Pencarian

Bumi Cinta 6

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 6


pat tidur Ayyas. Ia meletakkannya di bagian paling pojok dan
menutupinya dengan selembar kain yang ber-
warna biru tua, warna yang sama dengan karpet
yang membungkus seluruh lantai kamar itu.
Setelah itu Linor kembali ke ruang tamu. Ia
kembali mengunci pintu kamar Ayyas seperti se-
dia kala. Ia merasa lega. Ia mel
ihat jam tan- gannya. Ia puas. Tak ada satu menit. Setelah itu
dia ke kamarnya. Menghempaskan tubuhnya di
atas kasur yang empuk dan bernafas lega. Ia
sangat yakin, seluruh rencana dan aksinya akan
berjalan dengan sempurna. Akan ada dua kejadi-
an yang menggemparkan Moskwa:
Pertama, pertempuran dua mafia Rusia. Yaitu
antara kelompok Voykovskaya Bratva 67 yang
dipimpin Boris Melnikov, dan kelompok Tushin-
skaya Bratva yang dipimpin oleh Vladimir
Nikolayenko yang tak lain adalah suami Olga
Nikolayenko. Linor sudah bisa membayangkan siapa yang
jadi pemenangnya. Ia sangat yakin Boris
Melkinovlah yang akan menang dan Vladimir
akan mengalami kerugian besar jika tidak ke -
binasaan. Kecuali jika di antara mereka akan ada
perjanjian damai sebelum terjadi pertempuran.
Meskipun terjadi perdamaian, pasti Boris Mel-
nikov akan memberikan syarat yang sangat mer-
endahkan Vladimir. Dan tidak mudah bagi Vladi-
mir untuk menerimanya. Jika menerima syarat
itu, maka Vladimir tidak akan memiliki
kekuasaan apa-apa lagi. Dan itu tetap menjadi
jalan keluar yang baik bagi Yelena.
Dalam perhitungan Linor, keduanya
mengadakan perjanjian damai itu sangat kecil.
Sebab keduanya sudah akan disulut emosi yang
memuncak di awal. Pihak Boris Melnikov pasti
marah besar ketika menemukan bukti bahwa
ponsel Sergei Gadotov ditemukan di kamar
mandi-Olga Nikolayenko. Mereka akan langsung
mengambil kesimpulan, pembunuh orang penting
di kelompok Voykovskaya Bratva adalah Olga
Nikolayenko. Atau paling tidak Olga Nikolayen-
kolah yang paling bertanggung jawab. Pihak Bor-
is Melnikov pasti akan minta supaya Olga
dikirimkan kepada mereka untuk dieksekusi.
Dan sebaliknya pihak Vladimir Nikolayenko
akan sangat marah dituduh melakukan sesuatu
yang tidak mereka lakukan samasekali. Apalagi
yang dituduh adalah Olga Nikolayenko, istri
pimpinan tertinggi kelompok mafia mereka.
Mereka tidak mungkin mau menyerahkan Olga
Nikolayenko begitu saja. Vladimir akan membela
mati -matian istri yang sangat dicintainya itu.
Linor sudah mengatur segalanya untuk
mengadu dua kelompok mafia yang sangat men-
jengkelkannya itu. Di antaranya Linor mengirim
surat kaleng kepada Boris Melnikov yang isinya
memberitahukan pernah melihat Sergei Gadotov
berjalan bersama Olga Nikolayenko memasuki
sebuah apartemen di kawasan Tverskaya. Ia tahu
Boris Melnikov tidak akan percaya begitu saja
pada isi surat itu. Tapi tujuan Linor bukan untuk
membuat Boris Melnikov mempercayainya.
Tujuannya adalah agar Boris Melnikova
mengarahkan pandangannya ke Tverskaya, ke
tempat di mana Olga Nikolayenko menjalankan
bisnisnya. Dan pada saat Boris Melnikov
mengaktifkan pelacak sinyal untuk kembali men-
cari keberadaan Sergei Gadotov, terompet perang
itu berbunyi dengan sendirinya, jika benar
Yelena telah meletakkan ponsel milik Sergei itu
di kamar mandi yang ada di dalam ruang pribadi
Olga Nikolayenko. Kejadian kedua yang akan menggemparkan
Moskwa adalah pengeboman lobby Metropole
Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, te-
patnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh
dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan
dengan datangnya seorang pejabat penting Ing-
gris ke sana. Seorang anak buah Ben Solomon
akan masuk ke Metropole Hotel dengan
menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas.
Dan opini dunia akan digiring untuk mengatakan
bahwa seorang pemuda Islam terpelajar terbukti
melakukan tindakan teroris. Sebagai bukti fisik
adalah ditemukannya bahan-bahan pembuat bom
di kamar Ayyas. Bahan-bahan itu sama persis
dengan bom yang diledakkan di Metropole Hotel.
Dengan adanya kejadian itu Rusia akan marah
dan mengambil jarak dengan negara-negara
Islam, negara-negara Arab utamanya. Itu karena
Ayyas diketahui adalah lulusan dari Arab, akan
sangat mudah Ayyas dikaitkan dengan jaringan
Al Qaeda. Dan keadaan itu akan digunakan oleh
Israel sebaik-baiknya. Israel bersama sekutunya
akan semakin mudah menggebuk Palestina dan
negara-negara Arab lainnya. Sebab Rusia yang
selama ini masih sering berhubungan dengan
negara-negara Arab diharapkan ikut aktif ber-
sama barisan pendukung Israel.
Tas ransel berisi bahan pembuat bom itu su-
dah Li nor masukkan di kamar Ayyas. Bahkan ia
juga memasukkan satu buku kecil yang ada di
meja Ayyas ke tas ransel itu. Pada saat polisi
Rusia menggeledah kamar Ayyas dan me -
nemukan tas itu, Ayyas sendiri akan terdiam
seribu bahasa, ia tidak akan bisa membantahnya
ketika ada bukunya yang juga didapati ada di
dalam tas itu. Dua kejadian itu akan jadi berita hangat di
Moskwa. Bahkan di dunia. Dan sebenarnya akan
ada kejadian ketiga yang tidak kalah menggem-
parkan, yaitu terbunuhnya putri salah seorang
diplomat Syiria. Ia telah ditugasi langsung oleh
Ben - Solomon untuk membunuhnya. Yang harus
ia bunuh adalah seorang gadis yang masih kuliah
semester dua di MGU. Gadis itu bernama Rihem.
Jika Rihem mati, menurut Ben
Solomon, hal itu bisa berpengaruh pada
hubungan Syiria-Rusia. Dan ia diminta agar pem-
bunuhan gadis itu sebagai kej adian kriminalitas
yang mengguncang dunia. Tetapi Linor agak
gamang melakukannya. Ia tahu, gadis itu selain kuliah di MGU juga
belajar musik di Moscow State Conservatory. Ia
telah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri
betapa berbakatnya gadis itu memainkan biola.
Setiap kali mengawasi gadis itu dan melihat
gadis itu, ia seperti melihat dirinya sendiri saat
belajar bermain biola dengan didampingi oleh
ibunya. Ia tidak sampai hati membunuh gadis itu,
karena membunuh gadis itu seolah ia membunuh
dirinya sendiri. Akan tetapi jika ia tidak melaksanakan tu-
gasnya, ia sendiri akan dieksekusi oleh Ben So-
lomon atau agen lainnya. Maka kepada Ben So-
lomon ia minta supaya diberi jeda waktu untuk
membunuh gadis itu. Ia memberi alasan, jika ada
banyak kejadian teror yang berturut-turut, ia
khawatir pihak Rusia akan mencium gerakan
mereka. Ben Solomon setuju dengan argumentasi
Linor. Sementara ia bisa mengulur waktu, ia akan
mencari cara supaya bukan dia yang membunuh
gadis itu, tapi agen lain.
*** Linor mendengar suara gaduh di ruang tamu.
Ia lihat layar laptopnya. Ia tersenyum dingin.
Yang datang adalah Bibi Margareta membawa
bungkusan besar yang ia yakin adalah pes -
anannya, dan Ayyas yang juga membawa
bungkusan yang nampak kelelahan. Dalam hati
Linor berkata, "Sebentar lagi kau akan jauh lebih
lelah Ayyas. Rambutmu yang hitam itu akan
langsung beruban ketika kau digelandang polisi
dan dimasukkan ke dalam penjara tanpa tahu
dosa apa yang kaulakukan."
Bib i Margareta mengetuk pintu kamarnya.
Linor mengganti tampilan layar laptopnya
dengan gambar bunga yang dibasahi embun dari
wallpaper Windows Vista. Ia lalu beranjak mem-
buka pintu kamarnya. "Sudah pulang Bibi"" Ramah Linor dengan
berusaha tersenyum. "Sudah. Sudah dapat semua yang kaupesan."
"Spasiba Balshoi Bibi. Ayo kita makan malam
bersama lagi." "Ayo. Kebetulan itu Ayyas sudah pulang. Tadi
kami bertemu di ujung Panvilovsky Pereulok."
Linor keluar dari kamarnya dan menutup pintu
kamarnya pelan. U memandang ke arah Ayyas.
Pada saat yang sama Ayyas sedang menoleh ke
arahnya. Pandangan mereka bertemu. Linor ber-
usaha tersenyum, tapi tetap terasa dingin.
"Hai, kak dela" (Apa kabar")" Sapa Linor.
"Alhamdulillah, Ya Vso Kharasho! (Saya
baik-baik saja)" Jawab Ayyas.
"Bungkusan apa yang ada di depanmu itu""
"Biasa roti pirozkhi."
"Aku minta Bibi Margareta membeli
makanan. Kita bisa makan bersama."
"Boleh. Mana Yelena""
"Dia ada di kamarnya. Bibi tolong panggil
Yelena." Bibi Margareta melangkah ke kamar Yelena,
tak lama kemudian Yelena datang.
"Linor, ini sudah aku temukan tempat men-
ginap yang nyaman untukmu. Letaknya di jan-
tung kota Kiev." Ujar Yelena dengan wajah
berseri-seri. "Apa nama penginapannya""
"Sunflower B&B Hotel. Letaknya di Kostolna
Street. Tak jauh dari stasiun metro Maydan Neza-
lezhnosti. Di sebelah utaranya, tidak begitu jauh,
berdiri megah St. Michael's Monastery yang ter-
kenal dengan kubah emasnya itu."
"Baik itu tempat menginap yang tepat."
Tiba-tiba Ayyas menyela, "Kalian mau pergi
ke Kiev"" "Hanya Linor, aku tidak." Jawab Yelena.
"Kapan kau berangkat ke Kiev Linor"" Tanya
Ayyas. "Besok siang." Jawab Linor sambil mengun-
yah kentang goreng yang telah ia celupkan ke
cairan moyones. "Pakai pesawat"" m
"Ya." "Ada tugas liputan ya"" "Bena
r." "Enak ya jadi wartawan, bisa ke mana-mana
dan bisa bertemu banyak orang penting."
"Ya semua pekerjaan ada enaknya ada tidak
enaknya." "Berapa hari kau di sana""
"Tiga atau empat hari. Kau sendiri bagaimana
penelitianmu"" "Lumayan. Saya sudah mendapatkan tujuh pu-
luh lima persen dari data yang saya perlukan.
Masih dua puluh lima persen lagi. Satu bulan lagi
semoga sudah dapat seratus persen. Setelah itu
saya bisa jalan- jalan melihat-lihat semua sudut
kota Moskwa, bahkan ke kota-kota lain yang
tidak kalah pentingnya."
"Jangan lupa, kamu harus mengunjungi St.
Petersburg. Itu kota yang sangat indah. Pernah
menjadi ibukota Rusia sebelum revolusi 1917.
Pergilah ke sana dan kamu akan menemukan pe -
mandangan yang menakjubkan." Linor memberi
saran. "Linor benar, kamu harus mengunjungi kotan-
ya para tsar Rusia itu. Banyak orang mengatakan,
bahwa seseorang belumlah dianggap menginjak
tanah Rusia jika belum menginjakkan kakinya di
kota St. Petersburg." Yelena menguatkan.
"Ya itu sudah saya rencanakan. Ada saran
kota mana lagi""
"Kalau bisa mampirlah ke kota Novgorod, se-
belum ke St. Petersburg atau mungkin sesudah
dari sana. Kota Novgorod ini sangat bernilai se-
jarah, ia termasuk kota tua yang juga memiliki
banyak peninggalan, ada kremlin juga di sana."
Kata Linor. "Kalau saya menyarankan ke Smolensk. Se-
buah kota di dataran tinggi dengan pemandangan
yang menakjubkan. Kalau musim semi kau bisa
menyaksikan bunga-bunga yang indah
bermekaran."

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya nanti kalau cukup waktu dan cukup biava
saya akan mengunjungi tiga kota itu insya Allah
T Mereka makan malam sambil berbincang-bin-
cang tentang banyak hal. Suasana bertambah
hangat ketika Bibi Margareta ikut serta dengan
membawa empat cangkir teh hangat. Bibi Mar-
gareta banyak bercerita tentang masa mudanya,
juga percintaannya dan petualangannya sampai
ke Rusia. Bibi Margareta ternyata berasal dari de-
sa kecil di pinggir kota Voronezh, yang terletak
lebih dari 511 km di selatan Moskwa. Setelah
bercerita masa kecilnya Bibi Margareta banyak
bertanya kepada Ayyas tentang tempat di mana
Ayyas berasal. Tentang negaranya, desanya, or-
angtuanya dan banyak hal.
Dengan santai dan dengan senang hati Ayyas
bercerita tentang Indonesia. Ayyas bercerita
tentang bagaimana Indonesia merdeka. Tentang
Indonesia yang terdiri atas ribuan suku dan ba-
hasa. Tentang Indonesia yang memiliki lebih dari
tiga belas ribu pulau. Ayyas juga bercerita
tentang indahnya pantai Parangtritis. Pesona
Gunung Merapi yang terus mengepulkan asap.
Pemandangan dataran tinggi Ketep, Dieng, yang
siapa pun yang berada di sana seolah sampai di
tangga langit. Ayyas juga menceritakan ke -
hidupan desanya yang damai. Sawah-sawah yang
menguning bagai taburan emas. Dan kopi tubruk
yang tidak ada tandingannya di dunia ketika di
minum di pagi hari dengan pisang goreng yang
masih panas. Bibi Margareta mendengar cerita Ayyas
dengan mata berbinar dan mulut sedikit melongo.
Ketika Ayyas menyelesaikan ceritanya tentang
Indonesia. Bibi Margareta hanya mengucapkan
satu kalimat, "Interesno (Menarik)" 70
Malam itu berakhir dengan berakhirnya cerita
Ayyas tentang sebuah negeri yang indah bernama
Indonesia. Bibi Margareta sampai bermimpi
ingin ke sana. Ketika semuanya hendak bangkit
berdiri dan beranjak ke kamar masing -masing
Bibi Margareta berkata setengah berteriak, "Ada
sesuatu yang aku hampir lupa! "
"Apa itu"" Ayyas dan Yelena menyahut ham-
pir bersamaan. "Tadi sebelum hari gelap ada perempuan
muda ke sini. Dia mencari Ayyas." Jawab Bibi
Margareta. "Itu pasti dia." Sahut Yelena sambil men-
gedipkan mata pada Linor.
"Iya." Sahut Linor biasa saja.
"Dia siapa"" Ayyas penasaran.
"Yang mencium kamu di acara seminar."
Jawab Yelena membuat muka Ayyas memerah.
"O jadi perempuan muda itu kekasih kamu""
Tanya Bibi Margareta dengan wajah polos saja.
"Perempuan muda itu siapa Bibi" Saya tidak
tahu. Namanya siapa"" Gemas Ayyas.
"Namanya An.. Anas.. siapa ya aku agak lupa.
Maklum sudah tua." "Anastasia!"" Ayyas mengingatkan.
"Ya benar. Itu dia. Anastasia. Dia gadis yang
cantik dan sopan." Puji Bibi Margareta.
