Pencarian

A Shoulder To Cry On 2

A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria Bagian 2


"Sekarang kamu sudah tahu kan, Mar, kamu nggak bisa lepas begitu aja dari aku." Anggun kembali melanjutkan kesombongannya, "Nggak semudah itu menjauh dariku." Senyum puas mengembang di wajah Anggun, senyum yang sekali lagi menegaskan ketidakberdayaan Damara.
"Aku nemuin kamu di sini, karena aku nggak mau kamu mengusik orang-orang terdekatku," kata Damara dingin. "Aku nggak mau mereka terganggu dengan kelakuanmu yang nggak beda dengan gadis belasan tahun yang kehilangan kekasih."
"Kamu seharusnya senang, aku mau repot-repot cari kamu ke tempat ini." Anggun mengulurkan tangan lalu menggenggam tangan Damara.
Damara memandang ke sekeliling kafe, tidak ingin ada yang melihatnya berduaan dengan Anggun seperti ini, terlebih Rio. "Aku sama sekali nggak suka cara kamu," tandas Damara, menarik tangannya dari genggaman Anggun. "Dan kamu tahu aku akan seperti apa kalau kamu terus seperti ini."
"Kamu akan pergi dari aku, itu kan yang mau kamu bilang..." Kata-kata itu sudah sangat familier buat aku, kamu sudah terlalu sering mengatakan itu, Mar." Pandangan Anggun pada Damara semakin terkesan meremehkan, tangan Damara bergetar hebat menahan semua emosi yang tidak bisa ia lampiaskan.
"Sekarang kamu sudah merasa hebat. Kamu peng
acara mapan, kamu tidak butuh aku lagi, tapi... nggak semudah itu, Mar."
Damara menghela napas, lelah dengan semua perdebatan ini. Demi Tuhan, ia ingin semua ini segera berlalu. "Aku tahu... aku tahu dengan jelas semua itu!" kata Damara habis sabar. "Aku sadar, mungkin selamanya aku nggak akan bisa menjauh dari kamu. Uang dan kekuasaanmu dengan mudah bisa mengikat aku... Tapi apa berlebihan kalau aku minta agar kamu tidak mencampuradukkan hubungan kita dengan kehidupanku" Aku punya keluarga dan sahabat yang akan tersakiti kalau mereka tahu mengenai semua ini."
Menanggapi semua perkataan Damara, Anggun dengan santai mengangkat cangkir hot chocolate-nya, menyeruputnya dengan keeleganan yang selalu dijaga. Setelahnya, bibir merah Anggun membentuk senyum kecil, senyum yang menunjukkan bahwa baginya kata-kata Damara hanya serupa rengekan anak kecil yang minta dibelikan mainan.
"Memang bukan hal besar kalau kamu menginginkan hubungan kita tidak diketahui orang-orang terdekat kamu. Aku sendiri juga menginginkan hal yang sama. Aku nggak mau orang-orang terdekatku tahu, terutama suamiku... Sayangnya sikap kamu belakangan ini tidak menunjukkan itu semua."
"Maksud kamu"" Damara menatap tajam ke arah Anggun.
Senyuman, yang bagi Damara terasa begitu melecehkan, kembali mengembang di wajah Anggun. "Kamu nggak mau terima telepon dari aku, nggak pernah datang kalau aku minta, bahkan kamu menolak nemuin aku saat aku nunggu kamu di sini."
Damara mengalihkan pandangannya dari Anggun. Tidak ada sanggahan yang bisa keluar dari mulutnya. Anggun jelas tahu benar cara membuat Damara tidak bisa membantah. Damara sempat melirik Anka yang sedang membersihkan meja, beberapa meter dari meja tempat ia dan Anggun duduk, sebelum kembali menatap Anggun.
"Aku sibuk..." kata Damara akhirnya.
"Sibuk..."" tanya Anggun sangsi, seraya mengibaskan rambut cokelat sebahunya yang bergelombang indah. "Imelda Azizah... Model itu sudah jadi prioritas kamu rupanya."
"Dia klienku, mau nggak mau dia menjadi prioritasku," tegas Damara. "Sepertinya nggak ada gunanya aku duduk di sini. Aku capek ngomong sama kamu. Kamu terlalu keras kepala dan egois untuk mau mendengar semua pendapatku."
Damara bangun dari duduknya, sekilas menjatuhkan pandangannya pada Anggun sebelum melangkah meninggalkan wanita yang selama ini begitu dekat dengannya. Wanita yang dulu menjadi penopangnya di masa sulit, wanita yang seharusnya tidak pernah didekatinya. Wanita yang selalu membuat Damara bertanya-tanya saat menatapnya, apakah di balik pandangan melecehkannya, di balik keangkuhannya, Anggun pernah membutuhkannya secara tulus seperti yang Damara harapkan selama ini"
*** Anka membersihkan salah satu meja di pojok kafe. Tangannya dengan terarah mengelap meja sekenanya, sementara matanya melirik penuh rasa ingin tahu ke arah meja nomor 23.
Di meja itu duduk Damara bersama seorang wanita cantik. Semua hal yang melekat pada diri wanita itu sudah menunjukkan kelasnya sendiri. Hampir setengah jam Anka memperhatikan mereka. Sepanjang penglihatan Anka, tampaknya pembicaraan antara Damara dengan wanita itu tidak berlangsung baik. Sesekali Anka mendapati ekspresi dingin di wajah Damara tertuju pada wanita itu. Walaupun meja itu lumayan jauh dari jangkauan pendengarannya, tapi dari bahasa tubuh yang dilihat Anka, Damara sepertinya marah pada wanita itu. Berkali-kali Damara terlihat menghela napas berat, seakan meredam kemarahannya saat menghadapi wanita itu.
Anka tidak tahu ada hubungan apa antara Damara dan wanita itu. Berbagai dugaan muncul di otak penat Anka. Mungkin wanita itu salah satu klien Damara, karena sebagai pengacara yang banyak menangani kasus perceraian, tak heran jika Damara banyak memiliki klien wanita cantik. Tapi kemungkinan itu langsung terpatahkan saat Anka melihat wanita itu tiba-tiba menggenggam tangan Damara.
Anka tertegun sesaat, tangannya berhenti mengelap meja, entah kenapa jantungnya berdegup kencang. Anka seperti mengalami trans sesaat, hingga tiba-tiba Damara melihat ke arahnya. Anka memalingkan wajah, refleks tangannya kembali be
rgerak. Anka tidak ingin Damara tahu dari tadi ia memperhatikan mereka. Di tengah debaran jantungnya yang masih berdetak abnormal, tiba-tiba seseorang menepuk bahu Anka.
"Ka, dipanggil Chef Bastian, dia butuh bantuan di dapur," tegur Abner, mengagetkan Anka. "Udah sana, biar saya lanjutin di sini."
"Iya, Mas..." Seraya mengelus dada untuk meredam detak jantungnya, Anka meletakkan lap yang dipegangnya di atas meja. Anka masih sempat menoleh ke arah meja Damara sebelum bergegas masuk dapur.
* * * "Gue emang nggak bisa bantu lo apa-apa untuk soal ini, tapi gue bakal selalu ada untuk lo, Ka..." - Danu
* * * - 9 - DANU mengaduk mi ayam yang tersaji di depannya dengan sumpit. Aroma menggiurkan menggugah Danu untuk segera memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Meski mi ayam itu masih panas mengepul, perut laparnya tak bisa menunggu lagi.
"Tumben, lo bisa ke kantin bareng gue. Biasanya lo sama Anka mulu," kata Andro yang duduk di sebelahnya. "Biasanya kan lo bawain roti bakar buat dia."
"Anka lagi banyak tugas," jawab Danu sekenanya, kembali memasukkan suapan berikutnya.
Denting sendok dan garpu yang beradu dengan mangkuk atau piring, terdengar meriah di antara murid-murid yang kelaparan. Menegaskan bahwa semua makhluk hidup di dunia ini butuh makan, termasuk murid sekolah yang kerjanya hanya duduk dan belajar di kelas, walau terkadang hanya 60% yang benar-benar datang untuk mengisi otaknya.
"Kak Danu..." Danu mendongak saat terdengar suara memanggil namanya. Bingung sendiri saat mendapati Zevana berdiri tersenyum di depannya.
"Eh, Zeva, kenapa"" Andro lebih dulu menyapa Zevana.
"Aku mau kasih ini sama Kak Danu," kata Zevana, seraya menyodorkan kotak seukuran buku Harry Potter jilid 5 pada Danu. Pipi putih Zevana memerah, wajahnya menunduk malu-malu.
"Ini apa, Ze"" tanya Danu heran. "Saya kan lagi nggak ulang tahun."
"Terima aja, Nu, dapet hadiah kan nggak mesti pas ulang tahun doang," sela Andro, membuat Danu mengerling jengkel ke arahnya.
"Ini hadiah kecil buat Kak Danu, karena puisi Kak Danu yang kemarin Zeva baca di mading udah bikin Zeva seneng..."
Mendengar kata-kata Zevana, Danu semakin bingung. Puisi" Puisi yang mana" pikirnya. Rasanya ia tidak pernah menunjukkan puisinya pada siapa pun, apalagi menyerahkan puisinya pada pengurus mading.
"Ambil kotaknya, Nu, kasihan tangannya pegel tuh." Andro menyenggol bahu Danu, menyadarkannya dari ketertegunan sesaat. Dengan linglung Danu mengambil kotak hadiah yang disodorkan Zevana, membuat senyum lega mengembang di wajah Zevana.
"Terima kasih, tapi puisi itu..."
"Puisinya bagus, Kak! Zeva seneng kalau bisa sering baca puisi Kak Danu... Makasih ya, Kak Danu mau terima hadiah dari Zeva."
Zevana kembali mengembangkan senyum manisnya sebelum beranjak meninggalkan meja Danu.
"Cieh... cieh, Danu dapet hadiah dari adek kelas nih"" komentar Iyan, teman sekelas Danu saat melintasi meja Danu. "Banyak fans nih, Danu."
"Iya, emang lo" Banyak utang!" timpal Andro. "Sirik aja lo."
Iyan mencibir menanggapi kata-kata Andro, dengan mimik wajah tersinggung ia berjalan meninggalkan kantin. Danu menatap kotak hadiah pemberian Zevana, seakan bertanya puisi apa yang membuat Zevana memberikan hadiah ini.
"Puisi yang dimaksud Zeva puisi apaan ya, Ndro"" tanya Danu, berpaling pada Andro. "Perasaan, gue nggak pernah ngasih puisi gue ke mading."
"Emang nggak pernah! Tapi kan gue yang mewakili dan ngasih puisi lo ke si Irsyad, anak mading," jelas Andro santai.
Danu tercengang. Mulutnya menganga mendengar kata-kata Andro. Bagaimana bisa Andro memberikan puisi cengeng yang ditulisnya saat bosan mengerjakan tugas bahasa Prancis tempo hari" Padahal puisi itu sebenarnya ia tulis untuk disimpannya sendiri, bahkan hanya ditulis di sampul belakang buku paket.
"Gila lo, Ndro! Itu kan puisi picisan, kenapa lo kasih ke mading" Bikin malu aja lo."
"Puisi lo nggak picisan amat kok, bagus malah menurut gue. Buktinya, puisi lo bisa dipajang di mading. Padahal lo tau kan si Irsyad, gayanya aja udah kayak sastrawan sekelas Chairil Anwar.
Dia mana mau majang puisi lain selain puisi yang dia bikin, kecuali kalau tuh puisi bener-bener bagus!"
Kesal rasanya Danu mendengar penjelasan Andro, yang seakan menyatakan apa yang dilakukannya benar dan mestinya Danu berterima kasih. Jangankan ingin berterima kasih, rasanya Danu tidak bisa terima kalau puisi yang sebenarnya ditulis untuk seseorang yang berarti untuknya sekarang terpampang di mading.
Danu berdiri, lalu bergegas meninggalkan Andro. Ia perlu melihat seperti apa puisinya ditempatkan di mading.
"Nu, lo mau ke mana" Hadiah lo nih... Eh, mi ayam lo siapa yang bayar" Woi..."
Danu tidak menghiraukan Andro, ia terus berjalan meninggalkan kantin menuju mading. Puisinya memang ada di sana, diletakkan tepat di tengah mading. Huruf-huruf besar merangkai namanya di bagian bawah puisi.
Lemas rasanya melihat puisi pertama, yang ditulisnya sepenuh hati, terpampang menjadi konsumsi publik, seisi sekolah. Malu merayapi diri Danu, ingin rasanya ia menjebol pintu kaca mading yang terkunci untuk menarik kembali puisinya, tapi jelas sulit dilakukan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pasrah, membiarkan puisi yang sebenarnya sangat berarti baginya menjadi hiasan mading sementara waktu.
*** Imelda meneguk segelas martini sampai tandas, lalu menggerakkan jarinya mengisyaratkan pada bartender di depannya agar menyajikan lagi pesanan yang sama.
Si bartender menyodorkan segelas martini lagi pada Imelda, menggeleng pelan saat melihat Imelda langsung menenggak habis pesanannya. Setelahnya Imelda menopangkan kepalanya ke meja mini bar, matanya menatap kosong ke gelas martini yang sudah kosong. Alunan musik lembut mengalun memenuhi penjuru bar merangkap restoran yang hanya didatangi orang-orang dari kalangan atas. Air mata Imelda mengalir pelan membasahi pipi putihnya.
Handphone Imelda, yang tergeletak di samping gelas kosong martini, berdengung. Nama manajernya muncul di layar LCD. Imelda bergeming, tidak ada keinginan menjawab telepon dari sang manajer. Imelda tahu, manajernya pasti panik saat ia tiba-tiba menghilang dari lokasi pemotretan, dan pasti ia menelepon untuk meminta Imelda kembali.
