A Shoulder To Cry On 5
A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria Bagian 5
Cakka masuk ke ruang kerja Damara dan berjalan mendekati, ekspresinya sama tertekannya seperti Damara. "Wartawan di luar gila semua! Siapa aja yang keluar dari kantor ini langsung diserbu," kata Cakka putus asa. "Mereka nggak punya kerjaan lain apa, selain ngerecokin kehidupan orang""
Damara hanya tersenyum getir mendengar gerutuan Cakka, ia tahu benar Cakka sedang mencoba mencairkan suasana setelah mereka didamprat habis-habisan oleh petinggi biro hukum tempat mereka bekerja.
"Sori, Kka... Aku bikin semuanya jadi kacau kayak gini," kata Damara penuh sesal. "Gara-gara aku semua orang di kantor kena imbas nggak nyaman kayak sekarang." Cakka diam, tampaknya tidak tahu harus mengatakan apa. Damara sendiri tahu benar ia sudah begitu banyak membawa kesulitan untuk Cakka.
"Akhirnya harus sampai di sini..." kata Damara lirih, seraya memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya.
"Ini belum berakhir, Mar. Aku akan coba ngomong lagi sama Pak Duta. Kamu nggak bisa dikeluarin begitu saja karena masalah ini. Semua berita ini tentang kehidupan pribadi kamu, nggak ada hubungannya sama pekerjaan profesional, jadi nggak ada alasannya kamu keluar."
Damara tersenyum getir mendengar pernyataan Cakka. Andai semua orang beranggapan sama. "Pak Duta nggak salah minta aku ninggalin biro hukum ini, Kka. Apa yang bisa diharap lagi dari pengacara yang punya skandal sama kliennya" Nggak akan ada lagi yang mau sewa pengacara yang kredibilitasnya dipertanyakan kayak aku. Jalan yang terbaik memang aku harus keluar sebelum ada dampak yang lebih buruk buat biro hukum ini."
"Tapi, Mar... Kamu kan udah berjuang bareng sama biro hukum ini dari awal. Kamu nggak bisa pergi gitu aja," kata Cakka. "Ibaratnya kamu tuh ikut besarin nama biro hukum ini, jadi Pak Duta nggak bisa gitu aja..."
"Udahlah, Kka," potong Damara, "nggak usah diributin lagi, walaupun Pak Duta nggak minta aku mengundurkan diri, aku bakal keluar juga kok. Aku nggak mau biro hukum ini kena imbas gara-gara semua berita tentang aku." Damara sekilas menatap Cakka, seraya tersenyum untuk mengisyaratkan bahwa ini bukan masalah besar
untuknya. "Besok aku baru bisa bawa barang-barang dari sini. Sekarang repot, di luar banayk wartawan," lanjut Damara sambil menyandangkan tas kerjanya ke bahu sebelah kirinya. "Thanks ya, Kka... Thanks buat semuanya." Damara menepuk bahu Cakka.
Cakka tersenyum lesu, merangkul bahu Damara. "Take care ya, Mar... Tapi aku nggak bakal biarin kamu berakhir kayak gini," tegas Cakka.
Damara mengangguk pelan, sekali lagi menyunggingkan senyum kakunya sebelum pergi meninggalkan ruang kerjanya. Damara membawa langkah beratnya meninggalkan ruangan yang selama ini menjadi tempat ia mencurahkan tenaga dan pikiran untuk kariernya.
*** Anka duduk di sofa ruang tengah, sesekali matanya menatap tabloid yang terletak di atas meja. Di depannya duduk diam Danu, melakukan hal yang sama dengan Anka.
"Berita di tabloid ini nggak bener kan, Nu" Lo udah nanya Kak Damara soal ini" Dia pasti bilang ini nggak bener, kan"" Anka menanyakan pertanyaan yang hampir sama bertubi-tubi.
"Gue nggak tahu, Ka, dari tadi gue nggak bisa hubungin Kak Damara," kata Danu mulai resah. "Gue sama nggak tahunya sama lo soal berita-berita ini."
Kata-kata Danu berhasil membuat Anka diam. Danu menghela napas berat, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Sejak pagi kepala Danu rasanya sudah hampir pecah, dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Apa yang tertulis di artikel ini rasanya begitu tidak masuk akal untuk menjadi kenyataan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi" Mungkinkah yang tertulis di artikel ini benar" Rasanya Danu ingin sekali menenggelamkan dirinya agar semua hal memusingkan di kepalanya ikut tenggelam bersamanya.
Bunyi gerung mobil terdengar di luar rumah, baik Anka maupun Danu menegakkan duduk mereka, ekspesi wajah keduanya sama tegangnya. Danu bahkan bisa merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, sementara ia menunggu Damara masuk. Sekilas Danu melirik ke arah Anka, gadis itu tampak tidak lebih baik dari dirinya.
Tak lama, terdengar bunyi tangkai pintu diputar, membuat jantung Danu semakin keras menggedor-gedor rongga dadanya. Beberapa detik kemudian Damara muncul dari balik pintu dengan wajah lusuh, lalu tersenyum kaku saat melihat Danu dan Anka berdiri di ruang tengah. Damara menghela napas, helaan napas yang Danu sendiri tidak tahu untuk mengekspresikan apa.
"Kalian nunggu Kakak rupanya," kata Damara pelan, matanya melihat ke arah tabloid di atas meja. Damara berjalan pelan melewati Anka dan Danu lalu duduk di sofa, seakan siap menerima semua pertanyaan. "Kalian mau mulai bertanya dari mana"" kata Damara datar, menatap keduanya bergantian seakan ia siap menjawab.
Danu bertukar pandang dengan Anka, yang tidak tahu apa dan bagaimana ia harus mempertanyakan semuanya. Padahal sebelumnya, begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, tapi sekarang di saat orang yang bersangkutan ada di depannya, semua pertanyaan itu seperti menguap dari kepalanya.
"Kak, sebaiknya kita bicara soal ini berdua," saran Danu seraya menghindari tatapan Anka.
"Kita bicara di sini saja, lebih baik. Kakak pikir, Anka juga sama ingin tahunya seperti kamu... Setelah semua hal yang mungkin kalian lihat dan baca, ini saatnya Kakak jawab semua pertanyaan kalian."
Danu menatap kakaknya. Ada yang aneh dengan ekspresi yang diperlihatkan Damara. Menatap Damara kali ini membuat Danu cemas jika yang ditakutkan Danu sejak pagi tadi mendapat pembenaran dari Damara.
"Kak Damara nggak perlu jelasin apa-apa sama kita. Lebih baik Kakak istirahat aja, ini udah terlalu malem. Lagian kita percaya Kakak nggak mungkin seperti yang mereka bilang," kata Danu. Setelahnya ia heran sendiri kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu semua. Yang jelas di dalam pikirannya, ia lebih ingin tidak tahu apa-apa.
Damara tersenyum getir dan menunduk lesu, membuat Danu semakin tidak tenang.
"Kakak ingin semua terselesaikan hari ini," kata Damara tegas, seraya mendongakkan wajahnya menatap Danu dan Anka. "Kalau kalian ingin tahu benar atau tidaknya yang mereka beritakan tentang Kakak... dengan sangat menyesal Kakak harus mengatakan bahwa itu benar... Walaupun banyak bag
ian yang mereka lebih-lebihkan, tapi secara garis besar mereka menuliskan kenyataan."
Anka dan Danu terperangah lalu saling bertukar pandang. Wajah keduanya pucat, Danu bahkan bisa melihat mata Anka mulai memerah.
"Kak, itu nggak mungkin! Jangan becanda, Kak, nggak lucu," tukas Danu, sekali lagi melirik khawatir ke arah Anka di sampingnya yang sepertinya sudah tidak bisa berkata-kata. "Kak Damara mana mungkin ngelakuin semua yang mereka bilang... nggak mungkin!"
"Sayangnya, seperti yang tadi Kakak bilang, itu semua benar, Nu... Maaf kalau bikin kamu kecewa, tapi itulah faktanya."
Damara menghela napas lelah selesai mengatakan hal itu, lalu berdiri menepuk bahu Danu yang merasa seakan baru saja diterpa badai besar. Damara melangkah pelan meninggalkan Anka dan Danu.
"Kak, kalau memang apa yang mereka beritakan itu benar, kenapa... kenapa Kakak ngelakuin itu semua"" Pertanyaan Danu menghentikan langkah Damara.
Damara membalikkan tubuhnya, kembali menatap Danu. Ada senyum aneh terlihat di wajah Damara.
"Danu, kamu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti alasan mengapa semua terjadi sampai begini," kata Damara datar. "Sekali lagi Kakak minta maaf, membuat kamu kecewa dan malu dengan kenyataan ini, tapi hanya itu yang bisa Kakak katakan sekarang."
Damara kembali berbalik dan melangkah pelan meninggalkan ruang tengah. Namun baru beberapa langkah Damara menjauh, Danu menyusulnya, berdiri tegak di hadapan Damara.
Danu merasa ada banyak hal yang perlu dikatakannya pada Damara, mana boleh Damara pergi begitu saja setelah fakta mengejutkan yang dikatakannya.
"Danu kecewa sama Kakak! Danu nggak pernah nyangka Kakak bisa ngelakuin itu semua," kata Danu dengan suara bergetar. Danu merasakan hawa panas menyergap di sekelilingnya. "Kakak hancurin semua kebanggaan Danu ke Kakak!"
"Kakak terima semua yang kamu bilang... Kakak memang salah." Damara tetap tenang menanggapi kemarahan Danu, tapi sayangnya ketenangan itu malah membuat Danu berpikir Damara sama sekali tidak menyesali apa yang diperbuatnya.
"Kakak keterlaluan...!" sergah Danu lagi. "Kakak sudah nyakitin banyak orang, termasuk Anka yang cinta sama Kakak..."
Damara tersentak mendengar apa yang dikatakan Danu. Ketenangan yang semula coba dijaganya saat Danu berteriak marah, kini rasanya sulit dipertahankan. Anka mencintaiku" Ya Tuhan... masalah apa lagi sekarang" batin Damara.
Damara menatap Anka, namun tak ada yang bisa diartikan dari ekspresi wajah Anka. Wajah yang basah oleh air mata itu kini memucat, seakan ia sendiri tidak menyangka Danu akan mengatakan itu semua.
Tanpa berkata apa-apa, Anka bergegas, setengah berlari menuju kamarnya, disusul bunyi keras bantingan pintu dari kamarnya.
Damara berniat melangkah menyusul Anka, tapi tangan Danu mencekal lengan Damara. "Kakak mau apa lagi sekarang" Kakak nggak boleh bikin Anka semakin sakit," tegas Danu.
Damara menyentakkan cekalan Danu dari lengannya, kali ini menatap tajam ke arah Danu. "Kakak tahu kamu peduli sama Anka, tapi itu tidak menjadikan kamu punya wewenang melarang Kakak bicara sama Anka."
Kata-kata tajam Damara berhasil membuat Danu terdiam. Damara melangkah, bergegas menuju kamar Anka. Damara tahu, ia tidak mungkin mengubah semua yang telanjur buruk menjadi kembali baik, tapi setidaknya ia ingin Anka mengerti.
*** Anka menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamarnya. Air mata tak henti-hentinya mengucur, sampai-sampai ia merasa begitu lelah. Ini tidak bisa dipercaya! Setelah semua hal mencemaskan, mengganggu pikiran sejak pagi tadi, ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ia ingin mendengar penyangkalan dari Damara. Ia ingin mendengar Damara mengatakan semua itu hanya berita bohong. Tapi apa yang dikatakan Damara barusan membuat semua harapannya mustahil menjadi nyata.
Setelah Danu memberitahu Damara tentang perasaannya, Anka sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya, rasanya Anka ingin meraung keras-keras agar rasa sesak ini bisa hilang.
Bunyi ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya, Anka menebak itu pasti Danu yang datang untuk mengatakan se
suatu setelah pernyataan spektakulernya.
Tapi tampaknya Anka salah, karena bukan suara Danu yang terdengar.
"Anka..." Anka merasakan jantung berdetak semakin cepat saat mendengar suara Damara terdengar dari balik pintu kamarnya. Apa yang harus dikatakannya setelah Damara tahu perasaannya" Anka mendengar bunyi gesekan berat di daun pintu, sepertinya Damara melakukan hal sama dengannya, menyandarkan diri ke pintu. Mungkin sekarang mereka berada di satu titik sandar yang sama. Anka menekan dadanya seakan ingin meredam detakan keras jantungnya, berharap Damara di balik pintu sana tidak bisa mendengarnya.
"Kamu baik-baik aja, Ka"" Suara Damara kembali terdengar.
Anka hanya diam, karena ia sendiri tidak tahu apakah baik-baik saja atau tidak.
"Pertanyaan bodoh ya..." Damara kembali bicara. "Seharusnya Kakak sudah tahu jawaban kamu apa, setelah apa yang baru saja terjadi tentu kamu tidak mungkin baik-baik saja... Maafin Kakak ya, Ka."
Air mata Anka kembali mengalir pelan di pipinya. Mendengar permintaan maaf Damara, dadanya terasa sesak.
"Terima kasih, Ka, kamu memiliki perasaan itu untuk Kakak. Itu sangat berarti. Andai saja Kakak bisa membalas perasaan kamu."
Anka menekan kembali dadanya, berharap sesak ini bisa hilang di tengah tangis tertahannya.
"Kakak sayang kamu, Ka... Kakak ingin kamu memberikan perasaan itu kepada seseorang yang lebih pantas dan lebih berharga untuk menerima perasaan kamu."
Kata-kata Damara justru meluruhkan air mata yang semula coba dikendalikan Anka. Rasa ini seakan tidak memberinya sedikit jeda untuk menghentikan tangisnya.
"Kamu mau aku menunggu"" - Imelda
DAMARA membuka mata. Menyadari ia berada di atas tempat tidurnya, tertidur dengan pakaian yang dikenakannya sejak siang. Ia bahkan tidak melepas sepatunya. Damara merasa tubuhnya begitu lemas, begitu lelah, seakan ia baru saja melewati begitu banyak siksaan.
Damara mendudukkan dirinya. Beban yang begitu berat seperti menekan pundaknya, membuatnya merasa sulit mengangkat wajahnya dengan penuh harapan.
Tak ada satu orang pun di meja makan pagi ini. Damara tidak terkejut dengan situasi yang ia hadapi. Ia sudah menyangka tak akan ada yang bersedia menemaninya sarapan. Justru malah mengherankan jika ada Anka atau Danu duduk di sini bersamanya. Semua pasti merasa tidak nyaman.
Damara mengolesi rotinya dengan selai kacang, seperti biasa, lalu melipat rotinya agar lebih mudah dimasukkannya ke mulut. Tapi Damara tidak kunjung menggigit rotinya. Damara merasa sesuatu menyekat tenggorokannya, yang membuatnya tidak ingin memasukkan apa pun ke mulutnya. Tanpa disadari, setitik air menetes ke punggung tangannya.
Damara tersenyum getir, seraya menghapus pelan air matanya. Beban ini rasanya terlalu menyiksa, membuat Damara terpaksa meluruhkan semua ketegaran yang selama ini coba selalu dijaganya.
*** "Aku harap kamu mau terima ini, Mar. Ini jalan keluar terbaik yang bisa aku usahakan buat kamu," kata Cakka di ruang kerja Damara, saat Damara mengepak barang-barangnya.
Damara menghela napas lelah. "Aku nggak percaya diri menerima tawaran kamu, Kka. Reputasi aku di sini telanjur hancur. Aku nggak mau di sana malah bikin susah temen kamu."
"Mar, di sana beda. Mereka nggak begitu peduli sama urusan pribadi dan kehidupan kamu selama kamu punya kinerja yang bagus," jelas Cakka berusaha meyakinkan Damara. "Aku sudah ceritain semua tentang kamu ke temenku di sana, dan dia nggak masalah. Setelah dia lihat kinerja kamu dari kasus-kasus yang pernah kamu tangani, dia malah seneng banget kalau kamu mau bergabung di sana."
Damara mendudukkan diri di kursi kerjanya. Bingung, entah apa yang harus dilakukannya dengan tawaran Cakka yang luar biasa untuk orang sepertinya. Mendapat tawaran bekerja di sebuah biro hukum di Swiss, yang baru didirikan oleh salah satu kenalan dekat Cakka, mungkin adalah hal terbaik yang bisa didapat pengacara yang baru saja dihancurkan reputasinya.
"Kamu mau kan, Mar"" Suara Cakka menyadarkan Damara dari semua pertimbangannya. "Aku harap kamu terima tawaran ini."
"Kka, ini mungkin taw
aran langka yang bisa didapat orang kayak aku. Tapi aku ngerasa nggak mampu terima tawaran ini. Aku ngerasa..."
"Ngerasa apa lagi sih, Mar"" sergah Cakka tidak sabar. "Kamu ngerasa udah terpuruk banget gara-gara ini semua" Apa kamu mau tenggelam dalam perasaan terpuruk itu dan berhenti jadi pengacara, padahal kamu punya kemampuan... Aku nggak percaya Damara yang kukenal bisa begini. Aku tahu yang kamu alami memang berat, tapi Damara yang aku kenal bukan orang kayak gini!"
Damara terdiam. Sekuat itukah ia di mata Cakka" Tapi terlepas dari anggapan itu, Cakka memang benar, ia tidak bisa tenggelam dalam keterpurukannya. Ia harus bangkit kembali, karena masih banyak hal yang harus diperjuangkannya. Ia harus kembali mengangkat wajah untuk melanjutkan hidupnya, demi orang-orang yang masih menyandarkan hidup padanya.
"Oke... Aku terima tawaran kamu," kata Damara akhirnya. "Kapan aku bisa bicara langsung sama temen kamu itu""
Dengan wajah berseri-seri Cakka menepuk bahu Damara. "Gitu dong, Mar! Itu baru Damara yang aku kenal. Beberapa hari yang lalu aku sudah kirim CV dan jelasin semua hal tentang kamu termasuk semua kasus yang pernah kamu pegang. Jadi kamu tinggal ngomong Imel telepon sama dia. Aku akan bantu urusan keberangkatan kamu ke sana."
Damara tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Cakka telah melakukan begitu banyak hal untuknya, bahkan memikirkan urusan yang tidak terpikir olehnya untuk mengatasi semua ini. Damara menghampiri Cakka, memeluk Cakka dengan rasa terima kasih yang sangat besar. "Thanks ya, Kka. Aku nggak mungkin bisa lewatin ini semua tanpa bantuan kamu."
"Kamu sahabat aku, Mar. Aku nggak bakal biarin kamu berakhir begitu saja," kata Cakka, seraya menepuk bahu Damara. "Udah ah, lepasin. Aku geli lama-lama dipeluk sama kamu."
Damara melepaskan pelukannya, tersenyum kaku seraya mundur selangkah dari Cakka.
"Barang-barang kamu sudah selesai" Sini aku bantuin biar cepet beres." Cakka memasukkan barang-barang Damara ke kardus besar di atas meja.
Damara menatap Cakka, berpikir betapa beruntungnya ia memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa. Tuhan menganugerahinya sahabat terbaik di tengah semua hal buruk dalam hidupnya.
*** "Senyumnya dong, Mel," kata fotografer yang membidikkan kameranya pada Imelda untuk salah satu majalah mode.
Imelda membentuk senyum kaku, berharap ini terakhir kalinya fotografer itu menyuruhnya tersenyum, karena ia sedang tidak ingin tersenyum sekarang ini. Begitu banyak hal yang membuatnya merasa tidak punya daya untuk memberikan senyum lepasnya.
"Oke, selesai!" seru fotografer itu akhirnya. Ekspersi wajahnya tampak tidak terlalu puas melihat hasil jepretannya. Tapi Imelda tidak peduli, ia sedang tidak ingin berurusan dengan profesionalitasnya sekarang, ia segera berjalan menuju ruang ganti diikuti manajernya.
"Kamu tuh kenapa sih, Mel" Mereka bisa protes kalo kamu kayak begini," tegur manajer Imelda. "Lagian nggak biasa-biasanya."
"Aku ngerasa kurang enak badan, Mbak," kata Imelda datar, seraya mencopot semua aksesoris glamor yang dipakainya.
"Kalau gitu kita pergi ke rumah sakit," saran manajer Imelda.
"Nggak usah, Mbak, aku cuma butuh istirahat. Kalo setelah ini aku udah nggak ada jadwal lagi, aku mau pulang sendiri."
"Pulang sendiri gimana" Tadi kamu bilang nggak enak badan, mana mungkin pulang sendiri""
"Aku pengin pulang sendiri, Mbak. Please... biarin kali ini aku sendiri."
Imelda menatap manajernya, berharap kali ini manajernya menuruti permintaannya.
"Oke kalo kamu mau sendiri, tapi janji jangan matiin handphone!"
Imelda mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tidak yakin bisa menepati janjinya.
*** Imelda duduk di kursi taman, di tempat pertama kalinya ia menyadari memiliki perasaan lain pada Damara. Imelda menghidup udara segar yang memenuhi taman, berharap andai saat ini ia bersama seseorang yang begitu berarti untuknya. Andai saja Damara duduk di sampingnya, membiarkannya menyandarkan kepala ke bahu Damara, agar ia bisa melepaskan semua lelah yang terasa belakangan ini.
Semua pengandaian yang berputar d
i kepala Imelda membuatnya sekali lagi harus meneteskan air mata. Imelda mendongak, berharap apa yang dilakukannya bisa menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi. Tapi seperti yang sudah begitu dipahami otaknya, semakin tidak ingin ia menangis, air matanya semakin tidak bisa dikontrol.
Imelda menghapus air matanya, menghela napas panjang setelahnya. Imelda bangun dari kursi taman, merasa harus segera meninggalkan tempat ini. Ia tidak ingin kesedihan ini mengontrol dirinya dan menjajah pikiran rasionalnya.
Tapi baru satu langkah Imelda menggerakkan kakinya, matanya menangkap sosok yang begitu ingin ditemuinya. Laki-laki itu berjalan mendekat dengan wajah tertunduk lesu. Imelda benar-benar melihat Damara. Lega dan bahagia rasanya Imelda saat melihat Damara. Ia ingin berlari menghampiri Damara dan memeluknya.
*** Damara tidak mengerti alasan apa yang membuatnya merasa perlu ke taman ini. Ia hanya ingin merasakan kembali apa yang dulu pernah dirasakannya, walaupun sepertinya akan menyakitkan mengingat itu semua.
Damara menyeret langkah lelahnya di sepanjang jalan setapak di area taman. Wajahnya terus menunduk menatap susunan batu yang diinjaknya. Lelah yang dirasakannya membuatnya tidak mampu mengangkat kepala. Andai semua berjalan dengan baik, tentu akan sangat menyenangkan melangkah di jalan bebatuan ini. Tidak seperti sekarang, bebatuan ini seperti menusuk setiap senti telapak kakinya, menjalarkan rasa ngilu ke seluruh tubuhnya, padahal seharusnya ia tidak merasakan apa-apa.
Damara menghentikan langkahnya, pandangannya tertuju ke sisi jalan setapak. Sebatang pohon kaktus yang tidak terawat hidup segar di antara rumpun bunga aster yang mulai layu akibat cuaca yang begitu panas belakangan ini. Damara tersenyum, merasa dirinya terlalu payah jika dibandingkan dengan pohon kaktus yang bisa bertahan hidup dalam cuaca apa pun.
