Pencarian

Cinta Sang Naga 3

Cinta Sang Naga Karya V. Lestari Bagian 3


Wajah Tuan Liong berubah sayu. Dan ketika ia tersenyum, senyumnya itu nampak sendu.
Irma mendekatkan wajahnya. "Ah, Papa sakit"" ia bertanya penuh perhatian. Perasaannya sangat iba. Dan ketika ia menghubungkan sikap ayahnya itu dengan kelakuan ibunya, darahnya serasa menaik. Oh, benci sungguh dia kepada Mama! Dan kepada Peter! Teganya Mama mengkhianati Papa. Tentu Peter jauh lebih tampan daripada Papa. Bahkan Papa bisa disebut jelek, sama sekali tidak punya sesuatu yang bisa disebut bagus pada dirinya. Tapi kenapa dulu Mama mau jadi istrinya" Orang harus konsekuen. Kalau dulu mau, janganlah sekarang dibuang.
Tuan Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. Bukan cuma sebagai jawaban atas pertanyaan Irma, tapi juga seolah ia mau membuang beban yang memberati kepalanya. Gelengannya keras.
"Lantas kenapa. Pa"" Irma gigih bertanya.
"Nggak apa-apa."
"Ah, Papa sekarang tertutup. Nggak mau, bilang-bilang. Nggak mau cerita lagi," Irma merajuk.
Wajah Tuan Liong berubah lembut. Senyumnya lebih cerah.
"Kau saja yang cerita, Irma," katanya seperti tak punya semangat.
"Saya" Ah, cerita apa" Oh ya, sebenarnya memang ada yang mau saya tanyakan. Begini, Pa. Bukankah keadaan kita sudah pulih berkat jasa Henson" Nah, apakah Papa memberikan sesuatu kepadanya sebagai hadiah" Penghargaan harus kita berikan dong, Pa. Kalau kita tidak mau menghargai karyawan yang sudah berjasa, bisa-bisa ia lari ke orang lain. Henson sekarang populer lho, Pa. Namanya pernah dimuat di koran dengan pujian. Kan sayang kalau dia sampai pindah kerja, Pa," kata Irma perlahan. Ia tak ingin suaranya terdengar oleh ibunya. Selama ini ia tak berani menyebut nama Henson di depan ibunya, apalagi memujinya seperti itu.
Tiba-tiba Tuan Liong menepuk dahinya. "Oh, ya, aku memang lupa. Sungguh-sungguh lupa. Kok bisa lupa, ya""
Irma tertawa. "Jangan jadi pikun dulu dong, Pa!" serunya.
Tapi Tuan Liong tidak ikut tertawa. Ia menatap serius. Dan berpikir sebentar. "Sebenarnya ada yang belum kuceritakan padamu. Aku sudah menjanjikan pada Henson kedudukan sebagai manajer. Dan juga kenaikan gaji. Tapi sebenarnya ketika itu aku terlalu terdorong. Terlalu spontan. Mungkin juga saking bingung, kepingin buru-buru lepas dari persoalan itu. Jadi aku mengajuk-nya supaya dia tambah semangat."
"Emangnya Papa sekarang menyesal" Kan dia sudah membuktikan kemampuannya. Dan Papa juga berhasil mendorongnya dengan janji itu. Masa janji itu sekarang tidak ditepati" Wah, malu dong, Pa!" kata Irma dengan nada menyesali. Tapi diam-diam ia senang karena sekarang ayahnya mau juga menceritakan hal itu kepadanya.
"Jadi kaupikir ia pantas dijadikan manajer"" tanya Tuan Liong ragu-ragu.
"Bukankah selama ini apa yang dikerjakannya tak ubah kerja seorang manajer" Lihat saja. Kalau soal mengatur yang susah-susah dia yang punya inisiatif, sementara kita bingung dan tidak bisa. Tapi soal yang sepele pun kita timpakan padanya. Barangkali mau sok kuasa. Tuh seperti membuang bangkai tikus itu!"
Tuan Liong terkejut. Matanya membesar. "Oh ya, benar juga," keluhnya.
Irma memandang heran. "Apakah selama itu Papa tidak tahu" Bukankah Papa melihat juga""
Tuan Liong menggelengkan kepala seperti orang pikun.
"Ah, Papa lupa lagi rupanya." "Biarlah besok Papa suruh orang lain yang buang."
Semula Irma bermaksud mengusulkan, agar ayahnya melarang ibunya melanjutkan perintah membuang bangkai tikus itu kepada Henson. Tapi kemudian terpikir akan kemungkinan ayahnya nanti menyebut namanya sebagai pendorong larangan itu. Jangan sampai ibunya tambah curiga. Jadi ia cuma mengiyakan saja ucapan ayahnya tadi.
"Tentang gaji, Papa belum tahu mau kasih berapa. Tapi tempo hari sudah kuberi dia bonus seratus ribu. Apa kaupikir itu belum cukup"" tanya Tuan Liong, kurang yakin.
"saya pikir, yang penting bukan bonusnya itu, Pa. Tapi janji Papa itu. Kalau
sudah janji kan harus ditepati, Pa."
"Habis bagaimana, ya""
"Ah, Papa ragu-ragu rupanya. Padahal tempo hari Papa begitu yakin. Janji itu tentunya bukan main-main, Pa."
"Belakangan terpikir lagi olehku, pantas nggak ya dia itu jadi manajer kita""
Irma menatap jengkel. "Papa ini gimana sih""
"Soalnya, dia... dia bukan orang kita, Ir," jawab Tuan Liong pelan. Ia gelisah menerima tatapan Irma seolah malu telah mengucapkan kata-kata itu, tapi merasa harus mengatakannya.
Irma tertegun. Matanya melotot, kurang percaya akan apa yang telah didengarnya. Ia marah dan kecewa. Juga sedih. Ia harus berusaha keras untuk menahan air matanya yang serasa mau berlompatan keluar. Segera ia melompat berdiri. Tak ada gunanya lagi membujuk. Segala kebanggaannya akan ayahnya seperti sirna seketika. Lebih baik ia buru-buru pergi supaya apa yang terasa itu tidak nampak di wajahnya. Lebih baik sendirian dengan perasaan dan pikirannya yang kemungkinan tak bisa dipahami orang lain.
"Kau ngambek, ya""
Teguran itu menghentikan gerak Irma. Nada teguran itu mengandung kasih. Ia menatap mata ayahnya lurus-lurus. Dan melupakan bahwa matanya berkaca-kaca.
Tuan Liong memandang heran. Keningnya berkerut. "Rupanya kau sangat membela dia," katanya, menyimpulkan sendiri.
"Bukan begitu, Pa. Tapi pendirian Papa itu mengecewakan sekali. Biar bukan orang kita, tapi yang penting itu kan kemampuannya. Dan dia sudah berjasa. Masa kita harus melupakan itu semua hanya karena pertimbangan yang bukan kehendak siapa-siapa" Orang lain saja tidak berpikiran sempit seperti itu, Pa!" Mau tak mau pikiran Irma melayang kepada Peter. Dan mau tak mau ia merasa harus mengagumi Peter.
Tuan Liong tersentak. Ucapan Irma itu seolah tamparan untuknya. Tapi ia tak bisa marah.
"Duduklah lagi, Irma," katanya tenang. Ia kelihatan sudah pulih dari sikap pikunnya.
Irma kembali duduk. Ia menunggu sambil memandangi gerak bibir ayahnya.
"Tiba-tiba aku punya rencana," Tuan Liong mulai. "Begini, Ir. Kita akan mengadakan semacam pesta kecil. Katakanlah semacam selamatan untuk merayakan keberhasilan restoran kita mengatasi musibah. Ya, persoalan kecoa itu bisa kita anggap sebagai musibah, bukan" Kita undang orang-orang tertentu, yang penting-penting tentu-nya, misalnya beberapa langganan dan relasi kita. Umumnya mereka sudah tahu persoalan itu, karena membacanya di koran. Nah, Henson kita suruh bertindak sebagai pembawa acara. Dia pasti bisa. Lantas di situ aku akan mengumumkan kenaikan pangkat Henson. Nah, resmi sudah, bukan""
Irma terbelalak sebentar, lalu ia melompat dari kursinya dan menubruk ayahnya. "Oh, ide yang cemerlang, Pa!" serunya.
"Jadi kau setuju""
"Wah, sudah tentu. Itu bagus sekali, Pa. Orang-orang yang kita undang itu pun bisa tahu bahwa kita bisa menghargai jasa karyawan, dan mereka pun tahu bahwa keadaan restoran kita sudah pulih seperti semula. Kita tetap teguh dan jaya, Pa!"
Mata Tuan Liong menyipit ketika memperhati kan wajah Irma yang cerah dan gerak-geriknya yang penuh gejolak kegembiraan. Keningnya kembali berkerut. "Kau senang, Irma""
Irma tersipu sebentar. Ia sadar telah berlaku terlampau gembira. Tapi dalam waktu singkat ia sudah berhasil menemukan alasan. "Sudah tentu senang, Pa. Itu berarti Papa sudah tidak loyo lagi!"
Tiba-tiba Tuan Liong teringat akan impotensinya. Perasaannya tersinggung sebentar. "Ah, emangnya aku kelihatan loyo""
"Bukan loyo, Pa. Tapi lesu. Ya, memang begitu, bukan" Dengan ide itu berarti Papa sudah bergairah kembali," hibur Irma sambil memperbaiki kekeliruannya, walaupun ia tidak mengerti apa yang tengah terpikir oleh ayahnya.
Tuan Liong mengangguk maklum. Tentu saja ia tahu, tidak sepatutnya marah kepada Irma yang tidak tahu apa-apa. Satu-satunya orang yang mungkin tahu hanyalah Linda. Ya, hanya Linda. Tak tahan ia menggertakkan giginya.
Irma menatap. "Kenapa, Pa""
"Nggak apa-apa."
Irma tersenyum manis. Ia duduk kembali, bersandar santai di kursinya. Wajahnya kelihatan berangan-angan. Ketika menyadari perhatian ayahnya tertuju padanya ia segera tegak lagi. "Kapan Papa mau
melaksanakan pesta itu"" ia bertanya antusias.
"Kaupikir sebaiknya kapan" Kita kan butuh persiapan."
"Saya kira sebulan juga cukup, Pa," kata Irma setelah berpikir.
"Baik Kau sajalah yang pastikan tanggalnya. Dan siapa-siapa yang perlu diundang. Rundingkan hal itu dengan Mama dan kakak-kakakmu. Tapi satu hal jangan kauberitahukan dulu, Ir. Yaitu mengenai Henson itu. Jangan beritahu siapa-siapa tentang pangkat barunya. Biar jadi kejutan."
Irma tertawa senanng. "Ya. Tentu saja, Pa. Mereka akan kaget. Terutama Mama." Perasaan-nya jadi geli membayangkan betapa ibunya akan kaget, lalu ingin membantah dan menentang tapi tidak mungkin karena banyak tamu. Oh, betapa menggelikan melihat wajah ibunya dalam keadaan seperti itu. "Bukankah Mama tidak suka kepada Henson, Pa," katanya menjelaskan rasa gelinya itu kepada ayahnya.
Tuan Liong ikut membayangkan hal yang sama. Ia pun tertawa geli. Pada saat itu keduanya kembali seperasaan. Dan keakraban yang dulu terasa lagi.
"Tapi kau nggak usah bilang apa-apa kepada Henson. Biar Papa yang ngomong sendiri. Urusan dengan dia adalah urusanku."
Ucapan ayahnya yang kedengaran tegas itu membuat Irma tertegun sejenak. Ada perasaan tidak enak. Tapi kemudian ia singkirkan cepat-cepat.
"Jadi Papa akan memberi tahu tentang rencana itu kepada Henson""
"Tentu saja. Bukankah dia akan kita suruh jadi pembawa acara" Mungkin juga dia perlu mengundang Pak Asrul, orang koran itu. Tapi sudah pasti masalah pangkat barunya itu tidak akan kuberitahukan. Untuk dia pun hal itu harus merupakan kejutan. Ah, lucu juga ya melihat kejutan di wajah banyak orang," ucap Tuan Liong dengan pandang mata melamun.
"Banyak orang, kata Papa"" tanya Irma heran. Tiba-tiba ia merasa ayahnya kembali bersikap aneh.
Tuan Liong tidak menjawab. Ia diam saja dengan pandang entah ke mana. Bahkan sepertinya ia tidak mendengar pertanyaan Irma. Melihat itu, pelan-pelan Irma berdiri. Ayahnya tidak memandang kepadanya. Demikian pula ketika ia melangkah pergi. Ayahnya seolah tidak menyadari. Atau mungkin juga tidak membutuhkan lagi. Tapi Irma merasa lebih baik bila ia pergi diam-diam. Biar ayahnya menikmati renungannya sendiri. Dan satu hal penting lainnya, jangan sampai ia berubah pikiran hingga membatalkan rencana menarik itu!
Tapi, ketika Irma akan membelokkan langkahnya menuju ruang lain, ia menoleh lagi ke belakang. Dilihatnya ayahnya sedang bersandar dengan santai. Kedua kakinya di atas meja. Dan wajahnya, yang tampak pinggirnya saja tapi cukup jelas, membayangkan keasyikan orang melamun. Ada hal menyenangkan yang .sedang dibayangkan. Kemungkinan tentang rencana itu. Ya, kalau memang rencana itu menimbulkan angan-angan yang menyenangkan, sudah pasti tidak akan dibatalkan!
*** Besok adalah hari pertemuan Henson dengan Peter. Irma ingat betul tentang hal itu. Bukannya ia meragukan janji Henson kepadanya, tapi ia memikirkan tentang sempitnya waktu. Tak mungkin terjadi pertemuan dengan Henson untuk berbicara leluasa sebelum besok tiba. Sudah jelas, besok pagi mereka tidak bisa bertemu seperti biasa. Padahal Irma ingin membicarakan rencana ayah-nya itu. Ia merasa harus memberitahukan, walaupun ayahnya melarang.
Beberapa penimbangan mendorongnya untuk melakukan hal itu. Henson perlu mengetahuinya sebelum penemuannya dengan Peter. Itu penting sebagai penambah semangat dan kekuatan Henson untuk menolak bujukan Peter. Tak bisa dibayangkan apa yang bakal dikeluarkan mulut manis Peter nanti. Jadi manajer, gaji tinggi, dan entah fasilitas apa yang dijanjikannya. Siapa tahu diam-diam Henson tergiur dan di dalam hati menyesali keputusannya sendiri. Itu berbahaya. Jadi, kalau Henson sekarang tahu perihal rencana ayahnya itu, dia pasti akan senang dan lebih mantap pendiriannya. Dia tidak perlu lagi mengejar kedudukan manajer kalau dia. sudah pasti akan jadi manajer. Untuk urusan selanjutnya bisa diatur. Henson bisa disuruh pura-pura kaget kalau saatnya tiba nanti. Dia bisa saja berpura-pura tidak tahu.
