Pencarian

Bumi Cinta 1

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 1


ADIKARYA NOVELIS NO.1 INDONESIA
HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY BUMI CINTA Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
1. Tiba di Moskwa Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu
terus turun perlahan lalu menempel di aspal, re-
rumputan, tanah, atap -atap gedung dan menye -
puh kota Moskwa menjadi serba putih. Kota
katedral itu seolah diselimuti jubah ihram orang-
orang suci. Dalam suasana serba putih, Moskwa
seolah memamerkan keindahan sihirnya di mu-
sim dingin. Jalan- jalan yang putih. Katedral-katedral dan
bangunan berbentuk kastil yang disepuh salju.
Pucuk-pucuk cemara araukaria yang bertahtakan
butir-butir putih. Taman-taman yang menjelma
hamparan permadani serba putih. Air mancur
yang membeku menciptakan keindahan ukiran
kristal. Dan, pesona jelita muka nonik-nonik
muda Rusia dalam balutan rapat palto merah
muda tebal berkelas. Semua berpadu menjadi si-
hir kota Moskwa di musim dingin. Sihir musim
dingin kota Moskwa adalah sihir impian surgawi
dalam negeri-negeri dongeng.
Matahari samasekali tidak ada tanda-tanda me -
nampakkan sinarnya. Pohon-pohon bereozka di
kanan-kiri jalan sesekali bergoyang dihempas
angin. Pohon-pohort bereozka itu nampak begitu
pasrah kepada takdir Tuhan seru sekalian alam.
Ia meranggas diam dalam dingin yang
mencekam. Daun-daunnya telah tanggal satu per
satu sejak musim dingin mulai memakai jubah
putihnya. Angin dingin terus berhembus perlahan
dari kutub utara, menambah suhu udara semakin
dingin membekukan apa saja.
Salju beterbangan dan melayang turun
perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan ke -
cil di pinggir bandara Sheremetyevo menggigil
kedinginan. Suhu minus empat belas derajat
celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan
pakaian tebal serapat-rapatnya. Rumah-rumah
dan gedung -gedung menutup pintu dan
jendelanya rapat-rapat. Tak boleh ada sedikit pun
angin dingin yang masuk. Sebab, membiarkan
angin dingin leluasa memasuki rumah dan
gedung, kadangkala bisa mengundang aroma
jahat kematian. Alat-alat pemanas ruangan
dinyalakan sepanjang siang dan malam, demi
menghangatkan badan. Salju yang turun perlahan dan hawa dingin
yang menggigit tulang, samasekali tidak
menghalangi arus lalu lalang orang-orang di
bandara Sheremetyevo. Tiga buah taksi datang
menurunkan penumpang. Dengan tergesa-gesa
setelah membayar ongkos dan menurunkan koper
bawaan, para penumpang itu masuk ke dalam
bandara. Dua shuttle bus "marshrutka" nampak
menaikkan penumpang yang baru keluar dari
bandara. Para sopir carteran berebutan pen-
umpang. Seorang lelaki setengah baya, yang
punggungnya sedikit bongkok berwajah khas
Rusia, dengan hidung mancung sedikit bengkok
ke kiri memandangi orang-orang yang keluar
bandara dengan wajah dingin. Tangan kanannya
memainkan kunci mobil, sementara tangan kir-
inya ia masukkan ke saku palto-nya (Mantel
musim dingin yang sangat tebal) yang tebal dan
kusam. Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu terus me-
mainkan kunci mobilnya. Kedua kakinya ia
gerak-gerakkan mengusir dingin. Tiba-tiba kedua
kakinya berhenti. Mulutnya menyungging seny-
um. Kedua matanya begitu berbinar menatap dua
anak muda berwajah asing; wajah Asia Tenggara.
Ia sangat hafal wajah-wajah bangsa-bangsa yang
keluar dari bandara Sheremetyevo.
"Yas, kamu membuat aku pangkling. Sudah
sembilan tahun kita tidak bertemu. Kamu
sekarang jauh lebih gagah dan lebih ganteng dari
Ayyas saat SMP dulu." Kata pemuda berkaca
mata. "Ah yang benar aja Dev"" Sahut Ayyas.
"Sungguh. Dulu kamu itu paling kecil dan pal-
ing krempeng di kelas. Sekarang jadi tinggi dan
lumayan gagah. Tidak menyangka. Apa karena
kamu sering makan daging unta waktu kuliah di
Arab sana"" "Ah Devid...Devid, caramu bicara kok tidak
berubah, segar dan masih suka guyon. Lha kamu
sendiri ini tambah gemuk dan putih. Apa karena
suka makan daging Beruang Putih selama kuliah
di sini"" "Beruangnya Mbahmu!"
"Sudah Dev, cepetan yuk, jangan bercanda
terus. Masya Allah, dingin sekali Dev. Ini aku
sudah rangkap empat lho. Plus jaket tebal yang
kubeli di New Delhi. Wuih ternyata masih tem-
bus. Dev, ayo cepatlah, mana taksi atau busnya!
Bisa mati mem beku aku kalau agak lama di sini."
Ayyas menggigil dalam jaket hijau tuanya. Uap
hangat keluar dari mulutnya saat bicara. Ia ken-
cangkan kuncian sedekap kedua tangan di
dadanya. "Kita bisa naik bus, metro, atau marshrutka.
Tapi kita naik taksi carteran saja ya. Biar tidak
repot angkat barang." Jawab Devid yang nampak
lebih tenang dan berpengalaman, sambil mem-
benarkan letak kaca matanya. Ia mengenakan
palto hitam dan perlengkapan musim dingin sem-
purna layaknya orang Rusia pada umumnya.
"Boleh lah. Yang penting cepat sampai aparte-
men. Uh, dinginnya masya AllahV
Laki-laki berhidung bengkok ke kiri
mendekat. Dengan muka dingin ia menyapa dua
pemuda itu dengan bahasa Rusia.
"Dabro dentl Vi otkuda"" (Selamat siang!
Kalian dari mana") Devid geleng-geleng kepala dan memasang
muka tidak mengerti. "Dev, tidak usah main-mainlah. Jawablah, ma-
sak kamu tidak bisa bahasa Rusia" Dingin nih!"
Protes pemuda berjaket hijau tua.
"Tenang Yas. Aku mau pura-pura tidak bisa
bahasa Rusia. Supaya engkau tahu, bagaimana si
Rusia tua ini memperlakukan kita. Dia pasti men-
gira kita berdua ini benar-benar makanan em-
puknya. Katanya kau mau meneliti sejarah Rusia,
ya biar tahu sekalian watak asli masyarakatnya."
"Oke, tapi cepat ya, aku sudah mau beku
rasanya!" "Kholodno" (dingin) Sapa lelaki Rusia lagi.
" What" What is kholodno"" Jawab Devid
pura-pura tidak tahu. "Kholodno, kholodno... " Kata lelaki Rusia
sambil mendekap dadanya dan menggigilkan tu-
buhnya. Ia lalu menunjuk-nunjuk pemuda ber-
jaket hijau tua lantas berakting menggigil.
Kemudian ia menawarkan untuk naik
taksinya. Lalu terjadilah dialog dengan bahasa
isyarat antara lelaki Rusia berhidung mencong ke
kiri itu dengan pemuda berkaca mata. Pemuda
berkaca mata lalu mengambil pena dan secarik
kertas dari saku paltonya. Ia menulis alamat
apartemennya, dan menyerahkannya pada lelaki
itu. Meskipun ditulis dengan huruf latin dan tidak
dalam huruf Cyrilic Rusia, lelaki itu bisa
membaca. "Mmm, Panfilovsky, Smolenskaya... " Gumam
lelaki Rusia itu seraya mengambil pena dari saku
paltonya. Ia menulis angka dua ratus dolar di atas
secarik kertas itu dan memperlihatkan pada
pemuda berkaca mata. Melihat angka yang
tertulis seketika pemuda itu menggelengkan ke -
pala tidak setuju. "Gila orang Rusia ini Yas! Dia sangat yakin
kita bisa dibodohin dan dibantainya dengan
mudah. Masa sekali jalan dari Sheremetyevo ke
Smolenskaya dua ratus dolar. Padahal kalau naik
bis paling 25 rubel. Terlalu jauh bedanya."
"Ya sudah Dev, kita naik bis saja, yang
murah." "Tidak Yas. Kalau naik bis belum sampai
apartemen nanti kau sudah membeku duluan.
Bisnya itu berhenti di mana saja, berkali-kali.
Bisa dua jam kita di jalan. Apalagi kalau nanti
macet." "Terus bagaimana" Aduh semakin dingin
Dev." "Aku tawar sekali ya. Jika dia tidak mau kita
cari taksi lain." Devid minta persetujuan, Ayyas
mengangguk. Devid lalu menulis angka empat puluh dolar
dan ia tunjukkan pada lelaki berhidung bengkok
ke kiri itu. Lelaki itu menggeleng. Ia lalu menulis
angka delapan puluh. Pemuda agak gemuk
berkaca mata itu menggeleng seraya
melangkahkan kaki ke arah kerumunan sopir tak-
si yang lain . Segera lelaki Rusia itu meraih
pundaknya dan menulis angka lima puluh dolar.
Devid kembali menggeleng dan mengibarkan
tangan lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu.
Tangannya meraih tas koper dan menyeretnya
dengan langkah pasti. Ayyas bergegas mengikuti.
Baru lima langkah, Rusia berhidung bengkok ke
kiri itu mengejar dan kembali memegang
pundaknya. Dengan suara agak parau ia
mengatakan, "Oke!"
Lelaki Rusia setengah baya itu dengan wajah
dingin tanpa senyum memberi isyarat dengan
tangan kanannya agar Devid dan Ayyas men-
gikutinya. Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu
berjalan sambil memain-mainkan kunci mo -
bilnya. Ia samasekali tidak memedulikan Devid
dan Ayyas yang sedang menyeret koper dan
barang-barang bawaan. Devid dan Ayyas men-
gikuti di belakangnya. Lelaki Rusia itu membuka
mobilnya. Ayyas kaget dan tertegun sesaat.
Mobil merah tua yang sangat kusam.
"Dev, mobilnya rongsokan begitu!" Protes
Ayyas. "Kita naik saja. Kalau kau tidak na
ik taksi yang seperti ini belum benar-benar mengenal
Moskwa!" Jawab Devid mantap.
"Kalau mesinnya ngadat di jalan gimana""
"Ya berdoa saja semoga tidak."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu membuka
bagasi dan memberi isyarat agar Devid dan Ayy-
as memasukkan koper dan barang-barang
bawaannya ke bagasi. Ia sendiri hanya melihat,
tak ada basa-basi membantu menaikkan koper.
Setelah semua barang masuk, ia membanting tu-
tup bagasinya dengan keras. Ia langsung masuk
dan menyalakan mesin. Beberapa kali dicoba
tidak nyala, kali yang ke empat barulah menyala.
Mobil kusam merah tua itu meraung-raung.
Devid bergegas masuk. Ayyas agak ragu, tapi
Devid menarik lengannya untuk segera masuk.
Mereka duduk di kursi belakang. Mobil merah
tua buatan Jepang itu bergerak meninggalkan
bandara Sheremetyevo. Salju tipis masih turun,
tapi jarang- jarang. Sopir tua itu mengarahkan
mobil merah tuanya melewati Leningradskoye
Shosse. Memasuki jembatan jalan tol MKAD,
2x2x1 Moskovsky Koltso Automomobilny
Daroga, salju sudah tidak turun lagi. Tapi di
mana-mana pemandangan putih terhampar.
"Dablo Pozhalovath v Moskve!" Seru sopir
Rusia setengah baya itu setengah bergumam
dengan wa jah tetap dingin memandang ke depan.
"Apa katanya"" Tanya Ayyas pada Devid.
"Lho katanya kamu sudah bisa bahasa Rusia."
"Cuma dikit-dikit. Terus si Rusia tua ini
ngomongnya kayak bergumam sih, jadi tidak
jelas." "Ya dia cuma mengatakan selamat datang di
Rusia." "O." Mobil kusam merah tua itu terus melaju. Ke-
cepatannya tidak bisa lebih dari enam puluh kilo-
meter per jam. Ayyas semakin mengencangkan
kuncian sedekap kedua tangannya di dada. Mobil


