Pencarian

A Shoulder To Cry On 1

A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria Bagian 1


A Shoulder to Cry on Ria N. Badaria "Berapa kali sih harus gue bilang"! Gue nggak ada masalah Anka jadian sama Riko!" - Danu
* * * - 1 - CUACA luar biasa panas pagi ini, saat cerita ini dimulai. Danu mengayuh sepeda sekuat-kuatnya. Sepedanya bergerak cepat, menyalip lincah di antara ramainya kendaraan bermotor yang memadati jalan raya Jakarta pagi hari. Sengatan matahari membuat peluh mulai membasahi seragamnya, tapi tidak membuatnya memperlambat kayuhan, ia malah semakin ngebut ketika memasuki sebuah kompleks perumahan.
Danu mengerem sepedanya tepat di depan rumah mungil berlantai dua bercat biru tua. Di depan pagar teralis rumah itu berdiri gadis berseragam sama dengan Danu, rambut sebahunya diikat satu asal-asalan, wajahnya cemberut.
"Lo lama banget sih" Udah jam berapa nih"" gerutu si gadis. "Gue hampir jalan sendiri ninggalin lo."
"Sori, Anka, gue bangun kesiangan. Tadi kan gue udah SMS lo kalo gue agak telat hari ini," jelas Danu ngos-ngosan, seraya menghela napas dan mengelap keringat di dahinya.
Melihat Danu yang begitu kelelahan, gadis yang dipanggil Anka itu berhenti menggerutu, meredam kekesalannya. Anka mengeluarkan sepedanya yang sengaja diletakkannya di samping mobil inventaris kantor ayahnya.
"Berangkat, yuk! Takut telat nih, gue kebagian Kimia jam pertama, gurunya galak," ajak Anka, seraya naik ke sadel sepedanya, siap berangkat.
"Nggak pamit ibu sama ayah lo dulu, Ka""
"Nggak usah, mereka lagi pada sarapan. Tadi gue udah pamit sebelum keluar."
Anka mengayuh sepedanya mendahului Danu, yang sekali lagi menghela napas untuk melepas lelahnya, sebelum kembali mengayuh sepedanya menyusul Anka.
Seperti inilah keseharian seorang Danu selama hampir empat tahun, tepatnya sejak ia bersahabat dengan Anka, gadis manis yang sekarang mengayuh sepeda di depannya.
*** Empat tahun lalu, pertama kali menginjak Jakarta, Danu datang bersama kakak laki-lakinya. Kedatangan Danu ke Jakarta selepas perceraian orangtuanya. Ia lebih memilih pindah dan ikut kakaknya, ketimbang selalu menjadi objek lempar tanggung jawab kedua orangtuanya yang seakan enggan terbebani oleh anak-anak mereka. Entah apa yang ada dalam pikiran dua orang dewasa itu, yang mengaku dulunya menikah atas dasar cinta.
Awalnya Danu sempat khawatir dengan kehidupan barunya. Jakarta jelas berbeda dengan Bandung, tempat tinggalnya dulu. Kekhawatiran tidak dapat menyesuaikan diri sempat dirasakannya. Keterasingan begitu terasa di sekitar lingkungan barunya. Dan Anka-lah orang pertama yang begitu baik dan ramah menyapanya.
Di tengah upaya Danu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, Anka selalu membantu. Membantunya dalam segala hal yang dirasa Danu sulit dipahami orang baru sepertinya.
Seiring berjalannya waktu, pertemanan mereka yang sudah terjalin sejak mereka duduk di kelas IX (kelas III SMP), berubah menjadi persahabatan. Tidak ada yang lebih tahu soal Anka selain Danu, begitu pula sebaliknya. Sampai-sampai mereka tahu kapan salah satu dari mereka sedang naksir seseorang, atau kapan salah satu dari mereka patah hati karena seseorang.
*** Sesampainya di kelas XII-Bahasa-2, Danu mengenyakkan diri dengan lelah di kursinya, di samping Andro, teman semejanya, lalu menarik buku tipis dari dalam tasnya dan mengipas-ngipaskannya ke wajah.
"Capek bener, Nu," komentar Andro setengah meledek. "Berangkat naik sepeda bareng Anka lagi""
Danu tidak menjawab, sudah hafal benar Andro bakal mengejek kebiasaannya berangkat naik sepeda.
"Lama-lama betis lo bisa segede talas Bogor kalo tiap hari naik sepeda!" Andro memulai ritual paginya. "Kenapa sih lo nggak mau bareng sama gue pake motor, rumah kita deket, gue mau setiap hari jemput lo, daripada lo tiap hari naik sepeda."
"Gue udah biasa, Ndro. Dari SMP gue juga udah berangkat sekolah naik sepeda," jawab Danu datar, "Lagian sehat kok, hitung-hitung olahraga pagi."
"Sehat"! Bukan sehat namanya kalo lo sampai di sekolah kecapekan dan mandi keringat!" Lagi-lagi Andro sok menasihati. "Rumah lo kan udah pindah, sekarang lumayan jauh dari sekolah, beda s
ama dulu." "Nggak bisa, Ndro... Kasihan Anka kalo berangkat sendiri."
Andro mencibir mendengar sahabatnya mengatakan alasan sebenarnya.
"Tuh anak emang nggak pernah lengser jadi prioritas utama lo ya."
"Gue kan udah temenan sama dia dari zaman gue kelas tiga SMP... Emang kenapa" Lo cemburu sama Anka""
Danu mengerling dengan cara paling menjijikkan yang pernah ia lakukan pada Andro, membuat Andro bergidik ngeri.
"Najis! Laki-laki normal nih gue!"
Danu terkekeh mengabaikan ekspresi jijik Andro sambil menarik tasnya lalu mengeluarkan beberapa buku pelajarannya.
"Ndro, PR bahasa Prancis udah lo kerjain belum" Ada beberapa soal yang nggak gue ngerti nih."
"Tuh, buku PR gue lagi dikerubutin anak-anak."
Andro mengarahkan jari telunjuknya ke meja depan yang dikerubuti 6 atau 7 murid yang masing-masing menulis dengan gaya yang bisa menyebabkan osteoporosis dini. Danu mendesah, dan memilih menunggu buku Andro kembali ke pemiliknya ketimbang harus ikut-ikutan nyontek saat itu juga dengan risiko pengeroposan tulang, kebungkukan permanen, atau yang paling ringan, encok di usia muda!
*** Jam istirahat Danu langsung mengajak Andro ke kantin. Keterlambatannya tadi pagi membuatnya tidak sempat sarapan. Tak heran perutnya terasa perih, cacing-cacing di dalam perutnya pastilah mulai memakan bagian dalam lambungnya.
"Makan apa, Nu"" tanya Andro, berdiri di samping Danu sambil menatap murid-murid yang kelaparan memenuhi jajaran kantin.
"Apa aja, yang penting ngenyangin perut," jawab Danu tidak sabar. "Nasi uduk aja tuh, porsinya banyak," putus Danu lalu berjalan lebih dulu dan dengan sigap mendekati gerobak nasi uduk, memesan seporsi nasi uduk lengkap.
"Eh, itu Anka, Nu," kata Andro di sela makan mereka.
Danu melihat ke arah yang ditunjuk Andro. Anka duduk beberapa meja dari tempat mereka dan melambai ceria seperti biasa saat matanya melihat Danu juga. Duduk di sampingnya Riko, kapten tim basket yang baru diangkat sebulan yang lalu.
"Mereka...""
"Setahu gue sih belum," potong Danu cepat. "Anka bilang, dia baru deket-deket doang," jawab Danu enteng, kembali memfokuskan diri pada nasi uduknya.
"Lo nggak apa-apa kalo Anka deket atau jadian sama Riko""
Danu berhenti mengunyah mendengar pertanyaan Andro, meletakkan sendok dengan santai di pinggir piringnya. "Emangnya kenapa" Cewek seumuran dia emang udah seharusnya deket atau jadian sama cowok, kan" Gue sih sebagai temennya seneng-seneng aja dia deket sama Riko. Riko anaknya oke."
"Yakin lo" Nggak ada perasaan apa-apa""
"Jangan macem-macem, Ndro. Gue sama Anka tuh beneran sahabat. Nggak ada perasaan lain." Danu kembali melanjutkan makannya, membiarkan Andro diam dengan ekspresi tidak percaya.
Orang-orang boleh menyalahartikan persahabatannya dengan Anka, tapi bagi Danu, Anka benar-benar sahabatnya. Ia akan bahagia bila Anka bahagia, begitu pula sebaliknya. Kedekatan Anka dengan Riko tidak membawa pengaruh apa-apa untuknya, tidak ada rasa yang seperti dituduhkan Andro padanya.
* * * - 2 - DAMARA melangkah ke luar ruang persidangan. Sekumpulan wartawan infotainment langsung menyerbu ke arahnya. Di sebelahnya, kliennya berjalan menunduk menghindari jepretan kamera wartawan. Imelda Azizah, model cantik berusia 26 tahun yang kasus perceraiannya sedang ditangani biro hukum tempat Damara bekerja.
"Mbak Imel, apa benar terjadi kekerasan dalam rumah tangga sampai Mbak Imel menggugat cerai""
Beberapa wartawan memberondong Imelda dengan pertanyaan yang sama, menyodorkan mikrofon ke arah Imelda seakan menuntutnya untuk menjawab.
Imelda semakin menunduk menyembunyikan wajahnya. Dua pria berbadan kekar, mengenakan baju safari, berusaha membantu Imelda berjalan meninggalkan kerumunan wartawan dan mengantarkan Imelda memasuki mobil yang kemudian melesat meninggalkan area pengadilan agama dengan cepat.
Damara menghela napas lega setelah melihat kliennya berhasil meloloskan diri dari kejaran para wartawan yang menodongnya dengan pertanyaan yang menyudutkan.
"Pak Damara, benarkah gugatan cerai yang dilakukan Mbak Imelda t
erjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu kehadiran orang ketiga"" Salah satu wartawan mengarahkan mikrofonnya ke arah Damara, diikuti wartawan-wartawan lain yang gagal mendapat pernyataan dari Imelda.
Damara risi dengan semua ini. "Maaf saya belum bisa memberikan statement apa-apa, permisi..." jawab Damara sembari berjalan meninggalkan kerumunan wartawan yang kecewa dengan pernyataan Damara. Tapi Damara tidak peduli dengan wartawan-wartawan itu, mereka seharusnya berempati dan bisa mengerti apa yang sedang dirasakan narasumber yang mereka mintai keterangan. Siapa pun pasti tidak mau bicara di depan belasan kamera dengan suasana hati yang begitu sedih.
Damara masuk ke Honda CR-V silver miliknya, berlalu meninggalkan area pengadilan agama. Setelah menghela napas, Damara mengendorkan ikatan dasinya, lalu mulai mengetuk-ngetukkan jari ke setir mobil mengikuti alunan lagu I'm Yours milik Jason Mraz. Di jok samping, berkas-berkas gugatan cerai Imelda Azizah tergeletak begitu saja.
Ini pertama kalinya Damara menangani kasus perceraian selebriti. Seperti dugaannya, memang cukup merepotkan. Datang dan pergi ke pengadilan diserbu wartawan jelas bukan hal menyenangkan. Tadinya Damara menolak menangani kasus Imelda. Kalau bukan karena Rizky, pengacara yang ditugaskan menangani kasus ini, tiba-tiba harus masuk rumah sakit untuk operasi usus buntu, Damara tidak akan bersedia.
Hanya saja keengganan Damara atas kasus ini pelan-pelan berkurang setelah ia mempelajari semua hal tentang kliennya. Bagaimana tepatnya wanita muda dan begitu cantik bisa melewati berbagai hal yang rasanya sulit dihadapi wanita mana pun.
Handphone di saku kemeja Damara bergetar. Nama seorang wanita muncul di layar, membuat Damara langsung melemparkan benda itu ke atas berkas-berkas gugatan cerai Imelda, membiarkannya terus berdengung tidak terjawab.
Gagal menelepon, sang penelepon mengirimkan SMS. Damara kembali meraih handphone-nya.
"Honey... I really miss you. Temui aku di tempat biasa."
Sekali lagi Damara melemparkan handphone-nya ke jok samping. Dengan segala ketidakberdayaannya Damara memutar balik arah mobilnya.
*** Tidak ada yang salah pada diri Danu saat Anka memberitahunya, bahwa ia baru saja resmi menjadi pacar Riko. Sama sekali tidak ada yang salah. Danu bahkan ikut senang melihat Anka terlihat begitu ceria dengan status barunya.
Awalnya memang tidak ada yang salah.
Beberapa hari setelah Riko menjadi laki-laki terdekat Anka, barulah Danu menyadari ada yang salah pada dirinya. Rasanya ada yang tidak beres di kepalanya saat Anka mengatakan tidak bisa lagi berangkat dan pulang sekolah dengan sepeda bersamanya seperti biasa, karena dengan senang hati Riko bersedia menjemput dan mengantar Anka dengan mobilnya. Rasanya ada yang mengusik batinnya saat harus menerima kenyataan bahwa sahabat terdekatnya tidak bisa lagi menghabiskan waktu bersama.
Fakta yang tidak menyenangkan ini membuat Danu uring-uringan, walaupun kenyataannya semua rasa itu masih bisa ia sembunyikan dengan rapi, tapi tetap saja rasanya agak menyesakkan.
"Si Riko nempelin Anka mulu ya, Nu..." kata Andro, melihat ke arah Anka dan Riko di koridor kelas IPA, sementara dia dan teman sekelasnya, termasuk Danu, sedang melakukan pemanasan di lapangan olahraga yang suhunya sudah cukup memanaskan tubuh mereka tanpa harus pemanasan.
Danu mengikuti arah pandangan Andro dan melihat Anka sedang berjalan membawa tumpukan buku di bantu Riko. Senyum terus mengembang di wajah keduanya, membuat pemanasan yang dilakukan Danu bekerja maksimal.
