Pencarian

168 Jam Dalam Sandera 2

168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid Bagian 2


Aku membanting pintu ketika mobil belum berhenti sempurna, berlari menuju ruang ECU. Tidak boleh lagi ada kata "nanti" untuk, ayahku, pelindungku. Waktu Ayah tidak banyak, aku harus berada di sampingnya segera. Satu detik pun tak akan kulewatkan, bahkan seperseratus detik pun tidak. Kugedor pintu ruangan, menyeruak masuk melewati pasien-pasien lain. Dalam lariku, mataku menumbuk sosok Ayah tepat ketika kakakku, Finny, menutup mata sang pelindungku. Mataku terpaku pada tubuh Ayah. Seorang suster mulai menarik kain putih. Menutupi kaki, lutut, paha, terus ke pinggang, dada, bahu, wajah, hingga kepala Ayah. Lututku tidak kuat lagi menahan tubuhku. Aku terjatuh tepat saat badanku ditarik keluar ruangan. Tangisku pecah.
Bagaimana mungkin ini terjadi. Bagaimana mungkin Ayah pergi begitu cepat, dalam usia 63 tahun. Dia masih sehat beberapa jam sebelumnya. Dia masih memintaku merayakan hari jadiku bersama keluarga besarku di Bandung. Aku seharusnya giliran menjaganya di rumah sakit hari ini. Ya Tuhan, aku bahkan belum sempat meminta maaf padanya. Bagaimana bisa aku begitu bodoh dan tidak membaca pertanda" Bagaimana bisa aku memilih tidak bersamanya pada detik-detik terakhir hidupnya" Bagaimana bisa aku tidak menemaninya, mengusap kepalanya seperti yang selalu dia minta, dan memijat kakinya" Bagaimana bisa aku tidak mengucapkan kalimat-kalimat manis di akhir hidupnya" Padahal, sepanjang hidupku, Ayah selalu memujiku, menyanjungku, menyemangatiku. Atau... mungkinkah Ayah memilih untuk pergi tanpa menunggu kedatangan kukarena dia begitu kecewa terhadapku" Aku terlambat!
Aku anak. durhaka! Aku hampir tak sadarkan diri. Darah segar mengalir dari hidungku. Kulihat mamaku terjatuh lemas dalam pelukan kakakku.
Rautnya tampak sangat terpukul, nyaris tak sadarkan diri. Aku tak Boleh terus menangis demi mamaku. Aku harus kuat. Aku tahan tangisku, tetapi rasa sakit dan pilu itu justru memuncak. Penyesalan seperti tiada habisnya, mengiris hatiku. Aku masih ingat betul rasa sakit itu, hingga kini. Teramat sangat menyakitkan. Tak ada yang mampu menandingi rasa sakit itu. Tidak para penculik ini. Tidak, si sontoloyo!
SI SONTOLOYO kembali mengibaskan tangannya, memintaku keluar.
Kali ini aku turuti perintahnya tanpa rasa takut. Kulihat tangannya tak memegang senjata. Mungkin disimpan di luar gua setelah dia menghabisi nyawa Budi dan Ibrahim. Senyum di wajahnya bagiku seperti seringai dengan taring berlumur darah. Pasti kulawan kalau dia berbuat macam-macam padaku meskipun aku harus mati.
Kamu tak. boleh menyerah,Meutya!
Aku bangkit dari simpuhku. Kutepis tangan si sontoloyo ketika entah untuk keberapa kalinya mencoba memperbaiki letak kerudungku.
"Lebih baik bunuh saja aku! Mujahidin seharusnya menghormati wanita!" Aku setengah berteriak, dengan bahasa Inggris yang sengaja tanpa aturan bahasa.
Dan, teriakan itu membuatnya terperanjat, entah karena mengerti ucapanku entah karena kaget aku memakinya. Namun, ucapan nekatku itu membuatnya mundur beberapa langkah, melebarkan jalanku beranjak keluar gua.
Dengan tegar, aku melangkah ke mulut gua. Doa-doa kupanjatkan untuk menenangkan diri.
Di pintu gua, pandanganku silau setelah lebih dua belas jam berada di gua yang temaram. Di mana mereka menghabisi Budi dan Ibrahim" Belum sempat aku melihat sekeliling dengan jelas, suara orang yang kukenal memanggilku.
"Mut, jemuran yuk sini, biar hangat..."
Budi" Jadi, mereka tidak, membunuhnya" Lalu, siapa yang mereka tembaki" Setelah beradaptasi dengan cahaya matahari, mataku melihat jelas lambaian tangan Budi. Dia bersama Ibrahim tengah duduk santai di atas pasir gurun. Mereka tanggalkan jaket yang semalaman membalut tubuh. Mu
ka mereka menghadap langit, menikmati sinar matahari. Seperti para pelancong di bibir pantai.
Santai sekali. Aku tersenyum lega. Bergegas aku melangkah naik ke lokasi duduk mereka yang datarannya lebih tinggi dari mulut gua. Dua penyandera juga duduk santai bersama Budi dan Ibrahim. Si sontoloyo menyusul di belakangku. Aku duduk berjajar dengan Budi.
"Mas, tadi kok ada suara tembakan. Siapa yang ditembak""
"Oh, itu si sontoloyo iseng nembak ke arah sana. Kayaknya sengaja buat nakutin kamu." Budi menunjuk si sontoloyo yang sudah duduk, agak jauh dari kami.
Penculik yang lebih ramah bertanya pada Ibrahim, "Meutya takut ya tadi"" Mereka tertawa, juga si sontoloyo. Tetapi di mataku, bentuk bibirnya ketika tertawa seperti seringai yang mengejek.
Aku tak mampu menahan malu. Kurang ajar, rupanya aku dikerjain.
Suasana pun kembali cair. Budi dan Ibrahim berdiri untuk melakukan peregangan. Aku juga menggerakkan tubuh yang terasa kaku dengan gerakan-gerakan senam sederhana. Karena kesibukanku, sudah lama aku tak berolahraga. Kesempatan langka itu malah kuperoleh saat aku diculik.
Lima belas menit berlalu. Wajah Budi dan Ibrahim basah oleh keringat. Seorang penculik berbisik pada Ibrahim, yang dilanjutkan Ibrahim pada Budi.
"Kami duluan, Mut,"kata Budi seraya menyambar jaket tebalnya.
Aku ditinggal lagi sendirian"
Seolah-olah memahami isi pikiranku, si penculik yang bersahabat menjelaskan pada Ibrahim, yang kemudian
menerjemahkannya untukku, "Mereka khawatir kalau ada patroli udara akan mencolok perhatian. Jadi, harus bergantian."
Aku bisa memaklumi. Mereka tentu tahu pesawat pengintai tentara koalisi bisa lewat kapan saja. Nyawaku juga terancam jika pasukan koalisi mengetahui keberadaan kami.
Namun, dengan kepergian Budi dan Ibrahim kembali ke gua, aku menjadi tidak bebas bergerak. Tiga lelaki masih mengawalku. Dan, tatapan si sontoloyo tetap saja mencurigakan meskipun bibirnya kini jadi murah senyum.
Tetapi, aku tak mau pusing memikirkannya. Aku memilih duduk santai menikmati sinar matahari pagi menghangatkan kulitku.
Tiba-tiba, kami dikejutkan suara dari dalam gua. Tiga lelaki pengawalku dengan cepat meraih senjata laras panjang, mengokangnya, dan berlari ke dalam gua. Ada apa lagi" Aku mendengar suara si sontoloyo dan seorang lagi bersungut-sungut.
Sepertinya pada Ibrahim. Suara mereka makin meninggi, dan sesekali kudengar jawaban Ibrahim. Entah apa. Aku tak mau mendatangi mereka, khawatir menambah runyam persoalan.
Si sontoloyo muncul di mulut gua. Tangannya memberikan isyarat agar aku masuk. Perasaanku campur aduk. Tetapi, aku tak mau lagi mengumbar rasa takut. Rasa takut berlebihan malah membuat emosi tak terkendali.
Di dalam gua, telepon seluler milik Ibrahim dan Budi sudah berpindah tangan ke seorang penculik. Rupanya yang kudengar tadi suara telepon seluler yang baru diaktifkan.
"Mut, handphonemu juga harus diserahkan," kata Budi.
"Apa yang terjadi"" Aku penasaran kenapa Budi atau Ibrahim menghidupkan telepon seluler. Tak kupedulikan lagi apakah tiga penyandera akan curiga dengan percakapan kami yang tak mereka pahami.
"Ibrahim diam-diam mencoba menghidupkan handphone. Tetapi, bunyinya malah membuat tindakannya ketahuan. Mereka marah. Yo wis, serah-kan saja handphonemu"
Aku heran kenapa Ibrahim melakukan tindakan konyol itu.
Mestinya dia tahu, ponsel dalam posisi on pun percuma kalau tak ada sinyal di tengah gurun pasir ini, apalagi di dalam gua.
"Dia hanya mencoba, siapa tahu bisa mengabari keluarganya," kata Budi lagi.
Aku bergegas membuka tas, merogoh telepon selulerku, dan menyerahkannya kepada penculik.
"Akan dikembalikan kalau kita bebas," kata Ibrahim setelah mendengar penjelasan seorang penculik.
Aku diam saja. TERDENGAR sayup-sayup suara kendaraan mendekat ke arah gua.
Ketiga penyandera dengan sigap memasang kafiyeh untuk menutup muka mereka. Tatapan mereka berubah drastis, tidak lagi ramah.
"Rois datang," seorang penyandera menjelaskan pada Ibrahim.
Rois" Mudah-mudahan kali ini mereka tidak,bohong. Sambil merapikan ker
udung, aku mempersiapkan diri dengan baik. Pertemuan dengan Rois akan sangat menentukan, apakah kami langsung dibebaskan atau tidak, seperti dijanjikan para penculik itu. Atau, apakah kami boleh terus hidup atau harus mati"
"Assalamu'alaikum." Suara dari pintu gua terdengar menggema. Tampak seorang lelaki berpenutup muka.
"Wa'alaikum salam," jawab kami, juga tiga penculik yang sikapnya kini bak tentara dengan senjata terkokang. Bisa kurasakan bagaimana para penculikitu menaruh hormat kepada sang Rois.
Kedatangan Rois membuat suasana jadi lebih formal.
Bersama Rois muncul di belakangnya dua orang lain yang juga berpenutup muka. Entah berapa orang yang menunggu di luar gua.
Sosok Rois berbeda dari bayanganku tentang pemimpin kelompok yang disebut Ibrahim se-bagai Mujahidin. Kupikir Rois berusia setengah baya, mengenakan gamis (pakaian tradisional timur tengah) dengan serban melilit kepala. Rois ternyata sangat muda, mungkin belum 30 tahun. Dia memakai jaket tebal yang trendi. Kulit di bagian wajahnya yang tak tertutup kafiyeh putih bersih. Sepertinya dia seorang yang sangat akademis.
Rois mendekati aku dan Budi sambil mengeluarkan pulpen dari sakunya. Dia meminta secarik kertas dariku. Kuberikan beberapa lembar kertas kosong dari buku notes Metro TV. Ibrahim duduk diantara aku dan Rois. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulutnya yang tertutup kafiyeh. Mulai dari identitas kami, asal negara, profesi, tujuan kami di Irak, hingga sikap Indonesia terhadap Irak.
Rois memilih bicara dalam bahasa Arab walaupun aku yakin dia mengerti bahasa Inggris. Seperti biasa, Ibrahimlah yang bertugas menerjemahkannya. Aku merasakan aura ketegasan dari sikap Rois yang tenang. Dia berbicara seperlunya. Sikapnya dingin, tetapi tidak memusuhi. Rois mencatat semua jawabanku.
"Kenapa kalian masuk ke Irak padahal sudah tahu di sini tidak aman"" tanya Rois setelah mencatat semua jawaban tentang identitas kami.
"Kami ingin melihat dan melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Irak dari kacamata pers Indonesia. Kami ingin informasi yang berimbang dibanding yang selama ini kami peroleh dari pers Barat."
Rois manggut-manggut. Kuharap jawabanku bisa menggugah simpatinya.
"Kami tak yakin Anda menyajikan berita yang berimbang."
Rupanya Rois meragukan jawabanku.
Aku merasa tertantang dengan pernyataannya. Maka, aku menawarkan diri untuk meliput kelompok Rois dalam menjalankan berbagai aksinya.
"Biasanya wartawan asing ikut bersama dengan pasukan koalisi, tetapi kami akan ikut bersama kelompok Mujahidin kalau Anda izinkan." Lebih baik. sekalian ikut meliput perang mereka daripada tersandera di tengah gurun antah-berantah ini.
Rois kaget mendengar tawaran nekatku. Kutatap matanya agar dia tak menganggapku main-main. Sepertinya dia percaya.
"Jika kalian ikut meliput kami, kalianlah yang akan jadi target pertama pasukan koalisi, bukan kami. Begitu juga kalau kalian mencoba meliput bersama pasukan koalisi, kalianlah yang akan menjadi target pertama untuk kami tembak."
Kali ini aku yang kaget mendengar ucapan Rois. Masuk akal juga.
"Siapa yang menunggu kalian di Irak"" Rois mengaku heran kenapa kami memutuskan kembali ke Irak dalam waktu cepat. Dia curiga kami memiliki agenda tersembunyi.
"Tidak ada yang menunggu kami. Itu perintah dari kantorku.
Tidak ada yang tahu kami masuk kembali ke Irak, kecuali kantor di Jakarta." Aku sengaja tak mengungkapkan alasan soal liputan Asyura.
