Pencarian

Geger Di Kayangan 2

Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan Bagian 2


depan Nyai Sirih Dewi berdiri tegar Peluh Selayang dan Kutilang Manja.
Dua orang bertubuh besar itu
sama-sama mempunyai wajah angker. Dari sorot matanya mereka tampak ganas dan
liar. Kumis mereka sama lebatnya, hanya beda bentuknya saja. Pokoknya
wajah mereka menyeramkan. Matanya saja besar-besar, mirip sepasang jengkol di
wajah. Kulit mereka tergolong hitam walau bukan keling. Tampaknya tebal, seperti
dari terpal. Yang berambut botak tengahnya
memakai rompi panjang warna biru, sama dengan celananya. Yang berambut
gondrong metal berpakaian serba hitam, lengan panjang tapi tidak
dikancingkan. Perutnya tampak sedikit membuncit. Tangan mereka besar-besar,
jarinya saja ibarat berukuran sebesar pisang Ambon. Pasti tabokannya membuat
orang melintir tujuh keliling.
Nyai Sirih Dewi berbisik kepada
Yuda Lelana, "Yang berpakaian biru itu bernama: Adu Polo, yang berpakaian
hitam namanya: Kebo Tumang."
"Serem-serem namanya, ya?"
komentar Yuda Lelana dengan tetap
kalem. "Mereka utusan dari Geladak
Hitam. Sudah dua kali datang kemari.
Ini yang ketiga kalinya."
"Apa perlunya?"
"Memintaku untuk meninggalkan
bukit ini. Orang-orang Geladak Hitam bernafsu sekali untuk mendiami bukit ini!"
"Hmmm...!" Yuda Lelana manggut-manggut. Sementara itu, Kutilang Manja sedang adu
debat dengan Kebo Tumang dibantu oleh Peluh Selayang, sedangkan para murid
lainnya mengelilingi tempat itu dari kejauhan. Mereka sudah berada di pelataran.
Yuda Lelana berbisik lagi,
"Mengapa mereka ingin menguasai bukit ini?"
"Aku tak tahu jawaban yang pasti.
Cobalah kau gunakan teropong batinmu untuk menjawab pertanyaan itu!"
Tiba-tiba mereka terpaksa lompat
ke belakang karena Kebo Tumang melepas pukulan tenaga dalamnya ke arah
Kutilang Manja. Wuuut...! Kutilang
Manja menepiskan gelombang pukulan itu dengan sentakan tangan kanan ke arah
kiri. Namun kuatnya pukulan itu masih tersisa, dan sisa gelombang sempat
membuat tubuh Kutilang Manja oleng ke kanan. Sisa pukulan itu juga hampir saja
mengenai Nyai Sirih Dewi. Sang Nyai segera tepiskan dengan gerakkan tangan kanan
bagai menyangga sesuatu dan membuangnya ke atas. Wuuus...!
"Kebo Tumang...!" sentak Nyai Sirih Dewi. "Kali ini kau sudah menggunakan
kekerasan untuk tugasmu!
Apa maumu sebenarnya?"
"Tugasku sekarang adalah
mengusirmu dengan kekerasan, Nyai!"
jawab Kebo Tumang. "Dua kali kami datang dengan baik, tapi kau tidak mau pergi
dari Bukit Bara."
"Karena bukit ini bukan kekuasaan kalian!" sentak Nyai Sirih Dewi. "Aku
menempati bukit ini sebelum kalian
datang dari Pulau Iblis!"
"Tak tahukah bahwa wilayah timur ini kekuasaan Ratu Geladak Hitam"!"
sentak Adu Polo dengan ngotot,
buktinya urat lehernya sampai menegang nyaris lompat dari kulitnya.
"Ratu kalian berkuasa baru-baru ini saja! Aku tak pernah mengusiknya.
Aku juga tak pernah bikin perkara
dengan ratu kalian; si Dardanila!"
"Jadi jelas sudah bahwa kau ingin dihancurkan seperti tiga perguruan di wilayah
timur itu!" kata Adu Polo.
"Jika begitu maumu, bersiaplah menghadapi kami berdua, Nyai Sirih Dewi!"
Adu Polo dan Kebo Tumang segera
membuka jurus awal. Peluh Selayang dan Kutilang Manja juga membuka jurus awal
dengan mulai memasang kuda-kuda siap serang. Tetapi dari belakang mereka tiba-
tiba terdengar suara Yuda Lelana,
"Mundurlah kalian. Aku mau bicara sebentar dengan mereka."
Peluh Selayang dan Kutilang Manja
melirik gurunya, sang Guru memberi
isyarat dengan gerakkan mata agar
mereka mundur. Maka Yuda Lelana segera maju menggantikan tempat berdiri Peluh
Selayang. Mata kedua orang bertampang angker seperti kuburan para dukun
santet itu segera menatap dengan
beringas. Yang ditatap hanya cengar-cengir kalem.
"Siapa kau, Anak Muda" Setahuku kau bukan murid di sini, karena aku tak pernah
melihat tampangmu!" ujar Adu Polo.
"Aku Yuda Lelana. Memang bukan murid Mak Tua itu, tapi yaaah...
sekadar tamu biasalah," jawab Yuda Lelana enak saja.
"Apa maumu menggantikan kedua
wanita cantik itu, hah?" gertak Adu Polo.
"Eit, jangan galak-galak,
Kang...!" Yuda Lelana nyengir. "Tanya
ya tanya tapi nggak perlu pakai
bentak-bentak segala."
Adu Polo mendengus kesal dengan
lagak Yuda Lelana. Ia berkata kepada Kebo Tumang, "Anak ini lama-lama bikin niat
membunuhku menjadi besar!"
"Habisi saja dia!" kata Kebo Tumang.
"Sabar, sabar...," Yuda Lelana menyela kata. "Soai menghabisi aku sih mudah-
mudah saja. Tapi urusannya harus diselesaikan dulu. Coba kasih tahu
sama kau punya ratu, ya" Jangan
berlagak ingin menjadi penguasa di
wilayah timur. Berkuasa saja di tempat kalian sekeliling. Tak perlu harus
menaklukkan tiap perguruan yang ada di sini!"
"Bocah kemarin sore berani bicara seenak perutnya"! Kuremukkan mulutmu yang
congkak itu!"
Adu Polo segera melompat bagai
kutu loncat, tangannya mengepal
menghantam ke arah mulut Yuda Lelana.
Wuuut...! Tapi anak muda itu menahan pukulan tersebut dengan menangkap
kepalan menggunakan tangan kirinya.
Traab...! Kepalan itu meremas hingga terdengar bunyi gemeretaknya tulang-tulang
jari yang patah serempak.
Kraak...! "Aaauh...!" Adu Polo menjerit.
Wajahnya menyeringai sakit.
Kebo Tumang segera bergerak
menerjang. Tapi kaki Yuda Lelana
menendang dengan tendangan samping.
Wuuut...! Dees...! Tendangan yang tak bisa dilihat karena kecepatan geraknya itu
mendarat telak di wajah Kebo
Tumang. Kontan orang berambut gondrong metal itu terlempar ke belakang dan
terjungkal sambil memekik kesakitan.
Sedangkan tangan kiri Adu Polo segera meremas lengan Yuda Lelana, lalu
kepalanya maju disodokkan ke arah dada Yuda Lelana. Wuuuk...!
Serudukan kepala Adu Polo yang
memang sekeras besi itu segera
ditangkap dengan dua tangan, lalu
lutut Yuda Lelana menyentak ke atas, menyodok wajah lawan dengan kerasnya.
Gerakan lutut itu pun begitu cepatnya hingga tak terlihat dengan jelas oleh Nyai
Sirih Dewi maupun kedua murid
wanitanya itu. Prook...! "Auuuffh...!" pekik Adu Polo yang segera terpental ke belakang dengan wajah
tersentak kuat-kuat. Pandan-gannya jadi gelap, tak bisa melihat mana batu dan
mana rumput. Akhirnya, pletook...! Kepala itu pun membentur batu sebesar
genggamannya, dan ia
makin memekik kesakitan.
"Gerakan jurus-jurusnya begitu cepat, aku sampai tak bisa mengikutinya"!" plkir
Nyai Sirih Dewi.
