Pencarian

Badminton Freak 3

Badminton Freak Karya Stephanie Zen Bagian 3


"Bilang sendiri sono!" aku menyuruh Claudia, tapi dia malah nyengir-nyengir nggak penting.
"Ada apa"" tanya Shendy, kayaknya ia sadar ada sesuatu yang ingin disampaikan.
"Ini nih, Claudia mau minta tolong untuk foto bareng Sim..."
"Bukan Simon, tapi Edgar," potong Claudia, dan aku tersenyum puas melihat reaksi yang
sudah kuduga itu, Aku tadi memang sengaja menyebut nama Simon dnegan slow motion, biar Claudia sendiri yang meralat kata-kataku,
"Oh, itu. Hmm, nanti kalau bisa gue bantuin deh. Tapi nggak janji, ya" Atlet itu kan kayak artis, kadang susah ditemuinya, Udah gitu, keramahan atlet sering tergantung mood, Yah, lo doain aja Edgar menang hari ini, biar mood-nya bagus." Shendy tersenyum.
"Pasti! Pasti gue doain Edgar menang!" seru Claudia bersemangat, Aku, lagi-lagi, cuma bis
a menghela napas melihat tingkah tengil adikku itu,
Doa Claudia terkabul, Edgar dan Steven menang, melaju ke perempat final setelah mengandaskan pasangan Jepang di pertandingan yang mereka lakoni tadi,
Pertandingannya sendiri lumayan alot, dan karena pasangan Jepang itu seusia Edgar dan Steven, mereka juga punya stamina yang sama luar biasanya. Tapi, Edgar dan Steven benar-benar layak diandalkan di masa depan, karena meski berada di posisi terjepit karena kalah lebih dulu di set pertama, mereka justru bisa merebut dua set berikutnya, dengan mengandalkan banyak penempatan bola yang akurat.
Satu hal yang bisa kulihat dengan jelas adalah, ketika pasangan Jepang mulai berada di bawah tekanan dan makin banyak melakukan kesalahan sendiri, Edgar/Steven justru makin tenang dan terkontrol. Emosi mereka terkendali, dan satu demi satu poin berhasil diraih hingga akhirnya mereka berhasil memenangi pertandingan tadi.
"Menang lagi! Horeeee, Edgar menang lagi!" seru Claudia senang begitu pertandingan berakhir. Kali ini aku ikut nyengir senang. Rasa nasionalismeku, yang memang selalu fanatik akan pemain Indonesia, menyeruak ke permukaan.
"Asyik nih, berarti nanti mood Edgar bakal bagus, jadi gue bisa foto bareng dia deh!" kata Claudia sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan tak sabar.
"Yah, lo berdoa aja biar Edgar-nya juga nggak langsung ngacir begitu selesai tanding kayak kemarin," godaku.
Claudia langsung terlihat seperti balon kempis. "Oh iya! Gimana dong kalau sampai kayak
kemarin" Kalau dia ngabur begitu selesai main, mampus deh gue! Kapan gue bisa foto barengnya""
"Kapan-kapan," aku semakin usil.
Claudia menggebuk punggungku keras, sukses membuatku meringis menahan sakit. Ya ampun, dia nggak nyadar apa tangannya itu segeda tutup tong sampah" Digebuk pakai tangan segede itu membuat punggungku langsung mati rasa!
"Eh, kira-kira dong! Sakit banget, tau!"
"Habisnya lo sih! Bukannya nenangin gue, eh malah manas-manasin. Padahal lo juga kepingin foto bareng Edgar, kan"!" todongnya.
"HEH"" Aku melongo. "Kapan gue pernah bilang gue kepingin foto bareng Edgar""
Claudia nggak menjawab, lebih karena nyadar ia sudah sekakmat gara-gara kalimat ngawurnya tadi. Dasar tukang ngaco, aku kan nggak pernah bilagn seperti yang diocehkannya tadi itu!
Dan akhirnya, sepanjang sisa waktu kami duduk bersebelahan di tribun Istora itu, aku mendiamkan Claudia. Dia nggak berani mengusikku lagi, dan hanya duduk dengan tampang bosan karena setelah bertanding ternyata Edgar Satria duduk di player area, area terlarang bagi orang yang tak punya ID card. Itu berarti Claudia nggak bisa nyamperin Edgar untuk minta foto bareng.
"Daaah, hati-hati di jalan ya!" Aku melambai pada Sharleen yang berjalan menuju pintu keluar Istora karena ia sudah dijemput. Pak Richard sudah pulang duluan, disusul Charles dan Wilson yang bawa motor sendiri-sendiri. Jadi sekarang tinggal aku dan Claudia, menunggu Papa yang akan menjemput kami tapi masih terjebak macet di tengah jalan. Aku dan Claudia terpaksa menunggu lebih lama, sementara teman-temanku sudah pulang semua.
HP-ku berbunyi. Aku melihat nama yang berkedip-kedip di layar. Shendy.
"Oi," katanya begitu aku mengangkat telepon, "lo di mana""
"Pintu keluar."
"Ya udah, lo tunggu bentar, gue ke sana."
Nggak sampai lima menit, Shendy muncul di depanku. "Gimana, gimana" Seru kan hari ini"" "Banget!" seruku sambil mengacungkan jempol.
"Lho" Yang lainnya pada ke mana"" Cewek itu celingak-celinguk karena melihat hanya aku dan Claudia yang tersisa.
"Oh, udah pulang duluan. Gue nunggu Bokap jemput, tapi katanya masih kena macet di jalan."
"Ohh gitu. Ya udah, kebetulan nih."
"Apa"" tanyaku bingung. Apanya yang kebetulan"
"Udahlah, ikut gue aja."
Shendy berjalan di depanku, menuju ke arah ia datang tadi, sementara aku dan Claudia mengekor di belakangnya. Ternyata Shendy membawa kami ke dekat tempat parkir beberapa bus. Di dekat kami ada sebuah pintu yang kelihatannya menuju bagian belakang Istora.
"Nah, kita tunggu di sini," kata Shendy sambil duduk di atas tembok pembatas rendah yang ada di situ. Ada beberapa orang di sekitar kami
yang sedang asyik mengobrol. Kelihatannya mereka panitia dan pekerja media, karena mereka semua pakai ID card.
"Nunggu siapa"" tanyaku, masih nggak paham.
"Lho, bukannya Claudia mau minta foto sama Edgar" Ya udah, kita tungguin aja di sini. Kayaknya bentar lagi dia bakal keluar."
Aku baru saja hendak duduk di tembok pembatas di sebelah Shendy, waktu kulihat ada sosok yang berjalan keluar dari pintu dan menuju bus. Wow, Greysia Polii!
"Hei!" sapa Greysia sambil melambai ke arahku. Aku melotot kaget, dan nyaris balas
melambai, sebelum akhirnya celingak-celinguk dan nyadar Greysia melambai pada SHENDY, bukan aku. Aku bisa mendengar Claudia cengengesan melihat aku yang kege-eran. Dasar anak sialan!
"Belum pulang"" sapa Greysia yang berjalan mendekat. Wow, Greysia ternyata cantik banget
kalau dilihat dari dekat begini. Putih, cantik, imut-imut.
"Biasa, masih ada tugas," jawab Shendy santai. Aku cuma bisa menelan ludah melihat
keakraban mereka. Kayaknya Shendy sudah kenal baik dengan Greysia.
"Oh, masih ada yang harus diwawancara"" tanya Greysia lagi. Shendy mengangguk. "Ya udah
kalau gitu, Gue balik duluan, ya" Take care"
Greysia melambai lagi pada Shendy, dan tersenyum pada aku dan Claudia, lalu berjalan memasuki salah satu bus yang diparkir di dekat kami, Rupanya itu bus khusus yang bakal membawa atlet dan ofisial kembali ke hotel! Dan pintu yang ada di dekat kami ini pintu khusus untuk keluar-masuk atlet, panitia, ofisial, dan orang-orang lainnya yang memiliki ID card. Wow, kenapa aku nggak bisa menebaknya dari tadi"
Aku baru mau bilang sesuatu ke Shendy, waktu pintu di dekat kami membuka lagi, lalu keluar Maria Kristin! Astaga, Maria Kristin asli! Aku belum pernah melihatnya dari jarak sedekat ini!
"Eh, Shendy!" Lagi-lagi aku melongo hebat, karena sama sekali nggak menyangka Maria Kristin juga kenal Shendy,
"Eh, halo! Oya, selamat ya udah menang tadi." Shendy mengulurkan tangannya, yang dibalas oleh Maria,
"Halah, bisa aja lo." Maria tertawa. "But thanks, anyway." "Yoha. Good luck buat besok ya." "Sip! Gue balik dulu ya!"
Sama seperti Greysia, Maria juga akhirnya melambai pada Shendy dan berjalan memasuki salah satu bus yang ada di dekat kami, bus yang sama dengan yang dimasuki Greysia tadi, "Eh, Shen, berarti kita nunggu..."
Sebelum kalimatku selesai, orang yang nyaris kuucapkan namanya muncul, "' Oh-my-God..." desah Claudia di belakangku, dan tanpa sadar aku melongo, Edgar Satria sedang berjalan ke arah kami, dan dia ternyata naujubile gantengnya kalau dilihat darijarak sedekat ini!
"Wooi! Apa kabar lo"" sapa Edgar riang begitu melihat Shendy. Kali ini entah kenapa, ada
serangan rasa iri menghantamku, Padahal tadi Shendy juga disapa Greysia Polii dan Maria Kristin, dua pemain bulutangkis yang bisa dibilang paling kuidolakan, tapi aku sama sekali nggak merasa iri, Hanya karena Edgar menyapa Shendy saja...
"Baik dong!" Shendy nyengir. "Eh, congratsya udah menang tadi, Besok perempat final Super Series pertama lo dong""
Edgar mengangguk, senyum lebar mengembang di wajahnya, membuat Claudia yang berdiri di sebelahku makin terbengong-bengong saking terpesonanya,
Ya ampun! Pantes aja Claudia ngebet banget pengin foto bareng cowok satu ini, Senyumnya itu lho! Ganteeeeeeng banget!
"Semoga bukan perempat final pertama doang ya, tapi gelar juara pertama juga," tambah Shendy,
"Waah, amin!" Edgar tersenyum lagi, dan kali ini aku sama bengongnya kayak Claudia. "Doain aja ya. Eh, besok lawan gue siapa""
"Lho, gimana sih" Lo yang bakal main kok nanyanya sama gue""
"Ya kan lo wartawan. Wartawan kan biasa nyimpen file drawing pertandingan di otaknya, hehehe..."
"Siaul lo!" Shendy mendorong bahu Edgar pelan, dan aku merasakan serangan iri yang tadi menghantamku lagi. "Inget baik-baik ya, lawan lo besok Zakry Abdul Latif sama Fairuzizuan Tzari.
"Duh!" Edgar menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lee Yong Dae dan Jung Jae Sung made in Malaysia..."
"Yep. Makanya, besok main yang bener, biar menang!"
"Tenang, tak ada lawan yang tak bisa kita kalahkan." Edgar mengedipkan sebelah matanya,
dan aku yakin, cewek secuek apa pun yang melihatnya saat i
ni, pasti akan langsung leleh di tempat!
"Dasar! Moto Thomas-Uber Cup masih dibawa-bawa juga," Shendy cengengesan. "Gar, Edgar!"
Kami semua menoleh, dan melihat Steven Hardono muncul dari dalam Istora.
"Nih," Steven menyerahkan kotak yang penampilannya seperti kotak kue ke tangan Edgar, dan setelah menyapa Shendy (ya ampun, cewek satu ini benar-benar kenal semua pemain bulutangkis!), Steven masuk lagi ke Istora.
"Mau"" Edgar membuka kotak kue yang diberikan Steven tadi, dan setelah mengintip isinya, ia menawarkannya pada Shendy.
"Rezeki nggak boleh ditolak, hehe..." Shendy mengambil sepotong dari dalam kotak, dan aku bisa melihat kotak kue itu ternyata berisi martabak.
"Mau"" Kali ini Edgar menyodorkan martabak itu ke depanku, tapi karena masih terpesona menatapnya, plus nggak nyangka ia bakal menawariku makanan padahal bisa dibilang kami nggak saling kenal, aku justru menolak martabak itu dengan tergagap-gagap.
"Bener nih"" tanyanya lagi sambil tersenyum. Ngg... iya...
Edgar akhirnya berkeliling menawarkan martabak pada orang-orang yang kebetulan berdiri di sekitar kami, dan semuanya menerima makanan gratis itu dengan riang gembira. Aku jadi tertawa geli di dalam hati. Cowok ini lucu ya. Sebenarnya dia pemain bulutangkis atau seksi konsumsi sih"
Tapi beberapa menit kemudian aku terbengong-bengong lagi, karena Edgar sudah selesai menawarkan martabak pada semua orang di sekitar kami, dan ia kembali menawariku! "Nih, ambil aja. Ayo," desaknya. Aku menggeleng lagi. "Serius lo"" Edgar masih belum menyerah. "He-eh."
Akhirnya dia menyerah juga, dan beralih menawari Claudia. Aku masih senyam-senyum sendiri melihat tingkah Edgar. Benar kata Shendy, Edgar benar-benar cowok yang ramah!
"Eh iya, sampai kelupaan... Kenalin nih, temen gue...," kata Shendy sambil mengedikkan
kepalanya ke arahku, setelah Edgar membuang kotak martabaknya yang sudah kosong ke tempat sampah, dan mendadak aku jadi panas-dingin,
"Eh iya, belum kenalan... Gue Edgar." Ia mengulurkan tangannya, tapi aku masih melongo selama beberapa detik sebelum akhirnya tersadar karena disikut Claudia, dan menyambut uluran tangan Edgar,
"Ehh... halo, gue... Fraya..."
"Wow, Fraya... dewi cinta dan kecantikan""
Astaga, dia tahu arti namaku! Dia tahu! Ya ampun ya ampun ya ampuuuun!
"Ngg... iya." Edgar tersenyum lagi, tapi kali ini rasa kecewa menyelip muncul di diriku, Bukannya aku sombong atau apa, tapi selama ini kalau ada cowok yang mengajakku kenalan, mereka pasti akan sedikit menggombal setelah aku menyebutkan namaku, Kebanyakan bilang bahwa namaku cantik secantik wajahku, atau gombal lainnya yang sejenis itu, Tapi Edgar, yan gbahkan bisa menebak arti namaku,justru nggak memuji sama sekali, Ia cuma tersenyum manis,
"Ini adiknya Fraya, Claudia," Shendy berlanjut memperkenalkan Claudia.
"Hai, Claudia," sapa Edgar sambil mengulurkan tangannya, yang langsung disambut adikku tanpa babibu lagi,
"Boleh foto bareng nggak"" tanya Claudia bernafsu, tepat setelah tangannya melepaskan jabat
tangan Edgar, "Boleh dong."
"Asyik! Bentar ya..." Claudia mengeluarkan HP dari dalam tasnya, dan menyorongkannya padaku. "Aya, tolong potretin dong!"
Aku membuka menu kamera di HP Claudia, lalu memotret Claudia dan Edgar dua kali, Aduuuuh, kok tiba-tiba akujadi kepingin foto bareng Edgarjuga ya"
"Tengkyu, Aya! Lo mau foto bareng juga nggak" Ayo, gue fotoin!" Claudia mengambil kembali HP-nya dari tanganku, dan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun, ia setengah mendorongku, sampai aku berdiri persis di sebelah Edgar,
"Ayo senyum! Grogi amat! Hehehehe..." Claudia nyengir dengan wajah tanpa dosa sambil berusaha memotretku dan Edgar, Aku berusaha melirik Claudia dengan jenis tatapan awas-lo-ya-habis-ini-lo-nggak-bakal-selamat, tapi Claudia menghindari tatapanku terus, Ya ampun, aku grogi banget nih berdiri di sebelah Edgar!
