Epilog 2
Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong Bagian 2
"Logikanya memang begitu. Tapi harga buku masih mahal di negaraku. Dan kenyataannya, minat beli masyarakat sangat payah.
"Rahasianya cuma terletak bahwa selain kehidupan rakyat Indonesia belum makmur, budaya gemar membaca pun belum berkembang. Belum menjadi kebutuhan hidup. Akhirnya ini berhubungan dengan intelektual masyarakat.
"Kalau bahasa pejabat, masih banyak yang mesti diurusi ketimbang membeli buku bacaan."
Ya, kenyataannya rakyat Indonesia belum makmur hidupnya. Masih ada 120 juta rakyat di bawah garis kemiskinan, sementara yang (sangat) kaya 70 juta jiwa. Lantas yang sisanya, mungkin, hidup pas-pasan.
Pemuda Roy suka muak jika mengingat kebuasan mereka yang kaya pada uang. Sementara sebagian besar lainnya kepayahan mengais rupiah. Dia memang cuma bias terbelalak dalam ketidakberdayaan. Daripada stress mikirin nasib bangsa, dia memilih traveling saja. Percuma. Salah-salah malah disangka subversif lagi. Kalau sudah begitu, hak-hak hidup sebagai warga negara jadi percuma.
Tapi kamu sungguh menikmati hidup ya, Roy." "traveling sambil menulis artikel dan membuat novel. Itulah hidup saya. Itulah kompensasi terbaik."
"Wow, great! Kamu berpindah dari satu tempat ke tempat lain" Mengongkosi perjalanan dari tulisan-tulisanmu" Nice job, Roy!"
"Nikmat hidup begitu, Roy. Tak ada gunanya mengurusi politik." "traveling is my life," Roy bergumam. Mereka menikmati sarapan yang tertunda. "Aku takut, Ina," tiba-tiba Roy ragu.
"Takut, kenapa""
"Aku takut sama kamu," "What"" Ina temganga.
"Apakah kamu sadar, Ina, bahwa kamu adalah gadis yang menarik"" "So, what's the problem, Roy"" Ina tersenyum. "Justru itu, saya takut terfarik sama kamu."
"Ah, jangan bicara bullshit, Roy!"
"Ini tidak bullshit. Aku bicara tentang perasaanku padamu." Roy memegang jemari Ina. Matanya yang masih sayu mencoba menatap tajam.
Pelayan restoran mencuri dengar percakapan mereka. Ada dua gadis Jepang di meja sebelah melirik. Di meja yang lain lelaki bule asyik bermesraan dengan gadis Jepang lainnya.
"Aku sedang tidak siap untuk bermain-main dengan perasaan."
"Maksudmu, Roy""
"Minggu depan kamu pulang ke Berlin. Meninggalkan aku di sini. Aku akan kesepian lagi seperti hari-hari sebelumnya.
"Ini terlalu singkat. Buatku lebih baik tidak mengalami daripada mengalami tapi sesaat."
Kalau begitu, ikut denganku ke Berlin!" Roy tersenyum kecut.
"Di Berlin banyak hal yang bisa kamu tulis untuk mass media Indonesia. Asyik,
kan, Roy!" Roy menggerak-gerakkan sendok di gelas. Memutar-mutarnya, sehingga air di gelas membentuk seperti pusaran. Tawaran Ina tadi, walaupun main-main, akhirnya merasuk juga ke segala pembuluh darahnya. Eropa! seru batinnya. Naluri petualangannya tiba-tiba meletup. Aku ingin sekali melihat sebuah peradaban modern bergulir!
"Aku tidur di mana nanti"" Roy iseng bertanya. "Ya, di apa
rtemenku!" Ina gembira. "Ada sofa, kan."
Ina tersenyum lucu. "Kamu tidur denganku!"
Tiba-tiba Roy tertawa keras. Lagi-lagi dia menatap Ina. Tidak pernah terpikir olehnya akan terlibat asmara dengan gadis Eropa. Merayu atau mencoba menarik perhatian mereka saja tidak pernah. Berkali-kali sudah kesempatan itu di hadapannya. Jika dia sedang nongkrong di kafe di Kuala Lumpur, Bangkok, Chiang Mai, atau Katmandhu, di mana para traveler mancanegara melepas lelah sambil saling bertukar informasi, tak ada keinginan untuk iseng pada gadis bule. Dia cuma sampai batas berbincang-bincang saja.
Roy ingat pesan mamanya sebelum berangkat, "Jangan pacaran sama wanita asing. Dari negeri mana pun. Di negeri sendiri saja belum habis dan tidak kalah cantik." Tak beda jauh dengan si manis Suci di suratnya yang dibacanya ketika dia di Entikong, perbatasan Pontianak dan Kucing. "Ingat, Roy, jangan lupa salat, rambut nggak boleh gondrong, dan dilarang keras kencan sama bule!"
Tapi, Ina" Dia gadis yang penuh perhatian. Dia peduli padaku. Terbukti dia menengokku di guest house. Batinnya membenarkan. Pemuda bandel ini tergetar hatinya. Antara seks dan rasa kesepian selama perjalanan jadi campur baur. Ah, aku sudah mendobrak kepercayaan yang diberikan Mama dan Suci. Ada rasa penyesalan menyusup di hatinya.
"Aku besok pagi mau terus ke Agra," kata Ina memecah kesunyian.
"If you don't mind, aku ikut bersamamu."
Wajah Ina berseri-seri. Tiba-tiba Kay, bocah hitam dekil itu, nongol. Dia tanpa malu-malu minta breakfast. Bahkan minta jatah untuk kedua adik perempuannya di rumah. Roy tanpa sungkan-sungkan membelikannya. Si Bandel jelas merasa berutang budi pada bocah kecil ini. Bahkan utang nyawa. Ada pepatah utang uang bisa dibayar, tapi utang budi takkan terbayar.
"Aku mau terus ke Agra besok pagi, Kay," Roy mengabarkan.
Kay mengangguk. Ada perasaan sedih pada sorot matanya. "Bersama Ina"" Dia menatap gadis Jerman itu. Ina tersenyum.
Roy menarik Kay ke luar restoran. Mencari sudut yang sepi. "Terimalah, Kay," Si Bandel memasukkan beberapa lembar rupee di saku celana Kay. "Ini untuk makan kamu bersama kedua adikmu."
Kay menatapnya, Dia tidak mampu berkata apa-apa.
"Hati-hati, Kay, jangan sampai ayahmu tahu bahwa kamu punya uang. Nanti dipakai buat mabuk dan main judi." Kay mengangguk.
"Pulang sana." Roy mengucek-ucek rambutnya. "Adikmu nanti kelaparan." Kay berjalan dengan lesu. Dia berhenti. "Aku ke stasiun besok pagi, Roy," katanya.
Roy mengangguk. Dia masih memandangi Kay. Bocah berumur empat belas tahun itu cuma menikmati bangku sekolah sampai tingkat enam saja (setingkat dengan SD). Sekolah yang sesungguhnya bagi bocah itu memang jalanan. Dia belajar ekonomi ketika dia memburu para turis untuk membeli karcis konser, menawarkan kamar-kamar penginapan yang murah, atau membantu menawar harga sewa perahu per jam. Dari kepandaiannya berbahasa Inggris, Kay bisa mengumpulkan komisi rupee demi rupee, membantu kebutuhan biaya rumah.
Kini Kay jadi sandaran kedua adik perempuannya, karena ayah mereka cuma berkubang alkohol dan tenggelam di mimpi-mimpi meja judi.
Kay pun menghilang di belokan gang.
Roy uring-uringan karena sleeping bag-nya yang dijemur raib. Rombongan Israel itu sudah check out, sejak siang tadi. Pasti mereka pelakunya, maki Roy. Marco Cuma angkat bahu. Si Italia itu sedang berkemas. Dia hendak terus ke New Delhi naik kereta malam ini, dan terus terbang, pulang ke negerinya.
Yoo Chi Wan dating. Dia pun sudah siap-siap check out. Si Korea Ini juga mau ke New Delhi. Dari sana dia akan mengunjungi Amristar, Punjab; melihat istana kaum
Sikh. "Kapan ke New Delhi, Roy"" Tanya Chi Wan. "Entahlah," Roy bingung. "Aku kepingin ke Eropa."
Marco berseru, "Kecantol gadis Jerman kamu, Roy!" "Pacarmu di Indonesia bagaimana"" sindir Chi Wan.
Roy meringis. "Aku yakin dia juga tak sesetia yang kubayangkan. Siapa tahu sekarang dia sedang ada di pelukan lelaki lain"" Keraguan tentang Suci, gadis yang ditinggalkannya itu, menyentak di dadanya.
Suara-suara ribut di lobi mengagetkan mereka. Suara jeritan anak-anak. Mereka melongok dari balkon, melihat ke lobi. Ada dua
gadis keci1 meronta-ronta di cengkeraman seorang pelayan. Roy terkejut. Itu adik Kay! pekik Roy sambil buru-buru turun.
"Hey, hey!" teriaknya pada pelayan. "Mereka tamu saya. Lepaskan," katanya sambil tersenyum pada kedua adik Kay.
Kedua gadis cilik itu tampak gembira sejenak. Lalu gugup lagi. Dia menjerit ketakutan. Berkali-kali mereka meneriakkan nama kakaknya.
"Mana Kay"" Roy dengan sulit berusaha berkomunikasi dengan kedua anak itu.
Gadis-gadis cilik, yang matanya bengkak kebanyakan menangis, menarik-narik Roy agar ikut. Si Bandel itu merasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Kay. Dia menyuruh pelayan guest house untuk menanyakan hal itu.
"Ayah Kay," kata si pelayan.
Kenapa ayah Kay"" Roy cemas.
"Kay... " Si pelayan seperti tidak percaya begitu mendengarnya dari mulut kedua gadis cilik ini. "Sebaiknya kita cepat-cepat ke sana!" katanya bergegas.
Roy pun menyusulnya. Kedua gadis kecil itu masih saja menjerit-jerit mengikuti mereka. Kecemasan dan ketakutan sudah campur baur tergambar di wajah mereka. Lebih cenderung ke putus asa tanpa gairah hidup. Atau katakanlah hampa, karena sudah terbiasa mengalami penderitaan.
Roy menyingkap kerumunan orang-orang di pintu rumah Kay. Jerit tangis bocah kecil terdengar menyayat hatinya. Dada Roy berdebar kencang. Badai membuat kalang kabut perasaannya.
Roy melihat Kay sedang mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Kedua lengan Kay berlumuran darah. Ada lingkaran penuh darah merah yang kental di dada kiri lelaki pemabuk dan penjudi itu. Di lantai rumah tergeletak sebilah pisau dapur yang berlumuran darah. Kata orang-orang, Kay dengan penuh kemarahan menikamkan pisau dapur itu ke tubuh ayahnya. Tamat sudah riwayat ayah pemabuk dan penjudi itu. Anaknya sendiri yang mengalgojonya.
"Lelaki pemabuk itu baru pulang dari meja judi. Dia hendak merampas uang Kay untuk berjudi lagi. Karena mabuk, dia tidak menyangka kalau anaknya, Kay, sudah tumbuh jadi lelaki kuat dan membencinya. Dengan pisau dapur, Kay membunuh ayahnya," seseorang bercerita.
Beberapa petugas mengamankan lokasi kejadian. Mereka menangkap Kay, si pelaku pembunuhan. Orang-orang cuma mendesah panjang, isyarat kecewa dan tidak menyetujui penangkapan bocah tak berdosa itu. Sekadar desahan, tanpa berani bertindak. Hal yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat jika sudah berhadapan dengan sang penguasa.
Melihat Kay dibawa oleh lelaki-lelaki berseragam, kedua gadis kecil itu menghambur ke tubuh sang kakak. Menjerit-jerit dan menarik-narik, berusaha melepaskan Kay dari cengkeraman mereka.
Roy cuma bisa menatap drama kehidupan yang sedang dilakoni Kay, bocah hitam dekil, dari kerumunan orang-orang. Dia tidak sanggup berbuat apa-apa.
Oh, tiba-tiba saja Roy takut untuk jadi kawan Kay saat ini.
VII. HOLY orang-orang bergumam sepanjang jalan
merindukan hujan. tetapi lihatlah
seribu matahari bermunculan tiba-tiba
ini dunia mesti dimaki"
ah, siapakah kirimkan wangi kembang"
pergi dan melenyaplah! telah kulepaskan segala tentangmu
dan cinta cuma dongeng kanak-kanak
-Toto ST Radik Roy tersentak bangun. Keringat membanjiri tubuhnya. Tadi dia mimpi tentang rumah; mamanya yang seolah sedang pasrah menatapnya, serta Suci, gadis manis yang melambai-lambaikan tangannya. Mamanya dan Suci, dua wanita yang tersisa di "rumah", yang masih dicintainya. Tempat dia berharap ketika pulang nanti bias melabuhkan hatinya. Tempat dia bisa bercerita pada mereka. Tapi, mereka mengisyaratkan makna perpisahan.
Dari luar terdengar suara bising orang-orang bergema di sepanjang jalan. Membubung ke angkasa. Ina Mayer masih nyenyak tidur di sebelahnya, seperti tidak terganggu oleh suara-suara itu. Rakyat India yang menganut agama Hindu, turun ke jalan untuk holy festival.
Roy menatap langit-langit kamar. Jiwanya kosong melompong. Kering kerontang.
Ina Mayer menggeliat. Roy hati-hati bangun. Menuju jendela. Membukanya pelan-pelah. Angin berembus membelai seisi kamar hotel. Dadanya yang terasa sesak terimpit, kini agak terasa lapang. Tapi rasa bersalah masih saja menyelimutinya. Menggundahkan hatinya.
Si Bandel itu melihat ke bawah; ke jalan yang sempit bagai labiri
n pemisah bangunan-bangunan. Orang-orang berjubel dalam lautan warna. Bersorak-sorak. Hari ini umat Hindu di seluruh pelosok India dan Nepal (bahkan di dunia) larut dalam holy festival. Sebuah hari yang mengagungkan Dewa Wisnu, dewa perdamaian umat Hindu, yang menitis pada Krisna dan Rama. Hari saat Shinta mengadakan persembahan nyawanya pada Rama, dengan menceburkan diri pada nyala kobaran api. Hari saat Shinta membuktikan dirinya masih utuh dan suci pada Rama, walaupun sudah dikurung oleh si angkara murka, Rahwana.
Tapi dari hari ke hari tradisi ini jadi bergeser. Makna ritualnya lebur menjadi suasana pesta, hura-hura, atau semacam pelepasan dari ketertekanan hidup. Kini di setiap sudut kota, pada hari holy ini semua lelaki turun ke jalan meinbekali diri dengan holy water, yaitu serbuk pewarna yang sudah dicampur air. Semua tubuh mereka sudah dicoreng-morengi warna. Ada yang kuning, merah, biru, atau warna lainnya, Sepintas seperti makhluk-makhluk dari angkasa luar.
Sejak pukul 06.00 sampai pukul 14.00 pada hari ini seluruh kota sepi. Toko-toko tutup. Yang punya nyali saja yang berani keluar, ke jalan. Kebanyakan bergerombol. Jika berpapasan dengan kelompok lain, mereka saling bersalaman seperti pada saat Lebaran. Cuma perbedaannya, mereka saling mencoreng-morengi wajah dengan holy water itu.
"Morning, Roy." Tiba-tiba. Ina sudah memeluknya dari belakang. Roy membelai-belai rambut Ina yang keemasan. "holy ya, Roy." Ina melihat ke luar.
Di jendela-jendela rumah atau atap-atap hotel, para turis dan traveler mancanegara menonton dengan asyik. Kadang kala ada saja yang suka jail mengguyur mereka dengan air pewarna dari jendela di lantai atasnya. Atau bom-bom plastik air pewarna itu berseliweran dilemparkan ke jalan. Dan di mana-mana hujan pewarna menimpa tubuh orang-orang.
Pintu kamar diketuk. "holy, Mister!" teriak si pengetuk.
Roy membuka pintu. Seorang lelaki India, pemilik hotel, tersenyum penuh arti. "Tidak jadi ke Agra, Mister"" tanyanya.
"Kenapa kami tidak dibangunkan""
Pelayan hotel itu tersenyum penuh arti sambil melirik ke Ina. "Kita ketinggalan kereta ke Agra, Ina." Roy tersenyum kecut.
"Masih ada hari esok, Roy."
"Tidak bagus bepergian saat holy," tambah si pelayan.
Ya, hari ini holy. Seluruh kegiatan sehari-hari praktis terhenti. Orang-orang Cuma ingin berpesta di jalan-jalan, melupakan tekanan ekonomi serta kekisruhan politik yang terjadi. Dance di jalanan dan alkohol merasuki semua laki-laki India yang beragama Hindu.
Tadi ada yang mencari, Mister."
"Siapa"" "Adik Kay." "Sekarang di mana mereka"" "Jualan holy water."
Roy menyuruh pelayan hotel itu pergi. Dia membayangkan kedua adik Kay-Shri dan Dewi, yang kini harus mau mencari uang untuk sekadar makan. Anak-anak yang semestinya menikmati kegembiraan malah sudah harus memeras keringat. Anak-anak yang seharusnya bermimpi, tapi sudah harus mengakui kenyataan bahwa hidup itu pahit.
Pemuda Roy pun teringat masa kanak-kanaknya, ketika membantu mamanya berjualan kue di Bandung. Atau masa remajanya di Serang, Banten, yang diselingi dengan mengantarkan jahitan pada langganan mamanya.
"Kamu murung sekali, Roy."
"Aku ingat Kay."
"Kita tengok saja."
Roy berjalan lagi ke jendela. Melihat ke keramaian di jalan. Tapi tatapannya mengembara entah ke mana. Ina memperhatikannya. Dia memeluk Roy dari belakang. "Aku ingat Mama. Ingat pacarku." "Kamu mengambinghitamkan aku, Roy." Roy meringis.
"Ketika aku menyusuri India bagian selatan, Roy, aku mengenal seorang lelaki." "Kamu kencani dia""
"Pantai dan bulan, membuat aku sangat romantis saat itu." "Sekarang aku."
Aku selalu berusaha untuk enjoy menikmati hidup ini, Roy." Ina tersenyum.
Pemuda Roy menelan saja kalimat-kalimat Ina itu. Menjadi traveler , memang, haruslah siap mempermainkan perasaan. Artinya, jangan terlalu melibatkan emosi. Bahaya. Bisa terjajah. Cukup dinikmati. Mengalir saja bagai air sungai. Toh nanti akan menemukan muara juga.
"Nggak keluar ikut holy, Roy"" tantang Ina.
"Kamu mau, Ina""
"Sanggup melindungi aku""
Pada saat holy ini sangat riskan bagi perempuan untuk keluar rumah. Adalah sangat "gila" jika ada wa
nita berada di jalanan sendirian pada saat ini. Bukan cuma seluruh tubuh akan dibaluri pewarna, tapi tangan-tangan jail akan menggerayangi bagian-bagian tertentu. Dan pelecehan seksual akan terjadi.
Roy membawa Ina ke belantara holy; di mana orang-orang bergembira bersama pewarna dan alkohol. Beberapa traveler seperti mereka juga ada yang turun ke jalan, ingin menikmati suasana holy yang tak bisa dialami di negara asal. Baru saja mereka keluar dari mulut hotel, beberapa orang mendekati mereka. Menyalami mereka. Lengan mereka langsung lengket oleh pewarna.
Roy pun membekali diri dengan serbuk pewarna. Dia membeli beberapa plastik serbuk berwarna merah, hijau, dan kuning. Jika ada orang yang mencorenginya, dia pun membalasnya.
"holy!" Seseorang memoleskan pewarna itu ke wajah Roy. Ina juga kebagian. Roy pun membalasnya.
Pada mulanya memang cuma berjabatan tangan sambil mencorengkan pewarna itu atau ada yang menembaknya dengan pistol air. Lama-lama ada juga yang kurang ajar. Beberapa kali Roy bersitegang jika berpapasan dengan sekelompok orang yang ingin menjaili Ina, walaupun selalu diingatkan untuk tidak marah.
"Hey, jangan kurang ajar!" Roy mendorong seorang lelaki mabuk yang berusaha memeluk Ina.
Lelaki itu terus saja berusaha mendekati Ina. Mencoba meraup wajah Ina dengan pewarna. Roy gusar lalu memelintir lengannya.
Ina tampak tenang-tenang saja sambil menjaga diri.
Tidak boleh marah, Mister." Lelaki itu cengengesan. "Ini kan holy."
"holy sih holy," gerutu Roy sambil membawa Ina menyingkir. Tapi kelompok yang lain menyergap mereka. Si Bandel sudah siap-siap dengan serbuk pewarnanya. Serang-menyerang dengan pewarna pun terjadi. Ina tetap bersembunyi di punggung Roy jika ada yang bermaksud tidak senonoh padanya. Walaupun begitu, kegembiraan jelas tergambar di wajah mereka.
"Marah" pada saat holy sangat tabu. Artinya, hari ini "bebas melakukan apa saja dan dilarang untuk marah". Jadi siapa-siapa yang berada di jalanan saat holy, sudah harus siap dengan segala risikonya. Terbukti para polisi yang siaga di jalanan pun, tak bisa bertindak apa-apa ketika orang-orang menyemprot tubuhnya dengan pewarna. Atau wajah mereka dicoreng-morengi. Tampaknya kesempatan ini dimanfaatkan untuk berbuat seenaknya pada polisi, karena pada hari-hari biasa mereka tak bisa berbuat apa-apa pada pihak penguasa.
Matahari persis berada di puncak. Roy dan Ina mengalir di antara orang-orang yang merayakan holy. Tubuh dan wajah mereka tidak keruan. Penuh dengan pewarna. holy menjelang usai.
Di setiap sudut jalan orang-ora:ng duduk kelelahan. Ada yang bertelanjang dada, tidur-tiduran, atau asyik bermesraan dengan sesama kaum lelaki. Alkohol sudah menyelimuti mereka. Ada yang lebih gila: mengeluarkan kemaluannya atau polos telanjang. Beberapa kali Roy dibisiki oleh orang-orang bahwa holy ini adalah pestanya kaum homoseks. Sukar dipercaya, memang, sebuah upacara ritual dimanfaatkan seperti itu.
Sebagian orang sudah berduyun-duyun ke timur kota. Mereka hendak menyucikan diri dari segala kotoran hidup di Sungai Ganga. Tapi bagi sebagian orang yang dipengaruhi "air api" itu, semakin siang malah semakin "panas".
Beberapa sepeda motor menikung dan terjerembap menabrak orang-orang. Perkelahian kecil pun terpercik di antara kelompok, karena menurut mereka holy sudah usai pas tengah hari. Kini para petugas keamanan mulai sibuk menangkapi orang-orang yang bikin onar. Mereka kembali ke kehidupan sesungguhnya: keras dan penuh persaingan.
Roy menyeret Ina ke sebuah kerumunan. Suara tambur bertalu-talu. Dua orang lelaki di dalam lingkaran menari-nari dengan seronok. Mereka kadang berangkulan sambil mempertontonkan adegan-adegan sensual. Lebih gila dari film Dirty Dancing atau Salsa.
Orang-orang yang berkerumun membentuk lingkaran bersorak-sorak sambil ikut bergoyang. Jika si penari di tengah lingkaran sudah lelah, tanpa perlu disuruh lagi ada yang menggantikan. Begitu terus mereka berjoget, sampai terkapar di jalan. Jika setiap penonton hendak menari, mereka harus memberi uang ala kadarnya pada para pemusik, yang memukul-mukulkan tambur. Istilahnya, jika ingin menari
, ada uang, musik pun bertalu.
"Kita ke Ganga, Roy!" Ina melengos. Roy menuntun Ina menuju Ganga.
"Ke mana ya mereka"" Roy celingak-celinguk di antara aliran manusia. "Siapa, Roy"" Ina membersihkan rambutnya dari serbuk pewarna. "Adik Kay. Shri dan Dewi." "Siapa tahu kita bertemu mereka di Ganga."
Ganga, sungai yang diibaratkan air mata Dewa Shiwa itu penuh oleh manusia, Selain penduduk India, para traveler pun terselip. Roy dan Ina cuma turun di anak tangga pertama yang terendam air. Mereka membersihkan wajah dan lengan yang penuh corengan warna. Mereka bersenda gurau dengan penduduk sambil membersihkan badan dari pewarna. holy membuat mereka jadi dekat. Jadi seperti sebuah keluarga.
Para turis mancanegara mulai berani keluar dari hotel dan menyerbu Ganga. Mereka klak klik kluk dengan kameranya. Wajah orang-orang yang coreng-moreng sedang tertawa sambil mandi adalah momen luar biasa untuk disimpan di album hidup mereka.
"Kamu semalam mimpi ya, Roy"" Ina menghirup chia, teh hangat campur susu yang disuguhkan di cangkir tanah liat. "Beberapa kali aku terbangun karena igauanmu." Roy tidak menjawab. Dia melihat ke sungai. Semakin sore semakin banyak orang yang mandi membersihkan diri. Permukaan pinggiran Ganga jadi penuh warna. Beriak-riak tersibak sampan
Aku kangen rumah, Ina." Roy menerawang.
"Katanya mau ikut aku ke Berlin." Ina tertawa kecil.