"Benarkan dia yang datang"" Sahut Yele
na menggoda. Ayyas tidak menanggapi, ia malah bertanya
pada Bibi, "Ada pesan darinya""
"Kamu diminta menemuinya. Katanya pent-
ing." Jawab Bibi Margareta.
"Segera temui dia. Dia telah menunggumu
dengan ciuman yang hangat. Lebih hangat dari
Vodka di musim dingin." Ledek Yelena.
"Sudahlah, kau ini berbicara apa Yelena.
Sudah, ayo kita istirahat. Jangan lupa berdoa
kepada Tuhan biar diberi mimpi yang indah."
Ujar Ayyas sambil berjalan ke kamarnya.
"Aku ingin malam ini bermimpi pergi jalan-
jalan ke Indonesia." Sahut Bibi Margareta dengan
wajah bahagia. Ayyas menyahut, "Jangan lupa ajak serta
Linor dan Yelena. Dan jangan lupa mampir ke
rumahku ya Bibi. Aku menunggumu dengan
makanan paling enak yang telah disiapkan oleh
ibuku." "Baik. Dengan senang hati." Bibi Margareta
tersenyum lebar. Mendengar dialog itu, Yelena dan Linor juga
tersenyum tanpa komentar.
*** Sampai tengah malam Linor belum juga tidur.
Sesungguhnya nuraninya paling dalam tidak
menyetujui semua yang ia lakukan selama ini.
Tetapi akal pikirannya selalu melibas nuraninya
itu tanpa belas kasihan. Ia selalu teringat pesan
ayahnya untuk berjuang menegakkan kedaulatan
negeri yang dijanjikan dan memerangi kejahatan
yang mengancam. Ayahnya bahkan memaksanya
masuk ke dalam persaudaraan Gush Emunim.
Menurut ayahnya Gush Emunim yang artinya
adalah "Blok Kaum Beriman" merupakan
komunitas orang-orang yang menjalankan
keagamaan Yahudi paling benar. Ayahnya sangat
membanggakan Rabbi Simcha Hakohen Kook
sang pendiri Gush Emunim. Berkali-kali ayahnya
memintanya untuk mengulang-ulang ucapan
Rabbi Kook yang menegaskan, bahwa bangsa
Yahudi berperang melawan kekuatan jahat.
Tak ada yang diperangi oleh Yahudi kecuali
kejahatan. Orang-orang Palestina sampai anak-
anak kecil Palestina yang ditembaki tanpa ampun
oleh Yahudi Israel adalah kekuatan jahat yang
memang harus dihapuskan. Seluruh orang
Palestina dan siapa saja yang mendukung
Palestina adalah kejahatan yang mengancam,
yang karenanya harus dihapuskan dengan segala
cara, tanpa kompromi dan tanpa ampun
Selama ini, setiap kali nuraninya yang paling
dalam memrotes apa yang dilakukannya, ia selalu
membungkamnya dengan doktrin-doktrin yang ia
terima dari Gush Emunim. Dengan mengingat
doktrin-doktrin itu, ia merasa segala tindakannya
benar. Apa pun yang ia lakukan tidak salah. Ter-
masuk ketika harus membunuh orang yang tidak
bersalah samasekali. Malam itu nuraninya kembali bicara. Nuran-
inya mengingatkan, Ayyas tidak seharusnya difit-
nah. Ayyas orang yang baik. Yang kerjanya han-
ya membaca, melakukan penelitian dan
beribadah. Dia tidak berhubungan dengan aktiv-
itas apa pun yang mengancam kedaulatan negeri
yang dijanjikan. Dia bahkan baik kepada siapa
pun yang ditemuinya. Bibi Margareta senang
padanya. Dia juga yang menolong Yelena. Dan
juga menolong dirinya ketika nyaris putus na-
fasnya karena dicekik oleh Sergei Gadotov.
Linor langsung membungkam nuraninya, bah-
wa salahnya Ayyas adalah satu; dia tidak Yahudi.
Karena tidak Yahudi maka tidak ada masalah
apapun jika dikorbankan untuk kepentingan
Yahudi. Doktrin Gush Emunim kembali ia
gumamkan. Nuraninya kembali ingin bicara tapi
cepat-cepat ia libas. Ada pergulatan dalam jiwa
Linor. Tetapi setan-setan yang mendukung dok-
trin Gush Emunim tidak tinggal diam. Setan-
setan itu samasekali tidak memberi kesempatan
bagi nurani dan akal sehat Linor untuk bersuara.
Setan-setan itu malah kemudian membisikkan
sesuatu yang mengusik nafsu Linor. Nafsu Linor
bergerak. Linor melihat di layar laptopnya.
Ruang tamu atau ruang tengah lengang. Pintu
kamar Yelena tertutup rapat. Pintu kamar Ayyas
juga tertutup rapat. Linor lalu melihat kamar
Ayyas. Nampak Ayyas sedang shalat. v
"Inilah saatnya. Aku yakin dia belum pernah
menyentuh perempuan. Aku ingin aku adalah or-
ang yang pertama disentuhnya. Dan nanti jika dia
dipenjara dia bisa menghibur dirinya pernah mer-
asakan keindahan dengan aku. Dan dia
samasekali tidak tahu bahwa akulal\ yang seben-
arnya menjebloskannya ke penjara." Gumam
Linor sambil tersenyum tipis.
Linor mengganti pakaiannya. Ia ingin men-
genakan pakaian yang beberapa waktu yang
lalu gagal ia perlihatkan pada Ayyas. Ia mengenakan
gaun jersey putih halus berpayet. Dengan men-
genakan gaun itu ia yakin memiliki sihir yang
mampu meluluhkan iman lelaki mana pun yang
melihatnya. Barulah setelah itu ia menutupinya
dengan mantel tidurnya yang rapat. Tidak lupa ia
menggunakan parfum terbaiknya.
Linor menuju pintu kamar Ayyas. Terkunci.
Linor tersenyum. Kali ini ia tidak harus men-
getuk pintu. Ia membuka pintu kamar Ayyas
yang terkunci dengan alat andalannya. Perlahan
pintu kamar Ayyas terbuka. Ia memasukkan
kembali alat itu ke dalam mantelnya. Ayyas nam-
pak sedang sujud. Linor lalu mengunci pintu
kamar Ayyas dari dalam sehalus mungkin. Ia
melepas mantelnya dan meletakkannya di
sandaran kursi dan ia duduk di kursi yang berada
tepat di belakang Ayyas yang sedang shalat.
Linor menunggu Ayyas menyelesaikan
shalatnya. Saat itu Ayyas sedang sujud di rakaat terakhir
dalam shalatnya. Ia merasakan ada yang memas -
uki kamarnya. Ia menyabarkan dirinya untuk
menyelesaikan shalatnya yang tinggal ujungnya
saja. Begitu mengucapkan salam. Ayyas menen-
gok ke arah belakangnya, seketika ia terperanjat
kaget bukan kepalang. "AstaghfirulUhaVcidzim"" Seru Ayyas.
Linor tetap duduk di tempatnya. Ia tersenyum
saja melihat Ayyas kaget melihatnya. Ia menung-
gu Ayyas bangkit dari duduknya di lantai.
"Kau masuk kamarku tanpa izin!"
"Aku sudah izin, hanya kau tidak
mendengarnya. Dan aku percaya kau
mengijinkan!" "Bagaimana kau masuk, padahal pintu itu ter-
kunci!"" "Kau tidak menguncinya. Atau kau lupa
menguncinya. Aku masuk begitu saja!"
"Dengan hormat aku minta kau keluar
sekarang!" 1 "Setelah kau membantuku. Aku perlu
bantuanmu!" "Kau tidak harus memasuki kamarku kalau
ingin aku membantumu."
"Justru aku ingin kau membantuku di kamar-
mu ini." "Aku tidak paham maksudmu""
"Dengan melihatku berpakaian seperti ini, kau
tidak juga paham""
"Ya aku paham""
"Apa aku juga harus melepas semua yang
kukenakan sampai kau paham""
Ayyas terhenyak. Ia paham maksud Linor. Dia
juga lelaki normal. Jantungnya berdegup ken-
cang. Aliran darahnya menghangat. Tidak akan
ada orang yang melihat jika ia melakukan ajakan
Linor. Keluarganya juga tidak akan tahu kalau ia
melakukan itu. Orang takut kehormatannya jatuh karena ket-
ahuan melakukan perbuatan yang diharamkan itu.
Tetapi kehormatannya tidak akan jatuh, ia rasa,
karena tidak akan ada yang mengetahuinya.
Ayyas melihat Linor yang perlahan bangkit dari
duduknya. Ayyas juga bergerak bangkit dari du-
duknya di atas lantai. Saat itu akal sehat Ayyas
nyaris tertutupi oleh apa yang dilihatnya.
Ayyas hampir tergelincir dalam dosa besar.
Shalatnya hampir saja sia-sia belaka. Tiba-tiba ia
teringat bahwa tetap ada yang melihat, tetap saja
ada yang menyaksikan apa yang akan dilak-
ukannya dengan Linor, yaitu Allah Yang Maha
Melihat. Allah Maha Melihat. Alangkah celakanya dirinya jika sampai
melakukan dosa besar yang dilarang agama itu.
Alangkah meruginya, jika ia melakukannya, dan
kemudian semua amal-amal saleh yang ia jaga
mati -matian selama ini kemudian menjadi ter-
hapus dan sia-sia belaka.
Ayyas kembali memegang kendali akal
sehatnya. "Jadi kau mau"" Lirih Linor dengan senyum
penuh kemenangan.

Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mendekatlah!" Jawab Ayyas dengan suara
bergetar. Linor mendekat.
"Berbaliklah, aku ingin melihat punggung-
mu!" Ayyas semakin gemetar ketika Linor begitu
dekat dengannya. Linor mengikuti perintah Ayy-
as. Perempuan muda itu membalikkan tubuhnya.
Begitu melihat punggung Linor, Ayyas langsung
mengetuk satu titik di punggung Linor dengan
pukulan cukup keras. Dan akibatnya, "Aaa!"
Linor menjerit keras lalu pingsan. Ayyas segera
menangkap tubuh Linor supaya tidak jatuh berde -
bam ke lantai. Ayyas menurunkan tubuh Linor perlahan ke
lantai. Ia lalu mengambil mantel Linor yang ada
di sandaran kursi. Ayyas berusaha memakaikan
mantel itu ke tubuh Linor. Setelah itu Ayyas
menuju pintu. Pintu itu terkunci. Kuncinya tidak
ada di tempatnya. Ia berpikir sejenak. Ia men-
duga Linor memasukkan kunci pintu kamarnya
ke saku mantelnya. Ia cari kunci itu di saku man-
tel Linor. Dan benar. Ayyas membuka pintu kamarnya, lalu
menyere t tubuh Linor dan membiarkan tubuh itu
terkulai begitu saja di atas karpet ruang tamu.
Setelah itu ia menutup pintu kamarnya. Mengun-
cinya. Dan menggeser meja di kamarnya sebagai
pengganjal pintu kamarnya.
Setelah itu Ayyas menangis tersedu-sedu.
"Hampir saja ya Allah. Oh hampir saja ya Al-
lah!" Rintihnya sambil menangis. "Rabbana
zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tar-
hamna lanakunanna minal khasiriin." Ayyas terus
mengulang-ulang doa itu dengan airmata terus
meleleh. Ia sadar Aliahlah yang menyelamatkan dir-
inya. Imannya ternyata masih lemah. Kekuatan
imannya belum kuat untuk menghadapi godaan
setan yang tampil dalam pesona kemolekan per-
empuan seperti Linor. Ia yang baru saja shalat,
yang baru saja mengisi kekuatan iman, begitu
setan mendatangkan Linor di kamarnya, ia lang-
sung tidak berdaya. Kalau bukan karena Allah,
maka dirinya akan benar-benar dihina oleh setan
untuk selama-lamanya. Ia juga sadar, bahwa berhijrah ke tempat yang
lebih baik, harus dilakukan secepat mungkin.
Bahkan tidak boleh ditunda samasekali meskipun
cuma satu malam. Semestinya, jika ia tetap
bermalam di rumah Pak Joko setelah makan
malam, dan baru kembali ke apartemennya
keesokan harinya untuk merapikan dan
mengambil barang-barangnya, maka kejadiannya
akan berbeda. Ia akan lebih selamat dari tipu
daya setan. Dengan adanya kejadian yang nyaris membuat
dirinya terhina seumur hidup itu, keputusannya
untuk segera meninggalkan tempat di mana
selama ini ia tinggal semakin bulat. Ia sudah ber-
sumpah mulai besok siang, ia tidak akan mengin-
jakkan kakinya di apartemen itu lagi.
Setelah airmatanya mulai berhenti meleleh, ia
mengambil air wudhu untuk kembali shalat dan
bersujud kepada Allah. Ia harus terus minta
pertolongan Allah. Ia teringat kalimat Ibnu
Athaillah, "Kalau kamu tahu bahwa setan tidak pernah
melupakanmu dan terus berupaya membinasakan
kamu, maka kamu janganlah lupa kepada Tuhan
yang nasibmu berada di tangan-Nya."
*** Kira-kira tiga jam Linor pingsan. Menjelang
pukul empat dini hari, ia siuman. Awalnya ia
kaget tegeletak di lantai ruang tamu. Setelah
ingatannya benar-benar pulih, ia sadar apa yang
telah terjadi. Ia diminta membalikkan badan oleh
Ayyas dan tiba-tiba punggungnya disodok sangat
keras dan ia pingsan. Ia tidak tahu setelah itu apa
yang dilakukan Ayyas kepada dirinya.
Tiba-tiba ia sangat marah. Ia ingin tahu apa
yang telah diperlakukan Ayyas pada dirinya
ketika pingsan. Apakah pemuda itu mem-
perkosanya" Jika benar, ia akan menuntut
pemuda itu. Ia tidak mau hanya dijadikan boneka
oleh pemuda itu. Linor bangkit. Punggungnya masih sedikit
sakit. Ia melangkah ke kamarnya. Ia buka
laptopnya. Dan ia putar ulang rekaman dari kam-
era yang ia pasang di kamar Ayyas. Ia melihat
ulang apa yang terjadi. Mulai sejak ia masuk ke
kamar itu . Ia menguncinya dari dalam. Dan
seterusnya sampai ia membalikkan badan. Ayyas
ternyata menotok punggungnya dengan keras.
Ayyas menjaga tubuhnya agar tidak jatuh mem-
bentur lantai. Ayyas lalu mengenakan mantel
yang ia letakkan di sandaran kursi. Lalu Ayyas
menyeretnya keluar. Kemudian Linor melihat rekaman yang di ru-
ang tengah. Nampak dirinya diseret oleh Ayyas
dan dibiarkan telentang di atas lantai begitu saja.
Ayyas lalu masuk ke kamarnya.
Pemuda itu samasekali tidak menodai dirinya.
Samasekali. Kecantikan dirinya yang ia bang-
gakan samasekali tidak menarik pemuda itu. Pe-
nampilannya yang ia anggap akan meruntuhkan
semua iman lelaki yang melihatnya samasekali
tidak menggoyahkan iman pemuda itu. Ia nyaris
tidak percaya melihatnya. Ia juga nyaris tidak
percaya ada pemuda yang begitu teguh menjaga
kesuciannya. Tiba-tiba ia merasa kerdil dan hina. Ia
merayu -rayu. Tapi rayuan itu samasekali tidak
ada gunanya. Ia bertanya pada dirinya, apa
sebenarnya tujuannya merayu pemuda itu. Kalau
mau bersenang-senang dengan lelaki bukankah ia
bisa ke klub -klub malam di Tverskaya" Kenapa
harus melakukan perbuatan konyol seperti itu"
Dan betapa memalukan dirinya diseret seperti
bangkai anjing penyakitan seperti itu. Lalu dit-
inggalkan begitu saja. Ia merasa dihina. Dan ia
akan segera membalasnya. Tak l
ama lagi ia akan membuat pemuda itu diseret bagai bangkai anjing
oleh para polisi yang menangkapnya. Ya, tak
lama lagi setelah bom meledak di Metropole
Hotel dan mengguncang kota Moskwa.
