Pencarian

Arok Dedes 7

Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 7


"Ada waktunya setiap orang mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Juga seorang pandita Wisynu, juga seorang brahmana Syiwa - setiap orang, juga mereka yang sama sekali tidak pernah mengenal dan tidak mau mengenal Hyang Mahadewa. Besok, di hadapan Kebo Ijo, Yang Suci akan mengaku."
"Perbaikilah letak jubah Yang Suci," Ken Dedes memperingatkan, "Agar kehormatan dan kesucian tetap nampak oleh setiap orang."
"Anak buah kalian telah sembunyikan tongkatku." "Yang Suci telah menyembunyikan kebenaran. Apalah salahnya bagi Yang Suci untuk menggunakan cabang pohon"" "Tidak pernah seorang wakil Kediri dihinakan semacam ini."
"Yang Suci," Arok menambahi, "belum pernah wakil Kediri dihadapkan ke depan pengadilan sejak Sri Baginda Erlangga Dharma Dayana. Tetapi besok akan terjadi, demi Hyang Mahadewa."
"Dan Yang Mulia Paramesywari ternyata telah bersekutu dengan Arok menentang Kediri."
"Inilah Dedes, yang Yang Suci telah beri pengesahan atas diri dengan gelar Ken," balas Dedes.
"Gelar yang dipilihkan oleh Kediri untuk sudra yang disukainya," tambah Arok. "Ah-ya, barangkali ada baiknya sahaya tanyakan, apakah arti Ken menurut Kediri, Yang Suci" Tak pernah sebelumnya ada gelar seaneh itu."
"Waktu Yang Mulia memberikan gelar itu kepadaku," sambung Paramesywari, "aku tak menghiraukan. Jadi apa sesungguhnya artinya. Yang Suci, karena gelar diatur oleh Kediri."
"Waktu mereka menemukan gelar itu," Arok menyambung, "mungkin sambil tertawa-tawa, karena arti tidak layak ada di dalamnya. Bukankah begitu, Yang Suci."
Belakangka menolak untuk bicara lebih lanjut. Dan ia diantarkan oleh para pengawal kembali ke tungguk kemit.
Para prajurit Tumapel diberi berlibur oleh Kebo Ijo. Terpengaruh oleh ucapan Paramesywari ia beranikan mereka untuk berpesta merayakan kemenangannya.
Dalam pengawalan kuat ia sendiri pergi untuk menjemput Empu Gandring dan mendapatkan pabrik senjata itu dalam suasana murung.
"Keparat!" pekiknya serenta mengetahui Empu Gandring diungkap oleh Arok atas perinuh Tunggul Ametung.
Tetapi ia ndak langsung pergi ke pekuwuan untuk menghajar Sang Akuwu. Di hadapan mau batinnya berdiri Ken Dedes yang menunggu kedatangannya besok malam dalam iringan para tamtama secara patut, secara terhormat.
Ia tinggalkan pabrik senjata dan pergi
ke istana Belakangka untuk melaporkan hasil berpongah kekuatan. Mendengar Yang Suci telah ditangkap oleh pasukan pengawal pekuwuan atas perintah Tunggul Ametung, ia mulai ragu-ragu. Ia tak dapat berpikir sendiri.Tetapi gambaran yang diberikan oleh Paramesywari, bahwa besok malam ia akan menerima seluruh Tumapel termasuk Ken Dedes semakin membebalkan pikirannya. Dan ia rasa Dedes lebih berharga daripada Tumapel. Perusuh di luar kota mungkin membikin Tumapel tinggal Kutaraja, tapi Dedes akan jadi miliknya.
Dan Arok" Empu Gandring dan Belakangka menginginkan jiwanya. Tetapi bukankah dia terikat pada persetujuan dengan Lohgawe untuk menjaga keselamatan Sang Akuwu, Paramesywari dan Tumapel" Dia hanya setiawan persetujuan. Mengapa jiwanya dikehendaki mereka" Dia sama sekali bukan penghalang. Dan Paramesywari sendiri membenarkan. Huh! Tak ada alasan untuk cemburu. Seorang brahmani takkan mungkin menerima seorang pria sudra tanpa dipaksa dengan senjata. Apakah artinya Arok" seorang tidak menentu asal-usulnya, tak punya silsilah, apalagi disyahkan oleh Kediri.
Ia pergi ke asrama-asrama untuk mendapatkan para tamtama. Tapi asrama-asrama telah kosong. Para prajurit telah bubar ke seluruh kota untuk menjarah penduduk, merayakan kemenangannya. Hanya pasukan kuda yang mengawalnya, yang masih utuh. Dan ia tak berani memberitakan pada mereka tentang ditangkapnya Belakangka. Hanya empat puluh orang tamtama dapat ia kumpulkan.
Di hadapan mereka ia ternyata tak berani menyatakan sesuatu, takut salah, takut ketahuan ketidaktahuannya, takut kehilangan wibawa. Juga ia tidak berani menyampaikan berita tentang ditangkapnya Empu Gandring. Ia tahu kekuasaan atas balatentara tidak ada di tangannya, tapi di tangan Gerakan Empu Gandring.
Seorang tamtama dengan suara keras menantang mengajukan pertanyaan:
"Bagaimana sekarang jadinya kita ini setelah semua orang tahu Empu Gandring ditangkap oleh Arok atas perintah Tunggul Ametung""
"Ketahuilah," jawabnya agak gugup, "setelah kemenangan ada pada kita, Empu Gandring menjadi tidak penting. Lagi pula dia bukan prajurit."
"Lantas bagaimana sikap kita terhadap Kediri""
Kebo Ijo teringat pada jaminan Belakangka:
"Kita akan kirimkan utusan ke Kediri mempersembahkan tanda takluk, dan semua akan beres," tapi dengan hilangnya Belakangka ia tak yakin pada kata-katanya sendiri.
"Yang Suci harus memberikan jaminan pada kita. Kalau tidak gajah perang Kediri bisa memusnahkan kita semua, dan sia-sia semua ini."
"Paramesywari telah memberi jaminan seluruh Tumapel akan diserahkannya besok malam."
"Itu bukan jaminan Kediri tidak menghancurkan kita. Celakalah kau, Kebo Ijo, bila hendak celakakan kita semua."
"Kebo Ijo adalah bagian dari kalian."
"Bagian dari kami dalam usaha bersama, bagian kau adalah hasilnya. Bukankah begitu maksudmu"" tamtama lain menetak.
Dan Kebo Ijo tak dapat menjawab.
"Jawab, Kebo, satria keturunan Kediri ..."
"Bagaimana Tunggul Ametung" Dia masih bertenaga untuk menangkap Empu Gandring dan Yang Suci. Itu dulu urus!"
"Sabar kalian. Aku akan urus ini sampai selesai."
Ia tinggalkan para tamtama yang mendengungkan ketidak puasan mereka.
Kebo Ijo keluar dari asrama dalam kawalan pasukan kuda langsung menuju ke pekuwuan. Tetapi ia tak berani memasuki pelataran teringat pada pesan Paramesywari. Hanya besok malam ia boleh datang. Pasukan pengawal itu ia perintahkan menjauh. Ia sendiri turun dari kuda dan memanggil-manggil pengawal di tungguk kemit. Dan ia heran beberapa prajurit kemit itu sama sekali tak nampak gentar menghadapinya. Dari pinggir jalan ia bertanya:
"Hei, kau, prajurit! Di mana Empu Gandring dan Yang Suci pada saat ini""
Seorang prajurit turun dari tungguk dan menghampiri pagar: "Hanya Arok yang bisa menjawab." "Panggil Arok!" "Akan dipanggil."
Seorang prajurit lari ke pekuwuan, kemudian kembali mengiringkan Arok dan Paramesywari, tanpa tambahan pengawal.
Tamu itu semakin kehilangan keberaniannya melihat Dedes Ia mengangkat sembah.
Ken Dedes langsung menegur:
"Bukankah perjanjian kita besok malam, Kebo Ijo""
" Sahaya tidak melangkah memasuki pelataran pekuwuan. Yang Mulia Paramesywari. Hanya di pinggir jalan begini."
"Apakah kurang cukup kuat janji seorang Paramesywari Tumapel kepadamu""
"Ampun.Yang Mulia, sahaya hanya membutuhkan Arok."
"Inilah Arok." "Ampun. Yang Mulia, sahaya hendak menanyai Arok." "Lakukan."
"Arok, kau telah tangkap Empu Gandring dan Yang Suci atas perintah Yang Mulia Akuwu"" "Benar."
"Di manakah mereka sekarang"" "Dalam guci abu."
"Jagad Dewa! Telah kau bunuh mereka."
"Tidak. Kau yang membunuhnya. Mereka di dalam asramaku waktu prajurit-prajuritmu kau perintahkan membakar asramaku."
"Mengapa mesti kau perbuat itu, Kebo" Tiadakah kau mengerti bagaimana prihatinku memikirkan semua ini" Engkau menambahi keprihatinanku begini."
"Ampun, Yang Mulia, prajurit-prajurit dungu tidak berpikiran itu.."
"Tetapi kau yang memerintahkan. Mereka takkan berani melakukannya tanpa perintahmu," Paramesywari menekan.
"Tetapi Arok atas perintah Sang Akuwu telah tangkap mereka," tamtama iru mencoba berdalih.
"Sampai sekarang ini, Kebo, kekuasaan masih di tangan Yang Mulia Akuwu. Mulai besok malam baru di tanganmu. Sebenarnya aku berhak memerintahkan menangkap kau karena membunuh mereka melalui pembakaran asrama. Lihatlah, aku tidak jatuhkan titah untuk menangkapmu, karena kaulah yang terpantas untuk memegang kekuasaan atas Tumapel. Kembalilah, bersabarlah sampai besok malam."
"Tidakkah sebaiknya guci abu mereka dibawanya serta, Yang Mulia"" tanya Arok pada Paramesywari.
"Apalah gunanya abu untuk mereka" Pulang kau!"
Kebo Ijo mengangkat sembah, melirik pada Arok dan pergi menuntun kudanya. Langkahnya gontai, menggabungkan diri pada pasukan kuda pengawalnya.
Setelah menyampaikan terimakasih pada para prajurit di tung-guk kemit karena ketabahan mereka Dedes kembali ke pekuwuan dalam iringan Arok.
"Betapa berbelit-belit persoalan ini, Kakanda."
"Yang berbelit-belit hanya cara mereka hendak menjangkau-kan tangan pada singgasana."
"Apakah Kakanda yakin akan kebenaran penyelidikan telik-telik Kakanda""
"Seperempat jari pun tak ada yang meleset."
"Apa sebab telik-telik Sang Akuwu tak dapat menemukan""
"Karena mereka dari kalangannya sendiri, hanya karena upah dan pangkat, untuk kemudian takut kehilangan dua-duanya. Untuk mendapatkan keterangan mereka tempuh jalan yang ter-
mudah: mengada-ada. Dan orang tak berdosa yang jadi korbannya."
"Bagaimana Empu Gandring bisa punya pikiran demikian""
"Dia sendiri tidak berani punya pikiran seperti itu. Bersama para tamtama mereka saling berani-memberanikan, dan berbentuk pikiran itu."
Arok mengantarkan sampai ke pintu Bilik Paramesywari. Sebelum pergi lagi ia berpesan:
"Mulai besok tak perlu lagi Sang Akuwu dibius, anak Mpu Parwa. Kepentingan telah lewat."
"Jangan tinggalkan sahaya terlalu lama," ia mengangkat sembah pada Arok.
Dan Arok pun pergi untuk memeriksa persiapan pasukannya.
JATUHNYA TUNGGUL AMETUNG Undian itu dilakukan dengan sut. Lingsang dan pasukannya mendapat kehormatan jadi ujung barisan yang akan memasuki Kutaraja dari selatan. Di belakangnya akan menyusul pasukan Umang. Di belakangnya lagi pasukan Tanca.
Setiap pasukan membawa serta dengannya para petani yang menggabungkan diri - mereka yang telah bosan dan muak terhadap perampasan dan penindasan yang menimpa mereka selama ini.
Dan di belakang ketiga-tiga pasukan mengikuti kanak-kanak dan orang-orang tua,juga ibu-ibu dengan anak dalam gendongan atau dalam tuntunan.