Saat akan memutar tubuh untuk kembali melanjutkan langkahnya, tiba-tiba ada yang memeluk punggungnya dari belakang, memeluknya begitu erat. Damara merasakan jantungnya berdetak cepat di tengah keterkejutannya, sebab ia bisa mengenali jari-jari yang memeluk erat pinggangnya.
"Mel..."" kata Damara pelan, sedikit menoleh untuk memastikan dugaannya.
"Aku senang bisa ketemu kamu di sini. Rasanya aku nyaris gila karena mengkhawatirkan kamu beberapa hari ini."
Kata-kata Imelda mengalir cepat dari mulutnya seakan sudah terlalu lama ditahannya. Damara merenggangkan pelukan Imelda, membalikkan badannya untuk menatap Imelda. Mata Imelda penuh kekhawatiran dan penuh tanya, sepertinya banyak hal yang ingin diketahui Imelda darinya.
"Aku baik-baik aja, Mel... Paling nggak, aku masih bisa bertahan sampai sekarang," kata Damara pelan.
Ada gurat kelegaan di wajah Imelda, tapi hanya sekilas, ia tetap memandang Damara dengan tatapan yang membuat Damara merasa bersalah.
"Memang terlihat berat, tapi nyatanya masih bisa aku atasi. Apa yang mungkin kamu baca atau kamu lihat di luar sana, itu berlebihan." Damara berusaha mengguratkan senyum agar Imelda tahu bahwa ia baik-baik saja. Tapi alih-alih merasa lebih baik, Damara malah melihat mata Imelda mulai berkaca-kaca, dan sekali lagi Imelda memeluknya.
"Kamu cukup bersandar padaku, sekarang bukan saatnya berpura-pura kuat."
Damara menyandarkan kepalanya di bahu Imelda, mengeratkan rangkulannya ke tubuh Imelda. Beban yang berhari-hari begitu menyiksa mulai terasa ringan. Damara membiarkan dirinya lepas, mengabaikan semua pertimbangan tentang perasaan menyakitkan yang mungkin ada setelahnya. Sekarang ia hanya ingin merasakan cintanya, membiarkan tubuh lelahnya bersandar pada seseorang yang dicintainya. Walaupun sekarang ia harus menunjukkan sisi terlemahnya pada Imelda, dengan menangis di pelukan Imelda, ia tidak peduli.
Lalu Imelda dan Damara duduk bersebelahan di kursi taman. Keduanya masih belum banyak bicara, mereka seakan membiarkan diri masing-masing merasakan kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
"Kamu sudah merasa lebih baik"" tanya Imelda menatap Damara di sampingnya.
Damara tersenyum kecil, melihat k
ekhawatiran Imelda yang masih belum hilang.
"Aku baik-baik aja, Mel, apalagi setelah kamu izinin aku bersandar di pelukan kamu, rasanya lebih lega... Terima kasih ya, Mel," kata Damara pelan. "Maaf aku berlebihan tadi, seharusnya aku tidak perlu sampai seperti itu."
Imelda masih menatap Damara, ia sepertinya masih belum percaya sepenuhnya bahwa Damara sudah merasa lebih baik.
"Kamu manusia biasa, Mar. Kamu bisa sakit, kamu bisa terluka, dan kamu bisa terpuruk. Jadi jangan terlalu memaksa diri untuk menutupi semua. Paling tidak, kamu tidak menutupi di depan aku."
Damara menghela napas dalam, tersenyum kaku sebelum akhirnya menatap Imelda. "Aku merasa tidak pantas seperti ini di depan kamu, Mel."
"Kenapa..."" Sekali lagi Imelda menatap tidak mengerti ke arah Damara. "Kenapa kamu harus merasa seperti itu""
"Karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu. Aku seharusnya malu bersandar pada seseorang yang sudah terlalu banyak aku sakiti."
Damara kembali menunduk, merasa tidak sanggup mengangkat kepalanya di depan Imelda. Hingga Damara merasakan lengan Imelda merangkul kepalanya, membelai lembut rambutnya, menjalarkan ketenangan yang menenteramkan ke seluruh tubuh lelahnya.
"Kenapa kamu selalu menganggap aku tersakiti dengan mencintai kamu" Sementara buat aku berada di dekat kamu merupakan kebahagiaan," kata Imelda.
Damara mengangkat kepalanya, melepaskan diri dari rangkulan Imelda. Tersenyum getir mendengar kata-kata Imelda, seakan apa yang didengarnya bukan hal yang nyata.
"Terima kasih, Mel," kata Damara akhirnya. "Terima kasih untuk semuanya. Dan maaf, hanya itu yang bisa aku katakan untuk membalas semua kebaikan kamu."
Imelda tidak mengerti, ia hanya bisa menatap Damara dengan pandangan bertanya ke mana sebenarnya arah pembicaraan Damara.
"Kamu terlalu berharga untuk mencintai aku, Mel... Aku sama sekali bukan orang yang pantas menerima cintamu."
Melihat Imelda meneteskan air matanya setelah mendengar ucapannya, Damara merasa bahwa sekali lagi ia melukai Imelda, sat hal yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya. Andai semuanya berjalan dengan mudah, batin Damara.
"Aku mencintai kamu, Mar! Dan aku yakin kamu memiliki perasaan yang sama dengan aku. Kenapa kita tidak menjadikannya lebih mudah dan sederhana" Aku tidak peduli dengan semua masa lalu kamu, persetan dengan semua itu! Yang aku butuhkan sekarang hanyalah, aku ingin rasa sakit ini hilang dengan berada bersama kamu..."
Damara terdiam, menatap dalam mata Imelda yang basah. Begitu besar keinginan Damara untuk mengatakan pada Imelda bahwa ia sebenarnya ingin mengatakan hal sama, ia ingin mengabaikan semua pertimbangan yang menyesakkan di kepalanya.
"Andai aku bisa mengabaikan semuanya, dan memenuhi apa yang kamu inginkan," kata Damara, ada semacam desahan putus asa dalam kata-katanya. "Aku mencintai kamu, Mel..."
"Lalu..."" tuntut Imelda.
"Aku mencintai kamu, dan aku tidak mau menghancurkan kamu. Yang terjadi sekarang hanyalah gambaran kecil dari hal besar yang akan kamu hadapi jika tetap bersama aku," jelas Damara. "Aku nggak mau apa yang kamu miliki sekarang hancur hanya karena mencintai aku."
"Aku nggak peduli itu, Mar! Aku lelah dengan kehidupanku sekarang. Aku udah nggak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi setelah ini."
"Tapi aku peduli, Mel... Tolong, jangan membuat rasa bersalah yang aku rasakan sekarang terasa lebih berat," pinta Damara putus asa. "Aku tidak bisa berada di samping kamu sekarang, walaupun aku ingin."
"Kamu pengecut kalau begitu!" tandas Imelda.
Kalimat yang dikatakan Imelda seperti guratan benda tajam di dada Damara, pedih dan begitu menyakitkan. Andai Imelda mengerti apa yang ia pikirkan.
"Kamu boleh bilang aku pengecut, bahkan dengan kata-kata yang lebih buruk pun tidak akan kubantah... Aku melawan semua keinginanku untuk bersama kamu sekarang, karena aku ingin bisa menegakkan kepalaku saat berdiri di samping kamu. Aku ingin merasa layak untuk kamu."
Keduanya terdiam setelah Damara selesai bicara. Angin sore di sekitar taman menerpa wajah mereka.
"Kapan kamu akan bis
a merasa layak berada di samping aku"" tanya Imelda lagi.
Satu pertanyaan yang membuat Damara terdiam sesaat, tidak tahu harus menjawab apa karena ia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Aku akan pergi ke Swiss," kata Damara pelan, menjawab pertanyaan Imelda.
Imelda menoleh, menatap Damara seakan tidak yakin yang ia dengar barusan benar-benar keluar dari mulut Damara.
"Pergi ke Swiss, maksudnya...""
"Aku akan tinggal dan bekerja di sana," jawab Damara datar.
"Untuk berapa lama""
Damara menggeleng pelan. "Kamu mau aku menunggu""
Damara tersenyum pahit, sementara Imelda tetap menatapnya dengan serius seakan memerlukan kepastian.
"Aku tidak berani meminta kamu menunggu... Aku ingin kamu hidup dengan baik dan tenang setelah ini. Aku hanya ingin kamu hidup bahagia, walaupun kamu harus melupakan aku. Tidak apa. Lakukanlah..."
Imelda menatap Damara nanar, tidak percaya Damara mengatakan ini semua. Kalimat Damara sejak awal terasa mengambang, tanpa kepastian. Imelda benci, sebab bukan itu yang ingin didengarnya. Ia berharap mendengar kepastian cinta, agar bisa menguatkan dirinya untuk mengambil keputusan yang sebenarnya ia sendiri takut melaluinya. Tapi kenyataannya, saat ia membuang jauh-jauh harga dirinya dengan menunjukkan cinta dan kepeduliannya pada Damara, laki-laki itu malah melangkah mundur.
Imelda bangun dari kursi taman yang didudukinya, air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa ditahannya.
"Kamu sakit jiwa, Mar!" sergah Imelda setengah terisak. "Kamu gila... Kamu jahat! Kamu melakukannya kepadaku karena ingin melihat aku hancur. Apa sih maksud kamu dengan semua ini" Kamu membuat aku begitu mencintai kamu, setelah itu kamu menyakiti aku. Dan sekarang, setelah aku membuang jauh-jauh harga diriku, berharap kembali sama kamu, kamu malah pergi! Kamu bahkan tidak meminta aku menunggu!" Ucapan Imelda nyaris terdengar seperti teriakan di depan Damara. Imelda tidak peduli, ia hanya ingin mengeluarkan semua rasa sakit, kekecewaan, dan ketidakberdayaannya.
Imelda merasakan lengan Damara coba merangkul tubuhnya, berusaha memeluknya, tapi Imelda menolak. Ia memukul tubuh Damara, memukul bagian mana pun yang terjangkau oleh lengannya. Namun Damara tidak melepaskan pelukannya, ia tetap memeluk kuat tubuh Imelda walaupun pukulan keras tangan Imelda mendera tubuhnya. Hingga akhirnya Imelda menyerah, tubuhnya lunglai dan terisak di pelukan Damara yang mendekap erat tubuhnya.
* * * "Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin..." - Danu
MALAM itu Danu duduk bersama Anka di ruang tengah, meminta Anka untuk bicara empat mata setelah kejadian kemarin. Danu tidak ingin atmosfer canggung dan tidak nyaman ini berlangsung terlalu lama.
"Gue minta maaf, karena ngungkapin tentang perasaan lo ke Kak Damara. Sebenarnya gue nggak bermaksud begitu..."
Anka hanya duduk diam, tidak ada ekspresi berarti yang ditunjukkannya menanggapi perkataan Danu. Ia hanya diam memalingkan wajahnya dari Danu yang berusaha menatapnya.
"Sekali lagi gue minta maaf, Ka," kata Danu terdengar menyesal.
"Udahlah, Nu. Nggak perlu dibahas lagi, semuanya udah lewat," kata Anka datar, seakan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini bukan hal penting. "Lagian sebentar lagi gue balik ke rumah, jadi gue nggak perlu terlalu sering ketemu sama Kak Damara."
Danu terperangah mendengar rencana Anka untuk kembali tinggal di rumah orangtuanya.
"Lo mau pindah dari sini, Ka..." Kenapa"" tanya Danu. "Gara-gara masalah ini ya""
Anka tersenyum canggung. "Gue emang udah lama berencana balik ke rumah setelah selesai ujian. Gue kan nggak bisa selamanya bergantung sama kalian. Gue udah terlalu banyak ngerepotin kalian berdua, dan kini saatnya gue belajar mandiri."
Danu tidak tahu harus bereaksi apa mendengar rencana Anka. Ia tidak ingin Anka pergi, ia ingin Anka terus berada di sini. Tapi di sisi lain, Anka mungkin punya pemikiran berbeda, mungkin ia punya pertimbangan untuk hidupnya sendiri.
"Lo yakin bisa tinggal sendirian, Ka"" tanya Danu, dengan nada khawatir dalam suaranya.
"Gue kan udah gede, Nu. Gue ju
ga udah ngelewatin banyak hal yang memaksa gue berpikir lebih dewasa dari yang seharusnya," kata Anka ringan. "Mau nggak mau gue harus berani kalo mau mandiri dan hidup tidak tergantung pada orang lain," tandas Anka lalu tersenyum lagi.
Kali ini Danu melihat tekad kuat di balik senyum Anka, membuat Danu berpikir keputusan yang diambil Anka adalah keputusan terbaik untuknya.
"Tapi lo masih bisa tetep bergantung sama gue, Ka. Gue nggak mau gara-gara sok mandiri, lo jadi lupa kalau ada gue yang selalu siap bantu lo kapan aja."
"Pasti! Gue nggak mungkin ngelupain sahabat kayak lo."
Danu senang mendengar ucapan Anka. Ia seperti mendapatkan kembali sahabatnya. Walaupun perasaan Danu yang sesungguhnya tidak tersampaikan, itu bukan masalah besar lagi untuknya. Yang paling ia inginkan saat ini, semua kembali berjalan baik. Sekarang bukan saatnya mendramatisasi perasaan cintanya pada Anka. Masih terlalu banyak yang harus dipikirkannya, saking banyaknya sampai-sampai rasa sakit ini terasa samar-samar saja.
Tak berapa lama, mereka mendengar bunyi gerung mesin mobil di halaman depan, yang mereka yakini sebagai bunyi mobil Damara. Keduanya saling pandang, tak tahu harus melakukan apa. Bisa dibilang Danu masih belum siap bertemu Damara, masih terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya, mungkin hal yang sama juga sedang dipikirkan oleh Anka. Anka menatap Danu seakan bertanya apa yang seharusnya mereka lakukan, masuk ke kamar masing-masing atau tetap diam di ruang tengah"
Pintu depan terbuka, Danu menatap Damara melangkah masuk, sementara ia dan Anka masih duduk terdiam, tidak tahu harus melakukan apa.
*** Damara menghentikan langkahnya saat mendapati Danu dan Anka duduk di ruang tengah, tidak menyangka akan bertemu. Meski berada di bawah atap yang sama, Damara yang sepenuhnya bahwa Danu dan Anka masih akan menghindar bertemu dengannya. Aneh rasanya Damara harus bertemu mereka tanpa sedikit pun persiapan. Tapi baiklah, semuanya harus dihadapi, lagi pula Damara ingin semua ganjalan di antara mereka cepat selesai.
"Kalian belum tidur"" tanya Damara, dengan nada suara setenang mungkin.
Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Damara, keduanya hanya duduk diam, seakan kehilangan suara.
Damara menghampiri mereka, tersenyum seperti biasa. "Kalau kalian belum ngantuk, bisa Kakak bicara sama kalian sebentar""
Danu dan Anka, keduanya saling bertukar pandang seakan dalam diamnya mereka saling bertanya harus menjawab apa. Sementara itu Damara menyimpulkan sikap diam keduanya sebagai tanda setuju.
"Bisa Kakak mulai bicara sekarang""
Masih tidak terlalu banyak reaksi, hanya anggukan singkat Anka yang membuat Damara merasa mendapat izin untuk melanjutkan kata-katanya.
"Hm... Mungkin tidak lama lagi Kakak akan meninggalkan Indonesia," kata Damara langsung ke inti pembicaraan, lelah untuk berbelit-belit.
Anka dan Danu yang semula menghindari kontak mata dengan Damara, sontak menatap kaget ke arahnya.
"Maksud Kakak..." Danu mengeluarkan suara tercekat. "Meninggalkan Indonesia bagaimana...""
"Ya, Kakak dapat tawaran kerja di Swiss," jawab Damara.
Danu masih menatap Damara bingung, begitu juga dengan Anka. Hanya saja gadis itu tidak berani mengajukan pertanyaan.
"Bisa Kakak perjelas..."" kata Danu.
Akhirnya Damara duduk dan mulai menjelaskan soal tawaran kerja dari Cakka, tawaran yang tak mungkin datang dua kali, terutama dalam kondisi sekarang ini. Tidak ada yang berkomentar saat Damara menjelaskan rencananya. Danu dan Anka seperti kehilangan kemampuan atau keinginan untuk bicara, dan sepertinya bingung dengan keputusan Damara yang sangat tiba-tiba.
"Nggak masalah kan kalau Kakak menerima tawaran ini"" tanya Damara, mulai tidak sabar dengan keheningan di antara mereka.
Lagi-lagi Damara tidak mendapatkan tanggapan. Entah apa yang dipikirkan kedua adiknya ini. Kalau memang sikap diam mereka diartikan sebagai jawaban "ya", Damara merasa ada sedikit rasa sakit timbul karena kekecewaannya.
"Baiklah... Hanya ini yang ingin Kakak katakan, tapi sebelum pergi Kakak akan menyelesaikan uru
san kalian dan mempersiapkan segala sesuatunya. Kalian nggak perlu khawatir. Oke, kalian bisa tidur sekarang, Kakak nggak mau terlalu lama mengulur waktu istirahat kalian."
Damara bangun lebih dulu dari duduknya, sementara Danu dan Anka masih mematung. Merasa ia lebih baik masuk ke kamar lebih dulu, Damara melangkah meninggalkan ruang tengah.
"Danu belum siap, Kak... Danu belum siap Kakak tinggalin."
Ucapan Danu menghentikan langkah Damara. Ia kembali menoleh, memandang Danu yang kini sedang menatapnya dengan tatapan berbeda dari beberapa hari terakhir.
"Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin..."
Suara Danu nyaris terdengar seperti isakan. Damara menghampiri Danu, meraih Danu ke dalam pelukannya. Ia merasakan tubuh Danu bergetar, menangis tanpa suara. Danu kembali menjadi adik kecilnya, adik yang amat dirindukannya belakangan ini. Tanpa terasa mata Damara basah, sulit baginya untuk meneteskan air mata sekarang ini.
Anka, yang berdiri tidak jauh dari Damara dan Danu, hanya menunduk dan menutupi wajah basahnya. Damara menatap Anka, dengan sebelah tangan ia mengulurkan lengan merangkul tubuh Anka, membiarkan Anka ikut menangis di pelukannya bersisian dengan Danu.
"Andai saja Kakak punya pilihan lain, Kakak tidak akan meninggalkan kalian..." kata Damara lirih, ia mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh Anka dan Danu.
Kesedihan mendominasi sebagian besar perasaan Damara, sisanya adalah ketidakberdayaan dan penyesalan. Banyak pengandaian yang dibuat Damara dalam kepalanya, pengandaian yang membuatnya rela menukar apa saja untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Andai itu bisa dilakukan...
*** Minggu ini tampaknya minggu yang melelahkan bagi sebagian orang, termasuk Danu, Anka, dan Damara. Danu kembali disibukkan dengan berbagai urusan sekolah, mulai dari kelulusan sampai persiapan mengikuti tes di perguruan tinggi negeri. Anka pun sama, berkutat dengan urusan kelulusannya, dan mengurusi pindahan rumah. Dua hari setelah menyampaikan niatnya pada Danu, Anka memutuskan kembali ke rumahnya. Anka juga kembali bekerja di kafe Rio, sebab setelah menyelesaikan sekolahnya ia merasa punya banyak waktu untuk bekerja. Anka belum memutuskan untuk melanjutkan kuliah, atau menunda sampai ia merasa benar-benar mampu menanggung semua biayanya.
Nasib Damara tidak lebih baik dari Danu dan Anka, ia pun melewati minggu ini dengan sangat melelahkan. Mengurusi berbagai macam dokumen dan persyaratan untuk keberangkatannya ke Swiss, jelas menyita banyak waktu dan energi. Ia bahkan tidak sempat memikirkan rasa ragu atas keputusannya ini. Hingga keraguan itu pelan-pelan menjadi kayakinan saat ia bertekad menata kembali kehidupannya yang telanjur berantakan.
Kini Damara berhasil memantapkan diri berangkat ke Swiss dan memulai semuanya dari awal. Ia bertekad hidup dan berkarya dengan baik di sana, karena ia ingin saat kembali, kapan pun itu, ia bisa mengangkat kepalanya dengan bangga di depan Danu, Anka, dan terutama di hadapan Imelda. Ia ingin saat kembali nanti, bisa kembali menjadi kakak yang bisa dibanggakan Danu dan Anka. Dan yang membuat semua keraguannya hilang sepenuhnya adalah harapan bisa berdiri di samping Imelda, menjadi seseorang yang melindungi Imelda, dan menjadi orang yang pantas merengkuh cinta Imelda tanpa harus merasa rendah atau merasa bersalah.
"Kamu sudah benar-benar yakin mau kuliah di Bandung, Nu"" tanya Damara, saat mereka berdua menikmati sarapan di meja makan.
Danu mengangguk menjawab pertanyaan Damara. Ia semakin mantap kuliah di Bandung, terlebih setelah keputusan Damara meninggalkan Indonesia.
"Danu kuliah di Bandung supaya bisa deket sama Papa, Kak. Cuma Papa yang bikin Danu merasa masih punya keluarga selama Kakak pergi nanti." Danu menatap kakaknya, ingin tahu reaksi Damara setelah ia menyebut soal ayahnya. Selama ini Damara tidak banyak berkomentar saat Danu menyinggung tentang ayahnya, padahal Danu ingin sebelum Damara pergi, sekali saja mereka menemui ayahnya di Bandung.
"Kamu nggak apa-apa ninggalin Anka"" tanya
Damara terkesan mengalihkan topik pembicaraan. "Kakak khawatir jika Anka sendirian di Jakarta."
"Anka lebih kuat dari yang Kakak kira, Danu yakin dia akan baik-baik saja," kata Danu, menghela napas pelan. "Andai Anka mau kuliah sama Danu di Bandung..."
"Apa dia sudah memutuskan akan kuliah di Jakarta""
"Dia bahkan belum yakin akan kuliah atau nggak." Danu terdengar putus asa saat mengatakannya. "Anka ngerasa belum mampu biayain kuliahnya, Kak. Jadi sekarang dia memilih kembali bekerja."
Damara terdiam, berpikir mungkin akan lebih baik kalau ia berada di sini dan menjaga keduanya. Andai hidupnya tidak serumit sekarang.
Handphone Danu tiba-tiba berdering memecah keheningan di meja makan.
"Halo... Iya, saya sendiri," Danu menjawab orang yang menghubunginya.
Di seberangnya, Damara memperhatikan ekspresi Danu yang berubah tegang. Entah apa yang dikatakan oleh si penelepon.
"Baik, saya segera ke sana, Pak!" kata Danu mengakhiri pembicaraannya.
Wajah Danu pucat, ia menatap Damara dengan pandangan bertanya apa yang harus dilakukannya sekarang. Damara yang tidak mengerti hanya balas menatap penuh tanya.
"Kenapa, Nu" Siapa yang telepon"" tanya Damara khawatir.
"Tadi dari Bandung, Kak... Mereka bilang Papa jatuh di kamar mandi rumah sakit," jelas Danu dengan suara bergetar.
Ucapan Danu membuat pikiran Damara kosong untuk sesaat, tidak tahu harus mengatakan dan melakukan apa.
"Danu harus berangkat ke Bandung, Kak. Sekarang juga." Danu bangkit dari kursinya, gerakannya mengembalikan Damara ke alam nyata.
