Pencarian

Cinta Di Dalam Gelas 2

Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata Bagian 2


Wakil rakyat tersinggung.
"Paling tidak aku punya jalan keluar, daripada kau! Merepet saja sana-sini!" Adu mulut meletus secara terbuka. Si vokal naik pitam.
" Paling tidak, aku berani mengatakan keburukan orang di depan hidungnya sendiri! Daripada kalian, sibuk mengurusi golongan kalian sendiri! Kalau dekat pemilu, repot betul kalian berbaik hati. Tak ada pemilu, mana ingat kalian pada kami!"
"Yang suka lempar batu sembunyi tangan adalah kau!"
Sang wakil rakyat rupanya telah digaji pemerintah untuk bersikap sinis pada rakyatnya. Si vokal langsung mendampratnya. Ketua harusnya bersikap netral, tapi di juga rupanya benci pada wakil rakyat itu.
"Apa aku tak malu bertanya yang tidak-tidak pada menteri""
Sebaliknya, Paman tampak jengkel pada tokoh vokal dan Ketua Karmun sebab ia mendukung Mitoha. Ia bangkit siap-siap angkat bicara. Dipeganginya selangkangnya seperti pemain PSSI mau menghadang tendangan bebas striker Vietnam. Dadanya naik-turun. Aku ngeri melihatnya. Untunglah Ketua Karmun memberi kesempatan pada Modin dulu.
Modin yang telah melihat sendiri pemogokan kemarin tampak tak segalak macam biasanya. Paman duduk lagi.
"Alasanku menolak Maryamah adalah karena pertimbangan syariat. Tak perlu aku berpanjang-panjang dalih. Tak perlu kusitir ayat-ayatnya. Di dalam Islam, perempuan tak boleh berlama-lama bertatapan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam pertandingan catur, hal itu akan terjadi, dan hal itu nyata melanggar hukum agama.
Paman tampak makin tak sabar. Ia bangkit lagi
"Aku setuju dengan pendapat Mitoha tadi. Kalau perempuan ikut bertanding, bisa-bisa jatuh wibawa kejuaraan catur 17 Agustus. Aku juga sepaham dengan pendapat Modin."
Lalu, paman menoleh kepada carik yang ditugasi Ketua Karmun menjadi notulis rapat.
"Kau dengarkah bicaraku tadi, Saudara Carik" Catat semuanya!"
Cari berlepotan mengetik komentar Paman.
"Wahai majelis yang budiman, saksikan itu!" tukas Paman sambil menunjuk carik.
"bahwa setia kata dari mulutku telah dicatat. Kalau timbul satu mudarat di kemudian hari dari persoalan Maryamah ini, aku punya bukti, hitam di atas putih, bahwa pikiranku sudah jernih sejak awa. Saudara Carik, harap kau simpan catatan yang penting itu baik-baik. Nanti pasti ada gunanya."
Pandangan Paman yang berbelok-belok disambut riuh para hadirin. Sebagian mencibirnya karena bukannya mengurusi Maryamah, ia sibuk meyakinkan dirinya dan siapa saja. Dasar paranoid. Akibat sikap Paman yang melantur, Selamot dan Mitoha kembali bertengkar seperti pertengkaran para tukang minyak tanah di pinggir jalan. Keadaan kian kisruh lantaran Giok Nio protes sana-sini pada ketua Karmun soal banyaknya pertandingan hari kemerdekaan yang tak bisa diikuti perempuan. Panjat pinang, misalnya. Wakil rakyat ambil bagian dalam silang sengketa. Tokoh masyarakat yang vokal tadi berbicara dengan sikap mau meninju wakil rakyat itu. Suasana menjadi sangat gaduh.
Ketua Karmun pening dan mulai melihat jalan buntu yang hanya bisa diselesaikan melalui pemungutan suara. Ia bertanya kepada Paman.
"Berarti kalau kita mengambil suara soal setuju atau tidak untuk pendaftaran Maryamah ini, kau pasti akan memilih tidak setuju. Begitukah kurang lebih maksudmu, Har"" Kamhar adalah nama Paman.
"Tidak juga, Ketua."
Na! hanya dalam hitungan detik pamanku langsung berubah menjadi bukan pamanku lagi. Seseorang yang lain telah mengambil alih jiwanya. Hadirin main ribut dibuat sikap Paman yang membingungkan. Ketua Karmun pening sehingga menjadi muntab.
"Jadi, bagaimana sebenarnya maksudmu, Har" Jangan kau bertele-tele!"
Pamanku malah lebih muntab. Ia berdiri lagi, Digenggamnya kuat-kuat selangkangnya. Suaranya menggelar.
"Menurut hematku, kalau Modin ingin menghindari hukum agama dilanggar, pasang saja pembatas pada meja pertandingan! Maryamah bisa pula memakai burkak! Ia tak perlu saling pandang dengan siapa pun!
Mertua A Nyan namanya Toha, lelaki atau perempuan, sama saja! Tak tahukah kalian, zaman sudah berubah. Perempuan juga punya hak seperti laki-laki! Mereka mau main catur, mau manjat pohon pinang, mau manjat tiang listrik, itu urusan mereka! Itu hak mereka yang harus kita hormati!"
Semua orang bungkam. Carik bersusah payah mengikuti kalimat Paman. Tangannya mengetik dengan cepat. Paman jengkel mendengar suara mesin tik yang keras. Carik bertanya.
"Bagaimana pantun Pak Cik tadi""
"Apa yang kau perbuat itu, Carik" Tak perlu kau ketik kalimatku. Buat apa" Tak ada faedahnya!"
Mozaik 20 Bitun ADUH, minta ampun udiknya Bitun itu. Kesana harus melewati tiga macam jalan. Mulanya aspal, terus batu merah, lalu jalan pasir yang meliuk-liuk sesuka hatinya seperti ular manau. Tempat itu adalah ujung dari ujung kampung orang Melayu yang paling ujung. Setelahnya hanya Laut China Selatan yang bergelora. Maka, Bitun bisa disebut sebagai the last frontier kebudayaan Melayu. Lokasinya seperti tak sepenuh hati. Orang-orang yang pertama tinggal di sana pasti mencari-cari saja sekenanya daratan tak berawa untuk menancapkan empat tiang kayu gelam, lalu didindingi bambu dan diatapi daun nipah.
Maka, berdirilah belasan rumah yang mengelilingi tali air-sebutan lokal untuk sumber mata air. Bitun terpelencat dari peradaban dan terperosok ke daratan rendah dengan tepi barat ladang garam dan tepi timur rimba yang gelap. Jauh, jauh sekali, jin saja tak mau buang anak di situ.
Semuanya serbasederhana di Bitun. Mereka yang bosan dengan ketam akan bertukar rebung dengan Tetangganya. Mereka yang punya beras, bertukar dengan minyak kelapa. Mereka yang tak punya beras, ketam, rebung, dan minyak kelapa, bertukar senyum dengan siapa saja. Jika laut tenang, mereka melaut dan memanen kerang. Jika laut garang, mereka masuk ke rimba yang lebat, mencari jamur. Begitu saja ekonomi mereka.
Bahkan cinta juga sederhana. Sepasang remaja yang telah akil balig dipasang-pasangkan orangtua mereka lalu dinikahkan secara Islam. Tak ada prahara rumah tangga, tak ada talak-menalak, tak ada asmara yang tak biasa. Maka, ketika sebuah perahu dari suku orang bersarung merapat ke Bitun, dan salah satu nelayan nan gagah berani itu menaruh hati pada Selamot, kembang-kempislah hidung gadis 16 tahun itu. Lagi pula ia tengah meradang karena selalu jadi gunjingan, dianggap perawan tua.
Betapa Selamot kasmaran. Saban hari hatinya mantul-mantul. Sejak itu, tak ada yang lebih dinantikannya selain menunggu orang bersarung gitu merapat di pangkalan Bitun. Sang pria pujaan datang seminggu sekali dan melewatkan waktu tak lebih dari setengah hari. Seminggu berikutnya tanpa melihat lelaki itu, Selamot merindu. Saban sore ia memandang
laut yang tak bertepi, mengharapkan warna ungu layar perahu lelaki itu, muncul di antara debur ombak. Ia jatuh cinta, jatuh cinta dengan segenap jiwa.
Selang beberapa bulan kemudian, di bawa terang bulan sabit, lelaki bersarung itu menyatakan niatnya menikahinya. Selamot menjawab dengan menangis bahagia sampai tersuruk-suruk.
Mereka menikah. Seminggu berikutnya, lelaki bersarung itu melaut dan tak kembali, tak pernah kembali lagi. Seorang nelayan Bitun mengatakan bahwa ia melihat lelaki serupa suami Selamot di pasar dermaga Bagan Siapi-api, sibuk dengan istri dan anak-anaknya.
"Kalau awak tak salah hitung, ada lima anaknya itu," dengus sang Pelaut.
Selamot tak sanggup menanggung malu dan patah hati. Dengan hati remuk redam, perempuan kecil yang merana itu, berbekal baju yang melekat di badan, pergi meninggalkan kampungnya.
Hujan lebat waktu itu, Giok Nio sedang duduk sendiri di kios jagal ayamnya. Seorang perempuan kecil menuntun sepeda. Bannya kempes dan ia menepi untuk berteduh di bawah atap kios Giok Nio. Giok Nio mengajak perempuan kecil itu masuk, memberinya handuk, dan menyeduhkannya the. Begitulah perkenalan Giok Nio dengan Selamot.
Mozaik 21 Guru Kesedihan SEMULA kami menduga, Maryamah masih berkabung sehingga kami belum mau menghubunginya. Namun, ia sendiri yang datang ke kantor Detektif M. Nur. Malah rampak lebih tegar dari kami. Katanya ia telah menangi
si kepergian ibunya sepanjang malam sampai azan subuh.
" Habis air mataku, lunas sudah kesedihan itu. Hidup harus berlanjut. Tantangan ada di muka. Masih banyak yang dapat disyukuri," ujarnya ringan.
Aku selalu terpesona dengan cara Maryamah menyikapi nasibnya. Padahal dia telah ditimpa kesusahan bertubi-tubi sejak kecil. Maka bagiku, ia adalah guru kesedihan. Lalu, ia mengatakan bahwa ia siap menerima pelajaran catur dari Grand Master Ninochka Stronovsky.
"Beri aku pelajaran yang paling sulit sekalipun, Boi. Aku akan belajar."
Aku terharu sekaligus malu. Sering kali kuratapi apa yang telah terjadi dan berlarut-larut menyesalinya. Kadang aku menyiksa diri sendiri dengan memikirkan berbagai kemungkinan yang seharusnya telah atau tidak kulakukan sehingga berakibat pada satu keadaan yang buruk. Padahal, semua kemungkinan itu telah hangus dibakar waktu. Tak mungkin terulang lagi.
Maryamah adalah pribadi istimewa yang tak punya tabiat mengasihani diri. Ia tak pernah mengiba-iba. Kupandangi guru kesedihan itu. Hari ini aku belajar satu hal penting darinya bahwa jika tidak bersedih atas sebuah kehilangan menimbulkan perasaan bersalah, hal itu merupakan kesalahan baru, sebab kesedihan harusnya menjadi bagian dari kebenaran.
Pertemuan dengan Maryamah hari ini meletupkan semangatku. Aku telah melihatnya belajar bahasa Inggris dengan susah payah, tanpa merasa ragu akan usia dan segala keterbatasan, dan dia berhasil. Sekarang, ia siap berjibaku menguasai catur, dengan tekad mengalahkan seorang kampiun seperti Matarom. Ia tak dapat disurutkan oleh bimbang, tak dapat dinusbikan oleh gamang. Darinya, aku mengambil filosofi bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan; bahwa ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di
dalam diri manusia menjadi sebuah ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut.
Dalam pada itu, tak dapat dipungkiri pendapat Paman dalam pertengkaran di kantor desa tempo hari sangat polos dan agak lucu. Namun, tak dapat dipungkiri pula, bahwa pendapat itu mampu menembak inti masalah. Modin tersenyum tanda mufakat. Ketua Karmun melanjutkan membaca novel Kho Ping Ho-nya yang sempat tertunda gara-gara rapat itu. Kami melonjak, Mitoha jengkel. Wakil rakyat walk out. Walk out-lah sesuka hatimu, Memangnya siapa yang peduli"
Selesai berunding sana-sini, masih di kantor Detektif M. Nur, melalui televisi hitam putih, kami menyaksikan perempuan itu berpidato untuk merebut kursi presiden. Selamot ternganga mulutnya. Ia begitu kagum pada calon presiden perempuan itu.
"Tidak adilnya porsi pembagian hasil kekayaan alam antara pusat dan daerah adalah masala yang harus dilihat sebagai titik rawan yang serius ...."
Begitu pidato perempuan itu. Kemudian sang calon presiden bicara tentang Aceh. Wajahnya sembap, suaranya terbata-bata.
"Oleh karenanya, lewat mimbar ini saya serukan, hentikan segala bentuk kekerasan. Beri mereka keadilan. Beri mereka kelayakan untuk hidup di alam Indonesia merdeka. Beri mereka rasa hormat dan kembalikan hak asasi mereka sebagai manusia."
Seperti calon presiden itu, mata Selamot merah, semerah saga, lalu berkaca-kaca.
"Bersabarlah. Takkan saya biarkan setetes darah rakyat menyentuh tanah rencong yang demikian basar jasanya dalam menjadikan Indonesia merdeka. Kepada kalian akan saya berikan cinta saya. Kemenangan rakyat adalah kebahagiaan kita semua! Merdeka! Merdeka! Merdeka!"
Air mata Selamot berlinang-linang.
Mozaik 22 Telah Banyak Mendengar Lagu Barat
DITERIMANYA Maryamah untuk bertanding membuat kampung menjadi lebih gembira. Keceriaan tampak pada wajah setiap perempuan, tak terkatakan, sulit dilukiskan. Namun, hatiku dilanda kecemasan yang baru, mampukah Maryamah bertanding melawan para pecatur lelaki yang berpengalaman"
Pada hari pendaftaran, Mitoha dan sekondannya sudah bercokol di warung kopi.
"Sepuluh langkah, cukup beri aku sepuluh langkah, Maryamah bakal tewas," gertaknya. Selamot terpancing.
"Bicaralah sesukamu, Ha, kami mau mendaftarkan Maryamah."
"Aih, kau rupanya, Mot. Sudah kubilang, pecatur itu bukan sembarang. Harus punya klub,
harus punya manajer. Na, kau, tahu apa"
Kami tak mau meladeninya. Melihatku ia makin jengkel.
"Kau pula, Ikal, ini pasti ulahmu. Perempuan main catur lawan lelaki" Itulah akibatnya kalau terlalu banyak mendengar lagu Barat!"
Sekondannya terbahak-bahak.
"Kita tengok saja nanti, siapa yang terjungkal!" cetus Selamot.
