Pencarian

Aku Sudah Dewasa 3

Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon Bagian 3


dingin untuk ukurah bulan' Oktober dan hujan turun deras. Tapi aku tidak akan membiarkan cuaca buruk
menghalangiku bertemu Les.
Apalagi, aku sudah benar-benar bosan mendekam di rumah, dan sendirian terus setiap waktu. Shanee
selalu sibuk dengan urusan sekolah dan kegiatan lain, dan kalaupun dia akhirnya datang, Shinola selalu saja
bangun dan merengek-rengek sehingga kami tidak pernah benar-benar bisa mengobrol. Amie dan Gerri
tidak pernah mau datang lagi setelah kedatangan mereka ke sini waktu itu. Banyak hal lain yang lebih
penting yang harus mereka kerjakan.
Bagaimanapun, saking sibuknya mengerjakan segala se-suatu, aku tidak sempat lagi membuatkan susu untuk Shinola setelah dia selesai sarapan. Tambahan
lagi, aku ingin dia mengenakan gaun kotak-kotak merah-bitu yang dihadiahkan Shanee untuknya, tapi gaun
kotak-kotak i tu masih belum dicuci karena belum lama ini dia pakai. Jadi, selain harus membuatkan beberapa botol
susu untuknya, juga .mencuci dan mengeringkan gaunnya, butuh waktu sangat lama bagi kami untuk
bersiap-siap. Karena sudah terlambat, aku terpaksa memulaskan pe-rona mata ke kelopak mataku dengan satu
tangan, sambil membopong Shinola di pinggul dengan tangan yang lain. Shinola terus saja menggeliat-geliat dan berceloteh heboh hingga aku tidak bisa merias wajah dengan benar. Akibat-nya, sebelah mataku
terlihat polos, sementara yang satunya lagi kelihatan seperti habis ditonjok, dan kedua-duanya penuh
berlinang air mata. Sebisa mungkin kuhapus riasan yang bedebih di mata satunya.
^"Mau tidak mau, harus begini," kataku pada bayangan diriku dalam cermin. Penampilan kami saat ini
sama sekali tidak seperti foto-foto Madonna dan bayinya yang pernah kulihat di majalah, itu sudah jelas.
Penampilan kami lebih mirip iklan-iklan permintaan sumbangan untuk membantu anak-anak miskin di
negara-negara Dunia Ketiga.
Aku menyemprotkan parfum Tommy Girl ke badanku dan sedikit parfum juga ke badan Shinola.
Walaupun penampilan kami tidak- terlihat seperti ibu dan anak yang trendi, tapi paling tidak kami masih
wangi seperti mereka. Shinola tidak menyukai bau parfum itu.
Mudah-mudahan dia nanti tidak tumbuh menjadi anak tomboi. Aku menunduk, mengamatinya.
Kelihatannya dia tidak begitu feminin. Malah, dia agak mirip cowok. Bagaimana kalau dia nanti tumbuh menjadi
lesbian" Kemung-kinan itu belum terpikirkan sama sekali Qlehku. "
Selama beberapa menit aku hampir lupa pada Les dan acara makan siang kami karena terlalu sibuk
mengkhawa-tkkan bagaimana bila Shinola nanti tumbuh menjadi wanita yang tidak kuinginkan. Aku mulai
menyadari bahwa punya anak tidak seperti membeli baju. Kalau kau membeli baju, kau tahu apa yang
kaudapatkan: ya baju juga. Bila sesampainya di rumah kau menyadari bahwa baju itu tidak cocok untukmu
atau bagaimana, kau bisa mengem-balikannya. Tapi bila kau punya bayi, kau tidak tahu bagaimana jadinya
dia nanti. Shinola ngeces, air liurnya berleleran membasahi sweterku. Dan kau tidak bisa me-ngembalikan
bayi itu. Aku mengganti sweterku dengan sweter lain, lalu menyemprotkan Tommy Girl lagi. Sekarang, sudah
untung kalau aku bisa sampai di McDonald's tepat waktu, walau naik helikopter sekahpun. Aku melempar
beberapa po-pok dan sebotol susu ke dalam tas Shinola, menduduk-kannya di kereta dorong, lalu bergegas
meninggalkan rumah. Naik bus sambil membawa bayi sama repotnya dengan naik bus sambil menggendong seekor burung
unta pema-rah yang tidak mau diam. Sebisa mungkin aku berusaha mengajak Shinola keluar rumah setiap
hari, jadi sekarang kami sudah terbiasa naik bus, tapi ini perjalanan pertama kami naik bus dalam kondisi
hujan deras. Itu berarti, barang bawaan kami semakin banyak. Namanya pergi bersama bayi, ke mana pun,
barang bawaan yang harus dibawa sama banyaknya dengan pergi berkemah selama seminggu.
Untuk bisa naik ke bus, pertama-tama aku harus menge-luarkan Shinola dari kereta dorongnya, lalu
melipat kereta itu. Untuk mengeluarkannya dari kereta, terlebih dahulu
aku harus mengeluarkannya dari balik gelembung plastik yang melindunginya dari terpaan air hujan.
Lalu, dengan satu tangan, aku harus melipat kereta dorongnya. Hanya saja, dengan adanya gelembung
plastik itu di dalam, keretanya tidak bisa menutup sepenuhnya, jadi aku tidak bisa menguncinya rapat-rapat.
Baru kemudian aku naik ke atas bus dengan menggendong Shinola dan membawa kereta. Tidak ada
seorang pun yang menawarkan ban-tuan, bahkan tidak ketika kereta brengsek itu mendadak terbuka
kembali dan nyaris menarik kami kembali ke trotoar.
Busnya kecil dan tidak bertingkat, dan karena hari ini hujan, penuh sesak dengan penumpang. Jadi
begitu menapaki tangga, kau sudah tidak bisa ke mana-mana lagi.
'Tujuh puluh pence," kata sopir bus meminta Ongkos.
Aku belum menyiapkan uang, dan aku juga tidak bisa mengeluarkannya dari dalam kantong karena
kedua ta-nganku penuh. Yang satu menggendong Shinola, yang satunya lagi berusaha menahan kereta
dorong agar tetap tertutup.
"Anda bisa menunggu sampai saya menyimpan dulu kereta dorong ini""
'Tujuh puluh pence," tegas si sopir.
Seperti biasa, Shinola mulai menangis. Aku bisa merasa mata semua orang terarah pada kami.
"Demi Tuhan," desisku padanya. "Jangan sekarang"
Tapi apa dia mau menuruti aku" Kadang-kadang aku
khawatir dia akan menjadi seperti neneknya.
Dengan cara menahan kereta dorong itu -di antara aku dan sopir bus, akhirnya aku berhasil juga
mengeluarkan uang ongkos dari dalam saku bajuku.
"Mundur!" teriak si sopir bus. "Semuanya mundur!"
Sambil menggigit tiket itu, aku berusaha mundur ke bagian belakang bus.
Rasanya seperti berusaha memasukkan sepeda motor ke dalam kaleng sarden.
Rak bagasi terisi penuh. "Mundur! Mundur!"
Seolah mengikuti teriakan si sopir, Shinola mulai ber-teriak-teriak, "Huaaaa... Huaaaaa..."
Aku merangsek ke belakang, sambil sekali-sekali berkata, "Permisi," dan "Maaf, numpang lewat,"
setiap kah kereta dorongku menyenggol badan penumpang lain.
Seorang wanita tua akhirnya memberikan kursinya pa-daku.
"Sepertinya anak lelakimu terkena kolik," wanita tua itu berkata ketika kami bertukar tempat.
"Anak perempuan," koreksiku. 'Tapi menurutku dia rewel bukan karena kolik."
Aku tidak tahu kolik itu apa. Itu salah satu kata yang kerap digunakan semua orang, tapi yang tidak
pernah dimengerti artinya. Tambahan lagi, menurutku kerewelan Shinola bukan disebabkan kolik. Aku
bahkan mulai curiga jangan-jangan dia memang sengaja melakukannya untuk menggangguku.
Si wanita itu memandangi kami dengan senyum befseri-seri. "Manis benar anak lelakimu, ya" Aku jadi
ingat pada anak ielakiku waktu dia masih bayi." Lagi-lagi dia ter-senyum. "Nikmarilah selagi kau masih bisa,"
katanya padaku. "Waktu bet jalan sangat cepat." Tidak cukup cepat, kalau menurutku.
Kami terlambat, tapi Les malah lebih terlambat lagi. Ku-pikir dia pasti terhalang macet.
Shinola dan aku berdiri di depan pintu masuk restoran, menunggu. Lalu lintas sangat berisik, karena
kemacetan begita parah sehingga mobil-mobil diam di tempat, dan hujan juga masih turun deras, jadi wajar
bila Shinola tertidur. Aku membayangkan Les berlari-lari menghampiri kami dari arah jalan, berusaha
menembus kepadatan otang-orang yang berbelanja dengan membawa payung dan kereta dorong, secepat
yang dia bisa. Dia khawatir kami sudah terlalu lama menunggu. Dia sudah tidak sabar lagi ingin segera
bertemu kami. Kemudian, dari ujung jalan, dia akan melihat kami. Jingle iklan BT itu mulai mengalun di
latar belakang, "Oh, What a Perfect Day", atau semacam itulahu Wajahnya kontan berbinar-binar begita
melihatku. "Lanal" teriaknya. "Lana! Aku di sini!" Dia merengkuh kami dalam pelukannya, lengkap
dengan kereta dorong dan semuanya____
Setelah menunggu beberapa saat, aku memutuskan mungkin lebih baik kami menunggu di dalam saja.
Shinola sih tidak apa-apa, karena terlindung di balik gelembung plastiknya, tapi aku basah kuyup. Aku
merasa seperti mengenakan busa di kakiku.
Les duduk di mefa sudut. Aku langsung melihatnya. Dia sudah mulai makan.
"Les!" Aku melambaikan tangan. "Les!" Les mendongak dan melambaikan burgernya ke arah
kami. "Kusangka kau tidak jadi datang," katanya setelah akhirnya kami sampai di mejanya. Dia
menganggukkan kepala ke arah jendela. "Karena cuaca buruk." Rupanya dia memang tidak berniat berdiri
menunggu kami di luar dalam keadaan hujan begini. Karena itu bisa membuatmu sakit pilek.
Shinola terbangun ketika Les sedang memesankan makan siang untukku. Dia mengerjap-ngerjapkan
mata melihat lampu-lampu, dan menjejalkan tinjunya yang mungil ke dalam mulut. Itu sedikit-banyak
merupakan pertanda bahwa hatinya sedang senang.
Aku mengeluarkannya dari kereta dorong dan memba-ringkannya di pangkuanku. Sikapnya sangat
manis. Dia sudah bangun, tapi dia berdeguk-deguk.
Les memandanginya waktu dia' duduk kembali di kursi-nya. Cowok itu mengulurkan tangan dan
menggosok-gosokkan jarinya ke dagu Shinola: Aku yakin dia tidak mengatakan "kicikicikuuu" tapi suara
yang keluar dari mulutnya benar-benar terdengar seperti "kicikicikuu". Shinola memamerkan gusi
ompongnya. "Dia benar-benar mirip kau," kata Les. Lalu co
wok itu ber-kicikicikuu-ria lagi. Shinola tertawa. Paling
tidak dia sekarang mulai akrab dengan ayahnya.
Les mulai bercerita tentang pekerjaannya.
Penyebabnya adalah kecemburuan, aku tahu itu. Shinola tidak tahan bila dia tidak diperhatikan semua
orang setiap waktu. Begitu Les mulai bercerita, tangis Shinola kontan pecah.
Les mengedarkan pandangan ke sekeliling kami dengan sikap gugup.
"Apa kau tidak bisa mencuamkannya"" desisnya. "Semua orang memerhatikan kita seolah-olah lata
mau membu-nuhnya." Menurutku, Shinola mestinya bersyukur tidak ada orang yang benar-benar berniat membunuhnya.
.Aku tersenyum, tenang dan terkendali. Pokoknya, seba-gaimana layaknya ibu sejati.
"Dia pasti lapar. Aku membawa botol susunya di dalam tas." "Syukurlah," desah Les lega. Tapi tasnya
tidak ada. Aku. melongok ke bawah meja sampai tiga kali, tapi tetap saja tas itu tidak ada di sana.
Aku mengerang. 'Tasti tasnya ketinggalan di bus."
"Seharusnya dia yang kautinggalkan di bus," canda Les.
Sekarang semua orang terang-terangan memandangi kami, seolah kami menusuk Shinola dengan pisau
panas. "Apa kau tidak bisa membawanya ke kamar kecil dan menyusuinya di sana"" pinta Les dengan nada
memo-hon. Aku selalu berusaha tidak mengatakan hal yang sama kepada Les dua kali, supaya dia tidak bosan, tapi
sekarang aku lupa pada aturan yang kubuat sendiri itu.
"Botol susunya tidak ada," kataku lagi. 'Tasnya ketinggalan di bus."
Les melirik jam tangannya. "Aku harus pergi sekarang Aku harus kerja."
"Lho, kusangka kau baru akan kembali ke toko jam
"Hari ini Albie tidak masuk karena sakit," dalih Les.
"Jadi aku harus siap lagi di toko jam dua siang." Dia sudah mengenakan kembali jaketnya. Aku tahu
sikapku ini tidak baik, tapi aku tidak bisa
menahan diri lagi. 'Tapi kapan aku bisa bertemu denganmu tanpa harus diburu-buru waktu" Aku rindu padamu, Les.
Sudah lama sekali kita tidak pernah bersama-sama lagi."
Mata Les jelalatan kian kemari. "Kalau aku bisa, aku pasti akan mampir ke rumahmu, Lana, tapi tidak
bisa lebih dari itu untuk sekarang ini." Dia menjentikkan jari-jarinya. "Hei, bagaimana dengan hari ulang
tahunmu" Sebentar lagi kau berulang tahun, kan" Mungkin kau bisa menitipkannya pada seseorang, dan
kita bisa pergi bareng. Nonton film atau yang lainnya. Makan-makan." Dia mengedipkan mata.
"Merayakan ulang tahunmu."
Hatiku dibanjiri kebahagiaan. Ternyata dia ingat had ulang tahunku. Dan dia ingin bisa berkencan
denganku. . Semuanya beres.
"Asyik sekali. Sudah lama sekali aku tidak ke bioskop. Akan kubilang pada Spiggs aku pergi bersama
Shanee." "Kutelepon kau nanti," kata Les. "Kaupilih sendiri harinya."
Bila sedang menonton film, hal itu memang tidak pernah terpikirkan olehmu, tapi kebanyakan karakter
dalam film mendapat banyak keberuntungan. Kelihatannya mereka seolah mendapatkan sesuatu yang
memang pan tas mereka dapatkan karena melakukan apa yang mereka tahu itu benar, tapi sebenarnya itu
keberuntungan. Aku tahu itu karena aku sama sekali tidak beruntung. Aku melulu dirundung kesialan.
Karena ada yang tidak beres dengan boiler di tempat praktik dokter tempat ibuku bekerja, semua orang
langsung disuruh pulang karena takut boiler itu bakal meledak atau bagaimana.
Aku melihat ibuku di jendela begitu aku dan Shinola si Tukang Teriak sampai di jalan depan rumahku.
Dia sedang menelepon. Aku melihat kelegaan terpancar di wajahnya selama sata-dua detik, tapi sejurus
kemudian langsung lenyap dan digantikan ekspresi mar ah.
Oh, tidak, pilarku. Jangan sekarang____
Ibuku langsung membanting gagang telepon dan sudah memasuki ruang depan sebelum aku sempat
memasukkan kereta dorong.
"Dari mana saja kau"" pekiknya. "Bagaimana mungkin kau mengajaknya pergi dalam cuaca seburuk
ini"" "Demi Tuhan," aku balas berteriak. "Orang kutub saja tinggal di iglo. Hujan sedikit tidak bakal
membuatnya sakit" -Ibuku langsung meraup Shinola dari kereta dorong dan lenyap ke arah ruang tamu.
Aku menggoyang-goyangkan kereta itu, membersihkan-nya dari air hujan, lalu menggantung jaketku
di gantungan yang ada di ruang depan.
Ibuku masih terus saja mengomel walaupun aku tidak ada di sana bersa
manya. Aku tidak sepenuhnya mendengarkan. Semua ocehannya sudah pernah kudengar sebelumnya.
"Blablabla infeksi... blablabla mati kedinginan... blablabla trauma dan kelelahan... blablabla."