Damara mengerjapkan matanya, menatap Danu yang berdiri di depannya. Damara masih tidak tahu harus melakukan apa. Perlukah ia pergi bersama Danu sekarang, mengabaikan semua kebenciannya, atau tetap di sini dan tidak peduli apa pun yang terjadi"
"Danu harus ke Bandung. Sekarang..." Danu kembali mengulang kata-katanya. Terlihat bingung dan linglung.
"Oke. Kakak antar kamu... Kita pergi sama-sama," kata Damara akhirnya, menyerah dengan sisa kepeduliannya.
Tiga jam perjalanan menuju Bandung terasa bagai berhari-hari. Perjalanan mereka diliputi suasana tidak menyenangkan. Danu tak henti-hentinya bergerak gelisah, seakan meminta Damara lebih cepat memacu mobilnya.
Kalau memang ada teori yang mengatakan kegelisahan dan kekhawatiran itu menular, Damara akan memakai teori itu untuk menjelaskan apa yang dirasakannya sekarang. Damara sepenuhnya tidak mengerti segala reaksinya. Awalnya, saat mendengar berita tentang ayahnya, yang dirasakannya saat itu hanya kosong. Tidak ada kekhawatiran seperti yang dirasakan Danu. Ia justru berpikir akan bersikap seperti apa jika memang harus bertemu ayahnya. Namun sekarang, ada kekhawatiran yang terselip di benaknya, ada satu harapan berdetak, ia menginginkan ayahnya baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit tempat ayah mereka dirawat, tanpa menunggu mobil benar-benar berhenti, Danu membuka pintu mobil berlari cepat ke lobi rumah sakit tanpa sempat dicegah Damara. Setelah tergesa mengunci mobil, Damara setengah berlari menyusul Danu. Sebagian dirinya masih ragu apakah benar-benar ingin melihat kondisi ayahnya setelah sekian lama.
Damara memelankan langkahnya saat melihat Danu tengah berbicara dengan seorang dokter di depan ruang ICU, berpikir sebentar sambil melihat ragu pada Danu yang masih menunjukkan kecemasannya. Tak berapa lama Damara melangkah pelan menghampiri Danu dan dokter itu.
"Dok, tolong bantu ayah saya..." Danu memohon pada si dokter, yang hanya mengangguk pelan tanpa berani memberi harapan.
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk menolong ayahmu, tapi segalanya Tuhan yang menentukan. Kita sama-sama berdoa saja."
Dokter itu pergi setelah menepuk bahu Danu, meninggalkan Danu yang berdiri diam dengan tatapan kosong. Danu duduk di kursi tunggu ruang ICU, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terlihat sangat putus asa.
Damara duduk di samping Danu, merangkul Danu untuk memberikan sedikit dukungan. Danu mengangkat wajahnya, menatap Damara dengan mata merahnya. Tidak tahan dengan perasaan khawatirnya, Danu menjatuhkan tubuh di
pelukan kakak laki-laki satu-satunya.
Damara merasakan tubuh Danu bergetar dan terisak di pelukannya, tapi perlukah ia menangis bersama Danu"
Tidak berapa lama, pihak rumah sakit memberi izin mereka untuk melihat keadaan ayah mereka yang kondisinya tidak kunjung membaik. Damara dan Danu masuk ke ruang ICU lalu duduk di samping ayah mereka. Danu langsung menggenggam erat tangan ayahnya, seakan hendak menunjukkan kehadirannya agar ayahnya terbangun.
Damara sendiri berdiri dengan canggung beberapa langkah dari Danu. Jas hijau rumah sakit yang dipakainya serta bunyi alat-alat di ujung ranjang ayahnya membuat perasaannya tidak tenang.
Setelah sekian lama, akhirnya sekarang ia bertemu lagi dengan orang yang telah menelantarkan mereka dan meletakkan beban berat di pundaknya, memaksanya meletakkan harga diri hingga terjerat kesalahan demi kesalahan agar bisa hidup dan menghidupi adiknya dengan layak.
Damara menatap sosok tak berdaya ayahnya dengan alat bantu pernapasan mulut dan hidungnya. Damara tidak menyangka akan bertemu ayahnya dalam keadaan seperti ini. Damara berpikir, mungkin akan lebih baik kalau ia bertemu ayahnya dalam kondisi sehat dan berdiri tegak, saat ayahnya masih bisa bersikap tidak peduli seperti dulu, agar Damara bisa membencinya tanpa keraguan.
"Kak... sini, Kak," pinta Danu dengan suara sengaunya, tangannya bergerak mengisyaratkan agar Damara mendekat
Damara melangkah ragu mendekati Danu, tidak mengerti harus melakukan apa.
"Pegang tangan Papa, Kak..." pinta Danu, seraya menatap penuh permohonan pada Damara.
A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damara mengembuskan napas, merasakan tangannya bergerak kaku mendekati tangan ayahnya yang dipegang Danu. Ada perasaan aneh yang dirasakan Damara saat ia menggenggam tangan ayahnya, seperti perasaan yang sudah lama dirindukannya.
Danu bangun dari kursi yang didudukinya, memberi isyarat agar Damara menggantikannya. Dengan patuh Damara duduk menggantikan Danu, tangannya masih menggenggam tangan pucat ayahnya. Mata Damara kini menatap wajah ayahnya, rasa aneh itu terasa makin kuat, seperti mendorong Damara ke tepi, gamang dan takut kehilangan.
Beberapa saat Damara menggenggam tangan ayahnya, ia merasakan tangan di genggamannya bergerak samar. Damara terkesiap, bertukar pandang dengan Danu yang berdiri di sampingnya.
"Tangannya bergerak, Nu!" seru Damara, ada kelegaan dalam nada suaranya.
Danu tersenyum lega, ia pun menempelkan tubuhnya ke ranjang ayahnya.
"Papa sadar, Kak," kata Danu tiba-tiba. Damara melihat kelopak mata ayahnya berkedut, lalu membuka perlahan.
Mata ayahnya bergerak lemah, menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang ICU, hingga pada akhirnya Damara merasakan tatapan lemah ayahnya tertuju padanya.
"Ini Kak Damara, Pa... Danu ngajak Kak Damara dateng buat Papa," kata Danu, sebelum ia menggeser posisinya agar ayahnya bisa lebih jelas melihat sosok Damara.
Damara tidak tahu harus melakukan apa, tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi semacam ini setelah sekian lama kebencian mengisi jiwanya. Situasi ini terasa begitu janggal.
Ayahnya menatap lemah ke arah Damara, ia bisa merasakan tangan ayahnya mengeraskan genggamannya ke tangan Damara, seakan-akan... kalau Damara boleh menyimpulkan, ayahnya takut ia akan pergi. Damara masih terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, otaknya kosong. Yang dilakukannya saat ini hanya diam seraya menatap ayahnya.
Damara melihat sekilas senyum lemah tergurat di bibir ayahnya yang tertutup alat bantu pernapasan, kepala ayahnya bergerak serupa anggukan pelan. Damara juga tidak mengerti mengapa ayahnya melakukan itu, air mata mengalir pelan membasahi pipi pucat ayahnya, tapi masih ada sisa senyuman yang tergurat di ujung bibirnya. Sekali lagi Damara menyimpulkan bahwa ayahnya lega bisa melihatnya dan Danu sekarang.
Dengan segala macam perasaan yang muncul secara bersamaan, Damara menggerakkan tangannya berniat mengusap air mata di wajah ayahnya. Namun sebelum tangan Damara menyentuh wajah ayahnya, mata lemah ayahnya terpejam, disusul bunyi denging mengerikan dari alat-alat yang sepertinya terhubung d
engan tubuh ayahnya. Damara belum menyadari apa yang terjadi saat melihat Danu menghambur keluar, berteriak memanggil dokter dan perawat. Sedetik kemudian Damara mematung, seakan mati rasa menatap garis lurus di monitor jantung ayahnya.
*** Sehari setelah pemakaman ayah mereka di Bandung, Damara dan Danu kembali ke Jakarta. Tidak banyak yang mereka bicarakan selepas kepergian sang ayah. Mereka lebih banyak diam, seperti enggan bicara satu sama lain. Seakan keduanya memilih diam dan larut dalam perasaan masing-masing ketimbang harus saling berbagi.
Danu meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya di atas piring, berhenti menyantap makan malamnya, padahal ia baru memasukkan beberapa suapan saja ke mulutnya.
"Kamu belum menghabiskan makanan kamu, Nu," tegur Damara, saat melihat Danu hendak beranjak meninggalkan meja makan.
"Danu kenyang, Kak," jawab Danu pelan. "Danu capek, mau tidur."
"Bisa kita bicara sebentar sebelum kamu masuk kamar""
Danu kembali duduk, wajahnya masih menyiratkan kesedihan.
"Kakak tahu perasaan kamu, Kakak ngerti kamu amat kehilangan atas kepergian Papa," Damara mulai bicara, "tapi kamu nggak bisa berlama-lama seperti ini."
"Danu sedih, Kak. Sekarang Danu benar-benar sendiri. Tadinya Danu pikir saat Kakak pergi ke Swiss nanti, masih ada Papa, satu-satunya keluarga yang bisa jadi tempat Danu bersandar, tapi kenyataannya..." Danu menghela napas dalam, mendongakkan wajahnya seakan berusaha agar tak kembali meneteskan air mata.
Damara bangun dari duduknya, merangkul Danu dan menyandarkan kepala Danu ke rusuknya, satu hal yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin. Ia memang benar-benar kakak yang tidak berguna!
"O ya, Kak... Kemarin Danu nemuin ini di laci rumah sakit," kata Danu seraya mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku celananya dan menyodorkan kertas itu ke tangan Damara. "Ini Papa yang nulis, Kak."
Damara mengambil lipatan kertas yang disodorkan Danu padanya, tidak langsung membukanya, Damara hanya menatap bimbang kertas yang dipegangnya.
"Suster yang merawat Papa bilang, beberapa hari sebelum meninggal, Papa minta bantuan suster untuk menulis itu."
Damara kembali duduk di kursinya, tangannya masih memegang lipatan kertas yang diberikan Danu padanya, agak ragu apakah perlu membuka dan membaca isinya atau tidak. Akhirnya tangan Damara bergerak membuka lipatan kertas itu. Tulisan tidak teratur terlihat menggurat di atas kertas, tapi Damara masih bisa membaca tulisan itu.
Aku memang bukan ayah yang baik, juga bukan ayah yang pantas mengharapkan sesuatu dari mereka. Aku pantas menerima semua kebencian mereka, bahkan saat anak bungsuku datang dengan ketulusannya, aku merasa tidak layak menerima perhatiannya.
Andai aku diberi kesempatan kembali ke masa lalu, aku akan menebus kebodohanku dan tidak akan melepaskan harta yang begitu berharga dalam hidupku. Sekarang yang ada hanya penyesalan. Masih pantaskah aku mengatakan menyesal" Masih pantaskah aku berharap mereka memaafkanku, dan masih berhakkah aku mengatakan bahwa aku mencintai mereka"
Damara menghela napas panjang selesai membaca tulisan di atas kertas itu. seakan ia menahan napas sejak membaca kata pertama. Damara cepat-cepat mendongak, menahan sesuatu yang hendak jatuh dari matanya meski ia tidak ingin. Nyatanya, sekuat apa pun Damara berusaha, air matanya tetap jatuh, menetes di atas kertas yang dipegangnya.
* * * "Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue"" - Anka
"INI, Nu... iced cappucino kesukaan lo." Anka menyodorkan gelas ke tangan Danu yang sedang duduk di rerumputan taman kecil di depan kafe tempat Anka bekerja.
"Thanks, Ka," kata Danu, tersenyum kecil.
Anka duduk di samping Danu, masih lengkap dengan seragam kerjanya. Anka meluruskan kaki lelahnya, mengistirahatkan diri di sela jam makan siangnya.
"Sori ya, Nu, gue nggak bisa pergi ke Bandung pas papa lo meninggal," kata Anka pelan.
"Nggak apa-apa, Ka. Lo udah jutaan kali bilang sori sama gue. Gue ngerti kok alasan lo," kata Danu maklum. "Santai ajalah..."
Ini memang bukan pertama kalinya Anka meminta maaf atas ketidakhadirannya pada Danu. Setiap kali mereka bertemu, kalimat maaf selalu keluar menggantikan sapaan Anka yang biasa. Anka merasa sangat bersalah tidak berada di samping Danu yang sedang terpuruk kehilangan sang ayah, sementara Danu selalu ada saat ia membutuhkan sandaran.
"Lo pasti sedih banget ya, Nu" Gue ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang," kata Anka, sambil menatap Danu seakan ingin membaca perasaan Danu dari raut wajahnya.
"Awalnya gue emang sedih banget, ngerasa belum berbuat banyak untuk Papa. Tapi saat gue berpikir bahwa kepergian Papa pasti hal terbaik yang direncanakan Tuhan, gue mulai bisa terima," jelas Danu. "Paling nggak, sekarang Kak Damara udah maafin Papa."
Anka hanya mengangguk-angguk. Ia mengerti benar perasaan Danu sekarang, hanya saja ia tidak tahu bagaimana mengutarakan kepeduliannya, karena ia tahu tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menghibur saat kita sedang kehilangan.
"Kak Damara berangkat besok, Ka... Lo gimana"" kata Danu tiba-tiba, setelah lumayan lama mereka hanya terdiam.
"Maksud lo"" tanya Anka, heran sendiri kenapa Danu tiba-tiba menanyakan itu padanya. "Harusnya gue yang nanya lo, gimana lo kalo Kak Damara pergi."
"Gue nanya gitu karena perasaan lo ke Kak Damara. Gue kira kalo Kak Damara pergi, lo bakal..." Danu tidak melanjutkan kata-katanya, kembali menunduk menatap hamparan rumput taman di bawah kakinya.
"Bakal apa"" Anka balik bertanya.
Danu bergerak gusar, seperti tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Ehm... lo kan suka sama Kak Damara, lo pasti sedih kalo Kak Damara pergi. Gue cuma khawatir lo nggak bisa bertahan aja."
"Elo tuh ngomong apa sih"! Lo nggak kenal gue kalo lo kira gue nggak bisa bertahan karena Kak Damara pergi," jelas Anka. "Tadinya memang gue sedih Kak Damara harus ninggalin Indonesia, tapi setelah ngerti Kak Damara ambil keputusan terbaik buat semuanya, gue rasa nggak ada masalah kalo Kak Damara pergi."
Anka menatap Danu yang hanya mengangguk pelan menanggapi kata-katanya. Mungkin Danu tidak begitu percaya dengan apa yang dikatakannya, tapi Anka yakin benar dengan ucapannya, ia mengerti keputusan Damara untuk pindah ke Swiss. Tadinya ia memang menyangka akan ada ketidakrelaan dan kesedihan dalam dirinya saat Damara memutuskan pergi tapi nyatanya ia bisa menerimanya dengan cukup baik, menggiringnya untuk menyadari apa yang benar-benar dirasakannya sekarang ini.
"Lo jadi kuliah di Bandung"" Anka kembali bertanya, untuk meredakan kekakuan.
"Ehm... belum tahu, Ka. Tadinya gue mau kuliah di Bandung karena ada Papa, tapi sekarang Papa udah nggak ada, gue nggak punya alasan lagi berada di sana."
Terdengar helaan napas berat dari Danu. Lagi-lagi Anka menatap Danu, menimbang apakah saat ini saat yang tepat untuk mengatakan apa yang dipikirkannya selama beberapa hari ini.
"Ngg... apa lo nggak pernah pertimbangin buat kuliah di sini aja"" tanya Anka lirih, sambil menjaga nada suaranya.
Danu tersenyum singkat, menatap Anka sekilas sebelum menebarkan pandangannya ke sekeliling taman. "Gue kan pernah bilang, alasan lain gue milih Bandung untuk cari suasana baru. Lagian kalo gue nggak jadi ke Bandung berarti gue ingkar janji dong sama lo."
"Janji apa"" tanya Anka bingung.
"Janji buat cari cewek, biar gue lupa gue pernah suka sama lo..."
Anka dibuat terdiam oleh kata-kata Danu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan Danu dulu. Tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menyergap dirinya, teringat rasa yang sudah beberapa hari ini menyelinap dalam benaknya.
"Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue""
Danu menoleh, memandang Anka lekat-lekat seakan tidak begitu yakin Anka mengatakan itu padanya.
"Alasan lo minta gue tetep di sini apa"" Danu balik bertanya.
"Gue pengin lo tetep ada di deket gue, kayak dulu..." jawab Anka.
"Cuma itu""
Anka tidak langsung menjawab, ingin ia mengatakan apa yang ada dalam pikirannya belakangan ini, tapi apakah ini saat yang tepat" Karena ia sendiri belum begitu
yakin. "Lo cuma mau gue tetep nemenin lo di sini, kan"" Danu kembali bicara, nada suaranya terdengar datar.
"Nggak, bukan cuma itu... Gue minta lo tetep di sini karena... gue nggak yakin bisa tinggal di Jakarta sendiri tanpa lo..." Anka merasakan wajahnya memerah. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani melirik Danu yang ia yakin benar sekarang sedang menatapnya.
Akhirnya apa yang ingin dikatakannya selama beberapa hari Danu pergi ke Bandung tercetus juga. Hari-hari tanpa Danu menyadarkan Anka bahwa ia membutuhkan Danu, ia ingin Danu selalu berada di dekatnya.
"Beneran lo mau gue di sini nemenin lo" Elo nggak lagi ngerayu gue karena lo cuma butuh temen naik Metromini kan, Ka""
Anka tersenyum lebar, mengerling jengkel ke arah Danu, yang masih menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Iya, Nu...! Gue butuh lo bukan cuma buat temen naik Metromini, tapi karena memang gue butuh lo!"
Senyum di wajah Danu mengembang semakin lebar, membuat wajah Anka merasa panas saking malunya.
"Jadi, Kak Damara...""
"Kenapa sama Kak Damara""
"Perasaan lo sama Kak Damara gimana"" Danu menahan napas, menunggu jawaban Anka. Dalam hati ia berharap Anka akan memberikan jawaban yang ingin didengarnya. Akan terlalu kejam kalau ia harus menerima jawaban yang kembali mengempaskannya ke bumi setelah dibuat melayang ke langit tinggi.
"Hm... sekarang gue lebih nyaman menganggap Kak Damara sebagai kakak gue, cuma itu yang gue rasain ke Kak Damara sekarang... Kak Damara pantas bahagia dengan orang yang dicintainya tanpa harus terbebani sama perasaan gue."
Danu masih belum sepenuhnya mengerti maksud Anka, sepertinya otaknya sedang enggan berpikir keras.
"Maksudnya""
"Maksudnya, sekarang gue pengin bebanin perasaan gue ke seseorang yang spesial... Makanya gue nggak pengin lo pergi ke Bandung trus ketemu cewek baru dan ngelupain perasaan suka lo ke gue."
Danu mendadak linglung, terlalu takut kalau ia banyak bereaksi, semua yang di hadapannya tiba-tiba akan hilang seperti mimpi. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan untuknya. Benarkah kata-kata Anka bisa ia simpulkan sebagai balasan atas perasaannya"
Danu merangkul bahu Anka, mengusap rambut Anka, setengah mengacak-acak sebenarnya, karena ia terlalu bersemangat. "Ribet banget sih lo mau bilang gitu aja ke gue, sampe panas-dingin rasanya gue nunggunya."
Anka tersenyum malu-malu.
Setelah beberapa hari terakhir dihantam kenyataan yang membuat perasaannya jungkir balik, hari ini untuk pertama kalinya Danu merasa begitu lega, seakan ia bisa kembali merasakan kembali apa itu kebahagiaan.
*** Rio meletakkan secangkir cappucino di atas meja Damara. Damara yang semula menatap ke luar melalui jendela transparan kafe menoleh dan tersenyum pada Rio.
"Thanks, Yo." "Danu mana" Tadi lo masuk sini bareng Danu, kan"" tanya Rio, menebarkan pandangan ke penjuru kafe mencari sosok Danu.
"Danu keluar, nemenin Anka makan siang kayaknya," jawab Damara, seraya mengangkat cangkir cappucino-nya. Rio duduk di depannya.
"Besok penerbangan jam berapa, Mar""
"Ehm, pukul tiga sore," jawab Damara datar.
"Udah siap berangkat"" tanya Rio lagi, ia tetap menatap Damara seperti menunggu Damara memberikan jawaban terjujur padanya.
Damara menghela napas berat, tidak langsung menjawab pertanyaan Rio, karena ia sendiri ragu apa ia benar-benar sudah siap pergi.
"Siap nggak siap, Yo. Gue nggak punya pilihan. Ini keputusan terbaik yang bisa gue ambil dalam situasi gue sekarang ini."
"Tapi gimana dengan semua urusan lo yang belum beres di sini""
"Urusan yang mana"" Damara mengerutkan keningnya.
"Maksud gue... masalah Anggun dan Imelda."
Damara tersenyum getir mendengar Rio menyebutkan dua nama itu.
"Anggun... Gue nggak banyak tahu lagi soal Anggun setelah kejadian itu. Gue cuma bisa berharap dia bahagia di mana pun sekarang dia berada. Dan Imelda..." Damara kesulitan meneruskan ucapannya. Ada rasa sakit saat ia menyebutkan nama itu. "Gue rasa akan lebih baik untuk mereka kalau gue pergi."
"Yang gue tangkep dari semua cerita lo, gue rasa Imelda cinta s
ama lo, Mar," kata Rio serius.
"Saat ini, gue ngerasa nggak pantas menerima cinta dari siapa pun, apalagi dari Imelda. Dia terlalu berharga, Yo... Gue bahkan nggak berani minta dia menunggu." Sekali lagi Damara menghela napas panjang, mengisyaratkan begitu banyak hal yang membebani dirinya.
Rio bangun dari duduknya, menghampiri Damara, lalu menepuk-nepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Semua pasti ada penyelesaiannya. Gue yakin lo pasti bisa bertahan sampai semuanya selesai... Be strong, bro!"
Damara mengangguk, berharap apa yang dikatakan Rio benar adanya, berharap ia sanggup bertahan sampai selesai.
*** Malam ini Danu membantu memasukkan barang Damara ke koper dengan perasaan campur aduk.
"Kak Damara berapa lama di sana""
Damara menoleh, tersenyum pada Danu. "Hari ini udah lima kali kamu nanya pertanyaan yang sama ke Kakak..." kata Damara setengah menggoda. "Kakak belum tahu akan berapa lama di sana..."
Danu kembali menunduk, memang ini bukan pertama kalinya ia bertanya berapa lama Damara akan pergi, dan sekian kali pula ia berharap akan mendapat jawaban pasti dari Damara.
"Ini... untuk pegangan kamu selama Kakak nggak ada." Damara meletakkan sebuah buku tabungan di atas koper di depan Danu.
Danu mengambil buku tabungan itu, membukanya, dan langsung tercengang dengan saldo yang tertera di tabungan itu.
"Itu tabungan Kakak selama ini, untuk masa depan kamu," kata Damara.
"Tapi, Kak... Ini besar sekali! Danu cuma butuh biaya masuk kuliah, ke depannya Danu bisa kerja sambilan di kafe Kak Rio, bareng Anka."
"Kakak mau kamu megang uang itu, sebagai pengganti Kakak selama Kakak pergi," jelas Damara. "Kakak cuma minta satu hal sama kamu, gunakan uang itu untuk biaya kuliah Anka juga. Kakak mau kamu bisa kuliah bareng Anka di sini."
