Pencarian

Arok Dedes 6

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 6


"Sambar geledek!" maki Kebo Ijo.
Ia jelajahi padang batu yang sunyi-senyap, kemudian turun ke Kali Kanta yang tak kurang senyapnya. Kembali mendaki tebing ia cabut pedangnya dan memerintahkan semua anak buahnya menyisiri seluruh padang batu dan pinggiran hutan. Yang ditemukan hanya batu dan batu dan batu.
Dalam kemarahannya ia ayunkan pedangnya pada kepala salah seorang jajaro sehingga belah sampai mata. Jajaro lain-lainnya melarikan diri dalam kejaran tombak lempar, lenyap ke balik hutan.
"Betapa bodoh bisa ditipu oleh jajaro," gerutunya. "Terkutuk kau Empu Gandring. Dasar sudra berkepala an
jing! Awas kau! Sekali lagi menipu aku ..."
Pasukannya kembali menuju ke jalan negeri melewati jalanan setapak kaum jajaro. Dan mereka tak dapatkan mayat Kidang Telarung.
Kembali Kebo Ijo menjadi murka. Diperintahkannya menyisiri hutan sekitar. Dan orang mendapatkan jalur bekas mayat itu diseret, tanpa meninggalkan tetesan darah.
Di bawah sebaung pohon raksasa orang melihat Kidang Telarung tidur dalam pangkuan orangutan raksasa. Tak ada orang yang takut pada orangutan. Dari tahun ke tahun jenis ini telah dibinasakan dan dapat dikatakan hampir musnah dari kawasan Tumapel. Anak-anak kecil pun berani membunuhnya.
Binaung itu nampaknya sudah lama kehilangan lakinya. Ia ciumi mayat itu dengan mesra, tak mempedulikan datangnya bondongan prajurit. Malah menyobeki pakaian mayat sehingga Kidang itu telanjang bulat seperti bayi besar dalam gendongan induknya.
Para prajurit berhenti dan tertawa bahak. Kebo Ijo di belakang membentak supaya bergerak lebih cepat. Mereka menggunakan galah panjang yang diruncingkan dan menyodok dada orangutan betina janda itu.
Binatang itu dengan satu tangan menangkap ujung galah dan dengan tangan lain mempertahankan Kidang Telarung. Waktu sorongan galah semakin kuat, dengan hati-hati ia letakkan mayat itu di atas tanah dan dengan dua tangan mempertahankan diri sekuat daya agar runcing galah tidak menusuk dadanya. Dalam keadaan demikian para prajurit seperti juga kanak-kanak sedang menumpas orangutan selama ini mereka melingkar ke belakang hewan itu dan menghantami tubuh belakangnya dengan senjata. Binatang itu tetap memegangi ujung galah sampai matinya. Kidang Telarung hanya mengalami kerusakan pakaian. Sesampai di Kutanya hari sudah malam. Yang Suci Belakangka dan para rohaniawan merawat dan membalurnya dengan wangi-wangian, kemudian meletakkan dalam pura, dihamburi oleh airmata ibunya.
Malam itu juga Ken Dedes turun dari pekuwuan pergi ke pura untuk ikut menyatakan berdukacita pada ibu yang dalam beberapa hari telah kehilangan dua orang putranya. Perwira pasukan kuda juga hadir. Dan ia sengaja memperhatikan setiap prajurit yang dapat dilihatnya adakah mengenakan lambang Hyang Pancagina.
Pura dan pelataran diterangi oleh damar-damar besar.
Waktu ia turun dari pura dan memasuki halaman ke dua ia berpapasan dengan seorang tamtama yang berkalung Hyang Pancagina, kecil, dari emas, berkilat-kilat oleh sinar damar.
Kebo Ijo berlutut dan mengangkat sembah. Ken Dedes berhenti sejenak untuk memperhatikan. Ia telah sering melihat tamtama yang seorang ini. Paling tidak telah empat kali. Dan selama itu sejauh teringat olehnya tak pernah mengenakan bintang Pancagina.
"Kau yang membawa pulang mayat putra Yang Mulia Akuwu""
"Sahaya, Yang Mulia."
"Jangan tinggalkan pura, tunggu mayat sampai ayahnya datang," perintahnya, kemudian melangkah cepat-cepat meninggalkan halaman pura, memasuki gerbang belakang pekuwuan dan hilang dari pemandangan.
Kebo Ijo tinggal di pura. Seorang demi seorang pergi, juga kemudian Belakangka. Ibu mayat itu masih tetap menangisi anaknya yang tersayang, yang selalu ingat pada kesenangannya, dan telah mempersembahkan padanya barang-barang rampasan terbaik selama ini.
Sebelum kembali ke pekuwuan ia telah menemui Empu Gandring dan menyatakan kemarahannya. Dan ahli senjata itu menghiburnya dengan kata-kata ini:
"Apa artinya semua emas dibandingkan dengan Ken Dedes" Semua tamtama telah di tangan kita. Kau satu-satunya turunan satria. Tak patut kau marah seperti itu pada seorang yang telah menempakan semua rencana untukmu. Kembali kau ke pekuwuan, kalungkan Hyang Pancagina ini pada lehermu. Usahakan agar Dedes melihatmu. Hanya dengan ini kau akan bisa bicara dengan orang tercantik di seluruh negeri itu. Jangan bodoh, karena dia wanita cerdas. Ingat-ingat, Tunggul Ametung rela mengorbankan apa pun untuk bisa miliki dia. Ia akan memilih Dedes daripada Tumapel."
"Kau, sudra, yang hendak permain-mainkan aku!" Kebo Ijo bersungut-sungut semula, dan dikenakannya juga Hyang Pancagina. Apa aku katakan padanya""
"Katakan: seluruh balatentara Tumapel berada
di bawah perintah Ken Dedes, bukan Tunggul Ametung."
"Kalau dia mengadu pada suaminya""
"Kau yang sehari-harian gentayangan di pekuwuan tidak mengerti apa terjadi di sana," Empu Gandring menyesali. "Apa lagi kemudian""
"Terangkan, bahwa balatentara Tumapel dipimpin oleh sebuah inti ... selanjutnya kau tahu sendiri"
Dan Kebo Ijo tak habis-habis heran melihat Paramesywari Tumapel memerlukan berhenti dan memberinya perintah menunggu terus di pura dalam.
Pikirannya mulai dibuncahi dengan impian indah: Tunggul Ametung seorang sudra. Ia anak satria. Ia benarkan Empu Gandring: sudah semestinya antara Sang Akuwu dan Paramesywari tak bakal ada keserasian. Tempat Tunggul Ametung terlalu jauh di bawah Ken Dedes. Dan dirinya sendiri jauh lebih dekat, seorang satria. Juga satria yang selama ini dihinakan oleh Sang Akuwu, tetap menjadi tamtama, tak bisa lebih tinggi dari seorang Kidang yang juga cuma sudra. Para tamtama lainnya pun tidak puas dengan sikap Tunggul Ametung, mengetahui para Kidang tak dapat dikatakan tangguh sebagai prajurit.
Ia mengimpikan diri menjungkirkan Tunggul Ametung, dan Dedes mendampinginya.
Paramesywari itu belum juga muncul. Pura yang sempit tanpa jendela itu panas, pekat oleh asap damar, kepulan dupa setanggi dan wangi-wangian pembalur mayat, dan berbagai macam bunga.
Ia duduk bersimpuh pada pinggiran pintu. Setiap kali seakan mendengar suara ia menengok. Bahkan sekali pernah meninjau belakangnya begitu lama, dan pandangnya menerobosi dua gerbang halaman pura, menelusuri jalanan di depannya, dan berhenti pada gerbang belakang pekuwuan jauh di sana. Semua itu nampak oleh pengelihatannya. Juga dua orang pengawal yang bertugas menjaga gerbang itu.
Menjelang matahari terbit benar Paramesywari datang lagi. Para pengawal itu berhenti di depan pura. Ia pura-pura tak mendengar. Dan ia semakin menajamkan kuping. Bunyi kain pada setiap langkah Dedes terdengar sebagai gamelan yang mendayu-dayu. Dan langkah itu terasa olehnya begitu lambat. Kemudian tubuh yang menggiurkan itu melewatinya tanpa menyapa, meninggalkan wangi-wangian lain lagi. Ia langsung pergi ke tempat mayat, dan ia dengar perintahnya:
"Sudah, Bibi, tinggalkan beristirahat sebentar, biar aku yang ganti mengurusnya."
Wanita tua itu mengangkat sembah, berjalan merangkak meninggalkan pura, masih juga meratap pelahan, memprotes perlakuan para dewa yang tega merampas anak-anak itu daripadanya.
"Siapa namamu"" tanyanya pada tamtama itu. Kebo Ijo mengangkat sembah dan mempersembahkan namanya. "Kau tamtama, bukan"" "Benar, Yang Mulia."
"Namamu Kebo, mengapa hanya tamtama, bukan perwira""
"Terserahlah semua pada Yang Mulia Akuwu."
"Sini, tolong aku betulkan letak Kidang ini."
Ternyata Kebo Ijo hampir-hampir tak dapat bergerak dari tempatnya: ia gemetar, tubuh dan hatinya, sekalipun lelah dan kantuknya hilang kabur entah ke mana.
Dedes mengangkat muka memperhatikan tamtama yang terlalu lambat bergerak itu. Dan berdebaran jantung Kebo Ijo ter-tatap sinar matanya. Untuk pertama kali ia berani mengagumi kecantikannya.
Dengan berjalan berlutut ia mendekat.
"Berapa umurmu""
"Tiga puluh satu, Yang Mulia."
Ken Dedes tersenyum, dan Kebo Ijo merasa disambar petir: Paramesywari Tumapel tersenyum padanya, seorang tamtama, seorang satria yang tidak dianggap oleh Tunggul Ametung!
"Ada kulihat Hyang Pancagina pada dadamu."
Dengan sendirinya Kebo Ijo meraba kalung emas itu:
"Benar, Yang Mulia."
"Jadi kau sudra."
"Bukan, Yang Mulia, Satria."
"Angkat ini, mari bersama aku, agak ke sanakan," mereka geser mayat itu sedikit ke kanan. "Mana bisa seorang satria mengenakan lambang dewa orang sudra""
"Hanya untuk dapat mendengarkan Yang Mulia."
"Oh" Apa hendak kau dengarkan daripadaku""
"Boleh jadi sahaya akan mendapat keberuntungan menerima riuh khusus dari Yang Mulia."
Penjaga pura itu masuk, berjalan merangkak sambil mengangkat sembah, langsung menuju ke pedupaan dan memperbaiki api dan menyiramkan dupa setanggi baru. Kemudian ia pergi lagi.
"Apakah penting betul titah khusus dariku untukmu
"" "Akan menjadi kenang-kenangan terindah dalam hidup sahaya, Yang Mulia."
"Baik. Baik. Persembahkan padaku sesuatu."
"Tentang apa, Yang Mulia""
"Tentang Hyang Pancagina."
"Hyang Pancagina ini adalah pemberian dari Empu Gandring."
"Sudah lama kau mengenal dia"" "Semua tamtama kenal. Yang Mulia." "Mengapa semua""
"Dialah satu-satunya orang pandai di Tumapel." "Dan Belakangka""
"Yang Suci adalah orang Kediri, bukan Tumapel" "Mengapa para tamtama saja kau sebut" Di mana kaum perwira""
"Kaum perwira hanya sanak semenda Sang Akuwu dan merupakan kelompok tersendiri."
"Kelompokmu, kelompok tamtama, mengapa berkampung di sekitar Empu Gandring" Apa yang kau harapkan dari dia""
Kebo Ijo tak dapat mengendalikan diri dalam desakan pertanyaan-pertanyaan yang menggebu-gebu dan menggiringnya pada pengakuan itu. Ia kehilangan keseimbangannya, tanpa ancang-ancang tanpa pertimbangan meneruskan:
"Yang Mulia, Empu Gandringlah yang membikin para tamtama bersepakat mempersembahkan semua balatentara ke bawah duli Yang Mulia Paramesywari."
"Terimakasih, Kebo Ijo. Tetapi bagaimana bisa begitu" Bukankah seluruh balatentara Tumapel milik Sang Akuwu pribadi""
Kebo Ijo tiba-tiba menjadi takut pada ucapannya sendiri. Ia tak berani meneruskan.
"Mengapa kau terdiam" Kurang baikkah tugas khusus ini bagimu""
Kebo Ijo gemetar. Ia merasa kepalanya seakan kini berisi angin dan hatinya penuh padat oleh maut yang mengancam-ngancam dengan seratus cara.
"Kalau Yang Mulia berkenan melindungi jiwa sahaya ..."
"Adakah kau timbang Paramesywari Tumapel tidak bisa dipercaya""
"Ampun, Yang Mulia, karena ini juga menyangkut semua tamtama Tumapel."
"Kau dan kalian berada dalam lindunganku, Kebo."
"Itulah nilai dan kenang-kenangan terindah dalam hidup sahaya, Yang Mulia."
"Kalau begitu teruskan persembahanmu. Cepat. Boleh jadi Sang Akuwu akan segera tiba."
"Di bawah pimpinan Empu Gandring, para tamtama setuju mempersembahkan seluruh balatentara Tumapel, Yang Mulia."
"Apa sebabnya""
"Sang Akuwu hanya seorang sudra yang disatriakan. Semua prajuritnya dianggapnya sudra, tak peduli dia satria, seperti sahaya ini. Bukankah Sang Akuwu jauh di bawah derajad Yang Mulia Paramesywari""
"Terlalu jauh."
"Kami dari Gerakan Empu Gandring, Yang Mulia, lebih menghendaki Yang Mulia Paramesywari yang memegang kekuasaan Tumapel."
"Bagaimana Sang Akuwu""
"Terserah pada Yang Mulia sendiri."
"Dan para perwira""
"Mereka tanpa arti tanpa kami, Yang Mulia."
"Lihatlah, belakangan ini dengan cepat kerusuhan dipadamkan oleh seorang baru bernama Arok."
"Arok termasuk orang yang sangat berbahaya bagi Tumapel, Yang Mulia. Kemenangannya yang cepat dan utuh di selatan dan barat, menerbitkan kecurigaan di kalangan tamtama dan perwira."
"Mengapa dia berbahaya""
"Itulah, Yang Mulia, kemenangannya yang cepat dan utuh adalah permainan sandiwara untuk mencapai sesuatu yang tidak patut. Dia juga seorang sudra hina, Yang Mulia." "Tidakkah kalian keliru menduga, Kebo"" "Empu Gandring telah memikirkan semua itu. Yang Mulia." "Baiklah semua telah dipikirkannya. Tapi lihatlah: Kediri adalah Wisynu, aku Syiwa. Bukankah Kediri akan memberikan balatentaranya ke Tumapel""
"Yang Mulia, bila yang mendampingi Yang Mulia seorang satria dan Wisynu pula, dan segera menghadap ke Kediri ... tiada sesuatu yang bakal terjadi."
"Apakah semua itu pikiran Empu Gandring"" "Betul, Yang Mulia, dan para tamtama." "Betapa cepat kau dan kalian mempercayai aku, Kebo." "Karena keadaan semakin tidak tertahankan, Yang Mulia. Kerusuhan-kerusuhan yang berlipat-ganda belakangan ini terlalu banyak merampas jiwa prajurit-prajurit kami."