Aku tahu, kelompok perlawanan di Ramadi dan Fallujah mayoritas beraliran Sunni. Rencana liputan Asyura yang biasa diperingati kelompok Syiah tentu akan menyinggung perasaan Rois.
"Lalu, siapa yang menjaga kalian di Irak" Anda menyewa jasa pengamanan"" Aku lega mendengar pertanyaannya. Rois tidak melanjutkan pertanyaan soal alasan kami kembali ke Irak.
"Tidak, kami tidak punya bodyguard." Aku sengaja memakai istilah bodyguard, bukan guide. Terlihat tatapan Rois seperti meragukan jawabanku.
"Jadi, tidak akan ada yang mencari kalian" Bagaimana dengan kedutaan""
"Sejak invasi, untuk sementara Kedutaan Indonesia di B
agdad tutup. Yang terdekat ada di Am-man, Yordania."
Rois menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya dia heran, atau mungkin takjub, kenapa kami berani meliput di Irak tanpa jaminan keselamatan dari negara kami.
"Apakah kalian punya cukup baju dan bekal" Kalau tidak, kami akan belikan. Katakan apa yang kalian inginkan." Melihat tatapan matanya, aku yakin Rois tidak berbasa-basi. Dan, tawaran Rois membuatku merasa lebih nyaman. Ini kesempatan untuk mengambil simpatinya.
"Kami punya cukup bekal. Hanya saja, jika diizinkan, kami ingin mewawancarai Anda." Aku mencoba keberuntunganku meskipun aku tahu tak semudah itu dia mau muncul di depan kamera. Didepanku saja dia menutup muka. Sejenak Rois terdiam. Tatapan matanya seolah-olah bertanya apakah aku bersungguh-sungguh. Aku membalas tatap-an itu, menunjukkan bahwa aku serius.
"Mungkin saja, lain kali." Meskipun aku sudah menduga jawaban itu akan muncul, aku tetap berharap Rois mengatakan "Ya!" tetapi tak apa. Itu saja sudah cukup untuk menarik simpatinya.
Kujelaskan, sebelum aku berangkat ke Irak, berkali-kali terjadi demo besar-besaran di Jakarta yang memprotes kebijakan Amerika Serikat di Irak. Kukatakan juga, aku baru kembali meliput bencana tsunami di Aceh sebelum berangkat ke Irak.
Sepertinya Rois senang mendengarnya. Kuharap penjelasanku dapat melunakkan hatinya agar dia segera melepaskan kami.
Seperti memahami keinginanku, Rois mengatakan tak bisa membebaskan kami segera. Dia akan membebaskan setelah pengambilan gambar kami. "Kami akan memberikan pernyataan melalui media terkait dengan penyanderaan kalian," kata Rois.
Oh, Tuhan, berarti prosesnya masih panjang. Pupuslah harapanku dan Budi untuk bisa bebas hari ini. Kupikir kalian salah tangkap dan akan langsung melepaskan kami.
Kini, aku memilih diam. Percuma bicara panjang lebar untuk menarik simpatinya kalau pada akhirnya tetap saja kami tak dibebaskan segera.
Melihatku tak lagi banyak bicara, Rois kemudian memeriksa paspor dan kartu identitas wartawan kami. Aku dan Budi hanya menunjukkan ID card MetroTV. Adapun ID card untuk peliputan Irak dari Joint Security Council, pasukan koalisi pimpinan AmerikaSerikat, kami sembunyikan di sudut terdalam tas kami. Bisa jadi kartu mati kalau terlihat. Beberapakali Rois bertanya apakah institusi yang mengirimkami, Metro TV, berafiliasi dengan pemerintah. Dia juga bertanya apakah kami kenal dengan Presiden, pernah bertemu dengan Presiden. Sepertinya dia ingin menegaskan keberadaan kami di Irak tak ada kaitannya dengan pemerintah, dan semata untuk melakukan tugas jurnalistik.
"Kami bekerja di televisi swasta. Dari belasan stasiun televisi di Indonesia, hanya satu milik pemerintah."
Jawabanku mengakhiri berondongan pertanyaan Rois seputar tempat kerjaku.
"Terus terang kukatakan pada kalian, kami sebenarnya tak suka wartawan datang ke sini. Kami menghormati alasan kalian meliput di sini untuk menyajikan pemberitaan yang berimbang. Tetapi, kami meragukannya. Kenyataannya malah banyak yang memojokkan perjuangan kami. Bahkan, ada juga mata-mata yang berkedok sebagai wartawan."
Aku kaget mendengar pernyataan Rois. Aku memahami bahwa yang terjadi di Irak bukan han-yaperang senjata, melainkan juga perang informasi. Mulut dan tulisan wartawan membentuk opini yang gaungnya merambah seluruh dunia. Pantaslah jika Rois bilang bahwa wartawan akan menjadi target utama kelompok perlawanan jika mereka ikut (embedded) dengan pasukan koalisi. Demikian pula sebaliknya. Tampaknya Rois kecewa karena pembentukan opini cenderung memojokkan kelompok perlawanan.
Sebelum ini tak pernah kubayangkan betapa berbahayanya posisi wartawan. Walaupun beber-apakali aku menyaksikan berita soal wartawan diculik atau dibunuh, tak pernah kubayangkan kami, wartawan, adalah target utama perang ini. Perang informasi.
HAMPIR satu jam proses interogasi berlangsung. Sebelum pamit, Rois memerintahkan kepada para anggotanya untuk keluar dari gua. Lima menit kemudian, Rois muncul lagi di mulut gua. Tangannya mengisyaratkan agar Ibrahim mendekat. Dalam obrolannya, sesekali tangan Rois me
nunjuk ke arahku. Ibrahim juga menjelaskan sesuatu kepada Rois, entah apa. Rois kemudian melambaikan tangan sambil mengucap salam.
Sepeninggal Rois, aku bertanya kepada Ibrahim apa yang tadi dipesankan.
"Saya titipkan Meutya kepada kamu. Jika ada dari anggota saya yang berani menyentuh satu helai rambutnya sekalipun, laporkan pada saya. Orang itu menjadi urusan saya." Menurut Ibrahim, Rois menegaskan bahwa tidak ada Mujahidin yang boleh mengganggu wanita. Jika ada yang menggangguku, berarti mencoreng perjuangan kelompok Mujahidin. Hukumannya bisa saja kematian.
Aku takjub pada Rois dan merasa tersanjung mendengar penjelasan Ibrahim. Memang, sebagai satu-satunya wanita, tentu sangat berat menerima keadaan ini. Aku harus tinggal dengan para lelaki tak kukenal yang 24 jam menjagaku dengan senjata laras panjang, dalam gua
yang sangat kecil tanpa privasi, tanpa fasilitas MCK. Kalau mereka berniat jahat, tak akan ada yang peduli nasib kami. Dua penculik masuk ke gua. Wajah keduanya yang tak lagi tertutup kafiyeh kini lebih ramah, dan banyak mengumbar senyum.
Pasti atas perintah Rois.
"Ana Muhammad," kata lelaki yang umurnya kelihatan lebih tua, yang selama ini bersikap ramah padaku, mengenalkan namanya. Baru saat itulah, aku mengamati bahwa lelaki ini bertubuh tak terlalu tinggi.
Mungkin hanya berbeda satu atau dua senti dengan Budi. "Huwa Ahmad," tambahnya sambil menunjuk lelaki yang lebih muda darinya, yang sosoknya lebih besar dan tinggi, meski kalah tinggi dibandingkan Ibrahim. Ke mana si sontoloyo" Mungkin dia masih berjaga di luar.
Aku dan Budi kembali duduk di sudut masing-masing. Ibrahim berbincang dengan dua lelaki itu, yang mulai sibuk menyalakan perapian. Hari merambat sore dan hawa dingin kembali menggigit kulit. Ahmad dan Muhammad juga membuka bungkusan makanan yang mungkin didatangkan bersama Rois. Mereka menawarkan roti khas Irak kepada kami.
Budi menyambutnya, tetapi aku tak berselera. Aku bergerak dari pojokanku ke tengah gua, untuk menghangatkan tangan di atas perapian. Muhammad kembali menawarkan roti, tetapi aku menggeleng seraya tersenyum.
Setengah jam berlalu, si sontoloyo belum juga muncul.
Penasaran, kutanyakan kepada Ibrahim.
"Kepada Rois kulaporkan sikap kurang ajarnya padamu. Rois marah dan melarangnya lagi ber-jaga di sini," kata Ibrahim.
Jawabannya membuatku kaget, tetapi sekaligus lega. Satu ancaman telah terlewati, mudah-mudahan ini pertanda baik.
Kukuatkan batinku untuk menjalani satu malam lagi dalam siksaan hawa dingin. Setelah pengambilan gambar esok, mimpi buruk ini berakhir. Malam ini,setidaknya aku bisa bernapas lega. Tak lagi dihantui si sontoloyo. Sehari lagi, Meutya, sehari lagi kaubebas. []
Bab 5 Memelihara Harapan DENTING suara gelas mengusik lelapku pada pagi kedua. Aku terbangun, disambut sapa te-man-temansegua. Ya, Budi, Ibrahim, serta dua penculik kami, Muhammad dan Ahmad. Aku tersipu karena lagi-lagi bangun belakangan. Budi sedang mencuci gelas, Muhammad menyiapkan teh, dan Ahmad menjerang air. Aku segera menarik tisu dan mengelap gelas. Ibrahim kami daulat supaya duduk saja bak raja.
Ibrahim memang yang paling tua di antara kami. Usianya kutaksir menjelang 40 tahun, tetapi garis-garis wajahnya, ditambah berewoknya yang lebat,membuatnya tampak lima tahun lebih tua. Dia cukup lancar berbahasa Inggris, boleh jadi karena Yordania memang negeri yang modern dan dekat dengan Amerika. Selama ini dia sering mengantarpara wartawan negara Barat, terutama Inggris dan Amerika. Ibrahim lalu bercerita. Di Irak, terutama pada musim dingin, ada kebiasaan untuk membuat chai. Teh ini memiliki rasa dan penyajian yang khas, yakni menggunakan gelas kecil, yang diameternya kira-kira tiga sentimeter.
Meski merupakan kegiatan sederhana, upacara membuat teh ini menjadi sumber keakraban di antara kami, para penculik dan terculik.
Sambil menunggu air matang, kami berlima berdiang tangan di pusat api. Karena sempitnya gua, tangan-tangan kami pun bersentuhan. Ini membuatku sedikit rileks. Apalagi, Ahmad dan Muhammad sudah melepas kafiyeh yang
selalu menutup muka,dan malahan meletakkan senjata AK mereka di pojok gua. Dua hari sebelumnya, komunikasi kami hanya lewat tatapan mata belaka.
Selama dua hari itu pula, kami dilayani. Pagi inilah pertama kalinya kami boleh ikut menyeduh teh sendiri. Ini bukan karena soal keamanan, melainkan, "Begitulah orang Arab menghormati tamu,"
kata Ibrahim. Memang, selama disandera, makanan dan minuman kami tidak seperti dalam kisah penculikan yang aku tonton di film.
Pada hari pertama, kami disuguhi ayam panggang dengan nasi. Hari ini, mereka menyuguhkan kebab yang potongannya begitu menggugah selera. Selain nasi, lauk-pauk, dan buah bua-han, mereka juga membawakan untuk kami soft drink.
Bukan cuma ritual ngeteh, acara makan pun membuat kami semua "akrab". Ruangan gua yang sangat sempit mengharuskan kami banyak berdekatan. Jika kami akan makan, alas tidur dan selimut harus digulung agar tidak terkena tumpahan makanan. Lalu di bagian tengah, dekat perapian, dialasi plastik, bak meja makan untuk perjamuan. Di situlah roti khubus, daging, minuman ringan, air putih, gelas, dan tisu ditata. Pada malam hari, kami makan ditemani nyala lampu minyak yang bergoyang ditiup angin. Cukup romantis. Sayang kami tidak sedang menikmati acara candle light dinner, tetapi sedang disandera.
Aku menghargai upaya penculik menyenangkan aku dan Budi.
Mereka membuat suasana makan yang kekeluargaan. Kami makan tanpa piring. Ibrahim menyebutnya cara makan khas Arab. Tetapi, bagi kami sangat primitif. Roti khubus dimakan bersama-sama, bergantian. Ibrahim, tetua kami, menjadi penyobek pertama. Begitu pula dengan kebabnya. Daging diciduk dengan tangan. Padahal, setahuku Ahmad dan Muhammad makan tanpa mencuci tangan.
Perlakuan terhadap minum pun sama. Air ditaruh di wadah besar, lalu diminum bergantian, tetapi hanya sekali, di awal saja.
Mereka menyadari kerisihanku, dan mulai menghafal kebiasaanku meminum dari gelas yang sama: gelas plastik dengan gambar bunga kecil. "Gelas Meutya," kata mereka.
Namun, aku makan tanpa selera. Aku hanya mengambil roti dan daging sedikit saja. Sepertinya Ahmad gemas, dia lalu menyobekkan aku bagian kebab yang agak besar. Ah, mereka begitu menghormati aku. Tetapi, aku tak menyentuhnya. Muhammad menanyakan lewat Ibrahim, apakah aku mau memakai sendok atau sumpit. Makanan itu hanya kuaduk-aduk tanpa kusuapkan. Bukan aku tak suka, atau tak lapar. Tetapi sebagai orang terjajah, selera makanku yang besar lenyap ditelan gurun.
