Badai Badai Puber 2
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye Bagian 2
Di kamarku jika aku memanjat lemari saja, aku bisa melihat mereka melalui lubang angin. Hal ini pernah kulakukan sewaktu aku masih berusia tiga belas tahun dulu, sewaktu aku ngambek pada suatu
pesta di rumah kami. Tapi dalam ngambek itu aku masih ingin melihat pesta garden itu. Dan aku mengintip pesta itu melalui lubang angin.
Dan ini, pada usia hampir tujuh belas, aku juga kembali memanjat. Melalui lubang angin itu aku mencari-cari dimanakah Fizzy dan Mas Narko telah melakukan rendesvouz. Mulanya kukira tentulah dekat pot-pot kaktus yang besarnya sebesar tubuh manusia itu. Tetapi firasatku tiba-tiba ingin melihat sofa yang tersembunyi di balik pohon-pohon pisang Belanda yang rimbun dan iangkung-jangkung itu. Tiba-tiba kulihat ujung kaki Fizzy berayun-ayun. Betisnya tampak olehku berjuntai-juntai dan tepi sofa itu. Kudengar suaranya. Tetapi Mas Narko sendiri tak kelihatan, tertutup oleh pohon-pohon pisang Belanda itu. Nafasku tambah sesak. Keringatku menitik. dan tiba-tiba kurasakan airmataku membasah. Dan hatiku menggerumut sewaktu kulihat betis Fizzy naik ke atas, lalu turun lagi.
Kegemasanku menjadi-jadi. Keringatku menitik dengan deras. Jantungku berdebar kencang. Otakku bekerja dan bertanya: Apakah yang telah diperbuat Mas Narko terhadap Fizzy" Apakah Mas Narko dalam keadaan yang tak terlihat olehku itu, berbuat seperti Kherman terhadapku, menyelusuri telapak tangannya" Dan Fizzy merasa geli"
Aku kaget karena tiba-tiba sebuah sapu kasur mengenai pantatku.
73 "Ngapain kau di atas itu Fonnie""" teriak ibu sewaktu aku menoleh pada ibu.
"ini ", aku mau berdusta, "ini membersihkan labah-labah, bu""
"Bagus", kata ibu, "Kamar kalian ini belakangan memang jarang kalian perhatikan lagi."
Tak lama sesudah itu ibu membawa sapu membersihkan labah-labah yang tak kebaca itu.
Dan atas lemari aku loncat ke atas tempat tidur. "Gulung kasur dulu", kata ibu.
Aku jadi penasaran, karena ibu bersungguh-sungguh mau menggulung kasur dan ikut menolong membersihkan kamar kami.
"Kamar kalian harus bersih. Malu kita sama si Narko andaikata dia nompang bersisir misalnya", kata ibu.
Kemudian ibu bertanya kepadaku: "Apa Fizzy sudah pigi"".
Aku tak menjawab: "Kemana""
"Katanya mau jalan-jalan ke Puncak pagi ini
"Kalau kau sudah punya tunangan nanti 'kan pergi juga nggak ngajak orang lain,
Fonnie"" "Sentimen nih", kataku.
Begitu ibu meninggalkan di kamar sendirian, segera kukunci pintu kamar. Aku tidak meneruskan membersihkan kamar melainkan kembali naik ke atas lemari. Mataku melalui lubang angin ingin melihat kelanjutan apakah yang telah diperbuat Fizzy dan Mas Narko. Tetapi ternyata mereka tak ada lagi. Yang ada hanya saputangan Fizzy yang rupa-rupanya kececeran tanpa setahunya di kaki kursi. Memang kalau orang lagi mesra-mesraan selalu kececeran. Segera aku melompat kembali dan membuka pintu kamar dan
74 terus ke beranda. Sewaktu baru selangkah saja aku tiba diberanda, hanya bau asap knalpot sedan Mas Narko saja yang terasa olehku. Mereka berdua telah kabur.
Dan aku tinggal sendiri. Aku benar-benar merasa ditinggalkan. Seorang diri. Tubuhku jadi lunglai. Aku melangkah gontai sambil menutup pintu beranda. Hatiku serasa terpotong-potong. Dan kegemasanku tiba-tiba meronta.
Aku segera kembali ke kamar dan berhias lagi, karena make-up yang memolesi mukaku sudah basah kuyup oleh keringat jengkelku. dan hanya bilang "Fonnie mau pigi" saja, akupun pergi bersepeda ke rumah seorang temanku. Aku tiba-tiba butuh untuk menghibur diri. Tiba-tiba aku ingin ditemani oleh seorang kawan.
Kufikir-fikir, Rini memang sedang asyik pacar-pacaran sekarang dengan Iwan. Dan memang betul. Sewaktu aku datang iwan dan Rini lagi asyik mengobrol dengan sangat mesra sekali. Mereka tepat sedang saling melempar-lempar kelopak bunga. Dan mereka kaget sekali sewaktu aku menyaksikan kelakuan mereka di beranda itu.
"Na ini dia datang!" seru Iwan, "Kherman kok nggak diajak""
"Berani-berani aja pigih sendirian. Kherman nanti bisa keki", kata Rinj. Tiba-tiba ucapan-ucapan spontan mereka ini menimbulkan harapan-harapan baru dalam kekosongan hatiku ini.
Belum sempat aku menikmati kegembiraan dihibur mi, suara Rini terdengar: "Yok kita ke rumah Kherman, Iwan"".
"Boncengan bertiga"" tanya Iwan.
"Aku naik sepeda saja", kataku.
"Begitu ah! Aku di depan, Rini di tengah, kau Fonni
e di belakang", kata Iwan dengan pasti.
75 Sepedaku dititipkan di rumah Rini. Kami bertiga naik BMW-nya Iwan. Dalam kekencangan naik motor itu, aku merasa irihati terhadap Rini yang mendekap punggung Iwan begitu kuat, lebih-lebih pada saat di tikungan. tikungan.
Begitu kami memasuki pekarangan rumah Kherman kelihatan Kherman gembira sekali: Rupa-rupanya ia sudah bisa melupakan saat-saat sedih kematian ibunya itu. dan sewaktu lwan menawarkan untuk cari angin, Kherman tak menolak.
Bagiku, betapa gembiranya diboncengi Kherman dengan Vespanya. Kami berempat menuju Cilincing. Dan betapa gementar tetapi senangnya aku sewaktu kami sampai di pantai. Iwan mengusul kontan: "Nah. Sekarang kita cari masing-masing tempat strategis buat mesramesraan yok!",menyebabkan Iwan dicubit blue jeans nya oleh Rini. Tapi aku yakin, seperti halnya Kherman - bahwa Rini sebenarnya senang dengan usul blak-blakan Iwan tersebut.
Iwan memegang lengan Rini, meninggalkan kami yang masih berdiri dengan kecanggungan masing-masing. Setelah beberapa langkah, mereka berdua melambai-lambaikan tangannya kepada kami dan Iwan sendiri membentak Kher man: "Jangan bengong, Plato! ".
Kherman menoleh kepadaku.
Aku memandangi wajah Kherman. Kemudian kepalaku menunduk, dan senyum sambil tertunduk itu. Kuangkat kepalaku kembali. Mata Kherman tenang. Hatiku berdebar-debar. Kherman melangkah dengan kedua tangannya masuk kantong blue jeannya. Ia memakai jacket merah. Rambutnya agak. gondrong, sehingga meriap-riap ditiup angin Teluk Jakarta.
Aku melilitkan selendang pada leherku dan berpura-pura batuk.
"Sakit"" tanyanya.
Aku mengangguk dan bersenang.
Akhirnya kami berdua terdampar pada batu-batu yang menyembunyikan kami berdua dan keterikan matahari jam sembilan pagi. Kherman belum berbuat suatu apa
76 selain menggores-gores pasir yang dijilat riak laut dengan ujung kayu apung. Tiba-tiba Kherman menoleh kepadaku, hingga aku gemetar sekali. aku menunggu apakah yang akan diperbuatnya kepadaku. Ujung sepatuku basah. Aku mendapat akal. Kubuka sepatuku. Telapak kakiku pernah dipuji oleh Kherman sebagai telapak kaki calon permaisuri. Telapak kakiku memang bersih, sedikit merah jambu bila sepatu dibuka. Aku berharap Kherman memegangi telapak kakiku lagi seperti dulu.
Mataku melirik kepada Kherman, pelan-pelan agar ia tak tahu bahwa aku meliriknya. Aku dengan sabar menunggu tangan Kherman pelan-pelan mendatangi telapak kakiku. Kuingat dahulu bagaimana rasanya telapak tangan Kherman mengelus sela-sela jari kakiku. Tidak seorang gadispun yang tiada mengharapkan seorang lelaki yang dipujanya, tanpa mengelus dirinya. Akupun demikian.
Tetapi Kherman tidak menggerakkan tangannya sedikitpun, sekalipun seluruh bulu roma kakiku berdiri sewaktu aku merasakan jarak antara jari-jari Kherman hanya beberapa mili saja dengan bulu-bulu kakiku. Ternyata segala harapanku sia-sia belaka. Aku menghela nafas kecewa, sambil bertanya kepada Kherman:
"Ngapain kita di sini, 'Man""
Kherman menoleh kepadaku, sambil menepuk bahuku, ya, hanya menepuk bahuku saja. Ia tersenyum pendek.
"Belum hilang juga", kata Kherman dengan kalimat tak sempurna.
"Ada sesuatu yang kau fikirkan"" tanyaku heran.
"Tentu", kata Kherman. "Aku mengherani kehidupan ini. Sebagai anak lelaki yang kehilangan ibu, aku membayangkan, bahwa tak ada perempuan yang paling baik selain ibu kita. Ibu adalah sumber dan pada kebaikan, pengorbanan dan kasihsayang".
Aku termenung sejenak memahami katakatanya.
"Bagaimana kalau kita tidak duduk-duduk di tempat sunyi ini" Mungkin bersama-samaku kau diseret oleh kesedihan. Mari kita cari Rini dan lwan", kataku.
77 "Mereka jangan ganggu. Mereka lagi pacaran", kata Kherman. "Bagaimana sih rasanya pacaran itu"" tanyaku.
Kherman ketawa dengan terpaksa. Dilumerinya kakiku dengan pasir. "Dan aku tiba-tiba menjadi gembira. Aku pura-pura marah: "Iseng ya""
"Marah"" tanya Kherman.
"Hapus dong pasirnya", kataku.
Aku sungguh-sungguh mengharap agar Kherman menghapus pasir itu. O, tidak. Bukan pasir-pasir itu yang menjadi soal: Tetapi tangan Kherman dengan sendirinya akan menyentuh kulit betisku. Selalu kurasakan demi
kian, selalu! Bila mendekati saat-saat menstruasi melebihi dari biasa. Ingin didekap dan disentuh lelaki. Kutanyakan pernah kepada Imah, Emmy ataupun Rini, memang wanita pada saat-saat mau menstruasi nafsunya lebih daripada biasanya. Dan aku, pada saat begini, ingin sekali Kherman membelaiku, ah, betapa sialnya, ia menghapus pasir-pasir itu hanya sebentar saja. Ingin Ia mengotori kakiku lagi dengan pasir, lalu menghapusnya lalu mengotori lagi, dan menghapusnya seterusnya. Uap bau keringatku sudah kurasakan uap-uap dan perasaan sesungguhnya dan jenis wanita.
"Ah", kataku terlontar.
"Kenapa ah"" tanya Kherman.
"Nggak", kataku. "Kenapa nggak"" tanya Kherman. "Kau banyak berobah",
kataku. Kherman agaknya tidak mengerti maksud kata-kataku itu. Ia malah berdiri tanpa bertanya apa-apa lagi. Dihelanya tanganku. Aku merasa senang kembali. Jari-jarinya kurasa menyelusupi jari-jariku. Kami berjalan agak cepat.
Jari-jarinya menyelusupi lagi, dan kurasakan tiba-tiba bahwa telunjuk jari Kher-man menggelitik telapak tanganku. Aku merasa senang digelitik demikian. dan
78 kurasakan lagi telunjuk jarinya menggelitik telapak tanganku lagi, lebih bersemangat. Aku menoleh kepadanya, matanya bersinar-sinar.
Kami menuju sebuah pondok. Bau pantai tidak enak pada panas terik begini, karena hawa panas membuat seluruh tumbuh-tumbuhan dan kotoran lain menguap. Tapi heran, tak begitu terasa busuk oleh hidung ini karena Kherman makin asyik mempermainkan telunjuknya pada telapak tanganku sembari kami berjalan terus.
"Mau kemana sih"" tanyaku. "Ikutin aja", kata Kherman. "Bilangin dong mau apa sih""
"Mau apa aja", kata Kherman. Dadaku berdebar-debar. Uap dan keringat di dalam tubuhku terasa oleh hidungku, uap yang pernah dikatakan oleh Rini dengan jujur hormon.
Dan tanganku terus dihelanya. Kami akhirnya sampai di pondok itu. Kami sudah tersisih dari orang ramai. Disitu ada tanggul-tanggul tambak dan kami seperti terkurung dikelilingi oleh tambak.
Pondok ini ternyata pondok tukang-tukang pancing kalau malam, seperti dikatakan oleh kherman. Di dalamnya tak ada perabotan, kecuali sebuah ambin bambu. Kherman mendekati ambin itu, menggoyang-goyangnya. Dan akhirnya Ia duduk.. Aku masih berdiri dengan melirik saja kepadanya.
Fonnie", katanya tiba-tiba, mengejutkan jantungku. Seakan-akan jantungku berhenti bergerak. Paru-paruku terasa sesak. Seluruh pori-poriku seakan-akan mengembang dengan kuatnya, kulitku seakan-akan memadat.
"Fonnie", kata Kherman Iagi. Aku melirik pucat. Kherman duduk di ambin itu.
"Apa sih"" tanyaku.
"Sini", katanya.
79 Dan aku melangkah dengan pura-pura enggan. Sebenarnya aku agak takut juga. Tetapi aku melangkah juga, takut-takut yang diruntuhkan oleh keinginan-keinginan. Aku masih berdiri.
Dia masih duduk. Tiba-tiba ia meraihku, sehingga aku menunduk. Bagai angin yang panas kurasakan menyelusup dan lubang hidungnya kepermukaan dadaku. Bulu romaku meremang, dan aku meronta-ronta sekadar untuk menyatakan bahwa aku bukanlah gadis yang gampang untuk dijamah.
"Apaan ini"" tanyaku dengan suara sembir dan sekali-sekali mengucapkan "Ah". Kurasakan hidungnya pada leherku, pada kudukku, dan kurasakan nafasnya menyebabkan bulu kudukku meremang.
"Man", kataku gugup, perlahan.
Dan mataku terkatup serta nafasku semakin sesak, sewaktu nafas hidung Kherman memasuki liang telingaku, sehingga berkali-kali aku tergelinjang dalam pelukannya.
Dunia sudah terbalik! Bukan lelaki yang mencari perempuan, kini perempuan mencari lelaki! demikian kuingat kemarahan ibuku dalam pondok itu, sewaktu secara tiba-tiba dan penuh keringat, Kherman memandang kepadaku. Keringatnya menetes dan membasahi keningku. Ia terdiam. Lalu ia terduduk kembali.
Aku masih terdiam. 'Hatiku merintih dengan kejang. Kulihat Ia bersisir dengan tergesa-gesa kembali, sambil berkata: "Ya, Tuhan....
Aku menangis. Aku malu sekalipun segala-galanya lewat dan berhenti dengan mengerikan sekali.
"Untunglah Tuhan menunjukkan jalan yang benar, kepadaku, Fonnie", keluh Kherman. "Mari kita segera pulang".
Masih dalam keadaan menangis, aku mengenakan ruitsluting. Keringatku kuhapus, dan aku masih menang
is, aku menjadi malu. Sama malunya jika hal itu tadi berlangsung. Biarpun aku telah membisikkan telinganya dan kubisikkan kembali
80 sewaktu matanya mengerikanku dengan suatu permintaan agar ia mau bertanggungjawab.
Aku memang masih suci. Tetapi entah bagaimana, aku merasa seperti telah hanyut sewaktu kurasakan yang aneh di hatiku. Dan pada saat demikian, bayangan tentang kesucian sudah luluh hancur bergumul dengan keinginan-keinginan biologisku.
Pada saat kami sampai bertemu kembali dengan Rini, kulihat Rini dalam pakaian renang sedang mengeringkan rambutnya. Hari panas terik. aku dan Kherman melangkah. Kherman tidak sedikitpun menoleh kepadaku. Dan malu rasanya aku untuk melihat Rini dan Iwan, sekalipun aku masih tetap suci berkat ingatnya Kherman pada jalan yang menyesat yang hampir mrmbuat kami tenggelam dalam kolam noda.
Beberapa langkah menjelang menghampiri Iwan dan Rini, aku melihat Iwan membisiki sesuatu kepada Rini. Rini tak acuh. Ia tetap mengeringkan rambutnya.
Aku dan Kherman berdiri di belakang mereka. Rini terkejut melihat bayangan Kherman. Kemudian ia menjadi biasa kembali. Tetapi ia tak begitu gembira kelihatannya. Tidak seperti sewaktu kami akan berangkat maupun ketika sampai.
"Kita pulang yok", kata Kherman.
Tak ada reaksi apa-apa dan mereka berdua. Entah bagaimana, aku merasa perasaanku tak enak saja.
Iwan sedikit menoleh kearahku. Lalu Iwan menoleh kepada Rini:
"Bagaimana Rini" Pulang nggak"", tanya lwan.
Rini membisu saja. Aku menoleh kepada Kherman. Kherman berdiam diri dengan wajah yang heran melihat sikap Rini itu. Aku jadi gugup.
"Kami berdua akan minum-minum dulu", kata Kherman seraya memegang lenganku dan aku menampiknya. Tetapi kami akhirnya pergi juga berdua minum-minum meninggalkan Rini dan Iwan.
81 Sambil mengemot-ngemot pipet Prem-Club yang bergambar anjing meloncat itu, aku mencoba menerka apa yang sedang difikirkan oleh Kherman.
"Kenapa Rini diam saja ya"" tanyaku tiba-tiba.
Kherman menggelengkan kepalanya, sambil mengemot pipet minuman, dan tampaklah warna kuning menanjak dan dasar botol melalui pipet plastik itu masuk ke mulut Kherman, dan jakun Kherman kemudian bergerak tanda cream soda itu telah masuk melalui lehernya.
"Bukan", kata Kherman memandang jauh.
"Apa Rini bertengkar dengan Iwan"", tanyaku.
"Entah", kata Kherman.
Aku merasa sedikit tersinggung karena jawab-jawab Kherman yang pendek-pendek saja itu.
Tiba-tiba hatiku terdesak untuk bertanya pada Kherman:
"Kenapa kau sombong""
Baru Kherman mencoba tersenyum. Tetapi aku bisa mengerti, bahwa senyum itu adalah senyum terpaksa.
"Kau marah"" tanya Kherman.
Aku kini membalas membungkam.
"Kau marah, Fonnie"' tanya Kherman
Aku tetap membungkam mulutku. Aku ingin mencoba hatinya, apakah yang sedang bergelombang di hatinya, sebuah gelombang yang dapat kurasakan, sebuah gelombang yang kurasakan menghempas ke hatiku sebesar gelombang-geombang laut Cilincing.
82 Akhirnya Kherman berdiri, dan membayar minuman. Kami kembali pergi berdua ke tempat Rini dan Iwan. Mereka berdua sedang bertengkar dan Rini menangis kulihat. Mereka bertengkar dengan hebat sehingga keduanya tak tahu serta sadar bahwa kami berdua di dekat mereka.
Iwan berdiri. Kemudian beriongkok mengambil lengan Rini. Tapi Rini menyentaknya.
Iwan dengan gugup meminta sebatang rokok kepada Kherman. Kherman dua kali menyalakan api rokok karena apinya padam. Dan kulihat bagaimana Iwan begitu nervous.
Aku mengambil initiatif untuk membujuk Rini supaya mau pulang. Oleh bujukanku Rini mau. Di kamar pakaian aku tak berusaha untuk bertanya, dan aku menolongnya untuk memakaikan pakaiannya. Ia meremas-remas pakaian renangnya, kemudian menggulungnya. Aku masih tak ingin bertanya apa sebab ia menangis. Tetapi oleh perasaan naluri wanitaku, aku sudah menerka, tentu ada sesuatu yang hebat terjadi yang telah dilakukan oleh Iwan terhadap Rini. Kalau tidak, kenapa Rini begitu ngambek, begitu membungkam, begitu keras tangisnya. Ketika kami akan keluar dari kamar pakaian, Rini menciumku pada leherku. Aku heran, karena kurasakan airmatanya yang panas mengalir pada leherku.
'Diamlah, Rini", kataku mem
bujuk. Ketika kami berdua keluar setelah Rini kembali melihat dirinya pada kaca serta membenahi rambutnya, tampak oleh kami Kherman dan Iwan sudah menyalakan mesin motor. Hari itu kami pulang tidak segembira sewaktu kami berangkat
Aku sampai di rumah baru pada jam sembilan malam, karena Rini menahanku supaya aku menemani kesedihannya. Meremang bulu tengkukku mendengar bagaimana kisahnya. Aku sampai-sampai ikut menangis. Tetapi Rini akhirnya berkata: "Aku tak bisa memaafkan Iwan.
Benar seperti kuduga, bahwa Iwan telah berlebih-lebihan. Rini memang suka dimesrai, bahkan ia berkali-kali membiarkan Iwan. Sambil berenang pun Iwan
83 memagutnya dan mengecupnya di tengah Iaut. Tetapi selesai berenang itu lwan mengajak Rini untuk pergi ke sebuah warung. Iwan berkata bahwa warung itu adalah warung bibiknya. Dan Rini memang melihat keakraban Iwan dengan bibiknya itu.
Bibiknya berkata: "Iwan kalau capek-capek boleh mengasoh". Bibiknya itu juga berkata kepada Rini: "Anggap saja rumah bibik ini rumah anak sendiri".
Rumah itu bukanlah rumah gedong yang bagus. Hanya rumah papan dan memang atapnya besar. Cuma memang bertingkat dua. Iwan mengajak naik tangga menuju tingkat dua. Rini ikut dari belakang. Tangga itu terderak-derak sewaktu mereka naik ke atas. Di atas ruangan cukup lapang. Iwan menutup sebuah pintu yang ketangga luar, Rini tak dapat melihat Iwan lagi, karena sewaktu Iwan memanggilnya dari kamar, Rini sedang duduk-duduk memandang laut. Iwan keluar dari kamar dan menarik lengan Rini. Rini bertanya: "Ada apa ini". Iwan berkata: "Aku capek".
Rini berkata: "Pergi saja sendiri sana istirahat". Lalu Iwan menciumnya. Dan Rini membalas kecupan itu dengan kebirahiannya. Tetapi ia menjadi jengkel sewaktu Iwan menyeretnya. Dari kamar itu terkunci. Rini mengancam akan berteriak. Iwan sangat tegang saat itu dan Rini menjadi putus asa sewaktu Iwan melemparkannya ke neraka.
Rini tak menceritakan jalannya pemerkosaan itu, karena sewaktu bercerita kembali Rini kepadaku, ia sudah menangis terisak-isak.
"Hanya kepadamu aku bercerita", kata Rini.
Ingin aku bertanya kepadanya. bagaimana kalau Ia hamil. Tetapi Rini masih tersedu-sedu, dan sekali-sekali memelukku.
"Bagaimana reaksi bibiknya sewaktu kalian turun"".
Rini hampir tak bisa menahan sedu-sedannya sewaktu bercerita: "Coba kau bayangkan, bagaimana aku heran melihat Iwan memberikan uang kepada bibik itu. Ia seenaknya berkata, bahwa itu bukan bibiknya. Dan ketika kupaksa juga kepadanya, rumah siapakah itu sebenarnya. Akhirnya ia mengakui, bahwa rumah itu bukan rumah pelacuran. Rumah itu ternyata menyediakan dan menyewakan kamar.
84 Kau tahu, Fonnie! Bagaimana aku ingin bunuh diri dan tenggelam di laut. Aku yakin bukan sekali ini Iwan melakukan hal itu bersama anak gadis di tempat itu. Aku
yakin Iwan telah melakukan hal itu berkali-kali dengan modal BMW-nya........Coba
kau bayangkan betapa aku tidak sedih
Kupandangi bagaimana airmata Rini meleleh seperti sumbernya takkan kering-keringnya. Nafasnya sesak, tetapi dia masih ingin terus berkata:
Kuharap kau berhati-hati kepada semua lelaki. Sekalipun lelaki itu wajahnya 'boyish' seperti Iwan, bahkan kunasihatkan kau lebih hati-hati terhadap Kherman".
Aku tertunduk dan pada sprei tempat tidur Rini dimana kami mengobrol, terbayang olehku kontras terhadap apa yang menimpa diriku.
Seprei tempat tidur itu dalam bayanganku tiba-tiba seperti berubah menjadi anyaman bale bambu nanti. Kuingat kembali bagaimana puncak dimana aku sangat tak bisa menahan diri, antara sadar dan tiada. Kherman membatalkan semuanya sebelum hal itu terjadi.
Yang dialami oleh Rini adalah kebalikannya. Lalu kuingat kemudian, apakah memang benar, orang-orang perempuan yang tubuhnya banyak ditumbuhi bulu sepertiku ini mempunyai kulminasi suhu energi yang lebih tinggi dan mereka yang kulitnya hem. Jika Rini adalah diriku, mungkin keadaannya tidak demikian, sempat aku berfikir.
Sambil mengayuh pedal sepeda menuju rumahku, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana Iwan berhasil menaklukkan Rini. Timbul curigaku. Apakah cerita Rini itu benar.
Ataukah Rini hanya menambah bumbu terhadap
ceritanya. Kuingat kalau Rini ngobrol tentang mesranya dengan Iwan, tak mungkin dia menolak ajakan Iwan itu.
Setiba di rumah aku dimarahi ibu. Aku menjawab singkat: "Kalau fakansi 'kan acara bebas, bu". Tetapi ibu memaki-maki, bahwa aku sudah terlalu ngelunjak kepadanya.
85 Belum pernah kulihat keringat Fizzy begitu banyak. Kali ini Fizzy sehat sekali. Tetapi kuingat cerita Imah dahulu, tentang pengalamannya, apa sebab seorang perempuan bisa tidur nyenyak hingga sukar dibangunkan.
Wajah Fizzy kulihat lebih pucat dan biasa. Bilakah Fizzy dan Mas Narko kembali dan Puncak" fikirku. Ibuku masuk ke kamar dan bertanya: "Kau sudah makan, Fonnie"".
"Belum", kataku.
"Jangan ganggu kakakmu lagi. Pergi sana makan, nanti masuk angin lagi!", kata
itu. Aku pergi makan. Tetapi aku hampir tak merasa mengunyah. Otakku membayangkan melalui khayal gadis remajaku, apa yang dialami oleh Fizzy di Puncak. Udara Puncak yang dingin, sejuk dan sepi, menimbulkan perasaan yang bukan-bukan memang. Melintas di otakku kisah Rini tentang bibik palsu dan lwan. Apakah tidak mungkin di Puncak ada villa yang demikian itu, seperti dikisahkan oleh Emmy dahulu, sewaktu ia dibawa oleh seorang pengusaha tua, yang diceritakan oleh Emmy seperti kuda tua yang bahkan tidak kuat melangkah lagi"
"Jam berapa mereka pulang"". tanyaku pada ibu.
Baru jam setengah sembilan malam tadi", kata ibu ringan.
Setelah di kamar tinggal aku dan Fizzy saja, sekali lagi kuteliti wajah Fizzy yang begitu nyenyak. Begitu tenang kelihatannya wajah Fizzy itu. Keringatnya pelan-pelan mengalir dari keningnya. Tidurnya semakin tidak akan bisa dibangunkan lagi. Kudekati wajah kakak perempuanku yang begitu ayem-ayem itu. Kucoba mengelus keningnya. Kelihatan ia tersenyum kena elusanku itu. Kurang ajar! teriakku dalam hati. Apa dikiranya aku ini Mas Narko, he" Kurang ajarnya! Fizzy senyum lagi waktu dagunya kupegang, sambil merengeh-rengeh manja. Matanya pelan-pelan dibukanya dengan manja pula, diliriknya aku. Lirikannya melemparkan senyum yang manja pula.
"Mmmh......kau", kata Fizzy.
86 "Enak sekali tidurmu", kataku. "Capek", kata Fizzy. "Capek kenapa sih"" tanyaku. "Mmmmh", katanya.
Ingin saja aku menampar bibirnya yang tertutup seraya melepaskan lenguhan 'mmmh' bergaya kerbau itu. Tetapi aku ingin mendengarkan laporan Fizzy. Mulanya Fizzy tersenyum. Senyumnya seperti memanas-manaskanku. Kemudian sambil tersenyum ia berkata:
"Boleh nggak kau mendengarnya ya"".
"Kenapa nggak boleh"" tanyaku jengkel.
"Soalnya umurmu', kata Fizzy.
"Emangnya umur gue berapa"", desakku memprotes.
"Usiamu belum lagi tujuh belas", kata Fizzy.
"Alaaah, brengsek", kataku melemparkan diri ke tempat tidur, dan memeluk bantal guling.
"Baiklah", kudengar suara kakak perempuanku. "Tapi jangan bilang sama siapa-siapa ya"".
Melalui bantal guling yang kupeluk hingga leherku, aku mengintip sikap-sikap kakak perempuanku. Fizzy menceritakan, bagaimana pada mulanya dia dan Mas Narko lebih dahulu mandi-mandi di Lido, sebuah tempat pemandian di simpang mau ke Sukabumi. Setelah mereka makan-makan sejenak, mereka tidak jadi ke Pelabuhan Ratu, melainkan terus ke Puncak. Hujan turun pada jam setengah sepuluh. Pelan-pelan mobil memasuki sebuah pekarangan bungalow. Bungalow itu tidak moderen bentuknya. Warnanya merah hati ayam. Sekelilingnya pohon-pohon cemara melingkupinya.
87 "Kudengar sebuah lagu yang belum pernah kudengar selama ini, kata Fizzy sambil memandang kepadaku memenggal ceritanya.
"Tak penting lagu itu", kataku, "Yang penting bagaimana cerita selanjutnya."
"Tidak. Lagu itu penting", kata Fizzy.
"Kenapa"" tanyaku.
"Kata Mas Narko, lagu itu merupakan lagu kegemaran para teenagers di Amerika sewaktu Mas Narko kembali ke Indonesia. Pada hari-hari pertama lagu itu tersebar, setiap siulan di jalan, setiap rumah terutama setiap teenagers menyanyikan lagu itu. Pada hari kedelapan lagu itu merupakan tophit song, terjadi keganjilan-keganjilan: Banyak sekali bunuh diri diantara para remaja, terutama gadis-gadis yang putus asa. Lagu itu berjangkit seperti penyakit sampar menggambarkan dunia kiamat,
"The End of the World".
Aku tak ambil pusing pada the end of the world, telingaku ingin mendengar cerita kakakku Fizzy. Apa selanjutnya dan selanjutnya.
Fizzy bercerita. Tetapi demikianlah sememangnya yang kusaksikan pada besok paginya. Kulihat bagaimana pada keesokan paginya, di beranda, Fizzy dan Mas Narko saling mencumbu.
Kulihat betapa tololnya Fizzy. Kulihat betapa gugupnya Fizzy sewaktu Mas Narko melirik kepadanya. Kulihat bagaimana ketika Mas Narko mengelus pipi dan leher Fizzy dengan hidungnya. Nafas kutahan kuat-kuat, aku yang cuma menonton menjadi berdebar-debar. Fizzy meringis. Aku seperti memberontak, lalu cepat-cepat keluar untuk mensabot percumbuan mereka.
Mereka berhenti karena tak menyangka aku memergoki mereka dari kamarku, lalu terus ke belakang dan mandi. Setelah mandi aku segera pergi ke luar rumah. Aku sekonyong-konyong merasa kesepian. Tiada hiburku bergerak sewaktu aku berjalan seorang diri, tetapi dalam hatiku terulang-ulang lagu yang diajarkan Fizzy semalam, lagu the end of the World, seakan-akan aku mengalami akhir dan duniaku. Langkah
88 kakiku berjalan tak menentu arah, terasa muak fakansi lima belas hari ini rasa-rasanya, ingin aku supaya sekolah segera dibuka. Ingin aku ketemu siapa saja dan temantemanku sekelas. Langkahku memberat jua, keringat mulai menyelusupi tepi ketiak dan BH-ku, menerobos blouse yang kupakai.
Entah dituntun oleh siapa langkah ini, tiba-tiba aku telah sampai pada sebuah rumah gedung. Hari masih amat pagi. Rumah gedung itu tampak sepi-sepi saja. Apakah Oom itu ada di rumah" Hatiku kesepian. Oom itu sangat ramah, mungkin ia bisa menghiburku. Tetapi tiba-tiba aku membatalkan niatku untuk memasuki pekarangan rumahnya. Aku melangkah lagi.
Sekonyong-konyong kudengar namaku dipanggil. Aku menoleh. Oom yang pernah menolongku, masih memakai kameryas kembali menyerukan namaku. Ia seorang yang rajin tentunya, memegang penyiram bunga di tangannya. Melihat wajahnya yang simpatik tanpa dosa itu, tiap-tiap kata dan lagu the end of the world gugur satu persatu, berganti dengan the beginning of my world. Hatiku berdebar sewaktu Oom yang pernah menolongku dulu menghampiriku dan mengajakku mampir ke rumahnya.
"Mari kita main halma", ajaknya, sehingga aku masuk ke pekarangan rumahnya.
