Pencarian

Badminton Freak 2

Badminton Freak Karya Stephanie Zen Bagian 2


Mama masih melongo menatapku, dan aku ketar-ketir juga menunggu reaksinya, Apa Mama bakal membelaku ya" Atau justru makin memojokkan aku"
"Aduuuh, Fraya, kok kamu sampai ngebohongin Albert gitu sih""
Waduh, aku baru tahu ternyata yang anak Mama itu Albert, bukan aku! Dan Mama memanggilku "Fraya", bukan "Aya" seperti biasanya! Mama kan memanggilku "Fraya" cuma kalau dia sedang marah atau kesal,
"Ya habis gimana dong, Ma" Aku nggak punya pilihan..."
"Tapi kasihan kan Albert... Dia pasti kepingin kamu support dia saat dia tanding, eh kamu malah ngeluyur ke Istora."
Aku menggaruk kepalaku yang nggak gatal. "Ya kalau Albert tandingnya nggak bersamaan
sama semifinal Uber Cup, aku pasti ikut nonton dan support dia, Ma, Tapi ini kan lain... Thomas-Uber Cup itu turnamen internasional, cuma ada dua tahun sekali, dan belum tentu juga bakal diadakan di Jakarta lagi. Aku nggak bisa melewatkannya gitu aja..." "Tapi... ya ampun, Fraya, Albert itu kan pacar kamu..."
Wah, kayaknya beneran salah nih curhat sama Mama!
"Ih sebel! Tahu gini, aku nggak cerita deh sama Mama." Aku beranjak dari kebun dengan
cemberut, masih nggak habis pikir kenapa Mama justru lebih membela Albert daripada aku,
sudah stand by di depan TV
dengan muka ditekuk, Aku bisa mendengar riuh-rendah suara orang di belakangnya, Dia pasti sudah di Istora,
"Di rumah. Albert ada di sini, dia bener-bener ngawasin gue supaya nggak kabur!" "Eh" Dia di sebelah lo""
"Nggak, dia di ruang makan, Bonyok gue malah ngasih dia makan enak, Sial banget nggak sih" Padahal gue berharap dia diusir begitu datang ke sini tadi..."
"Aduh, Fraya... sori ya" Gue jadi ngerasa nggak enak banget sama lo. Tadi pagi gue sama
sekali nggak nyadar ada Albert di kelas, Gue juga nggak ngeliat dia masuk kelas gue, Mungkin dia udah datang sebelum gue, kali ya" Atau dia masuk waktu gue lagi sibuk belajar fisika, jadi nggak merhatiin" Kalau aja gue tahu dia ada di kelas, gue pasti bakal bilang ke lo,,, supaya kita ngobrol-ngobrolnya di tempat lain aja. Lo jadi ketahuan deh..."
Nada suara Sharleen terdengar seperti dia benar-benar merasa bersalah, padahal itu sama sekali bukan salahnya,
"Nggak pa-pa, Shar, Lagian bukan salah lo kok, Gue juga nggak ngeliat dia tadi pagi, Yah, mungkin emang udah nasib gue ya, ketahuan bohong, Gue juga minta maaf nih, lo jadinya hari ini nonton sendirian..."
"Oh, nggak kok. Ini gue ketemu Pak Richard sama anak-istrinya, jadi gue nonton bareng mereka. Lo tenang aja."
"Oya" Asyik dong. Ya udah, lo met nonton aja ya. Gue juga nonton kok, dari TV doang tapiny
a. Pasti bakal nggak seru banget, nonton bareng Albert dan Claudia di sini," ujarku pahit.
Aku cemberut lagi, Rasanya kali ini aku kepingin jadi Hiro Nakamura di serial Heroes, biar aku bisa men-teleport diriku ke Istora Senayan, Kalaupun ketahuan Albert, toh aku sudah keburu berada di tempat lain, dia nggak mungkin bisa mengejarku, Yeah, back to your real life, Fraya,
"Oke. Ntar gue ceritain deh kalau ada kejadian seru di sini. Semoga Indonesia menang ya!" "Iya, semoga Indonesia menang." Aku tersenyum kecil. Aku memutuskan sambungan telepon
dengan Sharleen, dan ternyata di HP-ku ada SMS masuk,
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Lo dmana" Kok nggak keliatan batang idungnya" Dtg ke istora kan"
Aku mengembuskan napas kesal, I wish,
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Nggak. Gw dihukum sm cwo gw, nggk blh ke istora lg selama TUC. From: Shendy-wartawan Shuttlers
Yg bnr" wah, ikut sedih dgrnya. Emg knp lo dihukum"
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Soalnya kmrn gw ngebohongin dia biar bs ke istora, trs td ketahuan. Nasib :)
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Astaga. Yasud, mg2 keadaan lo gak terlalu parah ya. C ya next time.
Huhuhuhu,,, aku jadi makin kepingin ada di Istora sekarang...
Albert benar-benar bawa sial hari ini!
Bukan hanya karena aku jadi ngak bisa nonton live di Istora, dan tiket semifinal yang sudah kubeli jadi sia-sia, tapi juga karena tim Thomas Indonesia kalah dari Korea! Kalahnya 0-3 pula! Aku benar-benar kesal sampai langsung masuk kamar begitu pertandingan selesai, Biar aja Albert masih di luar sama keluargaku, toh dia sudah tahu pintu keluar rumah ini ada di mana, Dia bisa pulang sendiri!
Ihh... aku sebel banget sampai kepingin nangis rasanya, Kok bisa sih tim Thomas Indonesia kalah dari Korea" Mana skornya telak banget, Aku masih nggak bisa percaya Indonesia bisa habis dengan skor begitu, Padahal tim Thomas menargetkan juara,
Partai pertama waktu Sony Dwi Kuncoro melawan Park Sung Hwan, aku cukup optimis, World rank Sony kan di atas Park, Sony memang kalah duluan di set pertama, tapi dia berhasil memaksakan rubber set, Sayang, di set ketiga dia kalah lagi, Korea unggul duluan 1-0,
Partai kedua, Markis Kido/Hendra Setiawan, ganda putra nomor satu Indonesia dan dunia, melawan Jung Jae Sung/Lee Yong Dae, Aku santai-santai aja, yakin Indonesia bakal bisa menyamakan kedudukan, Eh, ternyata Lee Yong Dae bermain kayak orang kesetanan, Jumping smash mulu, habis dicekokin ginseng kai ama pelatihnya! Indonesia kecolongan lagi, 2-0,
Partai ketiga, Taufik Hidayat melawan Lee Hyun Il, Aku makin ketar-ketir, Bukan apa-apa sih, tapi belakangan ini grafik permainan Taufik memang lagi jelek-jeleknya, Dia seolah kehilangan kelasnya sebagai peraih emas Olimpiade Athena tahun 2004 silam, Cara bermainnya gampang ditebak, dan smash-smash-nya nggak setajam dulu lagi, Lee pun menang mudah dua set langsung, Korea 3, Indonesia 0, Tamat sudah,
Sebelum Claudia mengucapkan "Yah, kalah deh...", aku sudah ngibrit dari ruang keluarga. Mama sempat menatapku dengan pandangan nggak setuju, tapi aku sebodo amat, Daripada aku tetap di ruang keluarga dan jadi meledak membabi buta saking kesalnya, kan lebih baik aku ngamuk sendirian di kamar,
Huuhh,,, kesal kesal kesaaaalll!
Reality Bites PAGI ini aku sengaja bangun setengah jam lebih awal dari biasanya, dan buru-buru cabut ke sekolah, Alasanku cuma satu: kabur sebelum Albert menjemputku ke rumah, Hih, tak usah ya! Aku masih amat sangat jengkel gara-gara semua kejadian kemarin, dan aku nggak bisa membayangkan skenario apa yang bakal terjadi kalau aku dan Albert berada dalam satu mobil dalam kurun waktu setengah jam, dengan kondisi emosiku yang sekarang, Jangan-jangan nanti aku kebablasan melakukan tindak kekerasan padanya,
Oke, aku tahu aku memang kedengaran norak banget, tapi kalau kamu jadi aku, kamu pasti bisa ngerti deh, Memang sih, albert nggak punya andil langsung dalam kekalahan tim Thomas Indonesia (salah satu hal yang memperparah kekesalanku padanya), tapi kan tetap aja... dia membuatku nggak bisa nonton pertandingan itu secara live! Dan entah aku harus bersyukur atau malah mengomel karena hari
Minggu nanti aku nggak begitu menyesal bakal melewatkan partai final Thomas Cup, Yah, secara Indonesia juga nggak akan main di sana gitu,
Tapi hari ini, hari ini! Hari ini tim Uber Indonesia bakal bertanding di final melawan China, Dan kalau nanti aku masih dilarang ke Istora, aku ngak tahu deh harus gimana lagi, Mungkin aku perlu mengadukan Albert ke Komnas HAM, Dia kan sudah melanggar hak asasiku untuk melakukan hal yang kusukai,
Jadi pagi ini aku lebih memilih berangkot ria dengan puluhan anak SMa lainnya, daripada naik mobil nyaman bersama pacarku yang menyebalkan, Rencana berjalan lancar, aku sudah cabut dari rumah sebelum Albert muncul, Claudia sempat melirikku penuh tanda tanya waktu aku berangkat sekolah dengan pamitan yang hanya berupa gumaman pada Papa dan Mama, tapi kayaknya dia menelan kembali semua kata-katanya waktu melihat wajah judesku, Anak pintar, dia tahu kapan waktunya untuk diam,
"Hei, pagi amat datangnya"" kata Adisty sesaat setelah aku melemparkan tasku ke atas meja. Dia juga baru datang,
"Iya," jawabku singkat. Aku masih malas bicara dengan siapa pun sekarang ini.
Adisty celingak-celinguk. "Lho, Albert mana""
"Tahu deh," gerutuku. Ngapain sih Adisty nyebut-nyebut nama anak tengil itu" "Yee... kok jadi sewot gitu" Lagi berantem, ya"" Adisty cengar-cengir menggodaku,
"Iya." "Kenapa"" "Aduh, nanti aja ya, Dis, gue ceritanya. Gue masih bete banget nih sekarang..."
Adisty mengangguk dan tersenyum maklum, Dia memang teman yang paling pengertian,
Sayang, masa-masa tenangku nggak berlangsung lama, Albert datang sepuluh menit kemudian, dan dengan seenaknya dia langsung duduk di bangku Adisty, Mentang-mentang yang punya lagi ke kantin, main duduk aja dia,
"Aya, kok kamu nggak bilang-bilang kalau mau berangkat sendiri pagi ini""
Aku melengos dan buang muka, ogah melihatnya. "Suka-suka aku dong."
"Iya, tapi kan kalau kamu mau berangkat sendiri, kamu kabarin aku dong, Jadi aku nggak perlu jemput kamu."
"Salah sendiri main jemput, kan aku nggak minta." Aku makin sewot.
Albert menghela napas, aku bisa mendengarnya dengan jelas,
"Oke, kamu pasti masih marah ya, gara-gara kemarin""
"Udah tahu nanya."
"Tapi kan bukan salahku Taufik Hidayat kalah," Albert memprotes.
Ih dasar! Pakai bawa-bawa Taufik Hidayat segala, Mana Albert agak nggak nyambung, lagi! Harusnya dia bilang, "Tapi kan bukan salahku tim Thomas Indonesia kalah", bukannya, "Tapi kan bukan salahku Taufik Hidayat kalah". Ini kan kejuaraan beregu, bukannya perseorangan, dasar dodol,
"Udahlah, aku males ngebahasnya."
"Aku masih nggak ngerti kenapa kamu harus marah sama aku." Sekarang Albert jadi terdengar jengkel,
"Oya" Aneh juga ya, bukannya udah jelas"" "Aya, udahlah, kamu jangan childish gini..."
" Childish gimana"!" Telingaku jadi panas mendengar omongan Albert. "Ya... kayak gini. Ngambek cuma karena masalah sepele."
"Sepele"""" Aku sekarang sudah berdiri dari kursiku, saking kesalnya. "Sepele gimana" Kamu
itu yang childish, tahu nggak" Menghukum aku dengan melarang aku ngelakuin hal yang paling aku suka! That's as bad as you tortured me!"
"Hah" Kan kamu sendiri yang bilang kamu pantas dapat hukuman."
Aku membuka mulutku, nyaris meneriakkan bahwa aku bilang begitu waktu itu karena mengira hukumannya bakal berupa pemutusan hubungan antara aku dan Albert, tapi kata-kataku tertelan lagi, Nggak tahu kenapa, Mungkin dalam hatiku, aku merasa sayang juga kalau harus mengakhiri hubunganku sama Albert yang sudah dua tahun ini, Atau aku nggak mau benar-benar dianggap childish, seperti yang dibilang Albert tadi, Entahlah,
"Udahlah, Al. Aku tahu aku emang salah udah bohongin kamu, tapi sebagai cowokku, aku minta kamu ngertiin apa yang bener-bener aku suka, Aku juga nggak pernah ngelarang kamu main basket, kan" Aku selalu bisa ngerti, bahkan kalau kamu nggak bisa jemput aku karena ada latihan basket, Kenapa sekarang kamu minta aku nonton kamu tanding, saat kamu tahu ada turnamen bulutangkis yang bener-bener kepingin aku tonton""
Albert melongo, Mungkin dia heran juga aku bisa ngoceh sepanjang itu, Aku tipe orang yang identik dengan kalimat-kalimat pendek, Ngomong
seperlunya saja, apalagi kalau lagi marah, Tapi tadi aku sudah mengomel panjang kali lebar kali tinggi, pasti kedengarannya aneh banget,
Waktu akhirnya bersuara lagi, Albert malah bilang, "Tapi kan aku nggak pernah bohongin kamu demi main basket."
Fiuh... udah deh, kalau udah begini, diskusinya nggak bakal selesai, Mau aku ngomong kayak apa pun ke dia, ujung-ujungnya dia bakal menyalahkan aku juga,
"Udahlah. Percuma juga aku ngomong sama kamu."
