Pencarian

Bukan Di Negeri Dongeng 2

Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa Bagian 2


-Helvy Tiana Rosa, Ismail Yahya-
Melihat Rakyat Sejak dulu, Mutammimul Ula aktif berdakwah ke berbagai daerah di Indonesia. Ketika rakyat melalui Partai Keadilan mempercayakannya duduk sebagai anggota DPR RI Fraksi Reformasi, kebiasaan untuk jalan dan melihat sendiri kondisi rakyat sampai ke pelosok-pelosok, ia lalui tanpa keluhan.
Suatu hari, di sudut kota Kendari, ia datang untuk melihat masyarakat disana, bukan sekedar menyapa kader partainya. Tiap jamnya penuh hingga panitia berkali-kali menawarinya untuk istirahat sejenak. Tapi, ia hanya tersenyum dan mengambil istirahat ketika waktu makan tiba dan sesaat sesudah shalat.
Tahukan Anda dimana ia tidur saat malam tiba"
Ia tidur beralaskan tikar di sebuah rumah sederhana yang merangkap markas Partai Keadilan setempat!
"Kami sudah menawarkan untuk tidur di hotel, tapi beliau menolak," kata panitia yang mengurus akomodasi un
tuknya. Beberapa waktu kemudian, saat Mutammimul Ula mengingat saudara-saudara di Kendari, ia bercerita dengan mata kaca pada istrinya, Wiryaningsih, yang telah memberinya 10 anak,
"Tak seberapa tidur di tikar, Bu. Saya tak tega pada mereka. Saya malah memikirkan bagaimana ongkos mereka kesana kemari meladeni saya. Bukankah seharusnya saya yang melayani mereka""
-Helvy Tiana Rosa- Pistol Itu dan Mobil Pemadam Kebakaran
Nama saya Yandril. Saya adalah anggota DPRD Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dari Partai Keadilan. Atas kepercayaan teman-teman di Komisi A, saya terpilih sebagai ketua komisi tersebut. Namun, kepemimpinan saya selalu dirongrong oleh salah satu anggota fraksi tertentu. Menurutnya, Partai Keadilan tidak layak memimpin komisi karena hanya memperoleh satu kursi saja di Dewan.
Tak disangka, orang itu terus merongrong kepemimpinan saya. Bahkan, suatu hari ia berani menodong saya dengan sebilah pisau. Ia juga pernah mengancam beberapa anggota yang membela saya dengan pistol. Memang, ia mantan sipir penjara. Pistol yang digunakannya sebagai atribut kala menjadi sipir penjara itu yang kerap ia gunakan untuk menekan saya.
Namun, akhirnya tekanan itu berakhir setelah anggota fraksi tertentu itu ditangkap polisi karena ia, kakak, dan dua kemenakannya terlibat kasus pembunuhan. Ini terjadi kurang lebih enam bulan setelah pemilihan ketua Komisi A. Ia dituntut hukuman empat tahun penjara. Kemudian orang tersebut naik banding ke pengadilan tinggi. Namun, hukumannya malah ditambah hingga menjadi delapan tahun. Masih tak puas, ia mengajukan banding ke tingkat Mahkarnah Agung. Hingga kini, proses peradilan masih berlangsung.
Sungguh sukar dipercaya bahwa kasus hukum seperti di atas menimpa anggota Dewan. Namun, itulah yang terjadi.
Hari pun berlari dan saya bekerja seperti biasa. Tapi sungguh, begitu banyak kisah yang ingin saya bagi, di antaranya seperti yang saya ceritakan di bawah ini.
Pada masa awal saya menjadi anggota DPRD di Kabupaten Agam, kabupaten tersebut tak memiliki satu pun mobil pemadam kebakaran. Pada saat penyusunan anggaran tahun 2000, muncul rencana untuk membeli kendaraan bagi pimpinan dan komisi-komisi DPRD. Namun, saya bersama lima orang dari berbagai fraksi tidak setuju dan meminta anggaran tersebut dialihkan menjadi anggaran untuk pembelian mobil pemadam kebakaran. Tadinya, usul ini tak ditanggapi, namun ketika muncul di koran, akhirnya Dewan mengadakan rapat paripurna membahasnya.
Karena tak juga didapat kesepakatan, akhirnya DPRD melakukan voting untuk menentukan apakah DPRD harus membeli mobil pemadam kebakaran atau mobil bagi pimpinan. Rupanya terjadi berbagai lobi. Sebanyak 45 anggota mendukung pembelian kendaraan pimpinan Dewan dan Komisi. Hanya saya dan seorang anggota yang mendukung pembelian mobil pemadam kebakaran. Kami kalah suara. Sungguh saya kecewa dengan sikap kebanyakan anggota Dewan yang tidak berpihak pada kebutuhan rakyat cenderung memikirkan diri sendiri.
Keputusan DPRD pun muncul di koran. Tapi, saya dan saya dan seorang teman tersebut tak bisa berbuat apa-apa karena hasil voting sudah menjadi ketetapan. Beberapa hari setelah penetapan tersebut tiba-tiba terjadi kebakaran yang menghanguskan tujuh rumah masyarakat di daerah Nagari Pasir IV, Angkek Landung. Kebakaran itu nyaris tanpa ada pertolongan mobil pemadam kebakaran dari pemda setempat.
Kebakaran ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat dan pers. Masyarakat yang kecewa sampai berniat mendemo DPRD Kabupaten Agam karena tidak mendukung usulan pembelian mobil pemadam kebakaran. Akhirnya, DPRD mengagendakan kembali rencana pembelian mobil pemadam kebakaran itu. Atas kompromi dengan Bupati, DPRD Agam akhirnya menyetujui pembelian mobil pemadam kebakaran dan membatalkan pembelian kendaraan untuk pimpinan DPRD dan komisi-komisi tersebut.
Saya benar-benar bersyukur kepada Allah. Ternyata, sekalipun perjuangan membela rakyat hanya didukung oleh sedikit orang, Allah akan memenangkannya. Mahabesar Allah.
-Helvy Tiana Rosa & Yandril-
Pondok Hanan Pondok "HANAN", itulah nama yang kami berikan untuk rumah kontrakan kami di jalan Ne
gla no. 2 Bandung. Hanan yang berarti penyayang, semoga dapat melahirkan rasa kasih dan sayang untuk penghuninya. Itulah harapan kami. Rumah yang cukup nyaman, dengan empat kamar, satu ruang tamu, satu ruang tengah, satu tempat me-nyetrika, satu dapur dan dua kamar mandi, kami huni bertujuh.
Kami berasal dari daerah yang berbeda, dan kondisi keluarga yang berbeda. Satu rumah dengan tujuh karakter, tujuh kebiasaan, tujuh keinginan, tujuh, tujuh, dan tujuh yang berbeda. Semua harus bersatu dalam satu atap. Kebiasaan di rumah masing yang berbeda dibawa dalam satu atap. Jelas! Tapi satu hal yang selalu kami yakini, kami bersaudara: saudara seiman.
Teh Ummu, begitu saya memanggil senior saya, kepala suku di Pondok Hanan. Ia mahasiswi jurusan Bahasa Jepang di IKIP Bandung (Sekarang UPI ) ialah yang berusaha menyatukan semua perbedaan di antara kami.
Setelah beberapa bulan kami menempati Pondok Hanan, atas usulan Teh Ummu, kami menerima anggota baru: seorang tunanetra. Untuk belajar sehari-hari, kami secara bergantian membacakan buku-buku kuliahnya untuk direkam di kaset kosong agar teman kami ini bisa belajar dengan cara mendengar. Kami juga mengajarkan memasak dan hal-hal yang lain pada teman baru kami ini. Teh Ummu yang penyayang, mengusulkan juga menampung seorang mbak jamu tinggal bersama kami.
Ada satu kejadian yang saya alami di Pondok Hanan. Ketika itu, saya sedang sibuk praktikum untuk beberapa mata kuliah. Akibatnya, saya jarang pulang ke Pondok Hanan karena menginap di rumah teman untuk membuat laporan. Biasanya saya pulang hanya untuk mandi dan ganti baju. Ketika suatu pagi saya pulang untuk mandi dan berganti baju, saya mencari cucian kotor saya. Yang saya ingat ada empat ember. Saya mencarinya ke dapur dan tempat cuci, namun tak ada. Saya tanyakan pada teman-teman. Tak seorang pun tahu. Saya sampai bingung. Ke mana baju kotor saya"
"Ada yang lihat cucian saya"" tanya saya sambil berteriak.
Tak lama setelah saya berteriak, pintu kamar mandi terbuka dan kepala Teh Ummu muncul dari balik pintu, sambil berkata, "Maaf, cuciannya saya cuci. Habis kasihan, bajumu di lemari sudah habis, nggak ada ganti."
Saya tidak bisa bicara apa-apa. Cuma ingin menangis. Perasaan dan tidak enak menyatu. Empat ember baju kotor! Bayangkan! Sementara saya tahu, Teh Ummu orang sibuk. Selain kuliah dia juga punya banyak kegiatan, selain punya usaha sampingan yang harus ia kerjakan. Belum lagi mengajar anak-anak sekitar mengaji....
Kebersamaan manis di Pondok Hanan berakhir ketika teteh kelahiran 27 Desember 1970 itu menikah dengan seorang laki-laki bernama Sholahuddin Fuadi. Mereka pindah ke Jakarta. Tapi kami memutuskan silaturahmi sampai sekarang.
Teh Ummu kini ibu lima anak, adalah pengurus DPC PKS Tanjung Priok, dan memiliki usaha wiraswasta mainan anak edukatif.
