
Tentang dedikasi Budi, saya pernah memintanya untuk bertemu dengan kakak Cut Putri pada jam 2.30 dini hari sesaat setelah gempa dan tsunami mengguncang Aceh. Cut Putri adalah kontributor video amatir yang mengambil gambar pertama dan satu-satunya tentang bagaimana dahsyatnya gelombang tsunami menghantam Banda Aceh dan menghantam rumah sanak kerabatnya sendiri. Gambar itu memperlihatkan gelombang pasang yang sangat tinggi dan deras menyapu r
umah-rumah yang letaknya 9 km dari pantai.
Kisahnya, sekitar pukul 1.30 dini hari, saya dihubungi Ferry Putra Utama, Korlip yang bertugas malam. Menurut Ferry, ada seseorang yang ingin memberikan gambar tsunami ke Metro TV.
Ketika saya tanyakan apakah gambar itu layak tayang, Ferry tak bisa memastikan. Saat itulah saya memintanya pergi melihat gambar itu bersama Budi. Untuk memastikan, saya hubungi Budi untuk berangkat bersama Ferry.
Sekitar pukul 03.00 dini hari itu juga Budi dan Ferry menghubungi saya. Budiyanto meyakinkan saya bahwa secara teknis gambar itu kurang layak tayang, tetapi sebagai berita, gambar itu sangat representatif untuk menggambarkan kedahsyatan tsunami yang menimpa Banda Aceh. Artinya, tidak ada ruginya Metro TV mengambil gambar itu dengan harga mahal sekalipun. Deskripsi Budi atas gambar itu meyakinkan saya untuk segera mengikat dan "mengunci" Cut Putri atau kakaknya agar gambar itu tidak jatuh ke tangan televisi lain. Gambar itu nyatanya memang sangat dramatis.
Tidak mengherankan jika kemudian di relay CNN dan beberapa televisi asing. Menjadi rekan kerja Budi terasa enak, karena dia hampir tak pernah bilang "tidak".
Kombinasi kemampuan Meutya dan Budiyanto meyakinkan saya bahwa penugasan mereka ke Irak akan berhasil. Artinya, secara profesional sangat bisa dipertanggungjawabkan. Secara ekonomis, karena biayanya mahal, penugasan ini jelas tidak merugikan perusahaan. Hasil peliputan mereka tidak saja akan memperkuat posisi Metro TV sebagai televisi berita tetapi juga menjadi "credit point" yang besar bagi perjalanan kerie jurnalistik keduanya.
Seperti penugasan kru televisi pada umumnya, preparation atau persiapan yang baik sudah menjamin 100 persen keberhasilan peliputan berita televisi. Dengan probabilitas sebesar itulah, mengapa keduanya dikirim ke Irak. Semula ada saran agar mengirim reporter pria ke Irak untuk menghemat biaya kamar hotel di sana. Maklum, kalau keduanya pria, cukup membayar satu kamar saja. Tetapi pikiran saya untuk mempercepat pematangan Meutya dilapan-gan, dengan harapan memotivasi beberapa penyiar baru lainnya, adalah harga yang cukup pantas untuk mengubah sikap kerja tim Metro TV dalam jangka menengah dan panjang.
Karena ingin mendapatkan hasil yang maksimal, tentu saja saya berharap keduanya dapat bertahan lama di Irak. Dan, nyatanya, perkiraan saya tidak meleset. Selama seminggu penuh bertugas disana di luar waktu perjalanan banyak sekali liputan eksklusif yang mereka sajikan. Beberapa kali, Meutya melakukan standup dari lokasi bom mobil yang baru saja meledak, atau mewawancarai tokoh-tokoh politik di Irak. Di tengah deru konflik yang tak menentu, rupanya Budi dan Meutya langsung menyusuri area-area berbahaya dikota Bagdad.
Sementara kebanyakan wartawan lainnya, sesuai instruksi penguasa perang di Irak, hanya boleh meliput dari green zone, kawasan yang relatif lebih aman.
Tidak heran, saya begitu terkejut ketika mendengar keduanya sudah keluar dari Irak lebih awal dari yang saya perkirakan. Saya ingat, ketika dua atau tiga hari, tanggal 12 dan 13 Februari, saya tidak lagi menyaksikan laporan Meutya dan Budiyanto dari Bagdad, saya tanyakan hal itu ke Korlip. Begitu mendengar kabar bahwa keduanya sudah berada di Amman, serta merta saya minta Dadi secepatnya mengirim kembali Meutya dan Budi ke Irak. Mereka harus membatalkan kepulangannya ke Jakarta.
Ada dua pertimbangan. Pertama, keduanya masih diperlukan untuk meliput hari raya Asyura, tradisi memperingati hari wafatnya Hussein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, di Kota Karbala, yang biasa dilakukan kelompok Syi'ah. Peristiwa ini tidak saja penting, tetapi juga menarik dan dramatis mengingat pemilu di Irak mungkin dimenangkan oleh Kelompok Syi'ah. Kedua, hasil penghitungan suara pemilu Irak belum selesai. Sayang jika tugas keduanya tidak tuntas. Tapi, rupanya penugasan itulah yang membawa kedua kru ini masuk dalam catatan: mereka disandera di kota Ramadi. Dan saya, yang menugaskan kembali keduanya ke Irak, terpenjara dalam perasaan bersalah dan penyesalan mendalam.
* * * SEBAGAI orang yang menan ti kejelasan nasib Meutya dan Budi, rasanya waktu berjalan teramat lambat. Tapi perasaan seperti itu sangat terbalik dengan kesibukan awak redaksi yang mengikuti perkembangan peristiwa ini dari detik demi detik. Pada pukul dua siang itu, Metro TV sudah menyiarkan breaking news tentang kehilangan Meutya dan Budi di Irak. Dua jam kemudian muncul berita bahwa kedua kru Metro TV itu diculik di sekitar kota Ramadi. Tapi tidak jelas siapa penculiknya, untuk tujuan apa mereka menculik, dan bagaimana nasib keduanya.
Sekitar pukul 10 malam mulai ada titik terang. Sebuah berita yang diterima dari kru Al-Jazeerah menjelaskan bahwa Budi dan Meutya diculik oleh kelompok pejuang Mujahiddin. Kabarnya mereka menuntut agar pemerintah Indonesia menjelaskan untuk tujuan apa Meutya dan Budi dikirim ke Irak. Dari Korlip saya mendapat kabar beberapa saat kemudian kru Al-Jazeerah di Jakarta akan merekam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang tujuan kepergian Meutya dan Budiyanto. Bersamaan dengan itu, kru Metro TV
di Jakarta merapat ke Istana.
Menjelang pukul 12 malam, saya mendapat kabar dari APTN Hong Kong bahwa tidak lama lagi London akan mengirim gambar penyanderaan Meutya dan Budi. Melihat perkembangan yang begitu cepat, Helmy Yohanes, dkk. yang mempersiapkan program Midnight Live, siaga dengan breaking news. Dan benar saja, tepat pukul 00.30 WIB, Sabtu dini hari, 19 Februari, gambar Meutya dan Budiyanto muncul. Gambar itu muncul pada APTN News update pukul 17.30 GMT.
Gambar berdurasi 1.43 menit itu sungguh mendebarkan hati.
Bagaimana tidak" Meutya dan Budi berada di bawah todongan senjata.
Meutya tampak gugup, Budiyanto komat-kamit, tidak jelas sedang bicara apa. Tidak ada soundbite yang terdengar, kecuali gambar yang memperlihatkan keduanya sedang berada dibawah ancaman berat.
Gambar medium shot itu memperlihatkan keduanya berada di sebuah wilayah gurun pasir.