Aku melongo, nggak mau menatap Albert, Thank God, dia nggak mengoceh lagi,
Aku dan Albert pertama ketemu saat MOS SMA kami, SMA Pembangunan, Di hari pertama, waktu upacara sebelum MOS, aku menangkap basah dia ngeliatin aku, Lucu banget sih waktu itu, Dia langsung salting begitu kulihatin balik,
Albert ganteng, jadi banyak cewek yang naksir dia, Dan seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, aku juga nggak bisa dibilang jelek, Banyak juga cowok, termasuk kakak-kakak senior pembimbing MOS, yang naksir aku, Sayangnya, hal itu kayaknya membuatku jadi terlihat genit di depan para senior cewek, Yang bener aja, aku toh nggak pernah flirting sama mereka (para senior cowok maksudku, bukan senior cewek), Aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba banyak senior cowok yang suka nyamperin aku di kelas saat jam istirahat,
Aku masih ingat banget kejadiannya, dulu ada senior bernama Frederick yang naksir aku, Waktu itu Frederick termasuk deretan senior yang populer, dan semua cewek yang naksir dia tiba-tiba aja jadi memusuhi aku, Termasuk Mischa, cewek senior judes yang sudah lama naksir Frederic, tapi kayaknya nggak pernah dianggap,
Mischa dan gengnya mencegat aku satu siang sepulang sekolah, dan dia langsung mengatai aku seenak udelnya, Aku sudah hampir mendamprat balik, waktu Albert tiba-tiba aja muncul, dan mengatai Mischa dengan kata-kata yang tajam tapi sangat berkelas, Aku lupa apa tepatnya kata-katanya waktu itu, pokoknya Mischa sampai speechless di hadapan Albert, Aku sendiri bingung, apa kata-kata Albert itu spontan keluar dari mulutnya, atau dia sudah mengarangnya sejak dia naksir aku, dan tahu aku dalam target sasaran Mischa, Entahlah,
Yang jelas, setelah itu Mischa dan senior mana pun nggak pernah lagi berani menggangguku, Mungkin Mischa sudah menebar gosip ke anak-anak seangkatannya bahwa aku punya bodyguard yang galak, kali ya" Dan setelah itu aku dan Albert jadi dekat, sampai akhirnya kami jadian, Aku sayang banget sama Albert, biarpun setelah beberapa bulan kami jadian aku baru tahu dia ternyata nggak begitu suka sama fanatismeku akan bulutangkis,
Sebelumnya, waktu SMP, aku pernah jadian sama cowok yang ikut ekskul bulutangkis bareng aku, namanya Philip, Orangnya baik banget, dan tentu saja kami amat sangat nyambung ngomongin bulutangkis, Aku dan Philip juga sering main bulutangkis bareng, dan dua tahun
berturut-turut selalu barengan nonton Indonesia Super Series di Istora, Kami pacaran dua tahun, tapi selepas SMP Philip dikirim ortunya masuk senior high di Australia, Kami putus baik-baik waktu itu, dan berjanji akan tetap in touch lewat SMS dan chatting, at least untuk ngomongin bulutangkis, karena di Australia sana kan bulutangkis nggak populer,jadi Philip pasti nggak akan punya teman diskusi bulutangkis di sana,
Sayangnya, aku sibuk dengan kegiatanku sendiri, dan mungkin Philip udah ketemu cewek bule cantik di Aussie, Jadi setelah satu bulan SMS-an, chatting, dan kirim e-mail, kami mulai menjauh satu sama lain, Dan aku jadian sama Albert,
Di awal jadian sama Albert, aku merasa menemukan pengganti Philip, soalnya dia kelihatan cukup antusias kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis, Tapi karena dia nggak ngerti banyak, banyakan aku yang mengoceh tentang bulutangkis di depan dia, Aku sih senang-senang aja, mengoceh tentang hal yangjadi obsesiku, sampai mulut berbusa pun nggak masalah, Tapi seperti yang kubilang tadi, setelah beberapa bulan mungkin Albert jadi enek, dan dia mulai suka mengalihkan pembicaraan kalau kuajak ngobrol soal bulutangkis, Itu sih nggak apa-apa, Tapi sebalnya, dia mulai menjelek-jelekkan bulutangkis juga, dan selalu membanding-bandingkannya dengan basket dan
cheers, Aku sempat bingung waktu itu, karena awalnya kan aku membayangkan Albert bakal seperti Philip, yang bisa jadi teman diskusi bulutangkis yang asyik, Tapi akhirnya aku sadar, Albert bukan Philip, dan mungkin dulu dia antusias mendengar semua ocehanku tentang bulutangkis karena waktu itu kami masih masa pedekate dan baru jadian, jadi semuanya masih dibutakan cinta, Hm... kedengarannya jadi kayak lagu dangdut, tapi emang kenyataannya gitu sih,
Akhirnya aku mengambil jalan tengah, Aku nggak lagi ngomongin bulutangkis sama Albert, kecuali dia yang mengungkit duluan (seringnya sih dalam konteks meremehkan dan membanding-bandingkan), Cuma, nggak tahu kenapa, aku tetap bisa tahan kalau Albert ngoceh segala macam tentang basket di depanku, Aku juga senang-senang aja kalau dia minta aku menungguinya latihan basket, atau nonton dia tanding, Tapi kalau momennya bersamaan dengan Thomas-Uber Cup seperti kemarin,,, harusnya dia tahu dong, mana yang bakal aku
pilih" Aku benar-benar nggak habis pikir, Setelah kujutekin habis-habisan kemarin, Albert tetap nekat datang ke rumahku sore ini! Padahal aku udah ngarep dia kapok, sehingga aku bisa ngibrit ke Istora nonton final Uber Cup, Tapi ternyata mimpiku buyar!
Biarpun kucuekin sepanjang perjalanan pulang, Albert santai aja, Sampai di rumahku, dia main sama Lio, karena aku langsung ngumpet di kamar, ogah dekat-dekat Albert kalau nggak terpaksa, Masih sebal! Untungnya, biarpun Mama sayang banget sama Albert, cowok itu tetap nggak dikasih izin masuk ke kamarku, Atau mungkin Albert masih tahu sopan santun, nggak tahu lagi deh,
Yang jelas, aku baru keluar kamar jam enam sore, saat Uber Cup ditayangkan di TV, Albert nggak duduk di sebelahku seperti kemarin, dia duduk di sofa pojok sambil memangku Lio,
Hmm... mungkin itu juga salah satu alasan kenapa aku masih pacaran sama Albert sampai saat ini, Selain ortuku, Lio juga sayang banget sama Albert, Lio selalu nanyain kalau dia sudah lama nggak melihat Albert (yang seringnya karena saat Albert mengantarku pulang sekolah, Lio lagi bobo siang), dan setiap kali Albert datang Lio selalu jadi riang gembira, seolah Albert itu Sinterklas, Pokoknya, mereka kompak banget lah, Entah pakai pelet apa si Albert,
"Udah mulai nih"" Claudia nongol di ruang keluarga, dan duduk di sebelahku. "Final, ya""
"He-eh." "Kok lo nggak nonton ke Istora""
Yeah, bagus sekali Claudia! Tengoklah ke sebelah kananmu, di sana tersedia jawaban kenapa aku harus menghabiskan sore laknat ini di depan TV, sementara seharusnya aku bisa ada di tempat pertandingan bulutangkis dengan atmosfer terdahsyat di dunia! Aku nggak mengada-ada, Para pebulutangkis dunia memang menganggap Istora Senayan "angker", karena histeria (apalagi kalau bukan teriakan I N-DO-N E-SIA!, seruan "yak!" jika pemain Indonesia yang memukul bola, sementara pemain lawan selalu disorakin "huu", juga kor "Habisin! Habisin!" jika pemain Indonesia sudah mendekati angka 21) dan fanatisme penonton yang hadir di sana setiap diadakan turnamen bulutangkis,
Claudia kayaknya menyadari perubahan ekspresiku, plus mataku yang melotot garang pada Albert di sofa pojok, Dia mengerling pada Albert, dan terlihat sedikit syok,
"Jadi... dia sengaja datang ke sini supaya lo nggak bisa ke Istora"" bisik Claudia dengan gaya gossip queen, Claudia tahu Albert nggak begitu suka pada fanatismeku akan bulutangkis, tapi dia belum tahu sekarang ini aku sedang dihukum, Albert kayaknya nggak bisa mendengar pertanyaan Claudia, selain kaerna bisikannya yang masuk level gelombang infrasonik, Albert juga tengah asyik mendengar celoteh Lio yang berisik itu,
"Yeah. Gue lagi dihukum, tepatnya," jawabku dengan suara mendesis.
Claudia melongo, dan langsung menoleh menatap Albert dengan gaya dramatis, sebelum akhirnya menatapku lagi,
"Astaga. Lo ngapain emang, sampai dihukum segala""
"Dua hari lalu gue bohongin dia. Gue bilang nggak mau datang ke pertandingan basketnya
karena gue mendadak sakit, Padahal gue ngarang alasan gitu supaya bisa ngabur ke Istora, Jadi dia nggak ngebolehin gue ke Istora lagi selama Thomas-Uber Cup ini, Dan untuk memastikan gue n
ggak kabur, dia datang ke sini buat ngawasin gue." "'Oh-my-God" Claudia mangap-mangap tak percaya,
"Udah ah, nggak usah lebay gitu," aku jadi kesal melihat gaya hiperbolisnya. "Sstt diem, diem, udah mau mulai!"
Aku membetulkan letak posisi dudukku dengan bersemangat, demi melihat logo Thomas-Uber Cup yang nongol di TV, Tentu aja bakal hambar nonton cuma dari TV, tapi kalau cuma
ini yang bisa kudapat sekarang, at least aku harus berusaha menikmatinya, kan" Untung aja Albert nggak sampai melarangku nonton dari TV juga, Awas aja kalau iya!
Presenter muncul di TV, bersama komentator pertandingan, Mereka membahas fenomena tim Uber Indonesia yang berhasil menembus final, dan bagaimana riuhnya Istora sore ini, Gegap-gempita, penuh sorak-sorai, berharap Indonesia mampu membuat kejutan lagi dengan menaklukkan China, Aku memandang gambar penonton-penonton Istora yang sedang disorot dengan mupeng, Oh, how I wish I was there!
Setelah dua kali jeda iklan yang membuatku makin dag-dig-dug nggak keruan, akhirnya perwakilan kedua negara berjalan memasuki lapangan, Sebelum partai pertama, ada semacam sesi perkenalan, Setiap pemain yang mewakili negaranya akan dipanggil namanya untuk kemudian maju satu langkah dan melambai pada penonton,
Aku melotot ketika melihat sesuatu yang untk pada kontingen tim Uber Indonesia, Greysia Polii, pemain ganda bertubuh mungil tapi punya power yang luar biasa itu, muncul dengan menggunakan topi model tanduk, bak helm yang biasa dipakai bangsa Viking zaman dulu, tapi topinya berwarna merah-putih, Nggak cuma itu, dia juga memakai bendera merah-putih sebagai jubah, Bendera itu berkibar-kibar di punggungnya sepertijubah Superman saat dia berjalan,
Wow! Lucu banget! Aku jadi teringat aksi atraktif Greysia saat di semifinal melawan Jerman dua hari lalu, Bagaimana dia bisa begitu ekspresif menunjukkan kegembiraannya, dan sekaligus memancing rasa nasionalisme setiap penonton yang hadir, Sekarang pun dia melakukan hal yang sama, dan penonton bersorak gembira saat melihat motivator mereka lagi,
Beberapa pemain China melongo tak percaya saat melihat penampilan Greysia, tapi itu tak
kubu China, mereka semua berwajah tegang sebelum memasuki lapangan, Walaupun kekuatan China jelas masih selevel di atas Indonesia, pasti mereka tak berharap bertemu tim tuan rumah di
h kecemasan bahwa tim Uber Indonesia akan mampu mencuri kembali trofi yang sejak 1996 lepas ke negeri Tirai Bambu itu,
Tepuk tangan bergema sangat riuh ketika Greysia dipanggil namanya dan maju selangkah, Ia melambaikan tangan dengan senyum mengembang lebar, membuat Lio, yang belum mengerti bulutangkis sekalipun, jadi menatap layar TV dengan ketertarikan yang tak pernah kulihat sebelumnya, Seolah ada magnet dalam sosok Greysia,
Seolah aku melihat DIRIKU di posisi yang sama dengannya,
Greysia hanya tiga tahun lebih tua dariku, tapi ia sudah mengikuti turnamen hingga keliling dunia dengan membawa nama Indonesia, Dan sekarang ia berdiri di tempat yang luar biasa, berhadapan dengan para penonon yang juga luar biasa, dalam kejuaraan beregu bulutangkis yang paling bergengsi,
Kalau saja dulu Mama mengizinkanku les bulutangkis, mungkin sekarang aku akan ada di tim yang sama dengan Greysia... Mungkin aku juga aakn berdiri di tengah Istora, melambaikan
-ku,,, Aku menggeleng, berusaha mengusir bayangan itu, Ini tidak segampang yang aku bayangkan, Memangnya hanya dengan les bulutangkis sejak umur enam tahun, aku akan bisa menembus Pelatnas" Keep on dreaming, Fraya dear, Banyak pengorbanan yang pasti harus kutempuh jika ingin berada di posisi yang sama dengan Greysia saat ini,
Tapi tetap saja, aku merasakan sakit dalam hatiku, Aku tak akan bisa mewujudkan mimpi itu,,, Tahun-tahun di saat aku seharusnya berlatih keras dan mengikuti setiap kejuaraan junior telah lewat, kuhabiskan hanya dengan menanti-nanti olahraga yang kucintai itu muncul di layar TV, Berlatih sekeras apa pun aku sekarang ini, aku tak akan bisa seperti Greysia atau yang lainnya,,,
"Heh, lo kenapa" Udah mau mulai tuh!" Claudia menyikutku, dan lamunanku kontan buyar. Ternyata aku melamun lumayan lama, karena
sekarang di TV Maria Kristin dan Xie Xingfang sudah melakukan pemanasan, bersiap untuk partai pertama di final Uber Cup ini,
"Haha, nggak pa-pa. Gue berdoa dalam hati...," aku ngeles pada Claudia. Dengan ekor mataku, aku bisa melihat Albert memperhatikanku dari sofa di pojok sana,
Aku membenarkan posisi dudukku di sofa, berusaha memusatkan perhatian ke TV lagi, tapi lamunanku tadi ternyata masih mengusik, Aku nggak akan pernah bisa mewujudkan mimpiku sekarang, sekeras apa pun aku berusaha, Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah bisa memutar kembali waktu,,,
Tapi waktu tak pernah bisa kembali, ia justru melaju semakin cepat menuju masa depan, di saat kau menginginkannya berhenti,
Aku menelan ludah, merasakan bola mataku memanas, Kenyataan itu menghantamku begitu kuat, sampai rasanya aku sesak napas, Kenapa aku ini" Semua harapanku seolah hilang, karena aku tahu mimpi terbesarku tak akan mampu teraih lagi, Tiba-tiba saja aku merasa tak peduli diriku cantik, punya pacar ganteng dan populer, punya keluarga yang berkecukupan dan harmonis,,, Apa artinya semua itu, jika mimpiku, cita-cita dan obsesiku telah melayang pergi, dan tak ada satu pun yang bisa kulakukan untuk meraihnya lagi"
"Berdoa lagi"" tanya Claudia.
Aku mengerjap, berusaha menyedot kembali air mata yang tertampung di mataku, siap meluncur turun, Belum pernah sebelumnya aku begitu berharap aku sendiri saja dan tak ada seorang pun yang bisa melihatku, karena aku sedang benar-benar ingin meledak dalam tangis,
"Doanya harus yang banyak, ini kan final," aku berusaha nyengir, untuk menghilangkan kecurigaan Claudia, Untunglah, dia termasuk anak yang cuek dan mmm... agak lemot, Jadi dia percaya saja dengan bualanku,
Maria Kristin sudah bersiap main sekarang, Ia yang mendapat bola pertama, Wasit sedang memberikan informasi sebelum pertandingan dimulai,
"On my right, Xie Xingfang, China! On my left, Maria Kristin Yulianti, Indonesia! Yulianti serve..."
Mendengar kata "Indonesia", aku bergidik, Halusinasiku mulai menghadirkan kalimat yang terdengar begitu indah di telingaku. Kalau saja sang wasit mengatakan On my left, Fraya Aloysa Iskandar, Indonesia!", dan bukannya menyebut nama Maria Kristin...
Aku mengerjap sekali lagi, berusaha menelan halusinasi itu bulat-bulat, Itu nggak akan pernah terjadi, Aku hanya menyakiti diriku sendiri dengan semua mimpi itu, Kenapa aku nggak bersyukur saja dengan kondisiku saat ini" Aku toh bukannya anak yatim-piatu di Afrika yang sedang kelaparan dan menunggu mati, Hidupku tak bisa dibilang buruk dengan mengesampingkan fakta bahwa apa yang paling kuinginkan dalam hidupku justru tak bisa kuwujudkan, Jadi atlet bulutangkis bukan hanya mimpi semu masa kecilku, yang meledak sesaat lalu tenggelam, Aku seperti berkomitmen penuh padanya, ingin meraih tapi tanganku tak sampai,,,
Selama pertandingan Maria vs Xie Xingfang, aku lebih banyak melamun, Seperti yang sudah diduga, Maria takluk, China memimpin 1 -0,
Biasanya dalam kondisi Indonesia tertinggal seperti ini, aku sudah heboh sendiri, Sudah bawel melontarkan saran-saran sok bijakku, bahwa Maria tadi seharusnya begini dan begitu, Tapi kali ini aku diam, Mulutku terkunci, tapi batinku berperang,
Partai kedua ganda putri, Indonesia menurunkan Vita Marissa dan Lilyana Natsir, sementara China diwakili oleh ganda terbaik mereka, sekaligus peringkat satu dunia saat ini, Yang Wei dan Zhang Jiewen,
Walaupun Vita/Lilyana hanya ranking tujuh dunia, secara skill mereka tak kalah dari Yang/Zhang, Banyak penempatan bola dari Vita yang tak bisa dikembalikan pasangan China itu, Mereka seolah mati langkah saat melihat shuttle cock mati di daerah permainan mereka, Sayang, set pertama berakhir untuk keunggulan China, 21-15,
Claudia agak gelisah di belakangku, Sepertinya justru dia yang terbawa suasana pertandingan, Beberapa kali dia mengomel karena bola yang dibiarkan keluar oleh Lilyana ternyata justru masuk, Lio yang nggak ngerti apa-apa juga nggak mau kalah, Dia bersorak waktu Lilyana berhasil melakukan smash tajam, Hanya Albert yang diam saja, juga aku,
"Kalah, ya"" Mama tiba-tiba nongol di ruang keluarga, dan
duduk di sebelahku, "Belum kok. Ni masih partai kedua," sahut Claudia.
