Pencarian

Bintang Dini Hari 2

Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Bagian 2


Untuk pertama kalinya setelah tahun-tahun terakhir nama itu nyaris tak terlalu bergaung di hatiku, loncatan pikiran itu cukup mengganggu perasaanku. Victor. Tuhanku, alangkah besarnya perasaan cintaku kepadanya. Bayangan wajahnya yang tampan, alis matanya yang tebal hitam, rambut dan kumisnya yang juga hitam sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dan tutor bahasanya yang halus dan menawan, sungguh membuatku merasa sakit karena merindukannya. Entah, ada di manakah lelaki itu sekarang" Sudah menikahkah dia" Kalau sudah, berbahagiakah dia di dalam perkawinannya, sementara dia pernah mengatakan padaku bahwa tak akan mungkin ia mencintai perempuan lain selain diriku. Dengan perasaan sedih, dengan rasa rindu kepada Victor yang tiba-tiba muncul kembali, dan dengan pikiran dan ingatan yang meloncat-loncat, akhirnya aku tertidur juga meskipun bukan dalam tidur yang nyenyak.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan langsung mandi. Keluar dari kamar mandi,
aku melihat Mas Totok sudah pulang. Menilik wajah dan pakaiannya, dia sudah mandi di rumah Astari.
Seperti pengulangan peristiwa yang pernah terjadi, pagi itu aku juga hanya mengenakan kimono tanpa pakaian dalam, dengan pemikiran aku berada seorang diri di kamar ini, Sedikit pun aku tak menyangka Mas Totok akan pulang sepagi mi. "Kok sudah pulang"" aku bertanya sebagai basa-basi.
Perhatianku lebih terarah pada pakaian yang sedang kukenakan. Kimono mandi yang
kupakai pagi ini lebih pendek daripada kimonoku yang lain. Juga tangannya cuma
sampai di siku. Aku tahu, diriku tampak seksi pagi itu. Apalagi kimono itu
berwarna kuning kepodang. Warna yang menurut Mas Totok paling cocok untukku. Dia
pernah mengatakan padaku bahwa aku tampak cantik dan kulitku yang kuning lebih
cemerlang kalau memakai pakaian berwarna kuning.
"Kalau siang, Astari tidak terlalu takut." Mas Totok menjawab pertanyaanku.
"Lagi pula, aku akan mengantarkanmu sampai ke Stasiun Gambir."
"Jangan karena diriku, kau meninggalkan Mbak Astari yang lebih membutuhkan
kehadiranmu" Aku berbasa-basi lagi. betapa munafiknya aku.
"Tidak. Tetapi seandainya pun dia lebih mem-butuhkanku, aku akan memilih pulang kemari pagi ini. Aku harus mengantarkanmu ke Gambir!"
"Karena merasa berkewajiban"" Aku mencoba tersenyum. Tanganku sibuk menalikan kimonoku lebih erat. Lalu aku duduk di muka meja riasku. Tetapi sial, belahan di depan pahaku tak terlalu lebar untuk menutupinya.
"Karena aku ingin mengantarkanmu. Suatu keinginan yang muncul dari hatiku yang terdalam,"
Mas Totok menjawab tegas. "Bukan sekadar karena merasa berkewajiban mengantar seorang istri yang mau bepergian!"
Aku terdiam. Kulabuhkan perhatianku ke cer-min. Kuambil botol berisi tabir surya dan ku-oleskan sedikit ke wajahku. Harumnya yang lembut menyentuh hidungku. Tetapi pikiranku tidak juga bisa te
rsita pada apa yang kulakukan itu. Pahaku yang tampak dari kimonoku benar-benar mengganggu perasaanku. Mau kututupi, takut malah merebut perhatian Mas Totok. Mem-biarkannya, kemulusan dan kekenyalannya
pasti juga akan terlihat oleh mata lelaki itu. Saat ini, dia berdiri tak jauh dari tempatku duduk.
"Siska.... " Kudengar namaku dipanggil oleh-nya.
"Hm..."" Sekarang aku sedang membubuhkan bedak di wajahku dan meratakannya. "Aku pulang pagi-pagi begini juga dengan satu tujuan lain. Tetapi, yang
barangkali tidak kausetujui.... "
"Tujuan apa sih""
"Siska, aku tidak tahu kapan kau akan pulang ke Jakarta. Mengingat kau baru saja
pindah ke sana dan pasti membutuhkan penyesuaian dalam banyak hal, aku yakin kau
baru bisa pulang ke sini setelah beberapa minggu lamanya."
"Yah, mungkin saja. Bahkan tak mustahil aku baru bisa menjenguk kemari sesudah
satu bulan lebih di sana. Apalagi sementara ini sebelum
mendapat tempat yang pasti, aku masih akan tinggal di rumah keluarga Pak
Satriya, direktur di sana."
"Semestinya aku yang mengantarkanmu di Bandung. Di sana, kita bisa bersama-sama men-cari rumah kontrakan untukmu...."
"Sudahlah. Aku bukan anak kecil. Aku bisa mengurus diriku sendiri," kupotong perkataan Mas Totok dengan cepat. "Kurasa tidak sulit mencari tempat di Bandung. Kota itu menjadi kota mahasiswa kedua setelah kota Yogya. Jadi pasti akan ada saja rumah-rumah yang disewa-kan."
"Baiklah. Kembali ke soai semula, terus-terang aku merasa tak enak akan sendiri an di rumah ini setelah kepergianmu nanti," kata Mas Totok lagi "Sedangkan kapan kau akan menengok rumah ini, kita belum tahu. Itulah kenapa pagi ini aku cepatcepat kembali kemari untuk me-nemuimu sebelum kau kuantar ke stasiun." "Apa sih maksud bicaramu, Mas"" tanyaku. Sekarang tanganku mulai menyapukan sentuhan samar di kelopak mataku. Alis mataku yang asli sudah cukup bagus untuk tidak kutambahi apa pun. "Apakah itu ada kaitannya dengan tujuan yang mau kau katakan tadi"" "Ya."
"Yang kau bilang, aku mungkin tidak akan menyetujuinya"" "Ya."
"Kalau begitu katakanlah. Bagaimana bisa aku berkata setuju atau tidak kalau kau
belum me-ngatakan apa tujuanmu pulang sepagi ini!"
Mas Totok menarik napas panjang lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku. "Siska, aku... aku sengaja datang pagi-pagi begini karena ingin mendapatkan... kemesraan darimu...." Ia berkata dengan suara agak meng-getar. Dari cermin di depanku, aku melihat lelaki itu tampak agak tersipu. "Seperti kataku tadi, entah kapan kau pulang ke Jakarta kita belum tahu. Terlalu lama aku nanti tidak mendapatkan kemesraan darimu. Tetapi tentu saja kalau itu kau... kau setujui.... "
Dadaku berdesir mendengar perkataannya. Ini-kah perkataan seorang suami kepada istri yang sudah lima tahun lebih hidup bersama-sama" Hatiku menjadi sedih lagi. Sudah sedemikian asingnyakah kami berdua" Bukankah sebelum Astari menyela di antara kami, Mas Totok tak pernah menanyakan hal semacam itu padaku. Semisal aku keluar dari kamar mandi dan ia ingin menyalurkan hasratnya padaku, tanpa berkata apa pun ia akan memelukku dari belakang. Dan lalu keintiman itu terjadi begitu saja.
Mendengar perkataannya, aku membalikkan tubuhku. Dengan tangan yang satu menutup pahaku dan tangan yang lain menjepit tepi kimono di bagian dadaku yang terbuka, aku me-natap mata Mas Totok.
"Aku istrimu. Tentu saja aku akan menyetujui permintaamnu..."
"Aku tidak ingin kau terpaksa melakukannya, Siska. Selama kehadiran Astari, baru
dua kali hal itu terjadi.... "
"Aku tidak merasa terpaksa.,.." Aku memutus-kan perkataan Mas Totok yang belum selesai. 'Tetapi""
"Tetapi sebelumnya, bolehkah aku menanyakan sesuatu kepadamu, Mas"" tanyaku kemudian.
"Tanyakanlah, Siska." Suara lelaki itu ter-dengar lembut sekali.
"Semalam... apakah kau tidak tidur di kamar Astari...."" 'Tidak." Mas Totok
menjawab tegas. "Tidakkah dia... menawarimu..."" Mas Totok menarik napas
panjang. "Aku tidak ingin membicarakannya sekarang, Siska. Tetapi percayalah
padaku, tidak terjadi sesuatu pada kami...."
"Maka kau mencarinya padaku"" aku me-motong perkataannya.
"Siska, jangan merusak pagi yang indah i
ni," Mas Totok menjawab pertanyaanku
dengan sikap yang sangat sinis. Tergesa aku cepat-cepat pulang dengan satu keinginan, yaitu mendapatkan kemesraan darimu, Kenapa" Sebab bagiku hu- bungan terintim haruslah kulakukan dengan istriku. Tidak dengan perempuan lain. Siapa pun dia. Termasuk Astari sekali pun. Sebab pula, disitulah kehormatanku dan kehormatan perkawinan kita terletak." Mendengar perkataan yang diucapkan dengan sedemikian sungguh-sungguh itu, hatiku ter-sentuh. Selain cinta yang tidak ada pada kami, dia adalah lelaki yang paling kuhargai dan paling baik. Karenanya kedua belah tanganku begitu saja terulur ke arahnya dan kubiarkan paha dan dadaku menyembul, mengintip dari sela kimonoku. "Mas Tok...," aku berbisik mengucapkan namanya.
Mas Totok tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menangkap kedua belah tanganku sehingga tubuhku terangkat berdiri di hadapannya. Kimono yang pendek dan pas ukurannya itu ter-singkap karena kedua tanganku tak lagi menjepit tepi bagian depannya. Maka seluruh bagian depan tubuhku, terbuka seluruhnya. Mas Totok pun langsung meraihku ke dalam pelukannya dengan mesra. Kemudian dengan lembut dan hati-hati didorongnya aku ke tempat tidur. Dan dihujani-nya aku dengan ciuman ciuman dan belaian tangan yang lembut dan mesra itu. Untuk pertama kalinya, keintiman itu berlangsung dengan tenang, namun bagiku terasa sangat menyedihkan. Bagaimana tidak demikian"
Saat itu kusadari sungguh betapa Mas Totok mampu memisahkan antara cinta dan kehormatan. Dia mencintai Astari tetapi dia tak ingin bermesraan dengannya demi kehormatanku, demi kehormatan dirinya sendiri dan demi kehormatan perkawinan kami. Maka dia hanya mau ber-mesraan denganku yang sebetulnya tidak ia K - cintai. Kesadaran seperti itulah yang menyedihkan hatiku. Keadaan begini tak boleh terus berlanjut, pikirku. Mas Totok berhak meraih kebahagiaan-nya bersama Astari dalam wadah yang bisa dihormatinya. Yaitu perkawinan. Namun, selama diriku masih hadir di sisi Mas Totok, maka hal itu tak akan pernah terwujud. Karenanya aku harus berani menentukan sikap demi kebaikan semua pihak. Pelan-pelan namun pasti, aku akan menyingkir dari kehidupan Mas Totok. Barang-kali, memang kepindahanku ke Bandung sekarang ini merupakan saat yang tepat. Itu artinya, keintiman berikutnya di antara kami berdua harus dihentikan. Dengan
kata lain, sekarang inilah terakhir kalinya aku merasakan kecupan dan belaian tangannya. Dan terakhir pula aku merasakan keintiman yang mesra ber-samanya. Berpikir seperti itu, air mataku menitik tanpa kusadari. Meskipun tidak ada cinta di hati kami, namun ada banyak kemanisan, persahabatan, dan keakraban hangat yang terjalin di antara kami berdua selama lebih dari lima tahun ini. Suka dan duka berumah tangga telah kami alami. Ketika kemesraan itu telah tuntas terurai, Mas Totok sempat melihat air mataku kendati aku lekas-lekas mengusapnya.
Dia terkejut. "Kenapa menangis, Siska"" Ia bertanya dengan nada mendesak.
Aku mencoba tersenyum untuk menenangkan-nya. Aku memang tak pernah menangis di hadapannya. Tak heran kalau melihat air mataku menitik itu, Mas Totok terkejut. "Tidak apa-apa. Sekali-sekali menangis, tak apa kan"" sahutku kemudian. "Jangan menyembunyikan sesuatu dariku, Siska. Ada apa"" Aku tersenyum lagi.
"Kapan-kapan aku akan menceritakannya. Te-tapi sekarang, aku harus bersiap-siap untuk pergi," sahutku mengelak.
Mas Totok tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibantunya aku memasukkan alat-alat kecantikan-ku untuk kemudian menutup kopor yang belum kukunci itu. Setelah sarapan berdua, kami pun berangkat ke stasiun.
Setelah membayar petugas pembawa barang, Mas Totok duduk di sebelah tempat dudukku yang masih kosong.
"Hati-hati di sana, ya, Sis. Kalau ada apa-apa, teleponlah aku," pesannya.
"Ya." "Dan maafkanlah aku karena tidak bisa mengantarmu sampai ke Bandung," katanya lagi. "Malam nanti aku masih harus menemani Astari." "Aku mengerti," sahutku sambil tersenyum.
"Kau tak usah merasa bersalah karenanya. Justru akulah yang harus minta maaf kepadamu
dan juga kepada Mbak Astari karena telah menjadi j penghalang.... "
"Aku tak mau mendengar kata-kata seperti itu, Siska!" Mas Totok memotong perkataanku. "Kau bukan penghalang"
Aku hanya tersenyum saja mendengar perkataannya.
Pengumuman dari pengeras suara me-minta supaya para pengantar segera turun karena kereta api Argo Gede akan segera diberangkat-kan. Mas Totok pun berdiri. Tepat pada saat itu, penumpang yang mendapat tempat di sebelahku, datang.
"Selamat jalan, Sis." Mas Totok mencium keningku dan meremas sesaat telapak tanganku, kemudian pergi.
Tak lama kemudian, kereta api bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Gambir. Kulihat Mas Totok berdiri di peron dan melambaikan tangan-nya kepadaku. Mataku terasa panas dan kabur sewaktu membalas lambaian tangannya yang se-makin lama semakin jauh itu. Di Bandung,, aku tinggal di rumah Pak Satriya, direkturku. Tetapi di sana, aku tidak tinggal terlalu lama. Hanya sepuluh hari saja. Setelah itu aku mendapat tempat di sebuah rumah kontrakan, tak jauh dari tempatku mengajar.
Pak Satriya-lah yang mengatur segala sesuatunya. Di rumah kontrakan berkamar tiga itu, aku tinggal bersama dengan Mbak Tina dan Dewi, rekan-rekanku sesama pengajar di tempat yang sama.
Masing-masing kami, mendapat sebuah kamar tidur berukuran tiga kali tiga setengah meter. Rumah itu disewakan berikut perabotan-nya. Tetapi televisi dan telepon yang dipasang belakangan diberikan oleh kantor karena ke-dudukanku sebagai wakil direktur. Kedua teman serumahku yang - sudah lebih lama tinggal di Bandung itu cukup banyak membantuku melakukan penyesuaian dengan ling-kunganku yang baru. Baik di tempat kami mengajar maupun di sekitar lingkungan rumah kontrakan kami. Aku berutang budi kepada mereka berdua. Dan dalam waktu relatif singkat, kami bertiga sudah menjadi akrab satu sama lain. Mbak Tina berumur mendekati empat puluh tahun. Suaminya sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu dengan meninggalkan dua orang anak menjelang remaja. Kini keduanya ia titipkan pada orangtuanya di Solo. Naluri keibuannya ia tumpahkan kepadaku maupun kepada Dewi. Sikapnya persis sikap seorang kakak terhadap adik-adiknya. Senang rasanya mempunyai teman serumah seperti dia.
