Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 8

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 8


"oh ya, akupun mendapat suatu pikiran-.." berkata ouw Bwee tiba tiba.
"Apakah itu, saudara ouw?" tanya Put Tong. "Tolong kau jelaskan."
"Belum pernah kau kekantor cabang cit Seng Hwee," si Tua Terbang menjelaskan, "tetapi aku merasa, penjagaan disana tentunya keras sekali..."
"Benar," menyela nyonya Uh. "sepuluh lie disekitar markas ada
dipasang penjagaan yang dirahasiakan, seandainya ada orang
memasuki wilayah kami itu, segera gerak gerikn dapat diketahui."
"Kalau begitu, nyatalah pemikiranku bertambah kemungkinan kebenarannya..."
"Saudara, lekas sedikit memberikan penjelasanmu," Ma Goan Hok mendesak.
"Coh Siauw Pek dan si nona baju hijau dapat dicurigai," kata ouw Bwee, "demikian juga kita. Karena itu, mengapakah Nio Cu Peng tidak dapat menjadi pembunuh dirinya sendiri."
"Kau maksudkan dia membunuh diri?" tanya Goan Hok.
"Benar Mungkin dia telah kena dibeli dan berkhianat terhadap partainya..."
" Habis kenapakah dia bunuh diri?" tanya Put Tong.
"Mungkin dia takut rahasianya terbuka. Atau mungkin Kiu Heng Cie Kiam sudah mempunyai seorang pengganti didalam cit Seng Hwee."
"Saudara ouw, hati-hati kalau bicara" tegur Tiat Eng, " kata- kata
mu ini mengenai nama baik partai kami, ini tak patut kami terima "
Mendengar semua pembicaraan itu, Ma Goan Hok menghela napas berduka.
" Kelihatannya tetap kita tak akan berhasil mencari si penjahat," katanya, "sikap saling curiga-mencurigai bukanlah suatu cara yang baik untuk menyelesaikan soal ini."
" Kakakku telah menyiapkan meja santapan diruang barat, tuan- tuan mari kita makan dulu," berkata Ma Goan Siu, menyela. "Bagaimana kalau kita berbicara sembar bersantap?"
"Begitupun baik" kata Put Tong. Terima kasih.
Ma Goan Hok lalu mengundang para tetamunya itu. Ia berjalan didepan, diikuti ouw Bewe Goan Siu dan Tiat Eng beserta lainnya. Put Tong jalan paling belakang.
Ruang barat itu adalah sebuah halaman yang ditanami banyak pohon bunga, temboknya biru. Ruang itu terpisah dari bangunan lainnya.
"Nah, tuan-tuan disini kita dapat berbicara dengan bebas," kata Goan Hok setelah dia mempersilahkan para tetamunya mengambil tempat duduk. Put Tong merasa heran.
"Kenapa dilain tempat kita tidak bisa bicara tetapi disini dapat dengan leluasa ?" tanyanya.
"Karena tempat ini dikurung dengan pesawat pesawat rahasia," Goan Hok menjelaskan- "orang luar tidak dapat mendekati kita hingga semua pembicaraan tidak akan bocor."
Mulai minum, Put Tong mengeringkan tiga buah cawan- Mulanya dia diam saja, setelah menegak air kata kata itu, baru dia berkata. "Coh Siauw Pek sebagai turunan keluarga Coh sudah tidak dapat
disangkal lagi, sebab dia telah mengaku sendirinya. Tentang kegagahannya, kita juga telah menyaksikan sendiri. Dia pula tidak dapat dituduh sebagai pemilik pedang maut itu. Maka sekarang kita
harus menyelidiki lain orang.. ^" Ia menatap wajah semua tetamu,
setelah itu baru ia meneruskan: "pemilik pedang maut itu luar biasa.
Dia menamakan pedangnya secara aneh dan gerak geriknyapun sangat rahasia. Melihat dari kurban- kurbannya, terang dia tidak memilih partai, dia bagaikan memusuhi semua pay, bun, hwee dan pang Sekarang, saudara saudara, coba pikirkan, kecuali Pek Ho bun, apakah ada pernah ada sebuah partai lain yang telah dibasmi oleh kaum Rimba Persilatan kita ?"
"Aku ingat sesuatu. Mungkin ada hubungannya dengan soal kita ini " Itulah kata kata Hui Siu ouw Bwee si tua terbang.
"Tolong jelaskan, saudara ouw," Ma Goan Hok minta-
"Apakah saudara-saudara pernah dengar nama Thian San Sam Cian?" bertanya ouw Bwee.
"Thian San Sam Cian- artinya si Tiga Cacat dari (gunung) Thian San"
"Pernah aku mendengarnya. Dahulu merekalah jago jago rimba persilatan yang kenamaan untuk wilayah Tiong goan-"
"Betul " ouw Bwee membenarkan. " Ketika aku sedang menuju kemari, aku dengar kabar halnya Thian San Sam Cian sudah memasuki Tiong goan dan maksud kedatangannya guna melakukan
pembalasan sakit hati sebab dahulu orang telah mengusirnya dari
Tiong goan-" Semua orang terkejut, paras mereka berubah.
"Saudara, darimana kau peroleh berita itu?" tanya Goan Hok. wajahnya pucat.
"Aku mendengarnya sewaktu aku berada di lauwteng Hong Ho Lauw. Ketika itu aku tidak menaruh perhatian- Baru sekarang, setelah saudara siang menyebutnya, aku jadi ingat kembali."
Suasana diruang perjamuan itu menjadi tegang. Ruang sunyi tetapi setiap orang berpikir keras, lebih lebih Ma Goan Hok.
Kini, baiklah kita mengikuti dahulu coh Siauw Pek bertiga. Pemuda itu meninggalkan Hok Siu po sebab dia terlukakan pukulan angin Im Hong Touw Kut ciang. Ia tahu tak dapat ia berkelahi terlalu lama, maka ia mengajak kedua saudaranya mengangkat kaki. Sambil berlari lari, ia mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mencegah lukanya menjalar. Ia lari cepat sekali sampai oey Eng dan Kho Kong hampir tidak dapat mengejarnya, hingga mereka ini heran menyaksikan ia dapat lari begitu keras. Lewat kira kira dua puluh lie, mendadak tubuh Siauw Pek limbung.
Kho Kong terkejut, segera dia lompat guna menyambut. Tapi dia gagal, ketuanya itu telah roboh terguling. Dia lalu berjongkok sambil
mencekal tangan Siauw Pek. Tetapi tiba tiba dia menjadi kaget pula.
Tangan ketua itu dingin seperti es. oey Eng pun memburu. "Bagaimana, adik?" ia tanya Kho Kong.
"Berat lukanya," Kho Kong menjawab. "Tangannya dingin sekali."
oey Eng berkuatir tetapi ia tak sebingung kawannya. Ia mengangkat tubuh siauw Pek sambil berkata: "Jangan bingung, orang baik diberkahi Tuhan Mari kita cari pondokan dahulu, baru kita berusaha mengobatinya. Kelihatannya pengaruh Hok Siu po di daerah ini besar sekali, kita harus menyingkir dari mereka."
Kho Kong setujui kakak ini. "Mari " katanya.
Berdua mereka berlari lari, menuju kearah barat dimana nampak sebuah rimba. Mereka tiba disana selang setengah jam. Itulah sebuah rimba besar dan lebat, yang berada dibelakang sebuah gunung.
"Inilah tempat baik untuk kita berlindung," kata oey Eng setelah memasuki rimba dan melihat kesekitarnya. Tak mudah orang melihat mereka. "Tapi luka toako mungkin perlu pertolongan tabib," kata Kho Kong. oey Eng mengangguk.
"Mari kita cari dahulu tempat beristirahat," katanya seraya terus bertindak maju.
Lewat sepuluh tombak, mereka sukar maju lebih jauh, karena lebatnya pohon dan tebalnya rumput.
"Mari aku membuka jalan " kata Kho Kong. Mereka perlu maju lebih jauh.
oey Eng mengangguk. Kho Kong menghunus pedang Siauw Pek.
"Jangan " oey Eng mencegah. "Dengan membabat pepohonan, memang kita mudah masuk lebih jauh, tetapi itu akan memudahkan orang lain pula untuk mengetahui jejak kita."
"Habis bagaimana, kakak ?"
"Lebih baik gunakan saja kedua tanganmu."
Kho Kong menurut, ia berjalan dimuka, saban saban ia mementang tangannya kekiri dan kekanan, membuka jalan- Lagi tujuh atau delapan tombak. mereka sampai dibawah sebuah pohon jie yang besar dan banyak cabangnya serta daunnya lebat.
Dibawahnya tumbuh rumput rumput tebal. Maka setelah meratakan
rumput itu, segera tubuh Siauw Pek diturunkan, untuk ditidurkan- "Kita beristirahat disini saja," berkata oey Eng.
Kho Kong mengangguk, ia mengangkat kepalanya.
"Lihat cabang lebat itu," katanya. "Disana kita dapat berdiam..."
oey Eng berdongak. Benar, ia melihat banyak cabang besar malang melintang hingga berupa balai balai.
"Kalau perlu, dapat kita berdiam diatas," katanya.
"Bagaimana dengan luka toako?" Kho Kong tanya kemudian- "Aku tidak mengerti tentang obat obatan, terserah kepada kau saja, jieko."
"Jieko" ialah kakak yang nomor dua.
"Jangan kuatir. Tenaga dalam toako mahir sekali, luka ini tidak
akan membahayakannya. Toako pingsan disebabkan terlalu letih."
Berkata begitu, oey Eng meraba nadi kiri ketuanya. Tiba-tiba ia terkejut. Kalau tadi ia nampak tenang, sekarang wajahnya tegang. Kho Kong dapat melihat perubahan mukanya.
"Bagaimana, berbahayakah, Jieko?" tanyanya buru-buru. "Denyutan nadinya lemah. Tak sanggup aku meringankannya..." "Habis bagaimana jieko pikir?"
"Kau tunggu disini, aku mau pergi ke desa yang terdekat, buat mencari tabib."
"Kalau begitu, pergilah cepatan " oey Eng mengangguk. "Mari kita pindahkan dahulu toako keatas pohon."
Kho Kong setuju. Dia mendahului memanjat keatas untuk mengatur tempat. Beberapa potong batang dipotongi, diseling dan diikat. Tak lama kemudian, diatas pohon itu sudah terdapat semacam balai balai. Tabuh Siauw Pek segera diikat dengan sabuk, separuh ditarik dan didorong, ia dibawa naik keatas, direbahkan diatas balai balai istimewa itu.
"Sekarang jagalah toako baik baik, aku hendak pergi," pesan oey Eng, yang terus melompat turun, akan keluar dari rimba, buat menuju ke dusun yang paling dekat.
Kho Kong mendampingi ketuanya dengan bajuhnya, ia kerobongi tubuh ketua itu, yang masih belum sadarkan diri juga. ia sangat bingung. Maka ia duduk termenung saja. Setelah lewat beberapa lama, mendadak terdengar suara yang nyaring.
Kho Kong heran, ia menoleh. Maka ia melihat seekor burung, yang tidak dikenalnya, terbang melintasi cabang cabang dan berhenti di bawah pohon jie itu. Bulu burung itu berwarna dan mengkilat, dia menghampiri sebuah pohon dengan bunga warna ungu, dipatuknya dua tangkai bunga, terus dia terbang pergi pula.
"Entah pohon kembang apa itu?" si anak muda berpikir. "Mengapa burung itu mencarinya dari jauh dan ditempat hebat begini?"
Saking herannya, Kho Kong berlompat turun- Dipetiknya satu tangkai, lalu diciumnya. Ia tidak membaui apa apa. Kemudian timbul keinginannya untuk menggigit, buat merasai sarinya. Tetapi belum sampai kemulutnya, tiba tiba ia ingat: "Kalau bunga ini beracun, bukankah aku akan mati konyol" Buatku tidak apa tetapi bagaimana dengan toako, siapa akan menungguinya?" Karenanya, ia batal menggigit kembang itu, dan ia terus memasukkannya ke dalam sakunya.
Dilain detik, timbul pula herannya anak muda ini. ia bertanya tanya, apa perlunya burung itu memetik hanya bunga itu saja" Kenapa tidak lain bunga" Karena ini, ia petik pula beberapa tangkai, lalu dimasukkannya kesakunya, baru ia melompat lagi naik keatas pohon.
Mengawasi ketuanya, Kho Kong menjadi semakin bingung, Maka ketua itu menjadi semakin pucat, tangan dan kakinya dingin. juga nafasnya, jalannya semakin perlahan-
Ketika itu, tak diketahui anak muda ini sudah jam berapa. Dahan dahan menutupi cahaya matahari. Apa yang ia tahu ialah cuaca makin guram. Sangat ia mengharapkan kembalinya oey Eng. Sulit untuknya menenangkan hati. ia merasakan lama seperti sudah berhari hari dan bulanan...
Akhirnya Kho Kong mendengar suara tindakan kaki orang berlari lari, segera ia menoleh dan memasang mata. ia melihat seorang dengan dandanan sebagai petani sedang lari mendatang. Petani itu menggendong seorang lain dipunggungnya. ia terkejut dan heran- Segera ia bertanya tanya sendiri, apa perlunya orang itu lari kedalam rimba" Sangat pesat lagi seorang itu, selagi ia masih menerka nerka, orang telah tiba dibawah pohon-
"Adikku, bagaimana sakitnya toako?" demikian ia mendengar orang itu menanya.
Hanya sedetik, hilanglah keheranannya Kho Kong. Ia mengenali suara oey Eng. Dengan hati lega, ia melompat turun- Dilihatnya
orang yang digendong itu, ternyata adalah seorang tua. Walaupun
digendong, dia rupanya capai sekali, hingga napasnya memburu.
"Nampak keadaan toako makin parah," sahutnya kemudian, "Aku justru lagi bingung. Syukur kau kembali" oey Eng membuka tudungnya.
"Lekas kau naik dan menurunkan sabuk. mari kita ke atas." Kho Kong menurut, ia lari berlompat naik.
Sesaat kemudian, orang tua itu sudah berada diatas pohon, duduk disisi Siauw Pek. masih saja ia tersengal sengal. Baru sesudah hilang letihnya, ia meraba nadi si anak muda. Lalu ia menggeleng geleng kepala. Katanya, "keadaannya terlalu parah, tidak dapat aku menolongnya..."
Kho Kong terkejut, hatinya sedih sekali dan bingung^
"Apakah katamu?" tanyanya, keras. "Kakakku tak dapat ditolong lagi?"
"Aku tidak berkata dia tak dapat ditolong, tetapi akulah yang tidak sanggup," sahut orang tua itu.
"Jangan takut, tuan," kata oey Eng. "Kau coba saja. Kalau kau gagal, kami tidak akan minta ganti jiwa dari kau..."
"Aku percaya kamu tidak akan menyesali atau menggusari aku, hanya..."
"Biar bagaimana, tuan, cobalah," oey Eng meminta, "katanya kau tabib pandai sekali. Percayalah, jikalau kau berhasil, kami akan memberi hadiah besar kepadamu "
"Aku tidak mengharapkan hadiah," kata tabib itu. "Baiklah akan kucoba, tetapi tak dapat aku memastikannya." Kho Kong tidak sabar.
