Pencarian

Cewek 5

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 5


Perlahan dibukanya mata, dan yang pertama menyambut pandangannya adalah Rocky Mountain yang berdiri megah menyangga langit. Puncaknya diselimuti salju. Sementara kaki dan sebagian lerengnya ditutupi hamparan pinus yang berdiri tegak saling merapat. Sebuah danau luas memantulkan kemegahan langit dan dipermukaannya yang tenang.
Fani menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang langsung dilukis di dinding tanpa seinci pun ruang polos dibiarkan tersisa. Terasa begitu teduh dan menenangkan. Perhatiannya kemudian beralih ke sisi tembok di samping tempat tidur. Bunga-bunga edelweis yang telah kering ditempelkan dalam ikatan-ikatan kecil. Direkatkan ke tembok dengan selotip, ditempelkan selembar kecil kertas. Sesaat Fani mengerutkan kening, lalu berguling mendekati dinding dan bangkit dari posisi tidur.
"Hargodalem-Lawu," bacanya pelan di kertas kecil di bawah ikatan bunga yang paling pinggir. Di bawah tulisan itu tertulis hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam saat bunga itu dipetik. Tatap matanya kemudian beralih ke ikatan bunga berikutnya. "Cisalada-Papandayan. Suryakencana-Gede. Ranukumbolo-Semeru. Padang Surayan-Dempo.... Ck, gila! Oke banget pendokumentasiannya!" Fani berdecak kagum.
Dan setelah terkagum-kagum selama beberapa menit, di ikatan edelweis yang kesekian, mendadak Fani tersadar akan sesuatu. Edelweis" Gunung"
Tenggorokannya tersekat. Buru-buru dia melompat turun dari tempat tidur. Dan ketika kedua kakinya bergerak mundur beberapa langkah, baru dia tahu bahwa edelweis yang direkatkan di tembok dalam ikatan-ikatan kecil itu ternyata disusun membentuk formasi huruf "M".
"M"" desisnya. Dan seketika dadanya berdegup kencang. "M" berari Maranon....
Kepalanya lalu bergerak liar ke seisi ruangan, dan berhenti di satu titik dengan wajah pucat. Di sana, di sisi tembok yang lain, tersemat dalam bingkai kayu yang artistik dan lumayan besar, terpampang foto diri sang Baginda Maharaja yang bertakhta di kamar itu.
"HAAAA!!!" Fani menjerit melengking. Tubuhnya tanpa sadar melompat mundur dan tak ayal menabrak rak buku di belakangnya. "ADUH!!!" sekali lagi cewek itu menjerit keras saat kepalanya terantuk rak yang terbuat dari batang-batang kayu utuh yang diplitur itu.
Bersamaan dengan jeritan terakhir Fani, pintu terbuka dengan satu entakan keras. Bima menerjang masuk dan berlari menghampiri Fani yang sedang menelungkup di lantai sambil memegangi kepala, lalu berlutut di sebelahnya. "Ada apa"" tanya cowok itu cemas.
"Kejedot rak buku!" "Kok bisa""
Tiba-tiba Fani melompat berdiri. "Gue yang mau tanya! Kenapa gue bisa ada di sini!""
"Trus maunya di mana" Rumah sakit" Kalo cuma pingsan aja mana bisa, lagi" Masuk sana ya harus sakit." "Tapi elo kan sakit. Sakit jiwa! Jadi mereka pasti udah langsung tau kalo gue korban elo!"
Seketika Bima ketawa keras. "Kok begitu ngomongnya" Nggak sopan!"
"Kenapa gue bisa ada di sini" Jawab! Kenapa!""
"Tadi kamu pingsan di ruang ganti kolam renang, kan" Lupa""
Fani tertegun. Tapi tak berapa lama dia tersentak.
Sekarang dia ingat lagi. Dia telah menyaksikan.....Bima berbikini!
Ya Tuhan! Cewek itu bergidik. Kemudian lagi-lagi dia tersentak. Tapi gara-gara itu kan, dia terus pingsan. Padahal dia juga lari berbi.....
Serentak kepalanya menunduk, dan napasnya langsung tersangkut di tenggorokan begitu dilihanya....dirinya telah berpakaian lengkap!
Diangkatnya kepala dan ditatapnya Bima tajam-tajam. "Kenapa gue jadi pake baju!"" bentaknya. Pertanyaan itu membuat Bima tertawa geli. Fani langsung tersadar, kalimatnya tadi sudah salah redaksi. Dan wajahnya kontan merah padam.
"Ng....maksud gue....siapa yang makein gue baju!"" ralatnya.
Tapi tetap dengan nada galak.
"Nggak usah ditanya. Nanti kamu stres," jawab Bima halus. Tapi jawaban Bima itu malah bikin Fani tersentak. Seketika ditutupinya mukanya dengan kedua tangan. Bikini itu punya belahan dada yang benar-benar rendah. Sampai tadi terpaksa ditutupinya bagian dadanua yang terbuka dengan tisu. Tapi tisu bukanlah makhluk bernyawa dan berkepala. Jadi sudah pasti tidak akan punya inisiatif untuk tetap melekat erat di dadanya saat dirinya jatuh pingsan.
Teringat itu, seketika Fani melepaskan kedua tangannya yang menutupi muka lalu melongok ke balik bajunya. Dan sepertinya yang ditakutkannya, tisu itu sudah tidak ada lagi. Gantinya, sehelai slayer merah dengan lambang Maranon, melekat di sana. Dua ujung slayer itu diikatkan di tali-tali bikininya. "Tisunya basah, trus sobek," Bima menjelaskan dengan ekspresi sepolos tampang anak balita. "Dan karena aku nggak punya tisu, jadi ya terpaksa pake apa yang ada. Kebetulan yang ada cuma slayer Maranon."
"Kalo udah dipakein baju, kenapa juga lo iketin slayer di bikini gueee!"" Fani menjerit melengking. "Kenapa"" Bima menyipitkan kedua mata hitamnya, berlagak heran dengan pertanyaan Fani itu. "Karena pasti ada alasan kenapa kamu tutupin pake tisu. Dan setelah tisu itu sobek, aku tau alasannya." Bima tersenyum tipis.
Seketika Fani berlari ke arah tempat tidur lalu menjatuhkan diri di tepinya. Dia telungkupkan tubuh di sana, menyembunyikan wajahnya di atas bantal, kemudian terisak-isak dengan sangat menyayat hati, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya dia ingin teriak. Ingin menjerit sekeras-kerasnya. Hancur sudah masa depannya! Pulang dari sini, dia harus mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk gantung diri atau terjun bebas!
Dalam berdiri diamnya, Bima menatap Fani dengan sorot lembut. Cowok itu memang senang sekali menggoda ceweknya yang entah nomor keberapa ini. Respons Fani yang selalu meledak-ledak, membuatnya jafi kerajingan menjaili. Tapi ada yang telah terjadi di antara mereka berdua beberapa saat lalu, tak urung jadi membangkitkan kedekatan emosi. Tiba-tiba Fani mengangkat muka. Dihapusnya air matanya. "Kenapa sih lo nggak minta tolong sama mbak yang jaga stan makanan di pinggir kolam" Atau sama siapa kek gitu"" "Apa bedanya sekarang" Aku minta tolong dia atau siapa juga....," Bima mengangkat kedua alis tebalnya, "toh aku sudah ngeliat, kan" Meskipun di balik bikini. Lagi pula...." Bima menggantung kalimatnya sesaat. Kedua matanya menatap Fani lurus-lurus, kemudian dia lanjutkan kalimatnya dengan nada tandas. "Underneath your clothes is my territory!" ucapnya mengikuti lagu Shakira.
Kalimat itu seketika membuat Fani membenamkan wajahnya dibantal. Dan ketika wajah itu kembali terangkat, merahnya sudah lebih merah dari apel yang paling merah.
"Trus lo apain gue"" tanyanya pelan. Pasrah sudah.
"Nggak diapa-apain...." Bima tetap meneruskan godaannya.
"Cuma dipakein baju."
"Nggak mungkin! Lo kan tukang memanfaatkan kesempatan!" Sejenak Bima menatap Fani dengan pandang lurus. Kemudian cowok itu berjalan mendekati meja di sudut kamar, mengambil sebuah buku dan bolpoin, lalu menghampiri Fani dan duduk bersila di sebelahnya. Dekat di sebelahnya.
"Kalo itu yang kamu maksud....," ucap Bima halus,
"memanfaatkan kesempatan itu udah insting setiap cowok, Fan. Dan susah untuk ngelwan hukum alam." Diletakkannya buku dan bolpoin di pangkuan Fani. "Kamu tulis aja di sini, apa yang k
amu minta untuk maskawin. Resepsinya mau gimana, trus gaunnya mau tradisional atau modern. Suvenir, dekorasi. Semuanya. Tulis aja di sini. Oke""
Bima mengusap lembut kepala Fani, yang memandanginya dengan tatapan tidak terfokus. Kemudian diraihnya tubuh Fani, dipeluknya erat, lalu dikecupnya bibir gadis itu. Sekali lagi, ditatapnya cewek dalam pelukannya itu. Melakukannya pada orang yang berbeda, untuk alasan yang juga berbeda, ternyata memberikan perasaan itu berbeda pula. Mungkin karena hanya fisik cewek ini yang bisa dimilikinya. Itu pun dengan cara-cara yang sering kali ekstrem.
"Aku tinggal dulu ya...." Bima melepaskan pelukannya. "Aku mau liat dulu, di Mbok udah selesai nyiapin makan atau belum. Nanti selesai makan, kita ngobrol-ngobrol. Ada beberapa pertanyaan yang harus kamu jawab, Sayang."
Bima telah menghilang di ambang pintu. Tapi Fani masih terpana tak percaya. Tidak mungkin ini terjadi. Tidak mungkin! Ini pasti cuma halusinasi. Ini bukan kenyataan. Pasti! Pasti bukan kenyataan! BUKAN KENYATAAN!!!
Sayangnya, di saat Fani mati-matian menghipnotis dirinya sendiri bahwa apa yang sedang menimpanya saat ini adalah cuma halusinasi, Bima muncul lagi. Dan gorila itu terlalu riil, bahkan seandainya Fani benar-benar sedang bermimpi. "Lupa nih, aku mau nanya. Itu satuannya apa sih" Sekali-sekali aku pengen juga beliin buat kamu. Biasanya kamu pake merek apa" Soalnya aku taunya cuma Triumph....." Dengan kurang ajar sepasang mata Bima hinggap di dada Fani dan menatapnya bergantian.
Langsung saja..... "AAAAAA!!!" Bima berjalan keluar sambil terbahak-bahak. Fani menerjunkan diri ke ranjang. Dipukulnya bantal keras-keras. Ternyata dia benar-benar harus bunuh diri. Daripada bikin malu ortu! Tiba-tiba cewek itu mengangkat kepala dan memandang berkeliling. Iya, betul! Dia akan bunuh diri di kamar ini saja. Kemudian menjadi arwah gentayangan. Dan akan diterornya hidup Bima lewat penampakan-penampakan seram! Sip! Ide brilian! Itu namanya dendam di bawa mati! Tapi mendadak Fani teringat, Bima akan mengajukan beberapa pertanyaan. Seketika cewek itu melompat bangun. Bunuh diri bisa ntar-ntar. Yang paling penting sekarang, menyelamatkan Langen dan Febi dulu, alias kudu secepatnya buron dari tempat ini!
Fani berjingkat-jingkat mendekati pintu lalu mengintip keluar. Hari mulai sore. Sip, sepi! Buru-buru dia berlari menuju ruangan yang diperkirakannya ruang tamu. Tapi belum juga ambang pintunya tercapai, Bima muncul. "Mau ke mana"" tanya cowok itu tajam.
"Mm....itu.....ke kamar mandi." Fani langsung memperagakan adegan kebelet pipis.
"Sini." Bima meraih tangannya. Fani hanya bisa mengeluh dalam hati saat usaha pelariannya itu gagal. Pasrah diikutinya tangan yang menariknya ke arah belakang. Kesebuah ruangan yang ternyata dapur.
"Mbok," panggil Bima. Seorang perempuan paruh baya yang sedang mengiris ketimun menoleh. "Ini nih pacar baru saya. Gimana""
"He-eh. Ayu." perempuan itu tersenyum. "Pacar baru"" gerutu Fani begitu pintu kamar mandi telah ditutupnya. Bunyi klakson sepeda motor sesaat kemudian membuat tangannya yang akan meraih gayung seketika berhenti di udara. Ia memanjat bibir bak lalu mengintip ke luar lewat jendela kecil di dinding. Ternyata di samping kamar mandi ada lorong kecil yang langsung tembus halaman depan. Mendadak pintu di ujung lorong terbuka. Refleks Fani menurunkan kepala, lalu mengintip lagi pelan-pelan. Dilihatnya Bima berjalan cepat ke depan. Buru-buru Fani melompat turun.
Perlahan dibukanya pintu kamar mandi dan diintipnya keluar. Dapur kosong. Si mbok itu entah ke mana. Tanpa buang waktu, Fani berlari ke ruang tamu lalu meringkuk di belakang sofa. Lewat jendela di ruang tamu, Fani melihat Bima berdiri di gerbang depan, sedang memandangi buku yang disodorkan petugas pos. Cewek itu semakin meringkuk saat Bima lewat di depan jendela, kembali ke pintu samping. Begitu terdengar pintu samping dibuka lalu ditutup kembali, Fani langsung berlari keluar. Disambarnya sepatu ketsnya di teras dan dipakainya sambil terus berlari menuju pintu pagar. Dan setelah lima detik mengerahkan s
eluruh cadangan tenaga, pintu pagar itu boro-boro terbuka, bergeser sedikit pun tidak. Terpaksa Fani menggunakan keahlian yang diperolehnya semasa SMA. Keahlian yang wajib dimiliki oleh setiap murid yang datang telat. Dia memanjat pagar tinggi itu lalu melompat keluar dan langsung berlari sekencang-kencangnya.
Karena sudah mendapatkan penempaan fisik yang cukup, kecepatan berlari Fani menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Tapi tetap, kalau urusannya melawan Bima, taktik lebih diperlukan daripada kecepatan. Karena itu sambil terus berlari, otak Fani juga berputar. Dan begitu dilihantnya seorang ibu sedang kerepotan mengangkati jemuran sambil menggendong anak balitanya yang rewel, Fani langsung menghampiri.
"Sini, Bu. Saya bantuin," ucapnya. Ibu itu menoleh kaget. Ditatapnya Fani dengan kening berkerut. "Sini saya bantu ngangkatin jemuran. Kayaknya Ibu repot banget." "Oh, iya. Ini anak saya, badannya lagi panas. Makanya rewel terus. Terima kasih ya. Sebentar saya bawa dulu dia ke kamar." Ibu itu berjalan masuk ke rumah. Fani memandang berkeliling. Dia harus membuat penyamaran dulu, karena baju-baju yang dijemur hanya akan menutupi badan dan kepalanya. Sementara kaki sudah pasti akan terlihat jelas. Tatapannya berhenti di sehelai kain kumal yang menggeletak di lantai teras. Fani jadi tahu kenapa kain itu ditelantarkan, setelah meraihnya. Ternyata baunya "yeeekh!" sekali. Sepertinya ini ompol paling gres bayi tadi. Tapi tidak apa-apa. Sip malah. Ini namanya penyamaran ala sigung!
Cepat-cepat Fani melilitkan kain itu sampai menutupi sepatunya. Kemudian dia segera memulai pekerjaannya. Sambil pura-pura mencopoti jepitan baju, ia bersembunyi di balik kain-kain lebar, seperti seprai dan selimut. Karena hanya dua itu yang nantinya tidak menyisakan celah terbuka. Tepat di selimut terakhir, Bima muncul. Fani yang sudah hafal benar dengan langkah-langkah kaki itu, seketika merunduk di balik selimut. Bima berjalan mondar-mandir. Tarikan napasnya sudah seperti dengus banteng aduan. Bukan cuma karena habis lari ke sana kemari, tapi juga karena dia sedang sangat marah! Setelah berkali-kali menoleh ke segala arah, akhirnya Bima pergi. Dia sama sekali tak berminat untuk memeriksa seseorang di balik jemuran. Soalnya bila dilihatnya dari kain buluk yang dipakai, cewek itu sudah pasti pembantunya yang punya rumah. "Terima kasih, ya""
Teguran itu membuat Fani nyaris menjerit. Alamak! Nyaris amat ibu ini nongolnya ya" Desisnya dalam hati.
