Pencarian

Bukan Di Negeri Dongeng 1

Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa Bagian 1


Bukan di Negeri Dongeng KISAH NYATA PARA PEJUANG KEADILAN
Disusun oleh Helvy Tiana Rosa, Izzatul Jannah, dkk.
" 2003, PT Syaamil Cipta Media, Jl. Cikutra 99, Bandung 40124
Hak cipta terpelihara. Buku ini kami pinjamkan kepada anda, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi anda. Jadi ijab qabul buku ini adalah peminjaman. Buku ini dalam bentuk PDF telah diproteksi sedemikian rupa sehingga anda tidak bisa mencetak atau copy-paste. Silahkan beli buku aslinya, Insya Allah akan lebih berkah.
Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera Wilayah Australia dan New Zealand www.pks-anz.org
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Daftar Isi -Daftar Isi -Pengantar -INDONESIA BELUM MENYERAH
-Rezeki Milik Siapa"
-Sang Pemimpin Belanja Sayur
-"MR. PRESIDENT, GOD WILL BE THE TRUTH"
-Sebuah Permintaan -Pin Membawa Simpati -KIJANG KPU -ISTRI ANGGOTA -DEWAN BEREBUT AMAL
-Nikmat yang Tak Habis Disyukuri
-Parsel -Dari Mana Asalnya" -Sang Pelayan Masyarakat -Orang yang Pertama -Terlalu Banyak Yang Belum Dilakukan
-Tidak Satu Rupiah pun -Muslim Aceh adalah Saudara Kami!
-Melihat Rakyat -Pistol Itu dan Mobil Pemadam Kebakaran
-Pondok Hanan -PERSAUDARAAN DI RUMAH RAJA
-Cililitan 1990 dan Ustadz Lamu
-Suatu Hari di Alun-Alun -Saudara di Paniai -Hidayah Seorang Sampah -Kepedulian di Bonggo -Seribu Teman -Petani Jantung Kami -Termiskin tapi Terkaya -Mas Gagah dari Partai Kecil
-"Pak, Sudah Adzan..."
-Lelaki Dari Bolmong -Bekal Kematian -"Bukankah Hidup Hanya Sekali Saudaraku""
-Sebuah Amanah, Sebuah Vonis
-Dan Rasulullah Menuju Padanya
Pengantar Apakah Anda memiliki banyak teman yang mempunyai sifat dan sikap yang bagi Anda terasa sangat mengesankan dan istimewa" Adakah Anda mengenal orang yang memiliki ahlak sangat mulia, misalnya sangat adil, jujur, penuh cinta, mementingkan orang lain dan sebagainya"
Mungkin Anda akan menjawab dengan mata berbinar, "Ya". Tapi bisa jadi setelah berpikir keras, mengingat-ingat, Anda terpaksa mengatakan, "Tidak. Saya nggak punya teman seperti itu" atau: "Orang seperti itu kan hanya ada di jaman dahulu kala, jaman para nabi!" Sementara diam-diam Anda menyimpan rindu. Begitu mendera-dera. Lantas tiba-tiba Anda pun bergumam, "Bukan sekadar teman. Bahkan negeri ini sangat membutuhkan orang-orang seperti itu!"
Ya, negeri ini! Tapi apa mereka benar ada" Di negeri dongeng manakah mereka tinggal" Jangan pesimis dulu. Melalui buku ini, Anda akan saya ajak untuk berkenalan dan bertemu dengan sosok-sosok luar biasa! Seperti itu. Anda tak percaya" Tidak, ini bukan cerita fiktif dari negeri dongeng mana pun. Mereka memang sungguh ada, bahkan tak jauh dari Anda! Ditulis oleh lebih dari 25 orang, buku ini memaparkan kisah-kisah keseharian yang mencengangkan dari mereka yang kami sebut sebagai 'pejuang keadilan'.
Pernahkah terbayang dalam benak Anda, suatu hari dalam kehidupan Anda, datang sepasang suami istri sederhana yang belum lama Anda kenal tiba-tiba menghadiahkan Anda sebuah laptop hanya karena mereka merasa bahwa suatu ketika Anda akan menjadi seorang penulis" Padahal saat itu Anda bahkan belum menulis apa pun yang berarti"
Pernah bertemu dengan dia yang memiliki prinsip untuk selalu menjadi orang pertama yang menolong orang lain meski tak bisa membeli susu bagi anaknya" Pernah tahu ada ibu empat anak, pengidap kanker rahim yang sangat kekurangan secara ekonomi, tetapi selalu terdepan membantu mereka yang terkena musibah
Bisakah Anda bayangkan bila suami Anda yang bertugas di DPR hanya mau mengambil gaji secukupnya dan selebihnya dikembalikan pada rakyat" Atau kala ia mendapat uang ratusan juta rupiah yang dikatakan sebagai haknya, ia malah mengembalikannya kepada rakyat di sekitarnya dengan cara yang sederhana" Bagaimana segelintir pejabat yang jujur menyelamatkan ratusan milyar uang negara dalam rapat-rapat yang alot" Bagaimana perasaan Anda, bila tiba-tiba ada seorang pejabat memilih tidur di sebuah rumah petak beralaskan tikar, hanya karena empatinya yang besar terhadap masyarakat" Kenal wakil rakyat yang tak mempan suap, yang bertekad membela kebenaran dan keadilan meski setiap hari menerima an
caman pembunuhan" Pernah bertemu dengan seorang presiden yang secara rutin menyapu dan mem-bakar sampah untuk kenyamanan lingkungannya" Punya kenalan pemimpin yang sering membantu istr! inya belanja sayur" Atau ibu pejabat yang berebut melakukan ke bajikan" Pernah berdoa agar ada lelaki tulus yang mau menghabiskan waktunya mendekati para 'sampah masyarakat' yang seabreg itu dan mengubah mereka menjadi berarti"
Lalu apa Anda mengetahui, bahwa ada seorang anggota Komisi Pemilihan Umum yang ternyata harus 'berjuang' berkali-kali untuk sekadar mengembalikan kijang yang dipakainya selama bertugas" Ingin tahu kisah seorang dokter yang membangun sebuah desa di pedalaman" Lalu kisah para penghuni sebuah pondok cinta yang terdiri dari mahasiswi, tuna netra, mbok bakul jamu, dan lain-lain yang saling peduli" Tahukah Anda bahwa seorang ustadz muda dari negeri ini saat bertemu George Bush, dengan berani dan simpatik menasehati Presiden Amerika itu" Siapa dia" Bahkan bila Anda ingin punya seribu teman atau ingin mengetahui bagaimana menyongsong kematian dengan indah, serta hal-hal penting lainnya, semua ada dalam buku yang sangat menyentuh ini.
Sungguh, tak berlebihan bila saya katakan bahwa Bukan di Negeri Dongeng (BdND) akan mengasah nurani dan meninggalkan sesuatu di batin Anda usai membacanya: pencerahan, getaran, rasa takjub, cinta dan dorongan untuk berbuat serupa. Syukur tak habis-habisnya pada Illahi dan terimakasih saya ucapkan kepada Teman-teman yang sudi berbagi kisah luar biasa ini.
Kepada mereka yang kisahnya terdapat dalam buku ini: Saya, kami, Indonesia mencintai dan membutuhkan kalian. Telah lama negeri ini mual terhadap para pemimpin, pejabat atau siapa pun yang berbicara dengan kekuasaan dan harta mereka, yang mementingkan diri sendiri, korup, miskin cinta. Telah lama negeri ini merindukan sosok yang enantiasa menempuh jalan cinta seperti kalian. Terimakasih pada Allah yang membuat kalian ada dan nyata di tengah kami. Terimakasih saya haturkan pula kepada para penulis, Pak Razikun, adik-adikku di Cyberliq, dan semua pihak yang turut repot mengumpulkan bahan tulisan. Kepada Partai Keadilan Sejahtera (sumber inspirasiku yang tak pernah habis). Kepada Izzatul Jannah, kepada Penerbit dan semua pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, yang membantu terwujudnya buku indah ini. Hanya Allah SWT yang bisa membalas semua.
Akhirnya, selamat membaca dan nantikan seri BdND berikutnya. Ya, kita semua pasti mendambakan indahnya keadilan dalam hidup ini. Maka tak ada lagi keraguan di hati: Mari bersama menjadi pejuang keadilan!
Wassalam, -Helvy Tiana Rosa- INDONESIA BELUM MENYERAH!
"Aku seorang seniman," lelaki berambut gondrong itu berkata padaku. "Tapi tidak sepertimu, aku cuma seniman pinggiran," tambahnya lagi seraya menyebut namanya: Iwan, tinggal di Tanjung Priok.
Waktu itu, Desember 2000, hari senja di Taman Ismail Marzuki. Aku baru saja berkenalan dengan Iwan dan Ratri - adik perempuannya - di toko buku Joze Rizal Manua.
"Aku tidak percaya partai, Mbak," tiba-tiba Ratri berkata, pada pertemuan kami yang berikut, dua minggu kemudian, di tempat yang sama. "Apalagi pada tokoh2nya. Muak sekali melihat mereka," tambahnya sinis.
"Ya, aku juga. Nggak ada yang benar. Partai yang besar kubenci, yang kecil bikin aku geli. Lihat deh! Partai-partai gurem itu, kan, nggak jelas. Ada juga yang membawa agama untuk kepentingan partai, sekadar memanipulasi ayat Tuhan!" Nada suara Iwan agak geram.
"Ya, tapi tak semua," bantahku.
Sayang percakapan kami terhenti karena tiba-tiba hujan turun begitu deras.
Kami berpisah dua tahun lalu di TIM tanpa pernah bertukar alamat dan tak pernah bertemu lagi setelah itu. Sampai, akhir November 2002, seseorg menyapaku di tempat yang sama: TIM.