"Luka begini saja kau tidak mampu obati, buat apa kau menjadi tabib ?" tegurnya. Tabib itu terkejut, dia jeri hingga tubuhnya bergentar.
"Akan aku coba..." katanya pula.
"Mustahil kau tidak tahu dia terluka karena apa?" tanya Kho Kong. "Mungkin dia terkena angin jahat."
"Omong kosng Tenaga dalam kakakku mahir, mana mungkin dia dapat terlukakan angin." Tabib itu melengak.
"Sudah, adikku," menyela oey Eng, menghela napas "jangan bikin dia takut. Bagaimana dia bisa mengobati?"
Tabib itu mulai memeriksa nadi Siauw Pek.
"Nampaknya dia benar terkena angin," katanya kemudian- "Mungkin ada hawa jahat di dalam perutnya..."
"Dapatakah tuan menolongnya?" oey Eng tanya.
"Sebaiknya dia harus mengeluarkan banyak peluh, supaya hawa jahat diperutnya itu turut keluar, sesudah itu baru dia makan obat kuat."
"Bukankah itu berarti memakan banyak waktu ?" tanya Kho Kong.
"Menurut pengalamanku, demikianlah. Dia perlu waktu satu hari satu malam, setelah itu dengan melihat keadaannya, kita berikan obat. Aku tidak mengetahui ilmu silat, maka itu aku bicara menurut ilmu pengobatan belaka."
oey Eng percaya orang bicara dengan sejujurnya.
"TUan," tanyanya, "tahukah kau kalau disekitar tempat ini ada lain tabib yang pandai" Aku maksud tabib yang mengerti ilmu luka terpukul?" orang tua itu berpikir.
"Tabib tidak ada, tetapi ada seorang pendeta yang mengerti ilmu obat obatan yang mungkin melebihi aku," sahutnya. "Dia tinggal dari sini jauhnya tiga puluh lie lebih."
"Jangan bicara soal kemungkinan" kata Kho Kong. "Katakan saja, dia sanggup atau tidak."
"Sebenarnya aku mengetahui tentang dia pada belasan tahun yang lampau," kata tabib itu. " Waktu itu aku diundang mengobati seseorang yang mendapat sakit mendadak. Kami telah melewati rumah penginapan, sudah begitu, kebetulan turun hujan besar. Kami mampir dikuil yang terletak disebuah tegalan-.."
Tabib ini batuk batuk. baru ia melanjutkan kata katanya: "Kuil itu sudah tua dan rusak disana sini, penghuninya juga cuma seorang pendeta yang sudah berusia lanjut sekali. Dia memberi kami kamar ditempat sebelah barat."
Kho Kong tidak sabaran mendengar orang bercerita lambat sekali, mau dia menegur, baiknya oey Eng dapat mencegahnya. Terpaksa dia menahan diri.
Tabib itu melirik sianak muda, dia melanjutkan- "Kira kira jam tiga lewat, hujan turun semakin besar, angin menderu deru, dan guntur berbunyi tak hentinya, diseling halilintar saling menyambar berkedapan- orang yang menjemput aku sudah tidur nyenyak. Gangguan guntur membuatku sukar memejamkan mata. Aku pergi kejendela, untuk melongok sebentar.Justru itu, aku melihat sesuatu yang luar biasa."
"Apakah itu?" tanya Kho Kong. "Lekas jelaskan. Kau mengulur waktu ya?"
"oh, tidak..." sahut tabib itu. Dia menyusut peluh didahinya "Selagi aku melongok itu, kilat berkelebat, maka aku melihat seseorang yang (tidak jelas). Ditangannya memegang senjata tajam. Hujan lebat sekali, aku tidak dapat melihat tegas. Akupun
kaget. Tapi si orang perempuan mengenakan pakaian putih,
bajunya yang penuh darah membuatnya terlihat lebih nyata..." "Apa" seorang perempuan?" oey Eng memotong.
"Merekalah seorang pria dan seorang wanita. Wanita itu riap- riapan rambutnya, nampaknya menakutkan- Si pria memondong
wanita itu tetapi kelihatannya lukanya jauh lebih parah. Menurut penglihatanku waktu itu, mereka itu perlu segera dibalut, supaya darahnya dapat dicegah keluarnya. Maka aku memikir buat membukakan mereka pintu, untuk mengajak masuk.Justru itu aku segera melihat sipendeta tua, yang matanya picak sebelah, sudah berdiri menantikan ditangga didepan pendopo..."
"Jadi pendeta itulah yang telah menolong mengobati kedua orang itu?"
Ketika itu aku mendengar wanita itu berkata, "Loo siansu, tolonglah..." lalu dia bersama si pria roboh ditangga itu. Pendeta itu menghela napas, dia mengangkat pria dan wanita itu untuk dibawa masuk."
"Loo siansu" adalah panggilan untuk seorang pendeta tua yang dianggap suci dan berilmu.
"Kemudian?" "Selanjutnya aku tidak tahu, sebab aku tidak melihat mereka lagi."
" Kau tidak melihat, kenapa kau tahu pendeta itu telah menyembuhkan kedua orang itu?" tanya Kho Kong.
"Aku hanya menerka. Peristiwa itu mengagetkan aku. Malam itu aku tidak dapat tidur pulas. Besoknya, setelah terang tanah dan hujan angin berhenti, aku lalu pamitan pulang. Selama itu tidak ada sesuatu yang terlihat dan mencurigakan atau luar biasa, semuanya tenang tenang saja."
"Apakah alasan dari terkaanmu itu?"
"Aku memikir si pendeta orang yang baik hati, jikalau dua orang itu tidak tertolong dan mati, pastilah si pendeta akan mengurus dan mengubur mayat mereka itu. Tapi ketika itu di luar dan sekitarnya, aku tidak melihat kuburan atau tanah yang bekas digali dan ditumpuk lagi."
"Tahukah kau, apa namanya kuil itu?" tanya oey Eng.
"Mulanya aku tidak memperhatikan, satu kali aku menoleh
kebelakang, baru aku melihat namanya, yaitu Siauw Thian ong sie."
"Siauw Thian ong sie..." oey Eng mengulang perlahan- Lalu dia menegaskan: "Apakah kau tidak salah ingat?"
"Tidak." "Kira kira apakah si pendeta masih berada dikullnya itu atau tidak?"
"Ini aku tidak tahu pasti. Peristiwa telah berselang sepuluh tahun- Kuil itupun berada ditempat sepi dan sudah tua sekali. juga si pendeta telah berusia lanjut."
oey Eng masih menanya dimana letak kuil itu, setelah itu dia mendukung si tabib untuk dibawa turun- Segera ia memesan- "Tuan, jikalau kau ingin selamat berumah tangga, aku minta janganlah kau menyebut nyebut halnya kami telah mengundang kau datang kemari untuk mengobati orang " Kata kata itu berupa peringatan keras.
"Aku tahu," sahut si tabib.
"Baiklah Sekarang sudah tidak ada apa apa lagi, mari aku antar kau keluar dari rimba ini."
Kho Kong heran saudaranya begitu mempercayai si tabib. Ia anggap itulah tindakan gegabah. Tapi ia tidak berkata apa apa. Hanya setelah saudara itu sudah kembali, ia memperlihatkan rupa tidak puas. Katanya: "Kalau terjadi sesuatu atas diri toako, aku akan adujiwaku, akan aku bakar Hok Siu Po "
oey Eng tahu kawannya gelisah, ia tidak mempedulikan, ia hanya meraba dada Siauw Pek. Ketia itu masih tak sadarkan dirinya, tetapi jantungnya masih berdenyutan-
"Sabar, saudaraku," katanya kemudian- "Percuma kau bingung tidak keruan..."
"Kau benar, tetapi aku bingung sebab memikirkan bagaimana kita harus menolong toako. Baru saja kau biarkan tabib itu pergi..."
"Tabib itu tabib umum, bukan tabib luka, dia tak dapat menolong kita."
"Kalau begitu, bagaimana sekarang" Apakah kita membiarkan saja toako menderita?"
"Kita pergi ke Siauw Thian ong Sie "
"Sudah lewat sepuluh tahun, apakah si pendeta masih ada?"
"Kita coba saja. Mungkin pendeta itu seorang jago Rimba Persilatan yang sudah mengundurkan diri, maka dia tinggal menyepi di sana."
"Kalau begitu, mari kita pergi sekarang. Kita tak boleh menyia nyiakan waktu."
"Kita tak dapat pergi sekarang. Ada kemungkinan pihak Hok Siu Po lagi mencari kita..."
"Habis bagaimana?"
"Kita tunggu sampai nanti malam. Semoha Thian melindungi kita"
Mau tidak mau, terpaksa Kho Kong menurut kata oey Eng. "Sekalipun kita jalan diwaktu malam, siapa tahu kalau kita bertemu dengan orang Hok Siu Po..." Kho Kong berpikir, kata kata kakak itu benar, terus ia duduk bersemedi.
oey Eng pun beristirahat, walaupun pikirannya tidak tenang. Berat rasanya akan menantikan datangnya sang sore.
Bagaikan merayap. sang cuaca mulai guram dan gelap.
Dengan menyabarkan diri, oey Eng menantikan sang waktu. Akhirnya, ia memondong tubuh Siauw Pek, dibawa berlompat turun- Kho Kong turut turun juga.
"Saudaraku, kau ikatkan tubuh toako pada punggungku," kata
kakak yang nomor dua itu. Kho Kong menurut, ia bekerja cepat.
"Mari" mengajak Oey Eng. ia melihat arah, lalu ia mulai berjalan, untuk menuju kekuil Thian ong sie, kepada Kho Kong ia berpesan:
"Jikalau kita bertemu orang Hok Siu po, kita memisah diri, lalu kita bertemu di Siauw Thian ong Sie. Andaikata di dalam waktu satu hari aku tidak tiba disana, tak sudah kau cari aku..."
" Kenapa, kakak?" tanya Kho Kong heran.
"Itu berarti aku menghadapi bahaya. Selanjutnya, adikku berusahalah sendiri..."
"Tidak" kata Kho Kong, tapi dia bingung.
"Kita sudah sehidup semati, bila kakak berdua mendapat bahaya, tidak dapat aku hidup sendiri..."
oey Eng tahu tabiat adik itu, ia tidak mau bicara lagi. "sudahlah" katanya.
Kho Kong maju kedepan, melewati saudaranya. ia menyiapkan sepasang pitanya.
Meskipun hari telah malam, tetapi demi keamanan, dua orang ini mengambil jalan kecil, karena ini, mereka jadi memakan waktu lebih lama. Selang dua jam, baru mereka sampai di kuil yang dituju itu, yang mudah dicari sebab letaknya mencil di tengah tegalan sepi.
Di depan pintu peka rangan tumbuh dua buah pohon pek yang besar. Kho Kong mau segera mengtuk pintu, tapi kakaknya mencegah.
"Kita masuk dengan melompati tembok," bisik saudara ini. Bahkan ia mendahului, melompat naik, untuk terus lompat turun kesebelah dalam. Kho Kong menyusul.
"Jika si pendeta benar liehay, bukankah perbuatan kita ini tidak pantas sekali?" katanya.
"Jika dia tidak sudi menemui orang, bukankah percuma kita datang kemari?" oey Eng menjawab. "Kita berbuat begini karena terpaksa."
Kuil itu dinamakan Siauw thian ong Sie. "Siauw" berarti kecil, tetapi kuilnya cukup besar. Dilihat dari luar, di dalamnya mungkin
ada belasan kamarnya. Bagaimana kita cari pendeta picak itu?" tanya Kho Kong.
"Datangi saja setiap kamar," sahut oey Eng.
Tiba tiba keduanya mendengar satu suara yang berat: "Amidabuddha Siecu berdua berkenan mengunjungi kuil kami, ada apakah pengajaran siecu?"
oey Eng dan saudaranya terkejut. Serentak mereka berpaling. Sejarak beberapa belas tombak mereka melihat sesosok tubuh manusia. Kho Kong maju mendekati, ketika ia melihat mata orang buta sebelah, tiba tiba dia tertawa.
"Nampaknya kau girang sekali, siecu Apakah yang kau tertawakan?" tanya sosok tubuh itu, setelah dia menghela napas perlahan-
"Itulah karena boanpwee girang dapat bertemu dengan loocianpwee," menjawab Kho Kong "karena dengan begini menjadi terbukti kami tak sia sia belaka datang kemari."
Si sembrono ini masih ingat akan bicara dengan memakai aturan, menyebut dirinya "boanpwee", tingkat muda, dan memanggil si pendeta "loocianpwee", tingkat tua. ini disebabkan setelah dapat melihat lebih nyata, ia mendapatkan imam picak itu berwajah tenang dan agung.
oey Eng cepat menghampiri, sambil memberi hormat, ia berkata: "Loosiansu, kami memohon pertolonganmu. . . " Pendeta itu mengawasi.
"Apakah dia sakit parah?" tanyanya. Dia melihat Siauw Pek.
"Kakakku ini mahir tenaga dalamya, tak mudah dia sakit,"
berkata Kho Kong. "Dia sebenarnya mendapat luka didalam..."
Agaknya si pendeta heran. Bergantian dia menatap kedua tamunya.
"Kita tidak kenal satu sama lain, kenapa siecu berdua dapat mencariku disini?" tanyanya kemudian-
"Kami mendapat petunjuk seorang loocianpwee," menjawab oey Eng. "Karena itu dengan lancang kami datang berkunjung. Kami mohon dengan sangat supaya loosiansu sudi menolong saudara kami ini."
"Tahukah kamu siapa loo ceng ini?" tanya si pendeta. Dia menyebut dirinya "loo-ceng", si pendeta tua. inilah karena dia telah berusia lanjut. Umumnya seorang pendeta membahasakan dirinya "pin-ceng". si pendeta miskin.
"Kami belum tahu nama atau gelaran loosiansu."
"Kamu belum tahu atau tak mau menyebutnya?"
"Sebenarnya belum tahu. Ketika loocianpwee yang memberitahu kami menyuruh kami datang kemari, dia tidak menyebut nama loosiansu."
Pendeta bermata satu itu mengangkat kepalanya, memandang langit yang gelap. sambil mendongak dia berkata seorang diri: "Kamu telah datang, tak dapat loo ceng merusak nama Sang Budha dengan menolak kamu."
"Terima kasih, loosiansu," kata oey Eng. Ia menjura pula. "Kami sangat bersyukur."
"Jikalau loosiansu dapat menolong kakakku ini, bersedia aku menjadi muridmu," kata si sembrono tanpa pikir masak masak lagi. Pendeta itu tertawa.
"Loo ceng sudah tua, sudah lama aku tidak menerima murid lagi," katanya. ia menoleh pada oey Eng sambil menambahkan. "Mari masuk kedalam "
oey Eng mengikut, Kho Kong menyusul.
Mereka melewati toa-tian, pendopo besar, memasuki sebuah kamar.
Pendopo itu diterangi oleh sebuah pelita. Maka terlihatlah sebuah kamar yang sangat sederhana. DiSitu hanya terdapat sebuah pembaringan kayu, sebuah poutoan, dan buku (Poutoan ialah alasan
se-orang pendeta berlutut atau duduk be(halaman ini hilang separo)"
"Memang saudaraku habis berkelahi, sesudah lewat lama, baru lukanya bekerja."