Ketika Oom itu membawaku masuk ke dalam rumahnya melalui garden belakang, ia bertanya kepadaku kenapa aku tidak pernah Iagi ke rumahnya semenjak aku ditolongnya sewaktu pingsan di Gondangdia dulu itu. Aku menjawab bahwa aku sibuk sekali dengan hafalan-hafalan. Dia berkata, bahwa dia sangat mengharap sekali kedatanganku. Aku bertanya kenapa. Dia menjawab bahwa dia kesepian. Kukatakan kepadanya, kenapa dia harus kesepian.
"Oom membutuhkan teman", katanya.
"Bukankah rumah Oom begini besar"" kataku memandang ke sekeliling. Di batas garden yang memang luas yang bentuknya seperti tempat dansa di Wisma Nusantara Harmoni itu, langkahnya terhenti. Katanya: "Rumah yang begini luas malahan menambah kesepianku".
89 Oom ini semakin berbicara semakin menjadi misterius bagiku. Dia tak melanjutkan langkahnya. Dipandanginya tempat itu sekeliling, seperti ada sesuatu yang dikenangnya.
Lihatlah", katanya, " Lampu-lampu pesta merah, hijau dan warna-warni ini semuanya, seperti kemarin malam saja pesta-pesta selesai. Disini beberapa tahun yang lalu semacam tempat pesta dansa kalau malam minggu dan malam-malam libur.
Dia melangkah masuk ke ruang tengah meninggalkan garden pesta itu dan melanjutkan kata-katanya "Sekarang ruang itu seperti ruang hantu yang menakutkan".
Wajahnya ditolehkannya ke wajahku. Kulihat betapa wajahnya memperlihatkan wajah yang cukup 'boyish', menurut istilah kami anak-anak perempuan di kelas: 'wajah tanpa dosa'.
Di ruang tengah ini kami sama-sama berhenti. Aku dengan iseng menyelonong melihat ukiran-ukiran relief di dinding ruang tengah itu. Tengkukku tiba-tiba meremang sewaktu melihat relief-relief di dinding itu menggambarkan ke rukunan laki-laki dan wanita. Baik lelaki-lelaki maupun wanita-wanita dalam relief-relief dinding itu menggambarkan sebelum ada industri pakaian. Kengerian perasaan yang timbul itu, diselesaikan oleh kata-kata Oom itu
: "Ruang ini Oom namakan Taman Eden. Lihatlah betapa rukunnya lelaki-lelaki dan perempuan itu".
"Ya.......", ucapku.
"Mari kita bermain halma. Tunggu sebentar", katanya tiba-tiba, dan meninggalkan aku di ruang tengah yang disebutnya Taman Eden jtu.
Agak Iama aku menunggu. Sementara Itu kucari tempat duduk yang agak sejuk. Tiba-tiba sewaktu aku duduk di tempat yang kupilih, lampu biru yang sejuk menyala. Aku menoleh melihat bayangan sesosok manusia. Manusia itu berpici dan berpakaian pelayan. Dia membawa minuman es buah dua gelas dan menarokkan kedua gelas minuman es buah itu di meja kecil di ujung lututku. Pelayan itu tak berkata suatu apa, melainkan pergi lagi. Tiba-tiba jiwaku merasa tertekan. Tertekan oleh lirikan pandangan
90 si pelayan ini. Lirikannya mengandung tanda tanya. Apakah lirikan itu bukan semacam ejekan" Ejekan yang seakan-akan menuding kepadaku: He, kau adalah gadis yang tak berharga, mau saja dibawa ke rumah gedung ini untuk kemudian menjadi mangsa" Ingin aku memanggil pelayan itu dan menyatakan kepadanya, bahwa aku bukan gadis sembarangan, bahwa gadis semacamku bukan dengan gampang untuk dinodai. Tapi pelayan itu telah hilang, dan muncullah Oom dalam pakaian payama serta bersandal Jepang yang bagus sekali. Sisirannya rapi, dan wajahnya semakin boyish tampak olehku. Ketika ia duduk, bau parfum memencar dari seluruh dirinya, harum nyaman. Ditaroknya kotak halma di atas meja. Lalu disodorkannya minuman itu kepadaku.
"Minumlah", katanya, "Adalah segar minum es buah dipagi hari begini Fonnie", dan dipandangnya aku.
Pandangannya benar-benar intim, seakan-akan masih punya pertalian keluarga, seakan-akan dia adalah Oomku yang sebenarnya. Aku beberapa kali dipandang oleh seorang lelaki dalam pandangan yang demikian. Bahkan Mas Narko, pacar kakakku, suka memandang begitu tajam padaku. Lain halnya Toni, lain pula halnya Tigor, begitu juga lain halnya Kherman. Kuanggap pandangan Mas Narko, Toni, Kherman mempunyai daya yang nakal. Tigor tidak, melainkan matanya itu begitu suci rasanya, seakan-akan aku. Tetapi pandangan Oom itu cukup nakal, namun ingin memandangnya terus-terusan.
"Kenapa melihat saja, Fonnie"" tanyanya padaku.
Aku menjadi malu dan sadarkan diri.
"Ndak apa-apa", kataku menunduk dan mulai mengacau minuman. Air strup mulai bergulung-gulung dalam gelas, bersatu dengan potongan-potongan buah dalam gelas, bersatu dengan susu dan mocca, semuanya dalam gelas, menerbit selera untuk minum. Dan seteguk kuminum pelan-pelan. Ketika mataku melirik, bertemulah mataku dengan mata Oom, biji mata yang hitam menyenangkan itu.
Tak lama kemudian kami main halma. Satu set pertama aku kalah! Aku minta revanche. Oom itu mengabulkan. Kami main satu set permainan lagi. Keringatku mengalir melepaskan pion-pion biji halmaku. Tiba-tiba, melihat bulu tangannya yang
91 tebal dan tangan dan jari-jarinya yang kokoh itu hatiku menggidik aneh. Lebih-lebih ketika aku merasa kakinya menyentuh kakiku, terasa bulu kakinya menimbulkan geli pada betisku.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. Oom itu biasa saja. Tetapi hatiku bergetar, mengamuk lebih-lebih pada waktu betisku merasakan ini.
Tak Iama kemudian, setelah bermain lima set permainan, kepalaku cukup pusing. Pusing bukan karena kalah tiga set dan lima set permainan halma ini, tetapi melayang pada pelajaran ilmu kesehatan, bahwa gadis sebelum usia tujuh belas, pada umumnya punya rangsang berbahaya. Memang benarlah hal itu. Keinginan untuk didekap selama ini semuanya gagal. Terakhir bahkan keinginanku yang meluap-luap terhadap Kherman yang masih menghargai kesucianku. Apakah aku ini seorang gadis yang mata keranjang" Ataukah semua ini dorongan keras belaka karena aku menyaksikan cumbu mesra Mas Narko terhadap Fizzy, ataukah' kisah-kisah pengalaman temanku yang lain seperti Emmy atau Rini" Apakah pada akhirnya, aku akan mengalami semacam Rini, atau Emmy, atau Imah" Apakah aku kuat untuk menahan pandangan mata Oom ini, ataukah aku tertarik kepadanya sekarang karena usianya yang menyebabkan ia menjadi lelaki idaman biarpun ia jauh lebih tua"
Ataukah seperti dikatakan oleh guru agamaku,
jaman ini sudah terbalik, dimana kaum wanita semakin menunjukkan kelemahannya menghadapi laki-laki"
Aku ingat kata-kata Emmy. Emmy temanku sekelas yang punya pengalaman dengan seorang lelaki tua yang mengajaknya ke Puncak. Lelaki itu sudah punya isteri. Dan Emmy dibujuk dengan materi, sehingga akhirnya berhasil dibawa ke Puncak. Suasana di sana telah dibuat seperti suasana honeymoon dan Emmy sudah ditawarkan oleh orang itu untuk dijadikannya isteri keempatnya. Tetapi Emmy pura-pura menolak. Dan apa yang dialami oleh Emmy adalah menggelikan sekali sewaktu dia menceritakannya kepada kami anak-anak gadis yang bandel di kelas. Yaitu julukan keledai tidak bisa apa-apa. Biarpun demikian.. Emmy pernah berkata, bercumbu untuk dengan laki-laki tua memang jauh berbeda dengan romantik terhadap para jejaka yang pernah dialaminya. Heran kami semua, bahwa Emmy lebih tertarik dengan Ielaki-lelaki yang usianya di atas 35 tahun. Mereka lebih kalem, sabar, dan mempunyai magnet yang
92 kuat. Gadis-gadis seperti jenis besi yang menghadapi magnet, terhadap mereka Ini. Berbeda dengan para jejaka yang cuma mengejar-ngejar begitu saja, tanpa kepastian, seperti halnya pada diri Kherman yang sok. Rini bersumpah selama hidupnya tak mau lagi pacar-pacaran dengan anak-anak remaja seperti Iwan itu. Ia bersumpah akan mencari idaman seorang lelaki dewasa, yang Iebih bisa bertanggungjawab. Rini terpengaruh pada kata-kata Emmy, atau Imah, mungkin. Tapi aku" Sekarang ini" Aku juga terpengaruh!
Aku rasa-rasanya lebih merasa dekat dengan Oom ini. Ia simpatik. Ia lebih hati-hati dan Iebih berterus-terang. Apa yang telah dilakukannya terhadap diriku sewaktu ia menolongku pernah aku membuktikan ia seorang laki-Iaki yang jujur. Andaikata aku dulu itu ditolong pingsan oleh anak-anak muda, dan diangkut anak-anak muda yang cross-boyish sifatnya, tentu aku sudah terancam sewaktu pingsan. Bahkan ada temanku gadis yang diajak oleh kawan-kawannya yang muda-muda, lantas diberikan sejenis minuman yang menyebabkan dia terjerumus menjadi mangsa. Tak seorang dan yang menodainya yang mau bertanggungjawab.
"Kenapa kau seperti termenung, Fonnie"", tiba-tiba aku seperti terkejut mendengar katakata Oom ini.
"Saya kira sudah waktunya makan siang", kata Oom itu pula.
Aku dibimbingnya ke ruang sebelah. Ruang itu ternyata ruang makan. Makanan telah tersedia di situ. Apakah aku tertarik oleh sikap" ramah ini" fikirku dalam hati.
Dia pergi ke washtafel, dan membasuh tangannya. Aku mengikuti membasuh tangan. Kemudian melapnya. Dan kemudian duduk makan bersama. Makanan yang dihidangkan begitu mewah.
Setelah makan siang itu, Oom itu mengajakku kesebuah ruang yang disebutnya sebagai ruang-angin. Ia akhirnya memakai celana pendek tennis, dan hanya berkaus singlet saja. Kepadaku dipersilahkannya untuk tidur-tiduran disebuah kursi malas. Ia sendiri juga rebah-rebahan disebuah kursi malas, yang jaraknya hanya dua meter dari kursi malas yang ditawarkannya bagiku.
93 Ia mengipas-ngipas. Kufikir, inilah orang yang sudah binnen!
Besoknya aku datang lagi pagi-pagi kesini. Begitupun pada besoknya. Tetapi yang paling aneh adalah kejadian pada hari ketiga ini. Sehabis bermain halma, kami tidak pergi makan. Dia mempersilahkan aku untuk memutar-mutar plaat yang baru. Diantara plaat itu sebuah lagu yang akhir-akhir ini paling kusenangi ternyata ada padanya: The End of the World yang pernah diajarkan oleh Fizzy. Oom itu pergi entah kemana. Dan aku sendirian di ruang itu. Karena itu aku seenaknya tidur-tiduran di lantai sembari mendengarkan lagu tentang berakhirnya sebuah dunia. Terutama bait-bait terakhir kata-kata lagu itu, benar-benar membias serta membius kedalam semangatku. Aku seakan-akan rapuh dalam duniaku. Aku tak mengerti, apakah semua ini karena sebab-sebab ayahku yang terlalu keras, tetapi disamping itu lebih mengutamakan kakakku Fizzy, sedangkan tak acuh kepadaku" Acuh orang yang sibuk. Aku memasuki Tarantella Club karena aku butuh teman dahulu, justru ayah terlalu sibuk, sebentar-sebentar pergi konperensi dinas ini dan itu. Ibu juga lebih banyak mengisi kesepian dengan menjahit. Fizzy sibuk
dengan pelajarannya hingga kurus karena terlalu banyak studi. Akibatnya aku sering mengunjungi rumah teman dan kurang betah di rumah. Teman-teman gadisku, terutama yang sudah berpengalaman berpacaran inikah yang selama ini memberikan rangsang-rangsang cerita sehingga aku kaya dengan khayal yang bukan-bukan" Tak mengerti aku.
Aku tak tahu, bahwa aku telah terlena dalam tidur dialun oleh lagu The End of the World. Aku tertidur di atas lantai diantara timbunan bungkus-bungkus plaat.
Dalam tidurku tiba-tiba aku merasa leherku tersentuh.
"Fonnie", kudengar bisiknya.
Tiba-tiba, pintu ruang diketuk. Terdengar suara di luar: "Tuan, makan siang. sudah tersedia".
Aku meloncat, dan berbuat seakan-akan baru bermimpi. Oom itu agak kaget
juga. 94 Apakah wanita bukan termasuk sama lemahnya dengan lelaki-lelaki. Kalau tidak, kenapa Oom ini memasuki ruang ini, mendapatkan aku sedang ketiduran" Apa maksud kedatangannya, kalau bukan dibimbing oleh setan"
Tetapi sewaktu makan siang itu.
"Kau sudah punya pacar"" tanyanya.
"Sudah", kataku disengaja. Aku ingin, melihat bagaimana lelaki yang seperti magneet ini membiaskan rasa cemburu melalui mata dan wajahnya itu.
"Bagus itu", katanya.
"Bagus bagaimana"" tanyaku.
"Bagus kau sudah punya pacar", katanya.
Tapi tak kulihat bagaimana ia cemburu.
Aku melihat pernah, bagaimana Toni cemburu.
Aku pernah melihat bagaimana Tigor cemburu.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku juga pernah bagaimana Kherman cemburu.
Tetapi aku tak melihat bagaimana Oom ini cemburu, padahal itulah yang ingin kulihat daripadanya.
"Tetapi Oom sudah punya isteri", kataku mengajuk.
Ia kaget. Bagairnana kepalanya terangkat itu, seakan-akan tolakan terhadap tuduhanku. Dan aku senang melihat hal itu.
Ia mengambil sesendok kecap dan diserahkannya kecap itu pada nasinya. Lalu ia menyuapi nasinya. Ia melirik kepadaku.
"Mernang Oom sudah punya isteri bukan"", kataku Iagi, sengaja. Ia menggelengkan kepalanya.
95 "Sudah bukan"" kataku lagi. "Kenapa"" tanyanya.
"ya ngaku saja kalau sudah", akulah sekarang yang cemburu. "Memang kalau orang sudah punya isteri suka mengganggu anak-anak sebayaku".
"Kok gitu"" tanyanya.
"Oom sudah punya isteri. Dan yang di Bandung itu siapa"", tanyaku lebih cemburu.
"Yang di Bandung"", tanyanya ketawa.
"Ya, yang di Bandung....., ngaku aja deh", desakku.
"Dulu sudah Oom katakan. Yang di Bandung itu adalah adik perempuan Oom", katanya.
"Adik ketemu besar apa adik kandung"", tanyaku. "Adik kandung". katanya. "Bohong", kataku.
"Ah masak Oom bohong,.... Sungguh-sungguh kok", katanya.
Hatiku belum percaya. Inilah yang membuatku jadi gigih dan gemas dan ingin tahu. Makanya setelah makan siang itu aku duduk menyendiri. Hatiku untuk pertama kali tertarik dengan hebatnya seperti jarum pentul mengejar tak kebaca.
Apakah memang sudah semua begini perkembangan jaman ini. Atau benar, gadis-gadis dalam masyarakat modern lebih tertarik kepada orang-orang yang sudah bukan pemuda remaja lagi, seperti halnya bintang filem Sofia Loren yang masih muda tertarik dengan situa producer Carlo Ponti" Banyak mengenai hal ini kami bicarakan di sekolah. Tetapi kawan-kawan banyak beranggapan, bahwa baik Sofia Loren, maupun gadis-gadis Barat yang lain, bukan tertarik pada lelaki tua, melainkan tertarik pada
96 materi. Ataukah aku juga demikian" Apakah aku tetap tertarik pada type lelaki macam Oom inl, sekiranya ia tinggal di gubug yang reot"
*** Aku termenung. Kupandangi lampu-lampu merah-hijau-kuning di garden. Semua padam. Tapi hatiku tak padam. Hatiku makin berkobar sendiri begini. Sekonyong-konyong kulihat bayangan manusia dan matahari siang, yang mulai turun. Ia adalah Oom itu. Tangannya yang besar melingkari leherku, menyentuh daguku dan aku geli.
Ia coba berbuat seperti anak muda, tapi aku rasakan lucu. Kutertawakan ia pada akhirnya hingga wajahnya merah padam. Kepalanya terkulai. Matanya melihat lantai.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu, sesuatu yang aneh, sesuatu yang mengherankan, dan kemudian Ia membuang muka dengan terkulai. Aku mencoba duduk. Oom itu lunglai dan berkata dengan suara rapuh:
"Itu makanya Oom tidak kawin-kawin."
Aku maklum mengenai hal ini pernah me
njadi pembicaraan kami anak-anak gadis di kelas tentang sebuah kaya Mokhtar Lubir, Jalan Tak Ada Ujung dan kami tertawa-tawa sambil melirik pada guru laki-Iaki kami. Roman yang pernah jadi mata pelajaran ujian kwartal dulu itu, sering menjadi acara-acara lucu bagi kami tentang tokoh lelaki impotent dalam karya Mokhtar Lubis tersebut, tentang pipa yang ketinggalan di balik bantal, pipa laki-laki yang berbuat serong dengan isteri seorang guru. Kami anak-anak perempuan kadang-kadang ketawa mengikik kalau guru muda sedang iseng dan menceritakan perihal guru itu yang akhirnya dimasukkan ke dalam penjara oleh Belanda dan menjadi lelaki jantan kembali sewaktu disiksa oleh Belanda.
97 *** "Aku jujur, bukan" Tapi semua yang terjadi akibat dari masa remaja. Oom terlalu puas melampaui jaman itu. Ayah Oom seorang kaya. Dan dahulu semasa Oom masih remaja, Oom puas berdansa di garden belakang. Pernah Oom membaca memang, puas berdansa laki-laki jadi immun terhadap wanita akhirnya terbukti benar. Sekarang apa artinya semua ini Fonnie yang baik" Segala dokter tak bisa menyembuhkan. Hari depanku telah menjadi suram, karena terlalu terangnya sinar lampu dimasa yang silam".
Ia berdiri. Ia malu memandangku. Aku juga berdiri dan dudukku di lantai. Ia menoleh kepadaku lagi, dan membuang muka lagi. Ia yang mulanya merupakan besi-berani tampaktampaknya, kekar dan seolah-olah berkuasa, kini kulihat seperti bubur.
Ketika aku akan meninggalkannya, tampak sekali wajah Oom tersebut sangat sedih. Seperti yang akhirnya dikatakannya:
"Kau akan pergi", dan sambungnya:
"Oom takkan punya teman lagi".
"Saya telah memaafkan", kataku, "Karena Oom memang tak bersalah. Saya yang bersalah.
Seorang gadis berani-berani mendatangi rumah Oom.
"Bukan. Akulah yang seharusnya meminta maaf, Fonnie. Begitulah gampangnya perpisahan. Andaikata kau tak kuganggu, tentu kau masih sudi datang ke tempat Oom ini... kita bermain halma bersama-sama, ngobrol panjang lebar seenaknya tanpa prasangka. Sekarang kau tak mau datang-datang lagi, bukan" Apalagi engkau telah mengetahui, bahwa aku punya kekurangan".
"Oom tak berkekurangan. Oom cukup mewah dan senang", kataku. Oom itu terdiam. Wajahnya tak berani menantang wajahku. Mungkin perasaan rendah dirinya, seakan-akan membayanginya!
98 Aku sendiri berat dengan perpisahan ini. Bagiku masih terbayang betapa wajahnya yang simpatik tak berdosa itu mempunyai daya magneet yang memikatku. Betapa ia bagiku ibarat payung pelindung. Betapa ia tak pernah menodaiku. Tetapi sebaliknya, sekiranya ia orang sempurna, apakah jadinya orang seperti Oom ini" Bukankah ia lebih bergajul dari teman-teman sekelasku yang lelaki yang berandal seperti Toni atau Kherman atau yang lain" Belum lagi terhitung temanku Kami, yang tampaknya sangat pendiam dan alim, tetapi akhirnya menjadikan berita teman-teman di kelas, karena Kamil sering berhubungan dengan Dokter penyakit kelamin, karena ia diajak oleh teman-temannya ketempat-tempat mesum dimana perempuan-perempuan jalang telah menulari penyakit raja singa kepada Kamil"
Bagaimanakah hidup ini yang sebenarnya" fikirku. Aku hampir-hampir tak percaya pada kehidupan. Aku hampir-hampir tak percaya pada manusia. Aku hampir tak percaya pada pakaian yang dipakai oleh setiap orang. Aku tak percaya pada tempat tinggal orang-orang sekalipun mereka diam di Menteng barat atau istana sekalipun. Karena semua itu adalah pembungkus-pembungkus raga manusia: pakaian, lagak, sikap kehormatan-kehormatan, tempat tinggal ataupun bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Aku menjadi kehilangan kekaguman pada kehidupan-kehidupan ini semua, karena nyatanya semua yang dipakai oleh manusia hanyalah kepalsuan. Sekali lagi kepalsuan yang menjadi topeng dari pribadi-pribadi yang sesungguhnya.
Sejenak aku merenung sebelum keluar dari pagar yang memagari rumah gedung yang mewah, dari Oom yang kukira semula sebagai lambang seorang lelaki yang simpatik, tolerant dan lambang kejantanan. Sejenak, aku merasa diriku apakah masih benar-benar suci, ataukah aku telah luput seperti yang lain"
Aku berjalan. Hanya langkah-langkahku yang mengetuk-ngetuk trotoir. Ak
hirnya aku sampai di trotoir Cikini. Kulihat beberapa majalah. Beberapa orang sedang membalik-balik majalah. Ada anak lelaki yang kira-kira seusia denganku. Ada juga laki-laki tua. Laki-laki tua ini sedang menatap sebuah foto bintang film Sofia Loren yang memakai pakaian Pin-up. Laki-laki tua itu begitu asyik mengagumi bentuk tubuh Sofia Loren, entah dengan khayal yang bagaimana, entah laki-laki tua itu saat itu merasa sedang berada disebuah suasana bersama Sofia Loren, entah ia merasa sedang berpeluk atau entah apa......
99 Tetapi kenyataan membuktikan, hampir separuh dari laki-laki mengagumi bentuk tubuh Sofia Loren. Separuh lagi mengagumi di dalam hati dengan ucapan-ucapan yang membenci tetapi seleranya lebih tajam. Semua adalah lambang dari kepura-puraan pribadi manusia. Aku beranggapan, pada umumnya manusia berhati munafik, lain katahati dan lain bicara bibir. Aku melihat pribadi Yang Sesungguhnya dari manusia jantan pada wajah lelaki tua Yang kini membuka lembaran lain, dan mendegut ludahnya sambil menikmati Pandangan dari tubuh Claudia Cardinale. Ketika aku mendekatinya, lelaki tua itu menoleh kepadaku dan cepat-cepat menutup majalah itu.
Hatiku berkata: Itulah pribadimu dan itulah manusia mu.
Aku berjalan terus tak menentu arah. Sampai akhirnya aku duduk sore-sore sambil makan sate Madura dipojokan Cikini, seorang diri. Kemudian aku berjalan lagi. Aku berjalan Iagi entah kemana, sampai-sampai aku pulang telah hampir jam sembilan malam. Setiba aku di rumah, tak ada tanda-tanda satu orangpun di rumah. Apakah seisi rumah pergi mencariku, karena aku tak pulang seharian" Di atas tempat surat ada sebuah MEMO yang ditujukan kepada ayahku. Memo itu menyebutkan bahwa teman ayah menunggunya jam sebelas malam dalam urusan import semen dari Jepang.
Dan bila aku masuk, ibu tak ada. Hanya secarik kertas ditinggalkan oleh ibu ditujukan kepada Fizzy, bahwa ibu menginap di rumah tante Lucy karena tante Lucy mengadakan pesta all night. Pesan ibu lagi, supaya Fizzy mengatur rumah selama ibu pergi. Kulihat jarum jam. Telah jam setengah sepuluh. Malam terasa sepi bagiku. Tetapi terkejut sekali aku sewaktu pintu kamar kubuka perlahan, aku melihat Fizzy dan Mas Narko.
Hatiku berdesir. Apakah seseorang yang sudah melalui beribu mil menuntut ilmu, akhirnya tak beda juga dengan Iwan terhadap Rini atau Kherman atau yang lain" Hatiku luluh, aku kehilangan ukuran tentang manusia. Aku segera Pergi ke gudang belakang. Kukunci pintu. Kudengar suara langkah memasuki kamar mandi. Kudengar Fizzy bernyanyi di kamar mandi. Fizzy mandi. Dan bila akhirnya aku memberanikan diri keruang tengah, kudapatkan Mas Narko pura-pura membaca surat kabar. Lagi-lagi____kepura-puraan yang kukenal, topeng pribadi manusia. Bila kumasuki kamarku
100 untuk pergi tidur, seprei tempat tidurku sudah tak ada, bantal guling terlempar tak keruan dan sebuah bantal yang penuh air mata ada di lantai. Dan, sekonyong-konyong, hatiku yang rapuh, rontok melalui airmataku yang gugur.
Besok paginya, ibu pulang lebih pagi. Ibu bertanya kepadaku, apakah ayah ada kembali tadi malam. Aku katakan bahwa aku tidur jam sepuluh. Dan aku katakan juga bahwa aku tak mendengar ayah kembali, karena pagi-pagi pun aku tak melihat ada mobil di garage.
"Fizzy mana"" tanya ibu.
"Fizzy masih tidur", sahutku.
"Jam tujuh masih tidur. Ibu sudah pesan supaya siap-siap karena mungkin hari ini keluarga Mas Narko akan datang meminang Fizzy secara resmi".
"Fonnie nggak tau", kataku.
Nah, ibu mulai marah-marah. Aku sudah tahu, kalau ayah tak pulang, biasanya ibu sudah mulai marah-marah kayak senapan mesin. Pada hari itu ibu tak mengijinkan aku pergi-pergi lagi seperti kemarinnya. Aku harus membantu ibu mempersiapkan makanan, dan menjelang tengahhari ibu menyuruhku pergi membeli kuweh-kuweh ke Cikini, membeli taplak meja yang baru serta korset kaki yang baru.
Fizzy menjelang tengah hari itu pun bangun. Aku cuma mendengar omelan bahwa ia dimarahi oleh ibu.
Keluarga Mas Narko padahal datangnya setelah magrib.
Mereka mengobrol-ngobrol. Aku tak diperbolehkan mendengar oleh ibu, apalagi ayah yang melotot bila aku menc
oba melintas-lintas ke luar dengan alasan bahwa aku akan ke belakang atau mencuci kaki, atau segala macam. Tetapi maksudku memang ingin mendengar percakapan yang serius itu. Ayah yang suka berbicara keras, agak tegang kelihatan. Yang kudengar:
101 "Kenapa kok sekonyong-konyong perkawinan" Bukankah pertunangan lebih dahulu"", demikian kudengar ayah mendebat. Jika ayah mulai mendebat, ada harapan hubungan Fizzy dan Mas Narko putus, fikirku dalam hati. Dan aku mencoba mengikuti percakapan-percakapan itu hingga larut malam.
Akhirnya pintu kamarku kudengar diketuk dari luar. Lambat ketukan itu. Aku membuka dengan keinginan tahu besar sekali. Kulihat Fizzy berwajah muram.
"Bagaimana" putus"" tanyaku cepat-cepat.
"Tidak", kata Fizzy lemah.
"Ayah tak setuju kau dengan Mas Narko"", tanyaku. "Bukan", jawab Fizzy.
"Bagaimana" Terangkanlah. Aku ingin mendengar", kataku mendesak. Fizzy duduk di tempat tidur dengan lunglai. Wajahnya kelihatan pucat. Aku mengerti apa sebab pucat begitu, karena aku menyaksikan sendiri. Dan matanya yang dulu riang, melirik kepadaku. Kemudian dia memelukku kuat-kuat.
"Ayah brengsek betul. Fonnie!" tangisnya.
"Brengsek bagaimana"" kataku memegangi rambutnya yang terjurai.
"Ayah terlalu bertele-tele. Mas Narko mendesak supaya perkawinan dilakukan minggu depan", kata Fizzy.
"Minggu depan"" aku terkejut menganga. Mengapa begitu cepat"
"Ya. Minggu depan. Mas Narko sanggup menyebar undangan. Tapi ayah khawatir pesta akan sepi. Lagi pula ayah mengusulkan sesuatu yang membikin Mas Narko gondok!".
"Katakan kepadaku apa sebab Mas Narko gondok", kataku.
"Ayah menolak perkawinan Minggu depan", kata Fizzy.
102 "Tentu ayah ada alasan", kataku.
"Bukan alasan", kata Fizzy, "Tetapi usul yang tak masuk diakal oleh mereka". "Ayah mengusulkan apa"", tanyaku.
Fizzy menangis. Menangis lebih kuat. Dan Iebih kuat lagi hingga yurkku basah oleh airmatanya.
"Apa usul ayah. Fizzy"" tanyaku gigih, tapi suaraku membujuk.
"Ayah mengusulkan perkawinan dilangsungkan dua bulan lagi".
"Itu lebih baik. Kita cukup persiapan", kataku.
"Tidak", kata Fizzy, "Itu menyulitkan kami". Aku terdiam sejenak.
"Bahkan ayah berkata", kata Fizzy lagi dengan suara tertelan-telan oleh tangisnya, "Bahkan ayah menyarankan andaikata Mas Narko atau keluarga Mas Narko tak setuju dengan usul itu, ayah dengan sukarela setuju jika Fizzy atau Mas Narko mengundurkan diri dengan sukarela, tanpa dendam, pertanda kita orang-orang berpendidikan intelek".
Dan Fizzy menangis Iagi. "Lantas"" tanyaku.
"Sungguh memedihkan buatku. Lebih baik aku mati saja", kata Fizzy lagi.
"Kau tak boleh putus asa, Fizzy", kataku menasihati seperti nenek-nenek menasehati cucunya. Aku geli sendiri dihati melakukan kata-kata itu kalau kuingat, akupun pernah melakukan demikian. Mungkin semua anak gadis yang berjiwa perasa dan putus asa akan punya fikiran demikian. Bahkan ibu-ibu yang putusasa telah melakukannya, seperti yang dilakukan oleh ibunya Kherman.
Kucoba menenangkan Fizzy.
"Ayah gila", kata Fizzy tiba-tiba.
103 "Kenapa"", tanyaku.
"Semua itu dimintanya mengundurkan dengan suatu alasan yang sangat gila", kata Fizzy lagi.
"Jangan kau berkata demikian. Bukankah ayah adalah ayah kita" Tanpa ayah, kita ini tidak ada", kataku.
"Lebih baik kita tidak ada daripada kita hadir kedunia tersiksa begini. Aku lebih baik tak dilahirkan dahulu", kata Fizzy.
"Kenapa kau sampai berkata demikian"" desakku.
"Kenapa"".
Fizzy memandang kepadaku dengan tajam:
"Ayah minta diundurkan, bayangkan, dik, karena kata ayah, tiga hari lagi ia akan berangkat ke Tokyo dalam urusan import semen dari Jepang".
Aku terdiam mendengar laporan Fizzy tentang alasan ayah menunda perkawinan Fizzy dan Mas Narko itu.
Akhirnya ayah setuju juga dan menerima seluruh usul Mas Narko. Bahkan ayah lebih dari pada setuju, bahwa ia akan menanggung semua biaya perkawinan dan pesta itu asal saja pesta dilakukan di rumah kami. Mendengar persetujuan ayah tersebut, kakakku Fizzy yang berada dalam pelukan penuh tangis, berdiri dengan terkejut, tetapi kemudian jatuh lagi ke tempat tidur. Fizzy pingsan. Aku menjadi kaget, dan aku segera membuka pint
u kamar serta berteriak: "Ayah! Fizzy pingsan di kamar!"
Ibuku bagaikan meloncati terali tembok setinggi lutut di ruang tengah. Keluarga Mas Narko juga ikut sibuk. Mas Narko juga ikut sibuk. Mas Narko pucat. Ayah terlebih lagi pucatnya. Aku tahu, ayah yang menjadi gugup secara tiba-tiba, menunjukkan sayangnya untuk pertama kali di depan hidungku, karena beliau menangis. Tetapi tiba-tiba beliau berdiri dengan segera dan berkata seperti pada diri sendiri:
104 "Kenapa aku begini linglung"".
Ayah keluar dan aku mengikuti beliau bersama Mas Narko. Ayah mencari-cari buku telpon.
"Mau tilpon siapa, pak"" tanya Mas Narko.
"Dokter langgananku, Dokter Anwar Jahri", kata ayah.
"Tak usah ke dokter, pak! Sebentar juga sadar kembali", kata Mas Narko. Tetapi ayah tetap juga mencari-cari nomor tilpon Dokter Anwar Jahri itu.
'Tak perlu dokter-dokter segala, pak!" kata Mas Narko.
