Pencarian

Epilog 1

Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong Bagian 1


BALADA SI ROY 10 GOLA GONG Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
I. DI CALCUTTA "Kalau kemiskinan itu berwujud manusia, niscaya akan kubunuh dia! "
-kata orang bijak *** Dua pemuda gondrong berbeda bangsa melompat turun dari bus yang berjejal di kawasan Chuwronghee Road, jantung kota Calcutta. Tubuh mereka lusuh dan bau lengket keringat. Malam baru saja bergulir. Orang-orang lintang-pukang, saling berebut bus untuk pulang ke rumah. Pedagang kaki lima memakan badan jalan. Pedagangnya berteriak-teriak nyaring melebihi keberingasan suasana Pasar Tanah Abang, Jakarta. Taman kota pun penuh dengan manusia yang tidur-tiduran melepas penat seharian.
Manusia luber di mana-mana. Ibarat gelas, airnya sudah berceceran. Tak tertampung. Kota yang pernah jaya sebagai ibukota kolonial Inggris abad XVI ini disinyalir sebagai kota terpadat (dan terkumuh) di dunia. Ada empat belas juta jiwa manusia berebut udara dan rezeki di sini! Kemiskinan adalah hal sehari-hari. Hal yang akan dialami Jakarta pada tahun 2005 nanti!
Beberapa kaum oportunis menyerbu. Mereka menawarkan taksi untuk sampai ke daerah kawasan turis, di mana banyak guest house murah bertebaran. Si Jepang memasang muka angker sambil nembentak mereka, "Cello, cello!" (Pergi sana, pergi!)
Pemuda yang satunya lagi cuma tertawa kecil melihat sahabat barunya. Dia ingat pesan si Jepang ini, "Kita jangan bersikap ramah di India. Nanti dikerjain!" Ini memang sudah terbukti selama perjalanan.
Sudah dua hari mereka menghabiskan waktu untuk bisa keluar dari Negeri Sejuta Sungai, Banglades. Transportasi yang cuma bisa dilayani lewat air, sangat menghambat perjalanan mereka. Menjelang perbatasan kedua negaralah, transportasi darat-bus dan kereta-mulai lancar. Tapi saat itu mulai terasa, betapa sangat kerasnya kehidupan masyarakat India. Berkali-kali mereka dibohongi kaum oportunis yang cuma money oriented.
Si Jepang menyandang ranselnya. "Kita ke Sudder Street, Roy.!" katanya menyebutkan tempat semodel Jalan Jaksa, Jakarta. "Kita jalan kaki saja. Tidak jauh."
"I'll follow you, Osahi!" Roy cuma mengekor saja, karena si Jepang sebelumnya pernah traveling di Calcutta.
Rasanya tidak manusiawi sekali membiarkan begitu saja seseorang yang telah ramah-tamah menyambut kedatangan kita. Juga bercakap-cakap dengan penduduk lokal banyak manfaatnya buat Roy untuk membuat tulisan.
"Sudah punya tempat menginap"" tanyanya sopan.
Roy menggeleng. "Saya tahu tempat yang murah."
"Kawan saya juga punya." Roy menunjuk ke Osahi yang berjalan beberapa langkah di depan.
"Barangkali butuh hashis"" Roy menggeleng.
"Tukar dolar" Di saya bisa lebih tinggi." Osahi berhenti. "Cello, cello!" bentaknya.
Si Plontos itu cengar-cengir. Tampaknya dia sudah terbiasa kena damprat seperti tadi. Terbukti ketika Osahi berjalan lagi, dia sudah mendempet Roy. "Mau gadis India" Good, Mister!" Tawaran kali ini nekat juga.
Osahi berhenti lagi. Dia membalik dan mendekati si Plontos. Memasang muka angker. Si Plontos melengos dan gerutuannya terdengar. Roy berjalan di muka sambil geleng-geleng kepala.
Pemuda Roy mengenal Osahi di atas perahu motor. Saat itu mereka menyusuri sung-sungai, ingin melihat kehidupan kampung-kampung yang sering kena bencana banjir di Negeri sejuta sungai itu. Saat itu Osahi berpendapat bahwa negeri sungai ini bisa tenggelam seperti legenda Atlantis. Roy mengiyakan, karena selain sungai di sini ada yang memiliki lima persimpangan, permukaan tanah negeri yang iklim politiknya "panas" ini juga ternyata lebih rendah dari permukaan laut. Wajar saja jika turun hujan, air sungai meluap ke mana-mana, menerkam perkampungan.
Yang paling mereka sukai ketika menyusuri sungai di Banglades ini adalah saat matahari turun. Mereka menikmati panorama itu dari atas kapal motor yang sedang melaju. Mereka merasa seperti sedang berlayar menuju bola merah raksasa yang saat itu berubah jadi keemasan. Kadang kala sambil tertawa-tawa mereka mencoba meraih matahari senja itu, yang seolah-olah berada di depan pelupuk mata mereka.
Suatu senja, Osahi mengeluarkan kameranya. Ini yang paling Roy sesalkan. Dia sendiri menya
dari itu, tapi panorama senja menggoda Osahi untuk mengabadikannya. Padahal sejak dari awal mereka sudah sepakat untuk tidak mengeluarkan benda-benda mewah dari dalam ransel. Jangankan kamera. Ketika Roy sedang menulis buku harian pun, para penumpang-oh ya, Negeri Sejuta Sungai ini memang termasuk negeri termiskin di dunia-mengerubuti Roy. Meminta kesempatan untuk memegangi dan menimang-nimang bolpoin yang Roy beli di kaki lima di Bangkok. Semua orang tertarik pada bolpoinpya, yang harganya cuma tiga ratus perak!
Dan masalah lain kini mengintai, setelah Osahi mengeluarkan kameranya. Jangankan penduduk Banglades, Roy sendiri yang datang dari negeri berkembang, yang GNP-nya lebih unggul dari mereka, juga ngiler melihat alat potret Osahi. Kamera ini bisa berguna banyak dalam menunjang kariernya sebagai wartawan. Setelah itu setiap saat mereka mulai merasakan mata-mata mengincar ransel. Tak ada jalan lain, mereka pun berjaga secara bergiliran. Ini memang mengganggu keasyikan perjalanan, tapi apa boleh buat.
"Bangun, Roy, bangun!" Osahi menepuk-nepuk pundak Roy.
Roy tersentak. "Sori, aku ketiduran!" Dia merasa berdosa. Seharusnya giliran Roy untuk jaga ketika Osahi tidur. Roy langsung memeriksa sekeliling. Sepi sekali dek di atap kapal motor ini. Biasanya para penumpang selalu merubungi mereka.
"Kameraku, Roy!" Osahi mengobrak-abrik ranselnya.
Roy melihat-lihat arloji. Pukul sepuluh malam! Roy terlena selama dua jam! Dia merasa kesal bercampur geram. Akhirnya mereka kebobolan juga. Roy mencurigai seseorang berambut keriting yang tadi tidur kira-kira cuma dua meter darinya. Anak itu sekarang tidak ada.
Perahu motor sebentar lagi merapat di dermaga tujuan mereka, dekat perbatasan India. Dermaga itu kini berupa lampu-lampu. Berarti mereka cuma punya waktu sedikit.
Mereka tergesa-gesa melipat sleeping bag. Mengemasi ransel. Berlari ke kabin. Masuk ke ruang nakhoda. Melaporkan kehilangan (Roy menyebutnya pencurian) kamera tadi.
Walaupun negara kami miskin, bangsa kami bukanlah pencuri," kata sang nakhoda, merasa tidak enak. Roy menerangkan sebisanya, bahwa pencurian ini bukanlah menyangkut sebuah bangsa tapi semata-mata ulah seseorang yang tidak bertanggung jawab. Lalu sang nakhoda langsung menugasi beberapa petugas keamanan. Bahkan para anak buah kapal pun mengobrak-abrik isi kapal. Seluruh penumpang digeledah. Tapi kamera itu seolah-olah menghilang.
Dermaga semakin dekat. "Sebelum kamera itu ketemu, penumpang tidak boleh ada yang turun!" sang nakhoda menjamin.
Osahi duduk melamun. Walaupn negerinya termasuk kaya dan berpengaruh dalam perkembangan ekonomi dunia, dia tetap saja seorang mountain keeper, yang cuma bekerja di saat musim dingin dinegerinya. Yang katanya mesti menabung (menyisihkan sedikit gajinya) dulu untuk membeli kamera itu. Menurut dia, yang kaya bukanlah masyarakat kebanyakan negeri. Tapi bos-bos yang punya perusahaan. Mungkin perbedaannya, buruh pabrik di negeri Roy masih tetap berkutat dengan persoalan-persoalan normatif: upah yang masih jauh di bawah kebutuhan fisik minimum dan kebebasan berserikat, sementara buruh dinegerinya sudah bisa mengisi liburan musim panasnya dengan keliling dunia.
Osahi menyerahkan segala-galanya untuk diurus Roy. Si Bandel paham, ini soal warna kulit. Penduduk Banglades ini tak jauh beda dengannya. Terutama dalam soal agama, sehingga Roy lebih dihargai dan disegani oleh mereka.
Seorang petugas menyeret dua anak yang ketahuan tidak memiliki karcis. Sebuah kamera ada dalam jinjingan petugas itu. "Mereka bersembunyi di gudang!" kata petugas itu.
Roy mengenali yang berambut keriting. Sang nakhoda mendekati mereka. Tangannya melayang beberapa kali. Kedua bocah itu meraung-raung. "Jangan bikin malu bangsa! Sejak zaman dulu, bangsa kita bukanlah pencuri!" bentak sang nakhoda dengan harga diri yang terluka.
Roy merinding dan tidak enak melihat penganiayaan itu. Osahi malah lebih halus perasaannya. Dia menghalangi, ketika tangan sang nakhoda sudah terangkat lagi.
Sang nakhoda berang. "Anak-anak tak tahu diri! Kurang pendidikan!" Dia menatap Osahi.
"Apakah kalian akan menuntut kedua anak in
i"" "No!" tegas Osahi. "Yang penting kameranya sudah ketemu," sambungnya tersenyum.
Roy pun sependapat dengannya. Perjalanan ini saja sudah cukup melelahkan dan menyita banyak waktu. Tidak terbayangkan berapa waktu yang harus dilewatkan cuma untuk mengadili kedua bocah (yang dituduh mencuri) itu.
Mereka memilih meninggalkan kapal cepat-cepat. Menuju pusat kota dan mencari hotel, karena sudah hampir tengah malam. Setelah masing-masing memeriksa paspor, mereka menghabiskan malam bersama di kota kecil di perbatasan.
Osahi membayar bill hotel dan makan malam. Katanya, ini tidak sebanding dengan harga kamera. Apalagi jika dibandingkan dengan arti sebuah pertolongan. Roy merasa tersanjung dengan pujiannya, walaupun itu Roy lakukan tanpa pamrih.
Pemuda Roy menggeliat ketika pundaknya ditepuk-tepuk. Dia melihat Andreas, pelajar Swiss, tersenyum ramah. Pagi ini Roy akan diajak melihat klinik jalanan oleh Anreas, di satu sudut jalan di Calcutta.
Di Calcutta, saking berjubelnya manusia, selain pekerjaan, politik, dan Kriminal, masalah kesehatan jadi kendala. Tak semua orang sanggup untuk berobat ke praktek pribadi dokter. Juga rumah sakit. Kondisi seperti ini sering memunculkan ide-ide kemanusiaan dari para avontur sejati. Madame Theresa, terlahir di kota ini. Wanita tua ini belasan tahun mengurusi masyarakat India yang sekarat dan bau liang kubur. Lantas hadiah Nobel pun tetap saja tidak sebanding dengan rasa kemanusiaannya.
Ketika Roy mendapatkan tempat tidur di dormitory bed ini, di mana satu ruangan diisi oleh sepuluh orang, tempat tidur di sebelahnya diisi pemuda Swiss, Andreas. Roy yang hendak terlelap mengurungkan niatnya begitu melihat si Swiss yang asyik mengurusi berkas-berkas sampai larut malam.
Kamu melakukan part time job, Andreas""
"Saya volunteer ," jawab Andreas. Dia menerangkan, bahwa tiga bulan liburannya ini diisi dengan menjadi volunteer, tenaga sukarelawan di kelompok-kelompok sosial yang bertebaran di Calcutta. "Saya sedang menerjemahkan proposal ini ke dalam bahasa Jerman. Untuk nyari dana," tambahnya.
Percakapan singkat itu menjerat Roy untuk tahu lebih banyak. Mengisi liburan dengan menjadi volunteer, menolong orang-orang yang lemah, adalah hal mulia.
"Besok pagi kamu bisa ikut aku," kata Andreas malam itu. "Klinik jalanan itu selalu butuh volunteer."
