Pencarian

Bad Days 1

Balada Si Roy 04 Bad Days Karya Gola Gong Bagian 1


BALADA SI ROY 04 - BAD DAYS
GOLA GONG Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. MENDUNG DI SELATAN bulan mengintip lewat jendela
ketika ia terbaring resah dalam kamarnya
sepi menyelinap! bersarang di dada
ia terbaring resah dalam kamarnya
sepi mengoyak-moyak mimpinya
dan yang dinanti belum juga tiba
-Toto ST Radik REMAJA bandel itu berdiri di pintu gerbong kereta. Dia mengeluarkan kepalanya. Membiarkan angin menampar-nampar wajah dan menggeraikan rambutnya. Aroma persawahan sampai ke hidungnya.
Udara pagi yang segar dia hirup sepuasnya.
Dia berteriak girang menandingi gemuruh roda kereta.
Dadanya terasa lapang dan merdeka.
Setelah lima stasiun kecil, gerbong-gerbong mulai meriah. Beberapa kali Roy membantu mengangkati karung-karung hasil bumi ke atas gerbong. Banyak orang kampung, yang hendak menjual hasil buminya kekota. Kereta Merak-Tanah Abang yang pernah mengecap pahit tragedi Bintaro itu memang alternatif yang tepat bagi mereka.Ada juga terselip tawa riang para pelajar yang menimba ilmu dikota. Lihat, mencari ilmu sudah bukan monopoli orang kota saja, ya. Kereta merayap terus membelah persawahan.
Si sableng itu tertawa geli. Iwin meringis memegangi hidungnya yang tadi dikilik-kilik bulu ayam olehRoy . Kalian juga pasti suka jail seperti si Roy barusan,kan" Si bandel itu terbahak.
Iwin memaki kesal. Dia membuang pandang ke luar lewat jendela. Tangannya menunjuk ke langit selatan yang mendung. "Kayaknya kita nggak bakalan sampai ke Baduy,Roy ," katanya. "Kita lihat saja nanti,"Roy tenang saja.
Masyarakat Baduy mendiami pedalaman di kabupaten Lebak. Tepatnya di desa Kanekes. Cara hidup mereka sangat seadanya dan sederhana sekali. Ini adalah warisan dari leluhur mereka yang tidak menghiraukan perkembangan dan kemajuan zaman. Mereka mengasingkan diri dari keduniawian. Hukum adatlah ternyata yang mengatur tata cara hidup mereka. Hutan belantara, selain tempat tinggal, juga sekaligus sumber hidup mereka. Hukum adat dibuat untuk mengatur agar warganya tidak melakukan sesuatu yang merugikan semua isi alam semesta ini. Sehingga mereka bisa hidup berdampingan dengan segala jenis makhluk dan alam semesta ini.
Kereta merayap memasuki stasiun ibukota Lebak, Rangkas Bitung (40 km selatan Serang). Stasiun yang lumayan besar dan ramai ketimbang stasisun Serang yang eks ibukota Keresidenan Banten. Sebuah kota yang pernah kondang ke mana-mana dengan Max Havelaar dan kisah Saijah Adinda-nya.
Untuk menuju desa Kanekes, tempat tinggal masyarakat Baduy, hanya dilayani Colt pick up saja. Itu pun cuma sampai di sebuah kampung yang persis berada di perbatasan daerah Baduy Luar. Untuk menerobos lebih jauh ke perkampungan Baduy, ya siap-siaplah jalan kaki naik-turun bukit dan menyeberangi sungai.
Kondisi jalan ke daerah itu memprihatinkan; naik-turun, berbelok-belok, dan banyak batu karang yang dikeraskan, sehingga selama perjalanan sungguh menyebalkan! Apalagi saat itu hujan lebat turun dicurahkan dari langit! Sialnya, si sopir cuek saja memacu mobilnya. Dia sedikit pun tidak gentar kalau mobilnya tergelincir dan masuk lembah, sama tidak pedulinya bahwa dia membawa penumpang manusia!
Pada saat lain, mobil bagaikan terbang melesat! Semua penumpang di pick up meringis berpegangan kuat-kuat. Rupanya si sopir hendak melahap tanjakan maut! Tepat di ujung tanjakan, mesin mobil produk Jepang itu melemah seperti mau mati. Ban gundulnya berderit-derit licin.
Perseneling diturunkan, tapi tetap tidak jalan untuk menghabiskan sisa tanjakan. Bahkan mundur beberapa tindak.
"Turun, turun!" teriak sopir. "Ganjel bannya, Ceng!"
Hari hampir gelap dan masih hujan lebat ketika mereka sampai di tujuan. Sebuah kampung dengan belasan rumah.Ada yang berupa bilik, ada juga yang semi permanen. Listrik belum menjamah daerah di kaki gunung ini. Mereka masih senang dengan obor atau yang sanggup beli minyak, pakai lampu tempel.
Penduduknya yang kebanyakan petani sudah mengerti bagaimana harus bersikap kepada para avonturir (baca: turis) darikota . Mereka menyambutnya dengan terbuka, tidak mengkomersilkan situasi yang ada.
Katakanlah kampung ini sebag
ai base camp. Karena semua orang yang hendak menjelajahi perkampungan Baduy pasti akan mampir dulu di kampung ini.
Kedua remaja itu mengganti pakaiannya yang basah. Menggantungkannya di tali jemuran. Iwin mengeluarkan perbekalannya. Menyerahkan kepada tuan rumah untuk dimasak sebagai makan malam mereka bersama-sama. Ya, cuma beras dan beberapa potong ikan asin. Begitulah kebiasaan di sini.Para avontur harus mengerti, bahwa setiap waktu makan tiba, tuan rumah menunggu bahan-bahannya dari kita untuk dimasak. Mereka bisa menjamu kita makan dari mana"
Di luar hujan masih belum mau berhenti. Bunyi petir dan gumam kodok bersahutan, menandakan dewa-dewi sedang mandi di kahyangan.Roy mengintip dari jendela bambu, mencoba menembus kegelapan kaki-kaki hujan yang memukuli tanah merah. Iwin mendekatinya sambil mengorek sisa nasi di giginya.
"Sunyi ya, Win," kataRoy pelan.
"Justru suasana beginilah yang aku dambakan."
"Maksudku, beberapa puluh kilometer dari sini ada yang terang-benderang oleh listrik.Ada yang meriah dengan TV, bioskop, dan radio kaset. Ironis sekali."
Tiba-tiba di keremangan malam terdengar tawa yang lincah. Mereka melihat dua orang gadis belia berlarian gembira di kaki- kaki hujan. Kepala keduanya tersembunyi di balik topi cetok yang lebar. Kedua gadis itu melepaskan topinya dan mengaitkannya di dinding bilik. Lalu keindahan alamiah pun terbias di keremangan lampu tempel. Kedua gadis itu tersenyum malu kepada dua lelakikota yang memandangi mereka dengan takjub.
Dua gadis pegunungan yang cantik segar bagai sayur-mayur di Cipanas-Puncak. Tubuh mereka sehat montok. Sungguh cantik berseri. Kulitnya kuning langsat dan licin bercahaya. Itu adalah hasil keramahan dan keajaiban alam. Kalian, gadis-gadis kota, pasti akan iri melihat kecantikan mereka.
Waktu merayapi malam sunyi di kampung itu. Keempat remaja itu asyik ngobrol di balai-balai. Bayangan mereka bergoyang-goyang di dinding bilik. Yang dari kota membawa kisah polusi, kebisingan, kepalsuan, gadis-gadis mata duitan, lelaki-lelaki rakus, dan impian pada suasana desa yang damai. Sedangkan yang dari desa mendengarkan sambil tersenyum. Tampak sesekali mereka mengangguk-angguk.
Lambat-laun kedua gadis pegunungan itu jadi terbiasa. Yang paling mencolok gad~s berambut sebahu, Neneng. Dia mulai berani bicara ceplas-ceplos. Cara duduknya pun jadi sembarangan, seperti sengaja memamerkan keindahan pahanya.
"Saya pernah setahun di Tangerang," pengakuannya.
Ternyata Neneng setahun jadi buruh pabrik di Tangerang. Memang sekarang banyak pabrik-pabrik yang menggantikan sawah-sawah di sepanjang Tangerang-Serang. Pabrik-pabrik itu menyedot banyak orang kampung yang lugu. Pabrik bagaikan lampu neon, dan laronnya, ya orang kampung itu. Sehingga masyarakat Banten mungkin di abad ke-21 sudah lupa bagaimana caranya menggunakan cangkul dan bajak.
Saya kembali ke kampung karena tidak tahan. Saya ditipu pemuda kota. Dia mengakunya masih bujangan, eh, nggak tahunya sudah punya anak dua," cerita Neneng
lagi. Ternyata Neneng sudah menikah dan hanya tahan tiga bulan. Dia janda kembang rupanya. Umurnya masih enam belas!
Dan yang berambut panjang, Yuyun, mulai berani membuka suara. Gadis ini pun, ya ampun! Dia baru dua bulan dicerai suaminya. Setahun yang lalu dia dipetik pedagang dari kota. Tapi lima bulan masa bahagia berjalan, suaminya kepincut kembang lainnya, tetangganya sendiri!
