Pencarian

Badminton Freak 1

Badminton Freak Karya Stephanie Zen Bagian 1


Badminton Freak! Stephanie Zen Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
Prolog 1996 "IYA terus! Terus, Ricky! Smash, Ricky!"
"Smash, Rexy, smash!. Aaarggghhh... dia netting! Balas, balas! Halus aja, pelan-pelan!"
Diam sejenak... Tegang...
" YESSS! NYANGKUT! HOREEEE!"
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat kegirangan sambil berpegangan tangan. aku mendongak sedikit dari rumah Barbie-ku, penasaran apa yang membuat mereka begitu histeris. "Ada apa sih, Tante""
"Eh, Aya, sini, sini... Ikutan nonton sama Tante!" Tante Sissy melambai memanggilku. Aku
melangkah mendekat. Dari tadi kedua tanteku ini ribut saja. Kayaknya yang mereka tonton seru banget...
"Ini acara apa""
"Ini namanya Olimpiade. Sekarang..."
"Olimpiade itu apa"" potongku sebelum Tante Wenny selesai menjelaskan. Kata itu terdengar
asing di telingaku. "Olimpiade itu pesta olahraga dunia, diadakannya empat tahun sekali. Semua cabang olahraga
dilombakan di sini, dan atlet-atlet dari seluruh penjuru dunia berlomba untuk jadi yang terbaik di ajang ini," jelas Tante Wenny sabar.
"Indonesia ikutan nggak"" Aku mulai tertarik.
"Tuh, Indonesia lagi main. Ini sudah final nih. Dan olahraga ini namanya bulutangkis..."
Bulutangkis" "Nah, kamu lihat pemain Indonesia yang itu deh, yang ganteng itu, Itu dulu mantan pacar Tante Sissy," bisik Tante Sissy sambil tertawa geli.
Aku terpesona. "Oh ya" Hebat banget mantan pacar Tante Sissy bisa masuk TV!"
"Eh, jangan dengerin dia, Aya!" Tante Wenny langsung nggak terima. "Itu mantan pacar Tante Wenny!"
Aku bingung. Lho, jadi sebenernya mantan pacar siapa"
"Yang mana sih, Tante""
"Ini nih, yang iniiii..." Kedua tanteku bangun dari sofa dan menyentoh monitor TV secara
bersamaan. "Namanya siapa"" tanyaku lagi, masih terheran-heran,
"Ricky Subagdja!" lagi-lagi mereka menjawab bersamaan, dan kali ini dengan wajah terpesona.
Aku melihat sosok di TV yang tadi ditunjuk kedua tanteku itu. Wow, ganteng! Tapi itu berarti... kedua tanteku hanya ngibul itu mantan pacar mereka. Nggak mungkinlah Tante Wenny dan Tante Sissy punya mantan pacar seganteng itu, bisa muncul di TV pula! Hehehe...
Aku sudah hampir bertanya lagi, tapi tampang kedua tanteku ternyata sudah berubah tegang kembali. Tatapan mereka terpaku ke layar TV, sama sekali nggak berkedip. Aku jadi penasaran. Nonton juga, ah!
"Smash, smash! YESSS! Pengembaliannya out!!!"
Tante Sissy dan Tante Wenny berpelukan dengan heboh. Oh, sudah menang ya berarti" "Ini udah menang ya, Tante""
"Belum, belum... ini masih pindah bola, Aya. Habis ini..." "Pindah bola itu apa""
"Pindah bola itu berarti sekarang kesempatannya Indonesia untuk dapat angka. Tadi kan
masih bolanya Malaysia, jadi kalau Indonesia berhasil memasukkan bola atau pengembaliannya Malaysia out, Indonesia masih belum dapat angka. Mereka baru dapat angka kalau bola itu milik mereka," jelas Tante Sissy. "Ohh... gitu."
"Tuh, tuh udah mulai! Ayo menang, menaaaangggg!" Tante Wenny komat-kamit seperti orang baca mantra. Aku menoleh untuk mencari tahu ekspresi Tante Sissy, dan ternyata sama!
Aku beralih menatap TV, dan tanpa sadar nggak berkedip juga. Wow, bulutangkis keren banget! Seru! Aku nggak pernah melihat yang seperti ini!
"Smash, smash... SMAAASSSHHH!" Tante Sissy sekarang sudah bangun dari sofa saking tegangnya.
Aku juga jadi deg-degan. Seru banget nih!
Dan beberapa detik kemudian...
"HOREEEEEEE! KITA DAPAT EMAS! KITA DAPAT EMAS!!!" Tante Wenny dan Tante
Sissy melompat-lompat di hadapanku sambil berpegangan tangan, seolah mereka baru menang lotre. Dan aku, karena tadi ikut tegang, sekarang jadi ikut melompat-lompat juga. Wah keren! Indonesia meraih medali emas di Olimpiade!
Di layar TV, Ricky dan Rexy berpelukan dengan pelatih mereka, sampai berguling-gulingan di lantai. Pasti mereka bahagia banget!
"Tuh, Aya, seru banget kan tadi"" tanya Tante Sissy setelah ia dan Tante Wenny berhenti melompat-lompat. Mereka masih ngos-ngosan, tapi senyum mereka mengembang lebar. Keadaanku nggak jauh beda.
"Nih, lihat nih, habis ini lagu Indonesia Raya bakal dikumandangkan, dan bendera Merah Putih bakal dikibarkan
paling tinggi. Aduuuhhh kerenyaaa..."
Aku manggut-manggut saja, berusaha menyerap informasti itu. Oh, ternyata kalau Indonesia menang, lagu Indonesia Raya bakal dikumandangkan dan bendera Merah Putih bakal dikibarkan
paling tinggi... Aku menunggu momen itu terjadi. Dan itu dia... dua atlet bulutangkis Indonesia yang tadi, Ricky Subadgja dan Rexy Mainaky, naik ke podium, menerima medali emas dan bunga, lalu lagu Indonesia Raya dikumandangkan, dan bendera Merah Putih dikerek naik paling tinggi, di atas bnedera Malaysia dan satu lagi bendera Indonesia (oh, ternyata yang juara tiga juga pemain Indonesia. Hebat!). Ricky dan Rexy kelihatannya hampir menangis.
Tante Wenny dan Tante Sissy juga.
Dan... ternyata aku juga. Seluruh tubuhku serasa berdesir, dan bulu-bulu di tanganku berdiri semua. Ini aneh. Aku sering upacara bendera di sekolah, melihat bendera Merah Putih dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya, tapi aku nggak pernah merasa seperti ini.
Ini... berbeda. Ini pertama kalinya aku begitu bangga jadi orang Indonesia.
Dan saat itu, aku berjanji dalam hati, aku akan melakukan hal yang sama seperti Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky.
Di usia enam tahun, aku memutuskan: aku akan jadi atlet bulutangkis.
Aku, Fraya Aloysa Iskandar 2008
"FRAY! Heeiii... Fraya!"
Aku menoleh. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara cempreng itu. Benar saja, Adisty berlari-lari menghampiriku, sambil membawa segepok kertas, dari seberang lapangan.
"Sabar, Buuu...," godaku menirukan gaya Indra Bekti, ketika Adisty berhenti di depanku, terengah-engah sambil memegangi lututnya.
"Lo sih, jalannya cepet banget!" Adisty mengomel.
"Hehe, ya maap. Lo lihat sendiri kan, lapangan panas terik begini. Masa gue mau melintas pelan-pelan" Yang ada gue udah jadi orang Afrika kalau sampai di seberang."
Aku nggak mengada-ada (atau istilah kerennya sekarang: lebay), lapangan basket sekolahku siang ini memang gila-gilaan panasnya. Kalau kamu berusaha memandang ke seberang lapangan saja, pandanganmu seperti bergoyang, karena terganggu uap panas yang keluar dari lapisan semen lapangan.
"Ya udah, ada apa"" tanyaku akhirnya. Nggak mungkin Adisty mengejar-ngejar ku begini kalau nggak ada maunya.
"Nih, lembar pilihan ekskul buat tahun ajaran ini." Adisty menyodorkan selembar kertas dari
segepok yang digenggamnya.
Oh iya, dia kan ketua kelas, ya" Dia yang ketiban tugas mengumpulkan formulir pilihan ekskul di kelas kami. Aku lupa...
"Lo mau ikut apaan""
Aku menatap Adisty dengan intens, sampai dia menatapku balik dan akhirnya menghela napas.
"Oke, oke, gua salah... harusnya gue nggak nanya. Bulutangkis, kan"" tanya Adisty. "He-eh."
Adisty mengeluarkan bolpoin dari saku seragamnya, dan di formulir bernama Fraya Aloysa Iskandar dia menulis dengan huruf cetak dan tulisan segede gaban: BULUTANGKIS.
"Cinta banget lo sama yang satu ini. Cinta mana sama ke Albert"" todong Adisty.
Aku menatapnya dengan jenis tatapan yang tadi lagi, dan kali ini Adisty geleng-geleng. Albert itu pacarku. Pacar keduaku lebih tepatnya, karena pacar pertamaku adalah bulutangkis.
"Yeah, retorik, harusnya gue nggak nanya," kata Adisty sambil nyengir. "Ya udah, lo temenin gue dong nyariin anak-anak yang lain. Formulir ini harus gue kumpulin ke Pak Rasyid setelah jam istirahat nih, Anak-anak udah pada ngabur semua!"
"Hah" Habis jam istirahat" Cepet amat... Mana keburu, Dis" Tega banget Pak Rasyid."
Adisty cengengesan. Aku langsung menyadari, pasti ada sesuatu yang nggak benar.
"Nggg... sebenernya Pak Rasyid udah nitipin ini ke gue dari tadi pagi sih, tapi,,, you know, siapa sih yang nggak jadi amnesia dadakan kalau jam pelajaran pertama langsung Bu Irma" Gue baru ingat lagi tadi pas tengah-tengah istirahat. Alhasil, gue menghabiskan waktu istirahat gue dengan ngejar anak kelas kita one by one buat ngisi formulir ini."
Adisty memasang tampang memelas, Hmm, can't blame her, karena Bu Irma, guru fisika kami, memang galaknya naujubile! Dan setiap kali jam pelajarannya, entah bagaimana caranya, dia berhasil membuat kami melupakan segala hal di luar sana. Semua, kecuali rumus-rumus fisikanya! Jadi yah.
.. wajar saja kalau Adisty bisa lupa hal "sepele' macam formulir pilihan ekskul untuk anak-anak sekelas. Boro-boro formulir pilihan ekskul, kalau aku kena Bu Irma, Albert pun terlupakan kok, hehe...
"Ya udah, sini bagi gue separo." Aku menyodorkan tangan, dan mata Adisty langsung
berbinar. "Tengkyuuu, Fraya! You're my angel!"
"Bleh, kalau ada maunya aja, baru deh ngerayu!" Aku meleletkan lidah.
Adisty membagi setengah gepok formulir itu padaku, lalu langsung melesat pergi lagi. Aku menatap formulir paling atas dalam genggamanku. Di situ tertulis Darius Albert Nugroho. Yeah, kalau dia sih nggak perlu ditanya mau ikut ekskul apa.
Aku mengambil bolpoin dari dalam orgy-ku, dan menuliskan BASKET besar-besar di kolom pilihan ekskul milik Albert.
Aku suka bulutangkis. Mmm... ralat, aku CINTA bulutangkis.
Sejak melihat Ricky Subagdja dan Rexy Mainaky meraih medali emas di Olimpiade Atlanta 1996, dan terkontaminasi kehebohan tante-tanteku kala itu, aku jatuh cinta pada bulutangkis. Sampai-sampai di usia enam tahun aku memutuskan ingin jadi atlet bulutangkis.
Hebatnya, waktu itu aku sama sekali nggak memikirkan bahwa jadi atlet bulutangkis bakal sering ikut turnamen di luar negeri (yang berarti bisa keliling dunia gratis), bakal terkenal, atau bisa dapat hadiah ribuan dolar kalau menang kejuaraan. Yang ada di pikiranku saat itu cuma satu: kepingin bendera negeriku dikibarkan di negara lain, dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, karena prestasi yang kuraih.
Hell, I'm only six that time, dan keinginan sederhana seorang anak kecil ternyata bisa jadi sangat mulia di saat yang sama.
Tapi sekarang, di usia delapan belas, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa cita-citaku nggak terwujud.
Alasannya sederhana, sekaligus krusial: izin ortu.
Waktu aku berniat masuk klub bulutangkis di dekat rumah saat usia sepuluh tahun, Mama menolak mentah-mentah. Aku nggak tahu apa alasan Mama waktu itu. Yang aku tahu cuma Mama nggak mengizinkanku. Dan gimana aku bisa melawan" Aku nggak bisa. Dan nggak boleh. Rasanya mustahil mewujudkan cita-cita kalau tanpa restu ortu, kan" Plus, siapa yang bakal membiayaiku masuk klub kalau ortuku menentang"
Papa sih netral-netral aja, tapi karena aku tetap nggak berhasil mengantongi izin dari Mama, akhirnya cita-citaku terkubur gitu aja.
Tapi itu nggak berarti aku melupakan bulutangkis. Not at all.
Kalau menerima kata-kata Freddie Highmore di August Rush I love badminton, more than food (sebenarnya Freedie bilang "I love music, more than food, tapi ya... kuplesetkan sedikit, hehe...).
Aku tetap cinta bulutangkis, menonton setiap turnamen yang ditayangkan di TV tanpa berkedip, dan jadi paling histeris kalau ada pemain Indonesia yang menang. Aku bahkan mengikhlaskan sebagian uang jajanku terpotong setiap bulan, demi membayar iuran TV kabel yang dipasang di rumah karena rengekanku, hanya supaya aku bisa tetap menonton turnamen-turnamen bulutangkis di TV (TV Indonesia mana ada yang nayangin" Mereka lebih suka sinetron, pertandingan tinju, dan sepak bola yang menghiasi jam tayang mereka, huh!). Sayang, sekarang aku cuma bisa heboh sendirian saat nonton bulutangkis, karena Tante Wenny dan Tante Sissy sudah nggak tinggal di rumahku lagi. Mereka sudah married, punya anak, dan punya rumah sendiri. Dan kecintaan mereka pada bulutangkisjuga meluntur sering bertambahnya usia.
Hmm... itu sih alasan mereka, tapi aku yakin fanatisme mereka memudar karena Ricky Subagdja sudah pensiun! Hehehe... Plus, dia sudah menikah dengan Elsa Manora Nasution.
Well, mereka udah cerai sih sekarang, tapi... Lho" kok jadi ngomongin itu ya" Pokoknya menurutku, Tante Wenny dan Tante Sissy nggak lagi heboh pada bulutangkis karena nggak ada lagi Ricky Subagdja. Danjelas mereka nggak ngefans Taufik Hidayat.
Akhirnya, tersisalah aku, yang walaupun sempat "berselingkuh" dengan pindah aliran nge-fans pada The Moffatts, Westlife, bahkan F4 (!!!), ujung-ujungnya aku balik lagi ke bulutangkis.
Untungnya, ketika masuk SMA, aku nekat ikut ekskul bulutangkis, dan Mama sama sekali nggak menentang. Mungkin karena beliau menganggap itu bagian dari pelajaran sekolah
, atau mungkin beliau yakin kesempatanku jadi atlet sudah tertutup karena aku sudah terlalu tua untuk itu, I dunno. Yang pasti, aku senang banget karena masih bisa main bulutangkis.
Tapi yah... memang kesempatanku untuk jadi seperti Ricky Subagdja dan Rexy sudah tertutup, jadi lebih baik kunikmati saja hidupku yang sekarang.
"Kamu ikut bulutangkis lagi, ya"" tanya Albert begitu aku masuk ke mobilnya.
Aku mengangkat alis dan menatapnya. Heran, kami sudah pacaran sejak kelas 10, dan dia masih menanyakan hal itu" Bukannya udahjelas, ya" "Kamu ikut basket lagi, ya"" tanyaku balik.
Kayaknya Albert menyadari konsep balas-pertanyaan-dengan-pertanyaan yang kusodorkan dengan baik, karena ia langsung diam.
Tapi itu nggak lama, karena ternyata dia menyambung lagi, "Kenapa sih, kamu nggak mau ikut cheerleader aja, Ya""
Aku, yang sedang minum dari botol minumku, langsung tersedak. Air menumpahi bagian depan baju seragamku, dan sedikit menciprati dasbor mobil Albert.
" Wh... WHAT" Cheers" Nope. Kamu kan tahu, aku nggak suka."
"Tapi cheers bagus untuk melatih keseimbangan tubuh, Dan kamu kan jadi bisa menyemangati aku kalau aku ada pertandingan."