Pembicaraan leluasa dengan Henson memang tak mungkin. Mereka dalam suasana kerja. Selalu ada orang lain
dan selalu banyak orang. Dan kalau kerja berakhir hari pun malam. Mereka semua pulang, termasuk Henson. Dan dia dengan orang-orang serumah pergi tidur untuk mempersiapkan diri bagi hari berikutnya. Dia tak mungkin menahan Henson dan tak mungkin pula memisahkan diri. Selalu ada orang lain.
Akhirnya ia menulis surat. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya sebelumnya. Tapi memang tak ada jalan lain.
Lalu Irma memasang matanya. Kapan ada kesempatan paling baik untuk menyelipkan surat itu ke tangan Henson. Ternyata untuk melakukan hal itu saja susahnya bukan main. Hampir sepanjang waktu kerja dia berada di belakang mejanya. Sedang Henson mundar- mandir seperti biasa. Berkali-kali ia berusaha menarik mata Henson untuk memberi isyarat, tapi Henson tak kunjung memandang padanya. Sungguh menyebalkan segala kewaspadaan itu. Di rumah sendiri harus berhati-hati seolah semua orang merupakan musuh.
Berulang kali pula Irma pergi ke belakang dengan tangan siap di saku, agar surat yang sudah dilipat-lipat kecil itu bisa segera dikeluarkan begitu ada kesempatan.
Tak mengherankan kalau Lili menegurnya, "Kok sering betul kau ke belakang sih""
"Kepingin kencing."
"Kok kencing melulu."
"Habis kalau kepingin"" balas Irma jengkel. Lili diam. Kedatangan Jimmy, sang pacar, lebih menarik perhatiannya. Masa bodohlah dengan Irma, walaupun dia mau kencing seribu kali. Sementara itu, Yeni bersikap tak peduli. Ia hanya menggerutu sesekali kalau Irma berdiri. Melihat
Jimmy, ia barharap pacarnya pun akan datang. Dihitungnya sudah dua hari Anton tidak makan siang di situ, juga tidak makan malam. Memang soal makan itu bisa di mana saja. Tapi masalahnya dia merasa kangen. Dan mungkin juga iri karena Lili bisa bertukar senyum mesra dengan Jimmy.
Akhirnya. setelah untuk kesekian kalinya Irma pergi ke belakang, rupanya Henson tergugah juga. Ia heran. Biasanya sepanjang siang Irma pergi ke belakang paling banyak dua kali. Tapi sampai saat itu saja rasanya sudah tak bisa ia hitung.
Jadi ketika ia melihat Irma kembali melakukan gerakan akan berdiri, ia pun membalikkan tubuh lalu melangkah tanpa terburu-buru menuju ke belakang. Sebelumnya ia sempat melayangkan pandang ke sekitar ruang makan. Tamu cukup banyak. Dan yang penting Nyonya Linda sedang asyik bercengkerama dengan salah seorang tamu yang sedang menunggu makanannya siap. Sementara Tuan Liong diketahuinya berada di loteng, dan tak mungkin bisa melihat ke tempatnya berada.
Henson melangkah ke gudang, yang letaknya sederetan dengan WC. Pura-pura saja tentu. Ia perlu tahu apakah Irma memang betul-betul ke WC atau ada urusan lain.
Irma senang melihat Henson melangkah ke belakang juga. Ia menahan diri untuk tidak terburu-buru mengejar. Biasa saja. Dan setibanya di lorong agak sempit di mana WC berada, ia memasukkan tangannya ke saku, meremas surat itu dan mengepalnya erat-erat.
Kesempatan itu pun datang. Keduanya berpapasan di lorong. Kelindungan oleh tubuhnya, Irma menyisipkan surat itu ke tangan Henson. Dan Henson dengan gerak cepat meremasnya dalam kepalannya. Berpindahlah surat itu tanpa rintangan. Dan tanpa ada percakapan antara keduanya. Tapi Irma masuk juga ke dalam WC, dan Henson meneruskan langkah ke gudang.
Sepanjang siang itu, Irma tak berdiri lagi dari kursinya untuk pergi ke belakang.
"Sudah sembuh dari penyakit kencing-kencing-mu"" tanya Lili, teringat kembali karena Jimmy sudah berlalu.
"Oh, sudah," sahut Irma dengan senyum dan napas yang lega.
Tiba-tiba Yeni menyikutnya. Hal itu memungkinkan karena sekarang Yeni duduk di tengah lagi. Itu sesudah mereka berbaikan kembali setelah melampaui masa perang dingin tempo hari. Tapi sikutan Yeni menyebabkan Irma menengadahkan muka dengan tatapan ke tengah-tengah ruangan. Lantas matanya beradu dengan pandang Herman yang tengah melotot ke arahnya. Herman duduk bersebelahan dengan kakaknya, Anton, di meja yang tak seberapa jauh dari meja kasir. Begitu saja wajah Irma jadi memerah. Sesuatu yang tak dikehendakinya. Ia tak sengaja. Ia tak ingin memandang ke sana kalau saja ia tahu di sana ada Herman. Tapi sudah te
rlanjur. Wajah Herman pun merekah. Senyumnya lebar dan anggukannya dalam. Tak bisa lain Irma terpaksa membalasnya. Lalu buru-buru ia menunduk, menekuri meja. Di sebelahnya terdengar tawa cekikikan. Hatinya panas sebentar, tapi kemudian menyejuk dengan cepat. Buat apa peduli" Yang penting usahanya sudah berhasil.
Dan Herman di seberang sana menanti tatapan Irma dengan sia-sia.
-VIII- Peter menerima Henson di ruang kerjanya yang sejuk dan mewah. Dan sebelum pembicaraan dimulai, seorang wanita datang membawakan minuman dingin.
"Nah, bagaimana" Sudah kaupikirkan baik-baik"" Peter mulai bertanya.
"Sudah, Tuan." "Stop. Panggilan Tuan itu membuat aku jadi risi. Kebiasaanmu menyebut Tuan pada pemilik SANG NAGA jangan hendaknya dilanjutkan padaku."
"Baik, Pak," sahut Henson, agak tersipu oleh nada ucapan itu.
"Nah, begitu lebih enak. Kayak zaman feodal saja, pakai Tuan-tuan segala. Jadi, bagaimana keputusanmu""
"Menyesal sekali, Pak. Saya tidak bisa."
Peter jelas terkejut. Penolakan itu di luar persangkaannya. Ataukah itu merupakan taktik Henson saja, agar memancing bujukan fasilitas" Aneh juga. Ditawari pekerjaan yang lebih baik malah menolak. Mesti ada penyebabnya.
"Tidak bisa atau tidak mau"" ia bertanya tajam. "Saya tidak mau karena tidak bisa. Pak," jawab Henson dengan nada merendah.
Peter menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal. "Ala, kau pasti berlagak bodoh!" serunya. "Masa begitu saia tidak bisa" Jadi lelaki jangan suka takut-takut. Son! Bagaimana kau bisa maju kalau tidak punya keberanian" Gunakan sajalah pengalamanmu selama bekerja di SANG NAGA. Selama ini perananmu banyak di sana, bukan" Aku tahu itu."
"saya tidak punya pengetahuan di bidang manajemen. saya cuma lulusan SMA, Pak."
"Itu gampang diatur. Teori kan bisa dipelajari" Bisa dihafal" Sambil kerja kau bisa sekolah lagi. Yang begitu itu namanya kemajuan, Son. Kalau kau bertahan seperti sekarang, kau nggak bakal jadi apa-apa. Kau cuma dimanfaatkan saja. Tidak dihargai. Malah kudengar, kau disuruh-suruh buang bangkai tikus segala. Iya, kan" Wah, keterlaluan itu."
Henson keheranan. Alangkah banyaknya yang diketahui orang di depannya ini. Rupanya Peter memiliki mata dan telinga di SANG NAGA. Apakah itu Nyonya Linda" Alangkah bodohnya Nyonya Linda yang dimanfaatkan tanpa menyadari.
"Ucapan Bapak itu benar. Tapi saya tetap tidak mengerti kenapa Bapak justru memilih saya untuk pekerjaan semacam itu."
"Hal-hal semacam itu kan tidak perlu dimenger ti" Itu terserah pada yang memilih. Dan aku sudah berpengalaman memilih orang," sahut Peter congkak. Sikapnya itu juga dipengaruhi rasa jengkel karena ditolak. Orang menyodorkan kebaikan malah ditolak!
Henson segera bangkit. "Terima kasih atas perhatian Bapak. Tapi sayang sekali..."
"Ah, duduklah dulu. Biarpun kau menolak tawaranku, tak ada salahnya kita berbincang-bincang dulu, kan" Ataukah sudah saatnya kau masuk kerja""
"Belum, Pak." "Nah, kalau begitu silakan duduk lagi, Son."
Henson mendapati dirinya kembali duduk. Bukan cuma keramahan ucapan Peter yang terakhir itu yang menariknya, tapi wibawa Peter yang terutama jadi daya tarik.
"Sayang memang bahwa kita tidak bisa bekerja sama. Tapi aku sulit memahami alasanmu itu. Kurang masuk akal. Masa cuma karena nggak bisa. Orang nggak bisa kan nantinya bisa kalau belajar. Apalagi masih ada aku sebagai pemimpin. Jadi kau bisa selalu bertanya padaku. Yang kuminta hanyalah kau menjalankannya sesuai pengalaman yang telah kaumiliki selama ini. Pendeknya, kita kerja sama, Son. Bukannya kau yang kerja sendiri."
Tiba-tiba Henson menyadari, bahwa sebagai manajer dia tidaklah akan memiliki wewenang dan kuasa yang penuh. Peter ingin belajar dari dirinya berbagai hal yang tidak diketahu nya. Dia hanya mau dijadikan semacam penunjuk jalan. Dan kelak bila jalan itu sudah dikenal dan dipahaminya, bukan tak mungkin persoalannya menjadi lain. Peter orang yang cerdas. Dan mungkin juga licik.
"Saya pikir, pengalaman saya masih kurang, Pak," jawabnya dengan tetap merendah.
Kembali Peter menggeleng-gelengkan kepalan
ya. "Ah. tidak logis itu. Kau sangat loyal kepada SANG NAGA. Mesti ada alasan untuk itu. Apalagi kalau dipikir bahwa kau menerima perlakuan yang kurang menyenangkan di sana."
Ah, tidak begitu, Pak. Saya cukup senang di sana."
"Tapi mesti ada sebabnya, kan" Apakah karena adanya sang dara yang cantik"" tanya Peter dengan tatap menyelidik.
Pada mulanya Henson tersipu. Ia merasa ditebak dengan tepat. Tapi kemudian ia sadar. Peter sedang berusaha mengorek-ngorek dirinya. Ia tak boleh membiarkan dirinya ditelanjangi. Cepat ia tenang kembali. Ia hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa.
"Kau diam berarti benar, bukan"" desak Peter dengan cerdik.
"Ah, Bapak ada-ada saja. Bukankah ketiga dara itu milik SANG NAGA"" Henson balas bertanya.
Peter termangu sebentar Lalu ia tertawa. Tapi ia tak berusaha lagi untuk mendesak Ia mengalihkan persoalan. "Andaikata kelarisan SANG NAGA itu juga disebabkan oleh adanya ketiga dara itu, wah, repot juga kalau mau meniru. Cari karyawan cantik memang tidak susah, tapi mereka toh cuma karyawan. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan ketiga dara itu. Bagaimana pendapatmu. Son""
"Ya. Repot juga, Pak. Tapi saya pikir, susah juga mencapai sukses kalau hanya meniru orang lain."
"Ah, aku tak sependapat!" seru Peter. "Justru kita harus mempelajari orang yang sukses supaya tahu cara-caranya. Tapi sudah tentu kita tidak boleh sembarang meniru. Oh ya, kuingat ceritamu di koran. Tentang adanya unsur mistik itu. Apa benar bangunan restoran itu dulu dibangun dengan bantuan 'orang pinter'""
"Kabarnya begitu."
"Siapa yang menceritakan hal itu padamu" Apa Tuan Liong sendiri"" tanya Peter bernafsu.
Henson tertawa dalam hati. Rasanya dia semakin mengerti.
"Banyak orang yang cerita begitu. Saya tidak ingat lagi mendengar dari siapa. Ah, bukan dari Tuan Liong. Tapi setelah cerita itu termuat di koran, yah, sebenarnya cuma obrolan ringan saja yang tahu-tahu dimuat, ternyata Tuan Liong juga tidak membantah kebenarannya pada saya. Bahkan menurut Tuan Liong, hal-hal semacam itu sudah bukan sesuatu yang aneh lagi. Banyak pengusaha yang suka begitu. Mereka Ingin laris, ingin sukses, dan sebagai nya. Dan sering kali rumah tempat tinggal pun dibangun sesuai aturan dan syarat yang konon hanya diketahui 'orang pinter'. Maksudnya supaya penghuninya rukun-rukun, selamat sejahtera, dan terhindar dari mara bahaya. Bahkan ada juga yang meletakkan jimat-jimat itu di tempat tertentu, puasa tiap Senin-Kamis, pantang ini itu, dan seribu satu macam hal lainnya lagi yang mungkin ada tapi tidak saya Ketahui," cerita Henson dengan lancar. Ia tidak keberatan menceritakan hal semacam itu. Bahkan semangatnya bertambah setelah melihat Peter menanggapi dengan sikap serius.
"Ah, begitu, ya" Memang aku pernah juga mendengar cerita-cerita semacam itu, tapi dulu kuanggap itu nonsens. Omong kosong belaka. Takhyul. Tapi setelah mendengar dari mulutmu sendiri dan melihat juga kenyataannya pada SANG NAGA yang sukses, aku jadi ragu-ragu. Ah, apa kau sendiri percaya akan hal-hal begituan, Son""
"Terus terang, saya susah memastikan, Pak. Barangkali setengah-setengah, begitu. Tapi saya pikir, kalau memang tidak percaya lebih baik tidak usah mengikuti cara-cara begitu. Yang rasional saja. Tapi kalau mau percaya, ya, lakukan saja."