Kawan, ternyata soal kawin-cerai menurut dua gadis beria ini, di kampung ini, sudah biasa. Ada uang dua puluh ribu saja, sudah bisa memetik kembang rupawan di sini, kata mereka tertawa. Jangan heran deh, kalau banyak gadis belia yang sudah merasakan indahnya malam pengantin, lalu setelah beberapa bulan dicerai begitu saja. Memprihatinkan.
Mereka korban lelaki iseng yang hanya mengincar keperawanannya saja. Ini memang banyak terjadi di sekeliling kita. Sudah rahasia umum, bahwa banyak lelaki kota yang rakus berburu ke kampung memangsa gadis desa yang lugu. Mereka biasanya menjerat orangtuanya dulu dengan kemilaunya harta atau lembaran uang, asal anak perawannya mau dikawin!
Kedua remaja itu hanya bisa mengelus dada s
aja. Tapi anehnya, kedua gadis itu begitu pasrah sekali. Mereka menerima semuanya dengan lapang dada. Sudah kehendak yang kuasa, kata mereka.
Ketika Neneng pamitan, Iwin menawarkan jasa untuk mengantar karena sudah larut malam. Roy hanya meringis melihat sobatnya yang agresif dan gelisah itu. Sedari tadi keduanya memang tampak akrab. Terus terang saja nih, bibir Neneng, uh! Merah seperti cabe. Kalian juga pasti tergiur kalau melihatnya. Itulah tampaknya yang terjadi pada Iwin.
Hujan kini mulai gerimis.
"Kamu tidak cari suami lagi, Yun"" kata Roy meledek. "Siapa yang mau dengan janda"" katanya pasrah.
Roy menarik napas. Ah, lebih baik jangan membicarakan soal itu, Roy. Ngobrol yang lain saja, batinnya memperingatkan.
"Besok jadi ke Baduy"" Yuyun bersuara.
"Kalau tidak hujan," Roy melihat ke luar. "Ikut, ya," ajak Roy.
Yuyun hanya tersenyum. Dia beranjak ketika suara ibunya memanggil. Tidak lama dia kembali lagi membawa bantal dua biji.
Si bandel itu masih berdiri dekat jendela. Dia mencoba mencari-cari sesuatu di kegelapan malam. Tampaknya dia kesal karena sudah satu jam, si Iwin belum nongol juga. Huh, gawat juga tuh anak! gerutunya.
"Kalau kamu ngantuk, Yun, tidur saja," kata Roy tidak melepaskan pandangannya ke luar.
Yuyun menggeleng. "Neneng...." Tapi dia tidak berani meneruskan kalimatnya.
"Kenapa Neneng"" Beberapa saat tanpa suara.
"Kenapa Neneng, Yun"" desak Roy gelisah.
"Setelah pulang dari kota, Neneng jadi berubah. Jadi nakal. Dia suka menggoda pemuda-pemuda. Bahkan yang sudah beristri pun digodanya.
"Neneng kawanku sejak kecil. Dia baik. Tapi hidupnya sudah dirusak oleh pemuda kota yang sangat dicintainya itu. "Kasihan Neneng," Yuyun prihatin.
Roy mendengarkan. Dia pun lantas jadi khawatir setelah mendengar cerita Yuyun tadi. Aduh, jangan-jangan...
Tiba-tiba Iwin muncul. Bajunya basah dan berlumpur. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya tegang dan pucat sekali. Dengan gelisah dia buru-buru mengemasi ranselnya.
Yuyun beranjak masuk ke dalam.
"Kenapa, Win"" Roy mencekal bahunya.
Iwin diam saja. Dia duduk dan menjambak rambutnya.
Roy mengangkat wajahnya. Matanya menerobos masuk ke bola mata Iwin yang ketakutan. "Heh, kamu apain si Neneng"" katanya berang. "Aku... " Bingung dan linglung sekali si Iwin. "Kamu dalam kesulitan"" tebak Roy.
"Ah!" Dia memukul pahanya kesal. "Aku khilaf, Roy," sesalnya. "Aku terjebak," sesalnya lagi.
Iwin, ceritanya sendiri, mengantar Neneng sampai di rumahnya. Kedua orangtuanya sudah tidur. Dia disuruh masuk dan disuguhi kopi hangat dulu. Cuaca dingin, sunyi-sepi, godaan setan, wanita yang mahir memancing, dan lelaki yang penuh gejolak sebagai remaja puber, melengkapi semua faktor untuk menyeret mereka.
"Aku memang bodoh!" Kepalan tangan kanannya dipukulkan ke telapak tangan
kirinya. "Kamu..." tuding Roy jengkel.
Iwin menggeleng cepat. "Tidak sampai sejauh itu, Roy," belanya. "Aku masih sanggup menahannya, walaupun Neneng berkali-kali merayuku." Roy gembira mendengamya.
"Aku kaget dan panik juga, Roy. Akhirnya aku melompat lewat jendela. Entahlah, seperti ada yang aneh dengan peristiwa ini. Aku jadi takut. Rencana ke Baduy besok, gagal, Roy," Iwin menyesal.
Roy menggerutu dan dengan jengkel memukul bahu Iwin. "Pagi-pagi sekali, kita pulang, Roy."
Si bandel itu merebahkan tubuhnya. Dia memejamkan matanya, "Bangunkan saja aku," katanya tidak peduli.
"Maafkan aku, Roy," sesalnya lagi.
Roy tidak mendengarkan. Iwin pun mulai mengemasi ransel Roy.
Sedangkan si Roy berusaha untuk tidur, walaupun hatinya mangkel bukan kepalang. Kandas sudah angan-angannya untuk menjelajahi desa Kanekes, tempat tinggal masyarakat Baduy. Padahal dia sudah mencuri-curi waktu sekolahnya di antara Sabtu sampai Senin. Ya, di hari-hari itulah dia bisa menyalurkan hobi avonturirnya. Katakanlah weekend.
Di luar hujan malah semakin menggila. Angin riuh menggemuruh. Kodok bersahutan berisik sekali dan satwa liar lainnya ikut meramaikan, menambah dingin dan seramnya daerah selatan.
Orang-orang semakin menyembunyikan tubuhnya di balik kain sarung.
*** Matahari pagi berusaha untuk memberi kehangatan di kampung itu, walaupun me
ga-mega mengepungnya. Pagi itu masih tetap basah.
Di sebuah rumah bilik, seorang gadis duduk di balai-balai memandangi seplastik ikan asin dan beberapa liter beras yang sengaja ditinggalkan oleh kedua lelaki kota itu. Rupanya pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kampung untuk kembali ke kota.
Sesuatu pasti terjadi pada Iwin. Dan Nenenglah penyebabnya, batin gadis itu.
Tiba-tiba Neneng sudah berdiri di pintu dan menerobos masuk. "Ke mana mereka, Yun"" katanya kecewa. "Jadi ke Baduy""
Yuyun menggeleng. Dia memandangi kawan sepermainannya sejak kecil. Kamu tambah nakal, Neng. Itukah oleh-olehmu selama di kota"
Mereka hanya duduk membisu. Angan-angan mereka sebetulnya sederhana dan polos: seorang suami yang bertanggung jawab! Padahal mereka masih enam belas tahun! Masih layak menikmati masa remaja. Beruntunglah kalian, wahai gadis yang ditakdirkan tinggal di kota. Bersyukurlah.
Dan matahari pagi itu kalah, tidak mampu menggeliat.
Jadinya pagi itu mendung lagi.
II. SALIRA BEACH Di pantai aku bertemu ombak
ia mengajakku bermain aku dan ombak bernyanyi-nyanyi
sambil membuat labirin dari pasir dan pecahan karang
lalu main petak umpet di dalamnya
Tiba-tiba saja ombak menghilang
dan aku tak tahu jalan pulang
O, ombak menyanyilah merdu
agar jalan dapat kutemu -Toto S T Radik LAGI-LAGI jam terakhir tidak ada gurunya. Tapi sang guru menugaskan ketua murid untuk mencatat beberapa soal. Pekerjaan seperti ini membuang-buang waktu saja buat anak-anak badung. Pinjam sama kawan kan beres, ya! Apalagi sekarang Sabtu sore. Mendingan nangkring nyuitin cewek-cewek yang lagi JJS.
Si bandel memang sudah bakatnya masuk ke golongan itu. Dia cengar-cengir melenggang menyandang tas ranselnya. Di barisan depan dia mencolek pinggang Eka. "Nanti pinjem catetannya ya, Ka." Dia mengedipkan matanya.
"Enak aja." Eka yang centil, menjulurkan lidahnya.
Roy tertawa menjawil dagu Eka. Lantas dengan konyol pamitan bolos kepada kawan-kawan sekelasnya sambil ngomong, "Cepet jadi orang pinter ya, Anak-anak." Kontan selsi kelas meneriakinya untuk cepat pergi. Di pintu kelas, Iwin mencegatnya.
"Semalam Novi ngebel. Dia nanyain kamu," katanya. "Kamu disuruh maen ke rumah, kata Novi." Iwin meninju bahunya.
Roy nyengir mendengar kalimat berbau promosi ini.