"I do support you, Al, But pom-pom-less, you know" Aku jadi sedikit kesal. Memangnya Albert kira aku nggak mendukungnya, ya" Aku selalu nonton setiap kali dia ada pertandingan, dan mendukungnya dari pinggir lapangan. Aku hanya nggak suka melakukannya sambil mengenakan kostum cheerleaders dan bawa-bawa pom-pom.
Jangan salah, aku menghargai cheerleaders. Memang sih, konsepnya terkesan agak dipaksakan sejak demam Bring It On melanda Indonesia, tapi itu tetap bidang yang positif, kan" Dan membuat pilihan ekskul di sekolah-sekolah jadi makin variatif.
"Fraya... c'mon, you know what I mean. Aku kapten basket, dan kamu bisa jadi kapten cheers. Kedengerannya bakal cocok banget, kan""
"Memangnya Cynthia mau dikemanain"" Aku menyebutkan nama kapten cheers sekolah kami sambil mencibir. "Kamu kira dia bakal rela kalau aku kucluk-kucluk masuk cheers dan merebut jabatannya" Nggak lah, Al."
"Ya kamu nggak begitu masuk langsung jadi kapten dong, Ya... Pelan-pelan, bertahap, Aku yakin kamu pasti bakal lebih bagus daripada Cynthia, dan anggota-anggota yang lain bakal milih kamu jadi kapten mereka."
Aku diam. Bukan cuma sekali ini Albert berusaha membujukku untuk masuk cheers. Awal-awalnya aku selalu menanggapinya sambil tertawa, tapi lama-lama aku jadi kesal juga. Bayangin aja, kamu dipaksa-paksa untuk meninggalkan bidang yang kamu cintai sejak kecil untuk masuk ke dunia baru yang kamu nggak suka. Pasti nyebelin banget, kan"
"Aya, kamu marah, ya" Ayolah... jangan gitu. Maksudku kan baik...." Albert kelihatannya sadar aku nggak suka sama topik pembicaraannya.
Aku masih tetap diam. Biar aja aku ngambek sedikit. Albert nyebelin sih!
"Yah, marah..." Albert mengembuskan napas keras-keras, campuran antara bingung dan kesal, "Aku minta maaf deh... tapi, Ya, sekali-sekali aku minta kamu melihat dari sudut pandang aku. Aku sering iri sama Rifat. Setiap kali tanding, dia selalu disemangatin Cynthia dengan cheers-nya. Kamu tahu nggak, sejak Rifat jadian sama Cynthia,. permainannya makin bagus, poin yang dia cetak makin banyak. Itu karena dia tahu ada pacarnya yang nyemangatin dia di pinggir lapangan. Coach Wondo aja bilang, Rifat sekarang makin bagus. Bukannya aku takut suatu hari Rifat bakal menggeser posisiku sebagai kapten, tapi..."
"Ya, kalau gitu, kamu pacarin aja Cynthia. Atau siapa pun anak cheers lainnya, terserah."
Aku turun dari mobil Albert, dan dengan hati kesal berjalan menuju kelas. Untung aja tadi waktu Albert ngomong begitu, mobilnya sudah berhenti di parkiran sekolah kami. Kalau nggak, bakal nggak asyik banget aku ngambek sambil berusaha nyetop angkot untuk ke sekolah!
"Ada apa, Buuu, pagi-pagi udah bete"" tanya Adisty saat melihatku.
Aku nggak menjawab, hanya memberi isyarat dengan daguku pada Albert yang berjalan memasuki kelas di belakangku. Sejak turun dari mobil, Albert nggak berusaha mengajakku bicara lagi. Mungkin dia juga lagi kesal, sebodo amat. Lagian, ada bagusnya nggak saling bicara dulu kal
au kepala kami sama-sama masih panas.
"Albert"" tanya Adisly lagi. Aku mengangguk.
Adisty menunggu Albert keluar kelas lagi (Albert memang biasa begitu, pagi-pagi datang hanya taruh tas di kelas, lalu cabut ke lapangan basket sampai bel berbunyi), kemudian Adisty membombardirku dengan rentetan pertanyaan.
"Kenapa"" Adisty menyenggol lenganku dengan lengannya.
"Dia maksa gue masuk cheers lagi."
"Lagi"" Adisty melengos. "Ya ampun! Kenapa sih tu anak""
Aku mengangkat bahu. "Gue bete banget, Dis. Gue nggak ngerti. Emang salah ya, kalau gue
lebih suka bulutangkis dibanding cheers". Dan lagi, gue sama Albert itu bukannya baru satu-dua minggu pacaran, tapi udah dua tahun. Harusnya dia tahu dong apa yang gue suka dan nggak suka" Gue capek dipaksa-paksa gini terus."
"Yah, dia kan emang keras kepala," Adisty manggut-manggut. Sebagai sahabatku sejak SMP, Adisty tahu banget aku nggak mungkin memilih cheers kalau ada pilihan bulutangkis sebagai ekskul di sekolah ini. Bulutangkis itu bukan cuma hobi buatku, tapi seperti... hasrat. Impian. Obsesi. Gimana ya... aku juga bingung ngejelasinnya.
"Sayang banget ya, Fray, lo nggak jadi atlet. Padahal kan main lo bagus banget..."
Aku tersenyum kecut. Banyak orang menyebut permainanku bagus. Aku bisa mengembalikan bola-bola yang sulit, bisa netting dengan halus, punya fisik yang kuat untuk bermain tiga set, dan defense-ku saat menghadapi serangan lawan pun kokoh.
Tapi itu saja nggak bisa membuatku jadi atlet, kan" Ada ribuan remaja seusiaku di Indonesia ini yang mungkin memiliki ambisi yang sama. Dan mayoritas di antara mereka juga memiliki kelebihan yang tak kupunya: pengalaman bertanding, dan pembinaan sejak kecil.
Aku pernah baca di koran, mayoritas atlet bulutangkis top Indonesia masuk klub sejak usia sepuluh tahun. Sejak itu, mereka terus berlatih keras setiap hari. Bahkan banyak yang setelah lulus SMP terpaksa meneruskan pendidikannya di Pelatnas, agar bisa konsentrasi di bulutangkis. Lihat kan, itu bukan perjuangan beberapa bulan doang. Butuh proses bertahun-tahun. Dan banyak banget pengorbanan, mulai dari pendidikan, masa hura-hura remaja yang ungkin harus ditaruh di urutan ke sekian, sampai harus mandiri dan tinggal jauh dari ortu. Dulu waktu kecil
aku nggak memikirkan semua itu. Aku hanya punya tekad dan impian. Sekarang, setelah remaja, aku tahu nggak semua segampang yang aku bayangkan. Nggak semua cita-cita bisa terwujud.
Termasuk di dalamnya, aku harus bisa menerima bahwa cowokku lebih suka aku bergabung dengan tim cheers daripada main bulutangkis. Nasiiibb!
Rupanya kekesalanku pada Albert masih berlanjut hingga sore harinya.
Hari ini hari pertama ekskulku di tahun ajaran baru. Sebagian besar sparring partner bulutangkisku saat kelas 11 ternyata juga masih mengambil ekskul ini. Dan setelah sesi
game yang mudah. Semuanya
membawa kemenangan straight set buatku.
Aku heran kenapa bisa bertenaga kuda sore ini. But I guess, itu karena aku membayangkan setiap shuttle cock yang mengarah ke arahku sebagai samsak tempat pelampiasan kekesalanku pada Albert. Aku langsung memukulnya tanpa ampun. Dan hasilnya, smash tajam yang nyaris nggak bisa dikembalikan lawanku. Kalaupun bisa, pengembaliannya nggak sempurna, sehingga menyangkut di net.
"Gila lo, Fray! Habis makan apa lo tadi"" Charles, salah satu temanku yang baru kukalahkan,
menatapku sambil ngos-ngosan. Keringat masih membanjir di dahinya.
"Batagor. Emang kenapa"" tanyaku tanpa dosa. Memang itu yang kuamakan sepulang sekolah tadi, satu jam sebelum ekskul hari ini mulai.
"Dikasih energy booster kali ya sama abang batagornya"" Charles ngedumel. Aku nyengir.
"Iya, tahu nih, Fraya hari ini kayak kesetanan," Wilson menyambung. Dia yang kukalahkan pertama tadi. Eh, jangan kaget, aku aku memang biasa main lawan anak cowok. Bukannya apa-apa, tapi kadang temen-temenku yang sesama cewek suka malas ngejar bola. Nggak seru jadinya. Lagian, banyak dari mereka yang lebih suka nitip absen doang pas ekskul, lalu langsung ngacir untuk nongkrong di warung jus depan sekolah.
"Udah deh, Raket, kalau kalah ngaku aja," aku menggoda Wilson. Dia memang sering
k et terkenal, hihihi... "Son, takdir lo emang bukan main bulutangkis, tapi tenis! Jelas aja lo kalah mulu sama Fraya," Sharleen menyambung celaanku. Memang sih, merek raket Wilson adalah merek raket
untuk tenis. Adajuga yang untuk bulutangkis, tapi dikit banget. Kalah pamor dibanding Yonex.
Wilson langsung mengkeret mendengar ejekan Sharleen. Tapi sedetik kemudian ia tertawa juga, karena seisi sports hall tempat kami berlatihjuga tertawa.
"Fraya, tolong ke sini sebentar."
Aku menoleh, dan melihat Pak Richard, pelatihku, melambaikan tangan. Aku mengangguk, meletakkan botol minumku kembali ke dalam tas, lalu berjalan menghampirinya. "Ada apa, Pak"" tanyaku setelah sampai di depan Pak Richard. "Kamu ada masalah"" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Aku menelan ludah. Dari mana Pak Richard bisa tahu" "Kok Bapak nanya gitu""
"Kamu tadi mainnya sama sekali nggak konsen."
Aku melongo. Nggak konsen gimana" Aku baru saja mengalahkan tiga sparring partnerku, dan dua di antaranya cowok! Semuanya dengan straight set, dua game langsung! "Tapi, Pak, saya tadi kan..."
"Ya, kamu mengalahkan Wilson, Sharleen, dan Charles, tapi kamu tahu sendiri, mereka itu memang bukan tandingan kamu. Dan permainanmu kacau, Fraya..."
Kacau..." "Bapak perhatikan, kamu seperti emosi waktu bermain tadi, Ada bola tinggi sedikit, kamu bawaannya selalu kepingin men-smash..."
"Tapi bukannya memang seharusnya gitu ya, Pak"" Aku mulai kesal sendiri. "Kita harus mematikan bola begitu ada kesempatan, kan" Itu yang saya lakukan tadi, menyambar setiap kesempatan yang ada..."
"Tapi kalau kamu main sambar begitu terus, seandainya terjadi rubber set, staminamu bakal drop, kan""
Aku terdiam. Memang untuk pemain cewek, apalagi pemain tunggal seperti aku, stamina sangat penting. Pemain tunggal putri umumnya jarak melakukan smash, untuk menghemat tenaga. Sebagian besar hanya mengandalkan drop-shot tajam, atau penempatan bola yang akurat melalui tipuan yang tak disangka lawan, bukan smash-smash keras.
"Pak, saya tadi bukan hanya main dua set, tapi dua kali tiga. Saya main enam set, Pak...," aku semakin ngotot. Gimana sih Pak Richard ini, aku merasa sedang bagus-bagusnya, kok dia bilang permainanku kacau""
"Ya, Bapak tahu. Tapi kamu tidak bisa melihat permainanmu sendiri, kan" Orang lain yang melihat."
Aku berdiri kaku, memainkan senar raket yang kupegang dengan gelisah. Ini raket Yonex ArcSaber kesayanganku, yang harganya naujubile, dan kubeli dengan susah payah karena harus menghemat uang jajanku selama tiga bulan. Biasanya raket ini selalu kupegang dengan sayang, seperti seorang violis menyentuh lembut biolanya, tapi kali ini aku meremasnya kuat-kuat.
"Bapak bisa maklum kalau kamu ada masalah, Fraya, tapi lain kali usahakan untuk nggak membawa masalah ke lapangan, ya" Permainanmu akanjadi kacau."
Dan Pak Richard berlalu pergi sambil membawa clipboard-nya, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk."
Pulang sekolah, aku mendapati ada Tante Wenny di rumah, plus dua bontotnya alias para sepupuku, Adel dan Alex. Ternyata, hari ini Tante Wenny cuti dari bank tempatnya bekerja, karena ia mengantar Adel ikut audisi Idola Cilik!
"Adel lolos audisinya, Tante"" tanyaku.
Tante Wenny menggeleng lesu. "Saingannya berat-berat, Aya, Semuanya hebat, Ada temen les Adel di Gita Nada, namanya Lisa, yang juga ikut audisi tadi. Dia biasanya selalu juara satu kalau lomba nyanyi, tapi tadi dia aja nggak lolos..."
Aku manggut-manggut. Adel memang dileskan piano dan vokal di Gita Nada, salah satu lembaga kursus musik yang cukup terkenal. Alex juga, tapi karena dia masih berumur lima tahun, nyanyinya masih nggak jelas. Tapi Adel suaranya bagus, tinggi dan jernih, kayak suara Gita Gutawa. Well, yang suara kayak dia aja nggak lolos, ya"
"Susah ya, kalau ikut audisi gini" Sering juara lomba juga nggak menjamin. Banyak banget yang berbakat... Tapi nggak papa, niat Tante cuma kepingin cari pengalaman buat Adel kok."
"Kenapa Adel nggak dilesin bulutangkis aja, Tante"" celetukku tiba-tiba,
Tante Wenny melongo selama beberapa detik, lalu mengibaskan tangannya.
"Nggaklah, Aya. Tante kepinginnya Adel sama Al
ex jadi pianis terkenal. Kalau bisa, jadi penyanyi sekaligus. Kalau les bulutangkis, nanti mereka malah banyakan capeknya, dan jadi malas belajar. Lagian, kamu tahu kan, mereka fisiknya nggak kuat..."
Aku melihat Adel dan Alex yang lagi rebutan remote TV dengan Lionel, adik bungsuku. Beda dengan aku dan sepupu-sepupu yang lain, dua anak Tante Wenny ini memang kurus. Dari kecil mereka sulit makan, dan daya tahan tubuhnya lemah (yang mengakibatkan mereka gampang sakit, apalagi kalau kecapekan). Sekarang sudah mendingan, tapi aku tetap bisa mengerti alasan Tante Wenny. Nggak semua orang punya badan badak tahan banting kayak aku.
"Lagi pula, seandainya mereka masuk klub bulutangkis, Tante kuatir nanti mereka malah kepingin jadi atlet. Jadi atlet di Indonesia sekarang belum bisa jadi pegangan hidup."
Aku melongo. "Siapa bilang" Sekali menang kejuaraan, mereka bisa dapat ribuan US dolar!"
Tante Wenny tertawa hambar. "Itu kan kalau mereka jadi atlet-atlet yang bagus, yang juara, Gimana kalau mereka jadi atlet yang biasa-biasa aja" Yang melempem" Dilirik sama Pelatnas aja udah bagus..."
Aku menelan ludah. Dalam hati, aku agak nggak setuju. Kalau mau jadi atlet, seharusnya bermental juara. Punya mimpi, tekad. Jangan belum apa-apa udah mundur teratur begini! Aku dulu mundur bukan karena kemauanku sendiri, tapi karena aku memang nggak mau jadi anak durhaka, yang ngelawan Mama karena nggak diizinkan masuk klub bulutangkis. Nggak lucu kalau aku dikutuk jadi batu sambil pegang raket. Salah-salah, nanti malah dipajang di Istora Senayan.
"Tapi dulu Tante ngefans Ricky Subagdja..." Otakku mulai kehilangan orientasi pembicaraan, dan jadi ngawur.
Kali ini Tante Wenny tertawa geli. "Itu dulu, Aya, dua belas tahun yang lalu! Dulu Tante
masih muda, masih mikir fun-fun aja. Tapi sekarang Tante tahu, merelakan anak jadi atlet itu bukan hal yang gampang. Jadi atlet itu sama dengan tanda tangan kontrak seumur hidup. Mereka akan mencurahkan seluruh hidup mereka untuk latihan dan pertandingan. Sekolah bakal ditaruh di urutan ke sekian. Dan kembali lagi ke alasan Tante yang tadi, seandainya mereka jadi
atlet yang nggak berhasil, sudah terlambat untuk berbalik arah. Untuk sekolah lagi, pasti sudah malas. Masa depan mereka jadi nggak jelas. Mereka mau hidup dari apa""
Aku mati kutu. Mungkin inilah dulu alasan Mama melarang aku masuk klub bulutangkis. Mungkin Mama takut aku gagal, dan masa depanku akan jadi nggak jelas....