Mata Danu berkaca-kaca, menatap Damara penuh rasa terima kasih. Ia tidak menyangka Damara ternyata sudah memikirkan semua hal tentang dirinya sebelum pergi. Bahkan Damara memikirkan Anka juga. Dari dulu hingga sekarang, Damara memang selalu menjadi kakak kebanggaannya, tak peduli apa pun yang dikatakan orang di luar sana tentang Damara.
"Terima kasih, Kak!" Danu memeluk erat Damara, ketenangan tak terjelaskan menjalari Danu saat ia memeluk Damara. "Danu sayang sama Kakak. Maafin Danu, kalo selama ini belum bisa jadi adik yang baik untuk Kakak..."
"Apa pun yang terjadi, buat Kakak kamu tetap adik yang terbaik!"
Danu merasakan air mata hangat mengalir pelan di pipinya seiring penyesalannya atas semua salah paham yang pernah terjadi antara mereka, seiring keengganannya melepaskan kepergian Damara.
*** Imelda masih berbaring di atas tempat tidurnya, walaupun pagi sudah lama berlalu. Begitu banyak yang dipikirkannya, hingga sulit terlelap. Semua karena mendengar penuturan Rio, manajer kafe yang tadi malam dikunjungi Imelda, yang juga teman dekat Damara, bahwa Damara akan berangkat ke Swiss sore ini.
Menyakitkan rasanya harus mendengar kabar kepergian Damara dari orang lain. Tadinya Imelda menyangka setelah ia menunjukkan sedalam apa perasaannya pada Damara, laki-laki itu akan berhenti menyakitinya. Tapi nyatanya, Damara tetap bertahan dengan pemikirannya, ia bahkan tega tidak mengabarkan keberangkatannya.
"Mel, kita ada meeting dengan klien siang ini," manajer Imelda memberitahu. "Kalau kamu nggak sakit, sebaiknya kamu segera bersiap-siap."
Imelda menyibakkan selimut yang menutupi wajahnya, menatap manajernya yang duduk di samping tempat tidurnya.
"Meeting-nya bisa ditunda besok kan, Mbak" Kalo bisa aku pengin di rumah aja hari ini," pinta Imelda dengan suara seraknya dan mata merah akibat kurang tidur.
Manajernya menatap Imelda, seakan menimbang perlukah ia menuruti permintaan Imelda.
"Oke, untuk hari ini kamu boleh istirahat. Lagi pula nggak baik juga kamu nemuin klien dengan kondisi seperti ini," kata manajer Imelda, sambil melemparkan tatapan prihatin. "Tapi besok nggak ada alasan lagi ya, Mel."
Imelda mengangguk pelan, mengiyakan apa pun kata manajernya agar ia bisa ditinggalkan sendiri.
"Kamu istirahat aja. Kalo ada apa-a
pa telepon Mbak," kata manajer Imelda, sebelum berjalan ke luar kamar.
Imelda kembali menarik selimutnya, sekali lagi berusaha tidur. Sayangnya semua hal yang berputar di kepalanya sama sekali tidak mengizinkannya terlelap walau sekejap. Semua hal tentang Damara tak henti bermunculan di benaknya, membuatnya ingin menjerit karena tidak tahan siksaan psikologis ini.
Akhirnya Imelda menyerah, ia menyibakkan selimut, duduk di tepi tempat tidur. Ia sudah tidak tahan dan merasa perlu melakukan sesuatu, melakukan apa pun yang bisa membuat siksaan ini pergi dan hilang meninggalkannya.
*** Damara memeluk erat Danu di bandara. Ini saatnya bagi Damara meninggalkan orang-orang yang disayanginya.
"Kamu baik-baik di sini ya, Nu. Kakak titip Anka sama kamu," kata Damara melihat ke arah Anka yang berdiri di samping Danu. "Kamu juga ya, Ka, baik-baik sama Danu di sini." Damara berpaling pada Anka, seperti biasa mengusap pelan rambut gadis itu. Anka mengangguk singkat, senyum kaku terlihat di wajahnya yang lelah. "Jangan terlalu memaksakan diri, ada saatnya tubuh kamu butuh sedikit jeda."
"Iya, Kak... Kakak hati-hati di sana."
Damara tersenyum, terdiam sesaat menatap kedua remaja yang seharusnya dijaganya, dua orang yang dengan berat hati harus ditinggalkannya. Damara kembali menoleh ke arah Danu, yang sejak pagi lebih banyak diam. "Jangan bilang sekarang kamu mau nangis-nangis minta Kakak jangan pergi," ledek Damara pada Danu. "Malu tuh sama Anka kalo kamu sampai begitu."
Danu akhirnya tersenyum setengah terpaksa, ia meninju pelan lengan Damara, membuat Damara lega karena Danu sudah tersenyum untuknya.
"Gitu dong, cowok tuh harus kelihatan kuat!" Damara merangkul bahu Danu. "Ingat pesan Kakak ya, Nu. Kakak yakin kamu bisa."
"Iya, Danu ngerti, Kak," kata Danu, melegakan hati Damara.
"Ayo, Mar! Kamu masih harus selesaikan urusan di imigrasi sebelum kamu naik pesawat." Cakka berjalan mendekati mereka.
Damara mengangguk mengerti, ia menghela napas pelan, sekali lagi menatap ke arah Danu dan Anka. Damara memeluk Anka dan Danu dalam satu rengkuhan, memeluk erat mereka seakan dengan rangkulan itu ia ingin mereka tahu bahwa ia benar-benar menyayangi keduanya.
"Kakak pergi dulu, kalian baik-baik di sini... Kakak sayang sama kalian..."
Akhirnya tiba saatnya bagi Damara melambaikan tangannya pada Danu dan Anka, melangkahkan kakinya menjauh dari mereka. Seiring langkahnya, Damara berharap ini keputusan terbaik demi kebaikan semua orang yang disayanginya.
*** "Nih, minum dulu, Nu." Anka menyodorkan sebotol air mineral pada Danu yang duduk di kursi tunggu lobby bandara. "Untung lo tadi nggak beneran nangis di depan Kak Damara."
"Ya nggaklah, Ka. Gue emang sedih, tapi nggak sampe harus nangis di depan banyak orang, gue juga malu kali," kata Danu, seraya mengambil botol dari tangan Anka dan meminumnya. "Elo tuh yang tadi keliatan udah mau nangis pas Kak Damara meluk lo."
"Gue sih cewek, wajar kalo nangis," kilah Anka. "Yuk balik, udah sore nih, entar kita kejebak macet."
Danu bangun dari duduknya, berjalan pelan bersisian dengan Anka.
"Ka, mulai sekarang lo jadi tanggung jawab gue ya," kata Danu tiba-tiba mengejutkan Anka.
"Tanggung jawab lo" Gimana maksudnya"" tanya Anka tidak mengerti.
"Ya, mulai sekarang gue yang jagain lo sesuai pesan Kak Damara. Kalo ada apa-apa yang terjadi sama lo, gue bakal selalu ada buat ngelindungin lo, apa pun itu."
Banyak kata sebenarnya yang berputar di kepala Anka untuk membantah pernyataan Danu, namun entah kenapa kata-kata itu tidak bisa dirangkainya menjadi kalimat sederhana sekalipun. Kata-kata Danu berhasil membuatnya terdiam, berhasil membuatnya merasa begitu aman.
Anka mempercepat langkahnya, malu rasanya kalau Danu sampai melihat wajahnya yang mulai memerah.
"Woi, Ka, tungguin dong...!" teriak Danu dari belakang Anka. Tapi itu tidak membuat Anka memperlambat langkahnya. Baru saat ia melihat sosok yang dikenalnya berjalan tergesa-gesa memasuki lobi bandara, langkah Anka seketika terhenti.
"Nu, lo kenal sama cewek itu nggak"" tanya Anka pa
da Danu, yang kini sudah berdiri sejajar dengannya.
Danu mengikuti arah pandangan Anka. "Hmm... kayak pernah lihat, di mana gitu..." timpal Danu sambil mengingat-ingat.
"Dia itu Imelda Azizah, Nu! Model yang digosipin punya hubungan sama Kak Damara. Kalo gosip itu bener, berarti dia ke sini buat..."
Anka bertatapan dengan Danu, seakan mereka paham apa yang berputar di pikiran masing-masing.
*** Imelda menekan dadanya yang terasa begitu sesak, napasnya tersengal-sengal setelah berlari menuju lobi bandara. Di tengah rasa sesaknya, Imelda menebarkan pandangannya ke sekeliling lobi bandara, mencari sosok yang begitu ingin ditemuinya.
"Damara... di mana kamu, Mar..." bisik Imelda pelan di tengah kegelisahannya mencari sosok Damara di antara begitu banyak orang yang lalu lalang melewatinya.
Di tengah keputusasaannya mencari Damara, Imelda mulai merasakan matanya panas, sepertinya air mata sialan ini akan menetes lagi! Tapi ia tidak bisa membiarkan itu terjadi, ia tidak akan bisa menemukan Damara kalau sampai menangis.
"Mbak Imelda!" Imelda menoleh cepat saat ada yang memanggil namanya. Seorang gadis dan laki-laki muda yang tampak sebaya berdiri di sampingnya. Imelda menatap heran ke arah mereka.
"Mbak Imelda cari Kak Damara ya"" tanya gadis itu.
Layaknya orang bodoh, Imelda mengangguk, dan tidak bisa berpikir mengapa ada orang asing yang bisa menebak keperluannya di bandara ini.
"Pesawat Kak Damara belum take off, mungkin Mbak Imelda masih sempat bertemu dengan Kak Damara."
"Di mana Damara sekarang"" Imelda merasakan suaranya bergetar saat menanyakan itu.
"Kami bisa antar Mbak Imelda ke sana." Kali ini pemuda di samping gadis itu yang bicara.
Tanpa banyak pertanyaan Imelda mengikuti langkah mereka, yang akan membawanya bertemu dengan Damara. Imelda tidak peduli rasa nyeri yang mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Yang ada di kepalanya saat ini hanya Damara, menemui Damara, walaupun itu sekadar melepaskan kepergiannya.
Langkah kedua remaja di depannya berhenti. Imelda mengangkat wajahnya, sekali lagi mulai mencari sosok Damara. Imelda menjatuhkan pandangannya pada sosok yang begitu dikenalinya, walaupun sosok laki-laki tersebut sedang berdiri memunggunginya. Ia yakin benar itu sosok yang dicarinya.
Tanpa banyak pertimbangan, Imelda menghampiri Damara. Di antara begitu banyak orang yang mulai mengenalinya, Imelda memeluk erat punggung Damara. Kelegaan tak terjelaskan seketika menjalari dirinya membawa ketenangan yang sangat menyenangkan dan menghapus semua nyerinya.
"Ketemu... akhirnya ketemu..."
Damara menoleh, jantungnya berdetak begitu cepat saat merasa seseorang memeluknya dari belakang.
"Mel...!" seru Damara, seraya memutar tubuhnya menghadap Imelda. "Kamu kenapa di sini""
"Aku mencari kamu, Mar... Aku mau ketemu kamu."
Imelda mendongak menatap Damara dengan mata basahnya. Otak Damara rasanya kosong, tidak tahu harus bereaksi apa. Kedatangan Imelda begitu mengejutkannya.
"Aku ke sini karena aku ingin dengar kamu bilang sesuatu," lanjut Imelda.
"Bilang apa, Mel""
Damara tidak mengerti apa maksud kalimat Imelda, kepalanya terlalu kosong untuk mengartikannya. Damara mengalihkan pandangan ke sekeliling bandara, sudah ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, bahkan ada yang tidak segan-segan mengambil gambar mereka dengan kamera ponsel. Ini jelas tidak baik, terutama untuk Imelda, Damara tidak ingin lagi ada pemberitaan yang menyudutkan Imelda.
"Mel, kamu seharusnya nggak di sini! Terlalu banyak orang yang mengenali kamu," kata Damara gelisah, melihat semakin banyak orang memperhatikan mereka. "Kamu harus cepat pergi, sebelum ada wartawan yang tahu keberadaan kamu di sini."
"Aku nggak peduli!" tegas Imelda, mengeratkan genggaman tangan pada Damara.
"Tapi, Mel... Kamu..."
"Aku bilang aku nggak peduli sama mereka!" kata Imelda lantang, mengejutkan Damara. "Aku ke sini untuk ketemu kamu, dan aku nggak peduli dengan mereka!"
Entah apa yang harus dilakukan Damara sekarang. Begitu besar keinginannya menerima semua ketulusan yang ditunjukkan I
melda, tapi rasanya itu tidak baik untuk Imelda. Ya Tuhan, andai semua ini bisa lebih mudah, desah Damara dalam hati.
"Aku harus pergi, Mel..." bisik Damara putus asa.
"Aku tau kamu harus pergi, aku nggak akan menghalangi kamu. Aku hanya mau kamu mengatakan sesuatu sebelum kamu pergi."
"Iya, tapi apa yang harus aku katakan"" tanya Damara serbasalah. "Tolong, Mel, ini bukan tempat untuk berdebat, ini tidak baik untuk kamu!"
Benar dugaan Damara, satu-dua wartawan sudah mengambil gambar mereka, bahkan ada yang sudah menyalakan alat perekam. Situasi ini semakin membuat Damara gusar, ia tidak ingin pergi dengan meninggalkan masalah baru untuk Imelda.
"Mel, kamu harus..."
Imelda tiba-tiba menarik Damara, menempelkan bibirnya dengan bibir Damara, menghentikan kata-kata yang belum sempat keluar dari mulut Damara. Seketika saja Damara merasakan seluruh mata menatap ke arah mereka, jepretan kamera terdengar bertubi-tubi, gumam kekagetan menyusul hardikan tegas petugas keamanan bandara yang menertibkan wartawan haus berita, terdengar samar-samar di telinga Damara.
"Sekarang katakan kalau kamu meminta aku akan menunggu," kata Imelda sesaat setelah melepaskan tautan bibirnya dari bibir Damara.
Andai apa yang ingin didengar Imelda bisa dikatakan Damara dengan mudah. Seperti halnya Imelda, Damara pun ingin kalimat itu terucap dari mulutnya. Tapi pertanyaan bergema di kepalanya, apakah ia pantas meminta Imelda menunggunya" Pertanyaan itu mencekat kerongkongannya, menahan kata-katanya yang sudah hampir keluar, dan menjadikannya hanya menatap Imelda dalam diam dengan ketidakberdayaannya.
"Begitu sulitkah permintaanku, Mar"" tanya Imelda, ada kekecewaan dalam tersirat pada kata-katanya. "Ternyata aku terlalu berharap banyak, Mar..." kata Imelda lirih dengan tatapan terluka, sesaat sebelum ia membalikkan tubuhnya.
Ketakutan mulai menyergap Damara. Apa benar ini yang diinginkannya" Atau ia tidak menginginkan Imelda menunggunya"
Tangan kiri Damara meraih lengan Imelda, sementara tangan kanannya merangkul tubuh Imelda dan memeluknya erat-erat. Kilat menyilaukan dari blitz kamera para wartawan langsung menderanya, tapi Damara tidak peduli lagi. Ini saatnya ia menuruti perasaannya, mengikuti kata hatinya. Apa pun yang terjadi setelah ini, ia siap melewatinya, asalkan tetap bisa menggapai cintanya.
"Ya, tunggu aku, Mel... Aku mau kamu menunggu aku kembali..."
Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Damara, seiring kelegaan yang dirasakan Damara saat memeluk Imelda. Berbagai pertimbangan yang selama berminggu-minggu mengekang keinginan untuk mengikuti kata hati kini lepas sudah.
"Aku akan nunggu kamu, Mar... Aku akan nunggu sampai kamu datang dan mengatakan kamu mencintai aku dengan wajah terangkat penuh kebanggaan."
Damara mengeratkan pelukannya seiring ucapan Imelda. Tanpa bisa ditahan air mata menetes pelan ke wajahnya, air mata yang keluar seiring rasa terima kasih untuk Imelda yang begitu tulus mencintainya.
Dalam hatinya Damara berjanji, apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia tidak akan pernah begitu bodoh menyia-nyiakan apa yang Tuhan anugerahkan untuknya.
* * * "Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya." - Anka
Tiga tahun kemudian... MATA Imelda menatap lurus pada sosok lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya, sosok yang selama tiga tahun terakhir ini tidak pernah ditemuinya. Imelda merasakan air matanya turun perlahan menghangatkan pipinya, seiring kelegaan yang membebaskan dadanya dari impitan. Imelda bertanya-tanya, mungkinkah ini akhir penantiannya"
Tanpa suara, laki-laki itu duduk di kursi taman, tepat di sebelah Imelda. Tersenyum kecil seraya menatap Imelda lekat-lekat. Lelaki itu begitu tenang, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Imelda merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, nyaris mendobrak dadanya.
"Aku sudah tahu kamu ada di sini," kata lelaki itu. "Kamu menunggu aku di sini, Mel""
Imelda tetap terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Kemunculan lelaki itu hari ini, setelah hampir tiga tahun berlalu, nyaris mem
buat Imelda mati rasa. Imelda memalingkan wajahnya, berusaha keras meredam keinginannya untuk memeluk erat lelaki itu.
"Kamu kembali... Damara..." Suara Imelda terdengar begitu dalam, bahkan untuk dirinya sendiri. "Apa itu berarti kamu sudah menyelesaikan semuanya""
"Belum..." Imelda seketika mendongak mendengar jawaban Damara, bukan itu jawaban yang ingin ia dengar.
"Masih ada satu hal yang belum aku selesaikan," lanjut Damara.
"Jadi untuk apa kamu di sini sekarang" Dulu kamu bilang akan datang setelah semuanya selesai."
"Ya. Dan aku di sini untuk menyelesaikannya," jawab Damara santai, seakan tidak terpengaruh dengan apa yang dirasakan Imelda.
"Maksudmu...""
Kata-kata Imelda terhenti saat Damara mengeluarkan kotak kecil berbalut pita cantik, tersenyum seraya menyodorkan kotak itu ke depan Imelda.
"Aku cinta kamu, Mel, sekarang aku bisa mengungkapkan cintaku dengan wajah terangkat," kata Damara, seraya membuka kotak kecil itu.
Mata Imelda menghangat menatap cincin cantik di dalam kotak yang dipegang Damara. Imelda merasakan kepalanya tidak bisa memikirkan apa-apa, kecuali merasakan kelegaan, kebahagiaan, dan keinginan meluapkan semua perasaannya.
Imelda menghambur memeluk Damara, begitu erat... seakan dengan begitu Damara tidak akan pernah meninggalkannya lagi Imelda menghela napas panjang, meluapkan kelegaan yang dirasakannya. Air mata mengalir pelan ke pipinya, untuk pertama kalinya Imelda menangis karena bahagia.
"Terima kasih telah menungguku selama ini, Mel... Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Aku akan terus mengatakan ini, apa pun yang terjadi nanti."
Imelda mengangguk pelan dalam pelukan Damara, air matanya kembali luruh. Kalaupun ini hanya mimpi, Imelda rela tak terbangun selamanya agar ia bisa membawa perasaan bahagia ini sampai mati.
*** "Perlu tisu untuk hapus air mata, Ka"" Danu tersenyum melihat Anka menunduk di sampingnya, pelan-pelan terlihat mengusapkan tangan ke wajahnya.
"Nggak perlu," tolak Anka, sambil mendongak, mata sembapnya menatap lurus, ada senyum yang tergurat di wajahnya. "Romantis ya, Nu""
Danu mengangguk membenarkan, kelegaan terasa saat ia melihat kakaknya, Damara, dan seseorang yang begitu dicintai Damara, bisa tersenyum bahagia setelah keduanya mengalami masa sulit yang tidak sebentar untuk cinta mereka. Dari tempatnya berdiri bersama Anka sekarang, beberapa meter dari pemandangan indah di depannya, Danu bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Damara. Tawa yang diperlihatkan Damara sementara tangannya terus menggenggam tangan wanita yang dicintainya, membuat Danu merasa memang seperti inilah seharusnya akhir ketulusan cinta yang indah.
"Mereka terlihat bahagia, itu yang paling penting," kata Danu, tersenyum lebar.
"Ya, mereka terlihat bahagia," Anka membenarkan perkataan Danu. "Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya."
"Kamu bahagia, tapi kamu tadi menangis." Danu tersenyum lebar saat mengatakan itu. Anka memukul bahu Danu dengan buku kuliah tebal yang dibawanya.
"Itu namanya air mata bahagia, Danu," sahut Anka setengah kesal.
"Aku kira masih tangis patah hati," ledek Danu, yang langsung membuat Anka cemberut.
"Jangan mentang-mentang suka nulis jadi suka berimajinasi nggak jelas."
Danu tertawa kecil, ia suka menggoda Anka seperti ini. Mungkin tiga tahun yang lalu ia tidak akan berani mengungkit tentang perasaan Anka pada kakaknya yang dulu sempat ada, tapi sekarang saat ia tahu perasaan istimewa itu telah diberikan Anka hanya untuknya, ada rasa aman tak terjelaskan.
Setelah Damara pergi meninggalkan mereka, Danu kuliah di fakultas sastra Indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta, sementara Anka berhasil masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama, Anka bahkan mendapatkan beasiswa dari fakultasnya, berkat prestasi akademisnya yang tidak pernah buruk. Mereka berdua berusaha hidup sebaik mungkin selama Damara meninggalkan mereka, agar mereka memiliki sesuatu yang dapat mereka banggakan untuk menghargai semua pengorbanan yang dilakukan
Damara untuk mereka. "Semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini," kata Danu pelan. Ada keyakinan dalam kalimat yang baru saja diucapkannya. "Kita semua akan hidup bahagia."
Anka menatap Danu, keduanya tersenyum seolah masing-masing bisa merasakan kelegaan yang sama. Damara melambaikan tangan ke arah mereka, memberi isyarat agar mereka mendekat. Senyum lebar dari kejauhan terlihat mengembang di wajah Damara. Dengan Imelda berada dalam rangkulannya, Damara terlihat sangat bahagia.
Danu bertukar pandang dengan Anka, keduanya mengangguk mengerti. Sekarang sudah saatnya mereka bergabung dengan kebahagiaan yang dirasakan Damara, kebahagiaan yang akan turut membahagiakan mereka juga.
"Ayo ke sana!" Danu mengulurkan tangan kanannya pada Anka, Anka segera menyambut tangan Danu.
Dengan tangan saling bertaut keduanya berjalan menghampiri Damara dan Imelda, menghampiri kebahagiaan yang sudah lama ingin mereka rasakan bersama.
Anka pernah bercerita pada Danu bahwa ia ingin memiliki cinta seindah ibu dan ayahnya, yang bertahan sampai akhir hidup mereka. Keinginan indah yang pelan-pelan akan berusaha mereka wujudkan seiring langkah kecil mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan kejutan.
* * * Let Go 1 Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Pendekar Cengeng 5
Cakka masuk ke ruang kerja Damara dan berjalan mendekati, ekspresinya sama tertekannya seperti Damara. "Wartawan di luar gila semua! Siapa aja yang keluar dari kantor ini langsung diserbu," kata Cakka putus asa. "Mereka nggak punya kerjaan lain apa, selain ngerecokin kehidupan orang""
Damara hanya tersenyum getir mendengar gerutuan Cakka, ia tahu benar Cakka sedang mencoba mencairkan suasana setelah mereka didamprat habis-habisan oleh petinggi biro hukum tempat mereka bekerja.