"Kita lihat di New Delhi, ya."
Beberapa saat tanpa suara di anak tangga ghat Sungai Ganga. Mereka asyik mengagumi lukisan alami di depannya. Orang-orang yang menginginkan berkah dewa lewat sebuah sungai. Orang-orang yang menganggap dengan mandi di sungai ini segala kotoran hidup langsung-pupus.
"Kamu pikir, pacarmu di rumah setia menunggumu, Roy""
"Aku kira begitu."
"Aku juga punya pacar di Berlin," Ina tertawa.. "Apa sekarang aku setia"" "Pacarku orang Indonesia."
"Aku kira soal kesetiaan bukan diukur dari bangsa apa. Asia atau Eropa, tak ada bedanya."
"Ada bedanya." "Cinta itu milik semua umat manusia, Roy. Cinta akan tumbuh di mana seharusnya tumbuh. Tak mengenal waktu dan tempat. Usia atau sebuah bangsa."
"Ah, ini kan cuma sesaat, Ina. Kenapa tidak kita nikmati saja"!' Roy berdiri. "Toh, kita tidak selamanya bersama. Suatu saat kamu harus pulang ke Berlin. Dan aku ke Indonesia." Roy menarik Ina untuk berdiri,
"Hi, Japan!"seseorang berteriak.
Roy selalu hafal siapa pernilik suara itu, "Kay!" serunya gembira.
Kay menyerbunya. "holy, Roy!" sambil mencorengi lagi wajah Roy, yang sudah bersih dengan pewarna. Dua adik perempuannya, Shri dan Dewi mengekor. Tubuh mereka juga coreng-moreng penuh warna.
Roy mengangkat tubuh bocah cerdik itu. "Kamu bebas, Kay!"
"Berkat holy!" Kay tertawa. Dia tersenyum penuh arti pada Ina. "Tidak jadi ke
Agra"" Ina mencubit pipinya dengan gemas.
"Bagaimana jualannya"" senyum Roy pada Shri dan Dewi.
Shri dan Dewi membuka lengannya lebar-lebar. Mereka tampak puas dan girang, karena puluhan plastik pewarna yang mereka jual habis. holy ternyata membawa berkah pada mereka. Terutama Kay yang memang diberi kebebasan untuk menikmati hari suci ini bersama kedua adiknya, Menurut ceritanya, ada beberapa orang saksi yang akan meringankan Kay, bahwa tindakan Kay itu semata-mata membela diri dari amukan ayahnya yang pemabuk dan penjudi. Terlebih-lebih karena Kay masih di bawah umur, sehingga kelangsungan hidupnya (juga adik-adiknya) akan diurus oleh negara.
Permukaan Sungai Ganga terus beriak oleh warna-warni, seperti menandakan kisah hidup manusia yang beragam. Si Bandel menggandeng Kay, Shri, dan Dewi menaiki anak tangga ghat. Ina mengiringi mereka dengan senyumnya.
Matahari sore mulai bersembunyi di balik gedung-gedung kuno. Cahayanya yang keemasan memantul di permukaan Ganga, sungai yang disucikan oleh masyarakat Hindu dunia.
VIII. DI TAJ MAHAL Manusia baru bisa bebas setelah dia mati -Plato
Matahari bergulir, tak bisa teraih. Cahaya keemasannya menyebar di layar timur, seperti hendak merangkul keempat menara di keempat sudut bangunan seperti masjid yang serba putih itu. Kubah putih bagai paying raksasa itu meneduhi orang-orang di bawahnya. Itu Taj Mahal, sebuah
makam raksasa yang dibangun emperor Shah Jahan bagi istrinya terkasih, Mumtaz Mahal. Sebuah keajaiban dunia yang dibangun pada tahun 1630.
Lampu-lampu taman mulai menyala. Cahayanya membias dan berlarian saling-silang, berkombinasi dengan suasana alam yang beranjak temaram
Roy mengagumi panorama agung itu. Tapi Ina Mayer menariknya, untuk masuk ke lokasi bangunan. Ada dua garis lurus: satu untuk masuk ke makam raksasa itu dan yang lainnya membawa kita ke alam semula. Di kiri-kanannya memanjang kolam air dan pohon palem. Air mancur menyembur ke angkasa dan cipratannya menyebar ke segala penjuru seperti embun. Rumput hijau membentang ibarat permadani, dihiasi bunga-bungaan harum mewangi.
Seorang pengemis tua menghampiri mereka. Roy memberi uang logam ala kadarnya. Tapi Ina menatapnya dengan tidak suka. Pengemis tua itu tersenyum dan berlalu.
"Kenapa"" Roy heran. "Buat apa kamu beri dia uang"" "Dia membutuhkannya, Ina." "Dia masih kuat."
"Aku tidak peduli dia masih kuat atau tidak. Aku cuma iba dan ingin bersedekah."
"Kamu memberinya pada orang yang salah."
"Aku mengikuti naluri, Ina. Pengemis tadi sudah tua dan miskin. Kukira kalau dia punya pekerjaan, tidak mungkin hal nista ini dia lakukan.
"Buatku, Ina, yang penting keikhlasannya ketika memberi. Dalam agama, kita diharuskan menyisihkan dua setengah persen dari penghasilan kita."
"Untuk siapa""
"Untuk orang-orang miskin seperti pengemis tadi." Ina manggut-manggut.
Baru saja beberapa langkah, dua anak tanggung menyenggol Ina dengan sengaja. "Sorry !" Salah seorang nyeletuk cuek.
Ina menahan Roy yang hendak bereaksi. "Kamu temperamental sekali, Roy!" kata Ina mencoba bersikap wajar.
Mereka tidak pernah punya sopan santun, Ina!" gerutu Roy.
"Jangan merusak suasana, Roy." Ina menggandengnya.
Roy masih menggerutu. Apalagi ketika dari kejauhan dia melihat dua anak tanggung tadi melakukan hal yang sama pada pengunjung yang lain. Malah dibarengi dengan pertengkaran kecil. Ah, dia mencoba untuk tidak mengurusi hal sepele itu.
Si Bandel yang sedang resah itu kini menikmati betapa damai Taj Mahal ini. Ketika memasukinya, dia seolah diingatkan ke suatu tempat yang jauh entah di mana. Suatu tempat yang akan dikunjungi nanti. Alamatku yang akan datang! kata penyair Chairil Anwar. Keranda yang diusung orang-orang di mimpinya itu terlintas lagi. Tapi dia tidak bias mengenali siapa yang berada di keranda itu.
Lelaki pejalan itu secara naluri merasa yakin akan menghadapi kehilangan. Kepahitan ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya. Mama, Suci, atau gadis Berlin ini. Entahlah. Tak pernah ada yang bisa menebak rezeki, jodoh, dan kematian.
Dia berusaha mengusir bayangan buruk itu. Tapi senja mengisyaratkannya dengan kuat, bahwa hal itu akan terjadi padanya. Dia menyaksikan sebuah hari tenggelam dan berubah kegelapan. Hatinya merasa pilu, karena itu menandakan perjalanan hidupnya. Mungkin segalanya akan jadi jelas di New Delhi nanti. Pasti akan ada surat untuknya. Di setiap ibukota negara, dia memang meninggalkan alamat surat di Paste Restante, Kantor Pos Pusat, sehingga kawan-kawan atau orang yang dekat padanya bisa mengirim surat, mengobati rasa rindunya pada tanah air.
"Tempat yang damai ya, Roy." Ina memandang taman yang bagaikan surga itu, dan membawa Roy duduk di bangku di bawah pohon angsoka. Roy mengangguk.
"Kalau aku mati, Roy, betapa akan nyenyak 'tidur panjang'-ku nanti jika suamiku menghadiahi makam seperti ini."
Roy tertawa kecil mendengarnya, walaupun sedang tidak suka membicarakan kematian.
Seorang lelaki berkumis dan berjenggot lebat menghampirinya. Ia membawa tongkat panjang berkepala ular. Pakaiannya jubah berwarna putih. Ada kalung-kalung dari tulang dan batu-batuan di lehernya. Gelang-gelang pun menghiasi kedua pergelangan tangannya.
Lelaki itu seorang peramal. Ina tidak keberatan untuk diramal peruntungan hidupnya, walaupun Roy melarangnya. Telapak tangan Ina diperiksa garis-garisnya.
"Hidup Nona akan bahagia," kata si peramal.
Aku teledor," Ina menenangkan diri. "Mungkin ketika rnembayar makan di restoran."
"Kamu turiggu di sini!" Roy ke
luar hotel. Ina tak bisa mencegah.
Roy menuju Taj Mahal lagi. Dia yakin kalau yang mengambil dompet Ina adalah dua anak tanggung yang menabraknya. Itu sudah pasti.
Di sebuah lorong beberapa orang mencegatnya. Ada yang menawarkan suvenir serta tukar dolar Amerika dengan poin lebih tinggi dari bank. Tapi menurut pemilik hotel, dia harus hati-hati dan jangan percaya pada semua orang di Agra jika sudah berurusan dengan bisnis.
Hari sudah malam, Taj Mahal betul-betul terlelap. Roy mengelilingi tembok. Dia meneliti setiap kerumunan orang. Memperhatikannya. Dia bersembunyi di bawah pohon, mengintai orang-orang yang lalu-lalang di sebuah warung.
Si Bandel yang kadang nekat itu berdegup hatinya. Dia melihat seorang anak tanggung yang menabrak Ina tadi. Anak itu berjalan ke warung. Seseorang berjubah putih dan memegang tongkat keluar dari warung. Mereka menuju tempat yang remang-remang di sudut. Si Bandel itu mengendap-endap. Dia melihat anak tanggung itu menyerahkan sebuah dompet. Kejadian itu sangat cepat.
Pemuda Roy mencoba menebak-nebak siapa gerangan si Tongkat Kepala Ular itu. Gembong malingkah" Lantas anak-anak tanggung itu, apakah anak buahnya" Kalau betul begitu, di mana-mana sama saja persoalannya: anak-anak selalu diperalat oleh orang dewasa atau orangtuanya sendiri.
Ketika si Tongkat itu berlalu, dengan berdebar-debar Roy mengikutinya. Melewati jalan-jalan sempit yang berkelok. Dia sadar bahwa ini mengandung risiko. Apalagi ketika dia berpapasan dengan orang-orang yang memandangnya dengan curiga dan tidak suka. Tapi naluri petualangannya yang serba ingin tahu menyeretnya untuk terus membuntug si Tongkat.
Tapi ketika melewati gang kecil yang gelap dan becek, Roy kehilangan si Tongkat. Dia berpikir, apakah meneruskan penyelidikannya atau balik pulang. Ketegangan menerjangnya. Dia mengitari pandang. Sepi dan hening.
Tiba-tiba dia merasa lehernya tercekik. Sebuah tongkat mengaitnya. Tubuhnya terseret dan terbentur ke tembok. Sebuah lengan kukuh mengepitnya.
"What are you doing here, Mister"" terdengar suara berat mendesis di telinganya.
Roy terbatuk-batuk. Dia meronta-ronta. Kedua kakinya menendang-nendang. Cekikan itu semakin kukuh. Dia menghimpun tenaganya dan mengentakkannya. Tubuh penyerangnya dibentur-benturkan ke tembok. Dia menjambak jenggot pembokong itu. Roy berhasil melepaskan diri. Dia melihat si Tongkat Kepala Ular itu memegangi kepalanya. Tampaknya kesakitan.
Mana dompet itu"!" hardik Roy. "Ayo, berikan!" sambil berjaga-jaga terhadap penyerang gelap lainnya.
Si Tongkat tertawa mengerikan.
Dua anak tanggung itu muncul dari kegelapan. Mereka mengepung Roy. Si Bandel merasa posisinya sulit. Ini di negeri orang dan disarang pencuri. Bisa konyol. Dia mencoba mencari peluang untuk melarikan diri. Salah seorang menyerangnya. Lalu dari belakang juga ada yang menerjangnya. Roy merasa keningnya nyeri dan perutnya sakit. Tapi dia berhasil membanting yang mengepitnya.
Tiba-tiba terdengar seseorang membentak-bentak. Suaranya penuh wibawa. Para penyerang itu terdiam. Mereka seperti terkesiap. Roy mundur hendak melarikan diri. Dia mencoba meneliti siapa lelaki tua yang tampaknya ditakuti itu. Dan dia seperti pernah melihatnya.
"Cello, cello!" hardiknya memerintah pada Roy. Roy pun berlari meninggalkan tempat sialan itu.
Roy duduk gelisah di bangku di bawah pohon angsoka di taman Taj Mahal. Ada luka di keningnya bekas perkelahian semalam. Sudah berkali-kali dia mengelilingi kompleks makam permaisuri Shah Jahan ini. Dia mencari-cari seseorang.
"Ayolah, kita ke New Delhi." Ina berdiri.
"Sebentar, Ina." Roy yakin orang yang dicari-carinya itu akan datang. "Aku sudah ikhlas kok, Roy!" Ina mulai kesal. "Seperti katamu, dompet beserta isinya itu aku sedekahkan!" Roy tersenyum kecut. "Ayo, Roy, ayo!" Ina menariknya.
"Ah, kamu!" "Nanti dikeroyok lagi kayak semalam, tahu rasa kamu!" Ina menggerutu. "Jangan sok jagoan, Roy! Kamu bisa mati konyol di negeri orang."
Roy cuma bisa meringis sambil memaki-maki dalam hati. Sebetulnya dia masih penasaran, siapa dewa penolongnya semalam" Si peramal itu kenapa tak kelihatan lagi" Lalu, mana si
pengernis tua" Ketika Roy melewati pintu gerbang, seorang anak kecil menghampirinya. Dia menyodorkan sebuah dompet. Ina terpekik kaget. Diperiksanya isi dompetnya. Surat-surat berharga, kartu mahasiswa, donor darah, dan SIM kendaraan bermotor masih komplet. Tapi tak ada selembar uang pun.
"Aku lupa kalau uang itu sudah aku sedekahkan, Roy!" Ina agak jengkel juga melihat dompetnya kosong, walaupun terhibur karena kartu-kartu penting itu masih utuh.
"Kamu yang menemukan dompet ini"" Tanya Roy lengkap dengan bahasa isyarat tangan.
Anak kecil itu menggeleng.
Ina memberinya beberapa rupee. Anak kecil itu berlalu. "Aku betul-betul bersedekah, Roy!" Tawanya yang sumbang terdengar. "Sudah, kita langsung check out sekarang! Ada kereta malam ke New Delhi, Roy!"
Roy menurut saja ketika diseret Ina meninggalkan Taj Mahal. Tapi matanya terus saja mengikuti anak kecil itu. Dia melihat anak itu menuju sebuah kios kecil. Di sana sudah menunggu pengemis tua itu!
Roy secara refleks melambaikan tangannya. Dia yakin kalau dewa penolongnya semalam adalah pengemis- tua itu!
Senja pun mulai turun untuk kesekian kalinya di langit Agra. Cahaya keemasannya menyelimuti keempat menara di keempat sudut Taj Mahal.
Tiba-tiba Roy pun ingat lagi, bahwa senja itu adalah pertanda berakhirnya sebuah hari.
IX. PERPISAHAN tak ada jalan keluar! pintu-pintu terkunci sudah. lagu pulang cuma igauan aku serupa mereka: beribu wajah termangu dalam labirin kota-kota masa lalu dan masa depan telah hilang tinggal bayang-bayang gemetaran menanti segala tiba
-Toto ST Radik Di main bazaar, New Delhi, sebuah kawasan turis model Jalan Jaksa, Jakarta. Sebuah jalan lurus bagai lorong dari timur ke barat, di mana di kiri-kanannya toko kelontong dan suvenir berimpitan dengan restoran serta penginapan murah.
Artikel Lain Jumat, 15/04/2005 16:48 Si Pemaki Tuhan
Saya dan Winnetou sedang berada di lingkungan suku Navajo, yang juga mengakuinya sebagai pemimpin mereka, karena suku Navajo sebetulnya termasuk dalam suku Apache.
Selasa, 05/04/2005 13:01 Epilogi Selasa, 05/04/2005 12:18 Epilogi
Minggu, 03/04/2005 17:59 Kupu - Kupu Pelangi
Minggu, 03/04/2005 17:11 Tembang Kampung Halaman Di sebuah kamar hotel, seorang pemuda gondrong terbangun lagi dari mimpi buruknya, yang di hari-hari belakangan ini selalu menguber-uber tidurnya. Mimpi tentang "rumah", mamanya, dan Suci. Dua wanita yang ditinggalkannya. Dua wanita yang kini selalu hadir dalam tidurnya; ada keranda diusung dan salam perpisahan.
Sayup-sayup Roy mendengar suara orang ke telinganya. Dia membuka kelopak matanya. Dengan hati-hati dia menggeser Ina Mayer yang nyenyak tidur. Dia meraih jam tangan di meja. Buset, pukul dua dini hari! batinnya. Dia harus pergi untuk menelepon Uwak, kakak mamanya, menanyakan kabar mamanya. Diliriknya lagi gadis Jerman yang kini mengisi kesepiannya, sehingga kelak perjalanan bersamanya ini bisa indah untuk dikenang.
"Ini fo to pacarmu, ya!" Ina melihat dua lembar foto Suci tadi siang. "So sweet, tapi aku tidak peduli!" katanya. "Yang penting sekarang kamu milikku, Roy!"
Apa kabar petualang muda" Sudah berapa bulan sih kamu pergi, Roy" Rasanya seperti lamaaa sekali. Suci kangen. Terlebih-lebih ketika malam sebelum keberangkatan itu. Inget, kan, Roy" Saat bulan sabit, kamu menciumku di alun-alun. Ah, kok ngomong ngawur, ya"
Roy, sekarang Suci sudah jadi mahasiswi, lho. Cuma gagal masuk perguruan tinggi negeri. Selain saingannya banyak, otaknya juga nggak sanggup. Tapi rada aneh juga lho seleksi ke PTN ini. Temen Suci yang otaknya biasa-biasa saja, eh malah diterima. Lucunya, yang otaknya tokcer malah terpuruk (kayak lagunya KLa Project aja). Kabar burung sih, banyak yang memanfaatkan jasa joki. Itu lho, para pemandu yang duduknya persis diatur di sebelah kita. Sehingga kita tinggal nyontek aja. Eh, sekarang Suci kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Bandung. Ngambil Inggris. Biar nanti jadi guide kamu kalau kita traveling berdua (Ih, maunya!). Inggris kamu kan amburadul.
Roy, kapan pulang" Suci kuatir kamu nanti kecantol cewek bule. Apa lagi, ya" Oh, Suci baru keluar dari rumah sakit. Dirawat
tiga hari. Biasa, maag-nya kambuh. Tapi lumayan, program diet-nya berhasil. Turun tujuh kilo! Yang Suci bayangin, jika kamu yang sakit, siapa yang nengok, Roy" Suci suka sedih jika mikir begitu. Kamu pasti kesepian. Makanya makan yang teratur biar nggak sakit.
Roy, sudah dulu. Ini ada dua foto Suci terbaru. Supaya kangen kamu terobati, ya. Tapi awas, kalau duit kamu abis, foto Suci jangan kamu jual. See you, Roy. Jangan lupa salat dan rambut jangan gondrong, ya!
Begitulah surat Suci mengentakkan kesadarannya, bahwa selama melakukan perjalanan ini banyak hal-hal menyimpang yang begitu saja dilakukannya. Hidup. "menjadi" atau "dengan" traveler memang beragam dan banyak tantangan. Dengan "menjadi" lelaki pejalan, segalanya bisa dinikmati dan bakal jadi kenangan.
Selain surat Suci, ada surat lain yang membuatnya gelisah. Dari Opik, anak angkat mamanya, mengabarkan tentang mamanya yang dirawat di rumah sakit. Tentang mamanya yang merindukan kepulangannya.
Pelan-pelan dia bangun dan membuka pintu kamar. Dari teras atap hotel dia melihat ke jalan. Lelaki Prancis itu masih asyik mengoceh sendirian, hilir-mudik dari timur ke barat jalan. Cuma melilitkan kain seperti monk, pendeta Budha, sampai pinggang. Dadanya tak berbaju serta tak memakai alas kaki. Betul-betul gembel dalam arti sesungguhnya.
Sejak kedatangannya ke main bazaar, New Delhi, lelaki Prancis itu sudah dilihatnya. Sore itu Roy dan Ina sedang asyik minum teh di kafe terbuka, si Prancis itu hilir-mudik sambil mengoceh. Kadang kala ikut duduk jika ada bangku kosong, dan tanpa malu-malu minta ditraktir pada siapa saja. Sikapnya ramah dan terus-terang. Semua orang tak keberatan untuk mentraktirnya. Bahkan beberapa orang bersahabat dengannya.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, terutama dari Ina, si Prancis itu bernasib malang. Tas kecilnya yang berisi paspor dan traveler check amblas disikat orang. Sudah dua minggu dia menunggu kepulangannya diproses oleh kedutaan. Hari-harinya diisi dengan menggelandang: tidur gratis di atap-atap hotel atau mabuk sampai pagi mengisap hasis pemberian orang.
Roy sudah keluar hotel. Ina dibiarkannya lelap di kamar. Jalan yang jika siang berubah jadi aliran sungai manusia, lengang dan sepi. Beberapa mobil diparkir, sepi dan para homeless bergeletakan. Si Prancis itu masih asyik mengoceh sendirian. Dia mengusap-usap kap mobil, seolah-olah pemilik mobil itu. Pikir Roy, kapan "orang gendeng" ini menutup mulut! Lalu si Prancis itu berjalan ke sudut yang gelap. Di sana ada seorang India berjenggot lebat dan beberapa orang Eropa sedang mengisap hasis dengan pipa panjang. Ada ember berisi beberapa botol minuman keras murahan.
Si Prancis itu mengisap dan rninum lagi. Mengoceh lagi sambil diselingi tawa. Kini dia menyeberang jalan, mendekati Roy, mengajaknya untuk bergabung ke "surga". Roy tersenyum, menggeleng, dan bergegas. Dia gelisah. Mamanya yang sedang sakit terbayang terus, Dia mendapat kabar dari beberapa traveler , bahwa ada kios telepon murah untuk sambungan internasional. Kios telepon yang dikelola para mahasiswa India itu sangat rahasia. Tidak sembarang orang mengetahuinya.
Roy berhenti di sebuah biro perjalanan. Memutar lewat belakang. Mengetuk pintu. Seseorang membukakan pintu. Roy harus menyebutkan nama orang yang memberitahunya tempat ini. Jika tidak, pintu tidak akan dibuka.
Ada dua lelaki Eropa dan seorang wanita Afrika di ruangan berukuran dua kali tiga meter itu. Sebuah bangku panjang, meja dengan dua telepon, serta dtpan beralas tikar. Seorang operator melayani jasa telepon internasional ini.
"Saya, Wak," kata Roy di telepon.
Uwaknya membalas, "Kamu di mana, Roy""
Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di New Delhi."
"Belum mau pulang""
"Kesehatan Mama bagaimana""
"Mamamu baik-baik saja. Besok sudah boleh pulang."
"Uwak tidak bohong""
"Apa ada artinya buat kamu, Roy, kalau Uwak berbohong atau tidak."
"Maksud Uwak""
"Apa kamu mau pulang kalau tahu mamamu sakit keras" Bukankah kamu ingin melunaskan obsesimu, keliling dunia, tanpa mau mengerti perasaan orang-orang yang menyayangimu, Roy""
Roy terdiam. Ada yang menusuk-nusuk jiwanya.
"Maaf Roy, kalau omongan Uwak ini t
ernyata mengganggu perjalananmu." "Bagaimana dengan Mama"" "Mamamu dirawat di rurhah sakit
Tapi, saya belum bisa pulang sekarang. Kiriman uang dari Jakarta belum datang."
"Pulang pun kamu sudah tak ada gunanya." "Uwak!" Roy agak panik.
"Uwak dan mamamu cuma bisa berdoa, semoga maksudmu terlaksana dan selalu dilindungi Tuhan."
Roy tahu bahwa ada yang disembunyikan oleh uwaknya perihal mamanya. Sesuatu pasti sudah terjadi pada mamanya. Apalagi dia bermimpi tentang orang-orang yang mengusung keranda. Tapi dia tidak berani menanyakan langsung hal ini pada uwaknya. Dia tidak akan siap jika menerima kebenaran kabar itu, sementara dia sedang jauh di negeri orang.
"Bagaimana mamamu, Roy"" Ina sudah berkemas. Tengah malam nanti dia akan pulang ke Berlin.
"Aku tidak berani membayangkannya, Ina." Roy sedih. "Lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja apa yang terjadi dengan Mama."
"Jangan berkata begitu, Roy," Ina mengingatkannya, bahwa seorang ibu haruslah dijunjung tinggi.
"Ina, bisakah kamu tunda kepulanganmu beberapa hari lagi""
"Aku sudah menundanya seminggu, Roy."
"Mungkin besok honorku datang."
Ina tetap menggeleng. Katanya, "Aku tunggu kamu di Berlin, ya. Secepatnya. Nanti aku jemput di airport."
"Aku akan kesepian, Ina."
"Ayolah, Roy, jangan kayak anak kecil."
"Aku sedang butuh ditemani."
"Kamu kan paling mudah mencari kawan."