Dewi berumur satu tahun lebih muda daripada umurku. Belum menikah. Tetapi sudah mempunyai pacar. Dia seorang gadis yang ramah dan suka bercanda. Di depan peserta kursus, dia bisa melucu dalam bahasa Inggris. Dengan cara-nya itu, sengaja ataupun tidak ia telah memikat orang untuk mencari tahu makna bahasanya agar mampu menangkap kelucuan yang diceritakannya itu.
Sesungguhnyalah, Dewi memang gadis yang menyenangkan. Sifat periangnya itu sangat meng-hiburku.
Singkat kata, begitulah yang terjadi padaku setelah menjadi warga kota Bandung. Seluruh
kegiatanku yang baru dan seluruh konsentrasiku untuk menata diri di tempat yang baru itu
telah menyita waktuku. Akibatnya, selama hampir satu bulan lamanya akhir mingguku tak
sekali pun kupakai untuk pulang ke Jakarta. Bahkan me-nelepon Mas Totok pun tidak. Lelaki
itulah yang sering meneleponku ke kantor untuk me-nanyakan keadaanku.
Pada hari Kamis, Mas Totok meneleponku lagi.
"Besok sore pulanglah ke Jakarta, Siska!" Begitu dia berkata.
"Nanti kembalinya ke Bandung aku yang mengantarkanmu dengan mo-bil. Tidak inginkah kau menengok rumah""
"Ingin sekali, Mas. Tetapi aku belum sempat pulang. Terlalu banyak yang harus kuselesaikan
di sini," dalihku. "Dan tidak rindu kepadaku""
Aku tertegun. Basa-basikah ini" Sungguh-sungguhkah itu"
Atau apa" "Siska, tidak rindukah kau padaku"" Mas lagi pertanyaannya. "Ya, tentu saja." Akhirnya kujawab pertanyaan itu. Tetapi apakah benar aku merindukannya"
Menjawab pertanyaan seperti itu tidak mudah. Bahwa aku merasa kehilangan, ya.
Di Bandung, tidak ada orang yang mendampingiku ke mana pun aku pergi.
Ke mana-mana, aku hanya sen-dirian saja. Di Bandung, aku tidak punya sese-orang yang bisa
kuajak berbicara tentang sesuatu yang penting sambil tidur-tiduran di kamar. Di Bandung,
aku sering kesepian. Tetapi apakah itu berkaitan dengan rasa rinduku kepada Mas Totok, aku
tak tahu. "Kalau begitu kenapa tidak pulang""
Pertanyaan itu menggodaku. Aku memang ka-ngen berada di rumahku y
ang menyenangkan. Aku kangen kepada kedua orangtuaku dan juga kepada saudara-saudaraku. Tetapi apakah
ke-rinduan itu akan terpuaskan seandainya aku pulang ke Jakarta, aku tak yakin. Terutama kalau itu menyangkut kehidupan di rumah-tanggaku.
Sudah sekian bulan lamanya, malam Minggu sampai Minggu malamnya, Mas Totok tak pernah ada di rumah. Astari telah mem"booking" dia. Dan itu artinya, aku berakhir pekan ke Jakarta hanya untuk sesuatu yang sama situasinya dengan Bandung. Sendirian saja. Lagi pula, bukankah aku sudah mengatakan pada diriku sendiri untuk tidak menjadi penghalang bagi Mas Totok dan Astari" Ingatan itu menepis godaan yang tadi sempat melintasi hatiku. Pertanyaan Mas Totok ya belum kujawab, langsung kutanggapi. "Aku repot, Mas. Kapan-kapan sajalah!"
"Bagaimana kalau 'Tidak usah. Tetapi mudah-mudahan dalam waktu dekat ini aku bisa pulang."
Aku menjawab begitu hanya untuk melegakannya saja. Sedikit pun rencana seperti itu, tak ada padaku.
'Telepon saja aku kalau kau mau pulang. Nanti kujemput," sahut Mas Totok dengan suara-nya yang khas. Lembut dan hangat.
"Seandainya aku tak bisa menjemputmu ke Bandung, akan kuusahakan menjemputmu di setasiun." "Oke.!"
Aku mencoba untuk bersikap manis, mengimbangi kemanisannya. Tetapi mulutku entah kenapa, tidak mau bekerja sama dengan pikiranku itu. Sebab tiba-tiba saja aku sudah melontarkan perkataan yang sebenarnya hanya ada di bagian hatiku yang paling bawah. "Asal-kan aku tidak menjadi batu sandungan bagi acara-acaramu bersama mbak Astari." "Kau-istriku, Siska. Dia harus tahu dan me-nyadari bahwa kehadiranmu di Jakarta untuk berakhir pekan harus menjadi prioritas utama bagiku. Hari-hari lain kan masih ada!" Suara berubah serius.
Huh, kewajiban lagi, sapa tahu" Tetapi kapan-kapan itu sangat panjang. Setelah setengah bulan berada di Bandung, barulah pulang ke Jakarta untuk berakhir pekan. Itu pun karena aku ingin mengambil beberapa milik-yang waktu itu tak kuanggap penting tetapi ternyata dibutuhkan. Antara lain, buku-buku, sweter, sepatu sandal, dan beberapa perhiasan imitasi untuk kelengkapan busana saat mengajar. 7 Baru beberapa jam lalu aku tiba di rumah kembali setelah lebih dari satu setengah bulan lamanya menempati posku di
Bandung. Namun dalam waktu sebentar saja aku sudah menemukan beberapa hal yang berubah.
Pertama, rak pa-jangan di ruang tamu tidak lengkap, dan kuda-kudaan porselin berwarna putih susu sudah tidak ada di tempatnya. Kedua, vas kristal yang ter-letak di meja sudut ruang tengah juga lenyap. Agar jangan menimbulkan masalah yang ku-rang enak, aku mencarinya lebih dulu sebelum menanyakannya. Sebab siapa tahu barang-barang yang termasuk barang kesayanganku itu disimpan Mas Totok atau Bik Dedeh. Atau siapa tahu pula dipindah tempatnya. Tetapi sejauh itu, kedua pajangan itu tetap tidak kulihat di mana pun di seluruh penjuru rumah. Peristiwa seperti itu terasa agak janggal bagiku. Sebab meskipun dengan takut-takut, Bik Dedeh pasti melapor kalau ia memecahkan barang yang ada di rumah ini. Barang apa pun juga. Dia tahu betul aku akan lebih marab. kalau ia menyembunyikan kesalahannya.
Maka dengan pi-kiran itulah aku ke belakang untuk menanyakan kedua benda yang hilang itu kepada Bik Dedeh.
"Bik, apakah kau melihat kuda-kudaan porselin yang ada di rak pajangan dan vas kristal yang kuletakkan di meja sudut ruang tengah"" tanyaku. "Kuda-kudaan oleh-oleh Bapak waktu dari Hongkong itu kan, Bu"" "Ya." Kuanggukkan kepalaku. "Kau melihat-nya""
"Saya tidak melihatnya, Bu. Makanya selama berhari-hari kalau sedang membersihkan ruangan, saya mencarinya sampai ke mana-mana lho, Bu. Karena tidak ketemu juga, akhirnya saya berpikir mungkin barang itu dibawa Ibu ke Bandung," sahut perempuan itu. "Masa iya kubawa ke Bandung sih, Bik. Untuk apa""
"Lha kalau begitu, ke mana barang itu ya, Bu" Apa disimpan Bapak barangkali."
"Mungkin. Nanti akan kutanyakan." "Kalau vas kristal yang di ruang tengah itu saya tahu
kenapa tidak ada, Bu. Vas itu pecah. Disenggol Mas Rudi."
"Mas Rudi siapa""
"Mas Rudi, keponakan Bapak itu lho. Putranya Bu Astari." Bik Dedeh menjawab sambil menggele
ng-gelengkan kepalanya. Lalu melanjutkan bicaranya dengan setengah berbisik.
"Anak-anak Bu Astari itu nakal-nakal. Tetapi ibunya membiarkannya saja. Kelihatannya dia terlalu me-manjakan anak"
Berita dari Bik Dedeh itu membuat perasaanku semakin tak enak. Astari datang ke rumah ini rupanya, ia juga masuk sampai ke ruang tengah. sungguh kenapa dia datang berkunjung justru di saat aku sedang berada di luar kota. Kebetulankah itu" Disengajakah itu"
Yang lebih lucu lagi, alangkah enaknya Mas Totok mengakui perempuan itu sebagai saudara sepupunya. Biar bisa bebas keluar-masuk di rumah ini, barangkali.
Atau biar Bik Dedeh menerima kehadirannya dengan pintu terbuka" Terus-terang aku merasa marah di dalam hati-ku.
Aku merasa kepalaku semakin diinjak-injak. Namun demikian, di hadapan Bik Dedeh aku bersikap biasa-biasa saja. Aku tidak ingin dia tahu ada yang tak beres di antara diriku dengan Mas. Totok.
"Ya sudah kalau begitu," kataku kepadanya.
"Yang penting, setidaknya aku tahu sekarang apa yang terjadi dengan vas kristalku. Mengenai kuda-kudaan, akan kutanyakan kepada Bapak nanti kalau dia sudah pulang." Kupikir, hanya masalah itu sajalah yang meng-gangguku begitu aku tiba kembaii ke rumah. Tetapi ternyata masih ada satu lagi.
Di kamar mandi dalam, aku menemukan saputangan perempuan yang bukan milikku terletak di atas rak gantung. Itu artinya, Astari juga telah me-masuki daerah pribadiku Sulit sekali aku menenangkan perasaanku saat itu. Bahwa Astari berani "berkeliaran" di rumahku dengan bebas, tak mungkin terjadi kalau Mas Totok tidak memberinya kesempatan. Aku benar-benar merasa sebal.
Ketika Mas Totok tiba di rumah setengah jam kemudian, sikapku kepadanya sama sekali tidak ramah. Tetapi dia tidak memperlihatkan reaksi atas sikapku itu. Kuakui, kesabaran lelaki itu memang patut diberi acungan jempol.
"Akhirnya kau pulang juga, Siska. Jam berapa tadi sampai di rumah"" tanyanya dengan suara terkendali seperti biasanya. "Kira-kira dua jam yang lalu." "Naik apa dari sana"" "Kereta api Argo Gede."
"Dari stasiun, naik apa"" "Taksi."
"Sendirian atau dengan teman""
Wah, seperti wartawan saja, terus bertanya dan bertanya. "Sendiri."
"Kenapa kau tidak memberitahu kalau mau pulang hari ini"" Mas Totok masih juga meng-obral pertanyaan. "Aku tidak berencana mau pulang."
"Tetapi toh bisa meneleponku ketika kau sudah dalam perjalanan. Setidaknya, aku bisa menjemputmu di Gambir." "Aku bisa pulang sendiri."
"Kulihat, kau tampak tambah segar dan sedikit berisi Rupanya udara Bandung cocok denganmu."
Untuk ke sekian kalinya Mas Totok berkata lagi "Kudengar, makanannya enak-enak. Betul, ya""
"Ya." Huh, basa-basi. Dia toh sudah sering pergi ke Bandung. Mas Totok melirikku, tetapi aku pura-pura tak tahu.
Jawabanku yang pendek-pendek ter-hadap pertanyaannya dan sikapku yang dingin itu pasti sudah disadarinya sejak tadi. Tetapi seperti yang kulihat tadi, lelaki itu menanggapi-nya dengan sabar.
Memang, sikapku itu tidak pada tempatnya. Satu setengah bulan lamanya aku tidak berada di sampingnya. Namun sikapku kepadanya bukan saja tidak memiliki kehangatan sebagaimana mestinya tetapi bahkan dingin dan jauh dari simpatik. Kesadaran akan ketidaklayakan itu agak me-ngendalikan emosiku. Ketika kami berdua selesai makan malam dan Mas Totok menanyakan pe-kerjaanku di Bandung, aku mulai bersikap lebih lunak. Percakapan pun menjadi lebih lancar dari-pada sebelumnya. "Senang di sana"" tanyanya lagi,
"Ya. Kotanya relatif lebih tenang dan orang-orangnya lebih bersahabat.
" Kapan2, aku yang akan mengunjungimu ke sana"
"Terserah." Usai berkata seperti itu aku mulai mencoba untuk memasuki masalah yang sejak tadi mengganjal perasaanku. Kalau tidak, masalah itu akan terus-menerus menggangguku dan itu pasti akan menghambat hubungan kami berdua. Sebab terus-terang saja aku mempunyai persangkaan, benda itu tersenggol Astari dan pecah karenanya. "Mas, ada yang ingin kutanyakan kepadamu." "Apa itu""
"Apakah kau melihat kuda-kudaan porselin oleh-olehmu dari Hongkong waktu itu"" tanyaku, langsung pada masalahnya. "Oh, itu.... "
Entah salah lihat entah tidak, rasanya aku
melihat air muka Mas Totok agak berubah demi
mendengar pertanyaanku itu.
"Kau menyimpannya, Mas"" Aku bertanya lagi.
"Tidak. Astari menginginkan barang itu. Aku terpaksa memberikannya...." Mas Totok men-jawab dengan agak tersipu.
"Seharusnya aku menanyakan persetujuanmu lebih dulu. Tetapi yah, aku mempunyai pendapat lain. Selama satu minggu ini aku selalu berusaha mencarinya di toko-toko pajangan keramik untuk menggantinya. Namun ternyata sampai saat ini aku belum menemukannya." Mendengar pernyataannya itu, hatiku menjadi panas. Nyaris saja aku melampiaskan kemarahan-. ingatanku kepada butir-butir perjanjian di malam pengantm kami waktu itu seperti menampar pipiku. Lagi pula, apa hakku untuk merasa keberatan terbadap bentuk atau cara Mas Totok menunjukkan cintanya kepada Astari" Apalagi, kuda-kudaan itu bukan aku yang membelinya. "Kalau itu masalahnya, lupakanlah."
Akhimya aku mampu juga menanggapi kenyataan dengan lebih rasional. "Kau tak usah mencari gantinya Mas. Kau berhak untuk melakukan apa saja terhadap barang-barang milikmu. Tadi hal itu kutanyakan karena aku tak melihatnya. Kusangka, dipecahkan Bik Dedeh."
"Tidak. Kalau pun ada yang pecah, itu adalah vas kristalmu. Dipecahkan oleh anak Astari." Aku diam saja. Tak kukatakan kalau aku sudah mengetahuinya dari Bik Dedeh. Tetapi melihatku terdiam, mata Mas Totok mengawasiku.
"Aku sudah membeli yang baru untukmu beberapa waktu yang lalu. Ada di daiam mobil.
Selalu saja aku lupa membawanya turun. Nanti akan kuambil," katanya kemudian.
"Kau tak perlu berbuat seperti itu. Sebab bagiku yang penting adalah kejelasan."
Aku mulai mengambil jarak terhadap Mas Totok karena amarah mulai lagi mewarnai
perasaanku. Me-mangnya kalau vas itu sudah diganti, hatiku senang"
"Lagi puia, Mas, untuk apa sih mempersoalkan hal-hal kecil seperti itu" Sudah pecah, ya sudah. Kalau ada uang, beli lagi. Tidak ada uang, ya tidak beli. Begitu saja." "Aku tahu. Dan aku minta maaf karenanya,"
Mas Totok merasa tak enak melihat sikapku yang mulai menjaga jarak itu. "Seharusnya aku meneleponmu untuk mengatakan hal itu."