"Sori, Kka... Aku bikin semuanya jadi kacau kayak gini," kata Damara penuh sesal. "Gara-gara aku semua orang di kantor kena imbas nggak nyaman kayak sekarang." Cakka diam, tampaknya tidak tahu harus mengatakan apa. Damara sendiri tahu benar ia sudah begitu banyak membawa kesulitan untuk Cakka.
"Akhirnya harus sampai di sini..." kata Damara lirih, seraya memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya.
"Ini belum berakhir, Mar. Aku akan coba ngomong lagi sama Pak Duta. Kamu nggak bisa dikeluarin begitu saja karena masalah ini. Semua berita ini tentang kehidupan pribadi kamu, nggak ada hubungannya sama pekerjaan profesional, jadi nggak ada alasannya kamu keluar."
Damara tersenyum getir mendengar pernyataan Cakka. Andai semua orang beranggapan sama. "Pak Duta nggak salah minta aku ninggalin biro hukum ini, Kka. Apa yang bisa diharap lagi dari pengacara yang punya skandal sama kliennya" Nggak akan ada lagi yang mau sewa pengacara yang kredibilitasnya dipertanyakan kayak aku. Jalan yang terbaik memang aku harus keluar sebelum ada dampak yang lebih buruk buat biro hukum ini."
"Tapi, Mar... Kamu kan udah berjuang bareng sama biro hukum ini dari awal. Kamu nggak bisa pergi gitu aja," kata Cakka. "Ibaratnya kamu tuh ikut besarin nama biro hukum ini, jadi Pak Duta nggak bisa gitu aja..."
"Udahlah, Kka," potong Damara, "nggak usah diributin lagi, walaupun Pak Duta nggak minta aku mengundurkan diri, aku bakal keluar juga kok. Aku nggak mau biro hukum ini kena imbas gara-gara semua berita tentang aku." Damara sekilas menatap Cakka, seraya tersenyum untuk mengisyaratkan bahwa ini bukan masalah besar
untuknya. "Besok aku baru bisa bawa barang-barang dari sini. Sekarang repot, di luar banayk wartawan," lanjut Damara sambil menyandangkan tas kerjanya ke bahu sebelah kirinya. "Thanks ya, Kka... Thanks buat semuanya." Damara menepuk bahu Cakka.
Cakka tersenyum lesu, merangkul bahu Damara. "Take care ya, Mar... Tapi aku nggak bakal biarin kamu berakhir kayak gini," tegas Cakka.
Damara mengangguk pelan, sekali lagi menyunggingkan senyum kakunya sebelum pergi meninggalkan ruang kerjanya. Damara membawa langkah beratnya meninggalkan ruangan yang selama ini menjadi tempat ia mencurahkan tenaga dan pikiran untuk kariernya.
*** Anka duduk di sofa ruang tengah, sesekali matanya menatap tabloid yang terletak di atas meja. Di depannya duduk diam Danu, melakukan hal yang sama dengan Anka.
"Berita di tabloid ini nggak bener kan, Nu" Lo udah nanya Kak Damara soal ini" Dia pasti bilang ini nggak bener, kan"" Anka menanyakan pertanyaan yang hampir sama bertubi-tubi.
"Gue nggak tahu, Ka, dari tadi gue nggak bisa hubungin Kak Damara," kata Danu mulai resah. "Gue sama nggak tahunya sama lo soal berita-berita ini."
Kata-kata Danu berhasil membuat Anka diam. Danu menghela napas berat, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Sejak pagi kepala Danu rasanya sudah hampir pecah, dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Apa yang tertulis di artikel ini rasanya begitu tidak masuk akal untuk menjadi kenyataan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi" Mungkinkah yang tertulis di artikel ini benar" Rasanya Danu ingin sekali menenggelamkan dirinya agar semua hal memusingkan di kepalanya ikut tenggelam bersamanya.
Bunyi gerung mobil terdengar di luar rumah, baik Anka maupun Danu menegakkan duduk mereka, ekspesi wajah keduanya sama tegangnya. Danu bahkan bisa merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, sementara ia menunggu Damara masuk. Sekilas Danu melirik ke arah Anka, gadis itu tampak tidak lebih baik dari dirinya.
Tak lama, terdengar bunyi tangkai pintu diputar, membuat jantung Danu semakin keras menggedor-gedor rongga dadanya. Beberapa detik kemudian Damara muncul dari balik pintu dengan wajah lusuh, lalu tersenyum kaku saat melihat Danu dan Anka berdiri di ruang tengah. Damara menghela napas, helaan napas yang Danu sendiri tidak tahu untuk mengekspresikan apa.
"Kalian nunggu Kakak rupanya," kata Damara pelan, matanya melihat ke arah tabloid di atas meja. Damara berjalan pelan melewati Anka dan Danu lalu duduk di sofa, seakan siap menerima semua pertanyaan. "Kalian mau mulai bertanya dari mana"" kata Damara datar, menatap keduanya bergantian seakan ia siap menjawab.
Danu bertukar pandang dengan Anka, yang tidak tahu apa dan bagaimana ia harus mempertanyakan semuanya. Padahal sebelumnya, begitu banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, tapi sekarang di saat orang yang bersangkutan ada di depannya, semua pertanyaan itu seperti menguap dari kepalanya.
"Kak, sebaiknya kita bicara soal ini berdua," saran Danu seraya menghindari tatapan Anka.
"Kita bicara di sini saja, lebih baik. Kakak pikir, Anka juga sama ingin tahunya seperti kamu... Setelah semua hal yang mungkin kalian lihat dan baca, ini saatnya Kakak jawab semua pertanyaan kalian."
Danu menatap kakaknya. Ada yang aneh dengan ekspresi yang diperlihatkan Damara. Menatap Damara kali ini membuat Danu cemas jika yang ditakutkan Danu sejak pagi tadi mendapat pembenaran dari Damara.
"Kak Damara nggak perlu jelasin apa-apa sama kita. Lebih baik Kakak istirahat aja, ini udah terlalu malem. Lagian kita percaya Kakak nggak mungkin seperti yang mereka bilang," kata Danu. Setelahnya ia heran sendiri kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu semua. Yang jelas di dalam pikirannya, ia lebih ingin tidak tahu apa-apa.
Damara tersenyum getir dan menunduk lesu, membuat Danu semakin tidak tenang.
"Kakak ingin semua terselesaikan hari ini," kata Damara tegas, seraya mendongakkan wajahnya menatap Danu dan Anka. "Kalau kalian ingin tahu benar atau tidaknya yang mereka beritakan tentang Kakak... dengan sangat menyesal Kakak harus mengatakan bahwa itu benar... Walaupun banyak bag
ian yang mereka lebih-lebihkan, tapi secara garis besar mereka menuliskan kenyataan."
Anka dan Danu terperangah lalu saling bertukar pandang. Wajah keduanya pucat, Danu bahkan bisa melihat mata Anka mulai memerah.
"Kak, itu nggak mungkin! Jangan becanda, Kak, nggak lucu," tukas Danu, sekali lagi melirik khawatir ke arah Anka di sampingnya yang sepertinya sudah tidak bisa berkata-kata. "Kak Damara mana mungkin ngelakuin semua yang mereka bilang... nggak mungkin!"
"Sayangnya, seperti yang tadi Kakak bilang, itu semua benar, Nu... Maaf kalau bikin kamu kecewa, tapi itulah faktanya."
Damara menghela napas lelah selesai mengatakan hal itu, lalu berdiri menepuk bahu Danu yang merasa seakan baru saja diterpa badai besar. Damara melangkah pelan meninggalkan Anka dan Danu.
"Kak, kalau memang apa yang mereka beritakan itu benar, kenapa... kenapa Kakak ngelakuin itu semua"" Pertanyaan Danu menghentikan langkah Damara.
Damara membalikkan tubuhnya, kembali menatap Danu. Ada senyum aneh terlihat di wajah Damara.
"Danu, kamu masih terlalu kecil untuk bisa mengerti alasan mengapa semua terjadi sampai begini," kata Damara datar. "Sekali lagi Kakak minta maaf, membuat kamu kecewa dan malu dengan kenyataan ini, tapi hanya itu yang bisa Kakak katakan sekarang."
Damara kembali berbalik dan melangkah pelan meninggalkan ruang tengah. Namun baru beberapa langkah Damara menjauh, Danu menyusulnya, berdiri tegak di hadapan Damara.
Danu merasa ada banyak hal yang perlu dikatakannya pada Damara, mana boleh Damara pergi begitu saja setelah fakta mengejutkan yang dikatakannya.
"Danu kecewa sama Kakak! Danu nggak pernah nyangka Kakak bisa ngelakuin itu semua," kata Danu dengan suara bergetar. Danu merasakan hawa panas menyergap di sekelilingnya. "Kakak hancurin semua kebanggaan Danu ke Kakak!"
"Kakak terima semua yang kamu bilang... Kakak memang salah." Damara tetap tenang menanggapi kemarahan Danu, tapi sayangnya ketenangan itu malah membuat Danu berpikir Damara sama sekali tidak menyesali apa yang diperbuatnya.
"Kakak keterlaluan...!" sergah Danu lagi. "Kakak sudah nyakitin banyak orang, termasuk Anka yang cinta sama Kakak..."
Damara tersentak mendengar apa yang dikatakan Danu. Ketenangan yang semula coba dijaganya saat Danu berteriak marah, kini rasanya sulit dipertahankan. Anka mencintaiku" Ya Tuhan... masalah apa lagi sekarang" batin Damara.
Damara menatap Anka, namun tak ada yang bisa diartikan dari ekspresi wajah Anka. Wajah yang basah oleh air mata itu kini memucat, seakan ia sendiri tidak menyangka Danu akan mengatakan itu semua.
Tanpa berkata apa-apa, Anka bergegas, setengah berlari menuju kamarnya, disusul bunyi keras bantingan pintu dari kamarnya.
Damara berniat melangkah menyusul Anka, tapi tangan Danu mencekal lengan Damara. "Kakak mau apa lagi sekarang" Kakak nggak boleh bikin Anka semakin sakit," tegas Danu.
Damara menyentakkan cekalan Danu dari lengannya, kali ini menatap tajam ke arah Danu. "Kakak tahu kamu peduli sama Anka, tapi itu tidak menjadikan kamu punya wewenang melarang Kakak bicara sama Anka."
Kata-kata tajam Damara berhasil membuat Danu terdiam. Damara melangkah, bergegas menuju kamar Anka. Damara tahu, ia tidak mungkin mengubah semua yang telanjur buruk menjadi kembali baik, tapi setidaknya ia ingin Anka mengerti.
*** Anka menyandarkan tubuhnya di balik pintu kamarnya. Air mata tak henti-hentinya mengucur, sampai-sampai ia merasa begitu lelah. Ini tidak bisa dipercaya! Setelah semua hal mencemaskan, mengganggu pikiran sejak pagi tadi, ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Ia ingin mendengar penyangkalan dari Damara. Ia ingin mendengar Damara mengatakan semua itu hanya berita bohong. Tapi apa yang dikatakan Damara barusan membuat semua harapannya mustahil menjadi nyata.
Setelah Danu memberitahu Damara tentang perasaannya, Anka sudah tidak bisa lagi menahan tangisnya, rasanya Anka ingin meraung keras-keras agar rasa sesak ini bisa hilang.
Bunyi ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya, Anka menebak itu pasti Danu yang datang untuk mengatakan se
suatu setelah pernyataan spektakulernya.
Tapi tampaknya Anka salah, karena bukan suara Danu yang terdengar.
"Anka..." Anka merasakan jantung berdetak semakin cepat saat mendengar suara Damara terdengar dari balik pintu kamarnya. Apa yang harus dikatakannya setelah Damara tahu perasaannya" Anka mendengar bunyi gesekan berat di daun pintu, sepertinya Damara melakukan hal sama dengannya, menyandarkan diri ke pintu. Mungkin sekarang mereka berada di satu titik sandar yang sama. Anka menekan dadanya seakan ingin meredam detakan keras jantungnya, berharap Damara di balik pintu sana tidak bisa mendengarnya.
"Kamu baik-baik aja, Ka"" Suara Damara kembali terdengar.
Anka hanya diam, karena ia sendiri tidak tahu apakah baik-baik saja atau tidak.
"Pertanyaan bodoh ya..." Damara kembali bicara. "Seharusnya Kakak sudah tahu jawaban kamu apa, setelah apa yang baru saja terjadi tentu kamu tidak mungkin baik-baik saja... Maafin Kakak ya, Ka."
Air mata Anka kembali mengalir pelan di pipinya. Mendengar permintaan maaf Damara, dadanya terasa sesak.
"Terima kasih, Ka, kamu memiliki perasaan itu untuk Kakak. Itu sangat berarti. Andai saja Kakak bisa membalas perasaan kamu."
Anka menekan kembali dadanya, berharap sesak ini bisa hilang di tengah tangis tertahannya.
"Kakak sayang kamu, Ka... Kakak ingin kamu memberikan perasaan itu kepada seseorang yang lebih pantas dan lebih berharga untuk menerima perasaan kamu."
Kata-kata Damara justru meluruhkan air mata yang semula coba dikendalikan Anka. Rasa ini seakan tidak memberinya sedikit jeda untuk menghentikan tangisnya.
"Kamu mau aku menunggu"" - Imelda
DAMARA membuka mata. Menyadari ia berada di atas tempat tidurnya, tertidur dengan pakaian yang dikenakannya sejak siang. Ia bahkan tidak melepas sepatunya. Damara merasa tubuhnya begitu lemas, begitu lelah, seakan ia baru saja melewati begitu banyak siksaan.
Damara mendudukkan dirinya. Beban yang begitu berat seperti menekan pundaknya, membuatnya merasa sulit mengangkat wajahnya dengan penuh harapan.
Tak ada satu orang pun di meja makan pagi ini. Damara tidak terkejut dengan situasi yang ia hadapi. Ia sudah menyangka tak akan ada yang bersedia menemaninya sarapan. Justru malah mengherankan jika ada Anka atau Danu duduk di sini bersamanya. Semua pasti merasa tidak nyaman.
Damara mengolesi rotinya dengan selai kacang, seperti biasa, lalu melipat rotinya agar lebih mudah dimasukkannya ke mulut. Tapi Damara tidak kunjung menggigit rotinya. Damara merasa sesuatu menyekat tenggorokannya, yang membuatnya tidak ingin memasukkan apa pun ke mulutnya. Tanpa disadari, setitik air menetes ke punggung tangannya.
Damara tersenyum getir, seraya menghapus pelan air matanya. Beban ini rasanya terlalu menyiksa, membuat Damara terpaksa meluruhkan semua ketegaran yang selama ini coba selalu dijaganya.
*** "Aku harap kamu mau terima ini, Mar. Ini jalan keluar terbaik yang bisa aku usahakan buat kamu," kata Cakka di ruang kerja Damara, saat Damara mengepak barang-barangnya.
Damara menghela napas lelah. "Aku nggak percaya diri menerima tawaran kamu, Kka. Reputasi aku di sini telanjur hancur. Aku nggak mau di sana malah bikin susah temen kamu."
"Mar, di sana beda. Mereka nggak begitu peduli sama urusan pribadi dan kehidupan kamu selama kamu punya kinerja yang bagus," jelas Cakka berusaha meyakinkan Damara. "Aku sudah ceritain semua tentang kamu ke temenku di sana, dan dia nggak masalah. Setelah dia lihat kinerja kamu dari kasus-kasus yang pernah kamu tangani, dia malah seneng banget kalau kamu mau bergabung di sana."
Damara mendudukkan diri di kursi kerjanya. Bingung, entah apa yang harus dilakukannya dengan tawaran Cakka yang luar biasa untuk orang sepertinya. Mendapat tawaran bekerja di sebuah biro hukum di Swiss, yang baru didirikan oleh salah satu kenalan dekat Cakka, mungkin adalah hal terbaik yang bisa didapat pengacara yang baru saja dihancurkan reputasinya.
"Kamu mau kan, Mar"" Suara Cakka menyadarkan Damara dari semua pertimbangannya. "Aku harap kamu terima tawaran ini."
"Kka, ini mungkin taw
aran langka yang bisa didapat orang kayak aku. Tapi aku ngerasa nggak mampu terima tawaran ini. Aku ngerasa..."
"Ngerasa apa lagi sih, Mar"" sergah Cakka tidak sabar. "Kamu ngerasa udah terpuruk banget gara-gara ini semua" Apa kamu mau tenggelam dalam perasaan terpuruk itu dan berhenti jadi pengacara, padahal kamu punya kemampuan... Aku nggak percaya Damara yang kukenal bisa begini. Aku tahu yang kamu alami memang berat, tapi Damara yang aku kenal bukan orang kayak gini!"
Damara terdiam. Sekuat itukah ia di mata Cakka" Tapi terlepas dari anggapan itu, Cakka memang benar, ia tidak bisa tenggelam dalam keterpurukannya. Ia harus bangkit kembali, karena masih banyak hal yang harus diperjuangkannya. Ia harus kembali mengangkat wajah untuk melanjutkan hidupnya, demi orang-orang yang masih menyandarkan hidup padanya.
"Oke... Aku terima tawaran kamu," kata Damara akhirnya. "Kapan aku bisa bicara langsung sama temen kamu itu""
Dengan wajah berseri-seri Cakka menepuk bahu Damara. "Gitu dong, Mar! Itu baru Damara yang aku kenal. Beberapa hari yang lalu aku sudah kirim CV dan jelasin semua hal tentang kamu termasuk semua kasus yang pernah kamu pegang. Jadi kamu tinggal ngomong Imel telepon sama dia. Aku akan bantu urusan keberangkatan kamu ke sana."
Damara tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Cakka telah melakukan begitu banyak hal untuknya, bahkan memikirkan urusan yang tidak terpikir olehnya untuk mengatasi semua ini. Damara menghampiri Cakka, memeluk Cakka dengan rasa terima kasih yang sangat besar. "Thanks ya, Kka. Aku nggak mungkin bisa lewatin ini semua tanpa bantuan kamu."
"Kamu sahabat aku, Mar. Aku nggak bakal biarin kamu berakhir begitu saja," kata Cakka, seraya menepuk bahu Damara. "Udah ah, lepasin. Aku geli lama-lama dipeluk sama kamu."
Damara melepaskan pelukannya, tersenyum kaku seraya mundur selangkah dari Cakka.
"Barang-barang kamu sudah selesai" Sini aku bantuin biar cepet beres." Cakka memasukkan barang-barang Damara ke kardus besar di atas meja.
Damara menatap Cakka, berpikir betapa beruntungnya ia memiliki sahabat-sahabat yang luar biasa. Tuhan menganugerahinya sahabat terbaik di tengah semua hal buruk dalam hidupnya.
*** "Senyumnya dong, Mel," kata fotografer yang membidikkan kameranya pada Imelda untuk salah satu majalah mode.
Imelda membentuk senyum kaku, berharap ini terakhir kalinya fotografer itu menyuruhnya tersenyum, karena ia sedang tidak ingin tersenyum sekarang ini. Begitu banyak hal yang membuatnya merasa tidak punya daya untuk memberikan senyum lepasnya.
"Oke, selesai!" seru fotografer itu akhirnya. Ekspersi wajahnya tampak tidak terlalu puas melihat hasil jepretannya. Tapi Imelda tidak peduli, ia sedang tidak ingin berurusan dengan profesionalitasnya sekarang, ia segera berjalan menuju ruang ganti diikuti manajernya.
"Kamu tuh kenapa sih, Mel" Mereka bisa protes kalo kamu kayak begini," tegur manajer Imelda. "Lagian nggak biasa-biasanya."
"Aku ngerasa kurang enak badan, Mbak," kata Imelda datar, seraya mencopot semua aksesoris glamor yang dipakainya.
"Kalau gitu kita pergi ke rumah sakit," saran manajer Imelda.
"Nggak usah, Mbak, aku cuma butuh istirahat. Kalo setelah ini aku udah nggak ada jadwal lagi, aku mau pulang sendiri."
"Pulang sendiri gimana" Tadi kamu bilang nggak enak badan, mana mungkin pulang sendiri""
"Aku pengin pulang sendiri, Mbak. Please... biarin kali ini aku sendiri."
Imelda menatap manajernya, berharap kali ini manajernya menuruti permintaannya.
"Oke kalo kamu mau sendiri, tapi janji jangan matiin handphone!"
Imelda mengangguk pelan, walaupun sebenarnya ia tidak yakin bisa menepati janjinya.
*** Imelda duduk di kursi taman, di tempat pertama kalinya ia menyadari memiliki perasaan lain pada Damara. Imelda menghidup udara segar yang memenuhi taman, berharap andai saat ini ia bersama seseorang yang begitu berarti untuknya. Andai saja Damara duduk di sampingnya, membiarkannya menyandarkan kepala ke bahu Damara, agar ia bisa melepaskan semua lelah yang terasa belakangan ini.
Semua pengandaian yang berputar d
i kepala Imelda membuatnya sekali lagi harus meneteskan air mata. Imelda mendongak, berharap apa yang dilakukannya bisa menahan air matanya. Ia tidak ingin menangis lagi. Tapi seperti yang sudah begitu dipahami otaknya, semakin tidak ingin ia menangis, air matanya semakin tidak bisa dikontrol.
Imelda menghapus air matanya, menghela napas panjang setelahnya. Imelda bangun dari kursi taman, merasa harus segera meninggalkan tempat ini. Ia tidak ingin kesedihan ini mengontrol dirinya dan menjajah pikiran rasionalnya.
Tapi baru satu langkah Imelda menggerakkan kakinya, matanya menangkap sosok yang begitu ingin ditemuinya. Laki-laki itu berjalan mendekat dengan wajah tertunduk lesu. Imelda benar-benar melihat Damara. Lega dan bahagia rasanya Imelda saat melihat Damara. Ia ingin berlari menghampiri Damara dan memeluknya.
*** Damara tidak mengerti alasan apa yang membuatnya merasa perlu ke taman ini. Ia hanya ingin merasakan kembali apa yang dulu pernah dirasakannya, walaupun sepertinya akan menyakitkan mengingat itu semua.
Damara menyeret langkah lelahnya di sepanjang jalan setapak di area taman. Wajahnya terus menunduk menatap susunan batu yang diinjaknya. Lelah yang dirasakannya membuatnya tidak mampu mengangkat kepala. Andai semua berjalan dengan baik, tentu akan sangat menyenangkan melangkah di jalan bebatuan ini. Tidak seperti sekarang, bebatuan ini seperti menusuk setiap senti telapak kakinya, menjalarkan rasa ngilu ke seluruh tubuhnya, padahal seharusnya ia tidak merasakan apa-apa.
Damara menghentikan langkahnya, pandangannya tertuju ke sisi jalan setapak. Sebatang pohon kaktus yang tidak terawat hidup segar di antara rumpun bunga aster yang mulai layu akibat cuaca yang begitu panas belakangan ini. Damara tersenyum, merasa dirinya terlalu payah jika dibandingkan dengan pohon kaktus yang bisa bertahan hidup dalam cuaca apa pun.
Saat akan memutar tubuh untuk kembali melanjutkan langkahnya, tiba-tiba ada yang memeluk punggungnya dari belakang, memeluknya begitu erat. Damara merasakan jantungnya berdetak cepat di tengah keterkejutannya, sebab ia bisa mengenali jari-jari yang memeluk erat pinggangnya.
"Mel..."" kata Damara pelan, sedikit menoleh untuk memastikan dugaannya.
"Aku senang bisa ketemu kamu di sini. Rasanya aku nyaris gila karena mengkhawatirkan kamu beberapa hari ini."