Peter diam sebentar sambil memandangi wajah Henson. Lalu bertanya serius, "Andaikata kau menerima tawaranku, cara apa yang akan kautempuh" Yang mistik atau yang rasional""
Henson tersenyum "Sudah tentu saya tidak akan lancang berbuat semau sendiri. Saya akan tanya Bapak dulu," jawabnya santai.
Peter tertawa. "Ah, kau cerdik. Apakah kau dengan Tuan Liong sering terlibat komunikasi seperti ini juga""
"Tentu saja, Pak."
"Dia sering minta saranmu""
"Ya," jawab Henson sejujurnya. Dan juga dengan bangga.
"Ah, begitu. Sayang kau tidak dihargai sepatutnya," ucap Peter sambil geleng-geleng kepala seolah sungguh-sungguh menyesalkan.
Henson diam saja. ia semakin yakin, bahwa kesan seperti itu pastilah diperoleh Peter dari nyonya Linda. Pasti Nyonya Linda sering menceritakan ten
tang kekesalan dan kebenciannya kepada dirinya. Dan juga tentang tikus-tikus itu. Padahal nyonya Linda bukan Tuan Liong. Sedang nyonya Linda pun tidak tahu perihal rencana Tuan Liong itu. Ah, Irma benar. Gadisnya itu telah bertindak benar dan tepat dengan secepatnya menyampaikan informasi itu. Kini dia bisa menghadapi Peter dengan pendirian yang lebih teguh lagi. Tiba-tiba terpikir, bagaimana kira-kira reaksi Peter andaikata dia ikut diundang dalam pesta itu" Ah, mudah-mudahan saja Peter diundang!
"Siapa nama 'orang pinter' yang telah membantu SANG NAGA itu""
"Wah, saya kurang tahu, Pak. Saya tidak pernah menanyakan," jawab Henson sambil berpikir, kenapa Peter tidak menanyakannya kepada Nyonya Linda saja. Pasti Nyonya Linda lebih tahu. Ataukah Nyonya Linda tidak mau memberi tahu"
"Tapi saya yakin, 'orang pinter' bukan cuma dia seorang Pak." Henson melanjutkan. "Ada yang suka pasang iklan. Ada juga yang praktek ciam-diam. Cuma masalahnya, kita tidak tahu mana yang 'orang pinter' sungguhan dan mana yang bohongan. Habis kalau dibohongi pun kita tidak akan tahu."
Henson tertawa, tapi Peter tidak. Dia mengerutkan kening. Tampaknya sedang berpikir dalam-dalam. Henson diam, tak ingin mengganggu. Niatnya semula untuk berlalu secepatnya agar dirinya tak sampai dikorek-korek lebih banyak sudah terlupakan. Selama pembicaraan masih seputar persoalan mistik ia tidak merasa keberatan, bahkan senang. Dengan demikian, pada gilirannya dialah yang akan dapat memahami Peter. Bukan sebaliknya.
"Begini, Son. Kau sudah menolak tawaranku. Okelah, Tapi bila dalam waktu dekat ini kau berubah pikiran, aku masih bersedia menerimamu. Asal jangan terlalu lama, karena aku perlu mencari orang lain. Kuharap kau mau memikirkannya baik-baik. Tapi sekarang ini aku mau menawarkan pekerjaan yang tidak terikat, Yaitu, kumpulkanlah nama-nama orang pinter beserta alamat mereka. Tapi yang beneran, lho. Jangan yang palsu. Untuk itu akan kuberikan honor lumayan. Bagaimana""
Henson keheranan. Betulkah orang seperti Peter ini bisa terpikat pada ceritanya" Peter begitu serius.
Ya, kemungkinan itu memang ada saja. ia pernah mendengar keluhan beberapa langganan tentang susahnya memajukan usaha di zaman sekarang ini. Resesi dijadikan penyebab kelumpuhan banyak usaha. Apa sih yang bisa laku dijual sekarang ini" Tak mengherankan kalau saking pusing dan putus asa, orang mudah lari ke hal-hal yang tidak realistis. Dengan demikian orang masih tetap bisa menggantungkan harapan. Siapa tahu"
"Baik, Pak. Akan saya usahakan," jawab Henson kemudian.
"Secepatnya, ya""
Perbincangan selesai. Mereka bersalaman. Dan lama setelah Henson berlalu, Peter masih saja termangu di kursinya.
Esok harinya mereka berdua bertemu lagi. Sama-sama memiliki segudang cerita.
Henson lebih dulu memulai cerna pertemuannya dengan Peter. "Jadi, Senin depan aku akan mulai mencari informasi tentang orang pinter."
"Kau sungguh-sungguh mau membantu dia. Son""
"Bukan begitu, Ir. Menerima pekerjaan itu bukan berarti aku cuma mau membantunya. Aku juga mengharapkan honornya untuk mengisi Tabanasku. Ya, untuk kita kelak. Hei, kau kan tidak sungguh sungguh yakin bahwa orang pinterlah yang membuat SANG NAGA maju""
Irma tersenyum. "Tentu saja tidak. Tapi, apakah Peter sebodoh itu untuk terlalu percaya pada orang pinter""
"Entahlah. Mungkin juga dia hanya mau spekulasi. Seperti banyak orang lain sekarang ini. Ya, siapa tahu, begitu. Kalau benar, ya syukur. Tapi kalau nggak benar, juga nggak apa-apa."
"Ya, kau benar. Tapi dia toh berbeda dengan Papa dan Mama. Mereka berdua ini percaya benar. Bukan melulu pada orang pinter itu, tapi pada situasi yang telah tercipta. Pendeknya pada segala sesuatu yang punya andil dalam menciptakan keadaan sekarang ini. Ah, tentu saja berkat jasa si orang pinter itu juga. Karena si orang pinterlah maka rumah dan restoran kami punya bentuk seperti sekarang ini. Dan konon di situlah Sang Naga merasa nyaman untuk tinggal dan menetap lalu memberikan rezeki pada penghuni lainnya."
Henson bengong sebentar. Cerita seperti itu baru pernah diden
garnya dari mulut Irma. Selama ini mereka memang tak pernah membicarakan persoalan orang pinter. Bahkan juga sesudah cerita Henson termuat di koran. Mungkin karena sama-sama menganggapnya sebagai cerita fantasi belaka.
"Jadi, mereka percaya bahwa Sang Naga itu bukan sekadar nama"" Henson menegaskan.
"Ya. Mereka menganggap, Sang Naga keberuntungan itu betul-betul ada. Dan bersemayam di rumah kami. Setidaknya itulah gambaran yang telah diberikan si orang pinter."
Henson tidak tahu apakah ia bersikap sepatut nya kalau ia menertawakan kepercayaan itu. Ia cuma terdiam.
"Dan tentang kecoa itu"" ia bertanya kemudian.
"Oh ya. Sebenarnya kepercayaan mereka sempat goyah oleh peristiwa itu. Sang Naga sudah teledor atau tidak betah hingga terbang pergi meninggalkan kami. Tapi ternyata persoalan itu berhasil teratasi. Jadi, tidak perlu diherankan kenapa Mama tidak begitu menghargai jasamu. Son. Dia terlalu percaya bahwa bukan kau sendirilah yang telah berjasa. Kau sudah dibantu Sang Naga!"
"Dan ayahmu""
"Papa tidak pernah menyinggung soal itu. Tapi kemungkinan kepercayaan Papa tidak setebal punya Mama."
"Percaya akan hal-hal seperti itu dapat membuat kita terlena bila menemukan kesulitan. Dikira segala sesuatu bisa teratasi dengan mudah hanya karena adanya Sang Naga."
Mereka terdiam sebentar. Lalu Irma berkata duluan, "Tahukah kau, Son" Omongan seperti itu telah membuat aku merinding!"
Henson memandang simpati. "Kalau begitu, jangan kita bicarakan lagi soal itu. Masih banyak persoalan lain. Ceritamu belum keluar." Irma menarik napas dalam dalam. "Pagi kemarin, ketika Papa pergi, aku mence ritakan rencana Papa itu kepada Mama dan kedua kakakku. Wah, mereka senang sekali. Mereka menganggap waktu sebulan terlalu lama. Akhirnya kami putuskan waktunya tiga minggu saja. Sanggupkah kau. Son""
"Tentu saja. Kan cuma pesta kecil. Tapi ayahmu belum manyampaikan padaku. Bukankah aku harus bersikap seakan belum tahu""
"Aku pikir, kalau tidak hari ini tentu besok Papa akan membicarakannya denganmu. Kalau dia lupa, akan kuingatkan. Entahlah. Sepertinya Papa agak aneh belakangan ini. Dibilang pikun toh bukan."
"Baiklah. Aku tunggu saja. Lantas, siapa-siapa yang akan diundang""
"Aku sendiri tidak mengundang siapa-siapa. Tapi kedua kakakku mengundang pacar masing-masing. Menurut Papa, kau boleh mengundang Pak Asrul. Dan Mama, ah, bisakah kautebak siapa yang mau diundangnya""
Henson tidak berpikir lama-lama. "Peter"" ia bertanya.
"Tepat. Peter dan Tanujaya. Heran juga, ya. Kok berani-beraninya. Padahal Papa sedang aneh-aneh begini. Tapi itu memastikan perkiraan, bahwa Mama merasa pasti tidak ada orang yang tahu perihal hubungannya dengan Peter. Ah, nekat juga. Aku jadi resah memikirkan bagaimana nanti perasaan Papa."
"Aku sependapat denganmu, padahal tadi sempat terpikir betapa menyenangkan andaikata aku bisa melihat ekspresi Peter nanti, saat ayahmu mengumumkan pangkatku."
"Jangan lupa. Kau sendiri harus pura-pura kaget."
"Oh, tentu. Aku tidak lupa. Tapi kembali ke soal tadi. Sudah tahukah ayahmu siapa-siapa yang kalian undang""
"Belum." "Dan tidakkah kautanyakan apa alasan mama-mu mengundang Peter""
"Katanya, Peter adalah relasi yang penting. Dia seorang bankir yang harus diakrabi agar kita mudah mendapat kredit nanti."
"Ah, pintar juga alasannya. Selain Peter dan Tanujaya, masih ada lainnya""
"Mama belum bilang. Mungkin masih pikir-pikir. Tapi nama pertama yang diajukannya adalah Peter. Kemudian Papa tentu akan mengundang juga relasi-relasinya sendiri. Entahlah jadi berapa orang. Itu akan kutanyakan lagi nanti bila daftar orang yang mau diundang sudah terkumpul."
"Cek A Piang sudah tahu""
"Sudah. Barusan diberi tahu Papa. Pendeknya kau berdua Cek A Piang adalah orang-orang yang perlu diberi tahu sendiri oleh Papa."
"Kalau begitu, aku adalah orang paling akhir yang diberi tahu olehnya."
Irma memandang dengan tatap menyelidik. Perasaannya kurang enak. ia teringat akan kata-kata ayahnya yang kutang menyenangkan itu. Tentu penundaan itu bukan karena ayahnya kembali ragu
ragu. Kalau hal itu sampai terjadi, lebih baik tak usah pesta saja. Untuk apa mengumumkan keberhasilan tanpa sekalian memberikan penghargaan pada orang yang sudah berjasa" Mustahil Sang Naga yang diberi penghargaan"
"Kau tersinggung. Son"" tanya Irma pelan, khawatir kalau-kalau pikirannya sampai terbaca.
"Ah, nggak. Aku pikir, justru orang yang paling akhir diberi tahu itu akan mendapat instruksi paling banyak. Mungkin ayahmu masih memikirkan apa saja yang akan diperintahkannya padaku. Biarkan saja agar ia merasa leluasa," jawab Henson tanpa beban.
Ya, mudah-mudahan saja memang begitu, pikir Irma.
"Tahukah kau, Ir" Masih ada hal lain yang mengganjal. Paling mengganjal."
"Apakah itu"" tanya Irma khawatir.
"Hubungan kita. Aku sangat ingin hubungan kita tidak lagi berlangsung dengan cara seperti ini. Kita akan bebas bertemu dan bicara kapan saja dan di mana saja. Tidak sembunyi-sembunyi. Aku kasihan kau. Kedua kakakmu bisa bebas berpacaran, pergi dari rumah dengan dijemput secara resmi oleh pacar masing-masing. Tapi kau""
Irma menoleh dan memandang lama. Untung warung tegai tempat mereka bernaung sedang sepi. Hanya mereka berdua ditemani Mbakyu pemilik yang duduknya jauh di sudut.
"Baru sekarang rasanya aku mendengar kau mengungkapkan itu. Biasanya aku yang penasaran
dan kau yang menyabarkan. Iya, kan" Sekarang aku diam, kau yang penasaran."
"Mungkin karena kenaikan pangkat sudah di depan mata," kata Henson terus terang.
"Jadi karier buatmu lebih penting""
Sesudah bertanya, Irma merasa bodoh. Pertanyaan yang didasarkan egoisme tentu.
"Bukan begitu, Ir. Sama sekali bukan masalah mana yang lebih penting. Tapi karier itu penting buat kita bersama, bukan buatku sendiri saja. Ah, kau tentu maklum."
"Ya, ya. Aku maklum. Sori. Kita memang sudah cukup lama mengendalikan kesabaran. Semesti-nyalah kita diberi buah yang manis sebagai hasilnya. Ya, masa nggak ada hasilnya""
Kini giliran Henson yang mempelajari wajah Irma. Di wajah mungil yang manis itu ia melihat kesenduan yang membangkitkan rasa harunya. Ah, kalau saja mereka berdua! Bukankah selama ini mereka tak pernah sungguh-sungguh berdua saja" Terkadang dorongan untuk itu terasa bukan main kerasnya hingga terpikir untuk nekat saja. Tapi ia terlalu menyayangi Irma hingga rasanya juga mustahil kalau ia sampai hati melakukan sesuatu kenekatan. Ah, sudah pasti buah yang manis itu akan berhasil mereka petik nanti. Dan mereka akan memetiknya dengan perasaan yang manis pula. Harapan indah yang perlu dipupuk agar mereka tidak diterpa keputusasaan.
"Kau tidak pesimis, bukan"" bisik Henson.
"Pesimis sih tidak. Cuma kadang-kadang...." Irma menghentikan ucapannya dengan mendadak. Tentu saja ia tidak boleh menghancurkan harapan Henson.
"Kadang-kadang apa"" Henson tidak puas.