Albert kayaknya nggak betah berantem lama-lama sama aku. Malam itu, tepat setelah Tante Wenny, Adel, dan Ales pulang, Albert muncul di depan pintu rumah. Bawa sogokan yang sangat menggoda iman pula, Ferrero Rocher,
"Aya, aku minta maaf, ya" Aku bisa ngerti kalau kamu marah... Nggak seharusnya aku ngebujuk kamu untuk ngelakuin hal yang nggak kamu suka..."
Aku menimang-nimang kotak cokelat mahal itu darinya dengna hati masih mengganjal, Enak banget ya jadi cowok, Kalau habis bikin cewek marah, tinggal datang bawa cokelat, boneka, atau bunga, dan pasang tatapan innocent ala Shinchan, pasti bakal langsung dimaafin,
"Ini beli di Hypermart depan, kan" Lagi diskon"" tanyaku sambil mengangkat kotak cokelat itu, Aku nggak ngarang, kemarin memang aku dari sana, dan cokelat-cokelat berbungkus emas ini dipajang di dekat kasir dengan display megah, plus papan yang menuliskan special price-nya,
Albert kayak mau keselek. Tengsin banget kali ye, minta maaf sama ceweknya yang lagi ngambek kok bawa-bawa cokelat diskonan.
"Nggg... bukan kok, aku beli di Ranch Market. Masa buat kamu aku beli yang murahan sih""
Dasar cowok, harga dirinya setinggi Monas! Ya udahlah, nggak pa-pa, Beli diskonan di Hypermart pun harganya masih gocap lebih, lumayan menunjukkan niat Albert untuk minta maaf. Dan kalau dia datang tanpa bawa ini pun, aku pasti bakal maafin. Buatku, yang penting dia udah niat mau minta maaf dengan tulus,
"Ya udah, aku juga udah nggak marah kok. Tapi jangan diulangi lagi ya."
Albert langsung sumringah,
"Walaupun harusnya kamu tahu, aku lebih suka Apollo Roka," tambahku.
Albert nyengir sambil garuk-garuk kepala, Aku nggak bercanda lho, aku memang l
ebih suka Apollo Roka, cokelat berbentuk bola dengan kacang buatan lokal, yang harga satu stoples besarnya (mungkin isi 50 atau 100, aku lupa) sama dengan harga enam biji Ferrero Rocher,
"Nggak pa-pa," kataku lagi. "Yang penting kan kamu udah inisiatif untuk minta maaf. Udah makan""
"Belum... Kenapa" Mau ngajak makan di luar""
"Nggak. Makan di sini aja yuk. Tadi Mama masak opor ayam."
Albert mengangguk, lalu mengekorku masuk rumah, Mungkin ini salah satu yang bakal bikin aku pikir-pikir lagi kalau mau putus sama dia: Mama dan Papa sudah kenal baik, Albert, dan sayang banget sama dia. Aku malah mikir jangan-jangan kalau Albert ngelamar aku besok pun,
dia bakal diterima, Zaman sekarang, nggak gampang cari cowok yang bisa meluluhkan hati ortumu.
Banyak orang bilang aku cantik.
Aku nggak GR atau apa lho, tapi memang begitulah yang sering kudengar.
Dulu, aku sering ngaca dan membatin sendiri, benar nggak sih aku ini cnatik" Dan cermin memantulkan bayangan wajah oval berkulit putih dengan mata sipit yang cantik, hidung mungil, dan bibir tipis yang berwarna pink asli, yang sama sekali nggak butuh polesan lipstik, Nggak jelek, memang.
Waktu year 10, Adisty malah memaksa-maksaku ikut pemilihan model di sebuah majalah remaja, Jelas aja kutolak menta-mentah, Gimana ya,,, that's just not my cup of tea (kalau dia mengajakku ikut turnamen bulutangkis, tanpa banyak cincong pasti aku langsung setuju!). Adisty merengek-rengek waktu itu. Katanya dia juga kepingin ikut, tapi takut kalau nggak ada temennya. Akhirnya aku ikut juga pemilhan model itu, karena Adisty pasang aksi ngambek dengan nggak mengajakku bicara selama seminggu. Dasar anak tengil, begitu aku bilang aku setuju ikut pemilihan bareng dia, dia langsung memelukku seolah aku ini baru pulang dari Zimbabwe setelah satu dasawarsa.
Aku dan Adisty akhirnya bikin foto untuk syarat pemilihan model itu di studio foto dekat rumah Adisty. Foto-foto Adisty hasilnya bagus banget, menampakkan wajah sumringah model iklan odol, sementara wajahku kayak model iklan obat pelancar BAB, sepet, dikombinasikan dengan meringis. Nggak banget pokoknya! Dan berhubungan bukan aku yang niat untuk ikut pemilihan itu, akhirnya formulirku pun diisi dengan tulisan tangan Adisty. Dia juga yang niat mengukur linggar pinggang, dada, dan pinggulku dengan meteranjahit punya neneknya,
Tapi coba tebak, siapa yang berhasil masuk unggulan pemilihan model itu" Eng ing eng...
AKU! Hebat banget bagaimana mata para juri itu mengalami katarak dadakan sehingga meloloskanku, sementara Adisty langsung gugur di saringan pertama. Dan percaya nggak percaya, aku malah berhasil melaju sampai semifinal! Tapi hanya smapai di situ aku langsung rontok, karena untuk jadi finalis diadakan penjurian face-to-face, dan sikapku yang slenge'an kelihatannya langsung menghancurleburkan niat para juri pemilihan model sampul itu untuk meloloskanku ke babak selanjutnya. Rupanya mereka bisa melihat bayang-bayang kehancuran majalah mereka di masa depan kalau masih niat memajangku di sampulnya, hehehe... Ditambah lagi, saat acara unjuk bakat, ketika peserta-peserta lainnya menyanyi, akting, bahkan nekat melukis dalam waktu singkat untuk para juri itu, aku malah kepingin mendemonstrasikan kelihaianku melakukan jumping smash. Jelas aja mereka keder. salah-salah nanti kepala mereka yang kena shuttle cock, Jangan salah, kecepatan jumping smash ada lho yang 300 km/jam, Walaupun smash-ku mungkin nggak sampai setengahnya.
Jadi yah... begitulah, aku dengan senang hati pulang ke rumah setelah penjurian itu, tahu pasti bahwa aku nggak akan dihubungi lagi oleh redaksi untuk penjurian selanjutnya. Banyak yang menyayangkan karena aku membuang-buang "kesempatan" itu (Claudia dengan terang-terangan menyebutku tolol karena sudah menghilangkan peluang merintis jalan baginya, yang ingin ikut pemilihan itu tahun depan). Yeah, kesempatan apanya" Kalau ada Susi Susanti menawariku privat selama sebulan dan peluang ikut seleksi nasional untuk bisa masuk Pelatnas, itu baru namanya kesempatan!
Tapi yah, setelah acara pemilihan model yang terpaksa kuikuti itu, aku jadi ngga
k lagi menatap aneh setiap ada yang bilang aku cantik. Paling-paling aku hanya akan nyengir GR dan bilang makasih. Bisa sampai babak semifinal pemilihan model sampul majalah remaja paling top seantero Indonesia jelas membuktikan aku memang nggak jelek-jelek amat,
Thomas & Uber Cup 2008
AKU melonjak-lonjak girang begitu bangun pagi ini, Hari ini, turnamen Thomas dan Uber Cup 2008 bakal dimulai! Yeeeesssss!
For your information nih, Thomas-Uber Cup adalah kejuaraan beregu bulutangkis. Thomas untuk cowok, Uber untuk cewek. Diselenggarakannya tiap dua tahun sekali, dan kebetulan tahun ini diadakan di Indonesia! Aku bener-bener excited menyambut turnamen tahun ini, Soalnya, gengsi Thomas-Uber itu selevel dengan Olimpiade, Of course, aku berniat bakal nonton langsung di Istora Senayan. Apa gunanya tinggal di Jakarta dan jadi badminton mania kalau aku melewatkan event kali ini"
Jam satu siang, Papa mengantarku ke halte busway blok M. Aku memang berinisiatif untuk naik bus Transjakarta dari sini sampai halte Senayan. Soalnya, kasihan Papa kalau harus mengantarku sampai Istora. Rumahku kan di Bintaro, yang lumayan jauh dari Senayan. Bakal boros bensin banget, kan" Ingat global warming cuy, lebih baik menggunakan transportasi umum.
Di halte busway Senayan aku turun, dan ternyata Wilson, Charles, serta Sharleen sudah stand by di sana, Kami memang janjian ketemu di sini, baru ke Istora bareng-bareng,
Waktu kami sampai di Istora, ternyata suasananya nggak begitu rame. Mungkin karena masih babak pertama kali ya" Kami beli tiket di loker dan langsung masuk. Partai pertama (tunggal putri) antara Indonesia dan Jepang bakal dilangsungkan sebentar lagi, antara Maria Kristin Yulianti dan Eriko Hirose.
Aku duduk di salah satu tribun, dan jumpalitan sendiri selama pertandingan. Aku memang agak norak kalau nonton bulutangkis, bisa jerit-jerit sendiri. Orang rumah suka rese kalau lihat aku nonton bulutangkis di TV, karena aku suka tegang dan histeris berlebihan. Kayak terlalu menghayati, gitu, Tapi sebodo amat, nggak pernah dengar namanya orang nge-fans, ya" Toh aku nggak pernah protes juga kalau Claudia, adik cewekku yang masih SMP itu, heboh nonton Nidji di TV. Dan aku juga nggak pernah ngomel kalau Lionel norak nonton Barney, padahal, please deh, itu kan cuma boneka dinosaurus!
Jadi, mana yang lebih wajar: histeris karena nonton pertandingan olahraga, atau karena nonton Nidji dan Barney"
Nah, balik lagi ke pertandingan live di hadapanku sekarang. Maria Kristin akhirnya harus menyerah melawan Jepang, Walaupun dia berhasil merebut game pertama, dia kalah di dua game selanjutnya, Aku lesu, tapi tetap optimis Indonesia bakal bisa merebut partai berikutnya,
Hmm, kujelaskan sedikit lagi, Di babak penyisihan Uber Cup ini akan ada lima partai yang dipertandingkan antar dua negara. Pertama, tunggal putri, lalu ganda putri, terus tunggal lagi, ganda lagi, dan terakhir tunggal lagi (untuk Thomas Cup sama, hanya saja yang main cowok). Yang berhasil merebut tiga partai duluan, dia yang menang. Tapi biasanya untuk penyisihan akan dimainkan sampai habis lima partai. Kalau sudah sistem gugur, seperti babak perempat final, semifinal, dan final, pertandingan diakhiri kalau ada tim yang sudah merebut tiga partai duluan, jadi kalau sudah ada yang kedudukannya 3-0 atau 3-1, ya partai berikutnya nggak usah dimainkan lagi, karena sudahjelas siapa yang melaju ke babak berikutnya, kan"
Sekarang partai kedua, ganda putri, Indonesia menurunkan Vita Marissa/Lilyana Natsir, Asal tahu aja, kedua orang ini sebenarnya bukan pemain ganda putri, tapi ganda campuran. Dan bukan ganda campuran ecek-ecek juga, Vita bersama Flandy Limpele ada di peringkat tiga dunia, Lilyana jangan ditanya, dia berhasil menduduki posisi puncak bersama Nova Widianto, Hanya saja, aku nggak tahu kenapa tiba-tiba dua pemain cewek ganda campuran ini dipasangkan jadi ganda putri. Kesannya kayak coba-coba banget, gitu. Tapi kalau aku nggak salah, mereka justru berhasil meraih juara di China Open tahun lalu! Weits, baru dipasangkan, tahu-tahu juara. Siapa yang nggak kagum"
Sudah menjadi rahasia umum, p
restasi pebulutangkis putri Indonesia sangat jeblok belakangan ini, Di Olimpiade 2004, kita bahkan nggak mengirimkan wakil di sektor putri sama sekali. Aku miris banget waktu melihatnya, karena seolah kita sudah nggak punya harapan lagi dari sektor putri sejak pensiunnya Susi Susanti dan hijrahnya Mia Audina ke Belanda.
Tapi untunglah, tim Uber Indonesia bisa lolos ke putaran final kali ini, Kayaknya mereka memang nggak ditarget terlalu tinggi, Mungkin berhasil sampai perempat final pun sudah bagus, Ya iyalah, secara tahun 2006 kita bahkan nggak lolos kualifikasi! Jadi kali ini berhasil masuk penyisihan pun udah lumayan.
Aku dan Sharleen bengong-bengong tegang sewaktu melihat Vita/Lilyana melawan Satoko Suetsuna/Miyuki Maeda. Buset, mereka memang layak banget menjuarai China Open tahun lalu. Permainan mereka keren banget, defense-nya bak tembok, dan smash-smash-nya, omaigaatttt... are they really women" Tenaga mereka kayak mesin giling!
Dan tiba-tiba aku seperti tersadar... Pak Richard waktu itu benar. Aku memang mengalahkan Sharleen, Wilson, dan Charles, tapi semua seranganku penuh emosi, gara-gara aku lagi kesal sama Albert. Sedangkan sejuta serangan yang dilancarkan Vita/Lilyana sangat terkontrol. Kelihatan sekali mereka pebulutangkis profesional, mainnya nggak pakai emosi, tapi pakai otak,
Mendadak, aku jadi merasa bersalah banget, sudah membantah Pak Richard waktu itu.
"Waaahhhh gileeeee, gue masih nggak percaya kita menang!" Sharleen berjalan sambil melonjak-lonjak riang di sebelahku saat kami keluar dari Istora, Indonesia baru saja mengganyang Jepang 4-1, skor yang nggak pernah kuduga sebelumnya.
"Iya! Lo lihat nggak tadi yang ganda kedua, Jo Novita sama Greysia Polii, gila tenaganya! Gue
aja mungkin nggak bisa jumping smash kayak mereka, Badannya pada kecil mungil, tapi mainnya dahsyat!" Charles geleng-geleng kepala,
"Wah, kalau gini gue optimis nih kita bisa sampai perempat final!" Wilson cengar-cengir. "Eh tapi, pada laper nggak sih" Gue terakhir makan pas istirahat tadi siang di kantin, Perut gue udah keroncongan banget sekarang."
Aku tertawa, Dasar si Raket, suka nggak nyambung, Orang lagi ngebahas pertandingan, kok dia malah tiba-tiba ngebahas makan,
"Gue traktir mi ayam deh, gue traktiiiirrr!" aku berinisiatif.
Charles dan Wilson langsung bertatapan. "Serius lo, Fray""
"Yep! Anggap aja kita ngerayain kemenangan Indonesia atas Jepang tadi."
"Horeeeeeeee!" Wilson dan Charles saling tos.
Aku memang lagi senang banget karena tim Uber Indonesia bisa menang, Memang baru babak penyisihan pertama, tapi rasanya sudah kayak juara aja, Tim bulutangkis cewek Indonesia, yang selama ini diremehkan, dipandang sebelah mata, berhasil melindas Jepang 4-1, Nyaris 5-0!
Jadi kupikir, bagus juga kalau rasa senangku itu kulampiaskan dengan mentraktir teman-temanku.
"Kalau Indonesia juara, lo bakal nraktir lagi nggak"" tanya Wilson.


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku diam sebentar, memutar otak. "Kalau Indonesia juara, gue traktir Duck King!"
Wow, aku bisa melihat dengan jelasjakun Wilson dan Charles yang bergerak sewaktu mereka menelan ludah, Dan aku juga jadi merasa bego... Aku tadi bilang mau nraktir Duck King" Nggak salah nih"
"Gue bener-bener berharap Indonesia juara," kata Wilson pelan.
Aku cuma bisa cengar-cengir bego mendengarnya.
Kami akhirnya makan mi ayam di salah satu gerobak PKL yang berjualan di sekitar Istora, Kalau lagi ada event gini, memang PKL langsung menjamur. Jeli banget melihat peluang, tahu bakal ada anak-anak SMA macam kami yang keroncongan setelah histeris selama menonton pertandingan.
"Huaaahh... kenyang banget gue!" Wilson berdiri dan mengelus-elus perutnya, Dia baru menghabiskan dua porsi, katanya mumpung ditraktir. Dasar nggak mau rugi.
"Enak nih minya!" Sharleen memiringkan mangkuk mi jatahnya, agar dia bisa menyendok kuah bumbu mi ayam itu sampai tetes terakhir,
"Tambah enak lagi karena cap ratu," Charles nyeletuk.