Roy keluar kamar. Malam sudah bergulir. Cahaya lampu berpendaran. Dia menuju teras di atap hotel. Melihat ke jalan; orang-orang mengalir, saling desak dengan kendaraan bermotor, gerobak dagangan, pedagang kaki lima, serta sapi-sapi yang disucikan umat Hindu. Mereka hendak pulang ke rumah setelah lelah seharian mengais rezeki.
Roy melihat si Prancis itu masih berdiri di sebuah bangku. Berpidato, sehingga orang-orang tertawa atau menyingkir jengah. Roy berpikir, bahwa orang itu bukan Cuma kena pengaruh alkohol atau hasis saja, tapi sudah cenderung gila. Otaknya mulai miring, mungkin karena harapannya untuk pulang tak kunjung datang sementara dia tak bisa terus-terusan menggantungkan hidupnya dengan "mengemis" pada orang lain. Jadilah dia bersembunyi pada benda-benda laknat yang menjerumuskan akal sehatnya itu, yang selalu gampang didapat dari kawan-kawannya.
"Kamu check out juga, Roy"" Ina rnengagetkannya.
"Aku mau pindah ke Youth Hostel. Di sana lebih rnurah."
"Kamu masih ada uang""
"Cukup untuk dua atau tiga hari lagi."
"Kali ini aku yang bayar hotel, ya," Ina menegaskan. Biasanya rnereka bayar setengah-setengah. Budaya seperti ini sudah biasa di kalangan traveler , mereka membayar untuk dirinya sendiri.
"Thanks!" Roy berusaha bersikap jujur. Dia memang sedang ngirit, karena pengiriman honorariumnya terlambat. Sebuah majalah di Indonesia, yang biasa memuat laporan perjalanannya sedang mencari cara terarnan untuk mengiriminya uang. Di India untuk transaksi dolar Amerika memang harus hati-hati.
"Kamu betul tidak mau menerima dolarku""
Roy menggeleng. Mereka meninggalkan hotel. Roy menyeret ranselnya. Ina memanggil taksi. Mereka menuju pusat kota, Connaught Place, sebuah lingkaran atau pusatnya New Delhi. Tak beda dengan kawasan Monas. Tapi yang ini membentuk lingkaran luar dan dalam, lalu dibagi-bagi jalan kecil mirip jari-jari sepeda. Ini kawasan bisnis. Di sisi-sisi lingkarannya banya kbank, hotel berbintang, biro perjalanan, bioskop, serta pusat pertokoan di bawah tanah.
Sebuah bus kecil mengangkut para penumpang ke airport New Delhi, di mana pesawat akan membawa Ina ke buminya di Jerman. Akan membuat Roy terpisah dengan Ina. Mereka terus berpegangan di bus. Mereka mulai merasakan bahwa hari-hari yang dilalui bersama di Varahasi saat holy dan Agra tak mungkin dilupakan begitu saja.
"Sebetulnya aku menginginkan terbang ke Berlin bersamamu malam ini, Roy." Ina menatapnya.
Roy menggerutu soal keterlambatan pengiriman honornya dari tanah air. Kalau saja honorarium tulisan-tulisannya sudah datang lewat sebuah bank swasta di New Delhi, Roy tidak akan berpikir banyak untuk ikut bersama Ina ke Berlin!
Pukul 12.00 malam. Pesawat akan melesat persis pukul 02.00. Roy dan Ina gelisah di kafe airport. Ina memberi
tahu bahwa mereka cuma punya waktu satu jam saja untuk melepas rindu yang pasti akan sangat panjang buat mereka. Mungkin perpisahan ini untuk sementara saja atau selamanya buat mereka.
"Aku mungkin akan lewat darat, Ina," Roy menerangkan rutenya nanti jika jadi ke Jerman. Ada beberapa negara yang akan dijelajahinya.
"Tapi itu akan memakan waktu lama, Roy."
"Tidak ada pilihan lain, karena dengan cara itu aku bisa membuat banyak tulisan. Dan itu berarti dolar."
Jarum jam berdetak-detak. Membuat hati semakin gelisah. Membuat lengan mereka saling berpegangan erat.
"Aku harus pergi, Roy ." Ina menarik lengan Roy ke dadanya. "Oh, aku akan kehilangan kamu."
Roy cuma menatapnyai walaupun hatinya tiba-tiba begitu sepi. Perpisahan memang sebuah suasana yang tak diinginkan oleh manusia. Dengan siapa saja perpisahan itu terjadi. Apalagi dengan orang yang (pernah) dekat.
Si Bandel itu mendorong kereta bagasi. Ina terus lengket di bahunya. Di depan pintu masuk mereka agak meminggir, mempiarkan orang-orang lewat lebih dulu.
"Jangan bicara apa-apa, Roy!' Ina bergetar menatapnya. "Aku tidak akan kuat mendengarnya. Oh, Roy, hug me, please!"
Roy mendekapnya erat-erat.
"Kiss me, Roy." Bibirnya terbuka.
Roy melihat ke sekeliling. "Banyak orang, Ina." Si Bandel itu menggeleng. "I don't care!"
Roy pun menciumnya. Orang-orang Sikh, yang kepalanya dililit kain, terhenti sejenak. Hal ini belum lazim di sini. Tapi Roy dan Ina cuma tahu, bahwa mereka akan berpisah dalam waktu tak terbatas.
"Pergilah, Ina." Roy membawanya ke pintu masuk.
Ina pun masuk. Tapi baru saja beberapa langkah, dia berbalik. Roy pun menyerbunya. Penjaga pintu menghalangi laju Roy. Mereka panik dan menuju kaca pemisah. Mereka saling meraba-raba di kaca, mencoba merasakan getaran-getaran hati. Ah, kaca ini, kaca ini! pekik mereka.
X. TUKANG OBAT Aku manusia pejalan, bagai sungai berteman sampah, limbah; tak peduli sumpah serapah. Dari kemarau ke bulan; melepas fajar menanti senja. Mengejar bayanganku sendiri. Kata Bunda, "Jangan tinggalkan rumah," karena di sana aku ada, nakal, besar, dan mimpi-mimpi. Tapi aku lompati pagar, memilih Barat dan Timur. Sampai habis batas umur. Aku memang lelaki pejalan. Tak tahu kapan mesti berhenti.
-Heri H Harris *** Bus dari airport ke New Delhi cuma terisi setengahnya saja. Uniknya di India, lima baris bangkunya di setiap bus kota mutlak untuk wanita. Di dinding busnya ada tulisan besar-besar: For Ladies. Di Bangladesh juga, walaupun cuma dua baris bangku. Tapi di Indonesia, negara yang berideologi Pancasila, sudah hampir mewabah pepatah siapa cepat dia dapat. Bisa kita lihat di setiap kendaraan umum, kaum lelaki sudah enggan untuk berdiri memberikan tempat duduknya pada wanita.
Pemuda Roy mengusap-usap kaca jendela. Embun yang menempel di kaca membentuk kotak-kotak tak beraturan. Dia melihat ke luar. Kenangannya bersama gadis Berlin pun berlarian. Ingin dia menangkapnya, tapi tak kuasa.
Sungai Ganga di Varanasi adalah kenangan pertama Roy dengannya. Tertawa gembira bersamanya, terapung-apung dengan sampan di sungai air mata Dewa Shiva, saling mencoreng-morengi dengan pewarna saat holy festifal, dan Taj Mahal di Agra. Kini lukisan indah itu berlalu. Tak bisa dibentuk lagi dengan kuas di atas kanvas, kecuali mengenangnya saja. Ah, kalau saja tidak ada masalah dengan pengiriman honorariumnya lewat sebuah bank swasta, tentu dia sudah ada di sebelahnya: terbang menyongsong petualangan baru di bumi Eropa!
Roy turun di Connaught Place, pusat kota New Delhi. Di lingkaran dalamnya ada sebuah taman. Rumputnya terawat bagai permadani. Pepohonan yang rindang meneduhi orang-orang yang hendak beristirahat dari sengatan matahari. Jika sore hari atau liburan, taman kota ini ramai dengan orang-orang yang melepas penat atau berpiknik. Pemerintah India memang sengaja membangun taman-taman; selain untuk paru-paru kota, juga menjadi tempat istirahat yang praktis bagi rakyatnya dari rutinitas kerja. Malah taman-taman ini selain tempat piknik sebuah keluarga kecil, kadang juga dipakai untuk diskusi politik.
Roy menyeret ranselnya. Hari sudah sekitar pukul delapan
. Kesibukan mulai terasa. Dia mencari-cari tempat untuk bisa sejenak melengkapkan tidurnya. Digelarnya matras di bawah pohon. Ranselnya dijadikan bantal. Matanya terpejam.
Beberapa ekor tupai melompati tubuhnya. Berlarian saling kejar-kejaran. Roy menggeliat. Di India binatang sangatlah dihargai. Dijaga habitatnya. Mereka percaya, bahwa binatang itu adalah peliharaan para dewa mereka. Kalau kita jelajahi kampung-kampung di India, jangan heran melihat burung merak lalu-lalang, atau beragam burung bertengger dengan bebasnya di pohon-pohon, pagar, atau kawat listrik.
Suara suling sayup-sayup menyusup ke telinganya.
Roy merasa gerah. Dia membuka matanya dengan malas. Matahari sudah merangkak naik. Suara bising kendaraan dan lalu-lalang orang mulai mengganggunya. Dia mencari-cari ke sekeliling taman, dari mana asal suara suling khas India itu terdengar
Di bawah rindangnya pohon di sebuah sudut taman, ada kerumunan orang membentuk lingkaran. Terdengar suara orang berteriak-teriak. Itu pasti tukang obat. Roy beranjak ke sana. Dia mencoba menyelipkan tubuhnya di antara orang-orang. Di tengah lingkaran ada lelaki berjenggot mengenakan jubah putih. Kalung-kalung menghiasi lehernya, gelang-gelang dari akar bahar melingkari pergelangan tangannya, serta beberapa cincin batu besar-besar menghiasi jari-jarinya.
Ada tiga tas besar tergeletak, foto-foto dan poster wanita cantik berbikini yang dilaminasi berserakan. Tak jauh berbeda dengan tingkah polah tukang obat yang banyak bertebaran di kota-kota besar Indonesia. Beragam cara orang mempertahankan hidup. Esensinya cuma pada uang.
Dua langkah di belakang si Jenggot, seorang lelaki tua meniup suling dengan khidmatnya. Sebuah keranjang tergeletak. Pelan-pelan menyembul kepala seekor ular kobra, meliuk-liuk mengikuti irama suling bagai penari balet. Tiba-tiba tangan si Jenggot yang kukuh dengan gerakan kilat menyambar kepala kobra. Di putar-putarnya ular itu di angkasa.
Orang-orang tidak bereaksi apa-apa.
Kobra itu dimasukkan lagi ke keranjang.
Si Jenggot mengambil sebuah golok yang tajam mengilat dari sebuah tas besar. Dia menari-nari sambil mengacung-acungkan golok itu. Suara suling menimpalinya dengan irama yang panas. Golok itu ditebaskan berkali-kali ke paha serta tangannya. Bahkan leher pun digoroknya. Adegan terakhir mengiris lidahnya. Tapi tubuhnya alot. Ketajaman golok itu tak berarti apa-apa.
Kini si Jenggot bersila di rumput. Mengambil beberapa lembar koran. Digulungnya koran itu. Dibentuknya jadi memanjang. "Kertas koran ini akan saya sulap jadi seekor ular!" suaranya nyaring. "Dengan tiga kali semburan air!" teriaknya lantang.
Gulungan koran itu ditutup selembar kain hitam. Si Jenggot mengambil sebuah kendi. Dia komat-komit membaca mantra. Diteguknya air kendi itu. Disemburkannya. "Saya bilang, kertas koran ini akan berubah jadi apa"" tanyanya pada penonton.
"Jadi ular!" jawab beberapa penonton di barisan depan serempak.
"Berapa kali semburan"!"
"Tiga kali!" "Berarti tinggal dua kali lagi, ya!" Si Jenggot berdiri. Berkeliling mengamati penonton. Dia menarik seorang bocah ke tengah arena. "Kamu kenal saya "" tanyanya. Si bocah menggeleng. "Pernah ketemu saya"" Lagi-lagi sibocah menggeleng.
"Sekarang kamu pegangi kain ini ya!" si Jenggot menyuruh bocah itu memegangi kedua ujung kain hitam yang menutupi segulung koran, yang katanya akan berubah jadi seekor ular.
"Kalau saya bilang, 'Buka!', kamu harus rmembuka kain ini!"
Si bocah mengangguk. Wajahnya tegang dan kedua tangannya gemetar. Mungkin di dalam pikirannya, kertas koran itu sudah berubah jadi ular dan akan menggigitnya nanti.
"Tidak usah takut, Dik!" si Jenggot tersenyum. Dia komat-kamit lagi, meneguk air kendi lagi, dan menyemburkannya seperti tadi pada kain hitam itu. "Saya bilang kertas ini akan berubah jadi apa"!"
"Ular!" "Berapa kali semburan"!"
"Tiga!" "Tinggal sekali lagi!" Dia melompat garang.
"Tapi, sebelum kertas koran itu saya ubah jadi ular, siapa yang kira-kira punya rokok" Matanya liar menetap penonton. "Ikhlas ngasih saya sebatang"" tanyanya pada seseorang yang menyodorkan sebungkus rokok.
Orang itu dengan k ikuk mengeluarkan sebatang rokok. Memberikannya pada si Jenggot. Dia menggeleng ketika ditanya oleh si Jenggot, apakah kawan atau saudaranya pernah bertemu sebelumnya di suatu tempat. Ini untuk meghindarkan kecurigaan penonton bahwa permainan ini direkayasa.
Si Jenggot mengacung-acungkan rokok itu. Menari-nari lagi mengikuti irama suling. Berhenti di sudut. Dia sejenak memperhatikan bocah itu, yang semakin gelisah memegangi kain hitam penutup gulungan koran. Tiba-tiba acara terhenti, ketika seorang lelaki menyeruak di kerumunan. Dia memanggil bocah itu.
Siapa kamu"" si Jenggot kesal memandang lelaki itu.
"Saya kakaknya," si lelaki menantang.
"Tinggal sekali semburan lagi, koran itu akan berubah jadi ular!"
"Yuk, kita pulang." Lelaki itu menarik adiknya. Mengajaknya untuk meninggalkan arena.
Si Jenggot membiarkan mereka pergi. "Pokoknya, yang tidak suka dengan permainan saya, silakan pergi! Tak ada paksaan! Ini cuma hiburan! Siapa ingin menonton, daripada ngelamun, silakan nonton! Gratis!" Urat di lehernya tampak mengeras dan menonjol.
Penonton tetap terpaku pada tempatnya. Menanti tukang obat ini mengubah gulungan koran jadi seekor ular.
Matahari sudah berada di angka sebelas.
Roy tetap asyik menonton. Dia duduk anteng di atas ranselnya. Dia belum berminat untuk mencari-cari Youth Hostel. Rencananya besok dia akan bertemu lagi dengan You Chi Wan, traveler asal Korea di Youth Hostel New Delhi, sebuah penginapan murah meriah bagi traveler kere sepertinya.
Si Jenggot bersila lagi. Bersemedi. Rokok itu dalam gepitan jari-jarinya. "Lihat baik-baik rokok ini!" Rokok itu dicelupkan pada segelas air. "Lihat rokok yang basah ini! Jangan terlewat!"
Roy menatap lekat-lekat rokok itu.
"Ingat, ini bukan sulap, bukan sihir!" Si Jenggot menggesek-gesek rokok itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Semuanya bisa dipelajari! Semuanya bisa saya ajarkan, kalau kalian ingin belajar!" Tiba-tiba asap mengepul dari telapak tangannya. Rokok itu terbakar.
Penonton semakin banyak dan asyik.
Kain hitam yang menutupi gulungan koran itu tetap tergeletak. Belum ada tanda-tanda akan berubah jadi ular.
Sekarang, siapa yang punya korek api"!" Si Jenggot menghampiri seorang penonton. Dia mengambil sekotak korek api dari penonton. Dan bertanya seperti tadi. Penonton itu pun mengatakan bahwa dia tidak ada hubungan saudara dan belum pernah berjumpa dengan si Jenggot.
"Lihat, ini korek api!" Si Jenggot mengeluarkan beberapa batang korek api. "Terbuat dari apa korek api ini"!"
"Dari kayu!" Si Jenggot mematahkannya satu. "Betul! Korek api ini terbuat dari kayu! Mudah patah!" Dia menyuruh seseorang untuk mengambil sebatang korek api. "Coba, sekarang kamu patahkan!"
Penonton itu pun mematahkannya,
"Sekarang dengan kekuatan saya, korek api ini akan sekuat baja! Tak akan ada yang bias mematahkannya!"
Roy mulai gelisah duduknya. Sebetulnya apa yang hendak dijual tukang obat ini. Dia cuma ingin menyaksikan bagaimana kertas koran itu berubah jadi seekor ular! Kini si Jenggot bersemedi, hendak mengalirkan kekuatannya, sehingga batang korek api itu berubah menjadi sekuat baja!
"Bagaimana kalau setiap penonton memegang sebatang korek api"" seseorang bertopi nyeletuk.
"Maksudmu"" Si Jenggot terganggu.
"Kalau memang Bapak berilmu tinggi, apa korek api itu tidak patah jika semua penonton berusaha mematahkannya"" kata si Topi berani,
"Oh, kamu meragukan kekuatan saya"!" Si Jenggot bangkit. Dia mengeluarkan seluruh isi korek api. "Nih, kamu pegang!" diberinya siTopi sebatang. Lalu dibagi-bagikannya setiap penonton sebatang korek api.
Roy menggenggam sebatang.
"Ayo, siapa yang memegangnya, acungknan!" teriaknya.
Hampir setengah dari penonton mengacungkan tangan. Sementara kain hitam yang menutupi gulungan koran itu masih belum diliriksi Jenggot.
"Kalau kata saya, patahkan, langsung patahkan!" Si Jenggot duduk bersemadi
lagi. Beberapa menit berlalu. Hening.
Tiba-tiba dari arah penonton tubuh seseorang terjatuh ke tengah arena. Penonton itu mengerang kesakitan. Orang-orang terkesima dan saling pandang. Ketegangan terasa di wajah mereka.
"Kenapa kamu!"" bentak si Jenggot berang.
"Tubuh saya!" erangnya.
"Mana korek apinya!"
"Saya buang." "Apa"! Kamu buang"!" Dijambaknya rambut orang itu. "Lihat! Inilah akibatnya bagi orang yang menyepelekan saya!" tantangnya pada penonton. "Ayo, siapa lagi yang membuang korek api tadi, nasibnya akan seperti orang ini!"
Penonton berdebar-debar. "Kamu ingin sembuh"!"
Penonton sial itu mengangguk.
"Acungkan yang masih memegang korek api."
Hampir setengah penonton mengacungkan korek apinya.
"Mendekat kemari!" perintah si Jenggot.
Seperti kena pengaruh dahsyat, para penonton yang memegang sebatang korek api, yang akan diubah si Jenggot menjadi sekuat baja, berhamburan ke tengah arena. Berusaha menjadi paling dekat dengan si Jenggot. Kain hitam yang menutupi gulungan koran dan akan diubah si Jenggot jadi ular itu, terinjak-injak dan terlupakan. Juga korek api yang akan berubah jadi sekuat besi baja, tak ada kelanjutannya.
Roy duduk terpaku di atas ranselnya. Dia tidak beranjak, tapi lengannya masih menggenggam erat batang korek api sialan itu. Dia mencoba berpikir jernih.
"Kamu megang korek api, kan"" seseorang menghampirinya.
Roy menggeleng sambil membuka kedua lengannya. Batang korek api itu sudah diselipkan di saku celananya ketika dia mulai melihat gelagat bahwa ini adalah pemerasan secara terselubung. Koran yang akan berubah jadi ular itu tak ada kabar beritanya lagi. Korek api yang akan jadi sekuat baja juga entahlah. Yang ada sekarang adalah wajah-wajah ketakutan, yang memegang korek api. Ternyata permainan mematahkan batang korek api adalah jurus ampuh untuk mengikat para penonton agar tak meninggalkan arena.
Roy melihat seorang lagi menggelepar-gelepar. Si Jenggot berdiri dan menghardiknya untuk bersikap sopan. Seseorang lalu membagi-bagikan "sesuatu" yang terbungkus plastik. Beberapa penonton dengan sigap merogoh saku belakangnya. Kini setiap orang memegang bungkusan itu dengan keharusan menyetor uang. Beberapa orang menggerutu, tapi sudah tak sanggup berbuat apa-apa.
"Di bungkusan ini tertulis mantra-mantra agar orang bisa jadi sakti," kata seseorang membisikiya.
Roy mengangguk. Di kampungnya juga dikenal hal semacam ini. Isyim, namanya. Berisi ayat-ayat Alquran, yang konon kalau diamalkan secara benar, akan membuat si pemiliknya sakti mandraguna.
Si Jenggot itu mengajak mereka ke sebuah tempat yang agak terlindung. Transaksi selanjutnya berlangsung di sana. Segalanya kini jadi jelas. Si Jenggot sudah mencengkeram mereka dengan "kekuatan"-nya. Apa saja yang dikatakannya kini dituruti. Semuanya memang cuma demi uang. Rakyat kebanyakan memang selalu jadi korban siapa saja, oleh kaum sesamanya yang lebih pintar atau juga orang-orang kaya yang rakus.
Pada hari lain, ketika Roy iseng-iseng melepas penat, hal seperti ini terjadi lagi. Walaupun perneran utama tukang obat dan peniup sulingnya berbeda, tapi ular kobra, segulung koran yang akan berubah jadi ular, dan korek api yang nanti disulap jadi sekuat baja tetap bagian dari perrnainan. Juga orang yang menggelepar-gelepar karena korek apinya dibuang di tengah pertunjuk, tetap orang yang sama.
XI. KABAR DARI RUMAH Lelaki dimiliki wanita, tapi dia memiliki semua. Dia harus pergi, tapi juga harus pulang, karena ada yang dikasihi dan mengasihi. Ya, lelaki memang harus pergi, tapi juga harus pulang.
-Heri H Harris *** Pemuda Roy gelisah sendirian di taman di depan Youth Hostel, New Delhi. Kabar dari rumah terus menusuk-nusuk jiwanya. Beragam kepentingan saling berbenturan; antara keinginan mewujudkan impian masa mudanya dengan melihat keagungan Tuhan serta karya besar manusia, dan terimpit oleh kecintaan pada Mama serta Suci, gadis yang dicintainya.
You Chi Wan muncul membawa seplastik buah anggur. Setelah si Korea ini menjelajahi India bagian barat, mereka berjanji bertemu di sini. Dia merebahkan badannya yang tampak penat sehabis menjelajahi India bagian barat.
"Betul mau menyusul gadismu ke Berlin, Roy"" Chi Wan menggoda sambil mengunyah buah anggur.
Roy meringis dan mengambil beberapa buah.
"Kalau lewat darat, lantas sampai Berlin-nya kapan"" Si Kotea tertawa. "Yugoslavia sedang bergolak, friend! Mau lewat mana
lagi"" Roy menatapnya serius. "Aku begitu ingin ke Eropa, Chi Wan, tempat peradaban dunia berasal. Roma dan Paris, oh, aku selalu memimpikannya.
"Setelah itu, aku juga ingin menyeberang ke Arab. Ke Mekah, tempat nabi dan agamaku berasal. Aku ingin sujud di Kabah. Aku ingin merasakan getaran-getaran Isra Mi'raj di sana."
"Pergilah kalau begitu."
"Aku selalu tersiksa jika memikirkannya, jika sadar bahwa itu cuma mimpi
belaka." "Why not""
"Ada sesuatu yang tidak beres di rumah," keluh Roy. "About your girl friend""
Mamaku, Chi Wan." Roy menyembunyikan wajahnya. Dia sentimentil sekali jika sudah membicarakan perihal mamanya, wanita yang sampai kapan pun akan selalu dicintainya. Wanita yang sudah mengorbankan seluruh hidupnya, tenaga, waktu, dan pikiran untuk anaknya.
Roy akan jadi "gila" jika menyia-nyiakan pengorbanan mamanya, yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Dan dia merasa sedang ada yang disembunyikan oleh uwaknya, ketika tempo hari mereka berbicara di telepon.
Uwaknya bilang, "Segalanya sudah terlambat." Apa maksudnya" Dia memang selalu menyepelekan perasaan orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya jika sudah berurusan dengan keinginannya berpetualang. Kadang kala dia ingin pura-pura tidak tahu saja dengan apa yang terjadi pada mamanya di rumah. Tapi apa bisa" Bagaimana jika mamanya... Oh, itu tidak mungkin!
"Pulang adalah yang terbaik, Roy. Toh, masih ada waktu untuk petualangan di Eropa nanti," You Chi Wan menyarankan. "Seluruh sisa hidupmu tidak akan pernah bahagia jika pulang cuma mendapati kuburan mamamu saja."
"Jangan berkata seperti itu."
"Aku cuma berandai-andai."
"Jangan berandai-andai tentang mamaku."
Chi Wan mengangkat bahunya.