"Meutya, kamu harus makan. Mereka bisa tersinggung," bisik Ibrahim kebapakan.Aku tetap tak peduli.
Di luar dugaanku, Ibrahim marah. Dengan nada tinggi, dia mengatakan bahwa makanan ini disediakan dengan susah payah oleh Muhammad dan Ahmad. Dia mengulang lagi soal penghormatan orang Arab kepada tamu. "Mereka sengaja menyiapkan daging untuk kita, padahal mereka sebulan sekalipun belum tentu makan daging,"
katanya. Aku paksakan makan sebab para Mujahidin itu tak mau mulai jika aku dan Budi tak makan. Namun, aku tak mampu mengunyah makanan yang tersedia. Kucoba mendorong makanan dengan soft drink,tetap saja gagal. Meski mulai tercipta suasana tenang yang muncul dari keakraban pagi ini, perasaanku masih bergalau rasa takut, kesal, dan entah apa lagi, yang membuatku tak bisa menikmati makanan selezat apa pun.
Meski demikian, aku berjanji, siang nanti aku akan makan apa pun yang disajikan. Entah sudah berapa kali aku menuang teh ke gelas super kecilitu. Budi pun begitu. Udara dingin membuatku terus haus. Ahmad menanyaiku, apakah aku menginginkan sesuatu. Entah makanan, minuman, atau kebutuhan apa pun. Biasanya, menjelang siang, akan datang utusan membawa segala keperluan. Mulai dari air hingga tisu.
Menyeruput teh di tengah keheningan gurun, dan di tengah ketidakjelasan nasib, bukanlah pagi yang indah. Kata Ahmad, pada hari ketiga ini Rois akan datang lagi untuk mengambil gambar aku dan Budi. Aku tak sabar menunggu saat itu. Apa yang akan terjadi"
Baikkah atau burukkah" Aku pun terdiam. Muhammad mencoba bercanda menenangkan. "Jangan tegang, jangan khawatir, hanya pengambilan
gambar. Nanti kamu akan terkenal ke seluruh dunia.
Kalau sudah terkenal, jangan lupa kami ya," katanya terkekeh. Canda yang sama sekali tak lucu.
Ingin aku meninggalkan renungan itu. Tetapi, mau ke mana"
Berjalan keluar terlalu berbahaya. Bisa didor penculik yang curiga, atau dibom pesawat yang melintas rutin di udara. Kucoba tersenyum meski pahit.
Budi mencairkan suasana, dengan menanyakan cara membawa logistik buat kami.
Penculik itu pun bercerita. Tak jauh dari gua tempat kami disekap, ada sebuah kampung. Adik Ahmad membawa air, makanan, minuman, tisu, serta kebutuhan lain menggunakan mobil tua. Mereka memanfaatkan kekosongan patroli Amerika, lalu melaju menyusuri padang pasir. Sebuah upaya menyabung nyawa, untuk menjaga nyawa kami agar selalu bisa makan dan minum.
Hal yang menarik perhatianku adalah air. Setiap datang, mereka membawa air dalam ember besar untuk persediaan sehari. Air itu mereka datangkan dari Sungai Eufrat, satu di antara dua sungai besar di Irak, yang jaraknya kira-kira satu jam dari gua. Tetapi, tak pernah ada kepastian, apakah besok air bisa datang lagi. Maka, kami pun berbagi air secara hemat. Kami hanya bisa cuci muka dan sikat gigi.
Mandi tak mungkin, selain karena air terbatas, juga tidak ada tempat.
Aku tersenyum ketika menyadari bahwa sudah tiga hari aku tak "ke belakang" untuk buang air besar. Ketidaknyamanan, yang berbaur dengan ketakutan dan ketidakpastian, membuat ritual yang biasanya rutin pagi hari tersebut terlupakan. Apalagi, tidak ada tempat khusus untuk itu. Hanya buang air kecil yang masih bisa kulakukan. Itu pun dengan terpaksa kalau sudah tak tahan lagi. Sungguh tidak nyaman, di alam terbuka tanpa pelindung. Ditambah lagi waktu yang diberikan penyandera amat terbatas. Berbeda dengan Budi, pagi-pagi dia sudah pamit membentuk kubangan pasir, membuang hajat dan menimbun kembali. "Aku biasa melakukan seperti itu di kampung waktu kecil," katanya.
Terdengar suara mobil di kejauhan. Kini, berada di kesunyian dalam kondisi ketidak pastian, suara mobil adalah kemewahan tak terperi. Suara itu seolah-olah menjadi petunjuk kehidupan. Sebuah harapan yang melegakan. Mungkin itu mobil adik Ahmad yang akan mengantar logistik. Atau, boleh jadi Rois. Sebab, hari ini dia menjanjikan pengambilan gambar kami: para terculik. Siapa pun itu, yang datang adalah kehidupan. Jika mobil butut, artinya logistik lancar. Jika bukan, berarti Rois yang akan mengambil gambar.
Rekaman itu akan menjadi alat penculik untuk mengabarkan bahwa di tangan mereka ada sandera yang akan dijadikan alat tawar-menawar perjuangan. Tetapi bagiku, itu adalah komunikasi diam dengan keluarga dan teman di tanah air.
Sebagai reporter televisi, aku sudah sering menonton tayangan sandera. Beberapa kali aku ke-bagian membacakannya di buletin berita Metro TV. Bahkan, aku pula yang mewawancarai Cas-ingkem dan Istiqomah setelah dua tenaga kerja Indonesia yang disandera di Irak itu dibebaskan, September 2004.
Namun, tak pernah sekali pun tebersit di benakku bahwa pada suatu masa akulah yang berpose seperti itu. Sebagian dari tayangan penyanderaan memuat syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk pembebasan. Bisa dalam bentuk penarikan pasukan, jika si tersandera berasal dari negara yang tergabung dalam pasukan koalisi. Bisa juga berupa pemerasan dalam bentuk uang tebusan.
Apa gerangan yang dikehendaki para penculik ini" Indonesia tidak mengirim pasukan ke Irak. Indonesia pun berkali-kali mengutuk serangan Amerika ke Irak. Lalu, apakah untuk uang" Aku tersedak.
Jika itu yang mereka tuntut, aku akan merasa sangat berdosa kepada bangsaku. Negeriku sedang dalam kesusahan karena baru tiga bulan lalu tsunami maha dahsyat melanda Aceh, menewaskan ratusan ribu jiwa. Ya Allah, semoga penculik ini tidak, meminta uang dari negeriku.
Budi tiba-tiba sudah ada di sisiku."Bagaimana kalau kita tawarkan, aku yang mengambil gambar," kata Budi. Perasaan kami sama: gelisah.
Sebab, hingga siang tim pengambil gambar belum juga datang. Jika gambar terlambat diambil, pembebasan kami pun bisa tertunda.
Tawaran itu ditolak Muhammad. "Ada juru kamera khusus untuk itu," katanya.
Siang pun berlalu dalam gelisah.
Suara mobil semakin dekat. Ahmad dan Muhammad segera bersiaga. Mereka pun dengan sigap memasang penutup muka.
Sebenarnya, kata Muhammad, mereka tidak boleh sama sekali memperlihatkan muka mereka kepada kami. Tetapi, sejalan dengan makin "akrabnya" kami, Ahmad dan Muhammad melanggar aturan itu.
Ahmad dan Muhammad bergegas keluar menyambut rombongan. Aku mengintip dari celah gua. Berbeda dengan sehari sebelumnya, rombongan kali ini cukup ramai. Aku sempat menghitung ada lima orang, tanpa penutup muka. Berbeda dengan penculik penjaga, Mujahidin yang datang berbadan tegap, bersih, dan berpakaian modern. Aku mendekatke celah, untuk melihat lebih jelas suasana di luar.
Namun, hardikan Ibrahim mengagetkanku. "Meutya! Jangan mengintip. Itu tidak sopan!"
Aku berbalik dengan sebal. Aku bilang kenapa Ibrahim marah hanya karena urusan kecil itu.
"Ini bukan soal sepele. Kalau mereka marah, kita bisa fatal," terang Ibrahim.
Suara Ibrahim melembut. Dia memintaku merapikan kerudung dan duduk dengan posisi tegak.
"Assalamu alaikum." Para tamu masuk ke gua dengan muka tertutup kafiyeh.
Setelah berbasa-basi menanyakan kabar dan kesehatan, mereka meminta aku dan Budi keluar dari gua. Ibrahim tetap tinggal. Aku terkejut melihat Ahmad sudah siap berdiri memegang AK. Aku dan Budi digiring. Memelihara Harapan ke dekat Ahmad. Satu lagi Mujahidin yang baru datang berdiri di sisi lain. Juga, memegang senjata AK.
Kedua Mujahidin dengan muka tertutup itu lalu mengangkat senjata, dalam posisi siap tembak. Suara "klik" senjata dikokang membuatku bergidik. Sebab, di luar gua ternyata sudah lebih banyak lagi anggota dan kelompok tersebut berkumpul. Siapa tahu mereka hanya berbohong. Walaupun selama ini kekhawatiranku tidak terbukti, tetap saja rasa takut kembali menyergap. Terbayang lagi hal-hal buruk, seperti yang diterima sandera lain yang pernah aku beritakan.
Ada yang ditembak, ada yang bahkan dipenggal.
Rois menjelaskan bahwa senjata itu hanya untuk keperluan pengambilan gambar. Dia berjanji tidak akan melukai kami dan meminta kami tetap tenang.
Aku melihat juru kamera sedang mencari tempat pengambilan gambar yang tepat. Dia layaknya juru kamera profesional, melihat arah matahari untuk menentukan arah cahaya. Karena matahari siang tengah berada persis di atas kepala, dia pindah lagi ke sebelah kanan gua. Tiga kali dia bergeser tempat, mencari latar belakang yang sesuai. Akhirnya, dia berhenti di sebuah titik, yang cahayanya terlindung oleh tebing batu, dan yang bagian lainnya menjadi dinding gua tempat kami disekap.
Kutekan gelisahku dalam-dalam. Kulirik Budi, yang juga menuruti saja kemauan para penculik. Namun, berbeda dengan biasanya, kali ini wajah Budi tampak sangat tegang. Mulutnya komat-kamit entah berdoa atau sekadar penawar rasa takut. Pengambilan gambar siap dimulai. Kamera jenis handycarn lengkap dengan tripodnya sudah tersedia di depan kami. Kami diminta memegang paspor dan kartu identitas wartawan ke hadapan kamera. Disebelah juru kamera, seorang narator membacakan dengan suara lantang pesan dari kelompok FaksiTentara Mujahidin:
Bismillahirrahmanirrahim,
Kami, Faksi Tentara Mujahidin di Irak,menahan dua wartawan ini ketika mereka dalam perjalanan di wilayah Irak. Setelah kami menginterogasi keduanya, mereka mengaku dalam tugas jurnalistik, atas perintah kantor mereka di Indonesia.
Sudah diketahui oleh seluruh pemerintahan didunia ini bahwa Irak adalah wilayah konflik. Dan, jiwa setiap orang yang datang ke Irak dalam kondisi terancam.
Kami tidak menjamin keselamatan siapapun yang masuk ke negeri kami. Keselamatan mereka berada di tangan pemerintah yang seharusnya menjaga keselamatan rakyatnya.
Dan untuk, itu, kami meminta pemerintah Indonesia Memelihara Harapan menjelaskan status kedua orang ini. Jika tidak, maka jiwa mereka dalam keadaan bahaya. Allahu Akbar!
Tertanda Faksi Tentara Mujahidin Menurut Ahmad, beberapa jam ke depan, rekaman yang menguak keberadaan kami akan seg
era tersebar ke pelbagai penjuru dunia, termasuk ke Indonesia.Aku membayangkan wajah Mama dan kakakku melihat kondisiku yang seperti itu. Tadi dalam diamku, aku berusaha sekuat tenaga menatap kamera dengan tegar. Aku tidak mau Mama melihatku lemah dan menangis.Aku tidak mau menambah penderitaan mereka, yang pasti sudah sangat hebat, begitu mendengar aku hilang di negeri orang. Melalui mataku, aku coba mengatakan Mama, jangank-hawatir, aku sehat dan baik-baik saja.
Aku bersyukur, penculik membiarkan kami berdiri sejajar dengan mereka. Tak seperti Casing-kem dan Istiqomah yang merunduk ketakutan di bawah todongan senjata.(Kedua Tenaga Kerja Indonesia itu diadang gerilyawan Irak di Fallujah. lokasi yang tidak jauh dari tempat aku dan Budi diculik, dalam perjalanan dari Amman menuju Ramadi bersama agen penyalur TKI. Keduanya dibebaskan setelah ada permintaan dari Abu Bakar Ba'asyr.) Aku juga tak sepilu Giulhana Sgrena, wartawan Il Manifesto Italia, yang diculik kelompok perlawanan sepekan sebelum kami. Dia bukan hanya duduk, melainkan dibuat dalam posisi berlutut, mengiba negaranya agar menarik pasukan dari Irak, sesuai dengan keinginan penyandera.
Setelah rombongan Pois pergi, Ibrahim menjelaskan bahwa penyandera tidak menuntut apa-apa. Padahal biasanya, para penyandera mengajukan bermacam tuntutan, mulai dari penarikan pasukan hingga tuntutan uang tebusan dalam jumlah besar.