Roy bangkit. Dia melihat seisi kamar yang sudah kosong. Kebiasaan para traveler , sepanjang hari dihabiskan untuk mengobrak-abrik kota dan larut malam baru terlelap tidur! Si Bandel ini mendapat kamar murah di kawasan Sudder Street. Tak jauh beda dengan kawasan Sosrowijayan di Yogya.
Tiba-tiba Osahi muncul. Kamera masih dijinjingnya. "Aku check out besok pagi, Roy," kabarnya. "Aku mau ke daerah selatan."
Seorang lagi masuk. Tampaknya dia baru saja datang dengan kereta terakhir. Dia mengambil tempat di sisi kanan Roy, yang baru saja ditinggal pergi traveler Belgia. "I am from Korea. South Korea," You Chi Wan memperkenalkan diri.
Andreas pun mengajak mereka untuk jadi volunteer di klinik jalanan. Ada tiga
orang Asia dan seorang Eropa menyusuri jalanan Calcutta. Mereka menuju ke selatan kota. Bus dan trem saling silang dengan para pejalan kaki. Tembok-lembok gedung tua gaya neoklasik catnya kumuh dan kolor penuh tempelan pamflet polilik, iklan, dan grafiti.
Andreas membawa mereka ke sebuah jalan lingkar. Di depan sebuah gereja, di kiri-kanan trotoarnya, beberapa pemuda India sibuk membuat tenda-tenda darurat. Bertiangkan pagar besi, tiang listrik, dan pohon, tenda itu terbentang. Peti-peti berisi obat, makanan, dan pakaian pun ditumpuk teratur.
Andreas memperkenalkan mereka pada seorang koordinator. Setelah dia mengajukan tiga pemuda Asia ini untuk bergabung jadi volunteer, wajah si koordinator berseri-seri. Tak perlu menunggu lama lagi, mereka pun ikut mengatur tempat.
Ini adalah klinik jalanan, yang dirintis oleh Dr. Jack Preger lulusan Royal College of Surgeon, Dublin, yang berasal dari Jerman. Setelah mengabdi waktu musim kelaparan dahsyat di Banglades, sekitar tahun 70-an, dokter muda itu melintasi perbatasan. Lalu terdampar di Calcutta. Kemanusiaannya terse
ntuh melihat masyarakat Calcutta, yang jauh dari konsep kesehatan.
Berbekal tekad dan ketakpedulian akan cemoohan dari rekan seprofesi, ditinggalkannya status terhormat sebagai seorang dokter praktek. Baju mewahnya dilepas. Dia terjun ke jalan dengan sekotak peralatan medis dan obat-obatan secukupnya. Dia mengobati siapa saja orang sakit yang ditemuinya.
Untuk memudahkan praktek jalanannya, sang dokter menetap di sebuah sudut jalan. Orang-orang yang sakit pun berdatangan padanya untuk diobati. Dari tahun ke tahun klinik jalanannya jadi terkenal. Banyak donatur mancanegara menyumbang uang, sandang, pangan, atau obat-obatan.
Bahkan klinik bernama Calcutta Rescue Fund itu juga membuka sekolah bagi anak-anak serta kursus keterampilan. Tenaga instrukturnya adalah volunteer yang harus warga asing (karena tak diberi gaji), dan juga penduduk lokal yang diberi gaji lumayan.
Hari semakin siang. Para pasien mulai berdatangan. Mereka adalah kaum paria, kelompok terendah dalam masyarakat Hindu. Penyakit mereka beragam. Mulai dari borok menahun, diare, asma, cacingan, TBC, sampai ke penyakit yang sukar dideteksi. Roy betul-betul bergidik membayangkannya. Jika sudah begini, buminya ternyata masih lebih bagus. Masyarakat di buminya ternyata masih peduli dengan masalah kesehatan, walaupun kebebasan berpendapat tak segampang di sini.
Volunteer-volunteer pun juga, yang mulai berdatangan. Kebanyakan adalah para pelajar, yang ingin mengisi liburannya dengan sesuatu yang berguna. Itulah kelebihan kaum muda Eropa sekarang. Selain mereka anti-perang, yang diciptakan para orangtua mereka, masalah kemanusiaan dijunjung tinggi. Untuk Asia, paling-paling terselip orang Jepang. Dari Asia Tenggara, masih belum diharapkan.
Kamu merasa dengan melakukan ini hidupmu jadi berarti, Andreas"" Roy memilah-milah pakaian bekas ke dalam plastik. Di tenda seberang Osahi dan Chi Wan dengan komunikasi yang amburadul, sedang sibuk mengatur pasien agar mau antre dengan tertib. Roy tersenyum geli.
"Kesempatan seperti ini di negara kami sangatlah langka. Kamu tahu, Roy, begitu kami lahir, kehormatan dan kekayaan sudah kami miliki.
"Kadang kami tidak tahu lagi bagaimana caranya mengisi hidup ini. Segalanya sudah tersedia. Kami tidak pernah susah. Melihat kesusahan pun belum. Paling-paling dari TV atau majalah."
Seorang pasien yang sudah didiagnosis doktet, berkepala plontos, menghampiri mereka. Ia memakai sarung yang dililitkan selutut dan tanpa baju. Tubuhnya kotor. Roy memberinya bungkusan plastik berisi beras, gula, ikan, dan uang lima rupee (US$ 1 = 25 rupee).
Si Plontos meneliti Roy lewat sudut mata. Dia agak kikuk. Tapi akhirnya dia meminta pakaian dan alas kaki dengan bahasa isyarat. Mukanya ditundukkan, seperti takut dikenali.
Roy meminta pendapat Andreas.
Andreas meneliti si Plontos. Dia memanggil seorang pekerja lokal. "Bilang sama dia, ini yang terakhir kali kami beri sandal dan baju. Kalau minta lagi, lebih baik nggak usah datang lagi ke sini," katanya.
Si pekerja lokal sudah paham maksudnya. Dia langsung memarahi si Plontos dengan kasar dalam bahasa setempat. "Kayaknya aku pernah melihat dia." Tiba-tiba Roy ingat si oportunis, Plontos, tempo hari. Dia memanggil Osahi, menanyakan pendapatnya.
"Hey, you!" Osahi menudingnya.
"Pasien ini nakal. Mungkin sandal dan baju pemberian kami dia jual. Ini repotnya jika sudah berurusan dengan pasien seperti dia. Pura-pura sakit karena malas bekerja."
Si pekerja lokal mengusir si Plontos. "Nggak usah diberi. Pasien seperti dia bikin malu kami," si pekerja lokal menggerutu dan kembali pada pekerjaan semula, mendata pasien-pasien baru sambil menerjemahkan perintah-perintah dokter pada para pasien lainnya.
"Dasar pemalas!" Osahi menghardiknya lagi. "Cello, cello!" Lengan kiri Osahi dikibas-kibaskan.
Si Plontos yang penyamarannya terbongkar jadi serba salah. Sambil menggerutu, dia ngeloyor. Keuntungan yang sudah di depan mata, raib sudah. "Apa betul begitu"" Roy masih ragu. Andreas mengangkat bahu.
Pemuda Roy tidak bisa menggugat kondisi seperti tadi. Pekerjaan dan kemiskinan, memang dua hal yang selalu mengelilingi manusia
. Tak ada salahnya mengorbankan seseorang seperti si Plontos, karena masih banyak pasien yang harus diurus.
Kecurigaan Andreas dan si pekerja lokal tentang si Plontos akhirnya terbukti juga. Suatu hari di Calcutta dia melihat si Plontos itu sedang asyik main judi di salah satu sudut stasiun kereta api!
Ah, Plontos! II. PONDOK Alam memberikan manusia hanya satu lidah tetapi dua telinga supaya kita mendengar dua kali lebih banyak daripada yang kita ucapkan.
-Epictetus *** Sudah seharian Roy di dalam bus yang sebetulnya layak dibesituakan. Terguncang-guncang tidak nyaman bersama penumpang lain yang berwajah dingin dan tidak peduli pada orang asing: para pelancong atau petualang. Ada tiga petualang, atau sebutlah traveler , selain dia di bus ini. Si Bule Negeri Kincir Angin, si Hitam Negeri Pabrik Film terbesar di dunia, dan si Pucat Bumi Matahari.
Selepas dari Calcutta, pemuda Roy memilih untuk meneruskan perjalanan ke utara India. Dia ingin menikmati gugusan Himalaya yang puncaknya seperti menyundul langit. Didaerah utara nanti, dia ingin trekking menghirup udara segar. Sedangkan Osahi sehari sebelumnya akan meneruskan ke daerah selatan, dan Chi Wan memilih tinggal lebih lama bersama Andreas.
"Salju mungkin akan turun," kata si Bule yang duduk di bangku di baris sebelah kanan Roy.
"Ramalan cuaca nggak selamanya sempurna," si Pucat yang sebangku dengan Roy tersenyum. Di koran-koran lokal memang diberitakan bahwa salju pertama akan turun pada hari-hari minggu ini.
Roy setuju dengan pendapat Kenichi, si pucat. Pergantian musim sekarang sukar diramalkan. Rahasia alam semakin sulit ditebak. Ini karena ulah manusia juga, yang terlalu rakus menebangi pohon, percobaan nuklir, atau mencemari lingkungan hidup. Tapi kalau ternyata salju benar-benar turun, itu malapetaka baginya.
"Kamu pasti akan mati kedinginan!" si Hitam, di sebelah si Bule, tertawa lucu. Giginya yang berbaris putih adalah keindahan yang dimilikinya. "Bukan begitu, Jack!" Dia masih tertawa meminta pendapat si Bule.
Yes, Eddy!" Jack juga tertawa.
Para penumpang, penduduk lokal dari kampung terakhir di kaki bukit yang akan mereka kunjungi di utara India, persis di gugusan Pegunungan Himalaya, memandang ke arah para petualang asing itu. Tampaknya percakapan tadi mengusik mereka.
"Sebaiknya kita tutup mulut," bisik Roy.
Jack mengangkat bahu, Eddy asyik menekuni guide book lagi, dan Kenichi serta Roy tersenyum pada penumpang lokal, berusaha untuk jadi sahabat yang menyenangkan dalam perjalanan menyebalkan ini.
Eddy tampak mencolek penumpang di depannya. "Penginapan ini jauh tidak dari pasar"" tanyanya. Dia menggunakan bahasa isyarat sambil memperlihatkan bukunya. Ada gambar penginapan murah itu di sana.
Kontan penumpang itu berubah tegang. Bibirnya gemetar. Penumpang yang lainnya berbisik-bisik. Seperti ada yang dipermasalahkan dengan penginapan murah itu.
Eddy cuma bengong memandang ketiga kawannya. Dia kembali asyik menekuni buku panduan perjalanannya. Roy mencoba mencari makna dari kegelisahan tadi.
Bus berguncang-guncang lagi ketika menuruni bukit. Jalan yang berliku-liku ketika tadi mendaki perbukitan kini terasa lagi. Aspalnya sudah mengelupas, sehingga batu-batunya menonjol, bahkan banyak yang berlubang. Betul-betul tidak nyaman. Di luar udara sangat dingin. Sudah sore dan terasa gelap, karena langit dihiasi awan yang bergulung-gulung yang pada mulanya seperti segerombolan bison liar, tapi kemudian dengan cepat berubah seperti gelombang dahsyat di laut dan berwarna hitam pekat.
Roy melongok dari jendela bus yang tanpa kaca. Bus-bus di sini memang banyak yang jendelanya bolong tanpa kaca. Angin menampar-nampar. Roy merapatkan jaket parasutnya. Kerahnya dinaikkan. Roy memang salah mengambil tempat duduk di pinggir jendela yang tanpa kaca.
Kini tampak oleh Roy pucuk-pucuk pohon bergoyang-goyang dihantam angin. Gesekan-gesekan itu menimbulkan suara menderu-deru yang sangat aneh terdengar di telinga. Menimbulkan pikiran yang asing. Pohon-pohon itu dalam sekejap berubah seperti kepala-kepala hantu yang ditutupi jubah, sedang menyeringai dengan gigi-gigi taringnya.
Ro y menyikut Kenichi. Di wajahnya terlihat rasa keheranan yang sama dengan Roy. Malah di sana tergambar rasa takut yang tidak jelas. Perkiraannya mungkin berlebihan. Tapi dia sudah terbiasa hidup dengan suasana di luar logika. Hal-hal natural, takhayul, atau gaib sering dia alami. Di kampungnya masih ada orang yang mati kena santet atau teluh, semacam ilmu hitam untuk mencelakai orang. Atau binatang jejaden: seseorang yang mengubah bentuk menjadi babi atau harimau untuk menumpuk harta dengan jalan merampoki penduduk.
"Aku merinding," bisik Kenichi. "Kenapa, ya""
Roy sependapat dengannya.