Ketika Kebo Tumang menyerang Yuda
Lelana dari belakang dengan senjata kapak dua mata, Nyai Sirih Dewi hampir saja
lepaskan pukulan jarak jauhnya untuk menggagalkan serangan membokong itu. Tetapi
niat tersebut dibatalkan, karena tiba-tiba kapak itu telah
mental, lepas dari tangan Kebo Tumang sebelum mendekati punggung Yuda
Lelana. "Lho, kenapa kapak itu mental
sendiri?" gumam Kutilang Manja. Ia terheran-heran, sama dengan yang
lainnya. Dan tentu saja mereka heran secara kompak, karena mereka tidak
melihat gerakan kaki Yuda Lelana yang berputar arah dengan sangat cepat,
serta berhasil menendang pergelangan tangan Kebo Tumang. Tendangan yang
disertai pelepasan tenaga dalam tinggi itu sempat membuat tulang pergelangan
tangan itu menjadi retak. Padahal
besar pergelangan tangan itu hampir sama dengan tulang sikunya Yuda Lelana
sendiri. "Bangsat kau, hiaaat...!" Kebo Tumang masih penasaran. Ia menyerang dengan satu
lompatan membabi buta atau babi buta beneran, yang jelas cepat dan ngawur. Yuda
Lelana pun melompat pula. Wuuurrs...! Ia bagaikan bayangan yang melintas begitu
saja, bersimpangan dengan Kebo Tumang di
udara. "Aaaauh...!" terdengar Kebo Tumang menjerit keras, tapi tak
diketahui apa sebabnya menjerit.
Apakah karena ia merasa punya mulut besar, atau karena kakinya tertusuk duri.
Tak jelas bagi mereka.
Namun setelah Kebo Tumang berdiri
setengah membungkuk sambil memegangi telinga kirinya, dan Yuda Lelana
melemparkan sesuatu yang digenggamnya, yaitu daun telinga berdarah, maka
tahulah mereka bahwa Kebo Tumang telah kecolongan daun telinga kirinya.
Mereka makin terheran-heran dan
berpikiran, "Bagaimana caranya Yuda bisa memotong telinga lawan, sedangkan dia
tidak bersenjata apa pun?"
EMPAT JIKA Ratu Geladak mengutus dua
orangnya untuk mengusir Nyai Sirih
Dewi dari Bukit Bara, tentu saja orang itu adalah orang pilihan. Ilmunya
tidak tanggung-tanggung. Percuma saja dong kalau kelas ilmu utusan itu
sebatas kelas kambing congek, ngapain ditugaskan mengusir Nyai Sirih Dewi"
Mendingan diutus mengusir ayam saja.
Iya, kan" Tetapi petugas penggusuran itu
ternyata kalah sama Yuda Lelana.
Bukannya mengusir Nyai Sirih Dewi tapi justru diusir Yuda Lelana. Malu nggak
malu deh, mereka pulang dengan babak belur. Bahkan Kebo Tumang kehilangan
telinga kirinya yang sudah pasti akan tetanus begitu sampai di tempat.
Keberhasilan Yuda Lelana mengusir
dua utusan Ratu Geladak Hitam membuat Nyai Sirih Dewi dan murid-muridnya
semakin salut dan menaruh simpati
besar kepada si anak muda ganteng itu.
Sekalipun berpenampilan kumal, tapi Yuda Lelana sempat dikagumi beberapa murid
wanita, termasuk Kutilang Manja dan Peluh Selayang.
Peluh Selayang tak jadi minggat
dari perguruan itu, karena Yuda Lelana menginap di sana. Nyai Sirih Dewi
sendiri selalu memohon agar Yuda
Lelana jangan tergesa-gesa pulang
karena belum disuguhi minuman dan kue-kue kecil. Di samping itu Nyai Sirih Dewi
juga tertarik ingin pelajari
ilmunya Yuda Lelana yang aneh dan
fantastis itu. Dari menginap semalam menjadi dua
malam, dua malam menjadi dua minggu, dua minggu menjadi dua bulan, pokoknya Yuda
akhirnya melantur dan tinggal di Perguruan Sekar Bumi sampai berbulan-bulan.
Pikirnya, mumpung dapat
kesempatan menginap gratis, dapat
pelayanan memuaskan, kenapa tidak
dimanfaatkan untuk tinggal lebih lama
lagi" Bahkan belakangan ini Yuda
Lelana diangkat sebagai Guru
Pembimbing yang bertugas mengarahkan para murid dalam mempermainkan jurus-jurus
kelas tinggi. Banyak variasi
jurus yang diajarkan oleh Yuda kepada mereka, dan pada umumnya variasi jurus itu
membuat gerakan mereka lebih indah lagi serta kekuatan tenaga dalam
mereka bertambah lebih besar.
Sekalipun demikian, Yuda belum
menurunkan ilmunya kepada siapa pun.
Apa yang diajarkan kepada mereka hanya semata-mata pengembangan dari jurus yang
diajarkan Nyai Sirih Dewi
sebelumnya. Sejak Yuda tinggal di Perguruan
Sekar Bumi, pihak pengganggu selalu berhasil diusirnya. Bahkan orangnya Ratu
Geladak Hitam tak berani mendekat lagi. Tapi mereka masih mondar-mandir dari
kejauhan, memantau keadaan di
perguruan tersebut, menunggu
kelengahan, mengharap kepergian Yuda Lelana. Jika Yuda pergi, berarti
kekuatan di Perguruan Sekar Bumi
berkurang, maka saat itulah orang-
orang Geladak Hitam akan menyerang.
Tapi repotnya, Yuda tidak mau pergi-pergi. Sekalinya pergi hanya buang
hajat di sungai, sebentar kemudian
balik lagi. Hal ini membuat orang-
orang Geladak Hitam repot menyerang Nyai Sirih Dewi. Sampai-sampai sang
Ratu sendiri akhirnya ikut mengintai Perguruan Sekar Bumi dari kejauhan.
"Masa' orang bertampang kusut
seperti itu kau bilang ganteng sih?"
"Maaf, Gusti Ratu..., yang itu sih bukan Yuda Lelana. Orang itu
adalah Sugana, penjaga gerbang."
"Ooo... lalu, yang namanya Yuda Lelana itu yang mana?"
"Belum kelihatan, Gusti Ratu.
Mungkin sedang rujakan dengan Kutilang Manja."
"Malam-malam begini rujakan"
Rujak apa yang mereka buat?"
"Yah, mungkin... mungkin rujak bibir, Gusti Ratu!" jawab petugas mata-mata yang
sudah berhari-hari
mengintai kegiatan di perguruan itu dari atas pohon.
Sang Ratu yang malam ituiIkut
mengintai bertanya dengan nada pelan,
"Apakah kau sering melihat anak muda itu makan rujak bibir dengan
Kutilang Manja?"
"Belum pernah sih. Cuma, kayaknya anak muda itu naksir Kutilang Manja.
Saya sering lihat mereka ber-uaan,
mojok di sudut pekarangan belakang."
"Apa saja yang mereka lakukan di sana?"
"Mana saya tahu, habis tempatnya gelap sih."
Ratu Geladak Hitam tarik napas.
Dongkol juga mendengar cerita itu.
Semakin sengit membayangkan wajah Yuda Lelana yang baru berupa reka-reka
saja, karena sang Ratu memang belum pernah bertemu dengan Yuda Lelana.
Akibatnya, sang Ratu penasaran sekali.
Baik penasaran kepada Yuda, juga
penasaran kepada kekuatan Perguruan Sekar Bumi. Hatinya membatin,


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tinggal perguruan ini yang sukar digusur. Alot juga mereka. Mungkin
mereka butuh pesangon beberapa nyawa!
Hmmm... sebaiknya besok kutemui saja Nyai Sirih Dewi dan kugunakan siasat
pamungkasku untuk menaklukkan dia!"
Tiba-tiba sang pengintai berkata,
"Gusti, Gusti..., itu dia yang namanya Yuda Lelana!"
"Yang bawa-bawa sapu lidi itu?"
"Bukan. Itu sih petugas
kebersihan. Itu tuh... yang sedang
jalan-jalan di samping bangunan utama bersama Peluh Selayang!"
"Ooo... itu," gumam sang Ratu lirih sekali, bagaikan menghayati
betul apa yang kini telah diketahui.
"Hmmm... tak begitu jelas sih, tapi menurutku anak muda itu biasa-biasa saja.
Cuma..., kenapa dia berduaan
dengan Peluh Selayang" Kau bilang
tadi, dia sering mojok sama Kutilang Manja?"
"Nggak tahu deh, apa maunya anak muda itu. Kadang-kadang memang saya lihat dia
mojok sama cewek lainnya.
Kayaknya dia laris di dalam sana.
Banyak yang suka padanya."