Cinta untukmu, Teh Ummu....
-Melin Anni Gustiati- PERSAUDARAAN DI RUMAH RAJA
Leihitu adalah sebuah kecamatan di Maluku Tengah yang terdiri dari 13 desa muslim. Di Maluku, setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa yang secara adat disebut sebagai latupati, atau juga disebut dengan raja. Setiap desa, dulunya memang berbentuk kerajaan, dan hingga saat ini, hukum adat kerajaan masih tetap diberlakukan kendati dengan kadar yang berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Seorang raja, dengan demikian, bukan hanya sebagai kepala pemerintahan desa, akan tetapi juga pimpinan adat dan hakim adat.
Imam masjid adalah jabatan turun-temurun dalam satu marga, sebagaimana juga dengan raja. Posisi imam masjid amat terhormat dan sangat disegani masyarakat. Imam masjid ini dibantu oleh khatib yang juga merupakan jabatan turun-temurun dalam satu marga. Di masjid ada modim yang bertugas adzan dan melaksanakan kegiatan ketakmiran. Fungsi masjid amat sentral dalam mengumpulkan umat Islam. Satu desa hanya ada satu masjid.
Di antara desa besar yang menjadi pusat peradaban di Leihitu adalah Hitu, kendati kota kecamatan terletak di Desa Hila. Desa Hitu adalah satu, akan tetapi memiliki dua raja. Satu raja di Hitu Lama, dan satu lagi di Hitu Messing. Pada awalnya, batas administratif hanyalah bar
at masjid dan timur masjid. Sebelah barat masjid adalah Hitu Lama, dan timur masjid wilayah Hitu Messing. Uniknya, semenjak pembagian itu, penduduk kedua Hitu saling berbaur akan tetapi masih menggunakan status asal Hitu masing-masing. Misal-nya, satu keluarga Hitu Messing pindah rumah ke barat masjid, yang secara legal kewilayahan masuk Hitu Lama, tetapi ia tetap penduduk Hitu Messing, yang mengurus segala keperluan administrasi ke-wargaan kepada Hitu Messing. Mereka menyebut "rumah keluar masuk", artinya warga bisa tinggal di mana saja, tetapi memiliki status yang tetap sebagai warga Hitu Lama atau Hitu Messing.
Jika Anda menikah dengan seorang wanita Hitu, maka berapa pun mahar Anda tidaklah penting. Bagi masyarakat, yang penting Anda memberikan tiga kayu kain putih kepada keluarga pengantin perempuan. Yang dimaksud dengan tiga kayu adalah tiga rol kain utuh yang berwarna putih. Harga satu kayu kain putih berkisar j antara 100 ribu hingga 150 ribu, di daerah Leihitu. Tidak terlalu mahal memang, jika diukur dengan seluruh biaya pernikahan.
Warga Leihitu - bahkan warga Maluku pada umumnya - rupa-rupanya tertarik pada perkembangan politik nasional dan internasional. Ketika saya mengisi acara training orientasi partai di rumah Raja Hitu Messing, Senin 23 September 2002, rekan-rekan Partai Keadilan sudah berpesan agar saya bercerita tentang perkembangan politik nasional. Masyarakat akan antusias mendengar berita pepolitikan. Ternyata benar.
Acara Training Orientasi Partai sendiri di tempat nun jauh sepi itu tentu amat sangat menarik untuk diceritakan. Pertama, dilaksanakan di sebuah desa yang jauh - bukan saja dari Jakarta namun juga jauh dari ibukota provinsi. Kita perlu menyeberang 30 menit dengan speed boat dari kota Ambon, diteruskan jalan kurang lebih satu jam perjalanan menuju Hitu. Masyarakat rata-rata juga tidak berpendidikan tinggi. Mata pencaharian mereka adalah melaut, berdagang dan sebagian berkebun cengkeh ataupun tanaman kering lainnya.
Kedua, TOP dilaksanakan di rumah raja. Secara adat, rumah raja adalah simbol pusat pengambilan keputusan dan memiliki daya panggil yang amat kuat terhadap masyarakat. Untuk bisa mengumpulkan masyarakat dalam acara TOP di rumah Raja Hitu Messing, tidak perlu repot-repot membuat undangan tertulis. Seorang pengurus DPC atau DPRa berjalan dari rumah ke rumah, mengatakan, "mengirimkan salam dari Raja Hitu Messing, dan menghamp kehadiran Anda pada acara TOP Partai Keadilan pagi hari Senin 23 September 2002," Maka masyarakat pun berduyun-duyun berdatangan.
Ketiga, peserta yang hadir melebihi kursi yang disediakan. Di halaman Raja Hitu Messing itu, dipasanglah tenda dan ditata 300 kursi untuk peserta TOP. Ternyata ketika acara dimulai, kursi itu penuh, bahkan sebagian harus berdiri di bagian belakang. Kita bisa bandingkan, di beberapa tempat di Pulau Jawa, tak cukup mudah menghadirkan peserta TOP sebanyak 300 orang, apalagi tanpa undangan resmi seperti itu.
Keempat, peserta yang hadir amatlah beragam. Sebagian tampak merokok sepanjang acara berlangsung, sebagian ibu-ibu dan remaja putri tidak mengenakan kerudung. Dari segi usia, tampak wajah-wajah usia kakek dan nenek, namun juga banyak remaja usia SLTP dan SMU. Peserta benar-benar merepresentasikan kondisi riil masyarakat yang ada.
Kelima, antusiasme peserta mengikuti acara. Tampak wajah yang berbinar-binar ketika saya tampil orasi dengan tema "Islam dan Politik." Isi orasi saya sebenarnya sederhana tentang realitas yang dihadapi umat Islam di berbagai belahan dunia. Ketika cerita saya sampai pada kondisi Palestina atau Afghanistan, beberapa peserta tampak menangis, mencucurkan air mata. Berkali-kali tanpa ada yang memimpin- mereka memberikan aplaus dengan takbir dan tepuk tangan.
Keenam, selama acara berlangsung, Camat Leihitu, Raja Hitu Messing dan Imam Masjid menunggui hingga selesai, padahal mereka tidak mendapatkan jatah untuk menyambut atau menyampaikan pidato apa pun di forum itu. Dengan setia, Bapak Camat, Raja dan imam masjid menunggu di teras depan rumah yang digunakan untuk tamu-tamu istimewa. Ini juga yang menjadi salah s
atu rahasia daya panggil TOP: bahwa raja dan imam telah "bersatu" merestui kegiatan Partai Keadilan.
Ketujuh, pelaksana TOP terdiri dari kader-kader Partai Keadilan yang amat beragam pula. Muhammad Pellu, ketua Panitia TOP tersebut, adalah seorang pengusaha ikan cukup sukses di Hitu. Usianya sudah di atas 40 tahun. Ia adalah salah seorang tokoh masyarakat dan kini menjadi bendahara DPC Leihitu. Ia amat banyak berkorban dengan uangnya sendiri untuk melakukan kegiatan kepartaian, termasuk untuk melaksanakan TOP tersebut. Ketika saya bertanya kepada Mat Pellu, mengapa warga tertarik ikut Partai Keadilan, jawabnya, "Karena masyarakat melihat hanya Partai Keadilan yang bersama mereka semenjak terjadinya kerusuhan Maluku. Partai-partai lain pada melarikan diri saat kerusuhan."
Panitia yang lainnya juga tampak bersemangat mengurus kegiatan tersebut padahal mereka belum tersentuh kegiatan kaderisasi. Beberapa muslimah yang menjadi penerima tamu serta pembawa acara tampak berpakaian rapi dan terlihat sudah terampil mengurus acara besar seperti itu. Sama sekali tidak kelihatan canggung.
Kedelapan, pada acara TOP itu juga sekaligus dilakukan pelantikan pengurus DPRa se-Leihitu. Masya Allah, jika Anda dapat melihat penampilan para pengurus DPRa ini, hilanglah anggpan selama ini bahwa Partai Keadilan hanya diterima di kalangan anak-anak muda terpelajar. Para pengurus DPRa ini benar-benar masyarakat asli Leihitu dengan usia yang beragam.
Saya merasakan optimisme yang besar, tatkala Ketua DPC menanyakan kepada mereka, "Siapkah saudara-saudara untuk dilantik menjadi pengurus DPRa Partai Keadilan"" Serempak mereka men-jawab lantang, "Siap!!"
Saya lebih optimis lagi melihat imam masjid menjabat erat tangan saya tatkala saya meninggalkan lokasi TOP menuju bandara, karena jadwal penerbangan tinggal satu jam lagi untuk terbang ke Jayapura. Saya katakan, "Beta titip Partai Keadilan di Leihitu, Pak Imam."
Dengan sigap, beliau menjawab, "Insya Allah!"
Mudah-mudahan Allah menguatkan kita semuanya di jalan kebenaran dan keadilan. Amin.
-Cahyadi Takariawan- Cililitan 1990 dan Ustadz Lamu
Namanya Muhammad Ali Lamu. Tahun 1990-an lelaki sederhana kelahiran Palu, Sulawesi tengah itu merantau di Jakarta dan kost di sebuah rumah petak di bilangan Cililitan. Sebuah panggilan abadi bernama dakwah membuatnya berusaha untuk menyampaikan kebaikan pada siapa pun setelah hal itu diterapkannya pada dirinya terlebih dahulu.
Cililitan tahun 1990-an adalah daerah yang cukup rawan, tapi Lamu adalah wajah cerah yang menyapa hari dan sesama dengan senyum. Seperti magnet, ia bukan saja menyapa ramah para tetangga, tetapi mencoba akrab dengan para pemuda di sekitar.