Selalu seperti ini. Mereka hanya menganggap Imelda layaknya mesin pencetak uang. Baik keluarga maupun orang-orang yang mengurusi kariernya, selalu mendikte Imelda untuk melakukan apa yang menurut mereka baik... Yah, baik untuk mereka, tapi tidak untuk Imelda. Mereka tidak menyadari keputusan itu, yang mereka anggap terbaik dengan mengatur pernikahan Imelda dengan pengusaha properti muda kaya raya, kini malah menghancurkan sisa harapan Imelda untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan.
"Perlu saya panggilkan taksi, Mbak"" tanya si bartender, melihat kondisi Imelda yang sudah cukup payah setelah menenggak segelas bir dan menghabiskan tiga gelas martini sebelumnya.
Imelda mengangkat kepalanya, tersenyum lebar seraya menggoyangkan tangannya. "Nggak usah, Mas. Saya masih cukup sadar untuk pulang sendiri," kata Imelda dengan gaya bicara yang membuat siapa saja meragukan kesadarannya.
Imelda kembali menopangkan kepalanya ke meja mini bar. Kepalanya terasa begitu berat, membuat posisi seperti ini nyaman untuknya.
"Perlu saya bantu menelepon seseorang untuk menjemput Mbak" Sebentar lagi kami akan tutup."
Tidak mendapat reaksi memuaskan dari Imelda, si bartender menghela napas putus asa, menatap prihatin wanita yang dikenalinya sebagai model papan atas.
Hidup memang tidak sempurna, ada saja celah di dalamnya, bahkan dalam hidup orang yang selama ini dianggap si bartender berjalan sempurna.
Handphone di samping gelas-gelas kosong yang isinya sudah ditandaskan Imelda berdengung. Ragu-ragu si bartender mengambil handphone Imelda. Ditatapnya layar LCD handphone, berharap siapa pun yang nanti bicara dengannya bisa membantu membawa Imelda pulang.
*** Banyak hal yang dipikirkan Damara saat menunggu Imelda menjawab teleponnya. Sudah hampir tengah malam saat tiba-tiba manajer Imelda menelepon dan mengatakan Imelda menghilang dari lokasi pemotretan dan meminta Damara untuk bantu mencari.
Ini di luar perjan jian kerja sama mereka. Tugas pengacara yang disewa untuk menangani kasus perceraian jelas-jelas tidak mencakup tugas mengurusi kehidupan pribadi sang klien, terlebih di tengah malam seperti ini. Kalau bukan karena alasan kemanusiaan yang diikuti rasa tanggung jawab, Damara tidak akan pernah mau menghubungi ponsel kliennya tengah malam begini.
Ada yang menjawab telepon di seberang sana. Tapi bukan Imelda yang menjawabnya, suara laki-laki asing terdengar di telinga Damara.
"Maaf, benar ini ponsel Imelda"" tanya Damara hati-hati. Si penerima telepon membenarkan dan menjelaskan kenapa Imelda tidak bisa menerima telepon. Menurut penjelasan orang itu, Imelda mabuk berat dan butuh seseorang untuk membawanya pulang.
"Oke, saya segera ke sana," kata Damara akhirnya, sebelum menutup telepon.
Damara sudah menduga akan seperti ini. Apa lagi yang bisa dilakukan perempuan yang sudah terbiasa dimanjakan kemewahan saat mengalami masalah, selain mabuk-mabukan" Damara memakai sweternya, mengambil kunci mobil di meja kerjanya, kemudian bergegas keluar kamar.
*** Hanya beberapa langkah setelah memasuki restoran yang beberapa lampunya sudah dipadamkan, Damara langsung melihat Imelda dengan kepala terkulai di mini bar. Damara mempercepat langkahnya, menghampiri Imelda.
"Maaf, Mas, saya yang barusan telepon," kata Damara pada satu-satunya orang di mini bar yang dirasanya sebagai si penerima telepon.
"Oh iya, Mas, kebetulan saya nunggu Mas, kita belum bisa tutup kalau Mbak Imelda belum pulang," jelasnya.
Damara mendekati Imelda, berkali-kali memanggil nama Imelda sambil menepuk lengannya pelan, tapi Imelda bergeming. Wanita itu tetap memejamkan matanya, sudah tidak mampu membuka kelopak matanya.
"Baru belajar minum kayaknya, makanya baru minum beberapa gelas aja langsung begini," komentar orang yang pada name tag-nya tertera tulisan "Dayat". "Mas kayaknya harus gendong atau papah Mbak Imelda nih..." lanjutnya.
Damara mengikuti saran Dayat, ia mengalungkan sebelah tangan Imelda ke lehernya untuk mempermudah memapahnya. Sialnya, tubuh lemas Imelda seakan enggan diajak kompromi dan langsung merosot saat Damara berusaha menegakkannya.
"Digendong aja, Mas, kalo nggak bisa dipapah... Jangan khawatir, di sini area bebas wartawan infotainment."
Sambil menelan kekesalan pada pelayan cerewet yang hanya berkomentar tanpa membantu, mau tidak mau sekali lagi Damara harus membopong Imelda yang tak sadarkan diri dan membiarkan Imelda menempati kursi belakang mobilnya. Sekali lagi tanpa alasan yang jelas, Damara mau saja direpotkan dengan segala hal tentang Imelda.
Damara menepikan mobilnya tepat di depan minimarket yang buka 24 jam, setelah hampir setengah jam menyetir tanpa tujuan. Ia merasa perlu membangunkan Imelda, untuk tahu ke mana ia ingin diantar.
"Imelda, Imelda..." Damara memanggil Imelda, menepuk pelan pipi Imelda berusaha menyadarkannya.
Imelda bergerak pelan. Saat membuka mata, lengannya langsung terangkat untuk menghalangi cahaya yang menyilaukan matanya.
"Anda merasa lebih baik""
Imelda menurunkan tangannya, mata yang merah menatap lurus ke arah Damara, mengerjap-ngerjap seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Imelda buru-buru menegakkan tubuhnya saat yakin benar yang dilihatnya memang Damara.
"Anda... kenapa bisa ada di sini..." Saya ada di mana"" tanya Imelda, menoleh ke kanan dan kiri seperti orang linglung.
"Saya yang jemput Anda tadi."
"Jemput saya..." Bagaimana caranya Anda tahu saya..."
"Manajer Anda telepon, katanya Anda menghilang dari lokasi pemotretan dan tidak bisa dihubungi. Dia minta saya bantu mencari Anda. Saat saya coba telepon ke handphone Anda, ada laki-laki yang meminta saya untuk menjemput Anda di bar, karena mereka mau tutup."
Imelda menunduk, seakan malu dengan apa ynag baru saja dilaluinya.
"Saya sebenarnya masih bisa pulang sendiri, bartender di situ aja yang sok tahu."
Damara tersenyum melihat tingkah Imelda, ia sepenuhnya maklum kalau orang terkenal memang biasanya sulit mengakui kelemahannya.
"Bartender itu hanya khawatir Anda tid
ak bisa pulang sendiri. Lagi pula hal biasa kalau kita butuh bantuan orang lain setelah terlalu banyak minum," kata Damara maklum.
"Anda mau saya antar ke mana" Atau Anda mau saya telepon manajer Anda""
"Jangan... jangan telepon dia!" Imelda mendadak panik, tanpa sadar ia mencekal erat lengan Damara. "Tolong jangan telepon dia..."
Damara menjatuhkan pandangannya pada tangan halus Imelda yang memegangi lengannya, membuat Imelda mengikuti arah pandangan Damara lalu langsung melepaskan pegangannya.
"Maaf..." kata Imelda salah tingkah.
"Jadi sekarang saya bisa antar Anda ke mana"" tanya Damara lagi. "Ini sudah larut malam, hampir dini hari malah."
Imelda terdiam, memikirkan harus ke mana ia pergi untuk sekali lagi menghindar dari orang-orang yang ingin dihindarinya.
"Apa sebaiknya saya antar Anda kembali ke apartemen"" saran Damara.
"Jangan... saya nggak mau pulang ke apartemen malam ini."
"Jadi penyelesaiannya""
Imelda kembali diam, Damara menunggu seraya meredam rasa lelah dan kantuk yang menyerangnya.
"Kita ke hotel," Imelda berkata tiba-tiba. "Anda bisa antar saya ke hotel."
*** Suara dering handphone mengusik tidur Damara pagi ini. Mengabaikan dering handphone-nya, Damara memutar tubuhnya mencari posisi lebih nyaman di sofa yang ditidurinya. Lagi-lagi dering handphone itu terdengar. Dengan segala kekesalan Damara bangun, meraih handphone yang diletakkannya di atas meja di depan sofa dan me-reject panggilan yang membuat handphone-nya terus berbunyi.
Damara terduduk, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kembali memejamkan mata dan berharap dengan cara ini ia bisa menghilangkan rasa pusing akibat kurang tidur. Tapi itu tidak berlangsung lama, Damara tiba-tiba ingat mengapa ia berada di sini. Mata Damara langsung menyalang, menoleh ke tempat tidur yang semalam ditiduri Imelda. Dan sekarang, tempat tidur itu kosong.
Damara menyibakkan selimut tebal yang entah bagaimana bisa berada di atas tubuhnya, padahal seingatnya tadi malam ia hanya menyelimuti dirinya dengan sweter. Damara menebar pandangannya ke sekeliling kamar hotel mencari sosok Imelda, tapi nihil.
Ada secarik kertas tergeletak di atas meja, tepat di samping handphone miliknya. Damara mengambil kertas itu, membaca tulisan tangan di atasnya.
Tagihan kamar ini sudah saya selesaikan, jadi Anda tidak perlu repot mengurusnya sebelum pergi... Terima kasih, Anda sudah membantu saya membuat sedikit jeda dalam hidup saya. Sekarang jeda sudah berakhir, saatnya kembali ke kehidupan nyata.
Damara tersenyum membaca tulisan Imelda. Pandangannya lurus ke arah lengan yang memegangi kertas pesan dari Imelda, lengan yang semalam digenggam erat oleh Imelda. Rasanya begitu hangat saat Imelda memintanya untuk tetap tinggal menemani.
* * * - 10 - ANKA duduk di kursi kecil seraya menyandarkan tubuhnya dengan lelah ke tembok ruang karyawan. Matanya menatap lembaran surat administrasi rumah sakit yang berisi rincian tagihan perawatan ibunya.
Untuk kesekian kalinya Anka menghela napas berat. Angka-angka di surat tagihan yang dipegangnya membuatnya serasa sesak. Anka mengusap keringat dingin di dahinya, sejak pagi tadi ia sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dan semakin tidak beres setelah ia mellihat jumlah tagihan yang harus dibayar.
"Ka, dicariin Mas Abner tuh," tegur Ourel, teman kerja part time Anka saat memasuki ruang karyawan. "Kayaknya dia butuh orang buat di depan."
Dengan sisa tenaganya, Anka menegakkan tubuhnya dan kembali menyeka keringat dingin di dahinya.
"Lo sakit ya, Ka" Muka lo pucat banget." Ourel memperhatikan wajah Anka. "Kalo sakit izin pulang aja ke Pak Rio..."
"Nggak apa-apa kok, gue cuma kurang tidur doang." Anka tersenyum kaku pada Ourel, meyakinkan temannya bahwa ia baik-baik saja. "Gue ke depan dulu ya."
Anka beranjak dari kursi yang didudukinya sambil melipat surat tagihan rumah sakit dan memasukkannya ke saku kemeja kerjanya. Kaki lemasnya melangkah, kembali ke rutinitas yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengeluhkan rasa sakitnya.
*** Danu kembali mena tap Anka cemas. Sejak keluar dari kafe, wajah Anka terlihat begitu pucat. Langkahnya lunglai dan sempoyongan terkesan memaksakan diri untuk tetap melangkah.
"Ka, lo nggak apa-apa..." Kita naik taksi dari sini aja ya, nggak usah jalan ke halte bus," kata Danu, semakin cemas melihat keadaan Anka.
"Nggak usah, Nu, gue masih kuat jalan ke halte kok. Lagian dari sini ke rumah sakit lumayan jauh, kalo naik taksi bisa berapa ongkosnya."
"Gue yang bayar, Ka. Tenang aja, gue baru dapet uang jajan bulanan dari Kak Damara."
Anka mengulas senyum lemah. Terus berjalan pelan menyusuri trotoar menuju halte. Danu sadar, jika Anka tidak mengatakan apa-apa seperti ini, tandanya Anka menolak usulnya. Mau tidak mau Danu terpaksa menyerah, mengikuti Anka sambil mengamati langkah Anka dari belakang. Untuk beberapa saat Danu bisa melihat Anka berhasil membuat dirinya berjalan layaknya orang normal, tapi itu tidak berlangsung lama, baru beberapa meter saja langkah Anka sudah mulai limbung.
"Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Lo tuh sakit, Ka... Kenapa sih nggak mau dengerin gue" Kita naik taksi aja, biar lo cepet sampe terus bisa istirahat. Lagian ini juga udah malam banget," tegas Danu, seraya memapah Anka.
"Halte kan tinggal dikit lagi, Nu. Jalan sebentar juga nyampe, entar di bus gue baru tidur."
Lagi-lagi tanpa bantahan Danu mengikuti keinginan Anka. Kini ia berjalan di samping Anka, memegang erat lengan Anka untuk menguatkan langkah limbungnya. Selangkah lagi dari halte, Danu merasakan beban tubuh Anka semakin berat, Danu segera mendudukkan Anka di bangku halte yang kebetulan kosong.