*** 29. Pergi ke Kiev Pagi itu, tak ada tegur sapa antara Ayyas dan
Linor ketika bertemu. Ayyas telah rapi ia menen-
teng tas ranselnya. Demikian juga Linor, juga tel-
ah rapi dan siap pergi dengan membawa tas
ransel dan koper. Keduanya bertemu di ruang
tamu. Keduanya nampak sama-sama ingin keluar
pagi itu. Linor telah berjalan selangkah lebih
dulu. Ia mengenakan sepatu musim dinginnya.
Ayyas menunggu dengan wajah dingin. Setelah
Linor selesai memakai sepatunya, barulah Ayyas
bergegas mengamb il sepatunya.
Itu masih pagi sekali. Belum jam tujuh.
Yelena dan Bibi Margareta belum terdengar
suaranya. Linor melangkah membuka pintu. Sebelum
keluar, dengan muka marah dan dingin, Linor
berkata kepada Ayyas, "Hei bodoh, tunggu pem-
balasanku! Ingat, tunggu pembalasanku!" Ia lalu
membanting pintu dan melangkah cepat.
Ayyas tersentak dengan ketidakramahan Linor
pagi itu. Ia menyerahkan semuanya kepada Al-
lah. Ia jadi teringat bagaimana marahnya Zu-
laikha kepada Yusuf ketika Yusuf tidak
memenuhi keinginan Zulaikha. Yusuf sampai
menderita harus dipenjara bertahun-tahun.
Apakah dirinya akan mengalami nasib seperti
Yusuf, ia akan dipenjara di Moskwa ini karena
tidak mau memenuhi ajakan Linor" Hanya ke -
pada Allah ia kembalikan segala urusan.
Pagi itu tujuan Ayyas adalah rumah Pak Joko.
Ia ingin makan pagi dengan Pak Joko! Setelah
shalat Subuh ia di-sms oleh Pak Joko untuk
datang makan pagi bersama. Setelah itu ia akan
ke MGU menemui Doktor Anastasia Palazzo. Ia
merasa tidak bijak jika terus bersikap seperti
anak-anak pada Doktor Anastasia Palazzo. Ia
tetap harus menemui pembimbingnya itu. Dan ia
harus berterus terang bahwa ia tidak suka dengan
ciuman yang dilakukan Doktor itu setelah semin-
ar tentang Ketuhanan waktu itu. Ia harus men-
jelaskan dengan detil apa yang menjadi prinsip
dan pegangan hidupnya yang akan ia pegang teg-
uh sampai ajal menjemput. Dengan penjelasan
yang luas ia berharap Doktor Anastasia akan
maklum dan tidak akan mengulangi lagi per-
buatan yang sangat tidak diinginkannya itu.
Itu yang ia rasa harus ia lakukan.
Apalagi Doktor Anastasia Palazzo sampai
mendatangi apartemennya. Itu berarti ada hal
yang memang penting yang ingin disampaikan
doktor muda itu kepada dirinya. Walau ba-
gaimana pun, setelah ia menerima Doktor
Anastasia sebagai pembimbingnya selama di
Moskwa mewakili Profesor Abraham Tomskii, ia
telah mengakui doktor muda itu sebagai gurunya.
Guru yang memberikan bimbingan penelitiannya.
Dan sebagai santri yang pernah ngaji kitab
TalimulMutdallim, ia tetap harus menghormati
gurunya. Yang baik ia ambil darinya, yang tidak
baik ia buang saja. Sementara Linor, pagi itu pergi untuk
mengamankan segala data yang berkaitan dengan
aktivitasnya sebagai agen Israel selama ini.
Segala data dan berkas itu telah ia masukkan ke
dalam koper yang dibawanya. Ia akan me -
mindahkannya ke sebuah tempat yang tidak ada
seorang pun yang tahu kecuali dirinya sendiri.
Ia harus mengamankan segala data dan segala
sesuatu yang memancing kecurigaan pihak
keamanan Rusia, karena tidak lama lagi akan ada
pemboman Metropole Hotel yang sudah diran-
cang dengan detil oleh Ben Solomon dan anak
buahnya. Dan semua media, juga pihak keaman-
an Rusia, dan nantinyal opini dunia akan digiring
bahwa pelakunya adalah seorang pemuda In-
donesia bernama Muhammad Ayyas, yang
ternyatai anggota jaringan Islam garis keras yang
berbahaya. Pihak keamanan Rusia akan diarahkan untull
menggeledah tempat tinggal Ayyas. Dan di
kamar Ayyas akan] ditemukan ransel berisi ba-
han peledak dan buku -buku Islam, j Tidak mus -
tahil pihak keamanan Rusia juga akan
menggeledah kamar Yelena dan Linor. Karena it-
ulah Linor sudah bersiap - 1 siap dan
mengamankan semuanya. Ia hanya meninggalkan
barang-barang yang samasekali tidak akan mem-
buat pihaki keamanan curiga.
Setelah meletakkan kopernya di tempat yang
hanya ia yangl tahu, Linor akan langsung terbang
ke Kiev, ibu kota Ukraina"! S
udah tiga kali ibunya memintanya untuk datang. Ia tidala mem-
beritahu Ben Solomon bahwa dirinya terbang ke
Kiev. Ia hanya minta izin saat peristiwa pengebo-
man itu terjadi. Ya, saat bom mengguncang Mok-
swa ia akan berada di luar jauh sana. Ia baru akan
ke Moskwa ketika Ayyas sudah dipenjara-dan ia
akan menjenguk anak muda itu di saat anak muda
itu terlihat putus asa dengan nasibnya. Barulah ia
akan mengatakanj kepadanya, "Inilah
pembalasanku!" *** Di ruang Profesor Tomskii, nampak Doktor
Anastasia sedang sibuk di depan laptopnya. Ia
sedang sibuk mengakses data ke beberapa per-
pustakaan di dunia. Data-data itu ada yang bisa
dia down load, atau dia copy, ada juga yang
sifatnya hanya bisa ia baca. Ia sedang sibuk men-
download dan sesekali menulis beberapa hal
penting dari data yang hanya bisa ia baca.
Meskipun sibuk seperti itu, ternyata konsen-
trasi Doktor Anastasia sebenarnya tidak sepen-
uhnya pada data-data yang sedang ia kumpulkan.
Sebagian pikirannya terus tidak lepas dari Ayyas.
Siang itu adalah batas waktu dia harus memberi
jawaban kepada pihak stasiun televisi tentang
kesediaan Ayyas dan dirinya. Untuk dirinya tidak
ada masalah, dia jelas bersedia. Sedangkan untuk
Ayyas, ia tidak tahu. Tidak ada kabar dari Ayyas.
Ia yakin ibu-ibu tua yang ada di apartemen Ayyas
itu pasti menyampaikan pesannya kepada Ayyas.


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika pihak stasiun televisi menelponnya ia
akan mencoba minta tambahan waktu sampai
malam. Pagi-pagi sekali ia akan memberi kabar.
Ia sudah mengambil keputusan bulat, jika sampai
sore Ayyas tidak juga memberi kabar dan tidak
juga datang, ia akan kembali mendatangi aparte-
men Ayyas. Jika bertemu di sana, dia bersyukur.
Jika ternyata Ayyas tidak ada di apartemen, ia
akan menunggu sampai Ayyas pulang.
"Doktor Anastasia, apa kabar"" Seseorang
menyapanya. Karena kedua matanya tertuju
sepenuhnya pada layar laptop, dan pikirannya
mengembara ke mana-mana, Anastasia
samasekali tidak sadar kalau ada seseorang
memasuki ruangan itu dan kini orang itu telah
berdiri tak jauh di hadapannya. Dokter Anastasia
mengangkat pandangannya dan ia terkesima
seketika. "Oh kau!" Kata Doktor Anastasia Palazzo
setengah tidak percaya. "Ya. Kenapa Doktor seperti kaget begitu""
Jawab orang itu dengan tenang, yang tak lain
adalah Muhammad Ayyas. "Aku kira kau tidak akan datang lagi" Aku
kira kau sudah pulang ke Indonesia atau ke In-
dia"" Doktor Anastasia Palazzo menjawab seken-
anya. "Di mana saja kau selama ini" Kau tidak
memberi kabar, tidak sms, juga tidak menelpon.
Ditelpon tidak bisa, disms tidak dibalas. Ada apa
denganmu"" Lanjut Anastasia sambil bangkit
dari tempat duduknya. Doktor muda itu nampak
bahagia dengan kedatangan Ayyas.
"Maafkan saya Doktor, agak lama saya tidak
memberi kabar, saya ada sedikit masalah."
"Masalah apa""
"Saya sedang marah kepada seseorang."
"Marah kepada seseorang" Apa hubungannya
dengan kehadiranmu ke sini""
"Sangat berhubungan. Sebab, terus terang
saja, saya marah pada Anda, Doktor""
"Marah pada saya" Apa yang saya lakukan se-
hingga membuatmu marah""
"Anda telah berlaku tidak patut pada saya."
"Apa itu" Saya tidak paham."
"Anda telah mencium saya dengan semena-
semena." "Jadi karena ciuman itu"!" Anastasia kaget.
"Ya." "Itu biasa saja. Aku pikir kau suka."
"Aku tidak mau mendapat ciuman dari perem-
puan yang tidak halal bagi saya. Anda bukan
siapa-siapa saya. Bukan ibu saya, bukan kakak
saya, dan bukan adik saya. Anda tidak halal bagi
saya. Anda tidak boleh mencium saya. Dan saya
tidak boleh mencium Anda. Kalau Anda menci-
um saya atau saya mencium Anda, kita telah
menodai kesucian diri kita. Kita telah melakukan
dosa. Itu ajaran agama saya."
"Kalau istri mencium suaminya""
"Boleh. Halal. Bahkan mendatangkan pahala
dari Tuhan." "Maafkan aku kalau begitu. Aku tidak tahu.
Aku tidak akan mengulanginya, kecuali nanti
kalau aku suatu saat halal bagimu." Kata Doktor
Anastasia Palazzo pelan. Hati Ayyas bergetar mendengar kata-kata
Doktor Anastasia Palazzo. Kalimat terakhirlah
yang membuat hatinya bergetar. Seolah doktor
cantik itu berharap, suatu saat akan menjadi per-
empuan yang halal baginya.
"Baiklah. Kita lupakan saja yang sudah ber-
lalu. Sekarang kalau boleh saya mau tanya, apa
benar kemarin petang Doktor mendatangi
apartemen saya" Dan berpesan pada Bibi Mar-
gareta ada sesuatu yang penting yang ingin Dokt-
or sampaikan kepada saya""
"Benar. Aku datang ke sana, karena aku tidak
menemukan cara lain untuk menghubungimu.
Memang ada hal sangat penting yang ingin aku
sampaikan. Ada stasiun televisi yang mengun-
dang kita. Mengundang aku dan kamu untuk talk
show di acara 'Rusia Berbicara' untuk membin-
cangkan masalah ketuhanan seperti yang ada di
seminar itu. Dua hari lagi acaranya. Kau bisa
ya"" "Menurut Doktor saya harus bagaimana""
"Datang. Nanti bersama saya."
"Si Viktor Murasov yang pembeo Nietzsche
itu datang juga" "Mungkin. Saya tidak tahu persis. Yang jelas
kita berdua diundang untuk jadi narasumber."
"Baiklah Doktor. Saya siap."
"Terima kasih. Saya senang sekali. Saya akan
langsung memberitahu Direktur Programnya."
"Itu acaranya pagi, atau sore, siang atau
malam"" "Kalau tidak salah siang. Tepat pas waktu
makan siang. Nanti saya pastikan."
"Baiklah." "Ini sudah saatnya makan siang. Kau mau aku
traktir makan siang di stolovayaV Tanya
Anastasia dengan mata berbinar.
"Tidak. Terima kasih Doktor. Saya masih
kenyang. Seb elum ke sini tadi saya baru makan
di KBRI. Saya mau pesan teh panas pada Bibi
Parlova saja." "O begitu. Kalau begitu biar saya yang pesan
pada Bibi Parlova. Kau duduk saja dan bisa mu-
lai melanjutkan penelitianmu."
"Baik. Terima kasih Doktor." Ayyas heran
dengan sikap Anastasia yang begitu ramah
padanya melebihi biasanya. Doktor itu bahkan
sampai meladeninya memesankan teh panas pada
Bibi Parlova. Apakah benar ledekan Yelena itu"
Ia jadi ingat setelah ia panjang lebar menjelaskan
tentang jenis - jenis atheisme, Yelena
berkomentar, "Penjelasanmu runtut dan mema-
hamkan. Bahkan bisa membuat orang terpana.
Wajar kalau pembicara yang di sampingmu yang
cantik itu sampai menciummu begitu kau selesai
berbicara . Kelihatannya dia jatuh cinta padamu.
Siapa namanya" Anastasia...""
Apakah sikap Anastasia itu adalah tanda-tanda
bahwa dia jatuh cinta padanya"
Ayyas beristighfar. Ia memohon kepada Allah
agar dirinya dilindungi dari godaan setan yang
terkutuk. Juga memohon kepada Allah agar
dilindungi dari godaan perempuan yang sering
membuat tak berdaya kaum lelaki di mana saja.
Ia merasa, setelah lolos dari sergapan setan
melalui Linor, ujian berat berikutnya nampaknya
akan datang melalui Anastasia Palazzo yang tak
kalah jelita dan menariknya.
*** Salju baru berhenti turun ketika Linor tiba di
Bandara Internasional Boryspil. Hanya masih ada
satu dua butir salju yang jatuh melayang dari
langit. Linor langsung menaiki FM Taxi begitu
keluar dari bandara. Hari mulai gelap. FM Taxi
itu meluncur ke utara menuju tengah kota Kiev
yang jaraknya tidak kurang dari 40 km dari
Boryspil. Linor tidak menuju Sunflowe B&B Hotel sep -
erti yang disarankan oleh Yelena. Hotel model itu
kurang cocok untuk seorang agen seperti dirinya.
la lebih suka untuk meletakkan tasnya di
Shreborne Guest House yang letaknya tak jauh
dari stasiun metro Arsenalna, dan dari sungai
Dnipro yang ada di sisi timur kota Kiev.
Tujuan Linor terbang ke ibu kota Ukraina
bukan untuk menginap di hotel, atau untuk se-
buah operasi intelijen. Samasekali tidak. Tujuan
sebenarnya adalah untuk menemui ibunya yang
sudah hampir satu tahun tidak bertemu
dengannya. Untuk menemui ibunya ia tidak mau
ada satu agen pun yang tahu, termasuk Ben
Solomon. Ia memiliki lima paspor dari lima negara
dengan nama yang berbeda-beda, identitas yang
berbeda dan wajah yang sedikit berbeda. Agen
yang lain tahunya ia memiliki empat paspor, ter-
masuk paspor Rusia. Ada satu paspor yang
sangat ia rahasiakan, dan itu adalah paspor
yangldni ia gunakan untuk memasuki Ukraina
untuk menemui ibunya. Jika di paspor Rusia
namanya adalah Linor dan ia juga memiliki ID
Card resmi dari Pemerintah Rusia dengan nama
Linor, maka untuk paspor yang ia gunakan
memasuki Ukraina ia memilih nama Sofla Cor-
sova, berkebangsaan Belarusia.
Sofia adalah nama yang diberikan oleh ibunya
untuknya. Dan Corsov adalah nama
kakeknya, ayah ibunya. Nama ibunya sendiri sesungguhnya
adalah Ekaterina, yang lahir di kota Ratomka,
Belarusia. Lengkapnya Ekaterina Corsova Fyo-
dorovna. Tetapi oleh ayahnya nama ibunya itu
diganti menjadi Shim'ona Jelinek agar lebih nam-
pak kental Yahudinya. Nama ayahnya sendiri adalah Eber Jelinek.
Dan namanya sendiri yang ada di dokumen sejak
kecil adalah Sarah Jelinek. Itu namanya yang
sebenarnya, karena itu adalah nama pemberian
ayahnya dan mengikut kepada nama keluarga
ayahnya. Dari lima paspor yang ia miliki, salah
satunya memakai nama Sarah Jelinek, berke -
bangsaan Polandia. Jadi dari data dan realitas yang ia tahu,
meskipun sejak usia dua belas tahun ia hidup di
Moskwa dan hidup sebagai orang Rusia serta
diakui sebagai warga Rusia, ia sesungguhnya
adalah berdarah Belarusia dan Polandia. Tepat-
nya berdarah Yahudi Belarusia dan Polandia.