"Ada rencana ke mana sekarang, Roy""
"Cuma weekend ke pantai." "Ikut, dong!"
Roy menggeleng. "Aku lagi kepengen sendiri. Lain kali aja ya, Win," katanya tersenyum.
Iwin mengangguk memaklumi. "Novi, gimana"" pancingnya. "Salamin aja, deh."
Entah kenapa, sudah beberapa malam Minggu dilewatkan si bandel tanpa perempuan. Padahal baginya, hidup tanpa perempuan adalah sepi. Tapi kini malah sebaliknya, dia memilih untuk sepi saja. Bukankah ketika sepi, kita punya waktu untuk merenungkan: siapa kita" Apa yang sudah kita lakukan"
Perempuan memang bisa menimbulkan semangat dan juga bisa menghancurkan. Menurut kalian, gimana" Menumbuhkan semangat atau menghancurkan" Bagi seorang lelaki banci, perempuan memang bisa menimbulkan semangat sekaligus menghancurkan. Tapi bagi lelaki petualang, sebaiknya jangan keduanya. Kenapa" Lelaki petualang mesti dinamis. Mesti banyak bepergian. Dan kalau sudah masalah perempuan, bagaimana bisa bepergian" Kita jadi terbelenggu. Jadi mati. Bagi Roy sendiri perempuan hanya sekadar inspirasi.
Dan kalian, perempuan, bagaimana tentang lelaki" Punya pendapat" Apakah lelaki sekadar untuk pelindung" Kawan bepergian" Atau kalian punya pendapat sendiri"
Remaja badung itu sedang berkemas-kemas ala kadarnya, ketika mamanya masuk ke kamarnya. Roy merasa bahagia sekali melihat mamanya yang mulai segar-bugar, walaupun belum asyik lagi dengan mesin jahitnya.
"Mau journey ke mana, Roy""
"Weekend ke pantai, Ma."
"Hati-hati ya, Roy." Roy mengangguk mengecup kening mamanya.
Begitulah orangtua. Apalagi seorang ibu yang mengandungnya sembilan bulan. Bagaimanapun rasa khawatir itu ada. Dan kita sebagai anak, jangan mudah mengomel atau merasa masih dianggap belum dewasa karena diperlakukan begitu.
*** Laut tidak berombak. Hanya alun gemulai saja menyentuh pantai. Langitnya mulai kemerah-merahan. Di mana-mana sen
ja di pantai memang indah. Menghanyutkan. Roy sedang duduk menikmati senja itu.
Salira Beach merupakan objek wisata yang lokasinya persis di sebuah teluk (5 km utara Merak). Pantai dan lautnya sangat enjoy buat rekreasi yang sifatnya aquatic (tourist marine). Ombak dan gelombangnya adem-ayem saja. Kalian bisa berenang seperti di kolam renang. Soal penginapan, buat yang dompetnya tebal jangan khawatir, ada bungalow dibangun di perbukitan. Dan kalian yang senang avonturir, no problem, ada tempat berkemah plus penyewaan tendanya.
Si badung itu menggulung ujung celana jeansnya. Dia menuju pantai. Sengaja membiarkan air laut menjilati kakinya. Dia bermain alir laut dengan kedua kakinya dan begitu menikmatinya. Ada beberapa orang terpencar sedang menikmati suasana senja juga. Kelihatannya mereka dari kota besar yang sedang melepas lelah.
Roy terus menyusuri pantai. Dia melihat di tempat yang agak terpisah dan sepi, seorang wanita sedang tidur-tiduran di kursi malas. Tubuh yang sensual dengan celana mini sekali dan kaus kutung, huh! Cantik dan sophisticated. Wanita itu tersenyum.
"Sendirian, Tante"" sapa Roy.
Wanita metropolitan itu tersenyum lagi. Lalu terlentang. Posisi tidurnya yang sembarangan jelas-jelas merusak mata seorang remaja puber.
Roy terus berjalan saja membuang kegelisahannya. Tapi ujung matanya masih saja mencuri-curi pandang. Sialan! batinnya menggerutu.
Dia duduk di sebongkah karang. Memikirkan tentang kondisi mamanya yang kalau diperhatikan saksama, makin hari makin lemah saja. Seharusnya Mama istirahat, batinnya. Dengan hasil honorarium karangannya, asal hidup ala kadarnyalah, mencukupi kan, Roy. Tentang angan-anganmu untuk menjelajahi bumi ini, sebaiknya kamu tunda dulu, Roy. Ya, harus ditunda dulu. Mama lebih penting dari segalanya.
Dia mengusap wajahnya. Menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya. Dipandanginya langit barat yang mulai gelap. Semburat merah dan kekuning-kuningan masih ada tersisa.
Dia merasa sepi dan damai sekali. Tiba-tiba gerimis memukuli pantai itu. Roy bergegas. Ketika dia melihat wanita metropolitan itu masih saja terlentang seperti tidak mempedulikan gerirnis yang semakin membesar, dia menghentikan langkahnya. Dihampirinya. Rupanya wanita itu tertidur lelap.
Hati-hati Roy menyentuh lengannya. "Bangun, Tante," katanya pelan. Akhirnya dia mengguncang-guncangkan tubuh yang tidak bergeming itu. "Bangun, Tante!" teriak Roy. Wanita itu menggeliat. Menguap dan tampak kaget begitu melihat Roy. Dia berusaha bangun ketika menyadari tubuhnya dipukuli air hujan. Sempoyongan dia bangun. Tasnya jatuh dan isinya berhamburan.
Roy membantunya memasukkannya ke dalam tas lagi. Dia meringis begitu melihat obat-obat laknat berserakan dan ada botol minuman mahal di tasnya. Wanita itu hampir terjatuh. Dari mulutnya tercium bau alkohol. Dia sengaja menyenderkan tubuhnya kepada Roy. Si bandel itu memapahnya dengan risi dan kikuk. Wanita metropolitan itu tersenyum genit. Dia menunjuk ke salah satu bungalow. Lantas dia bernyanyi-nyanyi. suaranya merdu tapi terasa getir dan merintih sekali.
Hujan mengguyur mereka. Susah-payah Roy merebahkannya. Dia mencari-cari handuk dan mengeringkan rambutnya. Dibukanya lemari es. Diambilnya beer kaleng untuk mengusir dingin. Roy menyodorkannya kepada wanita yang kedinginan itu.
"Makasih, Dik." Wanita metropolitan itu duduk merapatkan tubuhnya. Dia lantas mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Roy buru-buru permisi.
Tapi, "Nama kamu siapa,Dik"" tanyanya.
"Roy, Tante." Remaja itu terhenti di pintu."
"Tidur di mana"" "Di tenda."
"Nanti malam, Tante ngundang kamu makan di sini." Dia tersenyum meruntuhkan iman.
"Dateng, ya." Roy tidak mengangguk. Dia ngeloyor.
Hujan tinggal gerimis saja. Azan isya menggema di keheningan pantai. Suasana malam itu betul-betul mengasyikkan untuk yang mencari ketenangan. Tapi kalau buat orang yang sedih, bisa bahaya. Tidak sehat. Bisa menimbulkan pikiran macam-macam.
Di sebuah tenda kecil, seorang remaja menggigil sendirian. Sedari tadi dia sedang menimbang-nimbang, apakah datang ke bungalow memenuhi undangan makan malam sambil menikmati keindahan y
ang matang di sana, atau menggigil saja di sini"
Kalian punya saran" *** Wanita metropolitan itu tersenyum gembira begitu remaja tampan itu datang. Dia tertawa karena remaja itu masih basah kuyup seperti tadi. Roy masih berdiri di luar pintu.
Lengannya ditarik. "Ganti dulu pakaianmu, Roy," sambil menyerahkan handuk kering dan T-shirt.
Roy menurut saja. Dia bagai kena sihir setiap beradu pandang dengan mata yang bersinar-sinar itu. Kenapa bermain api, Roy" Susah memang untuk menebak pasti apa maunya si Roy. Naluri petulangannyalah yang menyeretnya untuk melakukan atau mendekati ke hal-hal yang penuh risiko. Karena kalau tidak begitu, bagaimana dia bisa menulis cerita"
Mereka sudah menghadapi meja makan. Gerimis betul-betul reda sekarang.
Lantas gelas-gelas minuman jadi penyeling. "Tante sendirian"" Wanita itu tertawa getir. Mendekati Roy. Duduk di sebelahnya. Lengannya merangkul pundak remaja itu. "Tante sendirian. Kenapa"" Wajahnya mendekat ke wajah Roy.
Roy gelisah dan risi sekali. Dia secara sopan melepaskan rangkulan wanita itu. "Suami Tante"" tanya Roy mengisi gelas minuman dan menyerahkan kepada wanita itu.
"Panggil saja 'Rosa', ya." Nada bicaranya mulai berat. Tante ini terlalu banyak minum. Tampaknya rapuh sekali jiwanya. Sepertinya ada yang disembunyikan tentang suaminya.
"Tante Rosa," Roy mengulangnya. Dia pun mulai terpengaruh oleh alkohol. Tadinya dia hanya mencicipi minuman mahal itu untuk mengusir dingin. Tapi malah keenakan. "Tante bercerai""
"Kamu memaksa Tante untuk cerita, ya"" Dia tertawa (tepatnya menertawakan kehidupannya sendiri) sambil mencubit pipi Roy. "Duduk sini." Dia menarik Roy untuk berada di sampingnya.