"Ka... lo kenapa, Ka"" tanya Danu panik, terlebih saat Anka tidak merespons pertanyaannya dan kepalanya malah terkulai ke bahu Danu. Danu menepuk pelan pipi Anka, berharap dengan cara ini Anka bisa bereaksi. "Ka, lo masih bisa denger gue, kan""
"Masih..." sahut Anka lemah. "Nanti nggak usah panik kalo gue nggak jawab omongan lo ya, biarin aja gue begitu sebentar..."
Usai berkata-kata, tangan Anka yang berada di genggaman Danu melemah, kepala Anka semakin terkulai di bahu Danu dengan keringat dingin membasahi dahinya. Wajah Anka terlihat begitu pucat, gadis ini jelas tidak sadarkan diri sekarang. Fisik Anka rupanya sudah tidak kuat dipaksa menanggung beban yang seharusnya belum ia pikul.
Danu merangkul tubuh Anka, mengeratkan genggamannya ke tangan dingin Anka, berharap ia bisa melakukan lebih dari ini. Tanpa tertahan air mata Danu mengalir pelan di pipinya. Sakit rasanya melihat Anka harus menjalani hidup seperti ini, sementara dirinya sebagai orang terdekat Anka sekarang ini hanya mampu duduk diam tanpa melakukan apa pun untuk gadis yang sekarang benar-benar membutuhkan pertolongan. Padahal selama ini selalu ia katakan dalam hati, bahwa Anka gadis yang sangat berarti baginya. Danu sangat menyesal, tidak bisa menjadi sosok dewasa yang bisa melakukan sesuatu untuk membantu dan melindungi orang yang ia sayangi.
*** Hampir lima belas menit Danu membiarkan Anka tak sadarkan diri, terkulai di bahunya. Lima belas menit terlama yang pernah dilalui Danu dalam hidupnya. Kepanikan mulai menjalari Danu. Ia jelas tidak bisa tetap di sini, ia harus membawa Anka ke tempat yang lebih baik. Seakan menjawab kepanikan Danu, tiba-tiba Honda CR-V silver berhenti di depan halte.
"Nu, kamu lagi ngapain di situ"" tegur Damara masih di belakang kemudinya.
Danu mendongak cepat saat mendengar suara Damara.
"Kak, tolong... Anka pingsan!"
"Pingsan"" Damara segera turun dari mobil dan berlari menghampiri Danu. "Kenapa Anka bisa pingsan di sini"" tanya Damara seraya meraih Anka dari sandaran Danu, membopong gadis itu, lalu membaringkannya di jok belakang.
"Anka sakit, Kak. Tadi kami lagi jalan ke halte bus, mau pulang. Trus dia tiba-tiba pingsan."
"Kenapa nggak telepon Kakak sih, Nu" Kan bisa jemput kalian, kalau kayak gini sakit Anka bisa makin parah!"
Danu tidak menginterupsi kata-kata Damara, ia sadar apa yang dikatakan Damara benar, andai saja tadi ia menelepon Damara, tidak perlu membiarkan Anka menderita terlalu lama.
"Kita b awa Anka ke rumah aja. Nanti Kakak telepon Dokter Arman untuk periksa Anka."
Danu hanya mengangguk menanggapi ucapan Damara. Apa pun yang akan dilakukan Damara untuk kebaikan Anka, ia hanya bisa mengiyakannya.
*** Danu duduk di sisi tempat tidurnya, menatap Anka yang masih terbaring lemah. Damara dan Dokter Arman baru saja keluar dari kamarnya. Danu bersyukur, setidaknya kali ini ia bisa menjadi sahabat yang berguna buat Anka. Saat Danu merapikan selimut yang menutupi tubuh Anka, ia melihat ada lipatan kertas menyembul dari saku kemeja Anka. Hati-hati Danu mengambil kertas itu dan membukanya. Tagihan rumah sakit, Danu jelas mengenali kertas tersebut, karena pernah melihatnya. Tapi ini bukan tagihan rumah sakit yang dulu pernah dilihatnya, ini tagihan yang baru, tampak dari tanggal yang tertera di pojok atas.
Danu menghela napas panjang, kembali menatap wajah Anka yang pucat. Sedikit-banyak surat tagihan ini pasti membebani pikiran Anka. Danu membelai lembut rambut Anka, seraya berkata lirih, "Gue emang nggak bisa bantu lo apa-apa untuk soal ini, tapi gue bakal selalu ada untuk lo, Ka..."
*** Keesokan harinya saat Anka membuka matanya, ia melihat Danu tertidur di lantai karpet, kepalanya menelungkup ke sisi tempat tidur yang ia tiduri. Anka menatap ke sekeliling, ia tahu sedang berada di kamar Danu. Rupanya tadi malam Danu membawanya ke sini. Anka menghela napas pelan, ia pasti sudah menyusahkan Danu. Anka menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya, bergerak hendak bangun dari tempat tidur.
"Lo udah bangun, Ka"" Danu tersentak. "Udah baikan""
Anka tersenyum menanggapi rentetan pertanyaan dari sahabatnya.
"Gue udah nggak apa-apa. Sori ya, semalem gue pasti ngerepotin lo," kata Anka, seraya merapikan tempat tidur. Setelahnya, Anka meraih tasnya yang semalam diletakkan Danu di atas meja belajar.
"Lo mau ke mana, Ka"" tanya Danu melihat apa yang dilakukan Anka. "Jangan bilang lo mau pergi."
"Gue harus ke rumah sakit, kasihan Ibu. Semalam seharusnya gue di sana nemenin dia."
"Tapi lo kan masih sakit," kata Danu, dengan sigap mendekati Anka. "Paling nggak, lo harus sarapan dan minum obat dulu, baru pergi. Nanti gimana kalo lo pingsan kayak semalam""
"Jangan lebay deh. Udah ya, Nu... Gue jalan dulu." Anka melangkah menuju pintu, tangannya sudah meraih tangkai pintu saat Danu tiba-tiba bicara.
"Anka, ini surat tagihan rumah sakit dari kantong lo. Sori, gue nggak sengaja lihat."
Anka membalikkan tubuhnya, kembali melangkah mendekati Danu dengan wajah murung.
"Gue tahu, lo nggak cerita soal tagihan ini sama gue karena lo yakin gue nggak bakal bisa bantu, kan"" Danu menolak memberikan surat tagihan itu pada Anka.
"Bukan gitu, Nu, gue nggak mau bikin lo ikut pusing sama urusan kayak gini. Gue udah terlalu banyak nyusahin lo."
"Gue kan udah pernah bilang, kalo gue bakal selalu ada buat bantuin lo. Lagian kan kita udah sepakat buat cerita apa aja, termasuk soal beginian," tuntut Danu, menatap tegas ke arah Anka. "Tapi sekarang lo malah sok kuat, nggak mau gue tahu masalah lo."
Anka sudah membuka mulut siap membantah semua ucapan Danu, saat terdengar suara ketukan di pintu kamar disusul kemunculan Damara.
"Sori, Kakak nggak bermaksud ganggu kalian, tapi Kakak telanjur dengar apa yang kalian ributkan. Keberatan kalau Kakak bantu cariin jalan keluar""
Maka di sinilah mereka sekarang, duduk bertiga mengelilingi meja bundar di beranda belakang rumah. Untuk beberapa saat, baik Danu maupun Anka lebih banyak diam, masing-masing sepertinya memiliki pikiran sendiri yang membenarkan sikap mereka. Hanya Damara yang duduk menempatkan dirinya sebagai penyelesai masalah.
"Semalam, Kakak sudah dengar masalah tagihan rumah sakit ibu kamu dari Danu..." ujar Damara membuka pembicaraan serius mereka. Anka menatap marah ke arah Danu, tidak habis pikir Danu bisa menceritakan semua ini pada kakaknya. "Dan kalau kamu nggak keberatan, Kakak bisa bantu cariin solusinya..." lanjut Damara yang langsung dipotong Anka.
"Nggak perlu, Kak... Saya nggak mau ngerepotin. Kakak sama Danu udah te
rlalu banyak bantu saya."
"Kalau memang kita berdua udah banyak bantu kamu, apa itu berarti kita sudah nggak boleh bantu kamu lagi"" tanya Damara santai.
"Bukan begitu, Kak..." sanggah Anka, salah tingkah. "Saya nggak enak kalau terus-terusan bikin repot Kak Damara sama Danu."
Damara mendekati kursi yang diduduki Anka, meraih tangan Anka dan tersenyum lembut, membuat Danu yang melihatnya entah mengapa jadi merasa tidak nyaman. "Buat Kakak dan Danu, Anka bukan orang lain. Kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri," ujar Damara, lagi-lagi dengan kelembutannya.
"Tapi, Kak... saya..."
"Oke, sekarang dengar dulu jalan keluar yang Kakak tawarkan, setelahnya kamu boleh memutuskan menerimanya atau tidak." Damara kembali ke posisi semula, ke posisi yang membuat hati Danu mendesah lega. "Kakak punya cara agar kamu bisa mendapatkan uang sendiri untuk membayar tagihan rumah sakit ibumu."
"Cara apa, Kak"" tanya Anka mulai terdengar antusias, menyuarakan pertanyaan yang hampir sama di kepala Danu.
"Begini... salah satu klien Kakak, warga negara asing asal Italia, sedang mencari rumah sewaan yang akan ditempatinya selama mengurus perceraian dan hak asuh anak di Indonesia. Kalau kamu mau, kamu bisa sewain rumahmu dan uangnya bisa digunakan untuk biaya rumah sakit ibu kamu."
"Sewain rumah, Kak"! Lalu... saya tinggal di mana kalo rumah disewain"" tanya Anka bingung mendengar usulan Damara. Danu pun berpikiran sama.
"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini," kata Damara santai, tersenyum saat melihat ekspresi tercengang Anka dan Danu.
"Maksud Kakak, Anka tinggal sama kita"!" gantian Danu yang menyangsikan ucapan kakaknya.
Damara mengangguk, seolah-olah apa yang baru ia katakan memang tidak perlu mendapat reaksi yang berlebihan.
"Kakak rasa ini solusi paling bagus untuk masalah Anka. Anka bisa dapat uang untuk bayar tagihan rumah sakit ibunya dan dia bisa aman tinggal di sini sama kita."
Baik Anka maupun Danu, sama-sama terdiam. Keduanya tampak tidak tahu harus berpendapat apa tentang usul Damara. Anka berpikir apa yang dikatakan Damara memang merupakan penyelesaian terbaik untuk masalahnya, terlepas dari perasaan tidak enaknya, terlepas dari segala hal yang mengganjal pada dirinya.
"Kamu nggak keberatan kan, Ka, tinggal di sini sama kami""
Anka tidak menjawab, untuk sepersekian detik Danu mengira Anka akan mengatakan keberatan, tapi ternyata jawaban Anka mengejutkan. "Saya setuju, Kak. Saya mau tinggal di sini selama rumah saya disewakan, tapi sebagai kompensasinya izinkan saya ngerjain semua pekerjaan di rumah ini ya, Kak," pinta Anka.
"Sebenarnya kamu tidak perlu melakukan itu semua, tapi untuk kenyamanan dan segala pertimbangan yang kamu buat sendiri, kamu boleh melakukan apa saja di rumah ini," jelas Damara. "Jadi, hari ini Kakak akan menemui klien itu dan mengurus semuanya. Kalau semua berjalan lancar, mungkin beberapa hari lagi kamu sudah harus siap-siap pindah ke rumah ini."
Anka mengangguk menanggapi perkataan Damara, sepertinya di antara mereka berdua sudah terjadi kesepahaman yang tidak melibatkan Danu di dalamnya.
"Oke, kalau begitu Kakak jalan dulu. Nanti selesai sarapan, dan kalau kamu sudah cukup kuat, kamu bisa bantu Danu ngerapiin kamar tengah yang akan jadi kamar kamu."
"Iya, Kak. Terima kasih banyak."
Damara berjalan meninggalkan beranda belakang, meninggalkan Danu yang masih tercengang dengan keputusan yang diambil kakaknya dan Anka.
"Ka, beneran lo mau tinggal di sini"!" tanya Danu, ingin lebih memastikan.
"Iya, beneran. Lo nggak keberatan, kan""
"Nggak, sama sekali nggak! Gue cuma nggak nyangka aja lo mau terima usul Kak Damara."
Anka menghela napas lelah, menyunggingkan senyum getir di wajahnya.
"Ini jalan keluar terbaik yang bisa gue dapatkan, Nu. Gue bisa bayar tagihan rumah sakit dari uang sewa rumah, itu lebih baik daripada gue harus jual semua barang yang ada di rumah," jelas Anka. "Ditambah lagi gue ngerasa dapet bonus waktu Kak Damara nawarin gue tinggal di sini. Gue nggak harus ngeluarin uang buat tempat tinggal dan makan. Apa l
agi yang lebih baik dari semua ini""
Danu tidak tahu harus senang atau harus bagaimana menanggapi rencana kepindahan Anka ke rumah mereka dan tinggal bersama. Ia sadar keputusan yang diambil kakaknya jelas sangat baik, hanya saja... ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Sesuatu yang dengan segera akan ia hilangkan.
* * * "Memakai dasi itu tidak akan mengusik harga diri Anda di depan saya," - Imelda
* * * - 11 - SUDAH dua hari ini Anka tinggal di rumah Danu, ia menempati kamar kosong yang terletak di antara kamar Damara dan Danu. Tidak banyak perbedaan yang terjadi dalam kehidupan Danu setelah Anka tinggal di rumahnya. Danu hanya bisa menemui Anka di pagi hari saat mereka sarapan dan sama-sama berangkat sekolah. Selebihnya Anka lebih banyak menghabiskan waktu dengan kesibukannya. Sepulang sekolah ia bekerja paruh waktu di kafe, dan pulang kerja Anka langsung berangkat ke rumah sakit dan menginap di sana untuk menjaga ibunya.