"Oh, Mama kira udah kalah Indonesia-nya..."
"Ih, Mama underestimate banget deh, Kalah sih kalah, Ma, tapi masa belum dua jam main udah tamat 3-0, kan payah banget," celoteh Claudia lagi. Aku jadi kaget mendengarnya. Nggak biasanya Claudiajago nyahut kalau diajak ngobrol soal bulutangkis begini,
"Habisnya, Mama nggak dengar teriakan histerisnya Aya," Mama cengengesan. "Biasanya kalau Indonesia menang kan Aya teriak-teriak mulu, Kalau Indonesia kalah, Aya bakal duduk diam tanpa suara, kayak sekarang ini nih..." Mama mengerling padaku, dan secepat kilat aku langsung mengubah ekspresiku,
"Aku diam soalnya tegang banget, Ma," entauh untuk keberapa kalinya hari ini, aku ngeles lagi. "Kan sudah sepuluh tahun tim Uber Indonesia nggak masuk final, makanya sekarang aku tegang banget."
"Oh... pantes. Ya udah, kalian lanjutin nontonnya deh." Mama nyaris beranjak, waktu ia melihat Albert di sofa pojok. "Eh, Nak Albert, itu apa nggak berat mangku Lio terus" Lio, sini! Kasihan kan Kak Albert pegel kakinya mangku kamu..."
"Nggak mauuuuu," rengek Lio. Dia langsung mencengkeram bagian depan kaus Albert kuat-kuat, seolah nggak mau dipisahkan darinya, Albert nyengir melihat tingkah adik bungsuku itu,
"Nggak pa-pa, Tante. Lio nggak seberapa berat kok," jawab Albert sambil membelai rambut Lio dengan sayang, Aku memperhatikan dengan kaget, Mama kelihatan terharu mendengar kata-kata Albert, Ya ampun, Mama! Mellow abis deh!
"Ya udah, tapi nanti kalau kaki Nak Albert pegel, Lio suruh duduk sendiri aja ya" Dia jadi manja gitu kalau sama kamu... Oya, mau puding nggak" Tadi Tante baru bikin..."
Aku menelan ludah, Ini benar-benar gawat, Albert memang sudah mengambil hati Mama sejuta persen! Pantas Mama lebih ngebelain Albert daripada aku, saat Mama tahu Albert menghukumku dengan melarang aku nonton final Uber Cup di Istora!
"Rubber seeeettt! Oh my God, rubber set! Rubber set, Aya, rubber set!"
Aku tersentak dari adegan melankolis antara Mama dan Albert di hadapanku, dan mendapati Claudia sedang mencengkeram lengan bajuku, sekaligus menarik-nariknya dengan gembira, Dia tadi bilang,,, rubber set"
Aku menoleh dengan kecepatan tinggi ke arah TV, di sana tampak Vita/Lilyana dan Yang/Zhang bertukar tempat, Pertandingan belum berakhir, itu berarti,,, Vita/Lilyana merebut set kedua"
Aku melotot semampu yang dilakukan mata sipitku, dan melihat angka 21 -15, 19-21 di layar TV, Astaga! Indonesia berhasil merebut set kedua ini! Mereka nggak mengalah begitu saja, Kami punya harapan untuk mencuri nilai dari partai ini,
Atmosfer tegang langsung melandaku, Set penentuan ini harus dimenangkan Indonesia, Kalau China sampai menang lagi, bisa gawat, Mereka bakal unggul 2-0, dan rasanya mustahil mengejar ketertinggalan dua partai dan berbalik menang, jika lawannya China, Apalagi, setelah ini Adrianti Firdasari yang bakal bermain melawan Lu Lan, Bukannya aku meremehkan Firda, tapi, astaga, yang bakal dia lawan itu Lu Lan! Ranking dua dunia, sementara Firda masih di luar top 25, Akan sulit baginya, belum lagi ditambah beban mental gue-harus-menang yang bakal diembannyajika Indonesia keburu tertinggal 2-0,
Set ketiga sudah dimulai, Nggak seperti sebelumnya, kali ini perhatianku terfokus penuh pada layar TV, Beberapa kali aku memang merasakan hantaman realitas di dalam hatiku bahwa cita-citaku sudah buyar, seperti yang kurasakan tadi, tapi aku berusaha mendorongnya ke bagian belakang kepalaku, Nggak boleh cengeng dulu sekarang, Harus fokus nonton set ketiga!
Set penentuan ini berjalan cepat, Pasangan Indonesia mengeluarkan kemampuan terbaik mereka agar bisa mencuri set sekaligus partai ini, tapi kubu China rupanya nggak mau kalah,
Mereka menyadari betapa bahayanya jika Indonesia mampu menyamakan kedudukan, dengan posisi sebagai tuan rumah, Lebih aman bagi China jika mereka mengamankan set ini,
Kedua pasangan yang bermain ngotot itu membuatku lupa sejenak pada hantaman realitas yang membuatku jadi orang yang nggak punya semangat hidup tadi, Ini benar-benar pertandingan kelas dunia, Luar biasa! Aku sungg
uh idiot menyaksikannya hanya lewat TV, padahal sebenarnya aku bisa nonton langsung di Istora, Kalau saja aku mau nekat menuruti saran Adisty dengan memutuskan Albert, cowok itu pasti nggak punya hak apa pun lagi untuk melarangku ke Istora,,,
Pada poin-poin kritis di akhir pertandingan, aku melihat Adhyaksa Dault, Menteri Pemuda dan Olahraga, disorot oleh kamera TV dalam posisi sedang berdoa, Kedua tangannya terangkat, mulutnya berkomat-kamit, jelas sekali mengharapkan Indonesia diberi kemenangan, Aku ikut-ikutan berdoa di dalam hatiku, dan kali ini doa betulan, bukannya alasan kosong seperti yang kusodorkan pada Claudia saat ia memergokiku melamun tadi,
Sayang, doaku dan Pak Adhyaksa nggak terkabul, China menutup set ketiga ini dengan 2116, sekal igus memastikan mereka unggul 2-0 dari Indonesia,
"Tenang, habis ini masih ada partai ketiga, kan" Baru juga 2-0," kata Claudia sambil menepuk punggungku,
Aku terlongong-longong, Ini beneran Claudia nih, yang ngomong begitu" Beneran adikku, Miss-udahlah-pasti-Indonesia-kalah, yang superpesimis itu" Yang beberapa hari lalu bilang Sony Dwi Kuncoro pasti kalah melawan Bonsak Ponsana, padahal saat itu baru set pertama"
Apa semalam adikku diculik alien (karena dianggap sangat tepat merepresentasikan sifat pesimis manusia bumi, dan karena itu para alien ingin menelitinya), dan yang duduk di sebelahku sekarang adalah alien yang sedang menyamar jadi Claudia"
Astaga, "Tumben lo ngomong gitu," kataku akhirnya. "Biasanya juga udah ngomong kalah-kalah mulu..."
"Habisnya, kali ini seru banget sih. Nggak rela gue Indonesia kalah gitu aja!"
Wah, kayaknya bener-bener alien nih...
"Eh, Ya, gue penasaran nih, seandainya lo dulu ikutan klub bulutangkis, lo bakal masuk tim Uber nggak ya sekarang"" Claudia mengganti topik pembicaraan seenak udelnya, tapi itu justru
membuatku seolah tersengat listrik ribuan volt, Albert mendadak menoleh, menatapku tajam, "Nggg... nggak tahu juga sih... Kok tiba-tiba lo nanya kayak gitu""
"Ya gue kan tahu lo main bulutangkis jago, Kali aja kalau lo dulu beneran masuk klub, sekarang lo bakal ada di Istora, Bukan nonton doang, tapi jadi pemain, kayak Lilyana Natsir, gitu!" Aku menelan ludah. "Eh, itu siapa yang adiknya Markis Kido itu..." Yang cewek""
"Pia Zebadiah."
"Ya itu! Gue pernah baca, kalau nggak salah dia masih umur sembilan belas. Cuma setaon lebih tua dari elo, Aya. Harusnya lo juga bisa nembus tim Uber kayak dia."
Aku merasakan ribuan tinju di ulu hatiku, Apa Claudia sungguh-sungguh berpikir begitu, atau dia hanya asal ngoceh" Kalau dia memang cuma ngoceh, kenapa yang diocehkannya bisa persis sama dengan apa yang ada di otakku sekarang"
Kalau saja dulu Mama nggak melarangku masuk klub, mungkin saja,,,
"Ah, jangan ngaco! Jadi pemain kayak Pia sama Lilyana itu nggak segampang yang lo bayangin, tau!" aku berusaha menyanggah omongan Claudia. Menyanggah kata hatiku sendiri
juga, mungkin, "Iya, gue tahu... Gue kan cuma kepikiran aja. Pasti asyik kalau lo beneran masuk tim Uber.
Gue bisa dapat akses masuk gratis ke Istora waktu lo tanding, sekaligus bisa pamer sama temen-temen gue kalau lo atlet bulutangkis top, Oh, biar mulutnya si Amelia bawel itu monyong kalau dia tahu kakak gue lebih ngetop dari kakaknya! Tahu nggak, Aya, kakaknya Amelia itu kan cuma masuk finalis model smapul, eh... gitu aja dia pamernya selangit, Sampai enek gue dengernya, Beneran deh, seandainya aja lo masuk tim Uber, dia pasti nggak bisa pamer lagi sama gue, karena kakaknya cuma beken tingkat nasional, sementara kakak gue tingkat internasional! Eh, atau seandainya lo dulu nggak bikin kacau pemilihan model yang lo ikutin itu, gue yakin lo juga bisa juara!" cerocos Claudia tanpa henti.
Albert, yang tadi melotot, sekarang terkikik geli di seberang sana,
Aku benar-benar bengong mendengarnya, Ya ampun, anak ini kenapa sih" Norak banget! Jadi tadi dia menyinggung-nyinggung kalau-saja-aku-dulu-masuk-klub-dan-sekarang-tergabung-dalam-tim-Uber itu hanya karena dia ingin bisa pamer sama temennya yang bernama Amel ia itu"
"Udahlah, jangan ngaco lagi," aku berusaha mengakhiri pembicaraan. Layar TV su
dah menampilkan Firdasari dan Lu Lan yang berjalan memasuki lapangan, Aku nggak mungkin melewatkannya hanya karena mendengar ocehan Claudia yang nggakjelas itu,
Set pertama dimulai, dan Lu Lan langsung menunjukkan kelasnya, Tapi di mataku, ia justru terlihat nggak mengeluarkan seluruh kemampuannya, Mungkin dia menganggap enteng Firda, jadi nggak perlu bertanding sekuat tenaga pun dia bakal menang,
Sayangnya, dugaanku benar, Lu Lan mencuri set pertama dengan mudah, 21-12, Tinggal memenangkan satu set lagi, maka China akan mempertahankan Piala Uber di negeri mereka, Aku perih mengingatnya, Mana set kedua Firda banyak melakukan kesalahan sendiri, juga memberikan bola tanggung yang dengan enak di-smash oleh Lu Lan dan menghasilkan angka baginya, Aku jadi jengkel, Mungkin kalau aku yang main, aku nggak akan membiarkan Lu Lan mengecohku dengan bola-bolanya yang,,,
Aduh, Fraya, sadar dong, sadaaaarr! Ngomong apa kamu ini" Kamu kan cuma duduk di depan TV, mudah bagimu buat bilang begini-begitu, Firda kan ada di bawah tekanan harus menang, dan dia ditonton puluhan ribu orang! Nggak mudah berada dalam posisi seperti itu! aku mengomeli diriku sendiri dalam hati,
Tapi akhirnya, aku tetap harus menerima Lu Lan merebut set kedua dengan angka yang lebih mudah, 21-10, sekaligus menyudahi partai final ini dengan kemenangan untuk China, Lu Lan hanya bertepuk tangan di atas kepalanya, lalu berpelukan singkat dengan pelatih dan rekan-rekan
senegaranya, Nggak ada atraksi heboh seperti yang dilakukan tim Uber Indonesia ketika kami lolos ke final kemarin, Mungkin bagi China, mempertahankan Piala Uber adalah sesuatu yang biasa, nggak perlu dirayakan dengan euforia berlebihan,
Aku bangkit dari sofa yang kududuki, nggak berminat lagi melihat pemberian medali ataupun buket bunga kepada pemain-pemain China dan Indonesia, Atau melihat para pemain China bergiliran memegang Piala Uber dengan wajah sumringah, Bukannya nggak bisa berbesar hati menerima kekalahan, tapi sudah terlalu banyak kejengkelan yang berdesakan di kepalaku hari itu, dan aku butuh mengeluarkannya kalau nggak mau jadi gila,
Aku masuk ke kamarku tanpa menggubris Albert, Claudia, Mama, atau siapa pun lagi, Di kamar, aku membenamkan kepalaku dalam bantal dan menumpahkan tangisku di sana, Kekesalan karena Albert melarangku pergi ke Istora, penyesalan karena dulu aku nggak terus ngotot masuk klub bulutangkis sehingga kini aku harus menelan kenyataan bahwa cita-citaku nggak mungkin teraih lagi, dan rasa sedih akibat kekalahan tim Uber Indonesia yang begitu telak menumpuk jadi satu di dadaku, membuat air mataku mengalir deras,
Aku menangis sejadi-jadinya,
Gloomy Days HARI Minggu pagi, aku bangun dengan susah payah karena mataku lengket penuh air mata, dan berusaha mengingat-ingat, kenapa aku merasa begitu merana" Ah ya, aku ingat:
1, Tim Uber Indonesia kalah dari China,
2, Tim Thomas bahkan nggak masuk final,
3, Aku nggak diizinkan Albert nonton langsung di Istora,
4, Dan mulai hari ini aku harus hidup dengan kenyataan bahwa impian terbesarku nggak akan pernah bisa terwujud, sekeras apa pun aku berusaha,
Selama sepuluh menit aku berbaring meringkuk di atas ranjang, dan merasakan permukaan bantal yang lembap di bawah pipiku, Air mataku semalam belum kering rupanya, Dan aku masih merasa begitu nelangsa,,,
Kenapa dulu Mama melarangku" Kenapa dulu aku menurut begitu saja tanpa menanyakan alasannya pada Mama" Kenapa aku dulu begitu bodoh" Les bulutangkis toh bukan sesuatu yang negatif, dan aku yakin ortuku sanggup membiayaiku mengikutinya, Fisikku juga kuat sejak kecil, aku jarang sakit, dan nggak mudah capek, jadi Mama melarangku ikut les pasti bukan karena alasan yang sama dengan alasan Tante Wenny untuk anak-anaknya,
Apakah karena Mama menganggap jadi atlet akan membuat masa depankujadi nggakjelas"
Tapi apa yang bisa kita prediksi tentang masa depan" Sarjana-sarjana yang pintar saja sekarang banyak yang menganggur, Jadi, sekolah dan kuliah yang benar bukan jaminan kita akan punya masa depan yang jelas,
Atau,,, Mama dulu mengira bulutangkis hanyalah kegemaran sesaatku saja, dan aku akan bos
an setelah beberapa waktu" Kenapa Mama nggak bisa melihat bahwa itu impianku" Aku toh bukannya surut setelah dilarang ikut les waktu itu, Aku terus menggilai bulutangkis, ngejogrok di depan TV setiap ada pertandingan, berharap aku bisa seperti pemain-pemain idolaku yang di TV itu,,, Kenapa Mama nggak bisa melihatnya" Apakah impiannya lebih penting daripada impianku" Apakah cita-citaku nggak membuatnya puas dan bahagia" Apa ia ingin membentukku menjadi Fraya yang diinginkannya, bukannya membiarkan aku bertumbuh dengan impianku sendiri"
Aku nggak ingin marah sama Mama, dan aku yakin Mama pasti ingin yang terbaik untukku, walau itu dilihat dengan sudut pandangnya sendiri, tapi tetap saja sekarang aku sangat menyesali cita-citaku yang telah amblas itu,
Ya Tuhan, kalau saja aku bisa memutar waktu.....