Sambil merangkul wanita metropolitan itu bercerita, "suami Tante punya istri tiga. Tante yang nomor dua." Nadanya biasa-biasa saja. "Dia terlalu banyak harta. Rupanya uang sudah menjajah hidupnya. Dengan uang dia bisa membeli apa saja. Termasuk membeli Tante inilah."
Roy hanya mendengarkan saja. Dia tidak sanggup berpikir, karena kepalanya terasa berat. Dia bahkan sudah merebahkan kepalanya di kedua paha wanita itu. Tante Rosa bercerita lagi, "Kadang kala satu bulan sekali dia menggilir Tante. Memberikan uang bulanan dan berusaha menjadi suami yang gagah. "Nyatanya"" Dia tertawa keras.
Entah kenapa, si Roy pun ikut tertawa. Padahal apanya yang lucu" Tapi itulah alkohol. Kita bisa melakukannya tanpa sadar kalau kita sudah dikendalikannya. Makanya lebih baik dijauhi saja minuman laknat itu. Gimana, setuju"
Si Roy sudah bisa menebak wanita metropolitan ini. Seekor ikan besar yang memangsa ikan-ikan kecil. Wanita sahabat remaja-remaja penghibur di banyak sudut kota besar. Hati-hati, Roy!
Waktu merembet terus. Angin berdesir masuk lewat lubang angin. Kedua manusia itu seperti sepasang insan yang dimabuk asmara. Kedua-duanya mulai melupakan batas umur. Sebetulnya si wanita memang sengaja memasang perangkap. Lubang yang digalinya mulai mengisap pelan-pelan.
Tante Rosa berdiri minta dipapah ke kamar tidur. Roy berusaha menahan berat tubuh wanita itu. Tapi mereka terguling ke lantai.Wanita itu mengusap bibir Roy dengan telunjuknya.
Aduh, Roy! Alam berteriak-teriak mengingatkan remaja badung itu. Petir menggelegar!
Roy terlonjak. Dia sekuat tenaga mendorong tubuh wanita itu. Dia melepaskan pegangan tangannya. Berdiri menyender ke tembok. "Roy," lengannya menjulur.
"Tidak, Tante."
Angin menyelusup masuk ke bungalow membawa suara azan subuh. Nyanyian merdu Bilal itu masuk ke telinga si Roy. Dia menatap langit-langit. Napasnya terlontar bebas dan lega. Si bandel itu ngeloyor tanpa mempedulikan panggilan wanita metropolitan itu. Perasaannya campur-aduk. Dia akhirnya berlari menuju pantai. Menceburkan diri ke laut. Berenang sekuat tenaga ke tengah.
Dia mengamuk di laut. Berteriak-teriak sendiri.
Memaki sendiri. Kenapa aku ini" begitu makinya.
Dia menutup wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Setetes sempat menyelinap dan mengalir ke pipinya. Betapa hidup itu sebetulnya penuh gejolak. Siapa pernah tahu dan bisa menebak perjalanan hidupnya sendiri" Bisa menebak sejam atau sehari yang akan terjadi kemudian" Ingat de
h, manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan.
Bagaimanapun si Roy bersyukur, karena tidak sampai terbenam sampai ke dasamya. Berarti jangan sekali-kali main api seperti tadi, Roy! Kalian juga. Go home, Roy!
III. BAD DAY 2 Sinar bulan menyuram perlahan angin sembunyi di lembah sunyi serangga pun berhenti melagu puisi Saat gulita melulur mata jadi punah segala warna tinggal gelisah berputar berpusar menerkam wajah tanpa darah
-Toto S T - Rys R SI Roy sedari tadi asyik mengunci diri di kamar. Suara tak-tik-tuk mesin tik menyelimutinya. Dia sedang tenggelam dalam khayalannya. Ada beberapa karangan yang sedang digarapnya. Jadi malam Minggu ini dia bermaksud di rumah saja.
Tapi Iwin sudah menggedor pintu kamarnya. "Tumben malam Minggu ngamar!" ledeknya tertawa. Roy nyengir. Wah, rencanaku bakal berantakan! batin si bandel. Mau tidak mau dia menunda dulu kegiatannya. Dibereskannya kertas-kertas yang berserakan. Ya, istirahat dulu dari pekerjaan itu penting, Roy.
"Ikut, yuk!" Iwin memutar-mutar kunci Carry-nya. "Hei, kamu sendiri nggak ngapelin si Novi"" sindir Roy. "Sekali-sekali nyari selir, Roy!" Iwin tertawa. Roy juga tertawa. "Just fun!" Tawa Roy makin keras.
Percaya atau tidak, menggaet seorang wanita di zaman sekarang bagi yang modal dengkul sudah terasa sulit. Tapi buat yang punya "pelet Jepang" sih bukan masalah. Tahu "pelet Jepang"" Ini istilah baru di saat resesi dan dekadensi melanda bumi. Di mana segala sesuatunya sudah harus diukur dengan status dan materi. Di mana para jaka sudah leluasa menggunakan kendaraan produk Jepang kepunyaan babenya untuk menggaet dara idaman.
Lantas kedua remaja badung itu sudah melesat ke pantai sambil memeluk cewek bensin yang manis dan genit. Rasa-rasanya kencan model begini sudah rahasia umum.
Sudah tidak asing lagi di kalangan remaja. Ada enaknya karena tidak merasa terikat. Di mana setelah usai kencan kita pulang sambil berpikir: malam Minggu nanti kencan dengan dia lagi atau cari yang lain"
Mereka masih muda. Masih dalam masa serba ingin tahu. Seperti bagaimana rasanya berciuman atau bercumbu yang biasa dilihat di film-film bioskop. Jadi yang paling bagus buat mereka adalah pengarahan dan bimbingan. Kalau dilarang kadang kala suka liar malah. Pendidikan seks yang katanya tabu, mungkin bisa jadi satu alternatif yang bagus kalau dijadikan mata pelajaran di sekolah-sekolah.
Kedua dara manis yang genit itu sudah dikembalikan ke rumahnya. Iwin tertawa-tawa menjalankan Carry-nya. Bercerita dengan seru tentang kawan kencannya tadi. Roy juga tertawa. Iwin menginjak pedal gas lebih dalam. Gerimis mulai turun. Mereka masih saja tertawa-tawa menceritakan tentang kencan di pantai tadi. Gerimis semakin rapat. Malam terasa sepi dan dingin di sepanjang jalan.
"Awas licin, Win!" Roy memperingatkan sambil menunjuk ke jalan yang banyak tanah merah kiriman dari mobil proyek. Carry itu langsung oleng.Iwin berusaha mengendalikan kemudi. Dia sebetulnya cukup tangkas juga. Tapi begitu datang lampu terang menyorot dari arah depan, Iwin berubah panik. Ternyata truk yang selalu edan kecepatannya. Iwin membanting kemudi ke kiri, karena dikiranya truk itu pasti menyambarnya.
Semuanya terjadi begitu cepat dan tidak diduga.
Roy merasa tubuhnya seperti diaduk-aduk, berputar-putar, dan berbenturan. Lantas bunyi yang keras serta erang kesakitan.
Tampaknya Tuhan sedang mencoba kedua manusia itu dengan kuasa-Nya. Begitulah, tidak akan ada yang mampu mengubah. Tuhanlah yang paling nomor satu dalam hal skenario. Tidak akan ada yang sanggup menebak awal atau akhirnya. Itu tadi buktinya. Baru saja kedua remaja badung itu tertawa gembira, sekarang dalam sekejap berbalik jadi bunyi erang kesakitan bercampur darah.
Carry itu jungkir-balik dan terbenam di parit. Darah mengucur. Dan gerimis masih saja turun.
Si Roy menggeliat. Dadanya sesak dan sakit. Keningnya mengucurkan darah. Dia panik sekali dan mencoba keluar dari dalam mobil ketika melihat Iwin yang berlumuran darah dan terjepit pada pecahan kaca jendela pintu.
"Roy... ah..." Iwin mengerang dan tangannya menggapai-gapai. "Sabar sebentar, Win," Roy
menguatkan. Iwin mengerang lagi dan jatuh pingsan.Tanpa pikir panjang, Roy memukul jendela depan keras-keras. Dia tidak peduli kepalan tangannya robek berdarah. Lantas kedua kakinya menjejak. Dia berhasil keluar lewat jendela depan.
Si bandel yang panik itu berusaha menyetopi kendaraan yang lewat. Beberapa kali dia mengentakkan kaki ke bumi, karena tidak satu pun yang menggubris. Orang-orang yang berada di kendaraan memang melihat di antara curah hujan, seorang remaja sedang berusaha menarik ke luar seseorang yang terjepit di jendela. Tapi mereka tidak punya waktu untuk berbasah-basah menolong kecelakaan itu. Mereka hanya bisa ikut prihatin dan mencoba berdoa: semoga remaja itu berhasil menolong sobatnya yang malang. Pertolongan memang sangat mahal harganya sekarang ini.