Gambar itu hanya memberikan satu makna: Meutya dan Budi berada di bawah teror yang menakutkan.
Bersamaan dengan breaking news itu, di istana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan pada dini hari itu juga. Inti pernyataan Presiden ada dua. Pertama, menyatakan bahwa Meutya dan Budiyanto adalah benar dua warga negara Indonesia yang sedang menjalankan tugas jurnalistik murni. Kedatangan mereka ke Irak tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik apapun. Kedua, Presiden meminta para penyandera membebaskan Meutya dan Budiyanto. Pernyataan pertama Presiden itu mengingatkan pada isi penjelasan saya kepada Menlu Hassan Wirajuda dan Jubir Marty Natalegawa pada siang harinya. Dalam pertemuan itu baik Hassan maupun Marty tidak hanya sekali mengkorfimasikan motif politik ini.
Hanya dalam waktu beberapa menit kemudian, Al-Jazeerah menayangkan gambar penyanderaan itu. CNN juga menayangkan gambar yang sama. Kedua televisi ini juga menyiarkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hal yang sama dilakukan oleh Metro TV. Kecepatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi permintaan para penyandera itu membuat saya ikut merasa sebagai warga negara yang diperhatikan oleh pemimpinnya.
Pemunculan gambar penyanderaan itu menjadi babak baru penantian Metro TV. Pertama, kini menjadi jelas bahwa Budi dan Meutya disandera kelompok pejuang Mujahiddin. Kedua, pemerintah, seperti dijanjikan Menlu dan Presiden, ikut ambil bagian dalam usaha pembebasan ini atas nama perlindungan kepada warga negara. Tapi fase penyanderaan ini justru menimbulkan teka-teki baru tentang masa depan Budi dan Meutya. Apakah mereka selamat ditan-gan penyandera" Bagaimana perlakuan penyandera terhadap Meutya dan Budi" Bagaimana nasib Budiyanto dan Meutya jika tentara koalisi menghajar para penyandera dan keduanya tertembak peluru nyasar seperti beberapa kejadian sebelumnya" Bagaimana caranya bisa berhubungan langsung atau bernegosiasi dengan penyandera"
Bagaimana perasaan keluarga Meutya dan Budi setelah menonton gambar ini"
Seperti pemberitaan mengenai penyanderaan pada umumnya, memang selalu tersedia ruang sempit untuk memikirkan kemungkinan yang positif
. Misalnya, penyandera hanya ingin menyampaikan pesan politik tertentu melalui tindakan penyanderaan. Dalam beberapa kasus mereka tidak melukai dan atau membunuh korbannya. Kemungkinan lain, motif kriminal dengan meminta uang tebusan. Dalam kedua kasus tersebut, jika tujuan politik atau tujuan finansialnya tercapai, korban biasanya dilepas.
Ditilik dari permintaan Mujahidin agar pemerintah Indonesia menjelaskan posisi Meutya dan Budiyanto, dapat diduga, penyanderaan ini berlatar belakang politis. Hal itu juga diperkuat oleh penayangan gambar penyanderaan dan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yud-hoyono, pada prime time news untuk penonton Al-Jazeerah di kawasan Timur Tengah atau dini hari waktu Indonesia, dan siang hari waktu CNN yang mewakili penonton dunia barat. Tapi situasi konflik yang tidak jelas petanya di Irak membuat semua analisis itu tetap terasa tidak ada gunanya. Dan selalu muncul kemungkinan terburuk. Namun, lepas dari semua itu, berita penyanderaan ini rupanya tidak saja menjadi perhatian pers Indonesia, tetapi juga pers dunia.
Penayangan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada stasiun televisi Al-Jazeerah memunculkan inspirasi baru. Pada rapat keesokan paginya, muncul saran pada rapat redaksi agar merekam pernyataan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh untuk disiarkan melalui Al-Jazeerah. Rapat itu juga menyepakati agar para tokoh itu berbicara dalam bahasa Arab. Maka rapat itu pun sepakat untuk menghubungi tokoh-tokoh seperti Amin Rais, Gus Dur, KH Quraish Shihab, Hidayat Nur Wahid, KH Hasyim Muzadi, dan beberapa tokoh lainnya.
Suara tokoh-tokoh ini diharapkan sampai ke kelompok penyandera atau jaringan-jaringan mereka. Untuk itu beberapa rekan lainnya menghubungi Al-Jazeerah agar membantu penayangan pernyataan-pernyataan para tokoh itu. Di luar dugaan, permintaan ini disambut baik oleh Al-Jazeerah. Isinya kurang lebih sama dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lebih dari itu, mereka juga diminta menyampaikan pesan untuk mengundang empati kelompok pejuang Mujahiddin maupun jaringannya di mana pun mereka berada agar melepaskan Budi dan Meutya.
Sejumlah kru dikerahkan untuk menemui tokoh-tokoh itu. Saya, bersama beberapa teman menghadap DR. Hidayat Nur Wahid di gedung MPR. Untunglah tokoh-tokoh ini menyambut antusias permintaan ini. Agar efektif, Metro TV mengirim pesan-pesan itu pada malam hari sehingga dapat ditayangkan pada earlyprime time Al-Jazeerah. Jalan pikirannya sederhana saja. Jika para penyandera sudah mendengar pesan dari pemerintah Indonesia melalui Al-Jazeerah, pesan-pesan tokoh Muslim Indonesia ini pun sangat mungkin sampai ke jaringan-jaringan pejuang Mujahiddin, termasuk kelompok penyandera yang ada di gurun pasir dekat kota Ramadi.
Upaya-upaya itu jelas tak dapat diukur hasilnya. Namun ada keyakinan pesan-pesan ini cepat atau lambat akan sampai juga pada penyandera. Reaksi-reaksi atas pesan-pesan ini dipantau oleh Mohammad Nasser di Irak maupun Yordania. Beberapa awak Metro TV
yang mempunyai teman dekat di kawasan Timur Tengah, khususnya di Yordania, Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan lain-lain melaporkan mereka menonton pesan-pesan itu melalui Al-Jazeerah. Pada saat bersamaan, hasil pengaisan informasi melalui milis-milis di internet maupun beberapa koran yang terbit di Timur Tengah tidak ditemukan berita-berita buruk tentang nasib Budi dan Meutya. Satu-satunya soal pokok dalam tiga hari itu adalah menunggu dalam ketidakpastian.
Dalam suasana "gelap" semacam ini selalu saja muncul pikiran terburuk tentang nasib Budi dan Meutya.
Tetapi, menyaksikan gambar penyanderaan yang menakutkan jelas menjadi beban mental. Maka pada pagi tanggal 19 Februari itu saya merasa sudah saatnya menjelaskan kepada publik tentang latar belakang penugasan Meutya dan Budi ke Irak. Selain menjelaskan latar belakang penugasan keduanya itu kepada publik, melalui Metro TV pula, saya meminta maaf secara terbuka kepada keluarga karena penugasan ini telah menyusahkan mereka.
Usai siaran pagi itu, masih tanggal 19 Februari, setelah mengikuti rapat redaksi Metro TV, saya merasa
sudah tepat waktunya mengunjungi keluarga Meutya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Sementara Claudius dan beberapa korlip lainnya, yang menjadi atasan langsung Budi, mengunjungi istri dan anak Budi di Rawamangun, Jakarta Timur. Mengunjungi keluarga adalah tugas mulia, tetapi terasa berat bagi saya karena akan begitu banyak yang hendak saya katakan, namun saya merasa tidak pantas mengatakan apa pun kepada keluarga yang sedang dirundung duka ini. Sehari sebelumnya Zsa Zsa Yusaryahya dan Desi Anwar sudah berkunjung ke Lebak Bulus.
