Pencarian

Patung Kepala Singa 1

Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Bagian 1


PATUNG KEPALA SINGA Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Lintasan malam semakin jauh membentang dalam
kesenyapan tinggi yang dingin dan suasana mence-
kam. Keangkeran meraja, hingga terasa ke tulang paling dalam. Ratu Malam yang
biasanya hangat bersinar, kali ini seperti tak mampu tembusi gumpalan awan hitam
yang sepertinya enggan bergeser. Angin datang
bergulung-gulung dari arah barat, seperti membawa
tabir kematian yang harus dikuakkan.
Dalam keangkeran yang kian menggigit dan di
bawah naungan tipis sinar bulan, nampak sebuah
bangunan berdiri tegak laksana raksasa yang sedang
berlutut. Kengerian akan dirasakan oleh siapa saja
yang arahkan pandangannya pada bangunan itu.
Hembusan angin yang meraja, membawa bau any-
ir darah ke berbagai penjuru. Suara burung gagak
yang mengerikan berkaok-kaok memecah keheningan
malam dan menambah keangkeran.
Di kejauhan, nampak satu sosok tubuh berkelebat
dengan cepatnya. Dari gerakannya yang sangat cepat, nampak kalau sosok tubuh itu
hendak lalui malam
dengan segera. Namun mendadak sosok tubuh itu
hentikan kelebatannya tatkala hidungnya menangkap
bau yang sangat busuk. Dengan kesigapan yang ken-
tara, sepasang mata sosok tubuh yang ternyata seo-
rang pemuda ini diedarkan ke sekelilingnya.
"Busyet! Bau apa ini?" desisnya sambil garuk-garuk kepalanya. Pandangannya
diarahkan ke bangu-
nan besar yang nampak porak poranda itu. Dan sema-
kin lama dia berada di sana, semakin tak kuat indera penciumannya guna menahan
aroma anyir yang sungguh tak sedap. Kejap kemudian, pemuda yang beram-
but gondrong ini keluarkan dengusan lagi, "Kutu mo-
nyet! Bau busuk yang nampaknya berasal dari bangu-
nan yang sebagian sudah hancur itu, biasanya berasal dari bangkai! Tetapi,
bangkai apa yang baunya seperti berjibun-jibun"! Benar-benar busyet! Masa aku
harus bertahan dengan bau tak sedap ini"! Konyol banget!"
Kembali pemuda berpakaian hijau pupus yang di
lehernya melilit sebuah kain bercorak catur ini mendengus-dengus. Sikapnya
sungguh konyol! Dan tam-
pangnya yang tampan itu kini mendadak seperti jadi
orang dungu! "Sinting gila miring! Perutku seperti diaduk-aduk oleh tangan kasar! Huh!
Mendingan aku tinggalkan sa-ja, ketimbang muntah tidak karuan!!"
Memutuskan demikian, pemuda yang memiliki
sepasang alis hitam legam dan menukik seperti kepa-
kan sayap burung elang ini, mulai melangkah. Tetapi baru tiga langkah dilakukan,
dia sudah hentikan langkahnya lagi.
Dan bersuara agak geram, "Brengsek! Justru aku jadi penasaran ingin tahu asal
bau tak sedap ini!"
Setelah mendumal tanpa keluarkan suara, pemu-
da berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika
adanya, alias Pendekar Slebor, segera berkelebat ke arah bangunan besar yang di
sana-sini,sudah porak-poranda.
Dengan kerahkan tenaga dalamnya guna hindari
bau tak sedap itu, Andika segera berkelebat masuk ke dalam bangunan. Di ruangan
besar yang diperkirakan
seperti sebuah tempat pertemuan, dia kembali henti-
kan kelebatannya.
Kali ini pandangannya tak berkedip, mengarah
pada puluhan mayat yang tumpang tindih. Lalat-lalat sudah menari-nari di tubuh
puluhan mayat itu.
"Celaka tiga belas setengah! Rupanya ada pem-
bantaian di sini! Menilik bau busuk dari mayat-mayat
ini yang telah mengundang para lalat berpesta, kematian ini sepertinya sudah
berkisar sekitar dua sampai lima hari! Kutu monyet! Siapa yang telah lakukan
pembantaian keji gila-gilaan seperti ini"!"
Lalu dengan melangkahi beberapa sosok tubuh
yang telah menjadi mayat, Andika meneliti tempat itu.
Dilihatnya, kalau mayat-mayat itu rata-rata tewas
dengan dada bolong!
"Keji!" desisnya geram. Lalu dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian sutera yang
tergolek menjadi mayat.
Dada lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu pun bolong. Dalam sekali lihat saja Andika yakin, kalau jantung lelaki itu
sudah tidak ada!
Dan perlahan-lahan kemarahan mulai meraja di
hati pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini. Tangannya berulang kali mengepal sementara mu-
lutnya tak henti-henti keluarkan desisan geram. "Monyet belang! Aku ingin tahu
siapa yang telah lakukan semua ini"!"
Sebelum Andika putuskan untuk berbuat apa,
mendadak saja terdengar makian keras di belakang-
nya, "Begitu pula denganku! Tetapi, Jangan berlagak pilon! Karena engkaulah yang
telah melakukan semua
ini!!" Serta merta pemuda dari Lembah Kutukan ini putar tubuh. Saat itu pula
dilihatnya seorang perempuan berpakaian kuning bersih dengan selendang warna
merah yang melilit di pinggangnya telah berdiri tegak.
Wajah perempuan yang kira-kira berusia sekitar empat puluh tahun itu, sedemikian
jelitanya. Namun pancaran matanya begitu tajam. Bibirnya merapat tanda perempuan
itu dilanda kemarahan.
Untuk sesaat Andika terdiam. Dapat dirasakan
kalau perempuan yang tiba-tiba muncul tanpa diketa-
huinya itu bukan orang sembarangan. Dari menilik
wajahnya yang perlahan-lahan kian mengkelap, Andi-
ka merasa yakin kalau keadaan yang dilihatnya ini
akan membangkitkan kesalahpahaman.
"Brengsek kalau begitu!" desisnya dalam hati.
Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal dan pamerkan cengirannya yang konyol itu, dia berkata, "Wah! Kalau
begitu... kita sama-sama punya keinginan untuk mengetahui siapa pelaku keji
pembantaian ini, ya" Bagaimana" Apakah kau bersedia
bersama-sama denganku untuk mencarinya" Tetapi...
jangan, ah! Kalau aku berjalan bersamamu dan berte-
mu dengan gadis-gadis lain, mereka bisa cemburu
nanti!" Mendapati kata-kata si pemuda yang tidak tahu
juntrungannya, untuk sejenak si perempuan terdiam.
Pandangannya tetap tajam dan menusuk.
Diam-diam perempuan ini membatin, "Menilik pa-
kaian yang dikenakan dan sikapnya yang konyol itu, rasa-rasanya... aku pernah
mendengar julukan orang
yang bersikap seperti ini. Tetapi... apa mungkin memang dia" Rasanya... tak
mungkin. Karena, dia dikenal sebagai pemuda dari golongan lurus kendati sikap
konyolnya tidak ketolongan lagi!"
Di seberang, karena si perempuan terdiam Andika
berkata lagi, "Kalau tak ada urusan yang hendak dibicarakan, lebih baik aku...."
"Tutup mulut!" seru si perempuan tiba-tiba. Sebelum dia melanjurkan kata,
kembali perempuan berpa-
kaian kuning bersih ini membatin, "Sikapnya memang benar-benar memperlihatkan
siapa dia sebenarnya. Tetapi, rimba persilatan saat ini sedang kacau. Sulit
meyakinkan satu dugaan sebelum membuktikan. Apalagi memutuskan kalau dia adalah
kawan atau lawan."
Habis membatin begitu, si perempuan ajukan
tanya, "Keinginan kita memang sama! Tetapi, apa
maksudmu hadir di Kuil Putra Langit ini"! Apakah kau memang semata datang karena
tak sengaja, ataukah
kau datang untuk meyakinkan semua orang yang telah
kau bunuh benar-benar sudah mampus" Atau kau...."
Si perempuan memutus kata-katanya sendiri begi-
tu pandangannya membentur pada sosok tubuh lelaki
berpakaian sutera yang telah tewas. Sesaat nampak
dia melengak dengan kedua mata membesar, Tetapi
kejap kemudian, nampak pula kalau dia tengah beru-
saha tindih keterkejutannya.
Dalam sekali pandang, Andika tahu kalau perem-
puan itu mengenali mayat berpakaian sutera.
"Menilik sikapnya, nampak kalau perempuan itu
mengenal lelaki berpakaian sutera! Kuil Putra Langit"
Fuih! Angker betul nama tempat ini!" desis Andika dalam hati. Lalu katanya
sambil nyengir, "Wah! Gampang banget pertanyaanmu itu! Jawaban-nya, dari kata-
katamu yang pertama tadi! Sekarang aku balik tanya!
Mengapa...."
"Diam!" seru si perempuan memutus kata-kata Andika. "Jangan coba-coba bangkitkan
kemarahanku!"
"Kutu kupret! Galak betul! Siapa sih sebenarnya perempuan ini?" seru Andika
dalam hati. Lalu didengarnya lagi kata-kata si perempuan, "Apakah kau sudah
mendapatkan barang yang kau cari" Patung Kepa-
la Singa"!"
Kali ini Andika benar-benar terdiam mendengar
pertanyaan orang. Dan dia tidak tahu kalau sesung-
guhnya si perempuan sedang membuktikan mengapa
dia hadir di tempat yang telah porak poranda ini"
Sesaat sunyi meraja. Bau anyir darah makin men-
guat. Bau busuk mayat-mayat itu bertambah menyen-
gat, hingga bila tidak alirkan tenaga dalam guna menutup sebagian indera
penciuman, orang yang berada
di sana akan langsung muntah dengan kepala pusing.
Tiba-tiba terdengar suara seperti dinding runtuh dari bagian dalam bangunan itu.
Masing-masing orang sesaat palingkan kepala ke
arah suara itu. Setelah meyakinkan kalau memang
hanya dinding bangunan yang runtuh, keduanya sal-
ing pandang kembali. '
Kejap kemudian, terdengar kata-kata Pendekar
Slebor "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan. Patung Kepala Singa" Benda apa
itu?" "Hmmm... wajahnya begitu polos, Keheranannya
jelas tak dibuat-buat. Bisa jadi apa yang dikatakannya,, tadi memang benar.
Patung Kepala Singa... se-
buah benda yang sedang ramai dibicarakan orang," ka-ta batin si perempuan.