Roy menerawang entah ke mana. Pikirannya menjelajah liar, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada mamanya. Dan itu menakutkan sekali. "Kemarin malam aku telepon mamaku, menanyakan tentang kesehatannya. Tahu apa yang terjadi padaku, Roy, setelah mendengar suara mamaku"
"Aku jadi ingin cepat-cepat pulang memeluk Mama dan Papa. Aku kangen Seoul! Aku rindu gadis-gadisnya!" suara Chi Wan sangat romantis.
Roy menarik napas panjang.
"Sekarang antar aku ke main bazaar, yuk!" Chi Wan menariknya. "Tuker dolar di black market! Sekalian ngecek honor kamu di bank. Siapa tahu sudah datang, Roy!" Roy berdiri dengan malas. Wajah mamanya terus membayang.
Sudah seharian You Chi Wan mengobrak-abrik main bazaar, bertransaksi dolar dengan kaum oportunis di jalanan. Tukar dolar seperti ini memang bisa empat atau lima point lebih tinggi dari bank rates, dan mengandung risiko. Tapi berkali-kali pula si Korea ini menggagalkan transaksi, karena ingin harga yang lebih tinggi.
"Kamu serakah!" gerutu Roy kesal, karena seharian ini cuma dihabiskan untuk mengantar Chi Wan tukar dolar. Untung kekesalannya terobati, karena kiriman honornya dari Jakarta sudah datang lewat sebuah bank swasta.
"Ada yang berani nukar sampai enam point, Roy!" Chi Wan memintanya untuk bersabar.
"Ya, tapi mana""
"Sabar, Roy!" "Bagaimana aku bisa sabar, kalau harus membuang tenaga, waktu, dan pikiran Cuma untuk beberapa ratus Indian rupee!" makinya.
Chi Wan memang cuma menukar dua ratus dolar saja. Beberapa kali dua atau tiga point lebih tinggi dari nilai tukar bank, si Korea ini tetap ngotot meminta lebih tinggi lagi. Pengaruh ekonomi sudah merasuk ke jiwanya, dengan modal sedikit bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
"Change money, Mister!" sopir bajaj menegurnya.
Chi Wan menghampirinya. Mereka terlibat tawar-mena:war. Chi Wan berseri-seri, karena nilai tukar yang diinginkan akhirnya tercapai juga. Enam point lebih tinggi! Sopir bajaj itu menyuruh Chi Wan naik.
"Be careful, friend," bisik Roy yang duduk di sebelah Chi Wan. "Aku tidak percaya sama orang ini."
Chi Wan menyuruh Roy untuk tenang.
Bajaj menuju daerah yang sepi. Perasaan Roy campur aduk. Betapa bertumpuk persoalan yang dipikirkannya. Dia memang terlalu banyak keinginan. Tiba-tiba kendaraan roda tiga ini menepi. Di mulut jalan ada keramaian. "Ada orang mati," kata si sopir.
"Kenapa tidak tukar di sini saja"" kata Roy. "Sebentar, Mister."
Senyum si sopir terkembang.
Roy begitu tersentak melihat iring-iringan kematian ini. Dia tidak berani melihatnya. Jiwanya terguncang lagi. Dia selalu ingat mamanya jika sudah begini. "Ingat mamamu, Roy"" tegur Chi Wan. "Ayolah, kita sudahi transaksi ini!" sungut Roy.
Bajaj bergerak lagi. Suara mesinnya yang seperti kaleng butut bikin pekak telinga dan pening kepala. Di sebuah belokan kecil, bajaj membelok. Berhenti.
"Tunggu di sini!" Si sopir melompat turun, tanpa mematikan mesin kendaraan. Dia masuk ke sebuah rumah berlantai dua.
Chi Wan bersiul-siul. Roy gelisah sendirian. Si sopir nongol dengan bungkusan plastik. Lalu menjalankan kendaraan dengan tergesa-gesa. Roy merasa heran, kenapa transaksi belum juga terjadi. Tapi dia menahan diri untuk tidak mencampuri urusan ini.
Bajaj sudah kembali di keramaian jalan New Delhi, saling-silang dengan kendaraan lainnya. Tak berbeda dengan semrawutnya lalu lintas Jakarta.
"Silakan dihitung, Mister!" Si sopir menyodorkan bungkusan plastik berwarna kuning.
Chi Wan membuka plastik itu pelan-pelan. Menghitungnya. Roy pun membantunya. Mereka berusaha menghitung secermat mungkin.Tak ada yang terlewat. Bagaimaria, Mister""
"Cukupl" seru Chi Wan.
Si sopir meminta kembali bungkusan kuning itu. Lalu dia menanyakan tentang dua ratus dolar Amerika-nya. Chi Wan menyodorkan dua lembar. Si sopir memeriksa keaslian uang kertas itu sambil mengendarai bajaj. Setelah yakin dolar itu asli, dia mengembalikannya. Kemudian transaksi pun terjadi. Bungkusan kuning dan dua lembar uang kertas seratus dolar berpindah tangan.
"Okay, Mister!" Si sopir tersenyum lebar meminggirkan bajaj di Connaught Place. "Terima kasih atas dolarnya!"
Chi Wan melompat turun dengan gembira. Roy mengikutinya. Kegelisahan yang tak ada ujungnya masih menyelimuti jiwanya.
"Buka bungkusan itu, Chi Wan," kata Roy ingin meyakinkan.
"Tapi jangan di sini." Chi Wan menyeberang ke sebuah kafe.
Mereka duduk di sudut. Memesan es cola. Chi Wan hati-hati membuka bungkusan plastik kuning itu. Beberapa saat Chi Wan mengamati ikatan uang itu. Wajahnya yang putih pucat sukar dilukiskan ketika dia berteriak geram.
"Kenapa, Chi Wan"" Roy memeriksa uang kertas itu.
Chi Wan tak habis-habisnya mengumpat. Kata-kata kotor meluncur deras, sehingga mata pengunjung restoran tertuju pada mereka. Roy juga tak urung berang, begitu menyadari gepokan uang kertas itu ternyata uang monopoli. Lapisan atasnya saja yang masih uang kertas betulan.
"Apa aku bilang!" Roy memukul meja.
"Tapi, bagaimana ini bisa terjadi" Kamu sendiri ikut memeriksa isi bungkusan
itu, Roy!" "Gila! Ini betul-betul gila!" Roy mengacak-acak uang kertas monopoli itu. Dia menebak, ketika transaksi berlangsung, si sopir itu pasti memberikan bungkusan plastik yang lain.
Bungkusan yang berisi uang asli tentu disembunyikannya. "Aku memang bodoh!" gerutunya. "Kita tidak waspada!"
You Chi Wan bangkit. Dia berlari ke jalanan. Mencoba mencari-cari, siapa tahu bajaj sialan itu masih tampak. Tapi itu jelas pekerjaan sia-sia. Kini Roy paham kenapa transaksi dilakukan di atas bajaj yang sedang melaju di keramaian. Susah untuk melacaknya.
Chi wan masih berteriak-teriak di luar. Kadang merutuki kebodohannya. Roy berusaha menenangkannya. Kalau sudah begini, mereka tak bisa berbuat apa-aipa. Mau lapor polisi, malah bisa fatal. Ada peraturan bagi orang asing untuk nienukar dolar di bank.
"Habis sudah uangku, Roy!"
"Aku tidak bisa membantu apa-apa, Chi Wan."
"Aku mengerti, Roy," Chi Wan memaklumi.
"Besok aku harus ke Kedutaan Korea," katanya. Dia juga mengatakan bahwa di kedutaan nanti ada bagian yang mengurusi kesulitan seperti ini. Dia bisa pinjam uang dan nanti pembayarannya dilunasi begitu sampai di rumah.
Mereka kembali dengan nelangsa ke Youth Hostel. Terutama Chi Wan, yang tadinya hendak untung malah jadi buntung. Mau tidak mau Chi Wan mempercepat rencana kepulangannya ke Korea. Dia yang tadinya menikmati perjalanan di India, kini berbalik menyumpahinya.
"Kalau saja aku menuruti apa katamu, Roy," Chi Wan menyesali diri. "Uang kadang bikin hatiku buta. Uang memang cepat membiusku." "Penyesalan selalu munc
ul belakangan." Seorang resepsionis memanggil mereka. "Ada pesan untuk Tuan Roy," katanya memberikan sepucuk surat.
Chi Wan membaca kop surat itu. "Dari KBRI, Roy."
Roy dengan berdebar-debar membuka surat berkop KBRI India itu. Dibacanya pelan-peIan. Tak ada lagi kekuatan yang terpancar di wajahnya. Semuanya seperti musnah; juga kekerasan seorang lelaki yang selama ini dimilikinya. Tubuhnya luruh. Tulang-tulangnya hancur bagai tembok keropos. Dia roboh. Rapuh.
Surat itu menggelincir ke lantai.
Chi Wan memapahnya. Bibir Roy gemetar. Kelopak matanya kosong dan berkaca-kaca. Menggenang. Beriak-riak. Luber. Jatuh satu-satu ke pipinya. Deras. Deras. Hatinya menggigil. Pilu. Lara. Sejuta duka merejamnya.
Langit seolah-olah roboh menimpanya.
"Mamaku, Chi Wan." Roy terisak-isak.
Chi Wan memeluknya. "Mamaku, mamaku." Pipinya basah.
"Kini kamu ada alasan untuk pulang, Roy."
"Aku kini jadi anak durhaka." Hancur hatinya.
Tak ada lagi yang bisa mampu menopang tubuh Roy. Dia berada dalam kepedihan yang luar biasa. Dia sudah tak punya apa-apa lagi sekarang. Tak memiliki siapa-siapa lagi. Kini dia ibarat daun kering yang rontok, melayang-layang, dan terpuruk ke bumi.
XII. EPILOG Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Pohon rimbun. Sawah. Gunung. Sungai. Bebatuan. Tawa anak gembala di punggung kerbau. Main lumpur. Alamku. Mimpiku. Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Bunga-bunga. Kasih. Belaian. Harapan. Alamku. Mimpi-mimpiku.
-Heri H Harris *** Pemuda Roy dengan panik mengejar fajar. Dia berlomba dengan senja. Begitu surat dari KBRI itu dibacanya, tak ada yang dipikirkannya lagi kecuali: pulang. Tak ada lagi yang ingin dikerjakannya kini. Naluri petualangannya musnah. Semangatnya runtuh. Obsesi keliling dunianya tertendang jauh-jauh. Eropa sudah dikuburnya. Mimpi-mimpi masa mudanya diinjak-injaknya.
Ternyata pikiran-pikiran buruk tentang mamanya terjadi juga. Pada akhirnya, penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Ah, andai saja dia pulang lebih cepat menengok mamanya yang masih dirawat di rumah sakit... tentu ceritanya jadi lain.
Roy tidak berpikir panjang lagi. Blue ransel-nya pun dikemasi. Pada kesempatan pertama dia naik pesawat ke Bangkok. Lalu nyambung dengan kereta ke Kuala Lumpur. Dan dari sana dia menustaskan perjalanannya dengan pesawat Garuda ke Jakarta. Sisa uangnya memang cuma cukup untuk itu.
Kini dia pulang ke rumah, tapi tak ada senyum menyambutnya. Tak ada siapa-siapa. Ketika dia mendarat di Cengkareng, kedua kakinya tak lagi bisa diam. Dia berlari ke sana kemari, seolah-olah takut kehilangan sesuatu. Dia cuma bisa memeluk uwaknya erat-erat. Bersembunyi di sana. Menangis sesenggukan seperti bayi.
Hancur, hancur! Hari-harinya seperti tak berarti lagi.
"Maafkan Roy, Uwak." Dia bersimpuh. "Yang penting kamu selamat sampai di rumah."
Selamat sampai di rumah, kalimat uwaknya terus terngiang-ngiang. Tak ada gunanya jika senyum yang selalu terkembang di pintu rumah itu kini tertelan bumi. Belaian lembut jika sedang gundah gulana itu juga tak akan dirasakan lagi. Lenyap sudah segala-galanya.
Seluruhnya ditumpah-ruahkan di atas gundukan tanah merah itu. Mamanya terbaring abadi di dalamnya.Terkubur. Kembali ke sisi-Nya. Dari asal kembali ke asal. Dia meremas-remas tanah merah itu. Mencoba merasakan kehangatan tubuh mamanya. Mencoba mengalirkan penyesalannya. Mengabarkan kecintaannya.
Air matanya sudah kering kerontang. Suaranya hilang sudah. Tak ada lagi yang dimilikinya kini. Rebah-rebahlah. Dia memeluk gundukan tanah yang menimbun tubuh mamanya. Membalurkan pada tubuhnya. Pada wajahnya.
"Mama," lirih suaranya, "Roy sudah pulang." Bibirnya gemetar. "Roy kini sendirian, Mama. Tak ada lagi wanita yang bisa menggantikan Mama."
Angin di pekuburan berkesiur. Hari yang panas. Daun-daun pohon kamboja bergulingan. Debu-debu beterbangan.
"Mama," Roy merasa sedang berbicara dengan mamanya. Seutuh-utuhnya mamanya hadir. "Roy kini tidak akan pergi-pergi lagi.
Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Roy akan selalu di dekat Mama. Menemani hari-hari Mama yang selalu sepi."
Roy terus meraung-raung di pusara mamanya. Tubuhnya kotor penuh tanah merah. Dia menjambak-jambak rambutnya.
Beberapa hari ini dia tak bisa mendapati dirinya secara utuh. Dia sudah terlepas dari kesadarannya. Tercerabut dari kemanusiaannya. Terapung-apung di samudera tanpa panduan bintang. Tanpa mercu suar. Buta. Gelap gulita. Hilang bentuk.
Kini komplet sudah keputusasaannya. Papanya yang cuma hadir dalam mimpi kanak-kanaknya, lalu Joe, anjing herder pemberian papanya, kini miliknya yang terakhir, Mama, harus pula meninggalkannya. Ya, lengkap sudah kini kesepiannya. Tak ada lagi tujuan untuk hidup. Tak ada lagi arah ketika dia hendak berjalan.
Roy tenggelam berlarut-larut. Yang dikerjakannya cuma menyesali nasib. Sungguh dia tidak menyangka perjalanan panjang hidupnya akan berakhir seperti ini.
Rumah kecil yang tua itu kini hampa. Sepi sendiri. Tak ada gelak tawa. Tak ada suara jerijit mesin jahit. Tak ada bunyi apa-apa. Foto-foto mama-papanya diturunkan. Ditumpuk. Disimpan di kardus. Album-album keluarga pun ditutup rapat-rapat. Diikat kuat-kuat. Untuk sementara waktu, dia tak akan berani melihatnya. Bisa robek hatinya.
Beberapa hari setelah itu Roy terdampar di pekuburan keluarga papanya di Jalan Sukabumi, Bandung. Beberapa tahun ke belakang dia pernah berziarah ke sini. Membersihkanh makam papanya yang tak terawat. Merangkul pusara papanya yang dicakari rumput liar.
"Roy datang lagi, Pa," bisiknya lirih. "Roy sudah menyia-nyiakan Mama, Pa." Kali ini matanya terasa, hangat. "Kini Roy sendirian."
Pemuda Roy gelisah di teras sebuah rumah, ini adalah kunjungannya yang pertama setelah kepergiannya yang panjang. Sebelumnya dia sudah memberi kabar bahwa akan datang berkunjung, Tapi Suci sedang ada di rumah tetangga. Adiknya menyuruhnya untuk menunggu. Kedua orangtuanya tak ada keinginan untuk menemaninya bicara.
"Roy!" Suci muncul di pintu gerbang.
Roy berdebar hatinya. Seperti mimpi. Suci semakin manis dan tumbuh dewasa. Manis memang tidak membosankan. Wanita sangat beragam. Ada yang cantik, jelita, dan manis. Suci termasuk yang terakhir itu.
Suci menyalaminya. Betapa Roy ingin memeluknya.
"Aku ikut sedih, Roy."
"Aku 'Malin Kundang' abad kini, Suci."
"Jangan bilang begitu, Roy."
"Aku harus bilang bagaimana untuk mengubur kesalahanku, Suci" Dosa-dosaku."
"Aku yakin mamamu setiap hari selalu mendoakanmu. Memaafkan dosa-dosamu. Tak ada orangtua yang ingin anaknya celaka. Terlebih-lebih seorang ibu yang mengandung dirinya.
Sekarang masalahnya tinggal kamu dengan Tuhan, Roy. Kamu mesti mengisi hari-harimu dengan agama, Roy. Bersihkan dirimu. Cuci pikiranmu dari hal-hal ,kotor."
Roy menyimak kalimat-kalimat Suci, yang menurutnya cukup menyejukkan. Ini ibarat air oase di padang pasir,
"Sori, aku seperti orang yang paling bersih saja ya, Roy." Roy tersenyum.
Keesokannya mereka bertemu dan menghabiskan waktu di sebuah kafe di pojokan Jalan Braga. Suci datang dengan kemeja merah dan senyum manis. Sedangkan Roy dengan jubah kelabu yang mendung.
"Ada yang ingin kubicarakan, Roy."
"Aku pasrah saja, Suci. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Di dalam perjalananku kemarin pun banyak hal yang telah kulanggar."
Suci mempermainkan sendok di gelas. Gemerincrng bunyinya. Syahdu dan pilu, seperti halnya suara hati mereka. Sementara itu Jalan Braga dipukuli gerimis. Penyanyi buta, Braga Stone, yang biasanya memetik kawat kecapinya, kini sudah tak ada lagi. Kabar dari orang, penyanyi buta itu sakit. Tapi kabar yang lain, dia sudah terlindas perubahan zaman.
"Selama perjalanan, aku sudah memikirkan hal-hal terburuk yang akan menimpaku. Kehilangan Mama dan kamu, Suci. Aku sudah siap untuk itu.
"Tak ada lagi yang bisa kubanggakan sekarang. Kini aku lelaki yang 'kotor'. Yang kalah. Yang lelah. Aku bukan siapa-siapa lagi. I am nobody."
"Roy." Suci berusaha menatapnya. "Ketika aku membaca surat-suratmu, oh, tahukah perasaanku, Roy"" Kekecewaan jelas terlukis di wajahnya. "Lelaki idamanku di negeri seberang cuma tenggelam dengan obat bius, hasis, alkohol, dan ganja" Lalu di pelukan gadis bule""
Roy tak bisa membantah. "Hal-hal seperti itukah yang selalu mengisi hari-harimu, Roy" Itukah tujuan kamu sebetulnya, kenapa begitu ngotot ingin traveling" Kebebasanka
h yang kamu inginkan, Roy, karena disini kamu tidak bisa mendapatkannya"
"Kalau kebebasan seperti itu yang kamu dambakan, kamu harus menebusnya dengan mahal, Roy. Kehilangan mamamu." Dada Suci turun-naik.
Juga kehilangan kamu, Suci."
"Kamu tidak pernah mengindahkan kata-kataku, Roy! Kamu selfish!"
Sebetulnya Roy datang menemui Suci cuma ingin rebah di pelukannya. Kalau perlu mepangis. Dia tak punya siapa-siapa sekarang. Tapi apa boleh buat, dia harus mau menerima kenyataan, bahwa dia harus siap kehilangan Suci-wanita tersisa yang kini dimilikinya.
"Kamu memang ingin kehilangan aku, Roy!"
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Padahal kamu bisa membohongi aku, Roy!"
Matanya mulai tergenang. "Kamu kan bisa saja menulis hal-hal lainnya di surat ketimbang alkohol, ganja, hasis, dan gadis Berlin-mu itu!"
"Aku ingin jujur, Suci." Roy menggenggam lengannya, tapi Suci menepisnya. "Aku ingin kamu mengenal apa adanya aku."
"Tapi, akhirnya ya seperti ini!"
"Aku minta maaf."
"Lelaki selalu begitu!"
"Aku khilaf. Itu memang sebagian risiko yang harus aku terima. Romantika perjalanan, namanya. Aku kesepian. Aku sedang sentimentil. Aku kangen sama kamu saat itu."
Suci mengaduk-aduk isi gelas Jagi. Kesal sekali.
Roy melihat ke jalanan lagi. Kosong hatinya. Lengang jiwanya. Kata-kata sudah kehilangan makna. Bahasa isyarat jadi tak berguna.
"Aku mau ke Kanada," kalimat Suci mengagetkan.
Roy menatapnya tidak percaya.
"Aku ikut pertukaran pelajar, Roy."
Kint Roy tersenyum. "Aku senang mendengamya, Suci."
"Rencananya satu tahun. Tapi kalau aku betah, papaku menyuruhku untuk meneruskan sekolah di sana. Biar Inggris-ku lancar." "Pergilah, Suci. Lihatlah dunia."
Suci menatapnya lagi dengan perasaan dalam. "Aku mencintaimu, Roy," lirih suaranya.
"Aku sudah kehabisan kata-kata, Suci."
"Tapi untuk menyatukan perasaan kita, tidak cukup cuma dengan cinta saja. Untuk mengabadikan cinta itu, Roy, mulainya dari diri kita sendiri. Untuk menjadikan cinta itu sesuatu yang indah dan berharga, kita harus memeliharanya. Harus ada saling pengertian, penghargaan, dan menghormati kepercayaan masing-masing." "Aku sudah melanggarnya, Suci. "
Suci menggigit bibirnya. Dia tampak berpikir keras. Lalu mulutnya yang mungil terbuka, "Aku juga tidak setia seperti yang kamu duga." Roy mendelik.
"Selama kamu melakukan perjalanan, aku menjalin hubungan dengan seorang cowok. Dia mahasiswa. Mungkin seperti kamu bilang, aku juga kesepian:"
Suci sudah jujur, walaupun hati Roy tertusuk. Kepahitan kini semakin lengkap. Atap dunia betul-betul mengimpitnya. Tak ada lagi yang harus dipertahankan sekarang. Tak ada lagi yang berharga bisa digenggamnya.
"Suci." Roy meremas lengannya. "Sekarang kita jalan masing-masing saja."
"Roy!" "Kita memiliki cinta, Suci. Tapi itu tidak mesti saling memiliki. Biarlah cinta itu abadi di hati kita."
Oh, Roy, ini membingungkan!" "Kapan kamu berangkat ke Kanada"" "Bulan depan."
Roy menarik napas. Sakit sekali dadanya. "Kamu akan mengantarku ke bandara kan, Roy""
Roy cuma menggenggam penuh telapak tangan Suci. Mendekatkannya ke bibir. Dikecupnya punggung tangan Suci. Dia sudah siap untuk kehilangan segala miliknya yang berharga. Ini adalah risiko seorang lelaki.
Pemuda Roy cuma ingin berlari jauh. Berlari meninggalkan segala-galanya. Mimpinya yang ada sekarang cuma rumah di atas bukit. Sawah. Gunung. Bebatuan. Seruling gembala. Kerbau. Itulah mimpi-mimpi keputusasaannya, yang entah akan terobati atau tidak.
Lukanya luka lelaki. Luka karena pisau kehidupan. Tak mungkin membiarkan luka itu jadi borok dan bernanah, walaupun luka lain bakal datang.
Hujan gerimis memukuli kampung di kaki gunung di Banten Selatan. Bau Lumpur semerbak memenuhi hidung. Musim tanam tiba. Gadis-gadis kampung membenamkan betis mereka yang putih alami. Bapak-bapak bernyanyi-nyanyi membajak sawah. Kerbau melenguh, karena sudah kembali ke kodratnya, jadi bagian hidup manusia, ketimbang diikat di kandang.
Anak-anak kecil berlarian di pematang sawah. Mengejar capung serta berburu kodok swike dan belut. Lalu menyerbu sungai irigasi. Bermain air dan larut dalam mimpi kanak-kanak.
Sawah, gunung, sungai, dan senyum orang-orang kampung. Itulah kehidupan bersahaja. Itulah sesungguhnya kebahagiaan. Tak ada nafsu saling memiliki. Tak ada rasa saling menindas. Semua cuma kebersamaan. Segalanya adalah anugerah Tuhan. Betapa damai.
Matahari pun selalu gembira menerangi mereka. Ramah dan hangat. Tidak menyengat.
"Roy!" seorang gadis kampung memanggilnya. Gadis kampung yang cantik itu mengacung-acungkan bakul nasi. Makan siang sudah tiba.
Seorang pemuda gondrong bertelanjang dada, yang sedahg asyik terbenam dilumpur menarik bajak, melambaikan tangannya. Dia memutar arah bajakhya.
"Kita makan siang dulu!" katanya menyeka keringat.
Kerbau gemuk itu melenguh panjang.
Setelah mamanya dipanggil Tuhan, Roy memutuskan untuk pergi ke mana saja kakinya membawa. Di Banten Selatan, sebuah keluarga petani menemukannya sedang meratap-ratap di gubuk. Keluarga petani itu memungutnya. Menjadikannya bagian dari sebuah keluarga.
Jika kalian sedang "tersesat" ke kampung-kampung terpencil dan melihat seorang pemuda gondrong bertelanjang dada, sedang gembira membajak sawah, berteriaklah padanya: Roy! Pemuda gondrong itu akan menoleh dan tersenyum!
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Empress Orchid 4 Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Jawaban Answer 1
"Logikanya memang begitu. Tapi harga buku masih mahal di negaraku. Dan kenyataannya, minat beli masyarakat sangat payah.