Di rumah ibu Metty Hafid, saya diterima Finny, kakak Meutya.
Sesaat kemudian saya bertemu Ibu Metty, seorang wanita tua yang tampak tegar, tenang dan tabah. Saya memperkenalkan diri sebagai pemimpin redaksi yang menugaskan Meutya ke sana. Saya minta maaf atas kejadian ini. Lebih dari itu, saya tidak bisa mengatakan apa pun. Saya mengunci mulut untuk tidak mengatakan "ini risiko tugas."
Kata-kata seperti ini hanya membela diri. Lagipula, untuk peliputan di area konflik seperti ini, risiko-risiko itu mestinya sudah menjadi pertimbangan. Secara etis, hidup atau nyawa selalu lebih penting dari apa pun.
Saya percaya kata-kata memang dapat menghibur, tetapi jika saya pun berada dalam posisi keluarga Meutya atau keluarga Budi, kata-kata itu sama sekali tidak ada artinya bagi saya dibanding nyawa anak tercinta. Karena itu saya lebih banyak diam. Selebihnya saya menjelaskan kepada Finny bahwa pimpinan MetroTV , Surya Paloh, akan segera bertolak ke Amman dan Irak untuk ikut memimpin upaya pembebasan. Kemungkinan salah satu anggota keluarga akan diikut sertakan. Upaya ini akan berjalan bersama langkah pemerintah, atau Deplu. Selebihnya, Usi Karundeng yang juga hadir di situ meneguhkan hati Ibu Metty. Sekitar satu jam saya berada di sini, tanpa banyak kata. Di benak saya, makin banyak kata, hanya akan berkesan membela diri, dan hanya menyakitkan hati keluarga.
Bukan kali ini saja saya mengalami tekanan mental akibat penugasan yang langsung maupun tidak langsung atas rekan-rekan kerja yang berujung pada risiko berat. Sepuluh tahun lalu, wartawan Liputan 6 SCTV, Ferdinandus Sius (kami biasa memanggilnya Max karena wajahnya mirip Max Sopakua, mantan reporter olahraga TVRI) dan juru kamera Vance Iskandar, tewas dalam penerbangan Garuda yang menabrak Gunung Sibayak, Medan, sesaat sebelum mendarat di Bandara Polonia. Ketika mengantar jenazah Ferdinandus ke Kupang, kami masih mempunyai hubungan kerabat jauh, sambil meratap, keluarga menanyakan kepada saya mengapa Ferdinandus yang ditugaskan meliput kasus asap Surnatera yang membuat Singapura dan Malaysia menderita. Saya benar-benar kehilangan kata-kata untuk menjawab ratapan pilu itu.
Masih di SCTV, ketika menjadi wakil pemimpin redaksi, bersama Karni Ilyas yang menjadi pemimpin redaksi ketika itu, saya ikut panik karena kehilangan kontak selama tiga hari dengan Reporter Merdi Syofyansyah dan juru kamera Dwi Guntoro ketika Perang Irak mulai berkecamuk. Ingatan akan peristiwa itu membayang-bayangi perasaan saya ketika Meutya dan Budi diculik.
Sepulang dari rumah Meutya, sekitar jam 3 siang, saya kembali menghadap Surya Paloh. Sudah jelas pada waktu itu, tim yang akan dikirim bersama Surya Paloh adalah empat wartawan masing-masing Thia Yufada, Mauluddin Anwar dan juru kamera Kusdaryanto dan Sudirman Mustari. Pada kesempatan itu, Surya Paloh menyarankan Sandrina Malakiano ikut. Semula saya keberatan karena akan terlalu banyak kru yang ikut, tetapi saya kembali menyerahkan itu kepada keputusan Surya.
Dalam pertemuan dengan Surya Paloh siang itu saya mendapati Lisa Luhur, sekretaris yang sudah lama bekerja dengan Surya, membawa segepok plastik besar uang dollar Amerika. Insting saya mengatakan mungkin uang itu dipersiapkan sebagai bagian dari uang tebusan jika para penyadera memintanya sebagai syarat pembebasan.
Atau setidaknya uang itu bisa digunakan untuk mencarter pesawat di Irak untuk menjangkau Ramadi. Tapi saya tidak menanyakan itu kepada Surya. Bagi saya, yang penting, tim ini sudah siap dengan segala kemungkinan.
Kepada Surya saya j uga ungkapkan tentang kemungkinan salah satu anggota keluarga Meutya dan Budi diikutsertakan. Tapi karena waktunya sangat sempit, Surya menjanjikan mereka mungkin akan berangkat jika sudah ada tanda-tanda pembebasan atau sebaliknya akan terjadi. Pembicaraan itu juga membahas berbagai skenario peliputan jika sudah sampai di Irak. Surya Paloh dkk berangkat pada sore hari tanggal 20 Februari.
Bersamaan dengan itu, awak pemberitaan selalu sibuk memantau berbagai sumber berita di Timur Tengah yang berkaitan dengan berita penyanderaan ini. Dalam dua hari itu, hubungan dengan Mohammad Nasser sangat intens. Demikian juga dengan Al-Jazeerah.
Untuk mengetahui keadaan lebih lanjut, karena berita dan gambar penyanderaan ini berasal dari APTN, saya kembali menghubungi V.K.
Chan di Hong Kong. Jawabannya, belum ada perkembangan yang menggembirakan.
Saya juga menghubungi posko di Departemen Luar Negeri. Juga belum ada kabar dari jaringan-jaringan mereka. Dari Marty saya dapatkan gambaran diplomat-diplomat mereka di Timur Tengah, khususnya di Amman, sedang bekerja keras. Saya juga mendapat informasi bahwa Deplu mengirim diplomat senior. Triyono Wibowo, ke Amman. Triyono Wibowo adalah Ketua Penanggulangan Krisis yang dibentuk Deplu untuk menangani kasus penculikan ini.
DALAM penantian, waktu tiga hari terasa sangat lama. Selain melelahkan, keputus asaan sudah mulai muncul di sana-sini. Tapi semua itu harus dilalui. Sepanjang pagi menjelang siang, pada 21 Februari, awak redaksi melakukan tugas-tugas rutin, termasuk mengontak berbagai jaringan di Timur Tengah. Menjelang jam 12 siang, saya mendapatkan kabar di ruang redaksi bahwa Mohammad Nasser sudah mengontak seorang ulama besar yang disegani di dekat kota Ramadi. Seseorang yang menerima berita itu mengatakan ulama itu siap menyampaikan pesan kepada kelompok penyandera untuk membebaskan Meutya dan Budi. Kabar itu tidak jelas benar, tetapi di tengah situasi tak pasti, sekecil apapun kebenarannya perlu diricek ke mana-mana.
Toh, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu tiba juga. Tepat pukul 13.15, ruang redaksi gempar. Pada saat itu rupanya berita teks tentang pembebasan Budi dan Meutya dari APTN sudah masuk keruang redaksi. Lima belas menit kemudian, gambar pembebasan Meutya dan Budi muncul. Semua awak redaksi berdesak-desakan di receiver APTN. Semua orang berjingkrak-jingkrak dan saling berpelukan diruang redaksi. Kali ini, air mata yang mengalir dari sebagian awak redaksi adalah air mata haru dan gembira. Saya sendiri, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penugasan ini serasa baru melepaskan beban sangat berat yang sulit tertanggungkan. Air mata saya pun menetes sambil berpelukan dengan begitu banyak kru.