"Maaf. Kaget, ya""
"Iya." Fani tersenyum basa-basi lalu cepat-cepat melepaskan kain bau yang dipakainya.
"Itu kan kotor"" Ibu itu mengerutkan kening.
Fani cuma meringis. Tak bisa menjawab.
"Bu, kalo mau ke jalan besar, lewat mana ya""
"Oh, itu. Kalau nanti kamu sampai di pertigaan depan, belok kiri. Terus..... "
Ibu itu menjelaskan apa yang diminta Fani. Setelah mengucapkan terima kasih dan setelah sekali lagi menghafalkan arah yang jelaskan, Fani langsung tancap gas. Lari sekencang-kencangnya menuju gerbang kebebasan!
*** Pelarian itu nyaris sukses. Fani nyaris sampai di rumahnya dengan selamat, sehat, dan utuh. Tapi sekali lagi.....nyaris.
Hanya nyaris. Hanya berjarak kurang dari dua ratus meter dari pintu pagar rumahnya, sebuah Jeep Canvas muncul tiba-tiba. Melaju dari sisi kanan dan memaksa taksi yang ditumpangi Fani untuk menepi, dengan satu teriakan klakson yang memekakkan telinga. Fani terkesiap.
"Pak! Pak! Cepet, Pak! Ngebut! Itu tinggal deket lagi! Cepetan!"
dia menjerit-jerit panik.
Terlambat! Jeep Bima telah melintang di tengah jalan. Cowok itu melompat turun dan dalam sekejap telah berada di luar jendela taksi di saat Fani belum sadar dari keterpanaannya.
"Stop pinggir, Pak! Cepet!"
Perintah itu terdengar jelas meskipun seluruh kaca jendela tertutup rapat. Si sopir taksi, yang mengira dirinya sedang dirampok, langsung menurut. Bima berjalan kembali ke Jeep-nya. Fani tersadar.
"Pak! Nanti begitu mobilnya minggir, langsung ngebut, Pak!" Tapi si sopir taksi menggeleng kuat-kuat. "Jangan, Neng. Biarin aja. Uang saya cuma sediki
t kok. Baru keluar. Baru dapet dua puluh ribu. Biar aja dia ambil, daripada mobil saya dirusak atau nyawa saya melayang!"
"Dia bukan perampok, Pak! Dia itu pembunuh!" ucap Fani nyaris menjerit.
"HAH!"" si sopir taksi terkesiap dan kontan semakin pucat. "Pe....pe.... "
"Iya! Makanya cepetan kita kabur!" seru Fani.
Tapi karena kata-kata Fani itu, si bapak sopir jadi shock. Dia cuma bisa mematung. Dan ketika Bima kembali dan mengetuk-ngetuk kaca, menyuruhnya membuka pintu belakang sebelah kiri karena Fani telah menguncinya, lagi-lagi dengan patuh diturutinya perintah itu.
"Jangan! Jangan! Jangan dibuka! Jangan biarkan dia masuk!" jerit Fani. Mati-matian berusaha disingkirkannya tangan si sopir taksi dari tombol kunci.
Di luar, Bima memerhatikan dengan tidak sabar. Diketuk-ketuknya lagi kaca jendela, meminta si sopir taksi untuk membuka pintu di sebelahnya. Dan begitu pintu itu terbuka, Bima mengulurkan tangan ke dalam. Mengenyahkan kesepuluh jari Fani yang menutupi tombol kunci rapat-rapat, kemudian menarik tombol itu ke atas bersamaan dengan tangan kirinya menarik hendel dari luar.
Dan tertangkaplah sang pelarian!
"Halo, Sayang!" desis Bima tajam. "Urusan kita belom selesai. Aku belom jawab tantangan kamu yang terakhir!" Fani memucat di ujung jok belakang. Si sopir taksi menatap tegang, mengira sesaat lagi akan terjadi pertumpahan darah. Dia sudah membayangkan akan masuk tivi, di salah satu progam khusus kriminalitas.
Bima bergerak maju, nyaris merapatkan tubuhnya dengan tubuh Fani.
"Apa kamu bilang waktu itu" Berani nggak aku peluk terus nyium kamu di depan mama kamu"" ditepuk-tepuknya kedua pipi Fani. "Kecil! Akan aku buat mama kamu, bahkan papa kamu, setuju kalo sekalian kuminta......kita kawin sekarang!"
"HAAA!" A-APA!""
Fani terperangah amat sangat. Shock. Pucat pasi. Putih seputih kertas. Bima tersenyum puas. Yang diperlukannya saat ini memang wajah sekarat ini. Cowok itu menoleh ke sopir taksi, yang masih mengikuti setiap adegan dengan ekspresi terpana.
"Kenapa, Pak""
"Ng.... Nggak! Nggak apa-apa!"
"Kalo gitu tolong ke rumah sana itu, Pak. Yang pagernya abu-abu." Bima mengulurkan selembar uang. "Kembaliannya buat Bapak."
Si sopir taksi menerima dengan heran. Ternyata pembunuhan yang ini baik sekali, soalnya tip yang dia berikan jumlahnya nyaris dua kali lipat dari argo. Taksi lalu berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Fani.
"Tolong klaksonin, Pak!" kata Bima sambil bergegas turun. Dibukanya pintu di sebelah Fani dan diraihnya cewek itu ke dalam pelukan.
"Apa-apaan sih" Gue bisa...."
Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Membungkam protes itu seketika. Kemudian digendongnya Fani dengan cara yang membuat cewek itu tidak bisa menggerakkan tangan maupun kedua kakinya. Ijah, yang keluar karena mendengar bunyi klakson, kaget melihat nona majikannya yang biasanya bisa jalan sendiri, sekarang sampai harus digendong. Buru-buru dia berlari menghampiri.
"Non Fani kenapa, Mas""
"Tadi dia pingsan, Jah."
"Pingsan" Di mana""
"Di kampus. Tolong bukain pagernya."
"Iya! Iya!" Ijah membuka pintu pagar lebar-lebar, lalu berlari
masuk rumah sambil menjerit-jerit. "NYAH! NYONYAH! NON FANI PINGSAN!!!"
Tak lama mama Fani keluar sampai bergopoh-gopoh. Rambutnya berantakan, bajunya kusut, keliatan sekali kalau di bangunkan dari tidur. Dan begitu melihat anak semata wayangnya sampai harus digendong, jelas saja dia jadi panik. "Fani kenapaaa!" Dari tadi kamu Mama cari-cari....."
Fani sudah siap-siap bicara, tapi Bima mengetatkan pelukannya. Cowok itu cepat-cepat menyela.
"Iya, sori, Tante. Tadi saya jemput Fani nggak bilang-bilang. Saya ngajak dia ke kampus. Tapi dia di kampus pingsan, Tante," jawab Bima. Dia telah menyetel tampangnya dengan ekspresi sangat cemas dan sangat khawatir. Saking betapa khawatir dan cemasnya dia, dipeluknya Fani kuat-kuat, dan diciumnya pipi Fani di depan mata sang mama!
Maka terjwablah sudah seluruh tantangan!
Pelan dan hati-hati, Bima lalu merebahkan Fani di sofa panjang.
Sang mama langsung duduk di sebelah anaknya i
tu, memerhatikan dengan kecemasan yang benar-benar menggunung.
"Kamu kenapa" Kok bisa pingsan" Mukanya sampe pucet begini."
Baru saja Fani mau menjawab, eh.....sekarang si Ijah yang menjawab pertanyaan itu.
"Non Fani kan tadi pagi nggak mau sarapan, Nyah. Cuma gara-gara Ijah lupa beli roti tawar, trus gantinya Ijah bikinin nasi goreng pake telor ceplok. Eh, Non Fani nggak mau. Katanya kolestrol tinggi. Udah nasinya berminyak, masih dipakein telor, lagi! Gitu, Nyah."
"Nah, itulah. Jelas aja jadi pingsan." Mama Fani menghela napas. "Tapi Fani ini emang makannya susah, Tante," kata Bima. "Oh, iya. Betul itu. Memang begini nih anak, Nak Bima." "Kalau saya paksa-paksa makan, dia marah, Tante." "Iya, emang begitu!"
Fani tercengang menatap Bima. Idih! Kapan lo maksa-maksa gue makan!"
Mulutnya sudah terbuka. Siap meneriakkan itu sama sekali tidak benar, tapi Bima langsung mendahului. "Padahal maksud saya baik, Tante. Jangan cuma gara-gara biar badannya tetep langsing, terus nggak makan. Kalo jadi sakit begini kan malah repot."
"Iya memang!" Mama Fani langsung mengangguk setuju. "Tau tuh!" Ijah ikutan ngomel.
"Dan Fani ini juga nggak peduli kesehatan, Tante. "Hobinya makan rujak!"
"Kamu kelewatan bener sih, Fan""
"Itu bohong, Ma! Bohong! Nggak bener! Fitnah!" Fani melompat bangun.
Fani membantah sampai nyaris histeris, tapi dua orang di depannya sama sekali tidak percaya. Cewek itu lalu menoleh dan menatap Bima penuh dendam. "Elo.....!"
Bima menyambut tatapan itu dengan senyum samar dan kedipan sebelah mata. Fani memalingkan lagi mukanya dengan perasaan dongkol yang makin menjadi.
"Kalo udah kena maag, baru kapok kamu, Fan!" omel mama Fani.
"Iya emang, Nyah!" Ijah ikut-ikutan lagi.
Fani menepuk dahi keras-keras. Hancur sudah! Lenyap semua harga dirinya dimarahi mamanya dan Ijah di depan drakula sialan ini!
"Beraninya pada keroyokan! Kalo emang gentle, ayo di luar! Satu lawan satu!" serunya.
"Ini anak kenapa sih!" Nggak tau orangtua kuatir, malah ngajak bercanda!" Kuping Fani langsung kena jewer. Fani memekik dan buru-buru menyelamatkan kupingnya.
"Aduh, sakiiit." Diusap-usapnya kupingnya yang memerah.
"Untung aja ada Nak Bima. Coba kalo nggak" Siapa yang nganter kamu pulang" Siapa yang jaga kamu di jalan""
"Untung ada diaaa!!!""Fani menjerit melengking. "Wah, Mama! Justru untung Fani masih hidup, Ma! Cuma pingsan doang! Sebelom-sebelomnya sampe ada yang jadi kuntilanak gentayangan, saking matinya nggak ikhlas! Penasaran! Malah ada yang.....ADOH!!!"
Kedua telinganya diplintir sang mama kuat-kuat.
"Kurang aja memang ini anak! Ditolong bukannya terima kasih!"
"Iya, emang!" Ijah ikut membentak. Lalu dia menoleh ke Bima, yang sedang setengah mati menahan tawa. Saking bibirnya sudah tidak bisa lagi ditahannya untuk tidak meringis, cowok itu terpaksa melepaskan ikatan rambutnya lalu menyembunyikan muka di balik uraiannya. "Udah, Mas. Lain kali kalo Non Fani pingsan lagi, biarin aja dia nggeletak di jalanan. Nggak usah ditolongin!"
Bima cuma bisa mengangguk-angguk. "Sekarang makan sana!"
Fani mendengus mendengar perintah mamanya itu. Mana ketelen!
"Ogah! Fani mogok makan!"
"Nah, kan" Coba aja itu!" seru sang mama gusar.
"Emang hari ini Mama masak apa""
"Banyak, Non. Saya yang masak," Ijah yang menjawab. "Kan tadi temen-temennya Tuan pada rapat di sini. Ada kesenengannya Non, sop sosis sama sosis goreng pedes."
"Sosis sapi, ya" Kuno! Sekarang udah nggak ngetren sosis sapi. Sekarang yang ngetop tuh.... Sosis monyet sama burger lutung!"
Mama Fani tidak sabar lagi. "Udah! Udah, Jah! Nggak usah kamu ladeni dia! Malah ngelunjak!"
"Tau tuh, Nyah! Ijah kirain serius!" dengus Ijah.
"Sekarang makan sana! Cepet!" Mama Fani memelototi anaknya.
Segera saja Bima memafaatkan peluang itu.
"Makan yuk, Fan"" bujuknya lembut. "Nanti makin sakit lho. Kamu kan baru aja terkapar di kampus. Untung...."
"Yang mengaparkan gue itu elo, tau!" bentak Fani.
"FANI!!!" Cewek itu mencelat dari sofa begitu melihat mamanya menjulurkan tangan.
"Bener, Ma! F ani nggak bohong! Ini semua gara-gara dia!" Bima segera menghentikan rentaan kalimat Fani yang bisa membahaykan dirinya itu, dengan mengeluarkan sesuatu dari kantong baju.
"Tadi saya mampir ke apotek, Tante. Beli multivitamin. Kalo Fani masih susah disuruh makan, ini bisa untuk menjaga kondisinya. Supaya nggak ambruk lagi kayak sekarang ini." Ah, busa banget nih lutung! Pikir Fani. Langen saja di mata mama Fani, Bima menjelma menjadi pria sejati. Calon menantu sempurna. Apalagi di zaman sekarang ini, rasanya tidak mungkin lagi bisa menemukan laki-laki yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab seperti Bima ini. "Aduuuh, terima kasih lho, Nak Bima. Maaf ya, sudah dibuat repot sama Fani. Ini anak memang agak susah diatur." "Nggak apa-apa, Tante." Bima langsung menampilkan wajah bak malaikat, yang selalu siap menolong.
Rentetan kalimat panjang Fani memang jadi terhenti karena itu. Dengan kening berkerut, diperhatikannya plastik bening berisi vitamin yang disodorkan Bima dan baru saja diterima mamanya dengan sangat terharu. "Itu pasti obat pelet!" seru Fani.
"In, nih anak!" desis sang mama berang, dan dicubitnya lengan anaknya keras-keras.
"Iyaow!" Jerit Fani dan buru-buru menjauh. "Bener, Ma! Kalo nggak obat pelet, itu pasti vitamin penjilat!"
Bima tertawa pelan dan menahan mama Fani yang sudah bersiap menghampiri anaknya dengan gulungan majalah di tangan.
"Jangan, Tante. Dia cuma bercanda kok."
"Bercanda kok keterlaluan kayak begitu. Kayak nggak pernah sekolah aja!"
"Tau emang!" Ijah ikut membentak nona majikannya.
"Apa lo!"" balas Fani seketika. Jengkel banget dia karena Ijah ikut-ikutan.
"Udah sana makan, cepet!" perintah mama Fani. "Udah, Jah! Jangan kamu ladeni dia!"
Meskipun telah menang mutlak, Bima tetap meneruskan aktingnya. Lembut, dibujuknya Fani untuk makan. Dan dengan lembut juga dibawanya cewek itu ke ruang makan. Maka makin jatuh cintalah sang mama, saat dilihatnya betapa sayangnya Bima pada anak tunggalnya itu.
Apalagi saat Bima menyendokkan nasi buat Fani, mengambil lauk, merayu-rayu supaya makan. "Ayo dong, dimakan. Sedikit nggak apa-apa. Daripada perut kosong. Lagi pula kasian sedikit sama Ijah. Dia udah masakin makanan kesenengan kamu. Jangan dikira masak itu nggak capek lho, Fan. Coba deh kamu sekali-sekali gantiin tugasnya Ijah. Biar tau capeknya orang masak." Bisa pas juga Bima ngasih nasihat. Padahal dia sendiri seumur-umur belum pernah menyentuh panci atau penggorengan. Langsung saja di mata Ijah, cowok itu menjelma jadi "Pahlawan Pembela Rakyat Kecil"!
Dan supaya semakin terlihat sebagai cowok yang santun dan tahu tata krama, Bima mempersilakan mama Fani. "Silakan makan, Tante."
"Oh, iya. Iya. Tante sih gampang. Kalian aja makan dulu."
"Ih, iya, Tante.... Oom mana"" tanya Bima dengan ekspresi pura-pura sok perhatian.
"Oh, Oom pergi lagi sama teman-temannya," jawab mama Fani. Dan, selain santun dan bertata krama. Bima juga harus terlihat berbudi luhur dong. Biar komplet! Karena itu dia persilakan juga si Ijah.
"Kamu udah makan, Jah" Ayo makan sekalian."
