Pencarian

A Shoulder To Cry On 4

A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria Bagian 4


"Jangan, Pak! Kita balik ke apartemen," ralat Imelda tegas.
Manajer Imelda menatap marah. "Apa lagi sih, Mel" Hari ini kita ada pemotretan untuk majalah."
"Aku mau balik ke apartemen. Sekarang!" tegas Imelda.
"Nggak bisa dong, Mel, kita sudah sepakat, kan" Mereka bisa marah nanti, dan mungkin akan meminta ganti rugi."
"Aku bisa ganti, berapa pun yang mereka minta."
Manajer Imelda menghela napas putus asa. Dari raut wajahnya Imelda bisa melihat ketidakpercayaan di wajah manajernya. Mungkin selama ini manajernya mengira Imelda tidak akan pernah bisa membangkang, tidak bisa mengatakan "tidak" untuk semua
saran, perintah, dan jadwal yang harus dijalaninya.
Tapi Imelda yang sekarang adalah Imelda yang sudah sangat lelah menjadi robot, menjadi apa yang mereka kehendaki. Imelda yang sudah tidak ingin tersakiti lagi.
*** "Kopi lo, Mar," kata Rio sambil meletakkan secangkir cappucino yang dipesan Damara.
"Thanks, Yo, tumben manajer sibuk kayak lo nganterin pesenan sendiri."
"Kebeneran aja gue lagi nggak ada kerjaan. Lagian gue kasihan liat lo duduk di sini malem-malem sendirian. Dan... juga gue lagi nyari tambahan, gue bisa jadi temen ngobrol kalo lo ngasih tip."
Damara tersenyum lebar menanggapi candaan temannya ini.
Setelah tawa Rio reda, ia mulai menatap serius ke arah Damara. "Gue makin prihatin ngeliat muka lo, Mar. Dari hari ke hari gue perhatiin makin kusut aja, kayak orang nggak tidur tiga hari. Kenapa sih, Mar" Lo masih belum baikan sama Danu""
Damara mengulas senyum getir di bibirnya, terlalu banyak hal yang menyebabkan hidupnya terasa melelahkan, sampai-sampai ia sendiri tidak tahu mana yang membuatnya paling lelah.
"Udahlah, Yo, gue udah terlalu akrab sama berbagai masalah. Kalo gue nggak punya masalah, itu baru aneh..."
"Eh, tadi sore gue liat di infotainment, Imelda ganti pengacara ya" Kok bisa gitu sih, Mar""
"Bisa aja, Yo, kalau dia udah nggak mau pake gue, ya... gue nggak bisa apa-apa," jawab Damara sekenanya. "Klien punya hak untuk ganti pengacara."
"Gue masih nggak ngerti kenapa dia harus ganti lo sama orang lain, padahal belakangan gue nyangka gosip kalian punya hubungan spesial itu bener..."
"Namanya juga hidup, semua bisa berubah drastis kalau memang diharuskan berubah."
"Jadi bener lo punya hubungan sama Imelda"!" tanya Rio mendekatkan dirinya pada Damara dengan penuh keingintahuan.
"Sekarang udah nggak. Dia malah jadi orang yang paling benci sama gue," jelas Damara lalu menghela napas lelah.
"Alasannya apa" Kenapa dia sampe benci sama lo""
Damara tidak langsung menjawab, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakan semuanya pada Rio. Sebab untuk mengungkapkan alasan sebenarnya, ia harus mengakui masih berhubungan dengan Anggun. Dan itu pasti akan mengecewakan Rio, sahabat yang selama ini tidak henti-henti mengingatkannya untuk tidak lagi berhubungan dengan Anggun.
"Banyak... terlalu banyak alasan untuk membenci gue," kata Damara lirih. "Lagi pula gue ngerasa nggak pantes buat dia, Yo."
"Kok gitu"! Gue ngerasa nggak ada yang salah sama lo. Karier oke, kehidupan lo juga udah mapan."
Damara terdiam, bayangan Imelda saat mengatakan tidak ingin menyewa pengacara yang tidak bermoral tercetak jelas di benak Damara. Tatapan jijik Imelda saat mengatakan tidak mau berhubungan dengan laki-laki yang rela menukar hati dan tubuhnya demi uang telah menohok jantung Damara dan membuat hatinya mendadak kosong.
*** Banyak hal yang membuat Damara enggan pulang lebih awal dan memilih berlama-lama di kantor, mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan termasuk membereskan ruang kerjanya. Bukan hanya perseteruannya dengan Danu yang menyebabkan Damara merasa perlu menyibukkan diri, ada banyak alasan yang mengharuskan Damara untuk selalu bekerja. Damara menduga ia bisa gila kalau tidak mencari pelarian yang tepat dari semua masalah yang tengah memenuhi kepalanya.
Damara tidak akan membiarkan dirinya terpuruk, meratapi, menyesali, atau bahkan menyalahkan keadaan atas apa yang sedang dirasakannya. Ia tidak ingin kembali menjadi Damara yang lemah, walaupun sebenarnya sangat ingin menyandarkan tubuhnya pada seseorang yang dengan senang hati mendengar semua keluh-kesahnya, sejenak saja. Andai saja seseorang itu ada...
Handphone di saku kemeja Damara bergetar ketika ia tengah merapikan buku-buku yang menumpuk di atas meja kerjanya. Damara mengeluarkan handphone dari sakunya, dan begitu terkejut saat melihat nama Imelda terpampang. Merasa antara senang dan khawatir, Damara menekan tombol answer.
"Ya, halo..." kata Damara datar berusaha menutupi rasa senangnya. Tapi bukan suara Imelda yang terdengar di telinganya, melainkan suara seorang laki-laki asing y
ang langsung mengatakan ia menghubungi nomor Damara karena nomor teleponnya berada di urutan pertama recent calls di handphone Imelda.
"Iya, betul saya kenal dengan pemilik nomor ini... Ada apa" Kenapa Mas yang menelepon saya"" tanya Damara heran, sekaligus khawatir.
Laki-laki di telepon mengatakan Imelda mabuk berat di sebuah karaoke dan sekarang nyaris tak sadarkan diri. Laki-laki itu kemudian berinisiatif menelepon orang yang dikenal Imelda agar membantu membawanya pulang.
"Oke, saya segera ke sana! Bisa saya minta tolong" Sebisa mungkin jangan sampai ada yang tahu lagi keberadaan Imelda di sana... Terima kasih sebelumnya."
Damara memasukkan handphone ke sakunya. Tanpa berpikir panjang, ia segera keluar dari ruang kerjanya. Ia harus segera datang untuk Imelda, entah apa yang akan terjadi kalau ia tidak cepat-cepat membawa Imelda pergi dari tempat itu.
Tiga puluh menit mengendarai mobil dengan kecemasan, akhirnya Damara sampai juga ke tempat karaoke yang disebutkan lelaki di telepon tadi. Karaoke tersebut diapit dua bar kecil yang pintunya tak pernah berhenti terbuka dan tertutup saat orang-orang setengah mabuk melewatinya sambil menggandeng pasangan yang mungkin baru mereka temui di dalam bar. Damara mempercepat langkahnya. Entah apa yang membawa Imelda sampai ke tempat seperti ini, padahal tempat ini terlalu berbahaya untuknya.
Damara berjalan di koridor temaram menuju ruangan karaoke yang disewa Imelda, beberapa kali berpapasan dengan pengunjung karaoke yang tidak sepenuhnya sadar, bahkan berpapasan dengan pasangan yang tak segan-segan berciuman di koridor. Mengabaikan semua pemandangan yang ia temui, Damara mulai mencari kamar nomor 23 tempat Imelda berada. Damara langsung mendorong pintu berplakat kuningan yang sudah usang, matanya langsung mencari sosok Imelda di ruangan berpenerangan temaram.
Damara menemukan Imelda menelungkup di atas sofa dengan posisi yang aneh, botol-botol minuman keras berserak di atas meja.
"Mel... kamu nggak apa-apa, Mel"" Damara menepuk pelan pipi Imelda.
Imelda bergerak pelan, perlahan membuka mata dan menatap linglung ke sekeliling ruangan. Hingga akhirnya tatapan Imelda jatuh pada Damara yang menunduk di depannya.
"Ini sih udah kelewat mabok, masa sekarang gue lihat dia," kata Imelda terkikik lalu menggeleng-geleng seakan meragukan sendiri penglihatannya. "Gue bisa lihat dia!"
Tawa Imelda nyaring, sampai-sampai ia menelungkup kembali di sofa untuk menahan tawa gelinya.
Damara merasakan dadanya nyeri melihat kondisi Imelda seperti ini. Ya Tuhan... mengapa Engkau menghukumku dengan membuatku harus menyaksikan wanita yang kucintai seperti ini" ratap Damara dalam hati.
"Bangun, Mel... Aku antar kamu pulang sekarang," kata Damara parau.
Mendengar suara Damara, Imelda menghentikan tawanya. Matanya yang memerah menyipit menatap Damara, berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Kamu betulan ada di sini""
"Iya, aku mau jemput kamu," kata Damara dengan sabar. "Ayo pulang, tidak baik kamu berada di sini."
Damara meraih tangan Imelda bermaksud menuntun Imelda keluar, tapi Imelda menyentakkan tangannya dengan kuat dari tangan Damara.
"Aku nggak minta orang seperti kamu datang ke sini," kata-kata dingin itu kembali terdengar. "Aku nggak mau pulang sama kamu!"
"Tolong, Mel, jangan mempersulit keadaan. Tempat ini terlalu berbahaya untuk kamu."
"Bahaya..." Bukannya ini tempat orang-orang seperti kamu berada" Tempat kalian menawarkan jasa" Kamu nggak bermaksud bilang orang-orang seperti kamu berbahaya, kan""
"Tolong, Mel..." desah Damara, rasanya ia sudah tidak tahan mendengar semua hinaan Imelda.
"Tolong untuk apa"! Tolong supaya aku berhenti mengatakan semua fakta tentang kamu"" tantang Imelda. "Kenapa" Kamu merasa sakit mendengarnya""
Dengan menekan kemarahannya akibat hinaan Imelda, Damara membopong tubuh Imelda, memaksanya meninggalkan tempat ini.
"Lepasin! Apa-apaan kamu... Lepasin!" Imelda meronta kuat, memukul tubuh Damara yang terjangkau olehnya, membuat Damara terpaksa harus melepaskannya.
Imelda berusaha menegakkan tubuhny
a yang sempoyongan, menatap marah pada Damara sebelum melayangkan tamparan keras.
"Jangan pernah sentuh aku dengan tangan kotormu! Salah kalo kamu kira aku wanita yang bisa kamu bodohi!" tandas Imelda sengit.
Damara mengusap pipinya yang baru saja ditampar Imelda. Terasa panas dan begitu nyeri. Tapi ucapan Imelda membuat tamparan itu jauh lebih menyakitkan.
"Kamu sebaiknya pergi! Pergi saja ke tempat wanita yang selama ini memberikan apa yang kamu mau. Atau merayu wanita lain supaya kamu bisa dapat lebih banyak... Seperti apa sih cara kamu merayu mereka""
Cukup! Rasanya Damara tidak sanggup lagi menahan kemarahannya. Yang ingin ia lakukan sekarang ini hanya membuat Imelda berhenti bicara. Damara meraih tubuh Imelda, mendorong tubuh wanita itu ke sofa dan mencium bibirnya dengan kasar. Damara bisa merasakan Imelda meronta kuat berupaya melepaskan diri darinya, tapi sekuat apa pun Imelda meronta Damara tidak ingin semudah itu melepaskannya. Ia ingin Imelda berhenti menghinanya, ia ingin Imelda berhenti menyakitinya.
"Seperti itu cara aku merayu! Seperti itu cara aku mendapatkan uang," kata Damara keras, setelah akhirnya ia melepaskan Imelda. "Kalau kamu mau bayar aku, kita bisa melakukan lebih dari ini!"
Imelda menunduk, tubuhnya bergetar hebat. Air matanya menetes pelan ke tangan pucat di pangkuannya. Ada penyesalan menyelinap di batin Damara sekarang, ia sudah membuat Imelda begitu ketakutan dengan apa yang dilakukannya. Harusnya ia bisa mengontrol kemarahan dalam dirinya, seharusnya apa pun yang dikatakan Imelda untuk menyakitinya, ia tidak membuat wanita yang ia cintai seperti ini.
Dengan kemarahan yang seketika berubah menjadi penyesalan, Damara duduk kembali di samping Imelda, menatapnya dengan perasaan tidak keruan.
"Maaf, Mel, aku nggak bermaksud kasar sama kamu... Aku hanya nggak bisa mengontrol diriku," kata Damara, dengan hati-hati ia coba merangkulkan tangannya ke tubuh gemetar Imelda.
"Kamu menyakiti aku, Mar... terlalu dalam kamu menyakiti aku..." Suara parau Imelda bercampur isak tangis, menghentikan gerak tangan Damara. Ia kembali menarik tangannya.
Imelda mendongak, dengan tatapan nanarnya ia mengunci pandangan Damara, tatapan yang baru kali ini dilihat Damara dari Imelda. Sorot mata Imelda mengisyaratkan begitu banyak luka, penuh rasa sakit. Sampai-sampai Damara ingin membunuh orang yang sudah membuat wanita yang dicintainya seluka ini, tapi itu berarti harus membunuh dirinya sendiri, bukan"
"Aku mau keluar dari sini," kata Imelda tiba-tiba. Mengejutkan Damara.
Imelda bangun dari sofa, mengusap air mata, dan menghela napas dalam.
"Aku antar kamu," kata Damara segera bangun dari sofa.