Gambar berdurasi 1.53 menit itu memperlihatkan Budi sedang tersenyum menerima kitab suci Al-Quran dan ucapan selamat dari penyandera. Sementara Meutya berdiri di sampingnya dengan ekspresi wajah yang menyembunyikan kegembiraan. Seketika itu juga, Makroen
Sandjaya, dkk. menyiapkan breaking news mengenai pembebasan ini. Memasuki Control Room, semua kru tampak seperti sedang dilanda euforia pembebasan. Pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan breaking news empat hari sebelumnya tentang penyanderaan, yang diwarnai dengan rasa sedih, takut dan cemas.
Setelah penayangan gambar pembebasan itu, semua orang di ruang redaksi bertepuk tangan. Sungguh, jika pun peristiwa ini bukan apa-apa bagi orang lain, tetapi bagi awak Metro TV, ini adalah sebuah momen, draft sejarah yang sulit dilupakan. Dan bagi saya, ini adalah salah satu sejarah penting dalam karier kepemimpinan saya. Usai breaking news saya memasuki ruang kerja saya dan sejenak mengangkat syukur ke hadirat Tuhan.
Tapi ini barulah awal dari berita pembebasan yang, ternyata berjalan tidak mulus. Ada hal penting yang belum terjawab. Benar pada siang hari itu berita pembebasan Budi dan Meutya sudah diketahui, tapi belumlah jelas benar karena posko di Jakarta belum dapat berkomunikasi langsung dengan Budi dan Meutya. Menilik medan yang berat dari Ramadi menuju perbatasan Irak-Yordania, kekhawatiran atas kesel
amatan Budi dan Meutya tetap saja menjadi momok yang menakutkan. Mungkin mereka sudah lepas dari tangan penyandera di Ramadi, tapi tidak ada jaminan perjalanan mereka akan aman dari penculikan lainnya. Yang juga menakutkan adalah keganasan tentara sekutu yang tidak mengenal ampun menembaki orang-orang yang dicurigai.
Cuma kali ini, cukup menggembirakan karena penanganan pembebasan sudah melibatkan berbagai pihak. Para diplomat Deplu di Amman, misalnya, sudah berkordinasi kemana-mana. Deplu juga akan mengirim diplomat seniornya menuju perbatasan Irak. Surya Paloh dan tim dari Metro TV yang sudah dua hari berada di Amman, Yordania, juga bergerak menuju perbatasan. Sehari sebelumnya, Surya Paloh muncul dalam program Metro Hari Ini, langsung dari Amman. Di kantor Metro TV Kedoya, semua awak redaksi juga siaga untuk melanjutkan breaking news pembebasan ini, jika sesewaktu sudah mendapat kontak langsung dengan Budi dan Meutya.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba juga. Sekitar pukul 9 malam, untuk pertama kalinya saya mendengar suara Meutya melalui telepon malam itu. Betapa mengharukan setelah saya dan kawan-kawan menanti dalam ketidak pastian. Suara Meutya mengesankan perjalanannya menuju perbatasan Irak-Yordania tidaklah aman. dia seperti dil-puti ketakutan. Juga ada kesan tergesa-gesa dalam suaranya yang terbata-bata. Tapi kabar terpenting bagi saya adalah keadaannya yang sehat dan tak kurang suatu apapun.
Usai berbicara dengan Meutya saya berbicara dengan Budi, termasuk menanyakan soal perbekalan mereka selama perjalanan. Budi juga menjelaskan keadaan yang kurang aman sepanjang perjalanan.
Saat itu juga Kedoya mengudarakan breaking news, langsung dengan Meutya dan Budiyanto. Kali ini, kegembiraan di ruang pengendali siaran luar biasa meriah. Tapi kemeriahan itu berlangsung sejenak. Ruang pengendali siaran kembali senyap. Sebab Meutya dan Budi mengabarkan mereka tidak diperkenankan melewati perbatasan Irak-Yordania. Pos perbatasan, malam itu, hingga keesokan harinya ditutup di bawah penjagaan ketat. Tidak boleh ada yang lalu lalang dari dan ke Irak, atau sebaliknya, karena menjelang hari raya Asyura.
Meutya menggambarkan keadaan di perbatasan juga menakutkan.
Keduanya tidak berani keluar dari mobil. Kontak dengan keduanya pun terputus.
Bersamaan dengan itu, Surya Paloh dan tim juga sudah sampai di perbatasan untuk menjemput Budi dan Meutya. Penasaran dengan terhadangnya kedua kru itu di perbatasan, saya meminta Surya Paloh melaporkan langsung keadaan di perbatasan untuk disiarkan di Metro TV malam itu juga. Begitu on air, penyiar dari studio Metro TV menanyakan Surya Paloh tentang langkah-langkah para diplomat Indonesia yang sudah ada diperbatasan. "Saya melihat mereka seperti tenang-tenang saja dan tidak berbuat apa-apa," kata Surya Paloh.
Rupanya isi laporan Surya Paloh itu membuat Marty Natalegawa kecewa. Marty menelepon saya, mengingatkan komitmen bahwa Metro TV dan Deplu harus bekerjasama untuk membebaskan Budi dan Meutya. dia juga mengingatkan perlunya memahami tata krama diplomatik dalam urusan semacam ini.Saya tidak punya pilihan lain kecuali meminta maaf atas laporan yang mungkin mengabaikan kerja keras pemerintah atau Deplu dalam upaya pembebasan ini.
Penantian keesokannya tak kalah panjang. Semula kami menduga, pukul 10 siang hari Selasa, 22 Februari, posko di Kedoya sudah akan mendapatkan kabar Budi dan Meutya melintasi perbatasan Irak-Yordania. Lewat pukul 3 sore, belum juga ada tanda-tanda Budi dan Meutya bisa melintasi perbatasan. Menjadi pertanyaan, kok proses ini susah dan lama benar jalannya"
Pada malam hari, atau sore waktu Irak, barulah kabar itu benar-benar nyata. Budi dan Meutya baru bisa melintasi perbatasan. Begitu Surya Paloh mengabarkan Meutya dan Budi sudah dalam dekapannya, semua beban terasa terlepaskan. Sebagai pemimpin redaksi yang menugaskan keduanya ke Irak, langkah saya terasa sangat enteng malam itu. Suasana ruang redaksi dan ruang pengendali siaran pun ceria ketika Boy Noya mengantarkan breaking news tentang pembebasan ini.
Ribuan ucapan selamat berdat
angan melalui telepon, email, maupun sms. Jumlahnya hampir sama dengan ucapan simpati dan doa yang mengalir selama empat hari masa penyanderaan sebelumnya.
Jelas, kabar ini benar-benar mengakhiri penantian 4 hari yang terasa amat sangat panjang dan melelahkan. "Saya ingin Meutya dan Budi menikmati malam pembebasan ini di Amman," kata Surya melalui telepon dengan suara parau. Rupanya, penantian di tengah hawa dingin malam hari di perbatasan membuat kesehatan Surya Paloh agak terganggu. Dalam percakapan telepon itu saya mendengar Budi dan Meutya akan berangkat ke Jakarta bersama tim dari Metro TV keesokannya dengan Qatar Airways.
"Mungkin saya akan menyusul ke Jakarta. Saya agak sakit," kata Surya Paloh.
"Abang harus pulang bersama Budi dan Meutya. Abang kan tahu, Presiden akan menyambut kedatangan Meutya dan Budi di Istana. Apa jadinya kalau Abang tidak di sini," kata saya. "Okelah, Don."