Dengan kepercayaan pada kebijaksanaan Pimpinan Tertinggi semangat mereka membuncah Tubuh-tubuh yang kurus tak terpelihara dan pakaian yang dekil rompang-ramping itu, hampir-hampir telanjang bulat, menderap dalam hujan pagi yang tak putus-putusnya. Klaras basah yang menyelempangi tubuh mere-ka tak mampu berkibar karena sarat oleh air hujan. Lenggang dan langkah mereka seirama, ke arah tujuan yang satu. Dan air yang tergenang di jalanan tak sempat istirahat, memercik dan berkeci-bak kena terjang ribuan pasang kaki - seakan tiada kan akhirnya.
Pasukan Lin gsang memanggul enam tombak lempar setiap orang, pedang pada pinggang, tanpa perisai. Pasukan Umang bersenjatakan panah cepat dengan laras bambu, yang ditirunya dari pasukan biarawan dan biarawati. Juga pada pinggang mereka tergantung pedang, hanya lebih pendek. Pasukan Tanca bersenjatakan tombak tangan bergagang panjang. Hanya sebilah seorang. Juga pedang tergantung pada pinggang mereka. Barisan petani yang mengikuti membawa senjata beraneka macam: kapak, canggah, trisula, pisau dapur, sabit, clurit, pelempar batu. Semua berselendang klaras. Juga ibu-ibu dan kanak-kanak.
Dalam dingin hujan itu sebentar-sebentar Umang menyisih dari barisannya, menekan perutnya, menahan muntah. Kemudian ia lari menyusul. Seluruh pasukan mengetahui, ia sedang mengandung. Tak ada yang berhasil mencegahnya, ia tetap hendak memimpin memasuki kota, tak mau kehilangan kesempatan, yang takkan kembali untuk kedua kali dalam hidupnya.
Dari sebelah barat kota berbaris pasukan Mundrayana. Dari utara pasukan Santing dan Arih-Arih. Juga para petani mengikuti mereka, laki-perempuan dan kanak-kanak, seakan tidak berangkat perang. Mereka hendak ikut bersumbang meruntuhkan kekuasaan Tunggul Ametung. Paling tidak menjadi saksi hidup.
Pasukan biarawan dan biarawati yang tak banyak jumlahnya diharuskan tetap di tempat di tenggara. Sebelah timur kota dibiarkan terbuka.
Dan matahari seakan tidak akan muncul lagi untuk selamanya. Mendung tebal dan hujan terus-menerus seakan sengaja hendak merangsang tumbuhnya benih baru dalam kehidupan di Tumapel.
Akhir tahun 1142 Saka (1220 Masehi)...
Siang itu Tunggul Ametung duduk di bangku Taman Larangan bersama Dalung dan Paramesywari. Badannya membungkuk bertumpu pada sikut dengan dagu tenggelam pada telapak tangan. Destarnya tak terawat dan matanya kuyu memandang jauh tanpa melihat.
"Apakah pusing Yang Mulia belum juga berkurang""
Sang Akuwu hanya menggeleng.
Paramesywari menarik pandang dari suaminya yang kusut dan melemparkan ke langit. Hujan telah lama berhenti, namun matahari belum juga muncul.
"Tuak!" desau Tunggul Ametung. Suaranya rendah seperti keluar dari dasar perut.
Paramesywari mendekatkan lodong tuak, kemudian membantunya minum.
"Hari tidak baik begini, Kakanda. Bukankah seyogianya tinggal dalam Bilik Agung""
Sang Akuwu kembali menggeleng. "Apa sebenarnya yang Kakanda rasakan"" "Kepala mendenyut seperti pecah."
"Memang sebaiknya beradu, Yang Mulia," Dalung mempersembahkan. "Udara terlalu buruk untuk kesehatan Yang Mulia. Mari sahaya bimbing."
Dibimbing oleh Dalung dan Paramesywari Tunggul Ametung berjalan goyah menuju ke Bilik Agung. Sampai di tangga ia ragu-ragu untuk naik.
"Hujan akan turun lagi. Kakanda," Paramesywari mengingatkan. "Angin mulai keras dan tajam begini."
Dan Tunggul Ametung tak juga melangkah naik.
"Mengapa, Kakanda""
"Seakan ada sesuatu yang melarang aku masuk."
"Kami menemani," hibur Paramesywari. "Tak ada apa-apa. Seluruh pekuwuan dan Tumapel, Akuwu dan Paramesywari dijaga ketat oleh pasukan Arok."
"Dia bisa berkhianat."
"Tidak. Persetujuan itu tetap mengikat. Mari naik." "Di mana para Kidang"" "Semua sedang kemit kota."
"Jadi Telarung sudah diabukan"" "Sudah selesai, Kakanda." "Dan Kidang Gumelar""
"Gumelar" Tiada pernah kuperhatikan di mana dia selama ini," jawab Paramesywari pura-pura tidak tahu, "boleh jadi sedang berkunjung ke rumah kekasih."
"Mari sahaya bantu naik, Yang Mulia."
"Lihat dahulu, apakah di pendopo masih ada orang."
Paramesywari mendahului masuk, melongok ke pendopo, kemudian berseru sambil berpaling:
"Sunyi sepi tiada seorang pun."
Ia mulai melangkah menaiki tangga. Dan Paramesywari kembali mendekati, mendengar pesannya:
"Jangan perkenankan siapa pun naik ke pendopo. Di mana Arok sekarang""
"Kemit ke sekeliling pekuwuan."
"Jagad Dewa, betapa terlupa aku membawa pedang."
Paramesywari mengambilkan pedang telanjang dari peraduan. Serenta pedang itu tergenggam pada tangan, matanya menjadi liar, mengawasi pintu dan semua pojokan, kemudian membalik pada Dalung:
"Kau!" memekik, "Kau!"
Dalung melangkah mundur, Paramesywari memegangi bahu suaminya, mencegah berbuat sesuatu kekerasan. "Kau yang racuni aku."
"Tidak," bantah Paramesywari. "Dalungkah yang memelihara dan mengobati Kakanda""
"Kau bikin kepalaku serasa hendak pecah."
"Tidak," bantah Dedes. "Dalung, pergi kau."
Dalung buru-buru mengangkat sembah dan meninggalkan Bilik Agung.
"Panggil dia kembali! Dia akan datang lagi bawa teman-temannya"
"Tidak. Tidurlah lagi. Kakanda, biar hilang pening di kepala," ia tarik suaminya ke peraduan, mendudukkannya dan mengangkat kakinya sebelah dan sebelah.
Tunggul Ametung meletakkan pedang itu di sampingnya.
"Jangan ada orang sampai naik ke pendopo. Siapa pun memasuki Bilik Agung, aku tebang batang lehernya."
"Kalau begitu biarlah aku pergi."
Akuwu itu menangkap pergelangan istrinya:
"Jangan pergi."
"Tidakkah Kakanda menghendaki bersantap""
"Tidak," ia tarik Dedes pada dirinya dan dirabanya kandungan istrinya. "Baik, semua ini untuk bea kau, anak, anak yang tidak kukenal."
"Tidurlah, Kakanda. Ataukah tuak lagi Kakanda inginkan"" "Stt. Ada kau dengar"" "Hanya prajurit berganti jaga."
"Pes. Dengan mereka aku taklukkan desa demi desa, aku bangunkan negeri besar ... mengapa mereka semua sekarang tak dapat dipercaya""
"Karena mereka tak pernah diajar mendapat kepercayaan."
"Mulut brahmani!"
"Jangan pikirkan sesuatu apapun, tidurlah. Aku yang akan jaga Kakanda. Belajarlah mempercayai seorang saja, istrimu sendiri ini."
"Untukmu, untuk anakmu, negeri ini aku dirikan." "Tentu, Kakanda."
"Hanya beberapa bulan lagi, dan anak ini bakal lahir, ah, apa yang aku himpun, aku bangunkan, aku lihat bergumpil-gumpil jadi desa kembali. Keliru aku, Dedes," ia duduk dan memegangi hulu pedangnya, "keliru aku, sudah dengarkan nasihat Belakangka. Semestinya Lohgawe aku tebang lebih dahulu sebelum minta nasihat. Keliru! Aku terima Arok. Dia tidak bekerja untukku, untuk keparat Lohgawe!"
"Tanpa Arok, Kakanda, kerusuhan takkan mungkin padam."
"Dia tidak padamkan kerusuhan. Dalam setiap pemadaman balatentara Tumapel rusak, pasukannya sendiri semakin besar." "Mengapa dulu Kakanda biarkan""
"Karena aku pun tahu ada sesuatu tidak beres dalam tentaraku sendiri. Hanya tak ada telik dapat bisa temukan duduk perkaranya."
"Sampai sekarang""
"Sampai sekarang."
"Kakanda betul. Ada sesuatu yang tidak beres - itulah Gerakan Empu Gandring."
Tunggul Ametung membeliak pada Dedes: "Apa diperbuat Empu Gandring""
"Dihimpunnya para tamtama - sendiri hendak naik jadi Akuwu!"
Tunggul Ametung melompat turun dari peraduan dengan pedang di tangan.
"Jangan keluar, Kanda, di luar genting."
Tunggul Ametung terhenti di pintu. Matanya liar menembusi pendopo ke segala jurusan.
"Pasukan Arok sedang berhadap-hadapan dengan balatentara Tumapel yang dipimpin oleh Gerakan Empu Gandring."
"Jadi siapa yang berpihak padaku""
"Arok!" "Jagad Dewa! Balatentaraku sendiri hendak balik gagang terhadapku" Keparat!"
Paramesywari menghampirinya dan membawanya kembali ke peraduan:
"Belajarlah percaya pada Arok."
"Dia terlalu cepat menjadi kuat. Akhirnya dia akan melawan aku. Berapa bulan yang lalu dia datang kemari"" "Dua, Kakanda."
"Jagad Dewa, Jagad Pramudita. Sekuat itu dalam hanya dua bulan! Dalam dua tahun pun aku tak mampu!" "Belajar percaya. Kakanda, belajar mempercayai." "Mulut brahmani!"
Diamlah. Balatentara Tumapel takkan lagi dapat Kakanda perintah."
"Empu Gandring!" Tunggul Ametung mengaum. Kemudian dengan suara rendah. "Dari mana kau bisa mengetahui"" "Arok, Kakanda." "Suruh Arok membinasakannya." "Dia sudah lakukan."
Tunggul Ametung mencekam kepalanya. Pedangnya jatuh bergelontang di lantai. "Pijiti kepalaku!" perintahnya. "Yang keras! Keras! Lebih keras!" pekiknya.
"Bolehkah destar ini aku buka""
"Buang! Cepat pijiri!"
Dalam pijitan Dedes yang kurang kuat mata Akuwu membeliak dan berpendaran liar.
"Dia sudah binasakan Gandring, ahli senjata tiada tara, tanpa perintahku. Dari mana balatentaraku akan mendapatkan senjata"
Khianat!" bisiknya. "Kakanda tak punya balatentara lagi sekarang ini."
"Jagad Dewa." "Tidurlah, Dedes menjaga Kakanda." "Apa kekuatanmu""
"Arok masih terikat pada persetujuan," Paramesywari menolong membaringkan kepalanya di atas bantal. "Dia bukan musuh Kakanda. Belajarlah percaya. Atau perlukah kiranya aku nyanyikan""
Tunggul Ametung bergumam tidak kentara. Kemudian terdengar suaranya yang cepat, diucapkan dengan mata terkatup: "Akan kubelah kepalamu dengan tanganku sendiri." "Ya, Kakanda, setelah semua reda kembali." "Ya, dengan tanganku sendiri." Betul."
Juga si keparat Lohgawe, Belakangka, semua orang Syiwa." "Ya, semua orang Syiwa." Tiba-tiba ia membuka mata, bertanya gugup:
"Suara apa itu""
"Tiada aku dengar sesuatu."
"Dengarkan yang baik," Tunggul Ametung melirik ke langit-langit, agak lama tiada berkedip. "Tiada kau dengar"" Ken Dedes mengangguk. "Apa kau dengar"" "Suara orang-orang Syiwa." Akuwu mencari-cari pedang dengan tangannya. "Siapa" Arok""
"Bukan. Orang-orang Syiwa yang sudah Kakanda bunuh." Ken Dedes meninggalkan Bilik Agung. "Dedes! Dedes! Jangan pergi!"
Kebo Ijo berhasil dapat membungkam para tamtama dengan tambahan catak dan saga.
Ia menjadi canggung tanpa Empu Gandring. Namun ia lega juga dengan hilangnya orang yang pandai menguasai dirinya itu. Sekarang ia menjadi orang paling terkemuka dari gerakannya. Ia menjadi kecil hati tanpa Belakangka, apalagi catak dan saga sudah mendekati habisnya. Juga tanpa dia ia kehilangan jaminan dari Kediri. Kalau demikian ia merasa bebas tanpa ada orang lain lagi menyorong-nyorongnya.