Aku langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju
dan celanaku yang basah kuyup. Waktu aku masuk ke dapur, dia sedang memberi Shinola
susu botol. "Dia kelaparan." Ibuku melayangkan pandangan seperti
yang kerap ditunjukkan Mrs. Mela kepadaku dulu bila aku tidak mengerjakan PR. "Kau tidak
memberinya susu ya, siang lm" Bukan cuma Shinola saja yang kelaparan. Setelah Les pergi, aku bahkan tidak berniat tinggal lebih
lama di sana untuk makan siang. Tidak ada gunanya apalagi karena Shinola terus saja menjerit-jerit.
Kuambil sebungkus bis-kuit dari dalam lemari dan kujerang air untuk membuat teh.
"Tentu saja sudah," dustaku. "Tapi dia memang selalu saja kelaparan."
Ibuku memandangiku dengan muka masam, lalu meng-alihkan perhatiannya kembah pada bayiku.
"Dari mana saja Nola kecil yang malang"" katanya dengan nada lembut dan manis. "Ke mana Lana
memba-wamu tadi""
3Mamanya Shinola, bukan Nola." Aku meletakkan kotak susu keras-keras ke atas konter. "Aku
mengajaknya jalan-jalan, menghirup udara segar."
"Di tengah hujan badai," tukas si nenek yang penuh perhatian ita. Diciumnya puncak kepala Shinola.
"Lana mengajakmu keluar di tengah hujan badai ya" Apa dia lupa memberimu susu""
Kali ini giliran wadah gula yang kubanting ke atas meja. "Aku tidak melupakan apa-apa!" raungku.
"Untuk keseratus kalinya kubilang, aku sudah memberinya susu."
"Begitu kau selesai minum susu, kita akan memakaikan piama hangat untukmu."
Aku harus menahan diri untuk tidak melemparkan poci teh ke kepala ibuku.
. "Bajunya tidak basah!" jeritku. "Justru akulah yang basah kuyup."
"Mana ada orang waras yang membawa bayi baru lahir jalan-jalan di tengah badai topan seperti ini""
Kalau ada sedikit saja salju, hujan ini memang sudah bisa dikategorikan sebagai badai salju.
"Ada saja, aku!" " "Dan itu membuktikan apa"" tuntut Hillary Spiggs. "Bahwa sata-satunya bayi yang
pernah kautangani seumur hidupmu adalah dirimu sendiri." Jj/fc
"Aku ibunya, bukan kau!" Kurebut Shinola dari gen-dongannya. Saking cepatnya, dia begitu kaget
sehingga tidak sempat menghentikan aku. "Kau urus saja urusanmu sendirL".
Hillary mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan meman-dangiku beberapa detik.
"Berhati-hatilah dengan omonganmu, young lady" tukas si ibu teladan tahun ini. "Atau aku mungkin
akan benar-benar melakukannya,"
Kubilang pada ibuku Shanee ingin mengajakku pergi untuk merayakan ulang tahunku.
Yang mengejutkan, tanpa banyak cingcong lagi ibuku langsung saja setuju.
"Kedengarannya itu ide bagus" katanya. "Kau jarang bertemu teman-temanmu. Bilang saja kapan dan
aku akan memastikan bahwa aku tidak punya acara lain itu."
Hari ulang tahunku jatuh pada hari Sabtu, tapi hari itu
Les harus bekerja. "Jumat," kataku. "Shanee hanya bisa pergi hari Jumat
malam." "Baiklah, kalau begitu hari Jumat," ibuku menyanggupi.
Tumben-tumbennya ibuku bersikap semanis dan sebaik itu. Pasti ada udang di balik batu. Dan aku
yakin sekali aku tahu alasannya. Begitu menginjak usia enam belas tahun nanti, aku akan mengajukan
permohonan untuk mendapatkan flat sendiri dari pemerintah. Walaupun ibuku pernah berkata bahwa dia
sudah tidak sabar lagi ingin segera menyingkirkan aku, tapi menurutku dia sebenarnya tidak ingin aku
pindah. Karena dengan begitu, mau tidak ntau dia harus mengakui kalau aku sudah dewasa. Jadi dia juga
harus memperlakukan aku seperti layaknya orang dewasa. Sekali-sekali. Itulah sebabnya mengapa dia
berusaha membuat dirinya berguna bagiku. Supaya aku tetap mau tinggal di sini. Kemungkinan ita kecil
sekali, sama kecilnya dengan peluang Hillary mendapatkan Piala Oscar.
Karena ibuku menawarkan diri untuk menjaga Shinola sementara aku bersiap-siap, aku bukan cuma
bisa mandi berendam untuk pertama kalinya semenjak Shinola khir, tapi aku juga sudah siap di depan
bioskop pukul 19.00 tepat, tampak cool dan canggih dalam balutan gaun te-rusan warna perak, serta mantel
sepanjang tungkai yang hangat dan tebal, yang kubeli
di pasar dengan uang hadiah ulang tahunku.
Beberapa cowok melirikku waktu aku sedang menunggu Les, tapi aku pura-pura tidak memerhatikan.
Tepat pukul 19.30, saat film dijadwalkan mulai, aku
mulai khawatir. Mungkin Les mendapat kecelakaan. Hal-hal semacam itu bisa saja terjadi. Mrs.
Wallace, guruku di kelas sembilan, kehilangan suaminya karena tertabrak mobil saat sedang menyeberang
di sgbra cross. Dia keluar sebentar untuk membeli susu dan tidak pernah kembali. Hal yang sama juga bisa
terjadi pada Les. Atau seorang pengendara mobil yang ugal-ugalan menabrakkan mobilnya ke mobil Les.
Itu pernah terjadi di salah satu sinetron favotitku.
Les baru muncul beberapa menit setelah pukul 20.00.
"Macetnya minta ampun," katanya padaku. "Bukan cuma lamban bergerak, tapi berhenti total."
"Itu bukan salahmu," hiburku. "Tapi filmnya sudah mulai."
Les pasti mendengar secercah nada kecewa dalam sua-raku. Dia langsung memelukku.


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan aku," katanya. "Sungguh." Dia mengecup keningku. "Kau cantik sekah."
Pujian itulah yang paling ingin kudengar saat ini.
Les menyeringai, sepertinya dia baru saja mendapat ide yang paling gemilang setelah Coca-Cola
ditemukan. "Begim saja. Bagaimana kalau kita membeli makanan dan kemudian kembali ke rumahku" Semua
temanku pergi akhir minggu ini. Ada film bagus diputar di televisi. Kita nonton itu saja." Dia menggesek-gesekkan kepalanya ke kepalaku. "Bersantai sejenak."
Tadinya kupikir kami akan pergi ke McDonald's, karena hari ini juga hari ulang tahun pertemuan kami,
tapi kenyataannya justru lebih menyenangkan daripada yang kuduga. Ini jauh melebihi impianku yang
paling liar sekalipun. Sungguh. Teman-teman serumah Les sepertinya
tidak pernah pergi ke mana-mana, kecuali saat Natal.
Bayangkan, satu rumah untuk kami sendiri! Kami bisa
nonton televisi sambil tidur-tiduran di tempat tidur, seperti pasangan suami-istri.
"Oke," sahutku. "Kedengarannya asyik."
Dalam perjalanan kembah ke Dollis Hills, aku merasa seperti Putri Diana naik limusin menuju istana.
Kau tahu, sebelum hubungannya dengan Pangeran Charles beran-takan. Aku merasa bangga. Aku melihat
ke luar jehdela, ke para cewek yang berdiri bergerombol-gerombol, me-nikmati hari Jumat malam. Di
mataku, mereka seperti anak-anak kecil yang berdandan rapi untuk pergi ke pesta.
Berbeda dengan aku. Aku punya bayi, yang sekarang di rumah bersama neneknya. Dan malam ini aku
akan berkencan dengan kekasihku. Masa bodoh dengan roman Romeo and Ju/iet-aya Mrs. Mela. Malam ini
benar-benar sempurna. Les sudah menyiapkan hadiah untukku. Sudah dibungkus rapi dengan pita dan segala macam.
"Oh, wow," seruku. "Bandul gelang lagi." :
Hiasan bandul kali ini berbentuk botol bayi emas. Secara pribadi, aku tetap lebih suka jantung hati.
"Sepertinya itu cocok untukmu," kata Les."
Aku menciumnya sebagai ungkapan terima kasih.
Les membalas ciumanku. "Ayo, kita ke atas," ajaknya, mencium dan menarikku pada saat yang bersamaan.
Belakangan, setelah kami makan dan melupakan film yang tadi akan kami tonton, dan setelah kami
mendapati bahwa ternyata salah seorang teman serumah Les meng-ambil pengaman yang dibdinya, Les merangkul tubuhku dan meletakkan kepalanya di bahuku.
"Bukankah ini lebih menyenangkan" Hanya kita berdua"" bisiknya.
Aku meringkuk tapat-rapat ke tubuhnya. Aku bisa membayangkan kami bangun pagi dan menggosok
gigi berdua di wastafel. "Seandainya saja bisa selalu seperti ini," aku balas berbfsik.
Beberapa saat kemudian, Les bertanya, "Bagaimana, apa kau mau menginap di sini malam ini""
Saat itulah baru aku ingat bahwa aku harus pulang. Saking bahagianya, aku sampai lupa segala-galanya. Ter-masuk lupa waktu.- Tapi aku menahan diri untuk tidak melompat turun dari tempat tidur dan
mulai berpakaian. Sebelum ini Les tidak pernah mengajakku menginap di rumahnya. Bagaimana aku bisa
berkata "tidak""
"Aku benar-benar harus pulang...," kataku.
"Apa bedanya beberapa jam lagi"" tanya Les. "Ibumu toh tidak harus pergi ke mana-mana. Bilang saja
padanya kau pergi ke rumah siapa-itu-namanya."
"Shanee." Aku tidak bisa berpikir jernih karena Les mulai men-ciumiku lagi.
"Well..." ujarku. "Kura
sa aku bisa tinggal sedikit lebih lama____"
Dia sudah berdiri di ruang depan, menungguku setelah akhirnya aku pulang juga. Kedua tangannya
terlipat di dada. Dia terlihat seperti orang yang sangat menderita.
Seperti beruang yang kami lihaf di museum saat kami masih duduk di bangku SD dulu. Hanya saja, dia
menge-nakan semacam syal pink yang diikat menutupi rol-rol
rambut yang memenuhi kepala.
"Maafkan aku," kataku, sebelum dia sempat betkata apa-apa. "Shanee dan aku pergi minum kopi
setelah nonton film." Dengan lagak biasa-biasa saja, aku berjalan
melewatinya. "Ya Tuhan, capek benar aku." "Kau minum kopi sampai hampir jam lima subuh""
tanya ibuku. Kulepas jaketku. "Kami keasyikan ngobrol jadi akhirnya kami pulang ke rumahnya. Besok kan libur."
Aku meng-gantung jaketku di gantungan. "Asyik pokoknya. Sudah lama sekali aku tidak pernah ngobrol
lagi dengan Shanee." Aku tersenyum padanya. "Trims." Lalu aku berbalik dan berjalan menuju kamar.
"Tunggu sebentar," sergah si Hillary Spiggs. "Aku menelepon ke rumah Shanee saat tengah malam
tadi. Kata ibunya, Shanee sudah pulang hampir satu jam sebelumnya. Sendirian."
Aku tertawa. "Kau kan tahu bagaimana Mrs. Tyler itu. Saking banyaknya orang keluaf-masuk
rumahnya, dia tidak pernah tahu siapa saja yang ada di sana."
Hillary Spiggs mendengus.
"Well, kau tidak ada di sana."
Kutatap matanya yang bulat itu, 'Tidak, aku ada di sana."
'Tidak; tidak ada. Lucy pergi sendiri untuk melihat Katanya, Shanee sudah tidur lelap."
"Baiklah, baiklah.... Aku ketemu beberapa teman. Kami sudah lama sekali tidak pernah bertemu, jadi
aku pergi bersama mereka. Shanee tidak mau ikut."
ary tersenyum. "Oh, begitu ya"" Aku masih terus memandanginya, tapi aku sudah siap untuk mundur
secepat mungkin. "Ya, begitu."
"Dan bolehkah aku bertanya mengapa gaunmu terba-Hk""
Selama sedetik, badanku seperti lumpuh. Tanpa melihat pun aku tahu dia benar. Aku bisa merasakan
iahitan gaunku dengan tanganku.
"Siapa bilang gaunku terbalik. Memang dipakainya seperti ini kok," aku mengucapkannya dengan
nada seolah dia sudah gila.
Dan detik berikutnya, ibuku benar-benar mengamuk seperti orang gila.
Dia tahu aku pergi ke mana. Aku pergi dengan dia. Apakah satu bayi belum cukup untukku" Apakah
aku ingin punya anak lagi" Apakah aku tidak bisa melihat bahwa dia hanya ingin memanfaatkanku saja"
Saat itulah aku tidak tahan lagi dan ikut-ikutan mengamuk. "Kau tidak tahu apa-apa mengenainya!"
jeritku. "Kami saling mencintai."
"Cinta"" Ibuku balas menjerit. "Kauanggap ini cinta. Bila dia benar-benar mencmtaimu, dia akan
berbuat lebih banyak dari sekadar menidurimu setiap kali dia meng inginkannya."
"Tump mulutmu!" Kepingin benar aku mengguncaflg" guncang badannya. "Tump mulut dan uruslah
urusanrfl sendiri sekali-sekali." ^
Ibuku kontan terdiam. "Baiklah," katanya sejurus^ mudian. "Aku akan mengurus urusanku sendiri-tahu
saja^- Nona Sok Dewasa: jangan harap a u
mengurus anak-anakmu sementara kau menjual diri ke
seluruh penjuru kota. Kalau kau ingin main rumah-. rumahan, bermainlah sendiri. Aku akan pindah ke
rumah Charley untuk sementara waktu. Sekarang kau sudah
enam belas tahun. Benahi dirimu dan setelah im kau akan kutinggal sendiri. Aku akan meninggalkan
mm' untuk keperluan rumah di poci teh warna biru, dan aku akan meneleponmu beberapa hari lagi."
Sepertinya dia ingin sekali mengguncang-guncang badanku: "Jangan telepon aku; aku yang akan meneleponmu."
Kemudian dia menghambur meninggalkanku dan masuk ke kamarnya. Tangis Shinola pecah begitu pintu dibanting
dengan suara keras. Sendirian di Rumah WAKTU dia tinggal bersama kami, Hillary memaksaku bangun setiap kali dia hendak pergi bekerja,
tidak peduli walaupun malam sebelumnya aku tidak tidur mengurus Shinola. Katanya, itu dia lakukan
untuk memastikan bahwa aku sarapan dengan benar. Padahal aku yakin itu dia lakukan hanya untuk
menyiksaku dan membuatku men-derita seperti dia. Bila dia harus bangun jam 07.00, maka aku juga harus
bangun jam 07.00. Dan, hal pertama yang dia lakukan sepulang kerja adalah mengecek apakah aku sudah
melakukan semua. yang menurutnya harus kulakukan * hari itu. "K
au sudah mencuci baju... Merapikan
kamar-mu... Mencuci botol"" Ngomelngomelngomel terus. Ma-kan malam tepat jam 19.30, kecuali kalau
aku terlambat memulainya, jadi kami baru makan jam 20.00. Teh dan biskuit jam 22.00, tidur jam 23.00.
Satu contoh lagi betapa tinggal bersama Hillary Spiggs sama seperti tinggal di penjara.
Tapi setelah sekarang dia tidak ada, aku tidak perlu lagi hidup mengikuti jadwal yang dibuat"y".
Kecuali bersiaga penuh selama 24 jam untuk Shinola, tidak ada lagi yang harus kulakukan di saat-saat tertentu.
Semuanya terserah aku. Mau makan sereal untuk makan malam atau sarapan
di tengah hari juga boleh. Aku juga bebas nonton televisi sampai acara terakhir. Aku bisa ketiduran di
sofa. Aku bisa melakukan pekerjaan rumah bila aku mau saja.
Pokoknya, aku bisa melakukan apa saja sesukaku.
Tapi memang tidak banyak yang bisa dilakukan. Paling-paling kami hanya nonton acara anak-anak di
televisi pada pagi hari, kemudian jalan-jalan bila hujan tidak terlalu deras ke toko, ke kantor pos, atau ke
mana saja kemudian mendekam di rumah. Aku selalu me-nyalakan televisi atau radio, hanya supaya bisa
mende-ngar suara orang dewasa. Bila Shinola tidur siang, aku juga ikut tidur siang, karena toh tidak ada hal
lain yang harus kulakukan kecuali mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.