"Apa maksud nak Narko melarang saya" Fizzy tokh masih anak saya, bukan""
"Bukan begitu, pak. Hari sudah malam. Mungkin dokter sudah pulang!", kata Mas Narko.
"Tapi dia ini dokter lain dari yang lain. Tidak seperti dua tiga dokter yang pantangan kalau ditelpon malam atau dibangunkan kalau ngorok. Bahkan ketika ban mobilku kempes, dia meminjamkan mobilnya yang merah itu kepada saya. Ah, sudah, biar saya urus!"
Akhirnya ayah temui juga nomer tilpon Dokter langganan ayah tersebut. Ayah mengangkat tilpon. Mas Narko kebingungan. Mas Narko kembali masuk kamar, dan berusaha keras supaya Fizzy segera sembuh dari pingsannya.
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki pekarangan, namun Fizzy belum juga siuman. Aku, Mas Narko, dan Ibu, menemani Fizzy. Kepada ibu Mas Narko tetap menyarankan agar Fizzy tak perlu diperiksakan kepada dokter, - tidak apa-apa, katanya. Bahkan Mas Narko menambahkan mungkin Fizzy pingsan karena terlambat makan. Tiba-tiba ibu kulihat memandang sejenak pada Mas Narko, seperti ada yang ibu setujui dan kata-kata usul Mas Narko. Seketika ketika ibu mengatakan: "Nanti akan ibu sarankan kepada bapak", maka.... pintu kamar terbuka. Dokter Anwar Jahri yang
105 ganteng dan masih muda itu berdiri di depan pintu siap dengan alat-alat pemeriksaannya serta stoteskop di dalam kantong baju putihnya.
"Dokter.. Fizzy tak apa-apa!", kata ibu.
Memang kata-kata ibu secara kebetulan sekali, karena Fizzy telah sadar dari pingsannya. Dan Mas Narko menambahkan:
"Ya, Fizzy sudah sadar kembali!" dengan lega.
Fizzy melihat dokter tiba-tiba melotot matanya "Aku tak sakit! Aku tak sakit! Fizzy tak mau diperiksa dokter! ".
Ayah mendekati kakak perempuanku itu:
"Bukankah kau sejak kecil paling doyan berobat dan minum obat" Kenapa kau sekarang jadi senewen begini ha""
Belum selesai ayah akan melanjutkan kata-katanya, ibu menyeret ayah ke sudut dan berbisik-bisik sesaat. Kemudian ayah berkata kepada Dokter Anwar Jahri: "Sayang dokter.. Memang Fizzy tidak suka disuntik".
"Hanya diperiksa sedikit saja", kata Dokter Anwar Jahri. Tetapi Fizzy menjawab kebaikan dokter itu dengan menelungkupkan badannya, sehingga dokter muda yang ganteng itu tak berdaya. Lebih tak berdaya lagi setelah ayah - yang menilpon dia - mendorongnya dengan halus supaya ke luar.
Keadaan menjadi pulih kembali setelah Fizzy memperlihatkan bahwa ia sehat betul-betul, sekalipun aku tahu, semua gerak-geriknya dibikin lincah dengan dipaksa-paksa.
Begitu rumah kami tinggal hanya kami saja:
ibu, aku dan Fizzy, karena ayah pergi lagi ada urusan dagang, aku berusaha untuk menyadari Fizzy supaya tetap memeriksakan diri.
"Sudah. Jangan diolok-olok juga", kata ibu.
106 "Idiiiih. Mentang-mentang mau jadi penganten nggak mau ke dokter ya""
Aku dicubit oleh kakakku. Ibu menyeretku ke luar kamar sewaktu Fizzy makan sendirian di kamar.
"Kau jangan olok-olokkan juga si Fizzy", nasihat ibu padaku sewaktu aku menemani ibu tidur di kamar beliau.
"Kenapa sih""
"Kau masih kanak-kanak, Fonnie", kata ibu.
"Bu...", kataku bersungguh-sungguh. Ibu juga memandangku dengan bersungguhsungguh pula.
"Apa Fonnie. Makin aleman aja", kata ibu.
"Kenapa si Fizzy dan Mas Narko.... nggak mau diperiksa dokter" Dan apa sih
yang ibu bisikan sama ayah tadi di p
ojok itu"" "Sst! Anak kecil nggak boleh tau!" kata ibu.
"Tetapi tiba-tiba intuisi wanitaku bisa menjalari kebenaran: ada yang telah terjadi atas Fizzy. Mungkin Fizzy tak bisa menahan diri, sehingga terjadilah apa yang harus terjadi. Aku tetap bersyukur, bahwa hal demikian tidak terjadi atas diriku, dan ini membuat mataku tak bisa dipicingkan hingga pagi.
Aku mendapat jatah undangan sepuluh buah cuma-cuma. Terpaksa teman-teman yang benar-benar dekat yang kupilih. Terpaksa membagi undangan itu lima untuk teman lelaki dan lima untuk teman gadis-gadis. Anak-anak perempuan yang kuundang masih kuraguragukan, tetapi yang terang Nafsiah dan Rini kuundang.
Tiba-tiba Rini kubatalkan untuk mengundangnya, karena mungkin peristiwa perkawinan Mas Narko dan Fizzy ini akan menimbulkan sedih hatinya.
Tentu Rini akan merasa sedih. Sebab Rini telah mengalami suatu cobaan dunia, yang telah merusak dirinya sebagai seorang gadis, sedang Iwan sendiripun tidak
107 menjanjikan untuk mengawininya andaikata hal-hal yang tak terduga terjadi dalam pertumbuhan biologisnya kemudian hari
Dari anak-anak lelaki yang kuundang terpaksa juga Kherman, Tigor dan Iwan kuundang. Kuundang Kherman untuk menyadarkan dirinya, bahwa pada akhirnya seorang lelaki pun harus memasuki gerbang perkawinan.
Kuundang Tigor hanya untuk membujuk luka hatinya, mungkin dengan pesta ini dimana ia hadir, Ia bisa bersimpati lagi kepadaku. Kuundang Iwan dengan harapan, agar Iwan benar-benar sadar akan perbuatannya yang telah merusak temanku Rini. Agar ia tetap bertanggungjawab, dan jika terjadi sesuatu yang tak terduga atas diri Rini, ia harus mengawini Rini. Ketika kudatangi Kherman, maka Kherman cuma menjawab: "Ada pesta rame-ramean lagi ha"", - suatu kalimat yang mengherankanku sekali.
"Iwan", kataku kepada Iwan sewaktu mengantarkan undangan padanya: "Datanglah pada perkawinan kakakku ini!", bujukku, karena tiba-tiba Iwan berkata bahwa ia sibuk sekali.
"Aku nggak bisa dateng, Fonnn", kata Iwan lembut.
"Emangnya ada janji nonton dimalam Minggu dengan Rini"" tanyaku berbuat seakanakan tak mengetahui peristiwa dia dengan Rini.
"Kalau Rini datang, aku mau datang", kata Iwan.
"Betul"", tanyaku.
"Tapi ntar dulu ah", kata Iwan tiba-tiba berbelot. "Apa lagi soalnya"", kataku bertanya. "Nontonin orang kawin nggak enak ah", kataku. "Lho kok nggak enak. .Jangan begok ah", kataku.
"Bukan begok tapi rasanya ngeliat orang kawin itu aku kok mual. Buat apa sih orang kawin"" tanya Iwan.
108 "Untuk melanjutkan generasi ummat manusia", kataku. "Apa lagi"" tanya Iwan.
"Buat membangun keluarga. Kitab Suci dan juga guru agama menekankan, bahwa perkawinan wajib bagi lelaki dan perempuan. Ingat tidak ajaran guru agama kita: Perempuan ibarat ladang bagi lelaki""
"Kalau perempuan itu ladang, kan artinya dijaga baik-baik, supaya ladangnya subur bibitnya baik. Terjadilah generasi yang baik. Kalau ladangnya sesudah ditanam ditinggalkan, mungkin orang anggap tanah ladang itu hanya semak-semak tak berarti, si pemilik ladang 'kan artinya tak bertanggungjawab"" kataku menekankan sindiranku.
"Kalau aku ini pemilik ladang, apa kau fikir aku ini termasuk yang tak bertanggungjawab"", tanya Iwan tiba-tiba, mungkin tahu bahwa aku tadi menyindirnya. Aku segera menjawab:
"Aku yakin kau pemilik ladang yang baik. Pemilik ladang yang baik, tentu setelah menaburkan benih menyiangi ladang itu, memberinya pupuk, mengawasi binatang-binatang yang akan merusak seperti kerbau atau sapi yang lewat mau merusak. Dan pada waktunya tentu bahagia menuai hasilnya!".
Berkata Iwan: "Kau telah ketularan penyakit filsafat-filsafat si Plato Kherman, hmmmmh"".
Aku kaget. Tapi kurahasiakan kagetku, kalau-kalau Kherman pernah berkisah.
"Emangnya Kherman pernah bilang apa"", tanyaku berdebar.
'Kherman pernah bilang, bahwa bagi dia gadis-gadis adalah ibarat ibunya. Gadis-gadis adalah calon ibu. Ibu adalah sumber dari manusia dan kemanusiaan serta kesucian. Karena itu, seorang gadis tak boleh dilukai sedikitpun. Apalagi seorang ibu", kata Iwan.
109 "Benar dia mengatakan hal itu"" tanyaku masih gemetar, kalau-kalau Kherman bicara soal pengalamanku
dan dia dipondok terpencil dikelilingi tambak-tambak di Cilincing dahulu.
"Aku heran kenapa Kherman selalu berkata begitu.", kata Iwan sekonyong-konyong yang menyegarkan hatiku sedikit.
Akhirnya Iwan memutuskan akan menghadiri pesta perkawinan kakakku juga, sehingga aku menuliskan nama Rini dalam amplop undangan, langsung ke rumah Rini.
Usahaku ini berhasil. Iwan dan Rini bersama-sama menghadiri pesta perkawinan itu, bahkan datang semesra-mesranya, belum kulihat mereka begitu mesra. Seyogianya jika aku menjadi iri hati, apalagi Kherman telah mengabarkan melalui Iwan, bahwa ia tak bisa hadir. Tetapi Tigor tetap datang. Cuma Ia tampaknya tak gembira.
Aku berusaha duduk dekat Tigor dalam acara makan kuwe-kuwe kecil di sebuah pojok yang sepi di balik pohon-pohon pisang belanda. Lampu-lampu biru kecil bergatungan mengelilingi kami.
"Kenapa kau murung, Tigor"" tanyaku.
"Aku sedang memikirkan sesuatu", kata Tigor.
"Sesuatu apa" tanyaku mania membujuk.
"Sesuatu yang tak hilang dalam otakku selama ini. Yaitu tentang perkawinan.
Pada akhirnya, baik lelaki ataupun perempuan, harus memasuki dunia ini. Sementara itu, merasakan merindukan sesuatu melihat kakaku bersanding bersama suaminya. Mas Narko itu. Kubayangkan, jika aku nanti jadi pengantin wanita siapakah yang akan bersanding di sebelahku" Aku belum mengetahuinya, aku tak bisa membayangkannya.
Tigor tiba-tiba menjadi kaget, mendengar suara pengacara yang berkata: "Atas permintaan kedua mempelai, diminta saudara Tigor tampil berdeklamasi sajak".
Tigor tanpa ragu sedikitpun maju ke depan mic. Ia berdeklamasi:
110 Tuhan berikan bumi ini bagi kita manusia
Tuhan lahirkan kita pada saat pertama
Tuhan takdirkan perkawinan dalam jenjang kedua
Pada waktunya, Tuhan memanggil manusia disaat ketiga
Diantara yang tiga itu kita berjalan Itulah kehidupan
Alangkah indah kehidupan jika dicintai
Alangkah agungnya kehidupan jika manusia sudi mengabdi
Saat-saat ditiga pintu itu, bagi kekekalan abadi
Alangkah terasa sunyinya rumah. Biasanya ada Fizzy. Sekarang Fizzy telah menjadi Nyonya Narko. Mereka tinggal di Bendungan Hilir, jauh dan tempat tinggal kami. Lebih-lebih, setelah perkawinan Fizzy bcrlangsung dan Fizzy berpindah ke rumah suaminya, ayahpun berangkat pula ke Sepang, seakan-akan kami yang ditinggal harus benarbenar menekan sepi berdua, yaitu aku dan ibuku.
Aku kadang-kadang berfikir, sekiranya akulah yang nantinya kawin, maka setelah bubarnya pesta. akan dibawa suamiku ke rumahnya, ke rumah kami. Jika kebetulan Ayah Sibuk bagi baik ke luar Negeri atau berkomperensi dinas lagi, alangkah sunyinya Ibu sendirian. Terkadang, aku kepingin tak usah kawin saja kalau memikirkan hal ini.
Kenapa fikiranku masih berkisar soal perkawinan saja, terutama semenjak Fizzy menikah" Atau karena kesunyian, atau karena sekolah berlibur menjelang pengumuman lulus tidaknya ujian, ataukah karena baru-baru ini Fizzy datang dengan perut menggembung tanda dia telah mengandung, dan aku merasa ketinggalan"
Ketika aku memikirkan tentang perkawinan, tak sedikitpun melintas dalam bayanganku, siapakah laki-laki yang kelak menjadi suamiku. Karena aku akhirnya sadar, selama ini yang kuliwati bukanlah cinta, bukanlah calon suami. Tetapi anak-anak perjaka yang sedang bertumbuh, yang umurnya tak beda usianya denganku, anak-anak
111 remaja dalam jaman Sturm und Drang, kami anak-anak yang masih dalam taufan pancaroba
Mereka membelai kulitku, mereka menciumku, begitupun aku terhadap mereka, kukira semua bukan atas dasar kasih yang bisa abadi, melainkan keinginan-keinginan remaja belaka. Bila kuingat begini, bahwa diriku pernah dibelai diciumi dipeluk biarpun tak lebih dari itu, aku merasakan, seolah-olah kehilangan virginitas. Biarpun aku masih perawan utuh, tetapi adakah aku ini masih suci" Adakah masih suci bila fikiranku sudah pernah terjadi sekalipun hanya didalam khayal, kehendak, fikiran dan niat belaka" Atau sekalipun manusia, baik lelaki atau perempuan yang pernah hidup sebenar-benarnya hidup, pernah berbuat noda, sekalipun noda itu terpancang dalam fikiran, kehendak, khayal dan niat belaka" Sebagai bungkusnya, manusia b
erbuat baik-baik dalam gerak-gerik dan tingkah laku, tetapi siapa yang bisa membaca hati nurani manusia, yang terdiri atas kebaikan dan keburukan"
Atau diriku seorang diri sajakah yang mengakui secara terus terang tentang hal ini, sekalipun pengakuan terhadap diri sendiri, yang pendengannya hanya malaikat-malaikat serta Tuhan belaka" Sehingga teman-temanku yang sudah tak perawan lagi merasa kagum kepadaku, seperti halnya Emmy, Rini dan Imah, ketiga-tiganya pernah menganggap aku ini manusia yang layak tinggal dalam biara. Padahal tidak" Dalam fikiranku aku telah menjalani beribu-ribu dosa, beribu-ribu nista.
Terkadang aku menangis seorang diri di kamar, dan aku tetap mendustai ibuku, bahwa aku menangis karena khawatir aku tidak lulus ujian SMA-ku! Aku yakin, ibu kagum kepadaku yang memikirkan pelajaran serta ijazah, sebagai murid yang baik, tetapi padahal aku sedang terombang-ambing dalam gelombang taufannya masa pubertas, entah semua ini karena arus jaman yang menghempas dilingkungan hidupku, mengingatkanku pada sajak Khairil Anwar yang pernah dideklamasikan oleh Tigor, yang berbunyi: "Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang. Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang", yang bisa kutafsirkan seolah-olah aku ini termasuk dari generasi yang mewarisi jaman lampau yang tiada kami ketahui, karena jaman lampau telah diukir oleh generasi sebelumku, sebelumku dan sebelum nenek moyangku. "Kita hanya melihat sebagian dan sandiwara sekarang", kata Khairil Anwar.
112 Kuingat lanjutan sajak itu lagi, yang berbunyi: Lahir seorang besar tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat". Mungkin penyair Khairil Anwar benar, fikirku. Cuma aku tak tahu, apakah dalam masyarakat bangsaku telah pernah lahir seorang besar yang harus dicatet, ataukah masih akan lama lagi. Yang terasa olehku, seperti ayah Nafsiah seorang pegawai negeri pernah berkata kepadaku dengan kata-kata yang memancang di otakku sampai sekarang: "Kita ini tenggelam melulu. Abis rakyat sih. Yang nimbul cuman pemimpin aje" Kufikir bahkan penyair seperti Khairil pun ada diantara pegawai-pegawai negeri.
Untuk itulah aku mendatangi temanku Tigor. Mungkin Ia Iebih mengerti arti sajak Khairil itu, karena sajak itu diciptakan ditahun 1946, ketika gelombang jaman sedang menghempaskan pada pundak bangsaku suatu na.sib antara hidup terus atau mati sebelum berusia setahun. Karena pada saat itupun aku sendiri belum lagi lahir
"Fonnie. Ada yang sudah lebih dahulu berangkat dari kita", kata Tigor dengan wajah yang muram.
"Siapa"", tanyaku kaget.
"Kau belum mendengar"", tanyanya, menyebabkan aku ingin tahu. Tigor menjelaskan kepadaku: "Rupa-rupanya kematian Ibu Kherman yang menyebar ke kelas kita, berpengaruh atas diri seorang teman kita. ltu maka aku percaya pada kisah Mas Narko, lagu The End of The World pada saat-saat hits, menimbulkan kematian-kematian karena bunuh diri, putus asa pada jaman dan Dunia yang Akan Berakhir. Tahu kau, salah seorang teman kita telah melompat dari atas Jembatan Semanggi. Karena malam itu lwan masih ragu-ragu. Ragu-ragu untuk mengawininya. Rini sudah meninggal. Mayatnya pagi ini dibawa ke Kudus, kampung halamannya. Oh ", Tigor mendengus sedih. "Kudus, nama yang identik dengan perkataan Suci. Mungkin Rini ingin dikembalikan pada tempat ia dilahirkan semula. Betapa tragis dan kontrasnya nama negeri itu dengan akhir hidup Rini. Atau sajakku dimalam itukah yang mempengaruhi otaknya" Rini menangis dimalam perkawinan kakakmu!"
Aku terdiam. Aku benar-benar seperti merasakan bagaimana mati itu! Oh, Tuhan. Alangkah pahitnya mati demikian, fikirku.
113 "Padahal Rini lulus, bukan"", tanya Tigor lagi.
"Rini lulus dengan angka-angka baik", kataku, termangu. "Mengkirik bulu kudukku mengingatkan kematian sahabat sekelas. Mungkin Rini mengalami demikian, karena ia membayangkan dirinya ibarat ibunya Kherman kalau Iwan nanti jadi suaminya tokh akan di sia-siakau! ".
"Makanya kita tak boleh membayangkan diri kita sebagai orang lain. Diri kita adalah seadanya yang ada pada kita", kata Tigor. Aku seakan-akan l
umpuh. Tak kuasa aku berdiri. Lututku lemah rasanya, karena taku melihat kedepan.
Namun sekonyong-konyong terasa olehku bahwa aku ini masih lagi gadis yang berusia tujuh belas tahun. Teringat olehku nasihat kakakku Fizzy dahulu: "Cinta remaja adalah cinta platonis. Cinta sekolahan. Kau masih kecil. Kau masih kagum pada orang-orang yang gagah mentereng! Type lelaki yang akan merajai dunia. Di Fakultas nanti, lain halnya lagi. Yaitu lelaki yang punya sikap, terhormat karena isi otaknya, bukan isi kantongnya".
'Kenapa kau terdiam"" tanya Tigor seraya menghalau ayam yang memakani nasi yang dikeringkan di tetampah. Dan karena aku tertarik pada nasi-nasi yang dijemur di tetampah, Tigor berkata: "Kalau digoreng, kerak-kerak nasi begitu enak untuk adik-adikku". Katanya lagi: "Di rumah kami sebutir nasi amat berharga. Maklumlah ayahku harus membina begini banyak anak".
Airmataku tertelan melalui leherku menahan sedih. Karena kami sering melemparkan nasi-nasi restan ke tong depan rumah kami, supaya nanti kalau ada ayam atau anjing lewat atau orang-orang gelandang, mungkin akan mereka ambil. Terutama supaya jangan mengotori rumah kami. Tetapi disini, di rumah Tigor, sebutir nasi katanya, dihargai sungguh-sungguh.
Negeri ini begini kaya, setiap pemimpin berkata bahwa Indonesia kaya, strategis, seperti gadis cantik yang menerbitkan selera bagi negeri lain. Aku melihatnya dan kenyataan lain, karena ingat pepatah yang pernah diajarkan guru bahasa Indonesiaku di kelas: Ibarat ayam mati di lumbung padi.
114 Tigor mengusir ayam yang naik ke atas atap mencotoki kerak nasi yang dijemur, kali ini betul-betul memungkangnya dengan batu. Begitupun ibunya memaki-maki. Aku tunduk dengan takzim. Aku merasa, bahwa aku tiada pernah merasa kekurangan, bahkan kelebihan sampai-sampai membuang restan nasi ke tong sampah di pinggir jalan supaya diambil pengemis, anjing atau ayam dan kucing, supaya jangan mengotori pekarangan rumah kami. Tetapi setiap aku ke rumah Tigor, aku merasakan kurangnya keluarga kami. Karena hubungan dalam keluarga Tigor sangat mesra. Aku dalam keluargaku seperti siapa lu siapa gua saja, sehingga aku kesepian.
Sekali lagi, dalam penuh simpati ini, aku takut jatuh cinta dengan seluruh simpati kepada Tigor ini. Ya, aku takut jatuh cinta. Karena. melihat Tigor mengusir ayam itu dengan penuh tanggung jawab, aku merasa lelaki yang penuh tanggungjawab, aku merasa lelaki yang penuh tanggungjawab beginilah yang pantas jadi suamiku kelak. Dan kubayangkan Tigor adalah suamiku. Khayal ini tiba-tiba kutekan, karena hatiku sudah melambung tinggi, seakan-akan rela aku hidup susah begini semacam keluarga Tigor tetapi susah yang dijalin kemesraan, tidak siapa lu siapa gua semacam keluarga kami. Kutekan angan-angan ini, karena sadar kembali, bahwa aku belum lagi tujuh belas tahun. Ada waktunya kelak aku benar-benar mencintai dan dicintai. Itu akan tiba waktunya, seperti dikatakan Tigor, yaitu: saat kedua dalam kehidupan. Sekarang aku belum lagi tujuh belas. Tiba-tiba kutolakkan standard sepedaku.
"Mau kemana kau lagi"", tanya Tigor.
"Pulang. Ibuku kesepian seorang diri di rumah", kataku.
Setiba di rumah aku memeluk ibuku.
Ibu heran kenapa aku memeluknya begitu mesra.
Ada beberapa waktu lamanya, seluruh kelas kami bertanya-tanya tentang kematian teman kami Rini.
Tetapi hanya dua orang saja Yang mengetahui sebab-sebab tersebut sampai Rini bunuh diri Dua orang yang mengetahui itu adalah Iwan dan aku! Teringat kembali olehku bagaimana Rini menangis tersedu-sedu di kamarku menceritakan kejadian yang
115 dialaminya atas perlakuan Iwan. Teringat olehku bagaimana Rinr menyesal dan putus asa. Harapan-harapan Rini timbul kembali pada saat aku berhasil mempertemukan Iwan dan Rini yang bersama.sama menghadiri pesta perkawinan kakakku Fizzy, bahkan datang semesra-mesranya, belum pernah mereka semesra itu. Mengingat bagaimana mereka duduk bermesra-mesra pada pesta jtu, pada saat itu timbullah kebencian yang meluap-luap dalam diriku-sebagai seorang gadis. Tiba-tiba tertanam dalam kalbuku, bahwa pada umumnya laki-laki adalah tidak berani bertanggungjawab apabila
mereka melakukan affair! Mereka lebih pengecut dari kucing-kucing. Gemasku meluap-luap dan di kamar ku kutuliskan kata-kata: No Time for Love. Kata-kata ini sudah biasa kubaca di kamar-kamar kawan-kawanku yang perempuan. Umumnya kawan-kawanku yang dipermainkan oleh pacarnya. Tetapi tidak buatku. Kata-kata murahan seperti dibilang oleh ibuku itu, bagiku merupakan peringatan yang amat tinggi bagi pribadiku. Memang dalam kehidupan ini aku begitu cepat rasanya untuk berfikir yang tinggi-tinggi. Berfikir, bahwa dan sesuatu yang kelihatannya murahan, mungkin saja timbul hal-hal yang terbaik dalam perkembangan hidup selanjutnya!
Pada suatu malam aku tak bisa tidur. Seperti biasanya, aku mematikan lampu supaya bisa tidur. Kamarku gelap. Kepalaku kuperbantalkan dengan kedua telapak tanganku. Aku menghadap ke loteng. Tiba-tiba bulutengkukku meremang. Rasanya dan loteng itu muncul wajah seseorang yang makin lama makin jelas. Wajah Rini almarhumah! Rini melambaikan tangan. Rini makin dekat, Rini senyum makin sejelas-jelasnya seakan-akan ia hidup! Rini yang berpakaian putih itu tidak berkata-kata malahan semakin dekat dan sewaktu tiba-tiba ia meraihku, perasaan ngeriku memuncak hingga aku memekik!
Ibu menggedor-gedor pintu. Tetapi aku sudah seperti orang bisu dan kejang di tempat tidurku. Ibu masih menggedor-gedor pintu. Ada apa Fonnie" Ada apa Fonnie" Aku ingin menjawab: Aku melihat hantu, aku meihat hantu, aku melihat hantu tetapi lidahku semakin kelu membeku.
Pintu terbongkar juga rupa-rupanya, hingga aku melihat cahaya dari ruang tengah. Ibu berdiri di pintu. Nafasku masih sesak. Dadaku menyempit, lidahku tetap mengelu.
116 "Ada apa nak"" tanya ibu. "Rini", kataku terpatah-patah.
"Rini" Kenapa Rini"", tanya ibu menghapus keringatku, dan menegukkan air putih di gelas ke dalam mulutku.
Setelah meneguk air putih itu, dadaku mulai merasakan bernafas sedikit.
Bayangan almarhumah Roni seakan-akan masih berdiri di depanku.
"Aku takut, ibu", kataku.
"Bukankah Rini sudah meninggal, Fonnie"" tanya ibu. "Ya. Tapi Rini datang, bu", kataku.
"Ah mungkin hanya angan-anganmu saja", kata ibu, yang kutahu hanya untuk menentramkan perasaanku saja.
"Aku melihatnya", kataku.
"Anganmu saja", kata ibu.
"Tapi aku betul-betul menyaksikan dia datang dan atas itu. Dan meraihku", kataku menangis, dan memeluk ibuku.
Ibu menghela nafas panjang-panjang, terasa helaan itu bergelung di dada ibu sewaktu aku mendekap demikian.
"Mungkin kau teringat kepada Rini sebelum tidur" kata ibu.
"Apakah orang mati bisa mengingat kita yang masih hidup"", tanyaku. Ibu menjawab:
"Orang mati hanya jasadnya yang tertanam. Mati. Tetapi rokhnya kadang-kadang melayang. Mungkin juga Rini meninggal dengan tidak rela. Bukankah yang kau
117 maksud ini Rini yang meloncat dari Jembatan Semanggi, yang bunuh diri itu"" tanya ibu.
"Betul. Rini yang bunuh diri itu", kataku.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibu heran pada jaman sekarang begini masih ada juga orang yang berani mati bunuh diri. Kadang-kadang akal manusia berobah dalam suatu saat yang sangat pendek. Tahukah kau, Fon, pernah ibu sendiri membayangkan hal untuk melakukan perbuatan maksiat bunuh diri itu. Tapi ibu merasa bersyukur tidak melaksanakannya. Karena ibu telah dibekali oleh iman kepada Tuhan yang dibekali oleh kakek dan nenekmu, bahwa setiap bunuhdiri hukumnya hanyalah neraka!".
"'Neraka"" kejutku," Apakah Rini akan hangus dibakar api neraka seperti nenek ceritakan semasa Fonnie kecil dulu, bu"".
Kurasakan belaian jari-jari ibuku pada anak-anak rambutku di kening.
"Itu keputusan Tuhan. Tapi janganlah sekali-kali memikirkan hal itu, apalagi melakukannya", kata ibu. Makin terasa jari-jemari ibuku mempermainkan anakrambutku
"Kalau ibu fikir-fikirkan kelakuan ayahmu, sudah lama hal itu terjadi", kata ibu. "Bagaimana ayah"" tanyaku mendesak. "Tidak", kata ibu, "Ayahmu baik-baik saja
"Ah, tentu ada yang ibu rahasiakan mengenai ayah barangkali. Ada tentunya hal-hal yang tidak baik yang pernah diperbuat oleh ayah makanya ibu pernah berfikir untuk bunuh diri"; kataku mendesak.
"Itu dulu. Tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang ibu telah melepaskan ayahmu dan membiark
annya untuk berbuat semaunya. Kalau pada suatu saat teman hidupnya tidak bisa menginsyafkannya lagi, aku sebagai teman hidupnya terpaksa berlepas diri. Kalau dia masih manusia, dia tentu akan kembali kejalan yang benar
118 Aku beranggapan, tentu ada sesuatu yang telah diperbuat oleh ayah yang melukai hati ibu. Karena itu aku semakin berkeinginan untuk menyelidikinya.
"Seharusnya ibu bercerita tentang ayah. Apa yang telah diperbuat oleh ayah makanya ibu teringat hal itu sekarang""
"Sekarang ibu telah melupakannya", katanya.
"Tidak. Ibu berdusta. Ada sesuatu yang ibu pikul selama ini".
"Kalau itu pikulan, pikulan itu tak berat lagi sekarang", kata ibu.
"Ibu memendam sesuatu yang berat dan ibu menanggungnya barangkali selama ini", kataku mendesak," Katakanlah bu!"
lbu mencoba meneduhkan desakanku dengan senyumnya. Tapi aku tahu senyumnya itu senyum yang dibuat-buatnya belaka.
"Katakan", kataku mendesak.
"Apa yang harus ibu katakan" Tidak ada apa-apa lagi", kata ibu.
"Tidak. Hal itu masih ada dan membekas di hati ibu", kataku.
'Bekasnya masih ada memang. Tetapi perasaan pedihnya sudah lenyap", kata
ibu. 'Ibu tak mau berterus terang pada anak kandung ibu sendiri"" tanyaku.
"Biarpun kau anak kandungku, Fon, tapi kau masih belum pantas mengetahuinya", kata ibu kepadaku.
"Aku ingin", kataku, katakanlah. Bukankah ayah tak ada sekarang ini""
"Biarpun kau ingin mendengarnya, tetapi kau belum waktunya untuk mendengar hal'itu", kata ibu.
"Katakan, bu", kataku merengek-rengek.
119 "Kau masih anak-anak", kata ibu. "Aku sudah gadis dewasa, bu", kataku.
"Tidak. Kau masih ingusan. Kau masih SMA. Lebih baik hal itu tak kau fikirkan lagi, seperti ibu juga tak memikirkannya Iagi".
"Jadi ibu tak mau menceritakannya"" tanyaku mangkel.
"Ibu tidak boleh menceritakannya", kata ibu.
"Kenapa"" desakku.
"Karena kau masih sekolah. Yang harus kau fikirkan semasa masih belajar, hanyalah pelajaran. Lain-lainnya tidak", kata ibu.
"Itu jaman kolonial. Sekarang jaman merdeka. Kami juga diajarkan pelajaran sexuologi. Bahkan pelajaran ilmu kesehatan. Ibu sepantasnya menceritakan hal itu kepadaku", kataku mendebat.
"Itu tidak pantas untuk diceritakan. Bagaimanapun buruknya ayahmu, ayahmu adalah suami ibu", kata ibu.
"Jika ayah bersalah, ibu pantas untuk menunjukkan kebenaran. Ibu menganggap wanita lebih rendah dan lelaki jika demikian", kataku.
"Ayah memang menganggap wanita lebih rendah dan lelaki", kata ibu.
"Jadi apa yang telah ayah perbuat, makanya ibu merasa direndahkan oleh ayah"", tanyaku.
Ibu hanya tersenyum. Kulihat senyum ibuku menyimpan sesuatu pikulan yang berat, tidaklah ringan seperti yang dikatakannya tadi itu. Senyum ibu mengandung awan yang berat menggumpal, senyum yang tawar dan dingin, senyum yang mengendapkan siksaan bathin yang rupa-rupanya sudah menahun.
120 "Tidurlah", kata ibu. "Aku takut", kataku. "Takut""
"Aku takut bayangan Rini datang lagi".
Tetapi memang demikian! Selama seminggu berturut-turut bayangan Rini selalu mendatangiku pada malam hari. Kadang-kadang bayangan itu muncul bahkan sewaktu lampu terang, bahkan juga sewaktu aku tidur berdua bersama ibu. Aku selalu menjerit bila bayangan Rini muncul.
Tetapi bukan bayangan Rini saja yang membuatku pusing. Juga hal-hal yang tidak jadi diceritakan ibu perihal ayah, membuatku sekejap dalam sehari memikirkan hal itu.
Memang aku sedang memperjuangkan sesuatu. Tetapi bisa saja aku malahan ikut terjerumus ke dalam arus putar. Kebimbanganku berubah menjadi ciut hati. Mendadak hatiku kecut. Dan aku berkata pada cewek yang belum kukenal di Jalan Sukun itu:
"Biarlah saya cari sendiri".