"Nggak perlu. Aku bukan wanita lemah yang butuh bantuan kamu," tegas Imelda, tanpa menatap Damara, ia memakai kacamata hitamnya lalu menyambar tasnya dari atas meja.
Tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuat Imelda mengerti dan membiarkannya membantu, Damara membiarkan Imelda berjalan meninggalkannya. Namun baru beberapa langkah saja, Damara melihat Imelda terhuyung, nyaris terjatuh. Damara refleks menangkap tubuh Imelda tepat sebelum jatuh menghantam lantai.
Tubuh Imelda melemah. Mata di balik kacamata gelap yang dilepaskan Damara terpejam. Setelah melepaskan jaket yang dipakainya untuk menutupi tubuh Imelda yang berpakaian agak terbuka, Damara segera membopong tubuh lemah Imelda.
*** Anka duduk di samping Danu, di sofa ruang tengah. Untuk pertama kali setelah mendengar pertengkaran antara Danu dan Damara, Anka mencoba memosisikan diri sebagai teman terbaik, yang siap mendengarkan segala keluh-kesah Danu.
"Ngapain, Nu"" Anka mengumumkan keberadaannya pada Danu yang sedang menunduk serius membaca buku tebal. "Baca buku apaan""
"Bahasa Prancis, besok gue ulangan," jawab Danu tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah dibacanya.
Anka mengangguk singkat, bingung harus melanjutkan apa untuk mulai bicara tentang Danu dan kakaknya.
"Kak Damara belum pulang, dia lembur lagi ya, Nu"" tanya Anka di tengah kebingungannya harus mengatakan apa.
"Mana gue tahu," cetus Danu sinis.
Anka terdiam. Rupanya ia salah menanyakan hal itu kepada Danu. Baru kali ini Anka melihat Danu sesinis ini bahkan selama bicara dengannya Danu sama sekali tidak melihat ke arahnya. Entah ini perasaannya saja atau memang benar adanya, Anka merasa ada yang berubah pada sikap Danu belakangan ini. Danu seperti tidak nyaman berada di dekatnya, sepertinya selalu menghindar.
"Lo kenapa sih, Nu" Gue ada salah ya sama lo"" tanya Anka akhirnya.
"Nggak ada yang salah. Gue lagi nggak pengin diganggu aja, Ka," jawab Danu, lagi-lagi tanpa menatap Anka.
"Jadi gue ganggu lo nih""
"Bukan gitu. Gue cuma lagi pengin sendiri... Boleh, kan""
Anka menatap tidak percaya ke arah Danu. Entah apa yang sedang dipikirkan Danu, Anka benar-benar tidak bisa mengerti. Dulu, saat ia menutup diri akibat kematian ayahnya, Danu mengatakan bahwa ia harus membagi apa yang dirasakannya agar orang-orang yang peduli padanya dapat menunjukkan kepedulian mereka. Tapi lihat yang dilakukan Danu sekarang, ia malah menolak berbagi apa yang sedang dirasakannya pada orang yang selama ini disebutnya sebagai sahabat.
"Lo nggak mau cerita tentang apa yang lo rasain ke gue" Artinya lo udah nggak percaya lagi sama gue," tandas Anka. Menatap tajam ke arah Danu.
Danu bergerak serbasalah, seakan bingung apa yang harus dikatakannya pada Anka. Danu menutup buku yang sedari tadi seakan-akan menjadi pusat perhatiannya. Akhirnya tanpa pilihan ia membalas tatapan Anka.
"Nggak kayak gitu, Ka... Gue... gue nggak bisa cerita apa yang gue rasain ke lo."
"Emang kenapa" Kenapa lo nggak bisa cerita sama gue, padahal selama ini lo selalu cerita semuanya sama gue, soal sekolah, Kak Damara, bahkan soal keadaan ayah lo di Bandung lo cerita semuanya. Kenapa sekarang nggak bisa""
Danu berdiri dan menghela napas panjang, lelah dengan perdebatan ini.
"Gue nggak mau bikin semua masalah yang ada jadi tambah ribet."
"Maksud lo...""
"Please, Ka, jangan paksa gue cerita," kata Danu datar. Seraya bangun dari sofa. "Gue mau tidur duluan, besok gue ulangan jam pertama... Kak Damara kayaknya nggak pulang, lo nggak perlu nunggu dia," kata Danu sebelum berjalan meninggalkan ruang tengah.
*** Damara duduk di samping tempat tidur Imelda, matanya menatap lurus dengan tatapan sulit diartikan ke arah Imelda yang terbaring di atas tempat tidurnya. Damara mengusap pelan pipi Imelda, perasaan menyiksa ini mulai terasa lagi dan menyesakkan dadanya.
Imelda bergerak gusar dalam ketidaksadarannya, membalik-balikkan tubuhnya seakan mencari posisi yang nyaman. Damara menyibakkan rambut Imelda yang menutupi wajahnya, tepat saat mata terpejam Imelda merembeskan setetes air mata.
Rasa sakit di dada Damara makin terasa begitu menyiksa. Ya Tuhan... apa yang telah dilakukannya, sampai-sampai membuat wanita ini begitu menderita" Apa sesulit ini arti mencintai untuk orang-orang seperti dirinya" Kalau memang benar orang seperti dirinya tidak pantas untuk dicintai dan mencintai, mengapa ia ditakdirkan merasakannya"
Damara menghapus pelan air mata yang mengalir di pipi Imelda, berharap Imelda bisa merasakan penyesalannya. "Maafin aku, Mel. Aku nggak nyangka kalau perasaanku padamu justru menyakiti kamu... Aku cinta kamu, Mel... hanya itu yang bisa aku katakan."
Damara bangun dari kursi yang didudukinya, membalikkan tubuhnya untuk beranjak pergi setelah merapikan selimut yang menutupi tubuh Imelda.
Damara berlalu tanpa tahu sebenarnya Imelda mendengar semua yang dikatakannya, tanpa melihat air mata yang mengalir di pipi Imelda lebih dari satu tetes yang dihapusnya.
*** "Gue harus ke Bandung, Ndro," tegas Danu, saat ia mengeluarkan ransel besar dari lemari pakaiannya.
"Wah, jangan gila lo, Nu! Kak Damara kan bilang lo nggak boleh ke sana," kata Andro, terkejut dengan keputusan tak terduga Danu. "Nu, lo mana bisa pergi..."
"Kenapa nggak bisa" Emang kalo tanpa izin Kak Damara, lo pikir gue nggak berani pergi... Lo salah, Ndro, gue udah cukup dewasa buat nentuin apa yang mau gue lakuin dalam hidup gue sendiri." Mata Danu menatap tajam ke
arah Andro, seakan ingin menunjukkan pada Andro bahwa ia juga memiliki hak memutuskan apa yang harus ia lakukan. Danu melempar beberapa potong baju yang diambil dari lemari ke atas tempat tidur lalu memasukkannya dengan asal ke dalam ranselnya.
"Gue tahu lo berhak membuat keputusan apa aja di hidup lo. Tapi, Nu... lo harus inget kita Ujian Nasional sebulan lagi... Lo salah kalo ngelakuin ini semua karena ngikutin emosi."
"Apa lo bilang"!" refleks Danu membanting keras pintu lemari, membuat Andro yang berdiri tepat di samping lemari terperangah kaget. "Lo bilang gue ngambil keputusan ini gara-gara gue emosi"!"
"Bukan gitu, Nu... Maksud gue..."
"Hampir tiap malam gue selalu ngebayangin gimana keadaan ayah gue di sana... dia sakit, Ndro! Sendirian, nggak bisa ngapa-ngapain. Apa menurut lo gue cuma nurutin emosi buat nemuin dia"!"
Danu mendudukkan dirinya di atas tempat tidur, menghela napas dalam sebelum menundukkan kepalanya dengan lesu.
"Gue takut kalo ayah gue kenapa-napa, Ndro... walaupun dia pernah jahat sama gue, dia tetap ayah gue dan gue tetap peduli sama dia," kata Danu parau.
Andro duduk di samping Danu, menepuk pelan bahu sahabatnya itu.
"Gue ngerti apa yang lo rasain, Nu," bujuk Andro. "Gue tahu lo pasti khawatir banget sama keadaan ayah lo di sana. Tapi bukan begini caranya. Kalau lo pergi dengan cara kayak gini, lo malah bikin semuanya jadi tambah runyam," jelas Andro. "Sekarang bisa aja lo pergi nemuin ayah lo, tapi sori, Nu... apa sih yang bisa dilakuin anak SMA kayak lo" Ayah lo nggak cuma butuh perhatian dari anaknya, kan" Dia juga butuh biaya pengobatan. Apa lo bisa sediain" Cuma Kak Damara kan yang mampu ngasih itu semua""
Walaupun pahit, Danu harus mengakui apa yang dikatakan Andro memang benar. Tidak ada gunanya ia datang ke sana sendirian, tidak ada yang bisa dilakukannya di sana. Ayahnya tidak butuh sekadar perhatian, dia juga membutuhkan biaya besar untuk kelangsungan perawatannya. Dan sekali lagi Danu harus menelan kenyataan bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Danu mendesah. "Sori, Nu, kalo yang gue omongin ke elo terlalu kasar."
"Nggak, lo bener kok, buat apa gue ke sana kalo gue nggak bisa kasih apa-apa..."
Dengan perasaan tidak keruan, Danu mengeluarkan semua pakaian yang tadi dijejalkannya ke dalam ransel, seperti mengeluarkan keinginannya untuk pergi menjauh dari semua hal yang membebaninya.
Tadinya Danu mengira dengan menemui ayahnya di Bandung ia bisa menghilangkan kecemasannya atas kondisi ayahnya, sekaligus belajar menerima kenyataan bahwa gadis yang selama ini begitu dipedulikannya, kini memberikan hatinya pada orang lain. Pada orang yang selama ini begitu dihormati dan dibanggakannya, orang yang selalu memiliki kemampuan untuk mengatasi segala masalah.
* * * "Danu itu terlalu baik untuk menerima ajaran tentang kebencian. Sulit bagi Kakak membuat Danu mengerti apa yang Kakak rasakan," - Damara
* * * - 21 - SIANG ini Damara duduk di kursi di depan meja kerja Cakka. Lima menit lalu Cakka meminta Damara datang ke ruangannya, karena ada klien yang meminta Damara untuk menangani kasus perceraiannya.
"Siapa sih, Kka, klien baruku kesannya spesial banget"" tanya Damara, penasaran dengan tingkah Cakka yang mengesankan klien yang akan memakai jasa Damara adalah orang yang istimewa.
"Pokoknya kamu lihat aja entar, soalnya kemarin dia minta supaya aku nggak ngasih tahu kamu siapa dia... Orangnya cantik, Mar! Beruntung kamu setelah lepas dari kasus Imelda malah dapat klien yang nggak kalah cantiknya."
"Aku kenal sama orangnya, Kka"" tanya Damara lagi.
"Mana aku tahu kamu kenal sama dia atau nggak, tapi yang pasti sih dia kenal sama kamu. Dia langsung minta supaya kamu yang menangani kasusnya."
Damara terdiam, berusaha menerka-nerka siapa gerangan calon kliennya. Rasanya ia tidak mengenal ciri-ciri orang seperti yang digambarkan Cakka padanya, terlebih lagi wanita yang akan bercerai.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Damara.
Agni, sekretaris biro hukum mereka, membuka pintu ruang kerja Cakka. "Permisi, Pak... ta
munya sudah datang."
"Oke, tolong kamu antarkan dia ke sini."
"Baik, Pak." Tidak lama berselang terdengar langkah Agni kembali dengan seseorang yang diyakini Damara sebagai klien yang dimaksud Cakka. Dari dinding transparan ruang kerja Cakka yang sebagian tertutup kerai, Damara melihat sekilas tidak ada yang begitu istimewa dari sosok wanita yang berjalan bersama Agni, terlihat seperti wanita kelas atas biasa.
Baru setelah Agni membawa wanita itu masuk, Damara merasakan aliran darahnya seperti berhenti. Ia nyaris membatu melihat Anggun berdiri dua meter di depannya, dengan senyum yang biasa tersungging di wajahnya.
"Silakan, Mbak Anggun... Maaf ruangannya agak kecil." Cakka mempersilakan Anggun duduk di sofa. "Ini Damara, yang kemarin Mbak Anggun minta untuk menangani kasus perceraian Mbak."
Cakka mengerling ke arah Damara, memberi isyarat agar Damara mendekati mereka. Di tengah keterkejutannya, Damara mendekati Anggun dan Cakka. Seperti biasa Damara melihat Anggun mengulas senyum angkuhnya.
"Ini Mbak Anggun, Mar. Mbak Anggun yang minta kamu sebagai pengacara untuk kasus perceraiannya."
Anggun mengulurkan tangannya ke arah Damara. Dengan linglung Damara menggerakkan tangannya dan menjabat singkat tangan Anggun.
"Apa kabar, Mar"" sapa Anggun, tetap tidak menghilangkan senyumnya.
"Baik..." jawab Damara singkat.
"Oke, kalian bisa pakai ruangan ini untuk mendiskusikan kasusnya... Saya ada meeting di luar. Maaf, Mbak Anggun, saya tinggal ya."
Cakka keluar meninggalkan ruang kerjanya setelah menepuk pelan bahu Damara. Meninggalkan Damara berdua dengan Anggun.
"Mau apa kamu ke sini"" tanya Damara tegas, setelah akhirnya ia bebas berbicara empat mata dengan Anggun. "Apa maksud semua ini""
"Apa begini cara kamu menghadapi semua klien yang kamu tangani kasus perceraiannya""
"Anggun, aku nggak bercanda! Aku serius... Aku mau tahu kenapa kamu bisa ada di sini""
Menerima todongan dari Damara, Anggun hanya tersenyum tipis. Ia kembali mendudukkan dirinya dengan santai di atas sofa, seakan menikmati keingintahuan Damara.