"Namanya juga baru jadian, Ndro, jelas aja lagi lengket-lengketnya," komentar Danu pura-pura tidak peduli.
"Lo nggak marah sama Anka waktu dia bilang mau diantar-jemput Riko""
Guru olahraga mereka memperagakan peregangan otot kaki kiri hingga Danu punya kesempatan untuk menutupi wajahnya dari Andro.
"Kenapa gue harus marah"! Bareng Anka atau nggak, gue tetap bakal pulang-pergi naik sepeda."
Masih dalam posisi peregangan, Andro menggeser posisinya mendekati Danu dan berbisik pelan di punggung D
anu. "Yakin lo nggak marah" Yakin lo nggak ngerasa kehilangan Anka""
"Berapa kali sih harus gue bilang"! Gue nggak ada masalah Anka jadian sama Riko!" sergah Danu sambil berdiri tegap membalikkan badannya menghadap Andro, sedangkan semua teman sekelasnya masih serius melakukan peregangan kaki.
Beberapa anak menyeringai diam-diam, beberapa malah tertawa terang-terangan melihat kebodohan Danu. Sementara guru olahraganya yang tidak sehumoris teman-teman sekelasnya, menatap galak ke arah Danu. Dengan suara lantang layaknya pemimpin upacara di istana saat 17 Agustus, ia menyuruh Danu berlari keliling lapangan lima kali.
Diawali dengan mood yang kurang baik, Danu melewati harinya dengan aura kurang baik pula. Ini bukan tanpa sebab. Setelah melewati pelajaran olahraga yang sangat melelahkan fisiknya di awal hari, Danu masih harus melewati hal lain yang melelahkan mentalnya.
Entah kenapa, hari itu ke sudut mana pun Danu pergi selalu berpapasan dengan Anka dan Riko. Padahal jarak antara gedung kelas Bahasa dan kelas IPA, dihalangi gedung kelas IPS serta gedung kelas X. Tapi nyatanya ke perpustakaan, kantin, bahkan sampai ke toilet pun, Danu tetap berpapasan dengan mereka. Tentunya Danu berusaha bertingkah sewajar mungkin saat bertemu Anka, menyapa dan tersenyum seperti biasa, tapi hanya di depan Anka. Hari itu Danu bahkan gagal menutupi kekesalannya di depan Andro.
"Tuh, kan! Lo uring-uringan lihat Anka sama Riko," kata Andro merasa menang, sementara Danu hanya diam. "Lo cemburu ya sama Riko" Lo sebenernya suka sama Anka, kan""
"Lo nggak ngerti juga ya, Ndro" Gue nggak cemburu, gue juga nggak suka sama Anka!" sanggah Danu. "Gue cuma ngerasa kehilangan Anka. Selama ini kan Anka selalu sama gue, apa-apa bareng gue. Ya... gue berasa aneh aja saat Anka tiba-tiba lebih sering bareng orang lain."
"Bilang aja lo nggak rela posisi lo digantiin Riko," tukas Andro. "Udah, Nu, nggak usah bohong sama gue, dari dulu gue emang nggak pernah percaya cowok sama cewek bisa sahabatan."
Danu bergerak hendak memprotes kata-kata Andro, tapi membatalkannya dan memutuskan diam menekuni buku paket bahasa Jepang yang menampilkan huruf-huruf kanji yang harus dihafalnya untuk tes lisan jam terakhir nanti.
"Anka kan udah jadian sama Riko, Nu. Kenapa lo nggak nyoba deketin Zevana, anak kelas sebelas yang Valentine kemarin kasih lo cokelat. Dia cantik, Nu! Anak-anak kelas dua belas banyak yang ngincer dia tuh," saran Andro serius.
"Sembarangan lo. Dia kasih cokelat juga belum tentu suka sama gue."
"Ya ampun, Nu! Cewek kalo udah ngasih cokelat Valentine sama cowok, terus cokelatnya dipitain segala, udah jelas tuh cewek ada rasa. Kemarin aja gue liat tuh anak masih suka ngeliatin lo," jelas Andro dengan begitu yakin. "Zevana lo jadiin pacar pertama aja, ketimbang lulus SMA masih jomblo."
"Emang kenapa kalo gue lulus SMA dan masih jomblo""
"Ya... nggak oke aja buat reputasi lo. Masa cowok udah kuliah belum pernah pacaran."
"Eh, kakak gue mati-matian cari duit buat biaya sekolah gue. Dia pasti pengin liat gue belajar yang bener dan bukan cuma main-main, supaya duit yang dia keluarin berguna, nggak mubazir..."
"Ah, susah ngomong sama lo. Gue berasa ngomong sama bapak gue, bukannya lagi ngomong sama anak SMA," gerutu Andro. "Udah ah, mendingan gue nimbrung sama anak belakang yang lagi pada ngeliat majalah Playboy edisi Amerika. Ngomong sama lo nggak ada ujungnya."
Andro bangun dari kursinya, melangkah melewati Danu menuju bangku belakang yang dikerubuti lima anak yang duduk berdempetan. Kepala mereka menunduk dengan ekspresi takjub dan ngiler.
Danu tersenyum melihat teman-temannya yang bertingkah layaknya remaja laki-laki kebanyakan. Danu bukannya tidak mau seperti remaja seusianya, bersenang-senang semasa sekolah. Hanya saja Danu tidak ingin kakaknya kecewa dan semua pengorbanan kakaknya sia-sia, kalau ia tidak menghargai apa yang sudah mereka lalui sejak perceraian kedua orangtua mereka dengan ketidakseriusannya.
*** "Yang tadi ngantar kamu pulang siapa, Ka"" tanya ayahnya saat mereka sedang berkumpul di
ruang tengah sambil menonton TV. Kebiasaan yang hampir setiap malam dilakukan keluarga Anka.
Anka tidak langsung menjawab. Ia menunduk menatap jari-jari tangannya yang saling menyilang di atas bantal sofa, menghindari tatapan ayahnya yang sesekali saling bertukar senyum dengan ibunya.
"Itu tadi Riko, Yah... Temen dekat Anka..." jawab Anka lirih, takut-takut bercampur malu.
"Sedekat apa"" tanya ayahnya lagi, tanpa nada menginterogasi. "Apa lebih dekat dibanding Danu""
"Riko itu..." Anka bergerak salah tingkah, "Riko itu pacar Anka, Yah."
Anka mendongak untuk melihat reaksi ayah dan ibunya, heran saat melihat kedua orangtuanya malah tersenyum lebar mendengar pengakuannya.
"Ayah sama Ibu nggak marah kan, kalau Anka deket sama Riko""
"Kenapa harus marah" Kamu sudah cukup besar untuk dekat dengan seseorang," kata ayah Anka. "Ayah dan Ibu percaya sama kamu, Ka."
Ayah Anka mengeratkan rangkulan sebelah tangannya ke pundak ibu Anka, keduanya saling tersenyum, menggambarkan betapa saling mencintai dan bahagianya pasangan yang sudah menikah selama 19 tahun ini.
"Ibu dan Ayah percaya kamu bisa membedakan mana yang baik, mana yang tidak."
Senyum perlahan mengembang di wajah Anka, bukan hanya lega kedua orangtuanya memperbolehkannya dekat dengan Riko, tetapi Anka juga bahagia melihat kedua orangtuanya begitu harmonis, begitu saling menyayangi dan saling mencintai.
Sedari kecil Anka memang bermimpi memiliki kisah cinta seperti kisah cinta kedua orangtuanya. Sejak kecil ia sangat senang ketika sebelum tidur ibunya bercerita tentang kisah cinta ibu dan ayahnya dulu, menggantikan dongeng tentang pangeran dan putri raja. Bagi Anka kisah cinta kedua orangtuanya jauh lebih romantis dari cerita cinta negeri dongeng mana pun.
Ayah dan ibu Anka dulunya dibesarkan di tempat yang sama, di sebuah panti asuhan di pinggiran kota Bandung. Mereka penghuni panti yang tinggal sejak balita, sama-sama dititipkan tanpa penjelasan dari orangtua.
Kisah cinta mereka berjalan layaknya roman fiksi. Tumbuh besar bersama dengan perasaan senasib, menjadikan keduanya begitu dekat bahkan seperti tak terpisahkan. Anka tertawa geli membayangkan betapa konyol kedua orangtuanya waktu kecil saat melakukan hal-hal menyebalkan, seperti pura-pura kejang-kejang atau mendadak kesurupan setiap kali ada yang mau mengadopsi salah satu di antara mereka. Hingga pengurus panti kewalahan dengan ulah mereka.
Ulah konyol itu berhasil membuat mereka menjadi penghuni abadi panti asuhan dan tinggal di sana sampai menyelesaikan SMA. Tapi tinggal di panti selama itu tidak membuat mereka menjadi beban bagi pengurus panti, paling tidak dalam segi finansial. Meski terkenal bandel, keduanya tergolong pintar. Dari SD sampai SMA mereka tercatat sebagai penerima beasiswa. Tidak heran saat lulus SMA ayah Anka mendapat beasiswa di salah satu universitas swasta elite di Jakarta, smeentara ibunya diterima di universitas di Bandung lewat jalur PMDK.
Mereka meninggalkan panti pada waktu bersamaan. Mengabaikan cinta untuk sementara demi cita-cita dan masa depan. Mereka tetap berhubungan meski hanya mengandalkan sarana komunikasi seadanya pada zaman itu. Banyak hal yang menguji kesungguhan cinta mereka. Ayah Anka sempat dicintai gadis cantik, anak seorang dosen yang selama ini mendaulatnya menjadi asisten. Begitu pula ibu Anka, kecantikannya yang alami membuatnya menjadi incaran mahasiswa-mahasiswa top di kampusnya, dari ketua senat sampai anak pengusaha otomotif terkenal di Bandung berusaha menarik perhatiannya. Namun semua tidak mengubah apa-apa, mereka sudah menetapkan hati.
Setelah menyelesaikan kuliah, mereka akhirnya menikah. Ayah Anka membawa ibu Anka pindah ke Jakarta, memulai segalanya dari awal. Ibu Anka sempat bekerja menjadi customer service di sebuah bank swasta, sebelum akhirnya berhenti setelah melahirkan Anka. Sementara ayah Anka memulai kariernya di bidang travel, sampai sekarang menjabat sebagai manajer marketing di perusahaan travel ternama di Jakarta. Dari menghuni rumah kontrakan kecil, hingga sekarang menempati sebuah rumah mungil yan
g nyaman. Seperti itulah kisah cinta yang dikagumi Anka.
"Danu apa kabar, Ka" Sudah lama Ayah nggak ketemu dia." Suara ayah Anka, membuat Anka kembali ke dunia nyata.
Anka mengerjapkan matanya. "Danu... Danu baik, Yah," jawab Anka. "Kenapa Ayah nanyain Danu""
"Nggak apa-apa. Ayah cuma kehilangan temen ngobrol aja. Soalnya Danu jarang ke sini sejak kamu dekat sama Riko," jelas ayah Anka. "Danu kenapa nggak jemput kamu lagi, Ka""
"Anka yang minta, Yah. Kasihan Danu kalau harus berangkat naik sepeda terus, rumahnya kan jauh. Makanya Anka bilang, Anka dijemput Riko, biar Danu mau berangkat bareng temennya pake motor."
"Kamu nggak ada masalah sama Danu kan, Ka"" Kali ini ibu Anka yang bertanya.
"Nggak, Bu. Memang kenapa harus bermasalah sama Danu"" tanya Anka heran.
Ayah dan ibu Anka saling bertukar senyum, membuat Anka semakin heran.
"Bukan apa-apa. Tadinya Ayah sama Ibu berpikir ada yang istimewa antara kalian selama ini."
"Ayah... harus berapa kali Anka bilang" Anka sama Danu sahabat. Jadi nggak usah ada yang aneh-aneh. Danu malah seneng kok Anka jadian sama Riko."
Ayah Anka kembali tersenyum, sorot mata ramahnya seakan meragukan kata-kata Anka.
"Ayah kok kayak gitu ngelihatnya, nggak percaya"!"
"Bukan... Ayah sebenarnya agak kecewa karena bukan Danu yang jadi pacar kamu. Tadinya Ayah sudah cukup tenang ada Danu yang jagain kamu. Ayah suka anak itu."
"Ayah, Danu itu sahabat Anka, jadi jangan bebanin Danu dengan kewajiban jagain Anka segala."
Ayah Anka mengangguk pelan menanggapi pernyataan Anka. Lalu lagi-lagi bertukar senyum dengan ibu Anka, seakan dalam senyum mereka mengatakan "dasar pikiran anak muda".
Anka sendiri terkadang bingung, terlalu banyak orang yang menyalahartikan kedekatannya dengan Danu. Tidak ada yang benar-benar percaya bahwa kedekatannya dengan Danu murni persahabatan yang tidak mungkin dengan begitu gegabah dicampur dengan rasa yang akan merusak persahabatan itu sendiri. Karena sebenarnya, Anka tidak berani kehilangan sahabat seperti Danu.
*** Danu duduk di depan meja kerja di kamar kakaknya, matanya menatap bosan layar laptop yang menampilkan akun Facebook miliknya. Di sinilah Danu biasa menghabiskan malam setelah menyelesaikan tugas sekolah. Duduk sendiri di kamar kakaknya untuk mengakses internet.
Seperti kebanyakan remaja seusianya, Danu termasuk pengguna internet aktif, walaupun tidak sampai pada tingkat keranjingan. Paling tidak, sejak Anka mendapat laptop lengkap dengan fasilitas internet sebagai hadiah sweet seventeen dari orangtuanya, Danu sering menggunakan fasilitas internet di kamar kakaknya untuk berkomunikasi dengan Anka.
Tidak berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Danu chatting dengan Anka lewat messenger.