"Hari ini pulang kerja langsung ke rumah sakit lagi, Ka" Lo nginep di sana lagi"" tanya Danu, saat mereka menunggu Metromini di halte sepulang sekolah.
Anka mengangguk pelan, matanya tetap menekuri buku paket Kimia yang coba ia pahami di tengah bisingnya suasana jalan raya.
"Sesekali tidur di rumah aja, Ka. Di rumah sakit kan lo nggak bisa istirahat dengan nyaman. Tambah lagi sekarang lagi musim ulangan, lo mana bisa konsentrasi belajar""
"Gue juga penginnya bisa istirahat di tempat yang nyaman, Nu. Tapi mau gimana lagi, Ibu kan nggak ada yang jaga... Lagian gue juga udah biasa kayak gini." Anka buru-buru memasukkan buku paket Kimia ke ranselnya, lalu bangun dari tempat duduknya saat melihat Metromini di kejauhan. Danu berdiri menjajari Anka.
"Lo mau ke mana, Nu""
"Gue mau... eh, mau ke rumah temen!" jawab Danu asal.
Anka mendengus mendengar jawaban Danu. "Temen yang mana lagi" Kemarin waktu lo bareng sama gue juga mau ke rumah temen, masa tiap hari" Udah, lo nggak usah cari alesan lagi deh buat nemenin gue ke tempat kerja. Gue udah biasa kok jalan sendiri."
Danu gelagapan, tidak bisa menjawab. Benar kata Anka, ia memang selalu mencari alasan agar bisa mengawal Anka berdesakan di Metromini setiap kali berangkat kerja.
"Nggak usah kayak gitu, Nu. Gue bisa sendiri kok. Gue takut manja kalo lo terus ada baut gue. Selain gue kan lo masih punya banyak temen lain. Mereka mungkin kehilangan lo, karena lo lebih sering sama gue."
Danu membuka mulut, siap memprotes dan menyanggah semua ucapan Anka, tapi Metromini yang akan dinaiki Anka sudah menepi di depan mereka.
"Gue jalan dulu ya, Nu. Lo nggak usah jemput, gue bisa pulang sendiri!" seru Anka.
Sosok Anka hilang di antara penumpang Metromini yang berjejalan, membuat Danu tidak punya kesempatan mengatakan apa pun.
*** "Mar, kamu punya CD kosong nggak" Aku mau mindahin data, tapi flashdisc-ku ketinggalan di rumah," tanya Cakka, teman sekantor Damara.
"Ambil aja di laci," jawab Damara tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputernya.
Cakka menunduk, membuka laci meja kerja Damara.
"Eh, ini bungkusan apa, Mar"" tanya Cakka seraya mengeluarkan kotak kecil terbungkus rapi. "Kamu ulang tahun, ya""
"Nggak, ini bukan apa-apa..." Damara segera mengambil kotak tersebut dari tangan Cakka dan memasukkannya kembali ke laci.
"Wah, pasti ada apa-apanya tuh! Kamu sampe salah tingkah begitu... Kado dari cewek ya, Mar" Siapa sih, Mar, klien ya" Jangan-jangan dari Imelda""
"Udah, udah... balik sana ke ruanganmu. Aku lagi banyak kerjaan nih," sergah Damara.
"Ah, belagu kamu, Mar," cibir Cakka, "mentang-mentang dapet klien cantik!"
"Sirik ya" Gara-gara kamu cuma dapat klien ibu-ibu yang ngeributin harta gono-gini sama suaminya melulu"" ledek Damara.
"Ya namanya juga nasib, Mar. Kalau wajahku kayak kamu, pasti aku dapat klien model sekelas Imelda juga," kata Cakka setengah mengeluh. "Aku balik ke ruangan deh, thanks nih CD-nya."
Damara mengangguk dan kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya di layar komputer, tapi sedikit interupsi yang dilakukan Cakka tadi sempat mengacaukan konsentrasin
ya. Damara membiarkan pikirannya sejenak terlepas dari pekerjaannya dan menjatuhkan pandangan ke laci meja. Tangannya terulur menarik laci dan mengambil kotak hadiah yang tadi ia coba sembunyikan dari Cakka.
Seperti tebakan Cakka, kotak hadiah itu memang dari Imelda, tadi siang kurir suruhan Imelda yang mengantarkannya. Damara sendiri kurang paham mengapa Imelda merasa perlu memberikan hadiah dasi bermerek lengkap dengan penjepitnya. Di kartu yang ditemukan Damara di dalam kotak, Imelda hanya menuliskan kalimat singkat, "Terima kasih untuk semuanya."
Damara kembali memasukkan kotak hadiah itu ke laci. Bangun dari tempat duduknya dan melangkah ke arah dinding kaca di ruang kerjanya, Damara mendongak menatap langit, seakan ingin mengalihkan semua kelelahannya.
*** "Maaf, saya tidak bisa menerimanya. Hadiah ini terlalu mahal bagi saya." Damara menyodorkan paper bag yang diletakkannya di atas meja kafe ke arah Imelda yang duduk di depannya. Paper bag itu berisi hadiah yang dikirimkan Imelda. Damara memutuskan mengembalikannya pada Imelda.
"Kenapa bisa begitu" Ini semata-mata tanda terima kasih karena Anda sudah membantu saya malam itu. Harganya tidak seberapa dibanding bantuan Anda," sanggah Imelda.
Damara tersenyum kecil mendengar ucapan Imelda, dan sepenuhnya bisa memahami pemikiran wanita itu. "Saya sangat menghargai niat baik Anda, tapi saya tidak mengharapkan imbalan apa pun untuk semua yang saya lakukan."
"Intinya Anda nggak mau terima niat baik saya, kan""
"Bukan begitu, saya hanya tidak bisa menerima barang-barang berharga ini."
Imelda mengambil kotak dari dalam paper bag dan mengeluarkan isinya. Di luar dugaan, ia berjalan mendekati Damara dan melepaskan dasi yang sedang dipakai Damara. Dengan cekatan, Imelda memasangkan dasi yang dihadiahkannya ke kerah kemeja Damara.
"Nah, begini kan terlihat labih baik dari yang tadi," kata Imelda seraya tersenyum lebar, lalu ia memasangkan penjepit pada dasi yang baru dipakaikannya pada Damara. "Sempurna..."
Damara menatap heran pada Imelda, terkejut akan aksi Imelda yang tiba-tiba. Damara berniat melepaskan dasi yang baru saja dipakaikan Imelda, tapi Imelda mencekal tangannya.
"Memakai dasi itu tidak akan mengusik harga diri Anda di depan saya," kata Imelda.
Damara tidak lagi membantah, senyum sempurna yang menghiasi wajah Imelda membuatnya menurut seakan terhipnotis.
"Terima kasih, Anda bersedia menerima maksud baik saya," pungkas Imelda sebelum kembali ke kursinya.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Nu, lo dipanggil Pak Kusuma," beritahu Andro, saat baru saja kembali dari kantin.
"Ngapain Pak Kusuma manggil gue ya"" tanya Danu heran, seraya menutup buku paket bahasa Prancis yang sedang dibacanya.
"Mana gue tau... Lo samperin aja sono," jawab Andro tak acuh. "Eh, pinjem PR bahasa Jepang lo ya, gue lupa ngerjain nih." Tanpa menunggu persetujuan Danu, Andro mengeluarkan sendiri buku PR dari tas Danu. Sementara Danu masih bertanya-tanya dalam hati, ada apa guru bahasa Indonesia memanggilnya.
*** Danu keluar dari ruangan Pak Kusuma. Banyak hal yang dipikirkannya setelah pembicaraan yang lumayan panjang dengan guru bahasa itu. Ulah Andro yang membuat puisinya tayang di mading sekolah membawa cerita baru. Dan apa yang didengarnya dari Pak Kusuma, guru bahasa Indonesia, entah dengan cara ajaib macam apa puisinya dinobatkan sebagai salah satu nominasi penghargaan sastra.
Tanpa sepengetahuan Danu, Pak Kusuma mendaftarkan puisinya untuk mengikuti ajang tahunan tersebut. Dengan tak terduga, puisi karya Danu bertahan dalam 10 Nominasi Puisi Terbaik karya Penulis Muda. Ini jelas di luar dugaan dan sangat mencengangkan sebenarnya untuk Danu, sebab saat menulis puisi itu ia tidak punya pikiran bahkan harapan untuk mendapat pencapaian setinggi ini.
"Kenapa Pak Kusuma manggil lo, Nu" Nilai lo turun ya"" Andro memberondong dengan pertanyaan saat Danu kembali ke kelas.
Danu tidak menjawab. Ia mendudukkan diri di bangkunya, bingung harus mulai menjelaskan dari mana.
"Kok malah jadi diem" Lo nggak ada masalah apa-apa, kan""
Setelah menghela napas, pelan
-pelan Danu mulai menceritakan kabar yang barusan didengarnya dari Pak Kusuma.
Berbagai ekspresi terkejut, takjub, dan tidak percaya ditunjukkan Andro saat mendengar cerita Danu. "Gila! Lo hoki banget tuh, Nu... Lo harus terima kasih tuh sama gue!"
"Hoki apaan" Gue aja belum tahu itu termasuk hoki apa bukan," kata Danu datar.
"Ya hokilah! Bego banget sih lo. Kalau tuh puisi udah jadi nominasi di ajang penghargaan sastra, berarti puisi lo oke banget... Gila nih, nggak kebayang temen gue bakal jadi pujangga..." Pandangan Andro tiba-tiba menerawang, seakan ia sedang membayangkan Danu duduk di padang rumput hijau dengan penampilan khas seniman klasik sedang mencoba merangkai kata menjadi puisi indah.
Danu menoyor kepala Andro, membuyarkan apa saja yang mungkin dibayangkan otak udang itu. "Kebanyakan mengkhayal lo. Mana buku PR gue, udah selesai nyontek belum""
"Sialan lo, noyor-noyor kepala gue. Emak gue aja yang ngasih makan gue nggak pernah noyor, songong lo sama yang lebih tua..."
"Alah, cuma lebih tua tiga bulan aja ribet lo."
"Biar cuma tiga bulan, tetap aja gue lebih tua dari lo," gerutu Andro.
Seraya menertawakan Andro, Danu kembali memikirkan ajang penghargaan yang disebut-sebut bergengsi oleh gurunya. Masih terlalu bingung untuk mengartikan apakah kabar yang didengarnya akan membawa sesuatu yang baik atau tidak untuknya.
*** Imelda duduk menghadap kaca besar di ruang makeup, bersiap-siap melakukan peragaan busana di sebuah hotel bintang lima ternama di Jakarta. Wajahnya dalam pantulan cermin tak henti-hentinya mengguratkan senyum.
"Kenapa sih, cin, dari tadi akika perhatiin yey mesem-mesem mulu"" tanya makeup artis yang biasa memoles wajah Imelda sebelum berjalan di catwalk.
"Mau tahu aja deh," jawab Imelda masih dengan wajah semringah.
"Segitunya... oke deh ditelen sendiri aja bahagianya kalo nggak mau bagi-bagi!"
Si makeup artis nyentrik yang lebih suka dipanggil Ferra meski nama aslinya Ferry manyun seraya melanjutkan pekerjaannya. Sementara Imelda, yang seperti kata Ferra, menyimpan sendiri alasan yang membuatnya begitu bahagia kembali mengulas senyum. Bayangan ekspresi wajah Damara saat ia memakaikan dasi pemberiannya menambah lebar senyum yang tersungging di wajah cantiknya.
*** "Ka, sebelum pulang kamu bisa tolong antar delivery order buat kantor atas, kan"" tanya Rio, saat Anka keluar dari ruang karyawan bersiap untuk pulang.
"Oh, bisa, Mas... diantar ke kantor mana""
"Ke kantor Damara, dia pesan cappucino sama tuna sandwich."
"Kak Damara masih ada di kantor"" tanya Anka heran sambil melihat jam tangan yang dipakainya.
"Katanya dia lembur malam ini... kamu cepat antar pesanannya, kasihan dia udah nunggu lama."
"Iya, Mas." Anka menenteng pesanan Damara yang diberikan Rio padanya, berjalan keluar kafe menuju kantor Damara.
Kantor Damara sudah sepi saat Anka tiba di lantai tiga. Hanya ada seorang security yang duduk di balik meja resepsionis. Setelah permisi dan menanyakan letak ruang kerja Damara pada sang security, Anka masuk ke kantor Damara. Sudah tidak ada siapa-siapa di dalam, hampir semua lampu di ruang kerja sudah dipadamkan. Hanya ada satu lampu ruang kerja yang masih menyala. Yakin bahwa ruangan itu adalah ruang kerja Damara, Anka mempercepat langkahnya.
Damara terlihat serius di depan laptop-nya, pandangannya fokus tertuju ke layar laptop yang entah menampilkan apa.
Anka mengetuk pintu ruang kerja Damara yang memang terbuka, menginterupsi Damara dari keseriusannya.
"Permisi, Kak, saya ke sini mau antar pesanan Kakak."
"Hai, Anka... Masuk, Ka..." Damara bangun dari kursinya dan berjalan menghampiri Anka. "Kamu belum pulang""
"Ini baru mau pulang, Kak. Tadi Mas Rio minta tolong saya untuk antar pesanan Kakak sebelum pulang."
"Sori ya bikin kamu repot," kata Damara sambil menyambut pesanannya dari tangan Anka.
