Pencarian

A Shoulder To Cry On 3

A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria Bagian 3


Damara tidak tahu apa yang sedang merasuki dirinya. Apa yang dikatakannya barusan bukan bagian kalimat yang dirangkainya untuk Imelda. Semua tercetus begitu saja tanpa rencana, bahkan hanya kata-kata dalam bayangan liarnya. Sialnya, kata-kata itu justru keluar langsung dari mulutnya. Dengan semua kata yang ia ucapkan, Damara merasa seperti membakar dirinya sendiri di depan Imelda...
Sesaat Imelda tertegun mendengar ucapan Damara. Ternyata kata "maaf" dan penyesalan itu bukan karena Damara menganggap apa yang dilakukannya sebagai kesalahan seperti dugaan yang membuatnya gusar selama beberapa hari ini.
Imelda mendongak, ia bisa melihat Damara berusaha mengartikan ekspresi di wajahnya. Kecemasan terlihat sekali di wajah laki-laki itu, seakan ia cemas dengan tanggapan Imelda atas ucapannya.
Imelda merasakan bibirnya bergerak membentuk senyum kecil, senyum yang juga langsung memberikan efek berbeda pada raut wajah Damara. Damara terlihat lega sekarang. Senyumnya mengembang menyusul kelegaan yang dirasakannya. Satu sisi berbeda dari yang biasa dilihat Imelda pada laki-laki serius seperti Damara.
"Saya menganggap senyum itu sebagai tanda kamu bisa menerima apa yang saya katakan," kata Damara. "Semoga tidak ada lagi tatapan sinis... Tatapan sinis kamu membuat saya gelisah."
Senyum Imelda mengembang semakin lebar. Ia masih belum yakin arti rasa senang yang melandanya sekarang. Namun, sepertinya tak salah jika membiarkan perasaan menyenangkan ini menghiburnya sesaat.
"Aku senang dengan kedekatan kita. Aku merasa bahagia kamu mau dekat denganku tanpa meremehkanku. Hanya saja... ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba mengatakan aku tidak layak berada di dekatmu, sesuatu yang sulit dijelaskan sekarang." - Damara
* * * - 15 - DANU berjalan di sisi jalan raya kota Bandung yang dipenuhi berbagai macam factory outlet dan toko distro dengan berbagai merek terkenal di Indonesia. Andro berjalan di samping Danu, dengan mata jelalatan memandang ke sekeliling begitu antusias.
"Gila! Nggak salah emang Bandung dijuluki Paris van Java. Kotanya asyik dan cewek-ceweknya cantik-cantik banget, Nu! Betah gue di sini."
"Dasar otak mesum! Di mana-mana cewek mulu yang lo pikirin," kata Danu mengerling jengkel ke arah Andro. "Niat lo ke sini kan mau cari kaus, Ndro, bukan nyari cewek."
"Siapa tahu beli kaus dapet bonus cewek," kata Andro nyengir.
"Ngarep! Mana ada cewek sini yang mau sama lo."
Danu dan Andro masuk ke sebuah distro yang dari luar terlihat memajang beraneka kaus dan kemeja laki-laki. Sementara Andro memilih-milih kaus yang ingin dibeli atau sekadar dipegang-pegang saja, Danu beralih ke deretan kemeja di salah satu pojok toko. Ia berniat membeli satu jika ada yang sesuai, rencananya akan
dikenakan pada acara penganugerahan besok malam.
Danu sedang menimbang-nimbang antara kemeja putih bergaris-garis di tangan kirinya atau kemeja cokelat tua di tangan kanannya, saat seseorang menepuk pelan pundaknya.
"Danu..." Kamu Danu, kan"" tanya seorang laki-laki berusia di atas 50 tahun. Danu mengerutkan keningnya, bertanya-tanya dalam hati mengapa orang ini mengenalinya.
"Kamu Danu anaknya Pak Nugraha, kan"" laki-laki berkacamata itu kembali bertanya.
Danu mengangguk pelan, masih bertanya-tanya siapa laki-laki yang ada di depannya.
"Kamu lupa sama Om, ya" Saya Om Hari, teman kerja ayah kamu. Dulu Om sering main ke rumah kalian, ingat""
Sebenarnya Danu tidak bisa mengingat dengan jelas siapa orang ini, tapi mungkin saja lelaki ini memang teman kerja ayahnya. Ingat atau tidak, nggak terlalu penting. Danu memutuskan mengangguk demi kesopanan.
"Apa kabar, Om"" tanya Danu akhirnya.
"Baik... Kamu di sini lagi ngapain""
"Lagi liburan, Om," jawab Danu singkat.
"Liburan" Ke rumah ayah kamu"" tanya orang itu lagi.
Danu menggeleng pelan. "Saya ke sini sama temen, dan nginap di hotel," jelas Danu.
"Jadi nggak berkunjung ke rumah ayah kamu""
"Nggak..." Laki-laki itu mengangguk-angguk sambil menatap prihatin pada Danu, seakan menyatakan rasa iba melihat keadaan Danu. "Jadi kamu belum tahu kondisi ayah kamu sekarang""
Danu kembali menggeleng, bingung dengan apa yang coba disampaikan laki-laki ini padanya.
"Ayah kamu sedang dirawat di rumah sakit."
"Hah" Papa di rumah sakit"" Danu tercengang mendengar penjelasan orang itu.
"Seminggu yang lalu dia kena stroke, sebagian tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Kelihatannya keadaannya cukup parah waktu kemarin Om jenguk ayah kamu di rumah sakit."
*** Danu berdiri di beranda hotel. Matanya menatap kosong langit biru kota Bandung, membiarkan angin sejuk sore hari menerpa wajahnya, berharap kesejukan ini bisa menghilangkan semua pikiran yang memusingkan di kepalanya.
Setelah bertemu dengan Om Hari, teman kerja ayahnya, yang tiba-tiba menyampaikan kabar mengejutkan, kepala Danu serasa seperti dijejali berbagai hal yang membuat otaknya begitu penuh. Nyaris tidak ada tempat untuk berpikir lebih jernih.
Kabar bahwa ayahnya sekarang terbaring di rumah sakit karena stroke mau tidak mau menjadi headline penting di otak Danu. Terlebih saat Om Hari juga menceritakan kehidupan ayahnya yang berantakan setelah kejadian lima tahun lalu.
Menurut cerita Om Hari, setelah bercerai ayah Danu menikah dengan perempuan yang diketahui Danu sebagai pemicu perceraian orangtuanya. Tapi pernikahan itu tidak berlangsung lama, hanya bertahan tiga tahun. Perempuan itu meninggalkan ayah Danu yang saat itu sedang mengalami masa sulit dan berpaling pada laki-laki yang lebih kaya. Sejak saat itu kehidupan ayah Danu berantakan, dan mulai sakit-sakitan. Hingga puncaknya terserang stroke minggu lalu.
"Kasihan ayah kamu. Dia sendirian sekarang. Semua orang meninggalkannya bahkan istri barunya pun berkhianat. Sedang ibu kamu, tidak ada yang tahu keberadaannya setelah ayahmu menikah lagi. Mungkin hanya kamu dan Damara yang bisa Om beritahu soal ini... Kalau bukan kalian sebagai anaknya, siapa lagi""
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Danu, seperti kaset yang diputar berulang-ulang. Apa yang ditakutkan Danu saat berangkat ke Bandung terjadi juga. Tadinya Danu enggan ke Bandung karena ingin sepenuhnya berhenti mengingat masa lalu yang telah ditinggalkannya, terutama tentang kedua orangtuanya yang tidak menginginkan dia dan Damara, selepas perceraian mereka.
Tapi sekarang, saat sebuah kebetulan memaksanya mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya, apa yang harus ia lakukan" Masih tergambar jelas kenangan ketika mereka hendak meninggalkan Bandung, begitu tegasnya Damara mengatakan bahwa mereka harus meninggalkan segalanya, melupakan semuanya, juga melupakan orangtua mereka. Apa pun yang terjadi.
*** Damara menatap handphone-nya dengan bingung. Danu baru saja meneleponnya, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ragu untuk mengungkapkannya. Ent
ah apa yang mengganggu pikiran anak itu. Mungkin hanya tegang menghadapi acara itu, pikir Damara, meminimalisir semua kekhawatirannya pada Danu.
Damara membalikkan tubuhnya, tersenyum pada Imelda yang duduk di jok mobil dengan kedua kakinya dibiarkan terjulur di pintu mobil yang terbuka.
"Telepon dari siapa, Mar"" tanya Imelda.
"Adikku, Danu. Dia lagi di Bandung."
Imelda mengangguk pelan. Damara duduk di bumper depan mobil Imelda, menatap ke sekeliling taman yang sejuk dan lumayan sepi. Taman yang sekarang menjadi tempat pertemuan rahasia antara ia dan Imelda. Setelah segala kesalahpahaman terurai, hubungan Damara dan Imelda berjalan sangat baik. Sekarang mereka bukan lagi sebagai pengacara dan klien, namun ada hal indah yang telah terjadi di antara mereka.
"Maaf, kalau aku minta kamu datang di hari yang seharusnya kamu bisa istirahat," kata Imelda. "Pasti kamu menganggap aku seperti gadis konyol yang tiba-tiba meminta kamu datang tanpa alasan yang jelas."
"Kalau kamu butuh alasan, kamu bisa bilang meminta aku datang untuk berdiskusi perihal permohonan banding suami kamu."
"Mantan suami! Bukan suami lagi," tegas Imelda.
"Iya, maaf... mantan suami," kata Damara meralat. "Itu alasan yang tepat kalau kamu butuh alasan untuk melindungi harga diri kamu saat menemui aku."
Imelda menatap Damara, seakan tidak percaya Damara begitu terang-terangan mengatakan itu semua. "Yah... itu alasan yang pas." Imelda mengangguk membenarkan. "Aku akan bilang itu sewaktu-waktu kita ketemu lagi di sini."
"Apa harus dengan alasan pekerjaan untuk bertemu aku" Padahal aku lebih senang kalau alasan kamu karena memang ingin ketemu." Damara menunduk, menatap daun-daun kering di bawah kakinya. Ia terlihat tidak terlalu senang dengan situasi ini.
"Kalau kamu mau seperti itu, rasanya kurang adil untukku," kata Imelda.
Damara tiba-tiba mendongak, menatap lurus ke wajah Imelda. "Maksudnya tidak adil"" tanya Damara heran.
"Selama ini, aku yang selalu meminta kamu datang. Sekali pun kamu nggak pernah minta. Bahkan kalau aku nggak telepon lebih dulu, mungkin aku nggak akan pernah bicara di telepon sama kamu. Rasanya... cuma aku yang menginginkan ini semua."
Imelda mengembuskan napas. Gantian ia yang menunduk, jengah karena harus mengatakan semua perasaannya di depan Damara.
"Maaf kalau selama ini kamu merasa seperti itu," Damara berkata pelan. "Aku tidak pernah menelepon atau meminta kamu datang menemuiku, bukan karena tidak ingin... Kamu tidak tahu seberapa sering aku menatap handphone ini dan menimbang-nimbang untuk menghubungi kamu dan meminta bertemu. Berkali-kali menekan nomor teleponmu, tapi tidak berani melanjutkannya. Aku merasa tidak pantas... dengan alasan yang mungkin sepele dan kekanak-kanakan."
Imelda mengangkat wajahnya, matanya langsung bertatapan dengan mata Damara.
"Kenapa seperti itu"" tanya Imelda akhirnya. "Kenapa juga kamu merasa tidak pantas""
"Banyak hal yang membuat aku merasa seperti itu."
"Apa"" tuntut Imelda.
Damara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil yang terlihat dipaksakan.
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu."
"Jadi maksud kamu apa" Ke mana arah pembicaraan kita sebenarnya""
Damara membungkuk lalu berjongkok di hadapan Imelda. Ia meraih tangan Imelda dan menggenggamnya dengan lembut. Membuat Imelda semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang berusaha dilakukan Damara.
"Aku senang dengan kedekatan kita. Aku merasa bahagia kamu mau dekat denganku tanpa meremehkanku. Hanya saja... ada sesuatu di dalam diriku yang tiba-tiba mengatakan aku tidak layak berada di dekatmu, sesuatu yang sulit dijelaskan sekarang."
"Untuk apa kamu mengatakannya kalau tidak bisa menjelaskannya sampai tuntas" Kalau kamu merasa kedekatan kita sekarang salah, lalu kenapa kamu memulainya""
"Aku nggak pernah mau menganggap kedekatan ini salah. Hanya saja, aku merasa salah karena sudah berani jatuh cinta sama kamu..." Damara menjawab lirih. "Ini tidak ada kaitan sama kamu, hanya pergulatan batinku saja yang mengatakan aku terlalu lancang."
Imelda merasakan tangan Dam
ara yang menggenggam tangannya mendadak dingin. Entah apa yang membuat semua ini jadi rumit dalam pikiran Damara. Bagi Imelda, merupakan hal yang wajar kalau mereka berdua saling menyukai, kemudian jatuh cinta. Tidak ada yang salah. Selama ini Imelda merasa kehadiran Damara di dekatnya memberi suntikan kekuatan untuk kembali menjalani kehidupannya. Tapi apa maksud Damara dengan perasaan tidak pantas berada di dekatnya" Ini terdengar tolol bagi Imelda yang merasa begitu beruntung dengan keberadaan Damara di dekatnya sekarang.
Imelda mengeraskan pegangannya ke tangan Damara. Berharap Damara bisa merasakan apa yang ia rasakan melalui genggamannya.