Memang begitulah Yuda. Kadang
tampak bersama Kutilang Manja, kadang juga tampak bersama Peluh Selayang
atau gadis lainnya. Nyai Sirih Dewi sering menegur Yuda Lelana secara
baik-baik. "Kalau kau jatuh cinta, jatuhlah kepada satu orang saja. Jangan setiap murid
perempuanku kau jatuhi cinta, nanti akibatnya bisa kacau-balau!"
"Aku tidak jatuh cinta kepada
siapa pun kok, Nyai."
"Tapi aku sering melihatmu mojok dengan mereka secara berganti-gantian."
"Ah, itu sih hanya sekadar mojok saja, Nyai. Tukar pikiran dan tukar pengalaman
saja." "Pengalaman yang bagaimana...?"
sindir sang Nyai. "Pengalaman
bercinta" Atau pengalaman bersilat
lidah?" Yuda tertawa kecil, malu-malu,
"Itu kan hanya sekadar seni memojok saja. Tapi bukan berarti kami saling jatuh
cinta kok."
"Yuda, terus terang saja,
Kutilang Manja sudah berkata jujur padaku."
"Soal apa, Nyai?"
"Dia naksir kamu!" jawab Nyai Sirih Dewi nyeplos saja.
"Ah, jangan gitulah, Nyai...,"
Yuda Lelana pringas-pringis tak enak hati.
"Kutilang Manja sering sakit hati kalau melihat kau jalan dengan Peluh Selayang
atau gadis lainnya. Dia bicara apa adanya padaku, Yuda. Dia
sangat mengharapkan pengertianmu."
"Aku belum berpikir ke arah situ, Nyai. Aku malah sedang bingung
memikirkan ketuaanku yang datang
dengan cepat ini."
"Kau belum kelihatan tua, Yuda.
Kau masih pantas punya istri."
"Ya memang sih. Biar rambutku
sudah beruban memang masih pantas
punya istri, tapi kawin dalam usia tua itu merupakan sesuatu yang
mendatangkan rasa malu, Nyai. Aku
sedang berpikir bagaimana mencegah
proses ketuaanku yang datang dengan cepat ini."
"Aku punya mantera pengawet muda!
Kalau kau mau akan kuajarkan bagaimana membaca mantera pengawet muda itu."
"Kenapa tidak kau gunakan sendiri supaya kau tetap awet muda, Nyai?"
"Mantera itu sudah nggak mempan untuk diriku."
"Kenapa bisa begitu, Nyai?"
"Karena mantera itu sudah bosan membuatku awet muda," jawab sang Nyai seenaknya
saja. Yuda Lelana hanya
tertawa kecil, tidak begitu menanggapi
kata-kata sang Nyai yang dianggap
hanya sekadar kata-kata iseng saja.
Tapi pikirannya lebih menfokus kepada Kutilang Manja. Apa benar Kutilang Manja
jatuh cinta padanya" Sebenarnya Yuda tidak keberatan kalau harus
menerima dan membalas cinta Kutilang Manja, tapi dia tak mau percintaan itu
berlanjut ke jenjang perkawinan. Sebab dia punya cita-cita sendiri untuk
mengawini seseorang. Bukan Kutilang Manja yang menjadi sasaran
perkawinannya, melainkan seseorang
yang dapat mengubah dirinya kembali menjadi dewa dan bersemayam di
kayangan. "Kalau aku diam di perguruan ini terus, aku tak akan bertemu dengan
calon istriku," pikir Yuda Lelana.
"Aku harus pergi dari sini, mengembara entah ke mana, sampai aku bertemu
dengan calon istriku dan segera bikin anak, supaya aku bisa cepat-cepat
diakui sebagai dewa lagi. Tapi, gimana ya..." Kalau perguruan ini
kutinggalkan, kasihan juga. Mereka
pasti akan diserang oleh pihak Ratu Geladak Hitam. Akhirnya mereka akan digusur
dan entah mau mengungsi ke
mana?" Tentu saja Yuda punya kecemasan
seperti itu. Soalnya Nyai Sirih Dewi berkata kepadanya, "Dardanila berilmu
tinggi. Secara jujur kuakui, ilmunya
tak sebanding dengan ilmuku. Kalau dia datang kemari dan mengamuk, aku akan
kewalahan melayaninya. Bisa-bisa aku mati di tangannya. Walau begitu, aku memang
tak takut mati demi
mempertahankan Bukit Bara ini. Yang kupikirkan cuma nasib murid-muridku jika
kutinggal mati nantinya.
Bagaimana nasib mereka jika tanpa aku dan tak bisa bertahan di sini?"
Kata-kata itu yang membuat Yuda
Lelana prihatin terhadap nasib
Perguruan Sekar Bumi jika tanpa
dirinya. Niatnya untuk meninggalkan perguruan itu selalu dipikir-pikir
sampai kadang-kadang ia tertidur
karena lelahnya berpikir. Karena
menurut pendapat Yuda, sampai kapan pun Ratu Geladak Hitam tetap akan
mengincar tanah perguruan tersebut.
"Mengapa begitu?" tanya sang Nyai. "Mengapa Dardanila bernafsu sekali untuk
menguasal tanah di Bukit Bara ini" Apa yang membuatnya sampai penasaran begitu?"
"Karena sesungguhnya di Bukit
Bara ini terdapat tambang emas!"
"Hahh..."!" Nyai Sirih Dewi terkejut, matanya membelalak tak takut kena panah.
Ia tertegun beberapa saat, mencoba mempercayai kata-kata Yuda.
"Apa benar begitu, Yuda?"
"Benar, Nyai. Getaran nadiku
mengisyaratkan adanya setumpuk harta
yang terpendam di dasar bukit ini,
persis di bawah tanah perguruan ini!
Sukmaku pernah keluyuran malam-malam dan menemukan cahaya gemerlapan warna
kuning di dasar bukit. Ternyata cahaya itulah tambang emas yang perlu digali dan
dimasak sedikit. Memang masih
kotor, tapi jika kita memasaknya maka akan terlihat kemilau emasnya dalam tiap
lapisan tanah."
"Edan!" sentak sang Nyai.
"Dikasih tahu ada tambang emas kok malah ngatain aku edan"!"
"Maksudku, kenapa baru sekarang aku mengetahuinya" Padahal aku sudah bertahun-
tahun menempati Bukit Bara ini. Dardanila baru beberapa tahun
berkuasa di daerah muara sungai. Itu pun karena ia terdampar di sana ketika
kapalnya diserang badai."
"Dardanila
tahu, karena ia
perhatikan air sungai yang mengandung warna kuning samar-samar itu. Warna kuning
tersebut bukan karena belerang atau larutan lumpur, melainkan karena larutan tanah berkadar
emas." Kabar itulah yang membuat Nyai
Sirih Dewi mengurung diri di dalam
kamar semadinya sampai beberapa hari ini. Ia bermaksud meminta petunjuk dewa
tentang bagaimana caranya
mengatasi masalahnya terutama tentang serangan Ratu Geladak Hitam dan
hiiangnya Kitab Jayabadra. Sampai saat
itu ia belum tahu bahwa belakangan ini ia sudah bergaul dengan dewa yang
menjelma menjadi manusia tampan itu.
Yuda Lelana memang tak pernah
menceritakan kepada siapa pun tentang siapa dirinya sebenarnya. Dia takut
disangka ngibul. Bisa-bisa bukannya dipercaya, tapi malah ditertawakan.
Karenanya Yuda menutup diri kepada siapa pun.
Semadi sang Nyai terpaksa
dibangunkan oleh Kutilang Manja. Nyai Sirih Dewi keluar dari kamar semadi dengan
agak sewot. "Ngapain sih mengganggu semadiku"
Aku belum ketemu dewa nih!"
"Maaf, Guru. Di luar ada tamu
yang ingin bertemu dengan Guru."
"Siapa?"
"Ratu Geladak Hitam sendiri yang datang!"
"Wah, kacau deh kalau begini?"
gumamnya tegang. "Yuda ke mana?"
"Memancing ikan di sungai. Sejak tadi pagi belum pulang."
"Wah, makin kacau nih! Susul dia dan suruh dia pulang. Kasih tahu kalau kita
dalam bahaya!"
"Saya sudah mencoba mencarinya tadi, sebelum ada tamu datang, tapi ia tidak saya
temukan, Guru!"
"Jangan-jangan anak itu dimakan buaya sungai?" gumamnya dalam
ketegangan yang menggelisahkan.
"Sebaiknya Guru temui
dulu Dardanila itu supaya tidak menjadi
berang dan membuat beberapa murid
menjadi sasaran kemarahannya."
"Berapa orang kekuatannya?"