Ayahnya sering mengatakan, kalau darah
ayahnya adalah Yahudi tulen yang masih terjaga
darah ras Yahudinya. Dan karena ayahnya adalah
Yahudi tulen ia sangat bangga menjadi anak
ayahnya yang dengan sendirinya berarti ia
Yahudi tulen. Ia merasa menjadi manusia paling
beruntung karena ditakdirkan menjadi Yahudi,
yang menurut para rabi dan para hakhom, Yahudi
adalah manusia pilihan Tuhan di atas muka bumi
ini. Setelah istirahat sebentar di kamar eksekutif
Shreborne Guest House, Linor menghubungi
penyewaan mobil. Ia menyewa mobil sedan
hitam untuk beberapa hari. Malam itu juga ia me-
luncur ke arah selatan, meninggalkan kota Kiev.
Ia mengendarai mobil sedan hitam itu menuju se-
buah kawasan Pyrohovo yang terletak delapan
kilometer dari kota Kiev.
Sampai di Pyrohovo Linor membawa mo-
bilnya memasuki jalan Horodotska. Ia mencari
apartemen bernuansa Romawi. Tak lama kemudi-
an ia menemukan apartemen itu. Perlahan ia
mengarahkan mobilnya memasuki tempat parkir
dan ia langsung menuju lantai tujuh. Tepat di de -
pan pintu 7011 Linor menelpon ibunya. Ketika
ibunya menanyakan di mana keberadaannya,
Linor mengatakan, "Mama, bukalah pintu, aku
berada tepat di depan pintu apartemen Mama."
Pintu terbuka. Seorang perempuan yang be-
lum begitu tua muncul dari balik pintu. Sebagian
rambut perempuan tua itu telah memutih, tetapi
kulit wajahnya masih segar. Hidungnya
mancung, dan tatapan matanya tajam. Perempuan
itu langsung membuka tangannya lebar-lebar
sambil tersenyum. Linor menghambur ke pe-
lukannya dengan hati damai. Kini ia merasa dam-
ai dalam dekapan ibunya. Dulu saat masih remaja, ia selalu ingin lepas
dari ibunya, juga dari ayahnya. Setelah ia lepas
dan benar-benar hidup bebas, ia sering merasa
hatinya gelisah entah kenapa. Dan dalam
dekapan ibunya selalu merasa tenang. Seolah-
olah dada ibunya itu telah menyedot seluruh
gelisahnya. Setelah ayahnya meninggal dua tahun lalu
karena terkena kanker liver, ibunya hidup sendiri.
Ia memilih hidup di desa yang pernah menjadi
kenangan ibunya waktu remaja. Yaitu desa Pyro-
hovo, yang berada di pinggir selatan ibu kota
Ukraina. Menurut cerita ibunya sendiri, ibunya
memang lahir di Ratomka, Belarusia, tahun 1957.
Kakeknya adalah seorang dokter gigi yang
bekerja pada dinas kesehatan pemerintah. Seben-
arnya, kakeknya mengawali kariernya di Minsk,
tetapi dalam perkembangan kariernya, dia ditu-
gaskan di Ratomka sebagai ketua pengawas


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesehatan di kota itu. Dalam kondisi yang cukup
baik itulah ibunya dilahirkan.
Kakeknya orang Belarusia biasa yang pada
waktu muda dulu belajar ilmu kedokteran di
Universitas Negeri Moskwa. Neneknyalah yang
masih memiliki aliran darah Yahudi. Neneknya,
konon, termasuk Yahudi yang melarikan diri dari
Polandia dan bisa sampai di Moskwa dengan
selamat ketika PD II berkecamuk dengan sengit-
nya. Di Moskwa itulah neneknya bertemu dengan
kakeknya. Selanjutnya neneknya menikah
dengan kakeknya, dan terus ikut kakeknya ke
mana pun kakeknya pergi dan di mana pun
kakeknya berada. Dari pernikahan kakek dan neneknya itu lahir-
lah ibunya yang diberi nama Ekaterina. Dan tiga
tahun berikutnya, lahirlah bibinya yang diberi
nama Agneszka. Mereka berdua lahir di
Ratomka, tapi kemudian besar di Pyrohovo.
Menurut cerita ibunya, ketika ibuny
a memasuki usia sebelas tahun, kakeknya pindah ke Ukraina
karena adanya perselisihan yang serius dengan
pegawai dinas kesehatan kota Ratomka yang lain.
Kakeknya tidak bisa tenang dengan perselisi-
han itu, akhirnya memilih pindah ke Ukraina.
Kakeknya langsung mendapat kepercayaan me -
mimpin sebuah klinik kesehatan di Kiev, tetapi
'kakeknya memilih tinggal di luar kota Kiev. Te-
patnya di desa Pyrohovo. Se jak itu kakek, nenek,
ibu dan bibinya tinggal di desa Pyrohovo. Ibu
dan bibinya berkembang dan menghabiskan masa
remajanya di desa itu. Sayangnya rumah yang dulu ditempati ibunya
ketika masa remaja sudah dijual oleh kakeknya
sebelum meninggal. Dan kini rumah itu sudah
diratakan dengan tanah. Di atasnya telah di ban-
gun toko swalayan serba ada, semacam univer-
sam kalau di Moskwa. Akhirnya ibunya memilih tinggal di aparte-
men di jalan Horodotska. Apartemen itu ayahnya
yang membelikan, tapi diatasnamakan seorang
nenek tua penduduk Pyrohovo yang miskin dan
hidup sebatang kara. Nenek itu bernama Natasha,
dan kini tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya
sudah menyegel bahwa begitu Natasha mening-
gal, maka secara otomatis apartemen itu men jadi
milik ibunya yang dalam segel itu dianggap
sebagai satu-satunya pewaris nenek yang hidup
sebatang kara itu. Ayahnya sampai melakukan hal rumit seperti
itu demi mengamankan ibunya dari musuh-
musuh ayahnya yang tidak sedikit. Ayahnya
ingin agar ibunya dan segala yang dimiliki oleh
ibunya tidak terlacak oleh para intelijen mana
pun. Setelah ayahnya meninggal, ibunya lang-
sung menghilang dari peredaran. Teman-teman
ayahnya di Moskwa bahkan tidak tahu di mana
ibunya berada. Banyak yang beranggapan ibunya
juga telah meninggal bunuh diri karena frustasi.
Padahal ibunya kini hidup tenang di daerah Pyro-
hovo dengan harta peninggalan ayahnya yang
melimpah. "Kau selalu mengejutkan Mama." Kata Ma-
dame Ekaterina dengan mata berkaca-kaca kar-
ena terharu bahagia. Madame Ekaterina
mengendorkan pelukannya tapi kedua tangannya
yang mulai keriput itu memegang kepala Linor
dan menghadapkan ke wajahnya dengan penuh
lembut. "Aku ingin membuat Mama terkejut bahagia."
Jawab Linor sambil menatap mata ibunya dengan
penuh cinta. "Dan kau sudah berhasil melakukannya."
"Mama sehat-sehat saja""
"Ya. Seperti yang kaulihat. Kau- sendiri ba-
gaimana, Anakku""
"Linor baik-baik saja, Mama."
"Ah kenapa masih juga kau pakai nama itu.
Mama lebih suka kau memakai nama Sofia."
"Baiklah kalau bersama Mama, aku akan me -
makai nama Sofia." Kata Linor halus. Peran-
gainya sangat berbeda ketikal bersama orang
lain. Biasanya Linor selalu dingin dan kelihatan!
tidak peduli. Tetapi kepada ibunya Linor begitu
lembut dan J penuh perhatian.
Mereka berdua masuk ke dalam apartemen
dan menutup pintu. Ruang tamu apartemen itu
bernuansa Rusia klasik nanl mewah. Dindingnya
berwarna putih gading. Langit-langitnya A b erhias
ukiran khas Rusia yang berwarna keemasan.
Lampu | kristal yang indah menggantung di
tengah ruangan. Jendela j yang tertutup rapat di-
hiasi gorden yang indah dari sutra yang 1 disulam
dengan benang -benang emas. Siapa pun yang
memasuki ruang tamu itu akan merasa berada di
salah satu ruang pembesar kekaisaran Rusia abad
delapan belas. Itu juga yang dirasakan oleh
Linor. "Istirahatlah di kamarmu. Mama sudah mem-
persiapkannya sejak memintamu datang. Istira-
hatlah "dulu. Nanti akan Mama panggil untuk
makan malam bersama."
"Baik Mama." Linor langsung melangkah memasuki sebuah
kamar yang cukup besar. Itu adalah kamarnya.
Sudah beberapa kali ia tidur di kamar itu sejak
ibunya memutuskan untuk menghabiskan masa
tua di daerah Pyrohovo yang terletak di pinggir
kota Kiev itu. Linor merebahkan tubuhnya ke
kasur empuk. Tubuhnya terasa begitu dimanja
oleh kenyamanan kasur itu. Ia hampir terlelap, ia
teringat untuk mandi dengan air hangat.
Sudah tiga hari ia tidak mandi. Tidak mandi
beberapa hari adalah hal yang biasa ia lakukan di
musim dingin. Ia merasa cukup dengan member-
sihkan muka dan memakai bedak penyegar untuk tubuhnya, serta parfum
tubuh untuk pengharum. Itu sudah cukup. Tetapi
setelah tiga hari tidak mandi ia meras
a harus mandi agar tubuh terasa lebih segar. Maka Linor
pun hanyut dalam kenikmatan belaian air hangat
yang kesegarannya dapat ia rasakan sampai ke
seluruh tulang-tulang tubuhnya.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Madame
Ekaterina memanggilnya untuk makan malam.
Linor menuju meja makan dengan nafsu makan
yang menyala. Ibunya sudah duduk menunggu,
juga seorang perempuan yang sudah renta
bernama Natasha. Di atas meja nampak roti Ukraina yang masih
hangat. Di sampingnya ada sup jamur, ada
jugapay isi daging kelinci yang juga masih
hangat dan potongan-potongan keju keras yang
ditaburi merica ala Italia. Menu makan malam itu
dilengkapi salad yang terdiri atas pelbagai jenis
sayuran dan buah yang dicampur dengan minyak
Zaitun yang harum. Linor juga mencium aroma
segar teh Long Jing. Teh termahal di dunia yang
dipetik dari perkebunan teh Long Jing di daerah
Hang Zhou, China. Ibunya memang memiliki selera minum teh
yang sangat tinggi. Ia punya daftar puluhan jenis
teh paling enak di dunia. Selain teh Long Jing,
teh paling enak di atas muka bumi ini adalah teh
hijau dari perkebunan teh Solok, Sumatera Barat,
Indonesia. Ibunya biasa mendapatkan teh itu
tidak dari Indonesia, tapi justru dari Amsterdam,
Belanda. Linor makan malam dengan sangat berse-
mangat. Ia menyantap habis pay isi daging
kelinci yang masih hangat itu. Pay buatan ibunya
itu memang salah satu makanan kesukaannya se-
jak kecil. Sup jamur yang masih panas itu mem-
buat badannya terasa hangat. Dan kehangatan itu
disempurnakan oleh segarnya teh Long Jing.
Madam Ekaterina, nampak sangat bahagia meli-
hat Linor makan seumpama orang yang berhari-
hari tidak makan. Hampir semua hidangan yang
tersaji di atas meja, Linorlah yang menyantapnya.
Setelah makan malam, Madame Ekaterina
Corsova Fyodorovna mengajak Linor ke
kamarnya yang luas. Kamar itu tertata dengan
sangat mengagumkan. Tiga tirai keemasan
melindungi jendela- jendela kaca-gandanya.
Langit-langitnya dihiasi ornamen keemasan. Di
salah satu dindingnya nampak rak buku yang
membuat kamar itu jika dilihat dari sudut itu,
seumpama perpustakaan yang memiliki koleksi
buku klasik dan kontemporer sama banyaknya.
Di atas tempat tidur yang nampak elegan itu
ada lukisan besar cat minyak yang menghidupkan
kamar mewah itu. Yaitu lukisan bunga mawar
putih yang begitu segar. Jika dilihat dari jarak
agak jauh sambil sedikit melangkahkan kaki,
bunga mawar itu bisa nampak seperti bergerak
pelan seperti tertiup angin.
Madame Ekaterina meminta Linor duduk di
sofa yang empuk. Sofa itu menghadap ke layar
televisi flat yang sangat besar. Madame Ekaterina
duduk dengan tenang. Ia memandangi Linor yang
malam itu nampak sangat anggun dalam balutan
gaun merah tua berlengan panjang yang nampak
klasik sekaligus modern. "Kau semakin cantik, Anakku." Puji Madame
Ekaterina sambil tersenyum pada Linor.
"Karena Mama cantik."
"Jadi kau merasa cantik karena kecantikanmu
itu menurun dari Mama""
"Iya." "Apa kau masih lelah, Anakku""
"Tidak Mama. Rasa lelah itu sudah hilang be-
gitu Sofia bertemu Mama." Linor sudah menye -
but dirinya sebagai Sofia. Nama yang dicintai
oleh ibunya. "Bolehkah Mama mengajakmu bicara panjang
lebar sampai larut malam""
"Dengan senang hati Mama."
"Aku ingin kau mengetahui siapa kau
sebenarnya"" "Mengetahui siapa aku sebenarnya" Apa mak-
sud Mama"" "Mama merasa ini sudah waktunya. Kau harus
tahu siapa kau sebenarnya, sehingga kau benar-
benar akan mendapatkan kemerdekaanmu yang
sebenarnya. Mama ingin kau benar-benar mer-
deka menentukan jalan hidupmu, setelah kau
mengetahui jatidirimu yang sesungguhnya.
Mama tidak ingin kau dijajah oleh siapapun dan
apapun, termasuk dijajah oleh kenyataan yang
selama ini Mama tutup rapat-rapat darimu." Ma-
dame Ekaterina bangkit menuju layar televisi.
"Tetap duduklah di situ. Mama ingin kau melihat
dokumen sejarah ini." Kata Madame Ekaterina
sambil membuka rak kaca berisi kaset-kaset
video. Tak berapa lama Madame Eketerina sudah
berhasil memutar sebuah kaset dengan pemutar
kaset video yang terletak di bawah layar televisi
yang lebar itu. Di layar nampak keterangan yang
menjelaskan bahwa video i
tu adalah dokumen se - jarah nyata yang direkam oleh seorang wartawan
dari Kanada. Lalu keluarlah judul "Dokumentasi
Pembantaian Sabra dan Shatila 1982."
"Apa hubungan diriku dengan pembantaian
Sabra dan Shatila"" Tanya Linor agak penasaran.
"Duduklah dan lihatlah dengan baik-baik.
Nanti Mama akan jelaskan semuanya."
Dilayar kaca nampak dari jarak yang agak
jauh, seorang tentara berseragam hijau menem-
bak tubuh seorang anak kecil yang tangan dan
kakinya terikat dengan kabel listrik. Terakhir
tentara itu memecahkan kepala anak kecil itu
dengan senjata 1 otomatisnya. Kamera kemudian
mengambil middle close up dari dada hingga
muka anak kecil itu. Layar kaca itu seperti merah
kehitaman. Muka itu sudah tidak berbentuk.
Sepenuhnya darah. Benar-benar hancur.