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua itu tidak dilengkapi AC panas ataupun dingin.
Di kanan kiri jalan sesekali nampak pohon
bereozka. Gedung -gedung berarsitektur modern.
Juga bangunan-bangunan pabrik. Sopir setengah
baya itu samasekali diam. Ekspresinya dingin.
Hanya kepalanya yang nampak sesekali
menggeleng ke kiri dan ke kanan seolah men-
giringi suara mobil tua yang sesekali seperti
meraung dan terbatuk-batuk. Anehnya mobil itu
tetap berjalan dengan pasti.
Memasuki Leningradsky Prospek yang lebih
lebar, sopir setengah baya itu mencoba menam-
bah kecepatan mobilnya. Namun kecepatannya
tidak bisa bertambah lagi.
"Dasar mobil tua!" Umpat sopir berhidung
bengkok ke kiri itu. "Jadi setelah lulus SMP itu kamu ke pesantren
ya Yas"" Tanya Devid. Iasamasekali tidak meng -
gubris umpatan sopir Rusia itu.
"Iya. Ke Pasuruan. Kelas tiga Aliyah aku
pindah ke Pesantren Kajoran Magelang yang dia-
suh Kiai Lukman Hakim."
"Terus, begitu lulus pesantren kamu langsung
ke Saudi"" "Tidak."
"Lho katanya kuliah di Madinah."
"Iya setelah lulus pesantren aku sempat kuliah
di IAIN Jakarta, sambil memasukkan berkas ke
Madinah. Coba-coba saja. E, ternyata diterima.
Jadi ya sempat di Jakarta satu tahun."
"Jadi, mudah dong kuliah di Madinah""
"Sebenarnya tidak juga."
"Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa kuliah
di Madinah" Aku samasekali tidak menyangka,
kamu bandit kecil waktu SMP itu bisa kuliah di
Madinah!" "Ah iya ya, aku dulu waktu SMP sempat diju-
luki bandit kecil sama Bu Tyas, guru bahasa Ing-
gris kita. Gara-garanya ketika Bu Tyas
menuliskan soal bahasa Inggris di papan tulis aku
jepret punggungnya pakai karet. Dia benar-benar
marah dan menjuluki aku bandit kecil." Ayyas
mengenang masa-masa ia nakal dulu.
"Tak habis pikir, aku kok dulu bisa kurang
ajar begitu ya." Lanjut Ayyas sambil geleng -
geleng kepala. "Saat itu aku juga kaget lho Yas. Lha wong
aku saja yang kurasa lebih bandel darimu tidak
sampai jepret guru. Kamu yang kecil, kerempeng
kok tiba-tiba melakukan hal gila seperti itu. Aku
sampai bertanya-tanya, setan apa sih yang mer-
asuki kamu waktu itu""
"Kamu masih ingat banget kejadian itu Dev""
"Oh itu kenangan yang mungkin tidak akan
terlupakan seumur hidup Yas. Kelakukanmu itu
sangat kelewatan. Bu Tyas marah besar. Lalu
telingamu dijewernya sampai merah. Setelah itu
beliau tidak mau mengajar satu bulan lamanya.
Dan kamu dihukum tidak boleh masuk sekolah
dua minggu. Kamu lalu minta maaf pada Bu Ty-
as dengan wajah pura-pura memelas. Dan Bu
Tyas mau memaafkan asal kamu berdi
ri di depan kelas selama Bu Tyas mengajar dalam satu
semester." "Dan aku mematuhi syarat Bu Tyas. Kejadian
penjepretan itu di awal semester. Jadi hampir satu
semester selama pelajaran bahasa Inggris aku
berdiri bagai patung di depan kelas dengan satu
kaki. Sampai beberapa teman perempuan kita
menjuluki aku 'si bandit kecil berkaki satu'."
"Yang aku heran, kamu saat itu kok kelihatan
begitu tenang menjalani hukuman itu. Kamu juga
tidak lari pulang ke rumah pada saat pelajaran
terakhir. Kamu begitu setia menunggu Bu Tyas
masuk kelas, lalu kamu dengan tanpa disuruh
langsung ke depan kelas dan berdiri dengan kaki
satu, lalu diam bagai patung sampai kelas bubar.
Apa sih yang membuatmu melakukan kejahilan
gila itu." "Ya benar Dev. Itu kejahilan. Aku sangat
jahiliyyah saat itu. Tahu nggak kenapa aku jepret
punggung Bu Tyas""
"Kenapa"" "Saat itu Bu Tyas aku anggap perempuan pal-
ing cantik yang pernah kulihat. Kelemahanku se-
jak aku mengerti wajah cantik, aku sangat rapuh
berhadapan dengan wajah cantik. Entah setan apa
yang merasukiku saat itu, aku ingin sekali meli-
hat Bu Tyas marah. Aku ingin tahu kalau dia
benar-benar marah apa masih cantik. Akhirnya
tanpa banyak berpikir aku jepretlah punggung Bu
Tyas dengan karet sekuat tenaga. Pasti beliau ke -
sakitan, sebab aku kan duduk di bangku depan.
Dia marah besar. Saat marah wajahnya ternyata,
menurutku sangat mengerikan. Sejak itu aku
tidak lagi melihat Bu Tyas sebagai perempuan
yang paling cantik. Dan aku bersabar menerima
hukuman itu sebab aku insaf bahwa aku harus
mempertanggungjawabkan kesalahanku. Dan aku
harus mendapatkan maaf dari Bu Tyas, sebab
saat itu kita kan kelas tiga. Aku takut tidak bisa
ikut ujian akhir." "O begitu, baru sekarang aku tahu Yas. Wah,
kalau begitu kau semestinya tidak ke Moskwa
Yas"" "Memang kenapa""
"Nonik-nonik Rusia ini terkenal cantik-cantik.
Nanti kaubuktikan saja. Apa kau masih rapuh
melihat wanita cantik""
"Entahlah." "Wah bahaya ini! Jangan salahkan aku kalau
kamu nanti jadi bandit di Moskwa ini, tidak lagi
sekadar bandit kecil. Tapi benar-benar bandit.
Yang akan kauhadapi godaan perempuan
Moskwa, Yas. Godaan perempuan di Jawa tidak-
lah bisa dibandingkan dengan dahsyatnya godaan
perempuan sini. "Aku di sini kan niatnya bukan untuk hura-
hura, apalagi cari perempuan Dev."
"Bukan begitu. Terserah apa tujuanmu. Mau
belajar, mau penelitian, atau apa saja, godaan
perempuan Rusia akan terus menguntitmu.
Bahkan dalam mimpi -mimpimu. Kalau tidak per-
caya, ya nanti buktikan saja!"
Ayyas menghela nafas. Ia merasa yang
dikatakan temannya itu benar. Teman-temannya
dari Rusia saat kuliah di Madinah beberapa kali
pernah menyampaikan hal yang sama. Sebagian
mereka ada yang memperlihatkan foto keluarga
mereka. Kaum perempuannya jarang yang tidak
bermuka jelita. Ia memejamkan mata dan berdoa,
"Audzubillahi min fitnatin nisaa" (Aku ber-
lindung kepada Allah dari fitnah perempuan)
Mobil merah tua terus berjalan melewati
kawasan Belorusskaya, lalu merambah aspal ber-
salju Tveskaya-Yamkaya Ulista. Dan beberapa
saat kemudian mulai memasuki pusat kota
Moskwa yang ditandai dengan jalan lingkar
dalam, yang disebut koltso (Koltso artinya cin-
cin. Itu karena jalan lingkar dalam Moskwa sep -
erti cincin yang melingkari jantung kota
Moskwa. Di dalam lingkaran koltso itulah istana
Kremlin dan bangunan paling penting dan paling
bersejarah bagi Rusia berada)
Mobil tua itu kini melaju sedang di koltso
Sadovaya. Ayyas melihat berbagai merek mobil
yang ia rasa aneh, dan belum pernah ia temui di
Indonesia, Saudi maupun India. Ada mobil ber-
warna hitam bermerek Volda. Ada yang
bermerek Gazel, ada Lada, ada Sputnik Zhiguli
dan ada Moskvich. Ia rasa itu adalah mobil-mobil
buatan Rusia. Tiba-tiba mobil merah tua yang
mereka naiki disalib oleh mobil mewah, Roll-
Royce. Tepat di belakang Roll-Royce mobil
Porsche biru langit mengikuti.
"Kalau kamu setelah lulus SMP ke mana Dev"
Terus bagaimana ceritanya sampai kuliah di
sini"" "Ceritanya panjang dan berliku. Intinya, lulus
SMP aku langsung ke Bandung. Karena ayah
pindah tugas di Bandung. Aku melanjutkan seko-
lah di Bandung. Se lesai SMA aku kuliah di Singapura. Di Singapura aku kenalan dengan ma-
hasiswi dari Rusia, namanya Eva Telyantikova.
Usianya lebih tua dariku, tapi sangat cantik.
Secantik para tsarina klasik Rusia. Aku dan Eva
sangat dekat, kami hidup serumah cara Barat.
Kau nanti akan tahu sendiri apa yang aku mak-
sud. Kami sama-sama lulus. Ketika Eva pulang
ke Rusia, ke St. Petersburg, aku ikuti dia. Aku
tinggalkan kuliahku di Singapura dan pindah ke
St. Petersburg sampai sekarang."
"Jadi kau sudah menikah dengan perempuan
Rusia"" Devid menggelengkan kepala.
"Terus!"" Tanya Ayyas agak kaget.
"Ya awalnya kami hidup satu rumah. Sewa
apartemen. Biasa saja, layaknya orang -orang
Eropa hidup. Sekarang kami berpisah. Eva hidup
dengan lelaki dari Polandia. Dan aku sementara
sendiri. Kau mungkin kaget mendengar cara
hidupku, Yas. Ya sorry saja, aku sudah lama
tidak hidup dengan cara Timur. Aku sangat
menikmati hidup bebas cara Rusia, cara Eropa.
Kalau kau benar-benar menghayati hidup di
Rusia, nanti kau akan rasakan enaknya hidup be-
bas tanpa banyak aturan kayak di Jawa atau
Saudi." Ayyas menarik nafas panjang. Ia hanya ber-
istighfar di dalam hati. Ia tidak mungkin men-
ceramahi Devid, sebab Devid bukan orang
bodoh. Devid dulu di SMP termasuk siswa
cerdas, selalu masuk tiga besar. Bahkan dirinya
saja, ia rasakan saat SMP dulu masih kalah
dengan Devid. Nilai raportnya biasa-biasa saja. Ia
hanya berdoa, semoga Devid suatu saat nanti
diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang
tahu bagaimana caranya memberi petunjuk
kepada hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
"Oh ya Yas, kau belum cerita bagaimana bisa
kuliah di Madinah" Bagaimana si bandit kecil itu
bisa kuliah di Madinah"!"
"Awalnya kan, ada seorang ulama dari Saudi
yang dibawa oleh dosenku ke Grabag, Magelang.
Dosenku itu aslinya Grabag, Magelang. Orangtu-
anya punya pesantren kecil di sana. Lha aku di-
minta menemani. Alhamdulillah, selama di pes -
antren kan setiap pakai bahasa Arab, jadi aku
cukup lancar berkomunikasi dengan ulama itu.
Suatu pagi, aku dipanggil sama ulama itu, diajak
ngobrol. Ia bicara banyak hal, ini dan itu, dalam
bahasa Arab. Aku jawab santai saja. Di akhir
ngobrol itu dia memberi formulir untuk aku isi.
Ternyata formulir pendaftaran Universitas Islam
Madinah. Katanya, dia akan coba memas -
ukkannya ke Madinah. Ya berarti kan coba-coba.
Ya aku isi saja, aku coba. Terus formulir dibawa
sama ulama itu. Dan tahun berikutnya aku dapat
panggilan. Aku diterima. Ternyata ulama itu se-
orang dosen di sana. Begitu ceritanya."
Mobil itu terus melaju pelan ke selatan. Jalan
raya yang sangat luas dengan enam belas jalur itu
penuh dengan mobil. Ada dua empat jalur yang
macet. Tapi jalur mobil tua kusam yang
dikendarai sopir Rusia berhidung bengkok ke kiri
itu tidak macet total, tetap berjalan, hanya lam-
bat. Dengan pasti mobil tua itu memotong Novy
Arbat Ulitsa dan terus melaju ke selatan. Di
kanan dan kiri jalan Ayyas menyaksikan gedung-
gedung kota Moskwa yang eksotik. Arsitektur
klasik sesekali berdampingan dengan arsitektur
modern. Ayyas menyaksikan gedung yang sangat
megah dengan beberapa sentuhan pahatan yang
indah. Mobil itu belok kanan. Lalu di hadapan
Ayyas, di sebelah kanan ada gedung men julang
tinggi berarsitektur metropolis.
"Kita ada di Golden Ring. Depan sebelah
kanan itu Hotel Belgrad. Yang itu Golden Ring
Hotel. Di belakang kita ada gedung Deplunya
Rusia. Kawasan Golden Ring ini nempel dengan
Smolenskaya. Ini salah satu daerah penting dan
strategis di Moskwa. Aku dapat apartemen sangat
murah untukmu di daerah ini."
Sejurus kemudian mobil tua itu sampai di
dekat halte bis, dan berhenti. Mesinnya tetap
menyala. Nampak beberapa petugas pembersih
salju bekerja di pinggir jalan. Udara terasa dingin
menggigit.

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah sampai, ayo turun!" Kata lelaki Rusia
berhidung bengkok ke kiri itu dengan wajah
dingin. "Belum. Apartemen kami di Panfilovsky
Pereulok. depan White House Residence." Jawab
Devid tegas dalam bahasa Rusia.
"Kamu bisa bahasa Rusia rupanya." Lelaki
Rusia itu kaget. "lya memangnya kenapa""
"Kenapa tadi pura-pura tidak bisa."
"Lagi malas berbahasa Rusia saja."
"Panfilovsky""
"Ya." "Berarti aku harus ke utara lagi"" "Ya."
"Tambah dua puluh dolar!"
"Tidak mau. Itu kan tengah-tengah
Smolenskaya." "lya seharusnya kamu bilang. Jadi aku tidak
perlu sampai Golden Ring. Aku bisa belok di
Protochny Pereulok terus ke Panvilovsky."
"Salah sendiri tidak tanya."
"Tambah sepuluh dolar!"
"Tidak!" "Kalau begitu kalian turun di sini!"
"Baik, kami turun. Tapi kami tidak akan bayar
kamu!" "Aku bunuh kamu!"
"Silakan kalau berani, itu ada polisi. Kalau
kau macam-macam aku laporkan kau pada
polisi!" "Brengsek! Kau anak setan!"
"Kau yang anak setan!"
Sambil terus mengomel dan mengumpat sopir
tua itu lalu mengundurkan mobilnya pelan-pelan.
Kemudian masuk ke Smolenskaya Pereulok, dan melaju pelan ke
utara. Di perempatan Nikholoshcepovsky Pereu-
lok, Ayyas melihat tiga gadis Rusia yang berjalan
bersenda gurau di trotoar.
"Gadis itu cantik ya, Yas"" Gumam Devid
sambil menunjuk ke arah gadis Rusia yang ber-
diri mau masuk mobil BMW SUV X5 hitam.
Karena muka mobil itu berlawanan arah dengan
taksi yang mereka tumpangi, maka wajah gadis
Rusia itu nampak jelas. Dibungkus palto biru
muda, syal putih dan penutup kepala biru tua,
muka gadis Rusia itu tetap nampak putih bersih.
Ia lalu berdiri tegak. Ia menenteng alat musik dan
mencangklongkan ke punggungnya.
"Wuah menurutku cantik banget Yas. Itu keli-
hatannya gadis aristokrat, yang ia bawa itu keli-
hatannya biola!" Tambah Devid.
"Nggak tahu ah." Jawab Ayyas. Sekilas ia
tetap melihat wajah gadis Rusia yang ditunjuk
Devid. "Tidak usah munafik Yas. Itu jauh lebih cantik
dari Bu Tyas yang kaukagumi waktu SMP dulu.
Bahkan aku berani bertaruh, dia berani bertand-
ing dengan Kate Winslet."
Ada sedikit dalam hati Ayyas mengakui gadis
Rusia yang ia lihat sekilas itu memang jelita.
Tapi gadis Rusia yang ia temui di pesawat, yang
dudifk tepat di sampingnya jauh lebih memesona.
Ia belum pernah melihat perempuan secantik itu.
Ia bagai bidadari turun dari surga. Sayang ia
samasekali tidak tahu siapa gadis itu. Sepatah
kata pun ia tidak berani menyapa gadis itu. Dan
gadis itu, dalam keanggunan dan pesonanya be-
gitu tenang asyik bekerja menulis dengan
laptopnya yang tipis selama di pesawat, tawaran
makan dari pramugari pun ia tolak. Hanya ses -
ekali gadis itu minta minum.
Inna lillah, Ayyas mengucap dalam hati, ia
merasa belum sampai ke Moskwa pun ia sudah
terjerat oleh fitnah kecantikan nonik muda Rusia.
Ayyas tiba-tiba begitu merasa berdosa pada Ain-
aJ Muna, gadis manis dari Kaliwungu Kendal
yang sudah dipinangnya dan ia telah berjanji un-
tuk setia padanya. "Hei kok diam saja Yas. Iyakan, berani ber-
tanding dengan Kate Winslet!"
"Sudahlah Dev. Ngomong yang lain saja, ng-
gak usah ngomong perempuan melulu!" Tegas
Ayyas seraya mengusir perasaan yang tidak-tidak
dalam benaknya. "Lha mulai. Gaya memerintah dan mendikte
khas Arab mulai keluar!" Sindir Devid.
"Masih jauh Dev" Kakiku sepertinya sudah
beku." Ayyas mengalihkan pembicaraan. Ia mer-
asa tidak ada faidahnya meladeni sindiran teman
lamanya yang bernada mengolok-olok itu.
"Kalau beku ya diamputasi Yas."
"Aku serius ini Dev!"
"Cuma bercanda. Tapi benar lho Yas, jangan
sampai ada anggota tubuh kamu yang benar-ben-
ar beku. Kalau beku bisa diamputasi. Tahun lalu
ada orang Filipina, teman aku, di puncak musim
dingin dia tidak pakai penutup kepala yang
lengkap. Daun telinganya biru beku. Ya daun
telinga itu jadi kayak es yang beku dan ia
terpaksa kehilangan daun telinganya."
"Aduh gimana nih, aku benar-benar
kedinginan." "Tenang, lima menit lagi sampai."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu keli-
hatannya sepintas memerhatikan tangan Devid
yang menunjuk gadis Rusia. Ia langsung berkata
kepada Devid dan Ayyas dalam bahasa Rusia,
"Kalian mau gadis Rusia" Aku bisa mencarik-
an yang lebih cantik dari gadis yang kautunjuk
itu. Sungguh!" "Tidak terima kasih. Saya bisa cari sendiri!"
Jawab Devid juga dalam bahasa Rusia.
Ayyas hanya diam. Ia hanya mengerti sebagi-
an saja dari isi pembicaraan itu. Yang jelas ia
tahu, sopir tua itu menawarkan gadis cantik untuk
mereka berdua. Seketika ia merasa, ujian yang
akan dihadapinya di Moskwa tidaklah ringan. Selama ini ia bisa lurus -lurus saja karena berada
di lingkungan yang lurus. Sekarang, di tengah
lingkungan yang sangat jauh dari keyakinan dan
norma yang dij unjungnya ia merasa akan me -
nemukan ujian iman yang sesungguhnya.
Satu-satunya orang yang ia kenal dengan baik
di Moskwa adalah Devid. Teman SMP dulu. Dan
Devid pun ia rasakan sudah tidak lagi sebagai
Devid layaknya orang Jawa yang penuh menjaga
etika ketimuran. Devid sudah tidak lagi melihat
aturan agama dalam pergaulannya dengan lawan
jenis. Ia merasa, Devid susah untuk diandalkan
sebagai teman yang akan mampu menjaga iman
dan kebersihan jiwanya. Ia hanya berharap, Allah
akan memberikan belas kasih padanya, sehingga
ia selamat selama hidup di negeri komunis yang
mulai kapitalis ini. "Kau tahu Yas, sopir tua ini menawari kita
cewek Rusia"" Kata Devid pada Ayyas.
"Ya aku tahu." "Kau mau""
"Gila kau Dev! Itu zina! Haram!"
"He he he! Baguslah kau masih kukuh me -
megang keyakinanmu. Aku ingin tahu seberapa
kukuh imanmu di sini. Kalau aku, sorry saja, aku
sudah tidak mau dibelenggu aturan agama apa
pun. He he he." Ejek Devid sambil terus
terkekeh-kekeh. "Ya, kau akan dibelenggu oleh nafsumu
sendiri! Dalam sejarahnya, orang yang dibeleng -
gu nafsunya tidak ada yang bahagia!"
"Ah jangan mengkhotbah, Yas!"
"Kalau aku yang ngomong dianggap mengk-
hotbah, kalau kau yang ngomong tidak mengk-
hotbah. Ah, ini namanya diskriminasi dan intimi -
dasi. Aku merdeka dong menyampaikan
pendapatku." "Okay, okay, Pak Ustadz Muhammad Ayyas,"
sahut Devid setengah mengejek setengah ber-
gurau. Ayyas diam saja tidak menanggapinya.
Tiba-tiba sopir Rusia itu menghentikan
mobilnya. "Kita sudah sampai! Ini kan apartemennya"
Ini tepat di depan The White House Residence."
Tanya sopir berhidung bengkok ke kiri itu. Devid
melihat ke sekeliling sebentar. Ia melihat ke kiri
dan kanannya. "Ya, benar. Di sini tempatnya."
"Kalau begitu, cepat bayar dan cepat turun!"
Hardik sopir itu. Ayyas langsung tahu diri. Ia mengeluarkan
uang seratus dolar dari dompetnya. Ia berikan ke -
pada Devid untuk membayarkannya.
"Jangan seratus dolar Yas. Kau punya uang
pas"" Gumam Devid.
"Waduh uang pas tidak ada Dev. Ini aja, biar
dia mengembalikan sisanya."
"Dia pasti akan pura-pura tidak punya kem-
balian. Kalau tidak percaya langsung saja berikan
pada dia." Ayyas mengulurkan seratus dolar pada sopir
tua itu. Sang sopir langsung memasukkan seratus
dolar itu ke sakunya, lalu tenang memandang ke
depan. "Benarkan" Dia pura-pura tidak tahu kalau
uangnya seratus dolar. Kalau kau minta kem-
baliannya dia akan mengatakan tidak punya."
Kata Devid sambil berkomentar.
"Hei, kembaliannya mana"" Ayyas menepuk
pundak sopir Rusia itu. "Kembalian apa"" si Rusia malah balik
bertanya. "Yang aku berikan itu seratus dolar. Ongkos
taksi empat puluh dolar. Jadi kau harus mengem-
balikan enam puluh dolar!" Kata Ayyas agak
keras. "Aku tidak punya kembalian. Aku hanya pun-
ya sepuluh dolar! Nih ambil, dan cepat turun!"
Sopir setengah baya itu mengulurkan sepuluh
dolar. "Orang ini memang edan Dev!" Sengit Ayyas.
Devid malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah aku bilang ndak percaya, dia akan licik
begitu, Yas! Ini Rusia Yas, bukan Madinah,
hahaha... " "Terus bagaimana ini Dev""
"Mau kau ikhlaskan lima puluh dolarmu""
"Ya enggaklah. Aku ini mahasiswa Dev,
bukan bos!" "Ya udah, serahkan padaku!" Kata Devid
mantap. Ia lalu mengambil sepuluh dolar dari
tangan si sopir Rusia itu dan menepuk pung-
gungnya seraya berkata, "Hei kembalikan yang
seratus dolar! Aku ada uang pas!"
"Sudahlah! Kalian cepat turun! Kan harga
awalnya dua ratus dolar, ini sembilan puluh
dolar. Ini sudah pas!"
"Baik, aku catat nomor mobilmu dan besok
tunggu saja, teman-temanku dari Orekhovskaya
Bratva akan menagihnya padamu!" Hardik Devid
sambil membuka pintu. "Ayyas, ayo turun!"
Katanya pada Ayyas. Devid bergegas keluar dari
mobil. Ayyas mengikutinya. Mereka menuju ba-
gasi untuk menurunkan koper dan barang
bawaan. Sopir berhidung bengkok ke kiri itu turun dari
mobilnya. Ia mendekati Devid sambil mengu-
lurkan uang seratus dolarnya.
"Benar kau punya te man Orekhovskaya Bratva!"" Tanya lelaki setengah baya itu lunak.
"Buktikan saja besok!" Jawab Devid dengan
nada mengancam dengan samasekali tidak
memerhatikan wajah Rusia tua itu.
"Hmm, ini aku kembalikan sekarang, tidak
usah merepotkan teman-temanmu dari Orek-
hovskaya Bratva itu. Mana yang sepuluh dolar
dan empat puluh dolar"" Sopir Rusia itu mengu-
lurkan seratus dolar. "Lha begitu lebih baik," Jawab Devid, ia lalu
mengulurkan pecahan sepuluh dolar dan dua lem-
bar dua puluh dolar. "Okay, masalah kita sampai di sini ya. Sekali
lagi jangan kausertakan teman-temanmu dari
Orekhovskaya Bratva ya."
"Okay." Sopir tua berhidung bengkok ke kiri dengan
wajah dingin kembali ke mobilnya. Devid mem-
beri isyarat barang-barang sudah diturunkan
semua dan sopir itu boleh pergi. Sedetik kemudi-