"Mereka cuma sebelas orang kok, Nyai."
"Sebelas orang"! Itu sih sangat bahaya!" bentak Nyai Sirih Dewi.
"Dardanila datang sendirian saja sudah berbahaya, apalagi dengan kesepuluh
pengawalnya. Waaah... kacau deh! Kacau bener kalau begini!"
Nyai Sirih Dewi mondar-mandir.
Belum-belum sudah ciut nyali.
Masalahnya Yuda tidak ada di tempat, jadi ia deg-degan sekali. Kalau Yuda ada di
tempat sih bisa tenang-tenang saja, sebab ia sangat yakin dengan
kekuatan Yuda. Pikiran Nyai Sirih Dewi bercabang-cabang antara Dardanila dan
Yuda Lelana. "Aku cemas sekali, takutnya Yuda dimakan buaya sungai"!"
"Mana mungkin buaya makan buaya, Guru"!" ujar Kutilang Manja dengan wajah
cemberut. "Husy, jangan ngomong begitu.
Yuda bukan buaya!"
"Memang sih, bukan buaya tapi
komodo!" tambah Kutilang Manja makin cemberut kesal karena sikap Yuda yang
sering menclok saja, menclok sini,
ganti teman ngobrol. Rasa cemburu itu
dimuntahkan dalam bentuk ejekan di depan sang Guru. Padahal sang Guru sedang
bingung mengatasi kedatangan Dardanila.
Peluh Selayang muncul dengan terburu-buru. "Guru, cepatlah keluar!
Yuda sudah datang dan sekarang sedang berhadapan dengan Ratu Geladak Hitam."
"Hah..."! Sudah datang"! Syukur, syukur...!" Nyai Sirih Dewi mengelus dada
sendiri merasa lega. Wajahnya
cerah kembali, dan ia langsung
bergegas menuju pekarangan depan,
menembus keluar melalui pintu gerbang yang memang sudah dibuka oleh
petugasnya. Dan di sana dilihatnya
Yuda Lelana sedang bicara dengan Ratu Geladak Hitam yang masih diam di atas
punggung kuda. Sepuluh anak buahnya, termasuk Adu Polo, mengelilinginya
bagai mengurung pertemuan tersebut.
Mereka sudah siap dengan senjata
masing-masing. Ratu Geladak Hitam ternyata seorang wanita yang cantik jelita.
Usianya seperti masih sekitar tiga
puluh tahunan. Yah, lewat sedikitlah.
Yang jelas rupanya masih semarak ayu.
Matanya sedikit nakal, namun indah.
Hidungnya bangir, bibirnya sensuai.
Dadanya, wah.... Pokoknya bikin lelaki berkepala nyut-nyutan kalau kelamaan
memandang dadanya. Sebab bisa digetok dari belakang oleh pengawainya.
Lehernya termasuk jenjang, putih
mulus tanpa cupang. Ia mengenakan
kalung permata bersusun dua. Dengan rambut disanggul rapi sisa rambut
ngelewer ke samping kanan kiri
berbentuk spiral, ia tampak anggun dan berwibawa. Pakaian hijau yang membalut
tubuh sexy-nya itu dibungkus dengan kain jubah dari bahan sutera warna
merah jambu. Segar dan menggairahkan, sama dengan bentuk bibirnya yang,
iiih... enak dikecup deh rasanya.
Yuda bergidik membayangkan bibir
itu. Hatinya gemas dan geregetan.
Kalau saja giginya bisa mulur maju, ia akan gigit bibir itu dari tempatnya
berdiri. Mata Yuda tak mau berkedip, dan ternyata mata Ratu Geladak Hitam juga
tidak mau berkedip. Mereka saling pandang beberapa saat dengan kecamuk hati
masing-masing. Para pengawalnya sempat bingung, mengapa ratunya
menjadi terpaku bagaikan patung
bernyawa" Seorang murid Nyai Sirih Dewi
keluar dan tergesa-gesa ingin ikut ambil bagian dalam penjagaan ketat di depan
gerbang. Larinya terlalu cepat hingga sukar direm dan akhirnya
menabrak Yuda Lelana. Bruuus...!
"Gendeng kamu ini"! Ada orang
masih bengong ditabrak saja!"
"Maaf, maaf... Tuan Yuda," kata murid itu sambii mundur dan ambil
posisi berjajar dengan teman-temannya.
Saat itulah adu pandang mereka
terhenti, ketermenungan sang Ratu pun menjadi buyar. Lalu, terdengar
suaranya menyapa dengan wibawa
dipaksakan. "Kaukah yang bernama Yuda
Lelana?" "Begitulah kira-kira," jawab Yuda Lelana
sambii sunggingkan senyum
tipis. Tapi tiba-tiba ia harus
berkelebat cepat karena seorang anak buah sang Ratu melemparkan tombaknya dari
arah samping kiri. Wuuut...!
Teeb...! Tombak itu disambar oleh
tangan kiri Yuda sambii badannya


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit melengkung ke belakang. Secara tak
langsung Yuda telah pamerkan
ketangkasannya di depan sang Ratu.
Bahkan kali ini jempol kirinya
menekan tombak itu dan, traak...!
Tombak tersebut patah dengan sentakan jempolnya. Ratu Geladak
Hitam memandangnya dengan diam, menyimpan rasa kagum terhadap kemampuan Yuda;
menangkap dan mematahkan tombak
memakai satu tangan. Tangan kiri,
lagi! Seorang anak buahnya yang ada di
sebelah kirinya juga ingin lemparkan pisau ke arah Yuda, tapi tangan kiri sang
Ratu yang bergelang kerincing
tujuh biji itu diangkat. Gemerincing suara gelang membuat orang itu tak
jadi lemparkan pisaunya.
Kejap berikutnya, Nyai Sirih Dewi muncul di belakang Yuda bersama Peluh Selayang dan
Kutilang Manja.
"Pantas kau sekarang betah
tinggal di tempatmu ini, karena kau punya mainan baru yang tentunya
mengasyikkan, Sirih Dewi!" ujar sang Ratu menyindir dengan senyum sinisnya.
"Aku tak jeias maksud bicaramu, Dardanila!" kata sang Nyai dengan tenang.
"Tak perlu diperjelas. Yang perlu kau mengerti adalah perintahku yang terakhir
kali ini; kau harus cepat
pergi dan tinggalkan perguruanmu ini.
Aku tak peduli kau sudah lama atau
baru saja menempati tanah ini, yang pasti kau harus segera pindah ke
tempat lain! Bukit ini dalam wilayah kekuasaanku; Ratu Geladak Hitam!"
Sambil masih berdiri di belakang
Yuda, Nyai Sirih Dewi berseru, "Apa pun perintahmu aku tak perlu tunduk!
Kau pikir siapa dirimu sehingga berani memerintahkan begitu, hah"!"
"Kau belum tahu siapa aku
sebenarnya, Sirih Dewi!"
"Aku tahu! Aku cukup tahu siapa dirimu, Dardanila. Kau seorang ratu sesat yang
hidup di Pulau Iblis, dan dikalahkan
oleh Raja Kala Bopak
sehingga kau lari dari Pulau Iblis dan hidupmu bertahun-tahun hanya di atas
geladak kapai bangkai. Karena kapal itu kini pecah dihantam ombak badai, maka
kau tak punya tempat tinggal
lagi, lalu kau ingin menguasai bukit ini! Aku pun tahu kau punya ilmu yang
yaaah... lumayan tinggilah," kata sang Nyai berkesan menyepelekan.
Lanjutnya lagi, "Ilmumu itu yang membuat kau masih tampak muda, tak ada yang
tahu kalau usiamu sendiri
sebenarnya sebaya denganku, sekitar delapan puluh tahun!"
"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Ratu Geladak Hitam sambii matanya
melirik sekiias ke arah Yuda Lelana.
Rupanya ia tak suka rahasia itu
diketahui oleh Yuda Lelana.
"Kau tak perlu
banyak bicara tentang diriku, Sirih Dewi! Yang perlu kau lakukan adalah minggat dari tempat
ini, bila perlu sekarang juga!"
"Aku tidak akan pergi ke mana
pun!" tegas Nyai Sirih Dewi.
Wajah cantik sang Ratu tampak
memerah pertanda menahan amarah.
"Sirih Dewi, ini peringatan
terakhir dariku!" katanya, lalu ia segera memberi aba-aba kepada anak
buahnya untuk tinggalkan tempat ini dengan seruan tertahan, "Jalan...!"
Mereka berbalik arah dan saling
meninggalkan tempat. Tapi di kejauhan
mata sang Ratu sempat berteriak dari sana sambil berpaling ke belakang.