Lalu setelah tarik napas pendek dia bertanya,
"Siapakah kau sebenarnya?"
Karena ingin mengetahui urusan apa yang telah
terjadi, Andika berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah Kutukan. Orang-
orang menjulukiku...
Pendekar Slebor!" Lalu buru-buru disambungnya, "Tetapi aku tidak slebor lho.
Hanya... ya, cuma dikitlah!"
Mendapati sahutan itu, nampak si perempuan
mendesah lega. "Dugaanku ternyata benar. Dia memang Pendekar Slebor. Pemuda yang
julukannya se- makin ramai dibicarakan orang karena sepak terjang-
nya yang selalu menggagalkan perbuatan makar dari
orang-orang tak beradab!"
Kemudian katanya, "Apakah kau melihat mayat
seorang gadis di antara tumpukan mayat-mayat ini?"
Andika menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ta-
hu. Mungkin memang tertindih mayat-mayat yang
lainnya. Siapa dia?"
Bukannya jawab pertanyaan itu, si perempuan ju-
stru berkelebat ke sana kemari. Saat berkelebat, kakinya menyepak-nyepak dengan
cepat, hingga bebera-
pa mayat bergulingan.
"Busyet! Apa yang sedang dilakukannya" Apakah
dia sedang mencari gadis yang dimaksudnya?" desis Pendekar Slebor dalam hati dan
diam-diam mengagu-mi ilmu peringan tubuh yang diperlihatkan si perem-
puan. Tak mau mengganggu apa yang sedang dilakukan
si perempuan, Andika hanya memperhatikan saja. Se-
puluh larikan napas kemudian, perempuan berpakaian
kuning bersih yang di pinggangnya melilit sebuah selendang warna merah, telah
berdiri tegak kembali sejarak lima langkah dari hadapan Andika.
Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian se-
raya putar tubuh si perempuan berkata, "Kita berbica-ra lagi di luar kuil ini!
Aku tidak tega melihat mayat-mayat ini!"
Belum lagi Andika menjawab, si perempuan sudah
berkelebat keluar dari bangunan itu. Untuk sesaat Andika kembali dibuat terpana
melihat gerakan yang dilakukan si perempuan.
"Edan! Aku cuma melihat bayangan kuning saja!
Hmmm... jadi penasaran nih"!"
Karena rasa penasaran itulah Andika memu-
tuskan untuk menyusul si perempuan, yang ternyata
menunggunya sejarak lima belas tombak dari bangu-
nan yang telah porak poranda itu.
"Eh, sudah lama menungguku"! Apa kabar"! Ada
yang bisa kubantu?" seru Andika konyol setelah berdiri sejarak lima langkah dari
hadapan si perempuan. Lalu dengan enaknya dia nyengir sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Si perempuan tak menggubris selorohan Andika.
Sesaat dipandanginya wajah si pemuda yang justru
dengan noraknya mengangkat-angkat alisnya.
Setelah keluarkan dengusan melihat tingkah ko-
nyol Pendekar Slebor, si perempuan berkata, "Namaku Dewi Puspa dan orang-orang
menjulukiku Bidadari
Tangan Bayangan. Aku datang dari Lembah Pinus. An-
dika... aku adalah sahabat dari Lelono Jaka, atau yang berjuluk Pendekar Sutera.
Dialah pimpinan dari Kuil Putra Langit. Kedatanganku ke sini, adalah untuk
memenuhi undangannya seminggu yang lalu. Saat itu,
salah seorang muridnya, datang menyampaikan un-
dangannya. Karena ada urusan yang harus kuselesai-
kan lebih dulu, makanya aku tak segera datang. Teta-pi, undangan itu pun
diperuntukkan buatku sekitar
tujuh hari di muka setelah salah seorang muridnya
menyampaikan undangan Pendekar Sutera kepada-
ku...." Perempuan yang mengaku berjuluk Bidadari Tan-
gan Bayangan ini sejenak menghela napas, sementara
Andika mendengarkan dengan seksama.
Kejap kemudian, Bidadari Tangan Bayangan me-
lanjutkan lagi, "Sebenarnya... aku bisa menduga, apa maksud Pendekar Sutera
mengundangku mene-muinya. Dapat kuyakini kalau dia hendak membicara-


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan tentang Patung Kepala Singa."
"Lagi-lagi benda itu yang disebutkannya," kata Andika dalam hati. Sambil maju
selangkah, pemuda
dari Lembah Kutukan ini bertanya, "Benda apa sebenarnya Patung Kepala Singa?"
"Sampai saat ini, aku memang belum pernah me-
lihat seperti apa Patung Kepala Singa itu. Sekitar seta-hun yang lalu, Pendekar
Sutera mengatakan kepada-
ku, kalau dia mendapatkan Patung Kepala Singa seca-
ra tak sengaja di saat dia sedang bersemadi di Lembah Singa. Patung itu tiba-
tiba saja muncul dlhadapannya setelah dia selesai bersemadi. Dengan penuh
keheranan Pendekar Sutera membawanya pulang. Dan bebe-
rapa kali dia bermimpi, kalau di dalam Patung Kepala
Singa terdapat sesuatu yang sangat sakti. Tetapi dia tidak tahu apa sesuatu itu
karena dia selalu terbangun sebelum mimpinya selesai. Dia pernah membicarakan
soal itu kepadaku sekitar tujuh bulan yang lalu. Aku pun tak bisa banyak
membantu, tentang apakah sesuatu yang terdapat pada Patung Kepala Singa itu."
"Apakah saat itu Pendekar Sutera tidak menun-
jukkan Patung Kepala Singa kepadamu?"
"Justru aku yang tak ingin melihatnya. Aku cuma ingin membantu."
"Mengapa?"
"Karena kuanggap, dia telah mendapatkan satu
keberuntungan. Dan aku tak ingin lancang mengeta-
hui lebih lanjut dari keberuntungannya itu"
"Tetapi pada kenyataannya, justru dia mendapat musibah," sahut Andika seperti
menyesali. Dan dia memang melihat wajah si perempuan yang jelita itu
nampak juga menyesali. "Apakah kau memperkirakan kalau pembantaian itu terjadi
disebabkan Patung Kepala Singa?" tanya Andika dengan mimik serius. Dan saking
seriusnya, sikapnya jadi seperti sapi ompong!
Dasar! Sejenak Bidadari Tangan Bayangan terdiam sebe-
lum menjawab, "Aku juga menduga seperti itu. Karena sekitar sebulan yang lalu,
aku mendengar orang-orang ramai membicarakan tentang Patung Kepala Singa.
Sayangnya, aku tidak tahu di mana Patung Kepala
Singa itu disimpan. Apakah patung itu berhasil direbut oleh orang yang melakukan
pembantaian, ataukah
masih aman tersimpan entah di mana."
"Sulit menjawab pertanyaan itu. Karena dia sendiri tidak tahu seperti apa benda
yang bernama Patung Kepala Singa," kata Pendekar Slebor dalam hati.
Kemudian tanyanya, "Lalu apa yang kau lakukan tadi dengan menyepak-nyepak
beberapa mayat?"
Bidadari Tangan Bayangan tarik napas dulu sebe-
lum menjawab, "Aku mencari Tri Sari."
Andika mengernyitkan keningnya. "Siapakah gadis itu?" "Dia adalah putri Pendekar
Sutera. Tetapi... aku tak melihat mayatnya di sana bila dia memang mati
bersama-sama yang lain."
Untuk sejenak tak ada yang membuka suara. An-
dika seperti tengah berpikir keras. Kemudian katanya,
"Ada beberapa dugaan mengenai putri Pendekar Sutera. Pertama, kemungkinan besar
dia telah melarikan
diri dengan atau tidak membawa Patung Kepala Singa.
Kedua, dia telah tewas di satu tempat karena orang
yang melakukan pembantaian itu berhasil mengejar
dan menghabisinya. Ketiga, gadis itu belum tahu apa yang telah terjadi."
Mendengar dugaan-dugaan yang dituturkan Andi-
ka, perempuan berpakaian kuning bersih ini terdiam.
Hanya matanya yang nampak terlihat kalau dia mem-
benarkan dugaan-dugaan itu.
Kejap kemudian dia berkata, "Aku hanya berha-
rap, kalau Tri Sari berada dalam dugaanmu yang per-
tama." Lalu sambungnya dengan suara geram, "Jahanam terkutuk! Tak akan kubiarkan
orang yang telah
lakukan pembantaian ini hidup lebih lama!"
*** 2 Andika dapat merasakan kegeraman yang tersirat
dari kata-kata itu. Sebelum dia berkata, terdengar suara Bidadari Tangan
Bayangan mendahului, "Selama ini... Pendekar Sutera dikenal sebagai seorang
pende- kar yang selalu baik pada siapa pun. Bahkan dia tak memandang siapa pun orang
yang akan dijadikan sahabat. Hingga rasanya... dia jarang mempunyai mu-
suh. Dan sungguh biadab orang yang telah lakukan
pembantaian itu!!"
"Dia nampaknya terbawa oleh arus amarahnya,
Dan ini membuktikan betapa dia memang bersahabat
dengan lelaki berjuluk Pendekar Sutera yang tentunya mayat yang mengenakan
pakaian terbuat dari sutera
tadi," kata Andika dalam hati. Lalu segera ajukan tanya, "Apakah kau bisa
menduga siapakah orang yang telah lakukan semua ini?"
Bukannya jawab pertanyaan Andika, Bidadari
Tangan Bayangan justru kertakkan rahang. Jelas se-
kali kalau dia teringat akan sesuatu. Sepasang ma-
tanya tiba-tiba terbuka lebih lebar dengan sorot mata dibaluri kemarahan. Kejap
kemudian nampak kedua
tangannya dikepalkan kuat-kuat.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan si Kepala Besi!" serunya keras.
Di seberang, Andika memperhatikan dengan
seksama perempuan berpakaian kuning yang nampak
begitu geram. "Menilik suaranya, dia begitu pasti sekali kalau orang yang berjuluk si Kepala
Besi lah yang melakukan semua ini. Apakah dia memang tahu semua ini?"
batinnya dalam hati.
Kemudian sambil nyengir dia berkata, "Hebat kalau kau begitu pasti dengan kata-
katamu! Ingat, lho...
menuduh orang sembarangan berdosa!"
Tak menanggapi selorohan konyol pemuda berba-
ju hijau pupus, Bidadari Tangan Bayangan berkata
dengan suara geram, "Sebulan yang lalu... aku sempat didatangi oleh lelaki
tinggi besar berkepala gundul itu!