"Kak Damara lembur ya"" tanya Anka.
"Sebenarnya nggak lembur sih, cuma ada sedikit pekerjaan yang belum selesai, sebentar lagi juga beres."
Anka mengangguk mengerti, matanya menebarkan pandangan ke seluruh
ruang kerja Damara. Ruang kerja yang menurut Danu menjadi rumah kedua bagi Damara, karena Damara lebih sering tidur di kantor ketimbang di rumah.
"Kamu pulang ke rumah atau ke rumah sakit, Ka"" tanya Damara sambil menyeruput cappucino-nya.
"Saya pulang ke rumah, Kak. Kelupaan bawa seragam sekolah," jelas Anka.
"Kalau gitu kita pulang bareng aja. Sebentar lagi kerjaan Kakak selesai kok."
"Saya bisa pulang sendiri, Kak, kalau Kakak masih banyak kerjaan."
"Nggak, nggak... sebentar lagi selesai kok. Lagi pula ini sudah terlalu malam kalau kamu pulang sendiri. Pokoknya kamu tunggu di sini aja, kita pulang sama-sama," tandas Damara.
Mengabaikan rasa tidak enaknya, Anka duduk di sofa yang tersedia di ruang kerja Damara, sementara Damara kembali ke meja kerjanya. Anka menyandarkan tubuh lelahnya ke sofa empuk yang didudukinya, melepas lelah sesaat selama menunggu Damara.
*** Damara menutup laptop-nya, sudah selesai menuntaskan pekerjaannya. Ia memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya sebelum beranjak. Damara tersenyum melihat Anka yang duduk tertidur di sofa. Ia menghampiri Anka dan duduk di samping gadis yang sepertinya tertidur begitu nyenyak. Gadis ini pasti sangat lelah menjalani semuanya. Ia masih terlalu muda untuk menanggung semua hal berat dalam kehidupannya. Wajahnya yang begitu polos harusnya masih diliputi senyum ceria khas remaja tanpa harus terbebani cobaan yang begitu berat.
"Anka... Bangun, Ka, kita harus pulang," kata Damara membangunkan Anka hati-hati.
Anka menggeliat, membuka matanya, lalu tersentak kaget saat melihat Damara duduk di sampingnya.
"Ma-maaf, Kak... saya ketiduran," kata Anka segera menegakkan posisi duduknya.
"Nggak apa-apa. Kamu pasti kecapekan. Ya sudah, kita pulang sekarang supaya kamu bisa segera istirahat."
Mereka sampai rumah tepat pukul sebelas malam. Danu keluar dari kamarnya saat mendengar suara pintu terbuka dan langsung menghampiri mereka berdua dengan tatapan heran.
"Kok lo bisa bareng Kak Damara, Ka"" Sedetik kemudian berpaling pada Damara menanyakan hal yang sama. "Kak Damara kenapa bisa pulang bareng Anka""
"Tadi Anka nemenin Kakak lembur, jadi kita pulang sama-sama," jawab Damara santai.
"Nemenin lembur gimana maksudnya""
"Tadi gue nganter pesanan ke kantor Kak Damara, terus sekalian nungguin Kak Damara lembur biar sekalian nebeng pulang," jelas Anka ekspresi ngantuk berat.
"Oh, gitu... Tadi lo SMS bilang sama gue mau pulang ke rumah sakit, kan""
"Nggak jadi," jawab Anka sekenanya, mulai jengah dengan pertanyaan Danu.
"Udahlah, Nu, nggak usah banyak nanya, kasihan Anka tuh, dia udah ngantuk berat. Biar dia masuk kamar supaya bisa istirahat."
Danu diam. Kata-kata Damara menghentikan keingintahuannya.
"Saya masuk kamar dulu ya, Kak. Nu, gue tidur dulu ya, besok gue baru cerita sama lo," pamit Anka sebelum berjalan meninggalkan Damara dan Danu.
Anka sebenarnya tidak bermaksud mengabaikan Danu, ia hanya terlalu lelah untuk menjawab semua hal sepele yang ditanyakan Danu barusan. Ia harus segera tidur agar punya cukup tenaga untuk kembali menjalani aktivitas yang begitu menguras tenaganya.
* * * "Lo nggak sengaja aja udah mau dapat penghargaan, gimana kalo lo bikinnya serius!" - Anka
* * * - 12 - "NU, lo tau nggak bakal dapet berapa kalo lo menang" Gue lihat di internet nih ya, pemenang penghargaan ini bakal dapet uang saku lima belas juta!" kata Andro dengan semangat mendekati Danu yang sedang duduk bengong di kursinya menunggu bel masuk berbunyi.
"Itu kan kalo gue menang," timpal Danu datar.
"Iya sih emang, tapi paling tidak lo termotivasi dan lebih semangat sebagai nominator penghargaan kayak gini, Nu!"
"Yaelah! Biasa aja kalee... Ntar kalo gue kelewat seneng dan ternyata nggak menang, gue kan bisa gila."
"Yah elo, Nu... emang susah banget ya diajak punya cita-cita! Eh, lo udah tau belum, malam penghargaannya kan minggu depan di Bandung. Lo dateng, kan""
"Kemarin Pak Kusuma sih udah bilang, tapi nggak tahu deh gue datang atau nggak. Acaranya di hotel bintang lima, malu gue..." jawab Dan
u. "Mesti dateng lo! Kapan lagi punya akses ke acara begituan" Siapa tau di sana lo ketemu orang penerbitan yang bakal minta lo bikin buku kumpulan puisi."
"Entahlah, Ndro... Lagian gue belum bilang sama Kak Damara."
"Hah"! Lo belum bilang sama kakak lo kalau lo mendapat nominasi penghargaan bergengsi kayak gini" Wah, kebangetan lo, Nu! Kalo gue jadi lo, gue udah umumin ke orang sekampung!"
"Belum sempet bilang, Ndro. Kak Damara sama Anka pulangnya malem terus," kata Danu, tiba-tiba lesu saat mengingat tadi malam Anka dan Damara pulang berdua. "Gue belum nemuin waktu yang pas buat bilang ke mereka. Lagian, kayaknya berita soal nominasi penghargaan sastra bukan berita yang hebat-hebat banget deh."
"Ah, terserah lo deh! Ribet ngikutin lo, kebanyakan pertimbangan."
Danu tertawa mendengar ucapan Andro. Benar yang dikatakan Andro, ia memang terlalu banyak pertimbangan. Danu bukannya tidak ingin memberitahukan apa yang bisa disebut sebagai prestasi pada orang-orang terdekatnya, hanya saja... Di tengah kesibukan kakaknya yang menyita waktu bahkan sampai tidak pulang, di tengah perjuangan yang harus dijalani Anka, Danu merasa amat sangat tidak berguna, dan prestasinya tidak berarti apa-apa.
*** Imelda dan manajernya duduk di sofa ruang kerja Damara. Siang ini Damara meminta Imelda datang ke kantornya sebelum besok mereka menghadapi sidang putusan kasus perceraian Imelda.
"Besok mungkin akan jadi persidangan terakhir untuk kasus perceraian Anda, kalau suami Anda tidak naik banding atau melakukan langkah lain yang menghambat putusan perceraian Anda," jelas Damara seraya membuka lembar-lembar berkas perceraian Imelda. "Apakah Anda sudah siap untuk persidangan besok" Mungkin wartawan yang datang akan lebih banyak dibanding kemarin-kemarin."
"Imelda pasti..."
"Saya siap!" Imelda lugas memotong ucapan si manajer yang ingin menggantikannya bicara seperti biasa.
Damara tersenyum melihat perubahan Imelda. Imelda pun membalas senyuman Damara, membuat si manajer yang selama ini selalu mendampingi Imelda bingung melihat mereka.
"Oke, kalau begitu tidak ada lagi yang perlu kita bahas. Semua sudah siap untuk besok," kata Damara akhirnya. "Terima kasih untuk kedatangannya, semoga tidak mengganggu kesibukan Anda."
Damara bangun dari sofa mengulurkan tangannya ke arah Imelda yang langsung dijabat oleh Imelda. "Sampai ketemu besok di pengadilan," ujar Damara mantap.
Imelda kembali tersenyum. Saat Imelda sedang merapikan berkas dan isi tasnya, manajer Imelda keluar lebih dulu dari ruang kerja Damara. Setelahnya Imelda mendekati Damara, pandangannya jatuh ke kerah kemeja yang dipakai Damara.
"Dasi itu cocok sekali untuk Anda," puji Imelda sebelum keluar.
Damara langsung menunduk, melihat dasi yang dipakainya. Tanpa disadarinya, hari ini ia memakai dasi pemberian Imelda. Pantas saja dari tadi ia merasa ada yang tidak beres dengan cara Imelda menatapnya, rupanya dasi ini penyebabnya.
*** Seperti biasa, di tengah sedikit waktu luangnya, Anka duduk di samping tubuh koma ibunya, menceritakan apa saja yang dialaminya sepanjang hari ini. Memang terkesan sia-sia bicara dengan orang yang sedang koma, tapi Anka yakin ibunya mendengar semua hal yang diceritakannya.
"Hari ini Anka dapet gaji pertama, Bu." Anka memulai ceritanya. "Uang pertama yang Anka dapet dari kerja keras dan keringat Anka sendiri."
Anka membelai lembut rambut ibunya, berharap rambut itu kembali tertata indah seperti dulu. "Anka pengin traktir Ibu dengan gaji pertama Anka, Bu..." Anka tersenyum getir, lagi-lagi tidak dapat menahan air mata di depan ibunya, meski sebenarnya ia tidak ingin menangis. "Tapi Anka baik-baik aja, Bu, Anka akan jadi anak yang kuat selama nunggu Ibu sembuh... Ibu nggak usah khawatir ya." Anka menghela napas pelan, menyeka air matanya, dan kembali tersenyum pada ibunya.
*** Anka masuk ke kamar Danu setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, berjalan menghampiri Danu yang sedang duduk di depan meja belajarnya dengan earphone terpasang di telinga. Anka melambaikan tangan di depan wajah Danu, mengumumkan
kehadirannya. "Eh, Ka, sori... gue nggak tahu lo masuk," kata Danu setelah melepas earphone-nya. "Ada apa, tumben ke kamar gue""
"Nih..." Anka meletakkan kotak kecil berbungkus rapi di atas meja belajar, di depan Danu.
"Apaan nih"" tanya Danu heran. "Ulang tahun gue kan satu bulan lagi."
"Itu hadiah buat lo, gue baru terima gaji pertama," jawab Anka tersenyum.
"Ya ampun, Anka, lo nggak usah kasih apa-apa buat gue. Mending duitnya buat yang lebih penting."
"Kasih hadiah buat lo penting buat gue. Lo udah sering banget bantuin gue, nggak salah kan kalo gue pengin kasih ucapan terima kasih."
"Tapi kebutuhan lo..."
"Udahlah... nggak ada salahnya kan kalo gue beliin sesuatu buat lo sama Kak Damara, karena gue juga pengin ada orang-orang yang bisa gue ajak berbagi. Lagian itu bukan barang mahal kok."
Danu berhenti berdebat. Bukan karena ia sudah menerima argumen Anka, tapi lebih karena Anka mengatakan bahwa ia juga membeli hadiah untuk Damara. Tadinya Danu sudah merasa istimewa saat Anka membelikan hadiah dengan gaji pertamanya, tapi ternyata bukan ia satu-satunya orang yang mendapat hadiah.
"Lo nggak pengin tahu isinya, Nu"" tegur Anka, setelah beberapa saat Danu terdiam.
Danu tersentak, kembali menatap kotak di tangannya. "Emang lo ngasih apa buat gue""
"Lo buka aja." Dengan antusias Danu membuka kertas pembungkusnya sambil bertanya-tanya dalam hati hadiah apa gerangan yang diberikan Anka padanya. Senyum Danu merekah saat melihat jam tangan berwarna hitam di dalam kotak hadiah tersebut.
"Wah, lo tahu aja jam tangan gue pecah pas olahraga kemarin."
"Tapi bukan jam mahal, Nu. Cuma jam harga tiga puluh ribuan. Jam lo yang pecah kan mahal, oleh-oleh Kak Damara dari Batam."
Danu mengabaikan kata-kata Anka, ia langsung memakai jam pemberian Anka.
"Gue lebih seneng pake yang ini. Keren! Selera lo lebih oke daripada Kak Damara," kata Danu tersenyum lebar. "Thanks ya, Ka."
"Sama-sama, Nu. Gue seneng lo suka hadiah dari gue. Kalo gitu gue balik ke kamar dulu, masih ada tugas yang belum gue kerjain."
"Eh, Ka, gue pengin ngomong bentar sama lo, bisa""
Akhirnya Danu punya kesempatan menceritakan soal puisinya pada Anka setelah menyimpan berita ini cukup lama.
"Ya ampun, Nu! Itu keren banget!" seru Anka takjub. Danu tersenyum malu, karena tersanjung dengan pujian Anka. "Gue nggak nyangka kalo selama ini lo punya bakat menulis puisi."
"Bakat nggak sengaja, Ka." Danu merendah.
"Lo nggak sengaja aja udah mau dapat penghargaan, gimana kalo lo bikinnya serius!"
"Cuma jadi nominasi doang," sanggah Danu. "Belum tentu menang juga. Lagian, gue jadi nominasi di kategori tambahan yang kelihatannya nggak penting dibanding lima kategori yang lain."
Anka merangkul bahu Danu seraya tersenyum lembut dan berkata, "Buat anak SMA yang baru sekali menulis puisi, itu termasuk prestasi yang hebat banget, Nu. Semangat dong!"
"Iya sih, tapi..."