Aku merasa ini awal yang baik. Seberapa pun pesimistisnya aku di tengah ketidakpastian ini, disudut hatiku yang dalam aku terus memelihara harapan bisa segera bebas. Kembali ke Jakarta, kepelukan Mama Petang hampir berlalu di gua. Kulirik jam tanganku, yang belum kuubah dari waktu Jakarta: di sana hampir tengah malam. Semoga televisi APTN atau Al-Jazeerah sudah menyiarkannya. Kata Muhammad, penculik hanya membutuhkan pernyataan Presiden bahwa kami benar wartawan yang sedang bertugas.
Puncak ikhtiar pembebasanku saat ini ada ditangan Presiden Indonesia.
Di gurun sunyi, aku tiba-tiba merasa sangat dekat dengan Presiden. Semoga Bapak Presiden membantu kami.
Sepi kembali menyungkup. []
Bab 6 Harapan yang Pupus THIARA ... thiara.....! Teriakan Ahmad bergema di dalam gua kecil itu. Itu adalah aba-aba agar kami semua bersiaga. Ditengah gurun senyap, suara selirih apa pun memang jelas terdengar. Tetapi, karena masih sayup-sayup, kami belum bisa membedakan apakah itu thayyarah (helikopter) atau sayyarah (mobil). Sebagai orang tempur, Muhammad dan Ahmad rupanya selalu berpikir yang terburuk. Suara itu mereka anggap helikopter. Mereka cepat-cepat menyuruh kami diam, mematikan api, lalu keluar membersihkan apa pun yang bisa jadi penanda ada kehidupan. "Ini Ramadi, basis tempur. Jika itu helikopter Amerika, kita bisa habis disiram peluru dan bom," kata Ahmad menjawab keherananku.
Suara itu semakin jelas: mobil.
Ahmad dan Muhammad memasang penutup wajah. Aku lega.
Lega karena tidak ada serangan. Juga, lega karena di tengah ketiadaan komunikasi dengan dunia luar, kedatangan mobil adalah pembawa harapan. Mungkinkah mobil yang datang menyampaikan kabar kebebasan" Aku memelihara harapan meskipun hari semakin sulit belakangan ini. Empat hari lewat sudah tanpa kepastian. Di tangan orang yang mengancam keselamatan pula.
Tadi malam, sebelum tidur, aku sempat melihat Budi menangis menciumi foto anak-istrinya. Lestari, istri Budi, sedang hamil tiga bulan. Biasanya, setiap petang Budi dan aku "melapor" ke kantor dan keluarga masing-masing. Pada pagi hari sebelum masuk kembali ke Irak pun, Budi menelepon Ari menanyakan kehamilannya. Tetapi anaknya, Laras, sedang sekolah. Siangnya Budi kembali menelepon, Laras sedang tidur. Budi pun berjanji akan menelepon lagi, tetapi tidak kesampaian hingga hari ini. Bulir air mataku pun luruh.
Suara mobil semakin dekat. Muhammad berlari menyongsong.
Aku mulai hafal, tanpa dilarang, tidak ikut keluar dan tidak mengintip.
Muhammad masuk, menenteng bungkusan plastik. Wajahnya keruh.
Aku menangkap sesuatu yang buruk. "Belum ada kabar," katanya sambil meletakkan logistik. Mungkin dia me
rasa bersalah karena pernah berjanji, kalau gambar sudah direkam, kami akan dibebaskan.
Aku terdiam. Kupandangi isi plastik yang justru lebih banyak dibandingkan biasanya. Ini gelagat buruk. Aku hitung kotak tisu, ada lima. Mereka juga membawa berbotol-botol soft drink. Badanku langsung lemas. Berarti kami akan lebih lama lagi di sini.
Budi meminta Ibrahim menanyakan mengapa kabar pembebasan belum tiba. Ahmad menyorongkan soft drink dan kebab ke arahku. Seorang Mujahidin yang baru datang menjelaskan bahwa gambar rekaman kami sedang dalam perjalanan ke Bagdad. Huh...
Jadi, rupanya rekaman gambar tersebut belum dikirim sejak, kemarin.
Kata Muhammad, rencananya, jika aman, gambar akan dikirim tanpanama ke kantor berita APTN. Mungkinkah APTN menolak, menyiarkannya karena kami bukan jurnalis dari negara besar" Aku tak menyalahkan Muhammad dan Ahmad. Mereka hanyalah operator lapangan, yang tidak menentukan kebijakan Faksi Mujahidin.
Ibrahim, yang biasanya tenang dan menyabarkan keresahan kami, kali ini juga terdiam dengan mulut terkatup.
Aku baru sadar bahwa orang yang menjelaskan kabar tadi bukanlah yang biasa datang mengantar logistik. Mungkinkah dia seorang Rois juga" Aku mencoba memecah kebuntuan. Naluri jurnalistikku bekerja. Kalau orang ini aku wawancarai, ini bisa jadi bahan berita setelah kami bebas. Jika kami bebas. Aku tawarkan wawancara. Budi pun bergerak ingin menyiapkan kamera. Lelaki itu menolak direkam, tetapi bersedia menjawab.
"Apakah kalian melawan Amerika karena mendukung Saddam Husein""
"Kami bukan pendukung Saddam, tetapi tidak berarti sudi negeri kami dijajah Amerika," jawabnya tegas.
"Berarti Anda bekerja untuk Abu Musab Al Zarqawi." Aku menyebut nama tokoh tanzim (organisasi) Al-Qaidah, musuh nomor satu Amerika di Irak.
"Kami tidak sevisi dengan Al-Qaidah, tetapi kami sepakat untuk sama-sama mengusir Amerika. Jika Irak merdeka, kami akan berhenti."
"Berapa banyak anggota pasukan Mujahidin di Irak""
"Lebih banyak dibanding seluruh pasukan negara koalisi di Irak."
"Apakah ada anggota Anda yang menyusup dipemerintahan""
"Tentu, kami ada di mana-mana." Wajah lelaki itu menunjukkan keseriusannya, seolah-olah memastikan bahwa dia tidak berbohong.
Rois yang tidak aku ketahui namanya itu pun pergi bersama pulangnya mobil. Mereka memang tak pernah singgah lama. Sebab, keberadaan mobil disitu bisa membahayakan kami semua, penghuni gua di tengah gurun sunyi. Mobil bisa jadi alat deteksi yang manjur bagi patroli udara Amerika, untuk tahu ada aktivitas di padang pasir.
Setelah suara mobil menghilang ditelan padang pasir, gua kembali dicekam keheningan. Tak ada yang menyentuh makanan dan minuman. Kali ini giliran Muhammad yang memecah kesunyian. Dia membuka kafiyeh penutup muka, lalu mengajak kami keluar dari gua.
"Mari kita olahraga pagi."
Lambat, aku dan Budi menyeret langkah. Di luar, Budi berlari-lari kecil mengelilingi gua. Ibrahim berjalan di belakangnya. Aku memilih duduk saja, berjemur di dekat pintu masuk gua. Untuk apa olaraga,keluar selamat saja belum tentu.
Aku menghadapkan mukaku ke langit, menantang hangatnya matahari. Cakrawala yang luas, yang hanya berupa garis batas padang pasir kelabu,membuat pikiranku kembali menerawang. Mungkinkah kami bisa keluar dari gurun inii" Setiap hari para penculik, termasuk Rois, yang berkali-kali datang mengunjungi kami, selalu meyakinkan bahwa kamiakan dibebaskan secepatnya. Tetapi nyatanya"
Awalnya aku kira, setelah gambar direkam, kebebasan itu akan segera tiba. Rupanya aku kele-wat optimistis. Semakin lama, semakin sulit untuk berpikir positif. Tebersit keinginan kabur. Namun, saat kupandangi luasnya gurun, logikaku bekerja. Kabur berarti mati. Mati ditembak
penyandera, atau kelelahan karena tak tahu tujuan pelarianku. Sudahlah, aku tidak mau lagi berharap. Aku tidak mau peduli lagi. Lebih baik aku pasrahkan semua kepada-Nya.
Sebagai manusia, aku merasa kecil. Tanpa daya, hanya menunggu takdir-Nya.
Ah, benar ceramah para ustad yang dulu hanya kudengar selintas, yang kini terasa sangat be-rarti,"ketika
pasrah semua menjadi lebih mudah". Dengan "pasrah", semua jadi lebih ringan. Rasa takut dan gentar dapat kuredam karena aku tahu ada Dia yang menjagaku.
Rasa sedih hilang karena, tiba-tiba saja rasanya, sepertinya tidak ada alasan lagi untuk sedih. Aku rindu Mama, aku rindu kakak-kakakku.
Tetapi, "rasa dekat" dengan-Nya membuatku sadar bahwa semua itu pada akhirnya adalah milik-Nya,yang bisa Dia ambil dan jauhkan dariku kapan pun Dia berkehendak. Begitu juga dengan karier dan semua "materi" yang telah aku kumpulkan dengan keringatku, semua itu hanya "pinjaman" dari-Nya. Semua hanya milik-Nya.
"Kamu belum berkeluarga kan Meut," tanya Ibrahim sambil mencomot potongan daging kebab, saat kami sudah kembali ke dalam gua.
"Kamu hanya ditunggu ibu dan kakakmu,sedangkan aku ditunggu 8 anak dan 2 istri," lanjutnya. Kami pun tergelak.
"Salah sendiri punya istri dua," sambar Budi. Ibrahim lalu menjelaskan alasannya berpoligami. Pekerjaannya sebagai sopir trans Yordania-Irak membuatnya banyak berdiam di dua tempat berbeda.
Ya Irak, ya Yordania. Alasan mengada-ngada, batinku. Tetapi, cerita itu cukup mencairkan suasana kaku pada pagi itu. Ibrahim memang paling bisa mencairkan suasana.
Dia melanjutkan ceritanya. Semula, dia sudah berjanji ini adalah perjalanannya yang terakhir sebagai sopir trans Irak-Yordania. Atas permintaan istri pertamanya yang tinggal di Yordania, dia memutuskan untuk beralih profesi menjadi sopir bus wisata saja.
"Membawa turis berkeliling Yordania, melihat-lihat daerah bersejarah abad dulu di kawasan Petra," katanya menerawang.
Istrinya beralasan, keadaan Irak semakin berbahaya. Kejadian ini membuat Ibrahim menyesal tidak mengikuti keinginan istrinya lebih awal.
Hening sejenak. "Jadi, kalau harus ada yang mati, akulah yang paling banyak ditangisi, 2 istri dan 8 anak!" lanjut Ibrahim.
Kami terbahak lagi. Seolah-olah kematian begitu dekat dengan kami, para tersandera di tengah gurun pasir sunyi. Terkadang, berbicara tentang kematian membuat kita sepenuhnya meng-hargaiarti hidup.
Sekali lagi, kesadaran akan adanya Dia membuat tak ada alasan untuk bersedih. Sekian hari berada di gua pastilah merupakan ujian dan Tuhan untuk menguatkan aku setelah kehilangan Ayah. Sejak kepergian Ayah, aku menjadi manusia yang rapuh. Rasa percaya diriku menurun drastis. Sebelumnya,setiap ada masalah, bukan hanya masalah yang terkait materi, melainkan dalam setiap masalah yang aku lalui, aku selalu merasa tetap aman karena ada Ayah yang akan menjadi penolongku, pelindungku.Tetapi dalam penyanderaan ini, aku sendiri tidak dapat mengadu kepada siapa pun. Komunikasi kami dengan dunia luar putus. Aku harus kuat, aku harus mampu menjalaninya dengan sikap yang dewasa dan menanggalkan sikap manjaku (karena sebagai anak bungsu terbiasa dimanja oleh Ayah dan Mama).
Mungkin karena itu tadi, merasa sendiri tanpa ada yang dapat menolong kecuali Allah, rasa pasrah itu muncul. Aku berserah diri karena dalam kondisi itu memang tidak ada pilihan lain selain pasrah.
Nyawaku, nasibku, ada di tangan Penciptaku. Dalam kepasrahan, kami bisa tertawa ketika membicarakan kematian.
Tanpa diminta, giliran Muhammad yang bercerita. Mungkin dia teringat keluarga juga. Dia mengaku punya dua putri. "Tapi satu istri,"
katanya tersenyum simpul.
Ibrahim yang disindir hanya meringis. Muhammad adalah mantan tentara era Presiden Saddam Hussein. Ketika Amerika menginvasi Irak tahun 2003, bersama ribuan tentara dia melawan dengan senjata terbatas. Sebagian mati, sebagian tertangkap, dan sebagian lain menyerahkan diri. Muhammad memilih lari ke Yordania.
Muhammad menunjukkan kartu anggota tentara miliknya. Wajahnya di foto bersih tanpa jambang. Jauh berbeda dengan saat ini.
"Kamu ganteng kalau bersih begini," kata Budisambil menimang kartu. Muhammad baru berusia 25 tahun. Dua tahun lebih muda dari aku. Tetapi, gurat-gurat di wajahnya mengesankan dia jauh lebih tua dan itu. Ketika pendudukan Amerika tak juga memberikan perdamaian seperti yang dijanjikan, Muhammad dan kawan-kawan kembali masuk Irak dan membentuk kelo
mpok perlawanan. Muhammad bergabung dengan Jaish Al Mujahideen. "Kami tak membenarkan Saddam, tetapi kami juga tak mau dijajah," Muhammad berubah serius.
Aku tak pernah bertanya apa itu kelompok Jaish Al Mujahideen.
Tetapi belakangan, aku tahu bahwa organisasi mereka cukup rapi.