"Interlokal hanya untuk mengatakan hal-hal sepele seperti itu"" Aku memotong perkataannya dengan suara agak meninggi.
"Ah, jangan mem-besarkan masalah sepele seperti itu, Mas."
Mas Totok terdiam. Tetapi aku yakin, lelaki itu memahami bahwa sesungguhnya masalah itu tidak sepele bagiku. Dia cukup mengenalku. Bahwa, ada hal lain yang sesungguhnya merupakan inti masalah dan yang mengganggu perasaanku. Yaitu, keberadaan Astari. Perempuan itu sudah terlalu jauh memasuki kehidupan rumah-tanggaku. Dan Mas Totok tidak berusaha men-cegahnya. Padahal perempuan itu bukan saja telah berkeliaran seenaknya di rumahku tetapi juga telah menjamah barang-barang milikku tanpa permisi. Malam harinya ketika aku sedang membersih-kan muka, lelaki itu datang mendekatiku. "Aku minta maaf atas... "
Secepat kilat, suara-nya kuhentikan dengan memotong perkataannya yang belum selesai itu. "Sudahlah, aku tak mau memperpanjang soal sepele seperti itu!" Suaraku terdengar tajam.
"Tetapi,ini bukan masalah sepele, Siska. Kita berdua tahu itu." "Tahu apa""
"Masalah kunjungan Astari ke sini justru saat kau tidak ada di rumah," sahut Mas Totok Jadi benarlah, dia memahami inti masalahnya "Seharusnya, itu tidak terjadi."
"Sudah kukatakan, Mas, aku tak mau memper-panjang soal ini. Dia boleh datang seribu kali sehari pun dan kapan saja dia mau. Ini rumabmu. Barang-barang yang ada di rumah ini kebanyakan kau juga yang membelinya. Dia boleh mengambil yang mana saja kalau mengihginkan itu."
"Ini juga rumahmu, Siska. Dan semua barang di rumah ini, juga milikmu. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan. Kau dan aku yang memilih dan. membelinya bersama-sama. Bahkan juga memakai uang dari hasil keringat kita berdua." "Lalu kalau sudah begitu bagaimana""
Kutanya dengan nada tantangan- seperti itu, Mas Totok tertegun. Tetapi beberapa saat kemudian, lelaki itu sudah mampu menguasai dirinya kembali.
"Karena toh semua itu sudah terjadi, aku ingin mencoba agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi," katanya.
"Aku baru sadar sekaran
g, kenapa sikapmu begitu dingin kepadaku. Padahal satu setengah bulan lamanya kita ber-pisah".
Aku tidak menanggapi perkataannya. Tetapi suasananya sudah telanjur tak enak. Apalagi aku yakin, dia sekarang mulai mengerti betul kenapa sikapku begitu dingin di awal perjumpaan kami tadi.
"Kuharap pula, kau mau memahami posisiku dalam hal ini, Siska!" Mas Totok berkata lagi.
"Sulit menghadapi seorang perempuan yang se-dang mengalami banyak hal dalam hidupnya.
Seperti perceraian, anak sakit dan harus dua kali dioperasi, bekas suami yang terus-menerus
meng-ganggu pikirannya, masalah-masalah ekonomi, dan lain sebagainya...."
Aku membalikkan tubuhku dan membelakangi cermin agar dapat menatap wajah Mas Totok.
Botol cairan pembersih muka kuletakkan ke meja rias tanpa melihatnya. Untungnya tidak
jatuh. "Mas, untuk yang terakhir kalinya aku me-minta kepadamu agar kau tidak lagi membicarakan masalah ini," kataku memotong lagi perkataannya sambil menatap matanya lekat-lekat. "Apalagi urusan Astari bukanlah urusanku. Ada banyak masalah lain yang jauh lebih penting untuk kupikirkan. Oke"" "Oke...."
Sungguh, sekarang aku menyesal kenapa harus pulang ke Jakarta hari ini. Bukankah aku bisa mengisi tiga hari libur ini dengan berjalan-jalan di Bandung bersama teman-teman serumahku"
Padahal pula, Mbak Tina mengajakku mencoba resep masakan dari sebuah buku resep yang baru dibelinya. Dan Dewi, mengajakku jalan-jalan di Cihampelas. Dia ingin membeli celana jeans dan rompinya sekaligus. Aku bisa memilih mau mengisi acara dengan siapa. Atau kedua-duanya. Sesudah mencoba resep masakan bersama Mbak Tina, lalu pergi dengan Dewi. Sambil sekalian belajar bahasa Sunda darinya. Dia asli gadis Sunda, berasal dari Tasikmalaya. Enak mendengar bahasa yang disuarakan berirama itu. Ah, mestinya aku tidak meninggalkan kota Bandung. Ada banyak acara dan suguhan-suguhan yang bisa kureguk dari Kota Kembang itu. Di Jakarta, aku hanya menemukan suasana tak enak yang mengganjal perasaan. Libur akhir pekanku hanya sia-sia saja jadinya.
Rencanaku, Minggu sore aku akan kembali ke Bandung dengan kereta api Argo Gede yang berangkat petang nanti. Sudah kupikirkan aku nanti akan naik taksi ke Stasiun Gambir. Sebab biasanya setiap Minggu Mas Totok mempunyai acara dengan Astari. Aku tak ingin mengganggu acara mereka. Tetapi ketika kulihat Mas Totok masih ada di rumah menjelang jam sebelas siang hari Minggu itu, aku merasa heran. Apalagi dia malah sibuk membetulkan kabel setrika. Karena-nya hal itu kusinggung dengan terus-terang. Kha-watir kalau-kalau itu disebabkan oleh keberadaan diriku. , "Kok tidak ke tempat Mbak Astari"" tanyaku.
"Sekarang sudah hampir jam sebelas. Kalau anak-anaknya ingin pergi ke taman ria atau entah ke mana pun, kesiangan lho!"
"Kan kemarin sudah. Dan hari ini tidak ada acara yang penting." "Mbak Astari tahu aku sedang di sini"" pan-cingku.
"Ya." "Mestinya kalian berdua tidak usah merasa sungkan hanya karena aku sedang berada di Jakarta. Kalau kalian mau pergi, pergi saja-lah."
"Masih ada waktu yang lain." Mas Totok menjawab sambil tetap menekuni pekerjaannya membetulkan kabel setrika yang aus.
"Lagi pula aku sudah mengatakan padamu kan bahwa apa pun juga yang terjadi di antara diriku dengan Astari, kau menempati prioritas utama. Sebab kau adalah istriku yang sah. Astari harus menyadari hal itu."
"Kau tinggal di rumah hari ini bukannya karena merasa bersalah kepadaku"" Lidahku mulai tajam.
"Kalau benar begitu itu suatu kekeliruan lho, Mas. Bukankah kita berdua sudah memiliki kesepakatan bersama untuk tidak saling mengganggu urusan pribadi masing-masing." "Tetapi, aku tidak merasa terganggu karena kehadiranmu."
"Mungkin memang begitu. Tetapi yang jelas, keadaan seperti ini pasti juga tidak membuatmu merasa senang!"
Lagi-lagi lidahku mulai tajam. Sekarang ini aku sudah semakin pandai saja bersilat Udah. Mas Totok menghentikan pekerjaannya. Mata nya menatap tajam ke arahku. "Dari mana pikiranmu yang sangat cemerlang itu"" tanyanya kemudian dengan nada suara yang sama tajamnya dengan pandang matanya itu.
Ha, Mas Totok pun sekarang sudah. bisa me-nyindir
. Rupanya, kami berdua sama-sama semakin memperlihatkan diri sebagai manusia biasa dengan segala kelemahannya. Tidak lagi terlalu menenggang perasaan pihak lain dengan cara mengikat lidah dan menutup mata. Setelah ke-hidupan kami yang tenang, damai dan saling menahan diri untuk selalu menciptakan suasana harmonis di dalam rumah-tangga kami selama hampir enam tahun ini, keadaan seperti sekarang ini sungguh menyebalkan. Tetapi rasanya kok lebih manusiawi. Bahkan lebih memiliki variasi atau apalah namanya. Tetapi perkataan Mas Totok itu tidak kutanggapi. Namun lelaki itu tidak mau menghentikan pembicaraan sampai di situ. Ia terus menge-jarku dengan pertanyaannya tadi. Rupanya ia benar-benar merasa jengkel kepadaku. Hah, jangan-jangan sikapku sekarang ini memang men-jengkelkan"
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Siska. Dari mana pikiran hebat yang mampir ke kepalamu itu"" tanyanya lagi.
"Ah, itu kan pikiran yang sangat wajar. Biasa-nya, pagi pagi ban Minggu begini kau sudah pergi ke sana. Tetapi sekarang karena aku ada di rumah, kau jadi mengubah kebiasaanmu itu. Nah, alasan apa lagi kalau bukan disebabkan karena rasa bersalah seandainya hari ini kau juga pergi ke tempat Mbak Astari!"
"Hm, begitukah analisismu"" Mas Totok se-makin tajam menatapku. Tetapi ia geleng-geleng kepala.
"Hebat sekali kau. Kalau begitu, aku boleh juga dong menganalisis dirimu!" "Memangnya aku kenapa""
"Tidak sadarkah kau, Siska, bahwa sekarang ini secara tiba-tiba saja kau menjadi orang yang sinis, yang berlidah tajam dan suka menduga-duga. Bahkan sudah mengarah pada kecurigaan. Nyatanya, kok bisa-bisanya kau menilaiku sedang merasa bersalah"" "Ah, sok tahu kau, Mas," aku mendengus.
"Ini bukan sok tahu, Sis. Analisisku tadi juga bukan asal-asalan saja. Pendapat orang mengatakan bahwa di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan sebaliknya. Bahwa di dalam jiwa yang sehatlah maka terdapat tubuh yang sehat. Jadi seandainya seseorang tidak bisa melihat atau kakinya lumpuh, kalau jiwanya sehat maka ia akan sehat pula di dalam ketidak-sempurnaan fisiknya itu. Dan itu... "
"Lalu apa relevansinya dengan diriku"" tanya- ku memotong perkataan Mas Totok yang belum selesai.
"Justra di situlah yang masih perlu dianalisis lebih lanjut. Meskipun, aku sudah menemukan sesuatu... "
"Menemukan apa"" Aku memenggal lagi per-kataannya dengan sengit. Entah kenapa, aku merasa Mas Totok sedang berusaha mengalahkan diriku.
"Sikapmu yang uring-uringan itu jangan-jangan disebabkan karena aku tidak memesraimu meski kau tidur di sampingku selama dua malam berturut-turut""
"Jangan mengada-ada, Mas." Aku membentak untuk menutupi hatiku yang sebenarnya. Dia tahu persis apa yang kupikirkan.
Tak heran. Hampir enam tahun aku menjadi istrinya. Semalam ketika melihat otot-otot yang me-nyembul di dada dan di lengannya waktu dia menukar kemeja dengan baju tidurnya, dadaku berdesir. Mas Totok tampak seksi dan perkasa. Hampir dua bulan aku tidak merasakan dekapan-nya. Tetapi, demi janji pada diriku sendiri untuk tidak lagi bermesraan dengan lelaki yang tidak mencintaiku itu, kupejamkan mataku rapat-rapat agar pemandangan itu tidak merasuki pikiranku. Bahkan kemudian, kubalikkan tubuhku mem-belakanginya. Aku tak mau melihatnya berbaring di sisiku, *
"Aku tidak mengada-ada," Mas Totok terus bicara.
"Kalau benar apa yang kukatakan tadi, jawabannya adalah karena sejak kedatanganmu kemarin dulu kau sudah menggali jurang di antara kita. Bagaimana mungkin aku berani menyeberanginya""
Aku merasa terpojok. Tetapi tiba-tiba aku teringat saputangan Astari yang kutemukan di
kamar mandi kemarin dulu. Dengan itulah aku mau menyerangnya kembali.
"Jurang yang kubuat itu ada alasannya yang kuat lho, Mas!" kataku, mulai merasa di atas
angin kembali. "Alasan apa""
"Tunggu dulu.... "
Aku lekas-lekas masuk ke kamar dan mengambil saputangan Astari yang sudah dicuci dan diseterika oleh Bik Dedeh. Saputangan itu kubawa dan kuulurkan ke muka Mas Totok. "Inilah alasan yang kukatakan tadi." "Apa maksudmu""
"Saputangan ini milik Astari. Kutemukan di kamar mandi ki
ta." Dahi Mas Totok berkerut dalam. Tetapi aku tak mau memberinya kesempatan untuk membela diri. Aku terus menyerangnya.
"Selama ini kalau ada tamu ingin ke kamar mandi, dia akan kita ajak ke kamar mandi di luar. Bukan ke kamar mandi kita," kataku tanpa berpikir dulu.
"Nah, salahkah kalau pikiranku lari pada hal lainnya, bahwa selain kamar mandi barangkali saja tempat tidur kita pun sudah ditempati oleh Astari!"
Air muka Mas Totok berubah demi mendengar kate-kata tajam yang baru sekali itu u , kepadanya. Aku sendiri pun kaget keberanianku berkata seperti itu , belum pernah aku sekasar itu terhadapnya. Bahkan belum Pernah kepada orang lain. Aku harus minta maaf karenanya. tetapi sebelum aku sempat meralatnya, tiba2 jam antik milik leluhurku berbunyi Sebelas kali banyaknya. Seolah mengingatkan padaku, bahwa aku sudah ke terlaluan. Jadi perlu dihentikan, Perlahan-lahan namun pasti, kereta api Argo Gede mulai bergerak meninggalkan Stasiun Gambir menuju ke Bandung. Tanganku me-lambai-lambai ke arah Mas Totok yang berdiri di peron sampai sosok tubuh lelaki itu meng-hilang dari pandang mataku. Peristiwa yang terjadi satu setengah bulan lebih yang lalu, terulang kembali. Bedanya, perpisahan itu tidak membuat mataku menjadi panas dan tidak kabur terisi air
mata seperti yang terjadi waktu itu. Setelah beberapa saat lamanya kereta api ber-jalan, tubuhku kusandarkan. Dan pandang mataku kulayangkan keluar jendela, memperhatikan segala hal di luar kereta yang tertangkap oleh mataku. Stasiun Cikini, Bioskop Metropole, per-empatan jalan antara Jalan Diponegoro, Jalan Cikini, dan Jalan Proklamasi yang agak menye-rong. Lalu toko-toko, rumah-rumah penduduk, dan seterusnya. Namun pemandangan itu semakin lama semakin tampak remang dengan berlalunya cuaca petang menjadi malam. Maka perhatian dan pikiranku pun kembali ke seputar peristiwa 1 yang kualami tadi siang. Tadi wajah Mas Totok tampak mendung sekali ketika mendengar perkataanku yang kasar dan bernada tuduhan itu. Lepas apakah perkataanku itu salah atau benar, aku tahu betul Mas Totok sangat tidak menyukai bicaraku itu. Tetapi dia tidak berkata apa-apa. Namun aku tahu juga, ia telah dengan susah-payah berusaha agar pem-bicaraan yang tak menyenangkan itu jangan sampai berlanjut Telah kulihat dengan jelas tadi, pelipisnya bergerak-gerak menahan emosi. Demikian juga ketika aku menelepon per-usahaan taksi agar mengirim taksi untukku, Mas Totok tidak senang. Direbutnya gagang telepon yang sedang kupegang itu dan dengan suara tegas ia mengatakan kepada petugas di sana bahwa pesanan taksi itu tidak jadi.