"Jadi ikut trekking, Roy""
"Ya, harus." "Moga-moga hujan. Biar tidak jadi." Roy mengernyitkan alisnya.
Bus tua dan butut ini terbatuk-batuk. Lalu berhenti. Angin semakin menderu-deru di luar. Gerimis mulai membabi buta. Para penumpang lokal berlompatan turun dan berlarian ke perkampungan. Kabut menyelimuti. Dalam sekejap mereka hilang dari pandangan.
Tinggal empat petualang in1 yang kebingungan di dalam bus. Dengan tanpa perasaan, kondektur bus menyuruh mereka turun dari bus. Tergesa-gesa mereka memakai jas hujan.
"Follow me! " Eddy melompat.
Mereka berteduh dari gerimis hujan di emperan sebuah rumah. Sudah banyak orang di sana. Roy minta penjelasan pada Eddy, karena tadi dialah yang rajin membuka-buka guide book. Yang Roy tahu, perkampungan ada di punggung bukit. Terminal bus dibangun di kaki bukit, di tanah yang datar. Tak ada kendaraan roda empat yang bisa sampai ke perkampungan, karena jalan-jalannya sempit, mendaki, dan meliuk-liuk seperti ular. Orang-orang kampung memang lebih suka berjalan kaki. Mereka akan menggunakan bus kalau bepergian antarkota saja.
Mereka menembus gerimis yang semakin rapat. Kabut menghalangi pandangan. Paling-paling cuma bisa memandang dua-tiga meter. Jalanan kampung yang kecil dan mendaki, yang terbuat dari bata merah, basah dan licin. Lengang. Rumah-rumah penduduk yang berbentuk kotak persegi dan dibangun bertingkat tak ada yang terbuka.
Cukup melelahkan juga berlari-lari meniti perkampungan di kaki bukit ini. Napas mereka tersengal-sengal. Di square tampak kerumunan orang-beberapa di antaranya pelancong seperti mereka-berteduh di emperan tempat peribadatan, kafe, atau di toko-toko sovenir.
Mereka berhenti di depan kafe yang menghadap ke timur. Membuka jas hujan. Mengeringkan rambut. Dan mengambil tempat di lantai atas. Untung ada meja tersisa di dekat jendela.
Tubuh Roy semakin menggigil. Udara lima derajat di bawah nol. Dia membongkar ransel. Mengenakan kupluk dan sarung tangan. Malam sudah jatuh.
"Aku dengar ada korban lagi semalam," seorang lelaki berkumis di meja sebelah berbicara. Ada tiga orang sedang mendengarkan dengan serius. Rupanya ada hal penting yang membuat mereka resah.
"Korban kali ini gadis berumur enam belas tahun!"
Kenichi tampak tegang. "Seharusnya kita bakar saja pondok di atas bukit itu!" seseorang menyebut nama penginapan murah itu.
Cuping telinga Roy melebar ketika mendengar nama penginapan murah itu disebut -sebut. Ada ketakutan tersembunyi ketika mereka meributkan penginapan itu. Aneh. Dia melirik Kenichi, yang juga menangkap pembicaraan tadi. Jack dan Eddy tampak asyik melihat daftar menu.
"Aku nggak berani. Jangan-jangan malah kita yang jadi korban."
"Apa daya kita""
"Kita harus memanggil orang pintar." "Tapi, siapa"."
"Kamu yakin dia sejenis hantu pengisap darah"" Entahlah. Pemerintah belum resmi mengumumkan."
"Sudah jatuh dua korban. Kalau menunggu pemerintah, berapa korban lagi akan
jatuh"" "Excuse me, di manakah alamat penginapan ini"" Eddy bertanya pada penduduk lokal di meja sebelah itu.
Selera makan Roy dan Kenichi langsung hilang begitu mendengar Eddy bicara seperti itu. Apalagi wajah penduduk berubah pucat dan tegang. Tak seorang pun yang menjawab.
Eddy mengangkat bahunya, pertanda tidak mengerti. Si Hitam itu langsung mengajak mereka untuk mencari penginapan. Beberapa kali Eddy berpapasan dengan orang. Anehnya, setiap dia menanyakan penginapan murah itu, orang-orang menghindar dan langsung bergegas.
Eddy tampak berusaha keras. Apalagi melihat Roy yang pucat seperti may
at hidup, dia semakin menggebu-gebu untuk menemukan alamat penginapan itu. Ketika dia melihat gereja, dia berseru girang. Dia membelok ke kanan. Kini di kiri-kanan jalan ditumbuhi pohon-pohon besar.
Lampu jalanan mulai jarang. Malam jadi remang-remang. Jika pohon-pohon besar itu tertiup angin, suara goyangannya menakutkan dan menimbulkan bayangan aneh. Mereka mengeluarkan senter. Nyalanya saling-silang ke mana-mana, mencoba menembus kabut dan kegelapan.
"Apa tidak tersesat, Eddy"" Kenichi was-was.
"Kayaknya ini ke luar kampung," ujar Roy.
Eddy tertawa kecil. "Kalian penakut!"
"Kamu tidak merasa aneh, Eddy"" Jack menengok ke sekeliling. Tampaknya dia merasa kalau jalan mendaki itu terpisah dari keramaian. Dia cuma merasa penasaran, kenapa penduduk tampak cemas dan menghindar jika ditanya soal penginapan murah itu.
"Sebaiknya menginap di dekat pasar saja. Di sana ramai. Harganya juga nggak begitu mahal. Mau, Roy"" Kenichi minta dukungan.
Roy menatapnya. "Sudah telanjur, Ken," katanya.
Ketika memasuki tikungan, mereka terperanjat. Kenichi malah berteriak. Ternyata ada seseorang memakai jas panjang sampai ke mata kaki berwarna hitam. Wajahnya ditutupi topi lebar.
"Betul jalan ini menuju penginapan"" Eddy mencegat orang itu sambil menunjukkan guide book-nya.
Lelaki berjubah hitam itu menatap mereka satu per satu. "Kalian baru tiba, ya"" tanyanya. "Sebetulnya bukan penginapan. Orang-orang menyebutriya 'pondok', karena kecil dan terbuat dari kayu pinus. Apalagi tempatnya di bukit, jauh dari keramaian.
"Mau menginap di sana" Dalam cuaca seperti ini, dinginnya bukan main."
Eddy mengangguk. Roy mencoba meneliti wajah orang aneh ini. Tapi, dalam keremangan cahaya senter, orang ini berwajah ramah dan menyenangkan. Berkumis tipis, serasi dengan raut mukanya yang lonjong.
"Jika cuaca sedang cerah, dari pondok itu kalian bisa melihat gugusan Himalaya. Sangat indah."
"Tuan siapa"" tanya Kenichi ragu.
"Dan hendak ke mana"" sambung Roy.
"Saya pemilik pondok. Dan hendak berbelanja."
"Kok malam-malam, Tuan"" kali ini Jack bertanya.
"Apa kalian tidak mendengar hal-hal aneh tentang pondok itu di perkampungan" Pasti penduduk memberitahu kalian."
"Saya mendengar," sergap Kenichi.
"Huss!" Eddy membekapnya.
"Ada apa dengan pondoknya, Tuan"" tanya Jack.
Si Jubah tertawa. "Ini persaingan bisnis. Ada orang yang menyebarkan gosip bahwa penghuni pondok itu gemar darah gadis muda yang cantik! Akibatnya tamu-tamu pondok jadi berkurang."
Eddy meminta pendapat ketiga kawan seperjalanannya. Mereka mau tidak mau menuju pondok, untuk menginap di sana. Apalagi malam merembet naik. Tak ada pilihan lain
Si Jubah itu meneruskan perjalanan lagi. Jalan semakin mendaki dan hanya berupa pengerasan tanah saja. Ketika Roy menoleh, si Jubah sudah lenyap. Secepat itu! Dia rnengarahkan senternya ke sana. Mungkin kabut menghalangi pandanganku, hiburnya sendiri!
"Lihat!" Eddy mengarahkan senternya ke puncak bukit. Serempak yang lainnya pun melakukan hal yang sama.
Samar-samar mereka melihat sebuah pondok di atas bukit. Terbuat dari batang-batang pinus. Indah sekaligus penuh Misteri. Ada lentera digantungkan di pintu gerbang.
"Moga-moga tidak ada hantunya!" Eddy berkelakar.
Dari dekat, ternyata pondok itu cukup bersih dan terawat. Tiba-tiba pintu utama pondok itu terbuka. Suara deritannya nyaring memecah sunyi. Mereka tersentak juga. "Siapa di luar" Tuan Vijay"" Seorang lelaki bongkok mengangkat lentera. "Kami orang asing! Mau rnenginap di sini!" teriak Eddy.
Si Bongkok berjalan rnendekat. Memperhatikan keempat tamunya. "Oh, selamat malam. Selamat datang," sambutnya gembira, karena pondoknya yang sepi gara-gara kabar burung: ada hantu pengisap darah-itu didatangi tamu-tamu lagi.
Si Bongkok membawa mereka masuk ke ruang tengah. Di dinding banyak kepala rusa yang diawetkan. Di sudut ruangan ada seekor harimau. Dua pasang bedil terpasang di atas perapian yang menyala. Ada kursi malas yang masih bergoyang-goyang bekas diduduki. Si Bongkok mengambil buku yang tergeletak di atasnya. Meletakkannya di rak.
"Tuan Vijay gemar membaca," kata si Bongkok. "Kalian tadi bertemu denganny
a di jalan"" Mereka mengangguk. "Kasihan Tuan. Gara-gara dua korban pembunuhan ditemukan di sini, pondoknya jadi sepi pengunjung. Aku tahu ini pekerjaan kotor sebuah komplotan di New Delhi. Mereka menculik gadis-gadis muda untuk dikirim ke Thailand."
Eddy mengelilingi ruangan. Mengagumi hiasan-hiasan itu. "Bagaimana, berubah pikiran"" Si Hitam tertawa.
Si Jubah itu meneruskan perjalanan lagi. Jalan semakin mendaki dan hanya berupa pengerasan tanah saja. Ketika Roy menoleh, si Jubah sudah lenyap. Secepat itu! Dia rnengarahkan senternya ke sana. Mungkin kabut menghalangi pandanganku, hiburnya sendiri!
"Lihat!" Eddy mengarahkan senternya ke puncak bukit. Serempak yang lainnya pun melakukan hal yang sama.
Samar-samar mereka melihat sebuah pondok di atas bukit. Terbuat dari batang-batang pinus. Indah sekaligus penuh Misteri. Ada lentera digantungkan di pintu gerbang.
"Moga-moga tidak ada hantunya!" Eddy berkelakar.
Dari dekat, ternyata pondok itu cukup bersih dan terawat. Tiba-tiba pintu utama pondok itu terbuka. Suara deritannya nyaring memecah sunyi. Mereka tersentak juga. "Siapa di luar" Tuan Vijay"" Seorang lelaki bongkok mengangkat lentera. "Kami orang asing! Mau rnenginap di sini!" teriak Eddy.
Si Bongkok berjalan mendekat. Memperhatikan keempat tamunya. "Oh, selamat malam. Selamat datang," sambutnya gembira, karena pondoknya yang sepi gara-gara kabar burung: ada hantu pengisap darah-itu didatangi tamu-tamu lagi.
Si Bongkok membawa mereka masuk ke ruang tengah. Di dinding banyak kepala rusa yang diawetkan. Di sudut ruangan ada seekor harimau. Dua pasang bedil terpasang di atas perapian yang menyala. Ada kursi malas yang masih bergoyang-goyang bekas diduduki. Si Bongkok mengambil buku yang tergeletak di atasnya. Meletakkannya di rak.
"Tuan Vijay gemar membaca," kata si Bongkok. "Kalian tadi bertemu dengannya di jalan""
Mereka mengangguk. "Kasihan Tuan. Gara-gara dua korban pembunuhan ditemukan di sini, pondoknya jadi sepi pengunjung. Aku tahu ini pekerjaan kotor sebuah komplotan di New Delhi. Mereka menculik gadis-gadis muda untuk dikirim ke Thailand."
Eddy mengelilingi ruangan. Mengagumi hiasan-hiasan itu. "Bagaimana, berubah pikiran"" Si Hitam tertawa.
Wow , fantastic!" Jack berseru girang.
Roy cuma tersenyum pada Kenichi.
Si Bongkok tanpa banyak bertanya menuju meja. Dia mengeluarkan buku besar. "Paspornya, " itu saja yang keluar dari mulutnya.
Paspor mereka dicatat satu per satu. Roy melihat sudah banyak nama tertulis di buku itu. Bahkan si Bongkok mempersilakan Roy untuk membaca buku tamu itu. Pondok di atas bukit ini ramai juga dikunjungi orang. Tapi hari ini tak ada tamu lain selain mereka.