Dia menanyakan tentang Pendekar Sutera! Dan begitu
bodohnya aku ini, yang langsung mengatakan di mana
Pendekar Sutera berada! Jahanam keparat! Sudah
pasti dia orangnya!!"
"Apakah si Kepala Besi mengatakan ada urusan
apa dia mencari Pendekar Sutera?" tanya Andika.
"Yang dikatakannya, dia hendak bertamu! Jaha-
nam terkutuk! Aku sungguh bodoh membenarkan apa
yang dikatakannya!!"
"Hmmm....sepertinya, aku-menangkap sesuatu
yang tidak beres di sini. Nampaknya dia hanya menu-
duh saja. Cuma dikarenakan si Kepala Besi pernah
menanyakan di mana Pendekar Sutera berada. Tetapi
tak menutupi kemungkinan apa yang dikatakannya
memang benar. Paling tidak, kini ada yang harus dicari untuk
mempertanggungjawabkan semua perbuatan
keji ini!"
Habis membatin begitu Andika berkata, "Apakah
kau...." Belum habis kata-kata Andika, Bidadari Tangan
Bayangan sudah berseru, "Kita bertemu lagi nanti!!"
Kejap itu pula dia putar tubuh dan berkelebat ce-
pat. "Hei!!" seru Andika menahan, tetapi sosok si perempuan telah menjauh. Dan
yang nampak di matanya
hanyalah bayangan kuning belaka.
Kini tinggal Andika sendiri yang kemudian mena-
rik napas panjang.
"Kutu monyet! Urusan ini tak bisa kubiarkan begitu saja! Aku jadi penasaran
ingin tahu seperti apa
benda yang dinamakan Patung Kepala Singa! Si Kepala Besi... si Kepala Besi...
benarkah dia orang yang bertanggung jawab atas pembantaian keji itu?"
Untuk sesaat Andika terdiam. Diperas otaknya
yang encer untuk memecahkan urusan yang mulai
membentang di hadapannya. Tetapi tiga tarikan napas
berikutnya, pemuda berambut gondrong ini mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Tak bisa kuputuskan tentang semua ini seka-
rang. Lebih baik aku...."
Memutus kata-katanya sendiri, Andika kembali
lagi ke Kuil Putra Langit. Sejarak sepuluh langkah dari muka kuil yang kini
menyebarkan bau sangat tak sedap itu, pemuda yang di lehernya melilit kain
bercorak catur hentikan langkah.
Dipandanginya kuil itu sesaat.
"Bila kukuburkan mayat-mayat itu, justru akan
membuang waktu yang tak sedikit. Lebih baik...."
Kembali diputus kata-katanya. Kejap kemudian,
nampak pemuda tampan ini terdiam. Sorot matanya
yang tajam semakin bertambah tajam. Tahu-tahu di
sekitar tubuhnya nampak percikan-percikan sinar ke-
perakan yang menyelubunginya. Hawa panas menda-
dak saja mendera dan menindih hawa dingin di tempat itu. Rupanya dia tengah
keluarkan ajian 'Guntur Selaksa'! Salah satu ajian yang didapatkan dari Lembah
Kutukan (Untuk mengetahui hal ini si-lakan baca :
"Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara").
Menyusul kedua tangannya disentakkan ke depan
diiringi teriak mengguntur. "Heaaaa!!"
Gelombang angin raksasa yang dipadu dengan
suara salakan guntur yang sangat dahsyat menggebah
ke depan. Melabrak bangunan yang telah porak-
poranda itu. Terdengar suara letupan yang sangat keras. Me-
nyusul runtuhnya bangunan besar itu, menimbun
mayat-mayat yang bergeletakkan di bawah. Debu-debu
mengepul ke udara, hingga untuk beberapa lamanya
nampak kepulan debu-debu itu seperti menggunung.
Dan perlahan-lahan mulai menipis.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak bangunan
besar itu telah roboh tumpang tindih.
Pendekar Slebor menarik napas panjang melihat
perbuatannya. Kejap kemudian dia berkata, "Mungkin inilah yang terbaik untuk
mengubur pemandangan
yang mengerikan itu. Sebaiknya, kucari Bidadari Tangan Bayangan sebelum
menemukan si Kepala Besi.
Karena bila dugaannya salah, ini hanya akan memanc-
ing permusuhan yang dalam...."
Saat itu pula pemuda pewaris ilmu Ki Saptacakra
ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan pergunakan ilmu peringan
tubuhnya yang kesohor.
Mengikuti jejak Bidadari Tangan Bayangan yang bergerak secepat angin itu
ternyata memang tak mudah.
Tatkala matahari sudah sepenggalan, Pendekar Slebor belum juga menemukan di mana
perempuan berpakaian kuning bersih itu berada.
Di sebuah jalan setapak yang dipenuhi pepohonan
dan ranggasan semak belukar, pemuda berbaju hijau
pupus ini hentikan kelebatannya. Tak ada napas
memburu yang keluar, dia sama sekali tak kelelahan.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Tak ada tan-
da-tanda Bidadari Tangan Bayangan di sana.
"Monyet pitak! Kenapa aku jadi dungu berlaku seperti ini" Sudah pasti dia telah
menghilang!" gerutu Andika sendiri. Lalu menyambung, "Huh! Seharusnya kutahan
saja kepergian perempuan itu! Bila ternyata dugaannya salah, justru akan
memancing permusuhan yang lebih kacau lagi! Rimba persilatan saat ini sedang
kacau dan justru akan bertambah kacau lagi
dengan segala urusan! Huh! Patung Kepala Singa" Se-
perti apa patung itu" Mendingan Patung Kepala Mo-
nyet! Hingga aku mengira-ngira seperti apa bentuknya!
Apa seperti aku... eh, tidak ya" Masa aku seperti monyet!!"
Lalu dengan tengiknya dia berjalan mirip seekor
monyet. Lalu berdiri tegak kembali sambil mencak-
mencak! "Monyet! Monyet! Monyet!!" serunya tak ketahuan juntrungan.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada pemuda
yang mengaku dirinya monyet! Kalau begitu, tak perlu ragu dan tak perlu kau
katakan semua orang juga sudah tahu kalau kau seperti monyet!!" terdengar seruan
itu diiringi kikikan yang cukup keras.
Serta merta Andika palingkan kepala ke atas. Dili-
hatnya satu sosok tubuh kurus berpakaian hitam
gombrang sedang asyik duduk beruncang-uncang kaki
di sebatang ranting!
"Eh, busyet! Kapan munculnya nenek jelek itu"
Sejak tadi aku tak melihatnya di sini" Hmmm... jan-
gan-jangan dia baru muncul! Kalau begitu, tentunya
dia tak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya."
Perempuan tua yang rambut putihnya disanggul
ke atas itu, perlihatkan seringaiannya. Tak sebuah gigi pun yang masih tumbuh.
Andika bergidik. Karena
mengingatkannya pada kuntilanak yang pernah dia
dengar ketika masih kecil.
"Eh, Nek! Kau jangan nyengir seperti itu! Bisa-bisa aku mati berdiri nih!!"
cerocosnya kemudian.
Bukannya marah mendengar ejekan orang, si ne-
nek makin perkencang kikikannya. Kali ini berhambu-
ran dedaunan dari tempatnya. Menyusul patahnya be-
berapa ranting yang bertabrakan satu sama lain.
"Busyet! Hebat juga tenaga dalam si nenek! Aku yakin, dia hanya sedikit
mempergunakan tenaga dalamnya," kata Andika dalam hati sambil kerahkan tenaga
dalam pada kedua kakinya, karena dirasakan sa-
tu gelombang angin menderu seperti hendak meru-
buhkannya. Di atas pohon, si nenek berseru di sela-sela kiki-
kannya, "Kalaupun kau akan mati berdiri, bisa jadi aku akan mati duduk seperti
ini karena melihat monyet yang suka membentak!"
"Busyet! Sudah bau tanah masih banyak omong
lagi!" dengus Andika dalam hati. "Hhh! Lebih baik kutinggalkan saja dia untuk
meneruskan mencari Bida-
dari Tangan Bayangan!"
Memutuskan demikian, sambil nyengir Pendekar
Slebor berseru, "Wah! Maaf nih, Nek! Aku tidak bisa lebih lama berada di sini!
Soalnya perutku bisa mulas kalau lebih lama melihat wajahmu yang seperti orang
hendak buang hajat itu!!"
Habis mengejek demikian, si pemuda segera ba-
likkan tubuh dan siap berkelebat. Namun yang menge-
jutkannya, karena kedua kakinya seperti terpantek di tanah!
"Kutu monyet!" makinya geram dan langsung tahu siapa yang bikin ulah. Tanpa
membalikkan tubuhnya
Andika berseru, "Nek! Kalau mau jual lagak, jangan di sini! Lebih baik kau ke
kotapraja saja! Barangkali ada yang mau memberimu sedekah dari aksi akrobat yang
akan kau lakukan!"
"Lho, apa urusannya denganmu" Kalau kau mau
pergi ya pergi saja!" sahut si nenek masih mengikik.
"Brengsek! Dia betul-betul mau menguji rupanya!
Biarku... hei!!" mendadak saja Andika memutus kata batinnya sendiri. Bukankah


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia tadi sudah salurkan tenaga dalamnya guna menahan gelombang angin
yang timbul dari kikikan si nenek" Lalu mengapa kini tahu-tahu kedua kakinya
seperti terpantek" "Busyet!
Hebat juga kalau begitu!! Hmmm... biar kuladeni sikap konyolnya ini!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera li-
patgandakan tenaga dalamnya. Namun begitu dilipat-
gandakan tenaga dalamnya, justru dirasakan perla-
han-lahan kaki kanan dan kirinya seperti melesak masuk ke tanah!
"Hei!!" serunya terkejut. "Monyet Buduk!"
"Gila! Apakah aku bertemu dengan pemuda gila"
Katanya mau pergi, kenapa masih berada di sana" Pa-
kai memaki-maki segala lagi!" seru si nenek tetap terkikik.
Mulut Andika segera mencang-mencong mengge-
rutu, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Brengsek! Biar kupergunakan tenaga 'Inti Petir'
untuk memusnahkan totokan jarak jauh si nenek!" '
, Tetapi sebelum dia melakukan, justru terdengar
suara si nenek, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
"Sebulan sudah aku keluar dari Pesanggerahan
Kematian! Tetapi tak kunjung kutemukan Pendekar
Sutera yang memiliki Patung Kepala Singa" Busyet!
Apakah aku sudah menjadi dungu karena sebulan la-
manya aku cuma jadi macan ompong"!"