"Apaan tuh cap ratu"" tanyaku bingung. Kayaknya tadi aku lihat, nama mi ayam ini Mi Ayam
Bang Joko deh... "Ratu itu... ora tuku, alias gratis! Hahahaha..." Charles ngakak. Aku, Wilson, dan Sharleen
menatapnya sambil melongo, Garing banget si Charles!
"Wah, gue garing, ya" Maap, maap..." Charles cengengesan lagi.
Sambil menunggu Charles menyelesaikan makannya (dia paling bontot kelarnya karena kebanyakan ngoceh dari tadi), aku, Sharleen, dan Wilson membahas pertandingan tadi lagi, Kayaknya emang nggak ada habisnya, sekaligus mengejutkan. Aku sampai sekarang masih belum percaya Indonesia menang dengan skor besar.
Saat kami asyik ngobrolin pertandingan tadi, seorang cewek datang dan duduk di sebelahku. Dia memesan mi ayam pada abang penjualnya, lalu sibuk mengamat-amati display kameranya.
Aku nggak tahan untuk nggak mengintip sedikit, Wow, kameranya canggih! Ada lensa panjangnya, Apa sih namanya itu" DSLR, ya" Gile, itu kan bukan kamera buat mainan! Refleks, aku meraba digicam Sony DSC-T200 yang ada dalam tasku, yang hanya kupakai buat foto-foto narsis,jelas nggak bisa dibandingkan dengan kamera yang dipegang cewek itu,
Karena penasaran seperti apa hasil foto yang diambil oleh kamera canggih macam itu, aku terus menjulurkan leher. Mungkin sudah persis ibu-ibu tukang gosip yang mengintip dari balik pagar pembatas rumah tetangganya.
Wah, gila! Foto-fotonya keren! Ada Maria Kristin saat hendak serve, Jo Novita yang sedang jumping smash, Pia Zebadiah...
"Ehem, sori, lo ngeliatin kamera gue""
Aku langsung melonjak kaget, seolah berada dalam film kungfu mandarin zaman baheula, dan ada penekar yang baru membebaskan totokan di tubuhku. Cewek itu menatapku penuh selidik, mungkin juga merasa nggak nyaman.
"Ehh... sori... sori! Gue nggak bermaksud... Mmm, soalnya kamera lo bagus sih... terus hasil foto lo keren-keren, jadinya..."
Dia tertawa. "Haha, nggak usah panik gitu lah. Nggak pa-pa kok. Thanks anyway, udah bilang kamera ini bagus, tapi ini bukan punya gue..." Dia mengelus kamera canggih dalam genggamannya dengan sayang.
"Maksud lo"" tanyaku nggak ngerti. Kamera itu bukan punyanya" Berarti... jangan-jangan dia... nyolong"
"Ya ini punya redaksi majalah tempat gue kerja. Gue sih nggak mampu beli yang ginian," katanya sambil cengengesan. "Oh iya, gue Shendy, wartawan majalah Shuttlers," dia mengulurkan tangannya.
"Ohh..." Aku mangap, sadar prasangkaku barusan benar-benar ngawur, Dia ini wartawan, bukan pelaku tindak kriminal seperti bayanganku tadi. "Ngg... anu, gue Fraya, ini Sharleen...
-temanku satu per satu. Shendy melambai sedikit, menyapa mereka, Semua temanku membalas dengan senyum,
"Doyan bulutangkis juga"" tanyanya lagi.
"BANGET!" sambarku. "More than food,"
"Heh"" Shendy bengong, nggak ngerti.
"Oh... anu... maksud gue... August Rush... kata-katanya Freddie Highmore di film itu,,, gue
menggaruk kepalaku dengan wajah bodoh. "Ohh, August Rush! Ya, ya, gue tahu. Emang dahsyat banget tu film!" Shendy manggut-
-pa, kan" Habis ini gue harus ngeliput lagi soalnya..." "Eh, iya, iya... silakan."
Shendy mulai makan, tapi juga sambil mengajakku ngobrol, Wilson, Charles, dan Sharleen, karena duduknya agak jauhan, jadi ngobrol sendiri waktu aku ngobrol sama Shendy. "Lo suka badminton tuh mmm... nonton doang, apa main juga"" "Dua-duanya. Dari kecil gue suka."
"Wah, kenapa nggak masuk klub aja"" tanya cewek itu dengan mata membulat. "Kan lo sukanya dari kecil. Kalau masuk klub bisa jadi atlet tuh..."
Aku menggeleng, agak kecut. "Penginnya sih gitu, tapi... nggak dibolehin sama Nyokap."
Shendy terdiam sebentar, lalu manggut-manggut dan menyuapkan mi ke mulutnya lagi, "Kalau lo gimana" Suka bulutangkis karena kerjaan, atau karena suka makanya lo milih jadi wartawan""
"Second one." Shendy sudah selesai makan, lalu mengelap bibirnya dengan tisu. "Gue suka
banget nonton bulutangkis live, tapi mahasiswi bokek kayak gue bisa makin bangkrut kalau nekat nonton setiap pertandingan dengan beli tiket, Lo tahu sendirilah tiket turnamen sekarang berapa... Apalagi kalau udah di tangan calo, wiiihhh cukup buat bayar kos gue sebulan!" Shendy nyengir. "Kebetulan, gue kenal sama salah satu wartawan senior tabloid Shuttlers, Kenalnya pas nonton turnamen juga, Dan pas ngomong bulutangkis ternyata nyambung, Dia bilang pengetahuan gue lumayan, dan kebetulan majalah dia la
gi nyari wartawan part-time juga. Dia nyuruh gue ngirim contoh tulisan, gue coba... eh keterima! Lumayan, kalau wartawan kan selalu dapet ID card pas turnamen-turnamen begini, jadi gue nggak perlu beli karcis penonton lagi, hehehe..."
Aku mendengar penjelasan Shendy dengan terpesona, dan pandanganku jatuh pada ID card untuk awak media yang tergantung di lehernya, Wow, asik juga ya... nggak perlu keluar duit, dibayar untuk bekerja di bidang yang disukainya, dan bakal punya akses ke player area pula, Cool banget!
Shendy melirik jam tangannya, dan terkaget-kaget sendiri,
"Wah... udah jam segini! Gue balik ke dalam dulu ya, harus ngeliput lagi. Nice to meet you!" Cewek itu membayar makanannya, melambai pada aku dan tiga temanku, lalu berlari kembali ke gedung Istora, Ransel hitamnya yang besar bergoyang di punggungnya saat dia berlari,
Hmm,,,jadi wartawan part-time kayaknya asyik banget,
Sebenarnya aku kepingin melanjutkan nonton Thomas Cup di Istora malam harinya, yang digelar setelah pertandingan uber Cup, tapi jerat otoriterisme bernama sekolah menahanku. Besok aku ada ulangan fisika, sh*t! Alhasil, aku terpaksa menyeret diriku pulang dan nonton dari TV doang, sambil belajar fisika pula! Nggak asyik banget, karena aku membayangkan di Istora pasti jauh lebih seru dibanding di ruang keluargaku, yang penghuninya selain aku cuma Claudia, Lio, dan Sus Ita, babysitter yang bertugas mengurus Lio, Ditambah lagi, Claudia bawel mulu dari tadi.
"Aahh... gimana sih ini Sony Dwi Kuncoro" Masa dia lawan Bonsak Ponsana aja tepar gini" Indonesia pasti kalah, Aya, kalah!"
Aku mengalihkan pandanganku dari layar TV, yang menayangkan pertandingan Thomas Cup antara Indonesia vs Thailand, untuk menatap Claudia dengan sengit,
"Bisa diem nggak sih lo" Ini juga baru game pertama! Partai pertama! Masih ada empat partai lagi tahu nggak, baru lo bisa bilang Indonesia kalah!"
"Ya tapi lihat aja dong, Sony mainnya nggak semangat gitu... Dari tadi bikin kesalahan sendiri mulu. Nggak asyik! Udah deh, pasti kalah..."
Aku cemberut, Enak aja ini anak bikin prediksi kelas teri!
"Heh, asal tahu aja ya, Sony itu tipe pemain soft starter Dia emang suka lambat di awal, tapi lihat aja di game kedua nanti!" aku membalas Claudia.
"Udahlah, mending kita nonton acara lain aja deh, ya" Ya" Gue bosen banget nih ngeliat bulu ayam ditepok-tepok mulu dari tadi!"
"Bulu angsa, bego, bukan bulu ayam! Lo kira kemoceng""
"Yaahh whatever lah ya, yang penting gue bosen nontonnya, Lo norak lagi, di depan TV aja heboh sendiri."
Claudia melakukan manuver kilat untuk merebut remote yang kupegang, tapi ternyata terbiasa main bulutangkis memberiku gerak refleks yang sempurna, Remote itu sudah berada di balik punggungku sebelum Claudia sempat merebutnya,
"Nonton yang lain aja!" Claudia berusaha menjangkau ke balik punggungku, tapi posisinya nggak menguntungkan, karena pantatnya malas beranjak dari sofa tempatnya duduk, Alhasil, dia setengah nungging setengah meregangkan tubuh, untuk merebut remote dariku,
"Barney aja, Barney!" Lio mendadak berceloteh, nggak mau ketinggalan dalam kericuhan ini. Kecil-kecil sudah mempraktikkan peribahasa memancing di air keruh! (Lagian mana ada Barney tayang jam segini!)
Claudia akhirnya mengejar-ngejarku keliling ruang tamu untuk memperebutkan remote. Hebat, kami serasa flashback ke sepuluh tahun lalu, saat kami masih demen rebutan baju Barbie yang paling bagus, dan selalu kejar-kejaran setiap yang satu berhasil mendapatkan yang diinginkan pihak lain.
SMS SMS... HP Claudia berbunyi, menandakan SMS masuk, Aku menghela napas lega, dan menjatuhkan diriku di sofa. Lumayan, break kejar-kejaran sebentar. Lagi-lagi, terbiasa main bulutangkis
memberiku keuntungan fisik, Napasku masih tetap stabil, sementara Claudia membaca SMS di HP-nya dengan napas yang sudah Senin-Kamis,
"Aaaaaaaa! Nisa SMS bilang ada Nidji di infotainment RCTI! siniin remote-nya, Aya! Siniin! Cepetaaaaannn!"
Claudia melempar HP-nya begitu saja ke sofa, dan kembali mengejarku untuk merebut remote, Sayang, injeksi dari teman Nidjiholic-nya yang memberitahukan ada Nidji di RCTI ternyata sang
gup membuat Claudia makin brutal untuk merebut remote, Dia berhasil menyamai kecepatanku berlari sampai akhirnya berhasil merebut remote, Tapi ketika dia mengganti channel ke RCTI, acara infotainment-nya sudah habis,
"Yeeee, udah habis!" Aku meleletkan lidah padanya, sambil tertawa penuh kemenangan. Claudia melempar remote TV kembali padaku, dan aku dengan girang mengganti kembali ke Trans TV, yang menayangkan Thomas Cup,
Tapi ternyata... pertandingan Sony vs Bonsak Ponsana pun sudah selesai, Dan Sony kalah,
"Yeee... kalah yee... kalah yeee..." Claudia langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk balas dendam padaku, Sialaaaannn!
Tim Thomas Indonesia akhirnya memang menang melawan Thailand, tapi skornya hanya 3-2, Mmm... skor yang kurang memuaskan, karena di atas kertas, tim Thomas Indonesia seharusnya bisa mengatasi Thailand tanpa kesulitan, Untung aja Simon Santoso menang di partai terakhir, kalau nggak... malu deh Indonesia, bertanding di kandang sendiri kok malah keok,
Memang sih, kalau kalah nggak akan langsung gugur, karena ini masih babak penyisihan grup, Tapi tetap aja kekalahan itu bakal memalukan banget, apalagi untuk tim yang menargetkan merebut Thomas Cup tahun ini,
Walau Badai Menghadang "EH, kita ke Istora lagi ntar"" Sharleen nongol di kelasku tepat setelah aku selesai ulangan fisika,
dan Bu Irma hengkang dari kelas, Asal kalian tahu ya, aku mengerjakan ulanganku tadi dengan ngawur total, karena setelah nonton Thomas Cup di TV kemarin, aku sama sekali nggak minat belajar, terus berniat leha-leha sebentar, tapi akhirnya malah ketiduran sampai pagi, Begitu bangun, aku langsung tergopoh-gopoh belajar, Tapi apa yang bisa masuk ke otak manusia yang bahkan nyawanya baru terkumpul separo"""
"Jelas dong! Ketemuan lagi di halte busway Senayan, oke" Gue ntar dari sekolah mau pulang dulu, mandi sama ganti baju."
"Beres!" "Eh, sori, sori, gue nggak bisa ikut nanti," Charles datang dan langsung bawa kabar buruk. "Lho, kenapa""
"Nanti pulang sekolah si Wanda ngajak nonton..." Charles garuk-garuk kepala. Wanda pacar Charles, dan jelas aku nggak mungkin memaksa Charles tetap ke Istora saat dia kepingin menghabiskan waktu sama pacarnya,
"Raket ikut nggak"" tanya Sharleen.
"Nggak tahu tuh, tadi belum gue tanya..."
Dan mendadak, seolah punya radar dalam telinganya yang membuatnya muncul setiap kali namanya disebut, Wilson sudah berdiri di belakangku, "Eh, sori... gue ntar juga nggak bisa..."
"Lho" Kenapa"" Setahuku, Wilson nggak punya pacar, jadi dia nggak mungkin seperti
Charles, "Besok pagi ada oom gue datang dari Makassar, dan dia mau nginep di rumah. Di kamar gue, tepatnya. Dan ngg... yah, kalian tahu sendiri kamar gue..."
"Gue nggak tahu," potong Sharleen, entah lugu, entah usil. "Gue nggak pernah masuk kamar
lo. Wilson langsung memelototinya dengan jenis tatapan bego-kata-kata-gue-tadi-kan-bukan-dalam-artian-sebenarnya,
Akujuga nggak pernah masuk ke kamar Wilson, Jangan salah, masuk ke kamar Albert aja aku nggak pernah, Karena umumnya kalau ada tugas kelompok di kelasku, acara kerja kelompok itu pasti diadakan di rumah anggota cewek, dan selalu di tempat-tempat "netral" seperti ruang tamu atau ruang keluarga, untuk meminimalisasi kemungkinan kamu melihat barang-barang pribadi temanmu yang sebenarnya tak ingin kaulihat, seperti kaus-kaus kaki bekas pakai berserakan
(untuk cowok), atau tumpukan rapi underwear di atas pakaian yang baru disetrika tapi belum dimasukkan ke lemari (untuk cewek),
"Hmm, kalau mau gambaran sederhananya, kamar Wilson kayak kapal pecah," Charles memberikan bantuan untuk memacu daya imajinasi Sharleen, Dari caranya bilang begitu, kayaknya Charles sering melihat kaus-kaus kaki berserakan di kamar Wilson,
Tapi Wilson rupanya nggak merasa terbantu, soalnya dia langsung memelototi Charles, Kali ini denganjenis tatapan nggak-usah-segitunya-kaleee!
"Mmm... jadi... Nyokap nyuruh gue bersihin kamar hari ini," lanjut Wilson, berusaha menginterupsi Charles dan Sharleen yang makin error. "Dan gue dilarang main dan pergi ke manapun kecuali ke sekolah, sampai kamar gue... dianggap layak untuk tepat nginap oom
gue," jelas Wilson. "Mungkin besok baru gue bisa ikut nonton lagi."
Aku dan Sharleen cuma bisa manggut-manggut, Berarti hari ini bakal kurang seru dong, karena jumlah tim hura-hura berkurang sampai separonya, Mungkin aku harus mengajak satu orang lagi, biar rame sedikit, Dan saat itu Adisty masuk kelas, baru kembali dari acara ngabur kilatnya ke kantin, Akujelas nggak membuang-buang kesempatan,
"Dis, lo ikut dong ke Istora ntar... Wilson sama Charles lagi nggak bisa nih... Kurang seru kalau gue sama Sharleen doang, ntar nggak heboh...," aku mendatangi Adisty dan langsung melancarkan rayuan,
Adisty kontan menggeleng, kayak aku baru menawarinya ikut ekspedisi ke lembah Kongo aja, "Aduh, lo kan tahu gue paling nggak bisa di tempat yang bising-bising gitu, Lagian gue nggak ngerti bulutangkis sama sekali, Ntar yang ada gue malah bersorak waktu lawan yang dapat angka."
