Pencarian

Cewek 6

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 6


Langen melotot kesal dan langsung balik badan. Fani mengikuti. Diiringi tatapan dan senyum geli ketiga lawan mereka, kedua cewek itu bergegas pergi.
"Jangan lama-lama!" seru Rei.
Langen dan Fani tidak memedulikan teriakan itu. Setelah ketiga cowok itu tidak kelihatan lagi, keduanya langsung celingukan mencari-cari. Memanggil-manggil Iwan dengan suara pelan sambil menyusuri jalan setapak. Melewati tikungan ketiga, Iwan menyambut kedatangan keduanya dengan melompat keluar dari balik semak, disusul ketiga temannya. Seketika Langen dan Fani menarik napas lega. "Gimana"" Iwan bertanya cemas.Karena bukan lagi di depan musuh, kedua cewek itu langsung melepaskan kepura-puraan. Keduanya menurunkan carrier masing-masing, lalu menjatuhkan diri ke tanah sambil mengeluh.
"Lo jauh banget sih jemputnya"" keluh Langen. Iwan melirik jam tangannya.
"Tiga puluh menit perjalanan kan gue bilang" Ini belom ada dua lima menit malah." cowok itu
mengerutkan kening melihat kondisi Langen dan Fani. "Ini cuma sebanding sama tiga kali sore ke Gelora. Masa udah drop gini""
"Bukan itu masalahnya."
Langen menceritakan peristiwa Bima memaksanya bermain dengan maut, yang nyaris dimenangkan oleh sang maut. Keempat cowok itu kontan terperangah. Iwan lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah, di depan Langen dan Fani yang duduk meluruskan kaki di tengah jalan setapak. Satu bersandar lemas di kaki Theo, satunya di badan Yudhi.
"Bener!"" desis Iwan geram. Dua kepala di depannya mengangguk lemah. Kedua rahang Iwan kontan mengeras. "Bener-bener bajingan tuh orang! Batalin aja ini, La!"
"Jangan!" tolak Langen seketika."Dia udah keluar bates. Cowok model begitu mesti dihajar!"
"Iya, bener!" Theo mengangguk. Juga Yudhi dan Evan.
"Berarti kita kalah dong"" ucap Langen pelan.
Iwan menghela napas. Agak jengkel. "Emangnya memang penting banget, ya""
"Ya jelas penting lah.....Gila aja. Udah latihan fisik ngalahin tentara gitu. Sekarang disuruh batalin."
"Kalo waktu kebut-kebutan tadi lo mati, gimana" Menang masih penting""
"Kata Bima, dia ngajak gitu soalnya dia liat gue hobi kebut-kebutan. Dulu juga waktu SMA lo suka ngajakin gue trek-trekan. Gara-gara lo malah, gue jadi hobi ngebut."
"Oh, jadi elo ya Suhu-nya"" tanya Theo, dengan tuduhan yang langsung berpindah dari Bima ke Iwan.
"Ck!" Iwan mati kutu. "Ya udah. Ayo, buruan kosongin carrier!"
mereka menyingkir dari jalan setapak. Iwan cs lalu membongkar carrier Langen dan Fani dengan cepat. Dua menit, pembongkaran selesai. Seluruh peralatan telah ditukar dengan gumpalan kertas koran yang terbungkus tas plastik hitam. Hanya disisakan sedikit ransum makanan dan beberapa potong pakaian.
Satu-satunya perlengkapan berat yang mau tidak mau harus tetap dibawa oleh kedua cewek itu adalah air. Iwan tidak berani mengurangi karena dia yakin, Rei cs akan membiarkan kedua cewek ini lemas kehausan, kalau itu bisa membuat mereka keluar sebagai pemenang.Langen dan Fani mengenakan kembali carrier masing-masing, lalu berjalan mondar-mandir.
"Gimana" Masih berat"" tanya Yudhi.
"Nggak. Enteng banget malah!" jawab Langen sambil meringis gembira.
"Tapi jangan sampai lupa pura-pura itu masih berat."
"Oke, sip! Nggak bakalan!" Diacungkannya kedua ibu jari.
Mendadak saja Rei cs muncul di ujung jalan. Iwan cs serentak menunduk rendah-rendah di balik sebuah batu. Mereka melemparkan isyarat "good luck", lalu dengan tubuh membungkuk lari ke dalam kelebatan hutan. Langen dan Fani berusaha secepatnya menghilangkan ketegangan di wajah mereka.
"Kenapa nggak balik"" tanya Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya. Kedua matanya menatap Langen tajam-tajam, seperti merasakan sesuatu telah terjadi. Sementara itu Bima dan Rangga menatap ke sekeliling.
"Ngapain, lagi"" jawab Langen malas. "Nyape-nyapein aja. Naik, turun, terus naik lagi."
"Kalo nggak mau balik, bilang aja!"
"Sori deh." "Memenuhi panggilan alam sekalian nyolong-nyolong waktu buat istirahat, ya"" tanya Bima. Sikap lunaknya mulai menghilang. Ditatapnya Fani. "Iya, Sayang"" yang ditanya langsung membuang muka sambil cemberut.
"Ngomong terus terang aja kalo butuh istirahat," Rangga ikut nimbrung. "Kami sadar kok kalian cewek. Jadi ada dispensasi."
"ah, diem lo!" sergah Fani. "Yuk, La. Lanjut! Tunjukin ke mereka kalo kita nggak nyolong istirahat!"
Perang gender untuk menunjukkan siapa yang lebih kuat itu dilanjutkan. Langen dan Fani melangkah dengan gagah bak tentara. Tubuh tegak sempurna dan dagu terangkat tinggi-tinggi. Jelas aja, orang berat carrier telah berkurang hampir tiga perempatnya.
Tapi itu hanya bertahan lima belas menit. Jalan yang terus menanjak, langkah yang konstan tanpa istirahat, dan lawan-lawan yang sebenarnya sama sekali bukan tandingan, mulai membuat mereka kembali keteteran. Keduanya berusaha keras agar tenaga yang sudah terkuras dan otot yang sudah lelah tidak sampai membuat tubuh mereka "melambai-lambai".
Iwan cs telah memperhitungkan kemungkinan itu, dan menyiapkan pertolongan untuk membantu
. Langen dan Fani menemukan secarik kain merah kumal lagi. Terikat di satu ranting pohon yang agak tersembunyi. Isyarat bahwa mereka harus menghentikan perjalanan ini lalu memisahkan diri, karena kira-kira tiga ratus meter dari sini ada sebuah jalan pintas tersembunyi. Di sanalah Iwan cs menunggu untuk memperpendek jarak, mencuri waktu istirahat, dan menghemat energi.
Itu satu-satunya jalan potong kompas. Mepetnya waktu dan sulitnya medan membuat Iwan cs hanya bisa membuka satu jalur. Pertimbangan lain, dua kali adalah jumlah maksimal Langen dan Fani bisa melepaskn diri dari ketiga lawan. Benar-benar idiot Rei cs itu, kalau mau melepaskan untuk yang ketiga kali.
Jadi pertemuan nanti adalah pertemuan Iwan cs yang terakhir kali dengan Langen dan Fani. Setelah itu, Iwan dan teman-temannya hanya bisa membantu dari jarak jauh.
Tapi masalah utama yang membuat Iwan menekankan berkali-kali kepada kedua cewek itu agar "harus bisa memisahkan diri!" adalah karena, setelah ini, jalan setapak terjal yang menanjak ini akan sampai di sebuah tempat. Dan kontur tempat itu merupakan salah satu penyebab jalur pendakian ini mendapatkan julukan seram. Untuk bisa melewati tempat tersebut, Langen dan Fani tubuh istirahat. Tanpa itu, bisa dipastikan keduanya akan
"tewas"! Sambil terus menapaki jalan setapak terjal yang terus mendaki, Langen dan Fani berpikir keras, mencari cara untuk melepaskan diri dari Rei cs.
Segerumpul semak yang melintangkan satu rantingya seenaknya ke tengah jalan mendadak memberikan Langen sebuah gagasan. Diam-diam ditahannya ranting itu. Begitu target korbannya siapa pun dia telah berada di tempat yang tepat, langsung dia lepaskan ranting itu. Sedetik kemudian......
"AAKH!!!" Sang ranting menunaikan tugasnya dengan gemilang. Disabetnya muka Rangga tanpa ampun. Cowok itu terhuyung dengan kedua tangan menutupi muka rapat-tapat. Seketika Bima melompat ke belakangnya, menahan tubuh Rangga agar tidak jatuh.
"Langen! Kalo ada apa-apa di depan, bilang dong!" bentak Rei. Langen langsung menampilkan ekspresi andalannya, tampang anak kucing tak berdosa.
"Sori deh. Abisnya gue kirain dia ngeliat juga."
Rei mendengus lalu balik badan. Mendekati Bima yang sedang berusaha melepaskan kedua tangan Rangga yang masih menutupi muka.
"Coba liat, Ga."
"Nanti dulu! Nanti dulu!" Rangga menepiskan tangan Bima. Sambil mendesah menahan sakit, pelan-pelan dia lepaskan kedua tangannya. Semuanya menahan napas karena tegang. Termasuk sang pelaku. Sebelah kanan muka Rangga benar-benar merah. Mata kanannya menutup rapat-rapat. Bima lalu memeriksanya dengan teliti. Rei memerhatikan di sebelahnya. Melihat itu, Langen jadi cemas dan berdoa tanpa sadar, semoga perbuatannya tadi tidak benar-benar mencelakakan.
"Nggak ada luka," kata Bima. Semuanya menarik napas lega.
"Gila, sakit banget!" desah Rangga.
"Ya jelaslah." "Istirahat dulu deh. Sekalian masak. Gue mulai laper," ucap Rei sambil memandang berkeliling, mencari tempat datar.
Bersama Bima, dibentangkannya dua lembar ponco lalu dikeluarkannya peralatan masak dari dalam carrier. Tiba-tiba Bima menoleh dan mengatakan sesuatu yang membuat tubuh Langen dan Fani seketika menegang.
"Logistik lo berdua dulu yang dimasak. Biar berkurang bebannya."
Gawat! Langen panik memikirkan jawaban, tapi Fani dengan santai bilang, "Alasan aja lo, bilang biar beban kami berkurang. Kami tuh udah tau maksud lo yang sebenarnya. Pasti supaya kami ntar nggak punya persediaan makanan lagi. Dan karena kami nggak mungkin bisa maksa kalian gantian ngasih logistik yang kalian punya, kami terus jadi kelaperan. Dan akhirnya jadi kalah!"
"Betul! Betul!" tandas Langen langsung. "Betul, Fan! Gue juga udah ngira, pasti gitu niat mereka. Bikin kita kelaperan!"
Bima ternganga. "Nggak apa-apa kalo nggak boleh. Tapi jangan bikin tuduhan yang kelewatan!" katanya tajam. Kemudian diraihnya carriernya sendiri.
Sementara Rei dan Bima memasak, Rangga tidur-tiduran sambil menetesi matanya dengan obat tetes. Langen dan Fani berpikir keras mencari cara untuk melarikan diri. Cara
itu berhasil ditemukan tepat saat dua piring mi daging cincang diletakkan Bima di hadapan mereka.
Keduanya berusaha keras menahan diri untuk tidak melahap makanan menggiurkan itu. Aroma daging cincang berbumbu mengepul pekat dan tanpa henti, membuat seluruh saraf lapar jadi berdemontrasi gila-gilaan.
Keduanya diam-diam saling lirik di saat ketiga cowok di depan mereka mulai menikmati isi piring masing-masing, sambil membicarakan seseorang yang sepertinya salah satu dosen mereka. Langen mengangguk samar. Serentak dia dan Fani meletakkan piring masing-masing yang cuma berkurang tak lebih dari dua sendok, lalu berdiri.
"Minya nggak enak!" kata Langen dengan tampang malas. "Kali dipaksain dimakan, pasti bikin sakit perut!"
Seketika Rei cs berhenti ngobrol dan mengunyah. Tiga pasang mata kini menatap Langen lurus-lurus.
"Bilang apa tadi"" tanya Bima tajam.
"Mi masakan lo nggak enak!" ulang Langen nekat. "Pasti ntar bikin diare! Jadi sori aja...." disambarnya carriernya, yang langsung diikuti Fani, dan menaruhnya di punggung dengan cepat. "Kami cabut duluan, oke" Met makan! Bye!"
Keduanya segera balik badan dan pergi tanpa menunggu jawaban.
"HEI!!!" Rei dan Bima berteriak bersamaan.
"FANI!" FANIII!!!" teriak Bima menggelegar.Tapi teriakan Bima tidak diacuhkan. Kedua cewek itu tetap meneruskan langkah dan akhirnya hilang ditelan rimbunnya pepohonan. Rei, Bima, dan Rangga terperangah. Sesaat ketiganya hanya bisa terdiam. Bima yang pertama tersadar.
"Cepet beresin!" desisnya geram. "Pasti ada apa-apa di depan!"
Masing-masing cowok itu lalu menyuapkan dua sendok munjung mi sekaligus. Sisa di piring terpaksa dibuang. Sambil mengunyah, mereka berkemas dengan cepat. Peralatan makan dan masak dimasukkan ke kantong terpal masing-masing, meskipun masih dalam keadaan panas dan kotor, lalu didesakkan ke dalam carrier. Mi instan, minuman-minuman sachet, dan semua logistik yang berserakan di salah satu sisi ponco, dimasukkan ke satu kantong plastik lain berikut sampah-sampahnya. Plastik itu juga dijejalkan ke dalam carrier, menyusul ponco yang dilipat sekenanya. Setelah menyambar sepatu masing-masing dan memakainya dengan cepat, langsung mereka kejar kedua lawan mereka yang melarikan diri itu.