"Rahasianya cuma terletak bahwa selain kehidupan rakyat Indonesia belum makmur, budaya gemar membaca pun belum berkembang. Belum menjadi kebutuhan hidup. Akhirnya ini berhubungan dengan intelektual masyarakat.
"Kalau bahasa pejabat, masih banyak yang mesti diurusi ketimbang membeli buku bacaan."
Ya, kenyataannya rakyat Indonesia belum makmur hidupnya. Masih ada 120 juta rakyat di bawah garis kemiskinan, sementara yang (sangat) kaya 70 juta jiwa. Lantas yang sisanya, mungkin, hidup pas-pasan.
Pemuda Roy suka muak jika mengingat kebuasan mereka yang kaya pada uang. Sementara sebagian besar lainnya kepayahan mengais rupiah. Dia memang cuma bias terbelalak dalam ketidakberdayaan. Daripada stress mikirin nasib bangsa, dia memilih traveling saja. Percuma. Salah-salah malah disangka subversif lagi. Kalau sudah begitu, hak-hak hidup sebagai warga negara jadi percuma.
Tapi kamu sungguh menikmati hidup ya, Roy." "traveling sambil menulis artikel dan membuat novel. Itulah hidup saya. Itulah kompensasi terbaik."
"Wow, great! Kamu berpindah dari satu tempat ke tempat lain" Mengongkosi perjalanan dari tulisan-tulisanmu" Nice job, Roy!"
"Nikmat hidup begitu, Roy. Tak ada gunanya mengurusi politik." "traveling is my life," Roy bergumam. Mereka menikmati sarapan yang tertunda. "Aku takut, Ina," tiba-tiba Roy ragu.
"Takut, kenapa""
"Aku takut sama kamu," "What"" Ina temganga.
"Apakah kamu sadar, Ina, bahwa kamu adalah gadis yang menarik"" "So, what's the problem, Roy"" Ina tersenyum. "Justru itu, saya takut terfarik sama kamu."
"Ah, jangan bicara bullshit, Roy!"
"Ini tidak bullshit. Aku bicara tentang perasaanku padamu." Roy memegang jemari Ina. Matanya yang masih sayu mencoba menatap tajam.
Pelayan restoran mencuri dengar percakapan mereka. Ada dua gadis Jepang di meja sebelah melirik. Di meja yang lain lelaki bule asyik bermesraan dengan gadis Jepang lainnya.
"Aku sedang tidak siap untuk bermain-main dengan perasaan."
"Maksudmu, Roy""
"Minggu depan kamu pulang ke Berlin. Meninggalkan aku di sini. Aku akan kesepian lagi seperti hari-hari sebelumnya.
"Ini terlalu singkat. Buatku lebih baik tidak mengalami daripada mengalami tapi sesaat."
Kalau begitu, ikut denganku ke Berlin!" Roy tersenyum kecut.
"Di Berlin banyak hal yang bisa kamu tulis untuk mass media Indonesia. Asyik,
kan, Roy!" Roy menggerak-gerakkan sendok di gelas. Memutar-mutarnya, sehingga air di gelas membentuk seperti pusaran. Tawaran Ina tadi, walaupun main-main, akhirnya merasuk juga ke segala pembuluh darahnya. Eropa! seru batinnya. Naluri petualangannya tiba-tiba meletup. Aku ingin sekali melihat sebuah peradaban modern bergulir!
"Aku tidur di mana nanti"" Roy iseng bertanya. "Ya, di apa
rtemenku!" Ina gembira. "Ada sofa, kan."
Ina tersenyum lucu. "Kamu tidur denganku!"
Tiba-tiba Roy tertawa keras. Lagi-lagi dia menatap Ina. Tidak pernah terpikir olehnya akan terlibat asmara dengan gadis Eropa. Merayu atau mencoba menarik perhatian mereka saja tidak pernah. Berkali-kali sudah kesempatan itu di hadapannya. Jika dia sedang nongkrong di kafe di Kuala Lumpur, Bangkok, Chiang Mai, atau Katmandhu, di mana para traveler mancanegara melepas lelah sambil saling bertukar informasi, tak ada keinginan untuk iseng pada gadis bule. Dia cuma sampai batas berbincang-bincang saja.
Roy ingat pesan mamanya sebelum berangkat, "Jangan pacaran sama wanita asing. Dari negeri mana pun. Di negeri sendiri saja belum habis dan tidak kalah cantik." Tak beda jauh dengan si manis Suci di suratnya yang dibacanya ketika dia di Entikong, perbatasan Pontianak dan Kucing. "Ingat, Roy, jangan lupa salat, rambut nggak boleh gondrong, dan dilarang keras kencan sama bule!"
Tapi, Ina" Dia gadis yang penuh perhatian. Dia peduli padaku. Terbukti dia menengokku di guest house. Batinnya membenarkan. Pemuda bandel ini tergetar hatinya. Antara seks dan rasa kesepian selama perjalanan jadi campur baur. Ah, aku sudah mendobrak kepercayaan yang diberikan Mama dan Suci. Ada rasa penyesalan menyusup di hatinya.
"Aku besok pagi mau terus ke Agra," kata Ina memecah kesunyian.
"If you don't mind, aku ikut bersamamu."
Wajah Ina berseri-seri. Tiba-tiba Kay, bocah hitam dekil itu, nongol. Dia tanpa malu-malu minta breakfast. Bahkan minta jatah untuk kedua adik perempuannya di rumah. Roy tanpa sungkan-sungkan membelikannya. Si Bandel jelas merasa berutang budi pada bocah kecil ini. Bahkan utang nyawa. Ada pepatah utang uang bisa dibayar, tapi utang budi takkan terbayar.
"Aku mau terus ke Agra besok pagi, Kay," Roy mengabarkan.
Kay mengangguk. Ada perasaan sedih pada sorot matanya. "Bersama Ina"" Dia menatap gadis Jerman itu. Ina tersenyum.
Roy menarik Kay ke luar restoran. Mencari sudut yang sepi. "Terimalah, Kay," Si Bandel memasukkan beberapa lembar rupee di saku celana Kay. "Ini untuk makan kamu bersama kedua adikmu."
Kay menatapnya, Dia tidak mampu berkata apa-apa.
"Hati-hati, Kay, jangan sampai ayahmu tahu bahwa kamu punya uang. Nanti dipakai buat mabuk dan main judi." Kay mengangguk.
"Pulang sana." Roy mengucek-ucek rambutnya. "Adikmu nanti kelaparan." Kay berjalan dengan lesu. Dia berhenti. "Aku ke stasiun besok pagi, Roy," katanya.
Roy mengangguk. Dia masih memandangi Kay. Bocah berumur empat belas tahun itu cuma menikmati bangku sekolah sampai tingkat enam saja (setingkat dengan SD). Sekolah yang sesungguhnya bagi bocah itu memang jalanan. Dia belajar ekonomi ketika dia memburu para turis untuk membeli karcis konser, menawarkan kamar-kamar penginapan yang murah, atau membantu menawar harga sewa perahu per jam. Dari kepandaiannya berbahasa Inggris, Kay bisa mengumpulkan komisi rupee demi rupee, membantu kebutuhan biaya rumah.
Kini Kay jadi sandaran kedua adik perempuannya, karena ayah mereka cuma berkubang alkohol dan tenggelam di mimpi-mimpi meja judi.
Kay pun menghilang di belokan gang.
Roy uring-uringan karena sleeping bag-nya yang dijemur raib. Rombongan Israel itu sudah check out, sejak siang tadi. Pasti mereka pelakunya, maki Roy. Marco Cuma angkat bahu. Si Italia itu sedang berkemas. Dia hendak terus ke New Delhi naik kereta malam ini, dan terus terbang, pulang ke negerinya.
Yoo Chi Wan dating. Dia pun sudah siap-siap check out. Si Korea Ini juga mau ke New Delhi. Dari sana dia akan mengunjungi Amristar, Punjab; melihat istana kaum
Sikh. "Kapan ke New Delhi, Roy"" Tanya Chi Wan. "Entahlah," Roy bingung. "Aku kepingin ke Eropa."
Marco berseru, "Kecantol gadis Jerman kamu, Roy!" "Pacarmu di Indonesia bagaimana"" sindir Chi Wan.
Roy meringis. "Aku yakin dia juga tak sesetia yang kubayangkan. Siapa tahu sekarang dia sedang ada di pelukan lelaki lain"" Keraguan tentang Suci, gadis yang ditinggalkannya itu, menyentak di dadanya.
Suara-suara ribut di lobi mengagetkan mereka. Suara jeritan anak-anak. Mereka melongok dari balkon, melihat ke lobi. Ada dua
gadis keci1 meronta-ronta di cengkeraman seorang pelayan. Roy terkejut. Itu adik Kay! pekik Roy sambil buru-buru turun.
"Hey, hey!" teriaknya pada pelayan. "Mereka tamu saya. Lepaskan," katanya sambil tersenyum pada kedua adik Kay.
Kedua gadis cilik itu tampak gembira sejenak. Lalu gugup lagi. Dia menjerit ketakutan. Berkali-kali mereka meneriakkan nama kakaknya.
"Mana Kay"" Roy dengan sulit berusaha berkomunikasi dengan kedua anak itu.
Gadis-gadis cilik, yang matanya bengkak kebanyakan menangis, menarik-narik Roy agar ikut. Si Bandel itu merasa ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Kay. Dia menyuruh pelayan guest house untuk menanyakan hal itu.
"Ayah Kay," kata si pelayan.
Kenapa ayah Kay"" Roy cemas.
"Kay... " Si pelayan seperti tidak percaya begitu mendengarnya dari mulut kedua gadis cilik ini. "Sebaiknya kita cepat-cepat ke sana!" katanya bergegas.
Roy pun menyusulnya. Kedua gadis kecil itu masih saja menjerit-jerit mengikuti mereka. Kecemasan dan ketakutan sudah campur baur tergambar di wajah mereka. Lebih cenderung ke putus asa tanpa gairah hidup. Atau katakanlah hampa, karena sudah terbiasa mengalami penderitaan.
Roy menyingkap kerumunan orang-orang di pintu rumah Kay. Jerit tangis bocah kecil terdengar menyayat hatinya. Dada Roy berdebar kencang. Badai membuat kalang kabut perasaannya.
Roy melihat Kay sedang mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Kedua lengan Kay berlumuran darah. Ada lingkaran penuh darah merah yang kental di dada kiri lelaki pemabuk dan penjudi itu. Di lantai rumah tergeletak sebilah pisau dapur yang berlumuran darah. Kata orang-orang, Kay dengan penuh kemarahan menikamkan pisau dapur itu ke tubuh ayahnya. Tamat sudah riwayat ayah pemabuk dan penjudi itu. Anaknya sendiri yang mengalgojonya.
"Lelaki pemabuk itu baru pulang dari meja judi. Dia hendak merampas uang Kay untuk berjudi lagi. Karena mabuk, dia tidak menyangka kalau anaknya, Kay, sudah tumbuh jadi lelaki kuat dan membencinya. Dengan pisau dapur, Kay membunuh ayahnya," seseorang bercerita.
Beberapa petugas mengamankan lokasi kejadian. Mereka menangkap Kay, si pelaku pembunuhan. Orang-orang cuma mendesah panjang, isyarat kecewa dan tidak menyetujui penangkapan bocah tak berdosa itu. Sekadar desahan, tanpa berani bertindak. Hal yang lumrah terjadi di kalangan masyarakat jika sudah berhadapan dengan sang penguasa.
Melihat Kay dibawa oleh lelaki-lelaki berseragam, kedua gadis kecil itu menghambur ke tubuh sang kakak. Menjerit-jerit dan menarik-narik, berusaha melepaskan Kay dari cengkeraman mereka.
Roy cuma bisa menatap drama kehidupan yang sedang dilakoni Kay, bocah hitam dekil, dari kerumunan orang-orang. Dia tidak sanggup berbuat apa-apa.
Oh, tiba-tiba saja Roy takut untuk jadi kawan Kay saat ini.
VII. HOLY orang-orang bergumam sepanjang jalan
merindukan hujan. tetapi lihatlah
seribu matahari bermunculan tiba-tiba
ini dunia mesti dimaki"
ah, siapakah kirimkan wangi kembang"
pergi dan melenyaplah! telah kulepaskan segala tentangmu
dan cinta cuma dongeng kanak-kanak
-Toto ST Radik Roy tersentak bangun. Keringat membanjiri tubuhnya. Tadi dia mimpi tentang rumah; mamanya yang seolah sedang pasrah menatapnya, serta Suci, gadis manis yang melambai-lambaikan tangannya. Mamanya dan Suci, dua wanita yang tersisa di "rumah", yang masih dicintainya. Tempat dia berharap ketika pulang nanti bias melabuhkan hatinya. Tempat dia bisa bercerita pada mereka. Tapi, mereka mengisyaratkan makna perpisahan.
Dari luar terdengar suara bising orang-orang bergema di sepanjang jalan. Membubung ke angkasa. Ina Mayer masih nyenyak tidur di sebelahnya, seperti tidak terganggu oleh suara-suara itu. Rakyat India yang menganut agama Hindu, turun ke jalan untuk holy festival.
Roy menatap langit-langit kamar. Jiwanya kosong melompong. Kering kerontang.
Ina Mayer menggeliat. Roy hati-hati bangun. Menuju jendela. Membukanya pelan-pelah. Angin berembus membelai seisi kamar hotel. Dadanya yang terasa sesak terimpit, kini agak terasa lapang. Tapi rasa bersalah masih saja menyelimutinya. Menggundahkan hatinya.
Si Bandel itu melihat ke bawah; ke jalan yang sempit bagai labiri
n pemisah bangunan-bangunan. Orang-orang berjubel dalam lautan warna. Bersorak-sorak. Hari ini umat Hindu di seluruh pelosok India dan Nepal (bahkan di dunia) larut dalam holy festival. Sebuah hari yang mengagungkan Dewa Wisnu, dewa perdamaian umat Hindu, yang menitis pada Krisna dan Rama. Hari saat Shinta mengadakan persembahan nyawanya pada Rama, dengan menceburkan diri pada nyala kobaran api. Hari saat Shinta membuktikan dirinya masih utuh dan suci pada Rama, walaupun sudah dikurung oleh si angkara murka, Rahwana.
Tapi dari hari ke hari tradisi ini jadi bergeser. Makna ritualnya lebur menjadi suasana pesta, hura-hura, atau semacam pelepasan dari ketertekanan hidup. Kini di setiap sudut kota, pada hari holy ini semua lelaki turun ke jalan meinbekali diri dengan holy water, yaitu serbuk pewarna yang sudah dicampur air. Semua tubuh mereka sudah dicoreng-morengi warna. Ada yang kuning, merah, biru, atau warna lainnya, Sepintas seperti makhluk-makhluk dari angkasa luar.
Sejak pukul 06.00 sampai pukul 14.00 pada hari ini seluruh kota sepi. Toko-toko tutup. Yang punya nyali saja yang berani keluar, ke jalan. Kebanyakan bergerombol. Jika berpapasan dengan kelompok lain, mereka saling bersalaman seperti pada saat Lebaran. Cuma perbedaannya, mereka saling mencoreng-morengi wajah dengan holy water itu.
"Morning, Roy." Tiba-tiba. Ina sudah memeluknya dari belakang. Roy membelai-belai rambut Ina yang keemasan. "holy ya, Roy." Ina melihat ke luar.
Di jendela-jendela rumah atau atap-atap hotel, para turis dan traveler mancanegara menonton dengan asyik. Kadang kala ada saja yang suka jail mengguyur mereka dengan air pewarna dari jendela di lantai atasnya. Atau bom-bom plastik air pewarna itu berseliweran dilemparkan ke jalan. Dan di mana-mana hujan pewarna menimpa tubuh orang-orang.
Pintu kamar diketuk. "holy, Mister!" teriak si pengetuk.
Roy membuka pintu. Seorang lelaki India, pemilik hotel, tersenyum penuh arti. "Tidak jadi ke Agra, Mister"" tanyanya.
"Kenapa kami tidak dibangunkan""
Pelayan hotel itu tersenyum penuh arti sambil melirik ke Ina. "Kita ketinggalan kereta ke Agra, Ina." Roy tersenyum kecut.
"Masih ada hari esok, Roy."
"Tidak bagus bepergian saat holy," tambah si pelayan.
Ya, hari ini holy. Seluruh kegiatan sehari-hari praktis terhenti. Orang-orang Cuma ingin berpesta di jalan-jalan, melupakan tekanan ekonomi serta kekisruhan politik yang terjadi. Dance di jalanan dan alkohol merasuki semua laki-laki India yang beragama Hindu.
Tadi ada yang mencari, Mister."
"Siapa"" "Adik Kay." "Sekarang di mana mereka"" "Jualan holy water."
Roy menyuruh pelayan hotel itu pergi. Dia membayangkan kedua adik Kay-Shri dan Dewi, yang kini harus mau mencari uang untuk sekadar makan. Anak-anak yang semestinya menikmati kegembiraan malah sudah harus memeras keringat. Anak-anak yang seharusnya bermimpi, tapi sudah harus mengakui kenyataan bahwa hidup itu pahit.
Pemuda Roy pun teringat masa kanak-kanaknya, ketika membantu mamanya berjualan kue di Bandung. Atau masa remajanya di Serang, Banten, yang diselingi dengan mengantarkan jahitan pada langganan mamanya.
"Kamu murung sekali, Roy."
"Aku ingat Kay."
"Kita tengok saja."
Roy berjalan lagi ke jendela. Melihat ke keramaian di jalan. Tapi tatapannya mengembara entah ke mana. Ina memperhatikannya. Dia memeluk Roy dari belakang. "Aku ingat Mama. Ingat pacarku." "Kamu mengambinghitamkan aku, Roy." Roy meringis.
"Ketika aku menyusuri India bagian selatan, Roy, aku mengenal seorang lelaki." "Kamu kencani dia""
"Pantai dan bulan, membuat aku sangat romantis saat itu." "Sekarang aku."
Aku selalu berusaha untuk enjoy menikmati hidup ini, Roy." Ina tersenyum.
Pemuda Roy menelan saja kalimat-kalimat Ina itu. Menjadi traveler , memang, haruslah siap mempermainkan perasaan. Artinya, jangan terlalu melibatkan emosi. Bahaya. Bisa terjajah. Cukup dinikmati. Mengalir saja bagai air sungai. Toh nanti akan menemukan muara juga.
"Nggak keluar ikut holy, Roy"" tantang Ina.
"Kamu mau, Ina""
"Sanggup melindungi aku""
Pada saat holy ini sangat riskan bagi perempuan untuk keluar rumah. Adalah sangat "gila" jika ada wa
nita berada di jalanan sendirian pada saat ini. Bukan cuma seluruh tubuh akan dibaluri pewarna, tapi tangan-tangan jail akan menggerayangi bagian-bagian tertentu. Dan pelecehan seksual akan terjadi.
Roy membawa Ina ke belantara holy; di mana orang-orang bergembira bersama pewarna dan alkohol. Beberapa traveler seperti mereka juga ada yang turun ke jalan, ingin menikmati suasana holy yang tak bisa dialami di negara asal. Baru saja mereka keluar dari mulut hotel, beberapa orang mendekati mereka. Menyalami mereka. Lengan mereka langsung lengket oleh pewarna.
Roy pun membekali diri dengan serbuk pewarna. Dia membeli beberapa plastik serbuk berwarna merah, hijau, dan kuning. Jika ada orang yang mencorenginya, dia pun membalasnya.
"holy!" Seseorang memoleskan pewarna itu ke wajah Roy. Ina juga kebagian. Roy pun membalasnya.
Pada mulanya memang cuma berjabatan tangan sambil mencorengkan pewarna itu atau ada yang menembaknya dengan pistol air. Lama-lama ada juga yang kurang ajar. Beberapa kali Roy bersitegang jika berpapasan dengan sekelompok orang yang ingin menjaili Ina, walaupun selalu diingatkan untuk tidak marah.
"Hey, jangan kurang ajar!" Roy mendorong seorang lelaki mabuk yang berusaha memeluk Ina.
Lelaki itu terus saja berusaha mendekati Ina. Mencoba meraup wajah Ina dengan pewarna. Roy gusar lalu memelintir lengannya.
Ina tampak tenang-tenang saja sambil menjaga diri.
Tidak boleh marah, Mister." Lelaki itu cengengesan. "Ini kan holy."
"holy sih holy," gerutu Roy sambil membawa Ina menyingkir. Tapi kelompok yang lain menyergap mereka. Si Bandel sudah siap-siap dengan serbuk pewarnanya. Serang-menyerang dengan pewarna pun terjadi. Ina tetap bersembunyi di punggung Roy jika ada yang bermaksud tidak senonoh padanya. Walaupun begitu, kegembiraan jelas tergambar di wajah mereka.
"Marah" pada saat holy sangat tabu. Artinya, hari ini "bebas melakukan apa saja dan dilarang untuk marah". Jadi siapa-siapa yang berada di jalanan saat holy, sudah harus siap dengan segala risikonya. Terbukti para polisi yang siaga di jalanan pun, tak bisa bertindak apa-apa ketika orang-orang menyemprot tubuhnya dengan pewarna. Atau wajah mereka dicoreng-morengi. Tampaknya kesempatan ini dimanfaatkan untuk berbuat seenaknya pada polisi, karena pada hari-hari biasa mereka tak bisa berbuat apa-apa pada pihak penguasa.
Matahari persis berada di puncak. Roy dan Ina mengalir di antara orang-orang yang merayakan holy. Tubuh dan wajah mereka tidak keruan. Penuh dengan pewarna. holy menjelang usai.
Di setiap sudut jalan orang-ora:ng duduk kelelahan. Ada yang bertelanjang dada, tidur-tiduran, atau asyik bermesraan dengan sesama kaum lelaki. Alkohol sudah menyelimuti mereka. Ada yang lebih gila: mengeluarkan kemaluannya atau polos telanjang. Beberapa kali Roy dibisiki oleh orang-orang bahwa holy ini adalah pestanya kaum homoseks. Sukar dipercaya, memang, sebuah upacara ritual dimanfaatkan seperti itu.
Sebagian orang sudah berduyun-duyun ke timur kota. Mereka hendak menyucikan diri dari segala kotoran hidup di Sungai Ganga. Tapi bagi sebagian orang yang dipengaruhi "air api" itu, semakin siang malah semakin "panas".
Beberapa sepeda motor menikung dan terjerembap menabrak orang-orang. Perkelahian kecil pun terpercik di antara kelompok, karena menurut mereka holy sudah usai pas tengah hari. Kini para petugas keamanan mulai sibuk menangkapi orang-orang yang bikin onar. Mereka kembali ke kehidupan sesungguhnya: keras dan penuh persaingan.
Roy menyeret Ina ke sebuah kerumunan. Suara tambur bertalu-talu. Dua orang lelaki di dalam lingkaran menari-nari dengan seronok. Mereka kadang berangkulan sambil mempertontonkan adegan-adegan sensual. Lebih gila dari film Dirty Dancing atau Salsa.
Orang-orang yang berkerumun membentuk lingkaran bersorak-sorak sambil ikut bergoyang. Jika si penari di tengah lingkaran sudah lelah, tanpa perlu disuruh lagi ada yang menggantikan. Begitu terus mereka berjoget, sampai terkapar di jalan. Jika setiap penonton hendak menari, mereka harus memberi uang ala kadarnya pada para pemusik, yang memukul-mukulkan tambur. Istilahnya, jika ingin menari
, ada uang, musik pun bertalu.
"Kita ke Ganga, Roy!" Ina melengos. Roy menuntun Ina menuju Ganga.
"Ke mana ya mereka"" Roy celingak-celinguk di antara aliran manusia. "Siapa, Roy"" Ina membersihkan rambutnya dari serbuk pewarna. "Adik Kay. Shri dan Dewi." "Siapa tahu kita bertemu mereka di Ganga."
Ganga, sungai yang diibaratkan air mata Dewa Shiwa itu penuh oleh manusia, Selain penduduk India, para traveler pun terselip. Roy dan Ina cuma turun di anak tangga pertama yang terendam air. Mereka membersihkan wajah dan lengan yang penuh corengan warna. Mereka bersenda gurau dengan penduduk sambil membersihkan badan dari pewarna. holy membuat mereka jadi dekat. Jadi seperti sebuah keluarga.
Para turis mancanegara mulai berani keluar dari hotel dan menyerbu Ganga. Mereka klak klik kluk dengan kameranya. Wajah orang-orang yang coreng-moreng sedang tertawa sambil mandi adalah momen luar biasa untuk disimpan di album hidup mereka.
"Kamu semalam mimpi ya, Roy"" Ina menghirup chia, teh hangat campur susu yang disuguhkan di cangkir tanah liat. "Beberapa kali aku terbangun karena igauanmu." Roy tidak menjawab. Dia melihat ke sungai. Semakin sore semakin banyak orang yang mandi membersihkan diri. Permukaan pinggiran Ganga jadi penuh warna. Beriak-riak tersibak sampan
Aku kangen rumah, Ina." Roy menerawang.
"Katanya mau ikut aku ke Berlin." Ina tertawa kecil.
"Kita lihat di New Delhi, ya."
