Bumi Cinta 2
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 2
skii. Tapi Profesor Najmuddin tidak mau. Di
a mensyaratkan saya harus pernah riset langsung
ke Rusia. Harus melihat langsung Rusia. Datanya
harus dari referensi pertama, tidak kedua apalagi
ketiga. Referensi kedua hanya sebagai pen-
dukung saja." "Aku tahu sifat pembimbingmu itu. Sejak dulu
dia selalu begitu, dia sangat perfeksionis. Jadi
tidak ada pilihan bagimu, kau harus benar-benar
menuruti kata-katanya. Dan saranku lagi, kalau
datamu benar-benar sudah lengkap, dan kau su-
dah mulai menulis. Setiap bab nanti konsultasik-
an dengan dia. Jangan sampai kau sudah nulis
berpuluh lembar nanti kau diminta mengganti
total. Tapi aku mengakui dia sej arawan yang
hebat." Puji Profesor Tomskii pada pembimbing
Ayyas. "Baik Profesor. Terima kasih atas sarannya."
"Baik mana surat pengantarnya"" Tanya Pro-
fesor Tomskii. Ayyas mengambil sesuatu dari tasnya. Ia men-
geluarkan stopmap lalu menyerahkannya kepada
Profesor Tomskii. "Selain surat pengantar. Ada juga surat pribadi
Profesor Najmuddin untuk Profesor Tomskii."
Jelas Ayyas. Profesor Tomskii membaca surat dan berkas -
berkas yang ada di stopmap itu dengan seksama .
Lalu dengan wajah cerah ia berkata pada Ayyas.
"Ayyas, aku paham semua yang diinginkan
pembimbingmu. Jujur, sebenarnya aku ingin
membimbingmu menemukan data-data terbaik
dan melakukan penelitian sejarah terbaik. Aku
sudah menyiapkan waktu untuk itu sebenarnya.
Tapi sayang, tadi aku baru mendapatkan tugas
dari rektor untuk terbang ke Istanbul. Aku di-
minta membantu kedutaan Rusia di Turki selama
beberapa bulan, belum bisa ditentukan waktunya.
Ada masalah kenegaraan yang harus melibatkan
pakar sejarah Asia Barat."
"Jadi saya harus bagaimana Profesor""
"Tenang. Kau tetap jalankan rencanamu. Aku
telah siapkan asistenku untuk membantumu. Dia
nanti akan membantumu dua puluh empat jam
kalau perlu. Dan selama aku pergi, kau bisa
menggunakan ruangan ini untuk bekerja. Asal
kau jaga kerapiannya. Bagaimana""
"Spasiba balshoi, Profesor"
"Aku ingin urusan administrasimu selesai hari
ini. Semuanya. Besok kau sudah bisa fokus pada
penelitianmu. Sebentar, aku panggil asistenku."
Kata Prof esor Tomskii, tangannya meraih gagang
telpon di mejanya dan memanggil asistennya un-
tuk datang segera. "Bagaimana keadaan Indonesia" Masih ban-
yak korupsi"" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas hanya tersenyum kecut.
"Kau harus berpikir untuk memperbaiki neger-
imu. Ingatkan pengambil kebijakannya untuk
tidak menjilat Amerika, dan tidak menjilat negara
manapun. Aku pernah ke Indonesia dan aku meli -
hatnya sebagai negara yang sangat besar di antara
benua Asia dan Australia. Kekayaannya luar bi-
asa. Seharusnya sudah jadi macan Asia. Dari segi
modal dan fasilitas yang diberikan Tuhan kepada
negerimu, kalau diibaratkan, negerimu itu kelas
hotel bintang lima lebih. Tetapi karena bangsamu
dan para pemimp innya tidak bisa mengurusnya,
jadinya ya seperti kelas bintang melati yang
memprihatinkan. Kau harus kembalikan neger-
imu ke posisi bintang limanya.
"Kau tahu ndak, Ayyas, bahwa Jepang sangat
bergantung pada negerimu, Indonesia" Bahkan
saking bergantungnya dengan negerimu, sampai-
sampai jika negerimu terancam stabilitasnya, atau
bahasa kasarnya, kalau sampai Indonesia mau
diserang negara lain, prediksiku dari data yang
aku kumpulkan, Jepanglah yang pertama kali akan membela
Indonesia." Kata Profesor Abraham Tomskii
menceramahi Ayyas. "Kenapa bisa begitu Profesor""
"Bodoh kau ini! Kan tadi sudah aku katakan
Jepang sangat bergantung pada Indonesia. Kalau
Indonesia chaos, perekonomiannya ambruk,
maka orang-orang Jepang tidak akan bisa makan.
Indonesialah yang menghidupkan industri
Jepang. Bahan-bahan baku industri Jepang paling
besar didatangkan dari Indonesia. Batu bara, biji
besi, tembaga, nikel, semua dari Indonesia. Dan
hasil industri Jepang paling besar dibuang ke In-
donesia. Coba kau hitung berapa ribu kendaraan
roda dua setiap harinya yang dibeli orang Indone -
sia dari Jepang. Belum kulkas, mesin cuci, tele -
visi, telpon, dan peralatan elektronik lainnya. In-
donesia adalah tempat Jepang mengeruk uang,
juga tempat negara kapitalis lainnya mengambil
keuntungan. Dua ratus tiga puluh juta adal
ah pas - ar yang sangat besar. Sekali lagi sangat besar.
Sudah paham"" "Sudah Profesor."
"Bagus. Kau pasti senang dibimbing asisten-
ku. Dia bisa diandalkan. Dan yang penting dia
masih muda dan cantik. Kau suka wanita can-
tik"" Profesor berkepala botak dan berambut
putih itu menggoda. Ayyas hanya tersenyum. "Dia sangat cerdas dan ramah. Tapi kerasa ke-
pala dan sangat kuat memegang prinsip -prinsip
keyakinannya yang sangat konservatif. Dia tidak
suka Vodka, jangan sekali -kali mengajaknya
minum Vodka. Kalau kau bisa menaklukkan dia
maka kau pemuda yang sungguh beruntung."
Tiba-tiba bel berbunyi. "Lha itu dia datang!" Lirih Profesor Tomskii
pada Ayyas dengan mengedipkan mata kirinya.
"Silakan masuk!" Serunya.
Pintu terbuka. Seorang perempuan muda jelita
masuk. Ayyas memandang ke arah pintu. Kedua
matanya bertemu pandang dengan perempuan
muda itu. Hati Ayyas berdesir. Sebuah desiran
yang tidak kalah kualitasnya dengan desiran kala
kali pertama bertatapan muka dengan Yelena.
Wajah Ayyas memerah. Ayyas kemudian menun-
dukkan muka untuk menutupi perubahan
wajahnya yang memerah seraya berdoa dalam
hati, "Duhai Allah, j auhkan hamba-Mu dari keja-
hatan dan fitnah yang ditimbulkan oleh wajah
jelita nonik-nonik muda Rusia." Sementara itu,
Profesor Abraham Tomskii tersenyum tipis meli-
hat perubahan wajah Ayyas yang sempat
memerah. "Dabro Dentf" Kata perempuan itu lembut. Ia
berjalan mendekat. Pakaian yang membalut tu-
buhnya begitu serasi dengan pesona wajahnya. Ia
mengenakan celana jeans ketat putih dan sweeter
ketat putih gading. Syalnya juga putih. Mukanya
segar bersih. Rambutnya yang lurus dan hitam
legam ia biarkan tergerai begitu saja.
"Apa yang bisa saya bantu Profesor"" Tanya
perempuan bermuka segar itu.
"Anastasia, kenalkan ini Ayyas dari Indonesia,
dia mahasiswa sahabat saya Profesor Najmuddin
di Aligarh. Ayyas, ini Doktor Anastasia Palazzo,
asistenku, dia pakar sej arah Asia Selatan. Dia
nanti yang akan menggantikan aku menjadi
pembimbingmu selama kau di sini." Kata Profe-
sor Tomskii mengenalkan keduanya satu sama
lain. "Senang bertemu dengan Anda." Kata
Anastasia sambil tersenyum.
"Saya juga senang bertemu dengan Anda. Ini
kali kedua saya mendengar nama Anda." Kata
Ayyas. "O ya, kau pernah mendengar namaku se-
belumnya" Kapan dan di mana"" Heran
Anastasia. "Saya mendengar nama Anda dari perempuan
tua berkerudung kozinka putih beberapa saat
yang lalu. Dia bercerita sedang menggandakan
soal ujian yang Anda minta." Jawab Ayyas
tenang. "Ah dari Bibi Parlova, saya kira pernah
mendengar di mana, Anda bisa saja bercanda."
Tukas Anastasia tersenyum, seketika dua pipinya
dihiasi lesung pipi yang mampu menarik lelaki
manapun untuk berlama-lama menatapnya.
"Puji Tuhan! Baru bertemu kalian sudah lang-
sung akrab. Apa ini tanda-tanda jodoh hehehe."
Profesor Tomskii berkelakar.
"Profesor bercanda terus." Sahut Anastasia.
Sementara Ayyas sedikit tersipu malu
mendengar ucapan Profesor Tomskii. Sekilas
matanya melirik ke arah Anastasia Palazzo.
Pakar sejarah asisten Professor Tomskii itu
memang terlihat segar dan jelita. Hati Ayyas
berdesir halus. Tapi ia segera menguasai dirinya.
"Sebagai guru besar, beban saya untuk serius
lebih besar dari kalian, maka saya harus mengim-
banginya dengan sering bercanda dan rileks, biar
pikiran terus segar. Saya tidak mau seperti Profe-
sor Betrishchev yang serius terus. Saat santai pun
serius, susah tersenyum dan tertawa. Seolah guru
besar tidak boleh bercanda. Akibatnya ya kamu
tahu sendiri Anastasia. Dia tidak bisa berumur
panjang. Baru lima puluh satu tahun sudah men-
inggal. Aku ini sudah enam puluh empat, jauh le -
bih tua dari Betrishchev, tapi masih kuat
berenang sejauh dua ratus meter." Kata Profesor
Tomskii. "Wah resep Profesor boleh juga." Tukas
Ayyas. "Mm, jadi apa yang bisa saya bantu Profesor""
Tanya Anastasia Palazzo. "Ini jawabanku yang kedua kalinya. Ayyas ini
sedang menulis tesis. Dia harus melakukan pene -
litian di sini. Seharusnya aku yang harus menjadi
pembimbingnya selama dia di sini. Tapi besok
aku harus terbang ke Istanbul. Jadi kau aku minta
menggantikan aku menjadi pembim
bingnya." Jelas Profesor Tomskii. "Kenapa harus saya Profesor, kenapa tidak
guru besar yang lain yang lebih senior"" Tanya
Anastasia. "Kalau yang lain nanti urusannya rumit dan
berbelit. Banyak birokrasi. Maka harus kamu
Anastasia, kamu siap""
"Saya siap dan tidak ada masalah kalau begitu.
Masalahnya yang dibimbing mau tidak"
Semestinya dia dibimbing Profesor Abraham
Tomskii, bukan Anastasia." Jawab Anastasia.
Profesor Tomskii langsung menoleh pada
Ayyas, "Bagaimana Ayyas jika dibimbing dia""
"Dibimbing siapa pun saya tidak masalah.
Yang penting semuanya berjalan dengan baik dan
saya bisa segera menyelesaikan tesis saya dengan
hasil terbaik." "Berarti tidak ada masalah. Aku bisa terbang
ke Istanbul dengan tenang." Kata Profesor Tom-
skii dengan senyum mengembang. Setelah itu
Profesor Tomskii memberi pengarahan kepada
Anastasia Palazzo. Profesor Tomskii ingin agar
Ayyas benar-benar mendapatkan kemudahan dan
fasilitas yang cukup. Juga agar Ayyas dianggap
sebagai fellow reseacher dan mendapat tunjan-
gan beasiswa selama melakukan penelitian.
Anastasia berjanji akan membantu sebaik-
baiknya. Siang itu pertemuan ditutup dengan makan si-
ang di stolovaya atau kantin MGU. Ayyas memi -
lih menu terdiri atas kentang, kotlety, yaitu
sejenis perkedel yang terbuat dari daging giling
tanpa kentang dengan sup Borsh (Semacam sup
ayam, di dalamnya terdapat irisan berwarna
merah dan setangkup roh berbentuk bulat yang
disebut Lipyoshka) khas Rusia serta secangkir
teh hangat. Sedangkan Profesor Tomskii dan
Anastasia memilih makan dengan sup ukha (Sup
ikan kegemaran orang Rusia), sepiring daging
kambing asap, roti hitam, dan secangkir teh hijau
panas. Sebelum berpisah, Anastasia Palazzo berkata
kepada Ayyas, "Besok kita ketemu jam sepuluh
di ruangan Profesor Tomskii, saya ingin tahu le-
bih detil apa yang sudah dicapai dalam penelitian
Anda."
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan agak bergetar Ayyas menjawab,
"Baik, Doktor."
Siang itu Moskwa terasa lebih cerah dari bias -
anya. Matahari menampakkan sinarnya meskipun
tidak bisa menghilangkan kabut musim dingin
yang menyelimuti bumi. Keluar dari kampus
MGU Ayyas langsung bergegas mencari tempat
untuk sujud dan rukuk. Ia hampir lupa shalat
Zuhur. Setelah lebih tiga hari di Moskwa,
keringanan untuk menjamak dan mengqashar su-
dah tidak ada lagi. Waktu shalat Zuhur hampir habis dan Ayyas
belum juga menemukan tempat untuk shalat. Ia
tahu, mencari masjid di Moskwa tidak semudah
mencari masjid di Jakarta atau di New Delhi In-
dia. Dari data yang ia punya, hanya ada lima
masjid di Moskwa, yang kalau ia mengejar untuk
shalat di salah satunya, maka waktu shalat Zuhur
sudah habis. Akhirnya ia nekat, ia masuk stasiun
Universitet dan mencari sudut untuk bisa sujud
kepada Allah Azza Wa Jalla.
Ketika ia shalat banyak orang melihatnya
dengan terheran-heran. Dan ia tetap tidak
bergeming, ia tetap khusyuk dalam shalatnya. Se-
lesai shalat seorang polisi mendekatinya,
memeriksa dokumennya dan menanyakan apa
yang baru saja dilakukannya. Ayyas menjawab ia
baru saja shalat, beribadah kepada Tuhannya.
Polisi itu memberinya peringatakan agar jan-
gan sekali-kali melakukan ritual di tempat umum
lagi, sebab tempat ibadah masing-masing agama
sudah disediakan di Moskwa. Ayyas hanya men-
jawab, "Da, da"
Polisi itu nampak puas mendengar jawaban
Ayyas yang tidak membantah sedikit pun. Ayyas
langsung angkat kaki, tujuannya KBRI untuk
lapor diri secara resmi, meskipun ia sudah mem-
beritahukan keberadaannya kepada pihak Kon-
suler KBRI melalui email di hari pertama ia tiba.
Ayyas membuka map metro Moskwa yang ia
cetak dari internet. Sesaat kemudian ia sudah
tahu bagaimana caranya sampai ke stasiun
Tretyakovskaya, stasiun metro yang paling dekat
dengan KBRI. Setelah itu ia akan jalan kaki saja
ke KBRI yang terletak di Novokuznetskaya Ul-
itsa nomor 12. "Mudah, insya Allah" lirihnya
dalam hati. *** 6. Jiwa Yang Terusik Yelena sampai apartemen ketika salju kembali
turun. Udara di luar apartemen perlahan-lahan
bertambah dingin. Angin berhembus perlahan
dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Yelena
langsung masuk kamarnya dan mandi dengan air
hangat. I a merasa sangat lelah. Dari jam dua si-
ang sampai jam tujuh petang ia harus melayani
tiga klien dengan profesional. Ia kembali merasa
dirinya bukan lagi seorang manusia. Setan seakan
telah menjamah seluruh tubuhnya, dan kini ia
merasa dirinya tak ubahnya adalah setan .
Entah mengapa, dengan mandi, sentuhan air
dari ujung rambut sampai ujung kakinya seolah
menjadikannya lebih bersih. Seolah bekas -bekas
sentuhan setan di sekujur tubuhnya hanyut ter-
bawa air. Ia lebih segar, pikirannya lebih terang
dan perasaannya sebagai manusia sedikit tumbuh.
Dari mantan suaminyalah ia mendapat penget-
ahuan mandi untuk menyucikan tubuh dan batin.
Meskipun ia tidak percaya kepada Tuhan dan
kepada jenis agama apa pun, tapi ia percaya bah-
wa mandi bisa menyegarkan pikiran dan
meremajakan otot dan syaraf -syaraf tubuhnya.
Dan setelah mandi ia merasa jiwanya sedikit le -
bih tenang, perasaannya lebih nyaman. Ia telah
membuktikannya. Menurutnya kenyataan itu
tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama
seperti yang pernah diutarakan suaminya padan-
ya, tapi itu adalah satu kenyataan ilmiah. Secara
ilmiah air yang bersih dan jernih itu
menyehatkan. Tubuh manusia sangat memerlukan air. Baik
untuk minum atau pun untuk membersihkan
kulitnya dari ber jenis - jenis kotoran yang halus
dan rumit. Tak perlu ajaran Tuhan, ilmu penget-
ahuan yang menjelaskan semuanya. Begitulah
cara berpikir perempuan muda Rusia bernama
Yelena ini. Selesai mandi ia memakai pakaian yang hanya
pantas dipakainya di dalam kamarnya saja. Han-
ya aurat terpentingnya yang benar-benar tertutup.
Ia dan Linor biasa berpakaian seperti itu, apalagi
di musim semi dan musim panas. Mereka berdua
dan kebanyakan gadis Rusia memakai pakaian
yang rapat menutup seluruh tubuh hanya ketika
musim dingin tiba, itu pun ketika keluar dari tem-
pat tinggalnya. Ketika di dalam rumah yang se-
luruh ruangannya hangat oleh pemanas ruangan,
sebagian mereka tetap lebih suka membiarkan
bagian-bagian tubuhnya terbuka.
Di puncak musim dingin seperti malam itu, bi-
asanya Yelena tetap lebih suka memakai swieter
tipis dan celana panjang jika ada di dalam aparte-
men. Tetapi malam itu ia memilih memakai
pakaian yang membiarkan sebagian besar kulit-
nya terbuka. Jika Ayyas pulang, ia ingin ngobrol
dengan pemuda dari Indonesia itu, dan ia ingin
memamerkan keindahan kulitnya kepada Ayyas
lalu mendengar komentarnya, lebih tepatnya ia
ingin mendengar pujian darinya.
Yelena duduk lalu rebahan di atas sofa pan-
jang, kedua matanya terpaku pada layar kaca
televisi. Sesekali tangan kanannya meraih gelas
di atas meja berisi vodka martini. Ia melihat jam
dinding, sudah hampir jam sembilan. Entah
kenapa tiba-tiba ada rasa khawatir menelusup ke
dalam hatinya, "Jangan- jangan dia tersesat, tidak
bisa pulang. Informasi jalur metro tertulis dalam
huruf Cyrilic, bukan latin. Jangan- jangan dia
tidak bisa membaca huruf itu dan tersesat di
bawah tanah tidak bisa keluar di stasiun
Smolenskaya. Kasihan anak itu, dia masih baru
di sini." Katanya dalam hati.
Yelena bangkit ke kamarnya dan mengambil
ponselnya. Ia mencoba menelpon Ayyas, tapi
tidak bisa tersambung. Rasa khawatirnya se-
makin kuat. "Atau jangan- jangan ia bertemu
kelompok rasialis yang ekstrim, yang tidak
menyukai bangsa ber-ras non Rusia. Ia bisa
celaka kalau ketemu kelompok itu." Gumamnya
dalam hati. Yelena kembali duduk di sofa. Tiba-
tiba bel berbunyi. Yelena terkesiap bahagia. "Ini
dia yang datang." Pekiknya lirih penuh harap.
Terdengar suara pintu terbuka. Ada orang masuk.
Dari pintu foyer yang terbuat dari kaca ia bisa
melihat siapa yang datang. Ia sedikit kecewa,
ternyata bukan Ayyas, tapi Linor.
"Wah di luar dingin banget. Sudah kembali
normal musim dinginnya. Sekitar minus lima be-
las derajat mungkin, sudah tidak hangat lagi sep -
erti tadi pagi." Kata Linor sambil meletakkan tas
berisi biolanya. Gadis itu langsung menuju dapur
dan menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia lalu
duduk di samping Yelena. "Begitu cepat suhu udara naik turun. Tadi pagi
tujuh derajat, malam ini sudah lima belas dera-
jat." Sahut Yelena. "Efek pemanasan global. O ya Yelena si
Mus lim Brengsek dari Indonesia itu ada di
kamarnya"" Tanya Linor.
"Jangan menyebut dia begitu. Kalau terdengar
dia tidak enak. Dia mengerti bahasa Rusia. Dan
dia tidak brengsek. Dia belum pulang. Tadi dia
ke MGU, aku menemaninya." Jawab Yelena.
"Wow, jadi kamu mulai jalan bareng sama or-
ang itu" Mulai tertarik pada manusia purba ya""
Tukas Linor dengan nada merendahkan.
"Kau terlalu mengada-ada Linor. Aku hanya
berusaha menolongnya. Kasihan dia masih belum
tahu apa-apa tentang Moskwa ini."
"Kalau boleh memberi saran, sebaiknya kau
jauhi si Brengsek itu. Kau harus ingat masa
lalumu. Orang Islam itu di mana-mana kerjanya
membuat onar, sangat berbahaya. Mereka seperti
tidak punya otak dan belas kasihan. Bahasa
mereka bahasa kanibal. Mereka lebih kejam dari
tentara Tartar yang membantai umat manusia be-
berapa abad yang lalu. " Linor berkata serius ke -
pada Yelena sambil sesekali meneguk vodkanya.
Yelena mengambil nafas panjang dan men-
jawab, "Tapi dia baik. Aku yakin dia baik."
Yelena tidak ingin mendebat Linor. Ia tahu persis
sebesar apa ketidaksukaan Linor kepada orang
Islam. Dalam beberapa artikelnya di koran, gadis
itu sampai membuat kesimpulan orang -orang
Islam tidak layak hidup di atas muka bumi. Men-
urut Linor, adanya orang Islam hanya membuat
kehidupan di atas bumi ini tidak nyaman dan
tidak. aman. Maka Yelena hanya menjawab
singkat dan samasekali tidak mendebat Linor.
Meskipun ia tidak percaya pada agama, tapi men-
urutnya manusia di mana-mana sama. Tidak pan-
dang ras, warna kulit dan agamanya. Di mana-
mana manusia itu sama, ada yang baik dan ada
yang tidak baik. "Terserah kamu. Yang penting aku sudah
mengingatkanmu. Dan aku tidak akan diam be-
gitu saja jika si Brengsek itu macam-macam di
sini!" Tukas Linor. "O ya, bagaimana rencana konsermu"" Yelena
mengalihkan pembicaraan. "Semakin matang."
"Baguslah." "Baik. Aku masuk kamar dulu. Istirahat."
"Spakoinoi Nochi, (Selamat malam atau
selamat tidur) Linor." Sahut Yelena. Linor men-
jawab dengan senyum mengembang kepada
Yelena lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.
Mata Yelena kembali menatap layar kaca yang
menyiarkan terjadinya badai salju yang ekstrim
di daerah Vyatka. Beberapa pohon tumbang dan
ada rumah yang rusak parah. Listrik sempat mati
selama empat jam. Tetapi pemerintah kota Vy-
atka terlihat sangat tanggap sehingga listrik mati
tidak terlalu lama. Jika listrik mati lama, maka
bisa dipastikan sebagian penduduk Vyatka akan
sangat menderita kedinginan, karena alat peman-
as ruangannya tidak bisa menyala. Dan tidak
semua rumah siap untuk menyalakan tungku
pemanas. Bel berbunyi lagi. Yelena yakin kali ini pasti
Ayyas. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan
benar, Ayyas. Ayyas nampak menggigil kedin-
ginan. Pemuda bertubuh agak kurus itu melepas
sepatunya lalu masuk ke ruang tamu. Ia kaget
bukan main ketika melihat Yelena duduk di
ruang tamu dengan pakaian yang tidak genap
menutup aurat. Ia langsung menundukkan pan-
dangannya. Ia merasa bahwa ruangan itu penuh
sesak oleh setan bertepuk tangan menyambutnya.
"Hei, baru pulang, sukses urusannya"" Tanya
Yelena sambil tersenyum. Tanpa melihat Yelena dan dengan tetap ber-
jalan menuju kamarnya Ayyas menjawab, "Ya
sukses. Spakoinoi Nochi, Yelena!"
Yelena bangkit dan berkata, "Hei tunggu, du-
duklah sini sebentar. Hangatkan tubuhmu dengan
Vodka ini. Temani aku berbincang-bincang
sebentar." "Maaf Yelena, aku sangat letih, aku harus
istirahat." "Duduklah, lima belas menit saja."
"Maaf Yelena, aku tidak bisa. Sebaiknya kau
istirahat saja." Kata Ayyas dengan tetap menahan
untuk tidak memandang ke arah Yelena. Ia
sebenarnya ingin sedikit mengarahkan mukanya
ke wajah Yelena untuk menghormati lawan bi-
caranya. Tapi ia tidak berani, karena takut
imannya goyang. Begitu selesai mengucapkan
kata-katanya Ayyas langsung masuk ke
kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Dasar brengsek!" Umpat Yelena. Ia sangat
kecewa pada Ayyas. Sebenarnya ia hanya ingin
ditemani ngobrol, dan berbincang tentang banyak
hal. Ya, banyak hal yang lebih manusiawi. Hal-
hal yang berbeda dengan rutinitas yang dilaluinya
bersama teman-temannya di daerah Tv
erskaya yang membuat batinnya merintih dan membuat
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya terasa hampa. Yelena mematikan televisi
dan masuk kamar dengan membanting pintunya
agak keras. Ayyas mendengar bunyi pintu yang dibanting
itu. Ia yakin itu Yelena yang kesal padanya. Ayy-
as tidak mengabaikannya. Ia tidak mau ditert-
awakan oleh setan yang menginginkan manusia
selalu berbuat maksiat dan menuruti hawa naf -
sunya. Ia pemuda yang sehat dan normal. Ia bisa
meraba kekuatan imannya sendiri. Iman yang ada
dalam dirinya ia rasa belum kuat menghadapi
godaan kecantikan perempuan Rusia yang hidup
tanpa aturan agama dan moral seperti Yelena.
Karena itu ia harus menyelamatkan dirinya
dengan segera masuk kamar dan mengunci
pintunya kuat-kuat. Ayyas langsung mandi dengan air hangat.
Mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah shalat ia
membaca Al -Quran satu halaman. Lalu mere-
bahkan dirinya untuk tidur. Ia benar-benar lelah.
Ia melakukan perjalanan satu hari penuh. Dari
universitas, KBRI, ke masjid Basoi Tatarski yang
tidak jauh dari KBRI, setelah itu ke rumah Atase
Perdagangan, PakAkmal Hidayat, SE. MBA.
yang ia kenal di KBRI. Sekali kenal langsung
akrab, karena Pak Akmal ternyata orang Piyun-
gan Yogyakarta bertetangga dengan Budenya
yang asli Piyungan. Sebenarnya sampai di KBRI
ia sudah sangat kedinginan, beruntung Pak Ak-
mal meminjaminya mantel palto tebal. Pak Ak-
mal punya tiga palto di kantornya. Ayyas sangat
bahagia, Pak Akmal yang sudah satu tahun di
Moskwa kelihatannya sangat religius dan siap
membantu dirinya selama melakukan penelitian
di Moskwa. Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia
ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena
dengan segala keindahan tubuhnya, yang baru
saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di
pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik
Anastasia Palazzo juga menari-nari di pelupuk
matanya. Darah mudanya menghangat: Ayyas
berusaha menepis bayangan itu tetapi tidak
mudah. Bayangan itu seperti telah tersimpan dan
menempel erat di salah satu sudut hatinya. Sep -
erti virus di komputer yang tidak mudah dihil-
angkan. Ayyas merasa ujian keimanan ini terasa
lebih berat dari musim dingin yang paling meng -
gigit sekalipun. Rasa dingin yang menggigil itu bisa hilang be-
gitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang
hangat oleh pemanas. Tetapi virus moleknya
Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah di-
hilangkan. Meskipun ia telah shalat dan
membaca Al-Quran, virus itu tidak juga xex-delete sempurna,
masih tersisa, hanya bisa dijinakkan. Ayyas
membaca istighfar berulang kali. Lebih dari
tujuh puluh kali. Dalam istighfar ia teringat pes -
an Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di Pesantren
Kajoran Magelang dulu, "Eling-elingo yo Ngger, endahe wanojo iku
sing dadi jalaran batok toponingporo santri lan
sat'rio agung!" Lalu kiai Lukman menguraikan
hadis tentang ujian terbesar bagi kaum lelaki ber-
iman adalah pesona perempuan.
Ayyas terus berzikir dan beristighfar sampai
tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas ber-
mimpi ada dua ekor ular masuk ke dalam
kamarnya dan memburunya. Ia mati-matian
menghindari patukan dua ular itu. Ia mencari-cari
alat untuk bisa membinasakan kedua ular itu tapi
tidak ketemu. Akhirnya dengan kehati-hatiannya
ia bisa lolos dari sergapan kedua ular itu. Ia
kemudian lari ke jalan, dan di jalan juga ia
temukan banyak ular. Ia lari menghindari ular-
ular itu, hampir ada yang bisa mematuk, tapi ia
bisa melompat. Ia kelelahan, ular-ular itu terus
memburu. Ia kehabisan nafas dan kakinya sudah
tidak mampu ia gerakkan, ular-ular itu semakin
dekat. Ia kehabisan cara untuk menyelamatkan
diri. Ketika ular-ular itu hendak mematuk dirinya
ia berteriak keras, "Allaahu akbari" Dan seketika
ia terbangun dari tidurnya. Ayyas bangun dengan
nafas tersengal-sengal. Mimpi itu seolah-olah
nyata. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin.
"Mimpi yang tidak menyenangkan," lirih Ayy-
as. Seketika ia teringat ajaran Rasulullah Saw.
ketika seseorang bermimpi tidak baik. Ayyas me-
ludah ke kiri tiga kali dan membaca isti'adzah,
memohon perlindungan Allah dari gangguan
setan yang terkutuk. Ayyas lalu bangkit dari tem-
pat tidurnya dan melihat jam
dinding. Pukul setengah tiga dini hari. Ia bangkit mengambil
wudhu lalu shalat Tahajud. Setelah berdoa untuk
dirinya, kedua orangtuanya, dan untuk kebaikan
umat manusia, Ayyas kembali merebahkan tu-
buhnya. Ia memasang alarm di ponselnya.
Ia harus benar-benar detil mempersiapkan
segala hal yang membuatnya tidak meninggalkan
kewajibannya shalat lima waktu. Jika selama
kuliah di Madinah dulu azan berkumandang se-
tiap kali masuk waktu shalat, tanpa memasang
alarm pun ia bisa terjaga dan sadar untuk shalat.
Tetapi di Moskwa tidak ada azan seperti Madi-
nah, dia sendiri yang harus berjuang bisa mendi-
rikan shalat tepat pada waktunya.
Ia merasa harus semakin merapat kepada Al-
lah. Tak ada yang benar-benar mampu
menyelamatkan imannya kecuali Allah. Moskwa
bukan Madinah. Jika di Madinah aroma kesucian
orang -orang saleh begitu terasa, di Moskwa yang
ia rasakan adalah aroma perempuan cantik Rusia
seperti Yelena dan Anastasia Palazzo yang men-
gusik ketenangan jiwa. *** 7. Oh, Puji Untuk -Mu, Tuhan! Pagi itu salju bertasbih. Pohon-pohon
bereozka, pohon cemara araukaria juga bertasbih.