Dari ekor mataku, aku bisa melihat Sharleen menahan tawa gelinya, Aneh memang, aku yang badminton freak bisa bersahabat dengan Adisty yang, bisa dibilang, buta bulutangkis, tapi itulah yang terjadi, Untuk urusan bulutangkis, aku memang nyaris nggak pernah melibatkan Adisty, Sama seperti dia yang nggak pernah melibatkan aku dalam hobinya nonton konser musik jazz, yang memang nggak begitu kusukai, Istilahnya mungkin kami berdua ini sudah saling pengertian, Yaiiyy, caraku mengatakannya seolah kami in pasutri saja!
Tapi kali ini kasusnya berbeda, Mana asyik ke Istora kalau cuma berdua" Memang sih, di sana bakal banyak suporter, tapi kan lebih asyik kalau kitajuga bawa banyak teman,
"Ayolah, Dis. Hari iniiiii aja, ya" Ya" Kan rumah lo deket, tinggal naik busway sekali nyampe."
"Iya sih, tapi gue beneran nggak bisa, Fray. Gue takut nanti malah gue mati gaya di sana, dan
merengek-rengek ke lo sama Sharleen biar kita cepetan cabut, padahal lo berdua mana mau beranjak sih kalau belum semua pertandingan selesai""
Aku terpaksa mengakui, Adisty benar, Ini sama saja dia menawariku ikut nonton JakJazz bersamanya, tapi mungkin di tengah penampilan Syaharani aku bakal merayunya (Adisty maksudku, bukan Syaharani) untuk ngabur secepatnya dari situ, karena aku sama sekali nggak ngerti dan nggak bisa menikmati musik jazz,
Bukannya aku bilang jazz itujelek atau apa lho ya, Ini hanya... tahu kan, masalah selera, "Hmm... ya udah deh, nggak pa-pa...," aku akhirnya menyerah, nggak memaksa Adisty lagi.
Hari ini, tim Uber Indonesia dapat giliran main lagi, Lawan mereka lebih berat, tim Belanda, Aku sudah semangat membayangkan Maria Kristin bakal melawan Yao Jie, tunggal pertama Belanda yang sebenarnya adalah pemain kelahiran China, Yah, bukan rahasia umum memang, banyak pebulutangkis China yang akhirnya hijrah dan bermain untuk negara lain, karena di negaranya sendiri persaingannya sangat ketat, Kalau nggak benar-benar bagus, bakal tergusur oleh pemain-pemain muda yang memang stoknya sangat melimpah, Kasusnya kurang-lebih sama dengan di Indonesia, banyak pemain yang akhirnya jadi pemain atau pelatih di luar negeri, mulai dari Singapura, Hong Kong, Malaysia, sampai Belanda, Yang paling membuatku prihatin adalah waktu Rexy Mainaky, yang dulu bersama Ricky Subagdja berhasil membuatku jatuh cinta pada bulutangkis, akhirnya pindah ke Malaysia untuk jadi pelatih di sana, Dampaknya, sekarang Malaysia punya banyak banget ganda putra yang bagus, tentu saja hasil didikan Rexy, Bukannya di Indonesia para ganda putranya jelek-jelek lho ya (mereka ganteng-ganteng kok... eh, maksudku bagus-bagus semua kok!), tapi kan tetap saja sayang. Rexy bisa diibaratkan "aset" negara yang hilang, diambil negara lain, Kayak Pulau Sipadan dan Ligitan, huh!
Nah, cukup untuk curcol alias curhat colonganku, Aku dan Sharleen akhirnya sampai di Istora, tepat sebelum partai pertama Indonesia vs Belanda dimulai, Tapi ternyata lawan yang bakal dihadapi Maria Kristin bukan Yao Jie, melainkan Rachel Van Chutsen, Hmm.,, pemain yang belum terlalu terkenal, Aku optimis Maria bakal menang,
Dan benar saja, Maria menang mudah, Straight set, lagi, Aku dan Sharleen langsung heboh, Kalau tim Uber Indonesia bisa bermain seperti waktu
menghadapi Jepang, bakal menang lagi nih, Paling nggak 3-2 lah,
Waktu aku dan Sharleen masih heboh bersorak, ada yang mencolek punggungku, Sialan, di Istora ada oom-oom hidung belang juga"!
Aku menoleh, sudah siap dengan semprotan makian di mulutku, tapi langsung tutup mulut dan meringis malu begitu mendapati yang mencolekku tadi ternyata Pak Richard, pelatihku,
"Wah, Pak Richard!" seruku kaget. "Bapak nonton juga""
Sharleen langsung menoleh mendengar nama Pak Richard disebut. "Wah, ada Pak Richard!"
"Hehe... tadi Bapak manggil kalian, tapi kayaknya kalian nggak denger... Ribut sendiri. Jadi Bapak samperin aja ke sini."
"Iya sori, Pak... lagi seneng banget lihat Maria menang!" Aku garuk-garuk kepala. "Bapak sendirian""
"Iya, sendirian. Boleh gabung sama kalian, ya" Kayaknya bakal lebih seru."
Jelas, aku dan Sharleen nggak menolak, Kan kami memang lagi butuh tambahan anggota tim penggembira, Lagian, kalau sama Pak Richard bakal asyik banget deh, Sambil nonton, bisa
sekalian dapat ilmu, soalnya Pak Richard suka sekalian membahas pertandingan yang berlangsung, Serasa kita dapat komentator pribadi gitu,
"Kok Yao Jie nggak main ya, Pak"" tanyaku. Aku masih penasaran, soalnya Yao Jie kan tunggal terbaik Belanda,
"Hmm... mungkin disimpan buat perempat final lusa. Nggak tahu juga deh..."
Aku manggut-manggut, dan teringat sesuatu,
"Ngg... Pak, saya mau minta maaf."
"Lho" Kenapa, Fraya" Kamu barusan kentut, ya""
Aku melongo, Kentut"""
"Kentut gimana, Pak"" tanyaku bingung. Aku pasti sadar dong kalau ada gas yang keluar dari tubuhku, Dan aku nggak merasa kentut!
"Iya, kamu minta maaf kan, barusan" Karena kamu nggak sengaja kentut di dekat saya"" Pak
Richard cengengesan, Aku langsung paham maksudnya, Sial, pelatih satu ini ternyata iseng juga.
"Aduh, Bapak! Ya nggaklah, Pak! Nggak bonafide banget saya, Masa kentut di event internasional kayak Thomas-Uber Cup begini"" Aku pura-pura cemberut, Sharleen jelas, sudah terbahak-bahak,
"Haha... maaf, maaf, Bapak bercanda kok. Kamu mau minta maaf karena apa memangnya"" "Itu lho... yang waktu itu Bapak bilang saya mainnya ngaco... Saya rasa Pak Richard benar..." "Hmm..." Pak Richard hanya menggumam.
"Saya lagi kesal sama Albert, Pak, jadi tanpa sadar saya main pakai emosi. Memang sih, saya menang lawan yang lainnya, tapi pukulan-pukulan saya ngaco..." Aku ngomong dengan terbata-bata, Memang nggak gampang mengakui kesalahan, Sorry seems to be the hardest word,
"Terus, apa yang membuat kamu sadar""
Aku menceritakan soal Vita Marissa dan Lilyana Natsir yang kulihat melawan pemain Jepang waktu itu, Tentang bagaimana mereka bisa mengontrol diri untuk nggak main pakai emosi,
"Ah, nggak pa-pa, Fraya, Lupakan saja, Kan memang sudah tugas Bapak sebagai pelatih untuk mengingatkan kamu." Pak Richard nyengir, dan aku langsung plong,
"Trims ya, Pak..."
"Eh, itu... sudah mau mulai lagi. Wah, Jo Novita sama Greysia Polii! Pemain jagoan Bapak nih. Ayo Jo, ayo Greys! Ayo Indonesia!!!"
Aku dan Sharleen serempak melongo melihat Pak Richard yang ternyata jauh lebih heboh dibanding kami berdua, Ya ampun, pelatihku ternyata norakjuga,
Indonesia menang lagi, Dan kali ini sapu bersih, 5-0! Aku benar-benar girang, kayak orang menang lotre, Yes, kami masuk perempat final dengan status juara grup! Yang berarti lusa bakal
menghadapi Hong Kong, Aaahh... nggak sabar rasanya, Kepingin cepat-cepat menonton aksi tim Uber Indonesia yang mendadak berubah jadi superior!
Aku dan Sharleen berniat cari makan lagi di luar Istora, Sharleen ngebet kepingin mi ayam yang kemarin lagi, Enak banget katanya, Aku nggak doyan-doyan amat sih, tapi nggak pa-pa lah, biar kutemani Sharleen memuaskan ngidamnya, Sayang Pak Richard harus buru-buru pulang setelah pertandingan selesai tadi, Dia bilang harus jemput istrinya, Jadi, aku dan Sharleen tinggal berdua lagi,
Waktu sampai di gerobak mi ayam yang kemarin, aku melongo, Ada Shendy, wartawan majalah yang kemarin itu lagi, Wah, ternyata dia sama kayak Sharleen, kepincut mi ayam ini juga.
"Eh, elo!" kata cewek itu sewaktu melihatku. "Nonton lagi"" "Iya." Aku nyengir.
"Eh, sori sebelumnya, tapi g
ue lupa... nama lo siapa ya"" tanyanya sambil nyengir. "Fraya. Ini Sharleen," kataku menunjuk Sharleen, sekalian kalau Shendy lupa juga. "Oh iya, Fraya! Gue inget sekarang... Kalau Sharleen sih gue nggak lupa. Nama lo langka soalnya, Fray, hehe..."
Aku nyengir, Memang dari dulu aku menyadari namaku nggak banyak yang punya, Seneng aja gitu, nggak banyak yang ngembarin, Kan nggak lucu kalau ada kejadian kayak di kelas XII IPA-3 di sekolahku, ada tiga cewek yang namanya sama-sama Melisa, Jadi kalau dipanggil
-tiganya, Bukannya aku bilang nama Melisa itu kodian lho, tapi tahu
kan, contoh kasus aja, "Iya, kata ortu gue, Fraya itu diambil dari nama Freya, dewi cinta dan kecantikan." "Wow, kreatif ya ortu lo" Keren..."
"Hehe, makasih. Bakal GR ortu gue kalau pujian lo tadi gue ceritain ke mereka." Aku dan
Sharleen duduk lalu memesan mi ayam pada penjualnya,
"Eh, kok cuma berdua hari ini"" tanya Shendy. "Charles sama Wilson mana""
Wah, ternyata beneran dia ingat naam semua temanku, Cuma naamku yang susah masuk ke otaknya,
"Charles ada acara sama ceweknya, kalau Wilson... lagi disuruh-suruh sama nyokapnya," jelas
Sharleen, Shendy ber-ooo ria, "BTW, lo motret-motret lagi tadi"" tanyaku, karena melihat kamera canggih Shendy tergantung di lehernya. "Boleh lihat nggak"" "Oh, iya... Nih..."
Shendy lalu menunjukkan hasil jepretannya ke aku dan Sharleen, Wow, harus diakui dia ternyata memang kompeten untuk jadi wartawan merangkap fotografer, Hasil jepretannya bagus-bagus semua, Aku nggak ngerti gimana caranya dia bisa dapat hasil foto yang bagus gitu, padahal kan objeknya bergerak terus, danjelas bukan dengan slow motion,
"Keren-keren foto lo," pujiku. Shendy cengar-cengir kesenangan,
HP-ku mendadak bunyi, ada telepon masuk, Aku melihat layar, dan ternyata yang muncul nama Albert,
Hmm, biarpun pacaran, aku sama Albert memang sama-sama nggak punya panggilan sayang, Kayaknya lebih enak aja manggil nama masing-masing gitu, Kedengarannya aneh ya" Soalnya setahuku sih banyak temanku yang saling panggil babe, honey, sayang, atau sebangsanya itu dengan pacar masing-masing, Tapi biar deh, mungkin memang aku dan Albert aja yang nggak romantis,
"Halo"" "Aya" Kamu di mana"" Di Istora.
"Istora" Ngapain di sana""
"Lho, kan aku sudah bilang kemarin-kemarin, aku nonton Thomas-Uber Cup." Albert diam, tapi aku bisa mendengar dia mendesah, "Emang harus tiap hari ya nontonnya""
Aku memutar bola mataku, Mulai lagi dia, Padhaal baru kemarin aku maafin, kenapa sekarang dia cari gara-gara lagi" Kok dia nggak ngerti juga sih aku ini cinta mati sama bulutangkis"
"Al, ini turnamen besar. Kejuaraan beregu paling bergengsi, dan diadakan di Jakarta. Nggak
mungkin dong aku nyia-nyiain kesempatan untuk nonton live gitu aja"" "Iya sih... tapi kan nggak harus tiap hari..."
"Misalnya ada bintang NBA, entah dengan keajaiban apa, mendarat di Indonesia dan bikin pertandingan di sini selama seminggu, apa kamu nggak bakal nonton tiap hari"" balasku.
Bukannya aku mau bikin dia kesal, tapi aku cuma kepingin dia bisa memosisikan dirinya sebagai aku,
"Bintang NBA nggak mungkin bikin kompetisi di Indonesia." "Aku kan bilang 'misalnya'..."
Albert diam lagi, Mungkin dia nggak bisa menjawab pertanyaanku, "Kamu nonton sama siapa aja""
"Sama Sharleen. Tadi ketemu Pak Richard juga, tapi udah pulang."
"Jangan pulang malam-malam ya. Nanti kalau udah sampai rumah, telepon aku."
"Yeah." Dan aku langsung memutuskan sambungan, Nanti kalau sudah sampai rumah, aku harus telepon dia, katanya" Yang bener aja! Cuma untuk mendengar dia mengeluh dan ngomel lagi soal kegilaanku pada bulutangkis" Nggak deh, makasih banyak,
"Cowok lo"" tanya Shendy. Rupanya waktu aku terima telepon dari Albert tadi, dia menguping, Hmm, kayaknya cewek ini nggak cuma pantas jadi wartawan, jadi detektif juga dia cocok,
"Iya." "Lo nggak bilang ke dia lo mau ke sini""
"Bilang. Udah dari kemarin-kemarin, malah." "Terus, kenapa dia masih nyariin lo gitu""
"Dia kira, gue bakal nonton hari pertama doang, dan melewatkan hari-hari berikutnya." Shendy melongo, nggak percaya. "Hah" Dia mengira lo yang badminton mania bakal
melew atkan kesempatan nonton Thomas-Uber Cup yang digelar di negara sendiri! Yang bener aja!
Aku mengedikkan bahu. "Yahh... gitu deh cowok gue." "Dia benci bulutangkis"" tebak Shendy, tepat pada sasaran.
"Nggak benci sih... tapi nggak suka aja gitu. Dia kapten tim bakset sekolah, dan selama ini dia
terus beranggapan seharusnya gue ikut ekskul cheers, biar bisa cocok sama dia... Tapi mana mungkinlah gue ikutan cheers saat ada pilihan ekskul bulutangkis, ya nggak""
Shendy manggut-manggut, setuju dengan sepenuh hati, Tapi aku sendiri malah jadi bingung, kok aku bisa-bisanya curhat soal cowokku ke wartawan yang bisa dibilang, nggak kukenal" Yang ketemu pun baru dua kali, Nggak biasanya aku ember begini,
"Kalau aja dia tahu ya, yang paling mengharumkan nama Indonesia kan bulutangkis, bukan basket atau cheers" kata Shendy.
Aku cuma bisa tersenyum kecut, Mana tahu Albert tentang itu"
Dan mana dia peduli"
Sehabis makan mi ayam, aku dan Sharleen masuk lagi ke Istora untuk nonton pertandingan tim Thomas, Dan kami menyaksikan sendiri gimana tim Thomas Indonesia berhasil menyingkirkan keraguan publik (setelah kemenangan yang kurang mengesankan atas Thailand) dengan menggasak Jerman 5-0,
Seneng banget rasanya hari ini, tim Thomas-Uber Indonesia sama-sama menang dengan skor sapu bersih, Kalau aja kegiranganku hari ini nggak dirusak oleh sikap konyol Albert di telepon tadi siang, Aku benar-benar jengkel sama dia, Sepulang dari Istora pun aku memutuskan nggak akan menelepon dia, Biarin aja, daripada dengerin dia ngomel lagi, Besok kalau dia tanya, aku bakal bilang aku tepar sepulang dari Istora, dan satu-satunya yang sanggup kulakukan hanya tidur, Nggak punya tenaga lagi untuk telepon dia,
Lagian, besok baik timThomas maupun Uber Indonesia nggak ada jadwal bertanding, Dua-duanya lolos dengan status juara grup, yang berarti baru akan bertanding lagi di perempat final hari Rabu, Besok cuma adajadwal playoff antartim yang nggakjadi juara grup,
Sebenarnya kepingin juga nonton tim-tim asing itu bertanding, tapi biarin deh,,, Besok aku ikhlaskan aja nggak nonton, buat jaga-jaga biar Albert nggak terlalu senewen karena aku setiap hari nongkrong di Istora, Dan biar aku lebih gampang juga untuk minta izin nonton perempat final hari Rabu nanti, Kan aku nanti bisa kasih alasan kan-kemarin-aku-udah-nggak-nonton ke dia, Asyiikk!