Seharian ini aku mengurung diri di kamar, hanya keluar untuk makan dan mandi, Orang rumah kelihatannya pergi semua, dan aku bersyukur karena punya keluarga yang sangat pengertian, Mungkin mereka mengira aku masih kesal dengan kekalahan tim Uber Indonesia semalam, atau mungkin dikira aku sedang ngambek sama Albert dan masih kesal, jadi aku dibiarkan begitu saja, Aku memang lebih suka begini jika ada masalah, dibiarkan berpikir dengan tenang dan nggak digerecoki segala macam pertanyaan, Nanti jika ingin cerita, aku bakal cerita sendiri, Papa, Mama, dan Claudia juga menganut paham serupa, Kalau Lio sih aku belum tahu, kan dia masih kecil, Masalah seberat apa sih yang bakal dipunya anak berumur lima tahun"
Aku meraih koran hari ini dari meja tamu, dan melihat foto tim Uber terpampang di halaman depan, bersama ofisial dan seluruh pelatih mereka, Meskipun kalah, mereka tetap terlihat gembira, karena prestasi yang mereka capai telah melampaui target, Sebelumnya, mereka hanya ditarget sampai ke semifinal, Siapa yang menyangka mereka justru akan melangkah ke partai puncak"
Tapi melihat foto itu malah membuat hatiku makin pedih, Aku nggak akan pernah ada di foto yang sama dengan mereka, Aku selamanya hanya akan jadi penggemar, padahal aku ingin sekali bisa melakukan hal yang sama,,,
Dari kecil aku sudah menyadari aku punya rasa nasionalisme yang tinggi, Entah kenapa, tapi setiap melakukan sesuatu, aku selalu berpikir aku ingin jadi anak yang berguna untuk bangsa dan negara, Kedengarannya naif, dan mungkin lebay, tapi memang seperti itulah yang ada dalam diriku sejak dulu, Mungkin aku memang seharusnya dilahirkan untuk jadi seorang atlet, Di dalam diriku sudah tertanam skill, semangat pantang menyerah, rasa nasionalisme, dan keinginan untuk main bulutangkis, Yang tidak kumiliki hanya kesempatan, Amblas begitu saja karena larangan dari Mama saat aku berusia sepuluh tahun,
Aku meraih koran hari ini, dan beranjak ke teras rumah, Burung kenari peliharaan Papa berkicau ribut di dalam sangkarnya, Aku biasanya suka bersiul memancing kicauan burung-burung berwarna kuning cerah itu, tapi sekarang aku nyaris nggak punya niat untuk melakukannya, Aku nggak punya niat melakukan apapun, seolah semua semangat hidupku lenyap, Aku orang yang hidup tanpa harapan dan cita-cita,
Aku ingat belum menyalakan HP, jadi aku masuk ke kamar untuk mengambil HP-ku, lalu menyalakannya sambil duduk di kursi teras, Beberapa SMS mengalir masuk setelah aku menyalakan H P, mulai dari Sharleen, Charles, Wilson, dan tentu saja Albert,
From: Albert R u alright"
Nggak, Albert, aku sama sekali nggak baik-baik saja, Aku sudah kehilangan semangat hidup, dan setiap kali mengerjap saja aku rasanya sudah akan menangis, Kenapa hidup ini cuma satu
kali" Kenapa jika kita menyesali sesuatu dan ingin mengubahnya, kita tak mampu" Kalau saja manusia bisa memutar waktu,,,
Aku melamun, mencoba memperkirakan akan seperti apa diriku yang sekarang, jika saja aku dulu diizinkan oleh Mama, atau mungkin memaksakan kemauanku, untuk masuk klub bulutangkis dulu,
Aku, seperti yang pernah dibilang Adisty, Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, dan puluhan orang lainnya, MUNGKIN akan berhasil menembus Pelatnas, Atau at least aku cukup berprestasi untuk tingkat nasional, Dan kalau itu terjadi, tentu saja
aku nggak akan bersekolah di sekolahku yang sekarang, Aku akan masuk SMA khusus di Ragunan, tempat para atlet seumurku bersekolah,
Aku nggak akan mengenal Albert, apalagi jadian dengannya, Tapi nggak pa-pa, aku nggak keberatan soal yang satu itu,
Aku juga pasti akan menghabiskan hariku dengan latihan dan terus latihan, Itu juga nggak masalah, aku sanggup menghabiskan berapa jam pun di lapangan bulutangkis, selama aku belum pingsan,
Seandainya aku memang masuk Pelatnas, aku pasti setidaknya sudah menjejak sepuluh negara-negara Asia, seperti Thailand, India, Singapura, Jepang, Taiwan, dan sebagainya, untuk ikut turnamen bulutangkis, Dan mungkin karena itu aku akan jadi penyumbang terbesar koleksi magnet kulkas mancanegara milik Mama,
Tapi yang terpenting... aku pasti sudah melakukan hal yang berguna untuk Indonesia, Bukannya cuma jadi anak SMA yang kerjaannya tiap weekend nongkrong nggak jelas di mal, belanja ini-itu, makan, nonton, dan pacaran,
Tidak apa-apa, aku hanya akan kehilangan teman-teman SMA-ku seandainya itu terjadi, Memang susah membayangkan bakal seperti apa hidupku tanpa Adisty dan Sharleen, tapi yah,,, mereka bakal baik-baik saja tanpa aku, kan" Akan ada Fraya-Fraya lainnya yang menggantikanku menjadi sahabat mereka,
Aku merasakan air mataku menetes lagi, Ya Tuhan, kalau bisa, ingin sekali kucabut perasaan pedih ini, Ia menikam begitu dalam, sampai aku nyaris sesak napas karenanya, Tadinya aku mengira, kalau cita-citaku nggak tercapai, ya sudahlah,,, Tapi aku nggak pernah menyangka, di umur 18 tahun aku sudah akan menyesali jalan hidupku,
Sudah terlambat untuk mengejar semuanya, sudah nggak ada lagi harapan yang tersisa, Kalaupun aku masuk klub sekarang, paling aku hanya akan jadi orang-orang yang sekadar main bareng setiap sore di gedung klub, bukannya berlatih secara intensif dan pergi ke negara-negara lain untuk bertanding membawa nama negara,
Aku sudah pernah bilang kan, jadi atlet bulutangkis itu seperti menandatangani kontrak seumur hidup" Sekali melakukannya, akan susah bagimu untuk mengambil jalan lain,
Tapi jika ada kontrak seumur hidup yang harus kupilih, kontrak inilah yang ingin kutandatangani,
Jam setengah enam sore, aku sudah mandi dan duduk manis di depan TV, tapi posisi dudukku kaku dan sorot mataku menerawang, seolah aku penderita stroke, dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap lurus ke depan, Hari ini, dan entah sampai berapa hari ke depan, tingkah lakuku pasti akan seperti robot, Aneh, rasanya ada yang kurang,,,
Aku menatap sekeliling, dan menyadari aku hanya duduk sendiri di ruang keluarga, sementara kemarin ruangan ini penuh dengan Claudia, Lio, Mama, Papa, dan,,, Albert,
Oya, Albert! Kok dia belum datang" Apa dia nggak kepingin mengawasiku supaya aku nggak ngibrit ke Istora" Hari ini kan final Piala Thomas...
Ah aku tahu, dia pasti nggak datang karena:
1, Final Piala Thomas hari ini akan mempertandingkan Korea vs China, Albert pasti menduga aku nggak akan tertarik ke sana karena nggak ada Indonesia-nya, Jadi, karena aku nggak ada niat ke sana, dia pun nggak perlu datang ke sini mengawasiku,
2, Dia mengira aksi dramatisku masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi setelah final Piala Uber kemarin itu adalah semata-mata karena aku ngambek padanya, dan hari ini dia ogah menerima perlakuan yang sama lagi, makanya nggak datang,
3, Albert takut aku masih marah padanya, Apalagi aku belum membalas SMS-nya tadi pagi, Malas aja, Dan biasanya kalau aku lagi ngambek, dia memang membiarkan kepalaku dingin dulu, nggak langsung menelepon atau merongrong dengan SMS lainnya,
4, Albert tahu diri, dan dia nyadar kehadirannya sekarang nggak kuharapkan,
Aku menghela napas, Nonton rame-rame memang kadang membuatku sebal karena jadi bising dan aku nggak bisa menikmati pertandingan dengan fokus (apalagi kalau Claudia udah rese berseru "Kalah! Kalah!", tapi nonton sendirian begini ternyata nggak enak juga.
Aku hampir saja memanggil Bi Munah, pembantu keluargaku, untuk menyuruhnya menemaniku nonton bulutangkis di sini, tapi aku lalu teringat, jam segini pasti Bi Munah lagi asyik-asyiknya nonton sinetron dangdu
t, Itu lhooo... sinetron Indonesia tapi yang dibumbui nyanyian dan tarian ala film-film India, Plus nyaris semua pemainnya pakai wig dan suaranya di-clubbing, Bi Munah tergila-gila banget sama sinetron semacam itu, dan tentu saja aku akan seolah menyiksanya, jika merenggutnya dengan paksa dari menonton sinetron di TV belakang hanya untuk menemaniku nonton bulutangkis di sini, Mungkin bagi Bi Munah, siksaan itu akan sama beratnya seperti apa yang kurasakan saat Albert melarangku nonton Thomas-Uber Cup langsung di Istora,
Jadi, aku tetap membenamkan bokongku di sofa, dan menatap TV dengan setengah melamun, Benar-benar masih sulit dipercaya, final Thomas Cup kali ini tanpa Indonesia, Nonton China vs Korea terasa hambar, dan aku nggak minat mendukung dua-duanya, Mau dukung Korea, aku masih kesal karena mereka yang mengalahkan tim Thomas Indonesia di


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semifinal, Tapi mau dukung China pun aku ogah, karena tim Uber mereka juga kemarin mengandaskan tim Uber Indonesia,
Memang, China sangat hebat di segi prestasi bulutangkisnya, Regenerasi pemain mereka juga bagus sekali, Belum habis era pemain hebat yang satu, sudah muncul pelapisnya yang nggak kalah tangguh, Dengar-dengar sih memang pelatihan para atlet bulutangkis di China sangat keras, Aku malah pernah mendengar rumor bahwa setiap pagi para atlet bulutangkis China harus berlari naik ke atas bukit sambil memanggul karung pasir untuk melatih fisik mereka, Yeah, gila memang, Tapi itulah kenapa mereka sekarang bisa segitu sarat prestasi,
Just wondering, seandainya aku jadi atlet, apa aku bakal mendapat latihan sekeras itu juga ya" Dan apa aku sanggup"
Ah, jadi mikirin itu lagi! Seharian ini pikiran itu sudah memburuku terus seperti hantu, dan aku nggak bisa diam lima menit tanpa kepikiran hal itu lagi, Rasanya, sepanjang hari ini, jika aku melakukan apa pun, aku tahu itu nggak bakal ngaruh pada mimpiku, Aku hanya akan terus melalui hari-hari hidupku dengan rutinitas yang membosankan,
Bukannya aku nggak bersyukur pada Tuhan untuk hidupku, tapi,,, aku penasaran, apa yang bakal terjadi dalam hidupku jika dulu aku memilih jalan yang berbeda dengan jalan yang kulalui sekarang" Apa aku akan sukses mengejar mimpiku, atau justru malah putus asa di tengah jalan, dan ujung-ujungnya balik Jadi anak SMA seperti sekarang"
I never know. Layar TV sekarang menayangkan Park Sung Hwan dan Lin Dan yang mulai memasuki lapangan, Senyum Lin Dan mengembang lebar sekali, seolah dia yakin 100% bakal membawa kemenangan bagi timnya malam ini, Hanya opini pribadiku, tapi aku nggak begitu suka Lin Dan, Tampangnya snob banget,
Dan Park Sung Hwan, ya ampun,,, dia kebalikan dari Lin Dan! Wajahnya selalu menunjukkan ekspresi memelas pasrah, siap kalah, dan menyerah, Yah, tapi itu kan cuma ekspresi wajahnya, Toh begitu-begitu juga dia yang mengalahkan Sony Dwi Kuncoro dua hari
lalu, Pertandingan berlangsung cepat, Park merebut set pertama, tapi Lin Dan membalasnya di set kedua dan ketiga, sekaligus memastikan China unggul 1 -0,
Partai kedua Korea menurunkan Lee Yong Dae/Jung Jae Sung, sementara China menurunkan Cai Yun/ Fu Haifeng, Kayaknya Yong Dae dicekoki ginseng lagi oleh pelatihnya, jadi dia main bak kesetanan, Korea unggul dua set langsung, menyamakan kedudukan menjadi 1-1,
Hari ini rasanya berlangsung begitu cepat, Baru kali ini aku nonton bulutangkis tanpa jejeritan histeris di depan TV, Aku hanya duduk diam, kadang memperhatikan pertandingan yang sedang berlangsung, kadang tenggelam dalam lamunanku sendiri,
Partai ketiga, China menurunkan Bao Chunlai, pebulutangkis China yang paling banyak mempunyai penggemar di Indonesia karena wajah imutnya, sementara Korea menurunkan Lee Hyun Il, Set pertama berjalan alot, Kejar-mengejar angka terus terjadi, Berkali-kali Bao match point, tapi nggak berhasil menyelesaikannya, Lee terus berusaha mengimbangi dan memaksakan
deuce, tapi akhirnya Bao menutup set pertama dengan 28-26, Rekor angka tertinggi selama Thomas-Uber Cup ini,
Set kedua, Bao bermain lebih cerdik, dan menutup dengan mudah, 21-11, Kedudukan jadi 21 untuk China,
Berhubung belum ada yang merebut tiga part
ai, maka partai keempat dimainkan, Ganda kedua China adalah Xie Zhongbo/Guo Zhengdong, sementara Korea diwakili oleh Lee Jae Jin/Hwang Ji Man,
Kedudukan unggul 2-1 ternyata membawa semangat sendiri bagi Xie/Guo, Mereka ingin secepatnya menuntaskan permainan, sementara kualitas ganda kedua Korea tak sebaik ganda pertama mereka, Walaupun Korea sempat memaksakan rubber set, tetap pada akhirnya China mengambil partai ini, sekaligus memastikan Piala Thomas tetap di negeri mereka untuk dua tahun ke depan,
Yeah, bagus banget, piala Thomas dan Uber dikawinkan sekali lagi oleh China, Entah untuk yang keberapa kalinya,
Aku bangun dari sofa dan mematikan TV, Lagi-lagi aku malas nonton acara penyerahan piala dan pengalungan medali, Dan entah kenapa, walau hari ini aku nggak melakukan kegiatan apa pun (banyakan meringkuk di sofa dan ranjang doang), aku merasa capek luar biasa, Sepertinya ada karung untuk latihan fisik para atlet bulutangkis China yang dibebankan di atas punggungku,
Aku masuk kamar, mematikan lampu, dan membenamkan diriku di ranjang lagi,
Kayaknya aku nggak pernah semalas ini pergi ke sekolah, Bahkan biasanya habis libur panjang pun aku tetap semangat masuk sekolah, Kali ini benar-benar aneh, dan yah,,, aku tahu kenapa: karena walaupun sekolah selalu digembar-gemborkan sebagai jalan untuk meraih masa depan yang kita inginkan, itu nggak berlaku bagiku, Masa depan yang kuinginkan kan untuk jadi atlet bulutangkis, dan sekolah sama sekali nggak membantuku mewujudkan mimpi itu,
Hidupku benar-benar menyedihkan, Tapi, jelas ortuku nggak bakal mengizinkanku bolos sekolah hari ini, Dan karena Albert nggak datang menjemputku pagi ini (mungkin sekarang ganti dia yang ngambek karena SMS-nya kemarin nggak kubalas"), aku terpaksa naik angkot ke sekolah,
Sampai di sekolah, aku menggelosor di mejaku, Tak bersemangat,,, tak bersemangat,,, "Good morning," sapa suara di sebelahku, yang, tanpa mengangkat kepala pun, aku tahu pemilik suara itu adalah Adisty, "Bad morning" sapaku lesu. "Lho" Kenapa lo""
Aku masih menelungkupkan kepalaku di meja, nggak menjawab pertanyaan Adisty, "Berantem sama Albert lagi""
"Itu salah satunya," jawabku lesu.
"Ya ampun kalian itu," Adisty berdecak, "pacaran kok banyakan berantem daripada sayang-sayangannya""
"Yah, mungkin karena memang udah nggak cocok," aku meniru jawaban para artis yang akan bercerai saat ditanyai infotainment apa alasan mereka untuk bercerai,
Aku mendengar Adisty mendengus, dan menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. "Nggak cocoknya kok setelah dua tahun pacaran," sindirnya.
Kali ini aku mengangkat kepalaku. "Gue udah merasakan ketidakcocokan itu dari awal, Dis, tapi awalnya gue penganut moto 'perbedaan itu indah'. Sayangnya, moto itu nggak bisa bertahan lama, sementara lama-lama perbedaan gue dan Albert makin mencolok, dan chemistry di antara kami makin lama makin hilang."