"Bukankah gunanya prajurit untuk tewas di medan perang"" "Tidak sepenuhnya demikian, Yang Mulia. Munculnya Arok kami rasakan semakin mengkhawatirkan. Pasukannya semakin lama semakin besar, dan prajurit asli Tumapel semakin berkurang juga. Jelas dia membiayai sendiri pasukannya" "Apakah Yang Mulia Akuwu tidak mengetahui"" "Yang Mulia Akuwu terlalu memperhatikan dan mengharapkan tercapainya kemenangan at
as kaum perusuh, secara me-nyolok membiarkan Arok berkembang menjadi lebih kuat. Pada suatu kali. Yang Mulia, bila kerusuhan itu telah padam samasekali, Sang Akuwu akan menghadapi lawan yang berada dalam lindungannya sendiri."
"Tentu semua itu pikiran Empu Gandring, bukan, Kebo""
"Empu Gandring dan semua tamtama, ya, Yang Mulia."
"Juga mereka sebagai prajurit tidak ingin tewas di medan pertempuran, bukan""
"Tewas bukan tujuan kami. Yang Mulia, tujuan kami adalah menang atas musuh-musuh Tumapel, musuh-musuh Yang Mulia Paramesywari."
"Juga itu pikiran Empu Gandring dan para tamtama""
"Demi Yang Mulia Paramesywari."
"Terimakasih. Dari semua musuh Tumapel itu, Kebo, yang mana kalian anggap paling berbahaya""
"Yang Mulia, dari semua itu Yang Mulia sendiri sekarang yang menentukan Kami dari gerakan Empu Gandring hanya dhar-ma melaksanakan untuk Yang Mulia."
"Baik, kau boleh pergi."
Belakangka merasa puas dapat menggenggam pasukan kuda Tumapel di dalam kekuasaan Kediri. Dalam waktu belakangan ini utusan-utusannya tak pernah mengalami gangguan atau hilang di tengah jalan. Ia selalu perintahkan utusan menempuh jalan utara yang bercabang-cabang, sehingga pencegatan dan penyusulan lebih mudah dapat dihindari, kecuali bila benar-benar terpergok.
Ia telah berhasil melumpuhkan Sang Patih dan para Menteri. Mereka tinggal menjadi boneka-bonekanya yang patuh. Ia dapat mengikuti dengan cermat kejatuhan Tunggul Ametung sebagai satu-satunya sudra terkuat dalam kekuasaan Kediri, karena hanya mengandalkan kekuatan belaka, kini merosot jadi kilang-perang, yang tidak mengetahui ke mana jurus perkembangan dari semua ini.
Ia telah mengisyaratkan pada Kediri agar sudra terkuat yang seorang ini digantikan oleh seorang satria, dan bahwa waktu untuk itu telah hampir sampai. Bila kerusuhan-kerusuhan telah dapat dipadamkan Tunggul Ametung sudah akan sangat lelah, dan keluarga Sri Baginda dengan mudah akan dapat ditempatkan di Tumapel.
Tentang Arok ia mempersembahkan, bahwa jago Lohgawe memang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda berbahaya. Ia mempunyai cara-cara perang yang sampai sekarang belum dapat difahami. Tetapi untuk memusnahkan seorang sudra sebelum mendapatkan bentuk kekuatannya yang mantap bukanlah suatu hal yang terlalu sulit.
Perbedaan antara Tunggul Ametung dan Arok memang kentara, walaupun dua-duanya muncul dengan cara yang sama. Yang pertama memeras teman-teman seperjuangannya yang terpercaya sampai semua tumpas dalam pertempuran-pertempuran dan menggantikannya dengan anak-anaknya sendiri, yang kedua memeliharanya.
Belakangka telah menemukan cara untuk menghadapi Arok sekiranya memang berhasil dapat memadamkan semua kerusuhan. Ia akan pergunakan Kebo Ijo.
Ia telah mengurus pengesahan silsilahnya yang ternyata benar tanpa setitik pun pemalsuan. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Tumapel. Ibunya anak seorang pengusaha pengangkutan air, yang menghubungkan Kutaraja dengan Hujung Galuh. Ia berumur sepuluh atau sebelas tahun waktu gerombolan Tunggul Ametung mulai menyapu desa demi desa, mengerahkan penduduknya menjadi prajuritnya dan menguasai seluruh Tumapel. Waktu itu ia masih bernama Langi. Ia kuasai lalulintas air dan darat antara Tumapel dengan Kediri baik dari selatan maupun utara. Perusahaan nenek Kebo Ijo gulung tikar. Dan bukan hanya itu, bapak Kebo Ijo, Kebo Delancang, seorang perwira Kediri, telah ditumpas bersama pasukannya oleh Langi di desa Gledug.
Kediri mengakui Kebo Ijo seorang dari kasta satria. Tunggul Ametung tidak menggubris.
Ia akan tampilkan satria ini untuk menghadapi Arok, dengan segerobak janji indah. Dan ia tidak tahu, juga Empu Gandring telah memilihnya untuk jadi bidak bagi gerakannya. Kastanya akan membikin ia berapi-api menghadapi si sudra Langi Tunggul Ametung. Tetapi ia belum lagi mulai mendekati satria yang tidak diakui itu. ia masih harus menunggu gerakan pembersihan di selatan.
Kalau Tunggul Ametung tewas sekarang ini, keadaan akan menjadi sulit, karena seluruh Tumapel akan terlibat dalam perkelahian semua orang lawan semua orang. Dan itu berarti hilangn
ya pengaruh dan kekuasaan Kediri. Ia sendiri terpaksa juga harus menyingkirkan diri.
Kalau Tunggul Ametung keluar sebagai pemenang, kaum perusuh di selatan dapat dikalahkan, tindakan pertama Sang Akuwu adalah menghadapi Arok. Antara keduanya harus terbit suatu permusuhan yang terkam-menerkam, dan Arok harus kalah dan Tunggul Ametung dalam keadaan lemas tanpa daya.
Kalau Sang Akuwu kalah di selatan, dan sumber emas itu lenyap, ia akan pulang sebagai seorang tanpa arti tanpa kekuatan. Tak mungkin lagi ia dapat membiayai balatentara dan rumah tangga pekuwuan. Dan kalau dalam keadaan seperti itu Arok tewas, pada waktu itu ia akan munculkan Kebo Ijo ke atas panggung.
Tewasnya Kidang Handayani baginya suatu pertanda baik bagi semua rencananya.Tewasnya Kidang Telarung memberinya keyakinan yang lebih kuat.
Ia menunggu apa yang akan terjadi hari ini.
Betapa penuh kejadian Tumapel ini...
Orang-Orang melingkari Hayam Lumang, mengangkat tombak masing-masing untuk melumatkannya. Jangan," tegah Arok.
Tak rela kami Pimpinan Tertinggi dilukai dan difitnah."
"Bangunkan dia dari pingsannya," perintahnya. Seseorang menyiramkan air pada tubuhnya. Hayam bergerak, kemudian duduk. "Bangun kau!"
Hayam melompat bangun, menyedari keadaannya. "Berikan tombak padanya."
Seseorang memberikan tombak, tapi ia menolaknya.
"Berikan pedang padanya."
Juga ia menolak menerima.
Arok melemparkan semua senjata pada dirinya:
"Hanya dengan tangan. Baik. Ayoh serang aku!"
Dan Hayam Lumang, tidak juga menyerang.
"Telah aku berikan kesempatan padamu mendapatkan maut yang terhormat, dan kau menolak. Kau memilih yang hina" Tidak menyesal sebagai orang bekas warok""
"Pada saat yang terakhir ini, Arok, biarlah aku tetap menghormati dan mencintaimu. Kau telah memberikan padaku gambaran dari seorang yang patut aku ikuti sampai mati. Adapun sisa emas kita aku simpan di tempat ayahku. Ambillah itu. Tak ada sedikit pun yang kurang. Arok, jangan hinakan bekas teman dan sahabatmu ini. Berilah dia kehormatan pada saatnya yang terakhir."
Arok menarik pedang dari pinggang seorang prajurit dan menghantamkannya pada dada Hayam Lumang sehingga belah, dan darah menyembur dari jantungnya.
Kematian Hayam sungguh-sungguh menggocangkan pasukan Arok yang sudah berhimpun kembali jadi satu iru. Banyak yang memberengut karena kemurahan tidak dilimpahkan pada si bersalah yang mengakui segala-galanya dan menyatakan cinta dan hormatnya pada pimpinannya. Orang mulai berbisik-bisik menyatakan tidak puas.
"Siapa tidak setuju"" tiba-tiba Arok berbalik dan bertanya. "Siapa yang punya anggapan Arok kejam" Tidak ada" Lihat, jangan kalian terpesona pada kata-katanya yang terakhir, pada waktu dia jadi sadar kembali karena sudah tidak punya kekuatan. Bukan ucapannya yang terakhir yang menjadi nilai dari seluruh dirimu. Laku durjana pada semua temannya adalah dosa yang tidak terampuni. Selama ada senjata pada kita seperu ini, kita adalah satria, sekalipun tidak karena kasta."
Orang menunduk mendengarkan, dan sunyi-senyap perkubuan itu.
"Jangan ada yang sentuh dua mayat ini. Separoh dari pasukan yang aku bawa, bergabung kalian dengan bekas pasukan Hayam, lepaskan pakaian tentara Tumapel. Aku dan sisanya nanti yang harus kalian kejar."
matahari telah mulai condong ke barat waktu pengintai memberitakan kedatangan pasukan Tunggul Ametung sendiri.
"Bersorak semua, bersorak perang!"
Hutan itu bergema-gema dengan sorak perang gemuruh. Arok mengangkat tangan dan semua berhenti:
"Kejar kami nanti sampai seberangi jalan negeri memasuki padang rumput. Bila buntut barisan sudah juga memasuki padang rumput, kami mulai berbalik, dan lari kalian kembali kemari, lari terus dan seberangi Brantas. Jangan lupa."
Sorak-sorai menggemuruh lagi. Mereka bersorak dan minum, minum dan bersorak.
Pengintai memberitakan pasukan Tunggul Ametung semakin mendekat, disusul oleh pasukan lain. Mereka berhenti bersorak.
Pengintai memberitakan munculnya pasukan ketiga. Mereka tertawa-tawa membayangkan pertempuran aneh yang akan terjadi.
"Hanya Arok kita kepala pasukan yang tidak pernah naik kuda," seseorang memperingatkan. "Kita harus sediakan kuda," seseorang menjawabi. "Ayoh, sorak lagi."
Pasukan Tunggul Ametung semakin jauh meninggalkan jalan negeri menuju ke perkubuan. Mereka semakin mendekat, tinggal jarak seribu depa, lima ratus depa, dua ratus depa.
"Lari!" perintah Arok.
Pasukan Arok lari terbirit-birit meninggalkan perkubuan Tak lama kemudian di belakangnya memburu pasukan bercawat. Yang mengejar bersorak-sorai, yang dikejar membisu, lari cepat membutuhkan pertolongan dari balatentara yang datang.
"Kembali!" pekik Arok memperingatkan Tunggul Ametung.
"Pengecut!" balas Tunggul Ametung.
"Pasukan sahaya rusak, Yang Mulia."
"Menyingkir!" Pasukan Arok menggabungkan diri pada Tumapel. Dalam barisan lebar pasukan pemburu itu menerjang pasukan Tunggul Ametung, melingkar dan mendesak, kemudian berbaur dalam kancah pertempuran.
Anak buah Arok berteriak-teriak menganjurkan mundur, menurunkan semangat tentara Tumapel:
"Lari!" "Mundur!" "Lari!" "Mundur!" dan terus juga lari meninggalkan gelanggang ke arah jalan negeri.
Arusnya akhirnya diikuti juga oleh pasukan Tunggul Ametung, sehingga Akuwu itu kehilangan kekuatan. Tubuh pasukannya tak dapat digerakkan. Akhirnya ia sendiri juga berbalik, lari lebih cepat dengan kudanya.
Arus pelarian itu kemudian menenang juga pasukan yang sedang mendatangi, membawa serta dengannya prajurit-prajurit Tumapel. Arus itu semakin lama bertambah semakin tebal, menerjang dan menyeret serta pasukan buntut. Lari lurus ke utara, sampai di jalan negeri.
Pasukan Arok mendahului melintasi jalan dan memasuki padang rumput di sebelah utaranya lagi. Dan pasukan pemburu itu mengejar lebih gencar. Mula-mula balatentara Tumapel bersiap hendak menikung ke timur, tetapi pasukan Arok pura-pura tidak tahu dan terus juga lebih dalam memasuki padang rumput. Prajurit-prajurit Tumapel yang di belakangnya dengan sendirinya mengikuti.
Waktu para pengejar juga mulai memasuki padang itu tiba-tiba Arok memberi perintah pada pasukannya untuk berbalik dan menghadapi para pengejar. Tunggul Ametung ikut berbalik mengikuti.
Para pengejar kini dalam kejaran, lari kembali menuju ke perkubuan semula. Pertempuran sambil lari itu menjatuhkan kurban pada tentara Tumapel karena pasukan Arok menggunakan kesempatan ini menyerang mereka secara tersembunyi.
Dan matan hampir tenggelam.
Mereka yang telah kehabisan nafas pada menyingkir ke pinggir kuatir terinjak-injak.
Para perwira dan tamtama yang memperhatikan gerakan perang yang aneh itu sebagian mengagumi Arok, dan ada yang mencurigai-Tapi tak urung mereka lari mengejar memasuki hutan.
Hujan jatuh dengan derasnya, dan keadaan dalam hutan semakin muram. Jalanan yang habis terinjak-injak oleh yang dikejar terlalu licin bagi para pemburunya. Namun mereka memasuki juga perkubuan yang kosong dan tidak mampu meneruskan pengejaran.
Api unggun dinyalakan dalam hujan itu dan pemeriksaan kubu dilakukan oleh Tunggul Ametung. Ia memerintahkan memperbaiki semua perkubuan. Waktu ia mendapatkan mayat Arya Artya, Arok yang membawakan obor damar. Akuwu itu memeriksa muka mayat itu, meludah ke tanah dan bergumam: "Kau tahu siapa dia"" "Tahu, Yang Mulia, Arya Artya." "Mayat siapa yang lainnya""
"Hayam Lumang, pemimpin perusuh di selatan ini" "Siapa yang membunuh mereka"" "Pasukan sahaya dalam penyerangan pertama." "Mengapa engkau lari""
"Dari seberang Brantas mereka mendatangkan terlalu banyak balatentara."
Para Kidang dan tamtama mengawasi Arok dengan pandang tajam.
"Mengapa hanya Arya Artya dan kepala perusuh yang mati""
"Mereka membawa lari korbannya."
"Mereka yang dua ini tak dibawa lari""
"Sahaya tidak tahu alasan mereka. Barangtentu suatu pancingan yang jahat."
"Apa maksudmu dengan pancingan yang jahat""
"Dapat diduga mereka akan lakukan serangan di malam hari," jawab Arok. "Maka hanya ada dua kemungkinan, meninggalkan tempat ini atau terus mengejar."
"Kami akan tinggal di sini. Kau menjaga tepian Brantas." "Pasukan kami tidak mencukupi, Yang
Mulia." Tunggul Ametung tidak menggubris. Arok dan pasukannya berangkat pada saat itu juga. Ia tahu Tunggul Ametung takut diserang oleh pasukan perusuh lain yang menyerang pertama. Ia membutuhkan penginapan dengan penjagaan yang kuat.