Selain orang seperti Muhammad dan Ahmad yang memanggul senjata, ada pemasok logistik, dokumentasi, urusan media, juga Rois. Rois inilah yang banyak mengambil keputusan di tingkat kebijakan. Dari wajah saja, para Rois sudah berbeda. Mereka lebih rapi, baik dari cara berpakaian maupun urusan rambut dan jambang. Menurut Ibrahim, sehari-hari mereka bekerja seperti warga Irak lainnya. Ada yang jadi dokter, dosen, mahasiswa, politisi, atau bahkan pegawai pemerintahan.
Tampaknya Ahmad terbawa suasana. "Ketika pergi dan menculik kalian, kepada ibuku aku pamit menginap di rumah saudara," katanya.
Dia yakin ibunya gelisah menunggunya. Keluarganya tak ada yang tahu Ahmad ikut kelompok bersenjata. Ini lazim dilakukan pemuda Irak sebab jika keluarga tahu justru bikin repot. Keluarga bisa jadi sasaran jika musuh mencari para pemuda.
Meski mengaku berumur 20 tahun, seperti juga Muhammad, Ahmad terlihat jauh lebih tua dari usia-nya. Mungkin perjalanan hidup yang getir di negeri seribu mesiu memaksanya matang lebih cepat daripada seharusnya. Ahmad amat senang menceritakan berbagai serangan yang disertainya. Entah benar entah tidak, Ahmad mengaku mereka banyak menembak jatuh pesawat pasukan koalisi. "Tapi media Barat menyebut pesawat itu jatuh karena gagal mesin," Ahmad tersenyum pahit.
Kami tak menanggapi. Ahmad juga menjelaskan keyakinannya bahwa Tuhan selalu bersama para Mujahidin. Dia menceritakan suatu pertempuran hebat di Ramadi di mana anggota pasukan koalisi jauh melebihi jumlah Mujahidin, dengan peralatan perang yang jauh lebih canggih. Pasukan Mujahidin terpaksa ditarik mundur, tetapi beberapa gelintir memilih bertahan dan bertempur hingga matahari turun. Malam itu Ahmad dan warga sekampung dikejutkan oleh suara ringkikan pasukan kuda. Di Irak, apalagi di gurun, tidak pernah ada kuda. Keesokan paginya, warga kampung Ahmad menyaksikan tubuh tubuh pasukan koalisi bergelimpangan. Di lain kesempatan, masih menurut Ahmad, seorang anak di kampungnya pulang dari bermain. Kedua tangannya menjewer telinga dua tentara koalisi menggiring mereka ke kampungnya. Entah dari mana sumber kekuatan anak tersebut.
Mungkin Ahmad mengira kami menganggap ceritanya hanya bualan. Dia lalu berdiri. Tak lama kemudian, tangannya sudah menggenggam keping VCD. Budi mengambil laptop, memeriksa baterainya,lalu mengambil VCD di tangan Ahmad.
Kami pun menatap layar komputer yang menggambarkan proses pelaksanaan bom bunuh diri. Ada rapat persiapan, juga ledakan mematikan. Mobil yang membawa bom diambil gambarnya dari tiga sudut berbeda. Terlihat betul bahwa mereka amat berhati-hati, tidak ingin kehilangan momen dengan menggunakan tiga kamera. Aku tercekat menyaksikan mobil berisi seorang pemuda meledak ketika menghantam tank koalisi. Pastilah tubuh pemuda itu terberai. Gambar itu dikompilasi dalam VCD dan disebar lewat pasar gelap. "Warga kami perlu diberi tahu bahwa kami mampu melawan pasukan koalisi," kata Ahmad bangga.
Ahmad memasukkan VCD lainnya. Kali ini layar laptop memperlihatkan suasana rapat persiapan yang mirip dengan VCD sebelumnya. Bedanya, mereka yang hadir dalam rapat mengenakan abaya hitam dengan kerudung menutupi hampir seluruh kepala, hanya menyisakan bagian mata. "Mereka ini wanita yang juga memilih mati dijalan Allah. Mujahida. Meutya berminat menjadi Mujahida"" Raut Ahmad tersenyum, tetapi serius menunggu jawaban.
Bingung bagaimana harus bersikap, aku hanya tersenyum kepadanya.


168 Jam Dalam Sandera Karya Meutya Hafid di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ahmad lalu menanyakan pengalaman meliput aku dan Budi.
Kami bercerita tentang kedahsyatan tsunami, yang beritanya juga mereka lihat di Irak. Aku juga bercerita mengenai keluargaku.
Kutunjukkan foto almarhum Ayah. Budi memperlihatkan foto istri dan anaknya. Mereka juga bertanya mengenai pekerjaan sebagai jurnalis.
Mengapa datang ke Irak, yang jelas-j
elas sedang bergolak. Aku jelaskan bahwa kehadiran kami, jurnalis dari negeri berpenduduk mayoritas Islam, adalah membagi informasi yang seimbang. Bahaya adalah risiko pekerjaan. Sama dengan para Mujahidin, yang justru lebih dekat dengan kematian.
"Kalian berjuang dengan senjata, Budi dengan kamera, dan aku dengan pulpen dan kertas," kataku. Aku berharap jalan pikir mereka dibukakan bahwa perjuangan bersenjata bukan satu-satunya pilihan.
Ahmad juga menanyakan gajiku. Tetapi, aku hanya tertawa. Aku beralasan tak mungkin menjawab karena di situ ada Budi. Giliran Ahmad dan Muhammad tertawa. Mereka berjanji akan menagih jawabannya kalau Budi sedang keluar gua.
Pembicaraan terhenti karena kami sadar belum makan siang.
Acara makan siang berlangsung tanpakata. Mungkin karena suasana yang terbangun membawa kami jadi sentimental. Aku bersyukur, empat hari di gua, hal-hal yang kutakutkan di awal penculikan tidak terjadi.Tidak ada todongan senjata yang menggentarkan hati. Sebagai perempuan, tak sekali pun aku merasa dilecehkan lewat perkataan, apalagi perbuatan. Kecuali oleh tatapan cunihin si sontoloyo.
Tidak ada hari tanpa makanan lezat. Ahmad dan Muhammad tidak akan makan sebelum aku makan. Ketika aku mulai lemas, karena nafsu makanku yang turun drastis, mereka membawakan soft drink dan buah-buahan, bisa apel, jeruk, kadang-kadang pisang. Ketika aku tertawa melihat gelas kecil khas Irak untuk minum teh, mereka membelikan gelas besar. Ketika persediaan tisuku semakin menipis, mereka membawakanku sekotak tisu. Padahal, untuk bolak-balik ke gua, taruhannya adalah nyawa.
Waktu yang lambat terus merayap.
Dan, malam yang menjelang kembali membawa kesepian yang menikam. Aku memejamkan mata, mencoba tidur. Di dalam gua yang kecil ini, cara membuat suasana pribadi, memiliki sekadar privasi, adalah menutup seluruh tubuh dengan selimut. Mungkin karena tidak letih, atau pikiran yang kalut, kantuk tak kunjung datang. Kuraih buku Yasin ber-sampul gambar Ayah. Tetapi, lampu minyak yang bergoyang ditiup angin membuatku sulit membaca.
* * * MATAKU panas. Bukan karena lelah membacadalam lampu temaram.
Aku rindu Ayah. Ingat masa-masa kecil bersamanya. Aku lahir 3 Mei 1978 di Bandung. Ayahku, Doktor Anwar Hafid, dan mama-ku, Meity Hafid, memberiku nama Meutya Viada Hafid. Nama yang sering membuat orang menyangk aku orang Aceh. Padahal, nama "Meutya"
itu diambil dari nama grup bola voli sekolah Mama. Mama juga pengagum Bung Hatta, dan beliau memberi nama anaknya Meutya2.
Adapun "Viada" diambil dari IADA, organisasi Ayah waktu mengambil gelar doktor di University of The Philipine, Los Banos, Filipina.
Oh ya, gara-gara tinggal di Filipina itu pula, akumemiliki panggilan masa kecil "Bingbing". Ceritanya, sampai usiaku dalam kandungan 8 bulan, Ayah dan Mama masih tinggal di negeri jiran itu.
Anak perempuan kecil di sana biasa dipanggil "Bingbing", seperti "Neneng" di Sunda. Panggilan itu melekat di kalangan terdekat hingga aku SD. Tetapi, karena teman-teman SD memelesetkannya menjadi "belimbing", aku tak mau dipanggil Bing lagi.
Mama selalu mengulang cerita yang sama bahwa waktu aku lahir hujan turun cukup deras di Bandung. Tiga kakakku (almarhum) Fand, Finny, dan Fitri tidak pernah berhenti melingkari keranjangku, mengamati gerak-gerik adik kecil mereka.Di Bandung aku hanya menumpang lahir sebab Ayah segera pindah ke Bogor. Di sana, kami 2 Sekarang Menteri Urusan Perempuan.
mengontrak sebuah rumah mungil, di sebuah gang kecil di Jalan Bangka.
Di kota hujan itulah, aku tumbuh. Polah Meutya kecil menyedot perhatian tetangga. Setiap petang, selepas memandikan, membedaki, dan mengikat rambutku ke atas menyerupai air mancur, Mama selalu mendudukkanku di bangku kayu di depan rumah. Kata Mama, rumah kami yang kecil membuatku harus banyak bermain di luar. Tak lebih dan lima menit, ada saja tetangga yang menggendongku, membawa pergi berkeliling hingga azan magrib berkumandang.
Dua tahun kemudian, kami pindah lagi ke Ujung pandang(Sekarang bernama Makassar.). Ayah menjadi dosen di Universitas Hasanuddin. Panasn
ya Makassar yang berbeda jauh dengan Bandung dan Bogor membuatku tak betah.
Untunglah, banyak rekan sebaya di kompleks dosen di Baraya, Jalan Sunu, Makassar. Aku pun mengecap pendidikan formal awal di kota nenek moyangku dari garis ayah itu. Ayah, yang sudah punya cukup tabungan,membeli mobil kecil. Cukuplah untuk membawa kami bermain ke rumah nenek, di seberang Pantai Losari. Makassar pun menjadi tempat tumbuh yang menyenangkan dan penuh kenangan.
Termasuk rekor membolos selama tiga bulan, sampai guru TK-ku datang ke rumah untuk membujukku, agar mau sekolah.
Hanya sebentar aku memakai seragam putih-merah, kami harus pindah lagi. Kali ini ke Jakarta. Perilaku malasku tak berubah.
Persiapan berangkat sekolah menjadi episode pagi yang menegangkan dan melelahkan. Mulai dari pekerjaan rumah (PR) yang lupa dikerjakan, dasi dan topi yang hilang tak tahu rimbanya, buku pelajaran yang tercecer, hingga kuku yang belum dipotong. Ditambah lagi, aku sulit bangun pagi, hingga keriuhan itu berlangsung dalam suasana pendek. Ketika lonceng sekolah jelas terdengar berdentang hingga ke rumah, barulah aku diseret setengah berlari. Sampai menginjak bangku SMP, kondisi itu tak jauh berubah. Aku menjadi langganan koperasi sekolah, dan nyaris setiap Senin pagi aku datang membeli topi dan dasi. Ah, masa lalu yang indah ....
Selain slebor, aku juga disebut mamaku sebagai pemberontak cilik. Darah Bugis dan Ayah sepertinya tertanam kuat dalam diriku.
Prinsipku sering sulit ditawar. Aku harus memilih baju dan gaya kuncir rambut sendiri.
Padahal, Mama sedang senang-senangnya mendandani anak bungsunya, dengan baju-baju yang khusus dia beli untukku. Walhasil,setiap ada acara undangan keluarga, drama menegangkan itu selalu berulang. Mama yang memaksa mengganti bajuku, dan aku yang mati-matian bertahan. Rengekan dan bentakan saling bertukar ditengah aksi tarik-tarikan baju.
Untunglah, kenakalanku tertutupi dengan prestasi sekolah. Namaku tidak pernah absen dari minimal peringkat tiga terbaik.
Tatkala duduk di kelas 5 SD, tahun 19S6, aku berangkat ke Jepang menjadi duta cilik dalam pertemuan anak se-Asia-Pasifik. Tiga tahun kemudian, aku ke Jepang lagi, tepatnya di Fukuoka, untuk mengikuti pertukaran pelajar Asia-Pasifik dengan pelajar Jepang dalam program The Asia-Pacific Children's Convention (APCC). Tinggal di Fukuoka, sebuah kota industri dan pendidikan terkemuka di Jepang, meski hanya dua minggu, membuat cara pikirku mulai berubah. Inilah kali pertamaaku tinggal berjauhan dengan orangtua dan hidup bersama keluarga yang budayanya jauh berbeda. Aku pun melihat sikap anak-anak Jepang yang berbeda 180 derajat dari gaya hidupku. Mereka begitu teratur, terjadwal, rajin, dan menghormati orangtua. Pagi di keluarga Jepang yang menjadi semangku sungguh bukan pagi yang rutin aku jalani di tanah air.
Bukan pola hidup itu saja pelajaran yang kupetik, dari bertemu anak-anak dan budaya negara lain. Binar mata kebanggaan Ayah dan Mama, ketika menyambutku pulang, memperkaya batinku bahwa aku bukan semata-mata anak yang nakal. Prestasiku menjadi penawar yang sejuk, pengobat kelelahan mereka mengurus anak yang nakal ini. Mama, Ayah, kakak-kakakku, maafkan aku. Rasanya selama hidup, apalagi saat ini, aku selalu menjadi biang masalah. Doakan aku lepas dari persoalan berat ini.
Suasana serum mesin mengoyak keheningan malam. Helikopter.