"Sama seperti klien-klien kamu yang lain, aku ke sini untuk meminta bantuan hukum untuk perceraianku," jawabnya santai.
"Cerai..."! Apa maksud kamu dengan bercerai"" tanya Damara, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kamu nggak mungkin cerai dengan suami kamu... Itu nggak mungkin kamu lakukan." Damara menggeleng.
"Kenapa" Apa kamu pikir akan selamanya aku nggak berani mengambil keputusan ini"" Mata Anggun menatap tajam ke arah Damara, membuat Damara tidak mengerti apa yang benar-benar diinginkan dan direncanakan Anggun kali ini. "Dulu aku pernah bilang, akan tiba saatnya aku berani melepaskan semuanya. Demi kamu... Dan, sekaranglah saatnya."
Damara tercengang. Tidak tahu harus mengatakan apa untuk menanggapi pernyataan Anggun yang mengejutkan. Dulu mungkin ia akan senang menanggapi keputusan Anggun, tapi sekarang ia sudah melupakan keinginannya untuk mendapatkan ketulusan dari Anggun, ia tidak lagi menginginkan apa yang dirasakannya mendapat balasan dari Anggun.
Anggun bangkit dari duduknya, berjalan pelan mendekati Damara yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Perlahan Anggun melingkarkan lengan halusnya ke pinggang Damara, memeluk Damara seraya menyandarkan kepalanya di bahu Damara.
"Aku akan melepaskan semuanya untuk kamu, Mar. Jadi kembalilah padaku... Aku mencintaimu, Mar..."
Baru kali ini Damara mendengar Anggun mengucapkan kata cinta untuknya. Satu kata yang selama ini nyaris tidak berani diharapkannya dari seorang Anggun, kini didengarnya dengan jelas. Tapi entah mengapa, kata itu sekarang begitu sakit didengar hingga membuatnya begitu lemah.
*** Saat keluar dari ruang karyawan, setelah mengganti pakaian dan bersiap pulang, Anka melihat Damara duduk di salah satu meja kafe. Damara terlihat menyandarkan kepalanya ke sofa yang didudukinya, matanya terpejam dan tampak begitu lelah di mata Anka.
"Mau balik ya, Ka"" tanya Nova sambil membawa baki dengan secangkir cappucino di atasnya.
"Iya..." jawab Anka singkat. "Itu
pesanan siapa, Mbak""
"Mas Damara... repot nih, Mas Damara kebiasaan dateng pas kita mau tutup. Untung ganteng, jadi nggak terlalu bikin kesel," kata Nova setengah menggerutu.
"Sini, Mbak, biar saya yang bawa minumannya ke meja Mas Damara... sekalian saya jalan keluar."
"Oh, ya udah... Makasih ya."
Anka mengambil baki dari tangan Nova, berjalan menuju meja Damara. Damara sepertinya tidak menyadari ada yang mendatangi mejanya, ia tetap menyandarkan kepalanya ke sofa dengan mata terpejam. Dengan hati-hati Anka meletakkan cangkir cappucino hangat di atas meja Damara.
"Cappucino-nya, Kak," kata Anka setelah meletakkan cangkir cappucino pesanan Damara.
Damara bergerak pelan, dengan linglung ia membuka matanya dan menegakkan duduknya. Matanya memandang tak terarah ke sekeliling kafe yang sudah sepi.
"Maaf, bikin Kakak kaget."
Mendengar suara Anka, Damara mengalihkan pandangannya ke arah Anka yang berdiri tepat di samping mejanya.
"Eh, Anka... sori Kakak nggak sadar kamu di sini," kata Damara, tersenyum canggung, seakan malu dengan apa yang dilakukannya. "Kakak ketiduran sebentar tadi, jadi agak nggak connect." Damara mengusap wajahnya dengan lelah, menghela napas panjang.
"Kamu belum pulang, Ka"" tanya Damara, seraya mengangkat cangkir cappucino-nya.
"Abis nganterin cappucino pesenan Kak Damara, saya bisa langsung pulang, Kak," jawab Anka.
"Jadi, jam kerja kamu udah selesai"" tanya Damara. Anka mengangguk pelan. "Kamu nggak keberatan kan kalau duduk sebentar di sini" Nunggu Kakak habisin ini, terus kita pulang sama-sama."
Anka mengangguk, lalu duduk di depan Damara dalam diam. Menunggu Damara menghabiskan cappucino-nya.
Tidak berapa lama, Damara bersuara. "Ayo kita pergi. Keberadaan Kakak pasti sudah cukup lama menahan mereka yang seharusnya sudah pulang," kata Damara seraya melirik ke arah beberapa pelayan kafe yang merapikan meja-meja.
*** Anka dan Damara duduk di salah satu kursi taman yang biasa dilewati Anka menuju halte bus.
"Maaf ya, Ka, kamu jadi nemenin Kakak di sini, padahal kamu pasti capek seharian sekolah terus kerja. Nggak masalah kan kalau kita duduk di sini sebentar sebelum kita ke halte depan cari taksi""
"Nggak apa-apa, Kak. Anka biasa pulang jam segini juga, malah biasanya masih harus berebutan naik Metromini."
Damara tersenyum kecil, setelahnya ia menghela napas berat. Anka menatap Damara dengan saksama, wajah Damara terlihat begitu lelah, seperti ada begitu banyak masalah yang membebaninya.
"Mau sampai kapan kamu ngelihatin Kakak kayak gitu" Sejak di kafe tadi kamu ngelihatin terus... Tenang, Kakak nggak akan pingsan kok, kalo itu yang kamu khawatirkan."
Anka mengerjap kaget mendengar apa yang dikatakan Damara, rupanya dari tadi Damara sudah tahu Anka selalu menatap khawatir ke arahnya.
"Maaf, Kak, Anka cuma..."
Anka tidak melanjutkan kata-katanya. Akan terdengar konyol kalau ia mengatakan khawatir dengan keadaan Damara. Apa sih yang dikhawatirkan gadis delapan belas tahun atas apa yang membebani pikiran orang dewasa seperti Damara"
Untuk beberapa saat, baik Anka maupun Damara tidak mengatakan apa-apa, mereka hanya diam. Hanya bunyi kendaraan bermotor di jalan raya yang sayup-sayup terdengar di telinga mereka. Angin malam menerpa wajah Anka, terasa sangat menyejukkan. Sekilas Anka melirik ke arah Damara yang hanya diam dengan mata menatap kosong ke depan. Anka bahkan sangsi Damara menyadari dan merasakan semilir angin yang menerpa wajah mereka.
"Andai hidup bisa setenang ini," kata Damara lirih. "Segalanya pasti akan berjalan baik. Sayangnya, dalam kehidupan sangat sulit menciptakan ketenangan seperti ini."
"Alasan Kakak bicara soal ketenangan hidup karena masalah Danu ya"" tanya Anka. Tapi tiba-tiba merasa lancang menanyakan hal itu.
"Mungkin itu salah satu alasannya..." Sekali lagi Damara menghela napas dengan lelah.
"Kakak tahu Sabtu besok Danu mau pergi ke Bandung" Dia bilang, dengan atau tanpa izin Kakak dia akan tetap pergi."
"Bukan Danu namanya kalau tidak melakukan itu... Kakak mengerti benar Danu pasti melakukan
nya," kata Damara datar, ada nada kecewa dalam kata-katanya. "Danu itu terlalu baik untuk menerima ajaran tentang kebencian. Sulit bagi Kakak membuat Danu mengerti apa yang Kakak rasakan."
"Kakak sama Danu hanya perlu lebih banyak bicara tentang hal ini berdua, saya tahu benar Danu tersiksa, Kak."
Damara memutar pandangannya ke arah Anka, sekali lagi mengulas senyum yang entah mengapa selalu berhasil membuat peredaran darah Anka bekerja tidak wajar.
"Kamu satu-satunya orang yang paling mengerti Danu. Tapi harusnya kamu juga tahu bahwa Kakak juga teriksa dengan semua ini." Damara meraih tangan Anka, lalu meletakkannya tepat di dadanya. "Di sini... rasanya begitu sesak."
Anka merasakan sekujur tubuhnya merinding saat tangannya berada dalam genggaman Damara, menyentuh dada Damara. Detak jantung Damara yang dirasakan tangannya seakan membuat jantung Anka bekerja tidak keruan.
Damara melepaskan tangan Anka, mengusap lembut rambut Anka. "Kamu gadis yang sangat baik, Ka. Danu beruntung punya teman seperti kamu. Kalau saja Kakak punya teman seperti kamu yang mau mengerti semua hal yang Kakak alami, tentu akan sangat menyenangkan... Sayangnya Kakak tidak seberuntung Danu."
Damara bangun dari kursi taman, mengembuskan napas kuat-kuat, seakan dengan begitu ia bisa melepaskan semua beban menyesakkan dadanya.
"Ayo kita pulang, sudah malam... Kakak nggak mau kamu kecapekan di sekolah besok."
Anka masih diam, masih menelaah apa yang dikatakan Damara tadi. Kalau saja Damara memintanya menjadi orang yang mengerti semua hal yang dialaminya, dengan senang hati Anka bersedia menjadi sosok teman yang dibutuhkan Damara.
"Ayo, Ka..." ajak Damara sekali lagi.
Anka mengerjap, segera berdiri dari kursi taman yang didudukinya, tapi masih ada banyak hal yang dipikirkannya.
"Kak Damara... Saya bisa jadi teman Kakak kalo Kakak mau. Kakak bisa cerita apa saja sama saya, seperti Danu."
Senyum lebar menghiasi wajah Damara saat mendengar ucapan Anka. Sekali lagi dengan lembut Damara mengusap kepala Anka.
"Terima kasih atas kesediaan kamu, tapi rasanya mungkin kamu tidak akan mau lagi berada di dekat Kakak andai kamu mendengar apa yang Kakak ceritakan... dan Kakak nggak mau ambil risiko itu."
*** Kepala Damara yang terkulai membentur kaca pintu taksi yang membawa mereka pulang. Lima menit setelah masuk ke taksi, Damara langsung tertidur. Damara memang terlihat sangat lelah, tidak hanya fisiknya, tapi kelelahan batinnya juga tersirat jelas.
Banyak hal yang tidak dimengerti Anka tentang Damara. Mengapa pula Damara mengatakan bahwa ia mungkin tidak akan mau lagi berada di dekat Damara setelah mendengar cerita Damara" Semua ini begitu membingungkan bagi Anka, apa yang sebenarnya yang sedang dipikirkan Damara" Kalau hanya masalah Danu, tentu Damara tidak akan setertekan ini.
Suara benturan membuyarkan segala macam pertanyaan di kepala Anka. Lagi-lagi kepala Damara membentur pelan kaca pintu taksi. Anka menggeser posisi duduknya, dan dengan hati-hati Anka menyandarkan kepala Damara di bahunya. Wajah Damara begitu dekat sekarang, menimbulkan getaran yang sangat aneh yang sepertinya baru kali ini dirasakan Anka.
*** Sinar matahari pagi yang masuk lewat sela-sela jendela kamar membangunkan Danu pagi ini. Matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Wajar memang kalau Danu kesulitan bangun, karena ia baru benar-benar bisa tertidur pada pukul tiga pagi. Terlalu banyak hal yang membuatnya sulit terlelap dengan tenang semalam, dan yang paling membuat matanya enggan terpejam adalah, ketika untuk kesekian kalinya ia melihat Anka pulang bersama Damara.
Danu duduk di sisi tempat tidurnya, terdiam sebentar seraya benar-benar terbangun dan sadar. Seiring dengan kesadaran Danu, ingatan memenatkan itu kembali memenuhi pikirannya. Sulit untuk mengatakan ia tidak terganggu dengan apa yang ia saksikan. Kedekatan Damara dan Anka membuat Danu merasa ada yang aneh di dalam dirinya.
Sambil menghela napas panjang untuk mengusir semua pikiran memenatkan, Danu menyibakkan selimutnya dan bangun dari tempat tidurnya. Ia tidak pu
nya banyak waktu memikirkan hal-hal seperti itu sekarang. Ia harus menyiapkan diri untuk berangkat ke Bandung hari ini. Seperti yang sudah direncanakannya, ia akan pergi ke Bandung, dengan atau tanpa Damara. Ia sudah terlalu lelah untuk membuat Damara bersedia melupakan semua kebenciannya. Terlalu sulit untuk membuat Damara mengerti kecemasan yang dirasakannya sekarang.
Danu membuka lemari pakaiannya, mengeluarkan beberapa helai pakaian dan ransel yang biasa ia pakai untuk bepergian. Danu melangkah menuju meja belajarnya berniat mengambil beberapa barang, tapi gerakannya langsung terhenti saat melihat amplop putih tergeletak di atas meja belajarnya.
Penasaran, Danu segera membuka amplop itu dan terkejut saat menemukan sebuah kartu ATM di dalamnya dan selembar kertas. Danu membuka lipatan kertas untuk membaca tulisan di atas kertas itu.
Pakai uang ini untuk keperluan kamu di Bandung, termasuk untuk biaya yang mungkin diperlukan orang yang mau kamu temui di sana. Maaf hanya ini yang bisa Kakak lakukan sekarang. Dalam hal ini Kakak masih belum bisa menjadi apa yang kamu harapkan. Lakukan apa saja yang menurut kamu benar. PIN kartu ATM ini sama dengan tanggal ulang tahun kamu.
*** "Ngapain, Nu"" tanya Anka, menghampiri Danu yang duduk di teras belakang. "Pagi-pagi udah bengong di sini."
"Eh, Ka... Nggak ngapa-ngapain. Gue lagi mikirin sesuatu aja," kata Danu pelan, tersenyum kaku pada Anka.