* * * KEDEKATAN Meutya dan Budi dengan awak pemberitaan Metro TV mengundang rasa rindu segera bertemu dengan keduanya. Begitu pun saya. Pemberitaan yang luas melalui media cetak dan elektronik di sini, dan juga media-media internasional, menambah rasa ingin tahu bagaimana keadaan keduanya setelah diculik hampir selama seminggu. Dan yang lebih menarik, bagaimana sesungguhnya kisah penyanderaan di kota Ramadi itu. Bagi saya, karena pemberitaan yang luas itu, jelas menempatkan Budi dan Meutya menjadi "bukan wartawan biasa" dan "bukan juru kamera biasa" lagi. Perasaan semacam itulah yang saya bawa sampai tiba waktunya menjemput mereka di Bandara Soek-arno-Hatta, Kamis, 24 Februari siang.
Bersama iring-iringan mobil yang cukup panjang yang membawa awak Metro TV, begitu tiba di bandara Soekarno Hatta, enam atau tujuh diplomat dari Departemen Luar Negeri sudah lebih dulu tiba.
Sejumlah wartawan cetak dan elektronik hilir mudik disana. Perasaan saya berdebar-debar menantikan keduanya keluar dari garbarata di ruang tunggu khusus.
Begitu wajah Meutya dan Budi muncul, dari jarak sekitar 15 meter, saya melompat kegirangan. Setelah itu saya merapat. Saya memeluk tubuh mungil Meutya dengan perasaan kasih yang tulus.
Airmata saya menetes. Di dalam tubuh mungil ini, bertahta hati dan jiwa yang tegar, pikirku seraya menatap mata Meutya. "Kami semua bangga padamu, Mut," kata saya. Tidak banyak kata lagi yang kami ucapkan ketika itu. Meutya mengucapkan terima kasih, dan saya menyampaikan permintaan maaf. Juga menyampaikan selamat tiba kembali ke pangkuan keluarga dan keluarga besar Metro TV.
Usai memeluk Meutya, saya memeluk Budi. "Kami semua bangga pada Mas Budi," kata saya sambil menatap mata Budiyanto.
Pada wajahnya yang murah senyum bertahta jiwa yang tegar. Usai memeluk keduanya, saya memeluk Surya, mengucapkan terima kasih karena telah memikul penuh tanggung jawab atas akibat keputusan saya. Iring-iringan perjalanan menuju istana, hari itu bak mengantar pahlawan yang telah memenangkan pertempuran. Sambutan di pendopo Istana pun meriah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Menlu Hassan Wirajuda menyambut keduanya dengan antusias. Menikmati sambutan semeriah itu, saya pun merasa ikut memenangkan pertempuran batin. Tanpa ragu saya ikut berdiri di pendopo, menyaksikan Meutya dan Budi, yang tampak kikuk dengan penyambutan meriah ini.
Usai di istana, penyambutan di Metro TV lebih meriah lagi.
Begitu memasuki gerbang Metro TV sekitar pukul 5 sore, seluruh karyawan Media Grup memadati halaman depan kantor yang megah.
Ditengah kerumunan itu, Budi dan Meutya dengan sabar melayani rekan-rekannya yang memeluk dan berjabat tangan dengan keduanya. Di sana-sini saya mendengar seman membahana, "Hidup Meutya. Hidup Budi". Di grand studio, saya menikmati pemandangan magis: semua orang menikmati kemenangan. Sebuah catatan kecil sejarah telah ditoreh Meutya dan Budi dalam karier jurnalistiknya.
Sementara dari sebuah sudut studio itu saya, kali ini, merasa bukan lagi pemimpin redaksi yang bodoh. []
Failure is not an Option Oleh Dr. R. M. Marty M. Natalegawa
Mantan Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI
SEBAGAI s eorang Juru Bicara Departemen Luar Negeri, tidak ada hari yang saya lalui bersifat rutin. Tiap hari saya selalu siapkan diri menghadapi tantangan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Namun hari itu, Jumat, 18 Februari 2005, menjadi salah satu hari luar biasa buat saya.
Menjelang press briefing yang rutin diselenggarakan di Deplu, kami menerima laporan dan KBRI Amman, Yordania, mengenai
'kehilangan kontak' dengan dua wartawan Metro TV, Meutya Hafid dan Budiyanto yang tengah berkunjung ke Irak. Menurut kabar yang masih perlu dikonfirmasi itu, kendaraan yang disewa kedua wartawan Metro TV dihadang sekelompok bersenjata berseragam militer, dan keduanya dilarikan ke tempat yang belum diketahui.
Ketika saya kontak ke Amman, pihak KBRI mengonfirmasikan telah kehilangan kontak dengan kedua kru Metro TV sejak mereka menyeberangi perbatasan Yordania-Irak hari Selasa, 15 Februari.
Mereka sampaikan pula bahwa sesungguhnya tanggal 30 Januari, kedua wartawan tersebut telah berkunjung ke Irak untuk meliput pemilihan umum. Keduanya masuk kembali ke Irak untuk meliput perayaan Asyura di Karbala.
Sesuai arahan Menteri Luar Negeri, saya hubungi Pemimpin Redaksi Metro TV, Don Bosco Sel-amun, yang juga mengonfirmasikan bahwa pihaknya telah kehilangan kontak dengan kedua wartawan sejak Selasa sore, 15 Februari. Kami sepakat menggunakan momentum press briefing mingguan di Deplu untuk mengumumkan kabar 'kehilangan kontak' tersebut kepada media massa dan masyarakat. Istilah "kehilangan kontak" sengaja digunakan karena sampai detik tersebut belum ada kejelasan mengenai nasib Budiyanto dan Meutya Hafid, sehingga belum dapat diasumsikan bahwa keduanya telah diculik.
Setelah pers briefing, sekitar pukul 12:00 WIB, didampingi Direktur Diplomasi Publik, Andri Hadi dan Kabag Infomed Badan Administrasi Menteri (BAM), Umar Hadi, saya bertemu dengan Pemred Metro TV, Don Bosco Selamun dan Koordinator Penyiar Metro TV, Usi Karun-deng. Dalam pertemuan itu pihak Metro TV dan Deplu sepakat untuk menjalin koordinasi dan berbagai informasi, serta perlunya kehati-hatian karena menyangkut keselamatan dua WNI. Kami juga sepakat mengedepankan kepentingan keluarga kedua wartawan.
Deplu dan Metro TV akan selalu menginformasikan kepada pihak keluarga perkembangan terakhir dan upaya-upaya pengembalian kedua wartawan tersebut ke Tanah Air.
Sekitar pukul 17:00 WIB, laporan tertulis Menlu kepada Presiden mengenai hilangnya 2 Wartawan Metro TV disampaikan ke Istana Merdeka. Pada saat yang sama Menlu memimpin rapat koordinasi untuk membentuk Tim Penanggulangan Krisis (TPK) Deplu. Bapak Triyono Wibowo, Staf Ahli Menlu bidang Manajemen ditunjuk sebagai Ketua TPK dan saya sebagai Wakil Ketua, serta antara lain Direktur Timur Tengah, Gatot Abdullah Mansyur; Direktur Informasi dan Media, Luthfi Rauf; Direktur Konsuler, Harimawan Suyitno; Direktur Perlindungan WNI Deplu, Ferry Adamhar, dan Kabag Infomed BAM Umar Hadi sebagai anggota.