Muhammad mengecilkan nyala lampu minyak. Suasana di gua berubah menjadi temaram dan mencekam. Meski semua terbangun, kami larut dalam diam. Belakangan, patroli udara Amerika semakin sering saja.
Bisa saja mereka sudah mendeteksi keberadaan kami di gurun ini, dari bolak-baliknya mobil pengantar logistik. Sebuah repetisi yang menguntungkan sekaligus mencelakakan.
Cahaya bulan yang masuk dari celah gua membuat gua tak terlalu temaram. Ketika cahaya buatan manusia tiada, sinar bulan dan bintang terlihat lebih benderang dan indah. Berteman cahaya rembulan, di atas pasir gurun, aku mencoba pasrah. Memejamkan mata, berusaha menghalau rasa takut.
Ahmad mengajak kami berdoa. Kami membaca surat-surat pendek,
Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas. Dibawah deru suara helikopter, kami, aku dan Budi jurnalis asal Indonesia, Ibrahim sopir asal Yordania, serta Muhammad dan Ahmad kelompok Mujahidin Irak yang menculik kami- larut dalam kebersamaan,tunduk dalam doa agar esok masih bersua mata-hari. []
Bab 7 Hilangnya Kesabaran MATAKU mengerjap-ngerjap oleh berkas sinar terang yang menimpa wajah. Bukan sinar bulan. Cahaya matahari menerobos celah gua. Aku bersyukur.malam yang menegangkan telah berlalu.
Aku tak ingat kapan aku terlelap. Kehadiran pagi membuatku semakin optimistis. Apalagi ini adalah hari kedua setelah pengambilan gambar.
Mungkin gambar penyanderaan kami sudah ditayangkan. Ibrahim dan Budi sudah duduk berbincang.
Ibrahim mengaku tidak dapat tidur nyenyak karena ketakutan.
Budi pun tak bisa tidur lelap. Tetapi, dia tidak bisa tidur karena kedinginan. Rupanya, malam tadi Budi berbagi selimut dengan Ahmad yang berbadan besar. Akibatnya, sebagian badannya tidak terlindung selimut. Aku beruntung memiliki "ruang privasi", tak harus bersenggolan dengan orang lain. Tak harus berbagi selimut. Karena itu, aku sering malu, bangun paling akhir.
Ritual membuat teh bersama sudah dimulai. Budi mengulurkan telapak tangannya di dekat air yang dijerang. Tetapi, kami tidak banyak bicara.
Ketegangan semalam masih terbawa.
"Aku jenuh, Mut," bisik Budi.
Aku mengangguk, menyetujui. Maklum, sebagai jurnalis, aku dan Budi terbiasa dengan kehidupan yang dinamis, dari satu peristiwa ke peristiwa lain nyaris tanpa jeda. Aku mendadak mengerti pentingnya sebuah kemerdekaan.
Pagi pun kubuka dengan mood yang kurang baik.
"Ada apa"" tanya Ibrahim.
Aku jelaskan bahwa kami sudah bosan tanpa kepastian. "Kalau begini terus, rasa hormatku kepada Mujahidin yang mulai terbangun bisa runtuh."
"Mujahidin itu tugas suci, dan pelakunya pasti orang tepat janji,"
Ibrahim tetap saja membela.
Aku tekankan padanya, belajar dari keadaan tadi malam, keberadaan kami di gua semakin tidak aman."Kita bisa mati konyol di sini," keluhku.
Muhammad, yang duduk di seberang kami, tampaknya menangkap gelagat kurang baik. Dia membuka perbincangan ringan.
Tentang gelas kami yang lebih besar dari milik mereka. Tentang air yang diambil dari Sungai Eufrat. Muhammad, seperti juga Ibrahim, selalu membanggakan air Sungai Eufrat. Menurut mereka,kualitas air sungai ini hanya sedikit di bawah air zam-zam. Muhammad juga bercerita bahwa Irak pada masa silam disebut Mesopotamia tanah di antara sungai-karena mencakup sebagian besar dataran alluvial yang subur di antara sungai-sungai Eufrat dan Tigris.
Sejarah yang menarik, pikirku, tetapi diceritakan ditengah keadaan kurang baik, membuatku tak antusias.
Lalu Hening. Gantian Ahmad yang membuka perbincangan. Dia menanyai Budi apakah komputer jinjing masih bisa dipakai. Budi mengecek dan mengangguk tanda oke. Ahmad mengeluarkan VCD dari saku jaketnya. Tanpa bicara, kami lalu merubung komputer, membiarkan gambar berputar. Anak-anak dan perempuan menjerit kesakitan di sebuah rumah sakit. Orang-orang berlumuran darah datang silih berganti. Kawasan permukiman penduduk. Raungan pesawat tempur melintas, lalu dentuman bom menimpa rumah penduduk. Asap membubung dan rumah yang menyala terbakar. Warga panik berlarian tanpa arah yang jelas.
"Inilah hari pertama Amerika menyerang negara kami," suara Ahmad memecah keheningan.
Ahmad lalu menceritakan bahwa gambar itu diambil di Ramadi, kota kelahiran Ahmad dan Muhammad. Juga, kota tempat kami diculik. Suasana saat invasi itu berbeda jauh dengan yang kami lihat saat melintas sebelum penculikan. Gedung-gedung saat ini lebih sedikit dibandingkan sebelum invasi. Rupanya sebelum Amerika datang, Ramadi merupakan kawasan pertanian yang subur. Setelah invasi, segala ketenteraman itu pun sirna.
"Ini salah satu alasan kami berontak," ujar Ahmad sambil matanya tak lepas dari layar komputer.
Menyaksikan tayangan VCD itu, tiba-tiba aku teringat Suha, putri bungsu Muhammad Nasser.
Nasser adalah orang Irak yang menjadi penerjemah kami padahan pertama datang ke Irak. Dulu, waktu B
udi meliput pertama kali ke Irak tahun 2003, dia pernah bekerja di KBRI. Dia adalah kamus berjalan yang mengabarkan perbedaan sebelum dan sesudah Amerika menginvasi Irak. Ketika kami masuk Bagdad, dia menunjukkan bekas lokasi patung Saddam Hussein, yang dirobohkan ketika serdadu Paman Sam masuk pusat kota. Melihat bangunan yang porak-poranda, dan dijelaskan bangunan apa itu dulunya, capai rasanya. Apalagi melihat tentara Amerika dengan senjata pongah berseliweran di mana-mana.
Suha adalah bocah cantik berusia sembilan tahun. Wajahnya khas perempuan Arab. Hidungnya mancung, kulitnya bersih, dan rambutnya ikal. Aku tanya kenapa dia tidak sekolah. Dia hanya tersenyum.
"Saya melarangnya sekolah," Nasserlah yang menjawab. Nasser melarang anak-anaknya sekolah, sebab bangunan yang mestinya bebas dari perang, termasuk sekolahan, kini sering dijadikan arena bom bunuh diri.
Aku dan Budi pernah meliput suasana sekolah-sekolah di Irak.
Beberapa sekolah yang kami kunjungi tampak lengang. Aku tercengang melihat pintu sekolah yang dijaga oleh pria bersenjata laras panjang. Pikirku, bagaimana mau menimba ilmu dengan tenang kalau mau masuk sekolah saja harus menyaksikan orang bersenjata.
Tetapi, beberapa anak kecil di depan sekolah sepertinya sudah terbiasa dengan senjata. Mereka tak acuh dan meneruskan bermain.
Anak-anak lain yang tidak diizinkan orangtua mereka bersekolah, seperti anak-anak Nasser misalnya, memilih mengisi hari-hari dengan bermain bola dan kejar-kejaran di gang-gang di antara rumah susun mereka.
"Semua tak lagi peduli anak-anak. Semua demi perjuangan," lanjut Nasser kecut.
Suha adalah satu-satunya anak perempuan Nasser. Abbas, kakak laki-laki Suha yang baru berusia dua belas tahun, menurut Nasser, sudah pandai menggunakan senjata. "Aku terpaksa mengajarkannya untuk keamanan. Kalau hal buruk terjadi padaku, Abbas harus mampu melindungi keluarga," ujar Nasser.
Seperti halnya Suha, Abbas sudah cukup lama absen dari sekolah. Adik laki-laki Suha yang baru berusia lima tahun, Mikhail, belum mengerti banyak.Dia lebih sering bermain di kamarnya.
Nasser lalu membawaku berkeliling ke sekitar kampung tempatnya tinggal. Suasananya mirip dengan kompleks rumah susun di Jakarta. Di situ aku melihat puluhan anak lainnya, sebaya dengan anak bungsu Nasser. Yang lelaki asyik bermain bola, yang perempuan bermain kejar-kejaran. Semua tak bersekolah karena alasan yang sama. Melihat aku dan Budi, mereka berhenti bermain. Di awali satu anak, mereka tahu-tahu sudah mengelilingi aku dan Budi.
Mereka berebut mengucapkan sesuatu, tetapi aku tak mengerti.
"Mereka minta difoto bersama," teriak Nasser mengatasi suara berisik anak-anak. Aku tergelak dan memeluki mereka.
AKU berangkat ke Irak sebagai jurnalis yang berusaha independen.
Tidak mengasihani bangsa Irak, tetapi juga tidak menyalahkan Amerika. Namun, tayangan VCD yang belum berhenti menggambarkan berbagai kehancuran membuatku terenyuh. Nun dilubuk hati terdalam, aku mulai memahami pilihan mereka. Ketika manusia ditekan di luar batas kewajaran, maka insting pertama adalah memberontak.
Mungkin bagi Ahmad dan Muhammad, masalahnya sederhana.
Keberadaan pasukan asing merupakan bentuk penjajahan, dan penjajahan harus dilawan. Bukankah kita juga menganut paham bahwa penjajahan di muka bumi harus dihapuskan"
Aku tak menyalahkan jalan pikiran mereka yang menurutku terlalu hitam-putih. Nyaris sepanjang usianya, Ahmad dan Muhammad didera konflik berkepanjangan. Untuk mengecap pendidikan yang layak di dalam negeri saja, mereka tidak punya banyak kesempatan.
Wajar kalau hal itu membuat mereka berpikiran sempit. Aku merasa beruntung, diusiaku yang masih muda, aku sudah bepergian ke banyak negara, bahkan menetap bertahun-tahun, serta bergaul dengan berbagai bangsa dan agama.
Singapura, meski bukan negara yang asing lagi yang pernah kudatangi, memiliki banyak kenangan dalam hidupku. Semua berawal dan iklan yang dilihat Mama tahun 1993. Saat itu, aku baru saja lulus SMP. ASEAN Secondary Scholarship, yang dibiayai Kementerian Pendidikan Singapura, memberikan beasiswa untuk belajar d
i sana. Ayah menantangku, "Nak, kamu berani tidak sekolah sendiri di Singapura"" Ayah tahu betul kebiasaanku:kalau ditantang berani atau tidak, pasti menjawab berani.
Dimulailah perburuan itu. Mama mengambil sendiri formulir di Kedutaan Singapura. Lalu Mama, Ayah, dan kakak bergotong-royong menyiapkan data. Aku sendiri sibuk menonton televisi saja. Semua dataku sudah tertulis rapi di kolomnya. Aku tersenyum melihat isian NEM (Nilai Ebtanas Murni) SLTP-ku: 10 untuk matematika. Pelajaran itu memang favoritku, selain ilmu pengetahuan alam, IPA. Matematika itu pula yang mengantarku menuju kehidupan mandiri di negara tetangga, Crescent Girls School, Singapura.
Menjelang si bungsu ini pergi, kegembiraan berubah. Ayah, yang pada awalnya paling bersemangat mendukung kepergianku, menjadi susah tidur. Rupanya, Ayah tidak siap melepasku hidup sendiri dinegeri orang, di usiaku yang baru beranjak remaja. Tepat sehari sebelum keberangkatanku, Ayah ambruk. Ayah terserang stroke ringan. Darah tingginya memuncak karena sedih luar biasa. Melihat kondisi Ayah, keluarga mempertimbangkan ulang kepergianku. Namun di tengah kegalauan, Ayah memutuskan aku tetap berangkat.
Keputusan Ayah ini membawaku ke lembar baru dalam hidupku.
Sistem pendidikan Singapura yang sangat kompetitif tidak hanya mengajariku hidup mandir-i,tetapi juga arti kerja keras. Akh ... andai Ayah masih hidup, pastilah dia sedih bukan kepalang anak perempuannya hilang tiada rimba.
Dari Singapura, aku melanjutkan studi ke Sydney, Australia.
Tahun 1996, Aku menjadi mahasiswa School of Manufacturing Engineering, University of New South Wales. Fakultas yang aku pilih merupakan favorit di kalangan International students. Jadi,aku banyak bertemu dengan mahasiswa dari berbagai negara. Banyak nilai dan paham di antara kami yang berbeda. Tetapi, itu semua kami jadikan masukan untuk memperkaya khazanah, bukan untuk pertentangan.
Tinggal di Australia jauh dari keluarga juga mengajarkan padaku pentingnya perjuangan. Dua tahun kuliah, Indonesia dilanda krisis ekonomi dahsyat. Nilai tukar dolar terhadap rupiah melambung.
Beasiswaku dari pemerintah Indonesia diputus sepihak. Ayah sebenarnya memintaku pulang. Tetapi, dia juga tahu bahwa menyelesaikan S1 di UNSW adalah impianku. "Ayah mau kamu tetap melanjutkan kuliah di Australia. Kita akan tempuh segala usaha untuk membiayai," kata Ayah waktu itu.