"Dia muda tetapi tenaga dalamnya mahir begini, sungguh langka." kata si pendeta kagum. " Itulah sebabnya kenapa dia dapat bertahan lama, coba dia keburu menjalankan pernapasannya, mungkin dia tak sehebat ini..."
Mendengar itu, Oey Eng dan Kho Kong terkejut, bahkan sampai membuat pelita ditangan Kho Kong terlepas jatuh, tapi dia masih sempat berkata: "Kalau loosiansu tidak dapat menolong dalam dunia tidak ada orang lainnya."
JILID 15 Pelita itu tidak jatuh ketanah, dengan lincah si pendeta telah menyambutnya.
"Benarkah tidak ada harapan buat saudaraku ini?" tanya Oey Eng amat khawatir.
"Tak dapat loo ceng memastikan," kata si pendeta. "Lihat saja dahulu."
"Tolonglah, loosiansu, kami sangat bersyukur." kata Oey Eng, yang air matanya sudah meleleh keluar.
"Kami bertiga bersaudara angkat tetapi kami seperti saudara kandung," kata Kho Kong, "maka itu, kalau loosiansu menolong kakakku, loosiansu seperti menolong kami bertiga. Itu berarti loosiansu menolong tiga jiwa..."
"Akan loo-ceng coba," berkata pendeta itu, "cuma karena lukanya parah sekali, mungkin loo- ceng tidak berdaya..."
" Dalam hal ini loosiansu memerlukan obat apakah?" tanya Oey Eng khawatir. Pendeta itu menghela napas.
"Dia terluka parah karena serangan angin yang beracun, walaupun demikian, dia masih dapat ditolong," katanya. "Yang sulit jalan bahan obatnya. Obatku masih kurang dua macam."
"Obat apakah itu, loosiansu?" tanya Oey Eng.
" Itulah obat-obatan yang sulit dicarinya."
"Tolong loosiansu sebutkan namanya..."
"Sebenarnya tak ada gunanya menyebut itu. Tapi, baiklah aku memberitahukan juga." Ia menghela napas ia memandang kepada Siauw Pek. Ketika ia melanjutkan, ia berkata perlahan sekali: "Siecu ini adalah seorang yang langka yang pernah kulihat. Untuk belajar silat dia berbakat sangat baik, sayang dia dibatasi oleh umurnya. Andaikata dia dapat hidup lagi dua puluh tahun, pasti dia akan jadi jago nomor satu ."
"Dia memerlukan obat apa, loosiansu?" tanya Kho Kong. "Tolong sebutkan nanti kami berdua pergi mencarinya."
"Mungkin sudah terlambat. Looceng mempunyai semacam pil, tapi ini cuma bisa memperpanjang umurnya lagi tujuh hari Selama tujuh hari itu, kemana kita harus mencari obatnya ?"
" Loosiansu, tolong sebutkan dulu nama obatnya." Oey Eng minta.
"Yang satu bunga cie-yam-hoa," pendeta itu menerangkan akhirnya. "obat itu termasuk zat api, khasiatnya untuk mengusir hawa dingin yang beracun."
"cie yam hoa?" kata Kho Kong terkejut, hatinya tergerak. "Bagaimanakah macamya bunga itu?"
"Bunga itu mirip kembang melati, warnanya ungu tua. Tempat dan waktu tumbuhnya tidak ketentuan. Itulah yang menyulitkan"
"Bukankah itu bunga yang aku lihat didalam rimba?" kata Kho Kong didalam hati. Karena ia segera ingat bunga yang dipetik burung tak dikenal itu. Lekas ia bertanya:
"Bunga itu berbau atau tidak?" Pendeta itu menggelengkan kepala.
"Tidak ada baunya. inilah yang menyebabkan orang tidak memperhatikannya."
"Apakah burung menyukai bunga cie yam hoa itu?"
"Ya. Sebenarnya, dalam halnya membaui bunga, manusia dan burung tak dapat disamakan." Kho Kong segera merogoh sakunya, mengeluarkan dua tangkai bunga petikannya. "Loosiansu, bukankah ini bunga yang loosiansu maksudkan?" ia bertanya. Pendeta itu mengawasi bunga tersebut, lalu mendadak dia melompat berjingkrak.
"Tidak salah Tidak Inilah cie yam hoa " serunya. " Inilah obat utama untuk mengusir racun Dari mana kau mendapatkannya ?" Berkata begitu, pendeta itu menatap si anak muda.
"Nanti, loosiansu," menjawab Kho Kong, "setelah loosiansu menyembuhkan kakakku, akan boanpwee antar loosiansu pergi memetik bunga ini." Dengan perlahan, pendeta itu duduk. Nampak dia sangat berlega hati.
"Amida Buddha pujinya. "Sudah empat puluh tahun looceng melatih diri, kenapa looceng masih belum sanggup menyingkirkan ketamakanku"..." Oey Eng heran melihat sikap orang suci ini.
" celaka kalau pendeta ini tak sudi menolong toako..." pikirnya. Maka ia segera menanya: " Loosiansu telah mendapatkan cie yam hoa, bukankah kakakku itu sudah dapat segera ditolong?"
"Sekarang tinggal kekurangan obat yang satu lagi..." sahut pendeta itu.
"Apakah itu, loosiansu?" tanya Kho Kong. Si pendeta menatapnya^
"obat itu bukannya tak ada tempat dan waktu mekarnya seperti cie yam hoa," sahut dia, " walaupun demikian, tak mudah mencarinya..."
Oey Eng berpikir: "Dia bicara tak keruan, mungkin masih ada harapan-" Lalu ia berkata "Loosiansu, tolonglah menunjukkan kami sebuah jalan-.."
"Itulah," sahut pendeta, "ikan tambera emas yang usianya sudah tiga ratus tahun keatas..."
Oey Eng melengak. begitu juga Kho Kong.
"Ikan yang besar mudah dicari tetapi yang setua itu..." katanya. "Bagaimana kita dapat mengenalinya?"
"Bangsa ikan itu ada tiga belas macam, yang dibutuhkan ialah ekor keemas emasan," pendeta menegaskan-
"Seingatku, semua ikan emas merah ekornya..." pikir Oey Eng. Ia berdiam.
Pendeta itu dapat menerka pikiran orang- Ia segera memberi keterangan- "Yang aku butuhkan ialah yang ekornya keemas
emasan itu, ikan mana makin tua umurnya makin tegas warna
emasnya. Namanya yang benar ialah kim sian lie atau kim Bwee lie." "Boanpwee sukar mengenalinya," Oey Eng akui.
"Memang juga paling sukar mengenalinya..."
"Tapi, loosiansu," kata Kho Kong bingung, "apakah dengan cie
yam hoa saja masih tidak cukup untuk menyembuhkan kakakku?"
Pendeta itu berdiam, matanya dipejamkan- Ia seperti tidak mendengar.
Kho Kong mendongkol. Katanya dalam hati: "Eh, pendeta bangkotan, kau main gila, ya kalau kau tidak tolong kakakku, awas jiwamu " Ia mengangkat tangannya, untuk diluncurkan
Oey Eng menyambar lengan saudara itu sembari berkata dengan saluran Toan Im Sie sut: "Hati hati, pendeta ini liehay sekali Jangan kau cari penyakit "
Daging di pipi pendeta itu berdenyutan, ia membuka matanya, terus ia berkata: "Kamu mendapatkan cie yam hoa, itu berarti jiwa kamu tidak bakal hilang. Mengenai ikan tambera, dapat aku tunjukkan satu jalan, kamu akan berhasil mendapatkannya atau tidak-itu terserah kepada untung kamu sendiri."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunjukkanlah jalan itu, loo-siansu," Oey Eng minta.
"camkanlah tuan tuan, looceng cuma mengatakan satu kali.
Selanjutnya terserah kepada kamu, kamu mengerti atau
tidak.Jangan kamu banyak bertanya, tak akan aku bicara lagi "
"Inilah gila" seru Kho Kong didalam hati. "Mana ada aturan macam begini?"
Sisembrono ini mau menanya, tetapi sipendeta mendahului. Katanya: "Empat puluh lie dari sini, disebelah utara sana, ada dua buah pohon murbei yang tua. Kamu lewati kedua pohon itu. Selewatnya jalanan yang penuh rumput dan teduh itu, akan terlihat sebuah jalan kecil..."
Kho Kong batuk-batuk, hingga dia memutus perkataan sipendeta tua.
"Telah aku katakan, jangan banyak tanya kepadaku" memperingatkan pendeta itu. "Kalau tidak. lebih baik kau pergi dari sini " Suara itu bengis dan berwibawa, Kho Kong bungkam.
"Setelah kamu jalan kira kira satu jam, disana kamu akan menemui sebidang tanah berkarang," sipendeta melanjutkan "Disitu terdapan sebuah rumah gubuk. Ingat, biar bagaimana penghuni rumah itu mencaci dan menghina kamu, jangan kamu pedulikan, jangan kamu bentrok dengannya. Lewat dari situ sekarang enam atau tujuh lie, kamu akan sampai disebuah bukit. Dipuncaknya ditengah-tengah itu ada sebuah pengempang luas lima tombak
persegi. Didalam peng empang itu dipelihara dua ekor ikan tambera emas itu, kamu ambillah satu ekor, jangan lebih "
Oey Eng heran. Pikirnya: "Aneh pendeta ini Tidakkah dengan begitu kita sudah akan bentrok dengan orang" Kenapa dia tidak mau menjelaskan segalanya?"
Mata sipendeta bergerak. dia berkata pula: "Sang waktu sudah mendesak. lekas kamu pergi"
Oey Eng segera memberi hormat dan berkata: "Baiklah, loo siansu, boanpwee berangkat sekarang. Harap loo siansu tolong jaga kakakku ini."
"Sebisaku akan aku jaga dia," kata si pendeta.
"Dengan janji loo siansu ini, matipun aku ikhlas" kata Oey Eng, yang terus memutar tubuhnya dan berangkat.
Kho Kong masih mau menanya, tetapi karena saudaranya sudah pergi, dia segera menyusul. Dia mau pergi bersama, Oey Eng pun tidak mencegah.
Mereka ambil arah seperti ditunjukkan sipendeta. Selang empat puluh lie, benar mereka melihat dua buah pohon murbai. Lewat dari situ, tampak sebuah gunung. Diantara kedua pohon lihat tapak kaki, bekas orang berlalu lintas.Jadi itulah jalanan orang.
"Ah, masa bodoh, bencana atau keselamatan-" pikir Oey Eng,
yang terus bertindak untuk lewat dijalanan diantara pepohonan itu. Kho Kong tidak sabaran, dia mendahului kakaknya.
Ketika itu sudah jam delapan atau sembilan.
Dengan tidak mengenal lelah, kedua saudara itu mendaki gunung.
Benar seperti petunjuk si pendeta tua, mereka menemukan sebuah gubuk yang seperti menghadang jalan maju mereka. Rumah itu rumah gubuk tetapi berpintu kayu, pintunya besar. Tak tampak orang diluar atau depan rumah itu. Selagi mereka mau melewatinya,
tiba tiba mereka mendengar teguran, yang datang dari dalam rumah. Itulah suara seorang perempuan tua. "Tuan tuan, kamu mau apa?"
"Kami lagi berpesiar," sahut Oey Eng, mendusta. Ia terpaksa membohong.
"Benarkah, tuan tuan?" terdengar pula suara itu, yang mana
diiring dengan tawa hambar. "Sungguhkah kamu lagi pesiar?"
Tiba tiba Oey Eng ingat pesan si pendeta, agar jangan melayani penghuni rumah. Maka ia tarik tangan Kho Kong, buat diajak berjalan terus. Mereka lari mengelilingi gunung itu. Setelah selintasan, jalan sudah tidak ada. Itulah sebuah tempat belukar, banyak rumpurnya, batunya berserakan. Mereka berlari terus naik keatas... Angin bertiup sejuk. rasanya sangat nyaman-Kembali benar petunjuk si pendeta.
Segera tampak sebuah peng empang luas lima enam tombak persegi. Ditepian barat peng empang itu terdapat sebuah rumah batu. Ditepi empang ada sebuah perahu kecil, yang ditambat pada sebuah pohon cemara.
Kho Kong lari kearah rumah. Ia melihat pintu tertutup dan terkunci dengan rantai besi. Rupanya penghuni rumah sedang bepergian. Lalu ia mengawasi empang. Air dalam tidak ada tiga kaki, hingga nampak dasarnya. Ada terdapat banyak ikan aneh aneh, yang ia belum pernah lihat tadinya.
Oey Eng mengajak saudaranya menaiki perahu, untuk mendayung ketengah, buat mencari si ikan tambera emas. Tak sempat mereka menikmati keindahan peng empang itu.
Di sebelah timur, disana air dalam, terlihat seekor ikan yang tubuhnya merah yang ekornya bersinar kuning emas, panjangnya sekaki lebih. Ikan itu terlihat sebab dia kebetulan nimbul dan nenggak.
Hati Oey Eng tegang. Ia girang berbareng khawatir. Garang sebab melihat ikan itu. Khawatir karena ia percaya ikan mestinya
gesit dan sukar untuk ditangkap. Diam diam dia berdoa: "Semoga Thian melindungi toako " Habis itu ia mengulur tangannya masuk kedalam air, untuk menangkap ikan itu. Diluar dugaan ikan itu diam saja waktu ditangkap.
Diburitan perahu ada beberapa buah tahang kecil, Kho Kong ambil sebuah, buat tempat ikan itu.
"Kita pakai saja tahang ini," katanya.
Oey Eng setuju. Perahu mereka kepinggirkan. Ia melihat kesekitarnya, katanya. "Mudah mudahan tidak ada musuh gelap didalam rumah itu."
Lekas sekali perahu mereka sudah sampai ditepian Oey Eng segera menambatnya. Lantas ia berbisik pada saudaranya: "Kau bawa ikan, aku membuka jalan- Kalau ada musuh, aku yang akan menghadang, lekaslah lari pulang ke Siauw Thian ong sie, supaya kau dapat menyerahkan ikan ini "
Kho Kong mengangguk. "Aku mengerti," katanya.
Mereka mendarat. Oey Eng menghunus pedang. Ia bagaikan mendapat firasat bakal bertempur hebat.
Segera mereka sudah mendekati rumah gubuk tadi.
Tiba tiba terdengar suara menyapa dari dalam rumah: "Bagus, ya Kamu mencari ikannya si tak mau mampus itu Kenapa kamu tak mau memberitahukan maksud kamu padaku supaya akupun dapat menangkap beberapa ekor?"
Oey Eng berbisik pada saudaranya. "Asal dia muncul, akan aku tempur dia, buat mengulur waktu, kau sendiri, segera kau kabur jangan pedulikan aku lagi "
Habis berbisik itu, anak muda ini menjawab teguran dari dalam
itu: "Sayang kami tidak tahu bahwa loocianpwee juga gemar ikan,
kalau tidak tentu sekalian kami menangkapkan beberapa ekor."
"Kamu mencuri berapa ekor ikannya si tak mau mampus itu?" tanya lagi suara dari dalam gubuk itu.
" Itulah seorang perempuan, pikir Oey Eng. "Mungkinkah hubungan dia erat dengan penghuni rumah batu itu, si pemilik ikan- Aku mesti berhati hati."
Maka ia menjawab. "Boanpwee cuma mengambil satu ekor?"