"Mikirin apa"" tanya Anka lagi. "Kak Damara ya""
Danu mengangguk, membenarkan dugaan Anka.
"Kak Damara ninggalin kartu ATM di kamar gue. Dia minta gue pake uang itu buat semua keperluan gue di Bandung, termasuk buat biaya perawatan Papa kalo perlu."
"Bagus dong, berarti Kak Damara udah ngerti."
"Iya sih, tapi gue ngerasa Kak Damara ngelakuin itu sepenuhnya bukan buat nolong Papa," kata Danu datar. "Kak Damara belum bisa maafin Papa, padahal sebenarnya itu yang gue harapin dari Kak Damara."
Danu menatap Anka, berharap dengan menatap mata teduh Anka akan ada sedikit ketenangan yang bisa dirasakannya.
Anka tersenyum, seperti biasa mengusap bahu Danu setiap kali sahabatnya itu terlihat tidak bersemangat. "Nu, lo nggak bisa menutut Kak Damara ngerti semua yang ada di pikiran lo. Kak Damara pasti punya pertimbangan sendiri. Buat lo mungkin gampang maafin ayah lo, tapi buat Kak Damara mungkin nggak segampang itu."
Danu tidak mengatakan apa pun, entah kenapa ia merasa apa yang dikatakan Anka terasa berat sebelah. Anka seperti begitu mengerti perasaan Damara. Dan Danu merasa Anka lebih membela Damara ketimbang dirinya.
"Dengan ngasih kartu ATM itu untuk biaya ayah lo, gue rasa itu awal yang bagus. Berarti Kak Damara sebenarnya masih peduli, walaupun dia nggak secara terang-terangan nunjukinnya."
"Oke, gue ngerti. Gue emang terlalu menuntut banyak dari Kak Damara. Seharusnya gue cukup bersyukur Kak Damara masih mau ngasih kartu ATM ke gue," kata Danu dingin, seraya bangun dari lantai.
Sekali lagi Danu menatap Anka yang sepertinya masih mencoba mengerti apa yang baru saja dikatakannya.
"Gue mau siap-siap jalan ke Bandung... Lo baik-baik di rumah. Satu lagi, hari ini lo janji sama gue akan berhenti kerja di kafe. Lo harus beneran berhenti kerja hari ini. Nggak baik kalo cewek pulang malem terus, walaupun lo pulang bareng Kak Damara," tandas Danu sebelum berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Anka yang tidak mengerti apa sebenarnya maksud Danu.
* * * "Aku tidak pernah menyesal mencintai kamu, yang aku sesalkan hanya kamu terluka karenanya," - Damara
* * * - 22 - DAMARA menerobos masuk ke kamar apartemen tempat ia dan Anggun biasa bertemu. Jantungnya berdetak begitu cepat sejak ia mendengar isak tangis Anggun di telepon. Mata Damara menebarkan pandangan cemas ke sekeliling apartemen mencari-cari sosok Anggun.
Anggun terlihat duduk di sofa di ruang tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar, sementara isak tangis terdengar jelas di telinga Damara. Ia bergegas menghampiri Anggun, tanpa banyak pertimbangan Damara langsung meraih tubuh gemetar Anggun ke dala
m pelukannya. "Kamu jangan takut, aku ada di sini sekarang," kata Damara, seraya mendekap tubuh gemetar Anggun.
Anggun menangis sejadi-jadinya di pelukan Damara. Baru pertama kalinya Damara melihat Anggun seperti ini. Perempuan angkuh itu kini begitu rapuh. Damara tidak tahu jelas apa yang sebenarnya dirasakannya pada Anggun sekarang. Perasaannya pada Anggun memang sudah banyak berubah sejak Imelda mengisi hatinya, tapi saat menghadapi Anggun dengan kerapuhannya, Damara tidak bisa benar-benar menghilangkan semua rasa yang dulu pernah ada.
Ada perih yang terasa saat Damara membelai lembut wajah Anggun. Luka memar tampak jelas di wajah halus Anggun menyulut amarah dalam diri Damara, membuat Damara ingin melakukan apa pun untuk lebih menyakiti orang yang sudah membuat Anggun seperti ini.
"Kita nggak bisa biarin ini semua! Kita harus bikin perhitungan sama suami kamu!" tegas Damara, bangkit berdiri. Kemarahan mulai menguasai dirinya.
"Jangan, Mar... Aku nggak mau kamu buat masalah sama dia." Anggun menarik tangan Damara, menahan Damara agar tidak pergi. "Kamu nggak tahu siapa dia, Mar."
"Aku nggak peduli siapa dia! Aku hanya peduli sama kamu. Aku mau buat orang itu berpikir dua kali bila akan menyakiti kamu lagi."
Anggun mengeratkan pegangannya pada lengan Damara, mata sembapnya menatap penuh permohonan.
"Aku mohon, Mar... Aku nggak mau kamu terluka. Dia berani membayar orang untuk melukai bahkan membunuh kamu. Terlebih setelah dia tahu bahwa kamu alasan aku menggugat cerai. Aku nggak mau kamu melakukan hal bodoh dengan mendatangi dia."


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, aku nggak bisa..."
Cepat-cepat Anggun memeluk Damara, membuat Damara berhenti meneruskan kalimatnya.
"Aku cinta kamu, Mar. Aku nggak mau hal buruk terjadi sama kamu."
Tidak ada yang dapat dilakukan Damara lagi. Ia hanya diam membiarkan tubuhnya berada dalam pelukan Anggun, pelukan yang entah mengapa kali ini membuatnya begitu lemah.
*** Imelda menatap bayangannya dalam cermin, sesosok wanita pucat berwajah lusuh dengan lingkaran hitam di sekitar matanya menatap balik padanya. Imelda mengerjapkan matanya, seakan tidak percaya wanita di dalam cermin adalah pantulan dirinya. Imelda menghela napas pelan, menyisiri rambutnya yang berantakan dengan jari-jari tangannya. Ia tidak bisa terlalu lama seperti ini, pasti ada banyak hal yang perlu dikerjakannya. Tugas-tugas dan pekerjaan yang seperti biasa sudah dijadwalkan tanpa sepengetahuannya.
Cukup bagi Imelda menenggelamkan diri dengan semua sakit yang dirasakannya akibat terlalu ceroboh membiarkan dirinya memercayai ketulusan cinta. Sakit ini tidak akan dibiarkannya terus terasa. Tidak di saat ia ingin mengangkat wajah dengan tegak di depan Damara, tanpa membuat Damara tahu betapa sakit rasanya memaksa diri berhenti mencintai orang yang begitu dicintai.
*** Danu duduk di sisi tempat tidur rumah sakit tempat ayahnya dirawat sambil mengupas kulit jeruk dengan begitu telaten. Lelaki yang terbaring itu menatap Danu dengan penuh rasa terima kasih.
"Besok Danu pulang, Pa. Danu harus sekolah, sebentar lagi Ujian Nasional... tapi habis ujian Danu pasti balik lagi ke sini."
Ayah Danu mengangguk pelan. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan lelaki itu setelah serangan stroke yang dialaminya. Ia tidak dapat berbicara dengan jelas, sebelah tangan dan kakinya tidak dapat bergerak dengan sempurna, membuatnya hanya bisa seadanya merespons kata-kata Danu.
"Danu udah bayar semua tagihan rumah sakit, jadi Papa nggak usah khawatir... Papa bisa tetep tinggal di rumah sakit ini selama Danu pulang," jelas Danu, seraya memberikan jeruk yang sudah dikupas dan dibersihkan pada ayahnya.
"Pa... Papa nger... ti," kata ayah Danu terbata-bata. "Teri... ma ka... sih."
Ayah Danu mengusap tangan Danu dengan gerakan kaku, seakan dengan melakukan itu ia ingin mengatakan bahwa semua yang dilakukan Danu untuknya sangat berarti. Ada yang aneh saat Danu merasakan elusan tangan ayahnya, seperti merasakan apa yang selama ini dirindukannya setelah sekian lama, sesuatu yang mengubah kebencian menjadi rasa sayang.
"K ak Damara yang ngasih semua biaya Papa. Sekarang memang hanya uang Kak Damara yang ada di sini, tapi Danu janji akan bawa Kak Damara ke sini untuk Papa."
Ayah Danu kembali mengangguk, kali ini air mata menggenang di kelopak matanya. Tanpa kata-kata ia menunjukkan keharuannya, keharuan seseorang yang merasa bersalah dalam penyesalannya.
Danu bisa merasakan itu semua. Ia tahu ada banyak penyesalan di mata ayahnya, saat menatapnya. Hingga Danu merasa tidak ada lagi alasan untuk membenci ayahnya. Akan selalu ada kata maaf untuk sebuah kesalahan, bukan" Andai Damara mengerti ini semua.
*** Tepat pukul tujuh malam, Damara berjalan menuju parkiran gedung kantornya. Hari ini Damara sengaja pulang cepat atas permintaan Anka. Ada sedikit perayaan di rumah, perayaan ulang tahun Anka sekaligus merayakan hari ia resmi berhenti kerja di kafe. Danu juga sore ini akan pulang dari Bandung, jadi mungkin ini salah satu upaya Anka untuk mendamaikan Damara dan Danu.
Damara membuka pintu mobilnya, dengan refleks menoleh ke belakang saat merasa ada yang mengawasinya. Tapi tidak ada seorang pun di dekatnya, padahal tadi Damara dengan jelas menangkap gerak-gerik mencurigakan. Mengabaikan semuanya, Damara memutuskan masuk dan mulai melajukan mobilnya.
Di tengah jalan tatapan Damara tertumbuk pada deretan toko perhiasan, dan terpikir akan sangat baik jika ia menghadiahkan sesuatu di hari ulang tahun Anka. Damara menepikan mobilnya di depan toko perhiasan kecil itu, lalu membeli kalung perak berbandul lingkaran dengan permata kecil di tengahnya. Kalung termanis yang pernah dibeli Damara.
Damara kembali berjalan menuju mobilnya yang terparkir, setelah memasukkan kotak kecil berisi kalung yang sudah dilengkapi kartu ucapan selamat untuk Anka ke dalam sakunya.
Sekali lagi, Damara tidak memperhatikan sekelilingnya.
*** Anka meletakkan sepiring besar ayam goreng tepat di samping fruit cake berukuran sedang. Meja makan yang biasanya kosong, kini terlihat penuh dengan berbagai macam sajian yang sengaja disiapkan Anka sejak tadi sore untuk merayakan ulang tahunnya.
Selesai menata meja makan, Anka duduk di sofa menanti para penghuni rumah pulang. Danu mengabarkan ia baru saja sampai di terminal bus, sementara Damara sedang dalam perjalanan pulang.
Jika rencana Anka berjalan dengan baik, mungkin Damara dan Danu bisa kembali akur seperti dulu.
*** Mobil Damara berhenti tepat di depan pagar rumah. Baru saja Damara menjejakkan kakinya hendak turun untuk membuka pagar, tiga laki-laki bertubuh besar sudah berdiri di depannya tanpa alasan.
Bingung dengan keberadaan tiga orang laki-laki yang berdiri nyaris mengimpitnya, Damara hanya menatap mereka bergantian, mencoba mengenali.
"Lo Damara, kan"" tanya salah satu dari ketiga laki-laki itu.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu langsung memukul perut Damara. Aksi laki-laki itu diikuti kedua temannya, memukul dan menendang semua bagian tubuh Damara yang terjangkau oleh mereka.
Damara jelas tidak bisa melawan, ketiga orang itu memukulnya tanpa memberinya waktu untuk siaga, tanpa memberi sedikit jeda untuk bergerak dan balas menyerang.
Damara merasakan pukulan-pukulan yang diterimanya menyesakkan dadanya, darah hangat dan asin mengalir dari mulutnya saat salah satu laki-laki itu menghajar keras rahangnya. Pandangan Damara mengabur seketika.
*** Gelas di tangan Anka terlepas dari pegangannya, membentur lantai dengan suara nyaring. Serpihan kaca bertebaran di sekitar kaki Anka. Apa yang dilihatnya di luar sana membuat tangannya serasa tidak mampu menggenggam apa pun. Anka melesat ke luar, mengabaikan perih akibat serpihan kaca yang menusuk kakinya. Apa pun yang terasa saat ini tidak begitu penting dibanding apa yang sedang terjadi pada Damara di luar sana.
Jantung Anka seperti berhenti berdetak saat melihat Damara terkapar tak berdaya di atas aspal. Kernyit kesakitan terlihat jelas di wajah lebam Damara. Kemeja putih yang dipakainya ternodai bercak-bercak darah.
"Kak Damara...!" pekik Anka, seraya menerobos tubuh besar orang-orang yang memukuli Damara.
Anka meraih tubuh lemah Damara, berusaha membopong tubuh Damara. Tapi Anka jelas tak sanggup, hingga ia hanya bisa terduduk seraya menopang kepala Damara yang terkulai.
"Minggir!" hardik salah satu laki-laki bertubuh besar pada Anka.
"Nggak! Jangan pukul Kak Damara lagi... aku mohon..." ratap Anka, mengeraskan rangkulannya ke tubuh Damara. "Jangan..."
"Minggir!!" Sekali lagi suara dingin itu terdengar keras di telinga Anka.
Anka menggeleng cepat, pipinya sudah basah oleh air mata.
Kesal dengan kekeraskepalaan Anka, salah satu dari laki-laki bertubuh besar itu menarik Anka, berusaha melepaskan pegangan Anka dari Damara.