Dengan penuh semangat, Lamu membina para pemuda yang rata-rata preman dan pecandu narkoba, atau kerap disebut sebagai sampah masyarakat. Tentu membina orang seperti mereka tidak semudah membalik telapak tangan. Di butuhkan kesabaran dan sikap istiqomah. Selain itu Lamu senantiasa mengembalikan semua pada Allah. Ia berusaha keras agar para pemuda itu kembali ke jalan Ilahi, tapi ia tahu hanya Allah Maha Pemberi Hidayah.
Apa yang dilakukan Lamu pada mereka yang dibinanya" Ia nyaris tak berceramah. Ia menolong meski dengan keterbatasan yang dimilikinya, ia mencontohkan. Ia tidak mengecam atau memvonis, tetapi memeluk dan meneguhkan mereka. Dan satu yang tak pernah dilupakan Lamu: setiap saat ia menyempatkan diri bersilaturahim dengan para pemuda tersebut.
Masyarakat sekitar terharu. Para pemuda itu sedikit demi sedikit berubah. Mereka memang masih sering nongkrong, namun kali ini di depan kost Lamu dalam rangka mengkaji ayat-ayat Allah. Ketika tiba waktu shalat, beriringan mereka ke mesjid.
Setelah menikah, Lamu kembali ke Palu untuk berdakwah di sana. Tapi apa yang dilakukannya tanpa pamrih itu menyisakan makna yang dalam bagi para pemuda binaannya yang kini banyak tersebar di berbagai pesantren di Indonesia.
"Namanya Muhammad Ali Lamu. Dulu dia mengajar kami saat masih kuliah di LIPIA. Orangnya baik sekali. Sekarang dia di Palu. Dia aktivis Partai Keadilan...", ujar seseorang, mengenang Lamu dengan mata
kaca, di sebuah jalan di bilangan Cililitan.
-Helvy Tiana Rosa, Ahmad Sobri.-
Suatu Hari di Alun-Alun Alun-alun Ponorogo, Mei 2003 lalu dipenuhi para tukang becak dan masyarakat miskin lainnya. Apa pasal"
Pada hari itu, Achmad Thobroni, anggota DPRD Ponorogo dari Partai Keadilan, membagikan uang dalam bentuk beras, untuk masyarakat tak mampu di Ponorogo. Dana 'miliknya' sekitar 25 juta rupiah, berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ponorogo, tahun 2003 untuk pos dana operasional anggota Dewan sebesar Rp 1,1 miliar. Hari itu dibagikan tahap pertama bantuan berupa 800 paket beras, masing-masing lima kilogram. Masyarakat sudah mengantri dengan rapi sejak pagi hari.
"Lihatlah harapan di mata mereka," tutur Thobroni haru. "Dengan beras yang tak seberapa ini, kita buka mata para pejabat eksekutif dan legislatif untuk peduli dengan masyarakatnya sendiri."
Seperti ada yang menyesakkan dada Thobroni kemudian, melihat senyum dan rasa terima kasih para tukang becak dan kaum miskin di sekelilingnya hari itu. Mereka menjabat, merangkulnya. Ada yang berkali-kali mengusap air mata.
"Saya tak berbuat apa-apa. Ini kewajiban," lirihnya, menjabat erat tangan mereka. Tak jauh dari tempat Thobroni berdiri, para pengurus Partai Keadilan di daerah tersebut dengan ramah menyambangi dan melayani kaum miskin. Mata mereka juga berkaca-kaca.
Saudaraku, kami akan kembali ke alun-alun ini membawa cinta. Sungguh dengan izinnya, kami akan kembali. Bukankah begitu banyak yang belum kami bagi"
-Helvy Tiana Rosa- Saudara di Paniai Paniai adalah sebuah kabupaten dengan 11 kecamatan dan 135 desa. Kabupaten yang penduduknya mayoritas Kristen ini, dari Jayapura ditempuh sehari semalam melalui laut sampai Nabire, diteruskan dengan pesawat Twin Otter 45 menit ke Paniai. Tak terbayang, bagaimana akan membentuk kepengurusan di DPD yang minoritas muslim, dengan warga pendatang yang juga sedikit.
Allah, Dialah yang memberikan ketentuan. Awal tahun 2002 kemarin, tiga orang mahasiswa Universitas Cendrawasih Jayapura asli Paniai datang ke sekretariat DPW Partai Keadilan Papua di Entrop, Jayapura. Mereka ditemui oleh Ketua DPW, Idrus Khalwani dan beberapa pengurus lainnya. Kedatangan ketiganya tak lain untuk menyatakan rasa simpati terhadap aktivitas Partai Keadilan yang pernah mereka dengar lewat media massa. Dengan berbekal sesobek kertas bergambar lambang Partai Keadilan, mereka datang ke Kantor Sospol Papua untuk menanyakan alamat DPW Partai Setelah diberi alamat sebagaimana ada dalam daftar partai di Sospol, bertemulah mereka dengan para pengurus di DPW.
Ketiganya tidak semata-mata menyatakan tertarik dan simpati, bahkan menyampaikan keinginan untuk membentuk kepengurusan DPD Partai Keadilan di Paniai. Mereka bertiga juga mengklaim telah mendapat restu dan dukungan dari banyak kalangan tokoh masyarakat Paniai. Idrus memberi keterangan bahwa Partai Keadilan adalah partai Islam dan berasas Islam. Lagipula, Partai Keadilan tidak bisa menjanjikan apa pun yang berbentuk materi.
"Tidak apa-apa," kata mereka. "Kami tahu kalau Partai Keadilan itu Islam. Dan kami juga tidak mencari materi lewat partai ini." Yustus Gobay, salah satu dari mereka, terus meminta agar bisa mendirikan Partai Keadilan di Paniai. Akhirnya Ketua DPW menjawab, " Akan kami bawa ke rapat DPW terlebih dahulu."
Beberapa pekan menunggu jawaban, mereka tidak sabar. Beberapa kali telepon dan menanyakan bagaimana keputusan rapat.
Rupa-rupanya, rapat pleno DPW gagal memberi keputusan, karena khawatir terjadi fitnah dan menyalahi tradisi organisasi Partai Keadilan. Bisakah para kader dan simpatisan PK di luar Papua menerima keberadaan pengurus sebuah DPD Partai Keadilan yang 99 % diisi umat Kristiani" Jumlah 99% adalah jumlah yang mutlak! Akhirnya, kepada Yustus Gobay dan kawan-kawan diberi jawaban, "Akan kami bawa ke Rapat Koordinasi III DPP Partai Keadilan Wilayah Dakwah Tiga di Yogyakarta."
Sepulang dari Rakor III Wilda 3 di Yogyakarta bulan April 2002, pengurus DPW telah mendapatkan jawaban dari Ketua DPP, Ahmad Firman Yusuf, bahwa untuk kondisi khusus seperti di Paniai
, bisa dibentuk kepengurusan dari masyarakat asli yang memang mayoritas mutlak beragama Kristen. Maka, jawaban ini pun direspon dengan cepat dan penuh kegembiraan oleh mereka.
Segera mereka membentuk kepengurusan DPD Partai Keadilan Paniai, dengan Ketua Umum Yustus Gobay, dibantu Ketua I Zakius Magay Yogi, Ketua II Linus Doo, Ketua III Ronald Kadepa, S.Sos., Ketua IV Muhammad Sabri dan Ketua V Jemy Gobay. Dari 33 nama pengurus DPD tersebut, hanya Muhammad Sabri, Ketua IV, yang beragama Islam, seluruhnya Kristen asli Paniai. Sekretaris Umum DPD bernama Metusale Mote, A.Md; dibantu Stefanus Dou, Germanus Dou dan Matius Metu Teba. Bendahara Umum bernama Lusia Kudiai dengan wakil Ny. Peransina Magay.
Bagian Organisasi dipimpin oleh Frans Yogi, bagian Kepeloporan Pemuda dipimpin Stefanus Gobay, bagian Ekonomi diketuai Arnold Yogi, bagian Hukum dan HAM dipimpin Yusak Yogi sedangkan Kewanitaan dipimpin oleh Sisilia Tegeke dibantu Agustina Adii. Masing-masing bagian
memiliki beberapa staf pembantu. Mereka tidak memiliki bagian kaderisasi. Kepengurusan DPD ini telah disahkan oleh DPW pada tanggal 5 Juni 2002.
Tiba-tiba saja saya teringat catatan Thomas W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam. Ia mencuplikkan suatu fragmen sejarah dakwah Islam, ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Abu Ubaidah r.a. mencapai Lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya yang berbunyi: "Saudara-saudara kami kaum muslimin, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami. Karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih bersikap belas kasih kepada kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan yang tidak adil, serta pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium, karena mereka telah merampok harta dan rumah-rumah kami."
Demikian pula Thomas W. Arnold mencatat sikap penduduk Emesa yang menutup pintu gerbang terhadap tentara Heraklius serta memberitahukan kepada orang-orang muslim bahwa mereka menyukai pemerintahan dan sikap adil kaum muslimin daripada tekanan dan sikap tidak adil orang-orang Yunani.
-Cahyadi Takariawan- Hidayah Seorang Sampah Ia memang hanya seorang pemadat. Badannya habis terisap oleh benda laknat tersebut. Tak terhitung rupiah telah habis demi nafsu sesaat. Orang tua mungkin tak lagi menganggapnya anak. Lingkungan mungkin telah menganggapnya sebagai 'sampah.' Namun, dalam lubuk hatinya, ada sesuatu yang ia cari. ia tak mau selamanya jadi sampah.