Hujan mulai reda waktu pasukan Arok sampai di tepi Brantas. Ia panggil Lingsang, pemimpin baru pengganti Hayam, dan memerintahkan padanya untuk mengirimkan urusan pada Tanca agar menyerang tentara Tumapel sebelum mereka sarapan menjelang matahari terbit. Ia panggil kembali semua pasukannya dari seberang dan minta seperempat dari jumlah bekas pasukan Hayam.
Sebelum matahari terbit tentara Tumapel telah bergerak meninggalkan perkubuan. Sebuah gelombang besar perusuh melanda dari jurusan barat, seakan-akan dari Kediri. Perkelahian yang seru segera terjadi.
Sebelum berangkat pasukan Kidang Gumelar telah diperintahkan oleh Tunggul Ametung untuk menikam pasukan Arok yang berjaga di tepi Brantas dari belakang. Tetapi serangan mendadak telah mengubah pikiran Tunggul Ametung. Seorang utusan berkuda telah diperintahkan memanggil kembali, dan memanggil semua pasukan Arok untuk membantu.
Jarak antara perkubuan dengan pinggir Brantas di selatan tidak sampai seribu depa. Utusan susulan itu tak dapat memburu. Kidang Gumelar telah mulai menyerang dengan tiba-tiba, tanpa mengetahui, pasukan Arok telah berkembang lebih besar daripada sebelumnya.
Arok selalu mencadangkan kemungkinan akan datangnya usaha pemusnahan dari Tunggul Ametung. Sang Akuwu tidak pernah rela melihat segala sesuatu yang bersifat Syiwa. Dan pasukan Arok hampir seluruhnya orang Syiwa.
Kidang Gumelar bersorak sorai menyerbu dan segera ditadahi dengan lebih gencar. Pertempuran dalam hutan tanpa lapangan itu menguntungkan pasukan Arok yang biasa bergerak dalam hutan. Kidang sendiri memberi aba-aba dari atas kudanya tanpa maju menyertai pasukan. Akhirnya ia berada di buntut barisan.
Pasukan Arok menghindari serangan dan melingkar ke belakang. Kidang Gumelar dirunduk dari belakang dan ditangkap hidup-hidup dan kudanya dirampas. Pasukan itu kemudian mendesak tentara Tumapel dari punggungnya. Mereka lari sampai ke Brantas. Sebagian menceburkan diri, mencoba menyeberang menyelamatkan kulitnya masing-masing. Dan di seberang sana ditadahi oleh pasukan Lingsang.
Utusan berkuda itu berseru-seru menyampaikan titah Sang Akuwu untuk menyelesaikan pertengkaran, dan menarik semua pasukan untuk membantu pertempuran di dekat jalanan negeri.
Arok memerintah binasakan utusan itu. Tamtama itu terbalik dari kudanya dengan pinggang tertembus tombak.
Ia kumpulkan semua anak buahnya dan memerintahkan agar lebih waspada terhadap penikaman Tunggul Ametung dari belakang.
Barisan itu meninggalkan tempat pertempuran menuju ke jalanan negeri. Arok berjalan di depan di atas kuda Kidang Gumelar. Dan Kidang itu sendiri terikat tali digiring di buntut pasukan. Wakil Arok dalam pasukan, Handanu, mengiringkan di belakangnya di atas kuda bekas utusan, membawa panji-panji pasukan berwarna hitam kuning.
"Di depan!" perintah Arok. "Naikkan tinggi-tinggi panji itu, dan serukan kedatangan Arok." Ia menengok ke belakang, "dan semua kalian, perkeras seruannya!"
Pasukan itu seakan bukan meninggalkan perkelahian yang habis dimenangkan, tapi dari asrama untuk berparade, dengan setiap prajurit berseri-seri penuh kepercayaan diri dan kepercayaan pada pimpinannya.
"Pasukan Arok datang!" pekik Handanu. "Pasukan Arok datang!" teriak seluruh pasukan. Panji itu diangkat tinggi. Hutan itu makin lama makin tipis kemudian muncul pertempuran besar di hadapan mereka.
Handanu melengking dan pasukan Arok meraung. Panji diangkat-angkat tinggi.
Arok memacu kudanya seakan hendak menyerbu memasuki medan pertempuran. Pasukan Tanca dan Umang memecah diri kemudian melarikan diri ke jurusan Kediri.
Serangan kilat mendadak itu banyak menumbangkan tentara Tumapel yang berjalan beriringan keluar dari jalanan sempit tanpa mendapatkan medan yang cukup luas untuk bertahan. Mayat bergelimpangan terkena semburan panah cepat pasukan Umang.
Tunggul Ametung berbali k menunggu kedatangan Arok dan pasukannya. Matanya membeliak melihat dua kuda Tumapel dipergunakan oleh Arok dan pembawa panjinya. Dan Arok langsung datang ke depan Tunggul Ametung, tidak turun dari kuda dan menatap Tunggul Ametung.
"Kau bukan perwira, tak berhak menaiki kuda itu." "Lihatlah, Yang Mulia, sahaya terikat pada persetujuan untuk menjaga keselamatan Yang Mulia Akuwu. Yang Mulia Paramesywari dan Tumapel," Arok berkata dengan suara lantang.
Handanu dari atas kudanya memberi isyarat pada pasukannya untuk segera maju mendekat. Juga ia tidak turun dari kuda.
"Kalau bukan karena persetujuan itu, pengkhianatan dari Yang Mulia terhadap pasukan sahaya, akan sahaya jawab dengan pedang, langsung pada Yang Mulia."
Tunggul Ametung menggigit bibir.
"Janganlah Yang Mulia lupa, yang Yang Mulia hadapi adalah Arok. Lihatlah pasukan sahaya," katanya dengan suara lebih keras. "Setiap saat bisa lindas semua tentara Yang Mulia. Tetapi itu bukan tugas Arok dari Yang Suci Dang Hyang Lohgawe." Tunggul Ametung belum juga mendapatkan kepribadiannya. "Pasukan Tumapel di bawah Kidang Gumelar telah sahaya tumpas dalam beberapa bentar." Ia berpaling, "bawa sini pelaksana pengkhianatan itu."
Kidang Gumelar dihadapkan pada Tunggul Ametung, terikat dengan tali rotan.
Kidang Gumelar berjalan menunduk mendekati ayahnya. Secepat kilat Tunggul Ametung melompatkan kudanya dan menerjang anaknya sehingga menjelempah di tanah. Ia turun dari kudanya dan mengayunkan pedang pada lehernya, putus jadi dua. Ia naik lagi ke atas kuda sambil meludah. Arok tak menggerakkan kudanya dan Akuwu menghampiri. "Jangan Yang Mulia menyangka, bahwa dengan tindakan itu Yang Mulia dapat menutupi pengkhianatan Yang Mulia."
Panji di tangan Handanu memberi isyarat agar semua pasukan bersiaga untuk berkelahi.
"Yang Mulia belum juga menjatuhkan titah. Maka, sedang pasukan sahaya sudah bersiaga begini, sahaya ingin mendapatkan penegasan: adakah persetujuan dengan Yang Suci Dang Hyang Lohgawe masih Yang Mulia hormati atau tidak" Bila tidak, sekarang juga tidak ada kewajiban kami terhadap Yang Mulia." "Sabar, Arok."
"Sahaya tahu, Yang Mulia menghendaki jiwa sahaya. Bukan lagi persoalan sabar, Yang Mulia, tetapi hidup dan mati. Sahaya dan pasukan sahaya sama sekali tiada punya keberatan untuk menyelesaikan pertengkaran sekarang pun dan di sini pun."
"Semua adalah karena salah terima perintah, Arok."
"Kalau demikian halnya Yang Mulia tidak perlu membungkam mulut Kidang Gumelar dengan pedang."
Para Kidang pucat melihat nasib saudaranya. Dan seluruh balatentara Tumapel yang belum lagi sembuh terkejut dari serangan mendadak yang cepat menggelombang itu terpukau melihat Arok, seorang prajurit yang baru dua bulan di Kutaraja telah berani demikian garang terhadap Sang Akuwu.
"Mari, iringkan aku pulang ke Kutaraja."
"Sahaya masih menunggu jawaban. Biar semua mendengar dan tahu apa yang sedang terjadi."
"Aku menghormati persetujuan dengan Dang Hyang Lohgawe."
"Bagaimana penilaian Yang Mulia terhadap pekerjaan sahaya dalam gerakan pembersihan daerah selatan ini""
Tunggul Ametung melihat pada pasukan Arok. Ia tahu pasukan itu tidak lebih sedikit, sebaliknya.
"Tak ada di antara pasukanmu yang berkurang," katanya. "Hanya balatentara Tumapel mengalami rusak," ia mengerutkan gigi, kemudian berbalik, "kawal aku sampai ke Kutaraja."
Dengan muka masam Tunggul Ametung bergerak maju dan dengan lambai tangan memerintahkan tentaranya berangkat, meninggalkan semua korban yang bergelimpangan.
Tentara Tumapel bergerak, berjalan melangkahi bangkai-bangkai temannya dan tidak memahami keadaan baru yang datang mendadak itu. Mereka mulai kehilangan semangat tempur dan kegairahan.
Memasuki Kutaraja hari telah sore.
Pasukan Arok mendapat perintah dari pemimpinnya untuk memekikkan sorak kemenangan. Sorak itu bertalu-talu, tapi barisan di depan Tunggul Ametung tak berani menyambut Orang-orang keluar dari rumah masing-masing untuk menonton.
Seluruh balatentara itu berhenti di depan pekuwuan. Tunggul Ametung dalam iringan Arok dan Handanu menai
ki tangga dalam sambutan Ken Dedes yang nampak cantik jelita, yang Suci Belakangka, Sang Patih dan para Menteri. Di depan pekuwuan pasukan Arok masih juga memekikkan sorak kemenangan. Tetapi tentara Tumapel tetap tak berani menyambut. Mereka gelisah, melihat Arok muncul lebih unggul daripada Tunggul Ametung.
Ken Dedes membawa suaminya naik ke pendopo yang telah digelari dengan hidangan, daging babi dan kambing, karena kaum Wisynu menurut adat tidak makan daging hewan yang membantu pertanian.
Akuwu itu tidak duduk di pendopo, langsung masuk ke Bilik Agung. Dengan demikian Paramesywari menjadi protokol penjamu para pimpinan balatentara yang pulang membawa kemenangan.
Arok turun dari pendopo dan memanggil semua pimpinan, memerintah para prajurit pulang ke asramanya masing-masing.
Tengah malam setelah upacara Akuwu memanggil Yang Suci dan menceritakan segala yang telah terjadi di selaun, kecuali pembunuhan yang dilakukannya sendiri atas Kidang Gumelar. Dimintanya Belakangka berangkat menghadap Sri Baginda untuk memohon bantuan balatentara, semua atas tanggunganTumapel.
"Tetapi Yang Mulia," jawab Belakangka, "bila balatentara Kediri datang, bukankah itu merupakan ancaman terhadap kedudukan Yang Mulia sendiri" Bukankah dalam upacara pengangkatan Yang Mulia dulu ditentukan, Yang Mulia akan menjabat kedudukan dan pangkat selama Yang Mulia dapat mempertahankan Tumapel""
Belakangka tidak menduga, bahwa perkembangan telah mencapai puncak baru. Kini ia baru mengerti mengapa hanya pasukan Arok saja dari seluruh balatentara yang bersorak-sorai. Tetapi ia pun tetap waspada terhadap kecerdikan Tunggul Ametung.
Jangan-jangan Akuwu sengaja menggiringnya ke Kediri untuk dibuatkan kecelakaan dan dengan demikian Kediri akan kehilangan keterangan tentang Tumapel.
"Kediri berkewajiban untuk memberikan perlindungan setelah sekian lama Tumapel mempersembahkan upeti. Bukankah Tumapel kawula Kediri dan bukan budak""
"Yang Mulia, terlalu keras kata-kata itu terdengar, dan bisa membangkitkan murka Sri Baginda."
"Yang Suci, inilah permohonan terakhir dan tergawat dari Akuwu Tumapel pada Yang Suci. Aku tak melihat ada jalan lain."
"Baik, beri Bapa ini satu regu pasukan kuda."
"Yang Suci akan mendapatkannya besok pagi."
Keesokan harinya ia berangkat dengan kereta dalam pengawalan satu regu pasukan kuda. Tetapi ia tidak melanjutkan perjalanan ke Kediri. Ia berhenti di desa Sumberpetung. Dua orang kepercayaannya diperintahkannya meneruskan perjalanan untuk mempersembahkan pada Ram Angabaya, bahwa keadaan Tumapel gawat, tetapi belum membutuhkan bantuan balatentara. Ia bermaksud tinggal di sana sambil memata-matai Sang Akuwu dan Arok.
Lewat tengah malam ia menjatuhkan perintah agar pengawalan pekuwuan dipegang langsung oleh Kebo Ijo dan pasukannya, dan melarang prajurit lain di luar kesatuannya menginjak kawasan pekuwuan. Setelah itu dengan pengawalan kuat ia pergi ke pura untuk melihat abu dan mayat putra-putranya.
Mula-mula ia menghampiri guci batu tempat abu dan mengheningkan cipta. Kemudian pada mayat yang terbaring di bawahnya tertutup beberapa lembar kain. Ia buka penutup mukanya dan di bawah sinar damar nampak olehnya kebiruan muka mayat itu.
Tiba-tiba ia menengadah, kemudian kembali meneliti warna mayat yang biru, dan mendadak menutup mukanya dengan dua belah tangan dan menangis tersedu-sedu.
Ia mengerti Kidang Telarung mati karena pengkhianatan, karena peracunan. Ia bangkit berdiri dan mengangkat pedangnya, lari masuk ke pekuwuan dan mendapatkan Dedes sedang nyenyak tidur. Dengan muka masih basah karena airmata ia bangunkan Paramesywari dan berbisik terputus-putus:
"Tolong aku." Dedes buru-buru turun dari ranjang dan meneliti wajah suaminya. Kemudian: "Katakanlah, Kakanda."
"Uruslah agar pasukan Kebo Ijo sekarang juga ditarik dari pekuwuan. Ganti dengan pasukan lain."
"Pasukan siapa yang Kakanda lebih percaya""
"Barangkali salah seorang di antara para Kidang."
"Bukankah semua mereka sedang berkabung"" Melihat Akuwu ragu-ragu dan gugup, ia meneruskan, "Apakah kesalahan Kebo Ijo" D
ia seorang satria, lebih patut mendapatkan kehormatan ini."


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Singkirkan dia dari pekuwuan. Pergilah. Urus dengan para Menteri."
"Siapa kemudian yang mengawal aku" Bukankah prajurit-prajuritnya juga""
"Biasanya kau ... bukankah kau seorang dewi kebijaksanaan" Segeralah," katanya tanpa daya.
Dan Dedes pergi meninggalkan Bilik Agung.
Tunggul Ametung duduk di peraduan dengan pedang telanjang di sampingnya. Ia menyedari kini: balatentara Tumapel tak lagi dapat dipercaya, bukan lagi andai-andainya. Sementara itu ia membenarkan sikap Dedes yang menolak pembantu dan pengawal Bilik. Bila tidak mungkin sudah lebih dahulu seseorang mengkhianatinya sewaktu tidur.