"Assalamu'alaykum, Mbak! Masih ingat saya" Saya Iwan, seniman pinggiran itu. Saya sudah potong rambut. Apa Mbak masih mengenali saya""
Sesaat aku mengernyitkan dahi. Sosok di depanku sangat rapi dan sopan. Tapi ia memang Iwan. Dan topi yang di pakainya" Aku kembali mengerutkan dahi. Iwan memakai topi berlambang Partai Keadilan"
Ia membuka topinya dan tersipu
. "Sekarang saya jadi aktivis PK Mbak. Masih kecil-kecilan": Aku tersenyum. Bagaimana bisa"
Segera kuajak Rita - teman yang sejak tadi bersamaku - dan Iwan makan siang bersama.
"Tahun lalu, banjir besar melanda Tanjung Priok. Teman-teman dari partai itu yang pertama datang ke lokasi. Mereka membantu kami bukan hanya pada hari itu, tapi berbulan-bulan kemudian masih memantau keadaan kami. Mereka melakukan semua tanpa pamrih, tanpa mengajak kami masuk partai mereka. Mereka juga membuka pos-pos pelayanan masyarakat secara gratis". Kata-kata Iwan meluncur begitu cepat.
"Lalu"" "Saya mulai ingin tahu tentang PK. Mereka memang unik. Saya berkali-kali mengadakan demonstrasi dengan kelompok saya. Jumlahnya cuma seratusan, tapi pasti ricuh. Sementara saya lihat setiap teman Partai Keadilan turun melakukan aksi di jalan, sampai ribuan orang, tak sedikit pun ada keributan. Kelihatannya kok tenang, kok asyik". Iwan menghirupnya air jeruknya.
Aku dan Rita berpandangan. Nyengir.
"Saya bertemu DR. Hidayat Nurwahid awal tahun ini. Wah dia memeluk saya. Padahal saya bukan apa-apa. Waktu itu, saya mengikuti ceramahnya di Al - Azhar. Saya salami dia. Eh, dia menjabat erat tangan saya, malah memeluk saya", kenang Iwan haru. "waktu itu, Hidayat Nurwahid berkata pada banyak orang, termasuk saya:'Bahkan seandainya Anda tidak masuk ke Partai Keadilan sekalipun, tapi anda mendukung, menegakkan dan melaksanakan keadilan, yang itu berarti Anda mengamalkan Islam, maka Anda sesungguhnya sudah menjadi bagian dari kami'. Saya terharu
sekali , Mbak!" Lagi-lagi aku dan Rita saling berpandangan. Itu perkataan yang memang sering diucapkankan Presiden PK: DR. Hidayat Nurwahid.
Iwan masih ingin terus bercerita. Angin kencang Kafe Musi di area terbuka TIM tempat kami duduk, menyentuh dan menggeser lembaran-lembaran Majalah Tempo edisi terbaru, November 2002, yang ada di pangkuanku. Tak sengaja, ekor mataku membaca tulisan itu sekali lagi: "Indonesia Belum Menyerah!"
Dalam edisi tersebut terdapat "Figur Pahlawan Pilihan Pembaca", sebuah polling yang melibatkan ratusan pembaca Tempo. Sholahudin Wahid, Hidayat Nurwahid, Abdullah Gymnastiar, Kwik Kian Gie, Susilo B. Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Iwan Fals, adalah tujuh nama yang menjadi pilihan pembaca secara berurutan.
Iwan masih terus bercerita. Angin meliukkan jilbab putihku sesekali. Tiba-tiba aku teringat wajah teman-temanku yang tak henti memikirkan masalah umat itu....
Ah Indonesia tak akan menyerah, Wan! Tak akan pernah!
-Helvy Tiana Rosa- (Bukan di Negeri Dongeng)
Rezeki Milik Siapa" Sosoknya tinggi besar, ada bekas sujud pada keningnya. Gaya bicara yang lembut tetapi tegas adalah ciri yang melekat padanya. Mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) wilayah Jawa Tengah ini sudah berdakwah sejak remaja. Sosoknya yang sederhana, gampang belas kasih pada kaum dhuafa adalah sosok istimewa di tengah-tengah gemerlapnya fasilitas anggota Dewan. Ya, Pak Zubaair Syafawi kini adalah anggota legislatif DPRD I Jawa Tengah dari Partai Keadilan.
Tahun ini beliau dicalonkan menjadi Gubernur/ wakil Gubernur Jawa tengah. Tahukan anda beliaulah calon Gub WaGub yg memiliki harta paling sedikit" Aset kepemilikan beliau ketika dihitung hanya sejumlah 20 juta! Tidak lebih! MasyaAllah. Saya tergugu mendengarnya.
Karena kebetulan saya dekat dengan keluarga beliau, saya tahu Pak Zubair dan Bu Dyah adalah sepasang suami-istri tangguh yang telah bertekad menginfakkan seluruh hidupnya untuk dakwah Islam dan tidak sedikit pun hendak mengambil rezeki lebih dari jalan dakwah yang beliau pilih.
Berputra hampir enam, rumah masih kontrak di daerah pemukiman padat, tidak memiliki kursi tamu sehingga setiap tamu diterima dengan lesehan, tidak memiliki kendaraan pribadi sehingga pergi kemanapun- termasuk ke kantor DPRD- memakai angkutan umum. Dan tahukan anda bahwa Pak Zubair hanya mengambil gaji dari Dewan secukupnya dan selebihnya selalu di berikan pada bendahara partai"
Ini adalah sepenggal kisah yang saya dengar sendiri dari istri beliau, Ibu Dyah Rahmawati, sepanjang perjalanan di wilayah barat Jawa Tengah.
"Bu Dyah, c eritakan pada saya tentang kemanfaatan harta duniawi," pinta saya pada beliau.
Beliau tersenyum sambil memandang mata saya," Harta duniawi itu kemanfaatannya tergantung pada kita. Kemanfaatannya terbagi menjadi tiga. Yang paling rendah adalah hisbusyaithan (jalan syetan), yaitu ketika kita tabsyir ( menyia-nyiakan harta, bermegah-megah dan melupakan dhuafa). Tingkat berikutnya adalah intifa' (kemanfaatan), yakni ketika kita memiliki harta dan kemanfaatannya di rasakan oleh kita, keluarga sekaligus umat. Contohnya bila kamu punya mobil," katanya pada saya, "maka itu intifa' ketika bermanfaat tidak hanya utk diri dan keluarga tetapi juga untuk dakwah. Nah, yang tertinggi itu fi sabilillah, yakni seluruhnya untuk dakwah, kita mengambil secukupnya saja, sekadarnya".
"Jadi ibu tidak pernah menabung" Untuk pesiapan sekolah anak-anak, misalnya"" tanya saya gelisah.
Beliau hanya tertawa. Saya menyaksikan sendiri bahwa visi itu tidak sekedar visi, tetapi telah menjadi karakter pada diri beliau berdua. Suatu saat pak Zubair mendapatkan rezeki yang banyak, lebih dari kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Maka, beliau meletakkan rezeki itu di atas meja.
"Pak mengapa uang begitu banyak di letakkan begitu saja di meja"" tanya Bu Dyah.
"Itu bukan rezeki kita Bu. Semoga nanti diambil oelh pemiliknya," kata Pak Zubair tenang. Beliau melanjutkan kesibukannya, demikian pula Bu Dyah yang telah cukup dengan keterangan Pak Zubair.
Maka ketika hari belum menjelang siang, datanglah salah seorg tetangga Pak Zubair, seorang pengemudi becak. "Assalamu ,alaykum! Pak Zubair..., tolong... tolong... saya, Pak...!"
"Wa ,alaykumussalam... monggo, pak..., lenggah rumiyen. Apa yg bisa dibantu, Pak""
"Saya ... tidak punya uang untuk menebus anak saya dari rumah sakit, Pak".
Masih dengan senyum menenangkan, Pak Zubair mengambil uang yang sedari pagi tergeletak di atas meja. Utuh dalam amplopnya. "yang empunya rezeki sudah mengambil haknya, Bu," bisik Pak Zubair pada Bu Dyah.
-Izzatul Jannah- (Bukan di Negeri Dongeng)
Sang Pemimpin Belanja Sayur
Pagi-pagi ba'da shubuh dan bebenah, seperti biasa acara rutin sebagian ibu-ibu adalah belanja. Demikian pula aku. Udara masih dingin kala itu. Kuturuni tangga kontrakanku. Kujumpai sebagian ibu-ibu berjalan menuju titik yang sama, tempat belanja! Tanah kapling di bawah kontrakanku masih banyak yang belum dibangun. Aku berjalan tepat di samping rumah ustadz Hidayat Nurwahid, Presiden Partai Keadilan. Di belakang rumah beliau, rumput masih banyak tumbuh dan tanah sedikit berair menyisakan tanda-tanda rawa yang masih belum sepenuhnya teruruk.
Aku terus berjalan. Naik beberapa tangga, melalui pintu gerbang SDIT Iqro' Pondok Gede yang sudah terkuak. Rumah ustadz Rahmad Abdullah yang asri dan sederhana kulewati. Rumah yang tiap dua hari sepekan kusambangi sebab di situlah aku belajar tahsin pada istri beliau. Aku terus berjalan melalui beberapa rumah para aktvis da'wah hingga akhirnya sampailah ke tempat belanjaan.
Belum selesai aku memilih-milih, tiba-tiba muncul laki-laki yang di lingkungan kami sangat dikenal dan tidak asing. Beliau bersama putranya. Kemunculannya tentu sangat tidak diduga. Kami para ibu pun mempersilakan beliau untuk mendapat pelayanan terlebih dulu. Beliaulah satu-satunya laki-laki saat itu. Aku memperhatikannya. Subhanallah, tak ada kecanggungan.
Sesampai di rumah kuceritakan apa yang kulihat pada suamiku, dengan penuh kekaguman.
"Ya, begitulah yang terjadi dalam keluarga beliau. Saling taawun antara suami istri tanpa harus dibatasi oleh pemisahan pekerjaan yang kaku," komentar suamiku yang berinteraksi cukup intensif.