"Oh no, jangan bilang perbedaan yang semakin mencolok itu adalah masalah lo tergila-gila pada bulutangkis, sementara dia nggak."
"Memang itu kok," jawabku sambil mengedikkan bahu. "Dan gue bukan hanya tergila-gila pada bulutangkis, Dis, gue terobsesi, Jadi atlet bulutangkis adalah impian terbesar dalam hidup gue, dan Albert nggak bisa mengerti itu, Walaupun sekarang gue nggak bisa mewujudkan impian gue itu, at least gue ingin kegilaan gue pada bulutangkis nggak diusik, tapi apa yang dilakukan Albert" Dia ngelarang gue nonton live kejuaraan bulutangkis paling bergengsi sedunia yang sedang dihelat di kota ini!"
"Tapi itu kan karena lo udah bohongin..."
"Iya, iya, gue tahu! Tapi apa dia nggak bisa ngasih hukuman lain" Yang dia lakukan itu sama aja dengan menyiksa gue... Gue lebih milih diputusin daripada dilarang nonton Thomas-Uber Cup kemarin!" seruku emosi.
"Oh... jadi gitu."
Sebuah suara terdengar di belakangku, dan aku tahu, sekali lagi, aku telah membuka rahasia isi hatiku sendiri,
Albert berjalan mendekati bangkuku, sementara Adisty menatapku dengan ngeri,
"Kalau kamu memang lebih suka kita putus, Aya, fine. Mulai sekarang kita putus."
Aku menatap Albert tanpa berkedip, Ini hal yang sangat kuinginkan beberapa
hari lalu, tapi sekarang saat ini terjadi, aku justru merasa biasa saja, Nggak senang, nggak sedih, aku hanya bisa menatap Albert dalam diam,
"Asal lo tahu aja, gue udah muak dengan segala hal berbau bulutangkis itu. That's weird, you know. Dan gue nggak pernah bisa memahami lo untuk hal yang satu itu," Albert menambahkan.
Aku masih tetap diam, "Gue udah berusaha bertahan selama ini, tapi lo nggak pernah mau berubah, padahal gue
selalu berusaha jadi cowok terbaik buat lo, Nyatanya, hanya karena gue ngelarang lo nonton ke Istora, yang adalah sebagai hukuman atas kesalahan lo sendiri, lo nyuekin gue habis-habisan di rumah, Masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi saat tim yang lo banggakan setengah mati kalah, Please deh, Fraya, I'm enough with that stuff."
Kali ini aku menatap Albert lebih tajam, Apa katanya tadi, dia berusaha jadi cowok yang terbaik buatku" Nggak salah tuh" Kalau emang benar seperti itu yang dia lakukan, seharusnya kan dia mengerti apa yang aku suka, bukannya malah melarang-larang aku dan selalu menyindir hobiku, plus membanding-bandingkannya dengan cheers".
"I'm enough with you too," balasku tak kalah sengit.
Albert menatapku galak, melemparkan tas sekolahnya ke bangkunya, lalu berjalan ke luar kelas dengan marah,
Adisty, yang tadi menjauh sedikit saat Albert masuk kelas, tergopoh-gopoh mendekatiku, "Gila lo, Fray!"
"Emang kenapa" Bukannya ini yang lo saranin ke gue minggu lalu""
Adisty menghela napas dan menggeleng. "Iya, tapi bukan yang SEPERTI INI! Pakai
bertengkar sengit dan bilang enough-enough segala!"
"Astaga, Dis, nyantai aja dong. Memang kenyataannya gitu kok. Gue udah enek dilarang-larang terus sama dia, Paling nggak sekarang gue bebas main dan nonton bulutangkis kapan pun gue suka, tanpa ada cowok tengik melarang-larang gue lagi," jawabku seenak udel,
"Ya ampun, Fraya, Frayaaaa..." Adisty masih berdecak dan menggelengkan kepalanya, sementara aku kembali menelungkupkan kepala di atas meja,
Aku baru saja putus dengan cowok yang kupacari selama dua tahun, tapi sama sekali nggak ada gejolak emosi dalam diriku,
Itu karena hatiku sudah sesak penuh perasaan putus asa karena aku nggak akan pernah meraih cita-citaku, tak ada ruang untuk perasaan yang lain lagi,
Seminggu sudah berlalu sejak aku dan Albert putus, Anehnya, aku nggak merasakan perbedaan yang berarti, cuma frekuensiku naik angkot saja yang meningkat, karena sekarang nggak ada cowok yang mengantar jemputku ke sekolah lagi, Yang lain rasanya biasa saja, dan aku masih tetap seperti robot yang menjalani hidup dari hari ke hari tanpa semangat, Aku hidup hanya karena saat bangun hari itu ternyata aku mendapati diriku masih bernapas,
Gosip menyebar di sekolahku sama cepatnya dengan koneksi Internet tercanggih, dan dalam sekejap saja semua orang tahu aku dan Albert sudah putus, Dampaknya, sekarang banyak cewek yang dengan sukarela menggosongkan kulit mereka dengan berjemur di lapangan, menonton Albert main basket tiap jam istirahat, Beberapa teman cowokku juga mendadak sedikit ganjen padaku, sok perhatian dan SMS-SMS nggak penting, tapi semuanya kucuekin,
Sekarang di bawah mataku ada lingkaran hitam besar, karena mendadak aku jadi susah tidur, Itu karena setiap mau tidur, yang ada dalam bayanganku adalah: aku akan bangun besok pagi, melakukan lagi rutinitas yang membosankan, dan sudah nggak punya lagi impian yang bisa kukejar, Tapi, kebanyakan teman sekelasku dan fans-fans Albert sok tahu dengan "penampilan
baru"-ku itu, Mereka mengarang cerita bahwa mataku sembap begini karena aku menangis setiap malam setelah diputusin Albert, Yeah, yang bener aja,
Albert sendiri sekarang agak menghindariku, Kalau kebetulan kami berpapasan pun, dia hanya diam dan langsung berlalu lagi, Yang aku syukuri, waktu ditanya beberapa orang tentang apa alasannya memutuskan aku, Albert tutup mulut, Mungkin dia gengsi juga harus mengakui bahwa di mataku dia kalah penting dibandingkan bulutangkis, dan karena itu sudah nggak tahan lagi, Entahlah,
Masalah dengan Albert dan teman-temanku selesai, tapi ternyata hal yang sama nggak terjadi pada keluargaku,
Sore itu, ketika aku pulang sekolah, Lio sudah menungguku di teras rumah, Dia baru selesai mandi, dan aroma sabun bayinya harum sekali, Aku langsung menciuminya dengan gemas,
"Kak Aya, Kak Albert mana"" tanya Lio waktu aku menciumi dan mencubiti pipinya.
Aku langsung diam, Kenapa aku bisa lupa Lio cinta mati sama Albert" Sudah seminggu dia nggak melihat Albert mengantarku pulang sekolah, pantas dia bertanya-tanya, Aduh, gimana ya ngejelasin aku dan Albert udah putus"
"Kok Kak Albert nggak pernah main ke sini lagi" Lio kangen... Mau main basket..."
Aku menggigit bibir, Biasanya kalau Albert mengantarku pulang, dia bakal mampir sebentar dan mengajak Lio ke lapangan basket kompleks perumahanku yang nggak jauh dari sini, Dia bakal menunjukkan kebolehannya sebagai kapten tim basket sekolah, dan Lio akan menontonnya melakukan lemparan three point dengan mata membelalak terpesona, Setelah itu, Albert bakal menggendong Lio di atas kepala dan menyuruh Lio memasukkan bola basket ke dalam ring, membuat Lio merasa hebatjuga karena bisa melakukan slam dunk,
Kenapa aku nggak memperhitungkan semua itu sewaktu putus dari Albert minggu lalu"
"Mm... lio nanti main basket sama Kak Aya aja, ya""
Lio menggeleng kuat-kuat. "Nggak mau! Maunya sama Kak Albert! Kak Aya nggak bisa main basket!"
Aduh! "Ngg... kalau gitu, kita main bulutangkis aja, gimana"" tawarku lagi.
Lio menggeleng untuk kedua kalinya. "Nggak mau! Lio maunya main basket sama Kak
Albert! Oke, kayaknya aku memang benar-benar harus terus terang sama anak kecil ini, Aku berdiri dan pindah duduk di kursi teras, lalu mengajak Lio bicara sambil menggenggam tangannya,
"Lio, Kak Albert nggak bakal main ke sini lagi."
Lio terdiam sesaat. "Kenapa"" tanyanya, akhirnya, dengan ekspresi sedih yang nggak kusangka. "Karena kemarin Lio nakal, ya" Lio minta dipangku terus, padahal Kak Albert capek""
Aku memejamkan mataku, Ya ampuuuunn... gimana aku harus ngejelasin" Melihat tampang sedih Lio sekarang aja aku rasanya sudah kepingin nangis, "Bukan karena Lio yang nakal kok, tapi Kak Aya..."
"Kak Aya yang nakal"" tanya Lio.
"Mm... ya, kira-kira gitu, Lio, Kak Aya nakal, dan Kak Albert nggak mau berteman lagi sama Kakak. Kami sudah putus."
Lio menatapku dalam-dalam setelah aku mengucapkan kalimat itu, Aku sampai nggak percaya anak lima tahun ternyata bisa melakukan hal semacam itu,
"Jadi, Kak Albert nggak bakal main ke sini lagi"" tanya Lio memastikan. Aku mengangguk, pedih,
Mendadak, tangis Lio meledak, Ia melepaskan tangannya dari genggamanku, dan berlari masuk ke rumah sambil memanggil-manggil Mama, Aku langsung merosot lemas di kursi, Seminggu ini aku menghindar cerita pada Mama soal putusnya aku dan Albert, tapi kelihatannya sebentar lagi aku harus menjelaskan juga,
Dugaanku benar, Nggak sampai lima menit kemudian, Mama muncul di teras dengan tatapan menuntut penjelasan, Tangan kanan Mama menggandeng Lio yang masih menangis,
"Fraya, kamu jangan bicara ngawur sama Lio."
Oh no, not that calling-me-Fraya-thing again! Mama pasti bakal ngamuk!
"Bicara ngawur apa, Ma"" tanyaku capek. Punggungku masih kusandarkan di sandaran kursi
teras, "Kamu bilang ke Lio bahwa kamu dan Albert sudah putus, iya"" "Iya. Itu nggak ngawur, itu benar."
Mama melongo, sementara Lio, entah kenapa, menangis semakin keras, Seolah aku dan Albert ini orangtuanya, dan kami bakal bercerai,
"Kenapa"" tanya Mama setelah berhasil mengatupkan mulutnya lagi. Mama memanggil Sus Ita dan memintanya membawa Lio yang sedang menangis masuk ke rumah, Itu tanda bahwa Mama bakal bicara serius denganku,
"Yah... aku dan Albert sudah lama nggak cocok, Ma. Ada hal-hal yang sewaktu baru jadian, sepertinya bakal bisa kami atasi, tapi ternyata nggak segampang yang aku kira, Semuanya jadi makin buruk belakangan ini, dan aku sama Albert juga makin sering berantem, Aku pikir, nggak ada gunanya kami terus jalan kalau lebih banyak berantemnya, jadi..."
"Kamu mutusin Albert""
"Nggak. Albert yang mutusin aku."
Mama mendesah. "Jangan bilang itu karena dia kesal sama semua tingkah lakumu saat dia datang ke sini di hari final Thomas-Uber Cup itu."
"Yah, itu salah satu pemicunya.
Tapi memang aku dan Albert lebih baik putus begini, Ma. Dia semakin nggak bisa mengerti aku, aku juga begitu."
Aku menunggu Mama meledak marah, tapi ternyata Mama hanya diam selama beberapa detik sebelum akhirnya bicara lagi,
"Tapi, Aya, nggak gampang cari pacar seperti Albert. Anaknya baik, sopan..."
"Tenang aja, Ma, banyak cowok yang lebih baik daripada Albert kok. Mama nggak usah khawatir."
"Tapi Lio"" tanya Mama cemas. "Dia sudah terlanjur lengket sama Albert, dan dia pasti sedih karena Albert nggak bakal main ke sini lagi..."
Aku menghela napas. "Iya sih... tapi aku yakin lama-lama Lio bakal terbiasa, Ma, Mungkin awalnya memang berat..."
"Yah... sudahlah kalau begitu, Mama sangat menyayangkan, tapi Mama percaya kamu sudah besar, kamu tahu risiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang kamu ambil."
Mama menepuk lenganku, lalu berjalan masuk ke rumah, Aku menekan punggungku ke kursi teras dan memejamkan mata,
Ya, sekarang aku sudah besar, Aku tahu risiko dan konsekuensi dari setiap keputusan yang aku buat, Kalau saja delapan tahun lalu aku juga tahu bahwa menyerah begitu saja pada larangan Mama untuk masuk klub bulutangkis akan membuatku begini nelangsa di masa depan, pasti dulu aku akan lebih berusaha membujuk Mama,
Alasan Mama "LO kenapa, Fray"" tanya Sharleen sambil mengelap keringat di dahinya. "Loyo amat..."
Aku menenggak air mineralku banyak-banyak, Sharleen baru saja membabatku dua set langsung, hal yang sangat jarang terjadi sebelumnya, Sebelum ini, kalaupun aku kalah dari Sharleen, pasti kalahnya rubber set, dan dengan skor yang tipis, Tapi kali ini Sharleen begitu mudah menjungkalkanku,
"Lo masih nggak konsen gara-gara putus sama Albert, ya"" tebaknya.
Aku menggeleng. "Nggak. Memang gue kayaknya nggak fit hari ini. Lemes terus dari pagi." "Kurang darah kali lo, sama kurang tidur. Lingkaran hitam di bawah mata lo makin mirip vampir, tau!"
Aku refleks meraba pelupuk mata kananku, dan mengusapnya perlahan, Semalam tidurku gelisah, dan aku terbangun jam empat subuh tanpa bisa tidur lagi, Jadi aku menyalakan komputer dan mencari situs majalah Shuttlers, lalu membaca artikel-artikel hasil tulisan Shendy yang berhasil kutemukan di sana, Shendy jenis jurnal is yang mampu memasukkan jiwa ke dalam setiap tulisannya, Beberapa yang kubaca, seperti artikel tentang bagaimana Greysia Polii berjuang menjadi atlet sampai seperti sekarang, ditulis dengan sangat bagus, sampai-sampai aku merinding saat membacanya, Karena keasyikan browsing, aku sampai nggak sadar hari sudah pagi, dan aku nggak boleh tidur lagi kalau memang nggak mau telat ke sekolah,
"Fray, lo ada masalah"" bisik Sharleen di dekatku.
Aku menghela napas dan duduk bersila di lantai kayu sports hall tempat kami bermain, Sharleen mengikutiku, Ekskul hari ini sudah selesai, Pak Richard dan sparring partner-ku yang lain sudah pada pulang, Tadi aku dan Sharleen memang berniat main satu game sebelum pulang, hal yang memang biasa kami lakukan, Jadi, sekarang hanya tinggal kami berdua di hall yang luas ini,
"Iya." "Ngg... karena Albert sekarang dekat sama Nindy""
Aku mengernyit, tapi rupanya Sharleen nggak kelihatan sedang bercanda, Rupanya dia benar-benar mengira lingkaran hitam di bawah kedua mataku ini gara-gara aku patah hati diputusin Albert, Well, padahal aku menangisinya pun nggak, Tapi siapa Nindy itu"
"Nindy"" tanyaku.
"Oh" Lo nggak tahu" Berarti masalah lo bukan itu"" "Nggak. Masalah gue nggak ada hubungannya sama Albert."
"Oh...," Sharleen menggumam. "Nindy itu anak kelas 11, anyway, Gue dengar sekarang Albert dekat sama dia."
"Oh," aku balas menggumam, tapi itu hanya karena aku nggak tahu harus berkomentar apa lagi, Jadi sekarang Albert sudah mulai pedekate ke cewek lain" Baguslah, Dia sebenernya cowok yang baik, kalau saja dia mau lebih mengerti rasa sukaku pada bulutangkis,
"Jadi... masalah lo apa" Kalau lo nggak keberatan cerita sih..."