"Sip!" Claudia sudah selesai memotretku, dan sekarang ia menyempilkan dirinya di antara aku dan Edgar, benar-benar agresif! Aku jadi nggak punya kesempatan untuk mengomelinya,
Claudia mengajak Edgar ngobrol-ngobrol sebentar, dan aku cuma bisa menyimak obrolan mereka seteng
ah-setengah, karena lidahku terlalu kelu untuk digerakkan sejak aku ada di dekat cowok yang satu ini, Aneh banget! Kemarin dan hari ini aku juga melihatnya di lapangan, tapi rasanya biasa aja... Kenapa setelah dia berdiri di depanku begini aku jadi terpesona banget ya"
Setelah kira-kira setengah jam mengobrol dengan Edgar, diselingi melihat Vita Marissa, Hendra Setiawan, dan Jo Novita, yang semuanya masuk ke dalam bus atlet setelah menyapa Shendy dengan ramah (anak ini bener-bener populer di kalangan atlet bulutangkis Indonesia! Semua atlet top mengenalnya!!!), HP-ku berbunyi. Di layarnya muncul tulisan "Papa".
Aku mengangkat telepon, Papa bilang ia sudah sampai, dan menyuruhku serta Claudia untuk ke pintu depan.
"Eh, sori, gue pulang dulu ya... Udah dijemput," aku berpamitan pada Shendy dan Edgar, "Yuk, Claud..."
Claudia kelihatan nggak rela ketika aku setengah menyeretnya menuju gerbang depan. Jelas, dia masih mupeng ngobrol-ngobrol sama Edgar sekaligus ngeliatin wajah ganteng cowok itu. Tapi kan kasihan Papa kalau kelamaan menunggu kami.
Namun, ketika sudah menjauh beberapa meter dari Edgar, aku merasakan sesuatu yang aneh di hatiku... Perasaan senang dan bahagia yang sempat hilang sejak aku sadar aku nggak bisa mewujudkan cita-citaku lagi sekarang menyeruak di dalam diriku, dalam dosis yang sangat besar.
Dan aku yakin, perasaan senang dan bahagia itu ada hubungannya dengan Edgar Satria.
"Ceria amat lo hari ini"" tanya Adisty takjub. Aku mengernyit. "Masa sih" Ceria gimana""
"Ya... muka lo itu, berseri-seri, Kelihatannya lagi bahagiaaaaaa banget."
"Oya"" Aku mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasku, dan menatap bayangan wajahku yang terpantul di sana. Hmm... memang wajahku kelihatan beda dari biasanya. Benar kata Adisty, aku kelihatan bahagia.
"Ada apa nih, kok kayaknya lagi seneng bener" Habis menang lotre""
"Ih, ngaco! Nggak lah... nggak ada apa-apa kok...," aku berbohong.
"Ah, gue nggak percaya. Pasti ada apa-apanya nih... Ayo doooong, cerita..."
"Nggak ada apa-apa, Dis, beneran deh." Nggak tahu kenapa, aku masih kepingin menyimpan cerita tentang Edgar untuk diriku sendiri. "Mungkin muka gue kayak gini karena gue seneng sekarang lagi ada Indonesia Super Series," aku mengarang alasan.
"Gue nggak percaya," ulang Adisty, sambil menarik keluar buku teks fisika dari dalam tasnya, Yeah, we got Bu Irma for first period today. What a nice day! "Bahagia lo itu kayak bahagia orang jatuh cinta, tau nggak""
Aku menelan ludah dengan susah payah. Bahagia orang jatuh cinta, katanya"
"Yeee, mau jatuh cinta sama siapa coba""
"Ya meneketehe, Makanya gue nanya sama lo, Neng! Ada gebetan baru, ya" Siapa nih" Gue kenal nggak" Anak mana"" berondong Adisty.
"Ah, dibilang nggak ada juga..." Aku berusaha menghindari berondongan pertanyaan Adisty
dengan mengeluarkan buku teks fisikajuga dari tasku,
"Ayolaaahh... sama gue aja main rahasia-rahasiaan..." Adisty mengedip-ngedipkan matanya dengan ganjen,
"Selamat pagi, anak-anak!" suara nyaring Bu Irma terdengar ketika ia memasuki kelas,
lengkap dengan bunyi ketok-ketok hak sepatunya di lantai. "Pagi ini kita akan ada kuis, Simpan semua buku fisika, keluarkan kertas ulangan. Catat soal berikut."
Kehebohan yang menyerang kelasku sesudah pemberitahuan dan perintah itu bercampur antara protes akan adanya kuis dadakan dan dengung kekhawatiran mereka yang nggak yakin bakal dapat nilai bagus, Tapi untuk pertama kalinya, aku bersyukur Bu Irma bikin kuis dadakan, karena itu berarti aku selamat dari rentetan interogasi Adisty, Walaupun untuk kuis kali ini aku bakal dapat nilai jelek karena sama sekali nggak mengerti materi dari pelajaran-pelajaran sebelumnya, tapi biar deh,,, Toh selama ini nilai fisikaku memang nggak pernah bagus,
"Eh, lo utang cerita sama gue ya! Awas lo kalau ngabur nanti!" desis Adisty mengancam, tepat sedetik setleah aku mengembuskan napas lega karena mengira sudah lolos darijeratannya,
Aduh sial, bego banget aku mengira ia bakal melepaskanku!
Tapi ternyata, aku bisa lepas dari ancaman interogasi Adisty,
Setelah kuis fisika, dia jadi stres parah karena nggak bisa mengerjakan sa
tu pun soal, dan karena itu lupa menginterogasiku lagi,
Adisty jenis orang yang jika punya masalah akan terus kepikiran, Dia juga termasuk segelintir murid yang peduli banget sama nilai-nilai pelajarannya, Jadi, sekali dia berpeluang dapat nilai jelek, pikiran itu akan terus menghantuinya,
"Hei, Fraya!" Aku menoleh, sedikit parno karena mengira yang memanggilku adalah Adisty yang sudah pulih dari trauma pasca kuis fisikanya, tapi ternyata Sharleen,
"Nanti bareng lagi, kan"" tanyanya sambil menjajari langkahku menuju kantin, Yang dimaksudnya tentu ingin bareng ke Istora untuk nonton Indonesia Super Series lagi nanti sore,
"He-eh." Kami berjalan beriringan selama beberapa saat, sampai aku ingat aku belum cerita apa yang terjadi di Istora semalam setelah Sharleen pulang,
"Mmm, Shar, semalam gue ngobrol sama Edgar Satria..."
"WHAT"!" Sharleen melotot, dan mulutnya ternganga lebar, Aku sama sekali nggak menyangka reaksinya bakal begitu heboh,
"Kok lo sampai segitu kagetnya"" tanyaku bingung.
"Bentar, bentar..." Sharleen nggak menggubris pertanyaanku, "kok lo bisa ngobrol sama Edgar" Gimana caranya" Gimana"" Aduh, tau gitu kemarin gue nggak pulang duluan!" Sharleen kelihatan gemas sendiri,
"Ngg yah... kemarin kan gue nunggu Bokap jemput, terus Shendy telepon, dia ngajak gue ke belakang Istora, dan kami ketemu atlet-atlet yang mau naik bus buat balik ke hotel. Terus ada Edgar, ya udah... ngobrol-ngobrol deh..."
"Aduh, Fray, sumpah, gue ngiriiiii banget sama lo!"
"Eh, tunggu deh," potongku. "Perasaan, lo udah pernah ngobrol sama beberapa atlet juga, yang bisa dibilang lebih top dan senior dibanding Edgar, kenapa sekarang lo jadi ngiri sama gue""
Sharleen terlihat saking. "Yah, soalnya... Edgar kan ganteng banget..."
Aku memutar bola mataku. Ternyata feromon Edgar memang luar biasa ampuhnya. Bukan hanya Claudia yang klepek-klepek dibuatnya, tapi juga Sharleen! Padahal Sharleen bahkan belum sempat melihat cowok itu dari dekat dan mengobrol dengannya seperti yang kualami kemarin.
"Eh, gimana" Dia kalau dari dekat lebih ganteng, ya" Orangnya baik nggak" Terus, lo ngobrol apa aja sama dia""
"Hmm, gue jawab satu-satu nih, Dia memang lebih ganteng sih kalau dilihat dari dekat, Orangnya juga baiiiik banget. Kami ngobrolin macem-macem, dan ternyata hari ini tuh perempat final Super Series pertama Edgar."
"Oh iya, iya, sebelum ini dia cuma turun di turnamen sekelas Challenge aja, kan""
Aku mengangguk. Kemarin Edgar memang cerita bahwa ia baru ikut tiga turnamen Super Series: Malaysia, Singapura, dan Indonesia Super Series ini. Sebelumnya ia hanya turun di turnamen-turnamen yang kelasnya di bawah SS, seperti International Challenge atau Grand Prix. dan di dua SS sebelum ini ia selalu gugur di putaran kedua, jadi berhasil menembus babak perempat final kali ini sudahjadi prestasi yang bagus banget.
"Waaah, moga-moga nanti menang lagi ya! Dia lawan siapa sih nanti""
"Fairuz sama Zakry," jawabku, teringat kata-kata Shendy kemarin,
"Waduh, berat! Mereka yang juara di Singapura kemarin, kan""
"He-eh, Kemarin malah Edgar bilang Zakry/Fairuz itu Lee Yong Dae/Jung Jae Sung made in Malaysia."
"Iya sih, emang bener... Mereka sama-sama nggak pernah kehabisan tenaga."
Aku mengangguk setuju, teringat penampilan Lee Yong Dae di Thomas Cup bulan lalu, yang membuatku meledeknya dicekoki-ginseng-setiap-hari saking energik dan primanya dia di lapangan.
"Ya udah, ntar kita pulang sekolah langsung aja ya. Edgar main jam berapa"" "Jam empat." "Sip lah!"
Aku dan Sharleen langsung meluncur ke Istora sepulang sekolah. Claudia yang kemarin bernafsu untuk ikut, mendadak batal karena dia lupa seharusnya hari ini dia nonton Nidji taping acara By Request di SCTV. Hehe, ternyata Edgar pun belum sanggup mengalahkan Nidji di mata Claudia.
Banyak pemain Indonesia yang bakal berlaga hari ini, tapi jelas, yang paling kutunggu adalah... Edgar.
Nggak tau kenapa, sejak ngobrol-ngobrol sama dia kemarin, aku jadi seperti ketagihan untuk ketemu dan ngobrol sama dia lagi. Edgar itu... gimana ya jelasinnya, sangat menarik. Terlepas dari wajah gantengnya lho ya. Dia enak diajak ngo
brol, ramah, lucu, seru, sampai kemarin aja aku merasa agak nggak rela ketika harus pulang. Rasanya masih kepingin ngabisin waktu bareng Edgar.
Jam empat tepat, partai yang mempertandingkan Edgar Satria/Steven Hardono melawan Fairuzizuan Tazari/Zakry Abdul Latif dimulai. Di set pertama kekuatan mereka terlihat berimbang. Sama-sama pasangan muda dan penuh semangat, pertandingan ganda putra yang saut ini dibanjiri smash keras yang dilancarkan bergantian oleh kedua kubu. Seolah pertandingan ini memperebutkan gengsi siapa ganda putra yang bakal paling bersinar di masa yang akan datang. Sayang, Fairuz/Zakry lebih unggul, mereka merebut set pertama dengan selisih poin tipis, 21-19.
Set kedua berlangsung lebih panas. Ada insiden ketika bola Fairuz yang dilepas saja oleh Edgar karena dikira keluar ternyata dinyatakan masuk oleh hakim garis. Edgar terlihat sedikit emosi, dan setelah itu permainannya jadi terusik. Beberapa kali ia kulihat melampiaskan kekesalan dengan melakukan smash sekeras-kerasnya, tapi karena dilakukan dengan emosi, bola-bola itu selalu menyangkut di net. Edgar membuang empat atau lima angka percuma untuk Fairuz/Zakry.
Gara-gara kehilangan konsentrasi itu, Edgar/Steven akhirnya harus kalah di set kedua, sekaligus memupus harapan untuk menjejak semifinal Super Series pertama mereka. Sharleen langsung mendesah kecewa begitu pukulan terakhir Edgar dinyatakan keluar oleh hakim garis. Aku juga jadi terduduk lesu di bangkuku. Memang masih banyak pemain Indonesia yang lolos ke babak selanjutnya, tapi nggak tau kenapa aku drop banget menyadari besok nggak akan melihat Edgar bertanding lagi.
Aku melihat Steven meninggalkan lapangan dengan lesu, sementara Edgar terlihat mengobrol serius dengan pelatih sekaligus kakak kandungnya, Edward Satria. Aku menebak Edgar sedang dimarahi, karena Edward terlihat gusar sekali.
Menurutku, wajar saja Edward jadi senewen begitu. Masalahnya, Edgar/Steven nggak kalah kelas dari Fairuz/Zakry, tapi hanya gara-gara konsentrasi Edgar yang terpecah akibat emosi tadi, mereka jadi kalah. Padahal, mereka main di kandang sendiri. Dan seharusnya nih ya, pemain yang baik, apalagi yang sudah tingkat nasional seperti Edgar/Steven, bisa mengontrol emosi saat di lapangan. Nggak boleh terusik hanya karena satu keputusan hakim garis yang dianggap kurang menguntungkan.
Edgar, Steven, dan Edward sudah tak terlihat lagi batang hidugnnya, dan mendadak aku jadi kehilangan minat nonton, padahal di lapangan sekarang sedang bertanding Nova Widianto/Lilyana Natsir melawan ganda Korea. Aku jadi kepikiran, jangan-jangan tadi itu terakhir kali aku bisa melihat Edgar" Kan dia sudah kalah. Mungkin dia nggak bakal muncul lagi di Istora besok-besok. Padahal aku berharap banget bisa ngobrol-ngobrol sama dia lagi kayak kemarin.
HP-ku berbunyi, ada SMS masuk.
From: +628179475XXX Hai, fray. Ini Edgar. Dateng ke Istora ga"
Aku memekik pelan, lalu melirik Sharleen di sebelahku. Sepertinya dia nggak dengar aku memekik saking asyiknya nonton pertandingan. Kubaca lagi SMS di HP-ku, lalu aku menggeleng pelan. Nggak, nggak mungkin ini Edgar beneran. Dari mana dia tahu nomorku, coba! Pasti ini kerjaan orang iseng kayak Claudia. Ya, pasti Claudia! Adikku itu pasti lagi mati gaya menunggu acara Nidji-nya yang belum juga dimulai, jadi dia berniat mengusiliku, mungkin pakai HP salah satu teman Nidjiholic-nya. Dasar anak iseng!
Kubalas SMS itu. To: +628179475XXX Heh, nggak usah iseng deh ya! Ganggu aja!
Setelah SMS itu kukirim, tak ada balasan lagi. Semakin yakinlah aku bahwa itu ulah usil Claudia. Dasar anak tengil! Emangnya dia kira aku gampang dikadalin" Huh, tak usah ya!
Seluruh pertandingan perempat final hari ini selesai jam sembilan malam. Indonesia meloloskan Flandy Limpele/Vita Marissa, Simon Santoso, Sony Dwi Kuncoro, Nova Widianto/Lilyana Natsir, Maria Kristin, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari, dan Vita Marissa/Lilyana Natsir ke semifinal besok. Lumayan, tujuh wakil di empat nomor. Kalau saja tadi Edgar/Steven menang juga, Indonesia masih akan punya wakil di ganda putra, dan menjaga peluang untuk menyapu bersih semu
a gelar di I ndonesia Super Series tahun ini. "Wooooi!"
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Shendy. "Hei! Baru kelihatan lo!" aku menyapanya.
"Iya, capek banget nih hari ini. Banyak atlet yang harus gue wawancarain." Shendy mengusap
dahinya, wajahnya terlihat capek, tapi sumringah. Mungkin karena dia benar-benar menyukai pekerjaannya ini.
Kami berjalan bertiga menuju pintu keluar Istora.
* * * "Oya," celetuk Shendy tiba-tiba, "tadi si Edgar nanyain lo tuh!"
Aku bisa merasakan Sharleen yang berjalan di sebelahku berhenti melangkah, dan bengong di tempat, Reaksiku setali tiga uang,
"Ah, bercanda lo," kataku saking, lebih karena aku nggak tau harus ngomong apa,
"Eh, beneran kali! Tadi aja pertama kali ketemu gue, yang ditanyain justru 'Fraya mana"'. Oh! Terus dia minta nomor HP lo, ya gue kasih aja, Nggak pa-pa, kan""
Aku semakin nggak bisa mengatupkan mulutku, Edgar minta nomer HP-ku" Dan Shendy memberikannya" Berarti yang tadi SMS aku itu... yang kubalas dengan super jutek itu...