Kata-kata Imelda mengalir cepat dari mulutnya seakan sudah terlalu lama ditahannya. Damara merenggangkan pelukan Imelda, membalikkan badannya untuk menatap Imelda. Mata Imelda penuh kekhawatiran dan penuh tanya, sepertinya banyak hal yang ingin diketahui Imelda darinya.
"Aku baik-baik aja, Mel... Paling nggak, aku masih bisa bertahan sampai sekarang," kata Damara pelan.
Ada gurat kelegaan di wajah Imelda, tapi hanya sekilas, ia tetap memandang Damara dengan tatapan yang membuat Damara merasa bersalah.
"Memang terlihat berat, tapi nyatanya masih bisa aku atasi. Apa yang mungkin kamu baca atau kamu lihat di luar sana, itu berlebihan." Damara berusaha mengguratkan senyum agar Imelda tahu bahwa ia baik-baik saja. Tapi alih-alih merasa lebih baik, Damara malah melihat mata Imelda mulai berkaca-kaca, dan sekali lagi Imelda memeluknya.
"Kamu cukup bersandar padaku, sekarang bukan saatnya berpura-pura kuat."
Damara menyandarkan kepalanya di bahu Imelda, mengeratkan rangkulannya ke tubuh Imelda. Beban yang berhari-hari begitu menyiksa mulai terasa ringan. Damara membiarkan dirinya lepas, mengabaikan semua pertimbangan tentang perasaan menyakitkan yang mungkin ada setelahnya. Sekarang ia hanya ingin merasakan cintanya, membiarkan tubuh lelahnya bersandar pada seseorang yang dicintainya. Walaupun sekarang ia harus menunjukkan sisi terlemahnya pada Imelda, dengan menangis di pelukan Imelda, ia tidak peduli.
Lalu Imelda dan Damara duduk bersebelahan di kursi taman. Keduanya masih belum banyak bicara, mereka seakan membiarkan diri masing-masing merasakan kebersamaan yang sudah lama tidak mereka rasakan.
"Kamu sudah merasa lebih baik"" tanya Imelda menatap Damara di sampingnya.
Damara tersenyum kecil, melihat k
ekhawatiran Imelda yang masih belum hilang.
"Aku baik-baik aja, Mel, apalagi setelah kamu izinin aku bersandar di pelukan kamu, rasanya lebih lega... Terima kasih ya, Mel," kata Damara pelan. "Maaf aku berlebihan tadi, seharusnya aku tidak perlu sampai seperti itu."
Imelda masih menatap Damara, ia sepertinya masih belum percaya sepenuhnya bahwa Damara sudah merasa lebih baik.
"Kamu manusia biasa, Mar. Kamu bisa sakit, kamu bisa terluka, dan kamu bisa terpuruk. Jadi jangan terlalu memaksa diri untuk menutupi semua. Paling tidak, kamu tidak menutupi di depan aku."
Damara menghela napas dalam, tersenyum kaku sebelum akhirnya menatap Imelda. "Aku merasa tidak pantas seperti ini di depan kamu, Mel."
"Kenapa..."" Sekali lagi Imelda menatap tidak mengerti ke arah Damara. "Kenapa kamu harus merasa seperti itu""
"Karena aku sudah terlalu banyak menyakiti kamu. Aku seharusnya malu bersandar pada seseorang yang sudah terlalu banyak aku sakiti."
Damara kembali menunduk, merasa tidak sanggup mengangkat kepalanya di depan Imelda. Hingga Damara merasakan lengan Imelda merangkul kepalanya, membelai lembut rambutnya, menjalarkan ketenangan yang menenteramkan ke seluruh tubuh lelahnya.
"Kenapa kamu selalu menganggap aku tersakiti dengan mencintai kamu" Sementara buat aku berada di dekat kamu merupakan kebahagiaan," kata Imelda.
Damara mengangkat kepalanya, melepaskan diri dari rangkulan Imelda. Tersenyum getir mendengar kata-kata Imelda, seakan apa yang didengarnya bukan hal yang nyata.
"Terima kasih, Mel," kata Damara akhirnya. "Terima kasih untuk semuanya. Dan maaf, hanya itu yang bisa aku katakan untuk membalas semua kebaikan kamu."
Imelda tidak mengerti, ia hanya bisa menatap Damara dengan pandangan bertanya ke mana sebenarnya arah pembicaraan Damara.
"Kamu terlalu berharga untuk mencintai aku, Mel... Aku sama sekali bukan orang yang pantas menerima cintamu."
Melihat Imelda meneteskan air matanya setelah mendengar ucapannya, Damara merasa bahwa sekali lagi ia melukai Imelda, sat hal yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya. Andai semuanya berjalan dengan mudah, batin Damara.
"Aku mencintai kamu, Mar! Dan aku yakin kamu memiliki perasaan yang sama dengan aku. Kenapa kita tidak menjadikannya lebih mudah dan sederhana" Aku tidak peduli dengan semua masa lalu kamu, persetan dengan semua itu! Yang aku butuhkan sekarang hanyalah, aku ingin rasa sakit ini hilang dengan berada bersama kamu..."
Damara terdiam, menatap dalam mata Imelda yang basah. Begitu besar keinginan Damara untuk mengatakan pada Imelda bahwa ia sebenarnya ingin mengatakan hal sama, ia ingin mengabaikan semua pertimbangan yang menyesakkan di kepalanya.
"Andai aku bisa mengabaikan semuanya, dan memenuhi apa yang kamu inginkan," kata Damara, ada semacam desahan putus asa dalam kata-katanya. "Aku mencintai kamu, Mel..."
"Lalu..."" tuntut Imelda.
"Aku mencintai kamu, dan aku tidak mau menghancurkan kamu. Yang terjadi sekarang hanyalah gambaran kecil dari hal besar yang akan kamu hadapi jika tetap bersama aku," jelas Damara. "Aku nggak mau apa yang kamu miliki sekarang hancur hanya karena mencintai aku."
"Aku nggak peduli itu, Mar! Aku lelah dengan kehidupanku sekarang. Aku udah nggak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi setelah ini."
"Tapi aku peduli, Mel... Tolong, jangan membuat rasa bersalah yang aku rasakan sekarang terasa lebih berat," pinta Damara putus asa. "Aku tidak bisa berada di samping kamu sekarang, walaupun aku ingin."
"Kamu pengecut kalau begitu!" tandas Imelda.
Kalimat yang dikatakan Imelda seperti guratan benda tajam di dada Damara, pedih dan begitu menyakitkan. Andai Imelda mengerti apa yang ia pikirkan.
"Kamu boleh bilang aku pengecut, bahkan dengan kata-kata yang lebih buruk pun tidak akan kubantah... Aku melawan semua keinginanku untuk bersama kamu sekarang, karena aku ingin bisa menegakkan kepalaku saat berdiri di samping kamu. Aku ingin merasa layak untuk kamu."
Keduanya terdiam setelah Damara selesai bicara. Angin sore di sekitar taman menerpa wajah mereka.
"Kapan kamu akan bis
a merasa layak berada di samping aku"" tanya Imelda lagi.
Satu pertanyaan yang membuat Damara terdiam sesaat, tidak tahu harus menjawab apa karena ia sendiri tidak tahu jawabannya.
"Aku akan pergi ke Swiss," kata Damara pelan, menjawab pertanyaan Imelda.
Imelda menoleh, menatap Damara seakan tidak yakin yang ia dengar barusan benar-benar keluar dari mulut Damara.
"Pergi ke Swiss, maksudnya...""
"Aku akan tinggal dan bekerja di sana," jawab Damara datar.
"Untuk berapa lama""
Damara menggeleng pelan. "Kamu mau aku menunggu""
Damara tersenyum pahit, sementara Imelda tetap menatapnya dengan serius seakan memerlukan kepastian.
"Aku tidak berani meminta kamu menunggu... Aku ingin kamu hidup dengan baik dan tenang setelah ini. Aku hanya ingin kamu hidup bahagia, walaupun kamu harus melupakan aku. Tidak apa. Lakukanlah..."
Imelda menatap Damara nanar, tidak percaya Damara mengatakan ini semua. Kalimat Damara sejak awal terasa mengambang, tanpa kepastian. Imelda benci, sebab bukan itu yang ingin didengarnya. Ia berharap mendengar kepastian cinta, agar bisa menguatkan dirinya untuk mengambil keputusan yang sebenarnya ia sendiri takut melaluinya. Tapi kenyataannya, saat ia membuang jauh-jauh harga dirinya dengan menunjukkan cinta dan kepeduliannya pada Damara, laki-laki itu malah melangkah mundur.
Imelda bangun dari kursi taman yang didudukinya, air matanya sudah mengalir deras tanpa bisa ditahannya.
"Kamu sakit jiwa, Mar!" sergah Imelda setengah terisak. "Kamu gila... Kamu jahat! Kamu melakukannya kepadaku karena ingin melihat aku hancur. Apa sih maksud kamu dengan semua ini" Kamu membuat aku begitu mencintai kamu, setelah itu kamu menyakiti aku. Dan sekarang, setelah aku membuang jauh-jauh harga diriku, berharap kembali sama kamu, kamu malah pergi! Kamu bahkan tidak meminta aku menunggu!" Ucapan Imelda nyaris terdengar seperti teriakan di depan Damara. Imelda tidak peduli, ia hanya ingin mengeluarkan semua rasa sakit, kekecewaan, dan ketidakberdayaannya.
Imelda merasakan lengan Damara coba merangkul tubuhnya, berusaha memeluknya, tapi Imelda menolak. Ia memukul tubuh Damara, memukul bagian mana pun yang terjangkau oleh lengannya. Namun Damara tidak melepaskan pelukannya, ia tetap memeluk kuat tubuh Imelda walaupun pukulan keras tangan Imelda mendera tubuhnya. Hingga akhirnya Imelda menyerah, tubuhnya lunglai dan terisak di pelukan Damara yang mendekap erat tubuhnya.
* * * "Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin..." - Danu
MALAM itu Danu duduk bersama Anka di ruang tengah, meminta Anka untuk bicara empat mata setelah kejadian kemarin. Danu tidak ingin atmosfer canggung dan tidak nyaman ini berlangsung terlalu lama.
"Gue minta maaf, karena ngungkapin tentang perasaan lo ke Kak Damara. Sebenarnya gue nggak bermaksud begitu..."
Anka hanya duduk diam, tidak ada ekspresi berarti yang ditunjukkannya menanggapi perkataan Danu. Ia hanya diam memalingkan wajahnya dari Danu yang berusaha menatapnya.
"Sekali lagi gue minta maaf, Ka," kata Danu terdengar menyesal.
"Udahlah, Nu. Nggak perlu dibahas lagi, semuanya udah lewat," kata Anka datar, seakan apa yang sedang mereka bicarakan saat ini bukan hal penting. "Lagian sebentar lagi gue balik ke rumah, jadi gue nggak perlu terlalu sering ketemu sama Kak Damara."
Danu terperangah mendengar rencana Anka untuk kembali tinggal di rumah orangtuanya.
"Lo mau pindah dari sini, Ka..." Kenapa"" tanya Danu. "Gara-gara masalah ini ya""
Anka tersenyum canggung. "Gue emang udah lama berencana balik ke rumah setelah selesai ujian. Gue kan nggak bisa selamanya bergantung sama kalian. Gue udah terlalu banyak ngerepotin kalian berdua, dan kini saatnya gue belajar mandiri."
Danu tidak tahu harus bereaksi apa mendengar rencana Anka. Ia tidak ingin Anka pergi, ia ingin Anka terus berada di sini. Tapi di sisi lain, Anka mungkin punya pemikiran berbeda, mungkin ia punya pertimbangan untuk hidupnya sendiri.
"Lo yakin bisa tinggal sendirian, Ka"" tanya Danu, dengan nada khawatir dalam suaranya.
"Gue kan udah gede, Nu. Gue ju
ga udah ngelewatin banyak hal yang memaksa gue berpikir lebih dewasa dari yang seharusnya," kata Anka ringan. "Mau nggak mau gue harus berani kalo mau mandiri dan hidup tidak tergantung pada orang lain," tandas Anka lalu tersenyum lagi.
Kali ini Danu melihat tekad kuat di balik senyum Anka, membuat Danu berpikir keputusan yang diambil Anka adalah keputusan terbaik untuknya.
"Tapi lo masih bisa tetep bergantung sama gue, Ka. Gue nggak mau gara-gara sok mandiri, lo jadi lupa kalau ada gue yang selalu siap bantu lo kapan aja."
"Pasti! Gue nggak mungkin ngelupain sahabat kayak lo."
Danu senang mendengar ucapan Anka. Ia seperti mendapatkan kembali sahabatnya. Walaupun perasaan Danu yang sesungguhnya tidak tersampaikan, itu bukan masalah besar lagi untuknya. Yang paling ia inginkan saat ini, semua kembali berjalan baik. Sekarang bukan saatnya mendramatisasi perasaan cintanya pada Anka. Masih terlalu banyak yang harus dipikirkannya, saking banyaknya sampai-sampai rasa sakit ini terasa samar-samar saja.
Tak berapa lama, mereka mendengar bunyi gerung mesin mobil di halaman depan, yang mereka yakini sebagai bunyi mobil Damara. Keduanya saling pandang, tak tahu harus melakukan apa. Bisa dibilang Danu masih belum siap bertemu Damara, masih terlalu banyak hal yang mengganggu pikirannya, mungkin hal yang sama juga sedang dipikirkan oleh Anka. Anka menatap Danu seakan bertanya apa yang seharusnya mereka lakukan, masuk ke kamar masing-masing atau tetap diam di ruang tengah"
Pintu depan terbuka, Danu menatap Damara melangkah masuk, sementara ia dan Anka masih duduk terdiam, tidak tahu harus melakukan apa.
*** Damara menghentikan langkahnya saat mendapati Danu dan Anka duduk di ruang tengah, tidak menyangka akan bertemu. Meski berada di bawah atap yang sama, Damara yang sepenuhnya bahwa Danu dan Anka masih akan menghindar bertemu dengannya. Aneh rasanya Damara harus bertemu mereka tanpa sedikit pun persiapan. Tapi baiklah, semuanya harus dihadapi, lagi pula Damara ingin semua ganjalan di antara mereka cepat selesai.
"Kalian belum tidur"" tanya Damara, dengan nada suara setenang mungkin.
Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Damara, keduanya hanya duduk diam, seakan kehilangan suara.
Damara menghampiri mereka, tersenyum seperti biasa. "Kalau kalian belum ngantuk, bisa Kakak bicara sama kalian sebentar""
Danu dan Anka, keduanya saling bertukar pandang seakan dalam diamnya mereka saling bertanya harus menjawab apa. Sementara itu Damara menyimpulkan sikap diam keduanya sebagai tanda setuju.
"Bisa Kakak mulai bicara sekarang""
Masih tidak terlalu banyak reaksi, hanya anggukan singkat Anka yang membuat Damara merasa mendapat izin untuk melanjutkan kata-katanya.
"Hm... Mungkin tidak lama lagi Kakak akan meninggalkan Indonesia," kata Damara langsung ke inti pembicaraan, lelah untuk berbelit-belit.
Anka dan Danu yang semula menghindari kontak mata dengan Damara, sontak menatap kaget ke arahnya.
"Maksud Kakak..." Danu mengeluarkan suara tercekat. "Meninggalkan Indonesia bagaimana...""
"Ya, Kakak dapat tawaran kerja di Swiss," jawab Damara.
Danu masih menatap Damara bingung, begitu juga dengan Anka. Hanya saja gadis itu tidak berani mengajukan pertanyaan.
"Bisa Kakak perjelas..."" kata Danu.
Akhirnya Damara duduk dan mulai menjelaskan soal tawaran kerja dari Cakka, tawaran yang tak mungkin datang dua kali, terutama dalam kondisi sekarang ini. Tidak ada yang berkomentar saat Damara menjelaskan rencananya. Danu dan Anka seperti kehilangan kemampuan atau keinginan untuk bicara, dan sepertinya bingung dengan keputusan Damara yang sangat tiba-tiba.
"Nggak masalah kan kalau Kakak menerima tawaran ini"" tanya Damara, mulai tidak sabar dengan keheningan di antara mereka.
Lagi-lagi Damara tidak mendapatkan tanggapan. Entah apa yang dipikirkan kedua adiknya ini. Kalau memang sikap diam mereka diartikan sebagai jawaban "ya", Damara merasa ada sedikit rasa sakit timbul karena kekecewaannya.
"Baiklah... Hanya ini yang ingin Kakak katakan, tapi sebelum pergi Kakak akan menyelesaikan uru
san kalian dan mempersiapkan segala sesuatunya. Kalian nggak perlu khawatir. Oke, kalian bisa tidur sekarang, Kakak nggak mau terlalu lama mengulur waktu istirahat kalian."
Damara bangun lebih dulu dari duduknya, sementara Danu dan Anka masih mematung. Merasa ia lebih baik masuk ke kamar lebih dulu, Damara melangkah meninggalkan ruang tengah.
"Danu belum siap, Kak... Danu belum siap Kakak tinggalin."
Ucapan Danu menghentikan langkah Damara. Ia kembali menoleh, memandang Danu yang kini sedang menatapnya dengan tatapan berbeda dari beberapa hari terakhir.
"Danu nggak mungkin bisa tanpa Kak Damara, nggak mungkin..."
Suara Danu nyaris terdengar seperti isakan. Damara menghampiri Danu, meraih Danu ke dalam pelukannya. Ia merasakan tubuh Danu bergetar, menangis tanpa suara. Danu kembali menjadi adik kecilnya, adik yang amat dirindukannya belakangan ini. Tanpa terasa mata Damara basah, sulit baginya untuk meneteskan air mata sekarang ini.
Anka, yang berdiri tidak jauh dari Damara dan Danu, hanya menunduk dan menutupi wajah basahnya. Damara menatap Anka, dengan sebelah tangan ia mengulurkan lengan merangkul tubuh Anka, membiarkan Anka ikut menangis di pelukannya bersisian dengan Danu.
"Andai saja Kakak punya pilihan lain, Kakak tidak akan meninggalkan kalian..." kata Damara lirih, ia mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh Anka dan Danu.
Kesedihan mendominasi sebagian besar perasaan Damara, sisanya adalah ketidakberdayaan dan penyesalan. Banyak pengandaian yang dibuat Damara dalam kepalanya, pengandaian yang membuatnya rela menukar apa saja untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Andai itu bisa dilakukan...
*** Minggu ini tampaknya minggu yang melelahkan bagi sebagian orang, termasuk Danu, Anka, dan Damara. Danu kembali disibukkan dengan berbagai urusan sekolah, mulai dari kelulusan sampai persiapan mengikuti tes di perguruan tinggi negeri. Anka pun sama, berkutat dengan urusan kelulusannya, dan mengurusi pindahan rumah. Dua hari setelah menyampaikan niatnya pada Danu, Anka memutuskan kembali ke rumahnya. Anka juga kembali bekerja di kafe Rio, sebab setelah menyelesaikan sekolahnya ia merasa punya banyak waktu untuk bekerja. Anka belum memutuskan untuk melanjutkan kuliah, atau menunda sampai ia merasa benar-benar mampu menanggung semua biayanya.
Nasib Damara tidak lebih baik dari Danu dan Anka, ia pun melewati minggu ini dengan sangat melelahkan. Mengurusi berbagai macam dokumen dan persyaratan untuk keberangkatannya ke Swiss, jelas menyita banyak waktu dan energi. Ia bahkan tidak sempat memikirkan rasa ragu atas keputusannya ini. Hingga keraguan itu pelan-pelan menjadi kayakinan saat ia bertekad menata kembali kehidupannya yang telanjur berantakan.
Kini Damara berhasil memantapkan diri berangkat ke Swiss dan memulai semuanya dari awal. Ia bertekad hidup dan berkarya dengan baik di sana, karena ia ingin saat kembali, kapan pun itu, ia bisa mengangkat kepalanya dengan bangga di depan Danu, Anka, dan terutama di hadapan Imelda. Ia ingin saat kembali nanti, bisa kembali menjadi kakak yang bisa dibanggakan Danu dan Anka. Dan yang membuat semua keraguannya hilang sepenuhnya adalah harapan bisa berdiri di samping Imelda, menjadi seseorang yang melindungi Imelda, dan menjadi orang yang pantas merengkuh cinta Imelda tanpa harus merasa rendah atau merasa bersalah.
"Kamu sudah benar-benar yakin mau kuliah di Bandung, Nu"" tanya Damara, saat mereka berdua menikmati sarapan di meja makan.
Danu mengangguk menjawab pertanyaan Damara. Ia semakin mantap kuliah di Bandung, terlebih setelah keputusan Damara meninggalkan Indonesia.
"Danu kuliah di Bandung supaya bisa deket sama Papa, Kak. Cuma Papa yang bikin Danu merasa masih punya keluarga selama Kakak pergi nanti." Danu menatap kakaknya, ingin tahu reaksi Damara setelah ia menyebut soal ayahnya. Selama ini Damara tidak banyak berkomentar saat Danu menyinggung tentang ayahnya, padahal Danu ingin sebelum Damara pergi, sekali saja mereka menemui ayahnya di Bandung.
"Kamu nggak apa-apa ninggalin Anka"" tanya
Damara terkesan mengalihkan topik pembicaraan. "Kakak khawatir jika Anka sendirian di Jakarta."
"Anka lebih kuat dari yang Kakak kira, Danu yakin dia akan baik-baik saja," kata Danu, menghela napas pelan. "Andai Anka mau kuliah sama Danu di Bandung..."
"Apa dia sudah memutuskan akan kuliah di Jakarta""
"Dia bahkan belum yakin akan kuliah atau nggak." Danu terdengar putus asa saat mengatakannya. "Anka ngerasa belum mampu biayain kuliahnya, Kak. Jadi sekarang dia memilih kembali bekerja."
Damara terdiam, berpikir mungkin akan lebih baik kalau ia berada di sini dan menjaga keduanya. Andai hidupnya tidak serumit sekarang.
Handphone Danu tiba-tiba berdering memecah keheningan di meja makan.
"Halo... Iya, saya sendiri," Danu menjawab orang yang menghubunginya.
Di seberangnya, Damara memperhatikan ekspresi Danu yang berubah tegang. Entah apa yang dikatakan oleh si penelepon.
"Baik, saya segera ke sana, Pak!" kata Danu mengakhiri pembicaraannya.
Wajah Danu pucat, ia menatap Damara dengan pandangan bertanya apa yang harus dilakukannya sekarang. Damara yang tidak mengerti hanya balas menatap penuh tanya.
"Kenapa, Nu" Siapa yang telepon"" tanya Damara khawatir.
"Tadi dari Bandung, Kak... Mereka bilang Papa jatuh di kamar mandi rumah sakit," jelas Danu dengan suara bergetar.
Ucapan Danu membuat pikiran Damara kosong untuk sesaat, tidak tahu harus mengatakan dan melakukan apa.
"Danu harus berangkat ke Bandung, Kak. Sekarang juga." Danu bangkit dari kursinya, gerakannya mengembalikan Damara ke alam nyata.
Damara mengerjapkan matanya, menatap Danu yang berdiri di depannya. Damara masih tidak tahu harus melakukan apa. Perlukah ia pergi bersama Danu sekarang, mengabaikan semua kebenciannya, atau tetap di sini dan tidak peduli apa pun yang terjadi"
"Danu harus ke Bandung. Sekarang..." Danu kembali mengulang kata-katanya. Terlihat bingung dan linglung.