"Sirih Dewi! Kalau kau tak mau tinggalkan tempat ini, kau tidak akan dapatkan
Kitab Jayabadramu lagi
selamanya! Tapi jika kau mau ting-
galkan tempat ini, suruh anak muda itu mengambil kitab pusakamu ke tempatku!"
"Jahanaaam...!" geram Nyai Sirih Dewi dengan bergegas ingin mengejar.
Tangan Yuda segera mencekal lengan
sang Nyai, menahan gerakan murkanya.
"Jangan sekarang, Nyai!"
"Dia harus kuhajar habis, karena ternyata orangnya itulah yang mencuri Kitab
Jayabadra sebagai sanderanya!"
Kutilang Manja dan Peluh Selayang
juga tampak gusar. Yuda Lelana
menenangkan mereka dengan berkata,
"Jangan terpancing emosi. Kalem saja. Kalem...!"
"Bagaimana bisa kalem kalau Kitab Pusaka itu ternyata ada di
tangannya"!" sentak Kutilang Manja.
Nyai Sirih Dewi berkata dalam
geram, "Aku harus bisa mengambil kitab itu lagi tanpa harus pergi dari Bukit
Bara!" "Biar aku yang mengambilnya ke sana, Nyai!" kata Yuda Lelana.
"Jangan! Kau tak boleh ke sana!"
tukas Kutilang Manja. "Dia pandai menjerat hati lelaki."
"Tenang saja, Kutilang Manja,"
kata Yuda. "Dia tak akan menjeratku karena hatinya tadi sudah terjerat
sendiri olehku."
"Uuh...! Dasar buaya!" geram Kutilang Manja, lalu bergegas masuk.
LIMA YUDA Lelana tak mau didampingi
oleh siapa pun. Masa' jagoan mau
melabrak musuh kok harus didampingi seseorang, malu kan" Makanya Yuda
tetap ngotot ketika Nyai Sirih Dewi memerintahkan
Kutilang Manja untuk mendampinginya ke Geladak Hitam.
"Kalau ada yang nekat
mendampingiku, aku tidak mau pergi ke sana!" ancam Yuda Lelana. Akhirnya sang
Nyai memutuskan untuk menuruti kemauan Yuda. Ia percayakan kitab itu kepada si
tampan kumal dengan catatan:
"Jika kau terpikat oleh
kecantikannya, pulangkan dulu kitab itu selebihnya kau boleh
pulang kembali melanjutkan percintaanmu
dengan Dardanila!"
"Ah, pikiranmu yang nggak-nggak aja, Nyai. Kalem sajalah!"
Sebenarnya hati Yuda Lelana
merasa kikuk, karena sang Nyai
bagaikan mengetahui jalan pikirannya.
Diam diam Yuda Lelana memang ingin
bertemu lebih dekat lagi dengan Ratu Geladak Hitam. Pertemuan empat mata sangat
diharapkan. Karena sifatnya
sangat pribadi, maka Yuda menolak
keras didampingi oleh siapa pun.
Bahkan seekor kuda pun tak mau
dibawanya, takut mengganggu acara
tatap muka empat mata itu. Yuda hanya diantar oleh sang Nyai sampai di
tebing, setelah itu dilepas sendirian menuju benteng Geladak Hitam yang
tampak dari tebing.
Sampai di benteng Geladak Hitam,
Yuda Lelana dibuat kelinci percobaan oleh anak buah Ratu Geladak Hitam. Ia
diserang empat orang berkekuatan
tenaga dalam tinggi. Kala itu ia masih berada di depan gerbang. Tetapi empat
orang tersebut dapat ditumbangkan
dalam satu jurus saja. Hentakan kaki ke bumi membuat keempat orang itu
mental ke atas, ada yang kepalanya
membentur dahan pohon, ada yang
nyangsang di atas pohon, ada yang
jatuh kepala duluan, ada pula yang
tertancap patahan dahan runcing.
Jurus 'Sentak Bumi'-nya terpaksa
digunakan lagi ketika empat orang
muncul lagi dari dalam benteng
membantu temannya yang sudah tak
berdaya. Dengan sekali hentakkan kaki ke bumi, keempat orang itu terpental lagi
ke atas dan jatuh dengan
kehilangan keseimbangan badan. Kali ini ada yang meluncur kepala duluan dan
masuk ke sebuah kubangan
berlumpur. Jruub...! Kepala terbenam sampai dada, kakinya masih bergerak-gerak
di atas. Yuda tidak pedulikan keadaan
mereka yang menderita akibat jurus
'Sentak Bumi'-nya. Ia langsung masuk ke dalam benteng berbatu hitam. Di
sana ia disambut dengan lemparan enam tombak dari arah depan dan samping
kanan-kiri. Yuda Lelana tak perlu
merasa kaget, karena hal-hal seperti itu sudah diduga sebelumnya.
Zraaab...! Enam tombak yang
melayang cepat ke arahnya itu hanya dihindari dengan melompat ke atas dan
bersalto di udara satu kali. Tombak-tombak itu saling berbenturan sendiri ketika
tak mendapatkan tempat untuk menancap. Trak, trak, praak...!
Yuda Lelana melayang turun dengan kakinya menghentak ke kumpulan tombak-tombak
tersebut. Dengan kekuatan
tenaga dalam terkendali, tombak-tombak yang ditendang itu berbalik ke arah
pelemparnya. Zraaab...! Mereka kebi-ngungan melihat tombaknya berbalik
menyerangnya. Mereka lari tunggang
langgang, ada yang tersungkur karena tersandung batu, ada yang nungging
karena menghindari kelebatan tombak, ada pula yang menabrak pohon dan
akhirnya tombak itu menancap di paha.
Jruuub...! "Waooow...!"
"Keren!" ada yang menambahkan teriakan itu, entah dari sisi mana, karena pada
saat itu Yuda Lelana sibuk menghadapi
tujuh orang penyerang
bersenjata golok. Mereka berbadan
kekar dan besar. Tapi dengan sekali sentakkan kedua tangan ke samping,
cahaya putih menyebar dari tubuh Yuda Lelana ke berbagai arah. Cahaya putih
itulah yang membuat tubuh mereka
terpental terbang bagaikan dihempas badai super kuat. Ada yang kepalanya bocor
karena membentur dinding, ada yang punggungnya patah karena menabrak tiang jati,
ada pula yang saling
mencaci karena kepalanya beradu dengan kepala teman sendiri.
"Hentikan...!" seru sebuah suara yang mampu membuat semua gerakan
terhenti seketika. Suara itu tak lain adalah suara Ratu Geladak Hitam.
Mata Yuda saling beradu pandang
dengan mata sang Ratu. Tiga helaan
napas kemudian, barulah sang Ratu yang bagai orang terkesima itu mampu
perdengarkan suaranya.
"Setelah lima hari aku menunggu, akhirnya kau datang juga!"
Yuda Lelana membalas ucapan
tersebut, "Apakah yang kau tunggu
adalah sang ajal yang datang bersama El Maut?"
Ratu Geladak Hitam tersenyum
meremehkan. "Apakah kau datang untuk membunuhku, Anak Muda?"
"Jika terpaksa, mungkin memang begitu. Tapi aku datang dengan maksud baik dan
punya tujuan tertentu."
"Apa tujuanmu?"
"Bicara empat mata denganmu,
Ratu!" "Bagaimana kalau aku tidak mau bicara empat mata denganmu?"
"Terpaksa mata kirimu kucolok
biar kita bicara tiga mata!" jawab Yuda Lelana seenaknya saja, seakan tak punya
rasa takut atau niat hormat sama sekali. Hal itu membuat pengawal Ratu menjadi
tersinggung. Adu Polo yang ada di samping kanan sang Ratu segera
lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Yuda Lelana.
Wuuut...! Tapi dengan mudah Yuda
Lelana menahannya. Tangan kanan
dibentangkan di depan dada, pukulan bergelombang panas itu tertangkis dan
bagaikan dikembalikan ke arah
pemiliknya. Adu Polo melompat karena hawa panas terasa sedang menyerangnya.
Wuuusss...! Sang Ratu mengibaskan
tangannya bagai membuang bunga,
ternyata yang keluar asap putih
penahan gelombang hawa panas itu.