Ia tahu, bila perak dan emas telah tandas dari persediaan, para tamtama itu akan berbalik menentang dan menghadapinya. Sumber emas yang diketahuinya sekarang adalah rumah Empu Gandring, Belakangka, pekuwuan dan Arok.
Diajaknya empat orang tamtama mengadakan persekutuan kecil untuk merampok rumah Empu Gandring dan Belakangka. Ia tahu seluruh balatentara mendapat liburan sampai besok, dan mereka sedang sibuk berpesta menjarah dan merampok, memperkosa dan menganiaya, karena Hyang Kama telah mere ka taklukkan, dan hukum adalah kepunyaan balatentara Tumapel.
Mulai nanti malam Tumapel dan Dedes telah jadi miliknya.
tapi para tamtama harus tetap dapat dikendalikan. Dan kendalinya hanya janji naik jadi perwira, kantong berisi catak dan saga.
Telah dapat ia bangunkan keyakinan: sekali kesempatan ini meleset, dia takkan datang lagi untuk selama-lamanya.
Dan empat orang tamtama itu menyetujuinya. Dengan kawalan pasukan kuda mereka mendatangi rumah Empu Gandring dan tidak mendapatkan sesuatu kecuali pertanyaan anak-bininya tentang bapa-suami mereka. Bahkan tak ada lemari batu di dalam rumah itu. Empu Gandring ternyata cermat dalam sim-pan-menyimpan, juga menyimpan maksud-maksud pribadinya sendiri.
Di istana Belakangka mereka dapatkan sekumpulan selir. Juga lemari baru itu tak mereka dapatkan. Sebagai hiburan sial mereka lucuti para selir dari perhiasan mereka. Kemudian mereka kembali ke asrama.
"Bagian kalian adalah yang terakhir, yang terbaik," Kebo Ijo menghibur pasukan kuda yang mengawalnya. "Harta-benda dalam pekuwuan akan jadi milik kalian."
Kebo Ijo menyesal memberikan janji itu. Mereka bisa menjadi murka bila ia tak bakal memenuhinya. Dan ia tidak bakal memenuhinya. Seluruh pekuwuan harus jadi miliknya sendiri, termasuk singgasana, Dedes dan dana negeri. Ia akan hadapi pasukan kuda sebelum jadi murka dengan balatentara Tumapel.
Sebelum sampai ke asrama, di sebuah jalan raya negeri ia melihat suatu pertempuran terjadi di sekitar rumah besar seorang pedagang. Ia lambaikan tangan memerintahkan pertempuran lerai.
Dan pertempuran itu tidak lerai. Seorang tamtama yang mengeringkannya melihat anak buahnya sedang berkelahi dengan para prajurit dari pasukan lain. Ia menceburkan diri membantu anak buah sendiri.
Kebo Ijo meneruskan perjalanan. Kalau tamtama itu tewas dalam pertempuran, bahaya untuk dirinya akan berkurang dengan seorang lagi.
Ia menduga dalam pekuwuan sudah tersedia barang lima puluh ribu saga, dan catak tak t
erhitung lagi. Nanti malam, bila seluruh kekuasaan sudah jatuh ke tangannya paling banyak ia akan bagikan sepersepuluh. Mula-mula para tamtama, kemudian seluruh prajurit kuda.
Bagaimana menyelamatkan selebihnya" Ia pilih para tamtama yang dianggapnya terdekat dengan dirinya - mereka yang sekarang mengiringkannya. Terbatas pada mereka saja segala-galanya akan diatur. Mereka pun akan ia angkat sebagai menteri dan patih, dan semua akan beres.
Pada dasarnya ia tidak pernah mendendam Tunggul Ametung karena tewasnya ayahnya, Kebo Delancang. Makin dekat dengan waktu yang dijanjikan oleh Ken Dedes, makin muncul gambaran Akuwu sebagai pembunuh ayahnya, makin ia merasa berdosa bila tidak membalas akan dendam: ia mempunyai alasan untuk lakukan itu. Harus! Hanya dengan jalan membunuhnya darah satrianya akan mendapat pengkokohan.
Sampai di asrama, keadaan masih lengang. Para prajurit masih gila dengan pestanya. Hanya para tamtama dari Gerakan Empu Gandring yang masih tetap berada di tempat. Yang tidak bergabung juga sedang sibuk mempertahankan harta keluarga sendiri dari jarahan dan perampasan.
Kedatangannya disambut oleh pertanyaan dari seorang tamtama yang paling menjengkelkannya itu:
"Belum juga kau jawab tentang Empu Gandring dan Yang Suci."
"Apakah belum cukup pundi-pundimu diisi"" ia sengaja membikin jawabannya jadi keras.
"Bukan pundi-pundi dan isinya yang aku tanyakan, Kebo; kepastian tentang Empu Gandring dan Yang Suci."
"Kalian akan bertemu dengan mereka nanti malam."
"Sebagai apa" Sebagai tangkapan pasukan Arok""
"Arok hanya menjalankan perintah Akuwu."
"Di mana mereka sekarang"" tanyanya.
"Sekarang ini tak perlu kau tahu."
"Kebo, itu tidak benar. Perlu kau ketahui apa kata Empu Gandring padaku terakhir kali: Jaga si Kebo, memang dia punya darah - lebih dari itu tidak!"
"Itulah Empu Gandring. Tentang kau untuk terakhir kali dia bilang padaku: jangan turutkan kehendakmu. Karena apa" Karena kaulah, katanya, tukang jegal yang bisa membikin orang terbalik sewaktu tertawa suka."
"Kata-katanya terakhir padaku," seorang tamtama lain menye-ia,"dia memperingatkan agar waspada pada tamtama selebihnya."
"Itulah Empu Gandring," seru Kebo Ijo. "Pendeknya bukan dia yang membiayai semua ini. Aku. Kalian yang takkan pernah jadi perwira tanpa perlawanan terhadap Tunggul Ametung ini - sekali kita bertengkar, semua kesempatan akan hilang. Dengan cakra Hyang Wisynu, dengarkan Kebo Ijo bicara, akan kupeli-hara Gerakan Empu Gandring ini tanpa Empu Gandring."
"Belum ada seorang resi pun yang membenarkan ada cakra Hyang Wisynu pada tanganmu," seseorang membantah.
"Setidak-tidaknya," orang lain lagi menambahi, "Tunggul Ametung dibenarkan oleh Resi Belahan. Siapa benarkan kau""
Kebo Ijo gugup dan menangkap satu-satunya pegangannya selama ini:
"Semua kalian tahu, silsilah Kebo Ijo sudah ada di Kediri. Adakah pada salah seorang di antara kalian ada" Yang Tersuci Tanakung telah mempelajari dan membenarkan. Apakah pada salah seorang di antara kalian ada" Siapakah yang lebih dekat pada Kediri di antara kita" Aku ataukah kalian""
"Tentang itu biarlah wakil Kediri yang bicara, bukan kau!"
Kebo Ijo menggeragap. "Apakah gunanya kita bertengkar begini"" seorang tamtama lain lagi menyela. "Waktunya semakin pendek, dan Paramesywari Tumapel, sejauh yang kita ketahui, telah bersedia menerima seluruh balatentara Tumapel. Sejak kejadian itu Tunggul Ametung sudah tiada artinya lagi. Kita tinggal menunggu saat resmi malam ini. Apa guna semua percekcokan ini" Apalagi kita sekarang mengetahui, Empu Gandring mengadu-domba kita selama ini""
Kebo Ijo melirik pada pembicara terakhir itu, dan diketahuinya dia adalah salah seorang pengiring yang telah dipilihnya. Dan orang itu meneruskan:
"Bagaimana pun, Kediri akan mengakui Kebo Ijo daripada kita sekalian. Selama ini dia hanya tamtama seperti kita. Itulah kejahatan Tunggul Ametung yang tidak mengindahkan triwangsa. Untuk mengerti itu tak perlu melalui ucapan Yang Suci. Wakil Kediri itu ada atau tidak, aturan itu berlaku dengan sendirinya. Tidak meng
indahkan aturan para dewa akan tumbang dengan sendirinya, atau harus ditumbangkan. Lagi pula Kebo bukanlah seorang Syiwa, dia Wisynu seperti kita semua. Maka dia patut dan harus didengarkan."
Kebo Ijo mendapatkan kepribadiannya kembali:
"Memang itulah yang kumaksudkan untuk menyampaikan pada kalian. Sekarang terserah pada kalian apakah kita berhenti sampai di sini saja atau harus melangkah. Barangsiapa lebih suka berhenti barangtentu akan kita tinggalkan."
"Aku ikut bersama denganmu, Kebo, karena para dewa lebih dekat pada seorang satria daripada sudra. Barangsiapa telah patah di tengah jalan, tinggallah di sini, atau bergabunglah dengan para prajurit yang sedang berpesta. Barangsiapa ikut dengan Kebo Ijo, mari kita iringkan dia pergi ke pura. Tindakan sepenting ini tidak patut tanpa diketahui oleh Hyang Wisynu."
"Dengan memohon pada Hyang Wisynu kita tidak akan bersalah pada para dewa dan juga tidak pada Kediri," Kebo Ijo menambahi.
"Kau berkokoh tak mau menerangkan bagaimana nasib Yang Suci dan Empu Gandring," tamtama yang menjengkelkan itu mulai lagi.
"Dua-duanya ada pada Arok dan Akuwu," jawab Kebo Ijo gusar. "Kalau kau hendak ikut bersama mereka, pergilah"
"Dan kau terlalu percaya pada Paramesywari." "Kau terlalu percaya Paramesywari berkuasa atas Arok!" yang lain lagi menambahi.
"Jadi kau percaya pada siapa"" tanya Kebo balik. "Hanya pada HyangWisynu."
"Kalau begitu mari bersama aku pergi ke pura," ajak tamtama penyokong Kebo. "Mari berangkat, Kebo! Kami akan iringkan!"
Ajakan yang membebaskan itu memaksa Kebo itu bangkit berdiri dan mulai melangkah meninggalkan asrama dalam iringan para tamtama penyokong.
Beberapa orang yang melihat hampir semua mengikuti Kebo merasa kehilangan pegangan, ikut berdiri dan mengikuti mereka tanpa kerelaan.
Para penduduk Kutaraja yang kaya dalam keadaan kacau-balau itu menyebarkan hamba-hambanya, berseru-seru memanggil para prajurit untuk mempertahankan harta benda dan keluarganya. Mereka menjanjikan upah tinggi.
Mereka yang mempunyai sanak tamtama memerlukan menghubungi untuk minta bantuan. Perkelahian antar prajurit Tumapel semakin menjadi-jadi. Darah bertetesan di mana-mana.
Kelompok-kelompok prajurit baru, yang tak dapat melihat kejahatan itu pada melarikan diri kembali ke desa masing-masing di luar kota. Sampai di tengah perjalanan mereka kembali harus melarikan diri berpapasan dengan pasukan-pasukan Arok yang sedang menuju ke Kutaraja.
Kelompok-kelompok lain, juga dari angkatan baru, dalam bondongan melarikan diri ke pekuwuan minta perlindungan pada pasukan Arok.
Darah bertetesan di jalan-jalan dan pelataran rumah orang-orang kaya dan tidak kaya. Setiap dendam pada penduduk, betapa pun kecilnya, kini mendapat kesempatan dilepaskan: lamaran tertolak, permintaan tertolak, sikap yang dianggap kurang hormat dan kurang menghinakan diri sendiri di hadapan prajurit Tumapel, lelucon para prajurit yang tidak ditanggapi dengan tawa. Terutama yang paling menderita adalah kaum terpelajar yang miskin dan tak mampu menyewa tenaga pembela dalam kerusuhan ini. Karena keterpelajarannya para prajurit menjadi dengki. Dalam kekacauan sekarang mereka mendapat kesempatan untuk membuktikan: senjata lebih berarti di tangan orang sebodoh-bodohnya daripada keterpelajaran dalam tubuh tanpa pelindung.
Arus bondongan penduduk yang melarikan diri ke luar kota melalui segala cara yang mungkin tak lagi dapat dibendung, siang dan malam, terutama wanita dan kanak-kanak.
Di beberapa tempat penduduk telah pula mulai melawan. Dan para pelawan makin lama meningkat jumlahnya. Mula-mula secara perorangan, kemudian bergabung, kampung demi kampung.