"Oke. Kakak antar kamu... Kita pergi sama-sama," kata Damara akhirnya, menyerah dengan sisa kepeduliannya.
Tiga jam perjalanan menuju Bandung terasa bagai berhari-hari. Perjalanan mereka diliputi suasana tidak menyenangkan. Danu tak henti-hentinya bergerak gelisah, seakan meminta Damara lebih cepat memacu mobilnya.
Kalau memang ada teori yang mengatakan kegelisahan dan kekhawatiran itu menular, Damara akan memakai teori itu untuk menjelaskan apa yang dirasakannya sekarang. Damara sepenuhnya tidak mengerti segala reaksinya. Awalnya, saat mendengar berita tentang ayahnya, yang dirasakannya saat itu hanya kosong. Tidak ada kekhawatiran seperti yang dirasakan Danu. Ia justru berpikir akan bersikap seperti apa jika memang harus bertemu ayahnya. Namun sekarang, ada kekhawatiran yang terselip di benaknya, ada satu harapan berdetak, ia menginginkan ayahnya baik-baik saja.
Sesampainya di rumah sakit tempat ayah mereka dirawat, tanpa menunggu mobil benar-benar berhenti, Danu membuka pintu mobil berlari cepat ke lobi rumah sakit tanpa sempat dicegah Damara. Setelah tergesa mengunci mobil, Damara setengah berlari menyusul Danu. Sebagian dirinya masih ragu apakah benar-benar ingin melihat kondisi ayahnya setelah sekian lama.
Damara memelankan langkahnya saat melihat Danu tengah berbicara dengan seorang dokter di depan ruang ICU, berpikir sebentar sambil melihat ragu pada Danu yang masih menunjukkan kecemasannya. Tak berapa lama Damara melangkah pelan menghampiri Danu dan dokter itu.
"Dok, tolong bantu ayah saya..." Danu memohon pada si dokter, yang hanya mengangguk pelan tanpa berani memberi harapan.
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk menolong ayahmu, tapi segalanya Tuhan yang menentukan. Kita sama-sama berdoa saja."
Dokter itu pergi setelah menepuk bahu Danu, meninggalkan Danu yang berdiri diam dengan tatapan kosong. Danu duduk di kursi tunggu ruang ICU, menutup wajahnya dengan kedua tangannya, terlihat sangat putus asa.
Damara duduk di samping Danu, merangkul Danu untuk memberikan sedikit dukungan. Danu mengangkat wajahnya, menatap Damara dengan mata merahnya. Tidak tahan dengan perasaan khawatirnya, Danu menjatuhkan tubuh di
pelukan kakak laki-laki satu-satunya.
Damara merasakan tubuh Danu bergetar dan terisak di pelukannya, tapi perlukah ia menangis bersama Danu"
Tidak berapa lama, pihak rumah sakit memberi izin mereka untuk melihat keadaan ayah mereka yang kondisinya tidak kunjung membaik. Damara dan Danu masuk ke ruang ICU lalu duduk di samping ayah mereka. Danu langsung menggenggam erat tangan ayahnya, seakan hendak menunjukkan kehadirannya agar ayahnya terbangun.
Damara sendiri berdiri dengan canggung beberapa langkah dari Danu. Jas hijau rumah sakit yang dipakainya serta bunyi alat-alat di ujung ranjang ayahnya membuat perasaannya tidak tenang.
Setelah sekian lama, akhirnya sekarang ia bertemu lagi dengan orang yang telah menelantarkan mereka dan meletakkan beban berat di pundaknya, memaksanya meletakkan harga diri hingga terjerat kesalahan demi kesalahan agar bisa hidup dan menghidupi adiknya dengan layak.
Damara menatap sosok tak berdaya ayahnya dengan alat bantu pernapasan mulut dan hidungnya. Damara tidak menyangka akan bertemu ayahnya dalam keadaan seperti ini. Damara berpikir, mungkin akan lebih baik kalau ia bertemu ayahnya dalam kondisi sehat dan berdiri tegak, saat ayahnya masih bisa bersikap tidak peduli seperti dulu, agar Damara bisa membencinya tanpa keraguan.
"Kak... sini, Kak," pinta Danu dengan suara sengaunya, tangannya bergerak mengisyaratkan agar Damara mendekat
Damara melangkah ragu mendekati Danu, tidak mengerti harus melakukan apa.
"Pegang tangan Papa, Kak..." pinta Danu, seraya menatap penuh permohonan pada Damara.
A Shoulder To Cry On Karya Ria N. Badaria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Damara mengembuskan napas, merasakan tangannya bergerak kaku mendekati tangan ayahnya yang dipegang Danu. Ada perasaan aneh yang dirasakan Damara saat ia menggenggam tangan ayahnya, seperti perasaan yang sudah lama dirindukannya.
Danu bangun dari kursi yang didudukinya, memberi isyarat agar Damara menggantikannya. Dengan patuh Damara duduk menggantikan Danu, tangannya masih menggenggam tangan pucat ayahnya. Mata Damara kini menatap wajah ayahnya, rasa aneh itu terasa makin kuat, seperti mendorong Damara ke tepi, gamang dan takut kehilangan.
Beberapa saat Damara menggenggam tangan ayahnya, ia merasakan tangan di genggamannya bergerak samar. Damara terkesiap, bertukar pandang dengan Danu yang berdiri di sampingnya.
"Tangannya bergerak, Nu!" seru Damara, ada kelegaan dalam nada suaranya.
Danu tersenyum lega, ia pun menempelkan tubuhnya ke ranjang ayahnya.
"Papa sadar, Kak," kata Danu tiba-tiba. Damara melihat kelopak mata ayahnya berkedut, lalu membuka perlahan.
Mata ayahnya bergerak lemah, menyapukan pandangannya ke sekeliling ruang ICU, hingga pada akhirnya Damara merasakan tatapan lemah ayahnya tertuju padanya.
"Ini Kak Damara, Pa... Danu ngajak Kak Damara dateng buat Papa," kata Danu, sebelum ia menggeser posisinya agar ayahnya bisa lebih jelas melihat sosok Damara.
Damara tidak tahu harus melakukan apa, tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi semacam ini setelah sekian lama kebencian mengisi jiwanya. Situasi ini terasa begitu janggal.
Ayahnya menatap lemah ke arah Damara, ia bisa merasakan tangan ayahnya mengeraskan genggamannya ke tangan Damara, seakan-akan... kalau Damara boleh menyimpulkan, ayahnya takut ia akan pergi. Damara masih terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa, otaknya kosong. Yang dilakukannya saat ini hanya diam seraya menatap ayahnya.
Damara melihat sekilas senyum lemah tergurat di bibir ayahnya yang tertutup alat bantu pernapasan, kepala ayahnya bergerak serupa anggukan pelan. Damara juga tidak mengerti mengapa ayahnya melakukan itu, air mata mengalir pelan membasahi pipi pucat ayahnya, tapi masih ada sisa senyuman yang tergurat di ujung bibirnya. Sekali lagi Damara menyimpulkan bahwa ayahnya lega bisa melihatnya dan Danu sekarang.
Dengan segala macam perasaan yang muncul secara bersamaan, Damara menggerakkan tangannya berniat mengusap air mata di wajah ayahnya. Namun sebelum tangan Damara menyentuh wajah ayahnya, mata lemah ayahnya terpejam, disusul bunyi denging mengerikan dari alat-alat yang sepertinya terhubung d
engan tubuh ayahnya. Damara belum menyadari apa yang terjadi saat melihat Danu menghambur keluar, berteriak memanggil dokter dan perawat. Sedetik kemudian Damara mematung, seakan mati rasa menatap garis lurus di monitor jantung ayahnya.
*** Sehari setelah pemakaman ayah mereka di Bandung, Damara dan Danu kembali ke Jakarta. Tidak banyak yang mereka bicarakan selepas kepergian sang ayah. Mereka lebih banyak diam, seperti enggan bicara satu sama lain. Seakan keduanya memilih diam dan larut dalam perasaan masing-masing ketimbang harus saling berbagi.
Danu meletakkan sendok dan garpu yang dipegangnya di atas piring, berhenti menyantap makan malamnya, padahal ia baru memasukkan beberapa suapan saja ke mulutnya.
"Kamu belum menghabiskan makanan kamu, Nu," tegur Damara, saat melihat Danu hendak beranjak meninggalkan meja makan.
"Danu kenyang, Kak," jawab Danu pelan. "Danu capek, mau tidur."
"Bisa kita bicara sebentar sebelum kamu masuk kamar""
Danu kembali duduk, wajahnya masih menyiratkan kesedihan.
"Kakak tahu perasaan kamu, Kakak ngerti kamu amat kehilangan atas kepergian Papa," Damara mulai bicara, "tapi kamu nggak bisa berlama-lama seperti ini."
"Danu sedih, Kak. Sekarang Danu benar-benar sendiri. Tadinya Danu pikir saat Kakak pergi ke Swiss nanti, masih ada Papa, satu-satunya keluarga yang bisa jadi tempat Danu bersandar, tapi kenyataannya..." Danu menghela napas dalam, mendongakkan wajahnya seakan berusaha agar tak kembali meneteskan air mata.
Damara bangun dari duduknya, merangkul Danu dan menyandarkan kepala Danu ke rusuknya, satu hal yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin. Ia memang benar-benar kakak yang tidak berguna!
"O ya, Kak... Kemarin Danu nemuin ini di laci rumah sakit," kata Danu seraya mengeluarkan selembar kertas yang terlipat rapi dari saku celananya dan menyodorkan kertas itu ke tangan Damara. "Ini Papa yang nulis, Kak."
Damara mengambil lipatan kertas yang disodorkan Danu padanya, tidak langsung membukanya, Damara hanya menatap bimbang kertas yang dipegangnya.
"Suster yang merawat Papa bilang, beberapa hari sebelum meninggal, Papa minta bantuan suster untuk menulis itu."
Damara kembali duduk di kursinya, tangannya masih memegang lipatan kertas yang diberikan Danu padanya, agak ragu apakah perlu membuka dan membaca isinya atau tidak. Akhirnya tangan Damara bergerak membuka lipatan kertas itu. Tulisan tidak teratur terlihat menggurat di atas kertas, tapi Damara masih bisa membaca tulisan itu.
Aku memang bukan ayah yang baik, juga bukan ayah yang pantas mengharapkan sesuatu dari mereka. Aku pantas menerima semua kebencian mereka, bahkan saat anak bungsuku datang dengan ketulusannya, aku merasa tidak layak menerima perhatiannya.
Andai aku diberi kesempatan kembali ke masa lalu, aku akan menebus kebodohanku dan tidak akan melepaskan harta yang begitu berharga dalam hidupku. Sekarang yang ada hanya penyesalan. Masih pantaskah aku mengatakan menyesal" Masih pantaskah aku berharap mereka memaafkanku, dan masih berhakkah aku mengatakan bahwa aku mencintai mereka"
Damara menghela napas panjang selesai membaca tulisan di atas kertas itu. seakan ia menahan napas sejak membaca kata pertama. Damara cepat-cepat mendongak, menahan sesuatu yang hendak jatuh dari matanya meski ia tidak ingin. Nyatanya, sekuat apa pun Damara berusaha, air matanya tetap jatuh, menetes di atas kertas yang dipegangnya.
* * * "Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue"" - Anka
"INI, Nu... iced cappucino kesukaan lo." Anka menyodorkan gelas ke tangan Danu yang sedang duduk di rerumputan taman kecil di depan kafe tempat Anka bekerja.
"Thanks, Ka," kata Danu, tersenyum kecil.
Anka duduk di samping Danu, masih lengkap dengan seragam kerjanya. Anka meluruskan kaki lelahnya, mengistirahatkan diri di sela jam makan siangnya.
"Sori ya, Nu, gue nggak bisa pergi ke Bandung pas papa lo meninggal," kata Anka pelan.
"Nggak apa-apa, Ka. Lo udah jutaan kali bilang sori sama gue. Gue ngerti kok alasan lo," kata Danu maklum. "Santai ajalah..."
Ini memang bukan pertama kalinya Anka meminta maaf atas ketidakhadirannya pada Danu. Setiap kali mereka bertemu, kalimat maaf selalu keluar menggantikan sapaan Anka yang biasa. Anka merasa sangat bersalah tidak berada di samping Danu yang sedang terpuruk kehilangan sang ayah, sementara Danu selalu ada saat ia membutuhkan sandaran.
"Lo pasti sedih banget ya, Nu" Gue ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang kita sayang," kata Anka, sambil menatap Danu seakan ingin membaca perasaan Danu dari raut wajahnya.
"Awalnya gue emang sedih banget, ngerasa belum berbuat banyak untuk Papa. Tapi saat gue berpikir bahwa kepergian Papa pasti hal terbaik yang direncanakan Tuhan, gue mulai bisa terima," jelas Danu. "Paling nggak, sekarang Kak Damara udah maafin Papa."
Anka hanya mengangguk-angguk. Ia mengerti benar perasaan Danu sekarang, hanya saja ia tidak tahu bagaimana mengutarakan kepeduliannya, karena ia tahu tidak ada kata-kata yang benar-benar bisa menghibur saat kita sedang kehilangan.
"Kak Damara berangkat besok, Ka... Lo gimana"" kata Danu tiba-tiba, setelah lumayan lama mereka hanya terdiam.
"Maksud lo"" tanya Anka, heran sendiri kenapa Danu tiba-tiba menanyakan itu padanya. "Harusnya gue yang nanya lo, gimana lo kalo Kak Damara pergi."
"Gue nanya gitu karena perasaan lo ke Kak Damara. Gue kira kalo Kak Damara pergi, lo bakal..." Danu tidak melanjutkan kata-katanya, kembali menunduk menatap hamparan rumput taman di bawah kakinya.
"Bakal apa"" Anka balik bertanya.
Danu bergerak gusar, seperti tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
"Ehm... lo kan suka sama Kak Damara, lo pasti sedih kalo Kak Damara pergi. Gue cuma khawatir lo nggak bisa bertahan aja."
"Elo tuh ngomong apa sih"! Lo nggak kenal gue kalo lo kira gue nggak bisa bertahan karena Kak Damara pergi," jelas Anka. "Tadinya memang gue sedih Kak Damara harus ninggalin Indonesia, tapi setelah ngerti Kak Damara ambil keputusan terbaik buat semuanya, gue rasa nggak ada masalah kalo Kak Damara pergi."
Anka menatap Danu yang hanya mengangguk pelan menanggapi kata-katanya. Mungkin Danu tidak begitu percaya dengan apa yang dikatakannya, tapi Anka yakin benar dengan ucapannya, ia mengerti keputusan Damara untuk pindah ke Swiss. Tadinya ia memang menyangka akan ada ketidakrelaan dan kesedihan dalam dirinya saat Damara memutuskan pergi tapi nyatanya ia bisa menerimanya dengan cukup baik, menggiringnya untuk menyadari apa yang benar-benar dirasakannya sekarang ini.
"Lo jadi kuliah di Bandung"" Anka kembali bertanya, untuk meredakan kekakuan.
"Ehm... belum tahu, Ka. Tadinya gue mau kuliah di Bandung karena ada Papa, tapi sekarang Papa udah nggak ada, gue nggak punya alasan lagi berada di sana."
Terdengar helaan napas berat dari Danu. Lagi-lagi Anka menatap Danu, menimbang apakah saat ini saat yang tepat untuk mengatakan apa yang dipikirkannya selama beberapa hari ini.
"Ngg... apa lo nggak pernah pertimbangin buat kuliah di sini aja"" tanya Anka lirih, sambil menjaga nada suaranya.
Danu tersenyum singkat, menatap Anka sekilas sebelum menebarkan pandangannya ke sekeliling taman. "Gue kan pernah bilang, alasan lain gue milih Bandung untuk cari suasana baru. Lagian kalo gue nggak jadi ke Bandung berarti gue ingkar janji dong sama lo."
"Janji apa"" tanya Anka bingung.
"Janji buat cari cewek, biar gue lupa gue pernah suka sama lo..."
Anka dibuat terdiam oleh kata-kata Danu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan Danu dulu. Tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman menyergap dirinya, teringat rasa yang sudah beberapa hari ini menyelinap dalam benaknya.
"Kalo sekarang gue minta lo untuk tetep di sini, lo mau menuhin permintaan gue""
Danu menoleh, memandang Anka lekat-lekat seakan tidak begitu yakin Anka mengatakan itu padanya.
"Alasan lo minta gue tetep di sini apa"" Danu balik bertanya.
"Gue pengin lo tetep ada di deket gue, kayak dulu..." jawab Anka.
"Cuma itu""
Anka tidak langsung menjawab, ingin ia mengatakan apa yang ada dalam pikirannya belakangan ini, tapi apakah ini saat yang tepat" Karena ia sendiri belum begitu
yakin. "Lo cuma mau gue tetep nemenin lo di sini, kan"" Danu kembali bicara, nada suaranya terdengar datar.
"Nggak, bukan cuma itu... Gue minta lo tetep di sini karena... gue nggak yakin bisa tinggal di Jakarta sendiri tanpa lo..." Anka merasakan wajahnya memerah. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani melirik Danu yang ia yakin benar sekarang sedang menatapnya.
Akhirnya apa yang ingin dikatakannya selama beberapa hari Danu pergi ke Bandung tercetus juga. Hari-hari tanpa Danu menyadarkan Anka bahwa ia membutuhkan Danu, ia ingin Danu selalu berada di dekatnya.
"Beneran lo mau gue di sini nemenin lo" Elo nggak lagi ngerayu gue karena lo cuma butuh temen naik Metromini kan, Ka""
Anka tersenyum lebar, mengerling jengkel ke arah Danu, yang masih menatapnya dengan ekspresi tidak percaya.
"Iya, Nu...! Gue butuh lo bukan cuma buat temen naik Metromini, tapi karena memang gue butuh lo!"
Senyum di wajah Danu mengembang semakin lebar, membuat wajah Anka merasa panas saking malunya.
"Jadi, Kak Damara...""
"Kenapa sama Kak Damara""
"Perasaan lo sama Kak Damara gimana"" Danu menahan napas, menunggu jawaban Anka. Dalam hati ia berharap Anka akan memberikan jawaban yang ingin didengarnya. Akan terlalu kejam kalau ia harus menerima jawaban yang kembali mengempaskannya ke bumi setelah dibuat melayang ke langit tinggi.
"Hm... sekarang gue lebih nyaman menganggap Kak Damara sebagai kakak gue, cuma itu yang gue rasain ke Kak Damara sekarang... Kak Damara pantas bahagia dengan orang yang dicintainya tanpa harus terbebani sama perasaan gue."
Danu masih belum sepenuhnya mengerti maksud Anka, sepertinya otaknya sedang enggan berpikir keras.
"Maksudnya""
"Maksudnya, sekarang gue pengin bebanin perasaan gue ke seseorang yang spesial... Makanya gue nggak pengin lo pergi ke Bandung trus ketemu cewek baru dan ngelupain perasaan suka lo ke gue."
Danu mendadak linglung, terlalu takut kalau ia banyak bereaksi, semua yang di hadapannya tiba-tiba akan hilang seperti mimpi. Ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan untuknya. Benarkah kata-kata Anka bisa ia simpulkan sebagai balasan atas perasaannya"
Danu merangkul bahu Anka, mengusap rambut Anka, setengah mengacak-acak sebenarnya, karena ia terlalu bersemangat. "Ribet banget sih lo mau bilang gitu aja ke gue, sampe panas-dingin rasanya gue nunggunya."
Anka tersenyum malu-malu.
Setelah beberapa hari terakhir dihantam kenyataan yang membuat perasaannya jungkir balik, hari ini untuk pertama kalinya Danu merasa begitu lega, seakan ia bisa kembali merasakan kembali apa itu kebahagiaan.
*** Rio meletakkan secangkir cappucino di atas meja Damara. Damara yang semula menatap ke luar melalui jendela transparan kafe menoleh dan tersenyum pada Rio.
"Thanks, Yo." "Danu mana" Tadi lo masuk sini bareng Danu, kan"" tanya Rio, menebarkan pandangan ke penjuru kafe mencari sosok Danu.
"Danu keluar, nemenin Anka makan siang kayaknya," jawab Damara, seraya mengangkat cangkir cappucino-nya. Rio duduk di depannya.
"Besok penerbangan jam berapa, Mar""
"Ehm, pukul tiga sore," jawab Damara datar.
"Udah siap berangkat"" tanya Rio lagi, ia tetap menatap Damara seperti menunggu Damara memberikan jawaban terjujur padanya.
Damara menghela napas berat, tidak langsung menjawab pertanyaan Rio, karena ia sendiri ragu apa ia benar-benar sudah siap pergi.
"Siap nggak siap, Yo. Gue nggak punya pilihan. Ini keputusan terbaik yang bisa gue ambil dalam situasi gue sekarang ini."
"Tapi gimana dengan semua urusan lo yang belum beres di sini""
"Urusan yang mana"" Damara mengerutkan keningnya.
"Maksud gue... masalah Anggun dan Imelda."
Damara tersenyum getir mendengar Rio menyebutkan dua nama itu.
"Anggun... Gue nggak banyak tahu lagi soal Anggun setelah kejadian itu. Gue cuma bisa berharap dia bahagia di mana pun sekarang dia berada. Dan Imelda..." Damara kesulitan meneruskan ucapannya. Ada rasa sakit saat ia menyebutkan nama itu. "Gue rasa akan lebih baik untuk mereka kalau gue pergi."
"Yang gue tangkep dari semua cerita lo, gue rasa Imelda cinta s
ama lo, Mar," kata Rio serius.
"Saat ini, gue ngerasa nggak pantas menerima cinta dari siapa pun, apalagi dari Imelda. Dia terlalu berharga, Yo... Gue bahkan nggak berani minta dia menunggu." Sekali lagi Damara menghela napas panjang, mengisyaratkan begitu banyak hal yang membebani dirinya.
Rio bangun dari duduknya, menghampiri Damara, lalu menepuk-nepuk pelan bahu sahabatnya itu. "Semua pasti ada penyelesaiannya. Gue yakin lo pasti bisa bertahan sampai semuanya selesai... Be strong, bro!"
Damara mengangguk, berharap apa yang dikatakan Rio benar adanya, berharap ia sanggup bertahan sampai selesai.
*** Malam ini Danu membantu memasukkan barang Damara ke koper dengan perasaan campur aduk.
"Kak Damara berapa lama di sana""
Damara menoleh, tersenyum pada Danu. "Hari ini udah lima kali kamu nanya pertanyaan yang sama ke Kakak..." kata Damara setengah menggoda. "Kakak belum tahu akan berapa lama di sana..."
Danu kembali menunduk, memang ini bukan pertama kalinya ia bertanya berapa lama Damara akan pergi, dan sekian kali pula ia berharap akan mendapat jawaban pasti dari Damara.
"Ini... untuk pegangan kamu selama Kakak nggak ada." Damara meletakkan sebuah buku tabungan di atas koper di depan Danu.
Danu mengambil buku tabungan itu, membukanya, dan langsung tercengang dengan saldo yang tertera di tabungan itu.
"Itu tabungan Kakak selama ini, untuk masa depan kamu," kata Damara.
"Tapi, Kak... Ini besar sekali! Danu cuma butuh biaya masuk kuliah, ke depannya Danu bisa kerja sambilan di kafe Kak Rio, bareng Anka."