"Oh! Saya sih gampang, Mas. Mas Gen.....eh, Mas Bima makan aja dulu," jawab Ijah buru-buru.
Ijah langsung terharuuu sekali. Ternyata selama ini dia salah sangka! Ternyata Mas Bima itu orangnya baik sekali. Mau memerhatikan dia juga. Apalah arti dirinya yang cuma PKRT ini. Karena itu dia bertekad, akan sekuat tenaga berusaha supaya Mas Bima dan Non Fani-nya tetap awet sampai kapan juga! Dan kekalahan Fani semakin telak ketika malam itu juga dia dengan "resmi" diserahkan ke pihak lawan. Tak lama selesai makan, Bima pamit. Tapi mama Fani ternyata tidak mengijinkan. "Ada yang mau Tante bicarakan sama kamu." "Ya, Tante"" dengan perasaan heran, Bima duduk kembali. "Begini lho, Nak Bima. Tante mau minta tolong. Tolong Fani ini dijaga, diawasi."
Fani terperangah amat sangat. Sama sekali tak menyangka mamanya akan bicara begitu.
"Diawasin!"" dia menjerit nyaring. "Emangnya Fani copet, apa!" Rampok!" Jadi mesti diawasin!""
"Jangan suka ikut campur kalo orangtua lagi ngomong!" bentak mamanya.
" Ma! Mendingan mama nyewa polisi aja deh. Atau detektif, buat ngawasin Fani. Itu malah lebih aman. Daripada dia. Dia ini psikopat, Ma! Bener-bener berbahaya!" Sang Mama tidak mengacuhkan jeritan anaknya. Beliau tetap mengarahkan tatapannya pada "calon menantu sempurna dan telah sangat langka di jagat raya" idaman hatinya itu. Yang sedang menahan-nahan senyum di depannya. "Tolong ya, Nak Bima....."
"Iya, Tante. Nanti saya awasi dia. Mm.....gimana kalau sekalian
saya ajak dia aktif di organisasi saya, Tante" Nggak apa-apa"" "Organisasi apa""
Fani langsung menyambar, "Organisasi Bajak Laut Se-ASEAN, Ma! Dia kan ketuanya, eh, gembongnya!" Sekali lagi mama Fani tidak memedulikan sinyal tanda bahaya yang dijeritkan anaknya.
"Mapala, Tante."
Bima kemudian bercerita panjang-lebar tentang organisasinya. Komplet dengan semua kegiatan yang telah mereka lakukan, prestasi-prestasi yang telah mereka capai, dan visi-visi mereka ke depan. Dan makin terpukaulah mama Fani. Poin Bima di matanya semakin melejit tinggi-tinggi. Ternyata Ak Bima ini bukan hanya
bertanggungjawab terhadap perempuan yang dipilihnya untuk dipacari, tapi juga terhadap kelestarian planet bumi! "Oh, iya. Bagus sekali itu. Tante setuju! Daripada keluyuran nggak jelas. Lebih baik Fani belajar berorganisasi. Sekalian itu tadi, Tante minta tolong Fani ini dijaga, diawasi, dia memang agak susah diatur. Jadi kalau dia bandel, marahin saja. Jewer kupingnya kalau perlu!"
Bima jelas saja segera mengiyakan titah calon mertuanya itu dengan khidmat, dan berjanji akan melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab. Perkara hasilnya nanti Fani malah jadi depresi, itu soal belakang. Yang penting kartu pas telah di tangan!
*** Begitu Bima pulang, Fani langsung mengemasi barang-barangnya dalam dua koper besar.
"Mau ke mana kamu" Malam-malam begini"" tanya mamanya heran.
"Ke rumah Langen! Fani mau diadopsi sama mamanya Langen. Sekarang mama nggak punya anak lagi. Syukurin! Dibalik badan dengan sombong. Diiringi senyum geli sang mama, Fani meninggalkan rumah malam itu juga.
"Kenapa, lo"" tanya Langen. Kaget ketika mendapati Fani berdiri di teras rumahnya dengan dua koper besar di kiri-kanan. "Minggat! Ada perkembangan baru, La! Parah banget! Bener-bener abis gue sekarang!"
"Apaan"" "Besok aja ceritanya. Sekarang gue mau mandi trus tidur!"
*** "HAH!" GILA! GILA! GILA!!!" Langen menjerit melengking.
Ditatapnya Fani dengan mata yang benar-benar melotot. "Elo gila, Fan! Sarap!"
"Gue bener-bener nggak nyangka dia bakalan nekat, La!" "Elo harusnya nyangka, dong! Bima itu kan selalu nekat!" "Yah, jadi sekarang gimana dong" Lo malah teriak-teriak. Bukannya bantuin gue!" Langen tersadar.
"Sori," ucapnya pelan. Dia lalu menoleh ke Febi yang tidak juga bersuara dari tadi. "Gimana sekarang, Feb"" tidak ada jawaban.
"Febi" Woiiii!"
Febi tergeragap. "Eh, sori. Sori. Tapi Bima mau tanggung jawab kan, Fan""
"Aduh!" seketika Fani memukul kepalanya sendiri dengan bantal.
"Mereka cuma berbikini berdua, Feb!" tegas Langen. Dia lalu menoleh dan menatap Fani. "Iya kan, Fan" Lo cuma berbikini berdua, kan" Nggak ngapa-ngapain lagi, kan""
"Mana gue tau! Gue kan lagi pingsan!"
"Tapi setelah lo sadar, ada rasa-rasa gimana, gitu""
"Gue sih nggak ngerasin apa-apa. Tapi si lutung itu ngomongnya begitu, tauuu"" Fani menjerit saking jengkelnya.
"Mereka cuma berbikini berdua!" tanda Langen. Dia menarik kesimpulan sendiri. Menolak adanya kemungkinan lain.
"Tapi tetep aja....," Febi menatapnya tajam, "Fani udah kehilangan kehormatan!"
"Ah, norak lo! Lo pasti nggak pernah ke kolam renang atau ke pantai!"
"Jadi gimana niiih!"" Fani menjerit melengking. "Malah pada ribut, lagi! Bukannya bantuin gue!"
Langen berdecak. Dia lalu berjalan mondar-mandir dengan kening terlipat. Berpikir keras mencari jalan keluar. Tak lama dia berhenti lalu menatap kedua temannya bergantian. "Cuma ada satu cara supaya ini semua selesai..... Perang terbuka!"
"Kita harus perang terbuka. Dan mau nggak mau.....harus menang!"
"Caranya""
"Yaaa.. ..." Langen meringis. "Makanya kita ke sini." Iwan menatapnya. Pura-pura tidak paham.
"Ya sekarang kasih tau gue, gimana caranya""
"Wan, jangan gitu dong, Wan. Help us. I beg you banget, Wan. Please, help us" Please" Please" Please"" Langen berlutut lalu menyembah-nyembah Iwan dengan begitu mengenaskan.
"Gue lagi kan yang kena" Kenapa nggak stop aja sih, La" Lo juga yang tewas ntar!"
"Nggak bisa, Wan. Justru kalo nggak perang terbuka, mereka nggak bakalan brenti nyari tau."
"Tuh, kan" Apa gue bilang" Makin runyam, kan""Langen membalas tatapan Iwan dengan sorot mata seperti anak kucing di gambar-gambar kalender. Membuat Iwan jadi menghela napas.
*** Theo ketawa geli. "Mendingan mereka lo suruh pada bubaran aja. Salah satu biar jadi cewek gue. Pacaran udah kayak turnamen Grand Slam. Berseri begini pertandingannya."
Juga sambil tertawa, Evan, Rizal, dan Yudhi seketika menyerukan kata setuju.Iwan mengumpulkan teman-temannya memang bukan untuk meminta saran mereka, karena itu tidak ditanggapinya omongan Theo. Setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi lewat cerita Langen (tentu saja minus kejadian Bima dan Fani berbikini berdua), dia tahu, kali ini dia dan keempat temannya tidak bisa berbuat banyak untuk membantu.
Begitu tantangan itu nekat diajukan, mereka hanya bisa menunggu. Kapan dan di mana lokasi tantangan, Rei cs yang akan menentukan. Karena itu untuk sementara hanya ini persiapan yang bisa dilakukan. Memaksa ketiga cewek itu untuk mengikuti latihan fisik yang rutin dia dan teman-temannya lakukan.
"Udah gue susun materi plus porsinya." Iwan membagikan lembaran kertas kepada teman-temannya, yang kontan mengangkat alis tinggi-tinggi begitu membaca isinya.
"Ini yang sanggup cuma cewek-cewek Taman Lawang, Wan," kata Theo. Yang lain mengiyakan sambil ketawa.
"Apa boleh buat" Ordernya, harus menang!"
Langen, Fani, dan Febi langsung ternganga begitu keesokan harinya Iwan meminta mereka untuk berkumpul. Ketiganya masing-masing telah memegang selembar kertas berisi jadwal latihan fisik yang harus mereka lakukan bersama Iwan cs.
Lari keliling Gelora Bung Karno yang terus bertambah satu putaran di setiap pertemuan. Sit up, push up, pull up, dan palang rintangan!
Untuk Febi, ini benar-benar a big, big disaster! Sementara Langen dan Fani yakin, mereka akan mampu menyingkirkan Ade Rai begitu latihan-latihan ini selesai.
"Nggak ada protes!" tandas Iwan sebelum ketiga cewek di depannya sempat membuka mulut. "Gue juga nggak mau denger alasan apa pun. Kalo mau menang, itu syaratnya!"
*** Nama lainnya.....wajib militer!
Hari pertama olah fisik itu hasilnya:Untuk lari mengelilingi gedung Gelora: Langen dan Fani tiga putaran. Febi satu putaran.Untuk sit up: Langen lima belas kali, Fani dua belas kali, dan Febi lima kali.Untuk push up: Langen dan Fani kompak tiga kali. Febi satu kali.Untuk pull up: Langen dan Fani kompak lagi. Hanya sanggup satu kali. Sementara Febi, boro-boro! Dia menggantung di palang besi tanpa sanggup mengangkat tubuhnya sama sekali.
Untuk palang rintangan: dari sepuluh palang yang di pasang, Langen melompat empat dan menabrak enam sisanya. Sementara Fani cuma berhasil melompati dua palang. Febi yang yang paling mencetak sukses. Tak satu pun palang yang dia tinggalkan dalam keadaan berdiri tegak. Semuanya jatuh bergelimpangan, dan ditutup oleh sang pelari sendiri. Fani jatuh terkapar bersama palang terakhir.
Hasil akhir itu benar-benar parah. Iwan dan keempat temannya sesaat saling pandang. Mereka kemudian berunding dan hasilnya.....porsi latihan harus ditambah, jadi nyaris setiap hari!
Dan Iwan benar-benar tidak menolerir alasan apa pun untuk mangkir.
Senin sampai sabtu. Start jam empat sore. Benar-benar tidak bisa dihindari. Semua orang di rumah Langen, juga seisi rumah Fani, telah mengenal Iwan sejak empat tahun lalu, saat kedua cewek itu masuk SMA. Karena itu mereka tidak curiga saat keduanya dipaksa pergi dan selalu pulang dalam keadaan awut-awutan. Berantakan, kehabisan tenaga, dan seribu satu keluhan.
Pura-pura sedang tidur bahkan
tidur sungguhan pun ternyata tidak membantu. Kepada pihak-pihak yang punya otoritas, Iwan minta izin untuk menggedor pintu kamar. Maka sering juga Langen dan Fani latihan tetap dalam baju tidur, tapi pakai sepatu kets!
Cuma Febi yang selamat dari kerja paksa itu. Beliau dimohon kehadirannya dengan sukarela. Iwan dan keempat temannya tidak berani memaksa. Menyeret cewek itu ke Gelora tiap sore, bisa menimbulkan insiden serius. Karena itu Iwan cs telah menyusun rencana lain. Febi akan tetap ikut dalam perang terbuka itu, tapi tidak secara langsung.
*** Sebutannya sekarang berubah jadi.....kamp konsentrasi! Yang ada cuma lari, push up, pull up, sit up, dan lompat-lompat. Itu harus mesti, kudu, dan wajib, sebanyak jumlah yang telah ditentukan Iwan. Kalau kurang, meskipun hanya satu hitungan, kedua cewek itu akan diberi waktu untuk sejenak beristirahat, tapi kemudian mengulang siksaam itu dari hitungan pertama.
Meskipun Langen dan Fani kadang pergi ke pusat-pusat kebugaran, mereka belum pernah berolahraga sampai hampir tewas begitu. Tanpa imbalan pula!
Maksudnya, untuk melakukan sitp up, push up, dan lain-lainnya itu, jelas tubuh harus membakar sejumlah kalori. Dan kalori yang dibakar itu jelas harus diganti dong, soalnya tubuh mereka tidak kelebihan lemak alias nggak gendut. Jadi kalau jumlah kalori yang dibakar gila-gilaan begitu, jelas saja akibatnya mereka jadi kelaparan, dan membayangkan setelah semua siksaan itu berakhir mereka bisa makan sekenyang-kenyangnya.
Namun Iwan dengan kejam ternyata tidak mengizinkan. Alasannya, mereka datang ke Gelora adalah untuk penempaan fisik, bukan JJS atau hangout. Jadi yang ada cuma olahraga, olahraga, dan olahraga, serta air putih, air putih, dan air putih!
Sementara Gelora bkan hanya tempat berolahraga, tapi juga tempat mangkal para pedagang makanan. Jadi saat melewati mereka berkali-kali, dengan tenaga yang terkuras dan perut yang menjerit-jerit keroncongan, Langen dan Fani hanya bisa memandang tanpa bisa mendekat apalagi memesan barang setengah piring. Benar-benar penderitaan yang mendahsyatkan!
Potongan-potongan ayam dalam rak kaca, atau tumpukan sate, barisan roti, dan botol selai, bahkan tumpukan sayur di dalam rak kaca bertuliskan "gado-gado", semakin lama tampak semakin memesona.
"Hei! Hei! Mau ke mana"" Yudhi langsung menyambar tangan Fani yang arah larinya jadi melenceng, menuju gerobak tukang bubur ayam.
"Bentar doang. Gue cuma....."
"Nggak ada alasan. Balik!" Yudhi menarik Fani kembali ke lintasan dan memaksanya meneruskan joging, sambil tetap menggenggam erat satu tangannya.
"Mas! Mas! Bubur! Ini serius! Bener!" jerit Fani ke tukang bubur ayam itu. Dia melambaikan tangan dengan isyarat SOS. Iwan cs ketawa geli.
"Iya dong. Bubur. Setengah mangkok aja deh," pinta Langen dengan suara tersengal.
"Nggak ada!" tolak Iwan tegas. Diraihnya satu tangan Langen, mencegah cewek itu agar tidak berganti arah.
Sementara itu Febi sudah sejak tadi ditarik Rizal dan Evan di kiri-kanan. Memasuki putaran keempat, larinya mulai oleng seperti perahu disapu badai. Dan saat ini, memasuki putaran keenam, sepertinya Febi sudah joging sambil pingsan!
Di detik-detik terakhir selagi tukang bubur ayam yang ganteng dan gerobaknya yang memesona itu masih kelihatan, sekali lagi Fani menjeritkan permohonannya.
"Bubur, Mas! Bener!"
Tapi si mas tukang bubur ayam cuma menatap bingung. Dibikinin apa nggak" Diputuskannya untuk menunggu kemunculan Fani yang berikut. Kalau cewek itu masih minta, berarti serius. Lima belas menit kemudian, sang pemesan itu muncul lagi. Dengan kondisi yang semakin mengenaskan, dan tetap memesan semangkuk bubur, dengan suara terputus-putus dan nyaris tidak terdengar.
"Mas.... , bu....bur.....dong..... Laper.....nih....."


Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih sambil ditarik cowok di sebelahnya, kemudian lagi-lagi Fani menghilang ditelan bulatan Gelora. Sementara Langen menjerit keras ke arah penjual ketoprak.
"Pak! Pak! Ketoprak, Pak! Tolong!"
Sama seperti penjual bubur ayam yan mangkal di sebelahnya, bapak penjual ketoprak itu juga cuma diam dan me
natap bingung. Minta ketoprak atau minta tolong"
Tapi kali ini Iwan agak berbaik hati. Setelah lima belas putaran yang benar-benar nyaris mencabut nyawa, dia berikan untuk ketiga cewek yang masing-masing sebuah apel merah asli USA.