"Ada aku di sini kok mau pergi dengan taksi!" begitu dia menggerutu.
Akibatnya, terpaksalah aku membiarkan lelaki itu mengantarkanku sampai ke Stasiun Gambir meskipun kami berdua sedang berada dalam suasana yang tak menyenangkan. Sejak siang tadi aku melontarkan kata-kata provokatif tentang kemungkinan Astari juga memakai tempat tidur-ku, sikap Mas Totok tampak tegang. Celakanya aku tidak tahu persis ketegangan itu disebabkan oleh yang mana di antara dua kemungkinan yang masuk ke dalam pikiranku. Pertama, apa yang kukatakan kepadanya itu memang benar dan Mas Totok merasa malu dan tertekan karena-nya. Dan kemungkinan kedua, Mas Totok merasa tersinggung karena kata-kataku itu tidak benar. Tetapi lepas dari itu, Mas Totok tahu persis bahwa suasana tegang begini akan kupergunakan sebagai bahan pertimbangan dan alasan untuk tidak pulang ke Jakarta pada minggu-minggu berikutnya. Tadi dengan terus-terang ia menying-gung masalah itu ketika kami sedang berada dalam perjalanan menuju ke Stasiun Gambir.
"Sebaiknya kau secara rutin pulang ke Jakarta kalau kesempatannya ada!" begitu dia berkata dengan sikap dingin tetapi langsung pada per-soalannya. Bahkan kudengar nada desakan dalam kata-katanya itu.
"Untuk apa" Kau tahu betul kan, Mas, aku paling tidak sukar menjadi batu sandungan!" Aku yakin, dia pasti tahu apa yang kumaksud dengan batu sandungan itu. "Tetapi aku suka!" "Suka apa""
"Suka melihatmu jadi batu sandungan!" Aku menoleh dan memandang sisi wajahnya. Tetapi tak kutemukan sesuatu yang berart
i, ke-cuali sikap dinginnya itu. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak tahu. Baru kemudian secara tiba-tiba suatu pikiran melintasi otakku.
"Hm, rupanya keberadaanku bisa menjadi tali pengikat kakimu untuk tidak lagi melangkahi" pagar dan aturan main yang telah kita sepakati, ya"" sindirku, dipacu pikiran itu. "Bagimu, aku ini memiliki fungsi tertentu."
"Terserah apa katamu sajalah!" Mas Totok menjawab perkataanku dengan suara dingin. Nada suaranya terdengar berteka-teki. Aku menjadi jengkel karena tak mampu mengo-rek apa isi dada lelaki itu. -
"Semula, aku mengira keinginanmu agar aku sering pulang itu karena kesadaran moralmu. Ternyata, aku ini cuma berfungsi sebagai rambu-rambu lalu lintas saja. Kalau rambunya hilang, kendaraan boleh seenaknya sendiri melanggar aturan. Tetapi yah, aku memaklumi dirimu kok, Mas. Godaan itu memang terlalu besar."
Aku terus mengoceh tanpa peduli bagaimana rahang Mas Totok bergerak-gerak menahan emosinya.
"Asal kau ingat saja, Mas, jangan nodai kehormatan tempat tidurku. Carilah tempat lain saja kalau godaan itu tak tertahankan lagi!"
Rasa sesal yang mengganggu perasaanku ketika tadi siang melontarkan kata-kata semacam itu, menghilang entah ke mana. Perkataan yang sama kuulangi lagi tanpa merasa bersalah. Tetapi juga seperti tadi siang, Mas Totok tidak mau menanggapinya.
Sekarang di dalam kereta api aku mencoba untuk mengkaji ulang apa yang terjadi hari ini. Dan aku beruntung karena kursi di sebelahku kosong Sehingga aku bisa puas melamun sendirian tanpa terganggu. Para penumpang lainnya sudah sibuk melakukan upacara basa-basi
dengan teman seperjalanan yang baru dikenalnya. Berada sendirian begini, baru kusadari betapa tajamnya mulutku sekarang. Entah Mas Totok juga sadar akan hal itu entah tidak, yang jelas perkataanku hari ini telah membuat wajahnya menjadi merah padam dan murung. Menjengkel-kan juga rupanya aku ini. Bahkan keterlaluan. Lelaki lain mungkin sudah menampar mulutku. Pikiranku tentang Mas Totok terhenti. Pegawai kereta api yang membagikan dus berisi kue dan air mineral kepada para penumpang sudah sampai di sisi tempat dudukku. Begitu menerimanya, aku langsung menghabiskan minumannya tanpa J tersisa setetes pun. Tetapi sebagai akibatnya, tak lama kemudian aku ingin buang air kecil. Sungguh mati, tak pernah aku menyangka sedikit pun bahwa sesuatu yang dahsyat akan kualami di dalam kereta api itu. Sebab setelah aku keluar dari kamar kecil ketika menuju ke I tempat dudukku kembali, namaku dipanggil secara tiba-tiba oleh seseorang yang suaranya amat kukenal. Serta merta aku menoleh ke arah asal suara panggilan itu, ingin tahu apakah telingaku tidak salah dengar. Tetapi begitu melihat siapa orang yang menyebut namaku itu, detak jantung-ku pun seperti berhenti mendadak. Kulihat kembali wajah Victor, bekas kekasihku delapan tahun yang lalu. Lelaki itu sedang terheran-heran menatapku. "Siska" Betul-betul kaukah ini"" Lelaki itu menyapaku lagi.
"Victor...," bisikku nyaris tak percaya pada penglihatanku sendiri. Sama seperti ketidakpercayaan yang tersirat dari pandangannya.
Tetapi mendengar namanya kusebut, yakinlah lelaki itu bahwa memang akulah yang ia jumpai di kereta api ini. "Aduh, Siska, apa kabar""
Dengan gembira lelaki itu mengguncang-guncang tanganku.
"Rasa-nya sudah berada-abad lamanya kita tidak berjumpa. Kau tampak semakin cantik
saja. Luar biasa." "Hush," aku tersipu.


Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau pergi dengan siapa, Victor""
"Sendirian. Kau""
"Juga sendirian. Ayo mengobrol di tempatku saja," kataku. Tak enak menjadi perhatian orang di sekitar kami. "Tempat duduk di sebelahku kebetulan kosong." "Oke. Dengan sangat senang hati!"
Lelaki itu langsung berdiri, mengekor di belakangku. Dan langsung mengempaskan tubuhnya di kursi kosong sebelahku.
Victor tampak semakin matang saja kulihat. Tubuhnya lebih gagah daripada yang kuingat. Dan wajahnya aduhai. Sekarang kumisnya semakin tebal. Lalu pakaiannya tampak begitu rapi dan jelas terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas. Juga sepatunya. Pendek kata baru selintas melihatnya saja pun aku tahu bahwa Victor menampilkan sosok eksekutif muda di duni
a usaha yang berhasil. "Ke Bandung dalam rangka apa, Siska" Dan kenapa sendirian"" Lelaki itu bertanya, menyingkirkan pikiranku tentang dia.
"Sudah hampir dua bulan lamanya aku ber-tugas di Bandung, Victor. Hari ini aku akan kembali ke tempat tugas sesudah berakhir minggu di Jakarta." "Untuk berapa lama tugas itu"" "Untuk waktu yang belum diketahui, Victor." "Itu artinya kau meninggalkan keluargamu di Jakarta." "Ya."
"Suamimu tidak merasa keberatan""
"Tidak." "Anak-anakmu""
"Aku belum mempunyai anak."
Malas aku menempati posisi sebagai yang ditanya. Karena-nya aku mengubah posisiku, ganti menjadi penanya.
"Kau sendiri dalam rangka apa pergi I ke Bandung, Victor""
"Biasa, urusan bisnisku."
"Sering kau pergi dengan kereta api""
"Ya, beberapa kali. Tetapi lebih sering aku naik mobil."
"Kelihatannya kau tampak sukses sebagai pengusaha yang hebat!"
"Melanjutkan usaha yang sudah dirintis oleh kakek dan ayahku apa sih sulitnya"" Victor merendah.
Senyum manisnya masih saja mampu menawan hatiku.
"Istrimu tidak kau ajak serta""
"Tidak" Dari gerak mulutnya aku tahu dia . tidak suka membicarakan istrinya. "Sudah berapa orang anakmu, Victor"" Aku mengubah bahan pembicaraan. "Baru satu. Umurnya dua tahun lebih." "Wah, sedang lucu-lucunya itu."
"Ya, memang. Kenapa kau belum mempunyai anak, Siska" Demi mempertahankan karier, ya"" "Tidak. Kami memang belum dipercaya Tuhan untuk merawat anak." "Sudah ke dokter""
"Tidak." Sambil menjawab seperti itu, aku menoleh dan menatap mata Victor dengan penuh harap. "Victor, maukah kau kalau dalam per-jumpaan yang pertama ini, kita tidak membicarakan hal-hal semacam itu""
"Oke." Victor meraih telapak tanganku dan menepuk-nepuk lembut punggung telapak tanganku dengan sikap penuh pengertian. Rasanya aku menangkap pemahamannya, bahwa ada yang timpang dalam kehidupan perkawinanku. Tetapi ia tak mau menanyakannya sekarang. Dengan cepat ia mengubah isi pembicaraan. "Di Bandung kau tinggal di mana Siska""
Kusebutkan alamatku dengan senang hati. Lalu percakapan kami pun semakin lancar dan semakin beragam. Menyenangkan sekali, sampai-sampai perjalanan selama dua setengah jam lebih itu tidak terasa. Tahu-tahu saja kereta api sudah tiba di tempat. Victor kembali ke tempat semula untuk mengambil bawaannya. Setelah itu tas pakaianku yang sudah kuturunkan, diangkatnya. Tentu saja aku melarangnya.
"Aku bisa membawanya sendiri, Victor. Tidak berat kok." "Tenang-tenang sajalah, Siska. Ayo kita ke-luar."
Victor tetap menjinjing kopor pakaianku sampai benda itu tiba di lantai peron. Sekarang aku bisa menarik kopor beroda itu dengan bebas. Di serambi stasiun, seorang lelaki setengah baya datang tergopoh mendekati kami dan langsung mengambil alih semua bawaan Victor. "Selamat datang di Bandung, Pak Victor." Lelaki itu menyapa Victor dengan sopan. "Terima kasih, Pak Amat. Di mana mobilnya""
"Itu, Pak, di dekat pintu. Kebetulan saya mendapat tempat parkir yang enak."
"Tolong bawaan Ibu ini juga dimasukkan ke bagasi mobil kita ya, Pak Amat," "Baik, Pak."
Di depan orang, aku tidak mau memprotes pengaturannya itu. Tetapi ketika Pak Amat-sedang sibuk dengan pekerjaannya, hal itu kukatakan dengan terus-terang. "Seharusnya kau menanyakan kesediaanku lebih dulu, Victor." "Aku yakin, tak ada yang menjemputmu di stasiun. Ya, kan""
"Ya." "Kalau begitu, biarkanlah aku dengan ke inginanku untuk mengantarkanmu pulang. Jadi, Siska, jangan sungkan-sungkan kepadaku sealah kita ini hanya berteman biasa saja. Apa pun yang terjadi di antara kita berdua saat ini, dan meskipun barangkali aku sudah tidak ada di hatimu lagi, kau masih tetap menjadi orang istimewa bagiku." "Victor.... "
"Ini suatu kenyataan, Siska. Jangan kau bantah. Oke""
Aku terdiam. Apalagi Pak Amat datang me-lapor bahwa kami sudah bisa masuk mobil. Tetapi ketika kami sudah ada di dalam mobil dan Pak Amat menutupkan pintunya, aku mulai protes
lagi. "Istrimu pasti tersinggung kalau dia mendengar perkataanmu tadi," kataku berbisik. Takut di-dengar Pak Amat.
"Ya. Tetapi dia tidak mendengar, kan"" Victor tersenyum menggoda.
"Tetapi suatu ketika nanti dia pasti tahu bahwa aku
pernah ikut mobilmu."
"Sis, mobil ini mobil perusahaan. Orang hanya tahu, siapa pun yang ada bersamaku selama
di Bandung, dia pastilah memiliki kaitan dengan urusan bisnisku. Jadi tolong, jangan
mempersoal-kan hal-hal yang tidak perlu. Oke""
Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepalaku.
"Kau sering ke Bandung, Victor"" tanyaku kemudian ketika mobil mulai berjalan meninggalkan halaman stasiun. "Ya. Di sini perusahaan kami mempunyai cabang." "Berapa lama kau akan tinggal di sini"" "Paling lama satu minggu." Victor menatapku. "Siska, aku minta kartu namamu."
Kuturuti permintaannya. Kuberikan kartu namaku yang terbaru. Di situ tercetak namaku
sendiri, gelarku, dan jabatanku. Selain alamat dan nomor telepon rumahku yang di Jakarta,
juga tertulis alamat tempat tinggalku yang sekarang berikut teleponnya. Bahkan juga
tercatat nomor telepon genggamku. Victor membacanya sejenak dengan bantuan senter
mini yang ia ambil dari dalam sakunya. Kemudian tertawa kecil.
"Wah, dengan kartu namamu ini orang bisa melacakmu secara mudah," katanya.
Kemudian sebagai gantinya, dia mengeluarkan kartu namanya yang langsung diberikannya
kepadaku. "Siapa tahu ini ada gunanya."
"Pasti ada gunanya, Victor." Aku tersenyum.
"Paling sedikit, supaya jangan hanya keberadaan-ku saja yang bisa dilacak orang." Victor tertawa lagi.
Tetapi Pak Amat memutuskan perhatian kami dengan pertanyaannya "Kita ke mana dulu, Pak Victor"" tanyanya.
"Mengantar Ibu ini dulu," sahut Victor sambil menyebutkan alamatku. "Baru ke rumah." "Baik, Pak."
"Kau punya rumah di sini""
"Hanya rumah milik perusahaan. Semacam guest house," jawab Victor lembut.
Kemudian melanjutkannya dengan berbisik di sisi telingaku.
"Kau boleh menginap di sana kalau kau suka. Tempatnya enak."
"Victor... " "Aku serius, Siska"
"Itu tidak pantas, Victor!" Aku ganti berbisik di sisi telinganya.
"Cuma menginap saja kok tidak pantas Sis. Aku kan tidak ikut tidur di kamarmu." Victor berbisik lagi sambil menyeringai.
"Hush!" "Kecuali kalau kau menginginkannya" Victor menyeringai lagi. "Victor.'"
Untuk ke sekian kalinya Victor menyeringai. "Cuma guyonan saja."