Anka : Eh, ke mana aja lo, Nu" Dicariin di sekolah nggak pernah ada.
Danu mencibir membaca kalimat yang dikirimkan Anka.
Danu : Lo yang ke mana aja, gue ada terus di kelas, makanya kalo nyari gue jangan sambil pacaran!
Anka : Hehe... Bisa aja lo. Kemaren malam kok lo nggak online sih, kenapa"
Danu : Gue banyak tugas. Banyak tes lisan.
Inilah enaknya berkomunikasi Imel internet, bisa berbohong dengan lancar tanpa harus takut ketahuan. Sebenarnya, Danu tidak online tadi malam bukan karena banyak tugas atau semacamnya. Ia malas online kalau hanya untuk menerima rentetan cerita Anka tentang keistimewaan Riko.
Anka : Oh, gitu... Malam ini gue seneng banget deh, Nu.
Danu : Seneng kenapa"
Sedetik kemudian tulisan dengan huruf kapital tampil di kolom messenger Danu.
Anka : GUE BAHAGIA PUNYA ORANGTUA KAYAK AYAH SAMA IBU GUE.
Danu tersenyum membaca kalimat yang dikirim Anka.
Danu : Kenapa gitu" Anka : Karena... karena mereka setuju gue deket sama Riko.
Terbayang senyum lebar yang pasti menghiasi wajah Anka saat mengetik tulisan itu, sementara Danu terpaksa mengerutkan senyum di wajahnya.
Anka : Helo... lo masih di situ, kan"
Danu : Iya, gue masih di sini.
Anka : Pokoknya gue seneng banget waktu ayah gue bilang, dia nggak masalah gue deket sama Riko.
Danu : Syukur deh kalo gitu, gue
ikut seneng. Anka : Thanks ya, Nu, lo emang sahabat gue yang paling oke.
Danu : Santai aja... Anka : Oh iya, ayah gue nanyain lo, dia kangen sama teman main caturnya.
Danu : Bilangin ayah lo, malam Minggu besok gue ke rumah lo.
Anka : Malam Minggu" Tapi gue mau pergi sama Riko.
Danu menghela napas setelah membaca apa yang dikirim Anka di layar laptop-nya.
Wajar bila pasangan yang baru jadian pergi malam Mingguan. Tadinya Danu mengira malam Minggu ini ia bisa main catur bersama ayah Anka dan Anka duduk bingung di sampingnya seperti malam-malam Minggu sebelum ada Riko.
Danu akhirnya mengetik dengan agak tersinggung.
Danu : Nggak ada urusan sama lo, kan" Gue mau main catur sama ayah lo, bukan sama lo.
Anka : Oh, gitu... Ya udah, ntar gue bilang Ayah.
Danu : Eh, Ka, gue ada tugas bahasa Jepang, udah dulu ya.
Anka : Oke deh, sampai ketemu besok di sekolah... Sweet dream.
Danu menyandarkan punggungnya di kursi putar, menengadahkan kepala dengan mata terpejam dan memblokir semua hal melelahkan di sekitarnya. Tiba-tiba handphone Danu berdengung di atas meja, menuntut dijawab. Dengan enggan Danu membuka mata dan meraih handphone itu. Kak Damara calling...
Ternyata dari kakaknya. "Halo... Iya, Kak" Danu udah makan, tadi beli nasi di warteg depan... Kakak nggak pulang lagi"! Iya, nggak apa-apa, Kakak selesaiin kerjaan dulu aja."
Danu menegakkan punggung setelah menerima telepon dari kakaknya. Untuk kesekian kalinya kakaknya, Damara, tidak tidur di rumah karena pekerjaan. Sebagai pengacara, sering Damara tidak pulang. Terlebih saat Damara menangani kasus perceraian Imelda Azizah, model cantik yang kabarnya mengalami KDRT.
Pandangan Danu jatuh pada figura foto di atas meja. Lengannya terulur mengambil figura yang membingkai foto dirinya dalam rangkulan Damara, foto yang diambil ketika mereka masih tinggal di Bandung, saat mereka masih bisa berfoto dengan senyum yang lebar.
Banyak hal yang terjadi setelah perceraian orangtuanya. Perceraian yang hampir membuat kehidupan kakak-beradik itu berantakan, dan membuat Damara dengan sisa harga diri dan kenekatannya membawa Danu ke Jakarta. Mereka tinggal di kamar kos yang sempit, memulai kehidupan baru di Jakarta.
Sebelum mendapat pekerjaan yang layak dan sesuai dengan tingkat pendidikannya, Damara rela melakukan pekerjaan kasar, seperti pekerja bangunan, sopir taksi, sampai buruh kasar di pabrik baja untuk membayar uang sekolah Danu dan mencukupi biaya hidup mereka. Dari tinggal di kos sempit sampai tinggal di rumah nyaman dengan fasilitas lengkap, Damara tak henti bekerja keras demi kehidupan mereka. Perjuangan hidup yang membuat Danu begitu mengagumi dan menghormati Damara sebagai kakak dan panutannya. Hingga Danu mendikte dirinya agar menjadi seseorang yang membanggakan untuk Damara. Seperti ia bangga memiliki Damara sebagai kakaknya.
* * * "Ka... Ayah tetap lebih suka kamu pergi ke sekolah pakai sepeda bareng Danu, daripada dijemput Riko." - Anka's Father
* * * - 3 - "AYAH sama Ibu nggak bisa besok berangkat ke Bandung-nya" Biar Anka bisa ikut."
Ayah Anka tersenyum seraya memasukkan beberapa barang ke jok belakang mobil, sementara Anka berdiri di sampingnya dengan seragam sekolah lengkap siap berangkat.
"Acara di panti asuhan hari ini, Ka, bukan besok," jawab ayah Anka. "Lagian, perginya nggak lama kok, nanti sore Ayah sama Ibu mungkin langsung pulang."
Anka cemberut. Entah kenapa kali ini Anka ingin sekali ikut bersama orangtuanya ke Bandung, padahal biasanya saat orangtuanya mengunjungi panti asuhan tempat mereka tinggal dulu, Anka enggan ikut.
"Riko belum jemput, Ka"" tanya ibu Anka, saat melewati Anka yang berdiri di samping mobil. Ibu Anka juga memasukkan beberapa barang lagi ke bangku belakang. "Kamu nggak telepon dia" Ini sudah cukup siang loh, Ka. Atau... kamu nggak usah nunggu Riko, ikut Ibu sama Ayah saja, biar kami antar kamu ke sekolah dulu."
"Ibu sama Ayah nanti pulang jam berapa"" tanya Anka lagi, mengabaikan ucapan ibunya.
Ibu Anka tersenyum, lesung pipit tersungging cantik di wajahnya.
Ibu Anka mendekati Anka lalu membelai rambut putri semata wayangnya.
"Kamu itu udah besar, Ka. Waktunya mandiri, belajar jaga diri sendiri... Jangan manja ah..."
Anka tidak menjawab, malu sendiri dengan sikap kolokannya. Tidak lama, Honda Jazz hitam menepi di depan pagar rumah Anka.
Riko keluar lalu mengangguk hormat saat melihat ayah dan ibu Anka. "Pagi, Om, Tante..." sapa Riko sopan.
Ayah Anka hanya mengangguk sambil tersenyum membalas sapaan Riko. Akhirnya dengan enggan Anka mencium kedua tangan orangtuanya untuk pamitan.
"Ayah, Danu bilang nanti malam dia mau ke sini buat nemenin Ayah main catur, Anka batalin apa nggak""
"Jangan... jangan dibatalin," cegah ayah Anka. "Ayah sudah lama nggak main sama Danu. Bilangin Danu supaya menunggu sampai Ayah pulang."
"Iya, Yah. Nanti Anka bilang ke Danu... Anka berangkat ya." Anka membalikkan badannya, tapi sebelum sempat berjalan menyusul Riko ke mobilnya, ayah Anka menarik tangan Anka.
"Ka... Ayah tetap lebih suka kamu pergi ke sekolah pakai sepeda bareng Danu, daripada dijemput Riko." Anka mencibir, sementara ayahnya hanya tersenyum melihat ekspresi tidak suka Anka. "Ya... Ayah cuma berpendapat. Udah... sana jalan, nanti kamu telat."
Anka melangkah menuju mobil Riko. Sambil lalu, dari kaca spion mobil Riko yang bergerak menjauh, Anka melihat mobil ayahnya keluar dari gerbang rumah. Entah mengapa ada perasaan ganjil dalam diri Anka hari ini, sampai-sampai melihat orangtuanya pergi saja membuatnya risau.
*** Damara berdiri di beranda hotel di lantai dua belas. Pandangannya berkeliling menatap Jakarta dari ketinggian di pagi hari. Angin segar menerpa wajahnya, mengibas-ngibaskan dasi biru tua bergaris-garis yang terikat sempurna di kerah kemeja putihnya.
Tangan cantik dengan kuku dihiasi nail art motif bunga sakura merangkul Damara dari belakang. Si pemilik tangan memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di punggung Damara dengan damai. Damara hanya diam, membiarkan punggungnya dipeluk erat oleh si wanita yang masih mengenakan piama hotel.
"Aku senang sekali bisa di sini, semalam sama kamu..." kata wanita itu lirih.
Dengan gerakan pelan, Damara melepaskan rangkulan tangan wanita itu, membalikkan badan dan menatap dengan ekspresi datar. Wanita berusia 32 tahun dan lebih tua 3 tahun dari Damara itu adalah Anggun Damariva, pengusaha salon kecantikan dan spa yang terbilang sukses.
"Aku harus pergi. Pagi ini aku ada meeting dengan klien." Damara melangkah melewati Anggun, kembali masuk ke kamar hotel.
Anggun mengikutinya, kembali meraih punggung Damara. "Kalau kamu mau, aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu nggak perlu bekerja sekeras ini... Aku masih pengin kamu di sini!"
Damara kembali melepaskan rangkulan Anggun, membalikkan badannya seraya menatap Anggun dengan tajam. "Kita sudah terlalu sering membahas soal ini! Dan kamu tahu kan, jawabannya apa"" tandas Damara.
"Oke, oke. Aku ngerti. Aku nggak bisa halangi kamu pergi," kata Anggun, balas menatap Damara dengan pandangan arogan. "Aku tahu... kasus perceraian model muda itu sedang jadi prioritas kamu... Tapi harus kamu ingat, Mar, aku nggak suka kamu terlihat dekat dengan model itu!"
Damara tidak menanggapi, sudah terbiasa dengan reaksi wanita itu. Anggun tersenyum puas melihat sikap diam Damara.
"Aku percaya kamu cukup bijaksana dalam mengambil keputusan... Pokoknya, aku senang kamu masih bisa nemenin aku semalam." Anggun mencium pipi kiri Damara dengan bibir merahnya.
Damara tidak bereaksi. Otaknya menyarankan untuk membiarkan Anggun melakukan apa pun yang ia mau. Tak berapa lama Damara meraih tas kerja dan kunci mobilnya dari atas tempat tidur hotel lalu berjalan cepat-cepat meninggalkan Anggun yang masih berdiri dengan begitu angkuhnya.
Di setiap langkahnya Damara menyesalkan banyak hal. Menyesalkan kelemahan dirinya, menyesalkan ketidakberdayaannya, menyesalkan pilihannya, dan menyesalkan semua hal yang harus ia lalui dalam kehidupannya selama ini.
*** Sepeda Danu masuk ke pelataran rumah Anka. Sabtu malam ini Danu sudah berjanji menemani ayah Anka
bermain catur. Untuk ukuran zaman sekarang, agak aneh memang ada remaja seusia Danu yang gemar bermain catur. Awalnya Danu juga tidak terlalu mengerti aturan mainnya. Hanya saja sejak mengenal ayah Anka, dan mengetahui ayah Anka sangat senang dengan permainan ini, Danu mulai mempelajarinya dari seorang kakek berusia 60 tahun, tetangga sebelah kontrakannya dulu.
Anka berdiri di teras depan rumahnya, sesekali berjalan mondar-mandir seakan gelisah menunggu seseorang. Menunggu Riko pastinya, pikir Danu.
"Hai, Ka, ngapain lo mondar-mandir di sini" Nunggu Riko jemput malam Mingguan"" tanya Danu, mengganti kata sapaannya.
Anka tidak menjawab. Ia hanya melihat Danu sekilas dan kembali menatap ke ujung jalan kompleks yang lumayan sepi.
Danu mendekati Anka dan melihat raut kecemasan di wajah gadis itu. "Bentar lagi Riko juga datang, nggak usah segitu senewen kali, Ka."
Kali ini kata-kata Danu berhasil membuat Anka melayangkan tatapan galaknya. "Gue nggak nunggu Riko, Danu!" sergah Anka jengkel.
"Jadi lo lagi nungguin siapa"" tanya Danu heran.
"Gue lagi nungguin Ayah sama Ibu."
"Emang ayah sama ibu lo ke mana"" tanya Danu lagi. "Bukannya ayah lo udah janjian mau main catur sama gue malam ini""
Anka mengabaikan pertanyaan Danu. Ia berjalan ke kursi rotan di teras depan dan mengenyakkan tubuhnya. Sekali lagi menatap ujung jalan sambil menghela napas panjang lalu ganti menatap handphone di genggamannya dengan lesu.
"Telepon nggak diangkat-angkat lagi..." gumam Anka risau.
"Emang mereka ke mana sih, Ka" Kok kayaknya lo khawatir banget"" Danu duduk di samping Anka.
"Ke Bandung, ada acara di panti asuhan."
"Macet kali, Ka. Ini kan weekend, pas tanggal gajian lagi." Danu mencoba menenangkan Anka yang dia tahu mudah panik dan cemas.
Hampir setengah jam Danu menemani Anka menunggu di teras depan, menahan serbuan nyamuk-nyamuk lapar, sementara Anka sibuk dengan kegelisahannya sendiri.