"Gue bubur ayam aja deh, Wan," Fani memohon dengan mengiba.
"Nggak bisa! Abis ini lo bertiga masih harus push up, pull up, dan sit up, masing-masing dua puluh kali!"
"HAAA!!!"" ketiga cewek itu kontan terperangah dan apel di masing-masing genggaman lalu menggelinding hampir bersamaan.
*** Sebenarnya Iwan tidak begitu puas dengan hasil olah fisik Langen cs. Tapi Langen tidak mau terlalu lama mengulur waktu. Teror yang dilakukan Rei cs membuat dia dan kedua temannya ingin secepatnya keluar dari pertikaian gender itu.
Sebenarnya tidak ada tindakan Rei cs yang bisa dimasukkan ke kategori "melakukan teror". Yang dilakukan ketiga cowok itu hanyalah menatap diam dengan senyum tertahan. Atau menegur dengan sapaan basa-basi, yang diucapkan dengan nada lembut bahkan sangat sopan.
Tapi justru itulah yang telah menciptakan sensasi teror. Ketiga cewek itu merasa seperti akan menemukan segerombolan sniper di balik dinding. Atau serangan monster mengerikan yang akan muncul mendadak dari kolam di taman kampus. Atau disergap pembunuh gelap begitu membuka pintu kelas.
Yang setuju dengan Iwan untuk menunda pengajuan tantangan itu hanya Fani, karena sebenarnya dia tidak sanggup lagi berhadapan dengan Bima face to face. Selama ini sudah setengah mati dia menyembunyikan diri di antara Langen dan Febi setiap kali mereka bertemu, berusaha keras untuk tidak menatap cowok itu.
Malu banget, gila! Topeng leak pun tidak akan sanggup menyembunyikan mukanya dari malu. Tapi Langen dan Febi memaksanya untuk tegar. Soalnya percuma saja tantangan perang terbuka itu diajukan, kalau salah satu dari mereka belum-belum sudah menunjukkam ketakutan.
"Gue bukan takut, La. Gue malu!"
"Sama aja. Tetep aja lo jadi nggak berani ngadepin dia, kan""
"Aduh.....ck!" Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Peristiwa di ruang ganti kolam renang dan di kamar tidur Bima langsung terbayang. Dan belum-belum dia sudah merasa telanjang dan transparan.
"Lo mundur, berarti kita kalah!" tandas Langen.Fani memejamkan mata rapat-rapat. Perang terbuka ini justru satu-satunya jalan. Kalahkan Bima, maka malu itu akan terbayar!Diturunkannya tangan lalu diangkatnya kepala dengan keteguhan. "Oke. Ayo kita hajar mereka!"
*** Tidak satu pun dari ketiga cewek itu punya nyali untuk mendatangi gedung Fakultas Perminyakan. Gantinya, mereka telepon salah satu. Bima mengerutkan kening saat layar ponselnya memunculkan nama "Langen".
"Halo"" "Ada yang mau gue omongin. Gue tunggu di depan rektorat!" ucap Langen langsung.
"Gue apa Rei""
"Lo bertiga!" Dan ponsel di seberang langsung dimatikan. Kening Bima makin berkerut.
"Ada apa"" tanya Rei.
"Mantan cewek lo barusan nelepon. Kita ditunggu di depan rektorat."
"Untuk"" Bima mengangkat bahu. Ketiga cowok itu segera melompat ke Jeep Rei dan meluncur ke tempat yang dimaksud. Begitu Jeep penuh spotlight yang telah mereka kenal dengan sangat baik itu muncul di kejauhan, ketiga cewek itu langsung panas-dingin. Itu tidak bisa dicegah meskipun mereka telah menyiapkan mental dan fisik selama berhari-hari.
Langen menyambut kedatangan "musuh-musuh"-nya dengan penuh percaya diri. Dipukul-pukulnya batang kayu di tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Seperti biasa, Febi jarang kehilangan ketenangannya. Sementara Fani langsung mengangkat dagu tinggi-tinggi begitu Jeep itu muncul.
Tapi dari kejauhan pun Bima sudah tahu, dagu yang terangkat tinggi juga sikap ready to fight itu sama sekali tidak seseram dan se-ready yang ditunjukkan. Jauh! Dan cowok itu tahu persis, bagaimana cara melepaskan topeng itu. Begitu Jeep berhenti, ketiga cowok itu melompat turun dan langsung menghampiri kelompok lawan.
"Halo" Apa kabar.....calon istriku!" lembut, Bima menyapa Fani.
Rei dan Rangga kontan menatap Bima dengan mata menyipiy dan kening terlipat. Sementara Fani
, meskipun dagunya masih tetap terangkat gagah dan tinggi-tinggi, mukanya langsung memerah. Langen buru-buru mengenyahkan Bima dari depan sahabatnya itu.
"Mundur lo! Awas, sana!" disentaknya tubuhnya tinggi-besar Bima ke belakang. "Apa tadi lo bilang" Calon istri" Langkahin dulu mayat gue!"
Bima pura-pura terkejut mendengar itu.
"Gue sih nggak ada limit berapa banyak istri yang gue mau, La. Tapii.... " Bima berdecak, dengan ekspresi seolah-olah itu sangat dilematis. "Mesti ngomong apa gue sama Rei nih" Jelas gue nggak tega kalo harus ngeliat lo mati. Dan meskipun udah mantan, tetep lo pernah jadi orang terdekat sahabat gue. Bener-bener nggak punya perasaan kalo hue jadiin elo istri gue."
Langen terbelalak dan kontan jadi berang.
"Emang siapa yang mau jadi istri lo" Dasar kera!"
"Eh, La! La! Jangan, La! Jangan!" Fani dan Febi buru-buru memegangi Langen. Cewek itu sudah siap menghantamkan batang kayu di tangannya ke tubuh Bima.
Bima tertawa pelan. Tetap berdiri di tempatnya, meskipun kayu di tangan Langen sudah pasti akan mendarat di tubuhnya seandainya tidak dihalangi. Rei dan Rangga geleng-geleng kepala.
"Ada apa, La" Katanya ada yang mau lo omongin ke kamu bertiga"" Rei menghentikan pandang marah Langen pada Bima, dengan jalan berdiri tepat di depan mantan ceweknya itu. Tepat dan dekat.
Langen mundur selangkah dan menatap Rei dengan sikap percaya diri dan keangkuhan yang berlebihan. Satu-satunya cara untuk mencegah dua lengan di hadapannya yang mungkin saja akan memeluknya.
"Apa mau lo bertiga sekarang"" tanyanya.
"Mau apa maksudnya"" sepasang mata Rei menyipit. "Nggak usah pura-pura!"
Rei bersiul panjang lalu mengangguk-angguk. "Apa nih" Tantangan perang terbuka""
"Terserah apa kata lo!"
Ketiga cowok itu saling pandang. Terlihat kaget dengan tantangan itu. Benar-benar berani sama sekali tidak mereka duga. Rei kembali menghadapkan tubuhnya ke Langen."Jam berapa kalian selesai kuliah"""Jam dua. Kenapa""
"Nanti kami ke sana!"
Ketiga cowok itu kemudian balik badan. Tanpa bicara lagi, mereka melompat ke dalam Jeep dan pergi dari situ.
*** "Gila dia!" desis Rei sambil geleng-geleng kepala. "Sadar juga lo akhirnya!" bahunya langsung ditepuk Bima. "Jadi gimana sekarang""
"Ya jelas harus dijawab! Pengkhianatan, penghinaan. Dan sekarang gue merasa telah dilecehkan!"
"Caranya""
Bima tidak menjawab. Dia menatap ke luar jendela kelas, tangannya mengetuk-ngetuk dinding. Beberapa saat kemudian ditatapnya kedua sobatnya dengan pandang lurus.
"Cara apa pun. Yang jelas, abisin mereka!"
*** Langen, Fani, dan Febi, yang sedang menanti tegang di kelas, buru-buru menghilangkan ekspresi itu dari wajah mereka, saat sosok Rei, Bima, dan Rangga muncul di ujung tangga. Mereka menggantinya dengan ekspresi seperti di tempat parkir tadi pagi. Tenang, angkuh, dan tentu saja, ready to fight!
Setelah beberapa saat kedua kubu berbeda jenis kelamin itu berhadapan tanpa bicara, Rei membuka mulutnya.
"Ini jawaban untuk tantangan kalian tadi pagi....." dia diam sejenak. Menikam tajam-tajam tiga wajah di depannya, terutama Langen. "Dua minggu lagi kita climbing.....Sama-sama!"
"Di mana"" tanya Langen.Rei tersenyum tipis. "Itu kami kasih tau nanti. Untuk cewek-cewek superwoman seperti lo bertiga ini, yang sanggup mengalahkan kami kebut gunung, naik lewat jalur kayak apa pun pasti bukan soal. Jadi nggak masalah mau dikasih tau sekarang atau nantu dadakan. Iya, kan""
Langen terpaksa mengiyakan dengan sombong. Mau gimana lagi""Emang bukan masalah! Tau juga lo!"
"Jelas gue tau!" sambar Rei seketika. "sangat tau!"
Sekali lagi Rei melumat Langen dalam tatapan tajam. Kemudian dibaliknya badan dan diberikannya isyarat pada kedua sahabatnya untuk pergi dari situ. Tapi Bima tidak beranjak. Cowok itu malah mendekati Fani. Ditatapnya cewek itu lekat, lalu berkata dengan nada serius.
"Ehm, waktu itu aku ngeliat yang bener-bener bagus, Fan. Tapi terpaksa aku beli merek lain, soalnya kamu sekaran kan udah jadi wonderwoman. Udah jadi ranger. Jadi aku beli dua. Yang satu mereknya Car
rimore, yang satunya Berghouse. Biar sesuai."
Bima berhenti sejenak. Berlagak mengingat-ingat."Yang satu talinya silang di belakang. Aku pilih yang talinya kecil. Manis kayaknya kalo kamu pake. Kalo yang satunya, ada rendanya. Mudah-mudahan aku bisa ngeliat waktu kamu pake nanti...."
Sikap gagah dan ready to fight Fani kontan runtuh. Seketika lenyap!
Dalam waktu kurang dari satu detik, mukanya sudah lebih merah dari kepiting yang baru dikeluarkan dari dalam panci. Cewek itu lalu menunduk dan menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Bima ketawa geli. Diraihnya Fani, sejenak dipeluknya kuat-kuat, lalu dengan gemas diciumnya puncak kepalanya. Baru kemudian cowok itu menyusul Rei dan Rangga, yang berdiri bingung di ambang pintu.
"Ngomongin apa sih lo"" tanya Rei.
"Carrier," jawab Bima kalem.
"Carrier" Kok berenda""
"Keluaran terbaru. Khusus cewek."
Rei dan Rangga masih menatapnya dengan kening berkerut.
"Carrier. Pembawa!" tegas Bima. "Alat untuk membawa kan nggak harus ada di punggung, kan" Tergantung di mana dia dibutuhkan!" dia menoleh dan tersenyum geli saat dilihatnya Fani masih menunduk dengan muka tertutup rapat. "Duluan ya.....calon istriku!"
"Kenapa lo panggil dia begitu"" Rangga tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Karena gue suka film.....Bulan Tertusuk llalang!" Bima sengaja memberikan jawaban yang agak berlabirin. Dia lalu menoleh ke Fani, yang masih menunduk dalam-dalam. "Kamu tonton film itu nanti ya, Sayang. Kalo kamu nggak suka, paling nggak harus kamu camkan judulnya baik-baik!"
"Bulan.....," desis Rei terputus. Dia lalu saling pandang dengan Rangga, dan sedetik kemudian kedua cowok itu berseru keras. "GILA LO, BIM!!!"
Bima terbahak-bahak. "Gila nih orang!" Rei menarik kucir rambut Bima. "Tanggung jawab lo, Bim!"
"Makanya sekarang gue panggil dia, calon istriku....." Bima menoleh ke arah Fani. Dan berhubung wajah cewek itu masih tenggelam di balik kedua telapak tangan, Bima lalu mengedipkan satu matanya untuk Langen dan Febi.
"Calon istriku!"
Ketigan cowok itu kemudian meninggalkan tempat itu. Sesudahnya, Bima dihujani bertubi pertanyaan dari Rei dan Rangga.
"Ini bener, Bim" Lo nggak lagi bercanda"" tanya Rei. "Lo tebak aja sendiri! Hehehe."
"Lo kenapa bisa sarap gitu sih"" ucap Rangga."Waktu itu si Fani pake bikini secara sukarela atau dengan menggunakan intimidasi"" tanya Rei lagi.
"Tampang kayak dia udah pasti pake intimidasi!" Rangga yang menjawab. "Tapi, Bim, bener-bener bulan telah tertusuk ilalang"" sambungnya penasaran.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya sudah tidak terdengar jelas karena jaraknya semakin jauh. Tapi tidak satu pun dari ketiga cewek itu melihat Bima menjawab rentetan pertanyaan itu. Cowok itu hanya tertawa-tawa geli.
"Laknat banget emang tuh orang! Jahanam!" desis Langen emosi. Sementara Febi hanya bisa tercengang.
"Udah pergi dia"" tanya Fani dari balik jemarinya.
"Udah," jawab Febi dengan nada iba dan prihatin.
Fani melepaskan kedua tangannya dan perlahan mengangkat mukanya yang sekarang benar-benar merah. Lunglai dia menjatuhkan diri ke kursi terdekat.
"Bener-bener abis deh gue sekarang," desahnya lemah. Langen dan Febi hanya bisa memeluknya dari kiri dan kanan. Tidak bisa mengatakan apa-apa. "Mereka ngajak climbing sama-sama, Wan! Dua minggu lagi! Tapi nggak mau ngasih tau tempatnya! Jadi sekarang gimana dong" Gimana!""
Iwan menjawab jeritan panik Langen dengan ekspresi tenang. Soalnya itu memang sudah diduganya.
"Ya, emang udah pasti akan begitu reaksi mereka."
"Iya, terus gimanaaa""
Iwan menyodorkan selembar kertas, dan Langen langsung menjerit saat membaca isinya. "Ini sih gila!"
"Kalo gitu, cari tau di mana lokasi perang terbukanya. Selama lo nggak dapet informasinya, kita nggak bisa nyiapin antisipasi lain selain itu," jawab Iwan. Tetap dengan tenang.
Langen menelan ludah. Sekali lagi ditatapnya kertas di tangannya. Wajib militer itu akan berlanjut. Di situ fitness center. Dengan porsi dan materi yang akan membuat Langen dan kedua temannya menjelma menjadi.....Hulk!
Sehari setelah tantangan itu diajukan, untuk pertama kalinya Rangga dan Febi ribut besar. Rangga tentu saja tidak akan membiarkan Febi terlibat. Soalnya jika sampai terjadi sesuatu, dia tidak akan bisa mempertanggung jawabkannya pada keluarga gadis itu. Tapi Febi bersikeras ingin ikut.
"Mas, kerajaanku itu nggak segede United Kingdom. Lebih banyak yang nggak tau daripada yang tau!"
"Jadi"" tanya Rangga tajam.
"Ya kalo kerajaannya aja pada nggak tau, apalagi rajanya. Apalagi sodara-sodaranya si raja! Lagi pula sadar dong, Mas. Ini tuh udah taun berapa""
Rangga menundukkan mukanya tepat di atas muka Febi. Ditatapnya sepasang bola mata gadis itu tajam-tajam.
"Bilang itu sama Kanjeng Ibu!"
*** Pertengkaran mereka membuat sikap Febi terhadap Rangga jadi berubah. Dingin dan ketus. Dan untuk seorang gadis berdarah biru sangat kental seperti dia, itu jelas bukan sikap yang patut. Buntutnya, kedua orangtuanya terutama sang Kanjeng Ibu jadi ingin tahu apa penyebabnya. Dan Rangga melihatnya sebagai senjata untuk menjauhkan Febi dari kancah perang terbuka itu.
Rangga tidak harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi secara gamblang. Soalnya itu bisa membuat kedua orangtua Febi kejang-kejang lalu masuk UGD. Cukup satu alasan yang tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya bohong. Cukup dengan mengatakan bahwa Febi memaksa ikut dengannya mendaki gunung.