Tak pelak lagi, kehadiran Victor yang tiba-tiba memasuki kembali kehidupanku itu memberi keceriaan dalam hatiku. Victor orang yang sangat terbuka, periang, humoris, dan menyenangkan. Berbeda dengan Mas Totok yang pembawaannya tenang dan serius. Selama di Bandung, setiap hari dia menjemputku dari tempatku bekerja. Dari sana selalu saja ada acara buat kami berdua. Jalan-jalan, makan bersama, menikmati musik di bagian restoran sebuah hotel, dan lain sebagainya. Aku merasa seperti berada di masa gadisku kembali. Kemanisan demi kemanisan kureguk dan kunikmati. Seperti dulu juga. Seperti masa-masa sebelum aku diarahkan oleh kedua orang-tuaku untuk menikah dengan Mas Totok. Namun meskipun sudah sejauh itu pergaulan kami berdua, sekali pun tak pernah Victor melaku-kan perbuatan yang bisa digolongkan pada ke-mesraan berbau cinta. Namun kami berdua sama* sama tahu bahwa kehadiran masing-masing telah mengembalikan kemanisan masa lalu kami. Hari hari yang berlalu menjadi indah sekali rasanya. Tetapi sayangnya, belakangan ini ada sesuatu yang mulai mengganggu dunia batinku. Tatkala hatiku sedang melambung ke dunia percintaan dan melayang-layang dalam keindahannya, jauh di lubuk batinku yang terdalam sering terdengar bisikan lembut namun sangat mengguncang ke-damaian hatiku. Bisikan itu seperti suara Mas Totok. Isinya mengingatkan diriku kepada realitas yang ada. Bahwa aku masih menjadi istrinya. Bahwa aku tak boleh melanggar kesepakatan bersama kami. Dan tidak boleh pula sembarangan melanggar aturan main kami. Acap kali ketika sedang terbaring sendirian di kamarku di Bandung, aku bertanya-tanya sendiri mengapa perjumpaanku dengan Victor ini harus kualami. Apakah itu ada kaitannya dengan merenggangnya hubunganku dengan Mas Totok" Artinya, apakah Tuhan telah mengatur segala sesuatunya agar aku lebih mampu menentukan sikap" Bukankah selama ini aku sering merasa gamang karena kehilangan orientasi ke arah masa depanku" Apalagi kalau hatiku sedang kesal-kesalnya kepada M
as Totok maupun kepada Astari. Mau apa mereka itu" Kalau mau menikah, kenapa Mas Totok tidak segera mengatakannya kepadaku" Dia toh tahu betul bahwa aku pasti akan menyingkir dari kehidupannya tanpa banyak komentar. Hatiku ikhlas untuk itu.
Tetapi kalau Mas Totok tidak ingin menikah dengan Astari entah apa pun alasannya asalkan itu tidak karena diriku, kenapa kehidupan per-kawinan kami ini dijadikan seperti panggung sandiwara" Dan lalu aku sebagai pemain utama-nya tak pernah diberi kesempatan untuk tampil. Mereka berdua sajalah yang bermain. Secara rutin keduanya sering bertemu.
Secara rutin pula mereka berdua menguntai acara demi acara bersama kedua anak Astari. Dan aku membiarkannya seperti seorang ibu membiarkan anaknya yang nakal bermain-main api. Padahal, aku ini seorang manusia yang masih punya harga diri, sama seperti orang lain. Padahal aku toh masih istri Mas Totok yang dinikahinya secara sah dan tanpa paksaan, meski juga bukan atas dasar keinginan kami yang sebenarnya.
Tetapi Astari telah memperlakukan diriku seolah aku ini tidak berhak atas diri Mas Totok. Bahkan dengan seenaknya sendiri dia telah melangkahi apa yang menjadi hak-hakku. Perhatian Mas Totok. Waktu Mas Totok yang tersita olehnya. Dan bahkan kemudian juga rumah di mana aku tinggal di dalamnya. Seenaknya saja dia berkeliaran justru di saat aku sedang tidak ada di rumah. Aku merasa kepalaku seperti diinjak-injak. Tetapi yang aneh, aku membiarkannya. Dan bahkan meskipun hatiku sudah tidak kuat lagi bertahan dalam situasi dan kondisi seperti itu, aku tidak segera mengambil sikap yang tegas. Bisaku cuma bertanya-tanya sendiri di dalam hati, sampai kapan keadaan seperti itu harus kujalani. Sampai kapan pula situasi yang menekan perasaan ini berakhir. Tetapi .sekarang Victor telah hadir kembali dalam kehidupanku. Jelas sekali lelaki itu ber-harap aku mau menguntai kembali hubungan kami yang terputus itu. Setiap bertemu denganku, kulihat bola matanya berpijar dan mulutnya ber-lekuk mesra. Apakah, itu semua merupakan ja-waban dari pertanyaan batinku itu" Bahwa sekarang inilah saatnya aku keluar dari kemelut rumah tanggaku bersama Mas Totok. Tetapi kalau memang demikian, lalu bagaimana dengan istri Victor" Tidakkah aku sama saja "seperti Astari di dalam kehidupan perkawinan Victor" Padahal terhadap Astari, sedikit pun aku tidak mempunyai respek. Sebab kalau aku mau bersikap jujur, perempuan itu tidaklah sepadan dengan segala kebaikan dan kelebihan Mas Totok. Tetapi tidak. Aku tak mau mengatakan apa-apa mengenai hal itu. Sebab aku tahu betul, cinta itu buta. Karenanya kalau aku disamakan dengan Astari, pastilah seluruh dunia batinku jelas-jelas akan menentang dan menolaknya.
Aku bukan Astari kedua. Aku tak bermaksud memonopoli Victor. Dan jelas sekali pula aku tidak akan menerjang garis-garis batas yang tak boleh kulewati maupun melanggar apa-apa yang bukan hakku. Tetapi, ya Tuhan, bukankah aku telah mengam-bil kembali cinta Victor" Bukankah lelaki itu begitu berbahagia bertemu kembali denganku" Dan bukankah pula aku telah membiarkan itu semua terjadi, bahkan mau diajak dia pergi ke mana pun yang ia inginkan" Bagaimana kalau istri Victor mengetahuinya" Dadaku menjadi sesak. Temyata, ini
bukanlah jawaban dari pertanyaan batinku tentang sampai kapan masalah yang terjadi dalam kehidupan perkawinanku dengan Mas Totok berakhir. Sebab ternyata pula perjumpaanku dengan Victor kembali bukanlah jawabannya. Tetapi, justru me-nambah pertanyaan baru yang sama rumitnya. Yah, mau melangkah ke manakah kakiku ini" Hari ini sudah hari Minggu lagi. Hari terakhir Victor berada di Bandung. Betapa cepatnya waktu berlalu.
Malam nanti dia akan kembali ke Jakarta naik mobil dengan sopirnya. Tetapi pagi ini ia membawa mobilnya sendiri tanpa sopir seperti biasanya kalau sedang bersamaku. Dia mengajakku jalan-jalan ke Lembang. Kami berangkat pagi-pagi sekali agar cukup banyak memiliki waktu yang masih tersisa. "Kita akan ke mana, Victor"" tanyaku di dalam perjalanan.
"Perusahaan kami mempunyai tempat per-istirahatan di Lembang, Sis. Aku ingin mengajakmu ke sana untuk melihat peman
dangan yang indah dari sana. Tentu saja sambil makan masakan yang lezat!"
Dia menoleh ke arahku, kemudian tersenyum manis. "Apakah rencana itu cukup menarik bagimu""
"Sangat menarik. Tetapi apa nanti kata pegawai-pegawaimu di sana""
"Mereka tidak akan mengatakan apa pun. Sebab tempat itu juga terbuka untuk umum. Ada restorannya yang cukup laris. Masakan-masakannya banyak disukai oleh penggemar dan Bandung dan sekitarnya." Victor menjamin "ke-amanannya".
"Lagi puia, para pimpinan per-usahaan sering mengundang relasi untuk makan di situ bahkan juga membicarakan urusan bisnis." "Jadi sebagai salah seorang pimpinan, kau juga sering menjamu orang di tempat itu," kataku.
"Ya. Dan percayalah, makanannya benar-benar lezat. Kami mempunyai beberapa koki istimewa."
"Pasti gajinya besar," aku tersenyum. 'Tepat sekali'.'" Victor tertawa.
"Pokoknya se-banding dengan apa yang terhidang di meja. Lihat saja, nanti.'"
Victor benar. Restoran itu laris. Kulihat tamu-nya banyak. Dan makanannya memang sangat lezat. Apalagi sup kepitingnya. Makanan penutup-nya juga menggoyang lidah. Victor sendiri yang memilihkan masakan-masakan andalan restorannya itu. Dan kemudian setelah kami selesai menikmati makanan yang lezat itu, ia mengajakku beristirahat di bagian dalam hotelnya.
Tempat itu merupakan suatu ruang besar yang menghadap ke arah lembah yang subur dan bukit-bukit menghijau di sekitar tempat itu. Ruangannya berbentuk setengah lingkaran dan seluruh jendelanya yang menghadap ke lembah dan bukit-bukit itu dibuat dari kaca lebar-lebar sehingga memberi keleluasan untuk menikmati pemandangan.
Di muka jendela itulah aku lamai berdiri di situ, menangkap seluruh pemandangan indah yang terbentang di hadapanku itu sepuas hatiku. Kalau saja aku bisa melukis, ingin sekali pemandangan itu kupindahkan ke atas kanvas. Aku benar-benar terpukau dan baru menoleh ke belakang ketika mendengar suara Victor meng-ucapkan terima kasih kepada seseorang. Kulihat seorang pegawai membawa dua cangkir minuman hangat dan dua piring makanan. Sepiring berisi kue basah dan sepiring lainnya berisi buah jeruk yang langsung diletakkannya di atas meja.
"Duduklah bersamaku di sini, Siska!"
Victor mengajakku duduk setelah pegawainya pergi dan menutup pintu ruang itu kembali. "Dari sini, kita juga bisa melihat pemandangan indah." Aku mengiyakan.
Kami berdua duduk bersisian di kursi panjang. "Kau senang"" tanyanya.
"Ya." "Karena pemandangannya yang indah dan makanannya yang lezat""
"Ya." "Bukan. karena kehadiranku di sisimu"" Ada nada nakal dalam suaranya. "Itu juga,"
aku terpaksa mengakui apa yang memang kurasakan.
Victor tersenyum, Tangannya terangkat, kemudian hinggap di bahuku. Ia memelukku. Setelah perpisahan kami lima tahun lalu, inilah ke-mesraan pertama yang ia berikan kepadaku.
Jantungku mulai tak teratur detakannya.
"Sis, bolehkah aku mengatakan sesuatu ke-padamu"" tanyanya kemudian. "Katakanlah, Victor."
"Siska, aku masih mencintaimu. Amat sangat...." "Sebaiknya jangan, Victor..."
Perasaanku menjadi kacau demi mendengar kata-katahya itu.
"Kenapa" Apakah karena aku sudah mempunyai istri dan kau mempunyai suami"" Ia bertanya dengan suara pelan. "Antara lain, ya."
'Tetapi, Sis, aku dapat merasakan bahwa sesungguhnya kau pun masih mencintaiku." tanya Victor lagi. "Benar, bukan""
"Ya.... " Percuma saja aku menyangkal. Victor kenal betul perasaanku.
"Dan perasaanku juga menangkap bahwa per-kawinanmu dengan Mas Totok tidak bahagia. Apakah aku keliru""
'Tidak.... " Seperti tadi, aku terpaksa mengatakan kebenarannya. Sebab akan percuma saja kalau aku menyembunyikan kenyataan itu. Akhir-nya dia toh pasti tahu juga. Matanya sangat awas. "Aku juga mengalami hal yang sama, Siska."
Victor berkata lagi. Sampai hari ini aku masih mencintaimu. Dan seperti dirimu, aku juga tidak berbahagia di dalam perkawinanku. Istriku masih sangat muda. Lebih dari dua belas tahun per-bedaan usia kami. Ada banyak hal yang kurang cocok di antara kami berdua. Sikap kekanakan-nya sering membuatku merasa pusing. Seharus-nya waktu itu aku menolak ketika orangtuaku menyodorkan gadis itu..."
"Victor, jangan m enyesali apa yang sudah terjadi. Sebab waktu tidak berjalan mundur, Aku menyela bicaranya.
"Dan kalau kalian mau berusaha, aku yakin pasti ada jalan untuk me-nimbuni perbedaan-perbedaan itu. Dan nanti dengan bertambahnya umur istrimu, dia pasti akan menjadi perempuan matang yang bisa men-dampingi hidupmu. Ingat Victor, kau harus meng-ingat keberadaan anak kalian. Sadarilah itu."
Aku berkata dengan tulus. Sebab ada perbedaan besar di antara diriku dengan dia. Aku dan
Mas Totok tidak mempunyai anak.
"Dan kau sendiri bagaimana"" Victor mengelus rambutku.
"Bisakah kau bertahan dengan keadaan rumah tanggamu""
"Kuakui, tidak. Beberapa kali aku ingin bercerai dari Mas Totok."
"Sampai sejauh itu""
"Ya. Bekas kekasihnya mulai memasuki ke-hidupan kami. Kau hhat, persoalanku berbeda dengan persoalanmu. Jadi jangan disamakan."
'Tetapi, Siska, selama satu minggu bersamamu aku benar-benar merasa bahagia. Tetapi juga sekaligus mulai sadar bahwa ternyata selama ini kehidupanku benar-benar gersang. Bisnis dan bisnis saja yang menjerat leherku." Victor menge-luh.
"Sayangku, maukah kau menjadi kekasihku lagi dan menjadi obor penyemangat hatiku"" Aku terdiam. Keinginan Victor sangat meng-godaku. Terutama karena belakangan ini aku merasa tersia-sia. Tetapi sayangnya bisikan suara hatiku yang melintas tadi, muncul kembali. Dan mengingatkan diriku. untuk tidak melanggar ke-sepakatanku bersama Mas Totok, yaitu melanggar aturan main. "Bagaimana, Siska"" Victor bertanya lagi.
"Kalau kita memang benar-benar masih saling mencintai, kurasa menjalin kembali hubungan percintaan kite seperti sepasang kekasih hanya akan mengurangi nilai perasaan itu sendiri, Victor. Sekarang ini kita bukan lagi sepasang gadis dan pemuda seperti dulu. Jadi sebaiknya perasaan kasih itu tidak perlu dimanifestasikan." Suara hatiku memenangkan pertarungan.
"Akan jauh lebih indah kalau itu tetap disimpan di hati kita masing-masing." Victor tidak menjawab. Sebagai gantinya, tiba-tiba ia meraih kepalaku dan mencium bibirku. Aku gelagapan, tidak mengira akan mendapat perlakuan semesra itu darinya. Tetapi ternyata seperti dulu, dia masih saja mampu membuatku jadi bergairah.
Kubalas ciumannya yang mesra itu dengan sepenuh hasratku. Tetapi sedang aku melayang-layang dalam keindahan itu, tiba-tiba Victor melepaskan wajahku.
"Siska, masihkah kau bersikukuh memegang kata-katamu tadi bahwa cinta kita tak perlu dimanifestasikan"" tanyanya di sisi telingaku. "Lihatlah kenyataannya!" "Victor...," sahutku pelan. Pipiku terasa hangat. "Aku ini hanya manusia biasa dengan segala kelemahannya." "Maksudmu...""
"Ada baiknya kalau kita sama-sama merenung-kan cinta kita ini dengan pikiran yang lebih jernih. Sebab masalah ini bukan hanya me-nyangkut perasaan kita berdua saja, tetapi juga menyangkut perasaan keluarga kita masing-masing. Jadi, Victor, jangan gegabah. Dulu saja pun kita tak bisa bersatu. Apalagi sekarang ketika jalan hidup kita sudah semakin jauh jaraknya..."