Andika yang tak menyangka akan mendengar ka-
ta-kata itu, untuk sejenak terdiam. Tetapi pemuda konyol ini untuk sejenak pula
tak menghiraukan kata-
kata itu. Justru dia berseru, "Busyet! Kenapa kau bilang seperti macan ompong"
Kau tak lebih dari jalangkung Nek!"
Si nenek terkikik lagi.
"Jalangkung atau bukan, aku tidak peduli! Malah asyik melihat pemandangan pemuda
geblek yang terus
berdiri seperti itu!!"
Mendengar ejekan si nenek, Andika keluarkan
dengusan. Kejap itu pula dikerahkan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kesepuluh. Hawa panas mendadak saja mun-
cul. Begitu diarahkan pada kaki kanan-kirinya yang
seperti terpantek di tanah, dirasakan ada hawa dingin yang mendadak menindih.
"Kutu monyet!" geram Andika dalam hati. Lalu di-tingkatkan lagi tenaga 'Inti
Petir' pada tingkat kesembi-lan. Pada tingkat kedelapan, barulah dirasakan hawa
dingin itu lamat-lamat mengikis. Tetapi tak semudah itu bisa dilakukannya.
Karena tiba-tiba saja hawa dingin itu bertambah menguat.
"Benar-benar brengsek tuh nenek!" maki Andika dalam hati. Kali ini dia tak
tanggung lagi, tenaga 'Inti Petir' tingkat kedua dikerahkan.
Hawa panas seketika meluncur deras. Seperti me-
nebas, langsung memupus hawa dingin yang mendera
kedua kaki Andika.
Mendadak saja terdengar seruan tertahan dan
menyusul jatuhnya satu sosok tubuh. Sosok tubuh
yang jatuh ternyata si nenek adanya.
Rupanya, si nenek yang diam-diam alirkan tenaga
dalam dan menjadikan pohon yang didudukinya serta
tanah sebagai perantara untuk lakukan totokan pada
kedua kaki Andika, tak kuasa lebih lama untuk perlihatkan kehebatannya. Tenaga
'Inti Petir' yang dikerahkan Andika, bukan hanya memutus serangan gelap si
nenek, tetapi juga membalikkannya dengan kecepatan
tinggi. Hingga pada akhirnya si nenek harus mengakui keunggulan Andika.
Masih untung dia mampu untuk kendalikan tu-
buh hingga jatuh dengan kedua kaki tegak di atas tanah. Sementara itu, pemuda
dari Lembah Kutukan
yang telah terbebas dari pengaruh totokan si nenek, segera balikkan tubuh. Kejap
itu pula terdengar selo-rohannya diiringi tawa tak sedap, "Busyet! Kupikir ada
nangka busuk yang jatuh! Tidak tahunya nenek-nenek
busuk!" Si nenek yang tak menyangka kalau si pemuda
mampu memutuskan sekaligus mendorong masuk te-
naga dalam yang kerahkannya, langsung pentangkan
kedua mata lebih lebar. Pancarannya dingin dan ber-
bahaya. Lain dengan sikap sebelumnya, kali ini si Nenek rapatkan mulutnya yang
tak bergigi. Tetapi Pendekar Slebor tak mempedulikannya. Dia
masih tertawa mengejek si nenek.
"Kalau ada nangka sih masih lumayan buat dima-
kan. Tetapi ini... tak uk-uk, ya"!"
Dari pancaran mata yang tajam itu, lamat-lamat
nampak kembali pada sikap semula. Kejap kemudian,
si nenek berkata, "Hebat, hebat! Siapakah kau sebenarnya, Anak Muda?"
"Aku" Wah! Yang pasti bukan penjual toge go-
reng!" sahut Andika asal saja. Lalu dalam hati menyambung, "Bidadari Tangan
Bayangan tentunya sudah semakin menjauh dan tak mungkin lagi kulacak
jejaknya. Urusan Patung Kepala Singa masih membin-
gungkanku. Tetapi si nenek tadi mengatakan, kalau
dia sedang mencari Patung Kepala Singa. Hmmm... un-
tuk saat ini, aku akan berlaku tidak pernah menden-
gar tentang benda itu."
Si nenek cuma perlihatkan senyuman sinis. Seje-
nak dia terdiam sebelum berkata, "Menilik pakaian yang kau kenakan dan sikap
cengengesanmu seperti
itu... rasa-rasanya... aku pernah mendengar seorang pendekar yang memiliki sifat
konyol seperti itu. Apakah... kau pemuda yang dijuluki orang Pendekar Sle-
bor?" "Wah! Mana bisa begitu" Enak saja orang-orang itu menjulukiku Pendekar
Slebor!" sahut Andika mencak-mencak. Lalu sambungnya dengan gaya yang ten-
gik, "Kalaupun mau menjulukiku... lebih pantas dengan julukan Pendekar Slebor
Yang Tampan Bin Gan-
teng! Haya! Bagus itu!"
Si nenek keluarkan dengusan dan diam-diam dia
membatin, "Aku bertambah yakin kalau dia memang Pendekar Slebor."
Setelah terdiam beberapa saat si nenek berkata, .
"Namaku Nyi Dungga Ratih! Pendekar Slebor... kudengar kau banyak tahu setiap
urusan karena otakmu
yang encer! Sekarang katakan kepadaku, apakah kau
mengetahui tentang Patung Kepala Singa?"
"Patung Kepala Singa" Wah, mana aku tahu itu!
Kalau Patung Kepala Dungga Ratih aku tahu!!"
Nyi Dungga Ratih tak pedulikan ejekan itu. Dia te-
rus berkata, "Ternyata dugaanku salah! Kau tak secer-dik yang pernah kudengar!"
"Siapa bilang aku cerdik" Kalau sangat cerdik, ba-ru betul!!" sahut Andika
seenak perutnya saja. Lalu katanya, "Kenapa kau menanyakan soal Patung Kepala
Singa?" "Huh! Rupanya kau tertarik juga untuk mengeta-
hui soal itu"!" ejek Nyi Dungga Ratih.
"Tertarik sedikit, bolehlah...."
"Aku belum pernah melihat seperti apa benda
yang dinamakan Patung Kepala Singa yang kudengar
dimiliki oleh Pendekar Sutera! Dan aku pernah pula
mendengar, kalau di dalam patung itu terdapat sebuah benda langka yang...."
Mendadak saja si nenek memutus kata-katanya
sendiri. Sementara itu, kendati penasaran untuk mengetahui kelanjutannya, Andika
justru berkata, "Kenapa" Apakah gigimu mendadak tumbuh"!"
Nyi Dungga Ratih malah menggeleng-gelengkan
kepalanya seraya berkata, "Aku tidak tahu secara pasti tentang kebenaran benda
sakti yang ada di dalam Patung Kepala Singa. Tetapi yang ku khawatirkan, bila
urusan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang
tak diharapkan."
"Kau ini bicara selalu berbelit-belit, ya" Kenapa ti-
dak langsung saja," kata Andika masih bersikap tidak penasaran.
"Karena sebelum aku tiba di tempat ini, aku melihat seorang lelaki tinggi besar
berkepala gundul berkata sendiri tentang Patung Kepala Singa. Dan dia berte-kad
untuk memilikinya!"
"Apakah dengan begitu kau merasa pasti urusan
akan jadi panjang" Nek! Jangan-jangan kau keblinger ya"!" Nyi Dungga Ratih tak
mempedulikan lagi selorohan Andika. Dia berkata tegas, "Orang itu berjuluk si
Kepala Besi!"
Kali ini cengengesan di bibir Andika seketika le-
nyap mendengar julukan itu disebutkan. Tetapi kejap kemudian dia bersikap asal-
asalan kembali.
"Mau berjuluk Kepala Batu, Kepala Koral, atau
Kepala Kayu aku tidak peduli! Kalau kau memang mau
mencari Patung Kepala Singa, silakan saja! Toh ini bukan urusanku!"
Kali ini terdengar suara Nyi Dungga Ratih mengge-
ram, "Itu memang bukan urusanmu!!"
Habis berseru demikian, perempuan tua berambut
disanggul ke atas ini segera berkelebat cepat. Andika masih sempat melihat
kelebatannya menghilang di
penghujung jalan.
Beberapa lembar dedaunan berjatuhan.
"Si Kepala Besi... Apakah dugaan Bidadari Tangan Bayangan memang akan menjadi
kenyataan" Nyi
Dungga Ratih mengatakan pula tentang si Kepala Besi.
Busyet! Ada beberapa urusan yang harus kupecahkan
sekarang! Dan rasanya itu tidak mudah!"
Kejap kemudian, pemuda yang di lehernya melilit
kain bercorak catur ini menarik napas panjang. Setelah celingukan sebentar, dia
segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Kendati dia yakin untuk menemukan Bidadari
Tangan Bayangan tidak mudah, tetapi dia tetap akan
mencarinya. Tiga kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok
tubuh berpakaian hitam muncul di tempat itu. Sepa-
sang mata si pendatang ini begitu tajam sekali.
"Aku akan mempergunakanmu untuk menda-
patkan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor!"
Kejap berikutnya, orang ini sudah berkelebat me-
nyusul. *** 3 Matahari sudah semakin menurun di ufuk barat.
Bias-biasnya yang kemerahan nampak menggenangi
persada langit. Begitu indah dan penuh pesona. Nam-
pak pula beberapa ekor burung beterbangan memben-
tuk siluet-siluet yang sangat indah.
Di sebuah jalan setapak, nampak satu sosok tu-
buh berpakaian putih-putih berkelebat dengan cepat-
nya. Sosok tubuh yang ternyata seorang gadis ini,
nampak mendekap sesuatu yang terbungkus kain hi-
tam erat-erat. Dari caranya berlari, nampak kalau dia tak mau sekali pun
hentikan larinya. Bahkan sambil
berlari berulangkali gadis berambut dikucir ekor kuda ini menoleh ke belakang,
seolah khawatir ada orang
yang mengikutinya.
Napasnya mulai terdengar satu-satu. Kedua ka-
kinya sudah terasa ngilu sekali sementara keringat
bertambah mengucur di wajahnya yang jelita.
"Aku harus menjauh... aku harus menjauh...," desisnya berulangkali diselingi
nafasnya yang memburu.
Tepat ketika matahari sudah masuk ke peraduan-
nya, gadis ini telah tiba di sebuah jalan hutan yang dipenuhi jajaran pepohonan
tinggi. Lima tindak kemu-
dian dia bergerak, mendadak saja sosoknya ambruk.
Bukan dikarenakan akar yang melintang dan bu-
kan pula disebabkan oleh kaki yang terserimpung. Tetapi dia memang telah
kehabisan tenaga.