Ada yang mengetuk nuraninya saat ia melihat orang-orang itu. Entahlah. Apakah karena beberapa kali ia menyaksikan demonstrasi yang mereka lakukan dengan tertib" Atau kerja-kerja sosial di lingkungan rumahnya yang banyak dilakukan orang-orang itu" Ataukah ini hidayah" Entahlah. Seakan ada magnet yang menariknya untuk mencari tahu tentang mereka, untuk dekat dengan mereka.
Kemudian, selebaran itu ia temukan di pinggir jalan. Telah kotor dan sedikit rusak, mungkin seperti dirinya. Namun hanya kertasnya saja yang rusak, informasi dan semangat di dalamnya, itulah yang selama ini ia cari! Selebaran untuk bergabung bersama mereka.
Ia bagai menemukan sebuah permata. Lekas ia mencari alamat yang tertera pada selebaran tersebut. Dengan perasaan membuncah namun juga ragu, apakah orang-orang seperti mereka bisa menerima 'sampah' seperti dirinya" Akankah mereka tak melihat bekas-bekas suntikan yang memenuhi tubuhnya"
Ia ketuk pintu tersebut. ia jumpai wajah teduh dengan senyum menyungging. "Ya" Ada perlu apa""
"Eng...ng... sa-sa-saya... ingin bergabung dengan Bapak"" Dengan bicara agak pelo karena terlalu sering menghisap benda laknat itu, ia mengutarakan keinginannya.
"Bergabung""
"Y-y-ya, s-s-saya ingin masuk Partai Keadilan. Apakah orang seperti saya dapat diterima"" ia gerak-gerakkan jari tangannya yang kaku, juga efek dari benda laknat itu.
Hanya senyum kembali yang ia jumpai. Tak perlu kata, hanya anggukan. Bahkan maaf. "Ternyata kami belum mengenal lingkungan ini. Bagaimana mungkin kami sampai tak mengenal Saudara" Rumah Saudara bahkan tak jauh dari sekretariat DPRa, namun Saudara harus ke DPC Kemayoran i
ni dan tahu dari selebaran. Kami malu," Vidi Assyukru, Ketua DPC Partai Keadilan itu kembali menyunggingkan senyum
Tak ada yang perlu malu. Tak ada yang perlu disesali. Ia hanya merasa pertautan hati adalah karunia-Nya yang agung. Detik itu adalah awal dari perubahan kehidupan seorang Wiwit, hingga kini.
-Rahmadiyanti Rusdi- Kepedulian di Bonggo Kita beralih ke Bonggo, sebuah kecamatan di Kabupaten Jayapura yang terletak 200 km dari ibukota Jayapura. Bonggo memiliki 8 SP (Satuan Pemukiman, desa transmigran), yaitu Desa Armopa 1 sampai Armopa 8. Masing-masing SP dihuni kurang lebih 500 kepala keluarga dengan komposisi 80% pendatang lewat program transmigrasi di masa Soeharta berkuasa, mereka beragama Islam. Sisanya 20% putra daerah, mayoritas Nasrani, sebagian kecil saja yang muslim.
Awalnya, pada bulan April 2001 terdengar berita bahwa masyarakat Bonggo terancam kelaparan karena sarana transportasi, yaitu jalan utama, rusak total. Para kader Partai Keadilan di Jayapura segera mengadakan survei ke lapangan. Ternyata ditemukan kondisi jalan rusak parah sepanjang 75 km dan tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda empat. Sedemikian parah kerusakan jalan tersebut, setiap 10 meter ruas jalan tersebut berkondisi cukup baik, tapi 10 meter kemudian penuh lubang berlumpur, dan begitu seterusnya. Satu-satunya alat transportasi darat adalah ojek, dari Kecamatan Nimbokrang ke Bonggo, di Armopa 6, dengan jarak 100 km. Biaya ojek sekali jalan Rp. 150.000.
Dari hasil survei tersebut didapatkan kondisi masyarakat sangat memprihatinkan, terutama kekurangan gizi bagi kelompok resiko tinggi yaitu ibu hamil dan anak-anak. Akibat jalan yang terputus, masyarakat tidak bisa menjual hasil panen pertaniannya. Padahal untuk bisa makan, harga beras sangat tinggi; berkisar Rp. 5.500,00 sampai 7.000,00 per kilogram. Sebagai perbandingan, harga beras di kota Jayapura waktu itu Rp. 2.500,00 sedangkan harga panen pertanian mereka sangat rendah sehingga tidak sedikit hasil panen terbuang tanpa sempat terjual, karena pedagang yang harusnya membeli hasil panen mereka berpikir dua kali untuk ke Bonggo. Akibat yang lain adalah banyaknya masyarakat yang eksodus dari Kecamatan Bonggo untuk bisa bertahan.
Akhirnya, teman-teman Partai Keadilan bekerja sama dengan Yayasan As Salam membuat Pos Kemanusian Peduli Bonggo, dengan kegiatan mengumpulkan dana dari masyarakat. Alhamdulillah, bantuan mengalir dengan cepat tanpa diduga sebelumnya, baik berupa uang, beras, mie instan, sarden, ataupun pakaian layak pakai.
Aksi pertama, rekan-rekan Partai Keadilan mengirim dua ton beras yang dibawa dengan transportasi laut, diantar oleh dua orang petugas. Bersamaan dengan itu ada pula yang lewat darat menggunakan dua motor. Akan tetapi akibat jalan yang rusak parah, kedua motor tersebut rusak di tengah jalan dan pengendaranya terpaksa tidur di tengah hutan. Aksi serupa dilakukan empat kali selama bulan April dan Mei 2001 sehingga bisa mencakup sernua desa yang ada di Kecamatan Bonggo.
Dengan kegiatan kemanusiaan tersebut, warga Kecamatan Bonggo baik pendatang maupun pribumi, muslim maupun non-muslim, sangat mengenal personal PK. Awalnya memang mereka mengenal teman-teman Partai Keadilan sebagai personal Yayasan As Salam, tetapi akhirnya mereka tahu bahwa yayasan tersebut ada bagian dari Partai Keadilan yang telah turut peduli.
Hal ini terbukti, ketika DPD Jayapura mengadakan Training Orientasi Partai I di kecamatan Sentani yang berjarak 175 km dari Bonggo, ternyata para tokoh dan ulama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Dakwah Islamiyah (FKDI), mengikuti dengan sangat antusias. Bahkan mereka bersedia dilantik menjadi Anggota Pemula, dan dengan bangga membawa pulang Kartu Anggota Partai Keadilan. Mereka pulang setelah sebelumnya membentuk ke-pengurusan DPC Bonggo, yang diketuai oleh B. Mulyadi yang juga bendahara FKDI dengan didukung oleh pengurus FKDI lainnya. Mereka akan segera mendirikan DPRa minimal di 4 desa, dari Armopa 3 hingga Armopa
6. Di antara pengurus DPC tersebut ada putra daerah asli Bonggo, beragama Islam, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa
Armopa 6. Sungguh saya kagum dengan semangat mereka!
-Cahyadi Takariawan- Seribu Teman Seringkali kita berpikir bahwa kita adalah seorang teman yang cukup menyenangkan bagi teman kita. Apalagi kalau memang ternyata kita punya begitu banyak teman dalam kehidupan nyata kita. Tapi tak jarang, kita lupa memelihara hubungan pertemanan bahkan persahabatan itu, sehingga setelah sekian lama kita tidak bertemu dengan teman atau sahabat kita itu, perasaan tak lagi sekuat dulu.
Tetapi alhamdulillah, pada akhirnya seorang teman mengajari saya tentang hal ini dengan caranya sendiri. ia adalah orang yang mencatat dengan cermat nomor telepon dan HP setiap temannya. Bisa anda bayangkan, karena ia punya begitu banyak teman, berapa tebal buku teleponnya" Buku telepon saya yang kata teman dan saudara saya sudah minp buku telkom saja masih kalah.
Lalu setiap hari, ia memiliki program yang cukup sederhana, yaitu: sambungkan silaturahmi, minimal kepada satu orang saudaramu seiman. Caranya. dengan menelepon, mengirim sms, atau mengemail. Jika sempat, ia bahkan mengunjungi saudara seiman atau temannya tersebut. Dan hebatnya, ia telah konsisten melakukan hal itu selama sebelas tahun hingga sekarang, dari zaman HHP -apalagi SMS- belum ada hingga teknologi MMS sudah ngetop seperti sekarang!
Bukan itu saja. Ia adalah seorang teman yang nyaris tidak pernah lupa ulang tahun beberapa sahabat terdekatnya. Ia adalah orang yang pertama yang mengucapkan selamat diiringi doa untuk sahabatnya itu! Jika ia tahu temannya menikah, melahirkan, lulus sidang, diterima kerja, atau apa pun momen bahagia yang diperoleh, ia selalu berusaha mengucapkan selamat. Demikian juga di kala duka, ia senantiasa berusaha menghibur sang teman yang ditimpa kemalangan itu. Bahkan menolongnya sebatas ia mampu.
Dulu, saya pernah meledeknya. Bayangkan saja, hampir di setiap acara pesta pernikahan atau akikahan, pasti ada dia. Saya menjulukinya 'party goer, atau bahkan 'jilbab pesta selalu.' Ia hanya tersenyum malu. Belakangan, ia menjelaskan pada saya bahwa ia tidak enak jika diundang seseorang terus tidak datang. Maka, begitulah, ia selalu menyempatkan diri hadir barang lima atau sepuluh menit.