Irma diam. Henson menyentuh pelan. "Ayolah, terus terang. Ada yang meresahkan""
Irma sadar. Henson tak akan berhenti berusaha untuk membuatnya berterus terang.
"Entahlah Son. Mungkin rencana Papa itu membuatku tegang. Sepertinya sulit membayangkan apa yang kira-kira akan terjadi nanti. Ya, suatu suasana pesta. Tapi kemudian..."
"Kemudian apa""
"Entahlah. Ah, jangan tanya aku lagi, Son. Jangan tanya lagi, ya. Aku sendiri tidak tahu jawabnya. Nanti aku malah ngomong salah. Sudahlah. Wajar saja. Barangkali Sang Naga telah membuatku resah."
Kalimat terakhir diucapkan Irma dengan nada gurau. Ia juga tersenyum semanis mungkin. Ia sudah bersalah karena telah menumbuhkan keresahan akan sesuatu yang belum pasti. Henson harus tetap bersemangat dan optimis. Buat Henson itu penting.
Henson memang tersenyum cerah lagi. Kekhawatirannya nampak sudah lenyap dari wajahnya. Tapi diam-diam Irma menyesali gurauannya sendiri tadi. Kenapa pula dia mesti menyinggung Sang Naga segala" Kini dia jadi merasa tidak enak sendiri!
*** Tidak banyak yang dikatakan Tuan Liong kepada Henson.
"Hari Senin, tiga minggu dari sekarang, aku bermaksud mengundang makan malam sekitar sepuluh sampai dua belas orang tamu. Ya, cuma sedikit. Kaubuatkan saja barang dua puluh lembar kar
tu undangan. Nggak apa-apa mahal juga. Habis memang cuma sedikit. Nanti kuberi daftar nama-nama para tamu yang akan diundang. Lalu kaukirimkan. Kalau bisa, kauundanglah Pak Asrul, orang koran itu. Juga Tuan Freddv dan istrinya."
"Hanya untuk makan-makan saja, Tuan""
"Oh, tentu tidak. Tapi yang namanya pesta sudah pasti disertai makan. Tujuanku adalah untuk mengajak mereka merayakan keberhasilan kita mengatasi cobaan tempo hari. Biar mereka tahu akan kemampuan kita."
"Ide yang bagus, Tuan," kata Henson, sadar bahwa Tuan Liong memang tidak akan menceritakan semuanya.
"Dan aku minta kau mempersiapkan kala sambutan untuk itu."
"Baik, Tuan." "Bagaimana menurut pendapatmu, kalau acara makan malam merupakan yang terakhir" Jadi,
segala yang mau kita utarakan kita selesaikan dulu sebelumnya."
"Ya. Paling baik begitu memang. Tuan. Sesudah makan biasanya orang akan mengantuk," sahut Henson sambil tersenyum.
Tuan Liong tidak ikut tersenyum. Wajahnya tetap serius ketika ia mengatakan, "Nanti soal makanannya kauaturlah bersama Cek A Piang. Buatlah yang mewah. Biar berkesan. Sedang makanan kecilnya kauurus sendiri. Juga minumannya."
"Baik, Tuan." "Dan sebaiknya kau jangan membuang lagi bangkai-bangkai tikus itu. Suruhlah orang lain. Emangnya mereka tidak mau disuruh""
"Bukannya tidak mau, Tuan. Tapi..."
"Nanti kusuruh si Ata saja yang buang. Biar jadi tugas dia," potong Tuan Liong tidak sabar. "Aneh, bangkai itu kok ada saja sih. Sudah cukup lama, kan" Apakah tikus-tikus itu kelewat banyaknya ataukah mereka berkembang biak untuk mati"" Ia menggerutu.
"Sekarang sudah tidak sebanyak dulu lagi, Tuan. Di gudang pun sudah bersih. Kecoa juga tak ada lagi. Nyonya sangat rajin meracuni mereka."
"Hem." Tak jelas apakah Tuan Liong menggumanyataukah menggeram. Ia tidak memberi komentar apa-apa. Agak lama ia diam.
Ketika Henson akan mengundurkan diri, karena menganggap tak ada lagi instruksi untuknya, mendadak Tuan Liong bersuara lagi, "Apakah kau punya pakaian yang cocok untuk acara itu""
Henson tertegun sebentar. Lalu tersipu. Biasanya Tuan Liong tak pernah bertanya seperti itu. "Ada, Tuan. Apakah sifatnya resmi"" ia bertanya.
"Tentu tidak. Kita cukup pakai batik saja. Punyakah kau""
Ketika Henson nampak ragu-ragu, Tuan Liong segera mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan setumpuk uang kertas yang diserahkannya pada Henson. "Nih, seratus ribu. Belilah yang bagus. Dengan sepatu sekalian."
Saat Henson masih bengong, Tuan Liong mendorong uang itu ke tangan Henson. "Terima kasih, Tuan," katanya tak bisa lain. Tentu saja ia merasa bersyukur untuk atensi itu. Ia akan menceritakannya pada Irma pada kesempatan pertama.
Tuan Liong juga teringat pada Irma. Tapi ingatannya lain. Ia ingat percakapannya dengan Irma tempo hari. Ketika itu, saking kurang enak karena dikatai melanggar janji dan kurang menghargai jasa orang, spontan ia berbohong pada Irma. Sebetulnya ia belum pernah memberikan bonus seratus ribu rupiah kepada Henson sesudah peristiwa itu. Tapi tidak apa-apa. Kan barusan saja sudah ia berikan! ia memang tidak tahu. Kebetulan Irma lupa menanyakan pada Henson soal bonus yang disebut-sebut itu.
Setelah Henson berlalu, Tuan Liong duduk terpekur. Henson sudah terlupakan. Ia menatap pada secarik kertas yang diberikan Irma tadi. Di situ tertulis nama-nama. Tapi yang menarik matanya cuma satu. Peter.
Siapa lagi yang mengundang Peter selain Linda" Dia sendiri tidak, sedang anak-anaknya sudah pasti juga tidak. Itu jelas walaupun Irma tidak menuliskan siapa yang mengundang siapa. Kenapa Linda justru mengundang Peter" Kenapa bukan orang lain" Dan justru pada pesta yang semula direncanakannya dengan cukup bersemangat setelah sempat melempem untuk beberapa waktu lamanya. Siapa pula yang takkan melempem semangatnya setelah tahu dirinya dikhianati istrinya" Apalagi dalam keadaannya yang sekarang ini!
Pantas. Segalanya menjadi pas. Linda sudah mampu memenuhi kebutuhan seksualnya dari orang lain. Karena itu ia tidak pernah meminta, tidak menuntut, bahkan tidak pula menyindir sesuai kebiasaan
nya dalam hal-hal lain. Sementara ia sendiri sedang bergulat mengatasi kesedihan dan tekanan perasaan akibat keadaannya. Ia merasa ditinggalkan sendiri dalam kekurangannya. Tidak ada kesetiaan, keprihatinan, bahkan juga sekadar simpati. Itu membuatnya semakin sakit.
Sesekali ada juga suara hati membela Linda. Perempuan itu tidak tahu. Dia memang tidak pernah memberi tahu. Mungkin saja Linda berpikir bahwa ia sudah bosan dan lebih suka jajan di luar. Tapi rasanya tidak mungkin. Bukan tipe Linda dengan menerima keadaan tanpa bertanya, atau menyindir. Tapi tunggu dulu. Tidakkah belakangan ini Linda juga kelihatan lain" Linda seolah makin menjauh, tak suka bicara banyak kepadanya. Ah, tentu saja. Itu berarti Linda memang sudah tidak menyukai dirinya lagi. Sudah ada Peter. Pikiran yang semakin memanaskan.
Tuan Liong sudah tahu. Kalau mau bersusah-susah sedikit, orang bisa saja tahu akan hal-hal-yang mau disembunyikan. Pada mulanya selalu ada gejala yang tertangkap mata. Pasti bukan kebetulan, karena orang perlu melihat dengan mata terbuka. Terkecuali dia buta tentunya.
Ia melihat gejala itu. Walaupun kedua orang itu, Peter dan Linda, tidak nampak bersentuhan, ia melihatnya dalam pandang mata keduanya. Satu terhadap yang lain. Suatu gejala yang sebenarnya belumlah memastikan. Tapi ia tahu, dua orang yang punya hubungan gelap pasti akan berusaha untuk bertemu. Pertemuan intim dan pribadi mutlak perlu bagi keduanya. Karena keyakinan itu, ia membuntuti Linda saat wanita itu keluar rumah. Dan kemudian terkaannya menjadi pas setelah melihat dengan mata kepala sendiri siapa yang ditemui Linda. Setelah beberapa kali hal yang sama terjadi, dugaan pun menjadi kepastian.
Mereka sembunyi-sembunyi karena takut. Itu sudah jelas. Tapi sekarang, kenapa Linda mengundang Peter datang" Andaikata tidak ada apa-apa antara keduanya, pasti tidak ada persoalan. Alasan bahwa Peter seorang bankir yang bonafid hingga perlu diundang tentu masuk akal. Tapi sekarang jadi lain. Kenapa Linda mengundang Peter, kalau mereka memang masih ingin sembunyi-sembunyi" Kesimpulannya cuma satu. Semakin lama kedua orang itu semakin berani. Bahkan pada suatu saat bukan tak mungkin kepalanya pun akan diinjak mereka. Lantas di mana harga dirinya"
Dadanya serasa berombak-ombak. Dan huruf-huruf di atas kertas menari-nari mengelilingi nama Peter. Serasa mengejeknya. Apakah mereka, nama-nama yang lainnya itu, juga tahu"
Tangannya gemetar ketika meraih bolpen dan kemudian mencoret beberapa nama. Itu adalah nama-nama orang yang mau diundangnya secara pribadi. Mereka adalah relasi dan teman yang dianggapnya paling dekat dan juga penting. Tapi sekarang ia batal mengundang mereka. Tidak. Ia tidak mau mengundang siapa-siapa. Biarkan mereka mengundang orang-orang pilihan mereka sendiri.
Lalu Tuan Liong meremas-remas kertas itu. Dan mulutnya membentuk lengkung tajam.
*** Dalam perjumpaannya yang terakhir dengan Peter, Linda tidak tahan untuk tidak menceritakan perihal rencana pesta itu. Berada bersama Peter ia selalu ingin bercerita. Ia memang suka bicara, tapi bukan karena itu saja. Ia selalu merasa, Peter amat menyukai ceritanya. Peter kelihatan senang. Dan ia ingin menyenangkan hati Peter. Pernah Peter menceritakan bahwa istrinya adalah wanita yang sangat pendiam, hingga berapa patah katanya dalam sehari bisa dihitung. Bahkan bisa diperkirakan sebelumnya.
"Apakah aku tidak diundang juga"" gurau Peter.
Linda ragu-ragu. Semula ia memang, pernah berpikir begitu. Tapi ia tidak tahu apakah hal itu patut dilakukan. Sudah beberapa kali ia merasakan keanehan sikap Hok Kie kepadanya. Toh ia tidak tahu apakah keanehan itu ada hubungannya dengan perbuatannya bersama Peter. Hal itu jadi menyiksa perasaannya. Karena itu terpikir, lebih baik bila ia menghindari kesulitan.
"Aku akan senang kalau diundang," kata Peter lagi.
"Baiklah. Aku akan mengundangmu," Linda tak bisa lain. Ia tak berani berterus terang tentang kekhawatirannya. Ia lebih mengkhawatirkan kemungkinan kalau-kalau Peter memutuskan hubungan mereka supaya tidak sampai terkena tindakan Hok Kie.


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Justru bila kita bersikap biasa-biasa, Hok Kie tidak akan menaruh prasangka," Peter menenteramkan.
"Ah, apa iya""
"Iya dong. Bukankah aku langganan setia SANG NAGA" Aku rajin makan di sana. Aku rajin pula membawa relasi relasiku makan di sana. Nah, jasaku kan cukup banyak. Jadi pantas kalau aku diundang. Justru kalau aku tidak diundang dia akan menaruh curiga."
Alasan itu terasa masuk akal bagi Linda. Sebagian besar keresahannya lenyap. Tapi ia merasa sangat jengkel kepada Irma. Ketika ia menuliskan nama Peter di kertas yang sudah disediakan Irma, anak bungsunya itu memandang-nya dengan tatapan tak menyenangkan. Ia sudah khawatir kalau-kalau mulut kenes anak itu akan melontarkan sindiran tajam. Untunglah tidak. Mulutnya rapat. Ya, awas saja kalau anak itu berani ngomong macam-macam, ia akan membalasnya nanti. Tapi walaupun demikian toh ia merasa perlu mengajukan alasan apa sebab Peter perlu diundang.
Linda hampir yakin, bahwa Irma tahu tentang dirinya dan Peter. Dulu Irma pernah menyindirnya, dan tatapannya pun seolah memperlihatkan apa yang diketahuinya. Itu berbeda dengan kedua putrinya yang lain. Lantas yang jadi masalah adalah apa Irma menceritakan hal itu kepada Hok Kie atau tidak. Ya, awas saja. Dia sendiri memiliki senjata yang bisa digunakannya terhadap Irma. Yaitu, Henson.
Ada orang yang membisikkan informasi padanya. Dia melihat Irma bersama Henson sedang ngobrol dengan asyik di warung tegai. Nah, bukankah kecurigaannya yang semula cuma berdasarkan naluri belaka itu ternyata memang benar" Bayangkan. Putrinya akrab dengan seorang bekas pelayan. Ya, sampai ke mana akrabnya itu"
Lalu ia mengasah otaknya. Bagaimanapun, ia menganggap hubungannya dengan Peter lebih penting dipertahankan walaupun untuk itu harus ada yang dikorbankan. Apa salahnya orang mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri"
Segera setelah idenya muncul, ia mendekati Irma.
"Ada orang melihatmu bersama Henson di warung tegai. Ngapain kau di situ"" tanya Linda langsung.
Irma terkejut. Jelas dia kaget, pikir Linda senang.
"Ah, ngapain, ya" Oh ya, saya lagi ngopi sambil makan singkong goreng. Enak singkongnya. Kalau Mama mau..."
"Hus! Buat apa aku segala singkong" Aku mau tanya, ngapain kau berdua-dua sama si Henson di situ" Ayo, jawab!"
"Kebetulan saja, Ma. Saya lagi lewat pulang les, eh, saya lihat Henson di situ. Dia menyapa dan menawarkan makanan. Kelihatannya enak, jadi saya ikut makan," jawab Irma dengan tenang. Pikirannya sudah jernih dan pulih dari rasa kaget, hingga bisa dikerahkan untuk mencari akal.