"OH MY GOD!" aku berteriak. Orang-orang di sekitar kami kontan menoleh, dan aku cuma bisa cengengesan karena terpaksa jadi pusat perhatian begitu banyak orang,
"Hehe. Seharusnya gue nggak ngasih nomor lo, ya" Maaf deh..." Shendy garuk-garuk kepala,
"Ngg... nggak pa-pa sih, Shen, cuma... tadi ada yang SMS gue, ngaku-ngaku dia Edgar... Karena gue mikir nggak mungkin Edgar beneran yang SMS gue, dan kemungkinan besar itu kerjaan orang iseng, ya guejutek banget balas SMS-nya..."
"Wah, kayaknya Edgar beneran tuh... Coba sini, gue lihat nomor orang yang kirim SMS ke lo tadi."
Aku mengeluarkan HP, dan mencari SMS dari nomor tak dikenal itu di inbox-ku, Untung belum kuhapus, Shendy langsung mencocokkannya dengan nomor Edgar di phonebook-nya,
"Beneran dia nih..." Shendy menunjukkan nomor di phonebook-nya, dan aku kontan mencelos mendapati nomor itu sama persis dengan nomor yang mengirimiku SMS tadi siang, Mati aku!
Aku mendengar suara terkikik dan menoleh, melihat Sharleen setengah mati menahan tawa sampai mukanya merah,
"Kenapa lo"" tanyaku, yang sebenarnya nggak perlu. Jelas saja Sharleen menertawakan
kedodolanku, "Hihihi... hmmmpph, sori, Fray, tapi beneran deh... ini konyol banget!" Yeah, "ini" berarti "lo". Gue, Fraya Aloysa Iskandar, konyol. "Mendingan lo SMS Edgar deh sekarang," saran Shendy. "Hah" Gue mau bilang apa" Tadi aja dia nggak bales SMS gue."
"Ya kan SMS lo ke dia jutek banget, Dia takut lah bales SMS itu lagi, Udaaah, buruan deh bales SMS-nya, Bilang yang sebenernya aja, tadi lo ngira dia orang iseng, dan lo baru tau
-lebar, "Iya, Fray, mending gitu aja," Sharleen ikut mendukung Shendy. Aku jadi kalah suara, yang berarti harus menuruti kata-kata mereka,
To: +628179475XXX Hei, gar. Fraya nih. Sorrrrry bgt, td gw ga tau ini no lo. Gw kira adik gw yg iseng. Maaf ya. Gw msh di istora nih. Lo di mana"
"Udah," kataku setelah mengirim SMS itu. Shendy dan Sharleen langsung tersenyum puas.
HP-ku berbunyi lagi, ada SMS dari Edgar.
From: +628179475XXX Hehe gpp kok. Yaaaah syg bgt gw udh blk ke hotel. Kirain lo ga dtg. Tau gt kita nongbar td. Bsk ke istora lg ga"
Aku menelan ludah. Ini bukan pertama kalinya aku dapat SMS dari cowok yang menunjukkan tanda-tanda bakal ngajak jalan bareng seperti ini. Waktu aku masih jadi pacar Albert pun banyak yang tetap nekat mengirimiku SMS yang senada dengan SMS Edgar ini. Dulu-dulu sih aku menanggapinya dengan cuek, tapi sekarang... kok aku jadi deg-degan ya"
"Eh, siapa" Siapa" Edgar ya"" Sharleen melongokkan kepalanya dengan penasaran, berusaha membaca SMS yang tertera di layar HP-ku.
"Iya..." "Bilang apa dia" Nggak marah, kan"" "Nggak sih..."
Tiba-tiba Sharleen merebut HP dari tanganku, membaca SMS yang ada di sana secepat kilat, dan langsung menjerit histeris.
"Aaaaaaa! Fraya, dia bilang 'tau gitu kita nongkrong bareng tadi'! Terus dia nanya lo ke Istora lagi atau nggak besok!!!"
Aku melihat alis Shendy terangkat heran, mungkin takjub karena Sharleen yang selama ini dikenalnya alim ternyata bisa hebohjuga seperti Claudia.
"Iya, iya, gue juga udah baca tadi," kataku keki. Kenapa sih Sharleen
jadi heboh banget gini"
"Padahal tadi kita bisa aja nongkrong bareng Edgar, sayang banget...," keluh Sharleen.
"Eh, lo nggak ingat tadi dia kalah" Dan kayaknya dimarahin Edward pula" Pasti dia lagi bad mood lah. Emang lo mau nongkrong bareng orang yang lagi bad mood"" gerutuku.
Sharleen garuk-garuk kepala. "Iya juga sih... Eh, tapi buruan bales SMS-nya yang tadi, buruaaaan! Bilang lo besok bakal ke Istora lagi!" desak Sharleen. Tampang Shendy terlihat makin takjub.
"Kok nafsu amat sih lo"" Aku terkekeh, tapi menuruti desakannya untuk membalas SMS Edgar.
To: +628179475XXX Iya, besok gw ke Istora lagi
Nggak sampai semenit, SMS balasan Edgar masuk. Kali ini Sharleen ngotot ikutan langsung membacanya.
From: +628179475XXX Ya udah, klo gt besok kita nonton bareng ya. Gw kan ga tanding lg besok. Bsk kabarin aja klo dah nyampe istora.
"Kereeeeeen," desah Sharleen terpesona. "Kenapa"" tanya Shendy.
"Edgar ngajak Fraya nonton bareng besok di Istora," jawab Sharleen sebelum aku sempat
membuka mulut. Shendy tersenyum penuh arti. "Bakal seru tuh besok."
Perasaanku saat ini benar-benar nggak bisa dideskripsikan.
Edgar Satria SEMIFINAL Indonesia Super Series hari ini baru digelar mulai jam empat sore, tapi Sharleen sudah heboh mengajakku ketemuan di Istora jam tiga.
"Ngapain sih"" tanyaku bingung waktu Sharleen menelepon menyuruhku cepat-cepat datang.
"Ya kan biar dapat tempat pewe, Fray..."
"Kita kan udah punya tiket VIP, Shar. Udah pasti pewe lah..."
"Udahlah, nggak ada ruginyajuga kan datang pagian" Biar VlP juga pasti nanti ada VIP yang lebih pewe kalau kita datang duluan."
Hmm, aku mencium adanya motif lain.
"Shar, ngaku aja deh, lo ada alasan lain kan kenapa pengin cepet-cepet ketemu gue di Istora""
Sharleen diam, tapi aku sudah bisa membayangkan tampangnya yang sedang menimbang-nimbang sebaiknya jujur atau nggak padaku di seberang sana. "Mmm... yah, gue nggak sabar aja pengin ketemu Edgar..."
"Oh... ternyata itu motif lo," kataku sambil terkikik geli. Gara-gara Edgar mengajakku nonton bareng di Istora hari ini, Sharleen jadi histeris banget (karena kan berarti dia juga bakal nonton bareng Edgar Satria sang cowok feromon itu). Aku sih memperkirakan Edgar baru akan datang ke Istora di tengah-tengah pertandingan. Kayaknya nggak mungkin dia datang sejak partai pertama. Lagian, dia juga udah nggak tanding hari ini.
"Ya, Fray, ya" Ayolah... sooner is better, kan" Daripada kita telat terus sampai sana ternyata Edgar udah nungguin lo, kan nggak enak juga..."
"Yee, bilang aja lo pengin cepet-cepet ketemu Edgar."
"Hehehe..." Sharleen cengengesan.
"Iya deh iya, dasar bawel. Gue berangkat sekarang."
"Horeeee!" Aku sudah hampir mengomel lagi karena harus berangkat lebih awal ke Istora gara-gara Sharleen, padahal tadinya aku lagi leyeh-leyeh di kamar, tapi nggak tahu kenapa mendadak jantungku dag-dig-dug nggak keruan lagi, persis ketika aku pertama kali ngobrol dengan Edgar dua hari lalu. Persis ketika kemarin Edgar mengajakku untuk nonton bareng di Istora hari ini.
Geez, what's wrong with me"
Perkiraanku salah. Aku baru saja sampai di Istora ketika nama Edgar berkedip-kedip di layar HP-ku
"Halo"" sapaku dengan suara yang, kusadari, aneh. Mendadak rasanya suaraku berubah jadi sangat ganjen dan halus,
"Fraya" Sudah sampai mana""
"Ng... gue udah di Istora. Lo di mana""
"Oh, gue juga udah di dalam. Lo masuk aja, kita ketemuan di dalam ya"" "Oke. Eh, tapi gue tunggu temen gue bentar dulu ya. Kayaknya dia udah di Istora juga deh. Nanti kalau gue udah ketemu dia, kita langsung masuk deh."
"Oke. Nanti kalau susah nyari gue, lo missed call aja ya, ntar gue telepon lo."
"Sip." Aku menelepon Sharleen untuk bilang aku sudah di Istora, sekaligus memberitahukan posisiku, Nggak sampai semenit, Sharleen nongol di depanku, Kami langsung masuk Istora bareng,


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Edgar udah di dalam," kataku.
Sharleen langsung heboh. "Oya" Aduuuuuh, kita telat dong nih" Padahal kita udah berangkat lebih awal, tapi masih kalah cepet juga sama dia""
"Hmm... gue juga heran sih kenapa dia udah stand by disini. Aturannya kan dia udah nggak ada pertandingan lagi, jadi ngapain d
ia jam segini udah di Istora""
"Atau barangkali dia berangkat naik bus bareng atlet-atlet lainnya dari hotel""
Aku berusaha mencerna asumsi Sharleen itu, Benar juga, Kalau Edgar masih menginap di The Sultan bareng teman-temannya yang bertanding hari ini, pasti tadi dia berangkat naik bus bareng mereka juga, Atlet-atlet yang bakal bertanding harus stand by di tempat pertandingan jauh sebelum pertandingan pertama dimulai, Mau nggak mau Edgar berangkat awal juga kalau tadi dia bareng mereka,
"Iya sih, bisa juga kayak gitu."
Aku dan Sharleen memasuki Istora, dan karena Istora masih kosong, kami dengan gampang menemukan Edgar yang berdiri di dekat player area, Ia langsung melambai-lambaikan tangan begitu melihat kami, Kelihatannya dia memang mengamati orang-orang yang muncul di pintu masuk deh,
Edgar berjalan mendekat, dan detak jantungku mulai menggila lagi, Aku juga bisa merasakan Sharleen menegang di sebelahku seiring semakin dekatnya jarak Edgar dengan kami,
"Halo," sapa Edgar begitu ia sudah berada persis di depanku. "Ternyata nggak susah ya ketemunya."
Jantungku mendadak menggila lagi. "Iya... Eh, udah lama""
"Lumayan sih. Tadi kan gue berangkat bareng yang lainnya naik bus dari hotel, jadi mesti cepet-cepet banget."
Wah, ternyata tebakan Sharleen benar. "Oh gitu. Sori ya jadi nungguin..."
"Nggak pa-pa." Edgar tersenyum. Tindakan yang salah, karena jantungku menjadi semakin tak terkontrol. "Oya, ini temen lo"" tanyanya sambil menoleh pada Sharleen,
"Oh iya. Kenalan dulu deh. Edgar, Sharleen. Sharleen, Edgar."
Dua orang itu bersalaman, dan aku jelas banget bisa melihat Sharleen salting, Nggak menyalahkan dia juga sih, Edgar memang charming banget, Rasanya setiap cewek yang berada di dekatnya pasti bakal langsung kehilangan fokus, Untung aja Edgar nggak main ganda campuran. Kalau iya, pemain cewek yang jadi lawannya pasti bakal nggak fokus setiap berhadapan sama dia, hehehe...
"Eh, tiket kalian tiket apa"" tanya Edgar. "VIP sih," jawabku. "Kenapa""
"Hmm, mau gue temenin duduk di VIP, atau kalian mau duduk sama gue di player area!"
Aku dan Sharleen kontan berpandangan, Player areal Untuk turnamen seprestisius ini" Bakal bisa duduk di antara pemain-pemain top dunia" Kayaknya ngabisin uang jajan sebulan pun kami rela demi bisa duduk di sana!
Tapi, mmm... harus jaim dikit dong di depan Edgar,
"Eh, nggak ganggu apa kalau kami duduk di player area! Ntar dimarahin..." "Ah, kata siapa" Nggak pa-pa kok. Banyak juga keluarga atau temennya anak-anak yang duduk di sana. Asal nggak bikin onar, pasti nggak bakal dimarahin, hehe..."
Dalam hati aku bersyukur karena lagi-lagi Claudia nggak ikut hari ini, Nggak kebayang kalau dia ikut dan kami duduk di player area, pasti dia langsung rusuh kalau melihat Maria Kristin atau siapalah di sana,
Akhirnya aku dan Sharleen mengekor Edgar menuju player area, Langkahku dan Sharleen nyaris melayang saking hepinya, Dari jauh saja aku sudah melihat Sony Dwi Kuncoro, Zhu Lin, Lilyana Natsir, Zakry/Fairuz (yang kemarin mengalahkan Edgar), dan sederet pemain top lainnya yang duduk di sana, Beberapa sedang bersiap bertanding dengan melakukan pemanasan,
Edgar yang berjalan lebih dulu dari kami akhirnya memutuskan duduk persis di depan Sony Dwi Kuncoro, Sharleen kelihatannya nyaris nggak bisa menahan kepalanya untuk nggak terus-terusan menoleh ke belakang, Dia gelisah sendiri di bangkunya, sama kayak aku, Gimana nggak, tunggal putra terbaik Indonesia, pemain peringkat lima dunia, duduk di belakang kami! Hanya usaha untuk jaim di depan Edgar-lah yang menahan kepalaku untuk terus menghadap ke depan.
Beberapa pertandingan sudah dimainkan di keempat lapangan di depan kami, Sharleen heboh sendiri, Dia memang suka berubah jadi aneh kalau sudah nonton bulutangkis secara live, Aku beralih menatap edgar, ia kelihatan asyik mengamati court 2, yang mempertandingkan Zakry/Fairuz melawan ganda Korea, Ko Sung Hyun/Kwon Yi Goo, Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu,
"Mmm... Gar""
Edgar menoleh. "Ya""
"Soal pertandingan lo yang kemarin..."
"Oh, itu. Iya, maaf ya jadi ngecewain, jadi nggak ada wakil Indonesia di ganda putra d
eh..." Edgar memotong sebelum aku selesai bicara, Ia nyengir salting dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Hehe, nggak pa-pa sih, kan tiap pertandingan ada menang ada kalah. Lagian lo sama Steven udah bagus banget kok, berhasil masuk perempat final, Masih banyak turnamen lainnya lah.
Tapi, mmm..." Aku menoleh ke arah Sharleen, dan lega karena dia masih memelototi lapangan,
sama sekali nggak terlihat menguping obrolanku dan Edgar. Bukannya apa-apa, tapi aku jadi nggak enak kalau apa yang bakal kusampaikan ke Edgar ini akan membuatnya malu di depan
-gara keputusan hakim garis yang menyatakan Fairuz masuk. Harusnya lo lebih bisa mengontrol emosi lo, dan nggak membiarkan emosi itu mengganggu seluruh permainan lo sampai akhirnya kalah..."
Edgar terdiam, dan aku mencelos dalam hati. Damn, apa sih yang barusan kubilang" Kenapa aku bisa segitu pedenya ngasih nasihat ke Edgar, padahal bisa dibilang aku ini cuma anak SMA yang terobsesi pada bulutangkis karena cita-cita masa kecilnya nggak kesampaian, sementara Edgar adalah atlet nasional yang sudah tinggal di Pelatnas paling nggak lima tahun, dan pasti dapat bimbingan dari pelatih-pelatih bulutangkis terbaik se-Indonesia setiap hari. Kenapa aku bisa sebegitu sotoynya""" Ini sama seperti anak TK menasihati anak kuliahan!
Aku nggak akan kaget kalau setleah ini Edgar bakal menendangku, dan Sharleen, keluar dari player area.
"Eh, sori, sori, Gar... bukan maksud gue untuk..." aku berniat memperhalus kata-kata yang meluncur keluar dari mulutku tadi. Soalnya, kalau dicerna lagi, aku seolah menyalahkan Edgar atas nihilnya wakil Indonesia di nomor ganda putra di Indonesia Super Series kali ini.