Si Bongkok membawa mereka ke sebuah ruangan dengan lima tempat tidur. "Kalau mau minum teh atau kopi panas, ada dapur di belakang. Kalian bikin sendiri saja. Di sini segalanya self service," si Bongkok menjelaskan.
Malam semakin pekat. Hujan tebat turun di luar. Bumi semakin basah dan dingin. Pondok di atas bukit itu terlelap. Tak ada tanda-tanda menakutkan di dalamnya, seperti sangkaan penduduk kampung selama ini.
Roy semakin menggigil dan menggerutu, karena rencana trekking-nya besok
batal. Pondok di atas bukit itu sudah terkenal di kalangan turis mancanegara. Selain murah, dari pondok itu kita bisa menikmati gugusan Himalaya, yang terhampar luas bagai permadani surgawi. Sukar dilukiskan keindahannya. Semua turis kerasan menginap di situ, karena tempatnya yang natural. Menyatu dengan alam.
Pemilik pondok itu memang orang-orang aneh. Setidak-tidaknya, begitulah kata penduduk. Seorang lelaki yang tidak menikah, Tuan Vijay, dan pelayannya, si Bongkok. Mereka cuma akan turun ke kampung jika berbelanja keperluan dapur atau kalau ada hal penting lainnya. Hal itu sudah jadi rutinitas dan dibiarkan begitu saja oleh penduduk.
Tapi dua bulan belakangan, penduduk kampung mulai berpikiran macam-macam. Ini bermula sejak ditemukannya mayat seorang gadis muda! Penduduk menduga, kedua orang di pondok itu suka mengisap darah gadis muda! Apalagi setelah korban kedua muncul. Mereka tidak mau percaya bahwa kedua korban wanita muda itu adalah k
orban pemerkosaan semata seperti yang ditulis di koran. Walaupun lambat, kini pihak pemerintah sedang melacak siapa pelakunya
Tuan Vijay dan si Bongkok bukannya tidak menyadari bahwa posisi mereka sulit. Bahwa masyarakat resah serta ketakutan anak gadisnya jadi korban mereka berikutnya. Risikonya Tuan Vijay-lah yang menggantikan posisi si Bongkok untuk membeli keperluan sehari-hari karena pelayannya itu mudah dikenali. Jika hari gelap, pemilik pondok itu turun ke kampung. Untung masih ada satu toko yang masih mempercayainya untuk berbelanja keperluan dapur. Tapi dia yakin suatu hari akan terbongkar siapa pembunuhnya.
"Begitulah ceritanya kenapa pondok ini jadi tempat yang menakutkan," si Jubah mengakhiri ceritanya di saat pagi yang basah, karena hujan deras. Dia adalah Tuan
Vijay. Mereka duduk-duduk di teras sambil menikmati teh panas. "Jadi, Tuan disangka makhluk pengisap darah" Seperti drakula" Vampire"" Kenichi gemetar.
Tuan Vijay tertawa. Dia betul-betul sedang berbahagia. Di berita radio tadi pagi, pemerintah mengumumkan siapa pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita muda di pondok itu. Komplotan ini ternyata pemasok wanita muda untuk bisnis prostitusi di kawasan Bombay atau dikirim ke luar negeri.
Komplotan ini berburu ke kampung-kampung, mencari gadis cantik yang masih muda. Dengan iming-iming uang, mereka menjerat sang korban. Biasanya mereka akan membunuh sang korban jika si korban kepergok hendak melaporkan pada pihak berwajib. Untuk mengelabui penyelidik, bahwa ini kasus biasa, mereka memperkosa si korban dan membunuhnya. Padahal di balik itu ada bisnis prostitusi dengan skala internasional!
"Pondok ini akan ramai lagi!" Tuan Vijay tersenyum.
Keempat petualang muda itu bersorak. Tak perlu lagi ada keresahan menghantui. Kenichi pun tampak riang. Tapi Roy menggerutu saja, karena rencana trekking-nya batal, hujan turun terus.
Dan tiba-tiba, rintik-rintik salju turun. Bagai kapas-kapas yang mengambang di
udara III. GANGA 1 Seorang lelaki harus berani mengusir ketakutan. Ketakutan untuk berbuat salah. Ketakutan untuk berbicara salah. Dan seorang perempuan harus berani memiliki jiwa lelaki. Berani mendampingi gelisah lelaki. Berani untuk tidak takut kehilangan lelaki.
-Heri H Harris *** Seorang pemuda gondrong dengan sorot mata kelelahan duduk di anak tangga di ghat-nama trotoar di sepanjang sisi barat sungai-yang menuju Sungai Ganga. Dia baru saja datang dari India bagian utara. Pengalaman tentang pondok di kaki bukit itu membuatnya selalu ingin tertawa. Kadang kala masyarakat suka cepat terpengaruh oleh kabar burung yang kebenarannya tak tentu.
Si Gondrong itu menikmati sampan yang lalu lalang mengangkuti serombongan turis, beberapa traveler , atau sepasang insan yang sedang dimabuk asmara. Ongkos naik sampan itu kurang-lebih seribu rupiah per jam. Kita bisa menyusuri sungai dari ujung selatan terus ke utara kota.
Menjelang senja di Ganga. Saat penghabisan sebuah hari. Saat sebagian perjalanan hidup manusia setelah berawal dengan fajar akan berakhir. Matahari sudah terhalang gedung-gedung tua dan cahayanya temaram. Orang-orang di ujung anak tangga mulai mengemasi cuciannya. Yang sedang mandi pun sambil bersenda gurau mengeringkan badannya dengan handuk.
Pemuda gondrong itu tetap menikmati bagian dari kesibukan sungai di anak tangga. Setiap fajar dan senja, hal seperti ini terus berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu. Di mana pun di bagian dunia, sungai akan selalu terasa getarannya di saat matahari muncul dan terbenam. Sungai-sungai di kampung terpencil masih menyisakan keramahan alam, manusia bersahabat dengan ciptaan Tuhan. Tapi tidak lagi di kota, karena sungai sudah jadi sumpah serapah.
ini di Varanasi. Kota berumur ratusan tahun di negara bagian utara Pradesh. Kota yang dibangun sejajar dengan Sungai Ganga, yang dianggap sebagai air mata para dewa. Sungai yang berawal di Pegunungan Himalaya dan mengalir ke selatan, ke Teruk Bengali. Di sepanjang barat sisi sungai dibangun gedung-gedung megah, tempat peristirahatan para raja India tempo dulu, mesjid, candi, dan tempat pembakaran mayat. U
ntuk terasnya dibangun ghat, sebuah trotoar yang panjang mengikuti alur sungai. Untuk mencapai air dibuat anak tangga, sehingga para raja, permaisuri, pangeran, putri, dan dayang-dayangnya bisa mandi di sungai.
Itu ratusan tahun yang lalu.
Sekarang kota tua ini jadi tempat tujuan wisata bagi traveler atau turis mancanegara. Setiap hari banyak orang yang menikmati fajar dan senja-selain kesibukan masyarakatnya yang memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari-ditemani secangkir chia-susu dicampur kopi-seharga dua rupee. Sungai ini juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat karena banyak orang yang memanfaatkan jasa perahu atau sampan untuk melihat keindahan kota dari arah sungai.
Sungai Ganga memang ibarat magnet dan disucikan oleh masyarakat India, khususnya yang beragama Hindu, karena dipercaya sebagai air mata Dewa Shiva. Hampir sepanjang hari masyarakat Hindu dari berbagai sudut India menyerbu Sungai Ganga cuma untuk mandi. Itulah sebabnya kenapa sungai ini kebersihannya dijaga oleh pemerintah. Kotoran dari seisi kota dialirkan ke dua buah sungai yang lain, Varuna dan Asi, sehingga kota tua ini disebut Varanasi.
"Ikut, Roy!" Masaki, traveler Jepang, berteriak mengajaknya naik sampan.
Roy menggeleng. Dia mengenal Masaki di Pokhara, Nepal, di sebuah kafe. Jika malam jatuh di Nepal, kafe memang tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan sisa malam yang dingin. Menghangatkan badan sambil ngobrol dengan bir dan lagu-lagu Jim Morrison dari The Doors. Jadi jangan heran jika di antara sesama traveler bisa terjalin rasa persaudaraan atau kesetiakawanan. Buat mereka pepatah Dunia tidak selebar daun kelor adalah salah, karena bisa saja hari iru mereka bertemu di Bangkok dan sebulan kemudian bertemu lagi di Kuala Lumpur, Katmandhu, atau New Delhi. Mereka tidak akan berani "macam-macam" di antara sesama traveler , karena mereka yakin suatu hari akan bertemu lagi di bagian durua yang lain. Mungkin itulah yang membedakan kehidupan traveler dengan turis atau orang-orang pada umumnya.
Tiba-tiba seorang bocah India mengagetkannya, "Hallo, Japan!"
Roy langsung meraih leher bocah itu. Berusaha menggepitnya. "I am not from Japan!" Sudah berkali-kali Roy meralat anggapan Kay, bahwa dia bukan dari Jepang, tapi dari Indonesia.
Sebetulnya Roy suka kesal juga, karena selama dia melakukan pengembaraan di negeri orang, tidak seorang pun yang betul menebaknya berasal dari Indonesia. Di Banglades orang-orang menyapanya, "From China" Nepal"" Di Nepal malah, "Hallo, Thailand!" Apa boleh buat, traveler dari Indonesia belum begitu dikenal di kawasannya sendiri, sesama Asia.
"Bagaimana ibumu, Kay" Sudah sembuh sakit perutnya""
Tambah parah, Roy," Kay bersedih.
"Belum dibawa ke rumah sakit""
"Uangnya belum cukup."
Kay, nama bocah itu, gesit dan pandai mengambil hati orang. Roy mengenalnya kemarin sore. Rumah Kay tidak jauh dari guest house tempat Roy menginap. Ketika Roy keluar dari sebuah restoran, dia melihat Kay sedang menangis. Pemuda gondrong itu trenyuh melihatnya.
"Kenapa, boy"" Roy berusaha jadi kawan yang baik.
Kay memperhatikannya. Begitu dia menyadari orang asing di depannya beriktikad baik, diceritakannya kondisi ibunya yang sedang sakit. Dibawanya Roy ke rumahnya yang sempit di lantai bawah. Sebuah rumah yang cuma terdiri atas dua ruangan plus kamar mandi. Semuanya saling berimpitan.
Roy berlari ke guest house. Mengambil garam oralit. Itu saja yang bisa diperbuatnya. Tak lebih. Dia cuma bisa ingat mamanya saat ini. Apalagi ketika menyadari ayah Kay, yang tak pernah mengurusi rumah tangganya, karena penjudi dan pemabuk.
"Kalau parah, bawa ke rumah sakit, Kay."
Kay diam saja memeluk kedua adiknya yang masih kecil. Lalu bocah hitam ini menawarkan tiket pertunjukan musik tradisional India seharga dua puluh lima rupee. Bocah ini menerangkan waktu itu, bahwa setiap malam di Varanasi ada pertunjukan folk dance; musik dan tari tradisional. Kalau dia berhasil menjual sebuah karcis, itu berarti dia mendapat lima rupee dan komisi satu pelajaran alat musik tradisional. Bisa tabla, kendang khas India, atau sitar, gitarnya India.
Roy mengambil t iga karcis kemarin. Dengan begitu dia berharap, Kay bisa mengumpulkan uang untuk biaya obat ibunya di rumah sakit. Dia pergi nonton bersama kawan sekamarnya dari Italia, Marco, yang jadi kawan seperjalanan di bus dari Nepal, dan Yoo Chi Wan, petualang dari Korea, yang dikenalnya di Calcutta. Konsernya bukan di gedung pertunjukan yang megah, tapi cukup di ruang tengah sebuah rumah. Panggungnya memanfaatkan sedikit ruangan di sebelah sudut. Penonton barisan depan bersila di lantai, dan yang di belakang duduk di bangku-bangku panjang. Di setiap pertengahan pertunjukan, tuan rumah membagikan chia kepada para penonton.
"From Japan"" tiba-tiba terdengar suara perempuan yang lagi-lagi salah tebak.
Ketika mendengar suara tadi, Roy baru sadar kalau di sebelah Kay ada seorang gadis Eropa tersenyum. Lalu, "From Africa"" Roy balik bertanya padanya.
Gadis Eropa itu tertawa kecil.
"Saya dari Indonesia." Roy menyodorkan lengan.
Si gadis berseru kaget. Katanya, "Inilah pertama kali saya bertemu dengan orang Indonesia."
Roy tertawa kecut. "Saya begitu ingin melihat Bali."
Roy mengangguk saja. "Saya dari Jerman."