Batu-batu yang tersusun rapi di pinggir jalan-
jalan kota Moskwa yang tertimbun salju juga ber-
tasbih. Udara dingin kota Moskwa bertasbih.
Semua benda yang ada di kota Moskwa yang per-
nah dianggap sebagai pusatnya kota orang -orang
atheis juga bertasbih. Alam selalu bertasbih men-
gagungkan nama Allah, Tuhan seru sekalian
alam. Hanya manusia tidak mengerti bahasa tasbih
mereka. Dan ketika alam bertasbih hanya sedikit
manusia yang ikut dalam irama tasbih alam
semesta. Hanya sedikit manusia yang mengingat
Tuhannya, sebagian besar manusia hanya ingat
pada dirinya dan kepentingannya nafsunya
sendiri. Di antara manusia yang sedikit itu adalah
Ayyas. Pagi itu ia bertasbih bersama tasbih salju,
angin dingin, pohon bereozka, pohon cemara,
kayu birk, batu-batu dan seluruh benda di jagat
raya juga para malaikat yang tidak pernah mem-
bangkang perintah Tuhannya. Pagi itu Ayyas ber-
tasbih, larut dalam zikir paginya yang panjang.
Kali ini zikirnya lebih panjang dari pagi-pagi
sebelumnya. Yelena juga sudah bangun. Perempuan muda
berambut pirang itu berkali-kali mengetuk pintu
kamar Ayyas dan memanggil-manggil nama
Ayyas. Ayyas yang sedang khusyuk dalam zikir
paginya samasekali tidak menyahut. Ia tidak mau
diganggu. Tak lama kemudian ia mendengar per-
cekcokan kecil antara Yelena dan Linor. Linor
mengingatkan Yelena agar tidak mengetuk kamar
orang lain. Yang jadi masalah, di ujung kalimat-
nya Linor mengatakan, "Dasar perempuan
jalang!" Lalu terjadilah cekcok mulut yang cukup
panas dalam bahasa Rusia. Dua perempuan itu
saling mencaci dan mengumpat dengan kata-kata
tidak terpuji. Sebagian Ayyas paham, sebagian
tidak paham samasekali. Ayyas hanya diam. Ia
tidak mau terlibat urusan yang tidak ada manfaat-
nya, malah banyak celakanya seperti itu.
Selesai zikir Ayyas menyalakan laptopnya. Ia
merasa beruntung, di kawasan itu ada sinyal wifi
gratis. Ia bisa online kapan saja. Ketika jaringan
wifi itu dibuat tanpa pasword dan bisa diakses
siapa saja berarti memang digunakan untuk
umum. Atau pemiliknya sengaja membuka
jaringan internet miliknya boleh digunakan siapa
saja. Ayyas ingin lebih tahu siapa Doktor Anastasia
Palazzo. Ia menulis nama itu dalam situs -situs
pencarian. Cukup banyak yang memuat nama
Anastasia Palazzo. Yang jelas, asisten Profesor
Tomskii itu bukan orang sembarangan. Ia orang
yang cerdas dan brilian. Ia lahir di kota
Novgorod. Menyelesaikan SI di St. Petersburg
University, S2 di Calcutta, India, S3 di Cam-
bridge, London. Kepakarannya adalah pendidik-
an ilmu sejarah dan filologi. Anastasia Palazzo
menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Rusia ia
menguasai bahasa Inggris, Perancis, Yunani,
Kazakh, Urdu dan Ibrani. Mau tidak mau Ayyas
harus mengagumi orang yang akan menjadi pem-
bimbing penelitiannya selama di Moskwa ini.
Ayyas juga membaca dua blog yang ditulis Dokt-
or Anastasia Palazzo, sehingga Ayyas cukup
mengerti riwayat hidup doktor muda itu. Baginya
itu sudah cukup untuk bekal bertemu pembimb -
ingnya itu. Pagi ini ia janji dengan pakar filo
logi itu. Sebenarnya ada yang tidak nyaman di hatinya
ketika ia harus dibimbing Anastasia Palazzo. Ia
merasa lebih nyaman melakukan penelitian
sendiri. Bukan karena Anastasia Palazzo masih
muda dan ia meragukan kemampuan ilmiahnya,
samasekali bukan. Ia bukan jenis manusia yang
tinggi hati untuk belajar kepada yang muda,
bahkan kepada yang lebih muda darinya ia pun
siap. Yang membuatnya tidak nyaman adalah
Doktor Anastasia Palazzo seorang perempuan
muda. Cantik, cerdas, dan memesona! Tiga kar-
unia Tuhan yang jarang dipadukan kepada kaum
hawa, itulah masalahnya bagi Ayyas.
Meskipun Ayyas yakin Anastasia Palazzo
pasti akan sangat menjaga kesopanan ber-
pakaiannya tidak seperti Yelena, tapi justru itulah
ujiannya. Yelena jelas ujian yang tidak ringan ba-
ginya, tapi hanya dengan melihat caranya ber-
pakaian alam bawah sadarnya secara otomatis
langsung menolaknya. Sedangkan Anastasia
yang cukup rapat menutup badannya dengan
segala prestasi akademiknya telah membuatnya
kagum dan hormat. Imannya merasa tidak aman
jika banyak berdekatan dengan Anastasia Palazzo
yang kata Profesor Tomskii, yang bisa
menaklukkannya adalah pemuda yang beruntung.
Jam sepuluh ia harus sudah ada di ruangan
Profesor Tomskii. Di ruangan yang nyaman itu-
lah ia akan bertemu dengan Anastasia Palazzo.
Tepat jam delapan ia keluar kamar. Yelena telah
rapi seperti biasa ketika akan berangkat kerja, la
agak nyaman melihat Yelena tertutup rapat
pakaian musim dingin. Yang nampak hanya wa-
jah putihnya dan sedikit rambut pirang yang ia
biarkan tergerai. Sebagian rambut itu tertutup
syal yang melingkar di lehernya. Yelena terseny-
um padanya, Ayyas berusaha tersenyum.
"Dabroye Utra, Ayyas. Mau ke MGU"" Sapa
Yelena. "Dabroye Utra, Yelena. Ya aku mau ke MGU.
Kau sudah mau berangkat kerja"" Jawab Ayyas,
lalu balik bertanya. "Tidak. Hari ini aku cuti, aku ada janji dengan
seorang teman di Lyublino. Dari pagi aku ketuk
kamarmu beberapa kali. kelihatannya kau masih
tidur. Pasti kau sangat kelelahan."
"Ya tadi malam aku merasa letih dan lelah.
Tapi pagi ini sudah bugar alhamdulillah"
"Kita keluar bareng sampai stasiun""
"Mari." Jawab Ayyas sambil bergegas jalan
duluan. Di luar angin yang bertiup sangat dingin
menyambut mereka berdua. Ayyas mulai merasa
dingin. Kondisi pagi itu sangat berbeda dengan
pagi sebelumnya. Langit buram oleh mendung.
Kabut terasa tebal. Salju menggunung di pinggir
jalan. Rumput-rumput samasekali tidak ada yang
kelihatan.
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berjalan Ayyas meminta kepada
Yelena agar kalau di ruang tamu berpakaian lebih
rapat.' Kalau berpakaian seperti tadi malam se-
baiknya saat di kamar saja. Yelena agak kurang
suka dengan permintaan Ayyas. Yelena malah
menjawab, "Kau baru datang, jangan mengatur
aku!" Ayyas minta maaf jika ada perkataanya
yang,menyinggung perasaan Yelena. Bukan itu
yang diinginkannya. Ia mengatakan hanya ingin
menciptakan kenyamanan di ruang tamu, sebab
itu milik bersama. Itu ibarat lobby sebuah hotel.
"Jadi kau merasa tidak nyaman melihat aku
berpakaian seperti tadi malam"" Tanya Yelena.
"lya, maaf. Aku sangat tidak nyaman""
"Kenapa" Apa aku menyakitimu dengan
pakaianku itu""
"Menyakiti secara fisik tidak, tapi secara psi-
kis iya. Melihatmu dengan pakaian seperti itu
imanku bisa runtuh." Ayyas berterus terang.
"Ah iman! Buang saja imanmu itu ke tong
sampah, maka tidak akan ada yang runtuh. Kau
akan nyaman, hidup tanpa aturan iman!"
"Justru kalau aku tidak ditertibkan oleh aturan
iman, aku akan diperbudak oleh penjajahan hawa
nafsu, ini lebih tidak nyaman lagi."
"Kalau begitu aku akan membantumu mer-
untuhkan imanmu. Percayalah tanpa aturan iman
kau akan hidup bebas dan nanti kau akan merasa
jauh lebih nyaman. Dan hawa nafsu itu tidak ada,
yang ada adalah tuntutan diri kira kepada diri kita
sendiri. Kalau kita memenuhinya kita akan mera-
ba nyaman." "Sejarah berkata lain. Banyak orang stres,
tidak nyaman hidupnya dan bunuh diri, justru
ketika ia hidup sangat bebas tanpa aturan agama.
Ada aturan agama tapi diacuhkannya samasekali.
Dan banyak orang yang merasa nyaman karena
hidup bebas, tapi sebenarnya jiwanya sakit dan
batinnya tersiksa ole h kehampaan dan rasa sia-sia
menjadi manusia." "Orang beragama pun ada yang stres, dan
bunuh diri. Sama saja."
"Tidak sama. Yang seperti itu karena tidak
benar-benar memahami dan menghayati ajaran
agama dengan sungguhsungguh. Kalau sungguh-
sungguh mengamalkan ajaran agama, yang ter-
cipta hanya kebahagiaan dan kesejahteraan."
"Agaknya, terlalu kuat doktrin agama itu
meracuni otakmu!" Kata Yelena dengan nada
sinis. Ayyas tersentak kaget mendengar kata-kata
Yelena yang pedas, sinis dan bernada mer-
endahkan itu. Ketidaksukaan Yelena pada agama
kelihatannya sudah mengkristal. Stasiun
Smolenskaya tinggal beberapa langkah lagi. Ayy-
as merasa tidak perlu mencurahkan segenap en-
ergi meladeni seorang atheis radikal seperti
Yelena. Yang perlu untuk dia ketahui justru se-
jarah hidup Yelena. Kenapa dia bisa begitu anti
kepada segala yang beraroma agama, padahal se-
belumnya ia pernah beragama" Apa yang
menyebabkannya berbalik dari yang beriman ke -
pada Tuhan menjadi orang yang menafikan
Tuhan" "Bagiku agama yang aku yakini adalah sum-
ber utama kesehatan otak, jiwa dan batinku.
Agama bukan racun. Justru agama yang benar
adalah penawar segala racun yang mengotori
otak dan jiwa manusia. Kita cukupkan sampai di
sini dulu Yelena. Biarlah sejarah yang menilai
pendapat siapa yang benar di antara kita." Jawab
Ayyas sebelum keduanya berpisah di dalam stasi-
un Smolenskaya. Ayyas menuju MGU, sement-
ara Yelena menuju Lyublino.
*** Ayyas mengira ia akan lebih dulu sampai di
ruang Profesor Tomskii daripada Anastasia
Palazzo. Ternyata perkiraannya salah. Ketika ia
sampai di depan pintu ruangan itu, pintu itu telah
terbuka sedikit, lampunya menyala benderang,
seorang perempuan berwajah segar telah ada di
sana, duduk di sofa sambil membaca sebuah
buku tebal. Perempuan itu adalah Doktor
Anastasia Palazzo. Ayyas berdiri di depan pintu dan menyapa
pelan dengan dada sedikit bergetar, "Dabroye
Utra,( Selamat pagi) Doktor!"
"Hei, Dabroye Utra. Kau sudah datang Ayy-
as." Jawab Anastasia Palazzo sambil meletakkan
buku tebal yang dibacanya ke atas meja. Anastas -
ia Palazzo tersenyum ramah pada Ayyas. "Kau
datang setengah jam dari janji kita. Kau kelihatan
bersemangat." Lanjut Anastasia.
"Ya, tidak mau terlambat. Ternyata masih le-
bih lambat dari Doktor." Sahut Ayyas sambil
melepas palto dan sepatunya yang agak basah. Ia
lalu memakai sandal ruangan yang tersedia di
dekat pintu. "Kau tidak lebih lambat dari saya, hanya mun-
gkin saya lebih cepat darimu. Saya selalu ingin
lebih dulu dari orang lain. Jadi, apa langsung saja
kita mulai"" "Saya ikut Doktor."
"Baik. Silakan duduk. Saya ingin menjelaskan
beberapa hal penting kepadamu." Kata Anastasia.
Ayyas melangkah masuk dan hendak duduk.
"Maaf bisa ditutup pintunya." Pinta Anastasia.
Meskipun Ayyas merasa lebih nyaman kalau
pintu itu terbuka, tapi kedua kakinya tetap meng-
gerakkannya untuk melangkah menutup pintu.
Inilah hal yang ia cemaskan. Berdua dengan per-
empuan yang tidak halal baginya dalam satu ru-
angan tertutup. Ia bukan malaikat, ia pemuda bi-
asa yang bisa terpikat pada lawan jenis, apalagi
yang secerdas, secantik dan sesegar Anastasia
Palazzo. Kata-kata Profesor Tomskii kembali
terngiang dalam telinganya, "Kau pasti senang
dibimbing asistenku. Dia bisa diandalkan dan
yang penting dia masih muda dan cantik. Kau
suka wanita cantik""
Kata-kata Profesor Tomskii itu justru menam-
bah ujian bagi keteguhan dirinya memegang
iman dan ajaran agama yang diyakininya.
"Jadi kau akan menulis tesis tentang sejarah
modern. Kau mau menulis tesis tentang Sejarah
Islam di Rusia atau dulunya Uni Soviet, fokus
pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa
Pemerintahan Stalin. Benar"" Tanya Anastasia
Palazzo setelah Ayyas duduk.
"Be benar, Doktor." Jawab Ayyas dengan
suara agak tergagap dan bergetar. Parfum Doktor
Anastasia yang tercium olehnyalah yang sesung-
guhnya membuat detak jantungnya tidak beratur-
an. Ia berusaha menenangkan pikiran dan jiwan-
ya dengan istighfar dalam hati.
"Kau agak gugup ya"" tanya Doktor Anastasia
Palazzo melihat tingkah Ayyas.
"Ya. Sedikit." Jujur Ayyas.
"Kenapa"" "Entahlah." "Kau in gin spesialis di kajian Sejarah Islam
Modern atau kajian Sejarah Rusia Modern""
"Sejarah Islam Modern terlalu luas, Rusia
Modern juga luas. Saya ingin yang lebih spesifik,
yaitu kajian Sejarah Islam Modern di Rusia
Modern." "Bagus. Berarti kau paham benar tentang pent-
ingnya fokus. Saya ingin sedikit bertanya
kepadamu, sebelumnya maaf kalau terkesan
menguji"" "Diuji pun tidak masalah, sebagai pembimb -
ing yang dipercaya Profesor Tomskii Anda boleh
menguji saya." "Kau kelihatannya begitu bersemangat mem-
pelajari sejarah. Sebenarnya manfaat apa yang
kaudapatkan dari sejarah""
Ayyas memejamkan kedua matanya. Dirinya
benar-benar diuji oleh Doktor Anastasia. Ini
semacam ujian lisan. Ia harus menjawab dengan
baik. Ia tidak mau Doktor Anastasia bercerita ke-
pada Profesor Tomskii bahwa dirinya bodoh,
buta tentang segala hal yang berkaitan dengan
ilmu sejarah. Ia harus menunjukkan bahwa dir-
inya sebenarnya tidak perlu diuji lagi dengan
pertanyaan-pertanyaan sepele seperti itu. Sudah
saatnya dirinya diajak berdialog sejajar dengan
siapa pun. Maka ia tidak mau men jawab seperti
anak SD ketika ditanya oleh gurunya,
jawabannya seperti hafalan, persis seperti yang
tertulis dalam buku teks. Ia akan menjawab per-
tanyaan itu dengan cara yang sedikit berbeda.
Dengan bahasa Inggris yang fasih, Ayyas berkata
tenang, "Wah saya merasakan banyak sekali manfaat-
nya Doktor. Misalnya, yang saya rasakan saat ini,
dengan mempelajari sejarah saya bisa mencium
harumnya parfum seorang gadis cantik Rusia,
saya sesekali bisa memandangi wajahnya yang
segar, saya bahkan bisa melihat kecantikan tsar-
ina Rusia yang ditulis dalam buku-buku sejarah
itu langsung. Bahkan lebih dari itu saya bisa me-
lihat perpaduan kecantikan tsarina Rusia dan
wibawa kaisar Roma. Pemandangan yang tidak
akan saya dapat kalau saya mempelaj ari Arit-
matika yang hanya berjejal angka-angka.
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa men-
genal sosok yang bisa menginspirasi untuk lebih
maju. Sosok yang masih sangat muda sudah
meraih gelar doktor. Sosok yang tumbuh dalam
murninya udara Novgorod, kota para kesatria.
Sosok yang sejak kecil dijaga kesuciannya oleh
ibunya yang teguh memegang ajaran agamanya.
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa meli-
hat mukanya yang marah ketika gurunya menga-
jarkan teori Darwin. Sosoknya benar-benar
murni. Di kamarnya, di depan cermin ia berkata
sambil memandangi wajahnya, 'Kata Darwin kau
keturunan kera. O tidak, tidak! Darwin itu bodoh!
Kau keturunan ibumu yang anggun. Dan ibumu
keturunan dari ibunya yang lebih anggun, begitu
terus. Nenek moyangmu adalah manusia. Darwin
salah menulis asal-usul manusia!
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa menci-
um aroma darah yang mengalir dari para pendu-
duk kota St. Petersburg ketika mati-matian mem-
pertahankan kotanya dari serbuan Nazi Jerman
dalam perang dunia kedua. Juga saya bisa menci-
um aroma parfum gadis itu ketika ia duduk di
bangku St. Petersburg University.
"Saya bisa merasakan angan-angannya untuk
kuliah di Sorbonne, Paris, sehingga ia berdarah-
darah mempelajari bahasa Perancis, sampai saya
bisa mendengar dia berteriak-teriak melafalkan
kosa kata Perancis seperti orang gila di
kamarnya. Tekadnya luar biasa. Lalu saya bisa
melihat bening-bening tetes airmatanya ketika
ibunya melarangnya pergi ke Paris. Ibu dan
ayahnya memaksanya untuk ikut ke India karena
tugas negara. Terpaksa ia kuliah di kota yang ku-
muh dan sering banjir, di kota Calcutta. Tapi se-
mangat gadis itu seolah melebihi Mahatma
Gandhi, semakin sengsara semakin dahsyat. Di
Calcutta, dengan s egala penderitaannya ia bisa
menyelesaikan masternya dengan gemilang, yang
karenanya seorang profesornya mengusahakan
beasiswa untuknya di Cambridge University.
Dan gadis itu akhirnya menyelesaikan doktor se-
jarahnya dengan gemilang. Salah seorang pen-
gu jinya langsung menariknya ke Moskwa untuk
menjadi asistennya. "Dengan mempelajari sejarah saya bisa mema-
hami kenapa gadis itu mengepalkan tangannya di
depan patung Stalin. Saya bisa memahami
kenapa ia menantang Stalin dengan mata merah
menyala dan mengatakan, 'Hai Stalin, jika Her-
bert Morrison mengatakan bahwa kau adalah or-
ang besar, hanya saja kau bukan manusia yang baik. Maka aku
katakan kau adalah manusia kerdil dan bahkan
tidak layak disebut manusia!' Saya juga bisa
mendengar suaranya yang lembut ketika merayu
Tuhan untuk memberikan tempat terbaik bagi
ayah yang dicintainya ketika ayahnya itu mening-
gal. Dengan membaca dan mempelajari sejarah
saya bisa merasakan pengalaman-pengalaman
manusiawi yang indah, yang jika ditulis bisa
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi karya sastra yang dahsyat dengan segala
genrenya." Kini Doktor Anastasia Palazzo yang gantian
berdegup tak teratur jantungnya. Tubuhnya sep -
erti melayang karena merasakan efek dahsyat
dari kata-kata Ayyas, yang sebenarnya mencer-
itakan perjalanan hidupnya sejak kecil sampai ia
mengajar di Universitas Negeri Moskwa. Ayyas
menjawab manfaat mempelajari sejarah dengan
bahasa sindiran yang halus. Hampir seluruh man-
faat dan fungsi mempelajari se jarah telah diuraik-
an secara tersirat oleh Ayyas. Kegunaan sejarah
yang dirumuskan Louis Gotschalk terjabarkan
dengan indah. Kegunaan edukatif, instruktif, in-
spiratif, dan rekreatif terselip rapi dalam pen-
jelasan Ayyas. Bahkan manfaat sejarah seperti yang diru-
muskan Robert Jones Shafer ada di ujung kalimat
Ayyas. Bahasa Ayyas bahkan terasa lebih ang-
gun. Ketika Robert Jones Shafer mengatakan, di
antara manfaat sejarah adalah "memperluas
pengalaman-pengalaman manusiawi", Ayyas
membahasakannya dengan "bisa merasakan
pengalaman-pengalaman manusiawi yang indah,
yang jika ditulis bisa menjadi karya sastra yang
dahsyat dengan segala genrenya."
Lebih dari itu, belum pernah ada orang yang
menyanjung dirinya seindah dan seanggun Ayy-
as. Meskipun Ayyas tidak terang-terangan
menyebut namanya dalam sosok yang dicer-
itakannya itu, tapi sosok itu adalah dirinya. Itulah
yang justru membuat hatinya bergetar. Jujur ia
ingin ada namanya disebut dalam penjelasan itu,
tapi samasekali tidak disebut oleh Ayyas. Jiwan-
ya sebagai perempuan muda yang suka dipuji
kecantikan dan kelebihan-kelebihannya terbit.
Maka ia tidak bisa mencegah hatinya untuk
bertanya, "S s siapakah sosok, yang katamu memiliki
perpaduan kecantikan Tsarina Rusia dan wibawa
Kaisar Roma itu""
Suara Anastasia bergetar, mukanya kemerah-
merahan. Ayyas tersenyum. Ia merasa sudah di atas
angin. "Doktor Anastasia adalah pakar sejarah je-
bolan Cambridge, pasti sangat menguasai teori
inrerprestasi sejarah. Silakan Doktor tafsirkan
sendiri, siapakah sosok itu. Yang jelas sosok itu
jika gugup mukanya memerah, sehingga
kecantikan tsarina tercantik pun lewat olehnya."
Tubuh Anastasia seperti melayang
mendengarnya. Ada kebahagiaan dan keindahan
luar biasa yang tiba-tiba dirasakannya. Dalam
hati ia menjerit kecil, "Oh, puji untuk-Mu
Tuhan!" *** 8. Pertarungan Sengit Hari mulai gelap. Salju tipis turun perlahan.
Ayyas melangkahkan kakinya dengan cepat men-
inggalkan stasiun Prospek Mira. Ia memilih ber-
jalan daripada naik trem. Ia ingin benar-benar
merasakan dirinya menyatu dengan bumi Allah
yang bersalju. Dan salju-salju turun sambil terus
bertasbih kepada Allah. Ayyas melangkah melewati jalan yang digen-
angi salju tipis. Pohon cemara araukaria bergoy-
ang menggugurkan butiran-butiran salju dari
pucuk-pucuk dedaunannya. Ayyas semakin
menggigil, bibirnya terus berzikir. Masih empat
ratus meter lagi jarak yang harus ia tempuh. Di
depannya nampak stadion Olimpiski yang ata-
pnya putih oleh sepuhan salju. Ayyas terus ber-
jalan, tak lama kemudian ia belok kiri menyusuri
jalan Durova. Sedetik kemudian kedua mata
Ayyas melihat kubah bulat di sudut komplek
Olimpiski. Ayyas semakin mendekat. Ia
merasakan kebahagiaan luar biasa bahwa
akhirnya ia melihat sebuah masjid.
Di Moskwa benar-benar ada masjid. Dan yang
ada di hadapannya adalah masjid yang cukup in-
dah. Bangunan berwarna biru toska, kubah bulat,
menara runcing dengan ujung bulat sabit. Itulah
masjid agung bagi umat Islam di kota Moskwa.
Masjid paling besar di antara lima masjid. Orang-
orang menyebutnya Moskovsky Soborni Mechet
atau Masjid Agung Moskwa. Sementara orang-
orang yang ada di KBRI, seperti Pak Akmal Hi-
dayat men yebut masjid itu sebagai Masjid Pusat
Prospek Mira atau Masjid Prospek Mira. Ada
juga yang menyebut Masjid Olimpiski karena ter-
letak nempel dengan stadion Olimpiski yang per-
nah menjadi tuan rumah olimpiade olahraga se-
dunia tahun 1980. Ayyas memasuki masjid. Ada puluhan orang
di dalam masjid yang sedang membaca Al-Quran
dalam kelompok melingkar. Azan Maghrib lima
menit lagi. Ayyas mengambil air wudhu lalu du-
duk membaca Al-Quran tak jauh dari lingkaran.
Azan berkumandang. Panggilan cinta dari Al-
lah. Begitu sejuk, begitu merdu. Ayyas
meneteskan airmata. Setelah berhari-hari di
Moskwa, baru kali ini ia mendengar suara azan.
Dan baru kali ini ia akan shalat berjamaah di
masjid. Di Moskwa ada azan. Laa ilaaha ilallah! Ti-
ada Tuhan selain Allah. Hati terasa damai. Suara
imam masjid ketika membaca Al -Quran dalam
shalat begitu menyentuh. Ayyas merasakan shal-
atnya kali ini terasa sangat berbeda dan istimewa.
Shalat berjamaah di tengah musim dingin di kota
Moskwa. Setelah shalat sang imam membacakan
tiga hadis dari kitab Sahih Bukhari lalu men-
jelaskannya secara ringkas dalam bahasa Rusia.
Setelah mendengarkan penjelasan sang imam,
jamaah bubar. Ada yang shalat sunah. Ada yang
keluar masjid. Ada yang tetap duduk berzikir.
Dan ada yang membaca Al-Quran. Ayyas shalat
dua rakaat lalu mendekati imam. Ia mem-
perkenalkan dirinya kepada sang imam dan
menyampaikan tujuannya berada di Moskwa.
Imam itu berusia sekitar lima puluh tahunan.
Masih gagah. Ia berasal dari kota Kazan,
Tatarstan. Namanya H asan Sadulayev.
"Jadi kamu pernah kuliah di Madinah"" Tanya
sang imam. "Iya Imam." Jawab Ayyas.
"Alhamdulillah. Pernah belajar pada Syaikh
Abu Bakar Al Jazairy""
"Alhamdulillah pernah Imam."
"Alhamdulillah. Aku bahagia berkenalan
denganmu. Jika kamu ada waktu, kamu bisa
membantu memakmurkan masjid ini.
"Insya Allah, Imam."
"Terus sekarang sedang menyelesaikan master
bidang sejarah. Kamu ke Moskwa ini dalam
rangka penelitian untuk tesismu""
"Benar, Imam." lentang apa" "Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Ke-
hidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan
Stalin"" "Bagus itu. Tapi kenapa pada masa Stalin
saja"" "Agar lebih fokus Imam."
"Kamu benar. Aku juga pernah membuat tesis
seperti kamu. Bachelor aku selesaikan di
Universitas Damaskus Syiria dan Master aku se-
lesaikan di Birmingham, Inggris, dalam bidang
hukum Islam." "O, masya Allah."
"Maksudku kenapa di masa Stalin saja, tidak
juga masa Lenin. Menurutku kau akan tetap fok-
us meskipun menggarap apa yang terjadi pada
umat Islam di negeri ini pada masa Lenin dan
Stalin. Pasti akan lebih mantap."
"Masukan dari Imam Hasan sangat saya per-
timbangkan. Saya mendapat karunia tak ter-
hingga bertemu Imam. O ya Imam, ini
jamaahnya cuma segitu jumlahnya"
"Malam ini agak sedikit karena cuaca yang
dingin sekali. Biasanya ratusan, bahkan ribuan.
Kalau hari Jum'at tidak muat. Kalau Ramadhan
selalu penuh. Kita sedang merenovasi dan mele -
barkan beberapa sisi. "Setelah ini kau mau ke mana""
"Menunggu shalat Isya terus pulang Imam."
"Tinggal di mana""
"Di sebuah apartemen di Panfilovsky Pereu-
lok, dekat stasiun Smolenskaya."
"Dekat The White House Residence"" "Ya. Di
depannya Imam." "Kalau begitu kau bisa ikut satu mobil dengan
aku. Aku mau ke The White House Residence.
Ada seorang teman lama saat kuliah di Birming-
ham dulu. Dia dari Spanyol sedang menginap di
sana. Aku ingin menemuinya."
"Terima kasih Imam, jazakallah khaira
(Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) "
"Wa iyyakum" (Dan semoga juga kamu
(mendapat balasan kebaikan dari Allah))
*** Ayyas mengikuti Imam Hasan Sadulayev ke -
luar masjid. Salju tipis sudah berhenti turun. Tapi
angin dingin tetap berhembus agak kencang.
Udara dingin membuat Ayyas mengatupkan
rahangnya kuat-kuat dan giginya gemerutuk. Ia
bersyukur memakai pakaian musim dingin
lengkap standar Rusia. Jika ia memakai pakaian
seperti pertama kali datang, pasti kakinya sudah
kaku. "Maaf kita harus jalan agak jauh." Kata Imam
Hasan. "Tidak masalah Imam. Tadi saya juga jalan
dari stasiun Prospek Mira."
"Biasanya saya memarkir mobil di tempat
parkir masjid. Tapi tadi pagi s
aya berangkat ter- lalu dini. Jalan menuju masjid masih dipenuhi
salju, petugas pembersih salju belum datang, se-
hingga mobil saya parkir di jalan agak dekat stas -
iun Prospek Mira." "Itu tidak jauh Imam."
"Alhamdulillah, kau benar-benar pemuda
yang bersemangat." "Sejak kapan Imam diamanahi masjid ini""
"Sejak tujuh tahun yang lalu. Ah tunggu agak
pelan sedikit. Kasihan Aminet, agak susah dia
mengikuti kita." Kata Imam Hasan sambil men-
engok ke belakang. Ayyas ikut menengok. Ia
baru menyadari kalau ada seorang perempuan
yang berjalan dua puluh meter di belakang
mereka. "Istri Imam"" Tanya Ayyas.
"Tidak. Dia adik saya. Masih kuliah di MGU."
"Fakultas apa""
"Kedokteran." Mereka terus berjalan menapaki jalan bersalju.
Ayyas langsung akrab dengan Imam Hasan, seo -
lah keduanya adalah sahabat lama yang bertahun-
tahun tidak bertemu. Jiwa keduanya seolah-olah
pernah bertemu sebelumnya. Imam
Hasan bercerita kalau dulu selama di Syiria ia
banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka
Syiria seperti Syaikh Ahmad Kaftaro, Syaikh
Muhammad Sa'id Ramadhan El Bouthi, Syaikh
Nuruddin Itr, bahkan sempat juga belajar ilmu
hadis pada Syaikh Abu Fattah Abu Ghuddah.
Akhirnya mereka sampai di tempat mobil di -
parkir. Imam Hasan membuka pintu mobil sedan
yang atapnya tertimbun salju. Agak susah. Imam
Hasan terus berusaha. Dengan sedikit kesabaran
akhirnya pintu mobil terbuka. Beberapa jurus
kemudian mobil itu sudah menyala. Ayyas mas -
uk duduk di bagian depan, di samping Imam
Hasan. Aminet duduk di bangku belakang. Mobil
Zhiguli buatan Rusia itu lalu melaju perlahan-
lahan. Roda-rodanya menyibak salju di jalan.