"Bisa kita berhenti membahas ketidakpantasan, kelancangan, atau apa pun itu" Aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan sampai kamu menganggap tidak berharga untuk aku. Kamu seharusnya bisa merasakan bagaimana berartinya kamu untukku, sampai aku berani mengambil risiko berada di sini sama kamu."
Damara kembali menatap Imelda, sorot matanya mengisyaratkan ketidakberdayaan, seperti seseorang yang terluka karena keadaan. Damara pelan-pelan mendekati Imelda, memeluknya begitu erat, seakan dalam pelukannya Damara ingin menumpahkan segala bebannya.
"Aku berharap kamu tetap berada di dekatku apa pun yang mungkin terjadi nanti," kata Damara lirih, tepat di sisi telinga Imelda.
"Selama kamu menginginkannya, aku akan selalu ada di dekat kamu."
*** "Nu, lo baik-baik aja kan di Bandung"" tanya Anka saat Danu meneleponnya. "Kok diem aja, lo mau cerita sesuatu ke gue"" Anka mengerutkan keningnya, heran sendiri mendengar suara bimbang Danu di seberang. Terdengar Danu mengatakan tidak, dan langsung mengalihkan topik pembicaraan dengan menanyakan keberadaan Anka sekarang.
"Gue baru keluar dari kafe, baru mau jalan ke halte bus."
Lagi-lagi Danu memberondong Anka dengan kekhawatirannya, dan menyatakan akan meminta tolong Damara untuk menjemput Anka.
"Jangan, Nu," cegah Anka. "Kemarin gue udah ikut pulang bareng Kak Damara, nggak enak kalo gue ngerepotin dia lagi. Lagian tadi pagi gue liat mobil Kak Damara dibawa ke bengkel, jadi dia nggak ada kendaraan buat jemput gue. Ini juga baru jam sembilan kok, jalanan masih rame... Lo nggak usah mikirin gue deh. Eh, udah dulu ya, ribet nih nelepon sambil jalan."
Anka memutuskan sambungan dan memasukkan handphone-nya ke ranselnya. Baru beberapa detik berlalu, handphone itu kembali berbunyi. Semula Anka mengira Danu yang kembali meneleponnya, betapa terkejut Anka saat nama Damara muncul di layar handphone-nya.
"Iya, Kak, ada apa"" tanya Anka pada Damara yang meneleponnya. "Ini saya baru kelaur dari kafe. Kakak mau jemput" Eh... nggak perlu, Kak, saya pulang sendiri aja." Tapi Damara bersikukuh dan meminta Anka menunggu, sebelum kemudian menutup teleponnya.
Anka terdiam, terkejut sendiri mendengar Damara sengaja datang menjemputnya. Kemarin ia memang pulang bersama dengan Damara, karena kebetulan Damara keluar kantor tepat saat Anka juga pulang dari kafe. Tapi malam ini, membayangkan Damara sengaja datang menjemputnya membuat senyum Anka merekah lebar tanpa alasan jelas.
Tepat lima menit seperti yang dikatakan Damara, taksi berwarna biru berhenti beberapa meter di depan Anka. Damara keluar dari taksi lalu melambaikan tangannya.
"Kamu sudah selesai"" tanya Damara menghampiri Anka. Anka mengangguk. "Kamu tunggu di sini sebentar ya, Kakak mau ketemu Rio dulu."
Damara bergegas masuk ke kafe, lalu tak berapa lama kemudian Damara sudah keluar lagi.
"Oke, sekarang kita pulang... Kamu pulang ke rumah kan""
"Iya, Kak, karena besok libur, saya ke rumah sakitnya besok aja," jawab Anka.
"Oke kalau begitu. Kamu memang perlu istirahat nyaman di rumah setelah seminggu penuh kerja dan jaga di rumah sakit... Mobil Kakak masih di bengkel, jadi kita harus cari taksi untuk pulang."
"Kita naik TransJakarta aja, Kak. Haltenya nggak begitu jauh dari sini, kita bisa jalan lewat taman kota."
"Kamu yakin mau naik TransJakarta" Mending kita naik taksi, supaya cepet sampai rumah dan kamu bisa segera istirahat."
"Nggak apa-apa, sa ya masih muda, Kak. Masih kuat jalan. Malah biasanya saya pulang naik Metromini yang desek-desekan," jelas Anka.
Damara tersenyum mendengar ucapan Anka, ia kagum pada semangat gadis muda ini.
"Ya sudah, kalau kamu mau seperti itu. Tapi jangan bilang-bilang Danu ya, soalnya dia suruh Kakak jemput kamu pake taksi."
"Kak Damara nggak usah terlalu dengerin Danu deh, dia suka berlebihan," gerutu Anka. "Maaf ya, Kak, kalo kekhawatiran Danu bikin Kakak jadi repot jemput saya."
"Danu pantas kok khawatir sama kamu. Kalau Kakak jadi Danu, pasti akan khawatir juga cewek cantik kayak kamu pulang malam-malam begini," ujar Damara sambil tersenyum begitu manis di mata Anka. "Yuk, kita jalan!"
Damara berjalan lebih dulu, Anka mengikutinya sambil tersenyum-senyum sendiri setelah Damara mengatakan ia cantik. Dalam diam Anka menyusuri jalanan taman yang sepi, matanya menatap lurus ke punggung Damara yang berjalan setengah meter di depannya. Damara terlihat sangat sempurna di mata Anka. Sosok Damara layaknya pangeran penyelamat yang akan selalu datang saat ia berada dalam kesulitan.
Anka sendiri tidak tahu sejak kapan kekagumannya yang selama ini disimpan rapat-rapat berubah menjadi perasaan berbunga-bunga setiap kali bertemu Damara. Bahkan mendengar suaranya di telepon saja, Anka merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tidak tahu apakah baik atau tidak memiliki perasaan seperti ini pada Damara, Anka hanya membiarkan perasaan menyenangkan itu berjalan apa adanya. Sekadar membuat dirinya merasa sedikit bahagia di tengah segala masalah yang harus dihadapinya.
"Kamu lapar nggak, Ka"" tanya Damara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Anka tertegun sesaat, pertanyaan Damara membuyarkan lanturan pikirannya.
"Eh, iya... kenapa, Kak"" tanyanya linglung.
"Kamu lapar nggak"" Damara mengulang.
"Ehm... saya biasa masak mi instan di rumah, Kak," jawab Anka.
"Kakak nggak tanya kamu biasa makan apa. Kakak tanya kamu lapar apa nggak"" kata Damara sambil tertawa.
"Lapar, Kak," kata Anka, menunduk malu dan salah tingkah.
Damara tersenyum melihat tingkah Anka.
"Bilang lapar aja susah... Yuk, kita cari makan. Kamu tahu nggak tempat makan yang enak di sekitar sini""
"Di depan sih banyak tukang makanan, Kak. Tapi saya nggak tahu apa Kakak bisa makan di tempat kayak gitu""
"Anka, Kakak bukan turunan bangsawan yang nggak bisa makan di tempat sembarangan. Kakak ini orang biasa yang bisa makan di mana aja... Ayo kita ke sana."
Damara merangkulkan sebelah tangannya ke bahu Anka, dengan santai menuntun Anka melangkah sejajar bersamanya. Anka merasa tidak bisa bernapas dengan bebas, rangkulan tangan Damara di bahunya terasa menjadi beban, walaupun ia mengakui itu beban yang menyenangkan.
Berjalan berdua di taman dengan lengan Damara merangkul dirinya seperti ini, Anka merasa segala hal yang ada di sekitarnya menjadi indah. Berada di dekat Damara membuat Anka merasakan keamanan dan kenyamanan melingkupinya. Dan dengan segera, Anka menganggap inilah malam paling indah yang pernah dilewatinya selama masa sulitnya.
*** Damara menatap ke kerlap-kerlip lampu dari kejauhan, pemandangan meriah terlihat saat ia duduk bersama Anka, sambil menunggu sate pesanan mereka diantarkan.
"Itu apa ya, Ka"" tanya Damara, seraya menunjuk ke arah kemeriahan itu.
"Oh, itu pasar malam, Kak. Di kampung deket sini," Anka menjawab, mengikuti arah pandangan Damara. "Pasar malam itu udah ada sejak tiga hari yang lalu."
"Kelihatan rame dan meriah ya..." kata Damara dengan pandangan menerawang.
Damara terus menatap ke arah titik-titik cahaya itu. Tidak jauh dari tempatnya berada ternyata ada kemeriahan yang menyenangkan. Kemeriahan yang sudah lama tidak ia rasakan. Damara membayangkan, betapa sangat menyenangkan jika bisa berada di sana bersama seseorang yang ia anggap penting, bersenang-senang bersama tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar, tanpa menghiraukan segala masalah. Hanya bersenang-senang, layaknya anak kecil polos memandang kehidupan.
Lamunan Damara dibuyarkan oleh getaran handphone di saku kemejan
ya. Damara menarik keluar handphone-nya, menghela napas panjang saat tahu bahwa Anggun-lah yang menghubunginya.
* * * "Ini anak ke mana sih"!" - Damara
* * * - 16 - IMELDA berjalan ke luar, menuju balkon apartemennya. Handphone-nya masih menempel di telinga kirinya dengan suara Damara masih terdengar berbicara. Senyum lebar mengembang di wajah Imelda saat memandang ke bawah dari apartemennya di lantai 15, ia dapat mengenali sosok kecil yang melambai ke arahnya.
"Kamu kenapa nggak bilang mau datang ke sini"" Imelda kembali bicara pada Damara lewat handphone-nya, matanya tetap menatap senang ke arah Damara di bawah sana.
"Apa terdengar mengada-ada kalau aku bilang aku ke sini karena tiba-tiba ingin lihat kamu""
Senyum semakin lebar terkembang di wajah Imelda. Apa yang dirasakannya sekarang pasti terlihat jelas di wajahnya. Rasanya sulit untuk menyembunyikan perasaan berbunga-bunga yang dirasakannya sekarang. Ia seperti gadis belasan tahun yang baru merasakan cinta pertama.
"Bisa kamu turun sebentar" Akan menyenangkan kalau kita bisa bicara dari dekat." Suara Damara kembali terdengar di telinga Imelda, membuat debaran jantung Imelda terasa tidak benar kerjanya.
"Sebentar aku turun," katanya, sebelum masuk lagi ke dalam apartemen. Imelda meraih sweter dari atas tempat tidur dan bergegas turun.
Imelda menghentikan langkah bergegasnya saat ia sudah bisa melihat Damara berdiri di depan lobi. Imelda mengatur napas dan langkahnya, tidak ingin terlihat tergesa-gesa di depan Damara. Imelda melanjutkan langkah kakinya, kali ini dibuatnya senormal mungkin.
Damara tersenyum saat melihat Imelda berjalan ke arahnya, ia senang Imelda mau turun untuk menemuinya.
"Senang bisa melihat kamu..." kata Damara pelan.
"Kenapa datang semalam ini"" tanya Imelda heran.
"Karena hanya di malam selarut ini para wartawan infotainment istirahat."
Imelda tertawa kecil mendengar jawaban Damara. Tawa yang membuat Damara merasa selalu ingin berada di dekat Imelda agar bisa menikmatinya.
"Mau melakukan hal tidak biasa malam ini""
"Apa"" Imelda mengerutkan keningnya.
"Sesuatu yang mungkin belum pernah kamu lakukan di tempat yang tidak seorang pun mengenali kamu," jelas Damara. "Pasti akan sangat menyenangkan."
Imelda mengangguk, mengiyakan ajakan Damara. Damara tersenyum lega lalu memasangkan penutup kepala sweter Imelda, menutupi rambut Imelda yang diikat asal-asalan.
"Kita jalan sekarang," kata Damara akhirnya. Seraya mengulurkan tangannya pada Imelda.
*** Pikiran Danu melayang entah ke mana. Ia duduk bagai selongsong kosong di kursi yang disediakan untuk para tamu undangan malam itu. Danu bahkan tidak mendengar dengan jelas saat namanya disebutkan sebagai salah satu nominasi Puisi Terbaik untuk kategori pelajar. Begitu juga ketika pemenang diumumkan, Danu tidak bereaksi apa-apa. Padahal Andro yang duduk di sampingnya bergumam kecewa karena bukan nama Danu yang disebutkan.
"Yah... lo nggak menang, Nu... Kalah sama puisi anak ceking itu," kata Andro seraya menatap kesal ke arah cowok tinggi kurus yang sedang menyampaikan ucapan terima kasih di atas podium. "Kayaknya, lo harus meniru gaya Irsyad yang kayak sastrawan sakit jiwa buat menang penghargaan ini. Lihat aja, tuh anak yang menang gayanya mirip banget sama si Irsyad!"
Danu tidak mengatakan apa-apa menanggapi ocehan Andro, ia hanya duduk diam. Entah kecewa karena gagal menjadi pemenang, atau ada hal lain yang sedari tadi memang menyita begitu banyak tempat di kepalanya.
"Nu, lo nggak apa-apa, kan"" tanya Andro menoleh ke arah Danu yang hanya diam tidak merespons semua ucapannya. "Lo nggak usah kecewa, masih bisa kok dapet penghargaan di tempat lain."
Menyangka Danu bertingkah seperti itu karena kecewa berat, Andro menepuk bahu Danu, tanda prihatin. Andro tentu saja salah, Danu tidak sekecewa dugaannya. Memang ada sedikit yang mengusik harga dirinya saat melihat orang lain yang naik ke panggung sebagai pemenang, tapi itu hanya sebagian kecil dari banyak hal yang membuat perasaannya tidak enak.