Pertemuan pertama TPK membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan, antara lain penyiapan konsep appeal dari keluarga untuk disiarkan melalui Al-Jazeera di negara-negara Timur Tengah. Appeal menekankan aspek kemanusiaan dengan menegaskan bahwa keberadaan kedua wartawan Metro TV di Irak hanya untuk menjalankan tugas jurnalistik. Tim TPK juga sepakat memfasilitasi rencana pengiriman tim khusus Metro TV ke Amman, serta pengguliran upaya intensif dan serentak dari Deplu dan Perwakilan RI di sekitar wilayah Irak (Amman, Damaskus, Beirut, Doha, Abu Dhabi, Riyadh dan Jeddah) guna menggalang kontak, baik secara formal maupun informal dengan pihak-pihak yang dapat membantu, baik dari kalangan pemerintahan, organisasi Bulan Sabit Merah, Palang Merah (ICRC) dan tokoh serta ulama setempat.
Pukul 19:00 WIB, di Istana Merdeka, Presiden menyampaikan 'imbauan resmi' (appeal) atas hilangnya kedua wartawan di Irak.
Himbauan tersebut disiarkan secara langsung oleh Metro TV, dan disiarkan juga oleh Al-Jazeera.
Pukul 22:00 WIB, saya mendapat telepon dari Associated Press Television News (APTN) yang menyampaikan bahwa mereka mendapat re
kaman penahanan kedua wartawan Metro TV oleh Tentara Mujahidin (Jaisy Al-Mujahidin). Dalam pernyataannya yang akan ditayangkan APTN. Jaisy Al-Mujahidin meminta konfirmasi dari Pemerintah Indonesia perihal status keberadaan kedua WNI di Irak dan menyatakan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka di Irak. APTN akanmenyiarkan breaking news ini 1 jam mendatang.
Sejumlah hal muncul di benak saya. Pertama, dengan adanya berita ini, diperoleh kejelasan bahwa Meutya dan Budiyanto telah menjadi tahanan Tentara Mujahidin. Kedua, Pemerintah Indonesia harus segera memberikan tanggapan awal terhadap kejadian yang menimpa kedua wartawan tersebut. Perkembangan ini saya laporkan kepada Menlu, yang juga memandang penting untuk segera melaporkan masalah ini kepada Presiden dan segera menyampaikan pandangan Pemerintah RI.
Akhirnya, dini hari pukul 01:00 WIB, Presiden Yudhoyono menyampaikan imbauan untuk membebaskan kedua wartawan Metro TV, yang disiarkan secara langsung melalui APTN dan Al-Jazeera. Inti imbauan Presiden adalah bahwa kedua wartawan Metro TV hanya menjalankan tugas jurnalistik, tanpa misi politik tertentu.
Pagi harinya, Menteri Luar Negeri memimpin rapat TPK untuk mengkaji perkembangan terakhir. Deplu pun menginstruksikan kepada perwakilan-perwakilan RI diwilayah sekitar Irak untuk mengintensifkan kontak, baik melalui jalur formal melalui pemerintah setempat, maupun informal dengan kalangan ulama dan rohaniawan, mengintensifkan imbauan pembebasan melalui pernyataan Presiden RI yang telah disiarkan dan disebarluaskan oleh APTN dan Al-Ja-zeera.
TPK juga menyiapkan konsep imbauan yang akan dibacakan keluarga Meutya dan Budiyanto dan akan di relay APTN dan Al-Jazeera. Deplu juga memfasilitasi kunjungan ketua PMI, Drs. Mar'ie Muhammad ke Abu Dhabi untuk menjalin kontak dengan Bulan Sabit Merah Uni Emirat Arab.
Sore hari, sesuai instruksi Menlu RI, saya memanggil Kuasa Usaha Ad Interim Irak di Jakarta, Mrs. Sudad. untuk menjelaskan keberadaan kedua wartawan Metro TV yang ditahan Jaisy Al-Mujahidin di Irak.
Pada pukul 21:30 WIB, AFP Bagdad menginformasikan bahwa pihak penyandera telah menyerahkan kedua wartawan Metro TV
kepada Mufti setempat di Ramadi. Kabar yang masih sumir ini saya konfirmasikan ke ketua TPK yang sudah berada di Amman. Menlu menginstruksikan bilamana benar terjadi penyerahan kedua sandera agar segera dikoordinasikan dengan pihak Bulan Sabit Merah di UAE, sehingga mereka dapat membantu penjemputan dan pemulangan sandera apabila kedua wartawan dibawa ke kota Bagdad.
Senin, 21 Februari, TPK menggelar rapat, menjajagi skenario evakuasi kedua sandera. Skenario pertama, evakuasi dilakukan dengan bantuan organisasi Bulan Sabit Merah. Dan skenario kedua, apabila sandera pulang sendiri ke Amman melalui perbatasan, akan dijemput oleh KBRI Amman dan Ketua TPK di perbatasan Irak-Yordania.
Tengah hari, pukul 12:30 WIB, kembali saya menerima info dari Associated Press (AP) bahwa kedua wartawan Metro TV telah dibebaskan oleh pihak Jaisy Al-Mujahidin. Setelah mendengar kabar ini, saya mendampingi Menlu ke Istana Merdeka guna menyampaikan perkembangan ini kepada Presiden, meskipun kabar tersebut masih harus dikonfirmasikan kembali. Menlu juga menyampaikan kabar tersebut dalam press briefing di Istana Merdeka. Disampaikan pula bahwa pihak penyandera, Jaisy Al-Muhajidin dalam pernyataannya menyatakan bahwa 'memerhatikan niat baik kedua sandera dan menghormati rasa persaudaraan Islami an-
tara kedua negara serta menghargai posisi Indonesia yang menentang invasi Irak', diputuskan untuk membebaskan para sandera, dan bahwa Bapak Presiden RI menyambut baik kabar ini.
Setelah briefing dari Menlu, saya lanjutkan press briefing untuk menyampaikan detail perkembangan terakhir, bahwa Tim TPK telah melewati tahap konfirmasi pembebasan sandera dan lokasi mereka, hingga saat ini berada dalam tahap evakuasi. Namun Deplu tidak dapat memberikan informasi mengenai proses evakuasi karena dapat mengganggu proses itu sendiri, dan bahwa kebijakan Deplu yang konsisten terhadap invasi Irak oleh pihak koa
lisi terbukti telah menjadi faktor pertimbangan pembebasan sandera.
Pukul 20:50 WIB saya mengontak Ketua TPK diperbatasan Yordania-Irak. Bapak Triyono menyampaikan bahwa sampai saat ini belum berhasil mengontak telepon seluler Meutya Hafid. Satu jam kemudian, Bapak Triyono menginformasikan bahwa berdasarkan percakapan telepon antara Kabidpen KBRI Amman dengan Meutya Hafid, kedua sandera akan tiba diperbatasan dalam setengah jam.
Pada saat yang sama di Tanah Air, Metro TV menayangkan Breaking News telewicara dengan Meutya Hafid dan Budiyanto, yang saat itu masih berada diwilayah Irak dan belum melintas ke wilayah Yordania. Menurut Meutya, ia dan Budiyanto dalam keadaan baik, sehat dan aman, serta diperlakukan dengan baik selama penyanderaan. Meutya dan Budiyanto juga berbicara dengan anggota keluarga masing-masing. Namun menjelang akhir telewicara, Meutya mengatakan bahwa ada kemungkinan rombongan mereka harus kembali ke Bagdad. Tentu kabar itu sangat mengkhawatirkan.
Pukul 23.00 WIB, Bapak Triyono mengabarkan informasi dari petugas perbatasan Yordania, bahwa pihak Irak tidak mengizinkan Meutya dan Budi melintas perbatasan. Saya minta Bapak Triyono untuk terus mengusahakan agar perbatasan tetap dibuka bagi rombongan sandera. Saya juga menghubungi Pemimpin Redaksi Metro TV, dan mengingatkan bahwa telewicara dengan kedua wartawan sebelum melintasi perbatasan dapat menghambat proses kepulangan karena tidak konsisten dengan upaya evakuasi yang bersifat low-key.