Pasukan kuda, yang sudah tak lagi melihat Yang Suci Belakangka, kemudian jadi ragu-ragu terhadap perkembangan yang tak jelas jurusnya. Hanya karena jaminan dari Belakangka menyebabkan mereka masih tinggal tertib. Tetapi terus-menerus mengawal Kebo Ijo" Mereka tak tahu lagi apa pula gunanya. Perwiranya, seorang sanak-jauh dari Tunggul Ametung kemudian menyedari, bahwa gerakan besar yang dipimpin Kebo Ijo bertujuan untu
k menggulingkan pamannya. Sang Akuwu. Mengerti, bahwa bila Tunggul Ametung terguling ia sendiri kemudian akan mendapatkan giliran, akhirnya memerintahkan pasukannya menarik diri, membawanya lari ke Kediri melalui utara. Perwira itu telah bertekad untuk mempersembahkan segala sesuatu di Tumapel pada Ratu Angabaya, dan akan mohon perlindungan Kediri. Ia tidak tahu siapa yang harus dilawannya sebagai prajurit Tumapel.
Empat ratus prajurit kuda itu nampak sebagai gelombang tebal yang memenuhi jalanan. Tanpa panji dan tanpa umbul-umbul.
Mereka sudah buang segala tanda-tanda Tumapel dan menjadi pasukan liar.
Sore itu hujan turun lagi dengan lebatnya. Hanya sebentar.
Namun air yang mengalir dari gunung-gunung di sebelah utara tak dapat ditampung oleh selokan kiri-kanan jalanan negeri, naik ke atasnya.
Dan pasukan Santing, Arih-Arih dan Bana menderap maju dengan semangat mengalahkan dingin dan hujan. Sepanjang jalan semakin menggembung besar dengan ikut-sertanya penduduk yang bergabung: orang-orang Syiwa, Wisynu, Buddha, Kalacakra, Tantrayana, Durga dan mereka yang hanya memuja leluhur.
Selama ini Tunggul Ametung paling memusuhi orang Syiwa, maka yang paling keras melawan adalah juga golongan mereka.
Dalam sut pasukan Bana harus masuk lebih dahulu ke Kutaraja. Pasukannya yang terdiri atas anak-anak belasan tahun itu bukan lagi berbaris, tetapi telah mendekati lari, semua sudah kehilangan kesabarannya untuk segera melaporkan keadilan yang telah mereka laksanakan pada Arok.
Sepanjang jalan ia bertemu dengan wanita dan kanak-kanak yang melarikan diri, juga prajurit-prajurit Tumapel angkatan baru. Makin lama makin banyak barisan yang mengikuti, terutama gadis-gadis dari desa-desa yang dilalui. Dan pasukan itu semakin jadi bersemangat.
Sepanjang jalan orang berseru mengumumkan: pasukan Arok turun dari gunung untuk menggempur Kutaraja, menggulingkan Tunggul Ametung.
Di belakangnya menyusul pasukan Santing - sebuah pasukan yang telah berpengalaman melawan Tumapel selama lima tahun, juga diikuti oleh petam-petani dewasa dari desa-desa yang pernah dilindunginya, membawa segala macam senjata dan perbekalan.
Di belakangnya lagi menyusul pasukan Arih-Arih - sebuah pasukan yang telah berpengalaman selama tiga tahun, dengan keahlian memainkan bandul batu dan merayap dalam kegelapan. Sama halnya dengan pasukan Santing, dua-duanya mahir menguasai medan di rimba belantara.
Dari sebelah barat pasukan si mata-satu Mundrayana membawa serta dengannya semua penduduk desa kaki Gunung Arjuna, laki dan perempuan, tua dan muda.
Pasukan bekas budak, yang mendalam dendamnya terhadap Tunggul Ametung dan barisan jajaro ini, boleh menggunakan panah cepat yang dipelajarinya dari barisan biarawan dan biarawati. Penuh kepercayaan, senjatanya tiada terlawan oleh tombak dan pedang, mereka akan dapat menumpas balatentara Tumapel dengan hujan-mautnya.


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah-tengah rombongan penduduk yang bergabung terdapat juga Nyi Lembung, yang diangkat dengan tandu. Dalam rombongan lain terdapat pandita Tantripala, yang naik kuda dituntun oleh murid-muridnya. Dalam rombongan penduduk terakhir terdapat Dang Hyang Lohgawe, juga naik kuda, dalam iringan murid-muridnya.
Semua takkan lewatkan kesempatan untuk saksikan tumbangnya Tunggul Ametung.
Mendung di atas mereka tidak menjatuhkan hujan, namun jalanan yang biasa dihancurkan oleh ladam kuda itu telah rusak dan mengandung lumpur.
Seluruh barisan itu dua kali berhenti di sebuah desa di pinggir jalan untuk bersantap. Dan sore pun datang waktu mereka harus meneruskan perjalanan lagi.
Waktu senja jatuh, pasukan Mundrayana melihat di depannya gelombang besar pasukan kuda Tumapel. Mereka langsung bersorak perang dan menyerukan datangnya pasukan Arok
Pasukan kuda di depan itu nampaknya hendak menerjang gelombang manusia yang menghadang jalan, tak peduli dan tidak gentar pada sorak-perang. Melihat itu pasukan Mundrayana memerintahkan penduduk yang serta meminggir ke kiri dan kanan jalan. Mereka menyibak diri seperti gelombang pecah dua. Dari depan pasukan kuda bersorak menjawa
bi. Mendengar tantangan itu pasukan Mundrayana langsung lari ke depan. Jarak mereka semakin dekat.
"Minggir untuk pasukan kuda Kediri!" terdengar pekikan dari depan.
"Balik untuk pasukan Arok!"
Dengan pedang terhunus Mundrayana lari mendahului pasukannya dan memerintahkan menyemburkan hujan panah. Anak panah melesit ke udara seperti sekelompok awan, membikin terdepan pasukan kuda itu membanting arah ke kiri dan kanan.
Pasukan kuda yang tidak bermaksud hendak bertempur itu terpaksa menghindari hujan panah, sebentar berpusing-pusing di tempat, kemudian semua membelok menerjang desa, dengan hujan panah terus mengikuti.
Kuatir mereka kemudian menyerang rombongan penduduk di belakang, pasukan Mundrayana berbalik dan lari ke belakang untuk menyempurnakan pengusiran Pasukan kuda itu semakin menjauh, menerjang-nerjang ladang dan sawah untuk kemudian menghilang dari pemandangan.
Pasukan Mundrayana bersorak gembira, mengetahui tanda-tanda ketakutan dari balatentara Tumapel. Pasukan cepat penindas kerusuhan kecil-kecilan itu ternyata gentar melihat gelombang manusia dari belasan ribu orang yang bersenjata. Para gadis berlarian ke depan untuk memunguti anak-anak yang berhamburan dan menyerahkan kembali pada para prajurit Mundrayana.
Mereka maju lagi dan matahari pun hilang ditelan oleh pegunungan dan puncak rimba.
Di selatan kota pasukan Umang telah dua kali beristirahat di desa di pinggir jalan. Semua perempuan desa terangsang untuk serta: hampir seluruhnya Wisynu dan pemuja Dewi Sri. Tetapi serangan yang semakin datang menyerang kesempatannya menyebabkan ia digantikan oleh Oti.
Di belakangnya, pasukan Lingsang yang merasa bersalah telah mau dibawa oleh Hayam Lumang Celukan untuk melawan Arok, untuk penebus kesalahannya, adalah yang paling bersemangat mengagungkan Arok. Sepanjang jalan pasukan itu bersorak-sorai menyebut nama pemimpin tertinggi mereka.
Dalam pasukan Tanca tergabung beberapa ratus orang dhar-mana Kediri.Tanca sendiri agak kurang bersemangat. Mpu Parwa yang dijemputnya ternyata menolak ikut serta memasuki Kutaraja. Ia tak berhasil membujuknya, bahwa kedatangannya adalah untuk menyaksikan kejatuhan Tunggul Ametung.
"Takkan kuinjakkan kakiku di bumi Kutaraja," jawabnya. "Juga tidak untuk melihat jatuhnya Tunggul Ametung."
"Setidak-tidaknya untuk menyaksikan bebasnya Dedes, ya, Bapa Mpu Parwa," Tanca mencoba mempengaruhi.
"Sejak dia membiarkan diri tersentuh oleh orang Wisynu terkutuk itu, aku menjadi ragu apakah benar dia anakku."
Tanca merasa tak punya hak untuk mendesaknya lebih lanjut, kecuali memberitakan:
"Sahaya hanya menjalankan perintah dari Arok, Bapa." "Berangkatkan pasukanmu dengan restuku," dan ia tak bicara lagi, kemudian pergi ke candi Agastya.
Tanca merasa tidak puas dengan gagalnya tugas itu. Ia dapat melihat jatuhnya Tunggul Ametung kurang sempurna tanpa saksi Mpu Parwa, yang justru berkepentingan melihat bebasnya Dedes.
Senja mulai jatuh. Dan ia belum juga perintahkan pasukannya bersorak. Yang bersorak-sorai justru sisa penduduk yang tidak sempat menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan sebelumnya.
Mendung di langit masih juga tergantung. Hari menjanjikan malam yang gelap-pekat. Guruh terdengar terus-menerus meng-
gerutu di kejauhan. Dan Tanca masih juga belum dapat menemukan jawaban apa harus dikatakannya pada Arok tentang tak hadirnya Mpu Parwa. Di barisan terdepan Oti terus juga memberanikan Umang: "Kuatkan, kuatkan. Katakan pada anak dalam kandunganmu itu: jangan ganggu ibu yang sedang maju ke medan-perang." "Lihatlah, sudah aku tahankan."
"Pinggiran kota sudah hampir sampai. Pergunakan untuk bersorak. Tidak benar kalau anak itu harus jadi bebanmu."
"Jagad Dewa," pekik Umang. "Bersorak kalian!" kemudian ia lari ke belakang, memerintahkan pada penggabung yang telah parau itu untuk membuka suara.
Malam jatuh waktu barisan terdepan itu melewati pinggiran kota, melalui desa Empu Gandring, Lumambang. Sebagaimana direncanakan pasukan Umang menyebar ke sekeliling pabrik senjata di tentang rumah Empu Gandring. Dihancurkannya pintu-pin
tu batu pada bukit kecil di belakang pabrik dan dikeluarkan senjata-senjata yang telah jadi. Yang tidak bersenjata kini bersenjata. Tak ada yang ditinggalkan di gua dalam bukit. Tumpukan-tumpukan dijajar di pinggir jalan untuk dipergunakan oleh pasukan-pasukan yang masih di belakang. Kemudian mereka memekikkan sorak-perang lagi.
Wanita-wanita yang hanya bercawat itu mendesak maju dalam kegelapan Kutaraja, menghalau prajurit-prajurit Tumapel yang lena dalam gila pesta menjarah dan merampok.
"Pasukan Arok datang! Pasukan Arok datang!"
Pada mulanya prajurit-prajurit Tumapel tidak menyedari, mereka datang untuk menyerang. Sorak-perang dari tenggorok-an wanita itu terdengar aneh, tinggi dan ngilu, tidak menggambarkan semangat haus darah. Serenta mereka mengetahui wa-nita-wanita menyapu para prajurit Tumapel dari kampung ke kampung dan dari desa ke desa, membinasakan mereka yang terpapasi, terpaksa mereka lari belingsatan meninggalkan segala yang telah terampas dan termiliki.
Sorak-sorai itu memburu-buru, membuntuti ke jantung ibukota...
Malam itu seratus depa jalanan kiri dan seratus depa jalanan kanan depan pekuwuan bermandikan sinar damar besar, berjajar-jajar sampai ke pelataran, pendopo pekuwuan. Tetapi pendopo itu sendiri tidak bersuasanakan pesta - kosong.
Ratusan prajurit Arok berbaris berjajar sebagai pasukan kehormatan menyambut kedatangan Kebo Ijo dan para tamtama Mpu Gandring yang mengiringkannya.
Arok dan Handanu berdiri pada tangga pendopo sebagai penyambut resmi.
Kebo Ijo datang dalam pakaian kebesaran, berhias dengan serba emas, diiringkan oleh seratus empat puluh tiga tamtama - semua dalam pakaian kebesaran. Pasukan penyambut mengge-dikkan tombak mereka pada tanah, kemudian berlutut dengan satu kaki.
Dan Kebo Ijo meneruskan perjalanan tanpa menggubris. Ia berjalan paling depan. Di belakangnya empat orang pengiring tepercaya, di belakangnya lagi para tamtama selebihnya.
Dari kejauhan mulai terdengar sorak-perang pasukan Arok, tetapi mereka tidak memperhatikan, mengirakan seruan-seruan para prajurit Tumapel yang sedang berpesta.