Blaaar...! Ledakan itu timbul karena
dua gelombang beradu dan membuat Adu Polo tersentak ke belakang, jatuh
terduduk. Bruuk...! "Anak ini memang bangsaaat...!"
teriak Kebo Tumang yang baru saja
muncul dan mengetahui tindakan itu. Ia segera mencabut kapak dua mata
berukuran besar yang menjadi senjata andalannya. Tapi baru saja ia ingin
bergerak, sang Ratu rentangkan
tangannya dan berseru, "Hentikan, Kebo Tumang!"
"Gggrr...!" Kebo Tumang menggeram jengkel. "Dia memotong telingaku, Gusti!"
"Toh kamu masih punya telinga
yang kanan" Kenapa harus marah" Kalau mau marah, urusannya sama aku!" kata sang
Ratu sambil tolak pinggang.
"Wah... kalau... kalau begitu ya sudahlah, saya ke dapur saja jadi juru masak,"
ujar Kebo Tumang dengan bersungut-sungut menahan kejengkelan.
Ia pun ngeloyor pergi dan dibiarkan oleh Ratu Geladak Hitam.
Sang Ratu kembali berkata kepada
si tampan kumal itu, "Apakah kau benar-benar ingin bicara empat mata denganku?"
"Tak perlu kau sangsikan lagi
keinginanku, Ratu," jawabnya dengan lembut, diiringi senyum tipis
menggetarkan hati.
"Baik. Aku bersedia, tapi tidak di sini. Aku punya tempat sendiri
untuk bicara empat mata. Tentunya
pembicaraan kita nanti bersifat
rahasia, bukan?"
"Ya, tepat sekali dugaanmu."
"Ikutlah aku!" katanya tegas sekali, lalu sang Ratu melangkah
melalui samping ruang paseban. Yuda Lelana mengikutinya dengan memandang sinis
ke sana-sini karena ia pun
dipandangi dengan sinis oleh orang-
orang sang Ratu.
Ratu Geladak Hitam dan Yuda
sampai di taman belakang bangunan
utama. Taman itu tertata rapi dan
indah. Ada serumpun bambu kuning di pojokan. Bentuk bambu itu menyerupai lorong
karena kelebatannya. Ternyata Yuda dibawa masuk ke lorong bambu yang mempunyai
jalan setapak itu.
"Mau ke mana kita, Ratu?"
"Ke mana saja itu urusanku. Kau ikuti saja langkahku," jawabnya tanpa menengok
ke belakang.

Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh, ternyata di balik kerimbunan
bambu itu ada tangga batu menuju ke bawah tanah. Ratu menuruni tangga batu itu,
demikian pula Yuda Lelana. Di
ujung bawa tangga batu yang terdiri dari sepuluh baris itu ada lorong gua yang
lebarnya sekitar dua tombak.
Dinding lorong itu mempunyai obor-obor penerang jalan. Yuda menyusuri lorong
itu, kali ini berdampingan dengan sang Ratu karena jalannya cukup untuk
melangkah dua orang berjajar.
"Tempat apa ini sebenarnya?"
tanya Yuda sambil memandang sana-sini.
"Tempat rahasia," jawab Ratu Geladak Hitam. "Di sinilah segala rahasia
dibicarakan atau dilakukan."
"Pasti tempat ini kau gunakan
untuk bersembunyi dari serangan lawan yang tak mampu kau hadapi."
Ratu Geladak Hitam hanya tersenyum, ia tak memberikan komentar apa-apa. Langkah kakinya tetap tegap, agak
cepat, wewangian yang
disemprotkan ke pakaian dan tubuhnya tercium jelas oleh hidung Yuda Lelana.
Tapi Yuda tetap tidak mau lontarkan pujian atas keharuman yang lembut dan enak
dihirup itu. Matanya masih
memandangi tiap dinding penuh waspada, karena ia tak ingin termakan jebakan yang
mungkin dipasang pada dinding
lorong yang kini telah membelok ke
kiri itu. "Kenapa tidak ke kanan?"
tanyanya. "Lorong yang ke kanan menuju ke sarang ular piton. Aku punya delapan ular piton
di sana. Tapi mereka tak akan bisa menyeberang ke lorong kiri ini, karena sudah
kubatasi dengan
racun yang ditakuti setiap ular."
"Jadi lorong kanan adalah lorong jebakan?"
"Begitulah," jawab sang latu dengan singkat.
Lorong yang sedang dilalui Yuda
makin lama tampak semakin terang. Di depan sana cahayanya lebih terang
lagi. Yuda memandang dengan mata
sedikit mengecil untuk melihat ruangan terang yang ada di depannya. Agaknya
ruangan terang itulah yang sedang
dituju oleh Ratu Geladak Hitam.
Dugaan Yuda ternyata benar juga,
ia dibawa ke ruangan terang yang
berbentuk lingkaran itu. Cahaya terang datang dari jumlah obor yang semakin
banyak. Ruangan itu cukup lebar,
karena di tengahnya terdapat kolam
berair mancur pendek tapi jernih.
Ruangan itu juga mempunyai tanaman
hias pada tepiannya. Berkesan bersih dan punya nilai seni tinggi. Ada
lempengan batu di tepi kolam yang
menjadi tempat duduk cukup nyaman,
karena di atas lempengan batu marmer putih itu terdapat bantalan pelapis yang
cukup empuk. Aroma wangi menyebur kian tajam,
karena tanaman bunga yang ada di
ruangan tersebut sedang bermekaran.
Warnanya bunga dan bentuknya sungguh indah dipandang mata. Pasti tempat itu
punya tenaga perawat sendiri yang
selalu merapikan keadaan di situ.
Ada meja dari batuan marmer
hitam. Di atas meja itu ada tempat
anggur dari logam emas, cangkirnya pun dari emas murni berbatu-batu indah. Di
samping meja minuman terdapat tempat buah. Keranjang rotan diletakkan di atas
meja rendah itu penuh dengan
buah-buahan segar. Tak jauh dari situ ada tempat tidur dari batuan marmer juga
yang dilapisi kain empuk serta nyaman. Seprai dan sarung bantalnya dari kain
sutera biru muda. Sedangkan di samping ranjang itu terdapat meja rias, lengkap
dengan cermin ovalnya dan tempat pedupaan yang terpisah dari meja rias.
"Tempat ini berudara sejuk.
Kurasa tempat ini menjadi tempat
peristirahatanmu, Ratu!"
"Memang. Tapi
juga kugunakan sebagai tempat bertapa atau melakukan suatu kegiatan yang bersifat ritual,"
jawab Dardanila sambil mendekati meja minuman. Ia menuang anggur dari teko
tinggi langsing bermulut kecil. Ia
mengambil cangkir berisi anggur merah, satu untuknya, satu lagi diberikan
kepada Yuda Lelana.
"Minumlah sebagai suguhan awal dariku," kata sang Ratu.
"Aku tak biasa minum anggur,"
kata Yuda Lelana sambil tersenyum
indah. "Coba sedikit, kau akan
ketagihan."
"Begitukah nantinya?"
Dardanila mengangguk. Ia
mengawali minum anggur itu. Yuda
Lelana ikut-ikutan meminumnya pula.
Sruup...! Sedikit, tapi benar-benar dirasakan kenikmatannya, dikecap-kecapnya
sebentar, lalu berkata pelan,
"Lumayan juga rasanya. Kurasa
anggur ini baru dua tahun kau simpan, jadi belum terlalu tajam menyentuh
ujung lidah."
"Kau bilang tak biasa minum
anggur, tapi nyatanya kau bisa menilai mutu anggurku dan tebakanmu memang
tepat, baru dua tahun kusimpan di
tempatnya."
Yuda Lelana tersenyum malu,
terjebak omongannya sendiri. Ia
tinggalkan sang Ratu, berjalan
mengelilingi tempat itu dengan mata memandang penuh perasaan salut
terhadap nilai seni yang dibangun di bawah tanah itu. Sang Ratu ikut
mendampinginya karena ia segera
mengajukan tanya,
"Apakah menurutmu tempat ini
benar-benar nyaman?"
"Bukan hanya nyaman, namun cukup romantis," jawab Yuda. "Ruangan ini menimbulkan
sejuta khayalan
indah. Pasti kau menyebarkan kekuatan gaib di tempat ini yang dapat menimbulkan
hasrat manusia untuk berandai-andai dalam khayalan indahnya."
"Kau cukup peka terhadap hal-hal seperti itu rupanya. Siapa gurumu,
Yuda" Boleh aku tahu?"
"Aku tak punya guru," jawabnya.
"Tak mungkin. Karena kau punya gerakan dan jurus-jurus yang aneh
bagiku. Hampir mendekati kesempurnaan dalam gerak. Aku kagum sekali."