Dalam tiap acara atau tiap kesempatan, ia selalu berusaha berkenalan dengan minimal satu orang teman baru. Tidak heran jika dalam setiap acara kepartaian, ia pasti dapat teman baru. Belum lagi acara-acara lainnya, karena ia memang seorang aktivis. Jadwal agenda kegiatannya pun memadat dengan sendirinya. Tiap minggu ada saja acaranya, ya acara partai, kumpul dengan teman kuliah, atau dengan teman pengajian, dengan teman ketemu di manalah. Tapi dia selalu menikmatinya!
Yang membuat saya terharu, ketika saya menghadiri acara pernikahannya, subhanallah, acara yang tadinya dirancang secara sederhana itu jadi ramai. Bukan apa-apa, hampir 95% temannya yang di Jabotabek menyempatkan diri datang. Bahkan, saya malah dapat beberapa kenalan teman sesama anggota PKS dari lain wilayah. Kata seorang yang hadir, "Kok, kayak deklarasi partai, ya, saking ramainya""
Dan begitulah sahabat saya yang satu itu. Hingga kini, ia masih juga hobi menambah teman. Bahkan, teman-teman dari agama lain pun banyak. Ia pernah bilang pada saya, "Bagi saya, hal paling menyedihkan adalah kehilangan teman. Seribu teman rasanya tidak cukup, sebab setiap orang akan memberi warna bagi hari-hari kita dengan warna berbeda. Lebih dari itu, ketika banyak teman, saya tidak pernah merasa sendiri. Sungguh, saya juga belajar mencintai dengan berteman, karena Allah."
Maka, saya juga mencoba berlaku sepertinya. Berteman dengan cara yang simpatik, so personal.... Dan, subhanallah, hidup jadi terasa lebih indah dan penuh berkah adanya. Terima kasih, Nana Sayang.
Ini sangat berarti. -Ifa Avianty- Petani Jantung Kami Sungguh malang nasib petani di negeri ini. Mereka mayoritas profesi (60%) yang digeluti 220 juta rakyat Indonesia, tapi nasibnya terus terpinggirkan. Pemerintah yang pernah mengklaim diri sebagai pengayom wong cilik, ternyata malah memprioritaskan kepentingan wong elite. Akhirnya, petani - bersama nelayan, buruh dan pedagang ke
cil - menjadi simbol masyarakat bawah merana.
Lihat saja, dana triliunan rupiah pernah dikucur-kan pemerintah untuk menangani kesulitan likuiditas bank yang akhirnya dikenal sebagai skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Itu salah satu penyebab krisis ekonomi yang belum tuntas sampai sekarang. Ditambah lagi, dana rekapitalisasi untuk menutupi kekurangan modal bank sebelum dijual kepada pihak asing. Sampai-sampai, dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) terkuras dan nyaris defisit.
Tapi, berapa banyak dana yang dialirkan pemerintah untuk kaum tani" Jumlahnya tak jelas, namun pasti lebih kecil dibanding suntikan dana untuk penyehatan bank dan pemulihan konglomerasi. Subsidi pertanian dicabut, Kredit Usaha Tani (untuk membeli bibit, pupuk, dan obat anti hama) pun dikurangi, bahkan kebijakan penetapan harga dasar gabah hanya dilaksanakan setengah hati. Akibatnya, para petani mendapatkan hasil yang sangat minim dan tidak mampu menutupi biaya produksi yang mereka keluarkan.
Kondisi itulah yang menggelisahkan Almuzammil Yusuf, politisi muda yang kini menjadi ketua umum Partai Keadilan (PK) Sejahtera. Untuk itu ia bersama pengurus teras Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PK Sejahtera merancang program pemberdayaan wong cilik yang disebut Gerakan Nasional Peduli Petani. Rencananya, kader PK Sejahtera akan membeli langsung gabah dari petani yang sedang jatuh harganya sampai Rp 800,00 per kilogram. Padahal, harga gabah kering panen (GKP) mestinya Rp 1.200,00 dan harga gabah kering giling (GKG) seharusnya Rp 1.700,00.
Dalam waktu singkat, program itu dirancang dan dilaksanakan di salah satu sentra produksi beras di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah pada 2 Juli 2003. Bang Muzammil, demikian ia biasa di-panggil, menjumpai petani yang sedang memanen padi bersama Hidayat Nur Wahid (Presiden PK) dan Nur Mahmudi Ismail (mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan). Mereka tak cuma membeli 40 ton gabah sebagai tanda kepedulian warga PK Sejahtera, tapi ikut menggiling dan mempaknya dalam karung. Gabah tersebut dibeli Rp 1.200 per kilo, sesuai standar yang ditetapkan Badan Urusan Logistik (Bulog). Dengan demikian, petani diharapkan memperolen keuntungan cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang semakin sulit dijangkau.
Dalam dialog bersama petani, terungkap bahwa kebijakan importasi beras juga bermasalah. Pemerintah menjatahkan impor beras 1,8 juta per tahun, demi stabilitas pangan, katanya. Nyatanya di pasar beredar 3,7 juta ton beras impor, belum termasuk beras selundupan. Harga beras impor jauh lebih murah dari beras petani domestik karena kebijakan bea impor yang ditekan rendah oleh pemerintah.
"Itu kebijakan yang menyengsarakan petani. Jangan heran bila para petani membakar gabah mereka yang dibeli dengan harga murah," ujar Muzammil. Sebagai pemuda yang lahir di Tanjung Karang, Lampung, ia merasakan betul penderitaan petani, karena hidup di lingkungan tani. Rumahnya di kawasan Ciputat, dulu juga dikelilingi lahan pertanian, namun sekarang telah berubah menjadi perumahan.
Betapa sengsaranya petani sehingga mereka harus menjual hasil panen sebelum waktunya karena terjerat utang pada tengkulak. Bila utang terus menumpuk dan tak terbayarkan, mereka terpaksa menjual sawahnya. Lalu, pergi ke kota mencari kerja apa adanya. Menjadi
buruh harian, pedagang kaki lima, atau penarik becak, itulah masa depan yang dibayangkan oleh petani kita.
Sebagai pemimpin partai yang tergolong paling muda usianya, 38 tahun (lahir 6 Juni 1965), maka nurani Muzammil Yusuf meradang. "Kita tidak boleh membiarkan kezhaliman itu terus berlangsung," katanya. "Lambang padi ada di jantung PK Sejahtera. Maka, kami akan bersungguh-sungguh memperjuangkan nasib petani dan membelanya sampai tuntas, insya Allah," tegas Muzammil, yang di masa remajanya sempat lolos seleksi calon pemain sepakbola tingkat nasional.
Tekad yang tulus itu disambut hangat oleh para petani yang terhimpun dalam Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja, beranggota 80.000 petani), Asosiasi Perberasan Indonesia (API), Himpunan Petani Anti Hama Terpadu, dan Serikat Petani Qaryah Thayibah.
Koordinator API yang juga pimpinan Pesantren Soko Tunggal, KH. Nuril Arifin Husein membalas tekad itu dengan rencana berdemonstrasi ke Jakarta. Mereka akan membawa 15 ton gabah ke kantor Bulog dan Istana Negara untuk dibakar karena pemerintah tak peduli dengan nasib petani. "Duit Bulog malah dibuat beli pesawat tempur Sukhoi," kritik Gus Nuril yang di era pemerintahan Abdurrahman Wahid pernah menjadi panglima Pasukan Berani Mati (PBM). Sekarang, ia mengaku kesengsem dengan PK Sejahtera.
Kader PK Sejahtera siap mendukung perjuangan kaum tani, tak cuma dalam hal demo. DPW PK Sejahtera Jawa Tengah telah membentuk koperasi konsumen "Mitra Nusa Sejahtera" yang akan membeli gabah petani, lalu mendistribusikan beras dengan harga memadai. Petani diuntungkan, konsumen pun terjaga kebutuhannya. Sebab, dengan cara itu harga beras yang sampai ke konsumen lebih murah Rp 200-300 dari harga pasar. Selama ini yang menikmati keuntungan hanya tengkulak dan grosir besar, serta importir beras. Koperasi konsumen dicanangkan dibentuk kader PK Sejahtera di seluruh Indonesia.
Ketika acara rembug petani usai, Bang Muzammil dan pengurus PK Sejahtera bersalaman hangat dengan para petani. Seorang ibu petani berkata, "Kulo nyuwun caping, ya, Mas!" Bang Muzammil hanya tersenyum simpul, sambil berlalu. Bukan sombong, ia memang tidak mengerti bahasa Jawa. Lalu, seorang kader PK Sejahtera membisikkan, "Bang, ibu itu minta topi yang Anda pakai."
Bang Muzammil terkejut, spontan membuka topi bertepi lebar dengan simbol "padi diapit dua bulan sabit", warna hitam dan kuning keemasan.
Betapa senangnya hati sang ibu, seperti juga ribuan petani yang bersilaturahmi saat itu. Nasib mereka kini ada yang membela.
-Tourmalina, Agung S.B.- Termiskin tapi Terkaya Tak ada yang berubah dari sosok lelaki parobaya kelahiran tahun 1953 itu. Saya mengenalnya saat ia menjadi reporter majalah Saksi, sebuah majalah dakwah yang berada satu grup dengan majalah Annida, tempat saya bekerja. Orang-orang mengatakan dahulu lelaki cerdas itu adalah aktivis gerakan Persatuan Islam Indonesia.
"Jalan yang dilaluinya tak mudah," kata seorang teman dekatnya.