Di luar dugaanku, Edgar justru nyengir lebar. "Hahaha, nggak apa-apa, Fray, Pelatih gue, alias kakak gue sendiri, juga bilang seperti yang lo bilang itu kok. Emang udah nggak seharusnya dalam turnamen internasional kayak gini, dan di perempat final pula, gue masih nunjukin emosi kayak anak kecil... Itu semua salah gue."
Aku tercenung. Edgar dengan besar hati mengakui kesalahannya! Kesalahan yang bahkan mungkin bukan benar-benar "kesalahan"!
Asli deh, seumur hidup aku nyaris nggak pernah melihat makhluk berjenis cowok mengakui kesalahan. Gengsi cowok kan biasanya selangit. Beneran bikin salah aja belum tentu ngaku, apalagi kalau dia sebenernya nggak bikin salah. Lihat aja Albert dengan semua kelakuannya dulu. Dia menghukumku sampai aku nggak bisa nonton Thomas-Uber Cup di Istora, padahal kalau aja dia bisa lebih mengerti kecintaanku pada bulutangkis, dia pasti paham kenapa aku bisa sampai ngebohongin dia. Beda banget deh sama Edgar!
Eh, kokjadi ngebanding-bandingin Albert sama Edgar sih"
Pikiranku yang melantur langsung buyar begitu aku sadar Edgar masih menatapku dengan ekspresi ingin tahu. Aku belum merespons omongannya yang terakhir tadi. Dia pasti masih menunggu komentarku.
"Eh...," kataku akhirnya, benar-benar no idea harus bilang apa lagi,
"Kayaknya lo suka banget ya sama bulutangkis" Mmm, ralat, bukans uka aja, tapi gue yakin lo
paham banget kan tentang bulutangkis" Orang yang sekadar suka aja nggak bakal bisa ngeliat kenapa kemarin gue bisa banyak bikin kesalahan sendiri. Harus orang yang benar- benar paham bulutangkis dan mengamati permainan gue kemarin."
Aku nyengir. "Hehe iya sih, gue emang punya huge interest sama bulutangkis, Gue malah... sebenernya pengin jadi atlet bulutangkis." Mata Edgar melebar. "Serius lo""
"Iya." Dan mengalirlah ceritaku tentang betapa terpesonanya aku melihat Ricky dan Rexy
meraih emas di Olimpiade Atlanta, bagaimana aku ingin meraih prestasi yang sama seperti mereka, tapi cita-citaku amblas hanya karena kesalahpahaman antara aku dan Mama. Aku juga cerita tentang Albert, yang menghukumku tak boleh nonton Thomas-Uber Cup, dan bagaimana ia selalu menyuruhku bergabung dengan ekskul cheers bukannya bulutangkis. Ceritaku kututup dengan bagaimana aku sangat down beberapa bulan terakhir ini, karena ingat cita-citaku nggak akan mungkin tercapai lagi, sekeras apa pun aku berusaha.
Edgar menyimak sepanjang aku bercerita, nggak sekali pun dia menyela. Dan ketika aku selesai, ak
u menoleh nggak enak pada Sharleen, takut kalau-kalau ia ternyata memperhatikan kami sedari tadi dan merasa dicuekin karena nggak dilibatkan dalam obrolan. Untunglah, perhatian Sharleen ternyata masih seratus persen terfokus pada lapangan. Dia seolah berada dalam kotak yang tak terlihat, yang membuatnya tak memedulikan keadaan sekitar, kecuali apa yang tengah terjadi di lapangan.
"Jadi sekarang, lo main bulutangkis hanya..."
"Yah, untuk cari keringat. Atau pas ekskul di sekolah. Atau kalau ada acara main bareng
orang-orang forum bulutangkis yang gue ikutin. Kebanyakan member-nya bapak-bapak sih, hehe... but it's okay lah."
"Sayang banget ya, padahal lo udah punya keinginan untuk jadi atlet sejak lo kecil, dan itu murni karena lo pengin bikin Indonesia bangga. Baru kali ini gue dengar cerita kayak gini. Kalau aja dulu lo masuk klub, mungkin sekarang lo udah masuk Pelatnas..."
"Ah, nggak mungkinlah. Kemampuan gue kan biasa-biasa aja, Gue yakin banyak remaja seumuran gue yang lebih berbakat dan lebih pantas untuk masuk Pelatnas."
"Hmm... kalau gitu, kapan-kapan gue harus main lawan lo, jadi gue bisa menguji apakah lo layak masuk Pelatnas atau nggak," kata Edgar sambil nyengir.
Aku nyaris menyerukan kata "setuju" dari mulutku, ketika otakku selesai memproses kalimat Edgar barusan. Dia bilang... kapan-kapan dia harus main lawan aku" Apakah ini ajakan untuk ketemuan lagi" Untuk...jalan bareng"
"Kenapa" Takut ya"" Edgar rupanya salah mengartikan ekspresiku yang tiba-tiba berubah, Dia mengira aku keder, padahal sebenarnya aku syok menyadari dia baru saja mengajakku jalan bareng lagi.
" Try me," kataku akhirnya. Oh ya ampun, ini cuma main bulutangkis bareng, bukan kencan.
Dan kapan lagi aku bisa main bulutangkis lawan atlet Pelatnas" Aku nggak boleh ke-ge-er-an.
Ini benar-benar hari yang luar biasa. Bukan hanya karena aku menikmati saat-saat yang sangat fun lantaran bisa duduk di sebelah Edgar (yang semakin aku mengobrol dengannya ternyata semakin membuatku kagum, karena meskipun dia sudah bisa dibilang atlet internasional, dia sangat humble dan low profile), tapi juga karena Indonesia meloloskan banyak wakil ke final besok!
Dua partai yang saling mengejutkanku, dan membuat Istora serasa meledak saking gegap gempitanya teriakan suporter, adalah tunggal putri dan ganda putri.
Tadi , di tunggal putri, Maria Kristin mengalahkan Zhang Ning! Beneran deh, aku nyaris nggak percaya meski melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Bukannya aku meremehkan Maria atau apa, tapi Zhang Ning itu kan peraih medali emas Olimpiade Athena. Dan Maria mengalahkannya! Haha, beware China, our new Susi Susanti has born!
Dan ganda putri, astaganagabonarjadidua! Vita Marissa/Lilyana Natsir membabat habis Wei Yili/Zhang Yawen! Mengalahkan pasangan nomor satu dunia, padahal mereka bahkan hanya pemain ganda campuran yang merangkap main ganda putri. Asli deh, sepanjang partai ini aku sport jantung, dan berkali-kali bersorak heboh ketika Vita atau Lilyana menghasilkan angka melalui pukulan-pukulan cepat mereka. Aku heran, mereka itu sebenernya cewek apa cowok sih" Tenaganya itu lho!
Sayang, prestasi Vita/Lilyana di ganda campuran ternyata nggak sebagus pencapaian mereka di ganda putri. Vita yang berpasangan dengan Flandy Limpele di ganda campuran kalah dari pasangan China, Zheng Bo/Gao Ling, sementara Lilyana Natsir/Nova Widianto kalah dari Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl asal Denmark. Menempatkan dua wakil di semifinal dan berharap akan terjadi all Indonesian final untuk ganda campuran, Indonesia justru sama sekali tak punya wakil di final besok, hiks!
Untunglah, untuk tunggal putra, Indonesia sudah memastikan gelar juara, karena besok Sony Dwi Kuncoro bakal bertanding melawan Simon Santoso. Maksimal, Indonesia bisa meraih tiga gelar besok. Not bad untuk pertandingan di kandang sendiri.
Wah, jadi nggak sabar menunggu besok.
Apalagi tadi Edgar menawariku, dan Sharleen, untuk duduk bersamanya lagi di player area. Chiuuuy!
Meskipun datang lebih awal, ternyata aku dan Sharleen tetap harus berjuang melewati kerumunan orang yang berdesakan mencari tiket babak f
inal Indonesia Super Series ini di halaman depan Istora. Belum lagi para calo, yang nggak terhitung berapa banyaknya, yang mencegatku dan menanyakan apakah aku berminat menjual tiketku, soalnya mereka bisa membelinya dengan harga tinggi. Dengar-dengar sih, tiket untuk babak final ini sudah terjual habis, bahkan para calo kehabisan, sementara masih banyak penonton yang belum kebagian tiket dan pengin banget nonton. Itu artinya, mereka oke-oke aja beli meski dengan harga berlipat
ganda, Nah, peluang inilah yang dikejar para calo, Mereka mau beli tiket orang dengan harga tinggi, dan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi lagi, Dasar! Benar-benar menerapkan hukum ekonomi deh: semakin terbatas barang dan semakin tinggi permintaan, maka harga juga akan semakin tinggi,
Thanks to Edgar, aku dan Sharleen nggak perlu "berjuang" seperti para penonton dan calo
yang kehabisan tiket itu, Tadi Edgar telepon, bilang dia menunggu kami di pintu belakang (yang seharusnya khusus untuk mereka yang ber-ID card, jadi kami nggak perlu beli tiket lagi untuk masuk Istora, Bisa lewat pintu belakang dan langsung duduk bareng Edgar di player area, asyik!
Aku menyusuri jalan yang kuingat beberapa hari lalu ditunjukkan Shendy saat mengajakku ke bagian belakang Istora, dan dalam sekejap aku dan Sharleen sampai, Di depanku berjejer banyak bus atlet dan ofisial, persis seperti yang kuingat saat menemani Claudia menunggu Edgar di sana untuk foto bareng,
"Fray! Di sini!"
Aku mendongak dan melihat Edgar melambai hanya beberapa meter dariku, Kaki Sharleen langsung terlihat seolah baru dipasangi mesin turbo, Kecepatannya melangkah jadi dua kali lipat, Dia sampai di depan Edgar lebih dulu,
"Rame ya di depan"" tanya Edgar. Beda dengan kemarin yang pakau kaus dan celana pendek, hari ini Edgar pakai polo shirt dan celana jins, Cakep banget!
"Iya, banyak calo sama penonton yang nyari-nyari tiket."
"Nggak nyangka ya bisa serame ini... Animo gara-gara prestasi tim Uber kemarin itu sih, Sayang tim Thomas-nyajustru mencapai hasil di bawah harapan..."
Edgar kelihatan sedikit down saat bilang begitu, dan aku langsung ngeh, itu pasti karena dia juga tergabung di tim Thomas Indonesia tempo hari, yang, seperti katanya, mencapai hasil di bawah harapan, Memang, nggak seperti tim Uber yang hanya ditarget masuk semifinal tapi bisa jadi runner-up, tim Thomas yang ditarget juara justru nggak berhasil menjejak babak final, Miris pastinya,
"Nggak pa-pa, Gar, Semua ada hikmahnya kok, Bisa buat bahan evaluasi supaya makin baik lagi kan nanti""
"Iya, dievaluasi habis-habisan, sampai porsi latihan pasca Thomas Cup itu jadi dua kali lipat." Edgar cengengesan. "Eh, kok jadi ngobrol di sini, masuk yuk!"
Aku dan Sharleen mengekor Edgar yang berjalan di depan kami, lalu menaiki tangga menuju player area, Begitu sudah di player area, mataku dan Sharleen langsung jelalatan, siapa saja atlet top yang bakal berada dalam radius sepuluh meter dari kami selama kira-kira lima jam ke depan, Sharleen yang berhasil menemukan buruan lebih dahulu: Simon Santoso, yang bakal turun di partai pertama melawan Sony Dwi Kuncoro, rekan senegaranya sendiri, Simon sedang berlari-lari kecil di bagian atas player area, Pemanasan menjelang pertandingan,
Aku menoleh ke kanan-kiri dan melihat Vita Marissa duduk di salah satu sudut dengan earphone iPod terpasang di telinganya, Kalau dari jadwal yang kulihat di depan Istora tadi sih, Vita/Lilyana bakal turun di partai ketiga melawan ganda putri Jepang, Satoko Suetsuna/Miyuki
Maeda. Sayang sebetulnya, karena Satoko/Miyuki mengandaskan ganda putri Indonesia yang jadi kuda hitam di turnamen kali ini, Shendy Puspa Irawati/Meiliana Jauhari. Kalau nggak, bisa satu lagi partai all Indonesian final tuh. Eh, tapi kalau kebanyakan partai all Indonesian final, hari ini bakal jadi kurang seru ya" Hehehe.
Edgar duduk di tempat yang sama persis dengan tempat kami kemarin duduk. Tepat setelah aku meletakkan bokongku di kursi, Simon Santoso berjalan melewatiku sambil membawa tas raketnya dan siap turun ke arena pertandingan (membuat Sharleen histeris sendiri samapi menarik-narik
ujung lengan bajuku). "Oi, Mon, good luck ya!" seru Edgar.
Simon menoleh. "Beres! Doain ya!"
Edgar mengacungkan jempolnya tanda setuju.
Setelah itu, aku menyaksikan rangkaian babak final yang sangat seru. Semua yang berlaga hari ini memang benar-benar pemain kelas dunia. Mulai dari Sony Dwi Kuncoro yang mengalahkan Simon (poor Simon, tapi dia masih punya banyak kesempatan di turnamen lain), Vita Marissa/Lilyana Natsir yang melibas Satoko Suetsuna/Miyuki Maeda, Zheng Bo/Gao Ling menghentikan Thomas Laybourn/Kamilla Rytter Juhl, dan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari (yang mengalahkan Edgar/Steven di perempat final, remember") menjadi juara setelah melibas Tony Gunawan/Candra Wjaya, pasangan gado-gado USA-Indonesia.
Tapi, yang paling seru adalah partai tunggal putri, Maria Kristin melawan Zhu Lin. Memang, Maria akhirnya kalah dari pebulutangkis China itu, tapi dia benar-benar menunjukkan Indonesia masih punya tunggal putri yang harus ditakuti! Bayangin aja, Maria yang cuma peringkat 20-an BWF, bisa memaksa Zhu Lin, yang peringkat 3 BWF, bermain 3 set, sekaligus menguras emosinya. Ada adegan di mana Zhu Lin ngotot memprotes keputusan hakim garis karena dianggap merugikannya. Lalu setelah itu entah kenapa ia melakukan protes untuk kedua kalinya, dan karena sudah menentang wasit, ia justru menerima kartu kuning, yang berarti satu angka bonus untuk Maria. Seumur-umur, baru kali ini aku lihat pemain bulutangkis dapat kartu kuning. Biasanya kan pemain sepak bola! Untuk beberapa pemain, seperti Edgar beberapa hari lalu, hal semacam itu jelas bisa membuat konsentrasi buyar. Tapi ternyata itu justru bisa membuat Zhu Lin mengendalikan emosinya, dan menutup pertandingan dengan kemenangan.
Tapi buatku, Maria Kristin tetapjuara sebenarnya. Hebat banget sih!
Ketika pertandingan final hari ini selesai, aku benar-benar merasa nggak rela. Masih satu tahun lagi smapai aku bisa merasakan atmosfer Indonesia Super Series yang dahsyat lagi. Aduh, seharusnya Indonesia Super Series itu digelar sebulan sekali!
Haha, you wish, Fraya. This Bang-Bang-Boom Feeling
AKU memasuki Sushi Tei, dan menemukan Edgar melambai padaku dari sushi bar. Yeah, aku agak-agak shock waktu ia meneleponku tadi pagi dan ngajak ketemuan di sini. Terakhir kami ketemuan kan waktu final Indonesia Super Series itu, dan itu... hampir seminggu yang lalu. Setelah itu dgar sama sekali nggak mengontak aku, dan aku sebagai cewek (yang juga punya kadar gengsi sangaaaaat tinggi) nggak pernah mengontaknya duluan.
Yah, aku akui, aku kangen sama dia. Sebab di lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap kami bisa lebih dari sekadar nonton-bareng-Indonesia-Super-Series. Makanya, waktu dia nggak menghubungiku sama sekali beberapa hari kemarin, aku blingsatan nggak keruan. Sharleen dan Adisty menangkap gelagat anehku ini dengan mata jeli mereka, tentu saja, dan berusaha menebak-nebak bahwa ini pasti ada hubungannya dengan cowok, tapi aku selalu berhasil ngeles. Dan ketika tadi pagi Edgar nelepon, aku lebih dari sekadar loncat-loncat kegirangan di kamar, dan berusaha tarik napas plus mengucapkan "halo" dengan suara senormal mungkin. Biar nggak ketahuan aku bener-bener girang dia telepon, maksudnya.