Esoknya aku menjalani rutinitas yang sama, belanja. Di jalan, aku berpapasan dengan laki-laki itu kembali, bersama putranya.
"Belanja ustadz"" Aku sengaja menyapa.
"Iya, istri lagi sakit perut dan khodimah (pembantu) pulang," jawab beliau sambil tersenyum.
Aku mengangguk-angguk. Subhanallah, aku jadi teringat Ammar bin Yasir ketika menjabat sebagai Gubernur. Beliau kadang belanja di pasar dan mengikat serta memanggul sayuran sendirian. Inilah profil yang perlu dijadikan teladan.
La ki-laki yang saya jumpai itu, yang belanja di tukang sayur itu adalah ustadz Ahmad Heriawan Lc. Beliau adalah ketua Partai Keadilan DKI Jakarta dan anggota DPRD DKI Jakarta. Saya tidak akan terheran-heran jika beliau belanja bersama istri dan anak-anaknya di Supermarket, yang bagi keluarga muda atau keluarga jaman sekarang hal yang biasa dan sangat tidak tabu. Tetapi ini harus berbelanja dan ikut antri dengan para ibu rumah tangga, walau pada akhirnya beliau dipersilakan untuk dilayani lebih dahulu.
Lagi-lagi dengan takjub saya menceritakan apa yang saya lihat kepada suami saya. Sebagai orang yang intensif bertemu dengan beliau bahkan banyak menimba ilmu kepada beliau, suami saya berkata,
"Ustadz Heriawan memang subhanalloh Dik. Sebagai muridnya, saya merasakan kedekatan. Ketika sholat jama'ah di masjid misalnya, beliau kadang-kadang secara tiba-tiba merangkul saya dari belakang. Saya juga beruntung mempunyai jadwal ronda dengan beliau."
Ya, suami saya memang beruntung, beliau mendapat jadwal ronda bersama ustadz Ahmad Heriawan dan Ustadz Satori Ismail, sehingga pembicaraan kala ronda adalah pembicaraan-pembicaraan yang bermutu.
Ah. saya jadi menghayal, seandainya negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang berakhlaq mulia, yang mempunyai keharmonisan keluarga, yang dekat dengan anak dan istrinya, yang mempunyai hubungan baik dengan para tetangga, yang memuliakan wanita dan kaum papa, betapa indahnya dunia. Saya jadi teringat cerita sederhana dari istri beliau.
"Ayahnya Khobab (ustadz Ahmad Heriawan) sangat suka sayur lodeh nangka. Suatu saat beliau meminta saya untuk memasaknya. Begitu tahu bahwa ternyata membuat sayur lodeh nangka itu membutuhkan proses yang begitu lama, beliau pun berkata, "Sudah Bu, sekali ini saja. Kalau tahu bahwa prosesnya begini lama, ayah tak akan meminta dibikinkan. Dari pada waktu demikian panjang hanya habis untuk bikin sayur, mending buat baca atau untuk mengerjakan yang lain."
Nampaknya sangat sederhana, namun saya melihat ada satu hal yang luar biasa, tersirat dalam ungkapan itu, pemberian peluang yang luas bagi berkembangnya istri.
Saya memang harus banyak belajar dari keluarga pimpinan saya yang sempat menjadi tetangga saya itu. Yang jika orang-orang terkenal memberikan tarif dalam ceramah-ceramahnya, beliau malah pernah menolak ceramah dengan bayaran cukup lumayan karena harus terikat dengan pola yang diterapkan penyelenggara. Maka jangan heran, jika kita mengundang beliau dan memberikan "amplop" dengan mengatakan uang transport, maka seluruh uang yang ada di dalam amplop itu akan beliau gunakan untuk membayar jasa transportasi, dan tak menyisakan untuk kantong beliau sendiri.
Ah,itukah sibghoh Allah" Sebuah generasi yang dijanjikan oleh Alllah dalam surat Al-Maidah: 54 itu semoga kian dekat di sekitar kita, dan semoga memang sudah ada di sekitar kita.
-M. Muttaqwiati- Dari Buku "Bukan di Negeri Dongeng"
"MR. PRESIDENT, GOD WILL BE THE TRUTH"
Sejak tamat dari Sekolah Dasar, lelaki itu belum pernah membayangkan akan ke mana melangkahkan kaki di masa depan. ia masuk pesantren "Darul Arqam" Muhammadiyah bukan karena keinginan sendiri, tapi karena ketidakmampuan orang tuanya menangani kenakalannya.
Setamat pesantren tahun 1987, lagi-lagi ia tak punya rencana dan mengaku terpaksa tinggal di pesantren untuk mengabdi (mengajar tanpa gaji). Tak disangka, setahun mengajar, tiba-tiba ia mendapat tawaran melanjutkan studi ke Islamabad, Pakistan. Sesuatu yang sangat besar baginya yang bahkan tak pernah bermimpi bisa belajar di luar negeri.
Selama menuntut ilmu di Pakistan, semua berjalan secara alami. Dengan beasiswa yang hampir tidak menutupi kebutuhan sehari-hari, ternyata ia mampu menyelesaikan S2 pada tahun 1994. Usai menamat-kan kuliah S2 tersebut, ia memiliki banyak rencana. Ada tawaran ke Malaysia untuk mengajar atau melanjutkan S3. Rekan-rekan dari Thailand juga mengajaknya untuk mengajar di pondok-pondok pesantren yang mereka miliki. Namun, ternyata Allah menghendaki lain. Suami muslimah sederhana bernama Mutiah itu diterima mengajar pada 'The Islamic Foundation of America', di Jeddah, Sa
udi Arabia, sebulan setelah anak keduanya, Maryam Zakiyah, lahir.
Selama di Jeddah itulah ia banyak berinteraksi dengan nonmuslim yang ingin mengetahui Islam lebih jauh. Pengalaman yang di-ingatnya antara lain kisah seorang penjaga toko asal Manila dan insinyur perkapalan dari Australia.
Penjaga toko dari Manila itu bekerja di Jeddah. Menurutnya, sudah sekitar empat tahun dia belajar Islam dan sejak itu ingin masuk ke dalam agama ini. Namun, yang mengganjal adalah, setiap kali memutuskan untuk mengucapkan syahadah, dia terusik oleh tingkah laku majikannya yang kasar. Tapi akhirnya, sambil mencucurkan air mata, penjaga toko tersebut menyatakan keislamannya di depan lelaki itu. Masih sambil menangis, si penjaga toko berkata, "Kalau seandainya saya mati sebelum ini, saya akan tuntut majikan saya di hadapan Allah. Dialah yang menjadikan saya lambat memeluk agama ini."
Cerita tentang seorang insinyur Australia juga sangat menyentuh lelaki itu. Suatu ketika di bulan Ramadhan, insinyur Australia itu datang ke kantor Islamic Foundation sekitar pukul 10.30 malam. Dengan mata berkaca-kaca, ia mengatakan pada lelaki itu bahwa ia ingin mengetahui apa yang dibaca imam di Masjidil Haram.
"Itu Kitab Suci Al Quran."
Maka insinyur Australia itu segera ingin membelinya. Menurutnya, secara tak sengaja, ia membuka TV dan melihat siaran langsung tarawih dari Masjidil Haram. Tanpa terasa, ia mendengarkan alunan ayat-ayat yang dibaca sambil meneteskan air mata. ia merasa sekonyong-konyong hatinya begitu sejuk. Sebelum meninggalkan kantor Islamic Foundation, insinyur Australia itu juga menyatakan syahadah di depan lelaki itu.
Dua kejadian yang langsung dialami lelaki itu memberikan semangat padanya untuk melakukan kerja dakwah yang lebih giat dan lebih baik lagi. Dan itu pula yang membuatnya berdoa beberapa kali di Masjidil Haram agar Allah memberinya kesempatan untuk bisa berdakwah di tengah-tengah nonmuslim.
Rupanya doa itu dikabulkan Allah. Pada akhir 1996, ketika anak ketiganya berumur sekitar dua bulan, dubes RI untuk PBB, Nugroho Wisnumurti, melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan rombongan Deplu termasuk di dalamnya Menlu Ali Alatas. Pada saat acara manasik untuk para pejabat Deplu ini dilaksanakan di KJRI Jeddah, lelaki itu mendapat amanah untuk memberikan ceramah manasik haji.
Selesai ceramah, Dubes Wisnumurti mengajak lelaki itu untuk bergabung dengannya di kota New York sebagai staf Perwakilan Tetap RI untuk PBB sekaligus membina masyarakat muslim di kota itu. Rupanya Dubes Wisnumurti adalah salah satu penasihat peng-urus Keluarga Pengajian Indonesia di New York.
Akhir tahun itu juga ia mengajukan visa dengan surat panggilan dari PTRI-PBB di Konsulat Amerika di Jeddah. Tanpa hambatan, visa G-l atau visa diplomatik ia dapatkan. Segera setelah itu, ia membawa keluarga pulang ke kampung dan sendiri melanjutkan perjalanan ke AS.
Menginjakkan kaki di AS, ia merasakan perubahan suasana yang sangat drastis, dari masyarakat Saudi yang tertutup dan sangat birokratis (sistem kerajaan) ke sebuah negara yang terbuka dan liberal. Setiba di New York, lelaki itu bekerja di Perwakilan Tetap R.I. untuk PBB sebagai pegawai Humas dan Informasi. Namun, ia lebih banyak berada di luar kantor dengan kerja-kerja nonformal, termasuk dakwah, pertemuan antaragama, atau kegiatan-kegiatan sosial keagamaan lainnya.
Tak lama kemudian, ia terpilih sebagai anggota Dewan Pengurus keluarga Pengajian Indonesia sekaligus menjabat sebagai ketua Pengajian dan Pembinaan Umat. Pada saat itu, dengan bekal dua bahasa asing (Arab dan Inggris) ditambah sedikit paham bahasa Urdu (Pakistan), ia sering diminta mengisi ceramah atau khutbah di berbagai masjid. Puncak keterlibatannya dalam kegiatan antar-komunitas adalah dengan terpilihnya ia sebagai ketua Parade Muslim Internasional yang merupakan kegiatan akbar tahunan kaum muslimin kota New York di tahun 1998.