*** Begitu kerimbunan pepohonan menghalangi mereka dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani langsung mengganti langkah-langkah tenang mereka dengan langkah-langkah lintang-pukang. Sekuat tenaga mereka berusaha menyusuri jalan setapak yang terus mendaki itu, secepat kemampuan kedua kaki mereka yang sudah sangat lelah. Sesekali mereka menoleh kebelakang untuk memastikan apakah mereka langsung dikejar. Tapi perut yang melilit karena lapar dan semua anggota badan yang sudah kelelahan memperberat usaha pelarian itu. Beberapa kali mereka terpaksa berhenti.
Iwan cs terus mengawasi jalan setapak di bawah mereka dari satu tempat tersembunyi. Begitu melihat bayang keduanya timbul-tenggelam di antara rapatnya pepohonan, mereka langsung bergerak. Dengan cepat mereka menerobos pepohonan rapat yang menutupi jalur potong kompas, tidak peduli ranting dan daun melecuti kulit mereka.
"Nggak usah ditunggu!" seru Iwan saat melihat ketiga temannya akan berhenti di mulut jalan. "Jemput aja mereka!" Keempat tiba di saat Langen dan Fani hampir tak sanggup lagi meneruskan perjalanan. Tubuh keduanya sudah "melambai-lambai" parah.Yudhi bergegas melompat dan menyambar Fani yang hampir ambruk ke tanah. Sementara Langen terhuyung meraih sebatang pohon, lalu menyandarkan tubuhnya di sana. Terengah-engah kehabisan napas.
"Gue.....nggak kuat lagi, Wan....," ucapnya putus-putus saat Iwan sampai di sebelahnya.
"Lepas carrier lo!"
Langen melepaskan carrier-nya. Iwan langsung melempar carrier itu ke Theo. Sementara carriernya Fani langsung diambil alih Evan. Kedua pejuang emansipasi penerus perjuangan dan cita-cita Ibu Kartini yang sangat mulia kemudian terpaksa dipapah meninggalkan tempat itu.
Di jalur potong kompas, Langen dan Fani yang sudah kehabisan tenaga, tidak mampu lagi menapaki medan yang keterjalannya jauh lebih par
ah. Iwan dan Yudhi terpaksa menarik keduanya dari satu pijakan ke pijakan berikut, sementara Evan dan Theo berjaga-jaga di belakang masing-masing cewek.
Sesampainya di atas, dijalan setapak, Iwan dan Theo yang ikut perkumpulan bela diri, mendapatkan sedikit pengetahuan tentang pijat refleksi. Mereka segera mempraktikkannya pada Langen dan Fani.
Tidak lama ketegangan dan keletihan kedua cewek itu berkurang. Iwan mengeluarkan satu kantong plastik ransum makanan siap santap. Arem-arem.
"Lo berdua punya waktu....," diliriknya jam tangannya, "tujuh menit. Jadi manfaatin bener-bener."
Dua kepala di depannya mengangguk tanpa suara, soalnya perut sudah kelaparan parah dan mulut sibuk mengunyah dengan rakus. Iwan menatap keduanya dengan kedua rahang terkatup keras. Kemudian ditepuknya bahu Theo pelan.
"Kayaknya jaraknya harus dideketin, Yo. Kondisinya parah."
"Kayaknya!" Theo mengangguk dan langsung berdiri. "Yuk, Van!"
Evan menyusul berdiri. Diberikannya untuk Langen dan Fani masing-masing sebutir kapsul. Doping untuk mendongkrak stamina keduanya. Setelah itu bergegas disusulnya Theo.
Dalam rencana yang telah disusun, sebenarnya Iwan cs hanya membantu di jalur potong kompas saja, dan langsung pergi begitu tugas mereka selesai. Tapi melihat kondisi Langen dan Fani, Iwan jadi tidak tega dan akhrinya bersama Yudhi memutuskan untuk menemani. Sementara Evan dan Theo terpaksa membuat beberapa pijakan lagi di tebing tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui.
Dari arah bawah, samar terdengar suara-suara orang berlari. Iwan dan Yudhi segera berdiri.
"Bertahan, ya" Tinggal sebentar lagi!" Iwan membungkukkan badan dan menepuk bahu Langen dan Fani. Kedua cewek itu mengangguk.
Karena cemas, Iwan dan Yudhi terus berdiri menemani. Baru setelah suara-suara orang berlari itu semakin dekat, mereka beranjak. Mengucapkan "selamat berjuang" dan bergegas pergi.Rei cs muncul di ujung jalan dengan ekspresi berang."Ada apa ini"" desis Rei begitu sampai di hadapan kedua lawannya yang sedang duduk santai dan asyik mengunyah.
"Nggak ada apa-apa," jawab Langen tenang. "Kami udah bawa arem-arem. Banyak. Makanya tadi males diajak makan."
"Kenapa nggak bilang""
"Orang nggak ditanya."
Rei menyambar plastik hitam di sebelah Langen lalu membolak-balik isinya. Tak lama diletakkannya kembali plastik itu, karena tidak satu pun dari kumpulan arem-arem di dalamnya bisa mengatakan padanya apa yang telah terjadi sebenarnya.
Sementara itu Bima dan Rangga langsung memeriksa areal di sekitar mereka. Keduanya bahkan sampai jauh masuk ke hutan. Agar tidak tersesat, bisa kembali ke jalan setapak, keduanya menggunakan metode yang hampir sama seperti yang digunakan Iwan cs. Masing-masing mengeluarkan segulung pita kuning terang, lalu menariknya sambil berjalan hingga membentuk seperti police line. Tapi sampai di pita senti terakhir, keduanya tetap tidak menemukan sesuatu mencurigakan.
Akhirnya mereka kembali ke jalan setapak, lalu menghampiri Rei yang masih berdiri di hadapan Langen dan Fani dan sedang menguliti kedua cewek itu dengan tatap tajam. Tapi tanpa hasil. Dua orang yang dipelototinya tetap mengunyah arem-arem dengan santai. Bima lalu berjongkok dengan satu lutut menyentuh tanah. Persis di depan Fani. Disambarnya sisa arem-arem di tangan Fani lalu dilemparnya jauh-jauh ke tengah hutan.
"Ada apa, sayang"" desisnya tajam.
"Nggak ada....."
"Gue nggak tanya elo, La!" di potongnya kalimat Langen tanpa menoleh.
"Nggak ada apa-apa," jawab Fani. "Angkat mukanya kalo ngomong!"
Perlahan Fani mengangkat kepala dan sepasang mata elang Bima langsung menghunjam.
"Ada yang nggak beres" Hm" desis Bima dengan kedua alis terangkat tinggi.
"Nggak ada!" Fani menjawab tandas.
"Kalo nggak ada, kenapa nggak makan bareng kami" Kenapa harus jalan duluan" Jauh pula jaraknya."
"Nggak ada apa-apa!" tandas Fani sekali lagi. "Kami nggak mau makan bareng elo-elo. Itu aja. Nggak ada alasan lain!"
Bima jelas tidak percaya. Kedua mata hitamnya menikam semakin tajam. Tapi Fani menentang tatapan itu dengan berani, terhasut
kalimat yang diucapkan Langen begitu Iwan dan Yudhi pergi tadi. "Inget! Lo udah 'ditelanjangin'! Lo harus lawan dia. Jangan sampe kalah dua kali!"
Bima bukannya tidak tahu dari mana Fani mendapatkan keberanian itu. Hanya saja, keberadaan Rei membuatnya tidak bisa "menyentuh" Langen untuk mematahkan penentangan Fani.
Setelah beberapa saat tikaman matanya tidak berhasil melumpuhkan Fani, akhirnya Bima berdiri. Ditatapnya Rei dan Rangga bergantian. Meskipun tidak berhasil membuat lawan-lawan mereka buka mulut, ada satu kejanggalan yang tertangkap sangat jelas. Kedua cewek ini bisa melangkah dua kali lebih cepat saat.....tidak bersama-sama mereka!
*** Kejanggalan yang tertangkap jelas itu menyebabkan bencana. Rei cs kemudian memutuskan untuk tidak lagi membiarkan lawan mereka sendirian. Untuk alasan apa pun.
Tapi itu sudah diduga Iwan cs. Karena itu pertemuan mereka dengan Langen dan Fani tadi adalah pertemuan terakhir. Satu lagi yang juga telah mereka prediksikan tidak akan ada lagi istirahat. Dan prediksi mereka tepat!
Tidak akan ada lagi sesi istirahat atau break yang akan diberikan Rei cs untuk kedua lawan mereka. Sama sekali. Yang ada hanya.....menyerah, dengan multiple choice. Direct speech atau bicara langsung "Kami kalah" atau "Kami menyerah". Atau indirect speech alias pingsan!
Tapi tentu saja Iwan cs tidak akan membiarkan itu terjadi. Selepas tebing tegak lurus nanti, akan mereka hentikan perang ini setiap sepuluh menit, untuk memberikan kesempatan sejenak beristirahat bagi kedua cewek itu. Dan apabila telah mencapai target waktu, akan mereka hentikan perang terbuka ini.
Sayangnya, bencana terbesar justru tidak terprediksi. Untuk mengetahui bagaimana kedua lawan mereka bisa melangkah lebih cepat pada saat tidak bersama-sama mereka, Rei cs memutuskan untuk meningkatkan kecepatan!
Dan itu langsung terjadi begitu Bima memerintahkan kedua lawannya untuk berdiri dan melanjutkan perjalanan, dengan intonasi seperti memerintahkan tawanan untuk cepat keluar dari sel dan memulai kerja paksa. Bisa ditebak, kecepatan yang ditingkatkan itu kemudian menelan energi yang dikumpulkan Langen dan Fani saat istirahat.
Iwan cs, yang sedang mengecek kembali pijakan-pijakan yang mereka buat di lintasan tegak lurus yang sebentar lagi akan dilalui, kaget saat mendengar suara-suara langkah kai. Jauh lebih cepat dari waktu yang mereka perhitungkan. Bergegas mereka merambati tebing yang dipenuhi pepohonan itu, dan hilang di atas. Beberapa detik kemudian Rei cs, yang masih dalam kondisi prima, dan kedua lawannya yang telah kehilangan separuh energi yang dikumpulkan saat istirahat tadi, tiba.
Sekali lagi gambaran kasar di atas kertas dengan realita di depan mata adalah dua hal yang benar-benar berbeda. Langen dan Fani kontan ternganga lebar. Tapi mereka cemas juga ketiga Rei cs menangkap kepanikan mereka. Mulut Langen dan Fani segera terkatup kembali.
Etape berikut terbentang di depan mata. Sebuah tebing tanah tegak lurus. Pepohonan rapat menutupi seluruh permukaannya. Untuk melewatinya hanya ada satu cara. Memanjat dari dahan ke dahan! Dan tebing itu begitu tinggi, hingga seperti menyentuh langit, melukiskan dengan baik dan amat tepat sebuah lagu kanak-kanak yang dulu sekali kerap dinyanyikan. Naik, naik, ke puncak gunung. Tinggi.... tinggi sekali.....
Tebing ini akan menjadi tempat pembantaian. Bukan hanya Iwan cs, Rei cs ternyata juga telah merancang agar perang terbuka ini berlangsung singkat.
Di kalangan pendaki, jalur ini dikenal dengan sebutan "Jalan Setan". Tingkat kesulitannya yang cukup tinggi membuat jalur ini lebih sering digunakan untuk latihan fisik. Dan bisa ditebak, jumlah pendaki cewek yang pernah melewati jalur ini bisa dihitung dengan jari.
"Siap"" tanya Rei. Sikap dan intonasi suaranya seakan-akan dia baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa kedua lawan dipastikan akan menyerah di lintasan tegak lurus ini.
Langen dan Fani tidak bisa memberikan jawaban lain selain mengangkat dagu tinggi-tinggi, membusungkan dada, dan menampilkan ekspresi ready to fight till the last blood!
Ber diri ki kiri-kanan Rei, Bima dan Rangga juga mengamati kedua lawan mereka. Kelelahan kedua cewek itu sebenarnya terlihat sangat nyata. Sayangnya yang mereka ingin lihat adalah.....kejatuhan yang nyata!
"Gue lupa!" Rei berdecak. "Ini perang. Jadi harusnya nggak perlu basa-basi," kalimatnya membuat kedua sobatnya di kiri-kan kontan ketawa pelan. "So, ladies first or gentlemen first"" sambung Rei dengan nada sopan.
"Kenapa" Lo takut diem-diem kami balik badan terus ngibrit pulang"" tanya Langen langsung. Dia pura-pura tersinggung. Padahal yang sebenarnya, dia perlu waktu untuk mencari pijakan-pijakan yang telah dibuat Iwan cs di antara cabang dan ranting pohon. Yang tidak mungkin bisa dilakukan di bawah pandangan ketiga lawan.
"Oke. Gentlemen first!"
Rei menepuk bahu kedua sobatnya. Begiru ketiga cowok itu balik badan, kedua mata Langen dan Fani kontan jelajatan. Menggerayangi seluruh permukaan tebing. Berusaha secepatnya menemukan tanda-tanda yang ditinggalkan Iwan cs, yang benar-benar tersembunyi seperti dalam lukisan tiga dimensi.
Akhirnya mereka temukan tanda-tanda itu. Cabang dan ranting-ranting pohon yang telah dibentuk sedemikian rupa untuk memudahkan pemanjatan. Keduanya sejenak menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat. Saatnya untuk menyusul ketiga lawan..Dan pembantaian langsung terjadi!Di tebing tegak lurus dan tinggi ini, Langen dan Fani bukan saja dipaksa untuk melihat bukti bahwa gunung adalah dunia cowok, dan bahwa cowok adalah makhluk superior, tapi juga bahwa teori evolusi Charles Darwin kemungkinan bisa diyakini kebenarannya.