Mitoha marah ditantang begitu rupa. Pertengkaran model tukang minyak yang dulu tak selesai di kantor desa berlanjut di warung kopi.
"Kusarankan kau ke toko Lim Phok, Mot, di sana ada benda namanya minyak kesturi, biar tak bau ayam badanmu."
Keterlaluan, ini sudah menyangkut pribadi. Selamot naik pitam.
"Kusarankan kau ke Manggar, Ha, di sana ada benda namanya SMP, untuk menyekolahkan mulut bacarmu itu!"
Giliran pendukung kami terpingkal-pingkal. Muka Mitoha merah. Karena emosi, Selamot bergegas menuju papan tulis, namun di muka papan itu ia tertegun. Ia baru sadar bahwa ia tak pandai menulis. Tawa sekondan Mitoha meledak lagi. Detektif M. Nur bertindak menyelamatkan harga diri Selamot. Ia mengambil kapur dari tangannya. Napas kami tertahan melihatnya mengukir satu per satu, pelan dan penuh perasaan, huruf demi huruf yang mengukir sejarah:
Maryamah binti Zamzami Itulah perempuan pertama yang bertanding melawan lelaki dalam pertandingan catur peringatan hari kemerdekaan di kampung kami. Sebagian orang bertepuk tangan dengan meriah menyambutnya. Sebagian meremehkan dengan mengatakan perempuan itu akan tumbang pada papan pertama di pertandingan yang paling mula.
Aku sendiri tak dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Berpuluh tahun, dari generasi ke generasi, catur hanya dikuasai lelaki sehingga begitu banyak lelaki Melayu piawai main catur. Akan mampukah Maryamah dan Grand Master Ninochka Stronovsky berbuat sesuatu untuk menghadapi mereka" Sementara ini aku hanya terharu melihat nama itu pada urutan terakhir, seakan menantang berpuluh-puluh lelaki di atasnya.
Mitoha makin jengkel. "Aih, Maryamah, pecatur amatiran saja. Tak punya klub, tak pula punya manajer." Selamot membisikiku. "Boi, apa artinya manajer""
Aku bingung, tak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Selamot tak sabar.
"Kalian dengar semua. Ini aku, Selamot, orang Bitun, akulah yang akan menjadi manajer Maryamah!"
Orang-orang tertawa lagi karena dari cara mengucapkannya, kentara benar seumur hidupnya kata manajer baru sekali itu meluncur dari mulutnya. Mitoha tak mau kalah.
"Kalau kau manajernya, lalu apa klub catur kalian" Apa pecaturmu liar saja""
Selamot tertegun seperti tadi di muka papan tulis. Ia berpikir keras. Ia menolak harga dirinya diinjak-injak. Lalu ia tersenyum riang.
"Nama klub catur kami adalah, Kemenangan Rakyat adalah Kebahagiaan Kita Semua! Itulah nama klub catur kami, kalau kau mau tahu!"
Seribu Lima Ratus Perak Kutengok di televisi Kebenaran di Jakarta mahal sekali
Para koruptor pintar sembunyi
Padahal nyata-nyata, mereka telah mencuri
Kawan, di kampung kami Kebenaran harganya hanya seribu lima ratus perak Warnanya hitam, tergenang di dalam gelas, saban pagi
Mozaik 23 Buku Besar Peminum Kopi ORANG Melayu, meskipun tidak modern, paham benar kopi sebagai social drink. Maka, bagi kami, jika ada orang yang minum kopi untuk mengatasi rasa haus, ijazahnya harus diterawang di bawah sinar matahari. Besar kemungkinan ia telah menggelapkan wesel dari ibunya. Dikirimi duit untuk kuliah tapi dipakainya untuk berleha-leha saja di Jogja. Ijazah-ijazahnya pasti palsu.
Kopi mengatasi rasa haus dalam bentuk yang lain. Haus ingin bicara, haus ingin mendengar, dan ingin didengar. Karena itu, orang Melayu menyeduh kopi selalu dengan air mendidih. Adakalanya, air itu masih bergolak di dalam gelas, persis seperti tadi meluap di dalam panci. Tujuannya agar obrolan menjadi lama. Lantaran diperlukan waktu yang tak sebentar sampai kopi itu mencapai tingkat hangat yang wajar untuk diminum. Pernah seorang Belanda yang tak paham hal itu bertandang ke rumah seorang Melayu. Dihidangkan kopi, di seruput saja. Lidahnya melepuh. Ia melolong-lolong: hot hot hot hot hot. Konon ia sampai dilarikan ke rumah sakit.
Saat menunggu untuk minum kopi, secara teknis ha
l itu dapat dikatakan dengan cara seperti in: saat kopi yang mendidih tadi perlahan-lahan menjadi hangat, adalah saat kesusahan yang mendidih dibagi di antara mereka. Kesusahan itu lalu larut dalam setiap hirupan kopi yang menghangatkan hati, dan hidup menjadi lebih tertanggungkan.
Di warung kopi kesusahan tadi dibagi pada orang yang lebih banyak sehingga makin terasa ringan. Beragam kisah telah kudengar di warung kopi dan aku makin tertarik dengan hipotesis-hipotesisku sendiri.
Catatan pengalamanku di dalam Buku Besar Peminum Kopi semakin menggairahkan. Seiring dengan makin dalamnya penelitianku tentang tabiat orang, semakin aku menganggap buku itu bernilai. Mimpiku untuk buku itu tak kalah dengan mimpi Detektif untuk burung merpatinya. Buku itu kuanggap semacam topografi tabiat orang Melayu. Semacam cetak biru sosiologi mereka. Semacam cultural DNA yang memetakan watak masyarakat kami. Sehingga, jika sebuah meteor menghantam kampung kami dan orang Melayu punah seperti dulu meteor telah memunahkan dinosaurus, kuharap bukuku itu selamat dan dari buku itu generasi
mendatang dapat men-clone, menciptakan lagi masyarakat Melayu seperti adanya sekarang di kampungku. Hebat luar biasa, menjadi seorang pemimpi sungguh tak terperikan hebatnya.
Namun, mimpi itu hanya akan terwujud jika aku paham ilmu budaya. Maka, kubuka lagi buku-buku lamaku waktu kuliah dulu. Kubuka lembar-lembar teori Doktor Hofstede, ilmuwan Belanda yang ciamik itu. Ketika membacanya, rasanya ada topi lucu dengan tali berjuntai-juntai di depan wajah, mirip kopiah pengantin Melayu.
Aku semakin bersemangat karena rupanya aku telah diajar oleh seorang profesor yang bermutu tinggi, dan aku telah membuat makalah-makalah yang mendapat nilai cukup memuaskan. Lalu, aku berpikir keras bagaimana memodifikasi model-model ciptaan Doktor Hofstede untuk membedah watak orang Melayu udik. Sebuah tantangan sains yang dahsyat.
Ternyata hasil dari modifikasi yang canggih itu sangat mengejutkan, yaitu kutemukan kesimpulan yang sangat ilmiah bahwa mereka yang memesan kopi sekaligus memesan teh- adalah mereka yang baru gajian. Mereka yang memesan kopi, tapi takut-takut menyentuhnya--uang di sakunya tinggal seribu lima ratus perak. Mereka yang tak menyentuh gelas kopi, tapi menyentuh tangan gadis pelayan warung-pemain organ tunggal. Mereka yang minum dari gelas kosong, seolah-olah ada kopi di dalamnya-sakit gila nomor 27. Mereka yang tidak minum kopi, tapi makan gelasnya-kuda lumping.
Mereka yang mau ke warung kopi, tapi gengsi-bupati. Mereka yang memandangi orang minum kopi-ajudan bupati. Mereka yang membuka warung kopi, tapi tidak laku- mantan bupati. Mereka yang tidak membelikan polisi kopi-bukan kawan polisi. Tentara yang datang ke warung kopi-dapat izin menginap dari komandan. Mereka yang senang kopi yang dingin-tak punya bulu hidung.
Mereka yang minum kopi dengan sedotan-bukan pacar biduan. Mereka yang menjual kopi dengan harga lebih dari sepuluh ribu rupiah-pemuja setan. Anak yang disuruh ibunya membeli kopi, tapi pulang membawa terasi-waktu kecil pernah kena sawan.
Mereka yang mencuri gelas milik warung kopi-pernah bersalaman dengan presiden. Mereka yang mengembalikan lagi gelas yang dicuri itu ke warung kopi-bodoh sekali. Mereka yang minum kopi merek ayam beranak-tidak ada karena tidak ada kopi merek ayam beranak. Mereka yang minum lima gelas kopi-peragu. Mereka yang minum tujuh gelas kopi--pemalu. Mereka yang berpura-pura suka kopi-penerbit buku. Mereka yang minum kopi, tapi tidak habis-penerjemah novel ke dalam bahasa Inggris.
Lelaki (30), bujangan, yang minum kopi sambil tersenyum simpul-bujang lapuk karena sengaja. Lelaki (30), bujangan, yang minum kopi dengan waswas-bujang lapuk karena tak laku-laku. Mereka yang minum kopi dan uangnya dapat berubah menjadi daun-hantu. Mereka yang minum kopi sambil marah-marah-rokoknya terbalik. Mereka yang minum kopi sambil menyingsingkan lengan baju-baru membeli arloji.
Mereka yang minum kopi sebelum main pingpong-kembung. Mereka yang minum kopi setelah main pingpong-kalah. Mereka yang minum kopi sambil waspada-memelihara istri muda
. Mereka yang minum kopi sambil gembira-dipelihara istri muda. Mereka yang minum kopi habis sekali teguk-memelihara tuyul.
Perempuan yang minum kopi bersama perempuan-banyak utang. Perempuan yang minum kopi bersama orang-orang dari partai bergambar benda-benda langit-bayar sendiri-sendiri. Mereka yang bisa minum kopi sambil menulis-juling. Mereka yang minum kopi tengah malam Jumat Kliwon-sudah bisa membaca sejak berumur 11 bulan. Mereka yang minum obat cacing dengan kopi-tak bisa membaca. Mereka yang suka ngebut naik motor di depan warung kopi-tidak bisa bahasa Mandarin. Mereka yang minum kopi waktu magrib- PSSI vs Argentina, PSSI 5, Argentina 0. Mereka yang mandi pagi tidak pakai sabun-tidak hafal Pancasila.
Mozaik 24 Godaan BERDASARKAN pengundian, lawan pertama Maryamah adalah seorang lelaki bernama Aziz. Kubuka Buku Besar Peminum Kopi, kupelajari profilnya. Oh, rupanya berada di kolom ex-player. Detailnya:
Nama : Aziz Tarmizi Umur : 47 tahun Status : duda kembang-karena itu dia berada di kolom ex-player Pendidikan : Madrasah Tsanawiyah, tidak tamat Hobi : mendengarkan lagu dangdut dan disko
Artis kesayangan : Rhoma Irama, Tan Tjen Bok Jabatan terakhir : operator alat berat -sopir truk 18 roda di maskapai timah : asisten juru rias pengantin Jabatan sekarang : kopi susu, jumlah adukan 25-tipikal kopi ex-player Kopi : Rambate rata hayo singsingkan lengan baju kalau kita mau maju-
Kata mutiara belakangan aku tahu bahwa kata-kata itu ia kutip dari salah satu lagu
Kak Rhoma Detektif swasta M. Nur mengundangku ke kantornya. Di atas meja kulihat map pink yang bertuliskan Maryamah vs Matarom, yang dulu berada di dalam kota dokumen masuk, sekarang di dalam kotak dokumen dalam proses. Namun, dia kesulitan mencatat permainan Aziz karena orang itu tinggal di Tanjong Pandan.
"Jangan cemas, nges, nges," katanya
"Aku telah menghubungi koneksiku, kepala geng pasar pagi. Dia telah kuajari cara menulis diagram catur. Operasi ini kusebut belalang sembah."
Saat itulah pertama kali kudengar keterlibatan Preman Cebol. Dia direkrut Detektif M. Nur dengan imbalan melatih merpati Yanson-nya. Ratna Mutu Manikam, nama merpati itu.
Detektif M. Nur sendiri yang memberi nama itu. Lalu kutanya soal operasi belalang sembah. Dari mana asal usulnya" Detektif M. Nur berbisik:
"Jangan bilang siapa-siapa, Boi. Aku pernah mengintip Matarom pacaran sama biduanita organ tunggal di belakang dermaga Olivir. Gayanya macam belalang sembah!"
Selanjutnya Preman Cebol gentayangan di warung-warung kopi. Ia berpura-pura minum kopi dan mengisi teka-teki silang di dekat Aziz ketika orang itu sedang main catur, padahal diam-diam dicatatnya permainan Aziz di lembar diagram yang diselipkannya di antara lembar buku teka-teki silang itu. Detektif malah telah membuat gambar teka-teki silangnya sendiri, namun sebenarnya kotak teka-teki itu adalah papan catur dan nomor-nomor pertanyaannya mengandung kode-kode catur. Sungguh lihai taktik Sherlock Holmes udik itu. Dia memberiku informasi tambahan.
"Berdasarkan investigasiku, ternyata Aziz tak ubahnya Matarom! Lelaki hidung belang!"
Aku menampilkan kesan terkejut, biar ia senang. "Kau tahu maksud semua itu, Boi""
Aku menggeleng. Detektif M. Nur mengeluarkan alat perekam, memencet play. Terdengar suara orang melolong-lolong menjual daster di pasar pagi, kerosak-kerosek. Tak ada hubungannya dengan catur dan tak ada sangkut-pautnya dengan Aziz sang asisten juru rias pengantin. Tapi aku tak protes karena aku tahu Detektif hanya ingin menunjukkan bahwa ia bekerja secara profesional, dan bahwa peralatan detektifnya tak bisa dianggap enteng. Perkara rekaman itu tak jelas rekaman apa, itu soal lain.
" Maksudnya adalah, Aziz tak lebih dari lelaki yang tak tahan godaan! "
Ini menarik. " Jadi" " Seharusnya gampang bagi Maryamah mengalahkannya. Jika diumpan, ia pasti terjebak. Jangankan buah catur, Boi, istri orang saja disambarnya!"
Berdasarkan teori Nochka, yang kemudian kuceritakan kepada Detektif M. Nur, catur memang berhubungan dekat dengan tabiat orang. Namun, kurasa hasrat lelaki kontet itu, yang tak terkekang untuk menjadi James
Bond Melayu, telah membuatnya melangkah terlalu jauh. Meski begitu, tetap kuhargai.
"Masuk akal sekali M. Nur. Tak kusangka kau secerdas itu!"
Selang beberapa hari, Jose Rizal menclok di jendela rumahku. Kuambil kertas pesan darinya, kubuka.