"Gue nggak apa-apa, Ndro," jaw
ab Danu pelan. "Puisinya emang bagus, pantes kalo dia yang menang."
Danu memaksa dirinya untuk tersenyum, bertepuk tangan keras saat sang penerima penghargaan turun dari panggung. Berharap apa yang dilakukannya bisa menyamarkan segala kegundahannya, kekhawatiran pada ayahnya, kebimbangan menceritakan semuanya pada Damara, dan sedikit kekecewaan karena tidak bisa memberikan kabar baik untuk Anka.
*** Anka menyandarkan tubuhnya di tembok rumah sakit, tepat di depan ruang ICU. Napasnya tidak beraturan, lututnya terasa begitu lemas setelah dipakai berlari sepanjang perjalanan dari kafe menuju rumah sakit. Tidak ada yang dipikirkan Anka selain keadaan ibunya setelah menerima telepon dari rumah sakit yang mengabarkan bahwa kondisi ibunya yang semula stabil mendadak kritis. Ketakutan akan kembali kehilangan merasuki diri Anka.
Tubuh Anka merosot di lantai rumah sakit saat lutut lelahnya tidak sanggup lagi menopang untuk tetap berdiri. Tangan Anka memeluk tubuhnya dengan gelisah, dalam hati ia tidak henti-hentinya berdoa agar Tuhan berbaik hati. Ia tidak sanggup kehilangan sekali lagi... tidak sanggup membayangkan hidup sendiri.
"Tuhan, tolong selamatkan Ibu," bisik Anka lirih.
Penantian ini terasa begitu menyiksa bagi Anka. Menit-menit yang dilaluinya selama menunggu paramedis yang menangani ibunya di ruang ICU terasa bagaikan hitungan jam. Keringat mulai membasahi dahi Anka, telapak tangannya terasa begitu dingin. Ia ingin semua cepat berakhir, sudah tidak tahan menunggu dengan kecemasan dan ketakutan yang meracuni pikirannya.
Pintu ruang ICU terbuka. Anka melihat Dokter Irman, dokter yang selama ini menangani ibunya, berjalan keluar diikuti beberapa paramedis yang mendampingi. Tanpa berpikir panjang, Anka menghampiri Dokter Irman, sebisa mungkin tidak memandang raut wajahnya. Anka tidak mau melihat ekspresi apa pun dari Dokter Irman, ia hanya ingin mendengar penjelasan.
"Ibu saya bagaimana, Dok"" tanya Anka segera. "Kondisinya sudah kembali stabil, kan""
Dokter Irman tidak mengatakan apa-apa untuk menjawab pertanyaan Anka. Ia hanya menatap Anka dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Anka.
"Dokter... ibu saya..." Anka kembali menuntut jawaban.
"Anka, kamu harus kuat ya... Ibu kamu hanya bisa berjuang sampai di sini..." kata Dokter Irman, menatap prihatin ke arah Anka.
"Maksud Dokter apa"" tanya Anka setengah linglung berusaha memahami kata-kata Dokter Irman.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain..."
Kata-kata Dokter Irman menegaskan semuanya pada Anka, bahwa sekali lagi ia harus kehilangan orang yang paling disayanginya.
Luruh semua usaha Anka untuk menyangkal kenyataan yang akan menyakiti dirinya. Tidak ada gunanya lagi pura-pura tidak mengerti apa yang didengarnya. Semua yang dikatakan Dokter Irman sudah cukup jelas. Menyatakan bahwa segalanya sudah berakhir. Begitu tragis.
Anka jatuh terduduk di lantai rumah sakit, sesaat bagai mati rasa. Saat kekebalan rasanya mulai menghilang, napasnya terasa begitu sesak. Air mata mendesak keluar dan mengaburkan pandangannya. Anka kehilangan kekuatan, hingga tidak dapat melakukan apa-apa kecuali membiarkan tubuhnya roboh di lantai rumah sakit.
*** "Nu, lo ke mana aja sih" Selesai acara lo tiba-tiba ngilang gitu aja. Nggak ikut acara makan malem, tapi baru balik jam segini"" Andro memberondong Danu dengan pertanyaan saat Danu baru masuk ke kamar hotel. "Mana hape lo nggak aktif, gue kan jadi khawatir!"
"Tadi gue cuma cari angin sebentar. Lagian gue kan udah gede, Ndro! Nggak usah berlebihan deh."
Danu berjalan melewati Andro yang masih berdiri di ambang pintu dan menatap Danu dengan tatapan tidak percaya.
"Nu... gue tahu lo kecewa karena nggak menang, tapi nggak kayak gini dong caranya... Gue ikut ke sini disuruh Kak Damara buat nemenin dan jagain lo. Gue ikut bukan cuma buat temen lo pas seneng-seneng, tapi juga buat nemenin kalo lo ngerasa down."
Danu mengenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat lelah dengan semuanya.
"Lo nggak ngerti apa y
ang lagi gue pikirin sekarang, Ndro..." kata Danu.
"Lo takut bikin kecewa Kak Damara kalo kita pulang nggak bawa hadiah atau penghargaan" Danu... gue yakin, Kak Damara tuh bukan orang yang mentingin begituan."
"Bukan soal itu, Ndro. Gue dapat penghargaan atau nggak, bukan masalah besar buat gue." Danu kembali duduk, wajahnya menunduk lesu.
"Jadi yang lo pikirin apaan""
Danu menghela napas panjang, menatap Andro yang duduk di sampingnya, seakan menimbang-nimbang perlukah ia menceritakan semuanya pada Andro.
Akhirnya setelah beberapa hari menyimpan semua kepenatan dalam kepalanya seorang diri, Danu memutuskan menceritakan semua hal yang mengganggu pikirannya pada Andro. Danu tidak berharap Andro bisa membantunya mencari jalan keluar, tapi paling tidak ia punya teman bertukar pikiran.
*** Banyak keceriaan yang dirasakan Damara malam ini. Setelah berhasil mengajak Imelda pergi dengannya, Damara membawa Imelda pergi dengannya, Damara membawa Imelda ke suatu tempat yang menurutnya sangat tepat dikunjungi bersama seseorang yang spesial.
Pasar malam memang semeriah yang dilihatnya dari kejauhan. Semua pengunjung terlihat gembira, termasuk Damara yang didampingi Imelda. Damara menikmati semua kemeriahan yang disuguhkan di pasar malam yang pada dasarnya merupakan hiburan bagi masyarakat menengah ke bawah di sebuah kampung kecil.
Damara memblokir semua permasalahan yang seharusnya dipikirkannya. Di sini, di tempat yang tak seorang pun memperhatikan dan mengenali keberadaan mereka, Damara merasakan malam paling menyenangkan setelah segala hal yang terjadi pada dirinya. Berjalan di tengah keramaian dengan tangan Imelda di genggamannya dan menaiki komidi putar dengan kepala Imelda menyandar di bahunya merupakan hal terbaik yang bisa didapatkan Damara selama ini.
"Aku senang kamu ngajak aku ke sini, Mar," kata Imelda saat mereka duduk di salah satu bangku kayu, seraya menatap kemeriahan pasar malam. "Di sini aku bisa senang-senang, tanpa seorang pun yang kenal aku. Nggak ada wartawan infotainment, nggak ada manajer, nggak ada Mama, nggak ada siapa pun yang bisa membuat aku tertekan. Di sini cuma ada kamu, orang yang tiba-tiba mengisi hatiku sekarang."
Damara tersenyum mendengar kata-kata Imelda. Andai waktu bisa berhenti sampai detik ini, andai besok tidak ada lagi, andai setelah ini ia tidak perlu lagi kembali ke kehidupan tempat seharusnya ia berada...
Damara mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Imelda, membelai lembut rambut wanita itu. "Segalanya akan lebih baik kalau waktu bisa berhenti di sini," bisiknya.
"Ya... akan lebih baik kalau waktu bisa kita hentikan."
Imelda menyandarkan kepalanya ke bahu Damara, memejamkan matanya, seakan dengan begitu ia bisa lebih merasakan segala hal membahagiakan yang dirasakannya saat ini. Damara sadar benar apa yang dilakukannya sekarang akan semakin membawanya masuk lebih dalam pada pusaran perasaan yang pasti akan menyakitkan nanti, perasaan yang akan membuatnya semakin terpuruk dengan semua masalah yang sudah menunggunya. Tapi untuk sekarang, Damara tidak ingin mengingat semua itu, malam ini ia hanya ingin merasakan sedikit kedamaian dan ketenangan mencintai seseorang.
Angin malam yang menyejukkan menerpa wajah Damara. Alunan musik dangdut sayup-sayup terdengar dari pusat pasar malam, membawa suasana lain di hati Damara. Dengan Imelda yang tersenyum bahagia di sampingnya, Damara merasa ini malam yang sangat sempurna.
Hingga handphone di saku kemeja Damara tiba-tiba bergetar. Damara heran saat melihat nama Anka muncul di layar handphone-nya.
"Iya, ada apa, Ka"" Tapi detik kemudian, bukan suara Anka yang terdengar di seberang telepon, tapi suara orang lain. "Iya, saya kakaknya. Ada apa dengan Anka""
Suara di telepon mengabarkan bahwa Anka pingsan di rumah sakit, tapi yang lebih mengejutkan Damara, orang itu mengatakan Anka pingsan karena ibunya yang hampir satu bulan koma kini telah meninggal dunia.
"Oke, oke! Saya segera ke sana," kata Damara lugas, sebelum menutup telepon.
"Ada apa, Mar" Ada masalah"" tanya Imelda yang melihat k
egelisahan Damara. "Aku antar kamu pulang sekarang ya. Aku harus segera ke rumah sakit. Ibu dari orang yang seharusnya aku jaga, meninggal dunia..."
"Kalau itu kerabat dekat kamu, aku ikut," kata Imelda segera.
"Aku nggak bisa bawa kamu ke sana, Mel. Takutnya ada wartawan yang tahu kita berdua di sana. Aku nggak mau kehadiran mereka memperburuk keadaan yang sedang berduka. Kamu ngerti kan, Mel""
Imelda mengangguk pelan. Ia mengusap bahu Damara, seakan dengan melakukan itu bisa mengurangi sedikit kegelisahan Damara.
"Aku ngerti... Kalau begitu, sebaiknya kamu segera ke rumah sakit, nggak perlu antar aku pulang. Aku bisa naik taksi."
"Nggak, Mel... Aku harus antar kamu pulang dulu. Lagi pula rumah sakit dan apartemen kamu searah."
Sepanjang perjalanan Damara semakin gelisah, kekhawatiran yang tadi coba diredamnya, mulai mengganggu kerja otaknya dan membuat perasaannya tidak keruan. Terlebih saat ia berkali-kali gagal menghubungi Danu yang sedang berada di Bandung.
"Ini anak ke mana sih"!" katanya, seraya melempar handphone-nya ke atas dashboard mobil. "Teleponnya malah dimatiin!"
Imelda membelai lembut lengan Damara yang tegang di atas kemudi, berusaha menenangkannya. Tapi itu pun tidak berhasil memberikan ketenangan pada Damara. Rasa khawatir mengalahkan segalanya.
Seharusnya tadi ia menjemput Anka. Seharusnya sebagai pengganti Danu, ia ada bersama Anka sekarang, menemaninya menghadapi hal paling buruk yang kini sedang terjadi.
*** Damara berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Mencari-cari letak kamar ibu Anka, yang sialnya selama ini sekali pun tidak pernah dijenguknya. Setelah mendapatkan informasi bahwa ibu Anka masih di ruang ICU, Damara mempercepat langkahnya.
Terdengar tangis pilu dan jerit histeris dari ruang ICU yang pintunya tertutup rapat. Dengan jantung yang bekerja lebih cepat dari biasanya, Damara mendekati ruang ICU. Damara mengenali suara itu suara siapa. Meski belum pernah mendengar Anka menjerit sekeras ini, tapi Damara yakin itu Anka. Tanpa menunda lagi, Damara mendorong pintu ICU yang tidak terkunci.
Anka menjerit histeris saat beberapa pegawai rumah sakit hendak mendorong brankar ibunya keluar dari ruang ICU. Beberapa suster wanita berusaha menenangkan Anka yang terus mencengkeram brankar ibunya. Anka berontak sejadi-jadinya, menolak ibunya dipindahkan ke kamar jenazah.
"Jangan bawa Ibu keluar...! Ibu masih bisa hidup!! Ibu nggak mungkin meninggal!" pekik Anka di tengah tangis pilunya. "Ibu nggak mungkin ninggalin Anka sendirian... Nggak mungkin! Ibuuu... Ibuuu, banguun, Ibu!!"
Damara mendekati Anka, berharap bisa menenangkan Anka.
"Anka..." Anka langsung menoleh, beralih memohon pada Damara. "Kak, tolong bilangin ke mereka, Ibu masih bisa hidup...!! Tolong minta sama dokter untuk berusaha bangunin Ibu! Tolong, Kak..."
"Anka... Sabar ya. Kamu harus kuat, jangan seperti ini..." kata Damara prihatin. "Ibu kamu sudah tenang sekarang."
Air mata Anka kembali mengalir deras, menyadari kebenaran ucapan Damara. Anka kembali mendekati ibunya, menatap ibunya penuh kasih sayang. Tangan gemetar Anka membelai lembut rambut ibunya. Dan tak berapa lama isaknya kembali pecah.