"Sori, gue telat," kataku sembari menarik kursi di sebelah Edgar dan duduk.
"Nggak pa-pa. Gue yang kepagian kok."
Waitress datang membawakan menu. Aku memesan stamina roll dan hot ocha. "Well," kataku gugup, karena Edgar hari ini luar biasa cakep... dan harum, "ada apa nih ngajak ketemuan""
"Nggak pa-pa, kangen aja."
Aku kontan bisa merasakan darah menyembur di kedua pipiku, membuatnya memerah tanpa ampun.
"Haha, bisa aja lo."
"Eh, nggak, gue serius kok."
Kalau kangen, kenapa beberapa hari ini lo sama sekali nggak berusaha menghubungi gue" Pertanyaan ini meletup dalam otakku tanpa sempat kutahan. Jujur aja, aku senang mendengar Edgar kangen padaku, tapi kalau itu cuma gombal... lebih baik nggak usah deh.
"Lima hari kemarin porsi latihan gue meningkat dua kali lipat gara-gara hasil buruk di Thomas Cup dan Indonesia Super Series itu. Dan malam harinya, kalau sesi latihan sudah selesai, gue cuma p
unya sisa tenaga untuk mandi dan tidur. Gue pengin SMS lo, tapi selalu ketiduran sebelum gue sempat pegang HP. Sori ya...," jelas Edgar, seolah bisa membaca pertanyaan yang meletup di otakku tadi.
Alasannya memang klise, kalau cowok lain yang mengucapkan. Tapi karena ini Edgar, atlet bulutangkis nasional yang aku yakin prosi latihannya nggak main-main, apalagi kalau sampai
dijadiin dua kali lipat, aku percaya dia benar-benar kehabisan tenaga sampai nggak sempat mengontakku,
"Makanya, begitu hari ini gue free, gue langsung ngajak lo ketemuan."
"It's okay, Gar." Lagian, gue kan bukan siapa-siapa lo, Lo nggak punya keharusan untuk menghubungi gue, tambahku dalam hati,
"Hehe, thanks ya udah ngertiin gue. Apa kabar""
Aku terkikik geli mendengar pertanyaannya, Sudah hampir lima menit kami duduk di sini, dan baru sekarang dia bertanya "apa kabar"" Aneh!
Edgar rupanya merasakan hal itu sama gelinya sepertiku, karena dia juga tertawa,
"Kabar gue baik. Lagi seneng-senengnya jadi anak kelas 12, bisa ngegencet junior-junior yang nyolot..."
"Serius"" Alis Edgar terangkat.
"Ya nggak lah! Gue bukan tipe senior macam itu, kali." "Iya, iya, gue percaya."
Minumanku datang, dan aku langsung meneguknya untuk menghilangkan kecanggungan, Duh, kenapa aku bisa lupa bawa semprotan antiferomon untuk mengurangi kadar yang dimiliki cowok satu ini supaya aku nggak terlalu salting di depannya sih"
"Jadi...," kataku setelah kebekuan lidahku dicairkan oleh hot ocha, "ngajak ketemuannya karena kangen aja nih""
Geez, do I sound like I'm flirting with him"
"Iya. Dan gue kangen ngobrol-ngobrol sama lo,,, Yah, mungkin lo menganggap gue gombal atau apa, tapi gue benar-benar menikmati waktu kita nonton bareng di Istora minggu lalu, Gue menikmati saat-saat bersama lo..."
Aku mengerjap, Sepanjang usia remajaku, aku mengenali betul tanda-tanda cowok jika mereka sedang flirting sama aku, dan sorot mata mereka ketika sedang melancarkan jurus rayuan gombalnya, Aku berusaha mencari sorot mata itu dalam mata Edgar, tapi sama sekali nggak menemukannya, Dia terlihat,,, tulus sekali waktu mengatakan itu, Entah apakah di Pelatnas ada kursus akting juga, atau Edgar memang sungguh-sungguh dengan omongannya,
"Kenapa lo menikmati ngobrol sama gue""
"Karena lo tau tentang bulutangkis."
"Heh"" "Lo nggak kayak cewek-cewek lain, yang kalau diajak ngomong tentang bulutangkis taunya cuma Taufik Hidayat, Lo benar-benar ngerti tentang dunia ini, You love it, the way that I do,"
Oh ya, itu benar, Kok aku bisa lupa kami punya satu kecocokan yang sangat mencolok itu ya"
"Dan setiap kali lo ngomong tentang bulutangkis... mata lo berbinar, dan lo excited banget, Lo tau semua pemain yang gue sebutkan, yang nggak sengaja papasan sama kita waktu di Istora kemarin, Lo tau mereka menang di turnamen mana dan mengalahkan siapa, lo tau mereka peringkat berapa di BWF, lo tau... semuanya."
"Sharleen juga. Terus, kenapa yang lo ajak ketemuan hari ini cuma gue"" Aku terdiam setelah
mengatakan itu. Ya ampuuuun, kenapa sih aku ini"
Tapi di dalam hati aku penasaran juga. Karena, kalau menyangkut soal bulutangkis, pengetahuan Sharleen nggak kalah dari aku. Dia juga cantik dan menyenangkan. Jadi, kenapa Edgar cuma mengajakku ketemuan hari ini" Kenapa dia cuma kangen sama aku"
"Karena lo berani mengkritik permainan gue saat lawan Zakry/Fairuz. Sharleen nggak."
Hah" Karena itu" Dia kangen padaku karena aku sudah mengkritiknya"
"Dan karena alasan lo kepingin jadi atlet bulutangkis waktu lo kecil, Fraya. Lo cuma pengin
bisa mengibarkan bendera Merah Putih di negeri orang dengan prestasi yang sudah lo raih. Gue,,, I've never heard things like that before. Kebanyakan teman-teman gue di Pelatnas, termasuk gue sendiri, jadi atlet bukan karena kemauan kami sendiri." Aku kontan terperangah. "Ah, masa""
"Iya. Yah... ada sih beberapa yang memang atas keinginan sendiri, tapi kebanyakan karena
disuruh ortu, dan ada juga karena iseng masuk klub, tapi ternyata punya bakat dan bisa berkembang sampai sekarang." "Lo termasuk yang mana""
"Disuruh ortu. Edward juga gitu, dan jujur aja awalnya gue sempat benci sama bulutang
kis ini." "Benci"" tanyaku nggak percaya. Ini sama saja mendengar koki terkenal mengaku bahwa ia benci memasak!
"Yep. Gue sebel karena di saat teman-teman gue yang lain bisa main sepulang sekolah, gue harus latihan di klub. Dan gue benci karena... gue selalu dibanding-bandingkan dengan Edward."
Stamina roll-ku datang, menciptakan jeda yang membuat kata-kata Edgar barusan membekas sangat dalam di ingatanku.
"Yah, siapa yang nggak kenal Edward Satria. Di awal karier gue di klub dan Pelatnas, nyaris setiap orang yang bertemu gue selalu nanya 'adiknya Edward, ya" Moga-moga lo bisa sehebat kakak lo ya!' Gue tau mereka bermaksud baik, mengharapkan gue bisa punya prestasi semoncer Edward, tapi jujur aja gue muak. Gue sayang Edward, dan tentu aja gue pengin punya prestasi seperti dia. Nyaris menyabet medali emas Olimpiade Sydney, kalau saja bukan karena cedera dadakan partnernya yang menggagalkan mereka berangkat... Lo pasti ngerti maksud gue."
Aku mengangguk. "Tapi gue ya gue. Gue nggak mau orang membandingkan gue dengan Edward terus-terusan, Gue memang belum sehebat dia, tapi gue berusaha sekeras yang gue bisa. Dan memang seiring berjalannya waktu, tujuan gue di bulutangkis berubah. Bukan cuma untuk membuktikan diri, tapi ingin berprestasi juga, karena gue sudah jatuh cinta sama dunia ini. Waktu gue dan Steven jadi juara dunia junior dulu, lalu melihat bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan di negeri orang... elo bener, Fraya, perasaan itu nggak ada bandingannya."
Aku menelan ludah, Ya, itu benar, Aku yang cuma pernah menyaksikannya di TV atau secara live aja selalu merinding jika momen itu terjadi, gimana Edgar yang melakoninya" Pasti benar-benar terasa seolah ada petasan yang meledak di dadanya, Dalam artian yang baik, tentu saja,
"Yah, itulah versi panjang dari jawaban kenapa gue kangen lo." Edgar tersenyum. "Dan gue berharap, kita bisa terus kontak-kontakan dan ketemuan setelah ini."
Ehm, kalau sekarang, aku sudah boleh ge-er, belum"
"Fray!" Aku menoleh, dan langsung salting begitu melihat siapa yang berada di hadapanku, "Eh... Sharleen... Lo sama siapa""
"Sama Nyokap. Biasa... nemenin belanja. Lo sama siapa"" "Fray, lagu-lagunya David Cook bagus nggak sih""
Aku bisa merasakan Sharleen membeku di tempatnya berdiri demi melihat siapa yang baru saja datang menghampiriku dan bertanya apakah-menurutku-lagu-David-Cook-bagus, "Hei, Sharleen! Wah, kebetulan banget kita bisa ketemu di sini!"
"Edgar..."" desah Sharleen tak percaya. "Kalian... kalian..." Sharleen menunjukku dan Edgar
bergantian, tak bisa meneruskan kalimatnya,
"Eh, Shar, lo udah tau belum, VNC lagi diskon loh!" Aku tak membuang kesempatan, langsung setengah menyeret Sharleen keluar dari Societie, sambil cengengesan nggak jelas pada Edgar yang keningnya tengah berkerut bingung di belakangku, Tapi itu bisa kubereskan nanti, yang penting sekarang Sharleen dulu,
"Gila lo, Fray," cerocos Sharleen begitu kami sudah berada di luar radius pendengaran Edgar. "Lo sama Edgar... kencan""
"Sssssttt!" Aku menempelkan telunjukku di depan bibir. "Apaan sih" Jangan keras-keras, nanti dia dengar!"
"Tapi... lo sama dia..."
"Eh, gue jelasin dulu ya sebelum lo sempat berpikiran macem-macem," aku memotong ucapan Sharleen. "Gue sama Edgar nggak ada apa-apa, kebetulan aja tadi dia ngajak ketemuan, cuma buat ngobrol-ngobrol sambil makan aja, Terus dia mau nyari CD soundtrack-nya Transformer 2, jadi gue nemenin. Udah, gitu aja..."
Sharleen terdiam sesaat, lalu cekikikan,
"Kenapa lo ketawa"" tanyaku bingung.
"Hihihi... habisnya lo lucu, bisa panik gitu! Ih, Fraya, gue tuh kaget aja ketemu lo dan Edgar lagi jalan bareng, Gue bukannya nuduh kalian pacaran atau apa, tapi lo langsung salting gitu, hihihihi..."
Aku melongo, dan merasakan semburan rasa malu yang sudah sangat kukenal, yang selalu muncul dalam diriku setiap kali aku melakukan hal-hal konyol,
"Ng... gue... habisnya..."
"Aaah, udah, nggak pa-pa kok, Asli, gue kaget banget pas ngelihat kalian berdua tadi, Gue kira soft lens gue yang udah harus ganti, eh ternyata kalian emang lagi bareng. Mmm... tapi, diterusin jug
a nggak pa-pa kok, Fray. Kan lumayan, kalau lo pacaran sama Edgar, kita bisa duduk di player area kalau ada turnamen lagi, hihihi..."
"HUSH!" aku mengibaskan tanganku, wlaaupun bisa merasakan pipiku memerah. "Apaan sih" Baru jalan bareng sekali juga, lo mikirnya udah kejauhan gitu."
"Yaaaa, anggap aja itu doa dari gue. Wish gue, hehe..."
Aku cuma bisa tersenyum salah tingkah.
"Ya udah, lo temenin Edgar lagi gih, gue mau cari nyokap gue dulu. Jangan lupa, nanti cerita-cerita ya acara kencannya!"
Sharleen melambai padaku dan langsung ngabur begitu aku memelototinya.
"Halo!" Aku terlonjak kaget karena mendengar seruan itu. Sharleen muncul dari balik tembok kelasku, dan memamerkan cengiran khasnya.
"Gimana kencannya kemarin" Cerita dong, ceritaaaaa!"
Lagi-lagi, aku merasakan pipiku bersemu merah, tapi rasanya aku nggak sanggup kalau harus menceritakan "kencan" versi lengkap kemarin pada temanku itu.
"Iiih... Fraya sombong, mentang-mentang sekarang mainnya sama atlet bulutangkis nasional, nggak mau cerita-cerita...," Sharleen menggodaku dengan gaya merengek, dan membuntutiku menuju bangku. Adisty belum datang.
"Kencan apaan" Kan kemarin gue udah bilang, itu cuma jalan bareng biasa aja."
"Yah, whatever you name it lah ya, Yang penting, gue mau cerita lengkap acara kemarin, No censor at all!" tuntut Sharleen.
Aku baru mau membuka mulutku untuk bercerita (karena sadar nggak akan ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Sharleen, ia akan terus-menerus memburuku), ketika Adisty muncul di pintu kelas.
"Halooo, lagi ngegosipin apa nih, kok kayaknya seru banget"" tanya Adisty sembari meletakkan tasnya di meja.
"Dis, Dis, kemarin Fraya habis kencan!" cerocos Sharleen sebelum aku sempat bilang nggak-
ada-apa-apa-kok. "Kencan"" mata Adisty yang sudah belo kontan bertambah lebar. "Sama siapa" Siapaaa"" "Coba tebak... Edgar Satria!"
Adisty terdiam, walau mulutnya masih melongo terbuka. Aku kira dia bakal jejeritan heboh seperti Sharleen ketika melihatku bersama Edgar kemarin, tapi ternyata sejurus kemudian ia bertanya,
"Edgar Satria itu siapa sih""
Kalau dalam komik Jepang, mungkin aku dan Sharleen sudah digambarkan terjengkang dari kursi. Gubrak banget sih!
"Lo nggak tau siapa Edgar Satria"" tanya Sharleen. Adisty menggeleng dengan polosnya. "Atlet bulutangkis!"
"Ooo... ya maklum, gue kan nggak ngerti bulutangkis, hehehe...," Adisty cengengesan dengan
wajah tanpa dosa. "Tapi kalau Edward Satria, lo tau, kan""
"Nah, kalau itu gue tau! Seasing-asingnya sama bulutangkis, ya gue tau lah siapa itu Edward..."
Adisty benar. Edward Satria ini sudah identik banget dengan bulutangkis. Seperti ketika orang menyebut kata "bulutangkis", yang kontan muncul di otakmu, kalau nggak nama Taufik Hidayat, ya pasti Edward Satria.
"Tunggu," kata Adisty tiba-tiba, "kok nama belakangnya sama ya" Edward Satria... Edgar Satria... mereka sodaraan""
"Yep!" seru Sharleen senang.
"Astagaaa... Fraya, kamu pacaran sama adiknya salah satu pemain ganda putra paling top di Indonesia""""
"Apaan sih" Gue nggak pacaran, tau!" bantahku. "Kemarin itu Edgar ngajak jalan, itu aja, Bukannya gue pacaran atau apa."
Adisty menyipitkan matanya, seperti mengingat-ingat sesuatu. "Ooh, ternyata Edgar ya, yang bikin lo berseri-seri kapan itu""
"Kapan itu kapan"" tanyaku nggak ngerti.
"Hari yang kita ada kuis fisika mendadak itu, Yang lo datang ke sekolah dengan wajah berseri-seri dan gue bilang wajah lo bahagia kayak orang jatuh cinta. Waktu itu lo nggak sempat cerita ke gue karena Bu Irma udah keburu dateng. Jadi, karena sekarang gue udah tau siapa oknum di balik cerita itu, si Edgar Satria ini, sekarang lo harus cerita sama gue!"
"Sama kita berdua!" ralat Sharleen.
Aku benar-benar dikeroyok. Dua lawan satu, coba. Dan Adisty masih aja ingat aku yang ibarat melayang-layang karena bahagia setelah pertama kalinya mengobrol dengan Edgar di Istora itu.