Dengan lincah, seakan tubuh mereka sangat ringan, Rei, Bima, dan Rangga berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Melompat-lompat dan berayun-ayun. Persis seperti yang dilakukan kera. Sementara Langen dan Fani, mengingat proses evolusi telah berjalan jutaan tahun lamanya, tidak lagi yakin dalam tubuh mereka masih tersisa DNA kera.Dan memang tidak ada. Meskipun Theo dan Evan sudah membuat pijakan-pijakan tambahan hingga jarak satu dengan yang lain berdekatan, ternyata tetap tidak membuat pemanjatan itu menjadi mudah. Langen dan Fani berpindah dari satu dahan ke dahan lain dengan susah payah, dengan gerakan nyaris selambat kukang.
Akibatnya.....jarak mulai terentang.Dengan napas terengah dan sambil memeluk sebatang dahan kuat-kuat, Langen mendongak. Kontan dia terkesiap. Ketiga lawannya telah lenyap!
"Fan! Fan! Buruan, Fan!"
Fani, yang cuma satu setengah meter di bawahnya, menjawab dengan suara terpurus-putus.
"Bu.....ruan" Lo nggak liat....." Sekarang kita.....Ada di mana....""
"Tapi mereka udah nggak keliatan!"
Fani mendongak lalu menatap ke segala arah.
"Wah, iya! Gawat, La!"
"Makanya buruan!"
Keduanya berusaha bergerak lebih cepat. Tapi saat ini mereka sedang berada di ketinggian. Tanpa pengaman. Tenpa perlindungan. Dan itu membuat kedua kaki mereka tidak bisa dipaksa untuk tidak gemetar.
Sebenarnya Rei cs tidak berada terlalu jauh, tapi mereka sengaja bersembunyi di balik rimbunnya daun-daun, agar bisa leluasa mengawasi kedua lawan. Ketiganya saling pandang setelah beberapa saat mengamati bagaimana Langen dan Fanu berpindah dari satu dahan ke dahan berikut dengan begitu lambat. Mereka juga memerhatikan, Langen dan Fani sebentar-sebentar melongok ke bawah lalu langsung memeluk cabang pohon terdekat kuat-kuat dan memejamkan mata rapat-rapat, tubuh mereka gemetar ketakutan setiap kali akan berpindah tempat."Sama sekali nukan karena mereka lupa pake kostum Catwoman!" ucap Bima. Rei seketika menoleh dan menatapnya, sementara Rangga nyaris meledak ketawa. "Dulu gue pernah janji mau ngasih lo bukti." Bima membalas tatapan Rei tepat di bola mata. "Ini buktinya! Bener-bener jelas, kan""
Rei berdecak, sedikit kesal. "Bim, emang gue segoblok itu" Nggak usah pake bukti gue juga tau. Yang gue masih bingung, gimana cara mereka bisa sampe puncak lebih ceper dari kita, dan lewat mana!"
Ganti Bima berdecak. "Itu namanya kalo bukan goblok" Lo kira gimana caranya orang naek gunung sampe ke puncak" Waktu itu kita sama sekali nggak
denger ada suara helikopter. Kita juga sama sekali nggak ngeliat Superman lewat. Berarti tinggal satu kemungkinan.....dengan kaki! Kalo cuma pake kaki mereka sendiri, jelas nggak mungkin." Bima menggerakkan kepalanya ke bawah. Ke arah Langen dan Fani yang masih setengah mati merambati tebing. "Jadi diperlukan banyak kaki. Sampe di sini lo pasti ngerti dan bisa mengalkulasi, kira-kira diperlukan berapa kaki tambahan untuk bisa mencapai puncak dalam waktu cuma empat jam!"
Ketika beberapa detik terlewat dan Rei masih juga tak bersuara, masih terus menatapnya tapi dengan mata yang tidak terfokus, Bima berdecak kesal.
"Perlu nama"" tanyanya gemas. "Gue sebutin jumlah kaki tambahannya pun percuma, lo pasti akan tanya siapa-siapa aja mereka."
"Siapa"" tanya Rei langsung. Bima geleng-geleng kepala, sementara Rangga tertawa tanpa suara.
"Iwan, Evan, Yudhi, Rizal, Theo!"
Kedua mata Rei kontan melebar. "Mereka bukannya...."
"Tepat!" Bima menjentikkan jari. "Di depan mata, Rei! Belom pernah gue ngerasa idiot parah kayak gini!"
"Dan lewat mana mereka, menurut lo""
"Kalo yang ini, jujur gue juga nggak tau. Makanya....."
Kalimat Bima terpental. Tiba-tiba cowok itu berdiri lalu bergerak menuruni tebing dengan cepat. Melompati dahan demi dahan dan menerjang lebatnya daun dan ranting tanpa memedulikan kulitnya yang terluka karena sabetannya.
Beberapa detik kemudian Rei dan Rangga tahu penyebabnya. Fani terjatuh. Tergelincir dari dahan tempatnya berpijak. Sementara Langen membantu dengan tubuh tegang dan wajah pucat. Tak mampu menolong.Secepat kilat Bima menyambar Fani sebelum tubuh cewek itu menghantam salah satu dahan. Dia bisa merasakan tubuh yang dipeluknya gemetar ketakutan. Sayangnya saat ini bukan momen yang tepat untuk memberinya lebih banyak pelukan menenangkan. Karenanya, begitu menemukan sebatang dahan yang kokoh, segera dilepaskannya pelukannya.
Tak ada satu kata pun yang keluar. Bima hanya menatap tanpa bicara, memastikan cewek di depannya tidak menderita luka serius. Hanya beberapa luka gores yang memang tidak mungkin dihindari. Kemudian ditinggalkannya Fani dan dihampirinya Langen yang sama pucatnya.
"Perhatiin temen satu tim! Jangan jalan sendiri-sendiri!" desis Bima tajam. "Sekarang dia tanggung jawab elo. Bukan gue!"
"Sori," jawab Langen pelan, merasa bersalah. Bima masih menatapnya tajam selama beberapa saat, kemudian kembali ke tempat Rei dan Rangga.
"Nggak apa-apa dia"" tanya Rei langsung.
"Nggak. Cuma shock."
"Nggak apa-apa lo tinggal begitu""
"Mau gimana lagi" Lagi perang begini."
Bima kembalu ke dahan tempat dia duduk tadi, lalu mengawasi ke arah bawah dengan waspada. Kedua sobatnya mengikuti. Sementara itu Langen menyingkirkan segerumbul daun yang menghalangi pandangannya ke Fani.
"Fan," panggilnya dengan suara serak. "Lo nggak apa-apa"" Sambil mencengkeram kuat-kuat beberapa ranting sekaligus, Fani menggeleng tanpa bicara. Dia belum bisa membuka mulut. "Lo bisa ke sini, kan" Gue nggak bisa...."
Langen melirik ke atas. "Iya. Gue tau." Fani mengangguk.
Meskipun tubuhnya masih lemas, Fani nekat memaksakan diri meniti dahan menuju tempat Langen berdiri. Ini perang, jadi dia tidak bisa terlalu lama membiarkan dirinya dicekam ketakutan.
"Kenapa bukan Langen yang jalan"" di atas, Bima menggeram marah melihat itu. Dia tidak tahu, Langen tidak mungkin meninggalkan jalur pemanjatan yang telah dibuat Iwan cs.
"Di mana-mana anak buah ngikutin jenderal. Bukan sebalinya," kata Rangga.
Begitu Fani sampai di sebelahnya, Langen langsung memeluk dan minta maaf. Keduanya kemudian meneruskan pemanjatan. Di atas, Rei cs masih terus mengawasi dengan waspada. Dugaan sekaligus harapan mereka tercapai. Karena terlalu khawatir dengan kondisi Fani, Langen jadi lengah.
Ganti dia yang terpeleset. Kedua tangannya refleks meraih sesuatu untuk dipegang. Sayangnya dahan yang terpegang tidak cukup kuat. Dahan itu patah dan ikut jatuh bersama sang pemegang. Fani berusaha menolong tapi nyaris membuatnya ikut jatuh juga.
Rei langsung bertidak begitu apa yang akan menimp
a Langen masih berupa gelagat. Dituruninya tebing dengan cepat. Tak peduli ranting-ranting liat dan permukaan kasar dahan-dahan pohon membuat kulitnya yang tidak terlindung pakaian tergores. Disambarnya tubuh Langen dan dibawanya ke satu dahan yang kokoh, tidak jauh dari Fani yang memandang pucat pasi. Tanpa bicara Rei menatap sang mantan dalam-dalam.
Sepasang mata milik Rei menatap Langen dengan banyak ekspresi. Ada senyum tertahan di sana. Ada kangen yang terbaca jelas. Ada kecemasan yang sarat. Ada permintaan untuk berhati-hati. Namun sepasang mata itu juga memancarkan sinar yang memerintahkan Langen untuk mengaku terus terang!
Tatapan itu baru terputus setelah kedatangan Bima dan Rangga. Rei lalu menggabungkan diri dengan kedua sahabatnya itu."Ada satu hal yang harus kami beri tau," ucap Rei, "Karena ini perang, jadi seharusnya kami tidak perlu memberikan pertolongan. Tapi kalo gue sama Bima nggak turun tangan waktu lo berdua jatoh tadi, urusannya bisa sampe ke kepolisian. Jadi terpaksa harus dibuat perjanjian....." Rei berhenti sejenak, menikmati sorot waswas di mata kedua lawannya. "Ada tiga kali kesempatan untuk kelepeset kayak tadi. Bukan tiga kali kesempatan untuk masing-masing, karena itu jumlahnya jadi enam. Tiga kali kesempatan untuk lo berdua!" Dia hentikan lagi kalimatnya untuk menciptakan situasi dramatis dan mencekam. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mempercepat kekalahan lawan. Dan kalimat Rei itu diteruskan Bima.
"Dan apabila sampai terjadi kalian kepeleset untuk yang ketiga kali, yang artinya untuk yang ketiga kalinya pula salah satu dari kami harus memberikan pertolongan, berarti....kalian kalah!"
Langen mendesis marah. Gimana bisa monyet-monyet ini bilang akan memberikan tiga kali kesempatan sementara yang dua telah terpakai"
Seakan seperti bisa membaca pikiran Langen, Bima tersenyum lalu meminta maaf dengan sikap berlebihan."Maaf. Ada kesalahan teknis. Harusnya kami kasih tau dari awal tadi. Bukan begitu"" Dia menoleh ke sobat-sobatnya yang mengangguk takzim tapi sambil menahan senyum.
Puncak kepala Langen kontan berasap. Dengan gigi gemeletuk dia lalu bicara dengan penekanan penuh, "Dan elo-elo pasti berharap akan ada yang ketiga, kan" Jangan harap! Lo bertiga silakan mimpi!"
"Amin. Semoga lo berdua selalu ada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa." Rei, Bima, dan Rangga bicara bersamaan dan menganggukkan kepala juga bersamaan. Dengan sikap serius dan khidmat yang berlebihan. Membuat kedua lawan mereka ingin menjerit-jerit saking emosinya.
"Ayo, jalan!" ajak Rangga kepada kedua sekutunya. "Karena mereka nggak mungkin kepeleset lagi. Jadi kita tunggu aja di atas."
"Oh, iya. Untung lo ngomong, Ga!" ucap Rei sambil menepuk dahi. Kembali dihadapkannya tubuhnya yang sudah sempat berbalik ke Langen dan Fani. Bima mengikuti. "Ada satu hal lagi. Kasih tau, Bim!"
"Oke!" Bima bersiul dengan gaya menjengkelkan. "Bicara soal nunggu di atas, sekali lagi karena ini perang, jadi kami mohon maaf yang sebesar-besarnya karena tidak bisa menunggu lama'lama. Kalian akan kami tunggu selama sepuluh menit. Tidak lebih! Jadi kalau lewat dari sepuluh menit, meskipun cuma satu detik....," sepasang mata Bima menajam, menatap kedua lawannya bergantian, 'Kalian kalah!"
Senyum puas mengembang di bibir Rei cs saat kedua lawan mereeka terperangah mendengar dua ancaman mematikan itu. Tanpa bicara lagi ketiganya lalu balik badan. Merambati tebing dengan cepat dan hilang ditelan rapatnya dahan pohon dan dedaunan.
Langen dan Fani masih tercengang. Pembicaraan itu dilakukan di ketinggian hampir lima belas meter! Nun jauh di bawah, batu-batu besar dan kecil bertonjolan di antara lebatnya semak belukar. Memberikan penegasan bahwa siapa pun yang terjatuh dan tidak segera mendapatkan pertolongan, maka dipastikan akan mendapatkan gelar di depan nama: in memoriam!
Kesimpulannya, kalau tidak ingin terjatuh yang berbutut mendapatkan pertolongan, di mana pertolongan itu berarti kekalahan, maka kedua cewek itu harus sangat berhati-hati dalam meniti setiap langkah.
Sedangkan jika ingin berhati-hati, mer
eka butuh waktu yang tidak sebentar. Sementara waktu yang disediakan oleh ketiga lawan hanya sepuluh menit.Ini benar-benar buah simalakama. Beracun pula!Ultimatun Rei cs kemudian membuat Langen dan Fani memutuskan untuk nekat. Daripada malu!"
Daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati berkalang tanah!" desis Langen, mengutip pepatah lama. Tangan kanannya terkepal kuat.
"Setuju, La! Merdeka!" Fani ikut mengepalkan tinju.
"Jangan ngeliat ke bawah!" tegas Langen.
"Jangan ngeliat ke bawah!" Fani membeo. Mengangguk kuat-kuat.
"Tempat ini nggak tinggi, dan di bawah nggak banyak batu!" tegas Langen lagi.
"Tempat ini nggak tinggi, dan di bawah nggak banyak batu!" kembali Fani membeo dengan penekanan suara kuat-kuat.
"Sip! Ayo, jalan!" "Oke!"
Semangat memang sanggup mengenyahkan jauh-jauh segala kelemahan. Rei cs serentak mengangkat alis tinggi-tinggi saat kedua lawan mereka tidak lagi bergerak selambat kukang. Keduanya bahkan dengan lihai menyelinap di antara dahan dan daun. Tidak lagi terlihat ketakutan, dan seakan tak pernah mengalami kejadian yang mengerikan sebelumnya.