Sori, Al, tapi aku kan sudah pernah bilang, kamu cuma pacar keduaku, Pacar pertamaku tetap bulutangkis,
Siasatku berjalan mulus, Karena hari Selasa aku bermanis-manis sama Albert, dan bilang bahwa hari itu aku sudah menuruti omongannya untuk nggak tiap hari datang ke Istora, dia mengizinkanku untuk nonton perempat final hari Rabu,
Jadi, hari Rabu sepulang sekolah aku ngibrit sendiri ke Istora, Guess what" Tim Uber Indonesia menang telak 3-0 atas Hong Kong di perempat final, dan dengan demikian berhasil meraih tiket ke semifinal! YESSSSS!
Hari ini yang paling seru, karena biarpun para sparring partner-ku nggak bisa ikutkan karena ada acara masing-masing, aku tetap punya teman nonton bareng: Shendy, Heran, jangan-jangan dia "pindah rumah" ke Istora selama Thomas-Uber Cup, Habisnya, dia stand by terus sih di sana! Kami sempat tukeran nomor HP juga, dan ternyat adi a memang teman yang asyik banget buat diajak ngobrol, Apalagi, pengetahuannya soal bulutangkis jauh lebih banyak daripada aku, jadi aku bisa nanya-nanya kalau ada yang nggak kumengerti,
Dan aku benar-benar nggak menyesal sudah datang ke Istora hari ini, karena tim Thomas Indonesia juga menang atas Inggris 3-0! Well, pemain-pemain putra Indonesia benar-benar menunjukkan kualitas mereka hari ini, Sony Dwi Kuncoro masih soft starter, ketinggalan lebih dulu di set pertama dari Andrew Smith, tapi berhasil membalasnya di set kedua dan ketiga, Mencuri angka pertama untuk Indonesia,
Danjelas ganda putra Markis Kido/Hendra Setiawan bukan tandingan Robert Adcock/Robin Middleton, Mereka menang mudah, 21-12, 21-10, Taufik Hidayat berhasil menyelesaikan perempat final untuk Indonesia dengan mengalahkan pemain Inggris keturunan India, Rajiv Ouseph,
So here's the news: both of our team
s go to semifinal! Aaaahh... senangnyaaa! Jelas, aku nggak bakal melewatkan pertandingan maha seru ini besok dan lusa, Walau badai menghadang, aku bakal tetap datang ke Istora!
Ayooo Indonesia! TAPI ternyata yang menghadang niatku untuk nonton di Istora bukan badai,
Bukan juga hujan deras atau aksi mogok para sopir busway yang mengakibatkan aku jadi
nggak punya sarana transportasi ke Istora, Tapi Albert,
Obrolan menjengkelkan ini terjadi tadi pagi, waktu dia menjemputku untuk ke sekolah
bareng, "Aya, nanti sore kamu nonton aku, kan"" tanya Albert, hanya sepersekian detik setelah aku
mengempaskan bokokngku ke jok depan mobilnya, Aku melongo, Nonton dia" Memangnya cowokku mendadak jadi bintang sinetron, dan sinetronnya bakal ditayangkan sore ini, ya"
"Nonton apaan""
"Nanti sore kan aku final."
Aku makin melongo, nggak ngerti, Nggak tahu ini memang karena Albert yang bicara dalam bahasa Swahili, atau memang otakku yang lagi perlu di -tune-up,
Kayaknya Albert bisa melihat aku bener-bener lagi lemot, jadi dia memberi penjelasan tambahan. "Itu lhoo... final basket lawan SMA 47."
Aku memutar otak secepat kubisa, dan langsung mencelos begitu ingat, Aaahh iya! Tim Albert kan lagi ikut kejuaraan basket antar-SMA yang diadakan SMA Angelos! Aku benar-benar nggak ingat! Ternyata mereka masuk final,,, dan finalnya bakal dihelat,,, sore ini"!
"Sori, tadi katamu... sore ini""
"Iya. Kamu nonton, ya" Anak-anak pada mau nonton semua tuh, Nanti pulang sekolah langsung rame-rame ke sana."
Aku menelan ludah, Nggak, aku nggak bisa ikut, Ada pertandingan lebih seru yang HARUS kutonton sore ini, Kalau kulewatkan, mungkin aku bakal menyesal seumur hidup, Kapan lagi tim Uber Indonesia bisa menjejak semifinal" Dan dengan performa yang luar biasa banget pula sepanjang penyisihan kemarin,
"Ngg... jam berapa emang mulainya""
"Yah, sekitar jam lima."
Mampus, Partai pertama Uber Cup bakal mulai jam enam, Cukup nggak ya waktunya kalau nonton Albert main dulu"
"Tempat pertandingannya di mana""
"Ya di SMA Angelos dong. Di Kelapa Gading."
Aku kayak nggak bisa bernapas lagi, Aduuuh, daerah Kelapa Gading! Mana mungkin aku bisa menempuh jarak dari sana dan tiba di Istora sebelum jam enam""" Belum lagi kalau Albert
mainnya lama, Belum lagi kalau macet, Belum lagi nanti di Istora pasti penuh sesak, yang datang belakangan alamat dapat kursi paling belakang!
"Kenapa"" tanya Albert lagi, Dia ini memang jago banget soal membaca ekspresi orang, Dia bisa tahu aku mendadak gelisah kayak orang ambeien, padahal dari tadi pandangannya terkonsentrasi ke jalan!
Adudududuh! Bilang nggak, ya" Albert pasti bakal ngamuk kalau aku bilang mau ke Istora, Apalagi kalau dia nyadar, itu berarti aku lebih memilih ke Istora dibanding menontonnya berlaga di final kejuaraan basket antar-SMA, Bisa-bisa dia makin melarangku main atau nonton bulutangkis! Kan sudah seminggu ini Albert senewen terus karena mendapatiku suka nongkrong di Istora, Jangan-jangan nanti dia meledak kalau aku bilang nggak mau nonton dia bertanding "hanya" karena aku mau nonton bulutangkis lagi.
"Ngg... nggak, nggak pa-pa, Omong-omong, kamu udah siap belum buat finalnya""
Di kelas, aku berpikir keras, Sampai dahiku sudah berlipit kayak rok! Huhuhu, gimana dong" Ini bener-bener dilema, Kalau nonton Albert, aku pasti bakal menyesal setengah mati karena nggak nonton semifinal Uber Cup, Indonesia vs Jerman lho, Pasti bakal seru banget!
Tapi kalau aku nonton ke Istora, Albert bakal marah besar, Dan diajuga bakal semakin nggak suka sama bulutangkis, Bukannya aku peduli sih, dia kan dari dulu memang nggak suka, Tapi aku ogah aja kalau dia nantinyajadi melarang-larang aku main atau nonton bulutangkis lagi, dan semakin memaksakan keinginannya supaya aku masuk tim cheers, Tak usah yeee!
"Bu Ira, Julia sakit, Bu... badannya panas. Dia gemetar..."
Aku, dan seisi kelasku, mengangkat kepala dari buku kami masing-masing, dan menoleh ke arah datangnya suara, Itu tadi Meggie, dan dia menunjuk Julia, teman sebangkunya,
Aku berusaha menjulurkan leherku sepanjang mungkin, Julia kelihatannya memang nggak sehat, Kepalanya menelungkup d
i atas meja, dan dia gemetar sedikit, mungkin demam,
Bu Ira berjalan mendekati meja Julia, dan meraba dahinya,
"Wah iya, sepertinya dia demam. Julia, kamu pulang saja, ya" Supaya kamu bisa istirahat di rumah," tawar Bu Ira. Julia mengangkat kepalanya dan mengangguk lemah. Wajahnya pucat.
"Ya sudah, sekarang coba kamu telepon ke rumah, atau hubungi siapa yang bisa menjemput kamu di sekolah. Sementara kamu bisa istirahat di UKS saja."
Julia mengangguk lagi, dan mengeluarkan HP-nya, Aku bisa mendengar dia menelepon kakaknya, minta dijemput, Setelah itu, Meggie mengantar Julia ke UKS, Mendadak, di kepalaku melintas sebuah ide,
Kamu kenapa" "Aku nggak tahu, Al... tadi di kelas badanku mendadak meriang. Terus aku kedinginan..."
Aku sok menggeletukkan gigiku di depan Albert, dan berusa memeluk diriku sendiri erat-erat, Gayaku sudah mirip orang demam di iklan obat turun panas di TV, Albert menyentuh dahi dan leherku. "Kamu nggak panas..."
"Badanku kedinginan, bukan panas..." Aku makin berakting. Dan rupanya ada gunanya juga
aku menyimpan jaket di lokerku di sekolah, Sekarang jaket itu bisa kupakai sebagai wardrobe untuk keperluan akting di depan Albert,
Yeah, gara-gara melihat Julia sakit di kelas tadi, aku jadi punya ide untuk keluar dari masalah pelikku, Aku bakal pura-pura sakit, dan dengan demikian aku bisa punya alasan untuk nggak menonton Albert bertanding, tanpa perlu bikin dia ngamuk-ngamuk nggak jelas, Dan setelah Albert pergi ke tempat bertandingnya tanpa mengajakku karena dia pasti bakal bisa menerima kalau aku perlu istirahat di rumah aku bakal ngacir ke Istora dan nonton semifinal Uber Cup di sana! Uhuuuyy!
Nggak ada jalan keluar yang lebih gokil daripada ini!
Yah, memang aku jadi agak nggak enak karena harus ngibulin Albert, tapi gimana ya,,, Albert kan sering ikut pertandingan basket, aku bisa menontonnya next time, sementara Uber Cup hanya dua tahun sekali, dan belum tentu juga diadakan di Indonesia lagi, Aku nggak mungkin dong melewatkannya gitu aja,
"Kenapa mendadak sakit gini" Tadi pagi kamu nggak pa-pa..."
Albert merapikan poniku yang menjuntai, dan rasa bersalahku ke dia makin besar, Jadi nggak adil rasanya sudah bohong ke dia, saat dia memperlakukan aku dengan manis begini,
"Ngg... pasti gara-gara aku begadang semalam..." Yang ini nggak bohong, aku memang tidur jam dua semalam, gara-gara keasyikan main The Sims Nightlife,
"Tuh kan, kamu gitu lagi deh... Udah tahu badannya paling nggak bisa diajak begadang, kok ya malah diterusin, Kamu itu udah kena tifus berapa kali, Aya" Jangan-jangan ini gejala lagi nih..."
Aku diam, dan menatap Albert dengan sorot mata innocent, Duh, dia perhatian banget, ya" Dia tahu banget aku sudah beberapa kali kena tifus karena doyan begadang, Berarti alasan yang kukarang tepat, Albert pasti percaya aku sakit lagi gara-gara semalam begadang, kan karena memang sudah "langganan".
"Iya... sori... aku juga nggak kepingin sakit lagi, tapi kalau tidur cepat aku juga nggak bisa... Mataku cuma bisa merem kalau udah subuh..."
"Ya udah, kalau gitu aku anterin kamu pulang ya sekarang""
Aku menggeleng, Kalau Albert mengantarku pulang, dan dia ketemu Mama di rumah, lalu dia lapor aku sakit, semua rencanaku bakal gagal total, Boro-boro aku bisa ngabur ke Istora, yang ada Mama bakal menyuruhku minum obat dan tidur!


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hmm.. aku harus cepat memutar otak,
"Aduh, nggak usah... aku naik taksi aja, Nanti kamu telat tandingnya, Pulang sekolah mau sama anak-anak langsung ke SMA Angelos, kan" Jauh banget lho dari sini ke Kelapa Gading,
apalagi kalau kamu muter ke rumahku dulu...," aku mengarang alasan, tapi kayaknya cukup
masuk akal untuk jenis alasan yang terpaksa dikarang dalam hitungan detik kalau nggak mau ketahuan bohong oleh pacar,
Albert diam, berpikir, Wah, alasanku benar-benar merasuk ke otaknya!
"Iya sih, jadinya ntar jauh banget. Tapi kamu kan lagi sakit..."
Weits, dia ragu-ragu, ini nggak boleh dibiarkan,
"Iya, tapi aku nggak pa-pa kok pulang sendiri, Tinggal naik taksi, duduk, sampai deh di rumah. Kamu tenang aja."
"Gitu ya... Ya udah deh. Tapi kamu janji ya, langsung telepon aku begitu sampai
di rumah"" Wah, gampang banget ternyata ngibulin dia!
"Iya." Maksudku, iya, aku bakal telepon kamus ebelum aku naik busway ke Istora, hehe... YESSS! Rencana berhasil, berhasil, horeeee! Kalau nggak ingat aku lagi akting sakit di depan Albert, aku pasti sudah melompat-lompat meniru Dora the Explorer,
Aku berhasil sampai di halte Bundaran Senayan tanpa masalah, Albert dan anak-anak setim baksetnya jelas sudah dalam perjalanan ke SMA Angelos, Aku sudah memastikannya tadi sebelum berangkat, dengan menelepon Albert dan mengaku-aku aku sudah sampai di rumah dengan selamat, Dan hebatnya, dia percaya!
Aduh, jadi merasa bersalah lagi, Tapi ya sudahlah, daripada aku menghabiskan sore ini dengan duduk memandangi bokong para anggota cheerleaders yang melompat-lomopat di hadapanku untuk menyemangati tim basket, jauh lebih baik aku duduk di dalam Istora, mendukung tim negaraku yang sedang bertanding,
Aku sudah ganti baju dengan celana selutut dan kaus, yang memang sudah kubawa dari rumah dan kujejalkan di dalam tas sekolahku, Sharleen, yang hari ini menemaniku nonton, juga sudah ganti baju, Siap tempur! Charles dan Wilson lagi-lagi nggak bisa ikut, kali ini alasannya karena harga tiket semifinal udah melonjak sama tingginya dengan harga minyak dunia, dan hanya bisa didapat dari para calo,
Aku sudah bilang ke Sharleen soal kebohongan yang kusodorkan pada Albert, dan dia bisa ngerti, Memang nggak enak banget punya pacar yang nggak bisa mengerti hobi kita, kata Sharleen, Dia juga udah janji bakal tutup mulut, Siplah pokoknya!
Istora hari ini benar-benar meriah, Lautan suporter berebut masuk ke dalam dan mencari tempat duduk yang paling strategis, Gila juga memang, dengan harga tiket yang sebegini mahal, tapi antusiasme masyarakat tetap tinggi, Ini jelas membuktikan bulutangkis adalah cabang olahraga yang paling populer di Indonesia, sekaligus paling berprestasi, Plus, turnamen bulutangkis nggak pernah bikin rusuh, beda banget dengan pertandingan sepakbola, yang banyakan rusuhnya (dan berakhir dengan tim Indonesia KALAH) daripada damainya,
Bukannya aku membanding-bandingkan lho ya,,, tapi kenyataannya emang gitu sih, Kalau menurutku, mendingan semua orang Indonesia main bulutangkis aja,
Nah, balik ke Istora, Keriuhan penonton hari ini ternyata juga disebabkan fanatisme dadakan akibat tim Uber Indonesia berhasil menembus semifinal, Sebelumnya, tim cewek kita memang selalu dipandang sebelah mata, Kalau kalah pun nggak mengejutkan, Tapi, berhubung kali ini bisa sampai babak semifinal, orang-orang langsung heboh kepingin nonton, dan ingin membuktikan sendiri apa benar tim Uber Indonesia sedahsyat yang mereka tonton di TV,
Beberapa saat sebelum pertandingan mulai, aku meng-SMS Albert,
To: Albert Good luck ya, Al, buat finalnya. Aku mau tidur dlu. Ngantuk bgt nih pengaruh obat. Jgn tlp dlu. Nanti klo udh bangun, aku sms km ya.