"Di sini banyak nyamuk, Ka..." keluh Danu, seraya menepuk nyamuk gemuk yang hinggap di tangannya. "Kita nungguinnya di dalam aja yuk, sambil nonton DVD kek, apa kek."
Anka tersenyum kecil, melihat penderitaan Danu menjadi sasaran nyamuk-nyamuk kelaparan.
"Iya deh kita nunggu di dalam. Kebetulan gue baru beli DVD yang belum sempat gue tonton."
"Nah, gitu dong, itu baru Anka yang asyik! Udah... ayo masuk, gue udah hampir kehabisan darah nih disedot nyamuk melulu." Danu segera berdiri, merangkul pundak Anka dan mengajak masuk bersamanya. "Ntar ambilin camilannya kaastengel bikinan ibu lo ya, gue udah kangen nih."
Duduk nyaman di sofa empuk di ruang keluarga Anka memang jauh lebih baik ketimbang menjadi pendonor darah bagi nyamuk-nyamuk lapar di luar sana.
"Ka, emang malam ini lo nggak jadi pergi sama Riko"" tanya Danu, saat Anka kembali dari dapur membawa dua gelas es sirop jeruk dan stoples berisi kaastengel.
"Nggak jadi, kaki Riko keseleo waktu latihan basket tadi siang," jelas Anka.
Danu tersenyum lebar. Tanpa banyak tanya lagi, ia memasukkan tangan ke stoples untuk mengambil segenggam kaastengel yang langsung dimakannya dengan perasaan bahagia.
Sayangnya saat-saat menyenangkan itu, khususnya bagi Danu, tidak berlangsung lama. Baru satu jam Danu tertawa bersama Anka saat menonton DVD drama komedi Hollywood, merasakan kembali kedekatan mereka seperti saat-saat sebelum Anka dekat dengan Riko, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Handphone Anka berbunyi. Dengan cekatan Anka meraih handphone-nya. Wajahnya semakin ceria saat mendapati nama ayahnya di layar handphone.
"Halo, Ayah..."
Tapi sedetik kemudian ekspresi wajah Anka yang ceria sontak berubah penuh tanya. "Iya saya sendiri..." Detik selanjutnya raut wajah Anka diliputi kepanikan dan kengerian luar biasa disusul pekik tertahan. "Di mana"!"
Handphone-nya terlepas begitu saja dari genggamannya. Wajah Anka memucat, tatapannya mendadak kosong.
"Kenapa, Ka" Ayah lo bilang apa"" tanya Danu, khawatir melihat ekspresi Anka. "Yang tadi telepon ayah lo, kan""
Anka menggeleng lemah, air mata mulai merembes dari sudut matanya.
"Lo kenapa , Ka"" Danu semakin cemas.
"Ayah sama ibu gue, Nu..." Suara Anka tidak bisa keluar, tenggorokannya tersekat. "Ayah sama ibu gue..."
"Iya... ayah sama ibu lo kenapa""
"Me-mereka... mereka kecelakaan..."
Danu tidak bisa berkata apa-apa mendengar ucapan Anka. Syok. Berita yang ia dengar dari Anka membuatnya kosong sesaat. Isak tangis Anka yang semakin keras mengembalikan Danu ke dunia nyata, menuntutnya memosisikan diri sebagai sahabat yang bisa diandalkan. Paling tidak untuk saat ini, Danu bisa menenangkan Anka dengan membiarkan gadis itu menangis di bahunya, sebelum benar-benar mendampingi Anka menghadapi kenyataan mengerikan di depannya.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Anka keluar dari ruang dokter dengan langkah limbung. Ia merasa kakinya tidak benar-benar berpijak pada lantai rumah sakit. Dinding koridor rumah sakit yang dingin seperti bergerak hendak mengimpitnya, membuat Anka terpaksa menyandarkan tubuhnya ke dinding rumah sakit, mencegah tubuhnya roboh di tengah koridor.
"Ka, Anka... lo baik-baik aja, kan""
Suara Danu terdengar samar-samar di telinganya, sama seperti kenyataan tragis yang entah mengapa harus terjadi pada dirinya. Setelah menerima telepon yang mengabarkan ayah dan ibunya mengalami kecelakaan di jalan tol menuju Jakarta, hidup Anka jungkir balik. Belum sempat Anka mencerna kabar mengejutkan itu, ia harus menerima fakta yang lebih mengerikan, membuyarkan usahanya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Kalau kabar kecelakaan saja sudah sangat mengguncang Anka, bisa dibayangkan bagaimana terpuruknya gadis yang belum genap berusia 18 tahun ini, saat dokter mengatakan ayahnya tidak tertolong karena pendarahan hebat di kepala, sementara ibunya tidak sadarkan diri di ruang ICU. Anka sempat berpikir, lebih baik rasanya berada di posisi ayahnya yang tidak lagi merasakan apa-apa, ketimbang masih bernapas hanya untuk merasakan betapa sakitnya kehilangan orang yang dicintai.
Merasa kakinya sudah tidak sanggup lagi menopang tubuh, Anka merosot perlahan, terduduk di lantai di depan ruang dokter. Ia menyusupkan kepala di antara kedua lututnya, menyembunyikan air mata dan semua kepiluan di setiap gurat wajahnya dari orang yang lalu-lalang. Anka terisak, rasa sesak di dadanya terasa sangat menyiksa.
Hingga Anka merasakan tangan Danu memegang bahunya lalu duduk tepat di hadapannya. Dengan lembut Danu memeluk Anka, menyandarkan kepala Anka di dadanya. Tanpa kata-kata Danu membelai rambut Anka, seakan mengerti Anka membutuhkan sandaran, bukan pertanyaan.
Anka tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya setelah semua kejadian ini, memikirkannya saja ia tidak sanggup. Ia tidak punya siapa-siapa kecuali kedua orangtuanya. Anka sama sekali tidak siap. Tragedi ini terlalu kejam dan terlalu mengerikan untuk menjadi nyata.
Tangisan Anka semakin hebat. Anka merasa tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang selain menangis dan menangis. Seakan menangis bisa menjadi jeda sesaat sebelum ia benar-benar menghadapi mimpi buruk yang tiba-tiba menjelma.
"Di sini gue nggak akan jadi orang yang sok ngerti apa yang lo rasain. Gue tahu cuma lo sendiri yang bener-bener ngerti apa yang lo rasain. Tapi selain ngerti perasaan lo sendiri, cobalah buat ngerti perasaan orang-orang di sekitar lo, orang-orang yang peduli sama lo, Ka..." - Danu
* * * - 4 - TERGESA-GESA Danu melangkah masuk ke rumah, saking tergesa-gesanya ia sampai tidak sadar bahwa kakaknya, Damara, sedang duduk di meja makan sambil mengamati dari balik koran yang tidak benar-benar dibacanya.
"Danu..." Suara tegas Damara menghentikan langkah Danu. "Ke mana kamu semalam"" tanya Damara sambil menatap tajam ke arah Danu, membuat Danu tertunduk diam. "Kamu tahu bagaimana khawatirnya Kakak semalam" Sama sekali nggak ada kabar! Handphone malah kamu tinggal di rumah."
"Maaf, Kak... semalam Danu di rumah sakit," jawab Danu pelan sambil mengangkat wajahnya.
"Di rumah sakit" Kenapa" Ada yang ngeroyok kamu""
Damara mendekat, lalu mencermati wajah Danu dan mencari bekas luka yang mungkin ada di wajah atau bagian tubuh adik
nya. "Bukan Danu, Kak..." kata Danu menarik wajahnya dari Damara, risi dengan kekhawatiran kakaknya yang berlebihan.
"Terus siapa" Ngapain" Sampai-sampai nggak sempat kasih kabar!"
"Danu nemenin Anka, Kak. Orangtuanya kecelakaan."
"Orangtua Anka" Lalu gimana keadaannya"" Nada suara Damara melunak.
Danu mendesah, mengusap wajahnya lesu. "Ayah Anka meninggal, Kak... ibunya masih koma."
Damara terdiam, ada gurat keterkejutan disusul empati dan keprihatinan di wajahnya.
"Kak, niatnya Danu mau balik lagi ke rumah Anka. Kasihan Anka nggak ada yang temenin. Danu mau bantu pemakaman ayah Anka, nggak apa-apa kan, Kak""
"Ya sudah, sekarang kamu ganti baju. Kita pergi sama-sama ke rumah Anka."
"Kakak mau ikut ke rumah Anka"! Kakak nggak sibuk hari ini"" tanya Danu bertubi-tubi, takjub dengan kesediaan kakaknya.
Damara menepuk bahu Danu sambil tersenyum kecil. "Anka itu sahabat kamu. Penting untuk Kakak nemenin kamu, di saat kamu harus menguatkan Anka."
Senyum Danu tersungging di wajah kakunya. Lega karena Damara juga bersedia menemani dan membantu semua urusan pemakaman ayah Anka, karena sebenarnya Danu pun sulit mengatasi kesedihannya sendiri saat harus melihat air mata yang tak henti mengalir di wajah Anka.
*** Kehilangan orang yang dicintai benar-benar mimpi buruk. Mimpi yang membuat siapa pun menjerit ketakutan saat terbangun. Begitu juga Anka, gadis itu pun ingin menjerit kuat-kuat agar ia terjaga. Berharap semua hal mengerikan di hadapannya menghilang dan kembali pada kenyataan bahwa ayah dan ibunya masih ada di dekatnya.
Tapi Anka tidak sedang bermimpi. Melihat tubuh ayahnya dibalut kain kafan, menyaksikan jenazah ayahnya ditimbun tanah, dan menatap batu nisan bertuliskan nama ayahnya adalah kenyataan. Anka bisa merasakan semuanya. Sakitnya menghadapi kenyataan dan sakitnya kehilangan. Andai bisa, Anka ingin meminta Tuhan mematirasakan semua organ tubuh yang berkaitan dengan perasaan, agar kesedihan ini tak terasa.
Banyak yang datang untuk menunjukkan rasa duka mereka atas kepergian ayah Anka. Para tetangga, pengurus panti asuhan tempat ayah dan ibu Anka dulu tinggal, rekan kerja dan para petinggi biro travel tempat ayah Anka bekerja, guru dan teman sekolah Anka, termasuk Riko-datang dengan kaki yang sepertinya masih kaku-tidak terlewat Danu, orang yang dari awal menjadi saksi hal mengerikan yang dialami Anka.
Semua datang untuk mengatakan keprihatinan mereka, atau paling tidak mereka datang karena peduli. Tapi entah kenapa kedatangan orang-orang itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan Anka. Mereka mungkin bisa dengan mudah mengatakan pada Anka agar sabar dan tabah menghadapi musibah ini. Tapi siapa mereka" Bagi Anka, mereka hanya orang luar yang tidak tahu sesakit apa rasanya ditinggalkan sang ayah secara tiba-tiba, sementara ibu tercinta kritis di rumah sakit.
*** Tiga hari berlalu sejak peristiwa tragis yang menimpa keluarga Anka. Orang-orang, yang pada pemakaman ayah Anka turut menyatakan berdukacita, sudah kembali menjalani hidup mereka sebagaimana mestinya. Begitu pun dengan Danu, sudah kembali duduk di kelas seperti biasa, mengisi otaknya dengan berbagai istilah bahasa asing. Mereka mungkin berpikir, apa yang menimpa keluarga Anka adalah musibah yang perlu mendapat simpati sesaat. Setelahnya... tidak ada alasan bagi mereka untuk kembali menundukkan kepala.
Dunia memang tidak berhenti berputar dengan apa yang terjadi pada Anka, hanya dunia Anka yang sepertinya enggan kembali bergerak. Sejak pemakaman ayah Anka, Danu belum pernah melihat Anka di sekolah, rumahnya pun selalu kosong setiap kali Danu datang untuk menemuinya. Begitu juga di rumah sakit, sangat sulit mencari Anka. Gadis itu seperti menutup diri dari dunia luar.
Berkali-kali Danu mencoba meneleponnya, tapi handphone Anka tidak pernah aktif, dan tidak ada yang mengangkat telepon rumahnya. Ini jelas membuat Danu cemas. Sebagai sahabat ia tidak ingin Anka seperti ini, akan lebih baik kalau Anka mau berbagi kesedihannya, ketimbang menutup diri dan terus menghindar.
Tidak berbeda dengan Danu, Riko p
acar Anka pun tidak kalah gelisah. Ia tidak pernah absen mendatangi kelas Danu untuk menanyakan keadaan Anka, karena sangat yakin Danu tahu sesuatu tentang Anka.
"Nu, lo nggak usah bohong sama gue, lo pasti tau kan Anka di mana" Lo kan deket sama dia!" desak Riko, lagi-lagi menanyai Danu. Kali ini Riko mencegat Danu saat berjalan menuju kantin bersama Andro.
"Ya ampun, Ko! Harus berapa kali gue bilang, gue nggak tau. Handphone Anka nggak pernah aktif, rumahnya sepi melulu," jelas Danu tidak sabar.
"Rumah sakit" Lo tau kan rumah sakit tempat ibu Anka dirawat"" Riko tidak menyerah.
"Gue udah ke rumah sakit, tapi nggak gampang masuk ke sana. Ibu Anka dirawat di ruang ICU, nggak sembarang orang boleh masuk."
Kekecewaan jelas terlihat di wajah Riko, setelah mendengar penjelasan Danu.
"Oke, Nu. Gue ngerti... Nanti kalo lo dapat kabar dari Anka, langsung kontak gue. Thanks ya."
Riko berlalu dengan kepala tertunduk lesu. Kasihan juga Danu melihat Riko. Memang tidak enak kalau tidak bisa dekat dengan orang yang disayangi saat orang itu sedang dalam keadaan sulit.
"Nu, beneran lo belum bisa kontak Anka sampai sekarang"" tanya Andro sementara mereka kembali berjalan menuju kantin. "Waktu kemarin lo ke rumahnya, nggak ketemu dia""
"Nggak, Ndro. Rumahnya sepi."