"Udahlah, nggak ada salahnya menghargai dan bangga sama pencapaian yang lo raih. Masalah lo bakal menang atau nggak, itu urusan belakang. O ya, Pak Kusuma bilang nggak acaranya kapan""
"Minggu depan, di Bandung," jawab Danu.
"Acaranya di Bandung"!"
Danu mengangguk lesu, seakan dengan anggukannya ia menyatakan Bandung salah satu alasan mengapa ia malas datang ke acara penghargaan itu.
"Lo udah bilang sama Kak Damara soal ini"" tanya Anka lagi.
"Belum. Gue takut reaksi Kak Damara kayak lo sama Andro. Gue nggak mau ngasih kebanggaan yang belum jelas buat Kak Damara."
"Tapi lo harus bilang, Nu! Kak Damara orang yang paling seneng kalo tahu soal ini."
"Makanya gue takut cerita, gue nggak mau bikin Kak Damara kecewa kalo ternyata gue nggak menang dan dapat penghargaan itu."
"Kak Damara nggak bakal kayak gitulah... Dia terlalu bijak untuk ngerasa kecewa kalau lo nggak menang."
Danu menatap Anka lekat-lekat, bukan karena pernyataan Anka yang dirasa benar olehnya, tapi lebih karena kata-kata Anka mengenai kakaknya, terasa terlalu aneh di telinganya.
*** Ketukan palu hakim terdengar di ruang persidangan agama, menyertai
putusan cerai yang ditetapkan hakim untuk kasus perceraian Imelda. Damara yang duduk mendampingi Imelda menghela napas lega, akhirnya proses hukum yang alot ini berujung juga.
Suami Imelda, eh bukan, mantan suami Imelda, kali ini bersedia hadir di persidangan setelah sekian lama hanya mewakilkan segala hal pada pengacaranya. Lelaki itu terlihat tidak begitu senang dengan keputusan hakim. Setelah membisikkan sesuatu pada pengacaranya, ia bergegas pergi meninggalkan ruang persidangan dikawal beberapa pria kekar berseragam safari untuk menghalau para wartawan infotainment yang berusaha mewawancarainya.
Damara sempat melihatnya menjatuhkan pandangan sinis penuh ancaman ke arahnya dan Imelda sebelum berlalu. Untungnya Imelda tidak sempat melihatnya.
"Selamat ya, Mbak Imelda... Eh, maaf, seharusnya perceraian bukan hal yang pantas untuk diberi ucapan selamat," kata Damara serbasalah.
Imelda tersenyum mendengar perkataan Damara.
"'Selamat' adalah kata terbaik yang bisa Anda sampaikan sekarang," kata Imelda, nyaris tidak terdengar karena keriuhan wartawan mulai memenuhi ruang persidangan.
"Oke kalau begitu, selamat!" seru Damara seraya mengulurkan tangannya pada Imelda.
Imelda kembali mengulas senyum yang terlihat lega dan puas, seperti senyum yang biasa ia tampilkan di sampul-sampul majalah, menyambut uluran tangan Damara dengan kedua tangannya yang lembut. Dan di luar dugaan, tiba-tiba Imelda memeluk Damara. Seketika, semua sorot kamera para wartawan yang ada di ruang persidangan mengarah pada mereka, membuat Damara kelabakan. Di tengah sorotan dan jepretan kamera, Damara berusaha membuat Imelda melepaskan pelukannya, tapi tangan Imelda terlalu kuat merangkul pinggangnya.
"Bisa saya minta tolong sekali lagi..." bisik Imelda.
Damara menghentikan usahanya, sepenuhnya pasrah dengan semua rencana Imelda kali ini. Menggantikan usaha Damara, manajer Imelda mulai berusaha menarik lengan Imelda agar melepaskan pelukannya dari Damara, tapi tidak berhasil juga. Para wartawan semakin kalap mengabadikan momen berharga itu. Berita tentang Imelda yang memeluk erat pengacaranya di sidang putusan kasus perceraiannya pasti akan menjadi top news yang akan meningkatkan rating program acara mereka. Suasana di ruang pengadilan semakin kacau.
Jengah dengan suara jepretan kamera dan berondongan pertanyaan dari wartawan yang seketika mengerubungi mereka, Damara menarik Imelda keluar dari kerumunan wartawan. Berjalan secepat yang ia bisa dan keluar dari ruang persidangan bersama Imelda.
*** "Kelakuan Anda tadi seperti anak kecil." Damara menatap kesal pada Imelda di taman yang dulu pernah mereka singgahi saat Imelda pingsan di ruang sidang. "Anda tahu dampak seperti apa yang akan muncul setelah ini""
Imelda tidak menjawab, wajahnya menunduk menatap dedaunan kering di ujung kakinya yang terjuntai di bawah kursi taman yang didudukinya.
"Maaf... saat itu yang ada di pikiran saya hanya ingin membuat dia merasa kalah melihat apa yang saya lakukan tadi..."
"Dengan mengorbankan saya"!" sergah Damara, tidak percaya dengan alasan Imelda.
"Bukan seperti itu maksud saya... Saya hanya..."
"Hanya apa" Memanfaatkan saya agar mantan suami Anda cemburu dengan membuat sensasi murahan di depan semua wartawan"" potong Damara semakin kesal. Damara bangun dari duduknya dan berdiri membelakangi Imelda. Sekali lagi menghela napas panjang seakan dengan begitu ia bisa mengurangi rasa kesalnya.
"Saya antar Anda pulang sekarang. Saya tidak mau keadaan semakin sulit dengan membiarkan Anda terus berada bersama saya."
Damara berjalan menuju mobilnya, mengabaikan Imelda yang masih duduk di kursi taman.
"Apakah salah, kalau saya ingin membalas sakit hati pada orang yang begitu menyakiti saya"" Ucapan Imelda menahan langkah Damara.
"Salah, kalau melibatkan orang lain," sahut Damara setelah memutar tubuhnya menghadap Imelda.
Menatap Imelda yang tampak begitu nelangsa dengan berbagai hal yang berputar di kepalanya, dengan berat hati Damara melangkah kembali menghampiri Imelda, duduk di sebelah wanita itu, sementara hari
berangsur gelap. "Saya memang salah... Seharusnya saya mempertimbangkan reputasi Anda sebagai pengacara juga kehidupan pribadi Anda. Mungkin akan ada wanita yang menangis jika melihat saya memeluk Anda di tayangan infotainment... Saya benar-benar lupa mempertimbangkan hal itu," kata Imelda menampilkan wajah penuh penyesalan.
Wanita ini memang mahir sekali mengubah suasana hati lawan bicaranya. Tadi Damara begitu kesal dengan perbuatan Imelda, tapi sekarang, setelah melihat raut wajah memelas Imelda, Damara luluh, tidak tega.
"Sudahlah, hal itu nggak perlu dibahas sekarang. Kita lihat saja nanti," kata Damara melunak. "Sebaiknya saya antar Anda pulang, manajer dan keluarga Anda pasti khawatir dan sudah menunggu." Damara berdiri, sedikit mengulas senyum agar Imelda bersedia menuruti permintaannya.
Alih-alih mengikuti saran Damara untuk pulang, Imelda malah tetap duduk, bergeming.
"Bisakah sekali lagi Anda membantu membuat jeda sesaat dalam hidup saya..."" pinta Imelda lirih, seraya memandang Damara dengan tatapan penuh permohonan.
Damara terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjawab permintaan Imelda. Entah mengapa, tatapan Imelda membuatnya tidak sanggup mengatakan "tidak".
* * * - 13 - DAMARA tidak pernah menyangka efek kejadian kemarin di ruang persidangan akan seluar biasa ini. Baru satu langkah Damara memasuki kantornya, ia langsung diberondong pertanyaan dari rekan-rekan kerjanya. Berbagai tabloid gosip yang membuat berita tentang dia dan Imelda menggantikan koran pagi yang biasa dibaca teman-temannya.
"Sini, ikut aku!" perintah Cakka, seraya menarik tangan Damara masuk ke ruang kerjanya, menjauh dari penghuni ruangan yang siap menyambutnya dengan berbagai pertanyaan. "Kamu gila ya, Mar! Apa-apaan ini""
Cakka menyodorkan tabloid. Di halaman yang dibuka Cakka terpampang foto Damara dipeluk Imelda, satu halaman penuh! Dengan ekspresi tercengang Damara menyentakkan tabloid itu dari tangan Cakka, tidak percaya fotonya dengan headline "Cinta Segitiga Sang Model" dipajang di tabloid gosip terlaris di Indonesia.
"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Kka!" sanggah Damara.
"Terus sebenarnya kayak apa"" tanya Cakka tegas.
Damara tidak langsung menjawab, sulit baginya menceritakan kejadian sebenarnya, sekalipun pada rekan kerja terdekatnya yang sekaligus wakil ketua biro hukum tempatnya bekerja. Alasannya terlalu aneh untuk dijelaskan.
"Mar, kamu tahu kan, aku bukan orang yang suka mencampuri urusan pribadi teman kerja. Kamu bebas punya hubungan spesial dengan siapa saja. Tapi masalahnya, sekarang kamu justru diindikasikan punya skandal sama Imelda, klien yang sedang kamu pegang kasus perceraiannya!"
"Tapi, Kka, aku nggak ada hubungan apa-apa sama Imelda! Ini semua cuma gosip! Imelda memeluk aku spontan karena kelewat senang kasusnya selesai. Wartawan infotainment aja yang kelewatan dan suka melebih-lebihkan."
"Masalahnya bukan cuma benar atau tidaknya berita ini, Mar. Tapi sudah melibatkan reputasi biro hukum kita! Coba kamu bayangkan apa yang dipikirkan calon-calon klien kita saat melihat ini semua" Pengacara yang seharusnya membantu klien dalam kasus perceraian malah diindikasikan sebagai penyebab perceraian kliennya!"
Apa yang dikatakan Cakka memang benar. Damara seharusnya memikirkan hal ini sejak awal.
"Oke, Kka, aku ngerti maksud kamu. Aku janji akan menyelesaikan ini semua."
"Ya, aku percaya sama kamu, Mar. Sori kalau tadi aku kelewat keras sama kamu."
"Nggak masalah, aku ngerti kok," ujar Damara.
"Kalau kamu butuh bantuan untuk masalah ini, beritahu aku," kata Cakka menepuk bahu Damara. "Aku balik ke ruangan dulu."
Cakka keluar dari ruang kerja Damara, mengusir beberapa orang yang berdiri di depan pintu ruang kerja Damara yang tampaknya berusaha menguping. Damara mengenyakkan diri di kursi kerjanya, memejamkan mata sesaat untuk menghalau semua pikiran memusingkan di kepalanya.
Handphone Damara berbunyi di atas meja kerjanya, membuyarkan usaha Damara untuk menenangkan pikiran. Nama Anggun muncul di layar LCD handphone-nya. Anggun pasti su
dah melihat berita dugaan skandal Damara dengan Imelda di infotainment. Ia jelas menelepon untuk menuntut penjelasan. Mengabaikan dering handphone-nya, Damara bangkit dari kursinya dan melangkah gontai menuju dinding kaca ruang kerjanya. Biasanya dengan menatap ke luar melalui dinding transparan tersebut pikiran Damara lebih tenang dan akan menemukan solusi masalahnya. Tapi sayang, bukannya menemukan solusi, saat menatap ke luar Damara malah menemukan masalah baru. Di bawah gedung ia melihat sekitar sepuluh wartawan infotainment sudah siaga dengan kameranya, berkerumun menunggu sumber berita mereka, yang dapat dipastikan siapa orangnya.
*** Anka menatap dengan serius layar TV 14 inci di ruang karyawan, tercengang ketika wajah Damara muncul di sebuah acara infotainment bersama model cantik yang dikenali Anka sebagai Imelda Azizah, klien Damara. Ketercengangan Anka bertambah saat melihat adegan Imelda memeluk Damara di ruang persidangan. Entah mengapa jantung Anka berdetak kencang saat menyaksikan itu semua, ditambah lagi narator acara gosip yang menyatakan bahwa Damara diduga sebagai orang ketiga yang memicu perceraian Imelda, semakin membuat perasaan Anka tidak keruan.
"Itu kan pengacara yang sering ke sini," komentar senior wanita Anka yang kebetulan melihat sambil lewat. "Nggak nyangka ya wajah ganteng cuma dipake buat dapetin klien cantik."
Ingin rasanya Anka menyumpal mulut seniornya itu dengan lap meja yang dipegangnya agar tidak bicara sembarangan tentang Damara. Anka yakin sepenuhnya ini hanya kesalahpahaman. Damara tidak mungkin melakukannya. Damara terlalu baik untuk menerima semua tuduhan itu. Terlepas dari seberapa sering Damara mendapat klien wanita cantik, dan terlepas dari seringnya Damara terlihat bersama wanita-wanita cantik, Anka percaya Damara tidak mungkin menempatkan dirinya sebagai perusak rumah tangga orang lain.
*** Tidak jauh berbeda dari yang dialami Damara, apa yang dialami Imelda setelah segala macam pemberitaan itu menyebar, tidak kalah merepotkan. Manajer Imelda duduk di sofa apartemen Imelda dengan wajah stres berat. Ibu Imelda, yang selama ini selalu mengatakan pada semua orang bahwa ia begitu peduli pada anaknya, berdiri dengan muka masam sambil menyilangkan tangan, sesekali menatap ke arah Imelda dengan tatapan menyalahkan.
Tidak banyak yang bisa dikatakan Imelda menanggapi reaksi dari orang-orang yang menganggap diri mereka berjasa dalam perjalanan karier Imelda. Melihat semua reaksi menyalahkan itu, Imelda malah merasa senang. Puas rasanya membuat mereka kerepotan karena ulahnya.