" Kenapa cuma seekor?"
"Seekorpun sudah cukup Jika aku mengambil lebih, itulah buat keuntungan diri pribadi, karenanya merugikan orang lain-"
Tidak segera ada jawaban, sebaliknya terdengar suara roda kereta. Kiranya dari dalam gubuk muncul sebuah kereta diatas mana duduk seorang wanita tua yang rambutnya beruban yang memain di antara tiupan angin, sedang sebelah tangannya mencekal sepotong tongkat. Muka nenek itu pucat, pertanda bahwa sudah lama dia tak tersinarkan matahari^
"Mari" nenek itu mengulapkan tongkatnya. "coba aku lihat ikan itu"
Diam diam Oey Eng berbicara dengan Toan Im cie sut pada adiknya: "Perhatikan aku dik. Asal aku menempur dia, kau molos dan kabur" Kho Kong memberikan janjinya.
Keduanya bertindak maju mendekati si nyonya tua^
Nyonya itu mengulur kepalanya. Kho Kong pun mengangsurkan tahang ikannya. Kata nenek itu: "Ikan itu berharga mahal... tak bagus buat ditonton-.."
Kho Kong kata di dalam hatinya: "Ikan itu untuk menolong kakakku Siapa yang hendak membuatnya main main ?"
Oey Eng berdiri disisi adiknya, bersiap sedia kalau kalau sinenek turun tangan-
Nenek itu menghela napas. Ia berkata perlahan: "Apakah perbuatan kamu ini adalah petunjuk si pendeta tua?"
"Apakah looelanpwee maksudkan loosiansu itu?" Oey Eng bertanya, sebenarnya ia terperanjat. Kembali si nyonya tua menghela napas.
"Jangan kamu mencurigai aku," katanya seraya memutar keretanya, buat masuk kembali kedalam gubuknya.
Heran dua saudara itu. Sinenek tidak merintangi mereka.
Segera Oey Eng memberi hormat kearah gubuk seraya berkata: "Kami telah menerima budi loocianpwee, apabila ada kesempatan kami akan membalasnya." Habis berkata, tanpa menanti jawaban, ia mengajak Kho Kong lari, ia melindunginya.
Dua saudara itu lari terus-terusan, sampai di Siauw Thian ong sie. Didalam kuil mereka mendapatkan s ipendeta tua tengah duduk berdiri seperti semula tadi.
Oey Eng menghampiri, sambil membungkuk ia berkata: "Loo siansu, syukur kami tidak menyia nyiakan petunjuk loosiansu. Telah kami dapatkan ikan emas itu."
Sipendeta membuka matanya perlahan lahan-"Mari kasih aku lihat" Agaknya ia ragu ragu Kho Kong mengangsurkan tahang ikannya.
"Silahkan periksa, loosiansu." Pendeta itu mengawasi beberapa lama.
"Tidak salah," katanya. Terus ia mengawasi dua orang itu. Katanya: "Sekarang kami pergi keluar, ketempat yang tinggi. Kamu memasang mata kesegala penjuru. Asal kamu melihat ada orang asing datang, lekas beritahu padaku." Oey Eng dan Kho Kong menerima perintah itu.
"Agaknya hati sipendeta tegang," Kho Kong membisiki
saudaranya. "Mungkin itu ada hubungannya dengan ikan emas itu."
"Mungkin sinenek dapat menduga loo siansu apalagi sipemilik ikan..."
"Kalau ikan sudah dimasak dan dikasih makan pada toako, dia datang pun tak ada gunanya."
Sementara itu mereka sudah berjaga-jaga. Mendadak dari kejauhan tampak debu mengepul naik.
"Hai" teriak Oey Eng, kaget. "Orang itu lari cepat luar biasa. Mari kita pegat dia, merintanginya masuk kedalam kuil"
Berkata begitu, pemuda ini lari kebelakang sebuah pohon, untuk bersembunyi. Kho Kong sembunyi disebuah pohon lain-
Yang datang itu adalah seorang penunggang kuda dan kudanya berbulu putih mulus. Pantas dia datangnya cepat dan meninggalkan debu mengepul di belakangnya. Kedua mata kuda itu bercahaya merah.
Penunggang kudanya membuat Oey Eng dan Kho Kong heran- Dia adalah seorang nona berbaju hijau, yang dandanannya ringkas. Sekarang ini dia itu menjalankan kudanya perlahan-lahan, menuju kebelakang kuil. Oey Eng batuk-batuk. terus ia muncul, untuk menghadang. Sinona menarik tali kudanya, membuat kudanya itu berhenti bertindak.
"Siapakah kau?" tegur nona itu tawar. "Tidak keruan- keruan kau memegat aku?"
"Kau benar, akan tetapi tak dapat aku membiarkan kau masuk kedalam kota," pikir Oey Eng.
"Kau bisa menggagalkan pengobatan kakakku" ia tahu ia berada dipihak salah, maka ia batuk batuk lagi, baru ia bertanya: "Kau dari mana nona" Nona datang ketempat belukar ini, siapa yang nona cari?"
Sepasang alis si nona terbangun. Agaknya dia mendongkol tetapi dia menyabarkan diri. Maka dia mengawasi si anak muda seraya bertanya: "Apakah kuil itu yang dipanggil Siauw Thian ong Sie?"
"Benar," jawab Oey Eng. Hanya sejenak. dia menyesal. Dia salah omong. Mulanya wajah si nona dingin sekali, tapi setelah itu, mendadak dia tertawa. "Apakah kau dari Siauw Thian ong Sie?"
Oey Eng bingung juga. Tidak dapat ia menerka hati si nona.
Tawa si nona agaknya menunjukkan dia tidak bermaksud jahat.
"Jikalau aku seorang Siauw Thian ong sie, bagaimana?" ia balik bertanya. Si nona tertawa pula.
"Saudara, kau memanggil apakah kepada Kouw Heng Taysu?"
Oey Eng berpikir pula, cepat: "Kiranya loosiansu bergelar Kouw Heng Taysu... Agaknya dia ini menghormati pendeta bermata satu itu. Tapi baiklah aku dustakan dia. ingin aku lihat sikapnya..."
Maka ia bertanya: "Nona she apa?"
"Aku Thio Giok Yauw," si nona menjawab, menyebutkan she dan namanya sekali. "Aku menerima perintah ayah bundaku untuk mengunjungi Kouw Heng Taysu. Aku minta saudara suka tolong mengabarkan kepada taysu tentang kedatanganku ini. Lebih dahulu aku mengucapkan terima kasih."
"oh, kiranya nona Thio. Maaf, maaf " kata Oey Eng.
"Maukah saudara memberitahukan nama saudara pada adikmu ini?" si nona balik bertanya. Buat membahasakan diri "aku" itu, ia menyebutnya "adik".
"Aku Oey Eng," sahut si anak muda.
"Terima kasih, saudara Oey. Sekarang tolong saudara sampaikan kepada taysu, katakan bahwa adikmu datang dari tempat seribu lie, mohon taysu sudi menerima aku."
Oey Eng berpikir cepat: "Loosiansu lagi mengobati kakak, baiklah aku memperlambat waktu..." Maka ia segera mengernyitkan alisnya dan katanya masgul: "Sayang nona datang tak tepat waktunya..."
" Kenapa?" si nona tanya. Dia heran-
"ini waktunya taysu bersemadhi. Tak berani aku mengganggunya." Nampak si nona cerdas, rupanya ia memikirkan sesuatu. "Mohon tanya, saudara Oey, kau pernah apa dengan Kouw Heng Taysu?"
Oey Eng sadar bahwa ia telah salah omong. Lekas lekas ia membenarkannya.
"Aku pernah ditolong taysu dari lukaku yang parah hingga jiwaku tertolong, maka itu, bersedia aku bekerja menjadi penunggu pintunya." Nona itu tertawa.
"oh, kiranya begitu " katanya. "Sayang di dalam usiaku masih muda tak berkesempatan adikmu menemui taysu. pernah adikmu mendengar ceritera ayah bundaku halnya taysu sangat pandai mengobati, bagaikan dia dapat menghidupkan orang yang telah mati."
"Memang" kata Oey Eng, mengikuti lagu bicara orang. " ilmu pengobatan taysu adalah yang nomor satu didalam dunia Rimba Persilatan "
"Dahulu itu ayah bundaku pernah ditolong Kouw Heng Taysu," si nona berkata pula, "maka juga kedatanganku sekarang ini adalah untuk menghaturkan terima kasih kepada taysu. Adikmu membawa sesuatau bingkisan yang tidak berharga..."
Oey Eng berpikir keras. Si nona sangat cerdik, mudah dia
bercuriga. Maka ia harus bicara dari hal yang masuk diakaL
"Menurut apa yang aku tahu," katanya kemudian, "Taysu biasa tak suka menerima bingkisan-"
"Taysu bukannya sembarang orang, maka itu, tak berani kami menghaturkan bingkisan yang berupa barang biasa saja," kata pula si nona. ia tetap bicara sabar dan ramah, terus ia menyebut dirinya adik yang kecil. Dengan sendirinya hati Oey eng tertarik.
"Bingkisan apa itu yang kau bawa, nona?" tanyanya.
"ayah bundaku mendapatkan tiga macam obat istimewa, hari itu sengaja adikmu diperintah datang kemrai untuk menyampaikannya." jawab si nona. ia hening sejenak. terus ia menambahkan: "Sebenarnya ayah bundaku sendiri yang hendak membawa obat obatan ini akan tetapi sayang ayah mendapat halangan- Selagi ayah mencari obat itu, ayah bertemu ular berbisa yang menjagai pohon obat itu dan kena dipagut, karenanya terpaksa ayah mesti berobat dan berdiam dirumah untuk sekalian beristirahat. Begitulah adikmu sendiri yang ditugaskan membawa obat itu."
Oey Eng mendongak melihat langit. ia malu di dalam hati.
Selagi orang berdiam, Nona Thio bertanya pula: "Numpang
tanya, saudara Oey, masih berapa lama lagi taysu bersemadhi ?"
Oey Eng mengawasi nona itu. Dialah seorang nona yang cantik manis, bahkan sangat menarik hati. Tak berani ia mengawasi lama- lama, lekas-lekas ia berpaling kelain arah. Tetapi didalam hatinya, ia memuji kecantikannya itu...
Selama berbicara tadi, belum pernah sipemuda memperhatikan wajahnya si pemudi. Sejak tadi ia menganggap nona berbaju hijau itu elok tapi tak disangka setelah memandang sejenak itu, ia tahu, bahwa dia sangat menggiurkan hati. Sampai ia lupa menjawab pertanyaannya
Selagi menanti jawaban, tiba tiba si nona menghela napas.
"Saudara Oey, maaf," katanya pula. "Hampir aku lupa pesan ayah bundaku..."
Diam diam Oey Eng terperanjat.
"Apakah itu, nona ?"
"Ketika aku berangkat dari rumah, ayah dan ibu memesan adikmu," sahut sinona. "Adikmu diberi ingat supaya kapan tengah bicara dengan orang lain mesti adikmu membawa diri baik baik dan jangan sembarangan saja, karena adikmu mudah tertawa."
" Itulah pesan yang benar sekali," kata Oey Eng.
" Hanya sayang," kata pula sinona, "tertawa bagiku adalah semacam penyakit, sukar adikmu merobahnya. Tanpa merasa adikmu suka tertawa sendiri..."
"ayah bunda memesan dengan maksud baik baiklah kalau nona dengar dan turuti pesan itu."
"Kalau begitu, berpalinglah kelain arah, adikmu akan tidak tertawa pula" kata sinona.
Oey Eng menurut, ia menoleh kelain arah, tubuhnya sendiri tak
bergerak. "Eh, eh, kau belum menjawab adikmu " menegur si nona.
"Nona menanya apakah?" balik tanya Oey Eng, dan menanya begitu, dia kembali menoleh, memandang nona itu, ia bagaikan lupa dirinya.
Sinona tertawa geli, hanya sebentar, ia berdiam pula. Nampak ia seperti lagi mengekang dirinya. Dengan roman sungguh sungguh ia tanya: "Adikmu tanya, kapan Kouw Heng Taysu akan menyudahi semedhinya ?"
"Masih lama," sahut Oey Eng. Baik nona menantikan saja.
"Baiklah," kata nona itu. Adikmu tidak mempunyai urusan lain, tak apa adikmu menunggu sampai setengah harian atau semalaman- Dan ia kemudian duduk bersila bagaikan orang tengah bersemadhi. Hati Oey Eng lega juga.
"Buat sementara, dapat aku mencegah dia masuk," pikirnya. "Hanya entah sampai kapan taysu selesai dengan pengobatannya terhadap toako..." Memang pendeta itu tidak memberikan batas waktu kepadanya.
Kho Kong ditempat sembunyinya terus berdiam saja, akan tetapi ia melihat dan mendengar semua. Ia girang sebab kakaknya yang nomor dua itu dapat mempermainkan sinona. Pikirnya: "Kalau aku yang menggantikan jieko pasti aku gagal melayani sinona itu berbicara, atau kita mesti telah berkelahi..."
Dia berpikir begitu, sebab hatinya lega, tanpa merasa pemuda ini menggeser tubuh kakinya bertindak mundur.
Nona Thio liehay sekali, dia mendengar orang berkeresek, kemudian dengan perlahan sekali ia berkata kepada Oey Eng :
"Saudara Oey, dibelakang kita, disebelah kiri, sejauh setombak
lebih, mungkin ada orang." Oey Eng terperanjat didalam hati.
"Sungguh liehay nona ini," pikirnya. "Selain mendengar gerak gerik orang, iapun dapat menerka jaraknya.Jikalau begitu, aku bukanlah lawannya..."
Kembali sinona berkata dengan perlahan: " orang itu sudah bergerak maju kearah kuil apakah perlu adikmu turun tangan untuk membekuknya ?"
Perlahan suara sinona tetapi nadanya sangat jelas. Bingung juga si pemuda.
"Tak usah, nona," ia mencegah. "Orang itu seperti aku, tinggal sama-sama didalam kuil Siauw Thian ong Sie ini."
"Jikalau adikmu tidak memandang, tak nanti adikmu menantikan sampai dia mengundurkan diri," berkata si nona, "kalau tidak. tidak nanti adikmu bicaa dahulu dengan kau, saudara Oey." Mendadak diam-diam sejenak. kemudian meneruskan : "Eh, ini agak aneh " Kembali Oey Eng terkejut didalam hati.
"cerdik, pikirnya. Nona ini luar biasa cerdiknya Aku mesti
waspada. Maka ia berpura-pura menanya: "Apakah katamu, nona ?"
"Sebenarnya adikmu telah diberitahukan ayah bundaku." berkata nona itu, menjawab pertanyaannya, bahwa didalam kuil ini, Kouw Heng Taysu tinggal seorang diri saja, dia tidak mempunyai murid atau pegawai tukang masak akan tetapi kenyataannya sekarang lain, selain saudara kiranya masih ada orang lain lagi, aku percaya kata-kata ayah bundaku itu, maka itu dengan adanya orang lain lagi, tidak anehkah itu ?"
Berkata begitu, nona itu menatap tajam si pemuda. Matanya bersinar berwibawa
Oey Eng dapat mengendalikan dirinya. Ia berlaku tenang.