Victor mengiyakan meski aku tahu "peng-iyaan" itu cuma di permukaan saja. Tidak sampai ke dalam hatinya. Aku tahu, ia memang mem-butuhkan penyemangat hidup. Tetapi keberadaan diriku tidaklah hanya sekadar menjadi penye-mangat saja, bukan"
Namun untuk lebih dari itu adalah sesuatu yang mustahil. Apalagi karena salah satu dari prinsip hidupku mengatakan untuk tidak pernah membiarkan diriku menjadi batu sandungan bagi siapa pun. Terutama kalau itu menyangkut perasaan. Maka aku tak boleh mencuil perasaan istri Victor. Aku juga harus mampu bertahan untuk tidak membiarkan diriku menjadi orang ketiga dalam wadah percintaan orang. Pendek kata apa pun juga alasannya, prinsip itu harus tetap ku-pegang. Demi menyamakan dengan hati nuraniku. Dan demi martabatku sendiri.
Akhir minggu berikutnya, Victor datang lagi ke Bandung. Karena ajakan pergi lelaki itu tidak untuk bermesraan, maka kululuskan ajakannya untuk sedikit refreshing seperti biasanya. Kami nonton film dan makan di restoran. Tetapi, bukan karena hal itu maka aku tidak pulang ke Jakarta. Sebab seperti yang sudah kukatakan, aku tak mau menjadi batu sandungan bagi siapa pun, term
asuk istri Victor. Maka aku juga tak mau menjadi baru penghalang bagi Mas Totok untuk mencari kebahagiaannya bersama Astari. Kalau aku berakhir pekan ke Jakarta, boleh jadi Mas Totok akan merasa sungkan untuk pergi terus-menerus sepanjang akhir minggu itu. Dan itu artinya, aku telah mencuil kebahagiaan hati orang. Bahkan menjadi batu
sandungan. Jadi begitulah yang terjadi. Berminggu-minggu lamanya setelah itu aku masih tetap belum mau pulang ke Jakarta, meskipun Mas Totok berulang kali menyinggung masalah itu. Tetapi kemudian setelah enam minggu aku tidak juga pulang, tiba-tiba pada suatu hari Jumat petang Mas Totok datang menjemputku ke Bandung. Tanpa memberitahu lebih dulu sebelumnya. Memang, libur akhir pekan ketika itu lebih panjang daripada biasanya. Sebab hari Senin-nya adalah hari libur nasional. Ketika Mas Totok datang, aku sedang mengo-reksi hasil testing murid-muridku.
Kedatangannya yang tiba-tiba itu sama sekali tidak kuduga. Sebab sangkaku, ia sedang merencanakan libur akhir pekan yang agak panjang itu bersama Astari. Seperti yang pernah terjadi, mereka pergi menginap ke Puncak atas undangan adik Astari yang merayakan ulang tahun di rumah per-isthahatannya. Jadi begitu mendengar kedatangan Mas Totok menjelang malam itu, aku merasa heran.
"Suamiku datang, Mbak"" tanyaku kepada Mbak Tina, nyaris tak percaya perempuan itu yang
mengabariku bahwa di luar, mobil Mas Totok sedang memasuki halaman.
Dia sedang duduk-duduk di teras sendirian.
Dewi mempunyai tugas mengajar malam ini.
"Ya. Kangen, dia!" Mbak Tina tertawa.
"Kau sih tak pernah pulang."
"Aku sibuk. Dia juga sibuk," aku tersenyum, bersikap seolah perkawinanku berjalan normal. "Sekarang, baru kangen dia." "Sudah, hentikan dulu pekerjaanmu!"
Mbak Tina tertawa lagi sambil menyingkir ke" dalam kamarnya. "Sambutlah suamimu sana!"
Aku hanya tertawa saja. Tetapi kuturuti juga sarannya, menyambut kedatangan Mas Totok di
depan. Tetapi kusuruh lelaki itu langsung masuk ke kamarku.
'Tumben, Mas"" sapaku setelah melihatnya duduk di kursi dekat jendela.
"Aku datang untuk menjemputmu, Siska. Ada undangan dari atasanku. Anak pertamanya
akan menikah!" katanya menjelaskan.
"Lucu kalau aku datang sendirian."
"Oh, ya. Aku sering lupa kalau fungsi utama seorang istri adalah menjadi pendamping yang harus siap sewaktu-waktu!"
"Jangan menyindir, Siska. Kau pasti tahu dari pengalaman kita hidup bersama selama ini, bagiku seorang istri bukan hanya sekadar pen-damping."
Suaranya yang terdengar bersungguh-sungguh melunakkan hatiku. Tetapi untuk kali ini, iya kan" Nyatanya, jauh-jauh kau datang dari Jakarta hanya dengan tujuan untuk mencari pendamping!" Aku mulai mengoceh.
"Dan karena menurut kata hati nurani-mu pendamping yang paling ideal adalah istrimu sendiri, maka kau datang menjemputku.... Sebab kalau tidak, pasti kau lebih suka pergi dengan Mbak Astari yang lebih sepadan denganmu."
'Tetapi yang jelas, aku datang jauh-jauh dari Jakarta tidak untuk mendengarkan pidatomu yang indah itu!" Mas Totok menggerutu.
"Baik, kau datang jauh-jauh ke sini tidak untuk mendengar ocehanku!" aku menyeringai.
"Tetapi sebagai seorang subyek, aku boleh me-nentukan pendapatku sendiri atas permintaanmu agar aku mendampingimu dalam pesta pernikahan itu, kan"" "Ya, tentu saja."
"Nah kalau begitu, akan kukatakan jawabanku. Dengan amat menyesal, aku tidak bisa ikut pulang bersamamu ke Bandung. Kau lihat kan, Mas, waktu kau datang tadi aku sedang sibuk-sibuknya mengoreksi pekerjaan para peserta kursus. Kalau aku pulang ke Jakarta, maka tugasku ini tak bisa kuselesaikan pada waktunya. Jelas sekali kan alasanku"" "Jelas sekali, Siska. Sejelas aku melihat bahwa apa yang kaukatakan itu cuma sebagai alasan untuk menolakku!" "Bisa-bisanya kau mengarang!" aku ganti menggerutu.
"Bisa sekali kalau bahan-bahannya ada. Sebab biarpun disebut suatu karangan, itu semua kan berangkatnya dari realitas yang pernah ada, sedang ada, atau mungkin akan ada. Bukan dari negara antah berantah." Mas Totok menjawab kalem.
"Jadi dengan kata lain, berdasarkan apa yang pernah kuketahui darimu dan dari apa yang sedang terjadi di an
tara kita berdua, aku tahu bahwa betapapun banyaknya pekerjaanmu, sebenarnya bisa saja kau tinggal atau kau tunda dulu. Itu, kalau kau mau" Mas Totok benar. Aku menjadi tersipu karenanya. Tetapi dengan cepat aku berusaha untuk dapat menang di atas angin.
"Kalau benar, aku berhak menolak, kan""
'Itu pasti. Tetapi berikan alasan yang jelas dan benar. Jangan mengada-ada seperti tadi." "Nanti kau marah!"
'Tidak, asalkan itu dilandasi dengan ke-jujuran."
"Baik, aku akan menjawab permintaanmu tadi dengan jujur," kuanggukkan kepalaku. "Ke-enggananku ikut bersamamu itu karena aku tidak suka suasana kota Jakarta di akhir pekan. Aku lebih suka tetap tinggal di Bandung yang segala sesuatunya lebih menarik!" 'Tidak suka itu kan ada alasannya."
"Apakah aku perlu menjawab padahal kau tahu betul bagaimana suasana akhir pekan di Jakarta bagiku.... "
"Karena aku tidak bisa sepenuhnya menemani-mu, kan""
Mas Totok menatapku dengan pan-dangan matanya yang tajam menyelidik. Itu arti-nya, aku tidak bisa menghindar dengan memakai alasan yang tidak diwamai kejujuran. "Ya. Apakah itu-keliru""
Akhimya aku menjawab sesuai dengan kenyataan.
"Sebab sejujur-nya saja, siapa sih yaang senang berakhir pekan sendirian saja" Tetapi memang dalam persoalan kita ada sesuatu yang agak lain daripada lainnya. Bagaimanapun juga, aku harus memakluminya." "Lainnya"" Mas Totok memotong perkataanku.
"Lainnya begini. Meskipun misalnya aku ingin berakhir pekan dengan ditemani olehmu, tetapi untuk itu kan berarti kau terpaksa harus mem-batalkan atau menunda acaramu dengan Mbak Astari. Maka menurutku akan lebih baik kalau aku memilih berlibur sendirian saja. Sebab aku tidak suka membuat orang merasa bersalah. Tidak suka membuat orang merasa terpaksa. Tidak suka pula membuat orang mengalami pertentangan batin dalam menentukan pilihan langkah kakinya di antara cinta dan kewajiban!" aku menjawab dengan suara tegas.
"Maka itulah, untuk menghindari hal-hal semacam itu aku lebih suka mengisi akhir mingguku di Bandung yang lebih menyenangkan. Dan juga lebih damai." "Aku sangat memahami pandanganmu," Mas Totok menjawab.
"Tetapi hari ini aku datang dengan satu tujuan, yaitu khusus mengajakmu pulang untuk berakhir pekan di Jakarta. Sekaligus untuk menghadiri resepsi perkawinan anak Pak Prayoga,
atasanku itu. Bersamamu, Siska. Tentu-nya, kau juga ingin memberi selamat kepadanya, kan" Hubungan kita dengan keluarga Pak Prayoga sudah sedemikian baiknya lho." "Kalau aku tidak mau pulang ke Jakarta"" pancingku.
Padahal sesungguhnya hatiku sudah tergerak. Bu Prayoga sangat baik kepadaku. Ia menganggapku seperti putrinya sendiri. Berkat dialah aku dulu mampu memasuki perkumpulan para istri karyawan kantor dengan mudah. Padahal waktu itu, aku masih pengantin baru yang sangat pemalu dan canggung.
"Kalau kau tidak mau menghadiri pesta pernikahan itu, aku juga tidak akan datang ke sana!" Mas Totok menangkap pancinganku.
"Aku tidak akan membiarkanmu begitu, Mas. Pak Prayoga bukan hanya atasanmu saja. Dia bisa kita sebut pengganti orangtuamu yang ada di Solo sana. Keterlaluan kalau kau tidak datang ke pesta pernikahan putrinya," tegurku.
"Aku hanya mau pergi kalau kau ada di sampingku. Tanpa melihat kehadiranmu, Bu Prayoga pasti merasa kecewa. Dikiranya kau lebih mementingkan hal-hal lainnya. Meskipun pada kenyataannya memang demikian, tetapi janganlah kesan itu begitu kentara. Tengganglah perasaannya,"
Mas Totok ganti menegurku. Perasaanku mulai tersentuh. Untuk hidup ber-masyarakat dengan talus hati, kita tidak boleh hanya mementingkan perasaan dan urusan sendiri. Memang sebaiknya aku ikut pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Hal-hal lainnya toh bisa ditunda. Acara-acara Mas Totok dengan Astari dan kedua anaknya bisa diundur sampai minggu depan. Dan pekerjaanku bisa ditunda Pukul enam petang lebih malam Semakin cepat itu kuselesaikan, akan semakin baik. mudah-mudahan sebelum tengah malam kami tiba di rumah. Dan besok, kami berdua sudah resepsi perkawinan putri Pak Prayoga. Melihatku melirik arloji, Mas Totok tahu bahwa hatiku sedang mulai tergerak. Ia juga sudah melihat keraguanku untuk m
enolak ajakannya lagi. "Ayolah, Siska." Mas Totok semakin gencar membujukku.
"Percayalah padaku, selama akhir pekan ini aku sudah mengatakan kepada Astari untuk menunda beberapa acara kami. Dan ke-betulan pula, dia sudah mempunyai acara bersama keluarga besarnya. Dengan begitu, kau tak perlu memikirkan masalah itu. Oke"" "Oke. Tetapi ada syaratnya. Setuju"" Akhirnya aku mengalah.
"Asal itu masuk akal, aku setuju."
"Ini sangat masuk akal, Mas. Yaitu beri aku waktu untuk melanjutkan pekerjaanku. Aku tak mau kalau aku kembali ke Bandung nanti masih melihat pekerjaan yang tertumpuk di atas meja," jawabku.
"Jadi setidaknya, sebagian besar pekerjaanku sudah harus kubereskan hari ini. Bagai-mana, setuju""
"Setuju." Mas Totok tampak gembira mendengar kesediaanku pulang ke Jakarta bersamanya.
"Bekerjalah. Aku akan berusaha untuk duduk dengan diam-diam agar tidak mengganggumu bekerja."
Aku tersenyum di dalam hatiku. Kulihat, ia mengambil koran terbitan Bandung yang kubeli pagi tadi, kemudian mulai asyik membaca. Aku pun mulai melanjutkan pekerjaanku. Mula-mula memang tidak mudah mengumpulkan kembali konsentrasiku yang semula buyar. Apalagi menyadari kehadiran orang lain di kamarku yang semula tak pernah dijamah orang lain itu.
Kedua teman serumahku sangat menghargai privacy kami masing-masing. Jarang sekali mereka masuk ke kamarku. Dan untunglah, akhirnya aku bisa juga mengembalikan seluruh pikiran dan perhatianku kepada pekerjaanku. Tetapi sayangnya, baru sepuluh menit berlalu telepon genggamku berbunyi. Padahal di luar, ada telepon biasa yang disediakan kantor untuk-ku. Karenanya aku merasa yakin, telepon itu dari Victor. Sebab tidak banyak yang mengetahui nomor telepon genggamku. Kalaupun ada beberapa yang tahu, mereka lebih suka meng-hubungiku dengan telepon rumah daripada ke telepon genggamku. Sebab selain biayanya lebih tinggi juga mengesankan urusan yang bersi&t pribadi. Mendengar telepon genggamku berbunyi, Mas Totok melirikku.
Tanpa melihatnya pun, aku tahu ada pandangan rasa ingin tahu pada lirikan matanya itu. Sebab seperti yang kukatakan tadi, dia juga tahu bahwa hanya orang-orang tertentu sajalah yang menelepon ke telepon genggamku. Apa yang kuduga tadi benar. Telepon itu memang dari Victor. dia sedang berada dalam perjalanan menuju ke Bandung. "Halo..."" sapaku.
"Halo, Cantik. Aku sedang dalam perjalanan menuju ke Bandung," begitu ia langsung berkata ketika mendengar suaraku.
"Ada urusan yang harus kuselesaikan di Bandung, Siska. Tetapi untuk malam ini aku hanya akan mengisi waktu-ku bersamamu saja. Maukah kita menginap di Lembang dan makan malam di sana" Lalu besok pagi-pagi sekali akan kuajak kau berjalan-jalan menyusuri lembah di dekat hotel. Ada banyak tanaman dan bunga liar di sana. Pemandangannya secantik dirimu. Tak bosan-bosan mata me-mandanginya." "Victor... " aku memutuskan angan-angannya.
Tak enak msaoya mendengar betapa banyak ren-cananya sementara aku malam ini akan pulang ke Jakarta bersama Mas Totok. Mendengar nama itu kusebut, Mas Totok yang duduk di dekatku itu melirikku lagi. Bahkan dengan menolehkan kepalanya ke arahku. Keasyikannya membaca koran terhenti. Aku sadar betul, dia tahu nama bekas kekasihku itu. ' Sementara itu, mendengar aku menyela per-kataannya yang belum selesai, Victor tertawa
geli. "Kita tidak akan tidur sekamar, Siska. Jangan khawatir!" Kudengar tawanya di antara suara deru mobilnya.
"Kecuali, kalau aku tak tahan.... "
"Victor!" Aku mulai menegurnya. Kudengar, dia tertawa lagi.