Dan aku tidak mencarinya. Sepeda aku belokan kearah Sentul, dan cewek tadi berseru memanggil-manggil karena mereka tahu arah sepedaku bukan menuju ke Klitren Kidul. Tidak. Aku tak perlu ke sana. Aku lebih baik menghindar resiko. Dan pulang.
Cuma saja, mungkin rasa soliderku yang tidak berubah. Buktinya malam itu aku baru bisa tidur pada larut malam. Malahan aku bermimpi buruk, dikejar orang tua mengerikan dengan caling-caling yang tajam sehingga aku mengigau menjerit-jerit. Gedoran pada dinding kamarkulah yang
membuat aku terbangun dari mimpi.
Cepat aku beristighfar. Dan sebuah buku yang dihadiahkan ayahku pada ulangtahunku yang lalu, aku ingat sesuatu anjuran, dan ulama yang mengarang buku itu. Yaitu bersembahyang sunnat sehabis mimpi buruk, mohon dipilihkan yang baik dari
Allah. 121 Segera aku keluar kamar. Hampir aku menjerit lagi. karena didepan kamarku berdini mas Domo. Suatu perasaan aneh membuatku merinding sejenak, lalu meneruskan langkah ke kamar mandi untuk bersuci. Bila aku keluar dari kamar mandi, dilangit aku melihat bulan terang menderang, bagaikan bola yang sedang terapung diatas permukaan awan yang bentuknya mirip ombak lautan.
Aku terus melangkah masuk rumah Iagi. Dan perasaan aneh membentur lagi dinding hatiku. Betapa tidak! Mas Domo masih berdiri, memperhatikanku. Cepat kumohonkan perlindungan dan Tuhan andaikata mas Domo ada niat-niat yang tak baik. Ia cuma berdiri dengan tatapan aneh, dan aku mencoba menyapa: "Belum tidur, mas". la malah tidak menyahut. Kucepatkan Iangkah masuk kamar. Dan buru-bunu mengunci pintu dari dalam.
Kebetulan, lampu gantung dikamarku kehabisan minyak. Api yang membakar sumbunya sudah kelihatan berkedip-kedip, siap untuk padam. Kucoba membetulkan dengan menggerak-gerakkan sumbu turun naik. Cahaya jadi terang untuk beberapa lama. Dan cahaya itu masih konstan saja sampai aku selesai sholat sunnat dua raka'at.
Tapi aku tetap tak bisa tidur. Pikiranku masih dirongrong oleh nasib Wartini, dan perasaan solider masih saja menyeru dihati. Tanpa ada maksud apa-apa, aku duduk dihadapan meja belajarku, tak sengaja terambil buku tebal terjemahan Kitab Suci A1-Qur'an. Herannya diriku oleh jari-jari tanganku yang membalik lembaran, langsung mataku melihat surat An-Nur. Dan Bagai kena tuntun oleh tenaga ghaib, bola mataku langsung saja membaca ayat 26:
Wanita yang keji bagi lelaki keji Lelaki yang keji bagi wanita keji Wanita yang baik bagi lelaki yang baik Dan lelaki yang baik bagi wanita yang baik
122 Aku tidak melanjutkan membaca seluruhnya. Tetapi kubaca lagi dan kubaca lagi baris-baris itu. Heran sekali! Rongrongan bathin, rasa solider, yang semula meluap mendadak saja jadi padam. Dan lampu kamarku pun padam sewaktu aku merebahkan tubuhku di ranjang. Dan suasana bathinku pun jadi tenteram dalam kegelapan ruangan. Dan kemudian, tidurku pun jadi nyenyak hingga subuh tiba!
Dan bahkan, perasaan disekolahpun tenteram-tenteram saja. Sampai akupun terlupa untuk memperhatikan tubuh dan perut Lusiana, apa ia hamil atau tidak. Entah mengapa, sepagi sampai waktu istirahat kedua, hatiku damai-damai saja. Malahan aku mendapatkan sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan lagi: Surat mas Yonardi, dari Wonogiri.
Karena surat itu langsung kuterima dan pak pos, tidak ada seorang pun yang melihatnya untuk ingin tahu. Dan aku sendiri pun tidak akan memperlihatkan kepada siapapun. Juga tidak ingin memperlihatkan isinya kepada siapapun. Pokoknya surat mas Yonardi mesra sekali. Bagian-bagian tertentu dan suratnya membuat buluromaku berdiri. Maka ini kuyakini, bahwa Tuhan itu Maha Pengasih Maha Penyayang bagi setiap insan, jika itu dikehendaki-Nya. Dan kadangkala, nikmat kasihsayang-Nya itu justru sangat merasuk kedalam jiwa, sebab sebelumnya insan-insan diberinya cobaan dan ujian terlebih dahulu untuk menentukan tabah atau tidaknya. Syukurlah aku senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.
Ingin saja aku agar mas Yon cepat pulang dari Wonogiri. Bila selesai belajar malam hari, kubaca sekali lagi suratnya yang mesra itu. Dan surat itu pulalah yang menutup hari itu menjadi paling indah dalam hidupku, sampai mataku pun tertutup dalam tidur yang lelap.
Lewat tengah malam aku terjaga dari tidurku. Tetapi kali ini aku terbangun bukan karena mimpi buruk. Juga bukan karena mimpi manis. Aku terbangun begitu saja. Mataku terbuka. Dan mataku yang barusan saja terbuka itu langsung melihat pada genteng kaca. Ada dua genteng kaca diantara susunan genteng tanah liat yang lain, yang membuat pandangan mata menerobos menatapi langit biru. Dan bulan purnama kemarin begitu sempurna bulat dilangit itu, seakan-akan pemandangan indah tengah ma
lam ini hanya diperuntukkan bagiku seorang.
123 Hal ini kuceritakan kepada mas Yon sewaktu ia telah kembali dari Wonogiri. Aku dan dia sedang duduk berdua. Waktu itu siang. Mas Yon menyusul. kesekolahku pada jam 11 karena sudah kuberitahu dua mata pelajaran terakhir kami prei sebab ada guruku yang sakit. Aku kini terhampar di padang rumput yang luas di pinggiran kota Yogya bagian selatan, letih mengayuh sepeda berduaan. Tapi kini justru keletihan itu tertebus pula dengan berduaan diatas rumputan.
"Memang, Yara, selagi muda bulan pumama itu menggugah perasaan. Tapi nanti ketika kamu mendewasa, yang bagus itu bukan bulan purnama lagi", ucapnya.
"Jadi yang bagus nanti itu apa"" tanyaku.
"Uang", katanya, "Karena uang membuat manusia merasa kaya. Tanpa kekayaan, kita gemar menyalahi nasib".
"Wah oleh-oleh pulang dari Wonogiri koq diluar dugaan"" aku mencoba menyindirnya.
"Memang begitulah kenyataan. Kita dari keluarga miskin. Di Wonogiri ketemu lagi dengan petani-petani miskin. Kita melihat sebuah cermin. Kira-kira apa yang mereka inginkan ya sama dengan saya. Yaitu kekayaan, hidup senang, makmur. Adalah bohong orang miskin Sepertiku tidak kepengin kaya. Kalau perlu ya kaya tujuh turunan,
Tiara!" "Hmmm. Ngeri saya mendengarnya, mas!" ujarku.
"Kenapa harus membohongi diri sendiri. Memang itulah faktanya. Aku ndak mau mengulangi kesalahan bapakku", kata mas .Yonardi.
"Oom Daud 'kan cukup terhormat"" bantahku.
"Hidup ini bukan sekedar dihormati orang saja, Yara. Kita bangga seperti bapakku bangga dihormati orang karena kejujurannya. Tokh ia menyembunyikan keluhan-keluhan nasib, menyembunyikan kerinduan naik motor pergi ngantor, tidak pegal linu karena bersepeda saban hari. Betul ndak""
124 Aku agak terheran-heran melihat perubahan drastis dalam diri lelaki yang kukasihi ini! Tentu ada seseorang, atau situasi, yang telah mempengaruhinya selama tugas sebulan didesa Wonogiri. Dan aku ingin menyelidikinya.
"Mas", ucapku, "Diantara teman-teman yang pergi, ada yang kaya""
"Untuk apa kamu tanya itu""
"Saya cuma ingin tau", kataku.
Ia menghela napas dalam-dalam. Lalu: "Ada yang kaya. Bagus! Menjadi kaya itu bukan pantangan kehidupan".
"Memang tiada larangan", kataku.
"Lalu apa perlunya kamu tanyakan lagi" Pendeknya, cara berfikir yang sederhana yang tertanam pada bangsa ini harus dirombak. Itu cara berfikir orang jajahan, yang barangkali masih cocok di India, ada kasta shudra dan paria. Ah, Tiara, sayang kamu masih muda belia. Jika kamu sedari kecil menderita dengan hidup sederhana seperti kami semua selama ini, bertahun-tahun kamupun akan merombak otakmu seperti mas Yon, Tiara!" Kini aku tak perlu mengherani lagi. Sepertinya matanya baru saja terbuka terhadap masa-masa lampau yang dilaluinya dengan tekun, seperti seekor badak yang melangkah tekun tanpa melihat kanan dan kiri.
Aku berdiam diri. Dia juga berdiam diri. Agak lama juga, sampai aku terlena oleh deru angin siang hari yang kencang menghembus-hembus rambutku.
"Kamu tidak bosan duduk berduaan begini saja"" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak Tidak bosan".
"Jangan dusta, ya".
125 "Sungguh tidak", bantahku, "Saya senang dengan alam pedesaan ini. Alangkah lucunya jika saya bayangkan hidup didesa dimasa tua".
"Ilusi lagi", ia mengejekku.
Ditatapnya mataku: "Tahu kamu mengapa kamu kubawa kepinggiran desa ini" Jangan jawab dulu. Biarkan aku menjawabnya: Supaya kamu menyaksikan kenyataan, bahwa saya tidak ingin hidup terlantar sebagaimana tanah pesawahan yang terlantar ini. Orang harus berani menyeruakkan derita dirinya lebih dulu, menyapu bersih keterlantaran dirinya dulu, baru ia mampu berfikir dengan baik, dan menikmati hidup dengan baik. Kalau cuma terlena oleh nyanyi nina bobok, apa artinya nikmat kehidupan""
Maka bila ayah sekali berada di rumah, begitu ayah datang, aku memperhatikan sikap-sikap ayah terhadap ibu. Bahkan ayah membelikan untuk ibu lipstick, sandal baru luar-negeri, juga mantel wool yang dikatakan oleh ayah "untuk nonton sekali-kali di Hotel Indonesia".
Sewaktu ayah tak di rumah, hampir saja kutanyakan kepada ibu kenapa ibu berpendapat ayah merendahkan martabatnya. Tetapi t
ak jadi, karena khawatir ibu tersinggung bahwa aku tak percaya padanya. Akibatnya hal yang ditekan ini membuat aku bermenung. Kadangkala aku duduk-duduk di balik pohon-pohon pisang Belanda di balik bayangan, memikirkan hal itu. Berhari-hari aku lalai memikirkan hal-hal lain kecuali hal itu. Sekali ibu mendatangiku. Tanya ibu:
"Kenapa kau ngelamun terus belakangan ini, Fonnie" Apa kau kesunyian""
"Tidak kesunyian, bu. Tapi ada yang kufikirkan"
"Kulihat ayah biasa saja pada ibu. Bahkan ayah membelikan sandal dan mantel, lipstick dan perhiasan mutiara", kataku.
"Memang ayah membelikan apa-apa bagi ibu. Ayah selalu membelikan untuk ibu segalagalanya", kata ibu.
"Kenapa ibu memendam sesuatu juga terhadap ayah"" tanyaku.
126 "Tidak. Tidak ada apa-apa", kata ibu.
Tapi aku tetap berpendapat bahwa ibu tentunya menyimpan sesuatu yang sangat rahasia. Ini tak bisa ibu mungkiri, cuma saja, karena aku masih belum berusia tujuh belas, dianggap masih ingusan ibu tak mau menceritakannya kepadaku.
Menurut keterangan teman-temanku Sekelas, ijazah baru akan diisi dua minggu lagi. Ini berarti selama dua minggu ini aku harus berada di rumah lagi. Entah karena apa, aku malas sekali untuk pergi ke sekolah. Di sekolahpun orang-orang cuma bersenda-gurau saja. Belum pernah aku punya perasaan malas seperti sekarang ini.
Tetapi di rumah pun kadang-kadang aku tak berbuat apa-apa selain membaca-baca buku di kamar atau pergi tidur.
Sekali, sewaktu aku membuang restan nasi ke tong sampah di depan rumah, sebuah sedan Fiat 1300 berhenti di depan pekarangan rumah.
Kulihat seorang Iaki-laki berkacamata hitam di depan Setir Laki-laki itu mengai~gguk kepadaku.
Aku membalas mengangguk dengan bimbang.
"Ayah ada"" tanya laki-laki berkacamata itu.
"Tidak", kataku, "Tapi ibu ada."
Sedan Fiat 1300 itu dibelokkan memasuki pekarangan rumahku, langsung ke garage. Lakilaki itu turun dan mobil. Ia kelihatan gagah sekali. Aku baru sekali ini melihatnya.
Ia begitu gagah, gagah menurut hematku, walaupun usianya mungkin sudah hampir empat puluh tahun. Kacamata hitamnya tak lepas menjadi perhatianku, karena, baru sekali itulah kulihat kacamata hitam sebagus itu.
Aku langsung berlari-lari masuk ke rumah mendapatkan ibu.
"Ada orang gagah", kataku.
127 "Siapa" Teman ayahmu lagi""
"Mungkin. Ia naik sedan Fiat 1300", kataku.
Ibu ke Iuar. Kulihat mereka seperti telah pernah berkenalan. Mereka bahkan kelihatannya intiem sekali. Aku menjadi cemburu karena aku kurang mendapat perhatian.
Aku segera berlari ke kamar dan berdandan. Kupakai baju yang paling menarik supaya mendapat perhatian daripadanya nanti.
Aku menjadi gugup sekali dalam berhias. Ketika kubuka pintu ke dalam aku menjadi kecewa karena kudengar suara mobil meninggalkan garage dan laki-laki gagah itu tak lagi ada. Kujengukkan kepala dengan menyibakkan daun jendela beranda. Ibu melambaikan tangannya sampai sedan Flat 1300 itu pergi menghilang cepat.
Aku dongkol sekali. "Siapa sih dia"" tanyaku.
"Saudara tiri ayahmu", kata ibu.
"Kalau begitu masih Oom dong", kataku.
"Bawa kopor-kopor ini ke kamar depan. Rudi akan menginap di sini", kata ibu. "Rudi" Emangnya namanya Rudi"" tanyaku.
"Akh anak ingusan. Bawa saja kopor-kopornya ini ke kamar depan. Ibu akan berbelanja ke pasar Cikini supaya kita tidak malu menerimanya. Rudi baru datang dari Paris".
"Paris" Duilah jauhnya. Paris ", kataku mengangkat kopor. Ibu menjewer telingaku. Dan dengan gembira aku marah-marah: "Udah jadi kulinya kopor Oom Rudi, dijewer lagi! ", kataku sambil ketawa.
"Anak-anak jaman sekarang........., kata ibu.
128 "Emangnya ginlana"" kudorong pintu dengan dengkul.
"Anak-anak sekarang pantangan liat lelaki ganteng", kata ibu. Aku membenahi kamar depan bersama ibu, menukar seprei dan aku sendiri mendapat tugas mengepel lantai.
"EmangnYa Oom Rudi masih single"" tanyaku. "Na genit lagi", kata ibu. "Tanya saja 'kan boleh"" kataku.
"Ya kalo tanya yang masuk akal. ini 'kan pamanmu" kata ibu. Ketika ibu berbelanja ke Pasar Cikini itulah, Oom Rudi kembali datang dengan Fiat 1300-nya. Lagi-lagi aku jadi iri hati karena pamanku ini menanyakan ibu. Tibak diperhatikanny
a sedikitpun kacamata hitam model mata kucing yang kupakai sewaktu menyambut datangannya!
"Duduklah Oom Rudi", kataku, "Ibu lagi ke pasar".
"Eh, kok kau tau saja nama Oom"" tanyanya ramah.
"Tentu dong", kataku.
Aku duduk sopan-sopan namun gelisah rnemandangnya mencuri-curi.
"Sekolahnya dimana""
"Nggak sekolah", kataku.
"Masa', nggak sekolah"" tanya Oom Rudi.
"Buta huruf", kataku.
"Bahaya!" katanya, "Kalau seseorang cantik dan mengaku buta huruf, itu bahaya".
Aku ketawa dibuat-buat menggumam bibirku.
129 "Baru saja lulus SMA", kataku.
"Lulus"" tanyanya berdiri dan mengulurkan tangan. Aku malu-malu dan berkata: Nggak terima akh".
"Kenapa"" tanya Oom Rudi heran.
"Kuku kita kotor", kataku malu-malu
"Terima dong", katanya.
"MaIu ah", kataku.
Tetapi aku merasa rugi tidak mau menerima jabatan tangannya. Telapak tangannya bersih kemerah-merahan dan kekar sekali. Agaknya ia pandai main karate karena bonggol-bonggol pada punggung telapaknya Tapi aku rugi karena tidak bisa merasakan telapak tangannya
Tapi aku merasa tidak rugi lagi setelah ia berkata: "Rambutmu memang menjadi model di Indonesia sekarang""
"Emangnya kenapa Oom"" tanyaku.
"Gadis-gadis di Paris sedang sibuk dengan baju kertas", katanya. "Cakep dong. Kalo robek gimana"" tanyaku.
"Kalau kotor tinggal ganti. kalau robek tinggal ganti. Jaman sekarang manusia berfikir secara praktis", kata Oom Rudi.
"Hebat dong", kataku.
Tetapi ketika ia bertanya tentang Fizzy, aku cepat-cepat mengatakan bahwa Fizzy sudah kawin.
"Kawin"" tanya Oom Rudi.
"Iya. Dengan Mas Narko", kataku.
130 "Alangkah cepatnya", kata Oom Rudi.
Aku duduk menjuntai-juntaikan kaki berayun-ayun untuk menarik perhatiannya. Aku melirik kepadanya, dan bertanya:
"Dan Oom"" "Maksudmu bagaimana"" "Masih bachelor"" tanyaku. "Masih bachelor", katanya. "Pantas awet muda", kataku.
"Di Paris orang tidak memikirkan perkawinan lagi. Dunia modern menganggap perkawinan sebagai hambatan untuk maju. Di Indonesia bagaimana"" tanyanya.
"Di Indonesia sih biasa aje, Oom". kataku. "Bagus", katanya.
"Kukira ketegasannya berbicara mirip-mirip bintang film Luis Jordan yang selalu memegang peranan-peranan Pangeran atau Prince dalam film-film. Ya, memang paman Rudi mirip-mirip Luis Jordan. Bibirnya yang tipis, matanya yang tajam setelah dibukanya kacamatanya itu, dan alis matanya yang tebal hampir bertemu satu dengan yang lain, dagunya yang runcing serta bekas-bekas cukuran jenggotnya yang membiru.
Kenapa dia justru adik ayahku" fikirku dalam hati, kenapa dia bukan orang lain saja misalnya"
Fikiran begitu masih bertarung dalam otakku ketika kami sama-sama bertiga menonton film di Hotel Indonesia, di Bali Room yang sejuk itu.
Pada malam hari, kami bertiga bermain kartu. Oom Rudi memperkenalkan permainan kartu Nominon, yang katanya sedang menjadi mode abad sekarang. Kadang-kadang kami bertiga main kartu nominon sampai jauh malam. Ibu tidur dikamar Fizzy dulu, aku tidur di kamarku, dan Oom Rudi tidur di kamar depan.
Pada saat-saat bermain kartu, kulihat perasaan gembira tertuang bagi kami semuanya. Kadang-kadang jika siang Oom Rudi lama sekali datang aku menjadi gelisah. Buatku, ciuman di kening pada waktu selesai bermain kartu dan juga terhadap ibuku dilakukannYa, menggembirakan hatiku. Kadangkala hingga jauh malam, bekas-bekas bibirnya seraya masih menempel dikeningku, sekalipun hanya di kening.
131 Oom Rudi pandai sekali menciptakan kegembiraan, berlain dari ayahku. Juga kelihatan, semenjak Ia datang, ibuku agak gemuk sedikit serta berseri-seri.
Tetapi kegembiraan itu agak tegang ketika pada suatu malam aku terbangun dan tidurku dan mendapatkan ibuku sedang bertengkar dengan Oom Rudi di ruang tengah. Aku segera membela Oom Rudi.
"Ibu sih nggak menghomati tamu", kataku sewaktu Oom Rudi masuk ke kamarnya dengan kepala menunduk.
Kau diam, Fonnie", kata ibu marah padaku.
"Oom Rudi begitu simpatik, ibu memaki-makinya", kataku.
"Apa kau mendengar ibu memakinya"" tanya ibu.
"Mendengar sih tidak. Tapi suara ibu yang keras menyebabkan saya sampe bangun, bu", kataku.
"Sudahlah. Kau masih kecil. Tidur saja", kata ibu marah-marah. Besoknya, secara se
mbunyi-sembunyi aku bertanya pada Oom Rudi kenapa ibu marah-marah. Oom Rudi berkata, bahwa ibu menyuruh dia kawin dengan keponakan ibu yang sekarang berada di Surabaya.
Aku jadinya mengutuk ibu, yang kuanggap terlalu kolot.
Lama kupandangi matanya di garage itu. Dan aku malu-malu ketika ia memperbaiki rambutku. Tetapi pada suatu sore ketika ibu telah tidur, kami berjumpa kembali di garage setelah duduk dalam mobil dan aku pura-pura mencari korek api mau menghidupkan lilin karena listrik mati.
Ketika korek api diambilnya dari kantong, aku gemetar melihat matanya yang kelihatan menggigil itu. Tiba-tiba tanganku ditangkapnya dari belakang, dan Ieherku diserangnya dengan ciuman. Aku terdiam, terpana tak tahu apa yang kuperbuat dalam suatu pesona penyerahan. Ia kelihatan begitu sabar mencium bibirku hanya sekali saja dan begitu lama, sehingga aku merasa terayun dalam ayunan semangat gadisku.
132 'Tidurlah", katanya.
Aku masih terdiam sejenak seperti masih disihir oleh apa yang telah terjadi. Membawa sebatang lilin, aku kembali ke kamarku.
Tetapi ternyata ia menyertaiku di belakangku.
Ia memagut begitu cepat dari be1akang hingga lilin pun jatuh di lantai kamarku sehingga ruangan menjadi gelap. Dalam kegelapan itu aku terbanting dalam suatu bantingan kobaran yang melonjak-melonjak di dadaku dan kumerintih-rintih membisiki sesuatu.
Aku berbuat seperti menolak tetapi juga menerima, menerima seperti juga menolak. Pada saat-Saat itu dadaku meronta, aku terhempas pada kelupaanku. Tetapi tiba-tiba aku merenggutkan diri sewaktu ia berbuat sesuatu yang menyebabkan bayangan Rini tiba-tiba berdini di depanku, merintih dan menjerit, sehingga aku menjerit sambil memukul kepala Oom Rudi dengan sepatu yang kudapatkan di lantai.
Aku menubruknya sewaktu ia Iari dan memaki-makinya seperti manusia tak sadarkan diri.
Ibu keluar dari kamar dan langsung memaki-makinya: "Terkukutk kau! Kau telah gagal kepadaku, sekarang kau akan berbuat terhadap Fonnie yang masih ingusan! Kau jahanam! Kau tak berbeda dengan suamiku dan rupa-rupanya kalian keturunan anjing! Abangmu telah menyiksa bathinku selama ini dengan nmmelihara gundik di luar
kota.....sekarang kau datang lagi mau merusak rumah kami! Bajingan! Pergi kau dari
rumah kami! Pergi kau ke hotel malam ini juga! Di hotel kau bisa membawa pelacur! Tapi rumah kami rumah keluarga baik-baik, keluarga yang punya iman, kau sama seperti abangmu! Membujuk orang dengan kemewahan! Apakah ini yang kau maksud dengan jaman moderen" Apakah jaman moderen itu berarti nilai-nilai manusia bisa dibeli dengan harta benda" Seperti abangmu membelikan sandal, mantel, lipstick untukku.... yang semuanya telah kuharamkan memakainya"".
Ibu menoleh kepadaku. Ibu mendekati dan memelukku.
133 "Kau tak apa-apa"" tanya ibu menangis mencium Ubun-ubunku. Aku mengangguk menahan tangisku.
"Betulkah kau tak apa-apa, nak"" tanya ibu menciumi lagi Ubun-ubunku. Ibu menoleh lagi kepada Oom Rudi.
"Pergi kau! Jangan injak lagi rumah kami ini selama-lamanya! Tidak ada
perbuatan yang lebih terkutuk di dunia ini selain perbuatan serong.... mengertikah kau"
Sekarang juga kau harus angkat kaki dari rumah ini! Tak ada lagi yang lebih buruk dari kebaikan-kebaikan kami yang hampir kamu nodai!"
Sementara paman Rudi berbenah, ibu menyatakan lagi kegusarannya kepadaku:
"Betulkah kau tak apa-apa. Fonnie""
"Betul, bu. Demi Tuhan, bu."
'Syukurlah. Syukurlah. Satu-satunya milik wanita yang paling berharga adalah kesuciannya. Jika itu telah ternoda, noda itu akan berulang kembali sekalipun kau kelak telah bersuami. Ingatlah hal itu. Ibu terpaksa menyatakan hal ini sekalipun kau belum lagi pantas mendengarnya! Kau janganlah bernasib seperti Fizzy, anakku!"
Ibu memelukku dan membimbingku ke kamar.
Malam itu juga Oom Rudi angkat kaki dan rumah kami tanpa sepatah kata dan tanpa kami restui keberangkatannya. Bahkan ibu menutup dan mengunci pintu beranda sewaktu mobil Fiat 1300 itu telah jauh menghilang suaranya ditelah kesunyian malam hari.
Malam itu ibu tidur bersamaku. Lagi-lagi ibu menanyakan kepadaku, apakah aku tidak apa-apa. Lagi aku dengan menangis menyatakan
bahwa aku tidak apa-apa. "Dunia ini semakin kotor, Fonnie. Kadangkadang ibu menyesal mengapa kita ini kaya dengan uang dan hartabenda, sehingga kebahagiaan hati makin terdesak. Ayahmu sibuk sehari-hari. Kejadian atas Fizzy merupakan pukulan terbesar bagiku sebagai ibu.
134 Antara nikah. Hati kami sudah lama saling hancur menghancurkan. Ayahmu telah kehilangan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai hidupnya telah ditelan oleh kemewahan materi, teman yang begitu banyak tetapi juga sahabat-sahabatnya yang tak bermoral. Kau yang masih suci, Fonnie, carilah sahabat-sahabatmu yang bermoral. Kau masih lama lagi menjalani masa mudamu. Jagalah masa mudamu itu sebaik-baiknya, sekalipun nanti kau sudah dibangku universitas".
Berlain dan biasa, pada malam itu ibu banyak memberikan nasihat-nasihat kepadaku. Barangkali selama ini, hal inilah yang kurang kudapatkan daripada beliau. Kukira ayah dan ibu adalah kunci dan moral anak-anaknya ketika remaja. Baik buruk masa depan remaja seperti kami adalah tanggungjawab sang ayah dan ibu kami. Kini aku tidak bisa menyalahkan Kherman begitu saja, karena ayah dan ibu Kherman - terutama ayahnya - tidak memberikan contoh yang baik! Dan kini, bala itu menimpa diriku! Aku telah tahu apa yang diperbuat ayah selama ini yang telah menjadi beban penderitaan ibuku. Tetapi rupa-rupanya hati ibu terlalu agung untuk menanggungnya sendiri, tanpa membagi penderitaan itu kepada kami.
Sekarang aku merasa ikut menanggung beban ibu. Pada han pembagian ijazah, aku pergi ke sekolah. Beban itu masih menyenak di otakku. Kawan-kawanku mengatakan aku agak kurus dan murung sekali. Aku menyahuti mereka dengan senyuman hambar pada bibirku.
Selembar ijazah di tanganku kini. Aku masih terdiam diantara teman-temanku yang bergembira dan bersorak-sorei. Di depanku terbayang bangku universitas menunggu kedatanganku. Namun, hatiku tetap hambar. Tiba-tiba, di bawah lonceng sekolah, kulihat Tigor berdiri memperhatikanku. Ia membuang muka setelah ia tahu aku mengetahui dia melihat padaku. Tetapi rupa-rupanya Tigor juga gelisah.
Sekali-sekali Ia melirik kepadaku. Mungkin ada yang difikirkannya. Tiba-tiba, kelihatan sekali ia memberanikan diri mendatangiku.
"Angka-angka ijazahmu baik"" tanya Tigor.
"Baik", kataku, "Dan kau""
135 "Baik", katanya.
Ia kelihatan bertambah gelisah. Seperti ada sesuatu yang mau ditanyakannya.
"Mau kau pulang bersama-samaku nanti"" tanya Tigor.
"Aku mau pulang sekarang", kataku.
"Kawan-kawan merencanakan piknik", kata Tigor.
"Aku tak pergi barangkali", tanyaku.
"Kau mau pulang sekarang"" tanya Tigor.
"Ya. Sekarang", kataku.
"Boleh aku ikut"" tanyanya. "Boleh saja", kataku. Siang hari yang terik itu kami berdua pulang, bersepeda bersama-sama.
"Ada yang kau fikirkan"", tanya Tigor. "Tidak", kataku.
"Kau murung", katanya. "Ah ndak", kataku sambil tersenyum. Tigor juga tersenyum.
"Ada kau terima"" tanya Tigor. "Terima apa"" tanyaku. "Ucapan selamat dariku. Kumasukkan via pos", katanya.
"Selamat apa"" tanya Tigor. "Jadi belum kau terima"" tanya Tigor. "Belum. Apa sih"" tanyaku. "Sebuah sajak bagi ulang tahunmu.
Bukankah tiga hari yang lalu kau berulangtahun"" tanya Tigor kemudian.
Aku mengerem sepedaku. Kucoba tersenyum.
"Oh ya", kataku.
Kukayuh pedal sepedaku lagi.
136 "Terimakasih", kataku.
"Jadi belum kamu terima"" kata Tigor lagi.
"Biarpun belum, terimakasih. Ada yang ingat hari ulangtahunku yang ketujuh
belas." "Kemana kau melanjutkan pelajaran"" tanya Tigor.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tigor itu. Tapi kujawab: "Entah ya"".
"Aku mungkin tidak ke universitas. Mungkin ke akademi kejuruan", kata Tigor, "Selain tidak mampu, juga Indonesia sudah terlalu banyak sarjana-sarjana umum. Indonesia memerlukan ahli-ahli kejuruan. Kau akan melanjutkan ke universitas"" tanya Tigor mendesak.
Aku menoleh kepadanya. Aku tersenyum.
"Aku belum tahu", kataku.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang belum tahu", kataku.
Dan memang aku belum tahu. Ini baru kusadari sekarang, ketika ditanganku kupegang segulungan ijazah SMA. Memang aku dan Tigor berbeda. Sambil bersekolah Tigor selama ini telah berfikir hidup yang bagaimana yang akan diterjuninya di depannya. B
ahkan Indonesia yang bagaimana yang harus dipunyai oleh generasi kami di depan, sudah terbayang oleh Tigor dan sekarang ini. Apakah ayahku, dan ayah-ayah yang lain, pernah juga membayangkan bagaimana Indonesia bagi anak-anak mereka di depan ini" Aku terlalu enak selama ini Aku hidup tanpa kesulitan, seperti hidup yang disuapi saja.
Sesampainya di rumah, di atas meja kamarku sudah ada sepucuk surat dalam amplop. Ketika kubuka, isinya hanya empat baris puisi:
Selamat ulangtahun, kawanku yang baik
Selamat menginjak usia tujuh belas
137 Ingatlah kawan, matahari semakin naik Semoga haridepanmu tidak terhempas.
Biarpun hanya sekelumit sajah tetapi buatku sajak ini sangat berarti. Tidak, aku tidak gampang goyang lagi serta menganggap ada sesuatu yang istimewa yang ada di hati Tigor. Mungkin dulu ataupun kini Tigor menaruh sesuatu perasaan tersimpan di hatinya. Tetapi besok lusa Tigor akan memasuki kehidupan baru, seperti halnya diriku sendiri, besok lusa akan melangkah pada usia delapan belas, sembilan belas dan selanjutnya. Kami pernah berjumpa di sekolah, mungkin juga antara kami pernah terjalin kemesraan jiwa yang nanti akan berganti. Berganti lebih.dewasa.
Semua ini akan berganti, karena matahari akan semakin naik. Jika harapan Tigor cukup tulus, aku sendiri pun berharap, masa depanku tidak terhempas pada hari-hari yang akan datang
Tiba-tiba fikiran dan angan-anganku terganggu sesaat mendengar suara ibu. "Kau lulus, Fonnie""
"Lulus", kataku.
Ibu tiba-tiba memelukku dengan sangat erat. Ia terharu sekali tampaknya serta menitikkan airmata kegembiraan.
"Tidak percuma kami menyekolahkanmu, Fonnie", katanya. Dipeluknya diriku lagi. Dipeluknya diriku lagi. Hingga aku menangis di bawah buah dadanya, tempat dahulu aku menyusu kepadanya.
tamat Pusaka Negeri Tayli 1 Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera Pedang Golok Yang Menggetarkan 8
Di kamarku jika aku memanjat lemari saja, aku bisa melihat mereka melalui lubang angin. Hal ini pernah kulakukan sewaktu aku masih berusia tiga belas tahun dulu, sewaktu aku ngambek pada suatu
pesta di rumah kami. Tapi dalam ngambek itu aku masih ingin melihat pesta garden itu. Dan aku mengintip pesta itu melalui lubang angin.