Kamera lalu bergerak menyusuri jalan. Ter-
tulis di layar, itu adalah sebuah jalan di Sabra. Di
jalan itu terlihat mayat-mayat bergelimpangan
dan bertumpuk-tumpuk. Lalu nampak mayat se-
orang pria tua. Ia mengenakan baju panjang ber-
warna cokelat muda dan kopiah putih. Pria tua itu
ditembak di kepalanya dan kedua matanya telah
dicungkil. Di layar kaca kemudian nampak rumah-rumah
yang dirobohkan, bangunan-bangunan yang


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur, puing-puing, wajah-wajah yang ketak-
utan, dan seorang perempuan muda yang mem-
bawa bayi dengan wajah putus asa. Dua orang
tentara mendekati perempuan muda itu dan mere -
but bayinya. Perempuan muda itu mati-matian
mempertahankan bayinya. Tetapi beberapa detik
kemudian darah muncrat dari jilbab putih yang
menutupi kepalanya. Beberapa butir peluru me -
nembus kepalanya. Bayinya juga mengalami nas -
ib yang sama. Mayat perempuan muda dan ana-
knya itu tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Adegan penembakan lainnya di jalan utama
kamp Sabra dan Shatila terekam jelas. Kemu-
diam nampak di layar kaca tumpukan mayat terli-
hat di kedua sisi jalan. Lalu nampak mayat-mayat
yang tergeletak di gang-gang kecil di kamp,
mayat-mayat yang ditumpuk di atas mayat-mayat
lainnya, tubuh-tubuh yang terpotong, dengan
tangan-tangan yang terlepas, tubuh-tubuh yang
membusuk dan membengkak yang pastinya telah
mati sehari atau dua hari sebelumnya.
Kamera kemudian mengambil close up mayat
seorang perempuan muda setengah telanjang
yang berlumuran darah. Kerudung putih penutup
kepalanya lepas tak jauh dari tubuh. Gamisnya
nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan
isinya terurai. Dahinya nampak lebam oleh
pukulan benda keras. Yang membuat bulu kuduk
tambah berdiri dada perempuan itu rusak, pay-
udaranya seperti disayat-sayat sampai hancur.
Melihat pemandangan itu, Linor yang biasan-
ya dingin . dan sering tidak memiliki rasa kasihan
kepada korban yang harus dibunuhnya, kali ini
Linor merasakan kengerian dalam dirinya. Ia
tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi
pada dirinya. Di layar kemudian nampak mayat-mayat yang
tangan dan kakinya diikat dengan kabel listrik
dan mayat-mayat yang dipenuhi tanda bekas
habis dipukuli sebelum akhirnya dibunuh. Mayat
anak-anak, bocah perempuan dan laki-laki serta
wanita dan pria yang sudah renta. Beberapa may-
at masih digenangi merahnya darah, lainnya ter-
genang dalam cairan darah yang kecoklatan,
bahkan menghitam. Dan kembali nampak mayat-mayat wanita
yang bajunya terlepas dari dari tubuhnya, tetapi
kondisi tubuhnya terlalu rusak sehingga susah
untuk mengatakan apakah mereka habis '
diperkosa atau disiksa sampai mati.
Linor kembali merasakan kengerian menyusup
ke dalam hatinya. " Layar kaca kemudian menampilkan sebuah
stadion yang dipenuhi mayat yang bertumpuk-
tumpuk dan bergelimpangan. Di sekitar stadion
nampak banyak pakaian wanita. Kamera lalu
mengambil close up beberapa mayat wanita yang
binasa tanpa pakaian. Lalu nampaklah seorang
lelaki setengah baya yang wajahnya menggur-
atkan ketakutan, kecemasan sekaligus
kemarahan. Orang setengah baya itu adalah orang Libanon
yang tinggal di dekat Sabra dan Shatila yang
selamat dari pembantaian. Dengan marah lelaki
setengah baya itu memberikan kesaksian bahwa
banyak wanita dipaksa bertelanjang bulat, lalu
diperkosa para tentara sebelum akhirnya dibunuh.
Setelah itu nampak seorang wanita Li
banon yang selamat dari pembantaian. Ia memperli-
hatkan rumahnya yang sebagian telah hancur,
dan memberikan sebuah kesaksian, bahwa ia
tinggal dekat stadion itu dan dari tempat persem-
bunyiannya ia dapat melihat apa yang terjadi. Ia
merasa geram karena ada manusia yang tega ber-
buat seperti itu kepada sesamanya, la mengakhiri
kesaksiannya seraya berteriak, "Jangan sampai
ada lagi! Bahkan seorang nenek tujuh puluh
tahun pun diperkosa tanpa ampun dan dibunuh
dengan kejam." Wanita itu gemetaran saking marahnya. Linor
ikut gemetar. Dan Madame Ekaterina sejak awal
telah meneteskan airmata karena sedih yang luar
biasa. Perempuan yang rambutnya sudah me -
mutih itu seolah-olah kembali berada di tengah-
tengah kamp Sabra dan Shatila yang mencekam.
Ia seolah-olah kembali mencium anyir darah.
Ia kembali teringat ketika seorang wanita tua
Libanon menyerahkan seorang bayi kepadanya
untuk diselamatkan. Ia diminta untuk membawa
pergi sejauh- jauhnya dari Sabra dan Shatila.
"Bawalah pergi, selamatkanlah nyawanya.
Ibunya telah diambil para milisi itu. Bawalah dia,
aku percayakan padamu. Cepatlah pergi, tak ada
waktu lagi. Tak lama lagi milisi -milisi itu akan
kembali mengadakan operasi. Mungkin akan tiba
giliranku menyusul saudara-saudaraku yang telah
terbunuh. Cepat bawalah bayi ini pergi. Hanya
pintaku, suatu saat tolong beritahu dirinya, siapa
sesungguhnya dirinya. Dirinya adalah orang
Palestina. Ibunya Palestina. Ayahnya orang
Libanon. Ayah dan ibunya sudah gugur bertemu
Allah di kamp Sabra dan Shatila."
Kata-kata wanita tua Libanon itu kembali
terngiang-ngiang di telinganya. Seolah-olah ia
baru saja mendengarnya. Madame Ekaterina tiba-
tiba terisak-isak, airmatanya meleleh. Linor meli-
hat sesuatu yang tidak biasanya pada ibunya.
Tidak biasanya ibunya menangis menyaksikan
orang -orang Palestina dibantai. Meskipun ibunya
tidak pernah ikut membantai, tetapi selama ini ia
tahu ibunya selalu mendukung ayahnya yang ser-
ing melakukan operasi intelijen untuk
kepentingan Israel. Berkali-kali ayahnya menjadi dalang pem-
bunuhan siapa saja yang mendukung perjuangan
orang Palestina, dan ibunya tahu itu. Tapi ibunya
tidak pernah menangis. Ibunya selama ini, sepen-
getahuan dirinya selalu mendukung ayahnya.
Tetapi kenapa kali ini menyaksikan pembantaian
Sabra dan Shatila ibunya menangis. Kenapa"
"Ibu menangisi apa" Menangisi orang -orang
Palestina yang mati itu"" Tanya Linor dengan ek-
spresi dingin. "Anakku, cobalah kauputar ulang bagian per-
empuan muda yang gamisnya terkoyak-koyak,
payudaranya hancur tersayat-sayat tak berbentuk,
perutnya sobek, dan isinya terurai. Cobalah putar
ulang di bagian itu, Anakku." Kata Madame Eka-
terina pelan. Linor beranjak dari duduknya dan memenuhi
permintaan ibunya. Ia memutar balik kaset video
itu. Kemudian ia kembali memutar adegan pem-
bantaian Sabra dan Shatila. Di layar kaca yang
lebar itu langsung nampak gambar yang
mengerikan. Mayat-mayat yang tergeletak di
gang-gang kecil di kamp, mayat-mayat yang
ditumpuk di atas mayat-mayat lainnya, tubuh-tu-
buh yang terpotong, dengan tangan-tangan yang
terlepas, tubuh-tubuh yang membusuk dan mem-
bengkak yang pastinya telah mati sehari atau dua
hari sebelumnya. Lalu nampak mayat seorang perempuan muda
setengah telanjang yang berlumuran darah. Keru-
dung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari
tubuh. Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perut-
nya sobek, dan isinya terurai. Dahinya nampak
lebam oleh pukulan benda keras. Yang membuat
bulu kuduk tambah berdiri, dada perempuan itu
rusak, payudaranya seperti disayat-sayat sampai
hancur. Kamera meng-close up mayat perempuan
muda yang mati dengan cara sangat men-
genaskan itu dengan sangat jelas. Siapa pun yang
menyaksikan gambar itu, jika masih memiliki
hati dan nurani yang sehat pasti akan merinding
dan gemetar karena dicekam rasa ngeri sekaligus
marah, marah sekaligus ngeri. Bagaimana
mungkin ada manusia yang tega melakukan
tindakan yang sedemikian keji kepada sesama
manusia. "Tolong di' -pause, Anakku!" Kata Madame
Ekaterina kepada Linor. Di layar kaca nampak
gambar midle close up perempuan itu dari dadan-
ya yang rusak sampai kepalanya. Dahinya lebam
membiru. Mata kanannya seperti telah dicukil.
Ada darah mengalir di pojok bibirnya. Pipinya
kotor oleh tanah dan bercak darah. Rambutnya
yang pirang kecoklatan nampak awut-awutan. Jil-
babnya lepas tak jauh dari kepalanya.
"Lihatlah gambar perempuan yang mati
dengan sangat tragis itu, Anakku! Apa yang
kaurasakan, Anakku"" r3ibir Madame Ekaterina
bergetar, airmatanya meleleh.
"Aku tidak merasakan apa-apa Mama." Jawab
Linor dingin. "Kau tidak merasakan apa-apa" Tidak ada
sedikit pun di hatimu rasa kasihan" Atau rasa
marah pada orang yang berbuat keji pada
perempuan itu"!" Sahut Madame Ekaterina
dengan mata menyala. "Tidak perlu kasihan. Kenapa harus kasihan
pada orang bodoh seperti perempuan Palestina
itu"" Jawab Linor sinis.
Airmata Madame Ekaterina meleleh semakin
deras. Ingin rasanya ia menampar muka Linor
sejadi- jadinya dan memarahi Linor semarah-
marahnya, tetapi ia segera sadar bahwa Linor se-
demikian benci pada orang Palestina karena
memang selama ini dia didoktrin untuk itu.
Bukankah Linor kini adalah agen rahasia Israel"
"Anakku Linor, bukan salahmu kalau kau
sangat tidak menyukai orang Palestina. Tetapi
Mama minta cobalah kaulihat baik-baik perem-
puan yang ada di layar kaca itu. Lihatlah baik-
baik. Rasakanlah getaran-getaran halus nuranimu
paling dalam. Tolong!"
Linor diam. Kedua matanya memandangi
gambar perempuan Paletina yang mati men-
genaskan itu. Sesaat lamanya Linor memandangi
gambar itu. Hatinya samasekali tidak tersentuh
olehnya. Tak ada perubahan apa-apa di wa-
jahnya. Madame Ekaterina juga diam dengan air-
mata terus meleleh. Sesaat keheningan menye -
limuti ruangan itu. "Anakku." Suara Madame Ekaterina memecah
kesunyian. "Sebenarnya Mama ingin bercerita panjang
kepadamu. Cerita nyata yang sangat penting un-
tuk kaudengar. Tetapi kurasa kau perlu istirahat
setelah perjalanan jauh. Istirahatlah di kamarmu.
Mama juga perlu istirahat. Besok pagi setelah
sarapan pagi, Mama akan bercerita kepadamu."
"Baiklah Mama."
"Hanya Mama minta, sebelum tidur bay-
angkanlah wajah perempuan yang ada di layar
itu. Bayangkanlah meskipun cuma sekejap."
"Mama ini minta yang aneh-aneh. Kenapa aku
harus membayangkan wajah perempuan itu"
Kenapa tidak harus membayangkan wajah Mania
saja"" "Besok akan Mama ceritakan semuanya. Sete-
lah Mama ceritakan semuanya, Mama berharap
kau tidak lagi membenci perempuan yang kauli-
hat di layar kaca itu. Mama sangat berharap."
"Aku benar-benar tidak paham dengan apa
yang Mama ucapkan. Tetapi baiklah aku akan
menunggu sampai besok. Sampai Mama mencer-
itakan apa yang perlu Mama ceritakan. Dan aku
tidak yakin bisa memenuhi harapan Mama."
"Mama sangat berharap."
*** 30. Kaulah Bayi Palestina Itu
Linor baru bangun dari tidurnya. Pagi itu salju
turun perlahan di seantero kota Kiev. Salju juga
turun seolah membungkus segala benda yang ada
di Pyrohovo. Linor bangkit dan menuju ruang
tamu. Linor melihat Madame Ekaterina sedang
duduk di sofa sedang membaca buku tebal. Dan
Bibi Natasha sedang menata makanan di meja
makan untuk sarapan. Linor duduk di samping Madame Ekaterina. Ia
memerhatikan apa yang dibaca oleh ibunya.
Linor agak terkej ut melihat buku yang dipegang
ibunya. "Bukankah yang Mama baca itu kitab sucinya
orang Islam"" Tanya Linor dengan wajah meng -
guratkan keheranan sekaligus rasa tidak suka.
Madame Ekaterina, mengangkat mukanya dan
memandang Linor dengan penuh kasih sayang


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tersenyum. Ia menjawab pelan, "Iya. Kenapa" Apa salah
kalau aku membaca kitab sucinya orang Islam""
"Tidak Mama. Cuma, Mama hanya akan
melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik Mama
membaca talmud, itu jauh lebih bermanfaat. Jauh
lebih mengukuhkan jatidiri Mama sebagai: orang
Yahudi." "Itu doktrin ayahmu ya""
Iya. "Sudah saatnya kau memiliki wawasan yang
lebih luas. Tidak terbatas pada talmud. Sudah
saatnya kau meluaskan bahan bacaan, Anakku.
Dan menurutku kitab suci orang Islam ini, layak
untuk kaubaca. Siapa tahu kau akan menemukan
kebaikan di sana." "Mama harus hati-hati, membaca kitab suci
orang Islam itu bisa membuat Mama tersesat."
"Kau memandang Mamamu ini seperti an
ak kecil saja, Anakku . Ingatlah, Anakku yang
mengajari kamu membaca dan menulis pertama
kali adalah Mamamu ini. Yang mengajari kamu
pertama kali bagaimana bermain biola dengan
baik juga Mamamu. Mamamu ini pernah kuliah
di London, jadi jangan kauremehkan seperti itu."
Kata Madame Ekaterina dengan tegas.
lapi bisa saja.. "Sudahlah Anakku," Madame Ekaterina
memotong perkataan Linor, "kita tidak usah ber-
debat tentang hal -hal seperti ini, mari kita makan
pagi, setelah itu aku akan bercerita panjang ke -
padamu. Tentang banyak hal yang harus kamu
ketahui sebelum nanti Mama keburu mati. Sebab
kita tidak tahu kapan kematian itu akan datang
menjemput. Sebab kematian itu selalu mengintai
kita dari waktu ke waktu. Ayo kita sarapan. Bibi
Natasha sudah menatanya di atas meja makan.
Ayo kita ke sana!" Linor mengikuti ajakan Madame Ekaterina.
Mereka berdua beranjak ke meja makan yang tak
jauh dari sofa tamu. Bibi Natasha sudah duduk
tenang di sana. Melihat menu yang dihidangkan
mata Linor langsung berbinar bahagia. Ada tiga
piring trovog. Ada cyorni khleb atau roti hitam
yang bergelimangan di sebuah piring besar. Ada
panci berisi sup ukha yang masih mengepul,
menyebarkan aroma yang khas. Juga ada kentang
kukus yang nampak kuning keemasan. Ada salad
sayur dan buah yang diaduk dengan maionez dan
minyak olive. Juga ada buah-buahan segar, ang-
gur, pir dan apel. "Wah, ini pesta Mama!" Seru Linor.
"Ya, keberadaanmu di sini adalah hari raya,
Anakku." "Siapa yang membuat sup ukha-nya""
"Ciumlah aromanya, kau akan tahu khasnya
dan kau akan tahu siapa pembuatnya."
Linor tersenyum. Ia lalu mendekatkan
hidungnya ke dekat panci di mana sup ukha
masih mengepulkan asap. Ia memejamkan mata
dan menghirupnya dengan bibir tersenyum.
"Mmm, dicium dari aromanya, ini buatan
Mama." Kata Linor sambil tetap memejamkan
mata dan menghirup aroma sup ukha.