Pedih rasanya melihat tragedi ini terjadi pada gadis semuda Anka. Di mata Damara, ini sangat mengenaskan. Damara meraih Anka ke dalam pelukannya, memeluk Anka erat agar gadis itu memiliki sandaran untuk kesedihannya.
Tangis Anka semakin menyayat saat para pegawai rumah sakit mengambil kesempatan membawa jenazah ibu Anka keluar dari ruang ICU saat Anka dipeluk Damara. Damara bisa merasakan tubuh Anka bergetar hebat di pelukannya, gadis itu menangis sejadi-jadinya, seakan dengan tangisan itu ia menyampaikan permohonan agar Tuhan membatalkan keputusan-Nya.
Air mata Damara merembes di sudut matanya, tanpa sadar ia ikut menangis. Kepedihan yang dirasakan Anka seperti bisa dirasakannya, juga, sehingga rasa sesak di dada mengalirkan sedikit air matanya.
Tangisan histeris Anka lama-lama berubah menjadi isakan. Anka sepertinya sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Dan tak berapa l
ama kemudian isak tangis Anka pun tidak terdengar lagi seiring melemahnya tubuh Anka di pelukan Damara. Damara mengendurkan pelukannya, menatap Anka yang seluruh wajahnya basah oleh air mata. Gadis itu pingsan sekarang. Beban ini pasti begitu berat untuknya.
Damara mengusap air mata Anka sebelum membopong tubuh lemah itu keluar ruang ICU. Seiring langkahnya membawa Anka, Damara berjanji akan terus menjaga Anka, menjaganya layaknya orang-orang terpenting dalam hidupnya. Damara bertekad menjadikan dirinya penyangga bagi Anka saat gadis itu membutuhkannya.
* * * "Lo nggak usah takut, Ka. Walaupun sekarang lo sendiri, gue akan selalu ada selama lo butuh gue. Gue janji!" - Danu
* * * - 17 - "NU... bangun, Nu!" Suara Andro terdengar samar-samar di telinga Danu. Agak linglung Danu membuka matanya, terkejut saat melihat wajah panik Andro menunduk begitu dekat di depan wajahnya.
"Apaan sih, Ndro, pagi-pagi udah bikin rusuh!" gerutu Danu, menarik selimut menutupi wajahnya.
"Eh, bangun dulu lo!" Andro menyibakkan selimut Danu dengan kesal. "Kita harus pulang ke Jakarta, sekarang!"
"Sekarang" Kan rencananya nanti siang. Ini masih pagi, Ndro."
"Lo nggak bakal setenang ini kalau tahu ada yang terjadi di Jakarta, sekarang... Elo sih, pake acara matiin handphone, semuanya jadi kacau!"
Danu mendudukkan dirinya, keningnya mengernyit heran dengan ucapan Andro.
"Emang di Jakarta ada apaan, Ndro"" tanya Danu.
Andro tidak langsung menjawab. Ia menghela napas pelan, seakan apa yang akan disampaikannya sesuatu yang begitu berat diucapkan.
"Tadi malam, saat handphone lo mati, Kak Damara berkali-kali coba telepon lo. Dia juga coba telepon ke handphone gue, tapi karena handphone gue juga mati, dia baru bisa kasih berita tadi, lewat telepon hotel... Dia nyuruh kita cepat-cepat pulang ke Jakarta, Nu."
"Iya, tapi kenapa"" tuntut Danu, mulai tidak suka dengan penjelasan Andro yang bertele-tele.
"Ibu Anka... tadi malam meninggal, Nu," kata Andro dengan suara lirih.
Untuk sesaat pikiran Danu mendadak kosong oleh kata-kata Andro. Ia tidak bisa berpikir normal. Nyaris tidak percaya... Ini terlalu buruk untuk menjadi nyata, ini terlalu kejam bagi Anka.
Danu menyibakkan selimutnya dan bangun dari tempat tidur. Ia menyambar celana jins di atas sofa dan memakainya secepat yang ia bisa.
"Kita pulang sekarang... Gue nggak peduli kita mau naik apa ke Jakarta, yang penting kita harus pulang sekarang juga!"
Seperti mengerti benar apa yang dirasakan Danu, tanpa banyak pertanyaan Andro segera memasukkan barang-barangnya ke ranselnya.
Danu tidak bisa memikirkan apa-apa kecuali Anka. Ia sudah pernah melihat Anka hancur ketika ayahnya meninggal, dan sekarang... Anka harus kembali kehilangan orang yang disayanginya, satu-satunya keluarga yang tersisa. Danu tidak berani membayangkan betapa terpuruknya Anka. Anka pasti membutuhkan dirinya, Anka pasti menginginkannya berada di sana sekarang. Anka pasti sangat membutuhkan sandaran.
*** Anka tidak tahu yang sekarang terjadi padanya bisa disebut apa. Takdir, jalan hidup, atau nasib" Apa pun namanya, semua ini terlampau menyiksa. Ia masih belum bisa percaya bahwa setelah mengantarkan kepergian ayahnya sebulan lalu, kini ia harus berdiri lagi di pemakaman yang sama untuk mengantarkan ibunya. Kemalangan ini seakan enggan menunggu sampai ia siap dan lebih kuat menerimanya.
Air mata Anka tidak bisa dibendung agar berhenti mengalir, walaupun ia sudah berusaha menahannya. Sekali lagi harus melihat orang yang ia sayangi ditimbun tanah, membuat segala usaha Anka untuk tegar terkesan sia-sia. Anka tidak kuasa menahan jeritan pilunya saat batu nisan dipasangkan di atas makam ibunya, yang terletak tepat di sisi kanan makam ayahnya. Anka ingin berdiri tegak melepas kepergian ibunya, tapi kesedihan ini menyedot semua tenaga dan melemahkan lututnya.
Anka bisa merasakan lengan Damara kembali merangkul bahunya. Untuk kesekian kalinya Damara berusaha menenangkan saat ia mulai tidak sanggup mengontrol kesedihannya. Kehadiran Damara menemaninya menghadapi semua hal gila y
ang menimpanya sangat berarti bagi Anka.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita pulang sekarang, Ka"" tanya Damara, setelah hampir 30 menit Anka duduk di samping makam ibunya. "Banyak hal yang harus kita lakukan setelah ini."
"Saya masih mau di sini, Kak," kata Anka terisak pelan.
Damara tidak mengatakan apa-apa. Ia duduk di samping Anka, menunggu Anka selesai melakukan apa yang ingin dilakukannya. Sementara itu Anka hanya duduk diam, menatap dengan penuh kesedihan makam ayah dan ibunya yang berjajar di hadapannya. Sesekali air matanya mengalir pelan membasahi pipinya.
"Mereka pergi terlalu cepat, Kak... Anka bahkan belum sempat memberikan apa-apa untuk mereka," katanya parau. "Mereka nggak kasih kesempatan bagi Anka untuk bikin mereka bahagia..."
"Dengan semua yang kamu lakukan selama ini, Kakak yakin mereka sudah sangat bahagia. Mungkin dari suatu tempat yang indah, tempat ayah dan ibu kamu berada sekarang, mereka pasti tersenyum bangga."
Andai saja yang dikatakan Damara benar... Ayah dan ibunya sudah berada di suatu tempat yang indah dan tersenyum bahagia di sana, akan lebih baik kalau mereka membawa dirinya serta ke tempat indah itu, bukannya meninggalkannya sendiri di sini. Anka menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, berusaha menutupi isak tangisnya di depan Damara.
"Mungkin terdengar sangat klise... tapi Kakak hanya bisa bilang, kamu harus kuat menghadapi semua ini. Kakak tahu ini bukan hal mudah, tapi inilah hidup."
"Anka sekarang sendirian, Kak... Anka nggak punya siapa-siapa lagi," ratap Anka.
Damara menghela napas, kembali merangkulkan lengannya ke bahu Anka menyandarkan kepala Anka ke dadanya, dan membelai lembut rambut Anka.
"Kamu nggak sendirian, Kakak akan selalu jaga kamu, Kakak akan selalu ada untuk kamu... Kakak janji."
Sekarang Anka hanya bisa memeluk erat tubuh Damara, sekali lagi membiarkan Damara menjadi sandaran baginya. Ia ingin untuk terakhir kalinya ia menangis sekuat yang ia bisa di pelukan Damara, mengeluarkan segala kepedihan yang ia rasakan sekarang, agar besok ia dapat kembali mengangkat kepalanya dengan tegak.
*** Danu berdiri terpaku beberapa meter dari tempat ibu Anka dimakamkan. Matanya menatap lurus ke arah Damara yang sedang memeluk Anka seraya membelai lembut rambut Anka. Apa yang dilihat Danu sekarang menghentikan langkah bergegasnya, menghentikan keinginannya untuk segera berada di samping Anka, untuk menjadi sandaran bagi Anka.
Kini Anka sudah menemukan tempat bersandar untuk kesedihannya. Damara pasti bisa menjadi sandaran yang kokoh bagi Anka. Danu merasa ia seharusnya bersyukur Damara ada untuk Anka saat ia tidak ada, tapi entah kenapa dadanya terasa sesak saat melihat Damara menggantikan posisinya. Ada desakan ketidakrelaan yang muncul saat ia melihat Anka menangis di pelukan Damara.
*** "Kamu jaga Anka sebentar ya. Kakak harus ke masjid di dekat rumah Anka, mau minta tolong agar pengajian untuk ibu Anka dilakukan di sana."
Danu mengangguk tanpa bantahan. Sekarang ia duduk di sisi tempat tidur Anka, menatap Anka yang tertidur lemas selesai dari pemakaman.
"Biarkan Anka istirahat, Nu. Sejak semalam dia nggak tidur. Nanti kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon Kakak ya."
Danu kembali mengangguk. Saat Damara beranjak hendak keluar dari kamar Anka, Danu buka suara. "Kak... makasih ya udah bantuin Anka. Makasih juga Kakak udah jagain Anka selama Danu nggak ada."
"Kamu ini ngomong apa sih" Mulai sekarang jangan menganggap Anka itu tanggung jawab kamu sendiri. Kakak akan bantu kamu menjaga Anka, sebab Anka sudah jadi bagian keluarga kita."
Danu tersenyum kecil. Entah kenapa ia tidak begitu suka ucapan Damara.
"Oke, kalau begitu Kakak jalan dulu. Ingat ya, kalau ada apa-apa sama Anka, beritahu Kakak."
Damara akhirnya melangkah keluar dari kamar Anka. Danu kembali menatap wajah Anka yang terlihat begitu lelah. Lingkaran hitam terlihat jelas di sekeliling mata basahnya. Anka pasti menangis meratapi kepergian ibunya semalaman. Betapa menyesalnya Danu tidak berada di samping Anka saat itu.
Danu mengusap keringat di kening Anka dengan gerakan l
embut seraya berkata, "Maaf ya, Ka, gue nggak ada buat lo saat lo menghadapi semua ini."
Air mata terlihat masih merembes dari sudut mata terpejam Anka. Kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa pasti begitu berat bagi Anka, ia bahkan tidak bisa tidur dengan tenang. Kesedihan ini bahkan membuatnya menangis dalam tidurnya.
Danu menyentuh pelan pipi Anka, menyeka air matanya. "Lo nggak usah takut, Ka. Walaupun sekarang lo sendiri, gue akan selalu ada selama lo butuh gue. Gue janji!"
*** Sepertinya sudah sangat jelas dipahami Anka belakangan ini bahwa waktu akan tetap berjalan apa pun yang terjadi dan menimpa kita. Walaupun yang baru kita alami hal yang terburuk yang berani dibayangkan, hidup tetap berjalan dan seakan enggan memberi jeda meski sebentar.
Dua hari setelah pemakaman ibunya, Anka terduduk di antara makam ayah dan ibunya. Kini ia sudah mampu menerima kenyataan yang harus ia lalui sebagai bagian perjalanan hidupnya. Tangan Anka terulur, menaburkan bunga di atas makam ayah dan ibunya, tersenyum getir menatap pembaringan terakhir dua orang yang sangat disayanginya.
"Sekarang Ibu sama Ayah udah bersama-sama, Anka ikhlas... Yang penting, Ibu dan Ayah kasih Anka kekuatan ya, supaya Anka bisa bertahan tanpa kalian," bisik Anka lirih. "Anka akan berusaha hidup dengan baik. Anka akan bertahan."
Anka mengusap setitik air mata yang mengalir pelan ke pipinya, menghela napas panjang, dan memaksakan diri membentuk senyum di wajah kakunya sebelum ia berdiri dan melangkah meninggalkan makam kedua orangtuanya. Anka sempat menoleh sekali lagi, makam itu seakan menggambarkan cinta abadi kedua orangtuanya. Dalam hati yang paling dalam, di tengah segala kesedihannya yang coba diredamnya, Anka lega karena ibunya tidak terlalu lama menderita. Dan sekarang... Anka yakin, di sana ibunya telah bahagia bersama ayahnya.
*** Setelah kepergian ibu Anka, Danu mengira akan banyak hal yang mengalami perubahan. Tadinya Danu mengira Anka akan kembali ke rumah orangtuanya setelah klien Damara yang menyewa rumah mereka kembali ke negaranya. Nyatanya, Anka menuruti permintaan Damara untuk tetap tinggal bersama mereka dengan alasan keamanan. Damara menyarankan agar rumah Anka tetap disewakan agar Anka bisa menabung untuk masa depannya.