1.c2-c4, e7-e62.Kbl-c3, d7-d5 3.d2-d4, Gf8-e7 4.Kgl-f3, Kg8-f6 5.Gcl-g5, h7-h6 6.Gg5-h4, 00 7.e2, b7-b6 8.Bal-c1, Gc8-b7 9.Gfl-e2
Ttd, M. Nur, Detektif Aku terbelalak. Itu adalah kode-kode catur Aziz! Sungguh hebat aksi spionase Detektif M. Nur. Aku makin tercengang begitu tahu bahwa kode itu diterbangkan Ratna Mutu Manikam dari Tanjong Pandan ke kampungku, kemudian dioperkan oleh Detektif kepada Jose Rizal sampai akhirnya tiba di tanganku. Seorang preman pasar, dua ekor penyampai pesan lewat udara, dan seorang detektif swasta telah terlibat dalam operasi belalang sembah ini. Aziz Tarmizi sepatutnya berhati-hati.
Kode-kode itu segera kusampaikan pada Nochka. Berkata sang Grand Master:
"Hmm, di sini terjadi peralihan dari pembukaan Inggris ke pembukaan gambit menteri variasi Tartakower. Indikasinya di nomor 8 dan 9 itu. Kelanjutan game itu bisa lebih aktif."
Tak sehuruf pun kupahami maksudnya.
"Sesuai catatan waktu pada diagram, lawan ini melangkah 18 kali dalam waktu 8 menit. Itu tergesa-gesa. Dia ahli memainkan benteng, tapi pion-pionnya tidak menepati posisi yang baik, dan ia tak dapat menahan godaan menyerah jika melihat celah pertahanan. Sarankan pada Maryamah untuk memakai pembelaan Petrof."
Grand Master menyampaikan diagram pembelaan Petrof untuk dipelajari Maryamah, berikut petunjuk detail dalam situasi apa formasi itu dapat dimainkan.
Pulang dari Tanjong Pandan, di dalam bak truk timah, perutku tergelitik dan pikiranku tak lepas dari Detektif M. Nur: kejujuran dan kepolosannya sejak kecil dulu, khayalan-khayalan ajaib di dalam kepalanya, mimpinya untuk melatih merpati posnya agar sepintar tukang pos, peralatan spionasenya yang konyol, dan wajahnya ketika dimarahi ibunya, bukankah pendapatnya senada dengan pandangan Grand Master" Bahwa sebagai seorang lelaki dan sebagai seorang pecatur, Aziz tak lebih dari orang yang tak tahan godaan! Fakta memang sering lebih aneh ketimbang fiksi.
Beberapa hari menjelang pertandingan, nuansa perseteruan antarpecatur makin memanas. Warung-warung kopi sampai tak mampu menampung pengunjung yang ingin main catur, yang mau pamer kebolehan menggertak calon lawan, yang berlatih untuk pertandingan nanti, atau sekadar membicarakan pertandingan. Topik yang paling seru tentulah soal Maryamah.
Sesekali Matarom dan Mitoha hadir di warung kopi untuk melakukan ekshibisi, misalnya, catur simultan atau membunuh cepat dengan batas tempo tertentu. Perwira-perwira catur perak hitam berdiri tegak dalam formasi perang nan garang. Wajah mereka tak menyisakan selembar pun belas kasihan pada lawan.
Jika Matarom datang, pegawai negeri pulang cepat. Tak peduli sanksi tata tertib. Toko-toko tutup. Terasi dirubung lalat. Busuk ikan di stanplat. Warung-warung kopi lain menjadi sepi lantaran semua orang berhamburan untuk melihat papan catur perak yang misterius dan menyaksikan sepak terjang Rezim Matarom. Setiap kali Matarom memegang buah hitam perak, para penonton menahan napasnya.
Sementara itu, Maryamah dan Alvin and the Chipmunks, susah payah memahami maksud Grand Master. Aku salut pada tekad Maryamah. Ia mengulangi petunjuk Grand Master sampai beratus-ratus kali, tak pernah lelah. Sebaliknya, kutemukan pula bakat Alvin. Ia memang nakal, tapi rupanya ia memang anak yang cerdas. Bukankah anak yang cerdas selalu anak yang nakal" Namun, anak pendiam juga sering merupakan anak yang cerdas. Macam aman bisa begitu" Aku tak tahu.
Dengan cepat, Alvin menguasai kode-kode diagram catur. Bahkan, dengan iseng ia mampu membuat isyarat lewat jemarinya untuk kode-kode tertentu. Jari telunjuk ke atas, artinya pembukaan India. Jari telunjuk ke bawah, pembukaan Perancis. Dalam pada itu, aku mencatat kemajuan Maryamah dan melaporkannya pada Grand Master. Aku gembira waktu dia berkata bahwa Maryamah telah menerjemahkan instruksinya dengan benar.
"Aku tertarik pada pola pertahanannya
. Sangat menjanjikan."
Namun, aku tetap saja gugup sebab lawan yang bisa dikalahkan Maryamah barulah aku dan Alvin and the Chipmunks. Itu sama sekali tak bisa dijadikan ukuran. Karena aku memang tak pernah menang melawan siapa pun, sedangkan Alvin and the Chipmunks, tak lebih dari anak kelas 4 SD yang tak bisa diam. Apalagi, Aziz telah sesumbar pada Mahmud, penyiar Radio AM Suara Pengejawantahan.
"Dua puluh langkah! Dua papan tak terbalas," katanya bicara sekehendak hatinya untuk majelis pendengar yang budiman. Kurang ajar betul lelaki ex-player itu. Wajar saja sudah dua istri minggat darinya.
Akhirnya, hari pertandingan tiba. Malamnya, tak sepicing pun aku bisa tidur. Aku yakin Detektif, Preman Cebol, Giok Nio, Selamot, Alvin, dan Jose Rizal, juga mengalami malam yang panjang. Esok sore semuanya akan ditentukan. Sangat berbeda dengan Maryamah. Aku berjumpa dengannya pagi hari sebelum pertandingan itu. Tampak jelas ia tak yakin apakah akan menang atau kalah, namun dia gembira. Mungkin karena dia telah mendapatkan medan peperangannya.
Berani Dalam sembarang waktu dan ruang
Telah disediakan untukmu Medan untuk berperang Beranikah engkau menghunus pedang"
Mozaik 25 Pertarungan Pertama HANYA empat kali orang Melayu menyandang baju terbaik. Habis disunat-itu pun kalau dibelikan bapaknya, Lebaran-itu pun kalau maskapai timah membagi jatah kain, saat menikah-pernikahan yang pertama, dan saat menonton pertandingan catur.
Pertandingan masih dua jam lagi, namun penonton telah berbondong-bondong ke warung kopi Paman. Penonton menjadi banyak karena ada penonton perempuan yang ingin menjadi suporter Maryamah. Sebelumnya perempuan tak pernah menyaksikan pertandingan catur.
Aku merinding melihat puluhan papan catur telah digelar. Motif kotak hitam dan putih bertaburan di atas meja dengan formasi melingkar berlapis-lapis, seakan berkelap-kelip, menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Penonton yang berjubel bertepuk tangan saat Maryamah dan Aziz menempati bangku masing-masing. Aku sendiri waswas melihat Paman. Apakah situasi kesehatan syahwatnya sore ini akan membuat penyakit kepribadian gandanya memihak Maryamah atau sebaliknya. Hal itu amat sulit diramalkan.
Maryamah hanya tampak segaris matanya karena ia memakai burkak. Rasanya aku tak percaya melihat sebuah papan kecil di atas meja bertulisan nama Maryamah berseberangan dengan papan nama Aziz Tarmizi. Pertama kali terjadi dalam sejarah kejuaraan catur hari kemerdekaan, perempuan ikut bertanding dan akan melawan laki-laki. Di tengah meja pertandingan telah dipasang selendang berwarna merah sehingga kedua pecatur tak dapat saling memandang.
Modin mengumumkan bahwa pertandingan catur dimulai. Aku berdebar-debar. Tahu-tahu Paman menyelinap dan duduk di bangku persis di belakang Aziz, berarti nyata-nyata ia mendukung Aziz. Ia berbisik pada Aziz-maksudnya berbisik, tapi nyata-nyata ia ingin setiap orang di sekitarnya agar mendengar.
"Ziz! Ziz! Jangan kecewakan Pak Cikmu ini. Kalau kau kalah, awas! Bikin malu orang laki saja! Perempuan itu harus diberi pelajaran! Gasak dia!"
"Baiklah, Pak Cik."
Sebaliknya, meskipun ekspresi wajah Maryamah tak kentara karena burkaknya, aku tahu ia sedang gugup. Ia mendapat buah putih sehingga berhak melangkah lebih dulu. Ia menunduk sejenak, seperti berdoa, lalu mengangkat wajah. Diamatinya deretan buah catur di depannya, ia siap menghunus pedang. Diangkatnya sebutir pion. Napasku tertahan. Demi Tuhan Yang Maha Esa, kuharap Grand Master Ninochka Stronovsky berada di sini. Prajurit balok satu itu melayang lalu mendarat diiringi gempita sorak sorai pendukungnya.
Sebaliknya, pendukung Aziz bersorak waktu Aziz melangkah pertama kali. Lalu langkah demi langkah saling berbalas. Namun, mengagetkan, tiba-tiba menteri Aziz telah berada dalam posisi tembak. Perempuan itu asyik saja bertahan. Sekali sekak, raja Maryamah hampir terpelencat. Pendukung Aziz berteriak: dua puluh! Dua Puluh! Maksudnya, seperti sesumbar Aziz di Radio Suara Pengejawantahan itu, ia kana membunuh raja Maryamah pada langkah ke-20. Benar saja, tepat pada langkah ke-20, sekak lagi. Raja Ma
ryamah almarhum. Tragis. Orang yang kami gadang-gadang kena lipat dalam waktu kurang dari 15 menit. Maryamah berkali-kali menarik napas panjang. Sungguh memilukan nasibnya. Mitoha dan Paman terkekeh-kekeh.
Papan kedua. Aziz lebih percaya diri. Ia membuka dengan pembukaan Inggris yang anggun tapi mengandung maut. Maryamah melangkahkan sebutir pion penuh ragu. Aziz langsung mengganas. Perempuan itu malah kembali melakukan kesalahan yang sama seperti tadi. Mekarlah hidung Aziz melihat lawannya tak belajar sedikit pun dari kebodohannya di papan catur pertama tadi. Tanpa alasan yang jelas, Maryamah malah melepaskan kuda dari sistem pertahanannya. Alvin and the Chipmunks tak sabar. Ia berdiri dan berusaha menarik perhatian Maryamah. Ia memberi isyarat dengan jarinya agar Maryamah menyusun formasi pembelaan Petrof seperti saran Grand Master. Tapi, semuanya telah terlambat.
Senyum Aziz ex-player tersimpul-simpul melihat kuda nan semlohai berangin-angin. Maryamah menyesali kesahan fatal tingkat amatir yang baru saja ia perbuat. Tanpa buang tempo, Aziz mengutus menterinya untuk meraup kuda itu. Namun, nyaris pada saat yang bersamaan, sekonyong-konyong, dengan tangkas Maryamah meraih luncus dan menyikut benteng Aziz. Nyawa benteng itu menjadi gratis lantaran terlepas dari mekanisme pengawalan menteri yang terbuai rayuan air mata buaya kuda binal yang diumpankan Maryamah tadi.
Kuda itu tak lain secawan racun! Benar pendapat Detektif M. Nur, lelaki hidung belang itu sama sekali tak tahan godaan! Aziz terperanjat. Maryamah dengan sigap menyusun pembelaan Petrof. Belum sempat aziz berpikir panjang tiba-tiba ia kena sekak. Lutut rajanya gemetar. Disekak sekali lagi, raja itu tertungging. Pendukung Maryamah melonjak-lonjak. Modin susah payah menenangkan mereka. Di tengah hiruk pikuk itu Paman bangkit, lalu tanpa malu-malu mengambil tempat di belakang Maryamah.
Papan ketiga, penentuan. "Mah! Mah!" panggil Paman.
"Lelaki tak berguna itu memang harus diberi pelajaran! Jangan kecewakan Pak Cikmu ini! Gasak dia!"
"Baiklah Pak Cik."
Pertandingan baru berjalan beberapa langkah, namun Aziz langsung bingung melihat perwira-perwira Maryamah mengamuk seperti angin puting beliung. Ia mati kutu. Berkali-kali dia mengangkat wajahnya, berusaha melihat muka lawan di seberangnya, namun syariat tak memungkinkan itu. Selendang merah menyembunyikan kemampuan ajaib seorang perempuan miskin yang tersia-sia, yang telah dipandang sebelah mata oleh siapa saja. Sore ini ia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Maryamah mengangkat kudanya. Raja Aziz menghembuskan napas yang terakhir.
Penonton bertepuk tangan gegap gempita dan berusaha mendekati Maryamah untuk menyalaminya, namun pecatur pendatang baru itu dilindungi manajernya: Selamot. Mahmud berhasil menyelinap dan berusaha mewawancarai Maryamah. Selamot mengadangnya.
"Mud, perlu kau tahu ya, aku ini manajer Maryamah. Karena itu, mulai sekarang semua wawancara dengannya haru memberi tahuku."
"Baiklah, Kak."
"Apakah program ini didengar semua orang, Mud""
"Ya, Kak, ini siaran langsung, kita sedang mengudara sekarang."
" Na, dengarlah wahai majelis pendengar yang budiman. Aku, Selamot binti Markam, orang Bitun, adalah manajer Maryamah. Aku angkat bicara atas nama Maryamah."
Mahmud mengangguk. "Apa pendapat Kakak soal pertandingan tadi" Teknik apa gerangan yang diterapkan Maryamah" Hebat nian teknik itu. Apakah itu teknik catur orang Bar at""
Selamot terpana mendengar pertanyaan tingkat tinggi itu. Ia berpikir keras, tapi kemudian teringat pada Aziz yang senang sesumbar sekehendak hatinya.
"Mud, kalau kau mau tahu, itulah yang disebut teknik catur lidah tak bertulang!"
Mozaik 26 Blender 1 LAPANG nian hati Paman pagi ini. Senyumnya tersimpul-simpul. Ia membawakan lagu Melayu Badai Bulan Desember secara instrumentalia-dengan mulutnya yang agak monyong- bersiul meliuk-liuk. Kuduga, pagi ini akan berlalu dengan damai. Ia duduk di kursi malasnya. Kursi itu, khusus untuknya dan telah menjadi singgasana tempat ia mengendalikan pemerintahan warung kopi. Di kursi itu Paman adalah sebuah otoritas dan dia punya ideologi yan
g jelas tentang cara mengelola sebuah warung kopi. Berani-berani duduk di situ sebuah tindakan mencari penyakit.