"Ya, begitu bangun dari tidur Mama langsung
menyiapkan sup ini untukmu."
"Spasiba balshoi, Mama."
Mereka bertiga lalu menikmati makan pagi itu
dengan penuh semangat. Linor sampai menyeru-
put empat mangkuk sup ukha. Madame Ekaterina
melihatnya dengan senyum bahagia. Sementara
Bibi Natasha nampak sangat menikmati roti
hitam yang ia makan dengan trovogyang juga
masih hangat. Madame Ekaterina sendiri
mengambil roti hitam dan memakannya bersama
dengan sup ukha. Di apartemen itu, Linor merasa sangat lapang
dada dan pikirannya. Ia terbebas dari banyak
tekanan. Terutama tekanan tugas dari Ben So-
lomon yang menjadi pimpinan seluruh agen ra-
hasia Israel di Rusia. Sarapan pagi itu ditutup
dengan makan buah-buahan dan minum teh Long
Jing kesukaan Madame Ekaterina.
Selesai sarapan Madame Ekaterina mengajak
Linor ke kamarnya. Ia ingin bercerita banyak hal
kepada Linor. Dengan hati diliputi penasaran
Linor mengikuti ibunya ke kamar. Ia merasa
ibunya kali ini berlaku sangat aneh. Memintanya
menonton film dokumenter tentang pembantaian
orang Palestina di kamp pengungsian Sabra dan
Shatila. Memintanya untuk melihat ulang perem-
puan muda Palestina yang dibantai dan mati
mengenaskan. Dan lebih aneh lagi, ibunya itu meminta
supaya mengingat perempuan muda yang mati
mengenaskan itu sebelum tidur. Dan tadi ia baru
saja melihat ibunya itu membaca Al-Quran yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Ia jadi
bertanya-tanya, kenapa ibunya jadi bertingkah
laku aneh seperti itu"
"Duduklah, Anakku. Kita akan menonton film
dokumenter itu sekali lagi. Baru setelah itu
Mama akan bercerita panjang lebar, tentang hal
yang harus kamu ketahui. Sebuah rahasia besar
yang harus kamu ketahui. Mamamu ini tidak mau
membawa rahasia itu sampai mati."
Linor diam saja, dan duduk tenang di samping
ibunya. Madame Ekaterina menyalakan kaset
video yang telah diputar tadi malam. Sejurus
kemudian Linor dan Madame Ekaterina kembali
menyaksikan pembantaian Sabra dan Shatila di
layar kaca. Linor sudah setengah hafal dengan
alur yang ditampilkan di layar kaca itu. Ia kem-
bali menyaksikan gambar mengambil close up
mayat seorang perempuan muda setengah telan-
jang yang berlumuran darah. Kerudung putih
penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh.
Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan isinya terurai. Dahinya nampak lebam
oleh pukulan benda keras. Dada perempuan
Palestina itu rusak, payudaranya seperti disayat-
sayat sampai hancur. Sepanjang film dokumenter
itu diputar, Linor diam tidak berkomentar.
Begitu film habis, Madame Ekaterina berkata,
"Dengarkan baik-baik, Anakku. Mama akan
bercerita. Setelah bercerita Mama berharap kamu
tetap mencintai Mama. Kamu tetap menyayangi
Mama. Sebab di dunia ini, sekarang ini kamulah
yang paling berharga bagi Mama. Kau mau ber-
janji Anakku"" Linor mengangguk dan berkata, "Iya Mama,
Linor berjanji akan tetap mencintai dan menyay-
angi Mama." "Sungguh, Anakku""
"Sungguh Mama. Nyawa Linor taruhannya."
"Terima kasih, Anakku. Mama bahagia
mendengarnya. Mama sekarang akan cerita. Se-
sungguhnya Mama melihat langsung
pembantaian orang -orang Palestina di kamp pen-
gungsian Sabra dan Shatila pada bulan Septem-
ber 1982 itu. Mama ada di sana. Saat itu Mama
menjadi relawan tim medis dari London. Seperti
yang kamu ketahui Mama kuliah di Fakultas Ke-
dokteran University of London. Setelah resmi
disumpah menjadi dokter Mama bekerja di se-
buah rumah sakit swasta di London. Mama mem-
punyai banyak teman yang baik dan peduli pada
kemanusiaan. Di antaranya adalah dr. Jeane
Croft, dr. Alison Harowth, dan John Trondike.
"Suatu hari mereka bertiga mengajak Mama
untuk menjadi sukarelawan ke Beirut. Tepatnya
ke kamp pengungsian Palestina di Beirut Barat.
Awalnya Mama menolak, tetapi Jeane Crofit
meyakinkan Mama dengan memberikan kepada
Mama data-data tentang kehidupan orang-orang
Palestina yang membutuhkan bantuan kemanusi-
aan. Mama akhirnya ikut terbang ke Beirut.
"Saat itu Beirut baru selesai perang. Kota yang
pernah mendapat sebutan pengantin timur tengah
itu dalam keadaan porak poranda.
"Di Beirut Mama bertemu dengan banyak re-
lawan dari pelbagai negara. Ada dr. Rio Spirugi,
pria berkebangsaan Swiss -Italia, ada Ben Alofs
dari Belanda, ada Ellen Spigel dan dr. Jill Drew
dari Amerika, ada dr. Ang Swee Chai dari
Singapura, dan banyak lainnya. Para relawan itu
orang yang sangat tulus menolong sesama
manusia dan sangat teguh memperjuangkan
harga diri sesama manusia.
"Bersama beberapa relawan Mama bekerja di
bawah payung PRCS atau Palestine Red Cres -
cent Society sebuah organisasi kemanusiaan
yang sangat tidak disukai Israel. PRCS saat itu
punya program menghidupkan kembali rumah
sakit-rumah sakit milik orang-orang Palestina
yang hancur karena dibombardir Israel. Salah
satu rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Gaza
yang terletak berhimpitan dengan kamp pengung-
sian Sabra dan Shatila. Mama bertugas di Rumah
Sakit Gaza bersama enam relawan.
"Di Rumah Sakit Gaza itu Mama bertemu
dengan perempuan-perempuan Palestina yang
sangat baik hati. Ada Ummu Khalid, ada Azizah
Abbas, ada Nahla, dan ada dokter muda yang
cantik bernama Salma Abdul Aziz. Mama sangat
dekat dengan Salma. Mama kagum kepada
Salma. Ia masih muda, umurnya baru dua puluh
enam tahun tapi sudah menyelesaikan spesial-
isasinya di bidang bedah tulang, dan telah meraih
gelar master di bidang jurnalistik dari Glasgow.
Saat itu ia sedang hamil tua, mengandung ana-
knya yang kedua. "Tidak mudah bekerja sebagai relawan di
bawah payung organisasi kemanusiaan Palestina,
apalagi PRCS yang saat itu dijuluki sebagai or-
ganisasi 'para teroris' oleh Israel dan dunia in-
ternasional yang mendukung Israel. Tetapi kami
tetap maju menolong anak-anak tak berdaya yang
sekarat karena kena bom fosfor Israel, atau kena
cluster bomb yang sengaja dijatuhkan oleh Israel
di kawasan-kawasan padat penduduk.
"Kau tentu tahu apa itu cluster bomb atau
fargmentation bomb. Kau pasti sudah diajari oleh
Mosad saat kau dididik satu tahun di Tel Aviv.
Ah, bom jenis itu sangat mengerikan. Bom jenis
itu kalau dijatuhkan di suatu tempat akan
meledak dan tersebar luas dalam bentuk
kepingan-kepingan kecil. Lalu kepingan-
kepingan itu akan diam, sampai datang anak-
anak yang tak sengaja menyentuh atau mencun-
gkilnya karena rasa ingin tahu. Begitu tersentuh,
kepingan-kepingan itu akan meledak menjadi
pecahan-pecahan kecil yang tajam da
n membina- sakan dalam jumlah yang tidak terhitung jum-
lahnya. Siapa yang kena bom ini akan tewas atau
mengalami luka yang sangat serius di wajah,
mata, tulang dan organ-organ tubuh lainnya. Bom
jenis ini sering dijatuhkan oleh Israel di daerah
padat penduduk Palestina. Tak terkecuali Sabra
dan Shatila juga Bour El Brajneh.
"Hampir setiap hari Mama melakukan operasi
ringan maupun berat bersama dr. Salma Abdul
Aziz. Kami menolong siapa saja yang perlu per-
tolongan. Kami tidak memandang ras, warna
kulit, dan agama. Meskipun rumah sakit itu di
bawah payung PRCS tetapi banyak juga pendu-
duk Libanon yang kami tolong, apa pun agaman-
ya, termasuk Yahudi Libanon juga kami tolong.
"Salma orangnya sangat terbuka, berwawasan,
dan memiliki rasa tanggung jawab yang luar bi-
asa. Ia pernah menemani seorang perempuan
Yahudi Libanon yang tinggal di dekat Sabra
semalam penuh karena perempuan itu mau me -
lahirkan. Padahal saat itu Salma sendiri sedang
hamil tua. Ia menemani perempuan itu dan mem-
bantunya melahirkan anaknya dengan selamat.
Bahkan ketika ternyata perempuan itu kekuran-
gan darah setelah melahirkan, Salma tidak ragu
mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan
nyawa perempuan itu setelah melihat golongan
darahnya ternyata cocok dengan perempuan itu.
"Mama tahu Salma sangat membenci kezali-
man Zionis Israel. Salma tidak bisa menerima
dan tidak bisa memaafkan kejahatan Yahudi Is -
rael yang telah menghabisi ayah, ibu dan kedua
kakaknya. Ia selamat karena saat itu sedang tidak
ada di rumah. Ia sedang ada di rumah pamannya.


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sebagai dokter Salma tetap berjiwa besar.
Ia benar-benar berhati malaikat, ia menolong
siapa saja, tidak memandang apa agamanya. Ia
benar-benar mengamalkan sumpah yang telah
diucapkannya ketika menjadi dokter, bahwa seor-
ang dokter itu bersumpah untuk merawat para
pasien tanpa memandang ras, agama, warna kulit
maupun keturunan. "Salma tidak ragu untuk menolong perempuan
Yahudi Libanon, dan menyelamatkan nyawa per-
empuan itu dengan mendonorkan darahnya. Se-
jak itu Mama sangat kagum pada Salma. Mama
sempat bertanya kepada Salma, bagaimana dia
bisa berbuat sedemikian tinggi menjunjung nilai
kemanusiaan. Salma menjawab bahwa di dalam
kitab suci yang diyakininya, yaitu Al-Quran,
dijelaskan bahwa menolong satu nyawa untuk
tetap bisa hidup itu seolah menolong seluruh
umat manusia untuk tetap hidup.
"Sejak itu ibu dekat sekali dengan Salma Ab -
dul Aziz. Akhirnya ibu tahu perjalanan hidup
Salma yang berdarah-darah. Salma lahir di ping-
gir selatan kota Akka, Palestina. Kampungnya
diduduki oleh Israel, banyak orang Palestina
yang dibantai. Termasuk keluarganya. Sejak ke -
luarganya dibantai tentara Israel, ia ikut keluarga
pamannya yang membawanya mengungsi ke
Libanon. Sang paman membawanya ke daerah
Shatila, Beirut Barat dan bergabung dengan ban-
yak pengungsi Palestina di sana.
"Kau harus tahu, Linor, bagaimana sejarah or-
ang Palestina membuat kamp pengungsian di
Libanon, khususnya di Sabra dan Shatila. Dan
bagaimana mereka hidup di sana. Pada tahun
1948 Zionis Israel mengusir orang -orang
Palestina yang tinggal di sebelah utara Galilea.
Banyak di antara orang Palestina yang menyeber-
ang perbatasan utara menuju Libanon. Orang-
orang dari Galilea tersebut menjadi pengungsi di
Libanon. Sebagian lainnya melarikan diri ke
Yordania, Mesir, Suriah, Irak dan seluruh jazirah
Arab. Atlas dunia tidak lagi memuat peta
Palestina, tetapi hal itu tidak menyurutkan
semangat orang-orang terbuang yang berjumlah
750 ribu orang ketika itu untuk mengingat Tanah
Air mereka. "Pada mulanya para pengungsi Palestina di-
harapkan akan membaur ke dalam komunitas
negara-negara tetangga sesama bangsa Arab, se-
hingga akhirnya mereka mengikuti jejak bangsa-
bangsa lain yang tak terhitung jumlahnya yang
telah terhapus dari sejarah. PBB, bersama-sama
dengan organisasi kemanusiaan dan pemberi ban-
tuan, memasok tenda-tenda dan mendirikan
kamp -kamp bagi rakyat Palestina yang kini telah
kehilangan tempat tinggal. Orang-orang Palestina
dari daerah Galilea menghuni beberapa 'tenda se-
mentara' ini di Sabra, Shatila, dan Bourj El Brajneh
di pinggiran Beirut Selatan. "Para penghuni ini tidak mau kehilangan iden-
titas mereka sebagai orang Palestina. Mereka
ingin Palestina tidak hilang dari sejarah. Maka
mereka tidak bisa benar-benar berbaur karena
mereka bukanlah pengungsi sungguhan. Mereka
lebih tepat dikatakan orang-orang buangan, dan
ada perbedaan antara dua hal itu. Sebagai orang-
orang buangan, mereka selalu ingin pulang ke
rumah. Tenda-tenda yang disediakan PBB itu
segera dirobohkan oleh orang-orang Galilea
sendiri. "Selanjutnya, di tempat-tempat pembuangan,
berdasarkan kenangan dan sedikit foto rumah
mereka, mereka kembali membangun komunitas
sendiri. Komunitas orang Palestina. Banyak dari
rumah-rumah itu dibangun sedemikian rupa agar
nampak sama dengan rumah di kampung hala-
man mereka. "Setelah tenda-tenda itu digantikan dengan
rumah-rumah dan flat-flat dari batu bata, kamp -
kamp tersebut menjadi kota-kota orang buangan,
dengan masjid, taman kanak-kanak, sekolah-
sekolah, bengkel -bengkel, klinik-klinik dan
rumah sakit-rumah sakit. Mereka menamakan
rumah sakit mereka dengan Rumah Sakit Gaza,
Haifa dan Akka, seperti nama-nama kota
Palestina supaya mereka tidak pernah lupa
dengan akar mereka. "Meskipun kamp -kamp itu awalnya dibangun
untuk orang Palestina. Namun orang -orang
Palestina itu telah mengambil pelajaran dari
kesengsaraan mereka dan menerapkan sebuah
prinsip nondiskriminatif yang meliputi seluruh
institusinya, sehingga tidak pernah kamp itu
khusus diperuntukkan orang-orang Palestina
semata. "Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola
PRCS misalnya, memberikan perawatan gratis
bagi semua orang yang membutuhkan. Mereka
tidak mempermasalahkan negara asal, ras,
ataupun agama. Sekolah-sekolah yang dikelola
oleh orang-orang Palestina memberikan pen-
didikan gratis bagi semua orang. Institusi-instit-
usi kej uruan dan organisasi-organisasi wanita
yang mereka kelola menjalankan kebijakan pintu
terbuka. Hasilnya lebih dari sepertiga penduduk
Sabra dan Shatila bukan bangsa Palestina,
melainkan orang-orang Libanon yang berpihak
kepada rakyat Palestina atas dasar persamaan
nasib, yaitu kemiskinan dan persamaan hak.
"Salma hidup sebagai orang buangan layaknya
orang Palestina yang lain. Ia begitu bangga men-
jadi orang Palestina. Rasa bangganya sebagai or-
ang Palestina samasekali tidak luntur meskipun ia
hidup tidak di tanah kelahirannya sendiri.
"Kata Salma, menjadi perempuan Palestina
hanya punya dua pilihan, tidak ada pilihan ketiga,
yaitu hidup mulia sebagai pejuang yang teguh
berjuang di jalan Allah, atau mati mulia sebagai
syuhada yang dicintai oleh Allah.
"Sejak kecil dan remaja, sang paman sudah
menggemblengnya sebagai seorang pejuang.