Ketiga cowok itu saling pandang. Tebing ini memang pernah menelan korban. Tidak ada catatam pasti berapa jumlah pendaki yang kehilangan nyawa di sini. Dan untuk saat ini memang bukan itu yang jadi fokus pikiran Rei cs. Bukan berapa banyak jumlah pendaki yang tewas di tempat ini. Tapi berapa banyak jumlah arwah yang sedang bergentayangan saat ini. Karena dari perubahan yang benar-benar sangat dratis ini, tidak diragukan lagi, Langen dan Fani sudah pasti sedang kerasukan!
Apa pun tudingan Rei cs, kerasukan atau kerusupan, Langen dan Fani berhasil mencapai puncak tebing dengan selamat. Dan dengan waktu dibawah target ketiga lawan. 10 menit kurang 5 detik! 10 menit kurang 5 detik yang begitu spektakuler dan mencengangkan, sekaligus 10 menit kurang 5 detik yang menelan habis seluruh cadangan kekuatan.
Kedua cewek itu berdiri di puncak tebing, di hadapan ketiga lawan mereka. Tapi tidak lagi dengan tubuh tegak sempurna. Keduanya sudah tidak mampu lagi menutupi kenyataan, stamina mereka telah merosot dratis. Nyaris di titik nol! Dengan pasrah mereka terpaksa membiarkan tubuh mereka yang melambai-lambai bak batang-batang nyiur di tepi pantai, terlihat ketiga lawan.
Namun Rei cs angkat topi dengan ketangguhan lawan-lawan mereka. Kali ini mau tidak mau mereka harus berhenti untuk beristirahat sejenak. Musuh sudah dipastikan akan kalah. Jadi tidak perlu mencemarkan piala kemenangan dengan kata-kata
"tidak fair". "Break sepuluh menit!" ucap Rei.Break sepuluh menit yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Tubuh tidak mungkin mampu memulihkan diri dalam waktu sesingkat itu. Yang diperlukan Langen dan Fani adalah break yang lamanya bisa dipergunakan untuk tidur, memanggil tukang pijit, atau pingsan!
Sepuluh menit waktu istirahat itu kemudian dilewati Rei cs dengan berleha-leha. Ketiganya tidur-tiduran berbantal carrier. Untuk mengusir udara yang jadi terasa sangat dingin pada saat tidak bergerak, di tangan masing-masing cowok, dalam mug biru langit bertuliskan "My soul belongs to mountains", mengepul susu jahe panas yang dinikmati bersama potongan-potongan cake cokelat.
Masih ada lagi. Sementara mulut mengunyah, kedua mata mereka menatap berkeliling. Menikmati pemandangan yang indah. Yang jadi terasa semakin indah manakala mata melirik, dan lawan-lawan yang sedang sekarat berada tidak jauh di sebelah.Betul-betul hari yang sama sekali tidak berminat untuk membagi makanan dan minuman yang sedang mereka nikmati dengan kedua lawan. Bukan karena mereka kejam apalagi pelit, tapi karena orang yang sedang sekarat lebih membutuhkan doa ketimbang susu jahe panasdan kue cokelat. Dan hal yang terpenting, kedua cewek itu harus merenungi semua perbuatan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Misalnya, melakukan kebohongan dan pengkhianatan.
Nanti setelah perang gender ini selesai, setelah bibir kedua warrior girls itu memberikan pengakuan yang gamblang, lengkap, mendetail, jelas, jujur, dan tentu saja harus diakhiri dengan permohonan maa
f dari lubuk hati yang paling dalam, keduanya akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih panas daripada segelas susu jahe!
Evan, yang mendapatkan tugas untuk melakukan pengintaian sehubungan dengan kejanggalan yang muncul, kembali ke tempat teman-temannya menunggu dengan berita buruk. Langen dan Fani sempat terjatuh dan mendapatkan pertolongan dari musuh-musuh mereka, kemudian terjadu pembicaraan serius yang sayangnya tidak dapat dicuri dengar karena jaraknya terlalu jauh.
"Mereka luka"" tanya Theo.Evan mengangkat bahu. "Nggak tau. Jaraknya terlalu jauh."
"Luka nggak luka....," desis Iwan, "yang jelas mereka pasti bener-bener sekarat sekarang!"
"Yang gue liat tadi kayaknya begitu." Evan mengangguk cepat.Sementara Rei cs berleha-leha, Iwan cs berunding dengan cepat. Hasilnya, suara bulat kemudian memutuskan untuk mengakhiri perang terbuka itu. Saat ini juga!
Theo, sang algojo, langsung mengeluarkan senjata rakitannya, yang khusus diciptakan untuk keperluan ini. Katapel dan batu pipih sebagai peluru. Setelah memeriksanya sesaat, dimasukkannya kedua benda itu ke salah satu saku celana lapangannya.
"Oke"" tanya Iwan.
"Sip!" Theo mengacungkan satu jempolnya.
"Lo tunggu di sini, Yud!" ucap Iwan sambil menurunkan carrier-nya.
"Oke!" Yudhi mengangguk.
Evan dan Theo juga melepaskan carrier masing-masing. Ketiganya lalu bergegas menyeruak lebatnya pepohonan dan
semak belukar. Meninggalkan Yudhi sendirian sebagai penjaga carrier. Sambil berjalan, Evan mengikatkan seutas pita merah dalam jarak-jarak yang terlihat ruang pandang.Ketiganya baru berhenti menyelinap di antara pohon dan semak-semak, setelah menemukan tempat mengintai yang tepat. Dari tempat itu Rei cs serta Langen dan Fani yang sedang beristirahat terlihat jelas.
Namun posisi Rei cs yang berbaring berdampingan seperti jejeran ikan asin yang dijemur para nelayan, membuat eksekusi belum bisa dilakukan. Selain itu, posisi berbaring tidak akan memberikan hasil maksimal.Tidak ada pemandangan yang lebih exciting selain melihat tubuh sang target tersentak ke belakang dan akhirnya roboh!
*** Akhirnya sepuluh menit waktu istirahat telah terlewat.
"Time is up!" seru Rei, dan langsung bangkit berdiri. Bima dan Rangga mengikuti. Dengan gaya berlebihan, ketiganya lalu melakukan senam-senam ringan untuk melemaskan otot-otot tubuh.
Langen dan Fani melirik dengan dongkol. Tubuh keduanya masih terasa luluh lantak dan break yang hanya sepuluh menit itu justru memperparah. Jangankan bersenam-senam seperti kubu lawan, untuk berdiri tegak saja mereka harus mengerahkan seluruh kekuatan.Di tempat lain, terhalang rimbunnya semak belukar, Theo bersiap-siap. Sepasang matanya mengikuti setiap gerakan calon korban. Sementara kedua tangannya merentangkan karet ketapel pelan-pelan.
Hanya ada satu kali kesempatan. Jadi harus berhasil! Target tidak perlu terluka parah, karema serangan ini tanpa jaminan asuransi. Yang penting, perang terbuka ini berakhir.
Setelah membersihkan mug dan memasukkannya kembali ke carrier, dengan nada tegas dan tanpa kompromi Rei memerintahkan kedua lawannya untuk bergerak. Bersamaan dengan itu, sebuah batu pipih dilepaskan dari rentangan maksimal sebuah ketapel. Berdesing menyibak daun-daun yang menghalangi dan bergerak cepat, lurus ke sasaran. Dan beberapa detik kemudian....."AAAKKKH!!!!"Satu teriakan keras membelah keheningan belantara. Bima terkapar dengan lengan kiri berlumur darah!
Sedetik semuanya hanya berdiri diam dalam keterperangahan dan kebingungan. Erangan Bima beberapa saat kemudian menyadarkan Rei dan Rangga. Serentak keduanya menghampiri Bima yang masih tergeletak di atas semak-semak yang patah karena tertimpa badan besarnya.
Sesuatu telah merobek bukan hanya lengan kiri kemeja birunya, tapi juga daging di baliknya! Dan dari darah yang mengalir deras, luka sayatan yang menganga itu sepertinya cukup dalam.
Langen dan Fani hanya bisa berdiri sambil terus ternganga-nganga selama Rei dan Rangga melakukan tindakan P3K terhadap Bima. Kedua cewek itu benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya baru saja t
erjadi.Begitu selesai membersihkan luka Bima dan membebatnya, dan bersama Rangga membantu cowok itu berdiri, Rei langsung balik badan. Kemeja kremnya bernoda darah. Cowok itu menghampiri Langen dengan kedua rahang mengatup keras."Lo pasti bisa jelasin, apa barusan itu tadi!" ucap Rei dengan nada tajam."Bima kenapa"" Langen malah bertanya bingung."Justru itu yang gue pengen tau!" bentak Rei."Hah"" Langen menatapnya dengan ekspresi semakin bingung. "Kenapa nanya gue""
Rei mendesis tajam. Benar-benar marah sekarang. Dicekalnya kedua lengan Langen kuat-kuat dan di tariknya mantan ceweknya itu rapat-rapat di depannya. Refleks Langen meletakkan kedua tangannya di dada Rei. Membuat jarak.Tapi Rei langsung mengenyahkan penghalang itu dari dadanya. Kemudian dipeluknya Langen sampai benar-benar tidak ada jarak, dengan kekuatan yang membuat Langen menggigit bibir menahan sakit."Nggak akan ada saksi mata kalo gue apa-apain lo di sini, La!" ancamnya dengan gigi gemeretak."Mau lo apain juga, gue tetep nggak bisa bilang apa-apa. Gue bener-bener nggak tau!"
Lekatnya persahabatannya Rei dan Bima, kerap membuat keduanya mengaburkan batas benar dan tidak. Rei siap menjadi arca batu untuk apa pun tindakan Bima. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, meskipun di depan mata Rei sedang mendekap Langen dengan begitu kuatnya, sampai-sampai siluet keduanya di atas permukaan tanah seperti menampakkan kembar siam yang hanya terpisah di kepala, Bima hanya menyaksikan tanpa memberikan reaksi apa-apa. Sementara Rangga, yang statusnya sahabat new comer, tentu saja harus mengikuti aturan main yang sudah ada.
Di tempatnya berdiri, Fani hanya bisa pasrah. Tidak berani memberikan pertolongan karena sepasang mata Bima mengawasi setiap gerak-geriknya dengan tajam. Tidak perlu diperhitungkan satu tangan cowok itu yang terluka, karena tangannya yang lain sudah lebih dari cukup untuk mematahkan tulang-tulangnya, kalau dirinya berani nekat."Lo pilih ngomong, atau paru-paru lo jebol"" desis Rei. Langen tidak bisa menjawab. Dia benar-benar sulit bernapas. Dekapan Rei membuat paru-parunya tidak bisa bergerak bahkan untuk mengambil sedikit saja udara. "Oke.....gue.....akan.....ngomong....," ucap Langen akhirnya. Fani terperangah. Rei menyipitkan kedua matanya."Coba bilang sekali lagi!" perintahnya. "Gue.....akan.....ngomong..... Tolong.....lepas.....tangan lo....," pinta Langen dengan suara semakin terengah. Rei melepaskan kedua tangannya yang memeluk Langen. Begitu saja. Membuat Langen seketika terhuyung dan hampir tersungkur kalau tidak buru-buru ditahan Fani.Cewek itu membungkuk. Menekan dadanya dan terbatuk-batuk. Ditariknya napas panjang-panjang untuk mengisi paru-parunya yang seperti kosong."Cepet!" bentak Rei, masih terus mengawasi Langen. Masih dengan satu tangannya menekan dada, Langen berusaha menegakkan badan. Tapi tidak bisa benar-benar tegak karena dadanya masih agak sakit. Kedua bola mata cokelatnya lalu menatap Rei, lurus dan tajam. "Elo.....banci!!!" Rei terperangah. Sementara tawa Bima kontan meledak keras. Di sebelahnya, Rangga geleng-geleng kepala, menatap Langen tak percaya."Dari awal udah gue kira, dia nggak bakal buka mulut," ucap Bima setelah tawanya reda. "Bawa ke sini cewek gue. Kalo dia, gue yakin pasti akan bicara!"
Fani tersentak. Juga Langen. Keduanya langsung berpelukan kuat-kuat. Bima menepuk bahu Rangga. Segera Rangga menyusul Rei yang sedang berjalan ke arah kedua cewek itu. Dengan paksa kedua cowok itu kemudian melepaskan pelukan erat Langen dan Fani. Rangga langsung menyeret Fani menuju tempat Bima berdiri, sementara Rei berdiri di hadapan Langen, untuk menghalangi cewek itu menyelamatkan sahabatnya.
"Halo, Sayang....." Bima membungkukkan badannya dan menyapa Fani dengan lembut. "Aku lagi sekarat nih. Peluk aku, ya" Mau, nggak""
Refleks, Fani langsung geleng kepala kuat-kuat. Dia akan bergerak mundur, tapi bisa karena Rangga berdiri rapat di belakangnya dan mencekal kuat-kuat kedua lengannya. Bima tertawa geli dan mendongak menatap Rangga."Mana pernah dia mau meluk gue," katanya, lalu tatapannya kembali ke Fani. "Tapi
kalo jawab pertanyaan, mau, kan" Harus mau! Karena itu tadi, aku lagi sekarat. Jadi mumpung aku masih bernapas, kamu lebih baik koorperatif, supaya aku matinya nggak penasaran. Karena kalo sampe mati penasaran, nanti arwahku nggak tenang dan kamu aku gentayangin tiap malem. Dan yang namanya jurik itu nggak punya batas ruang. Jadi nggak ada gunanya kamu ngunci pintu atau ngumpet di dalam lemari.""Tapi....tapi....gue nggak tau elo kenapa....," jawab Fani terbata."Oh, ya"" Bima pura-pura kaget."Iya. Gue nggak tau. Bener!" Fani mengangguk kuat-kuat.