"Kakak mau kamu megang uang itu, sebagai pengganti Kakak selama Kakak pergi," jelas Damara. "Kakak cuma minta satu hal sama kamu, gunakan uang itu untuk biaya kuliah Anka juga. Kakak mau kamu bisa kuliah bareng Anka di sini."
Mata Danu berkaca-kaca, menatap Damara penuh rasa terima kasih. Ia tidak menyangka Damara ternyata sudah memikirkan semua hal tentang dirinya sebelum pergi. Bahkan Damara memikirkan Anka juga. Dari dulu hingga sekarang, Damara memang selalu menjadi kakak kebanggaannya, tak peduli apa pun yang dikatakan orang di luar sana tentang Damara.
"Terima kasih, Kak!" Danu memeluk erat Damara, ketenangan tak terjelaskan menjalari Danu saat ia memeluk Damara. "Danu sayang sama Kakak. Maafin Danu, kalo selama ini belum bisa jadi adik yang baik untuk Kakak..."
"Apa pun yang terjadi, buat Kakak kamu tetap adik yang terbaik!"
Danu merasakan air mata hangat mengalir pelan di pipinya seiring penyesalannya atas semua salah paham yang pernah terjadi antara mereka, seiring keengganannya melepaskan kepergian Damara.
*** Imelda masih berbaring di atas tempat tidurnya, walaupun pagi sudah lama berlalu. Begitu banyak yang dipikirkannya, hingga sulit terlelap. Semua karena mendengar penuturan Rio, manajer kafe yang tadi malam dikunjungi Imelda, yang juga teman dekat Damara, bahwa Damara akan berangkat ke Swiss sore ini.
Menyakitkan rasanya harus mendengar kabar kepergian Damara dari orang lain. Tadinya Imelda menyangka setelah ia menunjukkan sedalam apa perasaannya pada Damara, laki-laki itu akan berhenti menyakitinya. Tapi nyatanya, Damara tetap bertahan dengan pemikirannya, ia bahkan tega tidak mengabarkan keberangkatannya.
"Mel, kita ada meeting dengan klien siang ini," manajer Imelda memberitahu. "Kalau kamu nggak sakit, sebaiknya kamu segera bersiap-siap."
Imelda menyibakkan selimut yang menutupi wajahnya, menatap manajernya yang duduk di samping tempat tidurnya.
"Meeting-nya bisa ditunda besok kan, Mbak" Kalo bisa aku pengin di rumah aja hari ini," pinta Imelda dengan suara seraknya dan mata merah akibat kurang tidur.
Manajernya menatap Imelda, seakan menimbang perlukah ia menuruti permintaan Imelda.
"Oke, untuk hari ini kamu boleh istirahat. Lagi pula nggak baik juga kamu nemuin klien dengan kondisi seperti ini," kata manajer Imelda, sambil melemparkan tatapan prihatin. "Tapi besok nggak ada alasan lagi ya, Mel."
Imelda mengangguk pelan, mengiyakan apa pun kata manajernya agar ia bisa ditinggalkan sendiri.
"Kamu istirahat aja. Kalo ada apa-a
pa telepon Mbak," kata manajer Imelda, sebelum berjalan ke luar kamar.
Imelda kembali menarik selimutnya, sekali lagi berusaha tidur. Sayangnya semua hal yang berputar di kepalanya sama sekali tidak mengizinkannya terlelap walau sekejap. Semua hal tentang Damara tak henti bermunculan di benaknya, membuatnya ingin menjerit karena tidak tahan siksaan psikologis ini.
Akhirnya Imelda menyerah, ia menyibakkan selimut, duduk di tepi tempat tidur. Ia sudah tidak tahan dan merasa perlu melakukan sesuatu, melakukan apa pun yang bisa membuat siksaan ini pergi dan hilang meninggalkannya.
*** Damara memeluk erat Danu di bandara. Ini saatnya bagi Damara meninggalkan orang-orang yang disayanginya.
"Kamu baik-baik di sini ya, Nu. Kakak titip Anka sama kamu," kata Damara melihat ke arah Anka yang berdiri di samping Danu. "Kamu juga ya, Ka, baik-baik sama Danu di sini." Damara berpaling pada Anka, seperti biasa mengusap pelan rambut gadis itu. Anka mengangguk singkat, senyum kaku terlihat di wajahnya yang lelah. "Jangan terlalu memaksakan diri, ada saatnya tubuh kamu butuh sedikit jeda."
"Iya, Kak... Kakak hati-hati di sana."
Damara tersenyum, terdiam sesaat menatap kedua remaja yang seharusnya dijaganya, dua orang yang dengan berat hati harus ditinggalkannya. Damara kembali menoleh ke arah Danu, yang sejak pagi lebih banyak diam. "Jangan bilang sekarang kamu mau nangis-nangis minta Kakak jangan pergi," ledek Damara pada Danu. "Malu tuh sama Anka kalo kamu sampai begitu."
Danu akhirnya tersenyum setengah terpaksa, ia meninju pelan lengan Damara, membuat Damara lega karena Danu sudah tersenyum untuknya.
"Gitu dong, cowok tuh harus kelihatan kuat!" Damara merangkul bahu Danu. "Ingat pesan Kakak ya, Nu. Kakak yakin kamu bisa."
"Iya, Danu ngerti, Kak," kata Danu, melegakan hati Damara.
"Ayo, Mar! Kamu masih harus selesaikan urusan di imigrasi sebelum kamu naik pesawat." Cakka berjalan mendekati mereka.
Damara mengangguk mengerti, ia menghela napas pelan, sekali lagi menatap ke arah Danu dan Anka. Damara memeluk Anka dan Danu dalam satu rengkuhan, memeluk erat mereka seakan dengan rangkulan itu ia ingin mereka tahu bahwa ia benar-benar menyayangi keduanya.
"Kakak pergi dulu, kalian baik-baik di sini... Kakak sayang sama kalian..."
Akhirnya tiba saatnya bagi Damara melambaikan tangannya pada Danu dan Anka, melangkahkan kakinya menjauh dari mereka. Seiring langkahnya, Damara berharap ini keputusan terbaik demi kebaikan semua orang yang disayanginya.
*** "Nih, minum dulu, Nu." Anka menyodorkan sebotol air mineral pada Danu yang duduk di kursi tunggu lobby bandara. "Untung lo tadi nggak beneran nangis di depan Kak Damara."
"Ya nggaklah, Ka. Gue emang sedih, tapi nggak sampe harus nangis di depan banyak orang, gue juga malu kali," kata Danu, seraya mengambil botol dari tangan Anka dan meminumnya. "Elo tuh yang tadi keliatan udah mau nangis pas Kak Damara meluk lo."
"Gue sih cewek, wajar kalo nangis," kilah Anka. "Yuk balik, udah sore nih, entar kita kejebak macet."
Danu bangun dari duduknya, berjalan pelan bersisian dengan Anka.
"Ka, mulai sekarang lo jadi tanggung jawab gue ya," kata Danu tiba-tiba mengejutkan Anka.
"Tanggung jawab lo" Gimana maksudnya"" tanya Anka tidak mengerti.
"Ya, mulai sekarang gue yang jagain lo sesuai pesan Kak Damara. Kalo ada apa-apa yang terjadi sama lo, gue bakal selalu ada buat ngelindungin lo, apa pun itu."
Banyak kata sebenarnya yang berputar di kepala Anka untuk membantah pernyataan Danu, namun entah kenapa kata-kata itu tidak bisa dirangkainya menjadi kalimat sederhana sekalipun. Kata-kata Danu berhasil membuatnya terdiam, berhasil membuatnya merasa begitu aman.
Anka mempercepat langkahnya, malu rasanya kalau Danu sampai melihat wajahnya yang mulai memerah.
"Woi, Ka, tungguin dong...!" teriak Danu dari belakang Anka. Tapi itu tidak membuat Anka memperlambat langkahnya. Baru saat ia melihat sosok yang dikenalnya berjalan tergesa-gesa memasuki lobi bandara, langkah Anka seketika terhenti.
"Nu, lo kenal sama cewek itu nggak"" tanya Anka pa
da Danu, yang kini sudah berdiri sejajar dengannya.
Danu mengikuti arah pandangan Anka. "Hmm... kayak pernah lihat, di mana gitu..." timpal Danu sambil mengingat-ingat.
"Dia itu Imelda Azizah, Nu! Model yang digosipin punya hubungan sama Kak Damara. Kalo gosip itu bener, berarti dia ke sini buat..."
Anka bertatapan dengan Danu, seakan mereka paham apa yang berputar di pikiran masing-masing.
*** Imelda menekan dadanya yang terasa begitu sesak, napasnya tersengal-sengal setelah berlari menuju lobi bandara. Di tengah rasa sesaknya, Imelda menebarkan pandangannya ke sekeliling lobi bandara, mencari sosok yang begitu ingin ditemuinya.
"Damara... di mana kamu, Mar..." bisik Imelda pelan di tengah kegelisahannya mencari sosok Damara di antara begitu banyak orang yang lalu lalang melewatinya.
Di tengah keputusasaannya mencari Damara, Imelda mulai merasakan matanya panas, sepertinya air mata sialan ini akan menetes lagi! Tapi ia tidak bisa membiarkan itu terjadi, ia tidak akan bisa menemukan Damara kalau sampai menangis.
"Mbak Imelda!" Imelda menoleh cepat saat ada yang memanggil namanya. Seorang gadis dan laki-laki muda yang tampak sebaya berdiri di sampingnya. Imelda menatap heran ke arah mereka.
"Mbak Imelda cari Kak Damara ya"" tanya gadis itu.
Layaknya orang bodoh, Imelda mengangguk, dan tidak bisa berpikir mengapa ada orang asing yang bisa menebak keperluannya di bandara ini.
"Pesawat Kak Damara belum take off, mungkin Mbak Imelda masih sempat bertemu dengan Kak Damara."
"Di mana Damara sekarang"" Imelda merasakan suaranya bergetar saat menanyakan itu.
"Kami bisa antar Mbak Imelda ke sana." Kali ini pemuda di samping gadis itu yang bicara.
Tanpa banyak pertanyaan Imelda mengikuti langkah mereka, yang akan membawanya bertemu dengan Damara. Imelda tidak peduli rasa nyeri yang mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Yang ada di kepalanya saat ini hanya Damara, menemui Damara, walaupun itu sekadar melepaskan kepergiannya.
Langkah kedua remaja di depannya berhenti. Imelda mengangkat wajahnya, sekali lagi mulai mencari sosok Damara. Imelda menjatuhkan pandangannya pada sosok yang begitu dikenalinya, walaupun sosok laki-laki tersebut sedang berdiri memunggunginya. Ia yakin benar itu sosok yang dicarinya.
Tanpa banyak pertimbangan, Imelda menghampiri Damara. Di antara begitu banyak orang yang mulai mengenalinya, Imelda memeluk erat punggung Damara. Kelegaan tak terjelaskan seketika menjalari dirinya membawa ketenangan yang sangat menyenangkan dan menghapus semua nyerinya.
"Ketemu... akhirnya ketemu..."
Damara menoleh, jantungnya berdetak begitu cepat saat merasa seseorang memeluknya dari belakang.
"Mel...!" seru Damara, seraya memutar tubuhnya menghadap Imelda. "Kamu kenapa di sini""
"Aku mencari kamu, Mar... Aku mau ketemu kamu."
Imelda mendongak menatap Damara dengan mata basahnya. Otak Damara rasanya kosong, tidak tahu harus bereaksi apa. Kedatangan Imelda begitu mengejutkannya.
"Aku ke sini karena aku ingin dengar kamu bilang sesuatu," lanjut Imelda.
"Bilang apa, Mel""
Damara tidak mengerti apa maksud kalimat Imelda, kepalanya terlalu kosong untuk mengartikannya. Damara mengalihkan pandangan ke sekeliling bandara, sudah ada beberapa orang yang memperhatikan mereka, bahkan ada yang tidak segan-segan mengambil gambar mereka dengan kamera ponsel. Ini jelas tidak baik, terutama untuk Imelda, Damara tidak ingin lagi ada pemberitaan yang menyudutkan Imelda.
"Mel, kamu seharusnya nggak di sini! Terlalu banyak orang yang mengenali kamu," kata Damara gelisah, melihat semakin banyak orang memperhatikan mereka. "Kamu harus cepat pergi, sebelum ada wartawan yang tahu keberadaan kamu di sini."
"Aku nggak peduli!" tegas Imelda, mengeratkan genggaman tangan pada Damara.
"Tapi, Mel... Kamu..."
"Aku bilang aku nggak peduli sama mereka!" kata Imelda lantang, mengejutkan Damara. "Aku ke sini untuk ketemu kamu, dan aku nggak peduli dengan mereka!"
Entah apa yang harus dilakukan Damara sekarang. Begitu besar keinginannya menerima semua ketulusan yang ditunjukkan I
melda, tapi rasanya itu tidak baik untuk Imelda. Ya Tuhan, andai semua ini bisa lebih mudah, desah Damara dalam hati.
"Aku harus pergi, Mel..." bisik Damara putus asa.
"Aku tau kamu harus pergi, aku nggak akan menghalangi kamu. Aku hanya mau kamu mengatakan sesuatu sebelum kamu pergi."
"Iya, tapi apa yang harus aku katakan"" tanya Damara serbasalah. "Tolong, Mel, ini bukan tempat untuk berdebat, ini tidak baik untuk kamu!"
Benar dugaan Damara, satu-dua wartawan sudah mengambil gambar mereka, bahkan ada yang sudah menyalakan alat perekam. Situasi ini semakin membuat Damara gusar, ia tidak ingin pergi dengan meninggalkan masalah baru untuk Imelda.
"Mel, kamu harus..."
Imelda tiba-tiba menarik Damara, menempelkan bibirnya dengan bibir Damara, menghentikan kata-kata yang belum sempat keluar dari mulut Damara. Seketika saja Damara merasakan seluruh mata menatap ke arah mereka, jepretan kamera terdengar bertubi-tubi, gumam kekagetan menyusul hardikan tegas petugas keamanan bandara yang menertibkan wartawan haus berita, terdengar samar-samar di telinga Damara.
"Sekarang katakan kalau kamu meminta aku akan menunggu," kata Imelda sesaat setelah melepaskan tautan bibirnya dari bibir Damara.
Andai apa yang ingin didengar Imelda bisa dikatakan Damara dengan mudah. Seperti halnya Imelda, Damara pun ingin kalimat itu terucap dari mulutnya. Tapi pertanyaan bergema di kepalanya, apakah ia pantas meminta Imelda menunggunya" Pertanyaan itu mencekat kerongkongannya, menahan kata-katanya yang sudah hampir keluar, dan menjadikannya hanya menatap Imelda dalam diam dengan ketidakberdayaannya.
"Begitu sulitkah permintaanku, Mar"" tanya Imelda, ada kekecewaan dalam tersirat pada kata-katanya. "Ternyata aku terlalu berharap banyak, Mar..." kata Imelda lirih dengan tatapan terluka, sesaat sebelum ia membalikkan tubuhnya.
Ketakutan mulai menyergap Damara. Apa benar ini yang diinginkannya" Atau ia tidak menginginkan Imelda menunggunya"
Tangan kiri Damara meraih lengan Imelda, sementara tangan kanannya merangkul tubuh Imelda dan memeluknya erat-erat. Kilat menyilaukan dari blitz kamera para wartawan langsung menderanya, tapi Damara tidak peduli lagi. Ini saatnya ia menuruti perasaannya, mengikuti kata hatinya. Apa pun yang terjadi setelah ini, ia siap melewatinya, asalkan tetap bisa menggapai cintanya.
"Ya, tunggu aku, Mel... Aku mau kamu menunggu aku kembali..."
Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut Damara, seiring kelegaan yang dirasakan Damara saat memeluk Imelda. Berbagai pertimbangan yang selama berminggu-minggu mengekang keinginan untuk mengikuti kata hati kini lepas sudah.
"Aku akan nunggu kamu, Mar... Aku akan nunggu sampai kamu datang dan mengatakan kamu mencintai aku dengan wajah terangkat penuh kebanggaan."
Damara mengeratkan pelukannya seiring ucapan Imelda. Tanpa bisa ditahan air mata menetes pelan ke wajahnya, air mata yang keluar seiring rasa terima kasih untuk Imelda yang begitu tulus mencintainya.
Dalam hatinya Damara berjanji, apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia tidak akan pernah begitu bodoh menyia-nyiakan apa yang Tuhan anugerahkan untuknya.
* * * "Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya." - Anka
Tiga tahun kemudian... MATA Imelda menatap lurus pada sosok lelaki yang berjalan mendekat ke arahnya, sosok yang selama tiga tahun terakhir ini tidak pernah ditemuinya. Imelda merasakan air matanya turun perlahan menghangatkan pipinya, seiring kelegaan yang membebaskan dadanya dari impitan. Imelda bertanya-tanya, mungkinkah ini akhir penantiannya"
Tanpa suara, laki-laki itu duduk di kursi taman, tepat di sebelah Imelda. Tersenyum kecil seraya menatap Imelda lekat-lekat. Lelaki itu begitu tenang, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Imelda merasakan jantungnya berdetak begitu cepat, nyaris mendobrak dadanya.
"Aku sudah tahu kamu ada di sini," kata lelaki itu. "Kamu menunggu aku di sini, Mel""
Imelda tetap terdiam, tidak tahu harus mengatakan apa. Kemunculan lelaki itu hari ini, setelah hampir tiga tahun berlalu, nyaris mem
buat Imelda mati rasa. Imelda memalingkan wajahnya, berusaha keras meredam keinginannya untuk memeluk erat lelaki itu.
"Kamu kembali... Damara..." Suara Imelda terdengar begitu dalam, bahkan untuk dirinya sendiri. "Apa itu berarti kamu sudah menyelesaikan semuanya""
"Belum..." Imelda seketika mendongak mendengar jawaban Damara, bukan itu jawaban yang ingin ia dengar.
"Masih ada satu hal yang belum aku selesaikan," lanjut Damara.
"Jadi untuk apa kamu di sini sekarang" Dulu kamu bilang akan datang setelah semuanya selesai."
"Ya. Dan aku di sini untuk menyelesaikannya," jawab Damara santai, seakan tidak terpengaruh dengan apa yang dirasakan Imelda.
"Maksudmu...""
Kata-kata Imelda terhenti saat Damara mengeluarkan kotak kecil berbalut pita cantik, tersenyum seraya menyodorkan kotak itu ke depan Imelda.
"Aku cinta kamu, Mel, sekarang aku bisa mengungkapkan cintaku dengan wajah terangkat," kata Damara, seraya membuka kotak kecil itu.
Mata Imelda menghangat menatap cincin cantik di dalam kotak yang dipegang Damara. Imelda merasakan kepalanya tidak bisa memikirkan apa-apa, kecuali merasakan kelegaan, kebahagiaan, dan keinginan meluapkan semua perasaannya.
Imelda menghambur memeluk Damara, begitu erat... seakan dengan begitu Damara tidak akan pernah meninggalkannya lagi Imelda menghela napas panjang, meluapkan kelegaan yang dirasakannya. Air mata mengalir pelan ke pipinya, untuk pertama kalinya Imelda menangis karena bahagia.
"Terima kasih telah menungguku selama ini, Mel... Aku mencintaimu, sangat mencintaimu! Aku akan terus mengatakan ini, apa pun yang terjadi nanti."
Imelda mengangguk pelan dalam pelukan Damara, air matanya kembali luruh. Kalaupun ini hanya mimpi, Imelda rela tak terbangun selamanya agar ia bisa membawa perasaan bahagia ini sampai mati.
*** "Perlu tisu untuk hapus air mata, Ka"" Danu tersenyum melihat Anka menunduk di sampingnya, pelan-pelan terlihat mengusapkan tangan ke wajahnya.
"Nggak perlu," tolak Anka, sambil mendongak, mata sembapnya menatap lurus, ada senyum yang tergurat di wajahnya. "Romantis ya, Nu""
Danu mengangguk membenarkan, kelegaan terasa saat ia melihat kakaknya, Damara, dan seseorang yang begitu dicintai Damara, bisa tersenyum bahagia setelah keduanya mengalami masa sulit yang tidak sebentar untuk cinta mereka. Dari tempatnya berdiri bersama Anka sekarang, beberapa meter dari pemandangan indah di depannya, Danu bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Damara. Tawa yang diperlihatkan Damara sementara tangannya terus menggenggam tangan wanita yang dicintainya, membuat Danu merasa memang seperti inilah seharusnya akhir ketulusan cinta yang indah.
"Mereka terlihat bahagia, itu yang paling penting," kata Danu, tersenyum lebar.
"Ya, mereka terlihat bahagia," Anka membenarkan perkataan Danu. "Kak Damara memang berhak untuk bahagia dengan cintanya... Aku bahagia melihatnya."
"Kamu bahagia, tapi kamu tadi menangis." Danu tersenyum lebar saat mengatakan itu. Anka memukul bahu Danu dengan buku kuliah tebal yang dibawanya.
"Itu namanya air mata bahagia, Danu," sahut Anka setengah kesal.
"Aku kira masih tangis patah hati," ledek Danu, yang langsung membuat Anka cemberut.
"Jangan mentang-mentang suka nulis jadi suka berimajinasi nggak jelas."
Danu tertawa kecil, ia suka menggoda Anka seperti ini. Mungkin tiga tahun yang lalu ia tidak akan berani mengungkit tentang perasaan Anka pada kakaknya yang dulu sempat ada, tapi sekarang saat ia tahu perasaan istimewa itu telah diberikan Anka hanya untuknya, ada rasa aman tak terjelaskan.
Setelah Damara pergi meninggalkan mereka, Danu kuliah di fakultas sastra Indonesia di salah satu universitas swasta di Jakarta, sementara Anka berhasil masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama, Anka bahkan mendapatkan beasiswa dari fakultasnya, berkat prestasi akademisnya yang tidak pernah buruk. Mereka berdua berusaha hidup sebaik mungkin selama Damara meninggalkan mereka, agar mereka memiliki sesuatu yang dapat mereka banggakan untuk menghargai semua pengorbanan yang dilakukan
Damara untuk mereka. "Semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini," kata Danu pelan. Ada keyakinan dalam kalimat yang baru saja diucapkannya. "Kita semua akan hidup bahagia."
Anka menatap Danu, keduanya tersenyum seolah masing-masing bisa merasakan kelegaan yang sama. Damara melambaikan tangan ke arah mereka, memberi isyarat agar mereka mendekat. Senyum lebar dari kejauhan terlihat mengembang di wajah Damara. Dengan Imelda berada dalam rangkulannya, Damara terlihat sangat bahagia.
Danu bertukar pandang dengan Anka, keduanya mengangguk mengerti. Sekarang sudah saatnya mereka bergabung dengan kebahagiaan yang dirasakan Damara, kebahagiaan yang akan turut membahagiakan mereka juga.
"Ayo ke sana!" Danu mengulurkan tangan kanannya pada Anka, Anka segera menyambut tangan Danu.
Dengan tangan saling bertaut keduanya berjalan menghampiri Damara dan Imelda, menghampiri kebahagiaan yang sudah lama ingin mereka rasakan bersama.
Anka pernah bercerita pada Danu bahwa ia ingin memiliki cinta seindah ibu dan ayahnya, yang bertahan sampai akhir hidup mereka. Keinginan indah yang pelan-pelan akan berusaha mereka wujudkan seiring langkah kecil mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan kejutan.
* * * Let Go 1 Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Pendekar Cengeng 5