Salma sangat cerdas. Di sekolah ia sering loncat
kelas. Dengan kerja kerasnya dan bantuan
pamannya ia bisa menyelesaikan pendidikannya
menjadi seorang dokter dari American University
in Beirut pada usia belum genap dua puluh satu
tahun. Setelah itu seorang dosennya merekomen-
dasikan namanya untuk mendapat beasiswa ke
Glasgow. Ia mengambil spesialisasi bedah tu-
lang. Dan Salma menyelesaikan studinya dengan
gemilang. "Pulang dari Glasgow Salma langsung
mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk rakyat
Palestina. Ia terlibat di banyak organisasi kewan-
itaan yang memperjuangkan bangsa Palestina.
Meskipun usianya sangat muda, tetapi ia sangat
diperhitungkan. Ia disegani oleh kawan maupun
lawan. "Ketika umurnya memasuki dua puluh empat
tahun ia menikah dengan seorang pemuda
berdarah Palestina-Libanon bernama Ezzuddin.
Paman Salmalah yang mengenalkan dan
menikahkan mereka berdua. Salma sangat hormat
pada pamannya. Ezzuddin, seorang pemuda yang
gagah, yang juga terlibat sebagai pejuang
Palestina. Selain itu ia juga mengajar di sebuah
sekolah menengah di Bour El Brajneh yang terle -
tak di Beirut Selatan. "Satu tahun menikah ia dikaruniai seorang
anak lelaki yang ia beri nama Khalid. Satu
setengah tahun berikutnya ia hamil anak yang ke -
dua. Hidup Salma penuh liku dan tidak mudah.
Ujian datang silih berganti. Toh begitu, ia tetap
sabar. Ketika usia kehamilan anak keduanya
memasuki bulan ke empat, Ezzuddin gugur ber-
sama pulu han muridnya. Gedung sekolah tempat
Ezzuddin mengajar dibom oleh Israel. Puluhan
orang tewas dan puluhan lainnya luka berat dan
ringan. Ezzuddin termasuk yang tewas.
"Salma tetap tegar. Ia tetap berjiwa mulia. Ia
tidak membenci kecuali kepada kezaliman dan
kejahatan. Ia tetap menolong siapa saja dengan
ilmu kedokteran yang dikuasainya, termasuk
menolong perempuan Yahudi Libanon itu saat
usia kehamilan Salma memasuki bulan ke sem-
bilan. Mama semakin dekat dengan Salma.
Bahkan Mama banyak belajar ketulusan dan ke -
besaran jiwa pada Salma. "Sampai akhirnya, pada tanggal 10 September
1982, pagi-pagi sekali Mama dibangunkan oleh
Alison Harowth untuk bergegas ke Rumah Sakit
Gaza, karena Salma sedang berjuang untuk me -
lahirkan anaknya di sana. Kami bergerak dengan
cepat. Ketika sampai di Rumah Sakit Gaza,
Salma sudah bukaan enam. Mama ikut mem-
bantu Salma. Setengah jam kemudian Salma me -
lahirkan bayi perempuannya. Salma langsung
meminta bayinya itu dan mengumandangkan se-
suatu di telinga kanan dan telinga kiri anak itu.
Dan Salma memberi nama putrinya itu, Sofia.
Mama sangat bahagia melihat Salma berhasil me -
lahirkan anaknya dengan selamat. Si bayi Sofia
begitu cantik, seumpama malaikat. Rambutnya
halus pirang kecoklatan. Hidungnya indah.
Matanya jeli. Dan pipinya bagai pualam.
"Salma perempuan yang tangguh. Selesai me -
lahirkan ia minta diantarkan pulang ke rumah ibu
mertuanya yang tinggal di sebuah rumah susun
tak jauh dari kawasan Sabra dan Shatila. Salma
memang tinggal bersama ibu mertuanya. Mereka
hanya tinggal berdua. Karena semua lelaki di
rumah itu telah gugur sebagai pejuang Palestina
yang tidak mau hidup kecuali harus merebut
kembali tanah Palestina dari penjajah Israel.
"Ibu mertua Salma adalah perempuan Libanon
asli yang halus budi. Namanya Zaenab. Dia su-
dah tujuh puluh tahun lebih. Ia menikah dengan
seorang lelaki Palestina bernama Yaser. Dari
perkawinan itu lahir tujuh anak manusia yang
semuanya laki-laki dan semuanya telah gugur
.membela Palestina. "Karena ibu mertua Salma sudah tua, dan
Salma sendiri masih lemah, Mama menyem-
patkan untuk menemani Salma barang satu atau
dua hari. Dan Salma menyambutnya dengan hati
gembira. Mama benar-benar seperti adik atau
kakak bagi Salma. Mama seolah menjadi bagian
dari keluarga Palestina yang terbuang di Libanon
itu. "Pada hari kedLia setelah melahirkan, Salma
masih istirahat di rumahnya, tetapi pada hari
ketiga ia sudah bangkit dan kembali bekerja di
Rumah Sakit Gaza yang dikelilingi oleh
bangunan-bangunan kamp Shatila. Ia jtidak bisa
tenang beristirahat sementara masih banyak pasi-
en yang menunggu uluran tangannya.
"Dalam keadaan belum pulih benar dari me -
lahirkan, Salma sudah harus melakukan operasi
bedah ortopedis terhadap anak Palestina berusia
delapan tahun bernama Fatimah. Si Kecil
Fatimah, menderita luka bakar karena terkena
cluster bomb yang menewaskan kedua orangtu-
anya. Kedua kakinya yang mungil patah di ban-
yak tempat karena terkena pecahan bom. Banyak
luka Fatimah yang telah membusuk, sehingga
diperlukan operasi ortopedis untuk mengangkat
tulang yang telah mati dan membusuk. Setelah
operasi selesai, flaktura-flakturanya harus dilur-
uskan agar tidak bengkok. Salma menjalankan
tugasnya sebagai dokter dengan kesabaran dan
profesionalitas yang mengagumkan.
"Rabu, 14 September adalah hari yang mele -
lahkan sekaligus membahagiakan bagi Salma.
Pada hari itu, enam belas jam penuh ia bekerja di
rumah sakit. Mama melihat wajah Salma yang
pucat karena kelelahan. Tetapi Salma tersenyum
bahagia karena pada hari itu ia berhasil
menyelamatkan dua anak Palestina yang sekarat.
Dua anak Palestina itu dengan sangat terpaksa
harus diamputasi kakinya, karena luka akibat ter-
kena pecahan bom Israel telah membuat kaki
mereka membusuk. Salma pulang agak larut
malam. Kami berjalan kaki bersama. Melewati
jalan- jalan kamp Shatila yang lengang. Masih
ada satu dua orang yang terjaga. Tetapi keban-
yakan penghuni kamp Shatila sedang terlelap
dalam impian mendapatkan kembali Tanah Air


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka, yaitu bumi Palestina.
"Malam itu, sebelum berpisah, entah kenapa
Salma berpesan kepada Mama, kalau terjadi apa-
apa pada dirinya ia minta agar bayinya Mama
selamatkan dan Mama besarkan sebagai orang
Palestina. Mama menyanggupi permintaan
Salma. Di perempatan jalan kami berpisah.
Salma berjalan lurus menuju apartemen di mana
ia tinggal bersama ibu mertuanya yang sudah tua.
Dan Mama belok kanan menuju apartemen
Hamra, di mana Mama tinggal bersama para dok-
ter relawan dari pelbagai negara. Sebelum tidur,
entah kenapa Mama merasa sangat tidak tenang.
Rasanya Mama ingin bangun dan berlari menuju
apartemen S alma lalu membawa Salma dan kelu-
arganya meninggalkan Libanon.
"Mama membuang jauh- jauh perasaan tidak
enak itu. Mama berusaha menenangkan dalam
hati, bahwa akan ada kedamaian di Libanon.
Sudah ada kesepakatan damai yang difasilitasi
oleh PBB. Para pejuang Palestina yang se-
belumnya bermarkas di Sabra dan Shatila telah
bersedia dipindahkan ke luar Libanon oleh kepu-
tusan PBB. Israel dan milisi Libanon penentang
Palestina telah bersedia menjaga kedamaian dan
keamanan setelah para pejuang Palestina dikelu-
arkan dari Libanon. Yang tinggal di Sabra dan
Shatila tinggal anak-anak, kaum perempuan, dan
lelaki yang sudah tua renta. Karena yang menjadi
mediator kesepakatan damai adalah PBB pastilah
PBB akan bertanggung jawab menjaga keamanan
di kawasan Beirut itu, terutama Sabra dan Shat-
ila. Mengingat hal itu Mama sedikit tenang.
Malam itu Mama tidur dengan pulas.
"Pagi harinya, tanggal 15 September 1982,
Mama dibangunkan oleh deru pesawat tempur
yang terbang rendah. Pesawat-pesawat tempur itu
datang dari arah laut tengah menuju selatan, ke
arah Beirut Barat di mana terdapat kamp -kamp
pengungsi Sabra dan Shatila. Mama langsung
teringat rumah sakit Gaza. Tanpa berpikir pan-
jang Mama meluncur ke rumah sakit Gaza. Be-
gitu sampai di rumah sakit, Mama mendengar
dentuman bom menggelegar bertubi-tubi.
Ternyata itu adalah bom yang ditembakkan oleh
serangan darat, bukan serangan udara. Mama dan
para dokter yang lain naik ke lantai paling atas
dan melihat betapa rumah sakit dan kamp Sabra
dan Shatila telah dikepung oleh serangan darat
yang hebat. Bom-bom terus berjatuhan.
"Tengah hari, bom-bom itu sudah sangat dekat
dengan rumah sakit. Lalu terdengar suara meriam
dan suara tembakan yang seolah tidak pernah
berhenti. Sore hari, belasan orang Palestina
korban peluru-peluru tajam berdatangan ke
rumah sakit. Ada yang perutnya robek dari depan
sampai belakang, tapi belum juga mati. Ada yang
pahanya hancur. Ada perempuan muda yang siku
lengannya hancur. Ia ditembak di ruang tamu
rumahnya sendiri yang ada di pinggir kamp
Sabra. "Malam tiba, dan serangan itu semakin
menjadi- jadi. Kami terkepung. Langit Sabra dan
Shatila dipenuhi desingan peluru-peluru militer.
Suara tembakan senapan mesin tidak juga ber-
henti. Mama teringat Salma. Sejak pagi Mama
tidak melihat Salma. Mama sangat cemas. Tetapi
saat itu Mama tidak bisa berbuat apa-apa karena
Mama harus terus bekerja memberikan perto-
longan darurat pada orang-orang Palestina yang
terluka, yang terus membanjiri Rumah Sakit
Gaza. Jam tiga malam Mama tertidur kelelahan.
"Pagi sekali, hari Kamis 16 September 1982,
Mama tergerak untuk menelusup ke rumah
Salma. Ternyata suasananya jauh dari yang
Mama bayangkan. Suasananya sangat mengerik-
an. Mayat bergelimpangan di jalan- jalan. Dan
pembantaian terus berjalan. Orang-orang
Palestina yang membuka rumahnya diberondong
tembakan senapan mesin. Mama nyaris ter-
tangkap tentara pembantai, tetapi Tuhan
menyelamatkan Mama. Tiba-tiba dari tempat
persembunyian, Mama mendengar j eritan perem-
puan. Mama melihat seorang perempuan
Palestina sedang jadi bulan-bulanan tentara-
tentara durjana itu. Perempuan itu terus melawan.
Dan akhirnya ia ditembak mati setelah
mengalami penyiksaan yang tidak ringan. Mayat
perempuan itu tergeletak b egitu saja di pinggir
jalan. "Setelah para tentara itu pergi untuk mencari
korban lain, Mama merangkak perlahan mendekati mayat
itu. Mama penasaran, sebab dari kejauhan Mama
seperti mengenal suara perempuan itu. Ternyata
benar Mama mengenalnya. Perempuan itu adalah
Salma. Mama menangis, tiba-tiba Mama terin
gat pesan terakhir Salma sebelum berpisah malam
itu. Mama teringat bayi Salma, Mama langsung
bergerak untuk bisa keluar dari kamp Sabra dan
Shatila. Saat Mama berjalan sambil mengendap -
endap Mama tertangkap oleh tentara. Mama
dipukul dengan popor senapan. Mama langsung
pingsan, tidak tahu apa yang terjadi.
"Ketika bangun Mama sudah berada di ban-
gunan seperti gudang. Mama melihat banyak ma-
jalah dan koran berbahasa Ibrani di tempat itu.
Juga kaleng-kaleng makanan dan minuman
dengan label Israel. Para tentara di situ juga men-
erima perintah langsung dari pejabat militer Is -
rael. Di situ Mama tidak sendirian, para dokter
relawan dari pelbagai negara banyak yang dit-
awan di situ. Kami diinterogasi dan dihina. Kami
ditakut-takuti mau dibunuh. Satu hari penuh kami
ditahan, dan akhirnya kami dibebaskan dengan
syarat harus segera angkat kaki dari Beirut dan
tidak boleh lagi membantu orang-orang Palestina.
"Begitu bebas, Mama langsung berlari ke
apartemen Salma. Mama merasa bayi Salma
dalam bahaya besar. Apartemen Salma ada di lu-
ar kamp Sabra dan Shatila tetapi tidak begitu jauh
dari kedua kamp itu. Sampai di apartemen Salma,
ibu mertua Salma langsung menyerahkan bayi
Salma kepadaku, dan memintaku untuk langsung
pergi. 'Segera pergi, satu detik sangat berarti un-
tuk selamat. Cepat selamatkanlah anak Salma
ini.' Kata Ibu mertua Salma dengan hati bergetar.
Saat itu Mama minta supaya orang tua itti ikut
pergi, tetapi ia tidak mau. Dengan tegas ibu mer-
tua Salma itu berkata, 'Ini adalah tanah tumpah
darahku. Di sini aku lahir. Di sini aku tumbuh.
Dan di sirii juga aku akan mati dan dikuburkan.
Aku tidak akan meninggalkan tanah kelahiranku
ini, apa pun yang akan terjadi. Termasuk jika aku
harus mati karenanya.' "Mama tidak bisa memaksanya. Maka Mama
terpaksa pergi hanya dengan membawa bayi itu,
anak Salma. Sementara itu pembantaian di Sabra
dan Shatila terus berlangsung. Selama tujuh pu-
luh jam lebih, dari tanggal 15 sampai tanggal 18
September, kamp Sabra dan Shatila jadi ladang
pembantaian. Mama kira, pembantaian Sabra dan
Shatila, adalah tragedi kemanusiaan terbesar, ter-
kejam, terberingas, dan terbiadab sepanjang
sejarah. "Seorang koresponden BBC yang datang ke
kamp Sabra dan Shatila pada tanggal 19,
mengatakan di Rumah Sakit Gaza ia melihat
mayat yang ditumpuk-tumpuk. Dalam satu tum-
pukan ada sepuluh mayat bahkan lebih. Wart-
awan itu sampai menangis melihat kebiadaban
itu. Wartawan itu sampai mengatakan, bahwa
seekor kucing pun tidak luput dari pembantaian
yang dikendalikan sepenuhnya oleh Israel,
meskipun yang melakukan pembantaian di lapan-
gan adalah milisi Falangis yang tulang pung-
gungnya adalah orang-orang dari Suku Haddad
yang sangat memusuhi Palestina dan Islam.
"Kau pasti tahu, Anakku. Israel menggunakan
tangan milisi Falangis untuk membantai orang-
orang Palestina di Sabra dan Shatila, bukan tanpa
tujuan. Ada beberapa tujuan. Dan tujuan terpent-
ingnya menurut Mama ada dua. Pertama, dengan
menggunakan tangan milisi Falangis yang jelas -
jelas beragama Kristen, Israel ingin melang-
gengkan permusuhan umat Islam dan Kristen di
Libanon dan di mana saja. Yang kedua, Israel
ingin agar Libanon terus terguncang dan terintim-
idasi. Mereka, tentara-tentara Israel yang meren-
canakan pembantaian itu, sangat sadar bahwa
mereka pasti akan pergi. Akan tetapi suku Had-
dad dan Kata'eb adalah orang asli Libanon yang
akan tetap tinggal di Libanon. Mereka tidak akan
pergi. Mereka akan menjadi monster yang terus
mengintimidasi orang-orang Palestina yang
selamat dari pembantaian. Orang-orang Palestina
akan terus ketakutan, bahkan setelah Israel mun-
dur dari Libanon. "Masih pada tanggal 19 September 1982,seor-
ang wartawan yang juga kru film asal Kanada
berhasil mengambil gambar mengerikan yang
terjadi di Sabra dan Shatila. Termasuk gambar
Salma yang berlumuran darah, dengan isi perut
terburai keluar, dan dada hancur.