Tapi, kawan, percayalah, bahwa orang baik itu pasti selalu ada di mana-mana. Ya, entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja penduduk dari kampung terdekat berbondong-bondong menembus hujan ke lokasi kecelakaan. Sinar senter berkelebatan dari lengan mereka. Inilah pertolongan tanpa pamrih. Rasa kegotongroyongan yang masih bisa kita banggakan. Si Roy kini bisa menarik napas lega. Dia baru bisa mengusap darah yang bercampur air hujan di wajahnya.
*** Roy menggigil kedinginan di Ruang Gawat Darurat. Kening dan kepalan tangannya sudah dijahit. Sesekali dia mengintip lewat kaca jendela tubuh sobatnya yang tergeletak tidak berdaya. Kuping sebelah kirinya hancur kena pecahan kaca. Rahang bawahnya patah. Dagu serta keningnya robek. Seluruh kepalanya memang membentur kaca dan terjepit di antara pecahan-pecahannya yang runcing!
Duh, Iwin! batin si Roy sedih. Seorang perawat menyuruhnya masuk. Roy menuju brankar di mana Iwin tergeletak. Dia meraih lengan kanan sobatnya yang diinfus. Digenggamnya erat-erat.
"Makanya nggak boleh nyeleweng, Win," Roy mencoba menghiburnya. "Novi mungkin ngedoain yang nggak-nggak," kata Roy lagi mencoba tersenyum. Iwin hanya meringis. Dia mencoba membuka mulutnya. Susah sekali dia berbicara, "Ka..mu...ng..nggak a..pa..pa, Roy"" Rasa sakit tampak ditahannya.
Roy memperlihatkan kepalan tangan dan keningnya yang dibalut perban. "Aku sudah telepon ke rumahmu tadi." Roy mendekatkan bibirnya di telinga Iwin. "Tuh, bapakmu datang, Win," kata Roy lagi ketika melihat seorang lelaki berkumis muncul di pintu ruangan.
Wajah Iwin kelihatan gembira, walaupun matanya berkaca-kaca. Terulang lagi sudah peristiwa tragis kakak lelakinya yang tewas kecelakaan di Puncak. Yang mana peristiwa tragis itu masih melekat dan menjadi bayang-bayang menakutkan seluruh keluarga.
"Pak" lirih sekali suara Iwin. "Ini Bapak, Win." Orangtua itu berusaha tersenyum. Digenggamnya erat-erat lengan anaknya. Orangtua itu seperti merasa akan kehilangan anak lelaki yang tersisa satu-satunya ini, ketika kematian anak lelaki yang cikal tiba-tiba berkelebat.
"L.Lbu... ma..na..., Pak"" semakin sulit dan nyeri Iwin membuka mulutnya. "Ibu ada di luar bersama kakakmu," kata orang tua itu semakin erat menggenggam lengan anaknya. Dia berusaha mengalirkan kekuatannya.
Roy beringsut ke luar. Dia tidak tahan mendengar percakapan ayah-anak itu. Di ruang tunggu dia harus menyaksikan lagi suasana haru itu. Semua keluarga Iwin tenggelam dalam tangis. Si bandel tidak bisa mengatakan apa-apa kepada mereka. Selain, "Maafkan Roy, Bu," karena dia pun merasa ikut bersalah dengan kecelakaan sial ini.
Ardi mengusap rambut Roy. "Lukamu nggak parah, Roy"" tanya kakak ipar Iwin sambil meneliti perban. Lantas dia buru-buru masuk ke ruangan ketika dipanggil seorang perawat. Tidak lama dia muncul lagi. Hati-hati Ardi menceritakan kondisi Iwin yang sebetulnya. Semua orang terpekik kaget dan semakin pilu.
"Masya Allah!" isak ibu Iwin menutup wajahnya. "Dulu Kaurenggut anak lelaki kami yang sulung, Tuhan. Dan kini Kau bikin pula anak lelaki kami satu-satunya cacat. Oh!" suaranya semakin pilu dan pasrah.
Dina pun larut meratapi kemalangan adiknya. Dia membenamkan wajahnya ke pelukan Ardi, suaminya. Isaknya, "Telinga Iwin tinggal satu"" masih tidak percaya.
Roy terus beringsut ke tuar rumah sakit. Dia masih melihat t
ubuh Iwin yang malang menggelincir didorong para perawat ke ruang operasi. Dia tadi sempat membantu menggotong tubuh Iwin ke brankar yang baru. Terasa amis, mengerikan!
Lantas dia jadi ingat cerita Iwin, ketika dia melumurkan darah kakaknya yang tewas kecelakaan di kamar mayat!
Waktu bergulir terus. Semua orang tidak berkata-kata. Larut dalam sedih dan doa. Sementara itu setiap saat di pintu pasien baru mengalir masuk. Makanya kalian jangan kaget kalau dinihari ada seseorang menelepon dari rumah sakit ke rumah kalian, bahwa ada seorang dari keluarga kalian yang kecelakaan!
Ini memang peristiwa mahal buat Iwin. Tidak, sembarang orang bisa mengalaminya. Kata orang pintar "hanya yang dikasihani Tuhan saja yang selalu dicoba imannya dengan penderitaan-penderitaan". Berarti sobatnya termasuk ke dalam golongan itu. Kita memang harus mengalami kejutan-kejutan hidup. Harus mengalami saat-saat kritis di mana kekuatan batin jadi modal utama.
Tapi ada yang mengganjal bagai karang di dada si Roy. Atau ada letupan-letupan kecil yang ingin dimuntahkannya. Yaitu kenapa mesti ada kemalangan yang dilemparkan bertubi-tubi ke satu pihak saja" Bukankah mereka baru saja kehilangan si sulung yang tewas kecelakaan " Dan kenapa sekarang harus pula menerima penderitaan lain, bahwa anak lelaki satu-satunya cacat" Sedangkan ada pihak-pihak lain yang selalu diberikan kesenangan dan kebahagiaan! Anehnya, kenapa yang terjadi selalu kepada orang yang dekat dengan si Roy"
Ya, kenapa si bandel itu sering melihat kemalangan dan penderitaan" Dia membawa sejuta tanyanya ke jalan. Kenapa aku sebagai pelengkap dan penonton saja" Kenapa tidak sekalian padaku" Apalah bedanya" batinnya memprotes. Dia betul-betul guncang.
Lantas tanpa sadar dia sudah berada di atas bis yang melaju ke arah barat, ke pantai Selat Sunda. Dia ingin menyambut fajar bersama debur ombak. Dia ingin meledakkan gumpalan-gumpalan di dadanya.
Matahari mulai datang. Pelan-pelan sinarnya menyebar memberi kehidupan. Yang pelajar memakai seragam dan mengemasi buku-bukunya. Yang ke kantor merapikan kemeja (serta dasi) dan menenteng tasnya. Yang nelayan menambatkan perahu dan menarik jalanya sambil berharap hasil tangkapan hari ini lebih banyak dari kemarin.
Dan di antara batang-batang nyiur tampak seorang lelaki berlari menuju pantai. Dia menerjang ombak dan membiarkan air laut mengisapnya sampai sebatas perut.
Lahar di dadanya meletus dahsyat. Wajahnya tengadah ke langit dan kedua lengannya terkepal.
"Aaaaaaaaaaaaah!" teriakannya merobek pagi. Menembus langit. Mengusik nurani orang-orang. Dia sendirian berdiri di laut. Sedih dan kecewa.
IV. BAD DAY 3 getaran kecapi jiwa melagu panjang tembang petualang peristiwa nyeri jangan jadikan beban sebab daun-daun yang mengering terguling ke bumi
tak pernah merasa sunyi dan sia-sia! -Toto ST Radik
SUARA musik mendengung menusuk kuping, tapi tubuh orang-orang mengikutinya dengan gerakan-gerakan ritmis energik. Kerlap-kerlip lampu menimpali dan menambah semarak suasana. Ini di sebuah diskotek di kota paling barat yang katanya fanatik Islam. Tapi kayaknya nilai-nilai religius itu mulai bergeser, karena kota industri ini mulai ditumbuhi tempat hiburan yang bagai jamur. Kemajuan memang selalu menimbulkan korban.
Si Roy malam ini sedang gelisah menikmati kesendiriannya di sini. Cahaya remang-remang, bising, asap rokok, dan bau alkohol di sudut bar. Entah sudah gelas keberapa "air api" itu merembesi pembuluh darah dan merajam otaknya. Dia merasa sudah berada jauh meninggalkan kegelisahan dan kemarahannya. Diteguknya lagi "air api" itu.
Matanya nyalang dan jelalatan ke tengah arena dansa. Memperhatikan orang-orang yang riuh mengikuti irama musik. Di tengah-tengah keriuhan, dia melihat sebuah tubuh yang lincah meliuk-liuk bagai belut. Keringatnya mengkilap kena cahaya lampu. Sudah beberapa kali si belut berganti pasangan. Si belut memang pantas disebut primadona malam ini.
Seorang gadis dengan dandanan seronok mengambil tempat di sebelah Roy. Ada beberapa butiran keringat bertengger di keningnya. Dia menyeka dengan saputangannya. Lalu meminta soft drink dan
tersenyum menyebarkan bisanya.