Beres, dengan begini dia nggak bakal menelepon aku, Kan gawat kalau di tengah pertandingan dia telepon, lalu mendengar teriakan "IN-DO-NE-SIA!" sebagai backsound. Kebohonganku bakal langsung terbongkar dong,
Waktu aku selesai SMS Albert, ternyata bertepatan dengan akan dimulainya partai pertama, Indonesia vs Jerman hari ini akan mempertandingkan Maria Kristin Yulianti dan Xu Huaiwen di partai pembuka (sama seperti Yao Jie yang sekarang membela Belanda, Xu Huaiwenjuga pemain kelahiran China, tapi kemudian hijrah ke Jerman karena persaingan di negaranya sangat ketat, dan usianya sudah nggak muda lagi), Xu masuk dalam jajaran tunggal putri dengan peringkat 10 besar dunia, sementara Maria tercecer di bawah peringkat 30, Mungkin pertandingan yang akan dianggap nggak seimbang, tapi siapa yang bisa memprediksi, dengan suporter tuan rumah sebanyak ini"
Aku menoleh ke belakang, dan menelan ludah karena melihat semua bangku penonton penuh terisi, Bahkan sampai bangku paling atas! Dahsyat abis!
"Penuh banget, ya"" kata Sharleen, seolah bisa membaca pikiranku. "Iya. Pasti tiketnya sold out nih..."
"Denger-denger malah calo juga udah nggak punya stok lagi. Banyak tuh penonton yang masih di luar, nggak kebagian tiket, Katanya udah dis
iapin giant screen sama panitianya, biar mereka masih tetap bisa nonton."
"Wah, kasihan juga yaa. Tapi ya baguslah, panitianya udah well prepared gitu."
Satu lagi bukti kemantapan penyelenggaraan untuk turnamen bulutangkis: jumlah tiket yang dijual memang disesuaikan dengan kapasitas tempatnya, Jadi kalau tiket udah terjual habis, ya nggak ada lagi penonton yang bisa masuk, Dengan begitu kondisi di tempat bertanding juga aman, terhindar dari overload yang mungkin bisa menimbulkan kerusuhan, Nggak kayak sepak bola, kapasitas stadion tiga puluh ribu, eh penonton yang dijejalkan ke dalamnya lima puluh ribu orang, Pantas aja rusuh melulu,
Hehe, kok aku jadi ngomel soal sepak bola melulu sih"
"Eh, itu Maria Kristin!"
Aku melongok ke pinggir lapangan yang ditunjuk Sharleen, Benar saja, Maria Kristin, Xu Huaiwen, wasit, dan para hakim garis sudah siap memasuki lapangan, Waktu Maria berjalan melewati tribun penonton, hampir semua penonton di deretan terdepan mengulurkan tangan untuk menyalami sekaligus menyemangatinya, Maria membalas sebisanya, sambil tersenyum,
Aku jadi merinding, Kalau saja dulu Mama ngasih aku izin untuk masuk klub, bisa saja aku yang ada di posisi Maria sekarang,,,
Ah, kok jadi ngaco! Perjuangan Maria untuk sampai ke posisi tunggal putri utama Indonesia pasti bukan hal yang gampang, Dia pasti merintis dari kecil, dari turnamen-turnamen lokal, future series, international challenge, sampai akhirnya bis asampai ke event besar seperti Uber Cup begini, Kalaupun aku masuk klub dulu, belum tentu juga aku bisa punya prestasi seperti dia,
Kedua pemain tunggal putri itu mulai melakukan pemanasan, dan akhirnya pertandingan dimulai,
Xu Huaiwen memang menunjukkan kelasnya sebagai pemain papan atas dunia, Staminanya gila, padahal setahuku umurnya sudah 34 tahun! Tapi dia bisa mengimbangi Maria yang lebih mudah sepuluh tahun darinya, Cara mainnya kayak cowok, nggak feminin, dan terus menyerang, Aku jadi merasa sedikit-banyak mirip dia. Soalnya, aku sering diledek "selalu berubah jadi laki-laki" kalau sudah di lapangan, gar-agara gaya permainanku yang terus menyerang,
Akibat serangan Xu Huaiwen yang terus-menerus, Maria akhirnya harus kalah dua set langsung, Banyak orang di belakangku yang langsung mendesah kecewa, dan aku jadi jengkel sendiri, Gimana ya, aku paling kesal kalau saat pertandingan belum selesai, orang sudah keburu bilang, "Ahh... bakal kalah nih..." Nggak asyik banget! Pertandingan nggak akan selesai sampai
poin terakhir didapat, Dan please deh, ini masih partai pertama, masih ada empat partai lagi gitu lho! Ditambah lagi, Jerman bukanlah negara yang kuat tradisi bulutangkisnya, Baru belakangan ini nama mereka terdengar, dan itu pun karena prestasi Xu Huaiwen, Indonesia masih bisa menang!
Partai kedua bakal digelar sebentar lagi, Kali ini susunannya sedikit beda dengan kemarin-kemarin, Yang biasanya tunggal-ganda-tunggal-ganda-tunggal diubah menjadi tunggal-tunggal-ganda-tunggal-ganda, karena tunggal kedua Jerman, Juliane Schenk, bakal main lagi di partai terakhir, Jadi, giliran mainnya ditukar dengan partai ketiga, biar dia punya lebih banyak waktu istirahat di antara jeda dua pertandingan yang dilakoninya itu,
Hehe, kasihan banget ya Jerman, stok pemainnya terbatas, sampai merangkap-rangkap gitu,
Indonesia menurunkan Adrianti Firdasari di partai kedua, Dia nggak terkalahkan selama penyisihan lalu, hebat banget! Aku bener-bener berharap Firda menang, biar Indonesia bisa menyamakan kedudukan 1 -1, Bahaya kalau Jerman sampai unggul 2-0 duluan,
Ternyata aku dan Sharleen akhirnya memang berkali-kali sport jantung! Firda lebih agresif dibanding Maria, yang lebih mengandalkan penempatan bola, Dan posturnya juga tinggi,
memudahkan untuk menjangkau bola-bola yang sulit, Juliane Schenk kelihatan sedikit repot untuk membalas Firda, dan akhirnya Firda bisa menang dua set langsung, Horeee... 1 -1!
Menjelang partai ketiga, aku jadi kayak orang kumat ambeien lagi, Gelisaaaaahh mulu! Sekaligus excited, karena yang bakal turun kali ini pemain favoritku, ganda putri Jo Novita/Greysia Polii, Mereka ini yang disebut-sebut g
anda putri superpower sepanjang penyelenggaraan Uber Cup kali ini, Bukannya apa-apa, tapi mereka memang mainnya dahsyat banget, Nyaris kayak ganda putra, Smash terus, hajar terus, sikat terus! Padahal postur mereka mungil-mungil, Cuma sekitar 160 cm, tapi power-nya luar biasa,
Pihak Jerman menurunkan Brigit Overzier dan Kathrin Piotrowski, Banyak banget cowok-cowok yang bersiul sewaktu Brigit memasuki lapangan, Emang cantik banget sih, dan badannya tinggi semampai, Kalau di Indonesia, aku jamin dia bakaljadi model catwalk top, bukannya jadi atlet bulutangkis, Catering Wilson ehh... Catherine Wilson lewat deh!
Ternyata hari ini Jo/Greysia kembali menunjukkan tajinya,, Mereka menghajar pasangan Jerman tanpa ampun dengan smash-smash tajam, Beberapa kali malah aku melihat Brigit dan Kathrin geleng-geleng kepala, kayaknya bingung sedikit, dari mana pemain-pemain bertubuh mungil seperti Jo dan Greysia bisa dapat suntikan tenaga untuk mengalahkan mereka yang punya postur yang, seharusnya, lebih menguntungkan,
Waktu Jo/Greysia menutup pertandingan dengan skor 21-9, 21-13, Istora serasa meledak dengan teriakan "IN-DO-N E-SI A! IN-DO-N E-SIA!" yang membahana. Greysia Polii di lapangan sampai menjatuhkan raketnya, sebelum akhirnya berpelukan dengan Jo Novita, Mereka mungkin masih nggak percaya, sudah membawa Indonesia berbalik unggul 2-1, Tinggal selangkah lagi untuk ke final!
"Fraya, satu lagi, Fraaaayy! Satu lagi!!!" Sharleen meremas tanganku dengan penuh semangat. Dia sampai berdiri dan loncat-loncat di tempat,
"Iyaaaa... satu lagi! Gilaaaa, kapan terakhir kali tim Uber Indonesia masuk final" Kapan"""" Aku nggak kalah histeris,
"Aduuuhh... gue deg-degan banget! Habis ini yang main Pia Zebadiah, ya" Lawannya siapa" Hebat nggak ya""
Aku melongok ke scoreboard di lapangan, yang menampilkan nama Karin Schnaase, Hmm,,, nggak pernah dengar, Tapi kalau dia sampai menduduki posisi tunggal putri ketiga Jerman, pastinya dia bukan pemain asal comot,
"Tuh, namanya Karin Schnaase, Kita optimis ajalah! Dan kalaupun ini nanti jadi 2-2, kita masih punya Vita/Lilyana di partai terakhir." Aku mengedipkan sebelah mataku, Sharleen nyengir semakin lebar, Nama Vita/Lilyana nyaris bisa menjadi jaminan kemenangan kami,
"Gila, untung banget kita nonton di sini hari ini, Fray, Seru banget! Gue nggak bisa ngebayangin kalau gue ngelewatin pertandingan ini. Pasti bakal menyesal seumur hidup!" Sharleen berorasi,
Aku manggut-manggut setuju, Jelas, kalau hari ini aku berakhir dengan menonton Albert, aku pasti bakal menyesal seumur hidup, Yang di Istora sejuta kali lebih seru, Dan rasanya nasionalisme merebak di dalam sini, seolah kami sudah bertanding di final yang sebenarnya,
Aku dan Sharleen terpaksa cooling down dulu karena partai keempat bakal dimainkan, Pia Zebadiah sudah bersiap di player arena, dan teriakan-teriakan suporter masih tetap membuat kupingku pekak, Ini bakal seru banget!
Dan bisa dibilang aku sekali lagi iri melihat Pia yang memasuki lapangan, Dia masih 19 tahun, cuma setahun di atasku, tapi bisa membela nama Indonesia di ajang bergengsi kayak gini, Sementara aku" Cuma jagoan sekolah doang, jago kandang,,,
Game pertama sudah dimainkan, dan dalam waktu singkat sudah terlihat di depan mataku, kualitas Karin ternyata masih di bawah Pia! Sering Karin melakukan kesalahan sendiri, entah itu karena pengembaliannya nyangkut di net atau kontrol bolanya nggak akurat, Dia melepas bola Pia karena mengira pukulan itu keluar, padahal masuk, Dan serangan-serangannya pun nggak hebat, biasa saja, Pia makin merajalela, Orang-orang di belakangku, yang tadinya ngomel dan bilang "kita-pasti-kalah" setelah Maria Kristin takluk, sekarang malah bilang "kita-bakal-ke-final!". Dasar plinplan!
Waktu akhirnya Karin gagal mengembalikan bola Pia dalam kedudukan 16-20 di game kedua, aku langsung loncat dari bangkuku dan teriak sekeras-kerasnya, Sharleen nggak kalah heboh, dia malah memelukku kuat-kuat, seolah kamilah yang baru selesai bertanding dan menang,
Aku menoleh ke lapangan, dan ternyata semua pemain, pelatih, dan ofisial tim Uber Indonesia sudah menghambur masuk
ke lapangan, Greysia Polii malah menggendong Pia di atas punggungnya, sementara yang lain bersorak-sorak, Sewaktu Greysia menurunkan Pia, ganti dia yang digendong salah satu ofisial, dan diarak nyaris keliling lapangan! Beberapa pemain membawa bendera Merah Putih, dan mengibar-ngibarkannya dengan penuh sukacita, Aku sampai merinding melihatnya, Astaga, kami benar-benar masuk final! Kami punya peluang untuk merebut kembali Piala Uber yang sudah lepas bertahun-tahun itu,
Vita Marissa dan Lilyana Natsir, yang rencananya bakal diturunkan di partai terakhir, tapi nggak perlu lagi karena kami sudah merebut tiga partai, juga menghambur ke lapangan, dan mengibar-ngibarkan bendera Indonesia, Greysia, aku baru memperhatikan, ternyata juga sudah mencoret-coret pipinya dengan warna merah dan putih, Dia juga memasang bendera di punggungnya seperti jubah Superman, dan menarik sedikit ujung bendera itu ke depan untuk menciumnya,
Ya Tuhan... yang bisa menandingi perasaanku saat ini cuma perasaan kagum dan bangga saat Ricky dan Rexy merebut emas Olimpiade Atlanta 1 2 tahun lalu....
Dalam perjalanan pulang pun aku serasa masih mendengar segala pekik dan seruan histeris di Istora tadi dalam kepalaku, Efek pertandingan tadi benar-benar dahsyat, dan potongan-potongan
pertandingannya pun seperti film yang diputar tanpa henti di depan mataku, Bagaimana Jo Novita yang kecil mungil meloncat seolah bakal melakukan jumping smash, tapi ternyata dia hanya melakukan dropshot, Pemain Jerman mati langkah, kecele, Bagaimana Firdasari mengepalkan tangannya setelah berhasil mengalahkan Juliane Schenk, Bagaimana semau pemain dan ofisial menghambur ke lapangan setelah Pia Zebadiah menang, seakan-akan kami sudah menang di final,
Rasanya kalau nanti tim Uber Indonesia kalah di final sekalipun, aku tetap akan menganggap mereka juara, Nggak gampang tampil di depan pendukung sendiri dengan ekspektasi yang rendah, tapi akhirnya bisa membalikkan keadaan saat kita menang, Mungkin pemain-pemain putri Indonesia sudah diperbaiki bukan cuma dari segi teknik bertandingnya, tapi juga dari segi mental, Soalnya setahuku, sebelum ini pemain-pemain putri Indonesia suka drop duluan kalau lawan yang mereka hadapi di atas kertas lebih kuat, Apalagi kalau lawannya pemain China, waaahh,,, jangan ditanya, Kalau bisa ngibrit pun mungkin mereka bakal ngibrit, Tapis ekarang semuanya berbeda... tim Uber Indonesia hebat!
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri" Serem ihh..." Claudia nyolot begitu melihatku muncul di meja makan dengan wajah sumringah, Aku memang masih senang banget karena keberhasilan tim Uber Indonesia maju ke final kemarin, Sampai pagi ini pun efek euforianya masih ada,
Dasar, kalau aku nggak lagi senang, udah kutoyor kepalanya!
"Mau tahuuuu aja!" Aku meleletkan lidah.
"Hayooo... punya gebetan baru ya lo" Albert mau dikemanain" Ntar gue bilangin ke orangnya lho!"
"Yeah, silakan Dan gue juga bakal bilang lo yang ngabisin cokelat Ferrero Rocher yang dia bawa buat gue waktu itu. Dia pasti marah, orang cokelat itu kan buag gue..."
Claudia mati kutu mendengar ancamanku, Aku tertawa dalam hati, Tahu rasa! "Tapi kan... tapi lo sendiri yang waktu itu bilang cokelatnya boleh gue makan!" "Lha, kan waktu itu lo nanya, 'boleh minta satu nggak"', terus gue bilang, 'boleh, ambil aja'. Nah, yang gue maksud itu satu biji, seperti yang lo minta, bukan semuanya. Dasar maruk!"
Claudia nyengir dengan watados alias wajah tanpa dosa, Tapi biar deh, dengan situasi begini aku jadi nggak perlu cerita kenapa aku riang gembira pagi ini, Kan bahaya kalau dia tanpa sadar cerita ke Albert, Bisa terbongkar rahasiaku!
Sesampainya di sekolah, aku langsung menghambur mencari Sharleen di kelasnya, Masih kepingin membahas pertandingan kemarin, sekaligus mengatur rencana untuk nonton semifinal Thomas Cup nanti sore antara Indonesia vs Korea, Weits, jelas nggak boleh terlewatkan! Sayang
banget, Charles dan Wilson lagi-lagi harus absen karena masalah harga tiket, Untuuuuuung aja aku dan Sharleen sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk event ini, jadi kami memang sudah nyiapin dana buat beli tiket yang harganya
sudah kami perkirakan bakal melonjak itu, Gitu deh kalau orang sudah cinta, Ngg,,, maksudku, aku dan Sharleen cinta pada bulutangkis, bkannya aku dan Sharleen saling cinta, Ihh, yang bener aja,
Aku melongok ke dalam kelas XII IPA-4, dan ternyata Sharleen sudah datang, Dia lagi sibuk komat-kamit di bangkunya,
"Halooo, lagi sibuk"" tanyaku sambil menghampiri mejanya.
"Eh, Fraya! Nggak, nggak... gue nggak lagi sibuk kok. Sini, sini!" Sharleen dengan heboh
menyuruhku duduk di sebelahnya,
"Lo ada ulangan"" tanyaku, melihat buku fisika teronggok membuka di depannya, Kayaknya sih dia tadi sedang komat-kamit menghafal rumus fisika sebelum aku datang, Yah, kalau begini jadi nggak bisa ngebahas pertandingan kemarin deh,
"Iya sih. Biasa, Bu Irma. Tiap minggu adaaaaa aja kerjaannya, Kuis lah, makalah lah, ulangan lah, Tapi nggak pa-pa, gue udah hafal kok."