"Anakku, gambar mayat seorang perempuan
muda setengah telanjang yang berlumuran darah,
dengan kerudung putih penutup kepalanya lepas
tak jauh dari tubuh, yang perutnya sobek, dan
isinya teruarai. Gambar ya
ng baru saja kaulihat berulang -ulang itu, adalah gambar mayat Salma,
Anakku. Salma yang berhati malaikat itu harus
mati dengan cara yang sangat tragis dan men-
genaskan. Mama selalu menangis setiap kali
mengingat Salma dan apa yang terjadi padanya.
"Yang sedikit membuat Mama terhibur adalah
bahwa Mama berhasil menyelamatkan anak
Salma. Kalau Mama terlambat pergi dari aparte-
men Salma saat itu, kemungkinan besar Mama
tidak akan bisa menyelamatkan anak Salma.
Bahkan bisajadi Mama juga akan terbunuh. Se-
bab, setelah melakukan pembantaian habis -habis -
an dai Sabra dan Shatila, milisi Falangis dan
tentara Israel mengadakan penyisiran di Beirut
Barat. Setiap kali menemukan orang Palestina,
pastilah orang Palestina itu dihabisi.
"Dalam pembantaian Sabra dan Shatila itu,
orang -orang Palestina tidak bisa melakukan per-
lawanan apa pun. Sebab para pejuang mereka tel-
ah disingkirkan oleh PBB dari Beirut.
Dan segala senjata yang mereka miliki telah
diserahkan kepada pasukan penjaga perdamaian.
Dalam kondisi tanpa senjata apa-apa itulah Israel
memanfaatkan situasi. Israel menghabisi orang-
orang Palestina yang ada di Sabra dan Shatila
tanpa ampun. Genjatan senjata dan perdamaian
yang disepakati dilanggar di depan hidung pas -
ukan perdamaian PBB yang tidak berkutik apa-
apa. "Pada tanggal 22 September 1982, Palang
Merah Internasional mengumumkan jumlah may-
at korban pembantaian Sabra dan Shatila seban-
yak 2400, berdasarkan jumlah mayat yang
mereka temukan. Menurut Mama jumlah korban
sesungguhnya jauh lebih banyak dari itu. Sebab,
ada wartawan yang melihat stadion yang penuh
dengan mayat yang bertumpuk. Dan ada satu
kenyataan penting bahwa setelah mereka selesai
melakukan pembantaian, mereka membawa bul-
doser dan menghancurkan bangunan-banguan
yang ada di Sabra dan Shatila demi menimbun
mayat-mayat yang berserakan di mana-mana itu.
Jadi banyak sekali mayat yang tertimbun yang
tidak terhitung oleh tim Palang Merah
Internasional." "Terus bayi anak Salma itu, Mama bawa ke
mana dan Mama apakan"" Tanya Linor
penasaran. "Bayi itu Mama bawa ke Londoft, dan ke
mana saja Mama pergi. Mama rawat dengan pen-
uh kasih sayang sampai besar layaknya anak
Mama sendiri." Jawab Madame Ekaterina.
"Sekarang di mana dia" Apa aku pernah ber-
temu dengannya"" Linor penasaran.
"Ini yang kau harus tahu Anakku. Bayi yang
Mama selamatkan itu adalah kamu. Kamulah
anak Salma itu. Perempuan muda yang dibantai
dengan cara sangat sadis itu adalah ibu kandung-


Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu, Anakku !" "Bayi itu adalah aku"!"
"Ya. Benar. Kaulah bayi Palestina itu."
Mata Linor tiba-tiba berkaca-kaca. Hatinya
yang selama ini keras bagai batu jika melihat or-
ang Palestina atau mendengar nama Palestina,
kini tiba-tiba melunak. "Dan perempuan Palestina yang terbunuh itu
adalah ibuku"!"
"Benar." "Mama jangan mengada-ada!"
"Mama tidak mengada-ada. Inilah yang ses -
ungguhnya terjadi. Kalau kau tidak percaya kau
bisa test DNA. Mama punya beberapa lembar
rambut Salma dan contoh darah Salma yang per-
nah Mama ambil beberapa saat sebelum dia me -
lahirkan. Mama hanya menyampaikan kebenaran
yang tidak boleh Mama tutup -tutupi. Mama tidak
mau mengkhianati Salma. Apa kata Salma ke-
pada Mama, jika dia bisa hidup kembali melihat
Mama menyembunyikan sejarah hidupmu dan
membiarkan dirimu menjadi agen Zionis yang
terus membunuhi orang-orang Palestina setiap
hari, padahal kau sejatinya adalah orang
Palestina. Sekali lagi Mama katakan sebenarnya
kau bukan anak Mama, kau anak Salma. Tidak
ada darah Yahudi yang mengalir dalam tubuhmu,
yang ada sesungguhnya adalah darah Muslim
Palestina." "O tidaaak!" Tiba-tiba Linor menjerit dan
menangis pilu. Pikirannya langsung teringat per-
empuan muda Palestina yang tewas dengan perut
sobek dan dada rusak. Perempuan muda itu ada-
lah Salma, ibunya. Ia merasa betapa jahatnya ia
selama ini karena menjadi agen rahasia Israel,
dan betapa jahatnya ia telah menjadi bagian dari
penyebab hilangnya nyawa orang-orang Palestina
yang ternyata adalah saudaranya sendiri, bang-
sanya sendiri. Linor menjerit dalam batin sesak
antara percaya dan tidak percaya. Sebutir airmata
tiba-tiba jatuh dari pipinya. Ya, hanya sebutir.
*** 31. Menemukan Yang Hilang
Sementara itu, di belahan bumi Allah yang
lain, pada waktu bersamaan, saat Linor masih
basah oleh airmata, Ayyas nampak bahagia. Ia
merasa menemukan kembali dunianya yang
selama ini hilang. Ia kembali merasa berjalan di
jalan yang lapang. Meskipun lebih sederhana dan
lebih sempit, apartemen Pak Joko terasa lebih
nyaman dan lebih lapang bagi Ayyas. Ia merasa
seumpama ikan yang kembali menemukan air
yang jernih dan sehat. Malam itu, untuk pertama
kalinya sejak berada di Moskwa ia merasa tidur
di tempat yang tepat. Sejak sore Ayyas sudah resmi meninggalkan
apartemennya di Panvilovsky Pereulok. Ia sudah
pamit kepada Yelena dan Bibi Margareta. Hanya
kepada Linor ia tidak sempat memberitahu. Ia
merasa Linor sudah ada di Ukraina dan ia tidak
perlu berpamitan padanya. Pada akhirnya nanti
Linor juga akan tahu. Ia sudah nitip salam pada
Yelena untuk Linor. Kepada mereka semua ia
meminta maaf, jika selama berada di apartemen
itu dan selama berinteraksi dengan mereka, mun-
gkin dirinya melakukan banyak kesalahan.
Yelena sungguh-sungguh menahan Ayyas supaya
tetap tinggal di apartemen itu. Bahkan Yelena
tidak kuasa untuk menahan lelehan airmatanya.
Tetapi niat Ayyas sudah teguh dan bulat.
Yelena minta kepada Ayyas untuk tetap bisa
berkomunikasi dan bersahabat. Ayyas tidak ke -
beratan. Yelena dengan jujur mengatakan kebaik-
an Ayyas tidak akan terlupakan, dan ketulusan ji-
wa orang Indonesia akan terus dikenangnya.
Ketika Ayyas ditanya mau pindah ke mana.
Ayyas hanya menjawab, "Kalau ada perlu
denganku kalian bisa sms aku atau datanglah ke
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa,
di Novokuznetskaya Ulitsa. Kalau aku kebetulan
tidak ada di sana, kalian bisa nitip pesan."
Bibi Margareta juga meneteskan airmata haru
mengetahui Ayyas akan pindah.
"Entah kenapa, mekipun kebersamaan kita
tidak lama aku merasa engkau telah menjadi
bagian dari keluargaku, Malcishka (Panggilan
penuh kasih sayang pada anak lelaki, lebih halus
dari malcik). Ucap Bibi Margareta dengan penuh
kasih sayang. "Aku doakan semoga Tuhan selalu
menyertai langkahmu, Malcishka."
Ayyas mengamini dalam hati. Ia menjelaskan
kepada Yelena dan Bibi Margareta, bahwa
kamarnya bisa ditempati oleh Bibi Margareta,
tanpa harus mengganti uang sewanya. Ia ber-
harap Yelena bisa menata hidupnya lebih baik
bersama Bibi Margareta yang kini telah dianggap
sebagai ibunya sendiri oleh Yelena.
Dengan sekali angkut saja, barang-barang mi-
lik Ayyas sudah berpindah dari Panvilosky
Pereulok yang berada di kawasan Smolenskaya
ke Aptekarsky Pereulok yang berada di kawasan
Baumanskaya. Jika sebelumnya Ayyas tinggal te-
pat di jantung kota, kini ia tinggal agak di pinggir
kota, tepatnya agak jauh di sebelah timur jalan
lingkar dalam. Jika sebelumnya ia tinggal di
apartemen yang terkesan mewah, kini ia tinggal
di gedung tua yang lebih sederhana. Tetapi ia
merasa lebih bahagia. Malam itu, Ayyas menata kamarnya. Aparte-
men itu hanya memiliki dua kamar dan satu
kamar mandi bersama. Dapur menyatu dengan
kamar tamu yang sekaligus jadi kamar keluarga.
Ayyas menempati kamar yang agak sempit,
tigaYneter kali dua setengah meter. Tempat
tidurnya hanya cukup untuk satu orang saja.
Tetapi bagi Ayyas itu sudah sangat cukup. Yang
paling penting adalah semua sarana vital di mu-
sim dingin di rumah itu berfungsi dengan baik.
Pemanas ruangan berfungsi, air tidak ada masa-
lah, dapur berfungsi dengan baik. Itu sudah lebih
dari cukup. Ayyas menata kamarnya dengan hati gembira.
Ia mengatur ulang tata letak meja dan lemari ke -
cil. Untuk posisi tempat tidur ia rasa sudah tepat.
Tempat tidur itu sudah berada di posisi ter-
baiknya. Setelah itu barulah ia menata
pakaiannya ke dalam lemari. Dan menata be-
berapa bukunya di atas meja. Ia nyalakan laptop
dan mencoba mengetik beberapa kalimat. Ia mer-
asa nyaman. Sementara Ayyas sibuk di kamarnya, Pak
Joko nampak asyik di ruang tamu memeriksa
buku PR para siswa Sekolah Indonesia Moskwa.
Dengan sabar Pak Joko membaca dan meneliti
kerjaan para muridnya. Satu per satu. Kalimat per
kalimat. Terkadang ia menc
oret. Terkadang me - nambahkan sesuatu. Dan terkadang membetulkan
yang kurang betul. Tidak jarang ia memberi
saran. "Kita makan apa malam ini Pak Joko"" Kata
Ayyas dari dalam kamarnya sambil memasukkan
kopernya ke kolong tempat tidurnya.
"Setelah aku selesai memeriksa pekerjaan
anak-anak, kita turun cari makanan. Di ujung
timur Aptekarsky Pereulok ada restoran Pakistan.
Kita makan di sana saja, bagaimana""
"Mahal tidak Pak""
"Biasa saja. Tidak mahal."
"Setuju kalau begitu." .
Setelah Pak Joko menyelesaikan tugasnya, ia
memanggil Ayyas untuk mencari makan malam.
Mereka berjalan ke timur menyusuri Aptekarsky
Pereulok. Udara dingin berhembus pelan. Pohon-
pohon bereozka bergoyang, butir-butir salju
terpelanting dari dahan dan rantingnya.
Kendaraan masih ramai berlalu lalang. Ponsel
Ayyas berdering ketika mereka sudah berada di
depan restoran. "Ya. Siapa""
"Ini Yelena." Jawab suara dari seberang. "O
ya ada apa"" "Tas kamu ada yang ketinggalan ya"" "Kurasa
tidak." "Ini di bawah kolong tidur kamarmu ada tas
ransel hitam." "Maaf aku tidak punya ras ransel hitam. Aku
punya tas hitam, tapi bukan ransel. Tas hitam un-
tuk laptopku dan untuk membawa beberapa
buku." "Jadi ini milik siapa""
"Aku tidak tahu, apa mereknya"" "Samsonite."
"Mungkin milik penghuni sebelum aku."
"Bisa jadi. Berarti sama dia sengaja ditinggal.
Padahal masih bagus. Kalau begitu biar aku gun-
akan saja ya." "Terserah kamu."
"Sekali lagi benar ini bukan milik kamu." "Ya
benar." "Ini sedang aku buka tas itu. Isinya bukan
buku. Isinya agak aneh. Ya ini pasti bukan milik
kamu. Baik, terima kasih. Maaf mengganggu.".
"Salam buat Bibi Margareta."
"Ya pasti saya sampaikan. Spakoinoi Nochi
(Selamat tidur/malam)"
"Aku belum mau tidur. Ini baru makan
malam." "Kalau begitu selamat makan."
Angin dingin kembali berhembus, kali ini
agak kencang. Ayyas mengatupkan rahangnya
kuat-kuat menahan dingin. Ia cepat-cepat berge -
gas memasuki restoran mengejar Pak Joko yang
ada di depan. Malam itu Ayyas memilih makan
dengan menu nasi Biryani, dengan lauk daging
kambing, dan minum teh syahrazad yang lezat.
*** Pagi sekali sebelum matahari terbit Ayyas tel-
ah rapi. Dengan agak tergesa-gesa ia keluar dari
apartemen dan berjalan menembus dinginnya
udara pagi. Ia berjalan ke timur menyusuri
Aptekarsky Pereulok, sampai di Baumanskaya
Ulitsa ia belok kanan. Jalan- jalan masih dipenuhi
kabut yang cukup tebal. Para petugas pembersih
salju masih ada yang bertugas di beberapa titik
jalan. Sesekali Ayyas melihat jam tangannya. Ia
telah terlambat dua menit. Ia mempercepat
langkahnya. Ayyas berjanji akan bertemu dengan Doktor
Anastasia Palazzo di bawah lambang metro yang
ada di dekat stasiun Baumanskaya. Tepatnya di
bawah lambang metro yang ada di Baumanskaya
Ulitsa, yang letaknya paling selatan. Setelah ber-
temu, Doktor Anastasia Palazzo akan mem-
bawanya ke stasiun televisi untuk menjadi
pembicara dalam acara talk show "Rusia Berbi-
cara" yang akan disiarkan secara live.
Doktor Anastasia memberitahukan kepadanya,
ada perubahan jam tayang talk show tersebut.
Yang biasanya tayang di siang hari jam satu si-
ang sampai jam dua, kini diajukan di waktu pagi
dari jam tujuh tiga puluh pagi sampai jam
delapan tiga puluh. Dan satu jam sebelum acara
dimulai, semua pembicara harus sudah ada di stu-
dio untuk persiapan. Ayyas berjalan secepat yang ia mampu. Dari
kejauhan nampak mobil Prado putih milik Doktor
Anastasia sudah menunggu. Dua menit kemudian
Ayyas sudah sampai. Doktor Anastasia mem-
persilakan Ayyas untuk masuk ke mobilnya dan
duduk di sampingnya. Sekilas Ayyas melihat pe-
nampilan Doktor Anastasia yang nampak lebih
segar dan lebih cantik dari biasanya. Ayyas mer-
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 19 Pedang Siluman Darah 23 Bocah Kembaran Setan Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 2
^