Roy mengangkat gelas kepadanya. "Mari kita bergembira!" gelaknya. Alkohol memang sudah menyelimutinya. Si gadis tertawa. "Boleh aku nraktir minum"" Dia tersenyum nakal. Si gadis menggeleng. " Aku nggak pemah minum alkohol." "Namaku Roy ." Dia mengedipkan matanya. "Kamu nggak turun"" Si gadis tersenyum. "Aku cuma kepengen duduk, minum, dan melihat tingkah laku orang-orang. Kalau melihat mereka, kayaknya kita ini gila, ya"" Roy menunjuk ke orang-orang. Si gadis mengangguk dan tertawa kecil.
"Bagaimana dengan nama kamu"" sindir Roy. Si gadis tertawa enak. "Mahesya," katanya. "Aku panggil apa." "Hesya saja."
"Sering ke sini"" "Hampir tiap malam. Ya, cari hiburan."
"Nggak kerasan di rumah"" "Bukan urusan kamu."
Roy tertawa ngakak. "Sori," katanya. Dia menghabiskan isi gelasnya lagi yang kesekian. "Aku punya cerita. Mau denger"" tawanya masih tersisa. "Asal jangan cerita horor aja."
"Nggak dong." Dia memperbaiki letak duduknya yang melorot. Kalau tangannya tidak kuat berpegangan pada sisi meja, mungkin sudah menggeluprak ke lantai.
Manusia memang selalu lari dari kenyataan, batin Mahesya. Kompensasi negatif, itulah jalan keluamya. Padahal penderitaan itu kalau dinikmati akan terasa indah. Banyak kok, orang-orang yang menyiksa dirinya dengan penderitaan hanya untuk mencari kebahagiaan. Lantas Mahesya sendiri tersenyum getir. Kompensasinya juga negatif. Hampir tiap malam keluyuran, dan nongkrong di diskotek bagi seorang gadis sangat tidak baik. Tapi, aku memperoleh kesenangan di sini, batin gadis itu lagi, daripada di rumah yang bagai bara api!
"Mau denger ceritaku, nggak"" ulang Roy.
"Lho, dan tadi aku sudah pasang kuping."
Roy menatapnya dulu. "Kamu ini cantik," memujinya. " Aku kurang memperhatikan tadi."
"Mau cerita, nggak"" Mahesya tersenyum. Senang juga sih dipuji. Dan sepantasnyalah bagi kita untuk senang, kalau ada hal-hal baik pada kita dipuji orang. Tapi, asal jangan senang berlebihan saja. Itu takabur, namanya. Dan itu tidak baik.
"Ada dua orang sobat. Suatu malam mereka kencan dengan pasangannya ke pantai," Roy memulai cerita dukanya.
"Ceritanya, mojok ni yee," ledek Mahesya.
Roy tergelak keras. Ceritanya diteruskan, "Sepulang kencan dan mengantar pulang kedua gadis itu, mereka sangat gembira dan tertawa-tawa. Bahkan terlalu gembira. Mereka lupa apa kata yang di atas - Tuhan - bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Gerimis malam itu dan jalanan licin karena banyak tanah merah. Mobil mereka oleng. Yang pegang setir berusaha ngejaga keseimbangan. Tapi, ketika ada truk sialan dari depan, yang pegang setir panik. Mobil itu terbalik dan masuk parit. Sang driver kepalanya terjepit di pintu, persis pada pecahan kaca jendela. Rahangnya patah dan telinga kirinya putus." Dia berhenti dulu. Memandang ke atas. Dia seperti marah dan jengkel.
"Yang seorang lagi""
"Mereka terkurung di dalam mobil. Yang seorang lagi hanya robek di kening. Akhirnya dia memukul kaca agar bisa keluar. Lengannya juga robek. Lantas dia menarik tubuh sobatnya yang terjepit, tapi tidak sanggup. Untung orang-orang di kampung terdekat datang menolong.


Balada Si Roy 04 Bad Days Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang driver itu dirawat di rumah sakit. Dia sendirian. Sementara yang seorang lagi malah berada di diskotek dan mabuk-mabukan." Kesedihan jadi jelas terlukis di wajahnya. Lengan kirinya memukul-mukul permukaan meja. Dia jadi teringat Iwin yang sedang tergeletak dan sudah seminggu tidak ditengoknya.
Mahesya baru mengerti sekarang, kenapa lelaki ini gelisah dan murung.
"Aku capek menyaksikan langsung penderitaan-penderitaan orang," suara Roy
pilu. "Jadi karena musibah itu kamu menghabiskan bergelas-gelas minuman, Roy"" tuduh Mahesya tanpa kompromi.
Roy tersentak. Dia merasa malu pada dirinya sendiri. "Sekarang giliran aku cerita, ya"" Roy mengangguk dan memandanginya.
"Ada satu keluarga kecil dengan dua orang anak. Yang paling besar, cowok, keburu kawin sebelum lulus SMA. Yang bungsu, cewek, di kelas akhir SMA," ceritanya. "Si ayah bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan keinginan istrinya yang suka berlebihan. Mereka dibilang bahagia di segi materi, ya bahagia. Berkecuku
pan." Mahesya berhenti dulu, karena melihat si Roy memejamkan matanya. "Heh, ngedengerin nggak"" Dia menepuk bahunya.
"Ya, ngedengerin," kata Roy, tetap memejamkan matanya.
"Suatu malam, cewek itu kongkow-kongkow di Anyer Beach Motel. Entah kebetulan atau memang betul pepatah sesembunyinya mayat akhirnya tercium juga, ketika salah seorang temennya ngasih tahu, bahwa mobil ayahnya terparkir di sebuah cottage. Cewek itu nekat menyatroni. Ternyata betul. "Cewek itu melihat ayahnya dengan seorang wanita, yang menggelayut manja." Napas Mahesya terasa berat.
"Lantas"" "Cewek itu berteriak memaki-maki ayahnya."
"Lantas"" "Wanita itu ternyata istri muda ayahnya."
"Lantas"" Mahesya memandangnya kesal, "Apa nggak ada kata lain selain 'lantas' , Roy""
Si bandel itu tertawa keras. Bunyinya berat dan tidak enak didengar. "Cerita model begini sudah sering aku dengar. Mirip film-film Indonesia. Klise. Tentunya si cewek itu broken home, ya" Dia jadi sering keluyuran dan suka nongkrong di diskotek. Atau yang parah jadi cewek gampangan" Bukan begitu"" Gelaknya semakin keras. Dia memang menertawakan kehidupan itu sendiri.
"Sinis sekali omongan kamu, Roy," Mahesya tidak senang.
"Kadang kala aku memang begitu. Sori deh."
"Bagaimana dengan kamu, Roy"" sindirnya.
Roy tertawa kecut. "Kita sama-sarna pengecut, ya""
Mahesya tidak mengiyakan.
"Kamu punya nasihat buat aku, Hesya""
Gadis itu meminta penjelasan lewat sorot matanya.
"Maksudku, apa yang mesti aku katakan pada sobatku. Untuk kali ini, aku belum mampu. Musibah ini terlalu cepat dan seperti mimpi. "Tentang telinganya yang putus, Hesya!"
Mahesya tampak merenung. Akhirnya, "Sesekali kita memang pernah mempertanyakan tentang keadilan Tuhan, karena kita merasa Tuhan sudah nggak adil, nggak pernah mendengarkan dan mengabulkan doa kita. Gitu kan, Roy""
"Teruskan." "Coba rasakan apa yang sudah kita miliki. Coba catat setiap doa kita dan bukalah setahun kemudian. Kita buktikan salah satu atau sebagian doa kita, apakah sudah ada yang dikabulkan Tuhan" Kita memang nggak pernah atau pura-pura nggak menyadari, karena manusia banyak maunya. Nggak pernah puas sehingga lupa apa yang sudah Tuhan berikan. Terutama lupa untuk mensyukurinya. Makanya kita jangan minta segalanya jadi baik. Itu sempurna namanya. Padahal yang sempurna itu kan Cuma Tuhan.
"Kenapa manusia dibuat 'menderita' oleh Tuhan" Itu agar manusia nggak sempurna seperti Tuhan. Kalau manusia sempurna, berarti nanti bakal ada dua, tiga, atau banyak Tuhan. Padahal Tuhan itu kan satu, Roy." Mahesya menarik napas lega. Dadanya terasa lapang.
Roy betul-betul terpesona. Kalimat-kalimat tadi begitu religius. Dia tidak menyangka itu akan meluncur dari bibir gadis seronok ini.
"Siapa tahu musibah ini ada hikmahnya buat sobatmu. Semoga dia jadi siap dan terbiasa menghadapi hal-hal yang pahit lainnya. Biasanya, setelah kita mendapat penderitaan hebat, kebahagiaan terbentang di depan mata," katanya lagi.
"Untuk diri kamu sendiri, bagaimana"" sindir Roy.
"Itu urusanku." Mahesya tersenyum.
Roy tergelak. "Makasih banyak, Hesya!" serunya sambil mengangkat gelas kosong. Dia meminumnya dan ketika disadarinya gelas itu kosong, dia menggerutu kesal. Mahesya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Si Roy bangkit. Dia melihat sang primadona masih meliuk-liukkan tubuhnya. Dia sempoyongan berjalan ke sana. Beberapa kali dia menyenggol orang, tapi dia tidak peduli. Orang-orang menggerutu dan memandang tidak suka. Dasar sableng, dia menyuruh minggir lelaki yang sedang asyik berpasangan dengan sang primadona.