Dan ini, pada usia hampir tujuh belas, aku juga kembali memanjat. Melalui lubang angin itu aku mencari-cari dimanakah Fizzy dan Mas Narko telah melakukan rendesvouz. Mulanya kukira tentulah dekat pot-pot kaktus yang besarnya sebesar tubuh manusia itu. Tetapi firasatku tiba-tiba ingin melihat sofa yang tersembunyi di balik pohon-pohon pisang Belanda yang rimbun dan iangkung-jangkung itu. Tiba-tiba kulihat ujung kaki Fizzy berayun-ayun. Betisnya tampak olehku berjuntai-juntai dan tepi sofa itu. Kudengar suaranya. Tetapi Mas Narko sendiri tak kelihatan, tertutup oleh pohon-pohon pisang Belanda itu. Nafasku tambah sesak. Keringatku menitik. dan tiba-tiba kurasakan airmataku membasah. Dan hatiku menggerumut sewaktu kulihat betis Fizzy naik ke atas, lalu turun lagi.
Kegemasanku menjadi-jadi. Keringatku menitik dengan deras. Jantungku berdebar kencang. Otakku bekerja dan bertanya: Apakah yang telah diperbuat Mas Narko terhadap Fizzy" Apakah Mas Narko dalam keadaan yang tak terlihat olehku itu, berbuat seperti Kherman terhadapku, menyelusuri telapak tangannya" Dan Fizzy merasa geli"
Aku kaget karena tiba-tiba sebuah sapu kasur mengenai pantatku.
73 "Ngapain kau di atas itu Fonnie""" teriak ibu sewaktu aku menoleh pada ibu.
"ini ", aku mau berdusta, "ini membersihkan labah-labah, bu""
"Bagus", kata ibu, "Kamar kalian ini belakangan memang jarang kalian perhatikan lagi."
Tak lama sesudah itu ibu membawa sapu membersihkan labah-labah yang tak kebaca itu.
Dan atas lemari aku loncat ke atas tempat tidur. "Gulung kasur dulu", kata ibu.
Aku jadi penasaran, karena ibu bersungguh-sungguh mau menggulung kasur dan ikut menolong membersihkan kamar kami.
"Kamar kalian harus bersih. Malu kita sama si Narko andaikata dia nompang bersisir misalnya", kata ibu.
Kemudian ibu bertanya kepadaku: "Apa Fizzy sudah pigi"".
Aku tak menjawab: "Kemana""
"Katanya mau jalan-jalan ke Puncak pagi ini
"Kalau kau sudah punya tunangan nanti 'kan pergi juga nggak ngajak orang lain,
Fonnie"" "Sentimen nih", kataku.
Begitu ibu meninggalkan di kamar sendirian, segera kukunci pintu kamar. Aku tidak meneruskan membersihkan kamar melainkan kembali naik ke atas lemari. Mataku melalui lubang angin ingin melihat kelanjutan apakah yang telah diperbuat Fizzy dan Mas Narko. Tetapi ternyata mereka tak ada lagi. Yang ada hanya saputangan Fizzy yang rupa-rupanya kececeran tanpa setahunya di kaki kursi. Memang kalau orang lagi mesra-mesraan selalu kececeran. Segera aku melompat kembali dan membuka pintu kamar dan
74 terus ke beranda. Sewaktu baru selangkah saja aku tiba diberanda, hanya bau asap knalpot sedan Mas Narko saja yang terasa olehku. Mereka berdua telah kabur.
Dan aku tinggal sendiri. Aku benar-benar merasa ditinggalkan. Seorang diri. Tubuhku jadi lunglai. Aku melangkah gontai sambil menutup pintu beranda. Hatiku serasa terpotong-potong. Dan kegemasanku tiba-tiba meronta.
Aku segera kembali ke kamar dan berhias lagi, karena make-up yang memolesi mukaku sudah basah kuyup oleh keringat jengkelku. dan hanya bilang "Fonnie mau pigi" saja, akupun pergi bersepeda ke rumah seorang temanku. Aku tiba-tiba butuh untuk menghibur diri. Tiba-tiba aku ingin ditemani oleh seorang kawan.
Kufikir-fikir, Rini memang sedang asyik pacar-pacaran sekarang dengan Iwan. Dan memang betul. Sewaktu aku datang iwan dan Rini lagi asyik mengobrol dengan sangat mesra sekali. Mereka tepat sedang saling melempar-lempar kelopak bunga. Dan mereka kaget sekali sewaktu aku menyaksikan kelakuan mereka di beranda itu.
"Na ini dia datang!" seru Iwan, "Kherman kok nggak diajak""
"Berani-berani aja pigih sendirian. Kherman nanti bisa keki", kata Rinj. Tiba-tiba ucapan-ucapan spontan mereka ini menimbulkan harapan-harapan baru dalam kekosongan hatiku ini.
Belum sempat aku menikmati kegembiraan dihibur mi, suara Rini terdengar: "Yok kita ke rumah Kherman, Iwan"".
"Boncengan bertiga"" tanya Iwan.
"Aku naik sepeda saja", kataku.
"Begitu ah! Aku di depan, Rini di tengah, kau Fonni
e di belakang", kata Iwan dengan pasti.
75 Sepedaku dititipkan di rumah Rini. Kami bertiga naik BMW-nya Iwan. Dalam kekencangan naik motor itu, aku merasa irihati terhadap Rini yang mendekap punggung Iwan begitu kuat, lebih-lebih pada saat di tikungan. tikungan.
Begitu kami memasuki pekarangan rumah Kherman kelihatan Kherman gembira sekali: Rupa-rupanya ia sudah bisa melupakan saat-saat sedih kematian ibunya itu. dan sewaktu lwan menawarkan untuk cari angin, Kherman tak menolak.
Bagiku, betapa gembiranya diboncengi Kherman dengan Vespanya. Kami berempat menuju Cilincing. Dan betapa gementar tetapi senangnya aku sewaktu kami sampai di pantai. Iwan mengusul kontan: "Nah. Sekarang kita cari masing-masing tempat strategis buat mesramesraan yok!",menyebabkan Iwan dicubit blue jeans nya oleh Rini. Tapi aku yakin, seperti halnya Kherman - bahwa Rini sebenarnya senang dengan usul blak-blakan Iwan tersebut.
Iwan memegang lengan Rini, meninggalkan kami yang masih berdiri dengan kecanggungan masing-masing. Setelah beberapa langkah, mereka berdua melambai-lambaikan tangannya kepada kami dan Iwan sendiri membentak Kher man: "Jangan bengong, Plato! ".
Kherman menoleh kepadaku.
Aku memandangi wajah Kherman. Kemudian kepalaku menunduk, dan senyum sambil tertunduk itu. Kuangkat kepalaku kembali. Mata Kherman tenang. Hatiku berdebar-debar. Kherman melangkah dengan kedua tangannya masuk kantong blue jeannya. Ia memakai jacket merah. Rambutnya agak. gondrong, sehingga meriap-riap ditiup angin Teluk Jakarta.
Aku melilitkan selendang pada leherku dan berpura-pura batuk.
"Sakit"" tanyanya.
Aku mengangguk dan bersenang.
Akhirnya kami berdua terdampar pada batu-batu yang menyembunyikan kami berdua dan keterikan matahari jam sembilan pagi. Kherman belum berbuat suatu apa
76 selain menggores-gores pasir yang dijilat riak laut dengan ujung kayu apung. Tiba-tiba Kherman menoleh kepadaku, hingga aku gemetar sekali. aku menunggu apakah yang akan diperbuatnya kepadaku. Ujung sepatuku basah. Aku mendapat akal. Kubuka sepatuku. Telapak kakiku pernah dipuji oleh Kherman sebagai telapak kaki calon permaisuri. Telapak kakiku memang bersih, sedikit merah jambu bila sepatu dibuka. Aku berharap Kherman memegangi telapak kakiku lagi seperti dulu.
Mataku melirik kepada Kherman, pelan-pelan agar ia tak tahu bahwa aku meliriknya. Aku dengan sabar menunggu tangan Kherman pelan-pelan mendatangi telapak kakiku. Kuingat dahulu bagaimana rasanya telapak tangan Kherman mengelus sela-sela jari kakiku. Tidak seorang gadispun yang tiada mengharapkan seorang lelaki yang dipujanya, tanpa mengelus dirinya. Akupun demikian.
Tetapi Kherman tidak menggerakkan tangannya sedikitpun, sekalipun seluruh bulu roma kakiku berdiri sewaktu aku merasakan jarak antara jari-jari Kherman hanya beberapa mili saja dengan bulu-bulu kakiku. Ternyata segala harapanku sia-sia belaka. Aku menghela nafas kecewa, sambil bertanya kepada Kherman:
"Ngapain kita di sini, 'Man""
Kherman menoleh kepadaku, sambil menepuk bahuku, ya, hanya menepuk bahuku saja. Ia tersenyum pendek.
"Belum hilang juga", kata Kherman dengan kalimat tak sempurna.
"Ada sesuatu yang kau fikirkan"" tanyaku heran.
"Tentu", kata Kherman. "Aku mengherani kehidupan ini. Sebagai anak lelaki yang kehilangan ibu, aku membayangkan, bahwa tak ada perempuan yang paling baik selain ibu kita. Ibu adalah sumber dan pada kebaikan, pengorbanan dan kasihsayang".
Aku termenung sejenak memahami katakatanya.
"Bagaimana kalau kita tidak duduk-duduk di tempat sunyi ini" Mungkin bersama-samaku kau diseret oleh kesedihan. Mari kita cari Rini dan lwan", kataku.
77 "Mereka jangan ganggu. Mereka lagi pacaran", kata Kherman. "Bagaimana sih rasanya pacaran itu"" tanyaku.
Kherman ketawa dengan terpaksa. Dilumerinya kakiku dengan pasir. "Dan aku tiba-tiba menjadi gembira. Aku pura-pura marah: "Iseng ya""
"Marah"" tanya Kherman.
"Hapus dong pasirnya", kataku.
Aku sungguh-sungguh mengharap agar Kherman menghapus pasir itu. O, tidak. Bukan pasir-pasir itu yang menjadi soal: Tetapi tangan Kherman dengan sendirinya akan menyentuh kulit betisku. Selalu kurasakan demi
kian, selalu! Bila mendekati saat-saat menstruasi melebihi dari biasa. Ingin didekap dan disentuh lelaki. Kutanyakan pernah kepada Imah, Emmy ataupun Rini, memang wanita pada saat-saat mau menstruasi nafsunya lebih daripada biasanya. Dan aku, pada saat begini, ingin sekali Kherman membelaiku, ah, betapa sialnya, ia menghapus pasir-pasir itu hanya sebentar saja. Ingin Ia mengotori kakiku lagi dengan pasir, lalu menghapusnya lalu mengotori lagi, dan menghapusnya seterusnya. Uap bau keringatku sudah kurasakan uap-uap dan perasaan sesungguhnya dan jenis wanita.
"Ah", kataku terlontar.
"Kenapa ah"" tanya Kherman.
"Nggak", kataku. "Kenapa nggak"" tanya Kherman. "Kau banyak berobah",
kataku. Kherman agaknya tidak mengerti maksud kata-kataku itu. Ia malah berdiri tanpa bertanya apa-apa lagi. Dihelanya tanganku. Aku merasa senang kembali. Jari-jarinya kurasa menyelusupi jari-jariku. Kami berjalan agak cepat.
Jari-jarinya menyelusupi lagi, dan kurasakan tiba-tiba bahwa telunjuk jari Kher-man menggelitik telapak tanganku. Aku merasa senang digelitik demikian. dan
78 kurasakan lagi telunjuk jarinya menggelitik telapak tanganku lagi, lebih bersemangat. Aku menoleh kepadanya, matanya bersinar-sinar.
Kami menuju sebuah pondok. Bau pantai tidak enak pada panas terik begini, karena hawa panas membuat seluruh tumbuh-tumbuhan dan kotoran lain menguap. Tapi heran, tak begitu terasa busuk oleh hidung ini karena Kherman makin asyik mempermainkan telunjuknya pada telapak tanganku sembari kami berjalan terus.
"Mau kemana sih"" tanyaku. "Ikutin aja", kata Kherman. "Bilangin dong mau apa sih""
"Mau apa aja", kata Kherman. Dadaku berdebar-debar. Uap dan keringat di dalam tubuhku terasa oleh hidungku, uap yang pernah dikatakan oleh Rini dengan jujur hormon.
Dan tanganku terus dihelanya. Kami akhirnya sampai di pondok itu. Kami sudah tersisih dari orang ramai. Disitu ada tanggul-tanggul tambak dan kami seperti terkurung dikelilingi oleh tambak.
Pondok ini ternyata pondok tukang-tukang pancing kalau malam, seperti dikatakan oleh kherman. Di dalamnya tak ada perabotan, kecuali sebuah ambin bambu. Kherman mendekati ambin itu, menggoyang-goyangnya. Dan akhirnya Ia duduk.. Aku masih berdiri dengan melirik saja kepadanya.
Fonnie", katanya tiba-tiba, mengejutkan jantungku. Seakan-akan jantungku berhenti bergerak. Paru-paruku terasa sesak. Seluruh pori-poriku seakan-akan mengembang dengan kuatnya, kulitku seakan-akan memadat.
"Fonnie", kata Kherman Iagi. Aku melirik pucat. Kherman duduk di ambin itu.
"Apa sih"" tanyaku.
"Sini", katanya.
79 Dan aku melangkah dengan pura-pura enggan. Sebenarnya aku agak takut juga. Tetapi aku melangkah juga, takut-takut yang diruntuhkan oleh keinginan-keinginan. Aku masih berdiri.
Dia masih duduk. Tiba-tiba ia meraihku, sehingga aku menunduk. Bagai angin yang panas kurasakan menyelusup dan lubang hidungnya kepermukaan dadaku. Bulu romaku meremang, dan aku meronta-ronta sekadar untuk menyatakan bahwa aku bukanlah gadis yang gampang untuk dijamah.
"Apaan ini"" tanyaku dengan suara sembir dan sekali-sekali mengucapkan "Ah". Kurasakan hidungnya pada leherku, pada kudukku, dan kurasakan nafasnya menyebabkan bulu kudukku meremang.
"Man", kataku gugup, perlahan.
Dan mataku terkatup serta nafasku semakin sesak, sewaktu nafas hidung Kherman memasuki liang telingaku, sehingga berkali-kali aku tergelinjang dalam pelukannya.
Dunia sudah terbalik! Bukan lelaki yang mencari perempuan, kini perempuan mencari lelaki! demikian kuingat kemarahan ibuku dalam pondok itu, sewaktu secara tiba-tiba dan penuh keringat, Kherman memandang kepadaku. Keringatnya menetes dan membasahi keningku. Ia terdiam. Lalu ia terduduk kembali.
Aku masih terdiam. 'Hatiku merintih dengan kejang. Kulihat Ia bersisir dengan tergesa-gesa kembali, sambil berkata: "Ya, Tuhan....
Aku menangis. Aku malu sekalipun segala-galanya lewat dan berhenti dengan mengerikan sekali.
"Untunglah Tuhan menunjukkan jalan yang benar, kepadaku, Fonnie", keluh Kherman. "Mari kita segera pulang".
Masih dalam keadaan menangis, aku mengenakan ruitsluting. Keringatku kuhapus, dan aku masih menang
is, aku menjadi malu. Sama malunya jika hal itu tadi berlangsung. Biarpun aku telah membisikkan telinganya dan kubisikkan kembali
80 sewaktu matanya mengerikanku dengan suatu permintaan agar ia mau bertanggungjawab.
Aku memang masih suci. Tetapi entah bagaimana, aku merasa seperti telah hanyut sewaktu kurasakan yang aneh di hatiku. Dan pada saat demikian, bayangan tentang kesucian sudah luluh hancur bergumul dengan keinginan-keinginan biologisku.
Pada saat kami sampai bertemu kembali dengan Rini, kulihat Rini dalam pakaian renang sedang mengeringkan rambutnya. Hari panas terik. aku dan Kherman melangkah. Kherman tidak sedikitpun menoleh kepadaku. Dan malu rasanya aku untuk melihat Rini dan Iwan, sekalipun aku masih tetap suci berkat ingatnya Kherman pada jalan yang menyesat yang hampir mrmbuat kami tenggelam dalam kolam noda.
Beberapa langkah menjelang menghampiri Iwan dan Rini, aku melihat Iwan membisiki sesuatu kepada Rini. Rini tak acuh. Ia tetap mengeringkan rambutnya.
Aku dan Kherman berdiri di belakang mereka. Rini terkejut melihat bayangan Kherman. Kemudian ia menjadi biasa kembali. Tetapi ia tak begitu gembira kelihatannya. Tidak seperti sewaktu kami akan berangkat maupun ketika sampai.
"Kita pulang yok", kata Kherman.
Tak ada reaksi apa-apa dan mereka berdua. Entah bagaimana, aku merasa perasaanku tak enak saja.
Iwan sedikit menoleh kearahku. Lalu Iwan menoleh kepada Rini:
"Bagaimana Rini" Pulang nggak"", tanya lwan.
Rini membisu saja. Aku menoleh kepada Kherman. Kherman berdiam diri dengan wajah yang heran melihat sikap Rini itu. Aku jadi gugup.
"Kami berdua akan minum-minum dulu", kata Kherman seraya memegang lenganku dan aku menampiknya. Tetapi kami akhirnya pergi juga berdua minum-minum meninggalkan Rini dan Iwan.
81 Sambil mengemot-ngemot pipet Prem-Club yang bergambar anjing meloncat itu, aku mencoba menerka apa yang sedang difikirkan oleh Kherman.
"Kenapa Rini diam saja ya"" tanyaku tiba-tiba.
Kherman menggelengkan kepalanya, sambil mengemot pipet minuman, dan tampaklah warna kuning menanjak dan dasar botol melalui pipet plastik itu masuk ke mulut Kherman, dan jakun Kherman kemudian bergerak tanda cream soda itu telah masuk melalui lehernya.
"Bukan", kata Kherman memandang jauh.
"Apa Rini bertengkar dengan Iwan"", tanyaku.
"Entah", kata Kherman.
Aku merasa sedikit tersinggung karena jawab-jawab Kherman yang pendek-pendek saja itu.
Tiba-tiba hatiku terdesak untuk bertanya pada Kherman:
"Kenapa kau sombong""
Baru Kherman mencoba tersenyum. Tetapi aku bisa mengerti, bahwa senyum itu adalah senyum terpaksa.
"Kau marah"" tanya Kherman.
Aku kini membalas membungkam.
"Kau marah, Fonnie"' tanya Kherman
Aku tetap membungkam mulutku. Aku ingin mencoba hatinya, apakah yang sedang bergelombang di hatinya, sebuah gelombang yang dapat kurasakan, sebuah gelombang yang kurasakan menghempas ke hatiku sebesar gelombang-geombang laut Cilincing.
82 Akhirnya Kherman berdiri, dan membayar minuman. Kami kembali pergi berdua ke tempat Rini dan Iwan. Mereka berdua sedang bertengkar dan Rini menangis kulihat. Mereka bertengkar dengan hebat sehingga keduanya tak tahu serta sadar bahwa kami berdua di dekat mereka.
Iwan berdiri. Kemudian beriongkok mengambil lengan Rini. Tapi Rini menyentaknya.
Iwan dengan gugup meminta sebatang rokok kepada Kherman. Kherman dua kali menyalakan api rokok karena apinya padam. Dan kulihat bagaimana Iwan begitu nervous.
Aku mengambil initiatif untuk membujuk Rini supaya mau pulang. Oleh bujukanku Rini mau. Di kamar pakaian aku tak berusaha untuk bertanya, dan aku menolongnya untuk memakaikan pakaiannya. Ia meremas-remas pakaian renangnya, kemudian menggulungnya. Aku masih tak ingin bertanya apa sebab ia menangis. Tetapi oleh perasaan naluri wanitaku, aku sudah menerka, tentu ada sesuatu yang hebat terjadi yang telah dilakukan oleh Iwan terhadap Rini. Kalau tidak, kenapa Rini begitu ngambek, begitu membungkam, begitu keras tangisnya. Ketika kami akan keluar dari kamar pakaian, Rini menciumku pada leherku. Aku heran, karena kurasakan airmatanya yang panas mengalir pada leherku.
'Diamlah, Rini", kataku mem
bujuk. Ketika kami berdua keluar setelah Rini kembali melihat dirinya pada kaca serta membenahi rambutnya, tampak oleh kami Kherman dan Iwan sudah menyalakan mesin motor. Hari itu kami pulang tidak segembira sewaktu kami berangkat
Aku sampai di rumah baru pada jam sembilan malam, karena Rini menahanku supaya aku menemani kesedihannya. Meremang bulu tengkukku mendengar bagaimana kisahnya. Aku sampai-sampai ikut menangis. Tetapi Rini akhirnya berkata: "Aku tak bisa memaafkan Iwan.
Benar seperti kuduga, bahwa Iwan telah berlebih-lebihan. Rini memang suka dimesrai, bahkan ia berkali-kali membiarkan Iwan. Sambil berenang pun Iwan
83 memagutnya dan mengecupnya di tengah Iaut. Tetapi selesai berenang itu lwan mengajak Rini untuk pergi ke sebuah warung. Iwan berkata bahwa warung itu adalah warung bibiknya. Dan Rini memang melihat keakraban Iwan dengan bibiknya itu.
Bibiknya berkata: "Iwan kalau capek-capek boleh mengasoh". Bibiknya itu juga berkata kepada Rini: "Anggap saja rumah bibik ini rumah anak sendiri".
Rumah itu bukanlah rumah gedong yang bagus. Hanya rumah papan dan memang atapnya besar. Cuma memang bertingkat dua. Iwan mengajak naik tangga menuju tingkat dua. Rini ikut dari belakang. Tangga itu terderak-derak sewaktu mereka naik ke atas. Di atas ruangan cukup lapang. Iwan menutup sebuah pintu yang ketangga luar, Rini tak dapat melihat Iwan lagi, karena sewaktu Iwan memanggilnya dari kamar, Rini sedang duduk-duduk memandang laut. Iwan keluar dari kamar dan menarik lengan Rini. Rini bertanya: "Ada apa ini". Iwan berkata: "Aku capek".
Rini berkata: "Pergi saja sendiri sana istirahat". Lalu Iwan menciumnya. Dan Rini membalas kecupan itu dengan kebirahiannya. Tetapi ia menjadi jengkel sewaktu Iwan menyeretnya. Dari kamar itu terkunci. Rini mengancam akan berteriak. Iwan sangat tegang saat itu dan Rini menjadi putus asa sewaktu Iwan melemparkannya ke neraka.
Rini tak menceritakan jalannya pemerkosaan itu, karena sewaktu bercerita kembali Rini kepadaku, ia sudah menangis terisak-isak.
"Hanya kepadamu aku bercerita", kata Rini.
Ingin aku bertanya kepadanya. bagaimana kalau Ia hamil. Tetapi Rini masih tersedu-sedu, dan sekali-sekali memelukku.
"Bagaimana reaksi bibiknya sewaktu kalian turun"".
Rini hampir tak bisa menahan sedu-sedannya sewaktu bercerita: "Coba kau bayangkan, bagaimana aku heran melihat Iwan memberikan uang kepada bibik itu. Ia seenaknya berkata, bahwa itu bukan bibiknya. Dan ketika kupaksa juga kepadanya, rumah siapakah itu sebenarnya. Akhirnya ia mengakui, bahwa rumah itu bukan rumah pelacuran. Rumah itu ternyata menyediakan dan menyewakan kamar.
84 Kau tahu, Fonnie! Bagaimana aku ingin bunuh diri dan tenggelam di laut. Aku yakin bukan sekali ini Iwan melakukan hal itu bersama anak gadis di tempat itu. Aku
yakin Iwan telah melakukan hal itu berkali-kali dengan modal BMW-nya........Coba
kau bayangkan betapa aku tidak sedih
Kupandangi bagaimana airmata Rini meleleh seperti sumbernya takkan kering-keringnya. Nafasnya sesak, tetapi dia masih ingin terus berkata:
Kuharap kau berhati-hati kepada semua lelaki. Sekalipun lelaki itu wajahnya 'boyish' seperti Iwan, bahkan kunasihatkan kau lebih hati-hati terhadap Kherman".
Aku tertunduk dan pada sprei tempat tidur Rini dimana kami mengobrol, terbayang olehku kontras terhadap apa yang menimpa diriku.
Seprei tempat tidur itu dalam bayanganku tiba-tiba seperti berubah menjadi anyaman bale bambu nanti. Kuingat kembali bagaimana puncak dimana aku sangat tak bisa menahan diri, antara sadar dan tiada. Kherman membatalkan semuanya sebelum hal itu terjadi.
Yang dialami oleh Rini adalah kebalikannya. Lalu kuingat kemudian, apakah memang benar, orang-orang perempuan yang tubuhnya banyak ditumbuhi bulu sepertiku ini mempunyai kulminasi suhu energi yang lebih tinggi dan mereka yang kulitnya hem. Jika Rini adalah diriku, mungkin keadaannya tidak demikian, sempat aku berfikir.
Sambil mengayuh pedal sepeda menuju rumahku, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana Iwan berhasil menaklukkan Rini. Timbul curigaku. Apakah cerita Rini itu benar.
Ataukah Rini hanya menambah bumbu terhadap
ceritanya. Kuingat kalau Rini ngobrol tentang mesranya dengan Iwan, tak mungkin dia menolak ajakan Iwan itu.
Setiba di rumah aku dimarahi ibu. Aku menjawab singkat: "Kalau fakansi 'kan acara bebas, bu". Tetapi ibu memaki-maki, bahwa aku sudah terlalu ngelunjak kepadanya.
85 Belum pernah kulihat keringat Fizzy begitu banyak. Kali ini Fizzy sehat sekali. Tetapi kuingat cerita Imah dahulu, tentang pengalamannya, apa sebab seorang perempuan bisa tidur nyenyak hingga sukar dibangunkan.
Wajah Fizzy kulihat lebih pucat dan biasa. Bilakah Fizzy dan Mas Narko kembali dan Puncak" fikirku. Ibuku masuk ke kamar dan bertanya: "Kau sudah makan, Fonnie"".
"Belum", kataku.
"Jangan ganggu kakakmu lagi. Pergi sana makan, nanti masuk angin lagi!", kata
itu. Aku pergi makan. Tetapi aku hampir tak merasa mengunyah. Otakku membayangkan melalui khayal gadis remajaku, apa yang dialami oleh Fizzy di Puncak. Udara Puncak yang dingin, sejuk dan sepi, menimbulkan perasaan yang bukan-bukan memang. Melintas di otakku kisah Rini tentang bibik palsu dan lwan. Apakah tidak mungkin di Puncak ada villa yang demikian itu, seperti dikisahkan oleh Emmy dahulu, sewaktu ia dibawa oleh seorang pengusaha tua, yang diceritakan oleh Emmy seperti kuda tua yang bahkan tidak kuat melangkah lagi"
"Jam berapa mereka pulang"". tanyaku pada ibu.
Baru jam setengah sembilan malam tadi", kata ibu ringan.
Setelah di kamar tinggal aku dan Fizzy saja, sekali lagi kuteliti wajah Fizzy yang begitu nyenyak. Begitu tenang kelihatannya wajah Fizzy itu. Keringatnya pelan-pelan mengalir dari keningnya. Tidurnya semakin tidak akan bisa dibangunkan lagi. Kudekati wajah kakak perempuanku yang begitu ayem-ayem itu. Kucoba mengelus keningnya. Kelihatan ia tersenyum kena elusanku itu. Kurang ajar! teriakku dalam hati. Apa dikiranya aku ini Mas Narko, he" Kurang ajarnya! Fizzy senyum lagi waktu dagunya kupegang, sambil merengeh-rengeh manja. Matanya pelan-pelan dibukanya dengan manja pula, diliriknya aku. Lirikannya melemparkan senyum yang manja pula.
"Mmmh......kau", kata Fizzy.
86 "Enak sekali tidurmu", kataku. "Capek", kata Fizzy. "Capek kenapa sih"" tanyaku. "Mmmmh", katanya.
Ingin saja aku menampar bibirnya yang tertutup seraya melepaskan lenguhan 'mmmh' bergaya kerbau itu. Tetapi aku ingin mendengarkan laporan Fizzy. Mulanya Fizzy tersenyum. Senyumnya seperti memanas-manaskanku. Kemudian sambil tersenyum ia berkata:
"Boleh nggak kau mendengarnya ya"".
"Kenapa nggak boleh"" tanyaku jengkel.
"Soalnya umurmu', kata Fizzy.
"Emangnya umur gue berapa"", desakku memprotes.
"Usiamu belum lagi tujuh belas", kata Fizzy.
"Alaaah, brengsek", kataku melemparkan diri ke tempat tidur, dan memeluk bantal guling.
"Baiklah", kudengar suara kakak perempuanku. "Tapi jangan bilang sama siapa-siapa ya"".
Melalui bantal guling yang kupeluk hingga leherku, aku mengintip sikap-sikap kakak perempuanku. Fizzy menceritakan, bagaimana pada mulanya dia dan Mas Narko lebih dahulu mandi-mandi di Lido, sebuah tempat pemandian di simpang mau ke Sukabumi. Setelah mereka makan-makan sejenak, mereka tidak jadi ke Pelabuhan Ratu, melainkan terus ke Puncak. Hujan turun pada jam setengah sepuluh. Pelan-pelan mobil memasuki sebuah pekarangan bungalow. Bungalow itu tidak moderen bentuknya. Warnanya merah hati ayam. Sekelilingnya pohon-pohon cemara melingkupinya.
87 "Kudengar sebuah lagu yang belum pernah kudengar selama ini, kata Fizzy sambil memandang kepadaku memenggal ceritanya.
"Tak penting lagu itu", kataku, "Yang penting bagaimana cerita selanjutnya."
"Tidak. Lagu itu penting", kata Fizzy.
"Kenapa"" tanyaku.
"Kata Mas Narko, lagu itu merupakan lagu kegemaran para teenagers di Amerika sewaktu Mas Narko kembali ke Indonesia. Pada hari-hari pertama lagu itu tersebar, setiap siulan di jalan, setiap rumah terutama setiap teenagers menyanyikan lagu itu. Pada hari kedelapan lagu itu merupakan tophit song, terjadi keganjilan-keganjilan: Banyak sekali bunuh diri diantara para remaja, terutama gadis-gadis yang putus asa. Lagu itu berjangkit seperti penyakit sampar menggambarkan dunia kiamat,
"The End of the World".
Aku tak ambil pusing pada the end of the world, telingaku ingin mendengar cerita kakakku Fizzy. Apa selanjutnya dan selanjutnya.
Fizzy bercerita. Tetapi demikianlah sememangnya yang kusaksikan pada besok paginya. Kulihat bagaimana pada keesokan paginya, di beranda, Fizzy dan Mas Narko saling mencumbu.
Kulihat betapa tololnya Fizzy. Kulihat betapa gugupnya Fizzy sewaktu Mas Narko melirik kepadanya. Kulihat bagaimana ketika Mas Narko mengelus pipi dan leher Fizzy dengan hidungnya. Nafas kutahan kuat-kuat, aku yang cuma menonton menjadi berdebar-debar. Fizzy meringis. Aku seperti memberontak, lalu cepat-cepat keluar untuk mensabot percumbuan mereka.
Mereka berhenti karena tak menyangka aku memergoki mereka dari kamarku, lalu terus ke belakang dan mandi. Setelah mandi aku segera pergi ke luar rumah. Aku sekonyong-konyong merasa kesepian. Tiada hiburku bergerak sewaktu aku berjalan seorang diri, tetapi dalam hatiku terulang-ulang lagu yang diajarkan Fizzy semalam, lagu the end of the World, seakan-akan aku mengalami akhir dan duniaku. Langkah
88 kakiku berjalan tak menentu arah, terasa muak fakansi lima belas hari ini rasa-rasanya, ingin aku supaya sekolah segera dibuka. Ingin aku ketemu siapa saja dan temantemanku sekelas. Langkahku memberat jua, keringat mulai menyelusupi tepi ketiak dan BH-ku, menerobos blouse yang kupakai.
Entah dituntun oleh siapa langkah ini, tiba-tiba aku telah sampai pada sebuah rumah gedung. Hari masih amat pagi. Rumah gedung itu tampak sepi-sepi saja. Apakah Oom itu ada di rumah" Hatiku kesepian. Oom itu sangat ramah, mungkin ia bisa menghiburku. Tetapi tiba-tiba aku membatalkan niatku untuk memasuki pekarangan rumahnya. Aku melangkah lagi.
Sekonyong-konyong kudengar namaku dipanggil. Aku menoleh. Oom yang pernah menolongku, masih memakai kameryas kembali menyerukan namaku. Ia seorang yang rajin tentunya, memegang penyiram bunga di tangannya. Melihat wajahnya yang simpatik tanpa dosa itu, tiap-tiap kata dan lagu the end of the world gugur satu persatu, berganti dengan the beginning of my world. Hatiku berdebar sewaktu Oom yang pernah menolongku dulu menghampiriku dan mengajakku mampir ke rumahnya.
"Mari kita main halma", ajaknya, sehingga aku masuk ke pekarangan rumahnya.