Namun saat Danu meminta Anka berhenti bekerja di kafe yang begitu menguras tenaganya, Anka malah menolak, padahal Danu hanya ingin Anka memiliki kehidupan seperti kebanyakan remaja seusianya. Setelah segala hal yang dilaluinya, Danu hanya ingin Anka tinggal bersama mereka dengan aktivitas normal, bukan dengan kesibukan yang tetap menggila walaupun kini tanpa kewajiban menjaga ibunya dan menginap di rumah sakit.
"Ka, dua bulan lagi kita Ujian Nasional, lo nggak apa-apa masih tetep sibuk kerja begini"" tanya Danu, di sela makan siang mereka di kantin sekolah. Untuk kesekian kalinya Danu meminta Anka secara halus untuk melepaskan pekerjaannya di kafe.
"Emang kenapa""
"Ya... nggak kenapa-kenapa sih. Cuma gue kepikiran aja, lo bakal berat kalo ujian sambil kerja. Pelajaran anak IPA kan susah-susah, Ka," Danu melanjutkan hati-hati.
"Nggaklah, Nu. Gue tahu kapasitas gue," jawab Anka singkat, dan dengan lahap memasukkan sesendok demi sesendok bubur ayam ke mulutnya.
"Ngapain buru-buru banget sih makannya" Entar keselek lho." Danu menatap cara makan Anka yang terlampau cepat untuk ukuran normal.
"Gue harus cepet-cepet balik ke kelas nih. Ada tugas yang belum selesai gue kerjain," kata Anka seraya meletakkan sendoknya di pinggir mangkuk bubur yang sudah tandas. "Gue duluan, Nu. Nih duit bubur gue, ntar tolong kasih ke si ibu ya." Tanpa menunggu jawaban Danu, Anka beranjak meninggalkan kantin setelah meletakkan selembar uang 5.000 di depan Danu.
Danu hanya bisa menatap prihatin, menghela napas berat seraya mengambil uang Anka dan bangun dari tempat duduknya. Danu sebenarnya bangga dan kagum dengan ketegaran Anka. Bangga karena Anka mampu bangkit dari keterpurukannya dengan begitu cepat. Hanya saja, Danu tidak suka cara Anka menyibukkan diri. Ia seperti tidak membiarkan diriny
a diam, sekadar bersantai sejenak atau sedikit bersenang-senang, padahal Danu tahu sekali Anka sangat membutuhkan itu semua.
Sulit memang mengubah keputusan Anka. Walaupun sebenarnya enggan, kali ini demi kebaikan Anka, Danu akan meminta Damara membujuk Anka melepaskan pekerjaannya di kafe. Paling tidak selama menempuh Ujian Nasional.
Lagi-lagi Danu akan membiarkan Damara mengambil alih apa yang sebenarnya ingin ia lakukan sendiri...
*** Malamnya, sejam setelah Anka pulang dari kafe, Danu duduk di ruang tengah bersama Damara dan Anka. Ini tindak lanjut permintaan Danu agar Damara bicara dengan Anka, meminta supaya Anka mau melepas pekerjaannya.
"Anka... Kakak bukannya mau mencampuri pilihan hidup kamu, hanya saja Kakak rasa akan lebih baik kalau kamu melepas pekerjaan part time di kafe selama kamu mempersiapkan ujian."
Danu melirik Anka yang duduk di sofa di depannya, ingin tahu seperti apa reaksi Anka mendengar kata-kata Damara.
"Saya memang sudah berpikir begitu, Kak. Rasanya saya tidak akan sanggup jika tetap kerja di kafe sementara harus menempuh ujian," kata Anka datar. "Saya memang sudah memutuskan akan berhenti bekerja di kafe saat mendekati waktu ujian nanti."
Danu tersentak. Mengapa kemarin Anka tidak mengatakan begitu" Anka bergaya seperti tidak akan pernah melepaskan pekerjaannya, walaupun ujian sudah di depan mata. Itu sebabnya Danu sampai meminta Damara bicara serius dengan Anka. Kenapa sekarang Anka begitu mudahnya mengatakan bahwa ia memang akan berhenti" Ini tidak bisa dipercaya!
"Bagus kalau keputusan kamu seperti itu. Kakak senang kamu mengerti alasan yang membuat Kakak meminta kamu untuk bicara di sini... Kakak sama Danu hanya tidak mau kamu terlalu keras terhadap diri sendiri."
"Saya ngerti, Kak. Terima kasih Kakak peduli sama saya. Kakak sama Danu sudah terlalu banyak membantu saya."
"Jangan khawatir, Ka, kami pasti akan selalu bantu selama kamu masih bersedia menerimanya," kata Damara bijak. "Kamu sudah Kakak anggap sebagai orang yang harus Kakak jaga dan Kakak sayangi."
Danu menatap bingung ke arah Damara, tidak mengerti ke mana arah kata-kata Damara barusan. Kalimat "dianggap sebagai orang yang harus dijaga" masih terdengar wajar di telinga Danu, tapi "dianggap sebagai orang yang disayangi" mulai terdengar janggal dan berlebihan.
"Terima kasih, Kak." Anka tersenyum lebar menyusul kata-kata Damara.
"Oke, kalau begitu kamu bisa istirahat sekarang. Kamu pasti sangat capek setelah seharian sekolah dan kerja," kata Damara seraya bangun dari sofa. Sebelum berjalan kembali ke kamarnya, Damara mengusap pelan kepala Anka.
Danu mengerjap-ngerjapkan matanya, seakan tidak percaya apa yang barusan dilihatnya. Kakaknya terlihat begitu dekat dengan Anka, dan seperti sudah biasa melakukannya.
Melihat ekspresi Anka yang terlihat begitu senang, Danu mulai merasa ada yang tidak beres, namun tidak berani membayangkan dugaannya.
"Ka, lo kok nggak bilang-bilang mau berhenti kerja"" sergah Danu, meredam semua pikiran anehnya. "Kenapa waktu gue minta lo berhenti, lo nggak langsung bilang iya" Kenapa pas Kak Damara yang minta lo langsung bilang bakalan berhenti""
"Kemarin kan gue nggak bilang nggak mau. Sekarang kebeneran Kak Damara nanya masalah itu, ya sekalian gue bilang emang udah niat mau berhenti kerja," jelas Anka santai. "Terus emang kenapa" Sama aja kan gue bilang sama lo kemarin atau sekarang""
"Iya sih... tapi seharusnya lo bilang sama gue dulu dong, Ka. Sahabat lo kan gue, bukan Kak Damara."
"Ya ampun, Nu! Penting, ya" Yang kayak gitu aja lo masalahin. Gue bilang ke Kak Damara karena Kak Damara kan yang cariin gue kerjaan waktu itu."
Danu tidak membantah lagi. Walaupun masih ragu dengan alasan Anka, ia tidak ingin banyak bertanya. Bukan karena lelah mempertanyakannya, Danu hanya takut jawaban yang dituntutnya dari Anka malah akan menyakiti dirinya sendiri.
"Ya udah, lo tidur sana, istirahat," kata Danu akhirnya. Anka mengangguk, mengulas senyum kecil. Danu merasakan tangannya bergerak pelan mendekati kepala Anka, berniat melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan Damara tadi. Tapi sebelum tangan Danu sampai ke kepala Anka, tiba-tiba Anka membalikkan badannya.
"Gue tidur duluan ya, Nu. Sampai ketemu besok," kata Anka seraya melangkah menjauhi Danu yang masih berdiri dengan sebelah tangan terangkat di udara.
Danu menarik tangannya kembali lalu mengusap wajahnya. Ia membaringkan tubuh di atas sofa, menatap kosong langit-langit polos di ruang tengah, sebelum akhirnya menghela napas lelah dan memejamkan matanya.
* * * "Danu nggak percaya Kakak bisa jadi orang kayak gini," - Danu
* * * - 18 - IMELDA duduk bersama rekannya sesama model dan beberapa perancang busana muda ternama, mengelilingi sebuah meja di salah satu restoran hotel bintang lima. Malam ini, dengan agak terpaksa Imelda menghadiri acara peluncuran edisi ke-500 majalah mode terkenal Indonesia yang sering mendaulatnya sebagai model.
"Acaranya keren ya, Mel," kata Ify, salah satu model yang mulai akrab dengan Imelda sejak pemotretan bersama di Singapura dua bulan lalu. "Yang datang orang-orang penting semua."
Imelda mengangguk membenarkan. Memang begitu biasanya, acara membosankan seperti ini banyak dihadiri orang penting, pikir Imelda.
"Sepulang dari Bali kemarin, gue sempet liat lo di infotainment, Mel. Kabar lo punya hubungan istimewa sama si pengacara itu cuma gosip kan, Mel"" tanya Ify santai, seraya menyuapkan salad buah ke mulutnya dengan gerakan anggun. "Wartawan memang nggak pernah ngerti apa yang kita rasain. Saat kita lagi sedih, mereka malah seenaknya bikin cerita yang membuat kita terpojok di depan publik. Padahal semua orang yang kenal lo pasti tau, lo nggak mungkin bikin skandal macem-macem. Apalagi sama pengacara yang megang kasus perceraian lo sendiri."
Imelda menelan ludah pelan menanggapi kata-kata Ify. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada Ify. Mungkin lebih baik kalau ia membenarkan anggapan Ify, kabar di infotainment hanya gosip biasa.
"Iya... mereka emang suka kelewatan kalau bikin gosip soal gue. Seminggu penuh gue dibikin susah ke mana-mana," ujar Imelda, memalingkan wajah kikuknya.
"Tapi saran gue nih, Mel... lo jangan terlalu deket deh sama pengacara lo itu." Ify mendadak menatap Imelda dengan wajah serius.
"Emang kenapa" Lo takut gue kena gosip lagi""
"Salah satunya itu. Tapi ada alasan lain..." tambah Ify, memelankan suaranya hingga nyaris seperti bisikan. Ify mencondongkan kepalanya ke dekat Imelda. "Lo tau cewek cantik yang duduk di meja ujung sana" Yang pake gaun warna hitam""
Imelda mengikuti arah yang ditunjuk Ify, dan mengangguk pelan saat matanya berhasil menangkap sosok cantik yang terlihat glamor dengan semua perhiasan dan barang mahal yang melekat di tubuhnya.
"Memang dia siapa, Fy""
"Anggun Damariva, dia pengusaha salon & spa ternama. Suaminya juga pengusaha properti sukses," jelas Ify, masih menatap ke arah wanita yang ditunjuknya tadi.
"Terus... apa hubungannya sama pengacara gue""
Ify menatap prihatin ke arah Imelda, seakan menyayangkan segala ketidaktahuan Imelda.
"Lo tuh ya! Sekali-sekali harus ikut acara kumpul gosip juga dong, jangan cuma bisa jadi bahan gosip doang..."
"Udahlah, Fy, nggak usah banyak omong deh. Lo bilang aja apa hubungannya dia sama pengacara gue"" desak Imelda, semakin tidak sabar mengetahui apa yang sebenarnya ingin disampaikan Ify.
"Menurut gosip terbatas di kalangan elite, pengacara lo itu simpenannya Anggun," bisik Ify dramatis.
Mata Imelda membelalak lebar menyusul pernyataan Ify. Sesaat Imelda menatap Ify dengan pandangan kosong, seakan apa yang baru saja didengarnya membuatnya mendadak trans. Di tengah keterkejutan yang membuatnya mati rasa, Imelda mengalihkan pandangannya ke arah Anggun, yang sekarang sedang mengangkat gelas red wine.
Seakan menyadari ada seseorang yang sedang memperhatikannya, Anggun membalas tatapan Imelda, lalu senyum mengembang di wajahnya. Senyum yang dirasa Imelda jauh dari kesan ramah.
"Mel, lo jangan ngeliatin dia kayak gitu. Entar ketahuan kita lagi ngomongin dia," tegur Ify pelan, berbisik ke telinga kiri Imelda.
Imelda me ngerjapkan matanya, buru-buru melepas kontak mata dengan Anggun dan menunduk menatap steak salmon di depannya.
"Kenapa sih, Mel" Lo kaget sama informasi yang baru lo dengar""
"Lo yakin, Fy, Anggun punya hubungan sama pengacara gue"" Imelda balik bertanya dengan suara datar, seolah-olah itu bukan hal penting baginya. "Mungkin gosip yang lo denger tentang mereka salah, kali""
Imelda kembali menatap Ify, seakan berharap teman dekatnya mengatakan ia hanya menduga-duga, atau ia hanya mendengar itu semua dari mulut-mulut usil kalangan atas, atau apa pun yang menegaskan kabar itu diragukan kebenarannya.
"Tadinya gue nggak terlalu percaya, biasanya gosip yang beredar di kalangan elite kayak gitu cuma diembuskan untuk saling menjatuhkan, tapi beberapa hari yang lalu saat gue ada acara di sini, gue sempet lihat Anggun keluar bareng sama pengacara lo dari hotel ini. Pagi-pagi lagi! Itu yang bikin gue yakin gosip itu bener."
Tiba-tiba Imelda merasakan ada yang tidak beres pada dirinya. Apa yang baru saja didengarnya dari Ify membuat semua hal indah yang baru sebentar ia rasakan bagai fatamorgana yang sengaja diciptakan seseorang untuk memberikan kesenangan sesaat, namun menyimpan sesuatu yang begitu menyakitkan di baliknya.
"Mel, lo nggak apa-apa, kan"" Ify kembali bertanya, melihat tingkah aneh Imelda. "Lo bener nggak punya hubungan apa-apa kan sama pengacara lo""
Imelda menggeleng dengan sigap, senyum canggung mengembang di wajah kakunya.
"Nggaklah, Fy. Mana mungkin gue punya hubungan sama orang kayak gitu," kata Imelda, seraya mengambil pisau dan garpunya untuk memotong salmon di depannya.