"Ayah bundamu itu benar, nona, mereka tidak berdusta," kata ia. "Akupun bicara dengan sebenarnya."
Kedua mata si nona memain-
" Dapatkah kau menjelaskan kata-katamu ini?" tanya dia.
"Bila ayah bunda nona datang ke Thian ong Sie, aku tidak tahu," menjawab Oey Eng, "aku hanya menerka bahwa itu mestinya telah terjadi pada tahun yang telah berlalu. Nona Thio hendak mengucapkan sesuatu, lalu batal.
"Benar-benar nona ini sangat cerdik," pikir Oey Eng. ia melihat orang urung bicara.
"Dahulu tak ada orang yang kuketahui Kouw Heng Taysu berdiam didalam kuilnya ini," ia melanjutkan, "cuma beberapa jago Rimba Persilatan saja yang mendapat tahu. Umum cuma tahu kuil ini sepi dan tua, didalam satu tahun cuma beberapa gelintir orang saja yang datang bersujut kemari."
Si nona menyela: "Bukankah sekarang telah datang banyak orang ?"
"oh, nona yang liehay," pikirpula Oey Eng. Rupanya dari banyak kata-kataku ini dia melihat suatu cela, ia menyambung: " Lewat beberapa tahun, entah bagaimana jalannya, kemudian orang ketahui bahwa taysu bersemayam disini, karena itu ada kalanya datang orang-orang yang terluka untuk minta tolong diobati. Tidak dapat tidak taysu menolong apabila ia melihat orang terancam bahaya maut, begitulah nama dan perbuatan taysu jadi tersiar luas hingga kejadianlah Siauw Thian Ong Sie yang biasanya sunyi senyap sering dikunjungi orang. Apakah orang itu pegawai kuil ini.
" Didalam kuil ini, kecuali taysu serta aku, masih ada dua orang lainnya lagi." Oey Eng terpaksa memberi keterangan untuk melenyapkan kecurigaan orang. "sekarang silahkan nona menanti sebentar, aku hendak masuk kedalam kuil untuk melihat dahulu, nanti aku datang pula memberi tahukan kepada nona."
"Baik, saudara Oey. Adikmu akan menantikan disini," sahut nona itu. Nampak ia sangat polos sekali.
"Aku akan masuk dan lekas keluar lagi," kata Oey Eng, yang terus memutar tubuh buat berjalan pergi. Sembari berjalan hatinya berpikir: "Pada saat ini, entah bagaimana luka toako. Rasanya sang waktu sudah lewat cukup lama."
Setibanya di Houwtian, ruang dalam, Oey Eng melihat Siauw Pek seorang diri. ketua itu tengah duduk bersemadhi, kedua matanya ditutup rapat. Kho Kong menjagai ketuanya dengan berdiri berjaga- jaga dipintu. "Adikku, mana loosiansu?" ia bertanya. Kho Kong mengawasi kakak nomor dua itu.
"Bukankah jieko gembira berbicara dengan sinona?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan orang itu.
"Hus, jangan bergurau " kata Oey Eng. "Lekas beritahu aku, mana loosiansu ?"
"Loosiansu pergi kedapur. Ia minta aku berdiam disini menjaga toako."
Oey Eng berpikir, karena si nona datang dari tempat yang jauh, perlu ia mewartakan kepada Kouw Heng Taysu, karena itu, lekas ia pergi kedalam. Tiba didapur, ia tidak melihat sipendeta. Sebaliknya diatas daput, ia mendapatkan sehelai kertas kuning yang ada tulisannya. Ia heran tetapi lekas ia membaca.
" Didalam kwali ini ada masakan ikan, setelah dimakan, pengaruh obat cie-yam-hoa segera akan bekerja, guna menyingkirkan racun didalam tubuh sahabatmu. Mengandaikan tenaga dalamnya, didalam tempo tiga hari dia akan sembuh kembali seperti sedia kala, akan tetapi selama tiga hari itu, tak dapat ia melakukan pertempuran, juga tak boleh dia bergusar. Loo ceng menyukai kesepian dan ketenangan, karena tempat ini telah diketahui oleh kami, hendak kucari lain tempat lagi."
Surat itu tanpa tanda tangan, tidak menyebut tempat tujuan sipendeta.
(hal 38-39 tidak ada, langsung ke hal.40)^ dan hanya meninggalkan surat ini..."
"Begini saja," kata Siauw Pek, "sebab sinona bukannya musuh, tidak dapat kita membohong terhadapnya. Kitalah laki laki sejati, tidak dapat kita mendustai dan menghina seorang wanita, perlu kita bicarakan terus terang kepadanya."
"Nona itu sangat cerdas, memang sulit buat mendustainya."
"Toako, buat apa pusing pusing ?" kata Kho Kong. "Loosiansu telah pergi, kenapa kita tidak mau pergi juga ?" Siauw Pek menggelengkan kepala.
"Tak dapat," katanya. Jikalau kita tinggal dia pergi, kita bakal
dicaci maki orang dan juga kita menggagalkan urusan dia..."
"Kalau kita ketemukan dia dan dia tidak mau percaya keterangan
kita, apakah itu juga tidak memusingkan kita ?" tanya Kho Kong.
"Sudahlah," kata Oey Eng akhirnya. "Sha tee, kau pergi bersama
toako, kau melindunginya. Urusan disini serahkan kepadaku "
"Tidak bisa " berkata siauw Pek. Jikalau kau gagal, aku bisa berkelahi dengan nona itu. Mana dapat kau ditinggalkan seorang diri ?"
"Andaikata toako ada bersama disini, toako pun tidak akan bisa berbuat apa-apa," Oey Eng kata pula, "surat loosiansu menjelaskan didalam tempo tiga hari, toako tidak boleh melakukan pertempuran dan bergusar. Bukankah dengan berdiamnya toako disini, toako jadi menambah bebanku ?"
"Jieko benar" kata Kho Kong, "toako harus pergi dari sini."
"Nah, shatee lekas kau antar toako " kata Oey Eng pada saudaranya yang muda itu. Biar aku berdiam seorang diri disini, akan aku layani dia dengan melihat selatan- Tersendirian saja, aku jadi merdeka."
Siauw Pek dapat mengerti. "Baiklah " katanya akhirnya^
"Jieko. kepergian kita tanpa tujuan," berkata Kho Kong, "maka itu, dimana ada tikungan, di situ aku akan memberikan pertanda, supaya kau mudah menyusul kami."
Siauw Pek mengawasi Oey Eng, ia mengjela napas/
"Semuanya karena itu," katanya masgul. "Toako tidak dapat disesalkan," kata Oey Eng.
"Nah, baiklah, harap kau berhati hati " kata siauw Pek akhirnya, lalu ia bangkit, untuk berangkat pergi.
Kho Kong mengintil dibelakang ketuanya itu.
Oey Eng menanti sampai kedua saudara itu tak nampak. baru ia bertindak kebelakang kuil. Ia mendapatkan Nona Thio masih duduk bersila, menantikannya.
"Nona Thio" ia memanggil. Ia batuk batuk. untuk memberi isyarat. ^
"Apakah Kouh IHeng Taysu sudah selesai bersemedhi?" demikian suara si nona yang pertama tama. Dia tidak menjawab hanya bertanya.
"Taysu sudah pergi mengunjungi sahabatnya, dia tidak ada didalam kuil", sahut Oey Eng.
Nona itu melengak. "Kemanakah dia pergi ?" dia tanya.
"Tak tahu, nona, Aku tidak menanyakan kepadanya."
"Kapankah dia akan kembali?" si nona tanya lagi.
"Entahlah. Ada kalanya dia pulang dalam satu hari, ada kalanya juga dia tak pulang berhari hari."
sekonyong konyong nona itu berlompat melewati si anak muda, untuk lari kedalam kuil.
Oey Eng tidak kaget, ia tidak khawatir. Pikirnya: "sekarang ini kuil tentu sudah kosong." Ia tidak mau pergi menyingkir, hanya ia
mengikuti nona itu. Tiba di depan pintu, mendadak si nona berpaling.
"Saudara Oey," katanya, tanyanya, "adikmu hendak masuk
kedalam kuil untuk melihat lihat dapatkah kau memberi ijin."
"Silahkan masuk nona" menjawab si pemuda. Tak ada perlunya lagi buat ia menghalangi atau menghambat pemuda itu.
Thio Giok Yauw bertindak kedalam pendopo ia melihat kelilingnya. "Biasanya Kouw Heng Taysu bersemedhi di kamar yang mana?" ia tanya.
Oey Eng melengak. itulah pertanyaan sulit untuknya. Sejak bertemu si pendeta, selalu mereka berada didalam ruang itu. Ia tidak tahu kamar si orang sucu Tapi ia tidak dapat tidak manjawab.
" Kamar Taysu ialah kamar diruang dalam," demikian sahutnya cepat.
Glok Yauw berdiam, ia berjalan berputar didalam kuil itu. Akhirnya ia kembali ke ruangan tadi, pendopo besar.
"Mana dia kamarmu, saudara Oey," dia tanya
"Biasanya aku tidur dimana aku suka."
"Sekarang ini apa saudara mau tetap berdiam disini menantikan
pulangnya taysu?" si nona tanya pula. Oey Eng mengangguk. "Ya," sahutnya/
Mendadak saja nona itu tertawa dingin dan berbareng tangan kanannya meluncur menangkap lengan si anak muda.
Syukur buat Oey Eng, ia selalu siap sedia. Ketika sambaran tiba, ia berkelit, tangannya ditarik.
Melihat serangannya gagal, nona itu menyusul menyerang dengan tangan kirinya. Oey Eng berkelit pula.
"Nona" ia berseru. "^ona, kenapa kau menyerang aku?"
"Aku tak takut kau kabur" berkata nona itu. Tapi dia mundur dua tindak. Ia berkata lagi: "Apakah kau sangka aku bocah usia tiga tahun" Hitung hitunglah mataku buta, telah keliru aku menganggapmu sebagai orang baik-baik" Oey Eng heran-
" Entah dari mana ia ketahui rahasiaku..." pikirnya. Tapi ia lekas berkata, perlahan: "Kau kenapa nona" Apakah artinya kata-katamu ini" Tolong nona jelaskan-"
" Inilah sebuah kuil tidak besar," kata sinona "Kau berkata bahwa kau berdiam disini, mana kamarmu?" berkata begitu, tiba tiba suara si nona menjadi keras, wajahnyapun berubah keren. Tegurnya: "Siapa kau sebenarnya" Apakah hubunganmu dengan Kouw Heng Taysu" bicaralah terus terang, jikalau kau main gila, jangan kau sesalkan aku"
Oey Eng tidak menjawab, hanya dia berkata "Nona, ketika ayah bundamu menyuruh kau datang kemari, tentunya mereka telah memberi tahukan bagaimana macamnya pendeta tua itu?"
"Tentu Tentu aku mengetahuinya"
"Bagus nona Kau tentu mencurigai aku bahwa aku tidak kenal pendeta suci itu. Baik, akan aku lukiskan-"
"Nah, coba kau katakanlah" kata nona itu.
"Kouw Heng Taysu sudah berusia tinggi dan matanya buta sebelah benar tidak?"
Alisnya si nona terbangun.
"Tidak salah. Dia tentu kenal Kouw Heng Taysu..." pikirnya.
"Kouw Heng Taysu sangat menyukai ketenangan maka juga dia memilih kuil mencil dan sunyi. Akan tetapi selama ini ia mendapat tahu bahwa ada orang Rimba Persilatan yang mengetahui dia tinggal disini, maka itu pernah ia mengatakan padaku bahwa tempat ini sudah tidak cocok lagi untuknya, bahwa sewaktu waktu ia akan pindah kelain tempat..."
"Kau sudah tahu bahwa taysu telah pergi kenapa kau tidak memberitahukan aku dari tadi?" menegur nona itu.
"Tapi nona, selagi kita bicara itu, dengan sebenarnya aku tidak tahu bahwa taysu sudah pergi."
"Kalau begitu, satu jam dimuka, dia masih berada di dalam kuil?"
"Benar. Taysu lebih tak kerasan sebab sudah pernah terjadi tengah ia bersemedhi ada tamu tamu berkunjung hingga ibadahnya itu terganggu. Adalah biasa bagiku setiap kali taysu bersemedi, aku pergi meninggalkannya, buat berdiam diluar, untuk memberi keterangan andaikata ada datang tamu tamu, guna mencegah ada orang yang sembrono masuk dan mengganggunya. Tadik belum lama aku keluar dari kamar, aku bertemu dengan kau, nona. Ketika itu taysu masih berada didalam. Begitulah aku berbicara dengan nona, jadi bukan sengaja hendak merintang imu." Glok Yauw menghela napas.
"Aku tidak menyalahkan kau," katanya. Ia diam sejenak, kemudian menanya: "Tengah kita bicara tadi, ada orang yang mengundurkan diri kedalam kuil, ketika aku hendak menawannya, kau mencegah saudara Oey, Kemanakah perginya dia itu?"
Oey Eng berpura berpikir.
"Mungkin dia ikut Kouw Heng Taysu."
"Bagaimanakah ilmu silat Kouw Heng Taysu."
"Di hadapanku loo siansu belum pernah mempertunjukkan ilmu silatnya. Menurut apa yang aku tahu, mestinya taysu lihay sekali, ilmu silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan. "
"Memang ayahku pernah mengatakan bahwa Kouw Heng Taysu adalah seorang pendeta ya berilmu tinggi. Dilihat dari sikapnya, teranglah dia tak sudi menerima aku..."
"Entahlah, aku tak tahu."
"Selama kau tinggal disini, pernahkah kau melihat tamu wanita?"
"Belum pernah."
"Ada pendeta berilmu yang tak sudi menerima tamu wanita, benarkah itu?"
"Tentang ini loosiansu belum pernah bicara denganku."
"Darijauh aku datang, aku tidak bertemu taysu, menyesal sekali," berkata sinona.
" Ini dia yang dibilang datangnya gembira, pulang lesu. Sekarang aku minta pertolongan kau.Jikalau nanti kau bertemu dengan taysu, katakan bahwa aku, Thio Giok Yauw, jikalau aku bukannya memandang ayah bundaku, pasti sekali kuil ini kubakar ludes" Oey Eng terperanjat. Ia melihat muka si nona itu. Wajah sinona merah padam.
"Dia datang dari tempat jauh, tidak aneh dia kecewa," pikirnya. "Tentu dia mempunyai ilmu silat yang tinggi, lebih baik aku yang mengalah saja..."
Maka dari itu ia berdiam diri.
Kembali si nona berkata^ "Eh, orang she Oey, Kouw Heng Taysu sudi ketempat kau disini, kau tentunya dapat perlakuan yang tidak dapat dicela, bukan?" Sekarang sinona tak lagi memanggil "Saudara Oey" dan suaranyapun keras.
" Demikianlah, nona." menyahut Oey Eng
Ia mendongkol juga sebab nona itu bersikap kasar, baik terhadap Kouw Heng Taysu, maupun terhadapnya sendiri. "Aku belum diterima sebagai murid, akan tetapi aku telah banyak petunjuk dari dia, dari itu diantara kami sudah ada kaitan guru dan murid"
"Itulah bagus" berseru si nona yang mendadak mengajukan diri dan menyerang Oey Eng terkejut, ia melompat mundur. Sukur ia terus bersiaga^
"Nona" katanya. "kalau nona mau bicara, bicaralah baik baik..."