"Kita harus buat press conference! Kita harus menjelaskan pada semua wartawan bahwa tidak ada apa-apa antara kamu dengan pengacara itu," tuntut Gita, wanita ambisius yang memanajeri Imelda sejak awal kariernya. "Kita harus mengundang semua media untuk meluruskan masalah ini. Reputasi kamu harus dikembalikan seperti semula sebelum klien-klien kita membatalkan kontrak mereka."
"Buat apa, Mbak" Gosip kayak gini dibiarin aja, nanti juga reda sendiri," sahut Imelda santai.
"Reda sendiri kamu bilang"! Perbuatan kamu kemarin bukan cuma menimbulkan gosip biasa, tapi skandal, Imelda!" sergah Gita. "Saat hakim memutuskan perceraianmu dan kamu malah memeluk pengacara di depan semua wartawan, itu seperti sengaja mencari sensasi untuk menutup sidang perceraian kamu..."
"Kamu terlalu gegabah, Mel! Sudah berapa kali Ibu pesan sama kamu untuk selalu menjaga sikap." Ibu Imelda ikut menimpali.
"Cari sensasi"! Jaga sikap"! Kalian memang nggak pernah ngerti apa yang aku rasain selama ini!"
"Maksud kamu apa sih, Mel" Kami semua orang terdekat kamu, kami ingin yang terbaik buat kamu."
"Terbaik buat aku"! Termasuk ngehancurin hidup aku dengan menikahkan aku sama laki-laki kayak Septian, begitu, Bu""
"Imelda, jaga mulut kamu!" bentak ibu Imelda. "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu sama Ibu."
"Ibu nggak terima aku ngomong kayak gitu sama Ibu, jadi Ibu masih berpikir Septian laki-laki yang paling tepat buat aku, kan""
Imelda bangun dari sofa, menatap sengit ke arah ibu dan manajer
nya yang seakan tidak percaya dengan ucapan Imelda barusan. Kali ini, untuk pertama kalinya mereka melihat Imelda membantah.
"Besok aku nggak mau menjelaskan apa-apa di depan wartawan!" tandas Imelda, memakai kacamata hitamnya lalu menyambar kunci mobil di atas meja sebelum berjalan menuju pintu apartemen.
"Kamu mau ke mana, Mel" Di luar banyak wartawan!" seru Gita putus asa.
Imelda tidak menggubris, kali ini ia tidak ingin mendengar apa pun dari orang-orang yang ia rasa sudah membuatnya lupa rasanya bahagia. Yang diinginkan Imelda sekarang hanyalah menajuh dari segala hal yang membuatnya tidak merasa seperti manusia.
*** Damara mendapati Imelda duduk di salah satu bangku taman yang agak jauh dari penerangan. Tubuhnya dibalut jaket hitam, mengenakan topi yang sengaja dipakai untuk menutupi wajahnya, seakan enggan dikenali siapa pun.
"Anda nggak takut duduk di sini sendirian"" tanya Damara, mengumumkan kedatangannya, seraya duduk di samping Imelda.
Imelda menoleh, tersenyum kecil saat melihat Damara duduk di sampingnya.
"Terima kasih, kamu mau datang."
"Saya rasa pasti ada hal yang penting kalau Anda sampai mau menunggu saya di tempat seperti ini..."
"Kita tidak berada di ruang persidangan, atau sedang bicara soal kasus di kantor, kan" Bisakah kata 'Anda' diganti dengan sapaan yang lebih santai""
"Oke, bisa saya coba," jawab Damara mengangguk sopan. "An... maksud saya, kamu... ada apa meminta saya untuk nemuin kamu di sini""
Imelda melepas topi hitam yang dipakainya, hingga rambut hitam sebahunya tergerai indah. Imelda menghela napas berat sebelum menoleh menatap ke arah Damara. "Kamu pasti melewati hari yang luar biasa merepotkan hari ini," Imelda mulai bicara. "Maaf, karena sikap saya kemarin semua jadi kacau, terutama untuk kamu yang biasa hidup tenang." Imelda menunduk. Dari raut wajahnya terlihat bahwa ia baru saja melewati hal yang begitu menyusahkan.
"Lumayan... sesekali ngerasain jadi selebriti menyenangkan juga, walaupun harus dapat teguran keras dari bos," kata Damara santai. "Kamu sendiri juga pasti melewati hari yang luar biasa."
Imelda mengulas senyum kaku, seakan apa yang diduga Damara memang benar adanya.
"Saya sudah terbiasa menjadi bahan berita. Dibilang cewek matre sampai diberitakan sebagai model yang bisa dibawa ke hotel, sudah pernah saya alami. Gosip ini terbilang ringan untuk ukuran saya," jelas Imelda, terdengar getir di telinga Damara. "Saya sudah mati rasa untuk ini semua, terlalu lelah... sampai saya sendiri lupa untuk merasa lelah."
Damara menatap Imelda prihatin, tidak pernah disangkanya akan seperti ini kehidupan seorang model terkenal.
"Tampil sempurna di depan publik adalah hal yang selalu mereka tuntut dari saya, tidak peduli apa yang sedang saya rasakan." Imelda memalingkan wajahnya dari Damara, berusaha menyembunyikan air mata yang terlihat sudah menggenang di matanya.
Damara tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi seperti ini, dengan ragu Damara mengeluarkan saputangan dari saku kemejanya, mengulurkannya pada Imelda. "Ini..." katanya pelan.
Imelda mengambil saputangan yang diberikan Damara, menyeka air matanya. "Terima kasih, maaf bikin kamu harus lihat saya seperti ini," kata Imelda sengau. "Kamu mungkin mikir saya wanita cengeng, yang langsung terpuruk saat dapat cobaan kayak gini. Saya sebenarnya malu terlihat seperti ini di depan kamu, kamu sudah terlalu sering melihat saya terpuruk..."
"Kenapa harus malu" Semua orang pernah melewati masa-masa sulit, itu sangat manusiawi," kata Damara, berusaha membesarkan hati Imelda. "Walaupun kamu model terkenal yang selama ini selalu tampil sempurna, kamu tetap manusia biasa yang akan sakit dan terpuruk jika terluka terlalu dalam."
Imelda menatap Damara lekat-lekat, membuat Damara merasa sedikit jengah dan tidak nyaman.
"Kamu orang baik," kata Imelda akhirnya. "Terlalu baik untuk saya jadikan partner yang muncul di skandal infotainment... sekali lagi maaf untuk itu."
"Saya bukan orang baik. Kalau kamu tahu siapa saya sebenarnya, kamu tidak akan begitu merasa bersalah," ka
ta Damara dengan nada suara yang entah kenapa terasa menyesal.
Damara menatap wajah Imelda yang diterpa angin malam. Ada yang salah pada dirinya kali ini. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bekerja tidak normal saat menatap Imelda. Taman ini terlalu sepi hingga Damara takut apa yang dirasakannya bisa tergambar jelas di mata Imelda.
"Saya tidak begitu peduli seperti apa kamu sebenarnya, bagi saya kamu satu-satunya orang yang paling mengerti saya. Satu-satunya orang yang mau menemani saya saat saya butuh seseorang," lanjut Imelda. "Andai orang yang saya nikahi itu kamu..."
Apa yang bisa dilakukan Damara setelah mendengar kata-kata Imelda untuknya" Wajah Imelda yang begitu dekat dari jangkauannya, embusan angin malam yang terasa menyegarkan membuat otak Damara bekerja di luar kebiasaannya. Tanpa alasan yang jelas Damara mencium bibir Imelda, membiarkan semuanya berlangsung begitu saja dengan Imelda yang tidak sedikit pun menunjukkan reaksi menolak. Rasanya bukan kesalahan untuk menuruti stimulus dari otaknya.
* * * "Dia bukan orang seperti kamu," - Damara
* * * - 14 - DANU duduk di tempat tidur kakaknya, baru saja menceritakan pada kakaknya tentang nominasi penghargaan sastra yang mengharuskannya pergi ke Bandung.
"Itu bagus, Nu! Kakak bangga sekali kamu bisa meraih prestasi seperti itu," kata Damara selesai mendengarkan penjelasan Danu. "Kakak akan atur keberangkatanmu ke sana. Kamu bisa menginap di hotel tempat acara penghargaan itu digelar."
"Nggak usah, Kak... itu kan hotel bintang lima, pasti kamarnya mahal banget."
"Nggak masalah. Kakak masih mampu kok membayar semuanya."
"Tapi, Kak, Danu belum tentu dapat apa-apa dari sana. Kalo Kak Damara udah ngeluarin banyak uang terus Danu nggak menang gimana""
Damara menghela napas pelan, mendudukkan dirinya di samping Danu, menepuk bahu Danu pelan.
"Ini bukan masalah kamu dapat penghargaan itu atau nggak, tapi ini kesempatan kamu menambah pengalaman. Dan sebagai orang yang sangat bangga dengan bakat kamu, Kakak mau kamu datang ke sana dengan kenyamanan yang bisa Kakak kasih buat kamu," jelas Damara.
Danu diam, ini bukan waktu yang tepat untuk membantah Damara, ia mengerti benar sifat kakaknya. Damara akan selalu punya alasan yang tepat untuk menguatkan pendapatnya.
"Jadi kapan kamu berangkat ke Bandung""
"Jumat pagi, Kak. Acaranya Sabtu malam."
"Pergi sama siapa kamu""
"Belum tahu juga sih, Kak, kemarin guru bahasa Danu bilang dia nggak bisa nganter, soalnya anak bungsunya lagi dirawat di rumah sakit," jawab Danu lesu.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukannya Kakak nggak mau nemenin kamu datang ke sana, tapi banyak yang harus Kakak urus di sini."
Danu mengangguk pelan. Ia memang sudah tahu dari awal kakaknya tidak akan mungkin bisa mengantarnya, berbagai hal yang entah apa akan selalu menyibukkan Damara.
"Kamu kan bisa minta tolong Anka untuk nemenin kamu... Kakak bisa pesen dua kamar buat kalian."
"Anka nggak mungkin bisa ninggalin ibunya, Kak. Ditambah lagi dia harus kerja."
"Kalau begitu Andro aja, dia pasti bisa nemenin. Dia kan temen baik kamu juga, nanti kamu Kakak kasih uang saku lebih supaya kalian bisa sedikit bersenang-senang di sana."
Danu mengangguk mengerti akhirnya. Membuat senyum lebar mengembang di wajah Damara, senyum yang mengisyaratkan masalah Danu dan nominasi penghargaannya terselesaikan dengan sempurna.
"Oke, kalau begitu semua udah beres. Sekarang kamu bisa pergi tidur, ini udah larut malam, besok kamu harus sekolah."
Danu bangun dari tempat tidur kakaknya, berjalan pelan menuju pintu, tapi sebelum sampai pintu, Danu menghentikan langkahnya. Ada yang lupa ia tanyakan pada kakaknya, pertanyaan yang lumayan mengganggu pikirannya beberapa hari ini.
"Kak..." "Kenapa, Nu""
"Soal berita Kakak sama Imelda...""
Danu tidak melanjutkan kata-katanya karena yakin kakaknya sudah cukup mengerti.
"Berita kemarin... susah dijelasin. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti semuanya," jawab Damara. Terdengar menggantung di telinga Danu, tapi Danu hanya mengangguk pelan menerimanya. "Kakak tahu kamu khawatir, ta
pi itu nggak perlu, Kakak bisa mengatasi semuanya."
Danu keluar sambil mengangguk, sepenuhnya percaya pada kata-kata kakaknya. Ia cukup tahu kakaknya tidak akan begitu bodoh sampai memiliki skandal picisan seperti yang diberitakan infotainment.
*** Tengah malam, Imelda terjaga di atas tempat tidur, di kamar apartemennya. Matanya masih terbuka lebar, tidak menunjukkan tanda-tanda kantuk. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Kelakuannya seperti gadis belasan tahun yang baru mengenal cinta.
Setelah kejadian di taman antara ia dan Damara, entah mengapa Imelda merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirinya, sesuatu yang mengubah apa yang tadinya dirasakannya. Kehadiran Damara di saat ia sedang gamang, kata-kata Damara yang dirasa seperti oase di tengah gersangnya gurun, hingga ciuman lembut yang tiba-tiba diberikan Damara padanya, membuat segala hal buruk yang dirasakannya menguap seketika.
Entah apa yang membuatnya lemah menghadapi Damara. Saat Damara menciumnya, sebagai wanita yang mengatakan memiliki harga diri, seharusnya ia menampar Damara atau melakukan apa pun yang akan menunjukkan pada Damara bahwa ia bukan wanita yang bisa sembarangan dicium. Tapi nyatanya ia tidak melakukan apa-apa. Ia bahkan membiarkan Damara menciumnya, bahkan sulit untuk tidak mengatakan kalau ia menikmati apa yang dilakukan Damara. Dan yang lebih aneh dari semuanya, ia tidak suka saat Damara mengucapkan "maaf" selesai menciumnya.
Kata "maaf" yang diucapkan Damara seakan mengesankan bahwa apa yang dilakukan Damara padanya merupakan kesalahan, bukan dorongan perasaan menyenangkan seperti yang ia rasakan. Kata "maaf" itu juga menandaskan sisa harga diri yang tersisa padanya. Imelda tahu sepenuhnya, Damara melakukan itu untuk menghormati dirinya, hanya saja Imelda lebih ingin mendengar kata lain yang lebih indah dari Damara. Kata yang mungkin akan membuatnya rela menanggalkan reputasi dan kariernya di kemudian hari.