Anka meronta sekuat tenaga menolak melepaskan Damara, sementara tangan kuat laki-laki itu menyentakkannya menjauh. Anka menjerit sekeras-kerasnya sebagai usaha terakhir untuk mengakhiri penganiayaan terhadap Damara, berharap di lingkungan sepi ini ada yang mendengar jeritannya dan datang untuk menolong. Tapi sampai tenggorokan Anka sakit, tak ada seorang pun yang datang.
Damara kembali harus menerima pukulan dan tendangan dari ketiga laki-laki itu. Anka sendiri tidak tahu mereka siapa, dan apa alasan mereka tega menganiaya Damara sedemikian rupa.
Damara terlihat sudah tak sadarkan diri, tubuhnya menelungkup diam tanpa perlawanan, sementara tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuh lemahnya.
Sekuat tenaga Anka melepaskan diri dari laki-laki yang memeganginya, berlari menghampiri Damara. Anka berdiri di depan tubuh Damara, merentangkan lengannya menghalangi laki-laki bengis itu.
"Berhenti!!" teriak Anka bercampur isak.
"Minggir lo, anak kecil!"
Hardikan itu terdengar lagi, tapi apa pun yang terjadi kini Anka bertekad tidak akan menyingkir selangkah pun. Ia tidak akan membiarkan orang-orang itu melukai Damara lagi.
"Pengin mati lo, hah"!"
"Kalo berani, pukul saja saya! Jangan pukul orang yang sudah tak berdaya," tantang Anka dengan suara gemetar.
Sialnya, ketiga laki-laki itu bukan termasuk orang yang berpikir dua kali untuk memukul atau melukai wanita. Mereka menatap Anka bengis, tangan-tangan mereka mengepal seakan siap melayangkan pukulannya pada wajah Anka. Jantung Anka berdetak begitu cepat, membayangkan jika orang itu benar-benar melukainya.
Dengan sisa keberaniannya Anka memejamkan matanya, tetap memosisikan diri sebagai tameng Damara, seraya memohon kekejian ini akan berakhir saat ia membuka mata.
*** Danu berlari cepat menuju rumahnya, ketika beberapa puluh meter dari tempatnya berjalan ia melihat Anka berdiri di depan rumah menghadapi tiga laki-laki bertubuh besar. Entah apa yang membuat Anka harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu, Danu tidak punya waktu untuk memikirkannya.
Hingga akhirnya Danu melihat tubuh kakaknya terkapar di jalan aspal dan Anka berdiri di depan Damara, menghalangi orang itu menyentuh Damara. Tatapan mata mereka seakan siap melumat Anka. Salah satu laki-laki itu bahkan sudah siap mengayunkan kayu seukuran stik soft ball ke arah Anka.
Di tengah napas tersengalnya, Danu melesat menghampiri Anka dan memeluk gadis itu. Seketika hantaman kayu mendera keras punggung Danu dan membuat pandangannya gelap. Dadanya terasa sesak dengan nyeri yang begitu menyiksa, bunyi berderak membuat Danu mengira tulang iganya telah patah dan menusuk organ dalam tubuhnya. Tapi di tengah deraan rasa sakit yang luar biasa, ia tetap berusaha berdiri untuk melindungi Anka dari hantaman selanjutnya.
"TOLOOONG!!!" Kali ini Anka berteriak lebih kencang dan lantang.
Teriakan minta tolong Anka yang melengking dan berulang-ulang akhirnya membuahkan hasil. Beberapa orang dari ujung jalan berlari mendekati mereka. Mau tidak mau ketiga laki-laki itu bergegas masuk mobil dan melajukan mobil mereka dengan cepat.
Danu melepaskan pelukannya pada Anka, lalu menyandarkan tubuhnya ke sisi mobil Damara. Berusaha menormalkan tarikan napasnya yang terhambat oleh rasa sakit.
Dengan wajah sangat khawatir, Anka langsung berlutut merangkul tubuh Damara yang tak bergerak. Air mata pilu kembali mengalir dari matanya sementara ia mengusap lembut dan tul
us wajah Damara. Sekarang, mendadak rongga dada Danu kosong melihat apa yang dilakukan Anka terhadap Damara. Anka terlihat begitu mengkhawatirkan Damara hingga tidak sadar keberadaan Danu di belakangnya, seseorang yang sudah menjadi tameng untuknya.
Rasa nyeri dan sesak yang dirasakan Danu terasa semakin parah.
* * * - 23 - DENGAN malas-malasan Danu mengganti kemeja sekolah dengan kaus olahraga, berkali-kali menghela napas seraya menatap kosong dinding ruang ganti.
"Lo nggak apa-apa masuk hari ini" Kak Damara gimana" Lo nggak temenin di rumah sakit"" tanya Andro.
"Dia udah ada yang nungguin. Anka sengaja nggak masuk hari ini, dia bilang mau nungguin Kak Damara," jawab Danu datar.
"Emang Kak Damara parah ya, Nu""
"Nggak terlalu sih, tadi pas gue berangkat sekolah dia udah bangun."
Bunyi peluit dari arah lapangan membuat jeda pembicaraan mereka. Danu, Andro, dan beberapa teman sekelasnya keluar dari ruang ganti dan bergegas menuju lapangan. Danu memegang dadanya. Rasa sesak kembali terasa. Nyatanya, pukulan orang-orang itu menyisakan rasa sakit yang lumayan menyiksa.
"Cepetan, lelet banget sih lo," seru Andro, melambaikan tangannya mengisyaratkan agar Danu bergegas.
Mengabaikan rasa sakit di dadanya, Danu pun bergegas, berharap rasa sakit di dadanya baik akibat pukulan itu atau bukan, dapat segera pulih tak terasa lagi.
*** "Kamu masih kontak sama mantan pengacara kamu, Mel"" tanya manajer Imelda tiba-tiba. Mereka sedang di ruang makeup usai pagelaran busana yang baru saja diikuti Imelda.
"Nggak, Mbak, memang kenapa"" tanya Imelda berusaha membuat suaranya terdengar tidak terlalu antusias.
"Nggak... Kemarin malam waktu Mbak ambil resep vitamin kamu di rumah sakit, sepintas Mbak lihat dia di atas brankar, didorong ke ruang UGD. Kelihatannya dia pingsan, pakaiannya penuh darah... Apa mungkin kecelakaan ya""
Imelda terdiam. Kecemasan dan kekhawatiran menjalar cepat. Ingin rasanya ia memberondong manajernya dengan berbagai pertanyaan tentang Damara, tapi itu tidak mungkin dilakukannya. Ia tidak ingin manajernya berpikir macam-macam karena pertanyaan yang diajukannya.
"Mbak, aku nggak ikut pulang sama Mbak ya. Aku ada urusan sebentar, nanti kita ketemu di tempat pemotretan," kata Imelda akhirnya, setelah beberapa menit terdiam.
"Kamu mau ke mana, Mel" Kita harus sampai di lokasi dua jam lagi lho."
"Aku tahu, Mbak... Cuma sebentar kok. Aku pasti sampai lokasi tepat waktu."
Tanpa menunggu persetujuan manajernya, Imelda meraih tasnya dan bergegas keluar ruang makeup.
"Jangan sampai terlambat, Mel! Ini pemotretan penting..." seru manajer Imelda.
Imelda tidak tahu mengapa ia berubah pikiran. Yang ia tahu, kecemasan ini membutuhkan penyelesaian agar tidak menyiksanya. Sudah cukup lelah ia menekan semua perasaannya selama ini, dan sepertinya ia tidak sanggup lagi. Tidak di saat seseorang yang pernah begitu ia cintai dan menjadi alasan mengapa ia rela menanggung siksaan perasaan, mungkin sedang melalui hal mengerikan. Meski ia sendiri tidak tahu apa.
*** Dari atas ranjang rumah sakit tempatnya berbaring, Damara menatap Anka yang sibuk membereskan minuman, buah, dan obat-obatan di lemari kecil di samping ranjang Damara. Tidak menyadari sedari tadi Damara sedang memperhatikannya.
"Kamu lagi ngapain, Ka"" tanya Damara pelan.
Anka langsung menoleh ke arah Damara, tersenyum melihat Damara sudah bangun.
"Kakak tidurnya kok sebentar banget" Kata dokter, Kakak harus banyak istirahat."
"Waktu dia nyuruh banyak istirahat, dia lupa kasih penghilang rasa sakit yang tahan lama," kata Damara seraya mengernyit saat tangan kirinya yang dibebat perban tanpa sengaja menyenggol sisi ranjang.
"Kakak kebangun karena lukanya sakit ya" Apa Anka panggilin dokter"" tanya Anka cemas.
"Nggak usah, cuma sakit kayak gini masih bisa Kakak tahan."
"Bener nih nggak apa-apa" Kalo memang sakit jangan ditahan, Kak." Anka menatap Damara dengan cemas, lalu duduk di kursi kecil di samping Damara.
Damara tersenyum kecil melihat reaksi Anka. "Kamu terlalu khawatir, Ka... Seharu
snya kamu pergi sekolah, bukannya di sini nemenin Kakak," kata Damara. "Tapi... terima kasih sudah ada di sini ya... Terima kasih juga kemarin kamu mau belain Kakak, untung kamu tidak terluka."
"Ngelihat kondisi Kakak kemarin, Anka takut Kakak nggak bisa bertahan... Takut kalau sekali lagi Anka harus kehilangan..." kata Anka lirih dengan mata berkaca-kaca.
Damara tercekat. Tidak pernah menyangka akan ada seseorang yang takut kehilangan dirinya.
"Kata-kata kamu bikin Kakak terharu, terima kasih ya..." Dengan tangan yang tak terbebat perban, Damara mengusap lembut rambut Anka dan berkata tulus, "Kakak sayang kamu, Ka."
Damara menyunggingkan senyum lebar setelah mengatakan itu semua. Sedikit pun ia tidak menyadari ucapannya barusan meninggalkan arti khusus untuk Anka.
*** Kakak sayang kamu, Ka. Kata-kata itu terngiang bagai simfoni indah di telinga Anka.
Anka duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat Damara, tersenyum lebar menikmati jantungnya berdetak dengan sensasi yang sangat menyenangkan. Kata-kata Damara seperti bisikan lembut ketika ia mengingatnya. Ini seperti... ah, Anka sendiri tidak tahu ini seperti apa. Ia baru pertama kalinya mengenal rasa ini. Sebagai gadis yang hampir menginjak usia 18 tahun, ia hanya bisa menduga inilah perasaan cinta.
Saat masih asyik menikmati perasaan indahnya, Anka melihat sosok wanita yang berjalan bergegas, setengah berlari ke arahnya. Wajah cantik wanita itu diliputi kepanikan. Semakin dekat, Anka bisa mengenali wanita itu. Imelda, model cantik yang...
Tanpa mengacuhkan Anka, Imelda membuka pintu ruang rawat Damara dan langsung masuk ke dalam seakan tidak menyadari keberadaan Anka yang hanya beberapa langkah dari pintu.
Dari celah jendela kaca ruang rawat yang tidak tertutup gorden, Anka menyaksikan adegan yang membuat perasaan indah dan tadinya begitu nyaman dirasakan berubah jadi menyesakkan dadanya.
*** Dengan pandangan nanar Imelda menatap Damara yang terbaring dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit. Perlahan Imelda bergerak mendekat. Luka memar dan lebam memenuhi wajah Damara. Balutan perban di tangan dan wajah Damara membuat air mata Imelda mengalir pelan tanpa terasa. Sebab, wajah yang kini penuh luka inilah yang selama berhari-hari begitu dirindukannya.
Imelda menggerakkan tangan lembutnya, dengan perlahan menyentuh wajah Damara, seakan takut sentuhannya akan menyakiti Damara.
Damara bergerak pelan, Imelda segera menarik tangannya, lalu menghapus cepat air matanya.
"Mel..."" Suara Damara terdengar. Suara yang kembali membuat air mata yang coba ditahan Imelda menetes lagi tak terbendung.
Imelda memalingkan wajahnya dari Damara, berniat menjauh sebelum Damara membaca apa yang dirasakannya. Damara meraih tangan Imelda, menahan Imelda.
"Jangan pergi, Mel... Aku mohon..."
Imelda menoleh, matanya langsung bertemu mata Damara yang menatapnya dan membuatnya merasa lemah.
"Aku mau kamu di sini, Mel... please."
Tidak ada yang dikatakan Imelda, ia hanya diam. Sebagian dirinya ingin berlari ke luar meninggalkan Damara, kembali menjadi Imelda yang memiliki harga diri karena tak ingin lagi tersakiti. Tapi nyatanya, ia tetap berdiri di samping Damara, membiarkan tangan Damara menggenggam erat tangannya, membiarkan logikanya terkalahkan oleh perasaannya.
"Terima kasih," bisik Damara pelan. Senyum kelegaan tampak di wajah penuh memarnya saat merasa Imelda tidak akan pergi.
"Kamu kenapa bisa sampai begini"" Akhirnya Imelda bersuara juga, sebisa mungkin membuat nada suaranya terdengar dingin.
Damara kembali tersenyum, ada yang aneh tersirat dalam senyumnya kali ini.
"Ini konsekuensi atas apa yang aku lakukan selama ini... Mungkin ini juga hukuman karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu."
Imelda kembali memalingkan wajahnya dari Damara. Ia tidak ingin melihat tatapan Damara, takut tidak bisa mengontrol keinginannya untuk memeluk Damara dan mengatakan, "Semua akan baik-baik saja".
"Maafin aku, Mel. Seharusnya dari awal aku tahu apa yang aku rasakan akan menyakiti kamu... seharusnya aku tidak mencintai k
amu." "Kamu menyesal..."" tanya Imelda, sedikit terluka mendengar pernyataan Damara.