"Emang selama ini Anka cuma sendirian di rumahnya""
"Waktu acara pemakaman ayahnya, Anka bilang ke gue, ibu pengurus panti asuhan dari Bandung bakal nemenin dia selama seminggu. Tapi nggak tau deh, gue juga bingung, Ndro."
Andro mengangguk pelan, seakan mengerti semua penjelasan Danu.
"Nanti pulang sekolah rencananya gue mau coba ke rumah sakit lagi, Ndro. Gue harus bisa ketemu Anka," kata Danu datar. "Gue nggak bisa biarin Anka kayak gini terus."
"Oke, Nu, bagus tuh. Lo harus tetap usaha, kalo bukan lo siapa lagi yang bisa nolongin Anka" Jangan kayak si Riko... Cuma bisanya nanya doang, bukannya usaha sendiri!" cibir Andro sengit. "Entar pulang sekolah gue anterin lo ke rumah sakit naik motor." Andro menepuk bahu Danu, membuat Danu merasa mendapat dukungan.
*** Anka berdiri di samping ranjang tempat tubuh ibunya tergolek tak berdaya dengan berbagai macam alat medis menempel di tubuh. Lagi-lagi, lelehan air mata tidak bisa ditahan Anka. Melihat kondisi ibunya seperti ini, Anka merasa lemah karena tidak mampu berbuat apa-apa. Kalau saja ibunya tidak dalam kondisi mengenaskan, mungkin rasa sedih Anka ditinggal sang ayah tidak terasa seberat ini. Paling tidak, ibunya akan menjadi teman bagi Anka menjalani semua. Tragisnya, keadaan memaksa Anka menjalani mimpi buruk ini seorang diri.
Dulu Anka pernah mempertanyakan alasan bodoh yang membuat orang-orang di luar sana memutuskan bunuh diri. Namun sekarang Anka tahu, ada alasan logis bagi orang-orang tersebut menjadikan bunuh diri sebagai jalan keluar, tidak sanggup lagi menahan rasa sakit. Di tengah kerapuhannya, sempat tebersit di benak Anka untuk memilih jalan keluar yang sama. Tapi saat ia dihadapkan dengan tubuh koma ibunya, semua pikiran negatif itu seakan terbang menjauh. Ia harus bertahan hidup demi ibunya yang sedang berjuang meraih kehidupan.
"Anka, sebaiknya kamu makan siang dulu ke kantin, biar Bunda yang jaga ibumu."
Anka menoleh, cepat-cepat mengusap air mata yang tadi sempat mengalir. Bunda Lastri, pengurus panti asuhan tempat ayah dan ibu Anka tinggal dulu, tersenyum lembut di sampingnya.
"Anka belum lapar, Bunda, nanti aja ke kantinnya."
"Kamu perlu makan, Ka. Dari tadi pagi Bunda belum lihat kamu makan apa-apa. Jangan begitu, Ka, nanti kamu sakit." Bunda Lastri membelai lembut rambut Anka, senyum yang tersungging di wajahnya begitu menenteramkan, penuh ketulusan, membuat Anka enggan membantah lagi.
"Kalau begitu Anka keluar dulu ya, Bunda."
Anka melepaskan baju penjenguk berwarna hijau, dan menyangkutkannya di balik pintu ruang rawat ICU. Sebelum berjalan ke luar, Anka menoleh ke arah ibunya, menatap sesaat seakan dalam tatapannya ia mengatakan, "Anka keluar dulu, Bu" pada tubuh koma ibunya.
Saat membuka pintu ruang rawat, Anka langsung melihat D
anu duduk di bangku tunggu di depan ruang rawat dan tersenyum ke arahnya. Dengan canggung Anka mendorong pelan tangkai pintu ruang rawat, berniat masuk kembali. Ia belum ingin bertemu Danu. Namun sebelum pintu berhasil tertutup sempurna, Danu dengan cekatan meraih tangannya.
"Gue mohon, Ka... jangan kayak gini terus. Kita harus ngomong!" kata Danu tegas.
Melihat tatapan memelas Danu, Anka melepaskan tangannya dari tangkai pintu, membiarkan Danu meraih lengannya dan menuntunnya berjalan ke arah taman belakang rumah sakit. Mereka duduk di kursi panjang, tepat di bawah pohon mangga yang begitu rindang dan menyejukkan. Angin segar menerpa wajah Anka, seakan memberinya kesegaran di sela kesedihannya.
"Sori, gue maksa lo kayak gini... Tapi cuma ini caranya supaya lo mau ketemu gue," Danu memulai obrolan.
Anka hanya diam, tidak tahu harus bagaimana menanggapi kata-kata Danu. Anka juga tidak berani menatap wajah Danu, ia lebih memilih menunduk menatap sepatu kets hitam Danu yang melengkapi seragam putih-abu-abunya.
"Boleh gue tanya" Kenapa selama ini lo menghindar dari gue"" lanjut Danu. "Bisa gue dengar alasannya""
Sulit untuk menjawab pertanyaan Danu sekarang ini, terlalu banyak alasan yang membuat Anka merasa perlu menghindar dari orang-orang yang selalu menatapnya dengan tatapan iba dan penuh simpati.
"Ka... lo belum jawab pertanyaan gue," tegur Danu pelan.
"Gue capek, Nu... Capek dikasihani." Anka akhirnya bersuara. "Gue bosen denger mereka bilang, 'Sabar ya, Ka...'. Gue jengah denger semuanya! Apa yang mereka ucapkan sama sekali nggak menghibur gue, yang ada bikin gue ngerasa rapuh..." Anka menghela napas lelah setelah mengutarakan apa yang ada di benaknya.
Danu tersenyum maklum, ia merangkul bahu Anka, seraya berkata, "Di sini gue nggak akan jadi orang yang sok ngerti apa yang lo rasain. Gue tahu cuma lo sendiri yang bener-bener ngerti apa yang lo rasain. Tapi selain ngerti perasaan lo sendiri, cobalah buat ngerti perasaan orang-orang di sekitar lo, orang-orang yang peduli sama lo, Ka..."
Mata Anka kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Danu, mungkin karena Anka merasa perkataan Danu benar atau karena matanya saja yang sudah tidak bisa mengontrol air mata. Anka menengadahkan wajah, mencegah air matanya jatuh. Ia tidak ingin Danu melihatnya menangis lagi.
"Kenapa, Ka" Kalo mau nangis, nangis aja. Nggak perlu ditahan. Lo bisa nangis di depan gue karena itu alasan gue ada di sini... untuk jadi sandaran lo, bantuin lo bangkit lagi setelahnya."
Usaha Anka menahan air matanya gagal, tanpa bisa ditahan air mata kembali mengalir di pipinya. Anka menutupi wajah dengan kedua tangan, berusaha keras meredam isak tangisnya. Danu mengeratkan rangkulan sebelah tangannya pada Anka, menyandarkan kepala Anka di pundaknya, membiarkan Anka terisak selama yang ia mau.
"Sori ya, baju seragam lo jadi basah sama air mata gue," kata Anka, seraya mengusap pelan air matanya setelah hampir setengah jam menangis di bahu Danu.
"Nggak masalah, Ka... Lagian seragam gue udah telanjur kotor, udah tiga hari belum gue cuci. Gue malah heran lo nggak pingsan nyium baunya."
Anka tersenyum kecil mendengar kata-kata Danu.
"Gue seneng lo bisa senyum lagi..." Danu menatap lembut ke arah Anka. "Gue kangen sama Anka yang senyumnya bisa bikin gue ikut senyum juga."
Anka menghela napas berat, menyunggingkan senyum getir di wajahnya sebelum menoleh ke arah Danu. "Mulai sekarang lo bakal jarang lihat gue senyum."
"Kenapa"" "Karena... Mungkin setelah ini bakalan banyak hal yang bikin gue susah senyum." Anka menunduk lesu, kakinya bergerak menyibakkan rumput-rumput kecil di bawah bangku taman.
"Oke... tapi gue akan selalu ada buat bikin lo senyum, bahkan bikin lo ketawa," kata Danu mantap. Danu mengambil ransel yang diletakkannya di samping kursi taman lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Danu menyodorkan sebatang lollipop susu pada Anka. "Ini buat lo, sengaja gue beli di kantin sekolah."
Ragu-ragu Anka mengambil lollipop dari tangan Danu. Anka kembali tersenyum saat membaca tulisan tangan Danu di sekelili
ng pembungkus lollipop: "Smile, Anka".
"Tuh, kan... belum apa-apa gue udah berhasil bikin lo senyum lagi."
"Thanks ya, Nu, makasih lo tetap ada saat gue butuh sahabat."
"Itulah gunanya sahabat. Makanya, lo harus janji nggak menghindar lagi dari gue dan orang-orang yang peduli sama lo."
Anka mengangguk, tersenyum seraya menatap Danu yang tersenyum lega padanya. "Janji. Gue nggak bakal menghindari lo."
"Nah, gitu dong! Itu baru Anka yang gue kenal. Semangat...!" seru Danu.
"Tapi buat semangat, kayaknya gue harus makan biar ada tenaga. Kalo lo cuma ngasih lollipop gopekan supaya gue senyum, paling cuma bisa senyum dua detik doang."
Danu tertawa mengacak-acak rambut Anka, lega gadis ini hampir kembali menjadi Anka yang ia kenal dulu.
"Oke, gue traktir lo makan apa aja yang lo mau." Danu bangun dari duduknya, menyandangkan ransel ke bahunya lalu mengulurkan tangan pada Anka. "Kalo gue beliin soto ayam kesukaan lo, kira-kira bisa senyum berapa lama""
"Kita liat seberapa enak soto ayamnya," jawab Anka seraya menyambut tangan Danu.
Danu menggandeng Anka, berjalan menuju kantin rumah sakit. Mungkin ini hanya permulaan semua usaha Danu menjadi penopang bagi Anka. Hanya usaha kecil. Akan ada banyak hal lagi yang perlu dilakukannya untuk membuat Anka tetap berdiri tegar.
* * * "Lo mau bantuin apa lagi" Bantu bayar biaya rumah sakit ibunya"!" - Andro
* * * - 5 - DAMARA duduk menghadap kliennya, Imelda, di ruang kerjanya. "Ini untuk kesekian kalinya Anda menyembunyikan fakta dari saya... Kalau Anda tidak bisa memercayai saya sebagai kuasa hukum Anda, akan sulit bagi saya menyiapkan pembelaan untuk Anda." Damara menatap tajam ke arah Imelda yang sedari tadi hanya menunduk.
Tidak banyak yang dikatakan Imelda selama proses perceraiannya dengan seorang pengusaha properti terkenal negeri ini. Damara justru mendengar rentetan kisah rumah tangga Imelda dari manajernya, selebihnya Damara hanya mendapati kliennya tertunduk diam dengan mata sembap dan beberapa luka lebam di wajah yang sebisa mungkin ditutupinya.
Awalnya Damara dapat memaklumi sikap diam Imelda, mungkin ada penjelasan psikologis untuk itu. Namun setelah sekian lama berlangsung, Damara tidak mungkin membiarkan kliennya terus-terusan diam.
"Anda ingin saya melakukan langkah hukum seperti apa, kalau Anda tidak mendiskusikan semuanya dengan saya" Manajer Anda bukan orang yang saya tangani kasusnya, kan" Saya ingin mendengar semua langsung dari Anda, bukan dari manajer Anda!"
Imelda tetap diam, tidak menjawab apa-apa. Damara menghela napas, membalikkan badannya, dan menatap ke bawah melalui dinding kaca, ke pelataran parkir gedung dari ruang kerjanya di lantai tiga. Kira-kira sepuluh wartawan infotainment menunggu dengan setia.
"Anda bisa saja tidak menceritakan apa pun pada wartawan di luar sana, tapi kepada saya, kuasa hukum Anda, tidak bisa seperti itu."
Imelda mendongak pelan menyusul perkataan Damara, mata sembapnya yang mengguratkan begitu banyak kesedihan menatap Damara.
"Saya cuma ingin bercerai. Hanya itu langkah hukum yang ingin saya tempuh," kata Imelda lirih.
"Anda yakin hanya menginginkan perceraian"" Damara mendekati Imelda, kembali duduk di kursi kerjanya. "Anda sudah banyak mengalami perlakuan menyakitkan dari suami Anda, saya rasa bukan keputusan yang bijak jika Anda hanya menginginkan perceraian."
"Sebagai orang yang menyewa jasa hukum Anda, saya berhak menentukan langkah hukum seperti apa yang ingin saya tempuh," tegas Imelda yang tiba-tiba menatap tajam pada Damara. "Biro hukum ini merekomendasikan Anda, karena Anda dinilai sangat kompeten menangani kasus perceraian. Jadi, tunjukkan kompetensi Anda dengan segera menyelesaikan kasus perceraian saya... hanya kasus perceraian saya."
Damara dibuat terenyak sesaat dengan sikap Imelda. Wanita yang tadinya begitu diam tak disangka bisa begitu lugas menegaskan apa yang diinginkannya.
"Apa yang saya inginkan sudah saya sampaikan dengan cukup jelas, selebihnya Anda bisa menanyakan pada manajer saya. Selamat siang," pungkas Imelda, seraya memakai k
acamata gelap untuk menutupi mata sembapnya lalu beranjak dari ruang kerja Damara.
Damara mengenyakkan tubuhnya di kursi kerja, tak menyangka menangani kasus perceraian orang terkenal akan begitu melelahkan. Damara berdiri, sekali lagi menatap ke luar melalui dinding kaca. Wartawan tampak sibuk mengerumuni Imelda yang baru saja keluar dari gedung, menuntut pernyataan.