Begitu tubuhnya ambruk, bungkusan yang sejak
dia berlari didekap di dadanya, terlempar ke depan.
Bergulingan sejenak dan berhenti dengan kain yang
membungkusnya telah terbentang.
"Oh!" desis si gadis terkejut.
Nampaklah sebuah benda berwarna keperakan
yang terguling jatuh.
Lalu dengan susah payah dan kerahkan sisa-sisa
tenaga dalamnya, gadis ini merangkak untuk mengga-
pai benda yang memancarkan sinar warna perak itu.
Begitu berhasil didekatinya, dengan tangan yang
lemah benda itu dipegangnya. Lalu ditegakkan. Se-
buah benda yang terbuat dari kayu yang berwarna ke-
perakan. Benda yang nampaknya diciptakan oleh seo-
rang ahli pahat yang menakjubkan. Dan benda itu...
bermotifkan kepala singa!
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, kembali si
gadis merangkak. Kali ini menuju ke bawah sebuah
pohon rindang. Susah payah dia mencoba untuk me-
nyandarkan tubuhnya. Begitu berhasil, nafasnya terdengar kian memburu sementara
benda yang ternyata
sebuah patung kepala singa yang telah dibungkus
kembali dengan kain hitam, didekap erat-erat.
Gadis ini nampak begitu ketakutan sekali. Tatkala
terdengar suara semak menguak, cepat si gadis tolehkan kepalanya. Nampak pula
kalau dia bersiap untuk
lari kendati disadari kalau tenaganya sudah tak akan mampu untuk membawanya
berlari. Ketika dilihatnya seekor kelinci yang menyebab-
kan ranggasan semak di sebelah kanannya menguak,
barulah gadis itu bisa menarik napas lega.
Lamat-lamat nampak sepasang matanya meredup.
Sinarnya seolah menandakan dia tak ingin lagi me-
nikmati kehidupan ini.
Siapakah sebenarnya gadis itu" Dia adalah Tri Sa-
ri, putri dari Pendekar Sutera. Lima hari yang lalu, malam itu, di saat Tri Sari
sedang tertidur nyenyak, mendadak saja terdengar suara ribut-ribut di halaman
depan Kuil Putra Langit.
Untuk sesaat si gadis yang masih menahan kan-
tuk tertegun di tempat tidurnya. Dia seperti tengah bermimpi. Tetapi tatkala
didengarnya teriakan kematian dan suara beradunya senjata, sadarlah Tri Sari
kalau yang didengarnya itu bukan mimpi. Tetapi suara orang bertarung di halaman
Kuil Putra Langit!
Bergegas Tri Sari melongok dari jendela kamarnya.
Tetapi karena malam begitu pekat, yang dilihat hanyalah bayangan-bayangan orang
yang sedang mencoba
mendesak seseorang yang tak diketahui rupanya.
Bayangan-bayangan orang yang diyakininya adalah
murid-murid ayahnya itu, ternyata tak mampu mende-
sak si perusuh yang justru menghabisi mereka dengan garang.
Jeritan kematian terdengar beruntun dan begitu
menyayat. Sebagai putri dari Pendekar Sutera, Tri Sari memiliki kepandaian bela
diri yang tidak sedikit. Dia pun bersiap keluar untuk membantu.
Namun baru saja dia tiba di ambang pintu, pintu
kamarnya telah lebih dulu terbuka. Muncul ayahnya
dengan napas terengah dan tubuh dipenuhi luka-luka.
"Ayah!!" serunya kaget bercampur gugup.
"Jangan bersuara, Anakku! Sekarang, dengarkan


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-kata Ayah! Jangan membantah dan segera kau
laksanakan perintah Ayah ini!" seru Pendekar Sutera sambil menutup pintu
kembali. Kemudian ditatapnya putrinya itu yang menatap-
nya dengan sinar mata penuh kecemasan.
"Seorang tamu yang tak diundang telah datang!
Dan melakukan pembantaian yang sangat keji! Ayah
minta...."
"Siapa perusuh itu. Ayah?" potong Tri Sari.
"Jangan banyak tanya! Waktu kita sangat sempit!
Tri! Kau tahu bukan, kalau Ayah menemukan sebuah
benda yang Ayah namakan Patung Kepala Singa" Ben-
da itu Ayah sembunyikan di kaki bukit Wengker! Bera-da di tengah-tengah dua
pohon kembar yang sama
tinggi dan bentuknya. Galilah. Lalu ambillah benda itu dan segeralah pergi
menjauh! Karena... perusuh itu menghendaki Patung Kepala Singa! Sementara,
sampai saat ini Ayah masih menunggu siapakah orang yang
berhak memiliki benda itu! Cepat, Tri!"
"Tidak, aku akan menghadapi perusuh itu!"
"Tri...," sahut Pendekar Sutera sabar, kendati demikian hatinya cemas bukan main
mengingat si pen-
datang menginginkan Patung Kepala Singa dengan ca-
ra biadab dan memiliki kesaktian tinggi.
"Hanya engkaulah satu-satunya orang yang Ayah percayai. Bawalah Patung Kepala
Singa itu! Cari Bidadari Tangan Bayangan yang sering Ayah ceritakan ke-
padamu di sebuah tempat yang bernama Lembah Pi-
nus! Mudah-mudahan kau tidak berselisih jalan den-
gannya karena Ayah telah mengundangnya untuk da-
tang. Sudahlah! Cepat pergi, Tri! Ayah tidak bisa berada di sini lebih lama!!"
Kendati keinginan untuk membantu ayahnya
menghadapi perusuh itu bertambah menguat, namun
Tri Sari dapat merasakan kecemasan ayahnya. Dengan
perasaan berat dia menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Cepat kau pergi melalui pintu belakang!"
kata Pendekar Sutera sambil membuka pintu kembali.
Di muka pintu kamarnya, Tri Sari sejenak menatap
ayahnya kembali.
Pendekar Sutera mendesah pendek. "Pergilah!"
Lalu dengan hati berat, Tri Sari segera bergegas.
Masih sempat dilihatnya ayahnya yang segera kembali ke halaman depan. Ada
perasaan di hati si gadis untuk melihat siapakah perusuh kejam itu. Tetapi
mengingat amanat ayahnya, dia pun segera berkelebat meninggalkan Kuil Putra
Langit. Dan Tri Sari tidak tahu apa yang dialami oleh ayahnya itu kemudian.
Bukit Wengker terletak sekitar dua ratus tombak
dari Kuil Putra Langit di sebelah timur. Tepat ratu malam mulai menurun, Tri
Sari pun akhirnya tiba di bukit itu. Diperhatikan sekeliling bukit yang dipenuhi
dengan pepohonan dan dinding bukit landai yang cu-ram. Sejenak Tri Sari arahkan
pandangan pada jalan
yang telah ditempuhnya. Ada keinginan untuk melihat keadaan ayahnya. Namun lagi-
lagi setelah mengingat
amanat yang diberikan ayahnya, gadis itu mengurung-
kan maksud. Segera dicarinya dua pohon kembar yang sama
tinggi dan bentuk. Tetapi mencari dua pohon itu ternyata tak mudah, karena
begitu banyaknya jajaran
pepohonan yang tumbuh di sana.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhir-
nya Tri Sari menemukan pula kedua pohon itu. Tanpa
membuang waktu lagi, dengan mempergunakan kedua
tangannya, si gadis segera menggali tanah yang terdapat di tengah-tengah kedua
pohon itu. Melewati waktu yang tak begitu lama namun ta-
nah yang digalinya sudah sedalam lengan orang dewa-
sa, Tri Sari melihat sebuah benda yang terbungkus
kain hitam. Segera diambilnya benda itu. Dilihatnya dulu untuk meyakinkan kalau
memang benda itulah
yang dicarinya.
Tatkala dia hendak meninggalkan tempat itu,
mendadak saja didengarnya suara orang berkelebat.
Sejenak Tri Sari dongakkan kepala seraya berdiri. Gadis itu sadar kalau keadaan
saat ini sangat genting.
Makanya dia tak mau ambil risiko berada di tempat
yang dapat dilihat seperti itu.
Tanpa menutup lubang yang telah digali, putri
Pendekar Sutera ini sudah berkelebat. Tetapi malang, dia tidak melihat sebuah
lubang besar yang ditutupi dedaunan.
Krosaak! Bruukkk! .
Tubuhnya jatuh ke dalam lubang itu. Dia tak
menderita luka yang berarti, hanya lecet-lecet kecil sa-ja. Gadis ini memaki
jengkel. Tetapi, karena masuk ke lubang itulah dia jadi selamat dari ancaman
maut orang yang berkelebat yang ternyata adalah orang yang telah lakukan pembantaian
keji di Kuil Putra Langit.
Gadis itu sendiri jadi urung untuk segera melom-
pat keluar, tatkala didengarnya kelebatan orang itu semakin mendekat ke arahnya.
Diyakini kalau kemudian orang itu hentikan gerakannya. Sejurus kemu-
dian terdengar geramannya, "Jahanam terkutuk! Di mana Pendekar Sutera
menyembunyikan Patung Kepala Singa! Keparat! Apakah ini berarti usahaku untuk
mendapatkan benda itu sia-sia belaka" Huh! Imbalan
dari perbuatan busuknya yang tak mau mengatakan di
mana benda itu berada, akhirnya dia harus tewas di-
tanganku bersama dengan murid-muridnya yang lain!
Jahanam sial! Kendati telah kuobrak-abrik bagian dalam kuil itu, tetap tak
kutemukan Patung Kepala Sin-ga! Hhh! Sampai kapan pun aku harus mendapatkan
benda itu!"
Habis umbar kemarahannya, si pembunuh kejam
yang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya sege-
ra berkelebat cepat.
Di dalam lubang, Tri Sari merasa sekujur tubuh-
nya lemas. Dan dia jatuh menggelosoh di dasar lubang sementara Patung Kepala
Singa tetap didekap erat-erat. "Ayah...," desisnya bagai desahan belaka. Si
gadis yang ketika berusia lima tahun ditinggal mati ibunya karena sakit ini,
mencoba untuk menindih segala kepedihan di hatinya.
Dia memang gadis yang tegar, gadis yang mampu
mempergunakan pikirannya untuk mempertimbang-
kan apa yang hendak dilakukannya. Namun kendati
demikian, tak urung air matanya menitik.
Setelah dua belas tarikan napas berada dalam
lingkaran kesedihan, perlahan-lahan Tri Sari bangkit berdiri. Ditariknya napas
dalam-dalam dan dihem-buskannya kuat-kuat.