Mobil Zhiguli merah tua itu melaju ke selatan
dengan tenang di atas aspal Stretenka Ulista, lalu
melewati Bolshaya Lubyanka Ulista. Tak lama
kemudian sampai di bundaran dekat stasiun
Lubyanka, lalu belok kiri menelusuri Teatralny
Proezd. Ayyas seolah tidak mengedipkan kedua
matanya sedikit pun. Ia menikmati betul peman-
dangan malam di Moskwa di tengah musim din-
gin. Kendaraan masih ramai. Di beberapa tempat
mobil-mobil berjalan lamban seperti semut. Di
beberapa titik terjadi kemacetan. Mobil buatan
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rusia yang sudah tua berbaur dengan mobil
buatan Jepang yang mulai dekil . Mobil-mobil
mewah terbaru juga nampak sesekali.
"Tahun 2003 yang lalu Rusia mengimpor mo-
bil bekas dari Jepang besar-besaran. Akibatnya
ya seperti ini, jalanan jadi penuh sesak." Kata
Imam Hasan pada Ayyas. Ayyas melihat beberapa papan reklame yang
sangat berbau kapitalis. Papan-papan iklan ber-
ukuran besar-besar itu menawarkan produk in-
dustri modern Amerika, Eropa dan Jepang seperti
minuman ringan, ponsel, jam tangan, bir, kos -
metik dan produk-produk lainnya yang dulu per-
nah dikecam habis -habisan sebagai produk
kapitalis. Produk-produk yang dulu dilarang mas -
uk kini membanjiri Moskwa.
Imam Hasan membelokkan Zhigulinya ke
arah Arbatskaya. Beberapa menit kemudian mo-
bil itu sudah meluncur di atas aspal Arbat Ulista
menuju stasiun Smolenskaya. Memasuki Pan-
filovsky Pereulok, Imam Hasan berpesan pada
Ayyas, "Bertakwalah kepada Allah selama di
Moskwa ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian
imannya di sini tidak ringan. Ini adalah negara
paling bebas di dunia . Penganut free sex, dan
pengakses situs porno terbesar di dunia. Ke-
bebasan di Amerika maupun Belanda sekalipun,
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
Rusia ini. Kamu harus ekstra hati-hati. Kalau
kamu memerlukan bantuanku jangan segan."
"Baik, Imam." Jawab Ayyas.
Di depan The White House Residence, mobil
itu berhenti. Ayyas turun dan langsung memasuki
apartemen yang ada di depannya, sementara
Imam Hasan dan Aminet memasuki The White
House. Ayyas menaiki tangga dengan hati baha-
gia. Ia merasa menemukan satu sumber peneli-
tian yang bagus. Ia bisa bertanya kepada Imam
Hasan Sadulayev banyak hal. Dan pasti beliau
akan bisa menunjukkan orang-orang Muslim
Rusia yang bisa ditanya untuk pengumpulan
datanya. Ayyas sudah sampai di depan pintu aparte-
mennya. Ia melihat jam tangannya. Pukul
setengah sembilan. Yelena dan Linor mungkin
sudah pulang. Jika mereka sudah pulang, ia ber-
harap, Yelena tidak l agi memakai pakaian yang membuka aurat di ruang tamu. Dan Linor semoga
tidak seperti Yelena. Ayyas membuka pintu dan terkejut bukan ke -
palang. Ayyas menyaksikan adegan yang tidak
boleh disaksikan oleh siapapun. Ayyas langsung
memalingkan mukanya dan beristighfar sejadi-
jadinya. Di atas sofa Linor bergumul dengan se-
orang lelaki bule dan melakukan hal yang dihara-
mkan oleh semua agama. Tubuh Ayyas langsung
kaku. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Hei
kawan kenapa berdiri saja di situ, kemarilah!"
Lelaki bule itu menyapanya dan terang-terangan
mengajaknya berbuat dosa besar yang tidak per-
nah dibayangkannya samasekali.
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa
ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Suara Imam Hasan langsung
berdengung di telingannya dan menyebarkan
kekuatan iman ke seluruh syaraf -syarafnya.
Ayyas membaca istiadzah dan meludah ke
kiri tiga kali. Lalu melewati ruang tengah dengan
cepat dan masuk ke kamarnya tanpa menoleh
sedikit pun ke arah dua setan terkutuk itu. Ayyas
membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia
mendengar sumpah serapah lelaki bule itu. Dan
sebentar kemudian ia masih mendengar suara ke-
maksiatan dari ruang tamu itu. Ayyas langsung
menyalakan laptopnya dan membunyikan
murattal sekeras -kerasnya sampai ia merasa
aman. Ia tidak pernah membayangkan akan menyak-
sikan adegan kemaksiatan yang keji itu. Baru saja
ia bertemu dengan orang saleh, yaitu Imam Has -
an Sadulayev, dan mendapat banyak masukan
dan nasihat yang indah, ia langsung berhadapan
dengan sepasang setan berwajah manusia yang
melakukan perbuatan keji. Ia sedikit merasa ber-
untung, Imam Hasan baru saja menasihatinya,
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa
ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Nasihat Imam Hasan itu sangat
membantunya. Imam Hasan Sadulayev seolah
mengerti kalau dia akan menghadapi ujian iman
yang dahsyat di Moskwa. Ayyas mengambil air wudhu lalu shalat. Ia
teringat sabda Rasulullah Saw., "Dan ikutilah
perbuatan dosa dengan amal kebaikan, maka
amal kebaikan itu akan menghapusnya." Ia mer-
asa bahwa melihat adegan tidak senonoh itu,
meskipun tidak ia sengaja adalah dosa. Ia bahkan
merasa dosa itu sangat besar, la sangat takut seo -
lah ada gunung yang runtuh mau menimpanya. Ia
ingin menghapus dosa itu dengan rukuk dan
sujud kepada Allah Swt. Dalam sujud berulang kali ia memohon am-
pun kepada Allah. Berulang kali ia ucapkan doa
Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan.
"Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau
(ya Allah), sungguh aku termasuk orang-orang
yang zalim.". Ayyas menangis memohon kepada Allah agar
tidak diuji dengan ujian yang ia tidak mampu
melewatinya dengan selamat. Ia minta dilindungi
oleh Allah, diteguhkan hatinya untuk tetap lurus
memegang ajaran Islam yang mulia.
Ayyas masih tersungkur dalam sujudnya, mur-
attal di laptopnya tetap menyala, tiba-tiba pintu
kamarnya digedor dengan sangat kerasnya.
Ayyas agak kaget. Ia lanjutkan shalatnya. Pintu
kamarnya kembali digedor-gedor. Selesai salam,
Ayyas bangkit dengan kemarahan yang langsung
menyala. Siapa yang tidak memiliki sopan santun
itu" Mau apa dia menggedor-gedor pintu
kamarnya seperti orang gila"
Ayyas membuka pintu kamarnya, dan di
hadapannya seorang lelaki bule muda berdiri
tegap memelototinya. Di belakangnya berdiri
Linor yang berpakaian seadanya dengan mimik
wajah yang sangat buruk. Bule itu hanya men-
genakan celana panjangnya. Telunjuk kanan bule
itu langsung menuding ke arah Ayyas, dan
berkata kepada Ayyas dengan nada menghardik,
"Hai brengsek! Suara dari laptopmu itu meng-
ganggu kami! Kau mau aku pecahkan laptopmu
itu!" Mendengar kata-kata yang sangat memusuhi
dan mengintimidasi itu kemarahan Ayyas se-
makin bertambah. Keberaniannya naik berlipat-
lipat. Spontan Ayyas menjawab,
"Hai setan busuk, jaga mulutmu! Ingat, sekali
lagi aku melihat kalian melakukan perbuatan keji
seperti binatang di ruang tamu ini, aku pecahkan
kepala kalian!" Kalau melakukan perbuatan keji
itu pergilah sana ke kandang babi, jangan mengo -
tori ruang tamu ini! Ruang tamu ini hanya untuk
man usia, tidak untuk babi-babi kurap seperti
kalian!" Bule Rusia itu mengatupkan rahangnya,
giginya bergemeretak, matanya semakin mem-
erah. Amarahnya tidak tertahan lagi. Ia langsung
menyarangkan pukulan ke rahang Ayyas. Ia ingin
menghajar Ayyas sejadi- jadinya. Tapi ia terlalu
menganggap enteng Ayyas. Pemuda Indonesia
yang pernah belajar karate selama enam tahun se-
jak dari SMP itu dengan mudah mengelak,
bahkan langsung menyarangkan pukulan ke ulu
hati bule itu. Bule itu terhuyung ke belakang.
Ayyas maju satu langkah. Pandangannya ber-
putar menyapu seluruh ruangan dengan cepat.
Pertarungan tak terelakkan. Ia langsung mem-
pelajari medan perang, sebab ia harus menang.
Kebenaran harus ditegakkan. Kekejian harus
disingkirkan. Lelaki bule itu mengumpat dan langsung
mengambil kuda-kuda. Ayyas langsung tahu
kemampuan apa yang dimiliki lawannya. Itu ada-
lah yudo. Ayyas berdiri tenang. Matanya
menatap lelaki bule itu dengan tajam. Ayyas
memberi isyarat kepada bule itu agar menyer-
angnya kalau berani. Bule itu bergerak cepat mel-
ancarkan tendangan lurus ke dada Ayyas dengan
kaki kanan. Gerakan Ayyas lebih cepat, dengan
reflek ia menghindar ke samping kanan. Tendan-
gan bule itu mengenai angin kosong. Belum sam-
pai kaki kanan bule itu menjejak lantai, Ayyas
sudah menendang selangkangan bule
itu dengan tumit kaki kanannya sekeras -ker-
asnya. Tendangan itu mengenai sasarannya. Dan
terdengarlah bunyi "plak!" sangat keras.
Linor yang menyaksikan hal itu menjerit dan
gemetar. Bule itu mengaduh, hendak roboh. Saat
kedua lutut bule itu hendak menyentuh lantai,
Ayyas mengirim tendangan berikutnya dan tepat
mengenai rahang bule itu. Seketika terdengarlah
bunyi "krak!". Darah mengalir dari mulut bule
itu. Tubuhnya tak ayal terpelanting dan kepalan-
ya terbanting ke lantai. Ayyas masih diamuk amarah. Ia masih hendak
melumat bule itu. Ketika ia hendak mengayunkan
tendangan lagi ke arah kepada bule itu, Linor
menjerit, "Tolong hentikan!" Ayyas men-
gurungkan tendangannya. Ia lalu melangkah
mundur dan berdiri tegap. Linor menghambur ke
arah bule yang terkapar di lantai itu dan berkata,
"Oh Sergei, kau terluka. Sudahlah kita...."
"Aku tidak apa-apa Linor. Minggirlah kau.
Berdarah seperti ini biasa bagi lelaki. Ini baru
satu jurus, aku kurang waspada saja. Lihat saja,
brengsek itu akan aku lumat seperti bubur!" Bule
Rusia bernama Sergei itu menepis tangan Linor
dan bangkit. "Jangan Sergei, sudah jangan diteruskan!" Ta-
han Linor. Tapi bule itu malah menempeleng
muka Linor dan menghardik, "Diam kau
pelacur!" "Apa katamu, Sergei!"" wajah Linor bertam-
bah buruk. Sekuat tenaga Sergei menampar lagi wajah
Linor dan berkata keras, "Diam!" Linor terpelant-
ing. Ayyas diam di tempatnya. Ia kini menyak-
sikan dua setan sedang bertengkar. Linor tidak
terima begitu saja diperlakukan seperti itu oleh
Sergei. Ia mengambil botol Vodka dan melempa-
rnya ke arah Sergei yang telah menghadapkan wajahnya
kepada Ayyas. Sergei tidak menduga samasekali
akan diserang Linor. Lemparan botol itu tepat
mengenai pelipis kanannya. Botol itu pecah.
Pelipis kanannya muncrat darah. Sergei balik
arah mengejar Linor. Yang ada dalam dirinya
adalah nafsu untuk membunuh perempuan yang
baru saja dizinainya. Linor lari ke dapur dan melempari Sergei
dengan segala benda yang ada. Dengan pelipis
berdarah, Sergei merangsek maju. Lemparan-
lemparan Linor dengan mudah dihindari Sergei.
Akhirnya Linor terkunci di pojok dapur. Dengan
sekuat tenaga Linor memukul dan menendang
Sergei. Tapi kekuatan lelaki itu samasekali bukan
tandingan Linor. Sergei memukul mulut Linor
hingga berdarah. Lalu mencekik leher Linor
sekuat tenaga. Linor meronta. Ia berada dalam
keadaan antara hidup dan mati, antara mati dan
hidup. Ayyas diam di tempatnya. Ia melihat dua
setan saling bunuh. Ia mendengar Linor minta to-
long padanya dengan suara tersengat. Tapi ia
tetap saja mematung di tempatnya. Namun, tiba-
tiba ia tersadar, jika Linor mati, urusannya akan
panjang. Ia bisa terseret-seret ke permasalahan
hukum Rusia yang bisa mencelakakannya. Bisa-
bisa ia nanti yang dianggap membunuh Linor.
Dengan sangat cep at Ayyas melompat ke dapur dan melancarkan tendangan sangat keras
ke lambung Sergei. Cekikan Sergei pada leher
Linor terlepas. Sergei terpelanting, tapi langsung
berdiri. Ayyas mundur kembali ke ruang tamu. Ia
sangat waspada. Ia merasa pertarungan ini tidak
main-main, lelaki bule itu pasti ingin mem-
bunuhnya, tidak sekadar melumpuhkannya.
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sergei menggeram dan menyerang Ayyas
sejadi- jadinya. Ayyas mampu menghindari seran-
gan itu dan beberapa kali balik menyerang. Tapi
Sergei seperti robot baja yang tahan pukul. Sergei
menyerang seperti orang gila. Dan satu ketika
satu pukulan Sergei yang sangat keras mengenai
pundak kiri Ayyas. Ayyas terpelanting dan mera-
sakan tulang pundaknya seperti patah. Sergei
menyeringai tenang. Ia menyerang semakin
ganas. Ayyas berusaha menghindar dengan pundak
kiri terasa sakit. Ayyas terdesak. Akhirnya ia
merasa tidak bisa tidak, ia harus menggabung
karate dengan ilmu bela diri Thifan Po Khan.
Ayyas merasa pundak kirinya semakin nyeri, ia
bisa tumbang jika tidak segera menyudahi Sergei.
Maka begitu ada kesempatan terbuka ia men-
yarangkan pukulan tenaga dalam andalan Thifan
Po Khan yang ia kuasai. Pukulan itu tepat men-
genai dada kiri Sergei. Seketika Sergei menger-
ang dengan darah muncrat dari mulutnya. Sergei
terhuyung ke belakang dan merasakan rasa sakit
luar biasa. Ia merasa tidak kuat lagi melawan
Ayyas. Sergei ambruk menggelosor bersandar
sofa. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan
Ayyas padanya. Ayyas berdiri merapikan pakaiannya. Pundak
kirinya terasa sakit. Ia merasa ada tulang yang
patah atau ada tulang yang lepas dari engselnya.
Linor berjalan pelan dari dapur. Ayyas menatap
Linor tajam. Pandangan mereka beradu.
"Hei setan, bawa temanmu itu pergi dari sini.
Jika tidak aku habisi kalian berdua di sini. Ce-
pat!" Hardik Ayyas pada Linor dengan mata
melotot. Linor tidak terima direndahkan oleh
Ayyas yang selama ini ia sebut "Muslim
brengsek." Tapi Linor tak berdaya apa-apa kecu-
ali menuruti perintah Ayyas. Linor mendekati
Sergei. Ia mengambil baju Sergei. Memakaikan
baju dinginnya. Lalu ia merapikan dirinya
sendiri, setelah itu ia memapah Sergei mening-
galkan apartemen. Ayyas duduk melepas lelah di sofa ruang
tamu. Ia tidak tahu apa yang selanjutnya akan ter-
jadi. Yang jelas ia telah menghajar lelaki Rusia
yang kurang ajar itu. Ia tidak tahu apakah Sergei
akan selamat dari pukulannya apa tidak. Sebab
selama ini ia hanya melatih pukulan itu dan tidak
pernah benar-benar menggunakannya pada
manusia. Ia sebenarnya tidak ingin menggunakan
pukulan tenaga dalam itu, tapi ia sangat terdesak.
Jika ia tidak melumpuhkan Sergei, ia yang akan
dilumpuhkan bahkan dibunuh.
Ia jadi teringat ketika mempelajari Thifan Po
Khan. Ia belajar ilmu bela diri Muslim China itu
justru ketika kuliah di Universitas Islam Madi-
nah. Suatu hari ia olahraga dengan melatih jurus -
jurus karatenya agar tidak lupa. Ia berlatih di
tanah lapang di samping asrama. Saat ia berlatih,
Ahmad Wong, teman satu kelasnya dari Urwon,
China melihatnya. Ahmad Wong mengajaknya
berlatih bela diri pada malam hari setelah shalat
Tahajud. Ternyata Ahmad Wong adalah seorang
pendekar di daerahnya. Ia sangat menguasi Tai
Chi dan Thifan Po Khan. Sejak itu ia menjadi murid Ahmad Wong.
Pendekar China Muslim itu mengajarkan Thifan
Po Khan setiap minggu dua kali kepadanya.
Mengajarnya setelah shalat Tahajud. Menurut
penjelasan Ahmad Wong, Thifan Po Kang adalah
salah satu ilmu kung fu andalan. Dalam bahasa
Urwun, Thifan Po Khan berarti Pukulan Tangan
Bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-
gerakan dalam Thifan lebih halus dibandingkan
beladiri sejenisnya seperti Syufu Taesyu Khan.
Sehingga Kung Fu yang halus ini dianggap cocok
untuk para bangsawan. Di negeri China, Thifan men jadi olahraga be-
ladiri kalangan pesantren-pesantren yang lazim
disebut lanah. Konon, lanah berasal dari bahasa
Arab lajnah, yang berarti panitia atau lembaga.
Layaknya pesantren di Indonesia, yang dipelajari
dalam lanah tidak hanya ilmu beladiri, tetapi jus -
tru yang utama adalah ilmu -ilmu agama.
Kini istilah lanah sudah bergeser pe-
maknaannya. Lanah masih di
gunakan untuk menyebut sebuah padepokan latihan ilmu bela
diri Thifan, meskipun tidak lagi berupa lembaga
pendidikan seperti pesantren.
Yang membedakan Thifan dengan ilmu bela
diri lainnya, di antaranya adalah, di Thifan etika
Islami benar-benar ditegakkan. Kelompok latihan
laki-laki dan perempuan senantiasa dilakukan
terpisah. Bahkan pelatihnya pun yang sejenis.
Gerakan-gerakan dan jurus antardua kelompok
ini juga berbeda. Untuk kalangan perempuan le -
bih halus, namun memiliki kedahsyatan yang
sama. Tidak berarti kalau gerakan perempuan le -
bih halus terus pasti kalah dengan laki-laki.
Setiap kali latihan harus dimulai dan diakhiri
dengan doa pembuka dan penutup majelis
layaknya majelis ilmu para ulama. Bahkan sering
kali ditambah dengan majelis ilmu berupa kajian
sirah nabi dan lain sebagainya. Itu juga yang
dilakukan Ayyas bersama Ahmad Wong dan be-
berapa mahasiswa Universitas Islam Madinah
ketika latihan Thifan. Latihan dimulai dengan
shalat Tahajud, lalu tadabbur satu dua ayat dari
Al-Quran, baru latihan. Ahmad Wong sangat serius dalam
mengajarkan gerakan-gerakan dasar dalam Thi-
fan mencakup pukulan, tendangan, sapuan,
bantingan, serta elakan. Ahmad Wong juga
melatih koprol dan salto, sebagaimana sering di-
lihat di film-film laga dari Hongkong. Latihan
salto ini menurut Ahmad Wong sangat diper-
lukan untuk bertarung, terlebih jika dikeroyok
banyak orang. Ahmad Wong juga sangat disiplin melatih
pernafasan yang baik. Dalam ilmu bela diri Thi-
fan, selain untuk kesehatan, latihan ini berguna
untuk membangkitkan tenaga dalam dari tubuh
yang disebut daht. Daht ada yang panas dan ada
yang dingin. Jika latihan itu sering dilakukan si-
ang hari yang akan keluar adalah daht panas,
yang jika sebuah pukulan yang disarangkan ke
tubuh musuh dilambari daht ini, tubuh musuh
yang kena pukulan bisa hangus. Dan jika latihan
dilakukan pada malam hari, maka daht yang ke -
luar adalah daht dingin yang dapat menjalarkan
rasa dingin membeku pada bagian tubuh lawan
hingga ke pangkal tulang.
Kitab kuno yang menjelaskan ilmu bela diri
Thifan adalah kitab Zho Dam. Dalam kitab itu
menurut Ahmad Wong, Thifan merupakan ilmu
perkelahian tersendiri dan merupakan pecahan
dari ilmu Tao Kungfu atau Kungfu Tao. Tae be-
rarti dahsyat, sedangkan Kungfu berasal dari kata
kungfu yang dalam bahasa China berarti tekun,
kebaikan, silat atau tenaga yang terpusat. Konon,
kitab Zho Dam itu merupakan sebuah kitab kuno
tentang Thifan karya Ahmad Syiharani, seorang
pendekar Thifan asal Urwun, China.
"Dengan menguasai Thifan, kita insya Allah
aman, memiliki ilmu beladiri yang dahsyat, dan
aqidah tetap terjaga. Yang paling penting jangan
sampai kita takabbur dan berbuat zalim pada or-
ang lain." Kata Ahmad Wong berpesan.
Ayyas sedikit pun tidak menyesal telah men-
yarangkan pukulan tangan bangsawan ke dada
Sergei. Setan bertubuh manusia seperti Sergei
harus diberi pelajaran yang setimpal. Kemun-
gkaran tidak boleh didiamkan. Kemanusiaan
harus ditegakkan. Seingatnya, ia melatih pukulan
tenaga dalam Thifan itu "pada malam hari,
kemungkinan daht yang mengenai Sergei adalah
daht dingin. Ia penasaran, apa akibat yang.di-
alami oleh Sergei karenanya. Apakah pukulannya
bertaji ataukah tidak bertaji samasekali" Kalau
tidak bertaji samasekali berarti ia harus banyak
berlatih lagi. Yang pasti, tak lama lagi Linor akan
memberitahu apa yang terjadi pada Sergei.
*** Ayyas masih duduk melepas lelah di sofa ru-
ang tamu ketika Yelena pulang. Perempuan muda
itu kaget bukan kepalang melihat ruang tamu
yang berantakan. Pecahan gelas dan botol berh-
amburan di sana-sini. Kursi yang morat marit.
Dinding yang kotor oleh vodka yang botolnya
pecah membentur dinding. Dan tetesan darah
yang berceceran di mana-mana.
"Apa yang terjadi Ayyas" Apa yang telah ter-
jadi, kenapa semua berantakan begini"" Tanya
Yelena gusar bercampur cemas.
"Linor datang membawa penjahat. Penjahat
itu ingin membunuhku. Aku melawan sekuat
tenaga. Terjadilah pertempuran. Dan kini penja-
hat itu entah diseret ke mana oleh Linor setelah
aku lumpuhkan." Jawab Ayyas.
"Ceritamu terlalu singkat. Tolong ceritakanlah
kr onologisnya dengan detil kepadaku. Ini bukan
masalah kecil, kalau orang yang kausebut penja-
hat ternyata anggota sebuah mafia. Kau pernah
dengar kan bagaimana kejamnya mafia Rusia"
Ceritakanlah semua padaku jangan ada yang kau-
tutupi, siapa tahu aku bisa memberikan masukan
penting!" Ayyas kemudian menceritakan apa yang ter-
jadi, dari awal sampai akhir. Termasuk ba-
gaimana Linor mau dibunuh Sergei.
"Benar namanya Sergei""
"Ya. Kenapa""
"Dia anggota mafia""
"Anggota mafia""
"Ya. Dia anggota Voykovskaya Bratva, (Per-
saudaraan Voykovskaya) salah satu jaringan
mafia yang ditakuti di Moskwa. Tapi jangan
khawatir, Sergei tidak akan berani macam-
macam padamu." "Kenapa kau berkata begitu. Apa jaminannya"
Sergei bisa datang dengan anggota mafianya
menggeruduk rumah ini."
"Untuk kasus kali ini dia tidak akan berani."
"Apa karena sudah pernah aku lumpuhkan""
"Bukan karena jera dia pernah kaulumpuhkan.
Samasekali tidak. Jika di tengah jalan kau ber-
temu dia pasti dia akan mengajakmu berkelahi
lagi. Dia tidak akan menggeruduk kemari ber-
sama anggotanya karena dia tidak ingin
hubungannya dengan Linor diketahui oleh Boris
Melnikov, ketua mafia Voykovskaya Bratva.
Sergei bisa ditembak mati. Linor atau Sergei juga
tidak akan berani lapor polisi, jika itu terjadi ma-
lah akan membuat Boris Melnikov tahu segalan-
ya. Ancamanmu paling berbahaya hanya jika
bertemu Sergei lagi, pasti dia akan mengajakmu
bertarung lagi sampai mati. Jika mengajakmu
bertarung kurasa kau lebih beruntung. Yang repot
kalau dia langsung menembak kepalamu dengan
revolvernya tanpa peringatan apa pun." Jelas
Yelena. Dalam hati Ayyas berdoa semoga Sergei tidak
bisa berjalan lagi, sehingga tidak membahayakan
siapa-siapa lagi. Yelena meletakkan tasnya ke kamar. Lalu ke-
luar lagi, mengambil sapu dan berusaha
membersihkan kaca-kaca yang berhamburan.
Ayyas bangkit, ia merasa harus membantu
Yelena, dengan berjongkok ia memunguti
serpihan-serpihan botol yang pecah bercampur
darah yang berceceran di lantai yang dilapisi par-
ket kayu mengkilat itu. Darah juga membasahi
beberapa bagian sofa dan karpet di bawahnya.
Sambil memunguti serpihan-serpihan itu,
Ayyas membayangkan jika tidak bisa melum-
puhkan Sergei mungkin kepalanya juga akan
pecah seperti botol itu. Lalu jasadnya akan
dilempar dari jendela. Kemudian di koran Pravda
akan keluar laporan ada orang Indonesia bunuh
diri meloncat dari lantai
tiga, kepalanya pecah membentur batu dan se-
luruh dunia akan percaya begitu saja.
Meskipun Sergei telah ia lumpuhkan, Ayyas
meyakini bahwa masalahnya dengan Sergei tidak
akan selesai begitu saja. Sergei pasti akan meng-
gunakan segala cara untuk membalas dendam.
Sergei tidak akan tinggal diam. Menghadapi
kenyataan itu, Ayyas memasrahkan diri sepen-
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
uhnya kepada Allah, Tuhan yang menghidupkan
dan mematikan. "Darah yang nempel di sofa dan karpet itu
akan susah dihilangkan." Kata Yelena sambil
tetap membersihkan serpihan kaca di lantai. "Aku
mengkhawatirkan sesuatu." Sambung Yelena.
"Apa itu"" Tanya Ayyas.
"Kalau ada tetangga yang lapor polisi karena
suara gaduh saat kalian berkelahi."
"Semoga tidak ada."
"Kalau ada urusannya akan panjang. Darah
yang menempel di sofa itu bisa jadi perkara yang
berbuntut tidak baik."
"Semoga tidak." Sahut Ayyas sambil menen-
teramkan dirinya. Jika ia sampai berurusan
dengan polisi, atau bahkan sampai berurusan
dengan pengadilan, maka rencana yang ia susun
selama di Moskwa bisa berantakan semuanya.
Maka setelah membersihkan ruang tamu itu,
Ayyas masuk kamar dan kembali sujud memo -
hon pertolongan Allah. Ia meminta kepada Allah
agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim.
Ia berdoa, "Allahumma ahlikizh zhaalimina bizh
zhaalimin ( Ya Allah hancurkanlah orang-orang
yang zalim dengan orang-orang yang zalim)."
*** 9. Pemeriksaan Polisi Mobil BMW SUV X5 hitam itu meluncur ce-
pat ke utara meninggalkan pusat kota Moskwa.
Setelah melewati Tlmiryazevskaya mobil itu be-
lok kanan. Seorang perempuan muda duduk di
kursi sopir, di sebelahnya seorang lelaki dengan
muka berdarah terkulai lemah. Bibir lelaki itu pu-
cat menahan dingin yang luar biasa. Mobil ter
us berjalan kencang menembus dinginnya malam
dan salju yang tipis turun perlahan.
"T..tolong, bawa aku ke rumah sakit Linor.
T..t..tolong." Rintih lelaki itu.
Linor diam seribu bahasa. Mukanya sangat
dingin menyiratkan kemarahan luar biasa. Ia su-
dah tahu apa yang harus ia lakukan pada lelaki
yang ada di sampingnya. Kali ini ia sudah tidak
mungkin memaafkannya. "Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa
mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!"
Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tu-
buhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti
telah membeku. Jika ia punya kekuatan ia ingin
menghajar Linor yang sudah tidak mengang-
gapnya samasekali. Di sebuah tempat yang gelap dan sepi Linor
mengganti plat mobilnya dengan sangat cepat. Ia
lalu kembali masuk ke mobilnya dan men-
jalankan mobilnya kembali ke Timiryazevskaya.
Salju terus turun perlahan. Linor membawa mo-
bilnya terus ke utara hingga melewati hutan
bereozka. "Aaakh!" Lelaki itu mengerang pelan lalu
diam. Kedua matanya mel'otot ke depan. Linor
samasekali tidak memerhatikannya. Yang ada
dalam benaknya adalah membawa lelaki yang
kini sangat dibencinya itu ke suatu tempat untuk
dihabisinya. Ia tidak bisa melupakan rasa sakit-
nya saat nyaris mati dicekik oleh lelaki itu.
Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian
belok kiri memasuki jalan agak sempit yang ber-
salju tebal. Linor bekerja keras agar bisa mele -
wati salju itu dengan baik. Mobil terus maju
perlahan-lahan. Setengah jam kemudian nampak
bangunan gudang tua yang hitam. Atapnya ter-
timbun salju belasan sentimeter. Tempat itu
benar-benar sunyi dan gelap. Tak ada suara yang
terdengar selain mesin mobil dan desau angin
malam. Linor menghentikan mobilnya di jalan
depan halaman gudang itu. Ia turun dari mo-
bilnya. Lalu berjalan ke arah pintu depan satu. Ia
membuka pintu itu dan menghardik lelaki itu,
"Hai Sergei ini saatnya kau ketemu iblis di
neraka!" Sergei diam saja. Tidak bergerak samasekali.
"Hai mana kepongahanmu Sergei" Bicara
Sergei!" Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tu-
buh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya,
tak ada denyutnya samasekali. Sergei yang akan
dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang
lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati
di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan
menghabisi orang yang ingin membunuhnya.
Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak
berzina, tapi sedetik kemudian sangat ia benci
setengah mati. Linor tahu apa yang harus dilakukannya. Ia
menurunkan mayat Sergei dan membiarkannya
berdebam begitu saja di atas salju. Ia lalu lari ke
dalam gudang. Ia mendapat beberapa pakaian be-
kas, kain serbet dan ember. Linor menyeret may-
at Sergei, lalu melucuti semua pakaiannya. Sete-
lah itu ia menyiram mayat Sergei dengan air, di
bagian tertentu ia menggosoknya dengan kain
lap. Setelah Linor yakin mayat itu aman diting-
gal, tidak ada DNA dirinya yang nempel pada
mayat itu, Linor memakaikan pakaian bekas pada
mayat itu. Kemudian menyeret mayat itu ke jalan
beberapa puluh meter di belakang mobil. Linor
meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja.
Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh
pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus
dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok
belakang mobilnya. Setelah mengembalikan em-
ber dan beberapa kain ke tempatnya Linor men-
jalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun
perlahan. Lima belas menit kemudian mobil me -
wah itu sudah kembali menapak di jalan raya
yang lebar. Jalan sudah tidak padat lagi. Linor
memacu mobilnya agak kencang. Ia tetap
memasang kewaspadaan tinggi, memastikan bah-
wa tidak ada yang mengetahui peristiwa itu.
Linor kembali memasuki pinggir kota
Moskwa, menuju kawasan Skakovaya. Ia mem-
bawa mobilnya melewati gang sempit. Salju yang
menumpuk terlalu tinggi. Ia berhenti. Dengan ce-
pat ia kembali mengganti plat nomor mobilnya.
Setelah itu ia mengambil bungkusan kain dari jok
belakang. Ia tinggalkan mobilnya begitu saja.
Dan dengan sedikit tergesa-gesa ia melangkah
memasuki bangunan tua yang tidak dihuni siapa-
siapa. Dengan sedikit sinar dari ponselnya yang
menyala ia menemukan sebuah kotak tua di
po- jok ruangan. Ada senter kecil, bensin dan korek
api. Ia memeriksa bungkusan itu.
Yang pertama ia ambil adalah ponsel milik
Sergei. Dari ponsel itu ia mengirim sms kepada
sebuah nama, tepatnya seorang bernama Yvonna
Melnikova, mengajak untuk bertemu di sebuah
cafe malam di Arbatskaya. Lalu ia mengirim sms
kepada saudara tua Yvonna yang bernama Boris
Melnikov, isinya minta izin berkencan dengan
adiknya di Arbatskaya. Baru setelah itu, dengan
ponsel yang sama ia menelpon sebuah cafe
malam di Arbatskaya. Ia membesarkan suara
menjadi suara lelaki dewasa. Dalam telpon ia
memesan tempat untuk dua orang, namanya
Sergei Gadotov dan Yvonna Melnikova.
Setelah itu Linor membakar seluruh barang
milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecu-
ali ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain
dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin
tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan
mengendarainya dengan cepat kembali ke aparte-
mennya. Salju terus turun pelan-pelan. Ia terseny-
um dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia ber-
harap bahwa salju itu akan terus turun sampai
jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei
akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan
jejak- jejak yang ditinggalkan oleh roda mobilnya
juga terhapus dengan sendirinya.
Sampai di apartemen ia kaget ruang tamu tel-
ah rapi. Kamar Ayyas dan Yelena gelap, berarti
sudah tidur. Ia teliti dengan seksama ruang tamu
itu. Bekas yang tersisa adalah noda darah yang
terlihat jelas di karpet dan sofa. Linor menggeser
sofa dan mengangkat karpet dengan agak susah.
Ia gulung karpet itu dan membawa ke kamarnya.
Ia mengeluarkan karpet baru dari bawah kolong
tempat tidurnya dan memasukkan karpet bernoda
darah itu ke sana. Karpet baru itu memiliki warna
yang sama persis dengan karpet lama. Mereknya
juga sama. Linor lalu memasang kapet baru itu di
ruang tamu. Ia yakin, bahkan Yelena sekalipun
jika tidak teliti tak akan mengira kalau karpetnya
telah diganti. Setelah itu Linor membersihkan bercak darah
yang ada di sofa dengan keterampilan khusus
yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang,
meskipun tidak seratus persen. Linor kembali
memeriksa kamar tamu dan dapur dengan
seksama. Setelah yakin tidak ada yang menggan-
jal di dalam hatinya, ia masuk kamar lalu
memejamkan kedua matanya. Ia yakin pagi-pagi
sekali akan ada polisi yang datang memeriksa.
Sebab ia yakin ada yang melaporkan kegaduhan
yang baru terjadi, atau mungkin ada yang meli-
hatnya membawa Sergei Gadotov yang berdarah
keluar dari apartemen. *** Ayyas terbangun setelah alarm dari ponselnya
melengking -lengking hampir satu menit. Ia
mendengar percakapan dua orang di ruang tamu.
Suara Yelena dan Linor. Tidak biasanya mereka
bangun sepagi ini. Ayyas menggerakkan kepalan-
ya ke kanan dan ke kiri, lalu bangkit untuk
mengambil wudhu dan shalat Subuh. Setelah itu
berzikir dan membaca Al-Quran. Dua puluh
menit kemudian Ayyas keluar dari kamarnya.
"Kak Dela (Apa kabar) Ayyas"" Sapa Yelena
begitu melihat Ayyas menyembulkan kepalanya
dari pintu kamarnya. "Ya Vso Kharasyo (Saya baik-baik saja)."
Jawab Ayyas. "Mungkin sebentar lagi polisi akan datang."
Kata Linor dengan wajah dingin.
"Jadi kau melaporkan aku ke polisi"" Sahut
Ayyas. "Tidak. Buat apa"" Tukas Linor.
"Ya kau mungkin tidak terima pacarmu itu
aku lumpuhkan." "Justru aku ingin dia mati saja. Kau lihat kan
tadi malam dia aku lempar pakai botol sampai
berdarah." "Terus kenapa polisi datang kemari""
"Ya mungkin ada tetangga yang melaporkan
adanya kegaduhan tadi malam. Atau ada yang
melihat aku membawa Sergei yang berdarah-
darah." "Kalau ada yang melaporkan adanya
kegaduhan, pasti polisi datangnya langsung tadi
malam kan"" "Seharusnya begitu. Tapi tadi malam salju tur-
un, bisa jadi polisi malas. Dan baru pagi ini
mereka datang kemari."
"Terus kalau polisi datang kita harus ba-
gaimana" Atau kalian ingin aku dipenjara"" Kata
Ayyas blak-blakan. "Tidak. Jika polisi datang biar kami yang
menghadapi. Kami yang orang Rusia. Kamu se-
baiknya diam saja di kamarmu. Kalau polisi mas -
uk juga ke kamarmu dan bertanya ini itu, pura-
pura tidak bisa bahasa Rusia saja." Kali ini
Ye lena yang menjawab. Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka
menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali-
kali. Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari
lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara
mengisyaratkan yang datang adalah polisi.
Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas
menurut tanpa membantah sedikit pun, jan-
tungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pas -
rah. Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perem-
puan itu sepakat untuk memfitnah dan
mengirimnya ke penjara. Ia sudah mulai tahu
bahwa Linor sangat tidak menyukai dirinya, han-
ya karena dirinya seorang Muslim. Jadi,
meskipun ia telah menyelamatkan nyawa Linor,
tidak ada jaminan bahwa Linor telah berubah
pandangan terhadapnya. Linor membuka pintu. Dua polisi masuk dan
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada yang melapor kepada kami, tadi malam
di sini telah terjadi kekacauan, dan ada yang ter-
luka. Apa benar"" Tanya seorang polisi berwajah
lonjong. "Iya benar. Tapi sebenarnya cuma kekacauan
kecil biasa." Jawab Linor.
"Kekacauan kecil bagaimana" Katanya ada
yang berdarah-darah, ada suara minta tolong
segala." Cecar polisi satunya yang lebih berumur
bernama Kirsanov. "Ah Tuan ini seperti tidak pernah muda saja.
Yang bertengkar itu saya tadi malam. Saya
dengan pacar saya. Biasa Tuan, karena cemburu.
Saya melemparinya botol -botol vodka dan wiski.
Salah satunya mengenai pelipisnya. Dia berd-
arah. Hanya luka kecil. Tapi kami sudah baik
lagi." "Di mana pacar Anda itu sekarang" Namanya
siapa"" "Sekarang istirahat di rumahnya Tuan.
Namanya Potseluyev. Dia tinggal di sebuah
apartemen kecil di kawasan Semenovskaya. Tuan
bisa mengeceknya ke sana." Jawab Linor dengan
sangat yakin. "Berarti Anda dan pacar Anda harus dibawa
ke kantor polisi. Karena kalian mengganggu
ketenangan." Tegas polisi Kirsanov.
"Ini kan cuma persoalan kecil anak muda Pak.
Kenapa harus diperbesar, seperti Bapak tidak
pernah muda atau tidak punya anak remaja saja."
Bantah Linor. "Dia benar, Pak Kirsanov. Tidak usah diper-
panjang. Yang melaporkan kakek tua yang egois
itu. Hampir setiap minggu dia lapor. Ada-ada
saja yang dia laporkan ke polisi." Polisi berwajah
lonjong memperkuat bantahan Linor.
Polisi bernama Kirsanov diam sesaat, matanya
melihat ke seluruh ruang tamu. Ia mencari-cari
kalau ada yang mencurigakan. Setelah merasa
tidak' menemukan apa-apa, ia berkata, "Baiklah.
Kali ini kami maafkan. Lain kali kalau ribut
dengan pacar jangan sampai mengganggu orang
lain ya." "Baik Tuan. Oh ya jadi memerlukan alamat
pacar saya"" Kata Linor.
"Ah sudah tidak perlu." Jawab Kirsanov. Ke-
dua polisi itu lalu pergi meninggalkan apartemen.
Yelena bernafas lega. Ayyas juga menarik nafas
lega. Ia telah mendengar pembicaraan dua polisi
itu dari kamarnya. Ia bisa melewati hari-hari di
Rusia dengan tenang. Ayyas keluar dari kamarnya. Ia pura-pura ber-
tanya, "Bagaimana, mereka sudah pergi""
"Tak ada masalah apa-apa. Mereka sudah
pergi." Terang Yelena.
"Alhamdulillah." Jawab Ayyas.
*** io. Sakit Tidak seperti biasanya yang agak acuh tak
acuh dengan dandanannya, kali ini Anastasia
Palazzo mematut-matutkan dirinya di depan cer-
min hampir setengah jam. Ia memoles wajahnya
seanggun mungkin. Sebelumnya lima kali ia
ganti setelan pakaian atas dan bawah yang pas.
Akhirnya ia memilih sweeter ketat berwarna pink
yang ia beli di Amsterdam tiga bulan yang lalu,
dan celana jeans merah hati yang ia beli di
Berlin. Setelah merasa yakin bahwa keanggunannya
benar-benar sekelas atau sedikit di atas para tsar-
ina, barulah ia memakai palto berkerah panjang,
penutup kepala, syal, kaos tangan dan sepatu mu-
sim dinginnya. Setelah itu ia beranjak keluar
meninggalkan kwartina-nya. yang terletak di se-
buah gedung bertingkat tak jauh dari galeri
Tretyakov yang terkenal. Ia hampir lupa membawa sebuah buku penting
tentang teori sejarah total. Ia ingin
menghadiahkan buku itu kepada Ayyas. Anastas -
ia masuk ke dalam mobil Toyota Pradonya yang
berwarna putih. Sejak bisa membeli mobil ia
selalu mengendarai sendiri mobilnya. Pagi itu ia
lebih bersemangat pergi ke universitas dari hari-
hari sebelumnya. Ia ingin segera sampai kampus,
lalu masuk ke ruang Profesor Tomskii kemudian
bertemu Ayyas dan memberikan sedikit materi
sejarah total kepada Ayyas. Setelah itu ia akan
minta kepada Ayyas untuk pergi ke perpus -
takaan, sementara dirinya memberi mata kuliah
kepada mahasiswa S1. Saat makan siang ia akan
memanggil Ayyas menemaninya makan sambil
berdiskusi tentang tema-tema Asia Tenggara
kontemporer. Anastasia sampai kampus lima belas menit le-
bih awal dari biasanya. Bibi Parlova yang seperti
biasa berkerudung kozinka putih dengan cekatan
menyediakan teh. Perempuan tua itu seperti tidak
pernah mengganti pakaiannya. Setiap hari selalu
sama. Anastasia membaca ulang buku penting
tentang teori sejarah total yang ada di tangannya.
Ia larut dalam bacaannya. Tak terasa sudah satu
jam lebih* ia berada di ruangan Profesor Tom-
skii, tapi Ayyas belum juga datang. Ia melihat
jam dinding, seperempat jam lagi ia harus mem-
beri mata kuliah kepada mahasiswa SI. Ia agak
kecewa. Seharusnya Ayyas sudah datang empat
puluh menit yang lalu. Kenapa ia terlambat
sekali, bahkan belum juga datang. Rasa kecewa
itu perlahan berubah jadi amarah. Tapi ia berpikir
kenapa mesti harus ada amarah yang terbit dalam
dirinya" Ia merasa ada sesuatu yang aneh yang ia
rasakan dalam dirinya. Keanehan yang tidak per-
nah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha me-
nepisnya, tapi tak bisa. Ia juga berusaha
meredakan amarahnya, tapi gagal begitu saja.
Ayyas benar-benar tidak datang sampai
Anastasia Palazzo masuk kelas.
Kali ini Anastasia mengajar tidak dengan kon-
sentrasi penuh. Amarahnya kepada Ayyas yang
ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hadir,
membuat sebagian kecerdasannya hilang. Doktor
muda itu hanya bertahan dua puluh menit di
kelas, selebihnya ia memberi tugas kepada ma-
hasiswa untuk pergi ke perpustakaan dan mem-
baca buku sejarah pendirian kota Moskwa kemu-
dian membuat ringkasannya.
Anastasia masih berharap Ayyas akan datang.
Ia kembali ke ruang Profesor Tomskii. Ternyata
tidak juga datang. Sampai waktu makan siang
tiba, Ayyas tidak juga menampakkan batang
hidungnya. Anastasia benar-benar marah bercam-
pur malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berd-
andan dan tampil seanggun mungkin, orang yang
paling ia ingini untuk melihat penampilannya
malah tidak datang. Kenapa ia ingin Ayyas melihat pe-
nampilannya" Ini yang membuat dirinya malu. Ia
tidak tahu sebabnya. Apakah ia jatuh cinta pada
pemuda Indonesia itu" Ia tidak berani
mengatakan iya. Harga dirinya mencegahnya un-
tuk mengakui itu. Kalau ia tidak tertarik pada
pemuda itu kenapa ia ingin pemuda itu melihat
penampilannya" Belum pernah ia menginginkan
orang lain melihat penampilannya sebelumnya
seperti yang ia inginkan pada Ayyas.
Kalau ia tertarik pada Ayyas, apa menariknya
pemuda kurus itu" Apakah ia tampan" Tidak. Para pemuda Rusia
menurutnya lebih tampan dan lebih gagah.
Pemuda itu masih kalah gagah. Apakah ia cer-
das" Mungkin. Tapi ada doktor Rusia yang tam-
pan dan masih muda yang menurutnya lebih cer-
das dari Ayyas. Doktor muda itu pernah
mendekatinya melalui Profesor Tomskii, tapi ia
samasekali tidak tertarik padanya. Ia bahkan
muak mendengar suara yang keluar dari mulut-
nya. Apakah karena Ayyas kaya" Jelas tidak. Ia
tahu pemuda itu pasti tidak kaya, lazimnya para
mahasiswa Indonesia yang hidup pas -pasan. Ia
yakin Ayyas tidak jauh keadaannya dari mereka.
Terus kenapa ia tertarik pada Ayyas" Ia
sendiri tidak bisa menjawabnya.
Anastasia mondar-mandir di ruang Profesor
Tomskii. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mau
membaca tidak lagi bisa konsentrasi. Mau makan
sudah tidak berselera. Mau merampungkan
tulisannya sudah tidak mood sedikit pun. Mau
pulang ke apartemen belum saatnya pulang. Ia
benar-benar bingung dengan apa yang harus
dilakukannya. Nyaris seluruh kecerdasannya
yang selama ini ia bangga-banggakan, menguap
bagai asap yang ditiup udara ke angkasa raya.
Dalam geramnya diam ia memendam kebingun-
gan dan kegalauan, kegalauan dan kebingungan.
"Ini semua gara-gara dia tidak datang. Kenapa
aku bisa seperti orang dungu begini"" Kata
Anastasia pada dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba am-
arahnya yang belum sepenuhnya sirn
a kembali datang, "Pemuda itu samasekali tidak menghorm-
ati aku sebagai pembimbingnya. Kalau dia tidak
datang seharusnya izin atau mengirim pemberi-
tahuan, tidak seenak perutnya seperti ini. Dasar
orang tidak tahu disiplin! " Umpatnya pada Ayyas
lirih penuh kejengkelan yang hanya ia sendiri
yang mendengarnya. Doktor Anastasia lalu duduk dan iseng mem-
buka ponselnya. Ada dua sms masuk. Ia buka.
Yang pertama dari Profesor Lyudmila Nozdryova
memintanya untuk menjadi pembicara seminar di
fakultas kedokteran tentang ketuhanan, sekaligus
minta supaya dicarikan satu pembicara lagi.
Yang kedua dari Ayyas. Hatinya langsung
berdesir. Desiran sempurna, yang hanya dia
sendiri yang bisa merasakannya. Ternyata
pemuda itu telah mengirim sms sejak pukul
delapan pagi, yaitu ketika ia sedang asyik berd-
andan di depan cermin. Ia jadi malu pada dirinya
sendiri. Ia tidak tahu kalau pemuda itu telah men-
girim sms. Dengan hati girang penuh penasaran,
Anastasia Palazzo membaca isi sms Ayyas,
"Yang saya hormati doktor anastasia palazzo.
Sebenarnya saya ingin sekali datang ke kampus
untuk menimba ilmu dari doktor. Tetapi mohon
maaf tadi malam saya mengalami kecelakaan di
apartemen, pundak kiri saya sakit, saya tidak tahu
apakah ada patah tulang atau cuma engselnya
yang lepas tidak pada tempatnya. Yang jelas hari
ini saya ingin mengobatkan pundak kiri saya itu.
Maka saya mohon izin untuk tidak datang hari
ini. Hormat saya, Ayyas."
Bahasanya begitu santun, rendah hati dan
sangat menghormati dirinya. Itu yang mungkin
membuat hatinya tertarik. Ah, bukan tertarik, tapi
jatuh cinta rasanya. Namun benarkah dirinya bisa
jatuh cinta" Anastasia seolah tidak percaya
dengan apa yang saat ini sedang dirasakannya.
Tiba-tiba Anastasia merasa sangat menyesal
kenapa ia sudah terburu-buru marah pada
pemuda itu. Yang salah adalah dirinya kenapa
tidak membuka ponsel sejak dari tadi. Tiba-tiba
pula rasa kasihan itu menjelma menjadi iba. Dan
dari iba kemudian berubah menjadi khawatir. Ya,
ia menjadi khawatir dengan keadaan Ayyas. Ia
semakin merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Pemuda Indonesia itu benar-benar telah
memenuhi lebih dari separo hatinya.
Kini ia sudah tahu kenapa Ayyas tidak datang.
Ia berharap sakit di pundak kiri Ayyas tidak
parah. Maka dengan hati bergetar ia menulis ka-
limat singkat di ponselnya sebagai balasan,
"Saya ikut prihatin atas kecelakaan itu.
Semoga cepat sembuh. Anastasia."
Sebenarnya setelah kalimat "semoga cepat
sembuh", Anastasia menulis kalimat "aku
menunggumu di kampus", tapi ia hapus kalimat
itu sebelum mengirim sms itu pada Ayyas.
Anastasia malu untuk mengatakan "aku
menunggumu di kampus" pada Ayyas. Ia tidak
ingin merendahkan dirinya dengan mengatakan
kalimat itu. Meskipun ia benar-benar menunggu
kedatangan Ayyas di kampus.
*** Sementara itu, pada saat yang sama Ayyas ada
di Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Moskwa yang terletak di Novokuznetskaya Ul-
itsa nomor 12. Tepatnya Ayyas sedang berada di
kantor Sekolah Indonesia Moskwa yang memang
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyatu satu komplek dengan KBRI. Sekolah
Indonesia Moskwa yang biasa disingkat SIM itu
berada di salah satu sudut KBRI. Gedung itu
agak kecil berbentuk L bersebelahan dengan
Wisma Duta. Sekolah itu sudah ada sejak tahun
1963, bisa disebut sebagai sekolah Indonesia di
luar negeri yang pertama ada.
Pundak kiri Ayyas sedang diurut oleh seorang
guru Sekolah Indonesia bernama Pak Joko San-
toso. Awalnya Ayyas menceritakan pundak kir-
inya yang sakit kepada Pak Akmal Hidayat,
Atase Perdagangan. Ayyas menanyakan apakah
di KBRI ada orang yang bisa silat atau ilmu bela
diri lainnya. Pak Akmal menjawab, ada. Ayyas
diminta datang langsung ke KBRI.
Sampai di KBRI Ayyas dikenalkan dengan
Pak Joko Santoso, guru ilmu biologi yang mer-
angkap guru olahraga, guru kesenian, dan guru
bahasa Indonesia. Pak Joko Santoso menguasai
karate sampai ban hitam, juga menguasai ilmu
memijat dan mengurut dengan baik.
Dengan hanya meraba pundak Ayyas sedikit
menekan, Pak Joko langsung mengerti ada engsel
tulang yang tidak pada tempatnya. Meskipun
Ayyas bercerita bahwa pundaknya sakit karena
kecelakaan kecil di apartem
en, tapi Pak Joko tidak sepenuhnya percaya.
"Ini bukan sekadar jatuh, ini karena kena ben-
turan benda keras, atau malah pukulan benda ker-
as." Kata Pak Joko sambil mulai mengurut.
"Pak Joko benar. Ini kena pukulan orang
Rusia. Tadi malam saya berkelahi dengan orang
Rusia. Terakhir orang Rusia itu gantian saya han-
tam dengan keras." Jawab Ayyas.
" Kamu harus melaporkan kejadian itu ke
KBRI." "Tidak usah, Pak. Itu cuma keributan kecil.
Semua sudah selesai dengan baik."
"Jika dia ternyata anggota mafia maka tidak
ada istilah keributan kecil. Semua jadi besar."
"Kelihatannya dia bukan anggota mafia. Kalau
dia anggota mafia pasti setelah pergi dia akan
datang lagi membawa teman-temannya untuk
menggeruduk saya." "Ya sudah. Tapi saya sarankan Mas Ayyas
tidak usah cari perkara dengan orang Rusia lagi
ya." "Iya Pak, baik."
Kedua tangan Pak Joko mengurut pundak kiri
Ayyas, tiba-tiba tangan kanan Pak Joko seperti
mencengkeram pundak itu, sementara tangan kir-
inya memukul punggung bawah pundak kiri,
agak keras sampai terdengar bunyi krak! Ayyas
mendesis kesakitan. "Insya Allah tulang yang lepas dari engselnya
sudah kembali seperti sedia kala. Hanya beberapa
otot perlu sedikit saya sentuh lagi." Gumam Pak
Joko sambil masih mengurut bagian-bagian ter-
tentu di pundak kiri Ayyas. Tujuh menit kemudi-
an pemijitan itu selesai. Pak Joko mempersilakan
Ayyas minum teh yang masih mengepulkan asap.
"Pak Joko membawa keluarga ke sini"" Tanya
Ayyas. "Iya. Saya membawa istri saya." "Anak tidak
dibawa"" "Anak saya cuma dua. Yang satu sedang kuli-
ah semester dua di Bandung, yang satu masih di
pesantren." "Kenapa anaknya tidak dikuliahkan di sini
saja Pak"" "Saya inginnya begitu. Tapi anak itu tidak
mau. Dia lebih milih kuliah di Bandung. Kebetu-
lan neneknya ada di Bandung. Jadi dia tinggal di
rumah neneknya." "Jadi Pak Joko asli Bandung""
"Tidak. Yang asli Bandung istri saya. Saya
sendiri asli Surabaya. Kalau Mas Ayyas""
"Saya asli Klaten Pak."
"Dekat pusat pengecoran logam dan baja itu""
"Iya tidak terlalu jauh."
"Adik saya kerja di PT. Sari Logam, Batur,
Klaten." "Itu tidak jauh dari rumah saya Pak Joko. Saya
asli Pedan. Pedan dan Batur itu bertetangga."
"Berarti kenal sama Kiai Yunan"" "Yang men-
gasuh Pesantren Raudhatush Shalihin"" "Benar."
"Kenal baik Pak. Dia masih sepupu sama
saya." "O masya Allah, dunia ini memang benar-
benar sempit. Istri Kiai Yunan itu keponakan
saya. Jadi kita ini sedulur ya, meskipun jauh."
"Tidak jauh Pak, dekat. Persaudaraan yang
diikat oleh laa ilaaha illallah itu kuat dan dekat."
"Benar kau Mas. Aku bahagia sekali ketemu
Sampeyan." "Saya juga Pak Joko. Saya berterima kasih
sekali, Pak Joko sudah membetulkan pundak
saya." Dua orang Indonesia itu langsung benar-benar
akrab. Pak Joko kemudian bertanya banyak hal
kepada Ayyas, kenapa ada di Moskwa, tinggal di
mana dan lain sebagainya. Ayyas menjelaskan
dengan panjang lebar kenapa ia sampai di
Moskwa. Ayyas juga menceritakan tempat di
mana ia tinggal, dan tantangan keimanan yang di-
hadapinya. Ayyas juga minta kepada Pak Joko
untuk mencarikan kalau ada tempat tinggal yang
terjangkau untuknya. "Mungkin lebih baik saya berkorban materi.
Menyewa tempat lain yang lebih aman, daripada
iman dan Islam saya berantakan karena tidak
kuat menghadapai ujian perempuan." Kata Ayyas
tegas. Pak Joko mengangguk membenarkan, "Saya
akan mencoba membantu. Sebenarnya satu bulan
lagi istri saya mau pulang ke Indonesia. Dia akan
lama di Indonesia. Lha saat itu kau bisa men-
ginap di rumah saya. Begini saja, kau coba saja
bertahan di situ satu bulan, nanti baru pindah ke
rumah saya." "Wah kalau satu bulan terlalu lama Pak. Kalau
bisa secepatnya." "Lha secepatnya itu tidak mudah. Tapi saya
akan mencoba membantu mencarikan pen-
ginapan yang lebih aman untuk satu bulan. Kau
juga coba mencari. Mungkin coba tanya sama
dosenmu di MGU, siapa tahu bisa menyewa
kamar di asrama mahasiswa. Coba saja. Kalau
tidak dapat juga ya bersabarlah!"
"Baik Pak." Pak Joko Santoso lalu mengajak Ayyas keluar
makan siang. Pak Joko mengajak Ayyas
melangkah ke arah utara KBRI. Siang itu terasa
agak lebih hangat. Suhu minus sepuluh derajat.
Langit nampak lebih cerah. Salju tetap terlihat
menumpuk di kanan kiri jalan. Mereka berdua
berjalan menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa. Tak
lama kemudian belok kiri menyusuri Kli-
mentovski Pereulok. Dengan jalan kaki Ayyas
merasa tubuhnya lebih hangat. Mereka melewati
sepasang muda-mudi yang berciuman di pinggir
jalan. "Jangan kaget, seperti itulah cara hidup seba-
gian besar anak muda di sini. Mereka hidup be-
bas. Semuanya hidup bebas, kecuali yang
Muslim dan sedikit ortodoks yang menjaga kesu-
cian hidupnya." Komentar Pak Joko sambil terus
berjalan. "Itulah Pak ujiannya. Kalau di sini memiliki
istri tidak masalah. Kalau masih'bujang seperti
saya bisa celaka!" "Kalau tidak kuat, cobalah berpuasa. Dengan
berpuasa jiwamu akan lebih tenang, dan nafsumu
akan lebih jinak dan terkendali."
"Iya Pak Joko benar. Saya akan mencoba
Pak." "Tapi kau harus juga melihat kondisi. Kalau
musim dinginnya sangat ekstrim, di atas 18 dera-
jat celcius kau harus memperhitungkan
kesehatanmu. Suhu dingin yang ekstrim bisa
membuat tubuh kita mengalami dehidrasi fatal."
"Iya Pak Joko."
Mereka sampai di Pyatnitskaya Ulitsa. Mereka
menyusuri jalan besar itu terus ke utara. Sampail-
ah mereka di tepi Kanal Moskwa. Ayyas melihat
pemandangan yang indah. Gedung-gedung tua
yang tertata rapi. Sungai yang membelah kota.
Dan salju yang terlihat di mana-mana. Ia seperti
masuk di alam mimpi. "Kalau kita ke utara terus, tidak begitu jauh,
kita akan sampai Red Square atau Lapangan
Merah. Kau sudah melihat Lapangan Merah""
"Belum Pak." "Masih banyak waktu. Kau harus melihatnya.
Bahkan kau harus melihatnya di empat waktu. Di
pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari.
Biar mantap. Orang sini mengatakan siapa yang
ke Moskwa belum sampai di Lapangan Merah
berarti belum sampai Moskwa."
Ayyas hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Pak Joko mengajak Ayyas memasuki
restoran Lyudi yang letaknya menghadap Kanal.
Banyak orang sedang makan di situ, tapi tidak
penuh. Mereka berdua mengambil tempat di po-
jok ruangan, dekat jendela. Dari jendela Ayyas
bisa melihat kanal dan gedung -gedung tua.
"Halal tidak Pak"" Tanya Ayyas ragu.
"Ada yang halal, dan ada yang haram. Tapi
aku pilih menu yang jelas halalnya. Jangan
khawatir Mas Ayyas. Salah satu koki di sini or-
ang Kirghiztan. Dia Muslim. Aku sering ketemu
dia di masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Aku
tadi pesan sama dia. Dia sudah tahu." Terang Pak
Joko menepis segala keraguan Ayyas.
Pelayan restoran datang membawa dua can-
gkir teh panas dan dua gelas sari jeruk. Lalu
pelayan kedua datang menghidangkan menu
pembuka berupa salad khas Rusia berisi pelbagai
sayuran dan buah-buahan yang dicampur minyak
zaitun dan keju cair. Ayyas mencicipi salad itu.
Rasanya agak aneh. Tapi ia tetap melahapnya
pelan-pelan. Hidangan berikutnya adalah hidangan inti, ter-
saji di meja, yaitu sup bors merah tanpa daging,
roti baton khas Rusia, nasi plof dengan lauk
jamur. Ayyas melahap semua hidangan itu tanpa
sisa. Pak Joko senang sekali melihatnya. Hidan-
gan makan siang itu ditutup dengan buah apel
dan pir. Tak terasa, hampir satu jam lamanya mereka
berada di restoran itu. Ayyas melihat jam tan-
gannya. Sudah saatnya shalat
Zuhur. Mereka bangkit meninggalkan restor-
an. Pak Joko membayar di kasir. Sang kasir men-
gucapkan terima kasih dengan senyum dingin
khas Rusia. Tepat selangkah di luar pintu Ayyas melihat
orang yang tidak asing baginya. Seorang perem-
puan muda Rusia yang sedang digandeng lelaki
hitam besar berjalan mendekati restoran. Perem-
puan muda itu nampak asyik bercengkerama
dengan lelaki hitam besar itu, sehingga tidak tahu
kalau Ayyas berdiri hanya lima meter di
depannya. "Dabro Dent (Selamat siang) Yelena!" Sapa
Ayyas keras. Perempuan muda itu nampak kaget
dan gugup melihat Ayyas menyapanya. Ia segera
menguasai dirinya dan menjawab, "Oh Ayyas,
dabro dentl Sedang apa di sini""
"Ya makan siang-lah. Kau bersama siapa ini"
Seorang wisatawan ya"" Tanya Ayyas santai.