Glok Yauw tidak memperdulikan, kembali ia menyerah. Kali ini ia menggunakan kedua tangannya dan ujung jarinya mencari sasaran secara hebat.
Diserang berulang ulang, terdesak maka terpaksa, ia menangkis .Justru karena ini, mereka jadi bertarung. Segera ia merasa bahwa ia menghadapi lawan yang liehay. si nona benar hebat.
Lekas juga, duapuluh jurus telah berlalu. Itulah karena gencarnya si nona melakukan serangan-
"Ilmu silatmu tidak dapat dicela," berkata si nona dingin. Lalu ia memperlancar serangannya, membuat lawannya repot.
Oey Eng terdesak. sibuh ia membela diri hingga sulit buatnya melakukan serangan balasan- Maka juga, lagi beberapa jurus, tangan kanannya telah kena tertotok. Sasaran itu ialah jalan darah thian coan, maka seketika juga, tangan kanannya itu tak dapat digunakan lagi.
Masih Thio Giok Yauw merangsek terus.
Dengan hanya tangan kiri, Oey Eng tidak berdaya lagi. Baru tiga jurus, kembali ia kena ditotok. sampai dua kali saling susul, pertama jalan darah hiap pek dilengan kiri, dan kedua jalan darah pou lung didadanya.
Baharu setelah itu, si nona menghentikan perkelahian- Katanya dingin: "Karena menjadi orang yang disayangi Kouw Heng Taysu, aku lampiaskan kemendongkolanku terhadapmu ayah bundaku pernah ditolong pendeta itu, itulah satu soaL sekarang dia menghina aku, inilah soal lain Karena dia tak sudi menemui aku, obat yang aku bawa ini tak sudi aku serahkan kepadanya. Dan kau, jikalau kau mendendam sakit hati, kau boleh cari aku untuk membuat perhitungan"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis berkata begitu, si nona berlompat mundur, untuk terus membalikkan tubuh dan pergi melenyapkan diri.
Si anak muda melongo melihat orang mengangkat kaki. Ia masgul dan mendongkol.
" celaka kau, Oey Eng" katanya didalam hati. "Kaulah laki laki tapi kau roboh ditangkap seorang wanita Belum tiga puluh jurus Dengan begini, dapatkah kau memasuki dunia Sungai Telaga" Dapatkah kau disebut seorang gagah?"
Letih dan berduka, pemuda ini menjatuhkan diri untuk duduk dilantai. Ia mencoba mengatur pernapasannya. Ia menyesal tidak mengerti ilmu tenaga dalam yang dapat menyembuhkan totokan, kedua lengannya tidak dapat digunakan lagi, meski ia masih bisa berjalan, tetapi ia mirip seorang lumpuh.
Belum lama ia duduk berdiam itu, tiba tiba Oey Eng dikejutkan suara yang keras: "Bagus ya, hweesio bangkotan. Selagi aku tidak ada dirumah, kau curi ikanku. Jikalau kau tidak memberikan keadilan kepadaku, aku akan bakar hangus kuil Siauw Thian ong Siemu
"Hweeshio" ialah pendeta.
Oey Eng terkejut sekali. Ini dia yang dibilang, satu ombak belum tenang, lain gelombang telah datang" karena kedua tangannya tidak berdaya, terpaksa ia berdiam saja, bahkan ia pejamkan kedua matanya dan menyenderkan tubuhnya, untuk berpura pura tidur. Hanya diam diam, ia mengintai.
Suara bengis itu dikeluarkan oleh seorang yang berusia kira kira enam puluh tahun dengan jenggotnya putih turun kedadanya. Dia mengenakan kopiah putih serta jubah hitam, sebelah tangannya mencekal joran, yaitu bambu pancing, punggungnya menggendol jala. Dengan kedua mata terbuka lebar dan bijinya seperti terputar, tampak dia gusar sekali. Tak berani Oey Eng mengintai terus, buru buru ia merapatkan matanya.
Orang tua itu melihat si anak muda, ia menggerakkan jorannya, maka meluncurlah tali pancingnya, terus pancingnya menyantel di baju orang didada.
"Hai bocah, lekas bangun" teriak dia. "Jangan kau buat darahku bergolak naik. Nanti dengan pancingku ini aku lempar kau keluar pendopo ini" Oey Eng khawatir sekali. Tak dapat ia melawan-
"Loo tiang, ada apakah ?" ia bertanya, sabar. "Lotiang" ialah panggilan untuk orang tua.
Nelayan tua itu menghentak pancingnya, meloloskan cantelannya. "Kemana pergi si hweesio tua bangka?" tanya dia keras.
"Pendeta yang mana, lootiang?" Oey Eng balik bertanya. Ia belagak pilon. Gusar orang berbaju hitam itu.
"Aku maksudkan hweesio tua dari Siauw Thian ong Sie ini" bentaknya. "Jikalau kau tidak kenal dia, bocah, kenapa kau berada disini?"
"Lootiang, aku adalah seorang yang tengah membuat perjalanan," Oey Eng mendusta. "Karena letihku, aku singgah disini. Apes untukku, kebetulan aku bertemu seorang nona kasar, dengan tidak ada sebab musababnya dia telah menyerang aku hingga kami jadi berkelahi..."
"Bagaimanakah kesudahannya?" tanya si kakek. tertarik. "Kau kalah atau menang?"
"Kalah..." sahut Oey Eng, mukanya merah. Dia malu.
"Seorang laki laki kalah dengan seorang perempuan, alangkah memalukan " seru orang tua itu.
"Aku kalah pandai, habis, apa daya..." Oey Eng mengakui. sepasang alis putih pengail itu terbangun-
"Eh, bocah, kalau kau kalah, apakah kau tidak mampu lari?" tanya dia. "Hm Sudah keok, lantas tidor molor disini Sungguh tak ada guna"
Muka si pemuda menjadi bertambah merah, dia malu sekali. Tapi, terpaksa dia menutup mulut...
Si orang tua tiba tiba nampak seperti dia ingat sesuatu. Dengan cepat dia menanya: "Aku si orang tua bukannya orang yang dapat
dipermainkan Lekas kau bilang anak perempuan itu mengenakan pakaian macam apa?"
"Baju hijau," sahut Oey Eng. "Dia cantik sekali..."
"Tidak salah tidak salah" kata si orang tua berbaju hitam itu. "Tadi selagi mendatangi kemari, aku bertemu seorang bocah wanita berbaju hijau. maka kau, bocah, kau nyata tidak ngaco belo" Oey Eng terus berdiam. Ia tetap jengah.
Si orang bagaikan sudah lupa dengan maksud kedatangannya, dia mengawasi si anak muda, sembari menggeleng geleng kepaia, dia berkata sabar. "Nah, bocah, kau harus dengar nasihatku. Ingat, kalau kelak dibelakang hari kau menikah, jangan kau menikah dengan wanita yang terlalu cantik "
Mendengar itu, diam diam Oey Eng merasa geli. Pikirnya, "Mungkin tua bangka ini pernah merasai hebatnya seorang wanita cantik,.."
"Eh, tahukah kau she dan namanya anak perempuan tadi itu?" kemudian si oarng tua menanya, romannya bersungguh-sungguh. Oey Eng mengangguk.
"Bagus " seru orang tua ini. "Aku akan ajarkan kau beberapa jurus ilmu silat, habis itu kau pergi cari dia. buat menghajarnya, buat kau membalas sakit hati " Oey Eng heran, dia mendelong mengawasi orang tua itu.
Si orang tua betul aneh. Dia berkata dan berbuat. Dia meletakkan jorannya dan berkata "Bangunlah Mari pelajari beberapa jurusku!"
Dengan merasa sangat malu, Oey Eng kata perlahan- "Aku telah ditotok anak perempuan itu..."
Si orang tua menghampiri, ia menatap tajam, setelah itu, ia menepuk nepuk tubuh orang, kemudian dia berkata: "Aku telah menciptakan semacam ilmu silat yang terdiri dari sembilan jurus, namanya Kiu ciauw ciang hoat. Asal kau bisa mewariskan separuh
saja ilmuku ini, sudah cukup dan jika nanti kau bertemu pula bocah berbaju hijau itu, pasti akan dapat mengalahkannya"
Pemuda ini telah tahu benar ilmu silat si nona, ia menyaksikan kata kata orang tua ini. Pikirnya: " Walaupun aku dapat mewariskan semua sembilan jurusmu, belum tentu aku akan berhasil memenangkan nona itu..."
orang tua itu segera membuktikan kata katanya. Tak peduli orang mau menerima pelajarannya atau tidak. Segera ia memasang kuda kudanya. Berkata dia: "Sekarang loohu akan memberi kau lihat jurus jurusku, kau ingat baik-baik, setelah itu, kau menelan "
orang tua aneh ini sekarang membahasakan dirinya "loohu", aku si orang tua. Habis itu, dengan sangat perlahan, dia mulai dengan pelbagai gerakannya.
Oey Eng mengawasi. Begitu orang mulai, perhatiannya segera menjadi tertarik. Ia terus memasang mata.
Nampak sungguh sungguh orang tua itu memberikan pelajarannya. Semua gerakannya terlihat nyata dan benar benar luar biasa. Seminuman teh lamanya, selesai sudah pelajaran ilmu silat itu.
"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji tanpa merasa. Si orang tua berbaju hitam tertawa.
"Agaknya kau berpengetahuan juga, anak" katanya.
"Lootiang terlalu memuji," berkata Oey Eng merendah.
Berkata lagi orang tua itu: "Kalau aku melakukan sesuatu, tak sudi aku banyak tingkah sekarang, bocah, jika kau ingin mempelajarinya, lekas kau mengingat ilmu silatku tadi"
Oey Eng senang sekali, ia segera bersilat, dengan kedua tangannya sudah sembuh, ia bisa bergerak dengan leluasa. Ia mengingat ingat sembilan jurus orang tua itu, yang juga saban saban memberikan petunjuknya.
Kiu ciauw ciang hoat banyak perubahannya setelah lewat kira
kira satu jam, adik Siauw Pek baru bisa menjalankan empat jurus.
Si orang tua tidak sabaran. Dia menyambar jorannya dan berkata: "Bocah, kamu bebal, aku tidak mau mengajari kau lebih lama pula" Dan segera dia memutar tubuhnya, untuk mengangkat kaki berlari pergi
"Loocianpwee, tunggu" berseru ^ianak muda bingung. "Loocianpwee, aku masih ingin bicara"
orang tua itu menghentikan tindakannya. Dia berpaling. "Apakah itu" Lekas bicara"
"Boanpwee bersyukur telah diajarkan ilmu silat, tetapi boanpwee masih belum mengetahui she dan nama loocianpwee..." kata Oey Eng.
"Buat apakah kau menanyakan she dan namaku" Aku toh tak mau mengajari sebagai muridku"
"Boanpwee tahu diriku bebal, sukar buatku diterima sebagai murid, akan tetapi budinya loocianpwee ini besar sekali, tidak dapat boanpwee tidak dapat ketahui?" kata Oey Eng pula.
"Tak mau aku memberitahukan she dan namaku kepadamu" si orang tua memutuskan- "Lain kali, jikalau kau bertemu pula dengan bocah berbaju hijau, kau tampar dia dua kali. Dengan begitu kau telah tak menyia nyiakan pengajaran ilmu silatku ini"
Habis berkata begitu, orang tua itu membalikkan tubuh, untuk berlari pergi, dan sebentar saja ia sudah menghilang dari pandangan-
Oey Eng menyesal. Dengan merangkapkan kedua tangannya, ia memberi hormat dari jauh kepada orang tua itu, sedang mulutnya berkata perlahan- " Dengan jalan ini boanpwee mengantarkan loocianpwee pergi" Ia tahu, sia sia belaka ia menyusul orang tua yang gerak geriknya sangat pesat itu.
Pada saat Oey Eng membalik tubuhnya, tiba tiba ia mendengar suara siorang tua: "Tidak usah banyak peradatan, nak. Cukup asal kau ingat aku siorang tua"
Itulah suara yang dikeluarkan dengan ilmu saluran jauh. Oey Eng sangat berterima kasih. Kembali ia mengagumi guru yang tidak dimintanya ini. ia girang karena didalam kesusahan ia memperoleh tambahan pelajaran ilmu silat. Kalau bukan ia sendiri yang mengalami, sulit ia percaya peristiwanya itu.
Akhirnya, setelah menghela napas perlahan untuk melegakan hatinya, pemuda ini bertindak meninggalkan kuil Siauw Thian Ong Sie itu. Belum ia jalan jauh, segera ia melihat Kho Kong berlari lari kearahnya, dan dari jauh jauh, saudara muda itu sudah berteriak: "Jie ko, toako tak tenang hati maka dia menyuruh aku menyusul kau
" JILID 16 "Bagaimana dengan lukanya toako?" Oey Eng bertanya.
" Hebat ilmu pengobatan si pendeta tua itu" berkata Kho Kong dengan penuh kekaguman-"Toako telah sembuh seluruhnya.
Sekarang toako tengah duduk bersemadi. Jieko, kenapa baru
sekarang kau meninggalkan kuil" Membuat toako berkuatir saja."
"Ada sebabnya kelambatanku ini, dik. Aku mengalami sesuatu yang aneh, yang mirip bagai mimpi. Toako baru sembuh, mari kita lekas pergi kepadanya, supaya dia jangan mengharap harap kita. Sebentar aku akan tuturkan kepadamu." Kho Kong setuju. Maka berdua mereka berlari lari.
Kho Kong lari didepan- Ia ajak saudaranya memasuki rimba
lebat. Di dalam situ tampak Siauw pek sedang duduk beristirahat.
Ketua itu rupanya mendengar suara tindakan kaki, ia membuka matanya. Maka ia segera melihat kedua saudara itu.
"Saudaraku tak ada kesulitan apa apa bukan?" tanyanya.
"Ada yang mengagetkan tapi tidak berbahaya..." sahut Oey Eng, yang tanpa menanti sampai ditanya lagi, sudah menuturkan pengalamannya semenjak dia menghambat Thio Giok Yauw, hingga sinona menotoknya, sampai akhirnya si nelayan tua datang menolongnya serta mengajari ilmu silat kepadanya. Senang hatinya Siauw Pek, ia tersenyum.
"Di dalam dunia Kang ouw memang banyak orang bertabiat aneh," katanya. "Aku percaya ilmu silat orang berbaju hitam itu bukan sembarangan ilmu silat."
"Memang," kata Oey Eng. "Sayang aku bebal, tak ingat aku seluruhnya sembilan jurus itu..."
"Habis berapa jurus yang kau ingat?" tanya Kho Kong. "cuma empat"
"Tentunya kau belum beristirahat, mengasolah disini," kata Siauw Pek kemudian, "nanti malam kita lanjutkan perjalanan kita."
"Jika luka toako belum sembuh seluruhnya dapat kita singgah
disini satu atau dua hari," kata Oey Eng. Siauw Pek tersenyum.
"Jangan kuatir, aku sudah sembuh seluruhnya sediakala," katanya. Sekonyong konyong Kho Kong berjingkrak.
"Mari lekas kita pergi" serunya tiba tiba.
Siauw Pek dan Oey Eng heran, hingga keduanya tercengang. "Ada apa, adikku?" tanya Oey Eng.