"Aku harus mencari Bidadari Tangan Bayangan!"
desisnya tegar.
Dengan kerahkan sedikit ilmu peringan tubuhnya,
segera saja dia melompat keluar dari lubang yang cukup dalam itu. Sejenak
diedarkan pandangan mem-
perhatikan sekitarnya. Matahari telah lewati batas sepenggalan. Udara mulai
cukup memanas dan mengua-
pkan sisa-sisa embun.
Setelah beberapa saat, Tri Sari pun segera berke-
lebat ke arah barat, menuju ke Lembah Pinus.
*** Si gadis menarik napas panjang. Diselonjorkan
kedua kakinya, lalu dilonggarkan setiap urat darahnya. Udara senja yang semilir
membuat rasa kantuk
mudah menyerangnya. Namun dia berusaha untuk
menahannya. Karena yang dipikirkan, dia harus cepat tiba di Lembah Pinus.
Ada keinginan yang kuat untuk mencari pelaku
pembantaian keji itu. Disesalinya mengapa dia tidak mencoba untuk melihat si
pembantai yang sebenarnya
sudah dekat dengannya di saat dia terjatuh ke dalam lubang.
Dan ditindihnya segala ingatan tentang ayahnya,
tentang Kuil Putra Langit yang telah dihuninya selama enam belas tahun. Tentang
semua-muanya. Lamat-lamat dirabanya Patung Kepala Singa yang
terbungkus kain hitam. Ada perasaan sedih yang men-
dera kembali. Hanya dikarenakan Patung Kepala Singa yang ditemukan ayahnya tak
sengaja inilah pembantaian keji itu terjadi.
Tri Sari memang mengetahui tentang hal itu. Bah-
kan ayahnya pun menduga kalau di dalam patung ke-
pala singa terdapat sesuatu yang tentunya sangat rahasia. Hal itu bisa diketahui
bila merabanya dengan mempergunakan hawa murni. Satu hal lain lagi yang
menarik, patung itu sangat ringan.
Sementara itu semakin dilawan rasa kantuknya,
Tri Sari semakin tak kuasa untuk menahan lebih lama.
Angin yang bertambah semilir laksana tangan seorang ibunda yang lama dirindukan
membelai-belai wajahnya. Namun tatkala dia mulai merapatkan matanya
dan sebagian jiwanya seperti terbang ke alam lain,
mendadak terdengar suara langkah yang cukup berat.
Serta merta Tri Sari membuka sepasang matanya.
"Oh!!"
Seperti telah pulih tenaga yang terkuras, putri
Pendekar Sutera ini segera berdiri tegak. Patung Kepala Singa yang terbungkus
kain hitam itu semakin erat
didekapnya. Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri
seorang lelaki tinggi besar. Mengenakan pakaian warna abu-abu yang terbuka di
bahu kanannya, memperlihatkan betapa bidang dadanya dan betapa besar otot-
otot di tubuhnya. Wajah lelaki itu cukup menyeram-
kan, kelimis dengan sepasang bibir tebal. Kepala yang agak lonjong itu, plontos
tanpa dihiasi oleh selembar rambut pun. Sepasang matanya tajam tak berkedip
memandang Tri Sari.
Lelaki itulah yang berjuluk Kepala Besi!
*** 4 Untuk beberapa lama, tak ada yang membuka su-
ara. Beberapa helai dedaunan berguguran. Dua ekor
kelinci menyeruak dari gerumbulan semak dan lang-
sung masuk lagi terbirit-birit setelah sesaat dongakkan kepala pada dua anak
manusia itu. "Celaka! Siapakah lelaki tinggi besar ini" Dari tampangnya, jelas dia bukan
orang baik-baik. Tetapi aku ingat akan kata-kata Ayah. Menilai seseorang jangan
dari bentuk tubuh maupun rupanya," kata Tri Sari dalam hati.
Putri Pendekar Sutera ini segera tindih rasa kha-
watirnya. Sambil mendekap Patung Kepala Singa yang
terbungkus kain hitam dengan tangan kirinya itu, dia berkata, "Orang tak
dikenal... ada perlu apa kau berdiri di hadapanku?" |
Si Kepala Besi terdiam dulu sebelum menjawab,
"Justru pertanyaan itu ada padaku. Mengapa gadis se-cantik kau berada di tempat
sepi seperti ini?"
Tri Sari pandangi dulu lelaki yang mengenakan
pakaian warna abu-abu terbuka di bahu sebelah ka-
nan itu. Lalu dengan hati-hati dia menyahut, "Ini urusanku! Bila kau tak senang,
kebetulan aku hendak
meninggalkan tempat ini!"
Dan dia siap mengadu jiwa bila ternyata lelaki
berpakaian abu-abu itu menahannya. Namun di luar
dugaan si gadis, lelaki itu justru menyingkir tiga tindak ke samping kanan,
seperti membiarkan dirinya
melangkah. Tindakan yang dilakukan si Kepala Besi
justru memancing kecurigaan Tri Sari.
"Hmmm... aku harus berhati-hati."
Karena si gadis belum juga ayunkan langkah, si
Kepala Besi berkata, "Mengapa kau tak segera meninggalkan tempat ini" Dalam
kesunyian dan malam yang
sebentar lagi datang, bahaya akan lebih mudah men-
gancam." Tri Sari tak membuka mulut. Diam-diam dialirkan
tenaga dalam pada tangan kanannya, bersiap bila terjadi sesuatu yang tak
diinginkan. Sejenak dipandanginya dulu lelaki berkepala plon-
tos itu. Lalu sambil perbesar kehati-hatiannya, gadis ini mulai melangkah.
Pandangannya tetap diarahkan
pada si Kepala Besi yang justru membalikkan tubuh
seolah memberikan kesempatan padanya lewat.
Perasaan Tri Sari agak tenang tatkala dia sudah
berada sekitar tujuh langkah dari si Kepala Besi sementara lelaki itu tak
melakukan apa-apa.
Tetapi dia tersentak tatkala mendengar suara te-
gas, "Tunggu!!"
Serta merta gadis ini putar tubuh dan bersiaga.
Si Kepala Besi yang memanggil tadi menjadi urung
untuk segera berkata begitu melihat kedudukan si gadis yang telah membuka kuda-
kuda. Kepala Besi cu-
kup lama malang melintang di rimba persilatan ini.
Kendati si gadis hanya berdiri tegak dengan kedua kaki sejajar satu sama lain,
namun dia tahu kalau gadis itu berada dalam posisi siap menyerang.
Lelaki berkepala plontos ini keluarkan dengusan.
"Jangan bersikap tegang! Sebelum kau tinggalkan tempat ini, ada satu
pertanyaanku untukmu!"
"Cepat katakan!!" sambar Tri Sari.
"Apakah kau mengenal seorang lelaki yang berjuluk Pendekar Sutera?"
Tak menyangka pertanyaan seperti itu yang di-
dengarnya, Tri Sari melengak. Bahkan tanpa sadar dia surut satu tindak ke
belakang. Sepasang matanya
terbuka lebih lebar.
"Lelaki ini menanyakan tentang ayah" Apakah dia belum tahu keadaan Ayah" Atau...
jangan-Jangan...
dia salah seorang yang hendak membunuh Ayah un-
tuk mendapatkan Patung Kepala Singa" Huh! Aku tak
akan... oh! Bagaimana bila ternyata dialah orang yang telah lakukan pembantaian
mengerikan itu"!" kata Tri Sari dalam hati dengan dada berdebar.
Kendati demikian, kemarahan berkobar di da-
danya tatkala teringat nasib malang yang menimpa
ayahnya. Lalu dengan suara lantang dia berseru,
"Mengapa kau menanyakan soal itu kepadaku, hah"!"
Wajah si Kepala Besi nampak mengkelap menden-
gar kata-kata yang ketus. Tetapi jelas kalau dia berusaha untuk tindih
kemarahannya. "Aku tak bisa mengatakan apa maksudmu menca-
rinya! Tetapi kau cukup menjawab... ya atau tidak!"
"Aku tidak mengenalnya!"
"Itu pun bukan jadi masalah buatku! Baik! Kita berpisah di sini!" seru Kepala
Besi. Kejap itu pula dia segera putar tubuh. Namun se-
belum dia melangkah, mendadak saja terdengar suara
gemuruh angin yang keras mengarah padanya!!
"Heeeiiii!!" seru Kepala Besi tertahan.
Dengan gerakan yang menakjubkan, lelaki bertu-
buh tinggi besar ini segera membuang tubuh ke ka-


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nan. Menyusul terdengar suara letupan yang cukup
keras tatkala gelombang angin itu menghantam tanah
di mana tadi dipijaknya.
Kejap itu pula tanah itu terbongkar dan mener-
bangkan bongkarannya di udara.
Bukan hanya Kepala Besi yang terkejut, Tri Sari
pun tersentak hingga tak sadar dia bukannya segera
meninggalkan tempat itu, tetapi justru menunggu. Sementara itu Kepala Besi sudah
tegak kembali di atas tanah dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
Mendadak terlihat satu bayangan kuning berkele-
bat cepat dari balik ranggasan semak disertai makian keras, "Manusia hina
pemakan bangkai! Lama kucari...
rupanya kau berada di sini! Bagus! Kau harus terima balasan dari segala
perbuatan terkutukmu itu!"
Belum lagi habis suara itu terdengar, telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian
kuning bersih dan di
pinggang ramping sosok tubuh itu melilit ikat pinggang warna merah.
"Bidadari Tangan Bayangan...," desis si Kepala Be-si. Tri Sari yang mendengar
desisan lelaki berkepala plontos itu serta merta arahkan pandangannya pada
Kepala Besi, lalu mengarahkannya lagi pada perem-
puan yang baru datang yang memang tak lain Bidadari Tangan Bayangan.
"Bidadari Tangan Bayangan..." desisnya. "Bukankah orang ini yang harus kucari"
Perempuan sahabat
Ayah" Oh, sungguh beruntung nasibku kalau begi-
ni...." Perempuan berpakaian kuning bersih itu hanya
sejenak menatap Tri Sari. Dari sikapnya jelas dia tak
pandang sebelah mata pada gadis itu, karena di kejap lain dia segera arahkan
pandangannya pada Kepala
Besi yang nampak sedang kerutkan keningnya.
Dan sebelum perempuan itu buka mulut, terden-
gar suara dengusan. Menyusul kata-kata yang men-
gandung amarah, ?"Bidadari Tangan Bayangan... kudengar selama ini kau adalah
perempuan dari golon-
gan lurus! Tetapi sekarang, mengapa kau justru lakukan serangan keji ini
kepadaku"!"