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

an taksi kusam merah tua itu meninggalkan dua
pemuda dari Indonesia itu.
"Orekhovskaya Bratva, itu apa Dev" Keli-
hatannya si Rusia itu takut sekali." Tanya Ayyas.
"Itu nama gang. Orekhovskaya Bratva itu
artinya persaudaraan Orekhovskaya."
"Kau anggota gang itu Dev""
"Ya tidaklah. Sekadar menggertak sopir Rusia
resek itu aja. Ternyata manjur!"
"Kalau gang itu tahu namanya kamu bawa-
bawa bagaimana""
"Ya nggak tahu. Mungkin mereka malah
bangga. Namanya saja ditakuti!"
"Wah kamu bermain-main api Dev."
"Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan."
Sambil menyeret koper, Devid lalu mengajak
Ayyas segera memasuki gedung apartemen tua
yang dibangun zaman pemerintahan Stalin.
Apartemen tua yang tetap nampak gagah itu ter-
diri atas lima lantai saja. Ia Berada di kawasan
sangat strategis di pusat kota Moskwa. Ia ber-
hadapan dengan apartemen mewah yang biasa
disebut The White House Residence. Dua blok
tepat di sebelah utaranya berdiri megah aparte-
men kelas menengah atas The Sunset Residence.
Hanya perlu waktu lima menit berjalan kaki
untuk sampai stasiun metro Smolenskaya. Tak
jauh di sebelah selatannya adalah kawasan sibuk
Golden Ring. Kremlin dan Lapangan Merah sim-
bol kota Moskwa yang legendaris itu bisa di-
jangkau dengan jalan kaki. Devid menjelaskan
panjang lebar letak strategis apartemen yang
mereka masuki kepada Ayyas.
"Cuma sayangnya satu, Yas." Kata Devid.
"Apa itu"" Sahut Ayyas.
"Ya layaknya apartemen zaman Stalin, aparte-
men ini tidak ada liftnya. Apartemen seperti ini
dulu memang dibangun besar-besar, di pelbagai
penjuru Moskwa untuk para pegawai pemerintah
dan anggota Central Comite Partai Komunis. 6 Ini
salah satu yang masih lestari." Jelas Devid.
"Yang kita tuju lantai berapa Dev""
"Lantai tiga." "Alhamdulillah, tidak lantai lima."
"Kita angkat kopermu ini dulu bersama, baru
nanti kita ambil barang-barangmu yang lain."
"Baik." Ketika mereka hendak mengangkat koper,
sekonyong-konyong seorang gadis Rusia me-
makai palto merah hati turun dari tangga dengan
agak tergesa-gesa. Gadis itu tersenyum dan
menyapa Devid dengan bahasa Rusia,
"Hai Devid, ini temanmu yang akan tinggal di
atas ya"" "Hai Yelena. Iya, ini temanku. Kenalkan
namanya Ayyas. Lengkapnya Muhammad
Ayyas:" Gadis Rusia itu mengulurkan tangan kanannya
mengajak berjabat tangan.
"Sorry, tanganku kaku kedinginan. E, e, sen-
ang kenalan dengan Anda." Jawab Ayyas agak
tergagap dalam bahasa Rusia yang terbata-bata.
Sekilas Ayyas menatap mata birunya yang
menawan. "O ya wajar itu, kau pasti baru pertama kali ke
sini. Dabro pozhalovath v Moskve"! (Selamat
datang di Moskwa) Tukas Yelena.
"Iya. Kau benar. Terima kasih." Jawab Ayyas
"Mau ke mana kau Yelena" Tidak menyambut
temanku ini dulu"" Ujar Devid.
"Maaf, aku harus ke Tverskaya, ada acara.
Jam delapan malam aku pulang. Aku pergi dulu
ya." Jawab Yelena dan langsung bergegas keluar
gedung. Devid mengikuti langkah Yelena sampai
hilang dari pandangan. "Cantik ya Yas" Ada darah Finland dalam dir-
inya. Kau beruntung. Kau akan tinggal satu
apartemen dengannya. Gunakan kesempatan sebaik-baiknya." Gum-
am Devid sambil tersenyum menggoda Ayyas.
"Apa Dev!" Kau jangan main-main denganku!
Aku masih waras Dev! Aku tidak mungkin bisa
hidup bebas seperti kamu!" Muka Ayyas merah
padam. Ia merasa Devid sengaja memper-
mainkannya dengan menyewakan temp
at tinggal satu apartemen dengan gadis bule yang katanya
berdarah Finland. "Tenang, Sobat. Jangan marah dulu. Kita
bawa dulu barangmu ke atas. Nanti aku jelaskan
semuanya. Aku samasekali tidak bermaksud
menjerumuskan kamu. Aku berusaha mencarikan
tempat yang menurutku saat ini terbaik untukmu.
Dengarkan dulu semua penjelasanku, baru kau
boleh marah kalau kau memang ingin marah.
Okay"" "Baik!" Jawab Ayyas dengan muka masih
merah padam. "Yang rileks sedikitlah Bos. Aku ini temanmu,
percayalah padaku!" 2. Ujian Iman Dua pemuda itu dengan sedikit bersusah payah
terus berusaha membawa koper berat hitam ke
lantai tiga. Akhirnya mereka sampai di depan
pintu yang mereka tuju. Dengan nafas masih
terengah-engah pemuda agak gemuk berkaca
mata itu menjelaskan, "Dalam bahasa Rusia, apartemen ini disebut
kwartira. Dan gedung bertingkat di mana
kwartira ini berada mereka namakan dom. Tinggi
dom biasanya antara lima hingga enam belas
lantai. Dom yang dibangun di masa pemerintahan
Stalin biasanya memang tanpa lift. Hanya tangga
panjang dan landai, seperti dom ini. Kamu letih
ya Yas"" "Sudah tidak karuan lagi rasanya tubuhku ini
Dev. Rasanya mau ambruk."
"Kau siap -siap saja untuk terkapar beberapa
hari. Biasanya yang datang dari Indonesia pas
musim dingin pasti ambruk dulu. Karena tubuh
tidak bisa langsung menyesuaikan perbedaan
suhu yang sangat ekstrim. Meskipun kau datang
tidak dari Indonesia tapi dari India, ya sama saja.
Kau perlu istirahat tiga sampai lima hari lah. Lha
aku saja yang sudah bertahun-tahun di sini setiap
masuk musim dingin mesti ambruk dua-tiga hari.
Tapi tenang, tempat yang akan kautinggali ini
sangat nyaman. Ayo kita lihat!"
Devid mengambil kunci dari saku celananya.
Ia membuka pintu nomor 303. Begitu pintu
dibuka nampak ruangan foyer kecil yang terasa
lebih hangat dari udara luar. Ada tempat untuk
menggantungkan palto. Devid melepas paltonya
dan menggantungkannya di situ. Ayyas masuk
dan menutup pintu. Ia mengikuti Devid, melepas
jaket tebal hijau tuanya dan menggantungkannya
di samping palto Devid. Setelah melepas sepatu dan meletakkan pada
tempatnya, dengan tenang Devid menarik koper
berat itu sambil membuka pintu kaca berbingkai
kayu birk karelia. Ayyas berdiri mematung ses -
aat. Ia melihat tempat sepatu. Sepatu-sepatu itu
tertata dengan rapi. Sepatu dan sandal berhak
tinggi dengan pelbagai model. Semuanya milik
kaum hawa. Tak ada sepatu untuk lelaki, kecuali
sepatunya Devid. Kepala Ayyas berdenyut-
denyut. "Kenapa Yas, ayo masuk." Ucapan Devid
membuatnya terhenyak. "Barang-barang yang di bawah"" Tanya
Ayyas. "Masuk dulu, sebentar. Aku ingin menjelaskan
satu hal kepadamu. Agar kamu tidak marah
padaku." Ayyas melepas sepatunya dan melangkah
masuk. Ruangan itu terasa hangat. Samasekali
tidak dingin. Nampak pemanas ruangan di bawah
jendela dekat sofa panjang cokelat muda. Ayyas
mengedarkan pandangannya. Ruang tamu itu
menyatu dengan dapur yang rapi, yang sekaligus
menjadi bar kecil. Di tembok dapur itu, gelas -
gelas kaca berjajar rapi. Ada beberapa botol ber-
isi aneka jenis vodka. Ada vodka belt, vodka
bloody mary, the screwdriver, the white russian
vodka, vodka tonic, dan vodka martini. Ada meja
tinggi dari marmer putih memanjang. Meja itu
sekaligus menjadi pemisah dapur dan kamar
tamu yang sekaligus menjadi ruang santai. Di de-
pan meja marmer itu ada empat kursi kayu
bundar tinggi. Lantai ruang tamu itu sepenuhnya dilapisi par-
ket kayu mengkilat. Hanya di bagian sofa saja
yang dialasi dengan karpet tebal berwarna coklat
muda, hampir sama dengan warna sofanya. Di
dinding dekat jendela ada bufet kotak memanjang
dan di atasnya ada layar televisi flat 29 inc.
Ada tiga pintu kamar. Pintu pertama dekat
dapur. Dan dua lainnya pintu dekat sofa pan jang.
Ruang tamu itu cukup lega. Jarak lantai dengan
langit-langit ruangan cukup tinggi. Lebih tiga
meter. Di tengah langit-langit sebuah lampu
kristal swarovski berukuran sedang menggantung
anggun. Sepanjang garis sudut langit-langit
nampak ukiran-ukiran mozaik yang menawan.
Nampak sekali ruang tamu apartemen itu dide -
sain menggabungkan unsur klasik Romawi orto-
doks da n Rusia modern. Devid telah memasukkan koper Ayyas ke
dalam kamar dekat sofa panjang. Devid
menghempaskan badannya ke sofa dan menghela
nafas panjang. Ayyas duduk di sampingnya.
"Ayyas, sebelumnya aku minta maaf kalau
tempat ini tidak cocok untukmu. Aku tahu kamu
dari pesantren dan lulusan Saudi. Aku sudah ber-
usaha mencari yang paling aman dan nyaman un-
tukmu. Kau datang di saat-saat Moskwa sedang
puncak musim dingin. Kau juga memberitahu
aku sangat mendadak. Jujur aku hanya punya
waktu tiga hari mencari apartemen yang cocok
untukmu. Kau minta yang letaknya strategis,
kalau bisa di pusat kota yang aksesnya mudah ke
mana-mana. Aku sudah lihat beberapa tempat.
Yang letaknya strategis dengan harga miring
tidak ada. Apartemen ini yang sesuai dengan ang-
garan yang kauajukan. Aku menemukan be-
berapa tempat di pinggir kota, tapi aku agak ragu
keamanannya. "Dari anggaran yang kauajukan, kau tidak bisa
menyewa apartemen utuh sendiri. Yang
memungkinkan ya menggabung dengan orang
lain, yang penting satu kamar sendiri. Aku sudah
kontak teman-temanku yang dari Indonesia dan
Asia Tenggara di sini. Mereka tidak ada tempat
kosong yang bisa kautempati.
"Sebenarnya ada satu orang Indonesia men-
awarkan kau tinggal satu kamar dengannya. Dia
ingin sedikit pengiritan. Tapi aku sudah sangat
yakin kau pasti menolaknya. Karena yang men-
awarkan itu perempuan yang kerja di night club
di kota ini. "Kau mungkin bertanya kenapa aku tidak
mencarikan yang tinggal dengan orang asing
yang laki -laki saja" Begini Sobat. Ini negeri as -
ing. Ketika kau mau tinggal satu rumah dengan
orang lain di negeri asing, ada beberapa pilihan.
"Pertama, dan ini yang paling aman dan nya-
man, adalah tinggal dengan orang yang sangat
kamu kenal dengan baik. Biasanya adalah orang
satu negara denganmu. Sudah aku katakan, kali
ini tidak ada tempat teman-teman Indonesia yang
kau bisa bergabung dengannya. Teman-teman
dari Asia Tenggara yang lain juga. Itu setahuku,
sependek usahaku dalam tiga hari ini. Aku tidak
mungkin meletakkan kamu di tempat perempuan
yang kerja di club malam itu kan.
"Kedua, tinggal satu rumah dengan orang as -
ing, yang satu jenis kelamin denganniu. Kau
lelaki, memang idealnya ya tinggal dengan lelaki.
Aku tahu kau banyak memegang norma dan
ajaran. Masalahnya dari beberapa tempat yang
aku datangi, aku merasa kau tidak akan aman dan
nyaman tinggal di sana. Aman jiwamu, juga
barang-barangmu. Aku tidak menemukan tempat
yang aku merasa tenang kau aman. Aku ini,
bolehlah kausebut bajingan. Hidup bebas. Maka
aku paham di mana orang seperti kamu akan
aman. Kalau ada yang aku rasa aman, aku pasti
akan memilihkan kamu satu rumah dengan laki-
laki, bukan perempuan.