Aku pun semakin rajin mendatangi toko dan gerai favoritku. Kali ini bukan untuk shopping, melainkan melamar kerja. Setelah ke sana kemari tanpa hasil, akhirnya nasibku tersangkut di restoran ayam cepat saji, yang letaknya tidak jauh dari kampus. Aku memulai sebagai pramusaji, lalu kasir, hingga akhirnya dipercaya meracik bermacam jenis burger.
Meutya yang mengurus diri sendiri saja tidak becus kini harus pintar menyiapkan masakan. Tak jarang kulit tanganku terciprat minyak panas atau tersengat pemanggang roti burger. Aku bekerja sepulang kuliah hingga tengah malam, lalu paginya bersiap lagi kuliah.
Kadang, kalau butuh uang lebih, aku terpaksa membolos kuliah.
Penghasilan kerja paruh waktu itu, aku gunakan untuk membayar sewa rumah. Untuk makan, aku punya trik khusus berhemat. Setiap malam, aku membawa ayam sisa untuk disantap besok siangnya. Untuk makan pagi, aku membawa roti burger yang dibuang restoran karena tanggal kedaluwarsa akan habis keesokan harinya. Penggal hidup yang pahit.
Namun, itu pun belum cukup. Libur akhir tahun,yang waktu itu jatuh bertepatan dengan bulan Ramadhan, ku siasati dengan menambah jam kerja. Sejak krisismoneter, aku tidak lagi merasakan kehangatan Ramadhan bersama keluarga.
Terhambat oleh aturan bahwa pelajar asing hanya boleh kerja 20 jam seminggu, aku pun mencari kerja yang membayar tunai supaya tidak terpantau imigrasi. Ada pabrik pengepakan majalah di pinggir Kota Sydney yang biasa melakukan kebijakan seperti itu untuk mempekerjakan imigran. Karena lokasi pabrik cukup jauh, aku harus berangkat sebelum matahari terbit. Mengejar bus paling awal menuju central station, lalu naik kereta api ke tempat kerja.
Pukul tujuh tepat, aku sudah berdiri mengelilingi belt, di mana majalah akan berputar. Aku ke-bagian tugas menempelkan lembaran tambahan atau hadiah, kehalaman tengah majalah. Selama sepuluh jam, dipotong istirahat makan siang 30 menit, tanganku terus-menerus bergerak naik-turun, menyerupai mesin, menempelkan hadiah. Jika kelamaan, badanku sering limbung karena pusing terus-menerus melihat ribuan majalah yang tak berhenti berputar.
* * * DAN waktu terus berputar di gurun sepi ini. Sudah hari kelima kami diam tanpa kegiatan berarti. Sudah dua hari pula sejak pengambilan gambar. Tetapi, tanda-tanda pembebasan itu tak kunjung tiba. Rois yang kami nantikan untuk mengabarkan masa indah itu belum muncul hingga menjelang siang. Gundahku membuncah menjadi kesal. Aku sadar, sifat kerasku bisa muncul pada saat seperti ini.
Ketika Rois kemudian datang tengah hari, kesabaranku sudah hilang. Dia menyatakan belum bisa melepas kami karena pernyataan Presiden Indonesia yang mereka tunggu belum ada. Aku bersikeras menagih janji pembebasan.
"Saya hargai jihad kalian. Kalian berjihad dengan senjata, tetapi saya juga ingin meneruskan jihad saya. Jihad saya dengan ini, jihad Budi dengan itu," kataku seraya mengangkat pulpen tinggi-tinggi dan menunjuk-nunjuk kamera yang tergeletak di lantai.
Semua diam. "Apa artinya berjihad jika kita hanya diam menghabiskan waktu di gua. Kalau dibom, kita bukan syahid,tetapi mati sia-sia," lanjutku.
Ibrahim tampak agak bingung. Dan, aku yakin dia tidak menerjemahkan semua unek-unekku. Dia menyensor pernyataanku, untuk menjaga situasi tetap kondusif. Matanya menatapku, seolah-olah memintaku meredakan amarah. Budi sendiri hanya menunduk.
Tetapi,aku tak peduli lagi. Hanya satu dalam pikiranku: aku ingin bebas! Berharap pada kebaikan Rois saja tidak cukup. Aku harus perjuangkan kebebasanku!
Rois tampak terkejut dengan perubahan sikapku. Mungkin tidak banyak orang yang bersuara tinggi dihadapannya. Namun, dia kelihatan berusaha tetap tenang, tidak membalas kata-kataku. Dia sepertinya menanyai Ibrahim, kenapa aku berubah galak siang itu.
Sebelum pergi, dia mengulangi lagi janji pembebasan kami.
Tetapi, aku tidak mau lagi menanggapi janjinya itu.
Yang tersisa hanyalah keheningan.
Sepeninggal Rois, suasana di gua berubah kaku. Ahmad dan Muhammad ikut salah tingkah. Mereka bukan lagi sekadar penculik, melainkan teman. Dan sebagai teman, Muhammad dan Ahmad sepertinya memahami kemarahanku. Ada rasa tidak enak yang terselip dalam hatiku karena aku memarahi pemimpin Ahmad dan Muhammad. Jangan-jangan mereka dihukum karena tidak bisa menjagaku.
Dan, siang kembali merayap menuju malam.
Namun, malam yang dingin berpadu dengan suasana hati yang juga dingin. Tak ada makan malam bersama. Aku mencomot sedikit daging, lalu menyepi disudut privasiku. Yang lain pun begitu.
Sayangnya, usahaku memejamkan mata diganggu suara tikus. Entah dari mana datangnya tikus itu hingga sampai di gua kami. Tampaknya dia terperangkap mencari pintu keluar. Karena ukuran gua yang kecil, gerakan tikus terdengar jelas. Banyaknya plastik sisa pembungkus membuat gerakan tikus terdengar makin jelas. Aku memekik ketika tiba-tiba tikus itu berlari ke arahku. Yang lain tertawa.
"Berani ke Irak, kok sama tikus saja takut," kata Ibrahim. Kusembunyikan wajahku di balik selimut. Aku tersenyum simpul.
Aku tahu mereka mencoba mencairkan suasana. Tetapi, kemarahanku masih membara. Kutarik selimut lebih lekat. []
Bab 8 Kabar Pembebasan SATU malam lagi telah kulewati dalam gua di tengah gurun. Tetapi, dingin pagi yang mere-jam-rejam kulit membuatku enggan keluar dari sedikit kehangatan dalam selimut. Tak ada suara-suara pengundang semangat dan tawa canda yang mengiringi ritual chai.
Mungkinkah mereka marah atas sikapku kemarin"
Kalau begitu, aku harus minta maaf. Buru-buru akubangkit. Tak ada Ahmad. Juga, Muhammad. Apakah mereka sedemikian tersinggungnya, Rois mereka aku marahi sehingga mereka pergi tanpa pamit"
Namun, bersama Budi dan Ibrahim ada dua lelaki lain, yang baru kulihat.
Aku bilang kepada Ibrahim, "Hammam, hammam.
"Maksudnya, aku mau ke belakang dan sikat gigi, meski arti sebenarnya adalah
"kamar mandi" atau "toilet". Cukup lama aku di luar, sampai Budi meneriakkan namaku.
"Ahmad dan Muhammad pergi pagi-pagi sekali. Mereka titip salam," kata Budi sesampainya aku kembali di gua.
Rupanya bukan kemarahan yang membuat dua penjaga itu pergi. Menurut Ibrahim, yang mencuri dengar pembicaraan, Ahmad dan Muhammad memiliki tugas lain, yaitu menjaga sandera baru. Di gurun itu memang ada gua lain yang kabarnya lebih besar. Tetapi, aku tak tahu di mana letaknya. Aku tak pernah ke mana-mana. Aku hanya bisa bergerak dari gua ke luar gua, dan kembali ke dalam gua.
Meski aroma hangat chai yang khas tetap menggelitik hidungku, ritual minum pagi hari itu berlangsung dingin. Ini mengulang hari-hari awal penculikan enam hari lalu. Kami duduk mengelilingi pusat perapian dalam diam. Biasanya, Ahmad selalu memberikan semangat padaku dengan senyum hangat dan candanya. Tetapi, pagi ini, di tengah ketidak pastian kabar pembebasan, suasana akrab yang mulai terbangun pun pelan-pelan memudar.
Budi dan Ibrahim juga terlihat tidak seceria hari-hari sebelumnya. Kami hanya berbicara seperlunya. Boleh jadi pikiran kami sama, yakni bahwa kami belum merasa dekat dengan penjaga yang menggantikan Muhammad dan Ahmad. Kami bahkan tak ingat nama mereka. Salah satunya, yang berbadan tinggi, kami panggil saja si Jangkung. Walaupun mereka menunjukkan sikap yang santun dan baik, tetap saja kedekatan kami berbeda. Tak pernah terpikir olehku bahwa aku bisa merasa kehilangan sosok orang yang menculik dan menodongkan senjata kepadaku.
Budi bilang, ketika meninggalkan kami kemarin, Muhammad berjanji akan menemui kami sebelum kami bebas. Mereka berusaha meyakinkan bahwa kami dalam kondisi aman meski bukan mereka yang mengawal. Muhammad juga bilang, dia pulang sebentar menengok anak dan rumahnya. Sedangkan Ahmad, khawatir ibunya mencari-cari karena dia terlalu lama meninggalkan rumah. Namun, menurut Ibrahim, itu tadi, mereka mengawal sandera lain. Menurut Ibrahim juga, sandera baru itu adalah warga Irak, yang dituduh berkhianat dengan memberikan informasi kepada pasukan koalisi mengenai keberadaan kelompok pergerakan. "Biasanya, kelompok seperti itu tidak disandera lama. Jika tidak menguntungkan, mereka akan dibunuh dengan cara dipenggal atau ditembak. Dokumentasinya disebarkan, agar menjadi peringatan bagi warga lain supaya tidak melakukan hal bodoh serupa," kata Ibrahim.
Aku bergidik. Aku teringat gambar video yang pernah kulihat di kantor berita APTN, Bagdad. Ketika itu, aku dan Budi tengah mengirimkan rekaman laporan kami ke Jakarta dengan menyewa jasa satelit APTN. Pada saat yang bersamaan, datang sebuah rekaman video yang dikirim tanpa nama. Ketika diputar, kaset tersebut ternyata berisi rekaman adegan yang sungguh mengerikan. Tiga orang yang terlihat seperti warga Irak berbaris rapi dengan mata ditutup, kemudian orang bersenjata dengan muka tertutup menembak mereka dari belakang. Peluru menembus dada ketiga orang tersebut. Visual berikutnya merekam seseorang yang mengenakan seragam tentara koalisi, dengan muka tertutup dan posisi jongkok, menunggu eksekusi.
Ketika tembakan pertama mengenainya, dia sempat bereaksi dengan menyumpah dalam bahasa Inggris. Tembakan berikutnya pun bersusulan, membuat badan si tentara terguncang, terlempar, dan tak bergerak lagi. Perlakuan terhadapnya mirip dengan perlakuan terhadap seekor binatang hasil buruan. Tak lebih. Mengerikan.
Tak kubayangkan sosok Ahmad dan Muhammad yang baik dan santun sanggup melakukan hal seperti itu. Mungkinkah mereka meninggalkan kami untuk sebuah eksekusi" Ah, kalau Presiden terlambat, atau salah merespons pernyataan para penculik, mungkinkah..." Aku membuang jauh-jauh bayangan buruk itu.
Sebagian besar keyakinanku menyatakan tidak akan terjadi hal seperti itu. Mulai dari penculikan, hingga berhari-hari menghabiskan waktu bersama, aku selalu berpikir positif tanpa aku paksakan. Ataukah pikiran positif itu hanya ungkapan alam bawah sadar yang muncul sebagai penolakan terhadap kemelut ini"
Namu n, aku sadar bahwa rekaman gambar yang pernah aku dan Budi saksikan bisa juga menimpa kami. Biasanya, kelompok perlawanan yang menyandera jurnalis hanya memberikan batas waktu tiga hari bagi negara asal si sandera, untuk memberikan tanggapan.
Ini sudah hari keempat dari pengambilan rekaman gambar, dan kabar dari Indonesia belum juga datang. Apakah Ahmad dan Muhammad tak tega, lalu menyerahkan tugas eksekusi kepada oranglain"
Bayangan kematian lagi-lagi membawa lamunanku ke Indonesia.
Sebelum meninggalkan tanah air, Indonesia tengah dicoba dengan ujian yang luar biasa dahsyat. Dalam hitungan menit, ratusan ribu nyawa melayang akibat tsunami yang meluluh lantakkan Aceh. Aku yang ditugasi ke Aceh berusaha mengabarkan bagaimana dahsyatnya kerusakan. Termasuk dari Aceh Barat dan Aceh Jaya, kabupaten yang bersisian dengan pantai.
Menumpang helikopter, aku terbang bersama Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Endang Suwarya, melihat Phangha, salah satu titik terisolir diAceh Jaya. Ketika aku meminta turun, pilot ragu sebab kehancuran wilayah itu tak terperi sehingga untuk mencari koordinat pendaratan saja susah. Dari jendela aku lihat kawasan gersang, tidak ada satu pun pohon yang berdiri tegak. Tak juga rumah. Semua rata dengan tanah. Pangdam marah ketika aku tawarkan supaya aku dan juru kamera tinggal. Di sana tak ada tempat berteduh, tak ada makanan dan minuman.