"Namaku 'Roy'!" katanya nyengir.
Si Roy dengan norak menggoyang-goyangkan tubuhnya. Orang lagi mabok ya jelas ngawur. Malah lebih cocok jadi rocker saja! Sang primadona tertawa lucu. Mahesya juga tertawa menonton.
Si Roy tidak menyadari kalau sudah ada tiga orang lelaki mengurung di belakangnya. Dia malah meraih pinggang dan merapatkan tubuh sang primadona.
"Kamu mabok" Sang primadona mendorong tubuh Roy.
Roy meraih lengannya. Tapi dia merasa ada yang memegang tengkuknya dari belakang. Dia tiba-tiba terhuyung-huyung ketika merasa didorong dengan keras. Dia tersungkur
mencium lantai. Orang-orang tidak mempedulikannya. Roy merangkak dan berusaha untuk berdiri.
Beberapa orang masuk dan memandang kepada Roy. Salah seorang dari mereka, yang memakai gelang emas, tersenyum senang dan menghampiri si Roy. Dia meraih lengan si Roy dan membantunya berdiri. Roy memandangnya. Dia mengerutkan kening. "Bibirmu berdarah, Roy." Si gelang emas tertawa.
Akhirnya Roy meringis. Tapi matanya jelas berbinar gembira. Si Dulah, gembongnya Borsalino, muncul di sini. Bakal ramai! batinnya bersorak.
"Kamu terlalu banyak minum, Roy." Dulah memapahnya. "Masih kuat jalan"" Roy tersenyum kecut. "Lagi liburan semester, Dul"" Dulah mengangguk. Dia tiba-tiba tampak prihatin. Katanya, "Kalau saja mamamu tahu kamu masih suka minum alkohol,
Roy ... " Roy tercenung. "Aku denger sobatrnu, Iwin, di rumah sakit. Bukannya kamu temani atau kamu hibur hatinya, Roy. Ini malah mabok-mabokan seperti sedang frustrasi saja." Roy semakin tercenung. Dia mengusap bibirnya. "Borsalino komplet dateng ke sini, Dul"" tanya Roy sambil mencari-cari orang yang bikin ribut tadi.
Dulah tertawa kecil. Dia sudah mengerti maksud Roy.
"Gimana kalau malam ini kita pesta, Dul""
"Di sini"" Dulah semakin keras tawanya.
Roy sudah tahu kalau Dulah menyetujui usulnya. Tanpa banyak omong lagi dia menyeruduk ke arena dansa. Tanpa perlu komando perkelahian tidak bisa dihindarkan. Orang-orang yang rata-rata sudah terpengaruh alkohol ikut tersiram api. Perkelahian jadi tidak teratur. Semrawut. Kurang sedap untuk diceritakan di sini. Apalagi ketika sang DJ ikut meramaikan dengan musik lewat keterampilan tangannya. Arena seperti ini memang paling gampang memancing dan menjadi saluran bagi anak-anak badung. Apalagi yang tidak diberi uang buat modal malam Mingguan, yang wakuncarnya amburadul, dan bisa saja yang baru diputus sang pacar.
Untung pihak diskotek cepat tanggap. Sebuah mobil keamanan sudah berhenti di depan diskotek. Aparat keamanan itu melerai sambil menakut-nakuti dengan pentungan. Yang jadi biang keladi diangkut ke kantor polisi.
Selama menuju kantor polisi, di atas mobil patroli, si Roy sudah ambruk dan terlelap. Begitu juga ketika satu per satu diinterogasi, si bandel masih asyik dengan mimpi-mimpi alkoholnya. Dia menggelesor saja.
Si bandel betul-betul tidak merasakan ketika tubuhnya diseret ke dalam sel dan digeletakkan begitu saja seperti seonggok karung.
Borsalino tersenyum kecut melihatnya.
Remaja sableng itu gelagapan ketika seember air mengguyur kepalanya. Dia mencak-mencak dan mengusap wajahnya. Mengucek-ngucek mata dan tersenyum kecut begitu melihat seorang petugas berseragam coklat dengan ember di tangan menatapnya dengan galak.
"Pulang, sana!" hardiknya.
Lho pikirnya sambil melihat ke sekeliling. Dia sangat terkejut melihat terali besi mengurungnya. Weh, ini penjara! sialan, kenapa bisa nyasar ke sini" gerutunya.
Tiba-tiba kepalanya pening dan perutnya mual. Dia bersender pada terali besi. Melihat orang-orang di sel yang lain. Pesakitan-pesakitan itu pasti membicarakan hari kebebasan nanti dan penerimaan masyarakat yang pada akhirnya akan menyisihkan mereka.
Di luar kantor polisi si Roy mengepalkan tinjunya. Terdengar klakson mobil berulang-ulang. Seperti ditujukan kepadanya. Ada sebuah Hardtop di seberang jalan. Tampak Dulah tersenyum meledek kepadanya.
"Nyenyak tidurnya, Roy"!" katanya tertawa.
"No comment!" kata Roy tertawa juga.
Borsalino masih komplet. Mereka tampaknya kurang tidur semalaman. Terpuji sekali tindakan bersahabat mereka, yang menunggui si Roy keluar dari sel, karena takut terjadi apa-apa.
"Aku ngajuin permohonan dibolehkan tidur di sel juga, Roy. Tapi ditolak mentah-mentah!" Dulah tertawa terus. "Kami begadang di pantai." "Thanks banyak, Dul!" Roy naik ke mobil.
Si bandel itu memejamkan matanya. Betapa banyak cara untuk menjadi sahabat itu, batinnya. Dulu Dulah plus Borsalino-nya selalu jadi seterunya. Kini malah semakin mempererat tali persahabatan. Betapa banyak hal yang tidak bisa kita jangkau.
Ya, siapa bisa menebak hati orang"
V. INTERMEZZO dalam sepi kian bertahta di hati adakah angan lain" desah lain" lagu lai
n" atau satu puisi paling syahdu belum sempat kuresapi dalam gelak kotaku
-Rys Revolta MATAHARI sudah bulat penuh dan persis di atas kepala. Si bandel menggeliat kegerahan dan membuka kausnya. Dengan malas sempoyongan membuka jendela kamarnya. Angin berembus pelan sedikit mengusir gerah. Badan si Roy kusut dan matanya merah kurang tidur. Terdengar pintu kamarnya diketuk. "Sudah bangun kamu, Roy"" Itu suara mamanya.
Roy membuka pintu sambil mengucek-ngucek matanya. Dia ngeloyor ke kamar mandi menghindari tatapan mata mamanya. Wanita setengah baya itu kelihatan pasrah saja dengan kelakuan si Roy. Dia mengeluh dan merasa sia-sia saja dalam mendidik anaknya.
Mamanya menguntit. "Kamu minum-minum semalam ya, Roy"" Roy tidak menjawab. Dia langsung masuk ke kamar mandi.
Wanita setengah baya itu mengeluh lagi. Perasaan bersalah kepada mendiang suaminya mengetuki hatinya. Si Roy kini sudah tampak segar mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia begitu trenyuh dan menyesal melihat mamanya duduk merenung di meja makan.
Dia berusaha menghibur mamanya. "Wah, makan besar, nih!" Roy menyendok nasi sebanyak-banyaknya. Mencoel sambel dan mencicipi sayur asem yang masih panas. "Makan sama-sama ya, Ma," katanya, menyendok nasi ke piring satu lagi dan meletakkan di depan mamanya. Tiba-tiba muncul Opik yang dikejar-kejar Toni. Anak kecil itu tertawa-tawa meledek, karena Toni mengejar tertatih-tatih dengan kaki palsunya.
"Kena!" seru Toni memeluk anak kecil itu. Opik tertawa kegelian.
Mereka tampak gembira sekali bermain-main.
'Ton, makan yuk!" ajak Roy.
"Kebetulan, nih!" Toni menyerbu meja makan.
Akhirnya keempat manusia itu menikmati makan siang dengan gembira. Ya, makanlah selagi kita lapar, dan berhentilah sebelum kita kenyang. Itu agar kita terbiasa merasakan bagaimana lapar dan mengendalikan hawa nafsu kita.
"Aku kemarin nengok Iwin, Roy. Dia nanyain kamu. Kenapa nggak pernah nengok Iwin, Roy"" Toni meneguk air.
Roy diam saja. "Itu kan bukan kesalahan kamu, Roy," kata Toni.
Roy menyudahi makan siangnya. Dia meneguk sekali teguk minumnya. Beranjak ke ruang tengah. Kelihatannya dia merasa tidak enak mendengar omongan Toni tentang Iwin.
"Itu takdir namanya, Roy!" teriak Toni. Dia juga buru-buru menyudahi makannya. Menyusul si Roy ke ruang tengah. Katanya lagi, "Ketika aku tabrakan sama almarhum Andi dulu, kamu nggak cengeng seperti sekarang, Roy! Aku turuti semua omonganmu waktu malam Tahun Baru itu, sehingga sampai sekarang aku tetap bergairah untuk hidup.