Lelaki itu pernah berkelana di Bandung, tidur di masjid-masjid. ia merantau sampai ke Jakarta dan pernah tinggal di Pasar Senen. ia bekerja apa saja secara serabutan, yang penting jelas kehalalannya. Sampai kemudian ia tinggal dan mengurus masjid Al Fatah yang ada di markas PIT di Jakarta.
Di sanalah ia bertemu dengan beberapa tokoh PII yang kemudian memperkenalkannya pada Muhammad Natsir dan Muhammad Roem, tokoh-tokoh Masyumi yang ia kagumi. Lucunya, rezim Orde Baru pernah menahan lelaki itu dari sel ke sel selama 6 bulan dengan alasan ia dicurigai terlibat insiden peledakan Istiqlal, 20 Maret, 1978. Penangkapan tersebut dilakukan hanya karena lelaki itu sering nongkrong di masjid Istiqlal untuk membagi-bagikan buletin Islam yang dikelolanya.
Keluar dari penjara, lelaki itu diminta Muhammad Roem menjadi sekretaris pribadi. Tokoh ini pula yang kemudian memberi lelaki itu kesempatan untuk kuliah lagi di Akademi Publisistik, di Jakarta. Tapi ia tetap tidur di masjid Al Fatah. Merawat masjid itu dengan cinta. Sementara waktu terus berlalu....
Proses kehidupan panjang dan berliku pada akhirnya membawa lelaki itu pada Partai Keadilan. Tahun 1999, ia menjadi salah satu deklarator partai tersebut. Dan ketika Partai Keadilan mendapat kursi di DPR, maka lelaki itu dipercaya sebagai salah satu orang yang tepat untuk mendudukinya.
Tapi, tak ada yang berubah dari lelaki itu. Ia tetap seorang redaktur majalah yang hafal semua rute angkutan kota, bahkan tak risih berjalan kaki ke mana-mana. ia adalah suami sekaligus bapak 10 anak yang sederhana dan bersahaja. ia tak pernah kompromi pada penyuapan dalam bentuk apa pun dan sangat tegas dalam menyuarakan kebenaran.
Media boleh mengatakan lelaki yang pernah bekerja sebagai tukang sapu di Pasar Senen dan kini duduk di Komisi I DPR RI itu adalah wakil rakyat Indonesia yang termiskin. Tapi, di mata saya, ia salah satu lelaki 'terkaya' yang siap melangkah dan mengulurkan kedua tangannya di jalan kebenaran.
Semoga Al lah senantiasa bersamanya menapaki hari-hari penuh perjuangan. Doa saya untukmu, Pak Mashadi.
-Helvy Tiana Rosa- Mas Gagah dari Partai Kecil
Sudah lama saya mendengar banyak hal baik tentang Nasir Jamil, anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam dari Partai Keadilan. Namun saya belum pernah berjumpa dengannya. Salah satu cerita yang saya dengar adalah saat semua anggota DPRD Aceh diberi jatah uang masing-masing 75 juta rupiah - di luar gaji - dari Pemerintah Daerah. Semua anggota menerimanya, tetapi tidak Nasir Jamil. Batin anggota termuda DPRD itu malah teriris.
"Saya sungguh tak pantas menerimanya dan tak seorang pun anggota Dewan yang boleh menerimanya pula. Uang itu milik rakyat. Mengapa tak digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Aceh yang kini sedang menderita" Mengapa"" tanyanya.
Nasir Jamil adalah satu-satunya anggota DPRD Aceh yang dengan tegas menolak uang tersebut. ia siap menghadapi resiko apa pun atas prinsipnya itu, termasuk kemungkinan dimusuhi berbagai pihak. "Itu hak rakyat. Uang itu milik rakyat..., kembalikan pada mereka...," katanya dengan mata kaca.
Beberapa waktu kemudian persoalan uang itu merebak. Banyak media yang mengulasnya. Kebanyakan menulis tentang betapa beruntung Aceh memiliki wakil rakyat seperti Nasir Jamil. Media lainnya berkata bahwa banyak ibu di Aceh yang mendambakan memiliki menantu seperti Jamil. "Kalau kalian mau menikah, tak banyak yang ibu syaratkan. Cari saja yang seperti Nasir Jamil. Ibu pasti setuju!"
Saya baru bertemu dengan Nasir Jamil saat Partai Keadilan Sejahtera membuat acara dzikir dan doa bersama untuk Aceh, Juni 2003 di Jakarta. Pria berusia di atas 30 tahun itu ternyata seorang yang ramah, murah senyum, lembut dan gagah. Ia membuat saya terkenang akan seseorang..., namun saat itu saya tak ingat siapa.
Beberapa waktu kemudian, sebelum ia pulang ke Aceh, saya dan suami mengundangnya untuk makan siang bersama. Saat itu, Nasir Jamil sempat bercerita tentang diri dan keluarganya. Tentang istrinya, Khasanah, guru sebuah SMU di Aceh, juga tentang keempat anaknya yang lucu. "Si kecil masih 7 bulan," katanya.
Kami mendiskusikan banyak hal.
"Saya pernah diledek oleh anggota DPRD yang lain," ceritanya. "Mereka berkata, 'kamu kan dari partai kecil, mengapa bersuara besar"' Langsung saja saya jawab: 'masih mending saya, dari partai kecil tapi bersuara besar. Dari pada kamu, dari partai besar tapi suaranya kecil!'"
Kami tertawa bersama. Saat itulah saya teringat lagi sosok lain yang sepintas saya lihat dalam Nasir Jamil. Sebuah sosok yang sudah saya kenal begitu lama..,.
"Saya mulai intensif mengaji usai membaca sebuah cerita berjudul: Ketika Mas Gagah Pergi," tuturnya. "Cerita itu membuat saya menangis. Soalnya, Mas Gagah mirip dengan saya dulu. Anak band dengan poster-poster para pemusik mancanegara di kamar. Helvy yang menulisnya"" Dia tertawa, menampakkan dua lesung pipitnya.
Saya mengangguk. Tiba-tiba suara saya tersekat di kerongkongan Memang Allah Maha Pemberi Hidayah. Siapa yang menyangka sebuah cerita bisa mengubah seseorang" Tentu banyak faktor yang membuat Nasir Jamil memilih jalan lurus sebagai jalan sejatinya selain cerita yang saya tulis tahun 1993 itu. Namun saya bersyukur cerita yang saya tulis sambil menangis usai shalat malam itu ternyata bisa berarti. Lebih dari segalanya, saya bersyukur menemukan tokoh fiksi saya: Mas Gagah, dalam diri lelaki bukan Jawa itu.
Dan Mas Gagah" Kini ia tak lagi sekadar tokoh fiksi. ia sungguh ada.
-Helvy Tiana Rosa- "Pak, Sudah Adzan..."
S u a t u hari, sepulang dari rapat di DPRD Surakarta, saya dan beberapa rekan pengajian bersama beberapa pengamen sibuk mencari rumah untuk sekretariat paguyuban pengamen. Kami berkeliling kota Solo mengendarai mobil butut saya yang sesekali berdecit sebab mesinnya yang telah tua.
Siang telah lama berlalu dan sore telah menjelang, sementara itu rumah yang akan dijadikan sekretariat tak kunjung juga di temukan. Tiba-tiba terdengarlah adzan berkumandang.
Allahu Akbar Allaaahu Akbar.... Asyhadu allaa illaha illallaah....
Saya masih mengendarai mobil dengan tenang ketika salah seorang dari peng
amen itu menyentuh-nyentuh punggung saya.
"Pak... Pak..., sudah adzan. Sebaiknya kita berhenti dulu... kita cari masjid. Sebaiknya Bapak shalat dulu, kami... tunggu di mobil."
Sejenak saya tertegun. Mereka mengingatkan saya untuk shalat. Mungkin mereka sendiri masih berat melakukannya tapi mereka tahu apa arti panggilan shalat dan kewajiban seperti apa yang harus ditunaikan. Maka, biarkanlah kebaikan perlahan tersemai pada hati-hati manusia yang rapuh, tanpa harus merasa terpaksa untuk bersujud pada-Nya. Sebab Islam itu mudah, tanpa harus dimudah-mudahkan.
-Fajri Muhammad & Izzatul Jannah-
Lelaki Dari Bolmong Namanya Muhammad Rijal. Badannya tinggi, tegap dan besar. Wajahnya tampan, dengan kumis dicukur bersih dan janggut yang dibiarkan lebat memanjang. Wajahnya bersih dan teduh. Ia lebih banyak diam dan tak banyak berkata-kata, namun amat banyak kerja yang telah dilakukannya. Ia pernah kuliah di D3 Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Sekarang anaknya dua, dan mengelola beberapa jenis usaha, salah satunya adalah toko emas.
Bapaknya adalah mantan bupati Bolmong dua periode, dan kini menjadi anggota DPRD Provinsi Sulut dari PAN. Brother Rijal sendiri dulunya adalah ketua Barisan Muda PAN Kabupaten Bolmong. Ia anak kelima dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang terjun di bidang politik. Oleh karena itulah sang bapak amat senang karena ada anak yang meneruskan kiprahnya di perpolitikan.
Semenjak berkenalan dengan Partai Keadilan, Brother Rijal amat tertarik karena tradisi keislaman yang demikian kental ia saksikan pada berbagai macam kegiatan. Terlebih lagi, aktivis Partai Keadilan rajin ke masjid dan mengaji. Inilah titik temu Rijal dengan Partai Keadilan.