Paman bukanlah seorang juragan warung kopi yang stereotipikal, yang hanya peduli pada cara menjual kopi sebanyak-banyaknya. Ia adalah pengkritik yang pedas, orang yang jujur, pembela yang berani, orang Islam yang taat, dan sahabat yang selalu dirindukan. Seisi pulau, siapa yang tak kenal Paman. Karena itu, warung kopinya paling top, nomor satu tiada banding. Aku tahu mengapa Paman senang, tentu karena kemenangan PSSI yang ia lihat semalam di layar kaca, ditambah berita gembira, yaitu putra bungsunya segera disunat.
Mengenai istri dan anak-anaknya, Paman lagi-lagi membuatku tercengang. Paman adalah seorang yang tak pernah sungkan mengungkapkan perasaannya. Kerap kali secara sangat terus terang, tanpa tedeng aling-aling, dan tak takut pada siapa pun. Pada masa yang lalu, konon ia pernah memarahi bupati di depan khalayak ramai. Namun, pada istri dan anak-anaknya, ia sangat lembut. Jangankan membentak, jika bicara dengan mereka, ia selalu mengatur nada suaranya agar tidak tinggi. Kukira, dari seluruh kelakuan Paman yang eksentrik, sikapnya pada anak-istri merupakan salah satu bagian paling menarik. Pernah kutanyakan padanya, mengapa begitu.
"Karena dulu sebelum menikahi bibimu, pernah kujanjikan dengan bersungguh-sungguh, bahwa aku akan menyayangi keluarga dengan sepenuh jiwa." Ah, tampak benar Melayunya lelaki itu. Tapi ia memenuhi janjinya, dan bagiku kalimat Paman itu sedikit menjelaskan, mengapa Bibi yang sangat anggun dan bersahaja bisa jatuh ke pelukan Paman.
Sayangnya, belum tengah hari, kedamaian itu meletus. Tak tahu siapa yang membuat gara-gara, mungkin karena udara yang panas telah memuaikan selangkangnya, Paman uring-uringan.
"Tahukah kalian"" katanya pada kami, jongos-jongosnya.
"Dewasa ini kopi sudah banyak diselewengkan!"
Merepetlah mulutnya soal kopi zaman modern yang ada di kota.
"Kopi mereka buat dengan mesin, dicampuri zat-zat aneh, berbusa-busa. Mereka beri nama seperti nama bintang pelem, lalu mereka jual lebih mahal dari sekilo beras! Itu kurang ajar! Itu melanggar hak asasi peminum kopi!"
Kami tegak menyimak, berani meleng sedikit, urusan bisa runyam.
"Mereka bilang, kopinya mereka datangkan dari luar negeri. Bahkan ada yang menjual kopi dari kotoran musang. Itu melanggar hak hewan! Kopi yang benar adalah seperti kopi kita. Kopi yang dibeli dengan harga yang adil dari para petani. Dijerang dalam wajan, dikisar dengan tangan."
Kopi kami memang seluruhnya dikerjakan oleh tangan manusia.
"Kopi adalah minuman rakyat. Dijual dengan harga rakyat. Kopi rakyat enak karena keringat petani dan tangan tukang kisar yang melepuh. Selain daripada itu, penipuan!"
Kurasa sedikit banyak, Paman ada benarnya.
"Kopi zaman modern, tak ada yang beres! Semuanya trabel!"
Yang dimaksud Paman dengan trabel adalah trouble.
Sore itu Paman datang sambil menjunjung sebuah kotak. Dikumpulkannya kami, dibukanya kotak itu, isinya sebuah blender, dan berpidatolah ia.
" Kita tidak bisa terus-menerus seperti dulu. Cara-cara yang lama dalam menghidangkan kopi harus ditinggalkan. Kita telah memasuki zaman modern. Waktu, ingat waktu, adalah faktor terpenting dalam proses produksi dewasa ini. Siapa yang tak bisa menghemat waktu, ia akan tergilas."
Bicara Paman cerdas, tenang, tanpa dosa, dan sama sekali lupa akan sumpah serapahnya pada kopi zaman modern pagi tadi.
"Saingan kita semakin banyak. Selera juga berubah. Peminum kopi sekarang menyukai kotoran hewan. Dapatkah kalian bayangkan itu" Kopi dari kotoran musang lebih mahal dari kopi mana pun! Karena itu, Tam. Paman menunjuk Rustam.
"Coba kau telusuri jejak musang. Lacak di mana hewan-hewan itu buang hajat. Kalau perlu kau tangkap dan jangan kau beri makanan lain selain biji kopi, dan jangan kau beri minum, selain minyak jelantah, supaya buang hajatnya lancar. Kita bisa kaya raya gara-gara tinja, Tam!" Rustam mengangguk-angguk dengan khidmat.
"Kau, Ikal!" Paman menatapku dengan tajam. Aku gemetar.
"Ini yang paling penting. Kau kuberi amanah mengoperasikan alat ini." Paman meng
usap-usap blender itu. " Pasang telinga lambingmu itu baik-baik. Alat ini adalah teknologi dapur yang canggih. Baru datang dari Jakarta dan telah lama kupesan dari A Tun. Harganya sangat mahal. Hanya rumah-rumah menteri dan warung kopi terkenal di Jakarta yang bisa punya alat ini. Perlakukan ia dengan penuh sopan santun!"
Paman memang sedang tidak main-main.
"Hanya dalam keadaan darurat aku boleh memakainya. Misalnya kalau kita kehabisan kopi dan harus mengambil keputusan secara cepat. Maka, kau giling kopi dengan alat ini. Namun, jangan sembarangan. Sebelum dimasukkan, biji kopi harus digerus dulu sampai halus. Karena alat ini tidak bisa bekerja terlalu berat. Ia bukanlah alat kampungan untuk kuli. Ia alat modern yang cerdas dan lembut untuk umat manusia yang bisa memaki akal dan hati nurani!"
Kusimak Paman dengan tegang.
"Adakah pertanyaan darimu"!"
"Sementara ini, belum ada, Pamanda."
"Baca buku petunjuknya dengan saksama. Mendengarkah kau itu"" "Mendengar, Pamanda."
Ia menatapku penuh ancaman.
"Kalau sampai alat ini rusak, awas!"
Mozaik 27 Karma Sang Juru Taksir MAS Mugi Kempot adalah orang Jawa yang telah lama tinggal di kampung kami. Ia seorang juru potret. Ia menemukan profesinya itu melalui perjalanan dan pengalaman spiritual yang panjang. Dulu ia merantau sebagai seorang transmigran, lalu ia berjualan bulu ayam, lalu ia berjualan kandang ayan, akhirnya ia menjadi tukang potret, terutama untuk acara perkawinan. Ialah lawan kedua Maryamah.
"Mas Mugi Kempot lebih mengutamakan keindahan, bukan kemenangan, nges, nges," kata Detektif M. Nur. Namun, sekali lagi, pendapatnya sama dengan pendapat Grand Master.
"Orang ini tidak punya pola pertahanan dan serangan yang baik. Buah-buah caturnya tersusun secara aneh."
Pertandingan digelar. Benar saja, Mas Mugi Kempot sibuk mengatur buah catur, bukan untuk menyerang, tapi biar serasi tampaknya. Ia mementingkan komposisi. Buah catur ia konfigurasikan seperti akan ia potret. Kuda yang lebih pendek di depan luncus yang ramping dan tinggi untuk tujuan framing karena ia ingin buah-buah caturnya bercerita di dalam gambar. Lalu ia memasang kuda sebagai titik fokus tanpa menyadari kepala rajanya telah terpenggal. Mendapati rajanya menemui ajal, Mas Mugi Kempot malah tersenyum. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan kamera. Dipotretnya posisi terakhir rajanya saat meregang nyawa.
Lawan Maryamah berikutnya adalah Maksum. Selamot dan Maryamah kenal baik dengan lelaki yang pernah kaya mendadak, kemudian miskin secara mendadak pula itu. Dialah juru taksir timah yang sering mencurangi Maryamah waktu ia berumur 14 tahun dan baru mulai mendulang timah dulu. Tak terbilang banyaknya kejadian Maksum menaksir rendah timah hasil dulangan Maryamah dengan tujuan agar dapat mengurangi harganya. Maryamah yang masih kecil dan lugu tak paham segala cara orang menaksir timah. Ia hanya perlu uang untuk membeli beras.
Sebelum pertandingan dimulai, udara permusuhan yang aneh merebak di warung kopi. Itu tak lain karma yang ditiupkan malaikat. Selamot mendekati Maryamah.
"Beri dia kekalahan yang pahit. Kak!"
Sejak awal Maryamah langsung menyerbu. Maksum kesulitan bernapas. Papan catur melemparkan perempuan itu ke masa lalu yang getir. Gerakan bidaknya membayar setiap keculasan Maksum.
Pada langkah ke-18, Maryamah mengubah catur tak ubahnya permainan ular tangga. Ia berhasil mem-fait accompli luncus. Maksum untuk naik ke koordinat c6. Jika tidak, raja si juru taksir bisa langsung almarhum. Sebaliknya, di dekat c6 itu, menteri Maryamah menganga bak ular boa.
Kehilangan luncus itu membuat Maksum seumpama mengantarkan kepala rajanya sendiri di atas nampan kepada Maryamah, dan sebelum hal itu terjadi ia mengambil tindakan bijak yang menyakitkan hati sekaligus pengecut, yakni mengibarkan bendera putih untuk keluar dari turnamen. Dikalahkan perempuan, masih merupakan kenyataan yang tak tertanggungkan bagi sebagian besar lelaki.
Meskipun telah menang tiga kali, Maryamah belum mendapat cukup respek di antara pecatur pria. Alasannya adalah Maryamah kebetulan mendapat lawan-lawan yang lemah. Sampai sejauh ini, ia masih
dianggap sebagai penggembira saja. Berbeda dengan tanggapan masyarakat. Kehadiran Maryamah pada turnamen meletupkan gairah mereka akan catur. Jika perempuan itu bertanding, orang berbondong-bondong ingin melihatnya beraksi.
Lawan ke-4 Maryamah, seperti tertulis di papan pengumuman: Syamsuri A. adalah petinggi Pemda di bagian keuangan. Detektif M. Nur memberi ulasannya:
"Syamsuri adalah pecatur yang teliti karena ia seorang akuntan. Kau tahu, Boi, selisih satu rupiah pun, dicarinya sampai subuh! Ia memiliki ketelitian tukang reparasi arloji!"
Grand Master bersabda: " Pertandingan ini membosankan karena lawan Maryamah terlalu berhati-hati. Gunakan variasi Tartakower. Serang saja dia secepatnya. Biar ia kalang kabut."


Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengirim diagram Tartakower untuk dipelajari Maryamah dan Alvin. Selain itu, ia mengenalkan strategi Guioco Piano. Namun, untuk soal Guioco Piano itu, Grand Master berpesan benar bahwa strategi itu sekadar untuk pengetahuan dan berjaga-jaga saja. Sebab, strategi itu amat rumit dan jika tak pandai menerapkannya justru akan menjadi kelemahan.
Hari pertandingan tiba. Juri meletakkan papan nama pecatur di atas meja tanding dan aku langsung terbelalak. Di papan tertulis Syamsuri Abidin vs Maryamah. Orang yang diselidiki Detektif M .Nur dan Preman Cebol selama ini adalah Syamsuri Arba'i! Syamsuri Abidin bukanlah pejabat Pemda, ia tak lain begundal di Pelabuhan Olivir.
Tak perlu tamat SD untuk memahami bahwa operasi belalang sembah telah menarget orang yang keliru. Detektif M .Nur yang berkulit gelap, wajahnya berubah menjadi biru. Preman Cebol di sampingnya seakan menyusut tinggal 60 sentimeter saja.
Akibatnya fatal. Maryamah yang mengantisipasi Syamsuri Arba'i akan bermain telaten, sesuai analisis Nochka, langsung kelabakan diserbu Syamsuri Abidin. Maryamah bingung. Perwiranya kocar-kacir diterabas orang yang dalam pikirannya masih Syamsuri Arba'i. taktiknya sudah benar, hanya keliru musuh. Ia mengalami disorientasi strategi. Nasihat Tartakower dari Grand Master Ninochka yang canggih menjadi tak berguna. Sebaliknya, permainan Syamsuri Abidin benar-benar mencerminkan wataknya sebagai jagoan pelabuhan yang berangasan.
Dalam waktu singkat, Maryamah berada di bawah angin. Keadaan menjadi semakin tak menentu karena ia meminta pada juri untuk mengusir anjing-anjing pasar yang salak-menyalak di dekat warung. Setiap mendengar salak anjing Maryamah ketakutan. Wasit menganggap permintaan itu tidak relevan, hanya karena dia stres akan kalah.
Penonton bingung. Mereka mengharapkan penampilan ciamik Maryamah seperti ia melibas Aziz di papan ketiga dua hari lalu. Sebuah pertandingan yang masih selalu dibicarakan orang di warung-warung kopi. Kenyataannya, Maryamah tampak sangat amatir dan malah meributkan soal anjing pasar. Syamsuri Abidin mengeksekusi raja Maryamah tanpa belas kasihan.
Para pendukung kami terdiam. Matarom mengembuskan asap cangklongnya. Tebal bergelung-gelung. Mitoha menohok sambil terkekeh-kekeh.
"itulah catur yang sebenarnya, Boi! Kalian pikir main catur macam main ular tangga! Rasakan itu!"
Paman mengambil posisi seperti orang habis melemparkan bola bowling sambil berkata: "Oh, alangkah puas hatiku."
Pertandingan papan kedua dimulai. Syamsuri Abidin yang makin percaya diri jadi makin beringas. Ia tenggelam dalam euforia nafsu membunuh. Dalam waktu singkat ia berhasil membabat habis seluruh perwira Maryamah. Yang tertinggal hanya sang raja dan 8 butir pion.
Para penonton mencibir Maryamah agar mengalah saja. Buat apa menghabiskan waktu, toh tak ada lagi kekuatan untuk menghadapi perwira-perwira Syamsuri Abidin. Maryamah tak menanggapinya. Ia tak punya mentalitas menyerah. Ia memutuskan untuk terus melawan. Apa pun yang akan terjadi.
Syamsuri Abidin menyerbu dengan kekuatan penuh. Jumlah pasukan Maryamah sangat kecil. Ia tak gentar sedikit pun karena baginya ia adalah panglima Perang Badar, yang memimpin 313 tentara muslim, gagah berani menggempur ribuan tentara Quraisy. Salah satu dari delapan patriotnya gugur, namun Maryamah terus mengibarkan bendera perang. Tujuh pionnya yang tersisa menjelma menjadi t
ujuh samurai: Kambei Shimada, Katsushiro, Kyuzo, Gorobei, Shichiroji, Heihachi, Kikuchiyo.
Ketujuh samurai berjibaku secara kesatria walau kekuatan tak berimbang. Shichiroji tewas. Sisa enam pasukan Maryamah menjelma menjadi The Braveheart-William Wallace- dan lima pembebas Skotlandia sampai William Wallace mangkat.