Aku menggigit bibir, dan menimbang-nimbang dalam hati, Apa Sharleen akan menertawaiku kalau aku menceritakan padanya tentang obsesiku yang nggak kesampaian" Apa dia bakal menganggapku konyol, dan bakal meledekku sepa
njang masa" Tapi mendadak aku sadar, kalau ada orang yang bisa mengerti perasaanku, Sharleen-lah orangnya, Bukan Albert, Mama, Adisty, ataupun Claudia, tapi Sharleen, Kecintaannya pada bulutangkis kan nggakjauh beda denganku,
"I wish I could turn back the time, Shar."
Sharleen melongo. "Kenapa" Lo habis melakukan apa""
"Gue membuang gitu aja cita-cita dan impian terbesar dalam hidup gue, hanya karena nyokap gue melarang..."
Sharleen diam sesaat, lalu mengerjap tak percaya karena mengerti apa yang kumaksud, Dulu aku memang pernah cerita padanya tentang kegagalanku masuk klub bulutangkis karena ditentang Mama,
"Lo kepingin balik ke masa lalu, dan melihat apa jadinya Fraya yang sekarang ini, seandainya lo dulu tetap ngotot untuk masuk klub"" tebak Sharleen tepat sasaran, Aku mengangguk,
"Aduh, Fraya..." Sharleen geleng-geleng. "Gue ngerti banget perasaan lo. Gue juga pernah beberapa kali ngerasain kayak gitu..."
"Oh ya"" aku melongo. Sharleen nggak pernah cerita sebelumnya.
"Iya. Tiap gue nonton turnamen bulutangkis, gue selalu bilang dalam hati 'Seandainya aja dulu gue masuk klub, mungkin gue bisa seperti si ini... atau si itu...', dan gue merasa sedih banget. Kayak nggak punya harapan hidup lagi."
Aku sesak napas saking gembiranya, Sharleen juga pernah merasakan hal seperti itu! Berarti aku masih normal!
"Gue nggak pernah cerita ke siapa pun, karena gue tahu nggak semua orang bisa mengerti
perasaan gue, Tapi lama-lama gue seperti diingatkan, kalau gue bisa memutar waktu pun, nggak ada yang menjamin apa yang gue dapat nanti bakal lebih baik dari sekarang, kan"" Ekspresi gembiraku kontan lenyap. "Maksud lo""
"Yah... katakanlah, seandainya dulu gue bener masuk klub, apa gue bakal jadi pemain yang
hebat" Gue tahu kemampuan gue, Fray, dan gue bukan jenis pemain yang luar biasa, Banyak pemain di luar sana yang punya kualitas lebih baik, dan gue bukan orang yang siap menerima kenyataan cita-cita gue gagal, setelah gue berjuang setengah mati untuk meraihnya." Aku merasakan lidahku kelu,
"Kalau lo, nah itu lain ceritanya, Gue yakin dengan skill lo sekarang, lo pasti bisa menembus Pelatnas, Masuk jajaran pemain hebat juga pastinya, Tapi Tuhan tahu yang terbaik buat kita
berdua, kan" Gue percaya apa pun yang gue terima sekarang, itu adalah yang terbaik, dan gue berusaha menyukurinya, walaupun,,, yah,,, gue masih sering juga mupeng kalau lihat Maria Kristin atau Lilyana Natsir di TV, hehehe... Aduh, kokjadi curhat mellow gini gue..."
Sharleen menjitaki kepalanya sendiri, tapi aku masih terpaku diam pada ekspresi dan posisiku tadi,
"Jadi... gue..."
"Gue nggak gitu aja nyerah, Fray. Gue berusaha semampu gue, cari klub yang masih mau
terima pemain dengan usia gue, usia kita sekarang, tapi sudah nggak ada lagi, Maksimal empat belas tahun, and it was so long time ago when I was fourteen, ya kan" Sudah terlambat."
Sudah terlambat, Sudah terlambat, Sudah terlambat...
"Beneran nggak ada, Shar"" tanyaku memastikan.
"Nggak ada. Kita sama-sama tahu kan, pemolesan atlet bulutangkis itu dimulai sejak kecil" Kita udah ketuaan..."
Aku menelan ludah, Biarpun aku bisa menduga fakta ini, tapi mendapat kepastian tentangnya benar-benar menyakitkan, Tadinya sempat ada harapan bodoh bahwa, mungkin saja, masih belum terlambat bagiku untuk mengubah arah, Bahwa, mungkin saja, aku masih bisa meraih cita-citaku karena ada klub yang bisa menerimaku jadi anggotanya dan menggemblengku,,,
"Yah, mau nggak mau kita memang harus terima. Yang bisa kita ikuti sekarang cuma ekskul bulutangkis seperti ini, Tapi lumayan lah, daripada nggak sama sekali. Iya, kan""
Aku nggak menjawab, kugigit bibirku kuat-kuat, Mungkin benar kata Sharleen, kami masih cukup beruntung bisa ikut ekskul bulutangkis, daripada nggak sama sekali, tapi aku tetap merasa nggak puas, Seolah aku ini burung rajawali, tapi dipaksa menjadi anak ayam yang oke-oke saja tinggal di kandang,
"Fraya" Halooo" Fraya""
Sharleen mengguncang-guncang badanku, dan aku kontan tersentak,
"Hmm... gue tahu, ini pasti salah satu dampak prestasi fenomenal tim Uber kita di TUC kemarin, kan""
"Mmm... iya. Nggak tahu kenapa,
tapi gue seperti benar-benar disadarkan gue kepingin jadi seperti mereka, Shar. Semua hal lainnya seperti nggak berarti lagi..."
"Yah... gue ngerti, tapi gimana dong" Kita bukan mereka, dan sudah nggak ada kesempatan lagi untuk jadi seperti mereka, Gue pikir, kenapa gue nggak berusaha menikmati hidup aja" Kenapa gue harus memaksakan diri" Gue masih bisa menikmati bulutangkis, walau nggak terjun total di dalamnya, itu sudah bagus."
Aku berusaha memahami kata-kata Sharleen, tapi nggak tahu kenapa, pikiranku seperti membentuk antibodi terhadap "virus" kata-kata Sharleen Wiryono, Aku nggak mau semua kalimat itu meresap ke dalam diriku, Aku masih belum bisa menerima bahwa aku sudah kehilangan semua harapan....
Tanpa terasa, sudah tiga minggu aku dan Albert putus, dan hidupku makin terasa hampa, Bukan, bukan gara-gara putusnya aku dan Albert, atau karena Albert sudah resmi jadian dengan Nindy minggu lalu, tapi semata-mata karena aku hidup tanpa harapan dan impian lagi, Setiap pagi aku hanya bangun dan melakukan rutinitas yang membosankan: mandi-berangkat-sekolah-pulang sekolah-belajar-mandi-makan-tidur-bangun lagi, begitu terus setiap harinya, Hidupku kosong seperti hidup Bella Swan setelah ditinggal Edward Cullen,
Lama-lama aku muak pada diriku sendiri, Sampai suatu hari aku ingat, sampai sekarang aku belum tahu pasti apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis sewaktu aku kecil dulu, Ya, sekarang aku sudah cukup besar, Mama pasti bisa menjelaskan alasannya, dan aku juga pasti bisa memahaminya,
Aku nggak mau kalau ternyata besok aku ketabrak angkot saat mau berangkat sekolah, aku belum tahu apa alasan Mama melarangku masuk klub bulutangkis itu, bisa-bisa aku jadi arwah penasaran karena masih ada urusanku yang belum selesai di dunia ini!
Mm,,, nggak segitunya sih,,, Tapi yah, pokoknya aku harus mencari tahu dari Mama saat ini
juga! Mama di mana ya sore-sore begini" Tadi sih waktu aku pulang sekolah... Ah ya, pasti di kebun!
Aku setengah berlari menuju kebun depan, dan ternyata dugaanku benar, Mama ada di sana, sedang mengguntingi dedaunan kering dari tanaman-tanamannya yang memenuhi kebun,
"Ma...," aku memanggil Mama sambil menimbang-nimbang dalam hati, Apa aku serius mau menanyakan hal ini ke Mama" Apa Mama bakal marah nanti" Karena aku meragukan apa yang dipandangnya sebagai yang-dia-lakukan-demi-kebaikanku-sendiri"
"Hmm"" Mama menjawab dengan gumaman, karena ia sedang asyik dengan bunga-bunganya, Duh! Salah sikon! Mama tuh paling nggak nyambung diajak ngomong kalau lagi asyik berkebun, Bisa-bisa Mama menjawab, "Karena kamu harus membeli pupuk dan tanah baru buat Mama" kalau nanti aku menanyakan kenapa ia dulu tak mengizinkanku les bulutangkis!
"Ada apa, Aya"" Mama menoleh karena aku nggak lagi bersuara setelah memanggilnya tadi, tapi tangannya masih asyik mengguntingi dedaunan kering,
Oke, now or never! "Kenapa sih dulu Mama nggak ngebolehin aku jadi atlet bulutangkis""
Mama diam sejenak, tapi tangannya terus bekerja, "Kata siapa"" jawab Mama akhirnya,
Ngg... kayaknya bener deh, Mama nggak nyambung dengan pertanyaanku, "Kenapa sih dulu Mama nggak ngizinin aku jadi atlet bulutangkis"" aku mengulang. Mama menoleh. "Mama dengar kamu ngomong apa, Aya. Yang Mama tanya, siapa yang bilang Mama nggak ngizinin kamu jadi atlet bulutangkis""
Aku melongo selebar-lebarnya,
"Ya kan... kan Mama nggak ngizinin aku les bulutangkis waktu aku minta dulu. Itu kan berarti Mama nggak ngizinin aku jadi atlet bulutangkis..."
Aku meremas-remas tanganku dengan gelisah, Jangan-jangan habis ini Mama marah besar, dan bakal melarangku ikut ekskul, atau nonton, atau suka lagi pada bulutangkis, Tapi aku harus mencari tahu, apa alasan Mama dulu, Harus!
"Ya ampun, Aya, Mama waktu itu melarang bukan karena Mama nggak setuju kamu jadi atlet bulutangkis, tapi karena kamu minta les itu sebelum kamu ujian kenaikan kelas. Ingat nggak""
Aku mencelos, dan memutar kembali ingatanku ke saat itu, Aku, berumur sepuluh tahun, minta Mama memasukkanku ke klub bulutangkis di dekat rumah, Mama bilang nggak boleh, tanpa memberi alasan apa pun, Dan memang saat itu aku
mau ujian kenaikan kelas...
Aku tersentak dari lamunanku, dan kembali ke masa sekarang, Mama berdiri di depanku, menatapku lekat-lekat,
"Jadi... jadi...," aku tergagap. "Seandainya waktu itu,,, setelah ujian, aku minta masuk klub, apa Mama bakal ngizinin""
"Iya dong! Malah, waktu itu Mama sempat heran, kenapa kamu nggak minta masuk klub lagi
setelah ujian selesai, Tapi waktu itu Mama kira kamu sudah hilang minat pada bulutangkis, Anak seumur kamu waktu itu kan memang gampang bosan..."
Aku terpaku di tempatku dengan mulut menganga lebar dan mata yang berulang kali mengerjap, Jadi,,, itukah alasan Mama sebenarnya" Hanya itu"
Dan aku mengira, impianku sudah terkubur selamanya karena nggak mendapat restu orangtuaku, padahal Mama melarangku masuk klub hanya karena aku memintanya sebelum ujian kenaikan kelas"
Aku meraskaan dadaku sesak, Ini tidak benar, Rasanya aku akan lebih bisa menerima kalau Mama bilang alasannya dulu adalah karena ia menganggap bulutangkis tidak akan memberikan masa depan yang menjanjikan bagiku, atau karena Mama lebih suka aku jadi dokter, pengacara, atau apalah... bukan alasan "sepele" macam ini.
Impian terbesarku hancur hanya karena aku nggak mau meminta kejelasan pada Mama dulu, Padahal kalau saja aku melakukannya, mungkin sekarang aku,,,
"Aya" Lho" Kamu kenapa nangis""
Aku tersentak, dan mengusir air mata yang menuruni pipiku secepat kubisa dengan tangan, "Aku... aku nggak pa-pa, Ma..."
Dan aku berlari menghambur masuk ke kamarku, nggak keluar-keluar lagi biarpun Mama memanggilku berulang kali,
Ketika akhirnya aku keluar dari kamar untuk mencari makan karena lambungku meraung-raung, Mama sudah siap menginterogasiku, Tapi, sebelum Mama sempat menanyakan apa pun, aku sudah berlari ke kulkas dan mengganyang donat J,Co yang kutemukan di sana dengan rakus,
"Lapar"" tanya Mama, dengan nada yang nggak bisa kukenali sebagai marah atau perhatian.
"Lambungku sakit."
Mama menghela napas. "Tuh kan, padahal tadi Mama sudah panggil-panggil kamu untuk makan..."
Aku nggak menjawab, masih terus mengunyah donatku, merasakan potongan-potongan kacang almond di lidahku,
"Mau teh hangat"" tawar Mama. Aku mengangguk.
Mama memberi isyarat supaya aku duduk di kursi pantry, dan aku tahu, itu berarti Mama bakal mulai bicara serius denganku,
Nggak sampai satu menit, teh hangat sudah tersaji di hadapanku, Mama membuat es teh untuk dirinya sendiri, dan mengambil sepotong donat lagi dari kulkas,
"Lio sama Claudia mana"" tanyaku basa-basi, sebelum Mama mulai menginterogasiku. Entah kenapa, aku merasa akan lebih baik kalau aku mengulur waktu pembicaraan ini sedikit, Mungkin dengan begitu aku bisa lebih menenangkan diriku,
"Sudah tidur," jawab Mama.
"Papa"" tanyaku lagi.
"Ada acara pernikahan anak temannya, jadi Papa ke sana. Belum pulang." "Kok Mama nggak..."
"Ikut juga, padahal kondisi kamu lagi aneh begini"" potong Mama. Aku menelan potongan
donat yang masih ada dalam mulutku dengan susah payah karena mendengar kalimat Mama itu, "Aya, dengar... Mama rasa sudah cukup Mama memberikan tenggang rasa pada kamu untuk
bersikap aneh begini..." "Aneh gimana""
"Yah... seperti kondisimu sekarang. Muram, suka mengurung diri di kamar, seperti orang
tanpa semangat hidup..."
Aku tercekat, Rupanya Mama memperhatikanjuga semua tingkah lakuku, padahal aku sudah berusaha sebisa mungkin agar kelakuanku tidak terlihat aneh, dan agar aku tidak diinterogasi begini, Tapi kayaknya kejadian tadi sore di kebun sudah menggagalkan segala usahaku untuk berpura-pura normal,
"Mmm... ini cuma karena... Albert punya pacar baru," karangku asal, karena hanya alasan
itulah yang melintas di otakku,
Anehnya, Mama menggeleng. "Mama nggak percaya. Ini sama sekali nggak ada hubungannya
sama Albert," "Kenapa""
"Yah, karena murung yang kamu alami itu bukan seperti murung orang patah hati. Dan tadi
sore, kamu nangis gitu aja setelah nanya apa alasan Mama melarangmu masuk klub bulutangkis dulu, Itujelas nggak ada hubungannya sama Albert, Ada apa, Aya""
Dan tanpa bisa dicegah lagi, aku menangis tersedu-sedu di hadapan Mama, Kenyataan bahwa Mama bisa menebak apa yang sedang
kurasakan, bahwa aku ada masalah dan berpura-pura aku baik-baik saja, membuat tangisku pecah,
Mama memelukku tanpa mengatakan apa-apa, hanya membelai rambutku perlahan, Aku seperti kembali ke masa kecilku, Di saat aku ketakutan karena ada hujan petir atau teringat film-film hantu di TV, aku selalu mencari Mama untuk minta dipeluk, dan setelah itu aku bakal merasa aman dan tenang,
"Sudah, sudah... sekarang kamu ceritain ke Mama, kamu ada masalah apa""
Lalu aku menjelaskan masalahku pada Mama dengan tangis sesenggukan, Aku lega bisa bercerita, tapi terselip juga rasa takut,,, jangan-jangan Mama kira aku bakal menyalahkannya, karena memang bisa dibilang dialah yang membuat cita-citaku kandas begitu saja, walau aku sama sekali nggak menyalahkannya,
Mama terdiam beberapa saat setelah aku selesai mengeluarkan unek-unekku, dan perasaanku makin tak keruan, Apa jadinya kalau Mama marah padaku" Mama jenis orang yang jarang marah, tapi sekalinya ngambek, ia akan sangat susah dibujuk dan diajak berdamai,
"Maafin Mama, ya"" kata Mama akhirnya, membuatku melongo. "Mama sudah membuat kamu kehilangan kesempatan untuk mewujudkan impian terbesarmu,.."