Akhirnya aku terbangun oleh dering bel pintu. Kamar gelap gulita. Kupikir yang datang itu pasti
Shanee, mampir dalam perjalanan pulang ke rumah. Aku bangkit untuk duduk, tapi Shinola mengerang dan
bergerat Aku tidak ingin membuatnya terbangun. Sekali-sekali, !" kepingin juga bisa leluasa mengobrol
dengan Shanee. Terakhir kalinya bertemu dia, tidak. satu pun ceritanya
ada yang masuk ke kupingku, saking sibuknya aku mengf "ttus Shinola.
Oengan sangat, sangat pelan dan hati-hati, aku berguling ^ dari tempat tidur. Setelah berhasil menjejak
dengan selamat, aku melongok kembali ke kasur. Kelopak
mata Shinola bergerak-gerak, tapi dia tidak menangis. Itu berarti dia masih tidur.
Sambil menahan napas, aku merangkak menuju pintu, membungkuk serendah mungkin di atas karpet.
Setelah terlindung di balik boks Shinola, aku berhenti. Pintu kamar, syukurlah, terbuka. Aku menghela
napas dalam-dalam lalu bergegas lagi keluar kamar.
Aku membuka pintu begitu tiba-tiba sehingga Shanee nyaris terjerembap ke ruang depan.
"Demi Tuhan, Lana. Kenapa lama sekali" Kusangka aku bakal tenggelam karena air hujan di luar sini."
"Sstt," bisikku. "Nanti dia mendengarmu."
Shanee tampak bingung. "Maksudmu, Hillary sudah kembali""
"Bukan dia. Shinola."
"Oh," ucap Shanee, lalu berjingkat-jingkat mengikutiku menuju dapur. ""'*fiM
"Kemarin aku juga datang," kata Shanee begitu aku menutup pintu ruang depan. Dia meletakkan tas
dan jaketnya yang basah ke kursi. "Tapi kau tidak pernah membukakan pintu."
"Mengurus bayi itu sangat merepotkan," jawabku. "Tidak seperti sekolah. Dalam mengurus bayi tidak
ada istilah istirahat. Waktu itu aku pasti sedang sangat sibuk, jadi tidak mendengarmu datang. Kecuali aku
sedang pergi" "Atau tidur," sergah Shanee.
Aku tidak suka mendengar nada suaranya.
"Maksudmu apa""
"Tidak ada maksud apa-apa. Aku cuma bercanda. Tap sepertinya kau tidak pernah ada bila kutelepon."
D'a memindahkan setumpuk benda dari kursi dan duduk di sana.
"Mengurus bayi juga sangat melelahkan," kataku. "Iba-ratnya seperti menjadi penjaga dua puluh empat
jam sehari." "Well, kayaknya kau juga tidak terlalu bisa menjaga tempat ini," tukasnya. "Kelihatannya kok seperti
habis dibom saja." Aku memandang berkeliling. Padahal sebelumnya rumah ini terlihat agak mirip foto-foto rumah di
majalah setelah aku menyingkirkan segala sesuam yang berbau Hillary dari sana, tapi itu sudah sekian
minggu yang lalu. Shanee benar. Sekarang rumah ini lebih mirip zona perang.
"Itu gara-gara Shinola," kataku. "Aku tidak pernah bisa berbenah karena dia selalu terbangun sebelum
aku sempat menyelesaikannya."
"Omong-omong soal pekerjaan," Shanee menyela. "Coba tebak" Aku sekarang kerja paro wakm!"
"Kau mau minum teh"" Aku sudah mengisikan air ke dalam panci.
"Ketelnya mana"" tanya Shanee.
Aku mengangkat bahu. "Rusak.
" Ketel itu gosong sampai meleleh. "Kau tahu sendiri bagaimana
Hillary, sukanya membeli barang murahan."
"Dan bagaimana dengan poci teh biru yang bagus im" Jangan bilang kalau poci im sudah pecah."
"Yeah," jawabku. Poci im. pecah karena kulempar. Ter-paksa. Habis, kalau bukan poci itu, Shinola
yang bakal jadi korban. "Semuanya rusak atau pecah."
"Begitu," ujar Shanee. "Hei, aku sudah punya pekerjaan lho!"
Kubilang padanya itu hebat sekali.
"Aku tahu." Dia mendekap badannya sendiri. "Aku senaaaang sekali.' Sekarang aku bekerja di gift
shop baru yang menjual berbagai macam lilin dan benda-benda unik
seperti vas gelas dan lain sebagainya itu. Mereka mem-pekerjakan aku selama masa liburan Natal, tapi
kalau hasil kerjaku bagus, mungkin aku bisa terus bekerja di sana."
"Aku mendapat panggilan untuk datang ke kantor pejabat perumahan minggu depan," kataku. "Cepat
sekali, kan!" Shanee mengangguk. "Ya, cepat sekali." Tanpa berhenti untuk menarik napas, dia langsung
melanjutkan, "Berun-tung banget aku bisa mendapat pekerjaan im. Aku melihat pengumumannya ditempel
di kaca etalase, dan aku lantas memberanikan did untuk masuk dan bertanya mengenai lowongan itu.
Wanita yang mempekerjakan aku berkata bahwa penampilanku sesuai untuk bekerja di tokonya."
"Maksudmu, mengenakan baju bekas dan memiliki ram-but seperti sarang tupai""
Shanee tertawa. "Tren mode sekarang menyesuaikan diri denganku. Warna hitam, ungu, dan sepam bot
bekas sepupuku sekarang sedang jadi trend musim ini."
Shinola tetap tidak terjaga wakm bel pinm berdering, tapi suara tawa orang dewasa membuatnya
langsung ter-usik. Dia tidak suka membayangkan aku bahagia tanpa dia selama tiga detik saja. Wk
Shanee langsung berdiri. "Kau mau aku menggendong-nya""
"Boleh, asal kau berhati-hati dengan kepalanya," jawabku. "Lehernya masih belum terlalu kuat."
"Terima kasih karena sudah mengingatkan aku,"
Shanee. Waktu dia kembali sambil- menggendong Shinola, aku mendengarnya bercerita pada Shinola tentang
pekerjaan barunya. 'Jadi, nanti aku bisa membelikan hadiah yang sangat istimewa untuk Natal pertamamu," kata Shinola
padanya. "Tapi bukan im yang paling asyik. Yang paling asyik adalah toko tempatku bekerja sering
kedatangan cowok-cowok keren, yang datang untuk membeli dupa dan lain sebagainya."
Aku senang mendengarnya bercerita pada Shinola, da" ripada bila dia bercerita padaku.
"Menurutmu dia sudah besar atau belum"" tanyaku. "Kurasa dia sekarang sudah besar sekali. Separo
bajunya sudah tidak muat lagi."
Shanee sedang mendekatkan kepalanya ke kepala Shinola, seolah mereka sedang berkomplot atau
bagaimana "Bahkan," katanya pada Shinola, "di toko tempatku bekerja ada cowok yang keren banget. Dia juga
bekerja di sana. Dia datang wakm aku hendak pulang."
"Kata dokter, sebentar lagi aku bisa mulai memberinya makanan padat."
"Airmu sudah mendidih." Shanee duduk bersama Shinola. "Selain mendapat gaji, aku juga mendapat
diskon untuk membeli barang-barang di sana. Beruntung benar aku."
Aku memandang ke dalam kulkas. Kulkasku juga terlihat seperti zona perang.
"Aku kehabisan susu," kataku. Juga yang lak-lainnya. Tidak ada apa-apa di dalam kulkas kecuali kotak
telur (tanpa telurnya), dua batang wortel yang sudah layu, sedikit spageti dalam kaleng, dan botol saus tomat
yang sudah kosong melompong.
"Tidak apa-apa," kata Shanee. "Di rumah aku juga tidak pernah minum teh dengan susu karena selalu
saja ada bekas muntahan makanan di dalamnya."
Kupandangi wadah teh. Sepertinya aku juga kehabisan teh. Kapan habisnya" Padahal aku yakin aku
masih punya banyak kantong teh. Shinola dan aku pergi berbelanja awal minggu lalu. Benar, bukan"
Rasanya aku masih ingat kami berdua berjalan menyusuri jalan raya. Aku ingat bagaimana kami melihat-lihat etalase toko baju dan toko sepatu... tapi aku tidak ingat pernah mampir di pasar swalayan.
"Dan coba tebak, ada berita heboh apa lagi"" tanya Shanee. Aku juga kehabisan cangkir.
Maksudku, tenm saja aku masih punya cangkir, tapi tidak semuanya ada di dapur. Yang ada di dapur
justru bukan cangkir bersih. Aku menyambar dua cangkir kotot dari bak cud.
"Aku tidak bisa "m
enebak," tukasku. "Pikiranku isinya melulu urusan bayi."
Tambahan lagi, pikiranku saat ini sedang tertuju ke hal lain. Agak sulit mencuci cangkir-cangkir im
karena bak cuci penuh dengan benda-benda kotor, jadi tidak ada cukup ruang untuk bergerak.
"Kakak Amie akan belajar menyetir mobil," Shanee bercerita. "Lalu mereka akan menabung supaya
bisa membeli mobil."
Aku berdiri sedemikian rupa di depan cangkir-cangkir
itu, supaya Shanee tidak melihat bahwa aku menggunakan
kantong teh lama untuk kami berdua. "Benarkah""
Aku mengambil kaleng tempat biskuit tapi tidak ada apa-apa di sana kecuali remah-remah kue. Tidak
mungkin aku sudah berbelanja. "Jadi, mungkin musim panas tahun depan kami semua bisa pergi ke rumah peristirahatan orangtuanya
di Suffolk selama serninggu. Kami sendiri," lanjut Shanee. "Asyik,
bukan"" Dari caranya berbicara aku tahu bahwa bila dia menga-takan "kami" im tidak termasuk aku. Tapi tidak
apa-apa. Aku toh tidak akan bisa ikut. Meski misalnya Les tidak keberatan karena saat im, kami pasti
sudah punya flat sendiri dan hidup bersama aku bukan tipe ibu yang bisa seenaknya saja berhura-hura
bersama teman-temannya, seperti Hillary meninggalkan aku untuk bersenang-senang bersama Charley
kapan pun dia suka. Kuletakkan cangkir-cangkir teh im ke atas meja. "Kurasa aku akan mengajari Shinola berenang musim
panas nanti," kataku pada Shanee. "Berdasarkan apa yang kubaca di " buku bayi, bayi bisa dengan mudah
belajar berenang." Aku sendiri tidak begitu bisa berenang. Tapi aku senang memakai baju renang. Aku tidak keberatan
duduk-duduk " saja di pinggir kolam, menonton Shinola membuat kagum semua orang dengan
kemampuannya berenang sebelum bisa berjalan.
"Dengar-dengar " Shanee memulai. Tapi begim aku> duduk, Shinola mulai merengek-rengek jadi dia
langsung berhenti berbicara. "Kurasa dia ingin kembali ke iburiya,'* kata Shanee.
Shanee meniup-niup tehnya sementara aku ber
mendiamkan Shinola. "Atau, mungkin kami bahkan bisa tnenyeberang ke Prancis selama satu hari.
Kalau mereka membeli mobil yang sanggup berjalan sejauh itu."


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Shinola sudah sepenuhnya bangun. Kusan-darkan dia ke pinggulku, supaya aku bisa
memeganginya dengan mantap.
Shanee mengeluarkan sesuam dari dalam cangkir tehnya.
"Jadi, apa saja kegiatanmu selama ini"" tanyanya. "Ku-sangka kau akan memintaku menjaga Shinola
bila kau kepingin pergi."
"Aku tidak begim kepingin pergi," dustaku. Padahal sebenarnya aku ingin bisa keluar rumah sesekali,
dan Les juga cukup sering mengajakku main boling atau yang lainnya, tapi ajakannya selalu datang
mendadak, jadi aku tidak bisa meminta bantuan Shanee. Shanee selalu saja mengorek-ngorek tentang Les,
sepertinya dia tidak suka pada cowok im atau bagaimana Tolol benar, karena dia kan tidak pernah bertemu
dengannya. "Sisi keibuanku lebih mendominasL" Aku mengeluarkan sesuam dari dalam cangkir tehku.
"Kata Les, dia tidak percaya aku bisa terlihat cantik sekahgus keibuan."
Shanee tersenyum "Kami akan main ice skating hari Sabm nanti, siapa tahu kau mau ikut."
Kupandangi dia dengan sikap tidak percaya. "Dengan Shinola""
Shanee mengangkat bahu. "Kupikir mungkin Les bisa gantian menjaganya selama beberapa jam.
Memberimu kesempatan beristirahat."
"Aku tidak butuh istirahat," bantahku cepat. "Justru aku belum pernah merasa sebahagia ini." Aku
menggun-cang-guncangkan Shinola yang kubaringkan di lutut "Kalau
menurutku, inilah makna hidup yang sesungguhnya. Lagi
pula, hari Sabm Les tidak mungkin bisa menjaga Shinola.
Akhir minggu justru saat yang paling sibuk baginya."
Shanee berhenti memandang ke dalam cangkir tehnya untuk melihat benda apa yang ada di sana, lalu
ganti memandangiku. "Well, bagaimana kalau Sabm malam"" desaknya. "Orangtua Gerri pergi akhir minggu ini jadi dia
akan mengadakan pesta. Shinola bisa tidur di salah satu kamar yang ada di sana."
Membayangkan diriku pergi ke pesta bersama Shinola rasanya jauh lebih menyeramkan daripada pergi
ke pesta tanpa Les. "Bagaimana kalau Tahun Baru" Ibuku dan pacar ba-runya akan membawa adik-adikku ke Wales
segera setelah Natal, dan aku boleh mengundang beberapa temanku untuk be
rpesta di rumah." Aku tertawa. "Ibumu punya pacar""
Aku tidak pernah melihat ibu Shanee dengan rambut disisir rapi, apalagi mengenakan rias wajah.
Lelaki mana yang akan tertarik padawya"
Shanee menyeringai. "Dashyat, kan" Tapi tahukah kau, apa lagi yang hebat" Derek itu seorang dokter
gigi. Bisa kaubayangkan, tidak" Mereka bertemu di toko Oxfam, mengincar jaket yang sama."
Aku tidak percaya seorang dokter gigi bisa jatuh cinta pada wanita beranak empat yang menganggap
dirinya sudah berpakaian rapi bila sudah mengenakan kemeja flanel di luar kaus dan celana jins.
Aku mendesah. "Ya Tuhan.... Tidak semua hal terjadi s"uatu perkiraan kita, bukan""
: "Hampir tidak pernah," Shanee sependapat. 'Tapi inti-nya adalah, kau masih punya banyak wakm
untuk mencari orang yang bisa kaumintai tolong menjaga anakmu." Dia terlihat sangat bangga, seperti
orang yang baru saja me-nang lotere. "Derek bahkan memberiku uang untuk hi-dangan pesta nanti. Oke
banget, kan"" "Demi Tuhan, sekarang kan baru bulan November, Shanee. Aku tidak bisa berpikir sejauh im."
Memikirkan hari esok saja aku nyaris tidak bisa, karena selalu keca-pekan hari ini.
Tffiju Shinola menghantam cangkir teh di meja dan menghamburkan sedikit cairan panas mendidih ke
arah kami. Untung aku berhasil menyingkirkan dia tepat pada waktunya.
"Aku dan Shinola menjalani hidup dari hari ke hari."
Kalau kau bisa menyebutnya sebagai hidup.
Shanee mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang-an. Bisa kufihat bahwa dia juga tidak
menganggap kehi-dupan yang kujalani sekarang sebagai hidup yang memba-hagjakan, tapi dia hanya
berkata, "Well, di seluruh dunia sekarang ini semangat liburan sudah mulai merasuk di mana-mana." Dia
menyeringai. "Pesta, pesta, pesta.... Ikut atau bete..."