Iwan memang sengaja tidak memberitahu kedua cewek itu cara dia dan keempat temannya mengakhiri perang terbuka itu. Semata untuk melindungi keduanya dari kemungkinan tekanan pada saat interogasi, yang sudah pasti akan dilakukan di tempat dan sedetik setelah serangan terjadi. Tapi tetap itu tidak membuat Langen dan Fani terhindar dari situasi sulit."Mungkin dengan begini kamu jadi tau." Bima menatap lengan kirinya yang luka. Darah merembes dari balutan luka itu. Mengalir turun. Dengan jari telunjuk, ditahannya aliran darah itu sesaat, kemudian dioleskannya darah itu ke bibir Fani. Fani tersentak. Karena tidak bisa bergerak mundur juga tidak bisa menggerakkan kedua tangannya, dipalingkannya wajahnya. Tapi Bima langsung menghadapkan kembali wajah itu ke arahnya. Kembali dia oleskan darah lukanya ke bibir Fani. Cewek itu memejamkan mata rapat-rapat. Tidak tahan dengan bau anyirnya."Ini untuk mengenang Left Eye TLC....," ucap Bima sambil membuat garis darah di bawah mata kiri Fani. Kemudian dia membuat bulatan darah tepat di tengah-tengah dahi Fani. "Left Eye dari India....."
Langen menatap cemas tanpa mampu menolong. Di depannya Rei masih berdiri menjulang dengan ekspresi garang. Akhirnya Fani menyerah setelah Bima yang sedang bereksprimen sebagai make up artist dengan menggunakan darahnya sendiri mulai membuat bulatan-bulatan merah di kedua pipinya."Mau bilang""
tanya Bima. Fani mengangguk cepat-cepat. "Sweet girl....." Bima mengecupnya sekilas. "Lepas, Ga!"
Rangga melepaskan cekalannya."Ng....tangan lo itu...""Iya" Apa yang udah bikin tanganku jadi sobek begini"""Ng....ituuu...." Fani berpikir keras mencari jawaban. Tiba-tiba dia melakukan dua gerakan dengan sangat cepat. Menyikut ulu hati Rangga kuat-kuat lalu memukul luka Bima keras-keras. Langen, yang bisa membaca gelagat itu sejak awal, di saat yang bersamaan meninju dada Rei dengan kedua tangan dan dengan seluruh kekuatan.
Bersamaan dengan teriakan ketiga cowok itu, darah segar menyembur dari luka di lengan Bima yang masih menganga. Fani berlari menghampiri Langen lalu keduanya berdiri saling merapat."Kami bener-bener nggak tau! Sumpah!" seru Langen saat Rei dan Ranga berjalan menghampiri dirinya dan Fani dengan marah. Sambil menekan kuat-kuat lukanya yang mengucurkan darah, Bima ikut mendekat."Sumpah!" Langen mengulangi. Kali ini dengan kedua tangan terangkat. "Demi Tuhan, kami bener-bener nggak tau!" dan ketika ketiga cowok itu tetap bergerak maju, Langen meneruskan dengan sumpah yang benar-benar fatal. "Kalo kami bohong, gue sama Fani nggak bakalan selamet sampe rumah!""Jelas! Dan mau tau apa yang akan bikin lo berdua pulang dalam keadaan nggak selamet"" desis Rei tajam. Dia benar-benar geram. "Kalian harus kalahin kami! Kalau tidak...." Rei menghentikan langkahnya yang tinggal satu rentangan tangan. Bima dan Rangga ikut berhenti di sisi kiri-kanannya. "Elo berdua akan kamu serahkan ke keluarga masing-masing.....dengan visum dokter!"
Langen menatap Rei dengan ekspresi takut tapi juga bingung."Maksudnya.....cacat"" tanyanya terbata."Jelas!" tandas Rei seketika. "Ng.....maksudnya.....memar-memar, gitu" Atau patah kaki-tangan""
"Bukan....." Rei tersenyum dingin.
"Cacat yang paling ditakutin cewek!" Muka Langen dan Fani kontan putih!
*** Sementara itu di tempat lain, Iwan, Theo, dan Evan, jadi gelisah sekaligus berang menyaksikan peristiwa itu. Theo memukul-mukul kepala botaknya dengan kedua telapak tangan. Benar-benar menyesali kegagalannya. "Goblok-goblok!" desisnya berulang-ulang.Iwan menepuk ba
hunya. Mengingatkan bahwa ini di luar dugaan. Soalnya, apabila semua berjalan sesuai rencana, Theo akan melakukan tugasnya di sebuah tempat, di mana dia bisa mendekati sang calon korban sampai jaraknya yang cukup dekat, hingga bisa memilih bagian tubuh mana yang menjadi target katapelnya."Daripada fatal, ntar malah berabe urusannya!""Jadi gimana sekarang" Lo liat tuh!" tunjuk Theo dengan dagu, ke kejauhan di bawah. "Begitu lebih baik""Jauh di bawah, dengan paksa Rangga merenggut Fani dari Langen lalu menyeretnya ke hadapan Bima."Jadi"" tanya Iwan tanpa menoleh."Udah, kita ribut aja! Pengecut, tau nggak" Ngumpet-ngumpet begini!""Setuju!" Evan mengangguk.Iwan terdiam beberapa detik. Kemudian....."Oke. Yuk!"Ketiganya meninggalkan tempat itu. "Turun, Yud!" ucap Theo begitu sampai di tempat Yudhi dan carrier-carrier mereka ditinggalkan. "Turun"" Yudhi memandang tak mengerti."Kacau!" ucap Iwan sambil menyambar carrier-nya. "Theo pilih ribut!""Yeee....," sambil menyandang carrier-nya di punggung, Yudhi menatap ketiga temannya bergantian. "Kenapa nggak dari kemaren-kemaren" Jadi nggak buang-buang waktu sama tenaga. Udah cabut kuliah pula."Keempatnya balik badan. Segera kembali ke arah semula.


Cewek Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Inilah peperangan Langen dan Fani yang sesungguhnya.Iwan cs gagal memberikan pertolongan. Dan apabila kedua cewek itu sampai kalah, masa depan mereka akan hancur berantakan.Waktu baru berjalan lima belas menit, tapi Langen dan Fani telah terserang mountain sickness parah. Seperti ada jarum besar besi pasak tenda, dihunjamkan tepat di ubun-ubun kepala. Terasa seperti ada sesuatu yang ditusukkan dari pelipis yang satu menembus ke pelipis yang lain. Juga seperti ada sebuah benda yang mahaberat diletakkan tepat di dada, hingga terasa sangat sakit saat memaksa untuk menarik napas dalam-dalam.
Keringat mengalir deras seperti alur sungai. Kaus yang dikenakan kedua cewek itu jadi melekat di badan dan membuat mereka tidak nyaman."Stop sebentar!" ucap Bima tiba-tiba. Semuanya berhenti dan menatapnya. Bima menunjuk kemejanya yang ternyata juga kuyup karena keringat. "Ganti baju dulu."
Langen dan Fani saling pandang diam-diam. Ini memang yang mereka harapkan, tapi tidak sekarang. Waktunya tidak tepat. Lokasinya apalagi.
Rei, Bima dan Rangga menurunkan carrier mereka dari punggung. Langen dan Fani segera mengikuti. Kesempatan untuk sejenak mengistirahatkan otot-otot bahu yang sakit. Ketiga cowok itu lalu melepas kemeja masing-masing.
Tanpa sadar Langen dan Fani bergerak mundur, menjauh beberapa langkah sambil menyeret carrier masing-masing. Dada-dada telanjang itu, yang terlihat jelas terbentuk karena olah fisik yang rutin dan berat, juga lengan-lengan yang besar dan berotot, membuat keduanya merasa terancam."Nggak ganti baju"" tanya Bima tiba-tiba. Dia lalu menoleh ke segala arah. Dan ketika didapatinya kondisi sekeliling yang tidak menyediakan tempat tertutup, pandangannya kembali ke Langen dan Fani, dengan seringai jail di bibir. "Cuma soal waktu. Dan itu nggak lama lagi." ucapnya dengan nada seolah-olah dirinya turut prhiatin. "Jadi nggak ada salahnya diperlihatkan dari sekarang.
Terutama untuk Rei. Kalo gue nggak perlu, soalnya.....gue udah ngeliat." sepasang mata hitam yang dinaungi alias tebal itu kemudian terarah ke Fani. Bima lalu mengedipkan sebelah mata dan tertawa geli ketika tindakannya itu membuat muka Fani seketika jadi merah padam."Tapi..," Rangga menyambung, menatap ke arah Langen dan Fani, "apa yang menurut lo berdua sangat berharga, tetep harus lo pertahankan. Kalo perlu sampai titik darah penghabisan!" tapi detik berikutnya dia ngomong lain. "Tapi kalo Bima sih udah jelas bakal jadi suami lo, Fan. Jadi lo nggak perlu nutup-nutupin lagi....."
Rei dan Bima kontan tertawa geli. Keduanya menunda memakai kaus yang baru mereka keluarkan dari carrier. Sengaja berlama-lama memperlihatkan dada telanjang mereka, karena sepertinya itu membuat pihak lawan terintimidasi.
Mendadak sifat iseng Bima kumat. Tiba-tiba, dibuatnya gerakan seolah-olah ingin memeluk Fani. Cewek itu kontan menjerit dan berlari ke belakang punggung L
angen. Bima tertawa."Hm," ucapnya sambil melirik kedua sahabatnya. "Kalo nanti ada yang menjerit-jerit, harap tutup telinga ya. Oke"""Yang jelas gue nggak sempet ngurusin urusan elo," jawab Rei. "Karena gue juga pasti lagi sibuk."
Langen langsung jadi emosi. Dipungutnya sebuah batu dan dilemparnya ke arah Rei kuat-kuat. Dengan sigap cowok itu berkelit."Jangan ngomong sembarangan lo! Gue sama Fani belom kalah, tau!""Ck ck ck!" Rangga geleng-geleng kepala. "Masih galak juga!""Tenang," Rei menepuk bahu Rangga. "Sebentar lagi akan gue bikin dia jadi semanis kelinci."
Mendengar percakapan itu, Langen langsung naik pitam. Darah di kepalanya kontan mendidih. Seribu sumpah serapah sudah siap dilontarkan, tapi kemudian tersangkut di ujung lidah. Dia tidak terbiasa memaki, itu yang membuat sumpah serapah itu jadi tertahan.
Gantinya, cewek itu lalu bicara dengan nada tinggi, "Bisa nggak sih elo-elo nggak pake cara-cara intimidasi" Lo bertiha curang, tau nggak" Nggak fair! Naik gunung ya naik gunung aja! Nggak usah pake ngancem-ngancem! Ngomong ini-itu!""Tapi sah-sah aja, kan"" jawan Rei. Bima dan Rangga tertawa geli mendengar ucapan Rei.
Tiba-tiba Langen bergerak maju. Rei cs tersentak kaget dan refleks bergerak mundur bersamaan. Ternyata cuma Rei yang diincar Langen. Penuh emosi cewek itu langsung menerjang Rei dan memukuli dada cowok itu."Wow! Wow!" Rei berusaha menahan serangan Langen. "Mulai menggunakan kekerasan nih!" dengan sigap ditangkapnya pergelangan tangan. Dan segalanya berlangsung cepat. Di depan semua mata, Rei menarik Langen ke arahnya, lalu dengan tangan kirinya yang bebas, dipeluknya mantan ceweknya itu kuat-kuat. Kemudian cowok itu menundukkan kepala.....dan mencium sepasang bibir di bawahnya!
Bisa dia rasakan, tubuh dalam pelukannya menegang dan seketika berontak, berusaha melepaskan diri. Tapi itu justru membuat Rei semakin mengetatkan dekapannya. Beberapa saat kemudian cowok itu mengakhiri ciumannya dengan satu bisikan tajam, tepat di telinga kiri Langen. "Jangan harap lo bisa menang!"Kemudian Rei melepaskan pelukannya dengan tiba-tiba. Cowok itu lalu melangkah mundur.
Wajah Langen merah padam. Ditatapnya Rei seperti tidak percaya, cowok itu tega melakukan hal itu padanya. Rei membalas tatapan Langen dengan tenang."Nangis aja, kalo elo pengen nangis," ucapnya datar.
Mati-matian Langen berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya. Sementara itu Fani tetap berdiri di tempatnya. Masih terpaku dalam keterperangahan. Tidak disangkanya Rei bisa sadis begitu. Dan ini kali pertama disadarinya, Rei dan Bima ternyata mempunyai sifat yang hampir sama.
Rei menggerakkan kedua tangannya, menepuk pelan bahu Bima dan Rangga yang berdiri di kiri-kanannya. Ketiga cowok itu lalu meraih kaus masing-masing dan memakainya, lalu meraih carrier dan menyadarinya.Bima dan Rangga langsung balik badan. Sementara Rei sejenak tanpa perasaan.
Begitu ketiga cowok itu menghilang, Fani segera menghampiri Langen dan memeluknya. Didapatinya sepasang mata sahabatnya itu merebak."Gue baru tau, dia ternyata juga bajingan. Sama kayak cowok lo," desis Langen dengan gigi gemeretak. Fani mengusap-usap punggung sahabatnya."Kalo sifatnya nggak sama, nggak mungkin mereka bisa sohiban."
Keduanya lalu terdiam. Napas Langen memburu, turun-naik dengan cepat karena menahan emosi. Fani hanya bisa menenangkan dengan cara terus memeluknya."Udah"" tanyanya kemudian, dengan nada pelan dan hati-hati.Langen mengangguk. Cewek itu kemudian menghapus habis air matanya yang mengalir turun tanpa ada isak yang terdengar."Mereka kira kita udah kalah," desisnya geram."Biar aja mereka kira begitu.""Lo siap, kan"""Ah, elo!" kembali Fani memeluk Langen. "Kalo nggak siap, gue nggak akan sampe sini, lagi!"