"Barat atau Timur""
"Jerman," gadis bule itu menegaskan sambil mendelik.


Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Roy kini tertawa. Dia memang suka bercanda jika bertemu dengan orang Jerman. Pernah di sebuah Youth Hostel, Bangkok, traveler Jerman Timur mengemukakan kegembiraannya, "Setelah runtuhnya tembok Berlin, saya bisa pergi ke mana-mana." Tapi begitu bertemu dengan pihak sebelah Baratnya, "Kacau, kacau,. Banyak pengangguran menyerbu Jerman Barat!"
Dan Ina Mayer, gadis Jerman ini, yang kebetulan berasal dari Berlin Barat, menambahkan cerita Roy itu. "Dulu Berlin Timur buat kami ibarat sebuah pulau. Kami suka memandangnya dengan perasaan takjub dari balik tembok. Tapi sekarang, setelah tembok itu diruntuhkan, pulau itu sudah tidak ada lagi."
Ina juga menceritakan lagi keadaan Berlin sekarang, "Sudah jauh berubah. Bergerak cepat seperti kereta shinkansen, karena Berlin sekarang jadi ibukota negara. Perusahaan-perusahaan besar berlomba membangun pabrik serta gedung baru.
"Kami kadang kala mendambakan keadaan Berlin yang seperti dulu. Tapi itu jadi tidak adil. Mungkin ini yang disebut globalisasi."
Roy mendengarkan saja. Dia tidak begitu suka membicarakan perubahan-perubahan politik di dunia. Baginya politik itu kotor. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mencelupkan kakinya ke sana. Itulah sebabnya kenapa JF Kennedy menulis, "Jika politik kotor puisilah yang membersihkannya!"
Mau pergi nonton konser, Roy"" tanya Ina.
Roy mengangguk. Merogoh saku celananya. Menyerahkan dua puluh lima rupee pada Kay. "Pergi beli karcis, sana!" kata Roy pada Kay yang berlari senang meninggalkan mereka.
Matahari betul-betul sudah pergi. Senja di Ganga, sangatlah indah. Suasana di ghat berubah jadi penuh kilatan lampu-lampu dan memantul indah di permukaan sungai. Membuat suasana jadi romantis.
"Kamu mau nonton dengan siapa, Ina"" Roy hati-hati bertanya.
"Sendirian." Ina tersenyum.
"Jika tidak keberatan, boleh saya temani""
"Dengan senang hati."
Kay datang tergopoh-gopoh. Selembar karcis berada di tangannya. Rata-rata anak kecil di sini tidak memedulikan bangku sekolah. Mereka lebih senang gentayangan; menguber turis atau traveler sambil berharap bisa mengais rupee. Dan Kay adalah salah satunya. Apalagi bocah itu sedang butuh uang untuk biaya obat ibunya yang sedang sakit.
Sekitar pukul delapan malam. Jalan-jalan kota yang sempit mirip labirin membentuk kotak-kotak persegi empat dimana kue-kuenya berupa bangunan berlantai dua atau tiga. Kesannya berimpitan. Tak ada halamaan. Semua pintu rumah langsung membentur jalan yang cuma muat untuk kendaraan sejenis bajaj.
Ini saatnya jam sibuk. Orang-orang yang penat setelah bekerja seharian bagai air banjir pulang ke rumahnya. Ada yang mengunjungi night bazaar, pasar malam yang aktraktif. Kadang kala sapi dan bajaj pun ikut berebut tempat. Simpang-siur.
Ina Mayer, cewek Berlin itu, berhenti. Menepi ke pinggir. Menunggu Roy yang tertinggal. Roy melambaikan tangannya di antara orang-orang yang mengalir bagai air bah. Di siang hari kota ini disinyalir
dijubeli satu juta orang dan puluhan ribu rickshaw, becak khas India!
"Kenapa kamu selalu di belakang saya, Roy" Bukankah lebih baik kita berjalan beriringan, sambil berbincang-bincang""
Roy jadi kikuk. Berjalan berduaan dengan gadis bule, terus terang saja, adalah pengalaman pertama buatnya.
"Kalau tidak mau beriringan, kamu yang jalan di depan. Saya tidak tahu gedung konser itu."
Roy mengangguk. Dia berjalan dengan cepat. Ina cuma menggelengkan kepalanya. Setelah meliuk-liuk di gang-gang, mereka berhenti di sebuah bangunan tua, yang berimpitan dengan bangunan lainnya. Di pintunya tertulis Ashram Music Centre. Seseorang menawarkan karcis. Roy menggeleng.
Ina memilih lesehan, tapi Roy duduk di belakang, seperti kemarin malam. Dia sengaja memilih tempat itu, karena sewaktu-waktu suka ada keinginan untuk memotret.
Pertunjukan malam ini cuma tabla dan flute. Tak ada tarian. Selama pertunjukan berlangsung, beberapa kali dia bertubrukan mata dengan Ina. Mereka saling melempar senyum sambil menikmati alunan musik yang mendayu-dayu. Lantas sesekali Roy mencuri-curi pandang kecantikan cewek Berlin itu. Matanya biru teduh bagai laut dan langit, hidungnya tajam, dan bibirnya tipis kemerah-merahan.
"Apakah kita searah, Ina"" tanya Roy seusai konser.
Ina mengangguk. "Sudah makan malam, Roy"" tanyanya.
"Kenapa" Mau saya temani""
"Saya memang butuh ditemani." Senyumnya mengembang. "Tidak baik bagi wanita makan sendirian malam-malam di India. Apalagi wanita Eropa seperti saya." "Moga-moga masih ada restoran yang buka."
Saya biasa makan di restoran lokal, kok." Roy menatapnya tidak percaya.
Ina mengajak Roy ke sebuah restoran lokal di sebuah sudut Sungai Ganga, yang hampir tutup. Tempatnya agak bersih ketimbang kebanyakan restoran lokal lainnya. Dia memesan menu yang tersisa; nasi goreng plus telur dadar.
Mereka mengambil meja di teras. Lukisan permukaan sungai tengah malam, hening dan nyenyak. Tak ada gejolak masyarakat India yang sehari-harinya selalu keras mengais rupee. Saat ini alam tampak tidur sejenak.
Roy merasakan sesuatu yang lain. Berduaan dengan gadis Eropa. Apa yang sedang dilakukan Suci, gadisnya nun jauh di Bumi Pertiwi, malam-malam seperti ini" Apakah dia merindukan aku" Atau dia sedang bermimpi tentang seorang lelaki yang
lain" Ina tersenyum menatapnya. "Merokok"" Roy menyodorkan rokok. Ina menggeleng.
Dengan spontan Roy memasukkan lagi bungkus rokoknya.
"Minum bir""
"Kamu pikir semua gadis Eropa merokok dan minum bir, Roy""
"Seorang gadis Eropa seperti kamu tidak merokok dan minum bir""
Ina tertawa kecil. "Saya dari keluarga bahagia, Roy. Punya orangtua, adik perempuan, rumah yang indah, dan kawan-kawan di sekolah.
"Kalau kamu ingin tahu ciri-ciri kaum muda Eropa yang berbahagia, seperti itulah. Mereka selalu merindukan rumah. Home sweet home!"
Roy tertarik mendengarkannya.
"Saya pernah mengisap ganja dan minum bir. Sesudah itu yang saya rasakan, dunia berputar. Saya malah jatuh sakit. Mulai saat itu saya menjauhi rokok dan minuman beralkohol. Itu kan cuma pekerjaan orang-orang yang tidak percaya diri saja.
"Saya memang bukan gadis Eropa modern ya, Roy, seperti yang kamu baca di majalah atau di film-filin!" Ina tertawa.
Roy mencoba mencerna kata-katanya.
"Oh, sudah lewat pukul dua belas!" Ina menggerutu. "Pintu gerbang hotel pasti sudah dikunci. Saya benci jika harus memencet bel!" Ina merogoh tas kecilnya. "Let me pay, Roy!"
"No, no, Thanks!" Roy serba salah. "Seharusnya saya yang bayar, Ina."
Akhirnya mereka sepakat membayar sendiri-sendiri. Sudah berkali-kali Roy menemukan kawan seperjalanan dari negara lain; makan atau tidur satu kamar. Dan mereka secara sadar membayar cuma untuk dirinya sendiri. Ini sudah merupakan hukum tak tertulis di antara sesama traveler . Malah pemilik restoran pun paham akan hal ini. Jika di satu meja ada empat traveler , mereka akan menyodorkan empat bill terpisah untuk setiap orang.
"Tidak perlu diantar"" Roy memanggil rickshaw.
Ina menggeleng. Dia naik ke becak India, yang pengayuhnya berada di depan-membelakangi penumpang.
"Besok kita ketemu lagi, Roy"" Sorot matanya berharap. Roy terse
nyum kikuk. "Jika kamu nggak keberatan, setiap pagi saya ada di Gangga, menikmati sunrise."
Roy kini mengangguk. "Nice to meet you, Roy!"
Roy tersenyum lebar. Dia memandangi becak yang membawa gadis Berlin itu hilang di keremangan lampu jalan. Ada sesuatu yang lain menyusup ke dalam hatinya. Sesuatu yang aneh. Dia jadi teringat kata-kata Kahlil Gibran. Pabila cinta memanggilmu, ikutilah dia, walau jalannya terjal berliku. Dan pabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi disela sayap itu melukaimu.......
Roy mencoba mencerna kata-katanya.
Pemuda kesepian itu mendekap malam. Dia berjalan menyusuri gang-gang yang lengang. Dia melihat orang-orang dari kaum paria, yang tak punya pekerjaan, dan tempat tinggal, bergeletakan di teras-teras pertokoan atau trotoar. Mereka menyelimuti tubuh mereka dari serangan dingin dengan kardus atau sarung.
Beberapa saat kemudian, di sebuah tikungan, dia mendengar suara ribut. Roy bergegas. Di depan rumah Kay banyak orang merubung. Tampak Kay meronta-ronta sambil menangis.
"Ada apa, Kay"" Roy menghampirinya.
Kay menatap Roy sejenak, tapi terus saja ia meronta-ronta. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Kedua adiknya cuma tersedu-sedu di pelukan seorang wanita tua. Dari seorang lelaki Roy diberitahu bahwa ibu Kay meninggal. Selain sakit perutnya yang tambah parah, ayah Kay tadi datang dalam keadaan mabuk. Dia marah-marah karena kalah judi, lalu merampas uang yang dikumpulkan Kay untuk biaya berobat ibunya.
Roy cuma ternganga. IV. GANGA 2 Siapa rindu kebebasan, ceburilah kabut dalam tekad peleburan. Apa yang tanpa wujud senantiasa mencari bentuk, tak beda dengan jutaan bintang yang menjelma jadi matahari-matahari dan bulan-bulan; dan kita para pencari, yang pulang dalam wujud ini, sesosok zat padat, sekali nanti larut dalam kabut lagi, dan menghayati kehidupan dari asal kejadian.
Dan, apa yang bisa bangkit membumbung angkasa, tanpa terbelah pecah dalam gairah hidup dan kebebasan"
-Taman Sang Nabi, Kahlil Gibran
Matahari pagi mulai menyusup lewat lubang angin di atas pintu kamar di lantai dua sebuah guest house murah. Cahayanya menimpa seorang pemuda kelimis berkulit pucat. Marco, si green horn-anak bawang berkulit pucat dari Italia itu menggeliat. Dia menengok ke kawan sekamarnya yang masih terlelap.
Marco bangkit dan menyentuh pundak lelaki sekamarnya. "Wake up, Roy! Ina menunggu kamu di Ganga," ledeknya. "Nanti disambar orang lagi!" Tawanya terdengar.
Roy langsung melompat. "Waduh, kok telat bangunnya, Marco!" gerutu Roy. Dia tergesa-gesa ke kamar mandi untuk sekadar cuci muka dan gosok gigi. Di teras beberapa orang Israel sedang duduk-duduk main kartu sambil tertawa. Tak perlu berbasa-basi dengan mereka, yang selalu merasa paling ter... ter... segala-galanya di antara sesama traveler .
Beberapa kali Roy punya pengalaman buruk dengan mereka. Di imigrasi, Bangkok, ketika orang-orang antre untuk memperpanjang visa turis, seorang Israel dengan cuek menyalip dan persis berdiri di depan Roy, tanpa peduli orang-orang yang menggerutu. Yang berikutnya di ruang tunggu Bandara Don Muang, Bangkok. Mereka tanpa merasa berdosa menyerobot antrean, padahal sudah sekitar satu jam orang-orang menunggu pintu boarding pass dibuka.