Hasilnya, kedua orangtua Febi, sangat shock. Seketika mereka murka. Dan sekali lagi, Febi kembali menghilang. Langen dan Fani langsung menyadari itu, begitu mereka tidak melihatnya lagi di kampus selama dua hari berturut-turut. Dan ponselnya saat dihubungi, mailbox.
"Febi ilang lagi, Wan."
Iwan menanggapi laporan Langen tenang.'
'Udah gue duga." "Trus gimana""
"Nggak masalah. Lo liat sendiri gimana fisiknya, kan" Kalo dia ikut, udah bisa dipastiin, lo bertiga pasti kalah!"
Langen tertegun. "Jadi kalo misalnya dia nggak ngilang kayak sekarang, tetep dia harus kita tinggal, gitu""
"Nggak juga. Untuk dia, gue udah nyusun rencana sendiri. Gimana" Udah dapet informasi di mana lokasinya""
Langen menggeleng lesu. *** Febi langsung pura-pura tidur saat didengarnya suara mobil Rangga memasuki halaman. Seisi rumah sedang pergi, jadi tidak ada yang akan memaksanya menemui cowok itu. Memaksanya menelan dongkol dan marah bukan dengan wajah manis, tapi juga dengan sikap santun dan hormat!
Didengarnya pintu kamarnya diketuk pelan, lalu dibuka. Pasti Juminem. Andi yang khusus mengurusnya. Tak lama kemudian didengarnya suara Juminem memanggilnya pelan dan hati-hati.
"Ndoro Putri, itu ada tamu."
Febi tetap memejamkan mata rapat-rapat. Juminem menunggu beberapa saat lalu berjalan ke luar kamar. Sayup Febi mendengar suara Juminem memberitahu Rangga bahwa dirinya sedang tidur. Dan sayup juga didengarnya suara Ranga, meminta Juminem untuk tidak membangunkannya. Cowok itu akan menunggu sampai sang Gusti Putri bangun dengan sendirinya.
Suasana lalu hening. Febi hanya mendengar suara para pembantunya yang sibuk dengan tugas masing-masing serta suara lembar majalah dibolak-balik oleh seseorang yang sedang menunggunya di ruang keluarga, yang akan dibiarkannya terus menunggu sampai rambut pendeknya jadi panjang!
Tiba-tiba terdengar dering ponsel Rangga.
"Ya, halo".....Di tempat Febi, kenapa".....Dia lagi tidur....."
Febi jadi menajamkan telinga saat volume suara Rangga menurun. Orang di seberang sana kalau bukan Rei, sudah pasti Bima. Dan yang sedang mereka bicarakan sudah pasti berhubungan dengan perang terbuka itu.
Seketika gadis itu melompat bangun. Berlari ke pintu dan tanpa suara membukanya sedikit. Pembicaraan itu cuma terdengar sepatah-sepatah karena sekarang volume suara Rangga benar-benar kecil.
Tak lama telepon ditutup. Febi buru-buru menutup pintu lalu melompat kembali ke tempat tidur. Satu jam kemudian hampir terlewat dan dia tetap terjaga. Pembicaraan rahasia itu mengusik rasa ingin tahunya. Setelah menunggu sampai suasana benar-benar senyap, gadis itu bangkit dari ranjang. Dibukanya pintu dengan hati-hati dan
perlahan, lalu berjingkat-jingkat keluar. Ketika hampir mendekati pintu keluarga, sejenak dia berhenti lalu berdiri diam. Dipasangnya telinga. Benar-benar hening di dalam sana. Dia longokkan sedikit kepalanya. Rangga ternyata sudah tertidur di kursi panjang.
Dengan langkah sangat hati-hati dan benar-benar tanpa suara, dengan kepala yang yang sebentar-sebentar menengok ke segala arah, berjaga-jaga agar jangan ada satu pun pembantunya yang memergokinya sedang melakukan ini, Febi menghampiri Rangga.
Ditahannya napas tanpa sadar saat meraih ponsel Rangga yang tergeletak di meja. Benar saja. Bima yang menelepon tadi. Hati-hati diletakkannya kembali ponsel itu, lalu meraih organizer di sebelahnya. Meskipun tidak tahu apa yang dicarinya, Febi membalik tiap lembarnya lalu meneliti setiap tulisan yang ada di sana. Tetap dengan kepala yang sebentar-sebentar terangkat lalu menoleh ke arah pintu yang terbuka.Dan akhirnya gadis itu mendapatkan sesuatu!Di salah satu lembar, tertulis tanggal perang terbuka itu akan dilaksanakan. Diberi underline dan di bawahnya ditulis dengan nomor urut, empat tempat di mana salah satunya diberi lingkaran tebal-tebal dan tiga tanda seru. Cepat-cepat Febi Febi menuliskan nama tempat itu di telapak tangan, lalu meletakkan kembali organizer itu ke tempat semula. Kemudian ia segera bersiap lari.
Sayangnya, langkah pertamanya untuk lari bertepatan dengan detik menjelang alarm ponsel Rangga berbunyi. Seketika gadis itu menyusupkan diri ke bawah kursi panjang. Menempelkan tubuhnya rapat-rapat di dinding lalu meringkuk kecil-kecil.
Tubuhnya serasa membeku saat kedua kaki Rangga menjejak lantai. Salah seorang pembantunya, yang rupanya juga mendengar bunyi alarm itu, datang dengan secangkir teh. Rangga lalu menanyakan Febi dan dijawab masih tidur.
Sepuluh menit kemudian, yang rasanya seperti satu jam, ponsel Rangga berdering. Tapi orang di seberang sana bukan Rei atau Bima, karena sepertinya dia menanyakan apakah Rangga ada acara pada tanggal perang terbuka itu dilaksanakan, dan dijawab "ada" oleh Rangga. Hiking ke satu tempat yang ternyata bukan seperti yang ditulis Febi di telapak tangan.
Febi ternganga dan segera memasang telinga. Selanjutnya adalah dua puluh menit yang benar-benar menyiksa. Yang harus dilewatinya dengan meringkuk di kolong kursi seperti janin. Masih ditambah dengan harus terus mengingat nama lokasi perang terbuka itu.
Ketika akhirnya Rangga memutuskan untuk pulang karena yang ditunggunya tidak kunjung membuka mata, kedua kaki Febi sudah kesemutan parah. Jadi meskipun keadaan sudah aman, apa boleh buat, dia teruskan acara meringkuknya sampai kedua kakinua bisa kembali digerakkan.
*** Febi berpikir keras, mencari cara untuk memberitahu Iwan informasi yang dia dapatkan. Tapi berhari-hari telah lewat, cara itu tidak juga ketemu, dan dia juga sudah stres berat. Berhari-hari terkurung di dalam rumah tanpa bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Sementara dia tahu saat ini kedua temannya sedang menjalani penempaan fisik yang gila-gilaan.
Duduk sendirian di kamarnya yang luas, gadis itu mengeluh dalam. Andai saja gelar kebangsawan itu bisa dihilangkan. Andai dia bisa menukarnya dengan kebebasan. Kebebasan seperti yang dimiliki Langen dan Fani!
Pintu kamarnya diketuk pelan. Seorang pembantunya muncul, dan dengan sikap takzim memberitahu sang Gusti Putri bahwa saat ini kehadirannya ditunggu di ruang keluarga. Febi menghela napas. Bangkit berdiri dengan enggan. Walaupun selama dua puluh empat jam tidak melakukan apa pun, tetap saja ini tidak terdengar menyenangkan. Mendampingi ayah, ibu, dan dua kakak tertuanya menjamu seorang kerabat yang datang dari kota asal.
Untungnya, tata krama yang berlaku di dalam keluarga besarnya tidak membenarkan perempuan untuk terlalu banyak bicara. Jadi itu bisa menutupi kenyataan yang sebenarnya bahwa dia memang sedang malas bicara.Jadi yang harus dilakukannya hanyalah duduk dengan tenang dan anggun. Tentu saja, sebentar-sebentar tersenyum, dan baru buka suara kalau ditanya atau diajak bicara. Itu pun dengan catatan, jangan bicara terlal
u panjang-lebar. Gampang sebenarnya. Tapi Febi kepalanya nyaris meledak saking besarnya. Karena itu diam-diam dia menarik napas lega saat orangtua dan kedua kakak laki-lakinya membawa tamu mereka yang agung itu menuju ruangan tempat penyimpanan benda-benda pusaka.
"Fiuuuuh!" Fani mengembuskan napas keras-keras begitu tinggal sendirian. Dinikmatinya kesendirian itu dengan langsung menangkalkan keanggunan dan tata krama.
Caranya" Febi mengulurkan tangan kanannya lalu mencomot sepotong wajik dari piring di depannya. Dan kue yang biasanya harus digigit lalu dikunyah dengan sopan dan tertib sebanyak lima sampai enam kali itu sekarang langsung lenyap dalam sekejap. Menjelma menjadi dua pipi menggelembung.
Febi menikmati sesaat momen kejelataan itu dengan enjoy, sampai kedua matanya tak sengaja terarah pada ponsel sang tamu yang tergeletak begitu saja di meja."Ini dia!" desisnya. Seketika gadis itu melompat dari kursi dan menyambar benda itu. Juminem yang datang membawa nampan teh, terlongong-longong saat mendapati Gusti Putri junjungannya memakai ponsel tamu majikannya.
"Sst! Jangan bilang-bilang lo, eh, kam ya!"" ancam Febi.
Setelah kembali duduk dikursi, cepat-cepat Febi mengirimkan SMS singkat, dan langsung menghapus reportnya sebelum sang ponsel menyelesaikan sinyal. Kemudian gadis itu mengembalikan ponsel ke tempat semula lalu kembali duduk dengan ke anggunan yang sempurna.
Tapi saat ponsel itu berdering bersamaan dengan tamu mereka kembali dari ruang tempat penyimpanan benda-benda pusaka, dan wajah sang tamu kelihatan sangat bingung setelah menempelkan benda itu di satu telinganya. Ketenangan Febi nyaris hilang. Buru-buru dia menutupi kegelisahannya dengan menuangkan teh gelas-gelas yang sudah kosong. Diam-diam dia menarik napas lega saat ponsel itu kembali diletakkan.
*** Satu SMA dari nomor yang tidak dikenal masuk ke ponsel Iwan. Cowok itu membukanya dengan kening berkerut, kemudian tertegun selama beberapa detik, dan langsung berteriak keras memanggil Theo yang kebetulan sedang berada di rumahnya.
"Ada apa!"" Theo datan tergopoh.
"Kita dapet lokasinya!"
"Hah" Dari siapa""
Iwan menyerahkan ponselnya.
"Gue nggak tau itu siapa!"
Theo lalu mencoba menelepon balik. Suara di seberang ternyata suara laki-laki.
"Maaf, ini siapa ya"" tanya Theo hati-hati.
"Lho" Kamu mau bicara dengan siapa"" suara di seberang seketika balik bertanya.
"Barusan Bapak kirim SMS ke sini, kan""
"Saya" Tidak. Ini siapa ya""
Theo meminta maaf dan buru-buru menutup pembicaraan.
"Babe-babe, Wan. Katanya nggak pernah kirim SMS, lagi," ucapnya dengan kening terlipat. Iwan yang baru keluar dari kamar dengan membawa gulungan peta, tidak peduli dengan laporan itu. "Bisa dipercaya apa nggak nih informasi""
"Kita nggak punya informasi lain. Cuma itu satu-satunya. Siapa pun yang ngirim, dia jelas-jelas tau soal ini. Tolong calling anak-anak, Yo. Suruh ke sini sekarang!"
*** SMS itu cuma berjarak empat hari menjelang hari "H". Jadi tidak banyak lagi waktu yang tersisa. Iwan menghentikan wajib militer Langen dan Fani, karena dia dan keempat temannya harus menyurvei lokasi secepatnya. Dan sepertinya yang sudah diduganya, Rei cs tidak bersedia menyebutkan lokasinya karena kontur medan benar-benar gila.
Rei cs rupanya tidak mau menunggu terlalu lama, tapi juga tidak ingin bertindak seperti jaksa. Karena itu mereka memilih medan yang akan membuat kedua kaki lawan-lawan mereka menjerit dan akhirnya memaksa mulut untuk bicara!
Setelah menjelajahi sebagian area, Iwan dan keempat temannya berdiri tanpa ada yang berbicara. Olahraga gila-gilaan itu hanya akan lima puluh persen berguna. Artinya, mereka butuh strategi lain untuk bisa meloloskan Langen cs sebagai juara. Atau paling tidak, menyamakan posisi satu sama.
Kelimanya segera pulang. Malam itu juga di rumah Iwan, kelimanya berpikir keras mencari jalan keluar. Dan setelah diskusi panjang sampai hampir menjelang fajar, mereka berhasil mendapatkan beberapa cara untuk memperbesar kemungkinan ketiga cewek itu meraih kemenangan. Satu hal lagi
yang ternyata mau tidak mau harus mereka lakukan adalah menentukan garis finish.
Langen dan Fani, yang akan turun dalam pertempuran terbuka itu dan berhadapan langsung dengan kubu lawan, hanya mempunyai stamina tidak lebih dari sepermpat stamina Rei cs. Melihat kondisi itu, pendakian yang telah ditentukan sebagai medan pertempuran, kedua cewek itu hanya akan mampu bertahan tidak lebih dari dua jam.
Jadi kesimpulannya, perang terbuka itu hanya akan berlangsung maksimal selama dua jam!
Untuk menghentikan perang tersebut, mau tidak mau salah satu dari ketiga lawan harus dibuat terluka cukup parah. Maka pembicaraan semalam suntuk itu juga telah menghasilkan suara bulat. Theo yang memperoleh kehormatan besar. Dia terpilih sebagai algojo. Dengan mandat penuh! Baik cara maupun korban yang akan dipilih, semua diserahkan ke tangannya. Si botak itu langsung terkekeh-kekeh senang. Ini bagian yang menurutnya paling menyenangkan.
Pagi itu, sementara keempat temannya mempersiapkan segala peralatan yang akan dibawa ke lokasi perang terbuka, Iwan menelepon Lange. Dia menceritakan semua rencananya. Hanya garis besar. Detailnya harus menunggu sampai dia dan teman-temannya kembali dari lokasi.
Hari sudah menjelang siang ketika Iwan cs meninggalkan rumah. Sementara itu Langen langsung ke rumah Fani. Berdua mereka kasak-kusuk mencari cara, bagaimana bisa menemui Febi untuk memberitahu semua rencana Iwan cs.
*** Dua hari menjelang hari "H", dua kelompok cowok melakukan pertemuan di dua tempat yang berbeda.Sekali lagi Rei, Bima, dan Rangga mendiskusikan tempat yang telah mereka pilih untuk melakukan pendakian bersama Langen dan Fani. Jalur dengan tingkat kesulitan cukup tinggi sengaja dipilih untuk mempercepat proses eksekusi. Mereka juga membicarakan tindakan yang akan diambil untuk mengantisipai akibatnya.
Sementara itu di lokasi, Iwan cs mendiskusikan kembali setiap detail rencana, juga semua persiapan yang telah mereka lakukan sejak kemarin. Ini memang malam kedua kelimanya terpaksa kembali bermalam di tengah hutan, karena di malam sebelumnya masih banyak hal yang harus mereka lakukan. Hal-hal yang juga mereka diskusikan dengan seorang pendatang baru. Seorang laki-laki penduduk desa di lereng gunung. Mereka minta laki-laki itu bergabung karena dia mengenal dengan sangat baik kontur pegunungan itu.
Sementara malam ini, mereka kembali terpaksa mendirikan tenda di tengah hutan, karena semua sudah terlalu lelah untuk pegang setir.
Dua hari menjelang hari "H", di sekitar rumah Febi kembali berkeliaran dua "agen rahasia", yang meringkuk diam-diam di dalam mobil, atau bersembunyi di balik semak, pohon, dinding rumah tetangga, dan semua benda yang bisa menutupi tubuh mereka. Keduanya juga terus mengamati rumah Febi dengan saksama. Dan begitu sebuah sedan berhenti di depan rumah itu dan pengemudinya turun lalu masuk ke rumah, keduanya langsung gerak cepat. Mereka keluar dari tempat persembunyian, berlari menghampiri sedan itu, dan dalam waktu singkat, keempat ban sedan mendesis sampai peleknya menyentuh aspal. Keduanya lalu buru-buru berlari kembali ke tempat persembunyian.