Linda memandang tak percaya. "Kau memang licin. Pintar cari alasan. Kalau nggak ada apa-apanya mustahil kau mau berdua-dua sama si Henson di situ" Si Herman yang begitu tergila-gila padamu itu saja tak pernah kaupedulikan. Sebelah mata pun tak kaulihat dia. Lho, kok ini si Henson ngajak makan di warung tegai malah mau."
"Kan nggak ada salahnya, Ala" Saya belum pernah makan di warung tegai. Di restoran terus kan bosan, Ma."
"Ini bukan soal makan. Tapi soal si Henson itu! Ngerti"" bentak Linda. Lalu melanjutkan dengan geram, "Coba, apa sih yang kauobrolkan""
"Ngobrol dengan si Henson itu menyenangkan, Ma. Dia bercerita tentang kampung halamannya di Pematang Siantar. Wah, asyik deh, Ma. Bukankah Mama kalau sedang ngobrol juga suka lupa""
Linda melotot. Anak ini mulai lagi menyindir. "Apa maksudmu"" ia bertanya.
Irma jadi ngeri. "Nggak apa-apa, Ma. Saya cuma mau membandingkan."
"Membandingkan dengan aku" Kalau begitu, kau memang punya hubungan dengan..." Linda buru-buru mengatupkan mulutnya ketika teringat bahwa kata-kata itu bisa mengungkap perbuatannya sendiri. Tololnya. Salah-salah dia bisa terjebak sendiri.
Irma pura-pura tak mendengar. Ia tak ingin menyangkal hubungannya dengan Henson. Kalau memang harus terbuka, ya, biarlah. Terserah apa yang akan terjadi.
Linda memperhatikan Irma dengan wajah cemberut. Entah kenapa, ia tak bisa merasakan adanya kasih terhadap anak satu ini. Mungkin juga dulu-dulunya berawal dari kelahiran Irma yang mengecewakan. Ia kecewa karena anak ketiga yan
g diharapkannya berkelamin laki-laki ternyata lagi-lagi perempuan seperti kedua kakaknya. Mungkin
kekecewaan itu tak akan membesar dan berlarut-larut andaikata Hok Kie juga ikut merasa kecewa. Tapi kekecewaan Hok Kie cuma sebentar, karena anehnya dia berbalik jadi sayang pada anak itu. Sebegitu sayangnya sampai akhirnya jadi si tersayang.
Irma mengangkat muka, lalu beradu pandang dengan ibunya. Sesaat ia tekejut ketika mendapati pandang Linda yang bernyala-nyala. Dia diawasi seolah dirinya seorang musuh. Sebegitu marahkah ibunya ini" Ia tak mengerti. Seingatnya, Yeni lebih sering melawan dan menentang dibanding dirinya. Ataukah karena Yeni mempunyai pacar yang serba memenuhi syarat"
"Alangkah kecewanya Papa kalau dia sampai tahu perbuatanmu dengan si Henson," Linda memulai taktiknya. "Padahal dia begitu sayang padamu. Begitu bangga. Tahu-tahunya..."
Irma diam saja. Perasaannya jadi sedih. Ia teringat lagi akan kata-kata ayahnya yang teramat mengejutkan dan menyedihkannya tempo hari.
"Sekarang katakan! Apakah kau suka menjelek-jelekkan aku di depan Papa"" tanya Linda.
Materi pertanyaan yang tiba-tiba berubah itu kembali mengejutkan Irma. Ia tak mengerti apa hubungannya masalah kedua ini dikemukakan.
"Tidak, Ma. Belum pernah. Kalaupun saya tahu, saya lebih suka diam. Saya tidak suka terjadi perang di rumah ini, Ma," jawab Irma terus terang.
Jawaban itu membuat muka Linda memerah. Tapi ia tetap bersikap ketus. "Baik. Tetaplah begitu, ya. Soalnya, kalau kau berani mengadu, maka akan tiba giliranku membuka rahasiamu. Papamu akan melihat bagaimana sebenarnya anak kesayangannya itu, dan bagaimana pula si Henson yang dibangga-banggakannya itu. Ingat-ingat itu, Irma!"
Irma termangu. Sebelum sempat mengatakan apa-apa, ia sudah ditinggal pergi. Padahal ia bermaksud menanyakan, "Bagaimana kalau Papa yang tahu sendiri""
Tentu saja ia lebih suka andaikata ayahnya tahu sendiri, bukan lewat pengaduannya. Oh, kalau saja ia mengadukan semua yang diketahuinya pasti ayahnya akan meledak. Ia memang sudah tahu. Sudah merasa pasti berkat informasi yang disampaikan Henson sesuai permintaannya dulu. Tak susah bagi teman-teman Henson untuk memperoleh cerita yang dapat menegangkan bulu roma sekaligus menjijikkan. Ya, orang bercinta sebenarnya tidak patut disebut menjijikkan. Cinta adalah sesuatu yang terasa agung. Seperti cintanya sendiri terhadap Henson. Tapi lain halnya kalau merupakan pengkhianatan. Kecurangan itulah yang menjijikkan.
Memang antara dia dengan ibunya terdapat kesamaan. Mereka berdua punya hubungan gelap. Mereka sama-sama menjalin cinta secara sembunyi-sembunyi. Tapi toh ada perbedaan nyata. Dia tidak mengkhianati siapa-siapa. Dia pun tidak merasa telah mengkhianati orang tuanya. Hubungan anak dengan orang tua tidak sama dengan hubungan antara suami istri. Tidak ada yang mengajarinya begitu. Hati nuraninya sendiri yang mengatakan.
Kini, ucapan terakhir ibunya itu telah menghunjam perasaan dan pikirannya tanpa kira-kira. Sakit sekali. Ibunya telah menawarkan suatu kompromi! Padahal kompromi itu diajukan tanpa sedikit pun komentar mengenai hubungannya dengan Henson.
Itukah perwujudan malapetaka yang dikhawatirkannya akan terjadi" Kalau sudah tahu mestinya tak lagi jadi beban seperti sebelumnya. Dia tinggal mencari pemecahannya. Dan tinggal memupuk kekuatan. Tapi tidak. Beban itu masih ada. Jelas terasa. Malah lebih berat daripada sebelumnya. Sangat tidak enak. Sangat menekan.
-IX- Pada hari Senin yang menentukan itu seperti biasa paginya Henson berada di rumah Cek A Piang. Sambil sibuk di dapur mereka membicarakan rencana pesta nanti malam.
"Jadi menu untuk malam nanti tidak berubah lagi, ya Son""
"Tidak. Itu saja, Cek. Yang jelas masakan istimewa simpanan Cek tidak akan dikeluarkan. Seperti Soto Medan itu misalnya."
Cek A Piang tertawa. "Tentu saja tidak. Mengeluarkan ilmu simpanan cuma merugikan diri sendiri. Sudah pasti mereka akan menyuruh supaya jenis masakan itu dicantumkan pula dalam menu. Yang terpikir adalah keuntungan untuk diri sendiri saja. Mana mau mereka be
rpikir tentang diriku juga""
Henson mengiyakan saja. Cek A Piang selalu menyebut 'mereka' sebagai pihak majikan. Tidak jelas apakah itu Tuan Liong atau Nyonya Linda. Tapi bisa salah satu atau kedua-duanya. Ia sendiri tidak ingin memastikan. Banyak orang memang suka bicara agak sinis perihal majikan mereka. Bisa dipahami karena hampir selalu orang akan mengutamakan kepentingan sendiri. Baik itu pihak majikan, maupun pihak karyawan. Sementara ia tak ingin memberi kesan memihak.
"Cek sudah menyediakan pakaian terbaik untuk nanti malam""
"Pakaianku semua sama saja. Tidak ada yang terbaik."
"Ah, jangan begitu, Cek. Pakailah batik, seperti saya juga nanti. Begitulah yang dianjurkan Tuan Liong tempo hari."
Cek A Piang menggelengkan kepala. "Nggak punya. Seumur-umur aku nggak pernah pakai baju batik."
"Kalau begitu nanti sore saya akan membawa satu untuk Cek. Ukuran tubuh kita sama. Jangan khawatir. Saya punya dua yang baru. Yang satu saya pakai sendiri, dan yang satunya lagi itu buat Cek."
"Buat dipinjam pakai""
"Oh, nggak. Buat Cek saja untuk seterusnya. Nanti kalau ada pesta lagi kan gampang," jawab Henson dengan senyum. Ia senang bisa memberikan. Apalah arti sepotong kemeja batik dibanding kebaikan yang sudah diperolehnya dari Cek A Piang selama ini.
"Terima kasih dong!" seru Cek A Piang senang.
Melihat kegembiraan Cek A Piang, Henson pun ikut senang.
"Kau murid yang pinter, Son. Cepat trampil-nya. Itu tandanya kau punya bakat. Dan kau memang senang. Coba kalau nggak senang, biar punya bakat pun tidak akan bisa apa-apa. Jadi enak ngajarinya. Coba kalau muridnya bebal, wah, biar dibayar pun aku nggak bakal mau."
Henson tertawa senang menerima pujian iu. Ia membayangkan bagaimana kira-kira reaksi Irma bila tahu dirinya sudah memiliki ilmu.
"Masakan buatanmu rasanya cukup sedap, Son. Tapi terus terang tidak bisa persis dengan buatanku. Mirip sih mirip, tapi tidak persis. Nggak apa-apa itu. Yang penting rasanya sedap. Jadinya kita berdua ini punya kekhasan sendiri-sendiri. Iya, kan" Bisa saja ada orang bilang, punyamu lebih enak daripada punyaku. Bisa juga sebaliknya."
"Syukur kalau begitu, Cek."
"Eh, ngomong-ngomong, Son. Apa semua tamu yang diundang pasti datang""
"Ya. Mereka pasti datang. Semuanya antusias, Cek. Ah, cuma sedikit. Pas sepuluh orang saja. Tuan Liong tak jadi mengundang tamu-tamunya sendiri."
Cek A Piang menghentikan gerak tangannya. Dia memandang heran. "Jadi, dia batal mengundang Tuan Benny dan Tuan Hermawan" Katanya padaku tempo hari, dua orang itu termasuk yang perlu diundang."
"Ya, memang betul. Saya juga tidak mengerti kenapa ia tidak mau mengundang siapa-siapa."
"Tidak kautanyakan""
"Terus terang, saya tidak berani, Cek. Kelihatannya... ah, susah juga bilangnya. Ya, mungkin juga cuma perasaan saya saja yang berlebihan."
"Maksudmu, dia kelihatan murung, begitu""
"Ya. Kira-kira begitu."
Cek A Piang mengangguk-angguk. "Kau benar. Orang yang lagi murung suka uring-uringan. Jadi sebaiknya jangan didekati. Sebagai karyawan, ada saatnya di mana kita tidak boleh banyak bertanya. Tapi, coba katakan lagi. Siapa-siapa yang pasti datang itu""
"Yang datang bersama istri adalah Peter, Tanujaya, dan Freddy. Itu berarti enam orang. Lalu para bujangan adalah Jimmy, Anton, Herman, dan Asrul. Jadi sepuluh orang semua."
"Ah, itu sih seperti pertemuan keluarga saja."
Kata-kata itu membuat semangat Henson jadi menyusut. Ya, ucapan Cek A Piang benar. Sepertinya nanti malam lebih merupakan pertemuan para pacar. Kurang tepat dimaksudkan sebagai acara untuk mengumumkan sesuatu yang bersifat resmi. Dan tentunya dapat mengurangi kebanggaannya sebagai orang yang punya kepentingan.
Cek A Piang tidak menyadari apa yang tengah dirasakan Henson. Ia terus saja mengoceh. Apa yang dikatakannya tak jelas terdengar oleh Henson. Baru kemudian perhatiannya tertarik oleh kata-kata berikut, "Ah, jadi Peter akan datang bersama istrinya" Wah, kepingin lihat juga kayak apa orangnya. Pantasnya cakap, ya""
"Kenapa Cek sampai mengira begitu""
"Habis si Peter itu send
iri ganteng, kan. Lelaki ganteng tentu akan memilih pasangan yang cantik."
Henson tersenyum. "Belum tentu juga, Cek. Kadang-kadang pilihan orang itu macam-macam. Bisa jadi ada pertimbangan lain. Misalnya ada yang mementingkan kekayaan saja, dan tak peduli apakah si dia itu jelek atau sudah tua."
Cek A Piang tertawa. "Kamu sendiri lihat apanya. Son""
Henson agak tersipu pada mulanya. Tapi kemudian ia menyadari, pertanyaan Cek A Piang itu tak ada hubungannya dengan Irma. Buru-buru ia tertawa juga. "Ah, kalau saya sih tergantung cintanya, Cek!"
"Hem, cinta. Apa sih cinta itu"" Henson tidak menjawab. Pertanyaan itu bernada mencemooh, bukan meminta jawaban. Jadi ia hanya tersenyum.
Cek A Piang sudah mengoceh lagi. "Sebentar kau akan berpidato, Son"" tanyanya.
"Ah, bukan pidato, Cek. Cuma sedikit kata-kata. Semacam pemberitahuan tentang keberhasilan kita. Orang yang mengadakan selamatan tentu ada maksud dan tujuannya. Para tamu perlu diberi tahu."
Cek A Piang manggut-manggut. Mereka meneruskan kesibukan. Percakapan yang terjalin beralih ke soal masakan. Dan kalau begitu Henson pun sibuk mencoret-coret buku tulisnya yang merupakan buku masak pribadinya.
Catatan itu perlu, karena kadang-kadang manusia suka lupa. Dan kalau itu terjadi, sia-sialah waktu yang demikian berharga.
Tapi kemudian dengan tiba-tiba Cek A Piang meninggalkan persoalan masak-memasak. Ia berseru, "Hei, aku hampir lupa menceritakan padamu! Tadi pagi waktu aku sedang keluyuran di pasar, aku melihat si Udin."
Henson terkejut. Ia melepaskan pisau pemotong dagingnya, lalu memandang penuh perhatian pada mulut Cek A Piang, menunggu kata-kata berikut.
"Mula-mula aku tidak mengenali dia, Son. Habis jaraknya agak jauh. Dan dia memakai kumis sekarang. Agak pangling juga, sampai kupikir aku pasti salah duga. Tapi sikap dia jugalah yang membuat aku kembali tertarik. Dia kelihatan salah tingkah. Buru-buru melengos begitu beradu pandang. Ketika aku dekati, eh, dia lari. Jadi, pasti dia. Kalau nggak punya salah, masa kayak orang ketakutan."