Kebo Ijo melangkah gagah langsung ke pendopo.
Arok dan Handanu menggedikkan tombak.
"Yang Mulia," Arok memulai. "Silakan naik. Yang Mulia Akuwu masih di Bilik Agung. Sahaya akan menjemput Yang Mulia Paramesywari dari pura-dalam."
"Ya, pergi kau menjemput Yang Mulia Paramesywari!"
Arok dan Handanu menggedikkan tombak, kemudian balik kanan jalan melalui depan pekuwuan pergi ke belakang.
Kebo Ijo naik ke pendopo yang kosong dari manusia, pengawal ataupun narapraja. ia berjalan langsung ke Bilik Agung dan berhenti pada tabir bambu patung.
"Tunggul Ametung!" serunya, "keluar kau!" Dari dalam terdengar orang batuk. Dan Kebo Ijo mengulangi perintahnya:
"Aku belah kepalamu! Siapa kau, berani-berani buka mulut padaku"" terdengar suara parau dari dalam. "Dedes! Dedes! Di mana kau, Permata""
"Mabok!" bisik seorang pengiring.
"Segera masuk, sebelum Paramesywari datang," bisik yang lain. "Hanya ini kesempatan kita."
Kebo Ijo menghunus pedang dan masuk ke dalam.
Terdesak dari selatan para prajurit Tumapel yang belum tahu betul duduk-perkara, berlarian ke pusat ibukota. Tetapi sorak-perang dari sebelah utara dan barat mulai mendesak, menggelombang seperti laut pasang. Kilat yang berkejapan menjadi suluh bagi para prajurit yang berlarian dari utara dan barat.
Kini mereka mulai mengetahui, benar-benar pasukan besar Arok sudah datang menerjang kota dari tiga jurusan. Tak ada tempat bisa mereka pergunakan berlindung. Asrama yang pada mulanya mereka pergunakan berkumpul, kini mereka tinggalkan lagi dalam keadaan bingung tanpa perwira tanpa tamtama. Mereka hanya bisa mengangkuti harta-benda paling berharga, membela diri secara perorangan dan melarikan diri ke arah timur - daerah hutan belantara yang belum terjamah manusia.
Pasukan Arok makin mendesak dan membiarkan timur kota tetap terbuka. Sorak-perang dan seruan pasukan Arok datang menggiring balatentara Tumapel yang belingsatan itu meninggalkan tempatnya. Rumah-rumah penduduk yang
dipergunakan mereka bersembunyi ditinggalkan oleh para penghuni, yang memanggil kedatangan pasukan pendatang.
Para petani penggabung tidak kalah bersemangat dari prajurit-prajurit Arok. Mereka berlari sambil menyerang dan menyerbui rumah-rumah yang dipergunakan bersembunyi.
Gelombang dari luar kota menguasai Kutaraja setapak demi setapak, meninggalkan prajurit-prajurit Tumapel bergelimpangan, dan mendesak terus ke titik yang dijanjikan pekuwuan Tumapel untuk melihat sendiri jatuhnya Tunggul Ametung dan Tumapel.
Gedung pekuwuan terkepung rapat dengan tombak. Sorak parau makin menderu-deru, menggentarkan para tamtama yang kebingungan menunggu di pendopo.
Kemudian orang melihat Kebo Ijo keluar dari bilik dengan pedang berlumuran darah.
"Pasukan Arok datang!"
Ia berjalan ke tengah-tengah kumpulan tamtama. Matanya liar melihat kepungan tombak di hadapannya. Ia lari meninggalkan pendopo masuk kembali ke Bilik Agung.
Para tamtama tinggal duduk di tempat. Kemudian seperti mendapat perintah gaib semua bersujut dengan kening pada lantai.
Paramesywari didampingi oleh Arok dan dikawal oleh regu besar bertombak naik dari depan ke pendopo. Orang bersorak menyambut.
Para tamtama tetap bersujud menyerah di tempat.
Arok mengangkat tangan menyuruh semua pasukan luar kota diam.
Ken Dedes berhenti menunggu Arok. Dan seorang tamtama memekik dalam sujudnya:
"Ampun Yang Mulia Paramesywari, inilah para tamtama Tumapel datang untuk bersujud pada kaki Yang Mulia."
"Di mana Kebo Ijo""
"Di dalam Bilik Agung, Yang Mulia."
Dedes didampingi oleh Arok, diiringkan oleh regu bertombak masuk ke Bilik Agung.
Melihat Arok datang dengan regu bersenjata, dengan pedang berlumuran darah ia lari ke pintu Taman Larangan. Tapi tak mungkin, juga di situ tombak-tombak menyeringai dari luar.
"Menyerah kau. Kebo Ijo!" perintah Arok. "Dan lihat kalian, semua pengawal, dia telah masuki Bilik Agung. Pada tangannya pedangnya sendiri, berlumuran darah."
Semua yang melongok ke Bilik Agung melihat Kebo Ijo berdiri dengan pedang di tangan. Airmukanya tegang, matanya sedikit membeliak dan mulutnya agak terbuka sehingga kelihatan baris giginya yang hitam-kelam karena sirih dan jahawe.
Di depan peraduan Tunggul Ametung menggeletak di lantai kayu, bermandi darah, tuak dan muntahan sendiri. Dadanya belah, perutnya menganga. Mukanya pecah, dan dari mulutnya masih keluar muntahan bercampur darah. Jari-jari tengahnya masih kelihatan bergerak-gerak tak kentara. Bau amis mengawang di udara.
Ken Dedes mencekam dada dan memekik: "Kakanda!" ia lari pada suaminya. "Tangkap si Kebo!" perintah Arok.
Tombak-tombak pasukan pengawal menyeringai mengepung Kebo Ijo. Pedang di tangannya jatuh menggelontang di lantai.
"Tangkap semua tamtama di luar sana!"
Sebagian besar para pengawal berlarian mengepung para tamtama di pendopo.
"Ikat si Kebo!"
Dan Kebo Ijo diikat. "Pembunuh Yang Mulia Akuwu!" desis Arok. "Telah mati waktu sahaya masuk," jawab Kebo. Suara dan kakinya gemetar.
"Penipu! Pedang dan tanganmu masih berlumuran darah." "Kakanda! Kakanda!" tangis Dedes, membungkuki suaminya. "Berapa kali kau pukulkan pedangmu"" desak Arok. "Hanya sekali, pada perutnya."
Arok melangkah cepat ke arah Tunggul Ametung, membungkuk sebentar, merabanya sedikit, kembali pada Kebo Ijo:
"Penipu, pembunuh. Paling tidak tiga kali kau memedang. Badannya masih hangat, jari-jarinya masih bergerak. Tak ada orang lain masuk kecuali kau!" ia menuding ke arah pintu ke taman Larangan. Dan di sana tombak - tombak menyeringai tanpa nampak prajurit-prajurit yang memeganginya. "Hanya kau!"
"Sahaya hanya sekali memedang, sungguh mati, pada perutnya."
Seseorang memukul mulutnya dengan gedigan tangkai tombak. Ia terdiam. Darah mengalir dari mulut itu.
Paramesywari masih berlutut membungkuki suaminya dan meratap. Suaranya pelahan menghiba-hiba. Arok menghampirinya dan mempersembahkan:
"Yang Mulia Paramesywari," ia berpaling dan menuding pada Kebo Ijo,"terserah pada Yang Mulia hukuman apa harus dijatuhkan pada penjahat itu."
"Mati, Ar ok, Sang Akuwu mati," tangis Dedes.
"Panggil dan jemput Dalung!" perintah Arok pada anak buahnya. Dan empat orang lari keluar untuk menjalankan perintah. Arok menghampiri mayat Tunggul Ametung, membungkuk dan memperhatikan Dedes mengambil selendang dari kepala dan dengannya menyeka muka suaminya dari darah, kemudian menyeka dada, tangan. Tetapi darah itu masih juga mengucur dan mengotorinya lagi. Ia bantu Paramesywari menutupkan tapuk mata mayat itu, meletakkan tangannya di samping tubuh.
Hening seluruh Bilik Agung dan pendopo. Sorak perang tak terdengar dari kejauhan.
Lambat-lambat Paramesywari berdiri, mengangkat muka dan pandang pada Kebo Ijo, berkata pelahan:
"Seorang satria - berkelahi dengan orang yang sedang mabok." Ia berpaling pada Arok, bertanya, "Apakah itu cukup patut, Arok""
Arok mengangkat pedang, terarah pada Kebo Ijo:
"Jawab pertanyaan, Yang Mulia Paramesywari!"
"Ampun," geletar suara Kebo Ijo.
"Apakah kau sudah jadi jajaro, tak buka suara pada Yang Mulia Paramesywari""
"Ampun," ia jatuh berlutut. Seluruh tubuhnya gemetar.
"Giring semua tamtama itu masuk kemari dengan tertib, biar mereka saksikan apa telah diperbuat oleh pemimpinnya."
Para tamtama itu berbaris merangkak memasuki Bilik Agung.
"Inilah hasil kalian dari Gerakan Empu Gandring, hanya menumbangkan orang yang sedang mabok. Baik, kalian memang hanya sudra, tapi pemimpinmu ini, seorang satria! membunuh orang mabok - hanya paria yang dijajarokan bisa berlaku sehina itu!"
Para tamtama itu berjalan membentuk lingkaran, merangkak tanpa menurunkan sembah, sampai orang terakhir meninggalkan Bilik Agung.
Dalung masuk, langsung mendapat perintah mengurus mayat dan meletakkannya di pendopo. Dengan dua orang pembantunya ia bersihkan mayat itu dan membalurnya dengan wangi-wangian, kemudian mengangkat keluar.
Tinggal hanya dua orang di dalam ruangan: Arok dan Dedes.
"Dedes," bisik Arok, "semua sudah selesai."
Dedes tak menanggapi. "Dedes, aku ulangi: semua sudah selesai. Bicara, kau." "Ya, semua sudah selesai."
"Mari ke pendopo," dan sampai di tempat Arok berkata keras, "Yang Mulia Paramesywari, dengan wafatnya Yang Mulia Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, Yang Mulialah sekarang penguasa penuh di Tumapel. Titahkan sesuatu."
Dari pasukan-pasukan luar kota yang mengepung membubung seruan-seruan tidak puas. Ken Dedes nampak mengge-ragap, menghindarkan pandang dari para pengepung di luar pendopo dan menancapkan pada wajah Arok. Bibirnya bergerak, tetapi tak sepatah kata keluar daripadanya. Dan bibir itu nampak kering.
"Dengan mangkatnya Sang Akuwu pada hari ini," Arok memulai lagi,"Yang Mulia Paramesywari sekarang penguasa penuh Tumapel."
"Arok Akuwu kita!" mereka bersorak.
Arok melambaikan tangan menyuruh orang bersabar Tetapi kegelisahan umum itu masih juga merajalela Ia angkat tangan tinggi-tinggi, menyuruh semua diam. Dan kegelisahan itu makin lama makin mereda.
Dari pemandangan sekilas Dedes mengetahui, semua orang mendengarkan Arok. Jantungnya mendenyutkan perasaan tak rela. Ia, seorang brahmani, adalah yang tertinggi di antara semua yang ada di hadapannya. Dan nampaknya orang tak ingin mendengarkan suaranya.
"Titahkan sesuatu, Yang Mulia, seluruh kawula Tumapel sedang menunggu-nunggu."
"Kalian, para tamtama Gerakan Empu Gandring. Kalian telah melakukan persekutuan untuk membunuh Yang Mulia Akuwu dan telah melaksanakan pada hari ini," suaranya ragu-ragu, sangat pelan, parau, tangan selalu diletakkan pada perut bawah.
Dan Arok menompangi dengan suara lantang:
"Siapa pemimpin kalian dari Gerakan Empu Gandring"" Melihat tak seorang menjawab, ia meneruskan: "Seluruh Tumapel dan ibukota, juga pekuwuan, telah terkepung oleh pasukan Arok. Balatentara Tumapel telah lari, binasa atau menyerah. Jangan kalian menganggap masih punya kekuatan. Salah seorang harus menjawab: Siapa pemimpin kalian""
"Empu Gandring," seorang menjawab.
"Maka itu Empu Gandring telah aku tangkap. Siapa pemimpin kalian setelah itu""
"Kebo Ijo," semua menjawab.
Kebo Ijo sendiri duduk menunduk dengan tang
an terikat ke belakang. Arok menuding pada Kebo Ijo:
"Diakah yang pimpin kalian untuk membunuh Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel yang dilindungi oleh Kediri'"
"Kami datang bukan untuk membunuh," seorang menjawab, "Kami datang untuk menghadap Yang Mulia Paramesywari, dititahkan datang pada malam ini."