Roy serabutan keluar dari guest house. Berlari kecil di gang-gang, meniti anak tangga, dan menuju Sungai Ganga. Penduduk yang hendak mandi mulai berduyun-duyun. Di kepala mereka ada guci tempat air atau jinjingan cucian. Beberapa ekor sapi masih malas untuk bangun. Binatang yang disucikan itu bergeletakan seenaknya di
gang-gang. Roy sudah ada di mulut ghat. Melihat ke Ganga. Cahaya matahari pagi sudah merebak ke mana-mana. Turis dan traveler mancanegara lalu lalang. Ada yang duduk menghirup chia sambil membiarkan kulit mereka yang pucat disentuh cahaya pagi, atau ikut main cricket bersama anak-anak kecil.
Roy menyusuri ghat ke arah selatan. Dia melihat dua pemuda Eropa berdiri di puncak pilar. Mereka jadi tontonan. Beberapa saat mereka terjun ke Sungai Ganga. Anak-anak kecil hitam bersorak dan meminta agar mereka terjun lagi dari pilar. Sedangkan di pil
ar yang lain, seorang traveler Jepang, yang sedang memperdalam agama Hindu, duduk bersemadi. Dia bertelanjang dada. Kedua lengannya diletakkan di pahanya. Dari mulutnya menggema, "Ohmmmmm..." Lalu hening.
"Roy!" seorang anak kecil berteriak.
Roy melihat Kay sedang berenang. Bocah itu kini bergembira lagi. Kematian ibunya dalam sekejap sudah dilupakannya. Rupanya bocah-bocah di sini terlatih untuk bersikap realistis, karena hari-hari bergulir sudah sedemikian kerasnya.
Kay berenang ke pinggir. Lalu naik ke anak tangga. Roy memesan dua cangkir chia. Mendekati Kay. Menyodorkan secangkir.
"Thanks, Japan!" Kay rnenyarnbar teh hangat itu.
Roy cuma meringis saja dipanggil begitu. "Ibumu kapan dikeramasi, Kay""
"Nanti siang." Kay duduk di anak tangga.
Dia memeluk cangkir hangat dari tanah liat itu erat-erat, seperti berusaha mengusir hawa dingin air sungai. "Mau datang melihat"" tanyanya. Roy mengiyakan.
Wajah Kay berseri-seri. "Tadi Ina nyari kamu," katanya. "Mana dia"" Roy menyapu pandang. "Nungguin di restoran semalam."
Roy merogoh saku celana pendeknya. Selembar lima rupee disodorkan pada Kay. Dia berlari, seperti takut kehilangan sesuatu. Roy mendaki anak tangga. Dadanya turun-naik. Beberapa kali dia hampir bertabrakan dengan orang-orang. Pagi mulai berjubel. Suara-suara pun mengangkasa. Kehidupan kembali semarak, khas India, yang padat dan pengap.
Di restoran semalam, Ina duduk di bangku yang sama. Di depannya ada pemuda Eropa, yang berpakaian ala biksu Budha. Kepalanya gundul. Kaum muda Eropa memang suka aneh-aneh jika sedang melarikan diri dari kenyataan yang ada. Kemajuan teknologi memang sudah memorak-porandakan tatanan norma di sana, sehingga kaum mudanya sering jadi korban keadaan.
Ragu-ragu Roy mendekati. Pemuda Eropa itu menyadari kedatangannya. Ina spontan berbalik. Senyumnya langsung terkembang.
"Morning!" sapa Ina gembira.
Roy mengangguk. "Sorry , saya terlambat, Ina," katanya menyesal sambil mengangguk pada si pemuda.
Ina memperkenalkan mereka.
Oh, kamu yang namanya Roy!" Jansen berseru. "Ina sejak tadi cemas menunggumu!"
Wajah Ina tampak merah. Roy berdebar hatinya.
"Kami sedang membicarakanmu," Jansen blak-blakan saja. "Jika kamu tidak
datang, Roy, tadi Ina minta aku menemaninya untuk mencarimu ke hotel." Roy menatap Ina. Mencoba mencari kebenaran ucapan Jansen. Ina tersenyum untuk menutupi deburan hatinya.
"Ketemu Kay di ghat ya, Roy"" Ina tampak gugup. Roy mengangguk.
"Kasihan Kay, ya," Ina prihatin. "Bagaimana nasib Kay dan kedua adiknya nanti dengan seorang ayah yang tak bertanggung jawab" Pemabuk dan penjudi."
"Tuhan selalu mencoba umatnya yang lemah dan kekurangan," Jansen nimbrung. Tekanan suaranya religius sekali.
Roy sependapat tentang itu. Sudah sering dia menemukan tragedi hidup seperti yang dialami Kay di dalam perjalanan.
Jansen berdiri dan mohon pamit, meninggalkan mereka tanpa basa-basi. Dunia para traveler memang begitu. Tak jauh berbeda dengan generasi hippies . Jika melihat para traveler mancanegara di Thailand, India, dan Nepal, kita seperti melihat kegelisahan kaum muda dunia. Mereka berontak terhadap lingkungan.
Mereka jemu dengan suasana rumah, teknologi, dan politik. Mereka berusaha membebaskan diri dari kemapanan dengan mengikuti kegiatan kerohanian. Mereka menggelandang di negara-negara Asia, yang menurut mereka masih belum kena "polisi dunia". Mereka merindukan alam yang jauh dari sifat keduniawian.
Roy pun tak ubahnya seperti itu; benar-benar merasa resah dan kehilangan kepercayaan terhadap sesuatu yang sudah mapan. Dia bukannya sok idealis, karena bagaimanapun kalau tidak realistis sama saja dengan omong kosong atau mimpi-mimpi. Tapi dia pun tidak melulu realistis, karena tanpa idealisme, kesombongan akan membelenggunya nanti.
Di buminya sendiri Roy tak bisa berbuat apa-apa ketika nasib rakyat kecil semakin terpuruk, lahan produktif mereka dibuldoser dengan uang ganti beberapa ratus perak per meter, demi pemuasan nafsu serakah orang-orang kaya dari kota. Itu adalah sikap realistisnya.
Belum lagi kredit macet yang lagi nge-trend. Orang pinjam duit sekian miliar (nolnya sembilan), ka
lau perlu triliun (hitung sendiri nolnya!), asal demi pembangunan. Biarpun proyeknya tidak jadi, tidak usah takut dipenjara. Toh masyarakat masih doyan menabung dan bayar pajak, sehingga dana terkumpul lagi. Untuk hal ini pun Roy memilih bungkam. Realistis juga. Idealismenya, memang, cuma pada sebatas peduli saja. Tanpa tindakan apa-apa.
"Kenapa tiba-tiba melamun, Roy"" Ina menegurnya.
Roy kembali terlempar pada dunianya sendiri. Sedang apa aku di sini" batinnya. Ditatapnya gadis Jerman itu. Dia mulai terjerat oleh perasaan yang sangat dibencinya. Wanita dan cinta, dua hal yang selalu ditakutinya. Padahal di rumah ada dua wanita yang dicintainya, mamanya dan si manis Suci.
"Kamu ada acara hari ini, Roy"" Ina mengusik.
Roy menggeleng sambil menyelesaikan sarapannya.
"If you don't mind, maukah menemani aku, Roy""
"Ke mana"" Roy mencoba mencari "sesuatu" di kedalaman mata Ina yang biru. "Aku ingin menyusuri kampung-kampung di sepanjang sungai." "Oh, itu ide yang menarik." Berarti kamu mau, Roy"" "Why not""
Ina melonjak saking gembiranya. "Aku sudah cemas tadi. Aku pikir, aku tidak akan melihatmu lagi."
"Kalau aku tidak datang ke sini, betul kamu mau mencari aku ke hotel"" "Iya." Ina mengangguk.
"Tapi aku belum pernah menyebutkan nama hotel tempatku menginap."
"Kata Jansen, orang-orang semacam kamu paling-paling menginap di kawasan bazaar. Di guest house murah. Dan Jansen bersedia menemaniku ke sana."
Roy tertawa. "Luar biasa!" Dia betul-betul merasa surprise dengan segala keterusterangan Ina. Inilah kebiasaan gadis Eropa.
Matahari pagi merangkak terus. Udara mulai berdebu dan gerah. Permukaan
Sungai Ganga mulai beriak di pagi ini. Sampan-sampan hilir-mudik di atasnya. Turis-turis berkantong tebal yang diboyong travel biro, membidikkan kamera atau videonya, merekam kehidupan sepanjang sungai di pagi hari. Orang yang mandi, mencuci, main cricket, atau membakar mayat. Kadang kala suka terlihat mayat mengapung. Menurut kepercayaan mereka, ada beberapa golongan orang yang jika mati tidak bisa dibakar. Di antaranya bayi, orang yang mati digigit ular, sadhu-penjaga candi-dan orang berpenyakit kusta. Mayat mereka cukup dilemparkan ke sungai, atau yang sadis, jadi santapan anjing atau burung nazar!
Pemuda Roy kini sudah berani berjalan beriringan dengan Ina Mayer. Gelak tawanya terdengar lagi. Kadang dia bercerita yang lucu-lucu, sehingga Ina semakin lengket saja. Ada udara segar merasuki dada dan benaknya kini, setiap menyadari di sebelahnya ada gadis Jerman. Ternyata hidup itu indah jika dihiasi perempuan. Dan Roy sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Inilah dunia traveler ; mengagumi keindahan Tuhan dan menikmati "cinta jalanan".
"Aku tidak pernah melihat kamu berkelompok dengan kawan Eropa-mu di ghat."
"Aku nggak suka traveling berkelompok."
"Kenapa"" "Aku bukan hippies seperti mereka, Roy."
Ina tertawa. "Hari-hariku bergulir normal. Tidur lebih awal, bangun pagi, mandi, menulis surat pada keluarga, dan mementingkan sekolah.
Aku traveling jika sedang liburan saja. Takkan kusia-siakan hidup ini cuma untuk mengabdi pada kesenangan duniawi belaka.
"Tak pernah terpikirkan olehku hidup ala hippies . Tidur dan makan sembarangan. Jarang mandi lagi. Jauh dari bersih!" Tawa Ina meledak.
"Lha, apa bedanya denganku""
"Kamu sungguh berbeda dengan traveler yang ala hippies itu, Roy. Kamu bersih. Pasti sering mandi."
Roy tertawa ngakak. Bahunya berguncang. "Jadi cuma itu saja alasannya kenapa kamu tertarik padaku, Ina""
"Sejak dua hari yang lalu aku sudah melihatmu di ghat, Roy." "Kamu mematai-matai aku, Ina!" "Kalau diperhatikan, kayaknya kamu reporter, Roy!" "Kok bias""
"Ke mana-mana membawa kamera"
"Semua orang bawa kamera. Apa anehnya""
"Tapi aku melihat, kamu selalu bertanya dan mencatatnya di buku."
Roy tertawa lagi. "Aku lihat kamu akrab sekali dengan Kay." "Oh ya!"
"Karena itu aku memperalat dia untuk berkenalan denganmu, Roy."
Sialan si Kay!" Pemuda Roy memang lupa pada Mama di rumah dan seorang gadis yang menunggunya. Dia betul-betul merasa semakin dekat dengan Ina. Mereka terus mengobrak-abrik suasana pagi di kampung-kampung di
sepanjang sisi barat Sungai Ganga, yang berimpitan. Jalan-jalannya yang sempit dan berkelok-kelok, dipadati orang-orang yang hendak berangkat ke segala macam tujuan. Semua jenis kegiatan pun tumplek di sepanjang gang itu. Masyarakat India memang doyan berdagang. Rata-rata ruangan di lantai satu selalu mereka gunakan untuk berdagang.
Ina berhenti di sebuah rumah ibadat. Memperhatikan patung-patung para dewa. "Berhenti dulu ya, Roy ." Dia mengeluarkan sebuah buku dan pensil, lalu mencoret-coret.
Roy memperhatikan gerak-gerik Ina yang membuat sket patung para dewa itu. "Kamu seorang pelukis, Ina!" seru Roy kagum.
"Saya mahasiswi seni rupa di Berlin," katanya sambil memberikan bukunya yang lain pada Roy.
Roy membuka lembaran buku itu, yang penuh coretan pensil Ina. Ada sket Rama dan Shinta, Dewa Shiva, Kresna, Ganesha, dan Vhisnu. Juga bangunan-bangunan tua bersejarah ala Moghul dan Gothic, yang keberadaannya dilestarikan. Si Bandel cukup terpesona juga.
Ina menutup bukunya. Memasukkannya ke dalam tas. Dengan gembira dia menarik lengan Roy, seperti tak sadar bahwa orang-orang memperhatikan mereka.
Mereka menjelajahi lagi pagi di Sungai Ganga. Kadang Ina menemukan obyek patung untuk dilukisnya lagi. Lalu mereka memasuki gang-gang yang sepi. Di reruntuhan sebuah rumah bekas kebakaran, mereka masuk ke dalamnya. Mereka meniti tangga dengan hati-hati, naik ke lantai tiga. Dari jendelanya mereka bisa melihat pagi di Ganga bergerak cepat.