"Apa Cek kejar dia"" tanya Henson setengah berharap.
"Maksudnya sih mau begitu. Tapi mana bisa" Orang di pasar berjejal. Kebanyakan perempuan lagi. Kalau si Udin sih enak, karena berada di tempat lengang. Waktu aku berhasil keluar dari kerumunan orang, ternyata dia sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Sayang sekali," keluh Cek A Piang.
"Ya. Sayang memang. Tapi setidaknya, kita tahu bahwa dia ada di sini. Dia tidak kabur ke daerahnya. Pada suatu saat bisa ketemu lagi."
"Ya, ya. Pasti," Cek A Piang menimpali.
"Dan sikapnya itu jelas menandakan kesalahannya. Kenapa dia harus lari kalau tidak punya salah""
"Ya. Sialan betul orang itu, berani-beraninya memasukkan kecoa ke dalam masakanku," kata Cek A Piang gemas. "Coba, kalau dia bisa kupegang, akan kupelintir lehernya."
Henson tak berani tersenyum. Tubuh Cek A Piang yang kurus dan menua itu mana mungkin bisa menandingi tubuh Udin yang kekar dan jauh lebih muda. Kemudian ia teringat akan sesuatu.
"Cek, tahukah Cek alamat orang pinter yang sungguh-sungguh pinter""
Cek A Piang terheran-heran. "Orang pinter" Ah, kau percaya sama orang pinter juga""
"Bukan percaya, Cek. Cuma kepingin tahu saja."
"Kebanyakan sih susah dipercaya, Son. Tapi ada satu yang terkenal. Dia langganan Koh Liong dan istrinya. Kau tahu, mereka itu percaya bener."
"Siapa dia, Cek""
"Dia dikenal dengan nama Mama Gembrot. Habis badannya memang gembrot sih. Tapi, mau apa kau tanya-tanya" Apa kau mau tanya soal jodoh atau karier""
"Sama sekali bukan, Cek. Saya cuma pernah dengar cerita-cerita, lalu kepingin tahu. Begitu saja."
Cek A Piang geleng-geleng kepala. "Terlalu percaya juga nggak baik. Bisa jadi duit kita dikuras olehnya. Ya, dia tentunya minta imbalan duit yang tidak sedikit. Semua orang pinter, atau tukang ramal, atau ahli nujum, atau apa lagi aku nggak tahu, memang maunya cuma duit. Soalnya, aku sendiri pernah kena tipu. Dulu aku pernah dianjurkannya untuk menikahi perempuan yang kemudian jadi istriku, karena perempuan itu katanya bisa
membawa rezeki dan kebahagiaan. Pokoknya dia bilang macam-macam. Tahi lalatnya begini begitu, mata dan mulutnya begini begitu. Omong kosong semua. Tahu-tahu apa. Son" Mata dan mulutnya itu selalu ia gunakan untuk memelototi dan mengomeli aku. Bukannya dia bawa rezeki, tapi bawa rongrongan! Lihat saja aku ini. Sampai tua tetap jadi tukang masak. Dan badanku yang tadinya gemuk jadi kurus kering. Untung saja dia mati duluan," cerita Cek A Piang tanpa perasaan bersalah.
"Kalau Tuan Liong memang percaya pada orang pinter, kenapa dia tidak meminta sarannya saja waktu ada persoalan kecoa itu""
"Mungkin karena dia menolak."
"Ah, menolak"" Henson heran.
"Aku juga nggak tahu pasti. Soalnya, Koh Liong nggak cerita padaku. Aku dengar. Mama Gembrot memang suka menolak. Kabarnya, dia sok pilih-pilih. Kalau soal yang dianggapnya gampang dia nggak mau."
"Kalau begitu, dia tidak rakus dong. Cek," kata Henson tertarik.
"Wah. nggak tahu, ya. Siapa tahu dia memang nggak bisa, tapi dia bilang saja nggak mau."
"Tapi dia ternyata berhasil memberi kemajuan untuk SANG NAGA," Henson memancing.
"Hei, apa kaupikir kemajuan itu berkat jasa Mama Gembrot" Pasti cuma kebetulan saja. Coba pikir. Son. Kalau tukang masaknya nggak becus, apa orang mau makan terus-terusan di situ" Paling-paling cuma sekali-sekalinya saja."
"Memang betul, Cek. Banyak tamu memuji masakan Cek. Dan saya beruntung bisa mewarisi sebagian keahlian Cek itu."
Cek A Piang tertawa senang. "Tapi nggak apa-apa, Son. Kalau kau mau iseng-iseng berkunjung ke tempat Mama Gembrot, nantilah kuberikan alamatnya."
"Terima kasih, Cek."
Beberapa waktu kemudian, sebelum mereka berpisah, Cek A Piang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sambil berkata penuh semangat, "Wah, pasti bakal seru!" "Apanya yang seru, Cek"" "Tentu saja nanti malam." "Ah, apa iya bisa seru, Cek"" Henson menegaskan dengan heran.
"Hei, tidakkah kau sendiri punya perasaan seperti itu pula"" Cek A Piang balas bertanya.
Henson tak bisa menyahut. Ia tak ingin bicara tentang perasaan. Sudah dua orang termasuk Cek A Piang yang bicara tentang perasaan mereka mengenai rencana nanti malam. Satu lagi adalah Irma. Walaupun keduanya mengungkapkan perasaan yang berbeda satu sama lain, toh sama-sama tidak menyenangkan untuk dirinya. Kenapa orang harus punya perasaan-perasaan tentang sesuatu yang belum terjadi" Ya, bagaimana perasaannya sendiri" Ah, tidak. Ia tak ingin memikirkan. Lebih baik tidak usah memusingkan segala perasaan. Ia cuma berharap agar malam nanti cepat berlalu menjadi besok.
*** Diam-diam Nyonya Linda merasa jengkel, karena Peter akan datang bersama istrinya. Memang, hal itu merupakan sesuatu yang sudah semestinya. Tapi bagaimanapun ia merasa terganggu.
Ia mencoba membayangkan wanita itu. Nyonya Peter seorang wanita bertubuh kecil dengan wajah cukup manis, walaupun sudah jelas tidak secantik dirinya. Ia jadi sibuk membanding-bandingkan. Bagaimana caranya supaya dia akan nampak lebih menonjol, lebih menarik perhatian" Dan yang terpenting tentunya adalah bagaimana supaya Peter dapat merasakan perbedaan antara mereka berdua. Suatu perbedaan yang harus ada, karena tanpa adanya perbedaan itu pastilah Peter tidak akan tertarik padanya. Sesuatu yang ada padanya tapi tidak dimiliki Nyonya Peter merupakan daya tarik bagi Peter. Dan sesuatu itu harus ditonjolkan, harus dibuat lebih kentara. Momen seperti itulah yang harus dimanfaatkan. Dia akan membiarkan dirinya dibanding-bandingkan. Dan tanpa diragukan lagi dia akan memperoleh nilai lebih. Pikiran itu membuat perasaan terganggunya lenyap. Ya, biarlah Peter datang bersama istrinya.
Kiranya ada pula keuntungan lain. Nyonya Linda merasakan sikap Hok Kie lebih manis kepadanya. Bahkan sepertinya berlebihan. Semula ia memang merasa curiga. Tiba-tiba Hok Kie menaruh perhatian pada penampilannya. Padahal seingat dia, sudah lama sekali Hok Kie tidak melakukan hal seperti itu.
"Wah, baju baru, ya"" begitu ucap Hok Kie ketika ia selesai berdandan.
Saking tertegunnya, ia sampai tak bisa mengeluarkan kata-kata. Sudah lama Hok Ki
e tidak pernah mempedulikan apakah ia memakai baju baru atau baju lama. Di mata Hok Kie, semua bajunya sepertinya sama saja.
"Kau cantik sekali," sambung Hok Kie sebelum istrinya bisa bereaksi. Pandang mata Hok Kie memang memperlihatkan kekaguman. Matanya melotot seolah mau melahapnya.
Pada mulanya Linda merasa tersentuh. Pujian itu sudah tentu menyenangkan hatinya. Juga penting sebagai kepastian akan penampilannya. Melihat sendiri di cermin kiranya tidak cukup.
Perlu komentar orang lain. Dan apa yang diutarakan Hok Kie itu lebih dari cukup. Bahkan terasa betul kebenarannya. Tapi toh kemudian dengan tiba-tiba saja ia merasa tidak enak. Jangan-jangan Hok Kie mau mendekatinya lagi. Jangan-jangan kegairahan Hok Kie bangkit kembali, lalu...
Senyum Linda menjadi beku. Ia didera kekhawatiran. Dan tiba-tiba ia juga dilanda kemuakan. Memang Hok Kie adalah suaminya sendiri. Tapi sudah begitu lama mereka tak lagi suka bersentuhan. Mengenang sentuhan Hok Kie ternyata membuatnya merinding. Padahal ia sudah terbiasa menikmati sentuhan yang lain. Ah, tidak. Jangan.
Ketika tangan Hok Kie terulur mau menyentuh Linda, tanpa sadar tubuh Linda mengkeret. Ia membuat gerakan seakan mau menjauh dan menghindar. Dan wajahnya juga sulit menyembunyikan perasaan hatinya. Terpampanglah kesan jijik.
Tangan Hok Kie sudah menyentuh permukaan kulit lengan Linda. Belum sempat mengelus ketika tangan itu menjadi kaku dan gerakannya terhenti dengan mendadak. Hok Kie sudah melihat. Dan ia tahu. Wajahnya ikut menjadi beku. ia menarik tangannya seolah barusan menyentuh api. Lalu tanpa mengatakan apa-apa ia membalikkan tubuh dan berjalan dengan langkah panjang-panjang.
"Pa...," panggil Linda lirih. Ia merasakan penyesalan bercampur kekhawatiran.
Entah panggilan itu didengar Hok Kie atau tidak, karena ia terus berjalan. Dan dalam sekejap tidak nampak lagi.
Linda termangu sebentar. Kemudian ia mengangkat bahu dan menyentakkan kepalanya ke belakang.
"Kenapa sih, Ma""
Linda terkejut, mendapati Yeni sedang memandanginya dengan heran.
"Kok Mama kayak patung."
"Orang nggak apa-apa," gerutu Linda jengkel.
"Tadi Papa kenapa" Mukanya kok mendung betul."
"Mana aku tahu"" bentak Linda. Lalu ia bergegas menghindar, tak ingin lagi mendengar pertanyaan Yeni.
Yeni juga mengangkat bahu dan menyentakkan kepalanya ke belakang. Persis gerakan ibunya tadi. Suatu peniruan tanpa sengaja yang terjadi karena sering melihat, dan sudah berlangsung selama sekian tahun hidup Yeni berdampingan dengan ibunya.
Yeni pun melangkah bergegas-gegas ke arah yang dituju ayahnya tadi. Pada saat begini semua orang kelihatan sibuk. Padahal sebenarnya mereka boleh dikata sudah siap. Tinggal menunggu kedatangan para tamu saja. Tapi biasanya memang begitu. Semakin dekat saatnya, semakin terasa ada yang kurang beres. Entah penampilan sendiri atau hal-hal kecil lainnya.
Lalu ia berpapasan dengan Irma yang juga sedang berjalan dengan langkah terburu-buru. "Lho, kok belum siap, Ir"" tegur Yeni. "O, sudah dong." "Apanya yang siap""
Pandang mata Yeni merayapi tubuh Irma dari atas ke bawah. Pakaian Irma memang tak ubahnya dengan sehari-hari. Celana jeans dengan blus kotak-kotak kecil. Rias wajahnya cuma bedak tipis dengan lipstick hampir tak kentara.
"Emangnya aku kurang rapi"" Irma balas bertanya.
"Jelas nggak rapi dong! Yang bener aja, Ir. Sebentar kita kan mau pesta, bukan kerja sehari-hari. Ayo, ganti sana! Pakailah rok," perintah Yeni.
"Aku nggak punya rok, Ci!" sahut Irma sambil memonyongkan mulutnya.
"Pakailah punyaku. Kau boleh pilih yang mana. Ambil sendiri di lemari. Tapi sesudah kaupakai harus langsung kaucuci sendiri pakai tangan."
"Nggak ah, Ci. Terima kasih," kata Irma sambil melangkah lagi.
"Hei, tunggu dulu. Kalau dandananmu begitu, kau bisa bikin malu. Tahu""
Irma menghentikan langkahnya. Lalu memandang tajam hingga Yeni jadi tertegun. "Apakah Cici nggak tahu" Sebentar aku bertugas sebagai pelayan. Mana cocok pakai baju bagus-bagus""
Yeni ternganga. "Emangnya nggak ada pelayan yang masuk"" tanyanya kemudian.
"Ng gak ada." "Ah, kok gitu sih" Hei, biar si Henson saja yang kerja sendiri. Siapa suruh dia nggak mau pakai pelayan" Kan repot tuh."
"Papa yang suruh, Ci," jawab Irma tenang.
"Papa" Ah, kok aneh-aneh sih. Bikin pesta tanpa pelayan. Ya, sudah. Suruh si Henson aja sendiri. Kenapa kau mesti ikut-ikutan""
"Biarlah sekali-sekali jadi pelayan. Nggak apa-apa toh""
Air muka Yeni jadi sinis ketika ia mengerutkan kening dan mencibir.
"Hem. Memang sih nggak apa-apa. Tapi itu pasti ada sebabnya. Kepingin berdua-dua sama si Henson, kan""
Irma memalingkan muka, lalu cepat berlalu diiringi tawa Yeni yang mencemooh. Jangan sedih, kata hatinya. Ya, bersedih pada saat seperti itu cuma menambah beban. Sama sekali tak ada gunanya. Tapi bagaimanapun ia toh merasa jengkel. Sindiran seperti itu sudah terlalu sering. Selama ini ia cuma menelannya tanpa memberi komentar. Mereka memang senang menyindir karena belum merasa pasti. Berpikir ke situ ia jadi gemas. Lalu kembali terasa dorongan supaya hubungannya dengan Henson segera diketahui saja. Biar mereka tahu supaya tidak bisa menyindir lagi. Persetan segala kewaspadaan. Mestinya bukan dia dan Henson yang harus sembunyi-sembunyi, melainkan ibunya dan Peter itulah! Emosinya jadi melonjak. Dan hampir selalu pada
saat demikian timbul keinginan untuk menemui Henson.