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketiga, tinggal satu rumah dengan orang as -
ing, yang beda jenis kelamin. Kau tinggal restor-
an. Ini pun tentu tidak asal tinggal. Harus dipilih
yang benar-benar aman dan nyaman. Ketika aku
mendapatkan apartemen ini, aku rasa kamu
cocok tinggal di sini. Aku sudah bicara panjang
lebar dengan yang punya rumah. Dua gadis bule
penghuni rumah ini sudah dua tahun tinggal di
sini dan mereka tidak pernah bikin masalah. Aku
sudah kenalan dengan Yelena tadi itu. Dia tinggal
di kamar yang dekat dapur itu. Dia ramah. Jadi
kau aman di sini. Begitu Sobat."
Jelas Devid panjang lebar. Ayyas mendesah
panjang. Ia belum merasa puas dengan penjelas -
an teman lamanya itu. Masih ada yang sangat
mengganggu nuraninya. Tinggal satu apartemen
dengan dua gadis bule adalah hal yang belum
pernah ternalar dalam pikirannya. Terbersit pun
tidak. "Mungkin dengan tinggal bersama perempuan
kau merasa aku aman. Ya, mungkin tubuh dan
hartaku aman. Tapi bagaimana dengan imanku
Dev" Justru imanku sangat terancam. Jika tinggal
dengan bule yang laki-laki aku malah akan mer-
asa aman!" Kata Ayyas tegas.
"He he he, kamu merasa tinggal bersama bule
laki-laki aman" Bodoh! Di antara bule itu ada
yang gay. Apalagi gay yang ekstrim. Bayangkan
kalau kau ternyata tinggal bersama empat bule
gay. Kau mau jadi apa, heh" Nanti kau kira aku
yang menjerumuskan kamu!" Sengit Devid.
Ayyas diam tercengang. Ia tidak sampai ber-
pikir sejauh itu. "Dan kau merasa kalau tinggal bersama bule
lelaki, lalu kau akan selamat dari godaan bule
perempuan" Bodoh! Kau kira teman bulemu itu
tidak berani membawa teman perempuannya ke
kamarnya" Imanmu malah lebih terancam! Justru
setahuku, kalau bule perempuan masih berpikir
membawa pasangannya ke kamarnya." Lanjut
Devid sengit. "Agaknya aku datang ke tempat yang salah."
Lirih Ayyas. "Terserah kamu. Kamu boleh menyalahkan di-
rimu. Asal jangan menyalahkan aku. Tapi cobal-
ah jangan pesimis dulu. Lihat apartemen ini.
Jarang ada apartemen seperti ini. Indah dan
teratur. Dan kau harus tahu. Biasanya apartemen
yang dibuat zaman Stalin cuma punya satu kamar
mandi. Karena memang untuk keluarga, jadi tak
ada masalah. Tapi lihatlah apartemen ini. Pemi -
liknya telah merenovasinya dengan sangat baik.
Karena tujuannya untuk disewakan per kamar.
Setiap kamar di apartemen ini punya kamar
mandi pribadi. Yang digunakan bersama hanya
ruang tamu dan dapur. Maka anggap saja kau
seperti di hotel. Privasimu sangat terjaga di
kamarmu. Dan ruang tamu ini anggap saja seperti
lobby hotel. Dapur dan bar itu anggap saja seperti
restorannya. Si Yelena itu akan mandi di kamar
mandinya sendiri, temannya yang aku tidak tahu
namanya juga sama akan mandi di kamarnya
sendiri, kecuali kalau kau mengajak mereka
mandi di kamarmu. Jadi menurutku kau aman
dan nyaman di sini. Lain ceritanya kalau kamar
mandinya untuk bersama, wah itu gawat untuk
manusia moralis seperti kamu. Jadi kalau di tem-
pat dengan privasi terjaga seperti ini, kau sampai
tergoda oleh Yelena atau temannya, ya itu karena
diri kamu sendiri. Sebab pada dasarnya jika kau
ada di kamarmu, terus kaukunci rapat-rapat, kau
aman. Jelas"" Ayyas mengangguk dan menarik nafas,
mukanya berubah lebih cerah. Penjelasan Devid
itu membuat Ayyas merasa agak lega. Ia lalu
bangkit dan memeriksa kamarnya. Kamar itu
bernuansa biru. Indah, sejuk dan menyegarkan
mata. Terlihat rapi dan cukup leluasa untuk aktiv-
itasnya. Lantainya terbungkus karpet biru tua.
Ada kamar mandi yang bersih di dalamnya.
Lantai dan dindingnya dilapisi keramik putih
gading. Meskipun sempit dan kecil, tapi sudah
sangat cukup baginya. Di depan pintu kamar
mandi ada wastafel mungil yang cantik. Ia putar
krannya, airnya keluar perlahan. Ia periksa semua
lampu, semua berfungsi dan menyala. Pemanas
di bawah jendela juga baik keadaannya. Pemanas
itu menyala sehingga kamar terasa hangat. Ada
meja dan kursi yang bisa ia gunakan untuk
menulis dan membaca. Lemari berukuran sedang
cukup untuk menyimpan pakaian dan barang-
barangnya. Ayyas membuka tirai jendela. Kaca jendelan-
ya yang tebal itu mengembun. Meskipun
demikian ia masih bisa menangkap pemandangan
di luar jendela. Meskipun agak buram dan ter-
halang gedung, ia masih bisa sedikit melihat sun-
gai Moskwa. Jika cuaca cerah, ia rasa sepenggal
pemandangan sungai Moskwa di sela dua gedung
di depan jendela itu akan terlihat lebih jelas dan
indah. "Baiklah kawan, aku mau turun dulu untuk
membelikan pengganjal perut untukmu. Kalau
kau merasa ada yang perlu nitip sesuatu boleh""
Devid masuk kamar sambil menyeret koper
hitam yang nampak berat. "Aku ikut saja!"
"Tidak usah. Kau istirahat saja. Kau harus
segera memulihkan tenagamu. Kautulis saja apa
yang kauperlukan. Pakai ini!" Devid mengu-
lurkan pena dan secuil kertas dari sakunya.
"Baiklah." Ayyas menerima pena dan kertas
lalu menulis apa-apa yang ia perlukan dalam dua
tiga hari ini. Ia menulis sambil bergumam, "Kartu
seluler, air mineral, teh, gula, susu bubuk, madu,
biskuit, gelas, piring, sendok, sabun mandi, de-
terjen. Sudah." Lalu menyerahkan pada Devid.
"Itu saja""
"Oh ya kalau ada tambah jahe untuk
menghangatkan tubuh dan obat flu atau obat
yang menurutmu cocok untukku yang kaget kar-
ena perbedaan musim ya."
"Sip. Aku akan coba cari. Satu jam lagi aku
datang. Kau istirahat saja, atau menata kamarmu.
Itu di almari ada selimut yang cukup untuk
menghangatkan tubuhmu. Aku pergi dulu Yas.
Oh ya mana paspor dan immigration card-mu
sekalian aku uruskan local registration-nya."
Ayyas mengambil paspor dan mengulurkan
kepada David. "Immigration card-nya. ter
selip di dalam paspor. Oh ya Dev, arah selatan mana ya""
"Kalau kau menghadap lemari berarti kau
menghadap selatan." "Terima kasih Dev."
Devid bergegas keluar. Ayyas menutup pintu
kamarnya, menyalakan lampu kamar mandi, dan
mengambil air wudhu. Ia langsung shalat
menghadap selatan. Ia merasa bahwa ujian
imannya di Moskwa ini akan berat. Ia akan ting-
gal di Moskwa beberapa bulan, tidak sehari dua
hari. Dan dua tetangganya adalah perempuan
muda Rusia yang ia rasa tidak akan sama cara
hidupnya dengan kebanyakan perempuan di
dunia Timur. Ia kini berada di jantung kota
Moskwa yang terkenal sebagai salah satu surga
kehidupan bebas di dunia. Seluruh dunia maklum
bahwa pengakses situs porno terbesar dunia ada-
lah Rusia, dan Moskwa ibu kotanya.
Ayyas merasa dirinya akan sangat lemah,
imannya pasti akan runtuh di Moskwa jika tidak
ditolong dan dijaga oleh Allah Ta'ala. Ia tahu se-
berapa kuat keteguhan imannya. Perang melawan
musuh di medan p erang mungkin ia akan tetap
teguh sampai tubuh gugur bersimbah darah.
Imannya tidak akan ciut dan runtuh oleh kilatan
pedang yang mahatajam. Ia samasekali tidak
gentar. Tapi di hadapan fitnah kecantikan perem-
puan sejelita gadis -gadis Moskwa seperti Yelena,
gadis pembawa biola dan gadis yang bersamanya
di pesawat, ia merasa imannya perlahan bisa
lumer bagai garam disiram air.
Ia merasa tidak punya benteng dan senjata
apapun untuk menjaga imannya, kecuali berdoa
memohon kepada Allah, agar iman yang ada di
dalam hatinya tidak tercabut dalam kondisi apa
pun. Hanya Aliahlah yang bisa menjaga imannya.
Hanya Aliahlah yang bisa menyelamatkannya
dari segala fitnah dan tipu daya setan. Tak ada
yang lebih dahsyat dari rukuk dan sujud kepada
Allah Yang Maha Kuasa. Dan mohonlah
pertolongan Allah dengan sabar dan shalat. Dan
shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang -orang
yang khusyuk. Ayyas tegak dalam shalatnya. Rasa takut akan
fitnah perempuan menjalar ke seluruh syaraf dan
aliran darahnya. Hati dan pikirannya menyatu
dalam bujuk haru kepada Allah. Dalam sujud ia
berdoa, "Ya Allah rahmatilah hamba-Mu ini dengan
meninggalkan maksiat selamanya, selama
hamba-Mu yang lemah ini Engkau beri hidup di
dunia ini. Duhai Dzat yang membolak-balikkan
hati, teguhkanlah hati hamba-Mu ini memegang
kuat agama-Mu, teguhkanlah hati hamba-Mu ini
untuk taat kepada-Mu dan meninggalkan segala
larangan-Mu. Amin." Selesai salam, Ayyas langsung berdoa seba-
gaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.,
"Ya Allah hamba minta kepada-Mu kebaikan
daerah ini, kebaikan penghuninya dan kebaikan
yang ada di dalamnya. Dan hamba berlindung
kepada-Mu ya Allah dari buruknya daerah ini,
dari buruknya penghuni daerah ini dan segala ke-
burukan yang ada di dalamnya. Amin."
Selesai berdoa Ayyas kembali tegak mendirik-
an shalat Zuhur dan Ashar, jamak dan qashar.
Setelah itu Ayyas menghempaskan dirinya di atas
kasur. Tak ada hitungan menit ia sudah terjatuh
dalam tidur yang pulas, la samasekali tidak tahu
ketika Devid datang membawa makanan dan
barang-barang yang dipesannya. Devid terseny-
um melihat sahabatnya itu tertidur begitu lelap.
Devid mengambil selimut di almari lalu menye -
limutkan ke tubuh Ayyas. Ayyas hanya
menggeliat pelan. Devid mengeluarkan barang-barang dan
makanan yang ia beli. Di antaranya membeli
enam potong monti, daging giling yang dibalut
tepung dan disiram mayonnese, dan dua wadah
kentang goreng. Ia menyantap tiga potong monti
dan sebagian kentang goreng itu. Sebagian sen-
gaja ia sisakan untuk Ayyas. Setelah itu ia
menulis pesan di secarik kertas untuk Ayyas.
Cukup panjang. Ia lipat kertas itu, ia selipkan
pada paspor Ayyas, lalu meletakkan paspor itu di
atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur
Ayyas. Devid lalu keluar meninggalkan apartemen itu
sambil menenggak sebotol Vodka yang baru di-
belinya. Ia harus menembus dinginnya Moskwa
menuju stasiun pusat. Ia mengejar waktu untuk
segera sampai St. Petersburg secepatnya, sebab
besok ada ujian. Sebenarnya ia tidak enak men-
inggalkan Ayyas sendirian menghadapi hari-hari
pertamanya di Moskwa. Meskipun ia sudah banyak memberikan petun-
juk waktu chatting dengan Ayya
s sebelum Ayyas terbang ke Moskwa, tetapi Moskwa tetaplah as -
ing bagi Ayyas. Tapi ia ada ujian yang tidak bisa
ia tinggalkan. Hal yang membuatnya agak tenang
adalah Ayyas bukan anak kecil. Bukan juga or-
ang yang tidak berpengalaman. Ayyas sudah per-
nah hidup di negara orang, pasti bisa mengatasi
setiap masalah yang menimpanya. Ia yakin Ayy-
as mampu. Ia sudah memberitahu Ayyas cara
pergi ke KBRI jika memerlukan bantuan dari
KBRI. Devid berjalan menembus salju yang
halus turun perlahan, beberapa kali ia menenggak
Vodka mengusir dingin. *** 3. Yelena dan Linor Yelena duduk termangu di sofa kamar presid-
ent suite Hotel Tverskaya Inn. Ia telah menyele -
saikan pekerjaannya dengan sangat profesional.
Kliennya menyampaikan rasa puasnya. Untuk
kerja empat jam itu ia mendapat enam ratus