"Entahlah...." Walau belum sempat mernikirkannya, tapi aku tahu aku ingin melewatkan Malam Tahun Baru
bersama Les. Dia memiliki setelan jas hijau dari bahan linen yang dibelinya ketika ada sale dan dia hanya
mengenakannya untuk kesempatan-kesempatan khusus. Aku belum pernah me-lihatnya, tapi dia pernah
menceritakannya padaku. Pikirku, aku akan membeli gaun biru agar terlihat serasi dengan
jas im. Les pasti ogah menghadiri pesta di sebuah flat
pemerintah dengan segerombolan anak remaja, tapi mungkin kami bisa mampir sejenak selama
setengah jam. Jadi semua orang bisa melihat Les dan mengagumi keganteng-annya. Bukan masalah lagi
bila dia nanti mengetahui ternyata aku lebih muda daripada yang dikiranya selama ini. Cepat atau lambat
dia toh akan tahu juga, bila nanti kami mendaftar untuk mendapatkan surat izin menikah.
"Kutanya Les dulu. Siapa tahu dia sudah punya rencana sendiri untuk kami berdua."
Shanee mengorek ceceran susu bubuk yang sudah mengering dari atas meja dengan kuku jarinya yang
panjang dan dicat warn a ungu. Aku terpaksa menggunting semua kukuku pendek-pendek supaya tidak
melukai Shinola. "Lho, kuldra Les pergi ke rumah ibunya pada Hari Natal," kata Shanee. "Di Norfolk."
"Norwich," koreksiku. "Tapi im kan tahun lalu. Tahun ini mungkin dia tidak pergi."
Les memang belum mengatakan bahwa dia tidak akan pergi, tapi aku tidak percaya dia tega kehilangan
kesem-patan merayakan Natal pertama bersama putrinya. Tidak bahkan bila ibunya pandai membuat kue
buah yang paling enak di seluruh Inggris. "Terserahlah," tukas Shanee. "Pokoknya, beritahu aku." , Setelah
sekarang Shanee mengungkitnya, Hari Natal menjadi melekat dalam ingatanku. Sekilas aku mebayangkan
diriku dan Shinola mengenakan gaun yang serupa, duduk mengelilingi pohon Natal bersama Les. Aku. toh
bisa membeli kue buah di Marks and Sparks.
"Apa pendapatmu kalau aku dan Shinola mengenakan gaun yang serupa untuk Natal nanti"" Aku
memasukkan sendok ke wadah gula dan mengangkatnya, hendak me-masukkannya ke cangkir tehku. "Aku pernah
melihat fotonya di salah satu koran Minggu, seorang ibu dan anak perempuannya mengenakan gaun beledu
berhias renda yang serupa."
Shinola menggeliat-geliat dan gula im pun berceceran.
"Menurutku, lebih baik baju dari bahan kuht minyak saja," usul Shanee. "Atau plastik. Pokoknya yang
mudah dibersihkan." Dia menghirup tehnya. Denga
n hati-hati. "Jadi...," dia tersenyum dengan sikap
menyemangati, "bagaimana keadaanmu""
"Baik-baik saja. Semuanya beres. Senang rasanya tidak ada si sapi tua im lagi di rumah. Setiap hari
terasa seperti liburan." Aku tersenyum, untuk membuktikan bahwa aku sangat bahagia. "Kau sendiri
bagaimana"" "Hebat" Shanee mengangguk-angguk. "Banyak tugas sekolah, tapi aku menikmatinya, dan nilai-nilaiku bagus. Dan karena sekarang Lucy sudah punya Derek, aku punya banyak wakm untuk diriku
sendiri. Itulah sebabnya mengapa aku bisa bekerja paro wakm."
"Hebat sekali" , Sekaligus ironis. Dulu Shanee-lah yang tidak bisa ke mana-mana karena harus selalu
mendekam di rumah dan membantu ibunya, sementara aku bebas pergi ke mana saja Sekarang, justru
Shanee yang punya lebih banyak wakm luang, sedangkan aku sama sekali tidak punya wakm untuk diriku
sendiri. Bukan cuma kurang waktu, bahkan tidak ada sama sekali. Aku masih memegangi tinju kecil
Shinola yang basah kuyup, tapi mungkin aku meremasnya terlalu keras atau bagaimana karena mendadak
tangisnya meledak. "Dengar," kata Shanee. "Kalau kau dan Les ingin pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, aku tahu
sebuah restoran yang bagus sekali dekat Leicester Square. Kau pasti suka. Ada burung beonya dan segala
macam." Jelas ada banyak sekali perubahan dalam diri Shanee beberapa bulan terakhir ini. Dulu, satu-satunya
tempat yang pernah didatanginya di Leicester Square hanyalah stasiun kereta api bawah tanah.
"Sstt.desisku, memarahi Shinola. "Sekarang belum saatnya minum susu. Biarkan aku dan Shanee
mengobrol dulu." Shanee, yang dibesarkan di rumah yang kedamaian berarti hanya ada dua orang yang berteriak, terus
saja berbicara, seolah tidak merasa terganggu.
"Aku pergi ke sana untuk merayakan ulang tahun Edna Husser," ceritanya. "Dia mentraktir kami
bersepuluh makan malam di sana."
Aku tidak tahu siapa Edna Husser. Dia pasti anak baru. Tapi saat im aku sedang tidak begitu tertarik.
Seperti biasa, Shinola memutuskan untuk menangis sekuat tenaga. Kepingin rasanya kuremas dia lagi kuat-kuat, kalau tidak ingat bahwa im hanya akan membuat tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Kemudian, kami pergi ke tempat permainan virtual reality itu."
"Shinola," pintaku memohon. "Please.... Bagaimana kalau kautunjukkan senyum manismu pada
Shanee" Tunjukkan bahwa kau bayi pintar...."
Ada alasan sendiri mengapa orang menyebutnya muntah proyektil.
Shanee menyeka tangannya yang terkena semburan
muntah Shinola dengan tadah liur yang kotornya minta ampun sampai-sampai tidak terlihat apakah
benda itu bergambar kelinci atau beruang.
"Sebaiknya aku pulang saja sekarang." Shanee mendo-rong kursinya ke belakang. "Banyak sekali PR
yang harus kukerjakan. Kutelepon kau nanti malam, ya" Setelah Shinola tidur"
Dia beruntung kalau aku masih bisa menerima teie-ponnya.
Shanee tidak pernah menelepon. Selama berhari-hari setelah kunjungannya yang terakhir, aku selalu
bergegas meng-angkat telepon setiap kali benda im berdering, tapi tidak pernah Shanee yang menelepon.
Kadang-kadang yang menelepon im nenekku atau Charlene, dan beberapa kali juga Dara, menghubungiku
dari telepon genggamnya, dalam perjalanan ke suam tempat untuk menghadiri rapat atau jamuan makan
malam bisnis. Tapi kebanyakan adalah orang yang sama. Orang terakhir yang paling tidak mungkin kuajak
bicara. Si Hillary Biarkan-aku-mengatur-hidupmu Spiggs.
"Bagaimana keadaanmu"" **^M
"Masih sama seperti wakm kau terakhir kali menelepon.
Luar biasa baik." "Apakah dana rumah tangga yang kutinggalkan masih
cukup"" Pertanyaan im selalu ditanyakan Hillary setiap kali dia menelepon, seolah dia robot yang diprogram
untuk selalu mengucapkannya. Tapi, im juga pertanyaan yang menjebak.
mengatakan hal yang sebenarnya bahwa kalau
bukan karena tunjangan anak yang kudapat, juga uang lima puluh pound yang dildrimkan nenek
untukku kalau aku ingin membeli sesuam untuk diriku sendiri, juga lima
puluh pound kiriman Dara supaya aku punya uang lebih untuk Natal, serta dua puluh lima pound
pemberian Charlene untuk Shinola, maka total jumlah uang yang kupunya kka-kira hanya tinggal lima
puluh pence dia pasti bakal langsung mengamuk seperti Hurricane Mitch.
"Cukup," jawabku, meyakinkan dia. "Semuanya baik-baik saja. Sebentar lagi aku akan mendapatkan
giroku yang pertama." "Dan bagaimana kabar Shinola"" "Dia juga baik-baik saja." Aku bisa mendengar
suara ibuku mendesah. "Charley sedang mengerjakan proyek di Camden," lanjut ibuku. "Menurut kami, dia
bisa menjemput kalian berdua dalam perjalanan pulang kapan-kapan, jadi kau bisa makan malam bersama
kami di sini. Kalau mau, kau juga boleh menginap di sini, atau dia bisa mengantarmu pulang ' sesudahnya."
Lagi-lagi ironis. Wakm kami masih tinggal bersama dulu, ibuku selalu saja marah-marah dan
menerialdku, tapi sekarang, setelah tidak tinggal lagi bersama kami, dia selalu saja menyuruhku datang ke
rumah barunya. Duga-anku, dia cuma mau mengecek keadaanku saja. Tahu sendirilah, untuk memastikan
bahwa aku tidak memukuli bayjku, memakai .narkoba, atau hal-hal negatif lain sema-camnya.
"Sebenarnya kami mau saja," dustaku. 'Tapi minggu ini aku sibuk sekali." "Kalau begitu minggu
depan." lihat dulu bagaimana keadaannya nanti." Ibuku terdiam selama beberapa detik. Kusangka di*
menyerah kalah. Tapi ternyata tidak. Dia justru sedan
menyusun kembali kekuatannya.
Hillary Spiggs berdebam-deham. "Kata Mrs. Mugurdy dia beberapa kali melihat pacarmu datang."
Mungkin ada baiknya juga aku jarang keluar. Mrs. Mugurdy mungkin punya kunci supaya dia bisa
memeriksa isi flatku ketika aku sedang pergi, untuk memastikan bahwa aku tidak memorakporandakan
tempat ini. 'Mrs, Mugurdy seharusnya juga mengurus urusannya saja sendiri," tukasku sengit.
"Dia bilang pacarmu kelihatannya sangat baik," kata ibuku.
Aku tidak percaya mendengarnya. Mungkin dia rindu padaku atau mungkin hanya sekadar rindu
pada flatnya tapi ibuku sudah siap berdamai denganku. Inilah caranya menyerah, Mrs. Mugurdy pasti
melaporkan padanya bahwa Les ternyata bukan tipe cowok yang memakai anting-anting atau menunggang
sepeda motor, tapi cowok yang memiliki mobil bagus, berpakaian rapi, dan sangat sopan. Hillary Spiggs
lega. Tapi aku tidak mau terperangkap dalam jebakannya dan mengatakan sesuam tentang Les. Aku tahu
bagaimana ibuku. Kalau aku menanggapi perkataannya barusan, dalam tempo lima menit dia pasti sudah
langsung tahu siapa nama cowok itu, alamat rumahnya, dan nomor jarnjn sosialnya.
Jadi aku hanya berkata, "Hm..." n . ^
"Kuharap dia ikut membiayai keperluan aoakmu, buku.
Xku diam saja. desaknya "Apakah dia memberimu uang untuk keperluan anakmu"' 6 lcUk
Kalau aku mengiyakannya, aku tidak akan bisa memi uang lebih darinya untuk keperluan yang tidak
terd fapi bila kujawab tidak, dia akan lupa pada pujian ^ Mugurdy tentang betapa baiknya Les dan bakal
memata* matai tempat ini untuk mengkonfrontir Les bila di" datang nanti.
'Tentu saja," aku meyakinkan dia. "Dia kan bukan orang tolol." "Kalau im aku sudah tahu," sergah
ibuku. Sunyi Sepi Sendiri AKU mulai merasa sedih saat bulan Desember tiba.
Tiba-tiba saja, semua orang sibuk sekali. Sekarang, setelah menjadi manajer di entah planet mana nun
jauh di sana, Les semakin jarang punya wakm luang dibandingkan sebelumnya. Shanee mulai berpacaran
dengan cowok te-man kerjanya di toko, jadi dia juga tidak punya waktu kgi untukku. Charlene, yang
selama ini memang tidak pernah punya wakm luang, sekarang semakin tidak punya wakm lagi karena
sibuk mengorganisir bazar amal di sekolah untuk menyambut Natal. Dara sedang berada di New York.
Nenekku, yang biasanya menelepon setiap satu atau dua hari sekali, sekarang sudah seminggu. tidak pernah
lagi menelepon. Masa Natal adalah masa panen pesanan selimut tambal, jadi dia pasti sibuk sekali. Bahkan
Hillary juga terlalu sibuk untuk sermg-sering mengecekku. Semua im membuatku merasa sangat kesepian,
dengan hanya Shinola saja yang bisa diajak berbicara, hari derfli hari Dan hanya mengerjakan urusan-urusan yang berkaitafl dengan Shinola.
Dan, seolah im semua belum cukup, keadaanku sekarang
ini. juga tidak begim baik.
Giro tunjanganku belum juga datang, dan aku mendapat surat dari kantor urusan perumahan yang
mengingatkan Mrs. Spiggs bahwa behau masih menun
ggak uang sewa rumah. Aku hampir tidak punya uang lagi
untuk mem-bayarnya. Aku sudah menghamburkan uang cukup banyak untuk membeli dua gaun beledu
yang mahal sekali, untuk dipakai saat Natal nanti. Meski mahal, menurutku itu bukan masalah, karena kami
akari mengenakannya untuk Les. Selain untuk membeh gaun-gaun im, aku tidak tahu lagi ke mana larinya
semua uangku. Yang jelas, uang mengalir seperti air dari kantongku. Padahal, aku tidak bermewah-mewah.
Selama ini saja aku bertahan hidup dengan makan makanan murah, seperti kacang panggang Kwik Save
No Frills dan roti tawar Kwik Save No Frills. Sudah satu bulan aku tidak pernah lagi minum Coca-Cola.
Untuk menghemat uang. Aku masih memutar otak mencari jalan untuk membayar tekening telepon wakm perawat di ldinik
tumbuh kembang bayi memarahiku karena bokong Shinola merah-merah dan lecet-lecet sebab popoknya
jarang diganti. Bia bahkan tidak memberiku kesempatan unmk menjelaskan bahwa alasan mengapa bokong
Shinola terlihat seperti pisfga adalah karena aku bangkrut hingga terpaksa menghemat pemakaian popok
sekali pakai. Dia terus saja mengoceh, membuatku merasa bersalah.
"Kahan para ibu muda sepertinya menganggap bayi sebagai boneka," geramnya gusar. "Padahal kalau
kaki bayi kalian patah, kahan tidak akan bisa memasangkannya "agi seperti memasang kaki boneka yang
Sehari setelah itu, aku menemui petugas di kantor
perumahan. Orang itu memiliki wajah kaku yang sepertinya tidak pernah tersenyum. Menanggapi
permohonanku memiliki flat sendiri, dia malah berkata bahwa aku toh bukan tunawisma atau sangat
membutuhkan rumah, bukan" Jadi, karena menurutnya aku tidak terlalu butuh, dia menempatkan namaku
di urutan paling bawah. Dia juga berpesan untuk menghubunginya bila simasiku berubah.
"Maksud Anda, menelepon Anda bila saya mati, begitu"" sergahku.
"Semacam itulah."
Setelah menemui petugas kantor perumahan, aku langsung pulang dan menangis. Aku terenyak di sofa
sambil masih mengenakan jaket dan memangku Shinola yang mengisap jari tanganku dan menangis. Aku
benar-benar berhatap Shanee mau datang lagi ke rumahku seperti dulu. Kami akan membeli sekantong
keripik dan camilan lain, lalu nonton video dan bergadang semalam suntuk hanya untuk mengobrol. Tapi,
pikiran tentang video malah membuatku menangis semakin keras. Selama beberapa menit aku merasa
sangat mar ah. Begitu marahnya- sampai aku merenggut boneka jerapah Shinola yang menusuk-nusuk
bokongku dan melemparkannya ke pesawat televisi.
Tapi aku tidak tahu aku marah pada siapa. Bukan pada Shanee. Dan jelas bukan pada Les. Maksudku,
bukan salah Les bila dia begitu hebat dalam pekerjaannya hingga diangkat menjadi manajer termuda di
negeri ini, mungkin bahkan di seluruh dunia. Bukan salahnya bila dia dipin-dahkan ke cabang Finsbury
Park. Bukan salahnya Hillary tidak meninggalkan cukup uang untuk bertahan hidup. Rasanya aku bisa
mendengar Hillary Spiggs berkata, 'Tapi
914. gara-gara dia kau hamil." Saat im, aku tahu aku marah
pada siapa. Bisa kulihat sekarang bahwa Hillary memang merenca-nakan semua ini. Dia tahu bagaimana rasanya
punya bayi. Betapa beratnya mengurus anak sendirian tanpa ada orang lain yang membantumu atau
menjaganya sesekali selama beberapa jam. Dia juga tahu betapa banyaknya biaya yang harus dikeluarkan
untuk membeli semua keperluannya. Dia tahu wakm teman-temanku akan sangat tersita karena tugas-tugas
sekolah sehingga mereka tidak akan punya waktu untukku. Dia memang menginginkan semuanya be-rantakan. Dia menunggu aku datang dan memohon-mohon agar dia kembali. Dia menunggu aku datang dan
berkata bahwa dia benar dan aku salah. Tapi aku tidak akan melakukannya. Aku akan menguatkan diri dan
maju terus. Yang kualami sekarang ini hanyalah kemunduran sementara, im saja. Kemunduran sementara
yang .tidak berarti. Sam-satunya hal yang dapat menghancurkan ren-canaku hanyalah bila aku dan Les
putus. Dan im tidak akan pernah terjadi.