Begitu helikopter nyaris menapak tanah, warga dibawah sana berlarian mendekat. Seolah-olah menyambut malaikat penolong. Aku terenyuh, mataku hangat oleh genangan air mata. Ratusan ribu nyawa melayang, ratusan ribu pula kehilangan tempat tinggal dan butuh perhatian pemerintah. Berlebihankah berharap banyak kepada Presiden untuk menyelamatkan nyawaku dan Budi, di tengah maha duka yang melanda negeriku"
Toh, nun di lubuk hati terdalam, aku tetap yakin Presiden akan menyelamatkan kami. Ini hanya soal waktu. Aku cukup mengenal sosok Presiden, dalam hubungan wartawan dan sumber berita.
Presiden bijak dalam memutuskan, juga bisa berdiplomasi. Sisi kecil kehidupan pribadinya aku dengar dari anaknya, Lettu Inf Agus Hanmurti. Agus aku kenal ketika dia bertugas di Meu-laboh, saat meliput pelaksanaan Darurat Militer di Aceh, tahun 2003. Agus sering bercerita bahwa SBY adalah sosok ayah yang penuh perhatian dan penyayang. Tetapi, mungkinkah dia juga punya perhatian dan sayang akan nasibku" Sudikah dia berdiplomasi dengan kelompok yang dicap oleh negara Barat sebagai teroris" Aku meringis membayangkan jawaban tidak. Sebab, pernyataan Presiden menjadi kunci kebebasan kami.
* * * TERDENGAR derum mobil di kejauhan. Kedua penjaga baru bersiap menyambut. Aku berharap yang datang Rois, membawa kabar bahagia. Entah kenapa, aku juga berharap yang datang adalah Ahmad dan Muhammad. Ternyata yang datang sosok lelaki muda yang kukenal sebagai adik Ahmad, yang pernah datang mengantar logistik.
Dia muncul dengan wajah yang ceria. Dengan penuh semangat, dia pun bercerita kepada Ibrahim. Aku melihat Ibrahim menegakkan duduknya, dan matanya membelalak girang. Aku menangkap sesuatu yang menyenangkan, tetapi tak mau menyela. Aku hanya menangkap dua kata, televisyen dan Rois. Apakah Rois yang dia maksud Presiden Yudhoyono, dan muncul di televisi" Aku tetap diam sambil menyembunyikan harapan besar.
Aku menatap Ibrahim, bak mengiba agar dia segera menjelaskan apa yang tengah terjadi.
"Adik Ahmad mengatakan dia melihat presiden kalian di televisi," kata Ibrahim.
Aku menyipitkan mata ke arah adik Ahmad untuk memancing penjelasan lebih detail.
"Presiden Anda tampan dan tinggi besar"" tanya adik Ahmad, yang diterjemahkan Ibrahim.
Aku mengangguk tersenyum membayangkan sosok Presiden SBY. Mungkin adik Ahmad kaget karena menduga orang Indonesia semua mungil seperti aku dan Budi.
"Menurutnya, Presiden ingin sekali kalian segera kembali,"
tambah Ibrahim. Kali ini, air mataku benar-benar bergulir. Kulihat mata Budi juga berkaca-kaca. Aku menunduk dalam diam, tidak lagi memancing adik Ahmad menjelaskan lebih terperinci. Keyakinanku bahwa Presiden akan menyelamatkan kami terbu
kti. Namun, adik Ahmad rupanya belum puas meyakinkan kami.
Dengan bersemangat, dia terus menjelaskan apa yang dia lihat di televisi.
"Istri Budi bersama anak perempuan, juga ada ditelevisi," kata Ibrahim menerjemahkan dengan senang.
Budi, yang tadinya hanya berkaca-kaca, kini sesenggukan.
Adik Ahmad kemudian berbalik ke arahku. Dia mengatakan sesuatu, tetapi aku hanya menangkap kata "Ummi... Ummi..."
Ibrahimlah yang membuat segalanya jadi jelas. "Adik Ahmad juga melihat ibu dan kakakmu, menangis di televisi.
"Kali ini aku tak kuasa lagi menahan air mata yang menderas.
Mama menangis gara-gara aku. Sungguh berdosa aku membuatnya merana.
Isak tangisku bersahutan dengan isak tangis Budi. Selama diculik, inilah kali pertama aku menangis didepan orang lain. Kuraih kotak tisu di sebelah perapian. Kuambil selembar untuk mencoba menyeka air mataku.
Sejak awal aku terjun ke dalam profesi jurnalistik ini, aku sudah menyiapkan diri untuk segala risiko dan konsekuensi. Tetapi, tidak mamaku. Pasti dia sangat terpukul. Dia tidak siap untuk ini. Aku telah berbuat tidak adil, membuat mamaku dan keluarga ikut menanggung risiko profesiku. Aku merasa telah bersikap egoistis, yakni demi kepuasan pribadi mengorbankan perasaan keluarga. Apalagi perasaan Mama.
Tangisan kami tampaknya membuat adik Ahmad kaget. Dia, yang semula bercerita sambil berdiri, kini terdiam dan duduk berlutut.
"Kenapa mereka sedih" Bukankah aku membawa kabar gembira" Mereka akan dibebaskan," katanya kepada Ibrahim.
Dari balik kertas tisu, aku mengintip. Raut muka adik Ahmad terlihat sedih. Aku buru-buru menghapus sisa air mataku. Aku tidak mau ada orang lagi yang bersedih karena kami. Budi juga sudah dapat mengendalikan dirinya. Aku jadi malu, mungkin mataku bengkak saat ini. Tetapi, aku tak peduli. Tanpa mata bengkak pun penampilanku pasti sudah amburadul. Enam hari tak pernah mandi dan ganti baju, tentu saja, cukup untuk membuat wajahku tidak keruan.
"Apa betul kami akan segera dibebaskan"" Kubenamkan menatap mata adik Ahmad.
"Ya, itu janji dari Rois kami. Tetapi, kalian harus menunggu kedatangan Rois untuk menyatakan pembebasan secara resmi." Kali ini pengawal yang menggantikan Ahmad yang menjawab.
Adik Ahmad pun pamit. Dia datang hanya untuk menyampaikan kabar itu. Tanpa logistik, yang jumlahnya selalu aku perhatikan karena menjadi penanda lama tidaknya kami akan disandera. Aku merasa bersalah telah membuatnya sedih, padahal dia datang secara pribadi,
dan pasti tidak peduli dengan segala risiko, khusus untuk membagi kabar bahagia. Kabar pembebasan. "Mudah-mudahan Rois segera datang untuk membebaskan kalian," kata adik Ahmad sebelum melangkah meninggalkan gua.
"Insya Allah," jawab kami bersamaan. Aku bahkan lupa berterima kasih atas kedatangannya. Aku kesulitan mencari kalimat yang tepat.
Dadaku masih disesaki rasa haru. Tayangan televisi yang kudengar dari adik Ahmad menyadar-kanku bahwa begitu banyak pihak yang berkorban demi keselamatan kami. Keluarga, Presiden, bangsaku, serta media massa. Adik Ahmad pasti menonton tayangan tadi di saluran internasional. Sebagai jurnalis televisi, aku paham bahwa pernyataan Presiden dan keluarga kami pastinya memakan durasi yang tak sedikit. Padahal, di televisi, waktu sedetik itu sangat mahal. Ternyata prasangka kukeliru bahwa jaringan televisi internasional Barat enggan memberitakan keadaanku.
Lama setelah adik Ahmad pergi, kembali terdengar suara mobil.
"Rois datang! Rois datang!" teriak Ibrahim. Entah mengapa dia begitu yakin yang datang adalah Rois. Penjaga membiarkan saja.
Padahal biasanya, jika ada suara, semua waspada. Setelah melilitkan kafiyeh, dua penjaga itu segera menyongsong pemimpin mereka. Tak tahan, aku pun melanggar larangan, mengintip. Benar, mobilnya bagus. Itu pasti Rois. Kurapikan kerudungku, lalu duduk dengan tegak. Kali ini aku mau terlihat lebih siap menyambut kabar bahagia itu, tidak seperti siang tadi.
Aku dan Budi saling tatap dan melempar senyum. Akhirnya, pembebasan itu tiba.
"Assalamu 'alaikum ..." Rois menyapa kami ramah sekali. Aku jadi menyesal, marah-marah sewaktuber
temu kemarin. "Tolong jelaskan kepada Meutya. Jawaban dan permintaannya kemarin sudah bisa saya berikan. Sesuai dengan janji kami, kalian akan bebas segera setelah kami mendapat reaksi dari Indonesia. Hari ini kami sudah melihat pernyataan dari Presiden Indonesia. Jadi, tidak ada alasan untuk menahan kalian," kata Rois kepada Ibrahim, yang dengan senang menerjemahkannya untuk aku dan Budi.
"Syukron jazzilan," jawabku dengan bahasa Arab yang kupungut dari percakapan Ahmad dan Muhammad.
Aku tak kuasa menutupi kebahagiaanku. Budi berkali-kali mengucapkan kalimat hamdalah sebagai rasa syukur.
Rois lalu berbincang serius dengan Ibrahim. Setelah pembahasan yang cukup panjang, Ibrahim menjelaskannya kepada kami.
"Rois mengatakan kita sudah bebas. Tetapi, kita harus ambil gambar lagi. Sebab, ketika kalian diculik, mereka mengeluarkan pernyataan resmi. Jadi,ketika kalian bebas, juga harus ada pernyataan resmi," kata Ibrahim dengan hati-hati. Mungkin dia mengerti, setelah dinyatakan bebas, waktu satu j ampun bisa terasa lama bagi orang terpenjara.
"Mafi muskila, no problem" jawabku ke arah Rois, lagi-lagi dengan memungut kata-kata Arab yang pernah kudengar.
Waktu menunggu kedatangan juru kamera, kami manfaatkan untuk berkemas. Budi bersenandung riang. Berkemas adalah pertanda pulang. Kata yangkami damba selama hampir sepekan.
Di luar gua, matahari masih berada di atas kepala kami dengan sinarnya yang menyengat. Aku dan Budi tetap bersemangat mengikuti sesi pengambilan gambar. Berbeda dengan pengambilan gambar terdahulu, kali ini kami lebih rileks. Aku dan Budi telah siap di lokasi, tepat di sisi kanan gua, dengan latar belakang yang sama dengan rekaman pernyataan penculikan. Aku juga lebih bebas memandang siapa-siapa saja yang hadir. Rombongan kali ini lebih ramai. Banyak yang tidak menutup muka dengan kafiyeh. Gaya mereka terlihat santai, dengan celana dan baju yang terkesan modern, yang kadang terlihat di balik mantel musim dingin ( winter-coat) mereka. Wajah mereka pun rapi dan bersih.Tak seperti Ahmad dan Muhammad.
Seorang penjaga ber kafiyeh, tanpa senjata, mendekati kami. Dia berdiri di sebelah Budi, memegang secarik kertas catatan yang berkali-kali dia latih hafalkan. Mujahidin lainnya lalu berkumpul mendekati posisi juru kamera. Selama menunggu persiapan, aku bebas mengobrol dengan Budi.
"Mas, aku sudah cantik belum"" bisikku pada Budi, sambil meminta Budi memerhatikan pas atau tidaknya letak kerudungku.
"Masa komposisinya saja yang bagus, objeknya juga harus dong." "Lebih cakep daripada kalau mau siaran di kantor, kok."
Aku melotot. Jelas saja Budi menyindir. Sudah enam hari aku tidak mandi. Selama itu pula aku tak pernah berkaca. Melihat tampang Budi yang amburadul, aku yakin penampilanku juga sama hancur.
"Aku gimana, Mut"" balas Budi sambil melepas kupluknya. "Ganteng, Mas, tenang aja," jawabku sambil menahan geli.
Rambut Budi yang gondrong terlihat berantakan karena tidak dicuci dan disisir selama sepekan.
"Pakai kupluk lebih keren, deh," usulku karena tak tega melihat rambutnya.
"Pokoknya kita harus keren, Mut. Kita kan masuk CNN," kata Budi tertawa.
Nyaris saja tawaku lepas. Aku sadar betapa beruntungnya aku berpasangan dengan Budi ketika menghadapi musibah ini. Budi, yang apa adanya, selalu berusaha membuatku tersenyum pada saat tersulit sekali pun. Cara pikirnya tidak rumit dan melihat persoalan dari titik pandang yang berbeda dariku.
Suasana yang jauh dari tegang membawa pikiranku melayang ke rumah. Gambaran nikmatnya tidur di atas kasur empuk bergantian dengan bayangan wajah Mama, kakak-kakakku, serta kerabatku. Pasti seru sekali kalau kami bertemu nanti. Tak berhenti di situ. Aku juga membayangkan sepiring nasi dengan lauk semur bikinan Mama, lengkap dengan kerupuk. Tak ketinggalan bakso, pempek, dan tentu saja steak, makanan favoritku.
Belum berhenti, aku juga sudah membayangkan keramaian mal, menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku di kafe. Juga, nikmatnya pijatan tukang lulur langgananku. Dua hari lalu, di tengah keputus asaanku, aku sempat merasa bahwa hidup dan dunia bukan
lagi hakku. Detik demi detik yang terbayang adalah bertemu sang Pencipta.
Hari ini semua berbalik. Keindahan duniawi kembali menghiasi pikiranku. Padahal, kami belum seutuhnya bebas. Padahal pula, selama di gua, sebenarnya aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa ponsel, yang disita oleh penculik.
Niken Dan Pandu 3 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Mustang Hitam 3
^