Pada tahun itu juga, bersama lima imam lainnya, ia mendirikan Imam Council of Metropolitan City of New York, semacam Majelis Permusyawaratan Imam sekota New York. Pendirian organisasi (induk) tersebut didasari karena ad
a kecenderungan persaingan ketat di antara elemen-elemen masyarakat muslim di sana. Ada tiga kelompok besar, yaitu muslim Afro American, Middle Eastern, dan juga South Asia (Pakistan-Bangladesh). Dan alhamdulillah, ternyata keberadaan lelaki itu-yang tidak masuk ke salah satu kategori di atas - bisa diterima oleh semua pihak.
Sejak menjadi ketua Parade Muslim, ia juga dikenal di kalangan interfaith. Ia menjadi konributor tetap pada acara pendidikan khusus bagi polisi New York (NYPD) dalam masalah-masalah komunitas (community matters) yang dikenal dengan nama Executive Development Program. Imam Pasha, chaplain NYPD yang juga imam masjid Malcom Shabbaz, sangat dekat dengan lelaki itu karena ia dianggap tidak memberikan image bahwa Islam itu harus Middle Eastern. Beberapa kali
lelaki itu bersama-sama dengan para tokoh agama melakukan pertemuan dengan walikota New York saat itu, Guliani, untuk membahas masalah-masalah hubungan antaragama.
Dan hal ini pulalah yang mengantar lelaki itu berkiprah lebih jauh setelah tragedi 11 September. Bersama imam masjid Malcom Shabbaz, mewakili komunitas muslim, ia menerima Presiden AS ketika berkunjung pertama kali ke Ground Zero (WTC). Pada acara perhelatan akbar mengenang mereka yang gugur di WTC itu, mereka juga diminta mewakili komunitas muslim tampil di acara yang dihadiri seluruh pembesar kota New York, termasuk mantan presiden Clinton dan istrinya, Senator Hillary Clinton.
Ketika menerima Presiden Bush di Ground Zero itu dan berjabat tangan, tiba-tiba lelaki itu berkata, "Mr. President, God will be with the truth" (Tuhan akan bersama kebenaran).
Sesaat ia terkejut sendiri karena tak menyadari kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Tapi itulah yang ia ucapkan dan ia tak pernah menyesalinya.
Setelah kejadian 11 September, lelaki itu diundang ke berbagai forum, baik di sekolah-sekolah, gereja-gereja, bahkan kantor-kantor pemerintahan, untuk menjelaskan agama Islam yang sesungguhnya. Rupanya, kesadaran untuk tahu Islam yang sesungguhnya begitu besar dari kalangan masyarakat Amerika. Sayangnya, media massa masih dikuasai perusahaan-perusahaan besar yang berada di segelintir orang namun berpengaruh. Mereka inilah yang kemudian menyetir opini publik, termasuk tentang Islam.
Namun demikian, menurut lelaki itu, fenomena terakhir me-nunjukkan bahwa Islam berada pada garis kemenangan. Dari masa ke masa, kesadaran untuk tahu Islam semakin meningkat. Jumlah masyarakat AS yang masuk Islam justru semakin bertambah.
April 2003 lalu, lelaki itu resmi diangkat menjadi imam II pada The Islamic Cultural Center of New York, Masjid Raya New York, dan sejak itu pula ia memulai program baru yaitu Islamic Forum for Nonmuslims yang diadakan setiap pekan. Tak kurang 20 orang yang datang mengambil bagian dalam acara tersebut dan mereka sangat simpatik.
Selama di AS, lelaki itu tak pernah menghitung sudah berapa banyak yang memeluk Islam dengan hidayah Allah lewat tangannya. tapi yang terbaru, 29 Juni lalu-saat buku ini dipersiapkan naik cetak - suami istri beragama Katolik dan berumur di atas 60 tahun menyatakan menerima Islam sebagai agama baru mereka.
Sungguh, bukan hal mudah bagi lelaki itu menggambarkan perasaannya saat menuntun seseorang menyatakan syahadah. Tapi itulah hal paling membahagiakan dalam hidupnya. Rasanya, A.S. menjadi tempat tingal terindah, saat ia bisa memandu seseorang menggapai hidayah Allah.
Lelaki yang saya ceritakan tersebut hingga kini masih menjadi pengurus Partai Keadilan Sejahtera perwakilan New York. Saya memanggil sosok 35 tahun itu: Ustadz Syamsi Ali. Semoga Allah merahmatinya.
-Helvy Tiana Rosa, Syamsi Ali-
Sebuah Permintaan Ketika proses pemilihan Bupati tahun 2000, beberapa balon bupati datang bersilaturahmi sambil meminta dukungan pada Azhar Fauzi Said, anggota DPRD Kabupaten Karawang dari Partai Keadilan. Mereka menjanjikan - bahkan menawarkan- berbagai hadiah bila Azhar mau mendukung pencalonan mereka.
Salah seorang balon datang dengan menawarkan sesuatu yang sangat menggiurkan. "Pak Azhar, kami in gin memberi Bapak sesuatu. Kira-kira apa yang Bapak mau" Rumah"
Mobil" Dibangunkan pesantren" Masjid" Apa saja..., Bapak tinggal sebutkan."
Azhar memandang orang di hadapannya saksama. "Anda jangan bercanda," katanya kemudian. "Tidak, Pak. Saya tidak bercanda. Ini serius."
Dengan tidak enak hati, Azhar berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun sang Balon Bupati justru makin mendesaknya. Akhirnya, Azhar ber-kata, "Anda tak akan sanggup memenuhi keinginan saya, Pak."
"Tak sanggup" Tidak, Pak Azhar, kami akan mengusahakannya, apa saja untuk Bapak."
Azhar tersenyum. "Baiklah, bila Anda memang serius.... "
"O, saya memang serius sekali!" sambung sang Balon.
"Kalau rumah dan mobil, meski sederhana, alhamdulillah saya sudah ada. Pesantren di sekitar kita sudah banyak, masjid juga tersebar di banyak tempat. Semua bisa saya kunjungi. Yang belum tinggal satu.... "
"Apa itu, Pak"" kejarnya.
Azhar menyorongkan sedikit badannya ke arah balon tersebut. Setengah berbisik ia berkata, "Surga."
Balon bupati itu tertawa. "Jangan bercanda, Pak." "Saya tidak bercanda. Ini serius," balasnya.
Sang Balon tergeragap. Diam. Dengan perlahan, Azhar menjelaskan tentang surga. Intinya adalah, bila sang Balon berusaha keras untuk menjadi orang baik di mata Allah dan masyarakat yang dengan itu kemudian mendapat kans untuk meraih surga-Nya, maka tentu Azhar akan mendukungnya. Bila tidak, ya tidak.
Dengan berbagai perasaan, akhirnya sang Balon meninggalkan rumah Azhar. Permintaan macam apa itu" pikirnya.
Di depan pintu rumah, sambil menatap mobil sang tamu yang berlalu, Azhar bertekad untuk teguh. Ya, ia akan terus meminta surga.
Hari itu, langit Karawang sangat cerah.
-Helvy Tiana Rosa, Azhar Fauzi Said-
Pin Membawa Simpati Beberapa hari lagi, Partai Keadilan Sejahtera dideklarasikan. Beramai-ramai para kader mencetak dan memproduksi pernak-pernik Partai Keadilan Sejahtera, mulai dari pin hingga payung. Ketika itu, ada adik anggota muda yang sedang bersilaturahmi ke rumah saya untuk pergi bersama-sama di sebuah acara kepartaian. Ia sudah siap dengan pin Partai Keadilan Sejahtera pada kerudungnya.
Kemudian, lewatlah tukang susu langganan anak-anak saya. Yang saya kenal, ia adalah lelaki yang rajin beribadah. Setiap lewat di depan rumah saya selalu tepat menjelang adzan Zhuhur. Setelah anak-anak membeli, ia berlalu dan hampir selalu berhenti di masjid dekat rumah saya untuk shalat Zhuhur berjamaah.
Ketika itu, anak-anak saya berebutan membeli susu dilayani oleh adik anggota muda itu. Sambil berbenah untuk segera berangkat, saya mendengar dialog adik anggota muda itu dengan si tukang susu.
"Njenengan Partai Keadilan, ya, Mbak"" tanya tukang susu ketika melihat pin yang dikenakan adik anggota muda itu.
"Nggih, Pak. Saya PK, Partai Keadilan Sejahtera,"jawabnya.
"Kula nggih Partai Keadilan, lho, Mbak, sejak dulu," kata si tukang susu.
Subhanallah. Sudah lama saya mengenal tukang susu itu sebagai orang yang shalih. Tapi keraguan selalu menyelimuti saya untuk mengajaknya pada partai dakwah ini. Padahal boleh jadi, ketika kita menampakka identitas kita pada orang-orang baik, mereka pun akan bisa menangkapnya sebagai kebaikan pula. Alhamdulillah.
-Izzatul Jannah- KIJANG KPU Sungguh tak ada rasa bangga di hati Mustafa Kamal ketika Partai Keadilan memilihnya menjadi perwakilan mereka di Komisi Pemilihan Umum. Namun, ia bertekad untuk senantiasa amanah. Maka, dalam balutan setelan jas pernikahan yang dimilikinya sejak empat tahun lalu - yang telah sedikit kesempitan itu- ia tak henti berdzikir. Hari itu, Maret 1999, pemuda berusia 30 tahun tersebut berdiri bersama beberapa tokoh lain di istana negara. Presiden Habibie baru saja usai melantik mereka sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum.