"Oke, oke, gue ngalah." Aku akhirnya mau nggak mau menceritakan seluruh kejadian
kemarin ke dua cewek bawel ini. Mereka melongo, tapi kemudian bertatapan penuh arti waktu aku menceritakan kata-kata Edgar padaku di Sushi Tei.
"Yah, gitu deh... akhirnya dia nganterin gue pulang. Selesai. Puas""
"So sweeeeeet," kata Adisty dengan gaya ganjen yang kelewat norak,
"Pasti dia naksir lo, Fray, pasti!" kata Sharleen yakin, seolah hal itu sama pastinya dengan
matahari yang terbit di sebelah timur setiap hari.
"Yah, mungkin aja, tapi gue nggak mau mikir kejauhan dulu ah..." Aku sendiri mengakui
bahwa Edgar menunjukkan tanda-tanda tertarik padaku, tapi aku bener-bener nggak mau mikir kejauhan, takut nantinya malah kecewa, Semakin tinggi kamu terbang, akan semakin sakit jatuhnya nanti, kan"
"Nggak pa-pa, kali. Kan tanda-tandanya udah kelihatan jelas banget, gitu."
"Ah, mungkin dia cuma mau tebar pesona aja. Siapa tau," aku mengedikkan bahu. "Kalau dia memang naksir, pasti sekarang dia udah kontak gue lagi. Tapi mana" Dari semalam nggak ada..."
Mendadak aku merasakan HP di sakuku bergetar, dan dengan refleks aku mengeluarkannya
dari saku, Ada SMS, "Pasti Edgar," kata Sharleen pada Adisty. Mereka berdua mengangguk-angguk kompak. Hah, nggak mungkin! Paling juga Vinly, teman baruku di klub bulutangkis, Atau siapalah, mana mungkin Edgar,,,
Aku membuka SMS itu, dan tercenung, Adisty dan Sharleen langsung memutar dari balik bahuku, kepingin membaca SMS itu juga,
"Hahahaha... tebakan gue bener!" Sharleen mengajak Adisty tos, mereka berdua kegirangan seolah habis menang lotre,
"Cieee, Fraya, cieeeee...," goda Adisty.
"Apaan sih! Cuma SMS ' Good morning, have a nice day gini doang kok," kilahku, sambil berusaha menyembunyikan senyum. Memang "cuma" SMS begitu, tapi rasanya hatiku membuncah sampai nyaris meledak!
"Ah, tapi itu kan udah spesial. Ya nggak, Dis""
"Yo'i, mamen!" seru Adisty tengik
"Udah deh, Fray, pokoknya kami berdua doain. Tapi jangan lupa, nanti kalaujadian harus traktir-traktir, ya!"
Aku cuma mengangguk sekenanya, tapi dalam hati aku berdoa, semoga itu benar-benar terjadi...
Jadi, kalau ini bisa disebut "kencan", pastilah ini kencan paling aneh sedunia!
Ini hari Sabtu, dan karena setiap Sabtu Edgar hanya ada sesi latihan di pagi hari, sorenya dia free, Jadilah dia mengajakku meladeni tantangannya dulu: main bulutangkis! Yang hanya bisa terjadi jika aku bisa menghalau kerumunan cewek di sekeliling Edgar ini! Nggak mungkin dong dia main bulutangkis dengan cewek-cewek merubungnya seperti lalat merubungi sampah begitu"
Oke, aku tau ini salahku sendiri, Hari ini salah satu jadwal latihanku di klub, dan aku nekat mengajak Edgar ke sini, walaupun dia bilang kami bisa saja menyewa lapangan di club house kompleks perumahan tempatnya tinggal, dan main dengan tenang di sana, Aku memang goblok, lupa bahwa kadar feromon Edgar itu di atas rata-rata, dan cewek-cewek di klub ini sudah lama
di sini adalah bapak-bapak,
"Edgar, nanti ajarin Jumping smash dong..."
"Kalau aku, diajarin backhand, ya" Edgar kan back hand-nya paling jago..."
"Edgar, ceritain dong waktu menang Kejuaraan Dunia Junior. Pasti seru banget, ya" Aku salut deh sama kamu..."
Aku cuma bisa geleng-geleng mendengar semua permintaan ganjen para cewek ABG seklubku itu. Ujung-ujungnya, aku terduduk lesu di bangku pinggir lapangan. Kayaknya hari ini aku nggak akan bisa main bulutangkis lawan Edgar.
"Hei, Fraya." Aku mendongak dan melihat Pak Ivan, pelatihku di klub ini. "Kamu yang ajak Edgar Satria ke sini""
Aku mengangguk lesu. Pak Ivan jelas tertarik karena nggak ada angin nggak ada hujan, aku mengajak seorang atlet bulutangkis nasional ke klub ini. "Kenal Edgar di mana"" "Dikenalin temen."
"Oh," gumam Pak Ivan pendek, sembari menatap Edgar yang masih dirubungi cewek. "Kok bisa tiba-tiba kamu ajak dia ke sini""
"Tempo hari Edgar nantang saya main bulutangkis, Pak. Tadinya saya berniat meladeni tantangan itu di sini, Tapi kalau melihat kondisi sekarang, kayaknya nggak bakal bisa deh..." Aku
tersenyum kecut. "Haha, iya, iya. Edgar kan terkenal, ganteng pula, jelas cewek-cewek itu jadi berkerumun
ngajak Edgar ke sini, Fraya." "Heh"" Aku menatap Pak Ivan tak percaya. Dia berterima kasih karena aku sudah membuat acara "kencan"-ku sendiri gagal total"
"Begini, nggak semua cewek seperti kamu, main bulutangkis karena memang
cinta olahraga ini dan ingin berprestasi. Ada yang masuk klub ini karena dipaksa ortunya, iseng, atau bahkan... karena kepingin bisa dapat pacar di sini."
Aku bengong. Serius nih" Ada yang kepingin cari pacar di klub yang mayoritas anggotanya bapak-bapak ini"
"Kedatangan Edgar ke sini, bisa saja, yah... kita berharap saja, akan membawa motivasi yang berbeda bagi mereka. Edgar bisa memberi mereka pandangan baru, bahwa tak akan ada prestasi jika hati mereka tidak berada pada apa yang mereka lakukan sekarang ini. Tidak akan ada prestasi jika latihan hanya dianggap sebagai rutinitas."
Nyaris saja aku mencerocos bahwa Edgar dulu juga masuk klub karena dipaksa ortunya, dan bahwa ia sempat membenci bulutangkis karena selalu dibanding-bandingkan dengan Edward.


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin setelah ini teman-teman kamu bakal lebih rajin dan serius berlatih, karena mereka kepingin jadi seperti Edgar, yang sudah pernah mereka temui secara langsung. Siapa tau, kan"" Pak Ivan tersenyum padaku, dan aku hanya bisa mengangguk enggan.
Semoga saja begitu, karena aku sampai sudah mengorbankan acara "kencan"-ku hari ini lho,
"Makasih ya," kataku setelah mobil Edgar berhenti di depan rumah. "Mau masuk"" tanyaku basa-basi,
"Boleh, kalau nggak ngerepotin."
Aku tercengang, Aku kan tadi cuma asal ngomong, Aku nggak benar-benar berniat mengajaknya masuk, Bukannya aku keberatan sih, tapi... nanti jika Mama, atau yang lebih gawat, Claudia, melihat Edgar tiba-tiba nongol di rumah ini, mereka pasti bakal heboh sendiri, Dan aku nanti pasti akan diinterogasi, Padahal aku masih capek dan males meladeni berondongan pertanyaan, setelah kejadian Edgar dirubungi cewek di klub bulutangkisku tadi,
"Mmm... ayuk," kataku akhirnya, nggak sanggup menjilat ludahku sendiri.
Edgar mengikutiku turun dari mobil dan masuk rumah, Yang pertama menyambut kami di ruang tamu, untunglah, bukan Mama ataupun Claudia, melainkan Lio,
"Kak Aya sudah pulang"" tanyanya polos. Tangannya menggenggam mobil-mobilan hot wheels berwarna biru, salah satu mainan favoritnya,
"Iya, Lio. Lio udah mandi belum""
"Udah dong," jawab Lio. Ia lalu beralih menatap Edgar. "Ini siapa""
Sebelum aku sempat menjawab, Lio sudah meneruskan celotehnya. "Pacar baru Kak Aya, ya""
Aku kontan melongo, Adikku sendiri, yang baru berumur lima tahun, sudah membuatku tengsin berat,
"Eh, bukan, Lio, bukan..." Aku nggak berani menatap Edgar untuk mencari tahu bagaimana air mukanya. "Ini temen Kak Aya, namanya Kak Edgar. Ayo, salaman. Gar, ini adik bungsu gue, namanya Lio."
Lio mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Edgar dengan senang hati, Edgar sampai rela berjongkok agar tingginya bisa sama dengan Lio, dan mengajaknya mengobrol, "Halo, Lio, salam kenal ya," kata Edgar sambil tersenyum.
"Halo juga." Lio menatap Edgar dalam-dalam, dan berkata, "Kakak ganteng. Lebih ganteng dari Kak Albert."
Alamakjang! Ini semakin memalukan! Mending tadi Edgar ketemu Mama atau Claudia deh, Paling nggak, Mama atau Claudia nggak bakal asal nyablak di depan Edgar begini, Edgar nyengir mendengar kata-kata Lio. "Makasih, tapi Kak Albert itu siapa"" Waduh!
"Pacarnya Kak Aya yang dulu. Jago basket lho," kata Lio berpromosi. "Kak Albert suka ngajak
aku main basket setiap dia main ke sini, Kakak bisa main basket juga nggak" Kalau nggak bisa, Kakak nggak boleh pacaran sama Kak Aya."
Tidaaaaaaaaaaak! "Hmm... Kakak nggak bisa main basket, tapi Kakak bisa ngajarin Lio main bulutangkis," kata Edgar tanpa kesan kagok sedikit pun setelah "diancam" anak berusia lima tahun.
"Ah, bulutangkis nggak seru." Lio mendengus. "Eh, siapa bilang" Besok ya, kita buktikan."
Lio terdiam sejenak. "Besok Kak Edgar mau ngajarin aku bulutangkis"" "Iya, kalau kamu mau."
Aku mencelos dalam hati. Wah, bakal makin drop nih Edgar kalau Lio bilang ia nggak mau main bulutangkis. Lio kan nggak suka bulutangkis. Berulang kali aku mencoba mengajaknya main, tapi ia selalu lebih suka main basket sama Albert.
"Boleh deh, besok ya!"
Aku melongo dengan sukses. Bahkan pesona feromon Edgar juga berlaku untuk anak cowok kecil seperti Lio" Dahsyat sekali!
"Besok kalian nggak ada acara kan, Fray"" t
anya Edgar padaku. "Nggak, nggak ada kok."
"Oke, kalau gitu gue jemput... jam tiga" Nanti mmm... main di club house kompleks perumahan gue aja nggak pa-pa ya" Soalnya gue nggak yakin bisa ngajarin Lio bulutangkis kalau kita mainnya di klub tempat lo latihan tadi lagi."
Aku menghela napas. "Ide bagus," kataku dengan rasa malu yang tak tertahankan.
Setelah ini, aku akan mencopot mukaku dan menaruhnya di bawah bantal. Aku benar-benar tak punya nyali untuk menunjukkannya di depan Edgar lagi setelah semua yang terjadi hari ini.
"Ayaaaaa, gue denger dari Lio, katanya tadi sore ada cowok namanya Edgar ke sini. Itu... Edgar Satria"" tanya Claudia dengan mata menyipit. Pulang-pulang, ia langsung menyerbu ke kamarku. Dasar ratu gosip rumah, kejadian apa pun yang terjadi di rumah pasti langsung sampai ke telinganya dengan kecepatan cahaya.
"He-eh," jawabku tanpa mengalihkan perhatian dari buku yang sedang kubaca.
"Serius loooooo" Demi apa Edgar ke sini"" tanya Claudia norak.
"Tadi siang gue berniat main bulutangkis sama dia, tapi nggakjadi, Terus, dia nganterin gue pulang, dan ketemu Lio. Udah, gitu aja."
"Bukan itu yang gue tanyaiiiin! Yang gue pengin tau, kenapa lo bisa dekat banget sama Edgar, sampai-sampai bisajalan bareng dia""
"Dekat apanya" Temen biasa aja kok. Kan dikenalin Shendy waktu di Istora dulu itu. Lo juga dikenalin, kan""
"Tapi, gue nggak sampai diajak main bulutangkis bareng dia tuh"" Claudia mengedip-ngedipkan mata. Aku tahu ia bermaksud menggodaku. "Aya, jujur deh, dia lagi pedekate sama lo, ya""
"Hmmm..." Aku malas menjawab, dan masih meneruskan membaca buku. Capek deh kalau
semua orang bertanya tentang hubunganku dengan Edgar. Waktu itu Adisty dan Sharleen, sekarang Claudia, besok pasti Mama.
"Nggak jawab berarti iya!" Claudia memutuskan seenak udelnya. "Cieee... yang bentar lagi jadian sama atlet bulutangkis nasional!"
"Eh, jangan bikin gosip deh," aku mulai terpancing kata-kata Claudia. "Edgar emang bilang dia menikmati saat-saat bersama gue, tapi itu nggak berarti dia bakal nembak lah."
"Dia menikmati saat-saat bersama lo" Cie cieee,,, Ya emang belum waktunya nembak, Dia harus pedekate dulu, tauuuu! Ah payah lo, Ya, kelamaan pacaran sama Albert sih, lo jadi lupa deh strategi orang pedekate."
Aku cemberut mendengar kata-kata Claudia. Cara dia mengucapkan "lo kelamaan pacaran sama Albert sih" membuat itu terdengar seolah-olah aku pacaran sama Albert selama seratus tahun.
"Yah, lo doain aja deh. Dan jangan bikin gosip yang aneh-aneh sebelum ada fakta yang terjadi ya!" ultimatumku.
"Beres, Bos! Tapi nanti kalau jadian, gue nagih pajaknya di Pasta Waraku, ya!"
Aku melemparinya dengan bantal, tapi Claudia sudah keburu ngabur dari kamarku.
"Kok tumben Lio mau diajak main bulutangkis"" tanya Mama penasaran, sambil memasukkan botol minum dan bekal untuk Lio ke dalam tas kecil.
"Nggak tau. Karena yang ngajak Edgar, kali," jawabku asal.
Mama mendongak. "Edgar siapa""
Ups. Keceplosan. tAdinya aku bilang sama Mama bahwa aku akan mengajak Lio main bulutangkis di club house kompleks perumahan salah satu temanku, karena dengar-dengar di
-ku itu Edgar. Bukannya apa-apa, tapi ya... aku malas aja kalau Mama jadi menanyaiku macam-macam.
"Edgar Satria," jawabku akhirnya, enggan.
"Temen di man..." Mama belum selesai meletupkan pertanyaannya, sewaktu matanya tiba-tiba membola karena menyadari nama yang baru saja kuucapkan. "Edgar Satria... pemain bulutangkis itu""
Tuh, kan... "Iya." "Dia... dia mau ngajak Lio main bulutangkis" Kok... kok bisa""
Mau nggak mau, aku terpaksa menceritakan kejadian kemarin, sewaktu Edgar mengantarku pulang dan ia ditantang oleh Lio. Setelah aku selesai cerita, Mama malah memekik girang.
"Itu kan berarti dia mau membuktikan ke Lio bahwa dia pantas jadi pacar kamu, Aya!"
Aku mendelik dan mengibaskan tanganku. "Ah, yang bener aja, Ma! Dia mau ngajak Lio main bulutangkis hari ini tuh cuma karena gengsi! Masa cowok umur dua puluh nggak berani meladeni tantangan anak kecil kayak Lio" Apa kata dunia""
Mama tertawa, setengah mendengus. "Yah, whatever ya, Aya, tapi Mama berani pasang taruhan, kamu nanti ba
kal jadian sama si Edgar-Edgar itu, Lagian, kalau cita-citamu jadi atlet bulutangkis nggak kesampaian, punya pacar atlet bulutangkis nggak terlalu buruk, kan""
Aku benar-benar terpana, Kenapa sih keluargaku nggak Lio, Claudia, ataupun Mama semuanya berubah jadi ajaib gini""
"Gini, Lio, gini caranya serve." Edgar memperagakan cara melakukan serve, dan Lio, menggunakan salah satu raket lamaku, menirukannya, Kening Lio berkerut dan mulutnya mengerucut, kelihatan serius sekali memperhatikan Edgar,
"Mereka kompak banget ya, Non," celetuk Sus Ita, yang duduk di sebelahku. Mama memang menyuruh Sus Ita ikut sore ini, karena, ini katanya, ia khawatir Lio bakal menganggu acara kencanku dan Edgar, atau aku bakal melupakan aku membawa adik bungsuku itu karena keasyikan pacaran, Buset,
"Terakhir kali saya ngelihat Lio sesenang itu waktu dia main basket sama Mas Albert, Sebelum... Non Aya dan Mas Albert putus."