"Mengapa kau bunuh Yang Mulia Akuwu"" tanya Arok pada Kebo Ijo. "Mengapa tak kau jawab" Baik. Siapa perintahkan kau""
Pasukan Arok yang mengepung di luar dan di dalam pekuwuan, dalam dingin malam itu tetap tak bergerak dari tempat.
"Jadi kau sendiri yang berkehendak membunuhnya. Untuk menggantikan Yang Mulia jadi Akuwu. Hei, kalian para tamtama Tumapel. Apa benar demikian""
"Benar! Benar!" para tamtama menjawabi ramai. "Apakah itu perintah Empu Gandring"" "Gandring memerintahkan menumpas Arok," sahut mereka. "Mengapa tak kalian tumpas aku dan pasukanku" Baik, kalian tak mau menjawab. Sayang sekali kalian tak lakukan itu." "Kau, Kebo Ijo, apa perintah kau terima dari Belakangka"" Dan Kebo Ijo tak dapat menjawab.
"Yang Mulia Paramesywari, penguasa tunggal seluruh Tumapel, Yang Mulialah yang memeriksa mereka."
Ken Dedes memberi perintah pada para pengawal untuk mengurus mayat Tunggul Ametung.
"Dengan tindakan ini kalian telah menantang Sri Baginda Kretajaya - kalian, balatentara Tumapel, tetap setia pada Kediri. Untuk itu pasukan Arok telah menjaga keselamatan kami. Dan kau, Kebo Ijo, yang menyatakan telah menyerahkan balatentara Tumapel ke tangan kami, kau telah mengkhianati Tumapel dan Sang Akuwu, yang dilindungi oleh Kediri."
"Jangan jatuhkan dulu hukuman atas mereka. Yang Mulia. Mereka belum lagi bicara tentang kesertaan Belakangka dalam perkara ini." Pada anak buahnya:"Bawa kemari Yang Suci Belakangka."
Kebo Ijo gemetar menjadi-jadi
Belakangka berdiri di hadapan Arok Jubahnya telah lusuh dan destarnya agak miring. Ia bersidekap mempertahankan kemuliaannya. Tak ada tongkat padanya.
"Nah, katakan, kau, Kebo Ijo, apa perintah yang kau terima dari Yang Suci."
"Menumpas Arok," jawabnya.
"Mengapa tak kau lakukan" Baik, kau tak mau menjawab. Jadi Yang Suci jelas hendak menumpas aku dan pasukanku. Dengan bantuan pasukan kuda pun kau tak lakukan itu.Yang Suci. Yang Suci telah dengar sendiri."
"Si penipu!" desau Belakangka pelahan.
"Demi hidup dan demi mati," susul Kebo Ijo, "dan memerintahkan juga menumpas Dang Hyang Lohgawe."
"Si pembohong!" desau Belakangka.
"Orang seperti Kebo Ijo tak mampu bicara bohong," susul Arok. "Dia bicara sewajarnya, atau membisu karena tak mau mengatakan. Yang Sucilah yang penipu dan pembohong."
"Untuk ucapanmu kepalamu jadi tebusan untuk Kediri, Arok."
"Tidak apa-apa,Yang Suci. Yang Mulia Paramesywari, silakan meninggalkan pendopo kalau dikehendaki."
"Baik, Arok, aku serahkan segala kebijaksanaan terhadap para perusuh ini ke tanganmu. Hukumlah yang sepatutnya mendapat hukuman karena dosa-dosanya, dan jangan sentuh mereka yang tidak bersalah."
Arok mengangkat sembah, dan para pengawal mengiringkan-nya meninggalkan pendopo melalui kepungan pasukan Arok. Beberapa orang pengawal mengangkat mayat Tunggul Ametung.
"Kalian semua dari pasukan Arok," seru Arok, "saksikanlah ini Yang Suci Belakangka Pandita Negeri Tumapel. Untuk menjatuhkan Sang Akuwu ia telah perintahkan membinasakan Arok dan pasukannya."
"Tumpas dia, Arok!" orang mulai riuh berseru-seru.
"Dan ditumpasnya Tunggul Ametung yang sedang mabok."
"Pengecut!" orang memekik-mekik.
Belakangka berbalik menghadapi pasukan Arok:
"Wakil Kediri mewakili kerajaan dengan balatentara cukup kuat. Hukuman bagi mereka yang menyentuh dan menghinakannya." Ia berbalik pada Arok dan menuding, "Kau Arok. perancang dari pembunuhan terhadap Sang Akuwu dalam perlindungan Kediri! Kau sendiri yang membunuh Tunggul Ametung."
"Hai, kalian tamtama dari Gerakan Empu Gandring, siapa yang bunuh Sang Akuwu"" tanya Arok.
"Kebo Ijo!" mereka menjawab serentak.
"Jangan kalian terpengaruhi oleh kepungan pasukan Arok. Katakan sesungguhnya," seru Belakangka. "Apa arti pasukan Arok dibandingkan
dengan balatentara Kediri" Hanya mentimun berbanding durian."
"Kebo Ijo!" mereka mengulangi. "Kami lihat sendiri pedangnya berlumuran darah."
"Kebo Ijo," desak Belakangka, "Kau tidak membunuh Tunggul Ametung. Arok yang membunuhnya. Dia orang Syiwa. Dia jago dari brahmana Syiwa Lohgawe yang tidak rela melihat kekuasaan Wisynu. Kau sendiri orang Wisynu, mana mungkin membunuh Wisynu yang lain" Tidak mungkin. Semua hanya akal si Arok."
Para tamtama yang duduk berbanjar-banjar mengangkat pandang pada Belakangka.
"Bahkan pasukan kuda Tumapel meninggalkan Yang Suci, karena juga Yang Suci tak dapat dipercaya."
"Hukuman Kediri akan jatuh ke atas kepalamu menghina wakilnya, kau, Arok."
"Yang Suci betul memang tidak mau sahaya periksa. Baik." Ia berpaling pada pasukannya, "Inilah Yang Suci Belakangka, Pandita Negeri Tumapel dan wakil Kediri. Yang Suci inilah yang meniupkan kejahatan dalam hati Sang Akuwu untuk berjahat terhadap orang Syiwa."
"Omong kosong," bantah Belakangka, "Tunggul Ametung sejak mula muncul sebagai penjahat. Karena kelemahan Kediri ia diakui sebagai penguasa Kediri untuk Tumapel. Juga Arok penjahat, hanya tidak diakui oleh Kediri. Hanya oleh Tunggul Ametung. Dua kucing jantan tak dapat berkumpul. Salah seekor harus kalah atau mati. Kucing Tunggul Ametung yang mati Kucing Arok tinggal hidup, kini menuduh-nuduh."
"Dan kalian yang mengenal Arok, inilah aku, kejahatan apa pernah aku lakukan terhadap kalian""
Tanca melompat naik ke pendopo:
"Buka kupingmu. Yang Suci, kuping Kediri. Arok dan teman-temannya justru pelindung terhadap kejahatan Tunggul Ametung dan balatentara Tumapel yang dilindungi oleh Kediri. Dia dan teman-temannya memang penjahat, dengarkan - penjahat bagi Akuwu karena menghalang-halangi kejahatannya. Akuwu jahat karena wakil Kediri membenarkan kejahatannya, bahkan merancangkan untuknya."
Tanca maju menghampiri Belakangka, menengok pada pasukannya:
"Apakah Arok pernah menjahati kalian""
"Dia lindungi kami dari kejahatan balatentara Tumapel yang dilindungi Kediri."
"Tumpas Belakangka!" seorang wanita memekik sambil naik ke pendopo dengan tombak di tangan kanan dan laras panah cepat tergantung pada bahu. Wanita yang hanya bercawat itu menghampiri Arok, memekik, "Suami, mengapa tak segera kau tumpas""
Arok tertegun melihat wanita itu, kemudian melangkah cepat menghampiri: "Umang!"
"Inilah istrimu dan anakmu datang," ia menghampiri Belakangka dan menuding, "Apa kau ragukan lagi. Suami""
"Biarlah semua orang tahu akan dosa-dosa Yang Suci. Kita hanya mendirikan kembali keadilan dan kebenaran, Umang." Kemudian berbisik, "Benarkah telah kau kandungkan anakku""
Sejenak orang terpesona melihat Umang. Dan dari tengah-tengah pasukan terdengar:
"Beri jalan untuk Yang Suci Dang Hyang Lohgawe!"
Brahmana itu dibantu naik oleh para prajurit Arok. Umang, Arok dan Tanca bersujud padanya dan membersihkan kakinya.
"Bangun dan berdiri, kalian - kalian yang telah robohkan kejahatan tak layak sujud semacam ini."
Semua bangun dan Arok meneruskan:
"Yang Suci Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe, bicaralah."
"Bawa kemari Paramesywari dan mayat Tunggul Ametung!" ia berpaling pada Belakangka tapi tidak menegurnya.
"Inilah kiranya dalang dari pembangkangan terhadap Kediri," tuding Belakangka pada Lohgawe. "Memasukkan jagonya ke pekuwuan untuk merampas segala dan semua."
"Jangan biarkan penjahat Kediri itu bicara lebih lama!" seseorang memekik.
Para tamtama yang duduk bersila masih tetap pada tempatnya, hanya berani menggerakkan leher dan tapuk mata.
Paramesywari datang dalam iringan pasukan pengawal. Langsung ia bersujud pada Lohgawe:
"Berdiri kau, Dedes, anak Mpu Parwa, Paramesywari Tumapel," sambut brahmana itu, "aku datang untuk saksikan runtuhnya Tunggul Ametung."
"Dialah yang jelas dalang runtuhnya Tumapel dan Akuwu," pekik Belakangka.
"Tak ada sesuatu yang berhubungan dengan Kediri. Semua yang telah terjadi tinggal urusan Tumapel dan kawulanya," sanggah Lohgawe. "Mengerti kalian semua" Kawula Tumapel tak pernah berhutang sebutir beras
pun pada Kediri." "Tumapel adalah bagian dari Kediri, Tumapel harus menghormati wakil Kediri," pekik Belakangka.
"Tumapel tetap bagian Kediri," jawab Lohgawe, "hanya tidak mengakui penjahat yang kebetulan jadi wakilnya. Tumapel punya agama dan ugama sendiri, tak pedu sama dan tak perlu ditentukan oleh Kediri. Tak ada itu tersebut dalam rontal."
Hujan turun dengan derasnya. Sebagian terbesar dari pasukan luar kota yang mengepung diperintahkan berteduh dan tetap siaga. Beberapa ratus orang yang tinggal berjaga diperintahkan naik ke pendopo. Suara percakapan di pendopo tersapu oleh deras hujan, guruh dan petir. Semua damar di jalanan depan pekuwuan di pindahkan di bawah-bawah atap yang tersedia.
"Semua orang berhak melihat Tunggul Ametung," kata Lohgawe, "untuk melihat tampang orang yang selama ini menjahatinya."
Pasukan luar kota itu bersorak mengiakan. Mereka yang ber-teduh datang kembali, telah merugi meninggalkan peristiwa bersejarah yang takkan terulang kembali untuk selama-lamanya itu. Tanpa menghiraukan hujan dan dingin mereka merapat dan mengintip dari sela-sela kaki temannya di pendopo.
"Jangan bersedih, Dedes, bahwa seperti itu nasib mayat dari suamimu."
Dedes mengangkat sembah: "Bila sudah sepatutnya dia jalani, biarlah dia menjalaninya. Yang Suci. Biarlah semua dapat melihat orang yang pernah menjahatinya."
"Dan sejak saat ini, Dedes, Paramesywari Tumapel, setiap penjahat harus diperlihatkan pada mereka yang pernah dijahati-nya, biar orang mengerti tampang dan sanubari penjahat!"
"Sahaya, Yang Suci."
"Dan kalian semua, seluruh pasukan Arok yang hadir, dari dalam dan luar kota, juga kalian para tamtama Tumapel, perhatikan pula tampang Yang Suci Belakangka ini, yang menggurui Tunggul Ametung dalam kejahatan terhadap kawulanya sendiri...." Lohgawe terhenti bicara.