Dengan sepenuh kesadaran, ia pun bergabung dengan Partai Keadilan dan berpamitan dengan PAN. Semenjak ia bergabung, berbagai fasilitas milik orang tuanya telah disediakan untuk dimanfaatkan oleh kader dan simpatisan Partai Keadilan. Ada ruang pertemuan besar yang biasa disewa untuk acara resepsi pernikahan, bisa bebas digunakan untuk kegiatan Partai Keadilan. Rumahnya sendiri ia buka untuk kegiatan apa pun yang membawa kebajikan. Bahkan salah satu rumahnya kini dijadikan sebagai sekretariat DPD Bolmong. Pada Musda yang lalu, ia terpilih menjadi ketua DPD Partai Keadilan Bolaang Mongondau.
Kecenderungan ruhaniyah yang tinggi mengajaknya untuk bergabung dengan aktivitas Jamaah Tabligh sejak dulu. Melihat penampilannya, Anda akan dengan sangat mudah menyebut bahwa Ketua DPD Bolmong ini adalah aktivis Jamaah Tabligh. Baju gamis panjang sampai ke lutut, celana panjang yarig senantiasa tinggi, jauh di atas mata kaki, dan kopiah haji berwarna putih. Ia memang pernah naik haji sehingga teman-teman sering menyebutnya dengan Pak Haji atau kadang dipanggil dengan Ustadz Rijal.
Ia amat rajin berkeliling, baik di sekitar Bolmong maupun daerah lain di Indonesia. Selama menemani saya berjalan ke Gorontalo dengan mobilnya Chevrolet Trooper, ia tampak amat hafal daerah-daerah mana saja yang ada masjidnya. Ia biasa berjalan berpuluh kilometer untuk berkunjung, singgah di masjid-masjid.
Agak unik memang bahwa seorang aktivis Jamah Tabligh bersedia menjadi ketua sebuah parpol, padahal salah satu doktrin dasar Tabligh adalah menjauhi politik. Namun begitulah Brother Rijal, ia bersemangat mendukung Partai Keadilan, dan sejak awal telah menyampaikan nanti tidak bersedia menjadi caleg.
Posisinya sebagai anak mantan bupati tentu amat menguntungkan karena dikenal dan dihormati banyak kalangan masyarakat. Selama berjalan di Kotamobagu, ibukota Bolmong yang penuh sesak oleh heritor itu, ia banyak menyapa dan disapa masyarakat. Polisi, pengendara bentor, pejalan kaki, pedagang, banyak yang mengenal dan menyapanya sepanjang jalan.
Tatkala saya usai mengisi seminar Keluarga Sakinah di Kotamobagu, seorang muslimah berjilbab dengan berapi-api me-nyatakan kekecewaan pada moderator karena semula menjanjikan ada sesi dialog berikutnya, ternyata tidak diberi tambahan sesi sehingga ia tidak sempat bertanya di forum.
"Saya sangat kecewa. Ada hal penting yang ingin saya utarakan di forum, ternya
ta forum sudah ditutup."
Ini merupakan salah satu pengaruh positif Brother Rijal bahwa shalat tepat waktu harus ditegakkan di masjid, sehingga seperempat jam sebelum adzan Zhuhur, seminar harus sudah selesai. Dampaknya, sesi dialog tidak bisa diperpanjang.
Amat simpati jawaban Brother Rijal menghadapi gugatan muslimah tersebut. Dengan tenang ia menyampaikan kepada saya, "Insya Allah nanti saya silaturahmi ke rumahnya." Bagi Rijal, semua masalah bisa diselesaikan dengan silaturahmi.
Tatkala menutup acara Temu Kader Partai Keadilan Bolmong, Brother Rijal menyampaikan pesan singkat agar siapa pun kita, senantiasa memperbanyak silaturahmi. Saya kira pesan ini sangat indah dan relevan untuk semua rekan Partai Keadilan. "Perbanyaklah silaturahmi!" kata Brother Rijal berkali-kali.
-Cahyadi Takariawan- Bekal Kematian Hari masih siang. Jarum jam menunjukkan angka dua, tetapi langit gelap. Hujan turun dengan lebat diiringi angin kencang. Sesekali kilat menunjukkan cahayanya.
Aku sedang menghadiri acara pembubaran panitia Bakti Sosial Ramadhan, kegiatan yang rutin diadakan pihak yayasan sekolah bekerja sama dengan pengurus POM, sekolah tempat anakku menggali ilmu Islam. Acara ini akan diisi ceramah agama oleh Pak Bijaksana, ustadz yang juga tetanggaku.
Di tengah hujan lebat, melalui pintu yang terbuka lebar, kulihat Pak Bijaksana datang dengan langkah tertatih menuju tempat acara. Cuaca tidak menyurut-kan langkah kaki aktivis DPP Partai Keadilan itu untuk memberikan yang terbaik dari dirinya bagi umat. Penyakit kanker tulang yang diidapnya bertahun-tahun tak juga mampu meluluhkan semangatnya dalam berdakwah.
Sungguh, ini bukan kali pertama kulihat langkah tertatih-tatih dari tubuh ringkih ustadz ramah itu. Tidak cuaca, tidak penyakit, tidak kesempitan ekonomi: tak satu pun dari semua mampu membuatnya istirahat dari menyeru pada kebaikan. Ketika ia beberapa waktu kemudian sudah tak mampu menggerakkan badannya, masih banyak hal yang dapat disampaikannya pada mereka yang datang silaturahmi. Masih dengan nada humor, masih dengan tatapan cinta dan masih selalu bijak seperti namanya.
Melihat sosoknya, aku teringat sebuah tulisan yang pernah kubaca: Kita senantiasa meminta sesuatu kepada orang lain. Sayangnya, kita sering lupa untuk memberi. Kita tak sadar bahwa apa pun yang kita berikan sebenarnya adalah untuk diri kita sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Kita selayaknya meneladani sang surya yang memberi tanpa mengharap imbalan. Kita hanya perlu percaya bahwa apa pun yang kita berikan suatu ketika pasti kembali kepada kita. Ini merupakan keniscayaan, suatu hukum alam yang sudah ditetapkan Allah Swt..
Aku jadi ingat, di kemudian hari, aku pernah menemukan selembar formulir di antara tumpukan makalah yang sedang kami rapikan, di rumahnya. Formulir pendaftaran masuk sebuah perguruan tinggi swasta.
"Punya Pak Bijak. Beberapa bulan sebelum meninggal, dia memang punya keinginan melanjutkan kuliah lagi," begitu jawaban Mbak Ati, istri almarhum Pak Bijaksana, Lc. ketika aku tanyakan perihal formulir itu.
Ah, begitu yakin Pak Bijak akan kesembuhan penyakitnya sehingga apa pun ingin dia lakukan. Bukan hanya untuk masa sekarang, tapi untuk persiapan, entah beberapa tahun ke depan. Padahal setahun menjelang wafatnya, kondisi kesehatannya sangat parah. ia harus keluar masuk rumah sakit dan sebentar-sebentar kritis karena kanker otot/tulang yang dideritanya sejak tahun 1995. Ya, delapan tahun Pak Bijak berjuang melawan penyakitnya. Berbagai usaha dilakukan untuk kesembuhannya. Dan selama delapan tahun itu dia dan keluarganya benar-benar hidup dengan mengandalkan pada keyakinan, juga pada semangat, usaha dan kesabaran.
Dalam pertemuan terakhir dengan Pak Bijak, aku masih ingat bagaimana dia menangis di pembaringan saat itu karena mendapat kabar bahwa adiknya meninggal setelah koma selama dua pekan di RSCM. "Saya tahu, meninggal adalah takdir Allah. Tapi saya sedih sebagai seorang kakak. Bekal apa yang bisa dibawa adik saya untuk menemui tuhannya""
Maka, saat aku menemukan formulir pendaftaran itu, kembali aku terbayang semangat dan doa-doa beliau unt
uk kami. Semangat untuk memberi pertanggungjawaban terbaik bagi hidupnya. Bahwa jika ajal itu memang harus datang pada usia mudanya, paling tidak dia sudah melakukan maksimal apa yang bisa dia lakukan. Dia sudah mencoba semuanya; untuk kesembuhan dirinya, untuk menjadi seorang suami bagi seorang istri tercintanya, untuk menjadi seorang ayah bagi
empat putra-putrinya, menjadi guru bagi para mahasiswanya, menjadi da'i bagi umat, bahkan menjadi salah satu perintis lahirnya Partai Keadilan di negeri ini.
Allah Swt. tidak pernah ingkar janji. Ketika Pak Bijaksana meninggal dunia, penggali kubur, sahabat dan ratusan pelayat menjadi saksi betapa hidup Pak Bijak telah dilaluinya dengan teramat bijaksana. Betapa ia sangat berarti dan betapa masyarakat sangat kehilangan. Sementara lamat-lamat hidung kami terus mencium bau yang teramat wangi dari tubuhnya saat ia hendak dikuburkan. Mahasuci Allah.
-Lolita Damayanti, Kinan Nasanti & Helvy Tiana Rosa-
"Bukankah Hidup Hanya Sekali Saudaraku""
Waktu itu banjir menghadang Jakarta. Seorang perempuan bernama Cut Ambalika dengan ligat segera mengoordinasikan para ibu di daerahnya untuk menyalurkan berbagai bantuan seperti nasi bungkus dan pakaian bekas. Ketika para mahasiswa berdemo menuntut reformasi, ia juga menjadi ibu yang ada di sisi mereka dan memberikan berbagai bantuan dalam keterbatasannya.
Dialah Cut Ambalika. Seperti membayangkan sosok Cut Nyak Dien di masa lalu yang senantiasa setia bersama masyarakatnya, saya kerap bertemu Cut Ambalika di berbagai daerah yang terkena bencana dan tempat-tempat pengungsian. ia menjadi relawan dari Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU).