"Baguslah kalo begitu. Tadinya pas lihat gosip lo di infotainment, gue takut lo jadi sasaran dia selanjutnya. Ada kemungkinan dia mau cari pasangan yang seumuran dan juga menjanjikan dari segi finansial, setelah dia bosen sama Anggun yang lebih tua darinya."
Garpu di pegangan Imelda terjatuh, tanpa terasa air mata mengalir pelan di pipinya. Rasa sesak di dadanya begitu sulit disembunyikan. Ia tidak bisa lagi bersikap seolah baik-baik saja, karena kenyataan perasaannya jauh dari kata baik-baik saja.
"Mel, lo kenapa" Lo sakit"" Ify terkejut melihat perubahan Imelda.
"Iya nih, Fy... kayaknya gue harus pulang," kata Imelda lirih, sambil mengusap air matanya. "Lo bisa anterin gue balik ke apartemen kan, Fy""
"Oke, gue anterin lo pulang sekarang."
Imelda bangun dari kursinya, melangkah keluar ruang pesta. Sebisa mungkin ia bergerak pelan, agar tidak ada yang menyadari kepergiannya yang mendadak. Sebelum keluar Imelda sempat menjatuhkan pandangannya ke arah Anggun. Dadanya terasa makin sesak saat Anggun-entah sadar atau tidak dengan apa yang dirasakan Imelda-tersenyum sambil mendongak, senyum yang terkesan penuh kesombongan.
*** Dengan kecewa Damara meletakkan handphone di atas meja kerjanya. Untuk kesekian kalinya sejak tadi malam ia gagal menghubungi Imelda. Berkali-kali Damara mencoba menelepon Imelda, tapi Imelda tidak pernah menjawab. Sepuluh pesan yang dikirimkan Damara pun tidak mendapat balasan. Ini membuat Damara bingung, ia tidak tahu apa yang terjadi pada Imelda, mengapa tiba-tiba Imelda seakan menghindar darinya.
Sekali lagi Damara meraih handphone-nya, berharap kali ini ia bisa berbicara dengan Imelda. Tapi sekali lagi ia harus kecewa. Damara terdiam, mulai tidak suka Imelda membuatnya seperti ini, tidak suka Imelda membuatnya khawatir.
"Mar... meeting!" panggil Debo, teman kerja Damara, seraya melongok ke ruang kerjanya dari pintu yang sengaja tidak ditutup.
"Iya, sebentar aku nyusul."
Damara menghela napas, menyerah sesaat untuk usahanya menghubungi Imelda. Walaupun sebenarnya yakin bahwa ia tidak akan bisa benar-benar berhenti memikirkan alasan Imelda tidak mau menjawab teleponnya.
*** Danu duduk di bangku kelasnya, menatap dengan bingung kotak persegi berwarna biru muda berpita putih. Untuk kedua kalinya Zevana memberikan hadiah tanpa alasan yang jelas. Dan yang paling membingungkan, secarik kertas yang menyertai kotak hadiah tersebut.
"Apaan tuh, Nu"" tanya Andro
sekembalinya dari kantin. "Ulang tahun lo belum dimajuin, kan""
Danu tidak menjawab. Andro duduk di samping Danu, menatap dengan penuh perhatian pada kotak biru muda di depannya.
"Kayaknya gue kenal nih sama kotak hadiah kayak gini," kata Andro sambil membolak-balik kotak tersebut. "Dari Zeva lagi ya""
Danu mengangguk lesu menjawab pertanyaan Andro. "Tadi gue ketemu Zeva di ruang OSIS, dia kasih ini ke gue."
"Wah, gila lo, Nu! Tuh cewek kayaknya beneran suka sama lo. Terus, dia ngomong apa pas kasih ini ke lo""
"Nggak ngomong apa-apa, dia cuma kasih ini sama gue." Danu menyodorkan secarik kertas yang langsung dibaca Andro.
"Wah, ini sih dia nembak lo, Nu..." komentar Andro selesai membacanya. "Terus lo mau jawab apa ke Zeva" Lo terima, atau lo mau nolak dia""
"Itu yang bikin gue bingung, Ndro... Zeva itu sebenernya baik, cantik lagi, tapi gue nggak bisa terima dia."
"Emang kenapa sih" Nggak ada salahnya nyoba jalanin dulu sama Zeva."
Danu mengusap wajahnya dengan lelah dan menghela napas berat, bertingkah seakan dilema yang sedang dialaminya merupakan masalah yang sangat berat.
"Gue sayang sama Anka, Ndro... Gue nggak bisa sama Zeva saat gue nggak bisa berhenti mikirin Anka."
"Nah... kejadian, kan" Gue udah tahu bakal kayak gini ujungnya. Dari dulu tuh gue nggak pernah bisa percaya cewek sama cowok bisa sahabatan. Bener kan yang gue bilang""
Danu tidak membantah Andro kali ini. Ucapan Andro memang benar adanya. Sekuat apa pun Danu berusaha menekan semua perasaannya pada Anka, pada akhirnya segalanya terlalu sulit untuk disimpannya sendiri.
"Jadi sekarang gimana" Lo mau bilang ke Anka kalo lo sebenernya suka sama dia""
Danu kembali menggeleng lesu, membuat Andro geregetan melihat tingkah sahabatnya ini.
"Yaaah... gimana sih""
"Anka kayaknya nggak suka sama gue, Ndro. Kayaknya dia nganggap gue sebatas sahabat doang," kata Danu datar. "Entahlah... Sekarang gue malah ngerasa Anka suka sama Kak Damara."
"Hah" Lo tahu dari mana Anka suka sama Kak Damara""
"Ya... ketahuanlah dari sikap Anka ke Kak Damara. Cara dia ngelihatin Kak Damara, cara dia nurutin semua yang Kak Damara bilang..."
Andro diam, ada raut kebingungan di wajahnya. Sulit baginya memikirkan solusi masalah Danu, sebab ia sendiri belum pernah mengalami masalah seperti ini. Yang akan dilakukannya saat ada gadis cantik, baik, dan begitu perhatian, menyatakan rasa suka, tanpa pikir panjang pasti ia langsung menerimanya. Tapi untuk Danu, Andro tahu benar Danu selalu memiliki pemikiran istimewa dalam segala hal. Maka sebagai sahabat, kali ini ia hanya bisa berkata lirih, "Semua pasti ada penyelesaiannya, Nu..."
Andro mungkin tidak tahu apa yang benar-benar mengganggu pikiran Danu. Masalah dilema cinta masih bisa dianggap Danu sebagai hal yang tidak terlalu penting. Belakangan Danu sudah terbiasa mengindoktrinasi pikirannya dengan pernyataan bahwa ia masih terlalu muda untuk terlalu serius memikirkan perasaan cinta. Yang membuat Danu lebih tertekan adalah keadaan ayahnya di Bandung. Berbagai hal yang terjadi belakangan membuatnya tidak punya kesempatan menceritakan kabar ayahnya pada Damara. Lagi pula, Danu tidak cukup punya keberanian untuk mengungkapkannya. Kondisi ini membuatnya bingung. Sementara Danu di sini menimbang-nimbang berani atau tidak untuk bercerita pada Damara, mungkin di sana ayahnya tidak bisa menunggu lama hingga keberanian Danu muncul.
*** Siang ini jadwal sidang permohonan banding suami Imelda akan digelar. Damara sedikit bernapas lega. Setelah berhari-hari Imelda tidak menjawab teleponnya, hari ini ia akan kembali mendampingi Imelda di persidangan. Berarti akan berakhir pula hari-hari penuh pertanyaan dan kecemasan yang dilalui Damara.
"Apa"! Imelda nggak bisa datang ke persidangan"" tanya Damara dengan suara keras di telepon, saat manajer Imelda mengabarkan bahwa Imelda tidak bisa datang ke persidangan hari ini. "Kenapa dia nggak bisa hadir""
Manajer Imelda menjelaskan bahwa Imelda tidak datang karena merasa Damara sudah cukup mewakilinya. Saat Damara bertanya Imelda berada di
mana, manajernya mengatakan bahwa Imelda ada di apartemennya dan tidak ingin diganggu siapa pun.
"Oke, terima kasih." Damara menutup teleponnya, terdiam sebentar. Ada yang aneh dengan Imelda. Mendadak ia seperti menarik diri, terutama dari Damara. Jelas ada sesuatu yang disembunyikan Imelda, yang membuatnya berubah begitu drastis.
Damara bertekad akan segera mencari tahu alasannya.
Selesai persidangan, yang tidak dihadiri Imelda dan mantan suaminya, Damara segera memacu mobilnya meluncur ke apartemen Imelda, tentu saja tanpa sepengetahuan wartawan infotainment yang tadi mengerubunginya. Ia tidak peduli ucapan manajer Imelda yang mengatakan bahwa Imelda sedang tidak ingin diganggu. Damara merasa perlu tahu mengapa Imelda menghindarinya, dan yang paling penting dari semuanya, ia amat merindukan Imelda.
*** Bunyi bel kembali terdengar dari luar pintu apartemen Imelda, kali ini disusul ketukan keras. Hampir lima menit Damara berusaha membuat Imelda membuka pintu, tapi Imelda hanya duduk diam di sofa dengan berbagai perasaan campur aduk saat Damara mencoba bicara padanya dari balik pintu.
"Aku tahu kamu di dalam, Mel... Aku mohon buka pintunya, kita perlu bicara. Aku harus tahu kenapa kamu menghindar dari aku."
Air mata Imelda menetes pelan. Apa yang membebani dirinya selama beberapa hari ini terasa lebih menyiksa saat orang yang membuatnya harus merasakan ini semua berada di dekatnya.
"Aku akan terus berdiri di sini sampai kamu membuka pintu, Mel." Suara Damara kembali terdengar.
Imelda tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ingin rasanya ia berjalan ke luar untuk sekadar menampar, memukul, atau melakukan apa pun yang bisa melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya pada Damara. Hanya saja ia tidak yakin akan sanggup melakukannya. Saat ia membuka pintu dan melihat wajah Damara, pasti ia akan menangis dan menunjukkan kelemahannya.
Menit demi menit berlalu. Berjam-jam dihabiskan Imelda dengan duduk terpaku di sofa. Imelda mengusap wajah sembapnya, bangun dari sofa, dan berjalan ke pintu apartemennya. Damara tampaknya sudah pergi. Dari lubang kecil di pintu Imelda sudah tidak melihat sosoknya. Pelan-pelan, Imelda membuka pintu apartemennya dan terkejut saat mendapati Damara duduk di samping pintu apartemennya. Imelda segera menarik tangkai pintu, tapi tangan Damara lebih cekatan menahannya.
"Kita perlu bicara, Mel... Tolong kasih aku waktu," pinta Damara.
Melihat tangan Damara yang memerah menahan pintu agar tidak tertutup, Imelda menyerah. Ia melepaskan tangannya dari tangkai pintu. Damara terlihat lega saat Imelda menghentikan usahanya. Sekarang mereka berdiri di ambang pintu, terdiam, seakan masing-masing tidak tahu apa yang harus dikatakan untuk memulai pembicaraan.
"Aku senang akhirnya kamu mau nemuin aku," Damara berkata pelan, seraya meraih tangan Imelda. "Beberapa hari ini kamu sudah berhasil bikin aku seperti orang linglung..."
Imelda menarik lengannya dari pegangan Damara, membuat Damara tersentak.
"Aku terpaksa membiarkan pintu ini terbuka, karena nggak mau tangan terampil kamu terluka," kata Imelda dingin. Ia membalikkan badannya, seakan enggan bertatapan dengan Damara. "Lebih baik kamu segera pergi."
"Kamu kenapa sih, Mel" Kenapa kamu berubah seperti ini""
Damara membalikkan tubuh Imelda menghadap ke arahnya, agar saat bicara bisa menatap ekspresi Imelda. Tapi Imelda memalingkan wajah, menunduk dan menghindari tatapan Damara.
"Aku belum mau bicara sama kamu, Mar... jadi tolong pergi..."
"Tapi kenapa" Kalau aku memang punya kesalahan sama kamu, aku berhak tahu apa kesalahanku."
"Dan aku juga punya hak untuk tidak menjelaskan semua sikapku," tegas Imelda, tiba-tiba menantang dengan menatap tajam ke arah Damara. "Sekarang, cukup aku yang tahu alasannya, cukup aku yang tahu mengapa aku muak melihat kamu berada di sini, di depanku! Jadi kalau kamu masih punya sedikit empati, sekali lagi, tolong segera pergi."
Damara nyaris tidak bisa memercayai semua yang dikatakan Imelda padanya. Imelda yang di depannya sekarang berbeda dari Imelda yang dikenalnya. I
melda bukan lagi sosok wanita yang mencintai dan menyayanginya, sekarang Imelda berubah menjadi seseorang yang begitu membencinya.
Tanpa memberikan sedikit pun penjelasan tentang perubahan menyakitkan ini, Imelda mengusir Damara pergi dari apartemennya.
Ada banyak kemungkinan yang terpikirkan oleh Damara setelah menerima luapan kebencian dari Imelda, tapi baru membayangkannya saja Damara sudah merasa sakit kepala. Mungkinkah Imelda tahu hubungannya dengan Anggun" Dari semua kemungkinan, hanya alasan ini yang paling jelas bisa membuat perubahan sikap Imelda. Andai dugaan Damara benar, entah akan seperti apa jadinya nanti... Damara tidak berani membayangkan lebih jauh.