Roy menatap Ina. Dia cukup kaget begitu menyadari gadis Jerman itu membalasnya. Perbedaannya dengan gadis Asia memang tampak. Gadis Eropa selalu lebih terbuka kalau menyangkut soal perasaan. Bagi mereka "cinta" akan terasa hambar jika tanpa sentuhan-sentuhan badani. Jadinya pelaksanaan "cinta" bagi mereka adalah "seks".
Ketika Roy memberanikan diri untuk memegang lengan Ina, ada badai menggelora di dadanya. Ada semacam pemberontakan di batinnya. Tapi selanjutnya angin mengembuskan nyanyian hati mereka, yang sedang sunyi dalam sebuah tembang perjalanan.
Roy melihat ke Ganga. Cahaya matahari pagi di Ganga berkilauan memantul dari permukaan air. Berbinar bagai perak. Di sebelahnya Ina kelihatan gelisah tak menentu.
Kamu pasti menyamaratakan aku dengan perempuan-perempuan yang sering kamu lihat di film, Roy." Ina meremas-remas saputangannya.
Roy mendekatinya. "Kita ke sini tidak untuk membicarakan hal seperti itu," ujarnya sambil meraba pipi Ina, dagunya, menyibakkan rambut bagian depannya yang jatuh ke kening.
Mereka tenggelam lagi dalam nyanyian hati. Angin berdesir membelai mereka.
"Setelah kramasi ibu Kay nanti siang, kita menyeberang ya, Roy." Ina mengajak Roy untuk menyeberangi Ganga ke sisi sebelah timurnya yang landai berpasir putih. "Kita nyewa perahu nanti."
"That's wonderful!"
"Nanti aku yang bayar sewa perahunya." Gadis Berlin ini tersenyum. Roy menuju jendela reruntuhan lagi. Dia melihat sisi timur Ganga yang berpasir itu. Impiannya akan berlabuh di sana.
V. GANGA 3 Jika maut datang menjemputku, tolong beri aku doa. Agar tak dikawinkan api-Nya. Taburkan melati biar wangi. Dan ketika upacara pemakamanku nanti; jangan ada tembakan salvo.
Aku takut gendang telinga orang pecah. Juga tak usah bendera setengah tiang, karena namaku tak tercatat dalam sejarah. Biarkan tanah merah, sebilah bambu, dan kendi berisi air saja.
-Heri H Harris *** Matahari siang sangat terik membakar. Empaat orang dari golongan paria berjalan mengusung jenazah, menuju bibir Sungai Ganga. Usungan jenazah itu sangat sederhana. Tubuh yang berbaring abadi itu cuma ditutup kain ala kadarnya. Upacara pembakaran mayat bagi gologan paria tidaklah meriah di negeri asalnya. Dan bukanlah sesuatu yang aneh. Mereka melakukan itu seperti sedang membakar sampah saja.
Di belakang usungan jenazah, Kay menuntun kedua adiknya. Setelah itu mengekor beberapa kerabat dekat, dan paling belakang Roy serta Ina Mayer. Mereka diliputi diam yang bisu di siang itu. Padahal di sisi suatu siang di Ganga lainnya terasa sangat meriah seperti biasanya. Aroma api kematian bagi Ganga sudah bukan hal yang aneh lagi.
Iring-iringan kecil yang penuh nesta
pa itu berhenti di pinggiran sungai yang agak luas. Tumpukan kayu bakar sudah tersusun rapi. Tak ada upacara meriah bagi kasta terendah ini. Semuanya berlangsung teramat sederhana. Pembakaran mayat memang sengaja di Ganga, karena mereka menganggap jika abunya ditabur di sungai suci itu, berarti sudah kembali ke haribaan dewa mereka, Shiva.
"Ayahmu tidak datang, Kay"" bisik Roy simpati.
Kay menggeleng tidak peduli.
"Sebaiknya kamu tidak melihat upacara ini," saran Ina.
"Aku harus melihatnya."
"Tapi tidak baik bagi kedua adikmu."
"Mereka harus terbiasa."
Ina cuma bisa membelai kedua gadis cilik, yang sedang mencoba memaharni apa yang terjadi pada tubuh ibunya, yang diletakkan di atas tumpukan kayu bakar .
Bermula dari sepercik api, akhirnya berkobar dan melahap seluruh yang ada di atasnya. Api memang sumber segala bencana. Bahkan "api" di dada manusia bisa lebih dahsyat keganasannya. Bukan cuma gedung atau kota binasa, tapi malah nasib sebuah bangsa akan porak-poranda. Itulah kenapa sebabnya sang iblis yang api, menolak untuk menghormati Adam yang tanah. Bagi Iblis, sang apilah yang jauh lebih mulia ketimbang sang tanah, Adam. Sehingga Iblis menentang Tuhan, sang pencipta.
Kay tidak menangis lagi ketika tubuh ibunya perlahan hangus digerogoti api. Jilatannya bagai lidah panas sang iblis. Bocah kecil itu cuma memegangi kedua adiknya yang menangis. Dia seperti tidak ingin kehilangan orang-orang yang disayanginya lagi.
Bunyi gemeretak dan letikan api dari kayu bakar yang beradu, mengingatkan pada semua yang hadir bahwa pada saatnya nanti maut akan menjemput jua. Maut yang tidak usah dicari, karena dia yang akan mencari mereka.
Pemuda Roy merasakan seluruh sendi-sendi tulangnya bergetar. Dia diam, hening. Dia sedang merasakan bagaimana sedihnya Kay ditinggal selamanya oleh ibunya. Dia pun pernah mengalami hal itu ketika papanya ditemukan tewas di sebuah gunung di pedalaman Irian. Kenangan sesaat yang menggila!
Ah, tiba-tiba Roy jadi ingat mamanya yang sering sakit-sakitan di rumah. Dia berusaha untuk mengenyahkan pikiran buruk tentang mamanya jauh-jauh. Hal itu tidak akan terjadi sekarang pada mamanya. Tidak. Dia percaya akan hal ini.
Setelah abu ibu Kay ditaburkan di sungai, Roy menggandeng Ina. Mereka naik-turun anak tangga ghat di sisi barat Sungai Ganga. Mereka mencari-cari seorang pemilik sampan. Ina akan menyewanya.
Dengan bahasa Inggris yang lancar, pemilik sampan berdebat dengan Ina soal ongkos antar-jemput ke seberang ke sisi timur Sungai Ganga yang landai berpasir. Roy mendengarkan saja sambil tersenyum-senyum. Di India segalanya bisa ditawar. Bahkan ongkos pesawat terbang pun begitu. Harga-harga di sini serba tak pasti dan kita harus punya nyali untuk menawar sesuatu. Kalau perlu dengan suara yang tinggi ibarat orang marah.
Roy menuntun Ina untuk naik ke sampan. Tubuh mereka bergoyang. Roy menangkap Ina yang hampir jatuh. Mereka tertawa lalu duduk di papan di bagian depan. Pemilik perahu tersenyum di bagian belakang sambil mendayung pelan-pelan- ke arah selatan; ke muara. Dua manusia berlainan sejarah dan budaya itu merasa seperti sedang menuju ke sebuah tujuan.
Roy duduk mendekap Ina. Dia menyediakan bahunya untuk kepala Ina. Laju, lajulah sampan ke seberang. Raihlah mimpi-mimpi.....
"Nanti malam kita nonton konser lagi ya, Roy ." Ina menatapnya manja.
Roy mengangguk. Lengannya menyelam ke dalam sungai. Dibiarkan seperti sirip ikan hiu mengikuti laju sampan.
Suatu siang di Ganga. Matahari sudah menggelincir. Tak lagi terik. Angin berkesiur membelai isi dunia. Ada kesejukan yang bergejolak terasa di hati dua umat manusia.
Pemuda Roy sedang melamun di sebuah restoran di kawasan Sungai Ganga. Secangkir ban lasi, minuman khas setempat sejenis yoghurt tersisa sedikit. Benaknya melayang-layang ke wajah seorang gadis Jerman, Ina Mayer. Lalu ke seorang gadis yang melepas kepergiannya beberapa bulan yang lalu, Suci.
Aku ribuan mil dari rumah sekarang. Sendirian dan kesepian. Menggeliat-geliat butuh keteduhan dan belaian. Aku tak pernah mengumbar janji pada wanita siapa pun dan mana pun. Aku tak perlu merasa berdosa jika men
emukan "cinta jalanan", karena aku hidup dan besar di jalan. Begitu pembenaran batin pemuda Roy. Dia berusaha untuk merasa benar sendiri, tanpa mau mengindahkan perasaan seorang perempuan.
Tiba-tiba ada pemuda Jepang masuk tergesa-gesa. Dia menuju kasir dan bicara ribut sekali dalam bahasa Inggris terpatah-patah. Roy mengernyitkan keningnya. Dia pernah bertemu dengan orang ini di atas perahu ketika menyusuri sungai-sungai di Banglades.
Saat itu di atas perahu, si Jepang itu kehilangan kameranya. Hal yang paling menakjubkan ketika terapung-apung di sungai Banglades adalah di saat senja. Panoramanya sangat menggoda. Itulah kenapa Osahi mengeluarkan kameranya untuk mengabadikan keagungan ciptaan Tuhan. Padahal sejak awal mereka sudah sepakat untuk tidak mengeluarkan benda-benda mewah dari dalam ransel. Jangankan kamera. Ketika Roy sedang menulis buku harian pun, para penumpang mengerubuti Roy. Meminta kesempatan untuk memegangi dan menimang-nimang bolpoin, yang Roy beli di kaki lima di Bangkok.
"Hey, Osahi!" teriak Roy tidak menyangka akan bertemu lagi setelah mereka berpisah di Calcutta sebulan yang lalu.
Si Jepang itu menoleh. Dia langsung berseru gembira. "Is that you, Roy"!" pekiknya menghampiri.
"How are you, friend"" Roy merangkulnya.
Osahi beberapa saat saja gembira, karena tidak menyangka bertemu lagi dengan Roy. Tapi sekejap kemudian wajahnya murung lagi. "Kameraku, Roy," suaranya kesal. "Kameramu hilang lagi"" Roy melongo.
"Semalam aku makan di sini. Paling akhir. Dan tasku ketinggalan. Busyet! Kebanyakan minum bir."
"Sudah lapor pada pemilik restoran""
"Menurut dia, kalau betul tasku ketinggalan di sini, pasti nggak akan hilang. Ada seorang pelayan, yang menurutnya paling akhir pulang." "Kamu yakin tasmu ketinggalan di sini"" "Yes, Roy!"
Roy berdiri. Menuju kasir. Menanyakan perihal tas Osahi yang tertinggal. Jawaban yang sama dia dapatkan. Roy cuma bisa memberi serhangat pada Osahi bahwa pelayan itu akan datang.
Permisi, Tuan-tuan." Si pemilik restoran mampir ke meja mereka. Seorang bocah tersenyum menjinjing tas punggung berwarna biru.
Osahi langsung terlonjak. "Thanks, God!" Diambilnya tas biru itu. Diperiksanya isinya. Semuanya masih utuh. Termasuk kameranya. "Kamu selalu membawa keberuntungan buatku, Roy!" Dia memegangi telapak tangan Roy.
"Bukan aku, tapi anak ini!" Roy pun ikut gembira sambil menyalami pelayan cilik yang jujur itu. Roy terharu juga, padahal penghasilan pelayan ini tidak seberapa.
Osahi berteriak memesan bir lagi. Dia menyuruh Roy untuk memilih minuman kesukaannya. Ini semacam toast. Mereka bersulang untuk pertemuan tak terduga dan nasib kamera yang selalu mujur.
"Betul kan, Tuan!" Pemilik restoran tersenyum lebar. "Pelayan restoran di sini kejujurannya sudah terkenal ke mana-mana. Saya memang menekankan pada mereka bahwa kejujuran adalah modal utama kalau ingin bekerja di sini."
Pelayan kecil itu membawa baki. Ada sebotol bir dan segelas minuman khas setempat. Osahi mencomot bir itu dan langsung menuangkannya ke gelas. Ketika dia melihat minuman yang dipesan Roy, keningnya berkerut.
"Ban Jasi, Roy"" tanyanya kuatir.
"Yap!" Roy langsung meminumnya. Dia memang selalu ingin mencoba segala jenis minuman khas di setiap negara yang disinggahinya. Di Laos dan Thailand, minuman tuaknya sangatlah enak. Tak kalah dengan sake Jepang, saguer Manado, atau brem Bali.