Lima warrior Skotlandia yang tersisa langsung berubah menjadi Power Rangers. Mereka berperang tak kenal takut. Menteri Syamsuri Abidin yang keji menghabisi Ranger Pink. Penonton berulang kali mengejek Maryamah agar meletakkan pedangnya di tanah, namun perempuan itu bertekad untuk membela kehormatannya sampai titik dara penghabisan.
Empat pion terakhir Maryamah mengubah diri menjadi Kura-Kura Ninja. Pertempuran sengit meletus sampai kura-kura Donatello mengembuskan napas yang terakhir. Tiga prajurit tersisa dengan cepat menjelma menjadi The Three Musketeers. Dalam sebuah penyergapan, D'Artagnan, salah satu dari Musketeers menjadi almarhum lantaran dibunuh luncus Syamsuri Abidin.
Akhirnya pasukan Maryamah tinggal dua, yaitu si Buta dari Gua Hantu dan monyet pembimbingnya. Monyet yang pintar dan setia, yang pandai membayar minuman air legen pada pemilik warung jika Si Buta dari Gua Hantu haus.
Kekuatan Syamsuri Abidin makin besar sebab lawan semakin sedikit. Si Buta dari Gua Hantu dihabisi pula oleh menteri yang durjana itu. Tega sekali. Tinggallah si kunyuk sendirian, gemetar.
Menteri pencabut nyawa Syamsuri Abidin semula tampak tak berminat pada nyawa si kunyuk yang terpojok nun jauh di koordinat h4 sebelah utara. Namun, tetap saja ia menjagalnya. Menteri itu membunuh sekadar untuk kesenangan.
Raja Maryamah tak sampai hati melihat si kunyuk meregang nyawa. Para penonton berseru-seru agar Maryamah menyerah sebab yang ia miliki tinggal sang raja sebatang kara. Namun, sekali lagi, Maryamah telah mengalami banyak hal di dunia ini, dan segala hal itu, tidak termasuk menyerah. Menyerah adalah pantangan terbesar hidupnya. Menyerah adalah
kehinaan yang besar bagi perempuan itu. Dan baginya, catur tak sekadar permainan, tapi medan laga di mana ia mempertaruhkan martabatnya.
Syamsuri Abidin mengerahkan seluruh tentaranya untuk mengepung raja Maryamah dari segala penjuru. Maryamah tak mundur setapak pun. Ia melangkahkan rajanya, bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan untuk menyongsong tentara Syamsuri Abidin. Sang raja melakukan perlawanan terakhir. Sendirian. Sekujur tubuhnya tertusuk pedang. Ia jatuh berdebam. Ia gugur sebagai patriot.
Pendukung Syamsuri Abidin bertepuk tangan untuk jagoannya. Pendukung Maryamah yang tadi diam bertepuk tangan untuk Maryamah, demi menghormati jiwa tempurnya yang tak kenal takut. Setelah beberapa lama, sungguh aneh, dimulai oleh Paman, para pendukung Syamsuri Abidin berdiri dari tempat duduk dan bertepuk tangan untuk Maryamah. Tepuk tangan tak berhenti mengiringi langkah perempuan yang gagah berani itu meninggalkan arena. Semua orang bertepuk tangan untuk Maryamah. Aku tercengang menyaksikan apa yang terjadi. Syamsuri Abidin memang telah unggul atas Maryamah, namun wajah setiap orang menyiratkan kesan bahwa dia tak sedikit pun mampu menaklukkan perempuan itu.
Tuhan suka angka ganjil. Mozaik 28 Dilarang Mengeluarkan Anggauta Badan
KEKALAHAN Maryamah membuat situasi kubu kami menjadi kritis sebab pecatur yang kalah dua kali akan gugur. Maka, ia tak boleh lagi kalah. Sempat kami tanya pada Maryamah soal anjing pasar yang menyalak-nyalak itu dan mengapa ia meminta juri mengusir anjing-anjing itu. Ia tak menjawab. Maka soal anjing itu: misterius. Detektif mau menyelidikinya, tapi kami harus berkonsentrasi pada lawan Maryamah berikutnya.
Lawannya itu adalah Muntaha. Karena merasa bersalah, Detektif M. Nur dan Preman Cebol menyelidiki Muntaha dengan saksama. Seperti layaknya intel, mereka berlindung di balik pohon kersen, sembunyi di balik pot-pot bunga di warung-warung kopi, mengendap-ngendap di dalam got, demi mengintai Muntaha. Ke mana pun Muntaha pergi, mereka buntuti. Mulai dari berangkat kerja sampai pulang dari warung kopi. Bahkan Detektif M. Nur pernah menyaru sebagai tukang tagi
h iuran televisi untuk menyelidiki situasi di dalam rumah Muntaha. Kedua cecunguk itu melengkapi diri dengan walkie talkie dan teropong yang dipesan dari Jakarta. Sponsor alat-alat itu adalah juragan ayam Giok Nio.
Muntaha mengatakan, dengan gelisah dan nada ingin berbagi rasa, pada istrinya, bahwa beberapa hari ini, ia merasa dibuntuti seseorang. Ia mengharapkan simpati.
"Itulah akibatnya kalau suka main perempuan! Yang membuntutimu adalah dosa! Bukan siapa-siapa!"
Detektif M. Nur semakin disiplin dengan operasinya. Suatu ketika aku melihatnya di pasar. Kupanggil ia. Ia pura-pura tak mendengar. Kupanggil sampai berkali-kali, ia tak acuh. Kudekati.
"Apa telingamu sudah tuli, Detektif""
Sambil berjinjit, dibekuknya batang leherku.
"Ingat! Kita tidak kenal. Bodoh sekali kau itu!" ia mengendap-endap lalu kabur. Sungguh aku lupa bahwa kebijakan spionasenya adalah aku dan ia tidak kenal dan diagram catur harus dikirimkan melalui Jose Rizal.
Maka, saban sore kutunggu Jose Rizal hinggap di jemuran membawa berlembar-lembar kode permainan Muntaha. Diagram itu lalu kusampaikan pada Nochka. Lambat laun kau mulai menikmati ketegangan dari operasi yang unik dan penuh rahasia ini. Bayangkan, seorang grand master catur perempuan internasional, nun di jantung Eropa, memberi pelajaran catur pada seorang perempuan pendulang timah, di sebuah pulau terpencil antah-berantah, yang bahkan tak tampak di peta. Misinya: membantu perempuan itu menegakkan martabatnya. Inilah solidaritas perempuan. Untuk menambah suasana suspense, pelajaran catur itu ditransfer melalui kode-kode catur nan rahasia yang takkan diketahui orang awan, misalnya l.Bfdl, Me8 2.a3, Kfe4-3.Gxe7, Mxe7, dan seluruh gerakan bawah tanah tersebut dilakukan seekor burung merpati dan seorang detektif Melayu swasta-yang kontet.
Kode-kode itu, secara aneh membangunkan anak kecil yang rupanya memang bersembunyi di dalam tubuh setiap orang dewasa. Kerap, kode-kode itu kuanggap bak potongan kunci yang diperlukan Indiana Jones untuk membuka peti harta karun. Kadang, ia seperti sandi rahasia tentara sekutu untuk mengebom instalasi-instalasi vital Nazi. Kadang, ia bagaikan lambang yang akan membimbing piring terbang dari planet lain untuk mendarat di bumi.
Grand Master memberi petuahnya, dan yakin Maryamah bisa mengatasi Muntaha. Namun, nasib sial rupanya merundung kami. Pertandingan akan berlangsung pukul 4 sore, pada pukul 11 siang, panitia mengabarkan bahwa Muntaha tak bisa bertanding. Ia secara mendadak harus berangkat ke Pangkal Pinang untuk alasan dinas. Berdasarkan perhitungan poin dari pool lain, Muntaha akan digantikan oleh Maulidi Djelimat.
Celaka! Maulidi jauh lebih hebat ketimbang Muntaha maupun Syamsuri Abidin. Dia pernah dikirim koordinator Keluarga Berencana untuk kursus catur selam dua minggu di Palembang-yang waktu itu masih menjadi ibu kota provinsi kami. Sekarang dua pulau, Bangka dan Belitong, telah melakukan desersi dari Provinsi Sumatra Selatan. Mengapa koordinator Keluarga Berencana ikut campur dalam hal ini" Aku tak tahu. Siapalah aku ini sehingga tahu segala hal. Kurasa hal-hal seperti itu harus ditanyakan pada penerbit buku.
Detektif M. Nur memang punya diagram permainan Maulidi tapi diagram itu belum dipelajari Nochka. Dari pengalaman melawan Syamsuri Abidin, tanpa analisis Nochka, Maryamah pasti kesulitan.
Kami panik. Satu-satunya cara mengatasi masalah itu adalah segera menghubungi Grand Master. Namun, angkutan umum ke Tanjong Pandan telah berangkat dini hari. Dan secara sangat aneh, kenalan-kenalan kami yang punya sepeda motor dan mungkin dipinjam,
siang itu, secara aneh, raib. Mereka pergi dengan sepeda motor mereka, tak tahu ke mana. Naik perahu pasti akan lebih dari 6 jam pulang-pergi.
Kami mati akal. Betapa menyakitkan. Maryamah yang telah tampil meyakinkan akan gugur begitu saja. Sungguh tidak adil. Kami frustrasi. Detektif M. Nur membanting radionya karena kesal. Padahal, ia dan Preman Cebol telah bersusah payah mendapatkan diagram Muntaha.
Di tengah kekesalan kami, tiba-tiba terdengar sayup-sayup bunyi sirene. Kami saling pandang: Chip!
Aku tergopoh- gopoh ke rumah Chip. Sampai di sana kau langsung ke pokok masalah.
"Dapatkah Abang memboncengkanku naik sepeda ke Tanjong Pandan, lalu kembali lagi sebelum pukul 5 sore""
Jarak ke Tanjong Pandan hampir 100 kilometer. Aku sadar takkan bisa mengejar pukul 4 sore saat pertandingan dimulai. Detektif M. Nur akan meminta Maryamah mengulur waktu sepanjang mungkin sampai batas yang di bolehkan juri. Dengan begitu, mungkin aku masih sempat membawa instruksi baru dari Nochka. Kapten Chip merapikan jambulnya dengan tangan.
"Tolong, jangan panggil aku Abang," jawabnya kalem sambil melirik arlojinya. "Panggil aku Chip. Kapten Chip juga boleh." Aku mengangguk.
"Hmm ... terakhir ke sana, menonton orkes tempo hari ... hmm ... satu setengah jam
saja." Satu setengah jam ke Tanjong Pandan, naik sepeda, benarkah"
Dia memintaku mengikutinya ke sebuah kamar. Gambar berbagai bentuk pesawat terbang memenuhi dinding. Di sudut kamar, aku terbelalak melihat sebuah sepeda besar bermerek Ambassador made in England. Sepeda itu telah dimodifikasi sehingga seluruhnya, mulai dari tutup pentil sampai ke sadel, dinamo, dan keliningannya, berwarna metalik. Menyilaukan.
"Sangat jarang kupakai. Hanya untuk keperluan mendesak."
Ia memberi sedikit deskripsi tentang sepeda yang mendebarkan itu.
"Piring belakang kukir sendiri menjadi tujuh gigi."
"Mengapa tujuh gigi""
"Tuhan suka angka yang ganjil, Boi!"
Diturunkannya sepeda itu ke pekarangan. Ia memakai topi pilot dan membawa dua buah helm.
"Siap berangkat, Boi"" "Siap."
"Baiklah, sesuai dengan peraturan maskapai penerbangan, sebelum berangkat aku wajib menjelaskan soal keselamatan penumpang."
Aku tersenyum. Chip tak suka. Aku disuruhnya berdiri tegak seperti tentara.
"Tengok ini!" Ia menunjuk ke bawah sadel. Dibatang sepeda melingkar lempeng aluminium bertulisan: Fasten seat belt while seated. Life vest under your seat. Ia membuka tas kecil dan mengeluarkan safety card serta kantong muntah. Aku terkejut, Setahuku benda-benda itu tak boleh dibawa keluar dari pesawat. Seseorang pasti telah menggelapkannya dari pesawat Sriwijaya untuk menyuburkan kesintingan bujang lapuk ini.
"Ini dalam bahasa Inggris, Boi," katanya sambil menunjukkan safety card itu.
"Kalau tak paham, tanya padaku. Tapi jangan cemas, semua ada gambarnya."
Aku tergelak. Melihatku tak serius dia marah.
"Perhatikan, Boi! Ini menyangkut keselamatan!" hardiknya.
"Dan ini yang paling penting!" aku menegakkan badan. Ia menunjuk lempeng aluminium tadi.
"Coba baca keras!"
"Fasten sela belt while seated! Life vest under your seat!" "Pahamkah kau artinya""
Aku paham, tapi menggeleng.
"Tentu saja kau tak paham! Tahu apa kau itu! Baiklah kuberi tahu padamu artinya!" Aku mengangkat wajah, kupandang dia dengan wajah penuh harap akan harapan. " Artinya adalah, dilarang mengeluarkan anggauta badan!"
Kali ini aku benar-benar tak dapat menahan diri. Aku terkikik sampai kaku perutku. Chip menarik seutas tali dari bawah boncengan sepeda dan melilitkannya di tubuhku. Itulah
seat belt-ku. Kami mengenakan helm. Diserahkannya topi pilotnya padaku sambil menatapku dengan kesan jika sampai terjadi sesuatu pada topi itu, ia takkan ragu mencekik leherku.
Chip menghidupkan sirene dan mulai mengayuh. Para tetangga celangak-celinguk melalui jendela. Rupanya sudah menjadi kebiasaan, jika Chip membunyikan sirene, mereka menyemangatinya. Roda sepeda berputar lambat karena piring belakang hanya bergigi tujuh. Rancangan piring begitu memang diniatkan untuk memakai sepeda secara kesetanan. Chip mengitari rumah. Ia menggerung mengerahkan seluruh tenaga. Setelah putaran ketiga, diiringi sorak-sorai tetangga dan raungan sirene, Chip melesat ke jalan raya dalam kecepatan yang sangat tinggi.
Sejurus kemudian, semua kekonyolan yang tak tertanggungkan tadi segera berubah menjadi horor. Chip menundukkan tubuh. Ia berkonsentrasi penuh pada jalan di depannya dan ngebut sekuat-kuat tulangnya. Udara bersuit-siut diterabas sepeda yang melesat sangat deras. Rasanya aku tak percaya sedang naik sepeda. Kutaksir kecepatan kami mencapai 70 kilometer per jam. Beberapa kali kami melewati sepeda motor.
semua hal yang sering dibesar-besarkan orang tentang Chip dan sepedanya benar-benar bukan berita kosong!