Aku terdiam, Mataku masih tertuju pada Lio yang sekarang sedang melakukan serve pertamanya, Dia melakukannya dengan benar, dan kok yang dipukulnya melaju dengan mulus melawati net, Ia memandang Edgar dengan gembira, dan Edgar tersenyum puas padanya,
"Eh, maaf, Non Aya, bukannya saya mau ikut campur...," kata Sus Ita lagi. Rupanya ia salah mengartikan diamku,
"Nggak pa-pa kok, Sus, Aku juga senang ngelihat Lio sesenang ini."
Ya, aku memang senang, karena berbagai sebab,
Satu, Edgar itu cowok yang benar-benar menyenangkan, Ia atlet bulutangkis nasional, tapi sama sekali nggak sombong, Dua, ia bilang ia menikmati saat-saat bersamaku, Itu rayuan paling nggak gombal yang pernah kudengar dari seorang cowok, Ditambah lagi, aku bisa melihat ia mengatakan itu dengan tulus, Tiga, aku dengan heran menyadari bahwa Mama langsung setuju aku jalan bareng Edgar, meskipun Mama nggak pernah mengobrol atau ketemu dengannya, Dan bukankah dulu Mama sayang banget sama Albert, sampai-sampai aku takut memberitahunya waktu aku dan Albert putus, karena nggak mau dimarahi" Hebat banget, feromon Edgarjuga bekerja pada Mama, Dari jarak jauh, Empat, Edgar bisa cepat banget dekat sama Lio, padahal Lio jenis anak kecil yang jarang bisa dekat sama orang dewasa yang belum dikenalnya, Dulu, Albert adalah one in a million, Tapi lihat aja gimana kompaknya Lio dan Edgar sekarang,
Terakhir, aku masih, dan selalu, merasakan bang-bang-boom-feeling itu jika berdekatan dengan Edgar, dan aku menikmatinya,
"Gar, makasih ya." "Untuk""
"Udah mau nyenengin Lio." Aku meneguk airku banyak-banyak. Setelah mengajari Lio bulutangkis tadi, akhirnya aku dan Edgar bisa juga tanding bulutangkis, acara yang tertunda kemarin. Hasilnya, sudah jelas, aku kalah dari Edgar. Itu pun aku rasa dia nggak mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Yeah, apa yang kamu harapkan, Fraya" Bisa mengalahkan calon pemain ganda putra terbaik Indonesia"
"Ya ampun, Fray, gitu doang... Take it easy. Lagian, gue juga seneng bisa membagi ilmu gue. Gue jadi ingat, dulu gue juga seusia Lio waktu pertama kali belajar bulutangkis." "Oh ya""
"Iya." Well, usia sebaya Lio adalah usia saat aku dulu juga sangat tertarik untuk belajar dan jadi pemain bulutangkis. Kalau saja waktu itu aku benar-benar ngotot, mungkin aku sekarang bisa seperti Edgar.
Aduh, kenapa bayangan itu sekarang datang lagi ya" Padahal aku sudah bisa mulai melupakan rasa sedihku itu sejak... aku mengenal Edgar.
Hei, aku baru sadar jadi EDGAR yang membuatku bisa melupakan rasa sedih itu, ya"
"Oya, Lio bakat tuh main bulutangkisnya."
"Hah"" "Iya, dia cepet banget bisa serve, netting... padahal ini baru pertama kalinya dia belajar bulutangkis, kan""
"He-eh," aku mengangguk, terpana. Iya, ini pertama kalinya Lio belajar bulutangkis, Gar, dan kamulah yang membuatnya mau belajar....
The Most Precious Prize I've Ever Received
"KAK, aku mau jadi atlet bulutangkis!"
Aku terbelalak mendengar seruan polos Lio itu, tapi berusaha menyembunyikan rasa kagetku. "Oya" Kenapa""
"Biar bisa kayak Kak Edgar!"
Aku melongo. Sejak hari Minggu dulu itu, sudah beberapa kali Edgar main ke rumah saat weekend, dan mengajak Lio main bulutangkis (aku juga ikut, dan belakangan ini k
ami hanya main bertiga, tanpa ditemani Sus Ita). Segera saja, Lio bisa main bulutangkis, dan dia sekarang jadi superlengket sama Edgar.
"Tapi, Lio, jadi pemain bulutangkis itu nggak gampang. Harus latihan bertahun-tahun, nggak boleh gampang menyerah, waktu bermain jadi terbatas..." Aku bukannya mau mematahkan semangat adikku, justru aku girang banget mendengar celetukan polosnya tadi, tapi aku kan juga harus memberinya pengertian. Dia sedang terpesona pada Edgar, dia membayangkan akan bisa seperti Edgar, tanpa tahu proses seperti apa yang harus dilaluinya untuk bisa menjadi seperti itu.
"So what"' tanya Lio lucu, dan mau nggak mau aku jadi mencubiti pipinya.
Dulu, waktu Mama hamil Lio, aku sempat nggak percaya. Bayangin aja, waktu itu aku sudah tiga belas tahun, sudah SMP, dan punya adik lagi di usia segitu jelas bukan hal yang mudah diterima. Selain teman-temanku jadi tahu bahwa orangtuaku ternyata masih melakukan itu, aku juga saat itu sedang sering-seringnya ribut sama Claudia. Bagiku, punya satu adik saja cukup. Nggak usahlah ada satu lagi miniatur Claudia yang menyebalkan itu.
Tapi ketika Lio lahir, aku benar-benar menyayanginya. Pipinya yang tembam, mata belonya (yang sangat berlawanan dengan mata sipitku), rambut jigrak-jigraknya, kepolosannya, semuanya membuatku sangat menyayanginya. Dan, di luar dugaanku, nggak ada seorang pun teman yang mengejekku karena punya adik di usia tiga belas tahun. Mereka malah sering sengaja datang ke rumah untuk main sama Lio.
Dan sekarang, adikku itu bilang padaku bahwa ia ingin jadi atlet bulutangkis, karena ingin seperti cowok yang sedang dekat denganku" Wow.
"Kak, nanti kalau aku jadi atlet bulutangkis, aku bisa keliling dunia. Bisa ke Paris, Tokyo, Beijing... Nanti aku bisa belikan Mama magnet kulkas yang banyak, kayak Kak Edgar!"
Aku tertawa lagi. Mamaku mengoleksi magnet hiasan kulkas, dan belakangan ini Edgar selalu membelikannya oleh-oleh magnet kulkas setiap kali ia ke luar negeri untuk ikut turnamen, yang membuat Mama sangat kegirangan. Aku sempat takjub, karena Edgar ingat hobi Mama itu, padahal aku hanya menceritakannya sambil lalu saja di salah satu obrolan kami. Ia benar-benar cowok yang baik.
"Kak, kapan Kak Edgar pulang" Sabtu ini kita jadi nggak bisa main, ya""
"Iya, kan Kak Edgar masih di Hong Kong, Lio. Senin pagi baru dia pulang ke Indonesia."
Edgar saat ini mengikuti Hong Kong Super Series, Ia baru berangkat kemarin, dan karena turnamen itu baru berakhir hari Minggu, keesokan harinya baru dia bisa pulang,
Lio menghela napas kecewa, Lucu banget deh, gimana adikku itu sekarang sangat bersemangat main bulutangkis, apalagi kalau ada Edgar, Padahal dulu Lio cuma mau diajak main basket, itu pun sama Albert,
Tiba-tiba di kepalaku melintas ide bagus,
"Hari Sabtu main sama Kak Aya aja, ya" Di klub tempat Kak Aya latihan, Di sana ada juga lho kelas untuk anak seumur Lio, Lio mau daftar" Tapi nanti di sana latihannya harus serius... Kan katanya Lio pengin jadi atlet kayak Kak Edgar""
Mata Lio berbinar, dan ia mengangguk mantap, Seperti ada kembang api yang meledak di dadaku, Aku senang sekali, Adikku kepinginjadi atlet bulutangkis!
Dan, kalau aku beruntung, sebenta rlagi mungkin aku juga akan punya pacar atlet bulutangkis nasional, Hehehehe,
Aku masuk ke kamar Mama, dan mendapati Mama sedang rebahan sambil membaca majalan favoritnya,
"Ma, Lio mau les bulutangkis katanya."
"Hah" Beneran"" Mama langsung meletakkan majalahnya di atas ranjang.
"Iya, tadi dia yang bilang sama aku. Dia kepingin jadi kayak Edgar." Aku tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala,
"Wah, bagus itu. Ya udah, daftarin aja, Aya. Di klubmu baru-baru ini katanya buka kelas untuk anak kecil, kan""
"Iya. Tadi aku juga udah bilang ke Lio."
Anehnya, mendadak Mama terdiam. "Dia beneran mau" Maksud Mama, bukan karena kamu bujuk-bujuk, kan""
Aku mengernyit. "Aku bujuk-bujuk gimana""
Mama bangun dari ranjang dan menghampiriku. "Mama tahu, kamu masih belum bisa sepenuhnya menghapus keinginan dan cita-cita kamu untuk jadi atlet..."
"Memang. Kalau waktu bisa diputar, aku akan minta supaya itu terjadi." Sebersit peras
aan pahit karena mengingat cita-citaku adalah mustahil sekarang, yang smepat hilang sejak aku mengenal Edgar, mendadak muncul lagi, Hanya sekilas, tak terasa menusuk dalam seperti dulu, Tapi tetap saja, rasanya pahit,
"Tapi kamu bukannya... ingin Liojadi pengganti untuk meneruskan cita-citamu, kan" Mama tau kamu cinta sekali sama bulutangkis, tapi Lio juga punya pilihan sendiri, Aya, Bisa saja sekarang dia begini karena dia sedang terpesona sama Edgar, tapi nanti..."
Aku bengong. Kok Mama bisa berpikir gitu sih" Aku memang cinta mati sama bulutangkis, tapi aku nggak akan segitunya sampai memaksakan kehendak pada adikku sendiri!"
"Ma, aku sama sekali nggak membujuk, apalagi memaksa Lio, Kalau sekarang dia kepengin les bulutangkis karena lagi terpesona sama Edgar pun, aku juga nggak akan marah kalau nanti pesona itu hilang, atau Lio jadi bosan, dan kepingin berhenti les. Semua terserah dia. Aku cuma ingin dia... mendapat kesempatan. Aku nggak mau dia nantinya kayak aku, menyesali apa yang seharusnya bisa dia raih tapi melewatkannya gitu aja karena dia nggak diberi kesempatan."
Mama terdiam, lalu memelukku. "Maaf ya, Mama tadi jadi ngomong gitu. Mama pasti mendukung kok, semua yang kamu, Claudia, dan Lio lakukan, selama itu positif. Mama cuma nggak mau ada hal yang kalian lakukan karena terpaksa."
"Iya, Ma, aku ngerti kok. Mama pasti hanya ingin yang terbaik untuk kami semua." Aku balas memeluk Mama.
Edgar juara di Hong Kong Super Series! Dia langsung meneleponku begitu selesai bertanding, saat aku masih memekik kegirangan karena menonton livescore-nya di Internet. Aku senang banget! Mereka mengalahkan Zakry Abdul Latif/Fairuzizuan Tazari, sekaligus membalas kekalahan mereka di perempat final Indonesia Super Series tempo hari! Ternyata memang benar, semua ada saatnya. Edgar/Steven hanya berhasil sampai perempat final Indonesia Super Series, dan di beberapa turnamen setelah itu juga mereka nggak bisa berbuat banyak. Tapi di Hong Kong ini, seperti kesetanan, mereka membabat ganda-ganda hebat dunia yang berasal dari Inggris, China, dan Korea, lalu menjadi juara.
Hari ini, Edgar membuat suprirse dengan menjemputku di klub tempatku berlatih. Kali ini dia cukup pintar dengan nggak turun dari mobil dan membiarkan dirinya dirubungi cewek-cewek seklubku yang "ganas" itu. Aku baru tau dia menjemput sewaktu aku keluar dari gedung latihan sambil menggandeng Lio, berniat cari ojek, dan ia menghentikan mobilnya tepat di hadapanku.
"Butuh tumpangan pulang, Neng"" goda Edgar sambil menurunkan power window-nya. Lio langsung melepas genggamanku dan berlari mendekati mobil Edgar sambil memekik senang.
"Kak Edgar! Kak Edgar! Kakak sudah pulang""
"Halo, Lio! Wah, sekarang ikut les di sini ya"" tanya Edgar ketika turun dari mobil melihat tas
raket Lio. Aku emamng sudah menceritakannya lewat SMS waktu dia di Hong Kong kemarin. "Iya, Kak! Kan kepingin bisa kayak Kakak!"
"Kamu nanti bakal lebih hebat daripada Kakak," katanya sambil menepuk kepala Lio dengan sayang. "Tadi gimana latihannya""
"Asyik banget, Kak! Tadi semua diajarin serve dan nggak ada yang bisa. Cuma aku yang bisa!" cerita Lio penuh semangat,
"Wah, hebat! Tapi Lio nggak boleh sombong ya" Kalau ada temannya yang nggak bisa, harus Lio ajarin."
"Beres, Kak! Tadi juga aku ngajarin Reza sama Angelique kok."
Mereka berceloteh dengan riang, dan aku hanya bisa terpana melihatnya, Seperti pelatih dan muridnya, tapi juga seperti kakak dan adik... Padahal aku dulu juga sering melihat Albert dan Lio main atau ngobrol bersama, tapi nggak sekali pun kuingat mereka begitu dekat seperti Lio dan Edgar sekarang,
"Gue antar kalian pulang, ya"" tanya Edgar. "Mau ketemu Tante, gue bawain magnet kulkas, hehe..."
"Yah, nyokap gue mulu yang dibawain oleh-oleh... gue nggak dibawahi," aku pura-pura
ngambek, "Gue nggak bawa oleh-oleh buat lo, tapi nanti gue mau ngajak lo makan di luar, Nggak ada acara, kan""
"Wah, asyik! Dalam rangka apa" Lo... nggak ultah, kan"" Aku mencoba mengingat-ingat, tapi aku yakin betul ultah Edgar bulan April, sementara ini kan bulan November,
"Lho, lupa ya" Kan merayakan kemenan
gan Super Series pertama gue," kata Edgar sambil
tersenyum lebar, Aku menepuk dahiku, merasa bodoh sekali. "Ya ampun, iyaaa! Aduh sori, saking kagetnya lo jemput gue tiba-tiba gini sih,jadi blank deh!"
"Hehe segitunya... Ya udah, sekarang aku antar kamu sama Lio pulang ya. Terus aku tungguin kamu mandi dan dandan, terus kita pergi."
Edgar membantu Lio naik mobilnya, sementara aku terpana di tempatku berdiri, Dia... barusan menggunakan "kamu" dan "aku", aku nggak salah dengar kan"
"Aduuuh, Nak Edgar, makasih ya! Jadi ngerepotin... magnetnya bagus banget!" Mama
memandangi tiga magnet kulkas bertuliskan Hong Kong pemberian Edgar dengan wajah sumringah,
"Iya, Kak, makasih ya, kaosnya juga keren banget!" Claudia dengan senang melambai-lambaikan kaus bertuliskan "I V HK", yang baru saja didapatnya.
"Ak ujuga senang dapat permen sama cokelat buanyaaak!" Lio nggak mau kalah, memamerkan sekantong permen dan cokelat aneka rasa yang diberikan Edgar,
"Sus juga suka banget sama kausnya, Mas Edgar. Makasih ya." Sus Ita memandang-mandangi kaus bergambar gedung-gedung pencakar langit Hong Kong dalam genggamannya dengan terpesona, Mungkin ia sudah berangan-angan bakal memakainya mejeng di mal kapan-kapan,
Buset! Dalam sekejap Edgar sudah menjadi puja-puji seisi rumahku. Dia membelikan oleh-oleh untuk semua orang, bahkan untuk Papa (gantungan kunci mobil dari kulit yan gkeren banget), padahal Papa saat ini sedang ada urusan kerjaan di luar kota. Cuma aku yang nggak dapat oleh-oleh.