Hari-hari menjadi begitu cepat menjelang pe-milihan umum pertama dalam masa reformasi. Tak kenal pagi, siang atau malam, Kamal terus membawa amanah KPU di pundaknya. Saya mengikuti kiprahnya di media cetak dan elektronik. Lelaki itu amat vokal menyangkut kebenaran yang mendesak-desak nuraninya menyangkut bangsa ini.
"Uang datang sendiri di sini tanpa saya melakukan apa-apa, bahkan bila saya hanya duduk-duduk saja," katanya suatu ketika. "Mer
eka, oknum-oknum itu, mendesak saya untuk menerima uang ini dan uang itu yang jumlahnya ratusan juta," sambung Kamal prihatin.
Rupanya, ada saja pihak-pihak yang ingin memanfaatkan KPU untuk aneka kepentingan dan mencoba memberi 'uang komisi' dari tender-tender yang ada, 'uang terima kasih' dan semacamnya pada Kamal. Bahkan bila mau 'bergerak', ia bisa mendapat jauh lebih banyak lagi. Tapi, ia memang teman saya yang dulu. Tak sepeser pun uang tersebut mau diterimanya. Sampai-sampai, banyak yang mengira pemuda bersahaja itu sebagai orang yang sangat kaya.
"Ya, dia itu anak orang kaya. Keturunan orang kaya banget, jadi nggak bisa kita beri duit. Nggak mempan!" bisik beberapa orang.
Ketika masa bertugasnya di KPU habis, dengan penuh rasa tanggung jawab, ia kembalikan mobil kijang KPU yang selama ini menjadi kendaraannya. Dan tahukah Anda apa yang terjadi"
ia harus bersusah-payah, bolak-balik hingga tiga kali untuk sekadar mengembalikan kendaraan tersebut! Ada saja yang dikatakan oleh pihak kesekretariatan KPU: "Pakai saja lagi, Pak. Nggak apa, kok," atau: "Nanti saja, deh. Tenang-tenang saja," dan sebagainya, seolah kijang itu memang tak perlu dikembalikan.
Baru pada kali keempat, dengan bantuan Imam Prasodjo (salah satu anggota KPU kemudian), 'perjuangan' Mustafa Kamal mengembalikan kijang tersebut berhasil.
-Helvy Tiana Rosa- ISTRI ANGGOTA -DEWAN BEREBUT AMAL
Apa yang terbayang pada benak Anda mengenai pekerjaan ibu rumah tangga" Sebuah pekerjaan monoton yang tiada habisnya, tidak mendapatkan status sosial yang jelas, tidak diberi imbalan materi, bahkan tunjangan para istri dari deretan gaji para suami sungguh tidak seberapa. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga"
Tetapi tidak demikian dengan Ummu Abdullah yang saya kenal. Beliau berputra enam, bersuamikan seorang anggota legislatif Daerah Tingkat I dari Partai Keadilan. Beliau senanriasa memulai pekerjaan rumah tangganya sejak pukul dua dinihari, sehingga pekerjaan rumah seperti mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, mempel, menyiapkan keperluan anak-anak sekolah, hingga memasak, telah selesai sejak shubuh menjelang. Bahkan, beliau senantiasa shalat malam dan selalu sempat membangunkan putri sulungnya untuk shalat malam dengan makanan yang telah masak. Praktis, beliau selalu tidur hanya 4-5 jam sehari
Pada siang hari, beliau tidak sedikit pun berhenti mengerjakan amaliyah. Dengan jumlah sembilan majelis taklim di bawah beliau maka praktis beliau setiap hari dua kali mengisi kajian. Masya Allah....
Lelahkah Ummu Abdullah dengan pekerjaan-pekerjaan itu" ia berkata kepada saya: "Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan rumah tangga kita adalah upaya untuk mencari eksistensi diri kita di hadapan Allah, bukan di hadapan siapa-siapa, bukan suami, bukan anak-anak, bukan orang lain. Maka ia akan setara dengan jihad fisabilillah."
Mahasuci Allah. Betapa ketika seluruh muara amal kita adalah untuk-Nya, pekerjaan apa pun menjadi besar, walau secara pandang mata dunia tampak kecil, seperti pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang senantiasa dianggap remeh oleh sebagian besar teman-teman yang menyebut diri feminis.
Berebut amal. Berapa kalikah kita belajar tentang banyaknya pahala amal shalih" Bagaimanakah selama ini kita mempelajari arti amal shalih" Tentu kita sudah menghafal hadits Rasul yang mengatakan bahwa menyingkirkan duri di jalan pun adalah sedekah (amal shalih), tetapi sudahkah kita mengambil kesempatan untuk memperebutkannya"
Maka dengarlah nasihat Ummu Abdullah pada putranya:
Suatu kali, Abdullah selesai makan, berbarengan dengan adik-adiknya. Seperti biasa, kemudian mereka mencuci piring masing-masing. Tetapi, ternyata ada salah satu dari adik Abdullah yang tidak mencuci piring kotor bekas makannya. Maka, saat itu, Ummu Abdullah berkata: "Kakak, tolong cuci piring ini. Ummi masih ngepel
"Ah, piring kotor itu bukan bekas makanku, Ummi," jawab Abdullah.
Maka sang Ummi berkata, "Dengarlah, Nak, sesungguhnya amal adalah sesuatu yang harus diperebutkan. Semakin banyak kita mengerjakan amal maka yakinlah bahwa kita akan lebih dimudahkan oleh-Nya...".
-Izzatul Jannah- Nikmat yang Tak Habis Disyukuri
Tahukah Anda apa yang membanggakan saya dari seorang Kinan Nasanti"
Setiap orang merasa aman mempercayakan rahasia mereka padanya! Begitu banyak teman (bahkan yang baru mengenalnya) menjadikannya tempat curhat.
"Saya sudah cerita semua masalah saya pada Kinan, Mbak," kata Vita.
"Aku ceritakan saja semua pada Mbak Kinan," tutur Dian.
"Aku sampai nangis, lho, curhat ke Kinan," kali ini Wida.
"Mbak Kinan, aku mau ceritaaaa ..."
"Nan, ada waktu nggak untuk dengar ceritaku"" tanya Ika.
Dan, apa yang dilakukan Kinan"
Ia mendengar dengan telinga dan hati sekaligus. Ia tidak semata menunjukkan simpati, tapi empati. Ia berusaha mencari solusi atau memberi nasihat yang berarti. Lebih dari itu, komitmen.
"Insya Allah, kita hadapi bersama, ya. Saya akan bantu. Semoga Allah memberi kekuatan."
Tapi tahukan Anda siapa Kinan sebenarnya"
Ia hanya seorang muslimah biasa dengan tubuh yang sangat mungil (serupa anak saya yang menjelang kelas II SD). Hari-harinya adalah cobaan. Ayahnya sudah meninggal. Sang ibu sakit-sakitan. Ia masih harus menghadapi seorang kakak yang tidak stabil secara mental serta seorang adik yang sakit jiwa! Belum lagi masalah lainnya. Dan, ia menghadapinya dengan ketabahan luar biasa.
Bagaimana bisa" pikir saya.
"Allah, Mbak. Allah tempat bersandar yang sejati. Ia pasti tak akan membiarkan hambaNya. Ia tak akan membiarkan saya, Mbak," katanya suatu ketika.
Di tengah dera cobaan, ia bisa lulus kuliah dari Universitas Indonesia dengan nilai baik. Ia mengajar di sebuah pesantren dan dicintai begitu banyak muridnya. Ia masih sempat bekerja di sebuah penerbitan, menulis untuk beberapa majalah dan antologi cerpen bersama, membina majelis taklim, menjadi pengurus organisasi Forum Lingkar Pena dan aktif dalam berbagai kegiatan Partai Keadilan di wilayahnya.
Tidak hanya itu. Hari-hari belakangan ini, ia sibuk memikirkan teman-temannya yang belum menikah pada usia menjelang atau lebih dari 30 tahun, dan mencoba mencarikan untuk mereka lelaki muslim yang baik. Tidak memikirkan diri sendiri. Tidak rendah diri karenaa tubuh mungilnya.Hanya kerendahan hati. Tak ada duka karena derita. Hanya mata yang berbinar dan senyum saat bertemu kami.
Tahukah Anda kalimat yang sering ia ucapkan kala bersama kami"
"Mahabesar Allah yang memberi saya kenikmatan yang tak habis untuk disyukuri."
-Helvy Tiana Rosa- Parsel Boedi Dewantoro hanya ingin berlaku benar. Maka, ia berkali-kali menolak berbagai dana tidak jelas dengan jumlah puluhan juta rupiah yang diberikan padanya.
Ia pernah menolak uang dari beberapa balon wakil gubernur DIY. Ia juga menolak gagasan penambahan 'dana purna tugas' di DPRD. Kasus ini sempat mencuat di media di Yogyakarta. Masyarakat memujinya, namun tak sedikit rekannya di DPRD yang mencemooh anggota DPRD Yogyakarta dari Partai Keadilan tersebut.
"Saya pernah mengkritik kebiasaan pejabat DIY menerima - bahkan meminta - parsel lebaran dari berbagai pihak, seakan itu menjadi suatu keharusan. Perkataan saya dimuat di koran-koran lokal. Lebaran tahun lalu, banyak anggota Dewan yang memarahi saya karena tidak mendapat parsel dari para pejabat di eksekutif di DIY," katanya sambil tersenyum.
"Bayangkan, betapa bahagianya bila masyarakat kecil yang menerima itu semua dari pejabat. Jadi berikanlah parsel itu pada mereka... "
-Helvy Tiana Rosa- Dari Mana Asalnya" Saya suka mendengar cerita ini. Serasa dibawa ke zaman Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa salam. Suatu hari, usai mengisi ceramah di suatu tempat, seorang lelaki datang kepada Ustadz Rofiq Munawar, Ketua DPW Partai Keadilan Jawa Timur. Tanpa diduga, ia menanyakan hal yang berbeda sekali dengan yang banyak ditanya oleh para peserta lainnya.