Mama terdiam lagi, dan sedetik kemudian aku melihat air mata mengalir turun di pipinya, Aku syok, tapi tanganku refleks mengusap air mata di pipi Mama,
"Ma, ini bukan salah Mama... Kalau aja dulu aku nggak segitu gampangnya patah semangat, dan mau bertanya lebih jauh apa alasan Mama, semua ini juga nggak bakal terjadi, Tapi nyatanya, aku nyerah gitu aja... Ini sama sekali bukan salah Mama..."
"Aya, kalau aja Mama tahu, kamu betul-betul cinta sama bulutangkis, Mama pasti akan membantumu mewujudkan cita-citamu, Tapi waktu itu kamu masih kecil, dan Mama kira kamu hanya minat sesaat saja, lalu akan bosan..."
"Sudahlah, Ma... Nggak pa-pa kok, Aku memang sedih, dan rasanya hampa banget sekarang ini, Tapi aku tahu semua yang sudah terjadi sekarang adalah yang terbaik, Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah buat aku, Ma, Jadi Mama jangan menyalahkan diri Mama sendiri, ya" Aku sama sekali nggak menyalahkan Mama kok..."
Mama mengangguk, dan aku merasa batinku perih, Kenapa aku ini" Kenapa aku jadi seperti memojokkan Mama" Padahal ia sudah melakukan begitu banyak hal untukku sejak aku lahir, Dan kalaupuns ekarang aku nggak bisa jadi atlet bulutangkis seperti yang kuinginkan, memangnya kenapa" Aku toh masih punya kehidupan yang baik, keluarga yang utuh dan berkecukupan, tubuh yang sehat, mungkins emua yang diinginkan cewek seumuranku, Kenapa aku harus mengeluh"
Lagi pula, jadi atlet mungkin nggak segampang dan seindah yang kubayangkan,
Indonesia Super Series 2008
SETELAH adegan curhat melodramatis yang terjadi antara aku dan Mama di pantry waktu itu, rasa hampa di dalam diriku sedikit memudar, Bukan hilang seluruhnya, karena aku masih saja suka cengeng mengingat cita-citaku yang nggak mungkin kuwujudkan lagi, tapi... time heals, Aku sudah mulai bisa menerima kenyataan,
Sebagai kompensasi karena nggak mungkin lagi mengejar cita-citaku untuk menjadi atlet, aku menenggelamkan diri dengan segala hal dan informasi tentang bulutangkis, Aku bergabung dengan semua milis bulutangkis yang kutemui di Internet, juga dengan forum-forum pecinta bulutangkis, Bukannya aku dulu nggak melakukan itu, tapi dulu aku sekadar join, lalu jadi member pasif, Sekarang aku berusaha sebisaku jadi member yang aktif, termasuk ikut acara-acara latihan bareng yang sering diadakan komunitas salah satu milis yang kuikuti,
Mama juga sekarang sangat mendukungku ikut kegiatan latihan-latihan seperti itu, Mungkin sekarang ia ingin menyokongku masuk ke dunia yang kusukai itu, karena dulu ia tak melakukannya, Bukan karena dulu ia tak mau, taip karena dulu Mama tak tahu aku serius soal bulutangkis,
Hebatnya lagi, Mama bahkan membelikanku raket baru, yang kuincar sejak dulu tapi belum bisa kubeli karena harganya selangit, Raket itu Yonex ArcSaber 9 women's special model debut, yang biasa digunakan pemain-pemain sekelas Maria Kristin dan Xie Xingfang!
Aku nyaris nggak percaya waktu suatu siang sepulang sekolah aku menemukan bungkusan b
erisi raket itu di atas tempat tidurku, Rupanya Mama diam-diam menyuruh Claudia "mengintip" folder-folder di laptop-ku, tempat aku menyimpan banyak sekali foto dan informasi tentang raket itu, Lalus etelah tahu raket apa yang sedang kuincar, Mama langsugn mencarinya di toko perlengkapan olahraga, dan membelikannya untukku, Yes!
Kembali lagi ke kegiatan latihan bareng yang sering kuikuti sekarang ini, Jadi jagoan bulutangkis di sekolah ternyata tak membuatku bisa memenangi sesi latihan yang diadakan dua kali seminggu itu dengan mudah, Aku minim pengalaman, dan lawan-lawan yang pernah kuhadapi paling hanya para sparring partner-ku di sekolah, sementara peserta-peserta lainnya sudah sering berlatih bersama dan punya teknik permainan yang lebih matang, Ditambah lagi, kebanyakan anggota latihan itu adalah bapak-bapak, Tapi mereka semua baik dan memperlakukanku seperti anak sendiri, karena rupanya banyak juga yang memiliki anak seumuranku, Tapi anak-anak mereka sebagian besar telah bergabung di klub bulutangkis sejak kecil, malah banyak yang sekarang sudah ikut event-event ke luar negeri, dikirim oleh klub-klub tempat mereka bernaung,
Ada suatu kali aku iri sekali mendengar cerita Pak Yoso, yang anaknya dikirim mengikuti International Challenge ke Paris oleh klub bulutangkis tempatnya bergabung, tapi aku memendam rasa iri dan mupengku itu kuat-kuat, Baru setelah aku pulang dan sendirian di kamar, aku tenggelam dalam tangis, Aku terus saja kepikiran, seandainya aku dulu masuk klub, apakah aku bisa dikirim ikut turnamen-turnamen sampai ke luar negeri juga" Tapi aku tahu, itu pemikiran yang bodoh, Nggak ada gunanya aku terus memikirkannya sekarang, toh itu nggak bakal mengubah apa-apa, Hanya membuatku nggak bersyukur saja,
Tanpa kurasa, hari demi hari berlalu, dan tiba-tiba saja Djarum Indonesia Super Series sudah di depan mata, Kali ini aku excited luar biasa menunggu event itu berlangsung, karena sekarang sudah nggak ada lagi pacar bawel yang bakal mengomeliku jika aku tiap hari menyatroni Istora untuk nonton bulutangkis, Dan Mama pun nggak akan cerewet lagi Jika aku pulang malam gara-gara nonton bulutangkis, Mama malah memberiku uang jajan lebih supaya aku bisa beli tiket kelas VIP untuk babak semifinal dan final, Horeeee!
Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga, Aku berniat nonton Indonesia Super Series ini mulai dari hari pertama, Pokoknya, aku nggak boleh kelewatan sedikit pun, Bakal menyesal sampai nenek-nenek nanti!
Banyak orang yang baru akan nonton pertandingan kelas dunia saat sudah menginjak babak semifinal atau final, Menurutku itu salah besar, apalagi kalau tujuan nontonnya adalah bisa ketemu atlet-atlet terkenal untuk minta tanda tangan atau foto bareng, Di babak-babak puncak, seperti semifinal dan final, biasanya pengamanan bagi atlet bakal sangat ketat, dan akan makin susah menjangkaunya, Sementara kalau masih babak kualifikasi dan penyisihan, belum banyak yang datang menonton, pengamanan pun jadi sedikit longgar, Kebanyakan atlet top yang sudah selesai bertanding nggak langsung balik ke hotel, tapi tetap di Istora untuk menonton rekan-rekan atau calon lawannya bertanding, Dan saat itulah mereka paling mudah untuk didekati! Plus, mereka juga bakal bersikap super-ramah, karena sedang dalam suasana santai, Lain ceritanya kalau mereka diburu saat akan bertanding di semifinal atau final, Jelas saat itu mereka nggak akan menggubris, karena ingin fokus ke pertandingan penting yang bakal mereka hadapi,
Aku jenis pecinta bulutangkis yang nggak terlalu menggilai atlet-atletnya, lain dengan Sharleen yang tergila-gila pada Simon Santoso dan Lee Yong Dae, pemain ganda putra Korea, atau seperti si Wilson yang pecinta berat tunggal putri China, Zhu Lin, Aku menggilai bulutangkis sebagai satu keseluruhan, Soalnya, menurutku nih ya, kalau kita menggilai atlet tertentu, mungkin rasa suka kita pada bulutangkis bakal memudar jika si atlet pensiun atau prestasinya mendadak jeblok, Itu sudah terbukti pada kasus Tante Sissy dan Tante Wenny dengan Ricky Subagdja, hehe, Lain ceritanya kalau aku benar-benar suka pada bulutangkis
, Biarpun pemain-pemain lama pensiun dan muncul pemain-pemain baru, aku bakal tetap suka bulutangkis, Bukannya aku nggak punya atlet favorit, Aku suka Lilyana Natsir, Maria Kristin,
dan Greysia Polii, tapi itu sebatas pemain favorit aja, karena aku suka gaya permainan mereka, Aku tetap suka bulutangkis sebagai satu keseluruhan,
Hari pertama itu aku datang bareng Sharleen ke Istora, Wilson dan Charles beranggapan hari ini belum akan seru karena masih babak kualifikasi, jadi mereka nggak ikut,
Aku dan Sharleen sampai di Istora jam dua siang, dan hanya tersisa beberapa pertandingan yang bisa kami tonton, karena babak kualifikasinya sendiri sudah dimulai sejak jam sepuluh pagi tadi, Pertandingan hari ini kebanyakan antar sesama pemain Indonesia yang memperebutkan tiket ke babak utama, Banyak pemain yang bahkan harus bertanding dua kali hari ini, pada sesi pagi dan sesi sore, karena meskipun peserta babak kualifikasi banyak, panitia hanya menganggarkan satu hari saja untuk babak ini, Jadi kasihan juga sama pemain-pemain yang bertanding dua kali dalam sehari itu, Tapi mereka memang dilatih untuk menjadi atlet andalan, Stamina mereka benar-benar memungkinkan untuk bertanding dua kali sehari, Kalau aku sih mungkin sudah teler,
Hari kedua aku datang ke Istroa sambil, tentu saja, membawa tim penggembiraku, Kali ini anggotanya lengkap, mulai dari Sharleen, Wilson, Charles, sampai Pak Richard pun ada, Dan ada tambahan satu anggota lagi kali ini: Claudia, Aku nggak tahu pasti apa alasannya ikut, Dia sih bilang kepingin ngerti tentang bulutangkis juga, tapi aku dapat bocoran dari Sharleen bahwa Claudia ikut hari ini karena dia bernafsu sekali kepingin foto bareng Simon Santoso, Claudia ingin memamerkan foto itu ke teman-temannya, terutama musuh abadinya, Amelia,
Ya ampun, anak itu,,, benar-benar anak yang aneh!
Berhubung turnamen ini diselenggarakan di negeri sendiri, yang berarti nggak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar, Indonesia menurunkan banyak sekali atletnya, termasuk para atlet nonpelatnas yang tergabung dalam salah satu klub bulutangkis besar Indonesia, PB Djarum, Aku benar-benar senang, karena semakin banyak wakil Indonesia, berarti semakin besar peluang Indonesia untuk juara! Nggak peduli deh pemain Indonesia mana yang nantinya meraih gelar juara, yang penting orang Indonesia,
Aku sudah cukup pengalaman untuk nggak membeli tiket VIP untuk babak kualifikasi dan penyisihan, Ngapain gitu lho, secara pas dua babak awal itu kan belum banyak penonton, jadi yang beli tiket tribun pun bisa diam-diam duduk di bangku VIP karena nggak ada penjaga yang mengawasi,
Tapi hmm,,, kok tumben ya tiket babak kualifikasi dan penyisihan tahun ini dijual" Indonesia Super Series tahun-tahun sebelumnya nggak pernah tuh menjual tiket kualifikasi dan penyisihan, Tiket yang dijual baru tiket babak perempat final ke atas, Tapi mungkin ini karena pengaruh Thomas-Uber Cup yang mahadahsyat kemarin, yang menghadirkan animo luar biasa, makanya panitia menduga Indonesia Super Series kali ini pun bakal djubeli penonton, hingga akan menguntungkan kalau menjual tiket mulai babak-babak awal,
Aku baru saja mendaratkan bokongku di bangku Istora yang keras dan bersiap menonton pertandingan antara Adrianti Firdasari dan Hwang Hye Youn dari Korea, waktu HP-ku
berbunyi, Ada SMS, From: Shendy-wartawan Shuttlers
Nonton Indo SS gak" Ato masih dihukum cwo lo"
Aku mesam-mesem membaca SMS itu. No way, Shen, gue sekarang udah nggak punya pacar bawel yang bakal melarang-larang gue memuaskan kegilaan pada bulutangkis lagi!


Badminton Freak Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

To: Shendy-wartawan Shuttlers
Ntn dong! Gw udh pts sm cwo tengil itu, i'm free! :D Ini gw lg di
istora. Lo dmana, kok ga kliatan"
"Eh, eh, kita boleh nggak sih ke sana" Boleh nggak"" Claudia berceloteh ribut saat aku baru
selesai membalas SMS Shendy. Tangannya menuding ke player area di seberang tempat kami duduk.
"Nggak boleh, dodol. Itu khusus buat pemain, pelatih, ofisial, sama wartawan aja!" Aku
menoyor Claudia pelan. "Yah... nggak ada cara gitu buat masuk ke sana" Tadi gue lihat Simon Santoso di sana, Aya!
-goyangkannya de ngan gaya yang sangat menyebalkan. Persis gaya Lio minta dibelikan es krim kalau kami sedang di supermarket.
"Ya nggak ada lah! Kecuali lo punya ID card!"
"Yahh..." Claudia manyun. "Shar, beneran nggak ada cara buat masuk ke sana, ya"" Karena
nggak mendapatkan jawaban sesuai yang diharapkan dariku, Claudia beralih menanyai Sharleen. Dasar anak rese!
"Nggak bisa, Claud... Di sana ada penjaganya, yang nggak punya ID card bakal langsung diusir..."
"Tapi gue kepingin foto sama Simon Santoso..." Akting Claudia sebagai anak manja semakin menjadi-jadi. Bikin aku bete setengah mati.
"Udahlah, nyantai aja. Simon tuh bentar lagi mau main. Ntar juga kalau habis main dia bakal
duduk-duduk di tribun. Nah, kita bisa nyamperin pas itu. Atau nanti deh gue minta tolong temen gue yang wartawan biar ada cara supaya lo bisa foto bareng Simon. Tapi nanti ya!"
ultimatumku. Claudia nyengir kesenangan. "Naaah, gitu dong! Itu baru kakak yang baik."
Aku melengos. Dasar, kalau ada maunya aja, baru deh dia muji-muji!
"Eh, si Shendy ada ya, Fray"" tanya Sharleen. Ternyata dia bisa langsung menebak siapa "teman wartawan" yang kusebut-sebut tadi.
"Iya, tadi baru SMS gue." Tepat saat itu HP-ku berbunyi. "Nih, dia bales SMS gue. Bentar
Aku membuka SMS yang baru masuk, dan ternyata benar dari Shendy.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Thank GOD! Hehehehehe. Gue di pinggir court 2 nih, kliatan gak" Masih kerja, ntr ye ketemuan. Sharleen dll ikt ga"
To: Shendy-wartawan Shuttlers
Gpp, gw jg bersyukur kok :p hoo iya, beres deh. Ntr ya ktmuan. Sharleen cs ikut kok. Ada adk gw jg nih. Dia ngebet pgn ft sm simon.
From: Shendy-wartawan Shuttlers
Blg ama ade lo, tgguin aja simon hbs main, ntr jg dia duduk di tribun, samperin deh! ;) Atau kl bs, nanti gw bantu deh..
Aku menunjukkan SMS terakhir Shendy pada Claudia, yang langsung membuatnya belingsatan kesenangan kayak orang kena serangan cacing kremi,
" Yes, gue bakal foto sama Simon Santoso, yeees!" Claudia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, sampai beberapa penonton yang duduk di dekat kami menoleh, Ya ampun, anak ini beneran bikin malu deh! Tahu begini, tadi nggak kubolehin ikut,
"Eh, eh, Aya, kalau Lee Yong Dae ada juga nggak"" cerocos Claudia lagi.
"Aduuhh... berisik banget deh lo! Lee Yong Dae nggak ikutan!" seruku sebal dengan sedikit campuran malu karena kami jadi bahan tontonan akibat tingkah konyol Claudia barusan,
"Lho" Kenapa""
"Kehabisan stok ginseng, kali!"