"cie-yam-hoa" berseru Kho Kong. "Cie yam hoa".
Tak tahu Siauw Pek apa itu cie yam hoa. Oey Eng tahu tetapi ia tidak kesusu seperti si saudara muda.
Setelah tenang, Kho Kong berkata: " Karena Cie yam hoa dapat mengusir racun, mari kita ambil lebihan, kalau nanti kita ketemu
orang yang memerlukan dapat kita menolong dia. Tentang Ikan emasnya, kita boleh ambil sembarangan saja."
"Mana dapat kita pakai Ikan emas sembarangan saja?" kata Oey Eng. "Tentang cie yam hoa, itu memang bunga manjur, bolehlah kita petik lebihan-"
"Apakah itu cie yam hoa?" tanya Siauw Pek, yang masih belum mengerti.
"Itulah semacam bunga ungu tua," berkata Kho Kong, yang segera memberikan keterangannya secara panjang lebar.
"Kalau begitu, benar itulah obat yang berharga," kata Siauw Pek setelah ia mengerti duduk persoalannya.
"Mari kita pergi mengambilnya." Tapi Oey Eng tertawa.
"Buat apa terburu buru?" katanya. "Kita tunggu sampai toako beristirahat cukup,"
Siauw Pek dan Kho Kong menurut, maka mereka duduk beristirahat pula beberapa lama, baru mereka pergi kerimba dimana tumbuh pohon cie yam hoa itu.
Setelah mereka tiba ditempat tujuan, Kho Kong lalu berjingkrak. matanya melotot, wajahnya merah, agaknya dia gusar sekali^
" Kurang ajar " dampratnya. Dia terlalu Dia mengambil dengan sekalian mencabut juga akarnya
Itulah sebab pohon cie yam hoa sudah tidak ada dan tanahnya terbongkar.
"Hei, kau mencaci siapa?" tanya Oey Eng.
"Aku mencaci orang yang mencabut pohon cie yam hoa ini."
"Sudah, jangan kau memaki pula. Mungkin dialah Kouw Heng Taysu."
"Benda aneh tidak dapat diambil sembarangan orang," berkata Siauw Pek, "kita sudah ketinggalan, sudahlah."
Oey Eng beranggapan demikian. "Sekarang tinggal soal Kiu Heng Cie Kiam itu," kata dia, kembali kepada soal pedang maut itu. "Nampak orang sudah mencurigai kita, karena itu kita harus berhati hati."
"Ya, itulah soal sulit," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Tak dapatkah kita menyamar, untuk mengelabui mata orang?" Kho Kong usulkan-
"Menyamar memang baik, cuma bagaimanakah caranya?" kata Siauw Pek.
"Kalau segalanya sulit, memang sukar kita berjalan walaupun hanya satu tindak..." kata Kho Kong, si tidak sabaran.
"Kau benar, sha tee," berkata Oey Eng. "Tanpa sebab musabab orang menuduh kita, itulah terlalu Dengan begitu maka semua orang Kang ouw memandang kita sebagai musuh musuhnya oleh karena mereka agaknya tidak lagi mengenal perikemanusiaan, aku pikir, baiklah kita juga jangan memikir lagi tentang welas asih. Ah, sungguh, didalam dunia ini ternyata ada lebih banyak orang busuk daripada orang baik baik "
Siauw Pek bagaikan terpengaruh oleh kata kata kedua saudara itu, ia berjalan mondar mandiri matanya bersinar tajam.
Oey Eng mengawasi ketua itu. samar samar ia melihat sinar kekerasan pada wajah sang ketua, sedangkan matanya mengeluarkan sorot kebencian. Diam diam ia heran, pikirnya: "oh, kalau saja saudaraku ini mengambil tindakan telengas, tentulah bakal terjadi petaka pembunuhan yang hebat sekali. Karena ini ia menjadi menyesal telah mengeluarkan kata katanya tadi. Kata katanya itu bagaikan membangunkan darah si pemuda.
Setelah mondar mandir itu, Siauw Pek menghentikan tindakannya. Sekarang ia menengadah kelangit. Berselang sesaat, ia menghela napas perlahan- Hampir serentak dengan itu, lenyap sorot matanya yang bengis itu.
" Keluarga ku telah kehilangan seratus jiwa lebih," katanya kemudian, "mengenai itu musuh musuhku ialah orang orang dari sembilan partai besar serta sembilan partai lainnya, jadi dapat
dianggap. semua orang Rimba Persilatan... Mustahilkah satu Coh
Siauw Pek membinasakan semua orang Rimba Persilatan itu?"
Berpikir demikian, anak muda ini mengawasi kedua saudara angkatnya. Lalu ia menyambungi: "Jangan kira aku tidak mempunyai kemampuan itu, andaikata aku sanggup, tidak nanti akupun jadi begitu sembrono melakukannya"
"Toako benar," berkata Oey Eng, sungguh sungguh. "Kita cuma mempunyai musuh musuh langsung, tak dapat kita menyerambetkan semua orang Rimba Persilatan-"
Siauw Pek mengulapkan tangannya, mencegah adiknya bicara terus. Walaupun demikian, ia tidak membuka mulutnya, hanya dia berdiri diam, matanya mendelong kesatu arah. Teranglah bahwa ia sedang berpikir keras.
Kho Kong heran menyaksikan gerak gerik kakak itu, ingin ia menegur, untuk menanya, tapi mendadak ia dikagetkan oleh bentakan si kakak. "Siapa di situ ?"
Dari belakang sebuah pohon besar terdengar tawa yang dingin, disusul dengan jawabannya ini:
"Aku" Menyusul itu muncullah seorang nona dengan baju hijau. "Thio Giok Yauw" seru Oey Eng, terkejut.
"Engkau benar " berkata nona itu. "Kau telah terbebas dari totokanku. Kau membebaskannya sendiri atau ada lain orang yang menolongmu ?"
Oey Eng mengawasi. Ia melihat orang bersikap sungguh sungguh. Segera ia ingat kata kata si tua berbaju hitam. orang tua itu mengajari ilmu silat istimewa untuk melayani nona ini, untuk menggaploknya
" orang tua itu telah mengajari aku silat, dapatkah aku tidak mendengar kata katanya?" pikirnya lebih jauh. "Jikalau aku tidak bertemu pula dengan nona ini, tidak apa, siapa tahu, sekarang dia muncul disini... Bukankah itu berarti dia mengantarkan dirinya sendiri ?"
Meskipun demikian, pemuda ini ragu ragu, tak dapat dia mengambil keputusan.
Nona Thio berdiam beberapa lama, ia menantikan jawaban pemuda itu, tetapi karena orang membungkam, hatinya menjadi panas, timbullah kegusarannya.
"Hai, anak muda" tegurnya: "Diluar kau nampak jujur, didalam hatimu, sebenarnya kau licik. Tak dapat tidak. aku harus menghajar adat kepadamu"
Kata kata ini disusul dengan tindakannya. Si nona berlompat maju. Karena Oey Eng berada dibelakang Kho Kong, ia melewati si pemuda sembrono, tiba disisi dia itu, segera tangan kanannya melayang
Tapi Siauw Pek yang celi matanya, sebab gerakannya. Dia meluncurkan sebuah tangannya memapaki tangan si nona sambil menanya: "Nona, sudah lama kau kau datang kemari?"
Si nona tidak menjawab hanya dia membentak: "Minggir kau" inilah sebab dia mendongkol ada orang yang merintangi sepak
terjangnya, hingga gagal maksud hatinya menghajar Oey Eng. Dan
dalam mendongkolnya itu, terus ia menerjang Siauw Pek, beruntun
sampai tiga kali, berbareng dengan pukulan yang terakhir, tangan kanannya juga menotok kearah Oey Eng
Pemuda itu menyedot napasnya, ia mundur setindak. Karena didesak itu, ia jadi berpikir: "Tidak dapat tidak. mesti aku tempur dia. Tanpa menempur, mana dapat aku menggaploknya "
Siauw Pek sementara itu heran menyaksikan si nona gesit sekali.
"Dia liehay, tidak dapat aku memandangnya rendah," pikirnya. Dan, ia tak bersedia diserang terus terusan, segera ia membalas menyerang.
Thio Giok Ya uw tidak pandang mata pada anak muda itu, ia cuma hendak memukul orang mundur, supaya ia bisa langsung menyerang Oey Eng, siapa tahu, ia justru diserang. Ia pun terperanjat. Diluar dugaannya, pemuda ini lihay. sampai ia terdesak mundur. Saking herannya menatap wajah anak muda itu.
"Ilmu silatmu tak dapat dicela" katanya hambar. Siauw Pek membalas menatap. tetapi ia tenang tenang saja.
"Sudah lamakah nona datang?" ia mengulangi pertanyaannya.
"Ya, aku telah lama datang," sahut sinona akhirnya. "Memang kenapa?"
Sejenak Siauw Pek berpikir keras. Tak ingin ia bermusuhan dengan nona itu. Karena tak ada sebabnya. Ia tak mau menambah musuh tidak karuan, apa pula musuh yang tangguh. Jika toh ia mesti turun tangan nona ini mesti dibunuh, guna mengurangi musuh musuhnya.
Si nona berpikir seperti si pemuda. Hanya dia memikirkan hal lain- Dia menerka nerka, diantara bertiga pemuda ini, dia inilah yang rupanya terliehaynya.
"Maka itu, perlu aku menaklukkan dia dahulu dua yang lainnya mudah," demikian pikirnya terlebih jauh. "Setelah merobohkan mereka, baru aku mengorek keterangan dari mulut mereka kemana atau dimana adanya Kouw Heng Taysu..." Dia hanya tahu, ketuanya liehay, akan mudah saja si ketua merobohkan si nona hingga tak usahlah ia turun tangan untuk memberi bantuannya. Maka ia berdiam saja, menonton-..
oleh karena kedua pihak sama sama menggunakan otaknya, untuk sejenak itu, mereka sama sama bungkam. Adalah si nona, yang lebih lekas tersadar. Dia bahkan segera menyerang Siauw Pek.
Dia menggunakan tipu silat "Angin putuh meniup pohon yang liu yang lemah".
Siauw Pek mengeluarkan tangan kirinya, menolak serangan itu. Ia menggunakan tipu silat "Menggaris bumi membuat batas". Dengan begitu gagallah serangan si nona. Menyusul itu, ia menyambar tangan nona itu. Selagi bergerak itu, ia ragu ragu, ia harus menurunkan tangan jahat atau tidak...
Nona Thio memutar tangan kanannya, untuk membebaskan diri. Selagi berputar itu, ia meneruskan menotok nadi si pemuda. Itulah serangan sebat dan diluar dugaan. Siauw Pek terkejut.
" Inilah Tan Cie Sin Kang yang liehay " serunya. "Tan Cie Sin Kang" ialah ilmu totok "sebuah jari tangan- Ia tahu dan kenal ilmu itu sebab selama dididik Cie Tong, guru itu telah menceritakan padanya banyak tentang pelbagai ilmu silat. Sambil mengelit tangan kanannya itu, untuk membuat lawan repot.
Kembali gagal serangan sinona. Ketika tangannya tersentuh tangan si anak muda, ia terkejut, ia heran-
"Dia ini liehay, liehay juga tenaga dalamnya," pikirnya. Karena
memikir demikian, ia lalu berwaspada. Ia mencoba merangsak.
Tanpa bersangsi pula, Siauw Pek melayani nona itu, dengan cepat lawan cepat.
Beberapa jurus dilewatkan tanpa ada kesudahannya, suatu saat mendadak si nona melompat mundur, kemudian menghunus pedangnya yang tergembok di punggungnya.
" Dengan tangan kosong saja kita tidak memperoleh keputusan," katanya, dingin. "Mungkin, sekalipun sampai seratus jurus, akan tetapi tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sedangkan aku tidak mempunyai banyak waktu luang, maka marilah kita mengambil keputusan dengan ilmu pedang Setujukah kau?"
"Ah, kau cari susahmu sendiri, nona," kata Siauw Pek didalam hatinya. Ia lalu menjawab: "Bersedia aku menemani kau main main, nona" lalu ia pun menarik keluar pedangnya.
Thio Giok Yauw memberi isyarat, kemudian ia menikam. Ia sombong, hingga ia menggunakan tindakan yang diluar batas. Ia mengangkat kaki bergerak dengan apa yang dinamakan "Menginjak Garis Istana Tengah."
"Sungguh dia takabur" pikir Siauw Pek. "Jikalau dia tidak diberi pelajaran, sukar untuk menundukkan kesombongannya Pula, dengan melayaninya dengan wajar, entah berapa banyak waktu mesti aku gunakan-.."
Karena itu, begitu berkelit kesamping, segera ia membalas menikam. Ia menerka nona itu bakal berkelit. Tapi dugaannya ini melesat. Sebaliknya, Giok Yauw memutar pedangnya demikian rupa, untuk dipakai menangkis tikaman itu. Maka beradulah kedua pedang, dengan keras sekali, hingga selagi suara nyaring mendengung, tangan mereka masing masing bergetar keras. Maka sama sama terkejutlah mereka.
"Hm" Siauw Pek memperdengarkan suara dingin. "Sungguh satu cara yang kasar "
Mengetahui si nona berbaju hijau itu liehay, tidak ayal lagi, Siauw Pek Kiam hoat, ilmu pedang maha kasih. Ia melakukan pula penyerangan-
Si nona panas hati. Katanya menantang: "Kalau cara keras, habis bagaimana ?" Kata kata itu diikuti dengan tangkisannyadan penyerangnya membalas yang hebat.
Oey Eng dan Kho Kong menjadi kagum berbareng khawatir, mereka menonton dengan separuh mendelong. Pertarungan itu menjadi seru sekali.
Sambil bertempur, Siauw Pek heran. Ia tidak kenal ilmu pedang si nona. Bagaimana keras juga orang menyerang, dapat ia melayani dengan seksama. Ia selalu bersikap tenang.
Thio Giok Yauw menjadi pihak menyerang dan mendesak. Dengan cepat ia sudah menikam dan menebas tiga puluh enam kali,
tapi semua itu tidak ada hasilnya. Lawan dapat menangkis atau mengelit. Agaknya mudah saja lawan itu membebaskan dirinya.
Dari kagum, Thio Giok Yauw menjadi terkejut. Inilah karena si anak muda mulai melakukan penyerangan membalas, bahkan luar biasa cepat ia telah kena terkurung sinar pedang pemuda itu. Sia sia belaka ia mencoba meloloskan diri. Ia hanya bisa menangkis dan berkelit, lain tidak. Dari kaget ia menjadi bingung, dari bingung ia menjadi khawatir. Ia mendongkol dan berduka sebab tetap ia tidak bisa membebaskan dirinya.
Saking khawatir dan bingung, tanpa terasa air matanya meleleh keluar.
Siauw Pek bermata jeli, ia melihat lawannya menangis, ia menjadi heran, hingga lekas lekas ia menghentikan penyerangannya.
"Eh, nona, kenapa kau menangis?" tanyanya.
"Aku benci kepadamu" bentak si nona gusar.
"Apakah itu disebabkan ilmu pedangku lebih liehay daripada ilmu pedangmu, nona?" menegaskan si anak muda.