"Ustadz, saya ingin tahu, dari mana asal sepatu yang Ustadz pakai" Menurut saya, harga sepatu yang Ustadz pakai itu sangat mahal. Tidak pantas di kaki Ustadz."
Tentu saja semua menganggap itu bukanlah suatu pertanyaan yang patut untuk dilontarkan. Tetapi tidak demikian rupanya dengan sang Ustadz. Ia ma-lah tersenyum dan kemudian menjawab, "Alhamdulillah, semoga Allah membalas kebai
kan dan perhatian Saudara. Ini hadiah dari teman."
Saya hanya membayangkan, bagaimana reaksi seorang pemimpin bila di tanya oleh rakyatnya tentang hal yang sama atau mirip seperti itu" Dan , adakah rakyat yang peduli menanyakan hal macam itu" Tapi ini kenyataan dan salah satu bentuk kepedulian. Maka Ustadz Rofiq Munawar pun bersyukur atas perhatian yang diberikan oleh saudara seimannya hari itu.
-M. Muttaqwiati, Helvy Tiana Rosa-
Sang Pelayan Masyarakat Muhammad Fajri namanya, atau Fajri Muhammad, entah mana yang benar. Sebab nama aslinya adalah Fajri, Muhammad adalah nama ayahandanya, begitu katanya. Ia dikenal dekat dengan kalangan muda sebab semangatnya yang nyala, dan kurang akrab dengan kalangan tua, sebab 'polah'nya yang kadang dianggap kurang hati-hati. Bahkan penampilannya pun nyaris identik dengan pola pikirnya. "Karakter saya zig-zag," katanya pada saya.
Ketika Fajri diutus menjadi anggota DPRD di kota Surakarta oleh Partai Keadilan, ada satu visi unik yang mengawali langkah-langkahnya. Jebolan Fisip Undip ini memang terbiasa berpikir taktis strategis. "Bagi saya, lembaga dewan adalah ajang 'pertempuran'! Tidak cukup bekal keshalihan pribadi, tetapi kita harus memiliki keshalihan sosial. Dzikir pribadi kita harus menjadi dzikir sosial," katanya.
Maka, sosok Fajri selalu menentang arus di tengah-tengah 45 anggota Dewan yang lain. Ketika Fraksi Pembaharuan tergabung, ia bersatu dengan teman dari PBB dan PAN, sejumlah 4 orang. Dan Fajri adalah seorang yang senantiasa berusaha menanamkan pengaruh kebenaran pada siapapun, juga ketiga rekan fraksinya.
Ini sebuah cerita lagi tentang apa yang dilakukan Fajri untuk para bakul Pasar Gede di Surakarta....
Suatu hari, para bakul Pasar Gede merasakan kepiluan yang dalam saat menemui kenyataan bahwa tempatnya mengais rezeki menjadi puing karena kebakaran yang tak jelas penyebabnya. Semakin pilu hati mereka ketika mengetahui bahwa Pemerintah Kota Surakarta dan didukung DPRD akan menyulap Pasar Gede menjadi mall sembilan lantai. Lantas, di mana mereka akan berdagang nanti"
Bisa dibayangkan! Pasar tradisional dengan bangunan khas itu selama ini menjadi tempat bergantung bagi para bakul kecil dan kuli pengangkat sayur, jika yang kemudian berdiri adalah mega-mall, di manakah lagi tempat bagi mereka"
Fajri Muhammad tidak tinggal diam. Visinya sejak awal adalah 'pertempuran,' maka ia harus 'bertempur'. Ia pun datang langsung ke Pasar Gede, menyibak bedeng-bedang darurat yang dibangun para pedagang sendiri agar mereka masih tetap bisa mengepulkan asap dapur. Ia bertanya dan mencari siapa yang dianggap tokoh dikalangan para bakul. Maka, bertemulah ia dengan sosok Wiharto.
"Assalamu'alaykum, Pak Wiharto, saya Fajri dari komisi A, ingin silaturahim dengan para pedagang di sini.".


Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka terjadilah dialog antara pelayan rakyat (Fajri) dengan rakyat pemilik negri (Wiharto). Kata Wiharto, "Kami ini orang kecil, Pak, lalu di mana kami harus mencari rezeki jika pasar ini diubah menadi mal megah seperti itu"" Mata Wiharto berkaca-kaca ketika Fajri memaparkan rencana Pemerintahan Kota dan didukung oleh sebagian besar fraksi di Dean.
"Apa yang harus kami lakukan, Pak"!" Wiharto mengguncang-guncang lengan Fajri.
Ada air mata yang menitik dalam hati yang tedalam, seperti tertegunnya Umar bin Khattab mendengar ibu yang merebus batu untuk penghibur perut lapar anak-anaknya. Fajri tercenung sejenak.
"Begini saja, Pak Wiharto, saya tidak punya kekuatan kecuali Bapak menggalang teman-teman para pedagang mengungkapkan aspirasi sendiri. Saya akan mendukung keinginan para pedagang di sini semampu saya.".
"Caranya, Pak"" tanya Wiharto lugu.
"Bapak dan teman-teman pedagang cobalah membentuk paguyuban pedagang Pasar Gede, lalu berembuk untuk menghasilkan kesepakatan bersama tentang bagaimana harus membangun Pasar Gede ini, hasilnya akan saya bawa ke Dewan...", tutur Fajri
Lalu terbentuklah Paguyuban Pedagang Pasar Gede dengan Wiharto sebagai ketuanya. Mereka terus berembuk dan hasil investigasi Pak Fajri menadi bahan yang andal untuk memihak kepentingan rakyat.
Mal sembilan lantai adalah solusi terburuk b
agi rakyat pedagang, walaupun pastilah semanis manis gula bagi para pengusaha modern, tempat selama ini pemerintah kota dan sebagian besar anggota Dewan berpihak! Tahukah Anda, bagaimana akhr dari 'pertempuran' ini"
Fajri Muhammad berhasil menggerakkan masyarakat pedagang Pasar Gede yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Pasar Gede untuk hadir seluruhnya di ruang sidang paripurna pada rapat paripurna yang akan menentukan nasib mereka. Syukur pada Allah, Pasar Gede akhirnya dibangun sebagaimana bentuk semula. Percayalah, kebenaran akan selalu berpihak kepada kebenaran selam masih ada yang mau mengusahakan. Tugas siapakah itu" Tugas kita: para kader dan simpatisan Partai Keadilan!
Para pengamen terminal Tirtonadi dan daerah Panggung, Solo, menjadi saksi lain bagi Fajri. Tahukan Anda, jumlah mereka naik bersama harga-harga setelah reformasi yang nyata belum usai" Jumlah pengamen dan pengemis.
Mulanya, Fajri dan rekan-rekan mudanya kongkow saja dengan para pengamen itu. Obrolan yang tidak terstruktur itu menjadi bekal untuk bergaul lebih dalam dengan mereka, silaturahim terus terbina. Hingga pada suatu hari....
"Toloooong..., tolong, Mbak Yuyun! Mbak Ita mehairkan, di jalan!" Seorang pengamen wanita berteriak memanggil Yuyun, aktivis Partai Keadilan yang tergabung bersama dalam dakwah kaum pinggiran.
Yuyun kalang kabut, Ia masih gadis, belum pernah melahirkan, wajar jika ia kebingungan. Sementara Ita adalah pengamen perempuan yang memang kemarin-kemarin sedang hamil besar. Akhirnya berbekal pengetahuan yang minim tentang proses kelahiran, Yuyun dan beberapa temannya menolong Ita dan membawanya ke rumah bersalin terdekat. Jantung berdetak bersama rasa takut dan gigil sebab menangani sesuatu yang tak biasa. Mereka menangis melihat Ita yang terkapar tak berdaya tanpa suami dan saudara di sisinya. Saudara Ita hanyalah para pengamen serta Yuyun dan kawan-kawan!
Timbul masalah! Siapa ayah bayi Ita" Seks bebas adalah sesuatu yang lekat pada kehidupanmereka. Jadi tak heran, ayah bayi Ita sendiri entah ada di mana! Fajri dan rekan-rekan mudanya segera mencari tahu siapa bapak si jabang bayi. Mereka juga berembuk dengan para pengamen!
"Oh, aku ngerti sopo bapak'e, Pak!!" celetuk seseorang.
Semua melengak. Siapa"
"Iku lho, tukang becak neng daerah kono!" Tersebutlah nama. Maka kegeraman menular di antara mereka. Mereka berembuk kembali, akan diapakan si bapak yang tidak bertanggung jawab itu"!
"Pokoke deweke kudu tanggung jawab!"celetuk Fajri.
"Dihajar wae, pak! Kudu diajarV teriak pengamen yang lain.
Fajri dan rekan-rekannya bergidik. Inilah bahasa mereka. Hantam, hajar, bunuh! Mereka menelan ludah. Terngiang hadits Rasul: bi qadri uqulihim. Berdakwahlah dengan bahasa kaumnya. Mereka terus berembuk sehingga menghasilkan kata sepakat: Cari si bapak tak bertanggung jawab itu, suruh ia bertobat dan harus menanggung biaya persalinan Ita serta memberi bekal sewajarnya bagi ibu dan si bayi.
Fajri menceritakan semua ini dengan mata berkaca-kaca kepada saya.
-Izzatul Jannah- Orang yang Pertama Aku memiliki sahabat seorang ibu muda, bernama Yani, yang memiliki seorang bayi seusia bayiku. Kami biasa bertemu di acara pengajian rutin di daerah Kebayoran Baru. Dalam pandanganku, ia seorang yang bersemangat dan cerdas, di antara kesederhanaannya. Ia juga cukup aktif di kepartaian. Suatu hari kami berunding untuk melaksanakan sebuah bakti sosial. Semua melontarkan ide masing-masing. Tapi aku perhatikan sedari tadi ia diam saja.