Sekitar pukul 23:30 WIB, Bapak Triyono mengabarkan bahwa sangat sulit untuk mengusahakan dibukanya kembali perbatasan.
Pihak Irak dan Yordan juga gusar karena rencana yang telah dirancang secara seksama tidak berhasil direalisasikan. Pihak Irak mengatakan bahwa perbatasan hanya akan dibuka kembali keesokan harinya.
Padahal, semua dokumen resmi perjalanan sudah selesai diurus dan dilegalisasi, dan sesungguhnya rombongan hanya tinggal melewati perbatasan.
Perkembangan ini saya teruskan kepada Menlu RI, yang menginstruksikan agar saya menelepon Dubes RI di Amman dan Abu Dhabi untuk juga menyiapkan pemulangan kedua wartawan Metro TV dengan menggunakan jasa Bulan Sabit Merah. Saya juga menelepon kakak kandung Meutya, Finny Hafid, memberikan penjelasan tentang situasi terakhir, sekaligus memintanya untuk sementara tidak mencoba menghubungi Meutya.
Sepanjang Senin malam hingga Selasa dini hari, melalui hubungan telepon dengan sejumlah perwakilan RI dan instansi pemerintah terkait di wilayah sekitar Irak, Tim TPK melakukan upaya-upaya fasilitasi agar perbatasan Yordan-Irak dapat dibuka untuk kedua wartawan Metro TV.
Perkembangan ini saya sampaikan kepada Juru Bicara Kepresidenan, Dino Patti Djalal, termasuk informasi bahwa sesungguhnya perbatasan Irak-Yordania telah ditutup selama 4 hari terakhir karenaperayaan Asyura. Namun, sesuai rencana awal, petugas perbatasan Irak-Yordania telah memberikan pengecualian bagi kedua wartawan Metro TV dengan membuka perbatasan.
Berdasarkan perkembangan ini, Bapak Triyono dan saya menyimpulkan bahwa kedua wartawan Metro TV tampaknya baru dapat meninggalkan Irak Selasa pagi.
Sekitar pukul 01:30 WIB, saya menghubungi Bapak Surya Paloh, Pemimpin Media Group, yang juga mengetahui adanya kesulitan di perbatasan. Saya ungkapkan harapan bahwa kesulitan ini hanya merupakan minor hick-ups yang dapat selesai selambatnya hari Selasa pagi. Selasa pagi pukul 11:00 WIB, di Deplu, Tim TPK kembali mengadakan rapat koordinasi, menyusun skenario untuk mengantisipasi pengembalian sandera. Dalam skenario tersebut, disepakati bahwa Direktur Timur Tengah Deplu, Gatot Abdullah Mansyurakan berkoordinasi dengan Dubes RI di Amman untuk persiapan keberangkatan kedua wartawan Metro TV beserta rombongan dari Amman ke Jakarta. Sementara persiapan di Bandara Soekarno Hatta dan penjemputan kedua wartawan akan dilakukan oleh Direktur Konsuler, Hanmawan Suyitno, dan Luth Rauf, Direktur Infomed Deplu. Sementara prosesi penyerahan kedua wartawan Metro TV tersebut disiapkan oleh Direktur Protokol, Dienne Muharyo.
Pukul 12:00 WIB saya menerima te
lepon dari KBRI Doha yang mengabarkan kedatangan Ketua PMI, Drs.Mar'ie Muhammad, dan pihak KBRI telah mengatur pertemuan Ketua PMI dengan Bulan Sabit Merah di Qatar. Hal ini selanjutnya saya komunikasikan kepada Mrs.
Sudad, KUAI Irak di Jakarta. Menanggapi hal ini Mrs. Sudad di Jakarta menjanjikan secara lisan bahwa pihaknya akan menghubungi Kementerian Dalam Negeri Irak di Bagdad untuk memfasilitasi pemulangan kedua wartawan.
Kemudian saya kembali menghubungi Bapak Triyono untuk menanyakan perkembangan terakhir di perbatasan Yordania-Irak.
Bapak Triyono mengabarkan bahwa kedua warga Indonesia saat ini tidak diinterogasi oleh petugas perbatasan Irak, dan perbatasan akan dibuka pukul 13:00 WIB. Menurut ketua TPK, kedua wartawan telah memesan ruangan istirahat, namun karena kondisi ruangan di perbatasan tidak memungkinkan, maka mereka menginap didalam kendaraan sewaan. Begitu pun, petugas perbatasan telah menyediakan makanan bagi keduawartawan.
Saya kembali menghubungi Mrs. Sudad, menyampaikan keprihatinan terhadap hambatan yang dialami diperbatasan. Dalam kapasitas pribadi, dengan tegas saya sampaikan bahwa akan sangat in-humane apabila kedua wartawan tersebut tinggal satu malam lagi di perbatasan Irak. Menanggapi hal ini, Mrs. Sudad mengaku telah mendapatkan konfirmasi dari Departemen Dalam Negeri Irak di Bagdad yang telah memerintahkan petugas perbatasan agar membuka akses bagi kepulangan kedua wartawan. Mrs. Sudad juga mengabarkan bahwa perbatasan Irak masih akan ditutup hingga 23 atau 24 Februari.
Sekitar pukul 17:00 WIB, Bapak Triyono mengabarkan bahwa saat ini Meutya dan Budiyanto masih harus menjalani pertanyaan dari petugas perbatasan Irak karena keduanya telah mengalami penyanderaan. Pukul 17:20 WIB saya berhasil mengontak handphone Meutya.
Saya sampaikan kepada Meutya bahwa sejak tanggal 18 Februari, Deplu telah berupaya semaksimal mungkin untuk membebaskan kedua wartawan Metro TV. Meutya mengatakan bahwa dirinya bersama Budiyanto sangat prihatin karena tidak ada kontak dengan pihak perwakilan Indonesia di Yordania. Ia juga mengatakan bahwa petugas perbatasan rak telah mendapat instruksi dari Bagdad untuk membuka perbatasan. Saya sampaikan agar Meutya menerima telepon dari KUAI Irak di Jakarta yang akan berbicara langsung dengan petugas perbatasan di Irak melalui saluran telepon milik Meutya. Selanjutnya saya minta kepada Meutya agar terus memberikan kabar ke Deplu setiap setengah jam.
Selanjutnya kembali saya menelepon Mrs. Sudad, KUAI Irak di Jakarta. Saya sampaikan kepada Mrs. Sudad bahwa kedua wartawan Metro TV sangat depressed dan prihatin terhadap penanganan petugas perbatasan di Irak dan saya meminta kesediaannya untuk menghubungi Meutya di handphonenya untuk kemudian berbicara dengan petugas perbatasan Irak.
Pukul 18:20 WIB, saya mengontak Bapak Triyono untuk memberitahukan bahwa saat ini Meutya sedang berbicara dengan KUAI Irak di Jakarta. Saya tanyakan pula persiapan dan kesiapan contingency KBRI Amman apabila sandera telah menyeberangi perbatasan. Seluruh perkembangan ini secara terus menerus saya laporkan kepada Menlu RI yang memberikan pengarahan penanganan permasalahan as they unfold.
Akhirnya, berita yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul 19:00 WIB, saya mendapatkan kabar dari Meutya bahwa dirinya dan Budiyanto dalam perjalanan menuju Yordania. Pukul 19.35 WIB, Meutya dan Budiyanto diantar oleh petugas Yordania tiba di wilayah Yordania, disambut Ketua TPK dan langsung menuju kantor Border Department.