Seorang demi seorang di antara para kepala pasukan ia jajarkan di hadapan mata batinnya. Para Kidang yang pertama-tama tak dipercayainya karena perkawinannya dengan Dedes. Pasukan kuda makin lama makin dekat pada Belakangka, dan Yang Suci merasa lebih aman dalam pengawalan mereka. Arok" Dengan terang-terangan ia telah nyatakan sikap padanya, telah berani menghadapkan pasukannya pada balatentara Tumapel di tengah medan pertempuran.
Kebo Ijo" Ia yakin Kidang Telarung dibunuh oleh pasukannya, olehnya sendiri atau oleh suruhannya. Ia sebagai satria yang tidak pernah diakui, dia mempunyai alasan. Ia masih muda dan dengan kematian itu mungkin menganggap lebih dekat pada haknya atas Tumapel daripada para Kidang. Ingin ia membina-sakannya, tapi kini ia belum berani, belum mengetahui betul kekuatan yang di belakangnya. Namun ia akan menghancurkannya.
Padanya sekarang tinggal Dedes, yang tidak dimusuhi oleh siapa pun, kecuali barangkali oleh para selir saja dan istrinya.
Dan balatentara Kediri" Bila datang" Ia tahu kedudukannya akan terancam, tetapi jiwanya akan selamat, juga hartanya, juga Paramesywarinya. Ia harus yakin: semua kesulitan tak lain daripada bea untuk anak kebesaran yang bakal lahir.
"Kau menang, Dedes!" bisiknya meratapi kedudukannya yang tidak menentu.
Ia merasa sangat, sangat lemah, tanpa penunjang begini. Ia harus pergunakan Dedes untuk menyelamatkan dirinya ....
Dengan mempersiapkan segala-gala dalam pikirannya ia datang ke asrama Arok.
Dan para kemit tidak mengijinkan ia masuk sebelum mendapat perintah dari Arok sendiri. Para pengawal dari pasukan Kebo Ijo bahkan mereka tahan.
Arok keluar untuk menyambutnya. Untuk pertama kali di depan orang lain ia tidak mengangkat sembah.
"Bahkan Paramesywari tidak kau ijinkan masuk," protes Dedes.
"Silakan masuk, Yang Mulia," sambut Arok. "Siapa pun me-
mang tak dapat memasuki asrama ini kecuali Yang Mulia. Silakan."
Dan Paramesywari tidak masuk. Dalam Sansakerta ia sampaikan pada Arok tentang persembahan Kebo Ijo, dan perintah Tunggul Ametung untuk menggantikan pengawal pekuwuan.
"Dedes, anak Mpu Parwa, sampaikan pada Kebo Ijo untuk menemui aku dalam sebulan ini."
"Baik. Bagaimana tentang penggantian pengawal""
"Jangan pasukanku. Tunjuk olehmu yang lain saja. Kau akan dikawal malam ini oleh prajurit-prajuritku."
Ken Dedes pergi dalam pengawalan para prajurit Arok. Baginya tak ada lain yang didatangi kecuali pasukan Kidang. Dan ia menjatuhkan titah: Tanpa seorang Kidang.
Seorang tamtama segera menyiapkan pasukannya dan berbaris mengiringkan Paramesywari memasuki pekuwuan.
Ken Dedes memanggil Kebo Ijo dan memerintahkan masuk ke asrama pada saat itu juga.
"Apakah kesalahan sahaya, yang Mulia"" Kebo Ijo berkata dengan suara gemetar.
"Maju mendekat kau, Kebo!" perintahnya. "Apakah yang telah kau perbuat di selatan""
"Tiada sesuatu, Yang Mulia."
"Juga aku dengar Kidang itu tewas sebelum bertempur, dan pasukanmu yang menjadi saksi, atau lebih dari itu."
"Tiada seorang pun tahu tentang sebab sesungguhnya, Yang Mulia. Bukankah sebaiknya ada pemeriksaan teliti""
"Untuk itu seluruh pasukanmu tidak diperkenankan keluar dari asrama. Dan ingat-ingat," suaranya menjadi sangat pelahan, "Hitung harinya, dalam sebulan ini kau harus menghadap pada Arok."
Dengan kaki gemetar Kebo Ijo meninggalkan pekuwuan.
Malam itu juga prajurit-prajurit Kebo Ijo
yang ditahan oleh pasukan Arok dihadapkan pada Arok. Delapan orang itu dalam keadaan terlucuti duduk berbanjar di bawah sebuah damar besar "Siapa di antara kalian berdelapan mau menceritakan peristiwa kematian Kidang Telarung"" Seseorang mulai bercerita. "Baik. Aku percaya."
"Apakah peristiwa itu kalian anggap kecelakaan ataukah pengkhianatan""
"Bukankah sebaiknya Dalung yang menjawab""
"Apakah Dalung belum juga dipersembahkan pada Yang Mulia Paramesywari atau Akuwu""
"Sejauh kami ketahui, belum."
"Mengapa Kebo Ijo tak lakukan itu""
Tak berjawab. "Apakah Dalung pernah ditolak, kalian tolak, waktu hendak memasuki pekuwuan""
"Kami mendapat perintah melarang siapa pun masuk." "Selama kalian mendapat tugas kawal. Sebelum itu"" "Kami tiada tahu."
"Di sebelah mana Kebo Ijo waktu peristiwa itu terjadi"" "Di belakang Kidang."
"Baik. Ada terdengar desas-desus yang berasal dari kalian sendiri. Sewaktu membawa pulang mayat Kidang kalian tidak langsung ke Kutaraja.
"Langsung." "Jangan kalian lupa, kalian dalam kekuasaan pasukan Arok," dan Arok menyodorkan lodong tuak pada mereka. "Kalian datang lebih dulu dari kami. Kami sekarang sangat mengantuk. Minum, dan jangan tunda-tunda jawaban."
Mereka minum. "Benar" Langsung ke Kutaraja"" tanya Arok. "Jangan lupa, malah seorang di antara teman-temanmu bilang tidak, membelok ke sesuatu tempat untuk mencari petai hampa. Orang itu akan kami ungkap dan kami hadapkan pada kalian. Jangan lupa, kalian dalam tangan pasukan Arok."
mereka tidak menjawab. "Baik, kalian tak mau menjawab. Tentunya mau menerangkan padaku: apa arti petai hampa"" "Tak ada di antara kami berdelapan pernah mengucapkan itu. "Baik. Tidurlah kalian."
Mereka pergi- Arok duduk pada ambin asrama dan segera dikelilingi oleh enam orang pengawalnya. "Mereka harus mengaku, Pimpinan Tertinggi. "Mereka akan mengaku. Semua usaha mereka sia-sia. Mereka menganggap Kebo Ijo begitu besar kekuasaan dan pengaruhnya. Dalam percaturan Tumapel dia tidak berarti apa-apa." "Adakah Kidang benar dikhianati"" "Biar mereka yang menjawab nanti."
Malam itu juga ia jatuhkan perintah untuk memperketat pengawasan terhadap Empu Gandring dan Kebo Ijo.
Kemudian Arok berangkat tidur dengan pengetahuan yang pasti: Tumapel sudah ada dalam genggamannya ....
RAHASIA EMPU GANDRING Seperti anjing mendekati tuannya yang membawa tongkat pemukul Kebo Ijo datang pada Empu Gandring untuk mengadukan halnya.
"Tuan tidak pernah menceritakan sebelumnya," tegur Empu Gandring, "kalau telah bunuh Kidang Gumelar dari belakang. Perbuatan terkutuk itu yang menggagalkan semua rencana. Mengapa hanya seorang Kidang tanpa arti Tuan binasakan" Bukankah rencana semula Tunggul Ametung sendiri dan Arok" Kemudian menyerbu ke pendulangan emas Kediri."
"Ampuni sahaya."
"Sekiranya rencana pribadi terkutuk itu sudah sahaya ketahui sebelumnya, Tuan, tidak mungkin sahaya memberikan kepercayaan pada Tuan untuk bicara dengan Paramesywari. Sekarang sudah ada orang lain mengetahui tentang gerakan kita. Semua rencana kita gagal dalam tangan Tuan. Tuan terusir dari pekuwuan seperti bukan keturunan satria. Tuan tidak merasa tersinggung, bahkan kecut. Apakah seorang Kidang yang mengusir Tuan""
"Bukan Paramesywari!"
"Jagad Dewa!" "Dan perintahkan pada sahaya untuk menghadap Arok dalam satu bulan ini."
"Jagad Bathara!"
"Delapan anak buah sahaya telah ditahan oleh pasukan Arok dan belum juga dilepaskan sampai sekarang."
"Ah-ah, betul-betul kita dalam kesulitan, Tuan," Empu Gandring kemudian berkomat-kamit dan menyemburkan sirih ke lantai. "Panggil Dadung Sungging kemari, Tuan."
"Ada di depan," ia meninggalkan tuan rumah dan balik lagi membawa Dadung Sungging.
"Nah, katakan apa yang kau ketahui. Bukankah kau dari pasukan Kidang""
"Sahaya, Empu. Pertama-tama sibuknya orang dalam pekuwuan membicarakan matinya Kidang. Dalung telah dihalangi datang. Begitu ganti pengawal, Empu, seorang Kidang datang membawanya, memeriksanya di pura, dan langsung mengatakan: kematian tidak wajar, racun. Ia telah menemukan
tanda-tanda aneh bekas barutan kuku binatang dan luka setengah jari dalamnya di bawah pinggang."
"Itu tidak penting. Ucapan Paramesywari atau Akuwu yang aku butuhkan."
"Akuwu tidak lagi keluar dari pekuwuan. Juga tidak ke pura sejauh kami ketahui. Paramesywari setiap hari ke pura seperti biasa. Sekali sahaya dapat mencuri kesempatan bicara. Yang Mulia masih tetap mempercayai sahaya, berpesan, bahwa ia tidak mempercayai pasukan Kidang, dan mengharap sahaya dan teman-teman sahaya menjaga keselamatannya dengan baik." "Tidak membicarakan keselamatan Akuwu"" "Tidak, hanya dirinya sendiri." "Tak ada suara-suara tentang Arok atau aku"" "Tidak ada, Empu."
"Juga tidak tenung sesuatu yang bernama Gandring"" "Tidak, Empu." "Cukup."
Dan Dadung Sungging pergi. "Bagaimana sekarang Tuan"" unya Kebo Ijo.
"Tuan terlalu menyusahkan, tidak mendengarkan petunjuk."
"Sahaya memang sudah bersalah besar."
"Tetapi nanti sebagai Akuwu Tuan bisa mengulangi dan meli-pat-gandai kesalahan Tunggul Ametung. Barangkali Tuan sudah punya rencana mengusik-usik orang Syiwa pula. Tuan telah gagal dalam menumpas Tunggul Ametung dan Arok pada waktu mereka justru sedang terlena. Sebenarnya kebinasaan mereka akan bisa memunculkan Tuan di medan perang. Tuan tinggal berseru-seru: Inilah Kebo Ijo, semua kini aku ambil-alih. Sayang, Tuan, kesempatan itu Tuan sia-siakan."
"Berilah sahaya petunjuk bagaimana mesti bersikap terhadap Arok. Paramesywari telah menjatuhkan perintahnya."
"Lihat, tuan ternyata juga belum berhasil mempengaruhi Ken Dedes. Dia hendak menggunakan Tuan untuk jadi penghubungnya. Itu yang Tuan harus mengerti."
"Seluruh balatentara Tumapel telah sahaya persembahkan padanya."
"Tuan tidak bisa membuktikan kebenaran ucapan Tuan sendi-ri. Tuan menyingkir setelah diperintahkan pergi. Celakanya Tuan juga tidak menyedari itu suatu ujian dari Paramesywari."
"Jagad Dewa!" sekarang Kebo Ijo yang menyebut.
"Seorang satria seperti tuan semestinya tidak lakukan rangkaian kesalahan seperti itu."
"Baiklah. Sekarang, Tuan beri sahaya nasihat bagaimana hams menghadapi Arok keparat ini""
"Tuan nampaknya segan padanya."
"Segan"" Kebo Ijo tertawa sumbang. "Segan" Apakah arti Arok" Hanya karena titah Paramesywari sahaya harus datang padanya."
"Kalau segan, Tuan tak perlu datang padanya."
"Anak buah sahaya yang delapan" Mereka bisa berkicau di bawah lecutan cambuknya."
"Pulanglah Tuan. Biar sahaya pikirkan dalam beberapa hari ini. Sedang Tuan sendiri, seorang calon satu-satunya untuk Akuwu Tumapel, hendaklah belajar bijaksana."
Empu Gandring mengantarkan Kebo Ijo keluar pelataran rumahnya dalam iringan pengawalan yang kuat. Beberapa bentar kemudian mereka hilang ditelan kegelapan malam.
Menjelang tengah malam datang seorang tamtama, juga dalam pengawalan kuat. Tuan rumah sudah tidur waktu anjingnya menggonggong gila. Ia keluar untuk menjemput tamunya dan langsung membawanya masuk.
Anjing itu terus menggonggongi para pengawal. Tiba-tiba suaranya padam, dan tak ada seorang pun memperhatikan. Para pengawal itu duduk-duduk memunggungi rumah, dalam kegelapan malam.
"Berita celaka, Tuan," Empu Gandring memulai. "Kebo Ijo memang terlalu dungu, dan nama sahaya sudah terlanjur terbawa-bawa oleh si goblok itu."
"Seorang yang hanya cocok untuk umpan pertama, Tuan," tamtama itu menyetujui.
"Celakanya pula dia tidak berani menghadapi Arok."
"Sudah tercium desas-desus dialah yang membunuh Kidang Telarung. Memang hanya cocok untuk umpan pertama," tamtama itu menegaskan.
"Cuma dia satria di Tumapel, Tuan. Puh, negeri desa tanpa satria ini. Orang Kediri pun segan memasuki negeri ini. Bagaimana pun darahnya lebih mulia daripada Tunggul Ametung. Dengan keberanian dan kecerdikan dia bisa bangunkan negeri. Kebo Ijo ini cuma punya darah!"
"Kita lepaskan dia, Tuan. Bagaimana dengan senjata yang dijanjikan" Arok makin mendesak, sedang prajurit-prajurit angkatan baru itu tak punya sikap terhadapnya. Sahaya tidak mengerti sikap mereka. Seperti tidak peduli. Sikap yang tidak bisa ditebak justru yang bisa bikin sala
h hitung." "Mereka akan berpihak pada yang berani ambil tindakan dan menang. Tunggul Ametung mengunci diri dalam pekuwuan. Arok tidak akan mengambil tindakan. Ingat Tuan pada ucapannya di selatan" Dia terikat pada persetujuan antara Lohgawe, dan Tunggul Ametung membenarkan. Dia tidak akan berbuat sesuatu terhadapnya. Tindakan hanya bisa datang dari pihak kita."
"Jadi, bagaimana senjata yang dijanjikan""
"Gampang, Tuan."
"Sahaya ragu-ragu akan kegampangannya. Sudah lama besi tidak masuk ke Tumapel."
"Sebut nama Empu Gandring, dan gudang senjata akan terbuka."
"Berikanlah segera. Kita harus menghadapi Arok."
"Hanya setelah dapat sahaya pastikan waktunya. Kita belum lagi mencapai persetujuan tentang pembagian hasil yang akan dicapai. Demi Hyang Pancagina."
"Tuan, kita semua orang sudra."
"Hanya sahaya yang menentukan."