Keempat ban yang tanpa angin sedikit pun itu jelas membuat si pemilik mobil bingung. Dia masuk kembali setelah sempat berdiri terlongo selama beberapa detik. Tak lama dia keluar, diikuti hampir seisi rumah. Termasuk sang target Febi.
Kedua agen rahasia yang sedang meringkuk di satu tempat tersembunyi itu segera membuka tas masing-masing dan mengeluarkan seperangkat persenjataan canggih. Dengan peluru yang tidak akan bisa terdeteksi!"Mana kacang ijonya"" tanya Langen.Fani menyodorkan kantong plastik berisi butiran benda yang diminya. Langen memasukkkan sebutir kacang hijau ke mulut lalu menempelkan salah satu ujung bambu kecil panjang yang dibawanya, ke mulut. Disemburnya kacang hijau di dalam mulutnya, yang kemudian mendesing keluar lewat lubang bambu.
Keduanya lalu memerhatikan dengan tegang. Tidak terjadi apa-apa di sana. Bidikan meleset.
Langen mengulangi sekali lagi. Dipilihnya butiran kacang hijau yang agak besar. Kali ini berhasil
. Febi menjerit saat lengannya seperti disengat sesuatu. Seketika gadis itu dikerumuni. Dan semuanya sepakat, penyebab bintik merah di lengannya adalah serangga. Tanpa seorang pun tahu yang mana atau yang bagaimana oknum serangga itu.
Langen menurunkan tangannya yang melambaikan slayer, karena Febi tidak menatap ke arahnya.
"Terpaksa kita tulup lagi dia!" desisnya, lalu kembali memasukkan sebutir kacang hijau ke mulut. Fani melakukan hal yang sama.
"Dua sekalian. Ntar kalo cuma satu kayak tadi, dia kira diantup tawon, lagi."
Dua moncong bambu kecil panjang sekarang terarah pada Febi. Dua butir kacang hijau lalu berdesing keluar melalui lubang-lubangnya, menghantam telak kulit putih gadis itu, dan meninggalkan dua bulatan merah terang seperti tadi.
Febi nyaris menjerit saat mendadak disadarinya ini sama sekali bukan perbuatan serangga. Dia menoleh ke segala arah dan langsung berhenti saat selembar kain berkibar dua kali lalu lenyap di balik tempat sampah milik salah satu tetangganya. Dia longokkan kepala, berusaha mencari tahu siapa yang bersembunyi di sana. Tapi seorang penjual es krim melintas lalu menghentikan gerobak bersepedanya tepat menutupi tempat sampah itu. Langen sengaja memanggilnya saat tahu Febi telah melihat kibaran slayernya.
Dengan alasan ingin membeli es krim, Febi bergegas menghampiri dan seketika terperangah begitu mendapati Langen dan Fani sedang meringkuk di sana.
"Elo berdua ya yang tadi ituin gue" Sakit banget, tau! Apaan sih tadi itu""
"Tulup. Sori deh, Feb. Abis, mikir cara yang lain nggak ketemu." Langen berjalan jongkok mendekati gerobak es krim diikuti Fani.
"Lo juga yang ngempesin ban mobil temen kakak gue""
"Iya." Langen dan Fani meringis bersamaan.
"Kelewatan lo, sampe semuanya gitu. Eh, Iwan udah terima SMS gue""
"Udah. Makanya kami nyari-nyariin elo. Udah dua hari nih kita ke sini. Lo kira-kira bisa ikut, nggak""
"Bisa dong!" jawab Febi seketika. Justru itu yang ditunggu-tunggunya!
"Kalo gitu denger nih. Gue bacain rencananya Iwan." Langen menceritakan dengan cepat semua rencana Iwan cs. Febi pura-pura sibuk memilih-milih es krim, tapi kedua telinganya terpasang tajam. "Oke, Feb""
"Oke. Ntar gue cari cara gimana bisa keluar deh. Udah nih" Kalo udah, gue mau balik."
"Udah."Febi menyerahkan selembar uang kepada si penjual es krim.
"Kembaliannya ambil aja, Mas," katanya, dan langsung berlari pulang.
"Kembaliannya masih banyak nggak, Mas"" tanya Langen.
"Lumayan." "Kalo gitu kami minta es krimnya dua. Yang rasa cokelat."
Si penjual es krim menyodorkan dua buah es krim cokelat. Dengan asyiknya, kedua cewek itu lalu menikmatinya di balik tempat sampah.
*** Malam menjelang pertempuran besar mereka, Langen dan Fani berkumpul di rumah Iwan untuk melakukan briefing terakhir. Di tengah-tengah keseriusan Iwan menjelaskan segala sesuatunya, tiba-tiba pintu diketuk. Febi berdiri di ambang pintu dengan sebuah koper besar.
"Gue minggat dari rumah," ucapnya santai dan bangga. Seketika semua mata menatapnya terpana. Febi tidak memedulikan tatapan-tatapan itu. Dengan tenang dia melangkah masuk lalu duduk di sebelah Fani.
"Ini peristiwa yang sangat penting. Jelas nggak bakalan gue lewatin. Akan gue cari segala cara supaya bisa ikut. Dan akhirnya....," dia tertawa riang, "ada di sini juga gue!"
"Lo ngomong serius nih, Feb"" tanya Iwan."He-eh," Febi mengangguk. "Emangnya kenapa""
"Gue nggak setuju. Ini sama sekali nggak lucu. Lo minggat, emangnya nggak dicari" Ke sini pula lo kaburnya. Ke rumah gue."
"Oh, tenang aja...." Febi mengibaskan tangannya, tetap santai. "Nyokap-bokap sama kakak-kakak gue lagi pada pergi. Pulangnya baru besok siang. Jadi baru besok siang pula mereka tau, gue udah buron. Dan gue juga udah booking kamar hotel. Jadi gue di sini cuma transit, Wan. Jadi lo nggak perlu kuatir. Oke""
"Tapi kalo Rangga ke rumah lo, gimana" Atau nelepon" Bisa kacau semuanya!"
Semua serentak mengiyakan kata-kata Langen.
"Ck, aduuuh!" Febi mengibaskan tangannya lagi. "Gue nggak sebego itulah. Semuanya udah gue pikirin. Se
muanya udah gue atur dengan rapi dan superteliti! Mas Rang.....eh, si Rangga nggak bakalan dateng. Soalnya sekarang dia lagi ada meeting Maranon sampai malem. Katanya lho! Makanya gue kaburnya nunggu dia nelepon dulu, terus gue pura-pura tidur. Begitu semua pembantu gue pada ngumpul di dapur, makan malem, langsung mereka semua gue kunciin dari luar. Baru abis itu....,"
Febi meringis lucu, "gue minggat dengan tenang! Dan untuk mengantisipasi kalo-kalo para pembantu gue berhasil meloloskan diri, semua buku telepon sama buku alamat, gue umpetin! Jadi mereka nggak bakalan bisa menghubungi siapa pun, terpaksa pasrah nungguin sampe bokap-nyokap sama kakak-kakak gue balik. Canggih kan gue" Jadi tenang aja. Semua dalam keadaan aman dan terkendali!"
Semua menatapnya tak percaya. Lalu serentak geleng-geleng kepala.
"Gila lo, Feb!" desis Iwan.
"Kalo ketauan, mudah-mudahan gue yang disuruh tanggung jawab," doa Theo dengan ekspresi muka penuh harap.
"Gimana urusannya, kok bisa elo"" kepala botaknya langsung dijitak Rizal. "Jelas gue dong!"
"Gimana urusannya juga, kok bisa elo"" balas Theo.
"Heh, lo berdua!" sela Evan. "Kalo mau ngerebutin cewek, tanya dulu ceweknya. Mau apa nggak" Jadi jangan sampe lo berdua berisik gitu, nggak taunya tuh cewek jijik, lagi!"
Rizal dan Theo seketika berhenti tarika urat.
"Belom pernah ada cewek yang jijik sama gue!" seru Rizal girang. Theo baru akan buka mulut, tapi langsung dipotonag Iwan.
"Ntar aja deh bercandanya. Ini dulu kelarin!"Febi ketawa geli. Penuh semangat dia lalu ikut memerhatikan peta dan lembatan kertas yang berserakan di meja. Tidak peduli dengan masalah besar yang baru saja ditimbulkannya.
Akhirnya.....Today is the day! Hari yang telah disepakati kedua belah pihak untuk sama-sama mengangkat senjata. Untuk menggambarkan bagaimana dahsyatnya "pertempuran" ini, kita ambil satu hari dari sejarah.
7 Desember 1941. Pearl Harbour, pangkalan perang Amerika Serikat, negara yang menganggap dirinya adidaya itu, hancur diobrak-abrik macan kuning Asia.....Jepang! Peristiwa itu kemudian menyulut PD 11 di kawasan Samudra Pasifik, dan baru berakhir setelah dijatuhkannya dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki Kalimat terakhir tidak perlu dibahas, karena pada saat itu bom atom adalah senjata yang paling mematikan. Menjatuhkannya di tempat yang tepat dan dengan jumlah yang benar-benar minimalis, akan melumpuhkan lawan, bahkan mereka yang menjadi jawara di medan perang. Kesimpulan: kuat belum tentu menang!
*** Iwan cs telah berangkat sejak hari masih gelap. Setelah menjemput Febi di hotel tempat dia menginap. Langen dan Fani juga berangkat ke kampus pagi-pagi, tapi sama sekali bukan untuk kuliah. Hari ini buku dan dosen adalah Dunia lain! Bima dan Rangga sudah menunggu kedua lawan mereka di tempat parkir di depan gedung rektorat. Tanpa Rei. "Rei udah berangkat duluan. Sekarang nunggu di lokasi," Rangga menjawab pertanyaan Langen yang bukan keluar dari bibir, tapi lewat sorot mata.
"Berangkat sekarang"" tanya Bima.
"Kenapa"" Langen menatapnya lurus. "Persiapan lo belum selesai""
Bima terperangah dengan "tusukan" telak itu.
"Emang kurang ajar nih cewek!" desisnya dengan emosi yang kontan menggelegak.
"Kawan kita yang tergila-gila sama dia....," bisik Rangga, "nggak ada!"
Benar-benar bisikan setan yang terkutuk! Bima sempat tertegun beberapa saat, sebelum kemudian ditepuk-tepuknya bahu Rangga.
"Terima kasih atas pemberitahuannya." Dia menyeringai lebar. "Sama-sama." Rangga mengangguk. Dan seketika Bima masih menatapnya dengan sorot penuh arti, Rangga mengangguk sekali lagi. "Gue nggak ngeliat apa-apa, juga nggak denger apa-apa!" "Itu yang gue maksud!" kembali bahunya ditepuk-tepuk. Kemudian Bima mengalihkan tatapannya kepada dua cewek yang akan menjasi rivalnya nanti. Yang masih berdiri di hadapannya dengan sikap gagah juga angkuh. Sepertinya telah siap menghadapi apa pun. Dia ingin tahu, apakah keduanya masih akan tetap seperti itu, setelah kejutan yang sebentar lagi akan dia berikan!
"Kita berangkat sekarang. Lo berdua ikutin di belakang!"
ucap Bima lalu balik badan. Dia berjalan ke Jeep LC Hardtop Canvas-nya diikuti Rangga. Langen dan Fani menyusul balik badan, lalu berjalan menuju Kijang Langen.
"Elo, La!" Fani berdecak sambil menutup pintu di sebelahnya. "Udah tau singa, pake dipancing, lagi!" "Gue nggak bisa nahan emosi. Tiap ngeliat cowok laknat lo itu, rasanya pengen banget gue cakarin mukanya. Trus gue jambakin rambutnya sampe botak. Trus gue cincang badannya sampe kecil-kecil!"
Fani berdecak lagi. "Mendingan lo cari pembunuh bayaran atau dukun santet yang canggih. Soalnya yang barusan lo sebutin tadi itu bener-bener ngimpi. Nggak bakal jadi kenyataan!"
Menyadari kata-kata Fani itu sangat benar, Langen jadi menghela napas. Ditunggunya sampai Jeep Bima melintas di depannya, lalu dibuntutinya.
*** Melalui kaca spion, Bima mengawasi Kijang di belakang Jeep-nya. Sepasang bibirnya lalu tersenyum tipis dan dingin. "Surprise!" desisnya. Jeep-nya mendadak melompat lalu melesat. Langen dan Fani terperangah. "Apa sih maksud dia!""
Langen buru-buru memindahkan tongkat persneling. Terpaksa diikutinya setiap gerakan Jeep Bima, berusaha keras mempertahankannya agar tidak hilang dari pandangan mata. Artinya, mau tidak mau dia harus mengikuti setiap gerakan gila dan nekat yang dilakukan Jeep Canvas di depannya. Dengan klakson yang sebentar-sebentar berteriak, memaksa kendaraan-kendaraan di sekitarnya untuk memberi jalan, Jeep itu meliuk tajam di antara padatnya lalu lintas Jakarta, dengan kecepatan jauh di atas yang seharusnya!
"Apa sih maksud dia!"" seru Langen, mulai panik. Di sebelahnya, Fani duduk dengan tubuh membeku. Sepasang matanya menatap lurus-lurus ke depan. Kesepuluh jarinya mencengkeram tepi jok kuat-kuat.


Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, meskipun harus berkonsentrasi pada jalan di depan juga pada setiap manuver yang dia lakukan, Bima tetap mengawasi Kijang di belakangnya. Dan begitu ternyata Langen berhasil mengimbanginya dan tetap berada tepat di belakangnya, decak kagum kemudian terlontar tanpa sadar. "Gila emang si Langen!" desisnya sambil geleng-geleng kepala. "Kalo nggak gila, nggak bakalan dia berhasil ngerusak cewek gue!" gerutu Rangga.
"Jadi....," Bima menoleh sekilas, "Elo apa gue yang tanggung jawab nanti" Soalnya dia mantan cewek kawan kita nih." "Gue kalo lo nggak berani!"
"Pke kalo begitu!" Bima bersiul keras. "Elo decision maker. Gue cuma eksekutor!"
"Nanti aja kalo udah keluar Jakarta."
"Sip!" Menjelang perbatasan kota Jakarta, Langen dan Fani mengira aksi gila Bima itu akan berakhir. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya.
Begitu melewati perbatasan, jarum spidometer langsung bergerak naik dengan ekstrem. Langen terperangah tapi tidak bisa berbuat lain. Terpaksa dia tetap mengikuti setiap manuver sinting yang dilakukan Bima.
Cewek itu mulai gugup. Cengekramannya ke setir mulai tidak stabil. Apalagi yang memakai jalan juga bukan hanya mereka berempat. Ada banyak mobil-motor yang berseliweran. Belum lagi kendaraan-kendaraan umum. Yang paling memperparah kegugupan Langen adalah orang-orang yang berseliweran di kiri-kanan jalan, yang terkadang menyeberang dengan lagak seperti jalan itu milik neneknya.
Ketegangan Fani ikut meninggi. Berkali-kali dia memperingatkan Langem agar tidak terlalu rapat dengan kendaraan lain. Matanya berkali-kali menatap spidometer dengan gelisah. Jarum itu terus bergerak naik, naik, dan naik. Dan jarum itu kemudian mulai bergetar!
Wajah Langen benar-benar pucat sekarang. Tanpa sadar digigitnya bibir sampai putih. Kesepuluh jarinya mencengkeram setir kuat-kuat. Kedua rahangnya mengatup keras. Sepasang matanya menatap lurus-lurus ke satu titik. Tapi berbeda dengan Jeep Canvas di depannya, yang meliuk luwes dan benar-benar terkendali, Kijang Langen lebih sering bergerak kaku dan patah-patah. Membuat banyak pengendara lain jadi ikut gugup.
Beberapa dari mereka, saking kagetnya mendengar teriakan klakson Jeep Bima yang memekakkan telinga, langsung menepi lalu berhenti di pinggir jalan. Mereka mengira ada rombongan polisi, pejabat, atau.....pokoknya orang pentinglah, yang akan lew
at untuk urusan yang sepertinya benar-benar gawat. Dan ketika yang lewat ternyata Jeep dan Kijang pribadi yang digas gila-gilaan, kontan mereka berteriak-teriak marah. Sumpah serapah seketika berhamburan.
Suara klakson Jeep Bima juga membuat orang-orang yang sudah sempat menyeberang sampai di tengah jalan, seketik balik badan dan lari kocar-kacir ke pinggir lagi, lalu langsung menyumpah-nyumpah sambil mengacungkan tinju. Rangga, yang terus mengawasi lewat spion, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri. Ditepuknya bahu Bima. "Cukup, Bim!"