Bapak Triyono menelepon Menlu melaporkan bahwa kedua wartawan yang disandera telah berada bersama beliau dan selanjutnya Menlu berbicara langsung dengan Meutya dan Budi.


168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamis, pukul 10:00 WIB, staf Deplu menjemput Keluarga Meutya Hafid dan Budiyanto dari rumah mereka ke Deplu dan Istana.
Kedua wartawan Metro TV tiba di Bandara pukul 14:05 WIB.
Pukul 15:15,kedua wartawan Metro TV beserta Triyono Wibowo, Surya Paloh dan saya tiba di Istana Merdeka melalui Pintu Utara, dan disambut oleh anggota keluarga. Kedatangan rombongan disiarkan secara langsung oleh Metro TV da
n diliput berbagai media massa nasional maupun koresponden asing di Jakarta. Saya, dan tentu semua pihak yang terlibat dalam pembebasan Meutya dan Budiyanto, merasa lega dengan pulangnya mereka ke Tanah Air, dengan selamat.
Satu hal yang selalu saya nomor satukan dalam menangani masalah ini adalah kontak dengan keluarga, dan mereka harus yang pertama mendapatkan informasi sebelum pihak lain, terlebih media massa. Sebagai seorang bapak, saya sangat memahami bahwa pihak keluarga pasti ingin tahu semua informasi, sekecil apapun informasi tersebut. Karena itulah selalu saya sampaikan kepada Finny, kakak Meutya, semua perkembangan informasi upaya pembebasan, sekecil apa pun.
Terasa pilu mendengar respons dari keluarga Meutya yang berusaha tenang, walau kekhawatiran mendalam tetap terbaca dari nada suara Finny. Sebagai perwakilan dari pemerintah saya mempersiapkan diri untuk menerima tuntutan ataupun tekanan dari keluarga. Akan lebih mudah diterima jika reaksi keluarga lebih emosional. Tapi respons yang begitu sabar dan pengertian terhadap kebijakan Deplu, justru menjadi 'beban' bagi saya. Ini berarti keluarga memercayakan penuh nasib anak kesayangannya ditangan Deplu.
Setiap menutup telepon saya berulang kali berjanji dalam hati, saya akan lakukan apapun semampu saya untuk membawa Meutya dan Budi kembali ke pangkuan keluarga. Bagi saya, Failure is not an option.
Perasaan yang sama dirasakan semua anggota Tim Penanggulangan Krisis. Ruang TPK tidak pernah ditinggal selama 24 jam. Lelah fisik dan mental tentu terasa. Namun kekhawatiran akan mengecewakan pihak keluarga begitu tinggi. Sehingga untuk beristirahat menikmati secangkir teh saja terasa sebagai kesalahan. Dalam keadaan genting seperti itu satu menit bahkan satu detik pun berharga. Tapi itulah pilihan Tim: to work with no pause, sampai Meutya dan Budi kembali dengan selamat.
Menlu juga siaga 24 jam. Ia minta saya secara khusus untuk terus mengupdate informasi sekecil apapun, jam berapa pun. Saya pernah menelepon Menlu jam 2 pagi, dan beliau tetap fokus mengikuti laporan. Saya memandang Menlu Hasan Wirayuda sebagai sosok yang clear headed. Saya sependapat dengan Menlu, terbawa perasaan akan semakin menyulitkan upaya kami. Saya yakin sebagai seorang bapak dan seorang Menlu, ia pun mengalami kegundahan yang sama. Tapi beliau memilih mengutamakan pikiran jernih dan logis. Karenanya beliau menjadi orang pertama yang saya cari untuk mohon pertimbangan dan masukan setiap kali ada perkembangan.
Di tengah upaya kerjasama yang kami sepakati bersama Metro TV, memang sempat ada hambatan kecil. Wajar, pendekatan Deplu dan Metro TV sebagai institusi media, tentunya tidak selalu sama, walaupun tujuan utamanya sama. Situasi sempat memburuk ketika Meutya dan Budi tertahan di perbatasan, tidak diizinkan keluar dari Irak. Saya dan Meutya beberapa kali berhubungan melalui ponsel, dan terdengar kepanikan dari suaranya. Tim Metro TV yang menunggu di perbatasan bersama dengan Ketua tim penanggulangan krisis, juga tidak sabar. Saya mengontak Pemred Metro TV Don Bosco untuk meminta mereka tenang. Pintu terakhir menuju pembebasan memang biasanya lebih sulit. Silang pendapat hanya akan membuat situasi semakin berbahaya bagi Meutya dan Budi. Ketegangan pun mereda setelah kami kembali saling mengingatkan bahwa tujuan yang hendak kita capai sama.
Saya selalu menekankan bahwa upaya pembebasan membutuhkan kerja sama semua pihak, bukan hanya Deplu. Namun semua pihak perlu berjalan di atas track, yang sama, demi keselamatan WNI. Hal lain, jangan pernah menyerah jika satu upaya mengalami kebuntuan. Harus selalu ada inisiatif dan alternatif upaya lain, sehingga counterpart kita tidak pernah mengatakan "tidak".
Failure is not an option. Kita juga harus menjalani berbagai upaya ini dengan cool headed dan berpikiran jernih. Menjalani upaya ini seperti berjalan di atas roller coaster, karena itu jika dihadapi dengan gegabah, akan fatal akibatnya.
Bagaimanapun, kembalinya Meutya dan Budi ke Tanah Air dengan selamat, adalah salah satu saat yang paling melegakan sepanjang hidup saya. Terlih
at kelegaan di muka Bapak Menlu ketika saya sampaikan kabar kepulangan mereka. Dan reward terbesar untuk kita semua adalah ketika menyampaikan kabar ini kepada keluarga Meutya dan Budi. Haru dan puas telah memenuhi janji terhadap keluarga, menyelimuti perasaan saya. Makan, minum, dan istirahat saya terasa menjadi nikmat dan nyaman sekali. Teringat kembali ketika kabar mengejutkan itu datang satu pekan sebelumnya. Inilah salah satu journey yang memberi warna terhadap perjalanan tugas saya sebagai Juru Bicara Deplu. []
TENTANG PENULIS Meutya Viada Hafid lahir diBandung, 3 Mei 1978. Anak ke empat (bungsu) dari pasangan DR Anwar Hafid, Ph.D. dan Metty Hafid.
Meutya menghabiskan masa kecilnya di Bogor dan Makassar, sementara masa sekolahnya di Jakarta dan Singapura. Setelah menyelesaikan S1 di Manufacturing Engineering University of New South Wales, Australia, gadis mungil yang memiliki motto hidup kerja keras ini pun bergabung bersama Metro TV pada Februari 2001 sampai sekarang, sebagai reporter sekaligus presenter. Peliputan yang dipercayakan kepada Meutya tidak jarang mengharuskannya berkunjung ke daerah konflik,di antaranya ke Aceh dalam keadaan Darurat Militer (Mei 2003), ke Bali pasca bom kedua (2005), ke Irak untuk meliput Pemilu pertama(Januari-Februari 2005), dan ke Thailand ketika terjadi Kudeta Militer (2006), atau ke daerah bencana ( disaster zone), yaitu ke Aceh pasca tsunami (Desember 2004 -
Januari 2005). Pengalaman peliputan mancanegara lainnya adalah in depth report tentang kondisi TKI Malaysia (November 2004), tentang pertemuan tokoh islam dunia di Rusia (2005), dan baru-baru ini mengenai komunitas pergerakan Muslim di Thailand Selatan (2007). []
Naga Beracun 4 Pendekar Mabuk 123 Pengawal Pilihan Pusaka Pulau Es 3
^