Tapi fldak punya uang adalah masalah besar. Padahal, aku harus membelikan hadiah Natal untuk
sembilan orang, bdum termasuk Les dan Shinola. Aku tidak mau membuat Hillary tahu keuanganku morat-marit bila
aku datang tanpa membawa hadiah apa pun.
Aku mengambil sebutir Rolo lagi dari bungkusannya. Sebenarnya aku harus memakannya pelan-pelan,
karena ini makanan istimewa. Semacam hadiah yang tidak terduga dari Tuhan. Ceritanya begini: tadi aku
pergi ke kios koran dan majalah untuk membeli sekotak korek api karena Panantik api utama di kompor
tidak berfungsi. Karena malas menaruh Shinola dalam kereta dorong, aku hanya menggendongnya saja ke. kios im. Kiosnya
penuh pe-ngunjung dan, seperti biasa, Shinola merengek-rengek. Aku berusaha keras menghiburnya selagi
kami mengantre untuk membayar dengan cara menunjukkan berbagai ma-cam permen yang dijual di
konter.

Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuguncang sekotak Maltesers. "Lihat," kataku. "Apa itu, Shinola""
Shinola tidak suka Maltesers.
Kuambil sebungkus Smarties dan kuguncang-guncang. Shinola juga tidak suka Smarties.
Aku baru saja mengambil sebungkus permen Rolos ketika seorang wanita tua muncul dari bagian
belakang kios dan bertanya sekarang giliran siapa.
Wanita yang berdiri di belakangku mendorong pung-gungku. "Giliranmu." Iftr
"Saya mau beli sekotak korek api," kataku, lalu mema-sukkan tanganku ke saku untuk mengambil
uang. Baru setelah meninggalkan kios im aku sadar bahwa pada saat yang sama sewaktu aku merogohkan
tangan untuk mengambil uang, aku tanpa sengaja mefTjatuhkan permen Rolos im di antara aku dan
Shinola. Kupandangi permen im sekarang seperti aku meman-danginya tadi. Dengan penuh rasa heran.
Wakm itu,- aku bertanya-tanya dalam hati apakah aku harus mengembalikan permen im.
Sekarang, aku malah bertanya-tanya dalam hati apakah aku bisa melakukannya lagi.
Tidak butuh wakm lama bagiku untuk merencanakan
bagaimana aku bisa melakukannya lagi. Dan lagi. Dan
lagi. Asal tahu saja nih, melakukan hal itu ternyata jauh lebih mudah daripada menarik botol susu dari
mulut bayi yang sedang kelaparan. Apalagi bila kau membawa bayi
yang bisa membantumu. Dalam tempo tiga menit saja, aku langsung tahu paling mudah mengutil barang dari pasar swalayan.
Dan karena sekarang menjelang Natal, jenis barang yang bisa dicomot juga banyak sekali. Hillary selalu
berkeluh kesah setiap tahun karena pasar swalayan selalu mengubah letak barang jualan mereka untuk
memberi tempat pada barang-barang yang hanya dijual pada masa Natal. "Di mana sih mereka meletakkan
telur"" begim dia akan berteriak. "Mengapa tidak diletakkan di tempat biasa saja"" Tapi, lorong-lorong
yang penuh berisi barang tambahan seperti hadiah kecil dan cokelat adalah jawaban doa-doaku. Bagiku, im
bagaikan surga belanja sekali jalan "yang menyenangkan.
Aku sangat berhati-hati, tenm saja. Aku jelas tidak mau tertangkap basah mengutil di pasar swalayan.
Hillary Spiggs bakal ngamuk berat bila cucu perempuannya dijebloskan ke balik jeruji besi. Dia mungkin
juga tidak bakal senang bila aku dipenjara. Salah sam kekurangan menjadi anak enam belas tahun yang
belum pernah terpikirkan olehku kmgga saat ini adalah bahwa sekarang aku bisa dipidana.
Shinola dan aku selalu pergi ke toko-toko langganan kimi. Semua orang di sana kenal kami karena aku
selalu mengobrol dengan para kasir tentang Shinola, keadaan GHca, dan hal-hal semacam im. Hanya im
satu-satunya ^empatanku mengobrol dengan orang dewasa, selain ^"gan Les dan sesekali mengobrol di
telepon dengan Shanee atau ketabat dekat perempuan. Dalam perhitung-anku, mereka tidak mungkin mengawasi aku
karena mereka kenal padaku. Paling-paling mereka akan berpilrir, oh im dia si ibu muda dengan bayinya
yang lucu, dan tidak akan menaruh kecurigaan sedikit pun. Apalagi, karena aku memang selalu membeli
sesuam. Dengan begitu, kalau toh aku kepergok mengutil, mereka akan percaya padaku bila kubilang
bahwa im tidak disengaja. "Oh, Tuhan!" aku akan memekik. "Aku lupa sama sekali pada barang im
Ternyata jatuh dan tertutup selimut bayi." Dan kami tidak pernah pergi ke toko yang sama dua kali
berturut-turut Kami menyebar ke toko-toko lain.
Dalam wakm kurang dari satu minggu, aku sudah berhasil mendapatkan hampir semua hadiah yang
kubu-tuhkan. Cokelat untuk Nenek dan anak-anak Charlene, aftershave lotion untuk para lelaki, minyak
mandi untu k kakak-kakak perempuanku dan si Spiggs, serta boneka kapuk untuk Shinola.
Hanya tinggal satu hadiah yang tidak mungkin kuda-patkan di pasar swalayan. Dan im, tentu saja,
hadiah untuk Les. Sebenarnya aku ingin menunggu sampai Hari Natal, siapa tahu ada -yang memberiku
uang. Sayangnya, Les akan pergi mengunjungi ibunya di Norwich pada Malam Natal, jadi aku tidak bisa
menundanya. Yang kuinginkan untuk Les adalah sebentuk gelang rantai emas berhias inisial seperti yang kulihat
dalam katalog Argos. Aku akan memesan ukiran inisial namanya di bagian depan, dan tulisan "Cinta,
ILana" di bagian belakang. Masalahnya, jangankan gelang im, gelang serupa dengan inisial nama orang
lain yang dijual di toko gadai pun tidak mampu kubeli.
Pilihan keduaku adalah sepasang kaus kaki bergambar karakter Tazmanian Devil seperti yang pernah
kulihat di Oxford Street. Les paling suka Taz. Dia bahkan meng-gantungkan pengharum mobil bergambar
Taz di mobilnya. Memang sih, im bukan hadiah yang hebat, tapi setidaknya, hadiah im menunjukkan
bahwa aku memerhatikan kese-nangannya.
Aku membutuhkan wakm cukup lama untuk mengum-pulkan keberanian. Para pramuniaga di Oxford
Street sudah digembleng sedemikian rupa untuk mengenali setiap gerak-gerik calon pengutil dan kau tidak
bisa sepenuhnya melepaskan diri dari pengawasan mereka atau dari kamera pengawas. Tambahan lagi, aku
jridak mampu membeli apa-apa di sana, kecuali bila mereka kebetulan mengobral kaus kaki dengan harga
lima puluh pence. Aku mengisi dua tas plastik Body Shop dan Miss Selfridge lama dengan barang-barang rnilikku
supaya, kau tahu, mereka mengira aku benar-benar sedang shopping, meski yang kuandalkan sebenarnya
adalah Shinola. Dialah nanti yang akan mengalihkan perhatian.
Sekali ini Shinola bertingkah tepat sesuai keinginanku. Begim kami menjejakkan kaki ke toko im, dia
langsung meraung-raung. Aku mencondongkan badanku ke atas kereta dorong untuk menghiburnya, tapi
dia tidak peduli dan terus saja menjerit-jerit. Beberapa pengunjung dan dua pramuniaga di toko im
menyunggingkan senyum simpati kepadaku. Aku mencoba mengguncang-guncangkan kereta dorong itu,
tapi toko im kecil sekali sehingga aku tidak bisa melakukannya tanpa membentur sesuatu. Ber-ulang kali
aku meminta maaf sambil terus berusaha
menenangkannya. Aku menjadi gelisah dan tertekan. Ku-Iangkat Shinola, lengkap dengan selimutnya. "Phase, Sayang.pintaku padanya dengan suara keras.
"Kita harus mencarikan sesuam untuk ayahmu." Semua orang ikut-ikutan gelisah dan tertekan. Salah
seorang pengunjung kabur sementara yang lain langsung menyambar celana pendek dan syal lalu bergegas
memba-wa semuanya ke kasir. Aku menyehpkan kaus kaki yang kuinginkan ke balik selimut Shinola dan
membaringkannya kembali ke kereta dorong. Sambil masih terus bersandiwara, seperti yang diajarkan pada
kami di kelas drama, aku berlagak mengancamnya, "Kita terpaksa pulang kalau kau terus-menerus rewel
seperti ini. Besok saja kita kembali ke sini." Dan selesailah sudah: gampang sekali. Seperti meletakkan
hiasan sebutir ceri merah di atas kue cokelat. Aku memutar arah, kereta dorong dan mendorongnya ke
pintu. "Nanti aku kembali lagi," janjiku pada para pramuniaga. Mereka tersenyum, melambaikan tangan,
dan berseru, "Bye, sampai ketemu lagi." Tapi setibanya aku di pintu, keberuntunganku berubah.
Sekelompok gadis remaja, dengan tangan menjinjing tas-tas belanja, menerobos masuk. Mereka tertawa
terkikik-kikik dengan suara berisik, entah menertawakan apa. Aku sudah hendak melewati gadis-gadis im
wakm mendadak aku sadar siapa mereka. Aku terperangah. Hanya im kata yang tepat untuk melukiskan
perasaanku: terperangah. Maksudku, ada berapa banyak toko di London" Ribuan" Puluhan ribu" Puluhan
ribu toko dan 24 jam dalam satu hari, tapi pada saat
220 yang bersamaan, aku, Shanee, Gerri, dan Amie sama-sama dihinggapi keinginan yang sangat kuat dan
tidak tertahankan unmk membeh kaus kaki di Oxford Street Tuhan pasti benar-benar ada; hal semacam ini
tidak mungkin terjadi tanpa perencanaan.
"Lana!" "Lana!" "Lana!" Shinola, yang pasti mendapat bisikan dari Tuhan, kontan terdiam dan
bersikap semanis bunga. Benar-benar anak pintar. Kepingin rasanya kulempar dia keluar jendela-sekarang juga.
"Shanee! Gerri! Amie!" aku balas berteriak. "Ngapain kalian di sini""
"Belanja hadiah Natal," jawab Shanee.
"Ini pemberhentian terakhir," kata Amie. "Aku sudah bokek."
Gerri tertawa. "Belum bokek kalau belum mati."
"Kau sendiri sedang apa"" tanya Shanee. Dia tersenyum padaku. "Mencarikan sesuam untuk Dad, ya""
Aku balas tersenyum. "Yeah, hanya saja Shinola rewel terus dari tadi, jadi aku terpaksa membawanya
pulang." Amie mengernyitkan wajah pada Shinola yang, benar-benar tidak mau mengikuti aturan dalam
skenarioku, malah balas tersenyum dan berdgguk-deguk.
"Sepertinya sekarang dia baik-baik saja," kata Gerri.
"Kami tidak lama kok," imbuh Shanee. "Bagaimana kalau kau menunggu sebentar jadi kita bisa pulang
bareng"" Mengerikan benar. Rasanya seperti habis merampok bank tapi tidak langsung pulang dan malah
mengobrol dengan salah seorang kasirnya.
:ngangguk ke arah Shinola. "Percayalah, dia hanya diam untuk sementara wakm. Kalian pasti tidak
mau pulang bersama kami, im akan menjadi pengalaman yang traumatis bagi kalian."
"Ah, tidak apa-apa." Tiba-tiba saja Shanee sudah ber-jongkok dan membelai-belai pipi Shinola. "Kau
tidak akan membuat heboh kan di bus nanti, Manis""
"Sebentar ya," kata Gerri. "Aku sudah tahu kok mau membeli apa."
Amie mulai melihat-lihat celana pendek yang dijual, tapi Shanee terus saja bercakap-cakap dengan
Shinola. Dia membuka salah satu ikatan di jaket Shinola. Mengambil mainan yang dibawa Shinola dan
menggoyang-goyangkannya di depan mukanya. Lalu dia berkata, "Sepertinya dia kepingin digendong."
Dibukanya sabuk peng-aman Shinola dan diangkamya bocah im dari kereta.
Semua terjadi begitu cepat hingga aku tidak sempat lagi menghentikannya. Sam menit yang lalu
Shanee masih berjongkok di samping kereta dorong, dan detik berikutnya dia sudah berdiri sambil
menggendong Shinola. Kaus kaki Tazmanian Devil im melayang dan jatuh ke lantai.
I"Apa im"" tanya Shanee. "Apa itu"" tanya kasir. Untunglah aku memang dilahirkan untuk menjadi
artis, sekaligus ibu. "Oh, Tuhan!" Aku menutup mulutku dengan tangan, seolah kaget "Aku lupa sama
sekali pada kaus kaki itu! Shinola menangis terus sih tadi aku pasti tanpa sengaja menjatuhkannya ke atas
sefimumya ketika sedang berusaha mendiamkannya tadi."
Para pramuniaga tertawa. "Tidak apa-apa," kata si pramuniaga yang paling tua.
"Kau memang kelihatan repot sekali tadi."
Shanee masih terus bercakap-cakap dengan Shinola.
"Im yang akan kauhadiahkan pada ayahmu ya, Natal nanti" Wah, dia pasti suka sekali!"
"Kau mau membawanya ke kasir"" tanya si pramuniaga.
Aku tidak tahu harus melakukan apa. Berkata padanya bahwa aku berubah pikiran" Atau berlagak
seolah aku memang hendak membelinya lalu pura-pura kehilangan uang"
"Kau masih mengmginkannya, bukan"" dia mendesak.
Aku bisa merasakan mata semua orang tertuju padaku.
"Oh ya," jawabku. 'Tentu saja masih."
Amie datang dan berdiri di sebelahku. "Ada apa"" Dia mengedipkan mata padaku. "Apa saja kerjamu
selama ini, Lana" Mengutil lagi ya""
Im gurauan. Aku tahu dia hanya bergurau. Dan semua orang juga tahu. Tapi tidak ada yang tertawa.
Shanee menyodorkan kaus kaki im kepadaku. Jari-jarinya meraup tanganku dan meremasnya kuat-kuaL
"Ini." Dia membungkuk dan membaringkan Shinola kembali ke keretanya. "Ayo, kita segera pulang."
Aku bisa merasakan sesuam yang bukan kaus kaki di telapak tanganku. Aku menunduk. Ada selembar
uang dua puluh pound diselipkan di antara kaus kaki im.
"Untung kau menemukannya tadi," kataku pada Shanee.
Shanee mengangguk. "Yeah," sahutnya. "Kurasa begitu."
Biasanya, bayangan melewatkan satu hari penuh bets
seluruh anggota keluargaku sama tidak menyenangkannya dengan melewatkan sam hari penuh di kelas
matematika. Tapi, karena belakangan ini sendirian terus, aku malah menunggu-nunggu datangnya Hari
Natal. Paling tidak di sana hangat alat pemanas ruangan di rumah Charlene tidak dibatasi meteran, tapi
kalaupun penggunaannya di-batasi, dia selalu punya cukup uang untuk mengisi ulang. Dan akan ada
banyak makan an. Juga h adiah. Dan kami bisa menggunakan gaun baru kami.
Gaun beledu Shinola berwarna hijau, sedangkan gaunku merah. Keduanya memiliki kerah dan
pergelangan tangan yang dihiasi renda putih. Aku bahkan menyempatkan diri mengeluarkan kotak berisi
perlengkapan merangkai perhias-an yang dihadiahkan Hillary untukku pada Hari Natal sekian tahun lalu.