"Dan kekuatan Arok yang semakin merajalela""
"Tunggulah." Tamtama itu pergi dalam kawalan kuat. Empu Gandring mengiringkannya keluar. Waktu tamu sudah hilang dalam kegelapan Empu Gandring memanggil-manggil anjingnya. Binatang itu tidak menjawabi. Ia masuk ke dalam dan keluar lagi membawa damar. Binatang itu ia dapati mati terkena tikaman beracun. Ia angkat bangkai itu dengan satu tangan, dibawa masuk.
"Alamat tidak baik," bisikannya pada diri sendiri. "Memang Kebo Ijo keparat. Pantas ditembak dari belakang, hina tanpa sedikit pun kehormatan."
Ia letakkan bangkai itu di atas meja dan dipasangnya pedupaan di depan moncongnya, kemudian berbisik pada kuping bangkai itu: "Tim, kau yang sejak kecil aku pelihara, aku sayang dan aku manjakan, katakan padaku kapan waktunya aku harus gerakkan senjata yang telah di tangan ini. Kau, jangan sia-siakan jerih-payahku selama ini. Kau telah dengarkan aku."
Kutaraja setiap hari melihat para tamtama dan perwira dalam pengawalan besar. Orang menduga pertempuran akan meletus di ibukota. Tetapi tiada yang tahu antara siapa dengan siapa.
Hanya pasukan Arok tinggal tenang dalam asrama. Tetapi prajurit-prajuritnya yang berpakaian preman banyak berhamburan mengawasi segala perubahan yang terjadi. Pemasukan hasil laut tetap terhenti. Bahan makanan semakin sulit. Balatentara Tumapel tak mengijinkan penduduk mengungsi, takut mereka akan bergabung dengan para perusuh di luar kota.
Tetapi kiriman bahan makanan ke asrama pasukan Arok terus mengalir.
Waktu iring-iringan kiriman mulai diganggu oleh pasukan-pasukan lain, bahkan dirampas, Arok mulai memerintahkan mengeluarkan patroli. Kadang-kadang ia sendiri dalam iringan satu regu.
Dan penduduk ibukota, yang tidak mengerti seluk-beluk kegentingan, tidak berpihak pada siapa pun.
Mayat Kidang Telarung telah dibakar dalam upacara kecil di halaman pura. Bisik-desus semakin berkembang, dia mati dikhianati. Nama Kebo Ijo sebagai wakil kepala pasukan Kidang Telarung mulai dihubung-hubungkan orang dengan pengkhianatan itu. Namun mereka tidak dapat memahami kegentingan sekarang.
Belakangka kembali dari Sumberpetung dalam iringan pasukan kuda, seperti seorang akuwu. Dari desa itu ia telah kirimkan utusan ke Kutaraja minta tambahan pengawalan untuk dapat memasuki Kutaraja sebagai wakil Kediri dengan selamat tak kurang suatu apa
Ia masuki ibukota dengan keyakinan: dengan modal pasukan kuda ia akan dapat tegakkan kewibawaan Kediri, ia telah mendengar laporan dan mau-maunya tenung meruncingnya perselisihan antara Tunggul Ametung dengan Arok. Juga telah mendengar tenung kedudukan Kebo Ijo yang sulit: didesas-desuskan membunuh seorang Kidang dan diusir oleh Paramesywari.
Keretanya bergerak pelan-pelan menuju ke asrama pasukan Kebo Ijo.
Kunjungan itu membikin Kebo hidup kembali. Ia berlari-iarian menyambut, berbesar hati melihat barisan kuda yang meramahi pasukannya. Begitu Belakangka turun dari kereta ia segera berlutut, membersihkan kakinya dan mengangkat sembah.
"Semoga para dewa tetap melindungimu, anakku." Belakangka memulai, "aku hendak bicara sesuatu denganmu. Naiklah ke kereta, biar kita bisa bicara terang-terang."
Kebo Ijo mengangkat muka, menduga pasukan kuda datang untuk
menculiknya, dan: "Dengan kereta dalam iringan pasukan kuda begini, pengawal sahaya tentu tak dapat melindungi sahaya." "Apakah pasukan kuda kurang cukup kuat"" "Terlalu kuat terhadap sahaya, Yang Suci." "Patutkah kau mencurigai aku" Mari naik. Jangan buang-buang kesempatan sekali ini, kalau tidak, kau akan kehilangan untuk selama-lamanya."
Pikiran Kebo Ijo goyah. Tanpa menimbang-nimbang keselamatan dirinya ia iringkan Belakangka naik ke kereta. Kendaraan itu bergerak mengelilingi Kutaraja, sengaja dipamerkan bahwa ada kekuatan lain yang selama ini dilupakan orang.
Dalam berkendara berkeliling itu terjadi percakapan ini: "Sri Baginda telah memahami keadaan Tumapel sampai sekecil-kecilnya. Disimpulkan, bahwa perkembangan yang buruk ini bersumber pada satu sebab: Arok si Syiwa yang durhaka itu. Dia ternyata hanya alat dari Dang Hyang Lohgawe. Ucapan Arok di medan pertempuran itu jelas bersangkutan dengan kesetiaannya pada Lohgawe, bukan pada Sang Akuwu yang dilindungi oleh Kediri. Maka jalan yang terbuka dan pertama-tama hanya membinasakan brahmana terkutuk itu." "Yang Suci," Kebo Ijo megap-megap. "Memang tidak sembarang prajurit berani membinasakan seorang brahmana. Kau sendiri juga gentar. Hanya Tunggul Ametung berani lakukan itu Berani hanya karena bodohnya. Ajaran lama mengatakan: brahmana adalah semulia-mulia orang, karena dia di tempat terdekat pada para dewa. Tetapi Lohgawe bukan brahmana yang semacam itu. Dia mengusik semua orang di Tumapel, penghujat Hyang Wisynu dengan perbuatannya. Bagaimana pendapatmu""
"Sahaya hanya seorang prajurit, Yang Suci."
"Jadi kau tidak berani."
"Bukankah pada Yang Suci ada pasukan kuda""
"Untuk apa aku bicara denganmu" Tidakkah kau mengerti maksud-maksud Kediri atas dirimu""
"Aduh Dewa Bathara, sampai setinggi itu karunia dilimpahkan pada sahaya, Yang Mulia""
"Jangan sebodoh Tunggal Ametung."
"Tetapi tentang Dang Hyang Lohgawe itu. Yang Mulia, amit-amit, sahaya tiada keberanian sekarang dan kemudian."
"Tidak apa, kalau itu tidak mungkin. Kalau begitu tangan-tangan Lohgawe yang harus dipenggal - Arok, Kebo, anakku."
"Mengapa tidak langsung Tunggul Ametung, Yang Mulia""
"Jagad Dewa. Bagaimana kau bisa bicara begitu" Sang Akuwu masih dalam lindungan Kediri."
"Jadi untuk apa sahaya harus hadapi Arok""
"Masih kau tidak mengerti" Dengarkan: Kediri akan membantu Tumapel dalam tiga bulan ini bila kerusuhan tidak teratasi. Kini kegentingan pindah dari luar kota ke dalam kota. Semua ini disebabkan Arok, si keparat itu. Kalau dia mau, sekarang juga, dan Tumapel jatuh ke tangannya."
"Bukankah masih ada pasukan sahaya dan pasukan kuda""
"Pasukanmu" Tentu! Hanya kau terlalu ragu-ragu, atau mungkin terlalu hati-hati. Pasukan kuda hanya baik untuk perang terbuka. Dalam perkelahian awut-awutan yang bisa terjadi di ibukota, dia tidak berdaya, kecuali dengan kerjasama pasukan kaki."
Sahaya telah diperintahkan oleh Yang Mulia Paramesywari untuk mengunjungi Arok."
"Baik, bicaralah dengannya, jajagi keinginannya. Boleh jadi kau bisa tundukkan dia hanya dengan kata."
"Yang Suci..." Kebo megap-megap.
"Kau tidak percaya pada pasukanmu sendiri."
"Yang Suci, bukan begitu."
"Pasukan kuda akan membantu pengawalmu."
Mereka tidak memperhatikan mata penduduk yang melihat kereta dalam iringan pasukan kuda dengan pandang tidak peduli.....
Iring-iringan itu melewati pekuwuan dan asrama-asrama prajurit. Seperti telah diatur sebelumnya di depan asrama pasukan Arok di dekat pekuwuan pasukan kuda itu bersorak dan mengangkat tinggi-tinggi tombak mereka yang dihiasi dengan bendera warna-warni. Mereka sengaja melambatkan langkah, dan prajurit-prajurit Arok tidak menanggapi, juga tidak keluar untuk menonton.
"Lihat, pasukan Arok tidak menjawab pameran kita ini." Kebo Ijo melirik ke asrama Arok. "Perlihatkan dirimu di jendela." "Yang Mulia," Kebo Ijo megap-megap. "Ayoh, biar mereka tahu, pasukan kuda dan pasukanmu bersatu, dan di belakangnya adalah aku, Belakangka, wakil Kediri. Ayoh!" Ia dorong Kebo Ijo, memaksanya memperlihatkan diri di jendela kere
ta. "Ya," Belakangka memegangi pinggangnya. "Tinggal dulu di situ, biar mereka cukup mengenal kau. Apa yang kau takuti" Takkan bakal ada tombak menyambar batang tubuhmu." Belakangka masih juga memegangi pinggangnya. "Tersenyum menantang, kau! Dan mengangguk-angguk, seperti kau mengerti benar, Arok sudah menjadi takut padamu."
Karena Kebo Ijo hendak buru-buru menarik badan dari jendela, Belakangka menindas punggungnya dengan lutut. Dan pasukan kuda itu masih juga bersorak-sorak. Asrama Arok telah dilewati. Belakangka menarik lututnya dan melepaskan pinggang Kebo.
"Senyum kau tadi"" "Senyum, Yang Suci."
"Kalau tidak. kita terpaksa harus mengulangi sekali lagi."
"Senyum, Yang Suci, benar sahaya telah senyum."
"Baik, besok atau lusa pasukanmu dan pasukan kuda akan lakukan baris keliling kota."
"Yang Suci, ah, Yang Suci... Para Kidang, pasukan-pasukan lain... mereka akan gusar pada sahaya."
"Bukankah tidak ada perpecahan antara kalian""
"Para Kidang, Yang Suci!"
"Kau takut pada para Kidang karena telah membunuh seorang Kidang"" "Jagad Dewa, tidak, Yang Suci."
"Mengapa takut" Kalau begitu kau punya maksud jahat terhadap Tunggul Ametung."
"Demi Hyang Wisynu, tidak. Yang Suci."
"Mengapa kau takut kalau ada pada pihaknya" Bukankah kau jadi prajuritnya Sang Akuwu""
"Sahaya tidak tahu hati para tamtama. Mungkin ada di antara mereka yang..."
"Ya-ya, jadi ada di antara para tamtama yang hendak ingkar terhadap Sang Akuwu."
"Bukan begitu maksud sahaya, Yang Suci."
"Nah sekarang sebutkan siapa-siapa mereka..." "Ampun, Yang Suci, ampuni sahaya."
"Jangan takut. Bagi Kediri, yang terpenting adalah kesetiaan Tumapel pada Kediri. Tunggul Ametung tak berarti apa-apa. Kalau ada tamtama yang ingkar, aku tidak ambil pusing. Bahkan sekiranya dia digulingkan pun aku tidak peduli. Yang penting, akuwu baru harus tetap setia pada Kediri. Nah, sebutkan sekarang nama-nama mereka. Siapa tahu mereka dapat kau ajak sepakat" Jangan lupa, kaulah orang yang paling layak menguasai Tumapel. Kediri pasti akan membenarkan. Tak lain dari aku yang akan mempersembahkan ke Kediri."
"Yang Suci, betapa besar kasih Yang Suci pada sahaya."
"Tidak percuma telah kuurus pengesahan silsilahmu ke Kediri. Kau seorang Kebo, anak seorang Kebo. Nah katakan sekarang, siapa-siapa tamtama yang ingkar dan akan membantumu naik""
Kereta itu kini menjurus ke luar kota.
"Luar kota sekarang lebih aman," Belakangka menyisipi. "Ayoh katakan, jangan tunda-tunda keadaan yang baik ini."
"Yang Suci, Yang Suci!"
"Lihat pasukan kuda di depan dan belakangmu. Apa kau tak percaya pada kekuatan dan kelincahannya" Kelincahan, Kebo, lebih penting dari kekuatan. Dia lima kali lebih cepat daripada lima kali pasukanmu. Dengan pasukan kuda dan pasukanmu, kekuatan menjadi dua puluh enam kali. Kalau para tamtama itu menyokong kau, jelaslah singgasana akuwu itu menjadi milikmu. Baik, kau tak mau sebutkan nama-nama mereka. Pendeknya aku percaya ada para tamtama sebagaimana kau maksudkan. Bukan""
Dan Kebo Ijo tak berani menjawab.
"Jadi kedudukanmu sudah cukup kuat. Kau hanya gentar pada Arok. Sikapmu terhadap Paramesywari sungguh-sungguh tepat. Kau pergi dari pekuwuan tanpa menimbulkan onar. Hanya jangan gegabah bila hendak bergerak nanti. Beritahu aku. Dan jangan lupa, besok atau lusa, bariskan kekuatanmu mengelilingi seluruh kota, juga melalui asrama Arok."
Kereta itu kembali memasuki kota. Dan Kebo Ijo telah bermandi keringatnya sendiri.
Waktu kereta berhenti di depan asrama Kebo Ijo, Belakangka berbisik:
"Aku tahu kau membutuhkan emas, biaya semua keperluan itu. Ada kau modal""
"Secatak pun tiada, Yang Suci."
"Memalukan. Apa yang bisa kau gerakkan tanpa secatak pun" Datang nanti malam ke tempatku."
"Sahaya, Yang Suci. Betapa pemurah Yang Tersuci pada sahaya."
"Semua akan aku petaruhku pada satu-satunya Kebo di Tumapel."
"Bagaimana dengan Arok, Yang Mulia"" "Kita teruskan nanti malam."
Kebo Ijo turun dan Belakangka pulang ke istananya.
Malam itu juga tamtama itu datang menghadap dalam iringan pengawal ya
ng kuat. Belakangka menerimanya dengan gembira, langsung menyodorkan sebuah kantong berisi lima puluh ribu catak perak dan dua ribu saga emas.
"Kau akan mengembalikannya setelah berhasil, dan barang-tentu berlipat empat sebagai harga singgasana akuwu. Kau mengerti Kebo""
"Sahaya Yang Suci."
"Bersumpahlah."
"Demi Hyang Wisynu, sahaya akan kembalikan lima kali lipat setelah berhasil."
"Aku akan masih tetap wakil Kediri di Tumapel."
"Tanpa perlindungan Yang Suci sebagai wakil Kediri, sahaya bakal tiada daya."
"Setidak-tidaknya kau mengerti duduk perkara."
"Bagaimana dengan pasukan kuda, Yang Suci""
"Sepenuhnya dalam tanganku, tak perlu jadi pikiranmu."
"Bagaimana dengan pasukan Arok, Yang Suci""
"Untuk itu malam ini kita bertemu ..."
Ruang gerak Tunggul Ametung terbatas pada Bilik Agung dan Taman Larangan. Ke Pendopo pun ia tidak, ia tahu, kecuali di bidang ketentaraan, semua Ken Dedes yang mengurus. Juga menghadapi para Menteri, Sang Patih dan Yang Suci.