Asyik! Acara gosipan nggak jadi batal!
"Gimana, gimana" Ada apa" Tumben lo nyamperin ke kelas gue! Biasanya juga gue yang ngejogrok di kelas lo."
"Hehe iyaaaa... masih kepingin ngebahas pertandingan yang kemarin nih!"
"Ihh iyaaa!" Sharleen langsung heboh. "Gila, Fray, lo tahu nggak" Gue sampai sekarang masih
merinding nih kalau ingat selebrasi setelah Pia menang itu, Gila banget ya! Baru kemarin gue ngerasa nasionalis banget, bangga banget jadi orang Indonesia, Lo lihat nggak, kanan-kiri kita di Istora kemarin pada kayak terharu gitu. Pertandingan mahadahsyat deh!"
"Iya, iya!" Aku setuju sepenuh hati. "Bapak-bapak yang di belakang gue malah udah berkaca-kaca gitu matanya, Hihihi.. Yah, tim Uber kita kan cuma ditarget sampai semifinal, tapi ternyata mereka bisa sampai final, Kebayang nggak kalau ntar mereka menang" Wuahh... pasti bakal heboh banget!"
"He-eh! Tapi nih, kalau mereka nggak menang pun, di mata gue mereka udah juara, Mereka udah membuktikan mereka nggak seharusnya dipandang sebelah mata lagi!" "Oh, ternyata kemarin kamu di Istora" Kamu bohong sama aku""
Aku seperti membeku di tempat waktu mendengar suara itu di belakangku, Sharleen juga setengah melotot, menahan napas,
Aku menoleh, dan melihat Albert berdiri dari bangku yang didudukinya, bangku di sebelah bangku Rocky, arah jam tubuh dari bangku tempat aku dan Sharleen duduk,
Ya Tuhan, kok bisa aku tadi nggak ngelihat dia ada di kelas inijuga" Ngapain dia di sini"""
Albert kayaknya bisa melihat ekspresi bingung dan syok di wajahku, jadid ia bilang, "Tadi waktu kamu masuk ke kelas ini, aku udah mau manggil kamu, Tapi kamu ternyata nggak lihat, dengan begitu aku
jadi tahu kamu ternyata udah bohongin aku."
Suaranya tajam dan dingin, bikin rasa bersalahku meluap-luap, Ya, memang seharusnya begitu sih, tapi kemarin semuanya terasa benar,,, Aku membohongi Albert cuma karena aku kepingin melakukan hal yang benar-benar kusukai, yang nggak bisa dimengerti olehnya,
Ternyata aku membongkar rahasiaku sendiri, Dasar stupid!
Kok aku tadi bisa nggak melihat dia" Dan yang lebih bego lagi, kok aku bisa nggak ingat kelas Sharleenjuga adalah kelas Rocky, pasangan hombreng, eh... maksudku teman dekat Albert, yang juga teman satu tim basketnya""" Pasti karena aku terlalu bernafsu untuk ketemu Sharleen dan ngobrol-ngobrol, makanya sampai nggak menyadari keberadaan Albert! Dia juga pasti lagi di sini dan membahas pertandingan bareng Rocky, pertandingan basketnya kemarin, Sialan!
Astaga, Pasti dia bakal mutusin aku,,,
"Ikut aku, Aya."
Albert mencengkeram tanganku dengan sedikit kasar, dan menarikku keluar dari kelas XII IPA-4, Aku sempat menoleh dan melihat Sharleen memandangiku dengan tatapan nggak enak, Mungkin dia juga merasa bersalah karena lupa Albert ada di kelasnya saat aku dan dia heboh membongkar keberadaan kami di Istora kemarin,
Yah, sudahlah, toh semua sudah terjadi, Kalaupun Albert mutusin aku gara-gara ini...
"Aya, kamu..." "Al, sori. Aku tahu aku salah," potongku sebelum Albert mengoceh banyak-banyak. "Tapi
aku bohong karena aku tahu kamu pasti nggak bakal ngizinin aku nonton ke Istora kemarin,
Kamu pasti bakal maksa aku nonton pertandinganmu..."
Albert diam, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kutebak apa artinya,
"Are you trying to say... kamu lebih suka nonton pertandingan bulutangkis daripada nonton aku, pacarmu, tanding basket"" One million dollar question,
Kalau aku mau jujur, sebenarnya jawabannya gampang banget... Dan Albert seharusnyanggak perlu nanya, Bukannya kelakuanku kemarin sudah menjawab pertanyaannya itu" "Ya," jawabku pasti. Percuma juga bohong lagi.
Kalau setelah ini dia mutusin aku, aku bakal terima, Bukan karena aku memang salah, tapi aku akhirnya sadar bahwa dalam hal yang paling kusukai aja Albert nggak bisa mendukungku... "Fine," jawab Albert.
Selama beberapa detik, aku menunggu dia melontarkan kalimat "oke, kita putus aja", tapi
ternyata dia nggak mengucapkan itu, Albert malah berjalan lagi ke ambang pintu kelas XII IPA 4, dan berseru pada Sharleen dari sana,
"Shar, nanti sore ada pertandingan apa bulutangkisnya" Sama besok-besok pertandingan apa lagi""
Aku mengintip sedikit ke dalam kelas XII IPA-4, dan melihat Sharleen kagok juga tiba-tiba ditanyai begitu, Jangankan dia, aku saja kagok! Kenapa Albert tiba-tiba jadi nanya jadwal begini" Apa dia bermaksud,,, mencari tahu kenapa aku begitu cinta sama bulutangkis, dengan cara menemaniku nonton langsung di Istora" Nggak mungkin banget!
"Ngg... nanti sore semifinal Thomas Cup. Indonesia lawan Korsel. Besok final Uber Cup,
Indonesia lawan China, Lusa final Thomas Cup, kalau nanti Indonesia menang ya mereka
n, Dia jadi kedengaran kayak pembawa acara berita olahraga di
TV, Albert kembali menoleh menghadapku, dan nggak tahu kenapa, aku tiba-tiba jadi nggak berani membalas tatapannya,
"Aya, menurutmu, apa aku berhak menghukum kamu, setelah kamu bohongin aku""
Kalau hukuman yang kamu maksud itu berarti kamu mau minta putus... "Ya."
"Oke." Albert menarik napas, kayaknya mau menambah efek dramatis suasana. "Aku...
melarang kamu nonton pertandingan di Istora, Nanti, besok, dan lusa, Kamu nggak boleh ke Istora."
Aku serasa disambar geledek!
" What"! Hei, kamu nggak boleh gitu! Kamu nggak boleh seenaknya gitu sama aku!" protesku.
Apa dia gila" Melarangku nonton bulutangkis di Istora, saat tim Uber Indonesia berhasil menjejak final setelah dua belas tahun" Dan saat tim Thomas berpeluang untuk merebut kembali Thomas Cup" No way!
"Kenapa aku nggak boleh seenaknya sama kamu" Kan kamu juga udah seenaknya bohongin aku kemarin""
Sialan, sialan, sialaaaannn! Dia menjadikan kesalahanku sebagai senjata!
"Tapi... tapi jangan hukuman yang kayak gitu, Al...," aku bingung kenapa sekarang aku jadi merengek-rengek. "Aku kepingiiiin banget nonton pertandingan nanti, besok, sama lusa. Aku kepingin lebih dari apa pun..."
"Nonton aja dari TV. Pokoknya kamu nggak boleh ke Istora tiga hari ini."
Aku memejamkan mata, berusaha meredam perasaan kesal yang nyaris meledak di dalam diriku, Albert sialan, dia tahu banget apa hukuman yang membuatku bakal merasa benar-benar tersiksa!
Tapi aku nggak mungkin melewatkan pertandingan nanti sore, dan besok, dan lusa,,, Aku harus memutar otak, Dan kalau itu berarti aku harus membohongi Albert lagi...
"Nanti sore, kita pulang bareng. Aku bakal ada di rumahmu sampai pertandingan selesai. Besok dan lusa juga, Untuk memastikan aku nggak kecolongan lagi seperti kemarin."
Kakiku rasanya lemas seketika, Lebih baik dia masukkan aku ke kurungan besi aja sekalian, Albert brengsek!
"Dis... gimana dong, Dis" Gue nggak mungkin nggak ke Istora nanti sore, Dis... Dan besok
juga... Lusa memang belum pasti, tapi kalaupun tim Thomas Indonesia nggak lolos ke final, gue
Kali ini aku sudah memastikan Albert nggak ada dalam jarak dengar, Mungkin aja Adisty punya saran yang benar-benar tokcer supaya akut etap bisa ngabur ke Istora, dan tetnu aja aku nggak kepingin Albert ikut mendengarnya,
"Aduh, gimana ya, Fray... Masalahnya, lo emang salah sih..."
"Kalau itu juga gue udah tahu!" gerutuku sewot. Aku kan curhat ke Adisty bukan untuk
disalah-salahkan lagi, Aku butuh dia ngasih aku jalan keluar,
"Ya terus gimana dong" Wajar aja kalau Albert marah ke lo, dia kan merasa udah ditipu..."
"Nggak segitunya, kali! Gue kan nggak bawa kabur uangnya atau gimana. Gue cuma ngebohongin dia untuk ngela
kuin hal yang bener-bener gue suka, Dan dia sekarang mau menghukum gue dengan melarang gue nonton ke Istora, itu kan GILA! Dia tahu banget hukuman apa yang bakal bikin gue tersiksa. Seharusnya dia kan nggak boleh gitu, Dis..."
"Justru itu, Fraya, dia tahu banget gimana menimbulkan efek jera dalam diri lo. Dan yah, gue nggak tahu harus bilang apa... Tapi siapa pun pasti marah sih kalau dibohongin, apalagi sama pacar sendiri..."
Oke, kayaknya salah BANGET aku curhat sama Adisty, Dia kan nggak suka bulutangkisjuga, Dia nggak ngerti gimana rasanya begitu cinta sama olahraga satu itu, sampai rela ngebohongin pacar,
"Jadi, gue nggak punya harapan nih" Gue harus terima aja, dikurung sama Albert tiga hari ke depan, dan menyaksikan pertandingan kelas dunia cuma dari TV, sementara sebenarnya gue bisa nonton langsung di Istora, dengan uang tiket yang udah gue sisihkan jauh-jauh hari"" omelku.
Adisty diam, kayaknya dia bingung juga mau ngomong lagi, Takut kalau dia jujur nanti aku malah semakin sewot,
"Ngg... Fraya, sebenernya ada sih satu cara supaya lo bisa ke Istora nanti dan besok-besok, dan itu tanpa ngebohongin Albert lagi," kata Adisty tiba-tiba, Mataku langsung melebar, "Oh ya" Apa" Apa"" Aku langsung bersemangat lagi. "Lo minta putus aja dari dia."
Aku menelan ludah, "Lho" Kenapa"" tanya Adisty heran. "Lo masih cinta, ya" Aduh... sori deh. Soalnya, menurut
gue, kalau lo minta putus kan jadinya dia bukan siapa-siapa lo lagi tuh, jadi dia nggak berhak dong melarang lo mau ngapain. Lo bisa ke Istora sesuka hati lo..."
Aku menggeleng lemah, Itu bukannya nggak terpikir dalam otakku, Tapi masalahnya, seperti yang pernah kubilang, ortuku sayang banget sama albert, Kalau aku mutusin dia, nanti Papa dan Mama pasti nanyain kenapa Albert nggak pernah main ke rumah lagi, Dan kalau nanti aku bilang kami sudah putus, atau lebih tepatnya aku sudah mutusin dia, aku pasti diomelin,
Kalau cinta sih,,, ya, aku dan Albert kan sudah pacaran hampir tiga tahun, Biar aku sekarang lagi kesal setengah mati dan pengen melemparnya pakai bakiak sekalipun, aku bohong kalau bilang aku nggak cinta dia lagi, Sepuluh persen masih ada lah,
Tapi akan lain ceritanya kalau Albert yang mutusin aku, Kalau itu yang terjadi, tentu aja aku nggak bakal disalah-salahkan lagi oleh ortuku,Kalau aku beruntung, justru mereka akan jadi sebal
pada Albert, Mungkin malah memasukkan cowok itu dalam blacklist orang-orang yang berkunjung ke rumahku,
"Nggak, Dis, yang itu gue nggak bisa."
"Oh. Yah, kalau gitu, gue nggak ada ide lainnya... Sori ya""
Aku cuma bisa tersenyum lemah, dan berharap dalam hati semoga nanti sore Albert ada urusan apalah yang membuatnya urung menjadikanku tahanan rumah di rumahku sendiri,
Dihukum SIALNYA lagi, Mama malah meyambut dengan riang-gembira-penuh-sukacita kedatangan Albert ke rumah sore harinya,
"Eh, Albert! Apa kabar""
"Baik-baik aja, Tante."
"Mau main di sini""
Wah, Mama nanyanya kayak aku dan Albert masih umur lima tahun aja, Maun main di sini" Yang bener aja! Dia ke sini buat menghukumku, Ma!
"Iya, Tante. Mm... kayaknya sampai agak malam. Nggak pa-pa kan, Tante"" tanyanya dengan
gaya anak manis, Aku menirukan gaya orang muntah di balik punggungnya, Mama, yang melihatku, langsung melotot tajam,
"Oh, boleh. Boleh banget! Kebetulan nanti malam Tante mau masak ayam panggang. Nanti kamu ikut makan juga, ya""
"Beres, Tante. Saya kan nggak mungkin ngelewatin ayam panggang Tante yang enaknya ngalahin restoran itu, hehe..."
Sial, sekarang dia malah menjilat!
"Ah, kamu bisa aja." Aku bisa melihat Mama tersipu. Ya ampun! "Ya udah, sekarang kamu
masuk dulu deh sama Fraya, Santai aja, anggap rumah sendiri, oke" Tante mau beresin tanaman-tanaman ini dulu, habis ini baru Tante mulai masak ayam panggangnya."
Albert tersenyum puas dan masuk ke rumahku, Aku tetap tinggal di kebun, tempat Mama mengurus tanaman-tanaman kesayangannya sebelum kedatanganku dan Albert tadi,
"Ih, Mama, kok Albert nggak disuruh pulang aja sih"" tanyaku begitu Albert sudah menghilang ke dalam rumah,
Mama berhenti mengguntingi ranting-ranting tanamannya. "Hah" Disuruh pulang" Kenapa M
ama harus nyuruh Albert pulang""
"Ya sebel aja dia di sini!" Aku meremas-remas jariku dengan jengkel,
"Ooohh, Mama tahu... Kalian pasti lagi berantem, ya" Hayooo... ketahuan!" Mama mencolek hidungku, dan hidungku jadi sedikit berlumur tanah. "Eh sori, Aya, tangan mama ternyata ada tanahnya, hehe..."
Mama mencuci tangannya dari keran air di samping kebun, lalu membersihkan noda tanah di hidungku,
"Kenapa sih, kok kayaknya kamu sebel banget""
"Itu... Albert. Masa dia nggak ngebolehin aku nonton Thomas Cup di Istora hari ini, Ma.
ku mengadu, "Lho" Kenapa""
"Yah... soalnya aku... aku kemarin ngebohongin dia..." Waduh, nggak enak juga harus cerita
bagian yang ini, "Bohongin gimana""
Aku menimbang-nimbang dalam hati, apakah sebaiknya cerita ke Mama, Tapi karena tadi aku sudah sedikit keceplosan, kayaknya aku nggak punya pilihan lain,
"Ng... jadi kemarin itu Albert ada pertandingan basket, dia kepingin aku nonton dia, Tapi kan kemarin ada semifinal Uber Cup juga, Ma, dan aku udah beli tiketnya... Dan Mama tahu sendiri kan, gimana aku suka sama bulutangkis" Jadi aku... aku bohongin Albert, Aku pura-pura sakit, supaya aku nggak perlu nonton Albert tanding, Aku bilang ke dia, bubar sekolah aku langsung pulang ke rumah, padahal aku nonton di Istora..."
"Haaaaah"" Mama melongo. Benar-benar melongo dengan mulut yang ternganga lebar,
"Iya... terus tadi Albert tahu aku bohong, dan dia ngelarang aku nonton di Istora, hari ini, besok, dan lusa, Dia juga rencana main di sini sampai malam, untuk ngawasin aku, biar aku nggak kabur lagi ke Istora..."
Gadis Buronan 2 Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Bukit Pemakan Manusia 1
^