"Tidak..." Damara menggeleng pelan. "Aku tidak pernah menyesal mencintai kamu, yang aku sesalkan hanya kamu terluka karenanya."
Sesak di dada Imelda terasa begitu menyiksa, air mata Imelda lagi-lagi menggenang, kali ini rasanya ia tidak bisa menahannya agar tak jatuh.
"Kamu tahu seberapa menyakitkannya ini buat aku..." Ini sangat menyakitkan," kata Imelda parau di tengah tangisnya. "Kamu tahu kenapa begitu sakit" Karena... sialnya, aku juga begitu mencintai kamu."
Imelda mengembuskan napas lega setelah mengatakan itu semua pada Damara, keluar sudah unek-unek yang membuat dadanya terasa begitu sesak belakangan ini. Imelda menghapus air matanya, setelahnya memaksakan senyum di wajahnya lalu menatap Damara.
"Tapi udahlah. Mungkin untuk aku, indahnya cinta hanya ada sebagai selingan," kata Imelda getir. "Lagi pula rasa sakit ini tidak akan permanen." Imelda merasakan tangan Damara yang menggenggam tangannya tiba-tiba mendingin, ekspresi wajahnya sulit diartikan.
"Aku harus pergi, Mar," kata Imelda akhirnya, merasa sudah cukup dengan pertemuan mereka. "Apa pun yang baru saja terjadi sama kamu, aku senang kamu masih bertahan." Imelda menarik tangannya pelan-pelan dari genggaman Damara, berniat untuk pergi.
Tapi belum sempat Imelda beranjak selangkah pun, Damara sudah merangkulkan sebelah tangannya ke tubuh Imelda. Imelda berusaha melepaskan diri, tapi sebelah tangan Damara begitu kuat menahannya.
"Sebentar, Mel... Biarin aku meluk kamu seperti ini, sebentar saja," pinta Damara lirih.
Imelda terdiam, pelukan Damara membuatnya serasa membatu. Begitu tenang sekaligus pilu, merasa nyaman sekaligus gamang. Berbagai perasaan yang selama ini datang dan muncul secara bertahap, kini terasa dalam waktu bersamaan. Imelda hanya bisa berkata dalam hati, Andai cinta ini dapat berjalan dengan mudah.
"Semua ini terlalu melelahkan, Mel. Tanpa sandaran, rasanya aku sulit bisa bertahan."
Air mata hangat dirasakan Imelda merembes di bahunya, air mata yang sekali lagi harus membuatnya merasakan pedih. Mungkin ia bisa menyangkal semua perasaannya lewat kata-kata, tapi saat orang yang dicintainya bersandar di bahunya dengan segala keterpurukannya, ia hanya bisa mengabaikan penyangkalan itu dan ingin menjadi sandaran.
*** Anka mendorong pintu kamar Danu dengan detak jantung yang menggedor rongga dadanya. Kecemasan dan kekhawatiran terus mengiringi langkah cepatnya. Tadi Andro meneleponnya, mengabarkan bahwa Danu jatuh pingsan di sekolah. Sepanjang ia bersahabat dengan Danu, ini pertama kalinya ia mendengar Danu pingsan. Ini jelas mengkhawatirkan, sebab yang ia tahu, Danu memiliki fisik yang cukup kuat.
Anka mendapati Danu terbaring di atas tempat tidurnya, wajahnya begitu pucat. Anka mendekati Danu, ada perban yang terbebat di sekeliling dada Danu, terkesan menyesakkan di balik kemeja yang tidak terkancing sepenuhnya.
"Lo kenapa, Nu..." Dada lo kok dibalut perban"" rentetan pertanyaan tercetus penuh kekhawatiran dari mulut Anka. "Lo jatuh""
"Gue nggak kenapa-napa," kata Danu datar.
"Nggak kenapa-napa gimana"! Andro bilang lo pingsan di sekolah, badan lo aja panas gini," kata Anka seraya memegang dahi Danu.
"Gue bilang, gue nggak apa-apa," tegas Danu, seraya menyingkirkan tangan Anka dari dahinya. "Lo nggak usah mikirin gue, mendingan balik ke rumah sakit aja jagain Kak Damara."
"Kok lo ngomong gitu sih" Gue di sini karena gue peduli sama lo, kok lo malah nyuruh gue balik ke rumah sakit"" kata Anka kesal dengan kata-kata Danu. "Gue nggak ngerti jalan pikiran lo."
"Gue cuma butuh istirahat, Ka," jawab Danu singkat, membalikkan tubuhnya memunggungi Anka, seakan ingin Anka segera pergi.
Anka menghela napas panjang. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai Danu bersikap sedingin itu padanya. "Oke, kalo emang itu yang lo mau... gue pergi." Anka menatap Danu yang tetap memunggunginya lalu melangkah keluar dari kamar.
*** Rasa sesak di dada Danu semakin terasa saat mendengar kata-kata Anka, mengg
antikan kesenangan sesaat ketika ia melihat Anka memasuki kamarnya dengan penuh raut kekhawatiran menanyakan kondisinya.
Ya Tuhan... Anka bahkan tidak mengacuhkan apa yang terjadi pada Danu kemarin. Padahal bukan hanya Damara yang terluka, Danu pun mati-matian menghalangi orang-orang itu melukai Anka dengan merelakan punggungnya menanggung hajaran tongkat kayu.
Kekecewaannya pada Anka membuat perasaan tidak suka saat Anka menyentuh dahinya. Membuat Danu terpaksa harus bersikap ketus pada gadis itu.
Danu menghela napas pelan, lelah harus merasakan ini semua. Kenapa ia harus memiliki rasa yang begitu menyesakkan ini"
Danu kembali teringat saat Anka mempertanyakan sikapnya yang dingin, bahkan menunjukkan terang-terangan ia menghindari Anka dengan memunggunginya, meskipun harus menanggung nyeri hingga keringat dingin mengalir di wajahnya. Tidak adil memang bersikap demikian sementara Anka tidak tahu apa-apa. Hanya saja Danu merasa perlu memberi sedikit ruang untuk rasa marahnya. Dan saat Anka berlalu, ia hanya bisa mencengkeram sisi tempat tidurnya kuat-kuat, berusaha mengalihkan rasa sakitnya.
Sama seperti perasaan menyenangkan yang dibawa Anka, obat penghilang rasa sakit yang diminumnya tadi pun hanya bersifat sementara.
*** "Anka..." Andro memanggil Anka sesaat setelah keluar dari kamar Danu. "Gimana" Lo udah liat kondisi Danu""
Anka mengangguk pelan, senyum tipis terulas di bibirnya sambil berjalan menghampiri Andro yang duduk di lantai teras belakang. Anka lalu duduk di samping Andro.
"Danu aneh deh, dia malah nyuruh gue pergi," kata Anka pelan. "Dia bahkan nggak mau jawab kenapa dia bisa sampai kayak gitu."
"Lo nggak tau kenapa Danu pingsan"" tanya Andro, menatap Anka tidak percaya. Anka menggeleng tidak mengerti. "Pantes Danu nyuruh lo keluar," kata Andro.
"Maksud lo apa sih" Gue nggak ngerti."
"Gue nggak tahu ya, lo ini kurang peka apa memang nggak peduli sama Danu! Tapi gue rasa lo keterlaluan kalo sampe lo nggak tahu. Kemarin itu, bukan cuma Kak Damara doang yang terluka, tapi Danu juga," jelas Andro, sedikit kesal dengan ketidaktahuan Anka.
Penjelasan Andro memutar paksa ingatan Anka pada kejadian kemarin. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin ia sampai tidak ingat Danu memeluknya untuk menghalangi orang-orang itu meremukkan tubuhnya dengan tongkat kayu besar itu"
"Danu sempet muntah-muntah di sekolah sebelum akhirnya pingsan. Dokter bilang Danu harus di-rontgen supaya ketahuan sebenernya dia kenapa," Andro melanjutkan penjelasannya. Penjelasan yang membuat rasa bersalah Anka semakin membuncah.
"Kalo gitu, kenapa Danu nggak dibawa langsung ke rumah sakit"" tanya Anka.
"Danu nggak mau, gue juga nggak tahu kenapa."
"Kalo gitu gue mau bujuk Danu supaya dia mau ke rumah sakit." Anka sudah berdiri hendak kembali ke kamar Danu, tapi tangan Andro mencekal lengannya.
"Sekarang mending biarin Danu istirahat dulu," kata Andro.
Benar yang dikatakan Andro, lebih baik membiarkan Danu istirahat. Sekarang mungkin bukan saat yang tepat untuk memaksakan sesuatu pada Danu. Anka kembali duduk di samping Andro.
"Danu lagi sedih, Ka..."
"Sedih" Soal ayahnya dan kondisi Kak Damara"" tanya Anka kembali menatap Andro.
Andro tersenyum getir. Ia menunduk menatap rerumputan halaman belakang.
"Ternyata lo bener-bener nggak tahu."
"Tahu apa sih, Ndro"" tanya Anka, semakin tidak mengerti dan tidak suka cara Andro mengatakannya. Seperti meremehkannya.
"Mungkin Danu bakal marah setelah gue cerita ini ke lo. Mungkin juga dia bakal nggak mau ngomong lagi sama gue. Tapi gue rela ambil semua risiko itu. Gue udah capek lihat Danu kayak gini."
"Lo tuh mau ngomong apa sih, Ndro" Berbelit-belit. Gue nggak ngerti."
"Lo nggak ngerti karena lo emang nggak pernah nyoba ngerti," kata Andro, menatap sinis pada Anka.
"Kayaknya kita nggak bakal bisa ngomong bener nih! Ada yang salah sama cara lo ngomong sama gue." Anka berdiri. "Gue lebih baik pergi," tandas Anka.
Anka bangkit, berjalan meninggalkan Andro yang masih terdiam.
"Danu suka sama lo, Ka..." Suara datar Andro menahan Anka
melanjutkan langkahnya. Seketika Anka membalikkan tubuhnya, kembali menatap Andro yang sekarang menatap serius padanya. Ia tidak bisa menemukan sosok Andro yang sedang bercanda seperti biasanya.
* * * "Anggap aja Andro nggak pernah ngomong apa-apa. Lo jangan sampe ngerasa terbebani sama apa yang lo denger tentang perasaan gue ke elo. Oke"" - Danu
SEMINGGU berlalu sejak penganiayaan Damara terjadi.
Dua hari yang lalu Damara sudah keluar dari rumah sakit. Sementara Danu sampai saat ini tetap menolak melakukan pemeriksaan di rumah sakit, dan menunjukkan ia baik-baik saja dengan bangun dari tempat tidur dan kembali sekolah. Anka mulai menyibukkan diri dengan berbagai persiapan menempuh Ujian Nasional. Masing-masing mereka kembali melanjutkan rutinitas hidup yang sempat berjeda.
Damara bersandar di kursi, di balik meja kerja kantornya. Tangannya menyilang di depan dada dengan gelisah. Mata Damara menatap handphone-nya yang tergeletak di atas meja. Entah keberapa kalinya ia gagal menghubungi kliennya, Anggun. Sejak kejadian yang menimpa Damara, Anggun tidak pernah lagi datang menemuinya. Jangankan datang, memberi sedikit kabar lewat telepon pun Anggun tidak pernah.
Ini jelas membuat Damara khawatir. Terakhir kali mereka bertemu, kondisi Anggun yang babak belur akibat perlakuan suaminya pasti akan membuat siapa saja khawatir. Setelahnya, menyusul Damara diserang tiga laki-laki yang diyakini Damara sebagai orang suruhan suami Anggun. Dan kini, Anggun seakan menghilang tanpa kabar, tanpa sedikit pun penjelasan yang bisa membuat kekhawatiran Damara reda.
*** Damara menyapukan pandangannya ke setiap sudut apartemen. Ada kekecewaan di wajahnya saat tidak mendapati sosok yang dicarinya. Kekecewaan yang memang sudah diprediksi sejak kepalanya memunculkan ide mencari Anggun di apartemen ini.
Damara melangkah masuk semakin jauh, matanya tetap menebar pandangan ke sekeliling apartemen. Kali ini dengan tatapan sayu, seakan terlalu lelah untuk melakukannya. Apartemen ini terasa berbeda tanpa keberadaan Anggun, seperti kehilangan keangkuhannya. Langkah Damara sampai di beranda apartemen, ia mendongakkan kepala menatap langit Jakarta yang sore ini terlihat begitu suram. Damara menghela napas dalam, untuk kesekian kalinya. Tatapannya berbalik ke dalam apartemen. Ada rasa yang tiba-tiba menyergapnya, dan sialnya, membuatnya menginginkan Anggun hadir di depan matanya sekarang.
Yakin bahwa perasaannya akan semakin tidak keruan jika berada terlalu lama di sini, dengan langkah gontai Damara berjalan meninggalkan beranda. Kembali melewati ruang apartemen yang biasanya selalu ada Anggun di antaranya.
Tiba-tiba Damara menghentikan langkahnya, saat matanya tertumbuk pada sebuah amplop putih di atas meja kecil, di samping sofa ruang tengah apartemen.
Tanpa pikir panjang Damara meraih amplop itu dan membukanya.
Damara... Aku minta maaf atas semua kejadian yang menimpa kamu. Ini semua salahku. Andai aku tidak gegabah memutuskan menggugat cerai tentu kamu tidak akan pernah terluka. Bersamaan dengan semua hal buruk yang terjadi, aku menyadari satu hal: aku memang tidak pernah bisa melepaskan diri dari orang itu. Kekuasaannya mengharuskan aku untuk tetap menuruti semuanya jika aku tidak ingin kehilangan lebih banyak lagi.
Dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak ingin kamu kembali disakiti. Melihat kamu harus menerima begitu banyak pukulan sudah membuat aku merasa terluka, dan aku tidak bisa membayangkan yang lebih buruk dari itu... Maka di sinilah aku sekarang, menuruti keinginannya untuk tetap menjadi boneka porselen yang akan selamanya tersimpan di lemari kaca, agar bisa selalu dilihat sang pemiliknya.
Aku mencintai kamu... Mungkin hanya itu yang bisa menjelaskan mengapa aku rela menerima semuanya. Aku hanya ingin semua berjalan baik-baik saja untukmu.
Maaf kalau selama ini aku menggunakan topeng keangkuhanku untuk menutupi rasa cintaku padamu. Selama ini aku hanya berpikir perasaanku padamu akan melukai harga diriku.
Mungkin akan ada hal lain yang meyusul kejadian kemarin, aku ingin kamu bersiap
-siap dan kuat menghadapinya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Walaupun aku lelah memohon, tetap tidak bisa mengubah apa pun yang direncanakannya padamu.
Maaf... maaf untuk semuanya. Aku berjanji, setelah ini, setelah kamu terlepas dari aku, semua akan berjalan lebih baik.
Damara menghela napas dalam-dalam. Matanya memanas setelah membaca kalimat terakhir yang dituliskan Anggun untuknya. Kalimat Anggun mengguratkan luka di hati Damara. Ia tidak pernah menyangka, selama ini, di balik keangkuhannya, Anggun memiliki perasaan yang begitu dalam padanya.
"Ya Tuhan... Dia begitu menderita," ratap Damara dalam hati.
Damara tidak pernah menyangka jalan hidupnya sedemikian rumit. Anggun juga menulis akan ada hal lain yang akan terjadi, tapi Damara tidak begitu peduli selama itu hanya menyangkut dirinya. Harapannya, sebagai laki-laki yang pernah begitu mengharapkan ketulusan cinta Anggun, di mana pun Anggun sekarang berada, ia ingin Anggun baik-baik saja. Ia ingin Anggun bahagia, bagaimana pun wujud kebahagiaan itu.
*** "Sori ya, Nu... gue udah bilang semuanya ke Anka."
Entah sudah berapa kali Danu mendengar Andro mengulang kalimat yang sama. Sejak Andro mengaku sudah memberitahu Anka tentang perasaan Danu, ia didera rasa bersalah. Awalnya Danu menyayangkan Anka mengetahui ini semua dari Andro. Tadinya ia berharap bisa mengatakan langsung pada Anka, tapi ya sudahlah, mungkin ada baiknya seperti itu. Setidaknya, sekarang Anka sudah tahu apa yang dirasakannya, ia tidak perlu lagi menyembunyikan apa-apa.
"Udahlah, Ndro. Nggak usah bahas itu lagi... Kita kan lagi ujian, jadi nggak usah macem-macemlah," kata Danu, sambil membalik halaman buku paket tebal yang dibacanya di perpustakaan, di sela-sela waktu istirahat ujian.
"Abis... Gue perhatiin hubungan lo sama Anka jadi aneh sejak gue bilang itu ke Anka, gue jadi ngerasa nggak enak," kata Andro datar. "Kalian tuh kayaknya saling menghindar."
"Gue sama Anka biasa aja kok. Kita lagi sibuk-sibuknya ujian, jadi nggak ada waktu buat main atau ngobrol kayak biasanya. Bukan saling menghindar," jelas Danu, sebisa mungkin menunjukkan nada suara biasa. "Nanti nih, dua jam dari sekarang, abis kita semua beresin soal ujian terakhir, lo bakal lihat semuanya akan kembali senormal biasa."
Andro mengangguk-angguk pelan, dengan raut wajah ragu ia menelan semua perkataan Danu dan kembali membuka buku paket yang dari tadi diabaikannya.
Danu menghela napas pelan, matanya kembali tertuju pada buku yang sedang berusaha dibacanya di menit-menit paling tidak mengenakkan bagi semua siswa yang sedang menempuh Ujian Nasional. Andai saja ucapannya pada Andro tadi, untuk fokus pada ujian saja, mudah diterapkan, maka penjelasan dalam buku yang sedari tadi coba ia sisipkan ke ruang otaknya tidak akan membutuhkan usaha keras. Andai saja semua kecemasannya, tentang bagaimana harus memosisikan diri di dekat Anka, bisa reda, pasti semuanya akan lebih mudah. Karena Danu sadar, ia tidak akan bisa selamanya menghindari Anka.
*** Handphone Imelda kembali berdengung di atas nakas. Imelda duduk di atas tempat tidur menatap handphone-nya dengan enggan, seakan menimbang perlu atau tidak ia menjawab panggilan itu.
Sudah tiga kali Imelda mengabaikan telepon dari Damara. Alasannya bukan karena tidak ingin menjawab telepon dari Damara, demi Tuhan... Imelda ingin sekali mendengar suara Damara. Sejak kejadian di rumah sakit, saat Damara dirawat, Imelda kembali merasakan ada yang aneh pada dirinya. Hatinya seakan dipenuhi cinta. Semua yang dilakukan Damara padanya seakan termaafkan begitu saja. Sandaran keterpurukan Damara di pelukannya tempo hari membuat segalanya bisa ia pahami. Kini Imelda harus mengakui, ia memang amat mencintai Damara.
Maka di sinilah Imelda, dengan sisa usahanya untuk tidak kembali terjerat cinta yang ia yakini akan kembali menyakitinya. Duduk diam menatap handphone yang terus berdering, seraya melawan keinginannya untuk meraih handphone itu dan mendengar suara Damara.
Akhirnya dengan segala macam pembenaran di kepalanya, Imelda meraih handphone
-nya, menghela napas perlahan sebelum bicara.
"Halo..." sapa Imelda, berusaha terdengar tidak terlalu bersemangat.
"Halo... Akhirnya kamu mau angkat teleponku juga." Suara laki-laki yang dirindukan Imelda terdengar. "Kamu udah tidur, Mel""
"Baru akan," jawab Imelda datar.
"Baru akan... Hm, pantas saja lampu apartemen kamu masih nyala," kata Damara.
"Lampu apartemen..." Maksudnya" Kamu di mana"" Seperti orang linglung Imelda menoleh ke sana-sini, berharap bisa menemukan Damara di salah satu sudut apartemennya. "Kok kamu tahu lampu apartemenku masih nyala""
"Karena aku melihatnya," jawab Damara singkat.
Imelda berdiri dari tempat tidur, mondar-mandir di dalam apartemennya.
"Kamu di mana sekarang"" tanya Imelda lagi.
"Kalau kamu berjalan ke balkon dan melihat ke bawah, mungkin kamu bisa lihat di mana aku berada."
"Ya Tuhan..." keluh Imelda.
Dengan ponsel yang menempel di telinganya, Imelda bergegas ke balkon. Matanya mencari-cari sosok kecil di bawah sana yang terlihat melambai ke arahnya.
"Aku melihat kamu sekarang," kata Damara, ada nada lega di balik suaranya. "Jika aku tidak sedang berkhayal, aku melihat kamu tersenyum."
Imelda memang sedang tersenyum. Melihat Damara ada di bawah sana membuatnya ingin berlari turun menghampirinya.
"Kamu ngapain"" tanya Imelda tetap menjaga nada suaranya agar tetap terdengar normal.
"Aku di sini karena butuh vitamin." Suara Damara kembali terdengar lewat ponsel yang dipegang Imelda. "Akan ada banyak hal melelahkan yang masih harus kuhadapi, karena itu... aku perlu melihat kamu."
Imelda menatap ke bawah, berusaha melihat raut wajah Damara di bawah sana yang hanya terlihat seperti titik kecil. Dari suaranya Imelda yakin ada yang sedang membebani Damara sekarang ini.
"Ada apa... kenapa kamu perlu melihat aku""
"Aku hanya memerlukan tambahan energi. Dan mendengar suara kamu, melihat kamu berdiri di sana menatap ke arahku, itu sudah menjadi hal istimewa untukku."
Nada suara Damara terdengar makin aneh di telinga Imelda, membuat perasaan Imelda semakin tidak keruan. Imelda menutup teleponnya dan bergegas masuk. Dengan cekatan ia menyambar sweternya dari atas tempat tidur dan memakainya untuk menutupi gaun tidur yang seadanya. Setengah berlari Imelda turun menghampiri Damara.
*** Damara menghentikan langkahnya, dan menoleh saat telinganya menangkap suara Imelda. Sosok Imelda terlihat samar di kejauhan, gaun tidur putihnya bergerak indah mengikuti langkah kakinya. Damara mengerjapkan matanya, seakan meragukan pandangannya bahwa yang sedang berjalan mendekat itu benar-benar Imelda.
Mereka akhirnya duduk di taman apartemen Imelda. Damara terus menatap Imelda lekat-lekat. Tadinya, bisa kembali bersama Imelda sedekat ini hanya keinginan yang diyakini Damara sulit diwujudkan. Tapi nyatanya, malam ini, saat begitu banyak yang mengganggu pikirannya, kegalauan yang dirasakannya justru memunculkan ide gila, yang membawanya sampai di sini. Awalnya sekadar berharap bisa melihat Imelda dari kejauhan, nyatanya sekarang bagai anugerah bisa bersama Imelda sedekat ini.
"Berhenti lihatin aku kayak gitu," cetus Imelda, setelah hampir sepuluh menit Damara hanya menatapnya dalam diam.
Damara mengalihkan pandangannya pada tanaman-tanaman yang menghiasi taman, wajah lelahnya mengulaskan senyum kecil.
"Maaf..." kata Damara pelan, "aku hanya masih belum percaya benar kamu mau turun nemuin aku di sini. Tadi waktu kamu masuk ke dalam dan menutup telepon, aku kira kamu sudah nggak mau bicara dan lihat aku lagi. Dan melihat kamu di sini rasanya seperti..." Damara menghentikan kata-katanya, ragu apa ia perlu mengatakan apa yang dirasakannya sekarang.
"Seperti apa"" tanya Imelda. Seakan membaca keraguan Damara.
"Kamu sangat baik, Mel. Setelah aku menyakitimu, kamu masih mau nemuin aku malam ini... Terima kasih ya," kata Damara, mengalihkan pembicaraan.
"Aku bisa apa" Mana mungkin aku hanya melihat kamu dari atas sana, sementara nada suara kamu, kalimat yang kamu ucapkan, seakan-akan kamu mau berangkat perang," jelas Imelda.
Damara kembali menatap Imelda, kali ini lebih lekat. Ya Tuhan, andai aku bisa mencintainya dengan mudah, batin Damara. Imelda begitu sempurna di matanya, begitu baik, begitu lembut, hingga Damara tidak tega melukai Imelda dengan apa yang dirasakannya.


A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Damara menunduk, sadar bahwa ia tidak boleh memanjakan dirinya dan harus menerima kenyataan bahwa selamanya ia tidak akan pernah bahagia bila berurusan dengan cinta.
"Maaf, Mel... Aku selalu melibatkan kamu. Salahku memang, tidak bisa mencegah diriku menemui kamu. Seharusnya aku tidak melakukan hal ini," kata Damara lirih. Menggeleng lemah.
"Jadi sekarang kamu mau bilang menyesal"!" sergah Imelda dingin.
"Aku gila kalau aku bilang menyesal... Aku hanya tidak ingin..."
"Perasaan ini menyakiti kamu lagi"" Imelda meneruskan kata-kata Damara. "Itu kan yang mau kamu bilang"" Imelda bangun dari kursi taman, berdiri memunggungi Damara seakan enggan menatapnya.
Damara dibuat diam. "Iya benar! Perasaan kamu memang menyakiti aku. Bahkan sangat menyakiti aku!" lanjut Imelda parau. "Setelah meninggalkan begitu banyak hal di kepalaku, dengan mudahnya kamu hendak menjauh dengan alasan tidak ingin menyakiti aku"! Kamu datang, pergi, datang, dan mau pergi lagi dari hidupku sesuka kamu. Membiarkan aku kembali merasakan sakit yang seharusnya sudah sembuh."
Imelda membalikkan badannya menghadap Damara, membuat Damara kini bisa melihat jelas kesedihan di wajah Imelda, dengan air mata yang mengalir pelan dari mata indah Imelda.
"Kamu tahu" Semua itu lebih menyakitkan, ketimbang aku harus menderita karena berada di samping kamu, untuk mencintai kamu."
Air mata Imelda mengalir semakin deras, seiring meluncurnya kalimat yang menjadi tamparan bagi Damara.
Dengan ragu-ragu Damara meraih Imelda ke dalam pelukannya. Imelda sempat berontak, memukul keras dada Damara, tapi Damara justru mengeraskan pelukannya di tubuh gemetar Imelda. Ia tidak akan melepaskan pelukannya, tidak di saat ia tahu ia sudah begitu dalam melukai wanita yang dicintainya.
Imelda terus menangis di pelukan Damara, tubuhnya gemetar hebat seiring isak tangisnya.
Aku mencintai kamu, Mel, andai saja rasa ini bisa terkatakan tanpa rasa sakit menyusul di kemudian hari, kata Damara dalam hati, seraya membelai lembut rambut Imelda di pelukannya. Rasa sesak di dadanya begitu menyiksa, hingga air matanya pun merembes tanpa suara.
*** Anka berjalan melintasi ruang tengah, langkahnya terhenti, mendapati Danu duduk di sofa. Tadinya Anka sengaja pulang terlambat hari ini dan menghabiskan waktu berjam-jam di toko buku, agar saat pulang ia bisa langsung masuk kamar dan tidak terlihat menghindari Danu. Tapi nyatanya, Danu yang biasanya menghindarinya malam ini justru duduk di ruang tengah seakan menunggu kepulangannya.