Ketika Oom itu membawaku masuk ke dalam rumahnya melalui garden belakang, ia bertanya kepadaku kenapa aku tidak pernah Iagi ke rumahnya semenjak aku ditolongnya sewaktu pingsan di Gondangdia dulu itu. Aku menjawab bahwa aku sibuk sekali dengan hafalan-hafalan. Dia berkata, bahwa dia sangat mengharap sekali kedatanganku. Aku bertanya kenapa. Dia menjawab bahwa dia kesepian. Kukatakan kepadanya, kenapa dia harus kesepian.
"Oom membutuhkan teman", katanya.
"Bukankah rumah Oom begini besar"" kataku memandang ke sekeliling. Di batas garden yang memang luas yang bentuknya seperti tempat dansa di Wisma Nusantara Harmoni itu, langkahnya terhenti. Katanya: "Rumah yang begini luas malahan menambah kesepianku".
89 Oom ini semakin berbicara semakin menjadi misterius bagiku. Dia tak melanjutkan langkahnya. Dipandanginya tempat itu sekeliling, seperti ada sesuatu yang dikenangnya.
Lihatlah", katanya, " Lampu-lampu pesta merah, hijau dan warna-warni ini semuanya, seperti kemarin malam saja pesta-pesta selesai. Disini beberapa tahun yang lalu semacam tempat pesta dansa kalau malam minggu dan malam-malam libur.
Dia melangkah masuk ke ruang tengah meninggalkan garden pesta itu dan melanjutkan kata-katanya "Sekarang ruang itu seperti ruang hantu yang menakutkan".
Wajahnya ditolehkannya ke wajahku. Kulihat betapa wajahnya memperlihatkan wajah yang cukup 'boyish', menurut istilah kami anak-anak perempuan di kelas: 'wajah tanpa dosa'.
Di ruang tengah ini kami sama-sama berhenti. Aku dengan iseng menyelonong melihat ukiran-ukiran relief di dinding ruang tengah itu. Tengkukku tiba-tiba meremang sewaktu melihat relief-relief di dinding itu menggambarkan ke rukunan laki-laki dan wanita. Baik lelaki-lelaki maupun wanita-wanita dalam relief-relief dinding itu menggambarkan sebelum ada industri pakaian. Kengerian perasaan yang timbul itu, diselesaikan oleh kata-kata Oom itu
: "Ruang ini Oom namakan Taman Eden. Lihatlah betapa rukunnya lelaki-lelaki dan perempuan itu".
"Ya.......", ucapku.
"Mari kita bermain halma. Tunggu sebentar", katanya tiba-tiba, dan meninggalkan aku di ruang tengah yang disebutnya Taman Eden jtu.
Agak Iama aku menunggu. Sementara Itu kucari tempat duduk yang agak sejuk. Tiba-tiba sewaktu aku duduk di tempat yang kupilih, lampu biru yang sejuk menyala. Aku menoleh melihat bayangan sesosok manusia. Manusia itu berpici dan berpakaian pelayan. Dia membawa minuman es buah dua gelas dan menarokkan kedua gelas minuman es buah itu di meja kecil di ujung lututku. Pelayan itu tak berkata suatu apa, melainkan pergi lagi. Tiba-tiba jiwaku merasa tertekan. Tertekan oleh lirikan pandangan
90 si pelayan ini. Lirikannya mengandung tanda tanya. Apakah lirikan itu bukan semacam ejekan" Ejekan yang seakan-akan menuding kepadaku: He, kau adalah gadis yang tak berharga, mau saja dibawa ke rumah gedung ini untuk kemudian menjadi mangsa" Ingin aku memanggil pelayan itu dan menyatakan kepadanya, bahwa aku bukan gadis sembarangan, bahwa gadis semacamku bukan dengan gampang untuk dinodai. Tapi pelayan itu telah hilang, dan muncullah Oom dalam pakaian payama serta bersandal Jepang yang bagus sekali. Sisirannya rapi, dan wajahnya semakin boyish tampak olehku. Ketika ia duduk, bau parfum memencar dari seluruh dirinya, harum nyaman. Ditaroknya kotak halma di atas meja. Lalu disodorkannya minuman itu kepadaku.
"Minumlah", katanya, "Adalah segar minum es buah dipagi hari begini Fonnie", dan dipandangnya aku.
Pandangannya benar-benar intim, seakan-akan masih punya pertalian keluarga, seakan-akan dia adalah Oomku yang sebenarnya. Aku beberapa kali dipandang oleh seorang lelaki dalam pandangan yang demikian. Bahkan Mas Narko, pacar kakakku, suka memandang begitu tajam padaku. Lain halnya Toni, lain pula halnya Tigor, begitu juga lain halnya Kherman. Kuanggap pandangan Mas Narko, Toni, Kherman mempunyai daya yang nakal. Tigor tidak, melainkan matanya itu begitu suci rasanya, seakan-akan aku. Tetapi pandangan Oom itu cukup nakal, namun ingin memandangnya terus-terusan.
"Kenapa melihat saja, Fonnie"" tanyanya padaku.
Aku menjadi malu dan sadarkan diri.
"Ndak apa-apa", kataku menunduk dan mulai mengacau minuman. Air strup mulai bergulung-gulung dalam gelas, bersatu dengan potongan-potongan buah dalam gelas, bersatu dengan susu dan mocca, semuanya dalam gelas, menerbit selera untuk minum. Dan seteguk kuminum pelan-pelan. Ketika mataku melirik, bertemulah mataku dengan mata Oom, biji mata yang hitam menyenangkan itu.
Tak lama kemudian kami main halma. Satu set pertama aku kalah! Aku minta revanche. Oom itu mengabulkan. Kami main satu set permainan lagi. Keringatku mengalir melepaskan pion-pion biji halmaku. Tiba-tiba, melihat bulu tangannya yang
91 tebal dan tangan dan jari-jarinya yang kokoh itu hatiku menggidik aneh. Lebih-lebih ketika aku merasa kakinya menyentuh kakiku, terasa bulu kakinya menimbulkan geli pada betisku.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. Oom itu biasa saja. Tetapi hatiku bergetar, mengamuk lebih-lebih pada waktu betisku merasakan ini.
Tak Iama kemudian, setelah bermain lima set permainan, kepalaku cukup pusing. Pusing bukan karena kalah tiga set dan lima set permainan halma ini, tetapi melayang pada pelajaran ilmu kesehatan, bahwa gadis sebelum usia tujuh belas, pada umumnya punya rangsang berbahaya. Memang benarlah hal itu. Keinginan untuk didekap selama ini semuanya gagal. Terakhir bahkan keinginanku yang meluap-luap terhadap Kherman yang masih menghargai kesucianku. Apakah aku ini seorang gadis yang mata keranjang" Ataukah semua ini dorongan keras belaka karena aku menyaksikan cumbu mesra Mas Narko terhadap Fizzy, ataukah' kisah-kisah pengalaman temanku yang lain seperti Emmy atau Rini" Apakah pada akhirnya, aku akan mengalami semacam Rini, atau Emmy, atau Imah" Apakah aku kuat untuk menahan pandangan mata Oom ini, ataukah aku tertarik kepadanya sekarang karena usianya yang menyebabkan ia menjadi lelaki idaman biarpun ia jauh lebih tua"
Ataukah seperti dikatakan oleh guru agamaku,
jaman ini sudah terbalik, dimana kaum wanita semakin menunjukkan kelemahannya menghadapi laki-laki"
Aku ingat kata-kata Emmy. Emmy temanku sekelas yang punya pengalaman dengan seorang lelaki tua yang mengajaknya ke Puncak. Lelaki itu sudah punya isteri. Dan Emmy dibujuk dengan materi, sehingga akhirnya berhasil dibawa ke Puncak. Suasana di sana telah dibuat seperti suasana honeymoon dan Emmy sudah ditawarkan oleh orang itu untuk dijadikannya isteri keempatnya. Tetapi Emmy pura-pura menolak. Dan apa yang dialami oleh Emmy adalah menggelikan sekali sewaktu dia menceritakannya kepada kami anak-anak gadis yang bandel di kelas. Yaitu julukan keledai tidak bisa apa-apa. Biarpun demikian.. Emmy pernah berkata, bercumbu untuk dengan laki-laki tua memang jauh berbeda dengan romantik terhadap para jejaka yang pernah dialaminya. Heran kami semua, bahwa Emmy lebih tertarik dengan Ielaki-lelaki yang usianya di atas 35 tahun. Mereka lebih kalem, sabar, dan mempunyai magnet yang
92 kuat. Gadis-gadis seperti jenis besi yang menghadapi magnet, terhadap mereka Ini. Berbeda dengan para jejaka yang cuma mengejar-ngejar begitu saja, tanpa kepastian, seperti halnya pada diri Kherman yang sok. Rini bersumpah selama hidupnya tak mau lagi pacar-pacaran dengan anak-anak remaja seperti Iwan itu. Ia bersumpah akan mencari idaman seorang lelaki dewasa, yang Iebih bisa bertanggungjawab. Rini terpengaruh pada kata-kata Emmy, atau Imah, mungkin. Tapi aku" Sekarang ini" Aku juga terpengaruh!
Aku rasa-rasanya lebih merasa dekat dengan Oom ini. Ia simpatik. Ia lebih hati-hati dan Iebih berterus-terang. Apa yang telah dilakukannya terhadap diriku sewaktu ia menolongku pernah aku membuktikan ia seorang laki-Iaki yang jujur. Andaikata aku dulu itu ditolong pingsan oleh anak-anak muda, dan diangkut anak-anak muda yang cross-boyish sifatnya, tentu aku sudah terancam sewaktu pingsan. Bahkan ada temanku gadis yang diajak oleh kawan-kawannya yang muda-muda, lantas diberikan sejenis minuman yang menyebabkan dia terjerumus menjadi mangsa. Tak seorang dan yang menodainya yang mau bertanggungjawab.
"Kenapa kau seperti termenung, Fonnie"", tiba-tiba aku seperti terkejut mendengar katakata Oom ini.
"Saya kira sudah waktunya makan siang", kata Oom itu pula.
Aku dibimbingnya ke ruang sebelah. Ruang itu ternyata ruang makan. Makanan telah tersedia di situ. Apakah aku tertarik oleh sikap" ramah ini" fikirku dalam hati.
Dia pergi ke washtafel, dan membasuh tangannya. Aku mengikuti membasuh tangan. Kemudian melapnya. Dan kemudian duduk makan bersama. Makanan yang dihidangkan begitu mewah.
Setelah makan siang itu, Oom itu mengajakku kesebuah ruang yang disebutnya sebagai ruang-angin. Ia akhirnya memakai celana pendek tennis, dan hanya berkaus singlet saja. Kepadaku dipersilahkannya untuk tidur-tiduran disebuah kursi malas. Ia sendiri juga rebah-rebahan disebuah kursi malas, yang jaraknya hanya dua meter dari kursi malas yang ditawarkannya bagiku.
93 Ia mengipas-ngipas. Kufikir, inilah orang yang sudah binnen!
Besoknya aku datang lagi pagi-pagi kesini. Begitupun pada besoknya. Tetapi yang paling aneh adalah kejadian pada hari ketiga ini. Sehabis bermain halma, kami tidak pergi makan. Dia mempersilahkan aku untuk memutar-mutar plaat yang baru. Diantara plaat itu sebuah lagu yang akhir-akhir ini paling kusenangi ternyata ada padanya: The End of the World yang pernah diajarkan oleh Fizzy. Oom itu pergi entah kemana. Dan aku sendirian di ruang itu. Karena itu aku seenaknya tidur-tiduran di lantai sembari mendengarkan lagu tentang berakhirnya sebuah dunia. Terutama bait-bait terakhir kata-kata lagu itu, benar-benar membias serta membius kedalam semangatku. Aku seakan-akan rapuh dalam duniaku. Aku tak mengerti, apakah semua ini karena sebab-sebab ayahku yang terlalu keras, tetapi disamping itu lebih mengutamakan kakakku Fizzy, sedangkan tak acuh kepadaku" Acuh orang yang sibuk. Aku memasuki Tarantella Club karena aku butuh teman dahulu, justru ayah terlalu sibuk, sebentar-sebentar pergi konperensi dinas ini dan itu. Ibu juga lebih banyak mengisi kesepian dengan menjahit. Fizzy sibuk
dengan pelajarannya hingga kurus karena terlalu banyak studi. Akibatnya aku sering mengunjungi rumah teman dan kurang betah di rumah. Teman-teman gadisku, terutama yang sudah berpengalaman berpacaran inikah yang selama ini memberikan rangsang-rangsang cerita sehingga aku kaya dengan khayal yang bukan-bukan" Tak mengerti aku.
Aku tak tahu, bahwa aku telah terlena dalam tidur dialun oleh lagu The End of the World. Aku tertidur di atas lantai diantara timbunan bungkus-bungkus plaat.
Dalam tidurku tiba-tiba aku merasa leherku tersentuh.
"Fonnie", kudengar bisiknya.
Tiba-tiba, pintu ruang diketuk. Terdengar suara di luar: "Tuan, makan siang. sudah tersedia".
Aku meloncat, dan berbuat seakan-akan baru bermimpi. Oom itu agak kaget
juga. 94 Apakah wanita bukan termasuk sama lemahnya dengan lelaki-lelaki. Kalau tidak, kenapa Oom ini memasuki ruang ini, mendapatkan aku sedang ketiduran" Apa maksud kedatangannya, kalau bukan dibimbing oleh setan"
Tetapi sewaktu makan siang itu.
"Kau sudah punya pacar"" tanyanya.
"Sudah", kataku disengaja. Aku ingin, melihat bagaimana lelaki yang seperti magneet ini membiaskan rasa cemburu melalui mata dan wajahnya itu.
"Bagus itu", katanya.
"Bagus bagaimana"" tanyaku.
"Bagus kau sudah punya pacar", katanya.
Tapi tak kulihat bagaimana ia cemburu.
Aku melihat pernah, bagaimana Toni cemburu.
Aku pernah melihat bagaimana Tigor cemburu.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku juga pernah bagaimana Kherman cemburu.
Tetapi aku tak melihat bagaimana Oom ini cemburu, padahal itulah yang ingin kulihat daripadanya.
"Tetapi Oom sudah punya isteri", kataku mengajuk.
Ia kaget. Bagairnana kepalanya terangkat itu, seakan-akan tolakan terhadap tuduhanku. Dan aku senang melihat hal itu.
Ia mengambil sesendok kecap dan diserahkannya kecap itu pada nasinya. Lalu ia menyuapi nasinya. Ia melirik kepadaku.
"Mernang Oom sudah punya isteri bukan"", kataku Iagi, sengaja. Ia menggelengkan kepalanya.
95 "Sudah bukan"" kataku lagi. "Kenapa"" tanyanya.
"ya ngaku saja kalau sudah", akulah sekarang yang cemburu. "Memang kalau orang sudah punya isteri suka mengganggu anak-anak sebayaku".
"Kok gitu"" tanyanya.
"Oom sudah punya isteri. Dan yang di Bandung itu siapa"", tanyaku lebih cemburu.
"Yang di Bandung"", tanyanya ketawa.
"Ya, yang di Bandung....., ngaku aja deh", desakku.
"Dulu sudah Oom katakan. Yang di Bandung itu adalah adik perempuan Oom", katanya.
"Adik ketemu besar apa adik kandung"", tanyaku. "Adik kandung". katanya. "Bohong", kataku.
"Ah masak Oom bohong,.... Sungguh-sungguh kok", katanya.
Hatiku belum percaya. Inilah yang membuatku jadi gigih dan gemas dan ingin tahu. Makanya setelah makan siang itu aku duduk menyendiri. Hatiku untuk pertama kali tertarik dengan hebatnya seperti jarum pentul mengejar tak kebaca.
Apakah memang sudah semua begini perkembangan jaman ini. Atau benar, gadis-gadis dalam masyarakat modern lebih tertarik kepada orang-orang yang sudah bukan pemuda remaja lagi, seperti halnya bintang filem Sofia Loren yang masih muda tertarik dengan situa producer Carlo Ponti" Banyak mengenai hal ini kami bicarakan di sekolah. Tetapi kawan-kawan banyak beranggapan, bahwa baik Sofia Loren, maupun gadis-gadis Barat yang lain, bukan tertarik pada lelaki tua, melainkan tertarik pada
96 materi. Ataukah aku juga demikian" Apakah aku tetap tertarik pada type lelaki macam Oom inl, sekiranya ia tinggal di gubug yang reot"
*** Aku termenung. Kupandangi lampu-lampu merah-hijau-kuning di garden. Semua padam. Tapi hatiku tak padam. Hatiku makin berkobar sendiri begini. Sekonyong-konyong kulihat bayangan manusia dan matahari siang, yang mulai turun. Ia adalah Oom itu. Tangannya yang besar melingkari leherku, menyentuh daguku dan aku geli.
Ia coba berbuat seperti anak muda, tapi aku rasakan lucu. Kutertawakan ia pada akhirnya hingga wajahnya merah padam. Kepalanya terkulai. Matanya melihat lantai.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu, sesuatu yang aneh, sesuatu yang mengherankan, dan kemudian Ia membuang muka dengan terkulai. Aku mencoba duduk. Oom itu lunglai dan berkata dengan suara rapuh:
"Itu makanya Oom tidak kawin-kawin."
Aku maklum mengenai hal ini pernah me
njadi pembicaraan kami anak-anak gadis di kelas tentang sebuah kaya Mokhtar Lubir, Jalan Tak Ada Ujung dan kami tertawa-tawa sambil melirik pada guru laki-Iaki kami. Roman yang pernah jadi mata pelajaran ujian kwartal dulu itu, sering menjadi acara-acara lucu bagi kami tentang tokoh lelaki impotent dalam karya Mokhtar Lubis tersebut, tentang pipa yang ketinggalan di balik bantal, pipa laki-laki yang berbuat serong dengan isteri seorang guru. Kami anak-anak perempuan kadang-kadang ketawa mengikik kalau guru muda sedang iseng dan menceritakan perihal guru itu yang akhirnya dimasukkan ke dalam penjara oleh Belanda dan menjadi lelaki jantan kembali sewaktu disiksa oleh Belanda.
97 *** "Aku jujur, bukan" Tapi semua yang terjadi akibat dari masa remaja. Oom terlalu puas melampaui jaman itu. Ayah Oom seorang kaya. Dan dahulu semasa Oom masih remaja, Oom puas berdansa di garden belakang. Pernah Oom membaca memang, puas berdansa laki-laki jadi immun terhadap wanita akhirnya terbukti benar. Sekarang apa artinya semua ini Fonnie yang baik" Segala dokter tak bisa menyembuhkan. Hari depanku telah menjadi suram, karena terlalu terangnya sinar lampu dimasa yang silam".
Ia berdiri. Ia malu memandangku. Aku juga berdiri dan dudukku di lantai. Ia menoleh kepadaku lagi, dan membuang muka lagi. Ia yang mulanya merupakan besi-berani tampaktampaknya, kekar dan seolah-olah berkuasa, kini kulihat seperti bubur.
Ketika aku akan meninggalkannya, tampak sekali wajah Oom tersebut sangat sedih. Seperti yang akhirnya dikatakannya:
"Kau akan pergi", dan sambungnya:
"Oom takkan punya teman lagi".
"Saya telah memaafkan", kataku, "Karena Oom memang tak bersalah. Saya yang bersalah.
Seorang gadis berani-berani mendatangi rumah Oom.
"Bukan. Akulah yang seharusnya meminta maaf, Fonnie. Begitulah gampangnya perpisahan. Andaikata kau tak kuganggu, tentu kau masih sudi datang ke tempat Oom ini... kita bermain halma bersama-sama, ngobrol panjang lebar seenaknya tanpa prasangka. Sekarang kau tak mau datang-datang lagi, bukan" Apalagi engkau telah mengetahui, bahwa aku punya kekurangan".
"Oom tak berkekurangan. Oom cukup mewah dan senang", kataku. Oom itu terdiam. Wajahnya tak berani menantang wajahku. Mungkin perasaan rendah dirinya, seakan-akan membayanginya!
98 Aku sendiri berat dengan perpisahan ini. Bagiku masih terbayang betapa wajahnya yang simpatik tak berdosa itu mempunyai daya magneet yang memikatku. Betapa ia bagiku ibarat payung pelindung. Betapa ia tak pernah menodaiku. Tetapi sebaliknya, sekiranya ia orang sempurna, apakah jadinya orang seperti Oom ini" Bukankah ia lebih bergajul dari teman-teman sekelasku yang lelaki yang berandal seperti Toni atau Kherman atau yang lain" Belum lagi terhitung temanku Kami, yang tampaknya sangat pendiam dan alim, tetapi akhirnya menjadikan berita teman-teman di kelas, karena Kamil sering berhubungan dengan Dokter penyakit kelamin, karena ia diajak oleh teman-temannya ketempat-tempat mesum dimana perempuan-perempuan jalang telah menulari penyakit raja singa kepada Kamil"
Bagaimanakah hidup ini yang sebenarnya" fikirku. Aku hampir-hampir tak percaya pada kehidupan. Aku hampir-hampir tak percaya pada manusia. Aku hampir tak percaya pada pakaian yang dipakai oleh setiap orang. Aku tak percaya pada tempat tinggal orang-orang sekalipun mereka diam di Menteng barat atau istana sekalipun. Karena semua itu adalah pembungkus-pembungkus raga manusia: pakaian, lagak, sikap kehormatan-kehormatan, tempat tinggal ataupun bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Aku menjadi kehilangan kekaguman pada kehidupan-kehidupan ini semua, karena nyatanya semua yang dipakai oleh manusia hanyalah kepalsuan. Sekali lagi kepalsuan yang menjadi topeng dari pribadi-pribadi yang sesungguhnya.
Sejenak aku merenung sebelum keluar dari pagar yang memagari rumah gedung yang mewah, dari Oom yang kukira semula sebagai lambang seorang lelaki yang simpatik, tolerant dan lambang kejantanan. Sejenak, aku merasa diriku apakah masih benar-benar suci, ataukah aku telah luput seperti yang lain"
Aku berjalan. Hanya langkah-langkahku yang mengetuk-ngetuk trotoir. Ak
hirnya aku sampai di trotoir Cikini. Kulihat beberapa majalah. Beberapa orang sedang membalik-balik majalah. Ada anak lelaki yang kira-kira seusia denganku. Ada juga laki-laki tua. Laki-laki tua ini sedang menatap sebuah foto bintang film Sofia Loren yang memakai pakaian Pin-up. Laki-laki tua itu begitu asyik mengagumi bentuk tubuh Sofia Loren, entah dengan khayal yang bagaimana, entah laki-laki tua itu saat itu merasa sedang berada disebuah suasana bersama Sofia Loren, entah ia merasa sedang berpeluk atau entah apa......
99 Tetapi kenyataan membuktikan, hampir separuh dari laki-laki mengagumi bentuk tubuh Sofia Loren. Separuh lagi mengagumi di dalam hati dengan ucapan-ucapan yang membenci tetapi seleranya lebih tajam. Semua adalah lambang dari kepura-puraan pribadi manusia. Aku beranggapan, pada umumnya manusia berhati munafik, lain katahati dan lain bicara bibir. Aku melihat pribadi Yang Sesungguhnya dari manusia jantan pada wajah lelaki tua Yang kini membuka lembaran lain, dan mendegut ludahnya sambil menikmati Pandangan dari tubuh Claudia Cardinale. Ketika aku mendekatinya, lelaki tua itu menoleh kepadaku dan cepat-cepat menutup majalah itu.
Hatiku berkata: Itulah pribadimu dan itulah manusia mu.
Aku berjalan terus tak menentu arah. Sampai akhirnya aku duduk sore-sore sambil makan sate Madura dipojokan Cikini, seorang diri. Kemudian aku berjalan lagi. Aku berjalan Iagi entah kemana, sampai-sampai aku pulang telah hampir jam sembilan malam. Setiba aku di rumah, tak ada tanda-tanda satu orangpun di rumah. Apakah seisi rumah pergi mencariku, karena aku tak pulang seharian" Di atas tempat surat ada sebuah MEMO yang ditujukan kepada ayahku. Memo itu menyebutkan bahwa teman ayah menunggunya jam sebelas malam dalam urusan import semen dari Jepang.
Dan bila aku masuk, ibu tak ada. Hanya secarik kertas ditinggalkan oleh ibu ditujukan kepada Fizzy, bahwa ibu menginap di rumah tante Lucy karena tante Lucy mengadakan pesta all night. Pesan ibu lagi, supaya Fizzy mengatur rumah selama ibu pergi. Kulihat jarum jam. Telah jam setengah sepuluh. Malam terasa sepi bagiku. Tetapi terkejut sekali aku sewaktu pintu kamar kubuka perlahan, aku melihat Fizzy dan Mas Narko.
Hatiku berdesir. Apakah seseorang yang sudah melalui beribu mil menuntut ilmu, akhirnya tak beda juga dengan Iwan terhadap Rini atau Kherman atau yang lain" Hatiku luluh, aku kehilangan ukuran tentang manusia. Aku segera Pergi ke gudang belakang. Kukunci pintu. Kudengar suara langkah memasuki kamar mandi. Kudengar Fizzy bernyanyi di kamar mandi. Fizzy mandi. Dan bila akhirnya aku memberanikan diri keruang tengah, kudapatkan Mas Narko pura-pura membaca surat kabar. Lagi-lagi____kepura-puraan yang kukenal, topeng pribadi manusia. Bila kumasuki kamarku
100 untuk pergi tidur, seprei tempat tidurku sudah tak ada, bantal guling terlempar tak keruan dan sebuah bantal yang penuh air mata ada di lantai. Dan, sekonyong-konyong, hatiku yang rapuh, rontok melalui airmataku yang gugur.
Besok paginya, ibu pulang lebih pagi. Ibu bertanya kepadaku, apakah ayah ada kembali tadi malam. Aku katakan bahwa aku tidur jam sepuluh. Dan aku katakan juga bahwa aku tak mendengar ayah kembali, karena pagi-pagi pun aku tak melihat ada mobil di garage.
"Fizzy mana"" tanya ibu.
"Fizzy masih tidur", sahutku.
"Jam tujuh masih tidur. Ibu sudah pesan supaya siap-siap karena mungkin hari ini keluarga Mas Narko akan datang meminang Fizzy secara resmi".
"Fonnie nggak tau", kataku.
Nah, ibu mulai marah-marah. Aku sudah tahu, kalau ayah tak pulang, biasanya ibu sudah mulai marah-marah kayak senapan mesin. Pada hari itu ibu tak mengijinkan aku pergi-pergi lagi seperti kemarinnya. Aku harus membantu ibu mempersiapkan makanan, dan menjelang tengahhari ibu menyuruhku pergi membeli kuweh-kuweh ke Cikini, membeli taplak meja yang baru serta korset kaki yang baru.
Fizzy menjelang tengah hari itu pun bangun. Aku cuma mendengar omelan bahwa ia dimarahi oleh ibu.
Keluarga Mas Narko padahal datangnya setelah magrib.
Mereka mengobrol-ngobrol. Aku tak diperbolehkan mendengar oleh ibu, apalagi ayah yang melotot bila aku menc
oba melintas-lintas ke luar dengan alasan bahwa aku akan ke belakang atau mencuci kaki, atau segala macam. Tetapi maksudku memang ingin mendengar percakapan yang serius itu. Ayah yang suka berbicara keras, agak tegang kelihatan. Yang kudengar:
101 "Kenapa kok sekonyong-konyong perkawinan" Bukankah pertunangan lebih dahulu"", demikian kudengar ayah mendebat. Jika ayah mulai mendebat, ada harapan hubungan Fizzy dan Mas Narko putus, fikirku dalam hati. Dan aku mencoba mengikuti percakapan-percakapan itu hingga larut malam.
Akhirnya pintu kamarku kudengar diketuk dari luar. Lambat ketukan itu. Aku membuka dengan keinginan tahu besar sekali. Kulihat Fizzy berwajah muram.
"Bagaimana" putus"" tanyaku cepat-cepat.
"Tidak", kata Fizzy lemah.
"Ayah tak setuju kau dengan Mas Narko"", tanyaku. "Bukan", jawab Fizzy.
"Bagaimana" Terangkanlah. Aku ingin mendengar", kataku mendesak. Fizzy duduk di tempat tidur dengan lunglai. Wajahnya kelihatan pucat. Aku mengerti apa sebab pucat begitu, karena aku menyaksikan sendiri. Dan matanya yang dulu riang, melirik kepadaku. Kemudian dia memelukku kuat-kuat.
"Ayah brengsek betul. Fonnie!" tangisnya.
"Brengsek bagaimana"" kataku memegangi rambutnya yang terjurai.
"Ayah terlalu bertele-tele. Mas Narko mendesak supaya perkawinan dilakukan minggu depan", kata Fizzy.
"Minggu depan"" aku terkejut menganga. Mengapa begitu cepat"
"Ya. Minggu depan. Mas Narko sanggup menyebar undangan. Tapi ayah khawatir pesta akan sepi. Lagi pula ayah mengusulkan sesuatu yang membikin Mas Narko gondok!".
"Katakan kepadaku apa sebab Mas Narko gondok", kataku.
"Ayah menolak perkawinan Minggu depan", kata Fizzy.
102 "Tentu ayah ada alasan", kataku.
"Bukan alasan", kata Fizzy, "Tetapi usul yang tak masuk diakal oleh mereka". "Ayah mengusulkan apa"", tanyaku.
Fizzy menangis. Menangis lebih kuat. Dan Iebih kuat lagi hingga yurkku basah oleh airmatanya.
"Apa usul ayah. Fizzy"" tanyaku gigih, tapi suaraku membujuk.
"Ayah mengusulkan perkawinan dilangsungkan dua bulan lagi".
"Itu lebih baik. Kita cukup persiapan", kataku.
"Tidak", kata Fizzy, "Itu menyulitkan kami". Aku terdiam sejenak.
"Bahkan ayah berkata", kata Fizzy lagi dengan suara tertelan-telan oleh tangisnya, "Bahkan ayah menyarankan andaikata Mas Narko atau keluarga Mas Narko tak setuju dengan usul itu, ayah dengan sukarela setuju jika Fizzy atau Mas Narko mengundurkan diri dengan sukarela, tanpa dendam, pertanda kita orang-orang berpendidikan intelek".
Dan Fizzy menangis Iagi. "Lantas"" tanyaku.
"Sungguh memedihkan buatku. Lebih baik aku mati saja", kata Fizzy lagi.
"Kau tak boleh putus asa, Fizzy", kataku menasihati seperti nenek-nenek menasehati cucunya. Aku geli sendiri dihati melakukan kata-kata itu kalau kuingat, akupun pernah melakukan demikian. Mungkin semua anak gadis yang berjiwa perasa dan putus asa akan punya fikiran demikian. Bahkan ibu-ibu yang putusasa telah melakukannya, seperti yang dilakukan oleh ibunya Kherman.
Kucoba menenangkan Fizzy.
"Ayah gila", kata Fizzy tiba-tiba.
103 "Kenapa"", tanyaku.
"Semua itu dimintanya mengundurkan dengan suatu alasan yang sangat gila", kata Fizzy lagi.
"Jangan kau berkata demikian. Bukankah ayah adalah ayah kita" Tanpa ayah, kita ini tidak ada", kataku.
"Lebih baik kita tidak ada daripada kita hadir kedunia tersiksa begini. Aku lebih baik tak dilahirkan dahulu", kata Fizzy.
"Kenapa kau sampai berkata demikian"" desakku.
"Kenapa"".
Fizzy memandang kepadaku dengan tajam:
"Ayah minta diundurkan, bayangkan, dik, karena kata ayah, tiga hari lagi ia akan berangkat ke Tokyo dalam urusan import semen dari Jepang".
Aku terdiam mendengar laporan Fizzy tentang alasan ayah menunda perkawinan Fizzy dan Mas Narko itu.
Akhirnya ayah setuju juga dan menerima seluruh usul Mas Narko. Bahkan ayah lebih dari pada setuju, bahwa ia akan menanggung semua biaya perkawinan dan pesta itu asal saja pesta dilakukan di rumah kami. Mendengar persetujuan ayah tersebut, kakakku Fizzy yang berada dalam pelukan penuh tangis, berdiri dengan terkejut, tetapi kemudian jatuh lagi ke tempat tidur. Fizzy pingsan. Aku menjadi kaget, dan aku segera membuka pint
u kamar serta berteriak: "Ayah! Fizzy pingsan di kamar!"
Ibuku bagaikan meloncati terali tembok setinggi lutut di ruang tengah. Keluarga Mas Narko juga ikut sibuk. Mas Narko juga ikut sibuk. Mas Narko pucat. Ayah terlebih lagi pucatnya. Aku tahu, ayah yang menjadi gugup secara tiba-tiba, menunjukkan sayangnya untuk pertama kali di depan hidungku, karena beliau menangis. Tetapi tiba-tiba beliau berdiri dengan segera dan berkata seperti pada diri sendiri:
104 "Kenapa aku begini linglung"".
Ayah keluar dan aku mengikuti beliau bersama Mas Narko. Ayah mencari-cari buku telpon.
"Mau tilpon siapa, pak"" tanya Mas Narko.
"Dokter langgananku, Dokter Anwar Jahri", kata ayah.
"Tak usah ke dokter, pak! Sebentar juga sadar kembali", kata Mas Narko. Tetapi ayah tetap juga mencari-cari nomor tilpon Dokter Anwar Jahri itu.
'Tak perlu dokter-dokter segala, pak!" kata Mas Narko.
"Apa maksud nak Narko melarang saya" Fizzy tokh masih anak saya, bukan""
"Bukan begitu, pak. Hari sudah malam. Mungkin dokter sudah pulang!", kata Mas Narko.