"Kak Aya dapat apa dari Kak Edgar" Nggak dapat apa-apa ya"" tanya Lio sambil menatapku
iba. Ya ampun, dia tahu aja. "Aduh, kasihan Kak Aya... Nih, aku bagi permen sama cokelatku aja ya" Mungkin Kak Edgar lupa beliin oleh-oleh buat Kakak. Tapi itu pasti nggak sengaja kok, jadi Kakak jangan marah ya sama Kak Edgar""
Mau nggak mau seisi ruangan ini tertawa geli. Lio memang lucu.
"Nggak kok, Lio, Kak Edgar nggak lupa, Kakak emang sengaja nggak beliin oleh-oleh buat Kak Aya. Tapi, malam ini Kakak mau ngajak Kak Aya pergi makan," jelas Edgar.
Lio menatap Edgar nggak mengerti, tapi aku bisa melihat Mama dan Claudia sikut-sikutan di balik punggung Edgar. Sus Itajuga mengikik geli.
"Tante, boleh kan saya ajak Fraya pergi makan habis ini"" Edgar berbalik dan bertanya pada Mama. Mama langsung berhenti sikut-sikutan dengan Claudia dan dalam sepersekian detik menampakkan sikap jaimnya.
"Oh, boleh! Boleh banget! Silakan."
"Aku ikut!" teriak Lio tiba-tiba, Claudia langsung menghampiri Lio dan membisikkan sesuatu yang mencurigakan ke kuping Lio.
Setelah itu, Lio langsung bilang, "Aku nggak jadi ikut deh. Kak Edgar pergi berdua sama Kak
Aya aja, Selamat bersenang-senang!" Aku menelan ludah.
"Eh, Fraya, cepetan mandi terus dandan sana, udah banjir keringat gitu... Jangan sampai Edgar kelamaan nunggu, kan kasihan," kata Mama sambil tersenyum dengan senyum semanis
gula satu ton. "Iya, Aya, masa lo tega sih ngebiarin Edgar nunggu kelamaan" Buruan mandi sono!" Claudia
ikut-ikutan. Astaga, aku curiga ada konspirasi di antara mereka.
Edgar mengajakku ke The Edge. Aku sempat tengsin saat memasukinya, karena kostumku malam ini kan hanya atasan baby doll, skinny jeans, dan sandal gladiator yang sudah butut. Benar-benar bukan kostum yang tepat untuk makan di sini.
Kami duduk dan memesan makanan. Edgar bercerita tentang Hong Kong Super Series yang baru saja dijuarainya. Tentang bagaimana groginya ia sebelum berlaga di babak final, karena, yah... jelas saja, ini kan final Super Series pertama yang berhasil dijejakinya. Kata Edgar, Steven
bahkan sempat mulas-mulas sebelum pertandingan mahapenting tersebut. Tapi untunglah mulas-mulas itu sepertinya hanya dampak dari rasa grogi yang dialami Steven, bukan karena dia salah makan atau benar-benar sakit.
Setelah makanan kami licin tandas, Edgar mengatakan sesuatu yang membuatku merasa tertular Steven, mulas-mulas.
"Fray, aku pengin kamu tau sesuatu."
"Ya"" tanyaku. Ya ampun, oh my God, astaga, apakah ini saatnya" Apa dia bakal nembak aku sekarang" Setelah berbulan-bulan dekat tapi masih tanpa status yang jelas" Dia sudah ber-aku-kamu sejak menj
emputku dan Lio di tempat latihan tadi!
"Kamu beda dengan cewek-cewek lainnya yang pernah aku kenal."
"Mmm... karena""
"Aku bilang begini bukannya mau pamer atau apa, tapi... selama ini banyak cewek yang
mendekati aku. Mereka pura-pura suka bulutangkis hanya karena, yah... kepingin dekat sama aku, dapat perhatian dari aku.... Tapi kamu nggak gitu. You love this whole badminton-stuff, just the way I do, No, you love it more than that, I guess"
Aku terdiam, berusaha lebih mendengarkan perkataan Edgar dibanding debar jantungku yang sedang heboh melonjak-lonjak.
"Dulu, aku pernah putus sama cewek karena dia nggak tahan sama program latihanku yang padat, dan karena sering aku tinggal ikut turnamen di luar negeri. Dia nggak bis amengerti bahwa inilah jalan yang sudah aku pilih, ini kontrak seumur hidupku... dan aku nggak bis amelepaskannya gitu aja."
Aku teringat perkataan Tante Wenny dulu. Menjadi atlet bulutangkis memang sama seperti menandatangani kontrak seumur hidup, menuntut komitmenmu untuk tetap setia dalam dunia ini.
"Tapi kamu, kamu nggak pernah lupa memberi aku semangat, Kamu bahkan lebih ingat jadwal turnamenku ketimbang aku sendiri. Kamu selalu yang pertama ngasih tau aku tentang update rank-ku di BWF, sebelum pelatihku sendiri. Kamu yang membuat aku sadar, aku sangat beruntung bisa mengharumkan nama bangsa, karena orang lain belum tentu bisa melakukan hal yang sama. Kamu berani mengkritik aku saat permainanku jelek dan penuh emosi... Aku kepingin jadi pemain bulutangkis yang hebat, Fraya. Aku mau orang mengingatku sebagai Edgar Satria, bukan adik Edward. Dan aku butuh orang yang bisa mendukung aku untuk melalui semua proses itu... orang itu kamu."
Okay, this is it. This is the time.
"Jadi..." Edgar mengambil sebuah kotak dari balik punggungnya.
Lho, jadi tadi dia membawa sesuatu ya, saat turun dari mobil" Aku nggak memperhatikan. "Aku bohong saat bilang aku nggak bawa oleh-oleh buat kamu. Ini," katanya sambil
mengulurkan kotak itu padaku.
Kotak itu berwarna biru, dengan ornamen silver menghiasi bagian pinggirnya. Ukurannya sekitar 20 x 20 senti, dan bobotnya cukup ringan.
Aku membuka kotak itu, merogoh dalamnya, dan menarik keluar... sebuah piring,
Crap! Siap sial siaaaaal! Kalau begini sih nggak mungkin Edgar bakal nembak! Mana ada cowok ngasih hadiah piring ke cewek yang akan ditembaknya"""
"Mmm... kamu megangnya terbalik," kata Edgar, mungkin dia melihat juga ekspresi shock-ku saat melihat hadiah darinya yang ternyata hanya berupa piring,
Aku baru sadar, aku mengeluarkan piring itu dari kotak dengan bagian belakangnya menghadap ke atas, Tapi toh apa bedanya, ini kan cuma piring,
Aku membalik piring itu, menatap bagian depannya, dan terkesiap,
Itu ternyata bukan piring, tapi semacam pigura yang bisa dipajang, Aku baru ingat bahwa benda seperti ini lazim dijual di Hong Kong sebagai suvenir, dan sangat laris, Fotoku dan Edgar, entah kapan, mungkin di salah satu acara jalan-jalan kami, tercetak di permukaan piring itu, dan di bawahnya tertulis:
I may just won my first Super Series,
But you are the most precious prize I've ever received
Aku tak bisa menahan senyumku yang mengembang lebar, Ini...
Aku menurunkan piring, eh... pigura foto itu dari wajahku, dan menatap Edgar,
Edgar meraih tanganku yang nggak memegang pigura foto itu, dan berkata, "Jadi, Fraya Aloysa Iskandar, mungkin kamu sudah nggak bisa lagi mewujudkan cita-citamu utuk jadi atlet bulutangkis, tapi... punya pacar atlet bulutangkis bukan ide yang buruk, kan""
Gosh, itu kan kalimat Mama!
Epilog 2012 "YA, saudara-saudara, kita saksikan saat ini, kedudukan 20- 19 untuk keunggulan pasangan Indonesia, Edgar Satria/Steven Hardono. Sangat menegangkan, karena inilah pertandingan perebutan medali emas Olimpiade London 2072. Pasangan Korea Jung Jae Sung/Lee Yong Dae tampaknya tak mau menyerah begitu saja. Kita semua berdoa untuk pasangan Indonesia, agar mereka dapat memenangkan set ketiga ini, sekaligus menjaga tradisi medali emas bulutangkis Indonesia di Olimpiade..."
"Waduuuuh, tegaaaaang!" Claudia mengusap-usap dada sambil menatap layar TV. Tante Wenny da
n Tante Sissy langsung memelototinya karena mengganggu konsentrasi mereka menonton pertandingan heboh ini.
Ya ampun, ini seperti enam belas tahun lalu, ketika aku dan kedua tanteku itu menonton perebutan medali emas Olimpiade di TV, dan aku jatuh cinta untuk pertama kalinya pada bulutangkis. Tapi kini, aku jatuh cinta pada orang di layar TV itu. Edgar Satria, pacarku empat tahun belakangan ini.
"Tumben Aya nggak heboh," celetuk Papa.
"Ssst... dia terlalu tegang, Pa! Kan pacar sendiri yang main!" balas Mama.
"Lee Yong Dae melancarkan smash, dan... sayang sekali dinyatakan masuki Pengamatan yang kurang akurat dari Edgar Satria, bola dilepas begitu saja namun ternyata jatuhnya masih di dalam garis lapangan... Kedudukan 20-20 di set ketiga ini. Kedua pasang pemain mengambil napas sejenak di pinggir lapangan"
Seisi ruang keluargaku, mulai dari Tante Wenny, Tante Sissy, Claudia, Lio, Papa, Mama, Adel, Alex, dan entah siapa lagi yang diundang Mama ke acara "nonton bareng" di rumah ini,
menunjukkan ekspresi kesal ketika pukulan Lee Yong Dae dinyatakan masuk. Semua jadi gelisah di tempat duduk masing-masing, seperti ayam mau bertelur. Aku, saking gelisahnya, malah jadi kaku.
Dua bulan sebelum ia dikirim mengikuti Olimpiade London, aku melihat sendiri bagaimana Edgar digembleng habis-habisan di Pelatnas. Latihan fisik, latihan teknik, sampai pemantapan mental seolah djejalkan padanya. Edgar/Steven adalah ganda putra terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Peringkat 1 BWF dan sudah pernah meraih semua gelar bergengsi seperti All England, Juara Dunia, dan juara Master Super Series. Hanya satu gelar yang belum mereka peroleh: peraih medali emas Olimpiade. Dan inilah saatnya.
Oh ya, melihat dan mendengar sesi latihan Edgar yang gila-gilaan menjelang Olimpiade ini, aku jadi menyadari sesuatu: aku nggak akan sanggup jika berada di posisi Edgar. Oke, mungkin secara fisik dan teknik aku bisa, tapi secara mental... aku nggak yakin. Menonton Edgar dari TV
begini saja aku sudah tegang setengah mati, bagaimana kalau harus bertanding di lapangan untuk turnamen nomor satu dan di poin kritis begini" Mungkin aku bakal ngompol,
Jadi, aku akhirnya benar-benar mengerti, meskipun cita-cita terbesarku semasa kecil tak bisa kuwujudkan, tapi Tuhan telah meletakkan Fraya Aloysa Iskandar di tempat yang paling tepat, Seperti kata Mama dan Edgar dulu, nggak bisa jadi atlet bulutangkis, punya pacar yang atlet toh ternyata nggak buruk-buruk amat, Hehehe,
" Terjadi reli yang sangat panjang. Pasangan Korea berulang kali menyerang, namun pertahanan pasangan Indonesia sangat kokoh. Sekarang giliran pasangan Indonesia yang menyerang. Smash pertama dari Edgar Satria... dan Steven Hardono... masih bisa dikembalikan oleh Lee Yong Dae... dan Steven Hardono melakukan smash lagi... MASUK!"
Semua orang di sekelilingku menghela napas lega, Kedudukan sekarang 21-20, Olympic Gold Medal Point untuk Edgar dan Steven, kalau saja mereka bisa menyelesaikannya...
"Poin penentuan, Pemirsa. Edgar Satria yang melakukan serve. Olympic Gold Medal Point, akankah Edgar sanggup menyelesaikan misi yang gagal diemban kakaknya, Edward Satria, dua belas tahun yang lalu""
God, help him, please... "Serve sudah dilepas, kembali diangkat dengan baik oleh Jung Jae Sung. Chop oleh Steven, diangkat lagi oleh Jae Sung. Dropshot dilakukan Steven... ke wilayah yang sulit terjangkau Lee Yong Dae, tapi oh... masih bisa dikembalikan... tetapi tanggung, Edgar Satria bersiap melakukan smash, akankah ini..."
Semuanya terjadi begitu cepat di depan mataku, Smash Edgar melaju dengan cepat, dan membelah tepat di tengah dua pemain Korea itu, Detik berikutnya yang kurasakan adalah ruang keluargaku meledak dalam sorak-sorai dan teriakan,
"HOREEEEEEE! KITA DAPAT EMAS! KITA DAPAT EMAS!!!"
Tante Sissy dan Tante Wenny melompat-lompat sambil berpegangan tangan di hadapanku, Mama dan Papa berpelukan, Lio berlari-lari keliling ruangan sambil berteriak, Adel dan Alex memekik dan menjerit, Aku tak bisa melihat anggota keluargaku yang lain melakukan selebrasi macam apa lagi,
"Pemirsa, Edgar Satria dan Steven Hardono berh
asil mempertahankan tradisi emas bulutangkis Indonesia! Emas ketujuh Indonesia dari Olimpiade setelah Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Candra Wijaya/Tony Gunawan, Taufik Hidayat, Markis Kido/Hendra Setiawan, dan kini pasangan ganda putra ini... "
Suara komentator di TV seolah tercekat, tapi aku nggak menyalahkannya, Aku sendiri masih terpaku di sofa tempatku duduk, nggak sanggup berkata-kata mesti di sekelilingku ada pesta,
"Aya, elo kenapa diam aja" Kita dapat emas, Aya! Pacar lo dapat emas!!!" Claudia menarikku berdiri, dan mengajakku melompat-lompat bersama, Awalnya terasa canggung sekali, namun kemudian keteganganku seolah mencair, karena aku melihat di layar TV pun Edgar dan Steven, bersama Edward, pelatih mereka, berpelukan sambil berguling-guling penuh sukacita di lapangan, Nyaris nggak ada jaimj-aimnya, Dan ketika mereka berhasil berdiri lagi, kulihat muka Edgar sudah memerah tak keruan, tapi jelas sekali ia bahagia,
"Terima kasih atas dukungan Anda semua, pecinta bulutangkis di mana pun berada, Kehormatan kita di bulutangkis Olimpiade tetap terjaga. Terima kasih, Edgar Satria dan Steven Hardono. Kita akan jeda untuk pariwara, dan kembali untuk menyaksikan penyerahan medali, dan tentu saja, mendengarkan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, Jangan ke mana-mana."
Layar TV sudah menayangkan iklan, tapi keluargaku masih melompat, berpelukan, menjerit, menari, dan entah melakukan apa lagi di sekitarku. Aku sendiri masih melompat-lompat dengan Claudia.
"Aya, selamat ya! Tante senang banget Edgar bisa dapat medali emas!" Tante Wenny tiba-tiba menyalamiku. Dan seperti air bah, mendadak yang lain juga ingat aku ini pacar Edgar, dan langsung memberi selamat padaku.
Setelah pelukan dan pekikan yang bertubi-tubi sampai tanganku seperti mati rasa, aku mendengar Lio datang sambil membawa HP-ku.
"Kak, HP-nya bunyi nih. Ada SMS!"
Aku cepat-cepat meraih HP-ku, dan melihat foto Edgar terpampang di sana. SMS dari Edgar! Cepat-cepat aku memencet tombol OK, dan layar HP-ku menampilkan pesan:
I may just won the Olympic Gold Medal,
But you are, still, the most precious Medal in my life.
Aku tak bisa menahan senyumku.
Sama, Gar. You are the most precious medal in my life too. Setelah bulutangkis, tentunya.
TAMAT tamat Pengusung Jenazah 3 Petualangan Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Pedang Ular Merah 9
^