Situasi berubah menjadi tidak lucu lagi, tapi berbahaya. Chip dan piring gigi ganjil kesayangan Tuhan itu menunjukkan watak aslinya. Ketujuh giginya patuh pada hukum fisika, yakini setelah mencapai akselerasi yang sempurna, ia malah semakin mudah dikayuh. Hanya tenaga pancal, daya ikat mur sepeda, dan kecelakaan tertungging di parit, yang dapat menghalanginya melaju seperti kuda terbang. Aku berteriak histeris menyuruh Kapten Chip mengurangi kecepatan, dia tak peduli. Lantaran dia telah terlempar ke dalam dunianya sendiri, di mana ia adalah pilot dan sepedanya adalah pesawat Fokker 28.
Aku gemetar di tempat duduk belakang. Saking kencangnya, jika mulutku terbuka, rasanya gigiku bergoyang. Sepeda meluncur meninggalkan debu. Dilihat dari jauh, kami tak ubahnya film kartun. Kupejamkan mata menahan perasaan ngeri dengan mulut komat-kamit memuja-muji Nabi Muhammad. Jika jalan jelek, Kapten Chip berteriak.
"Kencangkan sabuk pengaman, Boi, cuaca buruk!"
Setiap memasuki kampung, di menyalakan sirene. Anak-anak berhamburan ke pinggir jalan untuk melihat aksinya. Kapten chip melambai-lambai pada mereka.
Tanpa kusadari, kami telah memasuki Tanjong Pandan. Orang-orang kota yang melihat kami ternganga mulutnya lalu terpingkal-pingkal. Memang sungguh lucu melihat dua orang bersepeda menyilaukan, berhelm balap, penumpangnya diikat dengan tali sambil memegang topi pilot. Akhirnya, kami sampai di Warnet. Kulihat arloji. Astaga! Chip mampu mencapai Tanjong Pandan kurang dari satu setengah jam!
Kutelepon Grand Master. Kami langsung online. Kujelaskan situasi darurat yang kami hadapi lalu kukirimkan beruntai-untai kode permainan Maulidi Djelimat. Sejenak di mempelajarinya. Kemudian.
" Waktu itu telah kukenalkan Guioco Piano dan variasi Tartakower pada Maryamah. Jika ia paham, mungkin ia menang."
Yang kuingat dari Guioco Piano adalah Maryamah dan Alvin tak mampu mempelajarinya.
"Jika terlambat dan Maryamah terdesak, sarankan untuk menarik mundur perwira-perwiranya dan kembali ke sistem pertahanan benteng bersusun yang telah ia kuasai. Buat mekanisme pembelaan segitiga luncus c6, kuda g6, menteri d5.
Aku kembali ke tempat parkir. Kapten Chip berdiri tegak di samping Fokker 28 itu seperti seorang sopir yang setia. Kami pulang dan Chip kembali kesetanan.
Pukul 5 kurang 10, gerbang kampung tampak. Menjelang warung kopi, kulihat Alvin menunggu dengan gelisah. Ia menyongsong kami, wajahnya seperti mau menangis.
"Mengapa lama sekali" Mak Cik sudah kalah papan pertama!"
Dirampasnya diagram saran dari Nochka dari tanganku. Dia tersentak.
"Guioco Piano" Mana mungkin" Mak Cik belum paham teknik ini!"
Namun, ia tersenyum melihat instruksi lain dari Nochka. Di berbalik dan berlari kencang menuju warung kopi.
Di tempat pertandingan kulihat Maryamah pasrah. Sekondan-sekondannya kuyu. Mitoha bahagia tak terkira melihat Maulidi segera menuntaskan papan kedua dan menyingkirkan perempuan itu dari kejuaraan. Pamanku cekikikan di belakang Maulidi. Air mukanya berkata: berani-beraninya kau lawan laki-laki, rasakan itu, Mah! Ia sedang menjadi malaikat bertanduk.
Alvin berusaha menarik perhatian Maryamah. Maryamah menoleh padanya. Diam-diam Alvin menunjukkan kode-kode dengan jarinya. Maryamah memundurkan perwira-perwiranya. Maulidi heran melihat move itu. Tak lama kemudian, setiap serangannya dimentahkan oleh blok benteng bersusun Maryamah. Mitoha terperangah. Sekondan Maryamah bergairah. Lewat satu serangan balik, raja Maulidi Djelimat tercekik.
Aku kagum, karena dengan cepat Maryamah bisa mengadaptasi tekniknya sesuai petuah Grand Master. Bahkan, dalam sistem permainan yang tengah berlangsung. Jika dia tak berbakat, tak mungkin bisa melakukan itu.
Pada papan ketiga Maulidi terus-terusan terdesak. Maryamah sepenuhnya mengikuti instruksi Nochka. Kulihat Paman pelan-pelan menggeser posisi duduknya. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Maryamah. Maryamah berhasil merebut papan ketiga. Alvin melonjak-lonjak. Paman tertawa lebar. Air mukanya berkata: berani-ber
aninya kau anggap enteng perempuan, rasakan itu, Mat!
Kuberi tahukan pada Chip bahwa Maryamah menang berkat bantuannya. Ia tersenyum, menghidupkan sirene sepedanya, lalu melaju kencang menanggalkan pasar.
Mozaik 29 Blender 2 MERENUNGKAN hikayat warung kopi merupakan selingan yang amat menyenangkan. Kulamunkan hal itu jika warung sedang sepi. Biasanya, antara pukul satu siang sampai menjelang azan asar. Pada masa itu, semua gerakan di pasar melambat. Jalanan kering dan berdebu.
Sesekali anjing pasar yang kurap melintas, bertengkar-tengkar sebentar dengan anjing lain yang juga kurapan. Kemudian, saling mencium buntut masing-masing, lalu bercinta. Geng buduk itu senang sekali bertengkar, lalu kawin, lalu bertengkar lagi, lalu kawin lagi. Mereka adalah penganut paham seks bebas. Mereka antikemapanan. Dua-tiga rombongan kecil burung dara melangkah berderak-derak di atas atap seng. Kepak mereka adalah suara terkeras di pasar yang sedang malas-malas.
Orang-orang yang tak tahan disengat matahari, melipir ke bawah pohon kersen. Di sana mereka disambut tukang es air nira dan penjual tebu yang ditusuk dengan lidi. Penjual tebu hampir punah. Tinggal satu-dua dan jarang tampil. Adapun penjual buah gayam rebus dengan parutan kelapa dicampur gula merah, penjual jambul bol, jambu monyet, jambu kemang, penjual buah kembilik, buah rambai, ubi jalar rebus, buah keremunting, dan buah berangan, yang dijual di dalam lipatan daun simpor yang disebut telinsong, tak pernah tampak lagi batang hidungnya. Dagangan itu telah punah. Anak-anak sekarang tak mau makan buah-buah hutan itu. Mereka lebih suka makanan berwarna-warni di dalam plastik-semakin pink warnanya, semakin menerbitkan selera, dapat mainan Kura-Kura Ninja, pula!
Paman mendengkur di kursi malas. Midah mencari kutu Hasanah, Hasanah menguteksi kuku-kukunya dan Rustam melamun, tak tahu aku apa yang berkecamuk di dalam kepala bujang lapuk yang baik hati dan sedang terkantuk-kantuk itu.
Aku kian hanyut dalam pikiran ke masa lampau. Pernah Paman berkisah bahwa dahulu kala hanya ada satu-dua warung kopi. Itu pun bukan khusus warung kopi, melainkan warung makan yang menjual kopi. Pelanggannya adalah buruh kapal keruk dinas malam.
Lelaki Melayu memang peminum kopi sejak masa nenek moyang, tapi mereka minum kopi buatan istri di rumah. Pernah pula ada satu masa ketika kopi dianggap seperti rokok sehingga perempuan yang minum kopi dianggap tidak patut.
Warung kopi kemudian berkembang menjadi tempat para pendulang timah saling mengadukan nasib sekaligus gedung parlemen tempat mereka melakukan tugas legislatif tak remi untuk mempertengkarkan sepak terjang pemerintah. Namun, sejak tahun sembilan puluhan, sejak maskapai timah gulung tikar, warung kopi kian banyak bermunculan. Mungkin karena makin banyak yang dikeluhkan.
Lambat laun warung-warung itu membentuk sistem sosialnya sendiri. Maka, kami punya warung kopi dengan menu kopi miskin, yaitu kopi bagi mereka yang melarat sehingga tak punya uang cukup untuk membeli kopi biasa. Namun, ganjarannya, ia mendapat kopi tanpa gula sebab harga gula mahal. Maka, kopi miskin adalah kopi pahit, sepahit-pahitnya, seperti nasib pembelinya.
Pamanku yang berjiwa lapang dan merupakan umat Nabi Muhammad yang amat pemurah, menyediakan kopi miskin dalam menu warungnya. Sesekali, secara diam-diam pamanku menyuruh kami menambahkan gula untuk kopi miskin, karena ia tak sampai hati pada kaum papa itu. Namun, aneh, pembeli melarat telah terbiasa dengan kopi miskin malah tak menyukai hal itu. Pelajaran moral nomor 22: kemiskinan susah diberantas karena pelakunya senang menjadi miskin.
Tak jarang, orang-orang dari partai politik rapat di warung kami. Kadang kala orang-orang ternama mampir. Warung kami telah menjadi tempat pertandingan catur, tempat orang berunding soal bisnis, tempat kampanye, tempat menenangkan diri jika sedang ribut dengan istri, tempat bertemu bagi yang tengah kasmaran, dan tempat membuat janji-janji bagi cinta yang terlarang. Aku takjub menemukan diriku menjadi bagian dari fenomena warung kopi. Saban hari, dari para peminum kopi, ada saja pengalaman me
narik yang membuatku berpikir sambil tersenyum. Pengalaman makin menjadi sejak ada blender itu.
Sesuai dengan amanah yang telah diembankan Paman ke atas pundakku, serta titahnya yang sangat keras agar aku mengoperasikan dan merawat blender itu dengan sopan, aku benar-benar cermat dengan alat itu. Tak terbayangkan murka Paman jika terjadi sesuatu padanya. Maka, kuikuti dengan teliti manualnya. Ia tak kupakai jika tak terpaksa. Bubuk kopi yang kumasukkan ke dalamnya kugerus dengan halus sebelumnya dengan kisaran sehingga ia tak perlu bekerja terlalu keras. Selesai kupakai, kubuka komponen-komponennya, kubersihkan dengan teliti, kutiup-tiup, bahkan kumasukkan lagi ke dalam kotaknya. Paman puas dengan performaku.
Lambat laun, terjalinlah hubungan emosional antara aku dan blender itu. Aku terpesona akan kecerdasan di balik sistem elektronika dan mekanikanya. Ia adalah instrumen
representasi peradaban baru dan ia hadir di muka bumi untuk orang-orang yang mampu mengapresiasi kemajuan teknologi. Ia mampu membuat urusan mengubah bentuk menjadi sangat mudah. Bukankah luar biasa"
Aku terpikat pada bahunya yang kukuh, yang menanggung leher jenjangnya. Ia tegak, tapi berlekak-lekuk. Ia padat tapi tak bersegi. Maka, ia seperti tubuh perempuan. Belum menghitung suaranya.
Ketika kupencet tombol on, saat itulah kutiupkan nyawa ke dalam dirinya ia hidup, lalu ia tersenyum, lalu ia berbunyi seperti intro barisan string orkestra. Kumasukkan bubuk kopi yang halus ke dalamnya, ia mulai berputar. Suara barisan string tadi meningkat menjadi berdesing bak pesawat terbang bermesin Rolls-Royce yang mau tinggal landas.
Kian lama akselerasi putarannya kian sempurna. Desingan berubah menjadi desahan, silih berganti. Aku gemetar dalam sensasi yang sulit kulukiskan dengan kata-kata. Bubuk kopi perlahan berubah menjadi tepung.
Akhirnya, saat kumatikan, bunyi blender itu kembali melalui beberapa tahap, dari mendesah menjadi berdengung, lalu lambat laun mendesau, lembut sekali, bak angin pagi musim selatan. Namun ta tak langsung mati. Ada suatu momen dari desauan itu sampai jantungnya benar-benar berhenti berdetak. Pada momen itu, seluruh keindahan yang baru saja dipancarkannya menjadi diam, menggantung, merengkuh. Itulah moment of silence, ketika cinta memeluk dirinya sendiri. Semua itu, semua perasaan itu, membuatku kasmaran!
Kurasa, dari sekian banyak hal di dunia ini, hanya A Ling dan alat itu yang dapat memahamiku. Adakalanya, saat sedang bekerja dengannya, aku merasa telah berselingkuh. Jika warung kopi sedang sepi, aku menyelinap ke dapur dan bercakap-cakap dengan blender itu. Kami ngobrol tentang lagu-lagu baru yang diputar di radio AM Suara Pengejawantahan dan cekikikan menertawakan selera musik orang udik. Aku berkisah tentang kawan-kawan masa kecilku. Soal A Ling tentu saja kututup-tutupi. Blender itu bercerita tentang musim yang tak menentu dan keluhannya tentang dapur tempat tinggalnya yang berantakan.
"Yang paling jorok adalah lelaki kurs tinggi yang suka main perintah-perintah itu," cetusnya.
"Itu pamanku, Yamuna."
Oh, ya, aku telah memberi blender itu sebuah nama yang syahdu: Yamuna. Nama yang kuambil dari kisah cinta terhebat sepanjang masa: Taj Mahal. Yamuna adalah sungai yang mengalir di antara Taj Mahal dan Benteng Merah.
Hubunganku dengan Yamuna kian lama kian harmonis karena aku menerapkan pelajaran dari Oprah yang mengatakan bahwa 95% kegagalan hubungan adalah akibat komunikasi yang buruk. Maka kau selalu membicarakan dengan Yamuna setiap kali aku ingin
menaikkan daya putarnya. Ia memiliki 6 skala kecepatan. Bagiku, skala-skala itu adalah anak-anak tangga sensasi. Aku biasa memakai skala 2 yang lembut dan santun. Yamuna pun tampaknya nyaman. Sesekali aku minta izin padanya untuk naik ke skala 3. Yamuna mengerling tanda setuju, namun aku tak tega. Dia sering kehabisan napas jika terlalu kencang.
Suhu kian panas. Angin bertiup sepoi-sepoi. Dengkur Paman di atas kursi malas kian keras. Rustam menyusul Paman. Ia tertidur dengan wajah tertelungkup di atas meja. Aku menyusul Rustam.
Namun, belum lama aku terlena, sontak aku terbangun
karena suara yang keras dari dapur warung. Aku tahu, itu suara Yamuna. Na! Siapa yang telah lancang menghidupkannya tanpa izinku" Alat itu berada dalam tanggung jawabku! Gawat! Aku melompat dan menghambur ke dapur. Sampai di sana, kulihat Paman tengah memasukkan biji-biji kopi yang kasar ke dalam blender itu.
"Man, apa-apaan ini! Kopi ini belum digerus, alat itu bisa rusak!" paman tak menjawab tapi tersenyum lebar. Tangannya gesit menekan biji kopi kasar. Aku berteriak-teriak menyuruhnya berhenti. Suaraku bersaing dengan suara blender. Paman tak peduli.