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dolar, bersih. Ia sudah mandi dan rapi. Ia melihat
jam tangannya. Sudah saatnya ia pulang. Kli-
ennya sedang makan malam. Dan bukan tu-
gasnya untuk menemani makan malam. Kesep -
akatannya; ia hanya menemani sampai jam tujuh
malam. Yelena bangkit dan berdiri di depan cermin
besar. Ia pandangi tubuhnya dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Ia memandangi wajahnya
sendiri dalam-dalam. Mukanya yang halus dan
manis, dagu yang menawan, muka lonjong dan
bulat yang memesona, dua mata dengan tatapan
yang menyihir. Perlahan kedua matanya berkaca-
kaca, lalu airmatanya meleleh, "Tidak ada yang
tidak mengakui kecantikanmu Yelena. Tapi apa
sebenarnya yang kaucari" Untuk apa kau hidup
sebenarnya" Bahagiakah kau dengan cara hidup
seperti ini" Bahagiakah kau dengan ribuan dolar
yang kau dapat dari para hidung belang itu"
Inikah hidup terhormat di era modern yang
kaudambakan" Bahagiakah kau Yelena" Baha-
giakah kau Yelena""
Ia mengatakan itu dengan setengah berbisik
pada bayangan dirinya sendiri di cermin. Sebent-
ar kemudian tangisnya pecah. Ia merasa telah
mengkhianati dirinya sendiri. Ia merasa tidak
mendapatkan kebahagiaan apa pun dari kemewa-
han yang ia dapat. Ia merasa setiap detik yang ia
lalui hanya menambah kering dan hampanya
jiwa. Ia merasa, setiap hari semakin bertambah ru-
sak bangunan jiwa dan batinnya. Raganya
memang nampak segar, penuh pesona. Ia masih
bisa menari balet dengan lincah. Bahkan banyak
yang memujinya awet muda, sehingga siapa pun
yang berjumpa pertama kali dengannya akan
mengiranya sebagai gadis muda yang baru saja
lulus dari sekolah menengah atas. Tetapi dialah
yang sesungguhnya paling tahu dirinya sendiri.
Dialah yang paling tahu apa yang terjadi pada
batin dan jiwanya. Ia bahkan merasa sudah tidak
lagi sebagai manusia yang sepenuhnya manusia.
Raganya memang cantik, la paham betul itu.
Namun jiwanya terus mengerang kesakitan. Ia
jauh lebih memahaminya. "Yelena, Yelena, apa
yang kaucari selama ini"" Ia terus bertanya-tanya
pada dirinya sendiri. Sudah tiga tahun ia merasa tidak menjadi
manusia. Sejak ia sampai di Moskwa dan bekerja
menjamu lelaki hidung belang, sebagaimana
yang baru saja dilakukannya dengan kliennya, ia
merasa telah hilang kehormatannya sebagai
manusia. Seringkali jiwanya menggugat. Hatinya
merintih dalam diam. Batinnya bahkan sudah
sangat kesakitan ingin berhenti. Akal sehatnya
ingin kembali hidup bersih, sebagai perempuan
bersih, seperti saat ia merasakan damai dan baha-
gia bersama keluarganya dulu.
Tapi begitu ia bertemu dengan teman-
temannya seprofesi, seperti Olga Nikolayenko,
Rossa De Bono, Valda Oshenkova, Mavra Ivan-
ovna, Kezina Parlova, Amy Lung dan lainnya,
akal sehatnya seolah hilang, lenyap ditelan bumi .
Saat berkumpul bersama teman-temannya ia mer-
asa bahwa pekerjaan ini tidak salah, bahkan
sangat nyaman, menyenangkan, sangat mudah,
dan sangat menghasilkan. Ratusan dolar gam-
pang didapat hanya dengan kerja beberapa jam
saja. Ada banyak perempuan Rusia yang sedang
antre untuk sukses bekerja seperti dirinya dan
teman-temannya. Namun mereka belum memper-
oleh kesempatan. Kalau sudah begitu, ia merasa
menjadi wanita paling beruntung di dunia; uang,
kecantikan, dan dikagumi banyak pelanggan.
Lebih dari itu, dengan manajemen yang baik
ia memiliki banyak kenalan laki-laki terpandang
dari pelbagai nega ra. Kliennya yang baru saja
bersamanya adalah anggota parlemen dari In-
donesia. Lelaki itu bahkan menawarinya kalau
mau ke Indonesia akan memperlakukannya
seumpama ratu atau tsarina dari Rusia. Bahkan,
kata kliennya itu, kalau ia ke Indonesia, dengan
hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia ia bisa
main film atau sinetron televisi. Betapa ia merasa
dihargai. Kalau ia tinggalkan profesi ini, apakah
ada jaminan ia akan mendapat pekerjaan yang le -
bih menguntungkan" Olga, temannya yang paling senior
mengatakan, dengan kecantikan yang dimi -
likinya, ia masih akan bisa duduk di jajaran
papan atas wanita paling dikagumi klien; paling
tidak empat tahun lagi. Jika sudah seperti itu,
gugatan batin dan jiwanya menguap seketika. Ia
merasa bahwa dirinya baik-baik saja, pekerjaan
yang dilakoninya wajar-wajar saja, tak ubahnya
dengan pekerjaan di bidang jasa lainnya.
"Apakah kau benar-benar bahagia Yelena,
dengan cara hidupmu seperti ini""
Ia masih di depan cermin berdialog dengan di-
rinya sendiri. Guratan rasa tertekan tergambar
pada wajahnya yang molek. "Tidak Yelena,
bodoh kalau kau mengatakan dirimu bahagia!
Bukan ini jalan yang kauinginkan sesungguhnya.
Kau harus jadi manusia yang dihargai sebagai
manusia yang memiliki jiwa dan kehormatan,
bukan sebagai onggokan daging yang diperjual -
belikan. Lalu apa bedanya dengan onggokan
daging babi yang dijual kiloan di pasar-pasar""
Setetes airmatanya jatuh. Hanya setetes.
Yelena kembali duduk termenung. Matanya
menatap kosong ke arah amplop berisi enam
ratus dolar yang diletakkan kliennya di atas meja
dekat jendela. Dua bulan lagi kontrak kerjanya
dengan agen yang menyalurkannya selesai. Olga
Nikolayenko sebagai manajer agen, sudah dua
kali 'memaksa' -nya agar memperpanjangan kon-
traknya. Ia belum bisa menjawab.
Jika tidak ia perpanjang, ia mau bekerja di
mana ia tidak tahu. Dan apa pula reaksi Olga
Nikolayenko padanya nanti, ia juga tidak tahu.
Bekerja di toko hanya cukup untuk makan, ia
tidak akan bisa bernafas di kota paling mahal di
dunia ini. Meneruskan kontrak berarti menyiksa
batinnya sendiri. Ia terus bertanya-tanya pada dir-
inya sendiri. Tiba-tiba ia teringat keluarganya. Andai ia
bisa kembali ke tengah-tengah damai dan tenter-
amnya keluarga seperti yang pernah ia rasakan
sebelumnya. Ah! Setiap kali mengingat keluarga,
harapan indah muncul, tapi rasa sakit hati tiada
terkira juga muncul bersamaan. Ia samasekali
tidak salah. Apa dosanya sampai ia harus ter-
buang dari keluarga dan harus hidup menang-
galkan harga dirinya sebagai manusia tiga tahun
ini, dan entah sampai kapan" Apa dosanya" Jika
Tuhan itu ada kenapa tidak menolongnya"
Kenapa membiarkannya dizalimi sedemikian
menyakitkan" Mana keadilan yang dijanjikan
oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran agama"
Karena itulah ia tidak lagi mengakui Tuhan. Ia
sependapat dengan Olga dan Rossa Nikolayenko
yang berpendapat, bahwa Tuhan hanyalah ilusi
belaka. Tuhan hanyalah angan-angan manusia
untuk menghibur diri ketika penderitaan dan rasa
sedih tiba. Sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Ia
hanya diada-adakan oleh orang yang kalah
menghadapi kerasnya kehidupan. Sebab manusia
memang tidak memerlukan Tuhan. Manusia lebih
memerlukan jalan keluar yang nyata dalam
menghadapi kehidupan, dibandingkan sekadar
berilusi adanya Tuhan yang akan membantu.
Ia merasa telah mengalami sendiri kebenaran
pendapat Olga, Rossa dan banyak manusia
lainnya yang sependapat dengan mereka berdua.
Saat ia sangat menderita; yaitu saat dicampakkan
dari keluarga, dicampakkan dengan cara yang
sangat membuatnya sakit hati sampai saat ini,
Tuhan diam saja. Ketika dia sampai sekarat men-
jadi gelandangan di puncak musim dingin
Moskwa, Tuhan juga tidak hadir
menyelamatkannya. Justru Olgalah yang mem-
bantunya, memberinya jalan keluar dan
pekerjaan, sehingga ia bisa bertahan hidup di
Moskwa sampai sekarang. Ia ingin menengok keluarganya. Seperti apa
wajah si kecil Omarov sekarang. Dia mungkin
sudah bisa menyanyi. Seperti apa suara tawanya.
Apakah kalau ia datang Omarov akan mengenal-
inya" Ia ingin memeluk Omarov. Ia ingin mera-
sakan bau badannya yang wangi bagai mawar di
musi m semi. Kerinduan pada buah hatinya itu
membuncah. Tapi dendam dan sakit hatinya seo-
lah menghalanginya. Dan ia tidak tahu harus ber-
buat apa. Sementara dari detik ke detik jiwa dan
batinnya ia rasakan seperti membusuk pelan-
pelan. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sms mas -
uk. Dari Olga Nikolayenako. Mengabarkan ada
klien istimewa dari Jepang.
"Kau sudah selesai kan" Ini ada ikan tuna dari
Jepang. Istimewa. Kurasa kau yang paling tepat
memasaknya. Bumbu dan resepmu pasti cocok
untuk ikan istimewa ini. Mau tidak" Kalau tidak
biar aku minta Mavra yang memasaknya. Segera
balas." Batin Yelena masih terasa perih. Ia melihat
jam tangannya. Ya, sudah saatnya pulang. Ia pun-
ya janji pada mahasiswa Indonesia bernama
Devid, untuk membantu temannya yang baru
datang. Ia telah menyanggupi meskipun tanpa ba-
yaran. Ia merasa harus beramal untuk sedikit
mengembalikan sifat kemanusiaannya. Ia takut
telah ditunggu. Kasihan mahasiswa Indonesia
yang baru datang itu. Kasihan kalau dia
kelaparan. Yelena pernah merasakan betapa tersiksanya
kelaparan di tengah musim dingin. Kasihan juga
kalau mahasiswa Indonesia itu sakit demam kar-
ena kaget pada perbedaan musim. Ia harus pu-
lang. Ia juga ingin berkenalan lebih dekat dengan
mahasiswa itu. Ia yakin ia bukan jenis lelaki
buaya seperti kliennya yang sedang keluar makan
malam. Dan ia tahu mahasiswa bukan orang yang
banyak uang, tujuannya ke Moskwa pun bukan
untuk senang-senang. Yelena bangkit. Ia mengenakan paltonya.
Memasukkan amplop ke dalam tasnya. Lalu
keluar dari kamar itu dan meninggalkan kuncinya
pada resepsionis. Dengan taksi Moskvick ia me -
luncur ke apartemennya di kawasan Panfilovsky.
Tanpa ragu sedikit pun ia balas sms Olga
Nikolayenko, dirinya tidak bisa memasak ikan
tuna dari Jepang yang katanya istimewa itu.
Di tengah jalan, ia sempatkan untuk mampir
ke toko makanan milik orang Uzbekistan. Ia pes -
an nasi plof dengan lauk jamur, bubur isi ikan
smelt, kue kentang. Masing-masing dua porsi dan
satu botol besar Coca Cola. Ia ingin memberik-
annya kepada orang Indonesia yang tinggal satu
apartemen dengannya. Ya, semacam ucapan
selamat datang. Kalau selama ini ia melakukan
dosa, ia berharap dengan berbuat baik ada dosan-
ya yang terhapus. Ia heran sendiri, ia sudah mem-
buang kepercayaan adanya Tuhan, kenapa per-
caya dengan dosa" Ah, ia tidak mau rumit
memikirkannya. *** Yelena sampai di apartemen, ketika Ayyas
sedang shalat. Suara Ayyas membaca Al-Quran
ketika shalat terdengar jelas. Yelena agak tersen-
tak. Yang dibaca Ayyas itu pernah ia dengar, per-
nah begitu akrab dalam telinganya bertahun-
tahun yang lalu. Ia teringat bagaimana ia juga
pernah rukuk dan sujud. Dulu, begitu damai. Yah
itu dulu, sebelum ia dibuang dari keluarganya.
Dan sejak itu ia jadi agak benci dengan yang
namanya agama. Semua agama, tak terkecuali
Islam. Suara Ayyas itu juga mengingatkan si kecil
Omarov. Mungkin buah hatinya itu sekarang su-
dah bisa membaca ayat-ayat suci itu. Kerinduan
pada darah dagingnya itu kembali hadir. Ia ingin
Omarov ada di sisinya, meskipun ia tidak suka
pada agama, mungkin ia akan bahagia jika
Omarov yang membacakan ayat-ayat itu un-
tuknya dan terus bersamanya.
Yelena mendengar salam Ayyas, tanda shalat-
nya telah selesai. Yelena menunggu beberapa