Beberapa saat tanpa suara di anak tangga ghat Sungai Ganga. Mereka asyik mengagumi lukisan alami di depannya. Orang-orang yang menginginkan berkah dewa lewat sebuah sungai. Orang-orang yang menganggap dengan mandi di sungai ini segala kotoran hidup langsung-pupus.
"Kamu pikir, pacarmu di rumah setia menunggumu, Roy""
"Aku kira begitu."
"Aku juga punya pacar di Berlin," Ina tertawa.. "Apa sekarang aku setia"" "Pacarku orang Indonesia."
"Aku kira soal kesetiaan bukan diukur dari bangsa apa. Asia atau Eropa, tak ada bedanya."
"Ada bedanya." "Cinta itu milik semua umat manusia, Roy. Cinta akan tumbuh di mana seharusnya tumbuh. Tak mengenal waktu dan tempat. Usia atau sebuah bangsa."
"Ah, ini kan cuma sesaat, Ina. Kenapa tidak kita nikmati saja"!' Roy berdiri. "Toh, kita tidak selamanya bersama. Suatu saat kamu harus pulang ke Berlin. Dan aku ke Indonesia." Roy menarik Ina untuk berdiri,
"Hi, Japan!"seseorang berteriak.
Roy selalu hafal siapa pernilik suara itu, "Kay!" serunya gembira.
Kay menyerbunya. "holy, Roy!" sambil mencorengi lagi wajah Roy, yang sudah bersih dengan pewarna. Dua adik perempuannya, Shri dan Dewi mengekor. Tubuh mereka juga coreng-moreng penuh warna.
Roy mengangkat tubuh bocah cerdik itu. "Kamu bebas, Kay!"
"Berkat holy!" Kay tertawa. Dia tersenyum penuh arti pada Ina. "Tidak jadi ke
Agra"" Ina mencubit pipinya dengan gemas.
"Bagaimana jualannya"" senyum Roy pada Shri dan Dewi.
Shri dan Dewi membuka lengannya lebar-lebar. Mereka tampak puas dan girang, karena puluhan plastik pewarna yang mereka jual habis. holy ternyata membawa berkah pada mereka. Terutama Kay yang memang diberi kebebasan untuk menikmati hari suci ini bersama kedua adiknya, Menurut ceritanya, ada beberapa orang saksi yang akan meringankan Kay, bahwa tindakan Kay itu semata-mata membela diri dari amukan ayahnya yang pemabuk dan penjudi. Terlebih-lebih karena Kay masih di bawah umur, sehingga kelangsungan hidupnya (juga adik-adiknya) akan diurus oleh negara.
Permukaan Sungai Ganga terus beriak oleh warna-warni, seperti menandakan kisah hidup manusia yang beragam. Si Bandel menggandeng Kay, Shri, dan Dewi menaiki anak tangga ghat. Ina mengiringi mereka dengan senyumnya.
Matahari sore mulai bersembunyi di balik gedung-gedung kuno. Cahayanya yang keemasan memantul di permukaan Ganga, sungai yang disucikan oleh masyarakat Hindu dunia.
VIII. DI TAJ MAHAL Manusia baru bisa bebas setelah dia mati -Plato
Matahari bergulir, tak bisa teraih. Cahaya keemasannya menyebar di layar timur, seperti hendak merangkul keempat menara di keempat sudut bangunan seperti masjid yang serba putih itu. Kubah putih bagai paying raksasa itu meneduhi orang-orang di bawahnya. Itu Taj Mahal, sebuah
makam raksasa yang dibangun emperor Shah Jahan bagi istrinya terkasih, Mumtaz Mahal. Sebuah keajaiban dunia yang dibangun pada tahun 1630.
Lampu-lampu taman mulai menyala. Cahayanya membias dan berlarian saling-silang, berkombinasi dengan suasana alam yang beranjak temaram
Roy mengagumi panorama agung itu. Tapi Ina Mayer menariknya, untuk masuk ke lokasi bangunan. Ada dua garis lurus: satu untuk masuk ke makam raksasa itu dan yang lainnya membawa kita ke alam semula. Di kiri-kanannya memanjang kolam air dan pohon palem. Air mancur menyembur ke angkasa dan cipratannya menyebar ke segala penjuru seperti embun. Rumput hijau membentang ibarat permadani, dihiasi bunga-bungaan harum mewangi.
Seorang pengemis tua menghampiri mereka. Roy memberi uang logam ala kadarnya. Tapi Ina menatapnya dengan tidak suka. Pengemis tua itu tersenyum dan berlalu.
"Kenapa"" Roy heran. "Buat apa kamu beri dia uang"" "Dia membutuhkannya, Ina." "Dia masih kuat."
"Aku tidak peduli dia masih kuat atau tidak. Aku cuma iba dan ingin bersedekah."
"Kamu memberinya pada orang yang salah."
"Aku mengikuti naluri, Ina. Pengemis tadi sudah tua dan miskin. Kukira kalau dia punya pekerjaan, tidak mungkin hal nista ini dia lakukan.
"Buatku, Ina, yang penting keikhlasannya ketika memberi. Dalam agama, kita diharuskan menyisihkan dua setengah persen dari penghasilan kita."
"Untuk siapa""
"Untuk orang-orang miskin seperti pengemis tadi." Ina manggut-manggut.
Baru saja beberapa langkah, dua anak tanggung menyenggol Ina dengan sengaja. "Sorry !" Salah seorang nyeletuk cuek.
Ina menahan Roy yang hendak bereaksi. "Kamu temperamental sekali, Roy!" kata Ina mencoba bersikap wajar.
Mereka tidak pernah punya sopan santun, Ina!" gerutu Roy.
"Jangan merusak suasana, Roy." Ina menggandengnya.
Roy masih menggerutu. Apalagi ketika dari kejauhan dia melihat dua anak tanggung tadi melakukan hal yang sama pada pengunjung yang lain. Malah dibarengi dengan pertengkaran kecil. Ah, dia mencoba untuk tidak mengurusi hal sepele itu.
Si Bandel yang sedang resah itu kini menikmati betapa damai Taj Mahal ini. Ketika memasukinya, dia seolah diingatkan ke suatu tempat yang jauh entah di mana. Suatu tempat yang akan dikunjungi nanti. Alamatku yang akan datang! kata penyair Chairil Anwar. Keranda yang diusung orang-orang di mimpinya itu terlintas lagi. Tapi dia tidak bias mengenali siapa yang berada di keranda itu.
Lelaki pejalan itu secara naluri merasa yakin akan menghadapi kehilangan. Kepahitan ditinggal pergi oleh orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya. Mama, Suci, atau gadis Berlin ini. Entahlah. Tak pernah ada yang bisa menebak rezeki, jodoh, dan kematian.
Dia berusaha mengusir bayangan buruk itu. Tapi senja mengisyaratkannya dengan kuat, bahwa hal itu akan terjadi padanya. Dia menyaksikan sebuah hari tenggelam dan berubah kegelapan. Hatinya merasa pilu, karena itu menandakan perjalanan hidupnya. Mungkin segalanya akan jadi jelas di New Delhi nanti. Pasti akan ada surat untuknya. Di setiap ibukota negara, dia memang meninggalkan alamat surat di Paste Restante, Kantor Pos Pusat, sehingga kawan-kawan atau orang yang dekat padanya bisa mengirim surat, mengobati rasa rindunya pada tanah air.
"Tempat yang damai ya, Roy." Ina memandang taman yang bagaikan surga itu, dan membawa Roy duduk di bangku di bawah pohon angsoka. Roy mengangguk.
"Kalau aku mati, Roy, betapa akan nyenyak 'tidur panjang'-ku nanti jika suamiku menghadiahi makam seperti ini."
Roy tertawa kecil mendengarnya, walaupun sedang tidak suka membicarakan kematian.
Seorang lelaki berkumis dan berjenggot lebat menghampirinya. Ia membawa tongkat panjang berkepala ular. Pakaiannya jubah berwarna putih. Ada kalung-kalung dari tulang dan batu-batuan di lehernya. Gelang-gelang pun menghiasi kedua pergelangan tangannya.
Lelaki itu seorang peramal. Ina tidak keberatan untuk diramal peruntungan hidupnya, walaupun Roy melarangnya. Telapak tangan Ina diperiksa garis-garisnya.
"Hidup Nona akan bahagia," kata si peramal.
Aku teledor," Ina menenangkan diri. "Mungkin ketika rnembayar makan di restoran."
"Kamu turiggu di sini!" Roy ke
luar hotel. Ina tak bisa mencegah.
Roy menuju Taj Mahal lagi. Dia yakin kalau yang mengambil dompet Ina adalah dua anak tanggung yang menabraknya. Itu sudah pasti.
Di sebuah lorong beberapa orang mencegatnya. Ada yang menawarkan suvenir serta tukar dolar Amerika dengan poin lebih tinggi dari bank. Tapi menurut pemilik hotel, dia harus hati-hati dan jangan percaya pada semua orang di Agra jika sudah berurusan dengan bisnis.
Hari sudah malam, Taj Mahal betul-betul terlelap. Roy mengelilingi tembok. Dia meneliti setiap kerumunan orang. Memperhatikannya. Dia bersembunyi di bawah pohon, mengintai orang-orang yang lalu-lalang di sebuah warung.
Si Bandel yang kadang nekat itu berdegup hatinya. Dia melihat seorang anak tanggung yang menabrak Ina tadi. Anak itu berjalan ke warung. Seseorang berjubah putih dan memegang tongkat keluar dari warung. Mereka menuju tempat yang remang-remang di sudut. Si Bandel itu mengendap-endap. Dia melihat anak tanggung itu menyerahkan sebuah dompet. Kejadian itu sangat cepat.
Pemuda Roy mencoba menebak-nebak siapa gerangan si Tongkat Kepala Ular itu. Gembong malingkah" Lantas anak-anak tanggung itu, apakah anak buahnya" Kalau betul begitu, di mana-mana sama saja persoalannya: anak-anak selalu diperalat oleh orang dewasa atau orangtuanya sendiri.
Ketika si Tongkat itu berlalu, dengan berdebar-debar Roy mengikutinya. Melewati jalan-jalan sempit yang berkelok. Dia sadar bahwa ini mengandung risiko. Apalagi ketika dia berpapasan dengan orang-orang yang memandangnya dengan curiga dan tidak suka. Tapi naluri petualangannya yang serba ingin tahu menyeretnya untuk terus membuntug si Tongkat.
Tapi ketika melewati gang kecil yang gelap dan becek, Roy kehilangan si Tongkat. Dia berpikir, apakah meneruskan penyelidikannya atau balik pulang. Ketegangan menerjangnya. Dia mengitari pandang. Sepi dan hening.
Tiba-tiba dia merasa lehernya tercekik. Sebuah tongkat mengaitnya. Tubuhnya terseret dan terbentur ke tembok. Sebuah lengan kukuh mengepitnya.
"What are you doing here, Mister"" terdengar suara berat mendesis di telinganya.
Roy terbatuk-batuk. Dia meronta-ronta. Kedua kakinya menendang-nendang. Cekikan itu semakin kukuh. Dia menghimpun tenaganya dan mengentakkannya. Tubuh penyerangnya dibentur-benturkan ke tembok. Dia menjambak jenggot pembokong itu. Roy berhasil melepaskan diri. Dia melihat si Tongkat Kepala Ular itu memegangi kepalanya. Tampaknya kesakitan.
Mana dompet itu"!" hardik Roy. "Ayo, berikan!" sambil berjaga-jaga terhadap penyerang gelap lainnya.
Si Tongkat tertawa mengerikan.
Dua anak tanggung itu muncul dari kegelapan. Mereka mengepung Roy. Si Bandel merasa posisinya sulit. Ini di negeri orang dan disarang pencuri. Bisa konyol. Dia mencoba mencari peluang untuk melarikan diri. Salah seorang menyerangnya. Lalu dari belakang juga ada yang menerjangnya. Roy merasa keningnya nyeri dan perutnya sakit. Tapi dia berhasil membanting yang mengepitnya.
Tiba-tiba terdengar seseorang membentak-bentak. Suaranya penuh wibawa. Para penyerang itu terdiam. Mereka seperti terkesiap. Roy mundur hendak melarikan diri. Dia mencoba meneliti siapa lelaki tua yang tampaknya ditakuti itu. Dan dia seperti pernah melihatnya.
"Cello, cello!" hardiknya memerintah pada Roy. Roy pun berlari meninggalkan tempat sialan itu.
Roy duduk gelisah di bangku di bawah pohon angsoka di taman Taj Mahal. Ada luka di keningnya bekas perkelahian semalam. Sudah berkali-kali dia mengelilingi kompleks makam permaisuri Shah Jahan ini. Dia mencari-cari seseorang.
"Ayolah, kita ke New Delhi." Ina berdiri.
"Sebentar, Ina." Roy yakin orang yang dicari-carinya itu akan datang. "Aku sudah ikhlas kok, Roy!" Ina mulai kesal. "Seperti katamu, dompet beserta isinya itu aku sedekahkan!" Roy tersenyum kecut. "Ayo, Roy, ayo!" Ina menariknya.
"Ah, kamu!" "Nanti dikeroyok lagi kayak semalam, tahu rasa kamu!" Ina menggerutu. "Jangan sok jagoan, Roy! Kamu bisa mati konyol di negeri orang."
Roy cuma bisa meringis sambil memaki-maki dalam hati. Sebetulnya dia masih penasaran, siapa dewa penolongnya semalam" Si peramal itu kenapa tak kelihatan lagi" Lalu, mana si
pengernis tua" Ketika Roy melewati pintu gerbang, seorang anak kecil menghampirinya. Dia menyodorkan sebuah dompet. Ina terpekik kaget. Diperiksanya isi dompetnya. Surat-surat berharga, kartu mahasiswa, donor darah, dan SIM kendaraan bermotor masih komplet. Tapi tak ada selembar uang pun.
"Aku lupa kalau uang itu sudah aku sedekahkan, Roy!" Ina agak jengkel juga melihat dompetnya kosong, walaupun terhibur karena kartu-kartu penting itu masih utuh.
"Kamu yang menemukan dompet ini"" Tanya Roy lengkap dengan bahasa isyarat tangan.
Anak kecil itu menggeleng.
Ina memberinya beberapa rupee. Anak kecil itu berlalu. "Aku betul-betul bersedekah, Roy!" Tawanya yang sumbang terdengar. "Sudah, kita langsung check out sekarang! Ada kereta malam ke New Delhi, Roy!"
Roy menurut saja ketika diseret Ina meninggalkan Taj Mahal. Tapi matanya terus saja mengikuti anak kecil itu. Dia melihat anak itu menuju sebuah kios kecil. Di sana sudah menunggu pengemis tua itu!
Roy secara refleks melambaikan tangannya. Dia yakin kalau dewa penolongnya semalam adalah pengemis- tua itu!
Senja pun mulai turun untuk kesekian kalinya di langit Agra. Cahaya keemasannya menyelimuti keempat menara di keempat sudut Taj Mahal.
Tiba-tiba Roy pun ingat lagi, bahwa senja itu adalah pertanda berakhirnya sebuah hari.
IX. PERPISAHAN tak ada jalan keluar! pintu-pintu terkunci sudah. lagu pulang cuma igauan aku serupa mereka: beribu wajah termangu dalam labirin kota-kota masa lalu dan masa depan telah hilang tinggal bayang-bayang gemetaran menanti segala tiba
-Toto ST Radik Di main bazaar, New Delhi, sebuah kawasan turis model Jalan Jaksa, Jakarta. Sebuah jalan lurus bagai lorong dari timur ke barat, di mana di kiri-kanannya toko kelontong dan suvenir berimpitan dengan restoran serta penginapan murah.
Artikel Lain Jumat, 15/04/2005 16:48 Si Pemaki Tuhan
Saya dan Winnetou sedang berada di lingkungan suku Navajo, yang juga mengakuinya sebagai pemimpin mereka, karena suku Navajo sebetulnya termasuk dalam suku Apache.
Selasa, 05/04/2005 13:01 Epilogi Selasa, 05/04/2005 12:18 Epilogi
Minggu, 03/04/2005 17:59 Kupu - Kupu Pelangi
Minggu, 03/04/2005 17:11 Tembang Kampung Halaman Di sebuah kamar hotel, seorang pemuda gondrong terbangun lagi dari mimpi buruknya, yang di hari-hari belakangan ini selalu menguber-uber tidurnya. Mimpi tentang "rumah", mamanya, dan Suci. Dua wanita yang ditinggalkannya. Dua wanita yang kini selalu hadir dalam tidurnya; ada keranda diusung dan salam perpisahan.
Sayup-sayup Roy mendengar suara orang ke telinganya. Dia membuka kelopak matanya. Dengan hati-hati dia menggeser Ina Mayer yang nyenyak tidur. Dia meraih jam tangan di meja. Buset, pukul dua dini hari! batinnya. Dia harus pergi untuk menelepon Uwak, kakak mamanya, menanyakan kabar mamanya. Diliriknya lagi gadis Jerman yang kini mengisi kesepiannya, sehingga kelak perjalanan bersamanya ini bisa indah untuk dikenang.
"Ini fo to pacarmu, ya!" Ina melihat dua lembar foto Suci tadi siang. "So sweet, tapi aku tidak peduli!" katanya. "Yang penting sekarang kamu milikku, Roy!"
Apa kabar petualang muda" Sudah berapa bulan sih kamu pergi, Roy" Rasanya seperti lamaaa sekali. Suci kangen. Terlebih-lebih ketika malam sebelum keberangkatan itu. Inget, kan, Roy" Saat bulan sabit, kamu menciumku di alun-alun. Ah, kok ngomong ngawur, ya"
Roy, sekarang Suci sudah jadi mahasiswi, lho. Cuma gagal masuk perguruan tinggi negeri. Selain saingannya banyak, otaknya juga nggak sanggup. Tapi rada aneh juga lho seleksi ke PTN ini. Temen Suci yang otaknya biasa-biasa saja, eh malah diterima. Lucunya, yang otaknya tokcer malah terpuruk (kayak lagunya KLa Project aja). Kabar burung sih, banyak yang memanfaatkan jasa joki. Itu lho, para pemandu yang duduknya persis diatur di sebelah kita. Sehingga kita tinggal nyontek aja. Eh, sekarang Suci kuliah di Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Bandung. Ngambil Inggris. Biar nanti jadi guide kamu kalau kita traveling berdua (Ih, maunya!). Inggris kamu kan amburadul.
Roy, kapan pulang" Suci kuatir kamu nanti kecantol cewek bule. Apa lagi, ya" Oh, Suci baru keluar dari rumah sakit. Dirawat
tiga hari. Biasa, maag-nya kambuh. Tapi lumayan, program diet-nya berhasil. Turun tujuh kilo! Yang Suci bayangin, jika kamu yang sakit, siapa yang nengok, Roy" Suci suka sedih jika mikir begitu. Kamu pasti kesepian. Makanya makan yang teratur biar nggak sakit.
Roy, sudah dulu. Ini ada dua foto Suci terbaru. Supaya kangen kamu terobati, ya. Tapi awas, kalau duit kamu abis, foto Suci jangan kamu jual. See you, Roy. Jangan lupa salat dan rambut jangan gondrong, ya!
Begitulah surat Suci mengentakkan kesadarannya, bahwa selama melakukan perjalanan ini banyak hal-hal menyimpang yang begitu saja dilakukannya. Hidup. "menjadi" atau "dengan" traveler memang beragam dan banyak tantangan. Dengan "menjadi" lelaki pejalan, segalanya bisa dinikmati dan bakal jadi kenangan.
Selain surat Suci, ada surat lain yang membuatnya gelisah. Dari Opik, anak angkat mamanya, mengabarkan tentang mamanya yang dirawat di rumah sakit. Tentang mamanya yang merindukan kepulangannya.
Pelan-pelan dia bangun dan membuka pintu kamar. Dari teras atap hotel dia melihat ke jalan. Lelaki Prancis itu masih asyik mengoceh sendirian, hilir-mudik dari timur ke barat jalan. Cuma melilitkan kain seperti monk, pendeta Budha, sampai pinggang. Dadanya tak berbaju serta tak memakai alas kaki. Betul-betul gembel dalam arti sesungguhnya.
Sejak kedatangannya ke main bazaar, New Delhi, lelaki Prancis itu sudah dilihatnya. Sore itu Roy dan Ina sedang asyik minum teh di kafe terbuka, si Prancis itu hilir-mudik sambil mengoceh. Kadang kala ikut duduk jika ada bangku kosong, dan tanpa malu-malu minta ditraktir pada siapa saja. Sikapnya ramah dan terus-terang. Semua orang tak keberatan untuk mentraktirnya. Bahkan beberapa orang bersahabat dengannya.
Menurut cerita dari mulut ke mulut, terutama dari Ina, si Prancis itu bernasib malang. Tas kecilnya yang berisi paspor dan traveler check amblas disikat orang. Sudah dua minggu dia menunggu kepulangannya diproses oleh kedutaan. Hari-harinya diisi dengan menggelandang: tidur gratis di atap-atap hotel atau mabuk sampai pagi mengisap hasis pemberian orang.
Roy sudah keluar hotel. Ina dibiarkannya lelap di kamar. Jalan yang jika siang berubah jadi aliran sungai manusia, lengang dan sepi. Beberapa mobil diparkir, sepi dan para homeless bergeletakan. Si Prancis itu masih asyik mengoceh sendirian. Dia mengusap-usap kap mobil, seolah-olah pemilik mobil itu. Pikir Roy, kapan "orang gendeng" ini menutup mulut! Lalu si Prancis itu berjalan ke sudut yang gelap. Di sana ada seorang India berjenggot lebat dan beberapa orang Eropa sedang mengisap hasis dengan pipa panjang. Ada ember berisi beberapa botol minuman keras murahan.
Si Prancis itu mengisap dan rninum lagi. Mengoceh lagi sambil diselingi tawa. Kini dia menyeberang jalan, mendekati Roy, mengajaknya untuk bergabung ke "surga". Roy tersenyum, menggeleng, dan bergegas. Dia gelisah. Mamanya yang sedang sakit terbayang terus, Dia mendapat kabar dari beberapa traveler , bahwa ada kios telepon murah untuk sambungan internasional. Kios telepon yang dikelola para mahasiswa India itu sangat rahasia. Tidak sembarang orang mengetahuinya.
Roy berhenti di sebuah biro perjalanan. Memutar lewat belakang. Mengetuk pintu. Seseorang membukakan pintu. Roy harus menyebutkan nama orang yang memberitahunya tempat ini. Jika tidak, pintu tidak akan dibuka.
Ada dua lelaki Eropa dan seorang wanita Afrika di ruangan berukuran dua kali tiga meter itu. Sebuah bangku panjang, meja dengan dua telepon, serta dtpan beralas tikar. Seorang operator melayani jasa telepon internasional ini.
"Saya, Wak," kata Roy di telepon.
Uwaknya membalas, "Kamu di mana, Roy""
Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di New Delhi."
"Belum mau pulang""
"Kesehatan Mama bagaimana""
"Mamamu baik-baik saja. Besok sudah boleh pulang."
"Uwak tidak bohong""
"Apa ada artinya buat kamu, Roy, kalau Uwak berbohong atau tidak."
"Maksud Uwak""
"Apa kamu mau pulang kalau tahu mamamu sakit keras" Bukankah kamu ingin melunaskan obsesimu, keliling dunia, tanpa mau mengerti perasaan orang-orang yang menyayangimu, Roy""
Roy terdiam. Ada yang menusuk-nusuk jiwanya.
"Maaf Roy, kalau omongan Uwak ini t
ernyata mengganggu perjalananmu." "Bagaimana dengan Mama"" "Mamamu dirawat di rurhah sakit
Tapi, saya belum bisa pulang sekarang. Kiriman uang dari Jakarta belum datang."
"Pulang pun kamu sudah tak ada gunanya." "Uwak!" Roy agak panik.
"Uwak dan mamamu cuma bisa berdoa, semoga maksudmu terlaksana dan selalu dilindungi Tuhan."
Roy tahu bahwa ada yang disembunyikan oleh uwaknya perihal mamanya. Sesuatu pasti sudah terjadi pada mamanya. Apalagi dia bermimpi tentang orang-orang yang mengusung keranda. Tapi dia tidak berani menanyakan langsung hal ini pada uwaknya. Dia tidak akan siap jika menerima kebenaran kabar itu, sementara dia sedang jauh di negeri orang.
"Bagaimana mamamu, Roy"" Ina sudah berkemas. Tengah malam nanti dia akan pulang ke Berlin.
"Aku tidak berani membayangkannya, Ina." Roy sedih. "Lebih baik aku pura-pura tidak tahu saja apa yang terjadi dengan Mama."
"Jangan berkata begitu, Roy," Ina mengingatkannya, bahwa seorang ibu haruslah dijunjung tinggi.
"Ina, bisakah kamu tunda kepulanganmu beberapa hari lagi""
"Aku sudah menundanya seminggu, Roy."
"Mungkin besok honorku datang."
Ina tetap menggeleng. Katanya, "Aku tunggu kamu di Berlin, ya. Secepatnya. Nanti aku jemput di airport."
"Aku akan kesepian, Ina."
"Ayolah, Roy, jangan kayak anak kecil."
"Aku sedang butuh ditemani."
"Kamu kan paling mudah mencari kawan."