"Kata kamu, apalah artinya sebuah kaki kalau jiwa kita sendiri cacat. Kata kamu, ada kaki palsu, Ton! Masih inget semua omongan-omonganmu waktu itu, Roy" Kamu malah pada mulanya menyebut aku bancilah, pengecutlah. Tapi aku sekarang merasa berterima kasih, karena omonganmu banyak manfaatnya. "Sayangnya sekarang kamu..." Toni menggantungkan kalimatnya. Dia menanti reaksi sobatnya.
Tapi Roy tidak menanggapi. Hati kecilnya memang sependapat dengan omongan Toni tadi. Kenapa dia belum mau menengok Iwin, itu hanya karena dia masih shock dengan peristiwa tragis itu. Dia masih belum mau menerima dan percaya dengan takdir Tuhan kepada Iwin.
Ada suara motor nyaring. "Ada Mister Postman, Roy!" Toni ke depan. Dia kembali lagi dengan surat beramplop besar yang tebal isinya. Toni membaca nama si pengirimnya, "Dari HAI, Roy!"
Roy menyobeknya. Dia tampak terkejut ketika melihat isi amplop itu belasan surat dari pembaca yang menyukai cerita-ceritanya. Hatinya jelas gembira karena cerita-ceritanya ada yang menyukai. Sebuah kegembiraan yang tidak akan terbeli, Roy!
"Harus kamu balas semua surat-surat itu, Roy," saran mamanya. "Kalau nggak dibalas berarti kamu mengecewakan mereka dan mungkin akan kehilangan mereka. Kehilangan kesempatan yang sudah kamu rebut. Karena sukses-tidaknya seorang pengarang terletak dari banyak-tidaknya pembaca yang menyukai karanganmu.
"Pintu sudah terkuak, Roy. Tinggal pandai-pandainya kamu untuk bisa membukanya lebih lebar lagi dan masuk ke dalamnya. Masuk ke suasana yang masih asing bagi kamu.
"Kamu masih awam untuk hal seperti ini. Hati-hati. Jangan sampai karena surat-surat in
i lantas bikin takabur dan malah jadi hancur. Ingat 'kesuksesan yang cepat datang suka menghancurkan'. Itu banyak terjadi pada manusia.
"Mulai sekarang kamu harus memperhitungkan segalanya dengan matang. Mulai menentukan sikap. Dan berusaha untuk mengubah tingkah laku agar makin berkembang dan maju," wanita setengah baya itu mengakhiri nasihatnya yang panjang. Dia merasa puas dan bahagia. sekali. Roy tercenung mendengar kalimat-kalimat mamanya.
Ini jelas surprise. Segalanya di luar batas kesadarannya. Dia menyadari ini sebab-akibat. Bukankah kalau kita rajin belajar berarti akan pintar" Menyirami tanaman berarti akan memetik buahnya. Nah, si Roy sudah kerja keras dan berjuang untuk menjadi seorang pengarang dan hasilnya mulai tampak sekarang. Walaupun sedikit. Ya, memang belum apa-apa. Masih seujung kuku. Belum bisa menularkan trend permen karet dan rambut gondrong model John Taylor.
"Ke sport hall yuk, Roy!" Toni mengalihkan pembicaraan.
"Ada pertandingan apa"" Roy membereskan surat-surat itu dan menumpuknya di
meja. "Ada basket antarklub."
"Wah, ngeceng dong! " Dia mengenakan kaus oblong putih.
"Kebetulan aku kusut banget. Udah lama nih nggak ngecengin cewek cakep!" Dia tertawa dan bergairah. Toni juga tertawa. Tapi katanya, "Pulang nonton kita nengok Iwin, ya!"
Roy pura-pura tidak mendengar.Toni hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Sport hall hanya terisi seperlimanya saja. Mungkin remaja-remaja kota ini sedang menikmati hari Minggunya ke pantai atau menghabiskan waktunya seharian membantu orangtua di rumah. Di lapangan kesepuluh putra berkaus singlet masih melakukan pemanasan.
Roy masih berdiri di pintu. Matanya jelalatan melihat ke tribun. Toni sih sudah sejak tadi bergabung dengan kawan-kawan sekolahnya.
Ada gadis manis duduk sendirian. Dia cuek sekali. Kebetulan si gadis manis menoleh dan mereka berpandangan seperti pernah saling kenal. Apalagi gadis manis itu melempar senyum. Roy menghampiri dan duduk di sebelahnya.
Si manis masih tersenyum.
"Kayaknya kita pernah kenal, ya"" kata Roy. "Tapi, sori deh, aku lagi nginget-nginget."
Si manis tertawa. "Inget waktu kena bola nyasar tempo hari"" Roy mengingat-ingat lagi. Dia mengerutkan keningnya.
"Mungkin nama 'Jesse' bisa membantu"" ledeknya.
Ow ow ow! Si bandel meringis. Gadis manis ini dikenalnya sewaktu ada turnamen bola basket tempo hari, ketika dia memburu si keren, Jesse, yang baru saja memutuskan hubungan. "Ceweknya nggak bertanding"" tanya Roy.
Si manis menggeleng. Roy meliriknya diam-diam. Lagi-lagi hitam manis. Entah kenapa ya yang manis-manis itu tidak membosankan untuk dipandang. Lantas dia merasa agak berkurang bebannya. Wanita kadang kala memang bisa jadi obat yang manjur. Cukup dengan senyuman atau mungkin suaranya yang penuh magnet bisa mengendorkan ketegangan. Dia percaya itu karena sering mengalaminya.
Pertandingan antarklub itu sudah berjalan. Bola berpindah-pindah tangan teramat cepat. Tapi para penonton tampaknya lebih tertarik menonton ke tribun daripada ke lapangan. Yang cowok tentunya ngecengin cewek dan begitu juga sebaliknya. Jadi yang main basket ya main basket dan yang nonton ya nontonin yang nonton.
"Kok nggak sama Jesse dan Lia nontonnya"" tanya Roy.
"Kamu sendiri kenapa nggak sama Jesse"" Suci malah menyindir. Roy meringis. Toni ikut nimbrung.
"Kalian mau nonton sampai habis"" Si manis berdiri dan sudah bosan dengan pertandingan basket itu.
"Kamu mau ke mana"" Roy mengikutinya.
"Mau nggak aku traktir, Roy"" Enteng saja dia bicara. Roy tersenyum. Dia paling senang mendengar spontanitas seperti ini. Ini namanya pergaulan, batinnya. Si bandel memanggil Toni dan menawarkan apakah mau ikut berpesta. Toni malah bersorak girang.
Mereka jalan kaki saja menyusuri trotoar. Sesekali terselip tawa yang cerah dan manja dari si manis. Orang-orang yang melihat pasti akan iri dan kalau diperbolehkan pasti meminta barang secuil kegembiraan mereka.
Suci menarik lengan Roy agar jalan lebih cepat. Roy bisa mengerti apa maunya. Dia mempercepat langkahnya. Toni jadi kewalahan menyeret kaki palsunya.
"Heh, sentimen banget!" gerutunya tertatih-tatih.
Ro y dan si manis pura-pura tidak menggubris. Lantas mereka berhenti dan tertawa setelah jarak kira-kira 50 meteran.
"Cepet dong jalannya, Ton!" Si manis tertawa meledek.
"Jalan kamu menghambat pembangunan, Ton!" Roy ikut meledek. "Masa sih sama semut aja kalah!" tambahnya lagi.
Toni memaki dan tersenyum kecut.
Mereka masuk ke sebuah tempat jajan. Lantas mereka memesan kelapa muda. Sayang kelapa mudanya tinggal satu. Tapi tanpa sungkan-sungkan si manis menyuapi kedua kawan barunya itu sambil sesekali bercanda. Sableng juga ini cewek! batin si Roy senang.
Mereka jadi gila-gilaan sore itu. Saling menyuapi bergiliran. Kadang kala kita sesekali mesti melakukan hal-hal yang tidak biasa kalau ingin hidup kita bervariasi dari tidak membosankan. Kalian coba deh.
"Buka dong mulutnya, Roy!" kata Suci kesal.
"Sabar dong, yang di mulut aja belon abis!" Roy masih mengunyah. Akhirnya dia membuka mulut juga, karena si manis memaksakan terus sendoknya. "Wah, jahat kamu!" Roy terbatuk-batuk, karena si manis sengaja memasukkan sendok terlalu dalam. Mereka menikmati hiburan sore ini dengan gembira.
Si Roy sendiri tidak bosan-bosannya menikmati setiap gerakan si manis. Betapa menyenangkan gadis ini, batinnya. Pintar membuat suasana jadi riang. Gadis manis ini meniupkan angin segar baginya.
"Thanks, ya! Aku jadi bergembira lagi karena kamu," kata Roy serius.
Suci sudah duduk di becak. "Tapi lain kali kamu yang gantian nraktir aku, Roy!"
Roy tertawa kecil. "Eh, betul nih nggak perlu dianter"" kata Toni. Si manis menggeleng.
Rumah Bisikan 3 Taking Her Boss Karya Alegra Verde Kisah Sepasang Rajawali 2
^