"Tapi dia ini dokter lain dari yang lain. Tidak seperti dua tiga dokter yang pantangan kalau ditelpon malam atau dibangunkan kalau ngorok. Bahkan ketika ban mobilku kempes, dia meminjamkan mobilnya yang merah itu kepada saya. Ah, sudah, biar saya urus!"
Akhirnya ayah temui juga nomer tilpon Dokter langganan ayah tersebut. Ayah mengangkat tilpon. Mas Narko kebingungan. Mas Narko kembali masuk kamar, dan berusaha keras supaya Fizzy segera sembuh dari pingsannya.
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki pekarangan, namun Fizzy belum juga siuman. Aku, Mas Narko, dan Ibu, menemani Fizzy. Kepada ibu Mas Narko tetap menyarankan agar Fizzy tak perlu diperiksakan kepada dokter, - tidak apa-apa, katanya. Bahkan Mas Narko menambahkan mungkin Fizzy pingsan karena terlambat makan. Tiba-tiba ibu kulihat memandang sejenak pada Mas Narko, seperti ada yang ibu setujui dan kata-kata usul Mas Narko. Seketika ketika ibu mengatakan: "Nanti akan ibu sarankan kepada bapak", maka.... pintu kamar terbuka. Dokter Anwar Jahri yang
105 ganteng dan masih muda itu berdiri di depan pintu siap dengan alat-alat pemeriksaannya serta stoteskop di dalam kantong baju putihnya.
"Dokter.. Fizzy tak apa-apa!", kata ibu.
Memang kata-kata ibu secara kebetulan sekali, karena Fizzy telah sadar dari pingsannya. Dan Mas Narko menambahkan:
"Ya, Fizzy sudah sadar kembali!" dengan lega.
Fizzy melihat dokter tiba-tiba melotot matanya "Aku tak sakit! Aku tak sakit! Fizzy tak mau diperiksa dokter! ".
Ayah mendekati kakak perempuanku itu:
"Bukankah kau sejak kecil paling doyan berobat dan minum obat" Kenapa kau sekarang jadi senewen begini ha""
Belum selesai ayah akan melanjutkan kata-katanya, ibu menyeret ayah ke sudut dan berbisik-bisik sesaat. Kemudian ayah berkata kepada Dokter Anwar Jahri: "Sayang dokter.. Memang Fizzy tidak suka disuntik".
"Hanya diperiksa sedikit saja", kata Dokter Anwar Jahri. Tetapi Fizzy menjawab kebaikan dokter itu dengan menelungkupkan badannya, sehingga dokter muda yang ganteng itu tak berdaya. Lebih tak berdaya lagi setelah ayah - yang menilpon dia - mendorongnya dengan halus supaya ke luar.
Keadaan menjadi pulih kembali setelah Fizzy memperlihatkan bahwa ia sehat betul-betul, sekalipun aku tahu, semua gerak-geriknya dibikin lincah dengan dipaksa-paksa.
Begitu rumah kami tinggal hanya kami saja:
ibu, aku dan Fizzy, karena ayah pergi lagi ada urusan dagang, aku berusaha untuk menyadari Fizzy supaya tetap memeriksakan diri.
"Sudah. Jangan diolok-olok juga", kata ibu.
106 "Idiiiih. Mentang-mentang mau jadi penganten nggak mau ke dokter ya""
Aku dicubit oleh kakakku. Ibu menyeretku ke luar kamar sewaktu Fizzy makan sendirian di kamar.
"Kau jangan olok-olokkan juga si Fizzy", nasihat ibu padaku sewaktu aku menemani ibu tidur di kamar beliau.
"Kenapa sih""
"Kau masih kanak-kanak, Fonnie", kata ibu.
"Bu...", kataku bersungguh-sungguh. Ibu juga memandangku dengan bersungguhsungguh pula.
"Apa Fonnie. Makin aleman aja", kata ibu.
"Kenapa si Fizzy dan Mas Narko.... nggak mau diperiksa dokter" Dan apa sih
yang ibu bisikan sama ayah tadi di p
ojok itu"" "Sst! Anak kecil nggak boleh tau!" kata ibu.
"Tetapi tiba-tiba intuisi wanitaku bisa menjalari kebenaran: ada yang telah terjadi atas Fizzy. Mungkin Fizzy tak bisa menahan diri, sehingga terjadilah apa yang harus terjadi. Aku tetap bersyukur, bahwa hal demikian tidak terjadi atas diriku, dan ini membuat mataku tak bisa dipicingkan hingga pagi.
Aku mendapat jatah undangan sepuluh buah cuma-cuma. Terpaksa teman-teman yang benar-benar dekat yang kupilih. Terpaksa membagi undangan itu lima untuk teman lelaki dan lima untuk teman gadis-gadis. Anak-anak perempuan yang kuundang masih kuraguragukan, tetapi yang terang Nafsiah dan Rini kuundang.
Tiba-tiba Rini kubatalkan untuk mengundangnya, karena mungkin peristiwa perkawinan Mas Narko dan Fizzy ini akan menimbulkan sedih hatinya.
Tentu Rini akan merasa sedih. Sebab Rini telah mengalami suatu cobaan dunia, yang telah merusak dirinya sebagai seorang gadis, sedang Iwan sendiripun tidak
107 menjanjikan untuk mengawininya andaikata hal-hal yang tak terduga terjadi dalam pertumbuhan biologisnya kemudian hari
Dari anak-anak lelaki yang kuundang terpaksa juga Kherman, Tigor dan Iwan kuundang. Kuundang Kherman untuk menyadarkan dirinya, bahwa pada akhirnya seorang lelaki pun harus memasuki gerbang perkawinan.
Kuundang Tigor hanya untuk membujuk luka hatinya, mungkin dengan pesta ini dimana ia hadir, Ia bisa bersimpati lagi kepadaku. Kuundang Iwan dengan harapan, agar Iwan benar-benar sadar akan perbuatannya yang telah merusak temanku Rini. Agar ia tetap bertanggungjawab, dan jika terjadi sesuatu yang tak terduga atas diri Rini, ia harus mengawini Rini. Ketika kudatangi Kherman, maka Kherman cuma menjawab: "Ada pesta rame-ramean lagi ha"", - suatu kalimat yang mengherankanku sekali.
"Iwan", kataku kepada Iwan sewaktu mengantarkan undangan padanya: "Datanglah pada perkawinan kakakku ini!", bujukku, karena tiba-tiba Iwan berkata bahwa ia sibuk sekali.
"Aku nggak bisa dateng, Fonnn", kata Iwan lembut.
"Emangnya ada janji nonton dimalam Minggu dengan Rini"" tanyaku berbuat seakanakan tak mengetahui peristiwa dia dengan Rini.
"Kalau Rini datang, aku mau datang", kata Iwan.
"Betul"", tanyaku.
"Tapi ntar dulu ah", kata Iwan tiba-tiba berbelot. "Apa lagi soalnya"", kataku bertanya. "Nontonin orang kawin nggak enak ah", kataku. "Lho kok nggak enak. .Jangan begok ah", kataku.
"Bukan begok tapi rasanya ngeliat orang kawin itu aku kok mual. Buat apa sih orang kawin"" tanya Iwan.
108 "Untuk melanjutkan generasi ummat manusia", kataku. "Apa lagi"" tanya Iwan.
"Buat membangun keluarga. Kitab Suci dan juga guru agama menekankan, bahwa perkawinan wajib bagi lelaki dan perempuan. Ingat tidak ajaran guru agama kita: Perempuan ibarat ladang bagi lelaki""
"Kalau perempuan itu ladang, kan artinya dijaga baik-baik, supaya ladangnya subur bibitnya baik. Terjadilah generasi yang baik. Kalau ladangnya sesudah ditanam ditinggalkan, mungkin orang anggap tanah ladang itu hanya semak-semak tak berarti, si pemilik ladang 'kan artinya tak bertanggungjawab"" kataku menekankan sindiranku.
"Kalau aku ini pemilik ladang, apa kau fikir aku ini termasuk yang tak bertanggungjawab"", tanya Iwan tiba-tiba, mungkin tahu bahwa aku tadi menyindirnya. Aku segera menjawab:
"Aku yakin kau pemilik ladang yang baik. Pemilik ladang yang baik, tentu setelah menaburkan benih menyiangi ladang itu, memberinya pupuk, mengawasi binatang-binatang yang akan merusak seperti kerbau atau sapi yang lewat mau merusak. Dan pada waktunya tentu bahagia menuai hasilnya!".
Berkata Iwan: "Kau telah ketularan penyakit filsafat-filsafat si Plato Kherman, hmmmmh"".
Aku kaget. Tapi kurahasiakan kagetku, kalau-kalau Kherman pernah berkisah.
"Emangnya Kherman pernah bilang apa"", tanyaku berdebar.
'Kherman pernah bilang, bahwa bagi dia gadis-gadis adalah ibarat ibunya. Gadis-gadis adalah calon ibu. Ibu adalah sumber dari manusia dan kemanusiaan serta kesucian. Karena itu, seorang gadis tak boleh dilukai sedikitpun. Apalagi seorang ibu", kata Iwan.
109 "Benar dia mengatakan hal itu"" tanyaku masih gemetar, kalau-kalau Kherman bicara soal pengalamanku
dan dia dipondok terpencil dikelilingi tambak-tambak di Cilincing dahulu.
"Aku heran kenapa Kherman selalu berkata begitu.", kata Iwan sekonyong-konyong yang menyegarkan hatiku sedikit.
Akhirnya Iwan memutuskan akan menghadiri pesta perkawinan kakakku juga, sehingga aku menuliskan nama Rini dalam amplop undangan, langsung ke rumah Rini.
Usahaku ini berhasil. Iwan dan Rini bersama-sama menghadiri pesta perkawinan itu, bahkan datang semesra-mesranya, belum kulihat mereka begitu mesra. Seyogianya jika aku menjadi iri hati, apalagi Kherman telah mengabarkan melalui Iwan, bahwa ia tak bisa hadir. Tetapi Tigor tetap datang. Cuma Ia tampaknya tak gembira.
Aku berusaha duduk dekat Tigor dalam acara makan kuwe-kuwe kecil di sebuah pojok yang sepi di balik pohon-pohon pisang belanda. Lampu-lampu biru kecil bergatungan mengelilingi kami.
"Kenapa kau murung, Tigor"" tanyaku.
"Aku sedang memikirkan sesuatu", kata Tigor.
"Sesuatu apa" tanyaku mania membujuk.
"Sesuatu yang tak hilang dalam otakku selama ini. Yaitu tentang perkawinan.
Pada akhirnya, baik lelaki ataupun perempuan, harus memasuki dunia ini. Sementara itu, merasakan merindukan sesuatu melihat kakaku bersanding bersama suaminya. Mas Narko itu. Kubayangkan, jika aku nanti jadi pengantin wanita siapakah yang akan bersanding di sebelahku" Aku belum mengetahuinya, aku tak bisa membayangkannya.
Tigor tiba-tiba menjadi kaget, mendengar suara pengacara yang berkata: "Atas permintaan kedua mempelai, diminta saudara Tigor tampil berdeklamasi sajak".
Tigor tanpa ragu sedikitpun maju ke depan mic. Ia berdeklamasi:
110 Tuhan berikan bumi ini bagi kita manusia
Tuhan lahirkan kita pada saat pertama
Tuhan takdirkan perkawinan dalam jenjang kedua
Pada waktunya, Tuhan memanggil manusia disaat ketiga
Diantara yang tiga itu kita berjalan Itulah kehidupan
Alangkah indah kehidupan jika dicintai
Alangkah agungnya kehidupan jika manusia sudi mengabdi
Saat-saat ditiga pintu itu, bagi kekekalan abadi
Alangkah terasa sunyinya rumah. Biasanya ada Fizzy. Sekarang Fizzy telah menjadi Nyonya Narko. Mereka tinggal di Bendungan Hilir, jauh dan tempat tinggal kami. Lebih-lebih, setelah perkawinan Fizzy bcrlangsung dan Fizzy berpindah ke rumah suaminya, ayahpun berangkat pula ke Sepang, seakan-akan kami yang ditinggal harus benarbenar menekan sepi berdua, yaitu aku dan ibuku.
Aku kadang-kadang berfikir, sekiranya akulah yang nantinya kawin, maka setelah bubarnya pesta. akan dibawa suamiku ke rumahnya, ke rumah kami. Jika kebetulan Ayah Sibuk bagi baik ke luar Negeri atau berkomperensi dinas lagi, alangkah sunyinya Ibu sendirian. Terkadang, aku kepingin tak usah kawin saja kalau memikirkan hal ini.
Kenapa fikiranku masih berkisar soal perkawinan saja, terutama semenjak Fizzy menikah" Atau karena kesunyian, atau karena sekolah berlibur menjelang pengumuman lulus tidaknya ujian, ataukah karena baru-baru ini Fizzy datang dengan perut menggembung tanda dia telah mengandung, dan aku merasa ketinggalan"
Ketika aku memikirkan tentang perkawinan, tak sedikitpun melintas dalam bayanganku, siapakah laki-laki yang kelak menjadi suamiku. Karena aku akhirnya sadar, selama ini yang kuliwati bukanlah cinta, bukanlah calon suami. Tetapi anak-anak perjaka yang sedang bertumbuh, yang umurnya tak beda usianya denganku, anak-anak
111 remaja dalam jaman Sturm und Drang, kami anak-anak yang masih dalam taufan pancaroba
Mereka membelai kulitku, mereka menciumku, begitupun aku terhadap mereka, kukira semua bukan atas dasar kasih yang bisa abadi, melainkan keinginan-keinginan remaja belaka. Bila kuingat begini, bahwa diriku pernah dibelai diciumi dipeluk biarpun tak lebih dari itu, aku merasakan, seolah-olah kehilangan virginitas. Biarpun aku masih perawan utuh, tetapi adakah aku ini masih suci" Adakah masih suci bila fikiranku sudah pernah terjadi sekalipun hanya didalam khayal, kehendak, fikiran dan niat belaka" Atau sekalipun manusia, baik lelaki atau perempuan yang pernah hidup sebenar-benarnya hidup, pernah berbuat noda, sekalipun noda itu terpancang dalam fikiran, kehendak, khayal dan niat belaka" Sebagai bungkusnya, manusia b
erbuat baik-baik dalam gerak-gerik dan tingkah laku, tetapi siapa yang bisa membaca hati nurani manusia, yang terdiri atas kebaikan dan keburukan"
Atau diriku seorang diri sajakah yang mengakui secara terus terang tentang hal ini, sekalipun pengakuan terhadap diri sendiri, yang pendengannya hanya malaikat-malaikat serta Tuhan belaka" Sehingga teman-temanku yang sudah tak perawan lagi merasa kagum kepadaku, seperti halnya Emmy, Rini dan Imah, ketiga-tiganya pernah menganggap aku ini manusia yang layak tinggal dalam biara. Padahal tidak" Dalam fikiranku aku telah menjalani beribu-ribu dosa, beribu-ribu nista.
Terkadang aku menangis seorang diri di kamar, dan aku tetap mendustai ibuku, bahwa aku menangis karena khawatir aku tidak lulus ujian SMA-ku! Aku yakin, ibu kagum kepadaku yang memikirkan pelajaran serta ijazah, sebagai murid yang baik, tetapi padahal aku sedang terombang-ambing dalam gelombang taufannya masa pubertas, entah semua ini karena arus jaman yang menghempas dilingkungan hidupku, mengingatkanku pada sajak Khairil Anwar yang pernah dideklamasikan oleh Tigor, yang berbunyi: "Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang. Tidak tahu Romeo dan Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang", yang bisa kutafsirkan seolah-olah aku ini termasuk dari generasi yang mewarisi jaman lampau yang tiada kami ketahui, karena jaman lampau telah diukir oleh generasi sebelumku, sebelumku dan sebelum nenek moyangku. "Kita hanya melihat sebagian dan sandiwara sekarang", kata Khairil Anwar.
112 Kuingat lanjutan sajak itu lagi, yang berbunyi: Lahir seorang besar tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat". Mungkin penyair Khairil Anwar benar, fikirku. Cuma aku tak tahu, apakah dalam masyarakat bangsaku telah pernah lahir seorang besar yang harus dicatet, ataukah masih akan lama lagi. Yang terasa olehku, seperti ayah Nafsiah seorang pegawai negeri pernah berkata kepadaku dengan kata-kata yang memancang di otakku sampai sekarang: "Kita ini tenggelam melulu. Abis rakyat sih. Yang nimbul cuman pemimpin aje" Kufikir bahkan penyair seperti Khairil pun ada diantara pegawai-pegawai negeri.
Untuk itulah aku mendatangi temanku Tigor. Mungkin Ia Iebih mengerti arti sajak Khairil itu, karena sajak itu diciptakan ditahun 1946, ketika gelombang jaman sedang menghempaskan pada pundak bangsaku suatu na.sib antara hidup terus atau mati sebelum berusia setahun. Karena pada saat itupun aku sendiri belum lagi lahir
"Fonnie. Ada yang sudah lebih dahulu berangkat dari kita", kata Tigor dengan wajah yang muram.
"Siapa"", tanyaku kaget.
"Kau belum mendengar"", tanyanya, menyebabkan aku ingin tahu. Tigor menjelaskan kepadaku: "Rupa-rupanya kematian Ibu Kherman yang menyebar ke kelas kita, berpengaruh atas diri seorang teman kita. ltu maka aku percaya pada kisah Mas Narko, lagu The End of The World pada saat-saat hits, menimbulkan kematian-kematian karena bunuh diri, putus asa pada jaman dan Dunia yang Akan Berakhir. Tahu kau, salah seorang teman kita telah melompat dari atas Jembatan Semanggi. Karena malam itu lwan masih ragu-ragu. Ragu-ragu untuk mengawininya. Rini sudah meninggal. Mayatnya pagi ini dibawa ke Kudus, kampung halamannya. Oh ", Tigor mendengus sedih. "Kudus, nama yang identik dengan perkataan Suci. Mungkin Rini ingin dikembalikan pada tempat ia dilahirkan semula. Betapa tragis dan kontrasnya nama negeri itu dengan akhir hidup Rini. Atau sajakku dimalam itukah yang mempengaruhi otaknya" Rini menangis dimalam perkawinan kakakmu!"
Aku terdiam. Aku benar-benar seperti merasakan bagaimana mati itu! Oh, Tuhan. Alangkah pahitnya mati demikian, fikirku.
113 "Padahal Rini lulus, bukan"", tanya Tigor lagi.
"Rini lulus dengan angka-angka baik", kataku, termangu. "Mengkirik bulu kudukku mengingatkan kematian sahabat sekelas. Mungkin Rini mengalami demikian, karena ia membayangkan dirinya ibarat ibunya Kherman kalau Iwan nanti jadi suaminya tokh akan di sia-siakau! ".
"Makanya kita tak boleh membayangkan diri kita sebagai orang lain. Diri kita adalah seadanya yang ada pada kita", kata Tigor. Aku seakan-akan l
umpuh. Tak kuasa aku berdiri. Lututku lemah rasanya, karena taku melihat kedepan.
Namun sekonyong-konyong terasa olehku bahwa aku ini masih lagi gadis yang berusia tujuh belas tahun. Teringat olehku nasihat kakakku Fizzy dahulu: "Cinta remaja adalah cinta platonis. Cinta sekolahan. Kau masih kecil. Kau masih kagum pada orang-orang yang gagah mentereng! Type lelaki yang akan merajai dunia. Di Fakultas nanti, lain halnya lagi. Yaitu lelaki yang punya sikap, terhormat karena isi otaknya, bukan isi kantongnya".
'Kenapa kau terdiam"" tanya Tigor seraya menghalau ayam yang memakani nasi yang dikeringkan di tetampah. Dan karena aku tertarik pada nasi-nasi yang dijemur di tetampah, Tigor berkata: "Kalau digoreng, kerak-kerak nasi begitu enak untuk adik-adikku". Katanya lagi: "Di rumah kami sebutir nasi amat berharga. Maklumlah ayahku harus membina begini banyak anak".
Airmataku tertelan melalui leherku menahan sedih. Karena kami sering melemparkan nasi-nasi restan ke tong depan rumah kami, supaya nanti kalau ada ayam atau anjing lewat atau orang-orang gelandang, mungkin akan mereka ambil. Terutama supaya jangan mengotori rumah kami. Tetapi disini, di rumah Tigor, sebutir nasi katanya, dihargai sungguh-sungguh.
Negeri ini begini kaya, setiap pemimpin berkata bahwa Indonesia kaya, strategis, seperti gadis cantik yang menerbitkan selera bagi negeri lain. Aku melihatnya dan kenyataan lain, karena ingat pepatah yang pernah diajarkan guru bahasa Indonesiaku di kelas: Ibarat ayam mati di lumbung padi.
114 Tigor mengusir ayam yang naik ke atas atap mencotoki kerak nasi yang dijemur, kali ini betul-betul memungkangnya dengan batu. Begitupun ibunya memaki-maki. Aku tunduk dengan takzim. Aku merasa, bahwa aku tiada pernah merasa kekurangan, bahkan kelebihan sampai-sampai membuang restan nasi ke tong sampah di pinggir jalan supaya diambil pengemis, anjing atau ayam dan kucing, supaya jangan mengotori pekarangan rumah kami. Tetapi setiap aku ke rumah Tigor, aku merasakan kurangnya keluarga kami. Karena hubungan dalam keluarga Tigor sangat mesra. Aku dalam keluargaku seperti siapa lu siapa gua saja, sehingga aku kesepian.
Sekali lagi, dalam penuh simpati ini, aku takut jatuh cinta dengan seluruh simpati kepada Tigor ini. Ya, aku takut jatuh cinta. Karena. melihat Tigor mengusir ayam itu dengan penuh tanggung jawab, aku merasa lelaki yang penuh tanggungjawab, aku merasa lelaki yang penuh tanggungjawab beginilah yang pantas jadi suamiku kelak. Dan kubayangkan Tigor adalah suamiku. Khayal ini tiba-tiba kutekan, karena hatiku sudah melambung tinggi, seakan-akan rela aku hidup susah begini semacam keluarga Tigor tetapi susah yang dijalin kemesraan, tidak siapa lu siapa gua semacam keluarga kami. Kutekan angan-angan ini, karena sadar kembali, bahwa aku belum lagi tujuh belas tahun. Ada waktunya kelak aku benar-benar mencintai dan dicintai. Itu akan tiba waktunya, seperti dikatakan Tigor, yaitu: saat kedua dalam kehidupan. Sekarang aku belum lagi tujuh belas. Tiba-tiba kutolakkan standard sepedaku.
"Mau kemana kau lagi"", tanya Tigor.
"Pulang. Ibuku kesepian seorang diri di rumah", kataku.
Setiba di rumah aku memeluk ibuku.
Ibu heran kenapa aku memeluknya begitu mesra.
Ada beberapa waktu lamanya, seluruh kelas kami bertanya-tanya tentang kematian teman kami Rini.
Tetapi hanya dua orang saja Yang mengetahui sebab-sebab tersebut sampai Rini bunuh diri Dua orang yang mengetahui itu adalah Iwan dan aku! Teringat kembali olehku bagaimana Rini menangis tersedu-sedu di kamarku menceritakan kejadian yang
115 dialaminya atas perlakuan Iwan. Teringat olehku bagaimana Rinr menyesal dan putus asa. Harapan-harapan Rini timbul kembali pada saat aku berhasil mempertemukan Iwan dan Rini yang bersama.sama menghadiri pesta perkawinan kakakku Fizzy, bahkan datang semesra-mesranya, belum pernah mereka semesra itu. Mengingat bagaimana mereka duduk bermesra-mesra pada pesta jtu, pada saat itu timbullah kebencian yang meluap-luap dalam diriku-sebagai seorang gadis. Tiba-tiba tertanam dalam kalbuku, bahwa pada umumnya laki-laki adalah tidak berani bertanggungjawab apabila
mereka melakukan affair! Mereka lebih pengecut dari kucing-kucing. Gemasku meluap-luap dan di kamar ku kutuliskan kata-kata: No Time for Love. Kata-kata ini sudah biasa kubaca di kamar-kamar kawan-kawanku yang perempuan. Umumnya kawan-kawanku yang dipermainkan oleh pacarnya. Tetapi tidak buatku. Kata-kata murahan seperti dibilang oleh ibuku itu, bagiku merupakan peringatan yang amat tinggi bagi pribadiku. Memang dalam kehidupan ini aku begitu cepat rasanya untuk berfikir yang tinggi-tinggi. Berfikir, bahwa dan sesuatu yang kelihatannya murahan, mungkin saja timbul hal-hal yang terbaik dalam perkembangan hidup selanjutnya!
Pada suatu malam aku tak bisa tidur. Seperti biasanya, aku mematikan lampu supaya bisa tidur. Kamarku gelap. Kepalaku kuperbantalkan dengan kedua telapak tanganku. Aku menghadap ke loteng. Tiba-tiba bulutengkukku meremang. Rasanya dan loteng itu muncul wajah seseorang yang makin lama makin jelas. Wajah Rini almarhumah! Rini melambaikan tangan. Rini makin dekat, Rini senyum makin sejelas-jelasnya seakan-akan ia hidup! Rini yang berpakaian putih itu tidak berkata-kata malahan semakin dekat dan sewaktu tiba-tiba ia meraihku, perasaan ngeriku memuncak hingga aku memekik!
Ibu menggedor-gedor pintu. Tetapi aku sudah seperti orang bisu dan kejang di tempat tidurku. Ibu masih menggedor-gedor pintu. Ada apa Fonnie" Ada apa Fonnie" Aku ingin menjawab: Aku melihat hantu, aku meihat hantu, aku melihat hantu tetapi lidahku semakin kelu membeku.
Pintu terbongkar juga rupa-rupanya, hingga aku melihat cahaya dari ruang tengah. Ibu berdiri di pintu. Nafasku masih sesak. Dadaku menyempit, lidahku tetap mengelu.
116 "Ada apa nak"" tanya ibu. "Rini", kataku terpatah-patah.
"Rini" Kenapa Rini"", tanya ibu menghapus keringatku, dan menegukkan air putih di gelas ke dalam mulutku.
Setelah meneguk air putih itu, dadaku mulai merasakan bernafas sedikit.
Bayangan almarhumah Roni seakan-akan masih berdiri di depanku.
"Aku takut, ibu", kataku.
"Bukankah Rini sudah meninggal, Fonnie"" tanya ibu. "Ya. Tapi Rini datang, bu", kataku.
"Ah mungkin hanya angan-anganmu saja", kata ibu, yang kutahu hanya untuk menentramkan perasaanku saja.
"Aku melihatnya", kataku.
"Anganmu saja", kata ibu.
"Tapi aku betul-betul menyaksikan dia datang dan atas itu. Dan meraihku", kataku menangis, dan memeluk ibuku.
Ibu menghela nafas panjang-panjang, terasa helaan itu bergelung di dada ibu sewaktu aku mendekap demikian.
"Mungkin kau teringat kepada Rini sebelum tidur" kata ibu.
"Apakah orang mati bisa mengingat kita yang masih hidup"", tanyaku. Ibu menjawab:
"Orang mati hanya jasadnya yang tertanam. Mati. Tetapi rokhnya kadang-kadang melayang. Mungkin juga Rini meninggal dengan tidak rela. Bukankah yang kau
117 maksud ini Rini yang meloncat dari Jembatan Semanggi, yang bunuh diri itu"" tanya ibu.
"Betul. Rini yang bunuh diri itu", kataku.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ibu heran pada jaman sekarang begini masih ada juga orang yang berani mati bunuh diri. Kadang-kadang akal manusia berobah dalam suatu saat yang sangat pendek. Tahukah kau, Fon, pernah ibu sendiri membayangkan hal untuk melakukan perbuatan maksiat bunuh diri itu. Tapi ibu merasa bersyukur tidak melaksanakannya. Karena ibu telah dibekali oleh iman kepada Tuhan yang dibekali oleh kakek dan nenekmu, bahwa setiap bunuhdiri hukumnya hanyalah neraka!".
"'Neraka"" kejutku," Apakah Rini akan hangus dibakar api neraka seperti nenek ceritakan semasa Fonnie kecil dulu, bu"".
Kurasakan belaian jari-jari ibuku pada anak-anak rambutku di kening.
"Itu keputusan Tuhan. Tapi janganlah sekali-kali memikirkan hal itu, apalagi melakukannya", kata ibu. Makin terasa jari-jemari ibuku mempermainkan anakrambutku
"Kalau ibu fikir-fikirkan kelakuan ayahmu, sudah lama hal itu terjadi", kata ibu. "Bagaimana ayah"" tanyaku mendesak. "Tidak", kata ibu, "Ayahmu baik-baik saja
"Ah, tentu ada yang ibu rahasiakan mengenai ayah barangkali. Ada tentunya hal-hal yang tidak baik yang pernah diperbuat oleh ayah makanya ibu pernah berfikir untuk bunuh diri"; kataku mendesak.
"Itu dulu. Tetapi sekarang tidak lagi. Sekarang ibu telah melepaskan ayahmu dan membiark
annya untuk berbuat semaunya. Kalau pada suatu saat teman hidupnya tidak bisa menginsyafkannya lagi, aku sebagai teman hidupnya terpaksa berlepas diri. Kalau dia masih manusia, dia tentu akan kembali kejalan yang benar
118 Aku beranggapan, tentu ada sesuatu yang telah diperbuat oleh ayah yang melukai hati ibu. Karena itu aku semakin berkeinginan untuk menyelidikinya.
"Seharusnya ibu bercerita tentang ayah. Apa yang telah diperbuat oleh ayah makanya ibu teringat hal itu sekarang""
"Sekarang ibu telah melupakannya", katanya.
"Tidak. Ibu berdusta. Ada sesuatu yang ibu pikul selama ini".
"Kalau itu pikulan, pikulan itu tak berat lagi sekarang", kata ibu.
"Ibu memendam sesuatu yang berat dan ibu menanggungnya barangkali selama ini", kataku mendesak," Katakanlah bu!"
lbu mencoba meneduhkan desakanku dengan senyumnya. Tapi aku tahu senyumnya itu senyum yang dibuat-buatnya belaka.
"Katakan", kataku mendesak.
"Apa yang harus ibu katakan" Tidak ada apa-apa lagi", kata ibu.
"Tidak. Hal itu masih ada dan membekas di hati ibu", kataku.
'Bekasnya masih ada memang. Tetapi perasaan pedihnya sudah lenyap", kata
ibu. 'Ibu tak mau berterus terang pada anak kandung ibu sendiri"" tanyaku.
"Biarpun kau anak kandungku, Fon, tapi kau masih belum pantas mengetahuinya", kata ibu kepadaku.
"Aku ingin", kataku, katakanlah. Bukankah ayah tak ada sekarang ini""
"Biarpun kau ingin mendengarnya, tetapi kau belum waktunya untuk mendengar hal'itu", kata ibu.
"Katakan, bu", kataku merengek-rengek.
119 "Kau masih anak-anak", kata ibu. "Aku sudah gadis dewasa, bu", kataku.
"Tidak. Kau masih ingusan. Kau masih SMA. Lebih baik hal itu tak kau fikirkan lagi, seperti ibu juga tak memikirkannya Iagi".
"Jadi ibu tak mau menceritakannya"" tanyaku mangkel.
"Ibu tidak boleh menceritakannya", kata ibu.
"Kenapa"" desakku.
"Karena kau masih sekolah. Yang harus kau fikirkan semasa masih belajar, hanyalah pelajaran. Lain-lainnya tidak", kata ibu.
"Itu jaman kolonial. Sekarang jaman merdeka. Kami juga diajarkan pelajaran sexuologi. Bahkan pelajaran ilmu kesehatan. Ibu sepantasnya menceritakan hal itu kepadaku", kataku mendebat.
"Itu tidak pantas untuk diceritakan. Bagaimanapun buruknya ayahmu, ayahmu adalah suami ibu", kata ibu.
"Jika ayah bersalah, ibu pantas untuk menunjukkan kebenaran. Ibu menganggap wanita lebih rendah dan lelaki jika demikian", kataku.
"Ayah memang menganggap wanita lebih rendah dan lelaki", kata ibu.
"Jadi apa yang telah ayah perbuat, makanya ibu merasa direndahkan oleh ayah"", tanyaku.
Ibu hanya tersenyum. Kulihat senyum ibuku menyimpan sesuatu pikulan yang berat, tidaklah ringan seperti yang dikatakannya tadi itu. Senyum ibu mengandung awan yang berat menggumpal, senyum yang tawar dan dingin, senyum yang mengendapkan siksaan bathin yang rupa-rupanya sudah menahun.
120 "Tidurlah", kata ibu. "Aku takut", kataku. "Takut""
"Aku takut bayangan Rini datang lagi".
Tetapi memang demikian! Selama seminggu berturut-turut bayangan Rini selalu mendatangiku pada malam hari. Kadang-kadang bayangan itu muncul bahkan sewaktu lampu terang, bahkan juga sewaktu aku tidur berdua bersama ibu. Aku selalu menjerit bila bayangan Rini muncul.
Tetapi bukan bayangan Rini saja yang membuatku pusing. Juga hal-hal yang tidak jadi diceritakan ibu perihal ayah, membuatku sekejap dalam sehari memikirkan hal itu.
Memang aku sedang memperjuangkan sesuatu. Tetapi bisa saja aku malahan ikut terjerumus ke dalam arus putar. Kebimbanganku berubah menjadi ciut hati. Mendadak hatiku kecut. Dan aku berkata pada cewek yang belum kukenal di Jalan Sukun itu:
"Biarlah saya cari sendiri".