"Yang Terhormat Dang Hyang Lohgawe. apakah pantas menuduh wakil Kediri seperti itu""
"Itulah Yang Suci Belakangka, mengaku wakil dari Kediri. Sebelum kedatangannya, Tunggul Ametung hanya penjahat biasa, perampok, perampas, penculik dan pembunuh. Setelah kedatangannya orang Syiwa mulai dianiaya. Perbudakan mulai dijalankan untuk harus mendatangkan emas bagi mereka berdua Inilah orang yang merancang perbudakan. Kenalilah dia. Sehingga perbudakan yang celah dihapus oleh Sri Erlangga dua ratus tahun yang lalu muncul kembali, mempariakan kawula hanya untuk dapatkan emas. Itulah dosa Yang Suci."
Dari barisan luar kota terdengar sorak pasukan Mundrayana. Mereka mendesak dan naik ke pendopo. Mundrayana, basah kuyub dengan matasatunya yang menyala menghampiri Belakangka:
"Inilah rupanya orang Suci yang membudakkan aku selama sepuluh tahun."
Dalam waktu pendek Belakangka terkurung oleh para bekas budak basah kuyub yang menyala karena amarah. Dan Belakangka kehilangan kepribadian dalam kepungan para pengancam.
"Kembali kalian!" perintah Arok. "Kalian hanya dengarkan agar mengerti duduk perkara."
Mundrayana dan anak buahnya turun dari pendopo sambil bersorak menandingi bising hujan meninggalkan bercak-bercak di lantai. Belakangka terdiam mengalami kemerosotan semangat.
Sebagian terbesar pasukan luar kota masih terdiam, tidak dapat mengikuti persoalan, tidak mengerti benar duduk perkara.
"Yang Suci telah menuduh aku merancangkan penggulingan Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Tidak perlu dituduhkan. Semua kawula yang telah dirugikan olehnya menghendaki demikian. Itu adalah urusan Tumapel, bukan Kediri. Sebaliknya Yang Suci sebagai wakil Kediri hendak menumbangkan dia juga, hanya melalui penumpasan terhadap Arok dan pasukannya.Yang Suci telah berdosa terhadap Tumapel. Ken Dedes, Yang Mulia Paramesywari Tumapel, Yang Mulialah sekarang yang memutuskan."
Dedes mengangkat pandang pada Arok. Ia tertegun menyedari hadirnya seorang prajurit wanita muda, hanya bercawat, bersenjatakan tombak dan panah cepat, berdiri di samping Arok. ia paksakan diri tersenyum, kemudian bicara pada Arok:
"Arok, singkirkan Yang Suci Belakangka dari pendopo. Berikan kesempatan pada semua orang untuk melihat orang yang selama ini telah
menjahati mereka. Dialah biang keladi sesungguhnya dari kejahatan atas orang Syiwa dan perbudakan yang dilakukan oleh mendiang suamiku."
"Turunkan Belakangka dari pendopo," perintah Arok pada pengawalnya, "dan pertontonkan pada umum mulai saat ini, sambil menunggu jatuhnya hukuman."
Pasukan pengawal menggelandang wakil Kediri turun dari pendopo - memasuki hujan, disambut dengan sorak-sorai oleh pasukan Mundrayana.
Kini pandang orang tertuju pada Kebo Ijo dan para tamtama.
"Beri jalan pada Nyi Lembung!" seseorang memekik dari para pengepung. Dan jalan ke tangga tersibak.
"Beri jalan pada emak Arok!"
Seorang perempuan diturunkan dari tandu dan dipapah naik ke pendopo. Begitu sampai di geladak, ia lari, menubruk Arok.
"Temu! Temu!" ia terhisak-hisak. "Aku tahu akhirnya kau menang juga atas pembunuh-pembunuh bapakmu."
Semua mata tertuju pada Nyi Lembung, yang untuk kesempatan ini mengenakan pakaiannya terbaik. Dan sebagian dari pakaian itu telah basah meneteskan air di lantai geladak.
Ken Dedes menghampiri Nyi Lembung. Bertanya:
"Inikah emak Arok""
"Inilah emak sahaya, Yang Mulia."
"Dan siapa perempuan muda ini"" ia menengok pada Umang.
"Inilah Umang, saudari pungut dan istri sahaya, prajurit dari pasukan luar kota sebelah selatan."
Air muka Dedes berubah. Pandangnya gugup. Nampak ia berusaha menguasai diri, kemudian tersenyum:
"Kita masih sibuk mengurus semua ini."
"Temu, tunjukkan padaku siapa-siapa pembunuh bapakmu."
Arok menuntun perempuan tua itu pada kelompok para tamtama dan menuding:
"Semua di antara mereka, Mak."
"Dan kau biarkan mereka tenang-tenang seperti tak punya dosa pada manusia dan Hyang Wisynu""
"Setiap orang akan mendapatkan keadilan yang setimpal dengan dharmanya, Mak."
"Demi emakmu ini, Temu, binasakan mereka sebagaimana mereka membinasakan bapakmu."
"Binasakan mereka semua!" orang mulai bersorak gegap gempita menenggelamkan derai hujan.
Ken Dedes lupa pada lingkungannya. Pandangnya tertuju hanya pada Umang: seorang gadis prajurit, berbibir tebal dan bermata kecil, kurus sehingga hanya buahdadanya saja nampak daging pada tubuhnya, mata menyala memperhatikan segala yang terjadi.
Di luar hujan berhenti. Pasukan Mundrayana bersorak-sorai mengarak Belakangka dan menghujaninya dengan maki dan kutukan.
Arok membawa Nyi Lembung kembali ke tempatnya, menghadapkannya pada Paramesywari.
"Adakah emakmu ini Wisynu, Arok"" "Wisynu, Yang Mulia." Ia melangkah pada Umang, bertanya: "Adakah kau juga Wisynu"" "Wisynu," jawab Umang.
Dedes berbalik dan melangkah pada Dang Hyang Lohgawe. Brahmana itu menyambutnya dan berkata:
"Tak ada salahnya mereka orang Wisynu." Dedes balik kanan jalan dan berhenti di hadapan Kebo Ijo.
Tanpa mendapat perhatian orangTantripala naik ke pendopo, langsung pergi pada Lohgawe dan mengangkat sembah. Dan Lohgawe berseru pada Dedes yang memunggunginya:
"Paramesywari, tak ada salahnya orang Wisynu itu. Orang Buddha pun tiada. Yang bersalah adalah yang berdosa terhadap para dewa dan sesamanya."
"Arok! Mengapa kau diam saja"" pekik seorang dari pasukan luar kota. "Kitalah yang menang atas Tumapel. Kaulah yang sudah pimpin semua kita. Mengapa kau diam saja""
Arok berjalan melangkah pada pasukan luar kota, dan berbisik pada salah seorang di antaranya:
"Jangan kalian kehilangan kesabaran - kalian yang telah bertahun-tahun berkelahi...," dan ia berbalik ke tempatnya. Menye-dari hadirnya Tantripala ia langsung datang padanya dan mengangkat sembah.
Lingsang melompat ke pendopo dan langsung menghadap Paramesywari tanpa menyembah:
"Yang Mulia, berikan kembali pada sahaya emak sahaya."
Cepat-cepat Dedes menyeka muka, tersenyum dan bertanya manis:
"Kau prajurit luar kota""


Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sahaya, Yang Mulia."
"Siapa emakmu, dan mengapa kau tuntut dari aku""
"Sang Akuwu telah menculiknya sewaktu sahaya masih kecil, dibawa ke pekuwuan dan tak pernah keluar lagi. Dengan bapak dan saudara sahaya diusir dari Tumapel."
"Siapa emakmu""
"Rimang!" Tanca yang sejak tadi tak bicara, kini mendapat kesempatan b
erbuat, berseru-seru keluar:
"Rimang! Rimang! Naik kau bersama Oti!"
Rimang naik ke atas, langsung memeluk kaki Paramesywari.
"Rimang"" tanya Ken Dedes. "Lihatlah, apakah ini benar anakmu."
Rimang bangkit dan mengawasi Lingsang. "Itulah emakmu, Lingsang."
Mereka berdua berhadap-hadapan, kemudian berpelukan "Ampuni aku, Mak, menggunakan nama Wisynu Lingsang begini."
Di luar mulai riuh orang menjerit-jerit: "Perang ini bukan untuk pertemuan keluarga!"
"Berikan keadilan setimpal pada yang berdosa!"
"Arok. kitalah yang menang, bukan Paramesywari Tumapel!"
"Nyatakan sesuatu pada kami, Arok!"
"Nyatakan! Nyatakan!"
Sekali lagi Arok menghampiri lingkaran pasukan luar kota, berseru dengan suara lantang:
"Dengarkan kalian - kalian yang telah bertahun-tahun sabar berperang, dan kini tidak sabar melihat penyelesaian...", ia berpaling ke belakang, melihat Dang Hyang Lohgawe, kemudian datang menjemputnya, dan mengajaknya berhadapan dengan pasukan-pasukan luar kota. "Dengarkan kalian - dengan ini aku nyatakan: Kita telah menang perang terhadap Tumapel. Mulai saat ini seluruh Tumapel adalah milik kita sendiri." Orang bersorak dan berjingkrak.
"Akuwu Tumapel Tunggul Ametung kita dapatkan mati di bawah pedang kebo Ijo, tamtama Tumapel sendiri." Tak ada sorak dan tak ada jingkrak.
"Bukan berarti Kebo Ijo lebih berhasil daripada kalian. Justru karena desakan kalian maka kedudukan Tunggul Ametung menjadi lemah dan tidak berdaya. Keadaan itu dipergunakan oleh Kebo Ijo untuk membunuhnya. Dan dia tidak membunuhnya dalam keadaan perang - sedang seorang diri dalam keadaan mabok tuak."
Sunyi-senyap. "Seluruh balatentara Tumapel sudah tidak berdaya menghadapi desakan dari luar kota dan siasat kita dari dalam kota. Kebo Ijo dan gerakannya, Gerakan Empu Gandring, tidak mempunyai sangkut-paut dengan kita. Dia adalah penjahat - telah membunuh orang tanpa perang."
Tetap sunyi-senyap. "Kita semua tidak melawan Kediri, kita semua melawan kejahatan Tunggul Ametung."
Di pendopo, kecuali Kebo Ijo dan para tamtama yang duduk dalam penjagaan pasukan pengawal, Ken Dedes bersama dengan yang lainnnya berdiri di belakang Arok dan Dang Hyang Lohgawe.
Ken Dedes berdiri tepat di belakang Lohgawe. Airmata mengalir menyeberangi pipinya. Ia kuatir tempatnya sebagai brahmani dan Paramesywari terdesak oleh keadaan baru Ia merindukan ayahnya, mengharapkan pengaruhnya akan menyelamatkan kedudukannya. Ia tak rela di dunia ini ada seorang Umang, perempuan sudra dengan perlengkapan perang meng-hiasai dirinya, sedang pada badannya berkilauan perhiasan emas dan intan. Dadanya sesak. Akhirnya ia tak dapat menahan hati dan menangis tersedan-sedan.
Lohgawe dan Arok menoleh padanya.
"Mengapa kau menangis, Cucu""
"Ayah sahaya, Yang Suci."
Tanca mendesak ke depan dan memberitakan:
"Yang Terhormat Mpu Parwa menolak menginjakkan kaki di bumi Tumapel."
Tangis Dedes sekaligus padam. Ia tahu ayahnya tidak dapat mengampuni dirinya: ia tidak lebih tinggi daripada Umang.
"Teruskan, Arok!"
Orang mulai berseru-seru kehilangan kesabaran.
"Ingat-ingat kalian, kita tidak melawan Kediri. Belakangka kita adili, tetapi belum kita putuskan. Kita tidak mengadili Kediri, kita mengadili Belakangka yang melakukan persekutuan dalam kejahatan dengan Tunggul Ametung di Tumapel. Sekiranya Sang Akuwu tidak terburu mati, dia pun akan kita adili. Tetapi kalau Sri Baginda Kretajaya tidak senang pada kita dan mengirimkan balatentaranya, kita akan hadapi."
Sorak riuh bertalu-talu. "Tumapel tanpa Akuwu Tunggul Ametung sekarang tetap berada dalam kawasan Kediri."
"Tidak perlu!" orang ramai-ramai memekik membantah.
Dang Hyang Lohgawe mengangkat satu tangan. Orang pun berlutut dan mengangkat sembah.
"Dengarkan kalian semua yang telah memenangkan perang. Dengan kemenangan ini telah selesai babak perlawanan terhadap
Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Kita semua memasuki babak lain, yang sama sekali berlainan daripada sebelumnya. Jangan bangunkan macan tidur. Para dewa telah membenarkan kejatuhan Tunggul Ametung dan kemena
ngan kita. Akuwu itu mati di bawah pedang Kebo Ijo atau kita, sama saja, karena itulah kehendak para dewa."