Sebulan yang lalu, mungkin Damara tidak akan begitu peduli jika kliennya mengetahui kehidupan pribadinya, namun sekarang... saat ia telanjur memiliki perasaan istimewa pada Imelda, demi Tuhan... ia tidak ingin rahasia itu terungkap.
*** Malam harinya, Danu memberanikan diri mengetuk pintu kamar Damara. Sore tadi Danu sudah memutuskan akan mengatakan semuanya kepada kakaknya.
"Kak, bisa ganggu sebentar"" tanya Danu setelah masuk dan melihat Damara sedang menghadap layar deskbook di meja kerjanya. "Ada yang mau Danu omongin sama Kakak."
Tatapan Damara beralih dari layar deskbook-nya dan ganti menatap Danu yang berdiri di depannya.
"Memang mau ngomongin apa, Nu"" tanya Damara pelan.
Danu tidak langsung bicara, sekali lagi ia memperhatikan ekspresi Damara. Kakaknya terlihat sangat lelah, wajahnya lusuh. Sepertinya malam ini bukan saat yang tepat untuk mengatakan semua pada Damara, tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi masalah ini akan tersampaikan"
"Kenapa malah diam" Duduk, kalau memang kamu mau ngomong sama Kakak!"
Dengan patuh Danu duduk di kursi kecil di depan meja kerja Damara. Sekarang, saat sudah duduk berhadapan dengan Damara, tidak ada lagi alasan baginya untuk menunda-nunda lagi.
"Begini, Kak, saat Danu ke Bandung, di sana Danu ketemu sama Om Hari, temen sekantor Papa dulu..." Danu berhenti sebentar, menunggu perubahan ekspresi Damara. Ia kembali melanjutkan saat tidak melihat ekspresi yang berarti. "Waktu itu, Om Hari bilang ke Danu..."
"Dia bilang apa ke kamu""
"Dia bilang... Papa sakit, Kak. Papa kena stroke, dan sudah hampir dua minggu dirawat di rumah sakit."
Danu kembali mendongak menatap Damara, tadinya ia menyangka akan melihat kemarahan atau ketidaksukaan di wajah Damara. Nyatanya, wajah Damara hanya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan.
"Jadi kita harus gimana, Kak""
"Maksud kamu"" Damara balik bertanya dengan nada tidak begitu peduli.
"Maksud Danu... kita harus gimana sama Papa""
"Kakak pernah bilang sama kamu, kan" Kita sudah nggak punya siapa-siapa yang disebut keluarga setelah kita pindah ke Jakarta. Kita juga sepakat, anggap saja orang yang sudah menelantarkan kita untuk memilih kesenangan masing-masing, tidak pernah ada dalam kehidupan kita... Kamu masih ingat semuanya, kan""
Danu terdiam. Dia masih ingat jelas, dengan penuh kebencian ia sendiri mengatakan tidak akan pernah lagi menganggap ada ikatan darah dengan kedua orangtuanya. Tapi sekarang, saat rasa benci itu bertahun-tahun tersimpan rapi, ia bertanya-tanya, apa masih benar untuk kembali merasakan itu semua"
"Papa sakit, Kak... Om Hari bilang sebagian badan Papa sudah nggak bisa bergerak lagi."
"Kalau begitu, biarkan saja keluarga barunya yang mengurus semua," kata Damara enteng, seraya membuka lembaran berkas kasus yang sedang dipelajarinya. "Kita sudah nggak punya urusan apa-apa sama dia. Mungkin dia juga nggak mau kita datang ke sana, atau bisa jadi dia juga sudah lupa sama dua anak laki-laki yang dia buang."
"Kak, Papa sekarang udah nggak punya keluarga!" sergah Danu, kesal dengan sikap Damara. "Istri barunya pergi ninggalin Papa buat laki-laki lain saat usaha Papa bangkrut."
Damara mendengus pelan mendengar ucapan Danu. Senyum puas tergurat di wajahnya. Danu terperangah, untuk pertama kalinya ia melihat ekspresi seperti ini di wajah kakaknya. Damara seperti menikmati rentetan kemalangan yang m
enimpa ayah mereka. "Akhirnya orang itu menerima karmanya juga," kata Damara dingin. "Sekarang dia tahu bagaimana rasanya terbuang..."
"Kak! Bisa-bisanya Kakak bilang begitu!" Danu berdiri tegak di hadapan Damara, kemarahannya mulai menggelegak. Ia tidak menyangka Damara berkata begitu untuk orang yang pernah membesarkan mereka.
"Memang apa yang kamu harap akan Kakak katakan untuk dia" Kakak akan cemas atau khawatir dengan kabar dia terkapar di rumah sakit sendirian"! Atau kamu berharap kita akan pergi ke Bandung dan merawat dia"! Mimpi kamu, Nu, kalau berharap Kakak melakukan itu!"
Damara bangun dari kursi kerjanya, berjalan menjauhi Danu, dan berhenti di sisi jendela kamarnya. Ia memandang ke halaman depan dengan tatapan kosong untuk beberapa saat.
"Kita sudah sepakat untuk tidak terkait dengan apa pun yang pernah kita tinggalkan di Bandung dulu, dan Kakak mau kamu pegang kesepakatan itu." Suara Damara kembali terdengar tegas. "Kakak nggak akan pernah kembali ke Bandung untuk menemui orang itu, dan Kakak juga melarang kamu menemuinya. Tidak peduli berita apa pun yang mungkin kamu dengar nanti."
"Tapi, Kak... Dia masih orangtua kita. Apa pun alasannya, kita harus ada saat dia butuh kita," kata Danu memelas.
Damara menggeleng tegas, membalikkan badan, dan berjalan kembali mendekati Danu. "Dia bukan orangtua kita lagi setelah dia menelantarkan kita! Ngerti kamu"!" Mata Damara menatap tajam pada adiknya.
Danu menghela napas lelah, menggeleng pelan seakan tidak percaya kakaknya bisa begitu tak berperasaan.
"Danu nggak percaya Kakak bisa jadi orang kayak gini," kata Danu, sebelum berjalan keluar kamar Damara dengan marah.
Damara mengenyakkan dirinya di kursi yang tadi diduduki Danu, mengusap wajahnya dengan lelah. Danu boleh menganggapnya sebagai orang yang sangat kejam dan tak berperasaan. Danu bebas beranggapan apa saja, dan ia pun berhak untuk marah.
Toh bukan Danu yang harus bekerja begitu keras untuk menghidupi mereka, juga bukan Danu yang terpaksa melakukan pilihan melenceng dari garis lurus demi bertahan hidup.
Damara memiliki banyak alasan untuk membenarkan sikapnya pada lelaki itu. Ia tidak merasa kejam sama sekali. Karena orang yang menyebabkan ia harus menjalani kehidupan menyiksa nurani selama bertahun-tahun, bahkan hingga sekarang, dan orang yang membuat kehidupannya bagai sampah, jauh lebih kejam..
"Gue ngerti apa yang lo rasain, Nu," - Andro
* * * - 19 - "INI gue beliin roti bakar buat lo. Tadi pagi kan lo nggak sarapan." Anka menyodorkan bungkusan roti bakar yang dibelinya di kantin kepada Danu, yang sejak jam istirahat memilih menyendiri di kebun belakang sekolah.
"Thanks, Ka." Danu mengambilnya dari tangan Anka, namun tidak langsung memakannya.
Danu terlihat lesu pagi ini, dan Anka tahu apa penyebabnya. Semalam suara keras Danu sedang berdebat dengan kakaknya terdengar jelas dari kamar Anka.
"Makan dulu, Nu," kata Anka lagi, mengingatkan Danu yang sedari tadi hanya terdiam. "Tuh, gue udah minta sama Pak Naryo supaya banyakin kejunya, lo suka banget keju, kan""
Danu tersenyum kaku, sambil mulai membuka bungkusan roti bakar yang hampir dingin di pegangannya. Dengan gerakan lemah, memasukkan satu gigitan ke mulutnya.
"Kejunya kebanyakan, jadi asin..." komentar Danu seraya mengunyah roti bakarnya. "Lo minta Pak Naryo nambahin garam juga ya""
"Sialan lo!" kata Anka mendorong bahu Danu.
"Abis rasanya aneh, kayak oralit, manis campur asin."
Akhirnya setelah beberapa hari tidak melihat Danu tertawa, Anka kembali bisa menikmati tawa yang dulu sering menjadi penghiburnya. Sepertinya sekarang Danu sedang menghadapi masa-masa sulitnya. Banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Anka sangat mengerti kalau beberapa hari belakangan ini Danu tidak seperti Danu yang biasa ia kenal. Tapi lagi-lagi ia hanya bisa menunjukkan keprihatinan untuk Danu, tidak bisa memberikan solusi atau bahkan sekadar saran. Karena Anka merasa tidak punya kepentingan mencampuri urusan yang dinilainya begitu pribadi baik bagi Danu maupun Damara.
Bagi Anka, mungkin dengan bera
da di dekat Danu untuk sekadar memberikan semangat seperti yang dulu selalu dilakukan Danu untuknya, adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan. Ada untuk Danu sebagai teman, bukan untuk memberikan solusi tapi lebih sebagai tempat untuk berbagi. Andai saja bisa, hal yang sama sebenarnya ingin juga dilakukan Anka untuk Damara.
*** Damara membaringkan tubuh lelahnya di sofa ruang kerjanya, memejamkan mata dan berusaha membuat rasa sakit di kepalanya reda. Semalam Damara sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Pertengkarannya dengan Danu tentang orang yang tidak lagi ingin dianggapnya sebagai orangtua membuatnya memikirkan banyak hal. Begitu banyaknya sampai-sampai ia merasa kepalanya penuh dan itu menekan saraf-sarafnya, menjadikan tiap masalah terasa begitu menyakitkan untuk dipikirkan.
Damara akhirnya membuka mata yang sulit dibuat terlelap padahal ia ingin sekali. Pandangannya jatuh ke handphone di atas meja depan sofa, andai saja ia bisa menelepon seseorang sekadar menceritakan apa yang dirasakannya, sekadar meringankan beban dan berbagi dengan seseorang. Tapi dengan siapa" Andai saja seseorang itu ada... Damara kembali memejamkan mata.
Sosok Imelda langsung terlintas di benak Damara. Kalau saja Imelda masih ada untuknya, pasti tidak terasa seberat ini. Kalau saja Imelda menjelaskan semuanya, dan tidak membiarkan ia terus bertanya "mengapa" pasti akan terasa lebih baik.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruang kerja Damara, tanpa menunggu jawaban, Cakka, rekan kerja Damara, masuk dan menghampiri Damara yang masih terbaring di sofa.
"Kamu kenapa, Mar" Sakit"" tanya Cakka.
"Nggak... cuma kurang tidur aja," jawab Damara, tanpa membuka matanya.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu, Mar," kata Cakka sambil duduk di kursi kecil yang ditariknya dari depan meja kerja Damara.
Damara membuka matanya dan mencoba mendudukkan dirinya. Ia kembali mengernyit saat rasa sakit kembali menusuk kepalanya.
"Mau ngomong soal apa, Kka""
"Soal Imelda," jawab Cakka singkat.
"Imelda"!" Mata Damara melebar saat mendengar nama Imelda disebut. "Ada apa sama Imelda""
"Tadi manajer Imelda telepon, katanya Imelda minta kasus naik banding perceraiannya nggak dipegang sama kamu lagi. Dia minta pengacara pengganti," jelas Cakka.
Damara terdiam. Ada apa lagi ini" Setelah Imelda tidak menemuinya, sekarang tidak mau lanjutan kasusnya ditangani oleh Damara lagi. Sebesar itukah ketidaksukaan Imelda padanya"
"Kalau begitu, kasih aja dia pengacara pengganti," kata Damara dingin. "Kalau memang dia nggak mau aku jadi pengacaranya lagi, ya sudah. Kita kasih apa yang dia mau. Tapi sebelum aku nyerahin kasusnya ke orang lain, aku harus ketemu sama klien yang bersangkutan. Tolong bilangin, Kka, aku mau ketemu mereka dulu. Dan pastikan satu hal, Imelda harus ada, bukan cuma manajernya!"
Cakka mendongak menatap Damara yang berdiri marah di depannya, heran mengapa Damara menjadi semarah itu.
"Sebenarnya, ada apa sih kamu sama Imelda" Aku nggak ngerti! Kemarin kerja sama kalian masih oke, tapi tiba-tiba sekarang jadi kayak gini. Kenapa sih, Mar""
"Kamu nggak bakal ngerti, Kka... Sekarang bilang aja ke mereka, aku mau ketemu sama Imelda sore ini," tegas Damara.
*** Damara duduk di depan Imelda dan manajernya, di kafe milik Rio. Entah cara apa yang dilakukan Cakka hingga berhasil mendatangkan Imelda ke kafe untuk menemui Damara. Terserahlah, Damara tidak begitu memusingkannya. Yang penting sekarang Imelda sudah duduk di depannya.
Damara lebih banyak diam, hanya lebih sering berusaha menatap mata Imelda yang disembunyikannya di balik kacamata besar berwarna gelap.
"Kita di sini bukan hanya untuk minum kopi dan diam, kan"" kata Imelda setelah hampir setengah jam tidak ada yang bersuara. "Atasan Anda bilang, Anda ingin menemui saya sebelum semua berkas hukum saya beralih pada pengacara pengganti. Kalau Anda hendak mendiskusikan sesuatu, lakukanlah dengan cepat. Saya tidak punya banyak waktu."