Selama ini aku malas mengutak-atiknya, padahal sebenarnya isinya bagus-bagus. Selain alat-alat, dalam
kotak im sudah tersedia kabeL benang, beberapa utas kalung rantai, dan berbagai jenis manik-manik.
Kalung ran-tainya murahan, tapi cukup lumayan bila dilihat dari jauh. Aku memendekkan seutas kalung
rantai emas supaya pas di leher Shinola, lalu memasangkan bandul beruang tedi kecil dan bintang di sana.
Tidak lupa aku memasangkan bandul baru dari Les (kali ini bentuknya poci teh) di gelang rantai emasku,
Jadi, Shinola dan aku tampil dengan.tema yang sama. Bila kami tidak terlihat seperti sepasang ibu dan
anak, paling tidak kami sama-sama terlihat seperti peri.
Begitu aku berjalan memasuki rumahnya, Charlene langsung merebut Shinola dari gendonganku.
"Tamu kehormatan sudah datang!" teriaknya.
Nenekku menghambur secepat kilat dari dapur, sepern perampok berlari meninggalkan lokasi
kejahatan. "Berikan padaku!" perintahnya dan langsung merebutnya dari gendongan Charlene sebelum Charlene
sempat mem-bantah. Sepanjang sisa hari im, aku benar-benar lepas dari Shinola. Semua orang ingin menggendongnya dan
ber-main-main dengannya. Anak-anak ingin menyuapinya. Ne-nek bahkan ingin menggantikan popoknya.
Kalau melihat tingkah mereka, orang bakal mengira yang kubawa im Bayi Yesus sendiri, bukan Shinola
Spiggs. Makanan tersedia melimpah ruah. Keripik dan cokelat. Kacang dan pretzel. Biskuit, potongan-potongan keju, dan buah zaitun. Perutku sudah bukan keroncongan lagi, tapi menggemuruh. Aku memilih
kursi yang paling dekat dengan semua makanan. im, supaya gampang meraih kacang dan keju.
"Ini untukmu," kata Justin.
Aku mendongak dan melihamya mengulurkan segelas sampanye untukku. Sebenarnya aku tidak
bermaksud me-noleh ke Hillary, tapi im sudah menjadi semacam respon otomatis.
"Well, kau mau ikut bersulang bersama kami, kan"" tanya ibuku.
"Oke, sekarang setelah semuanya berkumpul, waktunya mendengarkan musik!" pekik Dara, lalu
langsung menghambur ke arah stereo sebelum ada yang sempat meng-hentikannya. "Baru kemudian kita
bisa mulai acara buka kado."
"Oh, please" keluh kami semua berbarengan. "Jangan Phil Spector lagi."
"Natal belum afdol rasanya kalau belum mendengarkan Ronettes," tukas Dara.
"Itu berarti lata semua perlu minum lagi" sergah "ck.
Semua orang tertawa dan mengacungkan gelas masing-sing. Termasuk aku. ""^M
Semua orang mengucapkan terima kasih yang berlebihan saat membuka hadiah dari aku dan Shinola,
walaupun hadiah kami sederhana. Untung aku ingat untuk menye-diakan aftershave tambahan untuk
Charley, unmk berjaga-jaga, karena tahun ini ternyata mereka tidak pums. Ibuku pemah lupa bercerita
tentang alat pembuka kaleng yang kuhadiahkan padanya sebagai kado ulang tahun wakm aku masih
berumur mjuh tahun, tapi bahkan dia akap seolah aku memberinya hadiah tiket tur ke Hawaii saja.
"Oh, manis sekaU hadiahmu, Lana." Nadanya bahkan terdengar tubes. "Tenma kasih.... Ini minyak
mandi kesu-kaanku." Shinola mendapat banyak sekali hadiah baju. Keba-nyakan baru bisa dipakai sekitar enam bulan lagi.
Jadi, persediaan bajunya aman. Agak menakutkan juga bagaimana ibuku, nenekku, dan kedua kakak
perempuanku memiliki piltiran yang sama seperti im. Dia juga mendapat banyak sekali mainan. Mainan
dari Hillary, Charley Charlene, dan Dara semuanya bersifat mendidik. Nenek memberinya boneka beruang
tedi yang ukurannya hampk sebesar aku.
"Mau ditidurkan di mana beruang ini"" tanyaku. "Di tempat ti&wku""
Tidak gampang lho, menjadi ibu," sergah nenekku.
Dan, kecuali selimut tambal yang dibuatkan nenek untukku, semua hadiahku kurang-lebih adalah
untuk Shinola juga. Charlene dan Justin memberiku hadiah
telepon genggam dengan kartu prabayar berisi pulsa se-banyak dua puluh pound, supaya aku bisa
bebas menelepon sambil berj alan kian kemari mengurus Shinola.
"Unmk jaga-jaga dalam keadaan darurat," kata Justin. "Kau harus selalu siap dengan telepon di
dekatmu setiap wakm." "Kami bahkan tidak punya telepon wakm aku masih kecil," tukas Nenek. "Padahal ibuku punya mjuh
anak." Dara dan. Mick memberiku hadiah langganan majalah ibu dan anak, serta sehelai voucher untuk
dibelanjakan di Mothercare, siapa tahu aku membutuhkan sesuam untuk Shinola.
"Tapi jumlahnya seratus pound"' Aku tahu Mck meng-hasilkan uang banyak dari pekerjaannya di kota
dan Dara juga menghasilkan uang banyak dari pekerjaannya di seluruh dunia tapi seratus poundl Aku
saja tidak pernah diberi uang sebanyak im untuk membeli keper-luanku.
"Bayi kan cepat sekali tumbuh," kata Dara. "Mereka selalu membutuhkan segala macam."
Anak-anak Charlene, Drew, dan Courtney, memberiku satu set video Sesame Street.
"Wow," ujarku. "Tepat seperti yang kuinginkan selama ini."
"Kalau begitu, coba buka yang ini," kata ibuku. Dia mengulurkan sehelai amplop putih panjang berhias
pita merah untukku. Aku menerimanya dengan -sikap tidak terlalu antusias. Tidak banyak kan yang bisa dimasukkan ke
dalam amplop" "Apa ini""
"Buka saja," jawab ibuku.
-Tidak ada seorang pun yang berbicara sewaktu aku membuka amplop im. Bahkan Shinola pun diam.
Aku mengeluarkan kertas yang terlipat di dalamnya. "Surat kontrak." Aku menengadah, memandangi
Hillary, urat kontrak flat" Spiggs tersenyum. "Benar sekali."
Kupandangi lagi surat kontrak im. Ini tidak mungkin perti yang kukira. Kupandangi lagi ibuku.
Mungkin-kah" "Aku meminta ibumu untuk menjadi pendamping hi-dupku," kata Charley Dia merangkul pundak
ibuku. Hillary menepuk-nepuk lumt Charley. "Dan karena rasanya sayang menyia-nyiakan dua rumah, aku
pun meng-iyakannya" "Jadi kalian akan menikah""
Ironis banget! Ibuku akan menikah mendahului aku. 'Tidak dalam wakm dekat," jawab ibuku. "Tapi
aku akan resmi pindah ke rumah Charley. Untuk selamanya." Dia tersenyum. "Karena sekarang kau sudah
dewasa." "Hebat, bukan"" seru nenek. "Sekarang kau tidak perlu lagi menunggu antrean unmk mendapat rumah
dari pe-merintah selama sepuluh tahun. Kau berhak menempati flat ibumu. Im sudah dinyatakan .secara
jelas di dalam surat kontrak."
Hillary tertawa. ""Well, apa komentarmu, Lana" Tidakkah kau senang""
Aku hanya memandangi surat kontrak di tanganku | seolah im sepatu mirah delima Dorothy. "Tentu
saja aku senang" Aku girang bukan kepalang. Ada kira-kira selusin lag0
berkecamuk dalam pikiranku. Setelah semua kekecewaan yang kualami, segala sesuam akan berjalan
sesuai rencana-ku. Yang lain-lain mulai ribut berbicara pada saat yang bersamaan. Mick berusaha memperkirakan berapa


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uang yang bakal kudapat dari Tunjangan Hidup dan Tunjangan Anak serta Tunjangan Perumahan, lalu
mengoceh tentang pentingnya membuatkan anggaran untukku. Katanya, im pelajaran yang penting dalam
ilmu ekonomi. Nenek berkata aku juga bisa kembali ke sekolah bila nanti Shinola sudah agak besar, dan
mungkin bekerja paro wakm. Justin malah berkata bahwa aku tidak perlu menunggu selama . im.
Menurutnya, pemerintah memiliki program khusus unmk gadis-gadis remaja yang bernasib sama
denganku, dengan memberi pelatihan membuat patung tanah liat dan semacamnya. Dara mengingatkan
aku bahwa dia dulu membayar uang kuliahnya di bidang studi bisnis dari hasil membersihkan rumah-rumah. Charlene berkata se-baiknya aku mencari ibu-ibu muda lain yang tinggal di sekitar rumahku dan
membentuk kelompok untuk bergan-tian menjaga anak masing-masing, supaya kami bisa punya wakta
istirahat "Penting lho, punya wakm untuk o!irimu sendiri," kata Charlene.
Kubiarkan mereka berbicara apa saja. Rasanya seperti mandi kata. Semuanya masuk ke kupingku dan
menghilang begitu saja. Aku mengangguk-angguk dan tersenyum, tapi tidak benar-benar mendengarkan perkataan mereka.
Aku lebih sibuk mendengarkan lagu demi lagu yang bermunculan dalam benakku.
Benar kata orang bahwa habis gelap, terbidah terang.
229 dfl Di saat aku tengah merasa sedih dan kesepian, semua persoalan yang menghadangku sebentar lagi
akan bisa diatasi. Flat im kini menjadi rnilikku! Milikku se
ndiri! Sekarang Les bisa pindah ke rumahku dan kami
akan dup bahagia bersama selamanya. Nenek mengacungkan gelasnya tmggi-tinggi. "Ayo ber-ulang!"
pekiknya. "Untuk Tahun Baru yang terindah."
Sebuah lagu memisahkan diri dari lagu-lagu lain dalam benakku dan berkumandang kencang. "Hanya
lalala dan aku... dan hadirnya si bayi s'makin melengkapi... Kami bahagia di... surga biru... kaa-mi..."
Kuangkat gelasku tmggi-tinggi. "Unmk Tahun Baru ang terindah!"
Selamat Tahun Baru Untuk Kita
AKU hampir-hampir merasa tergoda untuk pulang bersama Hillary dan Charley dan tinggal bersama
mereka sampai sehari setelah Natal. Mereka juga menginginkan hal yang sama. Well, mereka ingin bisa
lebih lama bersama Shinola. Bahkan Charley pun demikian. Mereka bermain terus dengannya. Padahal
aku berusaha mengajarkan pada Shinola untuk tidak berharap akan digendong setiap kali menangis, tapi di
sini, semua orang malah berebut meng-gendongriya. Tapi, karena banyak sekali pekerjaan yang
kuselesaikan, aku tidak mungkin membuang-buang Waktu bersama mereka. Aku merasa bersemangat lagi
dan P^uh rencana. Minggu ini juga, Hillary dan Charley datang untuk memindahkan barang-barangnya
yang ^sih tertinggal di flat, tapi kubilang pada mereka bahwa *u akan mulai mengemasi barang-barang im
sebelum a ^jeka datang. Aku sUdah tidak sabar ingin segera mulai ^benah. Semakin cepat Hillary pindah,
semakin cepat " a aku bisa benar-benar "masuk" dan hidupku akhirnya 1Sa ^ai dengan benar.
P* - Dan, tentu saja, aku harus memberitahu Les. Dia mungkin akan meneleponku setelah Natal nanti,
untuk mengucapkan Selamat Natal setelah ibunya selesai me-luapkan kegembiraan karena dia pulang
selama satu minggu. Aku harus ada di rumah bila dia menelepon.
Sepanjang hari setelah Natal, aku menunggu-nunggu telepon dari Les, tapi telepon im tidak pernah
datang. Kupikir, ibunya pasti menyeretnya ke sana kemari, minta ditemani mengunjungi rumah sanak-saudara, jadi Les tidak pernah punya kesempatan untuk meneleponku. Esok ha-rinya, pagi-pagi benar, aku
mulai mengikat buku-buku Hillary setumpuk demi setumpuk, lalu memasukkan semua barang yang tidak
bisa pecah ke dalam kantong sampah ukuran besar. Saking sibuknya mengemasi barang, aku tidak sadar
bahwa Les belum juga menelepon sampai jam 22.00, wakm aku akhirnya ambruk ke tempat tidur. Aku
berbaring di sana, di tengah segala macam sampah yang dikumpulkan Hillary selama sekian tahun,
membayangkan bagaimana aku akan menata flat ini nantinya. Dinding dan perabotannya berwarna putih.
Ada sam set meja sudut yang terbuat dari kaca dan krom di sebelah sofa kulit. Meja tamunya besar dan
bundar, juga terbuat dari kaca dan krom. Lampu-lampunya memiliki mdung kaca embun dan mengarah ke
langit-langit. Les sedang sibuk di dapur kami yang dicat biru-kuning, membuatkan mi-numan untuk kami
berdua. Lalu dia datang dan duduk di sampingku, mengulurkan gelas berisi minuman. "Selamat Natal,
Sayang," bisiknya. "Dan Selamat Tahun Baru." Saat itulah baru aku sadar bahwa dia .belum menelepon
juga. Aku begitu capek sampai nyaris tidak peduli.
"Dia pasti akan menelepon," hiburku pada diri sendin
sambil membungkus badanku rapat-rapat dengan selimut tambalku yang baru. "Mungkin wakm
Hillary dan Charley datang ke sini." Aku menyingkirkan Les jauh-jauh dari pikiranku. Aku tahu bagaimana ibunya. Dia pasti tipe ibu yang
selalu meng-gelayuti anaknya dan tidak mau melepaskannya. Tambahan lagi, dia pasti punya banyak
pekerjaan untuk Les, mumpung anaknya im ada di rumah. Juga, dia pasti mengajak Les mengunjungi para
bibi dan paman. Les mungkin terlalu sibuk sehingga tidak sempat mencari telepon umum. Soalnya, dia
tidak bisa menggunakan telepon ibunya, karena penghasilan ibunya yang pas-pasan: Tapi aku juga sibuk.
Hillary dan Charley datang tiga hari setelah Natal. "Well, selama ini jelas kau sibuk sekali," komentar
Hillary sambil memandang berkeliling. "Kuharap kau tidak menari-nari di atas kuburku secepat ini."
Walaupun aku sudah mengemasi banyak sekali barang Hillary yang tidak berguna, tapi butuh wakm
sehari penuh bagi kami bertiga untuk menyortir semua barangnya dan memuamya
ke dalam mobil. Sepeninggal mereka, aku mati-matian membersihkan seluruh penjuru flat dengan tenaga yang masih
tersisa. Aku bekerja seperti orang kesetanan, membersihkan debu, memaku, mengepel dan memindahkan
perabotan. Setelah selesai, kedua tanganku lecet-lecet dan kemasukan serpihan kayu, dan dahiku tergores
karena menabrak rak. Aku baru saja menyimpan kembali semua peralatan ketika mendadak bel pintu berdering.
Besok Malam Tahun Baru. Jadi tidak mungkin Shanee yang datang. Sekarang ini Shanee pasti sedang
sibuk sekali menyiapkan pestanya.
Jadi im pasti Les. Itulah sebabnya mengapa dia tidak juga menelepon, karena dia hendak memberi
kejutan padaku dengan datang untuk melewatkan Malam Tahun Baru bersama.
. Aku sampai tersandung-sandung saking cepamya berlari menghampiri pintu depan, karena tidak ingin
dia mengebel lagi dan membangunkan Shinola.
Shanee " berdiri di depan pintu dengan kedua tangan penuh kantong belanjaan.
'Jangan segirang im melihatku," tegur Shanee. "Aku cuma bisa mampir sebentar saja."
Aku bukannya tidak senang melihamya datang. Hanya saja, tadi aku sudah siap menghambur ke dalam
peluk-annya, karena mengira dia Les. Aku cepat-cepat tersenyum dan melambaikan tanganku,
mempersilakan dia masuk. "Masuklah!" seruku. "Kau tamu pertama di flat baru kami" -Shanee menggerak-gerakkan alisnya. "Aku kok tidak tahu kalau kau sudah pindah. Ternyata kita sudah
lama sekali tidak bertemu."