"Hai, Nu..." sapa Anka canggung.
"Baru balik"" tanya Danu, menyunggingkan senyum kaku.
Ini benar-benar suasana yang tidak seharusnya terjadi antara mereka, rasanya sungguh-sungguh buruk.
"Iya, gue tadi ke toko buku dulu... Eh, gue ke kamar dulu ya, Nu, mau mandi. Badan gue udah lengket banget nih." Merasa kecanggungan ini perlu disudahi, Anka segera melanjutkan langkahnya. Tapi baru dua langkah Anka beranjak, suara Danu terdengar lagi.
"Bentar, Ka... Kita bisa ngomong sebentar nggak, sebelum lo ke kamar""
Danu mengajak Anka duduk bersisian di teras belakang. Belum ada yang memulai bicara, keduanya berusaha menetralisir perasaan tidak nyaman.
"Rasanya aneh ya, kita duduk di sini tapi kita cuma diem-dieman. Beda kayak biasanya," Danu memulai bicara. "Ternyata dampaknya parah juga ya..."
Anka menoleh, menatap Danu. Sekilas ada senyum datar di wajah Danu, senyum yang tidak pas berada di wajah Danu.
"Sori ya, Ka, gue udah bikin situasi jadi serbasalah kayak gini," Danu kembali bicara. "Seharusnya lo nggak perlu tahu perasaan gue. Seharusnya gue nggak bebanin lo dengan hal nggak penting yang gue rasain..." Danu tertunduk.
Ada ekspresi yang tidak dikenali Anka pada wajah Danu. Seperti... seperti, ah... Anka sendiri tidak tahu seperti apa. Ingin rasanya Anka mengusap bahu Danu, seka
dar menunjukkan empati seperti biasanya. Tapi kepada apa harus berempati" Semua hal yang dirasakan Danu kali ini berhubungan dengan dirinya. Jika tentang hal lain, mungkin akan lebih mudah disikapi. Dengan segala ketidakmengertiannya, yang terasa seperti kebodohan, Anka hanya duduk diam tidak tahu harus mengatakan apa.
"Tapi ini nggak bakal lama kok, Ka. Gue mungkin bakal pindah ke Bandung."
Anka segera menoleh, menatap lurus ke arah Danu, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Bandung..." Lo mau pindah ke Bandung""
Danu mengangguk pelan, senyum datar kembali terlihat di wajahnya.
"Gue mungkin bakal nerusin kuliah di Bandung, Ka."
"Gara-gara masalah ini lo mutusin pindah ke Bandung"" tanya Anka lagi, sedikit sangsi dengan sempitnya pikiran Danu.
"Apa lo berharap gue pindah ke Bandung gara-gara gue suka sama lo""
Anka menggeleng cepat. Ia tentu tidak mau Danu harus menghindar darinya sejauh itu.
"Pikiran gue nggak sesempit itu, Ka. Gue pindah ke Bandung karena memang gue mau balik ke sana."
"Tapi, kenapa""
Danu kembali tertunduk, sepertinya begitu banyak hal yang membebani pikirannya.
"Karena gue pengin punya tujuan dalam hidup gue," jawab Danu singkat. Jawaban yang tidak sepenuhnya dapat dimengerti Anka. "Gue pengin ngejar apa yang seharusnya gue kejar di sana."
"Kenapa harus di Bandung" Lo bisa ngejar cita-cita apa pun di sini, kan""
"Lo belum lupa kan, Ka, di Bandung sana Papa masih butuh gue""
Anka mengangguk. Sekarang ia paham sepenuhnya, bahwa keputusan Danu untuk pindah ke Bandung sebagian besar karena keberadaan ayahnya. Anka mengerti banyak hal yang menjadi pertimbangan Danu mengambil keputusan itu. Melanjutkan kuliah di kota Bandung dengan begitu banyak pilihan perguruan tinggi bergengsi, sekaligus bisa tinggal dan merawat ayahnya yang sakit memang alasan yang paling tepat. Hanya saja Anka merasa ada yang salah... Keputusan Danu meninggalkan Jakarta membuat Anka merasa ada yang terambil darinya.
"Jadi, mulai sekarang lo nggak usah ambil pusing omongan Andro ke elo soal perasaan gue," ujar Danu. "Anggap aja Andro nggak pernah ngomong apa-apa. Lo jangan sampe ngerasa terbebani sama apa yang lo denger tentang perasaan gue ke elo. Oke""
"Nu... gue sebenernya nggak pernah ngerasa terbebani sama perasaan lo. Gue cuma nggak tahu harus bersikap gimana. Lo tuh sahabat gue, Nu. Gue nggak ngerti lo tiba-tiba..." Anka menghentikan kata-katanya, menghela napas pelan, seraya menatap ke arah Danu yang duduk menunduk di sampingnya.
"Gue sayang sama lo sebagai orang yang selalu ada saat gue susah dan senang. Gue sayang lo sebagai sahabat. Gue nggak berani ambil risiko nyampurin perasaan macem-macem dalam persahabatan kita. Gue nggak mau ambil risiko kehilangan sahabat kayak lo, Nu..."
Danu menunduk semakin dalam. Kata-kata Anka bukan kata-kata yang tak terduga. Danu sudah menyangka Anka akan mengatakan hal klise itu. Hanya, tetap saja kata-kata itu terdengar lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
Danu berusaha mendongak, memaksakan senyum tergurat di wajah kakunya. Ia tidak ingin Anka melihat ada yang tidak beres pada dirinya.
"Tenang aja, gue tetep jadi sahabat lo, apa pun keputusan lo. Lagian apa lo nggak sadar gue bakal pindah ke mana..."! Bandung, Anka! Bandung... Sarangnya cewek-cewek paling cantik se-Indonesia," kata Danu dengan nada suara yang dibuat seceria mungkin. Danu merangkulkan sebelah tangannya ke bahu Anka, melebarkan senyum hingga rahangnya terasa nyeri. "Berani taruhan, nggak sampe satu minggu gue pasti udah suka sama cewek sana."
"Becanda lo..." kata Anka menatap Danu, heran dengan reaksi Danu yang berubah drastis. "Serius" Secepat itu"!"
"Iya dong, gue kan masih muda. Perasaan gue bisa berubah kapan aja," kata Danu, menyeringai lebar menutupi semua kebohongannya. "Makanya mulai sekarang lo nggak usah menghindar lagi dari gue. Mulai sekarang, mending kita lebih sering main bareng. Sebelum gue beneran pindah ke Bandung, seharusnya kita bikin lebih banyak kenangan asyik." Danu menyodorkan jari kelingkingnya pada Anka, kembali
mengulas senyum termanisnya. "Nah, sekarang janji, mulai hari ini lo nggak bakal ngehindarin gue lagi," kata Danu.
Anka masih diam, seakan ragu.
Danu meraih tangan Anka, mengaitkan jari kelingking Anka ke jari kelingkingnya. "Oke. Sekarang lo udah bikin perjanjian sama gue... Yang ingkar janji bakal belekan nggak sembuh-sembuh!"
Anka tertawa akhirnya. Tawa yang begitu melegakan Danu. Mungkin hanya ini yang bisa dilakukan Danu, menyimpan baik-baik perasaannya. Jika Anka bisa tertawa seperti ini, perasaannya sudah tidak penting lagi. Ia hanya ingin mengingat wajah bahagia Anka sebelum pelan-pelan mulai menjauh darinya.
* * * CAKKA masuk ke ruang kerja Damara tanpa mengetuk pintu seperti biasanya. Membuat Damara, yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan berkas yang baru setengah jalan dibacanya, mendongak seketika.
"Ini apa maksudnya, Mar"!" sergah Cakka tanpa basa-basi, seraya membanting sebuah tabloid di atas meja kerja Damara.
Tidak begitu mengerti ucapan Cakka, tanpa banyak pertanyaan, Damara langsung mengambil tabloid di atas mejanya. Membuka lembar demi lembar tabloid tersebut untuk tahu apa yang menyebabkan Cakka semarah ini. Hingga pada halaman empat, matanya menangkap foto Imelda yang sedang memeluknya di ruang sidang beberapa waktu lalu. Di atasnya tertulis headline dengan huruf-huruf meliuk tercetak tebal dan begitu menarik perhatian.
TERUNGKAPNYA ALASAN IMELDA AZIZAH MENGGANTI PENGACARANYA
Dengan konsentrasi terpecah-pecah, Damara mencoba membaca artikel yang nyaris penuh satu halaman tabloid. Artikel yang membeberkan berbagai spekulasi alasan Imelda Azizah menggunakan jasa pengacara berinisial DMR . Tidak hanya itu, bahasan skandal cinta yang pernah menyita perhatian publik antara Imelda dengan pengacara yang disewanya pun diuraikan.
Hingga Damara sampai pada paragraf yang membuat kecemasannya meluap...
Dari sumber yang tepercaya, diperoleh fakta mencengangkan bahwa Imelda Azizah bukan wanita pertama yang terjerat cinta sang pengacara. Layaknya Casanova, sang pengacara dengan mudah menebar pesonanya ke beberapa wanita kalangan atas. Bahkan yang lebih mengejutkan, sebelum menjalin hubungan dengan Imelda Azizah, pengacara GBR telah menjalin hubungan dengan seorang wanita pengusaha spa terkenal yang juga istri seorang pengusaha.
Kepiawaian sang pengacara menangani kasus perceraian kalangan atas rupanya berbanding lurus dengan kepiawaiannya menarik perhatian kliennya.
Damara tidak melanjutkan beberapa baris terakhir artikel itu, ia sudah tahu apa yang akan mereka tulis setelahnya.
"Yang mereka tulis di sini nggak bener kan, Mar"" tanya Cakka tidak sabar. "Ini cuma gosip murahan, kan""
Damara tidak menjawab, ia hanya menghela napas dalam, mengusap wajahnya dengan lelah, sementara Cakka terus menatapnya menunggu jawaban.
"Aku nggak bisa jawab apa-apa sekarang, Kka. Aku nggak ngerti harus bilang apa sama kamu," jawab Damara datar.
"Nggak ngerti gimana" Aku cuma pengin dengar kamu bilang ini berita bener apa nggak!" desak Cakka menatap serius ke arah Damara. "Kalo kamu bilang semua berita di artikel ini cuma gosip murahan, aku percaya sama kamu, dan aku akan langsung tuntut tabloid yang udah bikin nama kamu juga biro hukum kita tercemar!"
Sekali lagi Damara hanya menghela napas, jawaban apa yang harus dikatakannya pada Cakka, jika yang ditulis di artikel ini benar adanya"
"Mar, bilang kalau berita ini nggak bener!" tuntut Cakka.
"Kka, aku..." Suara ketukan di pintu terdengar dari luar ruang kerja Damara, Agni, sekretaris kantor, membuka pintu dengan hati-hati.
"Maaf, Pak Cakka, Pak Duta menunggu di ruangan Bapak. Beliau bilang ada hal penting yang perlu dibicarakan dengan Bapak," kata Agni, dengan canggung melihat ke arah Damara dan Cakka, dan melanjutkan kalimatnya, "beliau juga minta Mas Damara ikut."
*** Tangan Imelda gemetar memegang tabloid yang baru saja selesai ia baca, matanya menatap nanar artikel yang memuat berita tentang dirinya lengkap dengan fotonya bersama Damara.
"Ini keterlaluan!" sergah manajer Imelda. "Mereka nggak bisa s
eenaknya bikin berita kayak gini tanpa bukti jelas... Tapi untungnya, dalam artikel ini mereka menempatkan kamu layaknya korban, jadi kemungkinan besar artikel ini tidak akan begitu berpengaruh pada karier kamu, malahan Mbak rasa akan banyak simpati yang mengalir untuk kamu. Yang kasihan itu pengacara kamu..."
"Maksud Mbak"" tanya Imelda hati-hati.
"Ya kamu lihat sendiri apa yang mereka tulis di sini. Mereka seperti memperburuk citra pengacara itu menjadi laki-laki yang sangat tidak bermoral. Mereka bahkan berani menyebutkan inisial namanya. Ini bakal jadi masalah besar buat pengacara itu, Mbak duga dia udah dipecat sekarang."
Ucapan manajernya membuat Imelda hanya bisa terduduk lemas di sofa. Artikel ini sepertinya memang sengaja dibuat untuk menjatuhkan Damara.
"Mungkin setelah ini tidak akan ada yang mau memakai jasa pengacara itu lagi... Keputusan kamu untuk ganti pengacara benar, Mel."
Lanjutan kalimat sang manajer membuat Imelda mati rasa. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan seperti ini akhirnya. Wajah lelah penuh keputusasaan yang diperlihatkan Damara beberapa hari lalu kembali terlintas jelas di ingatan Imelda. Seharusnya ia bisa merasakan apa yang dipikirkan Damara saat itu, seharusnya ia tahu apa yang membuat Damara terlihat begitu rapuh.
*** Damara menatap ke luar gedung melalui dinding transparan ruang kerjanya, sedikitnya sepuluh wartawan terlihat di pelataran gedung. Damara menghela napas berat, membalikkan badannya, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding. Inilah yang dijanjikan suami Anggun untuknya, sentuhan kecil yang membuat semua yang diraihnya dengan banyak pengorbanan hancur dengan begitu mudah. Damara berpikir, mungkin ini pantas diterimanya, sebagai orang yang melakukan begitu banyak kesalahan. Mungkin ini belum seberapa, kehilangan karier yang dirintisnya dari titik terendah dengan cara tidak terhormat bukan hal yang pantas dikeluhkan... Kata "terhormat" bahkan rasanya tidak pantas dipikirkannya.
Pendekar Pengejar Nyawa 24 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Kisah Tiga Kerajaan 1
^