Ken Dedes menjadi bersemangat dengan pekerjaannya yang baru. Ia merasa trisula Mahadewa telah tergenggam dalam tangannya, juga cakra Hyang Wisynu.
Setelah memanggil Dalung dan mendapatkan persembahan tentang kematian Kidang Telarung, bahwa seseorang di belakangnya telah membunuhnya dengan anak sumpit beracun, ia perintahkan Kebo Ijo datang menghadap.
Dan Kebo Ijo tidak datang menghadap. Asramanya kosong.
Ia masuk ke Bilik Agung dan memberitahukan pada Tunggul Ametung, hendak menangkap Kebo Ijo. Juga memberitahukan asramanya kosong.
"Dia memegang pasukan bekas Kidang. Jangan gegabah menangkap dia."
"Dia harus diadili."
"Dia bisa ditangkap hanya kalau sudah bisa diceraikan dari pasukannya."
Paramesywari pergi lagi ke pendopo, memerintahkan memanggil Arok, dan yang dipanggil datang.
"Dengarkan, Arok, Kebo Ijo telah aku panggil menghadap. Dia harus ditangkap dan harus mempertanggungjawabkan kematian Kidang Telarung. Dia tidak ada di tempat. Asramanya kosong."
"Dia sedang di luar kota dengan pasukannya,Yang Mulia. juga dengan pasukan-pasukan lain, juga dengan pasukan kuda."
"Apakah dia mencoba membikin huru-hara""
"Jangan kuatir. Yang Mulia. Dia memang telah berhasil meninggalkan para perwira. Pasukan Kidang yang mengawal pekuwuan juga tidak bisa dipercaya lagi. Ijinkanlah semua pasukan sahaya memasuki pekuwuan, Yang Mulia." "Apakah itu perlu""
"Kalau balatentara Tumapel sudah berhimpun di bawah Kebo Ijo demikian, kelanjutannya hanya huru-hara. Pasukan sahaya akan masuk sedikit demi sedikit sampai semua Dada tinggal.
"Jadi kau melihat akan adanya perang""
"Masih ada sedikit waktu, Yang Mulia. Pasukan sahaya akan segera masuk. Kalau telah dibunyikan tengara lonceng perunggu tungguk kemit, jangan Yang Mulia lupa, larilah Yang Mulia seorang diri masuk ke pura dalam. Seorang diri, Yang Mulia. Bagaimana kesehatan Sang Akuwu, Yang Mulia""
"Aku tidak mengerti, Arok, selalu gugup tidak menentu."
"Kalau begitu Yang Mulia Akuwu membutuhkan ketenangan. Huru-hara mungkin akan terlalu hebat. Sang Akuwu tidak boleh tergoncang karena itu. Tentang itu serahkan semua pada sahaya, dan semua akan beres. Hanya, harap Yang Mulia Akuwu diusahakan tenang. Kalau bisa dibius, Yang Mulia."
Arok menembuskan pandang pada Paramesywari. Ken Dedes menutup tapuk maunya dan mengangguk.
Dengan demikian sedikit demi sedikit mulai pagi itu anak buah Arok masuk ke pekuwuan.
Dari semua keterangan anak buah yang disebarkannya Arok telah mendapat gambaran yang pasti tenung keadaan Tumapel. Dan dengan tersingkirnya para perwira, terutama pada Kidang, ia telah mendapatkan pengkokohan dari kepastian itu. Berdasarkan itu ia mulai menyimpulkan:
Pasukan Kidang yang kini masih tinggal di pekuwuan memang sengaja tidak ditarik oleh Arok untuk tidak terlalu menerbitkan kecurigaan sendiri.
Ia kumpulkan mereka di belakang pekuwuan dan diberinya keterangan, bahwa Kebo Ijo telah mengambil-alih semua tentara Tumapel, dan dengan demikian hendak melawan Yang Mulia Tunggul Ametung, yang dilindungi oleh Kediri. Keadaan semacam ini
akan bisa memanggil balatentara Kediri untuk melakukan penumpasan. Hanya orang dungu seperti Kebo Ijo, yang tidak mengerti. Kalau sisa pasukan Tumapel yang tinggal di pekuwuan hendak mengikuti jejaknya, berarti itu memanggil kebinasaannya sendiri. Ia mempersilakan siapa saja untuk mengikuti Kebo Ijo. Dan tak ada seorang pun yang pergi "Pada siapa kesetiaanmu. Kebo Ijo atau Arok"" "Arok!" jawab mereka
"Kalian ada di antara pasukan Arok. Setiap pengkhianatan terhadap jawaban sendiri bukan tanpa akibat." "Arok!" jawab mereka sekali lagi.
"Lihat," ia menuding ke arah pura,"di sana ada beberapa orang Kidang dan perwira yang sedang menyaksikan. Sekali lagi: pada siapa kesetiaan kalian""
"Arok!" "Terimakasih." Ia anggap sisa senjata Tumapel ini tidak lagi menjadi masalah yang terlalu gawat. Ia pecah-pecah pasukan itu dan ditaruhnya di bawah pimpinan anak buahnya sendiri.
Kesulitan lain yang harus diselesaikannya adalah Empu Gandring. Sebagaimana halnya dengan para sudra terkemuka, pada mereka timbul impian untuk naik menjadi akuwu. Kenyataan, bahwa Tunggul Ametung sendiri seorang sudra telah memberanikan impian mereka - para tamtama, Empu Gandring sendiri, dan terutama satria Kebo Ijo. Semua mereka menghendaki singgasana Tumapel. Di antara semua itu, yang ia anggap paling berbahaya adalah Empu Gandring. Dialah penghasut pertama agar para tamtama ingkar pada Tunggul Ametung dalam kemerosotannya. Yang memerosotkannya adalah perlawanan pemuda dan orang-orang tani yang dipimpinnya. Gandring ingin memetik buah usahanya.
Ia nilai Empu Gandring sebagai seorang yang cerdik, wibawanya terasa di dalam pasukan Tumapel. Ia menguasai persenjataan Tumapel. Dan ia mempersatukan para tamtama di bawah pengaruh dan perintahnya, namun mempertentangkan-nya satu dengan yang lain. Pada setiap orang di antara mereka ia tiupkan harapan untuk menaiki singgasana. Pada suatu ketika mereka akan berbunuh-bunuhan satu sama lain. Gandring akan keluar sebagai pemenang tanpa berkelahi, dan dengan demikian menjadi pewaris Tunggal Tumapel.
Gandring telah menerima emas dan besi daripadanya, telah menempa besi itu menjadi senjata. Tetapi anak buahnya tetap belum pernah berhasil mendapatkan di mana barang-barang jadi itu telah disimpan. Dengan semua senjata pesanannya itu paling tidak Gandring akan bisa mempersenjatai pasukan kecil untuk modal untuk menumpas seorang demi seorang para tamtama sekawannya bila mereka tidak juga binasa teradu-domba olehnya. Tanpa Gandring para tamtama itu sebaliknya akan cerai-berai seperti serumpun anak ayam kehilangan induk.
Ia menduga ahli senjata itu sudah banyak makan garam dan cukup rontal telah dipelajarinya. Tanpa modal itu tak mungkin dia mempunyai impian untuk menaiki singgasana.
Ia tahu apa harus ia perbuat terhadapnya. Dengan lenyapnya sudra terpelajar itu, gerakan Empu Gandring akan lumpuh, dan ia sendiri akan hanya menghadapi Tunggul Ametung, artinya: menghadapi Kediri. Ia membutuhkan banyak waktu ....
Bahwa Kebo Ijo kemudian juga bergabung dengan Belakangka, terarak dalam pengawalan pasukan kuda dalam satu kereta, bisa terjadi karena kelemahan Kebo dan pasti karena kelobaan Belakangka. Balatentara Tumapel mampu bergerak tanpa perintah dan pembiayaan Akuwu hanya mungkin bila ada modal dari sumber lain. Sumber itu adalah Belakangka. Ia merasa cukup mengikuti sepak terjangnya. Kesimpulannya: kadang-kadang saja Yang Suci mewakili Kediri. Makin banyak dia menyatakan diri wakil Kediri, makin jelas dia mengharapkan keambrukan Tunggul Ametung dan menggantinya dengan orang yang runduk takluk pada dirinya.
Dan Belakangka tidak akan memilih jago yang cukup cerdas. Yang demikian akan menyepaknya setelah mendapat kekuatan. Maka persekutuan dua orang itu ia anggap sebagai permainan dua ekor congcorang yang berkasih-kasihan untuk saling memangsa.
Dang Hyang Lohgawe menanggapi kesimpulan-kesimpulannya: "Hati-hati, garudaku, jangan sampai ketajaman parasyu Hyang Ganesya dan irama aksamalanya terlepas dari tanganmu. Selama kau mengokohnya, kau berada dalam ketepatan kebenaran."
Menerima jawaban i tu langsung ia perintahkan anak buahnya menerobosi malam gelap berhujan menghubungi pasukan-pa-sukannya di utara, barat dan selatan kota, memerintahkan mengepung Kutaraja dalam tiga hari mendatang. Dengan tambahan: jangan sampai menerbitkan takut pada penduduk dan siapa saja, berlaku tenang, sopan, penolong, dan pengajak.
Ia tinggal di asrama dengan hanya satu regu.
Dengan regu itu pula pada suatu siang ia mendatangi pabrik senjata. Ia mengenakan gelang dan kalung perwira Tumapel, langsung masuk dan mendapatkan empu itu sedang memeriksa nilai tombak-tombak yang baru turun dari penyepuhan.
"Dirgahayu, Tuan Empu Gandring."
Ia lemparkan tombak dari tangannya ke atas meja pemeriksaan. Nampak ia sangat terkejut melihat seorang perwira Tumapel berdiri di hadapannya:
"Arok, perwira Tumapel, Tuan Empu."
Ia menatap Arok, mengingat-ingat.
"Tuan kenal siapa aku."
Empu Gandring menggeleng-geleng:
"Baru kali ini sahaya melihat Tuan. Nama Arok sahaya kenal tapi baru sekali ini melihat. Duduk. Tuan Arok," ia mempersilakannya pada selembar tikar yang tergelar di pojokan.
"Lebih baik berdiri saja begini."
"Baik. Tentunya Tuan ada keperluan penting."
"Aku datang membawa dua hal. Pertama, bagaimana warta tentang senjata yang aku pesan""
"Senjata apa, Tuan"" ia memanggil seorang pembantunya.


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah kau telah menerima kiriman besi dari aku"" "Besi" Kapan kalian pernah menerima besi"" tanyanya pada pembantunya. "Bukankah tidak pernah ada selama setengah tahun ini""
"Tak pernah kami menerima kiriman besi, Tuan," pembantu Gandring membenarkan.
"Baiklah. Bukankah kau sendiri yang dahulu bersumpah pada
Hyang Pancagina di depan sana setelah menerima seribu saga dari aku""
"Seribu saga. Tuan" Melihat emas sebanyak itu pun sahaya tidak pernah." "Baiklah. Buka gudang senjatamu."
"Kami di sini tak punya gudang senjata, Tuan. Setiap senjata yang selesai, langsung dikirimkan ke pekuwuan."
"Baiklah Di gudang nomor berapa senjata disimpan""
Empu Gandring tertawa terbahak. Kemudian:
"Semestinya Tuan, seorang perwira Tumapel, lebih tahu."
"Baiklah. Sekarang urusan yang kedua. Yang Mulia Akuwu telah menjatuhkan titah agar kau datang menghadap."
Empu Gandring pucat. Ia berpaling ke mana-mana.
"Siapa Tuan cari" Kebo Ijo" Dia sudah dipanggil lebih dahulu, dan sampai sekarang belum datang menghadap. Dia telah dianggap menyangkal titah. Nasibnya sudah jelas. Maka itu dia lari membawa pasukannya ke luar kota. Sayang sekali Tuan tidak punya pasukan. Mari!"
"Sebaiknya sahaya pulang dulu. Tuan, untuk berpakaian yang lebih tertib."
"Tidak perlu," tegah Arok; dan pada pembantu empu, "harap kalian ketahui, Tuan Empu dititahkan menghadap Yang Mulia Akuwu."
"Jangan, Tuan," pembantu empu itu menegah balik. "Jangan bawa empu kami. Pekerjaan akan macat seluruhnya."
"Baik, kau pun ikut serta dengan kami," ia tangkap lengan pembantu itu.
Orang itu menghantam lengan Arok dengan tangannya yang lain, lepas, dan melarikan diri. Berteriak: "Selamatkan empu kita!"
Ratusan pekerja itu bergerak. Beberapa orang saja lari menyerbu regu Arok untuk menyelamatkan Gandring yang telah digiring ke jalanan Sebagian terbesar ragu-ragu.
"Kalian mau menyanggah Sang Akuwu"" pekik Arok. "Balatentara Tumapel akan datang menghukum kalian."
"Bohong!" pekik pembantu empu dari belakang para pekerja. "Semua balatentara Tumapel sudah ingkar pada Tunggul Ametung. Bebaskan empu kita!"
Para penyerbu itu dapat ditangkis, menjadi ragu-ragu, dan mengundurkan diri.
"Jangan halangi," pekik Arok. "Jangan panggil pasukan Arok. Lebih baik kalian ikuti perintahnya."
Empu Gandring dibawa ke asrama Arok. Ia didudukkan di atas bangku, dan Arok memeriksanya sambil berdiri.
"Kau tahu dosa-dosamu. Maka dengarkan kusebutkan satu demi satu: pertama, kerakusan menyebabkan kau suka menipu semua orang yang membutuhkan jasamu."
"Sahaya tidak pernah menipu."
"Kau tak perlu bantah atau jawab. Cukup kau dengarkan. Juga Yang Mulia Akuwu kau tipu sehingga senjata Tumapel tak dapat dipergunakan untuk memadamkan kerus
uhan. Mau lihat bukti""
Seorang anak buah mengantarkan pada Arok sebilah tombak bikinan Empu Gandring dan tombak prajurit Arok.
"Lihat ini perbandingannya. Dengan kekurangan baja seperti ini senjata Tumapel terlalu sering kembali ke pabrikmu. Lain kekuatannya dari senjata prajurit Arok. Kau bisa lihat sendiri. Dengan buatanmu yang busuk ini kau hendak lemahkan balatentara Tumapel."
"Tuan, nilai besi yang kami terima memang tidak baik." "Diam, aku tak tanya. Lihat ini, tombak bikinanmu ini kurang panjang dan kurang tipis dibandingkan dengan kepunyaan kami. Bukankah ga, angka satu ini, ciri dari pabrikmu" Kau hendak lemahkan Tumapel dengan ini, dan kau hendak memperkaya dirimu sendiri. Kau telah menerima emas dan besi dari aku, dan besi itu telah kau tempa jadi senjata, tapi kau tak bermaksud menyerahkan padaku. Aku mengerti senjata itu untuk dirimu sendiri." "Tuan!"
"Kedua, dengarkan baik-baik. Melalui Dadung Sungging kau telah mematai-matai pekuwuan," ia berpaling pada anak buahnya, "panggil sini Dadung Sungging."
Dan prajurit Kidang itu dihadapkan.