'Tunggu saja sampai kau mendengar apa yang terjadi," kataku sambil membimbingnya masuk.
Begitu menapakkan kakinya ke ruang tamu, langkah Shanee langsung terhenti.
"Astaga," seru Shanee. "Kelihatannya kau seperti habis dirampok."
"Hillary sudah pindah dari sini untuk selama-lamanya,"
aku menjelaskan padanya. "Jadi flat ini resmi menja
milikku!" Shanee mengedarkan pandangannya, dari ujung ruangan ke ujung lain. "Yang tersisa darinya," Shanee
berkomen-tar. "Oh, jangan begitu.... Sekarang toh aku belum selesai menatanya. Tunggu sampai aku sudah mengecat
semuanya. Pasti akan sangat bagus. Dan kalau tabunganku sudah cukup, aku akan membuatnya menjadi
sangat modern." Hillary pelit sekali hingga dia bahkan tidak mau membeli panggangan roti, tapi aku akan
melengkapi dapurku dengan peralatan yang serbaelektris. "Kau tahu kan, dengan kompor yang tidak
terlihat seperti kompor, ketel elektris, pembuat kopi elektris, juga panggangan roti elektris. Dan microwave,
tentu saja." Shanee terus saja mengangguk-angguk dan memandang berkeliling.
"Pada akhirnya nanti, semua akan ditata dalam warna yang terkoordinasi dengan baik."
Shanee menatapku dengan pandangan penuh arti. "Apa ini berarti Les akan piAdah ke sini""
"Tentu saja," jawabku. "Itulah yang kami tunggu-tunggu selama ini."
"Well, kalau begitu hebat." Shanee meletakkan kantong-kantong belanjaannya dan memelukku. "Jadi
dia bisa datang ke pesta bersamamu besok malam."
"Kurasa tidak. Dia masih belum bisa pulang dari rumah ibunya."
Lagi-lagi Shanee memandangiku dengan tatapan penuh arti, seperti wakm dia melihat kaus kaki
Tazmanian Devil itu terjatuh dari balik selimut Shinola.
"Tapi kau akan tetap datang, kan"" tanyanya. "Kau harus datang."
"Aku tahu.... Aku harus bertemu Guy."
Shanee melambaikan tangan, seolah menepiskan Guy
begitu saja dari hidupnya. "Sudah bukan dia lagi sekarang. Sekarang kau harus bertemu Andy." Dia
tertawa. "Aku berkenalan dengannya pada Malam Natal, di rumah Edna Husser. Andy teman kakak Edna."
Aku juga ikut tertawa. "Kau agak berubah sekarang. Dulu kau sama sekali tidak pernah bergaul dengan
cowok, tapi sekarang, kau berganti cowok sesering berganti baju."
"Kau tahu kan apa kata pepatah," tukas Shanee.
"Buatlah jerami selama masih ada matahari"" tebakku. Im salah sam pepatah kegemaran Nenek.
"Bukan," jawab Shanee. "Masa muda hanya datang satt kali."
Pada Malam Tahun Baru, hampir sepanjang malam aku berdebat dengan diriku sendiri, apakah
sebaiknya pergi ke pesta Shanee atau tidak. Haruskah" Tidak" Haruskah" Tidak" Kira-kira jam 21.00,
ketika semua orang di layar televisi mulai bersiap-siap menyambut datangnya Tahun Baru, aku
memutuskan pergi saja. Kalau Madonna sudah pasti a
kan pergi. Namun, begita Shanee membukakan pintu, sadarlah aku bahwa aku mengambil keputusan yang keliru.
"LanaF pekiknya. "Tidak percaya aku! Ternyata kau - datang juga."
Sekarang ini pun aku tidak tahu mengapa aku harus datang Padahal baru beberapa saat yang lalu aku
duduk ; sendirian di flat baruku yang kosong, tidak punya kegiatan apa-apa, mendengarkan gema suara-suara
di luar sang, membayangkan Les berjoget seperti John Travolta dalam balutan kemeja kuningnya.
Kemudian, tiba-tiba saja aku sudah mengganti baju Shinola dan bajuku dengan gaun beledu.
'Ternyata pestanya santai ya," gumamku. Dari apa yang kulihat, banyak tamu cewek yang hanya
mengenakan celana jins atau legging dengan blus tipis menerawang atau berhias manik-mamk. Dan hampir
semuanya memilih baju berwarna hitam atau abu-abu, atau kombinasi kedua warna im. Jelas, merah bukan
warna yang sedang trend musim ini.
"Kau cantik kok," kata Shanee, berusaha meyaldnkanku. "Sangat matang"
Aku menerjemahkannya sebagai "tua".
Shanee sendiri mengenakan gaun, tapi bukan gaun model kuno yang kerah dan pergelangan tangannya
dihiasi renda. Gaunnya bahkan tidak memiliki kerah ataupun pergelangan tangan. Gaunnya panjang,
menerawang, dan berlapis-lapis. Lapisan paling atas berwarna hitam, dan di bawahnya ungu, lalu di
bawahnya lagi, merah. Kesannya sangat seksi tapi tidak vulgar. Belum pernah aku melihat Shanee tampil
seksi. Im sedikit membuatku shock.
"Kau juga terlihat sangat matang," komentarku. .
Shanee menyambar lenganku. "Ayo, mari lata bawa Shinola ke kamarku, lalu aku akan
mengenalkanmu pada semua orang." "Baiklah," ujarku. "Bagus."
Aku berjalan mengikutinya menembus keramaian. Satu-dua orang memandangiku dengan tatapan
aneh, seolah aku membawa orangutan, bukan bayi manusia. Tapi se-bagian besar tidak menggubrisku. Tidak ada
yang melambaikan tangan atau menyapaku. Ada beberapa di antaranya yang wajahnya kukenal, tapi tidak
banvak. 'Ternyata, kau punya banyak tern an baru semenjak aku berhenti sekolah," gurauku.
"Yeah," jawab Shanee. "Kurasa ito benar. Banyak sekali hal baru yang terjadi dalam hidupku."
Aku tertawa. "Yeah, aku tahu." Hidupku juga banyak mengalami hal baru, hanya saja semuanya
seperti berputar-putar dalam lingkaran, tidak pergi ke mana-mana.
Shanee cekikikan. "Siapa yang mengira menjadi dewasa bakal sangat menyenangkan""
"Yang jelas bukan aku," sahutku.
Shinola, tenm saja, tidak mau langsung tidur hanya karena aku menginginkannya. Dia malah ingin
bermain-main. "Aku harus kembali ke pesta," kata Shanee. Dia meringis. "Tanggung jawabku sebagai man rumah.
Carilah aku kalau dia sudah tidur nanti."
"Tentu," sahutku. "Kalau aku masih bisa mengenalimu saat itu."
Aku duduk di tempat tidur Shanee sambil menunggu Shinola tidur. Seorang cowok dan cewek yang
tidak kukenal melongokkan kepala ke kamar unmk mencari tempat berciuman, tapi selain mereka, tidak
ada lagi yang masuk. Berada di kamar Shanee rasanya seperti kembali ke masa lalu. Dia masih menyimpan semua foto kami
berdua, terselip di pinggiran bingkai cermin. Dan dia masih memajang foto kami bersama ibu dan adik-adiknya, berdiri
238 berhujan-hujan di Thorpe Park. Juga kerucut pengama yang kami temukan di jalan. Juga poster James
Dean-nya yang terpasang di dinding Pikiranku melayang ke masa lalu. Entah berapa banyak jam dalam
hidupku yang kuhabiskan di kamar ini, memandangi poster itu, sementara aku dan Shanee mengobrol. Ratusan.
Mungkin ribuan jam. Aku bahkan bisa melihat kami duduk di sana. Mengobrol sambil mengunyah biskuit dan
menyemburkan remahannya ke segala penjuru bila kami tertawa. Shanee sedang berciuman seru di dapur wakm aku
akhirnya berhasil menemukan dia. Dia bahkan tidak terlihat malu.
"Lana," serunya. "Kenalkan, ini Andy. Andy, ini Lana" Andy im mungkin cowok paling ganteng yang
pernah kulihat di kehidupan nyata. Dia memang bukan ripe cowok yang kusuka rambutnya panjang dan
diikat ekor kuda, dan mengenakan cincin hidung tapi kerennya luar biasa Seperti bin tang film saja.
Seperti Johnny Depp. Umurnya paling kurang dua puluh tahun.
"Apa kabar, Lana"" sapa Andy. Sebelah tangannya menjalar men
uruni sisi badan Shanee. "Sebentar lagi aku keluar," janji Shanee. Dia seperti membenturkan pinggulnya ke pinggul Andy. "Aku
masuk ke sini karena mau mengambil makanan lagi. Amie dan Gerri ada di luar. Minta mereka
memperkenalkanmu pada siapa saja yang tidak kaukenal." "Oke," sahutku. "Sampai ketemu lagi nanti."
Tapi aku tidak bisa menarik perhatian Amie, Dia sibuk tertawa terpingkal-pingkal bersama dua cowok yang
tidak kukenal. Mereka bukan murid sekolah kami, im sudah pasti.
Aku juga tidak berhasil menarik perhatian Gerri. Dia masuk ke kamar untuk berciuman dengan
seorang cowok. Aku .berkeliaran tak tentu tujuan, mencomot makanan dan tersenyum-senyum, seolah sangat
menikmati suasana. Aku mengambil bir dan berusaha membaur dengan tamu-tamu lain. Aku berdiri dekat
sekelompok orang dan mendengarkan obrolan mereka dengan senyum tersungging di wajah. Tapi mereka
mengobrol tentang orang-orang dan hal-hal yang tidak ada hubungannya denganku. Aku mengambil bir
lagi. Bir im membuat perasaanku sedikit lebih enak. Aku berdiri sendirian di sudut ruangan dan sedikit
bergoyang-goyang mengikuti irama musik, seperti sedang menunggu seseorang mengajakku berdansa.
Kemudian aku melihat Gary Lightfoot berdiri dekat meja minuman. Dulu dia sekelas denganku. Meski
sejak dulu dia memang agak konyol dan goblok, tapi senang rasanya melihat seseorang yang kukenal, jadi
aku pun tersenyum padanya. Rasanya seperti mengibaskan kain merah di hadapan seekor banteng. Tanpa
ba-bi-bu lagi dia langsung mendatangiku dengan penuh semangat.
"Lana," seru Gary. "Sudah lama tidak ketemu. Apa kabar""
Kubilang padanya bahwa kabarku baik-baik saja. Bagaimana dengan dia"
"Hebat," jawab Gary. "Bagaimana, semua beres"" "Ya," jawabku. "Semua beres."
"ia tersenyum terus seperti orang yang hendak difoto. "Jadi," Gary berdeham-deham. "Kau sudah
melahirkan"" "Sudah," jawabku. "Aku sudah melahirkan." Aku meng-oguk ke arah lorong. "Sekarang dia
tidur di kamar banee."
"Hebat." Gary mengangguk. "Siapa nama anakmu"" "Anakku perempuan," jawabku. "Namanya
Shinola.' Senyum Gary sedikit goyah. "Apa""
"Shinola. Im berarti pa'g "
"Shinola"" Senyum Gary lebar sekali. "Maksudmu seperti semir sepam im""
I "Semir sepam"" Senyumku kontan lenyap. "Apa maksudmu, semir sepam""
" "Shinola," jawab Gary. "Im nama semir sepam."
"Bukan, kau salah." Sekarang aku bukan cuma tidak tersenyum, aku bahkan nyaris tidak
menggerakkan bibirku. "Im artinya pagi yang indah. Dalam bahasa Afrika."
Gary tidak lagi berusaha menahan tawa. 'Tidak, bukan. Di Amerika im artinya semir sepam."
Aku masih berusaha menjelaskan bahwa nama im berarti pagi yang indah atau semacamnya dalam
entah bahasa apa, ketika mendadak Gary menyambar lengan seorang cowok lain yang berdiri di dekat situ
dan menyeretnya masuk perdebatan kami.
'Jake," kata Gary. "Bukankah Shinola im nama semir sepam di Amerika""
Jake menyeringai. 'Tidak bisa membedakan tahi dengan Shinola," kata Jake.
Tawa Gary meledak tapi aku hanya berdiri mematung dengan ekspresi wajah kosong.
"Im peribahasa. Artinya, orang yang sangat tolol," Jake menjelaskan. "Saking tololnya, dia tidak bisa
membedakan tahi dengan Shinola."
"Kurasa im berarti cokelat," kataku.
Gary menyembur. "Apakah bayimu coke
"Tidak," jawabku. "Tidak waktu aku terakhir kali meli-hatnya."
Setelah kejadian itu, aku tidak punya keinginan lagi untuk berpesta. Kupandangi Gary dan Jake
terhuyung-huyung pergi sambil masih tertawa-tawa. Kurang dari dua menit tua orang di pesta ini pasti sudah bakal tahu
kalau aku memberi nama bayiku seperti nama semir sepam yang mirip tahi. Aku mengambil Shinola dan
langsung pulang. i^^p Begita aku melangkahkan kaki ke dalam rumah, aku mendengar Les berkata, "WeU\ Selamat Tahun
Baru! Sampai ketemu sebentar lagi!" Dan detik berikutnya, suara mesin penjawab telepon berputar.
Tidak bisa dipercaya! Scjak Hari Natal, bisa dibilang aku berada di rumah terus setiap wakm, tapi Les
justru menelepon ketika aku pergi! Aku berdiri di depan pesawat telepon sambil mendekap Shinola,
memandangi mesin penjawab telepon..-Dua tetes air mata mengalir menuruni pipiku. Tapi kemudian,
perasaan pums asa membuatku nekat. Aku melakukan sesuam yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.
Kuangkat telepon dan kuhubungi nomor satu-empat-tujuh-sam untuk mengetahui nomor telepon yang baru
saja menghubungiku. Kejadiannya cepat sekali, sampai aku tidak yakin telah mendapatkan nomor yang benar. Kututap
telepon, kuambil bolpoin dan secarik kertas, lalu kuhubungi lagi nomor layanan satu-empat-tajuh-satu.
Ternyata, im sama sekali bukan nomor telepon Norwich. Tapi nomor telepon London.
Les pasti sudah pulang. Dia langsung menelepdti begitu sampai di rumah. Ternyata, dia memang i"
melewatkan Malam Tahun Baru bersamaku. Ml kejutannya. Aku dan Shinola masih mengenakan mantel.
Aku tidak merasa perlu berpikir dua kali. Syukuriah Nenek memberiku uang sepuluh pound sebagai
hadiah Natal. Aku langsung berbalik dan keluar lagi, lalu meng-hentikan taksi.
Aku tahu persis apa yang aku harapkan. Aku berharap akan melihat Les dalam balutan kemeja "kuning
dan seringai bahagia tersungging di wajah, serta tangan memegang
sebotol sampanye. "Aku baru mau meneleponmu lagi," katanya begitu membukakan pinm. "Kupikir, kau tadi pasti sedang
me-nidurkan bayimu."


Aku Sudah Dewasa And Baby Makes Two Karya Dyan Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi yang membukakan pintu untukku adalah seorang wanita. Usianya kira-kira sebaya dengan
Hillary, tapi ram-butaya sudah beruban. Perasaanku langsung tidak enak begitu melihat wanita ini. Sama
seperti perasanku wakm rumah kami kemalingan dulu. Begitu menapakkan kaki memasuki flat, perasaan
dingin menjalari hatiku. Karena aku melihat sebuah kaset tergeletak di lantai, padahal aku tahu benda im
tidak seharusnya berada di sana. Begitulah perasaanku sekarang. Wanita ini tidak seharusnya berada " di
sini. "Ya"" Wanita itu memandangiku dan Shinola berganti-ganti. "Ada yang bisa kubantu""
"Oh," ucapku. Wanita im mengenakan celemek dan sandal kamar. Aku pasti mendatangi rumah yang
salah. Tadi aku memberitahu sopir taksi untuk berhenti di depan rumah nomor 71, tapi dia pasti salah
dengar. Dan tidak terpikir olehku untuk memeriksanya lagi. "Ma-ttiaaf mengganggu... saya mencari Les, Les Craft"
Dia tinggal di jalan ini."
Wanita itu tersenyum kecil. Senyumnya seperti sudah tidak asing lagi. Aku bisa merasakan diriku
mulai benar-benar panik. Berbagai macam pikiran berkelebat dalam otakku.