*** Damara berdiri menghadap Anggun yang memaksa bertemu di sebuah kamar hotel selepas makan siang.
"Agak sulit menghubungi kamu akhir-akhir ini," kata Anggun, seperti biasa dengan nada suara khasnya. "Kamu pasti terlalu sibuk untuk menjawab telepon dari aku, rupanya mainan baru kamu menyita banyak perhatian ya""
Damara tidak menjawab. Ia tidak mau membiarkan Anggun berhasil mengintimidasinya.
"Dia berani bayar berapa untuk bisa sama kamu""
Senyum khas Anggun yang melecehkan membuat suatu perasaan menggeliat dalam diri Damara.
"Dia bukan orang seperti kamu," tegas Damara, tidak tahan dengan kata-kata Anggun.
"Romantis sekali cara kamu membela dia... Apa sekarang kamu merasa telah menemukan cinta"" Anggun mendekat ke arah Damara, menyentuh wajah Damara dengan tangan halusnya. Matanya menatap Damara tajam, sementara bibir merahnya terus menyunggingkan senyum sinis.
"Kamu berlebihan, Anggun. Apa yang kamu lihat dan dengar, semua nggak benar, itu cuma gosip murahan."
"Gosip murahan..."" Anggun melepaskan tangannya dari wajah Damara lalu membalikkan badannya. "Mungkin buat kamu cuma gosip murahan, tapi aku rasa nggak sesederhana itu. Dari apa yang aku lihat pada diri kamu akhir-akhir ini, aku rasa itu bukan sekadar gosip murahan."
Anggun kembali menghadap Damara, menatap lurus ke mata Damara seakan mencari jawaban pertanyaannya di sana.
Damara tidak begitu suka ketika Anggun sudah menatapnya seperti ini, wanita itu seperti bisa mengetahui apa yang dipikirkannya.
"Aku lelah menghadapi semua kecurigaan kamu. Sekarang aku cuma bisa bilang semua berita itu berlebihan, terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku sayang kamu, Anggun! Seharusnya kamu tahu itu."
"Kamu bilang sayang aku, tapi kenapa aku nggak bisa merasakan kamu benar-benar sayang aku ya""
Jengah dengan segala tudingan Anggun, Damara meraih Anggun ke dalam pelukannya, mencium bibir Anggun dengan lembut, membiarkan Anggun mendapatkan jawaban atas semua kecurigaannya.
"Aku harus balik ke kantor," kata Damara setelah melepaskan bibirnya dari bibir Anggun. "Kita bicarakan lagi semuanya nanti malam."
Damara berj alan ke luar setelah mencium kening Anggun. Tanpa banyak pertanyaan Anggun membiarkan Damara pergi. Damara merasa apa yang dilakukannya pada Anggun tadi sudah cukup untuk membuat Anggun berhenti memperlakukannya seperti laki-laki bayaran. Ia sudah cukup jengah dengan semua hal yang selalu diingatkan Anggun padanya. Di dalam lift yang hanya membawanya turun seorang diri, Damara menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya, terlalu lelah dengan semua yang harus dilaluinya. Setelah mencium Anggun tadi, kenangan saat ia mencium Imelda di taman terbayang lagi. Satu hal lagi yang terjadi karena kegagalannya mengontrol diri, hingga Imelda marah padanya kemarin. Satu hal bodoh dilakukannya yang entah mengapa tidak disesalinya.
*** "Good luck ya, Nu. Jangan lupa telepon gue kalo ada apa-apa di Bandung," kata Anka di depan Stasiun Gambir, saat bersama Damara mengantar Danu dan Andro berangkat ke Bandung.
Danu mengangguk pelan, merasa ada yang salah pada dirinya pagi ini. Ia seharusnya senang berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara yang menjadi kebanggaan untuknya. Tapi entahlah, rasanya ada sedikit yang mengganjal dalam benaknya.
"Jaga diri kalian selama di sana. Kamu sama Andro boleh bersenang-senang, tapi jangan kelewat batas," tegas Damara, seraya menepuk bahu Danu.
"Tenang aja, Bang, Andro pasti jagain Danu," timpal Andro.
Damara tersenyum lega, sementara Danu hanya berdiri diam tak banyak bicara. Ia seperti anak kecil yang enggan berpisah jauh dari orang-orang terdekatnya. Ini benar-benar memalukan.
"Danu jalan dulu ya, Kak," kata Danu akhirnya.
"Hati-hati... Telepon Kakak kalau kalian sudah sampai."
"Gue pergi dulu, Ka. Jangan pulang malem-malem. Kalo lo terpaksa lembur, jangan jalan sendirian ke halte, nggak aman," pesan Danu.
"Kamu nggak usah khawatir soal Anka. Dia tanggung jawab Kakak selama tiga hari kamu di Bandung."
Danu mengangguk pasrah. Entah kenapa ia tidak suka cara Damara mengatakan itu semua. Seharusnya ia lega Anka dijaga Damara selama ia pergi, hanya saja sekali lagi ia merasa ada yang salah dengan ini semua. Ada sesuatu yang membuatnya setengah linglung.
"Ayo jalan, Nu, kayaknya keretanya bentar lagi berangkat."
Suara Andro membuyarkan semua pikiran aneh Danu. Ia mengangkat ransel ke pundaknya, tersenyum tipis kepada Anka dan Damara, lalu berjalan bersama Andro menuju gerbong kereta. Danu sempat melihat Anka melambai riang ke arahnya, sementara Damara yang berdiri di sebelah Anka tersenyum. Yang paling aneh dari semua yang dirasakannya hari ini, ia tidak suka Damara berdiri begitu dekat dengan Anka.
Danu duduk di salah satu kompartemen di kereta kelas bisnis menuju Bandung, menyandarkan kepalanya di jendela kereta.
"Lo kenapa sih, Nu" Dari tadi tampang lo kayak orang kurang darah, lemes mulu!" kata Andro. Setelah hampir lima belas menit kereta yang membawa mereka ke Bandung bergerak maju, Danu tidak juga bicara. "Lo nggak suka gue yang nemenin lo ke Bandung""
"Bukan, Ndro... Gue cuma banyak pikiran aja. Ini pertama kali gue ke Bandung setelah hampir lima tahun gue pindah dari sana."
"Lo takut ketemu ayah sama ibu lo di sana""
"Tauk deh." Danu mengangkat bahu, tidak tahu mengapa ia harus mengarang alasan itu untuk menjawab pertanyaan Andro.
"Nu, Bandung tuh gede. Lo nggak mungkin bakal ketemu mereka tanpa sengaja. Bener kata Kak Damara, lo tuh butuh refreshing, lo terlalu serius mikirin semuanya... Sekarang kita ke Bandung bukan cuma buat dateng ke acara lo, tapi bisa sekalian liburan. Coba lo bayangin, Jumat pagi kayak gini kita udah dikasih izin sama sekolah. Terus kita dapet fasilitas nginep di hotel bintang lima dan uang saku lumayan banyak dari kakak lo. Udahlah, jangan mikir yang aneh-aneh, bikin yang udah beres jadi berasa nggak beres."
Danu tersenyum kecil. Benar yang dikatakan Andro, ia terlalu memikirkan banyak hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkannya.
*** Untuk pertama kalinya Damara duduk berhadapan dengan Imelda setelah kejadian di taman malam itu. Hari ini Imelda datang ke kantor Damara untuk membicarakan langkah apa yang
harus mereka tempuh setelah pihak suami Imelda mengajukan banding terhadap putusan cerai Imelda.
Tidak banyak yang bisa ditangkap Damara dari Imelda hari itu. Imelda hanya duduk di sofa, lebih banyak membiarkan manajernya yang berbicara mewakilinya, sama seperti Imelda yang pertama kali dikenal Damara. Imelda bahkan tidak melepas kacamata hitam yang dipakainya saat mereka bicara, seakan tidak ingin membiarkan Damara menatapnya. Ini semua jelas mengganggu Damara.
Setelah hampir satu jam, akhirnya apa yang harus mereka bicarakan selesai. Imelda segera menyandang tasnya, seperti tidak ingin berlama-lama. Membuat Damara berpikir kesalahan yang dibuatnya sebegitu buruknya.
"Maaf, Mbak Imelda... bisa bicara sebentar sebelum Anda pergi""
Imelda yang sudah sampai di ambang pintu kantor Damara menghentikan langkahnya, hal yang sama pun dilakukan manajernya.
"Ehm... berdua saja maksud saya."
Manajer Imelda menatap curiga pada Damara, tapi tidak lama setelah itu ia mengangguk pelan. "Mbak keluar duluan, Mbak tunggu di parkiran belakang. Kamu harus keluar lewat jalan belakang, karena di depan ada banyak wartawan," pesan manajer Imelda, terdengar seperti memerintah.
"Saya yang akan antar Mbak Imelda ke sana nanti... Mbak nggak perlu khawatir."
Sekarang Damara sudah duduk di sofa, menghadap Imelda.
"Maaf kalau saya meminta kamu untuk tinggal sebentar, ada beberapa hal yang perlu saya luruskan sebelum kamu pergi," kata Damara memulai.
Damara menatap Imelda lekat-lekat, berharap model ini bisa sedikit lebih menghargainya dengan meletakkan sebentar smart phone yang sedari tadi dimainkannya selama mereka bicara. "Aku harap kamu tidak keberatan untuk sebentar saja tidak sibuk dengan handphone. Dan akan lebih menyenangkan kalau kamu bersedia melepas kacamata sementara kita bicara."
Dengan ekspresi tidak senang Imelda meletakkan handphone-nya di atas meja, lalu membuka kacamata yang dipakainya. Mata Imelda terlihat suram, lingkaran hitam terlihat jelas di sekitar kantong matanya. Alasan mengapa ia memerlukan kacamata hitam terjawab sudah.
"Apa yang kamu minta sudah saya jalankan. Jadi sekarang silakan bicara... waktu saya tidak banyak." Imelda menatap sinis ke arah Damara, berbeda sekali dengan saat terakhir Damara menemuinya di taman, malam itu.
"Saya tahu kenapa kamu bersikap seperti ini..."
Imelda mendengus pelan, seakan melecehkan kata-kata Damara.
"Kejadian di taman malam itu yang membuat sikap kamu begitu tidak bersahabat pada saya," Damara kembali meneruskan. "Koreksi jika saya salah."
Imelda tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk diam. Sikap yang disimpulkan Damara sebagai membenarkan.
"Sekali lagi maaf atas kelancangan yang saya lakukan kemarin, saya benar-benar tidak bermaksud buruk saat itu," kata Damara, mengulang apa yang sudah dirancang dalam otaknya berjam-jam yang lalu. "Kamu pantas marah, saya memang keterlaluan malam itu. Seharusnya saya bisa mengendalikan diri."
Damara menghentikan ucapannya, melihat ekspresi Imelda setelah ia mengungkapkan semua. Tidak ada perubahan berarti pada ekspresi Imelda. Ia malah bertingkah seakan bosan mendengar kata-kata Damara.
"Saya sudah terlalu sering mendengar apa yang kamu bilang barusan. Intinya, kamu hanya mau menegaskan bahwa apa yang kamu lakukan di taman malam itu, hanya kesalahan, kan"" Imelda menyunggingkan senyum sinisnya. Senyum yang sulit diartikan oleh Damara. "Lalu, sekarang kamu mungkin sangat menyesali semuanya, begitu" Saya cukup mengerti... Jadi, mulai sekarang tidak ada yang perlu kita bahas soal malam bodoh itu."
Imelda mengambil handphone-nya, memakai kembali kacamata hitamnya sebelum berdiri dan siap pergi.
"Pembicaraan kita rasanya sudah selesai, jadi sekarang saya sudah bisa pergi."
Tanpa menunggu jawaban Damara, Imelda melangkah menuju pintu. Namun sebelum tangannya meraih tangkai pintu, dengan cekatan Damara meraih tangan Imelda.
"Saya rasa kesalahpahaman antara kita belum benar-benar selesai," kata Damara menatap tajam pada Imelda. "Masih banyak hal yang perlu saya luruskan. Kamu salah mengarti
kan kata-kata saya."
"Maksud kamu apa"" tanya Imelda.
"Saya meminta maaf sebesar-besarnya untuk kelancangan saya malam itu. Kamu mungkin menganggap saya pengacara yang kurang ajar terhadap kliennya, dan itu merupakan kesalahan yang amat besar. Sebagai pengacara yang menangani kasus perceraian kamu, saya menyatakan sangat menyesal untuk malam itu."
"Lalu di mana letak perbedaannya"" Nada suara Imelda terdengar makin sinis. "Apa yang kamu sampaikan sudah saya tangkap sejak awal!"
"Saya mengatakan itu penyesalan saya sebagai pengacara kamu."
Imelda mengerutkan keningnya seakan tidak mengerti apa yang sedang Damara coba jelaskan padanya.
"Sebagai pengacara yang seharusnya bersikap profesional, saya sangat menyesal mencium kamu malam itu. Tapi... sebagai diri saya sendiri, entah kenapa saya tidak menyesalinya." Damara menghela napas, seakan dengan helaan napasnya ia mengeluarkan beban perasaannya juga. Imelda menatap kosong pada Damara, lagi-lagi tatapan yang sulit diterka artinya. "Tentu saja saya masih tetap merasa lancang telah melakukan itu semua," Damara buru-buru menambahkan. "Hanya saja... mungkin ada yang tidak beres dengan otak saya saat ini hingga berani mengatakan saya tidak menyesal. Saya hanya tidak mau sesuatu yang sebenarnya sangat berarti harus saya kamuflasekan dengan penyesalan."
Jingga Dan Senja 2 Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta Pendekar Kidal 10
^