Roy keluar kamar. Malam sudah bergulir. Cahaya lampu berpendaran. Dia menuju teras di atap hotel. Melihat ke jalan; orang-orang mengalir, saling desak dengan kendaraan bermotor, gerobak dagangan, pedagang kaki lima, serta sapi-sapi yang disucikan umat Hindu. Mereka hendak pulang ke rumah setelah lelah seharian mengais rezeki.
Roy melihat si Prancis itu masih berdiri di sebuah bangku. Berpidato, sehingga orang-orang tertawa atau menyingkir jengah. Roy berpikir, bahwa orang itu bukan Cuma kena pengaruh alkohol atau hasis saja, tapi sudah cenderung gila. Otaknya mulai miring, mungkin karena harapannya untuk pulang tak kunjung datang sementara dia tak bisa terus-terusan menggantungkan hidupnya dengan "mengemis" pada orang lain. Jadilah dia bersembunyi pada benda-benda laknat yang menjerumuskan akal sehatnya itu, yang selalu gampang didapat dari kawan-kawannya.
"Kamu check out juga, Roy"" Ina rnengagetkannya.
"Aku mau pindah ke Youth Hostel. Di sana lebih rnurah."
"Kamu masih ada uang""
"Cukup untuk dua atau tiga hari lagi."
"Kali ini aku yang bayar hotel, ya," Ina menegaskan. Biasanya rnereka bayar setengah-setengah. Budaya seperti ini sudah biasa di kalangan traveler , mereka membayar untuk dirinya sendiri.
"Thanks!" Roy berusaha bersikap jujur. Dia memang sedang ngirit, karena pengiriman honorariumnya terlambat. Sebuah majalah di Indonesia, yang biasa memuat laporan perjalanannya sedang mencari cara terarnan untuk mengiriminya uang. Di India untuk transaksi dolar Amerika memang harus hati-hati.
"Kamu betul tidak mau menerima dolarku""
Roy menggeleng. Mereka meninggalkan hotel. Roy menyeret ranselnya. Ina memanggil taksi. Mereka menuju pusat kota, Connaught Place, sebuah lingkaran atau pusatnya New Delhi. Tak beda dengan kawasan Monas. Tapi yang ini membentuk lingkaran luar dan dalam, lalu dibagi-bagi jalan kecil mirip jari-jari sepeda. Ini kawasan bisnis. Di sisi-sisi lingkarannya banya kbank, hotel berbintang, biro perjalanan, bioskop, serta pusat pertokoan di bawah tanah.
Sebuah bus kecil mengangkut para penumpang ke airport New Delhi, di mana pesawat akan membawa Ina ke buminya di Jerman. Akan membuat Roy terpisah dengan Ina. Mereka terus berpegangan di bus. Mereka mulai merasakan bahwa hari-hari yang dilalui bersama di Varahasi saat holy dan Agra tak mungkin dilupakan begitu saja.
"Sebetulnya aku menginginkan terbang ke Berlin bersamamu malam ini, Roy." Ina menatapnya.
Roy menggerutu soal keterlambatan pengiriman honornya dari tanah air. Kalau saja honorarium tulisan-tulisannya sudah datang lewat sebuah bank swasta di New Delhi, Roy tidak akan berpikir banyak untuk ikut bersama Ina ke Berlin!
Pukul 12.00 malam. Pesawat akan melesat persis pukul 02.00. Roy dan Ina gelisah di kafe airport. Ina memberi
tahu bahwa mereka cuma punya waktu satu jam saja untuk melepas rindu yang pasti akan sangat panjang buat mereka. Mungkin perpisahan ini untuk sementara saja atau selamanya buat mereka.
"Aku mungkin akan lewat darat, Ina," Roy menerangkan rutenya nanti jika jadi ke Jerman. Ada beberapa negara yang akan dijelajahinya.
"Tapi itu akan memakan waktu lama, Roy."
"Tidak ada pilihan lain, karena dengan cara itu aku bisa membuat banyak tulisan. Dan itu berarti dolar."
Jarum jam berdetak-detak. Membuat hati semakin gelisah. Membuat lengan mereka saling berpegangan erat.
"Aku harus pergi, Roy ." Ina menarik lengan Roy ke dadanya. "Oh, aku akan kehilangan kamu."
Roy cuma menatapnyai walaupun hatinya tiba-tiba begitu sepi. Perpisahan memang sebuah suasana yang tak diinginkan oleh manusia. Dengan siapa saja perpisahan itu terjadi. Apalagi dengan orang yang (pernah) dekat.
Si Bandel itu mendorong kereta bagasi. Ina terus lengket di bahunya. Di depan pintu masuk mereka agak meminggir, mempiarkan orang-orang lewat lebih dulu.
"Jangan bicara apa-apa, Roy!' Ina bergetar menatapnya. "Aku tidak akan kuat mendengarnya. Oh, Roy, hug me, please!"
Roy mendekapnya erat-erat.
"Kiss me, Roy." Bibirnya terbuka.
Roy melihat ke sekeliling. "Banyak orang, Ina." Si Bandel itu menggeleng. "I don't care!"
Roy pun menciumnya. Orang-orang Sikh, yang kepalanya dililit kain, terhenti sejenak. Hal ini belum lazim di sini. Tapi Roy dan Ina cuma tahu, bahwa mereka akan berpisah dalam waktu tak terbatas.
"Pergilah, Ina." Roy membawanya ke pintu masuk.
Ina pun masuk. Tapi baru saja beberapa langkah, dia berbalik. Roy pun menyerbunya. Penjaga pintu menghalangi laju Roy. Mereka panik dan menuju kaca pemisah. Mereka saling meraba-raba di kaca, mencoba merasakan getaran-getaran hati. Ah, kaca ini, kaca ini! pekik mereka.
X. TUKANG OBAT Aku manusia pejalan, bagai sungai berteman sampah, limbah; tak peduli sumpah serapah. Dari kemarau ke bulan; melepas fajar menanti senja. Mengejar bayanganku sendiri. Kata Bunda, "Jangan tinggalkan rumah," karena di sana aku ada, nakal, besar, dan mimpi-mimpi. Tapi aku lompati pagar, memilih Barat dan Timur. Sampai habis batas umur. Aku memang lelaki pejalan. Tak tahu kapan mesti berhenti.
-Heri H Harris *** Bus dari airport ke New Delhi cuma terisi setengahnya saja. Uniknya di India, lima baris bangkunya di setiap bus kota mutlak untuk wanita. Di dinding busnya ada tulisan besar-besar: For Ladies. Di Bangladesh juga, walaupun cuma dua baris bangku. Tapi di Indonesia, negara yang berideologi Pancasila, sudah hampir mewabah pepatah siapa cepat dia dapat. Bisa kita lihat di setiap kendaraan umum, kaum lelaki sudah enggan untuk berdiri memberikan tempat duduknya pada wanita.
Pemuda Roy mengusap-usap kaca jendela. Embun yang menempel di kaca membentuk kotak-kotak tak beraturan. Dia melihat ke luar. Kenangannya bersama gadis Berlin pun berlarian. Ingin dia menangkapnya, tapi tak kuasa.
Sungai Ganga di Varanasi adalah kenangan pertama Roy dengannya. Tertawa gembira bersamanya, terapung-apung dengan sampan di sungai air mata Dewa Shiva, saling mencoreng-morengi dengan pewarna saat holy festifal, dan Taj Mahal di Agra. Kini lukisan indah itu berlalu. Tak bisa dibentuk lagi dengan kuas di atas kanvas, kecuali mengenangnya saja. Ah, kalau saja tidak ada masalah dengan pengiriman honorariumnya lewat sebuah bank swasta, tentu dia sudah ada di sebelahnya: terbang menyongsong petualangan baru di bumi Eropa!
Roy turun di Connaught Place, pusat kota New Delhi. Di lingkaran dalamnya ada sebuah taman. Rumputnya terawat bagai permadani. Pepohonan yang rindang meneduhi orang-orang yang hendak beristirahat dari sengatan matahari. Jika sore hari atau liburan, taman kota ini ramai dengan orang-orang yang melepas penat atau berpiknik. Pemerintah India memang sengaja membangun taman-taman; selain untuk paru-paru kota, juga menjadi tempat istirahat yang praktis bagi rakyatnya dari rutinitas kerja. Malah taman-taman ini selain tempat piknik sebuah keluarga kecil, kadang juga dipakai untuk diskusi politik.
Roy menyeret ranselnya. Hari sudah sekitar pukul delapan
. Kesibukan mulai terasa. Dia mencari-cari tempat untuk bisa sejenak melengkapkan tidurnya. Digelarnya matras di bawah pohon. Ranselnya dijadikan bantal. Matanya terpejam.
Beberapa ekor tupai melompati tubuhnya. Berlarian saling kejar-kejaran. Roy menggeliat. Di India binatang sangatlah dihargai. Dijaga habitatnya. Mereka percaya, bahwa binatang itu adalah peliharaan para dewa mereka. Kalau kita jelajahi kampung-kampung di India, jangan heran melihat burung merak lalu-lalang, atau beragam burung bertengger dengan bebasnya di pohon-pohon, pagar, atau kawat listrik.
Suara suling sayup-sayup menyusup ke telinganya.
Roy merasa gerah. Dia membuka matanya dengan malas. Matahari sudah merangkak naik. Suara bising kendaraan dan lalu-lalang orang mulai mengganggunya. Dia mencari-cari ke sekeliling taman, dari mana asal suara suling khas India itu terdengar
Di bawah rindangnya pohon di sebuah sudut taman, ada kerumunan orang membentuk lingkaran. Terdengar suara orang berteriak-teriak. Itu pasti tukang obat. Roy beranjak ke sana. Dia mencoba menyelipkan tubuhnya di antara orang-orang. Di tengah lingkaran ada lelaki berjenggot mengenakan jubah putih. Kalung-kalung menghiasi lehernya, gelang-gelang dari akar bahar melingkari pergelangan tangannya, serta beberapa cincin batu besar-besar menghiasi jari-jarinya.
Ada tiga tas besar tergeletak, foto-foto dan poster wanita cantik berbikini yang dilaminasi berserakan. Tak jauh berbeda dengan tingkah polah tukang obat yang banyak bertebaran di kota-kota besar Indonesia. Beragam cara orang mempertahankan hidup. Esensinya cuma pada uang.
Dua langkah di belakang si Jenggot, seorang lelaki tua meniup suling dengan khidmatnya. Sebuah keranjang tergeletak. Pelan-pelan menyembul kepala seekor ular kobra, meliuk-liuk mengikuti irama suling bagai penari balet. Tiba-tiba tangan si Jenggot yang kukuh dengan gerakan kilat menyambar kepala kobra. Di putar-putarnya ular itu di angkasa.
Orang-orang tidak bereaksi apa-apa.
Kobra itu dimasukkan lagi ke keranjang.
Si Jenggot mengambil sebuah golok yang tajam mengilat dari sebuah tas besar. Dia menari-nari sambil mengacung-acungkan golok itu. Suara suling menimpalinya dengan irama yang panas. Golok itu ditebaskan berkali-kali ke paha serta tangannya. Bahkan leher pun digoroknya. Adegan terakhir mengiris lidahnya. Tapi tubuhnya alot. Ketajaman golok itu tak berarti apa-apa.
Kini si Jenggot bersila di rumput. Mengambil beberapa lembar koran. Digulungnya koran itu. Dibentuknya jadi memanjang. "Kertas koran ini akan saya sulap jadi seekor ular!" suaranya nyaring. "Dengan tiga kali semburan air!" teriaknya lantang.
Gulungan koran itu ditutup selembar kain hitam. Si Jenggot mengambil sebuah kendi. Dia komat-komit membaca mantra. Diteguknya air kendi itu. Disemburkannya. "Saya bilang, kertas koran ini akan berubah jadi apa"" tanyanya pada penonton.
"Jadi ular!" jawab beberapa penonton di barisan depan serempak.
"Berapa kali semburan"!"
"Tiga kali!" "Berarti tinggal dua kali lagi, ya!" Si Jenggot berdiri. Berkeliling mengamati penonton. Dia menarik seorang bocah ke tengah arena. "Kamu kenal saya "" tanyanya. Si bocah menggeleng. "Pernah ketemu saya"" Lagi-lagi sibocah menggeleng.
"Sekarang kamu pegangi kain ini ya!" si Jenggot menyuruh bocah itu memegangi kedua ujung kain hitam yang menutupi segulung koran, yang katanya akan berubah jadi seekor ular.
"Kalau saya bilang, 'Buka!', kamu harus rmembuka kain ini!"
Si bocah mengangguk. Wajahnya tegang dan kedua tangannya gemetar. Mungkin di dalam pikirannya, kertas koran itu sudah berubah jadi ular dan akan menggigitnya nanti.
"Tidak usah takut, Dik!" si Jenggot tersenyum. Dia komat-kamit lagi, meneguk air kendi lagi, dan menyemburkannya seperti tadi pada kain hitam itu. "Saya bilang kertas ini akan berubah jadi apa"!"
"Ular!" "Berapa kali semburan"!"
"Tiga!" "Tinggal sekali lagi!" Dia melompat garang.
"Tapi, sebelum kertas koran itu saya ubah jadi ular, siapa yang kira-kira punya rokok" Matanya liar menetap penonton. "Ikhlas ngasih saya sebatang"" tanyanya pada seseorang yang menyodorkan sebungkus rokok.
Orang itu dengan k ikuk mengeluarkan sebatang rokok. Memberikannya pada si Jenggot. Dia menggeleng ketika ditanya oleh si Jenggot, apakah kawan atau saudaranya pernah bertemu sebelumnya di suatu tempat. Ini untuk meghindarkan kecurigaan penonton bahwa permainan ini direkayasa.
Si Jenggot mengacung-acungkan rokok itu. Menari-nari lagi mengikuti irama suling. Berhenti di sudut. Dia sejenak memperhatikan bocah itu, yang semakin gelisah memegangi kain hitam penutup gulungan koran. Tiba-tiba acara terhenti, ketika seorang lelaki menyeruak di kerumunan. Dia memanggil bocah itu.
Siapa kamu"" si Jenggot kesal memandang lelaki itu.
"Saya kakaknya," si lelaki menantang.
"Tinggal sekali semburan lagi, koran itu akan berubah jadi ular!"
"Yuk, kita pulang." Lelaki itu menarik adiknya. Mengajaknya untuk meninggalkan arena.
Si Jenggot membiarkan mereka pergi. "Pokoknya, yang tidak suka dengan permainan saya, silakan pergi! Tak ada paksaan! Ini cuma hiburan! Siapa ingin menonton, daripada ngelamun, silakan nonton! Gratis!" Urat di lehernya tampak mengeras dan menonjol.
Penonton tetap terpaku pada tempatnya. Menanti tukang obat ini mengubah gulungan koran jadi seekor ular.
Matahari sudah berada di angka sebelas.
Roy tetap asyik menonton. Dia duduk anteng di atas ranselnya. Dia belum berminat untuk mencari-cari Youth Hostel. Rencananya besok dia akan bertemu lagi dengan You Chi Wan, traveler asal Korea di Youth Hostel New Delhi, sebuah penginapan murah meriah bagi traveler kere sepertinya.
Si Jenggot bersila lagi. Bersemedi. Rokok itu dalam gepitan jari-jarinya. "Lihat baik-baik rokok ini!" Rokok itu dicelupkan pada segelas air. "Lihat rokok yang basah ini! Jangan terlewat!"
Roy menatap lekat-lekat rokok itu.
"Ingat, ini bukan sulap, bukan sihir!" Si Jenggot menggesek-gesek rokok itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. "Semuanya bisa dipelajari! Semuanya bisa saya ajarkan, kalau kalian ingin belajar!" Tiba-tiba asap mengepul dari telapak tangannya. Rokok itu terbakar.
Penonton semakin banyak dan asyik.
Kain hitam yang menutupi gulungan koran itu tetap tergeletak. Belum ada tanda-tanda akan berubah jadi ular.
Sekarang, siapa yang punya korek api"!" Si Jenggot menghampiri seorang penonton. Dia mengambil sekotak korek api dari penonton. Dan bertanya seperti tadi. Penonton itu pun mengatakan bahwa dia tidak ada hubungan saudara dan belum pernah berjumpa dengan si Jenggot.
"Lihat, ini korek api!" Si Jenggot mengeluarkan beberapa batang korek api. "Terbuat dari apa korek api ini"!"
"Dari kayu!" Si Jenggot mematahkannya satu. "Betul! Korek api ini terbuat dari kayu! Mudah patah!" Dia menyuruh seseorang untuk mengambil sebatang korek api. "Coba, sekarang kamu patahkan!"
Penonton itu pun mematahkannya,
"Sekarang dengan kekuatan saya, korek api ini akan sekuat baja! Tak akan ada yang bias mematahkannya!"
Roy mulai gelisah duduknya. Sebetulnya apa yang hendak dijual tukang obat ini. Dia cuma ingin menyaksikan bagaimana kertas koran itu berubah jadi seekor ular! Kini si Jenggot bersemedi, hendak mengalirkan kekuatannya, sehingga batang korek api itu berubah menjadi sekuat baja!
"Bagaimana kalau setiap penonton memegang sebatang korek api"" seseorang bertopi nyeletuk.
"Maksudmu"" Si Jenggot terganggu.
"Kalau memang Bapak berilmu tinggi, apa korek api itu tidak patah jika semua penonton berusaha mematahkannya"" kata si Topi berani,
"Oh, kamu meragukan kekuatan saya"!" Si Jenggot bangkit. Dia mengeluarkan seluruh isi korek api. "Nih, kamu pegang!" diberinya siTopi sebatang. Lalu dibagi-bagikannya setiap penonton sebatang korek api.
Roy menggenggam sebatang.
"Ayo, siapa yang memegangnya, acungknan!" teriaknya.
Hampir setengah dari penonton mengacungkan tangan. Sementara kain hitam yang menutupi gulungan koran itu masih belum diliriksi Jenggot.
"Kalau kata saya, patahkan, langsung patahkan!" Si Jenggot duduk bersemadi
lagi. Beberapa menit berlalu. Hening.
Tiba-tiba dari arah penonton tubuh seseorang terjatuh ke tengah arena. Penonton itu mengerang kesakitan. Orang-orang terkesima dan saling pandang. Ketegangan terasa di wajah mereka.
"Kenapa kamu!"" bentak si Jenggot berang.
"Tubuh saya!" erangnya.
"Mana korek apinya!"
"Saya buang." "Apa"! Kamu buang"!" Dijambaknya rambut orang itu. "Lihat! Inilah akibatnya bagi orang yang menyepelekan saya!" tantangnya pada penonton. "Ayo, siapa lagi yang membuang korek api tadi, nasibnya akan seperti orang ini!"
Penonton berdebar-debar. "Kamu ingin sembuh"!"
Penonton sial itu mengangguk.
"Acungkan yang masih memegang korek api."
Hampir setengah penonton mengacungkan korek apinya.
"Mendekat kemari!" perintah si Jenggot.
Seperti kena pengaruh dahsyat, para penonton yang memegang sebatang korek api, yang akan diubah si Jenggot menjadi sekuat baja, berhamburan ke tengah arena. Berusaha menjadi paling dekat dengan si Jenggot. Kain hitam yang menutupi gulungan koran dan akan diubah si Jenggot jadi ular itu, terinjak-injak dan terlupakan. Juga korek api yang akan berubah jadi sekuat besi baja, tak ada kelanjutannya.
Roy duduk terpaku di atas ranselnya. Dia tidak beranjak, tapi lengannya masih menggenggam erat batang korek api sialan itu. Dia mencoba berpikir jernih.
"Kamu megang korek api, kan"" seseorang menghampirinya.
Roy menggeleng sambil membuka kedua lengannya. Batang korek api itu sudah diselipkan di saku celananya ketika dia mulai melihat gelagat bahwa ini adalah pemerasan secara terselubung. Koran yang akan berubah jadi ular itu tak ada kabar beritanya lagi. Korek api yang akan jadi sekuat baja juga entahlah. Yang ada sekarang adalah wajah-wajah ketakutan, yang memegang korek api. Ternyata permainan mematahkan batang korek api adalah jurus ampuh untuk mengikat para penonton agar tak meninggalkan arena.
Roy melihat seorang lagi menggelepar-gelepar. Si Jenggot berdiri dan menghardiknya untuk bersikap sopan. Seseorang lalu membagi-bagikan "sesuatu" yang terbungkus plastik. Beberapa penonton dengan sigap merogoh saku belakangnya. Kini setiap orang memegang bungkusan itu dengan keharusan menyetor uang. Beberapa orang menggerutu, tapi sudah tak sanggup berbuat apa-apa.
"Di bungkusan ini tertulis mantra-mantra agar orang bisa jadi sakti," kata seseorang membisikiya.
Roy mengangguk. Di kampungnya juga dikenal hal semacam ini. Isyim, namanya. Berisi ayat-ayat Alquran, yang konon kalau diamalkan secara benar, akan membuat si pemiliknya sakti mandraguna.
Si Jenggot itu mengajak mereka ke sebuah tempat yang agak terlindung. Transaksi selanjutnya berlangsung di sana. Segalanya kini jadi jelas. Si Jenggot sudah mencengkeram mereka dengan "kekuatan"-nya. Apa saja yang dikatakannya kini dituruti. Semuanya memang cuma demi uang. Rakyat kebanyakan memang selalu jadi korban siapa saja, oleh kaum sesamanya yang lebih pintar atau juga orang-orang kaya yang rakus.
Pada hari lain, ketika Roy iseng-iseng melepas penat, hal seperti ini terjadi lagi. Walaupun perneran utama tukang obat dan peniup sulingnya berbeda, tapi ular kobra, segulung koran yang akan berubah jadi ular, dan korek api yang nanti disulap jadi sekuat baja tetap bagian dari perrnainan. Juga orang yang menggelepar-gelepar karena korek apinya dibuang di tengah pertunjuk, tetap orang yang sama.
XI. KABAR DARI RUMAH Lelaki dimiliki wanita, tapi dia memiliki semua. Dia harus pergi, tapi juga harus pulang, karena ada yang dikasihi dan mengasihi. Ya, lelaki memang harus pergi, tapi juga harus pulang.
-Heri H Harris *** Pemuda Roy gelisah sendirian di taman di depan Youth Hostel, New Delhi. Kabar dari rumah terus menusuk-nusuk jiwanya. Beragam kepentingan saling berbenturan; antara keinginan mewujudkan impian masa mudanya dengan melihat keagungan Tuhan serta karya besar manusia, dan terimpit oleh kecintaan pada Mama serta Suci, gadis yang dicintainya.
You Chi Wan muncul membawa seplastik buah anggur. Setelah si Korea ini menjelajahi India bagian barat, mereka berjanji bertemu di sini. Dia merebahkan badannya yang tampak penat sehabis menjelajahi India bagian barat.
"Betul mau menyusul gadismu ke Berlin, Roy"" Chi Wan menggoda sambil mengunyah buah anggur.
Roy meringis dan mengambil beberapa buah.
"Kalau lewat darat, lantas sampai Berlin-nya kapan"" Si Kotea tertawa. "Yugoslavia sedang bergolak, friend! Mau lewat mana
lagi"" Roy menatapnya serius. "Aku begitu ingin ke Eropa, Chi Wan, tempat peradaban dunia berasal. Roma dan Paris, oh, aku selalu memimpikannya.
"Setelah itu, aku juga ingin menyeberang ke Arab. Ke Mekah, tempat nabi dan agamaku berasal. Aku ingin sujud di Kabah. Aku ingin merasakan getaran-getaran Isra Mi'raj di sana."
"Pergilah kalau begitu."
"Aku selalu tersiksa jika memikirkannya, jika sadar bahwa itu cuma mimpi
belaka." "Why not""
"Ada sesuatu yang tidak beres di rumah," keluh Roy. "About your girl friend""
Mamaku, Chi Wan." Roy menyembunyikan wajahnya. Dia sentimentil sekali jika sudah membicarakan perihal mamanya, wanita yang sampai kapan pun akan selalu dicintainya. Wanita yang sudah mengorbankan seluruh hidupnya, tenaga, waktu, dan pikiran untuk anaknya.
Roy akan jadi "gila" jika menyia-nyiakan pengorbanan mamanya, yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Dan dia merasa sedang ada yang disembunyikan oleh uwaknya, ketika tempo hari mereka berbicara di telepon.
Uwaknya bilang, "Segalanya sudah terlambat." Apa maksudnya" Dia memang selalu menyepelekan perasaan orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya jika sudah berurusan dengan keinginannya berpetualang. Kadang kala dia ingin pura-pura tidak tahu saja dengan apa yang terjadi pada mamanya di rumah. Tapi apa bisa" Bagaimana jika mamanya... Oh, itu tidak mungkin!
"Pulang adalah yang terbaik, Roy. Toh, masih ada waktu untuk petualangan di Eropa nanti," You Chi Wan menyarankan. "Seluruh sisa hidupmu tidak akan pernah bahagia jika pulang cuma mendapati kuburan mamamu saja."
"Jangan berkata seperti itu."
"Aku cuma berandai-andai."
"Jangan berandai-andai tentang mamaku."
Chi Wan mengangkat bahunya.