Kembali keduanya terdiam. Langen memejamkan mata rapat-rapat. Menarik napas panjang dan dalam, berulang-ulang. Fani memeluknya dengan tangan kiri sementara tangan kananya menggenggam satu tangan Langen."Yuk!" ucap Langen setelah beberapa detik yang hening. Fani mengangguk tegas. Keduanya kemudian meninggalkan tempat ini.
*** Kedua alis Rei sesaat terangkat, saat ternyata lawan-lawannya muncul lebih cepat dari waktu yang dia perkirakan.
Keduanya mata hitamnya yang ternyata lebih dingin dari Bima, menatap Langen lurus-lurus. Langen membalas tatapan itu sama tajamnya. Menegaskan meskipun tadi dia sempat menangis, bukan berarti dirinya telah kalah.
Ketiga cowok itu kemudian balik badan tanpa bicara. Perang gender itu kembali berlanjut. Dengan atmosfer yang sangat berbeda. Rei cs kini tidak tidak lagi melangkah dengan standar mereka. Mereka kini melambat, mengikuti ritme langkah lawan-lawan mereka. Dan hening.
Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah batu besar berbentuk oval. Tubuh Langen dan Fani seketika menegang. Batu besar ini.....adalah akhir.....dari perang gender ini!
Menurut penjelasan Iwan saat briefing, tidak jauh dari sini ada tempat terbuka. Tidak begitu luas. Tempat para pendaki biasa berhenti untuk memasak atau sejenak beristirahat. Sayup-sayup memang terdengar suara orang berbicara.
Saat itu juga Langen mengajak Fani melancarkan senjata pamungkas mereka. Gagasan yang tidak berani dikemukakannya di depan Iwan cs. Takut membuat kelima cowok itu jadi tersinggung karena merasa kehadiran mereka tidak dapat diandalkan. Soalnya, setiap rencana selalu ada kemungkinan untuk gagal. Dan menyiapkan antisipasi adalah yang terbaik.
Selain itu, gagasannya ini memang bisa dibilang nekat. Tapi ketika gagasan ini dimunculkan sepulangnya dari rumah Iwan waktu itu Langen sudah meyakinkan Fani, bahwa ini antisipasi, dan berharap nggak sampai harus dijalani. Soalnya yang mereka hadapi juga orang-orang gila. Orang-orang sakit. Apalagi Bima."Aduh!" Fani menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ditariknya napas panjang-panjang. "Gue kena kutukan apa sih""
Langen menepuk-nepuk bahu sobatnya, menenangkan."Sekarang kan elo malunya nggak sendirian. Berdua sama gue. Lagi pula....," sejenak dihelanya napas panjang, "kita udah sampe sini. Nggak bisa mundur lagi. Dan pilihannya juga cuma satu.....harus menang!
*** Terbukti kemudian, rencana cadangan itulah yang terpaksa harus dilaksanakan.
Langen yang tidak tahu bahwa Iwan cs telah gagal menghentikan jalannya pertempuran melirik arlojinya tanpa kentara dan menemukan kenyataan baru dua puluh menit lagi bantuin akan datang. Sementara kondisi tubuhnya dan Fani tidak memungkinkan untuk bertahan sampai selama itu. Jika dipaksakan, bisa dipastikan dalam waktu tidak sampai sepuluh menit dia dan Fani akan terkapar."Boleh nggak kami permisi ganti baju sebentar"" tanya Langen.
Ketiga cowok di depannya berhenti berjalan lalu menoleh bersamaan. Sepasang mata Rei segera terarah ke batu besar berbentuk oval itu. Sesaat dia saling pandang dengan kedua sahabatnya. Dan peristiwa itu membuat sikapnya jadi melunak."Sepuluh menit," ucapnya, sengaja memberikan kelonggaran waktu. Tapi Langen menolaknya dengan nada dingin."Kelamaan. Lima menit cukup!" kemudian dibaliknya badan dan berjalan dengan angkuh ke arah batu besar itu, diikuti Fani. Rei menatapnya tercengang, sementara Bima tertawa pelan."Kalo gue nih, punya cewek kayak gitu, udah gue beresin dari dulu, Rei," ucapnya. Rangga mengangguk setuju."Ngomong emang gampang. Lo mau ganti gue diberesin kakak-kakaknya"" jawab Rei kesal.
Begitu sampai di balik batu besar berbentuk oval itu, dan terhalang dari pandangan ketiga lawan, Langen dan Fani segera menurunkan carrier masing-masing. Wajah keduanya menegang. Dengan cepat keduanya menarik keluar tas plastik dari dalam carrier, dan memburaikan isinya di atas rumput."Gue ngerasa kita nggak ada bedanya sama Stella, La....," kata Fani sambil melepaskan kaus yang dipakainya."Sangat beda!" bantah Langen seketika. "Paha, perut, puser, sama dada, itu emang modal utamanya Stella. Dia nggak punya yang lain. Isi kepalanya nggak pernah dipake. Gue malah nggak yakin kepala tuh cewek ada isinya. Sementara kita..... " kesibukan Langen mengencangkan ikat pinggangnya terhenti. Diangkatnya kedua alisnya tinggi-tinggi, lalu tersenyum bangga. "Dari IP semester pertama kemaren yang udah tiga koma, ada kemungkinan kita
bakalan lulus dengan predikat cumlaude! Dan kalo sekarang kita terpaksa pake cara begini....," kembali Langen mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi, "bukan salah kita kan, terlahir jadi perempuan""
"Iya sih....." Fani mendesah berat. Terpaksa setuju. "Tapi yang sekarang gue takutin, kalo nggak ada yang turun, La. Kalo orang-orang itu semuanya mau puncak, gimana" Matilah kita. Nggak ada yang nolongin.""Gue udah cek tadi di base camp. Ada beberapa tim yang naik kemarin siang. Berarti hari ini mereka turun.""Kalo mereka lewat jalur ini lagi. Kalo lewat jalur lain"""Paling enggak dua tim akan turun lewat jalan ini lagi.
Soalnya mobil-mobil mereka diparkir di bawah....." Langen menepuk-nepuk bahu Fani. "Tenang akan ada bantuan untuk kita! Oke"""Okelah...." Fani mengangguk pasrah. "Udah sampe sini, mau gimana lagi"""Gimana penampilannya gue"" Langen merentangkan kedua tangannya lalu berputar-putar."Seperti yang udah pernah kita tes. Dan seperti yang lo harapkan.""Sip kalo gitu," ucapnya dengan nada cemas yang terdengar jelas. "Lo udah siap"""Udah." Fani mengangguk.
Langen menatap berkeliling dan tatapannya terhenti di sebatang pohon yang tumbang. Rebah di atas semak belukar dalam bentuk beberapa patahan.
"Bantuin gue." Ditariknya tangan Fani. Berdua, mereka mengangkat patahan batang pohon itu dan meletakkannya dekat batu besar, sebagai pijakan. Kedua sahabat itu lalu saling pandang. Wajah keduanya semakin memucat karena tegang.
"Show time!" desis Fani. Langen memeluknya. Fani memb alas pelukan itu. Ketika kemudian pelukan itu terurai, kebulatan tekad tercetak jelas di wajab keduanya. Kemudian mereka membalikkan badan. Menghadap ke arah hatu besar berbentuk oval itu.
"Siap-siap!" desis Langen. Ditariknya napas panjang-panjang. Fani mengikuti. "Okeee... satu... dua... tiga!"
Bersamaan, dengan menggunakan batang kayu tadi sebagai pijakan, keduanya melompat ke atas batu, dan berdiri tegak-tegak di sana, menentang tiupan angin dan melawan dekapan dingin.
Rei, Bima, dan Rangga kontan terperangah. Benar-benar terperangah melihat penampilan terbaru kedua lawan mereka.
Celana gunung Langen dan Fani telah berganti dengan jins biru ketat sebatas pinggul. Rambut keduanya yang tadi diikat ekor kuda, kini terurai lepas. Tapi bukan itu yang membuat Rei cs terbelalak dan mulut mereka menganga lebar. Melainkan T-shirt hitam yang membungkus tubuh kedua lawan.
T-shirt itu berbahan seperti jala milik nelayan. Berluhang-lubang besar!
Untuk pertama kalinya, Rei cs menyaksikan sccara langsung, apa yang selama ini tersembunyi di balik kaus, kemeja, atau jaket kedua cewek itu.
Perut rata, pusar bertindik, dan black bra! Dan kulit Langen yang langsat serta kulit Fani yang putih, membuat semua itu terlihat semakin kontras.
"La berdua apa-apaan sih!"" Rei berseru marab begitu sadar dan kekagetan. "Pake baju yang bener! Cepet!"
Dia tidak mau munafik. Dia juga suka penasaran, ingin melihat yang tersembunyi. Tapi tentu saja dia tidak ingin orang lain juga bisa melihatnya. Meskipun itu sahabat-sahabatnya sendiri.
Langen pura-pura tersinggung.
"Itu pelanggaran HAM, tau nggak" Terserah gue dong, mau pake baju model apa. Bahkan kalo kami pengen telanjang pun, itu seratus persen hak kami. Nggak bisa diganggu gugat. Tapi kami belom sampe gitu kok. Cuma rada buka-bukaan doang. Iya kan, Fan""
Fani langsung mengiyakan.
"Bener! Elo-elo aja yang otaknya pada kotor!" tandasnya. Sesaat ia menatap Bima, tapi Iangsung menghindar saat didapatinya tatapan cowok itu berkilat marah. Sama sekali berbeda dengan tatapannya yang dulu, saat Fani berada dalam kondisi yang jauh Iebih parah dan ini.
"La, jangan bercanda! Ini nggak lucu!" sekali lagi Rei berseru. Marah dan gusar. Dan sekali lagi Langen menanggapinya dengan santai.
"Emangnya siapa yang lagi ngelawak sih" Orang kami berdua lagi berjemur... "
"Di pantai, kali!" sambung Fani, membuat Langen tertawa geli.
Tiba-tiba Rangga bersiul nyaring. Tatapannya masih terpaku pada tubuh-tubuh di balik jala itu. Rei dan Bima balik badan hampir bersamaan dan menatap Rangg
a tajam. Rangga bertolak pinggang dan balik menatap tajam.
"Kenapa" Lo berdua mau nyuruh gue nutup mata"" Diangkatnya alis tinggi-tinggi. "Maaf, tidak bisa. Kesalahan bukan terletak di mata gue." Kemudian dijulurkannya leher panjang-panjang, menatap Langen dan Fani dan atas kepala Rei dan Bima. "Kalo gue pindah kubu, boleh nggak"" serunya.
Jawabannya diberikan Rei dan Bima saat itu juga. Rangga jatuh terjerembap ke semak, setelah dua telapak tangan mendarat keras di dadanya. Cowok itu tertawa geli, lalu meraih sebatang dahan untuk berdiri.
"Tolong lo berdua pake sweter atau jaket" perintah Bima geram.
Langen melotot. Pura-pura tersinggung. "Lo kira elo itu siapa sih" Sembarangan aja nyuruh-nyuruh orang. Nggak!"
"Langen... please...," ganti Rei memberikan perintah. Kali ini mulai bernada memohon, yang diucapkan dengan kedua rahang terkatup rapat.
Langen menggeleng. "Nggak mau," jawabnya kalem. "Orang gue sama Fani lagi mau buka-bukaan kok disuruh ditutup-tutup."
Kalimatnya seketika membuat Rangga menoleh ke belakang. Menyembunyikan seringai gelinya yang tidak bisa ditahan.
Sadar perintah mereka sama sekali tidak diindahkan, Rei dan Bima kemudian berunding dengan suara pelan. Hasilnya, keduanya memutuskan untuk membiarkan Langen dan Fani di atas sana, sampai kedua cewek itu terserang hipotermia. Kalau perlu sampal tubuh mereka membeku kaku.
Tapi otak Langen terlalu lihai untuk hal yang terlalu sederhana itu. Karena itu, untuk melakukan aksi buka-bukaan ini, dipilihnya momen menjelang mereka akan bertemu dengan kelompok-kelompok pendaki lain.
Dan yang terjadi berikutnya benar-benar seperti yang dia dan Fani harapkan. Suara-suara orang berbicara, yang tadi hanya terdengar samar-samar, semakin larna sernakin jelas. Menandakan ada sekelompok pendaki yang saat ini tengah bergerak mendekat.
Seketika, Rei dan Bima jadi panik.
"Langen!" "Fani!"
Keduanya berseru bersamaan.
"Cepet pake jaket atau sweter!" perintah Bima, tapi tidak ditanggapi. Sambil mendesis gusar, cowok itu Lalu membuka carrier-nya. Dengan cepat Ia mengeluarkan sebuah jaket dari sana, dan melemparnya ke arah Fani. Langsung Fani mengambil jaket yang jatuh di dekat kakinya itu.
"Kami juga punya, tau!" Dilemparnya kembali benda itu ke Bima. "Nggak butuh!"
Bima menggeram. Benar-benar berang dan kelimpungan. Jauh di belakang, Rangga sampai membungkukkan badan rendah-rendah, tak sanggup menahan geli melihat adegan di depannya.
Suara-suara langkah itu semakin dekat. Suara-suara orang mengobrol itu juga semakin jelas. Rei melangkah cepat mendatangi arah datangnya suara-suara itu. Sontak dia semakin panik, saat kedua matanya menangkap semak-semak bergerak di kejauhan. Bergegas dia melangkah mendekati Bima yang tengah berdiri di depan batu besar berbentuk oval itu. Tempat Langen dan Fani masih berdiri tegak memamerkan bodi.
"Elo berdua tolong pake baju yang bener. Hawanya dingin. Nanti masuk angin." Bima bicara dengan nada membujuk.
"Eits, jangan salah. Kami tadi udah minum... jamu tolak angin!" Langen dan Fani menawab serentak, lalu terkekeh-kekeh geli.
"Langen... Fani... tolong pake jaket. Please... "" Rei memohon dengan kedua tangan tertangkup di depan dada.