Kenapa, kok tumben diam saja, Yan" tanyaku heran. Ah, nggak, saya hanya ada satu pertanyaan. Ini baksosnya kontinyu atau hanya sekali ini saja" Ya, sekali ini dulu, sekalian perkenalan partai gitu, kata yang lain.Mengapa kita nggak melakukannya dengan kontinyu" Kesulitan mereka kan tidak terhapus hanya dengan sekali baksos, ujarnya. Yaa, mana kita punya dananya" Tukas bendahara.
Sahabatku ini terdiam. Lalu katanya, Baiklah, silakan teruskan. Saya ikut. Alhamdulillah, baksos kami berlangsung sukses. Betapa menyenangkan melihat kaum dhuafa begitu antusias menerima bingkisan sembako disertai dengan bazaar baju murah sekali.
Banyak juga pertanyaan masuk seputar PKS (waktu itu namanya masih PK).
Beberapa bulan kemudian, kami sudah tak terlalu memikirkan baksos itu lagi. Hingga suatu saat ibu ketua kelompok pengajianku berkisah, Tadi saya ketemu dengan Bu Rapiah. Masih ingat" Itu lho, ibu yang anaknya ada tujuh, yang waktu kita baksos dia sempat kerepotan dengan tiga balitanya yang rewel.
Oya. ingat. Gimana kabarnya" tanyaku. Dia mengucapkan terima kasih pada kita atas beasiswa yang diberikan pada anaknya yang dua orang sekolah di SD itu.
Tapi saya malah bingung, beasiswa yang mana ya" Memangnya kita punya program beasiswa" Kayaknya belum deh., ia tampak bingung sendiri. Kami juga bingung. Mungkin bukan DPRa sini kali" celetuk salah satu temanku. DPRa sini kok, dia bilang. Lagipula, dia kan tinggalnya di wilayah DPRa sini, jawab ibu ketua.
Misteri beasiswa itu sampai sekian lama tak terpecahkan. Suatu hari, Yani membagikan sebuah list sumbangan untuk anak seseorang di wilayah DPW ! lain.
Anak itu menderita kerusakan syaraf, padahal usianya masih balita. Setelah mendengar ini dan itu tentang bayi malang tersebut, kami sepakat berinfaq.
Pada saat yang lain aku, selaku administrator mailing list DPRa mendapat email dari ketua sebuah DPRa di DPW tempat lain. Isinya sungguh membuat kami terharu. Begini bunyinya, Terima kasih atas bantuan saudara sekalian untuk biaya operasi dan sekaligus fisioterapi anak seorang warga di DPRa kami. Kedua orangtuanya ingin sekali bersi-laturahmi dengan Anda semua.
Ia bilang, saudara sekalian telah berbuat di saat yang tepat. Sebab ada seorang temannya yang kaya raya, menjanjikan mau menolong, tapi hingga saat inipun tidak terwujud. Hal itu tidak lain karena ia tidak berhasil menghimpun dana dari teman-teman yang kaya raya itu. Alasannya karena mereka tidak kenal dengan warga kami tersebut. Subhanallah,! ukhuwah islamiyah mampu menyatukan hati Saudara sekalian dengan kami semua, dengan keluarga yang ditimpa kemalangan tersebut.
Maka, aku mulai menghubungkan peristiwa setelah baksos dengan sahabatku Yani. Hingga suatu hari aku bertemu dengan teman dekatnya yang sedang mengantri di sebuah bank. Sedang nabung
ya, Mbak" sapaku setelah bertukar salam. Ah, nggak, Mbak. Ini, mau menyetorkan uang sumbangan.
Alhamdulillah, ada tambahan lagi nih. Lalu aku mulai mengoreknya.
Subhanallah, ternyata Yani dan beberapa temannya membuka sebuah rekening bank khusus. Penggunaannya untuk beasiswa dhuafa, anak jalanan, keluarga muslim yang sedang ditimpa musibah, hingga daerah-daerah konflik, dan saudara-saudara muslim di negeri lain. Yang terakhir ini mereka menyalurkannya melalui LSM-LSM seperti PKPU, DSUQ, MER-C, BSMI, dan beberapa yayasan lain, termasuk Dompet Dhuafa.
Untuk itu mereka membuat jaringan dengan berbagai kalangan yang mampu dan mau berinfaq secara teratur, dengan cara menyisihkan berapa saja bagian dari pendapatan mereka. Mbak Yani bilang, kalau bisa jadilah kita orang pertama yang menolong mereka. Jangan sampai mereka yang minta, baru kita tolong, ujar muslimah berjilbab itu.
Subhanallah. Getar di hatiku tak terkatakan. Getar itu kian menjadi, saat beberapa hari setelah itu aku bertemu Yani yang bersemangat itu sedang keluar dari ATM dengan wajah agak murung. Ketika ku-tanya, ia menjawab, Ah, nggak apa-apa. Gajiku belum ditransfer. Sementara aku perlu beli susu untuk bayiku. Bagaimana kalau aku pinjami dulu" tanyaku bersimpati. Bayangkan, orang yang selalu jadi orang pertama menolong saudaranya ini, ternyata sedang kesulitan keuangan untuk membeli sekaleng susu bayinya. Ah, nggak usah. Nanti aku telpon kantorku saja, ujarnya ringan. Tak lama kulihat ia sibuk dengan hp-nya. Kuamati setelah itu, wajahnya kuyu.
Ia melangkah pergi dengan gontai. Agaknya usahanya tidak berhasil. Hatiku bergetar. Teringat kata-katanya, kalau bisa jadilah orang yang pertama menolong saudaramu. Jangan tunggu hingga ia meminta. Maka, aku segera memburunya. Kutarik tangannya dan setengah kupaksa, kuajak ia masuk ke sebuah supermarket tak jauh dari situ. Kupaksa ia mengambil sekaleng susu bagi bayinya. Ia tampak tidak enak. Apalagi di kasir aku me
mbayarinya. Jangan, nanti aku susah menggantinya, aku lagi nggak punya uang, ujarnya memelas. Kamu nggak perlu ganti. Ingat, aku saudaramu. Dan aku ingin jadi orang yang pertama yang menolong saudaraku.. Beri aku kesempatan berbuat sepertimu, yaa"
Kulihat bening di matanya. Bening terima kasih. Bening haru. Hatiku basah. Sejuk. Allah, ajari aku untuk selalu berusaha menjadi orang pertama yang menolong saudara-saudaraku, seperti sahabatku Yani.
-Ifa Avianty- Terlalu Banyak Yang Belum Dilakukan
Dokter Kuspriyadi selalu merasa banyak sekali hal yang belum ia lakukan. Tahun 1996, ia memutuskan memilih Provinsi Maluku untuk tempat tugas pengabdiannya sebagai dokter. ia berniat memperkenalkan sisi lain kehidupan kepada sang istri yang selama ini hidup berkecukupan.
Sesampai di Ambon, istrinya sudah menangis. Betapa berbeda tempat itu dari kota metropolis mereka. Dr. Kuspriyadi setia menghapus air mata sang istri. Sambil tersenyum, ia berkata, "Percayalah, Dik, akan banyak kebaikan yang kita temukan di tempat tugas kita nanti. Percayalah."
Namun, sampai di sana, air mata sang istri makin deras. Ya, desa tempat mereka tinggal ternyata benar-benar terpencil! Tak ada listrik, susah air, tak ada transportasi kecuali sepeda, itu pun sedikit sekali yang memilikinya.
Pulau Manipah, itulah nama pulau tempat Dr. Kuspriyadi bertugas selama bertahun-tahun. Sebuah pulau kecil yang harus ditempuh dengan 15 jam perjalanan dengan kapal biasa dari Ambon, atau lebih dari dua jam dengan speed boat dari kota yang sama. Pulau indah itu dapat terlihat tepinya ketika kita berada di tempat tertinggi pulau tersebut.
Pasangan muda itu tinggal di sebuah desa bernama Tomalehu Barat yang pada kondisi air pasang harus ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 7 km dari tempat kapal berlabuh. Penduduk desa itu kebanyakan petani cengkeh dan pala serta buruh tani. Sebagaimana masyarakat di daerah sangat terpencil lainnya, orang-orang di sana juga kurang memerhatikan masalah pendidikan.
Berangkat dari keprihatinan ini, bersama dua orang temannya, Heri dan Jamhuri yang juga pendatang, Dokter Kuspriyadi mendirikan SLTA pertama di pulau ini. Masyarakat di sana membantu seadanya dan mereka bertiga banyak mengeluarkan dana pembangunan dan pengadaan sekolah dari kocek sendiri. Dokter muda itu kemudian menjadi kepala sekolah sekaligus pengajar beberapa mata pelajaran eksakta.
Bagaimana dengan sang istri" ia sudah tak lagi menangis. Tak mau kalah dengan sang suami, ia menunjukkan baktinya pada masyarakat dengan mendirikan dan menjadi pengajar Taman Pendidikan Al Quran untuk anak-anak.
Kondisi semua normal sampai terjadi kerusuhan Ambon. Di tengah desingan peluru dan ledakan mortir, Dr. Kuspriyadi membantu mengevakuasi korban kerusuhan Ambon. ia mempertaruhkan nyawa menolong korban kerusuhan dan para pengungsi.
Pasca Tragedi Ambon, dokter yang juga aktivis Partai Keadua Bekasi ini aktif di Bulan Sabit Merah Indonesia. ia menjadi relawan yang selalu siap dikirim ke daerah bencana seperti di Maumere (NTB), Aceh, dan lainnya.
Dan sang istri" ia menjadi perempuan yang tangguh. "Wak ada tes psikologi di tempat kerjanya. ia mendapat nilai 100 ketangguhan," cerita Dr. Kuspriyadi tertawa.
Kisah-kisah tentang dokter yang satu ini memang menarik. Di sela-sela waktunya, Dr. Kuspriyadi ternyata masih sempat melayani hal-hal lain di luar persoalan medis. Misalnya, ada salah seorang tetangganya yang memiliki banyak buku namun jilidnya sudah lepas-lepas, agak rusak dan tidak disampul, maka tetangga tersebut membawa semua buku pada Tak Dokter' untuk dirapikan. Dan, dokter kita ini dengan senang hati melakukannya.