Irma tahu pasti Henson tidak berada di ruang makan. Di sana ada Lili -yang masih mematut-matut ruangan padahal sudah cukup rapi. Dan sebentar lagi ibunya dan Yeni pun akan berada di situ pula. Mereka siap menanti kedatangan para tamu yang menurut perjanjian akan datang beberapa menit lagi. Itu kalau mereka menepati waktu.
Mula-mula ia ke dapur. Di sana ada Cek A Piang yang sudah ganti pakaian. Mau tak mau ia tersenyum melihat Cek A Piang berkemeja batik. Penampilan yang berbeda daripada sehari-hari itu membuat Cek A Piang kelihatan lucu. Apalagi gerak-geriknya pun jadi kelihatan canggung.
"Sudah siap, Cek"" tanya Irma.
"Oh, sudah dong. Lihat saja sendiri."
"Cek masak sendiri " Kok nggak ada yang bantu, ya." Irma jadi heran sendiri setelah berpikir sampai ke situ. Ia merasa kasihan pada Cek A Piang karena membayangkan kerepotannya. Ia menganggap ayahnya keterlaluan. Apakah karena tamu yang diundang cuma sedikit" Tapi biarpun demikian, kurang patut juga mengeksploitir tenaga Cek A Piang seperti itu. Sekurang-kurangnya harus ada seorang pembantu.
Tapi setelah melihat keadaan dapur yang rapi ia jadi ragu-ragu. Kelihatannya kerja Cek A Piang memang tidak seberapa berat. Bukan saja pekerjaannya beres, tapi Cek A Piang sendiri tidak nampak kecapekan.
Cek A Piang tertawa melihat wajah Irma yang keheranan.
"Ada yang bantu kok, Irma. Aku punya asisten yang cekatan." "Siapa, Cek""
"Siapa lagi kalau bukan si Henson," ucap Cek A Piang bangga. Tapi kemudian ia teringat akan rahasianya. Jangan sampai Irma tahu tentang hubungannya dengan Henson. Jangan sampai siapa pun dari keluarga Liong tahu. Ia sudah memesankan hal itu pada Henson. Mustahil sekarang ia sendiri yang membocorkannya. Tapi ia sempat lupa tadi. Mungkin karena ia paling akrab dengan Irma dibanding anggota keluarga Liong yang lain.
"Oh, Henson"" ulang Irma.
"Ya. Dia yang membantuku," sahut Cek A Piang singkat. Ia tentu tak akan menceritakan bahwa sebagian masakan yang telah disiapkan itu adalah hasil karya Henson. Hitung-hitung latihan untuknya.
Irma mengangguk. Ia tidak merasa perlu bertanya lebih jauh.
"Sekarang di mana dia, Cek""
"Tadi sih katanya mau ke gudang. Mau ngecek minuman atau apa, ya. Entahlah. Kurang jelas."
"Saya mau membantunya, Cek!" seru Irma sambil bergegas pergi.
Cek A Piang memperhatikan sebentar, lalu mengangguk-angguk puas. Henson memang perlu dibantu, pikirnya.
Irma setengah berlari. Kebetulan Henson ada di gudang, pikirnya. Memang ayahnya tak menyuruhnya membantu Henson. Tapi ia tak peduli. Ia ingin dan harus membantu.
Pintu gudang terbuka sedikit. Irma segera menerobos masuk.
Henson yang sedang membungkuk di atas sepeti Coca-cola berdiri dengan terkejut. Penampilannya sudah rapi. Dan set
elah melihat Irma ia tersenyum. "Hai, aku pikir siapa," katanya mesra.
Irma juga tersenyum. Kegundahannya yang barusan lenyap.
"Wah, kau cakep pakai batik, Son! Tidak seperti Cek A Piang yang jadi nampak kedodoran," kata Irma sambil tertawa geli.
"Oh ya" Tapi jangan bilang begitu kepadanya. Soalnya dia mengenakan baju dengan ukuran tubuhku. Kasihan dia tak punya baju yang cocok untuk dikenakan sekarang. Kebetulan aku punya dua. Supaya dia senang, kukatakan saja bahwa ukuran tubuh kami berdua cocok."
"Kalau tahu begini, aku pun akan memakai baju baru," Irma setengah menyesali.
"Ah, baju baru atau baju lama kau tetap sama cantiknya."
"Oh ya"" "Ya." "Ah, merayu. Sini aku bantu mengangkat."
Irma memegang sisi peti yang sebelah lagi. Tapi belum sempat Irma mengangkat, Henson melepas pegangannya pada sisi yang lain untuk ganti memegang tangan Irma. Sambil membungkuk itu keduanya jadi berpandangan dekat-dekat. Daya tarik yang amat sangat membuat keduanya serempak menegakkan tubuh kembali untuk saling mendekat. Keduanya berdekapan, erat menyatu dan saling mencari. Untuk sejenak terlepaslah kerinduan. Dan untuk sejenak pula keresahan terlupakan.
Tiba-tiba tubuh Irma menegang. Lalu menyentakkan dirinya dari pelukan Henson, Ia menoleh ke arah pintu. Dan karena khawatir tidak bisa melihat jelas, ia memutar tubuh agar berhadapan dengan celah pintu yang terbuka. Pintu itu memang tidak ditutupnya lagi sewaktu masuk. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di situ. Rongga di pintu tetap kosong.
Henson yang posisinya membelakangi pintu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya. Tentu saja ia pun tidak melihat apa-apa.
"Ada apa, Ir"" ia bertanya khawatir. Penyesalannya membubung. Kenapa ia tidak bisa menahan diri.
"Oh, aku... aku seperti melihat orang di situ. Cuma kepalanya yang nongol."
"Siapa"" "Entah. Tidak jelas. Sama sekali tidak jelas. Bahkan aku... aku juga tidak tahu pasti apakah itu
orang atau... atau cuma khayalanku saja," sahut Irma tergagap. Wajahnya pucat.
Henson sadar, tak mungkin menghibur Irma dengan mengatakan bahwa kemungkinan yang dilihatnya cuma khayalan saja. Padahal ia pun ingin menghibur dirinya sendiri dengan pikiran itu. Kalau saja itu memang khayalan!
"Aku menyesal, Ir. Maafkan aku," katanya sedih.
Irma tak segera menyahut. Tapi semangatnya pulih kembali. Bukankah ia juga salah" Sejak semula ia mendatangi Henson dengan pikiran yang nekat. Dan ia pun sudah bersikap impulsif tadi. Tak ada gunanya lagi menyesali.
"Kau tak perlu minta maaf, Son."
"Menurutmu, siapakah kira-kira dia""
"Wah, susah." "Ada orang yang tahu kau ke sini"" "Ya, ada. Cek A Piang."
Henson bernapas lebih lega. "Kita harap saja orang itu memang Cek A Piang. Syukur-syukur kalau dia. Aku bisa menjelaskan padanya."
Irma tidak bertanya-tanya. Tidak ada semangatnya untuk menanyakan apa alasan pendapat Henson itu.
Melihat Irma diam, Henson segera menepuknya. "Sudahlah, Ir. Kalau orang memang sudah tahu perihal kita, biarlah kita hadapi risikonya. Bukankah pada suatu waktu hubungan kita akan diketahui orang juga" Jadi, tabahlah."
"Ya. Aku akan tabah. Son. Cuma..."
"Cuma apa""
"Nggak apa-apa. Ayolah, kita segera keluar. Mari kita gotong peti ini."
Tapi dalam hatinya, Irma menyelesaikan sendiri kalimatnya yang tak selesai tadi. Cuma aku merasa semakin tidak enak. Son!
*** Tuan Liong melangkah tergesa-gesa. Dari gudang tadi ia seolah terbang. Ia serasa tidak menginjak lantai. Tapi ampun, dia merasa menginjak bara api!
Sesuatu yang mengejutkan telah dilihatnya. Ia shock. Susah percaya. Tapi melihat dengan mata kepala sendiri. Wah, sepertinya ia akan semaput setiap saat. Tapi anehnya ia terus saja berjalan. Ia masih tegak di atas kedua kakinya. Heran sungguh. Padahal rasanya sudah tidak keruan. Sedih, pilu, marah, benci, semua mengaduk lalu merobek-robek dirinya jadi berkeping-keping. Ya, di luar utuh tapi di dalam hancur!
Ketika akhirnya langkahnya terhenti karena memang harus berhenti, tangannya terangkat untuk menyusut matanya. Menangiskah dia" Ia sendiri tidak tahu
. Gerakannya seolah refleks saja.
Lalu ia mendengar suara-suara. Canda dan gurau. Gelak dan tawa. Ia mengucek-ngucek matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya seolah bebannya berada di atas kepala. Ia harus menghadapi itu semua.
Ia berjalan lagi. Kini langkahnya lebih mantap dan terkendali. Sambil melangkah sesekali tangannya menepuk-nepuk saku baju safari batiknya, seakan di situ tersimpan sesuatu yang berharga. Mulutnya siap menyunggingkan senyum. Ia harus jadi tuan rumah yang baik. Tapi di matanya ada kebencian!
-X- Tamu yang pertama datang adalah Herman. Dan dia datang sendirian tanpa Anton. Tentu saja Yeni jadi melotot dan mendesakkan pertanyaan bertubi-tubi kepada Herman yang menjawab dengan perasaan risi. Tanpa Anton ia merasa salah tingkah, lebih-lebih setelah mendapati dirinya adalah tamu pertama. Dia terlalu rajin rupanya.
"Anton tidak bisa datang karena sakit, Yen."
"Sakit" Kok mendadak sih" Saat begini malah sakit."
"Wah, nggak tahu. Namanya juga orang sakit, Yen."
"Kenapa dia tidak nelepon dulu biar aku nggak nunggu-nunggu" Ya, biar aku tahu."
"Dia nggak bisa nelepon. Dia lemes."
Kekhawatiran Yeni timbul. Semula dipikirnya, Anton paling-paling masuk angin. Kemarin mereka bertemu dan saat itu Anton segar-bugar tanpa memperlihatkan gejala sakit apa-apa.
"Apa dia kecelakaan""
"Nggak," sahut Herman sambil memutar otaknya. Ah, dia belum siap berbohong rupanya.
Semula dipikirnya cukup dengan mengatakan sakit tanpa perlu menjelaskan apa sakitnya itu. Dia bisa mengatakan tidak tahu. Dan itu tentu masuk akal karena dia bukan dokter. Tapi pertanyaan Yeni yang tak kunjung puas terasa menyudutkan. Padahal ia tak mungkin mengatakan hal sebenarnya. Bukan saja ia bisa dikemplang Anton nanti, tapi hampir pasti ia pun akan dikemplang Yeni pada saat itu juga. Nah, mau dikemanakan nanti mukanya" Apalagi di depan Irma. Karena Irma jugalah maka ia memaksa diri untuk datang. Bukankah ia diundang" Semestinyalah ia dilihat sebagai pribadi yang berdiri sendiri. Tapi salahnya, ia selalu berdua-dua dengan Anton. Untungnya kena, ruginya pun kena. Bagaimana sekarang" Sudah kepalang basah.
"Anton sakit perut, Yen. Dia berak-berak sampai lemes," katanya kemudian sambil memuji akalnya sendiri. Bukankah penyakit seperti itu sangat umum"
Tapi Yeni memekik ngeri. "Aduh, muntaber dia, Man" Celaka. Kemarin aku baca di koran, banyak orang mati karena muntaber."
"Ya. Gawat itu," Nyonya Linda menimpali.
Hati Herman jadi ciut. Tapi ia berusaha tenang. "Nggak pakai muntah-muntah kok. Yen. Cuma berak-berak saja, tapi sering."
"Sudah ke dokter""
"Sudah, Tante. Juga sudah makan obat. Lalu dia tiduran di dipan dekat WC." Herman menahan geli sejenak. Lama-lama senang juga berbohong.
"Sudah, ah," potong Lili.
"Jangan ngomongin yang gituan lagi. Orang sebentar mau makan enak kok. Nafsu makan bisa hilang, tahu""
Herman mengangguk sopan. Menyudahi pembicaraan tentang Anton memang paling baik. Dia lebih suka memandangi Irma yang sayang sekali nampak tak kepalang sibuk. Gadis itu tidak ikut bicara, bahkan tidak pula ikut duduk bersama yang lain. Dia terus saja hilir mudik, membawa ini, membawa itu.
Herman duduk di sudut. Biar menyendiri begitu tapi rasanya aman. Ia tidak suka dekat-dekat Yeni yang wajah mendungnya menakutkan perasaannya. Ia pun takut keceplosan bicara. Oh, kesalahan Anton terlalu besar. Sangat besar. Ada baiknya mulai saat ini ia jangan menempel pada Anton lagi. Bisa kena getahnya. Kalau Anton jelek, ia pun bisa dianggap jelek juga. Sungguh mati, ia bukan duplikat Anton. Dan ia sendiri heran bagaimana mungkin Anton bisa berbuat begitu" Lihatlah, Yeni begitu cantik, dan sudah pula sah jadi pacarnya, tapi ternyata ia masih tega menghamili gadis lain! Celaka sungguh!
Tiba-tiba Herman jadi merasa celaka juga. Bayangkan kalau Irma tahu. Padahal ia sangat mencintai Irma. Bukankah ia boleh saja berharap" Selama Irma belum mempunyai pacar, harapan itu tetap ada. Jadi, mudah-mudahan saja persoalan Anton itu segera selesai tanpa ribut-ribut. Barangkali si gadis atau keluarg
anya mau diam setelah diberi ganti rugi. Mestinya mereka juga menanggung malu. Tapi sulitnya, mereka minta pertanggungjawaban. Ya, dengan kata lain, mereka minta Anton mengawini gadis itu. Nah, bagaimana hal itu bisa terjadi kalau Anton sudah punya rencana kawin dengan Yeni. Sedang Yeni sudah menganggap Anton sebagai miliknya. Tak mengherankan kalau Anton jadi pusing tujuh keliling. Apalagi tadi, saat keributan pecah. Ternyata keluarga si gadis punya tukang pukul yang berangasan, pakai mengancam segala. Tak ada jalan lain bagi Anton selain sembunyi untuk sementara waktu. Biar suasana mendingin dulu sampai upaya musyawarah berhasil.