Dan aku tidak mencarinya. Sepeda aku belokan kearah Sentul, dan cewek tadi berseru memanggil-manggil karena mereka tahu arah sepedaku bukan menuju ke Klitren Kidul. Tidak. Aku tak perlu ke sana. Aku lebih baik menghindar resiko. Dan pulang.
Cuma saja, mungkin rasa soliderku yang tidak berubah. Buktinya malam itu aku baru bisa tidur pada larut malam. Malahan aku bermimpi buruk, dikejar orang tua mengerikan dengan caling-caling yang tajam sehingga aku mengigau menjerit-jerit. Gedoran pada dinding kamarkulah yang
membuat aku terbangun dari mimpi.
Cepat aku beristighfar. Dan sebuah buku yang dihadiahkan ayahku pada ulangtahunku yang lalu, aku ingat sesuatu anjuran, dan ulama yang mengarang buku itu. Yaitu bersembahyang sunnat sehabis mimpi buruk, mohon dipilihkan yang baik dari
Allah. 121 Segera aku keluar kamar. Hampir aku menjerit lagi. karena didepan kamarku berdini mas Domo. Suatu perasaan aneh membuatku merinding sejenak, lalu meneruskan langkah ke kamar mandi untuk bersuci. Bila aku keluar dari kamar mandi, dilangit aku melihat bulan terang menderang, bagaikan bola yang sedang terapung diatas permukaan awan yang bentuknya mirip ombak lautan.
Aku terus melangkah masuk rumah Iagi. Dan perasaan aneh membentur lagi dinding hatiku. Betapa tidak! Mas Domo masih berdiri, memperhatikanku. Cepat kumohonkan perlindungan dan Tuhan andaikata mas Domo ada niat-niat yang tak baik. Ia cuma berdiri dengan tatapan aneh, dan aku mencoba menyapa: "Belum tidur, mas". la malah tidak menyahut. Kucepatkan Iangkah masuk kamar. Dan buru-bunu mengunci pintu dari dalam.
Kebetulan, lampu gantung dikamarku kehabisan minyak. Api yang membakar sumbunya sudah kelihatan berkedip-kedip, siap untuk padam. Kucoba membetulkan dengan menggerak-gerakkan sumbu turun naik. Cahaya jadi terang untuk beberapa lama. Dan cahaya itu masih konstan saja sampai aku selesai sholat sunnat dua raka'at.
Tapi aku tetap tak bisa tidur. Pikiranku masih dirongrong oleh nasib Wartini, dan perasaan solider masih saja menyeru dihati. Tanpa ada maksud apa-apa, aku duduk dihadapan meja belajarku, tak sengaja terambil buku tebal terjemahan Kitab Suci A1-Qur'an. Herannya diriku oleh jari-jari tanganku yang membalik lembaran, langsung mataku melihat surat An-Nur. Dan Bagai kena tuntun oleh tenaga ghaib, bola mataku langsung saja membaca ayat 26:
Wanita yang keji bagi lelaki keji Lelaki yang keji bagi wanita keji Wanita yang baik bagi lelaki yang baik Dan lelaki yang baik bagi wanita yang baik
122 Aku tidak melanjutkan membaca seluruhnya. Tetapi kubaca lagi dan kubaca lagi baris-baris itu. Heran sekali! Rongrongan bathin, rasa solider, yang semula meluap mendadak saja jadi padam. Dan lampu kamarku pun padam sewaktu aku merebahkan tubuhku di ranjang. Dan suasana bathinku pun jadi tenteram dalam kegelapan ruangan. Dan kemudian, tidurku pun jadi nyenyak hingga subuh tiba!
Dan bahkan, perasaan disekolahpun tenteram-tenteram saja. Sampai akupun terlupa untuk memperhatikan tubuh dan perut Lusiana, apa ia hamil atau tidak. Entah mengapa, sepagi sampai waktu istirahat kedua, hatiku damai-damai saja. Malahan aku mendapatkan sesuatu yang sama sekali tak kuharapkan lagi: Surat mas Yonardi, dari Wonogiri.
Karena surat itu langsung kuterima dan pak pos, tidak ada seorang pun yang melihatnya untuk ingin tahu. Dan aku sendiri pun tidak akan memperlihatkan kepada siapapun. Juga tidak ingin memperlihatkan isinya kepada siapapun. Pokoknya surat mas Yonardi mesra sekali. Bagian-bagian tertentu dan suratnya membuat buluromaku berdiri. Maka ini kuyakini, bahwa Tuhan itu Maha Pengasih Maha Penyayang bagi setiap insan, jika itu dikehendaki-Nya. Dan kadangkala, nikmat kasihsayang-Nya itu justru sangat merasuk kedalam jiwa, sebab sebelumnya insan-insan diberinya cobaan dan ujian terlebih dahulu untuk menentukan tabah atau tidaknya. Syukurlah aku senantiasa berbaik sangka kepada-Nya.
Ingin saja aku agar mas Yon cepat pulang dari Wonogiri. Bila selesai belajar malam hari, kubaca sekali lagi suratnya yang mesra itu. Dan surat itu pulalah yang menutup hari itu menjadi paling indah dalam hidupku, sampai mataku pun tertutup dalam tidur yang lelap.
Lewat tengah malam aku terjaga dari tidurku. Tetapi kali ini aku terbangun bukan karena mimpi buruk. Juga bukan karena mimpi manis. Aku terbangun begitu saja. Mataku terbuka. Dan mataku yang barusan saja terbuka itu langsung melihat pada genteng kaca. Ada dua genteng kaca diantara susunan genteng tanah liat yang lain, yang membuat pandangan mata menerobos menatapi langit biru. Dan bulan purnama kemarin begitu sempurna bulat dilangit itu, seakan-akan pemandangan indah tengah ma
lam ini hanya diperuntukkan bagiku seorang.
123 Hal ini kuceritakan kepada mas Yon sewaktu ia telah kembali dari Wonogiri. Aku dan dia sedang duduk berdua. Waktu itu siang. Mas Yon menyusul. kesekolahku pada jam 11 karena sudah kuberitahu dua mata pelajaran terakhir kami prei sebab ada guruku yang sakit. Aku kini terhampar di padang rumput yang luas di pinggiran kota Yogya bagian selatan, letih mengayuh sepeda berduaan. Tapi kini justru keletihan itu tertebus pula dengan berduaan diatas rumputan.
"Memang, Yara, selagi muda bulan pumama itu menggugah perasaan. Tapi nanti ketika kamu mendewasa, yang bagus itu bukan bulan purnama lagi", ucapnya.
"Jadi yang bagus nanti itu apa"" tanyaku.
"Uang", katanya, "Karena uang membuat manusia merasa kaya. Tanpa kekayaan, kita gemar menyalahi nasib".
"Wah oleh-oleh pulang dari Wonogiri koq diluar dugaan"" aku mencoba menyindirnya.
"Memang begitulah kenyataan. Kita dari keluarga miskin. Di Wonogiri ketemu lagi dengan petani-petani miskin. Kita melihat sebuah cermin. Kira-kira apa yang mereka inginkan ya sama dengan saya. Yaitu kekayaan, hidup senang, makmur. Adalah bohong orang miskin Sepertiku tidak kepengin kaya. Kalau perlu ya kaya tujuh turunan,
Tiara!" "Hmmm. Ngeri saya mendengarnya, mas!" ujarku.
"Kenapa harus membohongi diri sendiri. Memang itulah faktanya. Aku ndak mau mengulangi kesalahan bapakku", kata mas .Yonardi.
"Oom Daud 'kan cukup terhormat"" bantahku.
"Hidup ini bukan sekedar dihormati orang saja, Yara. Kita bangga seperti bapakku bangga dihormati orang karena kejujurannya. Tokh ia menyembunyikan keluhan-keluhan nasib, menyembunyikan kerinduan naik motor pergi ngantor, tidak pegal linu karena bersepeda saban hari. Betul ndak""
124 Aku agak terheran-heran melihat perubahan drastis dalam diri lelaki yang kukasihi ini! Tentu ada seseorang, atau situasi, yang telah mempengaruhinya selama tugas sebulan didesa Wonogiri. Dan aku ingin menyelidikinya.
"Mas", ucapku, "Diantara teman-teman yang pergi, ada yang kaya""
"Untuk apa kamu tanya itu""
"Saya cuma ingin tau", kataku.
Ia menghela napas dalam-dalam. Lalu: "Ada yang kaya. Bagus! Menjadi kaya itu bukan pantangan kehidupan".
"Memang tiada larangan", kataku.
"Lalu apa perlunya kamu tanyakan lagi" Pendeknya, cara berfikir yang sederhana yang tertanam pada bangsa ini harus dirombak. Itu cara berfikir orang jajahan, yang barangkali masih cocok di India, ada kasta shudra dan paria. Ah, Tiara, sayang kamu masih muda belia. Jika kamu sedari kecil menderita dengan hidup sederhana seperti kami semua selama ini, bertahun-tahun kamupun akan merombak otakmu seperti mas Yon, Tiara!" Kini aku tak perlu mengherani lagi. Sepertinya matanya baru saja terbuka terhadap masa-masa lampau yang dilaluinya dengan tekun, seperti seekor badak yang melangkah tekun tanpa melihat kanan dan kiri.
Aku berdiam diri. Dia juga berdiam diri. Agak lama juga, sampai aku terlena oleh deru angin siang hari yang kencang menghembus-hembus rambutku.
"Kamu tidak bosan duduk berduaan begini saja"" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak Tidak bosan".
"Jangan dusta, ya".
125 "Sungguh tidak", bantahku, "Saya senang dengan alam pedesaan ini. Alangkah lucunya jika saya bayangkan hidup didesa dimasa tua".
"Ilusi lagi", ia mengejekku.
Ditatapnya mataku: "Tahu kamu mengapa kamu kubawa kepinggiran desa ini" Jangan jawab dulu. Biarkan aku menjawabnya: Supaya kamu menyaksikan kenyataan, bahwa saya tidak ingin hidup terlantar sebagaimana tanah pesawahan yang terlantar ini. Orang harus berani menyeruakkan derita dirinya lebih dulu, menyapu bersih keterlantaran dirinya dulu, baru ia mampu berfikir dengan baik, dan menikmati hidup dengan baik. Kalau cuma terlena oleh nyanyi nina bobok, apa artinya nikmat kehidupan""
Maka bila ayah sekali berada di rumah, begitu ayah datang, aku memperhatikan sikap-sikap ayah terhadap ibu. Bahkan ayah membelikan untuk ibu lipstick, sandal baru luar-negeri, juga mantel wool yang dikatakan oleh ayah "untuk nonton sekali-kali di Hotel Indonesia".
Sewaktu ayah tak di rumah, hampir saja kutanyakan kepada ibu kenapa ibu berpendapat ayah merendahkan martabatnya. Tetapi t
ak jadi, karena khawatir ibu tersinggung bahwa aku tak percaya padanya. Akibatnya hal yang ditekan ini membuat aku bermenung. Kadangkala aku duduk-duduk di balik pohon-pohon pisang Belanda di balik bayangan, memikirkan hal itu. Berhari-hari aku lalai memikirkan hal-hal lain kecuali hal itu. Sekali ibu mendatangiku. Tanya ibu:
"Kenapa kau ngelamun terus belakangan ini, Fonnie" Apa kau kesunyian""
"Tidak kesunyian, bu. Tapi ada yang kufikirkan"
"Kulihat ayah biasa saja pada ibu. Bahkan ayah membelikan sandal dan mantel, lipstick dan perhiasan mutiara", kataku.
"Memang ayah membelikan apa-apa bagi ibu. Ayah selalu membelikan untuk ibu segalagalanya", kata ibu.
"Kenapa ibu memendam sesuatu juga terhadap ayah"" tanyaku.
126 "Tidak. Tidak ada apa-apa", kata ibu.
Tapi aku tetap berpendapat bahwa ibu tentunya menyimpan sesuatu yang sangat rahasia. Ini tak bisa ibu mungkiri, cuma saja, karena aku masih belum berusia tujuh belas, dianggap masih ingusan ibu tak mau menceritakannya kepadaku.
Menurut keterangan teman-temanku Sekelas, ijazah baru akan diisi dua minggu lagi. Ini berarti selama dua minggu ini aku harus berada di rumah lagi. Entah karena apa, aku malas sekali untuk pergi ke sekolah. Di sekolahpun orang-orang cuma bersenda-gurau saja. Belum pernah aku punya perasaan malas seperti sekarang ini.
Tetapi di rumah pun kadang-kadang aku tak berbuat apa-apa selain membaca-baca buku di kamar atau pergi tidur.
Sekali, sewaktu aku membuang restan nasi ke tong sampah di depan rumah, sebuah sedan Fiat 1300 berhenti di depan pekarangan rumah.
Kulihat seorang Iaki-laki berkacamata hitam di depan Setir Laki-laki itu mengai~gguk kepadaku.
Aku membalas mengangguk dengan bimbang.
"Ayah ada"" tanya laki-laki berkacamata itu.
"Tidak", kataku, "Tapi ibu ada."
Sedan Fiat 1300 itu dibelokkan memasuki pekarangan rumahku, langsung ke garage. Lakilaki itu turun dan mobil. Ia kelihatan gagah sekali. Aku baru sekali ini melihatnya.
Ia begitu gagah, gagah menurut hematku, walaupun usianya mungkin sudah hampir empat puluh tahun. Kacamata hitamnya tak lepas menjadi perhatianku, karena, baru sekali itulah kulihat kacamata hitam sebagus itu.
Aku langsung berlari-lari masuk ke rumah mendapatkan ibu.
"Ada orang gagah", kataku.
127 "Siapa" Teman ayahmu lagi""
"Mungkin. Ia naik sedan Fiat 1300", kataku.
Ibu ke Iuar. Kulihat mereka seperti telah pernah berkenalan. Mereka bahkan kelihatannya intiem sekali. Aku menjadi cemburu karena aku kurang mendapat perhatian.
Aku segera berlari ke kamar dan berdandan. Kupakai baju yang paling menarik supaya mendapat perhatian daripadanya nanti.
Aku menjadi gugup sekali dalam berhias. Ketika kubuka pintu ke dalam aku menjadi kecewa karena kudengar suara mobil meninggalkan garage dan laki-laki gagah itu tak lagi ada. Kujengukkan kepala dengan menyibakkan daun jendela beranda. Ibu melambaikan tangannya sampai sedan Flat 1300 itu pergi menghilang cepat.
Aku dongkol sekali. "Siapa sih dia"" tanyaku.
"Saudara tiri ayahmu", kata ibu.
"Kalau begitu masih Oom dong", kataku.
"Bawa kopor-kopor ini ke kamar depan. Rudi akan menginap di sini", kata ibu. "Rudi" Emangnya namanya Rudi"" tanyaku.
"Akh anak ingusan. Bawa saja kopor-kopornya ini ke kamar depan. Ibu akan berbelanja ke pasar Cikini supaya kita tidak malu menerimanya. Rudi baru datang dari Paris".
"Paris" Duilah jauhnya. Paris ", kataku mengangkat kopor. Ibu menjewer telingaku. Dan dengan gembira aku marah-marah: "Udah jadi kulinya kopor Oom Rudi, dijewer lagi! ", kataku sambil ketawa.
"Anak-anak jaman sekarang........., kata ibu.
128 "Emangnya ginlana"" kudorong pintu dengan dengkul.
"Anak-anak sekarang pantangan liat lelaki ganteng", kata ibu. Aku membenahi kamar depan bersama ibu, menukar seprei dan aku sendiri mendapat tugas mengepel lantai.
"EmangnYa Oom Rudi masih single"" tanyaku. "Na genit lagi", kata ibu. "Tanya saja 'kan boleh"" kataku.
"Ya kalo tanya yang masuk akal. ini 'kan pamanmu" kata ibu. Ketika ibu berbelanja ke Pasar Cikini itulah, Oom Rudi kembali datang dengan Fiat 1300-nya. Lagi-lagi aku jadi iri hati karena pamanku ini menanyakan ibu. Tibak diperhatikanny
a sedikitpun kacamata hitam model mata kucing yang kupakai sewaktu menyambut datangannya!
"Duduklah Oom Rudi", kataku, "Ibu lagi ke pasar".
"Eh, kok kau tau saja nama Oom"" tanyanya ramah.
"Tentu dong", kataku.
Aku duduk sopan-sopan namun gelisah rnemandangnya mencuri-curi.
"Sekolahnya dimana""
"Nggak sekolah", kataku.
"Masa', nggak sekolah"" tanya Oom Rudi.
"Buta huruf", kataku.
"Bahaya!" katanya, "Kalau seseorang cantik dan mengaku buta huruf, itu bahaya".
Aku ketawa dibuat-buat menggumam bibirku.
129 "Baru saja lulus SMA", kataku.
"Lulus"" tanyanya berdiri dan mengulurkan tangan. Aku malu-malu dan berkata: Nggak terima akh".
"Kenapa"" tanya Oom Rudi heran.
"Kuku kita kotor", kataku malu-malu
"Terima dong", katanya.
"MaIu ah", kataku.
Tetapi aku merasa rugi tidak mau menerima jabatan tangannya. Telapak tangannya bersih kemerah-merahan dan kekar sekali. Agaknya ia pandai main karate karena bonggol-bonggol pada punggung telapaknya Tapi aku rugi karena tidak bisa merasakan telapak tangannya
Tapi aku merasa tidak rugi lagi setelah ia berkata: "Rambutmu memang menjadi model di Indonesia sekarang""
"Emangnya kenapa Oom"" tanyaku.
"Gadis-gadis di Paris sedang sibuk dengan baju kertas", katanya. "Cakep dong. Kalo robek gimana"" tanyaku.
"Kalau kotor tinggal ganti. kalau robek tinggal ganti. Jaman sekarang manusia berfikir secara praktis", kata Oom Rudi.
"Hebat dong", kataku.
Tetapi ketika ia bertanya tentang Fizzy, aku cepat-cepat mengatakan bahwa Fizzy sudah kawin.
"Kawin"" tanya Oom Rudi.
"Iya. Dengan Mas Narko", kataku.
130 "Alangkah cepatnya", kata Oom Rudi.
Aku duduk menjuntai-juntaikan kaki berayun-ayun untuk menarik perhatiannya. Aku melirik kepadanya, dan bertanya:
"Dan Oom"" "Maksudmu bagaimana"" "Masih bachelor"" tanyaku. "Masih bachelor", katanya. "Pantas awet muda", kataku.
"Di Paris orang tidak memikirkan perkawinan lagi. Dunia modern menganggap perkawinan sebagai hambatan untuk maju. Di Indonesia bagaimana"" tanyanya.
"Di Indonesia sih biasa aje, Oom". kataku. "Bagus", katanya.
"Kukira ketegasannya berbicara mirip-mirip bintang film Luis Jordan yang selalu memegang peranan-peranan Pangeran atau Prince dalam film-film. Ya, memang paman Rudi mirip-mirip Luis Jordan. Bibirnya yang tipis, matanya yang tajam setelah dibukanya kacamatanya itu, dan alis matanya yang tebal hampir bertemu satu dengan yang lain, dagunya yang runcing serta bekas-bekas cukuran jenggotnya yang membiru.
Kenapa dia justru adik ayahku" fikirku dalam hati, kenapa dia bukan orang lain saja misalnya"
Fikiran begitu masih bertarung dalam otakku ketika kami sama-sama bertiga menonton film di Hotel Indonesia, di Bali Room yang sejuk itu.
Pada malam hari, kami bertiga bermain kartu. Oom Rudi memperkenalkan permainan kartu Nominon, yang katanya sedang menjadi mode abad sekarang. Kadang-kadang kami bertiga main kartu nominon sampai jauh malam. Ibu tidur dikamar Fizzy dulu, aku tidur di kamarku, dan Oom Rudi tidur di kamar depan.
Pada saat-saat bermain kartu, kulihat perasaan gembira tertuang bagi kami semuanya. Kadang-kadang jika siang Oom Rudi lama sekali datang aku menjadi gelisah. Buatku, ciuman di kening pada waktu selesai bermain kartu dan juga terhadap ibuku dilakukannYa, menggembirakan hatiku. Kadangkala hingga jauh malam, bekas-bekas bibirnya seraya masih menempel dikeningku, sekalipun hanya di kening.
131 Oom Rudi pandai sekali menciptakan kegembiraan, berlain dari ayahku. Juga kelihatan, semenjak Ia datang, ibuku agak gemuk sedikit serta berseri-seri.
Tetapi kegembiraan itu agak tegang ketika pada suatu malam aku terbangun dan tidurku dan mendapatkan ibuku sedang bertengkar dengan Oom Rudi di ruang tengah. Aku segera membela Oom Rudi.
"Ibu sih nggak menghomati tamu", kataku sewaktu Oom Rudi masuk ke kamarnya dengan kepala menunduk.
Kau diam, Fonnie", kata ibu marah padaku.
"Oom Rudi begitu simpatik, ibu memaki-makinya", kataku.
"Apa kau mendengar ibu memakinya"" tanya ibu.
"Mendengar sih tidak. Tapi suara ibu yang keras menyebabkan saya sampe bangun, bu", kataku.
"Sudahlah. Kau masih kecil. Tidur saja", kata ibu marah-marah. Besoknya, secara se
mbunyi-sembunyi aku bertanya pada Oom Rudi kenapa ibu marah-marah. Oom Rudi berkata, bahwa ibu menyuruh dia kawin dengan keponakan ibu yang sekarang berada di Surabaya.
Aku jadinya mengutuk ibu, yang kuanggap terlalu kolot.
Lama kupandangi matanya di garage itu. Dan aku malu-malu ketika ia memperbaiki rambutku. Tetapi pada suatu sore ketika ibu telah tidur, kami berjumpa kembali di garage setelah duduk dalam mobil dan aku pura-pura mencari korek api mau menghidupkan lilin karena listrik mati.
Ketika korek api diambilnya dari kantong, aku gemetar melihat matanya yang kelihatan menggigil itu. Tiba-tiba tanganku ditangkapnya dari belakang, dan Ieherku diserangnya dengan ciuman. Aku terdiam, terpana tak tahu apa yang kuperbuat dalam suatu pesona penyerahan. Ia kelihatan begitu sabar mencium bibirku hanya sekali saja dan begitu lama, sehingga aku merasa terayun dalam ayunan semangat gadisku.
132 'Tidurlah", katanya.
Aku masih terdiam sejenak seperti masih disihir oleh apa yang telah terjadi. Membawa sebatang lilin, aku kembali ke kamarku.
Tetapi ternyata ia menyertaiku di belakangku.
Ia memagut begitu cepat dari be1akang hingga lilin pun jatuh di lantai kamarku sehingga ruangan menjadi gelap. Dalam kegelapan itu aku terbanting dalam suatu bantingan kobaran yang melonjak-melonjak di dadaku dan kumerintih-rintih membisiki sesuatu.
Aku berbuat seperti menolak tetapi juga menerima, menerima seperti juga menolak. Pada saat-Saat itu dadaku meronta, aku terhempas pada kelupaanku. Tetapi tiba-tiba aku merenggutkan diri sewaktu ia berbuat sesuatu yang menyebabkan bayangan Rini tiba-tiba berdini di depanku, merintih dan menjerit, sehingga aku menjerit sambil memukul kepala Oom Rudi dengan sepatu yang kudapatkan di lantai.
Aku menubruknya sewaktu ia Iari dan memaki-makinya seperti manusia tak sadarkan diri.
Ibu keluar dari kamar dan langsung memaki-makinya: "Terkukutk kau! Kau telah gagal kepadaku, sekarang kau akan berbuat terhadap Fonnie yang masih ingusan! Kau jahanam! Kau tak berbeda dengan suamiku dan rupa-rupanya kalian keturunan anjing! Abangmu telah menyiksa bathinku selama ini dengan nmmelihara gundik di luar
kota.....sekarang kau datang lagi mau merusak rumah kami! Bajingan! Pergi kau dari
rumah kami! Pergi kau ke hotel malam ini juga! Di hotel kau bisa membawa pelacur! Tapi rumah kami rumah keluarga baik-baik, keluarga yang punya iman, kau sama seperti abangmu! Membujuk orang dengan kemewahan! Apakah ini yang kau maksud dengan jaman moderen" Apakah jaman moderen itu berarti nilai-nilai manusia bisa dibeli dengan harta benda" Seperti abangmu membelikan sandal, mantel, lipstick untukku.... yang semuanya telah kuharamkan memakainya"".
Ibu menoleh kepadaku. Ibu mendekati dan memelukku.
133 "Kau tak apa-apa"" tanya ibu menangis mencium Ubun-ubunku. Aku mengangguk menahan tangisku.
"Betulkah kau tak apa-apa, nak"" tanya ibu menciumi lagi Ubun-ubunku. Ibu menoleh lagi kepada Oom Rudi.
"Pergi kau! Jangan injak lagi rumah kami ini selama-lamanya! Tidak ada
perbuatan yang lebih terkutuk di dunia ini selain perbuatan serong.... mengertikah kau"
Sekarang juga kau harus angkat kaki dari rumah ini! Tak ada lagi yang lebih buruk dari kebaikan-kebaikan kami yang hampir kamu nodai!"
Sementara paman Rudi berbenah, ibu menyatakan lagi kegusarannya kepadaku:
"Betulkah kau tak apa-apa. Fonnie""
"Betul, bu. Demi Tuhan, bu."
'Syukurlah. Syukurlah. Satu-satunya milik wanita yang paling berharga adalah kesuciannya. Jika itu telah ternoda, noda itu akan berulang kembali sekalipun kau kelak telah bersuami. Ingatlah hal itu. Ibu terpaksa menyatakan hal ini sekalipun kau belum lagi pantas mendengarnya! Kau janganlah bernasib seperti Fizzy, anakku!"
Ibu memelukku dan membimbingku ke kamar.
Malam itu juga Oom Rudi angkat kaki dan rumah kami tanpa sepatah kata dan tanpa kami restui keberangkatannya. Bahkan ibu menutup dan mengunci pintu beranda sewaktu mobil Fiat 1300 itu telah jauh menghilang suaranya ditelah kesunyian malam hari.
Malam itu ibu tidur bersamaku. Lagi-lagi ibu menanyakan kepadaku, apakah aku tidak apa-apa. Lagi aku dengan menangis menyatakan
bahwa aku tidak apa-apa. "Dunia ini semakin kotor, Fonnie. Kadangkadang ibu menyesal mengapa kita ini kaya dengan uang dan hartabenda, sehingga kebahagiaan hati makin terdesak. Ayahmu sibuk sehari-hari. Kejadian atas Fizzy merupakan pukulan terbesar bagiku sebagai ibu.
134 Antara nikah. Hati kami sudah lama saling hancur menghancurkan. Ayahmu telah kehilangan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai hidupnya telah ditelan oleh kemewahan materi, teman yang begitu banyak tetapi juga sahabat-sahabatnya yang tak bermoral. Kau yang masih suci, Fonnie, carilah sahabat-sahabatmu yang bermoral. Kau masih lama lagi menjalani masa mudamu. Jagalah masa mudamu itu sebaik-baiknya, sekalipun nanti kau sudah dibangku universitas".
Berlain dan biasa, pada malam itu ibu banyak memberikan nasihat-nasihat kepadaku. Barangkali selama ini, hal inilah yang kurang kudapatkan daripada beliau. Kukira ayah dan ibu adalah kunci dan moral anak-anaknya ketika remaja. Baik buruk masa depan remaja seperti kami adalah tanggungjawab sang ayah dan ibu kami. Kini aku tidak bisa menyalahkan Kherman begitu saja, karena ayah dan ibu Kherman - terutama ayahnya - tidak memberikan contoh yang baik! Dan kini, bala itu menimpa diriku! Aku telah tahu apa yang diperbuat ayah selama ini yang telah menjadi beban penderitaan ibuku. Tetapi rupa-rupanya hati ibu terlalu agung untuk menanggungnya sendiri, tanpa membagi penderitaan itu kepada kami.
Sekarang aku merasa ikut menanggung beban ibu. Pada han pembagian ijazah, aku pergi ke sekolah. Beban itu masih menyenak di otakku. Kawan-kawanku mengatakan aku agak kurus dan murung sekali. Aku menyahuti mereka dengan senyuman hambar pada bibirku.
Selembar ijazah di tanganku kini. Aku masih terdiam diantara teman-temanku yang bergembira dan bersorak-sorei. Di depanku terbayang bangku universitas menunggu kedatanganku. Namun, hatiku tetap hambar. Tiba-tiba, di bawah lonceng sekolah, kulihat Tigor berdiri memperhatikanku. Ia membuang muka setelah ia tahu aku mengetahui dia melihat padaku. Tetapi rupa-rupanya Tigor juga gelisah.
Sekali-sekali Ia melirik kepadaku. Mungkin ada yang difikirkannya. Tiba-tiba, kelihatan sekali ia memberanikan diri mendatangiku.
"Angka-angka ijazahmu baik"" tanya Tigor.
"Baik", kataku, "Dan kau""
135 "Baik", katanya.
Ia kelihatan bertambah gelisah. Seperti ada sesuatu yang mau ditanyakannya.
"Mau kau pulang bersama-samaku nanti"" tanya Tigor.
"Aku mau pulang sekarang", kataku.
"Kawan-kawan merencanakan piknik", kata Tigor.
"Aku tak pergi barangkali", tanyaku.
"Kau mau pulang sekarang"" tanya Tigor.
"Ya. Sekarang", kataku.
"Boleh aku ikut"" tanyanya. "Boleh saja", kataku. Siang hari yang terik itu kami berdua pulang, bersepeda bersama-sama.
"Ada yang kau fikirkan"", tanya Tigor. "Tidak", kataku.
"Kau murung", katanya. "Ah ndak", kataku sambil tersenyum. Tigor juga tersenyum.
"Ada kau terima"" tanya Tigor. "Terima apa"" tanyaku. "Ucapan selamat dariku. Kumasukkan via pos", katanya.
"Selamat apa"" tanya Tigor. "Jadi belum kau terima"" tanya Tigor. "Belum. Apa sih"" tanyaku. "Sebuah sajak bagi ulang tahunmu.
Bukankah tiga hari yang lalu kau berulangtahun"" tanya Tigor kemudian.
Aku mengerem sepedaku. Kucoba tersenyum.
"Oh ya", kataku.
Kukayuh pedal sepedaku lagi.
136 "Terimakasih", kataku.
"Jadi belum kamu terima"" kata Tigor lagi.
"Biarpun belum, terimakasih. Ada yang ingat hari ulangtahunku yang ketujuh
belas." "Kemana kau melanjutkan pelajaran"" tanya Tigor.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Tigor itu. Tapi kujawab: "Entah ya"".
"Aku mungkin tidak ke universitas. Mungkin ke akademi kejuruan", kata Tigor, "Selain tidak mampu, juga Indonesia sudah terlalu banyak sarjana-sarjana umum. Indonesia memerlukan ahli-ahli kejuruan. Kau akan melanjutkan ke universitas"" tanya Tigor mendesak.
Aku menoleh kepadanya. Aku tersenyum.
"Aku belum tahu", kataku.
Badai Badai Puber Karya Motinggo Busye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang belum tahu", kataku.
Dan memang aku belum tahu. Ini baru kusadari sekarang, ketika ditanganku kupegang segulungan ijazah SMA. Memang aku dan Tigor berbeda. Sambil bersekolah Tigor selama ini telah berfikir hidup yang bagaimana yang akan diterjuninya di depannya. B
ahkan Indonesia yang bagaimana yang harus dipunyai oleh generasi kami di depan, sudah terbayang oleh Tigor dan sekarang ini. Apakah ayahku, dan ayah-ayah yang lain, pernah juga membayangkan bagaimana Indonesia bagi anak-anak mereka di depan ini" Aku terlalu enak selama ini Aku hidup tanpa kesulitan, seperti hidup yang disuapi saja.
Sesampainya di rumah, di atas meja kamarku sudah ada sepucuk surat dalam amplop. Ketika kubuka, isinya hanya empat baris puisi:
Selamat ulangtahun, kawanku yang baik
Selamat menginjak usia tujuh belas
137 Ingatlah kawan, matahari semakin naik Semoga haridepanmu tidak terhempas.
Biarpun hanya sekelumit sajah tetapi buatku sajak ini sangat berarti. Tidak, aku tidak gampang goyang lagi serta menganggap ada sesuatu yang istimewa yang ada di hati Tigor. Mungkin dulu ataupun kini Tigor menaruh sesuatu perasaan tersimpan di hatinya. Tetapi besok lusa Tigor akan memasuki kehidupan baru, seperti halnya diriku sendiri, besok lusa akan melangkah pada usia delapan belas, sembilan belas dan selanjutnya. Kami pernah berjumpa di sekolah, mungkin juga antara kami pernah terjalin kemesraan jiwa yang nanti akan berganti. Berganti lebih.dewasa.
Semua ini akan berganti, karena matahari akan semakin naik. Jika harapan Tigor cukup tulus, aku sendiri pun berharap, masa depanku tidak terhempas pada hari-hari yang akan datang
Tiba-tiba fikiran dan angan-anganku terganggu sesaat mendengar suara ibu. "Kau lulus, Fonnie""
"Lulus", kataku.
Ibu tiba-tiba memelukku dengan sangat erat. Ia terharu sekali tampaknya serta menitikkan airmata kegembiraan.
"Tidak percuma kami menyekolahkanmu, Fonnie", katanya. Dipeluknya diriku lagi. Dipeluknya diriku lagi. Hingga aku menangis di bawah buah dadanya, tempat dahulu aku menyusu kepadanya.
tamat Pusaka Negeri Tayli 1 Animorphs - 4 Terjebak Di Dasar Samudera Pedang Golok Yang Menggetarkan 8