Sungguh, begitu banyak hal yang dilakukan dokter yang pernah menjadi pengurus Partai Keadilan DPW Maluku tersebut. Namun, seperti biasa, ia senantiasa sering beristighfar dan merasa terlalu banyak hal yang belum ia lakukan.
-Dewi Soebekti & Helvy Tiana Rosa-
Tidak Satu Rupiah pun Pada saat penyusunan anggaran daerah tahun 2003, ada inisiatif dari para anggota DPRD Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, untuk memasuk-kan anggaran perumahan sebesar 75 juta rupiah bagi setiap anggota
. Sejak awal, saya - anggota DPRD Lubuk Linggau dari PK - tidak menyetujui hal itu. Tapi, tampaknya pengesahannya sudah tinggal menunggu kesepakatan seluruh anggota legislatif saja.
Saat pembahasan di tingkat pimpinan yang melibatkan semua fraksi di Dewan, Fraksi Persatuan Kebangkitan dan Keadilan (FPKK) meminta saya selaku sekretaris untuk menyampaikan pandangan fraksi. Nyatanya, seluruh pimpinan fraksi sudah menyetujui anggaran 75 juta per anggota itu.
Pada pemberian pendapat terakhir, tiba-tiba di mata saya muncul wajah kebanyakan orang di negeri ini yang tak lagi punya pekerjaan. Muncul wajah kanak-kanak yang menangis karena kelaparan. Muncul wajah para ibu yang tak memiliki tempat tinggal, para penduduk yang menjadi pengungsi di negeri sendiri....
Tiba-tiba saya ingin menangis. Allah, bagaimana saya bisa menerima uang itu"
"Saya tidak setuju, Pak!" seru saya dengan suara bergetar. "Saya tidak setuju sama sekali dengan mata pasal ini. Saya tidak setuju dimasukkan angka, meski satu rupiah pun...."
Suasana hening sesaat. Lalu riuh lagi, kali ini dengan nada cemooh. Tak lama, Wakil Ketua berkata, " Anda tidak setuju. Tapi kalau sudah ada anggarannya kan Anda ambil juga uangnya."
Saya berusaha tenang, namun suara saya kian bergetar. "Demi Allah, saya tidak akan mengambil uang itu sedikit pun."
Lalu seorang anggota Dewan setengah berteriak memotong saya: "Ris, di sini kita tidak usah bawa-bawa Tuhan dan agama! Kita sudah banyak berbohong pada rakyat!"
Saya menatap orang tersebut. "Justru di sini sangat diperlukan agama. Dan jika merasa pernah berbohong pada rakyat, maka detik ini juga berhentilah membohongi mereka!"
Lalu semua diam. Akhirnya, didapat kesepakatan untuk membicarakannya kembali, termasuk dengan Walikota. Namun, ternyata ada berbagai upaya untuk menghambat dan memperlambat proses pembahasan. Dalam sebuah rapat paripurna pembahasan RAPED, saya bahkan sampai walk out. Saya juga miris karena di saat uang 75 juta itu diributkan, banyak tenaga honorer di Dewan yang sudah tiga bulan belum dibayar honornya.
Akhirnya, anggaran tersebut gagal juga dimasukkan. Dan sebagian anggota Dewan hingga saat ini bersikap setenga memusuhi saya. Tak apalah, yang penting saya sudah bertindak dengan mendengarkan nurani. Semoga Allah mengampuni.
-A. Haris Elmi, Helvy Tiana Rosa-
Muslim Aceh adalah Saudara Kami!
Lapangan Masjid Al Azhar, lepas ashar, awal Juni 2003
Satu per satu org datang, entah dari mana. Mataku tak lepas memandang wajah-wajah bersahaja itu. Ada apa gerangan"
"Mbak, ada apa ya ramai begini"" tegurku sopan pada seorg muslimah berjilbab yang datang dengan teman-temannya yang berpenampilan sama.
"Ada do'a bersama Bang."
"Do'a bersama" Doa bersama apa ya Mbak""
Doa utk saudara-saudara kita di Aceh."
Aku terdiam beberapa lama. Tiba-tiba aku ingin menangis. Wajah Ayah dan Mak berkelebat sesaat. Juga wajah Inong dan Agam adikku.... Dimana mereka sekarang" Terakhir kudengar rumah kami terbakar, ayah mati ditembak orang tak dikenal, mak sakit parah. Agam tak pernah pulang dan Inong... hilang entah ke mana! Harun, temanku yang belum lama sampai di Jakarta, bilang bahwa Inong jadi gila karena diperkosa orang-orang biadab yang juga entah siapa!.
"Kamu jangan pulang, Ma'e! Jangan pulang!" kata Harun wanti-wanti. "Kamu bisa mati! Lagipula ke mana kamu akan pulang" Kampung kita terbakar!"
Airmataku menitik. Perih.
"Bang, teh botolnya satu ya" suara berat seorang pembeli mebuyarkan kenanganku sesaat. Hanya sesaat. Kuhapus air mata. Dengan setengah gemetar, kubuka tutup teh botol sebelum menyerahkannya pada org tersebut.
Sementara itu jumlah orang yang berkumpul di lapangan semakin banyak. Aku sudah tak mampu lagi menghitung. Perkiraanku jumlahnya mencapai lebih dari 50 000 orang. Dari bendera, umbul-umbul yang mereka bawa, dan berbagai atribut yang dikenakan, aku mengetahui mereka berasal dari Partai Keadilan Sejahtera.
Ada banyak ulama juga ustadzah di sana. Aku tidak begitu mengenal siapa mereka. Mereka tampil orasi bergantian, wajah-wajah mereka diselimuti duka. Tapi aku mengenal sosok kalem berbaju batik yang sering tampil d
i televisi sebagai DR. Hidayat Nurwahid.
"Saya tidak mengerti, bagaimana pemerintah kita terkesan lebih menghargai nyawa dua wisatawan Jerman yang tertembak itu di bandingkan nyawa para saudara-saudara kita di Aceh" Mengapa kita panik dengan 2 WN Jerman itu, tetapi seolah tak menunjukkan hal serupa terhadap derita rakyat Aceh" Saya tidak mengerti, mengapa ketika para tentara dan polisi siaga di sana, lebih dari 400 sekolah terbakar dalam waktu 2 minggu terakhir dan begitu banyak tiang listrik roboh"" katanya prihatin. "Jangan ada darah lagi yang tumpah...! Kita adalah saudara...! Tidakkan kita ingat bahwa Indonesia dibangun pertama kali dari emas, permata dan harta yang dimiliki rakyat Aceh""
"Aceh!" teriak seseorang menyambut Nurwahid.
"Saudara kamii...! balas yang lain serempak.
Mataku basah. Lalu kuingat seseorang tampil mengajak massa berdzikir. Selesai itu ia memberi yel-yel. Ketika ia menyerukan: "Nanggroe Aceh!" serempak massa menjawab :"Darussalam!" Ketika ia berteriak "Aceh", maka massa membalas: "Tanah Islam!" Ketika ia menyebut: "Muslim Aceh!" serempak massa membalas dengan suara menggelegar: "Saudara kami!" begitu berulang-ulang.
Mataku makin basah. "Saudara kami" Ah, betapa merdunya kalimat itu. Ada nyeri di hati ada sedikit kesejukan merembesi.
Orang-orang ini peduli. Sangat peduli. Aku mengikuti semua acara mereka. Sudah tak kupedulikan lagi daganganku senja itu. Aku larut dalam dzikir puluhan ribu org berwajah bersih. Allah, mereka berdoa. Allah, mereka menangis. Getarannya kurasakan. Getarannya sungguh sampai padaku.
"Partai Keadilan (Sejahtera) telah membuka crisis center untuk saudara-saudara kita di Aceh. Kami harapkan dukungan dari anda semua," ujar seseorg yang disebut-sebut bernama Tifatul Sembiring, dari atas panggung. Ia juga sempat menyanyikan lagu berbahasa Aceh dengan suara bergetar menahan haru.
Wajah Mak, Ayah, Inong dan Agam berkelebat lagi dimataku....
Kutatap puluhan ribu orang dihadapanku masih dengan mata tergenang air. Entah mulai dari mana, kulihat mereka mengulirkan tangan menyumbang ke dalam kantong-kantong yang diedarkan. Kulihat dengan wajah sembab seorang laki-laki melepas jam tangannya. Lalu seorang ibu melepas cincin di jarinya, yang lain berebut memasukkan uang...
Wajah Mak, Ayah, Inong, Agam... berkelebat lagi. Api. Asap. Sekolah-sekolah kami terbakar. Mayat di mana-mana. Siapa" Siapa yg memerkosa para gadis kami" Siapa yg membuat para istri menjadi janda" Yang membuat kami menjadi pengungsi di negeri sendiri"
"Saudara-saudara, alhamdulillah dalam waktu tak sampai satu jam terkumpul uang 49 juta sekian, ditambah beberapa cincin, giwang, jam tangan, uang 10 USD, 20 real dan...".
Aku menangis. Suaraku tersekat.
"Muslim Aceh!" teriak seseorang.
"Saudara kamiii!" balas yang lain menggelegar.
"Allahu Akbarrrrrrr!"
Bola merah raksasa bergulir semakin ke barat. Kubenahi daganganku hari itu sambil berusap kembali setitik air mata yang jatuh. Wajah Mak, Ayah, Inong... berkelebat lagi. darah bercipratan di dinding rumah kami.
"Inong, Agam, jangan menangis, Sayang. Jangan menangis. Kita masih punya saudara. Banyak saudara! Tidakkah kalian lihat" Tidakkah kalian rasakan getarannya" Ya, kita masih punya saudara...".
Rajawali Hitam 9 Pendekar Bloon 8 Hianat Empat Datuk Kelana Buana 5
^