Bidadari Tangan Bayangan yang menyangka si
Kepala Besi adalah orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Putra
Langit berseru dingin, "Aku bukan hanya akan lakukan serangan padamu! Tetapi...
juga akan membunuhmu!!"
"Tunggu!" tahan si Kepala Besi tatkala mendapati Bidadari Tangan Bayangan siap
lepaskan serangan.
"Katakan sebabnya mengapa kau hendak membunuh-
ku"!" "Jangan bersilat lidah lagi!" Perlahan-lahan keheranan di wajah Kepala
Besi menghilang. Sebagai gan-
tinya, nampak wajahnya memerah tanda tak suka
mendengar ucapan orang.
"Bidadari Tangan Bayangan! Selama ini kita tak pernah buka urusan satu sama
lain, apalagi urusan
yang menyangkut soal nyawa! Tetapi, aku pun bukan orang yang sabar dan senang
dihina seperti itu!"
"Karena kau memang layak dihina!!"
Habis ucapannya, perempuan berpakaian kuning
ini segera gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta
merta menggebah dua gelombangan angin yang kelua-
rkan suara menggemuruh ke arah Kepala Besi.
Lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan
itu, kertakkan rahangnya sebelum lakukan satu lom-
patan indah ke samping itu.
Blaaaammm!! Dua gelombang angin yang dilepaskan oleh Bida-
dari Tangan Bayangan membongkar tanah di mana tu-
buh Kepala Besi berdiri tadi, yang seketika membentuk sebuah lubang yang
keluarkan asap.
"Hebat!" serunya sinis. "Tetapi jangan berbangga dulu! Karena... aku akan tetap
mencabut nyawamu!"
"Tunggu! Katakan dulu, urusan apa yang harus
diselesaikan hingga kau menginginkan nyawaku"!"
"Manusia durjana! Kau memang pandai bermain
kata-kata rupanya! Baik! Apakah pembantaian di Kuil Putra Langit mengingatkanmu
pada sesuatu" Atau kau
sudah terlalu dungu hingga kau sekarang hendak
mencuci tangan"!"
"Gila! Apa yang dimaksudnya dengan Kuil Putra
Langit" Aku memang pernah mendengar tentang kuil
itu yang dihuni oleh Pendekar Sutera! Tetapi hingga hari ini, aku tidak tahu di
mana kuil itu berada! Bahkan aku tidak tahu seperti apa rupanya Pendekar Su-
tera?" Habis membatin demikian, Kepala Besi berseru la-
gi, "Apa maksudmu dengan pembantaian di Kuil Putra Langit"!"
"Lelaki celaka! Kau telah membunuh Pendekar Sutera beserta para muridnya untuk
mendapatkan Pa-
tung Kepala Singa! Sekarang, apakah kau akan mung-
kir dari kenyataan yang kukatakan ini"!" sambar Bidadari Tangan Bayangan kalap.
"Patung Kepala Singa!" tanpa sadar Kepala Besi berseru tertahan.
Sementara Tri Sari merasakan hatinya mulai di-
landa kepedihan karena apa yang diduganya tentang
ayahnya ternyata terbukti, Bidadari Tangan Bayangan perlihatkan sinisannya pada
Kepala Besi. "Rupanya otakmu sudah bisa bekerja dengan
baik! Bagus! Sekarang... kau harus mempertanggung
jawabkan segala perbuatanmu itu!" serunya dengan tangan kanan dan kiri
dikepalkan. "Katakan, di mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa"!"
"Tunggu! Urusan ini masih mengambang di be-
nakku kendati aku tahu apa maksudmu! Paling tidak,
kau menuduh aku yang telah lakukan pembantaian di
Kuil Putra Langit!" '
"Tak perlu kau ulangi lagi aku sudah yakin soal itu!!" "Keparat! Semakin
kuladeni, semakin kacau omongannya"!" maki Kepala Besi dalam hati. Lalu berseru,
"Mengapa kau menyangka aku yang telah melakukan tindakan keji itu!"
"Kau masih mau mungkir rupanya! Dan aku bo-
san menghadapi manusia pengecut seperti kau!!"
Habis bentakannya, segera saja perempuan berba-
ju kuning bersih ini mengangkat kedua tangannya ke
atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu digerakkan yang semakin lama nampak
semakin cepat. Me-
nyusul terdengarnya deru angin yang berkesiur kuat.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika
berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-
han pohon yang beterbangan.
Di seberang, Kepala Besi membatin, "Nampaknya
perempuan ini tidak main-main! Dan rasanya, dalam
keadaan seperti ini sulit untuk menjernihkan suasana.
Mau tak mau aku harus menghadapinya ketimbang
aku mendapat celaka!"
Memutuskan demikian, lelaki tinggi besar berke-
pala plontos ini segera silangkan kedua tangannya di depan dada. Pandangannya
lurus ke muka, tak berkedip. Sementara itu, Tri Sari yang sejenak tadi dilanda
kesedihan, lamat-lamat merasakan kemarahan dan
dendam tinggi pada Kepala Besi yang dikatakan Bida-
dari Tangan Bayangan adalah orang yang bertanggung
jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit.
Namun untuk saat ini, dia tak mau bertindak. Ka-
rena disadarinya kalau kedua orang yang berbeda jenis itu siap lakukan
pertarungan yang hebat. Kendati demikian, diam-diam dia sangat berharap agar
Bidadari Tangan Bayangan dapat mengalahkan si Kepala Besi.
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggele-
gar dari mulut Bidadari Tangan Bayangan, "Manusia hina! Terimalah
kematiaaaaan!!"
Menyusul kedua tangannya yang digerak-
gerakkan ke atas, didorong ke depan. Tidak hanya
sampai di sana tindakan perempuan berpakaian kun-
ing bersih ini. Karena kejap itu pula sosoknya sudah mencelat ke depan sambil
menggerakkan tangan kanan kirinya yang laksana bayangan belaka.
Kepala Besi yang sudah duga akan ganasnya se-
rangan Bidadari Tangan Bayangan, cepat membuang
tubuh ke samping. Saat melompat itu dia segera do-
rong kedua tangannya dengan posisi mengepal.
Wusss! Wuuusss!
Bersamaan terdengar letupan dan tumbangnya
sebuah pohon besar akibat sambaran serangan Bida-
dari Tangan Bayangan, dua gelombang angin panas
menghampar deras, menerbangkan rerumputan dan
menahan pukulan berantai Bidadari Tangan Bayan-
gan. Sejenak perempuan berbaju kuning bersih ini ter-henyak, Tubuhnya mundur
satu tombak ke belakang
ketika pukulannya bagai ditahan tangan raksasa.
Meskipun demikian, dia segera angkat tangannya yang kembali bergerak tak ubahnya
bayangan belaka. Dan...
Wusss! Terkesiap bukan alang kepalang Kepala Besi
tatkala merasakan sambaran angin mengarah pada le-
hernya. Tak mau lehernya patah akibat serangan ga-
nas itu, Kepala Besi kembali membuang tubuhnya ke
kiri dan berputar dua kali sebelum hinggap di tanah.
Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan sengaja
surutkan langkahnya. Sejenak diatur nafasnya yang
agak terengah. Pandangannya menyipit tajam.
"Hebat!" desisnya dalam hati.
Kejap kemudian, dia sudah menerjang kembali ke
muka. Hanya yang agak aneh, kali ini gerakannya be-
gitu lambat. Kendati demikian, gerakan tangannya justru tak kurang. Malah nampak
semakin cepat dan ke-
luarkan suara berdesing-desing.
Dalam sekejap saja Kepala Besi sudah bisa men-
duga kalau lawan coba mengalihkan perhatiannya. Dia tak mau bertindak ayal
ketika tangan kanan dan kiri Bidadari Tangan Bayangan mengibas ke muka.
Wrrrrr! Sinar putih bening menghampar dengan kekuatan
besar. Menerangi tempat yang sudah mulai diremangi
oleh malam. Kepala Besi memekik tertahan karena pa-
da jarak dua tombak dia sudah rasakan panas yang
sangat tinggi. Inilah jurus 'Bayangan Matahari' yang sedang di-
lepaskan oleh Bidadari Tangan Bayangan. Sementara
itu, serta merta Kepala Besi meluruk dengan tubuh
laksana seekor banteng.
Bidadari Tangan Bayangan yang geram setinggi
langit, tak mau bertindak ayal. Dilipatgandakan tenaga dalamnya dan melepaskan
jurus 'Bayangan Matahari'.
Wusss! Menyusul tubuh seperti dibetot setan melesat ke
muka. Sepintas gerak menghindar yang diperlihatkan Kepala Besi lebih cepat
karena Bidadari Tangan
Bayangan memang seperti sengaja memperlambat ge-
rakannya. Namun dalam lambat gerakannya itulah
tersimpan sebuah perangkap yang bukan hanya akan
menjatuhkan lawan, tetapi sekaligus akan melumpuh-
kannya! Karena gerakan itu akan berubah menjadi ce-
pat bila dikehendaki oleh pemiliknya. Yang terjadi pun demikian.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi yang sa-
ma-sama mengandung hawa panas luar biasa terjadi.
Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai digon-
cang sebuah gempa hebat. Tanah di tempat berte-
munya benturan itu muncrat setinggi dua tombak. De-
daunan langsung meranggas dan rumput serta semak
belukar tercabut paksa dari akarnya.
Kejadian itu segera halangi pandangan keduanya.
Bidadari Tangan Bayangan mengibas-ngibaskan tan-
gannya agar pandangannya lebih terbuka. Ketika ta-
nah, semak dan dedaunan terhempas ke tanah, sepa-
sang matanya terbuka lebih lebar dengan mulut men-
ganga membentuk lorong.
Si Kepala Besi, sudah tidak ada di hadapannya!
"Siaaaalll!!" geramnya tinggi. Menyusul dilepaskan pukulan demi pukulannya.
Serta merta menderu-deru
angin luar biasa kerasnya yang segera menghantam
beberapa buah pepohonan yang langsung tumbang be-
rantakan. Sementara itu, Tri Sari yang sejak tadi hanya
memperhatikan, pun terkesiap kaget tatkala tak lagi melihat sosok Kepala Besi di
hadapannya. Gadis yang kini dibaluri dendam itu pun siap melompat untuk
menyusul. Tetapi satu suara menahannya, "Diam di tempat-
mu!!" *** 5 Saat itu pula si gadis urungkan niat dan paling-
kan kepala. Kendati disadarinya dalam suara perem-
puan berpakaian kuning bersih itu terdapat nada ke-
marahan, namun gadis ini tak sekali pun merasakan
takut ataupun marah. Karena dia yakin, perempuan
inilah yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Serta merta dia menjura dengan satu tangan, se-
mentara tangan kirinya tetap mendekap Patung Kepala Singa yang dibungkus kain
hitam. "Salam untukmu Bidadari Tangan Bayangan...,"
katanya hormat.