Pendekar Kidal 25 Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham The Order Of Phoenix 8
skii. Tapi Profesor Najmuddin tidak mau. Di
a mensyaratkan saya harus pernah riset langsung
ke Rusia. Harus melihat langsung Rusia. Datanya
harus dari referensi pertama, tidak kedua apalagi
ketiga. Referensi kedua hanya sebagai pen-
dukung saja." "Aku tahu sifat pembimbingmu itu. Sejak dulu
dia selalu begitu, dia sangat perfeksionis. Jadi
tidak ada pilihan bagimu, kau harus benar-benar
menuruti kata-katanya. Dan saranku lagi, kalau
datamu benar-benar sudah lengkap, dan kau su-
dah mulai menulis. Setiap bab nanti konsultasik-
an dengan dia. Jangan sampai kau sudah nulis
berpuluh lembar nanti kau diminta mengganti
total. Tapi aku mengakui dia sej arawan yang
hebat." Puji Profesor Tomskii pada pembimbing
Ayyas. "Baik Profesor. Terima kasih atas sarannya."
"Baik mana surat pengantarnya"" Tanya Pro-
fesor Tomskii. Ayyas mengambil sesuatu dari tasnya. Ia men-
geluarkan stopmap lalu menyerahkannya kepada
Profesor Tomskii. "Selain surat pengantar. Ada juga surat pribadi
Profesor Najmuddin untuk Profesor Tomskii."
Jelas Ayyas. Profesor Tomskii membaca surat dan berkas -
berkas yang ada di stopmap itu dengan seksama .
Lalu dengan wajah cerah ia berkata pada Ayyas.
"Ayyas, aku paham semua yang diinginkan
pembimbingmu. Jujur, sebenarnya aku ingin
membimbingmu menemukan data-data terbaik
dan melakukan penelitian sejarah terbaik. Aku
sudah menyiapkan waktu untuk itu sebenarnya.
Tapi sayang, tadi aku baru mendapatkan tugas
dari rektor untuk terbang ke Istanbul. Aku di-
minta membantu kedutaan Rusia di Turki selama
beberapa bulan, belum bisa ditentukan waktunya.
Ada masalah kenegaraan yang harus melibatkan
pakar sejarah Asia Barat."
"Jadi saya harus bagaimana Profesor""
"Tenang. Kau tetap jalankan rencanamu. Aku
telah siapkan asistenku untuk membantumu. Dia
nanti akan membantumu dua puluh empat jam
kalau perlu. Dan selama aku pergi, kau bisa
menggunakan ruangan ini untuk bekerja. Asal
kau jaga kerapiannya. Bagaimana""
"Spasiba balshoi, Profesor"
"Aku ingin urusan administrasimu selesai hari
ini. Semuanya. Besok kau sudah bisa fokus pada
penelitianmu. Sebentar, aku panggil asistenku."
Kata Prof esor Tomskii, tangannya meraih gagang
telpon di mejanya dan memanggil asistennya un-
tuk datang segera. "Bagaimana keadaan Indonesia" Masih ban-
yak korupsi"" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas hanya tersenyum kecut.
"Kau harus berpikir untuk memperbaiki neger-
imu. Ingatkan pengambil kebijakannya untuk
tidak menjilat Amerika, dan tidak menjilat negara
manapun. Aku pernah ke Indonesia dan aku meli -
hatnya sebagai negara yang sangat besar di antara
benua Asia dan Australia. Kekayaannya luar bi-
asa. Seharusnya sudah jadi macan Asia. Dari segi
modal dan fasilitas yang diberikan Tuhan kepada
negerimu, kalau diibaratkan, negerimu itu kelas
hotel bintang lima lebih. Tetapi karena bangsamu
dan para pemimp innya tidak bisa mengurusnya,
jadinya ya seperti kelas bintang melati yang
memprihatinkan. Kau harus kembalikan neger-
imu ke posisi bintang limanya.
"Kau tahu ndak, Ayyas, bahwa Jepang sangat
bergantung pada negerimu, Indonesia" Bahkan
saking bergantungnya dengan negerimu, sampai-
sampai jika negerimu terancam stabilitasnya, atau
bahasa kasarnya, kalau sampai Indonesia mau
diserang negara lain, prediksiku dari data yang
aku kumpulkan, Jepanglah yang pertama kali akan membela
Indonesia." Kata Profesor Abraham Tomskii
menceramahi Ayyas. "Kenapa bisa begitu Profesor""
"Bodoh kau ini! Kan tadi sudah aku katakan
Jepang sangat bergantung pada Indonesia. Kalau
Indonesia chaos, perekonomiannya ambruk,
maka orang-orang Jepang tidak akan bisa makan.
Indonesialah yang menghidupkan industri
Jepang. Bahan-bahan baku industri Jepang paling
besar didatangkan dari Indonesia. Batu bara, biji
besi, tembaga, nikel, semua dari Indonesia. Dan
hasil industri Jepang paling besar dibuang ke In-
donesia. Coba kau hitung berapa ribu kendaraan
roda dua setiap harinya yang dibeli orang Indone -
sia dari Jepang. Belum kulkas, mesin cuci, tele -
visi, telpon, dan peralatan elektronik lainnya. In-
donesia adalah tempat Jepang mengeruk uang,
juga tempat negara kapitalis lainnya mengambil
keuntungan. Dua ratus tiga puluh juta adal
ah pas - ar yang sangat besar. Sekali lagi sangat besar.
Sudah paham"" "Sudah Profesor."
"Bagus. Kau pasti senang dibimbing asisten-
ku. Dia bisa diandalkan. Dan yang penting dia
masih muda dan cantik. Kau suka wanita can-
tik"" Profesor berkepala botak dan berambut
putih itu menggoda. Ayyas hanya tersenyum. "Dia sangat cerdas dan ramah. Tapi kerasa ke-
pala dan sangat kuat memegang prinsip -prinsip
keyakinannya yang sangat konservatif. Dia tidak
suka Vodka, jangan sekali -kali mengajaknya
minum Vodka. Kalau kau bisa menaklukkan dia
maka kau pemuda yang sungguh beruntung."
Tiba-tiba bel berbunyi. "Lha itu dia datang!" Lirih Profesor Tomskii
pada Ayyas dengan mengedipkan mata kirinya.
"Silakan masuk!" Serunya.
Pintu terbuka. Seorang perempuan muda jelita
masuk. Ayyas memandang ke arah pintu. Kedua
matanya bertemu pandang dengan perempuan
muda itu. Hati Ayyas berdesir. Sebuah desiran
yang tidak kalah kualitasnya dengan desiran kala
kali pertama bertatapan muka dengan Yelena.
Wajah Ayyas memerah. Ayyas kemudian menun-
dukkan muka untuk menutupi perubahan
wajahnya yang memerah seraya berdoa dalam
hati, "Duhai Allah, j auhkan hamba-Mu dari keja-
hatan dan fitnah yang ditimbulkan oleh wajah
jelita nonik-nonik muda Rusia." Sementara itu,
Profesor Abraham Tomskii tersenyum tipis meli-
hat perubahan wajah Ayyas yang sempat
memerah. "Dabro Dentf" Kata perempuan itu lembut. Ia
berjalan mendekat. Pakaian yang membalut tu-
buhnya begitu serasi dengan pesona wajahnya. Ia
mengenakan celana jeans ketat putih dan sweeter
ketat putih gading. Syalnya juga putih. Mukanya
segar bersih. Rambutnya yang lurus dan hitam
legam ia biarkan tergerai begitu saja.
"Apa yang bisa saya bantu Profesor"" Tanya
perempuan bermuka segar itu.
"Anastasia, kenalkan ini Ayyas dari Indonesia,
dia mahasiswa sahabat saya Profesor Najmuddin
di Aligarh. Ayyas, ini Doktor Anastasia Palazzo,
asistenku, dia pakar sej arah Asia Selatan. Dia
nanti yang akan menggantikan aku menjadi
pembimbingmu selama kau di sini." Kata Profe-
sor Tomskii mengenalkan keduanya satu sama
lain. "Senang bertemu dengan Anda." Kata
Anastasia sambil tersenyum.
"Saya juga senang bertemu dengan Anda. Ini
kali kedua saya mendengar nama Anda." Kata
Ayyas. "O ya, kau pernah mendengar namaku se-
belumnya" Kapan dan di mana"" Heran
Anastasia. "Saya mendengar nama Anda dari perempuan
tua berkerudung kozinka putih beberapa saat
yang lalu. Dia bercerita sedang menggandakan
soal ujian yang Anda minta." Jawab Ayyas
tenang. "Ah dari Bibi Parlova, saya kira pernah
mendengar di mana, Anda bisa saja bercanda."
Tukas Anastasia tersenyum, seketika dua pipinya
dihiasi lesung pipi yang mampu menarik lelaki
manapun untuk berlama-lama menatapnya.
"Puji Tuhan! Baru bertemu kalian sudah lang-
sung akrab. Apa ini tanda-tanda jodoh hehehe."
Profesor Tomskii berkelakar.
"Profesor bercanda terus." Sahut Anastasia.
Sementara Ayyas sedikit tersipu malu
mendengar ucapan Profesor Tomskii. Sekilas
matanya melirik ke arah Anastasia Palazzo.
Pakar sejarah asisten Professor Tomskii itu
memang terlihat segar dan jelita. Hati Ayyas
berdesir halus. Tapi ia segera menguasai dirinya.
"Sebagai guru besar, beban saya untuk serius
lebih besar dari kalian, maka saya harus mengim-
banginya dengan sering bercanda dan rileks, biar
pikiran terus segar. Saya tidak mau seperti Profe-
sor Betrishchev yang serius terus. Saat santai pun
serius, susah tersenyum dan tertawa. Seolah guru
besar tidak boleh bercanda. Akibatnya ya kamu
tahu sendiri Anastasia. Dia tidak bisa berumur
panjang. Baru lima puluh satu tahun sudah men-
inggal. Aku ini sudah enam puluh empat, jauh le -
bih tua dari Betrishchev, tapi masih kuat
berenang sejauh dua ratus meter." Kata Profesor
Tomskii. "Wah resep Profesor boleh juga." Tukas
Ayyas. "Mm, jadi apa yang bisa saya bantu Profesor""
Tanya Anastasia Palazzo. "Ini jawabanku yang kedua kalinya. Ayyas ini
sedang menulis tesis. Dia harus melakukan pene -
litian di sini. Seharusnya aku yang harus menjadi
pembimbingnya selama dia di sini. Tapi besok
aku harus terbang ke Istanbul. Jadi kau aku minta
menggantikan aku menjadi pembim
bingnya." Jelas Profesor Tomskii. "Kenapa harus saya Profesor, kenapa tidak
guru besar yang lain yang lebih senior"" Tanya
Anastasia. "Kalau yang lain nanti urusannya rumit dan
berbelit. Banyak birokrasi. Maka harus kamu
Anastasia, kamu siap""
"Saya siap dan tidak ada masalah kalau begitu.
Masalahnya yang dibimbing mau tidak"
Semestinya dia dibimbing Profesor Abraham
Tomskii, bukan Anastasia." Jawab Anastasia.
Profesor Tomskii langsung menoleh pada
Ayyas, "Bagaimana Ayyas jika dibimbing dia""
"Dibimbing siapa pun saya tidak masalah.
Yang penting semuanya berjalan dengan baik dan
saya bisa segera menyelesaikan tesis saya dengan
hasil terbaik." "Berarti tidak ada masalah. Aku bisa terbang
ke Istanbul dengan tenang." Kata Profesor Tom-
skii dengan senyum mengembang. Setelah itu
Profesor Tomskii memberi pengarahan kepada
Anastasia Palazzo. Profesor Tomskii ingin agar
Ayyas benar-benar mendapatkan kemudahan dan
fasilitas yang cukup. Juga agar Ayyas dianggap
sebagai fellow reseacher dan mendapat tunjan-
gan beasiswa selama melakukan penelitian.
Anastasia berjanji akan membantu sebaik-
baiknya. Siang itu pertemuan ditutup dengan makan si-
ang di stolovaya atau kantin MGU. Ayyas memi -
lih menu terdiri atas kentang, kotlety, yaitu
sejenis perkedel yang terbuat dari daging giling
tanpa kentang dengan sup Borsh (Semacam sup
ayam, di dalamnya terdapat irisan berwarna
merah dan setangkup roh berbentuk bulat yang
disebut Lipyoshka) khas Rusia serta secangkir
teh hangat. Sedangkan Profesor Tomskii dan
Anastasia memilih makan dengan sup ukha (Sup
ikan kegemaran orang Rusia), sepiring daging
kambing asap, roti hitam, dan secangkir teh hijau
panas. Sebelum berpisah, Anastasia Palazzo berkata
kepada Ayyas, "Besok kita ketemu jam sepuluh
di ruangan Profesor Tomskii, saya ingin tahu le-
bih detil apa yang sudah dicapai dalam penelitian
Anda."
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan agak bergetar Ayyas menjawab,
"Baik, Doktor."
Siang itu Moskwa terasa lebih cerah dari bias -
anya. Matahari menampakkan sinarnya meskipun
tidak bisa menghilangkan kabut musim dingin
yang menyelimuti bumi. Keluar dari kampus
MGU Ayyas langsung bergegas mencari tempat
untuk sujud dan rukuk. Ia hampir lupa shalat
Zuhur. Setelah lebih tiga hari di Moskwa,
keringanan untuk menjamak dan mengqashar su-
dah tidak ada lagi. Waktu shalat Zuhur hampir habis dan Ayyas
belum juga menemukan tempat untuk shalat. Ia
tahu, mencari masjid di Moskwa tidak semudah
mencari masjid di Jakarta atau di New Delhi In-
dia. Dari data yang ia punya, hanya ada lima
masjid di Moskwa, yang kalau ia mengejar untuk
shalat di salah satunya, maka waktu shalat Zuhur
sudah habis. Akhirnya ia nekat, ia masuk stasiun
Universitet dan mencari sudut untuk bisa sujud
kepada Allah Azza Wa Jalla.
Ketika ia shalat banyak orang melihatnya
dengan terheran-heran. Dan ia tetap tidak
bergeming, ia tetap khusyuk dalam shalatnya. Se-
lesai shalat seorang polisi mendekatinya,
memeriksa dokumennya dan menanyakan apa
yang baru saja dilakukannya. Ayyas menjawab ia
baru saja shalat, beribadah kepada Tuhannya.
Polisi itu memberinya peringatakan agar jan-
gan sekali-kali melakukan ritual di tempat umum
lagi, sebab tempat ibadah masing-masing agama
sudah disediakan di Moskwa. Ayyas hanya men-
jawab, "Da, da"
Polisi itu nampak puas mendengar jawaban
Ayyas yang tidak membantah sedikit pun. Ayyas
langsung angkat kaki, tujuannya KBRI untuk
lapor diri secara resmi, meskipun ia sudah mem-
beritahukan keberadaannya kepada pihak Kon-
suler KBRI melalui email di hari pertama ia tiba.
Ayyas membuka map metro Moskwa yang ia
cetak dari internet. Sesaat kemudian ia sudah
tahu bagaimana caranya sampai ke stasiun
Tretyakovskaya, stasiun metro yang paling dekat
dengan KBRI. Setelah itu ia akan jalan kaki saja
ke KBRI yang terletak di Novokuznetskaya Ul-
itsa nomor 12. "Mudah, insya Allah" lirihnya
dalam hati. *** 6. Jiwa Yang Terusik Yelena sampai apartemen ketika salju kembali
turun. Udara di luar apartemen perlahan-lahan
bertambah dingin. Angin berhembus perlahan
dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Yelena
langsung masuk kamarnya dan mandi dengan air
hangat. I a merasa sangat lelah. Dari jam dua si-
ang sampai jam tujuh petang ia harus melayani
tiga klien dengan profesional. Ia kembali merasa
dirinya bukan lagi seorang manusia. Setan seakan
telah menjamah seluruh tubuhnya, dan kini ia
merasa dirinya tak ubahnya adalah setan .
Entah mengapa, dengan mandi, sentuhan air
dari ujung rambut sampai ujung kakinya seolah
menjadikannya lebih bersih. Seolah bekas -bekas
sentuhan setan di sekujur tubuhnya hanyut ter-
bawa air. Ia lebih segar, pikirannya lebih terang
dan perasaannya sebagai manusia sedikit tumbuh.
Dari mantan suaminyalah ia mendapat penget-
ahuan mandi untuk menyucikan tubuh dan batin.
Meskipun ia tidak percaya kepada Tuhan dan
kepada jenis agama apa pun, tapi ia percaya bah-
wa mandi bisa menyegarkan pikiran dan
meremajakan otot dan syaraf -syaraf tubuhnya.
Dan setelah mandi ia merasa jiwanya sedikit le -
bih tenang, perasaannya lebih nyaman. Ia telah
membuktikannya. Menurutnya kenyataan itu
tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama
seperti yang pernah diutarakan suaminya padan-
ya, tapi itu adalah satu kenyataan ilmiah. Secara
ilmiah air yang bersih dan jernih itu
menyehatkan. Tubuh manusia sangat memerlukan air. Baik
untuk minum atau pun untuk membersihkan
kulitnya dari ber jenis - jenis kotoran yang halus
dan rumit. Tak perlu ajaran Tuhan, ilmu penget-
ahuan yang menjelaskan semuanya. Begitulah
cara berpikir perempuan muda Rusia bernama
Yelena ini. Selesai mandi ia memakai pakaian yang hanya
pantas dipakainya di dalam kamarnya saja. Han-
ya aurat terpentingnya yang benar-benar tertutup.
Ia dan Linor biasa berpakaian seperti itu, apalagi
di musim semi dan musim panas. Mereka berdua
dan kebanyakan gadis Rusia memakai pakaian
yang rapat menutup seluruh tubuh hanya ketika
musim dingin tiba, itu pun ketika keluar dari tem-
pat tinggalnya. Ketika di dalam rumah yang se-
luruh ruangannya hangat oleh pemanas ruangan,
sebagian mereka tetap lebih suka membiarkan
bagian-bagian tubuhnya terbuka.
Di puncak musim dingin seperti malam itu, bi-
asanya Yelena tetap lebih suka memakai swieter
tipis dan celana panjang jika ada di dalam aparte-
men. Tetapi malam itu ia memilih memakai
pakaian yang membiarkan sebagian besar kulit-
nya terbuka. Jika Ayyas pulang, ia ingin ngobrol
dengan pemuda dari Indonesia itu, dan ia ingin
memamerkan keindahan kulitnya kepada Ayyas
lalu mendengar komentarnya, lebih tepatnya ia
ingin mendengar pujian darinya.
Yelena duduk lalu rebahan di atas sofa pan-
jang, kedua matanya terpaku pada layar kaca
televisi. Sesekali tangan kanannya meraih gelas
di atas meja berisi vodka martini. Ia melihat jam
dinding, sudah hampir jam sembilan. Entah
kenapa tiba-tiba ada rasa khawatir menelusup ke
dalam hatinya, "Jangan- jangan dia tersesat, tidak
bisa pulang. Informasi jalur metro tertulis dalam
huruf Cyrilic, bukan latin. Jangan- jangan dia
tidak bisa membaca huruf itu dan tersesat di
bawah tanah tidak bisa keluar di stasiun
Smolenskaya. Kasihan anak itu, dia masih baru
di sini." Katanya dalam hati.
Yelena bangkit ke kamarnya dan mengambil
ponselnya. Ia mencoba menelpon Ayyas, tapi
tidak bisa tersambung. Rasa khawatirnya se-
makin kuat. "Atau jangan- jangan ia bertemu
kelompok rasialis yang ekstrim, yang tidak
menyukai bangsa ber-ras non Rusia. Ia bisa
celaka kalau ketemu kelompok itu." Gumamnya
dalam hati. Yelena kembali duduk di sofa. Tiba-
tiba bel berbunyi. Yelena terkesiap bahagia. "Ini
dia yang datang." Pekiknya lirih penuh harap.
Terdengar suara pintu terbuka. Ada orang masuk.
Dari pintu foyer yang terbuat dari kaca ia bisa
melihat siapa yang datang. Ia sedikit kecewa,
ternyata bukan Ayyas, tapi Linor.
"Wah di luar dingin banget. Sudah kembali
normal musim dinginnya. Sekitar minus lima be-
las derajat mungkin, sudah tidak hangat lagi sep -
erti tadi pagi." Kata Linor sambil meletakkan tas
berisi biolanya. Gadis itu langsung menuju dapur
dan menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia lalu
duduk di samping Yelena. "Begitu cepat suhu udara naik turun. Tadi pagi
tujuh derajat, malam ini sudah lima belas dera-
jat." Sahut Yelena. "Efek pemanasan global. O ya Yelena si
Mus lim Brengsek dari Indonesia itu ada di
kamarnya"" Tanya Linor.
"Jangan menyebut dia begitu. Kalau terdengar
dia tidak enak. Dia mengerti bahasa Rusia. Dan
dia tidak brengsek. Dia belum pulang. Tadi dia
ke MGU, aku menemaninya." Jawab Yelena.
"Wow, jadi kamu mulai jalan bareng sama or-
ang itu" Mulai tertarik pada manusia purba ya""
Tukas Linor dengan nada merendahkan.
"Kau terlalu mengada-ada Linor. Aku hanya
berusaha menolongnya. Kasihan dia masih belum
tahu apa-apa tentang Moskwa ini."
"Kalau boleh memberi saran, sebaiknya kau
jauhi si Brengsek itu. Kau harus ingat masa
lalumu. Orang Islam itu di mana-mana kerjanya
membuat onar, sangat berbahaya. Mereka seperti
tidak punya otak dan belas kasihan. Bahasa
mereka bahasa kanibal. Mereka lebih kejam dari
tentara Tartar yang membantai umat manusia be-
berapa abad yang lalu. " Linor berkata serius ke -
pada Yelena sambil sesekali meneguk vodkanya.
Yelena mengambil nafas panjang dan men-
jawab, "Tapi dia baik. Aku yakin dia baik."
Yelena tidak ingin mendebat Linor. Ia tahu persis
sebesar apa ketidaksukaan Linor kepada orang
Islam. Dalam beberapa artikelnya di koran, gadis
itu sampai membuat kesimpulan orang -orang
Islam tidak layak hidup di atas muka bumi. Men-
urut Linor, adanya orang Islam hanya membuat
kehidupan di atas bumi ini tidak nyaman dan
tidak. aman. Maka Yelena hanya menjawab
singkat dan samasekali tidak mendebat Linor.
Meskipun ia tidak percaya pada agama, tapi men-
urutnya manusia di mana-mana sama. Tidak pan-
dang ras, warna kulit dan agamanya. Di mana-
mana manusia itu sama, ada yang baik dan ada
yang tidak baik. "Terserah kamu. Yang penting aku sudah
mengingatkanmu. Dan aku tidak akan diam be-
gitu saja jika si Brengsek itu macam-macam di
sini!" Tukas Linor. "O ya, bagaimana rencana konsermu"" Yelena
mengalihkan pembicaraan. "Semakin matang."
"Baguslah." "Baik. Aku masuk kamar dulu. Istirahat."
"Spakoinoi Nochi, (Selamat malam atau
selamat tidur) Linor." Sahut Yelena. Linor men-
jawab dengan senyum mengembang kepada
Yelena lalu masuk dan menutup pintu kamarnya.
Mata Yelena kembali menatap layar kaca yang
menyiarkan terjadinya badai salju yang ekstrim
di daerah Vyatka. Beberapa pohon tumbang dan
ada rumah yang rusak parah. Listrik sempat mati
selama empat jam. Tetapi pemerintah kota Vy-
atka terlihat sangat tanggap sehingga listrik mati
tidak terlalu lama. Jika listrik mati lama, maka
bisa dipastikan sebagian penduduk Vyatka akan
sangat menderita kedinginan, karena alat peman-
as ruangannya tidak bisa menyala. Dan tidak
semua rumah siap untuk menyalakan tungku
pemanas. Bel berbunyi lagi. Yelena yakin kali ini pasti
Ayyas. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan
benar, Ayyas. Ayyas nampak menggigil kedin-
ginan. Pemuda bertubuh agak kurus itu melepas
sepatunya lalu masuk ke ruang tamu. Ia kaget
bukan main ketika melihat Yelena duduk di
ruang tamu dengan pakaian yang tidak genap
menutup aurat. Ia langsung menundukkan pan-
dangannya. Ia merasa bahwa ruangan itu penuh
sesak oleh setan bertepuk tangan menyambutnya.
"Hei, baru pulang, sukses urusannya"" Tanya
Yelena sambil tersenyum. Tanpa melihat Yelena dan dengan tetap ber-
jalan menuju kamarnya Ayyas menjawab, "Ya
sukses. Spakoinoi Nochi, Yelena!"
Yelena bangkit dan berkata, "Hei tunggu, du-
duklah sini sebentar. Hangatkan tubuhmu dengan
Vodka ini. Temani aku berbincang-bincang
sebentar." "Maaf Yelena, aku sangat letih, aku harus
istirahat." "Duduklah, lima belas menit saja."
"Maaf Yelena, aku tidak bisa. Sebaiknya kau
istirahat saja." Kata Ayyas dengan tetap menahan
untuk tidak memandang ke arah Yelena. Ia
sebenarnya ingin sedikit mengarahkan mukanya
ke wajah Yelena untuk menghormati lawan bi-
caranya. Tapi ia tidak berani, karena takut
imannya goyang. Begitu selesai mengucapkan
kata-katanya Ayyas langsung masuk ke
kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Dasar brengsek!" Umpat Yelena. Ia sangat
kecewa pada Ayyas. Sebenarnya ia hanya ingin
ditemani ngobrol, dan berbincang tentang banyak
hal. Ya, banyak hal yang lebih manusiawi. Hal-
hal yang berbeda dengan rutinitas yang dilaluinya
bersama teman-temannya di daerah Tv
erskaya yang membuat batinnya merintih dan membuat
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya terasa hampa. Yelena mematikan televisi
dan masuk kamar dengan membanting pintunya
agak keras. Ayyas mendengar bunyi pintu yang dibanting
itu. Ia yakin itu Yelena yang kesal padanya. Ayy-
as tidak mengabaikannya. Ia tidak mau ditert-
awakan oleh setan yang menginginkan manusia
selalu berbuat maksiat dan menuruti hawa naf -
sunya. Ia pemuda yang sehat dan normal. Ia bisa
meraba kekuatan imannya sendiri. Iman yang ada
dalam dirinya ia rasa belum kuat menghadapi
godaan kecantikan perempuan Rusia yang hidup
tanpa aturan agama dan moral seperti Yelena.
Karena itu ia harus menyelamatkan dirinya
dengan segera masuk kamar dan mengunci
pintunya kuat-kuat. Ayyas langsung mandi dengan air hangat.
Mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah shalat ia
membaca Al -Quran satu halaman. Lalu mere-
bahkan dirinya untuk tidur. Ia benar-benar lelah.
Ia melakukan perjalanan satu hari penuh. Dari
universitas, KBRI, ke masjid Basoi Tatarski yang
tidak jauh dari KBRI, setelah itu ke rumah Atase
Perdagangan, PakAkmal Hidayat, SE. MBA.
yang ia kenal di KBRI. Sekali kenal langsung
akrab, karena Pak Akmal ternyata orang Piyun-
gan Yogyakarta bertetangga dengan Budenya
yang asli Piyungan. Sebenarnya sampai di KBRI
ia sudah sangat kedinginan, beruntung Pak Ak-
mal meminjaminya mantel palto tebal. Pak Ak-
mal punya tiga palto di kantornya. Ayyas sangat
bahagia, Pak Akmal yang sudah satu tahun di
Moskwa kelihatannya sangat religius dan siap
membantu dirinya selama melakukan penelitian
di Moskwa. Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia
ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena
dengan segala keindahan tubuhnya, yang baru
saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di
pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik
Anastasia Palazzo juga menari-nari di pelupuk
matanya. Darah mudanya menghangat: Ayyas
berusaha menepis bayangan itu tetapi tidak
mudah. Bayangan itu seperti telah tersimpan dan
menempel erat di salah satu sudut hatinya. Sep -
erti virus di komputer yang tidak mudah dihil-
angkan. Ayyas merasa ujian keimanan ini terasa
lebih berat dari musim dingin yang paling meng -
gigit sekalipun. Rasa dingin yang menggigil itu bisa hilang be-
gitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang
hangat oleh pemanas. Tetapi virus moleknya
Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah di-
hilangkan. Meskipun ia telah shalat dan
membaca Al-Quran, virus itu tidak juga xex-delete sempurna,
masih tersisa, hanya bisa dijinakkan. Ayyas
membaca istighfar berulang kali. Lebih dari
tujuh puluh kali. Dalam istighfar ia teringat pes -
an Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di Pesantren
Kajoran Magelang dulu, "Eling-elingo yo Ngger, endahe wanojo iku
sing dadi jalaran batok toponingporo santri lan
sat'rio agung!" Lalu kiai Lukman menguraikan
hadis tentang ujian terbesar bagi kaum lelaki ber-
iman adalah pesona perempuan.
Ayyas terus berzikir dan beristighfar sampai
tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas ber-
mimpi ada dua ekor ular masuk ke dalam
kamarnya dan memburunya. Ia mati-matian
menghindari patukan dua ular itu. Ia mencari-cari
alat untuk bisa membinasakan kedua ular itu tapi
tidak ketemu. Akhirnya dengan kehati-hatiannya
ia bisa lolos dari sergapan kedua ular itu. Ia
kemudian lari ke jalan, dan di jalan juga ia
temukan banyak ular. Ia lari menghindari ular-
ular itu, hampir ada yang bisa mematuk, tapi ia
bisa melompat. Ia kelelahan, ular-ular itu terus
memburu. Ia kehabisan nafas dan kakinya sudah
tidak mampu ia gerakkan, ular-ular itu semakin
dekat. Ia kehabisan cara untuk menyelamatkan
diri. Ketika ular-ular itu hendak mematuk dirinya
ia berteriak keras, "Allaahu akbari" Dan seketika
ia terbangun dari tidurnya. Ayyas bangun dengan
nafas tersengal-sengal. Mimpi itu seolah-olah
nyata. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin.
"Mimpi yang tidak menyenangkan," lirih Ayy-
as. Seketika ia teringat ajaran Rasulullah Saw.
ketika seseorang bermimpi tidak baik. Ayyas me-
ludah ke kiri tiga kali dan membaca isti'adzah,
memohon perlindungan Allah dari gangguan
setan yang terkutuk. Ayyas lalu bangkit dari tem-
pat tidurnya dan melihat jam
dinding. Pukul setengah tiga dini hari. Ia bangkit mengambil
wudhu lalu shalat Tahajud. Setelah berdoa untuk
dirinya, kedua orangtuanya, dan untuk kebaikan
umat manusia, Ayyas kembali merebahkan tu-
buhnya. Ia memasang alarm di ponselnya.
Ia harus benar-benar detil mempersiapkan
segala hal yang membuatnya tidak meninggalkan
kewajibannya shalat lima waktu. Jika selama
kuliah di Madinah dulu azan berkumandang se-
tiap kali masuk waktu shalat, tanpa memasang
alarm pun ia bisa terjaga dan sadar untuk shalat.
Tetapi di Moskwa tidak ada azan seperti Madi-
nah, dia sendiri yang harus berjuang bisa mendi-
rikan shalat tepat pada waktunya.
Ia merasa harus semakin merapat kepada Al-
lah. Tak ada yang benar-benar mampu
menyelamatkan imannya kecuali Allah. Moskwa
bukan Madinah. Jika di Madinah aroma kesucian
orang -orang saleh begitu terasa, di Moskwa yang
ia rasakan adalah aroma perempuan cantik Rusia
seperti Yelena dan Anastasia Palazzo yang men-
gusik ketenangan jiwa. *** 7. Oh, Puji Untuk -Mu, Tuhan! Pagi itu salju bertasbih. Pohon-pohon
bereozka, pohon cemara araukaria juga bertasbih.