Keadaan akan menjadi wajar bila ia seorang yang berharta dan sehat. Tetapi tidak demikian dengan diri perempuan tegar itu. ia menikah dengan seorang mualaf, memiliki 4 orang anak dengan kehidupan ekonomi yang sulit. Sementara kondisi kesehatannya juga tak terlalu fit.
"Mengapa, Cut" Mengapa dalam kesulitan Cut selalu siap menolong orang lain""
Ia tersenyum dan dengan rendah hati menjawab, "Banyak sekali orang yang memerlukan bantuan. Kewajiban saya adalah menolong mereka sekuat-kuatnya. Bukankah hidup hanya sekali, Saudaraku""
Sarnpai sekarang, ia tetap Cut Ambalika yang selalu tersenyum menghadapi segala, yang membuka kedua tangannya lebar, me-rangkul mereka yang kesusahan. Ya, meski kehidupan ekonominya sendiri sangat sulit, meski dokter memvonisnya menderita penyakit yang sangat ditakuti para wanita: kanker rahim!
Mata saya selalu basah bila mengingat Cut Ambalika dan membandingkan kiprahnya dengan apa yang saya lakukan selama ini. Ah, kau benar, saudaraku tercinta. Hidup memang hanya sekali dan kau tak ingin sedetik pun melewatinya tanpa perjuangan. Subhanallah.
-Helvy Tiana Rosa, Herlini Amran-
Sebuah Amanah, Sebuah Vonis
Sejak pertama mengenal Rias Nurdiana, saya tahu bahwa muslimah yang kini aktif di DPC PKS Kecamatan Banyumanik itu memiliki penyakit yang cukup parah. Ia sering pingsan, masuk rumah sakit, check-up secara rutin dan harus terapi obat selama bertahun-tahun. Namun, di luar itu, ia selalu tampil dengan tegar, aktif (bahkan sangat aktif) dalam dakwah, dan terkenal sebagai muslimah yang pintar melucu. Hanya saja, dia selalu menyembunyikan penyakit apa yang sebenarnya ia derita. Sampai kini, saya bahkan belum tahu.
Suatu hari, majelis syura rohani Islam di F.MIPA Undip (salah satunya saya) memilih ia untuk memegang amanah sebagai ketua Annisa yang dalam struktur organisasi bersifat otonom. FMIPA Undip saat itu terkenal sebagai pesantrennya Undip, dengan begitu kegiatan rohisnya juga sangat banyak.
Ketika kami memberitahukan keputusan itu, tiba-tiba ia terdiam, lalu menangis. "Bukan saya menolak, tetapi saya takut sebelum akhir kepengurusan, nyawa saya terlebih dulu dipanggil Allah. Kata dokter, penyakit saya sulit sembuhnya."
Kami tertegun. Belum sempat berkomentar, ia kembali bersuara. "Tetapi karena amanah ini telah diberikan, saya akan mencoba."
Ia pun mengucapkan dengan mantap, bahwa meskipun ia diuji dengan penyakit yang telah bertahun-tahun diderita itu, ia akan tetap bersemangat. Ia yakin ba
hwa Allah akan memberinya energi yang melimpah sehingga ia mampu memikul amanah dakwah yang diberikan padanya itu.
Ia akhirnya berhasil menjalani amanah itu dengan sangat baik. Sepak terjangnya mengagumkan meski harus jatuh bangun melawan penyakitnya. Sebenarnya kami tidak tega dan menyuruhnya untuk lebih banyak beristirahat. Namun ia menolak.
Kebersamaan saya dengannya akhirnya harus berakhir ketika saya pindah ke kota Solo. Saya tidak lagi dengan rutin mengikuti perkembangannya. Hingga suatu saat, saya mendapat sebuah email darinya.
"Mbak, saya divonis dokter: sembuh!"
Dan saya hanya bisa meneteskan air mata.
-Afifah Afra Amatullah- Dan Rasulullah Menuju Padanya
Sosok berwajah cahaya itu berjalan perlahan. Wajahnya bulat, bening, teduh dengan mata bersinar seakan menampilkan gemintang. Gemintang dambaan umat sepanjang jaman. Ya, Rasulullah, salawat dan salam tercurah padamu, ya thala'al badru.
Hanya rasa tak percaya berkecamuk di pikiranku, mungkin juga pikiran orang-orang di sekelilingku saat diumumkan bahwa pertemuan tersebut akan dihadiri Rasulullah. Benarkah" Lalu kudengar senandung zikir di sekitarku. Terus tak putus putus.
Sosok itu terus berjalan dengan postur tegap, senyum tak henti menghiasi wa-jah langitnya. Semua orang di sekeliling, juga aku, berusaha menggapai sinar ma-tanya. Berusaha menyalami beliau. Namun Rasulullah terus berjalan seakan hanya menuju satu tujuan. Semua mata mengikuti nabi akhir jaman itu. Siapakah yang dituju Rasul tercinta" Siapakah orang beruntung itu" Siapakah"
Kemudian Rasul berhenti di depan orang itu, tersenyum dengan mata penuh cinta, menyalami dan menepuk bahunya. Semua yang ada kembali mendengungkan dzikir. Penuh syukur dan takjub.
Lalu aku pun tersentak! Tanganku bergetar ketika dinihari itu aku terbangun dari tidur dan mengingat mimpi yang baru saja aku alami. Kubangunkan suamiku dan kuceritakan mimpi itu. Suamiku menangis terharu. Ia memelukku, kemudian kami berdua sujud syukur dan shalat malam.
Jujur kuakui, aku bukan ahli ibadah, yang dapat tenggelam bermunajat dalam khusyu. Aku masih harus banyak didorong dan dimotivasi baik oleh teman-teman maupun suami untuk meningkatkan amalan-amalan sunnah. Pun ketika siang hari sebelum aku bermimpi itu, aku berpuasa ayamul bidh, sebuah program menghidupkan ibadah sunnah dalam keluargaku.
Ah, mimpi itu.. Rasa tak percaya sesaat memenuhi relung hatiku. Tetapi kebahagiaan sejuk merembesi dadaku. Benarkah" Rasanya tak pantas aku melihat senyum Rasulullah dalam mimpi tersebut. Rasanya tak pantas aku bisa melihat sosok al-Amin itu, meski hanya dalam mimpi. Bukankah hanya mereka yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi yang mendapat rezeki semulia ini" Seperti Zainab al-Ghazali, seorang aktifis wanita pergerakan Islam di Mesir yang tertangkap dan dipenjarakan rezim Gamal Abdul Naser karena berdakwah. Beliau adalah pejuang Islam yang telah mempersembahkan dirinya untuk Islam. Pada suatu malam dalam penjara yang dingin beliau bermimpi berjumpa Rasulullah Saw.
Aku" Belum ada yang bisa kupersembahkan untuk Islam. Hidupku masih disibuki dengan urusan keduniaan dan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Sungguh aku tak sanggup menceritakan mimpi ini. Tetapi aku yakin akan kebaikan Allah, dan senantiasa berharap semoga Allah berkenan menerima amalku yang masih sedikit agar mampu bangkit dan terus memperbaiki diri.
Sedangkan orang yang disalami Rasulullah dalam mimpi itu.... Siapakah dia"
Persentuhanku dengan orang itu hanya beberapa kali saja. Aku lebih banyak mendengar dari orang lain mengenai kebaikan-kebaikan beliau. Seorang ustadz
yang ramah dan jenaka, memiliki integritas yang baik, dan sering kali membuat orang menangis saat mendengar nasehatnya.
Satu hal yang juga selalu diingat banyak orang adalah kebiasaan beliau ber-sedekah setiap hari. Tak ada hari dilewati beliau tanpa berdakwah di jalan-Nya. Sampai kemudian kanker hati mulai menggerogoti tubuhnya. Terus menggerogoti, hingga beliau harus menjalani beberapa kali operasi. Namun, seperti yang kudengar dari orang-orang, kesabaran selalu menghiasi hari-hari beliau meski sakit mendera.
Bahkan sedekah terus beliau lakukan meski sedang sakit.


Bukan Di Negeri Dongeng Karya Helvy Tiana Rosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurang lebih dua minggu setelah mimpi itu aku mendengar kabar beliau wafat. Dari kabar itu pula aku mendengar bahwa begitu banyak pelayat yang datang ke rumah beliau. Bahkan salat jenazah pun sampai dilakukan beberapa tahap karena masjid tak mampu menampung mereka yang ingin menyalatkan beliau. Ah, kemudian aku sadar. Allahu a'lam. Mimpiku itu mungkin perantara bahwa Rasullullah mencintai sosok itu. Dan bahwa Allah memang lebih sayang pada hamba-Nya yang terbaik, dan mengambil kembali beliau ke sisiNya. Ya, beliau seorang kader Partai Keadilan. Pada kepengurusan pertama Partai Keadilan beliau berada di DPP, Departemen Kaderisasi.
Beliaulah, yang sebelum ruh lepas dari raga, memberikan tiga wasiat bagi orang di sekelilingnya: tingkatkan hubungan silaturahmi, konsisten di jalan lurus, dan pergauli serta perbaiki masyarakat agar menjadi lebih baik. Beliau yang ada dalam mimpiku, yang disalami serta dirangkul oleh Rasulullah itu adalah Ustadz Ahmad Madani.
-Rahmadiyanti Rusdi, seperti diceritakan Dewi Fitri Lestari-
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
tamat Penyamaran Raden Sanjaya 3 Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Tiga Naga Sakti 20
^