"Please, Fan...," Bima ikut memohon.
"Tolong, La," Rei mengulangi permohonannya. "Tolong pake baju yang bener."
Mendengar itu, Rangga menegakkan tubuh. Kedua matanya menyipit. Benar-benar tak bisa percaya dengan apa yang sedang terjadi di depannya.
Memohon.. adalah bentuk kejatuhan kaum Adam yang paling mengenaskan. Dan sama sekali tidak disangkanya, dengan cara itulah kedua sahabatnya akan menyerah!
Tapi permohonan itu sudah terlambat. Kelompok pendaki itu telah muncul, terdiri atas empat cowok. Dan keempatnya seketika terpana. Menatap tak percaya sekligus terpesona, pada dua "keindahan" yang sedang berdiri tegak di atas batu besar.
Ini di tengah hutan belantara sebuah gunung. Di jalur pendakian dengan tingkat kesulitan tinggi pula. Siapa yang menyangka akan menemukan dua cewek cakep, seksi, memakai kaus jala pula. Melihat pemandangan asyik
, tubuh mereka yang sangat letih mendadak jadi sangat segar. Ini benar-benar keajaiban dunia yang kedelapan!
Rei dan Bima bergegas menghampiri lalu berdiri tepat di hadapan keempatnya. Sebisa mungkin meminimalis pandangan mereka pada Langen dan Fani.
"Elo-elo bisa lanjut"" desis Bima tajam.
Leader kelompok pendaki itu, cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak, menatap Rei dan Bima dengan pandangan tidak senang. Dia lalu memiringkan kepala dan berseru ke arah Langen dan Fani.
"Ini cowok-cowok kalian""
Langen menatap Rei, Bima, dan Rangga bergantian. Saat kedua matanya bertumbukan dengan sepasang mata Rei, yang menatapnya dengan kilatan marah yang menusuk, Langen menaikkan sepasang alisnya. Mengisyaratkan tantangan! Sedetik kemudian, masih dengan sepasang matanya yang menentang kedua mata Rei lurus-lurus, Langen menggelengkan kepala.
"Bukan!" Sama sekali bukan jawaban yang salah!
Cowok berkemeja flanel cokelat kotak-kotak itu mengembalikan tatapannya pada Rei dan Bima. "Apa lo bilang tadi" Bisa nggak kami lanjut" Sori... nggak bisa!"
Salah seorang temannya segera menyambung, "Sekarang tolong lo berdua menyingkir jauh-jauh, karena sangat merusak pemandangan!"
"Kurang ajar!" geram Bima. Sedetik kemudian tinjunya melayang, menghantam telak rahang cowok yang baru saja menutup mulutnya itu, dan membuatnya terpelanting.
Melihat salah seorang teman mereka terkapar di tanah, tiga yang lain jelas tidak terima. Salah seorang segera membantunya berdiri, sementara dua yang lain balas menyerang Rei dan Bima. Rangga langsung bersiap-siap seandainya kedua sobatnya itu butuh bantuan.
Sementarai tu Langen dan Fani saling pandang dengan tersenyum puas. lnilah yang mereka harapkan.
"Sekarang kita bisa duduk. Silakan." Langen mempersilahkan Fani dengan sikap seakan-akan sahabatnya itu orang yang sangat agung dan terhormat, yang dengan segala kerendahan hati telah bersedia menemaninya.
"Terima kasih. Terima kasih. Silakan duduk juga." Keduanya lalu duduk. Langen duduk bersimpuh, sementara Fani duduk berlutut.
"Gue mulai kedinginan, La," bisik Fani.
"Sama," balas Langen. "Tapi jangan sampe keliatan."
"Keluarin air jahenya dong."
"Oh, iya. Eh, kipasnya dong."
"Oh, iya!" Keduanya meraih carrier masing-masing. Fani mengeluarkan dua kipas bulu. Satu berwarna merah dan berukuran kecil, diberikannya pada Langen. Satunya lagi berwarna biru dan berukuran agak besar, untuknya sendiri
"Gimana kalo kita pake sarung tangan"" usul Langen.
"Setuju!" sambut Fani seketika.
Keduanya mengenakan sarung tangan untuk mengurangi rasa dingin yang menggigit. Panas tubuh memang lebih cepat terlepas melalui ujung-ujung jari.
Sementara itu, terdorong emosi dan marah yang menggelegak karena tidak bisa menerima orang lain menikmati pemandangan gratis, Rei dan Bima dengan beringas menghajar keempat cowok itu. Di luar arena, Rangga mengawasi dengan sikap waspada.
Di atas bongkahan batu besar berbentuk oval, yang kini tampak seperti singgasana raja, Langen menyaksikan prosesi bak-buk-bak-buk itu. Dia duduk dengan sikap anggun bak ratu legendaris Mesir Kuno, Cleopatra. Tangan kanannya yang menggenggam kipas bulu kecil warna merah, membuat gerakan mengipas dengan begitu perlahan dan tertata. Bahkan seekor semut pun tidak merasakan ada angin yang bergerak. Wajah dan kedua matanya memancarkan ekspresi dingin dan angkuh.
Di sebelahnya duduk dengan posisi agak di belakang, Fani mengipasi "sang ratu" dengan kipas bulu berwarna biru, bagaikan dayang. Wajah dan sepasang matanya juga memancarkan ekspresi dingin dan angkuh. Seakan-akan apa yang sedang tcrjadi di depannya adalah pertunjukan yang dipersembahkan oleh para budak atau rakyat koloni jajahan, yang sama sekali tidak perlu diberikan apresiasi.
Dengan cerdik, keduanya memanfaatkan setiap momen, sambil mencuri-curi kesempatan dengan segera meneguk air jahe hangat atau sekejap menyeluhungi tubuh mereka yang kedinginan dengan jaket tebal.
Tak sampai sepuluh menit, prosesi bak-buk-bak-buk itu selesai. Rei dan Bima yang sedang kalap keluar sebagai pe
menang. Dua orang lawan terkapar tidak jauh, satu terpelanting ke semak, dan satu lagi sedang mernbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut.
Tapi akibatnya, luka Bima kembali terbuka dan mengucurkan darah. Rangga bergegas membuka carrier-nya dan mengeluarkan perlengkapan P3K.
"Yaaah, gue cukup terkesan. Lawannya otot emang otot juga!" ucap Langen tiba-tiba, membuat Rei cs tersadar. Ketiganya menoleh bersamaan dan Langen menyambut dengan senyum manis. Dia lalu bertepuk tangan dengan gaya anggun. Di sebelahnya, Fani tetap mengipasi sambil tetap memasang ekspresi dingin dan angkuh. Seolah-olah dia tidak berhak ikut tersenyum atau berkomentar jika "sang ratu" tidak mengizinkan.
Rei menggeram. Dia sudah akan melangkah mendekati batu besar itu Lalu melompat ke atasnya, tapi satu tangan Rangga segera mencekal bahunya. Cowok itu menggeleng tanpa matanya beralih dan luka Bima yang sedang dibebatnya.
"Mendingan lo suruh pergi tuh orang-orang. Biarpun badan mereka bonyok, mata mereka nggak buta!"
Rei memutar tubuhnya. "Sialan!" desisnya. Dia benar-benar berang saat keempat cowok itu ternyata masih berada tidak jauh darinya, masih memandangi Langen dan Fani dengan cara yang membuat darah Rei kembali mendidih. Dengan langkah-Iangkah panjang dan kedua rahang terkatup keras, dihampirinya keempat cowok itu. Keempatnya bergegas pergi sebelum Rei mencapai tempat mereka berdiri.
Rei menghentikan langkah lalu rnenghadapkan tubuhnya ke arah Langen dan Fani. Kedua cewek itu masih berakting sebagai dayang dan ratu.
"Bim!" panggilnya tanpa tatapannya beralih. Bima menoleh dan langsung paham apa yang ingin ditanyakan sobatnya itu. "Seret mereka turun" perintahnya.
"Eit!" Langen langsung melompat berdiri diikuti Fani. "Jangan sampe gue menjerit sampe tujuh oktaf ya!" ancamnya. Dia gerakkan dagu ke arah suara-suara di kejauhan. "Jangan sampe gue sama Fani jerit gila-gilaan, yang akan bikin orang-orang itu lari ke sini! Karena kalo sampe itu terjadi, kami nggak bisa berbuat lain kecuali menunjukkan... " Langen menggantung kalimatnya. Ditatapnya Rei lurus dan tajam, menunjukkan keseriusan ancamannya. "...betapa perempuan itu selalu teraniaya, di mana pun keberadaannya! Dan kami berdua akan menangis terisak-isak, seakan-akan sesuatu yang begitu berharga telah direnggut dengan paksa!"
"Sip!" Fani menjentikkan jari. "Kalo perlu kami tunjukkan ekspresi muka dan bahasa tubuh yang seakan-akan memperlihatkan bahwa kami sangat trauma! Bahwa peristiwa ini akan menghantui kami seumur hidup!"
"Nah!" Langen bersiul. Menunjuk sahabatnya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk pistol. "Setuju!"
Rei cs tercengang. "Licik lo berdua!" desis Rei geram.
"Lihai!" ralat Langen langsung.
"Cepet tarik mereka turun! Nggak usah banyak ngomong lagi!" seru Bima keras. Dia jengkel dan berang. "Lo bantuin Rei, Ga! Biar gue bebat sendiri!"
Rangga menyerahkan gulungan perban di tangannya, lalu melangkah cepat menyusul Rei. Langen dan Fani saling pandang dengan cemas. Dan tak dinyana, keduanya kemudian menjerit sekeras-kerasnya!
Sekejap, suasana berubah jadi sangat hening. Tubuh Rei, Bima, dan Rarigga kontan membeku. Mereka tidak menyangka, kedua cewek itu akan membuktikan ancamannya.
Suara-suara orang mengobrol di kejauhan pun ikut lenyap, berganti dengan suara orang-orang berlarian. Mendekat dan dalam jumlah banyak!
"Elo..."" Rei menatap Langen dengan mata menyala. Tak lagi bisa bicara.
"Kalo lo nggak mau mereka ngeliat gue dalam kondisi kayak gini..." Langen menyambar carrier-nya dan menarik keluar sebuah agenda. Dan bagian tengah agenda itu, ditariknya selembar kertas dan diulurkannya pada Rei. "Tanda tangan!"
Rei membuka lipatan kertas itu dan tercengang. Baris paling atas, tepat di tengah, tertulis dalam huruf-huruf besar dan tebal.
SURAT PERNYATAAN PENGAKUAN KEKALAHAN.
Di bawahnya, tertulis dalam ukuran huruf yang lebih kecil, beberapa baris kalimat.
Kalimat-kalimat yang membuat Bima dan Rangga, yang Iangsung bergabung begitu melihat ketercengangan Rei tadi, ikut tercengang juga. Kalimat-kalimat itu mene
rangkan dengan rinci, fakta yang diputar-balik dan apa yang saat mi tengah terjadi. Diawali pada paragraf pertama, dengan pencanturnan hari, tanggal, bulan, serta tahun, dan ditutup dengan lokasi.
Paragraf kedua menerangkan bahwa di lokasi tersebut, telah terjadi pendakian bersama. Antara Tim Cewek (nama Iengkap Langen dan Fani tertulis dengan underline, juga nama lengkap Febi berikut dengan semua gelar kebangsawanannya), dan Tim Cowok (nama lengkap Rei cs juga tertera dengan underline).
Paragraf ketiga menerangkan bagaimana pendakian tersebut kemudian terpaksa dihentikan, karena Tim Cowok tidak mampu lagi untuk meneruskan. Dengan berat hati, Tim Cewek terpaksa menyetujui untuk menghentikan pendakian, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, berkenaan dengan kondisi fisik Tim Cowok.
Paragraf keempat, yang merupakan paragnaf terakhir, menerangkan bahwa isi surat pernyataan tersebut autentik, dipertegas dengan pembubuhan tanda tangan ketiga anggota Tim Cowok, di bagian paling bawah surat pemyataan tersebut.
Begitu seluruh kalimat telah terbaca, kertas itu segera menjelma jadi gumpalan, karena diremas Rei dengan seluruh kekuatan.
Ketika ketiga wajah itu mendongak, Langen dan Fani mendapati tiga pasang mata menatap dengan sinar kemarahan yang seperti sanggup menembus tengkorak.
"Nggak masalah. Masih banyak cadangannya," ucap Langen tenang.
"Febi nggak ada!" tegas Rangga.
"Gue, Fani, dan Febi, adalah satu paket. Ada nggak ada, tetep namanya harus dicantumkan," Langen berkelit. "Cepet tanda tangan! Nggak usah banyak protes!"
"Sayangnya, gue nggak bersedia!" ucap Rangga kalem. "Silakan lo berdua terus berdiri di atas sana sampe orang-orang itu dateng, dan gue akan bergabung dengan mereka..." Cowok itu lalu tersenyum nakal. "Harus gue akuin, lo berdua... seksi. Sangat seksi!"
Rei dan Bima menoleh bersamaan dan menatapnya tajam. Rangga mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi.
"Sori. Kali ini gue nggak bisa sejalan. Bener-bener penghinaan kalo gue hams tanda tangan."
"Nggak masalah," jawab Langen tak acuh. Lalu dia menyambung dalam hati. Tunggu aja sampe Febi nongol di depan idung lo. Baru tau rasa!
Sikap tegas Rangga seketika membuat Rei dan Bima bimbang. Keduanya menoleh ke arah suara-suara orang berlari di kejauhan, kemudian saling pandang. Mereka segera memperhitungkan apakah di sisa waktu yang benar-benar sempit mereka sanggup melumpuhkan kedua rival.
Langen dan Fani seketika bergerak mundur. Tegak tepat di titik pusat batu oval. Mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan dilakukan Rei cs secara mendadak. Seperti mencekal pergelangan kaki, menarik tangan, atau tindakan-tindakan lain yang bisa membuat mereka berdua "terlempar" dan atas batu dan jadi pecundang.