"Tak apa-apa, Boi," katanya riang. Ia malah memutar tombol kecepatan sampai 5. Padahal, selama memakainya aku hanya tega sampai angka 3. Itu pun setelah minta izin dengan sungkan pada Yamuna. Maka, meraung-raunglah blender itu seperti hewan kena siksa. Aku tak sampai hati melihatnya.
"Tenanglah, Boi. Tak ada masalah."
Paman terus menekan biji-biji kopi yang kasar. Situasi menjadi berantakan karena bubuk kopi yang penuh diputar oleh baling-baling blender yang kencang mulai berhamburan. Paman malah semakin senang seperti anak kecil menemukan mainan yang asyik dan celaka! Ia memutar lagi kecepatan blender sampai angka maksimum 6, pol! Aku berteriak histeris mencegahnya. Ia tetap tak peduli. Ia malah terbahak-bahak melihat alat itu meronta-ronta dan menghamburkan bubuk kopi. Lalu Paman mematikan blender disertai satu senyum puas yang mengerikan. Alat yang malang itu berdesing, berdengung, mendesau, lalu diam. Paman mengambil sedikit bubuk kopi, memasukkannya ke dalam cangkir lalu menyeduhnya.
Paman berlalu, meninggalkanku yang gemetar karena tak dapat menanggungkan perasaan miris dan tragedi yang menimpa Yamuna.
Kuhampiri ia. Ia megap-megap dan tampak sangat menderita. Yang dapat kulakukan hanya menenangkannya. Kulihat kiri-kanan, tak ada siapa-siapa, kupeluk ia. Ia menatapku seperti mengadu. Aku berpaling melihat Paman. Ia duduk santai di atas kursi goyangnya sambil tersenyum-senyum dan menghirup kopi. Aku benci melihatnya.
"Sabarlah, Yamuna, kan kubalaskan sakit hatimu."
Malam itu, aku tak bisa tidur karena Yamuna. Paman telah menggagahi kekasih gelapku itu dengan brutal. Yamuna telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Aku sedih, lalu marah. Malam itu, aku mulai memikirkan rencana untuk membuat perhitungan pada Paman, demi kehormatan Yamuna. Lihat saja nanti.
Esoknya, ketika kunyalakan, blender itu tak berdesing lembut seperti biasanya, tapi terbatuk-batuk. Kelakuan Paman kemarin membuat benda itu berada di ambang kerusakan. Mendengar suara gemeretak, Paman menghambur ke dapur, ia murka tak keruan.
"Boi! Apa yang telah kauperbuat pada alat itu" Mengapa suaranya seperti mesin parut begitu""
Aku berusaha membela diri, tapi tak sempat.
" Kau kemanakan telinga lambingmu itu" Sampai keriting mulutku bicara, jaga alat itu dengan cermat!"
Ia mencak-mencak. 'Lihatlah itu, baru sebentar dipakai sudah rusak! Pasti alat itu telah kauperlakukan dengan kejam!"
Aku menatapnya dengan putus asa.
"Sungguh kau tak punya perasaan, Boi! Sungguh kau tega! Orang yang menggunakan alat dengan semena-mena sepertimu harusnya dimasukkan ke dalam sel!"
Mozaik 30 Kopi, Berdasarkan Teori Konspirasi
KURASA, cara paling bagus menggambarkan situasi ini adalah dengan mengambil analogi kelakuan burung punai. Konon, para pemburu tua di kampung kami percaya bahwa burung-burung punai pandai berkonspirasi.
Jika burung punai samak dan punai lenguak bersarang tinggi di pucuk pohon perepat nun di utara, artinya mereka bersekongkol untuk mengelabui punai ubar. Sarang-sarang itu seakan menunjukkan bahwa tahun itu bakung tengah berbunga di utara. Adalah perlu bagi mereka bersarang dekat dengan sumber makanan. Padahal, sebenarnya bakung tengah berbunga di hulu sungai nun di selatan sana.
Namun, jika punai ubar dan punai lenguak bersarang di cabang-cabang rendah pohon gelam di selatan, mereka bersekongkol untuk menjebak punai samak agar menduga bakung memutik di utara. Sebab, punai samak-mungkin berdasarkan pengalamannya berkongsi dengan punai lenguak---akan menduga sarang-sarang itu hanya muslihat. Berkaw
an-kawanlah punai samak terbang jauh ke utara, sampai gelap langit dibuatnya. Sesampainya di muara utara, berputih matalah mereka.
Fenomena alam itu memberi satu pelajaran moral bagi orang Melayu bahwa mereka yang beruntung adalah mereka yang ikut berkonspirasi, yang tidak, pasti rugi. Karena itu, orang Melayu, ada saja alasannya jika diajak bergotong royong, susah kalau diajak senam pagi bersama, susah diajak arisan, tapi kalau diajak nonton orkes, bersekongkol, atau menjelek-jelekkan pemerintah, semua ikut.
Lantaran kelakuan burung itu pula, punai lenguak selalu menjadi metafora bagi seorang lelaki yang beruntung. Dan jika persekongkolan burung punai bisa dikenali melalui sarangnya, konspirasi orang Melayu dapat diketahui melalui kopinya.
Register perilaku yang kususun dalam Buku Besar Peminum Kopi makin panjang dan kian memesona. Aku tambah bergairah karena menemukan hipotesis baru dan unik dari hubungan antara jumlah gelas kopi dan teori konspirasi. Semuanya bermula dari pengamatanku pada
kelakuan dua makhluk yang tersohor reputasi percolongannya di kampung kami: Mursyiddin dan Maskur.
Mulanya, kedua orang itu tampak santai saja, namun pada pesanan kopi keempat, mereka mulai merapat dan berbisik-bisik. Esoknya kudengar perahu La'ahai disatroni maling. Dua jeriken minyak tanah raib. Esoknya lagi, kudengar Sersan Kepala menciduk Mursyiddin dan Maskur ketika sedang menjual minyak tanah di Manggar.
Tapi agaknya hal ini perlu diselidiki lebih mendalam, karena mungkin hanya berlaku bagi orang Melayu. Sebab, jika orang Tionghoa minum lebih dari tiga gelas, ia ingin membuka warung kopi. Jika orang bersarung minum kopi lebih dari tiga gelas, mereka haus. Tidak mengherankan karena mereka memang tidak pernah sekolah. Adapun jika orang Sawang minum kopi lebih dari tiga gelas, siapkan buku utang.
Penelitian kulanjutkan dengan sasaran Jumadi. Kutengok Buku Besar Peminum Kopi. Ia berada di kolom player.
Nama : Jumadi Umur : 46 tahun Status : kawin, 1 istri, 6 anak
Pendidikan : kelas 4 SD, tidak tamat
Membaca Alquran : terampil, tapi jarang
Salat : setiap Jumat saja, kalau Lebaran, dan kalau teringat
Membaca huruf Latin : tidak lancar Jabatan terakhir
di maskapai timah : juru bagi beras
Jabatan sekarang : partikelir alias serabutan alias pengangguran terselubung
Kopi : pahit Kata mutiara : tidak mengerti maksud kata mutiara
Jika Jumadi datang ke warung kopi, mereka yang menggemari politik langsung merubungnya. Ia terkengkeng-kengkeng, berkoar-koar sambil menghirup kopi dan mengembuskan asap rokok. Gelas pertama, habis presiden dijelek-jelekkannya. Tidak becuslah, tidak adillah. Gelas kedua, wakil presiden kena. Gelas ketiga, seluruh menteri kabinet lunas didampratnya. Tak ada menteri beres di matanya. Gelas keempat, dia mulai berbisik-bisik. Nyata sekali, bukan" Gelas pertama sampai ketiga adalah gelas politik. Gelas keempat: gelas sekongkol.
Mitoha, yang juga telah memasuki tahap gelas keempat, merapatkan diri pada Jumadi. Ialah yang pertama melemparkan umpan konspirasi itu. Mereka ingin menjegal Maryamah secara licik.
Mozaik 31 Penyergapan JIKA ini menjadi film, aku ingin seperti ini:
Lokasi : pertigaan pasar Waktu : subuh Musik : gitar akustik solo, mendayu tapi menyengat, tegang
Figuran : 5 manusia, 3 kucing, dan 4 anjing
Kamera mengintip dari atap bengkel sepeda A Siong, zoom in ke kucing-kucing pasar yang menguap (figuran) di loteng-loteng toko. Empat ekor anjing pasar yang kurap (figuran juga) nongkrong di pinggir jalan. Tiba-tiba melintas empat orang (figuran) kuli maskapai timah, bergegas naik sepeda berangkat kerja. Anjing-anjing tadi menyalaki mereka-cukup 4 salakan, jangan lebih.
Tapi kurasa, opening film ini, biar lebih dramatis, mesti dimulai dari pemandangan yang diambil dari helikopter. Gambar berlika-liku mengikuti Sungai Linggang, lalu ke pasar, lalau masuk ke mulut anjing figuran. Air liut anjing berhamburan menyalaki 4 orang kuli yang bersepeda.
Atau, jangan lewat helikopter, tapi lewat satelit. Mulanya gambar konstelasi planet-planet, lalau melesat menuju bumi yang bulat dan biru. Lalu benua-benua, lalu
Asia, lalu Asia Tenggara, lalu terdengar lamat-lamat salak anjing. Tegang. Kemudian, gambar mendekat pelan-pelan ke Indonesia, mengecil ke Pulau Sumatra, terus mengecil ke Pulau Belitong, mengecil lagi ke kampung kami, makin kecil ke pasar, akhirnya masuk ke mulut anjing-anjing figuran yang menyalaki kuli bersepeda tadi. Kurasa belum pernah ada film Indonesia yang gambarnya meloncat dari planet-planet ke mulut anjing, anjing kampung lagi, pasti fantastis!
Adegan berikutnya, seorang lelaki misterius mengendap-endap di balik gerobak kue Hok Lo Pan. Orang itu berbalik. Suara gitar berhenti mendadak: genjreng! Penonton terperanjat dan tampaklah satu wajah di layar. Gambar diam, freeze motion, mencontoh film Lock, Stock, and Two Smoking Barrels. Lalu muncul teks dengan huruf yang muncul satu per satu:
-Sersan Kepala Zainuddin Kawan, lupakan sebentar film itu, mari kembali ke peristiwa minggu lalu, waktu seorang pecatur amatir bernama Muntaha seharusnya bertarung melawan Maryamah, tapi secara mendadak ia disuruh juragannya ke Pangkal Pinang. Ia digantikan oleh Maulidi Djelimat. Tanpa bantuan Kapten Chip, sangat mungkin Maryamah digulung Maulidi waktu itu.
Sampai di Pangkal Pinang, jengkel benar Muntaha. Ternyata kantor yang ditujunya tak mengharapkannya. Padahal ombak besar dan ia sampai mabuk berlayar. Mengapa juragannya memberi perintah yang membingungkan begitu"
Kami sendiri jengkel pada kawan-kawan kami yang raib ketika sepeda motornya kami perlukan untuk ke Tanjong Pandan, waktu Maryamah harus menghadapi Maulidi Djelimat itu. Untuk ada Kapten Chip.
Semula kami dan Muntaha tak sadar bahwa sebuah persekongkolan besar dengan tujuan menjegal Maryamah tengah berlangsung. Namun semuanya menjadi kentara setelah kejadian yang dialami Safaruddin.
Sore itu usai bekerja, Safaruddin melihat ban sepedanya kempes, padahal ia harus segera berangkat karena mau bertanding melawan Aziz. Ia menuntun sepedanya ke bengkel tambal ban terdekat. Aneh, bengkel itu tutup. Sangat tidak biasa bengkel itu tutup.
Safaruddin panik. Agar cepat, ia menuntun sepedanya melewati jalan setapak. Makin aneh, di tengah jalan, sebatang pohon meranti yang tampaknya belum tua telah tumbang dan menghalangi jalan. Akhirnya, ia tiba di warung kopi dengan keringat bercucuran dan ia dinyatakan kalah karena terlambat. Seperti kami dan Muntaha, Safaruddin telah menjadi korban konspirasi.
Yang kami tahu selanjutnya adalah Jumadi, Aziz, kawan-kawan kami pemilik sepeda motor, dan tukang tambal ban itu bersukacita di warung. Mitoha menjamu mereka bergelas-gelas kopi dan bertumpuk-tumpuk rokok. Di antara mereka kulihat Paman. Ia tertawa terkekeh-kekeh.
Tak dapat dipungkiri, itulah akibat gelas kopi keempat Mitoha dan Jumadi tempo hari. Merekalah aktor intelektual persekongkolan itu. Paman mendekatiku dengan langkah tenang. Sambil tersenyum, ia mengeluarkan sebuah kartu dari saku celananya: kartu anggota klub catur Di Timoer Matahari.
Sejak itu, mata kami terbuka bahwa kejuaraan catur peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus tak setak berdosa seperti tampaknya. Di dalamnya penuh intrik, bahkan judi telah terlibat.
Pelaku judi catur itu: Suhaimi, A Kong, dan Munawir.
Suhaimi adalah Belawan yang terdampar ke pulau kami karena salah naik kapal. Ia ingin ke Tanjung Pinang, tapi salah naik kapal ke Tanjong Pandan-ini risiko menjadi penumpang gelap. Sebenarnya ia pecatur jempolan, tapi ia tergoda rayuan para penjudi. Diam-diam Sersan Kepala tahu soal itu dari laporan anak buah Modin.
Modus judi itu tingkat tinggi, yakni, Suhaimi bersedia menjual kuda dan luncusnya pada A Kong. Lima ratus ribu perak masing-masing, demi merekayasa taruhan A Ngong dan Munawir. Suhaimi yang berjiwa bisnis mengharapkan dua lapis untung, yaitu dari penjualan perwira-perwiranya dan dari komisi jika Munawir menang bertaruh. A Kong sendiri akan mendapat komisi dari Munawir.
Sersan Kepala ingin menggerebek Suhaimi di depan penonton saat pertandingan berlangsung, agar memberi efek jera para penjudi. Penyergapan itu kemudian menjadi film.
Kamera kembali ke gerobak kue Hok Lo Pan di mana Sersan Kepala bersembu
nyi. Lalu layar gelap dan muncul tulisan: Tiga tahun yang lalu. Anjing-anjing kampung figuran itu masih kecil. Buduknya belum terlalu banyak, dan mereka menyalak auf, auf. Kuli bersepeda juga tampak lebih muda. Tapi baut scene ini" Tak ada faedahnya!
Lebih baik begini: Tiga tahun kemudian. Kamera menuju kerumunan penonton pertandingan catur. Kamera close up ke wajah Suhaimi yang gugup karena di mau curang, dan terdengarlah narasi:
Inilah pasar kampung kami dan inilah pertandingan catur untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ....