"Beberapa kawan saya digotong ke rumah sakit gara-gara minum lasi. Hati-hati,
Roy." Pemilik restoran manggut-manggut. Dia menyerobot percakapan mereka. "Tuan harus menyebarkannya pada kawan-kawan di negara Tuan bahwa mengunjungi restoran saya ini adalah suatu kehormatan yang besar. Kenapa" Karena restoran saya ini sudah terkenal ke mana-mana, selain pelayan-pelayannya yang jujur, harga dan kebersihannya pun terjamin."
Osahi mengangguk pasti. Roy mulai merasa memasuki dunia yang lain.
Tentu kamera ini mahal, ya!" Pemilik restoran memegangi kamera. Mengamatamati.
Osahi tersenyum. "Misalnya, kalau pelayan saya tidak mengembalikan tas Tuan, tentu Tuan akan kehilangan banyak. Berapa ribu dolar, Tuan" Tapi pelayan saya termasuk orang yang jujur.
Buktinya tas Tuan dikembalikannya. Isinya sudah Tuan periksa, kan" Semuanya masih utuh" Tak ada yang hilang""
Osahi mengangguk-angguk saja. Tapi ekor matanya menyuruh Roy untuk menyelamatkannya dari bualan pemilik restoran.
"Di zaman sekarang ini, Tuan, kejujuran sudah sulit dicari. Kalau saja ini terjadi di restoran lain, pasti Tuan tidak akan mendapatkan kamera Tuan. Bahkan, Tuan tahu, di negara saya ini kejujuran itu mahal harganya. Tidak bisa dibeli dengan uang."
Roy menginjak kaki Osahi. Roy paham maksud si pemilik restoran. Ini makna yang tersirat. Bahasa internasional Osahi memang agak payah. Roy memberi isyarat untuk memberi "sekadar hadiah" pada pelayan kecil itu.
Osahi agak kikuk merogoh dompetnya. Dicabutnya selembar uang kertas. Pemilik restoran itu berseri-seri wajahnya. Dipanggilnya pelayan cilik itu.
"Tuan ikhlas memberinya""
Osahi mengangguk. Pelayan cilik itu jelas gembira mendapat hadiah, yang lebih dari upah pelayan dalam seminggu di kota Air Mata Dewa ini.
"Sebetulnya Tuan tidak usah memberinya hadiah. Tapi, mungkin hadiah dari Tuan ini bisa menambah semangat kerjanya."
Roy sendiri bosan melihat tingkah pemilik restoran ini. Terlalu banyak omong. Menyebalkan. Tidak ubahnya seperti bos-bos pemilik pabrik, yang membiarkan para buruhnya miskin, sementara perutnya dari hari ke hari terus membuncit.
Roy bangkit, menarik Osahi untuk keluar dari restoran. Mereka berjalan menuju sungai. Duduk-duduk di koridor yang memanjang di sisi barat sungai. Memandang ke sungai, yang selalu saja meriah oleh orang mencuci, mandi, dan naik sampan.
"Aku ada janji nonton konser, Osahi." Roy berdiri limbung. Dia ingat bahwa malam ini Ina Mayer menunggunya di gedung konser musik Ashram.
Kamu baik-baik saja, Roy"" Osahi memegang bahunya.
"See you around!"
Osahi rnenatapnya dengan kuatir.
Matahari sudah terhalang gedung-gedung. Kesibukan hari ini mulai redup. Orang-orang berkemas. Suasana Sungai Ganga mulai tenang. Para traveler selalu merindukan suasana seperti ini. Hening dan damai di sepanjang sungai.
Roy terkantuk-kantuk di gedung konser. Ada folk dances malam ini. Seorang wanita India berpakaian ala gipsi, suku yang sering berpindah-pindah di negara bagian Rajasthan, sudah melenggak-lenggok mengikuti irama tabla, sitar, dan flute. Sebetulnya gerakan si penari begitu sensual, tapi Roy tidak bisa menikmatinya. Kepalanya terasa, membesar dan seluruh persendiannya hangat dan lemas.
Ina Mayer, yang duduk di sebelahnya, merasa aneh. Setiap dia mengajak Roy bercakap-cakap, tak pernah ada keramahan didapatinya. Marco dan Yoo Chi Wan pun merasakan begitu. Ina tampak kesal. Dia mengunci mulutnya dan rnenonton dengan gelisah.
"Aku ke guest house," bisiknya pada Marco. "Kurang enak badan, nih." Dia hati-hati melewati barisan bangku.
Ina meminta penjelasan pada Marco. Dia tidak rnengerti, kenapa Roy berubah secepat itu. Padahal tadi sore mereka melewati waktu dalam keindahan, di sisi timur Ganga. Tapi, sekarang kenapa" batinnya bertanya-tanya.
Roy berusaha terus untuk tetap berjalan. Orang-orang yang bagai air mengalir di gang seperti menertawakannya. Dia mengutuki kebodohannya! Minuman tadi pasti sangat keras efeknya bagi saraf dan darah! Oh! Roy merasa bumi berputar. Tubuhnya terasa ringan dan mengangkasa. Lalu kegelapan turun memeluknya....
VI. KAY mimpi-mimpiku terbanting di sini
maut berkisaran di wajah-wajah kalah
kemiskinan o kegelapan! anggur, bunga-bunga, perempuan, wahai
menjelajah ke ruang mabuk ini
mengalirlah bersamaku di sungai-sungai hitam
berdekapan kita dan mabuklah!
-Toto ST Radik *** Roy merasa ada yang menyentuh pundaknya. Terasa hangat dan halus. Dia membalikkan tubuh. Matanya terpicing, karena pintu kamar dibuka lebar-lebar. Matahari memang sudah beranjak tinggi. Cahaya menyilaukan mata orang-orang pemalas. Padahal matahari adalah sumber kehidupan.
"Oh, kamu." Roy berusaha untuk bangkit. Ina Mayer tersenyum membawa keindahan suasana pagi."Berarti aku masih hidup, Ina." Roy meraba tempat tidurnya. Memegangi tembok kamar. "Ya, aku masih hidup." Kedua kakinya dipijakkan ke lantai kamar.
"Kamu akan terus hidup jika ti
dak menyentuh ban lasi lagi, Roy." Si avontur bandel tersenyum kecut.
"Aku menunggumu tadi di Ganga. Juga di restoran. Kupikir kamu akan datang menemuiku."
Roy duduk di bibir pembaringan.
Lalu Marco dan You Chi wan muncul. Mereka maran-marah dengan kelakuan Roy semalam, karena tidak memedulikan kehadiran mereka.
"Aku kan kawan sekamarmu, Roy!" Marco protes. "Kalau ada apa-apa, aku juga kena getahnya!"
"Seharusnya semalam kamu bilang. Kami kan bisa membantumu. Untung tidak mati di jalan. Untung ada Kay," Chi W an juga mengeluh. Saya tidak ingin merepotkan kalian," bela Roy.
"Kita ini senasib, Roy. Jauh dari rumah dan sanak famili. Wajar kan kalau saling menolong," cecar Marco. "Siapa tahu itu nanti terjadi padaku." "Kalau begitu, saya minta maaf," Roy menyesal.
Ina berdiri. "Mandi, sana!" Dia keluar kamar. "Aku tunggu kamu di lobi, Roy!"


Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marco dan Chi Wan keluar lagi. Mereka membaur dengan kesibukan hari-hari di Varanasi. Mereka sedang menikmati hari terakhir di kota ini, karena akan melanjutkan perjalanan ke New Delhi.
Roy berusaha mengingat kejadian semalam. Dia mendapati dirinya berada di ruang dokter. Tekanan darahnya diperiksa. Bola matanya disorot senter kecil. Dokter baik hati itu mengajukan beberapa pertanyaan, yang dijawab Roy dengan kepala pening. Walaupun begitu, Roy berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.
Si dokter menyuruh Roy meminum air yang sudah diberi larutan. Beberapa gelas. Perutnya saat itu juga langsung berontak. Segala isi yang ada di perut Roy berhamburan. Rupanya dokter sedang berusaha menguras habis ban lasi yang tersisa di perut Roy.
Roy merasa ada di alam nyata sekarang. Terhuyung-huyung dia duduk di bangku panjang. Menundukkan kepalanya sampai menyentuh lutut. Dalam hati dia bersyukur masih bisa menghitup udara bumi. Oh Tuhan, terima kasih, bisiknya. Begitulah manusia, selalu ingat akan Tuhan jika sedang terimpit kesulitan.
"Siapa yang membawa saya kemari, Dokter"" Roy memeriksa ruang praktek dokter yang sepi. Kesadaran masyarakat untuk memeriksakan penyakitnya ke dokter sangatlah kurang di sini, karena ongkosnya relatif mahal buat mereka. Tak jauh beda dengan di Calcutta.
"Seorang bocah." Dokter menulisskan resep.
"Hi, Japan!' seru seseorang di pintu.
Roy meringis mendengar suara itu. Dia hafal betul siapa yang selalu kurang ajar memanggilnya begitu. Lagi-lagi Kay, bocah hitam dekil, yang baru saja ditinggal mati ibunya. Bocah dekil, yang harus melindungi kedua adik perempuannya. Bocah periang, yang sering bertengkar dengan ayahnya yang pemabuk dan penjudi.
Kamu pingsan persis di depan rumahku." Kay duduk di sebelah Roy. "Ban lasi itu berbahaya buat orang asing. Minuman itu cuma cocok buat orang India." Tawanya terdengar.
Roy merangkul bahu Kay. "Thanks a lot, Kay!" Dia merasa berutang budi. Ketika dia hendak membayar ongkos, dompet di saku belakangnya tak ada. Dia meminta penjelasan pada Kay.
Kay mengacungkan sebuah dompet. "Nih! Sengaja aku ambil. Soalnya banyak orang yang suka mengambil kesempatan." Dia sok dewasa menerangkan.
Roy memeriksa isinya. Ah, selalu lagi-lagi harus berterima kasih pada Kay. Padahal bisa saja bocah ini mengambil uang dan membuang dompethya di tempat sampah. Setelah itu dia melihat ada empat orang paria yang mencegatnya di pintu.
"Siapa mereka, Kay"" Roy memperhatikan. Dia tahu kalau mereka paria, yang menjalani pekerjaan tidak suci. Setidak-tidaknya begitulah anggapan kasta-kasta lainnya. Misalnya pemulung, pencuci pakaian, tukang sepatu, jagal, serta pembakar inayat. Disinyalir ada 130 juta orang kaum ini tersebar di sudut-sudut India.
"Mereka yang menggotongmu kemari, Roy!"
Kini Roy paham apa maksud mereka mencegat. Dia mengeluarkan selembar seratus rupee. "Suruh dibagi rata, Kay!" katanya.
Kay berbicara keras dalam bahasa setempat. "Cello!" perintahnya. Keempat "dewa penolong" itu pun pergi.
Roy tersenyum saja melihat tingkah Kay. Di sebuah restoran langganan mereka, di kawasan Sungai Ganga.
"Saya minta maaf atas kejadian semalam, Ina."
"Sudah berkali-kali aku mendengar korban ban lasi, Roy."
"Kukira, hidupku akan berakhir semalam."
"Itulah kenapa semalam k
amu aneh sekali, Roy. Sangat asing. Aku sungguh tidak mengenalimu."
"Aku menyesal sekali, Ina." Si Bandel itu termenung. "Thanks atas perhatianmu, Ina." Ina mengangguk dan tersenyum.
"Kenapa kamu lakukan itu untukku""
Karena saya kuatir padamu, Roy."
"But, why""
"Karena saya suka sama kamu."
Roy tentu akan kaget kalau suara hati ini terdengar dari mulut gadis Asia. Tapi ini dari mulut menggairahkan gadis Eropa. Itu sudah hal biasa. Si Bandel pun mengembuskan napas. Terasa berat. Hatinya jadi tidak keruan. Berbuncah bagai buih ombak. Menggelora bagai kobaran api.
Lalu mereka mengisi waktu dengan percakapan tentang "apa", "siapa", dan "bagaimana". Ina mahasiswi fine arts. Di sela-sela waktu luangnya dia bekerja sebagai pelayan restoran. Di Eropa pekerjaan ini tidaklah hina. Terbukti Ina bisa menabung, menyewa apartemen di Berlin, dan di akhir tahun berlibur ke negara-negara Asia. Hal seperti ini jelas belum membudaya di Indonesia. Jadi pelayan restoran untuk seorang mahasiswa" Oh, itu bisa jadi tertawaan sekampus.
"Jadi kamu pengarang, Roy" Like Hemingway"" Ina terpesona.
"Dalam soal materi tidak." Roy tertawa disamakan dengan pengarang besar itu.
"Kenapa" Kan rakyat Indonesia berjumlah 190 juta jiwa. Sepuluh persen saja dari mereka membeli bukumu, jadi jutawan deh, Roy!"
From Sumatra With Love 1 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Sepasang Walet Merah 2
^