Tapi Bima menolak mentah-mentah. Kemampuan Langen yang ternyata masih terus mengimbanginya, membuat cowok itu tertantang untuk mengetahui batas akhir kemampuan lawan.
Dengan kata lain, dia ingin melihat Langen menyerah!
"Bim.....cukup!" ulang Rangga lebih keras.
"Udah, lo duduk tenang aja. Gue yang tanggung jawab!" "Apa maksud lo"" Rangga tidak mengerti. "Gue pengen tau, sampe di mana dia sanggup!" Langen yang tidak tau bahwa Bima sedang menyiapkan kejutan lain untuknya, terus mengekor Jeep di depannya. Sampai kemudian mereka menggabungkan diri dengan iringan mobil yang berkonvoi di belakang sebuah bus antarkota. Sepasang mata Bima menatap lurus-lurus ke depan. Langen langsung bersiap-siap saat Jeep di depannya bergerak ke kanan. Dan begitu Jeep itu menyalip deretan mobil di depannya, cewek itu langsung mengikuti. Masuk di belakangnya. Sampai kemudian mereka meluncur bersisian di sebelah bus. Tapi ternyata Bima stuck di posisi itu. Tidak bergerak maju tapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan mendur. Dia meluncur rapat di sebelah bus besar itu. Akibatnya, dua pertiga badan Jeep-nya melewati garis pembatas.
Posisi Langen lebih parah. Untuk menghindari badan Kijang-nya bergesekan dengan bus di sebelahnya, terpaksa dia gunakan jalur kanan, tidak berani mengikuti jejak nekat Bima. Soalnya, kalau sampai tersenggol bus sedikit saja, Kijang-nya akan langsung terpental dan nyawanya juga nyawa Fani bisa langsung terbang dari badan.
"Apa sih maunya dia"" Langen menjulurkan kepala tinggi-tinggi.
Berusaha melihat ruang di depan Jeep Bima. Kosong!
"Ck!" Fani berdecak marah. "Klaksonin, La!"
"Elo dong! Nggak liat tangan gue kepake dua-duanya!" tanpa sadar Langen membentak sahabatnya.
"Sori-sori!" ucap Fani buru-buru. Diulurkannya tangan lalu ditekannya klakson kuat-kuat. Tidak ada reaksi dari Jeep di depan. Ditekannya sekali lagi, lalu sekali lagi, dan sekali lagi.
Tetap Jeep itu tidak memberikan reaksi.
Bukan hanya dua cewek itu yang jadi bingung dan ketakutan. Sopir bus sudah dari tadi jadi gugup. Dia sampai membuka jendela lalu memukuli pintu keras-keras, meneriaki Jeep di sebelahnya untuk maju.
Jalan di depan mereka kemudian menanjak lalu menurun tajam. Itu sama berbahayanya dengan tikungan, karena sama-sama tidak bisa melihat ada-tidaknya kendaraan dari arah berlawanan. Benar saja. Sebuah mobil mendadak muncul. Dan klaksonnya langsung mengeluarkan lengkingan panik. Memerintahkan dua mobil nekat yang menggunakan ruas jalannya agar secepatnya menyinggir.
Langen mengira Bima akan menuruti perintah itu. Karena itu dia bersiap-siap. Ternyata tidak. Bima justru semakin merapatkan Jeep-nya ke badan bus di sebelahnya, setelah Rangga menekuk kaca spion ke arah dalam. Gugup, Langen melirik spion untuk melihat posisi di belakang bus. Tidak ada tempat kosong. Enam atau tujuh mobil berderet di sana. Tidak ada jalan lain. Terpaksa diikutinya otak sinting Bima. "Spionnya, Fan! Tekuk ke dalem!"
Fani langsung menjalankan perintah yang diteriakkan dengan nada panik itu.
"Udah!" "Liatin kalo terlalu mepet!"
"Iya! Iya!" Fani menggeser tubuh. Dibukanya jendela lebar-lebar. Tanpa sadar cewek itu menahan napas saat perlahan Kijang mulai merapat ke badan bus. Baru disadarinya, tulisan "D" di badan bus itu, yang tadi terlihat tidak begitu besar, sekarang ukurannya hampir menyamai jendela mobil!" Kedua mata Fani jadi berhalusinasi. Huruf "D" itu bukan mengawali kata "Djaya Kencana" sepertinya terpampang, tapi.....
Death already! "La......La....." ditelannya
ludah susah payah. "Jangan deket-deket..... La....."
"Makanya liatin!" Langen membentak tanpa sadar. Bisa dimengerti, dia lebih panik karena pegang setir, dan benar-benar harus menyejajarkan sisi kanan Kijang-nya dengan Jeep di depan kalau tidak ingin dihantam mobil dari arah berlawanan. Soalnya ruang jalan yang tersisa benar-benar pas-pasan. Kedua mata Langen tertancap lurus-lurus pada Jeep Canvas dan jalan di depan. Kedua tangannya mencengkeram setir kuat-kuat. Kedua rahangnya mengatup keras. Butiran keringat sebesar jagung mengalir deras di kedua pelipisnya. Suara klakson yang melengking panjang dari mobil yang datang dari arah berlawanan itu membuat ketegangan mencapai klimaks. Sedetik semuanya mengira besok mereka akan masuk koran beramai-ramai. Di bawah judul "Korban luka", atau kalau nasibnya memang benar-benar tragis, "Korban tewas"! Tapi untungnya mobil dari arah berlawanan itu pilih mengalah. Tidak berani ikut-ikutan nekat. Dia meluncur masuk ke salah satu halaman rumah orang tanpa permisi dan berhenti di sana, di depan si pemilik rumah yang seketika memandang bingung. Seisi mobil lalu berlompatan keluar dengan ekspresi marah dan langsung berlarian ke pinggir jalan. Mereka ingin tahu, ada apa sebenarnya.
Baru saja Langen dan Fani akan menarik napas lega karena lepas dari jemputan maut, tiba-tiba Jeep Canvas Bima melesat meninggalkan mereka, dengan cepat dan begitu mendadak. Sebelum kedua cewek itu sadar apa yang menjadi penyebabnya, dari jalan menikung di depan, mendadak muncul sebuah truk trailer! Dengan badan kokoh, tinggi besar, dan tampang sangar, truk itu siap melumat Kijang mungil di depannya! Langen dan Fani terperangah dan hanya bisa mematung. Dua lampu depan truk itu kemudian menyorotkan sinar benderang lalu berkedip tiga kali. Dibarengi dengan teriakan klakson yang lebih nyaring dari teriakan kapal yang akan meninggalkan dermaga.
"MUNDUR, LA! MUNDUR!!!" jerit Fani histeris. Langen tersadar seperti ditampar. Seketika diinjaknya rem. Dengan entakan keras dan bunyi berdecit yang benar-benar mengiris kuping, Kijang-nya berhenti mendadak, dan langsung bergerak mundur. Berusaha menggabungkan diri dengan konvoi mobil di belakang bus.
Tapi satu suara melengking keras dari klakson yang ditekan maksimal, menyebabkan Langen kembali menghentikan Kijangnya dengan mendadak.
Karena dia dan Bima mengambil jalur kanan, beberapa mobil mengikuti di belakang. Dan yang barusan berteriak dan sekarang sedang mengedipkan kedua lampu depannya adalah mobil terdepan, sebuah Opel hitam.
Tapi sebuah celah di antara mobil-mobil yang berbaris di belakang bus, yang sekilas dilihatnya melalui spion, membuat Langen segera memindahkan kaki ke pedal gas. Kijang-nya kembali meluncur, tidak peduli dengan teriakan klakson yang menggila dari Opel hitam itu. Kijang Langen berhenti hanya beberapa detik menjelang mereka akan berbenturan. Diinjaknya rem. Dengan bunyi klakson berdecit tajam, sekali lagi Kijang-nya berhenti mendadak. Juga Opel hitam itu. Si pengemudi Opel menegang tak bisa bicara. Sementara orang di sebelahnya langsung membuka jendela dan melontarkan isi kebuh binatang dalam bentuk makian kasar.
Langen tidak sempat lagi mengacuhkan. Konsentrasinya tercurah total pada celah itu. Dengan kedua mata tertancap sepenuhnya di satu titik, kembali diinjaknya pedal gas. Tapi pengemudi Avanza abu-abu, yang rupanya tahu Lanen bermaksud mengisi celah di depannya, seketika menekan klakson kuat-kuat. Mengisyaratkan penolakan.
Celah itu terlalu sempit. Satu mobil lagi bisa bergabung tanpa membentur mobil-mobil yang lain, hanya apabila dia diletakkan vertikal dari atas!
Tapi Langen tidak punya pilihan. Sebelah kanan jalan berbaris rumah-rumah. Meskipun jaraknya berjauhan dan halamannya luas-luas, barisan pagar tembok memisahkan halaman-halaman itu dengan jalan raya. Nekat menabraknya untuk memasuki salah satu halaman sepertinya bukan cara terbaik untuk menghindari monster kotak yang sekarang sudah semakin dekat, yang terus mengedipkan kedua lampu sorotnya, bergantian dengan raungan klakson yang memekakkan telinga. Bena
r-benar tidak ada pilihan! "Pegangan, Fan!" teriak Langen.
Diirigi lengkingan klakson, puluhan mata yang membelalak, napas-napas tertahan, jeritan dan teriakan, Kijang Langen menerobos celah sempit itu dengan liukan tajam. Terdengar bunyi keras saat badan Kijang membentur Avanza. Mobil itu kehilangan lampu depan sebelah kanannya, ditambah beberapa kerusakan yang cukup parah. Pengemudinya shock dan terduduk seperti patung setelah refleks menginjak rem. Langen tidak sempat lagi untuk peduli apalagi ikut shock dengan kejadian itu. Kijang-nya yang sekarang juga tak lagi mulus, terus meluncur. Melewati celah sempiti tu dan berhasil keluar dari jalan raya!
Dirinya dan Fani lolos dari kemungkinan berubah jadi arwah. Masih dengan raungan klakson yang menusuk telinga, truk trailer itu berhenti dengan entakan, di ruang kosong yang baru saja mereka tinggalkan, nyaris beradu hidung denga n Opel hitam itu! Untuk kedua kalinya si pengemudi Opel membeku karena shock. Duduk dengan tubuh tegak kaku di belakang setir. Sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, memancarkan kengerian. Bumper kokoh dan moncong mengerikan trailer itu, yang memenuhi seluruh ruang pandang, membuat orang di sebelahnya seketika kehilangan keahliannya memaki. Dia juga membeku. Sementara itu.....
"La! La! Stop, La! Stop!" Fani berseru keras saat Kijang ternyata
terus menerobos semak belukar sampai jauh ke tengah. Tapi Langen yang benar-benar dicekam ketakutan sepertinya tidak mendengar. Kijang-nya terus meluncur. Fani terpaksa mendorong sahabatnya itu sampai terdesak rapat di pintu, lalu mengambil alih kemudi. Cepat-cepat diinjaknya rem. Kijang itu berhenti.....tidak jauh dari pinggir sawah!
Keduanya mematung. Duduk berimpitan di satu jok. Trailer itu masih terproyeksi jelas di mana-mana. Langen yang pertama tersadar. Dia membuka pintu dan langsung melompat turun. Seketika dia muntah habis-habisan. Sementara Fani menyambar botol air dari jok belakang lalu meneguknya banyak-banyak. "Bagi, Fan," pinta Langen lemah. Fani mengulurkan botol itu dan isiya langsung ludes dipakai Langen untuk berkumur dan membasahi muka. Tiba-tiba cewek itu tersentak lalu berlari terhuyung memutari mobil dan berhenti di sisi lain dengan mulut ternganga. Fani bergegas turun dan mengikuti. "Mati deh gue," desis Langen dengan suara serak. "Mas Radit udah ngancem, kalo sekali lagi gue bikin nih mobil masuk bengkel, gue nggak bakal dikasih make lagi. Disuruh naek bus atau jalan kaki ke kampus."
Fani menepuk-nepuk bahu sahabatnya, menenangkan. "Ntar gue bawa nih mobil. Lo pulang pake taksi aja. Kalo ditanya, bilang aja gue pinjem. Soal bengkel, urusan gue. Pokoknya gue anter ke rumah lo dalam kondisi mulus. Jadi Mas Radit, Mas Bagas, dan kakak-kakak lo yang laen, termasuk bokap-nyokap lo, nggak bakal tau!"
"Parah gini, Fan. Tabungan lo bisa kering."
"Gampang itu sih. Ntar gue tinggal nyari alasan apa kek, ke bokap-nyokap gue."
Tiba-tiba terdengar suara ranting patah dan semak-semak tersibak. Bima. Jeep Canvas-nya menerabas semak dan ilalang lebat lalu berhenti tepat di belakang Kijang. Cowok itu langsung melompat turun. Sendirian.
"Sori, La. Gue nggak....."
PLAK!!! Belum lagi selesai bicara, Bima keburu ditampar Fani. Kemarahan yang sudah menumpuk membuat cewek itu mengerahkan seluruh tenanga saat melakukannya.
Bima tertegun. Dipeganginya pipinya yang terkena telapak tangan. Ini pertama kalinya dia digampar orang. Cewek, lagi. Ceweknya sendiri pula. Tapi dia sadar, apa yang dilakukannya tadi memang benar-benar di luar batas. "Maaf," ucapnya dengan nada sungguh-sungguh. Ditatapnya Langen dan Fani bergantian. Kedua cewek itu balas menatap dengan keinginan untuk mencincang! Bima menarik napas lalu berkata pelan, "Gue ngajak begitu karena gue liat lo suka ngebut."
"Bukan alasan!" bentak Fani.
"Kalo lo tetep ada di belakang gue, nggak akan ada masalah, La. Udah gue perhitungkan jaraknya."
"Justru kalo lo tetep ada di depan tuh trailer, baru akan selesai semua masalah!" lagi-lagi Fani yang menjawab. Tatapan Bima beralih padanya.
"Sori, Fan," ucapnya sun
gguh-sungguh. Terdengar suara langkah berlari menyeruak semak. Ketiganya menoleh. Rangga berlari mendekat dengan wajah sangat cemas dan langsung menghampiri Langen dan Fani.
"Kalian nggak apa-apa"" tanyanya. Pertanyaannya tidak dijawab.
Dua orang di depannya cuma menatap dingin. Rangga menghela napas. "Itu tadi ide gue. Gue minta maaf."
"Nggak peduli itu lo ide lo apa dia. Yang jelas, gue sama Langen hampir mati!" bentak Fani.
Rangga sudah membuka mulut, tapi mendadak batal bicara. Dia balik badan dan menghampiri Bima dengan langkah terburu. Keduanya lalu bicara dengan suara pelan. Sambil sesekali menengok ke belakang, ke arah jalan raya. Avanza yang tadi berbenturan dengan Kijang Langen, terparkir di pinggir jalan. Pengemudinya sedang mengamati seberapa serius kerusakannya. Di tangan kanannya tergenggam selembar kertas. Sedangkan pengemudi Opel baru saja menutup pintu di sebelahnya. Tangan kirinya juga memegang selembar kertas, yang langsung dia serahkan ke orang di sebelahnya. Sedangkan monster trailer itu sudah tidak terlihat. Kerumunan orang yang menyemut saat adegan ala film action tadi terjadi, juga telah membubarkan diri.
Bima mengangguk-angguk lalu melangkah mendekati bagian badan Kijang yang rusak. Rangga mengikuti. Keduanya lalu mengamati kerusakan itu. Tapi baru saja Bima menoleh dan menatap Langen, Fani sudah mendahului dengan nada tandas. "Ini mobil urusan gue! Jangan harap gue biarin lo ngurangin rasa bersalah. Apalagi cuma dengan bayarin ongkos bengkel!" Bima menarik napas panjang dan menatap kedua cewek itu dengan pandang lurus. "Gue bener-bener minta maaf."
"Heh!" Fani kontan buang muka. "Naek, La. Cuekin aja tuh orang!"
Seketika tangan Bima terulur, menahan langkah Langen. "Biar gue yang bawa."
Langen bersaha mengenyahkan tangan Bima yang menggenggam lengannya, tapi tidak berhasil. Bima tidak mau melepaskan cekalannya.