Imelda memang berbeda, tidak seperti kebanyakan klien yang pernah ditangani Damara yang rata-rata membuka berbagai hal buruk mengenai pasangannya. Tak sedikit pula yang mati-matian menuntut harta gono-gini. Tapi Imelda tidak pernah sekali pun bercerita tentang apa yang dialaminya. Hanya beberapa luka lebam di sudut wajahnya yang bercerita. Imelda pun tidak pernah menyatakan akan menuntut harta gono-gini, padahal suaminya memiliki aset miliaran rupiah. Imelda terkesan hanya ingin mengakhiri rumah tangganya, hanya ingin segera terlepas dari orang yang selama ini menjadi suaminya. Hal ini membuat Damara lelah dengan sikap Imelda, sekaligus merasa tertantang untuk menyelesaikan kasus model cantik yang begitu menutup dirinya.
*** Saat jam pelajaran olahraga, Danu tengah berdiri di lapangan basket saat matanya bergerak mengikuti sosok Anka yang bergegas di koridor dengan setumpuk buku menuju lab kimia, 200 meter dari tempat Danu berdiri. Hampir setiap hari Danu melihat Anka seperti itu, berjalan bergegas ke sudut sekolah dengan sedikitnya 5 buah buku tebal di tangannya. Anka selalu terlihat sibuk. Hampir tidak pernah lagi Danu melihat Anka duduk santai, bersantai di bangkunya dengan earphone terpasang di telinga saat jam istirahat, seperti dulu. Tidak pernah lagi Anka melambai ceria ke arah Danu setiap kali lewat atau memang sengaja datang menemui Danu di kelasnya.
Suara peluit yang melengking menyentak Danu. Ia menoleh ke arah guru olahraga yang menatapnya galak sambil menggerakkan tangan mengisyaratkan Danu harus ikut berlari mengelilingi lapangan mengikuti teman-teman sekelasnya.
*** "Hi, miss busy..." Danu mengenyakkan punggungnya di kursi perpustakaan, di samping Anka yang terlihat serius dengan buku tebal bertabur angka. Danu tersenyum saat Anka menoleh ke arahnya.
"Eh, Nu... gue kira siapa. Ngagetin aja lo."
"Serius banget sih, ini kan udah jam pulang, lo masih nongkrong di sini."
"Gue ada tugas, Nu, jadi gue harus nyari bahan," jelas Anka sambil membolak-balik halaman buku, mengabaikan Danu.
"Temen sekelas lo bilang tugas ini baru dikumpulin minggu depan. Nggak usah maksain diri ngerjain sekarang, Ka..."
"Nggak ada salahnya kan, ngerjain tugas lebih awal"" sanggah Anka. "Kata orang bijak begitu, jangan pernah nunda kerjaan."
Danu mendesah, kesal sendiri menghadapi sikap keras kepala Anka. "Eh, tadi di depan gue ketemu Riko, kok lo nggak pulang bareng dia"" tanya Danu heran. "Kenapa, Ka""
"Kan gue masih banyak kerjaan, jadi gue suruh dia pulang duluan," jawab Anka enteng tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
Danu berhenti bertanya, pasrah dengan sikap kukuh Anka. Ia memutuskan duduk diam di samping Anka sambil membaca ensiklopedia yang diambilnya asal dari rak buku, sementara Anka terus berkutat dengan tugasnya.
"Balik yuk, Ka," ajak Danu akhirnya, setelah hampir setengah jam ia menemani Anka. "Kasihan tuh Pak Alan, kayaknya dia udah mau pulang juga."
Anka mendongak, menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, hanya tinggal mereka berdua dan Pak Alan, penjaga perpustakaan yang sedang memasukkan barang-barangnya ke tas kerja.
"Tapi gue nggak langsung pulang ke rumah, Nu. Gue harus ke rumah sakit, jagain Ibu," kata Anka sambil membenahi buku-bukunya. "Lo pulang aja, gue langsung berangkat. Dari halte depan gue tinggal naik Metromini ke rumah sakit."
"Gue ikut, Ka. Gue mau nemenin lo ke rumah sakit."
*** Keringat mengalir di dahi Danu saat berdiri berdesakan bersama penumpang Metromini lain. Di sampingnya Anka yang beruntung mendapat tempat duduk juga sibuk menyeka keringat, tak kalah kepanasan.
"Nih, minum..." Danu menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja ia beli dari pedagang a
songan yang melewatinya. "Thanks ya, Nu," kata Anka seraya mengambil air mineral yang disodorkan Danu.
Bukan main padatnya Metromini siang ini, sampai-sampai Danu merasa seperti berada bersama ribuan ikan teri yang siap dipepes. Orang-orang berdesakan dengan egois, memaksakan diri untuk masuk, membuat Danu harus berpegang kuat ke besi pegangan Metromini. Anka, yang duduk di bagian sisi luar jajaran kursi Metromini, tidak luput dari ketidaknyamanan. Danu sampai harus merentangkan tangannya ke pegangan kursi untuk melindungi Anka, tapi tidak cukup. tangannya tidak cukup kuat menahan desakan penumpang yang berjejalan. Danu agak membungkuk, menyandarkan kepala Anka ke sisi kanan tubuhnya, sementara tangannya tanpa sadar merangkul bahu Anka.
*** Damara menyeruput espresso dari cangkirnya, duduk di salah satu sudut kafe yang kebetulan berada satu gedung dengan biro hukum tempatnya bekerja. Damara memakai kacamata frameless tipisnya, membaca beberapa berkas di atas meja.
"Serius banget pengacara yang satu ini."
Damara mendongak lalu tersenyum saat Rio, sahabatnya, berdiri di samping mejanya.
"Eh, Yo... tumben lo nyamperin gue, nggak sibuk""
"Bosnya kan gue di sini, jadi bisa nyuruh orang gantiin kerjaan gue!"
Damara mendengus mendengar jawaban Rio. Pria yang satu ini memang terkenal terlalu bangga akan dirinya sendiri, tapi justru itu sisi menyenangkan dalam diri Rio.
"Lo cuma minum kopi doang, Mar" Cobain cheesecake baru kita dong, enak tau! Di atasnya disiram krim spesial kreasi chef di sini... lo harus coba!"
"Dapat diskon berapa kalo gue order itu""
"Gue kasih harga temen deh..." Seperti biasa Rio mengeluarkan jurus marketing-nya. "Gue orderin buat lo ya""
"Terserah lo deh. Dasar manajer kerjaannya jualan melulu!" Damara menyerah, pura-pura menggerutu.
Dengan cengiran lebar, Rio mengangkat tangan memanggil pelayan dan meminta dibawakan pesanan untuk Damara.
"Lo sekarang sering dikejar-kejar wartawan infotainment ya, Mar" Kemarin gue liat lo di TV."
"Ya... begitulah kalau ngurusin artis tenar, mau nggak mau harus nongol di infotainment," jawab Damara, melepaskan kacamata dan meletakkannya di atas berkas yang tadi ia baca. "Suka nggak suka itu risiko gue terima kasus selebriti."
"Iya sih... Gue cuma pengin ketawa aja liat lo mati gaya di depan kamera."
Damara hanya tersenyum kecil menanggapi kata-kata Rio. Sejak berteman dengan Rio, empat tahun lalu, dengan caranya sendiri Rio bisa membuat kesulitan yang dihadapi Damara bisa dilewatinya dengan banyak tawa.
"Nih kafe mulai rame, Yo," Damara menebar pandangan ke sekeliling kafe. "Lo berbakat juga jadi manajer kafe."
"Itu untungnya kafe franchise, nggak perlu terlalu banyak promosi lagi. Ya, lumayanlah nggak malu-maluin gue di depan big boss... Sekarang rencananya kita malah mau rekrut tenaga tambahan, mulai kewalahan nih pas jam makan siang dan jam keluar kantor."
"Eh, beneran lo nggak apa-apa nemenin gue di sini"" tanya Damara.
"Nggak, nggak... Ini belum terlalu rame kok. Lagian ada yang mau gue omongin sama lo." Rio mendadak menatap Damara dengan serius.
Keseriusan raut wajah Rio mencegah Damara mencicipi cheesecake yang sudah terhidang di depannya. Damara meletakkan kembali garpu kecil di atas piring cheesecake-nya.
"Mau ngomong soal apa""
Rio mencondongkan wajahnya ke tengah meja, menggerakkan jarinya memberi isyarat agar Damara mendekat. Dengan bingung Damara mengikuti isyarat Rio.
"Kemarin Anggun ke sini, nungguin lo," ujar Rio pelan.
Damara tertegun sesaat. Lalu pelan-pelan menegakkan kembali posisi duduknya, sementara Rio masih menatapnya dengan tatapan menginterogasi.
"Selain Anggun, mantan atasan kita dulu, Mbak Angel, sering datang ke sini nyari info terbaru tentang lo," tambah Rio, masih dengan mimik yang sama. "Itu maksudnya apa, Mar""
Damara terdiam. Sulit rasanya menjawab pertanyaan Rio, sebab butuh banyak penjelasan yang mungkin akan sulit dimengerti Rio.
"Mar... lo sudah nggak ada hubungan sama mereka, kan" Lo ngikutin nasihat gue dulu kan, Mar"" selidik Rio.
Damara mas ih terdiam, matanya menatap kosong pada Rio, yang terus menunggu jawabannya. Rio menatap Damara seakan dalam tatapannya Rio berharap Damara menjawab "tidak" untuk pertanyaannya.
*** "Makasih, Nu, rotinya enak banget." Anka melahap roti bakar isi selai kacang yang dibawa Danu dari rumahnya.
Danu tersenyum kecil, usahanya bangun lebih awal agar bisa menyiapkan roti bakar untuk Anka tidak sia-sia. "Kalo lo mau, gue bisa bawain roti bakar setiap hari. Soalnya gue sama Kak Damara biasa bikin roti beginian buat sarapan," kata Danu setengah berbohong, karena sebenarnya ia tidak pernah sengaja membuat roti bakar untuk sarapan, paling bagus hanya beli nasi uduk di dekat rumah.
Danu meluruskan kakinya di rerumputan halaman belakang sekolah yang lumayan teduh oleh rindangnya pohon besar yang berada tepat di tengah kebun belakang. Sementara Anka duduk di samping Danu, masih menikmati roti bakarnya sambil serius memperhatikan berkas-berkas di pangkuannya.
"Itu kertas apaan, Ka"" tanya Danu, ikut memperhatikan kertas-kertas yang dari tadi menyita perhatian Anka. "Itu dari rumah sakit ya""
"Ini rincian biaya administrasi perawatan ibu gue..." jawab Anka pelan. Danu menjulurkan kepalanya ikut membaca tulisan-tulisan yang tercetak di kertas itu.
"Biayanya gede banget, Ka!" seru Danu, terkejut melihat barisan angka yang menurutnya sangat besar.
"Gitu deh, Nu... Gue juga bingung," keluh Anka lesu. "Ibu hanya ibu rumah tangga biasa, nggak punya asuransi atau tunjangan kesehatan apa-apa. Tabungan Ayah dan Ibu ditambah santunan sana-sini cuma cukup bayar setengahnya." Anka mendesah lelah, menebarkan pandangannya ke sekeliling kebun belakang, seakan berharap menemukan solusi di sana.
"Kayaknya gue harus kerja, Nu," cetus Anka tiba-tiba, membuat Danu menoleh cepat ke arahnya.
"Kerja"! Kerja apaan" Lo kan masih sekolah."
"Kerja apa aja, yang penting bisa dapet uang buat biaya hidup gue. Syukur-syukur bisa nambahin biaya rumah sakit." Anka menunduk lesu, seakan ia sendiri tidak yakin mampu melakukan apa yang baru saja ia katakan.
Danu ikut menunduk, merasa tidak memiliki kemampuan untuk memberi solusi.
"Terus, lo mau cari kerja di mana"" Danu kembali bertanya.
"Di mana aja, selama gue bisa dapet uang halal." Anka tersenyum getir. "Lo mau kan bantuin gue cari info kerjaan buat anak SMA kayak gue..."" Danu terdiam, menghela napas. "Lo mau bantuin gue kan, Nu"" ulang Anka menegaskan.
Danu mengangguk akhirnya, menyanggupi permintaan Anka. Disusul senyum optimistis Anka.
Bel istirahat selesai berbunyi. Anka segera berdiri, mengulurkan tangannya pada Danu yang masih termangu.
"Yuk balik ke kelas..." ajak Anka.
Danu menyambut tangan Anka, berjalan meninggalkan kebun belakang sekolah dalam diam.
Danu melirik Anka, ia begitu mengagumi sosok gadis yang berjalan di sampingnya. Gadis muda ini terlihat begitu tegar, begitu kuat menghadapi semua kesulitan dalam hidupnya yang pastinya sangat berat bagi gadis seusianya. Dalam hati, Danu bertekad akan selalu berada di samping Anka, menjadi sandaran saat Anka merasa lemah dan saat Anka tidak sanggup lagi menyembunyikan kerapuhannya.
* * * - 6 - ANKA duduk di teras belakang rumahnya, kepalanya menoleh ke arah ruang tamu menatap Danu yang sedang membantu Pak Arman, tetangganya, mengangkut TV dari ruang keluarga. Sedih rasanya melihat TV yang biasa ditontonnya setiap malam bersama kedua orangtuanya harus keluar dari rumah mereka.
Pagi ini Anka terpaksa menjual TV tersebut kepada tetangganya karena ia sangat membutuhkan tambahan uang untuk melunasi tagihan sementara perawatan ibunya yang masih terbaring lemah. Anka menunduk menatap lesu amplop berisi uang pembayaran TV yang dijualnya.
Danu menghampiri Anka, dan duduk di sebelahnya. "Liat, Ka... Gue dikasih dua puluh ribu nih sama Pak Arman, upah bantuin angkut TV ke rumahnya." Danu mengibas-ngibaskan uang 20.000-an di depan Anka memasang wajah ceria. "Lumayan kan, Ka, gue bisa traktir lo makan bakso sama es campur di kantin rumah sakit nanti."