Batu-batu yang tersusun rapi di pinggir jalan-
jalan kota Moskwa yang tertimbun salju juga ber-
tasbih. Udara dingin kota Moskwa bertasbih.
Semua benda yang ada di kota Moskwa yang per-
nah dianggap sebagai pusatnya kota orang -orang
atheis juga bertasbih. Alam selalu bertasbih men-
gagungkan nama Allah, Tuhan seru sekalian
alam. Hanya manusia tidak mengerti bahasa tasbih
mereka. Dan ketika alam bertasbih hanya sedikit
manusia yang ikut dalam irama tasbih alam
semesta. Hanya sedikit manusia yang mengingat
Tuhannya, sebagian besar manusia hanya ingat
pada dirinya dan kepentingannya nafsunya
sendiri. Di antara manusia yang sedikit itu adalah
Ayyas. Pagi itu ia bertasbih bersama tasbih salju,
angin dingin, pohon bereozka, pohon cemara,
kayu birk, batu-batu dan seluruh benda di jagat
raya juga para malaikat yang tidak pernah mem-
bangkang perintah Tuhannya. Pagi itu Ayyas ber-
tasbih, larut dalam zikir paginya yang panjang.
Kali ini zikirnya lebih panjang dari pagi-pagi
sebelumnya. Yelena juga sudah bangun. Perempuan muda
berambut pirang itu berkali-kali mengetuk pintu
kamar Ayyas dan memanggil-manggil nama
Ayyas. Ayyas yang sedang khusyuk dalam zikir
paginya samasekali tidak menyahut. Ia tidak mau
diganggu. Tak lama kemudian ia mendengar per-
cekcokan kecil antara Yelena dan Linor. Linor
mengingatkan Yelena agar tidak mengetuk kamar
orang lain. Yang jadi masalah, di ujung kalimat-
nya Linor mengatakan, "Dasar perempuan
jalang!" Lalu terjadilah cekcok mulut yang cukup
panas dalam bahasa Rusia. Dua perempuan itu
saling mencaci dan mengumpat dengan kata-kata
tidak terpuji. Sebagian Ayyas paham, sebagian
tidak paham samasekali. Ayyas hanya diam. Ia
tidak mau terlibat urusan yang tidak ada manfaat-
nya, malah banyak celakanya seperti itu.
Selesai zikir Ayyas menyalakan laptopnya. Ia
merasa beruntung, di kawasan itu ada sinyal wifi
gratis. Ia bisa online kapan saja. Ketika jaringan
wifi itu dibuat tanpa pasword dan bisa diakses
siapa saja berarti memang digunakan untuk
umum. Atau pemiliknya sengaja membuka
jaringan internet miliknya boleh digunakan siapa
saja. Ayyas ingin lebih tahu siapa Doktor Anastasia
Palazzo. Ia menulis nama itu dalam situs -situs
pencarian. Cukup banyak yang memuat nama
Anastasia Palazzo. Yang jelas, asisten Profesor
Tomskii itu bukan orang sembarangan. Ia orang
yang cerdas dan brilian. Ia lahir di kota
Novgorod. Menyelesaikan SI di St. Petersburg
University, S2 di Calcutta, India, S3 di Cam-
bridge, London. Kepakarannya adalah pendidik-
an ilmu sejarah dan filologi. Anastasia Palazzo
menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Rusia ia
menguasai bahasa Inggris, Perancis, Yunani,
Kazakh, Urdu dan Ibrani. Mau tidak mau Ayyas
harus mengagumi orang yang akan menjadi pem-
bimbing penelitiannya selama di Moskwa ini.
Ayyas juga membaca dua blog yang ditulis Dokt-
or Anastasia Palazzo, sehingga Ayyas cukup
mengerti riwayat hidup doktor muda itu. Baginya
itu sudah cukup untuk bekal bertemu pembimb -
ingnya itu. Pagi ini ia janji dengan pakar filo
logi itu. Sebenarnya ada yang tidak nyaman di hatinya
ketika ia harus dibimbing Anastasia Palazzo. Ia
merasa lebih nyaman melakukan penelitian
sendiri. Bukan karena Anastasia Palazzo masih
muda dan ia meragukan kemampuan ilmiahnya,
samasekali bukan. Ia bukan jenis manusia yang
tinggi hati untuk belajar kepada yang muda,
bahkan kepada yang lebih muda darinya ia pun
siap. Yang membuatnya tidak nyaman adalah
Doktor Anastasia Palazzo seorang perempuan
muda. Cantik, cerdas, dan memesona! Tiga kar-
unia Tuhan yang jarang dipadukan kepada kaum
hawa, itulah masalahnya bagi Ayyas.
Meskipun Ayyas yakin Anastasia Palazzo
pasti akan sangat menjaga kesopanan ber-
pakaiannya tidak seperti Yelena, tapi justru itulah
ujiannya. Yelena jelas ujian yang tidak ringan ba-
ginya, tapi hanya dengan melihat caranya ber-
pakaian alam bawah sadarnya secara otomatis
langsung menolaknya. Sedangkan Anastasia
yang cukup rapat menutup badannya dengan
segala prestasi akademiknya telah membuatnya
kagum dan hormat. Imannya merasa tidak aman
jika banyak berdekatan dengan Anastasia Palazzo
yang kata Profesor Tomskii, yang bisa
menaklukkannya adalah pemuda yang beruntung.
Jam sepuluh ia harus sudah ada di ruangan
Profesor Tomskii. Di ruangan yang nyaman itu-
lah ia akan bertemu dengan Anastasia Palazzo.
Tepat jam delapan ia keluar kamar. Yelena telah
rapi seperti biasa ketika akan berangkat kerja, la
agak nyaman melihat Yelena tertutup rapat
pakaian musim dingin. Yang nampak hanya wa-
jah putihnya dan sedikit rambut pirang yang ia
biarkan tergerai. Sebagian rambut itu tertutup
syal yang melingkar di lehernya. Yelena terseny-
um padanya, Ayyas berusaha tersenyum.
"Dabroye Utra, Ayyas. Mau ke MGU"" Sapa
Yelena. "Dabroye Utra, Yelena. Ya aku mau ke MGU.
Kau sudah mau berangkat kerja"" Jawab Ayyas,
lalu balik bertanya. "Tidak. Hari ini aku cuti, aku ada janji dengan
seorang teman di Lyublino. Dari pagi aku ketuk
kamarmu beberapa kali. kelihatannya kau masih
tidur. Pasti kau sangat kelelahan."
"Ya tadi malam aku merasa letih dan lelah.
Tapi pagi ini sudah bugar alhamdulillah"
"Kita keluar bareng sampai stasiun""
"Mari." Jawab Ayyas sambil bergegas jalan
duluan. Di luar angin yang bertiup sangat dingin
menyambut mereka berdua. Ayyas mulai merasa
dingin. Kondisi pagi itu sangat berbeda dengan
pagi sebelumnya. Langit buram oleh mendung.
Kabut terasa tebal. Salju menggunung di pinggir
jalan. Rumput-rumput samasekali tidak ada yang
kelihatan.
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berjalan Ayyas meminta kepada
Yelena agar kalau di ruang tamu berpakaian lebih
rapat.' Kalau berpakaian seperti tadi malam se-
baiknya saat di kamar saja. Yelena agak kurang
suka dengan permintaan Ayyas. Yelena malah
menjawab, "Kau baru datang, jangan mengatur
aku!" Ayyas minta maaf jika ada perkataanya
yang,menyinggung perasaan Yelena. Bukan itu
yang diinginkannya. Ia mengatakan hanya ingin
menciptakan kenyamanan di ruang tamu, sebab
itu milik bersama. Itu ibarat lobby sebuah hotel.
"Jadi kau merasa tidak nyaman melihat aku
berpakaian seperti tadi malam"" Tanya Yelena.
"lya, maaf. Aku sangat tidak nyaman""
"Kenapa" Apa aku menyakitimu dengan
pakaianku itu""
"Menyakiti secara fisik tidak, tapi secara psi-
kis iya. Melihatmu dengan pakaian seperti itu
imanku bisa runtuh." Ayyas berterus terang.
"Ah iman! Buang saja imanmu itu ke tong
sampah, maka tidak akan ada yang runtuh. Kau
akan nyaman, hidup tanpa aturan iman!"
"Justru kalau aku tidak ditertibkan oleh aturan
iman, aku akan diperbudak oleh penjajahan hawa
nafsu, ini lebih tidak nyaman lagi."
"Kalau begitu aku akan membantumu mer-
untuhkan imanmu. Percayalah tanpa aturan iman
kau akan hidup bebas dan nanti kau akan merasa
jauh lebih nyaman. Dan hawa nafsu itu tidak ada,
yang ada adalah tuntutan diri kira kepada diri kita
sendiri. Kalau kita memenuhinya kita akan mera-
ba nyaman." "Sejarah berkata lain. Banyak orang stres,
tidak nyaman hidupnya dan bunuh diri, justru
ketika ia hidup sangat bebas tanpa aturan agama.
Ada aturan agama tapi diacuhkannya samasekali.
Dan banyak orang yang merasa nyaman karena
hidup bebas, tapi sebenarnya jiwanya sakit dan
batinnya tersiksa ole h kehampaan dan rasa sia-sia
menjadi manusia." "Orang beragama pun ada yang stres, dan
bunuh diri. Sama saja."
"Tidak sama. Yang seperti itu karena tidak
benar-benar memahami dan menghayati ajaran
agama dengan sungguhsungguh. Kalau sungguh-
sungguh mengamalkan ajaran agama, yang ter-
cipta hanya kebahagiaan dan kesejahteraan."
"Agaknya, terlalu kuat doktrin agama itu
meracuni otakmu!" Kata Yelena dengan nada
sinis. Ayyas tersentak kaget mendengar kata-kata
Yelena yang pedas, sinis dan bernada mer-
endahkan itu. Ketidaksukaan Yelena pada agama
kelihatannya sudah mengkristal. Stasiun
Smolenskaya tinggal beberapa langkah lagi. Ayy-
as merasa tidak perlu mencurahkan segenap en-
ergi meladeni seorang atheis radikal seperti
Yelena. Yang perlu untuk dia ketahui justru se-
jarah hidup Yelena. Kenapa dia bisa begitu anti
kepada segala yang beraroma agama, padahal se-
belumnya ia pernah beragama" Apa yang
menyebabkannya berbalik dari yang beriman ke -
pada Tuhan menjadi orang yang menafikan
Tuhan" "Bagiku agama yang aku yakini adalah sum-
ber utama kesehatan otak, jiwa dan batinku.
Agama bukan racun. Justru agama yang benar
adalah penawar segala racun yang mengotori
otak dan jiwa manusia. Kita cukupkan sampai di
sini dulu Yelena. Biarlah sejarah yang menilai
pendapat siapa yang benar di antara kita." Jawab
Ayyas sebelum keduanya berpisah di dalam stasi-
un Smolenskaya. Ayyas menuju MGU, sement-
ara Yelena menuju Lyublino.
*** Ayyas mengira ia akan lebih dulu sampai di
ruang Profesor Tomskii daripada Anastasia
Palazzo. Ternyata perkiraannya salah. Ketika ia
sampai di depan pintu ruangan itu, pintu itu telah
terbuka sedikit, lampunya menyala benderang,
seorang perempuan berwajah segar telah ada di
sana, duduk di sofa sambil membaca sebuah
buku tebal. Perempuan itu adalah Doktor
Anastasia Palazzo. Ayyas berdiri di depan pintu dan menyapa
pelan dengan dada sedikit bergetar, "Dabroye
Utra,( Selamat pagi) Doktor!"
"Hei, Dabroye Utra. Kau sudah datang Ayy-
as." Jawab Anastasia Palazzo sambil meletakkan
buku tebal yang dibacanya ke atas meja. Anastas -
ia Palazzo tersenyum ramah pada Ayyas. "Kau
datang setengah jam dari janji kita. Kau kelihatan
bersemangat." Lanjut Anastasia.
"Ya, tidak mau terlambat. Ternyata masih le-
bih lambat dari Doktor." Sahut Ayyas sambil
melepas palto dan sepatunya yang agak basah. Ia
lalu memakai sandal ruangan yang tersedia di
dekat pintu. "Kau tidak lebih lambat dari saya, hanya mun-
gkin saya lebih cepat darimu. Saya selalu ingin
lebih dulu dari orang lain. Jadi, apa langsung saja
kita mulai"" "Saya ikut Doktor."
"Baik. Silakan duduk. Saya ingin menjelaskan
beberapa hal penting kepadamu." Kata Anastasia.
Ayyas melangkah masuk dan hendak duduk.
"Maaf bisa ditutup pintunya." Pinta Anastasia.
Meskipun Ayyas merasa lebih nyaman kalau
pintu itu terbuka, tapi kedua kakinya tetap meng-
gerakkannya untuk melangkah menutup pintu.
Inilah hal yang ia cemaskan. Berdua dengan per-
empuan yang tidak halal baginya dalam satu ru-
angan tertutup. Ia bukan malaikat, ia pemuda bi-
asa yang bisa terpikat pada lawan jenis, apalagi
yang secerdas, secantik dan sesegar Anastasia
Palazzo. Kata-kata Profesor Tomskii kembali
terngiang dalam telinganya, "Kau pasti senang
dibimbing asistenku. Dia bisa diandalkan dan
yang penting dia masih muda dan cantik. Kau
suka wanita cantik""
Kata-kata Profesor Tomskii itu justru menam-
bah ujian bagi keteguhan dirinya memegang
iman dan ajaran agama yang diyakininya.
"Jadi kau akan menulis tesis tentang sejarah
modern. Kau mau menulis tesis tentang Sejarah
Islam di Rusia atau dulunya Uni Soviet, fokus
pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa
Pemerintahan Stalin. Benar"" Tanya Anastasia
Palazzo setelah Ayyas duduk.
"Be benar, Doktor." Jawab Ayyas dengan
suara agak tergagap dan bergetar. Parfum Doktor
Anastasia yang tercium olehnyalah yang sesung-
guhnya membuat detak jantungnya tidak beratur-
an. Ia berusaha menenangkan pikiran dan jiwan-
ya dengan istighfar dalam hati.
"Kau agak gugup ya"" tanya Doktor Anastasia
Palazzo melihat tingkah Ayyas.
"Ya. Sedikit." Jujur Ayyas.
"Kenapa"" "Entahlah." "Kau in gin spesialis di kajian Sejarah Islam
Modern atau kajian Sejarah Rusia Modern""
"Sejarah Islam Modern terlalu luas, Rusia
Modern juga luas. Saya ingin yang lebih spesifik,
yaitu kajian Sejarah Islam Modern di Rusia
Modern." "Bagus. Berarti kau paham benar tentang pent-
ingnya fokus. Saya ingin sedikit bertanya
kepadamu, sebelumnya maaf kalau terkesan
menguji"" "Diuji pun tidak masalah, sebagai pembimb -
ing yang dipercaya Profesor Tomskii Anda boleh
menguji saya." "Kau kelihatannya begitu bersemangat mem-
pelajari sejarah. Sebenarnya manfaat apa yang
kaudapatkan dari sejarah""
Ayyas memejamkan kedua matanya. Dirinya
benar-benar diuji oleh Doktor Anastasia. Ini
semacam ujian lisan. Ia harus menjawab dengan
baik. Ia tidak mau Doktor Anastasia bercerita ke-
pada Profesor Tomskii bahwa dirinya bodoh,
buta tentang segala hal yang berkaitan dengan
ilmu sejarah. Ia harus menunjukkan bahwa dir-
inya sebenarnya tidak perlu diuji lagi dengan
pertanyaan-pertanyaan sepele seperti itu. Sudah
saatnya dirinya diajak berdialog sejajar dengan
siapa pun. Maka ia tidak mau men jawab seperti
anak SD ketika ditanya oleh gurunya,
jawabannya seperti hafalan, persis seperti yang
tertulis dalam buku teks. Ia akan menjawab per-
tanyaan itu dengan cara yang sedikit berbeda.
Dengan bahasa Inggris yang fasih, Ayyas berkata
tenang, "Wah saya merasakan banyak sekali manfaat-
nya Doktor. Misalnya, yang saya rasakan saat ini,
dengan mempelajari sejarah saya bisa mencium
harumnya parfum seorang gadis cantik Rusia,
saya sesekali bisa memandangi wajahnya yang
segar, saya bahkan bisa melihat kecantikan tsar-
ina Rusia yang ditulis dalam buku-buku sejarah
itu langsung. Bahkan lebih dari itu saya bisa me-
lihat perpaduan kecantikan tsarina Rusia dan
wibawa kaisar Roma. Pemandangan yang tidak
akan saya dapat kalau saya mempelaj ari Arit-
matika yang hanya berjejal angka-angka.
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa men-
genal sosok yang bisa menginspirasi untuk lebih
maju. Sosok yang masih sangat muda sudah
meraih gelar doktor. Sosok yang tumbuh dalam
murninya udara Novgorod, kota para kesatria.
Sosok yang sejak kecil dijaga kesuciannya oleh
ibunya yang teguh memegang ajaran agamanya.
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa meli-
hat mukanya yang marah ketika gurunya menga-
jarkan teori Darwin. Sosoknya benar-benar
murni. Di kamarnya, di depan cermin ia berkata
sambil memandangi wajahnya, 'Kata Darwin kau
keturunan kera. O tidak, tidak! Darwin itu bodoh!
Kau keturunan ibumu yang anggun. Dan ibumu
keturunan dari ibunya yang lebih anggun, begitu
terus. Nenek moyangmu adalah manusia. Darwin
salah menulis asal-usul manusia!
"Dengan mempelajari sejarah saya bisa menci-
um aroma darah yang mengalir dari para pendu-
duk kota St. Petersburg ketika mati-matian mem-
pertahankan kotanya dari serbuan Nazi Jerman
dalam perang dunia kedua. Juga saya bisa menci-
um aroma parfum gadis itu ketika ia duduk di
bangku St. Petersburg University.
"Saya bisa merasakan angan-angannya untuk
kuliah di Sorbonne, Paris, sehingga ia berdarah-
darah mempelajari bahasa Perancis, sampai saya
bisa mendengar dia berteriak-teriak melafalkan
kosa kata Perancis seperti orang gila di
kamarnya. Tekadnya luar biasa. Lalu saya bisa
melihat bening-bening tetes airmatanya ketika
ibunya melarangnya pergi ke Paris. Ibu dan
ayahnya memaksanya untuk ikut ke India karena
tugas negara. Terpaksa ia kuliah di kota yang ku-
muh dan sering banjir, di kota Calcutta. Tapi se-
mangat gadis itu seolah melebihi Mahatma
Gandhi, semakin sengsara semakin dahsyat. Di
Calcutta, dengan s egala penderitaannya ia bisa
menyelesaikan masternya dengan gemilang, yang
karenanya seorang profesornya mengusahakan
beasiswa untuknya di Cambridge University.
Dan gadis itu akhirnya menyelesaikan doktor se-
jarahnya dengan gemilang. Salah seorang pen-
gu jinya langsung menariknya ke Moskwa untuk
menjadi asistennya. "Dengan mempelajari sejarah saya bisa mema-
hami kenapa gadis itu mengepalkan tangannya di
depan patung Stalin. Saya bisa memahami
kenapa ia menantang Stalin dengan mata merah
menyala dan mengatakan, 'Hai Stalin, jika Her-
bert Morrison mengatakan bahwa kau adalah or-
ang besar, hanya saja kau bukan manusia yang baik. Maka aku
katakan kau adalah manusia kerdil dan bahkan
tidak layak disebut manusia!' Saya juga bisa
mendengar suaranya yang lembut ketika merayu
Tuhan untuk memberikan tempat terbaik bagi
ayah yang dicintainya ketika ayahnya itu mening-
gal. Dengan membaca dan mempelajari sejarah
saya bisa merasakan pengalaman-pengalaman
manusiawi yang indah, yang jika ditulis bisa
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi karya sastra yang dahsyat dengan segala
genrenya." Kini Doktor Anastasia Palazzo yang gantian
berdegup tak teratur jantungnya. Tubuhnya sep -
erti melayang karena merasakan efek dahsyat
dari kata-kata Ayyas, yang sebenarnya mencer-
itakan perjalanan hidupnya sejak kecil sampai ia
mengajar di Universitas Negeri Moskwa. Ayyas
menjawab manfaat mempelajari sejarah dengan
bahasa sindiran yang halus. Hampir seluruh man-
faat dan fungsi mempelajari se jarah telah diuraik-
an secara tersirat oleh Ayyas. Kegunaan sejarah
yang dirumuskan Louis Gotschalk terjabarkan
dengan indah. Kegunaan edukatif, instruktif, in-
spiratif, dan rekreatif terselip rapi dalam pen-
jelasan Ayyas. Bahkan manfaat sejarah seperti yang diru-
muskan Robert Jones Shafer ada di ujung kalimat
Ayyas. Bahasa Ayyas bahkan terasa lebih ang-
gun. Ketika Robert Jones Shafer mengatakan, di
antara manfaat sejarah adalah "memperluas
pengalaman-pengalaman manusiawi", Ayyas
membahasakannya dengan "bisa merasakan
pengalaman-pengalaman manusiawi yang indah,
yang jika ditulis bisa menjadi karya sastra yang
dahsyat dengan segala genrenya."
Lebih dari itu, belum pernah ada orang yang
menyanjung dirinya seindah dan seanggun Ayy-
as. Meskipun Ayyas tidak terang-terangan
menyebut namanya dalam sosok yang dicer-
itakannya itu, tapi sosok itu adalah dirinya. Itulah
yang justru membuat hatinya bergetar. Jujur ia
ingin ada namanya disebut dalam penjelasan itu,
tapi samasekali tidak disebut oleh Ayyas. Jiwan-
ya sebagai perempuan muda yang suka dipuji
kecantikan dan kelebihan-kelebihannya terbit.
Maka ia tidak bisa mencegah hatinya untuk
bertanya, "S s siapakah sosok, yang katamu memiliki
perpaduan kecantikan Tsarina Rusia dan wibawa
Kaisar Roma itu""
Suara Anastasia bergetar, mukanya kemerah-
merahan. Ayyas tersenyum. Ia merasa sudah di atas
angin. "Doktor Anastasia adalah pakar sejarah je-
bolan Cambridge, pasti sangat menguasai teori
inrerprestasi sejarah. Silakan Doktor tafsirkan
sendiri, siapakah sosok itu. Yang jelas sosok itu
jika gugup mukanya memerah, sehingga
kecantikan tsarina tercantik pun lewat olehnya."
Tubuh Anastasia seperti melayang
mendengarnya. Ada kebahagiaan dan keindahan
luar biasa yang tiba-tiba dirasakannya. Dalam
hati ia menjerit kecil, "Oh, puji untuk-Mu
Tuhan!" *** 8. Pertarungan Sengit Hari mulai gelap. Salju tipis turun perlahan.
Ayyas melangkahkan kakinya dengan cepat men-
inggalkan stasiun Prospek Mira. Ia memilih ber-
jalan daripada naik trem. Ia ingin benar-benar
merasakan dirinya menyatu dengan bumi Allah
yang bersalju. Dan salju-salju turun sambil terus
bertasbih kepada Allah. Ayyas melangkah melewati jalan yang digen-
angi salju tipis. Pohon cemara araukaria bergoy-
ang menggugurkan butiran-butiran salju dari
pucuk-pucuk dedaunannya. Ayyas semakin
menggigil, bibirnya terus berzikir. Masih empat
ratus meter lagi jarak yang harus ia tempuh. Di
depannya nampak stadion Olimpiski yang ata-
pnya putih oleh sepuhan salju. Ayyas terus ber-
jalan, tak lama kemudian ia belok kiri menyusuri
jalan Durova. Sedetik kemudian kedua mata
Ayyas melihat kubah bulat di sudut komplek
Olimpiski. Ayyas semakin mendekat. Ia
merasakan kebahagiaan luar biasa bahwa
akhirnya ia melihat sebuah masjid.
Di Moskwa benar-benar ada masjid. Dan yang
ada di hadapannya adalah masjid yang cukup in-
dah. Bangunan berwarna biru toska, kubah bulat,
menara runcing dengan ujung bulat sabit. Itulah
masjid agung bagi umat Islam di kota Moskwa.
Masjid paling besar di antara lima masjid. Orang-
orang menyebutnya Moskovsky Soborni Mechet
atau Masjid Agung Moskwa. Sementara orang-
orang yang ada di KBRI, seperti Pak Akmal Hi-
dayat men yebut masjid itu sebagai Masjid Pusat
Prospek Mira atau Masjid Prospek Mira. Ada
juga yang menyebut Masjid Olimpiski karena ter-
letak nempel dengan stadion Olimpiski yang per-
nah menjadi tuan rumah olimpiade olahraga se-
dunia tahun 1980. Ayyas memasuki masjid. Ada puluhan orang
di dalam masjid yang sedang membaca Al-Quran
dalam kelompok melingkar. Azan Maghrib lima
menit lagi. Ayyas mengambil air wudhu lalu du-
duk membaca Al-Quran tak jauh dari lingkaran.
Azan berkumandang. Panggilan cinta dari Al-
lah. Begitu sejuk, begitu merdu. Ayyas
meneteskan airmata. Setelah berhari-hari di
Moskwa, baru kali ini ia mendengar suara azan.
Dan baru kali ini ia akan shalat berjamaah di
masjid. Di Moskwa ada azan. Laa ilaaha ilallah! Ti-
ada Tuhan selain Allah. Hati terasa damai. Suara
imam masjid ketika membaca Al -Quran dalam
shalat begitu menyentuh. Ayyas merasakan shal-
atnya kali ini terasa sangat berbeda dan istimewa.
Shalat berjamaah di tengah musim dingin di kota
Moskwa. Setelah shalat sang imam membacakan
tiga hadis dari kitab Sahih Bukhari lalu men-
jelaskannya secara ringkas dalam bahasa Rusia.
Setelah mendengarkan penjelasan sang imam,
jamaah bubar. Ada yang shalat sunah. Ada yang
keluar masjid. Ada yang tetap duduk berzikir.
Dan ada yang membaca Al-Quran. Ayyas shalat
dua rakaat lalu mendekati imam. Ia mem-
perkenalkan dirinya kepada sang imam dan
menyampaikan tujuannya berada di Moskwa.
Imam itu berusia sekitar lima puluh tahunan.
Masih gagah. Ia berasal dari kota Kazan,
Tatarstan. Namanya H asan Sadulayev.
"Jadi kamu pernah kuliah di Madinah"" Tanya
sang imam. "Iya Imam." Jawab Ayyas.
"Alhamdulillah. Pernah belajar pada Syaikh
Abu Bakar Al Jazairy""
"Alhamdulillah pernah Imam."
"Alhamdulillah. Aku bahagia berkenalan
denganmu. Jika kamu ada waktu, kamu bisa
membantu memakmurkan masjid ini.
"Insya Allah, Imam."
"Terus sekarang sedang menyelesaikan master
bidang sejarah. Kamu ke Moskwa ini dalam
rangka penelitian untuk tesismu""
"Benar, Imam." lentang apa" "Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Ke-
hidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan
Stalin"" "Bagus itu. Tapi kenapa pada masa Stalin
saja"" "Agar lebih fokus Imam."
"Kamu benar. Aku juga pernah membuat tesis
seperti kamu. Bachelor aku selesaikan di
Universitas Damaskus Syiria dan Master aku se-
lesaikan di Birmingham, Inggris, dalam bidang
hukum Islam." "O, masya Allah."
"Maksudku kenapa di masa Stalin saja, tidak
juga masa Lenin. Menurutku kau akan tetap fok-
us meskipun menggarap apa yang terjadi pada
umat Islam di negeri ini pada masa Lenin dan
Stalin. Pasti akan lebih mantap."
"Masukan dari Imam Hasan sangat saya per-
timbangkan. Saya mendapat karunia tak ter-
hingga bertemu Imam. O ya Imam, ini
jamaahnya cuma segitu jumlahnya"
"Malam ini agak sedikit karena cuaca yang
dingin sekali. Biasanya ratusan, bahkan ribuan.
Kalau hari Jum'at tidak muat. Kalau Ramadhan
selalu penuh. Kita sedang merenovasi dan mele -
barkan beberapa sisi. "Setelah ini kau mau ke mana""
"Menunggu shalat Isya terus pulang Imam."
"Tinggal di mana""
"Di sebuah apartemen di Panfilovsky Pereu-
lok, dekat stasiun Smolenskaya."
"Dekat The White House Residence"" "Ya. Di
depannya Imam." "Kalau begitu kau bisa ikut satu mobil dengan
aku. Aku mau ke The White House Residence.
Ada seorang teman lama saat kuliah di Birming-
ham dulu. Dia dari Spanyol sedang menginap di
sana. Aku ingin menemuinya."
"Terima kasih Imam, jazakallah khaira
(Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) "
"Wa iyyakum" (Dan semoga juga kamu
(mendapat balasan kebaikan dari Allah))
*** Ayyas mengikuti Imam Hasan Sadulayev ke -
luar masjid. Salju tipis sudah berhenti turun. Tapi
angin dingin tetap berhembus agak kencang.
Udara dingin membuat Ayyas mengatupkan
rahangnya kuat-kuat dan giginya gemerutuk. Ia
bersyukur memakai pakaian musim dingin
lengkap standar Rusia. Jika ia memakai pakaian
seperti pertama kali datang, pasti kakinya sudah
kaku. "Maaf kita harus jalan agak jauh." Kata Imam
Hasan. "Tidak masalah Imam. Tadi saya juga jalan
dari stasiun Prospek Mira."
"Biasanya saya memarkir mobil di tempat
parkir masjid. Tapi tadi pagi s
aya berangkat ter- lalu dini. Jalan menuju masjid masih dipenuhi
salju, petugas pembersih salju belum datang, se-
hingga mobil saya parkir di jalan agak dekat stas -
iun Prospek Mira." "Itu tidak jauh Imam."
"Alhamdulillah, kau benar-benar pemuda
yang bersemangat." "Sejak kapan Imam diamanahi masjid ini""
"Sejak tujuh tahun yang lalu. Ah tunggu agak
pelan sedikit. Kasihan Aminet, agak susah dia
mengikuti kita." Kata Imam Hasan sambil men-
engok ke belakang. Ayyas ikut menengok. Ia
baru menyadari kalau ada seorang perempuan
yang berjalan dua puluh meter di belakang
mereka. "Istri Imam"" Tanya Ayyas.
"Tidak. Dia adik saya. Masih kuliah di MGU."
"Fakultas apa""
"Kedokteran." Mereka terus berjalan menapaki jalan bersalju.
Ayyas langsung akrab dengan Imam Hasan, seo -
lah keduanya adalah sahabat lama yang bertahun-
tahun tidak bertemu. Jiwa keduanya seolah-olah
pernah bertemu sebelumnya. Imam
Hasan bercerita kalau dulu selama di Syiria ia
banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka
Syiria seperti Syaikh Ahmad Kaftaro, Syaikh
Muhammad Sa'id Ramadhan El Bouthi, Syaikh
Nuruddin Itr, bahkan sempat juga belajar ilmu
hadis pada Syaikh Abu Fattah Abu Ghuddah.
Akhirnya mereka sampai di tempat mobil di -
parkir. Imam Hasan membuka pintu mobil sedan
yang atapnya tertimbun salju. Agak susah. Imam
Hasan terus berusaha. Dengan sedikit kesabaran
akhirnya pintu mobil terbuka. Beberapa jurus
kemudian mobil itu sudah menyala. Ayyas mas -
uk duduk di bagian depan, di samping Imam
Hasan. Aminet duduk di bangku belakang. Mobil
Zhiguli buatan Rusia itu lalu melaju perlahan-
lahan. Roda-rodanya menyibak salju di jalan.