Roy menerawang entah ke mana. Pikirannya menjelajah liar, tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada mamanya. Dan itu menakutkan sekali. "Kemarin malam aku telepon mamaku, menanyakan tentang kesehatannya. Tahu apa yang terjadi padaku, Roy, setelah mendengar suara mamaku"
"Aku jadi ingin cepat-cepat pulang memeluk Mama dan Papa. Aku kangen Seoul! Aku rindu gadis-gadisnya!" suara Chi Wan sangat romantis.
Roy menarik napas panjang.
"Sekarang antar aku ke main bazaar, yuk!" Chi Wan menariknya. "Tuker dolar di black market! Sekalian ngecek honor kamu di bank. Siapa tahu sudah datang, Roy!" Roy berdiri dengan malas. Wajah mamanya terus membayang.
Sudah seharian You Chi Wan mengobrak-abrik main bazaar, bertransaksi dolar dengan kaum oportunis di jalanan. Tukar dolar seperti ini memang bisa empat atau lima point lebih tinggi dari bank rates, dan mengandung risiko. Tapi berkali-kali pula si Korea ini menggagalkan transaksi, karena ingin harga yang lebih tinggi.
"Kamu serakah!" gerutu Roy kesal, karena seharian ini cuma dihabiskan untuk mengantar Chi Wan tukar dolar. Untung kekesalannya terobati, karena kiriman honornya dari Jakarta sudah datang lewat sebuah bank swasta.
"Ada yang berani nukar sampai enam point, Roy!" Chi Wan memintanya untuk bersabar.
"Ya, tapi mana""
"Sabar, Roy!" "Bagaimana aku bisa sabar, kalau harus membuang tenaga, waktu, dan pikiran Cuma untuk beberapa ratus Indian rupee!" makinya.
Chi Wan memang cuma menukar dua ratus dolar saja. Beberapa kali dua atau tiga point lebih tinggi dari nilai tukar bank, si Korea ini tetap ngotot meminta lebih tinggi lagi. Pengaruh ekonomi sudah merasuk ke jiwanya, dengan modal sedikit bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
"Change money, Mister!" sopir bajaj menegurnya.
Chi Wan menghampirinya. Mereka terlibat tawar-mena:war. Chi Wan berseri-seri, karena nilai tukar yang diinginkan akhirnya tercapai juga. Enam point lebih tinggi! Sopir bajaj itu menyuruh Chi Wan naik.
"Be careful, friend," bisik Roy yang duduk di sebelah Chi Wan. "Aku tidak percaya sama orang ini."
Chi Wan menyuruh Roy untuk tenang.
Bajaj menuju daerah yang sepi. Perasaan Roy campur aduk. Betapa bertumpuk persoalan yang dipikirkannya. Dia memang terlalu banyak keinginan. Tiba-tiba kendaraan roda tiga ini menepi. Di mulut jalan ada keramaian. "Ada orang mati," kata si sopir.
"Kenapa tidak tukar di sini saja"" kata Roy. "Sebentar, Mister."
Senyum si sopir terkembang.
Roy begitu tersentak melihat iring-iringan kematian ini. Dia tidak berani melihatnya. Jiwanya terguncang lagi. Dia selalu ingat mamanya jika sudah begini. "Ingat mamamu, Roy"" tegur Chi Wan. "Ayolah, kita sudahi transaksi ini!" sungut Roy.
Bajaj bergerak lagi. Suara mesinnya yang seperti kaleng butut bikin pekak telinga dan pening kepala. Di sebuah belokan kecil, bajaj membelok. Berhenti.
"Tunggu di sini!" Si sopir melompat turun, tanpa mematikan mesin kendaraan. Dia masuk ke sebuah rumah berlantai dua.
Chi Wan bersiul-siul. Roy gelisah sendirian. Si sopir nongol dengan bungkusan plastik. Lalu menjalankan kendaraan dengan tergesa-gesa. Roy merasa heran, kenapa transaksi belum juga terjadi. Tapi dia menahan diri untuk tidak mencampuri urusan ini.
Bajaj sudah kembali di keramaian jalan New Delhi, saling-silang dengan kendaraan lainnya. Tak berbeda dengan semrawutnya lalu lintas Jakarta.
"Silakan dihitung, Mister!" Si sopir menyodorkan bungkusan plastik berwarna kuning.
Chi Wan membuka plastik itu pelan-pelan. Menghitungnya. Roy pun membantunya. Mereka berusaha menghitung secermat mungkin.Tak ada yang terlewat. Bagaimaria, Mister""
"Cukupl" seru Chi Wan.
Si sopir meminta kembali bungkusan kuning itu. Lalu dia menanyakan tentang dua ratus dolar Amerika-nya. Chi Wan menyodorkan dua lembar. Si sopir memeriksa keaslian uang kertas itu sambil mengendarai bajaj. Setelah yakin dolar itu asli, dia mengembalikannya. Kemudian transaksi pun terjadi. Bungkusan kuning dan dua lembar uang kertas seratus dolar berpindah tangan.
"Okay, Mister!" Si sopir tersenyum lebar meminggirkan bajaj di Connaught Place. "Terima kasih atas dolarnya!"
Chi Wan melompat turun dengan gembira. Roy mengikutinya. Kegelisahan yang tak ada ujungnya masih menyelimuti jiwanya.
"Buka bungkusan itu, Chi Wan," kata Roy ingin meyakinkan.
"Tapi jangan di sini." Chi Wan menyeberang ke sebuah kafe.
Mereka duduk di sudut. Memesan es cola. Chi Wan hati-hati membuka bungkusan plastik kuning itu. Beberapa saat Chi Wan mengamati ikatan uang itu. Wajahnya yang putih pucat sukar dilukiskan ketika dia berteriak geram.
"Kenapa, Chi Wan"" Roy memeriksa uang kertas itu.
Chi Wan tak habis-habisnya mengumpat. Kata-kata kotor meluncur deras, sehingga mata pengunjung restoran tertuju pada mereka. Roy juga tak urung berang, begitu menyadari gepokan uang kertas itu ternyata uang monopoli. Lapisan atasnya saja yang masih uang kertas betulan.
"Apa aku bilang!" Roy memukul meja.
"Tapi, bagaimana ini bisa terjadi" Kamu sendiri ikut memeriksa isi bungkusan
itu, Roy!" "Gila! Ini betul-betul gila!" Roy mengacak-acak uang kertas monopoli itu. Dia menebak, ketika transaksi berlangsung, si sopir itu pasti memberikan bungkusan plastik yang lain.
Bungkusan yang berisi uang asli tentu disembunyikannya. "Aku memang bodoh!" gerutunya. "Kita tidak waspada!"
You Chi Wan bangkit. Dia berlari ke jalanan. Mencoba mencari-cari, siapa tahu bajaj sialan itu masih tampak. Tapi itu jelas pekerjaan sia-sia. Kini Roy paham kenapa transaksi dilakukan di atas bajaj yang sedang melaju di keramaian. Susah untuk melacaknya.
Chi wan masih berteriak-teriak di luar. Kadang merutuki kebodohannya. Roy berusaha menenangkannya. Kalau sudah begini, mereka tak bisa berbuat apa-aipa. Mau lapor polisi, malah bisa fatal. Ada peraturan bagi orang asing untuk nienukar dolar di bank.
"Habis sudah uangku, Roy!"
"Aku tidak bisa membantu apa-apa, Chi Wan."
"Aku mengerti, Roy," Chi Wan memaklumi.
"Besok aku harus ke Kedutaan Korea," katanya. Dia juga mengatakan bahwa di kedutaan nanti ada bagian yang mengurusi kesulitan seperti ini. Dia bisa pinjam uang dan nanti pembayarannya dilunasi begitu sampai di rumah.
Mereka kembali dengan nelangsa ke Youth Hostel. Terutama Chi Wan, yang tadinya hendak untung malah jadi buntung. Mau tidak mau Chi Wan mempercepat rencana kepulangannya ke Korea. Dia yang tadinya menikmati perjalanan di India, kini berbalik menyumpahinya.
"Kalau saja aku menuruti apa katamu, Roy," Chi Wan menyesali diri. "Uang kadang bikin hatiku buta. Uang memang cepat membiusku." "Penyesalan selalu munc
ul belakangan." Seorang resepsionis memanggil mereka. "Ada pesan untuk Tuan Roy," katanya memberikan sepucuk surat.
Chi Wan membaca kop surat itu. "Dari KBRI, Roy."
Roy dengan berdebar-debar membuka surat berkop KBRI India itu. Dibacanya pelan-peIan. Tak ada lagi kekuatan yang terpancar di wajahnya. Semuanya seperti musnah; juga kekerasan seorang lelaki yang selama ini dimilikinya. Tubuhnya luruh. Tulang-tulangnya hancur bagai tembok keropos. Dia roboh. Rapuh.
Surat itu menggelincir ke lantai.
Chi Wan memapahnya. Bibir Roy gemetar. Kelopak matanya kosong dan berkaca-kaca. Menggenang. Beriak-riak. Luber. Jatuh satu-satu ke pipinya. Deras. Deras. Hatinya menggigil. Pilu. Lara. Sejuta duka merejamnya.
Langit seolah-olah roboh menimpanya.
"Mamaku, Chi Wan." Roy terisak-isak.
Chi Wan memeluknya. "Mamaku, mamaku." Pipinya basah.
"Kini kamu ada alasan untuk pulang, Roy."
"Aku kini jadi anak durhaka." Hancur hatinya.
Tak ada lagi yang bisa mampu menopang tubuh Roy. Dia berada dalam kepedihan yang luar biasa. Dia sudah tak punya apa-apa lagi sekarang. Tak memiliki siapa-siapa lagi. Kini dia ibarat daun kering yang rontok, melayang-layang, dan terpuruk ke bumi.
XII. EPILOG Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Pohon rimbun. Sawah. Gunung. Sungai. Bebatuan. Tawa anak gembala di punggung kerbau. Main lumpur. Alamku. Mimpiku. Aku memimpikan rumah. Di atas bukit. Bunga-bunga. Kasih. Belaian. Harapan. Alamku. Mimpi-mimpiku.
-Heri H Harris *** Pemuda Roy dengan panik mengejar fajar. Dia berlomba dengan senja. Begitu surat dari KBRI itu dibacanya, tak ada yang dipikirkannya lagi kecuali: pulang. Tak ada lagi yang ingin dikerjakannya kini. Naluri petualangannya musnah. Semangatnya runtuh. Obsesi keliling dunianya tertendang jauh-jauh. Eropa sudah dikuburnya. Mimpi-mimpi masa mudanya diinjak-injaknya.
Ternyata pikiran-pikiran buruk tentang mamanya terjadi juga. Pada akhirnya, penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Ah, andai saja dia pulang lebih cepat menengok mamanya yang masih dirawat di rumah sakit... tentu ceritanya jadi lain.
Roy tidak berpikir panjang lagi. Blue ransel-nya pun dikemasi. Pada kesempatan pertama dia naik pesawat ke Bangkok. Lalu nyambung dengan kereta ke Kuala Lumpur. Dan dari sana dia menustaskan perjalanannya dengan pesawat Garuda ke Jakarta. Sisa uangnya memang cuma cukup untuk itu.
Kini dia pulang ke rumah, tapi tak ada senyum menyambutnya. Tak ada siapa-siapa. Ketika dia mendarat di Cengkareng, kedua kakinya tak lagi bisa diam. Dia berlari ke sana kemari, seolah-olah takut kehilangan sesuatu. Dia cuma bisa memeluk uwaknya erat-erat. Bersembunyi di sana. Menangis sesenggukan seperti bayi.
Hancur, hancur! Hari-harinya seperti tak berarti lagi.
"Maafkan Roy, Uwak." Dia bersimpuh. "Yang penting kamu selamat sampai di rumah."
Selamat sampai di rumah, kalimat uwaknya terus terngiang-ngiang. Tak ada gunanya jika senyum yang selalu terkembang di pintu rumah itu kini tertelan bumi. Belaian lembut jika sedang gundah gulana itu juga tak akan dirasakan lagi. Lenyap sudah segala-galanya.
Seluruhnya ditumpah-ruahkan di atas gundukan tanah merah itu. Mamanya terbaring abadi di dalamnya.Terkubur. Kembali ke sisi-Nya. Dari asal kembali ke asal. Dia meremas-remas tanah merah itu. Mencoba merasakan kehangatan tubuh mamanya. Mencoba mengalirkan penyesalannya. Mengabarkan kecintaannya.
Air matanya sudah kering kerontang. Suaranya hilang sudah. Tak ada lagi yang dimilikinya kini. Rebah-rebahlah. Dia memeluk gundukan tanah yang menimbun tubuh mamanya. Membalurkan pada tubuhnya. Pada wajahnya.
"Mama," lirih suaranya, "Roy sudah pulang." Bibirnya gemetar. "Roy kini sendirian, Mama. Tak ada lagi wanita yang bisa menggantikan Mama."
Angin di pekuburan berkesiur. Hari yang panas. Daun-daun pohon kamboja bergulingan. Debu-debu beterbangan.
"Mama," Roy merasa sedang berbicara dengan mamanya. Seutuh-utuhnya mamanya hadir. "Roy kini tidak akan pergi-pergi lagi.
Balada Si Roy 10 Epilog Karya Gola Gong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Roy akan selalu di dekat Mama. Menemani hari-hari Mama yang selalu sepi."
Roy terus meraung-raung di pusara mamanya. Tubuhnya kotor penuh tanah merah. Dia menjambak-jambak rambutnya.
Beberapa hari ini dia tak bisa mendapati dirinya secara utuh. Dia sudah terlepas dari kesadarannya. Tercerabut dari kemanusiaannya. Terapung-apung di samudera tanpa panduan bintang. Tanpa mercu suar. Buta. Gelap gulita. Hilang bentuk.
Kini komplet sudah keputusasaannya. Papanya yang cuma hadir dalam mimpi kanak-kanaknya, lalu Joe, anjing herder pemberian papanya, kini miliknya yang terakhir, Mama, harus pula meninggalkannya. Ya, lengkap sudah kini kesepiannya. Tak ada lagi tujuan untuk hidup. Tak ada lagi arah ketika dia hendak berjalan.
Roy tenggelam berlarut-larut. Yang dikerjakannya cuma menyesali nasib. Sungguh dia tidak menyangka perjalanan panjang hidupnya akan berakhir seperti ini.
Rumah kecil yang tua itu kini hampa. Sepi sendiri. Tak ada gelak tawa. Tak ada suara jerijit mesin jahit. Tak ada bunyi apa-apa. Foto-foto mama-papanya diturunkan. Ditumpuk. Disimpan di kardus. Album-album keluarga pun ditutup rapat-rapat. Diikat kuat-kuat. Untuk sementara waktu, dia tak akan berani melihatnya. Bisa robek hatinya.
Beberapa hari setelah itu Roy terdampar di pekuburan keluarga papanya di Jalan Sukabumi, Bandung. Beberapa tahun ke belakang dia pernah berziarah ke sini. Membersihkanh makam papanya yang tak terawat. Merangkul pusara papanya yang dicakari rumput liar.
"Roy datang lagi, Pa," bisiknya lirih. "Roy sudah menyia-nyiakan Mama, Pa." Kali ini matanya terasa, hangat. "Kini Roy sendirian."
Pemuda Roy gelisah di teras sebuah rumah, ini adalah kunjungannya yang pertama setelah kepergiannya yang panjang. Sebelumnya dia sudah memberi kabar bahwa akan datang berkunjung, Tapi Suci sedang ada di rumah tetangga. Adiknya menyuruhnya untuk menunggu. Kedua orangtuanya tak ada keinginan untuk menemaninya bicara.
"Roy!" Suci muncul di pintu gerbang.
Roy berdebar hatinya. Seperti mimpi. Suci semakin manis dan tumbuh dewasa. Manis memang tidak membosankan. Wanita sangat beragam. Ada yang cantik, jelita, dan manis. Suci termasuk yang terakhir itu.
Suci menyalaminya. Betapa Roy ingin memeluknya.
"Aku ikut sedih, Roy."
"Aku 'Malin Kundang' abad kini, Suci."
"Jangan bilang begitu, Roy."
"Aku harus bilang bagaimana untuk mengubur kesalahanku, Suci" Dosa-dosaku."
"Aku yakin mamamu setiap hari selalu mendoakanmu. Memaafkan dosa-dosamu. Tak ada orangtua yang ingin anaknya celaka. Terlebih-lebih seorang ibu yang mengandung dirinya.
Sekarang masalahnya tinggal kamu dengan Tuhan, Roy. Kamu mesti mengisi hari-harimu dengan agama, Roy. Bersihkan dirimu. Cuci pikiranmu dari hal-hal ,kotor."
Roy menyimak kalimat-kalimat Suci, yang menurutnya cukup menyejukkan. Ini ibarat air oase di padang pasir,
"Sori, aku seperti orang yang paling bersih saja ya, Roy." Roy tersenyum.
Keesokannya mereka bertemu dan menghabiskan waktu di sebuah kafe di pojokan Jalan Braga. Suci datang dengan kemeja merah dan senyum manis. Sedangkan Roy dengan jubah kelabu yang mendung.
"Ada yang ingin kubicarakan, Roy."
"Aku pasrah saja, Suci. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Di dalam perjalananku kemarin pun banyak hal yang telah kulanggar."
Suci mempermainkan sendok di gelas. Gemerincrng bunyinya. Syahdu dan pilu, seperti halnya suara hati mereka. Sementara itu Jalan Braga dipukuli gerimis. Penyanyi buta, Braga Stone, yang biasanya memetik kawat kecapinya, kini sudah tak ada lagi. Kabar dari orang, penyanyi buta itu sakit. Tapi kabar yang lain, dia sudah terlindas perubahan zaman.
"Selama perjalanan, aku sudah memikirkan hal-hal terburuk yang akan menimpaku. Kehilangan Mama dan kamu, Suci. Aku sudah siap untuk itu.
"Tak ada lagi yang bisa kubanggakan sekarang. Kini aku lelaki yang 'kotor'. Yang kalah. Yang lelah. Aku bukan siapa-siapa lagi. I am nobody."
"Roy." Suci berusaha menatapnya. "Ketika aku membaca surat-suratmu, oh, tahukah perasaanku, Roy"" Kekecewaan jelas terlukis di wajahnya. "Lelaki idamanku di negeri seberang cuma tenggelam dengan obat bius, hasis, alkohol, dan ganja" Lalu di pelukan gadis bule""
Roy tak bisa membantah. "Hal-hal seperti itukah yang selalu mengisi hari-harimu, Roy" Itukah tujuan kamu sebetulnya, kenapa begitu ngotot ingin traveling" Kebebasanka
h yang kamu inginkan, Roy, karena disini kamu tidak bisa mendapatkannya"
"Kalau kebebasan seperti itu yang kamu dambakan, kamu harus menebusnya dengan mahal, Roy. Kehilangan mamamu." Dada Suci turun-naik.
Juga kehilangan kamu, Suci."
"Kamu tidak pernah mengindahkan kata-kataku, Roy! Kamu selfish!"
Sebetulnya Roy datang menemui Suci cuma ingin rebah di pelukannya. Kalau perlu mepangis. Dia tak punya siapa-siapa sekarang. Tapi apa boleh buat, dia harus mau menerima kenyataan, bahwa dia harus siap kehilangan Suci-wanita tersisa yang kini dimilikinya.
"Kamu memang ingin kehilangan aku, Roy!"
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Padahal kamu bisa membohongi aku, Roy!"
Matanya mulai tergenang. "Kamu kan bisa saja menulis hal-hal lainnya di surat ketimbang alkohol, ganja, hasis, dan gadis Berlin-mu itu!"
"Aku ingin jujur, Suci." Roy menggenggam lengannya, tapi Suci menepisnya. "Aku ingin kamu mengenal apa adanya aku."
"Tapi, akhirnya ya seperti ini!"
"Aku minta maaf."
"Lelaki selalu begitu!"
"Aku khilaf. Itu memang sebagian risiko yang harus aku terima. Romantika perjalanan, namanya. Aku kesepian. Aku sedang sentimentil. Aku kangen sama kamu saat itu."
Suci mengaduk-aduk isi gelas Jagi. Kesal sekali.
Roy melihat ke jalanan lagi. Kosong hatinya. Lengang jiwanya. Kata-kata sudah kehilangan makna. Bahasa isyarat jadi tak berguna.
"Aku mau ke Kanada," kalimat Suci mengagetkan.
Roy menatapnya tidak percaya.
"Aku ikut pertukaran pelajar, Roy."
Kint Roy tersenyum. "Aku senang mendengamya, Suci."
"Rencananya satu tahun. Tapi kalau aku betah, papaku menyuruhku untuk meneruskan sekolah di sana. Biar Inggris-ku lancar." "Pergilah, Suci. Lihatlah dunia."
Suci menatapnya lagi dengan perasaan dalam. "Aku mencintaimu, Roy," lirih suaranya.
"Aku sudah kehabisan kata-kata, Suci."
"Tapi untuk menyatukan perasaan kita, tidak cukup cuma dengan cinta saja. Untuk mengabadikan cinta itu, Roy, mulainya dari diri kita sendiri. Untuk menjadikan cinta itu sesuatu yang indah dan berharga, kita harus memeliharanya. Harus ada saling pengertian, penghargaan, dan menghormati kepercayaan masing-masing." "Aku sudah melanggarnya, Suci. "
Suci menggigit bibirnya. Dia tampak berpikir keras. Lalu mulutnya yang mungil terbuka, "Aku juga tidak setia seperti yang kamu duga." Roy mendelik.
"Selama kamu melakukan perjalanan, aku menjalin hubungan dengan seorang cowok. Dia mahasiswa. Mungkin seperti kamu bilang, aku juga kesepian:"
Suci sudah jujur, walaupun hati Roy tertusuk. Kepahitan kini semakin lengkap. Atap dunia betul-betul mengimpitnya. Tak ada lagi yang harus dipertahankan sekarang. Tak ada lagi yang berharga bisa digenggamnya.
"Suci." Roy meremas lengannya. "Sekarang kita jalan masing-masing saja."
"Roy!" "Kita memiliki cinta, Suci. Tapi itu tidak mesti saling memiliki. Biarlah cinta itu abadi di hati kita."
Oh, Roy, ini membingungkan!" "Kapan kamu berangkat ke Kanada"" "Bulan depan."
Roy menarik napas. Sakit sekali dadanya. "Kamu akan mengantarku ke bandara kan, Roy""
Roy cuma menggenggam penuh telapak tangan Suci. Mendekatkannya ke bibir. Dikecupnya punggung tangan Suci. Dia sudah siap untuk kehilangan segala miliknya yang berharga. Ini adalah risiko seorang lelaki.
Pemuda Roy cuma ingin berlari jauh. Berlari meninggalkan segala-galanya. Mimpinya yang ada sekarang cuma rumah di atas bukit. Sawah. Gunung. Bebatuan. Seruling gembala. Kerbau. Itulah mimpi-mimpi keputusasaannya, yang entah akan terobati atau tidak.
Lukanya luka lelaki. Luka karena pisau kehidupan. Tak mungkin membiarkan luka itu jadi borok dan bernanah, walaupun luka lain bakal datang.
Hujan gerimis memukuli kampung di kaki gunung di Banten Selatan. Bau Lumpur semerbak memenuhi hidung. Musim tanam tiba. Gadis-gadis kampung membenamkan betis mereka yang putih alami. Bapak-bapak bernyanyi-nyanyi membajak sawah. Kerbau melenguh, karena sudah kembali ke kodratnya, jadi bagian hidup manusia, ketimbang diikat di kandang.
Anak-anak kecil berlarian di pematang sawah. Mengejar capung serta berburu kodok swike dan belut. Lalu menyerbu sungai irigasi. Bermain air dan larut dalam mimpi kanak-kanak.
Sawah, gunung, sungai, dan senyum orang-orang kampung. Itulah kehidupan bersahaja. Itulah sesungguhnya kebahagiaan. Tak ada nafsu saling memiliki. Tak ada rasa saling menindas. Semua cuma kebersamaan. Segalanya adalah anugerah Tuhan. Betapa damai.
Matahari pun selalu gembira menerangi mereka. Ramah dan hangat. Tidak menyengat.
"Roy!" seorang gadis kampung memanggilnya. Gadis kampung yang cantik itu mengacung-acungkan bakul nasi. Makan siang sudah tiba.
Seorang pemuda gondrong bertelanjang dada, yang sedahg asyik terbenam dilumpur menarik bajak, melambaikan tangannya. Dia memutar arah bajakhya.
"Kita makan siang dulu!" katanya menyeka keringat.
Kerbau gemuk itu melenguh panjang.
Setelah mamanya dipanggil Tuhan, Roy memutuskan untuk pergi ke mana saja kakinya membawa. Di Banten Selatan, sebuah keluarga petani menemukannya sedang meratap-ratap di gubuk. Keluarga petani itu memungutnya. Menjadikannya bagian dari sebuah keluarga.
Jika kalian sedang "tersesat" ke kampung-kampung terpencil dan melihat seorang pemuda gondrong bertelanjang dada, sedang gembira membajak sawah, berteriaklah padanya: Roy! Pemuda gondrong itu akan menoleh dan tersenyum!
Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Empress Orchid 4 Wiro Sableng 179 Delapan Sukma Merah Jawaban Answer 1