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat. Keheningan tercipta. Yelena merasa sudah
tiba saatnya. Ia mengetuk pintu kamar Ayyas.
Perlahan Ayyas membuka pinta kamarnya. Yang
pertama kali dilihat begitu pintu terbuka adalah
kecantikan wajah Yelena. Hati Ayyas berdesir.
Wajah cantik Yelena benar-benar nyaris menyi-
hirnya. Ia gugup bertatapan muka dengan Yelena,
meski itu tidak sengaja. "Mm...hai Yelena!" Sapa Ayyas dengan
kegugupan sempurna. "E hai, siapa tadi namanya, saya lupa, maaf."
"A... A... Ayyas."
"Oh ya, hai Ayyas."
"Ba.. baru pulang""
"Iya. Jangan gugup begitu dong."
Ayyas diam membisu. Ia menata hati dan
pikirannya. Ia ambil nafas perlahan-lahan untuk
menghilangkan kegugupannya. Perlahan ia sudah
bisa mulai menguasai diri dan pikirannya yang
sempat oleng. "Hai Ayyas, kok malah diam sih." Ucapan
Yelena tiba-tiba memecah kebisuannya.
"Oh iya, ada apa"" Sambar A
yyas balik ber- tanya sekenanya. Kali ini dengan kegugupan
yang nyaris hilang sempurna.
"Makan malam yuk. Saya membeli makanan
untuk kita berdua." Ayyas merasa ujian itu datang juga. Makan
berdua dengan perempuan cantik seperti Yelena"
Ia berdoa kepada Allah agar menjaga diri dan
imannya. "Maaf saya baru saja makan, tadi sebelum
shalat." "Tolong jangan kamu tolak, ini hanya
semacam ucapan selamat datang dari tetangga
kamar." "Aduh maaf Yelena."
"Tolong jangan ditolak kalau kamu meng -
hormati orang Rusia." Tegas Yelena.
Ayyas terpaksa keluar dari kamarnya dan
makan bersama Yelena di ruang tamu. Yelena
mengambil tempat duduk tepat berhadapan
dengan Ayyas. Pemuda yang pernah kuliah di
Madinah itu banyak menunduk, ia berperang
melawan dirinya sendiri, berusaha sekuat tenaga
untuk menjaga pandangan. "Kamu orang Islam yang taat ya"" celetuk
Yelena seraya mengunyah makanan yang
dibawanya. "Berusaha taat. Kalau kamu, maaf, Ortodoks
ya"" Ayyas yakin dugaannya benar. Sebab may-
oritas penduduk Rusia memeluk Kristen Orto-
doks pasca runtuhnya rezim komunis Uni Soviet.
"Tidak. Dulu aku memang pernah memeluk
suatu agama. Pernah Budha, pernah Konghucu,
pernah Ortodoks, dan pernah Islam""
"Pernah memeluk Islam""
"Ya pernah. Itu karena mantan suamiku
agamanya Islam." "Sekarang""
"Aku tidak memeluk agama apa pun. Aku tak
percaya lagi sama agama, juga Tuhan."
Ayyas kaget bukan kepalang mendengarnya.
Ia serasa disambar petir yang menggelegar dari
petala langit ke tujuh. Memang, untuk urusan
agama dan soal ketuhanan, Ayyas tergolong
sensitif. Terhadap orang yang tidak mengakui ke -
beradaan Tuhan di muka bumi ini, hatinya mudah
mendidih. Lebih mendidih lagi terhadap orang
yang menyinggung ataupun menghina agama
yang dipeluknya, Islam. "Innalillahl" seru Ayyas.
"Kamu jangan kaget. Di sini banyak yang
tidak beragama. Menurut pengalamanku, agar
hidup kita mudah dan mendapat banyak kemuda-
han memang kita tidak memerlukan agama, juga
Tuhan. Adanya agama dan Tuhan itu malah bikin
masalah!" "Itu tidak benar. Agama hadir justru untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang mendera
umat manusia." "Ah itu cuma teori, kenyataannya tidak begitu.
Hampir semua masalah manusia ini selesai kar-
ena hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dikuasai manusia. Bukan karena Tuhan. Se-
bab Tuhan itu yang mengada-adakan juga
manusia. Kalau kita sepakat Tuhan tidak ada, ya
pasti tidak ada. Tuhan itu ada karena kita ber-
pikiran dia ada." Jelas Yelena serius.
"Kau boleh mengatakan apa saja, sesukamu.
Tuhan tetap ada. Meskipun seluruh penduduk
bumi ini mengatakan dan memercayai Tuhan
tidak ada, tetap saja Tuhan itu ada. Tuhan sudah
ada sebelum alam semesta, termasuk dunia
seisinya dan manusia ada. Sebab adanya Tuhan
itu termasuk kebenaran postulat."
"Apa itu kebenaran postulat, aku tidak
mengerti"" tanya Yelena penuh penasaran.
"Menurut Immanuel Kant, kebenaran adanya
Tuhan adalah kebenaran postulat. Yaitu keben-
aran tertinggi dalam tingkatan kebenaran. Keben-
aran tak terbantahkan. Kebenaran yang berada di
luar jangkauan indera, akal dan ilmu penget-
ahuan. Itulah yang disebut postulat, yaitu dalil
teoretis yang berada di luar jangkauan pembuk-
tian teoretis. Ah Yelena, kau ini mau mengajak
aku makan atau mau diskusi. Kalau mau diskusi
boleh saja, tapi sebaiknya kita cari waktu yang
lebih tepat. Jujur saya perlu istirahat." Jawab
Ayyas serius, dengan mimik muka yang serius
pula. "Ah maaf, ayo kita makan, ini aku beli dari
rumah makan Uzbekistan, dijamin halal."
"Hei, kau tahu halal""
"Mau diskusi lagi"" Sahut Yelena, sambil
tersenyum pada Ayyas. Sekilas melihat senyum
Yelena hati Ayyas kembali berdesir. Kali ini de -
sirannya lebih keras ketimbang tadi saat * ber-
tatap muka dengan Yelena kala membuka pintu.
"Ya aku tahu. Sudah kukatakan aku pernah jadi
orang Islam. Ayo makan."
"Kata teman saya, orang-orang Rusia banyak
yang dingin, maaf. Tapi kamu berbeda ya."
"Ya seperti biasanya manusia. Ada yang din-
gin, ada yang hangat. Aku pun bisa dingin, juga
bisa hangat." "Kau benar." "Jadi mau berapa lama di Moskwa""
"Rencananya cuma tiga bulan. Tapi bisa mun-
dur, paling lama lima bulan."
"Kau kursus ya""
"Tidak. Hanya penelitian untuk tesis magister-
ku. Aku harus menemui salah seorang Profesor
sejarah di Universitas Moskwa."
Tiba-tiba bel berbunyi. "Itu pasti Linor. Baru pulang. Dia pasti lupa
bawa kunci. Coba kulihat ya." Kata Yelena sam-
bil beranjak ke arah pintu. Sejurus kemudian
pintu terbuka. Ayyas tetap berusaha tenang
menyuapkan bubur isi ikan smelt ke dalam mu-
lutnya. Pandangannya menunduk pada bubur
yang dimakannya. "Untung kau sudah pulang Yelena. Kalau
tidak aku bisa jadi patung menunggu di luar.
Kunciku ketinggalan, tadi tergesa-gesa sekali."
Kata Linor sambil melepaskan palto dan sepatu
botnya. "Sudah kuduga. Oh ya kita punya teman
baru." "Oh ya" Yang katanya dari Indonesia itu""
"Ya." Yelena dan Linor mendekati Ayyas. Linor
menurunkan alat musik yang dibawanya. Ia
menatap Ayyas yang menunduk khusyuk
menikmati bubur ikan smeltnya.
"Ayyas, ini Linor. Duduklah Linor." Kata
Yelena memperkenalkan. Ayyas menaikkan pandangannya. Ia menatap
Linor dan sedikit terkesiap. Yang ada di
hadapannya adalah gadis yang tadi ia lihat di
jalan. Gadis yang mau masuk BMW SUV X5
hitam. Gadis yang menenteng alat musik, yang
kata Devid tidak kalah dengan Kate Winslet.
Beberapa detik mata Ayyas terpaku pada wajah
Linor. "Ya kenalkan saya Linor. Lengkapnya Linor
E.J. Lazarenko." Ucap Linor mengenalkan diri.
Resmi dan kaku. Dengan wajah tanpa senyum.
Tanpa mengulurkan tangan untuk jabat tangan.
Ayyas merasakan kekakuan wajah Linor,
meskipun cantik wajah itu kurang memancarkan
aura keramahan. "Saya Muhammad Ayyas. Mahasiswa dari In-
donesia." Jawab Ayyas.
"Pasti Muslim." "Benar."
"Ternyata benar, banyak sekali penganut
agama primitif itu." Desis Linor dengan nada
mencela. Kata-kata Linor membuat Ayyas tersen-
tak bagai disengat Kalajengking. Ia samasekali
tidak mengira gadis yang baru beberapa detik ia
kenal namanya itu, akan mengintimidasinya
dengan kalimat yang sangat tidak bersahabat.
"Apa maksud Anda" Siapa yang Anda maksud
penganut agama primitif" Orang-orang Muslim""
geram Ayyas. Yelena tahu apa yang terjadi. Ia tahu persis
watak Linor selama ini. Ia bisa memprediksi
Ayyas pasti akan membela agamanya sampai
mati. Siapapun kalau keyakinannya diusik tidak
akan rela. Kalau dialog itu diteruskan akan jadi
perang kata-kata yang sengit. Maka sebelum
bibir Linor bergetar membalas ucapan Ayyas,
Yelena langsung menyela, "Linor sebaiknya kau istirahat saja di kamar.
Kau pasti letih. Biarkan Ayyas menyelesaikan
makan malamnya bersamaku. Setelah itu biar dia
istirahat. Besok perkenalan ini bisa kita lanjutkan
dengan suasana lebih jernih. Dalam kondisi letih
dan capek, akal pikiran sering tidak bisa berpikir
jernih. Begitu kata orang bijak."
Dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
Linor bangkit dari duduknya, mengambil biolan-
ya dan melangkah ke kamarnya. Saat ia mau
membuka pintu kamarnya, Yelena berkata,
"Selamat istirahat Linor!"
Linor menengok dan berkata, "Kalian j uga."
Lalu masuk dan menutup pintunya.
"Kelihatannya dia sangat letih, dan suasana
hatinya sedang tidak baik. Maafkan kalau Linor
tadi menyinggung perasaanmu." Lirih Yelena
pada Ayyas. "Semoga temanmu itu bisa istirahat dan suas -
ana hatinya kembali membaik." Jawab Ayyas.
*** 4. Pagi Yang Menakjubkan Dua hari penuh Ayyas istirahat di aparte-
mennya. Ia agak demam. Ingin sekali ia segera
bisa jalan- jalan menelusuri Moskwa dan
menyentuh butiran-butiran salju yang turun dari
langit. Ia juga ingin segera melihat keindahan
Lapangan Merah yang sangat terkenal itu. Ia
memilih mengurungkan keinginannya. Lebih
baik ia istirahat sampai benar-benar sentosa, dari-
pada nekat kemudian jatuh sakit yang bisa mem-
buat rencana yang telah disusunnya berantakan
semua. Ia harus berterima kasih kepada Devid yang
membelikan persediaan makanan yang cukup.
Dua belas bungkus mie instan buatan Vietnam,
sekilo beras, satu kilo telur, empat kaleng ikan
sarden, sebotol garam, saus tomat, minyak
goreng dan barang-barang yang dipesannya.
Devid juga membelikan panci yang bisa ia gun-
akan untuk masak. Jadi ia tidak perlu keluar
apartemen. Ia juga merasa Yel ena cukup ramah dan mem- bantunya. Setiap kali mau keluar Yelena men-
awarinya kalau mau titip sesuatu. Selama ini ia hanya satu kali titip di-
belikan air mineral. Ia merasa cukup nyaman
tinggal di apartemen itu. Hanya yang agak meng -
ganggunya, ia merasa susah menolak setiap kali
Yelena mengajaknya berbincang di pagi hari se-
belum Yelena berangkat kerja sepulangnya dari kerja. Yang membuatnya kur-
ang nyaman adalah pakaian yang dikenakan
Yelena ketika ada di apartemen. Pakaian yang
menguji iman lelaki mana saja yang sehat akal


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan jasmaninya. Justru kalau di luar apartemen Yelena ber-
pakaian sangat tertutup. Nyaris yang kelihatan
cuma wajahnya. Sebab pakaian musim dingin
harus benar-benar rapat. Tapi begitu Yelena mas -
uk apartemen yang hangat, pakaian musim dingin
yang rapat itu satu per satu ia tanggalkan. Dan ia
hanya mengenakan pakaian yang menurutnya
perlu ia kenakan. Sikap Linor kepadanya masih dingin. Ayyas
tidak tahu pasti apa sebabnya. Apa memang sep -
erti itu wataknya" Dingin dan kaku, seperti
pernah diceritakan oleh penulis dalam blognya
mengenai watak orang-orang Moskwa. Atau kar-
ena belum akrab saja" Atau karena ia beragama
Islam, agama yang dianggap Linor primitif.
Selama dua hari ini ia tidak memiliki kesem-
patan berdialog dengan Linor. Ia ingin berdiskusi
dengan gadis yang bekerja sebagai pemain biola
pada sebuah orkestra klasik musik Rusia itu jika
ada kesempatan. Ia ingin memberikan pandangan
yang berbeda dari yang selama ini diyakini gadis
itu. Ia merasa Linor berpandangan demikian bur-
uk pada Islam karena tidak ada yang memberinya
informasi yang benar tentang Islam.
Linor tidak mau bergabung saat ia ngobrol
sambil minum teh dengan Yelena. Kalau ketemu
Linor hanya say hallo lalu masuk ke kamarnya.
Kalau tidak bekerja, Linor lebih asyik main mu-
sik di kamarnya. Terkadang main piano, tetapi
lebih sering main biola. Meskipun kamar Linor su-
dah dibuat kedap suara, tapi sayatan biolanya
tetap saja terdengar dari ruang tamu yang mer-
angkap jadi ruang tengah dan ruang makan.
Pagi itu adalah Subuh ketiga Ayyas di
Moskwa. Ia merasa tubuhnya sudah benar-benar
bugar. Selesai shalat Subuh, seperti biasa, ia
membaca Al- Quran, zikir ma'tsurat pagi, dan
membaca kitab Mudzakarat fi Manazil Ash- Shid-
diqin wa Ar-Rabbaniyyin, yang merupakan pen-
jelas dari kalimat-kalimat penuh cahaya dari Ibnu
Athaillah As Sakandary. Ia merasa shalat,
membaca Al-Quran, zikir dan membaca buku
adalah nutrisi jiwanya yang harus ia jaga betul-
betul. Ia tidak mau sedikit pun meninggalkan ke -
biasaannya wiridan dan berzikir kepada Allah. Ia
ingat betul kata-kata Ibnu Athaillah, "Tidak ada
yang meninggalkan wirid kecuali orang bodoh."
Dengan melanggengkan zikir sebagai pem-
buka kegiatan harian ia berharap, Allah senan-
tiasa menjaga jiwa, raga, akal, dan akhlaknya. Ia
ingin selalu bersama Allah, ingin selalu
mengingat Allah dan diingat oleh Allah. Itulah
kenapa setiap pagi ia tidak boleh melupakan em-
pat hal tersebut, shalat, membaca Al -Quran, zikir
dan membaca buku yang ditulis orang -orang
saleh. "Jika pagi datang, orang yang lalai akan
berpikir apa yang harus dikerjakannya. Se-
dangkan orang yang berakal akan berpikir apa
yang akan dilakukan Allah kepadanya." Kata-
kata Ibnu Athaillah itu sedemikian kiiat tertanam
dalam hatinya. Ya, ia telah merancang program hariannya
dengan sangat rapi. Tidak hanya harian. Bahkan
peta hidup beberapa tahun pun telah ia rancang
sedetil mungkin. Tapi setiap pagi ia merasa harus
meminta kekuatan dari Allah agar dianugerahi
hari yang terbaik. Ia hanya bisa merencanakan
dan merancang, namun pada akhirnya Aliahlah
yang memutuskan hasilnya.
Ayyas siap melaksanakan apa yang direncana-
kannya. Ia harus menemui Profes or Abraham
Tomskii hari itu. Ia harus memulai penelitiannya.
Kemarin ia sudah sempat berhubungan dengan
Guru Besar Sejarah Rusia itu lewat telpon. Profe-
sor Tomskii begitu ramah dan terbuka. Ayyas tel-
ah berjanji untuk datang menemuinya pukul
setengah sebelas pagi di Universitas Negeri
Moskwa atau Moskovskyj Gosudarstvennyj
Universiteit imeni Lomonosova, biasa
disingkat MGU. Universitas paling tua dan paling besar di
Rusia ini juga sering disebut Universitas
Lomonosova. Orang -orang Moskwa sangat
bangga dengan MGU. Mereka beranggapan tidak
ada universitas yang lebih hebat dari MGU di
atas muka bumi ini. Bahkan Harvard dan Oxford
sekalipun. Maka pagi itu, setelah semua zikir dan
wiridnya selesai, ia langsung menyiapkan sar-
apan paginya. Ia beranjak ke dapur yang menyatu
dengan ruang tamu. Ia hanya perlu mengolah ik-
an sardennya dan membuat telur dadar. Nasi sisa
tadi malam masih bisa dimakan. Ia harus banyak
berhemat. Ketika sedang asyik membuat telur
dadar, Yelena keluar dari kamarnya.
"Wow, kau bisa masak ya" Wah bikin omelet
ya" Aku minta dibuatkan juga kalau boleh." Sapa
Yelena sambil menggerak-gerakkan tangannya
memutar ke kanan dan ke kiri.
"Boleh." Jawab Ayyas kalem. Matanya
samasekali tidak berpindah dari telur yang
sedang ia goreng. "Mau keluar ya hari ini"" Tanya Yelena sam-
bil terus senam ringan. "Iya. Saya harus segera mulai penelitian."
Ayyas sudah selesai membuat telur dadar
yang pertama. Ia langsung membuat yang kedua.
Tangannya nampak cukup terampil. Ia sudah bi-
asa membuat telur dadar sejak masih SMP. Dan
selama kuliah di Madinah dan kuliah S2 di India
ia sering masak sendiri. Meskipun hasilnya tidak
istimewa, ia cukup mengusai resep membuat be-
berapa jenis makanan. "Hari ini kau mau ke mana"" Yelena
mendekat dan berdiri di samping Ayyas.
"Ke MGU, menemui seorang Profesor."
Jawab Ayyas sambil menabur sedikit garam di
atas omelet yang sedang ia buat. Yelena melihat
dengan mata berbinar. Bau omelet itu tercium
tajam. "Dari gerakan tanganmu, kau seperti koki
yang sudah cukup profesional. Seperti koki di
restoran China." Puji Yelena.
"Ah cuma bikin omelet, apa susahnya. Semua
orang juga bisa." "Tidak juga. Temanku Valda samasekali tidak
bisa masak." "Aku yakin bukan tidak bisa masak, tapi dia
tidak mau masak." "Mungkin juga. Oh ya mau naik apa ke
MGU"" "Metro saja yang murah." "Tahu
rutenya." "Belum. Nanti tanya sama orang."
"Kalau pertama ke Moskwa masih tetap bin-
gung. Atau aku temani saja. Hari ini aku masuk
kerja agak sore, bagaimana""
Ayyas diam, ia tidak bisa menjawab. Mau
menjawab ya, berarti akan jalan berdua sama
Yelena seperti orang pacaran. Kalau bilang tidak,
jujur ia belum tahu Moskwa samasekali. Ia belum
pernah keluar dari apartemen itu sejak ia datang.
Ia memang bisa bahasa Rusia, tapi tidak lancar
benar. Selama ini ia berkomunikasi dengan
Yelena lebih banyak dengan bahasa Inggris. Dan
sebenarnya dengan ditemani Yelena ia bisa ber-
tanya banyak hal ketika di jalan ia melihat se-
suatu yang perlu ia tanyakan.
"Kok diam saja, bagaimana mau ditemani
tidak, biar tidak tersesat"" Tanya Yelena lagi.
Ayyas mengangkat omelet dari penggorengan
dan meletakkannya di atas piring kecil.
"Ah nanti merepotkan kamu." Gumam Ayyas.
"Samasekali tidak. Sambil jalan nanti aku ber-
itahu kamu banyak hal tentang metro, siapa tahu
ada gunanya." "Kalau begitu boleh. Ini omeletmu sudah
siap." "Terima kasih." Yelena mengambil omelet itu
dengan senyum tersungging. Ayyas tanpa sengaja
melihat senyum itu. Seketika hatinya bergetar,
meskipun ia sudah berusaha menundukkan
pandangan. "Ya Allah lindungilah aku dari bur-
uknya hawa nafsuku," Ucap Ayyas dalam hati.
*** Jalan masih sepi. Angin dingin berhembus
perlahan. Salju yang menutup aspal dan tanah
mencair. Ayyas keluar dari pintu utama aparte-
men. Ia langsung menapaki trotoar Panfilovsky
Pereulok, Yelena mengikuti di belakangnya.
Ayyas bergegas cepat, Yelena mengejar agar ber-
jalan sejajar. Melewati sebuah taman kecil, tiba-
tiba Yelena berhenti. Ia melihat sesuatu yang
tidak biasa dan seketika menyadari ada yang lain
dengan pagi itu. "Wow, berhentilah sejenak Ayyas, ini pagi
yang menakjubkan! Baru kali ini aku melihat
pagi musim dingin seindah ini. Luar biasa!" Jerit
Yelena dengan wajah cerah dan mata berbinar-
binar. "Ayyas lihat, rumput-rumput itu. Ia seperti
muncul dari dalam salju. Dan sinar matahari itu
begitu indah. Sejak kecil sampai sekarang, belum
pernah sekalipun aku melihat peristiwa alam
seperti ini. Rumput-r umput kelihatan di puncak
musim dingin, dan matahari menyapa dengan
sinarnya. Oh tidak mungkin! Ini keajaiban, Ayyas. Sekali datang
ke Moskwa kau menjumpai keajaiban Ayyas!"
Lanjut Yelena penuh takjub.
"Kalau Tuhan berkehendak apa pun bisa ter-
jadi!" Sahut Ayyas. "Ini bukan kehendak Tuhan, ini keajaiban
alam." Sanggah Yelena dengan mata tetap
berbinar. "Segala keajaiban itu terjadi karena kehendak
Tuhan." "Sudahlah tak perlu berdebat, kita nikmati saja
keindahan pagi ini. Oh ini pasti bisa jadi berita.
Sebentar, aku telpon Linor dulu, dia harus keluar
dari kamar dan turun melihat keajaiban ini. Ini
bisa jadi bahan berita baginya."
Yelena mengambil ponsel dari saku paltonya
dan langsung menelpon Linor. Sejurus kemudian
Linor sudah menyusul dengan membawa ponsel.
Begitu melihat rumput-rumput yang muncul seo-
lah menyibak salju, ia menjerit lirih. "O l Elohim
(Elohim: Sebutan untuk Tuhan menurut orang
Yahudi) kautunjukkan kuasa-Mu!" Wajah Linor
begitu berseri-seri. Inilah kali pertama Ayyas me -
lihat wajah Linor yang begitu cerah, tidak kaku
dan dingin. Linor langsung mengabadikan
fenomena alam yang menakjubkan itu dengan
kamera digitalnya. Ia juga langsung lari mencari
posisi yang tepat untuk memotret matahari yang
menampakkan sinarnya. "Karena baru kali ini aku merasakan suasana
pagi yang sesungguhnya di Moskwa, maka aku
tidak merasakan keajaiban yang kaurasakan.
Bahwa aku melihat salju saja sudah seperti meli-
hat keajaiban. Melihat fenomena alam yang ber-
beda dengan yang selama ini aku lihat."
"Pagi ini sungguh beda Ayyas. Kau tadi lihat
kan, tidak hanya aku yang merasakan, Linor pun
merasakan. Ini puncak musim dingin Ayyas.
Tidak ada ceritanya di puncak musim dingin ada
rumput kelihatan. Seharusnya rumput itu terpen-
dam oleh salju satu meter tebalnya. Tapi itu kaul-
ihat, ia kelihatan hijaunya. Dan matahari itu, se-
harusnya ia muncul nanti di awal Maret paling
tidak. Tapi ini sudah muncul menyapa dengan
hangat sinarnya. Dan pagi ini terasa hangat
bukan" Ini keajaiban Ayyas. Belum pernah ter-
jadi yang seperti ini. "Belum pernah""
"Ya. Sejak aku kecil sampai sekarang ini. Ya
baru sekarang ini terjadi."
"Berarti ini bukan keajaiban, tapi tanda-tanda
petaka akan datang""
"Jangan mengada-ada kau""
"Aku tidak mengada-ada. Bisa jadi ini terjadi
karena apa yang disebut oleh para ilmuwan seba-
gai pemanasan global. Karena suhu bumi terus
naik, maka musim dingin di Moskwa pun mulai
berubah. Ini fenomena yang berbahaya, ini
bencana." "Kenapa aku tidak berpikir sejauh kamu ya""
"Karena kaum perempuan lebih tertarik