Mobil Zhiguli merah tua itu melaju ke selatan
dengan tenang di atas aspal Stretenka Ulista, lalu
melewati Bolshaya Lubyanka Ulista. Tak lama
kemudian sampai di bundaran dekat stasiun
Lubyanka, lalu belok kiri menelusuri Teatralny
Proezd. Ayyas seolah tidak mengedipkan kedua
matanya sedikit pun. Ia menikmati betul peman-
dangan malam di Moskwa di tengah musim din-
gin. Kendaraan masih ramai. Di beberapa tempat
mobil-mobil berjalan lamban seperti semut. Di
beberapa titik terjadi kemacetan. Mobil buatan
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rusia yang sudah tua berbaur dengan mobil
buatan Jepang yang mulai dekil . Mobil-mobil
mewah terbaru juga nampak sesekali.
"Tahun 2003 yang lalu Rusia mengimpor mo-
bil bekas dari Jepang besar-besaran. Akibatnya
ya seperti ini, jalanan jadi penuh sesak." Kata
Imam Hasan pada Ayyas. Ayyas melihat beberapa papan reklame yang
sangat berbau kapitalis. Papan-papan iklan ber-
ukuran besar-besar itu menawarkan produk in-
dustri modern Amerika, Eropa dan Jepang seperti
minuman ringan, ponsel, jam tangan, bir, kos -
metik dan produk-produk lainnya yang dulu per-
nah dikecam habis -habisan sebagai produk
kapitalis. Produk-produk yang dulu dilarang mas -
uk kini membanjiri Moskwa.
Imam Hasan membelokkan Zhigulinya ke
arah Arbatskaya. Beberapa menit kemudian mo-
bil itu sudah meluncur di atas aspal Arbat Ulista
menuju stasiun Smolenskaya. Memasuki Pan-
filovsky Pereulok, Imam Hasan berpesan pada
Ayyas, "Bertakwalah kepada Allah selama di
Moskwa ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian
imannya di sini tidak ringan. Ini adalah negara
paling bebas di dunia . Penganut free sex, dan
pengakses situs porno terbesar di dunia. Ke-
bebasan di Amerika maupun Belanda sekalipun,
tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
Rusia ini. Kamu harus ekstra hati-hati. Kalau
kamu memerlukan bantuanku jangan segan."
"Baik, Imam." Jawab Ayyas.
Di depan The White House Residence, mobil
itu berhenti. Ayyas turun dan langsung memasuki
apartemen yang ada di depannya, sementara
Imam Hasan dan Aminet memasuki The White
House. Ayyas menaiki tangga dengan hati baha-
gia. Ia merasa menemukan satu sumber peneli-
tian yang bagus. Ia bisa bertanya kepada Imam
Hasan Sadulayev banyak hal. Dan pasti beliau
akan bisa menunjukkan orang-orang Muslim
Rusia yang bisa ditanya untuk pengumpulan
datanya. Ayyas sudah sampai di depan pintu aparte-
mennya. Ia melihat jam tangannya. Pukul
setengah sembilan. Yelena dan Linor mungkin
sudah pulang. Jika mereka sudah pulang, ia ber-
harap, Yelena tidak l agi memakai pakaian yang membuka aurat di ruang tamu. Dan Linor semoga
tidak seperti Yelena. Ayyas membuka pintu dan terkejut bukan ke -
palang. Ayyas menyaksikan adegan yang tidak
boleh disaksikan oleh siapapun. Ayyas langsung
memalingkan mukanya dan beristighfar sejadi-
jadinya. Di atas sofa Linor bergumul dengan se-
orang lelaki bule dan melakukan hal yang dihara-
mkan oleh semua agama. Tubuh Ayyas langsung
kaku. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Hei
kawan kenapa berdiri saja di situ, kemarilah!"
Lelaki bule itu menyapanya dan terang-terangan
mengajaknya berbuat dosa besar yang tidak per-
nah dibayangkannya samasekali.
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa
ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Suara Imam Hasan langsung
berdengung di telingannya dan menyebarkan
kekuatan iman ke seluruh syaraf -syarafnya.
Ayyas membaca istiadzah dan meludah ke
kiri tiga kali. Lalu melewati ruang tengah dengan
cepat dan masuk ke kamarnya tanpa menoleh
sedikit pun ke arah dua setan terkutuk itu. Ayyas
membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia
mendengar sumpah serapah lelaki bule itu. Dan
sebentar kemudian ia masih mendengar suara ke-
maksiatan dari ruang tamu itu. Ayyas langsung
menyalakan laptopnya dan membunyikan
murattal sekeras -kerasnya sampai ia merasa
aman. Ia tidak pernah membayangkan akan menyak-
sikan adegan kemaksiatan yang keji itu. Baru saja
ia bertemu dengan orang saleh, yaitu Imam Has -
an Sadulayev, dan mendapat banyak masukan
dan nasihat yang indah, ia langsung berhadapan
dengan sepasang setan berwajah manusia yang
melakukan perbuatan keji. Ia sedikit merasa ber-
untung, Imam Hasan baru saja menasihatinya,
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa
ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Nasihat Imam Hasan itu sangat
membantunya. Imam Hasan Sadulayev seolah
mengerti kalau dia akan menghadapi ujian iman
yang dahsyat di Moskwa. Ayyas mengambil air wudhu lalu shalat. Ia
teringat sabda Rasulullah Saw., "Dan ikutilah
perbuatan dosa dengan amal kebaikan, maka
amal kebaikan itu akan menghapusnya." Ia mer-
asa bahwa melihat adegan tidak senonoh itu,
meskipun tidak ia sengaja adalah dosa. Ia bahkan
merasa dosa itu sangat besar, la sangat takut seo -
lah ada gunung yang runtuh mau menimpanya. Ia
ingin menghapus dosa itu dengan rukuk dan
sujud kepada Allah Swt. Dalam sujud berulang kali ia memohon am-
pun kepada Allah. Berulang kali ia ucapkan doa
Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan.
"Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau
(ya Allah), sungguh aku termasuk orang-orang
yang zalim.". Ayyas menangis memohon kepada Allah agar
tidak diuji dengan ujian yang ia tidak mampu
melewatinya dengan selamat. Ia minta dilindungi
oleh Allah, diteguhkan hatinya untuk tetap lurus
memegang ajaran Islam yang mulia.
Ayyas masih tersungkur dalam sujudnya, mur-
attal di laptopnya tetap menyala, tiba-tiba pintu
kamarnya digedor dengan sangat kerasnya.
Ayyas agak kaget. Ia lanjutkan shalatnya. Pintu
kamarnya kembali digedor-gedor. Selesai salam,
Ayyas bangkit dengan kemarahan yang langsung
menyala. Siapa yang tidak memiliki sopan santun
itu" Mau apa dia menggedor-gedor pintu
kamarnya seperti orang gila"
Ayyas membuka pintu kamarnya, dan di
hadapannya seorang lelaki bule muda berdiri
tegap memelototinya. Di belakangnya berdiri
Linor yang berpakaian seadanya dengan mimik
wajah yang sangat buruk. Bule itu hanya men-
genakan celana panjangnya. Telunjuk kanan bule
itu langsung menuding ke arah Ayyas, dan
berkata kepada Ayyas dengan nada menghardik,
"Hai brengsek! Suara dari laptopmu itu meng-
ganggu kami! Kau mau aku pecahkan laptopmu
itu!" Mendengar kata-kata yang sangat memusuhi
dan mengintimidasi itu kemarahan Ayyas se-
makin bertambah. Keberaniannya naik berlipat-
lipat. Spontan Ayyas menjawab,
"Hai setan busuk, jaga mulutmu! Ingat, sekali
lagi aku melihat kalian melakukan perbuatan keji
seperti binatang di ruang tamu ini, aku pecahkan
kepala kalian!" Kalau melakukan perbuatan keji
itu pergilah sana ke kandang babi, jangan mengo -
tori ruang tamu ini! Ruang tamu ini hanya untuk
man usia, tidak untuk babi-babi kurap seperti
kalian!" Bule Rusia itu mengatupkan rahangnya,
giginya bergemeretak, matanya semakin mem-
erah. Amarahnya tidak tertahan lagi. Ia langsung
menyarangkan pukulan ke rahang Ayyas. Ia ingin
menghajar Ayyas sejadi- jadinya. Tapi ia terlalu
menganggap enteng Ayyas. Pemuda Indonesia
yang pernah belajar karate selama enam tahun se-
jak dari SMP itu dengan mudah mengelak,
bahkan langsung menyarangkan pukulan ke ulu
hati bule itu. Bule itu terhuyung ke belakang.
Ayyas maju satu langkah. Pandangannya ber-
putar menyapu seluruh ruangan dengan cepat.
Pertarungan tak terelakkan. Ia langsung mem-
pelajari medan perang, sebab ia harus menang.
Kebenaran harus ditegakkan. Kekejian harus
disingkirkan. Lelaki bule itu mengumpat dan langsung
mengambil kuda-kuda. Ayyas langsung tahu
kemampuan apa yang dimiliki lawannya. Itu ada-
lah yudo. Ayyas berdiri tenang. Matanya
menatap lelaki bule itu dengan tajam. Ayyas
memberi isyarat kepada bule itu agar menyer-
angnya kalau berani. Bule itu bergerak cepat mel-
ancarkan tendangan lurus ke dada Ayyas dengan
kaki kanan. Gerakan Ayyas lebih cepat, dengan
reflek ia menghindar ke samping kanan. Tendan-
gan bule itu mengenai angin kosong. Belum sam-
pai kaki kanan bule itu menjejak lantai, Ayyas
sudah menendang selangkangan bule
itu dengan tumit kaki kanannya sekeras -ker-
asnya. Tendangan itu mengenai sasarannya. Dan
terdengarlah bunyi "plak!" sangat keras.
Linor yang menyaksikan hal itu menjerit dan
gemetar. Bule itu mengaduh, hendak roboh. Saat
kedua lutut bule itu hendak menyentuh lantai,
Ayyas mengirim tendangan berikutnya dan tepat
mengenai rahang bule itu. Seketika terdengarlah
bunyi "krak!". Darah mengalir dari mulut bule
itu. Tubuhnya tak ayal terpelanting dan kepalan-
ya terbanting ke lantai. Ayyas masih diamuk amarah. Ia masih hendak
melumat bule itu. Ketika ia hendak mengayunkan
tendangan lagi ke arah kepada bule itu, Linor
menjerit, "Tolong hentikan!" Ayyas men-
gurungkan tendangannya. Ia lalu melangkah
mundur dan berdiri tegap. Linor menghambur ke
arah bule yang terkapar di lantai itu dan berkata,
"Oh Sergei, kau terluka. Sudahlah kita...."
"Aku tidak apa-apa Linor. Minggirlah kau.
Berdarah seperti ini biasa bagi lelaki. Ini baru
satu jurus, aku kurang waspada saja. Lihat saja,
brengsek itu akan aku lumat seperti bubur!" Bule
Rusia bernama Sergei itu menepis tangan Linor
dan bangkit. "Jangan Sergei, sudah jangan diteruskan!" Ta-
han Linor. Tapi bule itu malah menempeleng
muka Linor dan menghardik, "Diam kau
pelacur!" "Apa katamu, Sergei!"" wajah Linor bertam-
bah buruk. Sekuat tenaga Sergei menampar lagi wajah
Linor dan berkata keras, "Diam!" Linor terpelant-
ing. Ayyas diam di tempatnya. Ia kini menyak-
sikan dua setan sedang bertengkar. Linor tidak
terima begitu saja diperlakukan seperti itu oleh
Sergei. Ia mengambil botol Vodka dan melempa-
rnya ke arah Sergei yang telah menghadapkan wajahnya
kepada Ayyas. Sergei tidak menduga samasekali
akan diserang Linor. Lemparan botol itu tepat
mengenai pelipis kanannya. Botol itu pecah.
Pelipis kanannya muncrat darah. Sergei balik
arah mengejar Linor. Yang ada dalam dirinya
adalah nafsu untuk membunuh perempuan yang
baru saja dizinainya. Linor lari ke dapur dan melempari Sergei
dengan segala benda yang ada. Dengan pelipis
berdarah, Sergei merangsek maju. Lemparan-
lemparan Linor dengan mudah dihindari Sergei.
Akhirnya Linor terkunci di pojok dapur. Dengan
sekuat tenaga Linor memukul dan menendang
Sergei. Tapi kekuatan lelaki itu samasekali bukan
tandingan Linor. Sergei memukul mulut Linor
hingga berdarah. Lalu mencekik leher Linor
sekuat tenaga. Linor meronta. Ia berada dalam
keadaan antara hidup dan mati, antara mati dan
hidup. Ayyas diam di tempatnya. Ia melihat dua
setan saling bunuh. Ia mendengar Linor minta to-
long padanya dengan suara tersengat. Tapi ia
tetap saja mematung di tempatnya. Namun, tiba-
tiba ia tersadar, jika Linor mati, urusannya akan
panjang. Ia bisa terseret-seret ke permasalahan
hukum Rusia yang bisa mencelakakannya. Bisa-
bisa ia nanti yang dianggap membunuh Linor.
Dengan sangat cep at Ayyas melompat ke dapur dan melancarkan tendangan sangat keras
ke lambung Sergei. Cekikan Sergei pada leher
Linor terlepas. Sergei terpelanting, tapi langsung
berdiri. Ayyas mundur kembali ke ruang tamu. Ia
sangat waspada. Ia merasa pertarungan ini tidak
main-main, lelaki bule itu pasti ingin mem-
bunuhnya, tidak sekadar melumpuhkannya.
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sergei menggeram dan menyerang Ayyas
sejadi- jadinya. Ayyas mampu menghindari seran-
gan itu dan beberapa kali balik menyerang. Tapi
Sergei seperti robot baja yang tahan pukul. Sergei
menyerang seperti orang gila. Dan satu ketika
satu pukulan Sergei yang sangat keras mengenai
pundak kiri Ayyas. Ayyas terpelanting dan mera-
sakan tulang pundaknya seperti patah. Sergei
menyeringai tenang. Ia menyerang semakin
ganas. Ayyas berusaha menghindar dengan pundak
kiri terasa sakit. Ayyas terdesak. Akhirnya ia
merasa tidak bisa tidak, ia harus menggabung
karate dengan ilmu bela diri Thifan Po Khan.
Ayyas merasa pundak kirinya semakin nyeri, ia
bisa tumbang jika tidak segera menyudahi Sergei.
Maka begitu ada kesempatan terbuka ia men-
yarangkan pukulan tenaga dalam andalan Thifan
Po Khan yang ia kuasai. Pukulan itu tepat men-
genai dada kiri Sergei. Seketika Sergei menger-
ang dengan darah muncrat dari mulutnya. Sergei
terhuyung ke belakang dan merasakan rasa sakit
luar biasa. Ia merasa tidak kuat lagi melawan
Ayyas. Sergei ambruk menggelosor bersandar
sofa. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan
Ayyas padanya. Ayyas berdiri merapikan pakaiannya. Pundak
kirinya terasa sakit. Ia merasa ada tulang yang
patah atau ada tulang yang lepas dari engselnya.
Linor berjalan pelan dari dapur. Ayyas menatap
Linor tajam. Pandangan mereka beradu.
"Hei setan, bawa temanmu itu pergi dari sini.
Jika tidak aku habisi kalian berdua di sini. Ce-
pat!" Hardik Ayyas pada Linor dengan mata
melotot. Linor tidak terima direndahkan oleh
Ayyas yang selama ini ia sebut "Muslim
brengsek." Tapi Linor tak berdaya apa-apa kecu-
ali menuruti perintah Ayyas. Linor mendekati
Sergei. Ia mengambil baju Sergei. Memakaikan
baju dinginnya. Lalu ia merapikan dirinya
sendiri, setelah itu ia memapah Sergei mening-
galkan apartemen. Ayyas duduk melepas lelah di sofa ruang
tamu. Ia tidak tahu apa yang selanjutnya akan ter-
jadi. Yang jelas ia telah menghajar lelaki Rusia
yang kurang ajar itu. Ia tidak tahu apakah Sergei
akan selamat dari pukulannya apa tidak. Sebab
selama ini ia hanya melatih pukulan itu dan tidak
pernah benar-benar menggunakannya pada
manusia. Ia sebenarnya tidak ingin menggunakan
pukulan tenaga dalam itu, tapi ia sangat terdesak.
Jika ia tidak melumpuhkan Sergei, ia yang akan
dilumpuhkan bahkan dibunuh.
Ia jadi teringat ketika mempelajari Thifan Po
Khan. Ia belajar ilmu bela diri Muslim China itu
justru ketika kuliah di Universitas Islam Madi-
nah. Suatu hari ia olahraga dengan melatih jurus -
jurus karatenya agar tidak lupa. Ia berlatih di
tanah lapang di samping asrama. Saat ia berlatih,
Ahmad Wong, teman satu kelasnya dari Urwon,
China melihatnya. Ahmad Wong mengajaknya
berlatih bela diri pada malam hari setelah shalat
Tahajud. Ternyata Ahmad Wong adalah seorang
pendekar di daerahnya. Ia sangat menguasi Tai
Chi dan Thifan Po Khan. Sejak itu ia menjadi murid Ahmad Wong.
Pendekar China Muslim itu mengajarkan Thifan
Po Khan setiap minggu dua kali kepadanya.
Mengajarnya setelah shalat Tahajud. Menurut
penjelasan Ahmad Wong, Thifan Po Kang adalah
salah satu ilmu kung fu andalan. Dalam bahasa
Urwun, Thifan Po Khan berarti Pukulan Tangan
Bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-
gerakan dalam Thifan lebih halus dibandingkan
beladiri sejenisnya seperti Syufu Taesyu Khan.
Sehingga Kung Fu yang halus ini dianggap cocok
untuk para bangsawan. Di negeri China, Thifan men jadi olahraga be-
ladiri kalangan pesantren-pesantren yang lazim
disebut lanah. Konon, lanah berasal dari bahasa
Arab lajnah, yang berarti panitia atau lembaga.
Layaknya pesantren di Indonesia, yang dipelajari
dalam lanah tidak hanya ilmu beladiri, tetapi jus -
tru yang utama adalah ilmu -ilmu agama.
Kini istilah lanah sudah bergeser pe-
maknaannya. Lanah masih di
gunakan untuk menyebut sebuah padepokan latihan ilmu bela
diri Thifan, meskipun tidak lagi berupa lembaga
pendidikan seperti pesantren.
Yang membedakan Thifan dengan ilmu bela
diri lainnya, di antaranya adalah, di Thifan etika
Islami benar-benar ditegakkan. Kelompok latihan
laki-laki dan perempuan senantiasa dilakukan
terpisah. Bahkan pelatihnya pun yang sejenis.
Gerakan-gerakan dan jurus antardua kelompok
ini juga berbeda. Untuk kalangan perempuan le -
bih halus, namun memiliki kedahsyatan yang
sama. Tidak berarti kalau gerakan perempuan le -
bih halus terus pasti kalah dengan laki-laki.
Setiap kali latihan harus dimulai dan diakhiri
dengan doa pembuka dan penutup majelis
layaknya majelis ilmu para ulama. Bahkan sering
kali ditambah dengan majelis ilmu berupa kajian
sirah nabi dan lain sebagainya. Itu juga yang
dilakukan Ayyas bersama Ahmad Wong dan be-
berapa mahasiswa Universitas Islam Madinah
ketika latihan Thifan. Latihan dimulai dengan
shalat Tahajud, lalu tadabbur satu dua ayat dari
Al-Quran, baru latihan. Ahmad Wong sangat serius dalam
mengajarkan gerakan-gerakan dasar dalam Thi-
fan mencakup pukulan, tendangan, sapuan,
bantingan, serta elakan. Ahmad Wong juga
melatih koprol dan salto, sebagaimana sering di-
lihat di film-film laga dari Hongkong. Latihan
salto ini menurut Ahmad Wong sangat diper-
lukan untuk bertarung, terlebih jika dikeroyok
banyak orang. Ahmad Wong juga sangat disiplin melatih
pernafasan yang baik. Dalam ilmu bela diri Thi-
fan, selain untuk kesehatan, latihan ini berguna
untuk membangkitkan tenaga dalam dari tubuh
yang disebut daht. Daht ada yang panas dan ada
yang dingin. Jika latihan itu sering dilakukan si-
ang hari yang akan keluar adalah daht panas,
yang jika sebuah pukulan yang disarangkan ke
tubuh musuh dilambari daht ini, tubuh musuh
yang kena pukulan bisa hangus. Dan jika latihan
dilakukan pada malam hari, maka daht yang ke -
luar adalah daht dingin yang dapat menjalarkan
rasa dingin membeku pada bagian tubuh lawan
hingga ke pangkal tulang.
Kitab kuno yang menjelaskan ilmu bela diri
Thifan adalah kitab Zho Dam. Dalam kitab itu
menurut Ahmad Wong, Thifan merupakan ilmu
perkelahian tersendiri dan merupakan pecahan
dari ilmu Tao Kungfu atau Kungfu Tao. Tae be-
rarti dahsyat, sedangkan Kungfu berasal dari kata
kungfu yang dalam bahasa China berarti tekun,
kebaikan, silat atau tenaga yang terpusat. Konon,
kitab Zho Dam itu merupakan sebuah kitab kuno
tentang Thifan karya Ahmad Syiharani, seorang
pendekar Thifan asal Urwun, China.
"Dengan menguasai Thifan, kita insya Allah
aman, memiliki ilmu beladiri yang dahsyat, dan
aqidah tetap terjaga. Yang paling penting jangan
sampai kita takabbur dan berbuat zalim pada or-
ang lain." Kata Ahmad Wong berpesan.
Ayyas sedikit pun tidak menyesal telah men-
yarangkan pukulan tangan bangsawan ke dada
Sergei. Setan bertubuh manusia seperti Sergei
harus diberi pelajaran yang setimpal. Kemun-
gkaran tidak boleh didiamkan. Kemanusiaan
harus ditegakkan. Seingatnya, ia melatih pukulan
tenaga dalam Thifan itu "pada malam hari,
kemungkinan daht yang mengenai Sergei adalah
daht dingin. Ia penasaran, apa akibat yang.di-
alami oleh Sergei karenanya. Apakah pukulannya
bertaji ataukah tidak bertaji samasekali" Kalau
tidak bertaji samasekali berarti ia harus banyak
berlatih lagi. Yang pasti, tak lama lagi Linor akan
memberitahu apa yang terjadi pada Sergei.
*** Ayyas masih duduk melepas lelah di sofa ru-
ang tamu ketika Yelena pulang. Perempuan muda
itu kaget bukan kepalang melihat ruang tamu
yang berantakan. Pecahan gelas dan botol berh-
amburan di sana-sini. Kursi yang morat marit.
Dinding yang kotor oleh vodka yang botolnya
pecah membentur dinding. Dan tetesan darah
yang berceceran di mana-mana.
"Apa yang terjadi Ayyas" Apa yang telah ter-
jadi, kenapa semua berantakan begini"" Tanya
Yelena gusar bercampur cemas.
"Linor datang membawa penjahat. Penjahat
itu ingin membunuhku. Aku melawan sekuat
tenaga. Terjadilah pertempuran. Dan kini penja-
hat itu entah diseret ke mana oleh Linor setelah
aku lumpuhkan." Jawab Ayyas.
"Ceritamu terlalu singkat. Tolong ceritakanlah
kr onologisnya dengan detil kepadaku. Ini bukan
masalah kecil, kalau orang yang kausebut penja-
hat ternyata anggota sebuah mafia. Kau pernah
dengar kan bagaimana kejamnya mafia Rusia"
Ceritakanlah semua padaku jangan ada yang kau-
tutupi, siapa tahu aku bisa memberikan masukan
penting!" Ayyas kemudian menceritakan apa yang ter-
jadi, dari awal sampai akhir. Termasuk ba-
gaimana Linor mau dibunuh Sergei.
"Benar namanya Sergei""
"Ya. Kenapa""
"Dia anggota mafia""
"Anggota mafia""
"Ya. Dia anggota Voykovskaya Bratva, (Per-
saudaraan Voykovskaya) salah satu jaringan
mafia yang ditakuti di Moskwa. Tapi jangan
khawatir, Sergei tidak akan berani macam-
macam padamu." "Kenapa kau berkata begitu. Apa jaminannya"
Sergei bisa datang dengan anggota mafianya
menggeruduk rumah ini."
"Untuk kasus kali ini dia tidak akan berani."
"Apa karena sudah pernah aku lumpuhkan""
"Bukan karena jera dia pernah kaulumpuhkan.
Samasekali tidak. Jika di tengah jalan kau ber-
temu dia pasti dia akan mengajakmu berkelahi
lagi. Dia tidak akan menggeruduk kemari ber-
sama anggotanya karena dia tidak ingin
hubungannya dengan Linor diketahui oleh Boris
Melnikov, ketua mafia Voykovskaya Bratva.
Sergei bisa ditembak mati. Linor atau Sergei juga
tidak akan berani lapor polisi, jika itu terjadi ma-
lah akan membuat Boris Melnikov tahu segalan-
ya. Ancamanmu paling berbahaya hanya jika
bertemu Sergei lagi, pasti dia akan mengajakmu
bertarung lagi sampai mati. Jika mengajakmu
bertarung kurasa kau lebih beruntung. Yang repot
kalau dia langsung menembak kepalamu dengan
revolvernya tanpa peringatan apa pun." Jelas
Yelena. Dalam hati Ayyas berdoa semoga Sergei tidak
bisa berjalan lagi, sehingga tidak membahayakan
siapa-siapa lagi. Yelena meletakkan tasnya ke kamar. Lalu ke-
luar lagi, mengambil sapu dan berusaha
membersihkan kaca-kaca yang berhamburan.
Ayyas bangkit, ia merasa harus membantu
Yelena, dengan berjongkok ia memunguti
serpihan-serpihan botol yang pecah bercampur
darah yang berceceran di lantai yang dilapisi par-
ket kayu mengkilat itu. Darah juga membasahi
beberapa bagian sofa dan karpet di bawahnya.
Sambil memunguti serpihan-serpihan itu,
Ayyas membayangkan jika tidak bisa melum-
puhkan Sergei mungkin kepalanya juga akan
pecah seperti botol itu. Lalu jasadnya akan
dilempar dari jendela. Kemudian di koran Pravda
akan keluar laporan ada orang Indonesia bunuh
diri meloncat dari lantai
tiga, kepalanya pecah membentur batu dan se-
luruh dunia akan percaya begitu saja.
Meskipun Sergei telah ia lumpuhkan, Ayyas
meyakini bahwa masalahnya dengan Sergei tidak
akan selesai begitu saja. Sergei pasti akan meng-
gunakan segala cara untuk membalas dendam.
Sergei tidak akan tinggal diam. Menghadapi
kenyataan itu, Ayyas memasrahkan diri sepen-
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
uhnya kepada Allah, Tuhan yang menghidupkan
dan mematikan. "Darah yang nempel di sofa dan karpet itu
akan susah dihilangkan." Kata Yelena sambil
tetap membersihkan serpihan kaca di lantai. "Aku
mengkhawatirkan sesuatu." Sambung Yelena.
"Apa itu"" Tanya Ayyas.
"Kalau ada tetangga yang lapor polisi karena
suara gaduh saat kalian berkelahi."
"Semoga tidak ada."
"Kalau ada urusannya akan panjang. Darah
yang menempel di sofa itu bisa jadi perkara yang
berbuntut tidak baik."
"Semoga tidak." Sahut Ayyas sambil menen-
teramkan dirinya. Jika ia sampai berurusan
dengan polisi, atau bahkan sampai berurusan
dengan pengadilan, maka rencana yang ia susun
selama di Moskwa bisa berantakan semuanya.
Maka setelah membersihkan ruang tamu itu,
Ayyas masuk kamar dan kembali sujud memo -
hon pertolongan Allah. Ia meminta kepada Allah
agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim.
Ia berdoa, "Allahumma ahlikizh zhaalimina bizh
zhaalimin ( Ya Allah hancurkanlah orang-orang
yang zalim dengan orang-orang yang zalim)."
*** 9. Pemeriksaan Polisi Mobil BMW SUV X5 hitam itu meluncur ce-
pat ke utara meninggalkan pusat kota Moskwa.
Setelah melewati Tlmiryazevskaya mobil itu be-
lok kanan. Seorang perempuan muda duduk di
kursi sopir, di sebelahnya seorang lelaki dengan
muka berdarah terkulai lemah. Bibir lelaki itu pu-
cat menahan dingin yang luar biasa. Mobil ter
us berjalan kencang menembus dinginnya malam
dan salju yang tipis turun perlahan.
"T..tolong, bawa aku ke rumah sakit Linor.
T..t..tolong." Rintih lelaki itu.
Linor diam seribu bahasa. Mukanya sangat
dingin menyiratkan kemarahan luar biasa. Ia su-
dah tahu apa yang harus ia lakukan pada lelaki
yang ada di sampingnya. Kali ini ia sudah tidak
mungkin memaafkannya. "Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa
mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!"
Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tu-
buhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti
telah membeku. Jika ia punya kekuatan ia ingin
menghajar Linor yang sudah tidak mengang-
gapnya samasekali. Di sebuah tempat yang gelap dan sepi Linor
mengganti plat mobilnya dengan sangat cepat. Ia
lalu kembali masuk ke mobilnya dan men-
jalankan mobilnya kembali ke Timiryazevskaya.
Salju terus turun perlahan. Linor membawa mo-
bilnya terus ke utara hingga melewati hutan
bereozka. "Aaakh!" Lelaki itu mengerang pelan lalu
diam. Kedua matanya mel'otot ke depan. Linor
samasekali tidak memerhatikannya. Yang ada
dalam benaknya adalah membawa lelaki yang
kini sangat dibencinya itu ke suatu tempat untuk
dihabisinya. Ia tidak bisa melupakan rasa sakit-
nya saat nyaris mati dicekik oleh lelaki itu.
Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian
belok kiri memasuki jalan agak sempit yang ber-
salju tebal. Linor bekerja keras agar bisa mele -
wati salju itu dengan baik. Mobil terus maju
perlahan-lahan. Setengah jam kemudian nampak
bangunan gudang tua yang hitam. Atapnya ter-
timbun salju belasan sentimeter. Tempat itu
benar-benar sunyi dan gelap. Tak ada suara yang
terdengar selain mesin mobil dan desau angin
malam. Linor menghentikan mobilnya di jalan
depan halaman gudang itu. Ia turun dari mo-
bilnya. Lalu berjalan ke arah pintu depan satu. Ia
membuka pintu itu dan menghardik lelaki itu,
"Hai Sergei ini saatnya kau ketemu iblis di
neraka!" Sergei diam saja. Tidak bergerak samasekali.
"Hai mana kepongahanmu Sergei" Bicara
Sergei!" Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tu-
buh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya,
tak ada denyutnya samasekali. Sergei yang akan
dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang
lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati
di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan
menghabisi orang yang ingin membunuhnya.
Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak
berzina, tapi sedetik kemudian sangat ia benci
setengah mati. Linor tahu apa yang harus dilakukannya. Ia
menurunkan mayat Sergei dan membiarkannya
berdebam begitu saja di atas salju. Ia lalu lari ke
dalam gudang. Ia mendapat beberapa pakaian be-
kas, kain serbet dan ember. Linor menyeret may-
at Sergei, lalu melucuti semua pakaiannya. Sete-
lah itu ia menyiram mayat Sergei dengan air, di
bagian tertentu ia menggosoknya dengan kain
lap. Setelah Linor yakin mayat itu aman diting-
gal, tidak ada DNA dirinya yang nempel pada
mayat itu, Linor memakaikan pakaian bekas pada
mayat itu. Kemudian menyeret mayat itu ke jalan
beberapa puluh meter di belakang mobil. Linor
meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja.
Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh
pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus
dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok
belakang mobilnya. Setelah mengembalikan em-
ber dan beberapa kain ke tempatnya Linor men-
jalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun
perlahan. Lima belas menit kemudian mobil me -
wah itu sudah kembali menapak di jalan raya
yang lebar. Jalan sudah tidak padat lagi. Linor
memacu mobilnya agak kencang. Ia tetap
memasang kewaspadaan tinggi, memastikan bah-
wa tidak ada yang mengetahui peristiwa itu.
Linor kembali memasuki pinggir kota
Moskwa, menuju kawasan Skakovaya. Ia mem-
bawa mobilnya melewati gang sempit. Salju yang
menumpuk terlalu tinggi. Ia berhenti. Dengan ce-
pat ia kembali mengganti plat nomor mobilnya.
Setelah itu ia mengambil bungkusan kain dari jok
belakang. Ia tinggalkan mobilnya begitu saja.
Dan dengan sedikit tergesa-gesa ia melangkah
memasuki bangunan tua yang tidak dihuni siapa-
siapa. Dengan sedikit sinar dari ponselnya yang
menyala ia menemukan sebuah kotak tua di
po- jok ruangan. Ada senter kecil, bensin dan korek
api. Ia memeriksa bungkusan itu.
Yang pertama ia ambil adalah ponsel milik
Sergei. Dari ponsel itu ia mengirim sms kepada
sebuah nama, tepatnya seorang bernama Yvonna
Melnikova, mengajak untuk bertemu di sebuah
cafe malam di Arbatskaya. Lalu ia mengirim sms
kepada saudara tua Yvonna yang bernama Boris
Melnikov, isinya minta izin berkencan dengan
adiknya di Arbatskaya. Baru setelah itu, dengan
ponsel yang sama ia menelpon sebuah cafe
malam di Arbatskaya. Ia membesarkan suara
menjadi suara lelaki dewasa. Dalam telpon ia
memesan tempat untuk dua orang, namanya
Sergei Gadotov dan Yvonna Melnikova.
Setelah itu Linor membakar seluruh barang
milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecu-
ali ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain
dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin
tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan
mengendarainya dengan cepat kembali ke aparte-
mennya. Salju terus turun pelan-pelan. Ia terseny-
um dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia ber-
harap bahwa salju itu akan terus turun sampai
jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei
akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan
jejak- jejak yang ditinggalkan oleh roda mobilnya
juga terhapus dengan sendirinya.
Sampai di apartemen ia kaget ruang tamu tel-
ah rapi. Kamar Ayyas dan Yelena gelap, berarti
sudah tidur. Ia teliti dengan seksama ruang tamu
itu. Bekas yang tersisa adalah noda darah yang
terlihat jelas di karpet dan sofa. Linor menggeser
sofa dan mengangkat karpet dengan agak susah.
Ia gulung karpet itu dan membawa ke kamarnya.
Ia mengeluarkan karpet baru dari bawah kolong
tempat tidurnya dan memasukkan karpet bernoda
darah itu ke sana. Karpet baru itu memiliki warna
yang sama persis dengan karpet lama. Mereknya
juga sama. Linor lalu memasang kapet baru itu di
ruang tamu. Ia yakin, bahkan Yelena sekalipun
jika tidak teliti tak akan mengira kalau karpetnya
telah diganti. Setelah itu Linor membersihkan bercak darah
yang ada di sofa dengan keterampilan khusus
yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang,
meskipun tidak seratus persen. Linor kembali
memeriksa kamar tamu dan dapur dengan
seksama. Setelah yakin tidak ada yang menggan-
jal di dalam hatinya, ia masuk kamar lalu
memejamkan kedua matanya. Ia yakin pagi-pagi
sekali akan ada polisi yang datang memeriksa.
Sebab ia yakin ada yang melaporkan kegaduhan
yang baru terjadi, atau mungkin ada yang meli-
hatnya membawa Sergei Gadotov yang berdarah
keluar dari apartemen. *** Ayyas terbangun setelah alarm dari ponselnya
melengking -lengking hampir satu menit. Ia
mendengar percakapan dua orang di ruang tamu.
Suara Yelena dan Linor. Tidak biasanya mereka
bangun sepagi ini. Ayyas menggerakkan kepalan-
ya ke kanan dan ke kiri, lalu bangkit untuk
mengambil wudhu dan shalat Subuh. Setelah itu
berzikir dan membaca Al-Quran. Dua puluh
menit kemudian Ayyas keluar dari kamarnya.
"Kak Dela (Apa kabar) Ayyas"" Sapa Yelena
begitu melihat Ayyas menyembulkan kepalanya
dari pintu kamarnya. "Ya Vso Kharasyo (Saya baik-baik saja)."
Jawab Ayyas. "Mungkin sebentar lagi polisi akan datang."
Kata Linor dengan wajah dingin.
"Jadi kau melaporkan aku ke polisi"" Sahut
Ayyas. "Tidak. Buat apa"" Tukas Linor.
"Ya kau mungkin tidak terima pacarmu itu
aku lumpuhkan." "Justru aku ingin dia mati saja. Kau lihat kan
tadi malam dia aku lempar pakai botol sampai
berdarah." "Terus kenapa polisi datang kemari""
"Ya mungkin ada tetangga yang melaporkan
adanya kegaduhan tadi malam. Atau ada yang
melihat aku membawa Sergei yang berdarah-
darah." "Kalau ada yang melaporkan adanya
kegaduhan, pasti polisi datangnya langsung tadi
malam kan"" "Seharusnya begitu. Tapi tadi malam salju tur-
un, bisa jadi polisi malas. Dan baru pagi ini
mereka datang kemari."
"Terus kalau polisi datang kita harus ba-
gaimana" Atau kalian ingin aku dipenjara"" Kata
Ayyas blak-blakan. "Tidak. Jika polisi datang biar kami yang
menghadapi. Kami yang orang Rusia. Kamu se-
baiknya diam saja di kamarmu. Kalau polisi mas -
uk juga ke kamarmu dan bertanya ini itu, pura-
pura tidak bisa bahasa Rusia saja." Kali ini
Ye lena yang menjawab. Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka
menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali-
kali. Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari
lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara
mengisyaratkan yang datang adalah polisi.
Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas
menurut tanpa membantah sedikit pun, jan-
tungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pas -
rah. Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perem-
puan itu sepakat untuk memfitnah dan
mengirimnya ke penjara. Ia sudah mulai tahu
bahwa Linor sangat tidak menyukai dirinya, han-
ya karena dirinya seorang Muslim. Jadi,
meskipun ia telah menyelamatkan nyawa Linor,
tidak ada jaminan bahwa Linor telah berubah
pandangan terhadapnya. Linor membuka pintu. Dua polisi masuk dan
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada yang melapor kepada kami, tadi malam
di sini telah terjadi kekacauan, dan ada yang ter-
luka. Apa benar"" Tanya seorang polisi berwajah
lonjong. "Iya benar. Tapi sebenarnya cuma kekacauan
kecil biasa." Jawab Linor.
"Kekacauan kecil bagaimana" Katanya ada
yang berdarah-darah, ada suara minta tolong
segala." Cecar polisi satunya yang lebih berumur
bernama Kirsanov. "Ah Tuan ini seperti tidak pernah muda saja.
Yang bertengkar itu saya tadi malam. Saya
dengan pacar saya. Biasa Tuan, karena cemburu.
Saya melemparinya botol -botol vodka dan wiski.
Salah satunya mengenai pelipisnya. Dia berd-
arah. Hanya luka kecil. Tapi kami sudah baik
lagi." "Di mana pacar Anda itu sekarang" Namanya
siapa"" "Sekarang istirahat di rumahnya Tuan.
Namanya Potseluyev. Dia tinggal di sebuah
apartemen kecil di kawasan Semenovskaya. Tuan
bisa mengeceknya ke sana." Jawab Linor dengan
sangat yakin. "Berarti Anda dan pacar Anda harus dibawa
ke kantor polisi. Karena kalian mengganggu
ketenangan." Tegas polisi Kirsanov.
"Ini kan cuma persoalan kecil anak muda Pak.
Kenapa harus diperbesar, seperti Bapak tidak
pernah muda atau tidak punya anak remaja saja."
Bantah Linor. "Dia benar, Pak Kirsanov. Tidak usah diper-
panjang. Yang melaporkan kakek tua yang egois
itu. Hampir setiap minggu dia lapor. Ada-ada
saja yang dia laporkan ke polisi." Polisi berwajah
lonjong memperkuat bantahan Linor.
Polisi bernama Kirsanov diam sesaat, matanya
melihat ke seluruh ruang tamu. Ia mencari-cari
kalau ada yang mencurigakan. Setelah merasa
tidak' menemukan apa-apa, ia berkata, "Baiklah.
Kali ini kami maafkan. Lain kali kalau ribut
dengan pacar jangan sampai mengganggu orang
lain ya." "Baik Tuan. Oh ya jadi memerlukan alamat
pacar saya"" Kata Linor.
"Ah sudah tidak perlu." Jawab Kirsanov. Ke-
dua polisi itu lalu pergi meninggalkan apartemen.
Yelena bernafas lega. Ayyas juga menarik nafas
lega. Ia telah mendengar pembicaraan dua polisi
itu dari kamarnya. Ia bisa melewati hari-hari di
Rusia dengan tenang. Ayyas keluar dari kamarnya. Ia pura-pura ber-
tanya, "Bagaimana, mereka sudah pergi""
"Tak ada masalah apa-apa. Mereka sudah
pergi." Terang Yelena.
"Alhamdulillah." Jawab Ayyas.
*** io. Sakit Tidak seperti biasanya yang agak acuh tak
acuh dengan dandanannya, kali ini Anastasia
Palazzo mematut-matutkan dirinya di depan cer-
min hampir setengah jam. Ia memoles wajahnya
seanggun mungkin. Sebelumnya lima kali ia
ganti setelan pakaian atas dan bawah yang pas.
Akhirnya ia memilih sweeter ketat berwarna pink
yang ia beli di Amsterdam tiga bulan yang lalu,
dan celana jeans merah hati yang ia beli di
Berlin. Setelah merasa yakin bahwa keanggunannya
benar-benar sekelas atau sedikit di atas para tsar-
ina, barulah ia memakai palto berkerah panjang,
penutup kepala, syal, kaos tangan dan sepatu mu-
sim dinginnya. Setelah itu ia beranjak keluar
meninggalkan kwartina-nya. yang terletak di se-
buah gedung bertingkat tak jauh dari galeri
Tretyakov yang terkenal. Ia hampir lupa membawa sebuah buku penting
tentang teori sejarah total. Ia ingin
menghadiahkan buku itu kepada Ayyas. Anastas -
ia masuk ke dalam mobil Toyota Pradonya yang
berwarna putih. Sejak bisa membeli mobil ia
selalu mengendarai sendiri mobilnya. Pagi itu ia
lebih bersemangat pergi ke universitas dari hari-
hari sebelumnya. Ia ingin segera sampai kampus,
lalu masuk ke ruang Profesor Tomskii kemudian
bertemu Ayyas dan memberikan sedikit materi
sejarah total kepada Ayyas. Setelah itu ia akan
minta kepada Ayyas untuk pergi ke perpus -
takaan, sementara dirinya memberi mata kuliah
kepada mahasiswa S1. Saat makan siang ia akan
memanggil Ayyas menemaninya makan sambil
berdiskusi tentang tema-tema Asia Tenggara
kontemporer. Anastasia sampai kampus lima belas menit le-
bih awal dari biasanya. Bibi Parlova yang seperti
biasa berkerudung kozinka putih dengan cekatan
menyediakan teh. Perempuan tua itu seperti tidak
pernah mengganti pakaiannya. Setiap hari selalu
sama. Anastasia membaca ulang buku penting
tentang teori sejarah total yang ada di tangannya.
Ia larut dalam bacaannya. Tak terasa sudah satu
jam lebih* ia berada di ruangan Profesor Tom-
skii, tapi Ayyas belum juga datang. Ia melihat
jam dinding, seperempat jam lagi ia harus mem-
beri mata kuliah kepada mahasiswa SI. Ia agak
kecewa. Seharusnya Ayyas sudah datang empat
puluh menit yang lalu. Kenapa ia terlambat
sekali, bahkan belum juga datang. Rasa kecewa
itu perlahan berubah jadi amarah. Tapi ia berpikir
kenapa mesti harus ada amarah yang terbit dalam
dirinya" Ia merasa ada sesuatu yang aneh yang ia
rasakan dalam dirinya. Keanehan yang tidak per-
nah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha me-
nepisnya, tapi tak bisa. Ia juga berusaha
meredakan amarahnya, tapi gagal begitu saja.
Ayyas benar-benar tidak datang sampai
Anastasia Palazzo masuk kelas.
Kali ini Anastasia mengajar tidak dengan kon-
sentrasi penuh. Amarahnya kepada Ayyas yang
ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hadir,
membuat sebagian kecerdasannya hilang. Doktor
muda itu hanya bertahan dua puluh menit di
kelas, selebihnya ia memberi tugas kepada ma-
hasiswa untuk pergi ke perpustakaan dan mem-
baca buku sejarah pendirian kota Moskwa kemu-
dian membuat ringkasannya.
Anastasia masih berharap Ayyas akan datang.
Ia kembali ke ruang Profesor Tomskii. Ternyata
tidak juga datang. Sampai waktu makan siang
tiba, Ayyas tidak juga menampakkan batang
hidungnya. Anastasia benar-benar marah bercam-
pur malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berd-
andan dan tampil seanggun mungkin, orang yang
paling ia ingini untuk melihat penampilannya
malah tidak datang. Kenapa ia ingin Ayyas melihat pe-
nampilannya" Ini yang membuat dirinya malu. Ia
tidak tahu sebabnya. Apakah ia jatuh cinta pada
pemuda Indonesia itu" Ia tidak berani
mengatakan iya. Harga dirinya mencegahnya un-
tuk mengakui itu. Kalau ia tidak tertarik pada
pemuda itu kenapa ia ingin pemuda itu melihat
penampilannya" Belum pernah ia menginginkan
orang lain melihat penampilannya sebelumnya
seperti yang ia inginkan pada Ayyas.
Kalau ia tertarik pada Ayyas, apa menariknya
pemuda kurus itu" Apakah ia tampan" Tidak. Para pemuda Rusia
menurutnya lebih tampan dan lebih gagah.
Pemuda itu masih kalah gagah. Apakah ia cer-
das" Mungkin. Tapi ada doktor Rusia yang tam-
pan dan masih muda yang menurutnya lebih cer-
das dari Ayyas. Doktor muda itu pernah
mendekatinya melalui Profesor Tomskii, tapi ia
samasekali tidak tertarik padanya. Ia bahkan
muak mendengar suara yang keluar dari mulut-
nya. Apakah karena Ayyas kaya" Jelas tidak. Ia
tahu pemuda itu pasti tidak kaya, lazimnya para
mahasiswa Indonesia yang hidup pas -pasan. Ia
yakin Ayyas tidak jauh keadaannya dari mereka.
Terus kenapa ia tertarik pada Ayyas" Ia
sendiri tidak bisa menjawabnya.
Anastasia mondar-mandir di ruang Profesor
Tomskii. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mau
membaca tidak lagi bisa konsentrasi. Mau makan
sudah tidak berselera. Mau merampungkan
tulisannya sudah tidak mood sedikit pun. Mau
pulang ke apartemen belum saatnya pulang. Ia
benar-benar bingung dengan apa yang harus
dilakukannya. Nyaris seluruh kecerdasannya
yang selama ini ia bangga-banggakan, menguap
bagai asap yang ditiup udara ke angkasa raya.
Dalam geramnya diam ia memendam kebingun-
gan dan kegalauan, kegalauan dan kebingungan.
"Ini semua gara-gara dia tidak datang. Kenapa
aku bisa seperti orang dungu begini"" Kata
Anastasia pada dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba am-
arahnya yang belum sepenuhnya sirn
a kembali datang, "Pemuda itu samasekali tidak menghorm-
ati aku sebagai pembimbingnya. Kalau dia tidak
datang seharusnya izin atau mengirim pemberi-
tahuan, tidak seenak perutnya seperti ini. Dasar
orang tidak tahu disiplin! " Umpatnya pada Ayyas
lirih penuh kejengkelan yang hanya ia sendiri
yang mendengarnya. Doktor Anastasia lalu duduk dan iseng mem-
buka ponselnya. Ada dua sms masuk. Ia buka.
Yang pertama dari Profesor Lyudmila Nozdryova
memintanya untuk menjadi pembicara seminar di
fakultas kedokteran tentang ketuhanan, sekaligus
minta supaya dicarikan satu pembicara lagi.
Yang kedua dari Ayyas. Hatinya langsung
berdesir. Desiran sempurna, yang hanya dia
sendiri yang bisa merasakannya. Ternyata
pemuda itu telah mengirim sms sejak pukul
delapan pagi, yaitu ketika ia sedang asyik berd-
andan di depan cermin. Ia jadi malu pada dirinya
sendiri. Ia tidak tahu kalau pemuda itu telah men-
girim sms. Dengan hati girang penuh penasaran,
Anastasia Palazzo membaca isi sms Ayyas,
"Yang saya hormati doktor anastasia palazzo.
Sebenarnya saya ingin sekali datang ke kampus
untuk menimba ilmu dari doktor. Tetapi mohon
maaf tadi malam saya mengalami kecelakaan di
apartemen, pundak kiri saya sakit, saya tidak tahu
apakah ada patah tulang atau cuma engselnya
yang lepas tidak pada tempatnya. Yang jelas hari
ini saya ingin mengobatkan pundak kiri saya itu.
Maka saya mohon izin untuk tidak datang hari
ini. Hormat saya, Ayyas."
Bahasanya begitu santun, rendah hati dan
sangat menghormati dirinya. Itu yang mungkin
membuat hatinya tertarik. Ah, bukan tertarik, tapi
jatuh cinta rasanya. Namun benarkah dirinya bisa
jatuh cinta" Anastasia seolah tidak percaya
dengan apa yang saat ini sedang dirasakannya.
Tiba-tiba Anastasia merasa sangat menyesal
kenapa ia sudah terburu-buru marah pada
pemuda itu. Yang salah adalah dirinya kenapa
tidak membuka ponsel sejak dari tadi. Tiba-tiba
pula rasa kasihan itu menjelma menjadi iba. Dan
dari iba kemudian berubah menjadi khawatir. Ya,
ia menjadi khawatir dengan keadaan Ayyas. Ia
semakin merasa aneh dengan dirinya sendiri.
Pemuda Indonesia itu benar-benar telah
memenuhi lebih dari separo hatinya.
Kini ia sudah tahu kenapa Ayyas tidak datang.
Ia berharap sakit di pundak kiri Ayyas tidak
parah. Maka dengan hati bergetar ia menulis ka-
limat singkat di ponselnya sebagai balasan,
"Saya ikut prihatin atas kecelakaan itu.
Semoga cepat sembuh. Anastasia."
Sebenarnya setelah kalimat "semoga cepat
sembuh", Anastasia menulis kalimat "aku
menunggumu di kampus", tapi ia hapus kalimat
itu sebelum mengirim sms itu pada Ayyas.
Anastasia malu untuk mengatakan "aku
menunggumu di kampus" pada Ayyas. Ia tidak
ingin merendahkan dirinya dengan mengatakan
kalimat itu. Meskipun ia benar-benar menunggu
kedatangan Ayyas di kampus.
*** Sementara itu, pada saat yang sama Ayyas ada
di Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Moskwa yang terletak di Novokuznetskaya Ul-
itsa nomor 12. Tepatnya Ayyas sedang berada di
kantor Sekolah Indonesia Moskwa yang memang
Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyatu satu komplek dengan KBRI. Sekolah
Indonesia Moskwa yang biasa disingkat SIM itu
berada di salah satu sudut KBRI. Gedung itu
agak kecil berbentuk L bersebelahan dengan
Wisma Duta. Sekolah itu sudah ada sejak tahun
1963, bisa disebut sebagai sekolah Indonesia di
luar negeri yang pertama ada.
Pundak kiri Ayyas sedang diurut oleh seorang
guru Sekolah Indonesia bernama Pak Joko San-
toso. Awalnya Ayyas menceritakan pundak kir-
inya yang sakit kepada Pak Akmal Hidayat,
Atase Perdagangan. Ayyas menanyakan apakah
di KBRI ada orang yang bisa silat atau ilmu bela
diri lainnya. Pak Akmal menjawab, ada. Ayyas
diminta datang langsung ke KBRI.
Sampai di KBRI Ayyas dikenalkan dengan
Pak Joko Santoso, guru ilmu biologi yang mer-
angkap guru olahraga, guru kesenian, dan guru
bahasa Indonesia. Pak Joko Santoso menguasai
karate sampai ban hitam, juga menguasai ilmu
memijat dan mengurut dengan baik.
Dengan hanya meraba pundak Ayyas sedikit
menekan, Pak Joko langsung mengerti ada engsel
tulang yang tidak pada tempatnya. Meskipun
Ayyas bercerita bahwa pundaknya sakit karena
kecelakaan kecil di apartem
en, tapi Pak Joko tidak sepenuhnya percaya.
"Ini bukan sekadar jatuh, ini karena kena ben-
turan benda keras, atau malah pukulan benda ker-
as." Kata Pak Joko sambil mulai mengurut.
"Pak Joko benar. Ini kena pukulan orang
Rusia. Tadi malam saya berkelahi dengan orang
Rusia. Terakhir orang Rusia itu gantian saya han-
tam dengan keras." Jawab Ayyas.
" Kamu harus melaporkan kejadian itu ke
KBRI." "Tidak usah, Pak. Itu cuma keributan kecil.
Semua sudah selesai dengan baik."
"Jika dia ternyata anggota mafia maka tidak
ada istilah keributan kecil. Semua jadi besar."
"Kelihatannya dia bukan anggota mafia. Kalau
dia anggota mafia pasti setelah pergi dia akan
datang lagi membawa teman-temannya untuk
menggeruduk saya." "Ya sudah. Tapi saya sarankan Mas Ayyas
tidak usah cari perkara dengan orang Rusia lagi
ya." "Iya Pak, baik."
Kedua tangan Pak Joko mengurut pundak kiri
Ayyas, tiba-tiba tangan kanan Pak Joko seperti
mencengkeram pundak itu, sementara tangan kir-
inya memukul punggung bawah pundak kiri,
agak keras sampai terdengar bunyi krak! Ayyas
mendesis kesakitan. "Insya Allah tulang yang lepas dari engselnya
sudah kembali seperti sedia kala. Hanya beberapa
otot perlu sedikit saya sentuh lagi." Gumam Pak
Joko sambil masih mengurut bagian-bagian ter-
tentu di pundak kiri Ayyas. Tujuh menit kemudi-
an pemijitan itu selesai. Pak Joko mempersilakan
Ayyas minum teh yang masih mengepulkan asap.
"Pak Joko membawa keluarga ke sini"" Tanya
Ayyas. "Iya. Saya membawa istri saya." "Anak tidak
dibawa"" "Anak saya cuma dua. Yang satu sedang kuli-
ah semester dua di Bandung, yang satu masih di
pesantren." "Kenapa anaknya tidak dikuliahkan di sini
saja Pak"" "Saya inginnya begitu. Tapi anak itu tidak
mau. Dia lebih milih kuliah di Bandung. Kebetu-
lan neneknya ada di Bandung. Jadi dia tinggal di
rumah neneknya." "Jadi Pak Joko asli Bandung""
"Tidak. Yang asli Bandung istri saya. Saya
sendiri asli Surabaya. Kalau Mas Ayyas""
"Saya asli Klaten Pak."
"Dekat pusat pengecoran logam dan baja itu""
"Iya tidak terlalu jauh."
"Adik saya kerja di PT. Sari Logam, Batur,
Klaten." "Itu tidak jauh dari rumah saya Pak Joko. Saya
asli Pedan. Pedan dan Batur itu bertetangga."
"Berarti kenal sama Kiai Yunan"" "Yang men-
gasuh Pesantren Raudhatush Shalihin"" "Benar."
"Kenal baik Pak. Dia masih sepupu sama
saya." "O masya Allah, dunia ini memang benar-
benar sempit. Istri Kiai Yunan itu keponakan
saya. Jadi kita ini sedulur ya, meskipun jauh."
"Tidak jauh Pak, dekat. Persaudaraan yang
diikat oleh laa ilaaha illallah itu kuat dan dekat."
"Benar kau Mas. Aku bahagia sekali ketemu
Sampeyan." "Saya juga Pak Joko. Saya berterima kasih
sekali, Pak Joko sudah membetulkan pundak
saya." Dua orang Indonesia itu langsung benar-benar
akrab. Pak Joko kemudian bertanya banyak hal
kepada Ayyas, kenapa ada di Moskwa, tinggal di
mana dan lain sebagainya. Ayyas menjelaskan
dengan panjang lebar kenapa ia sampai di
Moskwa. Ayyas juga menceritakan tempat di
mana ia tinggal, dan tantangan keimanan yang di-
hadapinya. Ayyas juga minta kepada Pak Joko
untuk mencarikan kalau ada tempat tinggal yang
terjangkau untuknya. "Mungkin lebih baik saya berkorban materi.
Menyewa tempat lain yang lebih aman, daripada
iman dan Islam saya berantakan karena tidak
kuat menghadapai ujian perempuan." Kata Ayyas
tegas. Pak Joko mengangguk membenarkan, "Saya
akan mencoba membantu. Sebenarnya satu bulan
lagi istri saya mau pulang ke Indonesia. Dia akan
lama di Indonesia. Lha saat itu kau bisa men-
ginap di rumah saya. Begini saja, kau coba saja
bertahan di situ satu bulan, nanti baru pindah ke
rumah saya." "Wah kalau satu bulan terlalu lama Pak. Kalau
bisa secepatnya." "Lha secepatnya itu tidak mudah. Tapi saya
akan mencoba membantu mencarikan pen-
ginapan yang lebih aman untuk satu bulan. Kau
juga coba mencari. Mungkin coba tanya sama
dosenmu di MGU, siapa tahu bisa menyewa
kamar di asrama mahasiswa. Coba saja. Kalau
tidak dapat juga ya bersabarlah!"
"Baik Pak." Pak Joko Santoso lalu mengajak Ayyas keluar
makan siang. Pak Joko mengajak Ayyas
melangkah ke arah utara KBRI. Siang itu terasa
agak lebih hangat. Suhu minus sepuluh derajat.
Langit nampak lebih cerah. Salju tetap terlihat
menumpuk di kanan kiri jalan. Mereka berdua
berjalan menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa. Tak
lama kemudian belok kiri menyusuri Kli-
mentovski Pereulok. Dengan jalan kaki Ayyas
merasa tubuhnya lebih hangat. Mereka melewati
sepasang muda-mudi yang berciuman di pinggir
jalan. "Jangan kaget, seperti itulah cara hidup seba-
gian besar anak muda di sini. Mereka hidup be-
bas. Semuanya hidup bebas, kecuali yang
Muslim dan sedikit ortodoks yang menjaga kesu-
cian hidupnya." Komentar Pak Joko sambil terus
berjalan. "Itulah Pak ujiannya. Kalau di sini memiliki
istri tidak masalah. Kalau masih'bujang seperti
saya bisa celaka!" "Kalau tidak kuat, cobalah berpuasa. Dengan
berpuasa jiwamu akan lebih tenang, dan nafsumu
akan lebih jinak dan terkendali."
"Iya Pak Joko benar. Saya akan mencoba
Pak." "Tapi kau harus juga melihat kondisi. Kalau
musim dinginnya sangat ekstrim, di atas 18 dera-
jat celcius kau harus memperhitungkan
kesehatanmu. Suhu dingin yang ekstrim bisa
membuat tubuh kita mengalami dehidrasi fatal."
"Iya Pak Joko."
Mereka sampai di Pyatnitskaya Ulitsa. Mereka
menyusuri jalan besar itu terus ke utara. Sampail-
ah mereka di tepi Kanal Moskwa. Ayyas melihat
pemandangan yang indah. Gedung-gedung tua
yang tertata rapi. Sungai yang membelah kota.
Dan salju yang terlihat di mana-mana. Ia seperti
masuk di alam mimpi. "Kalau kita ke utara terus, tidak begitu jauh,
kita akan sampai Red Square atau Lapangan
Merah. Kau sudah melihat Lapangan Merah""
"Belum Pak." "Masih banyak waktu. Kau harus melihatnya.
Bahkan kau harus melihatnya di empat waktu. Di
pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari.
Biar mantap. Orang sini mengatakan siapa yang
ke Moskwa belum sampai di Lapangan Merah
berarti belum sampai Moskwa."
Ayyas hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Pak Joko mengajak Ayyas memasuki
restoran Lyudi yang letaknya menghadap Kanal.
Banyak orang sedang makan di situ, tapi tidak
penuh. Mereka berdua mengambil tempat di po-
jok ruangan, dekat jendela. Dari jendela Ayyas
bisa melihat kanal dan gedung -gedung tua.
"Halal tidak Pak"" Tanya Ayyas ragu.
"Ada yang halal, dan ada yang haram. Tapi
aku pilih menu yang jelas halalnya. Jangan
khawatir Mas Ayyas. Salah satu koki di sini or-
ang Kirghiztan. Dia Muslim. Aku sering ketemu
dia di masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Aku
tadi pesan sama dia. Dia sudah tahu." Terang Pak
Joko menepis segala keraguan Ayyas.
Pelayan restoran datang membawa dua can-
gkir teh panas dan dua gelas sari jeruk. Lalu
pelayan kedua datang menghidangkan menu
pembuka berupa salad khas Rusia berisi pelbagai
sayuran dan buah-buahan yang dicampur minyak
zaitun dan keju cair. Ayyas mencicipi salad itu.
Rasanya agak aneh. Tapi ia tetap melahapnya
pelan-pelan. Hidangan berikutnya adalah hidangan inti, ter-
saji di meja, yaitu sup bors merah tanpa daging,
roti baton khas Rusia, nasi plof dengan lauk
jamur. Ayyas melahap semua hidangan itu tanpa
sisa. Pak Joko senang sekali melihatnya. Hidan-
gan makan siang itu ditutup dengan buah apel
dan pir. Tak terasa, hampir satu jam lamanya mereka
berada di restoran itu. Ayyas melihat jam tan-
gannya. Sudah saatnya shalat
Zuhur. Mereka bangkit meninggalkan restor-
an. Pak Joko membayar di kasir. Sang kasir men-
gucapkan terima kasih dengan senyum dingin
khas Rusia. Tepat selangkah di luar pintu Ayyas melihat
orang yang tidak asing baginya. Seorang perem-
puan muda Rusia yang sedang digandeng lelaki
hitam besar berjalan mendekati restoran. Perem-
puan muda itu nampak asyik bercengkerama
dengan lelaki hitam besar itu, sehingga tidak tahu
kalau Ayyas berdiri hanya lima meter di
depannya. "Dabro Dent (Selamat siang) Yelena!" Sapa
Ayyas keras. Perempuan muda itu nampak kaget
dan gugup melihat Ayyas menyapanya. Ia segera
menguasai dirinya dan menjawab, "Oh Ayyas,
dabro dentl Sedang apa di sini""
"Ya makan siang-lah. Kau bersama siapa ini"
Seorang wisatawan ya"" Tanya Ayyas santai.
Pendekar Kidal 25 Rumah Bercat Putih A Painted House Karya John Grisham The Order Of Phoenix 8