Begitulah pikiran Herman berkelana sampai tamu-tamu lain berdatangan. Mula-mula Jimmy, lalu Asrul. Rupanya kaum bujangan mampu datang lebih siang dibanding mereka yang sudah beristri. Apakah para istri terlalu lama berdandan"
Kedatangan Jimmy membuat wajah Lili jadi semakin manis. Dia nampak seperti bunga yang tengah mekar-mekarnya. Asrul sampai terkagum-kagum. Sedang Herman pun terpaksa mengagumi diam-diam, karena tak ingin terbaca oleh Yeni. Sebenarnya Yeni tak kalah cantik daripada Lili, tapi wajahnya yang cemberut itu membuat kecantikannya hilang sebagian. Semakin tambah keriangan Lili, semakin masam wajah Yeni. Herman tahu apa sebabnya, tapi ia tak berani menghibur. Bagaimana mungkin" Oh, kurang ajar sungguh si Anton, umpat Herman dalam hati.
Henson memperkenalkan Asrul kepada semua orang. Lalu menemaninya duduk sebentar. Setelah Tuan Liong ikut serta menemani, Henson bangkit untuk melaksanakan tugasnya yang masih banyak. Bukan tugas dia menemani para tamu. Ia bergabung dengan Irma yang juga sedang sibuk mempersiapkan makanan kecil dan minuman. Mereka berdua memang sudah melupakan, atau berusaha melupakan, peristiwa tadi.
Tak lama kemudian berdatanganlah para pasangan suami istri. Freddy dan istri disusul oleh pasangan Peter dan Tanujaya yang keempatnya datang semobil. Biar irit bensin dan tempat parkir, begitu seloroh Tanujaya yang senang tertawa.
Suasana yang semula kaku menjadi lebih santai dan riuh. Kehadiran Tanujaya memberi keuntungan, karena dia pintar bicara dan melontarkan lelucon-lelucon yang menggelitik. Sikapnya yang supel dapat membuat orang yang semula merasa asing dan kikuk terbawa membaur. Ikut bicara dan ikut tertawa. Seperti halnya dengan Herman yang dibebani problem, dan Asrul serta pasangan Freddy suami istri, juga Nyonya Peter dan Nyonya Tanujaya yang sebelumnya tak pernah kenal dengan orang-orang yang hadir.
Bahkan Tuan Liong dapat melupakan beban batinnya untuk beberapa saat. Tapi sesekali tangannya masih suka menyentuh saku dalam gerakan yang tidak menyolok. Hanya menyentuh dari luar. Seperti gerak tak disengaja. Dan setiap kali ia melakukan hal itu, sorot matanya jadi lain.
Tapi cuma sebentar, cuma kilatan sekejap yang sama sekali tidak menarik perhatian.
Berkali-kali pandang Nyonya Linda terarah pada Nyonya Peter. Wanita ini berdandan rapi namun tidak menyolok. Gaunnya yang berwarna ungu cukup serasi dengan kulitnya yang putih. Linda terpaksa mengakui, bahwa ia sulit menemukan kejelekan atau kekurangan yang kentara pada diri Nyonya Peter, kecuali tubuhnya yang kecil dan agak pendek. Tapi faktor yang satu itu kiranya cukuplah. Ia bisa membandingkan dengan dirinya sendiri yang bertubuh seksi. Ia tinggi dan berdaging padat. Nah, kelebihan itu telah memberinya perasaan aman. Ia pasti tidak tersaingi. Jadi ia tidak perlu lagi merasa iri atau khawatir. Karena itu, tatapannya ke arah Nyonya Peter semakin lama semakin berkurang. Ia sudah mampu menguasai dirinya agar dapat berperan sebagai nyonya rumah yang sempurna.
Pada suatu kesempatan, Henson keluar dengan membawa sebuah dus berisi kue berikut tiga botol Coca-cola.
Pandang Asrul mengikutinya. Ia menyayangkan kesibukan Henson hingga tidak memungkinkan mereka bisa bercakap-cakap leluasa. "Mau ke mana pula Henson itu," gumamnya, tak jelas kepada siapa.
"Oh, dia mau memberikan makanan kepada tukang parkir," Tuan Liong yang duduk di sebelannya menjelaskan. Lalu dia menggeleng-gelengkan kepa
la. "Rupanya dia pakai tiga orang.
Padahal seorang juga cukup. Ran mobilnya juga cuma sedikit."


Cinta Sang Naga Karya V. Lestari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ucapan yang lebih mirip gerutuan itu tidak ditanggapi Asrul. Sebaliknya ia mengatakan, "Wah, karyawan Anda itu sangat cekatan. Dia kelihatannya tahu benar apa saja yang harus dikerjakan, bukan" Gerak-geriknya serba pas begitu."
Pujian itu tidak menyenangkan hati Tuan Liong. Sebaliknya, ia merasa kejengkelannya jadi semakin dikipas. Oh, jadi Henson itu orang yang tahu benar apa yang harus dikerjakan" Tapi dia juga si pagar makan tanaman. Dan orang seperti itukah yang mau dinaikkan pangkatnya"
Segera Tuan Liong mengalihkan percakapan ke hal-hal lain. Terutama mengenai masalah yang dikuasainya. Tentang restoran. Bagaimanapun ia lebih suka berbincang-bincang dengan Asrul daripada dengan Peter. Tiap kali ia berusaha mengalihkan tatap matanya dari tempat di mana Peter duduk. Kalaupun sesekali ada pertanyaan dari Peter tertuju padanya, ia menjawabnya dengan tatapan kilat. Sebagai tuan rumah yang baik ia tentu harus menjawab dengan baik pula. Dan ia pun harus berbuat seakan tak ada apa-apa. Ia tak ingin memandang Peter lama-lama agar tidak perlu melihat dan mengakui ketampanannya. Ternyata hal itu susah. Ia harus melihat dan harus pula mengakui. Sepantasnya Peter jadi bintang film saja, desisnya dalam hati.
Kemudian Freddy datang mendekat untuk ikut serta dalam percakapan. Ternyata dia berbakat jadi pendengar yang baik. Ia mendengarkan ucapan Tuan Liong dengan penuh perhatian dan kekaguman yang tak disembunyikan, hingga Tuan Liong merasa lebih senang mengarahkan percakapan kepadanya. Tapi dengan demikian Asrul jadi merasa terbebas dari keharusan mendengarkan yang pada saat itu tidak disukainya. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada gadis-gadis dan wanita-wanita cantik di situ. Suatu pemandangan yang jarang. Wajar saja. Dia toh lelaki normal.
Rasanya pada suatu ketika ia memang pernah mendengar seseorang, entah siapa, mengatakan bahwa SANG NAGA memiliki dara-dara yang cantik. Tapi ketika itu ia sama sekali tidak tergugah. Dara cantik bisa ditemukan di mana saja. Tidak harus di restoran. Apalagi kalau untuk melihat saja ia harus makan di situ. Sempat terpikir, alangkah beruntungnya Tuan Liong, baik sebagai laki-laki maupun sebagai pengusaha.
Ia memperhatikan mereka satu per satu. Lalu perhatiannya tertuju kepada seorang gadis yang sedang duduk dengan wajah kurang berseri. Kelihatannya ia kurang bersemangat menjawab pertanyaan wanita di sebelahnya. Senyumnya pun seolah dipaksakan. Ah, siapa pula namanya tadi sewaktu disebutkan Henson. Oh ya, dia adalah Yeni, putri kedua.
Tiba-tiba pandang Yeni terarah kepada Asrul, seakan merasa bahwa dirinya sedang dipandangi.
Buru-buru Asrul mengangguk pelan sambil tersenyum. Ternyata Yeni membalas dengan senyum yang lebih merekah. Bahkan wajahnya pun kelihatan lebih berseri. Timbul niat Asrul untuk mendekat. Sayang sekali tidak ada kursi kosong di sebelah sana. Barangkali nanti. Tapi kemudian pandangnya tertarik lagi ke arah lain. Obyeknya kini adalah seorang gadis yang kelihatan tak mau diam, terus bergerak ke sana kemari. Dia tak pernah duduk. Segera perhatian Asrul jadi tercurah. Gadis itulah si bungsu, Irma. Dan semakin memperhatikan, Asrul semakin tertarik. Nampaknya, gadis itu paling berkepribadian bila dibandingkan dengan kedua kakaknya. Belum pasti memang. Tapi lihatlah caranya berbicara, berjalan, dan menegakkan kepalanya. Itulah gadis yang kiranya tidak mementingkan segi lahiriah. Lihat saja penampilannya yang demikian bersahaja bila dibandingkan... Ah, kenapa pula aku ini, pikir Asrul geli sendiri. Perhatian kok menclok sana sini, pindah-pindah tak keruan. Atau memang begitukah laki-laki yang cenderung rakus bila melihat banyak dara cantik" Yang ini disenangi, yang itu pun sama. Akhirnya bingunglah dia.
Toh ada satu hal yang sudah jelas bagi Asrul. Gadis seperti Lili itu tak perlu dinilai, karena dia sudah ada yang punya. Menilai gadis orang cuma membuang waktu saja. Memang tak susah memperkirakan, karena anak muda yang duduk di sebelah Lili itu bersikap
mesra dan bangga. Kemudian Henson mendekati Tuan Liong dan berbisik di telinganya. Tuan Liong mengangguk. Segera Henson berjalan ke tengah ruangan, berdiri menghadapi para tamu yang duduk di deretan kursi membentuk huruf U. Dia berdehem dulu lalu mulai bicara.
Suara Henson cukup nyaring, jelas, dan tegas. Tidak ada keraguan dan kegugupan. Tangannya juga tidak canggung seperti yang biasa ditunjukkan orang pada saat dirinya jadi pusat perhatian. Ia mulai dengan menceritakan awal terjadinya persoalan kecoa itu.
Pada saat itulah Irma muncul bersama Cek A Piang. Tanpa bersuara mereka duduk untuk ikut mendengarkan. Hampir tak ada orang yang memperhatikan keduanya. Paling-paling cuma melihat sekilas saja.
Henson tidak ingin bicara banyak-banyak. Memang tak ada gunanya. Tamu terlalu sedikit. Di samping itu, semangatnya pun seperti lenyap. Segala yang dilakukannya semata-mata hanya karena keharusan belaka. Mungkin karena peristiwa di gudang tadi. Sepertinya ia bisa merasakan adanya tatapan tajam yang sama sekali tidak ramah. Semakin lama semakin tidak menyenangkan. Mungkin itu dari orang yang memang tidak suka padanya sejak awal, tapi mungkin juga dari orang yang tak terduga. Ketidakpastian itulah yang memberikan perasaan tidak enak.
Ia melihat sekilas pada Irma yang duduknya kaku dan gelisah. Sesuatu yang sama sekali bukan kebiasaan Irma. Dan gadis itu memandang padanya dengan cara yang juga tidak biasa. Irma seolah menyimpan kecemasan di matanya!
"Berkat kepercayaan para langganan, relasi, dan sahabat sekalian, seperti halnya Bapak dan Ibu yang berada di sini, kami berhasil mengatasi musibah itu dengan baik. Sedikit demi sedikit situasi kembali pulih. Dan sekarang omset kami sudah kembali mencapai taraf sebelum musibah itu terjadi. Jadi kami ingin mengajak Bapak dan Ibu ikut bergembira bersama kami saat ini. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya...."
Henson menutup pembicaraannya dengan serangkaian kalimat basa-basi, lalu menyilakan Tuan Liong untuk ikut bicara sepatah dua. Itu sesuai dengan rencana mereka sebelumnya. Dan itulah momen yang penting untuknya. Semangatnya kembali mengisi tubuhnya sedikit demi sedikit. Pastilah sesudah momen itu terlampaui dia akan merasakan sesuatu yang manis dan nikmat. Ah, dia seorang manajer. Saat dia masih menjadi pelayan dulu, pernahkah dia bermimpi tentang hal itu" Rasanya tidak. Dan berkhayal pun tidak. Bahkan mampir di benak juga tidak.
Henson duduk di sebelah Cek A Piang, satu-satunya tempat kosong yang mudah dicapai. Dan paling dekat ke Irma. Ia bisa melihat getar dan gerak gelisah jari-jari tangan gadis itu. Irma merasa tegang bersamanya. Mereka sehati dan seperasaan.
Semua mata tertuju kepada Tuan Liong. Dan ia menjadi gugup karenanya. Sebelumnya, ia tak pernah mengalami seperti itu. Bicara di depan orang banyak bukanlah keahliannya. Tapi ia toh tidak sampai melupakan apa sebenarnya yang mesti ia ucapkan. Sesuai dengan rencana. Namun ia juga tidak lupa tentang hal-hal yang tidak ingin ia katakan, walaupun hal itu sudah direncanakan. Dan ia lebih condong pada yang belakangan itu. Ia masih sadar untuk memilih.
"Saya tidak mau bicara banyak. Memang tidak perlu, karena semua yang perlu diutarakan sudah diucapkan oleh Henson barusan. Itu sudah cukup. Saya cuma ingin menegaskan ucapannya saja. Saya sangat bersyukur dan saya pun ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak dan Ibu sekalian. Sekarang, marilah kita bersantai lagi sementara menunggu hidangan disiapkan. Ya, hidangan yang sederhana saja sebagai tanda keakraban. Sekian. Terima kasih."
Tuan Liong sudah selesai bicara. Cuma itu saja. Tidak ada kejutan. Tidak ada yang menyenangkan buat Henson dan Irma. Adakah sesuatu yang terlewati atau terlupakan" Tapi ia sama sekali tidak memberi kesan orang pikun. Ia tersenyum dengan wajah cerah, lalu duduk kembali diiringi tepuk tangan. Dan ia sama sekali tidak memandang ke arah Henson maupun Irma.
Henson terpaku di kursinya. Tidak salah dengarkah ia" Adakah kata-kata yang terlewati oleh pendengarannya" Mustahil. Kenyataann
ya memang seperti itu. Tidak ada apa-apa untuknya. Momen yang diharapkannya sudah lewat dan itu kosong saja. Lupa" Mustahil.
Ia merasakan dirinya terempas jatuh dari ketinggian, lalu membentur dasar dengan dahsyat. Sakitnya tak kepalang. Tapi ia tidak mati. Ia pun tidak pingsan hingga sakitnya bisa terlupakan. Ia harus menanggungnya dengan sadar. Mungkin ia melayang terlalu tinggi tadi, padahal tak ada alas tempat berpijak. Ia terlalu merasa aman. Terlalu yakin.
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 21 Pendekar Pulau Neraka 22 Pergolakan Di Istana Langkat Naga Pembunuh 6
^