Imelda kembali menunjukkan keangkuhannya di depan Damara, seperti awal mereka berkenalan. Tapi keangkuhan Imeld
a kali ini dirasa Damara gak keterlaluan, bahkan manajer Imelda pun dibuat tercengang dengan sikap Imelda. Kata "Anda" yang dulu terdengar biasa saja, kini terdengar begitu getir di telinga Damara.
"Oke, kalau memang Anda tidak punya banyak waktu..." Damara memaksimalkan kesabarannya, "saya hanya ingin bertanya, apa alasan Anda meminta pengacara pengganti" Padahal kasus perceraian Anda sudah sejak awal saya tangani."
"Jawabannya simpel, saya hanya ingin kasus saya ditangani orang yang kompeten," jawab Imelda santai.
"Maksud Anda, saya tidak kompeten dalam menangani kasus Anda selama ini"" sergah Damara, tidak percaya alasan yang dikemukakan Imelda.
"Mungkin penilaian kita tentang itu berbeda... Saya hanya mau kasus saya ditangani pengacara yang memiliki reputasi baik, yang tidak punya catatan hitam sama sekali. Dengan kata lain, pengacara yang bermoral baik!"
Damara terperangah dan langsung menatap Imelda dengan tajam. Ingin sekali Damara mencopot kacamata yang dipakai Imelda agar ia bisa melihat sorot mata Imelda. Jika dugaannya benar tentang alasan Imelda ini, pasti alasan yang sama pula yang menjelaskan semua perubahan sikap Imelda. Damara ingin meyakinkan diri dan mengetahui kejujuran Imelda lewat sorot matanya.
"Oke, saya rasa semuanya sudah cukup jelas. Besok saya mau pengacara pengganti yang datang ke pengadilan menemani saya... Permisi." Tanpa memberikan kesempatan pada Damara untuk bertanya, Imelda mengajak manajernya meninggalkan meja kafe.
"Bisa saya minta waktu Anda sebentar" Saya ingin kita bicara berdua sebelum Anda pergi," pinta Damara, sebagai usaha terakhir untuk mendapat jawaban yang pasti.
Imelda berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya, kembali menghadap pada Damara.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu Mbak jalan duluan ke mobil," kata manajer Imelda, sebelum berjalan meninggalkan Imelda keluar kafe.
Dengan ekspresi enggan harus kembali menghadapi Damara, Imelda duduk di kursi yang tadi didudukinya. Berusaha santai ddengan menyilangkan kedua tangan halusnya di atas meja.
"Apa lagi yang mau Anda bicarakan"" tanya Imelda datar.
Damara tidak langsung membeberkan semua pertanyaan yang menjejali otaknya, terlalu takut dengan jawaban Imelda, takut kalau dugaannya selama ini benar adanya.
"Mau nanya kenapa aku menghindar dari kamu"" Imelda mendului Damara. "Itu kan yang mau kamu tanyakan"" katanya, kembali ber-aku-kamu.
Damara mengangguk membenarkan. Ia tidak tahu apa yang sedang merasuki Imelda sekarang. Yang jelas, semua hal yang dilakukan Imelda dan semua yang telah dan akan dikatakan Imelda selanjutnya membuat nyali Damara menciut.
"Ya, aku memang ingin tahu alasan perubahan sikap kamu ke aku."
Senyum sinis tiba-tiba mengembang di wajah Imelda.
"Oke, memang tidak ada gunanya menunda terlalu lama... Aku juga ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan selama beberapa hari ini."
"Kamu bisa segera mengatakannya," kata Damara tenang di tengah rasa gelisahnya.
"Rasa sakit di sini yang membuat segalanya harus berubah," kata Imelda seraya menyentuh dadanya dengan sebelah tangannya. "Rasa sakit karena kecewa, marah, dan sedih saat menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang menyatakan ketulusan cintanya ternyata tak lebih dari pembohong."
Imelda melepaskan kacamata yang ternyata digunakan untuk menutupi mata sembapnya, lalu menatap Damara dalam-dalam. Damara membatu, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakannya saat semua yang ditakutinya bergerak menjadi nyata.
"Menyakitkan ketika aku tahu siapa kamu sebenarnya dan siapa Anggun Damariva. Tapi yang lebih menyakitkan, saat aku harus memikirkan bahwa ketulusan kamu hanyalah cara mendapatkan mangsa lain setelah bosan dengan Anggun!"
Damara menggeleng pucat. "Kamu salah, Mel... Aku nggak pernah punya niat sejahat itu pada kamu, selama ini aku..."
Imelda mengangkat tangannya, menghentikan semua penjelasan yang hendak keluar dari mulut Damara, ia tidak ingin mendengarnya lagi.
Damara frustasi, ia ingin meluruskan semua anggapan yang melenceng di pikiran Imelda, ia ingin Imelda mengerti yang sebenarnya.
"Di si ni aku hanya mau memberi penjelasan, bukan mau mendengar pembelaan... Kalau kamu mengira aku bisa dijadikan pengganti Anggun Damariva atau entah siapa lagi wanita pelanggan kamu, kamu salah! Mulai detik ini aku nggak mau lagi berhubungan dengan laki-laki yang rela menukar hati dan tubuhnya dengan uang!"
Imelda bangun dari kursinya dan memakai kembali kacamatanya sebelum pergi meninggalkan Damara. Pengacara itu terdiam seperti baru saja dihantam badai yang tidak mencederai tubuhnya tapi melukai hatinya.
Damara tidak menyangka akan seperti ini akhirnya. Hal yang paling ditakutkannya saat mencintai seseorang akhirnya terjadi juga. Saat ia begitu bahagia merasakan cinta yang sesungguhnya, ternyata cinta itu harus pergi dengan cara yang menyakitkan. Andai dulu ia tidak mengikuti kata hatinya dan tidak membiarkan rasa cintanya pada Imelda terus membuai, tentu kenyataan ini tidak akan begitu melukai.
Sekarang, apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki semuanya" Tidak ada.
*** Untuk kesekian kalinya Anka melihat jam dinding di ruang tengah, sudah hampir jam sepuluh malam, tapi baik Danu maupun Damara belum pulang juga. Ini di luar kebiasaan, terutama Danu. Selama ini ia tidak pernah meninggalkan rumah sampai selarut ini. Anka sudah berkali-kali mencoba menghubungi Danu, tapi handphone-nya tidak aktif. Begini rupanya kalau dua laki-laki bersaudara sedang bertengkar, masing-masing enggan untuk bertemu. Bagus juga sih, mencegah terjadinya pertengkaran lanjutan yang akan memperburuk masalah, tapi tidak bagus bagi orang yang mengkhawatirkan keadaan mereka, orang yang bertanya-tanya di mana mereka sekarang.
Duduk, berdiri, menyalakan TV, mematikannya lagi, sudah bosan dilakukan Anka selama menunggu Danu dan Damara kembali. Anka sadar sepenuhnya ia tidak perlu mengkhawatirkan keduanya, sebab baik Danu maupun Damara sudah cukup dewasa untuk menerima kekhawatiran berlebihan. Danu mungkin menginap di rumah Andro, Damara mungkin tidur di kantornya karena harus menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam. Tapi bagaimanapun, Anka tetap mencemaskan keduanya. Ia sudah mencoba tidur, tapi hasilnya ia tidak henti-henti melihat ke arah jam dinding dan jendela.
Hampir jam dua belas malam saat Anka mendengar suara mobil masuk ke garasi rumah. Anka segera keluar dari kamarnya dan menyalakan lampu ruang tengah.
Saat Anka melihat ke luar lewat jendela, Damara terlihat berjalan agak limbung menuju pintu depan. Sepertinya Damara setengah sadar, ini semakin jelas terlihat saat Damara mendorong pintu tubuhnya langsung terhuyung hingga ia harus memegang tembok agar tetap bisa berdiri.
Anka mulai merasa ada yang tidak beres dan segera menghampiri Damara.
"Kak Damara..." Kakak kenapa""
Damara mendongak menatap Anka, senyum kecil tersungging dengan aneh di wajah lusuhnya.
"Anka... kamu belum tidur"" tanya Damara dengan suara dalam yang aneh.
"Saya terbangun denger suara mobil Kak Damara," jawab Anka sedikit berbohong, matanya terus menatap khawatir pada Damara yang sepertinya untuk berdiri tegak saja kesulitan.
Damara mengangguk sekenanya, dan berusaha melanjutkan langkah limbungnya. Namun baru berapa langkah saja gerakan tubuhnya sudah tidak bisa terkontrol. Cepat-cepat Anka memegang lengan Damara, mencegah agar Damara tidak terjatuh.
"Saya bantu ya, Kak."
Anka memapah tubuh Damara yang samar-samar tercium bau alkohol dan mendudukkannya di sofa ruang tengah.
"Sebentar, saya ambilkan air hangat untuk Kakak."
"Terima kasih, Ka... Maaf membuat kamu repot," kata Damara parau.
Anka mengangguk pelan, lalu berjalan menuju dapur untuk membuatkan segelas teh manis hangat yang mungkin bisa membuat Damara merasa lebih baik. Banyak alasan yang membuat Damara pulang dalam keadaan mabuk begini, pertengkarannya dengan Danu pasti salah satu di antaranya.
Saat Anka kembali ke ruang tengah dengan segelas teh hangat, Damara sudah tertidur, kepalanya terkulai lemas di lengan sofa. Anka meletakkan gelas teh yang dibawanya di atas meja, lalu mendudukkan dirinya di lantai, tepat di depan sofa yang ditiduri Damara.
Belum pernah Anka menatap Damara selekat dan sedekat ini. Ada rasa aneh yang dirasakan Anka, jantungnya seperti berdetak tak keruan membuat perasaannya campur aduk. Wajah Damara menyiratkan begitu banyak kepedihan yang disembunyikan di balik ketegaran yang selama ini ditampilkannya. Anka sangat mengenali raut wajah seperti itu, karena sudah berbulan-bulan ia melihatnya di pantulan cermin. Dan benar dugaan Anka, tak berapa lama ia melihat setitik air mata mengalir pelan dari mata terpejam Damara.
Anka menggerakkan tangannya mendekati wajah Damara, agak ragu menyeka lembut air mata yang mengalir ke pipi Damara. Apa yang dialami Damara pasti bukan hal sepele hingga membuatnya terpuruk seperti ini. Damara pasti kelewat sedih sampai-sampai saat ia tidak sadar pun kesedihan itu tetap bisa dirasakannya.
Sekali lagi Anka menyentuh wajah Damara. Seolah-olah dengan sentuhan itu ia bisa merasakan kesedihan yang sekarang sedang dirasakan Damara. Andai saja ia bisa selalu ada seperti sekarang ini setiap kali Damara merasa sedih, pasti ia akan sangat bahagia dan merasa berharga. Seperti memuaskan dahaga atas perasaan anehnya pada Damara yang entah sejak kapan hadir, dan pelan-pelan semakin terasa nyata. Perasaan yang baru kali ini dirasakan Anka.
Sementara Anka membiarkan perasaan anehnya menemukan aliran yang tepat malam ini, Danu berdiri beberapa meter di depan Anka, di balik pintu yang belum sepenuhnya tertutup. Terdiam saat melihat apa yang ditakutkannya selama ini menjadi begitu nyata.
* * * - 20 - WARTAWAN-WARTAWAN yang haus berita langsung menyerbu Imelda saat baru keluar dari ruang persidangan, memberondong dengan berbagai macam pertanyaan.
"Mbak Imelda, apa alasan Mbak mengganti kuasa hukum yang menangani kasus perceraian Mbak" Apa benar rumor yang mengatakan Mbak punya hubungan spesial dengan pengacara sebelumnya""
Tidak ada satu kata pun yang diberikan Imelda untuk menjawab semua pertanyaan dari para wartawan infotainment itu. Bersama manajernya Imelda menerobos kerumunan wartawan dibantu beberapa aparat keamanan pengadilan yang membuka jalan di tengah kerumunan agar Imelda bisa bergerak menuju mobilnya.
Imelda mengenyakkan diri di sandaran kursi belakang mobilnya, menutup kaca mobil agar para wartawan berhenti mengarahkan kamera dan mengajukan pertanyaan yang sama padanya.
"Wartawan-wartawan itu makin gila," kata manajer Imelda saat mobil mereka sudah berjalan meninggalkan kantor pengadilan. "Untuk sementara jangan bikin berita apa-apa dulu deh. Gosip skandal kamu belum benar-benar teredam, kamu sudah memicu berita lain dengan mengganti pengacara. Pokoknya Mbak nggak mau kamu buat keputusan gila lagi yang akan memunculkan gosip baru."
"Bukannya bagus" Semakin sering aku masuk infotainment, semakin dikenal banyak orang, bukan" Bahkan dulu, saat aku baru memulai karier, Mbak merekayasa gosip untuk membuat aku dikenal orang, kan"" timpal Imelda dingin.
"Sekarang beda, Mel, kamu sudah cukup terkenal tanpa gosip-gosip murahan itu... Berhentilah bersikap aneh, semua hal yang kamu perbuat sudah bikin banyak orang jengah."
Imelda menatap tajam pada manajer yang duduk di sampingnya. Inikah fungsi manajer saat artisnya sedang melewati banyak masalah" Seperti inikah kata-kata yang harus didengar dari orang yang selama ini menyatakan diri sebagai orang yang terdekat dan paling peduli pada dirinya"
"Kita langsung ke lokasi pemotretan, Pak," manajer Imelda memberi instruksi pada sopir.
Napas Vampir 2 Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat Pendekar Pedang Dari Bu Tong 17
^