Ah, jangan, terlalu biasa, harus sedikit filosofis.
Ada sementara orang, yang menang sebelum bertanding. Ada sementara orang, yang kalah sebelum bertanding. Kedua keputusan itu akan menentukan lelaki macam apa yang mereka ingin dunia ini lihat ....
Narasi itu mesti mirip suara Morgan Feeman dalam film Milion Dollar Baby. Lalu kamera berpindah ke kandang babi. Seorang pria Tionghoa terbirit-birit menyelamatkan diri dari serudukan 10 ekor babi yang gendut, saat ia mau memberi makan babi yang rakus itu. Gambar kembali diam, teks muncul:
-AKONG Tersangka Kamera pindah lagi ke wajah Munawir yang tegang menatap papan catur, lalu mendekat ke setiap buah catur untuk digerakkan Suhaimi.
Dengan teknik animasi, kuda-kuda catur berubah menjadi kuda sebenarnya. Buah-buah catur berubah menjadi prajurit mujahidin yang menyeruak dari dalam timbunan pasir. Patriot Omar Mochtar berhadapan dengan jenderal Italia Rudolfo Graziani. Pertempuran sengit meletus. Para prajurit bergelimpangan. Lalu tanpa alasan jelas, kuda salah satu prajurit Omar Mochtar menjulurkan lehernya sendiri untuk dipenggal jenderal Graziani. Pada detik itu, semua kuda terisap kembali menjadi kuda kayu dan Sersan Kepala berteriak:
"Tetap di situ! Jangan bergerak!"
Para penonton terperanjat. Karena kaget, Suhaimi menyentak papan catur. Buah catur berhamburan ke udara, melayang, sampai ke puncak tertinggi, mereka menjelma kembali menjadi para mujahidin dan tentara Italia, yang kemudian pelan-pelan berguguran ke bumi diiringi lagi opera yang mencekam dari trio tenor Luciano Pavarotti, Placido Domingo, dan Jose Careras. Seiring dengan itu, Sersan Kepala menciduki Suhaimi dan Munawir.
Scene selanjutnya di kantor Polsek: para penjudi itu dikenakan wajib lapor setiap Senin pagi selama dua bulan.
Mozaik 32 Janji yang Lama AKU mulai memikirkan cara membalas kelakuan Paman pada Yamuna. Bisa saja kusabotase kursi malasnya dengan melonggarkan mur kayunya. Ketika duduk, ia bisa terjengkang dan majelis pengunjung warung kopi menertawakannya. Tapi jangan, itu agak berbahaya. Jika tulang ekornya kena, urusan bisa lain. Atau kusabotase rem sepedanya sehingga ketika turun dari tanjakan Selumar, ia tertungging-tungging dan masuk ke dalam parit. Ah, jangan, itu terlalu brutal. Atau, kutambahi sesuatu pada minumannya, obat cuci perut misalnya, biar ia menderita sepanjang hari dan makin kurus. Ah, jangan, itu tidak intelek. Atau kurusakkan kasetnya sehingga ia tak bisa lagi mendengar lagu Badai Bulan Desember kesayangannya. Sebenarnya kau suka ide yang terakhir itu, tapi waktu kubicarakan dengan Yamuna, ia tak setuju. Dengan ketus, ia mengatakan bahwa balasan itu tak setimpal. Aku minta maaf padanya.
Maka pusing juga aku dibuatnya. Idealnya, pembalasan itu harus sistematis, penuh rencana yang menggetarkan, intelek, melibatkan orang-orang yang memang sering jengkel dengan Paman, yaitu Midah, Hasanah, dan Rustam, dan yang paling penting: setimpal.
Tapi untuk sementara ini pikiranku teralihkan untuk sebuah kabar yang sangat menggembirakan. Melalui koran, kami tahu bahwa dari 24 partai tanding, Grand Master Ninochka Stronovsky telah unggul 14 partai atas Frederika Vilsmaier. Jika dalam pertandingan berikutnya ia mampu memakzulkan Nikky Wohmann, maka mimpinya untuk masuk jajaran 20 pecatur perempuan terbaik dunia akan menjadi kenyataan.
Kuucapkan selamat pada Nochka dan dalam obrolan itu untuk pertama kalinya ia mengatakan bahwa Maryamah berbakat.
"Tidakkah kau lihat betapa kuat pertahanannya""
Aku teringat bagaimana Maulidi Djelimat menyerang bertubi-t
ubi tapi terpental-pental.
"Maryamah punya persepsi alamiah tentang kekuatan sepasang benteng. Hal itu, mungkin secara tak sengaja, telah membuatnya mengembangkan sistem perlindungan raja yang agak mirip dengan mekanisme ciptaan Grand Master Anatoly Karpov."
Aku terpana. "Sistem pertahanan benteng bersusun itu pertama kali dikenalkan Karpov waktu bertarung melawan Calvo di Montila, 1976. Sebuah sistem yang tak mudah dipahami. Itulah sebabnya pertahanan Maryamah sangat susah ditembus."
Tubuhku merinding. Jadi ini semacam bakat yang terlambat diketahui" Jadi turnamen catur di kampung itu semacam late debut bagi Maryamah"
"Ia adalah salah satu pecatur dengan bakat bertahan terbaik yang pernah saya lihat."
Aku makin terheran-heran, dan aku penasaran untuk bertanya, bagaimana semua itu bisa terjadi" Telah kusiapkan diri untuk menerima jawaban yang canggih dari hasil analisis seorang grand master internasional.
"Saya tidak tahu"
Usai pembicaraan itu aku berpikir, barangkali penderitaan dan tanggung jawab besar yang merundung Maryamah sejak kecil, serta sebuah perkawinan yang menyiksa, telah membentuk dirinya menjadi seorang survivor yang tangguh dan defender yang natural. Semua itu kemudian terefleksi dalam permainan caturnya. Jika ia melindungi rajanya, sebagaimana ia melindungi dirinya, ibu dan adik-adiknya, ia takkan pernah bisa tersentuh.
Lawan Maryamah berikutnya adalah seorang lelaki tua Hokian bernama Go Kim Pho. Dia datang di warung kopi bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya. Tampak ia telah pula mendengar berita demi berita yang menggemparkan tentang sepak terjang seorang perempuan Melayu bernama Maryamah sehingga kelihatan benar ia bangga mendapat kesempatan berhadapan dengan pecatur perempuan pendatang baru yang ramai dibicarakan orang itu.
Bapak tua berjalan terantuk-antuk dengan tongkatnya dipimpin oleh cucunya- seorang putri kecil yang lucu. Papan dibuka, juri bicara, Maryamah mendapat buah putih dan melangkah lebih dulu.
Beberapa langkah kemudian, siapapun dapat melihat bahwa Maryamah dapat segera mengambil keuntungan dari formasi Go Kim Pho yang agak kedodoran di sayap kiri. Bahkan, Maryamah bisa dengan cepat membungkam orang Hokian itu punya menteri. Namun, semua itu tak dilakukannya. Ia malah memberi kesempatan Go Kim Pho untuk menikmati permainan catur selama mungkin. Ia bukan sekadar ingin memperpanjang kebanggaan dalam diri lelaki tua itu, dan kebanggaan sanak famili yang menontonnya, namun di dalam langkah-langkah nan lambat itu, Maryamah menyempatkan diri untuk mengenang kebaikan lelaki di depannya pada masa lalu, manakala ia terlunta-lunta mencari kerja di Tanjong Pandan. Go
Kim Pho adalah pemilik toko dupa yang reyot di Tanjong Pandan itu, yang dulu memberinya uang untuk pulang kampung.
Papan pertama dan kedua dimenangkan Maryamah setelah Go Kim Pho mengerahkan kemampuan dan Maryamah memberi peluang untuk menerapkan semua strategi yang ia miliki. Maryamah bermain secara rendah hati sekaligus cerdas. Ia memperlihatkan derajat tertinggi sebuah sportivitas dan jiwa bertarung yang meninggikan martabat lawan. Para pengamat catur berdecak kagum menyaksikan kemampuan Maryamah menampilkan permainan yang sangat elegan dan memberi Go Kim Pho sebuah kekalahan yang agung. Bapak tua itu bangkit dan tersenyum.
"Terima kasih, Orang Muda, sebuah pertandingan yang hebat! Sampai berjumpa tahun depan."
Cucu perempuannya menghampirinya dan menggandeng tangannya, diikuti sanak familinya. Mereka meninggalkan warung kopi. Para penonton, termasuk Maryamah, berdiri dan memberi tepuk tangan untuk Go Kim Pho. Tepuk tangan yang panjang sekali. Lelaki itu adalah pecatur gaek yang amat dihormati.
Maryamah mengejar Go Kim Pho. Di pekarangan warung ia menemuinya. Maryamah membuka sapu tangan dan mengambil sejumlah uang. Air matanya berlinangan ketika menyerahkan uang padanya.
"Dulu aku pernah berjanji untuk menggantinya. Terimalah, Ba."
Go Kim Pho merasa heran dan mau bertanya. Namun, Maryamah langsung pamit. Go Kim Pho tampak berusaha mengingat sesuatu yang pernah terjadi pada satu masa yang lampau.
Mozaik 33 Demi Yamuna SALA H satu kesulitan menjadi orang Islam, maksudnya, menjadi orang Islam dengan kadar imam yang tak dapat disebut membanggakan-sepertiku dan Detektif M. Nur-adalah ketika tarawih. Setelah berbuka puasa, kami repot bertanya sana sini, surau mana yang tarawihnya sesingkat mungkin. Dan selalu terdapat gejala umum, yaitu jika imamnya tua, pasti tarawihnya lama: 21 rakaat. Habis tarawih rasanya macam baru selesai senam kesegaran jasmani.
Jika imamnya ulama muda, selalu hanya 11 rakaat. Itulah jumlah rakaat favorit kami. Itulah bukti, betapa Allah Maha Pemurah. Setelah tarawih, dengan sentosa kami masih sempat melewatkan malam berkeliling-keliling kampung. Itulah bukti, betapa Allah penuh pengertian. Oh, indahnya bulang Ramadhan.
Malam itu kami menemukan tarawih 11 rakaat di sebuah surau nun di ujung kampung. Surau itu tak punya listrik. Tapi sial, sang ulama muda berhalangan sehingga diganti seorang imam tua. Maka angka 11 berubah menjadi 21. Jengkel benar aku. Apalagi, karena tak ada listrik, Badalnya-orang yang mengalunkan doa di antara rakaat tarawih- harus berteriak-teriak. Bising telingaku. Namun, tak dinyana, usai tarawih, seluruh kekesalanku terobati. Hatiku mendadak berbunga-bunga sebab tiba-tiba aku seperti mendapat ilham untuk membalas perbuatan Paman pada Yamuna dengan sebuah pembalasan yang memang telah kucari-cari, yang sistematis, penuh rencana yang menggetarkan, intelek, melibatkan Midah, Hasanah, dan Rustam, serta yang paling penting-karena kemauan Yamuna-setimpal. Tarawih yang melelahkan itu telah memberiku inspirasi.
Paman juga adalah seorang badal yang amat dihormati di Masjid Al-Hikmah, masjid terbesar di kampung kami. Rencanaku begini: akan kuciptakan situasi agar Paman berteriak sekeras dan selama mungkin sehingga selangkangnya mau meletus.
Operasi 1, agar Paman berteriak: aku akan bersekongkol dengan Mustahaq Davidson yang mengurusi sound system masjid untuk menyabotase alatnya sendiri, seakan-akan terjadi gangguan teknis.
Operasi 2, agar Paman berteriak selama mungkin: akan kuusahakan agar imamnya tua sehingga tarawih menjadi 21 rakaat.
Aku minta bantuan Midah, Hasanah, Rustam, juga Detektif M. Nur semuanya gembira. Lalu, kuhubungi Mustahaq Davidson. Tentu saja ia tak setuju pada rencana yang sakit saraf itu. Tapi, kuancam dia. Kubilang akan kuadukan pada istrinya kelakuannya menggoda-goda biduanita organ tunggal tempo hari. Istrinya itu kalau marah rambutnya pandai berdiri. Mustahaq pucat pasi dan mengangguk-angguk dengan kecepatan mengagumkan. Ia menyerah tanpa syarat. Ia takluk bulat-bulat.
Operasi 2 agak rumit. Usai berbuka puasa, aku dan Detektif M. Nur ngebut naik sepeda menuju rumah Topik Makarun, seorang ustaz muda yang baru lulus dari sebuah pondok pesantren di Jawa. Ia selalu memimpin tarawih 11 rakaat.
Di pekarangan rumahnya, kami mengendap-endap mendekati sepedanya, lalu kami sangkutkan sepeda itu di dahan pohon gayam yang tinggi, lalu kami cepat-cepat kembali ke masjid.
Menjelang tarawih, ketua dewan kemakmuran masjid gelisah karena Ustaz Topik Makarun tak tampak batang hidungnya. Operasi dimulai. Rustam menyarankan pada ketua dewan agar Ustaz tua Taikong Razak menggantikan Ustaz Topik.


Cinta Di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman meraih mik. Di ruang operator, Mustahaq ambil bagian.
"Tes, brpp, nguing, nguikk, brrp
Paman mengetuk-ngetuk mik.
"Tes, tes, 1, 2, 1, 2, halo, halo, nguik, nguikk, nguiiiiing
Paman mencoba berulang kali. Mik hidup, mati, nguing nguing lagi, lalu mati lagi. Barangkali karena didorong oleh ketakutannya yang sangat pada istrinya, Mustahaq membuat gangguan teknis itu menjadi dramatis. Nguing menjadi sangat mengganggu. Jemaah resah. Paman terus mencoba. Ia sadar, tanpa mik, ia akan berada dalam kesulitan besar sebab jika berteriak, selangkangnya sakit. Mik itu sangat penting baginya. Tapi mik itu akhirnya mati.
Mustahaq keluar dari ruang operator dan menatapku dengan putus asa. Satu tatapan yang berbunyi: lihatlah Ikal, aku telah melakukan semua kemauan sakit jiwamu. Maka tolonglah, jangan kau berpanjang mulut pada istriku soal biduanita organ tunggal itu. Aku membalas tatapannya, dengan bunyi: tak ada jamina
n sama sekali, Haq! Jemaah sudah tak sabar ingin tarawih. Mik telah almarhum. Tak ada pilihan lain, dengan sungkan Paman meletakkan mik. Wajahnya pias. Horor untuknya dimulai.
Paman berdoa dengan menekan suaranya serendah mungkin. Seorang jemaah di saf perempuan, dari balik tabir, berteriak,
"Aih, tak kedengaran di sini, Pak Cik, keraslah sedikit!" itu adalah suara Midah. Paman mencoba meninggikan suaranya.
"Kurang pol, Pak Cik, masih tak kedengaran." Itu suara Rustam.
The True Of My Life 2 Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling Jejak Di Balik Kabut 28
^