"Heh"" Claudia melongo, nggak mengerti maksudku, sementara Sharleen cekikikan. "Apa sih maksudnya" Shar, maksudnya apa"" Claudia mencari jawaban pada Sharleen lagi, karena aku sekarang juga ikut cekikikan karena melihat wajah bingungnya,
"Itu lho, Yong Dae kalau main kan kayak orang kesetanan. Nah, Fraya bilang itu karena dia dicekokin ginseng mulu sama pelatihnya, Indonesia Super Series kali ini dia nggak datang, soalnya stok ginsengnya habis..."
"Eh, beneran tuh, Ya"" tanya Claudia dengan tampang yang asli blo'on banget! Membuat tawaku makin pecah,
"Ya nggak laaaah! Bercandaan gue doang, kali! Yong Dae nggak ikut soalnya kali ini Korea cuma ngirim pemain-pemain juniornya. Buat cari pengalaman kayaknya."
Claudia ber-"ooo"-ria, sementara aku berteriak kesal karena melihat Firdasari baru saja kalah dari Hwang Hye Youn di lapangan, Aduh! Hari ini saja sudah banyak sekali tunggal putri Indonesia yang kalah, Mulai dari Maria Febe, Rosaria Yusfin Pungkasari, Maria Elfira, sampai Firda, Mana nanti Maria Kristin bakal melawan Pia Zebadiah, yang berarti hanya akan ada satu tunggal putri Indonesia yang tersisa di putara dua besok, hiks,,,
"Eh, Aya, Aya!"
"Apa lagi seeeeehhh"""" gerutuku kesal, karena Claudia lagi-lagi mengusikku, Dia nggak lihat apa kalau aku lagi bete karena tunggal putri Indonesia sudah pada rontok semua" Masih mau menggangguku dengan segala celotehan nggak pentingnya"""
"Itu tuh, ada yang ganteng! Siapa sih namanya" Siapaaaaa""
Claudia menunjuk seorang cowok yang sedang bermain ganda putra di lapangan tiga, dan tanpa perlu memutar otak pun aku sudah bisa memberikan jawabannya, "Edgar Satria."
"Ihh gilaaaa, cakep banget, yaaaa""
desah Claudia terpesona. "Lebih cakep daripada Simon Santoso..."
Aku memutar bola mataku dengan kesal, Claudia ini, dia sebenarnya datang ke sini mau ngecengin cowok-cowok atlet yang bertanding ya" Sialan! Seharusnya aku bisa menebak motivasinya itu sejak awal,
"Eh, itu Edgar yang adiknya Edward Satria, kan"" celetuk Sharleen. Aku mengangguk.
Semua cewek maniak bulutangkis seperti aku dan Sharleen pasti kenal nama Edward Satria, salah satu pemain ganda putra paling hebat yang pernah dimiliki Indonesia periode tahun 2000-an, Waktu itu Edward bersama pasangannya, Antonius Sujudi, menguasai hampir semua gelar juara turnamen yang ada, Satu-satunya yang bisa menandingini mereka hanya ganda putra Indonesia lainnya, Candra Wijaya/Tony Gunawan, Edward/Antonius berhasil menyabet tiga gelar juara dunia berturut-turut, dan mungkin merekalah yang bakal menyabet emas di Olimpiade Sydney 2000 kalau bukan karena cedera lutut parah yang dialami Antonius beberapa minggu sebelum Olimpiade dihelat, yang membuat impian mereka untuk ikut dalam pesta olahraga paling bergengsi sejagat itu kandas, Emas Olimpiade Sydney untuk ganda putra akhirnyajatuh ke tangan kompatriot mereka, Candra/Tony,
Edward Satria dan Antonius Sujudi sekarang sudah pensiun, dan memilih karier sebagai pelatih di Pelatnas Cipayung, Salah satu anak didik Edward adalah adik bungsunya sendiri, Edgar, yang sedang bertanding sekarang ini,
Bukan rahasia lagi, dalam bulutangkis banyak kakak-beradik yang terjun bersama, Seperti Indra, Candra, dan Rendra Wijaya, Juga Alan Budikusuma dan Johan Hadikusuma, Edward dan Edgar Satria juga seperti itu, plus satu lagi saudara tengah mereka, Evelyn, Hanya saja, prestasi Evelyn nggak berkembang seperti kakaknya, sehingga ia memutuskan berhenti di tengah jalan, Sekarang yang tersisa hanya Edgar, dan dia pun belum menunjukkan prestasi berarti, Tapi aku maklum, karena Edgar masih muda, Kalau nggak salah, satu-dua tahun di atasku, tapi di bawah didikan kakaknya, aku berani bertaruh, he'll become a great player one day. Cuma masalah waktu aja,
Aku memperhatikan permainan Edgar dan partnernya, Steven Hardono, yang sedang melawan pasangan junior Malaysia yang nama di punggungnya tak bisa kulihat, karena punggung mereka menghadap tribun seberang, Permainan Edgar/Steven mirip permainan Markis Kido/Hendra Setiawan, Steven yang bertubuh pendek lebih aktif di garis belakang, mengembalikan bola-bola tinggi dengan smash tajam, sementara Edgar yang tinggi justru ditempatkan di depan net, untuk mematikan bola tanggung yang tak bisa dikembalikan dengan sempurna oleh lawan akibat smash dari Steven,
Edgar/Steven bermain kompak, sampai-sampai aku terpesona meliahtnya. Seolah melihat Ricky/Rexy truun kembali ke lapangan bulutangkis, hanya saja dengan semangat dan jiwa yang lebih muda. Dan sudah jelas, siapa yang bakal menjadi penerus Markis Kido/Hendra Setiawan jika mereka lengser nanti...
"Hebat banget, ya"" decak Sharleen. "Baru kali ini gue lihat dia main..."
"Hebat dan ganteeeeenggg," puji Claudia nggak penting.
Mulutku terbuka dan mengatup seperti ikan mas koki sepanjang melihat Edgar dan Steven bermain. Claudia, Sharleen, Charles, Wilson, sampai Pak Richard juga sama terpesonanya. Claudia bahkan nggak lagi menggubris Simon Santoso yang sudah mulai bermain di lapangan sebelah!
Pasangan Malaysia dibuat keteteran setengah mati oleh Edgar dan Steven. Skill kedua pasangan itu sebenarnya berimbang, tapi bola-bola mati di depan net selalu dengan cepat diserobot oleh Edgar, membuat bola tak bertahan lebih dari tiga kali pukulan sejak serve dan akhirnya mati di bidang permainan lawan.
"Aya, seandainya aja lo jadi atlet bulutangkis nih, kan lo bakal tinggal bareng di Pelatnas tuh sama Edgar. Lo bisa ngecengin dia deh!" Claudia makin mabuk, omongannya makin ngawur!
"Eh, tolong ya, orang di Pelatnas itu latihan dan menimba ilmu biar bisa berprestasi di luar negeri dan mengharumkan nama bangsa, bukannya ngabisin waktu dengan ngecengin temen
-kata Claudia yang menyebut-nyebut -ujungnya selalu berakhir dengan situasi
yang menguntungkannya. Minta ampun!
"Ya tapi nggak ada salahnya dong, sambil menyelam minum air. Sambil menimba ilmu dan latihan, mata harus tetap waspada ngelirik yang ganteng-ganteng," kata Claudia sambil nyengir
mesum. Aku menirukan gaya orang muntah demi melihat lagak adikku yang nggak normal itu.
"Eh, udah selesai tuh. Edgar sama Steven menang!" Sharleen memecah lamunanku akibat segala celotehan aneh Claudia.
"Wah, berarti mereka masuk babak berikutnya dong"" tanya Claudia retorik. Ya iyalah. Kalau menang jelas maju ke babak berikutnya. "Kalau gitu, besok kita nonton lagi ya, Aya!"
Aku mengertakkan gigiku diam-diam, nggak tahu apa aku seharusnya mengomel atau bersyukur karena ketertarikan mendadak Claudia pada bulutangkis ternyata semata dipengaruhi keberadaan Edgar Satria dan Simon Santoso.
"Iya besok nonton, tapi tiket masuk bayar sendiri-sendiri!" Aku meleletkan lidah pada Claudia, dan dia jadi kelihatan sedikit bete. Tiket putaran kedua besok harganya pasti lebih mahal. Hari ini sih Claudia kubayari, tapi besok" Tak usah yee!
"Iya deh iya... Kakak yang jahat," sindirnya sambil membuang muka. Aku mendelik padanya.
"Eh, Nitya Krishinda sama Lita Nurlita lawan Hong Kong tuh, Fray!" Sharleen memberitahuku, sambil menunjuk pemain-pemain yang masuk ke lapangan tiga setelah Edgar dan Steven cabut dari sana.
Untunglah, masih ada Sharleen yang menjagaku tetap waras dan ingat tujuan utamaku datang ke Istora ini yaitu untuk nonton pertandingan bulutangkis di tengah kegilaan yang disebabkan oleh Claudia.
"Gimana tadi pertandingannya, seru"" tanya Mama begitu aku dan Claudia sampai di rumah.
Kami naik taksi tadi, karena sudah nggak ada busway lagi malam-malam begini. Tapi untungnya, karena sudah larut, lalu lintas jadi lengang dan taksi bisa melaju mulus serta argonya nggak melonjak selangit ketika sampai di rumah kami. Kalau macet, kebayang nggak berapa uang yang bakal kami keluarkan untuk naik taksi dari Senayan ke Bintaro"
"Seru banget, Ma! Kalau aja nggak diganggu anak tengil ini!" Aku menuding Claudia yang sedang berdiri sambil mengucek-ngucek matanya di sebelahku, kelihatan ngantuk berat.
"Emang Claudia kenapa""
"Payah! Nanya-nanya mulu kayak anak tiga tahun, bikin orang nggak konsen nonton aja! Udah gitu, dikit-dikit minta ditemenin keluar buat beli makanan. Males banget kan, Ma"" aku
mengadu. Mama cekikikan. "Ya sudahlah, kan memang dia nggak ngerti tentang bulutangkis, wajar kalau dia nanya ke kamu yang tahu banyak."
"Iya, tau nih si ensiklopedi bulutangkis berjalan. Cuma ditanyain aja kok pelitnya setengah mati," Claudia mencelaku, tapi aku bukannya marah, malah cengengesan karena dia
in memang seperti itulah aku.
"Udah deh, nggak usah rese," kataku akhirnya.
"Oh iya, Ma!" seru Claudia tiba-tiba, Mata sipitnya yang tadi tinggal lima watt sekarang melotot semampu yang bisa dilakukannya, bikin aku kaget setengah mati. "Hah" Ada apa"" tanya Mama bingung, "Tadi ada satu cowok, Ma, ganteeeeeeeeng banget!" Hah, aku sudah bisa menebak siapa yang dimaksudnya! "Oya" Penonton juga" Duduk di dekat kalian"" "Bukan! Pemain! Keren banget deh, Ma!" promo Claudia berapi-api, "Siapa namanya" Mainnya bagus nggak""
"Edgar Satria, mainnya bagus banget! Tadi ngalahin Malaysia. Pokoknya top abis!"
"Edgar Satria" Kayaknya Mama pernah dengar deh... Oh iya, Mama ingat. Eh... tapi Edgar Satria kan pemain lama, Claud... Dia udah tua, kok kamu masih bilang dia keren sih" Kamu suka sama oom-oom"" goda Mama sambil cekikikan.
Aku tertawa, dan siap menjalankan fungsiku sebagai "ensiklopedi bulutangkis berjalan" lagi.
"Yang pemain lama itu kakaknya, Ma, namanya Edward. Sekarang udah jadi pelatih. Kalau yang Claudia bilang tadi itu adiknya Edward, namanya Edgar. Masih muda kok, seumuran aku," jelasku.
Ohhh adiknya ya... Makanya kok Mama bingung tadi, kenapa Claudia suka sama pemain
ama yang sudah oom-oom, hehe... tapi emang bener ganteng ya Aya, si Edgar itu""
"Mmmm... not bad lah."
"Ih, apanya yang not bad, ganteng banget, tau!" Claudia protes.
"Bawel lo! Bilang aja naksir!" "Kalau iya, kenapa""
Aku mengembuskan napas dan memutar bola mataku. Kayaknya aku memang nggak seharusnya membawa Claudia
ke Istora tadi siang. Hari ketiga Indonesia Super Series, alias memasuki putaran kedua, aku dan tim hura-huraku kembali datang dengan kekuatan penuh. Sebelum masuk Istora tadi aku janjian ketemu dulu dengan Shendy, karena kemarin rencana ketemuan kami batal karena dia harus mengejar beberapa pemain Denmark untuk diwawancarai, sementara aku nggak bisa menunggu gara-gara Claudia udah ngantuk dan merengek terus minta pulang secepatnya.
Huh, aku rasa itu karena Edgar Satria sudah nggak kelihatan lagi batang hidungnya, dan pesona Simon Santoso di mata Claudia sudah hilang total akibat Edgar. Jadi Claudia merasa nggak punya alasan lagi untuk berlama-lama di Istora.
"Hei!" Shendy menepuk bahuku dari belakang. Aku kontan menoleh.
"Hei! Apa kabar lo""
"Baik. Lo gimana" Eh, Sharleen, Wilson, Charles, halo!" Cewek itu menyapa semua temanku
satu per satu, yang mereka balas dengan ramah, sebelum akhirnya tatapannya berhenti pada Claudia, yang baru kali ini dilihatnya.
"Adik gue," jelasku enggan. kalau mengingat potensi Claudia untuk bikin malu lagi hari ini.
sebenarnya aku lebih senang nggak mengakui dia sebagai adikku, tapi... ya sudahlah, daripada dia nanti ngadu ke Mama, bakal berabe! Mana tadi Mama sudah mewanti-wanti aku supaya menjaga Claudia baik-baik. Mama juga ngasih aku uang tambahan untuk beli tiket masuk plus ongkos transport plus uang makan si Claudia tengil ini! Ck! Kayak mengajak anak umur tiga tahun jalan-jalan saja. Plis deh, Claudia kan udah empat belas tahun!
"Oh. halo, gue Shendy."
"Hai, gue Claudia."
"Suka bulutangkis juga"" tanya Shendy. pertanyaan yang membuatku memutar bola mata
dengan gaya yeah-yang bener-aja. Sharleen cekikikan di belakangku.
"Banget!" "Nggak, bohong tuh," celetukku sebelum Claudia semakin tinggi membangun image palsunya di depan Shendy. "Dia sih sukanya Edgar Satria doang."
Shendy ngakak,jenis respons yang sama sekali nggak kuduga.
"Sebenernya Edgar punya lebih dari sekadar wajah ganteng yang bisa membuatnya jadi incaran ABG-ABG yang datang ke sini lho." "Oya"" tanyaku asal.
"He-eh, Lo nggak lihat permainannya kemarin" He's the next rising star."
Aku mengangguk, karena di luar rasa beteku gara-gara hormon feromon Edgar yang menyembur berlebihan pada Claudia kemarin, aku tetap bisa melihat bahwa cowok itu memang bisa bermain bulutangkis,
Ya iyalah, Kalau nggak, mana mungkin dia diturunkan di turnamen sekelas Indonesia Super Series ini! Aku menertawai cara pikirku sendiri tadi,
"And he's humble. Friendly. You're gonna like him" Shendy berpromosi.
"Tuh, Aya, dengerin kata temen lo! Insting gue akan cowok hebat memang nggak bisa ditipu!" Claudia mulai mengoceh, tapi kucuekin.
"Kok jadi ngomong bahasa Inggris mulu"" aku menggoda Shendy.
Sebersit rasa malu muncul di wajah Shendy. "Sori, kebanyakan wawancara atlet luar kemarin, makanya lidah gue jadi bule. Pengaruh kuliah juga nih." "Oya" Lo kuliah apa" Sastra Inggris"" tebakku. "Nggak. Hubungan internasional."
Aku manggut-manggut, Claudia tiba-tiba menyikutku, sambil memberi isyarat dengan matanya pada Shendy, Aku mengernyit, tapi lalu sadar apa yang dimaksud Claudia, Kemarin kan Shendy bilang, kalau bisa, dia bakal bantu Claudia supaya bisa foto bareng Simon Santoso, Tapi hmm,,, aku yakin yang jadi target sasaran adikku untuk foto bareng hari ini pasti sudah berubah,
Wasiat Agung Dari Tibet 3 Goosebumps - 2 Jauhi Ruang Bawah Tanah Telaga Emas Berdarah 2
^