"Inilah mata-matamu. Dia menduga, kau menyokong Paramesywari. Kau hanya menyokong dirimu sendiri. Dia melakukan perintah-perintahmu dengan suka rela, tanpa upah sekeping perak pun, karena menyangka kau orang jujur yang hendak mendirikan cakrawarti Hyang Mahadewa melalui Paramesywari. Tapi kau sendiri yang mengakui diri seorang Wisynu selama Sang Akuwu Wisynu. Sekiranya Sang Akuwu Buddha, kau pun orang Buddha. Pendirianmu di mana saja ada, yang tinggal mantap hanya kerakusanmu. Singkirkan prajurit ini!"
Empu Gandring tak lagi mencoba membantah.
"Ketiga, engkau mencoba mengadu domba antara Sang Akuwu, Sang Paramesywari dan aku, melalui pesuruhmu yang menamakan dirinya Kebo Ijo, berkalung Hyang Pancagina kecil, dan seakan Sang Akuwu dan Arok adalah musuh Sang Paramesywari."
"Keempat, melalui orang yang menamakan Kebo Ijo itu juga kau menyatakan seluruh balatentara Tumapel ada dalam tanganmu, dan kau mempersembahkannya pada Paramesywari. Apa nyatanya sekarang, balatentara Tumapel telah meninggalkan Sang Akuwu dan para perwiranya di bawah perintah Kebo Ijo. Kau menganggap Kebo Ijo akan serahkan itu padamu" Kau mengim-pi! Dia akan genggam untuk dirinya sendiri. Kau kira kau yang membikin dia jadi begitu penting dan didengarkan balatentara Tumapel" Kau mengimpi untuk kedua kali. Dia bisa menarik balatentara Tumapel karena emas dan perak dari Yang Suci Belakangka."
Kuping Empu Gandring bergerak-gerak.
"Di belakang Belakangka adalah Kediri. Di belakang Kebo Ijo bukan kau - kau yang tak pernah memberi orang sekeping perak pun. bahkan menggaruk dari siapa saja yang dapat kau kenai!
Maka pada akhirnya Kebo Ijo akan datang padamu untuk menumpasmu. Bicara kau sekarang."
Empu Gandring menundukkan kepala, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Jangan kau kira seluruh balatentara Tumapel bisa kalian kuasai. Lihat, ini Arok, yang tetap mempertahankan Tumapel. Dia dan pasukannya akan mempertahankannya sampai titik darah terakhir. Bukan karena imbalan uang, emas dan perak dan singgasana. Hanya karena kesetiaan pada janji. Kau sendiri sudah dengar ucapan Arok di tengah-tengah medan pertempuran, langsung di hadapan Sang Akuwu. Arok dan pasukannya akan tetap setia menjaga keselamatan Sang Akuwu, Paramesywari dan Tumapel."
Dalam rubungan para prajurit itu Gandring tetap membisu.
"Kau boleh bicara."
Empu Gandring belum juga bicara.
"Bahwa kau menipu aku, bagiku bukan soal. Pada suatu kali semua senjata yang kau sembunyikan akan jatuh ke tanganku. Pabrikmu akan dipegang oleh orang yang sekarang ini sama sekali tidak pernah kau kenal, bahkan namanya kau tidak ketahui."
Empu Gandring mengangkat kepala dan menatap Arok.
"Dosamu terhadap dirimu sendiri jelas: kau telah bersumpah pada Hyang Pancagina, dan kau tidak bermaksud untuk memenuhi sumpahmu. Kau kehilangan kepantasanmu menjadi penyembahnya, maka juga kau kehilangan segala hak untuk terus menjadi empu. Kau penipu diri sendiri dan orang lain dan semua orang."
Gandring menunduk lagi. Kemudia
n ia mengangkat kedua belah tangan pada dada, menghela nafas dalam dan:
"Sahaya tahu, sahaya sudah sampai pada batas terakhir."
"Sekarang kau betul. Jangan harapkan Kebo Ijo akan menolong kau, bahkan akan membunuhmu. Sebagai apa" Sebagai guru penjerumus, tidak bisa dipercayai hati manusia, tidak bisa
dipegang oleh para dewa, bahkan juga tidak oleh dewa sudra Hyang Pancagina. Telah kusampaikan semua dosamu kembali padamu sendiri"
"Sahava mengerti dan menyedari. Hanya, bila sahaya boleh meminta, jangan hendaknya tangan Kebo Ijo dibiarkan menyentuh badan sahaya. Berilah sahaya kehormatan tangan Tuan sendiri."
"Baik. Demi kehormatanmu yang terakhir, bila kau masih punya kehormatan, kapan Kebo Ijo kau atau kalian perintahkan menyerbu pekuwuan""
"Lusa. Lusa malam."
"Baik. Lusa. Kalau kau bohong, tubuhmu tidak akan dibakar, akan kami serahkan pada anjing-anjing pekuwuan. Dan Tim, anjingmu yang telah mati itu, akan datang ikut menyantap tubuhmu."
"Demi kehormatan sahaya terakhir."
Siang itu Arok menghadap Paramesywari untuk mendampinginya dalam menghadapi pameran kekuatan Kebo Ijo.
Pasukan Arok dan Kidang yang tetap di pekuwuan diperintahkannya menarik diri ke belakang pekuwuan. Seluruh Tumapel sepi, tak ada berani keluar dari rumah. Hanya anjing dan babi dan kucing berkeliaran di jalan-jalan. Hujan turun sebentar, deras, tetapi hari tetap gelap oleh mendung tebal yang tergantung di langit.
Kilat tak henti-henti mengerjap, diikuti oleh petir dan guruh. Tetapi hujan tak juga turun lagi.
Dedes mengawasi Arok yang duduk di bawah di hadapannya. Pikirannya melayang pada masa dua bulan yang lalu waktu Arok datang ke pekuwuan untuk pertama kali, dan ia mengandung dua bulan. Kini kandungannya telah berumur empat bulan, dan balatentara Tumapel sedang balik gagang melawan ayah dari kandungannya. Ia tahu, balatentara itu tidak memusuhi dirinya.
Dan siapa pun yang menggantikan Tunggul Ametung akan mengangkatnya sebagai Paramesywari, karena kasta dan karena kecantikannya. Juga ia tahu orang menghendaki jiwa suaminya. Dan ia menitikkan air mata. Suaminya kini terbujur nyenyak termakan bius ringan.
Para Menteri dan Sang Patih Tumapel telah kemarin melarikan diri bersama keluarga masing-masing ke arah timur, daerah yang belum pernah mengalami kerusuhan. Sebagian dari para abdi juga telah pada mengungsi.
"Kau menangis, Dedes, anak Mpu Parwa!"
Dedes menyeka matanya. "Mereka semua memusuhi suamimu. Dan dia sekarang tidur tanpa menyedari keadaan dan kejahatannya selama ini."
Membayangkan, bahwa takkan lama lagi seseorang akan membunuh suaminya, dan darah akan menyemburat, dan anak dalam kandungan takkan mengenal bapa, ia menjadi terhisak-hisak.
"Apakah sekarang kau berbalik pikir, anak Mpu Parwa"" Dedes menutup muka dengan dua belah tangan dan menangis.
"Kau menyesal""
Dedes terus menangis. Dan pendopo yang lengang itu diisi oleh suaranya yang pelahan ditahan-tahan.
"Bukankah demi Hyang Mahadewa telah kau serahkan hidup dan matinya padaku""
"Darah! Darah bapanya, Guru, Kakanda." "Darah pencuci kaki Hyang Mahadewa Syiwa diperlukan anak Mpu Parwa. Begitulah sepanjang sejarah titah di atas bumi ini. Kuatkan hatimu, jangan jatuh ke bumi sebagai buah membusuk tak mampu matang. Kau brahmani, kuat hati, kuat ilmu. Hapuskan airmatamu!" Ken Dedes terdiam. "Kau yang menguasai Bhagawatgita ..." "Airmata ini bukan untuk suami sahaya, juga bukan untuk diri sahaya, ya. Guru. justru untuk anak yang tak bakal mengenal bapa ini."
Arok mengawasi perut Dedes, kemudian:
"Adakah hanya karena anak itu semua harus keluar dari rencana yang disetujui oleh para brahmana dan semua orang Syiwa""
"Ampuni sahaya."
Arok menebarkan pandangnya ke keliling. Lengang. Dalam kesunyian itu yang terdengar hanya suara keruyuk ayam dan percakapan bebas dari para selir di belakang.
"Mengertikah kau, Dedes, bahwa semua ini bergerak, seluruh negeri, hanya karena hendak menjatuhkan suamimu""
"Mengerti, Kakanda."
"Bahwa balatentara yang ingkar itu tidak segera memukul hanya karena ada pasukan Arok"" "Me
ngerti, Guru." "Mengertikah kau, bahwa saat ini yang telah dua ratus tahun lamanya ditunggu-tunggu oleh kaum brahmana dan ayahmu sendiri""
"Juga saat ini yang sahaya pohon dari Hyang Bhatari Durga."
"Mengapa kau tangisi anak yang takkan melihat bapa" Apakah itu lebih berat daripada dua ratus tahun menunggu dan terinjak-injak""
"Sahaya malu pada diri sendiri."
"Hanya karena pada suatu kali anakmu akan bertanya: siapakah bapa sahaya" maka kau jatuhkan airmata yang semestinya untuk keperluan lain'"
"Guru, Kakanda."
"Berdiri, kau, dan suruh seisi pekuwuan keluar meninggalkan tempat ini. Suruh pergi bersama semua harta-bendanya. Pertempuran akan bisa terjadi di pekuwuan ini. Suruh prajurit-prajurit membobolkan pagar belakang dan suruh mereka lewat sana. Kemudian segera kau kembali sebelum Kebo Ijo berpo-ngah dengan kekuatannya "
Ken Dedes bangkit, mengangkat sembah dada dan masuk ke dalam. Arok pun bangkit, kembali ke asrama, memerintahkan prajurit-prajuritnya naik kuda untuk menghubungi pasukan-pasukan di luar kota, agar besok, pada waktu matahari telah tenggelam, semua memasuki kota dari barat, utara dan selatan dengan berselempang klaras[daun pisang kering.] untuk membedakan diri dari tentara Tumapel yang ketahuan mulai berkalung dan bergelang janur.[daun kelapa muda.]
Ia perhitungkan, bahwa setelah Kebo Ijo mempongahkan kekuatannya, sesuai dengan watak tentara Tumapel pasti ia akan perintahkan prajuritnya bersuka ria ke seluruh kota, merampas dan menjarah, apabila nyata tidak ada perlawanan.
Dan besok malam, bila semua pasukan luar kota telah memasuki Kutaraja, harus serempak memekikkan sorak perang untuk Arok, membela diri terhadap sedap serangan, tetapi tidak akan melakukan serangan lebih dahulu.
Utusan-utusan itu berangkat seketika, menunggang kuda dengan berkalung dan bergelang janur, dan ia sendiri kembali ke pukuwuan.
Semua regu yang tertinggal di asrama dibawanya serta termasuk delapan orang prajurit Kebo Ijo yang menggabungkan diri. Kemudian ia memeriksa seluruh pertahanan pekuwuan dan perkubuan-perkubuan di luarnya. Ia perhatikan bondongan wanita dan sisa abdidalam yang bergerak mengangkuti harta benda masing-masing dan bobolan pagar.
Buntut dari bondongan adalah istri Tunggul Ametung yang diiringkan oleh para Kidang sampai bobolan, kemudian datang padanya untuk menyatakan hormat.
"Kalian para Kidang," ia memperingatkan, "jangan ada yang melangkahkan kaki memasuki pekuwuan. Kalian sudah tolong
ibu kalian mengangkuti harta benda keluar dari sini. Sekarang, muliakan ibu kalian, jaga hatinya, jaga keselamatannya, dan jangan sekali-kali mencampuri urusan pekuwuan. Serahkan pertahanan pekuwuan padaku seluruhnya, tanpa syarat." Mereka keluar, juga melalui bobolan pagar. Arok memasuki Taman Larangan dari belakang dan masuk ke dalam. Diperiksanya semua bilik dan ruangan, gudang bahan makanan dan senjata. Ia masuki Bilik Agung dan mendapatkan Dedes sedang mengawasi Tunggul Ametung yang tidur nyenyak dengan mulut terbuka.
Ia tarik tangan Dedes, dan Paramesywari itu merangkulnya, terhisak-hisak:
"Ampuni sahaya, bagaimanapun dia pernah suami sahaya."
"Ratusan, mungkin ribuan orang telah binasa karena dia. Seluruh kawula Tumapel kecuali prajuritnya menderita karena dia. Mari, tinggalkan tempat ini."
Mereka keluar dan Dedes menduduki tempatnya sebagai Paramesywari sedang Arok di hadapannya, duduk di bawah. Para prajurit Arok terdengar ramai memasuki pekuwuan dan menduduki bilik, membuka perkubuan dalam rumah.
Bersamaan dengan bunyi guruh mulai terdengar sorak-sorai di kejauhan.
"Sebentar lagi mereka datang. Jangan gugup, jangan takut. Kau seorang brahmani, harus lebih tabah daripada orang biasa. Berjalan nanti kau ke tangga, lambaikan selendang sutramu pada Kebo Ijo, dan tersenyum kau padanya. Aku akan berdiri di belakangmu. Jangan sekali-sekali menengok. Kau dengar, anak Mpu Parwa""
"Sahaya." "Jangan sampai meleset. Kalau pertempuran terjadi karena kekeliruan, boleh jadi seluruh rencana akan bubar." Sahaya, Guru, Kakanda" "Dengar, mereka makin mendekat" Sora
k-sorai itu makin lama makin kentara.
Sebentar angin meniup keras dan hujan turun lebat, datang dan pergi sekilas, meninggalkan bercak-bercak pada jalanan batu di depan pekuwuan. Puncak gunung-gemunung hilang tertutup mendung dan pepohonan nampak lesu-berat terbebani air hujan. Udara terasa tebal untuk paru-paru.
Dan sorak-sorai menggelombang semakin dekat. Kemudian mulai terdengar juga suara genderang dan tetabuhan.
"Tidakkah perlu dijemput Yang Suci"" tanya Paramesywari.
"Telah ada dia di tungguk kemit."
"Jagad Dewa! Mengapa dia di situ""
"Biangkeladi dari semua ini adalah Gandring dan Belakangka. Gandring telah diselesaikan. Belakangka masih akan kita pergunakan."
"Bagaimana nanti Kediri""
"Dia dibawa kemari untuk diselamatkan."
"Diselamatkan dari siapa""
"Dari kekuatan Kebo Ijo."
"Sahaya tidak mengerti. Bukankah Kebo Ijo membutuhkan Belakangka dan sebaliknya, untuk tidak memurkakan Kediri"" "Mereka semakin dekat."
Dari pendopo sudah mulai kelihatan pasukan kuda. Sorak dari sebelas ribu tentara Tumapel itu memekakkan telinga. Jalanan sepi dari lalulintas. Bahkan anjing, kucing dan babi melarikan diri ketakutan.
Pasukan kuda itu muncul seutuhnya, berjalan pelahan, menyirik dan berputar-putar memenuhi jalanan. Empat ratus pasang kaki kuda itu menumbuki jalanan batu itu, meninggalkan lumatan lumpur kuning. Bendera-bendera pada tangkai tombak basah kuyup tak mampu berkibar.
Seorang diri di atas kuda di belakang pasukan itu muncul Kebo Ijo, hanya dengan pedang di pinggang. Dari kejauhan ia sudah nampak memusatkan pandang pada pekuwuan.
Tepat di depan pekuwuan pasukan kuda itu bersorak riuh-rendah, mengangkat tombak mereka berbareng, dan semua wajahnya tertuju ke pendopo.