"Oh, begitu" Kau mencari Les""
Tidak, jerit sebuah suara di kepalaku. Les-lah yang mencariku!
"Anda kenal dia"" Mungkin wanita ini ibu salah seorang teman serumahnya. Atau Les kadang-kadang
membantu membawakan belanjaannya. "Mungkin Anda bisa menun-jukkan rumah Les pada saya____"
Wanita itu tertawa. "Kurasa bisa dibilang aku kenal padanya Aku ibu. Les. Dan ini rumahnya."
Matanya beralih pada Shinola. "Kau temannya""
"Oh...." Rasanya seperti ada menara kartu berdiri di dalam hatiku dan mendadak ada orang yang
mengambil sehelai karm yang tedetak paling bawah. Menara im langsung runtuh. Aku bisa merasakannya.
Aku bahkan bisa.melihatnya. Aku berusaha menghentikannya. "Anda ibu Les"" Kupaksa diriku untuk
tersenyum. "Les tidak bilang Anda datang ke London."
Ibu Les tampak bingung "Tapi aku memang tinggal di London. Di sini. Sudah tiga puluh tahun aku
tinggal di rumah ini"
Jderr... jadi im sebabnya mengapa Les tidak pernah memberitahukan nomor telepon rumahnya
kepadaku. Jderr... jadi itu sebabnya mengapa telepon genggamnya tidak pernah diaktifkan. Jderr... jadi im
sebabnya mengapa Les sakit flu berat tahun lalu. Jderr... jadi im sebabnya
mengapa dia tidak pernah bisa merayakan Natal bersamW--. ku- Jderrjderrjderr. Tapi tetap saja aku
masih berusaha-menghentikannya.
"Tapi im tidak mungkin," sergahku. "Les maksud saya, saya sangka Anda tinggal di Norwich."
"Norwich"" Wanita im tersenyum begitu rupa seolah dia menganggapku melantur karena pengaruh
narkoba. "Yang tinggal di Norwich im adik perempuanku, sedangkan aku tinggal di sini. Bersama Les."
Dia mendorong pintu sedikit lebih ke depan. "Bagaimana kau bisa kenal dengan Les"" Sekali lagi dia
memandangiku dan Shinola dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Benar kau temannya""
Aku berdiri di ambang pintu rumahnya bersama seorang bayi dalam gendonganku di Malam Tahun
Baru. Me-mangnya dia kira aku siapa, Pemandu Wisata" Tapi tentu saja aku tidak bisa berkata begitu. Aku
tahu begitu aku membuka mulut, aku tidak akan pernah bisa berhenti . membeberkan semuanya. Dan karm-karm im juga tidak akan berhenti berjatuhan.
"Ya," jawabku. 'Tentu saja saya temannya." Kugoyang-goyangkan Shinola dengan lembut dalam
gendonganku. 'Teman dekat sekali."
Bila senyum ibu Les awalnya tadi sopan, sekarang senyum im terlihat dingin dan kaku.
"Kalau benar teman dekat, bagaimana kau bisa tidak tahu bahwa dia tinggal bersama ibunya""
"Well, saya " Pantas dapurnya begitu resik. Pan tas aku tidak pernah melihat ruangan lain selain
kamar Les. Aku menabahkan diri supaya suaraku tidak terdengar gemetar. "Les ada di rumah""
wanita itu memegangi pintu kuat-kuat. "Sayang, dia baru saja pergi." Nadanya sama sekali tidak
terdengar Imenyesal. "Well, apakah dia akan pulang sebentar lagi"" Ibu Les menggeleng. "Sekarang kan Malam
Tahun Baru." Siapa tahu aku tidak mengetahuinya. "Dia pergi ke pesta."
"Oh, begitu," ujarku. "Jadi tidak ada gunanya menunggu dia."
"Tidak," jawab Mrs. Craft "Benar, tidak ada gunanya menunggu. Aku yakin dia akan menginap di
rumah Aku tidak menangis wakm bicara dengan ibu Les, dan aku juga tidak menangis wakm dia masuk
kembali ke rumah dan mematikan lampu teras. Aku hanya berdiri terpaku di sana, memandangi pintu.
Pintunya terbuat dari kayu dan dicat warna putih. Di sana terpancang sebuah kotak surat dari kuningan dan
empat jendela kecil yang ditutupi kaca berwarna. Aku berdiri terpaku sampai perasaan terguncang yang
kurasakan perlahan-lahan berkurang hingga aku bisa merasakan dinginnya udara malam. Lalu aku berbalik
dan berjalan kaki pulang.
Hatiku terasa hampa. Yang ada dalam diriku sekarang hanyalah lubang besar. Lubang besar yang
dingin. Sekujur tubuhku, dari dalam hingga ke luar, terasa lumpuh. Aku ingat bagaimana aku mendongak
menatap langit di atas sana, untuk melihat apakah ada bin tang, tapi Dollis Hills tidak seperti bangsal rumah
sakit dengan bintang-bintang peraknya yang berkilauan. Langit berwarna kecokelat-246
cokelatan semburat merah muda dan kosong, seakan
kami berada di bawah tanah.
Aku tidak ingat lagi perjalananku pulang ke rumah. Mungkin Shinola terbangun, tapi mungkin juga dia
tertidur. Mungkin kami berjalan menyusuri jalan utama, tapi mungkin juga kami melewati jalan-jalan kecil.
Yang jelas kuingat hanyalah dekorasi-dekorasi Natal yang bertebaran di mana-mana, serta suara tawa
sayup-sayup di kejauhan. Aku tidak takut jalan kaki sendirian di tengah malam buta seperti im. Padahal banyak orang mabuk
berkeliaran, mungkin juga perampok dan pencopet, tapi kasarnya, tampon bekas pun aku tidak punya.
Memangnya kenapa bila ada orang yang menyerangku" Apa yang bisa mereka lakukan" Memukuliku"
Membunuhku" Bukan masalah.
Lagi pula, aku sangat yakin Tuhan tidak mungkin membiarkan aku diperkosa atau dibunuh. Im terlalu
mudah. Hidupku saat ini sudah merupakan hukuman yang sangat berat.
Sekarang ini aku sedang membintangi film yang tidak kusenangi. Jenis film yang disukai Charley. Dia
mengang-gap, film-film semacam im sangat realistis. "Duduklah dan nonton film ini bersama kami," begitu
dia selalu mengajakku. "Ini tentang kehidupan nyata." Tapi menurutku, film-film im tidak realistis, tapi
menyedihkan. Film yang tidak pernah berakhir dengan bahagia. Kebanyakan bertutur tentang orang yang
meninggal, atau yang hidupnya begim susah hingga lebih baik mati saja. Walaupun film- . film im
berwarna, tapi aku selalu merasa seakan im film hitam-putih.
Dan begitulah aku sekarang ini, berjalan kaki menembus kegelapan di Malam Tahun Baru, bersama
bayiku dalam pelukan, dan segala macam pildran berkecamuk dalam benakku. Aku teringat pada semua kebohongan
Les padaku, Semua perkataannya yang hanya separo benar. Bahkan semua perkataannya yang memang
benar. Semuanya tidak ada yang sesuai dengan perkiraanku. Dan tidak akan ada yang menjadi seperti
keinginanku. Aku menya-darinya sekarang. Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas. Seperti yang
seharusnya kusadari selama ini.
Rasanya, aku seperti putri yang terlelap selama seratus
tahun, dan sekarang akhirnya terbangun juga.
Tapi, bukan cruman sang pangeran yang membangunkan aku. Melain-kan tendangan sepam bomya yang
mengenai mukaku. Les tidak pernah benar-benar tertarik padaku. Tidak sungguh-sungguh tertarik. Tidak seperti
ketertarikanku padanya. Mungkin dia punya pacar lain. Mungkin bahkan lebih dari satu. Itulah sebabnya
mengapa dia selalu sibuk. Dalam hati aku ingin tahu dengan siapa dia pergi ke Yunani. Atau mungkin dia
pergi ke Yunani seperti dia pergi ke Norwich. Mungkin selama ini dia sebenarnya ada di London. Selama
ini ketika aku duduk sendirian di rumahku. Selama ini ketika aku tengah berjuang melahirkan anakku.
Selama ini Akulah yang mengarang cinta kami. Aku mengarang kebahagiaan kami. Aku juga mengarang masa
depan kami dan masa sekarang ini. Tapi dari semua hal yang kukarang, mungkin yang paling buruk adalah
bagaimana aku mengarang Les dalam benakku. Ternyata dia bukan sosok lelaki yang mandiri. Dia tidak
akan menjadi orang sukses. Dia bahkan bukan orang yang sangat baik. Dia biasa saja. Lelaki biasa saja
dengan pekerjaan membosankan yang dianggapnya" hebat, yang masih tinggal bersama ibunya.
Jangan-jangan, ibunya memang memilihkan baju-bajunya
Mungkin dia bahkan tidak punya selera berbusana ya
baik. Terngiang terus di telingaku kata-kata Shanee: Masa muda
hanya datang satu kali... Masa muda hanya datang satu kali....
Yeah, pikirku. Dan aku telah menyia-nyiakannya. Tidak ada satu hal pun yang pernah kulakukan
dalam hidupku yang bukan merupakan kesalahan.
Masa mudaku hanya datang satu kali dan sekarang aku sudah ma. Lima tahun dari sekarang, aku akan
tetap seperti ini. Berhemat di sana-sini, menabung unmk ini-itu. Aku akan tetap berbelanja di Kwik Save
dan toko-toko amal. Aku tidak akan kuliah di instimt kesenian seperti Shanee, atau berlibur di pedesaan
bersama teman-temanku. Aku tidak akan pernah memiliki rumah impian dan keluarga impian. Karena
memang hanya itulah mereka. Hanya impian. Rumahku yang sesungguhnya adalah flat yang kutinggali
sejak aku masih kecil. Keluargaku yang sesungguhnya adalah Shinola.
Kami melewati rumah Shanee dalam perjalanan pulang. Suara musik yang menggelegar terdengar
hingga ke pojok jalan. Suara musik bercampur tawa dan teriakan para remaja yang minum-minum dan
bersukaria bersama. Dan sekilas aku bisa melihat diriku di dalam sana bersama mereka. Tidak seperti aku
tadi saat berada di sana malam ini, tapi seperti seharusnya aku. Seperti aku dulu.
Shinola menangis saat kami sampai di rumah. Aku menyalakan televisi sekeras mungkin supaya bisa
mende-ngar suara Iain, lalu mempersiapkan Shinola untuk tidur. Aku melakukan semuanya seperti robot.
Mengganti po-pok... memanaskan botol susu... memakaikan piama..
Shinola mau meminum susunya, tapi dia tidak mau diletakkan di dalam boks. Karena sedari tadi aku
meng-gendongnya terus. "Dasar keras kepala," bentakku padanya. Dan kubanting pintu kamar tidur sekeras-kerasnya.
Aku masih bisa mendengar suara tangisnya dari ruang tamu. Kukeraskan lagi suara televisi dan
kunyalakan stereo, tapi tetap saja itu tidak bisa meredam suara tangisnya. Mrs. Mugurdy mulai mencak-mencak lagi seperti biasa, menggedor langit-langit rumahku. Saat ini aku sedang tidak ingin bertengkar
dengan Mrs. Mugurdy. Kukecilkan lagi semuanya dan kembali ke kamar.
Lampu lorong menyala, jadi aku masih bisa melihat Shifiola meskipun kamar gelap gulita. Aku
menunduk, memandangi Shinola yang terbangun dan menjerit-jerit, tapi yang kulihat adalah ibu Les,
menghalangi jalan masuk ke rum ah nomor 71 dan tersenyum dingin seolah aku pengemis atau
sebangsanya. Dia bahkan tidak tahu siapa aku. Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa aku pacar
Les. Tak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya bahwa bayi dalam gendonganku sebenarnya cucunya.
Saat itulah akhirnya tangisku meledak juga. Aku menangis sejadi-jadinya, badanku terguncang-guncang
seperti diguncang raksasa.
Apa yang kumiliki dalam hidup ini" Tidak ada, itu jawabannya. Yang kupunya hanyalah flat
pemerintah yang tua dan kumuh, yang tidak akan kutinggalkan sampai aku mati, dan seorang bayi ya
ng namanya seperti nama semir sepatu. Bukan semir sepatu Inggris, pula.
Shinola menangis dan terus menangis. Entah hingga
250 berapa lama. Yang kuinginkan saat itu hanyalah kembali ke masa lalu. Kembali ke satu tahun yang lalu
dan menjadi Lana Spiggs lagi, bukan ibu Shinola Spiggs. Hanya itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin
kembali ke masa di mana dulu aku pernah berada, dengan masa depan membentang luas di hadapanku.
Aku berhenti menangis, tapi Shinola tidak.
Seandainya saja dia bisa menghilang. Menghilang entah ke mana. Dengan begitu semuanya akan
kembali seperti dulu. Aku bisa kembali menempuh ujian, pergi ke pesta, dan mungkin bahkan masuk
sekolah drama. Shanee bisa pindah ke sini dan berbagi flat denganku. Seperti cewek-cewek di film Friends.
Mrs. Mugurdy akan meninggal dan beberapa cowok mengisi flatnya. Dengan begitu kami akan benar-benar
seperti di film Friends. Shinola meraung dan meraung terus.
"Diam!" teriakku. "Diam! Diam! Diamlah kau breng-sek!"
Tapi mana mungkin dia mau diarrj^
"Pergi kau!" pintaku. "Pergilah sana jauh-jauh!"
Tiba-tiba saja aku sadar sebenarnya mudah sekali meng-hapus satu tahun ini dari hidupku. Bekap saja
dia dengan bantal selama beberapa menit. Hanya itu. Tutupi wajahnya dengan bantal dan biarkan beberapa
saat. Rasanya aku tidak memikirkannya, tapi memimpikannya.
Aku melihat dirtku mengambil selimut tambalan yang dibuatkan Nenek untuk Shinola dan
melemparkannya ke muka Shinola. Lalu aku melihat diriku mengambil bantal dan meletakkannya di atas
kepala Shinola. Dentang lonceng menyambut datangnya Tahun Baru mulai bergaung di televisi. Di luar, aku bisa
menden uara kembang api dan orang-orang berteriak. Kutekan bantal itu kuat-kuat. Satu... dua... tiga... empat...
lima... Sam tinju kecil mendadak muncul dari bawah selimut 'an bantal. Menggapai-gapai udara.
Dan terbayang di mataku bagaimana dia mencengkeram ambutku, seperti yang selalu dilakukannya
selama ini. Dia tidak terkubur di balik selimut dalam boks, tapi erada dalam pelukanku, menarik-narik
rambutku begitu -atnya hingga aku kesakitan. Entahlah, tapi im semua begim menohok hanku, im saja. Im
tangan Shinola, dan selalu ada gurat di antara jari-jari tangannya. Aku ingat pernah menghitungnya wakm
di rumah sakit dulu. Enam... mjuh... delapan... sembilan... Aku tidak mungkin bisa kembali lagi ke masa
lalu. Kecuali bila aku lupa ingatan, aku tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi. Bila aku memang
ingin menying-kirkan Shinola, im seharusnya kulakukan sebelum dia lahir. Sepuluh... sebelas^.
Bila aku tidak bisa kembali, maka aku harus melangkah maju. Rasanya, aku tidak punya pilihan lain. "
Kulempar bantal dan selimut im ke seberang ruangan. Wajah Shinola sudah berubah warna menjadi ungu
dan dia megap-megap kehabisan napas. Aku begim ketakutan sampai tidak tahu harus berbuat apa. Aku
hanya berdiri di sana, memeluknya erat-erat Dua belas...
Aku tidak mendengar bunyi dering telepon tapi aku mendengar suara mesin penjawab telepon
menjawabnya. "Selamat Tahun Baru, Lana dan Shinola!" teriak Hillary dan Charley berbarengan. "Selamat Tahun
Baru!" Shinola batuk dan ingusnya berhamburan mengotori bagian depan gaunku.
"Well, kurasa sekarang hanya tinggal kau dan aku" kataku pada Shinola. Jari-jari Shinola
mencengkeram rambutku. Aku meringis kesakitan.
"Selamat Tahun Baru untukmu, Shinola Spiggs," bisikku. "Selamat Tahun Baru untuk kita."
TAMAT tamat Makhluk Mungil Pembawa 1 Pendekar Perisai Naga 2 Selendang Mayat Pedang Golok Yang Menggetarkan 9
^