Benar saja. Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Rei dan Bima bergerak ke dua arah yang berlawanan, lalu melompat ke atas batu dan sisi kiri dan kanan. Langen dan Fani terkesiap. Refleks mereka menyambar carrier masing-masing. Sekuat tenaga, mereka hantamkan carrier itu ke masing-masing lawan. Rei dan Bima, yang belum sempat menjejakkan kaki dengan benar, terlempar kembali ke bawah dan terkapar di sana. Rangga terperangah menyaksikan itu dan seketika geleng-geleng kepala dengan mulut ternganga.
"Lo berdua gue kasih peringatan... Jangan macem- macem!" bentak Langen. "Tanda tangan atau gue terpaksa ngarang cerita yang akan bikin lo bertiga sekarat dihajar tuh orang-orang!"
Rei bangkit berdiri dengan kedua tangan terkepal kuat. Kemarahan yang ditekan mati-matian membuat wajahnya merah padam. Sementara beberapa langkah di sebelahnya, Bima menatap Fani dengan sinar segarang Rei.
"Lo kira lo siapa!"" Dengan sorot tajam, Langen menatap Rei dan Bima bergantian. "Arnold" Sylvester Stallone" Van Damme" Gue nggak ngeliat lo berdua punya pilihan lain... selain tanda tangan!"
"Nggak ada tulang yang nggak bisa patah!" timpal Fani. Bima seketika mengepalkan tangan sampai seluruh buku-buku janinya memutih. Tapi itu malah membuat Fani semakin menantangnya, dengan cara menaikkan dagu tinggi-tinggi. "Dan tulang sangat diperlukan untuk
menyangga otot-otot Hercules to itu, tau!"
Tidak ada yang bergerak dan kedua kubu. Detik demi detik yang kemudian terlewat, benar-benar satu pertaruhan. Masing-masing kubu sama-sama berharap, di detik berikut berhasil mereka temukan celah untuk melumpuhkan Iawan.
Ketegangan yang memuncak membuat Langen dan Fani tidak lagi merasakan dingin yang memeluk tubuh bagian atas mereka yang bisa dibilang semi telanjang. Bima juga sama sekali tidak menyadari bebatan lukanya melonggar dan rembesan darah tidak lagi tertahan.
Gemuruh suara orang-orang berlari itu semakin dekat, dan semakin dekat, dan... semakin dekat!
Rei mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat. Kemudian dipejamkannya kedua matanya rapat-rapat.
Tidak ada yang harus dipertimbangkan. Saat ini saja dia sudah harus membagi apa yang seharusnya jadi miliknya sendiri, dengan kedua sahabatnya. Dan dari gemuruh derap kaki berlari yang terdengar, kemungkinan lebih dan lima belas orang sedang menuju ke sini sekarang.
Ditariknya napas panjang-panjang. Kemudian dibukanya kedua matanya dan ditatapnya Langen lurus-lurus.
"Mana surat pemyataannya""
Rangga terperangah. Begitupun Bima, tapi kali ini dia mengerti dan memahami tindakan Rei.
"Apa"" Langen juga tercengang. Dia bertanya karena masih tak percaya.
"Mana surat pemyataannya" Cepet!" sentak Rei. Akhirnya... salah satu kubu menyerah!
Senyum kemenangan seketika tercetak di bibir Langen dan Fani. Cepat-cepat Langen meraih carrier, mengeluarkan agendanya, dan menarik selembar kertas dan sana. Diulurkannya kertas itu pada Rei dengan waspada. Jangan sampai cowok itu memanfaatkan peluang tersebut untuk menangkap tangannya lalu menariknya turun.
"Sebentar," ucap Langen. Rei yang akan melangkah menuju tempat Bima berdiri, seketika membatalkan langkahnya. "Jangan coba-coba nipu. Gue hafal tanda tangan to berdua. Jadi jangan coba-coba bikin tanda tangan palsu!"
Sesaat sepasang mata Rei melumat Langen dalam kilat kemarahan yang memuncak. Sesudahnya, kembali dia meneruskan langkah mendekati Bima, meletakkan kertas itu di .punggung sahabatnya, dan mulai membubuhkan tanda tangan seperti permintaan pihak lawan.
"Masukin kipas-kipasnya, Fan! Trus beresin carrier!" perintah Langen.
Fani segera melaksanakan perintah itu. Dibereskannya carrier-nya juga carrier Langen, sementara Langen mengawasi dengan sikap waspada jalannya proses "pemindahan kekuasaan" yang terjadi di depannya.
Lima detik kemudian, Surat Pernyataan Pengakuan Kekalahan itu selesai ditandatangani. Hanya dalam lima detik, kekuasaan Rei dan Bima yang selama mi hegitu mutlak dan absolut... berakhir!
Langen menerima kertas yang diulurkan Rei, dan tersenyum puas saat melihat kedua tanda tangan yang tertera di sana, sama persis seperti yang sering dilihatnya.
"Ini nanti mau gue laminating. Dan begitu elo-elo menyangkal atau melakukan hal-hal yang gue dan Fani nggak suka, kopi surat pemyataan ini akan langsung beredar di kampus!" ucapnya sambil melipat kertas itu dan menyelipkannya di antara halaman-halaman agenda.
Langen dan Fani kemudian meraih jaket masing-masing, dan memakainya sambil meleletkan lidah panjang-panjang ke arah Rei dan Birna. Kedua cowok itu hanya bisa menatap sambil menahan rnarah dan gemas, tanpa bisa berbuat apa-apa. Di belakang keduanya, Rangga juga hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dengan cerdik kedua cewek itu tetap bertahan di atas batu. Baru setelah kelebat orang-orang yang berlanian itu terlihat di antara rirnbunnya pepohonan, keduanya melompat turun, dan berdiri dalam jarak arnan yang tidak terjangkau ketiga lawan.
Dan menjelang orang yang berlari paling depan tiba di batas kerimbunan semak dan pepohonan, Langen cepat-cepat menghampiri Bima lalu menangis tenisak-isak di sebelahnya dengan kedua tangan menutupi muka.
Rei cs kaget dan menatap Langen tak mengerti. Tapi hanya itu reaksi yang sempat mereka berikan. Karena sedetik kemudian sekelompok besar manusia berhamburan, menghampiri mereka dari arah jalan setapak.
"Ada apa!" Ada apa!"" kerumunan orang yang berjumlah lebih dan sepuluh itu berseru b
ersamaan. Langen tenus terisak-isak di batik kedua telapak tangannya. Pertama, untuk meyakinkan para pendatang baru itu, bahwa dirinya sedang shock berat, jadi tidak bisa ditanya. Kedua, karena dia juga bingung mau jawab apa. Akibatnya, Birna yang jadi kelimpungan.
"Tangan lo kenapa"" salah seorang cowok berkaus putih dengan kepala terikat slayer oranye bertanya cemas.
"Oh, ini..." Birna mernaki dulu dalam hati. "Gue cuma agak lengah tadi. Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa girnana" Lo nggak lihat darahnya merembes gitu""
Bima mati kutu. Ditatapnya Rei dan Rangga hergantian, tapi kedua sobatnya itu juga belum menemukan jawaban yang tepat untuk rentetan pertanyaan tadi.
"Coba gue lihat." Cowok dcngan kepala terikat slayer itu menyentuh pelan luka di lengan Bima.
"Nggak. Nggak usah!" Dengan senyum dipaksakan, Bima rnenjauhkan tangan itu dan lukanya. "Nggak terlalu parah."
"lya, mana coba gue lihat" Cowok berslayer itu memaksa.
"Lo nggak lihat tuh, cewek lo nangisnya sampe begitu""
Mendengar itu sepasang mata Rei dan Bima kontan melebar. Sementara "tangis" Langen nyaris berhenti. Lewat sela-sela jari, bisa dilihatnya Fani nyaris terkikik.
Orang-orang itu lalu mengerumuni Bima dan tak berapa lama terdengar seruan-seruan kaget.
"Gila! Kenapa sih" Sampe parah gini lukanya!"
"Kudu dijait nih! Lebar banget!"
"Pantes aja darahnya sampe rnerembes gitu!"
Ketika lewat sela-sela jari Langen melihat Birna telah menjadi pusat perhatian dan tidak rnungkin bisa melepaskan din, cepat-cepat dia turunkan kedua tangannya. Seketika didapatinya Rei tengah menatapnya tajarn dan luar kerurnunan. Langen mehirik ke segala arah, dan begitu mendapat kepastian semua mata saat ini sedang tertuju pada Birna, cewek itu mengembangkan senyurn manis tapi mengejek.
Dengan gaya kenes, dia kedip-kedipkan kedua matanya yang ditutup dengan jari-jari yang melarnbai centil. Rei hanya bisa mendesis marah, geleng-geleng kepala, dan akhirnya mernalingkan tatapannya. Fani yang juga melihat kejadian itu menghampiri Langen sambil menahan tawa.
Sementara itu Bima sedang mati-matian menahan sabar. Dengan suara yang dipaksa terdengar sesopan mungkin, dicobanya untuk mengusir orang-orang yang sedang mengerumuninya.
"Thanks. Makasih banyak. Tapi sori kami buru-buru, rnau lanjut ke puncak."
Seketika seseorang berbicara dengan nada keras, "Jangan gila! Dengan luka kayak gitu, lo cuma nganter nyawa kalo rnaksa ke sana."
"Tau nih orang! Lo pendaki amatir, ya" Jadi lagi ngumpulin jam terbang, gitu"" yang lain rnenyambung.
Tawa Langen dan Fani nyaris meledak mendengar itu. Bima pendaki amatir" Kejern banget tuh orang ngornongnya. Nggak tau apa kalo tuh monyet calon penerus takhta kepemimpinan Maranon"
Salah seorang yang mengerurnuni Bima lalu menoleh ke I.angen, yang telah kembali memasang ekspresi takut dan cemas.
"Bilangin cowok lo nih. Ngotot banget pengen lanjut ke puncak!"
Langen meringis dalam hati. Lagi-lagi, ada kesempatan untuk mempermalukan lawan. Hari ini betul-betul hari yang indah dan sangat sempurna!
"Yaaah, gue sih bisa ngerti," ucapnya lembut. Tatapannya terarah ke Bima, begitu lembut dan penuh pengertian. "Otot emang perlu menjejakkan dirinya di puncak. Karena kalau nggak begitu, keeksisannya akan abstrak. Tapi otak sama sekali nggak perlu begitu. Karena otak bisa merefleksikan puncak, di mana pun dia mau." Kembahi Langen mengernbangkan senyumnya. "Tapi untuk bisa sampe ke puncak, jelas curna otot yang sehat. Otot sakit begitu kayaknya nggak rnungkin deh, Sayang. Nanti kamu malah mati, sebelom sampe sana.... "
Tawa Fani nyaris meledak. Buru-buru dia tekan hibirnya dengan satu tangan kuat-kuat. Dasar Langen gila! serunya dalam hati.
Sementara orang-orang yang mengerumuni Bima memandang Langen dengan kening terlipat, karena tidak mengerti maksud kata-katanya. Bima menatap Langen dengan kilat kemarahan yang meletup. Mulutnya mendesiskan kata "kurang ajar" yang hanya bisa didengar olehnya sendiri. Rangga geleng-geleng kepala, tapi tidak lagi mampu menyembunyikan rasa salutnya. Untuk pertama
kalinya Rei menyadari Langen memang lawan yang tangguh!
"Tuh, cewek Lo aja tau. Udah turun aja. Lo kudu langsung ke rumah sakit. Ntar luka lo keburu infeksi. Bulan depan kami mau ke sini lagi. Kalo mau, gabung aja," kata cowok yang berdiri di sebelah Bima persis.
Bima tidak bergerak. Sepertinya masih tidak bisa menerima kenyataan kubunya telah kalah. Tapi Rei yang telah menyadari bahwa dia dan kedua sohatnya memang sudah kalah, menerima saran itu. Didekatinya Bima lalu dirangkulnya dengan satu tangan.
"Oke, ayo turun!"
Langen dan Fani saling pandang dan tak lagi mampu menyembunyikan tawa kemenangan mereka. Tanpa memedulikan sorot keheranan mata-mata di sekitarnya, Langen berseru keras ke arah sahabatnya.
"Toss, Fan" Kedua cewek itu lalu ber-highfivc dengan suara keras. Kemudian dengan riang mengambil posisi di bagian depan.
Empat orang menyaksikan peristiwa itu dan balik lebatnya semak belukar. Iwan cs minus Rizal, yang tadi ikut berlari di bagian paling belakang, lalu berhenti lebih dulu dan melepaskan diri dari barisan.
Keempatnya tidak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Yang jelas, "pertempuran" itu telah selesai. Dan yang sama sekali tidak rnereka duga... Langen dan Fani berliasil keluar sebagai pemenang!
*** Ibu Kartini, tokoh yang paling diidolakan Langen, bisa dipastikan akan murka melihat perjuangannya diteruskan dengan cara demikian. Tapi wanita atau perempuan atau cewek adalah makhluk yang diberikan keindahan. Dan kedua cewek itu, Langen dan Fani, berada dalam situasi yang benar-benar sulit. Benar-benar darurat, benar-benar apa boleh buat.. mereka terpaksa memanfaatkan anugerah keindahan itu.
Hidup perempuan! Mungkin kata-kata itu sangat ingin diteriakkan Ibu Kartini kala itu. Seandainya tidak terhalang gelar Raden Ajeng, yang mewajibkannya untuk bertutur lembut dan bersikap patut.
Hari ini, seratus tahun lebih sejak ia dilahirkan, tiga perempuan membantunya mengeluarkan teriakan yang hanya jadi gema di bilik-bilik hati yang paling dalam. Dengan kata yang sedikit berbeda karena perubahan zaman.
"Hidup cewek!!!"
Lembah Ketakutan 4 Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Kisah Para Pendekar Pulau Es 17
^