"Aku cuma bercanda saja, Cantik!"
Dia berkata, masih dengan tertawa.
"Aku mengerti dan menghargai pandanganmu kok."
"Victor, masalahnya bukan hanya itu saja," kataku memutuskan lagi perkataannya. "Tetapi karena aku tidak bisa pergi bersamamu. Malam ini aku harus kembali ke Jakarta. Maafkanlah aku." "Kenapa""
"Ada urusan keluarga. Aku akan dijemput oleh Mas Totok sebentar lagi."
Tak kukatakan bahwa orang yang kusebut namanya itu sudah ada di dekatku. Bahkan aku
yakin sekali, dia duduk dengan telinga terpasang dan siap me-nguping.
"Aduh, sayang sekali. Kecewa berat lho aku. Tetapi aku sungguh berharap ren
cana ini bisa kita laksanakan di lain waktu. Oke, Sis""
"Kita lihat bagaimana nanti, Victor."
"Baiklah. Tetapi izinkanlah aku mengatakan sekali lagi apa yang ada di hatiku ini, Siska." "Apa itu Victor""
"Aku mencintaimu, Siska. Cup, cup, cup!"
Usai berkata seperti itu Victor menggumamkan lagi tawanya yang lembut dan kemudian meng-akhiri pembicaraan kami.
Maka kumatikan tele-ponku dan kuletakkan ke atas meja kembali. Saat itu aku baru sadar, Mas Totok sedang menatapku dengan pandangan mata yang aneh. "Victor siapa itu tadi"" tanyanya kemudian.
Rupanya, rasa ingin tahunya begitu besar. Mata-nya tak berkedip menatapku. "Victor, pacarku dulu." Aku mengaku.
"Jadi kalian menjalin hubungan lagi, rupanya...." Aku tidak ingin menanggapi perkataannya yang lebih merupakan penilaian daripada pertanyaan itu. Males rasanya. Perhatianku lebih kucurahkan pada pekerjaanku kembali. Melihat itu Mas Totok juga mulai membaca koran kembali. Tetapi suasananya sudah telanjur kurang enak. Aku tahu sebabnya. Sedikit atau banyak pastilah Mas Totok menganggapku tak lagi ber-sikap jujur. Bertemu kembali dengan Victor, tetapi sepatah kata pun aku tak pernah mencerita-kan hal itu kepadanya. Dan masih ditambah dengan kenyataan selama berminggu-minggu lamanya aku tidak mau pulang ke Jakarta. Bisa saja Mas Totok mengira aku dan Victor sedang menguntai acara di Bandung ini. Meskipun suasananya sudah telanjur tak enak, aku tak mau menjelaskan apa pun kepada Mas Totok. Bahkan beberapa jam kemudian ketika kami berada dalam perjalanan menuju ke Jakarta. Buat apa" Dia toh tidak menanyakannya" Pikir-ku, lama-kelamaan suasana tak enak itu pasti akan mencair juga dengan berlalunya sang waktu. Tetapi ternyata suasana tak enak itu justru memuncak setelah kami tiba di rumah. Ketika itu jam antikku baru saja mendentangkan bunyi-nya sebanyak dua belas kali. Saat itu aku sedang mulai membersihkan wajahku setelah mem-bereskan barang-barang bawaanku dari Bandung. Waktu aku sedang mengambil kapas dari stoples plastik kecil di atas meja rias, pandang mataku membentur sebuah lipstick yang bukan milikku tergeletak di atas meja riasku. Dalam kondisi sedang lelah lahir dan batin, melihat lipstick itu membuatku tak mampu me-nguasai diri sebagaimana biasanya. Kemarahanku memuncak. Astari sudah berbuat keterlaluan. Memakai kamarku, memakai meja riasku seenak perutnya sendiri, justru di saat aku sedang tidak ada di rumah. Maka lupalah aku pada ke-sepakatanku dengan Mas Totok untuk sama-sama bersikap terbuka dan membicarakannya dengan terus-terang kalau ada masalah yang terjadi. Dengan kemarahan yang kuherani sendiri, kutegur Mas Totok.
"Sudah berapa puluh kali tempat tidur ini kalian nodai"" semburku tanpa pembuka kata apa pun lebih dulu.
"Apa maksud bicaramu"" Mas Totok yang sedang menukar baju, kaget melihat sikap dan suaraku yang penuh kemarahan itu. Dahinya berkerut dalam ketika menoleh ke arahku. "Kau tahu apa yang kumaksudkan. Ini lipstick Astari, kan.
Kulempar lipstick itu ke arahnya. Belum pernah aku berbuat sekasar itu kepada Mas Totok sebelumnya. Entahlah, setan dari mana yang sedang hinggap di kepalaku itu, aku tak tahu. Lipstick yang kulempar ke arah Mas Totok itu mengenai lengannya, lalu jatuh menggelinding ke lantai. Lelaki itu langsung memungutnya. Kemudian ditelitinya benda itu dengan memutar-mutarnya.
"Lho, mi bukan lipstick-mu"" tanyanya kemudian dengan penuh rasa ingin tahu. Heran aku, dia tidak marah atas kelakuanku yang kasar itu. Malah bertanya, lagi. "Kau pikir aku tidak kenal barang milikku sendiri"" semburku lagi.
"Barang itu pasti ke-tinggalan setelah kalian... kalian... memadu kasih di atas tempat tidurku!"
Mendengar perkataanku yang terakhir itu, baru-lah Mas Totok mulai marah. Matanya melebar menatapku. Dan pelipisnya bergerak-gerak. Seperti kemarahanku tadi, Mas Totok juga baru sekali ini memperlihatkan emosinya yang tak bisa dikendalikannya. "Aku tidak segila itu, Siska!" semburnya dengan suara keras.
"Aku masih punya kesadaran moral yang cukup tinggi. Seandainya pun aku ingin melakukan itu dengannya, sudah pasti akan kulakukan di tempat lain. Buk
an di sini. Apalagi kesempatan untuk itu sangat terbuka lebar kalau aku mau."
"Sekian bulan lamanya kalian begitu sering bersama-sama dengan mesra sementara aku
berada di tempat jauh, masa iya sih sekali pun kalian tidak pernah melakukan... hubungan
intim"" Aku mendengus.
Perkataanku sudah semakin tak terkontrol lagi.
Dan dia sudah pula memberikan lampu hijau.... "
"Demi Tuhan, Siska, keinginan seperti itu cuma sekali saja singgah di hatiku, yaitu ketika kami baru-baru saja bertemu lagi." Ia memotong bicaraku dengan membentak. "Dan sekarang, sekali pun keinginan seperti itu tak pernah lagi singgah di hati dan kepalaku!"
Aku terkejut. Bukan saja karena melihat ke-marahannya yang begitu telanjang tetapi juga karena isi bicaranya. Aku benar-benar tidak me-nyangka. Tadi begitu menemukan lipstick Astari, pikiranku langsung saja lari ke sana. Terbayang olehku bagaimana Mas Totok memesrai Astari, menciuminya dengan ciuman bertubi-tubi sampai lipstick-di bibir perempuan itu pudar. Dan setelah kemesraan itu berlalu, perempuan itu pun me-nyisir rambutnya yang berantakan dan memulasi bibirnya dengan lipstick yang ketinggalan di atas meja riasku itu. Dan sebenarnya, itulah yang membuatku kehilangan kontrol tadi. Aku tidak rela mereka bermesraan di kamar pribadiku. '
"Tetapi kalau memang kalian berdua tidak berbuat seperti itu, kenapa dia berkeliaran di rumah ini bahkan sampai-sampai masuk ke kamar kita""
"Itu karena katanya dia mau mandi di sini. Kau harus tahu, sampai sekarang masih saja dia memintaku mengantarkannya ke mana-mana dan lalu juga minta mampir kemari. Entah untuk minta minum air es, entah untuk ke kamar mandi, pokoknya ada saja keperluannya. Aku tak bisa menolaknya."
"Itu karena kau masih mencintainya, Mas. Kau juga sangat memanjakannya karena perasaan cintamu itu. Ke sana dan kemari bersama-sama seperti pengantin baru!" Aku menyembur lagi, masih kehilangan kontrol diri.
"Sebab, bayang-kanlah. Kalau orang melihatmu bersama Mbak Astari lebih dari dua atau tiga kali sudah bisa menduga yang bukan-bukan, apalagi aku. Sudah berapa puluh kali kalian bersama-sama selama sekian bulan ini" Heran, aku. Kenapa sih kalian tidak mulai saja memikirkan masa depan kalian berdua. Menikahlah. Sebab kedengarannya itu akan jauh lebih terhormat daripada apa yang sekarang kalian lakukan. Tentang diriku, kita kan bisa bercerai.... "
"Dan lalu kau jadi bisa lebih bebas berkasih-kasihan dengan Victor lagi, kan"" Dengan tangkas Mas Totok menanggapi perkataanku. Pelipis-nya mulai bergerak-gerak lagi seperti tadi. "Sorry ya, Mas, aku bukan perempuan murahan. Kalau mau, sudah kemarin-kemarin kuserahkan diriku kepada Victor. Dan asal kau tahu saja, perjumpaan kami sama sekali tidak disengaja. Kami bertemu di atas kereta api." "Dan lalu menjalin hubungan kembali." "Jangan ngawur!"
"Bukankah melalui telepon tadi, kalian sedang menjalin janji""
"Terus-terang saja dia memang mengajakku menjalin hubungan cinta kembali. Perkawinannya tidak bahagia. Tetapi aku menolaknya dan bahkan menyuruhnya untuk mencoba menjembatani hubungannya dengan sang istri. Tadi pun ajakannya kutolak." Aku mendengus.
"Seandainya aku tadi tidak datang menjemputmu, pasti ajakan itu akan kau penuhi. Ya, kan""
"Itu mungkin saja. Aku toh tidak melanggar aturan main kita. Sedikit bersenang-senang boleh-boleh saja, kan""
"Tentu saja boleh. Bahkan kalaupun kalian memadu cinta kembali dengan paduan cinta yang dulu belum sempat menyatu, juga tidak ada yang melarang. Asal itu kau katakan dengan terus-terang dan tidak bersembunyi-sembunyi...."
"Jangan samakan diriku dengan dirimu, Mas!" Aku memotong perkataan Mas Totok dengan mata melotot, marah sekali. Bukankah aku telah menolak uluran tangan Victor yang ingin menjalin kembali hubungan cinta kami" Aku masih punya akal budi untuk tidak merusak perkawinan Victor maupun perkawinanku sendiri. Aku juga masih menjadi perempuan yang tidak bisa dan tak pernah mau bersenang-senang di atas ke-susahan orang lain." "Kau menilaiku terlalu rendah,. Siska!" Mas Totok bersungut-sungut. "Memangnya, aku ini apa!"
"Rendah atau tidak, kau sendirilah yang
tahu. Aku kan hanya bisa melihatmu dari jauh dalam hal ini. Tetapi yang jelas kau lemah hati, tak berani mengambil keputusan yang tegas dan jelas. Aku yakin, dia pasti sedang menunggu kata kepastian darimu." "Kepastian apa menurutmu""
"Perceraian kita dan lalu kau menikah dengan Astari."
"Aku tidak pernah berpikir untuk bercerai denganmu. Bahkan sedikit pun aku tak pernah mempunyai pikiran untuk menikah dengan Astari." Aku tertegun.
Kalau aku tidak kenal Mas Totok pasti aku tak akan mempercayai apa yang baru kudengar itu. Tetapi toh tetap saja aku merasa ada sesuatu yang agak ganjil dari perkataannya itu. Sebab pada kenyataannya, dia dan Astari selalu saja menguntai acara demi acara berduaan dan bahkan dengan kedua anak Astari. Seolah persiapan Mas Totok untuk menjadi seorang ayah tiri yang baik sudah mulai dirintis. "Itu kan menurut perkataanmu, meski mungkin saja
memang begitu jugalah menurut keinginan hatimu. Tetapi, bagaimana pada kenyataannya"' Merasa tak tahan, apa yang kupikirkan itu ku-lontarkan.
"Apakah kelakuanmu selama ini me-nunjang orang untuk mempercayai perkataanmu tadi"" "Aku paham kenapa kau berkata seperti itu," kata Mas Totok lagi. Kini sikapnya lebih terkendali dibanding tadi.
"Begini, Siska, kurasa sudah saatnya kalau kita sekarang membicarakan segala sesuatu yang ada di seputar diri kita belakangan ini secara lebih terbuka, agar masing-masing di antara kita bisa menentukan sikap. Nah, apakah kau siap untuk itu, Siska" Ataukah kau sudah
mengantuk" Kalau ya, kita bisa membicarakan masalah ini besok saja.... "
"Aku belum mengantuk, Mas." Perkataan Mas Totok kupenggal.
"Kurasa, memang baik sekali kalau malam ini kita membuka masalah yang ada di sekitar kita supaya menjadi lebih gamblang. Dengan demikian masing-masing kita bisa segera menentukan langkah," sahutku.


Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menunda-nundanya hanya memperparah keadaan saja. Lihat saja apa yang baru saja terjadi tadi Masing-masing kita telah melontarkan kata-kata yang tajam. Masing-masing telah pula kehilangan kontrol diri. Marah-marah tak terkendali. Padahal selama hampir enam tahun pernikahan kita, hal-hal seperti tadi hampir-hampir tak pernah terjadi." "Ya, kau benar sekali, Sis!" "Kalau begitu, mulailah."
Dari cermin, wajahku yang polos tanpa make up apa pun itu tampak bersih. Aku merasa bersyukur, kesehatan-ku yang prima ikut menunjang kesehatan kulitku. Apalagi, kecuali bedak aku tak pernah memoles wajahku dengan ini dan itu sehingga kemungkinan kena dampaknya sangat kecil. "Baiklah.... "
Mas Totok menarik napas panjang, kemudian melanjutkan bicaranya.
"Siska, aku harus mengaku padamu bahwa belakangan ini aku mulai menyadari sesuatu yang cukup luar biasa bagiku. Sesuatu yang menjadikan ke-matangan diriku terlontar jauh ke depan. Agak sedikit terlambat memang, menilik usiaku yang sudah tiga puluh tiga lebih ini... "
"Kau mau mengatakan apa sih, Mas"" tanyaku memotong perkataan Mas Totok dengan tak sabar. "Begini, Siska. Ketika aku berjumpa kembali dengan Astari, perasaanku begitu melambung-lambung penuh dengan angan-angan dan hal-hal yang pernah kami untai berdua. Seperti orang mabuklah yang kualami waktu itu. Tetapi kemudian semakin lama, semakin aku kehilangan suasana yang melambung-lambung seperti itu sehingga mataku secara pelan-pelan terbuka untuk menangkap realitas yang ada. Dan itulah yang kusebut sebagai kesadaran tadi, bahwa ternyata selama ini diriku telah terjebak kemanisan masa laluku. Padahal aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu lagi. Perjalanan hidupku selama ini membuatku semakin dewasa tanpa aku me-nyadarinya. Maka ketika aku melihat Astari melalui kacamata dalam kedewasaan diriku itu, sadarlah aku bahwa sebenarnya cintaku kepadanya sudah tak ada lagi. Seperti kataku tadi, aku cuma terjebak oleh kenangan masa laluku saja. Jadi sekali lagi, itulah lontaran kedewasaanku menuju kematangan dunia batin yang membuatku sampai tertegun-tegun sendiri karena keluar-biasaannya. Kacamataku yang semakin bening membuatku terheran-heran ketika melihat segala sesuatunya secara transparan tanpa dibauri hal-hal yang semu lagi. Jadi Siska, kenapa aku selal
u menuruti keinginan Astari... kecuali yang satu itu lho.... "
"Yang satu itu apa sih"" Aku memotong lagi perkataan Mas Totok.