Anka tidak berkomentar, matanya menekuri amplop cok
elat yang dipegangnya dengan raut menyesal.
"Jangan sedih, Ka... lo kan masih ada TV empat belas inci di kamar lo," Danu mencoba menghibur. "Lo masih bisa nonton, kan""
"Kira-kira Ayah sama Ibu bakal marah nggak ya kalo tau gue jual TV itu"" kata Anka murung, "Gue ngerasa aneh..."
Danu bergeser, duduk di depan Anka untuk melihat ekspresi Anka sepenuhnya.
"Mereka pasti tahu alasannya, dan pasti ngerti. Gue yakin, mereka juga pasti bangga sama lo, anak yang bisa diandalkan nyelesaiin masalah seberat ini."
Anka tersenyum getir menatap Danu, seakan tidak percaya Danu mengatakan hal itu. "Apanya yang dibanggain" Gue nggak ngelakuin apa-apa selain jualin barang," kata Anka lirih. "Dan bisa jadi TV itu bukan barang pertama yang bakal gue jual. Gue cuma anak nggak berguna, Nu..."
Danu kembali duduk di samping Anka, merangkul bahu Anka yang lunglai.
"Hei, denger gue... TV, atau barang-barang lain di rumah ini yang mungkin kejual nantinya, nggak ada artinya kalo nggak ada usaha dari lo, Ka. Sejauh ini lo sangat dewasa ngelewatin semuanya. Gue bangga sama lo, dan gue yakin orangtua lo juga bangga sama lo."
Anka mendongak pelan, menoleh untuk menatap Danu dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Nggak usah sampe kayak gitu ngeliatin gue, gue jadi berasa ganteng diliat kayak gitu," kata Danu membuyarkan keterharuan Anka.
Anka mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, menghela napas, dan tersenyum lebar setelahnya.
"Kayak gini kan lebih bagus," komentar Danu ikut tersenyum. "Yuk kita jalan."
"Ke mana, Nu""
"Kata Andro ada toko bunga yang lagi cari tenaga part time. Kita ke sana, siapa tau lowongannya masih ada," jelas Danu seraya berdiri dari duduknya. "Ayo, katanya lo mau kerja, mumpung masih siang nih. Abis itu kita masih harus ke rumah sakit, kan""
Senyum Anka mengembang semakin lebar, ia bergegas berdiri. Ini saatnya berhenti menjadi Anka yang cengeng, saatnya berjuang untuk mengendalikan kembali alur kehidupannya yang sempat berantakan. Meski sulit, semuanya harus dapat dijalaninya dengan wajah terangkat penuh ketegaran.
*** Anka mengelap tangan ibunya dengan handuk basah. Dengan telaten Anka membersihkan tubuh ibunya. Seraya membersihkan tubuh ibunya, Anka duduk di kursi kecil yang sengaja ia letakkan di sisi ranjang. Anka menatap wajah pucat ibunya, menyibakkan rambut yang menutupi wajah ibunya.
"Ibu cantik, walaupun Ibu nggak buka mata..." kata Anka sambil tersenyum mendengar ucapannya sendiri. "Ibu pasti nyangka Anka bilang Ibu cantik karena Anka punya salah, tapi hari ini Ibu benar-benar cantik di mata Anka."
Air mata Anka lagi-lagi menggenang, membuat tenggorokannya terasa sakit menahan untuk tidak menangis. Anka menelungkupkan wajahnya ke tangan ibunya, merangkulkan sebelah tangannya ke tubuh ibunya.
"Maafin Anka ya, Bu. Anka cuma bisa ngelakuin ini buat Ibu," bisik Anka parau. "Tapi Anka janji, Bu, akan bekerja keras untuk ngembaliin apa yang sudah keluar dari rumah kita... Ibu bantuin Anka ya, Bu. Anka yakin walaupun Ibu nggak sadar, Ibu bisa denger Anka, Ibu bisa doain Anka dengan cara Ibu sendiri."
*** Malam ini Danu duduk di lantai karpet kamarnya. Membuka lembar demi lembar kamus bahasa Prancis, mencari kata-kata yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan tugas bahasa Prancis yang mahadahsyat banyaknya. Danu melirik jengkel Andro yang duduk santai di sampingnya sambil membaca komik.
"Ndro, kerjain tugas dong, bantuin gue biar cepet selesai. Lo nginep di sini kan buat ngerjain tugas, bukan buat baca komik doang."
"Udah, lo kerjain aja dulu, ntar lo sisain buat gue. Lagi tanggung nih, tinggal beberapa lembar lagi," balas Andro enteng.
Dengan setengah jengkel Danu kembali memfokuskan diri pada deretan kata-kata asing yang pengucapannya pun aneh dan sulit.
"Kakak lo beneran nggak balik ya, Nu"" Andro tiba-tiba bertanya.
"Tadi sih ditelepon dia bilang nggak pulang, lagi banyak kerjaan katanya."
"Weekend gini pengacara ngerjain apa" Emang biro hukum tempat kakak lo kerja buka setiap hari""
"Ya nggak lah, Ndro, mana ada kantor begituan yang buka
setiap hari." "Nah, terus kakak lo ngapain sampai nggak pulang""
Danu terdiam. Sampai sekarang pertanyaan itu tetap belum ia dapat jawabannya. Ia mengerti banyak kasus yang harus ditangani kakaknya, terlebih setelah menangani kasus model terkenal itu. Tapi apakah semua itu begitu menyibukkan sampai-sampai untuk beristirahat normal di hari libur pun tidak bisa dilakukannya"
"Kakak gue tuh gila kerja. Dia selalu punya alasan untuk bikin dirinya sibuk," jawab Danu agak ragu, tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
Andro mengangguk, menelan jawaban Danu dengan setengah heran.
"Kakak lo hebat ya, Nu. Gue sering liat dia muncul di infotainment. Sekarang kakak lo lagi ngurusin perceraian Imelda Azizah, kan" Tuh model cantik banget, Nu! Gue kalo punya muka ganteng kayak kakak lo, habis ngurusin perceraiannya Imelda, gue langsung gaet tuh model."
Danu mendengus tertawa, menyambar bantal dari atas tempat tidur, dan melemparkannya kepada Andro. "Dasar otak mesum! Sering-sering cuci otak lo, Ndro, biar nggak mikir kotor."
"Yaelah, deket-deket sama cewek secantik Imelda Azizah sih semua cowok normal bakal mikir mesum, Nu! Eh... siapa tahu kakak lo nggak pulang gara-gara kegaet tuh model."
Danu hanya geleng-geleng menanggapi pemikiran Andro yang ajaib. Suasana tenang beberapa saat. Danu kembali mengerjakan tugasnya, Andro kembali asyik dengan komiknya. Ternyata setelah selesai membaca lembar terakhir komik pertama, Andro melanjutkannya dengan komik berikutnya.
"Lowongan di toko bunga yang lo bilang udah nggak ada lagi, Ndro," ujar Danu memecah keheningan.
Andro menutup komiknya untuk pertama kalinya sejak sejam yang lalu dan mengalihkan perhatian penuh pada Danu.
"Udah nggak ada" Emang kapan lo ke sana""
"Tadi siang... Anka keliatan kecewa banget, padahal dia sangat berharap dapat kerjaan." Danu menghela napas berat, menunduk lesu ketika ekspresi kecewa Anka tadi siang tergambar jelas di benaknya. "Gue kasihan sama dia, Ndro... Tadi siang dia harus jual barang di rumahnya buat nambahin biaya rumah sakit ibunya yang gede banget. Gue ngerasa nggak berguna jadi temennya, nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia."
"Nu, lo tuh cuma anak sekolahan, belum lulus lagi. Emang menurut lo, bisa bantuin apa buat dia"" seru Andro. "Apa yang lo lakuin selama ini buat Anka, menurut gue sih, udah lebih dari cukup."
"Gue pengin bantuin Anka lebih banyak lagi, Ndro."
"Lo mau bantuin apa lagi" Bantu bayar biaya rumah sakit ibunya"!"
"Penginnya sih gitu," jawab Danu datar yang langsung membuat Andro dengan cekatan mendorong kepalanya.
"Jangan ngigau lo... Emang mau bantuin pake apa""
"Ya pake duitlah! Masa pake daun"" gerutu Danu gemas, seraya dengan sebal mengusap-usap kepalanya yang baru saja didorong Andro lumayan keras.
"Iya pake duit, tapi dapet duit dari mana lo"" sergah Andro. "Jajan aja masih minta sama kakak lo, pake acara mau bantuin bayar rumah sakit segala. Danu... Danu, realistis, Nu!"
Andro naik ke tempat tidur, menyandarkan kepalanya di antara tumpukan bantal, menatap prihatin ke arah Danu sebelum kembali fokus pada komik yang dibacanya.
Meski menyebalkan, ucapan Andro menyadarkan Danu dan mengembalikannya ke dunia nyata. Danu menghentikan pekerjaannya, pandangannya menerawang menatap dinding polos kamarnya. Berbagai pengandaian muncul di benaknya. Andai ia bukan laki-laki berusia 18 tahun, andai ia bukan murid SMA dan andai ia laki-laki dewasa yang mapan, pasti bisa dengan mudah meringankan beban Anka. Pasti ia bisa menjadi sandaran yang kuat bagi Anka. Tidak seperti sekarang, ia hanya tiang kayu reyot yang entah bisa sekuat apa untuk menjadi sandaran.
* * * "Aku nemuin kamu di sini, karena aku nggak mau kamu mengusik orang-orang terdekatku," - Damara
* * * - 7 - HAKIM pengadilan agama mengetukkan palu. Persidangan kasus perceraian Imelda Azizah ditunda seminggu ke depan karena pihak tergugat tidak menginginkan adanya perceraian. Ini memang jelas terlihat dengan selalu absennya suami Imelda pada setiap persidangan.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Damara merapikan semua berkas di atas mejanya di
ruang pengadilan. Matanya melirik sekilas pada Imelda yang duduk diam di sampingnya. Wajah Imelda terlihat agak pucat, lingkaran hitam begitu jelas di bawah kantong matanya. Wanita itu terlihat kurang sehat di mata Damara.
"Kita keluar sekarang"" Damara bertanya sambil mendekati Imelda. "Anda sudah siap""
Imelda menoleh ke arah pintu masuk ruang persidangan yang sudah dikerubuti wartawan infotainment haus berita. Imelda mengangguk pelan, ia lalu berdiri dan berjalan pelan mendekati meja hakim untuk berjabat tangan. Tapi baru beberapa langkah saja, Imelda terlihat limbung, kakinya seperti tidak mampu menopang tubuhnya. Damara yang berdiri dua langkah dari Imelda refleks menyambar tubuh wanita itu sebelum jatuh membentur lantai.
Ruang pengadilan mendadak ricuh. Para wartawan yang semula bertahan di luar ruang persidangan memaksa masuk saat melihat Imelda jatuh pingsan. Mereka mengerumuni Imelda setelah berhasil melewati penjagaan petugas keamanan pengadilan. Damara sampai harus memeluk Imelda agar para wartawan yang lapar berita itu tidak melukai kliennya.
Entah seperti apa kekacauan di pengadilan tadi, yang jelas Damara akhirnya berhasil membopong Imelda. Dengan dibantu orang-orang bersafari sebagai pembuka jalan, Damara membawa Imelda keluar tanpa terhadang wartawan.
Sekarang Damara melajukan mobilnya di jalan raya Jakarta, setelah berhasil lolos dari kericuhan di persidangan. Imelda terbaring di jok belakang mobil Damara, masih terbaring tidak sadarkan diri. Handphone di saku kemeja Damara berdengung, layar LCD handphone-nya menunjukkan manajer Imelda yang masih tertinggal di pengadilan, menghubunginya.
"Ya, halo," kata Damara selesai memasang handsfree di telinganya. Kepanikan yang terdengar jelas pada nada suara manajer Imelda, mengharuskan Damara mengatakan bahwa Imelda baik-baik saja untuk menenangkan sang manajer. Namun sang manajer tetap meminta Damara membawa Imelda langsung ke rumah sakit di kawasan Pondok Indah.
"Oke, saya bawa dia ke rumah sakit sekarang juga... kita ketemu di sana." Damara menutup telepon dan mempercepat laju mobilnya.
"Jangan bawa saya ke rumah sakit..." Suara Imelda yang terdengar lirih dari kursi belakang mobil menyentak Damara.
Damara langsung menoleh ke jok belakang, tapi segera kembali menatap lurus ke jalan saat sadar bahwa ia sedang menyetir. Damara ganti melihat Imelda dari kaca spion di depannya. "Anda baik-baik saja"" tanya Damara cemas.
"Saya nggak apa-apa," jawab Imelda datar sambil berusaha mendudukkan dirinya. Lengannya naik merapikan rambut panjang hitam lurusnya dengan jemari.
"Lebih baik kita ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi Anda. Manajer Anda sudah menunggu di sana."
"Kita nggak perlu ke rumah sakit," tegas Imelda, "ke tempat lain saja, asal bukan ke rumah sakit."
Dengan terpaksa Damara tidak membantah, segan berdebat dengan kliennya yang mungkin baru setengah sadar. Dipandangnya kembali Imelda dari kaca spion tengah, wanita itu masih terlihat pucat dan lemah, tapi keangkuhan tetap mendominasi raut wajahnya.
Mobil Honda CR-V silver milik Damara menepi di pinggir jalan, di sebuah area taman kota. Damara bersandar di sisi mobil. Lengan kemeja sudah digulung dan ikatan dasi yang tadi terpasang sempurna sudah dikendorkan. Di sampingnya Imelda duduk di ujung jok belakang, di dekat pintu mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.
"Ini minum dulu..." Damara menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya di kios sekitar taman. Agak ragu Imelda mengambil botol air mineral dari tangan Damara, namun dengan segera langsung menenggaknya. Sepertinya ia memang sudah kehausan sedari tadi.