Sesungguhnya, Bidadari Tangan Bayangan adalah
seorang perempuan yang menghargai kesopanan. Na-
mun dikarenakan dia sedang marah besar akan le-
nyapnya Kepala Besi, dia hanya kertakkan rahangnya
melihat sikap Tri Sari.
"Jangan menjual lagak di hadapanku! Katakan,
siapakah kau sebenarnya" Ada urusan apa kau den-
gan lelaki celaka itu, hah"!"
Tak mau membuang waktu, Tri Sari segera men-
jawab, "Namaku Tri Sari...."
Hanya itu yang dikatakannya, karena dia hendak
melihat sikap perempuan di hadapannya. Dan ternyata apa yang diharapkannya
terjadi. Karena sejenak terlihat Bidadari Tangan Bayangan melengak.
Pandangannya lurus tak berkedip.
"Tri Sari...," desisnya seperti mengingat-ingat. Kemudian katanya, "Apakah...
kau Tri Sari putri dari Pendekar Sutera?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah gadis
ini berseri-seri.
"Ya! Aku adalah putri dari Pendekar Sutera!"
Seraya melangkah mendekat, Bidadari Tangan
Bayangan berkata, "Oh, Tuhan... ternyata kau selamat."
Sejenak dipandanginya gadis itu dengan seksama.


Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dengan suara penuh prihatin dia berkata, "Apakah kau sudah tahu bagaimana
nasib ayahmu?"
Tri Sari yang sudah mendengarnya secara tidak
langsung dari percakapan Bidadari Tangan Bayangan
dengan Kepala Besi tadi, menganggukkan kepalanya.
Nampak kalau dia berusaha untuk tidak tampakkan
kesedihannya. Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan berkata
kagum dalam hati, "Ketegarannya sungguh menakjubkan." Kemudian katanya, "Tri
Sari... ceritakan bagaimana kau bisa selamat dari pembantaian keji yang telah
dilakukan oleh Kepala Besi?"
Dengan tetap tak menunjukkan kesedihannya, Tri
Sari segera menceritakan semuanya.
"Patung Kepala Singa...," desis Bidadari Tangan Bayangan setelah si gadis
selesai bercerita. Pandangannya sejenak ditujukan pada benda yang terbung-
kus kain hitam dalam dekap tangan kiri Tri Sari. Kemudian katanya, "Tri Sari...
aku tidak tahu mengapa ayahmu menyuruhmu menemuiku. Tetapi ada dua
maksud yang mungkin bisa dijadikan patokan. Perta-
ma, agar aku melindungimu dari pembantaian keji
yang telah dilakukan Kepala Besi. Kedua, juga melindungi Patung Kepala Singa
dari rebutan manusia-
manusia serakah. Sekarang, apakah kau tahu apa
yang tersimpan di dalam Patung Kepala Singa?"
Tri Sari menggelengkan kepalanya.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah panjang.
"Persoalan ini semakin pelik. Sebenarnya, aku tak ingin melepaskan nyawa Kepala
Besi. Biar bagaimanapun juga, dia harus membayar seluruh perbuatannya
dengan nyawanya. Tetapi kupikir, kita lebih dulu harus memecahkan apa isi dari
Patung Kepala Singa.
Hanya saja... untuk mengetahui soal itu, terpaksa kita harus memecahkannya...."
Untuk sejenak tak ada yang keluarkan suara. Di
kejauhan terdengar lolongan serigala yang cukup mencekam.
Lalu terdengar suara putri Pendekar Sutera, "Bibik... bagiku, tak mengapa kalau
kita harus memecahkan benda ini untuk mengetahui apa isinya. Karena,
aku juga penasaran. Tetapi Bibik... Ayah pernah berkata kepadaku, kalau dia akan
menunggu orang yang
berhak atas Patung Kepala Singa."
Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Memang sebuah masalah yang cukup rumit sebenarnya. Dan semua ini...." Mendadak
perempuan yang di pinggangnya melilit ikat pinggang warna merah ini
memutus kata-katanya sendiri. Lamat-lamat terlihat
wajahnya menjadi cerah. "Aku tahu siapa orang yang bisa melihat benda apa yang
ada di dalam Patung Kepala Singa. Tri Sari... sekarang kau ikut denganku ke
Bukit Kubur! Kita akan menjumpai dan meminta pertolongan Dewa Suci."
Karena merasa percaya pada Bidadari Tangan
Bayangan, Tri Sari menganggukkan kepalanya.
Kejap kemudian, dia sudah menyusul kelebatan
tubuh Bidadari Tangan Bayangan. Dan saat itu pula,
tempat tadi didera sunyi kembali. Meninggalkan beberapa pohon tumbang dan tanah
serta ranggasan se-
mak belukar yang telah hancur.
Pada saat yang bersamaan, satu sosok tubuh se-
dang hentikan kelebatannya di sebuah jalan setapak.
Di kanan kirinya dipenuhi ranggasan semak belukar.
Tatkala sinar rembulan berhasil membebaskan diri da-
ri kukungan awan hitam, nampak sosok tubuh yang
mengenakan pakaian warna hijau itu sedang garuk-
garuk kepalanya. Lalu menyampirkan kain bercorak
catur yang agak turun pada lehernya.
"Betul-betul bikin pusing!" makinya jengkel. "Ke mana perginya Bidadari Tangan
Bayangan sampai sekarang belum kuketahui. Hmmm... jangan-jangan dia
sudah bertemu dengan si Kepala Besi dan membuat
perhitungan yang sebenarnya tak diperlukan. Tetapi, kata-kata Nyi Dungga Ratih
juga mengarah pada Kepala Besi. Bisa jadi kalau sebenarnya memang lelaki itulah
yang telah lakukan pembantaian...."
Untuk sesaat Andika terdiam. Sepasang matanya
yang tajam memperhatikan sekelilingnya. Kegelapan
menghentak dan beberapa burung malam beterbangan
dengan keluarkan suara yang cukup mengerikan.
Lalu mendadak saja terlihat sepasang mata pe-
muda dari Lembah Kutukan ini membuka lebih lebar.
Menyusul dia membatin dalam hati, "Hmmm... aku menangkap satu gerakan
dibelakangku. Begitu lembut
sekali pertanda orang ini tengah kerahkan ilmu peringan tubuhnya."
Pendekar Slebor tetap berdiri di tempatnya semen-
tara indera pendengarannya yang terlatih itu semakin dipertajam. Bahkan kali ini
dia menangkap desahan
napas yang betul-betul sangat pelan.
"Siapa orang ini" Mengapa dia pakai bersembunyi segala" Bila kedatangannya
dengan cara seperti ini, aku akan mengagetkannya...."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
rentangkan kedua tangannya ke samping kanan dan
kiri dengan keluarkan suara, "Aaaaah.... ngantuk betul nih! Tetapi, kalau aku
tidur di sini, bisa-bisa ada ular buduk lapar yang akan menerkamku!"
Di balik ranggasan semak belukar, sepasang mata
tajam yang memperhatikannya mendengus dalam hati.
"Kurang ajar! Nampaknya dia tengah mengejekku!
Keparat! Bila aku tidak membutuhkannya, sudah ku-
patahpatahkan lehernya! Tetapi... rasa-rasanya tidak mungkin dia mengejekku. Apa
yang dikatakannya tadi
bisa jadi hanya kebetulan belaka! Hmmm...
biar bagaimanapun juga, aku harus mempergunakan
tangannya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa."
Sejarak delapan langkah, Pendekar Slebor mene-
puk-nepuk mulutnya.
"Busyet! Kok justru malah semakin mengantuk"!"
serunya keras-keras. Lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Mak dirabit!"
gerutunya kemudian dengan kata yang diucapkan semau jidatnya saja. "Lebih baik
aku cari tempat untuk tidur saja, ah! Masa bodoh dengan segala urusan! Toh tidak
membuat perutku ke-
nyang!!" Seperti benar-benar telah diserang rasa kantuk
dan lelah, pemuda berbaju hijau pupus ini segera berkelebat ke depan. Gerakannya
sungguh cepat sekali.
Sesungguhnya, Andika bermaksud untuk mengejutkan
si pengintip. Dengan kerahkan ilmu peringan tubuh-
nya, Andika berharap orang yang mengintip itu akan
mengejarnya. Kemudian dia akan berbalik menunggu
sekaligus mengejutkan orang itu.
Andika memang menangkap satu gerakan yang
mengikutinya. Diam-diam dia tersenyum dalam hati.
"Kau akan terkejut nanti!!" Tetapi justru dia yang terkejut. Karena setelah
yakin kalau orang yang mengintip itu mengikutinya, mendadak saja Andika justru
jejakkan kaki kanannya ke tanah. Serta merta tubuhnya melenting balik di udara,
ke tempat semula.
Gerakan yang diperlihatkan sangat cepat dan me-
nakjubkan. Paling tidak, sekarang dia telah berada di belakang si pengintip.
Namun yang terjadi, justru An-
dika tidak melihat siapa pun di hadapannya!!
Untuk sesaat pemuda urakan ini melongo seperti
sapi ompong dengan mulut membuka mendapati hasil
yang dilakukannya. Lalu nampak dia garuk-garuk ke-
palanya. "Busyet! Jangan-jangan yang mengikutiku itu bukan manusia... tetapi sebangsa jin
penunggu tempat ini....
Hiiii.... Bisa mati konyol kalau aku dicekiknya!!"
Kendati mulutnya berbunyi demikian, namun se-
sungguhnya pemuda ini tak takut sedikit pun. Lalu
dengan suara tangan kanan kiri yang ditempelkan pa-
da kedua pipinya dan membentuk sebuah corong, dia
berseru konyol, "Hoooiii!! Bila kau sebangsa jin jelek yang suka mengganggu
orang, silakan nongol! Kalau
kau ternyata cuma manusia sebangsa cecunguk, lebih
baik pulang saja menetek pada ibumu!!"
Suaranya menggema cukup keras, membuat bebe-
rapa ekor hewan malam berlarian kembali ke sarang-
nya. Lalu terdengar lagi suaranya, "Eh! Apa tidak terba-lik tadi" Kalau benar-
benar jin yang menggangguku,
bisa mati kelenger nih! Hoooiiii! Nggak jadi! Nggak jadi!
Pedang Golok Yang Menggetarkan 5 Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga 1
^