Ingin sekali aku mendengar secara lebih konkret apa yang dikatakannya itu untuk membulatkan pengertianku yang baru atas hubungan-nya dengan Astari. Tak kupungkiri, pengakuan Mas Totok itu telah membuatku terkejut dan terheran-heran. Sungguh mati, aku tak me-nyangkanya sama sekali. Jadi, selama ini aku telah keliru menilai dirinya! Mas Totok tersenyum sekilas. Dia tahu betul, aku cuma ingin bukti yang lebih jelas dan lebih bisa didengar secara langsung.
"Aku memang selalu menuruti apa pun keinginan Astari, bahkan mengantarkannya ke Semarang pun kulakukan. Tetapi yang satu itu tidak. Maksudku, kalau dia memberi peluang-peluang atau kesempatan untuk memesrainya, pasti itu akan kutolak. Bahkan yang ringan sekalipun seperti berciuman misalnya, aku tetap tidak akan melakukannya. Sudah tidak ada cinta dan tak ada greget lagi, masa iya aku mau berciuman dengannya!" Lelaki itu menjawab dengan agak tersipu-sipu.
"Kalau memang demikian, kenapa kau selalu memanjakannya sampai-sampai membiarkannya keluar-masuk rumah ini semau dia sendiri tanpa menenggang perasaanku."
"Itu karena rasa bersalahku kepadanya. Dia mengira aku masih mencintainya. Bahkan berangan-angan melihatku bercerai denganmu. Ketika dia tahu kau bekerja di Bandung, angan-angan itu semakin membubung tinggi. Justru karena itulah aku takut kalau-kalau dia mengalami ke-kecewaan luar biasa yang menggoncangkan hati-nya kalau dia tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Pengakuannya itu pun rak kusangka sama sekali. Namun begitu, aku ingin tahu apa lagi yang masih mengendap dalam hatinya. Sekaligus iga untuk melampiaskan perasaan-perasaan terpendam yang selama sekian bulan ini menekan perasaanku dan mengganggu ketenangan batinku.
"Untuk itu, kau biarkan kepala istrimu seperti diinjak-injak." "Apa maksud bicaramu itu, Siska""
"Ingatkah kau ketika aku berulang tahun" Waktu itu aku benar-benar merasa kesepian, sendirian di rumah yang sepi sementara kau ada bersamanya. Dan tidak sadarkah kau, Mas, aku juga sering harus pergi ke mana-mana sendirian bahkan pada malam hari pun, karena kau sibuk dengan perempuan lain. Kau temani dia ke Semarang seolah dia yang istrimu. Bukan aku. Juga tanpa meminta persetujuanku lebih dulu kau turuti keinginannya memiliki kuda-kudaan porselin milikku. Lalu kau biarkan pula dia keluar-masuk sesukanya di rumah ini justru di saat aku tidak ada. Padahal aku masih sah istrimu. Pikirkanlah, Mas, bagaimana perasaanmu kalau kau ada di tempatku!"
Mendengar perkataanku, Mas Totok men-dekatiku dengan langkah lambat. Kini lelaki itu berdiri tepat di belakangku sementara aku masih tetap duduk di muka meja riasku. Kedua belah tangannya ia letakkan ke bahuku. Dari cermin di depanku aku melihat wajahnya tampak lelah.
"Aku pastilah telah menyakiti hatimu, Siska. Aku benar-benar tolol, bahkan buta tidak berpikir sampai ke sana. Selama ini pikiranku terserap hanya pada kekhawatiranku melihat Astari kecewa. Padahal seharusnya aku sadar bahwa kau lebih membutuhkan perhatianku. Bahwa batimu lebih terluka dibanding dirinya...," bisiknya dengan suara yang sama letihnya dengan sinar wajahnya itu.
"Itu karena pada dasarnya, kau tidak memiliki perasaan bahwa akulah yang istrimu. Bukan dia."
"Kau keliru, Siska. Justru karena aku selalu sadar dan ingat bahwa kau adalah istriku, maka rasa bersalahku bahkan rasa kasihanku kepada Astari semakin menebal. Apalagi setelah aku sadar bahwa cintaku yang sesungguhnya sudah kuserahkan kepada istriku sendiri." "Apa""
Aku memotong lagi perkataan Mas Totok dengan terkejut. Tidak salah dengarkah aku" Mas Totok mencintaiku"
"Aku mencintaimu, Siska. Aku mencintaimu tanpa kusadari sebelumnya. Kehadiran Astari yang aku kenal sekarang justru menyadarkan di mana cintaku yang sebenarnya. Temyata cintaku yang matang, cintaku yang sesuai dengan ke-nyataan masa kini, hanya ada pada kehidupanku yang sekarang. Bersamamu."
Aku terdiam dengan takjub mendengar perkataan. Mas Totok itu. Kuulangi kata demi kata yang masuk ke telingaku ta
di untuk meresapi maknanya. Dan kemudian kupelajari pula pengakuannya itu untuk menilai perasaanku sendiri atas semua yang terjadi di antara kami berdua akhir-akhir ini.
"Kenapa diam saja" Kau marah mendengar pengakuanku ini, Siska"" tanya lelaki itu. Tangannya mulai mengelusi rambutku dengan ge-rakan mesra. Aku marah" Bagaimana mungkin aku akan marah dalam keadaan yang memberiku kebebasan begini" Sebab begitu mendengar pengakuannya itu tiba-tiba saja aku merasa beban berat yang ada di pundakku tergulir lepas. Dan sebagai gantinya, pundak dan kepalaku mulai diselimuti pemahaman yang begitu gamblang yang ter-pampang di hadapanku. "Kenapa aku harus marah kepadamu, Mas"" sahutku lama kemudian.
"Pengakuanmu itu bukan saja telah menyejukkan perasaanku yang selama ini begitu gersang. Tetapi juga telah membuka cakrawala baru, menyingkap seluruh tirai yang semula menyelubungi mata hatiku, sehingga aku kini mampu melihat kenyataan dengan lebih baik." "Kenyataan yang seperti apa, Siska"" Mas Totok yang masih berdiri di belakangku terns saja mengelusi rambutku. Kubiarkan dia dengan perbuatannya itu.
"Kenyataan yang membawaku pada suatu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan batinku selama ini. Antara lain, kenapa perasaanku belakangan ini mudah sekali menjadi labil. Kenapa pula aku sering merasa kepalaku seperti diinjak-injak dan hatiku menjadi panas kalau menemukan atau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Seperti misalnya ketika kau membatalkan rencana-mu untuk mengantarkanku pindah ke Bandung beberapa bulan
yang lalu. Demikian juga ke-marahanku tadi ketika melihat lipstick itu. Rupanya Mas, itu semua adalah perasaan cemburu." Aku menjawab dengan pelan dan agak malu-malu. "Karena aku sangat tidak suka mem-bayangkan dirimu berkasih-kasihan dengan perempuan lain. Kau adalah milikku."
"Apakah munculnya perasaan itu karena kau merasa lebih berhak atas diriku sebab aku ini suamimu"" Wajah lelah dalam cermin itu mulai tampak bercahaya. Bahkan bola matanya juga mulai tampak berbinar. 'Tidak tepat seperti itu..." "Lalu tepatnya seperti apa""
Ah, Mas Totok. Dia sudah tahu tetapi pura-pura tak tahu. Aku . kenal pancaran matanya. Ia ingin mendengar apa yang sudah diduganya itu keluar dari mulutku. Tetapi aku tidak segera menjawab. Pikiranku sedang bergolak. Sebab secara tiba-tiba aku ter-ingat kepada Victor. Pengakuan Mas Totok me-ngenai perasaan semunya terhadap Astari telah menyentil keras kesadaranku. Temyata, seperti itulah yang rupanya juga kualami. Temyata perasaan cintaku kepada Victor yang muncul be-lakangan ini juga cuma perasaan semu. Seperti pengakuan Mas Totok tadi, aku juga telah terjebak kemanisan masa lalu. Sebab kalau aku memang benar-benar masih mencintainya, kenapa aku menolak kemesraannya" Bukankah sekarang ini hubunganku dengan Mas Totok sedang berada pada titik kritis" Bisa saja aku berpikir apa salahnya kalau aku menerima kemesraannya" Tetapi toh pada kenyataannya, aku tidak ingin bermesraan dengan Victor. Sadar atau pun tidak, itu kuputuskan karena aku merasa diriku hanyalah milik Mas Totok seorang. Jadi bukan melulu karena aku merasa berkewajiban untuk meng-hormati perkawinanku saja. Apalagi kalau kuingat betapa dulu ketika hubunganku dengan Victor sedang berada di tepi jurang kehancuran, aku pernah ingin menyerahkan keperawananku kepadanya sebagai persembahan cinta dan kesetiaan-ku kepadanya. Tetapi sekarang ketika aku sudah bukan seorang perawan, keinginan untuk itu sedikit pun malah sudah tidak ada lagi. Baru kusadari sekarang, betapa telah berubahnya cara pandangku dan bagaimana pula aku sekarang ini menempatkan diri dan perasaanku terhadap Victor. "Siska... " Kok diam saja""
Kudengar nada khawatir dalam suara Mas Totok ketika aku belum juga menjawab pertanyaannya. Merasa tak tahan atas semua kesadaranku tadi, pertanyaan Mas Totok kujawab dengan memutar tubuhku dan melemparkan diriku ke dalam pe-lukannya.
"Aku juga mencintaimu, Mas. Tetapi bedanya kalau kau menyadari cintamu kepadaku sudah beberapa waktu yang lalu, aku baru sekarang ini menyadari cintaku kepadamu...," bisikku. "Aku tadi benar-benar merasa c
emburu ketika melihat lipstick Astari ada di atas meja riasku.... "
Sebelum perkataanku kuselesaikan, Mas Totok mengangkat daguku. Matanya menatap mataku dengan penuh cinta yang membara.
"Tetapi justru karena lipstick itulah kesadaranku atas cintaku padamu ini kubuka malam ini juga. Aku tak mau lagi menundanya, terutama setelah kusadari tentang sesuatu yang lain.... "
"Kenapa lipstick ini, Mas"" tanyaku menyela.
"Karena lipstick inilah mataku semakin terbuka lebar tentang diri Astari. Dia tidaklah
selemah seperti yang kukira. Dia tidak perlu dikasihani sebagaimana dugaanku semula. Dia
memiliki ke-kuatan sendiri untuk menolong dirinya sendiri...."
"Apa kaitannya dengan lipstick itu sih, Mas!"
Aku memotong lagi perkataannya. Kini dengan rasa tak sabar.
"Selama ini, Astari telah memakai kelemahan hatiku untuk tetap menempatkan dirinya sebagai orang yang patut kukasihani. Padahal secara licik dia telah dengan sengaja meminta kuda-kudaan porselinmu, meninggalkan saputangannya di kamar mandi, dan sebagainya. Dan sekarang, lipstick ini pula. Aku mulai yakin sekarang, benda itu bukannya tertinggal di sini. Tetapi telah ia sengaja agar kau melihatnya!" Mas Totok menjawab dengan suara kesal. "Aku benar-benar buta selama ini." "Sudahlah, Mas, semua itu telah berlalu.... "
Mas Totok menatap mataku lagi dengan matanya yang berbinar itu. Kemudian tersenyum manis.
"Semua yang tak menyenangkan memang telah berakhir, Sayang. Sudah saatnya bagi kita berdua untuk meninggalkan masa lalu dan memandang ke masa depan."
"Ya.... " "Aku mencintaimu, Siska. Dan berbahagia karena ternyata kau pun mencintaiku...," desahnya. Usai berkata seperti itu, Mas Totok mencium bibirku. Kemudian diangkatnya tabuhku ke atas tempat tidur.
"Aduh, rasanya kau bertambah gemuk, Siska. Atau aku yang sudah mulai kehilangan kekuatan""
"Kau masih muda dan kekuatanmu masih akan tetap ada padamu sampai sepuluh tahun, dua puluh tahun mendatang.... "
Aku tersenyum sambil melingkarkan tanganku ke lehernya yang kokoh itu. Mas Totok menjawab perkataanku dengan menghujaniku ciuman dan belaian kasihnya. Aku bergetar merasakan betapa seluruh perbuatannya itu bernapaskan cintanya kepadaku. Dengan sepenuh cinta dan kerinduan, kubalas seluruh per-nyataan cintanya itu dan meresapinya hingga seluruh serat tubuhku. Ketika kerinduan itu telah terpuaskan dan rasa gamang yang selama ini menyungkup diriku telah tersingkirkan, barulah aku mau mengakui sesuatu yang selama berminggu-minggu ini kusembunyikan rapat-rapat dengan perasaan takut. "Mas, ada sesuatu yang ingin kukatakan ke-padamu...," kataku, masih berada di dalam pelukannya. Kepalaku berada di atas lengannya. "Apa itu, Sayang""
"Ingatkah kau apa yang terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu sebelum aku berangkat ke Bandung untuk pertama kalinya""
Aku bertanya kepada Mas Totok sambil mengelus dagunya yang mulai kasar oleh tumbuhnya rambut kecil-kecil di tempat itu. Aku menyukai rasa tajam-tajamnya rambut itu di telapak tanganku.
"Apa itu, Siska" Ada banyak yang terjadi waktu itu, kan""
"Ya. Tetapi peristiwa yang itu begitu khusus dan tak terlupakan olehku. Ketika itu pagi-pagi sekali di hari keberangkatanku, kau tergesa pulang dari rumah Mbak Astari setelah menginap di sana.... "
"Yah, aku tergesa pulang karena ingin merasakan kemesraan bersamamu sebelum kau berangkat ke Bandung."
Mas Totok menyambung bicaraku sebelum aku menyelesaikannya.
"Mas, apa yang kita lakukan saat itu telah mengakibatkan sesuatu padaku.... "
"Sesuatu padamu" Apa itu, Siska"" "Aku... aku hamil, Mas...."
Mas Totok menatapku dengan takjub. Wajahnya tampak lucu sekali. Dia benar-benar tampak terkejut dan terpesona sekaligus.
Sekian "Kau yakin..."" tanyanya kemudian dengan suara bergetar.
"Tiga kali haidku tidak datang, Mas. Dan dadaku terasa penuh, sementara pinggangku terasa menebal. Meskipun belum berpengalaman, tetapi aku tahu itu adalah tanda-tanda kehamilan."
"Berarti aku tidak salah ketika mengatakan tubuhmu lebih berat daripada sebelumnya. Ya Tuhan, betapa indahnya penyelenggaraanmu atas hidup manusia. Setelah sekian tahun lamanya, baru sekarang Tuhan m
empercayai kita...," bisik Mas Totok sambil memeluk erat tubuhku. Tangannya yang menggeletar mengirimkan getar kasihnya kepadaku. "Itu karena baru sekarang cinta itu hadir di sini."
Perkataan itu kujawab dengan membalas pelukan mesranya. Tetapi mataku menatap keluar, melalui celah-celah tirai jendela yang tersingkap. Nun di sana aku melihat kedipan bintang dini hari. Dia mengucapkan selamat bahagia kepadaku. Alangkah memesonanya itu. Dan alangkah bahagianya hatiku.
tamat Dewi Bunga Asmara 3 Pendekar Mabuk 022 Lentera Kematian Patung Kepala Singa 1
^