Damara tersenyum simpul melihat tingkah model yang biasa tampak begitu angkuh. Ternyata selain angkuh, Imelda bisa bertingkah konyol juga. "Setelah ini saya akan mengantar Anda ke rumah sakit. Manajer Anda sudah berkali-kali menghubungi saya, meminta saya segera membawa Anda ke sana."
Imelda turun dari mobil dan berdiri di samping Damara, membiarkan kakinya yang tanpa alas menyentuh aspal.
"Saya nggak mau pergi ke sana!" Imelda bersikeras.
Dama ra menoleh, nyaris tidak percaya sikap kliennya yang keras kepala.
"Anda baru saja pingsan di ruang persidangan. Sudah menjadi keharusan bagi saya membawa Anda ke rumah sakit untuk diperiksa."
"Saya hanya pingsan, bukan kena serangan jantung. Jadi nggak perlu dibesar-besarkan," tandas Imelda, seraya menatap tajam ke arah Damara. "Dan satu lagi, Anda saya bayar untuk kasus perceraian saya, bukan untuk mengurusi kesehatan saya."
Damara mendengus pelan. Imelda memang sangat cantik, semua orang mengatakan ia nyaris sempurna. Tapi lihat sekarang, nilai Imelda tidak akan sesempurna itu kalau saja orang-orang yang mengaguminya tahu sifat keras kepala Imelda yang menjengkelkan.
"Kalau Anda mau tetap di sini, silakan, tapi maaf... masih banyak yang harus saya kerjakan."
Imelda tidak bergerak, seakan kehabisan kata-kata untuk membantah.
Damara menghela napas panjang menghadapi situasi seperti ini. "Oke, saya antar Anda ke rumah sakit sekarang, sebelum saya pergi." Damara melangkah melewati Imelda, menuju kemudi mobilnya. Namun sebelum sempat membuka pintu depan, Imelda meraih lengan Damara dan membuat Damara langsung menoleh.
"Bisa kamu temenin saya di sini, sampai saya merasa lebih baik"" pinta Imelda sambil menunduk, seakan malu dengan permintaannya sendiri.
Damara tidak menjawab. Permintaan Imelda membuat Damara tercengang, sampai-sampai ia lupa untuk bereaksi. Tapi tak berapa lama, Damara mengangguk menyanggupi permintaan Imelda.
*** "Kenapa, Nu" Kamu kok malas-malasan gitu sarapannya"" tanya Damara saat mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. Hari Minggu, seperti biasa, ada nasi uduk untuk Danu, dan secangkir kopi krim untuk Damara. "Ada yang sedang kamu pikirin""
Danu tidak menjawab. Wajahnya menunduk lesu sementara tangannya hanya mengaduk-aduk nasi uduk di piringnya.
Damara tersenyum melihat tingkah adiknya, ia tahu benar pasti ada yang sedang mengganggu pikiran sampai Danu murung begini. "Cerita aja sama Kakak kalau kamu ada masalah," kata Damara sambil melipat korannya agar lebih fokus pada Danu.
Danu mendongak pelan, dari raut wajahnya Damara sudah bisa memastikan apa yang dipikirkan Danu lumayan rumit.
"Nggak ada masalah, Kak," kata Danu pelan.
"Nggak usah bohong. Kakak kenal watak kamu. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau penampakan kamu kayak begini."
Danu meletakkan sendok yang dipegangnya di atas piring, menghela napas berat, sebelum akhirnya bicara.
"Danu cuma lagi mikirin masalah Anka, Kak..."
"Anka" Kenapa lagi dengan Anka""
"Kasihan Anka, Kak, dia lagi kesulitan uang. Biaya rumah sakit ibunya gede banget. Kemarin aja dia habis jual barang-barang di rumahnya buat tambahan, tapi masih kurang banyak, Kak," jelas Danu. "Seminggu ini Danu bantuin dia cari kerja sambilan tapi belum dapat juga."
Damara meletakkan korannya di atas meja. Matanya kini fokus sepenuhnya pada Danu. Kata-kata Danu kembali mengingatkannya pada Anka, sahabat Danu yang beberapa minggu lalu tertimpa musibah. Rutinitasnya selama ini memang hampir membuatnya lupa dengan keadaan sekitar, dan nyaris membuatnya mati lelah menjalaninya.
"Anka lagi cari kerja"" tanya Damara. Danu kembali mengangguk lesu. Damara berusaha mengingat-ingat, rasanya ia pernah mendengar seseorang sedang membutuhkan pekerja tambahan. Setelah beberapa saat, senyum Damara mengembang lebar saat ia menemukan jawabannya.
"Kamu sekarang mandi, kita jemput Anka!"
Danu mendongak, menatap bingung ke arah Damara. "Maksud Kakak""
"Ya, kamu mau bantu Anka dapat kerja, kan""
*** Berkali-kali Danu menolehkan kepalanya ke arah ruang manajer kafe, tempat Anka sedang menjalani interview. Luar biasa gelisahnya Danu menunggu Anka keluar, sampai-sampai cheesecake bertabur cacahan stroberi menggiurkan di depannya pun diabaikan.
"Tenang aja, Nu... Anka pasti bisa kerja di sini," kata Damara yang duduk santai di depan Danu.
"Lama banget sih, Kak"" Danu lagi-lagi menoleh ke pintu ruangan manajer. "Kira-kira Kak Rio nanya apa aja sama Anka ya, Kak""
Damara tersenyum melihat kegelisahan Danu. Ia mengangkat c
angkir espresso-nya, meminumnya seteguk, lalu meletakkan cangkirnya kembali di atas meja, sebelum melirik potongan cheesecake utuh di depan Danu.
"Santai aja, Nu, nggak perlu kayak gitu. Kakak yakin Rio mau terima Anka bekerja di sini... Mendingan kamu makan cheesecake yang Kakak order buat kamu, itu cake paling enak di kafe ini."
Dengan malas-malasan Danu menarik piring cheesecake, memotong sebagian kecil dengan garpu di sisi piringnya, lalu memasukkan potongan kecil itu ke mulutnya. Potongan kecil itu tertelan begitu saja. Tidak ada kesan khusus karena kecemasannya menjadikan Danu kurang peka dengan rasa.
Anka keluar dari ruangan manajer kafe, diikuti Rio, manajer kafe yang setahu Danu sahabat baik kakaknya. Ekspresi wajah Anka terlihat datar-datar saja saat keluar, hingga Danu sulit menerka apa yang terjadi di dalam sana.
"Gimana, Ka"" tanya Danu, segera berdiri menyambut Anka. "Lo diterima""
Anka diam sebentar, sebelum akhirnya senyum lebar yang melegakan Danu mengembang di wajah Anka, disusul anggukan kuat.
Danu hampir melompat saking senangnya. Ia nyaris memeluk Anka mengekspresikan kelegaannya, tapi urung saat ingat ada Damara di sampingnya.
"Selamat ya, Ka..." Damara mendekati Anka, mengulurkan tangannya.
"Terima kasih, Kak. Kalau bukan karena Kakak, saya nggak mungkin bisa diterima di sini." Anka tersenyum lebar saat menjabat tangan Damara.
"Jangan berlebihan, Kakak kan cuma bantu nganterin. Lain kali kalau kamu butuh bantuan jangan hanya bilang sama Danu, Kakak juga bersedia bantu kamu."
Senyum Anka mengembang semakin lebar. Entah berlebihan atau hanya perasaannya, Danu merasa tatapan Anka pada Damara berlebihan. Seperti tatapan setengah memuja, membuat perasaan Danu agak kurang enak.
"Thanks ya, Yo, lo udah mau bantuin temennya Danu." Damara beralih pada Rio.
"Santai aja lagi, Mar. Justru gue yang terbantu, lo nyariin karyawan... Oke, Anka, besok jam tiga sore kamu harus sudah ada di sini."
"Baik, Pak. Saya pasti datang tepat waktu," seru Anka penuh semangat.
"Oke, Yo, kalau semua sudah beres, gue antar mereka balik dulu," kata Damara akhirnya.
"Bentar, Mar..." Rio mendekati Damara, memelankan nada suaranya. "Bisa lo balik belakangan" Ada yang mau gue omongin sama lo."
Damara terdiam sebentar, sudah menduga permintaan Rio setelah pembicaraan terakhir mereka beberapa hari lalu. Damara menghela napas berat sebelum akhirnya mendekati Danu. "Kalian pulang duluan ya. Kakak nggak bisa antar kalian," kata Damara seraya mengeluarkan lembaran seratus ribu dari dompet kulitnya lalu menyerahkannya pada Danu. "Antar Anka naik taksi, Nu... Jakarta panas banget hari ini."
Setelah Danu dan Anka berjalan meninggalkan kafe, Damara berbalik menghadap Rio. "Oke, sekarang apa lagi yang mau lo omongin""
"Kita omongin di ruangan gue."
Rio berjalan lebih dulu menuju ruangannya, dan Damara mengekori dengan sepenuhnya siap menerima hal paling buruk yang mungkin akan disemburkan Rio karena kecewa padanya.
* * * - 8 - RUTINITAS Anka luar biasa gila sekarang ini. Sejak bekerja di kafe, hidupnya seperti tanpa jeda. Usai sekolah Anka langsung menuju kafe, mengejar jam kerjanya yang dimulai jam tiga sore sampai jam sembilan malam. Setelahnya, Anka langsung ke rumah sakit untuk menunggui ibunya, bahkan lebih sering tidur di sana, dan keesokan harinya kembali berangkat ke sekolah. Begitu setiap harinya, sampai Anka sendiri merasa seperti robot yang diprogram hanya untuk menjalankan rutinitas melelahkan itu.
Siang ini selepas bel pulang sekolah, Anka dan Danu berjalan menyusuri parkiran sekolah. Teriknya sinar matahari yang menyengat membuat Anka merasa seperti dibakar pelan-pelan.
"Lo mau langsung ke kafe, Ka"" tanya Danu, yang dijawab Anka dengan anggukan pelan. "Coba gue bisa ikutan kerja bareng lo..."
"Ngapain lo kerja" Kan masih ada Kak Damara yang nanggung semua kebutuhan hidup lo."
"Ya... gue pengin aja kerja bareng lo," kata Danu. "Kan sahabat harus ngerasain apa yang sahabatnya rasain, senasib-sepenanggungan gitu."
"Norak lo." Anka meninju bahu Danu. "Jan
gan sok bijak deh, nggak pantes... Udah ah, gue mau nunggu Metromini di halte depan."
Anka duduk di bangku panjang halte menunggu Metromini, masih ditemani Danu. Kendaraan lalu lalang menjadi pemandangan utama dan debu beterbangan menjadi suplai oksigen ekstra yang "menyegarkan".
"Lo nggak pulang bareng Andro""
"Nggak... hari ini gue mau ke toko buku, makanya gue bareng lo naik Metromini, entar gue tinggal turun di depan malnya."
Anka tersenyum mendengar penjelasan Danu. Hari ini ke toko buku, kemarin pergi ke rumah teman yang letaknya tidak jauh dari gedung tempat kafe Anka bekerja. Danu sepertinya selalu punya alasan untuk menemani Anka. Walaupun hanya beberapa puluh menit berdesakan di Metromini, Anka sangat menghargai upaya Danu untuk menunjukkan kesetiakawanannya.
Hampir lima belas menit Anka duduk bersama Danu di halte, mereka belum berhasil juga naik Metromini. Dua Metromini yang terakhir lewat bukan main sesaknya. Anka mulai gelisah, tidak ingin datang terlambat ke kafe, apalagi baru beberapa hari bekerja di sana.
Di tengah harap-harap cemas Anka menunggu Metromini, Honda Jazz warna hitam melintas pelan di depan mereka, di dalamnya terlihat Riko bersama seorang gadis yang dikenali Anka sebagai Irva anak kelas XII-IPS-1 yang belakangan ini terlihat dekat dengan Riko.
"Ka, yang tadi beneran Riko"" tanya Danu, tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.
"Iya, emang Riko," jawab Anka sekenanya.
"Kok bisa dia sama Irva""
"Mereka emang udah lama deket..."
"Kok gitu" Riko kan pacar lo, mana boleh dia deket sama cewek lain!" protes Danu sengit. "Brengsek banget!"
"Riko nggak salah, Nu..." Anka tersenyum getir. "Gue yang selalu menghindar dari dia. Jadi bukan salah Riko kalau dia sekarang deket sama Irva."
"Tapi tetep aja, Ka, Riko itu kan..."
"Udahlah... biarin aja. Gue nggak apa-apa kok," kata Anka dengan nada suara yang diusahakannya terkesan normal, "Eh, tuh Metromini-nya."
Anka segera bangun, berdiri di mulut halte, menunggu datangnya Metromini yang masih 300 meter jauhnya. Anka bisa merasakan tatapan tidak percaya Danu dengan apa yang baru saja ia katakan. Anka sadar, Danu tahu ada rasa sakit yang menyesak, rasa sakit yang tidak akan pernah ditunjukkannya, tidak di saat ia sudah terbiasa menyembunyikan rasa sakit lain yang jauh lebih menyesakkan.
*** "Ternyata cara seperti ini mempan juga untuk membuat kamu berhenti menghindar dari aku."
Anggun menatap Damara yang duduk di depannya, dengan tatapan seolah ia berhasil mengikat Damara kembali.
Siang ini Damara terpaksa menuruti permintaan Anggun, menemui wanita itu di kafe Rio setelah hampir dua minggu berusaha tidak menghiraukannya. Kini ia duduk di depan Anggun layaknya orang bodoh yang sekali lagi membiarkan dirinya terikat dengan apa yang seharusnya tidak dibiarkan mengikatnya.
Keris Setan Kobra 1 Pendekar Naga Putih 28 Laba Laba Hitam Darah Pendekar 1
^