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan yang indah-indah mungkin""
"Ya masuk akal. Ini karena pemanasan
global." "Sudahlah kita bahas nanti, ayo segera kita
jalan. Waktunya s emakin mendesak. Aku janji
sama Profesor Tomskii pukul setengah sebelas."
"Kau benar. Untuk pertemuan pertama kau
tidak boleh datang terlambat. Kau harus tepat
waktu. Kau harus membuat Profesor itu terkesan
padamu. Lebih baik menunggu satu tahun dari-
pada terlambat satu menit." Yelena terus nerocos
sambil mengimbangi Ayyas yang berjalan cepat.
"Kita ke stasiun metro Smolenskaya""
"Ya, kita ambil jalur ke Arbatskaya lalu
perekhod (Nyebrang atau pindah jalur) ke jalur
merah menuju stasiun Biblioteka Imeni Lenina,
terus ke selatan." Jelas Yelena sambil mem-
betulkan letak syal putihnya. "Hei belok kanan!"
Kata Yelena mengingatkan. Mereka kini berjalan
di pinggir Smolenskaya Pereulok. Jalan- jalan
kota Moskwa tertata rapi. Salju yang menempel
di aspal sudah dibersihkan. Sebagian yang men-
cair mengalir ke lubang-lubang drainase yang ter-
tata setiap seratus meter. Gedung-gedung kuno
menghiasi kanan kiri jalan sepanjang mata
memandang. Gedung-gedung dengan arsitektur
gaya Romanesque dan Gothic itu tersusun, ter-
tata dan terpelihara dengan baik. Indah, klasik,
dan rapi. Ayyas berdecak kagum sambil terus
melangkahkan kaki. Orang Rusia begitu tinggi menghargai se-
jarahnya. Kalau Indonesia, ah sungguh mempri-
hatinkan, pikirnya. Hampir semua bangunan-ban-
gunan tua di Indonesia menjadi tempat yang ku-
muh. Bangunan-bangunan tua itu jadi sarang
kelelawar. Samasekali tidak mena
rik. Kota lama Jakarta tidak didesain sebagai daerah kebanggaan
orang Jakarta. Hanya dijadikan semacam mu-
seum tua pelengkap kota saja: tak dikelola serius
dan yang penting ada. Orang lebih suka ke Ancol
daripada ke kota lama Jakarta. Ia pernah ke kota
lama Semarang, kondisinya sangat mempri-
hatinkan. Bangunan tua di sana yang telah men-
jadi cagar budaya hampir setiap hari digenangi
air rob yang hitam dengan bau menyengat. Gen-
tengnya banyak ambrol, catnya sudah mengelu-
pas di sana sini. Apa menariknya"
Kira-kira tujuh menit kemudian mereka ber-
dua sudah sampai di gerbang stasiun metro
Smolenskaya. Ada logo berwarna merah berupa
huruf "M" di depannya. Bangunan stasiun itu
gagah dan berwibawa. Bangunan berwarna coklat
muda itu khas Rusia. Fasad dan bentuknya diukir
dengan indah. Begitu serius orang Rusia mem-
bangun stasiunnya. Yelena leb ih dulu masuk.
Nonik Rusia itu membelikan karcis untuk Ayyas.
Mereka lalu turun ke bawah dengan eskalator.
Ayyas terkagum-kagum dengan keindahan stasi-
un bawah tanah Smolenskaya. Stasiun itu
seumpama istana di bawah tanah. Ia menengok
ke kanan dan ke kiri, melihat dengan seksama in-
terior stasiun itu. Mengagumkan. Hampir tiga
perempat dindingnya dibalut marmer. Demikian
juga lantainya. "Lihat itu, itu lambang Viktory!" Yelena
menunjuk ke sebuah ornamen yang menempel di
dinding dekat langit-langit. Ornamen yang sangat
indah. Sebuah bintang lima yang dipadu dengan
kemewahan khas ornamen gereja Ortodoks
Rusia. "Ini belum seberapa. Ada yang jauh lebih in-
dah dari ini. Kau pasti akan terpaku takjub jika
ada di dalam stasiun Komsomolskaya. Kalau kau
mengerti arsitektur, kau akan kagum pada
arsitektur stasiun Kievskaya. Kalau kau seorang
patriotik, kau pasti tersengat oleh semangat patri-
otik stasiun Park Pobedy." Terang Yelena.
"Orang Rusia membangun stasiun seperti
membangun istana." Gumam Ayyas.
"Lebih dari itu. Stasiun ini dulu dibangun
dengan semangat ingin mengalahkan kehebatan
negara-negara kapitalis. Rezim yang berkuasa
saat itu ingin membuktikan bahwa kemajuan
yang diraih negara-negara kapitalis seperti
Amerika bisa diraih oleh negara sosialis. Bahkan
sosialis lebih baik. Tidak hanya kehebatan tekno-
logi yang ingin ditunjukkan tapi keindahan seni
yang penuh fdosofi. Kau harus tahu, batu-batu
marmer itu batu alam asli. Warnanya asli.
Didatangkan dari berbagai negara. Bahkan ada
yang didatangkan dari Italia, Laut Baikal dan
kawasan pegunungan Urai. Bandingkan dengan
stasiun-stasiun modern negara-negara kapitalis
itu, pasti hanya bernuansa beton yang kaku. Kau
boleh mengatakan stasiun metro kami tak ada
duanya di dunia." Yelena menerangkan panjang
lebar dengan rasa bangga yang berkobar dan
mata berbinar-binar. Sebuah metro datang. Metro itu sesak pen-
umpang. Banyak penumpang yang turun, dan
banyak pula yang naik. Yelena dan Ayyas naik di
gerbong nomor tiga dari depan.
"Ini jam kerja. Maaf. Selalu padat. Kalau kau
ingin nyaman naik metro sebaiknya antara jam
sepuluh sampai jam sebelas pagi, setelah mele -
wati jam sibuk. Metro ini transportasi paling
dicintai penduduk Moskwa. Selain tepat waktu,
tidak macet, harga tiketnya sangat murah. Bay-
angkan hanya dengan 19 rubel sekali jalan, kau
bebas ke mana saja, bahkan kalau perlu menjela-
jah seluruh jalur metro. Tidak dibatasi jarak. Asal
tidak keluar dari stasiun." Terang Yelena pada
Ayyas dengan bahasa Inggris yang lancar. Be-
berapa pemuda Rusia memerhatikan Yelena
dengan mata berkedip. Di antara mereka ada
yang memandang kagum pada Yelena yang fasih
berbahasa Inggris. Sementara Ayyas diam
mendengarkan penjelasan Yelena yang begitu
detil. Sampai di stasiun Arbatkaya mereka turun.
Ayyas kembali terpesona oleh keindahan interior
stasiun itu. Matanya terpesona melihat mahligai-
mahligai yang melengkung. Lantai yang bersih,
jernih, dari marmer alam cokelat tua. Lampu-
lampu kristal yang memancarkan cahaya yang
meneduhkan. Orang-orang Rusia lalu lalang be-
gitu saja, tidak ada yang berhenti dan melihat-li-
hat dengan agak bengong seperti dirinya. Yelena
mengingatkannya untuk segera pindah ke jalur
merah. Semua keterangan dalam stasi
un itu ditulis dengan abjad Cyrilic, tidak dalam abjad latin.
Orang yang tidak tahu cara membacanya pasti
bingung dan mudah tersesat. Ayyas sudah belajar
cukup banyak bahasa Rusia sejak kuliah di Madi-
nah, membaca abjad Cyrilic biasa ia atasi. Tapi
dengan adanya Yelena perjalanan lebih lancar,
dan rasa gugupnya sebagai orang asing yang per-
tama kali ke Moskwa sedikit hilang.
Ayyas dan Yelena masuk metro yang menuju
Biblioteka Imeni Lenina. Metro itu terus melaju
dengan kecepatan sedang melewati stasiun Kro-
potkinskaya, Park Kukuri, Frunzenskaya, Sport-
ivnaya, dan stasiun Vorobyovy Gori.
Sepanjang perjalanan Yelena terus ngoceh
seperti burung beo. Ayyas yang berdiri di
sampingnya lebih banyak diam mendengarkan.
Sesekali ia merespons dengan mengatakan, "O
begitu ya." Dan Yelena terus bercerita tentang
banyak hal mengenai Moskwa dan Rusia. Yelena
seperti mendapatkan tempat untuk banyak bicara
tentang hal yang lebih manusiawi, hal-hal yang
jauh berbeda dari yang selama ini ia bicarakan
dengan teman-temannya seperti Olga Nikolayen-
ko, Rossa, Kezina dan Mavra. Selama tiga tahun
ini, baru kali ini Yelena berjalan dengan pria
asing yang tidak karena tujuan ranjang dan sejen-
isnya. Yelena merasa pagi itu memang benar-
benar lain. Setelah melewati stasiun Vorobyovy Gori,
Yelena mengingatkan untuk bersiap turun. "Kita
turun di depan. Di stasiun Universitet." Yelena
mengingatkan. Beberapa menit kemudian metro berhenti di
stasiun Universitet. Ratusan penumpang yang se-
bagian besar mahasiswa turun. Ayyas dan Yelena
juga turun. Keluar dari stasiun, Ayyas me -
nemukan bangunan universitas yang sangat
besar. Benar-benar megah seperti yang dicer-
itakan Devid dalam emailnya. Gedung itu nam-
pak cantik dan gagah menjulang tinggi khas ban-
gunan keemasan rezim Stalin. Konon gedung
MGU adalah bangunan terbesar di Moskwa. Ia
termasuk satu dari tujuh gedung utama pencakar
langit yang dibanggakan penduduk Moskwa. Le-
taknya yang di atas bukit Leninsky Gori mem-
buatnya semakin nampak berwibawa.
"Kita ini turun di belakang kampus MGU.
Kalau kita memandang gedung ini dari pelataran
utama akan semakin terlihat indah. Dan dari
pelataran utama kita bisa melihat pemandangan
kota Moskwa yang menawan." Ujar Yelena.
"Kau pernah kuliah di sini"" Tanya Ayyas.
"Tidak. Aku dulu kuliah di St. Petersburg."
"Jurusan apa""
"Bahasa Inggris."
"Pantas bahasa Inggrismu bagus."
"Bagaimana, kita ke pelataran utama dan mas -
uk dari depan""
Ayyas melihat jam tangannya. "Lain kali saja.
Aku harus mencari ruang kerja Profesor Abra-
ham Tomskii dulu. Biar tenang." Jawabnya.
"Kau benar. Kampus MGU ini sangat besar.
Kau perlu waktu untuk mencari ruang Profesor
itu." "Kau masih mau menemani""
"Ei tentu tidak. Aku menemani sampai di sini
saja. Kau silakan masuk menemui Profesor itu.
Aku mau jalan- jalan di sekitar sini. Aku mau
lihat pemandangan kota Moskwa dari atas Lenin-
sky Gori ini. Sudah lama aku tidak ke sini. Sete-
lah itu aku akan cari stolovaya u untuk makan si-
ang. Setelah itu aku harus berangkat kerja."
" Warung makan atau kantin.
"Kerjamu apa sebenarnya" Kau belum cerita."
"Aku kerja di agen wisata."
"O pantas kau bisa begitu detil cerita tentang
Moskwa. Baik Yelena, aku jalan dulu."
"Ya. Sampai ketemu lagi (Semoga sukses)",
Yelena melambaikan tangan sambil tersenyum
lalu balik kanan. Mereka berpisah di situ. Ayyas
melangkahkan kakinya memasuki kawasan kam-
pus, sementara Yelena menuju pelataran depan
kampus. Udara dingin berhembus. Pohon-pohon
bereozka bergoyang-goyang. Salju yang menem-
pel di daun-daunnya berguguran. Matahari masih
menampakkan sinarnya. Kabut tetap menyelimuti
udara. Suhu minus tujuh derajat celsius. Orang-
orang mengatakan, "Ini adalah puncak musim
dingin yang sangat hangat!" Rumput-rumput
yang menyembul di antara salju yang mencair
nampak berseri-seri. Sesuatu yang jarang terjadi,
atau bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebab puncak musim dingin di Moskwa biasanya
bisa mencapai minus tiga puluh derajat celsius,
dan salju akan menutupi rumput-rumput itu lebih
dari setengah meter. 5. Pakar Sejarah Nan Jelita
Perlu waktu setengah jam bagi Ayyas untuk menemukan ruang kerja Profesor Abramov Tom-
skii. Itupun setelah ia bertanya empat kali pada
orang yang berbeda. Profesor Abramov Tomskii
adalah Guru Besar Sejarah Asia Tengah yang
sangat disegani di kalangan sejarawan Rusia. Ia
pernah satu kampus dengan Profesor Najmuddin
Ashgaryang kini menjadi pemb imbing tesisnya,
saat mereka berdua menyelesaikan program dokt-
ornya di Universitas Hamburg, Jerman. Profesor
Najmuddinlah yang mengharuskannya melak-
ukan penelitian di Rusia dan menyarankannya
untuk menemui Profesor Tomskii.
Profesor Tomskii ternyata belum tiba. Janji
dengannya memang pukul setengah sebelas. Dan
sekarang baru pukul sepuluh lebih seperempat,
artinya ia datang lebih dulu seperempat jam. Se-
orang perempuan tua gemuk pendek mendekat.
Perempuan itu memakai kerudung kosinka putih