"Biarnya kau lebih liehay, tak lebih tak kurang, kau cuma melukai aku" kata nona itu, "Aku tidak takut mati"
Siauw Pek bertambah heran. "Habis, kenapakah kau menangis?"
"Aku mendongkol karena kau, memang tak mau menangkan" teriak si nona. "Kau sengaja mempermainkan aku Siapakah yang sudi menerima belas kasihan darimu?"
Siauw Pek heran. ia menyerang dengan menuruti jalannya ilmu
silatnya. Tak pernah ia memikir hendak mempermainkan lawannya
itu. "Aku tidak berniat mempermainkan kau, nona." katanya.
"Beberapa kali kau memperoleh kesempatan tetapi saban saban kau mengegoskan pedangmu," berkata si nona "Apakah namanya itu kalau bukan sengaja?"
Mendengar kata kata itu, Kho Kong yang semenjak tadi menonton saja, menyela: "Toako kami seorang gagah perkasa, seorang yang berhati mulia mana mau dia memikir melukai kamu bangsa perempuan" Hmm Apakah tak tepat untuknya jikalau ia menaruh belas kasihan atas dirimu" oh, sungguh orang tak tahu diri
" Gusar Thio Giok Yauw mendengar kata kata orang itu. Mendadak ia melompat mencelat kepada pemuda itu sambil meluncurkan tangan kirinya cepat sekali.
Kho Kong melihat serangan datang, ia tidak berkelit, cuma ia mengangkat tangan kanannya, untuk menangkis.
Diluar sangkaan, Giok Yauw memutar tangan kirinya itu, meloloskannya dari tangkisan si anak muda, lalu sambil memutar ia melanjutkan pula. Maka: "Plok" demikian terdengar. Maka gelagapanlah anak muda itu, sebab pipi kirinya telah kena tergaplok keras sekali, rasanya nyeri
Setelah menyerang dengan berhasil itu, Giok Yauw melompat mundur pula, kalau tadi dia menangis dan air matanyapun belum lenyap dari pipinya, mendadak dia tertawa geli " Hi hi hi!! Inilah ajaran untukmu, buat ngaco belomu "
Bukan kepalang murkanya Kho Kong, sembari berteriak. ia lompat menerjang.
"Budak bau Akan aku adu jiwa denganmu " teriaknya.
Melihat saudara itu maju, Siauw Pek lompat menghadang. Saudara bukannya lawan nona yang jauh lebih liehay dan agaknyapun telengas
"Sha tee, jangan sembrono" katanya. "Nanti aku yang membalaskan sakit hatimu"
Saudara ini tahu diri, ia mundur.
Dengan pedangnya, Siauw Pek menuding si nona.
"Nona, kau terlalu" katanya. " Kenapa kau lancang menghajar orang" Jikalau kau tidak memberikan keadilanmu, jangan harap kau nanti dapat berlalu dari sini "
Kedua mata jeli si nona berputar.
"Dengan bertangan kosong, kita seri " berkata dia. "Hanya dengan pedang, aku kalah setingkat. Bagaimana kalau sekarang kita mencoba dengan senjata rahasia ?"
Bingung juga Siauw Pek. Pikirnya: "Aku belajar silat tetapi tidak pernah mempelajari senjata rahasia, kalau aku menolak nona ini, itu seperti menunjukkan kelemahanku, sebaliknya apabila aku menerima baik, tak ada peganganku... Bagaimana?" Si nona mengawasi tajam. Dia menerka hati lawan-
"Takutkah kau?" tanyanya, tertawa dingin. Alis pemuda itu terbangun-
"Bagaimana caranya kita mengadu kepandaian?"
"Ah, mengadu senjata rahasia saja kau tidak tahu" nona itu mengejek. "Sungguh tolol bagaimana jikalau kita bertanding bunpie, yaitu secara lunak?"
"Secara lunak bagaimanakah?" Siauw Pek tegaskan.
"Pertandingan bunpie sangat sederhana " berkata nona itu. "Begini. Kita berdua berdiri berhadapan, terpisahnya satu dengan lain satu tombak lima kaki. Kalau yang satu menyerang dengan senjata rahasianya, yang lain berkelit. Kita membatasi menyerang sampai sepuluh kali. Siapa yang kena diserang, dialah yang kalah. Umpamakan kita menggunakan bu-pie, yaitu cara keras, lain lagi. dengan Bu pie tidak mengenal batas, siapa terhajar dahulu, dia yang kalah Jikalau kau jeri, sudahlah, tak usah kita mengadu senjata rahasia "
"Walaupun aku belum pernah mempelajari senjata rahasia,
bersedia aku menemaki kau, nona," kata Siauw Pek. "Cuma..." "Cuma apakah ?" si nona memotong.
"Aku tidak membekal senjata rahasia. Lalu bagaimanakah ?" Thio Giok Yauw tertawa manis.
"Tidak apa" katanya. " Dapat aku meminjamkan kau "
Kemudian nona aneh itu merogoh sakunya, mengeluarkan
segenggam gin lian cie, yaitu senjata rahasia yang mirip biji teratai.
ia menghitung sepuluh biji, terus ia lemparkan pada si anak muda.
"Sambut ini" katanya. "inilah gin lian cie, semacam senjata rahasia yang termudah asal kau bertenanga dan dapat menimpuk dengan jitu, cukup sudah "
Siauw Pek menyambut senjata rahasia itu "biji teratai perak" demikian artinya gin lian cie, tetapi sebenarnya terbuat dari besi. Didalam hatinya dia berkata: "inilah cara bertanding yang aneh. Masa senjata rahasia dipinjamkan orang?" Diam diam ia tertawa dalam hati.
Segera terdengar suaranya si nona. "Oleh karena kau tidak pernah mempelajari senjata rahasia seperti katamu, silahkan kau yang mulai."
"Akulah laki laki sejati " kata Siauw Pek "Tak pantas aku menyerang lebih dulu" Nona itu tertawa.
"Jikalau aku yang menyerang lebih dulu maka kau akan kehilangan kesempatanmu " katanya.
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Sekalipun aku terlukakan, tak nanti aku mengalahkanmu " katanya.
"Baiklah kalau begitu" kata sinona. "Karena kau berkeras tidak mau mengalah dari aku, mari kita menggunakan cara cangkriman: siapa yang menerka jitu, dia yang turun tangan lebih dahulu "
"Nah, begitu baru adil Bagaimanakah caranya?" Bagaimana, aku yang menyarahkan atau kau?"
"Kau saja, nona," kata Siauw Pek setelah berpikir sejenak.
"Dapat aku yang menyarankan tetapi tak dapat kau tentang" kata nona itu, yang aneh dan nakal tabiatnya.
"Apa saja yang aku sebutkan itulah dia caranya" Siauw Pek mengernyitkan keningnya.
"Baiklah, terserah kepadamu, nona" katanya akhirnya.
Thio Giok Yauw menyingkap memebereskan rambutnya dikedua belah pipinya. Kembali ia tertawa manis.
"Nah, tebaklah, berapa usiaku?" demikian tanyanya. Siauw Pek tercengang.
"Inilah cara yang aneh," pikirnya. "Secara begini tentu sekali dialah yang menang" Tapi ia tak dapat menentang. Maka ia lalu menatap nona itu, akan menerka nerka usia gadis itu.
"Menurut penglihatanku, nona, kau baru berusia delapan belas tahun," katanya. Giok Yauw tertawa manis sekali. Dia melirik secara menggiurkan-
"Hayo tebaklah, kau menerka tepat atau tidak" katanya. Siauw Pek heran- Gadis ini jail sekali.
"Tentulah terkaanku tidak tepat," sahutnya. "Umpamakan aku menebak jitu, jikalau nona tidak sudi mengaku, sia-sia saja terkaanku itu..." Nona itu tersenyum.
"Terkaanmu tak salah sedikit juga" katanya. "Nah, kau menyeranglah lebih dahulu" Berkata begitu, dia bertindak mundur sampai setombak lebih untuk berdiri tegak. "Hayo, sekarang kau boleh mulai menyerang aku"
Siauw Pek memegang dua biji gian lian cie ditangan kanannya
"Hati-hati nona" katanya seraya terus menyerang, hingga kedua biji teratai besi itu memperdengarkan suara angin bersuing. ia belum pernah mempelajari ilmu menggunakan senjata rahasia tetapi karena mahir tenaga dalamnya, serangannya itu pesat dan tepat. Ia mengincar jalan arah ceng hiat didua bahu sinona.
Baru saja anak muda ini menggerakkan tangannya, si nona sudah berkelit. Dia mengegos tubuh dengan tenang. Dia seperti juga sudah tahu inceran lawan-Siauw Pek mengerutkan alisnya. Kembali ia menyerang dengan dua biji teratai.
"Cara timpukanmu tidak tepat" berkata sinona nyaring sambil dia berkelit pula. Diapun tertawa.
Tiba tiba hati sipemuda tergerak. Segera ia menyiapkan tiga biji. Ia menggunakan tangan kanannya. Mulanya ia menyerang dengan dua biji, ketika ia melihat tubuh sinona bergerak ia menyusuli dengan biji yang ketiga.
Beruntun dua kali. Nona Thio mengelitkan dirinya. Serangan luput mengenai sasarannya.
"Kali ini kau memperoleh kemajuan" kata nona itu memuji, "kau harus berhati-hati, kau sudah menggunakan tujuh biji, hingga tinggal lagi tiga buah gin liancie. Asal kau gagal lagi maka kaulah yang terhitung kalah"
Siauw Pek berpikir: "Setiap kali aku menyerang, dia mendahului
berkelit, dia seperti sudah menerka sasaranku, kalau begini,
teranglah bahwa aku bakal kalah." Nona itu mendadak tertawa.
"Apakah kau sudi aku mengajari kau bagaimana caranya menyerang ?" dia tanya. Kembali Siauw Pek heran, aneh nona ini Tapi dia beradat tinggi.
"Tak usah kau mengajari aku, nona," katanya tawar. "Andaikan aku tidak dapat menyerang jitu terhadapmu, kau sendiri belum tentu akan berhasil menyerangku"
Membarengi kata-katanya itu, Siauw Pek menyerang pula dengan sisa semua biji teratai besinya itu.
Thio Giok Yauw mendongak. menekuk tubuhnya kebelakang, membiarkan lewat ketiga senjata gelap itu.
Siauw Pek kecewa melihat semua serangannya gagal. Tapi dengan begini dia menjadi insaf betapa pentingnya senjata rahasia,
hingga ia memikir, perlu ia mempelajarinya apabila telah datang kesempatannya. Giok Yauw berdiri pula dengan tegak. Dia tertawa. "Berhati hatilah kau!! Sekarang giliranku."
Siauw Pek menanti, bersiap sedia. "Silahkan, nona" katanya.
Kedua mata si nona memain, dia mengawasi, otaknya bekerja.
"Tentang kepandaianku menggunakan senjata rahasia, tak berani aku menyebutnya menjagoi dunia Rimba Persilatan," katanya sebelum mulai menyerang, "akan tetapi mereka yang dapat menandingi aku, jumlahnya tidak banyak. maka itu andaikata kau kena terhajar, dan menjadi kalah karenanya, itulah tidak aneh."
"Dia banyak bicara, dia mau mengacaukan pemusatan pikiranku," kata Siauw Pek didalam hati. Lalu ia berkata: "Tidak apa nona, kau mulailah "
"Awas " berseru nona itu seraya dia mengayun tangannya. Maka dua sinar berkilauan meluncur pesat kearah sianak muda.
" Inilah serangan tidak aneh," pikir Siauw Pek yang melihat tegas
melesatnya gin lian cie. Ia mengegos tubuhnya kesamping.
"Serangan pertama ini dinamakan Dua Dewa Membuka Jalan,
inilah yang paling mudah dikelit," berkata si nona. "Yang akan
menyusul ialah tipu Lulus Ujian, inilah rada sulit, hati hatilah."
Berbareng dengan peringatan itu, tiga biji senjata rahasia menyambar Siauw Pek. Ketiga gin lian cie itu bersikap mengurung, sukar buat mengegos tubuh, terpaksa si anak muda berkelit dengan berlompat nyamping. Tapi, baru saja ia berhenti berkelit, lain senjata sudah datang pula, suara anginnya terdengar nyata. Ia kaget lekas lekas ia menggeser tubuh kekiri. Akan tetapi, baru ia mengegos, lain serangan tiba pula. Hebatnya serangan paling susul itu, repot si anak muda meng elitnya.
Segera terdengar tawa sinona, nyaring dan riang, disusul dengan kata-katanya:
"inilah tiga biji yang terakhir, yang paling sukar dihindari jikalau kau berhasil meloloskan diri dari serangan ini, kita jadi seri, tidak ada yang menang, tidak ada yang kalah "
"Mudah mudahan saja" kata Siauw Pek di dalam hati. Ia tidak menjawab nona itu.
Thio Giok Yauw menggerakkan tangannya dengan perlahan. Rupanya sengaja ia memperlihatkan serangannya itu. Siauw Pek melihat ia tertawa didalam hati. Ia percaya mudah akan ia membebaskan diri. Tapi justru ia berpikir begitu, terjadilah hal diluar dugaannya


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saling susul meluncurlah ketiga gin liancie, tetapi yang terbelakang demikian pesat hingga dia menyusul yang didepannya, melanggarnya mental. Masih dia meluncur terus, untuk membentur yang terdepan. Kali ini, ketiga biji teratai besi itu meluncur berbareng sama pesatnya terbagi dalam tiga jurusan-
Menyaksikan itu, hati Siauw Pek terperanjat. Nyatalah terkaannya meleset jauh, iapun menjadi repot. Lekas ia berkelit kekanan, tetapi tidak urung sebiji teratai mengenai bahunya
Nona Thio bertindak maju dengan tindakan perlahan, wajahnya tersungging senyuman, dengan manis ia berkata: "Mencoba ilmu silat bertangan kosong, kita tidak kalah dan tidak menang, mengadu pedang aku kalah satu tingkat, tetapi dalam halnya senjata rahasia, kaulah yang kalah. Maka itu diakhirinya, kita membagi rata, kita seri
" Siauw Pek merasai bahunya sedikit nyeri, tetapi ia tidak menghiraukan, ia hanya mengkhawatirkan orang nanti ketahui tentang dirinya. Tiga belas tahun ia hidup terlunta lunta, setiap tahun tambah pengalaman dan pengetahuannya. Sekarang ia memunculkan diri buat sementara, tak ingin ia dikenal umum. Inilah untuk mencegah musuhnya meluruk mengepungnya.Jikalau itu sampai terjadi, sulit bagi dia untuk menyelidiki siapa musuh yang sebenarnya. Karena itu, bagaimana ia harus bersikap terhadap nona
ini" Apakah ia mesti membinasakannya, guna menyumbat mulutnya
" Selagai sinona mendatangi, anak muda ini mengawasi tajam.
"Nona," sapany, "aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepada
kau tetapi aku mengharap kau suka menjawab dengan sejujurnya."
Sinona bertindak dengan sikap sungguh sungguh, ditanya begitu rupa, dia heran dan tercengang. Dia balik menatap. "Apakah itu ?" tanyanya.
"Apakah nona ketahui she dan namaku ?" Nona itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu, sebenarnya siapakah kau?" Sianak muda bernapas lega.
Pedang Kiri 2 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Ilmu Ulat Sutera 3
^