Sengaja kata-kata itu tak
dikomentari oleh Yuda kecuali hanya senyum tipis menjerat kalbu. Yuda
Lelana duduk di bangku dari batu
marmer yang dilapisi kain empuk itu.
Cangkir emas diletakkan. Sang Ratu
ikut-ikutan duduk pula sambil
meletakkan cangkir emas di samping
cangkirnya Yuda.
"Aku ke sini untuk mengambil
Kitab Jayabadra!" kata Yuda dengan tegas.
"Apakah Sirih Dewi sudah berniat pergi dari Bukit Bara?"
"Tidak akan pergi selamanya!"
"Bukankah tempo hari aku berjanji akan memberikan kitab itu jika ia mau pergi
dari Bukit Bara?"
"Aku tidak mendengar perjanjianmu dan kalau toh mendengarnya aku tidak mau ikuti
perjanjian itu. Boleh atau tidak, Kitab Jayabadra harus kubawa pulang ke Bukit
Bara!" Ketegasan pemuda tampan yang
kumal itu justru ditertawakan oleh
Dardanila. Tawanya lirih, berkesan
mengikik geli. Yuda Lelana tetap
tenang dan senyumnya tetap menghiasi rupa tampannya. Jarak duduknya yang kurang
dari satu jangkauan itu membuat matanya dapat memandang jelas sampai ke pori-
pori kulit putih mulus itu.
"Kalau aku tidak mau memberikan kitab itu bagaimana?"
"Aku akan merebutnya!" jawab Yuda Lelana kalem tapi berkesan pasti.
"Kalau aku mempertahankan
bagaimana?"
"Aku akan menyerangmu."
"Seranglah sekarang kalau kau
berani," ujarnya sambil menyodorkan wajah, seakan menyuruh menampar wajah itu,
tapi mulutnya sedikit merekah
sehingga artinya menjadi beda lagi.
Bibirnya yang menggemaskan itu
dijilati sesaat, hati Yuda Lelana tergelitik melihat lidah itu
berkelebat membasahi bibir.
"Jangan begitulah...," katanya dengan lemah, membuat sang Ratu kian menggoda.
"Seranglah kalau kau berani...,"
wajah itu makin didekatkan lagi.
Matanya sedikit terpejam. Bibir
merekah menantang gairah. Yuda Lelana memandanginya dengan jantung berdetak-
detak. Ia ditantang, tapi ia bingung menyerang.
"Dardanila, kau musuhku. Kau tak boleh begitu."
"Iya. Kau dan aku bermusuhan.
Makanya kalau kau mau menyerang
silakan! Nih, serang nih...!" bibir itu makin disodorkan. Dengus napasnya terasa
menghangat di wajah Yuda Lelana yang salah tingkah.
"Aku... aku harus menyerangmu
bagaimana?"
"Ya, bagaimana sajalah. Terserah!
Mau pakai tangan boleh, mau pakai kaki boleh, mau pakai bibir juga boleh."
"Pa... pakai... pakai bibir saja, ya?"
"He'eh...," jawab Ratu Geladak Hitam dalam desah. Yuda Lelana tak kuat ditantang
begitu. Maka pelanpelan ia menempelkan bibirnya ke bibir
Dardanila. Hangat. Nikmat. Dan Yuda segera mengecup bibir itu pelan-pelan.
Gerakannya sangat pelan, sehingga
setiap sentuhan bagaikan mengalirkan gelombang keindahan ke sekujur tubuh.
Yang disentuh lembut bibir tapi yang dirasakan sampai ke telapak kaki.
"Oh, Yuda...," bisik sang Ratu ketika kecupan lembut itu dilepaskan.
Yuda Lelana tak bisa menolak
permintaan itu, maka dilumatnya lagi bibir yang menggemaskan itu.
Celakanya, sang Ratu membalas memberi-
kan lumatan yang tak kalah ganas.
Bahkan tangan sang Ratu mulai menari-nari di atas tubuh Yuda Lelana.
Jearinya begitu lincah memainkan irama mesra.
"Yuda, ooh... mati
aku kalau begini," bisik sang
Ratu bernada rintih. Ia jatuh dalam pelukan Yuda Lelana. Ia menggigit dada Yuda dengan
lembut, menahan ledakan dahsyat dalam jiwanya.
Kolam di tengah ruangan luas itu
mempunyai air mancur. Air kolam boleh mancur tapi Yuda tak boleh mancur.
Jika Yuda menuruti tuntutan batin sang Ratu, ia akan mempunyai risiko yang lebih
kusut lagi dalam hidupnya. Tapi sang Ratu tetap merengek, bahkan
berkata, "Beri aku setengguk anggur, maka akan kuserahkan kitab itu padamu
sekarang juga. Oh, aku tak tahan. Beri aku seteguk anggur, Yuda!"
Maka Yuda menyodorkan minuman
anggur dari cangkirnya. Sang Ratu
merengek. "Iiih...! Bukan anggur yang itu!"
sambil tangannya mencubit lengan Yuda.
Anak muda yang mulai tampak menua itu berlagak bego.
"Habis anggur yang mana?"
"Anggur kemesraanmu. Oooh...
Yuda, peluklah aku erat-erat,
Sayang...!"
"Akan kupeluk kau, akan kuberikan anggur yang kau pinta, tapi serahkan dulu
kitab itu padaku. Aku tak mau
tertipu olehmu, Ratu."
"Tidak, aku tidak akan menipumu.
Berikanlah, Yuda. Kita akan bertukar pemberian. Kitab itu benar-benar akan
kuberikan padamu jika kau telah
menuruti dahaga batinku ini!" Ratu Geladak Hitam mengacungkan dua jarinya
sebagai tanda sumpah dalam janjinya.
Tapi Yuda Lelana tetap tidak mau
memberikan apa yang diinginkan sang Ratu.
"Aku tak bisa melakukan tugasku sebagai seorang lelaki jika Kitab
Jayabadra belum kau berikan padaku.
Kitab itu mempunyai mantera yang dapat membangkitkan semangat kejantananku.
Jika semangatku sudah tergugah, kau bisa menikmatinya sampai esok pagi."
"Sungguh..."!"
"Sangat sungguh."
"Janji?"
"Janji."
"Kalau nanti kau bohong diapain"
"Dicium tujuh tahun juga nggak apa-apa!" jawab Yuda Lelana makin membuat sang
Ratu gemas sekali. Ia
memeluk dan meremas tubuh Yuda kuat-kuat sambil menenggelamkan wajahnya ke leher
Yuda. Kejap berikut ia berkata dengan
mendusal-dusalkan ciumannya ke leher
dan belakang telinga Yuda, "Baiklah!
Kita ambil dulu kitab itu di ruang
tidurku, di atas sana. Tapi... tapi sebaiknya kau tetap di sini saja. Biar aku
yang mengambilnya. Secepatnya aku kembali membawa kitab itu dan gelora cinta
yang lebih berkobar-kobar lagi."
"Baiklah. Aku menunggu di sini.
Lekas ambil kitab itu!"
Pancingan Yuda Lelana kena pada
sasaran. Siasat romantisnya
melumpuhkan kekerasan hati sang Ratu yang ingin menahan kitab tersebut.
Sang Ratu pergi mengambil kitab,
keluar dari ruang bawah tanah ter-
sebut, sedangkan Yuda Lelana masih
tinggal sendirian di situ, ia bahkan berbaring dengan santai
di atas ranjang berseprai biru lembut itu. Tak peduli pakaiannya kumal, ia merebah
dengan cueknya. Bayangan indah tubuh sang Ratu tanpa busana menari-nari di benak
Yuda Lelana. "Jika memang kitab itu diberikan dan ia mau mengurungkan niatnya untuk tidak
mengganggu Nyai Sirih Dewi lagi, tak keberatan aku memberi kehangatan padanya


Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asal saja jangan sampai
seperti kolam itu," katanya dalam hati sambil matanya melirik ke kolam bening
berair mancur. Namun beberapa saat kemudian,
Yuda Lelana dikejutkan dengan suara gemuruh yang datang dari arah lorong
jalan menuju keluar. Yuda melompat dan bersiap siaga.
"Suara ular pitonkah itu" Tapi kenapa bergedebuk" Apakah ular piton bisa lari
secara bersama-sama?"
Yuda Lelana mendekati lorong,
ternyata segera muncul wajah cantik Dardanila yang tampak tegang dan
memucat. "Ratu"! Ada apa"!" Yuda segera menyambut dengan keheranan tinggi.
"Orang-orang Pulau Iblis
menyerangku...!" ia terengah-engah.
"Apa persoalannya?"