Di belakang Lohgawe kembali Dedes menangis tersedan-se-dan mengetahui tak ada seorang pun memperhatikan dan menghormati dirinya. Kenikmatan kekuasaan itu ia rasai mendadak lenyap dari tangannya. jatuh pecah-belah di lantai, tak terbetul-kan lagi. Ia merasa sebatang kara di tengah-tengah keriuhan ini, seorang yatim-piatu di tengah-tengah padang batu. Ia melihat kekuasaan itu tanpa semaunya telah beralih tangan, pada Arok dan Lohgawe. Dalam hati ia bermohon pada Hyang Mahadewa agar tempat dan kedudukannya tidak akan terdesak oleh sudra berbibir tebal, bermata kecil dan hanya berdaging pada dada, yang bernama Umang itu. Ia tak dengarkan ucapan Lohgawe.
"Aku, Dang Hyang Lohgawe, merestui kemenangan ini, kemenangan kita semua." Orang kembali bersorak-sorai.
"Dan aku benarkan Arok sebagai orang pertama untuk seluruh Tumapel!"
Sorak-riuh rendah bergelombang-gelombang menjelang tengah malam seakan tanpa habis-habisnya. "Bicara, kau, Arok!"
"Dengarkan, kalian!" keadaan reda, "bahwa kemenangan bukan satu-satunya buah usaha. Maka jangan ulangi kejahatan Tunggul Ametung dan balatentaranya. Jangan ada seorang pun yang merampok, mencuri, merampas, menganiaya, memperkosa seperti mereka. Dalam hal ini aturan dari Sri Baginda Erlangga masih tetap berlaku: hukuman mati terhadap mereka itu. Juga terhadap diriku bila dalam babak baru ini melakukannya."
Sorak menggelombang lagi, beralun dan beriak.
"Aku, Arok, adalah seorang sudra seperti kalian semua. Karena itu semua sudra, jangan bertengkar. baik kaum Wisynu, Syiwa, Buddha, Kalacakra dan Tantrayana, jangan bertengkar karena berlainan mengagungkan para dewa ..."
Perasaan tidak menentu dalam dada Ken Dedes mendadak hilang mendengar itu. Nafasnya terengah-engah menolak, membangkang terhadap pernyataan itu.
Tantripala merangkul Arok dan membisikkan sesuatu.
"Kalian lihat, aku adalah seorang Syiwa, istriku, Umang, orang Wisynu, bapa angkatku, Bango Samparan dan Ki Lembung juga orang Wisynu, guruku. Yang Terhormat Tantripala adalah Buddha, mahaguruku, Yang Suci Dang Hyang Lohgawe adalah Syiwa. Aturan-aturan yang baik selama dua ratus tahun ini adalah karunia raja Wisynu, Sri Erlangga. Yang jadi ukuran baik tidaknya seseorang bukan bagaimana menyembah para dewa, tapi dharma pada sesamanya."
Dedes merasa tersinggung namanya tiada disebut-sebut, tapi ia berdiam diri, mengetahui balatentara yang diserahkan kepadanya telah ditumpas oleh pasukan luar kota Arok.
"Arok! Kaulah raja kami!" seseorang memekik.
"Tidak! Tak diperlukan dua orang raja di bumi Jawa."
Dang Hyang Lohgawe buru-buru mengangkat tangan minta perhatian:
"Kalian telah dengarkan dia, Arok, orang yang cakap, pandai dan bijaksana, yang akan membawa kalian pada kegemilangan. Dia mendapat pancaran sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru. Dia adalah orang terbaik dari kalian. Dia adalah titisan Hyang Wisynu, karena dialah yang memeliharakan kalian dari bencana Tunggul Ametung dan balatentaranya. Dia adalah Akuwu-mu, Akuwu Tumapel!"
Orang kembali bersorak-sorai.
"Bebaslah kalian kini bertemu dengan keluarga kalian, dengan orangtua, anak dan istri. Sebelum ini perbudakan telah dihapuskan oleh Arok dengan senjata. Tak ada perbudakan lagi boleh berlaku."
Sorak-sorai kembali menggelombang, beralun, beriak. Lohgawe memberi isyarat pada Arok untuk berlutut di hadapannya. Arok berlutut dan ia angkat tangan kanannya di atas kepalanya:
"Aku, Dang Hyang Lohgawe, dengan petunjuk Hyang Mahadewa telah benarkan dia, Arok, menjadi Akuwu Tumapel. Semua kawula Tumapel, berilah hormat pada Akuwu baru ini..."
Kecuali Dang Hyang Lohgawe dan Tantripala semua berlutut dan mengangkat sembah. Juga mereka yang di belakang, juga para tangkapan, yang mengangkat sembah sambil menoleh ke samping.
Suatu tekanan berat telah memaksa Ken Dedes berlutut di hadapan umum dan mengangkat sembah. Ia menyadari: riwayat dirinya sebagai pemegang kekuasaan telah selesai, dan justru karena itu ia merindukannya.
Orang t elah kembali berdiri. Juga Arok.
Lohgawe berbalik, dan: "Dalam kemenangan kalian ini semua telah memberikan dharmanya. Juga Paramesywari Tumapel, anak Mpu Parwa, Ken Dedes, telah menduduki tempat penting di antara semua kalian. Yuddhagama[hukum perang] tidak membenarkan ia jadi orang jarahan perang. Paramesywari Tumapel adalah juga bersama semua kalian dalam pergulatan ini. Karenanya Ken Dedes tetap Paramesywari Tumapel."
"Umang Paramesywari!" pekik Oti dari belakang Umang.
"Umang Paramesywari!" sambut semua pasukan. "Umang! Umang! Tidak lain dari Umang!"
Lohgawe mengangkat tangan mendiamkan:
"Dang Hyang Lohgawe belum selesai bicara. Lihatlah, semua diatur secara terbuka. Aku ulangi: Ken Dedes tetap Paramesywari Tumapel. Tentang Umang, istri Arok" Dia juga Paramesywari." ia menyilakan Umang dan Dedes tampil ke depan, dan ditariknya Arok berdiri di tengah-tengah.
"Lihatlah, Dang Hyang Lohgawe tidak menyalahi kehendak para dewa, mereka ditempatkan sesuai dengan dharmanya. Hormatilah mereka bertiga."
Sekali lagi orang berlutut dan mengangkat sembah.
"Sambutlah pengukuhan ini!"
Sorak-sorak bertalu menantang tengah malam. Sekilas alam terang oleh petir yang dibarengi ulah ledakannya.
"Bicara kau, Arok!" perintah Lohgawe.
"Dengarlah aku berjanji, sebagai Akuwu Tumapel perbudakan tidak akan diadakan lagi, aku lawan dan aku hapuskan. Dengan bantuan semua kalian akan kutumpas kejahatan dalam bentuk dan cara apa pun. Aku tidak akan menghaki milik kalian, juga tidak akan merampas apa pun dari siapa pun. Dua orang wanita ini saja yang akan menyertai hidupku sebagai istri. Dan akan aku pimpin kalian menghadapi dan melawan kejahatan dari luar Tumapel, dari siapa pun datangnya."
Kembali orang bersemangat perang. Dan orang mengerti kata-kata itu ditujukan pada Kediri.
Sejenak keadaan menjadi tenang. Lohgawe mengangkat tangan:
"Akuwu Tumapel baru, Arok, adalah sudra, berlaku satria dan berhati brahmana. Paramesywari Ken Dedes adalah brahmani, dengan gelar Ken bikinan Belakangka, dan barangtentu dibenarkan oleh Kediri. Aku sendiri tidak tahu artinya. Bagaimanapun gelar itu telah berlaku. Maka pada kesempatan ini, dengarkan semua kalian, mulai saat ini Arok juga bergelar Ken. Umang, Paramesywari Tumapel adalah juga seorang sudra. Untuknya, juga pada malam ini bergelar Ken."
Kembali orang bersorak riuh-rendah, kecuali para tangkapan di latar belakang.
"Bicaralah kau, Arok, semua anak buahmu telah lelah dengan pertempuran sehari ini."
"Terimakasih pada semua kalian. Berasramalah kalian di bawah petunjuk pasukan kota. Dan hubungkan svukur kepada para dewa untuk kemenangan kita semua ini, kemenangan yang menjamin tak seorang pun akan jadi budak lagi."
Kepungan itu bersorak-sorai, makin lama kepadatan itu makin menipis. Akhirnya hanya tinggal pasukan pengawal.
Tanca, Bana, Rimang, Oti, Arih-Arih, Santing, Tantripala, Lohgawe dan Mundrayana mengiringkan Akuwu Tumapel baru masuk ke dalam pekuwuan, ke Bilik Paramesywari setelah perintah dijatuhkan untuk menyingkirkan para tangkapan.
Memasuki Bilik Paramesywari Ken Dedes berhenti di depan peraduan, yang ditidurinya pada bulan pertama ia memasuki pekuwuan. Kini ia harus berbagi tempat dengan seorang lelaki yang jadi suaminya. Arok - seorang lelaki yang dicintainya dengan tulus. Tapi ia tidak rela berbagi kekuasaan dengannya. Dan kini ia pun harus berbagi tempat dengan Paramesywari lain, Ken Umang - seorang wanita yang baru dikenalnya. Ia tidak rela
berbagi peraduan dan berbagi kekuasaan dengannya. Ia sadar akan dirinya waktu lengan Arok memeluk lehernya
dengan tangan kanan. Dan ia lihat tangan kirinya memeluk Ken Umang.
"Jangan kalian berdua sampai pernah bertengkar. Kalian berdua adalah kakak-beradik demi keselamatan semua. Pertengkaran kalian bisa merambat keluar dan jadi pertengkaran umum."
Bertiga lewat tengah malam itu turun dari pekuwuan menuju ke pura dalam untuk menyampaikan puji-syukur kepada para dewa.
Ken Dedes kehilangan kedamaiannya memasuki pura bersama dengan orang Wisynu, juga Paramesywari Tumapel. Diliha
tnya Ken Arok dan Ken Umang telah tenggelam dan puji syukur. Dan waktu ia berpaling ke belakang dilihatnya Bango Samparan dan Bana juga sedang tenggelam. Dari cara mereka bersimpuh dan menunduk dapat diketahuinya: dua-duanya orang Wisynu.
Ia melirik pada suaminya yang sedang tenggelam di samping kirinya. Apakah benar ucapan Lohgawe, dia mendapat pancaran sepenuhnya dari Hyang Bathara Guru dan titisan Hyang Wisynu Untuk pertama kali ia meragukan brahmana puncak itu. Lelaki di sebelah kirinya memang sangat berharga untuknya, sangat berharga untuk cinta dan hidupnya. Dia telah persembahkan kemenangan untuk kawula Tumapel dengan muslihat bermuka ganda dan cara tanpa bilangan. Dan ia tahu, kemenangan itu tidak dipersembahkan kepada dirinya. Sejak pertama kali naik ke panggung kekuasaan Tumapel dia telah membawa serta dengannya orang Wisynu, Buddha, Tantrayana dan Kalacakra, orang-orang bodoh yang hanya menyembah leluhur. Ia tidak yakin Ken Arok akan mendudukkan kembali Hyang Syiwa pada cakrawartinya.
Ia mengerti Ken Arok mempunyai cara berperang tanpa membuka gelar, tidak seperti para satria sebelum ini. Dan dengan cara-cara berperang itu ia takkan mungkin terkalahkan. Keselamatan dan keagungan Tumapel terjamin di dalam tangannya. Hanya ia sendiri kehilangan tempat di samping suami yang dicintainya, kehilangan balatentara yang dapat diperintahnya, kehilangan kepercayaan dari orangtua yang dicintai dan dipujanya setulus hati. Dan dalam kandungannya seorang bayi, anakku dari musuh suaminya, sedang menunggu giliran untuk jadi berkuasa atas Tumapel. Dan Paramesywari lain itu, juga sedang mengandung. Juga dalam kandungannya seorang bayi sedang menunggu giliran untuk jadi penguasa atas Tumapel. Dan bayi itu adalah anak Ken Arok yang menang atas Tumapel. Bayinya adalah anak dari yang dikalahkannya.
Ia pejamkan dan kedipkan mata. Ia lihat kegelapan di hadapannya, dan ia tidak rela.
Untuk pertama kali ia biarkan airmatanya berlinang.
*** Naskah "Arok dan Dedes". diselesaikan: 1 Oktober - 24 Desember 1976
Mako, Buru, 24 Desember 1976
Walk Remember 1 Dewi Ular Terjerat Asmara Mistik Tabir Asmara Hitam 2
^