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lazimnya perempuan tua di desa-desa Rusia.
Kedua matanya dihiasi kaca mata yang kecil
bundar. "Kau boleh duduk di ruangan Profesor Tom-
skii. Ayo silakan. Profesor tadi seb enarnya sudah
sampai, tapi langsung dipanggil rektor untuk
rapat mendadak. Kata Profesor , pukul satu siang
rapat baru selesai. Kau boleh menunggu di ruan-
gannya. Boleh juga menunggu di tempat lain. Di
ruangan Profesor ada Ensiklopedi Kebudayaan
Rusia dan buku lainnya, bisa kaubaca." Kata per-
empuan tua berkerudung kozinka putih itu.
"Baik saya menunggu saja di ruangan
Profesor." "Ya, itu yang diminta Profesor. Aku buatkan
teh hangat untukmu. Baik""
"Boleh. Spasiba balshoi (Terima kasih
banyak) Ruang Prof esor Abraham Tomskii cukup be-
sar. Ada satu set sofa untuk duduk bagi tamu.
Ada meja rapat ukuran sedang. Meja kerja Profe-
sor Tomskii sendiri cukup besar terletak di pojok
ruangan. Di atas meja kerja itu ada monitor kom-
puter flat terbaru. Ada bola dunia. Dan beberapa
tumpuk buku. Di sepanjang dinding belakang
meja kerja itu, tertata rapi buku-buku tebal dalam
pelbagai bahasa. Hampir semuanya buku penting
untuk referensi sejarah. Yang dengan mudah ia
baca, sekilas nampak ada Ahsan al Taqasim: The
Best Divisions for Knoudede of the Regions,
The History of al Tabari, Al Kamilfi al Tarikh,
Kitab al Futuh, Futuh al Buldan, Geschite Isfa-
hans, Alexandrie Medievale, L'Iran Sous les
Sassnides, Ensiklopedia of World Religions, Pat-
riarch of Constantinople, Turkestan Down to the
Mongol Invasions, Tarikh Bukhara dan lain
sebagainya. Ayyas mengambil buku berjudul SeeingIslam
as OtherSaw It. Ia duduk di sofa. Ia mulai mem-
baca buku pertama. Beberapa halaman ia baca
cukup menarik. Buku itu menjelaskan mengenai
pandangan orang-orang non Muslim terhadap
Islam awal. Menjelaskan pandangan bangsa-
bangsa yang ditaklukkan oleh Islam. Ada yang
suka, ada yang tidak suka. Ada yang sangat
memusuhi dan ada yang biasa-biasa saja. Yang
jelas buku itu ditulis bukan oleh orang Islam.
Tetapi Ayyas merasa ada baiknya membaca buku
itu, untuk mengetahui apa pandangan penulisnya
terhadap agama yang dipeluknya dan dipeluk
oleh kebanyakan orang Indonesia.
Dari buku itu Ayyas mendapat wawasan baru
mengenai suara yang paling memusuhi kedatan-
gan bangsa Arab yang membawa Islam. Suara itu
bisa ditemukan dalam sejumlah surat berbahasa
Yunani dan khotbah yang disampaikan oleh Sor-
phorius, seorang Patriark Yerusalem yang memi -
liki trauma menyakitkan akan invasi Persia jauh
sebelum Islam datang. Invasi Persia itu ia gam-
barkan sangat kejam, merusak perkotaan dan
pedesaan yang diberkati Tuhan dengan belati
yang membunuh. Orang-orang Persia datang
merusak Yerusalem dengan kemarahan menak-
utkan yang telah dimunculkan setan.
Sorphorius yang hidup saat Islam berkembang
di jazirah Arab berpandangan, datangnya pen-
guasa Arab akan sama saja dengan invasi Persia
yang kejam. Sorphorius memandang orang Arab
sebagai bangsa barbar yang membenci Tuhan.
Dalam suratnya Sorphorius samasekali tidak
menyoroti datangnya bangsa Arab sebagai pem-
bawa agama baru, yaitu Islam.
Ayyas merasa, mungkin pandangan Sorphori-
us inilah yang menjadi awal pandangan banyak
orang Barat bahwa Islam selalu disebarkan
dengan pedang. Karena surat-surat Sorphorius
ditulis dalam bahasa Yunani dan terus dibac
a or- ang Barat berabad-abad setelah kematiannya.
Padahal pandangan Sorphorius penuh diselimuti
trauma penaklukan Persia jauh sebelum Islam
datang ke Yerusalem. Sejarah kemudian membuktikan ketidakben-
aran pandangan Sorphorius. Saat Islam membuka
Yerusalem, kedamaianlah yang dirasakan pendu-
duk Yerusalem. Umar bin Khattab datang dengan
penuh cinta dan hormat pada para pendeta di
sana. Tak ada gereja yang dirusak. Tak ada kota
dan desa yang dinistakan. Tak ada perusakan
Yerusalem dengan kemarahan menakutkan yang
telah dimunculkan setan. Tak ada pembantaian
seperti yang dikhawatirkan Sorphorius. Dan
sejarah menulis keagungan Umar bin Khattab
saat memasuki Yerusalem dengan tinta emas
yang terus berkilauan. Ayyas menemukan kenyataan, beberapa
penganut Kristen saat itu sampai beranggapan
bahwa datangnya bangsa Arab adalah tanda-
tanda akan datangnya hari Kiamat. Bahkan ada
yang berpendapat, kedatangan mereka sebagai in-
strumen Tuhan untuk menghukum penganut
Kristen karena kemerosotan moral.
Menariknya, ternyata dalam catatan sejarah
tidak sedikit penganut Kristen kuno yang berpan-
dangan baik akan kedatangan bangsa Arab yang
membawa Islam saat itu. Seorang kepala biara di
Qartmin yang terletak di Pegunungan Tur Abidin
yang bernama Mar Gabriel, yang diakui sebagai
orang suci oleh Ortodoks Syiria menganggap
datangnya kekuasaan Muslim lebih terasa seba-
gai rahmat daripada bencana. Banyak sejarawan
yang menulis, bahwa Mar Gabriel yang mening-
gal tahun 667 M lebih menyukai kedatangan
bangsa Arab daripada penindasan rezim
Byzantium. Hal serupa juga disuarakan oleh Patriark
Benyamin dari Alexandria yang hidup pada masa
masuknya Islam ke Mesir. Benyamin dalam
tulisannya yang berbahasa Koptik mengakui ke -
datangan orang Arab yang dipimpin sahabat Nabi
Muhammad Saw. yaitu Amru bin Ash sebagai
"dini hari yang baru bagi kepahlawanannya", dan
"dini hari baru bagi kemerdekaan bangsanya".
Amru bin Ash dianggap sebagai pahlawan yang
memerdekakan Mesir dari penindasan penguasa
Cyrus, gubernur kepercayaan kaisar Byzanti-
um yang kejam. Hampir satu jam Ayyas menunggu. Profesor
Abramov Tomskii belum juga datang. Perem-
puan tua berkerudung kozinka putih yang katan-
ya mau membuatkan teh untuknya belum nampak
batang hidungnya juga. Ayyas berpikir perem-
puan tua itu hanya basa-basi saja. Memangnya
dirinya itu siapa sampai harus dibuatkan teh oleh
pegawai MGU Moskwa. Tiga detik setelah
Ayyas berpikiran seperti itu, perempuan tua
berkerudung kozinka putih itu muncul membawa
nampan berisi dua cangkir teh. Tubuhnya yang
gemuk membuat langkahnya seperti berat. Per-
empuan tua itu masuk ruangan dengan nafas agak
tersengal -sengal. "Maaf agak terlambat, tadi Doktor Anastasia
Palazzo minta tolong digandakan soal -soal ujian,
katanya mendesak. Ah kau mungkin menunggu
tehnya terlalu lama. Saya mohon maaf. Profesor
Tomskii sudah sampai, dia sedang berjalan ke -
mari. Silakan diminum tehnya." Kata perempuan
tua berkerudung kozinka putih ramah.
Ayyas menganggukkan kepala sambil berkata,
"Spasiba balshoi."
Perempuan tua itu mengangguk sambil
tersenyum, lalu menyeret kakinya pergi. Ayyas
membaca istighfar, salah menyangka pada per-
empuan tua berkerudung kozinka putih itu.
Dalam suasana hati kurang nyaman, manusia
memang paling mudah berburuk sangka. Perem-
puan tua berkerudung kozinka putih itu baik
hatinya. Ayyas bisa merasakan ketulusannya le-
wat senyumnya. Ia jadi ingat sama Mbok Jum,
penjual nasi sambel tumpang dekat Pesantren Ka-
joran saat ia mondok dulu.
Perempuan tua itu memiliki dedeg dan gestur
tubuh yang mirip dengan Mbok Jum. Pendek dan
gemuk. Sifatnya hampir sama, ramah dan murah
hati. Ia bahkan merasa banyak belajar keikhlasan
dan ketulusan dengan Mbok Jum. Saking ikh-
lasnya Mbok Jum lebih rela rugi daripada mem-
buat orang lain tidak nyaman hatinya.
Ia masih ingat betul kejadiannya. Kira-kira
jam sembilan pagi hari Selasa. Ia dan teman-
teman satu kelas baru selesai olahraga. Saat itu ia
diminta Pak Kiai Lukman membeli empat
bungkus nasi sambal tumpang lengkap dengan
tempe gembus gorengnya. Katanya untuk sug-
uhan istimewa seorang teman
lama Pak Kiai dari Surabaya, yang kalau ke Pesantren Kajoran pasti
nasi sambal tumpang yang ditanya.
Ia bergegas ke tempat Mbok Jum yang masih
melayani satu dua pelanggannya. Seorang bapak-
bapak bermata cekung memesan dua nasi sambal
tumpang dibungkus. Namanya Pak Turah. Ia
menyerahkan uang lima ribu rupiah warna sambil
bicara-bicara dengan seseorang yang naik sepeda.
Setelah pesanan itu jadi dan dimasukkan kantong
plastik,.Mbok Jum memberikan kembalian seribu
rupiah. Pak Turah itu minta tambah. Katanya
masih kurang enam ribu rupiah.
"Lho pripun tho Pak, uang Sampeyan kan
lima ribu. Harga dua bungkus nasi sambel
tumpang empat ribu. Ya kembaliannya seribu."
Mbok Jum menjelaskan dengan tenang.
Tapi Pak Turah malah marah, "Lho mata
Sampeyan apa picek Mbok. Aku tadi memberi
sepuluh ribuan, bukan lima ribuan!"
"Lima ribu Pak. Ini lho uangnya, si Ayyas
saksinya. Bener tho Le, lima ribu"" Kata Mbok
Jum sambil memandang wajah Ayyas.
Ayyas langsung menjawab, "Iya Pak, bener
Mbok Jum, tadi uangnya lima ribu." *
Bukannya selesai, Pak Turah malah tambah
marah dan berkata yang tidak-tidak, "O lha santri
picek. Kamu ikut sekongkol sama Mbok Jum ya.
Apa begitu Kiai Lukman mengajarkan kamu
selama ini!"" Seketika Ayyas naik pitam, ia tidak terima
nama kiainya dibawa-bawa dan dituding yang
bukan-bukan. Sebab Ayyas tahu persis apa yang
terjadi di depan matanya, bahwa uang yang
diberikan Pak Turah itu lima ribu rupiah bukan
sepuluh ribu rupiah. "Maaf Pak, tolong jangan..!"
Belum sempat melanjutkan kalimatnya Mbok
Jum langsung memotong, "Wis Le, jangan diter-
uskan. Ya sudah Pak Turah, ini tambahannya
lima ribu rupiah, tidak usah marah-marah!"
Pak Turah mengambil uang itu dan langsung
pergi tanpa salam, tanpa pamitan. Ayyas menan-
yakan kenapa Mbok Jum melakukan itu, padahal
Mbok Jumlah yang benar. "Kalau Pak Turah itu macam-macam, akan
banyak warga kampung Kajoran yang membela
Mbok Jum. Orang tidak tahu diri itu harus diberi
pelajaran Mbok!" Geram Ayyas. Tapi penjelasan
Mbok Jum kemudian membuat Ayyas harus bela-
jar keikhlasan darinya. Mbok Jum menjawab, "Aku tahu Le, kalau
aku yang benar dan yang pasti menang. Sebab
warga kampung ini pasti lebih percaya sama aku
dan kamu. Karena aku merasa benar itulah maka
aku ngalah. Ya nggak apa-apa sedekah beberapa
ribu rupiah. Dengan sedekah itu aku minta
barokahnya rezeki, dan aku minta kepada Allah
semoga Pak Turah jadi insaf dan baik. Semuanya
jadi baik. Aku ingin seluruh saudaraku, tetang-
gatetanggaku, kenalanku, semuanya baik dan
dirahmati Gusti Allah. Intinya kita ini hidup kan
untuk ibadah tho Le."
Ingatannya pada Mbok Jum seketika buyar
tatkala ada seseorang menyapanya dengan suara
berat bergetar, "Dabro Dent, (Selamat siang)
Ayyas! Maaf saya terlambat!" Seorang lelaki tua
berjas rapi, tinggi besar, berkulit putih, botak dan
berkaca mata tebal berdiri tak jauh dari tempat-
nya duduk. Ayyas langsung mengenali lelaki itu.
Tak lain adalah Profesor Abramov Tomskii.
Ayyas langsung bangkit dari duduknya dan men-
jabat tangan Profesor seraya berkata dengan
senyum mengembang, "Dabro Dentl Aaa. Eta vi, Profesor" Zhmu


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

vashu ruku!" (Selamat siang! Ini Anda ya Profe-
sor" Aku jabat tangan Anda!)
"Wah bahasa Rusiamu sudah cukup lancar ya"
Di mana kamu belajar""
"Dulu belajar pada teman-teman dari Rusia
saat kuliah di Madinah. Lalu sedikit pemantapan
di Moskovskyj Linguisticeskyj Centr (Pusat Lin-
guistik Moskwa )di Delhi, India."
"Bagus. Profesor Najmuddin sudah banyak
cerita tentang kamu. Jadi kamu sedang nulis
tentang Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Ke-
hidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan
Stalin"" "Benar Profesor""
"Sebenarnya kamu tidak perlu bersusah payah
mengadakan penelitian kemari. Itu cukup studi
perpustakaan saja. Kau juga bisa banyak
mengakses data lewat internet. Dan jika ada yang
kurang kau bisa mengakses data yang ada di per-
pustakaan MGU ini dari India. Kenapa harus
bersusah-susah, jika dengan yang mudah dan
praktis kau bisa mendapatkan data yang akurat
dan bisa dipertanggungjawabkan."
"Jujur saya inginnya seperti itu Profesor Tom-
Raja Sesat Penyebar Racun 1 Animorphs - 32 Pemisahan The Separation Rahasia Hiolo Kumala 13
^