"Nggak usah! Gue punya sopir pribadi! Lepas!"
Bima tetap tidak melepaskan cekalannya. Cowok itu benar-benar merasa bersalah dan cemas melihat wajah-wajah putih pucat itu.
"Yeee, dasar bekantan!" desis Fani. "Denger nggak sih lo, disuruh lepas!""
"Biar gue yang bawa!" ulang Bima, dengan nada memohon tapi tegas.
Fani berdecak jengkel. "Disuruh lepas juga!" dengan kasar dilepaskannya genggaman Bima di lengan Langen. Lalu dia sentakkan tubuh tinggi besar Bima kuat-kuat, sampai terdorong mundur beberapa langkah. "Minggit lo! Sana! Naek, La!" Langen bergegas naik. Fani langsung menyusul. Ditutupnya pintu dengan bantingan keras. Kemudian sambil memutar kunci, Fani menatap Bima tajam-tajam. "Dia nggak bisa, masih ada gue! Sekarang cepet jalan! Nggak udah banyak omong lagi!"
Mulut Bima sudah terbuka, tapi Rangga menepuk pelan bahunya lalu menggelengkan kepala. Terpaksa Bima balik badan lalu melangkah pelan menuju Jeep Canvas-nya. Kedua mobil itu kemudian beriringan pergi, menyusuri jalan raya dengan kecepatan yang menurun dratis. Bima bukan saja tidak ingin meneruskan aksi gilanya lagi, tapi dia juga mencemaskan kondisi Langen dan Fani.
Mereka sampai di lokasi. Rei langsung berdiri menyambut. Sisi Kijang Langen yang rusak parah menghadap ke arah lain. Arah yang tidak terlihat oleh Rei, hingga cowok itu tidak tahu apa yang telah terjadi, apa yang telah dialami Langen dan Fani. Melihat wajah-wajah sangat pucat itu dia mengira sebagian besar kepercayaan diri dan spirit lawan telah tergerogoti. Dengan mata menyipit dan senyum dingin, disambutnya kedatangan musuh-musuhnya dengan keyakinan sepertinya perang ini akan segera berakhir tidak lama begitu ia dimulai! Well, dirinya turut iba dan prihatin. Sayangnya, dia perlu pengakuan yang benar-benar riil!
*** Sikap Bima melunak setelah peristiwa yang nyaris fatal itu. Dia keluar dari rencana yang telah disusun. "Isi perut dulu, Rei."
Kening Rei kontan berkerut. Itu tidak ada dalam rencana mereka.
Jadwalnya adalah, pendakian langsung dimulai begitu mereka tiba di lokasi. Tidak ada waktu yang akan dibuang sebelum semuanya benar-benar jelas. Dan selesai tuntas!
"Mereka pasti udah sarapan dari ru
mah. Dan sekarang belom waktunya makan siang."
Bima menjawab dengan volume suara diperkecil.
"Yang kita lawan cewek. Ini saja kalo sampe ada yang tau, udah menghancurkan reputasi. Apalagi cewek yang fisiknya nggak bener-bener siap. Kalo anak-anak Maranon sampe denger, kita bisa diseret ke rumah sakit. Dipaksa operasi ganti kelamin!"
"Kemaren-kemaren lo nggak ada kompromi sama sekali""
"Hati nurani mulai bicara!"
Rei tidak tahu maksud kalimat Bima itu adalah, gorila itu menyesal telah menguji Langen dan Fani dengan cara di luar batas. Dan karena Langen adalah mantan pacar sobatnnya yang amat sangat diharapkan bisa diraih kembali, itu membuatnya tidak bisa memeluk Langen lalu menciumnya untuk menyatakan dia sungguh-sungguh menyesal. Meskipun tetap ingin melihat kejatuhan lawan, Bima tidak lagi bersikeras itu harus terjadi sekarang. Akan ditunggunya di mana pun kejatuhan itu terjadi. Dengan sabar. Karena dia tetap yakin, Langen dan Fani tidak akan sampai seperempat perjalanan!
"Mereka pucat bukan karena laper, Bim. Mereka takut, tapi nggak bisa mundur!" tegas Rei dengan suara pelan. Bima berlagak tidak mendengar. Dihampirinya Langen dan Fani.
"Kita makan dulu," ajaknya, lalu berjalan ke arah salah satu warung.
Rei berjalan paling belakang. Dengan lipatan kening yang nyaris serapat kain wiron. Rangga yang berjalan bersamanya memilih tidak memberitahu apa penyebab perubahan Bima. "Jangan makan terlalu banyak. Nanti lo berdua malah nggak kuat jalan." Bima mengingatkan saat mereka telah memasuki warung dan kedua cewek yang menjadi lawannya memilih tempat terjauh.
Langen dan Fani yang tidak tahu bahwa Bima sedang terserang virus langka yaitu penyesalan menatap cowok itu seakan-akan seekor serigala yang sedang memaksakan diri bertampang domba.
"Kita akan jalan begitu lo berdua udah bener-bener siap," sambung Bima. Rei menggebrak meja dengan berang. "Kita langsung jalan begitu lo berdua selesai makan!" tandasnya. Kemudian dihampirinya Bima. "Ada apa sih lo"" desisnya pelan. Bima tidak menjawab.
Setelah peristiwa yang membuat shock mental dan fisik itu, Langen dan Fani sebenarnya sangat butuh istirahat, meskipun hanya sesaat. Tubuh mereka masih setengah melayang dan kaki rasanya tidak berpijak dengan benar. Tapi kendali sepertinya telah berpindah tangan. Bima tidak lagi dominan. Akhirnya kedua cewek itu menyingkirkan piring masing-masing, tanpa satu sendok pun yang masuk mulut. Soalnya Rei terus menatap ke arah mereka tajam-tajam. Sepertinya makan adalah satu tindakan mencuri start, yang terpaksa tidak dapat diprotes karema hukum memperbolehkan. Keduanya lalu memilih memesan segelas bandrek, dan menikmatinya dengan sepotong besar pisang goreng yang masih hangat. Begitu potongan pisang terakhir habis tertelan dan sisa bandrek dalam gelas telah berpindah ke dalam lambung lawan-lawannya, Rei langsung bangkit berdiri.
"Kita berangkat.....sekarang!"Di depan base camp, yang merupakan garis start imanjiner, satu tanjakan terjal langsung menyambut!Meskipun Iwan telah memberikan gambaran yang sangat rinci mengenai kontur medan yang akan ditempuh nanti, saat melihatnya kontur tak urung Langen dan Fani terperangah. Tapi sedetik kemudian mereka buru-buru menghilangkan ekspresi itu.
Tanjakn terjal itu membentuk sudut nyaris empat puluh lima derajat, seakan berteriak mengejek ke arah kedua cewek itu.
"Kalah! Kalah! Kalah!"
Langen bahkan berhalusinasi melihat tulisan di punggung terjalnya! "Ahli mematahkan tulang! Membuat para pendaki amatir pulang dalam keadaan cacat!"
"Siap"" tanya Rei, langsung ke panglima perang lawan. Langen seketika menjawab dengan sikap seolah-olah dia dan Fani sudah berjamur karena terlalu lama menunggu perang dimulai.
"Menurut lo, apa tujuan gue sampe ke sini""
Jawaban Langen itu langsung membuat Rei menatap Bima dengan kedua alis terangkat tinggi-tinggi.
"Oke, kalo gitu. Jalan!" perintahnya dengan nada sedikit geram.
Olahraga berminggu-minggu dengan porsi menyamai atlet nasional yang akan diberangkatkan ke Olimpiade, salah satunya adalah untuk momen ini. Tiga p
uluh menit harus dilalui Langen dan Fani menapaki tanjakan terjal dengan carrier bervolume seperti yang seharusnya dalam pendakian dengan kondisi tanpa bantuan. Kondisi tambahan, separuh tenaga telah terbuang dalam aksi kebut-kebutan yang nyaris menjemput ajal.
Begitu kelima orang itu bergerak, Iwan dan Theo, yang terus mengawasi tajam-tajam dari satu tempat tersembunyi di ketinggian, juga langsung bergerak. Mereka kembali ke tempat Febi dan ketiha kawan mereka yang lain, yang saat ini sedang menunggu di titik tempat mereka akan bertemu Langen dan Fani untuk memberikan bantuan pertama. Tiga puluh menit dari sekarang.
"Mereka udah jalan!" kata Iwan begitu sampai.Rizal dan Febi langsung bersiap-siap. Sesuai dengan rencana yang telah disusun, Febi memang akan selalu di posisi paling depan. Diberangkatkan lebih dulu. Iwan tidak ingin Febi ada saat dia sedang direpotkan dengan dua cewek yang lain. Selain tambah merepotkan, juga akan menghambat kalau mendadak mereka harus bergerak cepat.
Alasan lain, Febi memang akan dimunculkan di akhir acara, setelah Langen dan Fani menyelesaikan (dengan harapan berhasil menang) perang terbuka ini. Doorprize spesial untuk cowoknya, Rangga.
Iwan dan ketiha temannya menunggu tegang. Sebentar-sebentar melirik jam dipergelangan tangan. Sementara itu di tempat lain, di antara tiga anggota Maranon berbadab besar, yang menapaki setiap jengkal dengan begitu gampang, Langen dan Fani berjuang keras. Kedua tangan dan kaki mereka berkoordinasi untuk menopang badan. Di tempat-tempat tanpa ada dahan atau batang pohon yang bisa digapai, menjadi tugas kedua kaki untuk menahan badan plus carrier yang menempel di punggung.
Wajib militer yang diterapkan Iwan benar-benar berguna. Tanjakan itu berhasil diselesaikan Langen dan Fani dengan mudah dan sesuai target waktu ketiga lawan. Tapi Rei cs sama sekali tidak terkesan, karena ini baru permulaan. Cadangan tenaga masih full tersimpan."Boleh juga," komentar Rei pendek. Kedua cewek di depannya merenspons dengan sikap seolah-olah pujian itu tidak berarti sama sekali. Sementara Bima cuma menatap keduanya tanpa bicara.Setelah mengistirahatkan tubuh di jalan datar sepanjang kurang-lebih 150 meter, tanjakan kedua menyambut. Lebih terjal dan lebih tinggi.
Kali ini mulai terasa berat. Otot-otot di seluruh tubuh terutama kaki, tangan, dan bahu, mulai terasa seperti ditarik paksa. Setiap langkah membuat carrier di punggung terasa bertambah berat satu kilogram. Kepala juga mulai terasa seperti ditusuki jarum yang terus bertambah satu di setiap langkah.
Mati-matian Langen dan Fani menutupi kenyataan bahwa setiap bagian dari tubuh mereka mulai berteriak agar perjalanan itu dihentikan. Keduanya saling melindungi. Saat Fani tidak sanggup lagi menahan kelelahan dan ekspresi itu terlihat jelas di mukanya, dengan gaya seperti sedang bercanda, Langen buru-buru menempelkan selembar saputangan basah di muka sahabatnya sebelum ketiga lawan melihatnya."Thanks," bisik Fani. Ditekannya saputangan itu kuat-kuat ke mukanya. Seketika rasa dingin yang segar mengalir dan memberinya tambahan tenaga.
Tak lama ganti Fani melindungi Langen. Sebuah batu kecil yang tak sengaja terinjak, membuat tubuh Langen kontan jadi limbung. Secepat kilat Fani menangkap dan menutupinya dari pandangan ketiga lawan. Tapi karena tubuhnya sendiri juga mulai kehabisan tenaga, Fani ikut limbung. Kedua terhuyung bersamaan, dan di detik-detik berbahaya itu Fani menjerit ide yang mendadak melintas di kepalanya.
"Aaaa! Awas, La! Ada ulet bulu di tangan lo!"
Dengan gaya jijik, cewek itu mengambil ulat bulu fiktif di tangan Langen dengan selembar daun, lalu melemparnya jauh-jauh. Setelah itu, Langen tanpa kentara menggoreskan tangannya ke permukaan kasar sebatang pohon.
"Gue nggak ngeliat ada ulet bulu!" ucap Rei tajam.
Sambil membantu Langen berdiri, Fani memasang ekspresi seolah-olah dia sangat jengkel.
"Ulet bulu itu kecil. Nggak gede kayak ulet naga! Jadi wajar aja kalo nggak keliatan. Udah gitu warnanya ijo pula. Kalo nggak percaya, cari aja. Tuh! Tadi gue lempar ke situ!" tunjukny
a dengan dagu, ke arah semak-semak.Rei saling pandang dengan kedua sobatnya.
"Gue juga nggak ngeliat!" kata Bima. Fani berdecak dan memelototinya.
"Jelas aja lo nggak ngeliat. Langen kan ditempelin ulet bulu. Bukan monyet bulu! Lo mana langsung ngenalin sih, kalo bukan sodara lo sendiri!" ejeknya. Bima jadi tercengang sementara tawa Rangga meledak.
"Ati-ati ya, Sayang"" ancam Bima. Fani mencibirkan bibir, pura-pura tidak takut.
"Liat tangan lo," perintah Rei. Langen sudah menduga itu akan terjadi. Karena itu terpaksa tadi dia goreskan tangannya ke permukaan sebatang pohon untuk menciptakan efek "habis terkena ulat bulu", meskipun sama sekali tidak cocok. Diulurkannya tangannya. Rei mengamati luka goresan itu.
"Betadine, Ga."
"Nggak usah!" tolak Langen serta-merta dan menarik tangannya dari genggaman Rei. "Kalo cuma Betadine doang sih, kami juga punya!"
"Betul!" Faani langsung merogoh salah satu kantong celana gunungnya. "Nih!"
Sebelum Fani sempat menyadari, Rei telah menyambar botol Betadine itu bersamaan dengan tangan kirinya yang meraih tangan Langen yang terluka. Tidak dilepaskannya genggamannya walapun Langen memberontak. Hanya dalam waktu sepuluh
detik, Rei membersihkan luka Langen lalu membubuhkan Betadine di atasnya. Kemudian dia kembalikan botol itu ke Fani."Kalo elo yang ngobatin, kita bisa brenti di sini satu jam." Diketuk-ketuknya dahi Fani. "Otak lo transparan!"
Bima dan Rangga kontan ketawa geli. Rei menatap kedua cewek itu lalu berkata tegas, "Sekarang jalan. Cepet!"
Langen dan Fani saling lirik diam-diam. Kok bisa ketauan sih"
Pendakian dilanjutkan. Untungnya tanjakan terjal itu telah terlewati tiga perempatnya. Tinggal sedikit lagi. Jadi pas dengan tenaga yang juga cuma bisa dikumpulkan sedikit, dalam usaha pencurian waktu istirahat yang gagal tadi. Akhirnya tanjakan terjal itu terlampaui. Tapi tentu saja Rei cs tidak terkesan sama sekali.
"Nggak ada istirahat!" tandas Rei. "Gue rasa akan ada ulet bulu lagi di depan!"
Rangga ketawa pelan. Sementara Bima menyeringai dan mengedipkan satu matanya ke arah kedua lawannya. Kedua cewek itu kontan menjerit dalam hati.
Mampus deh!Tiba-tiba sepasang mata Langen menangkap secarik kain merah kumal terikat di salah satu ranting pohon. Agar tak mengundang kecurigaan, Iwan memang telah mengganti pita merah dengan sobekan kain merah yang agak-agak kumal, supaya terkesan seperti tersangkut di ranting dan bukan diikat.
Langen memberikan isyarat pada Fani. Cewek itu lalu melirik kain itu tanpa kentara dan segera mengerti. Saat ini Iwan cs berada di sekitar sini.
"Boleh kami permisi sebentar"" tanya Langen.
"Buat apa"" sambar Rei seketika. "Mother nature is calling!"
Sesaat Rei bertukar pandang dengan kedua sahabatnya. Kemudian ditatapnya Langen dan Fani dengan senyum kecil.
"Lo berdua nggak bisa cari siasat lain" Yang nggak terlalu gampang dibaca."
"Ini beneran!" seru Langen pura-pura jengkel. "Gue kebelet pipis, tau!"
Kedua alis Rei terangkat.
"Oke," katanya akhirnya. "Tapi inget, lo udah minta izin memenuhi panggilan alam. Jadi nggak ada lagi adegan kena ulet bulu. Jelas""
Bocah Sakti 15 From The Darkest Side Karya Santhy Agatha Maling Romantis 3
^