Ratu Geladak Hitam meredakan
napasnya. Setelah
itu baru bisa bercerita. "Baru saja aku mau menaiki
tangga, seorang anak buahku menyusul.
Ia jatuh berlumur darah. Sebelum
menghembuskan napas terakhir, ia
sempat memberitahukan bahwa orang-
orang Pulau Iblis menyerang kami.
Kitab Jayabadra berhasil diambil dan dibawa lari ke Pulau Iblis."
"Hahhh..."!" Yuda terkejut.
"Kalau tak percaya, cepatlah
keluar dari sini! Mereka membakar
sebagian bangunan utama, membantai
beberapa anak buahku!"
Yuda Lelana penasaran. Ia segera keluar dari ruangan bawah tanah itu.
Ternyata apa yang diceritakan sang
Ratu memang benar. Mayat bergelim-
pangan di sana-sini. Bangunan utama masih mengepulkan asap, tapi apinya sudah
padam. Adu Polo menemui sang
Ratu dalam keadaan tangannya buntung sebelah.
"Kitab itu... di... dibawanya, Gusti...!"
Bruuuk...! Adu Polo jatuh pingsan
karena terlalu banyak mengeluarkan
darah. ENAM TIGA orang utusan dari Pulau
Iblis nyaris menghancurkan benteng
Geladak Hitam. Hebat juga" Hanya tiga orang saja bisa bikln Geladak Hitam morat-
marit, apalagi kalau enam orang"
Mungkin benteng Geladak Hitam bisa didongkel dan diusung ke lautan sana!
"Satu orang Pulau Iblis sama
dengan delapan orang Geladak Hitam,"
kata Dardanila mengakui kehebatan
lawannya. Yuda geleng-geleng kepala.
"Padahal satu orang Geladak Hitam sama dengan dua orang Perguruan Sekar Bumi,
ya" Berarti satu orang Pulau Iblis
sama dengan enam belas orang Perguruan Sekar Bumi" Wow... luar biasa kuatnya
perbandingan itu."
"Itulah sebabnya aku tak berani mengejar mereka ke Pulau Iblis. Ilmuku sama
dengan sesendok garam di lautan bagi Raja Kala Bopak. Tiga orang
seperti aku baru bisa menandingi anak buah Raja Kala Bopak yang kelas
rendah. Bisa kau bayangkan alangkah saktinya Raja Kala Bopak itu."
"Tunggu, tunggu... kubayangkan dulu!"
Tiga hari lamanya Yuda Lelana
tinggal di benteng Geladak Hitam. Ia banyak membicarakan tentang Pulau
Iblis dan Raja Kala Bopak, dan Ratu Geladak
Hitam tak segan-segan
menceritakan kekuatan yang ada di
sana. Pengalaman Dardanila diserang orang-orangnya Raja Kala Bopak membuat
perempuan tua yang awet muda itu
menjadi jera jika mendengar nama Raja Kala Bopak. Baginya sesuatu yang
sangat beruntung jika ia bisa
terdampar dan mendirikan benteng di muara itu ketimbang harus menjadi
buronan Raja Kala Bopak.
Teropong batin Raja Kala Bopak
sangat kuat, khususnya jika ia ingin mengenali pusaka-pusaka dan kitab-kitab
penting yang dimiliki seseorang.
Salah-salah orang yang berhadapan
dengannya dapat buta mendadak jika
kekuatan saktinya meluncur lewat
pandangan mata," tutur Ratu Geladak Hitam.
Yuda Lelana hanya manggut-manggut
tanpa ada rasa kagum dan takut sedikit pun. Pada akhir percakapan, Yuda
Lelana mengatakan,
"Bagaimanapun kau harus tanggung jawab atas kitab itu. Kau yang
mencurinya dari tangan Nyai Sirih
Dewi, kau pula yang harus mengambil kembali kitab tersebut dari tangan
Raja Kala Bopak."
"Wah, mendlngan aku tarung sama Nyai Sirih Dewi sampai mati deh,
daripada harus mengambil kitab itu
dari tangan Raja Kala Bopak!"
"Mengapa begitu?"
"Sudah kubilang berulang kali, Raja Kala Bopak itu sangat sakti. Aku tak mungkin
bisa mengalahkannya. Kalau aku datang ke sana, sama saja aku
menggali liang kuburku sendiri!"
"Kalau aku yang mendampingimu ke sana, bagaimana?"
"Ah, percuma!" keluh Ratu Geladak Hitam. "Sama saja buang-buang nyawa tampan.
Daripada nyawamu kau buang di sana dengan percuma, mendingan kita manfaatkan
untuk merajut keindahan
dalam pelukan."
Yuda Lelana hanya tarik napas tak
pedulikan senyuman nakal Dardanila.
Seorang penjaga gerbang menemui
Ratu Geladak Hitam dengan membungkuk-bungkuk penuh rasa takut. Sang Ratu menatap
dengan pandangan tak suka,
karena merasa terganggu oleh kehadiran orang itu. Hatinya sedikit dongkol,
karena baru saja sang Ratu mau mencium pipi Yuda, tahu-tahu penjaga gerbang
datang dengan terbatuk-batuk dipaksakan.
"Ada perlu apa kau kemari, hah?"
gerutu sang Ratu dengan bersungut-
sungut. "Hanya menyampaikan pesan seorang tamu, Gusti Ratu."
"Katakan, aku lagi nggak mau
terima tamu!"
"Tamu itu mendesak ingin bertemu, Gusti."
"Ngotot amat sih tamu itu" Siapa orangnya?"
"Nyai Sirih Dewi dan dua murid gadisnya, Gusti!"
"Hah..."l" sang Ratu agak terperanjat, langsung beradu pandang dengan Yuda
Lelana. Apa persoalannya sudah dapat ditebak oleh sang Ratu dan Yuda. Pasti
berkaitan dengan Kitab
Jayabadra. "Kau harus menemuinya dan
mengatakan yang sebenarnya," kata Yuda.
Perintah itu bagaikan mempunyai
kekuatan magis. Sang Ratu tidak dapat menolaknya. Maka ia pun segera menemui
Nyai Sirih Dewi yang datang bersama Kutilang Manja dan Peluh Selayang.
Mereka diterima di ruang paseban yang
belum selesai diperbaiki. Sisi kiri atapnya masih keropos dan tampak
hangus bekas terbakar.
"Ada dua hal yang harus kuminta darimu, Dardanila; kitab dan Yuda!"
kata Nyai Sirih Dewi dengan tegas.
Wajahnya menampakkan amarah yang
dipendam, demikian pula Peluh Selayang dan
Kutilang Manja. Mulut manis
Kutilang Manja jadi seperti tunggir ayam, bersungut-sungut cemberut sambii
sesekali melirik Yuda Lelana. Yang
dilirik hanya senyum-senyum saja, tapi segera merenggang jarak dengan
Dardanila, karena posisinya yang
berdekatan dengan Dardanila tidak
disukai oleh Kutilang Manja dan
gurunya. "Soal Yuda, itu terserah anaknya.
Apakah dia mau kau bawa pulang ke
perguruanmu atau tidak, atau dia
kerasan tinggal di sini
dalam pelukanku atau tidak, itu terserah
yang bersangkutan!"
Bibir Kutilang Manja makin
runcing kayak pensil habis diserut.
Bahkan terdengar suara gerutunya yang samar-samar, "Pantas betah, dikeremin
terus sih! Dasar buaya cap putu
bumbung!" "Ssst...! Kamu ini ngapain sih, pakai menggerutu kayak gitu segala.
Tenang sajalah, tenang...!" bisik Peluh Selayang. "Gue aja tenang kok,
cuma dada mau meledak juga dengar dia sering dipeluk sama perempuan itu!"
"Gue nggak kuat menderita
begini!." "Gue juga nggak kuat. Ntar kita keroyok aja perempuan itu. Kita bikin rujak
bebek biar kapok!"
Sang Guru menyergah, "Ini apa-
apaan slh kok pada kasak-kusuk
sendiri"! Kasih kesempatan padaku untuk bicara baik-baik dulu dengannya.
Kalau memang dia nggak bisa diajak
bicara baik-baik, baru kita hajar
bareng-bareng!"
Suara kasak-kusuk itu hilang.
Yuda Lelana hanya tersenyum karena telinganya menangkap suara kasak-kusuk itu.
Ia malahan melangkah mendekati Kutilang Manja, tapi Kutilang Manja bergeser
plndah ke samping gurunya, seakan ogah dideketin cowok kumal yang bikin hati
Pendekar Pemanah Rajawali 27 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Pusaka Bernyawa 2
^