"Mari aku iringkan, Dedes. Bangkit kau dan berjalan ke tangga."
Arok mengiringkan Paramesywari berjalan ke tangga. Ia berdiri tepat di belakangnya. "Selendangmu, anak Mpu Parwa. Lambaikan pada Kebo Ijo." Ken Dedes menarik selendang dari bahunya dan melambaikan pada Kebo Ijo. Nampak dari kejauhan tamtama itu membungkuk dan tersenyum-senyum.
"Jangan memberengut. Perlihatkan wajah gembira, buka sedikit mulutmu, biar nampak gigimu."
Sorak-sorai itu padam, tinggal gerak kaki kuda dan tangan para prajurit Dan gelang-gelang janur yang kuning dalam kekelabuan hari bermendung itu nampak seperti menyala memenuhi udara.
"Lambai Kebo Ijo dengan selendangmu. Dia pasti datang. Dia harus datang. Dia harus lupa sedang membawa balatentara."
Ken Dedes melambai dan melambai dengan selendangnya, tersenyum, kecil dan besar, giginya muncul rampak, gemerlapan dalam rembang hari bermendung.
Pasukan kuda yang empat ratus orang itu mulai melewati pekuwuan. Kebo Ijo terkena daya tarik lambaian, membelok seorang diri ke pekuwuan. Sorak-sorai berhenti, balatentara Tumapel tak mengerti apa lagi harus dikerjakan, melihat pemimpin tertinggi keluar dari acara semula.
"Ucapkan terimakasih, dia telah tunjukkan kesetiaan balatentara Tumapel kepadamu."
Kebo Ijo telah sampai di tentang tangga. Ia turun dari kudanya, tanpa menyembah meletakkan sebelah kaki pada anak tangga, bertolak pinggang.
"Kebo Ijo, terimakasih telah kau persembahkan kesetiaan balatentara Tumapel kepadaku. Ternyata kau memang tidak memungkiri janji telah mempersembahkan balatentara kepadaku."
Kebo Ijo kehilangan kata. Dan senyum dan keramahan Ken Dedes membikin ia menjadi bingung. Waktu ia menyedari, Arok
ada di belakang Paramesywari, mendadak wajahnya menjadi merah menyala:
"Arok, apa kau perbuat di sini""
"Menjaga keselamatan Yang Mulia Paramesywari."
"Tugasmu menjaga keselamatan Tunggul Ametung."
"Aku perintahkan dia menjaga keselamatanku, Kebo Ijo."
"Perintahkan dia keluar dari pekuwuan," perintah Kebo Ijo cemburu.
"Besok malam, bila kau, Kebo Ijo, memasuki pekuwuan dalam iringan para tamtama secara patut, untuk mengambil-alih pekuwuan dan kekuasaan atas Tumapel, Arok dan pasukannya akan aku usir. Hanya yang menguasai seluruh balatentara yang menguasai semua-muanya. Asramakan semua pasukan, beri mereka hari pesta dalam t
iga harmal ini." "Mana Tunggul Ametung""
"Dia sudah dalam tanganmu. Segera bawa pergi semua pasukanmu, suruh berpesta, kawula Tumapel jangan dibikin takut karena keriuhan ini."
Dedes sekali lagi melambaikan selendang menyuruhnya pergi dengan disertai senyum manis, menawan dan merayu-rayu.
"Serahkan Arok sekarang juga."
"Apa arti seorang Arok" Bila Kebo Ijo telah memasuki pekuwuan besok malam, dia adalah milikmu, hidup dan matinya. Jangan lupa seluruh balatentara telah kau persembahkan padaku. Pulanglah."
Kebo Ijo ragu-ragu. Beberapa orang tamtama mulai memasuki pelataran depan pekuwuan.
"Jangan ragu-ragu, teman-temanmu mulai hendak menyusul kau. Pulang, kataku. Pulang! Beri kesempatan pada semua prajuritmu berpesta-ria merayakan kemenangan ini - kemenanganmu!"
Kebo Ijo menengok ke belakang. Kuatir akan direcoki mereka ia berbalik dan meninggalkan pekuwuan. Para tamtama itu tak meneruskan maksudnya, juga keluar. Ia lambaikan tangan
memerintahkan balatentara bersorak lagi. Dan suara gemuruh itu membubung ke langit, memekakkan telinga.
"Begitulah jadinya gerakan Empu Gandring, berkembang tidak menentu, seperti kuda liar tak tahu tujuan."
"Adakah sahaya telah bersalah"" tanya Dedes.
"Sepenuhnya menurut rencana."
"Mengapa gerakan Empu Gandring, Kakanda""
"Suatu kekuatan yang dapat menggerakkan seluruh balatentara Tumapel sungguh-sungguh gerakan yang hebat. Patut dipelihara. Pelihara dia dengan tanganmu sendiri, anak Mpu Parwa."
"Sahaya akan coba."
"Lambaikan terus selendangmu sampai pasukan terakhir." "Apabila rencana gagal, Kakanda, sahaya bersedia tumpas bersama Kakanda."
"Demi Hyang Mahadewa yang menggerakkan semua ini, kita tidak akan tumpas. Dirgahayu, kita akan tetap selamat dan jaya." Ia sentuh sikut Dedes, "Lambaikan lebih bersemangat." Kemudian dengan suara rendah seperti ucapan mantra, "Kehancuran dari Hyang Bathari Durga hanya untuk mereka. Pasti!"
"Demi Hyang Mahadewa, pasti."
Para prajurit yang mendapat lambaian Paramesywari itu bersorak lebih gemuruh, semakin lama semakin parau, terlalu gembira mendapat perhatian dewi kecantikan Tumapel.
"Mereka tak tahu apa sedang terjadi," kata Arok dari belakang. "Gerakan Empu Gandring itu sungguh-sungguh dahsyat. Hanya Empu Gandring itu saja dapat melakukan pekerjaan raksasa ini."
Dedes terus juga melambai-lambaikan selendang. Tangannya telah terserang pegal: "Kakanda, anak dalam kandungan ini..." "Mengapa lagi dengan anakmu"" "Dia akan lahir lima bulan mendatang."
"Ya. Mengapa""
"Berilah sahaya pegangan."
"Pegangan apa""
"Bahwa Kakanda akan memperlakukan anak ini sebagai bapanya sendiri."
"Bapanya adalah Tunggul Ametung." "Bapanya sedang menunggu saat kematiannya." "Dia masih hidup." Dedes menoleh padanya.
"Jangan menoleh, lambaikan terus selendangmu, beri mereka semua senyumanmu."
"Dia tidak boleh tahu siapa bapanya sesungguhnya."
"Temui dulu ayahandamu Mpu Parwa."
"Ayahanda" Di mana ayahanda sekarang""
"Kau tak pernah memikirkannya selama ini. Besok mungkin datang bersama pasukan."
"Pasukan""
"Pasukan kita."
Balatentara Tumapel itu masih juga beriring-iringan, suaranya semakin parau. Buntut terakhir sudah tidak mampu lagi bersorak, tinggal hanya berjingkrak dalam barisan. Dan jalanan batu ini terlapisi lumpur hancuran batu, kuning dan tipis.
"Selesai, anak Mpu Parwa, kau bisa beristirahat."
Arok mengantarkannya melalui Bilik Agung ke Bilik Paramesywari.
"Kau takkan temani suamimu""
"Tidak, Kakandalah suamiku," jawabnya cepat. "Demi anak ini, demi Tumapel, demi kita berdua."
Arok bersidekap dan Dedes berdiri dengan mata cemas.
"Tidakkah Kakanda sudi memberikan sahaya pegangan""
"Bicaralah besok dengan ayahandamu. Aku tidak menjawab Di bilik lain sana tidur suamimu."
"Adakah Kakanda akan tinggalkan sahaya seorang diri" Hinakah sahaya untuk Kakanda""
"Aku tidak akan tinggalkan kau seorang diri. Kaulah wanita yang paling patut jadi Paramesywari. juga untuk raja terbesar pun di pulau Jawa ini. Beristirahatlah."
"Tiada mungkin sahaya beristirahat d
alam keadaan seperti ini."
"Besok keadaan akan lebih tegang."
"Sahaya tidak akan beristirahat. Jangan tinggalkan sahaya seorang diri begini."
"Besok akan kau dapatkan Rimangmu kembali. Dia pun akan datang bersama pasukan."
"Terimakasih, Kakanda. Namun jangan tinggalkan sahaya sampai semua telah selesai." "Kau takut""
"Tidak. Hanya tidak mampu menanggungkan seorang diri," ia tangkap tangan Arok meminta kekuatan.
Arok membiarkan lengannya dipegangi. Melihat itu Dedes kini memeganginya dengan dua tangan. Lelaki itu kini memindahkan pandang dari wajah Dedes pada dua belah tangannya.
"Anak Mpu Parwa, lepaskan peganganmu. Bukankah kau tidak akan lupa di Bilik Agung ada suamimu""
"Ampuni sahaya," ia lepaskan pegangannya, "hanya jangan tinggalkan sahaya seorang diri. Hanya sahaya wanita di seluruh pekuwuan."
Arok memerintahkan anak buahnya untuk membawa Belakangka ke Bilik Paramesywari.
Wakil Kediri itu datang dengan wajah pucat dalam iringan para pengawal.
"Pimpinan Tertinggi," seorang memulai, "Inilah Yang Suci Belakangka. Di samping itu aku beritahukan: asrama kita telah dibakar."
"Biarkan semua mereka bakar. Api itu menyala atas perintah Yang Suci Belakangka ini." "Tidak benar!" bantah Belakangka. "Pergi kalian," dan para pengawal itu pergi. "Kebo Ijo tak mampu, tak bakal mampu membiayai semua ini. Dua orang terkaya di seluruh Tumapel hanya dua: Tunggul Ametung dan Yang Suci. Akuwu tidak bakal membiayai gerakan untuk menentang dirinya sendiri." "Tiada kekayaan padaku."
"Kekayaan Yang Suci terkumpulkan di Kediri. Memang yang di sini hanya sisa, namun mencukupi untuk membiayai semua huru-hara ini."
"Tidak benar." "Baik. Besok Kebo Ijo akan mengaku di hadapan kita," Arok mengancam, "dan Yang Suci akan tahu akibatnya - seorang pandita, seorang wakil Kediri, seorang pemuka Wisynu ... Apakah masih akan tetap bertahan""
"Buat apa seorang wakil Kediri membiayai gerakan untuk melawan Kediri"" tanya Belakangka balik.
"Seorang Kebo Ijo tidak akan berpikir untuk melawan Kediri. Tanpa tunjangan Kediri dia takkan berani bertingkah seperti hari ini. Kediri berarti Yang Suci Belakangka."
"Betapa bodohnya, kau Arok, tidak mengetahui, semua gerakan ini ditujukan kepadamu."
"Janganlah Yang Suci mereka-reka. Kebo Ijo takkan mampu bebaskan Yang Suci dari tangan sahaya. Setelah selesai semua ini sahaya sendiri yang akan datang ke Kediri membawa Yang Sua dan di sana akan sahaya persembahkan semua kedurjanaan Yang Suci."
Belakangka tertawa menghinakan.
"Yang Mulia Paramesywari menjadi saksi pertama dan utama dalam pemeriksaan ini, Yang Suci. Sahaya harap janganlah kiranya kesucian Yang Suci dipetaruhkan dalam permainan."
"Kau memang berilmu dan berpengetahuan, Arok. Kaulah yang membikin gaduh seluruh negeri ini. Setiap orang yang berakal tahu, kau seorang pemain sandiwara di pekuwuan dan di medan pertempuran. Yang Mulia, awas-awaslah pada anak gelandangan yang seorang ini."
"Yang Suci, boleh jadi Arok seorang gelandangan dalam usahanya menegakkan keadilan dan pengayoman bagi kawula Tumapel."
"A, kalian berdua sudah mulai bersekutu. Mengerti aku sekarang mengapa Yang Mulia Akuwu tak pernah keluar, dan Kebo Ijo mengancam hendak menghancurkan Arok dan pasukannya."
"Mereka telah membakar asrama kosong, Yang Suci," Arok memperingatkan. "Kalau asrama itu kami jaga, mereka takkan membakarnya. Kalau pekuwuan tidak kami jaga, Kebo Ijo akan menyerbunya. Dia takkan punya keberanian sendiri. Semua berasal dari Yang Suci. Yang Suci sendiri mengatakan dia bersama seluruh gerakan ini ditujukan pada sahaya. Mengapa pada sahaya" seorang yang justru mempertahankan pekuwuan, Yang Mulia Akuwu dan Yang Mulia Paramesywari""
"Tunjukkan di mana sekarang Sang Akuwu."
"Mari kami antarkan memasuki peraduannya. Yang Mulia sedang terlelap dalam tidurnya. Mari."
"Tahukah Yang Suci, bahwa semua yang bergerak ini mem-beludag tidak dengan sendirinya" Ada Gerakan yang mendalangi. Gerakan itu adalah Gerakan Empu Gandring! Kebo Ijo hanya sekedar boneka Empu Gandring. Yang Mulia lebih tahu dari sahaya,
bahwa besok Kebo Ijo akan menyerbu pekuwuan, tetapi Yang Mulia Paramesywari telah memperingatkannya agar tidak berbentuk serbuan. Bukan, Yang Mulia""
"Telah aku perintahkan pada Kebo Ijo datang untuk mengam-bil-alih pekuwuan dan kekuasaan atas Tumapel, maka kedatangannya cukup dikawal secara patut oleh para tamtama."
"Setelah itu Gerakan Empu Gandring akan menghabisi Kebo Ijo dan Empu Gandring naik ke singgasana Tumapel."
Belakangka terlongok-longok.
"Gerakan besar ini tidak akan menghasilkan sesuatu untuk Yang Suci. Biaya yang Yang Suci keluarkan sia-sia." "Empu Gandring bukan prajurit!"
"Dia yang memiliki seluruh balatentara Tumapel. Yang Suci terlambat mengetahui. Bila Empu Gandring naik, Yang Suci yang paling mula akan diadili telah mengacaukan keadaan. Maka Yang Suci kami bawa kemari untuk terlepas dari pengadilan tak menentu dari Empu Gandring yang bakal menang. Sayang, Yang Suci tidak mau mengerti jasa kami, telah membalas dengan kebohongan, yang tidak patut dilakukan oleh seorang pandita Wisynu yang terkemuka."
Belakangka sibuk menata pikiran. Dan Arok tidak membiarkannya:
"Yang Suci menganggap dapat memetik buah dari pekerjaan Empu Gandring dengan hanya bicara-bicara, tanpa mengetahui segala apa yang telah dia lakukan. Empu Gandring sendiri menganggap dapat memetik buah dari pekerjaan sahaya dan semua teman sahaya dalam menentang Tunggul Ametung. Ya, sahaya menentang Sang Akuwu yang dilindungi Kediri.Ya, sahaya menentang Kediri. Sahaya dan semua orang Syiwa, juga Yang Mulia Paramesywari."
"Kau sendiri yang mengakui menentang Kediri."
"Yang Suci belum juga mengakui hendak mengail di air keruh. Sahaya ingin dengarkan pengakuan itu."
"Bukan jadi watak seorang pandita Wisynu mengail di mana pun dan dalam air macam apa pun."
Budha Pedang Penyamun Terbang 18 Walet Emas 05 Dewi Selaksa Racun Perjodohan Busur Kumala 22
^